usulan kegiatan riset perikanan tangkap th 2003 - BalitbangKP

Transcription

usulan kegiatan riset perikanan tangkap th 2003 - BalitbangKP
Hubungan Panjang-Berat, Kebiasaan Makan……………..di Danau Toba, Sumatera Utara (Umar, C., et al.)
HUBUNGAN PANJANG - BERAT, KEBIASAAN MAKAN DAN
KEMATANGAN GONAD IKAN BILIH (Mystaecoleucus padangensis)
DI DANAU TOBA, SUMATERA UTARA
Chairulwan Umar dan Endi Setiadi Kartamihardja
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 30 Juli 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 1 September 2010;
Disetujui terbit tanggal: 29 Juli 2011
ABSTRAK
Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) di Danau Toba adalah jenis ikan introduksi dari Danau
Singkarak, Sumatera Barat. Pada saat ini terdapat kecenderungan ukuran individu menurun, hal ini antara lain
disebabkan oleh penangkapan yang intensif menggunakan alat tangkap bagan apung dengan ukuran mata
jaring relatif kecil (< 1,25 inci). Penelitian ini bertujuan untuk melihat beberapa aspek biologi meliputi ukuran
panjang dan bobot, kebiasaan makan, tingkat kematangan gonad dan fekunditasnya. Hasil penelitian
diperoleh hubungan panjang dan bobot individu bersifat allometrik positif dengan panjang total rata-rata 12,6
cm dan bobot rata-rata 19,8 g/ekor. Dari analisa lambung ikan bilih pemakan detritus (78,2 – 92,9 %),
fitoplankton dan zooplankton sebagai pakan tambahan
(4,9 – 11,5 %) serta seresah tumbuhan
sebagai pakan pelengkap (1,9 – 1,8 %). Hasil pengamatan ikan bilih yang matang gonad diperoleh nilai
fekunditasnya rata-rata berkisar antara 5.262 – 16.117 butir telur. Hasil pengamatan TKG dan jumlah telur
menunjukkan ikan bilih dapat bertelur dan memijah sepanjang tahun dan berkembang dengan baik sehingga
ikan ini tetap lestari walaupun adanya eksploitasi yang cukup intensif.
KATA KUNCI : Ikan bilih, hubungan panjang-berat, kebiasaan makan, kematangan gonad, Danau Toba.
ABSTRACT:
Length–Weight relationship, food habit, gonad maturity and fecundity of bilih
(Mystaecoleucus padangensis) in Toba lake, North Sumatera.
Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) in Toba Lake was introduce from Singkarak Lake, West
Sumatra. At present the growth was decreased, it caused by intensive fishing and the uses of lift net with
small mesh size (under 1,25 inch). This research aims to know some biological aspects of bilih such as length
- weight, relationship food habit, level of gonadal maturity, and fecundity. The results showed that growth
pattern of bilih positive allometric with average length of about 12,6 cm and average weight of about 19,8
gr/each. Bilih detritus feeding (78,2 – 92,9%), phytoplankton and zooplankton as additional food (4,9 – 11,5%)
and seresah tumbuhan as complement food (1,9 – 1,8 %). Fecundity of ranged from 5.262 – 16.117. TKG
observation and eggs gain showed that bilih could development and spawn in long years and growth well
enough, so that bilih can stlll growth rapidly eventhough there is an exploitation.
KEYWORDS :
Bilih, length-weight relationship, food habit, fecundity, Toba like.
PENDAHULUAN
Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker)
merupakan salah satu jenis ikan yang bukan asli
Danau Toba, dan merupakan ikan introduksi dari
Danau Singkarak, Sumatera Barat. Ikan ini bersifat
endemik
di
Danau
Singkarak
dan
daerah
pengembangannya terbatas, dan di dunia hanya
ditemukan di Danau Singkarak. Oleh karena itu,
Danau Singkarak merupakan habitat asli dari ikan
bilih.
Danau Toba mempunyai habitat yang hampir sama
dengan Danau Singkarak. Habitat yang yang disukai
ikan bilih, yaitu berair jernih, suhu air berkisar antara
o
(26,0 – 28,0 C) dan dasar perairan berpasir. Di sekitar
Danau Toba terdapat 152 buah sungai dan 212 anak
sungai yang bermuara ke danau. Sebanyak 71 buah
sungai selalu berair sepanjang tahun dan sesuai
sebagai tempat pemijahan ikan bilih (Kartamihardja
dan Sarnita., 2010).
_______
Korespondensi Penulis :
Jln. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta Utara-14430
Keputusan introduksi ikan bilih dari Danau
Singkarak ke Danau Toba dilakukan setelah melalui
kajian ilmiah cukup panjang yang dilakukan oleh Pusat
Riset Perikanan Tangkap. Penelitian tentang ikan bilih
meliputi kesesuaian habitat, makanan dan kebiasaan
makan, pertumbuhan dan reproduksi ikan bilih serta
peluang kompetisi dengan ikan lain yang terdapat di
Danau Toba. Berdasarkan hasil kajian tersebut
menunjukkan bahwa introduksi ikan bilih mempunyai
peluang keberhasilan yang tinggi. Ikan bilih dari
Danau Singkarak diintroduksikan ke Danau Toba
sebanyak 2.840 ekor dengan ukuran panjang total
4,1-5,7 cm dan berat 0,9-1,5 g per ekor. Habitat
pemijahan ikan bilih cukup tersedia dan lebih
banyak/luas dari pada di Danau Singkarak
(Kartamihardja dan Sarnita. 2010). Secara sistematik,
ikan bilih termasuk ke dalam klasifikasi sebagai
berikut:
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Cypriniformes
Famili
: Cyprinidae
Sub Famili : Cyrpininae
Genus
: Mystacoleucus
BAWAL: Vol.3 No.6-Desember 2011: 351-356
Species
Mystacoleucus padangensis Bleeker
Synonim
Capoeta padangensis Bleeker
:
Bentuk badan ikan bilih mirip dengan wader, yaitu
Mystacoleucus marginatus yang banyak terdapat di
perairan umum Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Ikan
bilih oleh masyarakat sekitar Danau Toba disebutnya
ikan pora-pora (Gambar 1).
:
Puntius padangensis Bleeker
Gambar 1. Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) di Danau Toba
Figure 1. Bilih fish (Mystacoleucus padangensis Bleeker) in Toba Lake
BAHAN DAN METODE
Pada tahun 2005 hasil tangkapan ikan bilih di
Danau Toba sebesar 14,6 % dari total produksi ikan di
Danau Toba, dan merupakan hasil tangkapan ketiga
setelah ikan mujair (25,3 %) dan nila (25,3). Pada
tahun 2010 produksi tangkapan ikan bilih akan
mendominasi total hasil tangkapan, yaitu sebesar 44,6
% (Kartamihardja dan Sarnita., 2010). Pada saat ini
ukuran ikan bilih semakin kecil, diperkirakan oleh
semakin banyak jumlah alat tangkap bagan dengan
ukuran mata jaring kecil (< 1,25 inci) yang beroperasi
di Danau Toba.
Penelitian ikan bilih dilakukan pada bulan Juni 2009
dan Agustus 2010 di Danau Toba Sumatera Utara.
Contoh ikan diperoleh dari hasil tangkapan bagan (liff
net) pakai lampu dengan ukuran mata jaring antara 1,0
– 1,5 inci dan alat tangkap jala dengan ukuran mata
jaring antara 0,75 – 1,5 inci disekitar Balige dan
Samosir (Gamabr 1). Panjang ikan diukur dengan
ketelitian 1 mm dan bobot ikan diukur dengan
ketelitian 0,01 gram, dan jenis kelamin diukur secara
primer.
Gambar 2. Peta Danau Toba Sumatera Utara.
Figure 2. Map Toba Lake, North Sumatera
2
Hubungan Panjang-Berat, Kebiasaan Makan……………..di Danau Toba, Sumatera Utara (Umar, C., et al.)
Hubungan panjang – berat dianalisis dengan model
Hile dalam Effendi, (1979) sebagai berikut :
Hubungan Panjang dan Bobot
b
W = a*L .............................................................. (1
Hasil tangkapan ikan bilih pada bulan Juni 2009
menunjukkan rata-rata panjang total 12,3 cm dan
bobot rata-rata 18,1 g/ekor. Pengembilan contoh ikan
pada bulan Agustus 2010 diperoleh rata-rata panjang
total 13,1 cm dengan bobot 21,5 g/ekor. Dengan
demikian maka panjang dan bobot ikan bilih pada
bulan Agustus 2010 menunjukkan peningkatan.
Penelitian pada tahun 2008 oleh Kartamihardja dan
Sarnita (2010) diperoleh ukuran ikan bilih di Danau
Toba lebih kecil ukurannya yaitu panjang total rata-rata
20,5 cm dengan bobot rata-rata 9,5 gram.
di mana:
W
= bobot ikan (g)
L
= panjang total (cm)
a dan b = kostanta
Analisa
kebiasaan
makan
berdasarkan
penghitungan frekuensi kejadian jenis makanan di
dalam lambung ikan melalui Indeks of preponderan
dari Natarjan & Jhingran dalam Prabha & Manjulatha,
2008) sebagai berikut :
Ii 
Dari kenyataan tersebut dapat dikatakan sudah
terdapat indikasi bahwa ikan bilih di Danau Toba
sudah mulai terganggu perkembangannya atau
pertumbuhannya
hal
ini
berkaitan
dengan
ketersediaan makanan alami (fitoplankton) mulai
berkurang. Semakin intensifnya eksploitasi ikan bilih
dengan menggunakan bagan dan jaring insang
dengan ukuran mata jaring relatif kecil (1,25 – 1, 5
inci), diduga juga ikut berperan dalam menurunkan
ikan bilih yang tertangkap pada saat ini. Melihat hal
ini seyogiyanya mendapat perhatian serius bagi para
pengelola sumberdaya perairan Danau Toba.
Menurut Sukimin et al. (2002), pertumbuhan ikan di
suatu perairan banyak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, antara lain : ukuran makanan yang
dimakan, ukuran ikan di perairan, jenis makanan yang
dimakan, serta kualitas lingkungan dan kondisi ikan
(umur, keturunan, dan genetik).
Ukuran panjang dan bobot ikan bilih di Danau
Toba masih lebih besar dibandingkan dengan ukuran
ikan di Danau Singkarak yang merupakan habitat asal
ikan ini. Ukuran ikan di Danau Singkarak mempunyai
panjang total antara 4,0-8,5 cm dan kisaran berat
antara 0,5-5,1 g (Kartamihardja. E.S dan Sarnita. A.,
2010). Hasil analisa hubungan panjang berat ikan bilih
dari kedua pengamatan (tahun 2009 dan 2010)
memperlihatkan pola pertumbuhan seperti tertera
pada Gambar 3.
Vi  Oi
X 100% ……………………...….. (2
 (Vi  Oi )
di mana:
Ii = indeks of preponderance
vi = persentase volume satu macam makanan
Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam
makanan
Identifikasi makanan dalam lambung ikan
menggunakan acuan Edmonson (1959); Needham &
Needham (1963). Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
mengacu pada kriteria dari Cassie dalam Effendie
(1979). Penghitungan fekunditas ditujukan bagi ikan
betina matang gonad dengan menggunakan metode
gravimetrik (Effendi, 1979) dengan rumus :
F = (G * X)/ Q ..................................................... (3
di mana:
F = Jumlah telur di dalam gonad
G = Seluruh gonad
X = Jumlah telur contoh dari sebagian gonad
Q = bobot telur contoh.
2010
40.0
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
2009
35.0
W = 0,0072 L3,1407
R2 = 0.9084
N= 150
W = 0,0077 L3,088
30.0
Bobot ( g )
Bobot ( g )
HASIL DAN BAHASAN
R2 = 0.8443
N: 237
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
8
10
12
14
16
Panjang Total ( cm )
_______
Korespondensi Penulis :
Jln. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta Utara-14430
0.0
7
9
11
13
15
Panjang Total ( cm)
17
BAWAL: Vol.3 No.6-Desember 2011: 351-356
Gambar 3. Hubungan panjang dan bobot ikan bilih di Danau Toba (2009 dan 2010)
Figure 3. Correlation length and weight bilih fish in Lake Toba (2009 and 2010)
Hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan
bilih tahun 2009 memperlihatkan nilai koefisien regresi
b > 3 yaitu sebesar 3.008, sedangkan untuk
pengamatan tahun 2010 nilai koefien regresinya
sebesar 3,1407. Dari kedua pengamatan untuk nilai
koefisien regresinya lebih besar 3,0, hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tersebut
bersifat allometrik positif, yaitu pertumbuhan bobot
badan
ikan bilih
lebih cepat
dibandingkan
pertumbuhan panjangnya (Ricker, 1975).
makanan ke dua (makanan yang terdapat dalam usus
ikan dalam jumlah sedikit) dan makanan pelengkap
(makanan yang sangat jarang terdapat pada usus
ikan, dan hanya dimakan jika makanan utama tidak
ada).
Hasil analisis isi lambung ikan bilih pada
pengambilan sampel tahun 2009 diperoleh makanan
utama detritus (78,8 %), dengan makanan pelengkap
berupa fitoplankton (11,2 %) dan zooplankton (8,0 %).
Makanan tambahan berupa seresah tumbuhan (1,9
%). Pengamatan pada bulan Agustus 2010 diperoleh
makanan utama berupa detritus (92,9 %), makanan
pelengkap berupa fitoplankton (4,9 %) dan makanan
tambahan berupa seresah tumbuhan (1,8 %). Dengan
demikian hasil pengamatan dari kedua periode
tersebut menunjukkan perbedaan pada makanan
pelengkapnya (Gambar 4). Komposisi makanan ikan
bilih yang hidup di Danau Toba hampir sama dari
tahun sebelumnya maupun dari habitat asli di danau
Singkarak Sumatera Bara, tetapi sedikit berbeda
dalam prosentase komposisinya. Namun demikian
perbedaan komposisi makanan tersebut erat kaitannya
dengan umur ikan dan ketersediaan makanan alami di
perairan tersebut. Jenis fitoplankton sebagai makanan
pelengkap banyak dikonsumsi adalah Milosira sp,
Eunotia
sp
dan
Synedra
sp,
dari
famili
Bacillariophyceae
Hubungan panjang total dengan bobot ikan bilih di
Danau Toba pada tahun 2009 mengikuti persamaan:
3,008
2
W = 0,0072*L
, (R = 0,9084). Pengamatan tahun
3.1407
2
2010 diperoleh persamaan : W = 0,0077*L
, (R =
0,8443). Dari analisis hubungan panjang dan bobot
ikan bilih di Danau Toba pengamatan tahun 2009 dan
2010 menunjukkan ada hubungan antara panjang total
2
dan bobot ikan tersebut dengan nilai R = 0,9084, dan
2
R = 0,8443.
Kebiasaan Makan
Pertumbuhan dan perkembangan biota di perairan
sangat ditentukan oleh ketersedian pakan alami dan
jenis ikan yang memanfaatkannya. Menurut Nikolsky
(1963) makanan alami pada ikan terdiri atas makanan
utama (menempati sebagian besar isi usus ikan),
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2010
Gambar 4. Komposisi makanan ikan bilih di Danau Toba pada tahun 2009 dan 2010
Figure 4. Feeding composistion fish bilih in Lake Toba at 2009 and 2010.
Penelitian di Danau Singkarak diperoleh hasil yang
sama, dimana fitoplankton yang paling banyak
dikonsumsi
oleh
ikan
bilih
adalah
famili
Bacillariophyceae (Purnomo & Sunarno,.2009).
Keadaan ini didukung ketersediaan atau kelimpahan di
alam, dimana dkelimpahan plankton di Danau
Singkarak di dominasi famili Bacillariophycea (48,6 %)
(Purnomo., 2008).
makanan yang berada di dasar Ikan bilih termasuk
perairan (benthic) maupun di lapisan tengah dan
permukaan air (pelagic).
Kematangan Gonad dan Fekunditas
Tingkat kematangan gonad berguna untuk
mengetahui perbandingan antara gonad yang masak
dengan stok yang ada di perairan, ukuran pemijahan,
musim pemijahan dan lama pemijahan dalam satu
siklus (Sukimin et al., 2002). Ciri sekunder dari jenis
kelamin ikan bilih dapat dibedakan antara betina dan
Hasil analisis isi lambung diperoleh makanan
utama ikan bilih berupa detritus. Ikan bilih termasuk
benthopelagis, yaitu ikan yang dapat memanfaatkan
2
Hubungan Panjang-Berat, Kebiasaan Makan……………..di Danau Toba, Sumatera Utara (Umar, C., et al.)
5.956 – 16.422 butir telur dengan rata-rata 11.286 butir
telur. Fekunditas ikan bilih tahun 2010 rata-rata masih
lebih tinggi dibandingkan dengan fekunditas ikan bilih
tahun 2009. Demikian pula dibandingkan dengan
fekunditas tahun 2005 berkisar 3.654-14.561 butir
telur dengan rata-rata 7.580 butir (Kartamihardja &
Purnomo, 2005). Dibandingkan dengan fekunditas
ikan bilih di Danau Singkarak (rata-rata berkisar antara
2.155 – 5.000 butir telur) fekunditas ikan bilih di Danau
Toba masih jauh lebih besar.
jantan matang gonad dengan melihat warna kuning
keemasan pada sirip ekornya.
Ikan bilih betina dewasa yang sudah matang gonad
dari hasil tangkapan 2009, berukuran panjang total
antara 9,9 – 14,2 cm dengan rata- rata 12,4 cm dan
kisaran berat antara 8,1 – 29,2 gram dengan rata-rata
19,5 gram. Ikan bilih betina hasil tangkapan 2010 yang
sudah matang gonad berukuran panjang total antara
11,2 – 14,7 cm dengan rata-rata 12,8 cm dan beratnya
berkisar 13,9 – 36,0 dengan rata-rata 23.0 gram.
Hasil pengukuran panjang total dan bobot ikan bilih
dewasa yang matang gonad dari kedua waktu
pengamatan ( 2009 dan 2010) perbedaannya relatif
kecil yaitu dari bobotnya, dimana ikan bilih hasil
tangkapan 2010 bobotnya lebih besar. Hal ini diduga
adanya pengaruh perubahan lingkungan perairan dan
ketersediaan pakan alami (plankton) yang dapat
merangsang kegiatan reproduksi ikan bilih tersebut.
Fekunditas ikan bilih di Danau Toba mempunyai
hubungan dengan panjang total ikan tersebut, yaitu
4,0924
mengikuti persamaan logaritma : F = 0,3369*L
,
2
(R = 0,965) untuk tahun 2009, dan untuk tahun 2010
3.3885
2
persamaan: F = 1,9577*L
, (R = 0,878), (Gambar
5),
sedangkan di danau Singkarak mengikuti
2,6653
2
persamaan: F = 0,03632*L
, (R = 0,82).
Persamaan ini menunjukkan ada hubungan ukuran
panjang total jumlah telur yang dihasilkan yaitu
semakin panjang ukuran ikan semakin banyak jumlah
telur ikan yang dihasilkan.
20,000
18,000
16,000
14,000
12,000
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
F = 0.3369* L4.0924
R² = 0.9645
7 8 9 101112131415
Fekunditas (butir telur)
Fekunditas (butir telur)
Fekunditas Ikan bilih di Danau Toba tahun 2009
berkisar 4.568 – 15.812 butir telur dengan rata-rata
10.897 butir dan tahun 2010 fekunditas nya berkisar
20,000
18,000
16,000
14,000
12,000
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
Panjang total (cm)
F = 1.9577 L3.3885
R² = 0.8781
7 8 9 101112131415
Panjang Total (cm)
Gambar 5. Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan bilih pengamatan tahun 2009 dan 2010, Di Danau
Toba, Suamatera Utara.
Figure 5.
Hasil penelitian ikan bilih tahun 2009 dan 2010
menunjukkan ikan yang telah matang gonad dan siap
memijah ukuran diameter telur berkisar antara 0.33 –
0.76 µm dan 0,54 – 0.87 µm dan tertinggi pada
diameter 0.44 – 0.65 µm dan 0.55 – 0.76 µm.
Dibandingkan di Danau Singkarak diameter telur ikan
bilih yang siap memijah di Danau Toba relatif lebih
besar.
(Kartamihardja
&
Sarnita.,
2010)
mengemukakan diameter telur ikan bilih di Danau
Toba relatif lebih besar dari pada telur ikan bilih di
Danau Singkarak. Selain itu distribusi diameter telur di
Danau Toba terdiri dari tiga puncak sedangkan
distribusi telur di Danau Singkarak hanya dua puncak.
Hal ini menggambarkan bahwa proses reproduksi ikan
bilih di Danau Toba lebih unggul dari pada ikan bilih di
Danau Singkarak.
Sampel ikan bilih yang diperoleh di Danau Toba
pada bulan Juni tahun 2009 dan Agustus 2010
umumnya sudah matang gonad (TKG IV). Hal ini
menunjukkan bahwa ikan bilih di Danau ini memijah
dalam beberapa bulan dalam setahun. Menurut
Syandri (1996), populasi ikan bilih memijah lebih dari
satu kali setiap tahunnya dan sifat pemijahannya
adalah persial, dimana telur yang sudah matang tidak
dikeluarkan sekaligus melainkan hanya sebagian saja
dalam satu periode pemijahan. Waktu pemijahannya
mulai dari sore hari sampai dengan pagi hari. Puncak
pemijahan ikan bilih terjadi pada pagi hari mulai dari
jam 5.00 sampai dengan jam 9.00. seperti
diperlihatkan
dengan
banyaknya
telur
yang
dilepaskan. Pemijahan ikan bilih terjadi hampir
diseluruh aliran sungai yang bermuara di danau dan
habitat pemijahan umumnya berair jernih, dasar
2
BAWAL: Vol.3 No.6-Desember 2011: 351-356
berbatu, kerikil atau berpasir dengan suhu air berkisar
0.
antara 25,0 – 27,0 C.
ikan Implikasi Pengelolaan dan Prospek Masa
Depan. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan
dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Badan Litbang
Kelautan dan Perikanan. Edisi II. Jakarta. 67 pp..
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Kartamihardja, E.S. dan K. Purnomo. 2006.
Penyelamatan Populasi Ikan Bilih ke Habitatnya
yang baru di Danau Toba. Demersal. Dari Laut
untuk Pembangunan. Edisi Maret 2006.
1. Ikan bilih di Danau Toba tahun 2010, rata-rata
pertumbuhannya lebih baik dibandingkan sampel
tahun 2009, dengan ukuran panjang total ikan
bilih rata-rata sekitar 12,3 cm dan bobot 18.05
g/ekor (2009). Untuk tahun 2010 rata-rata ukuran
panjang total berkisar 13,1 cm dan bobot sekitar
21,5 g/ekor, dengan pola pertumbuhan ikan bilih
di Danau Toba bersifat allometrik positif.
2. Kebiasaan makan Ikan bilih di Danau Toba relatif
sama tahun 2009 dan 2010, dengan makanan
utama detritus, makanan pelengkap fitoplankton
dan zooplankton makanan tambahan seresah
tumbuhan.
3. Ikan bilih di Danau Toba memijah secara parsial
dan beberapa kali dalam setahun. Ikan bilih mulai
matang gonad panjang nya berkisar 9,9 – 14,7
cm Fekunditas ikan bilih berkisar antara 4.568 –
15.812 butir telur dengan rata-rata 10.897 butir
telur tahun 2009, untuk tahun 2010 fekunditasnya
berkisar antara 5,956 – 16.422 butir telur dengan
rata-rata sekitar 11.286 butir telur.
Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes.
Transleted by. L. Brikett. Academy Press. London.
352 pp.
Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A Guide to
the Study of Freshwater Biology. Fifth edition.
Revused and Enlarged. Holden Day Inc. San
Francisco. 180 pp.
Prabha, Y.S & C. Manjulatha. 2008. Food and feeding
habits of Upeneus vittatus (Forsskall, 1775) from
Visakhapatnam Coast (Andhra Pradesh of India .
Int. J. Zool. Res. 4 (1) : 59 – 63.
Purnomo, K. 2008. Pengelolaan sumberdaya ikan di
Danau Singkarak, Prosiding Semnaskan Indonesia.
4 – 5 Desember 2008. Sekolah Tinggi Perikanan.
Jakarta. 437-444.
SARAN
Purnomo, K. dan Sunarno, M.T.,2009. Beberapa
aspek
biologi
Ikan
bilih
(Mystacoleucus
padangensis) di Danau Singkarak. Bawal Widya
Riset Perikanan Tangkap. Pusat Riset Perikanan
Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2
(6) : 265 - 271 Prosiding Semnaskan Indonesia. 4
– 5 Desember 2008. Sekolah Tinggi Perikanan.
Jakarta. 437-444.
Dalam rangka pengelolaan ikan bilih di Danau
Toba agar tetap lestari perlu dilakukan pembatasan
jumlah alat tangkap dan ukuran mata jaring tidak lebih
kecil dari 1,25 inci. Hal ini untuk memberi kesempatan
bagi ikan bilih mencapai dewasa dan melakukan
pemijahan. Selain itu perlu dilakukan penetapan
suaka ikan bilih terutama di sungai sungai, karena ikan
bilih ini memijah di sungai-sungai yang airnya jernih
dan dasar berpasir.
Sukimin, S., S. Isdrajat, & Y. Vitner. 2002. Petunjuk
Praktikum Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
DAFTAR PUSTAKA
Edmonson, W. T. 1959. Freshwater Biology. 2
John Wiley & Sons. Inc. New York. 1.248 pp.
nd
Syandri, H. 1996. Aspek reproduksi ikan bilih,
Mystacoleucus
padangensis
Bleeker
dan
kemungkinan pembenihannya di danau Singkarak.
Disertasi Program Pascasarjana IPB. 122 pp.
Ed.
Effendie, M.I. 1979.
Metode biologi perikanan.
Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 pp.
Kartamihardja, E.S. dan Sarnita, A., 2010. Populasi
Ikan Bilih di Danau Toba. Keberhasilan introduksi
2
BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 357-362
BEBERAPA ASPEK BIOLOGI CUMI-CUMI JAMAK (Loligo duvaucelli)
YANG DIDARATKAN DI BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT
Umi Chodrijah dan Tri Wahyu Budiarti
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 1 Desember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Mei 2011;
Disetujui terbit tanggal: 28 September 2011
ABSTRAK
Cumi-cumi (Loligo sp.) merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang memiliki nilai ekonomis penting
dan mengandung nilai gizi tinggi dengan cita rasa yang khas. Pengamatan terhadap beberapa aspek biologi cumi-cumi
jamak (Loligo duvaucelli) telah dilakukan pada bulan Juni 2005 sampai Nopember 2006 di Pusat Pendaratan Ikan
Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran panjang mantel,
nisbah kelamin, komposisi makanan, serta hubungan panjang mantel dan bobot cumi-cumi jamak. Pengukuran
karakter biologi meliputi panjang mantel (ML), bobot tubuh (W), dan isi perut. Hasil penelitian ini menunjukkan
sebaran panjang mantel cumi-cumi yang tertangkap berkisar antara 3,0-36,0 cm dengan modus 15 cm dan panjang
mantel rata-rata 13,3 cm. Nisbah kelamin cumi-cumi pada bulan April dan Juni 2006 dalam keadaan tidak seimbang.
Pola pertumbuhan cumi-cumi baik jantan maupun betina bersifat alometrik negatif. Cumi-cumi merupakan karnivora
yang makanan utamanya adalah ikan-ikan kecil.
KATA KUNCI:
loligo duvaucelli, aspek biologi, Blanakan, Laut Jawa
ABSTRACT:
Some aspects of biology squid (Loligo duvaucelli) of the landed in Blanakan, Subang, West
Java. By: Umi Chodrijah and Wiwiet An Pralampita
The squid is one of living marine resources that have important economic value and conyain high nutrional
value with a distinctive taste. Observation on the biological aspect of squid jamak) was performed in June 2005 to
November 2006 in Blanakan, Subang, West Java. This study aims to determine the distribution of mantle length, sex
ratio, food composition, and the relationship mantle and weight of squid. Measurement of biological characters
include mantle length (ML), body weight (W), and stomach contents. The results showed that the distribution of
squid mantle length capture at Blanakan, ranges from 3.0-36.0 cm with a mode at 15 cm and an average mantle
length of 13.3 cm. The squid sex ratio in April and June 2006 in a state of imbalance. The growth rate of the squid
both males and females are allometric negative. The squid is a carnivorous diet is primarily small fish.
KEYWORDS:
loligo duvaucelli, biology aspect, Blanakan, Java Sea
PENDAHULUAN
dengan menggunakan cahaya (Barnes, 1974; Roper et al.,
1984).
Cumi-cumi secara taksonomis termasuk kelas
Chepalopoda. Cumi -cumi merupakan salah satu sumber
daya hayati laut yang memiliki nilai ekonomis penting,
dan mengandung nilai gizi yang tinggi dengan cita rasa
yang khas. Bagian yang dapat dimakan (edible portion)
mencapai hampir 100%, karena termasuk hewan lunak
(Phyllum Mollusc) dengan cangkang yang sangat tipis
pada bagian punggung. Famili Loliginidae mempunyai
beberapa genus yang sebagian besar jenisnya hidup di
perairan laut daerah tropik. Genera yang mempunyai nilai
atau berpotensi ekonomi adalah Loligo, Sepioteuthis, dan
Uroteuthis (Djajasasmita et al., 1993).
Studi tentang jenis kelamin dan tingkat kematangan
seksual ikan merupakan pengetahuan dasar biologi
reproduksi suatu jenis ikan, untuk mengetahui ukuran atau
umur ikan serta siklus pertumbuhan ovarium sampai
selesai memijah. Widodo (1991) mengatakan bahwa
reproduksi adalah suatu proses perkembangbiakan jenis
ikan sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan
generasinya. Dalam memanfaatkan dan mengelola suatu
sumber daya ikan memperhitungkan dan
mempertimbangkan proses perkembangbiakan dalam
rangka untuk mencegah kepunahan sumber daya tersebut.
Cumi-cumi genus Loligo melakukan pergerakkan
diurnal, berkelompok dekat dengan dasar perairan selama
siang hari dan akan menyebar ke kolom air pada malam
hari. Banyak spesies ini yang bersifat fototaksis positif
(tertarik pada cahaya), oleh karena itu sering ditangkap
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sebaran
panjang mantel, nisbah kelamin, hubungan panjang mantel
dan bobot, dan komposisi makanan cumi-cumi jamak yang
didaratkan di Pusat Pendaratan Ikan Blanakan, Subang,
Jawa Barat.
___________________
Korespondensi penulis:
Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Samudera Indonesia. Jakarta.
357
U. Chodrijah, T.W. Budiarti / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 357-362
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan
langsung di Pusat Pendaratan Ikan Blanakan, Kabupaten
Subang, Jawa Barat pada bulan Juni 2005 sampai
Nopember 2006. Contoh cumi-cumi yang didapatkan
kemudian diidentifikasi menurut Roper et al. (1984).
Pengukuran karakter biologi meliputi panjang mantel (ML),
bobot tubuh (W), dan isi perut. Analisis kebiasaan
makanan menggunakan index of preponderance. Evaluasi
jenis makanan merupakan gabungan dari dua metode yaitu
metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik.
Metode ini dikembangkan oleh (Natarajan & Jhingram,
1961 dalam Effendie, 1979) dengan rumus:
Gambar 1.
Jenis cumi-cumi Loligo duvaucelli (15
cmPM) yang tertangkap jaring cumi di
Blanakan, Subang, Jawa Barat.
Species of Loligo duvaucelli (15 cmML)
landed at Blanakan Subang, West Java.
Figure 1.
Vi x Oi
IP(%) = n
x100
......................................... (1
∑ Vi x Oi
i=1
(
)
di mana:
IP = indeks bagian terbesar (index of preponderance)
Vi = persentase volume makanan ikan jenis ke-i
Oi = peresentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i
n = jumlah organisme makanan
Data pengukuran panjang dan bobot cumi tersebut
dianalisis untuk mengetahui sifat pertumbuhan cumi
(Effendie, 1979) apakah isometrik (b = 3) atau alometrik (b
≠ 3) dengan menggunakan rumus:
W = a*Lb ....................................................................... (2
di mana:
W
= bobot cumi-cumi (g)
L
= panjang mantel (cm)
a dan b = konstanta
Cumi-cumi Loligo duvaucelli (Gambar 1) juga
merupakan hasil tangkapan dominan (sekitar 80%) di
perairan Selat Alas, Nusa Tenggara Barat (Mubarak &
Suprapto, 1999; Hartati et al., 2001).
Sebaran Panjang Mantel dan Nisbah Kelamin Cumi-Cumi
Pengamatan contoh cumi-cumi 551 individu yang
didaratkan di Blanakan diperoleh sebaran panjang mantel
cumi-cumi jamak antara 3,0-36,0 cm dengan modus 15 cm
(Gambar 2) dan panjang mantel rata-rata 13,3 cm. Hasil
penelitian ini mirip dengan hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Rao (1988), bahwa panjang mantel cumicumi Loligo duvaucelli yang didaratkan di Mangalore,
India berkisar antara 4,0-36,5 cm. Proporsi frekuensi
bulanan menunjukkan cumi-cumi jamak yang didaratkan
pada bulan September 2006 diperoleh ukuran panjang mantel
klas ukuran 0,0-4,9 cm sampai 30,0-34,9 cm (Gambar 3).
16.00
HASIL DAN BAHASAN
14.00
Pada umumnya, cumi-cumi tertangkap sebagai hasil
sampingan (bycatch), pada perikanan cantrang dan pukat
cincin, namun di Blanakan merupakan hasil tangkapan
utama (target species) dari armada jaring cumi yang
berkembang sejak tahun 2002. Hasil penelitian Pralampita
& Chodriyah (2009), mengatakan bahwa cumi-cumi jenis
Loligo duvaucelli merupakan hasil tangkapan dominan
Blanakan. Pada tahun 2005, mencapai 43% dan tahun 2006
mencapai 53%, dari seluruh cumi-cumi yang didaratkan,
disusul oleh Loligo edulis, Loligo singhalensis, dan
Sepioteuthis lessoniana.
358
Frekuensi (%)
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 36
Panjang mantel (cm)
Gambar 2.
Figure 2.
Histogram frekuensi panjang mantel
(PM) cumi-cumi jamak di Blanakan,
Subang, Jawa Barat.
Mantle length frequency (ML)
histograms of squid jamak at Blanakan,
Subang, West Java.
U. Chodrijah, T.W. Budiarti / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 357-362
Gambar 3.
Figure 3.
Proporsi frekuensi (%) ML class Loligo duvaucelli di Blanakan tahun 2005-2006.
Proportion frequency (%) ML class Loligo duvaucelli at Blanakan, 2005-2006.
Nisbah kelamin adalah suatu angka yang menunjukkan
perbandingan jumlah individu jantan dan betina dalam
suatu populasi. Menurut Bal & Rao (1984) secara alami di
suatu perairan dengan populasi yang bersifat menyebar
normal perbandingan individu jantan dan betina
diperkirakan 1:1. Pengamatan terhadap 175 ekor Loligo
duvaucelli yang didaratkan di Blanakan diperoleh hasil
89 ekor di antaranya berkelamin betina sedangkan 86 ekor
berkelamin jantan.
Ditinjau dari waktu pengamatan menurut bulanan,
tampak bahwa perbandingan cumi-cumi jantan dan betina
berfluktuasi (Gambar 4). Berdasarkan atas pada uji chisquare pada bulan pengamatan diperoleh pada bulan April
dan Juni 2006 sangat berbeda nyata di mana ÷2 hitung >
÷2tabel (bulan April ÷2=4,8; bulan Juni diperoleh ÷2=10,704;
÷2tabel (0,05)=3.481), dengan demikian perbandingan jenis
kelamin jantan dan betina dalam keadaan tidak seimbang.
