Abui stories from Takalelang

Transcription

Abui stories from Takalelang
Netanga neananra dei lohu naha
Abui tanga heateng ananra
Cerita-cerita dalam Bahasa Abui
dari Takalelang
Edisi pertama
Abui stories from Takalelang
First edition
2008
Penyusun
Dr. František Kratochvíl Ph.D.
Bpk. Benidiktus Delpada
Netanga neananra dei lohu naha
Abui tanga heateng ananra
Cerita-Cerita dalam Bahasa Abui dari Takalelang
Edisi pertama 2008
Abui stories from Takalelang
First edition 2008
Diterbitkan dalam rangka kerjasama antara:
Universitas Leiden, Belanda
dan
Unit Bahasa dan Budaya, GMIT
Jl. Perintis Kemerdekaan, Kota Baru
Kupang - NTT 85228
Dilarang memperbanyak buku ini untuk tujuan komersial. Buku ini boleh
diperbanyak untuk tujuan non-komersial setelah berkonsultasi dengan
Penyusun.
Foto-foto:
© Alena Lišková
© Floris Scheplitz
© František Kratochvíl
© Karsten van der Oord
© Peter Newman
Hak cipta © 2008 dipegang oleh Penyusun dan dilindungi oleh undangundang.
BUPATI ALOR
SAMBUTAN BUPATI ALOR
Kita mensyukuri anugerah Tuhan Yang Maha Pengasih karena hanya atas
penyertaan-Nya, Cerita-cerita suku Abui ini telah disusun dengan baik untuk
dapat dinikmati oleh masyarakat.
Pemerintah Kabupaten Alor menyampaikan terima kasih kepada Lembaga
Penelitian Ilmiah Belanda (Nederlands Wetenschappelijk Onderzoek),
Program Dokumentasi Bahasa Daerah di Alor dan Pantar oleh Universitas
Leiden (Belanda) yang mendukung dan mendanai penyusunan buku ini.
Pemerintah Kabupaten Alor menyampaikan terima kasih juga kepada Research
Centre for Linguistic Typology Universitas La Trobe (Melbourne, Australia),
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta dan Universitas Kristen Artha
Wacana Kupang yang menopang studi budaya suku Abui, terutama kepada
Tim Penyusun, Benidiktus Delpada dan Dr. František Kratochvíl Ph.D.
Buku ini meliputi sejumlah cerita dan sejarah suku Abui di Takalelang dan
sekitarnya. Diharapkan, dalam perkembangan waktu, sastra suku-suku di
Kabupaten Alor didokumentasikan dan diterbitkan, sehingga menjalin satu
ikatan, dalam kesadaran akan pentingnya persatuan budaya yang unik.
Diharapkan juga, semoga kekayaan sastra suku-suku di Kabupaten Alor akan
terus diwariskan kepada para generasi berikutnya.
Kiranya “Takut akan Tuhan” yang adalah permulaan pengetahuan,
membimbing semua yang berusaha untuk mendokumentasikan sastra dan
budaya Kabupaten Alor dalam membuat yang terbaik bagi masyarakat.
Tuhan menyertai kita sekalian.
Kalabahi, 20 Maret 2008
Bupati Alor
Ir. Ansgerius Takalapeta
UCAPAN TERIMA KASIH
Buku ini disusun dalam program Dokumentasi Bahasa Daerah di Alor dan
Pantar di Universitas Leiden, Belanda, dengan dana dari NWO (Nederlands
Wetenschapelijk Onderzoek, Lembaga Penelitian Belanda) dan dalam program
Dokumentasi Bahasa Daerah di Universitas La Trobe, Melbourne di Australia.
Buku ini dicetak dengan dana dari NWO (Lembaga Penelitian Belanda) dan
dari Bupati Alor, Bapak Ir. Ansgerius Takalapeta. Isi buku ini dirampung oleh
penyusunnya di Takalelang dan Tifolafeng sejak tahun 2003. Kami
berterimakasih kepada Bapak Waksi Maufani dan Ibu Deri Malaipada yang
menolong kami dengan menulis dan memperbaiki isinya.
Para penyusun mengucapkan terimakasih untuk keluarga besar di
Takalelang, khususnya para penutur asli yang siap membagi pengalaman dan
budaya mereka. Oleh karena kesetiaan mereka kami bisa dokumentasikan satu
belahan yang kecil dari budaya suku Abui di Takalalelang.
Khususnya kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Martinus Maufani,
Bapak Alfred Maufani, Bapak Lambertus Maufani, Bapak Anderias Padafani,
Bapak Elias Atafani dan Ibu Amelia Lanma yang ceritanya diterbitkan di dalam
buku ini.
Kami juga ucapkan terimakasih kepada Bapak Timoteus Lanma, Bapak
Piter Lanma, Bapak Jhon Melang, Bapak Vinsen Yetimauh, Bapak Antonius
Maisina, Bapak Markus Atafani, Bapak Karel Malbiyeti, Bapak Simson
Padama, Bapak Selfius Fanmaley, Bapak Yahya Malbieti, Bapak Ayub
Yetimauh, Bapak Abner Yetimauh, Bapak Vinsen Yetimauh, Bapak Anselmus
Yetimauh, Ibu Loriana Fantang, Adik Fransiskus Fanmalei, Adik Daniel
Lanma, dan Adik Piter Padafani dan lainnya yang kami tidak sempat
menyebutkan namanya satu per satu yang turut berpartisipasi dalam
dokumentasi bahasa dan budaya suku Abui.
Sekali lagi kami sangat berterima kasih kepada Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya di Jakarta dan Universitas Kristen Artha Wacana di
Kupang untuk mendukung program dokumentasi secara resmi, khususnya
Bapak Dr. Uri Tadmor PhD dan Ibu Dra June Jacob M.A. atas semua
bantuannya sampai sekarang. Kami berterima kasih kepada Dr. Joanna Sio
Ph.D. yang memberbaiki dan menyempurnakan Bahasa Inggris. Kami juga
sangat berterima kasih kepada keluarga Bapak Timoteus Lanma dan keluarga
Bapak Christian Dami yang telah denga iklas menerima kami di rumahnya di
Takpala dan di Kalabahi.
Sura homi • Daftar isi • Table of contents
SAMBUTAN BUPATI ALOR
UCAPAN TERIMA KASIH
Pikai bula ya takang siking
Pikai bula ya hiek bula
Luka-luka ya tafui
Luka-luka ya yoikoi I
Luka-luka ya yoikoi II
Luka-luka ya yoikoi III
Hieng akuta ya hawei beeka
Ruwol bira
Tafaa hebel
La teitu nikalieta…
Biel tuku
Poying Padalehi
Halifi lohu
Mon Mot mon
Moku yeting-ayoku
Fu munuma
iii
iv
2
4
6
10
14
16
20
24
26
30
38
42
54
68
78
114
Pikai bula ya takang siking
Amalia Lanma
Pikai bula nuku, takang siking nuku. Henil do, di hefangi:
“Nefeela, pining ayoku yaa wata mia yo!”
“Ma, te mia?”
“Ai, na pining nuku mia hién do, wata do latukoi
faring. Hare pining ayoku yaa mia yo!”
“Ai, kaang to!”
Henir ba nala yo, wan dining ayoku yaa wata iya do mia,
pikai bula do di hefangi ya:
“Nefeela, ma ede mara mia re, nede mara mia?”
Henil ti, tanai dei takang siking di marei re kaang, haba
naha ya, pikai bula hemarei. Wah, di mara-mara yo, ya
wata upi do dei hién naha ya, di mara mi hepikai do wó
wata isi do ming tapei, yo... dotilaka.
Dotilaka do, hefeela ba takang siking di o do mia, di dalal,
dalal, dalal, ai, hetakang do siki ya, wan moni.
Hare nuku wó dotilaka ba moni, nuku o takang siki ba
dining ayoku sama-sama mon ba kaanri.
2
Kepala tajam, pinggang ramping
Sharp Head and Thin Waist
Oleh Amalia Lanma
A fable by Amalia Lanma
Satu Kepala Tajam, dengan Pinggang
Ramping, dia bilang begini:
"Sobat, kita dua pigi curi kelapa oo!"
One day Sharp Head said to Thin
Waist:
“Hey buddy, let’s go and steal
some coconuts!”
“Where are they?”
“Well, I saw a lot of coconuts in
some place. So let’s go and get
some!”
“Well, okay.”
And so they went until they came
under a coconut tree. Thin Waist
said:
“Hey buddy, will you climb up or
should I climb up to get the
coconuts?”
It would be better if Thin Waist
climbed the coconut tree, but he
didn’t. Instead, Sharp Head
climbed up.
Wow, he climbed but he didn’t
see any coconut hanging above
him and as he climbed, he stabbed
his sharp head in a coconut and he
got stuck there.
As he was hanging there, his
friend Thin Waist under the tree
burst out laughing and, ooh, as he
was shaking from laughter, he
broke his waist and died.
So one was hanging dead in the
coconut tree and the other one was
lying under it with a broken waist.
Both are dead and that’s the end.
"Ada di mana?"
"Ai, saya lihat di satu tempat ni,
kelapa ni terlalu banyak. Jadi kita dua
pigi ambil oo."
"Yoo, baik."
Begitu, ni yang dorang dua pigi,
sampe di bawa pohon kelapa
Pinggang Ramping ni dia bilang:
"Sobat, lu yang naik ambil ko saya
yang naik ambil?"
Begitu na, coba Pinggang Ramping
panjat na baik, tapi tida ko Kepala
Tajam yang panjat.
Wah, dia panjat naik, ni yang dia tida
lihat bua kelapa habis, dia panjat na,
dia pung kepala ni dia tusuk di bua
kelapa, oo, dia tagantung.
Dia tagantung ni, dia pung teman
yang Pinggang Ramping di bawa ko
dia tertawa, ei, dia pung pinggan ni
putus habis, mati.
Jadi satu ada tagantung di atas ko
mati, satu di bawa ko pinggan putus,
dorang dua sama-sama mati ko
habis.
3
Pikai bula ya hiek bula
Amalia Lanma
Pikai bula ya hiek bula dining ayoku dikang yaa ama hewata
takai ba heniri ya, dining ayoku yaari ya, wata iya do mia
henil ti, hiek bula nu di hefangi ya:
“Nefeela, ma ede mara re, nede mara?”
Henil ti, pikai bula di hefanga:
“Ai, nede mara yo!”
Henir ba nala mai, hel pikai bula do di wata do hong yaa
mara-mara-mara, marei ba di wata upi do hién naha ya,
wah, di mara mai, hepikai do wó wata dong tapei ya, ah,
dotilaka, del ber tang baai beeka, dotilaka.
Henil mai, wah, hefeela ba hiek bula do di o mia, di dalal ba
diek rel diek bai, o..., hel baai hiek nu sei wo wata ai nu
ming tapei ya, wan maha do nateti yo.
Hen diek telang foyang baai beeka, nuku wó dotilaka, nuku
o donatet to. Kaanri to.
4
Sharp Head and Sharp Butt
A fable by Amalia Lanma
Kepala tajam, pantat tajam
Oleh Amalia Lanma
Kepala Tajam dengan Pantat Tajam
dorang dua lagi pigi curi orang pung
kelapa ko begitu habis, dorang dua
pigi di bawa pohon kelapa begitu na,
Pantat Tajam dia bilang:
"Sobat, habis lu yang naik ko saya
yang naik?"
One day Sharp Head and Sharp
Butt went out to steal coconuts
and when they came under a
coconut tree, Sharp Butt said:
Begitu na, Kepala Tajam dia bilang:
"Ai, saya yang naik, oo!"
Begitu na, ini Kepala Tajam ni dia
panjat kelapa pigi naik di atas ko dia
tida lihat bua kelapa habis, dia naik ni
yang dia pung kepala tusuk di bua
kelapa habis, ah, tagantung, dia tida
bisa cabut diri, tagantung terus.
And so Sharp Head said:
“Oh, let me climb up!”
Sharp Head started climbing up
the coconut tree. As he was
climbing, he didn’t see a coconut
hanging and stabbed his sharp
head in the coconut. He got stuck
there. Unable to pull his head out,
he was hanging in the tree.
And when this happened, his
friend Sharp Butt who was under
the tree burst out laughing,
shaking his butt up and down. As
he was laughing, he stabbed his
sharp butt in the roots of the
coconut tree and got stuck there.
So one was dead hanging in the
tree and the other one was dead,
being stuck in the roots. That’s the
end.
“Hey buddy, now, will you climb
up or should I climb up?
Begitu na, dia pung sobat Pantat
Tajam ni yang ada di bawa ni, dia
tertawa ko banting-banting turun dia
pung pantat juga, itu dia pung pantat
tu tikam di akar pohon kelapa habis
na, dia juga berdiri tu.
Jadi satu mati tagantung di pohon,
satu mati berdiri di tana. Habis tu.
5
Luka-luka ya tafui
Amalia Lanma
Luka-luka nuku, tafui nuku dining ayoku tefeela do, ai, hen dining
ayoku wó takata baai yaa, di o tama wal baai yaa, henile.
Henir ba nala do, dining ayoku wi taha nuku mia, wi tileesing
taha hedo mia, dining ayoku ming tapei saki ya:
“Nefeela, edo, a takatang mara kaang, hare a mara
pibatako ye pibalee ye henir ba tahai sei, nedo, na pa piafu
tahai yo.”
“Kaang to!”
Henir ba nala do, hel tafui do di hel luka-luka do la hakolri. Hel
luka-luka do, di marei ba mara bataako baai hetei, balee baai
hetei, kupang bataako, baleei loku baai di mia.
Henil do, hen di mi ba pakai dong ii ya, ui helúka-lúkadi ba bani
di sei. Saai ba nala ti, hen sei hel wi taha yo mia. Di wi taha do
mia do, hen di nala kar-nuku do hen mi ba sei ii. Sei ii ya, nala do,
di hefangi ya:
“Nefeela!”
Henil ti, ya o hiek wo mia hamoi:
“Hah, marang re!”
Henil ti, o wi uwo mia hamoi. Henil do dompang:
“Ah, hedo maha o la namoi ba!” henile.
“Feela!”
Henil ti, o wi uwo do mia dikang hamoi. Hedo di hedompang
maiye, hedo e hato do e hamoi yo, heniri. Henir ba nala mi hen di:
“Ah, dooma baai!”
6
Kera dengan ketam
Monkey and Crab
Oleh Amalia Lanma
A fable by Amalia Lanma
Monyet satu, Ketam satu, dorang dua
baku kawan ni, ai, dorang dua biasa
naik di darat juga, dorang dua turun di
laut juga, begitu.
Begitu, ni yang dorang dua di atas
batu satu, di atas batu yang pelat
dorang dua baku janji bilang:
"Sobat, lu bisa naik di darat, jadi lu
naik cari kita pung ubi, kita pung
petatas begitu habis, bawa turun,
saya ni, saya turun cari kita pung ikan
oo."
"Baik la!"
Begitu yang itu Ketam ni dia akal-akal
sama Monyet saja.
Ini Monyet ni, dia naik ko gali ubi juga,
petatas juga dia gali, ubi kupang atau
barang yang pisang dorang juga dia
ambel.
Begitu na, dia ambel ko taru di bakul
habis, pikul turun, ini yang dia turun di
atas itu batu.
Dia di atas batu ni, dia ambil itu
semua barang ko taru di atas. Taru
habis ni, dia bilang:
"Sobat!"
Begitu na, ada menyaut di bawa dia
pung pantat bilang:
"Ah, naik ko?"
Begitu na ada menyaut di bawa batu,
begitu ni, dia pikir:
"Ah, ini siapa yang menyaut saya e?"
begitu.
"Sobat!" begitu na, dia ada menyaut
lagi di bawa batu.
Ini dia pikir ko dia pung burung yang
tadi menyaut tu, begitu dia bilang:
"Ah, jangan la!"
Monkey and Crab used to be
friends. Usually, they hanged out
either on the shore or at the sea.
Once they were sitting on a stone,
a large flat stone, and they made a
deal with each other:
“Hey buddy, you can go up on the
shore, so you go look for cassavas
and get some sweet potatoes, and
bring them down here. As for me,
I will go catch some fish.”
“All right!”
In this way, Crab fooled Monkey.
Monkey went up to dig cassavas,
sweet potatoes, as well as some
bananas and things like that.
After that, he put them in the
basket, and then brought them
down. He brought them down
onto the stone.
As he got to the stone, he took
everything out and put them on
the top of the stone. After he put
them down he said:
“Buddy!”
And then a voice answered from
under his butt, saying:
“Hey, come up!”
The voice came from under the
stone, so he thought:
“Ah, who is this that is answering
me?”
“Buddy!” and again a voice
answered from under the stone.
He thought that it was his penis
that just answered him, so he said:
“Don’t do that!”
7
Hen dikang di:
“Feela!”
Henil ti, o hamoi:
“Wah!”
Di wi nuku mi ya, hen dowile do:
“Wah, a namoi ko yal a mon te!”
Henil do, di wi do baai ba ming haliel ba nala do:
“Feela!” henil ti: “hm?” henil.
“Wah, ko yal a mong bai, ko yal a mong bai!”
Henir ba nala yo hen:
“Feela!” henil ti ya: “hm?” henil.
“Wah!”
Di e wi bang haliel do, di mi ba dato do la baabi la tapei yo, hen
moni. Mon ba hen ma iti yo, henir ba hel tafui do hen hedalali ya,
marang, denala loku do tawati ya, mi ba o tama wal dong yaari.
Hen mia kaanri.
8
Lagi dia bilang lagi: "Sobat!"
Begitu na, ada menyaut: "Wah!"
Dia ambil batu satu habis ko dia
bilang begini: "Wah, lu menyaut saya
nanti lu mati dulu!"
Begitu ni, dia suda angkat ini batu ni:
"Sobat!" begitu na: "hmm!" begitu.
Again he called: “Buddy!”
And it again answered: “Hey!”
He took a stone and said to his
penis: “Hey, if you answer me
again, I will kill you!”
And he raised the stone and said:
“Buddy!” and then it answered
“hmm!” just like that.
“Hey, I will kill you, I will really
kill you!” and he called one more
time: “Buddy!” and it answered
again “hmm!” just like that.
Wow, he smashed the stone down
on his penis, ooh, and he was dead
indeed.
He was lying there dead when
Crab came up and started
laughing. He took all that stuff
and went back down into the sea.
That’s the end.
"Wah, nanti lu mati la, sekarang lu
mati dulu!” begitu habis dia bilang:
"Sobat!” begitu na: "hmm!” begitu.
Wah, ini batu ni dia ambil ko titik dia
pung burung, oo, dia mati memang.
Mati na, ada taru ni, Ketam dia naik
ko tertawa, dia ambel dia pung
barang dorang, bawa semua ko turun
di dalam laut. Di situ ko habis.
9
Luka-luka ya yoikoi I
Amalia Lanma
Luka-luka ya yoikoi dining ayoku do, di hetok fangi ya:
“Nefeela, na wó do mia baleei nuku hiéni hare, pining
ayoku yaa mia yo!”
Henil mi, yoikoi do di hefangi ya:
“Kaang to!”
Heniri ya, dining ayoku kul di lake. Di lak-laki ya, ming hapekda
ti, yoikoi di:
“Nefeela, te mia?”
“Ai, wó peka do mia yo.”
Henir ba nala dining ayoku marei ya, di mara, wo, hel baleei wo
do mia, luka-luka do di baleei do hong yaari. Hong yaari ya, di
ming sik ba nee. Neei kaanra mai, hekai do mi o defeela do hok
hayei. Henil ti, yoikoi do di hefangi ya:
“Nefeela, ma nukung siki ba nel baai nel re!” henil ti ya:
“Ma iti na ong hayei nu.”
“Ah, hedo hekai do!” henil ti, di hefanga:
“Ah, hen baai ba eng doden takai baai yo!”
Henil dikang di ming sik ba nee, neei kaanra masi, dikang hekai
ong hayei.
“Nefeela, hedo hekai hu a mi nok hayei do.”
“Ai, eng la aranra baai, korbai se, ko na ong hayei yo!”
henil.
10
Monyet dengan Penyu I
Monkey and Turtle I
Oleh Amalia Lanma
A fable by Amalia Lanma
Monyet dengan Penyu dorang dua ni
baku omong bilang:
“Sobat, saya lihat pisang satu di atas
jadi, kita dua pigi ambil, oo!”
Begitu na, Penyu ni dia omong bilang:
“Yoo, baik!”
Begitu habis, dorang dua betul jalan.
Dorang jalan sampai di sana na,
Penyu dia bilang:
“Sobat, di mana?”
“Ai, ada dekat di atas oo!”
Monkey and Turtle were talking
to each other when Monkey said:
“Buddy, I saw a banana tree up
there, so let’s go get some!”
And then Turtle said:
“Well, okay!”
Afterward, they started walking.
They walked towards the place,
and then Turtle said:
“Buddy, where is it?”
“Oh, it is nearby, up there!”
Begitu na, dorang dua naik habis,
naik sampai di bawa itu pisang,
Monyet ni panjat itu pisang. Panjat
habis, dia petik ko makan. Makan
habis, dia pung kulit ni dia kasi jatu di
dia pung teman. Begitu na, Penyu ni
dia bilang:
“Sobat, habis, petik satu kasi saya
juga, ko!” begitu na:
“Habis, itu saya kasi jatu tu.”
“Ah, ini dia pung kulit ni!” begitu na
dia omong bilang:
“Itu juga, biar lu makan, ko?”
And then they went up, until they
came to a banana tree and
Monkey climbed up. When he
climbed up, he plucked bananas
and ate them. After he ate them,
he threw the skin down on his
friend. And so Turtle said:
“Buddy, pluck one for me too!”
And then Monkey answered:
“Oh, I just dropped one!”
“No, this is just a banana skin!”
Then Monkey said:
“Well, then you will have to eat it,
no?”
He continued plucking and eating
the bananas and dropping the skin.
“Buddy, what you just dropped
down is again just a piece of
banana skin!”
“Oh, just calm down, I will drop
you some in a minute!”
Begitu lagi dia petik ko makan, makan
habis, dia pung kulit dia kasi jatu lagi.
“Sobat, ini dia pung kulit ni yang lu
kasi jatu di saya ni!”
“Ai, lu tenang la, sebentar dulu la,
nanti saya kasi jatu, o!” begitu.
11
Henil ba dining ayoku di ming tei sasang palepal do, lunga naha
halo, hel baleei headuo hen uwo sei. Sei ba nala yo, hen yoikoi di
hefangi:
“Wah, ko yal ko na uwo nang iti headuo nu hor te baai!”
henil ti:
“Hol re, edo ha to!”
Henir ba nala yo, hel yoikoi do di hefangi ya:
“Woo,... ama fa ribaleei takai yo!”
Henil yo, wan o... luka-luka deina dapakdi hayei, furai ba laki.
Yoikoi do dara maha dakil dawai yo, hen headuo loku do wan siei:
“Eits, feela, pimahiting o pa yo!”
Henil do, wan di piei kaanri ya, dotafuda di hebuk-bukdi kaanri
ya, di ming harekdi kaanri, di laini toku mi del teyeni.
Hen mia, do kaani.
12
Begitu ko dorang dua baku balas ni,
tida lama tu, itu pisang punya tuan tu
ada turun. Turun ko ini Penyu dia
omong bilang:
“Waa, nanti saya panggil itu dia pung
tuan dulu la!” begitu na:
“Panggil, ko? Dari lu tu!”
They were arguing like this on
and on and soon the owners of the
bananas came down. As he was
coming down, Turtle said:
“Hey, I will call the owners now!”
“Well, call them then! It’s up to
you!”
So the Turtle started shouting:
Begitu habis, ini penyu ni dia omong
bilang:
“Ooh, orang ada curi kamu pung
pisang, oo!”
“Hey, someone is stealing your
bananas!”
Begitu tu, itu Monyet tu, dia sendiri
suda lompat turun lari ko jalan. Penyu
ni dia masi bolak-balik tu, dia pung
tuan dorang suda turun:
After that Monkey jumped down
from the banana tree and ran off.
While Turtle was still running
around, the owners were already
getting there:
“Hey guys, our dinner came
here!”
“Oo, sobat, kita pung daging ada
turun, oo!”
Begitu ni, dorang turun habis, dorang
semua kerumun habis, dorang balik
Penyu habis ko potong cincang ko
dorang baku bagi.
After they all came down, they
surrounded Turtle. They turned
him upsidedown, cut him up in
pieces and divided Turtle among
each other.
And that’s the end.
Habis di situ.
13
Luka-luka ya yoikoi II
Amalia Lanma
Heayoku dikang luka-luka ya hel iti yoikoi dining ayoku.
Dining ayoku dikang hetok fangi ya, luka-luka do di dikang
baleei nuku hién ba. Henir ba nala mai, hen yoikoi di
defeela hok fangi:
“Nefeela, a baleei hién maiye, masi na karong do mi
maran te, a mara ming ii ya, mi ba sei, pining ayoku
nee yo!”
“Ai, kaang to!”
Henil do, yoikoi do di karong do hiek ong tukolri kaanra
mai, mi luka-luka do heri ya, di mara baleei dong siki ba
ong hayei masi, dong lohu o anai sei hayei. Henil masi,
yoikoi di neei kaanra, hekai mi darek wo dong we. Dikang di
ming sik ba ong hayei masi, dong lohu o hopa mia di hekui
ba neei, dikang la mi datook wo dong we henil.
Henil-henil do hen, ama loku, baleei do wan takdi ya, di
akang sei yo, ai, baleei kai do fung-fungdi ba toka ya, nala
yo, hen do wile do:
“Ah, eng maha takia re neng baleei do nonakal nee do
mai ya!”
Karong yo tirei si, taka kaang. Henilo, yoikoi yo hen e taki.
Taki ba o detamang yaari. Hen mia ba do kaani.
14
Monyet dengan penyu II
Monkey and Turtle II
Oleh Amalia Lanma
A fable by Amalia Lanma
Yang kedua lagi, sekarang monyet
dengan penyu dorang dua. Dorang
dua ni baku omong lagi, monyet ni
suda lihat pisang satu lagi bilang.
Begitu habis na, penyu dia kasi tau
dia pung teman: "Sobat, lu su lihat na
nanti saya ambil karong bawa naik
dulu baru lu naik taru, naik taru ko
turun ko kita dua makan o!"
Another one, now again about
Monkey and Turtle. The two of
them made a deal again because
Monkey said he saw some
bananas. And so Turtle told him:
“Buddy, you have already seen
the bananas, so let me get you a
bag. You can climb up and put the
bananas in there and when you
bring them down again we will eat
them!”
“Well, okay!”
And so he made a hole in the
bottom of that bag.
After Turtle made a hole in the
bottom of that bag, he gave it to
Monkey. Monkey climbed up to
pluck bananas but they fell
straight onto the ground. After
that Turtle ate them and put the
skin under his belly.
Monkey kept plucking the
bananas but they fell straight next
to Turtle, who peeled and ate
them and put the skin under his
belly.
In this way, it went on and on,
wow, the banana tree was all
plucked so Monkey climbed down
again, oh, he saw banana skins
were lying everywhere, so he said:
“You left and let me eat all the
bananas on my own?”
Then he looked in the bag and
saw that it was empty. Turtle was
gone too.
Turtle ran back to the sea. That’s
the end.
"Yoo, baik!"
Begitu dia kasi lubang karong pung
pantat.
Penyu ni dia su kasi lobang karong
pung pantat habis, kasi monyet na,
dia naik petik pisang ko kasi jatu na,
langsung turun di tana.