Berdasarkan atas hasil perhitungan tersebut, dapat
dikatakan bahwa cumi-cumi Loligo duvaucelli betina
dominan pada bulan April dan Juni 2006. Hasil penelitian
ini ternyata tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian
sebelumya (Rao, 1988). Menurut Rao (1988), cumi-cumi
Loligo duvaucelli yang didaratkan di Mangalore, India
individu betina dominan pada bulan Pebruari, April, Mei,
dan Nopember. Selanjutnya Effendie (1979) dalam Sujono
(1994) mengatakan dengan seimbangnya individu jantan
dan betina, maka kemungkinan terjadinya pembuahan sel
telur oleh spermatozoa semakin besar, sehingga dapat
menetas menjadi individu baru.
Gambar 4.
Figure 4.
Nisbah kelamin cumi Loligo duvaucelli
di Blanakan tahun 2005-2006.
Sex ratio of Loligo duvaucelli at
Blanakan, 2005-2006.
Komposisi Jenis Makanan
Menurut Nikolsky (1963) urutan kebiasaan makanan
dibedakan menjadi empat kategori berdasarkan atas
persentase indeks bagian terbesar, yaitu makanan utama,
pelengkap, tambahan, dan pengganti. Makanan utama
adalah makanan yang dimakan ikan dalam jumlah yang
besar. Makanan pelengkap adalah makanan yang
ditemukan dalam saluran pencernaan ikan dalam jumlah
359
U. Chodrijah, T.W. Budiarti / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 357-362
yang lebih sedikit. Makanan tambahan adalah makanan
yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan dalam jumlah
yang sangat sedikit. Makanan pengganti adalah makanan
yang hanya dimakan jika makanan utama tidak tersedia.
Berdasarkan atas indeks bagian terbesar (index of
preponderance), komposisi makanan cumi-cumi Loligo
duvaucelli secara keseluruhan menunjukkan makanan
utamanya ikan (65,4%). Makanan pelengkapnya crustacea
(34%), makanan tambahannya larva veliger (0,2%), limacina
(0,1%) (Gambar 5). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya (Barnes, 1974) yang mengatakan
bahwa cumi-cumi digolongkan sebagai hewan karnivora
0.1%
karena memakan udang dan ikan pelagis yang ditangkap
dengan tentakelnya. Selanjutnya Rahardjo & Bengen
(1984) mengatakan bahwa komponen makanan yang paling
sering ditemukan dalam lambung cumi-cumi Loligo edulis
dan Loligo duvaucelli adalah ikan-ikan kecil. Di samping
ikan-ikan kecil, krustacea merupakan komponen makanan
yang mempunyai frekuensi kejadian cukup besar.
Kelompok jasad makanan lainnya yang ditemukan dalam
lambung cumi-cumi tidak dapat dipastikan sebagai
makanan cumi-cumi. Diduga kelompok Bacillariophyceae,
Chlorophyceae, dan Protozoa merupakan makanan dari
ikan-ikan kecil ataupun krustacea yang dimakan oleh cumicumi tersebut.
0.2%
0.1%
0.0%
0.0%
Ikan
Crustacea
Bacteriostrum
Limacina
Teredojaponica
Larva veliger
Atlanta
Polychaeta
0.0%
34.1%
65.4%
Gambar 5.
Figure 5.
Indeks preponderance makanan cumi Loligo duvaucelli selama penelitian di Blanakan tahun 20052006.
Index preponderance of food squids Loligo duvaucelli at Blanakan, 2005-2006.
Kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain musim, umur ikan, dan ketersediaan
makanan (Lagler et al., 1977). Banyak spesies ikan dapat
menyesuaikan diri dengan persediaan makanan dalam
perairan sehubungan dengan musim yang berlaku. Jenis
makanan suatu spesies ikan berbeda ketika diamati pada
waktu yang berbeda, meskipun diambil dari tempat yang
sama. Perubahan makanan dari suatu spesies ikan adalah
hal yang wajar, sehingga spektrum makanannya dapat
berubah-ubah (Effendie, 1979).
Hubungan Panjang Mantel dan Bobot
Pertumbuhan merupakan suatu proses yang terjadi di
dalam tubuh organisme yang menyebabkan perubahan
ukuran panjang dan bobot tubuh dalam periode tertentu.
Menurut Sukimin et al. (2002), pertumbuhan ikan di suatu
360
perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain
ukuran makanan yang dimakan, ukuran ikan di perairan,
jenis makanan yang dimakan, serta kualitas lingkungan
dan kondisi ikan (umur, keturunan, dan genetik). Analisis
terhadap cumi-cumi Loligo duvaucelli betina yang
didaratkan di Blanakan menunjukkan hubungan panjang
bobot bersifat allometrik negatif dengan nilai b = 2,0767
dan r2 = 0,8689, berarti pertambahan panjang mantel lebih
cepat dari bobot cumi-cumi. Pada cumi-cumi jantan
hubungan panjang dan bobot juga bersifat alometrik
negatif dengan nilai b =1,9749 dan r2 = 0,9275 (Gambar 6).
Menurut Rao (1988), hubungan panjang dan bobot cumicumi Loligo duvaucelli yang didaratkan di Mangalore,
India adalah log W = 2,8486+2,2423 log L (r = 0,9624) pada
individu betina, sedangkan cumi-cumi jantan
persamaannya adalah log W = -2,2677+1,9420 log L (r =
0,9895).
U. Chodrijah, T.W. Budiarti / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 357-362
300.0
y = 0.4005x2.0767
R² = 0.8689
n = 89
250.0
400.0
300.0
200.0
250.0
150.0
200.0
Berat (gr)
Berat (gr)
y = 0.4327x1.9749
R² = 0.9275
n=86
350.0
100.0
50.0
0.0
150.0
100.0
50.0
0.0
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
PM (cm
(A)
Gambar 6.
Figure 6.
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
PM (cm)
(B)
Hubungan panjang mantel dan bobot cumi-cumi Loligo duvaucelli betina (A) dan jantan (B) selama
penelitian di Blanakan, tahun 2005-2006.
Mantle length and weight relationship of squid Loligo duvaucelli at Blanakan, 2005-2006.
KESIMPULAN
1. Sebaran panjang mantel cumi-cumi Loligo duvaucelli
yang didaratkan di Blanakan, Subang, Jawa Barat
berkisar antara 3,0-36,0 cm dengan modus 15 cm dan
panjang mantel rata-rata 13,3 cm.
2. Nisbah kelamin cumi-cumi Loligo duvaucelli pada
bulan April dan Juni 2006 dalam keadaan tidak
seimbang.
3. Pola pertumbuhan cumi-cumi Loligo duvaucelli baik
jantan maupun betina bersifat alometrik negatif.
4. Cumi-cumi merupakan karnivora yang makanan
utamanya ikan-ikan kecil.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan riset
perubahan upaya, hasil tangkapan, dan biologi populasi
ikan pelagis kecil di Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan
Selat Makassar, T. A. 2005-2006, di Balai Riset Perikanan
laut-Muara Baru, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Bal, D. V. & K. V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Ata Mc
Graw-Hill Publ. Co. Ltd. New Delhi. 470 pp.
Barnes, R. D. 1974. Invertebrate Zoology. Fifth Edition.
Saunders College. Philadelphia. London. Toronto. 870 pp.
Djajasasmita, M., S. Soemodihardjo, & B. Sudjoko. 1993.
Status Sumber Daya Cephalopoda di Indonesia.
Panitia Nasional Program MAB Indonesia. Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia. 74 pp.
Hartati, S. T., I. S. Wahyuni, W. A. Pralampita, & U.
Chodriyah. 2001. Sebaran kelimpahan cumi-cumi dan
musim penangkapannya di perairan Selat Alas. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. 7 (4): 9-16.
Lagler, K. F., J. E. Bardach, R. R. Miller, & D. M. Passino.
1977. Ichthyology. John Wiley & Sons. Inc. New York.
505 pp.
Mubarak, H. & Suprapto. 1999. Penangkapan cumi-cumi
di Selat Alas (Nusa Tenggara Barat). Warta Penelitian
Perikanan Indonesia. 3: 2-10.
Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic
Press. New York. 352 pp.
Rahardjo, S. & D. G. Bengen. 1984. Studi beberapa aspek
biologi cumi-cumi (Loligo spp.) di perairan Gugus
Kepulauan Seribu. Laporan Penelitian. (Tidak
Dipublikasikan). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 85 pp.
Roper, C. F. E., M. J. Sweeney, & C. E. Nauen. 1984.
Cephalopods of the world. Annoted and illustrated
Catalogue of species of Interest to Fisheries. Food
and Agriculture Organization Species Catalogue. 125
(3): 277 pp.
Rao, S. G. 1988. Biology of inshore squid Loligo duvaucelli
orbigny, with a note on its fishery off Mangalore.
Indian J. Fish. 35 (3): 121-130.
Sujono, B. 1994. Aspek reproduksi dan kondisi morfometri
ikan juwi (Sardinella gibbosa) di Laut Jawa berdasarkan
hasil tangkapan yang didaratkan di Pelabuhan
Perikanan Bajomulyo, Juwana. Tesis. Fakultas
Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang. 113
pp.
Effendie, M. I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan
Dewi Sri. Bogor. 112 pp.
361
U. Chodrijah, T.W. Budiarti / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 357-362
Sukimin, S., S. Isdrajat, & Y. Vitner. 2002. Petunjuk
Praktikum Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 25 pp.
Pralampita, W. A. & U. Chodriyah. 2009. Aspek perikanan
dan komposisi hasil tangkapan cumi-cumi yang
didaratkan di Pusat Pendaratan Ikan. Blanakan,
Subang, Jawa Barat. BAWAL-Widya Riset Perikanan
Tangkap. 2 (5): 251-256.
362
Widodo, J. 1991. Petunjuk Teknis: Pemanfaatan dan
Pengelolaan Beberapa Spesies Sumber Daya Ikan
Demersal Ekonomis Penting. Seri Pengembangan Hasil
Penelitian Perikanan No.PHP/KAN/16/1991. Jakarta. 85
pp.
BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 363-367
BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN BELOSO (Saurida micropectoralis)
DI PERAIRAN UTARA JAWA TENGAH
Adrian Damora dan Tri Ernawati
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 20 Januari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 Maret 2011;
Disetujui terbit tanggal: 24 Agustus 2011
ABSTRAK
Indeks kelimpahan stok ikan beloso (Saurida micropectoralis) di Laut Jawa cenderung mengalami penurunan dari
tahun ke tahun dan untuk mencegahnya perlu bahan masukan yang bersumber dari hasil penelitian yang dijadikan
sebagai dasar pengelolaannya. Penelitian dilakukan untuk mengkaji beberapa aspek biologi meliputi hubungan panjangberat, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, panjang pertama kali tertangkap dan panjang pertama kali matang
gonad, serta kebiasaan makan ikan beloso. Penelitian dilakukan pada bulan April–Agustus 2009 di perairan utara Jawa
Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nisbah kelamin ikan jantan dan betina berada dalam keadaan tidak
seimbang. Pertumbuhan ikan beloso bersifat allometrik positif, dimana pertambahan berat lebih cepat dibandingkan
pertumbuhan panjangnya dan tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beloso didominasi oleh stadium I. Panjang
pertama kali ikan beloso tertangkap lebih kecil dari panjang pertama kali matang gonadnya (Lc < Lm) sehingga akan
mengancam kelestariaannya. Ikan beloso bersifat karnivora, dimana makanan utamanya adalah potongan ikan dasar,
cumi, dan teri.
KATA KUNCI:
aspek biologi, ikan beloso, perairan utara Jawa Tengah
ABSTRACT:
Biological aspects of lizardfish (Saurida micropectoralis) in north waters of Central Java. By:
Adrian Damora and Tri Ernawati
Index of stock abundance of Lizardfish (Saurida micropectoralis) in Java Sea tend to decreased from year to year.
The decline was expected because of the potential of Lizardfish decreasing but the effort continue to rise. The objective
of this study is to assess the biological aspects including length-weight relationship, sex ratio, gonadal maturity stage,
length of first capture (Lc) and length of first mature (Lm), and feeding habit of Lizardfish in north waters of Central
Java. This study was conducted from April to August 2009 in north waters of Central Java. Results showed that the sex
ratio between males and females was 1:0,97. Based on Chi-square test it is showed that sex ratio is not balanced. The
growth of Lizardfish indicated positive allometric where the weight growth more faster than its length growth. The
gonadal maturity stage of Lizard fish is dominated by the first stage. The length of first capture of Lizardfish was under
the length of first mature (Lc < Lm) so that will threaten its sustainability. Lizardfish was indicated carnivorous species
where its main food are part of demersal fishes, squids and anchovies.
KEYWORDS:
biological aspects, Lizardfish, north waters of Central Java
PENDAHULUAN
Perairan utara Jawa Tengah ialah salah satu daerah
penyebaran dan penangkapan ikan demersal. Alat tangkap
yang banyak digunakan saat ini adalah cantrang dan arad.
Ikan beloso (Saurida micropectoralis) merupakan salah
satu jenis ikan demersal yang dominan tertangkap di
perairan utara Jawa Tengah. Ciri-ciri morfologis spesies
ini adalah bentuk badan agak bulat memanjang,
mempunyai bentuk kepala seperti kepala kadal. Di
belakang sirip punggung terdapat sirip lemah lainnya yang
tanpa duri yang berbentuk kecil, mata berukuran kecil,
sisik tebal dan kuat. Kepala bersisik dan warna tubuh coklat
dengan bagian bawah agak keputih-putihan (Dwiponggo,
1977).
Hasil tangkapan per upaya (CPUE) ikan beloso di
perairan utara Jawa Tengah relatif berfluktuasi dan
cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Penurunan ini diduga karena stok ikan beloso semakin
menurun akibat semakin tingginya upaya penangkapannya
(Imron, 2008). Jika terus dibiarkan, dikhawatirkan dapat
mengancam kelestarian dan keberlanjutan usahanya,
sehingga diperlukan penelitian mengenai aspek biologi
ikan beloso di perairan tersebut untuk mendasari
pengelolaannya.
Tulisan ini membahas beberapa aspek biologi ikan
beloso (S. micropectoralis), meliputi hubungan panjangberat, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, panjang
pertama kali tertangkap dan panjang pertama kali matang
gonad, serta kebiasaan makan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
untuk pengelolaan sumberdaya ikan demersal khususnya
ikan beloso di perairan utara Jawa Tengah.
___________________
Korespondensi penulis:
Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Samudera Indonesia. Jakarta.
363
A. Damora, T. Ernawati / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 363-367
BAHAN DAN METODE
Penelitian didasarkan pada data hasil pengambilan
contoh ikan beloso (S. micropectoralis) di tiga tempat
berbeda, yaitu TPI Asemdoyong Pemalang, TPI Tegalsari
Tegal dan TPI Kluwut Brebes. Ketiga lokasi ini dianggap
mewakili data ikan beloso di utara Jawa Tengah.
Pengumpulan data ikan dilakukan pada bulan April–
Agustus 2009. Pengamatan biometrik ikan yang dilakukan
meliputi pengukuran panjang cagak (fork length), jenis
kelamin dan tingkat kematangan gonad.
Hubungan panjang berat dianalisa menggunakan
persamaan eksponensial sebagai berikut (Lagler, 1972;
Jennings et al., 2001) :
W = aLb ......................................................................... (1
di mana :
W
= berat total ikan (gram)
L
= panjang cagak ikan (cm)
a dan b = konstanta hasil regresi
Untuk mempermudah perhitungan, maka persamaan
di atas dikonversi ke dalam bentuk logaritma sehingga
menjadi persamaan linear sebagai berikut (Jennings et al.,
2001) :
loge W = loge a + b loge L ........................................ (2
maka tolak Ho, dan sebaliknya jika thit < ttabel, maka terima
Ho.
Perhitungan nisbah kelamin didasarkan pada
persamaan berikut:
NK = Nbi / Nji .............................................................. (4
di mana:
NK
Nbi
Nji
= Nisbah kelamin
= Jumlah ikan betina pada kelompok ukuran
ke-i
= Jumlah ikan jantan pada kelompok ukuran
ke-i
Penentuan tingkat kematangan gonad secara visual
dengan cara melihat perbandingan gonad yang
disesuaikan dengan kriteria Holden & Raitt (1974). Ukuran
rata-rata ikan tertangkap didapatkan dengan cara
memplotkan frekuensi kumulatif dengan setiap panjang
ikan, sehingga akan diperoleh kurva logistik baku, dimana
titik potong antara kurva dengan 50% frekuensi kumulatif
adalah panjang saat 50% ikan tertangkap (Saputra, 2005).
Panjang pertama kali matang gonad (length of first
mature, Lm), dilakukan sesuai dengan prosedur
perhitungan metode Spearman-Karber yang dilakukan
Udupa (1968):
≠
∑
m = xk + x/2 – (x Pi).................................................... (5
Hubungan panjang berat dapat dilihat dari nilai
konstanta b, jika b = 3, maka hubungannya bersifat
isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan
pertambahan berat), jika b≠ 3, maka hubungan yang
terbentuk adalah allometrik (pertambahan panjang tidak
sebanding dengan pertambahan berat). Apabila b > 3,
maka hubungannya bersifat allometrik positif dimana
pertambahan berat lebih dominan dari pertambahan
panjangnya, sedangkan jika b < 3, maka hubungan yang
terbentuk bersifat allometrik negatif dimana pertambahan
panjang lebih dominan dari pertambahan beratnya.
di mana:
m = logaritma dari kelas panjang pada kematangannya
yang pertama
x = selisih logaritma dari pertambahan nilai tengah
panjang
xk = logaritma nilai tengah panjang dimana ikan 100%
matang gonad (Pi = 1)
Pi = proporsi ikan matang gonad pada kelompok ke-i
Untuk menentukan bahwa nilai b = 3 atau b 3, maka
digunakan uji-t, dengan rumus (Walpole, 1993):
Kebiasaan makan ikan beloso diketahui dengan cara
menganalisis isi lambung dan dihitung memakai metode
indeks preponderan (Natarajan & Jhingran, 1961), yaitu:
thit =
β −3
Sb
............................................................... (3
hipotesa :
Ho : b = 3 pola pertumbuhan isometrik
H1 : b 3 pola pertumbuhan allometrik
Selanjutnya t hit yang didapat akan dibandingkan
dengan ttabel pada selang kepercayaan 95%. Jika thit > ttabel,
364
Panjang ikan pertama kali matang gonad diperoleh
dengan mengantilogkan nilai m.
Ii = [(Vi*Oi)/ ∑(Vi*Oi)]*100%....................................... (6
di mana:
Ii
= indeks preponderan jenis makanan ke-i
Vi
= persentase volume makanan ke-i
Oi = persentase kejadian makanan ke-i
A. Damora, T. Ernawati / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 363-367
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan Panjang-Berat
Hasil analisis hubungan antara panjang dan berat ikan
beloso menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan beloso
jantan mengikuti persamaan W=0,0076L3,0583 (N=99;
r2=0,970). Persamaan hubungan panjang-berat ikan beloso
betina mengikuti persamaan W=0,0083L3,0439 (N=102;
r 2 =0,979) (Gambar 1). Jika ikan jantan dan betina
digabungkan, maka persamaan hubungan panjangberatnya adalah W=0,0079L3,0539 (N=201; r2=0,974). Setelah
dilakukan uji -t dengan tingkat kepercayaan 95% (á=0,05),
Gambar 1.
Hubungan panjang-berat ikan beloso (Saurida micropectoralis) jantan (a) dan betina (b) di perairan
utara Jawa Tengah, 2009.
Length-weight relationship of males (a) and females (b) of Lizardfish (Saurida micropectoralis) in
north waters of Central Java, 2009.
Figure 1.
Nisbah Kelamin dan Tingkat Kematangan Gonad
Pengukuran panjang cagak dan berat ikan beloso
dilakukan terhadap 593 ekor ikan. Ukuran panjang cagak
berkisar antara 11-29,5 cm, dengan berat berkisar antara
12,7-297,9 gram (Gambar 2).
Frekuensi/Frequency (%)
45
n = 593
40
35
30
25
20
15
10
5
0
10.5
13.5
16.5
19.5
22.5
25.5
28.5
31.5
34.5
37.5
Panjang Cagak /Fork Length (cm)
Gambar 2.
Figure 2.
didapatkan pola pertumbuhan ikan beloso jantan dan
betina bersifat allometrik positif, yang berarti pertambahan
berat ikan beloso lebih cepat dibandingkan pertambahan
panjangnya. Sifat pertumbuhan seperti ini sama dengan
hasil penelitian jenis ikan yang sama di perairan utara Jawa
dengan nilai b sebesar 3,2 (Ernawati, 2008), namun berbeda
dengan hasil penelitian di perairan Pemalang dan
sekitarnya yang pertumbuhannya bersifat allometrik
negatif (Karyaningsih et al., 1992). Hubungan antara
panjang dengan berat dapat memberikan informasi tentang
kondisi biota, dimana berat biota akan meningkat sehubungan
dengan meningkatnya volume (Jennings et al., 2001).
Distribusi frekuensi panjang cagak ikan
beloso (Saurida micropectoralis) di
perairan utara Jawa Tengah.
Fork length frequency distribution of
Lizardfish (Saurida micropectoralis) in
north waters of Central Java.
Gambar 2 juga menunjukkan bahwa struktur ukuran
panjang ikan beloso yang tertangkap cenderung menyebar
normal dengan modus panjang sebesar 16,5 cm. Hal ini
menunjukkan bahwa ikan beloso yang tertangkap
didominasi oleh satu kohort dengan modus panjang 16,5
cmFL.
Jumlah ikan betina yang diukur selama penelitian
adalah 102 ekor dan ikan jantan sebanyak 99 ekor, sehingga
nisbah kelamin ikan beloso adalah 1:0,97. Berdasarkan uji
Chi-Kuadrat (Steel & Torrie, 1980), rasio kelamin ikan
beloso jantan dan betina berada dalam kondisi tidak
seimbang. Pengetahuan mengenai rasio kelamin berkaitan
dengan upaya mempertahankan kelestarian populasi ikan
yang diteliti, maka diharapkan perbandingan ikan jantan
dan betina seimbang. Keseimbangan perbandingan jumlah
individu jantan dan betina memungkinkan terjadinya
pembuahan sel telur oleh spermatozoa hingga menjadi
individu-individu baru semakin besar (Effendie, 2002).
Secara umum kematangan gonad ikan beloso
didominasi TKG I (74,13%), sedangkan TKG dengan
persentase terkecil terdapat pada TKG IV (3,98%). Hal ini
menunjukkan ikan yang tertangkap sebagian besar dalam
365
A. Damora, T. Ernawati / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 363-367
keadaan belum matang gonad. Komposisi kematangan
gonad pada ikan beloso jantan menunjukkan persentase
TKG I sebesar 73,74%, TKG II sebesar 22,22%, TKG III
sebesar 4,04%, dan TKG IV data tidak diperoleh. Dengan
demikian sebagian besar ikan beloso jantan berada pada
stadia belum matang gonad. Komposisi kematangan
gonad pada ikan beloso betina menunjukkan persentase
TKG I sebesar 74,51%, TKG II sebesar 10,78%, TKG III
sebesar 6,86%, dan TKG IV sebesar 7,84%. Sebagian besar
ikan betina yang tertangkap dalam kondisi belum matang
gonad.
Perkembangan gonad yang semakin matang
merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi
pemijahan. Selama itu, sebagian besar hasil metabolisme
tertuju kepada perkembangan gonad. Tahap-tahap
kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui
perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi
atau tidak. Dari pengetahuan kematangan gonad akan
didapatkan juga keterangan tentang waktu ikan akan
memijah, mulai memijah, atau sudah selesai memijah.
dengan pertumbuhan ikan dan faktor-faktor lingkungan
yang mempengaruhinya (Effendie, 2002). Kondisi
penangkapan yang baik untuk menunjang proses
rekrutmen adalah ketika ukuran panjang individu yang
ditangkap sama dengan ukuran panjang pertama kali
matang gonad (Lm). Ukuran panjang tangkapan yang lebih
rendah dibandingkan Lm akan mengakibatkan penurunan
stok sumberdaya akibat terhambatnya proses rekrutmen
(Henriques, 1999 dalam Pinheiro & Lins-Oliveira, 2006).
Panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc) merupakan
hal yang penting untuk dipelajari. Jika dihubungkan
dengan panjang pertama kali matang gonad maka dapat
diketahui status populasinya. Berdasarkan hasil
penelitian, didapatkan panjang pertama kali ikan beloso
tertangkap dengan cantrang sebesar 19,25 cm untuk ikan
beloso jantan dan 20 cm untuk ikan beloso betina. Panjang
pertama kali matang gonad (Lm) ikan beloso jantan yang
sebesar 23,06 cm, sedangkan pada ikan beloso sebesar
18,23 cm. Dengan perkataan lain, panjang pertama kali ikan
beloso tertangkap berada di bawah panjang pertama kali
matang gonadnya (Lc < Lm).
Panjang Pertama Kali Tertangkap dan Panjang
Kebiasaan Makan
Pertama Kali Matang Gonad
Panjang pertama kali matang gonad merupakan
parameter populasi yang dianggap sebagai indikator ketika
individu telah mencapai tahap dewasa (Soares & Peret,
1998 dalam Pinheiro & Lins-Oliveira, 2006). Setiap spesies
ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak sama
ukurannya, demikian pula pada ikan-ikan yang sama
spesiesnya. Jika ikan-ikan yang sama spesiesnya secara
geografis menyebar pada lintang yang perbedaannya
lebih dari lima derajat, maka akan terdapat perbedaan
ukuran dan umur ketika mencapai kematangan gonad untuk
pertama kalinya (Effendie, 2002). Selain itu, perbedaan
ukuran tersebut juga terjadi akibat adanya perbedaan
kondisi ekologis perairan. Ukuran ikan saat pertama kali
matang gonad perlu diketahui karena ada hubungannya
Gambar 3.
Figure 3.
366
Pengamatan isi lambung ikan beloso pada bulan April
2009 menunjukkkan beloso secara berturut-turut (dua
terbesar) adalah teri (Stolephorus spp.) (40% dari isi
lambung), diikuti oleh cumi- cumi (Loligo spp.) (20%) dan
sisanya merupakan campuran ikan yang jumlahnya tidak
terlalu besar. Pada bulan Juni 2009, jenis makanan yang
dikonsumsi terdirir dari poongan ikan petek (Leiognathus
spp.) sebanyak 20%, cumi-cumi (Loligo spp.) sebanyak
13%, ikan beloso sebanyak 13%, dan sisanya merupakan
potongan ikan yang jumlahnya tidak terlalu besar (Gambar
3). Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa ikan beloso termasuk ikan yang
bersifat karnivora. Menurut Dwiponggo (1977), ikan beloso
dapat dikategorikan ikan buas yang makanannya berupa
organisme dasar terutama ikan-ikan berukuran kecil.
Komposisi makanan ikan beloso (Saurida micropectoralis) di perairan utara Jawa Tengah, April
dan Juni 2009.
Diet composition of Lizardfish (Saurida micropectoralis) in north waters of Central Java, April
and June 2009.
A. Damora, T. Ernawati / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 363-367
KESIMPULAN
1. Pertumbuhan ikan beloso bersifat allometrik positif,
dimana pertambahan berat lebih cepat daripada
pertambahan panjangnya.
2. Nisbah kelamin ikan beloso (Saurida micropectoralis)
jantan dan betina di perairan utara Jawa Tengah adalah
1:0,97, dan berada dalam kondisi tidak seimbang.
3. Kematangan gonad ikan beloso jantan dan betina
didominasi oleh TKG I.
4. Panjang pertama kali tertangkap (Lc) dengan alat
tangkap cantrang berada lebih kecil dari panjang
pertama kali matang gonadnya (Lm).
5. Ikan beloso bersifat karnivora, dimana makanan
utamanya adalah potongan ikan dasar, diikuti oleh
cumi-cumi dan teri.
application. Food and Agriculture Organization. Roma.
135 pp.
Imron, M. 2008. Pemanfaatan sumberdaya perikanan
demersal yang berkelanjutan di perairan Tegal Jawa
Tengah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Jennings S., M. Kaiser, & J. D. Reynolds. 2001. Marine
Fisheries Ecology. Alden Press Ltd. Blackwell
Publishing. United Kingdom. 417 pp.
Karyaningsih, S., S. Marzuki, & Rusmadji. 1992. Beberapa
aspek biologi, distribusi dan kepadatan stok ikan
beloso (Saurida micropectoralis) di perairan Pemalang
dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Laut.
No. 75: 20-28.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil
riset dinamika populasi dan lingkungan sumber daya ikan
demersal dan udang penaeid di Laut Jawa (losari
transect), T. A. 2009, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara
Baru, Jakarta.
Lagler, K. F. 1972. Freshwater Fishery Biology. W.M.C.
Brown Company Publisher. Dubuque, Iowa. 421 pp.
Natarajan, A. V. & A. G. Jhingran. 1961. Index of
preponderance- a method of grading the food elements
in the stomach analysis of fishes. Indian J. Fish. 8 (1):
54-59.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiponggo, A. 1977. Peta beberapa sumber perikanan
demersal (dasar) di Laut Jawa dan Cina Selatan.
Laporan Penelitiaan Perikanan Laut. Balai Penelitian
Perikanan Laut. Departemen Pertanian. Jakarta. 35 pp..
Effendie, M.I. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka
Nusantara. Yogyakarta. 163 pp.
Ernawati, T. 2008. Sebaran panjang, pertumbuhan dan
kematangan ikan beloso (Saurida micropectoralis) di
perairan utara Jawa. Prosiding Seminar Nasional
Tahunan V Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 121-128.
Henriques, V. M. C. 1999. Dinâmica da Reprodução da
cioba, Lutjanus analis (Cuvier, 1828) (Osteichthyes:
Lutjanidae), no município de Baía Formosa, Rio Grande
do Norte. In
Pinheiro, A. P. & J. E. Lins-Oliveira. 2006. Reproductive
biology of Panulirus echinatus (Crustacea:
Palinuridae) from São Pedro and São Paulo
Archipelago, Brazil. Nauplius. 14(2): 89-97.
Holden, M. J. & D. F. S. Raitt. 1974. Manual of Fisheries
Science. Methods of resources investigation and their
Pinheiro, A. P. & J. E. Lins-Oliveira. 2006. Reproductive
biology of Panulirus echinatus (Crustacea:
Palinuridae) from São Pedro and São Paulo
Archipelago, Brazil. Nauplius. 14(2): 89-97.
Saputra, S. W. 2005. Dinamika populasi udang jari
(Metapenaeus elegans de Mann) dan pengelolaannya
di Laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa
Tengah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Soares, C. N. C. & A. C. Peret. 1998. Tamanho médio de
primeira maturação da lagosta Panulirus laevicauda
(Latreille), no litoral do Estado do Ceará, Brasil. In
Pinheiro, A. P. & J. E. Lins-Oliveira. 2006. Reproductive
biology of Panulirus echinatus (Crustacea:
Palinuridae) from São Pedro and São Paulo
Archipelago, Brazil. Nauplius. 14(2): 89-97.
Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1981. Principles And Procedure
of Statistic. Second Edition. Mic Graw Hill Book
Company, Inc New York. 748 pp.
Udupa, K.S. 1986. Statistical method of estimating the size
of first maturing in fishes. Fishbyte. 4(2): 8-10.
Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 pp.
367
BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376
PERIKANAN DAN ASPEK BIOLOGI IKAN PARI LAMPENGAN,
Mobula japanica DI PERAIRAN SELATAN JAWA
1)
Dharmadi1), Mas Tri Djoko Sunarno2), dan Isa Nagib Edrus3)
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Ancol-Jakarta
2)
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor
3)
Peneliti pada Balai Riset Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 30 Juli 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 4 April 2011;
Disetujui terbit tanggal: 15 Agustus 2011
ABSTRAK
Ikan pari merupakan salah satu jenis ikan yang banyak didaratkan berasal dari Selatan Jawa. Salah satu jenis ikan
pari yang belum banyak dilakukan penelitian adalah ikan pari lampengan (Mobula japanica). Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui tentang perikanan dan aspek biologi jenis ikan tersebut di perairan Selatan Jawa sebagai
informasi dasar bagi penentuan kebijakan pengelolaan perikanan Elasmobranchii. Penelitian menggunakan metode
survei yang berlangsung dari Januari hingga Desember 2010 di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap-Jawa Tengah.
Sejumlah 165 ikan pari yang tertangkap oleh jaring insang diamati tingkat kematangan seksual, tingkat kematangan
gonad, jenis kelamin dan ukuran lebar cawannya. Wawancara dilakukan terhadap para nelayan dan nahkoda kapal yang
menangkap ikan pari lampengen tersebut secara langsung dan atau oleh enumerator. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tangkapan per satuan usaha (CPUE) ikan pari lampengan bervariasi, yakni tertinggi pada bulan Juli (22,6 kg/
hari) dan terendah pada bulan Oktober (6,6 kg/hari). Frekuensi lebar tubuh ikan pari lempengen terendah terdapat
pada ukuran antara 100-140 cm dengan modus 120 cm yang termasuk kelompok muda, sedangkan ukuran antara 150200 cm dengan modus 170 cm, termasuk kelompok dewasa. Frekuensi lebar tubuh tertinggi terdapat pada ukuran
antara 200-260 cm dengan modus 230 cm. Ikan pari lempengen sedikitnya terdiri atas 3 kelompok umur dengan modus
sebaran lebar tubuh masing-masing 120, 170, dan 230 cm. Hubungan lebar tubuh (y) dan panjang klasper (x) mengikuti
persamaan y=0,3784e0,0131x (r2=0,85), semakin bertambah lebar tubuh semakin bertambah panjang klaspernya.
Perbandingan kelamin jantan dan betina adalah tidak seimbang (1,5:1). Sebagian besar kelompok umur ikan pari
lampengan yang tertangkap tergolong usia muda, yang belum mencapai pertumbuhan optimum (growth over fishing).
KATA KUNCI:
perikanan, aspek biologi, ikan pari lampengan, Mobula japanica, Selatan Jawa,
ABTRACT:
Fisheries and biological aspects of Stingray, Mobula japanica caught from South of Java, By:
Dharmadi, Mas Tri Djoko Sunarno, and Isa Nagib Edrus
Stingray is one of the species of fish that many landed came from the South of Java. One of the species that have
not many research is Japanese Devilray (Mobula japanica). The purpose of this study was to determine fisheries and
biological aspects of Japanese Devilray, Mobula japanica in Indian Ocean as basic information for managing the
elasmobranches fisheries. This study was conducted from January to December 2010 in the Ocean Fishing Port of
Cilacap, Central Java. A total number of 165 individu of M. japanica caught by seine net and tuna longline were
observed during the sampling periods. Body wide, sex, and gonad maturation of those fishes were analyzed. Interviews
were also done to the fisherman and fishing master. The results showed that the body width of stingrays, M. japanica
had the lowest frequency between 100-140 cm with mode of 120 cm,and grouped as young fish. Other groups has body
width between 150-200 cm with mode 170 cm, and grouped as adult fishes. While the frequency of the highest body
width was between 200-260 cm and 230 cm mode. At least, there were 3 cohorts of M. japanica found in this study with
the body width mode of 120, 170 and 230 cm. Exponential relationship between body width (y) and claspers’ length (x)
was observed for M. japanica, that expressed by equation: y=0.3784e 0.0131x (r2=0.85), that mean the more width fish
body, the more increase claspers’ length. Unbalance sex ratio of 1.5:1 was observed for this fish. CPUE for M.
japanica were varied between 6,6 kg/day during October and 22,6 kg/day 0n July. Most of fish caught were young
fishes under their maturity stages that indicated a tendency of growth over fishing.
KEYWORDS :
fisheries, biological aspects, Mobula japanica, South of Java
___________________
Korespondensi penulis:
Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta-Utara 14430
369
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376
PENDAHULUAN
Ikan pari (Elasmobranchii) merupakan salah satu
komoditas penting perikanan di Indonesia. Proporsi
kelompok ikan pari dari seluruh ikan bertulang rawan yang
didaratkan meningkat secara tajam dari 32% pada tahun
1981 menjadi 51% pada tahun 2003 (Anonim, 2003).
Meskipun terjadi peningkatan hasil tangkapan dan upaya
penangkapan ikan elasmobranchii, namun hasil tangkapan
per upaya (CPUE) dan kelimpahannya diduga mengalami
penurunan. Di seluruh perairan di dunia dan sebagian di
Asia Tenggara termasuk Indonesia, kelompok ikan
bertulang rawan, baik yang tertangkap sebagai target
utama maupun tangkapan sampingan, mengalami
ekploitasi relatif tinggi (White & Dharmadi, 2007).
Komposisi hasil tangkapan ikan termasuk famili
Mobulidae dari perairan Samudera Hindia didominasi oleh
M. japanica (50%), kemudian diikuti oleh M. tarapacana
(24%), Manta birostris (14%), M. thurstoni (9%) dan M.
cf kuhlii (2%) (White et al., 2006a). Produksi ikan pari
famili Mobulidae (Mobula sp.; Manta sp.) pada tahun
2005 adalah 200 ton dan meningkat 2.768 ton pada tahun
2006 (DGCF, 2007 & 2008). Akan tetapi produksi ikan pari
seperti M. japanica yang tertangkap di perairan Samudera
Hindia dan didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera
Cilacap cenderung menurun, yaitu dari 84,4 ton pada tahun
2007 menjadi 74,6 ton pada tahun 2008 atau menurun 10,4%
(Anonim, 2009). Menurunnya hasil tangkapan M. japanica
dari perairan Samudera Hindia menunjukkan gejala
penurunan populasinya karena diduga lebih tangkap.
Menurut Stevens et al., (2000), beberapa jenis ikan
pari membutuhkan waktu beberapa dekade untuk
memulihkan populasinya ke kondisi semula (recovery)
setelah mereka dieksploitasi. Di perairan Indonesia,
aktivitas penangkapan ikan elasmobranchii masih
berlangsung terus tanpa mempertimbangan kelestarian
sumber dayanya, bahkan ikan pari jenis Mobula sp.
dijadikan sebagai hasil tangkapan utama bagi nelayan
karena memiliki nilai ekonomis tinggi terutama insangnya
untuk diekspor ke Jepang . Di perairan Samudera Hindia
dan beberapa perairan lainnya, pari lampengan (M.
japanica) sering tertangkap dengan menggunakan jaring
insang tuna (Last & Steven, 1994). Selain M. Japanica,
beberapa jenis pari lainnya yang ikut tertangkap oleh jaring
insang tuna adalah M. tarapacana, M. thursoni, M. cf
khulii dan Manta birostris.
M. japanica hidup pada kedalaman perairan 0-837 m
(zipcodezoo.com/Animals/M/Mobula_japanica/-Cached.
25Juni2010). Spesies ini berkembang biak secara vivipar,
yaitu embrio berkembang dalam uterus dan hanya
melahirkan satu ekor anak dengan masa dalam kandungan
belum diketahui (Paulina et al., 2010).
370
Status konservasi yang dikeluarkan oleh IUCN
menunjukkan bahwa spesies ini hampir terancam punah,
dan merupakan salah satu dari lima spesies cucut dan
pari yang memiliki status konservasi sama (Dulvy et al.,
2008). Karakteristik biologinya seperti berumur panjang,
periode reproduksi relatif lama, pertumbuhan dan
kematangan seksual lambat dan fekunditas rendah,
mengakibatkan jenis ikan ini lebih rentan terhadap
eksploitasi lebih (over exploitation) di habitatnya
(Cavanagh et al., 2003). Data dan informasi yang terkait
dengan indeks kelimpahan dan aspek biologinya sampai
saat ini belum tersedia, sehingga perlu dilakukan penelitian.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kondisi
perikanan (hasil tangkapan per upaya, daerah
penangkapan, alat tangkap yang digunakan) dan aspek
biologi (frekuensi lebar tubuh, rasio kelamin, tingkat
kematangan kelamin dan gonad) dari ikan pari lampengan
(Mobula japanica). Hasil penelitian diharapkan dapat
dijadikan sebagai bahan informasi dasar dalam penentuan
kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber dayanya.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga
Desember 2010 di Pelabuhan Perikanan Samudera CilacapJawa Tengah. Pengumpulan data menggunakan metode
survei dan wawancara dengan para nelayan dan nahkoda
kapal jaring insang permukaan dan rawai tuna permukaan
yang melakukan penangkapan ikan pari lampengan
(Mobula japanica) dari perairan Samudera Hindia, baik
secara langsung dan atau melalui enumerator yang
ditunjuk. Data dan informasi perikanan yang dihimpun
meliputi hasil tangkapan harian, jumlah trip, tipe alat
tangkap, dan daerah penangkapan, sedangkan data
biologi mencakup ukuran lebar tubuh, rasio kelamin,
tingkat kematangan kelamin, dan tingkat kematangan
gonad. Jumlah sampel ikan pari lampengan untuk
pengukuran aspek biologi adalah 165 ekor. Hasil tangkapan
per upaya penangkapan (CPUE) adalah pembagian antara
produksi hasil tangkapan dengan upaya penangkapan
yang beroperasi dari suatu perairan berdasarkan
perhitungan sebagai berikut (Anonim, 2008) :
Hasil Tangkapan per Upaya Penangkapa n =
Hasil Tangkapan (Kg)
Upaya (Trip)
Selanjutnya, untuk mengetahui apakah ada atau tidak
ada perbedaan hasil tangkapan per upaya (CPUE),
dilakukan pengujian dengan menggunakan metoda
statistik menurut Walpole (1995). Aspek biologi yang
diamati adalah tingkat kematangan seksual mengacu pada
Martin & Cailliet (1988) seperti pada Tabel 1. Pengukuran
alat kelamin jantan dilakukan mulai dari pangkal hingga
ujung klasper dengan menggunakan alat pengukur meteran
dengan satuan milimeter. Tingkat kematangan kelamin
jantan diketahui berdasarkan kondisi klasper, yaitu klasper
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376
dalam keadaan lembek, belum terjadi pengapuran (non
calcified), klasper sebagian berisi zat kapur (non full
calcified), agak mengeras, dan klasper penuh zat kapur,
keras dan kaku (full calcified). Tingkat kematangan gonad
betina dilakukan pengamatan secara in situ, yaitu dengan
Tabel 1.
Table 1.
pembedahan bagian perut (abdomen). Aspek perikanan
yang diamati adalah tipe alat tangkap, ukuran jaring
(panjang,dalam, mata jaring), teknik penangkapan, dan
daerah penangkapan.
Tingkat kematangan kelamin pada ikan bertulang rawan (Martin & Cailliet dalam White et al.,2001)
Sex maturity stage of elasmobranch (Martin & Cailliet dalam White et al., 2001)
Tingkat kematangan /
Maturity stage
Betina
Belum matang
Berkembang, anak dara
Matang, belum bunting
Matang, bunting
Matang, pulih salin
Jantan
Belum matang
Sedang berkembang
Matang, belum bereproduksi
Matang
Perkembangan secara mikroskopis /
Microscopic development
Ovari kecil, kedua uteri berukuran sama, tipis dan lunak
Ovari bagian kiri berisi kantong telur berukuran kecil, uterus bagian
kiri mulai membesar tetapi masih tipis dan lunak.
Ovari bagian kiri berisi telur berdiameter > 2 mm, masih lunak dan
tipis. Uterus bagian kiri banyak mengandung trophonemata
Ovari bagian kiri berdiameter >2 mm. Terjadi pembuahan telur atau
embrio pada uterus bagian kiri. Trophonemata membesar dan
berwarna gelap
Ovari bagian kiri berdiameter >2 mm. Uterus bagian kiri membesar
tetapi masih lunak, terlihat baru melahirkan anak. Trophonemata
berwarna gelap
Testis belum berkembang, klasper berukuran kecil dan belum terjadi
pengapuran.
Testis membesar tapi tanpa lubang-lubang di permukaannya, vas
deferens (saluran sperma) membulat. Klasper membesar, mulai terjadi
pengapuran dan kaku.
Lubang-lubang pada testis membengkak disebabkan memproduksi
sperma. Saluran sperma membulat kencang.
Klasper sangat
berkembang dan kaku disebabkan oleh zat kapur.
Seminal vesikel penuh spermatozoa yang sudah matang. Lubanglubang permukaan testis dan klasper membesar dan kaku.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Alat Tangkap dan Daerah Penangkapan
Daerah penangkapan pari lampengan (M. japanica)
dengan menggunakan alat tangkap jaring insang tuna
hanyut di perairan Selatan Jawa disajikan pada Gambar 1
dan Tabel 2.
Jaring insang hanyut (drift gillnet) merupakan alat
tangkap yang digunakan untuk menangkap tuna sebagai
target tangkapan utama, selain itu sering juga tertangkap
jenis ikan pelagis besar lainnya seperti cucut dan pari
sebagai hasil tangkapan sampingan. Spesifikasi umum
jaring insang hanyut yang dimaksud adalah sebagai
berikut: badan jaring dari bahan nilon multifilamen ukuran
benang D9-D21 dengan ukuran mata jaring 114,3-139,7
mm (5 inci). Jumlah mata jaring ke bawah 210 mata. Koefisien
pengikatan (hanging ratio) 0,55. Panjang satu pis jaring
berkisar 45 m. Tiap kapal biasanya mengoperasikan 60-80
pis jaring. Ukuran kapal yang digunakan antara 15-30 GT
dengan tenaga penggerak motor dalam (inboard motor)
bertukuran 60-100 HP. Trip penangkapan berlangsung
antara 15-20 hari. Pengoperasian dilakukan dengan cara
menghadang arah gerak ruaya ikan sehingga ikan yang
berenang melewatinya akan menabrak dan terjerat atau
terpuntal. Tiga cara ikan tertangkap gillnet, yaitu terjerat
sekitar insang, bagian tubuh terjepit mata jaring dan terbelit
sehingga tidak dapat menerobos jaring (Baranov dalam
Sparre & Venema, 1992). Elasmobranchii yang tertangkap
jaring insang hanyut umumnya secara terbelit.
371
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376
Laut Jawa
Cilacap
Lokasi pendaratan ikan
Perkiraan daerah penangkapan
Gambar 1.
Figure 1.
Tabel 2.
Table 2.
Samudera Hindia
Hindia
Daerah penangkapan jaring insang hanyut tuna
Map of fishing area of tuna drift gillnet
Daerah penangkapan jaring insang tuna di perairan Selatan Jawa
Fishing area of tuna drift gillnet in Southern of Java waters
Posisi geografi / Geographical position
Lintang Selatan / Latitute
Bujur Timur / Longitute
(o)
(o)
8,5
109
9,2-9,7
110
8-8.3
110
8-8,5
108
Hasil Tangkapan per Upaya Penangkapan
Populasi sediaan sumberdaya atau kelimpahan ikan di
suatu perairan dapat diukur dengan menghitung hasil
tangkapan per unit upaya-CPUE (Conover, 1980 dalam
Lucifora et al., 2002). Kecenderungan naik turunnya CPUE
dan frekuensi ukuran ikan dapat menunjukkan kondisi
stok terhadap tingkat kematian akibat penangkapan (Holts
et al., 1998). Martosubroto (2011) menyatakan bahwa
CPUE menggambarkan kondisi eksploitasi sumberdaya
perikanan yang sesungguhnya. Penelitian ini
menggunakan data tangkapan dari kapal-kapal ikan yang
372
Daerah penangkapan /
Fishing areas
Perairan sekitar selatan Gombong
Perairan sekitar selatan Yogyakarta
Perairan sekitar selatan Yogyakarta
Perairan sekitar selatan Pangandaran
menggunakan alat tangkap jaring insang tuna yang
beroperasi di perairan Selatan Jawa pada posisi geografi
antara 8 – 10o lintang selatan sampai dengan 108-110o bujur
timur. CPUE ikan pari lampengan (M. japanica) bulanan
dari hasil tangkapan jaring insang tuna permukaan
disajikan pada Gambar 2.
Pada bulan Januari, Nopember dan Desember tidak
ada nelayan yang menangkap Mobula japanica, karena
kondisi cuaca di laut (angin kencang, ombak besar)
sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan
penangkapan.
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376
n = 165
45
CPUE (kg/trip)
Number of trip
35
30
25
20
10,9
15
11,9
7,1
10
1,6
5
6,6
3,1
5,3
0
Feb March April May June July
Gambar 2.
Figure 2.
Aug Sept
Oct
cm (modus 120 cm) untuk kelompok muda, dan antara 150200 cm (modus 170 cm) untuk kelompok dewasa. Frekuensi
lebar tubuh tertinggi dijumpai pada ukuran antara 200-260
cm dengan modus 230 cm (Gambar 3). Dari Gambar tersebut
nampak bahwa dari jumlah sampel ikan pari lampengan
yang tertangkap di perairan Selatan Jawa terdiri dari atas
3 kelompok umur dengan modus sebaran lebar tubuh
masing-masing 120, 170, dan 230 cm. Ikan pari jantan dan
betina ternyata memiliki pola penyebaran lebar tubuh yang
hampir sama.
CPUE bulanan ikan pari lampengan,
M. japanica, pada tahun 2010
Monthly CPUE of M. japanica, in year
2010
Pada Gambar tersebut menunjukkan bahwa CPUE
bulanan pari lampengan dari bulan Maret sampai Juli
memberikan indikasi yang berfluktuasi, namun secara
umum cenderung meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah armada kapal penangkap yang dioperasikan. Pada
bulan Juli nilai CPUE relatif tinggi (22,6 kg/trip), tetapi
sebaliknya terjadi penurunan jumlah armada penangkapan
yang dioperasikan. Sementara pada bulan Agustus jumlah
armada penangkap ikan meningkat, akan tetapi CPUE
mengalami penurunan. Penurunan CPUE terendah terjadi
pada bulan Oktober (6,6 kg/hari). Fluktuasi nilai CPUE ikan
pari lampengan yang tertangkap di perairan Selatan Jawa
tidak dipengaruhi oleh jumlah armada penangkap ikan,
tetapi diduga disebabkan oleh kondisi stok sumberdaya
ikan pari di perairan tersebut.
Indikasi terjadinya penurunan populasi stok
sumberdaya ikan di suatu perairan dapat ditandai dengan
ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil, terjadi
perubahan komposisi hasil tangkapan, semakin
berkurangnya hasil tangkapan, dan menurunnya CPUE.
Menurut Rosenberg et al. dalam Farias & Geniz, (1998)
penurunan CPUE juga dapat ditunjukkan oleh terjadinya
pergeseran daerah penangkapan, dan kondisi demikian
merupakan salah satu indikator perikanan (Anonim, 2010).
Frekuensi lebar tubuh
Frekuensi lebar tubuh dapat digunakan sebagai
parameter untuk mengetahui pertumbuhan dari suatu
spesies ikan (Sparre & Venema, 1992). Hasil pengamatan
ukuran lebar tubuh pari lampengan di tempat pendaratan
ikan Cilacap selama tahun 2010 menunjukkan bahwa pari
lampengan baik jantan maupun betina dengan frekuensi
lebar tubuh terendah tercatat pada ukuran antara 100-140
Gambar 3.
Frekuensi lebar tubuh ikan pari,
M. japanica (J=jantan, B=betina)
Body width frequency of M. japanica
(J=male, B=female)
Figure 3.
Hubungan lebar tubuh dengan panjang klasper
14
J = 98
Grogan & Lund
et al., (2004) menyatakan
12 dalam Carrier
B = 72
bahwa terjadinya10perkembangan klasper dimungkinkan
karena koordinasi
perkembangan otot-otot yang
8
diperlukan untuk memompa sperma dan menggerakkan
6
klasper. Hubungan antara panjang klasper dan ukuran
4
tubuh biasanya digunakan untuk ikan jantan dari ikan2
ikan bertulang rawan
(elasmobranchii) mencapai
0
kematangan kelamin
(Stevens & McLoughlin, 1991).
100-120 121-140 141-160 161-180 181-200 201-220 221-240 241-260
Meskipun kedua bagian klasper kiri dan
kanan
berfungsi
Lebar
tubuh (cm)
dalam proses reproduksi, tetapi hanya satu klasper yang
`
dimasukkan ke dalam kloaka betina selama kopulasi atau
proses perkawinan. Hubungan antara lebar tubuh (x) dan
panjang klasper (y) pari lampengan diperoleh persamaan
y=0,3784e0,0131x (R2=0,85) (Gambar 4). Berdasarkan uji t
diperoleh nilai b tidak berbeda dengan nilai 3, sehingga
hubungan tersebut bersifat isometrik yang berarti dengan
bertambahnya lebar tubuh ikan pari lampengan, maka akan
terjadi pertambahan panjang klasper. Artinya bahwa jika
lebar tubuh (x) bertambah 10 cm, maka melalui persamaan
( y= 0,3784 x exp. (0,0131 x 10) = 0,431), panjang klasper
akan bertambah 0,431 cm.
Frekuensi (ekor)
CPUE (kg/trip)
40
373
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376
Clasper length (cm)
12
n = 65
y = 0.3784e0.0131x
R² = 0.8522
10
Clasfer length
7 -- 9 (cm)
8
6
III
20
5 -- 6 (cm)
II
19
4
1 -- 4 (cm)
2
I
36
n = 83
0
0
50
100
150
200
250
5
300
10
15
20
25
30
35
40
Frequency
Body width (cm)
Gambar 4.
Figure 4.
Hubungan lebar tubuh dan panjang
klasper pari lampengan, M. japanica
Relationship between body width and
claspers length of M. japanica
Gambar 5.
Figure 5.
Hubungan tingkat kematangan kelamin
jantan dengan panjang klasper
Relationship between sex maturity
stage (male) and claspers length
Rasio kelamin
Tingkat kematangan gonad
Salah satu faktor keberhasilan perkembangbiakan
spesies ikan di suatu perairan dalam mempertahankan
populasinya ditentukan oleh perbandingan jenis kelamin
atau rasio kelamin. Rasio kelamin juga merupakan aspek
yang sangat penting bagi kemampuan individu dalam
proses rekruitmen suatu populasi spesies. Selain itu
keseimbangan populasi suatu spesies dipengaruhi oleh
perbandingan jumlah jantan dan betina. Hasil pengamatan
sejumlah 165 ekor pari lampengan selama bulan Februari
sampai Oktober 2010 menunjukkan bahwa jumlah jantan
dan betina masing-masing adalah 100 dan 65 ekor dengan
rasio (1,5:1). Berdasarkan uji X2 perbandingan jenis
kelamin tersebut berbeda nyata (p<0,05), yang berarti rasio
kelamin jantan dan betina ikan pari lampengan berada
dalam kurang seimbang. Kondisi ini diduga akan
mengganggu keseimbangan populasi, mengingat faktor
keberhasilan spesies ikan di suatu perairan dalam
mempertahankan populasi adalah perbandingan jantan
dan betina harus dalam keadaan seimbang.
Hubungan antara lebar tubuh dan tingkat kematangan
gonad (TKG) dapat dilihat pada Gambar 6. Pengamatan
perkembangan kematangan gonad ikan pari lampengan
pada tahun 2010 dijumpai TKG I, II dan III. TKG I ditandai
oleh ovari kecil, serta kedua uteri berukuran sama, tipis
dan lunak serta terdapat pada ukuran lebar tubuh 110-150
cm. TKG II (kondisi gonad berkembang) ditunjukkan oleh
perkembangan ovari bagian kiri yang berisi kantong telur
berukuran kecil, uterus bagian kiri mulai membesar tetapi
masih tipis dan lunak dan biasanya terdapat pada ukuran
lebar tubuh 151-200 cm. Untuk TKG III (kondisi gonad
sudah matang tetapi belum berkembang) terdapat pada
ukuran lebar tubuh antara 201-250 cm yang ditandai oleh
ovari bagian kiri berdiameter lebih dari 2 mm, namun dalam
kondisi masih lunak dan tipis, uterus bagian kiri terlihat
banyak mengandung trophonema. Ada sepasang ovari
pada ikan elasmobranchii, bagian kiri dan kanan, tetapi
yang berfungsi hanya satu yaitu di bagian kanan (Wourms,
1977; Castro, 1996; Hazin et al., 2001).
Tingkat kematangan kelamin jantan
n = 100
Hubungan antara tingkat kematangan kelamin dengan
panjang klasper disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan
data hasil tangkapan harian ikan pari lampengan diketahui
bahwa tingkat kematangan kelamin jantan pertama terdapat
pada kisaran ukuran panjang klasper 1-4 cm. Tingkat
kematangan kelamin kedua terdapat pada kisaran panjang
klasper 5-6 cm (25%). Sedangkan tingkat kematangan
kelamin jantan ketiga terdapat pada kisaran ukuran panjang
klasper 7-9 cm (27%). Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa sebagian besar pari lampengan yang tertangkap di
perairan Selatan Jawa dengan alat tangkap jaring insang
tuna hanyut termasuk kelompok pari muda sekitar 48%.
374
Frequency (ind.)
50
40
30
20
10
0
Gambar 6.
Figure 6.
110-150 (cm)
151-200 (cm)
201-250 (cm)
Stage I
Stage II
Stage III
Tingkat kematangan gonad berdasarkan
lebar tubuh pari lampengan, M. japanica
Gonad maturity stage based on body
width of M. japanica
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376
Gambar 6 menunjukkan bahwa sebagian besar (45 %)
kelompok pari lampengan yang tertangkap di perairan
Selatan Jawa ditemukan pada TKG I. Kondisi demikian
memberikan gambaran bahwa kelompok ikan pari
lampengan muda yang banyak tertangkap dapat
menyebabkan terjadinya growth over fishing, karena
kelompok ikan pari muda belum mencapai pertumbuhan
optimum (Picther & Hart, 1982), dan menyebabkan
kemungkinan terjadi pengurangan kelompok ikan dewasa.
Akibat selanjutnya dapat terjadi recruitment over fishing,
yaitu terjadinya pengurangan ketersediaan kelompok ikan
dalam kondisi matang karena penambahan individu yang
dihasilkan tidak cukup untuk mempertahankan populasi.
Sparre & Venema (1992) menyatakan bahwa proses
rekruitmen suatu spesies kemungkinan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu daerah penangkapan, alat tangkap
yang digunakan, dan ukuran yang tertangkap. Proses
rekruitmen dapat juga dipengaruhi oleh faktor kualitas
lingkungan perairan, densitas induk yang tersedia, dan
ada tidak pemangsa atau predator (Dharmadi & Fahmi,
2007).
KESIMPULAN
1. Daerah penangkapan ikan pari lampengan meliputi
wilayah perairan sekitar Gombong, Yogyakarta, dan
Pangandaran.
2. Nilai CPUE tertinggi ikan pari ini tercatat pada bulan
Juli (22,6 kg/trip) dan terendah pada bulan Oktober
(6,6 kg/trip).
3. Terdapat tiga kelompok umur berdasarkan distribusi
frekuensi lebar tubuh. Rasio kelamin jantan dan betina
tidak seimbang (1,5:1).
4. Tingkat kematangan kelamin jantan I dengan panjang
klasper berukuran panjang 1-4 cm lebih banyak
tertangkap (48 %).
5. Tingkat kematangan gonad sebagian besar ikan betina
ditemukan pada tingkat I atau belum matang dicirikan
oleh ovari kecil, kedua uteri sebelah kiri dan kanan
berukuran sama, tipis dan lunak.
6. Sebagian besar ikan pari lampengan yang tertangkap
di perairan Selatan Jawa merupakan kelompok ikan pari
muda.
PERSANTUNAN
Penelitian ini didanai dari APBN tahun anggaran 2010
melalui program intensif penelitian dan perekayaan di
Dewan Riset Nasional-Kementerian Riset dan Teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Statistics of Marine Capture Fisheries
Production by Fishery Managed Areas. Jakarta:
Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 134 pp.
Anonim. 2008. Cara Perhitungan Produktivitas Kapal
Perikanan. harerablog.blogspot.com/6 Juni 2011.
Anonim. 2009. Laporan Tahunan. Produksi hasil tangkapan
di perairan Samudera Hindia. Pelabuhan Perikanan
Samudera. Cilacap (Intern report).
Anonim. 2010. Potensi Produksi Sumberdaya Ikan di WPP
571, 711, 712, dan 718. Buku Laporan. PRPT-BRKPKKP. 34 hal.
Carrier, J.C., J.A. Musick & M.R. Herthaus. 2004. Biology
of Sharks and Their Relatives. Texbook. CRC Press.
Washington D.C. 596 p.
Castro, J.I. 1996. Biology of the blacktip shark,
Carcharhinus limbatus, off the southeastern United
States. Bulletin of Marine Science 59: 508–522.
Cavanagh, R. D., Kyne, P. M., Fowler, S. L., Musick, J. A.,
and Bennetf M. B. (Eds). (2003). The consentalion
status of Australasian chondrichthyans: Report of
the Shark Specialist Group Australia and Oceania
regional Red List
workshop, Queensland,
Australia. Brisbane: The University of
Queensland,School of Biomedical Sciences.
Dharmadi & Fahmi. 2007. Distribusi frekuensi panjang,
hubungan panjang tubuh, panjang klasper, dan nisbah
kelamin cucut lanjaman (Carcharhinus falciformis).
Jurnal Penelitian Perianan Indonesia, 13 (2): 243249.
Directorate General Capture Fisheries (DGCF), 2007.
Capture Fisheries Statistics of Indonesia, 2005.
Ministry of Marine Affairs and Fisheries. Vol.6, No. 1.
134 pp.
Directorate General Capture Fisheries (DGCF), 2008.
Capture Fisheries Statistics of Indonesia, 2006.
Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 7 (1). 134 pp.
Dulvy, N.K., J.K. Baum, S. Clarke, L.J.V. Compagno, E.
Cortés, A. Domingo, S. Fordham, S. Fowler, M.P.
Francis, C. Gibson, J. Martínez, J.A. Musick, A. Soldo,
J.D. Stevens, & S. Valenti. 2008. Global status of oceanic
pelagic sharks and rays. A summary of new scie ntific
analysis. Research Series. Lenfest Ocean Program:
Protecting Ocean Life through Marine Science.
Washington. 6pp.
375
Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376
Farias J.F.M. & J.L.C. Geniz. 1998. Fishery biology and
demography of the Atlantic sharpnose shark,
Rhizoprionodon terraenovae, in the southern Gulf of
Mexico. Elsevier. Fisheries Research. 39:183-198.
Sparre, P. & S.C. Venema. 1992. Introduction to Tropical
Fish Stock Assessment. Part I – Manual. FAO Fisheries
Technical Paper. 306/1. Rev.1. Danida FAO, Rome,
Italy. 376pp.
Hazin, F., Fischer, A. & M. Broadhurst. 2001. Aspects of
the biology of the scalloped hammerhead shark,
Sphryrna lewini, off northeastern Brazil.
Environmental Biology of Fishes. 61: 151–159.
Stevens, J.D. & K.J. McLoughlin. 1991. Distribution, size
and sex composition, reproductive biology and diet of
sharks from northern Australia. Australian Journal of
Marine and Freshwater Research. 42: 151–199.
Holts D.B; A. Juliana; O.S.Nishizaki & N.W. Bartoo. 1998.
Pelagic shark Fisheries along the west coast of the
United States and Baja California, Mexico. Fisheries
Research. 39: 115-125.
Stevens, J.D., R. Bonfil, N.K. Dulvy, & P.A. Walker. 2000.
The effects of fishing on sharks, rays, and chimaeras
(chondrichthyans), and the implications for marine
ecosystems. ICES Journal of Marine Science. 57: 476–
494.
Last, P.P. & J.D. Steven. 1994. Sharks and Rays of Australia.
CSIRO Publishing. Melbourne. 513pp.
Lucifora L.O., R.C. Menni, & A.H. Escalante. 2002.
Reproductive ecology and abundance of the sand tiger
shark, Carcharias taurus, from the South-Western
Atlantic. ICES Journal of Marine Science. 59: 553–561.
Martin L.K., & Cailliet G.M. 1988. Aspects of the
reproduction of the bat ray, Myliobatis californica, in
central Califormia. Copeia. 1988:754-762.
Martosubroto, P. 2011. Laporan Komisi Nasional
Pengkajian Sumberdaya Ikan. Puslit P2KSI-Balitbang
KP. 93 pp.
Paulina, C.D., G. Habibb, C.L. Careyb, P.M. Swansonb, &
G.J. Vossb. 2010. New records of Mobula japanica and
Masturus lanceolatus, and further records of Luvaris
imperialis (Pisces: Mobulidae, Molidae, Louvaridae)
from New Zealand. New Zealand Journal of Marine
and Freshwater Research. A National Museum of New
Zealand, Wellington, New Zealand b Fisheries
Research Division, Ministry of Agriculture and
Fisheries, Wellington, New Zealand. 17pp.
376
Walpole, R.E., 1995. Pengantar Statistik. Edisi ke-3. Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 515 pp.
White, W.T., M.E. Platell, & I.C. Potter. 2001. Relationship
between reproduction biology and age composition
and growth in Urolophus lobatus (Batoidea :
Urolophidae). Marine Biology.138: 135-147.
White, W.T., J. Giles, Dharmadi & I.C. Potter. 2006a. Data
on the bycatch fishery and reproductive biology of
mobulid rays (Myliobatiformes) in Indonesia. Fisheries
Research 82. 65–73.
White . W.T. & Dharmadi. 2007. Species and size
compositions and reproductive biology of rays
(Chondrichthyes, Batoidea) caught in target and nontarget fisheries in eastern Indonesia. The Fisheries
Society of the British Isles. Journal of Fish Biology.
70: 1809–1837.
Wourms, J.P. 1977. Reproduction and development in
chondrichthyan fishes. American Zoologist. 17: 379–
410.
BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385
KOMPOSISI JENIS DAN DISTRIBUSI UKURAN IKAN PELAGIS BESAR
HASIL TANGKAPAN PANCING ULUR DI SENDANG BIRU, JAWA TIMUR
Ria Faizah dan Aisyah
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 30 Juli 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 1 September 2010;
Disetujui terbit tanggal: 29 Juli 2011
ABSTRAK
Sendang Biru merupakan salah satu tempat pendaratan ikan pelagis besar di Jawa Timur. Penelitian tentang
komposisi jenis dan ukuran ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing ulur yang didaratkan di PPI Pondok
Dadap, Sendang Biru, Jawa Timur, dilakukan pada bulan April dan Oktober 2010. Hasil penelitian menunjukkan
hasil tangkapan pancing ulur didominasi oleh jenis tuna (Thunnus albacares dan Thunnus obesus) 45 %, cakalang
(Katsuwonus pelamis) sebesar 38 %, dan lainnya (marlin, lemadang, lauro) sebesar 1,7 %. Ikan tuna yang
didaratkan terdiri dari jenis yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan bigeye tuna (T. obesus) dengan ukuran
panjang cagak masing –masing berkisar antara 40 - 170 cm FL dan 40 - 140 cm FL. Berat individu masing-masing
berkisar antara 0.1 - 71 kg dan 0.5 - 43 kg.
KATA KUNCI :
komposisi jenis, ukuran, pelagis besar, pancing ulur, Sendang Biru, Tuna.
ABSTRACT:
Species composition and size distribution of pelagic fish caught by handline landed at
Sendang Biru, East Java. By :Ria Faizah and Aisyah
Sendang Biru is one of big pelagic’s landing site in East Java. Tuna on this research are caught by handline
that landing in PPI Pondok Dadap, Sendang Biru, East Java. Research on the species composition and size
distribution of big pelagic fish caught by handline were carried out during April and October 2010 at Sendang
Biru, East Java. The result showed that Thunnus sp. are the most landed (45 %) followed by Katsuwonus pelamis
(38 %) and others (Xiphias gladius, Coriphaena sp., Elagatis bipinnulatus) of 1.7 %. The dominant fork length
of Thunnus albacares and Thunnus obesus ranged from about 40 - 170 cm and 40 – 140 cm. Individual weight
ranged between 0.1 - 71 kg and 0.5 - 43 kg respectivelly.
KEYWORDS :
species composition, size distribution, pelagic fish, Sendang Biru
PENDAHULUAN
Sendang Biru merupakan salah satu tempat pendaratan
ikan pelagis besar khususnya tuna hasil tangkapan
nelayan skala kecil di Jawa Timur. Pada saat ini sudah
tersedia pangkalan pendaratan ikan (PPI) dengan sarana
yang memadai dan dikelola oleh Badan Pengelola
Pangkalan Pendaratan Ikan (BPPPI). Aktivitas penjualan
ikan sudah dilakukan melalui sistem lelang. Hasil
tangkapan terutama dari jenis tuna yang sudah dilelang
akan langsung dibawa menuju perusahaan pemindangan
yang terletak tidak jauh dari lokasi PPI. Ikan yang
didaratkan sebagian besar berasal dari daerah
penangkapan di sekitar pantai sebelah selatan Kabupaten
Malang dan perairan lepas pantai perairan Samudera Hindia
selatan Jawa Timur (Nurdin &Nugraha, 2007). Jenis ikan
yang didaratkan di PPI meliputi kelompok ikan pelagis kecil,
pelagis besar, ikan karang dan kelompok ikan demersal
lainnya.
Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Sendang
Biru terdiri atas pancing (pancing ulur, rawai dan tonda),
payang, gill net serta purse seine. Pancing tonda
___________________
Korespondensi penulis:
Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta-Utara 14430
merupakan jenis alat tangkap dominan dan umumnya
menggunakan perahu motor tempel dan perahu berukuran
antara 5-10 GT. Jenis armada didominasi oleh yang
berukuran antara 5 – 30 GT dan perahu motor tempel.
Penangkapan dengan alat tangkap pancing terutama
dengan pancing ulur dilakukan di beberapa perairan di
Indonesia seperti di perairan Maumere, Tomini, dan
Sendang Biru. Penangkapan dengan alat ini dilakukan
dengan menggunakan alat bantu rumpon.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis
dan ukuran ikan pelagis besar khususnya ikan tuna hasil
tangkapan pancing ulur yang didaratkan di PPI Pondok
Dadap, Sendangbiru. Selain itu dibahas pula secara ringkas
tentang hubungan panjang-berat, faktor kondisi dan
nisbah kelamin ikan yang dominan tertangkap pancing
ulur. Data dan informasi tersebut merupakan bahan dasar
untuk menganalisis status sumberdaya ikan di wilayah
Selatan Jawa khususnya, Wilayah Pengelolaan Perikanan
Samudra Hindia Selatan Jawa hingga Nusa Tenggara pada
umumnya.
377
R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385
BAHAN DAN METODE
Faktor Kondisi
Lokasi dan Waktu
Faktor Kondisi ikan dinyatakan dalam angka yang
dihitung sesuai dengan rumus yang dikemukakan Goddard
(1996), yaitu :
Penelitian ini dilakukan pada bulan April dan Oktober
2010 di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pondok Dadap,
Sendang Biru, Jawa Timur.
Pengambilan Contoh Ikan
Contoh ikan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) dan
madidihang (Thunnus albacares) hasil tangkapan pancing
ulur pada bulan April dan Oktober 2010. Pengamatan
biologi meliputi panjang cagak (fork length/FL), berat
tubuh, nisbah kelamin dan faktor kondisi. Jumlah contoh
ikan tuna mata besar yang diamati sebanyak 166 ekor dan
madidihang sebanyak 337 ekor. Contoh ikan madidihang
yang tertangkap pada bulan April 2010 tidak disajikan
karena jumlahnya sangat sedikit. Pengamatan komposisi
hasil tangkapan dilakukan dengan menimbang berat total
dari masing-masing jenis ikan yang didaratkan oleh
beberapa armada pancing ulur.