Begitu na, penyu dia makan habis na,
ambel dia pung kulit ko kasi masuk di
bawa dia pung dada.
Dia petik lagi kasi jatu di karong na,
langsung jatu di dekat penyu ko dia
kupas ko makan, lagi dia pung kulit
dia ambel kasi masuk di bawa dia
pung dada begitu.
Begitu-begitu ni, aduu, pisang ni suda
habis ko dia turun di tana tu, aaa,
pisang pung kulit tatumpuk taru
banyak sekali na, dia bilang begini:
"Aaa, lu lari ko saya yang pisang ni
saya makan sendiri ni!" begitu.
Dia periksa karong na, kosong. Begitu
na, penyu tadi suda lari.
Dia lari ko pigi di dia pung laut. Habis
di situ.
15
Luka-luka ya yoikoi III
Amalia Lanma
Luka-luka nuku ya yoikoi nuku ba dining ayoku tefeela. Tefeela
do, hel yoikoi do di marani ya, defeela do hel eki dining ayoku di
yaa ama hebaleei do takai. Takai-takai ba nala do, detamai la
marang la marang ba. Henir ba nala mi, di hefangi ya:
"Nefeela, netamai opang marang-marang do beeka hare, el
baai pufal nemelang yaa yo."
Henil ti ya: "Kaang to!" henil.
"Kaang, haba ko na te wil ba?"
"Ai, kaang to, ko a neui tahang mit to!" henile.
Henir ba nala mi di hen:
"Masi, pi lako!"
Di heui taha dong mitdi ya, hel yoikoi do di ayong-ayong-ayong ko
yaa, oro tama hieng kula mia, defala hada sama do mia yo, ah, di
la rungri yo, sei lik taha dong miti. Henil do, helik hefala do, ai,
bilen ba tanai naha ba. Henir ba nala do, hen hewil wedo, hen di
sieng do tapei taki ya, hen mari, dikang ruwol kiyekai awang-
awang nuku hapuni, hedo baai hieri kaanri ta mari, hen do tafuda
tobuut tonee ba. Tobuut toneei ba hen hatook fikdi ya, hen
kaanri. Kaanri mi nala do, hel yoikoi do di hefanga:
"Nefeela, nemayol do harike. Harik do, di oro hefanga ti, di
ebukomang do nee maiye, hokaanra baai yo."
16
Monyet dengan penyu III
Monkey and Turtle III
Oleh Amalia Lanma
A fable by Amalia Lanma
Monyet satu dengan penyu satu
dorang dua baku teman. Dorang baku
teman ni, ini penyu ni dia naik ko ajak
dia pung teman ko dorang dua pigi
curi orang pung pisang. Curi-curi
begitu, ni yang dia ni naik-naik terus.
Begitu na, dia omong bilang: "Kawan,
saya sendiri naik di lu terus ni tida
baik jadi, lu juga, kita dua pigi di saya
pung kampung oo!"
Begitu na, dia bilang: "Yoo, baik!"
begitu.
"Baik, tapi nanti saya bagimana
dulu?"
"Ai, bisa la, nanti lu duduk di atas
saya pung belakang tu!" begitu.
Begitu na, dia bilang begini: "Itu na
kita jalan oo!"
Begitu dia duduk di atas dia pung
belakang na, penyu dia berenangberenang pigi sampe di tenga laut,
sejajar dengan dia pung ruma na, dia
selam tu, turun duduk di atas balebale. Begitu ni, dia punya kampung
halaman ni dia pung warna-warni
bagus sekali bilang. Begitu na, dia
pung anak ada tumbuk padi taru
habis, masak, lagi dia tangkap ayam
jantan satu habis, ini ni juga bakar
habis ko taru, kasi dorang makan
minum rame-rame. Kasi dorang
makan-minum rame-rame habis,
dorang pung perut su kenyang. Habis
na, ini penyu ni dia omong bilang:
"Sobat, saya pung bini ni sakit, dia
ada omong bilang dia makan lu pung
jantung dia sembu bilang."
Monkey and Turtle were friends.
They hanged out a lot, so Turtle
invited his friend to go steal some
bananas. And because of their
stealing, he kept coming up to the
shore all the time.
And so he said: “Buddy, I myself
keep coming up to you all the
time and that’s not good, you have
to come too. Let’s go to my
village!”
And so Monkey said: “Yes,
okay!” just like that.
“Well, but how can I go?”
“Oh, don’t worry, you will sit on
my back!” said Turtle.
So Monkey said: “Well, let’s go
then!”
And he seated himself on Turtle’s
back and Turtle swam and swam
until he was in the middle of the
sea just above his house. Then he
dived down and landed on the
bench. The village and Turtle’s
house were all really pretty and
colourful.
Turtle’s children pounded rice and
cooked it on fire. They also
caught a rooster and roasted it.
Everyone was served food and
drinks. After they have been
served the food, they ate till they
were really full. Then Turtle said:
“Friend, my wife is sick. She said
if she could eat your heart she
would get better.”
17
Henilo, hen hel luka-luka do hefangi ya:
"Ai, edo baai beeka, henil mi te wir te, a e wó do mia
hefanga naha. Henil ma re, na e mi do, haba hen a hefangi
naha mi, hen na mi naha hare, pining ayoku piwai mara mia
yo."
Hen: "Ai, kaan to!" henil.
Henir ba nala, hen kul di heui taha dong mitdi ya, dikang di la
marani yo, marang tama taha mia. Tama taha miadi ya, hedo
miadi ayong-ayong ya, la marang-marang. Mara takatang
hapekda yo, hen hel luka-luka do dakuri ya, mara wo takata mia
yo, do wile:
"Eh, neng e la akolri baai yo! Ei nala hu ama kaang nuku do
debukomang do doit ba lole, ei, edo kul meikaang naha baai
ya, ama hefangi ya, edo nala wala iéng laka naha do, kul
iéng laka naha!" henil.
Heniri ba nala yo, hen hefeela do hen: "Ai!" O do hen dodungdodangdi ya, malalri yaa ba o dawai demelang piei.
Hen mia kaanri.
18
Begitu na, ini monyet ni dia omong
bilang: "Lu ni juga sala, kenapa tadi
kita masi di atas lu tida omong. Begitu
mungkin tadi saya su ambel ni, tapi
itu lu tida omong na, saya tida ambel,
jadi kita dua kembali naik ko ambel
oo!"
Having heard this, Monkey said:
“Well, there is a problem. Why
didn’t you say so when we were
above on the shore? If you did, I
would have brought my heart, but
you didn’t say a word so I didn’t
bring it, so now we have to go
back and get it!”
So he said: “Well, okay then!”
Then Monkey climbed and sat on
his back again and they went up to
the surface of the sea.
Once they were on the surface of
the sea, Turtle swam and swam to
the shore. When he got close to
the shore, Monkey leaped on the
land and said:
“Hey, I have just fooled you! You
think that one can leave one’s
heart behind and walk around
without it? You are really stupid!
People say that you don’t know
anything and indeed, you have no
idea what so ever!”
His friend just said: “Ay!” and
grumpily went back to his village
in the sea.
That’s the end.
Begitu: "Ai, baik oo!" begitu.
Begitu na, dia betul naik duduk di atas
dia pung belakang, lagi dorang naik
lagi tu, naik di atas air laut.
Di atas air laut habis, dari situ dia
berenang-berenang na, naik terus.
Naik sampai di dekat darat tu, ini
monyet ni dia lompat habis, naik di
darat tu dia bilang:
"Eeh, tadi saya akal lu tu! Lu pikir satu
manusia ni dia pung jantung dia kasi
tinggal ko jalan-jalan, lu memang
betul otak tida baik la. Orang bilang lu
ni tida tau apa-apa memang betul, lu
tida tau apa-apa!" begitu.
Begitu na, dia pung teman bilang:
"Ai!" dan dia ada mengomel ko
kembali turun di dia pung kampung.
Habis di situ.
19
Hieng akuta ya hawei beeka
Amalia Lanma
Dikang hieng akuta nuku, hawei beeka nuku, dining ayoku yaa
wata takai. Wata takai mai:
“Nefeela, na wata nuku hién do, heisi do lakaang kilewaldi
ba iti, hare pining ayoku yaa mia yo.” henil ti:
“Ai, kaang to!”
Heniri ya, dining ayoku kul el hieng beeka nu hefeela hawei beeka
nu di hatang puni dining ayoku lake. Yaa wata iya do mia henil ti,
hieng beeka do dowile do:
“Wah, nefeela, ma ede mara re nede mara?”
Henil ti, hawei beeka:
“Ede ieng beeka, hare nede mara yo!” henil.
Henil mai, hel hawei beeka do di wata do hong yaari. Wata do
hong yaar kaanri ya, di mara nukung siki ong hayei, ong hayei si,
hieng akuta do wile:
“Nefeela, headuo wo sei hare, aleka sei!” henil ti:
“Nuku hadu ong hayei?” henil.
“Wah, sei bai, ó headuo wo sei bai!” henil ti ya:
“Tafuda ong hayei?” henile:
“Hah, natanga ti beeka, eng mada, neng, na takia yo!”
henile.
Heniri ya, wan hel iti hieng beeka hen di furai, furai ba lak-lake.
Di yaa tabung maiye, depikai mi waik wo dong wei, hiek yo iti
yaa-foka dong iti.
20
Mata Buta dengan Telinga Tuli
Blind Eyes and Deaf Ears
Oleh Amalia Lanma
A fable by Amalia Lanma
Lagi satu orang tu, Mata Buta,
dengan satu tu, Telinga Tuli, dorang
dua pigi curi kelapa. Pigi curi kelapa
ni yang Telinga Tuli bilang:
"Sobat, saya lihat kelapa satu ni, dia
pung bua ni sarat ko tagantung. Jadi
kita dua pigi ambel, oo?" begitu na:
"Yoo, baik la!"
Begitu habis, dorang dua betul jalan.
Yang tadi Mata Buta tu, Telinga Tuli
pegang dia pung tangan ko dorang
dua jalan. Pigi sampai di bawa pohon
kelapa, begitu na, Mata Buta bilang
begini:
"Waa, sobat, lu yang naik ko saya
yang naik?"
Begitu na, Telinga Tuli dia bilang
begini:
"Lu ni Mata Buta, jadi saya naik, oo!"
begitu.
Begitu na, ini Telinga Tuli ni dia panjat
kelapa. Panjat kelapa habis, dia naik
petik satu kasi jatu. Kasi jatu na Mata
Buta dia bilang begini:
"Sobat, dia punya tuan ada turun jadi,
cepat turun!"
Begitu na: "Kasi jatu satu lagi?"
begitu.
"Waa, turun la, dia pung tuan ada
turun la!" begitu na:
"Kasi jatu semua?" begitu.
"Waa, saya omong tida bisa, lu di situ,
saya lari oo!" begitu.
Begitu habis, ini Mata Buta ni dia lari.
Lari-lari, lari terus, dia pigi sembunyi
na dia pung kepala dia kasi turun di
bawa kotoran. Dia pung pantat tu kasi
tinggal di jalan.
One man, called Blind Eyes, with
his friend, called Deaf Ears, went
one day to steal coconuts. As they
went, Deaf Ears said:
“Hey buddy, I saw a coconut tree
with a lot of fruits. Let’s go and
get some. What do you say?” his
friend answered: “
Well, okay then!”
After that, they really went. Deaf
Ears was holding the hand of
Blind Eyes and they went. When
they came under the coconut tree,
Blind Eyes said:
“Hey buddy, will you climb or
shall I climb?”
Deaf Ears answered:
“You are blind, so let me climb!”
Deaf Ears started climbing the
coconut tree. When he climbed
up, he plucked one coconut and
threw it down. When the coconut
fell down, Blind Eyes said:
“Buddy, the owner is coming
back, so climb down quickly!”
Deaf Ears answered: “Another
one?”
“No, climb down, the owner is
coming
back!” Deaf Ears
answered: “Should I drop them
all?”
“Hey, whatever I say, you won’t
hear me, I am just gonna run!”
After that, Blind Eyes ran off. He
was running on and on, then, he
went to hide. He put his head
under dry leaves but his butt
remained visible on the path.
21
Henil ti, do hen headuo di saai kaanri, di sei bol balasi ba nala yo:
“Ma e ma rufal?”
“Nefeela nufal yo!”
“Te mia?”
“Wata hong mia yo.”
“A sei re naha ba a mon te!”
Henil di saai kaanri ya, nala hedo baai di bol balasa. O iti hel
hieng beeka ya hawei beeka do ayoku di tobol tobalasi ya, hen
kaanri.
22
Begitu na dia pung tuan ni, dia turun
habis, dia turun pukul habok habis,
lagi omong bilang:
"Habis tadi, lu dengan siapa?"
"Saya dengan saya pung teman oo!"
"Ada di mana?"
"Ada di atas pohon kelapa oo!"
"Lu turun ko lu mati dulu!"
The owner was coming along the
same path. He then beated up
Blind Eyes and he asked him:
“Who did you come here with?”
“I came with a friend!”
“Where is he?”
“He is on the coconut tree!”
“Now you come down, or I shall
kill you!”
So Deaf Ears climbed down, and
he got beaten up too. So the owner
beated up both Blind Eyes and
Deaf Ears badly. That’s the end.
Begitu dia turun habis, ini ni dorang
pukul habok. Ini Mata Buta dengan
Telinga Tuli dorang dua, orang pukul
habok dorang dua ko habis di situ.
23
Ruwol bira
Martinus Maufani
Nuku yo hel baai dara Pada-Alwo mia. Piaremang ba iti Aila
seerang do. Henu hen mia, kalieta loku deruwol nala hu ruwol
bira pei kawai, ruwol bira pei kawai ya, hen mia kalieta yo nuku
mara mi, wo Kamana dong yaari yo, yal pi haliol haliol ya, mara
nu hedi. E deruwol bira ba pei kawai ba mayol hemarei naha ya,
neng hemarei, hane yo o iti Lutangfur.
Henil mi di wóng mara iti Takalutange Mabilutang hayadi. Hare
pido, aremang ba henu ma hefangi ba wó hen wil mayol henir
heya pi la nuku, hel bui wala to kaanri to.
Do aremang ba pido Aila seerang do el Kamana dong marei yo, e
ta na hefangi yo hedi, dikang hane heng ko niéng laka naha haba,
nuku oro Mali dong wei nu.
Mali nu baai hen baai mayol naha, hen neng. Oro iti fala kiyewal
dong we. Falakiyewal dong wei nu Melafur, hen yaa Aila me hel Al
we nu, hen hedi ya Kamana dong marei ba eta na hefanga yo,
henu di hen mia tawali yo, yal pi mara ba ya wonang iti Apui mia
melang hane nala re baai do.
Ya wó Lamang-Taha, melang o Lamang-Taha hen mia, hen iti
Pada-Alwo mia tahai nala hu, di wóng mara mi, yal di hefangi ya,
Lamang-Taha, pido Lamang-Wo. Hene he, hane nu puna ba marei.
Kaanri to.
24
Telur Ayam
Chicken egg
Oleh Martinus Maufani
A genealogy by Martinus Maufani
Satu lagi tu, ini juga masi dari PadaAlwo. Kita pung suku masarakat Alila
ni. Di situ nenek dorang piara ayam
itu yang baku ribut telur ayam. Baku
ribut telur ayam habis, dari situ nenek
satu naik di kampong Kamana itu
yang kita sekarang naik-naik ni dia.
Tadi baku ribut telur ayam ko bukan
perempuan yang naik tapi laki-laki
yang naik. Dia pung nama tu,
Lutangfur.
Begitu na Lutangfur tu dia lahir
Takalutang dengan Mabilutang. Jadi,
kita ni suku, siapa yang omong bilang
itu tu anak perempuan begitu, dia
pung mama, kita satu. Itu sedikit saja
yang dia.
Ini suku ko kita ni, kita suku Alila ni,
tadi naik di Kamana tu, tadi saya
omong tu dia. Lagi dia pung nama
saya tida tau, tapi satu ada pigi
tinggal di Mali tu. Di Mali tu juga
bukan perempuan tapi laki-laki.
Yang pigi lewat bubungan ruma tu, itu
dia pung nama Melangfur, dia yang
datang di Alila tu dia masuk di Islam,
itu dia. Tadi naik di Kamana ko tadi
saya omong tu, dari situ dia peca tu,
sekarang kita naik ko di Apui,
kampung pung nama apa, ko.
Di Lamang-Taha, di kampung tu
Lamang-Taha, di situ juga dia naik
dari Pada-Alwo, dari tu, dia naik di
atas tu yang sekarang dia omong
bilang Lamang-Taha. Kita ni,
Lamang-Wo. Dia yang bawa dia pung
nama ko naik. Suda tu.
There is another story, also about
Pada-Alwo. It’s about our clan,
the Alila tribe. In that place our
ancestors kept chicken and then
got into a fight about the eggs. For
that fight, one of our ancestors
came to Kamana village, from
where all of us came. That
ancestor who left after the fight
was not a woman, it was a man.
His name is Lutangfur.
Lutangfur
had
two
sons,
Takalutang and Mabilutang. So
for those who say the same but
with a female ancestor, we have
the same origin. But there are only
a few of those left.
Our clan, the Alila clan originates
from Kamana, that’s what I just
said. There is another ancestor, I
can’t remember the name, but that
one went to Mali. That one is also
a man, not a woman.
The one that went over the top of
the house is called Melangfur. His
descendants are those who came
to Alila and became Muslim.
Those from Kamana that I was
talking about earlier have some
descendants went up to Apui.
Those in Lamang-Taha, those also
originated
from
Pada-Alwo.
Because they went up, they call
themselves Lamang-Taha, and
they call us Lamang-Wo. That’s
how they got their names from.
That’s all.
25
Tafaa hebel
Martinus Maufani
Tafaa nala heteitu yo fat-tafaa, heayoku maiye, lasing-tafaa.
Hare fat-tafaa, lasing-tafaa. Henir te hu, dikang ya teng-sama,
tama-mia, maneng-mak, kol-malei, hawa-taka, ía-kasing, fehawa do, ai-mala, makaisara e hei yo.
Fiyai-futal hen baai makaisara. Makaisara-manei-taka, dikang
makaisara-namang-wea, yawa, yawa-hawei, dikang yawa o nala
hawei-upi, yawa-hawei-bokung. Kol-malei-tana, bileak-wea yo,
kol-malei-kot-kale, kol-malei-kot-towa miti yo, it-kira-neng
(yawa sua di homi mia yo), it-kira-hatáng-bui, it-kira-hatánglohu.
Hel iti nala, fat-tafaa nu moku tang maiye, lasing-tafaa mi
hetang, lasing-tafaa nu hen tang maiye teng-sama mi hetang.
Teng-sama nu tang maiye, tama-mia mi hetang. Tama-mia tan te,
maneng-mak hetang. Maneng-mak nu tang maiye, kol-malei mi
hetang. Kol-malei tang maiye, hawa-taka.
26
Moko pung Nilai
Prices of Moko Drums
Oleh Martinus Maufani
By Martinus Maufani
Moko yang pertama tu, moko jagung
(fat tafaa), kedua moko gelang (lasing
tafaa). Jadi moko jagung, baru moko
gelang. Begitu dulu, baru di moko
tengsama, moko-tenga (tama mia),
maneng-mak, kolmalei, mulut kosong
(hawa taka), bulan sabit (ía kasing),
mulut babi (fe hawa), ai-mala,
makasar (makaisara-e-hei).
The first moko drum is the corn
drum (fat tafaa), the second the
bracelet drum (lasing tafaa). So
corn drum, then bracelet drum.
Then you get the tengsama drum,
the middle drum (tama mia), the
maneng mak, the kolmalei, the
empty mouth (hawa taka), the
moon crescent (ía kasing), the pig
mouth (fe hawa), and Macassarese
ai-mala (makasara-e-hei).
Fiyai futal is also a Macassarese
drum. The other two from
Macassar are: manei-taka and
bloody clothes (namang wea),
then the jawanese drums: with
ears (yawa hawei), with full ears
(yawa hawei upi) and with pierced
ears (yawa hawei bokung).
Then the soil kolmalei, the bileakwea, the kolmalei kot kale, the
kolmalei kot towa, the male itkira
(this one is worth three Javanese
drums). Then the itkira with short
arms (hatáng bui) and with long
arms (hatáng lohu).
So if you lend someone a corn
drum, they must return you a
bracelet drum (lasing tafaa).
When you lend a bracelet drum,
they return a tengsama drum. For
a tengsama, they return a middle
drum (tama mia). You lend out a
tengsama, they return a manekmaek. When you lend a manekmaek, they return a kolmalei. For
a kolmalei, they must return an
empty mouth (hawa taka).
Fiyai futal itu juga moko makasar.
Lagi moko makasar manei-taka, lagi
makasar pakaian-berdara (namangwea), lagi jawa (yawa), jawa telinga
(yawa hawei), lagi jawa telinga utu
(yawa hawei upi), lagi jawa telinga
lobang (yawa hawei bokung).
Lagi kolmalei tana, bileak-wea,
kolmalei kot-kale, kolmalei kot towa,
lagi itkira laki-laki (itkira neng, di
dalamnya ada tiga jawa). Lagi itkira
tangan pendek (hatáng bui), itkira
tangan panjang (hatáng lohu).
Jadi, kita pinjam moko jagung na, kita
kasi kembali moko gelang (lasing
tafaa). Kita pinjam moko gelang na,
kita kasi kembali moko tengsama.
Kita pinjam tengsama na, kasi
kembali moko tenga (tama-mia). Kita
pinjam moko tenga, kembali manekmaek. Pinjam manek-maek, kembali
kolmalei. Pinjam kolmalei na, kasi
kembali mulut kosong (hawa taka).
27
Hawa-taka tang maiye, ía-kasing; ía-kasing tang maiye ai-mala.
Ai-mala tango henidi ye, makaisara e hei yo.
E ta na hefangi yo, makaisara e hei tang maiye fiyai-futal mi
hetang, makaisara tang o maiye manei-taka mi hetang. Maneitaka tango maiye makaisara-hatáng-bui mi hetang, makaisara-
hatáng-bui tango maiye hatáng-lohu mi hetang. Hatáng-lohu
tango maiye yawa-hawei-nuku yo mi hetang. Hawei-nuku tan te
hu hawei-upi mi hetang, hawei-upi tang hawei-bokung mi hetang.
Hawei-bokung tang maiye kol-malei mi hetang, kol-malei tango
maiye it-kira yawa sua yo mi hetang. Yawa sua ya tang o mai se
hu yal oro it-kira do dikang lake. E hatáng-bui, yawa sua tang nu
hatáng-bui mi hetang. Hatáng-bui tang te hu oro it-kira-hatánglohu mi tang.
E tel hetan mara ha nu.
28
Pinjam mulut kosong na, kasi kembali
bulan sabis (ía kasing). Pinjam bulan
sabit, kembali aimala. Pinjam aimala,
kembali makasar (makaisara-e-hei).
If they borrow an empty mouth,
they must give back a crescent
moon (ía kasing). If they borrow
that one, they return an aimala. If
they borrow an aimala, they give
back a Macassarese drum
(makaisara-e-hei).
If you
lend someone a
Macassarese drum, they give back
a fiyai futal. For a fiyai futal, they
return a manei taka.For a maneitaka, they return a Macassarese
drum with short arms, for that
one, they return one with long
arms. For one with long arms,
they return a Javanese drum with
ears (hawei nuku). For a Javanese
with ears, they give you back one
with full ears. If you lend that one,
they give back the one with
pierced ears. For one with pierced
ears, you return a kolmalei. For a
kolmalei, you return an itkira (or
with three Javanese drums). For
that one you get back the one with
short arms (hatáng bui). For the
one with short arms you get one
with long arms (hatáng lohu).
This is how we count the price of
drums and the interest.
Pinjam makasar itu na, kembali moko
fiyai-futal. Pinjam fiyai-futal, kasi
manei-taka.Pinjam manei-taka na,
kembali makasar tangan pendek
(hatáng bui). Pinjam tangan pendek,
kembali tangan panjang (hatáng
lohu).Pinjam tangan panjang, kasi
kembali, jawa satu telinga (hawei
nuku). Pinjam jawa satu telinga,
kembali telinga utu (hawei upi).
Pinjam telinga utu, kasi dia telinga
lubang (hawei bokung). Pinjam
telinga lubang, kasi kembali kolmalei.
Pinjam kolmalei na, kasi kembali itkira
tiga jawa (yawa sua). Pinjam tangan
pendek dan tiga jawa tu, kembali
tangan pendek (hatáng bui). Pinjam
tangan pendek dulu, baru kasi
kembali itkira tangan panjang (hatáng
lohu).
Ini tadi hitung berturut-turut tu.
29
La teitu nikalieta…
Alfred Maufani
La teitu nikalieta pa Muna buku naha te Pantar buku mia ba tat
tawali. Raha Muna Seli naha te Raha Pandai homing taliol tarena,
hen mia ba ama kaang hada beekadi, hada yenangdi, me Muna
melang mia ba hen tawali, kalieta loku marang Likwatang buku
herotangdi.
Sei Likwatang buku miadi ya, di mara Tipai Baabi buku do hedo
ming afeni. Tipai-Baabi buku do ding afeni, hen mia ba di we homi
hamatai do pining do di hewe heme, di tek batek sampai siang
bila di mia, hen mia ba sei melang Muna melang hedo di oni,
masang di mihi.
Di sei hedo mia ba hakil hawai melang balekna momangdi. Dikang
hen mia ba di dapong mi ba war-sei hareng. Di sei pun namei
marang hetilipang Loma-Lohu Kalang-Masang, di mara Leumang
buku do di heafeni.
Leumang buku do heafeni, hen mia ba di mara abui Kewai buku do
hedo ding yaadi, delelang lol, ama hen mia ba hepet hekafuk naha
te hesora hesapada ama hiéni ya:
“Esora esapada do lakaang maseena do, te wir panen te,
hedu wida do a puna?”
30
Kami pung Nenek-Moyang
Pertama
Our First Ancestors
An ancestor story by Martinus
Maufani
Oleh Martinus Maufani
Originally, our ancestors came
from Muna, a village in Pantar
and they were split up there. The
king of Munaseli and the king of
Pandai were in conflict and started
a war. From that the people in
Muna had to split and our
ancestors left and arrived in the
village Likwatang.
After they arrived in Likwatang,
they went to a village called
Tipai-Baabi, and cleared it. They
cleared that place and made fields
all around there. From there they
kept clearing the forest upwards.
They cleared so much land that
they got a whole granary of rice
and they went to Muna and built a
sanctuary there.
Then, from there they returned to
here (to Likwatang) and cleared
the fields. Then some of them
turned to the west. They cleared
the fields on the mountains to the
villages Loma-Lohu and KalangMasang. From there they went up
again and cleared the village
Leumang.
After they cleared Leumang, they
went to Abui-Kewai and there
they met some of their relatives.
The people there saw their bows,
arrows and their swords and bush
knives.
“Your bush knives look really
good, how did you make them
like this?”
Pertama, kami pung nenek-moyang
turun di kampung Muna ko kampung
Pantar, ko baku pisa. Raja Munaseli
dan Raja Pandai dorang pung hati
baku jengkel, dari situ tu yang dorang
musu ko baku perang. Datang di
kampung Muna ko baku pisa, nenekmoyang dorang naik mendarat di
kampung Likwatang.