Kt = 102 W/L3 ...................................................... (3
dimana :
Kt = faktor kondisi
W = bobot rata-rata (kg)
L = panjang cagak rata-rata (cm)
Faktor kondisi merupakan gambaran kondisi fisiologis
ikan dilihat dari sudut pandang nutrisi, yang diperlukan
untuk pertumbuhan dan reproduksi (Le Cren, 1957 dalam
Abowei et al., 2009). Informasi mengenai faktor kondisi
berguna pada saat akan membandingkan kondisi suatu
populasi tertentu; berguna ketika menentukan masa
pematangan gonad dan ketika menindaklanjuti tingkat
pemanfaatan sumber makanan oleh suatu spesies (Bagenal
and Tesch, 1978 dalam Abowei et al., 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan Panjang –Berat
Deskripsi Pancing Ulur
Untuk mengetahui hubungan panjang-berat
digunakan rumus Bal & Rao (1984) :
W = aLb…………………........…………………….(1
dimana :
W = berat ikan (kg)
L = panjang cagak ikan (FL, cm)
a = intercept (perpotongan antara garis regresi
dengan sumbu y).
b = koefisien regresi (sudut kemiringan garis)
Dari persamaan tersebut dapat diketahui pola
pertumbuhan ikan tuna yang diamati. Nilai b yang
diperoleh digunakan untuk menentukan pola
pertumbuhan dengan kriteria (Bal & Rao,1984):
(a).Jika b =3, pertumbuhan bersifat isometrik, yaitu
pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan
berat,
(b). Jika b > 3, maka pola pertumbuhan bersifat allometrik
positif, yaitu pertambahan berat lebih cepat dari
pertambahan panjangnya,
(c). Jika b < 3, maka pola pertumbuhan bersifat allometrik
negatif, yaitu pertambahan panjang lebih cepat dari
pertambahan berat.
Untuk mengetahui apakah nilai b yang diperoleh lebih
besar, sama dengan atau lebih kecil dari 3 digunakan uji t
pada selang kepercayaan 95% (á = 0,05) (Steell & Torrie 1989).
378
Alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan
tradisional di Sendang Biru untuk menangkap ikan tuna
adalah pancing ulur (handline) dan tonda (trolling line).
Tuna berukuran kecil kebanyakan tertangkap pukat cincin.
Pancing ulur dioperasikan dengan perahu yang disebut
sekoci. Waktu pengoperasian pada siang hari dengan
aktivitas penangkapan di sekitar rumpon. Deskripsi
pancing ulur sangat sederhana, terdiri dari mata pancing
nomor 2 hingga 7 yang diikat pada tali pancing nomor 300
– 400 diameter 0.4 mm dengan panjang sekitar 40 – 50 m.
Tali utama nomor 2000 – 3000, diameter 2 - 3 mm dengan
panjang antara 200 – 250 m yang digulung pada sebuah
jerigen ukuran 5 liter dan sekaligus berfungsi sebagai
pelampung. Disamping itu ada yang digulung pada
penggulung plastik. Berdasarkan cara pengoperasiannya,
terdapat 3 jenis pancing ulur, yaitu: (1) pancing ulur
menggunakan jerigen yang dilepas di permukaan laut dan
menggunakan umpan hidup, (2) pancing ulur
menggunakan penggulung plastik yang dipegang dari atas
kapal dengan umpan potongan ikan, dan (3) pancing ulur
yang dioperasikan menggunakan layang-layang dengan
umpan palsu/buatan, untuk menangkap ikan tuna
berukuran kecil dan cakalang biasanya menggunakan mata
pancing nomor 5 dan 7 dengan umpan buatan dari tali
rafia yang diurai menyerupai bulu atau benang sutra.
Penggunaan jenis mata pancing tergantung pada ukuran
ikan yang menjadi target, sedangkan penggunaan jenis/
tipe pancing ulur bergantung pada kondisi alam.
R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385
Hasil tangkapan pancing ulur yang didaratkan di
Sendang Biru terutama jenis yellowfin tuna (Thunnus
albacares) dan bigeye tuna (Thunnus obesus). Pada bulan
tertentu tertangkap juga jenis ikan tuna albakor (Thunnus
alalunga). Jenis – jenis tersebut merupakan sasaran
penangkapan karena mempunyai harga tinggi. Sementara
itu tertangkap juga jenis lainnya seperti cakalang, marlin,
layaran, lemadang, dan sunglir. Gambar 1 merupakan
gambaran rata-rata bulanan jenis pelagis besar yang
didaratkan selama kurun waktu 3 tahun (2008-2010). Dari
gambar tersebut terlihat bahwa rata-rata hasil tangkapan
pancing ulur didominasi oleh jenis ikan tuna dan cakalang.
Penangkapan ikan tuna di perairan Sendang Biru terjadi
sepanjang tahun, dengan musim penangkapan umumnya
terjadi pada bulan Mei hingga September, pada Gambar 1.
terlihat bahwa musim penangkapan terjadi pada sekitar
bulan April hingga Juni, hal ini dikarenakan tidak adanya
data hasil tangkapan pada bulan Juni hingga Desember
2010, namun bulan tersebut tetap diperhitungkan dalam
proses merata-ratakan hasil tangkapan. Hasil penelitian
serupa di perairan Sendang Biru dinyatakan bahwa musim
penangkapan tuna terjadi pada bulan Mei hingga Oktober
dan puncaknya terjadi pada bulan September (Nurdin dan
Budi, 2007).
Produksi (ton)
Komposisi Hasil Tangkapan
300
250
200
150
100
50
0
J
F
M
Tuna
Gambar 1.
Figure 1.
A
Cakalang
M
J
Tongkol
J
A
Salem
S
O
Layaran
N
D
Lemadang
Jenis ikan pelagis besar dominan yang
didaratkan di Sendang Biru tahun 2008
– 2010
The dominant pelagic fish species
landed at Sendang Biru in 2008 – 2010
Tabel 1. Hasil tangkapan dari 41 kapal pancing ulur yang mendarat pada periode pengamatan
Table 1. The catch of 41 handline boats landed during the observation period
No.
Nama Kapal
1
Nusantara
2
Sampoerna
3
Mataram
4
Sumber Hati
5
Rajawali
6
BB-16
7
BB-05
8
AM-01
9
Praminto
10
tuna 02
11
P.D. Bulan 01
12
Enggal
13
DR-04
14
Tunggal 01
15
BM-09
16
Anang
17
Serba Indah
18
Maya
19
Camar-01
20
Camar-02
21
Kempul
Total hasil tangkapan per kapal (kg)
Rata-rata per kapal (kg)
Hasil Tangkapan
(kg)
277
234
1,747
729
281
1,012
1,057
1,883
336
293
253
840
1,547
780
456
315
1,608
404
319
280
352
No.
Nama Kapal
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
Bide
PB 02
SJ 01
Payang
(tidak bernama)
Sinar Harapan
Tunggal 11
Madina
BB 15
TM
DR-01
BT Surya-03
Ira Jaya 8
Isabela-05
Josua
Mawar Saron-02
Dival
Bistala-07
MR-01
Karya Mina
Hasil Tangkapan
(kg)
631
68
544
1,012
1,083
308
1,043
169
1,472
335
483
441
340
240
344
428
469
368
222
88
25,081.46
611.74
379
R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385
16
0
17
0
13
0
14
0
15
0
90
10
0
11
0
12
0
80
60
70
0
380
90
10
0
11
0
12
0
13
0
14
0
15
0
16
0
17
0
80
60
70
50
40
20
0
10
0
11
0
12
0
13
0
14
0
15
0
16
0
17
0
20
60
90
40
80
80
60
Panjang (cm FL)
Length (cm FL)
Figure 4.
40
Frekuensi (ekor)
Freq. (indv.)
80
40
50
Frekuensi (ekor)
Freq. (indv.)
Hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Oktober
2010 diperoleh ikan madidihang banyak tertangkap
berukuran antara 40-170 cm FL dan memiliki 3 kelompok
ukuran. Kelompok ukuran pertama antara 40-70 cm dengan
modus 60 cm, kelompok ukuran kedua antara 80-110 cm
Distribusi ukuran panjang ikan tuna mata besar yang
tertangkap pada bulan April dan Oktober 2010 sedikit
berbeda (Gambar 4.). Ikan tuna mata besar yang tertangkap
pada bulan April 2010 terdistribusi pada ukuran panjang
40-80 cm FL dan hanya memiliki 1 kelompok ukuran.
Sementara itu, yang tertangkap pada bulan Oktober
terdistribusi pada ukuran panjang 40-170 cm FL dan
memiliki 2 kelompok ukuran. Kelompok ukuran pertama
antara 40-80 cm FL dengan modus 50 cm dan kelompok
ukuran kedua antara 110-140 cm FL. Dominansi hasil
tangkapan ikan madidihang dikarenakan kesamaan waktu
penangkapan pancing ulur dengan sifat madidihang yang
memburu makan pada siang hari, yaitu dimulai jam 7 pagi,
intensif pada jam 3 siang dan berakhir pada jam 9 malam
(Grudinin, 1989, Weng et al., 2009). Tidak terlalu
melimpahnya tuna mata besar diduga karena sifat
memburu makanan terutama terjadi di kolom air yang lebih
dalam karena pergerakan secara vertikalnya lebih tinggi
dari pada madidihang (Itano et al., 2006, Musyl et al.,
2003).
70
Komposisi hasil tangkapan pancing ulur
di Sendang Biru pada bulan Oktober 2010
Catch composition of handline at
Sendang Biru in October 2010
Distribusi Ukuran
Gambar 4.
Distribusi ukuran madidihang hasil
tangkapan pancing ulur di Sendang Biru
Oktober 2010
Length distribution of yellowfin tuna
caught by handline at Sendang Biru,
October 2010
Figure 3.
Katsuw onus
pelamis
38%
Figure 2.
Gambar 3.
Elagatis
bipinnulata
(*0.1)
4%
Thunnus sp.
45%
Gambar 2.
Panjang (cm FL)
Length (cm FL)
60
Coriphaena
sp. ( * 0.1)
3%
60
50
40
30
20
10
0
40
50
Xiphias gladius
(* 0.1)
10%
dengan modus 100 cm dan kelompok ukuran ketiga antara
120-170 cm dengan modus 140 cm (Gambar 3.).
Frekuensi (ekor)
Freq. (indv.)
Rata - rata hasil tangkapan pancing ulur pada bulan
Oktober 2010 sebesar 611.74 kg per kapal Tabel 1.). Hasil
tangkapan dari satu armada pancing ulur dengan armada
pancing ulur lainnya bervariasi. Selama periode penelitian,
komposisi jenis hasil tangkapan didominasi oleh ikan tuna
sebesar 45% dari hasil tangkapan total, diikuti oleh jenis
cakalang (Katsuwonus pelamis) 38%, marlin (Xiphias
gladius) 1%, lauro (Elagatis bipinnulatus) dan lemadang
(Coriphaena sp.) masing-masing kurang dari 1% dari total
yang didaratkan pada bulan itu. Variasi komposisi hasil
tangkapan nelayan Sendang Biru juga dinyatakan oleh
Nurdin & Budi (2007), dimana antara cakalang dan tuna
masing-masing terkadang silih berganti menjadi hasil
tangkapan dominan. Sedangkan lauro, marlin dan
lemadang berkisar antara 3% hingga 11 % dari total hasil
yang didaratkan.
Panjang (cm FL)
Length (cm FL)
Distribusi ukuran tuna mata besar hasil tangkapan pancing ulur di Sendang Biru, April dan Oktober
2010
Length distribution of bigeye tuna caught by handline at Sendang Biru during April and October
2010
R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385
Ukuran ikan merupakan hal yang sangat penting
diperhatikan karena dengan mengetahui panjang ikan,
kedewasaan ikan dapat ditentukan. Untuk ikan tuna mata
besar, kisaran ukuran panjang yang sudah dapat dianggap
dewasa adalah 91-100 cm dan setara dengan umur 2 tahun
(Kikawa, 1953 in Miyabe, 1994 dalam Lehodey et al., 1999;
Sun et al., 2006). Untuk ikan madidihang berada pada
kisaran panjang yang sama namun setara dengan umur
1.6 tahun (Lehodey et al., 1999). Ukuran tingkat
kedewasaan ikan tuna bervariasi, salah satu penyebabnya
adalah adanya variasi geografis suatu perairan (Hampton
and Williams, 2005 & Schaefer et al., 2005 dalam Zhu et
al., 2011). Berdasarkan penjabaran hasil di atas dapat
dilihat bahwa ikan yang tertangkap ada yang masih
berukuran di bawah 100 cm baik untuk yellowfin tuna
maupun tuna mata besar. Jika dibandingkan dengan
penelitian Wudianto et al.(2002), kisaran ukuran yellowfin
tuna yang tertangkap di perairan Sendang Biru hasil
tangkapan pancing ulur memiliki ukuran yang mirip
dengan yellowfin tuna hasil tangkapan longline di Cilacap
pada bulan Agustus 2001 yaitu antara 91-170 cm FL dan
di Muara Baru dengan kisaran antara 151-160 cm FL. Ikan
tuna mata besar yang didaratkan di Sendang Biru memiliki
ukuran yang tidak berbeda jauh dengan yang didaratkan
di Cilacap dan Muara Baru, masing-masing antara 101160 cm FL dan 71-150 cm FL.
Hubungan panjang cagak dan berat tubuh terhadap
166 ekor ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) hasil
tangkapan pancing ulur pada bulan April dan Oktober
2010 adalah sebagai berikut: W=3 x10-5 x FL2,907 dengan
nilai koefisien determinasi (r2) = 0.985 (Gambar 6).
Hubungan Panjang Berat
Berdasarkan uji t terhadap nilai b pada selang
kepercayaan 95% (á = 0,05), diperoleh thit>ttab (b ≠ 3) yang
artinya pola pertumbuhan ikan tuna mata besar dan
madidihang cenderung bersifat allometrik negatif yaitu
pertumbuhan berat tidak secepat pertumbuhan
panjangnya. Menurut Sukimin et al. (2002), Dagorn et al.
(2000), Marcinek et al. (2001), pertumbuhan ikan di suatu
perairan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan di
antaranya adalah ukuran makanan yang dimakan, jumlah
ikan di perairan tersebut, jenis makanan yang dimakan,
kondisi oseanografi perairan (suhu, oksigen dan lain-lain)
dan kondisi ikan (umur, keturunan dan genetik).
Pertumbuhan tuna mata besar yang didaratkan di Sendang
Biru mirip dengan pertumbuhan tuna mata besar di perairan
Laut Banda hasil tangkapan rawai tuna. Nugraha dan
Mardlijah (2006) melaporkan bahwa tuna mata besar di
perairan Laut Banda hasil tangkapan rawai tuna bersifat
allometrik negatif. Pertumbuhan yellowfin tuna dalam
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian di Samudera
Hindia bagian barat. Hasil penelitian Zhu, et al.(2008)
menyebutkan yellowfin tuna di Samudera Hindia bagian
barat hasil tangkapan rawai tuna bersifat isometrik dengan
persamaan 1,63 x 10-2xFL 2,985 ( r2 = 0.9696, n= 1033). Hal
yang sama diperoleh Kaymaram et al. (2000) bahwa
pertumbuhan madidihang di Laut Oman bersifat isometrik
dengan persamaan 1.2 x 10-6 x FL 3.083.Perbedaan sifat
pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan jenis
serta ukuran makanan yang dimakan (Sukimin et al., 2002).
Hasil analisis hubungan panjang cagak dan berat
tubuh terhadap 337 ekor yellowfin tuna hasil tangkapan
pancing ulur diperoleh persamaan sebagai berikut : W=6
x 10-5 x FL2,710 dengan nilai koefisien determinasi (r2) = 0.912
(Gambar 5).
Gambar 5.
Figure 5.
Hubungan panjang-berat ikan
madidihang (Thunnus albacares ) hasil
tangkapan pancing ulur yang didaratkan
di Sendang Biru, Oktober 2010
Length-Weight relationship of
yellowfin tuna (Thunnus albacares)
caught by handline at Sendang Biru
in October 2010
Berat
(kg)
50
y = 3E-05x2.9079
R2 = 0.9852
n = 166 ekor
45
Weight 40
(kg)
35
30
25
20
15
10
5
0
0
20
40
60
80
100
120
140
Panjang (cm)
Length (cm)
Gambar 6.
Figure 6.
Hubungan panjang- berat ikan tuna
mata besar (Thunnus obesus) hasil
tangkapan handline di Sendang Biru,
bulan April dan Oktober 2010
Length-Weight relationship of Bigeye
Tuna (Thunnus albacares) caught by
handline at Sendang Biru in April and
October 2010
381
R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385
Faktor Kondisi
Faktor kondisi rata-rata untuk ikan madidihang yang
didaratkan di Sendang Biru pada bulan Oktober 2010 adalah
1,66. Faktor kondisi rata-rata tertinggi terdapat pada nilai
tengah 90 cm yaitu 2,37 dan terendah berada pada nilai
tengah 120 cm yaitu 1.30. Faktor kondisi rata-rata ikan
tuna mata besar pada bulan April adalah 1,74, dimana
faktor kondisi rata-rata tertinggi yaitu 1,78 yang terdapat
pada ukuran 50 cm dan terendah yaitu 1.63 yang berada
pada nilai tengah 30 cm. Sementara itu faktor kondisi ratarata ikan tuna mata besar pada bulan Oktober adalah 1,80
dimana faktor kondisi rata-rata tertinggi yaitu 1,91 yang
terdapat pada ukuran 120 cm dan terendah yaitu 1.35
yang berada pada nilai tengah 110 cm Hubungan antara
faktor kondisi dengan ukuran dari ikan madidihang dan
ikan tuna mata besar disajikan pada Gambar 7 dan 8. Pada
gambar 7b terlihat grafik faktor kondisi ikan tuna mata
besar terputus pada ukuran nilai tengah antara 85-105 cm
hal ini disebabkan pada saat penelitian tidak ditemukan
ukuran tersebut.
(a)
Gambar 8.
Figure 8.
Figure 7.
Faktor kondisi dan frekuensi panjang
ikan madidihang (Thunnus albacares )
hasil tangkapan pancing ulur di
Sendang Biru Oktober 2010
Condition factor and length frequency
of yellowfin (Thunnus albacares)
caught by handline at Sendang Biru,
October 2010
(b)
Faktor kondisi dan frekuensi panjang ikan tuna mata besar (T. obesus) hasil tangkapan pancing ulur
di Sendang Biru, (a) April dan (b) Oktober 2010.
Condition factor and length frequency of bigeye tuna (T. obesus) caught by handline at Sendang
Biru, April and October 2010.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, terjadi fluktuasi
nilai faktor kondisi rata-rata ikan tuna mata besar dan
madidihang pada setiap selang ukuran dimana faktor
kondisi yang paling tinggi terjadi pada ukuran yang lebih
kecil, sementara faktor kondisi yang lebih kecil terjadi pada
ukuran yang lebih besar. Hal ini diduga disebabkan oleh
adanya perbedaan pertumbuhan dan tingkat kematangan
gonad dari masing-masing ikan. Artinya bahwa pada
ukuran yang sama (ukuran kecil) ada ikan yang masih
dalam proses pertumbuhan somatik sehingga secara fisik
tubuh ikan lebih cepat berkembang dan faktor kondisinya
menjadi besar, sementara pada ukuran yang lebih besar
atau ikan dewasa yang akan memijah, energi yang
diperoleh dari makanan digunakan untuk proses
382
Gambar 7.
pemijahannya sehingga menyebabkan faktor kondisinya
kecil. Menurut Agostinho (1985) dalam Vieira, et al., 2005
bahwa untuk spesies yang bermigrasi faktor kondisi
menurun pada saat musim pemijahan. Tuna mata besar
dan madidihang termasuk kedalam spesies yang
bermigrasi. Kemudian Effendi (2002) dan Parrish &
Mallicoate (1995) juga menambahkan bahwa variasi nilai
faktor kondisi bergantung pada tingkat kematangan
gonad, kepadatan populasi, makanan, fisiologi ikan, jenis
kelamin, umur ikan dan lingkungan. Hasil pada penelitian
ini serupa dengan hasil penelitian dari Wang et al. 2002 di
sekitar perairan Taiwan, yang menggambarkan kisaran
faktor kondisi yaitu 1,4-2,5 dan nilai faktor kondisi ini
juga berfluktuasi pada setiap ukuran.
R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385
Nisbah kelamin
Berdasarkan pengamatan secara visual di lapangan
diperoleh nisbah kelamin ikan madidihang jantan dan
betina hasil tangkapan handline adalah 38.46% : 61.54 %
dan nisbah kelamin ikan tuna besar jantan dan betina
adalah 81.28% : 18.75% (Gambar 9.). Dari gambar tersebut
terlihat bahwa ada perbedaan nisbah kelamin antara ikan
madidihang dan tuna mata besar dimana ikan madidihang
betina yang tertangkap handline lebih banyak daripada
ikan jantan, sebaliknya untuk tuna mata besar, ikan jantan
lebih banyak tertangkap daripada ikan betina. Nisbah
kelamin ikan madidihang menunjukkan kondisi ideal
karena jumlah betina yang relatif banyak. Menurut
Wahyuono et al., (1983) yaitu apabila jantan dan betina
seimbang atau betina lebih banyak dapat diartikan bahwa
populasi tersebut masih ideal untuk mempertahankan
kelestarian. Menurut Sadhotomo & Potier (1991), di
perairan perbandingan jenis kelamin ikan diharapkan
seimbang, bahkan diharapkan jumlah betina lebih banyak
daripada yang jantan sehingga populasinya dapat
dipertahankan walaupun ada kematian alami dan
penangkapan. Keseimbangan perbandingan jumlah
individu jantan dan betina mengakibatkan kemungkinan
terjadinya pembuahan sel telur oleh spermatozoa hingga
menjadi individu-individu baru semakin besar (Effendie,
2002). Tidak demikian adanya dengan nisbah kelamin ikan
tuna mata besar, dimana jantan mendominasi. Kondisi
tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh hasil dari
sampling yang menyebabkan frekuensi kemunculan jantan
menjadi lebih sering.
19
38.46
61.54
Jantan
Betina
81
Jantan
(a)
Gambar 9.
Figure 9.
Betina
(b)
Nisbah kelamin madidihang (a) dan tuna mata besar (b) hasil tangkapan pancing ulur di Sendang
Biru, Oktober 2010
Sex ratio of yellowfin tuna (a) and bigeye tuna (b) caught by handline at Sendang Biru, October
2010
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Hasil tangkapan handline didominasi oleh tuna 45 %,
cakalang sebesar 38 %, dan lainnya (marlin, lemadang,
lauro) 1,7 %. Ukuran madidihang yang tertangkap berada
dalam kisaran ukuran 40-170 cm, tuna mata besar pada
kisaran ukuran 40-140 cm. Baik madidihang maupun tuna
mata besar memiliki sifat pertumbuhan yang alometrik
negatif atau lebih kurus. Nilai faktor kondisi berfluktuasi
pada setiap selang ukuran, untuk madidihang sebesar 1,18
– 3,06, untuk tuna mata besar sebesar 1,78 – 2.14.
PERSANTUNAN
Penelitian dibiayai oleh kegiatan riset Kajian Kesiapan
Indonesia dalam Mengimplementasikan Ketentuan
Pengelolaan Perikanan di Kawasan Konvensi RFMO
melalui DIPA Pusat Riset Perikanan Tangkap tahun
anggaran 2010.
Abowei, J. F. N., O. A. Davies & A. A. Eli. 2009. Study of
the length-weight relationship and condition factor of
five fish species from Nkoro River, Niger Delta, Nigeria.
Current Research Journal of Biological Science I (3)
: 94-98, 2009.
Bal, D.V.& K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata Mc. Grawhill Publishing Company Limited. New Delhi. 5 – 24.
BPPPI, 2009. Laporan tahunan Unit Pengelola Pelabuhan
Perikanan Pantai Pondokdadap dan Daftar Produksi
hasil penangkapan ikan di Pondokdadap Kabupaten
Malang TA. 2009.
Dagorn, L., Filippo Menczer, Pascal Bach, Robert J. Olson.
2000. Co-evolution of movement behaviours by
tropical pelagic predatory fishes in response to prey
383
R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385
environment: a simulation model. Ecological
Modelling. 134 : 325–341.
Efendie I.M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka
Nusantara. Bogor.
Goddard S. 1996. Feed Management in Intensive
Aquaqulture. Fisheries and Marine Institute Memorial
University. Newfounland, Canada. Chapman and Hall.
New York.
Grudinin,V.B.,1989. On the ecology of yellowfin tuna
(Thunnus albacares) and bigeye (Thunnus obesus).
Journal of Ichthyology. 29 (6).
Itano, D.G. 2004. A handbook for the identification of
yellowfin and bigeye tunas in fresh condition. Pelagic
Fisheries Research Program JIMAR, University of
Hawaii. SCTB17 Working Paper - FTWG–INF–5 USA.
28 pp.
Itano, D. G., Kim Holland, & Laurent Dagorn. 2006.
Behaviour of yellowfin (Thunnus albacares) and
bigeye (T. obesus)in a network of anchored fish
aggregation. Scientific Committee Second Regular
Session, 7-18 August 2006 Manila, Philippines. 7 pp.
Kaymaram, F., H. Emadi, B. Kiabi. 2000. Population
parameters and feeding habits of yellowfin tuna
(Thunnus albacares) in the Oman Sea. IOTC
Proceedings no. 3 : 283-285.
Lehodey, P., J. Hampton & B. Leroy. 1999. Preliminary
Results on Age and Growth of Bigeye Tuna (Thunnus
obesus) from the Western and Central Pacific Ocean
as Indicated by Daily Growth Increments and Tagging
Data. Working Paper BET–2. Standing Committee on
Tuna and Billfish, Tahiti 16-23 June 1999.18 pp.
Marcinek, D.J., Blackwell, S.B., Dewar, H., Freund, E.V.,
Farwell, C., Dau, D., Seitz, A.C. & Block, B.A. 2001.
Depth and muscle temperature of Pacific bluefin tuna
examined with acoustic and pop-up satellite tags. Mar.
Biol. 138 : 869-885.
Musyl, M.K., Richard W. Brill, Christofer H. Boggs, Daniel
S. Curran, Thomas K. Kazama & Michael P. Seki. 2003.
Vertical movements of bigeye tuna (Thunnus obesus)
associated with islands, buoys, and seamounts near
the main Hawaiian Island from archival tagging data.
Fisheries Oceanography. 12:3, p152-169.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan Jakarta.
Nakamura, H. 1969. Tuna distribution and migration.
Fishing news (books) Ltd. London. 76 pp.
384
Nikijuluw, V.P.H. 1986. Peranan stock assessment dalam
pengelolaan Perikanan. Buletin Warta Mina No. 10
Tahun V. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Nugraha B & Mardlijah S. 2006. Hubungan Panjang Bobot,
Perbandingan Jenis Kelamin dan Tingkat Kematangan
Gonad Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Perairan
Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.
Pusat Riset Perikanan Tangkap 2006. Jakarta. 195-202.
Parrish R. H. & D. L. MALLlCOATE. 1995 - Variation in
the condition factors of California pelagic fishes and
associated environmental factors. Fish. Oceanogr. 4
(2): 171-190.
Rajapaksha J.K., Nishida T. & Samarakoon L. 2010.
Environmental preferences of yellow_n tuna (Thunnus
albacores) in the northeast Indian Ocean: an application
of remote sensing data to longline catches. Proceeding
of IOTC WPTT, 19 Oktober 2010.16 pp.
Steell R.G.H & Torrie J.H. 1989. Prinsip dan Prosedur
Statistika : Suatu Pendekatan Biometrik (Terjemahan
dari Principle and procedure of statistic : a biometri
approach). Sumantri B (penerjemah). Edisi kedua.
PT.Gramedia. Jakarta. 748 pp.
Sun, C.L., Chu, S.L. & Yeh, S.Z. 2006. The Reproductive
Biology of Female Bigeye Tuna (Thunnus obesus) in
the Western Pacific Ocean. WCPFC-SC2-BISWG-WP
-1, 22 pp.
Sukimin, S., Isdrajat S. & Yon Vitner. 2002. Petunjuk
Praktikum Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wang S.B, Chang F.C., Wang S.H. & C.L Kuo. 2002. Some
biological parameters of bigeye and yellowfin tunas
distributed in surrounding waters of Taiwan. 15th
meeting of the Standing Committee on Tuna and
Billfish (SCTB) Hawaii, July 22-27, 2002. SCTB15
Working Paper. 13pp.
Weng, K. C., M. J. W. Stokesbury, A. M. Boustany, A. C.
Seitzjj, S.L.H. Teo, S.K. Miller & B.A. Block. 2009.
Habitat and behaviour of yellowfin tuna Thunnus
albacares in the Gulf of Mexico determined using popup satellite archival tags. Journal of Fish Biology. 14341449.
Vieira, RK., Oliveira J. E. L., Maisa C. Barbalho1 & J. Garcia
Jr. 2005. Reproductive characteristics of blackfin tuna
Thunnus Atlanticus (lesson, 1831), in northeast Brazil.
Col. Vol. Sci. Pap. ICCAT, 58(5): 1629-1634.
R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385
Zhu G, Xu L, Zhou Y & X. Dai. 2008. Length frequency
compositions and weight-length relations for big-eye
tuna, yellowfin tuna and albacore (Perciformes:
Scombrinae) in the Atlantic,Indian and Eastern Pacific
Oceans. Acat Ichthiologica Et Piscatoria. 38(2) : 157161.
Zhu, G.P., Xiao Jie Dai, Li Ming Song, Liu Xiong Xu. 2011.
Size at Sexual Maturity of Bigeye Tuna Thunnus
obesus (Perciformes: scombridae) in the Tropical
Waters: a Comparative Analysis. Turkish Journal of
Fisheries and Aquatic Sciences 11: 149-156 (2011) :
149-156.
Wahyuono, H., Budihardjo, S., Wudianto, Rustam, R. 1983.
Pengamatan Parameter Biologi Beberapa Jenis Ikan
Demersal di Perairan Selat Malaka Sumatera Utara.
Laporan Penelitian Laut. Jakarta.
Wudianto, Karsono Wagiyo dan Berbudi Wibowo. 2003.
Sebaran Daerah Penangkapan Ikan Tuna di Samudera
Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Edisi
Sumberdaya dan Penangkapan. 9 (7).
385
BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395
DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL PLANKTON
DI PERAIRAN TELUK TOMINI, SULAWESI
Bram Setyadji1 dan Asep Priatna2
1
2
Peneliti Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa, Bali
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 1 Desember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Mei 2011;
Disetujui terbit tanggal: 28 September 2011
ABSTRAK
Plankton merupakan komponen penting dalam kehidupan akuatik karena fungsi biologisnya yang penting sebagai
mata rantai paling dasar dalam rantai makanan dan merupakan organisme yang menduduki kunci utama di dalam
ekosistem bahari. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei, Juli, dan Nopember 2010 yang mewakili musim peralihan
I, musim timur dan musim barat dengan tujuan mengetahui distribusi-kelimpahan spasial dan temporal fitoplankton
dan zooplankton di Teluk Tomini. Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton tertinggi terdapat pada musim barat
sebesar 177.666 sel/m3 dan 7.088 ind/m3, sedangkan terendah pada musim timur sebesar 4.878 sel/m3 dan 1.118 ind/
m3. Tingkat indek keaneka-ragaman (H) baik fitoplankton dan zooplankton sedang, indek keseragaman (E) rendah
hingga sedang, dan tidak ditemukan jenis tertentu yang dominan. Chaetoceros, Coscinodiscus, dan Rhizosolenia dari
kelas Bacillariophyceae merupakan fitoplankton yang mempunyai frekuensi kehadiran yang tinggi, sedangkan Crustaceae
merupakan zooplankton yang dominan. Konsentrasi sebaran terdapat di mulut teluk dan tersebar relatif sesuai dengan
musim.
KATA KUNCI:
fitoplankton, zooplankton, kelimpahan, distribusi, spasial, temporal, Teluk Tomini
ABSTRACT:
Spatial and temporal distribution of plankton in Tomini Bay, Sulawesi. By : Bram Setyadji and
Asep Priatna.
Plankton plays important role in aquatic life due to its significant biological function as basic food chain in oceanic
ecosystem. This study was conducted on May, July, and November representing north-west monsoon, east monsoon,
and west monsoon, respectively. The purposed of this study is to know the spatial and temporal distribution and the
abundance of phytoplankton and zooplankton in Tomini Bay. Results showed that the highest abundance of
phytoplankton and zooplankton were 177.667 cell/m3 and 7.088 ind/m3 that appeared at north-west monsoon, while
the lowest were 4.878 cell/m3 and 1.118 ind/m3 that shown in south-east monsoon. The diversity index (H) for both
Phytoplankton and Zooplankton were in medium (1<H<3), while the eveness index (E) range from low (d”1) to
medium. There were no dominance species found. However, Chaetoceros, Coscinodiscus and Rhizosolenia that
representing Bacillariophyceae showed a high frequency of appearance, while Crustaceae group were the dominance
of zooplankton. The distribution of plankton concentrated in the mouth of the bay and relatively distributed according
to seasons.
KEYWORDS:
phytoplankton, zooplankton, abundance, distribution, spatial, temporal, Tomini Bay
PENDAHULUAN
Teluk Tomini adalah salah satu teluk terbesar di
Indonesia, dengan luas sekitar 59.500 km2, termasuk dalam
kesatuan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Teluk
Tomini - Laut Maluku - Laut Seram. Perairan Teluk Tomini
adalah laut dalam (oseanik) dengan kedalaman rata-rata
>1500 m, berbentuk sebagai corong yang terbuka ke arah
timur dan berhubungan langsung dengan Laut Maluku,
Teluk Tolo dan Laut Sulawesi. Kondisi geografis demikian
memberi konsekuensi terjadinya sirkulasi massa air diantara
perairan di dalam teluk dengan perairan di sekitarnya.
Perairan Teluk Tomini relatif subur dan kaya akan potensi
alam laut (Yusron & Edward, 2000) selain itu juga dikenal
sebagai daerah wisata bahari serta memiliki berbagai
potensi sumberdaya ikan pelagis (Wiadnyana, 1998).
Plankton merupakan komponen penting dalam
kehidupan akuatik karena fungsi biologisnya yang penting
Korespondensi penulis:
Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali
Jln. Pelabuhan Benoa-Bali
sebagai mata rantai paling dasar dalam rantai makanan
dan merupakan organisme yang menduduki kunci utama
di dalam ekosistem bahari (Sediadi, 1986). Fitoplankton
dengan proses fotosintesanya bertindak sebagai
produsen primer terbesar di laut (Nybakken, 1988)
sedangkan zooplankton berperan sebagai konsumen
primer, sehingga menjadi penghubung antara fitoplankton
dengan biota yang lebih tinggi pada tingkat rantai
makanan, seperti ikan madidihang dan cakalang
(Awwaludin et al., 2005; Roger, 1994). Keberadaan
plankton dalam perairan juga mencerminkan kesuburan
perairan, sehingga dapat menggambarkan tingkat
produktivitas perairan tersebut (Sachlan, 1980 dalam
Sagala, 2009).
Kelimpahan dan penyebaran plankton di laut selain
dipengaruhi oleh nutrien juga kondisi fisik perairan seperti
penetrasi cahaya, suhu, salinitas dan arus permukaan
(Djumanto et al., 2009; Nybakken, 1988; Lo et al., 2004;
387
B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395
Wiadnyana, 2002), sehingga kelimpahannya sangat
fluktuatif menurut musim dan lokasi perairan (Arinardi et
al., 1997).
BAHAN DAN METODE
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya
diketahui bahwa pada musim timur sebaran plankton
terkonsentrasi di mulut teluk bagian utara, dengan
kelimpahan fitoplankton berkisar antara 80.010 – 1.082.520
sel/m3 yang terdiri dari 45 spesies dan tergolong dalam 3
kelas fitoplankton yang didominasi oleh
Bacillariophyceae, sedangkan kelimpahan zooplankton
berkisar antara 17.000 – 28.233 ind/m3 yang terdiri dari 69
spesies dan tergolong dalam 5 kelas utama, yakni
Crustacea, Hydrozoa, Mollusca, Urochordata, Polychaeta
dan Veliger (Awwaludin et al., 2005). Pada musim peralihan
II kandungan klorofil, volume, dan jumlah sel fitoplankton
secara mendatar cenderung homogen. Tercatat ada 26
marga fitoplankton dengan jumlah total sel berkisar antara
25.000 sel/m3 dan 1.500.000 sel/m3, dimana komunitas
fitoplankton didominasi oleh marga Chaetoceros dan
Rhizosolenia (Wiadnyana, 1998). Kajian ini membahas
tentang distribusi-kelimpahan spasial dan temporal
fitoplankton dan zooplankton di Teluk Tomini berdasarkan
pengambilan contoh yang dilakukan pada bulan Mei, Juli,
dan Nopember tahun 2010.
Penelitian dilakukan di Teluk Tomini bagian timur,
yakni mulai dari perairan Kep. Tagihan sampai ke mulut
teluk, pada bulan Mei, Juli, dan Nopember yang masingmasing mewakili musim peralihan I, musim Timur, dan
musim Barat. Wahana penelitian menggunakan kapal
nelayan setempat.
Lokasi dan Pengambilan Sampel
Pengambilan contoh plankton pada bulan Mei, Juli,
dan Nopember masing-masing dilakukan di 14 Lintasan
transek dan posisi stasiun dipresentasikan pada Gambar
1. Sampling dilakukan secara horizontal di lapisan
permukaan (1-5 m); untuk fitoplankton dengan
menggunakan plankton net berdiameter 31 cm mesh size
60 mm yang ditarik secara horisontal sejauh 10 m,
sedangkan untuk zooplankton digunakan plankton net
berdiameter 45 cm dengan mesh size 150 mm yang ditarik
dari kedalaman 10 m hingga ke permukaan (vertikal).
Contoh plankton diawetkan dengan larutan formalin 4%
(Awwaludin et al. 2005)
Mei 2010
1.5°
MANADO
Bitung
60 nmi
0.5°
Ongka
Tinombo
Papayato
Moutong
GORONTALO
Tilamuta
Marisa
Malibagu
4
Lintang
7
2
13
11
12
14
Pp. Tagihan
9
Toboli
Parigi
Laiga
1
6 5
8
Una-una
Donggulu
0.5°
3
10
Pagimana
Ampana
Luwuk
Tambu
Tambarana
P. Peleng
POSOToliba
1.5°
SULAWESI
PP. Sula
120°
121°
122°
123°
124°
125°
Bujur
Juli 2010
1.5°
MANADO
Bitung
60 nmi
0.5°
Ongka
Tinombo
Papayato
Moutong
Marisa
GORONTALO
Tilamuta
Malibagu
17
16
13
12
1
Lintang
11
2
18
15
14
Una-una
19
10
Donggulu
8
Pp. Tagihan
0.5°
Toboli
Parigi
Laiga
9
6
735
4
Pagimana
Ampana
Luwuk
Tambu
Tambarana
P. Peleng
POSOToliba
1.5°
SULAWESI
PP. Sula
120°
121°
122°
123°
Bujur
388
124°
125°
B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395
Nopember 2010
1.5°
MANADO
Bitung
60 nmi
0.5°
Ongka
Papayato
Moutong
1
Lintang
GORONTALO
Tilamuta
Marisa
Tinombo
9
Malibagu
10
2
8
11
16
4
7
12
15
5
6
13
3
Una-una
Donggulu
Pp. Tagihan
0.5°
Toboli
Parigi
Laiga
17
14
Pagimana
Ampana
Luwuk
Tambu
Tambarana
P. Peleng
POSOToliba
1.5°
SULAWESI
PP. Sula
120°
121°
122°
123°
124°
125°
Bujur
Gambar 1.
Figure 1.
Peta Teluk Tomini dan posisi sampling plankton pada bulan Mei, Juni, dan Desember 2010
Map of Tomini Bay and the position of plankton sampling on May, July,and December 2010.
Pengolahan dan Analisis Data
Pengamatan plankton meliputi identifikasi jenis dan
pencacahan jumlah individu (sel) untuk setiap jenis.
Pencacahan fitoplankton dan zooplankton dilakukan
dengan menggunakan Sedgewick Rafter Counting Cell
dengan volume 1 ml. Sampel diamati di bawah mikroskop
dengan pembesaran 10x10 dengan mengikuti metode
sapuan, yaitu mencacah semua jenis plankton yang ada
dalam volume air contoh. Identifikasi plankton dengan
mengacu pada buku identifikasi Yamaji (1996).
Kelimpahan fitoplankton (N) dihitung dengan rumus
sebagai berikut (Amin & Utojo, 2008):
N = (T/L)*(P/p)*(V/v)*(1/W) .......................................(1
dimana, N: Kelimpahan fitoplankton (ind./l); T: Jumlah
kotak dalam SRC (1000); L: Luas kotak dalam satu
lapang pandang; P: Jumlah fitoplankton yang
teramati; p: Jumlah kotak SRC yang diamati; V:
Volume air dalam botol sampel; v: Volume air dalam
kotak SRC; W: Volume air yang tersaring.
Kelimpahan zooplankton dihitung berdasarkan rumus
(lihat Awwaludin et al., 2005):
N=
n
* Vc ..............................................(2
L*t*v
Va
dimana, N: kelimpahan zooplankton ( dalam individu/m3);
n: jumlah individu plankton yang tercacah; Va:
volume yang diamati (ml); Vc: volume botol
contoh (ml); L: luas bukaan mulut bongo net
(0,318 m2); t: lama penarikan jaring (menit); v:
kecepatan kapal (m/menit).
Struktur komunitas plankton digambarkan
menggunakan indek matematis dengan memanfaatkan data
jumlah jenis dan individu yang diperoleh. Indek keanekaragaman jenis (H) dipakai untuk menganalisa informasi
tentang jenis dan jumlah organisme dalam suatu komunitas,
sedangkan indek keseragaman (E) digunakan untuk
mengetahui sebaran jumlah jenis (Odum, 1971).
Indek keanekaragaman dihitung berdasarkan indek
keaneka-ragaman Shannon – Wiener (1949) dalam Aslam
(2009) sebagai berikut:
H : ∑ ni Ln ni ............................................ (3
N
N
dimana :ni: jumlah individu species ke i; N: jumlah total
individu; s: jumlah species.
Indek keseragaman (E) dihitung dengan menggunakan
persamaan dari Pielou (1996) dalam Aslam (2009):
E=
H
............................................................... (4
Hmaks
dimana Hmaks = ln s (s: jumlah jenis).
Indek dominansi (D) dihitung berdasarkan indek
Simpson (Yonvitner & Imran, 2006), yaitu:
D = Pi2 ....................................................................... (5
∑
dimana Pi: ni/N (spesies ke-I dari total individu); s: jumlah
species.
Berdasarkan indek Shannon-Wiener dapat
dikelompokan kondisi keaneka-ragaman fitoplankton
sebagai berikut:
389
B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395
H< 1: rendah, 1 < H < 3: sedang, H > 3: tinggi
E H ≠ 1: Keseragaman tinggi, E < 1: Keseragaman rendah
D H 1: Dominansi tinggi, D < 1: Dominansi rendah
Nilai indek keseragaman (E) dan dominansi (D)
umumnya berkisar antara 0-1, semakin kecil E
menunjukkan bahwa penyebaran jumlah individu tiap jenis
tidak sama dan tidak ada species yang mendominasi,
sebaliknya semakin besar E dan D maka kesamaan dalam
penyebaran jumlah individu tiap jenis semakin tinggi serta
ada species tertentu yang mendominasi.
1.5
MANADO
Bitung
60 nmi
1
0.5
Ongka
Pada musim peralihan I ada 24 jenis fitoplankton yang
ditemukan, meliputi kelompok Diatom (15 jenis), dan nonDiatom masing-masing dari kelas Chrysophyceae (1 jenis),
Cyanophyceae (1 jenis), Dinophyceae (7 jenis) (Tabel 1).
Kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat di stasiun 14
sebesar 22.297 sel/m3, sedangkan yang terendah terdapat
di stasiun 11 yakni 5.859 sel/m3 (Gambar 2). Hasil analisis
index keanekaragaman (H) menunjukkan bahwa perairan
Teluk Tomini berada pada kondisi sedang, dimana hal ini
ditunjukkan oleh rentang indek yang berkisar antara 1,37
– 1,95. Indek keseragaman (E) yang cenderung mendekati
nilai satu (1) menunjukkan bahwa keseragaman
fitoplankton tinggi yang mana hal ini juga berarti bahwa
di perairan Teluk Tomini tidak ada species yang
mendominasi atas spesies yang lain. Kisaran indek
dominansi (D) yang cenderung mendekati nol (0) (Gambar
3). Mengindikasikan dominansi yang rendah dengan sebaran
tidak merata dan hanya pada spot-spot tertentu, dimana
kebanyakan melimpah di pinggir pantai dan di mulut teluk.
Zooplankton
GORONTALO
Tilamuta
Malibagu
Una-una
Donggulu
Sel/m3
-0.5
Pp. Tagihan
2000 to 5000
Toboli
5000 to Parigi
10000
Laiga
Pagimana
Ampana
Luwuk
-1
Tambu
10000 to 15000Tambarana
15000 to 20000
-1.5
P. Peleng
POSOToliba
SULAWESI
20000 to 25000
PP. Sula
121
Gambar 2.
122
123
124
125
Sebaran mendatar fitoplankton di Teluk
Tomini pada bulan Mei 2010 (musim
peralihan 1).
Horizontal distribution of phytolankton
in Tomini bay on May 2010 (north-west
monsoon)
Musim Peralihan – 1
Fitoplankton
Marisa
0
120
HASIL DAN PEMBAHASAN
Papayato
Moutong
Tinombo
Figure 2.
2.5
2
1.5
H
D
1
E
0.5
≠0
1
2
3
4
5
Gambar 3.
6
7
8
9
10 11 12 13 14
Sebaran indek diversitas (H),
keseragaman (E) dan dominansi (D)
fitoplankton pada tiap stasiun.
Distribution of diversity index (H),
eveness (E) and dominance (D) of
phytoplankton in each station.
Figure 3.
1.5
MANADO
Bitung
60 nmi
Pada musim Peralihan I didapatkan 21 jenis
zooplankton, dengan urutan jenis tertinggi hingga
terendah berturut-turut adalah Copepoda (10 jenis),
Spirothrica (4 jenis), Annelida dan Moluska (2 jenis), serta
Urochordata, Chaetognatha, dan larva Anadara sp.
(masing-masing 1 jenis). Kelimpahan tertinggi terdapat
pada stasiun 12 yakni sebesar 3.487 sel/m3, sedangkan
yang terendah terdapat di stasiun 8, yakni sebesar 939
sel/m3 (Gambar 4). Nilai Indek keaneka-ragaman (H) sedang,
berada diantara 1,381 – 2,253. Indek Keseragaman (E)
tinggi (mendekati 1), sedangkan Indek Dominasi (D) rendah
(di bawah 0,5) menunjukkan bahwa populasi zooplankton
cenderung seragam dan tidak ada jenis yang mendominasi
(Gambar 5). Sebaran relatif merata dan terkonsentrasi di
sekitar perairan pulau Una-una, dan disekitar mulut teluk
bagian utara dan ujung.
390
1
Ind/m3
100 to 500
0.5
Ongka
Papayato
Moutong
Tinombo
Marisa
GORONTALO
Tilamuta
Malibagu
500 to 1000
0
1000 to 1500
Una-una
Donggulu
-0.5
1500 to 2000
Pp. Tagihan
Toboli
Parigi
2000 to
Laiga
2500
Pagimana
Ampana
Luwuk
-1
Tambu
Tambarana
2500 to 3000
P. Peleng
POSOToliba
-1.5
SULAWESI
3000 to 3500
PP. Sula
120
Gambar 4.
Figure 4.
121
122
123
124
125
Sebaran mendatar zooplankton di Teluk
Tomini pada bulan Mei 2010 (musim
peralihan 1).
Horizontal distribution of zooplankton
in Tomini bay on May 2010 (northwest
monsoon)
B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395
1.5
MANADO
Bitung
60 nmi
1
0.5
Ongka
Tinombo
Papayato
Moutong
Marisa
GORONTALO
Tilamuta
Malibagu
0
Una-una
Donggulu
Sel/m3
-0.5
Pp. Tagihan
2000 to 5000
Toboli
5000 to Parigi
10000
Laiga
Tambu
10000 to 15000Tambarana
15000 to 20000
Gambar 5.
Figure 5.
Sebaran indek diversitas (H),
keseragaman (E) dan dominansi (D)
zooplankton pada tiap stasiun.
Distribution of diversity (H), Eveness
(E) and dominance (D) indices of
phytoplankton at each station.
-1.5
Pada musim timur ditemukan 24 jenis fitoplankton
yang terdiri atas kelompok Diatom (17 jenis) dan nonDiatom masing-masing dari kelas Cyanophyceae (1 jenis),
Dinophyceae (6 jenis). Kelimpahan fitoplankton tertinggi
terdapat di stasiun 4 sebesar 11.073 sel/m3, sedangkan
yang terendah terdapat di stasiun 12, yakni 2.174 sel/m3
(Gambar 6) Indek keanekaragaman (H) berada pada kondisi
sedang yang berkisar antara 1,21 – 2,14. Indek
keseragaman (E) cenderung mendekati nilai satu (1). Hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada spesies yang
mendominasi atas spesies yang lain. Kisaran indek
dominansi (D) yang cenderung rendah mendekati nol
memperlihatkan bahwa dominansi suatu spesies tidak ada
(Gambar 7). Sebaran fitoplankton rendah (2.000 – 5.000
sel/m3) merata di sekitar pantai, namun sebaran yang relatif
tinggi (5.000 – 15.000 sel/m3) cenderung mengumpul di
mulut teluk Tomini. Awwaludin et al. (2005) menemukan
sebaran fitoplankton yang mirip dengan penelitian ini,
yaitu kepadatan tinggi cenderung mengumpul di mulut
teluk bagian utara dan di ujung teluk sebelah barat.
Fenomena ini dapat disebabkan oleh penaikan massa air
dari lapisan bawah (upwelling) dengan salinitas lebih
tinggi dan kaya kandungan nutrient.
P. Peleng
POSOToliba
SULAWESI
20000 to 25000
PP. Sula
120
121
Gambar 6.
122
123
124
125
Sebaran mendatar fitoplankton di Teluk
Tomini pada bulan Juli 2010.
Horizontal distribution of phytolankton
in Tomini bay on July 2010 (east
monsoon)
Figure 6.
Musim Timur
Fitoplankton
Pagimana
Ampana
Luwuk
-1
2.5
2
1.5
H
E
1
D
0.5
0
1
2
3
4
5
6
Gambar 7.
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Sebaran indek diversitas (H),
keseragaman (E) dan dominansi (D)
fitoplankton pada tiap stasiun.
Distribution of diversity (H), eveness
(E) and dominance (D) indicies of
phytoplankton at each station.
Figure 7.
1.5
MANADO
Bitung
60 nmi
1
Ind/m3
100 to 500
0.5
Ongka
Tinombo
Papayato
Moutong
Marisa
GORONTALO
Tilamuta
Malibagu
500 to 1000
0
1000 to 1500
Una-una
Donggulu
Zooplankton
-0.5
1500 to 2000
Pp. Tagihan
Toboli
Parigi
2000 to
2500
Laiga
Kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 15, yakni
sebesar 2.369,43 sel/m 3 , sedangkan yang terendah
terdapat di stasiun 14, yakni sebesar 166 sel/m3 (Gambar
8). Indek Keaneka-ragaman (H) cenderung rendah (0,68 –
1,66). Indek Keseragaman (E) tinggi, ditunjukkan dengan
kisaran nilai yang mendekati angka nol (0) (Gambar 9).
Indeks Dominansi (D) yang cenderung bergerak ke arah
satu (1) menandakan bahwa tidak ada spesies tertentu
yang mendominasi.
Pagimana
Ampana
Luwuk
-1
Tambu
Tambarana
2500 to 3000
P. Peleng
POSOToliba
-1.5
SULAWESI
3000 to 3500
PP. Sula
120
Gambar 8.
Figure 8.
121
122
123
124
125
Sebaran mendatar zooplankton di Teluk
Tomini pada bulan Juli 2010 (musim
timur).
Horizontal distribution of zooplankton
in Tomini bay on July 2010 (east
monsoon)
391
B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395
tahun sebelumnya (66 – 103 mm) (Ilahude, 2011) akan
menyebabkan perairan menjadi subur dan membuat
populasi fitoplankton juga meningkat.
2.5
2
1.5
H
D
1
1.5
MANADO
Bitung
E
60 nmi
1
0.5
0.5
Papayato
Moutong
Ongka
Tinombo
Marisa
GORONTALO
Tilamuta
Malibagu
Sel/m3
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
2000 to 5000
Una-una
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Donggulu
5000 to 10000
-0.5
Pp. Tagihan
10000 Toboli
to 15000
Parigi
Laiga
Gambar 9.
Figure 9.
Sebaran indek diversitas (H),
Keseragaman (E) dan dominansi (D)
zooplankton pada tiap stasiun.
Distribution of diversity (H), Eveness
(E) and dominance (D) indices of
zooplankton at each station.
Hasil dari sampling menunjukkan komposisi utama dari
zooplankton di daerah penelitian berturut-turut Crustacea
(7 jenis), Polychaeta (5 jenis), Hydrozoa (3 jenis), Sarcodina
dan Bivalvia (2 jenis), Sagittoidea (1 jenis) serta larva
moluska (1 jenis). Daerah sebaran terkonsentrasi di mulut
teluk sebelah selatan dan mulut teluk bagian dalam sebelah
utara.
-1
Pagimana
Ampana
Luwuk
15000 to 20000
Tambu
Tambarana
20000 to 25000
-1.5
P. Peleng
POSOToliba
SULAWESI
25000
to 450000
> 250000
PP. Sula
120
121
Gambar 10.
122
123
124
125
Sebaran mendatar fitoplankton di Teluk
Tomini pada bulan Nopember 2010
(musim barat).
Horizontal distribution of phytolankton
in Tomini bay on November 2010 (west
monsoon)
Figure 10.
2.5
2
Musim Barat
1.5
Fitoplankton
1
H'
D
Pada musim barat ditemukan 27 jenis fitoplankton yang
terdiri atas kelompok Diatom (19 jenis) dan non-Diatom
masing-masing dari kelas Cyanophyceae (1 jenis), dan
Dinophyceae (7 jenis). Kelimpahan fitoplankton tertinggi
terdapat di stasiun 11 sebesar 420.060 sel/m3, sedangkan
yang terendah terdapat di stasiun 14 yakni 9.843 sel/m3
(Gambar 10). Indek keanekaragaman (H) berada pada
kondisi sedang (0,20 – 2,24). Indek keseragaman (E)
cenderung mendekati nilai satu (1). Hal ini menunjukkan
kesegaman jenis tinggi, sedangkan kisaran indek
dominansi (D) cenderung mendekati nol (0) yang
memperlihatkan bahwa dominasi suatu spesies rendah
(Gambar 11). Sebaran fitoplankton dengan kelimpahan
tinggi (15.000 – 25.000 sel/m3) cenderung mengumpul di
mulut Teluk Tomini seperti pada musim timur namun
dengan kelimpahan juga lebih tinggi. Hal ini berbeda
dengan temuan-temuan sebelumnya dimana produktivitas
tertinggi biasanya terjadi pada musim timur dan menurun
pada musim barat yang diduga karena adanya fenomena
upwelling (Awwaludin et al., 2005; Amri et al., 2005;
Suwarso et al., 2005; Surinati, 2009). Pada tahun 2010,
hujan hampir terjadi sepanjang tahun (fenomena La –
Nina), sehingga input nutrient yang diakibatkan oleh
curah hujan yang tinggi dan lama dibandingkan tahun –
392
E
0.5
0
1
2
3
Gambar 11.
Figure 11.
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17
Sebaran indek diversitas (H),
keseragaman (E) dan dominansi (D)
fitoplankton pada tiap stasiun.
Distribution of diversity (H), Eveness
(E) and dominance (D) indices of
phytoplankton at each station.
Secara keseluruhan, komunitas fitoplankton terdiri 33
genus termasuk dalam 3 kelas utama, yaitu
Bacillariophyceae (21 genus), Chrysophyceae (1 genus),
Cyanophyceae (1 genus), dan Dinophyceae (10 genus)
menunjukkan tingkat keseragaman rendah hingga sedang,
tidak ditemukan genus tertentu yang dominan. (Tabel 1).
Kelas Bacillariophyceae merupakan kelompok yang
memiliki frekuensi kehadiran paling tinggi (67,25 %),
sedang kelas Chrysophyceae dan Cyanophyceae memiliki
frekuensi kehadiran rendah, masing-masing adalah 2,08
% dan 4,08 %. Jenis fitoplankton seperti Chaetoceros,
B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395
Coscinodiscus, dan Rhizosolenia diketahui mempunyai
frekuensi kehadiran yang tinggi dari kelas
Bacillariophyceae, selain sifatnya stenohalin (mempunyai
toleransi tinggi terhadap perubahan salinitas) (Kennish,
1990), bentuk sel yang bersegmen, dimana tiap segmen
bersifat mandiri, dan lebih mudah beradaptasi dengan
lingkungannya dan merupakan kelompok fitoplankton
yang disenangi oleh ikan dan larva udang. Kelas
Cyanophyceae hanya terdiri dari satu marga, yakni
Trichodesmium sp. dengan kelimpahan yang cukup tinggi,
marga ini dikenal bersifat endemik di sekitar Pulau Pari
(Adnan, 1992 dalam Adnan, 1999). Kehadiran fitoplankton
dari marga ini di suatu perairan terutama di bagian laut
merupakan pionir bagi kehidupan perairan, tetapi apabila
terdapat di bagian pantai dan berada dalam kondisi
melimpah dapat merusak organisme lainnya (Adnan, 1999).
Kelas Chrysophyceae hanya terdiri dari 1 marga, yakni
Prorocentrum sp yang ditemukan pada 2 stasiun di bulan
Mei, sehingga tingkat kehadiran paling rendah; jumlah
genus dan jumlah individu tiap genus juga rendah. Dari
kelas Dinophyceae kelimpahan paling banyak dari marga
Protoperidium sp dan Ceratium sp, kecuali pada musim
Barat Ceratocorys sp juga terdapat dalam jumlah yang
melimpah.
Zooplankton
Kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 5, yakni
sebesar 4.455 sel/m3, sedangkan yang terendah terdapat
di stasiun 3, yakni sebesar 312 sel/m3 (Gambar 12). Indek
Keaneka-ragaman (H) sedang, berada pada kisaran 1,603
– 2,403. Indek Keseragaman (E) tinggi (mendekati 1), dan
Indek Dominasi (D) rendah menunjukkan bahwa jenis
zooplankton memiliki keseragaman yang tiggi, dan tidak
ada yang mendominasi (Gambar 13). Sebaran
terkonsentrasi penuh di sekitar mulut teluk dengan jumlah
yang relatif sama besarnya.
1.5
MANADO
Bitung
60 nmi
1
Ind/m3
100 to 500
0.5
Ongka
Tinombo
Papayato
Moutong
Marisa
GORONTALO
Tilamuta
Malibagu
500 to 1000
0
1000 to 1500
Una-una
Donggulu
1500 to 2000
-0.5
Pp. Tagihan
Toboli
Parigi
2000 to
Laiga
2500
Pagimana
Ampana
Luwuk
-1
Tambu
Tambarana
2500 to 3000
P. Peleng
POSOToliba
-1.5
SULAWESI
3000
> 3000to 3500
PP. Sula
Distribusi fitoplankton dipengaruhi oleh faktor-faktor
oseanografi seperti arus, suhu permukaan, kecerahan,
salinitas dan nutrient (Arinardi et al., 1997; Kennish, 1990).
Pada musim timur, di Laut Maluku bergerak arus permukaan
dari selatan ke arah utara (Laut Sulawesi). Massa air
permukaan ini berasal dari Samudra Pasifik yang mengalir
di sebelah utara Irian, masuk Laut Maluku melalui selatan
Halamhera (Wyrtki, 1961 dalam Awwaludin et al., 2005);
di daerah mulut teluk, arus cabang mengalir ke dalam teluk
(Burhanuddin et al., 2004). Meskipun tipe-tipe massa air
permukaan tersebut belum jelas, diperkirakan pola arus
permukaan yang terkait dengan pola angin sangat
berpengaruh terhadap distribusi plankton di daerah ini.
Proses dinamik antara produktivitas primer kaitannya
dengan distribusi nutrient belum diketahui, sehingga perlu
dikaji lebih lanjut.
120
121
Gambar 12.
122
123
124
Sebaran mendatar zooplankton di Teluk
Tomini pada bulan Nopember 2010
(musim barat).
Horizontal distribution of phytolankton
in Tomini bay on November 2010 (west
monsoon)
Figure 12.
3
2.5
2
H'
1.5
D
E
1
Nilai kelimpahan fitoplankton bersifat relatif karena
tergantung pada kondisi musim dan metode sampling
yang diterapkan (Arinardi et al., 1997). Menurut Mann
and Lazier (2006) distribusi vertikal fitoplankton (primary
production) sangat ditentukan oleh proses-proses fisik
yang mempengaruhi distribusi nutrient dan cahaya. Secara
alamiah, fitoplankton tersebar di zona euphotic, dari lapisan
permukaan hingga kedalaman air dimana sinar matahari
masih dapat mencapainya dan proses fotosintesis dapat
berlangsung, kelimpahan maksimum umumnya terdapat
pada kedalaman 20 – 30 m (Wiandyana, 1998); sedangkan
sampling di Teluk Tomini dilakukan hanya di permukaan saja
(1 – 5 m). Pengambilan contoh pada kedalaman berbeda
diperkirakan akan diperoleh hasil yang berbeda pula.
125
0.5
0
1
2 3
Gambar 13.
Figure 13.
4 5
6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Sebaran indek diversitas (H),
Keseragaman (E) dan dominansi (D)
fitoplankton pada tiap stasiun.
Distribution of diversity (H), Eveness
(E) and dominance (D) indices of
phytoplankton at each station.
393
B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395
Dari 69 jenis zooplankton yang termasuk dalam 10 kelas,
Crustacea memberi kontribusi terbesar dalam kelimpahan
zooplankton (40,47 %) (Tabel 1), dengan Copepod sebagai
jenis dominan perairan yang menandakan bahwa jenis ini
adalah komponen utama zooplankton. Kelimpahan
zooplankton di perairan ini cukup potensial untuk
mendukung kehidupan biota laut pelagis, karena umumnya
zooplankton merupakan makanan utama untuk berbagai
jenis ikan pelagis seperti ikan layang (Decapterus
macarellus), kembung (Rastreliger kanagurta), tembang
dan lainnya (Wiadnyana, 1998; Awwaludin et al., 2005).
Di dalam lingkungan yang normal, bergerombolnya biota
laut selalu berkaitan erat dengan banyaknya mangsa pakan
di suatu perairan. Indeks Keaneka-ragaman (H)
zooplankton menunjukkan bahwa Teluk Tomini memiliki
tingkat keaneka-ragaman zooplankton sedang,
keseragaman (E) yang tinggi dan dominansi (D) rendah,
sehingga tidak terlihat adanya dominansi dari jenis
tertentu. Konsentrasi kelimpahan zooplankton di perairan
mulut teluk tampaknya berkorelasi dengan kelimpahan
fitoplankton sebagai makanannya yang juga tersebar di
sekitar mulut teluk. Keberadaan yang sama antara
fitoplankton dan zooplankton di mulut teluk belum
diketahui alasannya secara pasti, namun faktor arus
permukaan diduga sangat berperan. Arus permukaan pada
musim dari sebelah selatan bergerak menuju utara, di
daerah mulut teluk arus bercabang karena membentur
daratan Sulawesi Utara, yaitu ke arah barat masuk teluk
dan ke utara mengarah ke Laut Sulawesi (Burhanuddin et
al., 2004)
KESIMPULAN
1.
2.
Kelimpahan baik fitoplankton dan zooplankton
memperlihatkan nilai yang tinggi pada musim Barat,
menurun di musim Peralihan I dan terendah pada
musim Timur. Pada musim Barat sebarannya
terkonsentrasi di sekitar mulut teluk, sedangkan pada
musim Peralihan I sebarannya merata.
Keanekaragaman fitoplankton dan zooplankton
umumnya rendah sampai sedang. Keseragaman tinggi
dan dominasi yang rendah mengindikasikan tidak
adanya jenis tertentu yang mendominasi populasi baik
fitoplankton maupun zooplankton. Chaetoceros,
Coscinodiscus, dan Rhizosolenia merupakan jenis
fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae yang
memiliki frekuensi kehadiran yang tinggi, sedangkan,
Crustacea merupakan zooplankton yang dominan dari
kelompok zooplankton.
Amin, M & Utojo. 2008. Komposisi dan keragaman jenis
plankton di perairan Teluk Kupang Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Torani. 18(2): 129 – 135.
Amri, K., Suwarso, & Herlisman. 2005. Dugaan upwelling
berdasarkan analisis komparatif citra sebaran suhu
permukaan laut dan klorofil-a di Teluk Tomini. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia.11 (6): 57 – 71.
Arinardi, O.H., Trimaningsih, Sudirdjo, Sugestiningsih, &
S.H. Riyono. 1997. Kisaran Kelimpahan dan
Komposisi Plankton Predominan di Perairan
Kawasan Timur Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta. 140 pp.
Aslam, M. 2009. Diversity, species richness, and evenness
of moth fauna of Peshawar. Pak. Entomol. 31(2): 99 –
102.
Awwaludin, Suwarso, & R. Setiawan. 2005. Distribusikelimpahan dan struktur komunitas plankton pada
musim timur di perairan Teluk Tomini. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia .11(6) : 33-56.
Burhanuddin. Supangat, A., & T. Wagey (Eds.). 2004. Profil
sumberdaya kelautan teluk tomini. Badan Riset
Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 84 pp.
Djumanto, Sidabutar, T., Pontororing, H., & R. Leipary.
2009. Pola sebaran horizontal dan kerapatan plankton
di perairan Bawean. Jurnal Perikanan . XI (1) : 146161.
Ilahude, D. 2011. Mengapa ikan tuna sirip kuning semakin
langka di perairan Gorontalo? http://
gorontalonews.wordpress.com, di akses tanggal 6
Juni 2011.
Kennish, M.J. 1990. Ecology of estuaries: biological
aspect. Volume 2. CRC Press, Inc., United States 408
pp.
Lo, W.T., Hwang, J.J., Hsu, P.K., Hsieh, H.Y., Tu, Y.Y., Fang,
T.H, & J.J. Hwang. 2004. Seasonal and spatial
distribution of phytoplankton in the waters off nuclear
power plant, North of Taiwan. Journal of Marine
Science and Technology.12 (5): 372 – 379.
DAFTAR PUSTAKA
Mann, K.H. & J.R.N. Lazier. 2006. Dynamics of marine
ecosystems: biological-physical interactions in the
oceans. 3rd Edition. Blackwell Publishing Ltd. 496 pp.
Adnan, Q. 1999. Kondisi populasi fitoplankton di perairan
gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Prosiding
Seminar Biologi menuju millenium III, Fak. Biologi
UGM. 59 – 68 pp.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi laut: suatu pendekatan
ekologis. Alih bahasa: M. Eidman, Koesoebiono, D.
G. Bengen, H. Malikusworo & Sukristijono. PT.
Gramedia, Jakarta. 459 pp.
394
B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of ecology. 3rd edition.
WB. Saunders Company. London. 574 pp.
Roger, C. 1994. The plankton of the tropical Western Indian
Ocean as a biomass indirectly supporting surface tunas
(yellowfin, Thunnus albacares and skipjack,
Katsuwonus pelamis). Environmental Biology of
Fishes. 39: 161 – 172.
Sagala, E.P. 2009. Potensi komunitas plankton dalam
mendukung kehidupankomunitas nekton di perairan
rawa gambut, Lebak Jungkal di Kecamatan Pampangan,
Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Propinsi
Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sains. Edisi
Khusus Nopember 2009 (D) 09:12-11.
Sediadi, A. 1986. Mengenal plankton. LONAWARTA, Tahun.
X, ( 4) : 31 – 36.
Surinati, D. 2009. Upwelling dan efeknya terhadap perairan
laut. Oseana. XXXIV (4): 35 – 42.
Suwarso, Zamrony, A., & R. Setiawan. Kebiasaan makan
beberapa jenis ikan pelagis di perairan Teluk Tomini.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.11(6) : 109 –
113.
Wiadnyana, N.N. 1998. Distribusi dan variasi pigmen
fitoplankton di Teluk Tomini, Sulawesi Utara. Seminar
Kelautan LIPI-UNHAS, Ambon 4-6 Juli 1997: 248 – 259.
Wiadnyana, N.N. 2002. Kesuburan dan komunitas plankton
di perairan pesisir Digul, Irian Jaya. Jurnal Ilmu-Ilmu
Perairan dan Perikanan Indonesia (2002), IX (2): 1 –
10.
Yamaji, I. 1996. Illustration of The Marine Plankton of
Japan., 3rd Edition, Hoikusha Publishing Co.Ltd.,
Japan. 538 pp.
Yonvitner & Z. Imran. 2006. Rasio biomassa dan
kelimpahan makrozoobenthos sebagai penduga tingkat
pencemaran di Teluk Jakarta. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia. 11(3): 11 – 17.
Yusron, E & Edward. 2000. Kondisi perairan dan
keanekaragaman hayati di perairan Teluk Tomini
Sulawesi Utara. Seminar nasional pendayagunaan
sumberdaya hayati dalam pengelolaan lingkungan.
Tanggal 3 Juni 2000. Fakultas Biologi Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga.
395
BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404
KONSENTRASI TIMBAL DAN KADMIUM PADA ORGAN IKAN DI SUAKA
MARGASATWA GIAM SIAK KECIL, PROVINSI RIAU
Husnah dan Melfa Marini
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang
Teregistrasi I tanggal: 22 Juni 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 3 Agustus 2011;
Disetujui terbit tanggal: 8 September 2011
ABSTRAK
Logam berat seperti timbal dan kadmium merupakan material antropogenik yang sering ditemukan pada
sedimen di rawa banjiran. Konsentrasi logam timbal dan kadmiun pada sedimen di rawa banjiran dapat merubah
keragaman jenis biota dan ekosistem akibat akumulasi dan daya racunnya, dan bila logam tersebut ditemukan di
Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil yang merupakan zona inti Cagar Biosfir GSK-BB maka model pengelolaan
lahan dan pendekatan pembangunan berkelanjutannya perlu ditinjau ulang. Penelitian bertujuan mengetahui
konsentrasi logam timbal dan kadmium pada berbagai jenis organ dari berbagai jenis ikan hasil tangkapan nelayan
telah dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus 2010 di perairan danau rawa banjiran (Tasik Serai, Katialau,
Betung dan Air Hitam) dan badan utama Sungai Siak Kecil dalam kawasan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil.
Contoh organ insang, jaringan otot, ginjal dan hati berbagai jenis ikan diambil dari hasil tangkapan nelayan yang
menggunakan berbagai alat tangkap dan diawetkan pada suhu kurang dari 4oC. Konsentrasi logam timbal dan
kadmium pada sedimen juga diambil pada stasiun pengamatan yang sama dengan menggunakan Ekman grab.