Turun di kampung Likwatang habis,
dia naik di kampung Tipai-Baabi, dan
dia kasi bersi. Kampung itu dia kasi
bersi dan buka kebun di situ pigi
datang. Dari situ dia pigi potong
kebun pigi datang. Dia potong kebun
sampe dia dapat padi lumbung, dari
situ dia datang bikin kampung Muna
ko kasi berdiri mesba.
Dia turun di sini, dia usaha
bagaimana sampai kampung bersi.
Lagi dari situ dia menghadap muka ke
sebela barat. Dia turun potong kebun
naik, dia pung ujung kampung LomaLohu, Kalang-Masang, dari situ dia
naik ko kasi bersih kampung
Leumang.
Dia kasi bersi kampung Leumang ni,
ko naik di Abui-Kewai, dari situ dia
pigi, bertemu dia pung keluarga
dorang. Dari situ orang dapat tau dia
pung busur, anak pana ko dia pung
kalewang parang dorang.
"Lu punya parang terlalu bagus,
kenapa baru begini lu bawa?"
31
Kalieta Pelangmai Baruen di hefangi:
“Hedo wida ba hedo nidu hu ni kariang, nide heong, nide
hepaneng ma haba, nala ba mi hedo hekariang hei pa
melang iti.
Hen mia ba sei pol kiding pol foka Yoimang sei tafuda bani mara
Kafak Beeka mia, di ma ama hetipai tuku ameta-ameta di baai mi
ba ama hekafuk helui hekawen hel. Hen te, hen mia ba me Laking
Tei hemoku nuku me ma hedo mia ba moku hok miti, moku kamai.
Di e moku ba hol ba hada we hada me, ara ba lei kadangri ba hada
we hada me, hen mia ara do helaki mi ba Pelangmai kalieta heui
hetoku. Heui hetoku ba nala mi, kalieta homi lilae di pol bang
haliel ba mi ba moku ba holel do, moku inri ba hakai.
Hetilipang mia, ama hakil hawai, Pelangmai Ruen ama fen te ya,
mi haba, ama hakil hawai sama naha. Hen mia ba ama hado bang
to kaanri, we melang kiding nuku hane Fe Fui, hedo mia ba ma
ama kalol ama fotong kadel, kalol ba ko mi nalang hada samadia
ti, ko kalieta ayoku do di feng.
Di fotong kalol ba nala pesing tading hatol, tadielang tai ia, henil
maiye ko di mia kaang tapi, kawen naha te sora sapada wok
maiye, henu sama naha. Ama me Pelang Mai loma do hedo mia ba
melang wo do hedo mia ba tadielang ia pesing tading hatol, sei
loma tama do, di yaa hen mia ba kalieta ama dikang hawai hol,
ama holi ya, ama hada ringri ba hel mi ba iti hel Pelangmai loma
do heholi.
32
Nenek Pelang-Mai Baruen dia bilang
begini:
"Seperti ini ni, kami yang kami punya
kerja, kami yang bikin, kami yang kasi
baik, tapi barang yang pakai bikin ini
punya ni, ada di kampung bawa."
Dari situ turun ambel hamar kecil
hamar besar di kampung Yoimang ko
pikul semua bawa naik di KafakBeeka, ko dia ada titik orang punya
potongan besi-besi kecil ko bikin
orang pung anak pana, pisau, parang.
Itu baru dari situ, anak Laking-Tei
satu datang ko ada jaga anak kecil di
situ.
Dia tadi gendong anak ko pigi datang,
dia langgar api ko pigi datang tu, itu
yang dia injak api ko tumpa di nenek
Pelang-Mai pung belakang. Tumpa di
dia pung belakang begitu, na bapa
tua pung hati panas memang, dia
angkat hamar ko aga ini anak ni, itu
yang anak dia semaput ko jatu.
The ancestor Pelang-Mai Baruen
said:
“We know how to make them like
this, we make them ourselves. But
the tools to make them are in the
village on the coast.”
Then they brought their hammers
and anvils from the coast to the
village Yoimang and up to KafakBeeka and they smithed the iron
that the people had there into
arrows, knives and swords. After
that, some girl from Laking-Tei
came to look after their children.
She was carrying the children
around the fire all the time. Then
one time she stumbled over the
burning wood, which fell on the
back of the old Pelang-Mai.
Because his back got burned he
was enraged. He lifted up the
hammer to scare the girl. She was
so frightened that she fainted and
fell on the ground.
The villagers got very angry and
wanted to murder the old PelangMai Baruen, but they couldn’t
figure out how. After they made
peace they went to a small village
called Fe-Fui to consult a fortuneteller how to murder the old man.
They would put up sharp and
slippery bamboo pieces on the
path to murder the old man. If
they would use the iron weapons
he made them, they wouldn’t
succeed. Some of them went to
the hill Pelang-Mai, put up the
bamboo traps there and waited in
ambush for the old man. The rest
pursued him to Pelang-Mai.
Dari situ, orang bikin bagaimana ko
Pelang-Mai Ruen itu, orang mau bunu
dulu, tapi orang cari akal tida bisa.
Dari situ orang baku baik dengan dia
pigi di satu kampung kecil, dia pung
nama Fe-Fui. Di situ orang ramal ko
nanti pakai apa dulu baru dorang
bunu nene dua ni. Dorang ramal ko
sorong bambu pung tajam dengan
bambu pung licin begitu na, nanti
dorang bisa dapat, tapi kalo buong
parang ko kelewang begitu na, itu tida
bisa. Orang datang di tanjakan
Pelang-Mai ko di situ taru bambu di
tenga tanjakan, dari situ nene orang
kembali umpan lagi, orang umpan ko
kejar dia ko kurung dia di tanjakan
Pelang-Mai.
33
Yaa foka afenga loku ama tafuda karang ii, ama tafuda hemitdi
ya, hedo doahilingdi kalieta sei loma tama mia tadielang tai laki
“suak” bai ba ya, pesing tading hetoku hekaria hai do hafelra.
Hen mia ba kalieta ma hen damiti.
Hen miadi se, kaang ta, ama hen ma kalieta do feni, Luruen
kalieta donakal firai sei Yoimang buku miadi. Sei Yoimang mia
ama dara la hehaliol ruwol kiek ti, ama sei hobuok, ruwol kiek ti,
sei ba nala mi kolmalei-kukalei haliel ba hetani.
“Ri sei sei do beeka hare, ri tafaa iti do ban ba lake!”
Tafaa di bang ba yaa melang miadi kaanri, dikang dawai la sei.
Hen mia ba kalieta loku denala karnukung binenri ya, di hen:
“Beeka, hare ko pi la potakia!”
Sampai ama sei melang afeng mia ba ama kaang do neng mayol
ama feni, tohaloi tohasiei ya, nekalieta neng nuku mayol nuku di
sei taki ba sei Likwotang miadi ya, mayol afung mia hen la sei pe
hare, hado ba lak-laki ba sei tut haliol, hedo mia ba ma aheli. Di
sei, hedo mia ba aheli ya, hen hedo mia ba ma di tamani.
34
Di jalan lain, orang su taru larangan
semua. Orang jaga di semua dan di
sini kasi kosong. Nene tua turun di
tenga tanjakan ko dia injak bambu
pung licin na bunyi ‘suak’ begitu ko
bambu pung tajam kena di antara dia
pung jari kaki. Itu yang nene tua dia
langsung turun duduk. Dari situ baru
orang bunu nene tua, nene Luruen
sendiri lari turun di kampung
Yoimang.
Turun di kampung Yoimang, orang
dorang masi ikut dia terus. Ayam
berkokok na, dorang turun kerumun,
ayam berkokok na, turun begitu, na
nene Luruen angkat moko kolmaleikukalei ko kasi dorang.
All the other paths were blocked,
people put spells on them. Just
this one path was left. So the old
man had to pass along there. He
stepped on the bamboo, slipped
and the sharp bamboo wounded
him in between his toes. He had to
sit down. This was how they
killed the old Pelang-Mai. So only
the old Luruen remained, he
escaped to the village Yoimang.
Although he moved to Yoimang,
those villagers kept following him
there. Around midnight they
surrounded the place, ready to
attack. So the old Luruen gave
them a drum called kolmaleikukalei saying:
“You cannot keep following me
all the time, so take this drum and
go back!” They took the drum but
after they brought it back to their
village, they came back again. So
the old man prepared all his stuff
and said:
“Kamu turun-turun ni tidak bisa jadi,
kamu pikul kamu pung moko ko bawa
jalan.”
Moko tu dorang suda pikul sampai di
dorang pung kampung habis, dorang
kembali turun lagi. Dari situ yang
nene dorang siap dia pung barangbarang dorang bilang:
“We cannot stay here, let’s flee
again!”
Then those people attacked
Yoimang and killed all men and
women there. They followed our
ancestors, husband and wife, who
came down there and forced them
to escape down to Likwatang. The
wife was pregnant and about to
give birth when they had to flee,
so her husband took her down to
the coast and there they rested a
bit. While they were resting there,
she had to stay there and give
birth there.
“Tidak bisa jadi kita lari saja!”
Orang turun di kampung-halaman ko
bunu manusia laki-laki perempuan
semua. Dorang usir saya pung nene
laki-laki satu, perempuan satu,
dorang lari ko turun di kampong
Likwotang habis, perempuan tu hamil
mau melahirkan, jadi antar jalan turun
ikut di pantei ko di ko berhenti cape.
Dorang turun di sini ko berhenti cape
habis, itu yang dia diam di situ ko
beranak cucu.
35
Taman te, hen mia ba mara melang do mia ba hekalieta loku saai
ya, sei nekalieta hado ba mara mi ba Lu-Melang naha te KafielMelang hedo di heafeni.
Hen mia ba mara melang miadi, melang mia parenta, agama dei
domawa haliol ba nala yo ya, la tafuda ni sei fui naha te KamenTaha buku ba heafen do hedo hedi.
Ma hare netanga neananra netira neyar dei lohu naha ma haba,
nekalieta di pa Muna buku ba di mia maran do hedo ama hefangi
ya, hedo masa ba oro buoka. Ama dara wi kapal hedu hu mi ba
namei, ama dara bataa foka la hehal lole, hane lui kawen dara
mada ama hiéng laka naha.
Ma hare parenta naha te agama kul mada homi kaang, yala pi ko
la tara-tara ma haba pi sei melang nuku afeng nuku homi mia ti,
pi mada muknehi, wil, kalieta, kokda, fing, yai, aremang homi
mia.
Tanga ananra ya, henu mia ba do kaani.
36
Dia beranak cucu, baru itu yang dia
naik di kampung ni ko dia pung
nenek-moyang turun habis, turun
antar saya pung nenek-moyang naik
ko dorang tinggal di Lu-Melang ko di
Kafiyel-Melang dorang diam.
Dari situ naik di kampung, di
kampung ikut pemerinta dengan
agama pung mau begitu, ni yang
kami semua turun di pantai, di
kampung Kameng-Taha, kami diam di
sini ni dia.
Jadi saya pung omong saya pung silsila lahir tida panjang tapi, saya pung
nene-moyang yang datang dari
kampung Muna ko naik ni, orang
bilang ini ni masa yang jau.
Orang masi potong kebun dengan
parang dari batu, masi semba
berhala. Yang dia pung nama pisau
dengan parang itu belum ada, orang
belum tau.
Jadi pemerinta dengan agama
memang pung hati baik, sekarang kita
beda-beda tapi kita turun tinggal di
satu kampung, satu tempat, kita
saudara, anak, orang tua, bungsu,
sulung, kita di dalam satu suku.
After that he went up to the
village and told their relatives.
They came down and brought her
up to stay with them in the
villages Lu-Melang and in
Kafiyel-Melang.
We originate from there. Now
because of the decision of the
government and the church, we
moved down to the coast again, to
this village Kameng-Taha.
So my story about our ancestors is
not very long, but the time that my
ancestors came from Muna and
came here is a long time ago in
the past.
In those days, people were
clearing the fields with stone tools
and worshipped other gods. They
didn’t know what are knives or
swords.
Because of the goodwill of the
government and the church, all of
us who are of different origins
now live in the same village, in
the same place as siblings, fathers
and sons, brothers and sisters
within one tribe.
That’s all I have to tell.
Saya pung omong habis di sini.
37
Biel tuku
Lambertus Maufani
Afe tada yo, buku taha do ara takun ba. Ara takun mai se, ekuta
wedi ara do tahai si beeka mi, biel du haliol mara ba, biel halioli
ya, yal biel-tuku henil nu, heni haliol marei ba adi tahang mara
ara liele mai se, marei ya, wo hedo mia mi, war la tudoku. War
tudok mi:
“Ah, feela, a seie masi, biel rula hare, a sei naha!” henil ti
“Na sei naha do haba, tafang do!” henil mi
“Ai, ko nala maiye edo, a ko ayating mia ya, nido ni yaa afui
palet hebuk-bukda yo.”henil ba.
Hel baai di yaa masi, afui palet rula hare, di hayei hemai ba domit
ba. Domit do, hen lung dong hayei ya, fala lunge akui lunge ming
hayei ba hayei ya, hefeela wedo yaa war tudok harosa ya ai:
“ying-yung, ying-yung” henil do, tafang do: “maitonmaiton, maiton-maiton!”
Henil ba hel ama kaang do di hefangi ya:
“Fung falakda, fung falakda!” henil ba.
Ama kaang sei yo, wea do sila naha ba. E hel afui palet hebukbukda do.
38
Tali Puntung
Liana Stump
Oleh Lambertus Maufani
A legend by Lambertus Maufani
Dulu, waktu nene-moyang, api yang
di atas bumi mati bilang. Dia mati
bilang, ni yang lu pung nene-moyang
cari api tida bisa, na panjat tali naik
bilang. Panjat tali bilang habis,
sekarang kita bilang "tali puntung".
In the old days, in the time of our
ancestors, one day the fire went
out. After the fire went out, our
ancestors were looking for the fire
everywhere, but all in vain until
one of them climbed the liana.
What we call Liana Stump now is
named after his climbing.
So they climbed up, all the way up
to sky to get the fire. When they
reached the sky, it was already
evening. While the sun was going
down, the sky dwellers said:
“Hey buddy, if you climb down,
the liana is slippery, so you better
don’t!”
“I don’t want to climb down, but
what about the demons?” They
said: “Oh, don’t worry, you will
stay in the house and we will
gather and sleep in the lianas that
are hanging down!”
He would also go to the hanging
lianas but they were slippery so he
would fall down from the sky. It is
said that he stayed in the house, he
closed the door and climbed in the
granary and closed the other door
too. The sky dwellers who were
waiting for the sun were chanting:
“ying-yung, ying-yung”. The
demons were calling: “darkness,
darkness!” So the sky dwellers
kept chanting: “dawn quickly,
dawn quickly!”
After the sky dwellers climbed in
their hanging lianas, there was a
lot of blood.
Begitu tu, panjat naik, sampe naik di
atas langit mau ambel api. Naik di situ
bilang, in yang matahari tenggelam.
Matahari tenggelam na:
"Ah, sobat, kalo lu turun, tali licin, jadi
lu jangan turun!" begitu na:
"Saya tidak turun, tapi jiwa-jiwa
dorang ni?" begitu na: "Ai, nanti kalo
ada apa-apa na, lu ini, lu nanti di
ruma, kalau kami ini yang kerumun di
tali oo! " begitu bilang.
Dia juga jalan begitu na, tali licin, jadi
jangan sampe dia jatu na dia tinggal
bilang. Tinggal ni, pintu ni suda tutup,
ruma pung pintu, loteng pung pintu
tutup bilang.
Dia pung kawan dorang ni tunggu
matahari tenggelam bilang ni, ah!,
"ying-yung, ying-yung!" begitu jiwa ini
terus: "gelap-gelap!".
Begitu tu, manusia dorang bilang:
"cepat siang, cepat siang!" begitu.
Manusia dia turun na, dara ni banyak
sekali bilang. Yang tadi di tali
kerumun semua.
39
Sei si, wea do sila naha ba, piama kaang do wea do beekadi, di
yaa ama mi do mai, di akui tiki mara ti, akui kiding o la ming
ahanri ba:
“Feela!” hen ti ya: “Hm.”
“Ai, feela yo do nil baai tadei naha ya, a me sei yo!”
Mai holung halieli saai ba ara yo mi heri ya:
“Ai, a sei ye, yal do heng aridi hare a sei ye!”
Mai ya, sei buku taha mia, di ananri naha, ma re ko biel dei natet
ya haba, di neng loku hok ananri ya:
“Na marei yo, naha re nokaang naha ye!”
Mai hedong ananra mi, hen mia ba biel ama tukoni ya, yal biel
hong tuku nu hedi. Hen mia do kaang to.
40
Turun habis baru dara terlalu banyak
sekali bilang, kita pung orang ni, dara
terlalu banyak. Dorang pigi ambel
orang, na buka tali loteng, naik habis
ko buka loteng kecil.
"Sobat!" itu yang dia bilang: "Hm!"
So they all gathered, there was so
much blood, they say it was blood
of our ancestor. They went up in
the house and opened the door of
the granary. They said:
“Hey, buddy!” he just answered:
“Hmm!”
“We cannot sleep either, so just
come down with us!”
They opened the door and he
came down. They gave him a
burning wood and said: “You
better climbed down now, it is
already morning!”
He climbed down on the earth, if
he wouldn’t tell other people the
liana might still be there. But he
did tell the other men:
“When I climbed up, I almost lost
my life!”
So it is said that after that the men
cut the liana, and there is only that
stump left.
This is the end.
"Ai, sobat o, ini kami juga tida tidur
jadi datang ko turun, oo!"
Begitu na buka dia pung pintu turun
bilang. Kayu api tu ambel kasi dia
habis, omong bilang: "Ai, lu turun,
sekarang suda siang jadi, lu turun,
oo!"
Begitu na dia turun di atas bumi, coba
dia tida cerita, mungkin tali tetap
berdiri. Tapi dia cerita di laki-laki
dorang bilang:
"Saya naik tu, hampir sedikit saya
mati, oo!"
Begitu ko cerita ini ni, begitu na tali tu
orang potong ko sekarang tali
puntung tu dia.
Habis di situ tu.
41
Poying Padalehi
Amalia Lanma
Kulwalakul to, heya hemaama do tafuda demok ba. Demok do,
heya do sieng tapei. Sieng tapei mi, hen Kulwalakul do di we.
“Niya, nel baai na sieng do tapei yo!”
Henil di natu hawa do hepuna ti, heya do di hatáng do la tapei, la
take.
“Ai, emaama hopang we, we mahiting tadia!”
Dikang di demaama hopang we.
“Maama, na mahiting hepuna yo!” henil.
Di hepuna masi, hemaama di hatáng do la tadi la laina:
“Ai, eya hopang we, we sieng tapei!”
Dikang dawai deya hopang we. Henil ti, heya do dikang hatáng do
la tapei, la take. Henir ba nala ti, dikang do wile:
“Ai, emaama hopang we bai, oro mahiting nu aleka tadia
yo!”
Henir ba nala e. Dikang demaama hopang we, henil masi:
“Mama, na mahiting do hopuna yo!”
Henil ti dikang hemaama di hatáng do la tadi la laina.
“Ai, hedowil do beeka hare eya hopang we!”
Hen dikang deya hopang we ti, heya dikang hatáng la tapei la
take.
42
Burung Darah Padalehi
Pigeon Padalehi
Oleh Amalia Lanma
A story by Amalia Lanma
Kulwalakul tu, dia pung bapa mama,
dorang semua mau bikin sembayang
di dia pung ruma bilang. Dorang mau
sembayang ni, dia pung mama
tumbuk padi. Tumbuk padi begitu na,
ini Kulwalakul ni dia pigi omong
bilang:
"Mama, saya juga tumbuk padi, oo!"
Begitu dia pegang lesung pung mulut
ni, itu yang dia pung mama tumbuk
dia pung tangan terus.
"Aaa, pigi di lu pung bapak, potong
daging, oo!"
Lagi dia pigi di dia pung bapa: "Bapa,
saya pegang daging, oo!" begitu.
Dia pegang na, dia pung bapa dia
potong dia pung tangan terus: "Aaa,
pigi di lu pung mama, pigi tumbuk
padi suda!"
This Kulwalakul, his father and
the whole family decided to make
a feast in their house, people say.
They were preparing for the feast
and the mother was pounding rice.
While she was pounding rice,
Kulwalakul came to her and said:
“Mum, I want to pound rice too!”
He was holding the edge of the
mortar but his mum kept hitting
him on his hands.
“Why don’t you go to your dad,
he is cutting meat!”
So he went to his father and said:
“Daddy, I wil hold the meat too!”
He was holding the meat and as
his father was cutting it, he cut
Kulwalakul’s hands too: “Hey, go
to your mum and pound the rice
now!” said his father.
So he went back to his mother.
She was pounding the rice and
when he wanted to help, again,
she hit his hands all the time:
“Now you better go back to your
dad, quickly, go cut some meat
over there!”
So he went again and said to his
father: “Daddy, I will hold the
meat again!”
While father was cutting the meat,
he cut again Kulwalakul’s hand.
“Hey, we don’t get anything done
like this, you better go back to you
mum now!”
So he went back to his mum.
While she was pounding rice, she
kept hitting his hands all the time:
Dia kembali lagi di dia pung mama.
Begitu na, dia pung mama ni tumbuk
dia pung tangan terus lagi. Begitu lagi
dia begini:
"Aaa, pigi di lu pung bapa la, cepat
pigi potong daging di sana!"
Begitu ko dia pigi di dia pung bapa
lagi bilang: "Bapa, saya pegang
daging, oo!"
Begitu na dia pung bapa potong dia
pung tangan lagi.
"Aaa, begini ni tida bisa, jadi pigi di lu
pung mama!"
Begitu dia pigi di dia pung mama na,
dia pung mama tumbuk dia pung
tangan terus lagi:
43
“Ai, emaama hopang we, hene kaang bai, henu oro mahiting
nu tadia henir ba eng wala hier ba nee yo!” henil ti her.
“Masi na maama hopang we yo.”
Henil dikang demaama hopang we. Henil do, dikang demaama
hopang we masi, hemaama dikang hatáng do tadia henil.
“Ai, eya hopang we hekaang baai ya!”
Henil masi, dikang dawai deya hopang we. Henil ti, heya do:
“Ah, hedowil do beeka hare, a piya aloi do mia piya sia yo!'
Henir ba nala mi, di ye do hiek hatunri ya, mi hohayoku. Hayok ba
di yaa ya do sia. Ya do sui kaanri, ya di mi ba wi do hehabi, henir
ba dekanai tahai. Dikang tahai si, hene hen dekanai do mi di we
baabi ba nee. Nee ti, di we dikang ko di:
“Ai, kaanri hare, na we dikang nawai ye.”
Di we deya do hewahai si, heya hen takadi.
“Ai, ya do te widi ye hedo takadi do?”
Dikang ya do sia, sui hemidi kaanra, dikang mi ba wi do hehai.
Dikang we dekanai kiake henil do, Poying do wó kanai hong mia,
kanai do bol toku.
44
"Ai, pigi di lu pung bapak, itu yang
baik, dia ada potong daging di sana,
jadi lu juga pigi bakar separu ko
makan, oo!"
Begitu na, dia bilang: "Itu na saya pigi
di saya pung bapa, oo!"
Begitu dia pigi di dia pung bapak lagi.
Begini dia pung bapa potong dia pung
tangan lagi:
"Aaa, pigi di lu pung mama, itu yang
baik, la!"
“Hey, now you go back to your
dad, that’s better, he is cutting
meat over there, so you go and
roast a little bit for yourself!”
Then he said: “Well, I will go to
my daddy then!”
And he went off to his father
again. His father who was cutting
meat cut him in his hand again:
“Hey, go back to your mum, we
don’t
get
anything
done
otherwise!”
So he went back to his mother.
His mother told him:
Begitu na, dia kembali lagi di dia pung
mama. Begitu na dia pung mama
bilang:
"Ai, begini tida baik, jadi lu ambil kita
pung air bambu ko pigi timba kita
pung air, oo!"
“We don’t get any work done like
this, you better go and fetch some
water for us!”
Then she took a long bamboo tube
for fetching water and made a
hole in the bottom. She gave it to
him to carry and sent him off to
fetch water. So he went and after
he filled the tube he leaned it
against a stone and went looking
for almonds. He looked for
almonds, crushed them and ate
them. After that he said:
“Well, now I would go back!”
He went back to his bamboo tube
and then he saw that it was empty:
“Ooh, the bamboo is empty,
why?”
He went back and filled the
bamboo again and came back,
leaned it against the same stone
and went looking for almonds. On
the top of the tree there was a
pigeon dropping down candle
nuts.
Begitu na, air bambu ni dia bikin
lubang dia pung pantat ko kasi pikul
dia. Pikul ko dia pigi timba air. Timba
air habis, dia kasi sandar di batu ko
cari dia pung kenari. Dia mulai lagi
cari dia pung kenari, pigi titik ko
makan. Makan baru dia nanti pigi ko
dia bilang:
"Ai, suda, jadi saya pigi kembali oo."
Dia pigi lihat dia pung air itu na, dia
pung air itu kosong:
"Aaa, air ni kenapa ee, suda kosong
ni?"
Dia timba air lagi, kasi penu habis, dia
lagi kasi sandar di batu. Dia lagi pigi
sapu, korek dia pung kenari ni,
Burung Dara ada di atas pohon kenari
ko pukul kenari jatu.
45
Henil ti, di hefangi ya:
“Nukuta Poying, Poying Padalehi, nukuta Kapik Kapilei
awen!”
“Hm, hm, hm.”
“Ah, nefiyai tenga nuku ok marang, ekanai buk nuku nok
hayei.” henil ti, hen:
“Hm, hm, hm.” henile.
Henil do, di kanai do bol tok bol tok, henil do, hen di ahia. Ahi ya,
dikang di we dekanai do baai. Dekanai do baabi ba neei, dikang di
yaa yo, hewahai si, ye do dikang takadi do. Di ya hiek dong wahai
si, ya do tukola. Ya hiek do hen tukoladi.
“Ah, ya hedo beekadi do, ko yal na we baai kaang haba,
kurbai mia dikang nel bol, hare ko na te wil hekaang.”
Henil do, hen hekuta Poying do wó kanai do bol toke, henil do, di
hefangi ya:
“Nukuta Poying, Poying Padalehi, nukuta Kapik, Kapi Lei
Aweni.”
“Hm, hm.”
“Ai, ekanai buk nuku nok hayei, nefiyai tenga nuku ok
marang.”
“Kaang to!”
Di hedowir ba hol-hol do, hen war do oro hedakikda-kikda. Ko yal
di te wile? Ya oro hiek tukola do, di hayok we masi, kurbai heya di
hel bol hare, di hefangi:
46
Begitu na dia omong bilang: "Nene
Burung Dara, Burung Padalehi, Nene
Kapik Kapi Lei Aweni!"
"Hmm, hmm, hmm!"
"Aaa, saya pung kemiri satu piring
naik, lu pung kenari satu ranke kasi
jatu di saya!"
Begitu na: "Hmm, hmm, hmm!"
He said: “Grandfather Pigeon,
Pigeon Padalehi, Grandfather
Kapik Kapi Lei Aweni!”
“Hmm, hmm, hmm!”
“Hey, I will give you one bowl of
candle nuts, you give me a bowl
of almonds.” Then he said:
“Hmm, hmm, hmm!”