Logam timbal dan kadmium sebagian besar ditemukan pada organ insang, ginjal, dan hati ikan pada berbagai jenis
ikan. Konsentrasi timbal pada organ tersebut telah melebihi batas maksimum yang ditetapkan oleh FAO yaitu
lebih dari 0.5 mg/kg berat basah dan BPOM No. 03725/B/SK/VII/89 yaitu kurang dari 2 mg/kg sedangkan
kadmium dengan konsentrasi lebih dari 0.05 mg/kg berat basah menurut FAO dan lebih dari 0.02 mg/kg berat
basah menurut BPOM No. 03725/B/SK/VII/89. Pengelolaan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil dan Cagar
Biosfir Giam Siak Kecil-Bukit Batu belum dapat melindungi biota khususnya sumberdaya ikan di perairan
tersebut. Untuk mengurangi dampak negatif dari faktor antropogenik logam berat dari berbagai kegiatan di sekitar
kawasan luar Cagar Biosfir GSK-BB perlu dipertimbangkan kembali upaya untuk melibatkan juga masyarakat
lokal dan perusahaan yang sumberdaya alam disekitar kawasan luar Cagar Biosfir GSK-BB dalam pengelolaannya.
KATA KUNCI :
logam Berat, timbal, kadmium, organ ikan, rawa, Giam Siak Kecil
ABSTRACT:
Lead and cadmium concentration in fish organ of Giam Siak Kecil Wild Animal Reserve,
Riau Province. By: Husnah and Melfa Marini
Lead and cadmium are commonly antrophogenic substances recorded in floodplain sediment and this could
influence fish health and diversity due to their accumulation and toxicities. The presence of high concentration of
these heavy metals in sediment and fish organs of Giam Siak Kecil wild animal reserve as the core area of Giam
Siak Kecil – Bukit Batu (GSK-BB) Natural Biosphere could influence their management model and sustainaible
development approach. Study in order to know accumulation of lead and cadmium in fish organs of Giam Siak
Kecil Wild Animal Reserve floodplain of Riau Province was conducted in June to August 2010. Fifteen sampling
sites in Giam Siak Kecil floodplain were set up by using purposive random sampling based on microhabitat
difference. Different fish organs (fish gill, tissue, and lever) from different fish species were collected from
fishermen catch using different fishing gears and preserved with 4% of Formaldehyde solution. The result
revealed that most of fish organs from different fish species contained lead and cadmium with concentration
exceeded the acceptable limit permitted by FAO and Indonesian National Drug and Food Agency. It indicated that
the presence of Giam Siak Kecil Wild Animal Reserves has not protected the animal yet specially aquatic organism
such as fish. To reduce the negative effect of antrophogenic heavy metals from activities around the animal
reserve, there should be considered more to involved local people and stakeholder utilized the natural around the
wild animal reserve in its management.
KEYWORDS:
Heavy metals, Lead, Cadmium, fish organ, floodplain, Giam Siak Kecil.
PENDAHULUAN
Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil merupakan satu
dari dua suaka margasatwa dalam kawasan inti (core) Cagar
Biosfir Giam Siak Kecil - Bukit Batu (GSK-BB) di Provinsi
Riau yang ditetapkan oleh United Nations Educational,
Korespondensi penulis:
Balai Riset Perikanan Perairan Umum-Palembang
Jl. Beringin No.308 Mariana. Banyuasin III. Kab. Banyuasin
Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada
sidang pleno International Co-ordinating Council of the
Man and the Biosphere Programme (MABlICC)-UNESCO
pada tanggal 25-29 Mei 2009 di Jeju, Korea Selatan sebagai
cagar biosfir ke tujuh di Indonesia (Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia, 2009). Dibandingkan
397
Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404
dengan enam cagar biosfir lainnya di Indonesia, Cagar
Biosfir GSK-Bukit Batu memiliki karakteristik yang spesifik
diantaranya adalah kawasan intinya (core zone)
merupakan kawasan konservasi dan hutan produksi yang
tidak dikonversi (MAP Biosphere Reserve Directory, 2010,
LPPM IPB, 2009), sedangkan cagar biosfir lainnya
kawasan intinya adalah taman nasional.
Sasaran utama ditetapkannya Cagar Biosfer GSK-BB
tersebut diantaranya adalah adalah: (1) memanfaatkan
Cagar Biosfer untuk konservasi sumberdaya alam dan
(2)memanfaatkan Cagar Biosfer sebagai model
pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan
berkelanjutan di bentang lansekap (sustainable
development of the landscape) hutan rawa gambut, tasik
dan sistem perairannya, dan lahan gambut yang telah
dikonversi menjadi hutan tanaman industri (HTI),
perkebunan, pertanian, dan pemukiman (LIPI, 2009; MAP
Biosphere Reserve Directory, 2010). Sungai Siak Kecil
berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan bagian dari
sistim perairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di
zona inti, namun dari sebelum ditetapkan sebagai cagar
biosfir hingga saat ini, perairan tersebut telah dimanfaakan
masyarakat untuk berbagai kegiatan termasuk perikanan.
Keragaman jenis ikan di perairan tersebut tercatat 37 jenis
yang didominasi oleh kelompok ikan rawa (blackfish)
ekonomis dari famili Siluridae yakni Ikan Lais-laisan
(Kryptopterus spp) dan Ikan Tapah (Wallago leeri), dan
dari famili Bagridae yaitu Ikan Baung (Hemibagrus
nemurus)( (Husnah et al., 2010).
Suatu wilayah yang akan dijadikan kawasan suaka
hendaknya memenuhi beberapa persyaratan diantaranya
tersedianya kualitas lingkungan yang baik bagi kehidupan,
yakni untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan biota
yang dilindungi (Koeshendrajana & Hoggarth, 1998;
Hoggarth, 2000; Crivelli, 2002). Sampai saat ini, evaluasi
terhadap kelayakan kualitas lingkungan perairan untuk
hidup dan berkembangnya ikan di perairan rawa banjiran
suaka margasatwa GSK masih terbatas, sedangkan di
lahan sekitar kawasan tersebut seperti zona penyangga,
zona transisi dan kawasan di luar cagar biosfir GSK-BB
terdapat beberapa aktivitas yang berpotensi menimbulkan
faktor antropogenik.
Logam berat seperti timbal dan kadmium merupakan
material antropogenik yang sering ditemukan pada
sediment di rawa banjiran (Clevers & Kooistra, 2003; Du
Laing et al, 2009). Tingginya ketersedian dan mobilitas
logam berat tersebut diantaranya berkaitan erat dengan
rendahnya topografi, seringnya frekuensi banjir, dan
tingginya tingkat keasaman dan bahan organik di rawa
banjiran (Du Laing et al, 2009; Middelkoop, 2000).
Konsentrasi logam timbal dan kadmiun pada sedimen di
rawa banjiran Suaka Margasatwa GSK telah melewati batas
maksimum (Husnah et al., 2010). Konsentrasi logam berat
yang tinggi dapat merubah keragaman jenis biota dan
398
ekosistem akibat akumulasi dan daya racunnya (Weher,
2008), dan bila hal ini ditemukan di Suaka Margasatwa
GSK yang merupakan zona inti Cagar Biosfir GSK-BB maka
model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan
berkelanjutannya perlu ditinjau ulang. Tujuan dari
penelitiaan ini adalah untuk mengetahui konsentrasi logam
timbal (Pb) dan kadmium (Cd) pada beberapa organ ikan
hasil tangkapan nelayan di perairan rawa banjiran Suaka
Margasatwa GSK
METODE PENELITIAN
Kondisi Lokasi Penelitian
Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil (GSK) dengan luas
lahan 84.000 ha (LIPI, 2009), terletak dalam zona inti (core
zone) Cagar Biosfir GSK-Bukit Batu (BB). Suaka
margasatwa ini merupakan dataran rendah dengan ratarata ketinggian antara 1-25 meter di atas permukaan laut.
Struktur tanah sebagian besar merupakan tanah podsolik
merah kuning dan batuan, dan alluvial serta tanah
organosol yaitu jenis tanah yang banyak mengandung
bahan organik dan gley humus dalam bentuk rawa-rawa
atau tanah basah (Anonimous, 2010a; Anonimous,
2010b).
Pemanfaatan lahan pada zona inti suaka margasatwa
terdiri atas pemukiman penduduk, pertanian, perkebunan
dan perikanan. Pada zona penyangga (buffer) merupakan
kawasan hutan tanaman industri beberapa perusahaan
yang tidak dikonversi. Kawasan luar merupakan area
transisi atau kawasan budidaya dari berbagai pemangku
kepentingan ditujukan untuk kerjasama antara masyarakat
dengan pengusaha swasta lainnya. Lahan di luar kawasan
Cagar Biosfir GSK-BB didominasi kegiatan pengeboran
minyak dan perkebunan sawit.
Tasik Serai, Katialau, Betung dan Air Hitam adalah
bagian dari 17 tasik yang ada rawa banjiran Suaka
Margasatwa GSK. Tasik-tasik ini terhubungkan satu sama
lain oleh Sungai Siak Kecil (Gambar 1). Karakteristik
perairan rawa banjiran ini diantaranya adalah keasaman
air yang tinggi dengan nilai pH pada kisaran 3.5-4.25,
kesadahan dan dan alkalinitas rendah, konsentrasi logam
timbal (Pb) dan kadmium (Cd) pada sedimen mencapai 14
mg/kg dan 0.018 mg/kg (Husnah et al., 2010).
Pengumpulan data
Penelitian bersifat survei inventarisasi di lapangan
dilakukan pada bulan Juni dan Agustus 2010 pada empat
tasik dan badan utama Sungai Siak Kecil di Suaka
Margasatwa GSK, Cagar Biosfir GSK-BB, provinsi Riau.
Lima belas (15) stasiun pengambilan contoh ditetapkan
dengan metode purpossive random sampling berdasarkan
perbedaan mikrohabitat. Tiga belas (13) stasiun
Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404
pengamatan terletak pada empat tasik (Serai, Katialau,
Betung, dan Air Hitam), sedangkan dua stasiun lainnya
terletak di badan utama Sungai Siak Kecil (Gambar 1).
Logam berat timbal dan kadmium diamati pada
beberapa organ ikan seperti jaringan otot, insang, hati
dan ginjal dari beberapa jenis ikan ekonomis hasil
tangkapan nelayan pada ke empat tasik dan badan utama
Sungai Siak Kecil. Pemilihan contoh jenis ikan disesuaikan
dengan ketersedian contoh ikan hasil tangkapan nelayan
pada saat survey di lapangan. Pada bulan Juni contoh
organ berasal dari 5 jenis ikan yaitu Ikan Baung
(Hemibagrus nemurus), Ikan Tapa (Wallago leeri), Ikan
Bujuk (Channa lucius), Ikan Toman (Channa
micropeltes), dan Ikan Tuakang atau Tambakan
(Helostoma temminckii), untuk bulan Agustus contoh
organ berasal dari jenis Ikan Baung dan Tapa dengan
ukuran pang rata rata 20 cm. Organ jaringan otot, insang,
ginjal dan hati dikumpulkan dari lima ekor masing-masing
jenis ikan dan dikomposit berdasarkan jenis organ dan
jenis ikan. Contoh masing-masing organ dari setiap jenis
ikan tersebut dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah
diasamkan terlebih dahulu, kemudian diawetkan dengan
cara pendinginan pada suhu 4oC. Contoh organ tersebut
dikirimkan ke Laboratorium Pengujian Departemen
Teknologi Industri Pertanian Divisi Teknologi dan
Manajemen Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Analisa
logam timbal dan kadmium pada organ ikan berdasarkan
metode tertuang dalam bab 3111 B pada APHA (1998).
Konsentrasi logam timbal dan kadmium pada sedimen
diambil pada stasiun pengamatan yang sama dengan
menggunakan Ekman grab. Contoh sedimen pada masingmasing stasiun kemudian dimasukkan ke dalam botol
sampel yang telah diasamakan terlebih dahulu, kemudian
disimpan pada suhu dibawah 4oC dan dianalisa pada
Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri
Pertanian Divisi Teknologi dan Manajemen Lingkungan,
Institut Pertanian Bogor.
Analisa logam timbal dan kadmium pada sedimen
berdasarkan metode tertuang dalam bab 3111 B pada
APHA (1998).
S.Siak Kecil
hilir
Serai
Katialau
Betung
Air Hitam
S.Siak Kecil
hilir
Gambar 1.
Figure 1.
Peta lokasi penelitian dan stasiun pengamatan di rawa banjiran (warna biru tua) Suaka Margasatwa
Giam Siak Kecil (GSK), Cagar Biosfir Giam Siak Kecil dan Bukit Batu (GSK-BB), Provinsi Riau (Sumber.
PT Sinarmas Forestry)
Sampling site located at Giam Siak Kecil (GSK) Wild Animal Reserve (blue color), Giam Siak
Kecil dan Bukit Batu (GSK-BB) Biosphere, Provinsi Riau (Source: PT Sinarmas Forestry)
Analisa Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsentrasi logam berat pada masing-masing organ
dari setiap jenis ikan pada masing-masing tasik dan badan
utama Sungai Siak Kecil ditabulasi dan dibuat grafik yang
kemudian akan di analisa secara deskriftif.
Pada bulan Juni yang bertepatan dengan musim
kemarau, konsentrasi logam timbal pada berbagai jenis
organ dari berbagai jenis ikan lebih tinggi dari pada logam
kadmium (Gambar 2). Tingginya kandungan logam timbal
399
Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404
Dari ke empat organ ikan yang diamati, konsentrasi
logam timbal yang tertinggi terdapat pada organ insang
diikuti kemudian oleh ginjal, hati dan jaringan otot (Gambar
2). Pola yang sama juga ditemukan pada Ikan Juaro
(Pangasius polyuronodon) di Sungai Siak bagian hilir
(Husnah et al., 2010) dan studi yang dilakukan oleh Buhler
et al. (1977) dan Oladimeji et al. (1989). Relatif lebih
tingginya logam berat pada insang dibandingkan organ
lain dikarenakan organ insang yang paling banyak
bersinggungan dengan perairan dan bahan bahan
tersuspensi di perairan (Olojo et al., 2005; Akan et. al.,
2009).
12
10
8
6
4
2
0
Pb (mg/kg)
Hati
Ginjal
Daging
Insang
Daging
Hati
Ginjal
Insang
Jaringan
Tuakang
Tapa
Organ/Jenis Ikan
Gambar 2.
Konsentrasi logam berat timbal (Pb) dan
kadmium (Cd) pada beberapa organ
beberapa jenis ikan hasil tangkapan
nelayan di Tasik Serai, Katialau, Betung
dan Air Hitam serta di badan utama
Sungai Siak Kecil kawasan Suaka
Margasatwa Giam Siak Kecil, Cagar
Biosfir Giam Siak Kecil-Bukit Batu,
provinsi Riau pada bulan Juni 2010.
Lead (Pb) and cadmium (Cd)
concentration in fish organs of
fishermen catch in Serai, Katialau,
Betung and Air Hitam floodplain
savannahs and Siak Kecil River
located at Giam Siak Kecil Wild Animal
Figure 2.
Pb (mg/kg)
Cd (mg/kg)
16
14
12
10
8
6
4
2
0
2
Serai
3
1
2
3
Katialau
1
2
3
Betung
1
2
Air Hitam
3
Siak
kecil
hulu
Siak
kecil
hilir
Hati
Ginjal
Daging
Insang
Hati
Ginjal
Insang
Stasiun Pengamatan/Tasik
Gambar 3.
Tapa
Organ/Jenis Ikan
Tasik Betung
12
10
8
6
4
2
0
Pb (mg/kg)
Cd (mg/kg)
Bujuk
Organ/Jenis Ikan
Toman
Hati
Ginjal
Insang
Jaringan
Otot
Hati
Ginjal
Insang
Figure 3.
Jaringan
Otot
Konsentrasi Pb dan Cd
(mg/kg)
Hati
Baung
Cd (mg/kg)
Baung
400
Ginjal
Insang
Cd (mg/kg)
Jaringan
Konsentrasi Pb dan Cd
(mg/kg)
12
10
8
6
4
2
0
1
Pb (mg/kg)
Jaringan
Otot
Konsentrasi Pb dan Cd
(mg/kg)
Tasik Serai (Ikan Baung); Tasik Katialau (Ikan Tapa)
Tasik Air Hitam
Konsentrasi Pb dan Cd (mg/kg)
berkaitan dengan tingginya konsentrasi logam tersebut
pada sedimen khususnya di tasik-tasik, sedangkan pada
sedimen di badan utama Sungai Siak Kecil, logam timbal
tidak terdeteksi (Gambar 3). Karakteristik perairan tasik
yang tergenang menyebabkan logam-logam berat yang
terbawa arus Sungai Siak Kecil menuju tasik akan
terdeposisi pada sedimen lebih cepat dibandingkan
dengan di badan sungai. Fenomena ini terjadi karena
ekosistem danau rawa banjiran (tasik) merupakan satu
kesatuan dengan sungai. Proses-proses fisiko kimia yang
terjadi di tasik berkaitan erat dengan proses fisika kimia di
badan sungai (Du Lang, 2009, Clevers & Kooistra, 2003).
Selain itu, tingginya konsentrasi logam timbal di perairan
Suaka Margasatwa yang mencapai konsentrasi 14 mg/kg
berkaitan erat dengan kegiatan pengeboran minyak dan
transportasi perkebunan yang ada pada kawasan di luar
Cagar Biosfir GSK-BB. Kegiatan tersebut merupakan
pasokan Timbal di daratan dan perairan (Olojo et al., 2005;
Su et al., 2009).
Konsentrasi logam berat Timbal (Pb) dan
Kadmium (Cd) pada sedimen danau rawa
banjiran (tasik) dan badan utama Sungai
Siak Kecil, kawasan Suaka Margasatawa
Giam Siak Kecil, Cagar Biosfir Giam Siak
Kecil-Bukit Batu, provinsi Riau pada
bulan Juni 2010
Lead and Cadmiun concentration i the
sediment of floodplain savannahs and
Siak Kecil River located at Giam Siak
Kecil Wild Animal Reserve, Giam Siak
Kecil dan Bukit Batu (GSK-BB)
Biosphere, Riau Province in June 2010
Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404
Seperti halnya dengan logam timbal, konsentrasi logam
kadmium pada beberapa organ ikan seperti insang Ikan
Tapa, Bujuk dan Toman, organ hati Ikan Tapa, jaringan
otot (daging) ikan Tambakan dan Ikan Bujuk, serta ginjal
Ikan Tambakan telah melebihi batas maksimum yang
diperbolehkan yaitu 0.05 mg/kgberat basah (Food,
Agriculture Organization (FAO) dalam Nnaji et al., 2007)
0.02 mg/kg berat basah) dan BPOM No. 03725/B/SK/VII/
89 yaitu kurang dari 0.02 mg/kg berat basah (Supriyanto
et al., 2007). Logam kadmium ini ditemukan pada organ
ikan disemua tasik kecuali Tasik Air Hitam.
Tingginya kandungan logam timbal dan kadmium pada
organ ikan di tasik Suaka Margasatwa GSK mempengaruhi
kesehatan ikan. Berdasarkan analisa hispatologi, 16.67 %
Ikan Baung menunjukkan ketidaknormal jaringan begitu
juga dengan Ikan Toman, Ikan Bujuk dan Ikan Tambakan.
Ketidaknormalan diantaranya adalah branchitis, congesti,
dan fusi lamella pada insang, infark dan degenerasi pada
hati, nephritis interstitialis dan intertubuli (radang) pada
ginjal, serta haemoraghi pada jaringan otot. Fenomena
yang sama juga ditemukan oleh(Olojo et al. (2005), Gupta
& Mathur (1983) dalam Weher (2008), dan Vinodhini &
Narayanan (2008).
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
PebruariMaret
April
Mei
Juni
Juli
1
1
1
1
1
1
1
1
Perbedaan konsentrasi logam timbal pada sedimen di
tasik yang berada di bagian hulu seperti Tasik Serai dan
Katialau dengan tasik yang terletak di bagian hilir seperti
Tasik Air Hitam (Gambar 3) mempengaruhi akumulasi
logam tersebut pada organ ikan. Kandungan logam timbal
pada organ insang Ikan Baung di Tasik Serai relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan Ikan Baung di Tasik Air Hitam.
Pola yang sama juga ditemukan pada organ insang Ikan
Tapa di Tasik Katialau dan Tasik Air Hitam (Gambar 2). Hal
ini dikarenakan relatif lebih tingginya pasokan logam
Timbal dari faktor antropogenik di luar kawasan Cagar
Biosfir GSK-BB dan adanya pelarutan ataupun
pengenceran logam tersebut di tasik Air Hitam oleh aliran
air dari Sungai Siak Kecil.
26
1
Konsentrasi logam timbal juga bervariasi berdasarkan
jenis ikan dan lokasi penelitian (Gambar 2). Pada ikan yang
aktivitasnya lebih banyak di kolom air seperti Ikan Baung,
konsentrasi logam timbal lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok ikan yang kegiatannya banyak
bersinggungan dengan dasar perairan dan substrat seperti
kelompok Gabus-gabusan (Chana micropeltes, Channa
lucius), Helostom Temminckii, dan Ikan Tapa (Wallago
leeri) (Gambar 2).
Pada bulan Agustus yang merupakan puncak musim
penghujan (Gambar 4) logam timbal dan kadmium
ditemukan disebagian besar organ Ikan Baung, sedangkan
logam timbal hanya ditemukan pada Ikan Tapa (Gambar
5). Pada Ikan Baung, konsentrasi logam timbal melebihi
batas konsentrasi yang diperbolehkan dalam organ ikan
yang ditetapkan oleh FAO dan BPOM hanya ditemukan
pada organ insang khususnya pada lokasi Tasik Katialau
dan Betung. Peningkatan konsentrasi logam timbal yang
sangat nyata yaitu lebih dari 100 % ditemukan pada Ikan
Tapa di tasik Katialau dibandingkan dengan Ikan Tapa di
Tasik Air Hitam . Data ini juga memperkuat pernyataan
sebelumnya yaitu adanya pasokan timbal antropogenik
di bagian hulu Suaka Margasatawa GSK dan dari kawasan
luar Cagar Biosfir GSK-BB.
T in g g i a ir ( c m )
Konsentrasi logam timbal pada semua organ ikan kecuali
jaringan otot telah melebihi batas maksimum yang
diperbolehkan dalam organ ikan seperti yang ditetapkan oleh
Food, Agriculture Organization (FAO) yaitu 0.5 mg/kg berat
basah (Nnaji et al., 2007) dan BPOM No. 03725/B/SK/VII/89
yaitu kurang dari 2 mg/kg (Supriyanto et al., 2007).
Agustus September Oktober November
Waktu (Bulan)
Gambar 4.
Figure 4.
Dinamika ketinggian air di tasik Suaka
Margasatwa Giam Siak Kecil, Cagar
Biosfor Giam Siak Kecil-Bukit Batu,
provinsi Riau (Husnah et al., 2010).
Water level fluctuation in floodplain
savanahs of Giam Siak Kecil Wild
Animal Reserves located at Giam Siak
Kecil dan Bukit Batu (GSK-BB)
Biosphere, Riau Province in June
2010(Husnah et al., 2010).
Peningkatan konsentrasi logam kadmium juga
ditemukan pada organ insang, jaringan otot, ginjal dan
hati Ikan Baung pada bulan Agustus. Konsentrasi logam
tersebut melewati batas maksimum yang diperbolehkan
dalam organ ikan. Besarnya peningkatan ini diperkirakan
berkaitan dengan semakin luasnya sebaran Ikan Baung
untuk mencari makan pada saat musim air besar yang
berarti semakin besar kontak logam berat yang ada di
subtrat dan sedimen perairan tasik. Luasnya sebaran Ikan
Baung pada musim air besar berkaitan dengan sifatnya
yang termasuk dalam kelompok ikan grey fish (Welcomme,
2011) dimana pada musim air kecil hidup pada sekitar tepian
sungai, sedangkan pada musim air besar menyebar ke
perairan rawa banjiran.
401
Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404
KESIMPULAN DAN SARAN
12
10
8
6
4
2
0
Pb (mg/kg)
Katialau
Betung
Hati
Hati
Insang
Jaringan
Otot
Ginjal
Hati
Insang
Jaringan
Otot
Ginjal
Cd (mg/kg)
Insang
Jaringan
Otot
Ginjal
Konsentrasi Pb dan Cd
(mg/kg)
Ikan Baung
Air Hitam
Organ Ikan/Tasik
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Pb (mg/kg)
Katialau
Hati
Ginjal
Insang
Jaringan
Otot
Hati
Ginjal
Insang
Cd (mg/kg)
Jaringan
Otot
Konsentrasi Pb dan Cd
(mg/kg)
Ikan Tapa
Air Hitam
Konsentrasi timbal pada organ tersebut telah melebihi
batas maksimum yang ditetapkan oleh FAO yaitu lebih
dari 0.5 mg/kg berat basah dan BPOM No. 03725/B/SK/
VII/89 yaitu kurang dari 2 mg/kg sedangkan kadmium
dengan konsentrasi lebih dari 0.05 mg/kg berat basah
menurut FAO dan lebih dari 0.02 mg/kg berat basah
menurut BPOM No. 03725/B/SK/VII/89. Berdasarkan data
tingginya konsentrasi logam berat timbal dan kadmium
baik di sedimen maupun dalam organ insang, jaringan otot,
ginjal dan hati dari beberapa jenis ikan hasil tangkapan
nelayan di danau banjiran (tasik) dan Sungai Siak Kecil
yang terletak dalam kawasan inti Suaka Margasatwa GSK
dan Cagar Biosfir GSK-BB dapat dikatakan bahwa material
antropogenik dari berbagai kegiatan disekitar kawasan
Cagar Biosfir GSK-BB masih mempengaruhi kehidupan
biota perairan di Suaka margasatawa GSK. Hal ini
mengindikasikan bahwa fungsi pengelolaan yang ada saat
ini di Cagar Biosfir GSK-BB masih belum optimal.
Organ Ikan/Tasik
Gambar 5.
Figure 5.
Konsentrasi logam berat Timbal (Pb) dan
Kadmium (Cd) pada beberapa organ
beberapa jenis ikan hasil tangkapan
nelayan di Tasik Serai, Katialau, Betung
dan Air Hitam serta di badan utama
Sungai Siak Kecil kawasan Suaka
Margasatwa Giam Siak Kecil, Cagar
Biosfir Giam Siak Kecil-Bukit Batu,
provinsi Riau pada bulan Agustus 2010
Lead (Pb) and cadmium (Cd)
concentration in fish organs of
fishermen catch in Serai, Katialau,
Betung and Air Hitam floodplain
savannahs and Siak Kecil River
located at Giam Siak Kecil Wild Animal
Reserve, Giam Siak Kecil dan Bukit
Batu (GSK-BB) Biosphere, Riau
Province in August 2010
Walaupun Ikan Tapa tergolong ikan rawa (blackfish)
dimana peluang organ bersinggungan dengan logam berat
pada sedimen dan tumbuhan rawa lebih besar daripada
Ikan Baung, namun konsentrasi kadmium pada organ Ikan
Tapa relatif lebih rendah daripada Ikan Baung.
Hal ini diperkirakan berkaitan dengan sifat memakan
Ikan Tapa yang karnivora dan tergolong pemangsa puncak
(top predator) sehingga akumulasi logam kadmium lebih
rendah daripada Ikan Baung yang bukan termasuk ikan
kelompok top predator.
402
Untuk mengurangi dampak negatif dari faktor
antropogenik dan menjaga keberlanjutan kehidupan ikan
dan kegiatan pemanfaatannya, perlu dipertimbangkan
kembali upaya untuk melibatkan juga masyarakat lokal dan
perusahaan yang sumberdaya alam disekitar kawasan luar
Cagar Biosfir GSK-BB dalam pengelolaannya.
PERSANTUNAN
Materi yang disampaikan pada makalah ini merupakan
bagian dari hasil penelitian yang dilakukan pada tahun
2010 dengan judul” Karakteristik habitat, sumberdaya
perairan, dan kegiatan penangkapan ikan di komplek danau
rawa banjiran sub das mandau, provinsi Riau” dengan
biaya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) tahun 2010 sebesar 475.000.000,-. Ucapan
terima kasih kepada Kepala Balai Riset Perikanan Perairan
Umum yang telah memberikan kesempatan melakukan
penelitian ini.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktur
Lingkungan Hidup PT Sinarmas Forestry beserta staff
yang telah membantu dan menfasilitasi dalam
pengumpulan data sekunder dan primer di lapangan., DR.
Etty Riani dari Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor
atas kerjasama dan bantuannya memfasilitasi pengukuran
logam berat di Institut Pertanian Bogor, peneliti dan teknisi
dari Balai Riset Perikanan Perairan Umum Palembang tim
penelitian Sub DAS Mandau atas kerja keras yang
dilakukan dalam mengumpulkan data di lapangan.
Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404
DAFTAR PUSTAKA
Akan, J.C., F.I. Abdulrahman, O.A. Sodipo, & P.I. Akandu.
2009. Bioaccumulation of some heavy metals of six
freshwater fishes caught from lake chad in doron
buhari, maiduguri, Borno state. Nigeria. Journal of
applied science in environmentl sanitation. 4(2):103114.
Anonimous. 2010a. Pemerintah Kabupaten Bengkalis.
Access 23 Desember 2010. http://www.bengkalis.go.id/
sajian_menu.php?link_unemdi=4
Anonimous. 2010b. Pemerintah Kabupaten Siak. Access
23 Desember 2010.
http://siakkab.go.id/
tentangsiak_4_Geografi.html
APHA. 1998. Standard methods for the examination of
water and wastewater, 20th edition. American Publich
Health Association, Washington, DC.
Buhler, D.R., Stokes, R.M. and S.R. Coldwell, 1977. Tissue
accumulation and enzymatic effects of hexavalent
hromium in Rainbow Trout (Salmo gairdneri). Journal
of Fisheries Research Board Can., 34: 9-18.
Clevers, J.G.P.W. & Kooistra, L. 2003. Assessment of heavy
metal contamination in river floodplains by using the
red-edge index. Paper presented at the 3nd EARSel.
Workshop on Imaging Spectroscopy, Hersching 1316 May 2003. 173-179.
Crivelli, A.J. 2002. The role of protected areas in freshwater
fish conservation. In Conservation of freshwater
fishes: Option for the future (Collares-Pereira, M.J,
M.M. Coelho & I.G. Cowx eds). Fishing News Book.
Oxford. 373-388.
Du Lang, G., J. Rinklebe, B. Vandecasteele, E. Meers, and
F.M.G.Tack. 2009. Trace metal behaviour in estuarine
and riverine floodplain soils and sediment: A Review.
Science of the total environment 407: 3972-3985.
Hoggarth, D.D. 2000. Selection criteria and co-management
guidelines for harvest reserves for tropical river
fisheries. Final Technical Report. Project R7043.
Fisheries Management Science Programme managed
by MRAG, under DFID Renewable Natural Resources
Research Strategy. London. 14 pp.
Husnah., Makri, E.Riani, K. Fatah, Maturidi, A. Sudrajat,
M. Marini, Darmansyah, M. D. Rastina, R. S. Junianto.
2010. Karakteristik habitat, sumberdaya perairan, dan
kegiatan penangkapan ikan di komplek danau rawa
banjiran sub das mandau, provinsi Riau. Laporan
Akhir Tahun Penelitian 2010 . Balai riset Perikanan
Perairan Umum Palembang tahun 2010. Palembang.
Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Menteri
kehutanan canangkan cagar biosfer giam siak kecil –
bukit batu prov. Riau. S i a r a n p e r s Nomor: S.339/
PIK-1/2009.
Koeshedrajana, S. &D.D. Hoggarth. 1998. Harvest
reserves in Indonesian River fisheries. Paper
presented at the Fifth Asian Fisheries ForumInternational Conference on Fisheries and Food
Security Beyond the Year 2000. 11-14 November
Chiang May, Thailand. 15 pp.
Lembaga Penelitian Pada Masyarakat (LPPM) Institut
Pertanian Bogor (IPB). 2008. Cagar Biosfer akan
ditambah.22 Oktober 2008. http//www.kompas.com.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 2009. LIPIProvinsi Riau: Kelola Cagar Biosfer Giam Siak KecilBukit Batu. http://www.lipi.go.id. Rabu, 18 Februari
2009.
MAP Bosphere Reserve Directory. 2010. Giam Siak KecilBukit Batu.. Acces 23 Desember 2010.http://
www.unesco.org/mabdb/br/brdir/directory/biores.asp/
code= INS+07&mode=all
Middelkoop, H. 2000. Heavy-metal pollution on the river
Rhine and Meuse floodplain in the Netherlands.
Geologie en Mijnbouw/Netherlands. journal of
Geoscience 79 (4): 411- 427.
Nnaji, J.C., A. Uzairu, G.F.S. Harrison, & M.L. Balarabe.
2007. Evaluation of cadmium, chromium, copper, lead
and Zinc concentrations in the fish head/viscera of
Oreochromis niloticus and Synodontis schall of River
Galma, Zaria, Nigeria. Electronic Journal of
Environmental, Agricultural, and Food Chemistry. 6
(10): 2420-2426.
Oladimeji, A.A. & B.O.Offem, 1989. Toxicity of lead to
Clarias lazera, Oreochromis niloticus, Chironomus
tantans and Benacus sp. Water Air and soil Pollution.
44: 191-201.
Olojo, E.A.A., K.B. Olurin, G. Mbaka, & A.D. Oluwemimo.
2005. Histopatologi of the gill and liver tissue of the
African catfish Clarias gariepinus exposed to lead.
African Kournal of biotechnology, 4(1): 117-122.
Supriyanto, C., Samin, dan Z. Kamal. 2007. Analisis
cemaran logam berat Pb, Cu, dan Cd pada ikan air tawar
dengan metode spektrometri nyala serapan atom
403
Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404z
(SSA). Prosiding Seminar Nasional III SDM
Teknologi Nuklir. Yogyakarta, 21-22 November 2007.
147-151.
Su, G.S., K.J. Martillano, T.P. Alcantara, E. Ragragio, J.de
Jesús, A. Hallare, & G. Ramos. 2009. Assessing heavy
metals in the water, fish, and macroinvertebrate in
Manila Bay, Philippines. Journal of Applied Sciences
in Environmental Sanitation. 4(3):187-195.
404
Vinodhini, R., and M. Narayanan. 2008. Bioaccumulation
of heavy metals in organs of freshwater fish Cyprinus
carpio (common carp). Int. J. Environ.Sci.Tech.
5(2):179-182.
Weher, S.M. 2008. Level of heavy metal Cd, Cu, & Zn in
three fish species collected from the northen Jordan
Valley, Jordan. Jordan Journal of Biological Science
1(1): 41-46.
BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413
KAJIAN BIOLIMNOLOGI PERAIRAN DI SITU CILEUNCA,
BANDUNG JAWA BARAT
Didik Wahju Hendro Tjahjo dan Sri Endah Purnamaningtyas
Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta
Teregistrasi I tanggal: 24 September 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 4 Pebruari 2011;
Disetujui terbit tanggal: 23 September 2011
ABSTRAK
Perairan Situ Cileunca terletak di Kabupaten Bandung Selatan, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan peternakkan sapi
perah yang berkembang sangat pesat di Kecamatan Pengalengan sehingga menghasilkan limbah organik yang dibuang
ke sungai dan akhirnya masuk ke Situ Cileunca. Hal tersebut mendorong terjadinya kerusakan habitat dan
mempengaruhi keanekaragaman hayati perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek biolimnologi dan
beberapa aspek biologi beberapa jenis ikan dominan di Situ Cileunca. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli,
Agustus, dan Oktober 2009. Hasil pengamatan menunjukkan kecerahan perairan Situ Cileunca bekisar antara 0,50,8 m, oksigen terlarut sangat rendah (0,78-5,98 mg/l), ortofosfat relatif tinggi (0,028-0,469 mg/l), dan kelimpahan
fitoplankton tinggi (279.668-2.169.938 sel/l). Perairan ini dapat digolongkan mempunyai kesuburan eutrofikhipertrofik. Berdasarkan atas biomasa fitoplankton, Situ Cileunca mempunyai potensi sumber daya ikan berkisar
antara 714-1.000 kg/ha. Jenis ikan yang ditemukan selama penelitian 11 jenis. Berdasarkan atas kebiasaan makannya
ikan betutu (Oxyeleotris marmorata), golsom (Aequidens golsom), dan lele (Clarias batrachus) termasuk golongan
ikan karnivora, dan ikan mas (Cyprinus carpio) dan beunteur (Puntius binotatus) yang termasuk ikan herbivora. Di
Situ Cileunca, kelimpahan pakan yang tersedia sangat tinggi tetapi jumlah ikan yang memanfaatkan rendah, sehingga
sumber daya pakan yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, Situ Cileunca perlu
mengembangan culture based fisheries dengan penebaran jenis ikan pemakan plankton.