He was dropping the candle nuts
and Kulwalakul was collecting
then. Then he dropped some
almonds for Kulwalakul. He
crushed and ate them, then he
went to check his bamboo again,
and it was empty. So he checked
the tube and found the hole in the
bottom.
“Oh, the bamboo tube has a hole
in it, so even if I go and refill it,
my mum will beat me up again.
What shall I do to fix it, what
should I do now?”
In the meantime, Pigeon Padalehi
kept dropping almonds from the
tree, so he called him:
“Grandfather Pigeon, Pigeon
Padalehi, Grandfather Kapik Kapi
Lei Aweni!”
“Hmm, hmm, hmm!”
“Oh, I will give you one bowl of
candle nuts, you drop me a bunch
of almonds!”
He answered: “Okay then!”
As he was calling, the sun was
about to go down. What shall he
do?
The bamboo tube has a hole at the
bottom, so even if he could fill it
and take it home, his mother
would beat him up again, so he
said:
Begini dia pukul kenari kasi jatu terus
begitu ni sekarang dia pili. Pili habis,
dia pigi titik dia pung kenari lagi. Dia
titik dia pung kenari ko makan habis,
dia lihat dia pung air lagi na air dia
suda kosong lagi. Dia lihat pantat air
na ada lubang. Air ada lubang.
"Aaa, ini air ni rusak ni, nanti saya pigi
juga baik, tapi nanti saya pung mama
pukul saya lagi, jadi saya bagimana
dulu baru bisa?"
Begitu ni, dia pung nene Burung Dara
ni ada kasi jatu kenari di atas pohon,
begitu ni dia bilang:
"Nene Burung Dara, Burung Padalehi,
Nene Kapik Kapi Lei Aweni!"
"Hmm, hmm, hmm!"
"Aaa, saya pung kemiri satu piring
naik, lu pung kenari satu ranke kasi
jatu di saya!"
Begitu na: "Yoo, baik!"
Dia begini ko panggil-panggil ni,
matahari ni mau tenggelam. Nanti dia
mau bagaimana?
Air bambu pung pantat suda lubang
ni, dia pikul ko pigi begitu na,
sebentar dia pung mama pukul dia
lagi, jadi dia bilang:
47
“Nukuta, na niya hopang we masi, niya natáng tapei,
maama hopang me, masi maama natáng tadia hare, a te wir
panen te hu, na opang marang maiye, a henir paneni ya, na
opang marang o!”
“Ah, kaang to!”
Henir ba nala mi, hel Poying do di datuokdi hayei kaanri, hel
moku do hetoku hatáng do di bol balasa. Bol balasa hen lupalupadi. Henil, di dabaakai do ming beri ya, mi ba hakikil dong
nati. Nati kaanri ya, di do wile:
“Ma ba neratala, ko na te wir nakul mai, el baai henir ba
akul o!”
“Kaang to!”
“Ah, nukuta, ko beekadi!” heba.
“Ah, naha, beeka naha, kaang!” henil.
Henir ba nala mi, di sei di dabakai do ber ba mi ba iti hakikil dong
nati kaanri ya, nala yo, hen hekuta di dapakdi ba mara kanai
hedamaha do mia masi, dakuri mara wó dekuta haminang hayei.
Dikang di dakur ba mara heayoku mia masi, dikang dakur ba mara
haminang hayei. Henil-henil do, di dakur-dakuria ba mara-mara
wó mara kanai awe mia. Kanai awe mia, dining ayoku di kanai do
bol tok, bol tok do, ah, hen kanai do ming beeka-beekadi. Henil
do, lunga hal naha yo, hen heya do oro me.
48
"Nene, saya, kalau pigi di mama,
saya pung mama tumbuk saya pung
tangan, kalo datang di bapa, bapa
potong saya pung tangan. Jadi lu
bikin bagaimana dulu baru saya bisa
naik di lu, lu bikin begitu ko saya naik
di lu oo!"
"Yoo, baik!"
Begitu na ini Burung Dara ni dia
lompat turun habis, ini anak ni dia
pung dia pung kaki-tangan. Pukul
habok sampai dia lembek-lembek.
Begitu habis, dia cabut dia pung
sayap habis, dia tanam di dia pung
ketiak. Tanam habis, dia omong
begini:
"Itu ko saya pung upu, nanti saya
lompat bagaimana na, lu juga lompat
begitu, oo!"
"Yoo, baik! Aaa, nenek, jangan
sampe tida bisa!"
"Ai, tida, bukan tida bisa, bisa!"
begitu.
Begitu na, dia turun, cabut dia pung
sayap habis, tanam di dia pung ketiak
habis ko ini dia pung nene ni dia
lompat naik di kenari pung cabang
renda begitu na, dia lompat naik jatu
di dekat dia pung nene.
“Grandfather, when I go to my
mum, she pounds my hands; when
I go to my dad, he cuts my hands.
So do whatever you can so that I
could get in the tree with you, just
do whatever you can!”
“Okay, I will!”
Then Pigeon Padalehi jumped
down from the tree and hit the
legs and hands of the boy. He kept
hitting them until they became
soft. Then he pulled out some
feathers from his wings and
stabbed those in the boy’s armpit.
Having done all this he said:
“Now my boy, in whatever way I
jump, you must jump like that
too!”
“Yes, sure! But what if I
couldn’t?”
“Not possible! Of course you can
do that!”
Then he jumped down again and
pulled out some feathers from his
wing and stabbed them in the
boy’s armpits. Then he started
jumping up, he jumped on the
lowest ranch, and the boy also did,
and landed next to his grandfather.
The pigeon jumped on the second
branch and the boy jumped next to
him. They kept jumping like this
until they reached the tree top.
Dia lompat naik di cabang yang
kedua lagi na, itu anak lompat naik
duduk di dekat dia. Begitu-begitu ni,
dorang lompat ko naik-naik so sampe
di kenari pung puncak.
Suda di kenari pung puncak, dorang
dua pukul kasi jatu kenari dorang,
pukul kasi jatu ni, aaa, kenari ni suda
terlalu banyak sekali. Itu na tida lama
tu, dia pung mama ni ada datang.
When they reached the top, they
started dropping the almonds, and
didn’t stop until there were loads
of them under the tree. Not long
after that, his mother came.
49
Heya di miei mi, hen di hole:
“Kuli yo, Kulwalakul yo!” henil ti:
“Hm, hm, hm.”
“Ah, na Poying kaang re beeka naha ama dedumu wosi yo.”
henile hen di heyai paneng:
“Nekul bai, bang te, ne pakul ma ne dama kiya fale atan
tailo, tailo, tailo ta me, pi lek abang boolo boolo boolo”
henil do hen dikang di hole:
“Kuli yo, Kulwalakuli yo!”
“Hm, hm, hm.”
“Ah, na Poying kaang re beeka naha, ama dedumu wosia”
“Nekul bai, bang te, ne pakul ma ne dama kiya fale atan
tailo, tailo, tailo ta me, pi lek abang boolo, boolo, boolo”
henil do dikang:
“Kuli yo, Kulwalakuli yo!”
“Hm, hm, hm.”
“Ah, na Poying kaang re beeka naha ama hedumu wosi yo.”
“Nekul bai, bang te, ne pakul ma ne dama kiya fale atan
tailo, tai lo, tai lo ta me, pi lek abang boo lo, boo lo, boo lo”
Henil do, hen hen war do hen sei, hedakik-dakikda.
“Ah, ei henir ba enri tanel naha ya, ko ahana beeka maiye,
na ekanai bole, ma hare eng awai maama hopang yaa, hare
ei enra naha yo!”
Henir ba nala hen beeka do, eng-enria ba o hen oro demelang
yaari.
50
Dia pung mama datang habis ko
panggil dia: "Kuli yoo, Kulwalakul
yoo!"
Begitu na: "Hm, hm, hm!"
"Aaa, Burung Dara apa yang
menangis begitu, saya panggil saya
pung anak." begitu dia menyanyi dia
pung lagu:
"Saya pung anak saya panggil, saya
tumbuk dia pung tangan, di atas
tangan di bahu saya pukul."
Begitu dia panggil lagi: "Kuli yoo,
Kulwalakul yoo!"
Begitu na: "Hm, hm, hm!"
"Aaa, Burung Dara apa yang
menangis begitu, saya panggil saya
pung anak." begitu dia menyanyi dia
pung lagu: "Saya pung anak saya
panggil, saya tumbuk dia pung
tangan, di atas tangan di bahu saya
pukul."
Begitu dia panggil lagi: "Kuli yoo,
Kulwalakul yoo!"
Begitu na: "Hm, hm, hm!"
"Aaa, Burung Dara apa yang
menangis begitu, saya panggil saya
pung anak." begitu dia menyanyi dia
pung lagu: "Saya pung anak saya
panggil, saya tumbuk dia pung
tangan, di atas tangan di bahu saya
pukul."
Begitu ni, matahari ni suda turun ko
mau sore-sore.
When she arrived under the tree,
she started calling: “Kuli,
Kulwalakul!”
It answered: “Hmm, hmm, hmm!”
“Hey, a pigeon is answering me,
but I am calling my child.” After
that she started singing:
“Oh my child, I am calling you,
why did I hit your hand, why did I
hit your shoulders!”
Then she called him again: “Kuli,
Kulwalakul!”
It answered: “Hmm, hmm, hmm!”
“Hey, some pigeon is answering
me, but I am calling my child.”
After that she sang her song again:
“Oh my child, I am calling you,
why did I hit your hand, why did I
hit your shoulders!”
Then she called him again: “Kuli,
Kulwalakul!”
It answered: “Hmm, hmm, hmm!”
“Ooh, some pigeon is answering
me, but I am calling for my
child.” After that she sang again:
“Oh my child, I am calling you,
why did I hit your hand, why did I
hit your shoulders!”
She went on like this but it it was
getting late, it was almost
evening.
“Oh, don’t you cry. In the rain
season I shall drop you almonds
from the tree, go back, return to
my father and stop crying!”
She couldn’t hold it anymore and
burst out crying and went back to
the village.
"Aaa, lu jangan menangis begitu ko,
nanti hujan-angin na, saya nanti pukul
kasi jatu lu pung kenari dorang, jadi lu
kembali pulang di saya pung bapa, lu
jangan menangis, oo!"
Begitu ko tida bisa ni, dia menangis
hebat ko ada pulang di dia pung
kampung sana.
51
Demelang yaari hen yaa, we do baai hen la enra, enri hen heneng
di mai:
“Ma nala a heenra?” henil ti:
“Ai, moku yo hen del Poying heri ya, oro kanai hong mia
kanai bol tok o.”
Henir ba nala deneng hok fanga. Hen mia do kaanri.
52
Sampe di dia pung kampung habis,
pigi juga dia masi menangis terus,
menangis dia pung laki bilang:
When she came to the village, she
kept crying and crying. She kept
crying like this until her husband
asked her:
“Why are you crying?” she told
him:
“Oh, our child has become a
pigeon now, he is sitting on the
top of the almond tree dropping
almonds.”
This is how she told her husband.
That’s the end.
"Lu ada menangis apa?" begitu na:
"Ai, anak tu suda menjadi burung
dara ko ada di atas pohon kenari ko
pukul kasi jatuh kenari dorang.
Begitu dia ada kasi tau dia pung laki.
Habis di situ.
53
Halifi lohu
Amalia Lanma
Pada-Alwo to mia, neng nuku, mayol nuku ming tapei saki. Ming
tapei saki ya, ama wo Lilafang mia luuk ba. Lilafang mia luuk mi
dining ayoku ming tapei saki ya:
“Kurbai maiye a saai ko na dieng mal, hare saai ba pi neei
se hu ko pi yaa luuku.”
“Kaang to!”
Henil mi di dieng do mar kaang-kaang heri ya, mit ba heroi. Heroi
heroi do hen la tuntamadia. La tuntamadia do:
“Hedo bala sei naha do.”
Henir ba nala yo o lik tahang akoke. Lik tahang akok do di hefangi
ya:
“Wonge!” henil ti:
“Hm,” henile:
“Marang re?” henil ti ya:
“Na kabei ahel to!” henile.
Henil do hedo baai ba dei hefangi ya:
“Ei, hedo nala beeka do.” henil naha ya, hen di miti.
Mit ba nala yo, di o hel mia do, ama kaang do hakor pasi te, mi ba
uli dong sei, hare di o mayetang ba hetikia do:
“Kiting-katak, kiting-katak,” henile.
Henir ba nala yo, hen ko di hetiki, dotiki kaanri.
54
Lida Panjang
Long Tongue
Oleh Amalia Lanma
A story by Amalia Lanma
Di Pada-Alwo tu, laki-laki satu dengan
perempuan satu dorang dua baku
janji. Baku janji habis, orang ada legolego di Lilafang bilang. Lego-lego di
Lilafang begitu, dorang dua baku janji
bilang:
“Sebentar na lu turun. Nanti saya
masak jadi, lu turun ko kita dua
makan baru, kita pigi lego-lego oo!”
“Yoo, baik!”
Begitu na dia masak makan baik-baik
habis, duduk ko tunggu dia. Tunggutunggu dia ni, yang mau malam. Mau
malam ni dia omong bilang:
In Pada-Alwo, one day a young
man and a young woman were
arranging a date. They made a
date to go for lego-lego dance in
Lilafang, people say. One said to
the other:
“In a while you come to me. I will
cook. After we have eaten, we can
go to the lego-lego dance!”
“Yes, okay!”
The woman went home and
finished cooking. She was waiting
for the man to come. She was
waiting and waiting until the
evening. She said:
“Why is he not coming quickly!”
As she spoke, something made
noise in the verandah under the
house. She heard it and said:
“Is anybody down there?” then it
went “Hmm!” just like that.
“Come in then!” It answered: “Let
me take a rest for a little bit!”
After she heard this, she thought:
“Oh, this is bad luck!” and she
just waited there.
When she was waiting there, at
the same time in another place
people tied up the legs and hands
of a dead man and burried him.
The demon of that dead man was
the one in the verandah below her
house and now he started opening
those ropes, it went like “kitingkatak, kiting-katak”.
Now he has already untied all the
ropes.
“Dia ni tida cepat turun ni!”
Omong begitu ada bunyi di atas balebale. Bunyi begitu, dia omong bilang:
“Ada orang?” begitu na: “Hmm!”
begitu.
“Naik ko!” begitu na: “Saya berhenti
cape sedikit dulu, oo!”
Begitu na, dia tida pikir bilang: “Ei, ini
barang tida baik ni!” begitu ko dia
duduk saja.
Duduk tu, itu waktu tu, orang ikat itu
manusia dulu baru kasi turun di
lubang.
Jadi dia ada buka dia pung tali bunyi
«kiting-katak, kiting-katak» begitu.
Begitu habis, dia suda buka tali habis.
55
Dotiki kaanri yo, hen di awering do habi ya, mara falang mara,
henil do hen di mara ahai do mia yo, hen dowile do:
“Arang hakun te na me yo!” henile.
Henir ba nala do, hedo hen hedo baai ba, hen heaka mur dong
toloida, haba pifeela hen oro marang do. Henir ba nala mi, hen,
aah, di kul ara do hei halioli, ya ming hakun ba. Ming hakuni yo,
ai, di marang, ahai do lang natet do, ai, halifi do lohu ba sei
harahieng dong tilaka ba. Henir ba nala yo, hen:
“Hedo hen te la wile, hen beekadi!”
Haba, doden di nala ma do toku kaanra, mi ba mihi. Mihia do, dei
hel ama kaang do di me, daponarang dong tul masi, hel angmona
do baai dikang we haponarang dong tule.
Dikang di kafaatang tul masi, hel baai dikang pa kafaata nung tul.
Dikang di mara areng tul masi, hel baai di mara areng tule, di
hieng tamang tul masi, hel baai hieng tamang tule. Henir ba
beeka mi detur ong hayei.
“Eh, tur do o hayei yo!”
E dokol-kol ong hayei so. Henilo, hen:
“Ah, na sei tur mi se yo!”
“Ai, nede ko sei mia yo.” henile.
Henil do, hen oro datáng hatol do, hen mi sei o iti tur do hen mi
marani. Lunga hal naha yo, ko di te wir panen te.
56
Dia buka habis tu, dia kasi turun
tangga ko naik di ruma, begitu ni, naik
di pintu ni, dia bilang begini:
He pulled the ladder from inside
the house and put it up and
climbed from the verandah into
the door opening and said:
“You must first extinguish the fire
and then I come in!” The hairs all
over her body were erect, but the
dead man has already climbed up.
Well, what could she do, she had
to extinguish the fire. After that
the demon climbed in the house.
Oh, he got a very long tongue,
hanging all the way down to his
chest. Having seen that, she said:
“What am I going to do, this is
really bad!”
She scooped up the food and set it
in front of them. They started
eating and when the woman was
eating from the front of the bowl,
the demon was also scooping
from the same place.
Then she was scooping from the
top of the bowl and the demon
also followed her and scooped
from there. Then she scooped up
from the middle, and the demon
followed. She couldn’t think of
anything else and then she
dropped her spoon.
“Oh, I just dropped my spoon!”
Of course, she dropped it on
purpose. So she said:
“Well, I will climb down and get
it!”
“No, I will get it!” said the
demon.
Then he stretched out his arm
through the bamboo floor all the
way down to the ground and
grabbed the spoon.
“Kasi mati api dulu, baru saya datang,
oo!” begitu. Begitu ni, dia ni dia pung
bulu badan ni juga berdiri, tapi kita
pung kawan suda ada naik. Begitu
na, aaa, dia betul ikut dia punya ko
kasi mati api bilang. Kasi mati tu, dia
ada naik berdiri di ambang pintu, aai,
dia pung lida tu panjang ko tagantung
sampe di dia pung dada. Begitu tu,
dia bilang begini:
“Ini ni bagimana ni, suda tida bisa!”
Tapi, dia tetap sendok makanan
habis, ambel ko taru. Taru ni, ini
perempuan ni dia sendok di bagian
dia pung muka na, ini jiwa ni juga
sendok di situ. Lagi dia sendok di
samping begitu na, ini jiwa juga turun
sendok di situ.
Lagi dia naik sendok di atas, jiwa juga
naik sendok di situ. Dia sendok di
tenga na, dia juga sendok di situ.
Begitu ko tida bisa na, dia kasi jatu
dia pung sendok.
“Oo, sendok ni ada jatu oo!”
Tadi dia sengaja kasi jatu tu. Begitu
tu:
“Aaa, saya turun ambel sendok oo!”
“Ai, saya yang nanti turun ambel!”
begitu.
Begini ni, dia ada sorong tangan,
turun di bawa ko ambel sendok naik.
Tida lama tu, nanti dia buat bagimana
dulu.
57
Henir ba nala mi, dikang deket do ong hayei. Ket ong hayei si:
“Ai, na sei ket do mi so! Sei mi nepikai ket ba ma pi yaa
luuk o.”
Henil di datáng do hatol ba sei ket do mia masi:
“Ai, nede sei mia yo!” henile.
Henil do, datáng do hatol ba sei o ket do mia. Ket do mi ba
marang hele.
“Ai, hedo ko yal na te wir panen te ba?” Beeka mi.
“Ai, na pa fe hat to! E fe yo hat naha yo.”
Henil ti, hel angmona do baai hen do wile:
“Ai, nede pa hako!” henil ba.
Henir ba nala do hen:
“Ai, naha, fe do ama kalowal maiye, di la heakeng, ma hare
nede pa hak o!”
“Ai, hen masi a sei yo!” henil.
Henir ba nala do, hen di hen awering do habi, di aka dong sei. Aka
dong sei do, e di ko do raharakdi ya hare, awering do kaipa ayoku
la lei ya, hen sei tai do: “teringri-rongri” ba henilo hen:
“Wonge?” henil ba.
“Ai, la nel ong hayei yo! Awering do la hesobakdi yo!”
58
Begitu na, dia kasi jatu dia pung sisir
lagi. Kasi jatu sisir ni, dia bilang
begini:
“Ai, saya turun ambil sisir dulu oo!
Turun ambel ko nanti saya sisir saya
pung rambut ko kita pigi lego-lego
oo!”
Begitu dia sorong tangan ko turun
ambel sisir begitu na:
What will she do now? She
couldn’t think of anything so she
dropped her comb and said:
“Oh, my comb fell down. Let me
go down and get it, then I can
comb my hair and we will go to
dance lego-lego!”
She reached out her arm and
wanted to climb down to get the
comb, but the demon said:
“No, I will get it!”
The demon stretched his arm
again through the floor all the way
down to the ground and got the
comb saying:
“Oh, what am I going to do now?”
She couldn’t think of anything but
then she said:
“Hey, I have to go down to feed
the pig. I haven’t fed it yet!”
When she said this the demon
immediately replied:
“I will go down and feed it!”
Then she answered him:
“Ai, saya yang turun ambel oo!”
begitu.
Begitu ni, dia kasi turun tangan ko
ambel itu sisir. Sisir ni dia ambel naik
ko kasi dia.
“Ai, ini nanti saya bikin bagimana dulu
bilang!” tida bisa na:
“Ai, saya turun kasi makan babi dulu
oo! Tadi tida kasi makan oo!”
Begitu na ini setan ni juga omong
bilang begini:
“Ai, saya yang turun kasi makan, oo!”
begitu bilang. Begitu ni yang dia balas
bilang:
“Ai, tida, babi ni orang baru na, dia
merontak saja, jadi saya yang turun
kasi makan, oo!”
“No, this pig is used to me. When
a stranger would feed it, the pig
will make noise, so just let me go
and feed it!”
“Well, you go then!” said the
demon.
She put down the ladder and
climbed outside. As she was
climbing down, she was still
shivering from fear. She missed
two steps and fell down on into
the verandah and it went like
“ring-rong”. The demon said:
“What’s wrong?” She replied:
“Nothing, I fell. I slipped on the
ladder!”
“Yoo, itu na lu turun oo!” begitu.
Begitu ni, dia su kasi turun tangga,
dia turun di luar. Turun di luar ni,
mungkin dia gementar jadi, dia lewat
tangga pung rotan dua habis, turun
jatu di atas bale-bale sampe bunyi
«ring-rong» begitu. Itu setan bilang:
“Ada apa?” begitu bilang:
“Ai, saya jatu oo! Saya meleset di
tangga oo!”
59
Henir ba nala mi, hen di rafung do nuku hapuni ya, mi ba natu
homi dong hatani, di tenga do mi ba hoyoku. Hoyoku, di kaang
furei, beeka furei, kaang furei, beeka furei. Hen mara wó KaretakAfeng mia. Henil do hen, hel angmona di hefangi ya:
“Wonge?” henil ti ya:
“Hmmmmm…” henile.
“Marang re!” henil ti.
“Hmmmmm…” henile.
Henil do, hen dikang miti.
“Wonge?” henil ti.
“Hmmmmm…” henile.
“Aleka marang re!” henil ti.
“Hmmmmm…” henile.
Henir ba, wah, di wei kaanri, di dakur ba hen akang hayei. Dakur
ba akang hayei do, di diyek do mi ba o tama hareng ti naha, mi
war-sei hareng ti naha, war-marang hareng ti naha, wó abui
hareng ti, ai wó Karetak-Afeng mara yo, wah, di loidi fak, loidi fak
hen mara wó adi dong hapeekda, ko di we hofak masi, beeka, e
loma pa hare, detoku pe lang fake.
Henil o, hen dikang di mara-mara hen di mara Karetak-Afeng do
mia yo, hel ama kaang do hen yaa e Kamoi Mea mia do.
60
Begitu na, dia tangkap tabuan satu
habis, lepas di dalam lesung ko tutup
dengan piring. Tutup habis, dia lari
pigi, lari pigi, lari terus. Dia suda
sampe di Karetak-Afeng. Begitu ni, ini
setan ni dia omong bilang:
After that she caught a hornet and
put it inside the wooden mortar
for pounding rice and covered it
with a scuttle. Then she ran away,
ran and ran. She was already in
Karetak-Afeng when the demon
said:
“Hey?”
And it answered:“Hmm!” just like
that.
“Come up!” then it replied:
“Hmmm!” just like that.
So he kept waiting.
“Hey!” it answered again:
“Hmmm!” like that.
“Come up quickly!” it replied:
“Hmm!” just like that.
He couldn’t wait anymore. He
jumped down and went outside.
Because his limbs were broken he
couldn’t stand straight. To look,
he pointed his butt towards the
sea, and with his head hanging
between his legs but there was
nothing. After that he pointed his
butt to the west, nothing. He
pointed it to the east, nothing
again. Then he pointed his butt
towards the mountains, ooh, there
she was. She was climbing up
towards Karetak-Afeng. So the
demon made himself grow to the
sky to fall on her from above. But
the woman was climbing the
mountain and the demon couldn’t
stand straight so didn’t reach her.
He broke and fell down just by his
own feet. The demon followed her
and when he reached KaretakAfeng, the woman was already in
Kamoi-Mea.
“Ooo!”
Begitu na:“Hmmm!” begitu.
“Naik, ko!” begitu na:
Hmmm!” begitu.
Begini ni, dia duduk lagi.
“Ooo?” begitu na:
“Hmmm!” begitu.
“Cepat naik, oo!” begitu na: “Hmmm!”
begitu.
Begitu ko, aaa, dia pigi habis, dia
lompat ko turun di luar. Lompat ko
turun di luar ni, dia mau lithat, tapi
orang suda ikat dia. Jadi dia mau
berdiri juga, tida bisa. Dia kasi dia
pung pantat menuju ke laut ko lihat
dengan kepala tergantung di antara
dia pung kaki na, tida, dia kasi pantat
menuju ke sebela barat ko lihat na,
tida ada juga, lagi balik ke sebela
timur na tida, kasi ke sebela gunung
na, aaa, ada naik di Karetak-Afeng,
ooo.
Aaa, dia bikin diri tinggi ko pata, tinggi
ko pata, suda hampir sampe di langit,
nanti dia mau jatu di dia na, tida bisa.
Mendaki jadi, jatu di dekat dia pung
kaki. Dia pung badan tadi orang suda
ikat jadi, dia pata ko jatu, tida bisa
berdiri lurus lagi.
Begitu tu, dia naik-naik lagi, naik
sampe di
Karetak-Afeng, ini
perempuan ni dia suda sampe di
Kamoi-Mea.
61
Hen hel ama do dikang di loidi fak, loidi fak wo di sei hofak masi,
detoku pe lang fake. Dikang di loidi fak ko di sei do, hofak masi,
dikang detoku pe lang fake.
Henil do, hen ama kaang do hen di ya Falepang-Mea mia,
angmona do hen mara Kamoi-Mea mia. Dikang di loidi fak, loidi
fak masi, sei detoku pe lang fake. Loidi fak masi, detoku pe lang
fake, henile:
“Hee, hedo ko yaa te wir ba?”
Henil do, hen dikang di mara Kanai-Pe mia yo, hedo hen di kabei
hapeekdi, hel baai di ó nang Falepang-Mea hewo nung marang, di
loidi fak, loidi fak ko sei fak masi. hen beeka, detoku pe lang fake.
Dikang di loidi fak, ko sei hofak masi, detoku pe lang fake.
Henil do, hen ama kaang do hen yaa loma mia. Loma mia do hen
di, o angmona do, di me mara Kanai-Pe mia. Hedo mia, dikang di
loidi fak, loidi fak, ko sei hofak masi, naha yo, detoku pe lang
fake. Dikang di loidi fak, hofak masi, naha, sei detoku pe lang
fake, henil-henil. Henil do, hen ama kaang do di yaa wó iti
Kadating hapong mia yo, hel angmona do o loma mia.
Loma mia yo, hen di e loidi fak ti, detoku pe lang fak, lang fak
hare, hen do wile:
“Nefeela, feela loku, piama kaang nuku iti marang nu, aleka
harang takia yo!” henile.
Ai, tuwol hieng, mai hieng loku do hen kingri-kongri, ama do di
kabala do defui hetaki ya, di ayukdi alai ba marei.
62
Ini setan ni dia juga kasi tinggi dia
pung badan ko jatu, kasi tinggi ko
turun jatu di dia begitu na, dia jatu di
dekat dia pung kaki saja. Begitu na,
ini perempuan ni suda sampe di
Falefang-Mea, ini setan ni suda naik
di Kamoi-Mea. Dia kasi tinggi dia
pung badan ko jatu lagi, begitu na,
jatu di dekat dia pung kaki saja. Kasi
tinggi dia pung badan ko jatu na, jatu
di dekat dia pung kaki saja, begitu:
“Ai, ini mungkin bagimana bilang?”
Begini ni, perempuan ni dia naik
sampe di Kapai-Pe tu, ini dia suda
dekat di dia sedikit. Dia juga ada naik
di bawa dari Falepang-Mea. Dia kasi
tinggi dia pung badan turun jatu, dia
kasi tinggi dia pung badan turun jatu,
begitu na, tida bisa, dia jatu di dekat
dia pung kaki saja.
Begitu ni, itu perempuan ti dia suda
ada di tenga tanjakan. Di tenga
tanjakan tu, setan ni dia naik di KanaiPe. Di sini dia kasi tinggi dia pung
badan ko jatu, kasi tinggi dia pung
badan ko jatu tu, dia begitu na, dia
jatu di dekat dia pung kaki saja.
Begini ni, perempuan ni, dia suda
mau sampe di Kadating-Hapong tu,
ini setan ni suda di itu tanjakan tadi.
Di tanjakan tu, dia lagi kasi tinggi dia
pung badan ko jatu, begitu na dia jatu
di dekat dia pung kaki terus. Itu na dia
bilang begini:
"Sobat, sobat dorang, kita pung orang
satu ada naik tu, cepat potong muka
oo!" begitu.
Aaa, di rumpun bambu dorang ada
bunyi-bunyi, ini perempuan ni dia taru
kain di dia pung kepala ko serobot
naik.
The demon stretched out his body
but broke in the middle again and
fell down again by his own feet.
The woman was already in
Falefang-Mea, when the demon
reached Kamoi-Mea.
He stretched himself out again
and fell again by his own feet. He
stretched himself but kept falling
down by his own feet. He said:
“What am I going to do now?”
The woman was already in KapaiPe, but the demon kept getting
closer and closer. He was now just
under Falepang-Mea. He stretched
his body again but broke in the
middle and fell again by his own
feet.
In the meantime the woman was
already halfway up the mountain.
The demon was at that moment in
Kanai-Pe. He stretched his body
again but broke in the middle
again and fell by his own feet.
And again he stretched out, broke
and fell. At that point the woman
was already in Kadating-Haping,
but the demon was already
halfway up the slope. Halfway up
the slope, the demon stretched out
his body, broke in the middle and
fell by his own feet and so it went
on and on. Then he called:
“Hey guys, there is somebody
coming for you, cut her off!”
Ooh, she could hear them coming
through the bamboo thicket, so
she put a cloth on her head and
kept running.
63
Di mara yo ti, e hel neng ba dufal tapei saki do, mayol do hei
kaang talaama hei bikil talaama ya, di hetantama mia ba luuk ba.
Henil mi, hel piama do di ama hanaha do min tikia mara, wó
masang hieng-bika do ming mit ba. Ming mit do, hen:
“Hm, nala hamuni, kameling hamun do.” henil kabei lunga,
masi:
“Hm, nala nuku hamun do,” henil.
Henil haba, dei mida mai naha ya, e di taa masi, hen di mon he.
Henil mi, hel masang hieng-bika do ding mit do, kaang-kaang la
dong falaakdi. Henir ba nala mi, hen di hefangi ya:
“Fung falaakda rei, fung falaakda rei!” henil.
Henil haba, bala falaakda naha:
“Alekang falaakda, fung falaakda, fung falakda.” henil.
Lung hal naha yo, hen kabei falaakda ba. Henir ba di mit-mit do,
hoo, hen ming falaakdi ya, hewar kalokul marang ba. War kalokul
marang, ama hen luuk heteti. Hetet mi, di hefangi ya:
“Pi Afena-Hapong pa tebikengra o.”
Henil mi, hen neng to domahadi to. E mong hehaleng laida dia nu,
hare hen domahadia, hen dining ayoku piei.
64
Dia naik tu, itu laki-laki yang
sebenarnya dorang baku janji tu, dia
pung perempuan enam di samping
kanan, enam perempuan di dia pung
samping kiri ko lego-lego bilang.
Begitu, itu perempuan dia kasi pisa
orang pung tangan ko naik, naik
duduk di tenga-tenga mesba bilang.
Duduk ni, tida lama na, orang bilang:
When she finally reached the
village she saw the young man
with whom she made a date. With
six women on his right, six on his
left side he was dancing lego-lego.
The woman split the people
dancing in the circle and entered
in the middle and sat down in the
offering place. Not long after that
some of the dancing people said:
“Mm, something is stinking here.
A cockroach or something!” and
after a while again:
“Mm, something stinks here!” like
that.
Although she heard them, she
didn’t care. She thought, if she
would go back and sleep, she
would get killed. She stayed in the
middle of the dancing circle and
when it was about to dawn she
said:
“Dawn quickly, dawn finally!”
like that.
But it didn’t dawn quickly
enough.
“Dawn now, dawn quickly, let it
dawn finally!” like that.
In a while it really dawned. She
was sitting there until the dawn,
until the sun came up, people say.
When the sun came up, people
stopped dancing. She went to the
man and told him:
“Let’s go down to Afena-Hapong
and search lice for each other!”
Of course, the man wanted to go
with her. Because the demon was
playing with her before that, the
man wanted to go.
"Hm, apa yang busuk? Kecoa busuk
ni.” begitu tida lama lagi:
"Hm, satu barang busuk ni!" begitu.
Begitu tapi, dia malas tau, nanti dia
tidur begitu, nanti dia mati. Begitu na,
dia duduk di tenga-tenga mesba ni,
hampir sampe pagi terang-terang.
Begitu na dia omong bilang:
"Cepat terang, cepat terang suda!"
begitu.
Begitu tapi, tida cepat pagi:
"Cepat pagi, cepat pagi, cepat pagi!"
begitu.
Tida lama na, suda mulai pagi bilang.
Begitu ko dia duduk-duduk ni, oo,
suda pagi, dia pung matahari terbit
bilang. Matahari naik begitu, orang
suda berenti lego-lego. Berenti na dia
omong itu laki-laki bilang:
"Kita turun di Afena-Hapong ko baku
cari kutu oo!"
Begitu na, itu laki-laki tu dia mau tu.
Tadi itu mati yang ada main-main dia
tu, jadi dia mau, dorang dua turun.
65
Henil do, neng do hen di mayol do hebikeang hiéng, hepikai dong
hawali ba hada we hada me, henil do, mayol do hen hieng do
kabei mok ba. Henir ba nala mi:
“Ai, nieng do fa kabei mok wida, hare ei dikang nit taha
dong taa, ma na ebikeang hiéng o!” henile.
Dopa do mia, ara hemuti ya, ting do mi ba ara hieng dong i ba ara
do hieng dong ia nar do, di hel neng do di hepikai do hawali ba
hada we hada me.
Hada we hada me ba nala do, hen hel neng do tadei dayongfi. E
hit taha mia min tadei, hare hen tadei dayongfi ya, hen nala mi,
wah, di ting do e lakaang lilri ba di mi marang habikil do dong wei
kaanra, dikang di mi dabikilai dong wei yo, ai, dining ayoku, oh,
hen tawaki ba sei wi hanahang hayei.
Heniri ya, nar te hu, hen mia ama hefangi ya, yal do, yal do mia
dowe do, nenge mayole ming tapei sak dokaani, naha maiye, ran
ayoku baai dara hedo wiri ya ba we yo.
Hen mia do kaani.
66
Begitu ni, laki-laki ni dia cari
perempuan pung kutu, dia kasi pisa
perempuan pung rambut pigi datang.
Begitu na, ini perempuan ni dia pung
mata mengantuk sedikit bilang. Begitu
na dia omong bilang:
"Ai, saya pung mata mengantuk
sedikit jadi, lu tidur lagi di saya pung
paha, saya cari lu pung kutu lagi oo!”
begitu.
Dia tiup api di dekat dorang habis,
ambel kawat ko kasi masuk di dalam
api, ini ni, dia kasi pisa laki-laki pung
rambut ko pigi datang.
Kasi pisa pigi datang ni, ini laki-laki ni
suda tidur sono. Tadi dia tidur di atas
dia pung paha jadi, suda tidur sono
habis ko, aaa, dia ambel kawat yang
tadi suda kasi panas di api ko dia
angkat ko tusuk di laki-laki pung pusat
habis, dia tusuk di dia pung pusat lagi
tu, dorang dua baku pelok jatu di
antara batu.
Begitu habis, dari situ orang omong
bilang, dari sekarang sampe
seterusnya ni, laki-laki perempuan
berenti baku janji. Tida na, besok-lusa
juga masi begini terus, oo!
In the beginning it was the man
who was searching for the lice,
going through her hair back and
forth. While he was doing that she
got a bit sleepy. She said:
“Hey, I am getting a bit sleepy, so
now it’s your turn. Put your head
down on my lap and let me search
the lice in your hair!”
There was a fire next to them. She
blew it up again and put a long pin
in it. After that she was searching
for lice in his hair back and forth.
While she was searching for the
lice, the man fell asleep. After he
fell asleep on her lap, she took the
pin that she heated up in the fire
and stabbed it in his belly. Then
she took it out and stabbed it in
her own belly too. She embraced
him and they both fell down
among the stones.
Because it happened this way,
people say that from that time
onward young men and women
had to stop going out for dates
with each other. If not, it could
happen some other time again.
That’s the end.
Habis di situ.
67
Mon Mot mon
Anderias Padafani
Mon Mot mon do di yaa, oro iti Lelawi, hen sei ama kaang do
tafuda neei.
Melang ba hen sei ama kaang tafuda neei ya, la ya mayol afung
mia nuku wala hene firai, di yaa deanei boku anei homing wei
tadei, hekaai nuku dufal hen wei tadei. Hedo hen mia ba rekna
bai, di herekna nala ma baai di hemarai.
Hel do, hekaai do yaari ya, yang daweli di sei. Henil do, akun ti
henil, afeida ti henil. Hel do hekaai ming ayoku-suida mi, hekaai
dufal di, hekaai di te haliol mi, di haliol ba lak-lak ti, ya mada.
Henil mi, di ya do hetakia bang mi sei, buuk-buuk do di moku do
hayari. Hel tukola moku do hayal do, moku do iti neng ayoku. Hel
do hen di el baleei baai murui nala, hare di yaa baleei do donatet
ba paka nuk-nukdi bang siki ba sei di nee, neei do ya moku do
homi hopadi.
Di hepet hepulang do oni, mi ba hatani ya, derui tahai naha te
detunui tahai, henil ba hada sei hada mara do moku do homi
hopadi. Di sei deya hatahang:
“Niya, pi tukola hung ta do? Pi tukolang taa, hare pil baai
pimelang piafeng hadu mi pi hen yaar te.”
68
Ular raksasa Mon Mot
Giant Snake Mon Mot
Oleh Anderias Padafani
A legend by Anderias Padafani
Ular Mon Mot ni, dia pigi di Lelawi ko
makan orang di situ semua habis.
Begitu na, tinggal hanya perempuan
hamil satu yang lari cungkil lobang di
tana ko masuk tidur di dalam situ
sama dengan dia pung anjing.
Dorang dua tidur di dalam lobang. Di
situ ni, haus juga dorang tahan, lapar
juga dorang tahan.
Mon Mot, the giant snake came
down to Lelawi. Over there, he
killed and devoured all the people,
all who were there. Just one
woman was left. She was
pregnant, but she escaped. She
fled, dug up a hole in the ground
and stayed there with her dog.
They were staying there until they
got hungry and thirsty.
Then the dog went out, found
water to bathe and came back to
the hole again. After this, every
morning and evening the dog left
and came back twice or three
times. The woman decided to
follow her dog, wherever it went
she followed it until she also
found the place with water.
After that she kept fetching water
from there until the day she gave
birth. It was in that hole, where
she gave birth to her children and
those children were two boys.
She planted some bananas before,
so now she went to that place to
pluck them and always brought
some home for her children until
they grew up. Then she made
arrows and bows for her sons to
hunt field rats and locusts. They
lived like this until her sons grew
up into young men. One day the
sons asked:
“Mother, why do we stay in this
hole, don’t we have our village
too? Why don’t we go there?”
Begitu ni yang satu kali dia pung
anjing ni pigi mandi di air, baru
pulang. Begitu ni, pagi na begitu, sore
na begitu. Dia pung anjing ni dua tiga
kali pigi datang. Begitu na, satu kali
dia jalan ikut dia pung anjing, dia
pung anjing ikut di mana na, dia juga
ikut di situ, sampe dia dapat air.
Begitu na, dia bawa air ni, tidak
berhenti juga. Begitu-begitu terus, ni
yang dia melahirkan dia pung anak
dua di dalam itu lobang. Dia pung
anak tu, laki-laki dua.
Tadi dia su tanam pisang dorang jadi,
dia pigi ko petik pisang satu bua
datang kasi anak dorang makan
terus, sampe dia pung anak suda
besar. Lagi dia bikin dorang dua pung
busur dengan anak pana ko dorang
pigi pana tikus dengan belalang.
Begitu tu, anak dua ni suda besarbesar, suda nyong-nyong. Jadi
dorang turun tanya sama dorang
pung mama bilang:
“Mama, kenapa baru kita tidur di
lobang saja? Kalo kita juga punya
kampung, na lebi baik kita pigi di sana
saja, ko?”
69
“Adiye, newil ayoku ye. Pi hen yaa beeka do, rining ayoku
wala naha, rido bai, rining faring, haba Mon Mot mon di e
riama kaang loku tafuda neei hu, yal pi dowir ba na rido ba
dong siei, nala.”
“Ai, hel baai pi laki te, mong baai pi lake, rowa baai pi lak,
hel yo kul.”
Hewil ayoku hei haliol ya, di yaa demelang miadi. Di demelang
mia wan di lik ong fala ong.
“Niya, ma Mon Mot mon do hemelang te heri?”
“Adiye, ri hetahang naha ye, heto hemelang pi yaa, pil
arida mai ye, la tel nee takai, la tel nee taka, hare yaa naha
ye.”
“Hai, ni kul yaar to.”
Hemi di kawaka foka hong dong mara fala oni. Di yaa tipai tuku
aisaha hetawat mi sei peng tok, iti faling, kawene tideng kika,
tafuda hetawati mi sei peng toku.
Kaanra mi di ara do hemuti pupukdi hesaila, di ruluk mi, di kaanri
ya, deya mi pei hatani.
“Niya, edo ara do peng miti, ni yaa hedo heyaar te.”
Di yaari ya, di hapong mia ile:
“Nukuta Mon Mot moni yo, nukuta Mon Mot moni yo!”
Di hamoi: “Hoo!”
70
“Aduu, anak dua, kita tidak bisa pigi di
sana ni, kamu dua saja ni, dulu tu,
kamu pung keluarga juga banyak tu,
tapi Ular Mon Mot datang ko suda
makan kamu pung orang dorang kasi
habis semua. Itu yang saya ada antar
kamu ko masuk di ini lobang ni.”
“Ai, begitu juga kita pigi dulu la, mati
juga kita pigi, hidup juga kita pigi.”
Begitu na, dia ikut dia pung anak dua
pung mau ko dorang pigi di dorang
pung kampung. Dorang suda sampe
na, dorang bikin ruma. Habis na, anak
dua ni tanya sama dorang pung
mama bilang:
"Mama e, habis Ular Mon Mot pung
kampung ada di mana?"
“Aduu, kamu jangan tanya itu la. Itu di
dia pung kampung tu, kita pigi muncul
na, dia makan kita saja. Jadi jangan
pigi!”
Itu na, dia pung anak bilang: "Ai, kami
harus pigi dulu."
Begitu na, dorang naik di atas pohon
taduk besar satu ko bikin ruma di atas
itu pohon. Dorang pi ambil besi-besi
sepotong dorang dengan kapak,
parang, batu asa mera. Itu dorang
juga, dorang bawa semua ko datang
ko turun taru.
Habis na, dorang bikin api, tiup ko
kipas habis, suru dorang pung mama
ko dia duduk di dekat api. Begitu
habis, anak dorang bilang: "Mama, lu
duduk dekat api ko kami pigi di dia
dulu."
Dorang pigi habis, sampe di pinggir
kampung na, dorang panggil Ular
Mon Mot tu bilang begini: "Hei, Nene
Ular Mon Mot!" Begitu na, itu Ular
Mon Mot dia menyahut bilang: "Uuu!"
“Oh, my children, we cannot go
back there, it’s just the two of you
now, but there used to be many of
us, until Giant snake Mon Mot
came and killed everybody. Now
we live here because I fled here,
that’s why.”
“Well, we have to go anyway,
dead or alive, we must go!”
She had to do what her children
wanted and so they went back to
their village. When they got there,
they built a house. Then the sons
asked her again:
“Mother, where is the village of
Mon Mot the Snake?”
“Oh dear, don’t ask me this, if you
go there, once he spots you, he
will kill you. So don’t you go
there!”
Her children answered her: "Oh,
we have to go!"
After this they climbed a high
tree, where they built themselves a
house. They brought hundred
pieces of iron and put them down
there, they fetched axes, swords
and whetstones; they brought
them all up there and put them in
the house.
After that, they made the fire by
blowing the cinder and fanning
the fire. Having done so, they left
their mother near the fire saying:
"Mother, watch over the fire, we
will go find him!"
They left and came to the edge of
that village and started calling
Mon Mot the Snake: "Hey, Old
Mon Mot!" Mon Mot the Snake
answered them: "Ho!"
71
“Wah, neseerang neyai yo baai a tafuda neei hare nining
ayoku do baai ba a marang nil neei se!”
Helo wan ama fuokung do huwor ba tamoi kaang-kaangra, di
hetak:
“Hay, fuokung haranra, netunui bilel ayoku damoida, hare
fuokung haranra ye.”
Fuokung haranri dikang di ile:
“Nukuta Mon Mot moni ye, Nukuta Mon Mot moni ye!”
“Woo!”
“Wah, niseerang niyai a tafuda neei, hare nining ayoku do
bai, a marang nil neei se!”
“Yoo!”
Di firaai ba marang Laling mia, ding wahai si, hen marang hen
mia. Hen mi, dining ayoku di firai sei iti yaa oro Rolmelang mia,
ding wahai wo Laling sei.
Hen mia ba di firaai, di sei Mitingfui melang mia, ding wahai si,
me Rolmelang kafaata la hada sei, hen mi di hori:
“Nukuta Mon Mot moniyo, heto a ming beeka laki, ni fa
Miting Fui mia yo!”
Dakuri ya, me ya, wo Montoting hayei, hen mia di yaa Mitingfui
mia, di pa, Kawaka Lohu mia hori:
“Nukuta yo, ni fa do mia yo!”
Hen mia ba di yaa, dining ayoku di yaa, awering ba kawaaka
awering di herili ya, mara fala homi mia si, hen awering hai mia.
72
Itu anak dua lagi panggil: "Hei, saya
pung orang dorang lu suda makan
semua, jadi lu naik ko makan kami
dua juga."
They called again: "Hey you, you
already killed and devoured all
our people, our whole tribe, so
you may as well come and devour
us too!"
People in the village were playing
on gongs but Mon Mot the Snake
interrupted them saying: "Hey
guys, stop the gongs. There are
two young locusts calling for me
here, so you stop playing now!"
The gongs stopped but the two
called again: "Hey, Old Mon Mot,
Old Mon Mot!" So Mon Mot the
Snake answered them: "Yeah!"
"Hey, you killed and devoured our
tribe, all our people, you
murdered everybody, so you may
as well come and swallow us
too!"
The two children were calling him
like this, so Mon Mot the Snake
said:"Well then!"
They ran down. They fled to
Rolmelang and then they saw him
climbing towards them. So they
ran down to Mitingfui. There they
looked again and saw that Mon
Mot the Snake was coming down
from Rolmelang. After that they
called him again:
"Hey, Old Mon Mot, hey you, you
are running astray, we are now
down here, in Mitingfui!"
Having heard that, Mon Mot the
Snake rushed to Mitingfui and
then to Kawaaka Lohu. The two
brothers called him again: "Hey,
Old Mon Mot, we are here!"
After that they climbed in their
tree house.
Begitu na, orang di bawa dorang ada
pukul gong bagus-bagus, jadi Ular
Mon Mot dia kasi diam ko dia omong
bilang: "Hei, kasi berenti pukul gong
tu, saya pung belalang dua ada
berteriak panggil saya, jadi jangan
pukul gong oo!" Begitu na, dorang
dua panggil lagi: "Nene Mon Mot,
Nenek Mon Mot!" Terus Mon Mot dia
menyahut bilang: "Uuu!".
"Hei, lu suda makan kami pung orang
dorang, jadi kami dua ni juga lu naik
ko makan kami dulu!"
Itu anak dua omong begitu na, Ular
Mon Mot menyahut bilang: "Yoo,
baik!"
Begitu tu, dia lari naik di tanjakan
Laling na, dorang lihat ada naik di
situ. Jadi dorang lari turun di Mitingfui.
Habis, dorang lihat na, Ular Mon Mot
ni ada turun ikut di kampung
Rolmelang pung sebela. Begitu na,
dorang panggil bilang:
"Nene Mon Mot, lu suda jalan sala tu,
kami sekarang ada di Mitingfui ni."
Begitu, jadi dia lompat ko jatuh pi di
Montoting. Dari situ dia pigi di
Mitingfui, ko dia turun di Kawaaka
Lohu. Itu anak dua panggil lagi bilang:
"Nene, kami dua ada di sini ni!"
Terus dorang dua panjat tangga
cepat-cepat ko naik di atas pohon
taduk.
73
Wan heya do del aisa wala henaha el wan Lutangfan di hefangi
ya:
“Niya, a marakda naha ye.”
Dining ayoku: “Nukuta ak, ni nikur ba hayei ye!”
Di faling do sei, hen baai o la marang.
“Nukuta ak, ni nitiokdi ba awang hayei.”
Hel do di, di we tideng kika naha te nala do sei, hen baai o la
marang.
“Nekuta ak!”
Di ak, kaala dieng la do saai yo, ho, taber ba yaa yo anai hayei.
Anei hayei ya, hen mia ba di sei ye, henil ti, heya dokaleng.
“Ai, newil ayoku heto kurbai ekuta di ril nee, hare sei naha
ye, sei naha ye!”
Henil haba Lutangfan ya iti di hefanga ya:
“Ai, ni kul saai se!”
Saai ya, sei, desora desapada witi ya, sei. Nuku di datiokdi ba
hepikai peng hayei, nuku di datiokdi ba hawai peng hayei.
74
Sampe di dalam ruma na, itu Ular
Mon Mot suda ada pas di dekat
tangga.
Begitu ni, mama tua ni suda mau
kincing saja. Begitu na, Lutangfan
bilang:
"Mama, lu jangan takut la!" Terus
dorang dua bilang: "Nene, buka lu
pung mulut ko kami dua lompat
masuk di dalam."
Pas Ular Mon Mot dia buka mulut na,
dorang kasi turun kapak dorang. Tapi
Ular Mon Mot tetap ada naik terus.
Begitu na, Lutangfan omong lagi
bilang:
"Nene, buka lu pung mulut ko kami
dua lompat turun."
Begitu na, Ular Mon Mot buka dia
pung mulut ko dorang kasi turun besibesi sepotong, batu asa mera, tidak
na kasi turun barang-barang lain
dorang. Itu juga, dia tetap ada naik.
Jadi dorang panggil lagi bilang:
When they climbed in, Mon Mot
the Snake was already under the
tree, right in front of the ladder.
Their mother was so scared, she
nearly peed herself from fear, but
Lutangfan said:
"Mother, don't be afraid!" Then
both brothers called the snake:
"Old Mon Mot, open your mouth
and we will jump inside!"
Right after he opened his mouth,
they dropped axes in it. But Mon
Mot the Snake kept climbing up
the tree. Lutangfan called him
again:
"Old Mon Mot, open your mouth,
so we jump inside!"
After that Mon Mot the Snake
opened his mouth again and they
immediately dropped all the iron
pieces and red whetstones inside.
It didn’t help and the snake kept
climbing on. Then they called him
again:
"Old man, open your mouth!"
He did so they poured hot pap
inside, the whole kettle and right
after that the snake slid down and
fell on the ground.
When Mon Mot the Snake fell on
the ground, both brothers wanted
to go down immediately but their
mother didn’t want that:
"My boys, the old one will kill
you, so don’t you go down!"
But Lutangfan replied her:
"No, we have to get down!"
"Nene, buka lu pung mulut!"
Pas dia buka dia pung mulut, tu yang
dorang kasi turun botok panas satu
periuk tu ko dia langsung jatu, turun di
tana.
Ular Mon Mot jatu di tanah ko dorang
mau turun begitu na, mama tua tida
mau ko dia bilang:
"Hei, saya pung anak dua, itu
sebentar kamu pung nene dia makan
kamu tu, jadi jangan turun, oo!"
Tapi Lutangfan bilang:
"Aaa, tida, kami turun dulu!"
Dorang bawa kalewang dengan
parang ko satu lompat turun dekat dia
pung kepala, satu di dekat dia pung
ekor.
Having taken their swords and
bush knives, one jumped to the
snake’s head, the other to his tail.
75
Di sapadang haliel ti, hekuta di hefangi:
“Neratala ayoku, ri nel feng he! Ya iti na tangi te, ri nel
feng naha bai, yal do hen nede ridi yo. Ri nel feng kaanra
maiye, kul nuku, foola nuku, faala nuku tai ia, kul nuku,
foola nuku, faala nuku tai ii, kaanra maiye, ri rimai sak
hetel tahi rining ayoku ri luuku yai arida yo, ri luuke.”
Hal kul dining ayoku feng kaanri ya, kul nuku, foola nuku faala
nuku tai ia, kul nuku, foola nuku faala nuku tai ia kaanra mi,
dining ayoku tuntama di balei luuku arida yo, luuku ya, tuntuntama yo, ah, awering do la tara dohai sei yo fala mia fala mia
tafuda saai ya, hen luuk do ming wei.
Ming wei ya, di luuku yai aridi, luuku yai aridi ya, hen arida henil
mi di we ti, ama kaang do hen beek-beekdi henil. Hel mong di el
hel ama kaang ba neei yo, tafuda dawai ya, sei, yaal ya o toka nu
heri.
Hen mia ba dokaani.
76
Dorang angkat parang mau potong
begitu na, Ular Mon Mot bilang begini:
Having raised their swords they
were about to hack in when Mon
Mot the snake said:
"My children, don’t kill me yet!
Let me speak first! I am in your
power, so spare me for a while,
until I finish speaking. After you
kill me, you have to take a piece
of my flesh and a slice of my skin,
and put them on each of the pole
trays, under every house. After
that you will collect old bamboo
and make fire and then you will
dance lego-lego till dawn."