KATA KUNCI:
biolimnologi, biologi ikan, potensi biomasa ikan, Situ Cileunca
ABSTRACT:
Study of waters biolimnology in situ cileunca, Bandung West Java. By: Didik Wahju Hendro
Tjahjo and Sri Endah Purnamaningtyas.
Situ Cileunca waters located in South Bandung Regency, West Java Province. Activities of the dairy farm that
growing very rapidly in the District of Pengalengan resulting organic wastes discharged into rivers and into Situ
Cileunca. It encourages the occurrence of damage or degradation of habitat and affecting aquatic biodiversity. This
study aims to determine the aspects of biolimnologies and some aspects of the biology of some fish species predominant
in Situ Cileunca. The study was conducted in July, August, and October 2009. The observations showed that waters
at Situ Cileunca transparancy range between 0.5-0.8 m, dissolved oxygen is very low (0.78-5.98 mg/l), orthophosphate
relatively high (0.028-0.469 mg/l) and high phytoplankton abundance (279,668-2,169,938 cells/l). These waters
can be classified into eutrophic-hypertrophic waters. Based on phytoplankton biomass, Situ Cileunca fish resources
have the potential ranges between 714-1,000 kg/ha. Species of fish found during the study as many as 11 species.
Based on the food habits of marbled gudgeon (Oxyeleotris marmorata), red devil (Aequidens golsom), and walking
catfish (Clarias batrachus) grouped as carnivorous fish. On the otherhand common carp (Cyprinus carpio), and
spotted barb (Puntius binotatus) classified as herbivorous fish. In Situ Cileunca, abundance of food available is
very high but the amount of fish that use is still low, so the available feed resource has not been used optimally.
Therefore, to develop culture based fisheries Situ Cileunca need to be stocked with plankton feeder species.
KEYWORDS:
biolimnology, fish biology, potency of fish biomass, Cileunca Reservoir
PENDAHULUAN
Situ Cileunca berada 45 km di sebelah selatan Kota
Bandung merupakan salah satu situ yang terletak di
Kecamatan Pangalengan. Situ ini dibangun pada masa
pemerintahan Belanda pada tahun 1919-1926, mempunyai
luas ±180 ha, dan berada pada ketinggian 1.400 m dari
permukaan laut, volume air 11.500.000 m3 dan kedalaman
air 6-10 m.
Perairan ini merupakan tempat pembuangan limbah,
dari peternakan sapi dan pertanian yang ada di sekitar
perairan, sehingga pemanfaatan dan pengembangan
sumber daya perairan cederung mengabaikan fungsi utama
yaitu sebagai pasokan air minum dan pembangkit tenaga
listrik untuk daerah Bandung dan sekitarnya. Berbagai
kegiatan yang dilakukan, telah mengakibatkan perubahan
kualitas perairan, sehingga mendorong terjadinya
kerusakkan atau degradasi habitat dan keanekaragaman
hayati perairan.
Usaha peternakan sapi perah di Kecamatan
Pengalengan telah berkembang dengan pesat. Pada saat
ini jumlah peternak sapi tersebut telah mencapai 4.500
___________________
Korespondensi penulis:
Jl. Cilalawi Tromol Pos No. 1 Jatiluhur, Purwakarta-Jawa Barat 41152, Tlp. 0264-208768
405
D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413
orang dengan jumlah sapi 18.500 ekor (Danuwijaya, 2009;
Candana, 2009). Selanjutnya Candana (2009) mengatakan
bahwa peternakan sapi tersebut dalam satu bulan
menghasilkan limbah kotoran sekitar 22.000 ton. Sebagian
besar limbah organik tersebut masuk ke Situ Cileunca.
Berdasarkan atas beban bahan organik tersebut, perairan
situ tersebut telah mencapai tingkat kesuburan eutrofikhipertrofik, dan memberi dampak negatif terhadap perairan
(Hakim, 2007).
Dalam upaya mengatasi permasalahan yang sangat
kompleks tersebut dan mengoptimalkan produktivitas
perairan, perlu langkah-langkah pengendaliannya. Salah
satunya melalui pemacuan sumber daya ikan dengan
menebar jenis ikan yang sesuai. Untuk itu perlu data dan
informasi tentang biolimnologi perairan Situ Cileunca.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
biolimnologi dan beberapa aspek biologi jenis ikan
dominan sebagai salah satu dasar pengembangan
perikanan berbasis budi daya (culture based fisheries).
Dasar pemikiran untuk pemulihan sumber daya ikan
(enhancement) adalah intervensi teknologi yang pada
dasarnya untuk meningkatkan pemanfaatan produktivitas
perairan alami pada kondisi tertentu oleh manusia.
Penebaran benih ikan budi daya dapat meningkatkan hasil
perikanan tangkap dari jenis ikan yang diinginkan di mana
produktivitas alami tinggi tetapi rekruitmen terbatas.
Produksi perikanan sebagian besar berasal dari
penangkapan kembali ikan yang ditebarkan. Culture based
fisheries dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas
produksi perikanan tangkap di mana rekruitmen alami lebih
rendah dibandingkan daya dukung perairan (Lorenzen et
al., 2001). Potensi produksi dari culture based fisheries
mempunyai hubungan yang kuat dengan produktivitas
ekosistem (De Silva, 2001). Pemanfaatan terhadap
pengelolaan sumber daya tersebut merupakan suatu
upaya untuk memanfaatkan potensi produksi secara
efisien dan hal tersebut merupakan salah satu faktor kunci
dalam pengelolaan culture based fisheries. Penilaian
penebaran dan pemanenan (pemanfaatan) memerlukan
informasi kuantitatif dalam proses density dependent
populasi (Lorenzen et al., 1998).
BAHAN DAN METODE
Lokasi Kegiatan
Lokasi penelitian ini dilakukan di Situ Cileunca, terletak
di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa
Barat. Situ Cileunca termasuk kategori waduk kecil di
dataran tinggi dengan luas sekitar ±180 ha dengan
kedalaman antara 6-10 m.
Metode Pengumpulan Data
Pengamatan dilakukan pada bulan Juni, Agustus, dan
Oktober 2009, pada empat pengamatan yaitu 1) Dam
Pulosari, 2) Outlet Cipanunjang, 3) Cipanyisikan, dan 4)
bagian tengah perairan (Gambar 1).
1
4
3
2
U
Gambar 1.
Figure 1.
406
Peta Situ Cileunca dan lokasi stasiun pengamatan. (1 = Dam Pulosari, 2= outlet Cipanunjang,
3 = Cipanyisikan, dan 4= bagian tengah).
Map of Situ Cileunca and location of observation station. (1 = Dam Pulosari, 2 = outlet
Cipanunjang, 3 = Cipanyisikan, and 4 = middle region).
D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413
Pengamatan aspek biolimnolgi meliputi suhu, pH, O2,
CO2, alkalinitas, nitrogen, fosfat, sulfat, dan plankton.
Parameter suhu, pH, O2, CO2, dan alkalinitas diamati secara
in situ, dan parameter lainnya diamati di Laboratorium Balai
Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur. Contoh
plankton diambil dari volume air 3,5 l, selanjutnya air
tersebut disaring dengan plankton net (ukuran mata jaring
40 µm) dan dipadatkan menjadi 25 ml, dan akhirnya diamati
di Laboratoriun Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan,
Jatiluhur. Pengambilan contoh ikan dilakukan dengan
menggunakan gillnet dengan ukuran 1; 1,5; dan 2 inci
serta pengambilan contoh hasil tangkapan nelayan.
Parameter yang diamati meliputi jenis ikan dan kebiasaan
makan. Jenis dan sumber data yang dikumpulkan seperti
dalam Tabel 1.
kuantitatif. Pendekatan secara kuantitatif antara lain
pendekatan analisis dengan mengamati komposisi jenisjenis tertentu yang dominan dan kelimpahan sel.
Pendekatan secara kualitatif (indeks biologi) yaitu dengan
melakukan kalkulasi terhadap komponen-komponen
tertentu dari struktur komunitas plankton yang diamati.
Analisis Data
di mana:
N = jumlah total plankton
n = jumlah rata-rata total individu per lapangan
pandang
A = luas gelas penutup (mm2)
B = luas lapangan pandang (mm2)
C = volume air terkonsentrasi (mL)
D = volume air satu tetes (mL) di bawah gelas
penutup
E = volume air yang disaring (L)
Kualitas perairan yang diambil meliputi suhu air,
kecerahan, alkalinitas, pH, oksigen terlarut, karbon
dioksida bebas, ammonium, bahan organik total,
orthofosfat, dan SO4. Metode yang digunakan dalam
analisis kualitas air meliputi tetrimetri dan spektrofotometrik
dalam Tabel 1.
Tabel 1.
Table 1.
Metode yang digunakan dalam
pengamatan peubah kualitas air di Situ
Cileunca
Method used for observation of water
qualities variable in Situ Cileunca
Kelimpahan plankton (individu per liter), dihitung
dengan menggunakan metode Lackey Drop
Microtransect Counting dengan persamaan sebagai
berikut (American Public Health Association, 1989):
N = n×
A
B
×
C
D
×
1
................................................... (1
E
Kebiasaan Makan
Satuan /
Metode pengukuran /
Parameter /
Unit
Method
of measurement
Parameter
Perhitungan kebiasaan
makan
untuk
masing-masing
Warna air
Pengamatan visual
jenis
ikan
menggunakan
Indeks
Preponderance,
dengan
Kecerahan
cm
Secchi disk
0
Suhu sebagai berikut:
rumus
C
Termometer
pH
unit
pH indicator solution 4-10
mg/L
Winkler
O2
Vi × O
CO2
mg/
i L × 100 Na2CO3/Titrimetri
Ii =
Total alkalinas
mg/l eq CaCO
HCl/Titrimetri
.............................................. (2
O i L 3 Brucine sulfat/Spektrofotometer
N-NO3 ∑ Vi ×mg/
N-NO2
mg/ L
Naftilamine/Spektrofotometer
N-NH4
mg/ L
Nessler/Spektrofotometer
mg/ L
SnCl2/Sektrofotometer
di P-PO
mana:
4
HV2S
mg/ L
Na2S2O3/Titrimetri
=
persentase
volume
satu macam makanan
i
BOT
mg/ L
KMnO4/Titrimetri
Oi
= persentase
frekuensi
kejadian satu macam
Chlorophyll-a
mg/m3
Spectrophotometric
(
)
makanan
Ó(VixOi ) = jumlah VixOi dari semua macam makanan
Teknis analisis, kesuburan perairan menggunakan
metode yang digunakan oleh American Public Health
Association (1989); Davis (1955); Boyd (1990); Ryding &
Rast (1989), sedangkan analisis plankton menggunakan
Needham & Needham (1963).
Identifikasi populasi dan analisis biologi ikan dari hasil
tangkapan menggunakan metode yang dikatakan oleh
Kottelat et al. (1993); Effendie (1979); Ludwig & Reynolds
(1988). Karakteristik struktur komunitas plankton,
dilakukan dengan pendekatan yang bersifat kualitatif dan
Estimasi tingkat trofik jenis ikan dihitung dengan
menggunakan cara yang dikatakan oleh Mearns et al.
(1981) dalam Caddy & Sharp (1986), dengan rumus sebagai
berikut:
 Ttp × I p 
 ............................................... (3
 100 
Tt = 1 + ∑ 
di mana:
Tt = tingkat trofik
Ttp = tingkat trofik kelompok pakan ke-p
Ip = indeks preponderan kelompok pakan ke-p
407
D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413
HASIL DAN BAHASAN
Kualitas Air
Suhu air sangat mempengaruhi kehidupan organisme
akuatik. Suhu air di Situ Cileunca berkisar antara 20,123,8ºC. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu
untuk pertumbuhan maksimal. Menurut Pratiwi et al. (2000)
fitoplankton dapat berkembang pada kisaran suhu 2030ºC, artinya suhu di Situ Cileunca dapat mendukung
pertumbuhan plankton. Faktor-faktor yang mempengaruhi
suhu pada suatu perairan antara lain ketinggian, lamanya
hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran, serta
kedalaman badan air (Effendie, 2003). Hasil penelitian
tersebut relatif sama dengan hasil penelitian Sulastri et al.
(2009), yaitu 23,31ºC, dan relatif berbeda dengan hasil
pengamatan Hakim (2007), yaitu berkisar antara 18,5-20,0ºC.
konsentrasi oksigen lebih besar 3 mg/L (Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001). Rendahnya konsentrasi
oksigen terlarut tersebut disebabkan penguraian bahan
organik yang berasal dari limbah bahan organik yang
sangat tinggi, di mana laju produksi oksigen oleh
fitoplankton lebih rendah daripada laju pemanfaatan
oksigen oleh bakteri, zooplankton, dan ikan. Kondisi ini
jauh berbeda dengan hasil pengamatan Situ Cileunca pada
tahun 2007 oleh Hakim (2007), yaitu berkisar antara 3,3-7,9
mg/L.
Kecerahan di Situ Cileunca berkisar antara 50-80 cm.
Rendahnya kecerahan di Situ Cileunca dapat disebabkan
oleh kelimpahan fitoplankton, bahan organik, dan partikel
tanah yang masuk ke situ tersebut. Kecerahan ini juga
dipengaruhi oleh cahaya matahari yang masuk ke dalam
perairan tersebut. Oleh karena itu, warna air di Situ Cileunca
dari coklat sampai hijau.
Derajat keasaman (pH) di Situ Cileunca berkisar antara
6,5-9,0 (Gambar 2). pH terendah terdapat di Stasiun Tengah
(bulan Juni), dan tertinggi terdapat di Stasiun Cipangisikan
(bulan Oktober). Berdasarkan atas pendapat (Boyd, 1982)
pH yang berkisar antara 6-9 dapat mendukung kegiatan
perikanan dan dapat menggambarkan kemampuan suatu
badan air untuk menetralkan ion hydrogen yang masuk
ke badan air. Hasil penelitian tersebut sedikit berbeda
dengan hasil pengamatan Hakim (2007), yaitu berkisar
antara 5,5-8,0.
Gambar 2.
Figure 2.
Derajat keasaman di Situ Cileunca
menurut waktu dan stasiun pengamatan
(bA dan bB = lebih rendah dan lebih
tinggi dari nilai baku mutu air; [ =
simpangan baku).
pH in Situ Cileunca according to time
and station ( bA and b B = under and
over of values of water quality
standard; [ = standard deviation).
Gambar 3.
Oksigen merupakan parameter kualitas air yang penting
untuk menentukan kualitas air, karena oksigen merupakan
salah satu komponen utama bagi metabolisme ikan dan
organisme perairan lainnya. Kebutuhan organisme
terhadap oksigen sangat bervariasi tergantung dari jenis,
stadia, dan aktivitas organisme tersebut. Konsentrasi
oksigen di Situ Cileunca berkisar antara 0-6,8 mg/L dengan
rata-rata 2,5 mg/l (Gambar 3). Menurut Swingle (1968)
dalam Effendie (2003) kadar oksigen terlarut yang lebih
kecil dari 0,3 mg/L hanya sedikit jenis ikan yang dapat
bertahan hidup dan jika pada kisaran 1-5 mg/L ikan dapat
bertahan hidup namun pertumbuhannya terganggu.
Berdasarkan atas baku mutu air untuk kegiatan perikanan
408
Figure 3.
Oksigen terlarut (mg/L) di Situ Cileunca
menurut waktu dan stasiun pengamatan
(bA = lebih rendah dari nilai baku mutu
air; [ = simpangan baku).
Dissolved oxygen (mgL) of Situ
Cileunca according to observation time
and station ( bA = under of values of
water quality standard; [ = standard
deviation).
Karbondioksida berperan sebagai salah satu
komponen sistem penyangga dan bahan utama dalam
proses fotosintesis, tetapi dalam jumlah besar mampu
menghambat absorpsi oksigen oleh darah. Menurut
D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413
Effendie (2003) bahwa perairan yang baik bagi kepentingan
perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida
bebas lebih rendah dari 10 mg/L dapat ditolerir oleh
orgnisme akuatik. Menurut National Technical Advisory
Committee (1968) kandungan karbondioksida bebas
sebaiknya tidak melampaui 25 mg/L dengan catatan
oksigen terlarut cukup tersedia. Konsentrasi
karbondioksida di Situ Cileunca berkisar antara 0-2,5 mg/
L dengan rata-rata 0,7 mg/L. Hal tersebut berarti
kandungan karbondioksida bebas dalam batas untuk
mendukung kehidupan ikan dan organisme makanannya.
Besarnya nilai alkalinitas suatu perairan menunjukkan
kapasitas penyangga perairan tersebut, dan dapat
digunakan sebagai penduga kesuburan (Swingle, 1968).
Hal tersebut disebabkan banyaknya kandungan kalsium
dan magnesium karbonat secara potensial diikuti oleh
banyaknya unsur atau ion N dan P yang merupakan
indikator kesuburan suatu perairan (Wardoyo, 1981).
Kisaran alkalinitas di Situ Cileunca berkisar antara 9,932,2 mg/L CaCO3 eq. dengan rata-rata 20,4 mg/L CaCO3
eq. (Gambar 4). Pada umumnya konsentrasi alkalinitas
kurang dari 40 mg/L disebut dengan perairan lunak (soft
water). Tetapi unsur-unsur alkalinitas (karbonat dan
bikarbonat) berperan sebagai buffer (penyangga pH) untuk
menjaga kestabilan pH di suatu perairan. Berdasarkan atas
nilai baku mutu air untuk kegiatan perikanan menunjukkan
bahwa kandungan alkalinitas perairan lebih besar dari 20,0
mg/L CaCO3 eq. Hal tersebut berarti perairan Situ Cileunca b
mempunyai pH yang cukup bervariasi, penyedia CO2
bebas sedang, dan produksi perairan sedang, serta layak
untuk kegiatan perikanan.
Nitrogen merupakan salah satu unsur yang penting
bagi pertumbuhan tamanan air, dan berperan dalam
pembentukkan dan pemeliharaan protein. Sumber
senyawa nitrogen di perairan waduk atau danau terutama
berasal dari limbah pertanian, rumah tangga, dan industri
(Goldman & Horne, 1983). Dalam keadaan aerob dengan
bantuan bakteri, bahan organik diurai menjadi amonium,
selanjutnya amonium diubah menjadi nitrit dan nitrat.
Nitrogen di perairan terdapat dalam berbagai bentuk
seperti gas N2, nitrit, nitrat, amonia, amonium, serta
nitrogen yang berikatan dengan senyawa organik
kompleks.
Konsentrasi nitrit di Situ Cileunca berkisar antara 0,0110,113 mg/l dengan rata-rata 0,032 mg/l (Gambar 5). Baku
mutu perairan untuk nitrit kurang dari 1 mg/l (Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001). Secara umum,
berdasarkan atas konsentrasi nitritnya, perairan Situ
Cileunca layak untuk kehidupan dan perkembangan ikan
dan organisme pakannya.
Gambar 5.
Figure 5.
Gambar 4.
Figure 4.
Total alkalinitas (mg/L CaCO3 eq.) di Situ
Cileunca menurut waktu dan stasiun
pengamatan ( A = lebih rendah dari
nilai baku mutu air; [ = simpangan baku).
Total alkalinity (mg/L CaCO3 eq.)
according to Situ Cileunca by
observation time and station ( bA =
under of values of water quality
standard; [ = standard deviation).
Nitrit (mg/L) di Situ Cileunca menurut
waktu dan stasiun pengamatan ( bB =
lebih tinggi dari nilai baku mutu air; [ =
simpangan baku).
Nitrite (mg/L) of Situ Cileunca
according to observation time and
station ( b B = over of values of water
quality standard; [ = standard
deviation).
Konsentrasi nitrat di Situ Cileunca berkisar antara
0,007-2,281 mg/L dengan rata-rata 0,396 mg/L. Baku mutu
untuk perairan berdasarkan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 maksimal 10 mg/L. Konsentrasi nitrat
di Situ Cileunca relarif rendah, sehingga nitrat di perairan
ini berperan sebagai limiting factor.
Unsur N dalam bentuk ammonia terionisasi
(ammonium) dan nitrat sangat diperlukan oleh produksi
primer untuk proses fotosintesis (Jørgensen, 1986), dipihak
lain ammonia terionisasi di perairan membentuk
keseimbangan dengan ammonia bebas dan keseimbangan
tersebut sangat dipengaruhi oleh suhu dan pH (Boyd,
409
D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413
Sulfat merupakan salah satu anion dari belerang dan
terdapat di hampir semua perairan. Di perairan anaerob
sufat direduksi menjadi senyawa sulfida dan bersifat
sangat toksin bagi ikan dan organisme makanannya. Suatu
perairan yang kekurangan kandungan sulfatnya akan
menghambat perkembangan plankton. Konsentrasi sulfat
di Situ Cileunca berkisar antara 5,89-32,72 mg/L dengan
rata-rata 12,18 mg/L. Baku mutu untuk sulfat sendiri
berdasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 sebesar 400 mg/L. Berdasarkan atas kandungan sulfat
pada baku mutu air, maka perairan Situ Cileunca baik untuk
mendukung pengembangan kegiatan perikanan.
Ortofosfat merupakan salah satu bentuk persenyawaan
fosfor yang terlarut dalam air yang dapat digunakan secara
langsung oleh tumbuhan air dan fitoplankton tanpa
pemecahan lebih lanjut. Kadar ortofosfat di Situ Cileunca
berkisar antara 0,012-0,789 mg/L dengan rata-rata 0,174
mg/L (Gambar 6). Baku mutu air untuk ortofosfat tidak
lebih dari 0,1 mg/L, untuk daerah stasiun pengamatan
Cipanunjang telah melebihi baku mutu air yang ada. Hal
tersebut berarti Situ Cileunca mempunyai peluang yang
tinggi terjadi blooming algae.
pengamatan didominansi oleh kelas Dinophyceae, kecuali
pada bulan Oktober kelimpahan kelas Dinophyceae dan
Desmidiaceae relatif seimbang (Gambar 7). Adanya
dominansi kelas Dinophyceae tersebut merupakan
indikator bahwa pada perairan tersebut mempunyai
konsentrasi bahan organik yang tinggi.
100%
Komposisi Fitoplankton
1990). Secara umum, kadar amonium di Situ Cileunca
berkisar antara 0,088-2,556 mg/L dengan rata-rata 0,704
mg/L. Konsentrasi amonium terendah berada di Stasiun
Tengah pada bulan Agustus dan tertinggi berada di
Stasiun Cipanunjang pada bulan Oktober.
80%
60%
40%
20%
0%
Juni
Chloro.
Gambar 7.
Figure 7.
Agus
Cyano.
Bacill.
Okto
Desmi.
Dino.
Komposisi kelimpahan fitoplankton di Situ
Cileunca menurut waktu pengamatan.
Composition of phytoplankton
abundance in Situ Cileunca by
observation time.
Kandungan nutrien yang tinggi (N dan P) pada batasbatas tertentu akan merangsang pertumbuhan plankton
dengan cepat, sehingga pada kondisi ini mendorong
terjadinya blooming algae, sedangkan peningkatan
kandungan nutrien yang melebihi batas tersebut akan
mencemari lingkungan. Blooming algae tersebut
cenderung berdampak negatif terhadap kegiatan
perikanan. Dengan asumsi biomasa fitoplankton tersebut
dimanfaatkan oleh ikan herbivora secara optimal, maka
potensi biomasa ikan herbivora tersebut dapat mencapai
714-1.000 kg/ha dengan rata-rata 905 kg/ha (Tjahjo &
Purnamaningtyas, 2010 ).
Jenis Ikan
Gambar 6.
Figure 6.
Ortofosfat (mg/L) di Situ Cileunca
menurut waktu dan stasiun pengamatan
( b B = lebih tinggi dari nilai baku mutu
air; [ = simpangan baku).
Orthophosphate (mg/L) of Situ
Cileunca according to observation time
and station ( b B = over of values of
water quality standard; [ = standard
deviation).
Kelimpahan Fitoplankton
Kelimpahan fitoplankton di Situ Cileunca berkisar
antara 279.668-2.169.938 sel/l dengan rata-rata 722.991 sel/
l. Komposisi kelas fitoplankton secara umum selama
410
Jenis ikan yang tertangkap selama pengamatan adalah
Bacenang paris (Xiphophorus halleri), Seribu (Poecilla
sp.), tawes (Puntius gonionotus), Golsom, Lele (Clarias
batrachus), Boboso (Glossogobius sp.), Beunter, Tempele
(Betta coccina), Betutu (Oxyeleotris marmorata), Mas
(Cyprinus carpio), dan Udang Galah (Macrobrachium
rosenbergii.).
Ikan benteur mempunyai makanan utama fitoplankton
dan zooplankton dengan makanan pelengkapnya detritus
dan serangga (Gambar 8). Ikan ini mempunyai tingkat trofik
1,42, berarti ikan benteur di Situ Cileunca termasuk ikan
herbivora dan cenderung omnivora. Hasil kebiasaan
makanan ikan benteur tersebut relatif sama dengan ikan
benteur di Waduk Bening, Madiun (Tjahjo, 1987). Menurut
D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413
Anonimus (2007) mengatakan bahwa ikan ini merupakan
ikan air tawar yang bersifat benthopelagis, tidak bermigrasi
dan litororal dengan makanannya berupa zooplankton,
larva serangga, dan potongan tumbuhan.
Ikan mas yang hidup di Situ Cileunca ini mempunyai
makanan utama fitoplankton dan detritus dengan makanan
pelengkapnya tumbuhan dan zooplankton. Dengan
demikian ikan ini mempunyai tingkat trofik 1,03, berarti
ikan ini termasuk ikan herbivora pemakan plankton dan
detritus. Menurut Anonimus, (2007) mengatakan bahwa
ikan ini hidup di air tawar dan payau yang bersifat
bentopelagis, tidak bermigrasi, dan bersifat litoral. Ikan
mas termasuk kelompok ikan omnivora dengan makanan
utamanya serangga air, udang, cacing, siput, biji-bijian,
rumput-rumputan, dan algae (Anonimus, 2007; Tjahjo,
1988). Perbedaan makanan tersebut kemungkinan
disebabkan oleh perbedaan kelimpahan makanan yang
tersedia, sehingga ikan mas yang ada menggeser
perannya dari omnivora ke herbivora.
Kebiasaan Makanan
Ikan Lele dan Golsom termasuk ikan karnivora, di mana
ikan lele mempunyai makanan utama serangga dan siput,
dan ikan Golsom mempunyai makanan utama serangga.
Kebiasaan makanan ikan golsom tersebut relatif sama
dengan kebiasaan makanan ikan yang sama di Waduk
Darma (Tjahjo & Purnamaningtyas, 2004). Ikan Lele
tersebut termasuk ikan air tawar yang bersifat benthik dan
potamodromous, serta ikan golsom juga merupakan ikan
air tawar dan bersifat benthopelagis (Anonimus, 2007).
Sedangkan ikan betutu termasuk benthik dengan makanan
utamanya ikan dan udang.
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Gambar 8.
Figure 8.
Langkah Pengendalian
Dalam upaya mengatasi permasalahan yang sangat
kompleks tersebut, perlu langkah-langkah
pengendaliannya. Salah satunya melalui pemacuan sumber
daya ikan dengan menebar jenis ikan yang sesuai. Oleh
karena itu, di Situ Cileunca perlu penelitian lanjutan untuk
menentukan strategi pemacuan atau pemulihan sumber
daya ikan. Diharapkan jenis ikan tersebut mampu
memanfaatkan dan mengendalikan perkembangan
plankton yang ada. Dengan demikian dalam siklus proses
tersebut akan mampu meningkatkan kualitas air, sehingga
pendapatan nelayan dan kelestarian sumber daya perairan
dapat terjaga. Upaya pengendalian blooming algae di
Waduk Ir. H. Djuanda telah dilakukan melalui penebaran
ikan bandeng (Channos channos) dan berhasil
(Kartamihardja, 2007; Tjahjo et al., 2009; Tjahjo &
Purnamaningtyas, 2009). Hal yang sama terdapat di
Waduk Gajah Mungkur melalui penebaran ikan patin dan
berhasil (Kartamihardja et al., 2004). Peluang jenis ikan
yang ditebar di Situ Cileunca adalah ikan nilem (Osteoichillus
haselti), bilih (Mystacoleucus padangensis), dan patin
(Pangasionodon hypopthalmus). Ketiga jenis ikan tersebut
perlu dikaji kemampuannya dalam memanfaatkan plankton,
bersifat pelagis, mampu tumbuh dengan baik di perairan
dataran tinggi dengan suhu rendah, dan interaksinya
dengan jenis ikan asli perairan tersebut. Sehingga
penebaran ikan tersebut mampu memperbaiki kualitas
perairan (mencegah terjadinya blooming algae), ikan
tersebut mampu tumbuh dengan baik, laju sintasannya
tinggi, dan dapat tertangkap kembali oleh nelayan. Dampak
penebaran tersebut diharapkan peningkatan pendapatan
nelayan dan perbaikan kualitas perairan untuk mendukung
pengembangan daerah wisata Situ Cileunca.
KESIMPULAN
Beunteur
Fitopl
Cacing
tersebut telah mencapai tingkat kesuburan eutrofikhipertrofik, kelimpahan pakan yang tersedia sangat tinggi
tetapi jumlah ikan yang memanfaatkan rendah, sehingga
sumber daya pakan yang tersedia belum dimanfaatkan
secara optimal.
Zooppl
Ikan
Mas
Lele
Tumb
Udang
Golsom
Betutu
Serang.
Detritus
Siput
Kebiasaan makanan jenis ikan dominan
di Situ Cileunca.
Food habit of dominace fish species
according to observation time.
Keragaman ikan sangat rendah sekitar 11 jenis dengan
jumlah nelayan relatif sedikit dan hasil tangkapan nelayan
yang sangat rendah (rata-rata kurang dari 2 kg/hari). Di
pihak lain, berdasarkan atas kualitas airnya, perairan situ
1. Kecerahan berkisar antara 0,5-0,8 m, oksigen terlarut
0,78-5,98 mg/L, ortofosfat 0,028-0,469 mg/L, dan
kelimpahan fitoplanktonnya 279.668-2.169.938 sel/L,
sehingga perairan ini termasuk perairan dengan tingkat
kesuburan eutrofik-hipertrofik. Berdasarkan atas
biomassa fitoplanktonnya Situ Cileunca mempunyai
potensi biomassa ikannya 714-1.000 kg/ha.
2. Jumlah jenis ikan yang ditemukan selama penelitian 11
jenis, yaitu Bacenang paris, Seribu, Tawes, Golsom,
Lele, Boboso, Beunter, Tempele, Betutu, Mas, dan
Udang galah.
411
D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413
3. Berdasarkan atas kebiasaan makannya ikan Betutu,
Golsom, dan Lele termasuk golongan ikan karnivora,
sedangkan Mas, dan Beunteur termasuk ikan
herbivora. Di Situ Cileunca, kelimpahan pakan yang
tersedia sangat tinggi tetapi jumlah ikan yang
memanfaatkan rendah, sehingga sumber daya pakan
yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal.
4. Situ Cileunca perlu pemulihan sumber daya ikan,
melalui penebaran jenis ikan herbivora pemakan
plankton, seperti ikan nilem, bilih, dan patin. Dampak
penebaran tersebut diharapkan peningkatan
pendapatan nelayan dan perbaikan kualitas perairan
untuk mendukung pengembangan daerah wisata Situ
Cileunca.
Proceedings of an International Workshop held in
Bangkok, Thailand from 15–18 February 2000.
ACIAR Proceedings. 98: 384 pp.
Danuwijaya, M. T. 2009. Pengolah Limbah Sapi
Pangalengan Minim: Sumber Bahan Baku Pupuk
Organik. http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/19/
12581225/pengolah.limbah.sapi.pangalengan.minim.
Diakses Tanggal 28 Oktober 2009.
Effendie, M. I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan
Dewi Sri. Bogor. 112 pp.
Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan
Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius.
Yogyakarta. 37 pp.
PERSANTUAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil
riset biolimnologi dan hidrologi waduk kaskade Sungai
Citarum, Jawa Barat, T. A. 2009, di Balai Riset Pemulihan
Sumber Daya Ikan-Jatiluhur, Purwakarta.
DAFTAR PUSTAKA
American Public Health Association. 1989. Standard
Method the Examination of Water and Wastewater.
15th Edition. Washington, D. C. Am. Public Health Ass.
Am. Water Works Ass. 1,134 pp.
Anonimus. 2007. FishBase. www.fishbase.org/
Eschmeyer/EschPiscesSummary.cfm?ID = 2. Diakses
Tanggal 29 September 2007.
Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management for Pond
Fish Culture. Elsevier Science Publishers Company.
New York. 318 pp.
Boyd, E. C. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture.
Birmingham Publishing Co. Birmingham. 442 pp.
Caddy, J. F. & G. D. Sharp. 1986. An ecological framework
for marine fishery investigations. Food and Agriculture
Organization Fish. Tech. Pap. 283: 152 pp.
Candana, I. 2009. Peternak Sapi Kesulitan Menjual Pupuk
Kandang. http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
prprint.php?mib=beritadetail&id=81720. Diakses
Tanggal 28 Oktober 2009.
Davis, G. A. 1955. The Marine and Freshwater Plankton.
Michigan State University Press. USA. 526 pp.
De Silva, S. S. 2001. Reservoir fisheries: Broad strategies
for enhancing yields. In De Silva, S. S. (ed.). Reservoir
and culture based fisheries: Biology and management.
412
Goldman, C. R. & A. J. Horne. 1983. Limnology. McGraw
Hill Int. Book Comp. London. 464 pp.
Hakim, 2007. Studi Penataan Perairan Umum Situ
Patenggang dan Situ Cileunca (Untuk
Pengembangan Perikanan). C. V. ECOTERRA
MULTIPLAN-Dinas Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Bandung. 82 pp.
Jørgensen, S. E. 1986. Fundamental of Ecological
Modelling. Elsevier Science Publishers B. V.
Amsterdam. 389 pp.
Kottelat, M., A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, & S.
Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western
Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia
Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Editins Ltd. 293
pp.
Kartamihardja, E. S., K. Purnomo, H. Satria, D. W. H. Tjahjo,
& S. E. Purnamaningtyas. 2004. Peningkatan stok ikan
patin (Pangasius hypopthalmus) di Waduk Wonogiri,
ikan baung (Mystus nemurus) di Waduk Wadaslintang,
dan udang galah (Macrobrachium rosernbergii) di
Waduk Darma. Prosiding Hasil-Hasil Riset.¨97997194-3-7. 159-171.
Kartamihardja, E. S. 2007. Spektra ukuran biomassa
plankton dan potensi pemanfaatannya bagi komunitas
ikan di zona limnetik Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat.
Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor. 137 pp.
Ludwig, J. A. & J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology:
A Primer on Methods and Computing. John Wiley &
Sons. New York. 335 pp.