So it happened. After they
slaughtered Mon Mot the Snake,
they cut up his flesh and sliced his
skin and put those bits on the pole
trays below each of the house.
When they finished that, they
piled up old bamboo, lit the fire
and started dancing lego-lego
around the fire. It was around
midnight when someone put down
the ladder from each house, and
people started coming down from
there and gathered around. Having
gathered together they went and
joined the lego-lego dance.
They joined the dance and kept
dancing till dawn. There were
many of them again. Everybody
who was killed and devoured by
the snake before came back and
their offsprings live till now in
Nurdin and Mitingfui. That’s the
end.
"Cucu dua, kamu jangan bunu saya
ko saya omong dulu! Tida juga, saya
suda ada di kamu pung tangan, jadi
sebentar na, kamu bunu saya habis,
kamu ambel saya pung kulit
sepotong, saya pung isi sepotong ko
taru di atas dulang semua ruma.
Begitu terus, sampe ruma semua
kamu taru habis. Begitu na, malam
kamu susun bambu rusak ko kamu
dua lego-lego sampe siang."
Begitu jadi, dorang dua bunu Ular
Mon Mot habis, dorang ambel dia
pung kulit sepotong, dia pung isi
sepotong ko pigi taru di atas itu ruma
dorang pung dulang, sampe taru di
ruma semua habis. Dia pung malam
na, dorang dua susun bambu rusak,
bikin api ko dorang dua mulai legolego kuliling ini api. Sampe tenga
malam na, semua ruma pung tangga
ni, orang ada kasi turun ko orang
yang ada di dalam ruma ni ramerame. Rame-rame turun ko masuk
ikut lego-lego.
Dorang semua lego-lego tu sampe
pagi. Pagi-pagi ni, manusia dorang ni
suda baku kumpul-kumpul ko ada.
Manusia dorang yang itu ular makan
tu, suda kembali lagi. Habis na,
dorang dua pung keturunan tu masi
ada sampe sekarang, di kampong
Nurdin, di Mitingfui. Habis di situ.
77
Moku yeting-ayoku
Elias Atafani
Neng nuku, mayol nuku do, di tayari yo, neng ayoku. Fing nuku
hei kokda nukung hahi henir te, heya hemaama do tafuda moni.
Dining ayoku do, di ama hefuting hu mia ba, di ama helik taha
dong miti. Mai ba ama la heruwol tohaloi, la hekaai tohaloi. Henil
masi, dining ayoku ming teenri dolake. Yaa demaama nuku hopa
mia. Hen baai ba hemaama di la hekaai tohaloi, ruwol tohaloi,
henil masi dining ayoku di enri do lake.
Wan yaa ama pining tek ía mia. Dining ayoku do baai ba dokilikilkilikil ba yaa nala tek. Sieng ba takda do baai naha, fat ba takda
do baai naha, henil mai, di yaa, di yaa ama hefuting hehanai dong
yaar kaanri maiye, sieng kidai do ahia. Fat bakooting do ahi
kaanri maiye, di mi ba dining ayoku di yaa uti ba e di teki do, ding
yaa nala takda. Fat tei nuku, sieng tei nuku. Hedo baai ba di sieng
do baai takdi, fat do baai ba takdi, di hepun henamei meo, hede
hesieng baai hopa, fat baai hopa, me kaang kawaisa loku dikang
mi se, hedu hehoek hofili ya, fuokung mi ba iti hefat bele, fuokung
mi ba hesieng bele.
Dining ayoku do me homi hopa henil mai dining ayoku di mitdi ya,
ding tatahangdia.
“Naana, yal do a mayol mia e!”
“Beeka kokda, ede eitu mayol mia e!”
78
Anak Tuju
Seven Children
Oleh Anderias Padafani
A story by Anderias Padafani
Laki-laki satu, perempuan satu ni,
dorang beranak tu laki-laki dua.
Sulung satu dengan dia pung adik
satu, baru dia pung bapa mama ni,
semua suda mati.
Dorang dua ni, orang pung halaman
ni, duduk di orang pung bale-bale. Itu
na, orang usir dorang seperti ayam,
usir dorang seperti anjing. Begitu na
dorang dua menangis ko pulang.
Dorang pigi di dorang pung bapa
satu. Itu juga, dia pung bapa ni, dia
usir dorang seperti anjing, usir seperti
ayam, begitu na dorang dua
menangis ko pulang.
Sampe musim orang potong kebun,
dorang ni juga paksa pigi potong.
Padi ko tanam juga tida ada, jagung
ko tanam punya tida ada, jadi begitu
dorang pigi. Dorang pigi di orang
pung halaman ruma habis, dorang pili
sisa padi, sisa jagung habis, dorang
dua ambel ko jalan.
Kebun yang dorang potong ni, dorang
pigi ko tanam di situ. Jagung satu
kebun, padi satu kebun, ini yang
dorang tanam. Jagung ni juga dorang
tanam, dorang cabut dia pung
rumput, sampe dorang yang punya
padi dengan jagung. Orang kaya
dorang yang datang pinjam tukar
jagung dengan moko, tukar padi
dengan gong.
Dorang dua ni, jadi dewasa begitu na,
dorang dua duduk ko baku tanya:
“Kaka, sekarang lu kawin, oo!”
“Tida bisa, adik! Lu yang duluan
kawin, oo!”
There was a man and a woman;
they had two children, two boys.
After the younger and the older
boy grew up a bit, their mother
and father both died.
The boys didn’t know where to
go. They went to the houses of
other people and were sitting in
their verandah. The people chased
them away as dogs. The two
brothers were crying and went to
their uncle. But also their uncle
chased them away as dogs. While
crying, they went back home.
The season during which people
work in the field came, they also
had to go. They didn’t have any
seeds. They have no rice to sow
and no corn to plant. They had to
find some seeds in the chaff
around the houses. Those were the
only seeds that they got. After that
they returned home.
They had already burned the
fields and prepared them to be
sown. They sew one field with
corn and one with rice. After that
they kept weeding both fields
until the got a rich harvest from
both rice and corn. The rich
people came to barter their drums
for corn and gongs for rice.
When both boys grew up, one day
they were sitting together talking:
"Brother, you should get a wife!"
said the younger brother.
"I don't want to! You must get
married first!"
79
“Naha, naana, ede eitu mayol mia e!”
Henaana do di mayol mi. Di mayol mi yo, tung karnuku re tung
karayokda hal dara moku wala hiéng naha. Moku wala hayal naha
ya, hehai do wan kofadi.
Henil mai, dikang di denahaa do hori:
“Nahaa, a miei se!”
Dining ayoku taming mitdi ya, di heananri.
“Kokda, nedo, na enaana hel mi haba, moku wala hiéng
naha, hare yal do a mayol nuku hel mi ya, di moku hayar
te!”
“Naana, nel baai ko na mayol mia, ma haba hewil di fing
mai baai, ama wala hori ya heto, ming finge henil naha ye.
Hare ede emayol do nuku mia dikang di moku do nuku
hayari ya, hen te hu ama hefangi ya, henu wil fing o!”
Henil mi, henaana do lol-lol. Di pa dawel hepa mai ba dipa yo,
mayol nuku ma dawele, haba fir lakai hekodang iti.
“Wil mayol, edo nel do kaang re naha e?”
“Ai, nedo namu bweka, tai beeka e! Nieng akuta e!”
“Ai, nedo nowa ieng akuta nu hefanga naha ya, moku hayal
do, kaang re nahae?”
80
“Tida kaka, lu yang duluan kawin!”
"No, that's not possible, you have
to get married first!" said the
younger of the two.
After this the older brother got
married. After being married for
about ten or twenty years, he still
didn’t have a child. He was still
without a child and his wife was
getting too old.
At that time he called his younger
brother again. "Brother, come to
me!"
They were sitting with each other
talking and the older one said:
"Brother, I have been married for
a while but I don’t have any
children so far. So now it is your
turn to get married. You have to
get married and have children!”
"Even if I will get married now
and have a child, nobody will call
him the first-born one. Instead you
should marry again, find yourself
another wife and she will bear you
a child. Only that child will be
called first-born.”
After that the older brother left
and was going around. They say
that when he went to bathe, he
saw a young girl by the water
washing herself. The shine of the
stars fell on her breasts.
"Girl, would you like to be my
wife?"
"No way, my body is full of
wounds that cannot be cured. My
eyes are blind."
"Ah, I did not ask about your
eyes. I want to know whether you
can bear me a child or not!"
Jadi dia pung kaka duluan kawin. Dia
kawin na suda sepulu tahun ko dua
pulu tahun tapi, dia belum punya
anak. Belum lahir anak, dia suda
mandul.
Itu na dia panggil dia pung adik lagi.
“Adik, lu datang dulu!”
Lagi dorang dua duduk baku dekat ko
omong bilang:
“Adik, saya ni, saya kawin lu pung
kaka, tapi tida lahir anak, jadi
sekarang ni, lu kawin nona satu, ko
dia lahir anak dulu.”
“Kaka, saya juga nanti saya kawin,
tapi dia pung anak sulung juga, tida
ada orang yang panggil bilang itu
anak sulung, oo, begitu. Jadi lu yang
kawin satu nona lagi ko dia lahir lung
anak satu dulu, baru orang bilang itu
anak sulung, ooo!”
Begitu, dia pung kaka jalan-jalan. Dia
turun mandi bilang ko dia turun ni,
nona satu ada mandi tapi cahaya
bintang ada melekat dia pung dada.
“Nona, lu kawin saya ni bisa ko tida?”
“Aaa, saya ni, luka banyak, tida bisa
sembu! Saya pung mata buta!”
“Aaa, saya tida omong lu pung mata
buta tu, lu bias lahir anak ko tida!!”
81
“Eh, kuya ba ralaking-kuya ha ti, heng tayar tamang. Ter
te, ama kaang do tayar tamang beeka, e?”
“Ai, masi edo nelo.”
Di hado ba neng do di hado ba delik deayating yaari. Di yaari, di
yaa hehado ba taae miti do, mayol do afung miadia. Yal ayoku do,
ko di moku do hayal henil mi, heneng do di hefangi ya:
“Mayol fing, edo mayol kokda nu hemiti. Akun ayoku do di
miti, hare ede hada miti, a yaa ama afenga hel eaki di sei
hada mitdi he, ede hada miti ye!”
“Kaang o!”
“Nedo, na yaa buku afengang yaa, melang afengang yaa,
fuokung tafaa tahai se yo!”
Heneng do wan laki, hehai do, wan mayol kokda do wan deui
heenra, hel mi di hok fangi:
“Ai, a miti, na we ya sui ba miei se!”
Haba ma ka di we do, ya sia heme hee, we naha ya, baleei wataka
hu kek hewe. Di baleei wataka do kek hewe do, mi miei kaanri,
damina dong ii kaanri, di mayol do hada miti.
Mayol do hada mit ba moku do wan sei do, ama kaang kaangkaang hene sei do. Ma haba, di baleei wataka do mi ba iti oro
mayol ba hieng akuta do hehiénria.
82
“Aaa, burung pipit saja, dia bisa
punya keturunan, kenapa manusia
sendiri dia tida bisa!”
“Ai, itu na, kawin saya!”
"Even the little birds in the field
can have youngs, why couldn’t
her?"
"Well, if you say so, why don’t
you marry me!"
He took her with him and brought
her to his home. After they came
home, they slept and woke up
together and she became pregnant.
It was about two days before she
gave birth, her husband said:
"My first wife, you must look
after my second wife! She is about
to give birth tomorrow or the day
after that. You will look after her
yourself, you must not ask other
people to come!"
"Yes, okay."
"I have to go to some other
villages in the meantime to buy
drums."
After the husband left the second
wife started to complain about her
back. The first wife told her:
Laki-laki dia antar dia ko dorang pigi
di dia pung rumah. Dorang pigi habis,
tidur bangun dengan dia ni, dia suda
hamil. Lagi dua hari ni, dia mau lahir
anak begitu na, dia pung laki dia
omong bilang:
“Istri sulung, lu ini jaga istri bungsu tu!
Besok-lusa ni, dia melahirkan, jadi lu
yang jaga dia, lu jangan pigi ajak
orang lain ko jaga dia, lu yang jaga
dia!”
“Yoo, baik!”
“Saya ni, saya pigi di kampung lain,
saya pigi di kampung lain cari gong
moko dulu!”
Dia pung suami suda jalan, dia pung
istri ni, istri sulung ni, dia pung istri
bungsu dia menangis dia pung
belakang na, dia omong bilang:
“Lu duduk, saya pigi timba air ko
datang dulu, oo!”
Tapi dia pigi ni, dia pigi timba air, ni
yang tida datang habis, dia pigi jolok
jantung pisang. Dia pi jolok jantung
pisang habis, bawa datang ko taru di
dia pung samping, ko jaga istri
bungsu.
"You wait here. I have to go fetch
some water now."
But she did not go to fetch water,
that’s why she didn’t come back
immediately. Instead she went to
prod a banana blossom. She
brought it home and put it next to
her and was looking after the
second wife.
She helped her to give birth and
the child that was born was a
healthy kid. She took that banana
blossom to the second wife who
was blind:
Jaga istri bungsu ko anak turun ni,
manusia baik-baik yang ada turun ni,
tapi dia ambel jantung pisang ko kasi
tau sama istri bungsu yang mata buta
itu:
83
“Oi, ta eneng di hefanga ti, ko di moku kaang hayal ba yo,
haba yal do a iti baleei wataka hu hayal do. Do a hepanei
se, do baleei wataka hu iti a hayal do, do ta eneng di
hefanga ti, ko a moku kaang-kaang hayal ba yo. Ma haba,
yal do iti baleei wataka do a hayal do!”
Moku do wit kaanri maiye, mi ba yaa lu fokang yaari ya, ya ming
hatang. Heto iti, heayoku do baai ba moku do hayal masi mi ba
yaa lu fokang yo hatang, hesua, hebuti, hedo baai hayal masi mi
ba lu fokang yaa hatang. Henil do ya, heyeting-ayoku yo moku
mayol e, hen baai di hefanga ti:
“Hedo baleei wataka!”
Henil masi, hel moku do halieli ya, mi ba yaa lu fokang yaa, ya
hatani. Heneng do sei:
“Wah, a moku ba hayari yo? Wan ming yeting-ayokda ya
moku ba a hayari yo?”
“Ma baleei wataka hu na hayar to.”
“Ai, hedo kaai ye fe hare, mi ba we baang hatange!”
Ama kaang do ama hado ba wei ya, mi we wi baa dong hatani. Wi
baa dong hatani ya, di me demayol fing do hok fanga:
“Hok ek baai kaang, batako wa baai mi hele, batako alot
baai mi hele, baleei kai baai mi hele, nala ma mi her he. Fat
ma mi we her he. Hedo maka, ama kaang hu na hel mi naha
ya, fe hu na hel mi, hare we hok ek baai kaang.
84
“Aaa, lu pung suami ada omong
bilang nanti dia dapat anak yang baik
bilang, tapi sekarang ni, jantung
pisang yang lu lahir ni. Ini lu pegang
dulu, jantung pisang yang lu suda
lahir ni. Ini lu pung suami itu waktu
bilang nanti lu lahir anak yang baikbaik bilang. Tapi sekarang ni, jantung
pisang yang ada lahir ni.!”
"Oh now, your husband said that
you would have a healthy child,
but now, look at this, you gave
birth to a banana blossom instead!
Just touch it. This is the banana
blossom that you just gave birth
to. Your husband said you would
have a healthy child. But you have
given birth to this banana blossom
here."
After the first wife stole the child,
she took it to the river and left it
there. It went the same way with
the second child that the second
wife bore and also with the third
and fourth. She took them one by
one and left them by the river.
When the last, the seventh child
was born, it was a girl. The first
wife said again:
"This is a banana blossom!"
Then she took the child to the
river and left it there. Finally, the
husband came back:
"Ooh, where are my children that
you bore? You had already seven
children, where are they?"
"I gave birth to these banana
blossoms!"
"This is not a human being but a
beast, take her and lock her in the
pig stable!"
People took her and locked her in
the stable. After that the husband
said to his first wife:
"You can shit on her, give her
cassava leaves, banana skin, but
don’t give her any food. Don’t
give her corn. This one here that I
married is not a human but a beast
so if you want you can shit on her.
Istri pertama dia bawa anak habis,
pigi lepas di kali besar. Begitu juga
anak kedua yang dia lahir na, dia
ambel ko pigi lepas di kali besar.
Ketiga, keempat, ini juga lahir na dia
bawa ko pigi lepas di kali besar.
Begitu ni, yang ketuju tu nona, itu
juga dia omong bilang:
“Ini jantung pisang!”
Begitu na, dia angkat itu anak pigi
lepas di kali besar. Dia pung laki ni
dia turun:
“Aaa, lu lahir anak tu di mana? Lu
suda lahir anak ketuju ko ada di
mana?”
“Ini jantung pisang yang saya lahir.”
“Aaa, ini anjing babi ni, pigi lepas di
kandang batu, oo!”
Manusia ni orang antar pigi ko lepas
di kandang batu. Lepas di kandang
batu habis, dia datang kasi tau dia
pung istri pertama bilang:
“Berak di dia juga baik, kasi daun ubi
juga baik, kasi kulit pisang juga baik,
jangan kasi dia makanan. Jangan
kasi dia jagung. Dia ni bukan saya
kawin manusia tapi babi yang saya
kawin, jadi pigi berak di dia juga baik.
85
Batako wa re nahaba batako kai re baleei kai re tafuda mi
hok tok o.”
“Kaang o!”
Heya do ama mi ba wi baa dong hatani ya, di hedo mia do, pimoku
loku ba el mi ba iti ya lu ming hatan do di yaa malika, al malika
amosing, hedo mia del towalri ya, hedo mia ba malika alina hedo
di nee. Di neei do, wan yaa neng tola, mayol tola hapekda henil
mai, Karfehawa do hedo deeti, detafui tahai. Deeti detafui tahai
henil mai, di tafui do koku ya, mi daminang ia masi, moku loku do
wei, we hamina dong wei kaanra mai, tafui ye eti do bunui me
nee.
Karfehawa do deui hieng dong wahai si, ei, eti tafui yo naha do.
Ding wahai re ba ti, moku fila hetoku heyal do mahada. Dikang di
tafui do koku eti do koku mi ba damina dong ii, di hatumal ti,
moku di me henil mi, di moku loku do hapuni.
“Rining yenge?”
“Nining yeting-ayoku ye!”
“Eh, neratala lokue, ring beeka loli. Me pi wo lik ayating
yaa ye!”
Karfe beeka do di hado ba delik deayating yaari, wan di ayating
do mia do hehai do di ile:
“Kidango! Netunui bilel yal do ko na hetoku kusing nee,
hatáng paka takai ye.”
Ma haba heneng do di hefangi ya:
86
Daun ubi ko kulit ubi ko semua pi kasi
makan dia, oo!”
Give her cassava leaves or
cassava skins. That’s what you
will feed her!”
“Yes, good!”
While their mother was locked up
in that stable, the children that
were left by the river all gathered
under a fig tree and ate its rotten
fruits. They kept eating those until
they were almost adult. One day
Karfehawa went to search for
crabs and shrimps. He was turning
stones and catching crabs. Those
that he caught he put next to him
on the river bank. The children
came quietly, took his crabs away
and ate them.
When Karfehawa turned, he did
not see his crabs and shrimps.
When he looked better, he saw the
footprint of a child. He kept
searching for crabs and shrimps,
putting them again on the river
bank, but this time he was secretly
looking. When the children came
to steal again, he caught them and
asked:
“How many of you are here?”
"There are seven of us."
"Well, my grandchildren, you are
astray, you better come with me.
Let's go home!"
Karfehawa, the evil man, he took
the children to his house, and
when they were almost there his
wife started calling:
"How nice, my young locusts are
here, now I will have their
toenails, I will eat their fingers!"
“Yoo, baik!”
Dorang pung mama orang lepas di
kandang batu habis, dia di sini ni, kita
pung anak dorang yang tadi lepas di
kali, dorang pigi ko baku kumpul di
bawa pohon ara habis makan dia
pung bua yang suda rusak. Dorang
makan ni, ko dorang suda hampir
besar. Begitu na, ini Karfehawa ni dia
ada cari dia punya udang, cari dia
pung ketam ko tangkap, begitu na dia
cari ketam ko taru di dia pung
samping begitu na, itu anak dorang
pigi habis, pigi di dia pung samping
habis ko ambil sembunyi ko datang
makan dia ketam.
Karfehawa ni, dia lihat di dia pung
belakang, aaa, udang dengan ketam
itu tida ada ni. Dia lihat na, anak kecil
pung bekas kaki ada. Dia cari ketam
dengan udang lagi habis, taru di dia
pung samping, dia intip na itu anak
dorang datang begitu na, dia tangkap
itu anak ko dia omong bilang:
“Kamu ada berapa orang?”
“Kami ada tuju orang, oo!”
“Aaa, saya pung cucu dorang, kamu
jangan sala, datang kita pigi di ruma,
oo!”
Karfe yang tida baik ni, dia antar
dorang pigi dia pung ruma, dorang
suda sampe di ruma tu, dia pung istri
dia panggil:
“Enak, saya pung belalang muda,
sekarang ni saya makan dia pung
kuku kaki, saya makan dia pung jari,
oo!”
Tapi dia pung suami dia omong
bilang:
But her husband took her short:
87
“Dara yo, dara tamadadia naha hare, di ko te tamadadi se,
ko pi nee ye.”
“Kaang o!”
Hado ba fala do dong marei yo iti, ya di mut mar ba di nee, nee do
hen yaa, hel neng upi talaama mi mayol nukung hahi ba dining
yeting-ayoku do yaa neng tola mayol tolae. Ama di yaa wo depun
denamei hemara tomahoi-mahoini ba ma mara.
“Nukuta, ama wo tomahoi-mahoina do teng yaae?”
“Ai, ama depun denamei ye.”
“Nukuta, ma hedo pil baai pipining pianei hadu maiye, nil
baai niteako!”
“Ai, pipining pianei so, ama pido hu poek pofangi ya, ming
teak bateko, hare ri yaa pun namei mai, na kawen mi
ritango!”
Kawen yeting-ayoku, faling talaama mi ba neng talaama nu heri,
kawen yeting-ayoku mi ba nuku mi ba mayol baai heri ya, di yaa
pun namei. Uti tei yeting-ayokdi, ama di nala aral masi, hel baai
di yaa nala aral, nala kik masi hel baai nala kiki ya, dining yetingayoku dikang siei dekuta do hok fangi:
“Nukuta, uti yo ni tei yeting-ayokdi, ni kik baai kaanri, aral
baai kaanri, hare nala hu ko niyaa taakda ye.”
“Ai, sieng-bin fada, fat bin baai fada, hare ri yaa takda yo!”
Di yaa sieng-bin takdi, fat baai takdi.
88
“Belum la, belum begitu gemuk, jadi
nanti dia gemuk baik-baik dulu baru
kita makan, oo!”
“Yoo, baik!”
Dorang antar anak dorang ko naik di
dalam ruma, dorang tiup api, masak
ko dorang makan, makan begini terus
ni, ini enam laki-laki tamba nona satu,
dorang tuju orang ni, dorang suda
besar semua. Orang rame-rame ko
naik pigi potong kebun, begitu na
dorang omong sama nene bilang:
“Nene, orang ada rame-rame ni pigi di
mana?”
"Not yet, they are not so fat yet,
after they grow up a bit we will
eat them!"
"Good then!"
They took the children inside the
house, they made the fire and
cooked them food. The children,
six boys and one girl, they kept
eating until they all got fat. When
the people started working in the
fields,
they
asked
their
grandfather:
"Grandpa, where are all those
peope that are calling each other
going?"
"Oh, they are getting together to
go to the fields!"
"Grandpa, if we also have fields
and land, we can also go work!"
“Aaa, orang pigi potong dorang pung
kebun oo!”
“Nene, habis kita ni juga punya tana
dengan kebun na, kami juga pigi
potong oo!”
“Aaa, kita pung tana dan kebun tu,
kita ni, orang datang kunci dengan
kita ko potong, jadi kamu pigi potong
na saya kasi parang sama kamu.”
Dia ambil parang tuju, kapak enam
kasi laki-laki enam orang. Parang tuju
kasi perempuan juga, habis dorang
pigi potong kebun. Kebun tuju, orang
pigi bakar kebun juga, dorang pigi
bakar juga. Orang pigi bersikan,
dorang juga pigi bersikan. Habis na,
dorang tuju turun kasi tau dorang
pung nene bilang:
“Nene, kebun tu, kami potong tuju,
kami suda bersikan habis, bakar juga
suda, jadi apa yang kami pigi ko
tanam?”
“Aaa, bibit padi ada, bibit jagung juga
ada, jadi kamu pigi tanam oo!”
Dorang pi tanam bibit padi, tanam
bibit jagung.
“We have so much land that
people come to rent it from us. If
you want to go, I will give you
bush knives.”
He took seven bush knives, and
six axes. He gave six axes to the
boys. The girl got a bush knife,
just like the boys. They all went to
clear the fields. They cleared and
burnt seven fields. After they
cleared them they went back
home and told their granfather
saying:
“Grandpa, we have cleared seven
fields, we burnt them as well.
What do you have that we could
plant?”
“Well, I have seeds, there is rice
and there is corn too. Just get it
and sow the fields.”
They went to sow rice and corn.
89
Hepun henamei, sieng do wan yaa san mariike, henil mai mayol
kokda do di neng upi talaama do hok fangi:
“Neng upi talaama, ri yaa pidak tukonge!”
Hel neng upi talaama do di yaa pidak tukoni, siei kaanri mai,
mayol kokda do hedo di mulai tinei ye tuole. Di deura upi talaama
do hok fangi:
“Neura talaama, ri yaari ya, bataa foka do ri nuku tukoni
ya, mi, pelang her te ye!”
Heura talaama do di laki, di yaa bataa foka do nuku tukoni. Bataa
foka do di tukon kaanra, henil mi, di tuot bahati yo, pelang ba
hemaseena ye. Hemaseena do, dikang dining talaama di hafiki
haberi ya, mi ba yaa tama-wal hapekdi ye, tut taha miadi e.
Heniri, kaanra henil mi, ama me siei sieng sike, hel masi, hel
dining yeting-ayoku do baai sieng do siki kaanri, mi ba bila dong
toku, hetawat mi ba yaa o pelang hong yaa toke. Fat do baai faki
kaanra ti, fat nu yeting-ayoku do iti sieng baai yeting-ayoku do iti
ya, dotafuda hetawati ba mi ba yaa pelang hong dong yaa toku.
Henir kaanra henil mi, di hefangi ya:
“Neura talaama, yal do sieng baai pi hayoke, fat baai pi
witi, yal do pi ekuta hopang yaa ye!”
Di laki, di yaa dekuta hopa mia.
“Nukuta, rui baai beka, fe baai beka, hare niuti tei yetingayoku yo fat hatáng yeting-ayoku, sieng baleka yetingayokue.”
“Ai, hen kaang o, neratala loku ma rosei yo.”
Siei sei tadei, arida henil mai, hekuta do di hok fangi, Karfehawa
do di hok fangi:
90
Tanam habis dorang potong dia pung
rumput, padi ni suda kuning, begitu
nona dia kasi tau dia pung saudara
enam bilang begini:
“Enam orang, kamu pigi potong
bambu anyam bakul punya oo!”
Ini laki-laki enam dorang pigi potong
bamboo, turun habis, perempuan
bungsu ni dia mulai anyam-anyam.
Dia kasi tau dia pung saudara enam
bilang:
“Saya pung saudara enam orang,
kamu pigi potong kayu besar habis
bikin perahu oo!”
Dia pung saudara enam orang dorang
pigi potong kayu besar satu. Kayu
besar satu ni dorang potong habis na,
dorang bikin perahu bagus. Perahu
yang bagus ni, dorang enam tarik lagi
sampe di dekat laut, di pantai. Begitu
habis begitu na, orang datang pungut
padi, begitu na dorang tuju orang
pungut padi habis, isi di lumbung
bawa semua ko taru di atas perahu.
Jagung juga pata habis, jagung tuju
ikat, padi tuju blek dorang kasi tinggal
ko yang lain tu dorang taru semua di
atas perahu. Begitu habis, nona tu
omong bilang: “Saya pung saudara
enam orang, sekarang ni, padi juga
kita pikul, jagung juga kita bawa, kita
pigi di nene, oo!”
Dorang jalan habis, datang di nene,
dorang bilang begini: “Nene, tikus
juga tida bisa, babi juga tida bisa, jadi
kamu punya kebun tuju tu jagung tuju
ikat, padi tuju blek!”
“Aaa, baik la, saya pung cucu dorang
turun oo!”
Turun habis tidur, siang begitu na
dorang pung nene Karfehawa ni dia
kasi tau bilang:
Then they were weeding until the
rice ripened and became yellow.
At that time the girl told her six
brothers.
“Six of you, go cut some bamboo
for plaiting baskets!”
The boys left to cut the bamboo
and when they brought it back, the
girl plaited. Then she told again to
her six brothers:
“My brothers, now you must go
cut a log to make a canoe!”
The six brothers went to cut a big
tree. When they cut it they made a
nice canoe. Then they pulled that
nice canoe down to the sea, to the
coast. When the harvest started all
seven of them went to harvest the
rice. After they harvested the rice
they put it in seven granary
baskets and brought those to the
canoe. They also harvested the
corn from which they took seven
bunches and added seven boxes of
rice and put them aside. When
they brought the remaining corn
to their canoe the girl said:
“My brothers, now we take that
rice with corn that we put aside
and take it to our grandfather!”
When they came home they told
their grandfather:
“Grandpa, there were many mice
and many pigs, your seven fields
only yielded seven buches of corn
and seven boxes of rice!”
“Oh, don’t worry about that. It’s
good you came back!”
After they came back, they went
to bed, but in the morning their
grandfather Karfehawa told them:
91
“Yal do sieng do sei tapei ye, rining yeting-ayoku sei pi
sieng do tapei ya, me pi kabei neei se ye!”
Sieng baleeka yeting-ayoku do dining yeting-ayoku do di tapei,
momangdi kaanri henil mi, di hefangi:
“Neratala loku, ri siei sei lakaang lunga hare, iti na yaa
elelang eame loku hok fangi ya, di sei dieng dapong mi ba
ril baai riengri te, hu mading hu, ri tok lol lake maiye, ko di
rol eki rotawang re hori hol eki hotawango.”
“Kaang o!”
Henil do, domotai ba laki, henil mai, mayol do di hok fangi ya:
“Neng upi talaama, ekuta di iti yaa nu, ekuta neng e mayol
yaa nu, henu di yaa ama hok fangi sei pil feni ya, tadi laini
ya, neei, hare pido baai ba akang hayei kaanra mai, yaa
pet-marul ye baleei wataka nala ba ko totaki totapei ya, di
kikdi waida do hedo ri yaa tahai ya, mi ba sei yo!”
Yaari mi ba sei, mayol do di takdi tapei dikang di haboti:
“Ri yaar kaanri maiye, baleei foi do dikang upi yetingayoku, lohu yeting-ayoku mia e.”
Dikang di yaa baleei foi do hedo lohu yeting-ayoku mi ba siei. Mi
siei kaanra mi, mi fala homi dong ii. Nala ba di wit ba siei loku do
heura di takdi tapei mi tokai yeting-ayokung ii. Wan yaa tieng
akun-akunra yo, hekuta do domotai ba siei.
92
“Sekarang ni, turun tumbuk padi,
kamu tuju orang ni turun tumbuk padi
habis, kita makan sedikit dulu, oo!”
Padi tuju blek ni, dorang tuju orang
suda tumbuk, kasi bersi habis, dia
omong bilang:
“Saya pung cucu dorang ni, kamu
turun ni suda terlalu lama, jadi saya
pigi kasi tau kamu pung keluarga
dorang habis, dorang turun ko kasi
tunjuk dorang muka di kamu, itu dulu
baru kamu bertemu di jalan kamu
baku tegur, ko dorang ajak tegur
kamu oo!”
“Yoo, baik!”
Begitu ni, dorang dua suami istri ko
jalan begitu na nona ni dia kasi tau
sama dia pung saudara dorang:
“Laki-laki enam orang, kamu pung
nene dorang ada jalan tu, dia pi kasi
tau orang turun bunu cincang kita ko
makan, jadi kita ni juga keluar habis,
petik bua tinta dengan jantung pisang
habis, campur ko tumbuk habis, dia
mera-mera na kamu cari habis bawa
turun oo!”
Pigi cari bawa turun kasi nona habis,
dia tumbuk, dia suru dorang lagi:
“Now you seven people must
pound some rice. After that we
will eat a bit.”
After they pounded seven boxes
of rice and cleaned the grain he
told them:
“My grandchildren, you have
been away for a long time. I will
go tell our relatives so that they
come as well to meet you. So
when you meet them somewhere
you will at least know who they
are. The will also know you and
greet you when they see you.”
“Yes, okay!”
After the old couple went away
the girl told to her six brothers:
“My
six
brothers,
our
grandparents went to invite people
to kill us. They will cut us up and
eat us. You have to go out and
find those ink fruits and bring also
some banana blossoms. You have
to mix them and let them turn red.
After that you bring them back
here!”
The brothers found the fruits and
brought them back to their sister.
She told them again:
“Now you have to go to cut seven
long banana trunks and bring
them back here!”
After they found those seven long
banana trunks, they brought them
back and put them inside the
house. Their sister took also the
other stuff that they brought
earlier on and put them all in
seven coconut shells. It was
almost
night
when
the
grandparents returned.
“Kamu pigi habis, ambel batang
pisang yang panjang tuju ko bawa
turun!”
Dorang pigi cari batang pisang tuju
yang panjang habis, bawa turun.
Bawa turun habis, taru di dalam ruma.
Barang yang tadi dorang bawa turun
tu, dorang adik nona dia tumbuk, taru
di tempurung tuju. Suda mau malam
tu nene dua ni suda turun.
93
“Neratala loku!”
“Weei!”
“Riran ba taa yo”
Lung loku nu baai kor pasi kaanra mi, di deratala wedo hori ya:
“Yal do riran ba taa, kabei hadu maiye, rilelang riame loku
buoka peka mia loku tafuda sei hare, di sei baai rimoi
rimoidi he ya, riran-riran ba taa yo!”
“Kaang o!”
Wan yaa tuntama yo, wan yaa ama wan nuku do we sei me sei, sei
luuk masang do ming siei kaanra maiye, luuku yai ye. Ama kaang
do hen hefaringdi di luuk do, yai ahia do: “akun falakda ti, te ko
ter tamadadia” taka do ming yai ahia: “lui wea, tading wea” taka
do ming yai ahia. Henil mai, moku fing do di hefangi:
“Nukuta, nukuta!”
“Woo!”
“Eratala ba ming fing o hieng mok hare, di fa daran ba taa
yo.”
“Sei taa yo! Ama deluk deyai baai hefaalingdi he ya, sei
riran ba taa yo!”
“Kaang o!”
Di wei, di we asyokai taha tukola do di dong sei, keng nuku,
nowang nuku, fuokung nuku heniri witi o mi ba pelang taha dong
yaari. Heayoku, dikang di wo dekuta do hol:
“Nukuta, eratala ba heayoku baai fa di kabei mitdi se masi,
nieng lakaang mok hare, na naran ba taa yo!”
94
“Saya pung cucu dorang!”
“Yaa!”
“Kamu turun tidur, oo!”
Pintu dorang tu juga ikat habis, dia
panggil dia pung cucu dorang bilang:
“Sekarang ni kamu tidur! Lagi sedikit
na kamu pung keluarga dorang dari
jau dekat dorang semua turun jadi,
dorang turun juga kamu jangan
bersuara, kamu diam-diam ko tidur!”
“Grandchildren!”
“Yes?”
“You have to go to sleep now!”
They tied up the door and called
the children again:
“You have to sleep now. In a little
while all your relatives will come
from nearby and from far away,
so you go to bed now and stop
talking! You must get quiet and
sleep now!”
“Yes, okay!”
When it was already night the
people started coming one after
another. They went to the dancing
place and started to dance legolego. During the dance they were
making songs with words like:
“how fat will they be in the
morning” and replied to those
with “knife with blood”. Hearing
this the oldest of the children said:
“Grandpa, grandpa!”
“Yes?”
“Your oldest grandson is very
sleepy now and going to sleep
now!”
“Just sleep now. Don’t listen to
people
singing,
just
sleep
quietly!”
“Yes, I will!”
Instead he went to the small hole
at the back of the house and
climbed down. He took one
blanket, one sarong and one gong
and went to their canoe. Then the
second boy called:
“Grandpa, your second grandchild
would like stay up a bit longer but
it is not possible. I am very
sleepy, I go sleep now!
“Yoo, baik!”
Suda malam tu, orang datang satu
per satu. Dorang turun di mesba ko
lego-lego. Orang dorang ni suda
banyak, dorang lego-lego ko pantun:
‘bagimana dulu baru padi dia gemuk”
balas: “pisau berdara” itu saja yang
dorang panton. Begitu na anak sulung
ni, dia bilang begini.
“Nene, nene!”
“Uuu!”
“Lu pung cucu yang sulung tu, dia
pung mata mengantuk, jadi dia ada
tidur oo!”
“Turun tidur, oo! Orang ada pantun
lego-lego juga jangan dengar, kamu
tidur diam-diam oo”
“Yoo, baik!”
Dia pigi di lobang kecil ko ikut di situ
turun, sarong satu, selimut satu, gong
satu begitu ko dia bawa pigi taru di
atas perahu. Begitu lagi anak kedua
lagi panggil kasi tau dia pung nene
bilang:
“Nene, lu pung cucu yang kedua ni,
saya mau duduk sedikit dulu begitu
ma, saya pung mata terlalu
mengantuk jadi, saya turun tidur oo!”
95
“Aran ba taa yo!”
Henil masi, di oro tukola nu dong sei, keng nuku, nowang nuku,
fuokung nuku witi, laki. Hel keng nuku, nowang nuku ba wit ba lak
do wan di hel mayol ba kokda do hewahai si, wan yaa pelang taha
mia. Wan yaa moku ba hesua hen di dekuta hol:
“Nukuta, eratala ba hesua baai fa hieng mok ba daran ba
taa yo!”
“Ai, daran ba taa yo do, ama ko niek hu haliol re nawa hu
haliol ba marang ril fenge hare, riran ba taa yo!”
“Yoo!”
Masi keng nuku, nowang nuku, fuokung nuku henir ba wit ba lak
do ya, moku ba heyeting-ayoku do miadi.
“Nukuta, nukuta!”
“Wah!”
“Eratala ba heyeting-ayoku ba mayol henu fa hieng mok
hare, iti di daran ba taa ya, di kabei mitdi se masi, iti hieng
lakaang mok o.”
“Ai, taa yo, ama luku yai baai, hen hefaaling naha, ama ko
niek hu haliol re nawa hu haliol ba sei!”
Hedo baai we tukola nu dong sei ma si, fuokung nuku, keng nuku,
nowang nuku. Di tukola do dong sei do datáng wok mai, hetukda-
ili nuku hapuni. Tukda-ili do di marakdi ba hapunge henil mai,
fuokung do hedi iti fala dong baabi.
96
“Lu tidur oo!”
Begitu na, dia turun lewat lubang,
kain sarong satu, selimut satu, gong
satu bawa ko jalan. Itu sarung satu,
selimut satu dia pikul jalan, itu dia
pung saudara nona dia lihat na, suda
ada di atas perahu. Begitu pigi dia
pung anak yang ketiga ni dia panggil
dia pung nene bilang:
“Nene, lu pung cucu yang ketiga juga
dia pung mata mengantuk ko ada
tidur, oo!”
“Aaa, dia tidur oo, nanti orang lewat
saya pung pantat ko saya pung mulut
ko naik bunu kamu, jadi tidur diamdiam!”
“Yoo!”
Begitu, sarong satu, selimut satu,
gong satu, begitu ko bawa jalan ni,
begitu terus sampe anak ketuju, dia
omong bilang:
“Nene, nene!”
“Uuu!”
“Lu pung cucu ketuju yang nona ni
juga dia pung mata ada mengantuk
jadi dia ada tirur. Dia mau duduk
sedikit dulu ma dia pung mata terlalu
mengatuk oo!”
“Aaa, tidur, oo! Jangan dengar orang
yang lego-lego dan pantun, orang
mau nanti lewat saya pung pantat ko
lewat saya pung mulut ko turun”
Dia juga ikut turun di lubang kecil
begitu na, gong satu, selimut satu,
sarong satu dia ambil. Dia lewat turun
di lubang ni yang, dia buong tangan
na tangkap tikus kecil satu. Dia
terkejut ko mau tangkap tikus kecil, ini
yang gong kena dulang ruma:
“Just go sleep!” When he climbed
down through that hole, he also
took away one blanket, one sarong
and one gong. When his sister
looked, she saw that he was
already by their canoe. After this
the third one called their
grandfather saying:
“Grandpa, your third grandchild is
also very sleepy, and is almost
falling asleep!”
“Oh, just sleep. Those who would
want to kill you have to go
through my mouth or through my
ass first. Don’t worry and sleep
now!”
“Okay!”
After this, he also took away one
blanket, one sarong and one gong
and so on, until the seventh child
who said:
“Grandpa, grandpa!”
“Yes?”
“Your granddaugther is getting
sleepy, so she will go to bed now.
I would like to stay up a bit, but I
am too sleepy!”
“Oh, just go to sleep! Don’t listen
to the people singing. What could
they do to you? They would have
to go through my mouth or
through my ass!”
She also climbed down through
the small hole taking one blanket,
one sarong and one gong.
Climbing down, she saw a small
mouse. She was frightened by the
mouse at first, but she caught it.
When she reached her hand for it,
the gong hit the wooden tray on
the top of the house pole:
97
“Ai, Karfehawa, moku loku do taki!” heba.
“He, niek hu di haliol re nawa hu di haliole, di takia beeka
ye, lung mai na el ming kor-pasi yo!”
Henil masi, o mayol do baai tukda-ili do witi ya, depelang do
hong miadi kaanra mi, di yaa dolaki. Di wayangdi ba lak-lak, lak-
lak, lak do, wan yaa arida peng hapekda. Ama hen luuku yai do
hen nala:
“Ah, wan ariding falakda hare, yal do pi potong-tafil yo!”
Dokat dokadanri marani:
“Hak-hak, neratala fing do yang dong taa!”
Hen masi, kafak do mara masi “tibuk” henile. Hewea ba sei do,
hareng ba buuk ti, oi dara masupa do:
“Ai, omi beeka ye, nala do dara masupa do, hedu a hefangi
ba wan ter tamadadie, henile edo omi beeka!”
“Ai, nala nu wan na hiéni yo, nala nu wan na hiéni ya, wan
ter tamada hare, hen hefanga naha yo!”
Wan yaa ming falaak-falaakda dotafuda di, di mara lung do
sapada, sora, sapada mi hebateti ya, marei ba mara ama kaang yo
hewahai yo, baleei-foi heiti ya, ama kaang yo tafuda e laki yoti.
“Eh, Karfehawae, edo, a tesalimangdia do, malik tohatani!
98
“Aaa, Karfehawa, itu anak dorang
suda lari!”
“Eh, dorang mau lewat di saya pung
pantat ko di saya pung mulut, dorang
tida bisa lari, pintu na saya suda ikat
semua tu!”
Begitu na ini nona ni, tadi tikus kecil
juga dia bawa ko pigi di atas dia pung
perahu habis, bawa jalan. Dorang
dayung ko jalan-jalan, jalan sampe
hampir pagi tu. Orang yang lego-lego
dorang bilang begini:
“Ooh, Karfehawa, those children
run away!”
“How could they run, they would
have to pass my mouth or my ass,
they cannot run away. The doors
are all tied up!”
The girl took also the mouse and
ran back to the canoe and they all
left. They were paddling and went
away, they were paddling on and
on when it started to dawn. Those
people who were dancing legolego said:
“Well, it’s dawning now. Let’s do
the war dance now!”
Dancing the war dance they
rushed to the house singing:
“Hak, hak, the oldest grandchild is
probably sleeping here!”
They stabbed with their spears
through the floor of the house and
it went “buk”. The blood streamed
down, they opened their mouth
and drank it, but it wasn’t tasty
yet:
“You bastard, this isn’t tasty yet,
you told us that they are fat, you
bastard!”
“What, I know what I am talking
about, they are already fat, you
better shut up!”
When it was almost light, they
climbed up, cut the ropes that held
the door. They climbed in the
house and then they saw the
banana trunks that were put there
there. The people have escaped
already.
“Oh, Karfehawa, you bring us in
trouble.
“Aaa, suda siang jadi, sekarang ni kita
cakalele!”
Dorang cakalele ko naik bilang:
“Hak, hak, saya pung cucu sulung ni
munkin ada tidur di sini!”
Begitu dorang kasi naik tombak
begitu na “buk’’, begitu. Dia pung dara
yang ada tumpa turun, tada ko minum
na, aaa, ini belum pas ni:
“Aaa, lu ni tida baik, barang belum
pas ni, ini yang lu omong bilang suda
gemuk, begitu, lu ini tida baik!”
“Aaa, itu barang saya suda lihat oo,
suda begitu gemuk, jadi itu jangan
omong!”
Suda sampe pagi-pagi tu, pintu ni,
dorang naik potong dia pung tali
dengan parang dan kelewang, itu ko
naik lihat manusia tu, batang pisang
yang ada, manusia dorang tu tadi
semua suda jalan habis.
“Aaa, Karfehawa, lu ni bikin celaka
kami!
99
Yal do ni luukung aridi, tieng baai wala ii baai naha do, ni
mitdi
la
hearidi
nisalimangdia!”
do!
Edo,
a
nisalimangdi
yo,
a
“Hah, niek hu haliol re nawa hu ko di haliole, sei riran ba
taa yo, rieng mok hare sei riran ba taa yo!”
Di sei luku diek mi ba war marang hareng ti, hen baai ba naha,
diek mi ba abui hareng ti, hen baai naha, war sei hareng ti, naha,
diek mi ba tama hareng ba ming wahai si, woo, wan yaa moku
loku do wan yaa tama tantama mia tilaka.
“Ah, riran ba taa ya, wan yaa pekdi hare, kalieta mayol
nufal lako.”
Di yaar kaanri mai, depikai-bataa do ber hayaki toku kaanra, mi
ba tobukui ya, wok masi, homing telang di marani, ko yal hopanei
masi, tukda-ili di hel iti pikai bataa do hawok masi, ooh, pikaibataa do wan tukda masi, pelang do dawai imaldi ba we piei.
Neng dikang denala do, dikang di heber toku, deamur do hedo di
heber toku tobukui ba wok masi, hafiki ba marang-marang,
marang ba ko yal hapanei masi, datáng wok masi, tukda-ili di wan
hel nala amur do hedo wan hetakei hare, hedo wan ho wan dawai
imaldi.
Dikang di mayol hei do baai ber hayaki wok masi…
100
Kami mete sampe pagi, sekarang ni
kami lego-lego sampe pagi, kami
pung mata terlalu mengantuk, tida
tidur sedikit juga, ko mete sampe pagi
ni! Lu ni, lu bikin celaka kami, oo!”
“Aaa, nanti dorang lewat di saya pung
pantat ko lewat di saya pung mulut?
Kamu turun tidur oo, kamu
mengantuk, jadi turun tidur!”
You let us wait till the dawn, let
us dance till the dawn so that we
are sleepy, but you don’t let us
sleep. You are getting us in
trouble!”
“How are they going to escape?
Will they pass through my mouth,
or though my ass? You guys go
sleep now, you are sleepy!”
Then he bent down and pointed
his butt to the east, but he saw
nothing. He turned to the
mountains, but saw nothing there.
When he turned to the west, there
was nothing. He bent again and
pointed his butt to the sea and
there he saw those children that
were already in the middle of the
sea:
“You guys go sleep now! They
are not far, so me and my wife
will go now!”
After they left, he pulled out all
his hair and tied it together as a
rope. He threw it and pulled it
back, they almost caught them. At
that moment the girl took out the
mouse and it bit through the hair.
The canoe flew back into the open
sea.
The old man now pulled out all
his pubic hair, he tied it together
as a rope and threw it again. Then
they pulled them back and almost
grabbed them again. They were
already stretching their arms to
grab them when the little mouse
bit the hair again and the canoe
flew back into the open sea.
Now he pulled out his wife’s hair,
tied it and threw on them again.
Dia tunduk turun, kasi dia pung pantat
menuju sebela timur habis, itu juga
tida ada. Dia pung pantat menuju ke
gunung, itu juga tida. Kasi di sebela
barat, itu juga tida ada. Dia pung
pantat dia kasi menuju ke laut ko
lihat, begitu na, itu anak dorang suda
berlabu di tenga laut.
“Aaa, kamu diam-diam ko tidur, oo!
Suda pigi dekat, jadi saya dengan
mama tua kami dua jalan, oo!”
Dorang jalan habis, cabut dorang
punya rambut semua ni, habis, ikat
baku sambung ko buang begitu,
dorang tarik naik, mau hampir raba
dorang begitu, tikus kecil dia kasi
putus itu rambut, aaa, rambut tu suda
putus begitu na, perahu dia kembali
kencang ko turun.
Bapa tua lagi, dia pung barang, dia
ada cabut dia pung bulu semua habis,
itu juga dia ikat baku sambung begitu,
buang habis, tarik naik-naik ko nanti
suda mau pegang, dia buong tangan
begitu, tikus kecil dia suda gigit itu
bulu putus habis, ini perahu ni, dia
kembali kencang ko turun.
Lagi mama tua punya juga dia cabut
habis, buang.
101
Hoo, tukda-ili deina hetakei, hebakol masi, ko pelang do dikang
imaldi ba laki. Henil mai, neng ya mayol do dotafuda wan darekdi
tadei, wan moni, wan ya di wayangdi ba lake henil mai, moku upi
talaama do di hefangi:
“Pi lake!”
Henil haba, mayol do di hefangi:
“Naha, wó nu kul mon hare, pi mara malatai afui ya nabuku
te.”
“Eh, ama dakolra kaang hare, doma!”
“Naha, wó henu wan kul mon hare, pi mara ye.”
Marang henil mai, mayol deitu dakuri, neng loku baai dikang fing
nu baai datiokdi hayei ya, dotafuda malatai dong afui kaanra mai,
neng do di neng e mayol mi ba malatai dong nabuku kaanra mi, di
laki.
“Neura, yal do pi war-marang hu haliol re pi war-sei hu
haliole?”
“Ai, yal do pi war-sei hu haliol o.”
Di wayangdi ba lak, lak, lak, lak:
“Oh, pido yang ko pilelang kol di heba?”
“Naha yo, hen hedi naha yo!”
Dikang wayangdi ba lak: “Wah, iti do, neura, iti do heri heba!”
“Naha yo, hedo pilelang kol naha yo, pilasak naha yo!”
Dikang di wayangdi ba lak, lak, lak, lak wan ya Likwotang hada
sama mia.
“Hedo pilelang kol yo. Pilelang, pilasak yo.” Wan di sei
hedo mia.
“Hedo her, hare pi hedong mara yo!”
102
Buang habis na, ooo, tikus kecil dia
gigit itu, makan itu begitu na, perahu
ni dia kembali kencang ko jalan.
Begitu na mama tua dengan bapa tua
dorang dua suda baring ko tidur, suda
mati. Anak dorang dayung ko jalan
begitu na, laki-laki enam orang tu
dorang bilang begini:
“Kita jalan, oo!”
Begitu na, nona dia omong bilang:
“Tida, di atas tu betul suda mati, jadi
kita naik gali pasir ko kubur dulu!”
“Tida, orang tukang akal-akal, jadi
jangan!”
“Tida, dia atas tu betul suda manti,
jadi kita naik, oo!”
Naik begitu na, nona dia duluan
lompat, laki-laki dorang juga, yang
sulung tu juga lompat habis, semua
gali pasir rau habis, laki-laki dorang
angkat mama dan bapa tua ko kubur
di dalam pasir, habis, dorang jalan:
“Nona, sekarang ni, kita ikut di sebela
timur, ko ikut di sebela barat!”
“Tida, sekarang kita ikut di sebela
barat!”
Dorang dayung ko jalan-jalan.
“Ooo, sekarang kita mampir di kita
pung kelurarga dorang, oo?”
“Tida oo, ini bukan dorang!”
Jadi dorang dayung ko jalan lagi:
“Aaa, ini ni, nona, ini mungkin dorang,
ko?”
“Tida oo, ini bukan kita pung keluarga
dorang, oo!”
Jadi dorang dayung ko jalan-jalan
lagi, suda berhadapan dengan
kampung Likwatang.
“Ini kita pung keluarga dorang, oo!”
Dorang suda berlabu di situ:
“Ini dia, jadi kita naik di sini, oo!”
The little mouse bit it again and
the canoe flew back into the open
sea. After this the old couple was
exhausted. They dropped down
dead. The children were paddling
away and the six boys were
saying:
“Now we are leaving!”
But their sister said:
“No wait, those two are dead now
so we will go back and burry them
in the sand.”
“No way, they are trying to fool
us!”
“No, they are really dead now,
let’s go back now!”
They turned back, the girl jumped
off the canoe as first, and all her
brothers followed. They dug out a
hole in the sand, lifted up that
dead man with his wife and
burried them with the sand. After
that they went again:
“Sister, will we turn to the east
now, or to the west!”
“We will go to the west!”
They were paddling on and on:
“Well, now we should go ashore
and visit our family, no?”
“No, they are not our relatives!”
Then they paddled on:
“Well, maybe these are our
relatives here?”
“No, these are not our relatives!”
They kept paddling until they
came to Likwatang.
“Our relatives live here!”
They went ashore from there:
“Yes, they live here. Let’s go onto
the shore!”
103
Di hedong marei kaanra mai, ukulei fala re na ba tofa fila nuku
oni ya, di hedong mara namang loku do baai, keng re nowang re
habuku ba hada wei hada me, fuokung tafaa loku do baai ba mi ba
iti dapong hareng dong mihi kaanra mi, ayak bila loku do baai kul
mi ba bilang toku, mihi, fat do do baai henir kaanri mi, dopa dong
fuokung beti ya, di hedong taa miti.
Di hedong taa do, ko tadeng yeting-ayoku homi mia do, tadeng ba
heyeting-ayoku do, ama iti hemaama ba la do hayari do, iti
hebataa bang. Ama iti hemaama do hebataa bange henil mai, di
deura talaama do hok fangi:
“Neura talaama, emaama ya eya el homi beeka, hema hal
ya, pimelang mia maiye, enaana ba ming fing nehe hehaik
kamol meng yo.”