Lorenzen, K., J. Juntana, J. Bundit, & D. Tourongruang.
1998. Assessing culture fisheries practices in small
D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413
water bodies: A study of village fisheries in Northeast
Thailand. Aquaculture Research. 29: 211-224.
Jawa. Prosiding Forum Perairan Umum. Palembang
(Dalam Proses Publikasi). MSP. 461-473.
Lorenzen, K., U. S. Amarasinghe, D. M. Bartley, J. D. Bell,
M. Bilio, S. S. de Silva, C. J. Garaway, W. D. Hartmann,
J. M. Kapetsky, P. Laleye, J. Moreau, V.V. Sugunan, &
D. B. Swar. 2001. Strategic Review of enhancements
and culture based fisheries. In R. P. Subasinghe, P.
Bueno, M. J. Phillips, C. Hough, & S. E. McGladdery
(Eds). Aquaculture in the Third Millennium. Technical
Proceedings of the Conference on Aquaculture in the
Third Millennium, Bangkok, Thailand, 20-25
February 2000. 221-237.
Tjahjo, D. W. H. 1987. kebiasaan pakan komunitas ikan di
Waduk Bening, Jawa Timur. Bulletin Penelitian
Perikanan Darat. 6 (1): 59-64.
Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A Guide to the
Study of Freshwater Biology. Fifth Edition. Revised
and Enlarged. Holden Day. Inc. San Fransisco. 180 pp.
Tjahjo, D. W. H. 1988. Kebiasaan pakan komunitas ikan di
Waduk Saguling, Jawa Barat. Bulletin Penelitian
Perikanan Darat. 7 (1): 86-91.
Tjahjo, D. W. H. & S. E. Purnamaningtyas. 2004. Evaluasi
penebaran udang galah di Waduk Darma: Pemanfaatan
makanan dan interaksi antar jenis ikan. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia: Edisi Sumber Daya
dan Penangkapan. 10 (6): 31-39.
National Technical Advisory Committee. 1968. Water
Quality Criteria. Federal Water Pollution Control
Administration. Washington D. C. 234 pp.
Tjahjo, D. W. H. & S. E. Purnamaningtyas. 2009. Evaluasi
kemampuan ikan bandeng dan nila tebaran dalam
memanfaatkan kelimpahan fitoplankton di Waduk Ir.
H. Djuanda. Forum Nasional Pemacuan Stok Ikan.
11 pp.
Pratiwi, N. T. M., K. Praptokardiyo, & N. Indriyani. 2000.
Tingkat kesuburan perairan Situ Ciguded, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. Prosiding Semi Loka Nasional
Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk.
Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas
Padjajaran. Bandung. 199-210.
Tjahjo, D. W. H., S. E. Purnamaningtyas, & E. S.
Kartamihardja. 2009. Evaluasi Keberhasilan
Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk
Ir. H. Djuanda. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 12 pp.
Ryding, S. O. & W. Rast (eds.). 1989. The Control of
Eutrophication of Lake and Reservoirs. Man and the
Biosphere Series. 314 pp.
Swingle, H. S. 1968. Standardization of chemical analysis
for water pond muds. Food and Agriculture
Organization Fish. Rep. 44 (4): 397-406.
Sulastri, T. Suryono, & Sudarsono. 2009. Pengembangan
kriteria starus ekologis danau-danau kecil di Pulau
Tjahjo, D. W. H. & S. E. Purnamaningtyas. 2009. Sumber
daya perikanan di Situ Cileunca, Jawa Barat. Laporan
kerjasama Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan
dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Bandung. Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan,
Jatiluhut. 36 pp.
Wardoyo, S. T. H. 1981. Kriteria Kualitas Air untuk
Keperluan Pertanian dan Perikanan. Training
Analisa Dampak Lingkungan. PPLH-UNDP-PUSDIPSL, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 15-40.
413
BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422
KEANEKARAGAMAN PLANKTON DAN TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN
DI WADUK GAJAH MUNGKUR
Agus Djoko Utomo 1), Mohamad Rasyid Ridho 2), Dinar DA Putranto 3)
Edward Saleh 4)
1)
1)
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum Palembang
Mahasiswa S3 pada Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Sriwijaya
2)
Dosen pada Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya
3)
Dosen pada Fakultas Teknik Sipil Universitas Sriwijaya.
4)
Dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.
Teregistrasi I tanggal: 23 Februari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 Juli 2011;
Disetujui terbit tanggal: 26 September 2011
ABSTRAK
Perairan Waduk Gajah Mungkur merupakan tipe perairan yang tergenang mempunyai dan arti penting bagi
perikanan. Plankton di perairan Waduk mempunyai peranan bagi sumberdaya perikanan, antara lain sebagai produsen
primer dan dapat dijadikan sebagai indikator kualitas lingkungan perairan. Kelimpahan plankton di suatu perairan
dipengaruhi oleh parameter lingkungan perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan,
kelimpahan dan keanekaragaman plankton Penelitian dilakukan bulan Pebruari - Nopember 2010 dengan frekuensi
pengambilan contoh sebanyak empat kali yaitu pada bulan Pebruari, Mei, Juli dan Nopember. Analisis tingkat
kesuburan perairan dengan metode Carlon’s dapat diketahui perairan Waduk Gajah Mungkur termasuk katagori
perairan dengan tingkat kesuburannya tinggi. Waduk Gajah Mungkur termasuk perairan dengan kelimpahan plankton
tinggi dan keanekaragaman plankton rendah yang didominansi oleh Synedra ulna
KATA KUNCI:
keanekaragaman, plankton, kesuburan perairan, Waduk Gajah Mungkur
ABSTRACT :
Diversity of Plankton and Productivity Level of Gajah Mungkur Reservoir. By: Agus Djoko
Utomo, Mohammad Rasyid Ridho, Dinar Dwi Anugerah Putranto, dan Edward Saleh
Gajah Mungkur reservoir is a lentic water and has significance impact for fishery. Plankton in the reservoir as
the primary producer has an important role on fisheries, could be used as an indicator of aquatic environmental
quality. Abundance of plankton will be influenced by environmental condition including water quality. The purpose of
this study to determine the productivity level of water quality, abundance and diversity of plankton. The study was
conducted from February to November 2010, with schedule of sampling was in February, May, July and November
2010. Based on analysis by Carlon’s method, the results showed that the water quality at Gajah Mungkur reservoir
was eutrophic level. Gajah Mungkur reservoir has high plankton abundance and low plankton diversity the species
of plankton was dominated by Synedra ulna.
KEYWORDS:
diversity, plankton, productivity state, reservoir, Gajah Mungkur
PENDAHULUAN
Waduk Gajah Mungkur seluas 8.800 ha merupakan
waduk serbaguna di Kabupaten Wonogiri yang dapat
dimanfaatkan sebagai irigasi persawahan, pembangkit
tenaga listrik, sumber air minum, pariwisata, perikanan
budidaya dan perikanan tangkap. Sumber mata air yang
penting yaitu Kali Keduang, Bengawan Solo, Kali
Tirtomoyo, Kali Melati (Direktorat Pengelolaan Bengawan
Solo, 2003). Di sekitar waduk Gajah Mungkur banyak
lahan pertanian dan perkebunan, pemukiman, disamping
itu usaha budidaya ikan pada keramba jaring apung
berkembang pesat sehingga membawa dampak tekanan
ekosistem perairan waduk. Untuk itu perlu dilakukan kajian
tentang kualitas air dan tingkat kesuburan perairan, serta
kelimpahan mikro algae.
Korespondensi penulis:
Balai Riset Perikanan Perairan Umum-Palembang
Jl. Beringin No.308 Mariana. Banyuasin III. Kab. Banyuasin
Beberapa hasil penelitian banyak memberikan
informasi penting. Purnomo (2000) melaporkan bahwa di
Waduk Gajah Mungkur terdapat 15 jenis ikan. Jenis ikan
introduksi antara lain nila (Oreochromis niloticus), jambal
sius (Pangasius hypophthalmus) dan tawes (Barbonymus
gonionotus). Ikan nila dan tawes dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik di Waduk Gajah Mungkur
disebabkan ikan tersebut dapat memanfaatkan relung
ekologi banyaknya tumbuhan air. Di sisi lain jambal sius
dapat tumbuh dan berkembang dengan baik karena banyak
tersedia pakan alami yang sesuai yaitu plankton dan
detritus (Purnomo et al 2003). Selanjutnya Utomo et al.
(2005) menyebutkan bahwa jambal sius dapat berkembang
dengan baik karena terdapat daerah pemijahan di Waduk
Gajah Mungkur banyak, terutama daerah inlet Keduang.
Menurut Utomo et al. (2010) keramba jaring apung di
415
A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422
Waduk Gajah Mungkur telah berdampak negatif terhadap
kualitas perairan, karena banyak sisa pakan dan kotoran
ikan yang lolos ke perairan dan mencemari perairan sehingga
dapat menyebabkan pertumbuhan mikro algae yang cepat.
Mikro algae plankton dapat dijadikan sebagai indikator
kualitas lingkungan perairan, karena merupakan parameter
biologi yang erat hubungannya dengan zat hara (Sachlan,
1982). Menurut Lancar & Krake (2002) kelimpahan
fitoplankton dapat mengasimilasi sebagian besar zat hara
dari perairan. Kelimpahan plankton di suatu perairan akan
dipengaruhi oleh parameter lingkungan termasuk kualitas
perairan dan fisiologi. Kelimpahan dan komposisi plankton
dapat berubah pada berbagai tingkatan sebagai respon
terhadap perubahan kondisi lingkungan fisik, biologi dan
kimiawi perairan. Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi
respon pertumbuhan plankton yaitu suhu, cahaya dan
nutrien. Bila suhu, cahaya dan nutrien dalam kondisi yang
optimum maka plankton akan tumbuh dengan pesat
(Vithanage, 2009). Kajian tentang kualitas perairan dan
kelimpahan plankton di waduk Gajah Mungkur diharapkan
dapat sebagai bahan pertimbangan bagi dasar pengelolaan
sumber daya perairan.
Gambar 1.
Picture 1.
416
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Waduk Gajah Mungkur
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah pada bulan Februari
2010 - November 2010 melalui survei lapangan dan analisis
sampel di laboratorium. Pengambilan contoh di lapangan
dilakukan pada bulan Februari, Mei, Juli dan Nopember.
Lokasi pengamatan dilakukan pada enam stasiun yang
dapat mewakili tipe perairan Stasiun 1 (Pulau), merupakan
stasiun di tengah waduk. Stasiun 2 (dekat inlet Wiroko),
merupakan perairan yang dekat dengan sungai yang
memasok air ke waduk. Stasiun 3 (Tengah) merupakan
perairan yang jauh dari daratan. Stasiun 4 (KJA)
merupakan stasiun yang banyak terdapat KJA. Stasiun 5
(dekat inlet Keduang) merupakan stasiun dekat sungai
masuk (Keduang) memasok air dari sungai ke waduk.
Stasiun 6 (out let), suatu perairan yang dekat dengan pintu
keluar (Gambar 1).
Peta Lokasi Penelitian di Waduk Gajah Mungkur
Map showing of Research Location at Gajah Mungkur Reservoir
A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422
Parameter yang diamati
Data kelimpahan plankton (individu/liter) disajikan
dalam bentuk tabulasi data. Selanjutnya data plankton
dianalisis keanekaragaman (H’) dan keseragamannya (E).
Kualitas air
Parameter kualitas air yang diamati meliputi: kecerahan,
chlorophil dan total phosphat, oksigen terlarut (Tabel 1).
Pengamatan kualitas air dilakukan pada lapisan permukaan,
3 m dan 5 m. Metode analisis kualitas air berdasarkan
APHA (1986).
Tabel 1.
Tabel 1.
Parameter dan Metode Analisis
Parameters and analisys methods.
Parameter
/ Parameters
1. P- total perairan
2. Chlorophyl-a perairan
3. Karbondioksida perairan
4. Oksigen terlarut perairan
5. Kecerahan
Satuan /
Unit
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
cm
Metode dan peralatan /
Equipment and Methods
Metode Vanadate molibdate,
Spectrophotometric
Spectropho tometric
Insitu,metode Winkler, titrimetri
dengan NaOH sebagai titrant
Insitu. Do-meter
Insitu. Piring Sechi.
Plankton
Sampel plankton diambil dengan menggunakan
water sampler volume 3,3 liter dan disaring dengan
plankton net no: 25 µm kemudian dimasukkan dalam botol
vial ukuran 25 ml. Sampel diambil pada kedalaman 0 m dan
3 m. Sampel yang tersaring dalam botol vial diawetkan
dengan lugol sebanyak 5 tetes, selanjutnya diperiksa di
laboratorium untuk diidentifikasi jenis planktonnya dan
kelimpahannya. Buku acuan untuk identifikasi plankton
yaitu Needham & Needham (1963) dan Prescott (1979).
Analisis data
Plankton
Kelimpahan plankton dihitung dengan Sedwich Rafter
Counting Cell (Welch, 1962; Edmonson, 1971) melalui
persamaan:
N = (ns x va) / (vs x vc )
Keterangan:
N = Jumlah sel plankton/liter
Ns = Jumlah sel plankton pada Sedwick Rafter
va = Jumlah air dalam botol vial (25 ml )
vs = Volume air dalam preparat sedwick Rafter (1 ml)
vc = Volume air contoh yang disaring dari water
sampler (3,3 liter).
a). Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks keanekaragaman adalah indeks yang
menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis organisme
yang ada dalam suatu komunitas. Perhitungan indeks
keanekaragaman dengan menggunakan persamaan indeks
Shanon sebagai berikut (Bengen, 2000).
H’ = −
s
∑ pi ln pi
n =1
H’ = Indeks keanekaragaman
dimana,
pi =
ni
N
ni = jumlah individu dari jenis ke-i
N = jumlah total individu
b). Indeks keseragaman (E)
Indeks keseragaman jenis adalah indeks yang
menunjukkan tingkat kemerataan individu tiap spesies di
dalam suatu komunitas (Bengen 2000; Odum, 1971);
E=
H'
ln S
dimana,
E = indeks keseragaman jenis
H’ = Indeks keanekaragaman
S = jumlah jenis plankton
Kualitas air
Untuk menggambarkan kualitas air di waduk Gajah
Mungkur maka dilakukan tabulasi data dan grafik kualitas
air berdasarkan lokasi dan kedalaman perairan. Tingkat
kesuburan perairan atau status trofik perairan dihitung
memakai rumus index status trofik dari Carlson’s (Carlson’s
trophic state index, TSI) (Carlson, 1977), dengan
rangkaian rumus sebagai berikut :
1) TSI-TP = 14,42 * Ln [TP] + 4,15, dimana TP = total P
dalam satuan ì g/l ;
2) TSI-SD = 60 –14,41 * Ln [SD], dimana SD = kecerahan
air dalam meter ;
3) TSI-Chl = 30,6 + 9,81 * Ln [Chl], dimana Chl = klorofila dalam satuan ì g/l
4) Rataan TSI = (TSI-TP + TSI-SD + TSI-Chl) / 3
417
A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422
Tabel 2.
Table 2.
Skor /
Score
< 30
Kategori Status Trofik berdasarkan pada Indeks Status Trofik Carlson
Trophic status catagory based on the Trophic Status Index’ Carlson
Status Trofik /
Trophic Status
Ultraoligotrofik
Keterangan /
Remarks
Kesuburan perairan sangat rendah. Air jernih, konsentrasi oksigen
terlarut tinggi sepanjang tahun dan mencapai zona hypolimnion
30 - 40
Oligotrofik
Kesuburan perairan rendah. Air jernih, dimungkinkan adanya
pembatasan anoksik pada zona hypolimnetik secara periodik (DO= 0)
40 - 50
Mesotrofik
Kesuburan perairan sedang. Kecerahan air sedang, peningkatan
perubahan sifat anoksik di zona hypolimnetik, secara estetika masih
mendukung untuk kegiatan olahraga air
50 - 60
Eutrofik ringan
Kesuburan perairan tinggi. Penurunan kecerahan air, zona
hypolimnetik bersifat anoksik, terjadi masalah tanaman air, hanya
ikan-ikan yang mampu hidup di air hangat, mendukung kegiatan
olahraga air tetapi perlu penanganan
60 - 70
Eutrofik sedang
Kesuburan perairan tinggi. Didominasi oleh alga hijau-biru, terjadi
penggumpalan, masalah tanaman air sudah ekstensif
70 - 80
Eutrofik berat
Kesuburan perairan tinggi. Terjadi bloming algae berat, tanaman air
membentuk lapisan seperti kondisi hypereutrofik
> 80
Hypereutrofik
Kesuburan perairan sangat tinggi. Terjadi gumpalan alga, sering
terjadi kematian ikan, tanaman air sedikit didominasi oleh alga
Sumber
dalam
Kementerian
Negara
Lingkungan
Hidup
(2008)
Sumber: Carlson
: Carlson(1977)
(1977)
dalam
Kementerian
Negara
Lingkungan
Hidup
(2008)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Air dan Tingkat Kesuburan Perairan
Kecerahan
Secara keseluruhan nilai kecerahan perairan waduk
Gajah Mungkur rendah, hanya berkisar antara 7 – 119 cm
(Lampiran1). ). Menurut Effendi (2000) perairan dengan
nilai kecerahan kurang dari 200 cm termasuk perairan yang
eutrofik. Nilai kecerahan pada perairan yang dangkal (dekat
oulet dan inlet) lebih rendah dari pada perairan yang dalam.
Pada bulan November 2010 kecerahan hanya berkisar
antara 7- 54 cm, pada inlet sungai Keduang nilai kecerahan
dibawah 10 cm. Pada awal musim penghujan (Nopember)
banyak materi sedimen yang terbawa air masuk ke waduk,
sehingga perairan menjadi keruh nilai kecerahan rendah
dan nilai kekeruhan tinggi. Daerah yang dangkal seperti
tepian waduk dan inlet sungai pada umumnya mempunyai
nilai kecerahan rendah karena banyak partikel anorganik
dari hasil erosi daratan tepian waduk.
Kesuburan Perairan
a) Fosfor (P)
Sumber phosphor di alam sangat sedikit, apa bila di
perairan kandungan phosphornya tinggi maka dapat
dipastikan berasal dari aktivitas manusia. Kandungan total
phosphor di Waduk Gajah Mungkur pada kedalaman
antara 0–5 m berkisar antara 9,8 –273 (µg/L) dengan nilai
rata rata 48,3 µg/L (Lampiran 1). Menurut Novotny &
Olem (1994); perairan oligotrofik (kesuburan rendah) bila
418
kandungan total phosphor < 10 ì g/L, mesotrofik
(kesuburan sedang) bila kandungan phosphor total antara
10 – 35 ì g/L, eutrofik (kesuburan tinggi) bila kandungan
phosphor antara 35 – 100 ì g/L, hipertrofik bila kandungan
phosphor total > 100 ì g/L. Perairan Gajah Mungkur
berdasarkan kandungan total phosphor, secara umum
sudah masuk katagori perairan eutrofik (kesuburan tinggi).
b) Klorofil-a
Kandungan total klorofil-a di perairan Waduk Gajah
Mungkur berkisar antara 2,3–86 ì g/L dengan nilai rata
rata adalah 21,31 ì g/L (Lampiran1). Menurut Novotny &
Olem (1994); perairan oligotrofik bila kandungan klorofil <
4 ì g/L, mesotrofik bila kandungan klorofil antara 4-10 ì g/
L, eutrofik bila kandungan klorofil >10 ì g/L. Perairan Gajah
Mungkur berdasarkan kandungan klorofil-a, secara umum
sudah masuk katagori perairan eutrofik (kesuburan tinggi).
c) Nilai status trofik (TSI)
Nilai indeks status trofik perairan Waduk Gajah
Mungkur yang didasarkan pada hasil pengukuran
kecerahan perairan, kandungan total fosfor dan
kandungan klorofil-a dapat dilihat dalam Tabel 3. Nilainilai indek status trofik (TSI) pada semua stasiun
pengamatan menunjukkan nilai antara 60 – 70, maka
Waduk Gajah Mungkur sudah termasuk dalam kategori
mempunyai tingkat kesuburan eutrofik (tingkat kesuburan
tinggi). Tingkat kesuburan yang tinggi tersebut tidak
terlepas dari masukan bahan organik terutama dari KJA
dan volume air yang semakin mengecil karena laju
sedimentasi yang cukup tinggi yaitu 7.029.958 m3/tahun
(Ditjen Pengelolaan Bengawan Solo, 2008).
A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422
Tabel 3.
Table 3.
Stasiun/
Stations
KJA Aquafarm
Inlet Wiroko
Outlet
Tengah I
Inlet Keduang
Tengah II
KJA Cakalan
Indek Status Trofik Perairan Waduk Gajah Mungkur
Trophic State Index of Gajah Mungkur Reservoir
S.Disk
(m)
Chl-a
(ug/L)
Total-P
(ug/L)
TSI
S.Disk
TSI
Chl-a
TSI
Total-P
0,72
0,67
0,43
0,58
0.50
0,77
0,54
24
19,5
24
21
33,7
19
67,6
46
39,5
44,6
42,7
85,1
59,4
90,1
64,73
65,77
72,16
67,85
69,98
63,77
68,88
61,77
59,74
61,77
60,47
65,11
59,49
71,93
59,35
57,16
58,91
58,28
68,23
63,04
69,05
B. Plankton
Selama penelitian didapatkan 29 jenis plankton yang
terdiri dari 21 jenis fitoplankton dan 6 jenis zooplankton.
Fitoplankton didominansi oleh jenis Synedra ulna,
sedangkan zooplankton didominansi oleh Cyclop sp.
(Lampiran 2). Ditinjau dari jumlah jenis plankton maka
perairan Waduk Gajah Mungkur merupakan perairan yang
jenis planktonnya tidak banyak, bila dibanding Waduk
lain di luar Jawa seperti Waduk Koto Panjang Riau dimana
jumlah jenis fitoplankton mencapai 36 spesies (Sugiyanti
et al. 2009). Kelimpahan plankton di Waduk Gajah
Mungkur relatif tinggi, terutama pada lapisan permukaan
daerah sekitar KJA milik Aquafarm mencapai 91.079 sel/L
untuk fitoplankton dan 625 sel/L untuk zooplankton.
Stasiun pengamatan pada KJA milik Aquafarm
mempunyai kelimpahan plankton yang lebih banyak dari
pada stasiun yang lain. Hal ini disebabkan pada area
budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) akan
menyumbangkan nutrien ke perairan sehingga akan
memicu tumbuhnya fitoplankton. Menurut Krismono &
Krismono (2003) setiap satu ton ikan yang dipelihara pada
KJA akan melepaskan nutrien ke perairan sebesar 85 – 90
kg P dan 12-13 kg N. Produksi ikan dari keramba jaring
apung di Waduk Gajah Mungkur pada tahun 2009
mencapai 1.100 ton ikan (Dinas Kehewanan dan Perikanan
Wonogiri, 2010). Keberadaan jenis fitoplankton
Microcystis sp di Waduk Gajah Mungkur walaupun belum
banyak namun perlu diwaspadai karena plankton ini
merupakan plankton yang beracun. Jenis racun
Microcystine yang ada pada plankton tersebut bila terminum
atau termakan oleh binatang maka akan menimbulkan
kelumpuhan syaraf (Lindon & Heickary, 2009).
Nilai indeks keanekaragaman (H’) plankton pada
semua stasiun menunjukkan nilai yang rendah dengan
kisaran 0,28 -1,08 untuk fitoplankton dan 0 – 1,10 untuk
zooplankton. Nilai indeks kesergaman (E) plankton pada
semua stasiun juga rendah dengan kisaran 0 – 0,99 untuk
zooplanjkton dan 0,12 – 0,44 untuk fitoplankton. Bila
Rataan/
Avarage
TSI
61,95
60,89
64,28
62,20
67,77
62,10
69,95
S.Dev
TSI
± 2,69
± 4,42
± 6,97
± 5,01
± 2,47
± 2,29
± 1,71
dibanding dengan Waduk lain diluar Jawa seperti Waduk
Koto Panjang yang mempunyai kisaran indeks
keanekaragaman fitoplankton antara 2,57 – 2,97 (Sugiyanti
et al., 2009), maka Waduk Gajah Mungkur mempunyai nilai
keanekaragaman plankton lebih rendah. Fitoplankton di
Waduk Gajah Munkur didominansi oleh Synedra ulna yang
mencapai rata rata 84,14 %, dominansi oleh salah satu
spesies menunjukkan bahwa perairan tersebut kurang
stabil, bila terjadi perkembangan yang Sangat peasat
(blooming) terhadap species tersebut maka akan membawa
dampak negatif terhadap kualitas perairan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Waduk Gajah Mungkur termasuk perairan dengan
tingkat kesuburannya tinggi (eutrofik).
2. Perairan Waduk Gajah Mungkur mempunyai
kelimpahan fitoplankton yang tinggi namun
keanekaragamannya rendah dan didominansi oleh
Synedra ulna.
Saran
1. Oleh karena tingkat kesuburan perairan Waduk Gajah
Mungkur sudah tinggi maka untuk pengembangan
keramba jaring apung harus memperhatikan daya
dukung perairan dan sebaiknya tidak dikembangkan
sistem budidaya intensif.
2. Sebaiknya di Waduk Gajah Mungkur dilakukan
penebaran jenis ikan pemakan fitoplankton untuk
mengurangi jumlah kelimpahan fitoplankton yang
didominansi oleh Synedra ulna.
DAFTAR PUSTAKA
APHA, 1986. Standard methods for the examinations of
water and wastewater. APHA Inc, Washington DC:
986 p.
419
A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422
Boyd, C.E 1988. Water Quality in Warm Water Fish Ponds.
Fourth printing. Auburn University Agriculture
Experiment Station. Alabama. USA. 359 pp.
Nedham,G.J & P.R Nedham 1963. A Guide to the Study of
Freshwater Biology. Holden Day. Inc, San Francisco.
106 p.
Bengen, D.G 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan
Analisa Data Biofisik Sumberdaya Pesisir.
Novotny,V & Olem,H.1994. Water Quality, prevention,
identification, and management of diffuse polluition.
Van Nostrans Reinhold. New York. 1054 pp.
Carlson, R.E 1977. Atrophic state index for lakes. Limnol.
Oceanogr. 5(2): 2-22
Dinas Kehewanan dan Perikanan Kabupaten Wonogiri,
2009. Pengelolaan Usaha Perikanan di Waduk Gajah
Mungkur, Kabupaten Wonogiri. 30 pp.
Direktorat Pengelolaan Bengawan Solo, 2003. Ringkasan
Bendungan Serbaguna Wonogiri. Jasa Tirta I. Solo:
14 pp.
Direktorat Pengelolaan Bengawan Solo, 2008. Pekerjaan
Pengukuran Echo Sounding Waduk Wonogiri. Jasa
Tirta I. Solo-Surakarta. 136 pp.
Odum, E.P 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition
Saunders College Publishing. Rinehart and Winston.
486 p.
Prescott, G.W. 1979. How to Know the Freshwater Algae.
Mc. Brown Company Publishers, Dubuque Lowa. 293 p.
Purnomo, K, 2000. Kompetisi dan Pembagian Sumberdaya
Pakan Komunitas Ikan di Waduk Wonogiri. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. 6(3-4): 16-23.
Edmonson, G.G 1971. A Manual and Methods for
Assessment of Secondary Productivity in Fresh Water.
IBP. Hand Book. Blackwell Sci. Pulb. Oxford. 209 pp.
Purnomo, K., E. S. Kartamihardja & S. Koeshendrajana
2003. Pertumbuhan, Mortalitas, dan kebiasaan makan
ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) introduksi
di Waduk Gajah Mungkur. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. Edisi Sumberdaya dan
Penangkapan. 9 (3): 13- 21.
Effendi,H 2003. Telaahan Kualitas Air. Jurusan MSP Fak.
Perikanan dan Kelautan IPB Bogor. 259 hal.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fak Peternakan dan
Perikanan. Univ Diponegoro. Semarang. 156 pp.
Haslam, S.M. 1995. River Pollution and Ecological
Perspective. John Wiley and Sons. Chichester, UK.
253 pp.
Sugiyanti, Y., A.S .N Krismono & A. Warsa 2009.
Keanekaragaman fitoplankton pada perairan calon
Suaka Perikanan di Waduk Koto Panjang Riau. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. 15(1): 23-31.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2008. Pedoman
Pengelolaan Ekosistem Danau. KSDA dan
Pengendalian Kerusakan Lingkungan. Jakarta. 118 pp.
Krismono, A & Krismono, 2003. Indikator Umbalan Dilihat
Dari Segi Aspek Kualitas Air di Waduk Ir. Djuanda,
Jatiluhur Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia. 9(4): 8-17.
Lancar, L & K. Krake. 2002. Aquatic Weeds and Their
Management. International Commission on Irrigation
and Drainage, France-Australia. 65 pp.
Lindon, M & S. Heiskary 2009. Blue-green algae toxin
(Mycrocystin) levels in Minnesota Lakes.
International Journal. Lake and Reservoir
Management. Taylor and Francis. London. 25 (3):240
-252.
Utomo, AD; S. Adjie; N.Muflikah & A. Wibowo, 2005.
Distribusi jenis ikan dan kualitas perairan di Bengawan
solo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 12 ( 2 ):
89 -103.
Utomo, AD., M.R Ridho., D.D.A Putranto & Edward Saleh
2010. The Water Quality Assessment at Gajah Mungkur
Reservoir. Proceeding International Conference on
Indonesian Inland Waters II. Research Institute for
Inland Fisheries. 123- 133 pp.
Vithanage, I.C.B, 2009. Analisis of Nutrien Dynamics in
Roxo Catchment Using Remote Sensing Data and
Numerical Modeling. Disertasi. International for GeoInformation Science and Earth Observation Enscede,
The Netherlands. 103 pp.
Welch, P.S. 1962. Limnological Methods, Mc.Graw-Hill
Book Company Ltd., New York. 381 pp.
420
A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422
Lampiran 1.
Appendix 1.
Tabel Kualitas Air Waduk Gajah Mungkur
Table of Water Quality at Gajah Mungkur Reservoir
STASIUN /
STATION
1. KJA Aquafarm
(LS; 07.52.184
BT:110.54.253)
2. In let Wiroko
(LS: 07.53.910
BT:110.55.054)
3.Outlet
(LS: 07.50.589,
BT: 110.55.497)
4.Tengah I
(LS : 07.52.134,
BT :110.54.517)
5.Inlet Keduang
(LS: 07.50.990,
BT: 110.56.005)
6. Tengah II
(LS : 07.54.659
BT: 110o53.014)
7. KJA Cakalan
LSS: 070.51’ 871,
BT: 1100.54’.453” )
PARAMETER /
PARAMETERS
Chlorofil (µg/L)
TP (µg/L)
Kecerahan (m)
Kedalaman dasar (m)
Chlorofil (µg/L)
TP (µg/L)
KEDALAMAN / DEPTH (m)
Permukaan
3
5
12,7 – 38,4
4.56 – 64
7.94 – 65,2
31,8 – 67,9
10 – 87,8
23,1 – 97,5
0,40 – 0,105
11- 14
2,3 – 33,6
2,3 - 26
2,3 - 55
10 – 48,7
10 - 52
10 -87
Kecerahan (m)
Kedalaman dasar (m)
Chlorofil (µg/L)
TP (µg/L)
Kecerahan (m)
Kedalaman dasar (m)
Chlorofil (µg/L)
TP (µg/L)
Kecerahan (m)
Kedalaman dasar (m)
Chlorofil (µg/L)
TP (µg/L)
Kecerahan (m)
Kedalaman dasar (m)
Chlorofil (µg/L)
TP (µg/L)
Kecerahan (m)
Kedalaman dasar (m)
Chlorofil (µg/L)
TP (µg/L)
Kecerahan (m)
Kedalaman dasar (m)
0,40 – 1,10
4 – 9.9
11 - 213
30,4 - 219
0,17 – 0,80
4-5
2,3 – 47,1
9,9 – 78
0,30 - 1
10.5 - 15
16,6 – 86
38 – 273
0,1 - 0, 82
3,8 - 6
12,9 – 118
32,4 – 146
0,54 – 1,19
3 - 5,2
25- 106.58
32- 136
0,47 -1,11
10.8 – 12
7,6 – 93,5
22,5 – 112
4,5 – 27,2
15.8 – 53,7
12,9 – 31,7
32 – 117
13,6 – 34,8
22,4 – 63,4
12 - 95.65
16 - 126
2,3 – 65,2
9,9 – 97,6
54 – 119
30 - 166.47
48-185
Keterangan / Remark :
- Pengambilan contoh dilakukan pada bulan Maret, Mei, Juli dan Nopember tahun 2010 /Sampling was conducted on
March, May, July and November 2010
421
A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422
Lampiran 2.
Appendix 2.
No
Kelimpahan,keanekaragaman dan keseragaman plankton Waduk Gajahmungkur
Abundance,diversity and equitability of Plankton at Gajah Mungkur Reservoir
Jenis/
Species
Kelimpahan rata rata/ Avarage abundance (sel/l)
Stasiun/Stations
Inlet
Tengah
KJA Aquafarm
0m
3m
0m
3m
0m
3m
Outlet
0m
A
FITOPLANKTON
Amphora sp.
42
1
0
0
0
0
0
0
Anabaena
menderi
42
125
114
2
0
0
0
0
Ankistrodesmus spiralis
42
3
0
0
0
0
0
0
Chroococcus
sp.
1.083
8.523
3.417
958
5.682
625
4
6
Closterium juncidum
227
42
167
167
5
0
0
0
Coconeis sp.
42
6
0
0
0
0
0
0
Cosmarium absoletum
125
125
568
7
0
0
0
0
Cymbella sp.
114
8
0
0
0
0
0
0
Merismopedia elegan
455
1.625
1.167
2.159
333
9
0
16
Microcystis sp.
1.000
2.386
750
227
125
10
0
84
Mougeotia sp.
42
167
11
0
0
0
0
0
Navicula radiosa
250
455
958
125
1.136
12
3
Nitzschia sigma
250
833
125
13
0
0
0
0
Pediastrum duplex
208
1.932
42
72
167
568
292
14
Peridinium willey
0
0
0
256
0
0
0
15
Phacus sp.
0
341
0
0
375
0
0
16
Pinularia sp.
0
0
0
0
0
114
0
17
Staurastrum
gracille
500
3.523
917
178
1.333
2.727
833
18
Synedra ulna
66.458
50.909
43.958
1.641
85.208
72.727
26.250
19
Trachelomonas
sp.
0
227
0
0
0
0
0
20
Ulotrix aequalies
0
1.023
0
3
0
227
42
21
Kelimpahan (N)
69.916
70.570
51. 168
2.259
91.079
86.249
28.792
Jumlah species (i)
10
13
10
9
13
11
9
Indeks keanekaragaman ( H’ )
0,28
1,08
0,60
0,98
0,37
0,69
0,46
Indeks keseragaman (E)
0,12
0,42
0,26
0,44
0,14
0,29
0,21
ZOOPLANKTON
B
Ceratium hirundinella
0
0
0
6
0
0
0
1
Cyclops sp
0
455
0
44
0
144
42
2
Difflugia sp
0
0
0
0
83
0
0
3
Keratella valga
0
114
0
0
0
0
0
4
Trachelomonas granulosa
42
0
0
6
125
114
125
5
Trichocerca tenuior
0
0
0
0
42
0
0
6
Kelimpahan (N)
42
114
0
56
625
258
167
Jumlah species (i)
1
1
0
3
4
2
2
Indeks Keanekaragaman (H’)
0
0
0
0,67
1,10
0,69
0,56
Indeks keseragaman (E)
0
0
0
0,61
0,78
0.99
0.81
Keterangan/Remark :
Pengambilan contoh dilakukan bulan Maret dan Juli 2010 / Sampling was conducted on March and July 2010
422