Mayol do ma ya:
“Nede hemalang aloi mengo. Di ko sei wo pidasama dong
hayei maiye, ko na paneni ya, di tihaida! Di ko tihaidia do,
ko ama ko sei tok fangi: “Ri ko bani ya, iti melang mara!”
Ma haba ri bani ya, melang nu mia maiye, ama fu ming ril
langa baai dooma, kafaak ming rilanga baai dooma, ye ming
rilanga baai dooma, rong lohu bataa nu ii kaanra maiye, mi
ba war marang hareng nu rong wei, kaanra maiye, ri wi baa
nung wahai, kaanra maiye sei yo.”
“Kaang o.”
104
Dorang naik di situ habis, dorang
bikin pondok habis, dorang pikul naik
dorang pung pakaian dorang, dorang
pung sarung, selimut dorang pigi
datang. Dorang pung gong moko
dorang juga ambil ko taru di dia pung
muka habis, dorang bawa padi taru di
lumbung, ko taru. Jagung ni juga
dorang taru begini habis, dorang
hambur gong dorang ko dorang tidur
bangun di situ.
Dorang tidur di sini ni, mungkin tuju
hari begini, hari yang ketuju ni, orang
banyak pikul dorang pung bapa
kandung ni punya kayu.
Orang pikul dorang pung bapa pung
kayu ni, nona dia kasi tau dia pung
saudara laki-laki dorang bilang begini:
“Saya pung saudara enam orang,
untung kamu pung bapa dengan
mama tida baik! Kalo tida, di kita pung
kampung, lu pung kaka yang sulung
dia pake tempat siri laki-laki.”
Nona ni dia bilang lagi: “Saya nanti
pikul air bambu. Dorang mau turun
sampe di dekat kita na, nanti saya
bikin ko kayu dia berat! Kayu dia
berat ni, orang turun ko kasi tau
dorang bilang:
“Nanti kamu pigi ko pikul naik di
kampung!”
Tapi kamu pikul naik di kampung
habis, kamu suda sampe di kampung
habis na, orang panggil kamu makan
siri pinang, juga jangan, kamu
langsung taru kayu habis, ikut pigi di
sebela timur, habis kamu lihat di
kandang batu, habis, turun, oo!”
After they landed, they built a
small shed. They fetched their
clothes, blankets and sarongs from
the canoe. They also brought their
gongs and drums and placed them
in front of their shed. They put
their rice in the granary basket
inside the house. They also stored
their corn inside and then they
spent the night there. They stayed
there perhaps for one week. On
the seventh day, many people
gathered to carry a log for their
father. Because so many people
gathered to carry the log for their
father, the girl said to her
brothers:
“Brothers, because our parents are
bad, we do not live in our village
and the oldest of us doesn’t wear a
betel nut basket.”
Then the girl added: “I will carry
the bamboo water tube. When
those people come near us with
their log, I will make it heavy.
After the log becomes heavy, they
will come to us and ask you guys:
“Can you help us carry the log up
to the village?”
You will help them to carry it up
to the village. But if people invite
you to chew betel nuts when you
arrive there, you will refuse. After
you put down the log, you will
walk in the eastern direction to the
stable from stones and look inside.
After that you will come back
here.”
“Yes, okay!”
“Yoo, baik!”
105
Ama wan me bataa do bani, wan me loma tuku do mia:
“Ai, kabei ahel te.”
Ming aheli, wan di bataa do me hedo mia tihaida mai ama pa
neng upi talaama do hok fangi:
“Al loku!”
“Woi!”
“Ri nil tulung ba pi nibata do pi bani ya, wo melang yaar te
hu ko riwai sei do!”
“Ai, kaango!”
Marani ya, folai hebateti ya, hel bataa do ama kaang upi buti
wala bani ya, wo melang makiilang yaadi, naha te melang foka
dong yaari. Di yaari ya, bataa do ii, di hewahai yo, di we wi baa
dong wahai yo, kalieta mayol hene nuku ma baa mia. Di me do
ming ahel baai naha.
“Wah, pi kafaak buut te do, pi fu takei se do, pi ye but te
do.”
“Ai, nukaleng ya, niura dona kal wala hare ni nulake.”
Heto mia ba di heto mia tosong-songre di deura hopang sei.
“Eh, ri yaari te wiri?”
“Eh, a niboti ya, wi baa ba ming wei yo ama kaang henuku
hen mia ya, kalieta mayol yo.”
“Kaan ta, sei yo! Kurbai el ri ya buut baai naha, nala neei
baai naha do, kurbai ama kafiei nuku wit ba sei, fat kowang
hahi ba sei mai.
106
Orang suda datang pikul kayu ni,
suda di tenga tanjakan pendek:
“Aaa, kita berhenti cape sedikit dulu!”
Berhenti cape habis, dorang pung
kayu ni berat di sini na, orang turun
kasi tau laki-laki enam orang bilang
begini:
“Orang Alor dorang!”
“Uuu!”
“Kamu bisa tolong kami ko pikul kami
pung kayu naik di kampung dulu baru
nanti kamu kembali turun ni?”
“Yoo, baik!”
Dorang naik habis, tali yang tadi ikat
di kayu ni potong habis, dorang
empat orang saja pikul naik di
kampung lama, ko di kampung besar.
Dorang naik habis, taru kayu ko lihat
di kandang batu tu, mama tua satu
yang ada duduk di dalam kandang.
Dorang datang ni, tida berhenti cape
juga. Orang di kampung dorang
bilang:
“Aaa, kita isap kita pung tembaku
dulu ni, kita mama siri dulu, kita
minum air dulu ni!”
“Aaa, kami tida mau, kami pung
saudara nona sendiri, jadi kami
pulang oo!”
Di situ ko dorang enam jalan ramerame ko mau turun di dorang pung
saudara nona tu.
“Tadi kamu pigi tu, bagimana?”
“Tadi lu suru kami bilang pigi di
kandang batu tu, manusia satu yang
ada di dalam, perempuan tua satu,
oo!”
“Suda, jadi turun oo! Sebetar, tadi
kamu tida minum air juga, kamu tida
makan juga ni, sebentar orang bawa
kambing satu turun, tamba jagung ko
turun.
The people passed along them
with the heavy log and climbed in
the middle of the hill:
“Let’s have a break for a little
bit!”
After they rested for a while, the
log got very heavy. They came
down and asked the six brothers:
“Alorese men!”
“Yes?”
“Can you help us carry the log up
to the village? After that you can
come back down!”
“Yes, we can!”
They went up. They cut the ropes
that were holding the log and only
four of them were enough to lift
the log up and carried it up to the
village on the top of the hill.
When they arrived there, they put
down the log and went to look in
the stable. They saw an old
woman in there. They went back
without even having a rest. The
villagers said:
“Let’s smoke a cigarette together.
Let’s chew some betel nuts and
drink a cup of water!”
“No, we don’t want to. Our sister
is alone at home, so we have to go
back now!”
After that all six of them went
back to their sister. “How did it
go?” asked their sister.
“You told us to look in that stable.
Well, there is an old woman in
there!”
“Well, let’s go down. Because
you have refused to drink or eat,
they will bring us a goat and corn
in a while.
107
Fat kowa heng ko na mia ya, kafiei nu na hawai. Ko ri
hefangi ya, nido fe mahiting hu nee ye. Nido al ma haba, fe
heng numaha ya, kafiei mai nukalenge!”
Wan yaa ama wan kafiei nuku fada ko wit ba sei mai heura di
hefangi ya:
“Fat kowa heng na mia, kafiei nu hawai mara ya, fe hene
numaha ye.”
Dikang ama kafiei wit ba hawai yaari, dikang fe nuku wit ba siei.
“Ai, fe luotai do heng nukaleng ya, fe mayol hu ye. Fe ba iti
wi baa mia hene heng numa ha ye.”
Ama marei ya:
“Ma haba ri hakor te, hawa nu baai hakol, hetoku baai
hakol, hatáng nu baai hakor te, towang hatoli ya, kul ban te
sei yo.”
Ama wan wo kalieta mayol do hakori, ban ba sei ye henil mi, di
taliyol natetdi kaang-kaangdi ya:
“Fing dong nateti, kokda dong nateti, kokda dong nateti
heayoku, hesuang hayei ya, sei nedo na hayei yo.”
Wan di el ama wan ban ba sei do heura do di ya lila baai tai
mihia, bubur baai di mar kaanri, heri henil mi, sei ama kaang do
ama ban ba sei ye, mi sei lik hefala do mia, henil mai, ama kaang
do henaana fingdi hetani, me mi ba hetetaani ya, mi ya, moku
kokda hopa dong mihi ya, haboti:
108
Jagung tu, nanti saya ambil, tapi
kambing tu, nanti saya kasi kembali.
Nanti kamu omong bilang: “Kami ni
makan daging babi saja oo, kami ni
orang Alor tapi, babi itu yang kami
mau, kambing tu, kami tida mau.”
Suda sampe orang bawa kambing
satu turun, begitu na dia pung
saudara nona bilang:
“Jagung itu saya ambil, kambing tu
bawa naik kembali, ko babi tu, itu
yang kami mau oo!”
Orang suda bawa jalan kembali
kambing habis, bawa turun babi satu:
“Aaa, babi laki ni kami tida mau, babi
mai saja yang kami mau. Babi yang
ada di kandang batu tu, itu yang kami
mau!”
Orang naik habis:
“Tapi kamu ikat dulu, dia pung mulut
tu juga kamu ikat, dia pung kaki juga
ikat, dia pung tangan juga ikat dulu,
pikul pakai kayu ko bawa turun, oo!”
Orang ada ikat mama tua habis, pikul
ko bawa turun begitu na, dorang
berdiri berturut-turut habis. Nona dia
omong bilang:
“Sulung berdiri di sini, bungsu berdiri
di sini, bungsu yang kedua di sini,
yang ketiga di sini, sampe di saya!”
Tadi orang yang ada pikul ni, dia
pung saudara nona dia muat air juga,
bubur juga dia suda masak, begitu su
habis na, bawa turun ko kasi manusia
yang tadi orang pikul ko bawa turun
ni. Begitu, orang yang pikul manusia
turun sampe di dorang pung ruma,
begitu na, dorang tu, dorang sorong
ko kasi dia pung kaka sulung ko dia
duluan terima ini manusia, ko dorang
baku sorong sampe di anak yang
bungsu ko taru habis.
I will take the corn, but we give
them back the goat. I will explain
to them:
“Although we are Muslims we
only eat pork. We never eat goat
meat, so we don’t want that
goat!””
When the people indeed brought
them corn and one goat, the girl
told them:
“I can take the corn, but you have
to take back your goat. We only
eat pork!”
The villagers went back with their
goat and brought down a pig:
“Oh, but we don’t want a male
pig. We only want the pig that you
keep in the stone stable. Bring us
that one!”
After the villagers went back up:
“You have to bind it up properly.
Bind up her mouth, bind up her
legs too, with her hands and carry
her down on a pole!”
The villagers tied up the old
woman and carried her with a pole
down to the seven siblings. The
girl said:
“The oldest must stand here, the
second here, the third here, and I
am the last!”
The girl boiled water and cooked
the rice. Then she brought it down
to serve it later to the woman who
the villagers were just bringing
down. When the villagers arrived,
they gave the old woman to the
oldest of the brothers and he
passed her onto his younger
brothers and they passed her onto
their sister.
109
“Kaan ta, rolake.”
Dolak haba hemaama dolak naha el mayol do heneng dolak naha
ya.
“Wah, maama olak re!”
“Ai, na lak beeka ye, madi ya iti do hedo ama kaang ba hedo
nife ye ni hok ek, hok aisa ye, alot kaang, alot beeka mi, hok
tok haba yal do ri wit ba siei hare, ri feng ba nee baai ba ri
feni na hién te naha ba ri feng naha baai ba na hién te.”
“Ai el baai olake.”
Haba dolak dokaleng henil mi, mayol do di iti hel deya do hatopi
haweli, hawet hanaha loku do baai keke, hieng bika ba hieng
akuta mai do baai datáng mi ba kusing ming nati ya, telang masi,
hieng do wan kaanri ye. Di heto mia ba namang kaang mi homeng,
namang kaang mi homen kaanra mi di hemaama do haboti:
“Olak o!”
“Naha, moku loku, na nolak beeka, te wir laki maiye, iti ring
ananri te.”
“Hede niya ba ni yaari ye.”
Henil mi di hefangi ya:
“Ai, masi nede he eya do heneng, hare pi pimelang mara ye.
Naha, ko na marei mara rolakang kadele.”
Henil mi, arida mi dotafuda tososonri marei.
110
Begitu dorang orang yang tadi pikul
manusia turun bilang:
“Suda jadi kamu pulang, oo!”
Dorang pulang tapi, dorang pung
bapa kandung, tadi perempuan punya
suami tu, dia tida pulang:
“Aaa, bapa, lu pulang, ko?”
“Aaa, saya tida bisa jalan, oo! Habis
ini manusia ni, kami punya babi yang
kami berak di dia, kami kincing di dia,
kami kasi dia daun baik ko daun tida
baik. Tapi sekarang kamu suda bawa
turun, jadi kamu bunu ko makan juga
kamu bunu saya lihat dulu, ko kamu
tida bunu juga, saya lihat dulu!”
“Aaa, lu juga pulang!”
Tapi dia tida mau pulang begitu na, ini
nona ni dia kasi mandi dia pung
mama habis, dia ada kasi bersi dia
pung gigi, dia pung mata buta ni juga
pake dia pung kuku tangan begitu na
tarik na dia pung mata suda baik. Di
situ ko dia kasi pake pakaian yang
bagus habis, dia suru dia pung bapa
bilang:
“Lu pulang!”
“Tida, anak-anak dorang, saya tida
bisa pulang, bagimana na kamu cerita
dulu!”
“Ini ni, kami pung mama kandung,
oo!”
Begitu na dia omong bilang:
“Aaa, saya ni yang lu pung mama
pung laki, jadi kita naik di kampung
oo! Nanti saya naik ko kasi pisa
kamu!”
Begitu pagi na, dorang semua ramerame ko naik.
Then they said to the villagers
who brought the woman down:
“You have already brought her,
now you can go back!”
All the villagers went back except
an old man, the husband of that
old woman. He didn’t want to go
back.
“Hey old man, why don’t you go
back?”
“I cannot go! This person here
used to be our pig. We were
shitting on her and peeing on her.
We fed her leaves to eat. You
have now taken her so I must see
what you will do with her. If you
kill her and eat her I must see it. If
you don’t kill her, I want to see it
as well!”
“Just go back!”
The old man didn’t want to go
back. After the girl washed her
mother, she cleaned her teeth and
her blind eyes. She lifted the eye
lids with her finger nails and those
eyes were healed. The old woman
could see again. Then they
dressed her in nice clothes and
said to the old man:
“You go home now!”
“No way, dear children, I cannot
go home before you explain me
everything!”
“This is our mother!”
Then he told them:
“Oh, I am your mother’s husband.
Let’s go up to the village. I will
go up and settle this for you!”
The next morning, they all went
up to the village.
111
Hemayol fingo di abui namang meni ya, ko hatáng panei ye mai
se, hu heneng di sora sapada mi bateti ya, hen mia ba holakang
kadeli, hare hen mia ba do kaani.
Hare, hedo Kalma Abui hetun-tung re na ba hetira, hetira heyar,
hare henu mia do kaani.
112
Dia pung istri sulung tu, dia pake
pakaian adat habis dia mau jabat
tangan begitu, ni yang dia pung laki
dia potong dia pake kelewang, di situ
ko habis.
Jadi ini Kalma Abui punya silsila ko
dia pung cerita keturunan, jadi di situ
ko habis.
The first wife was dressed up in
traditional clothes and wanted to
welcome them. Her husband took
out his sword and killed her at the
spot.
This is the story of Kalma Abui.
This is their ancestor story. That’s
the end.
113
Fu munuma
Amalia Lanma
La teitu yo, heiya yo fu munuma. Fu munuma do neng nuku mayol
nuku, motai ayoku henu hu hehai do defu do takei ya, lakaang
munuma ya, di fu ba iti e munuma naha do mi deneng hele.
Deneng hel ti, heneng di hefangi ya:
“Wah, edo efu munuma takai, te wir te kabei mi nel naha?”
henil ti.
“Ah, fu ba la sama to!”
“Naha do, ei do lakaang munuma do, te wir te hu, a kabei
mi nel naha.”
Henil do, hen di namei heyaa. Namei heyaa mi:
“Ai, nedo ko noweka yo, noweka!”
Henil mi, dining ayoku nala neei kaanri ya, hehai do deitu yaari.
Deitu yaa do, di fu do tahai ba hada we, hada me, hiéng naha, di
sei o ahai do mia di darekdi ba tadei, ding wahai mara re ba ti, koi
nuku wó akui kiding taha mia kilempakda.
Henil mi, di marei ya, mara hel koi do tirei si, hel fu do upi ayoku
homi mia. Henir ba na la mi, di nuku mi sei kadele, kadeli, di takai
si, oh, lakaang munuma.
114
Pinang Wangi
Fragrant Betel Nut
Oleh Amalia Lanma
A story by Amalia Lanma
Pertama ni, dia punya mama Pinang
Wangi. Pinang Wangi ni, laki-laki
satu, perempuan satu, suami-isteri
dua, itu yang dia pung isteri ni makan
dia pung pinang habis ko terlalu
wangi na, tadi pinang yang tida wangi
dia kasi sama dia pung suami.
Dia kasi sama dia pung suami, na dia
pung suami dia bilang:
First, this story is called Fragrant
Betel Nut. Fragrant Betel nut is
about a man and a woman, a
couple. One day the woman was
chewing betel nuts when she got
one that was very fragrant. She
gave the other one, which was not
as fragrant, to her husband.
When she gave it to him, her
husband said:
“Hey, you are chewing a nice
smelling betel nut, so wy don’t
you give me a bit of that too?”
So she said: “Well, all betel nuts
are the same anyway!”
“No, it is not, yours is very
fragrant, so why don’t you give
me a little bit?”
They were about to go to the field.
When they were about to go, the
husband said: “Hey, I will come
after you. I will follow you!”
"Aaa, lu ni makan lu pung pinang
wangi, kenapa baru lu tida kasi saya
sedikit?"
Begitu na: "Aaa, pinang ni sama
semua tu!"
"Tida la, lu punya terlalu wangi ni,
kenapa baru lu tida kasi saya
sedikit?"
Begitu ni, dorang pi potong kebun. Pi
potong kebun na, dia pung laki dia
omong bilang: "Ai, saya ni, nanti saya
dari belakang, oo! Saya dari
belakang, oo!"
Begitu na, dorang dua makan habis
ko dia pung isteri itu duluan pigi. Dia
duluan jalan ni, dia pung laki mulai
cari pinang pigi datang na, tida ada.
Dia turun di ambang pintu, dia tidur
muka menghadap di atas na, dia lihat
naik tu, tempat kecil satu ada gantung
ko tagoyang di loteng kecil.
They had already finished eating
then and the wife went off first.
After she left, the husband started
looking for betel nuts everywhere
in the house, but there was none.
He climbed down to the threshold
and lied down on his back. When
he looked up he saw a betel nut
basket hanging under the loft.
So he climbed up and searched
through the little basket and found
two betel nuts inside. He took one
and went down again and split it.
After he split it he chewed some
and wow, it was really fragrant.
Begitu na, dia naik habis, dia naik
periksa tempat kecil na, ini pinang ni
dua bua ada di dalam. Begitu na, dia
ambil satu ko turun bela. Bela habis,
dia makan na, ooo, terlalu wangi
sekali.
115
“Ah, ede efu do mi nieng bunuia, ho!”
Hen di takei, takei ya, dikang demayol do haliol yaari. Haliol
yaari war-afeida sei. Sei mi, di dieng do mari ya, hehai dufal nee.
Hel hehai ye heneng do dining ayoku nee, neei kanri, nala ti, di fu
takai, fu takai si, fu takai mai ba di mara ti, koi do mia ti, hefu do
upi nuku wala do.
“Hedo mahe e fu do mi? Na e upi ayoku mi dong ii yo.”
henil.
“Ah, nedo e mi takei yo!” Henil do hen di:
“Ah, nedo mai nobeeka, omong baai ya, tahai, omalaida
baai ya, tahai. Okilra baai ya, tahai, onaida baai tahai yo!”
mai. Henir ba nala mi:
“Kaang o!”
Akun falakda di defat do rehei, kali, mi, dekoi-buku dong ii, hen di
meng. Meng kaanri hen di lake, di meting do mi, mi ba dekoi dong
ii kaanri, mi di laki.
Di yaa fu oro do mia. Miei wo do mia ti, di tanga ti, do wile do:
“Fu munuma wala do na te hung yaar te mia yo?” henil.
Di fu do hong marei, di mara fu do mi sei takai si, munuma naha.
“Oh, hedo beeka, munuma naha do!”
116
"Aaa, lu ni yang sembunyi lu pung
pinang, ee!"
Dia suda makan habis na, dia ikut dia
pung maitua ko jalan. Ikut jalan, sore
na, turun, turun na, dia masak habis,
dia pung istri dorang dua makan.
Ini suami-istri dorang dua makan.
Makan habis, dorang makan pinang.
Makan pinang begitu na, dia pung istri
naik periksa dia pung tempat kecil na,
pinang ni satu saja ni.
“So you are hiding your betel nuts
away from me!”
He finished chewing and went
after his wife to the field. In the
evening they came back. His wife
cooked and they both ate.
Both husband and wife ate. After
they have eaten, they chewed
some betel nuts. When the wife
went up to search through her
betel nut basket, there was just
one betel nut left.
“Who has taken my betel nut?
Earlier on there were two in
here!”
So he said: “Oh, I took one and
chewed it!”
Then she said:
“I don’t like it this way. You must
go find some, even if you die.
You must get me some, even if
you perish. You must bring me
betel nuts, even if you vanish!”
After that he answered: “Okay
then!”
He went to roast himself some
corn, pounded it and put in his
small basket. Then he took his
small basket, wore it on his
shoulder and went away.
As he went, he came under a betel
tree. When he came under the
betel tree he said:
“Where can I get the fragrant betel
nuts?”
He climbed the betel tree, plucked
one nut and chewed it but it was
not fragrant.
“Oh, this one is not good. This is
not the fragrant one!”
"Ini siapa yang tadi ambel pinang,
ooo? Tadi saya taru dua bua di sini,
tu!" begitu:
"Aaa, saya yang tadi ambel ko makan
tu."
Begitu na, dia omong bilang:
"Saya ini, begitu saya tida mau. Lu
mati, juga pigi cari, lu mampus, juga
pigi cari, lu hilang, juga pigi cari, lu
sesak, juga pigi cari, oo!"
Begitu dia omong bilang: "Yoo, baik!"
Pagi dia goreng jagung, titik halus
ambil isi di tempat kecil habis, dia
pake. Pake habis, dia jalan, dia ambil
siri ko taru di dia pung tempat kecil
habis, jalan.
Dia jalan tu, pohon pinang ada di
sana. Dia datang di bawa pohon
pinang habis, dia omong bilang
begini:
"Pinang wangi ni saya pigi di mana
dulu baru saya ambel, ee?" begitu.
Dia panjat pohon pinang, dia petik
satu bawa turun ko makan na, tida
wangi.
"Aaa, ini tida bisa ni, tida wangi ni!"
117
Dikang di we, we dikang nuku wo mia.
“Kaang baai bo, wani baai bo, kolim pia pai, pia pia pai,
male kaang, male beeka, male meti nalo.”
Henil di mara fu do dikang ming sike. Ming siki ya, sei takai si,
munuma naha. Henilo hen di:
“Kaang baai bo, wani baai bo, koling pia pai, pia pia pai,
male kaang male beeka, male meti nalo.”
Henil di mara fu dong sike. Fu dong sik ba nala ti, di hefangi ya:
“Aya, hedo fu munuma wala do na te hung yaar te mia yo?”
henil.
Dikang di mara fu dong sike. Fu dong siki sei takai si, munuma
naha, henil ti di:
“Kaang baai bo, wani baai bo. Koling pia pai, pia pia pai, male
kaang re male beka, male meti nalo.”Henir ba nala do di yaa, di
lak-laki ya, hen war do hen buku homi dong yaa. Kasing nuku
buku homi mia, kasing nuku mara iti buku taha mia henil. Di we,
we ti, fu nuku do wal hamin wó hu mia haba loidi marei kaanra
dikang pa, piei kaanri, dikang mara. Marei kaanri, dikang pa.
Henil do, hel fu do lakaang palikingi ya lohu.
Henir ba nala mi di, di doden e di hefangi ya:
“Omong baai mia, omalaida baai mia, okilra baai yaa mia,
onaida baai yaa mia!” henil.
118
Dia pigi lagi, pigi di bawa pohon satu
lagi:
"Baik ko tida baik, dulu tu, saya tida
usa kawin perempuan ini baik, tapi
perempuan tida baik yang saya
kawin!"
Begitu tu, dia naik petik pinang lagi.
Petik habis, turun makan na, tida
wangi. Begitu dia omong bilang:
"Baik ko tida baik, dulu tu, saya tida
usa kawin perempuan ini baik, tapi
perempuan tida baik yang saya
kawin!"
Begitu, dia naik petik pinang. Dia
petik pinang na, dia omong bilang:
"Ayaa, ini pinang wangi saja ni, saya
pigi di mana dulu baru ambil, ee?"
begitu.
Begitu dia naik petik pinang lagi. Petik
habis na, turun makan begitu na, tida
wangi. Begitu dia omong bilang:
"Baik ko tida baik, dulu tu, saya tida
usa kawin perempuan ini baik, tapi
perempuan tida baik yang saya
kawin!"
Begitu na, dia pigi, dia jalan ko
matahari suda tenggelam. Sebela
suda tenggelam, sebela masi di atas
bumi, begitu. Dia pigi, pigi tu, pinang
satu ada berdiri di atas kolam, tapi dia
pung batang naik habis, lagi turun,
turun habis, lagi naik, naik habis, lagi
turun. Begitu tu, pinang terlalu
bengkok ko tinggi.
Begitu na, dia pung istri tadi omong
bilang:
"Lu mati, juga pigi ambel, lu mampus,
juga pigi ambel, lu hilang, juga pigi
ambel, lu sesak, juga pigi cari!”
begitu.
He went again and came under
another betel tree:
“Well, I shouldn’t have married
that woman. I married a mean
woman!”
Then he climbed the betel tree
again, plucked another nut but it
was not fragrant. He said again:
“Well, I shouldn’t have married
that woman. I married a mean
woman!”
He climbed again to pluck betel
nuts. He plucked some and said:
“Oh, where can I get the fragrant
betel nuts?”
He climbed again to pluck yet
some other betel nuts. He climbed
down, chewed them, but they
were not fragrant. So he said:
“Well, I shouldn’t have married
that woman. I married a mean
woman!”
Then he went again and the sun
was already setting. It was almost
below the horizon. One half was
still above the horizon and the
other half was under it. He went
and saw another betel tree
growing above a pond, but the
trunk was crooked, growing up
and down. This betel tree was
very crooked and tall.
Then he thought of what his wife
told him:
“You must go find some, even if
you die. You must get me some,
even if you perish. You must
bring me betel nuts, even if you
vanish!”
119
“Hare, na mong baai mara, malaida baai mara. Kilra baai
yaa mara, naida baai na mara!” henil di marei.
Marei ya, fu do di upi yeting siki ya, mi dekoi dong ii. Kaanra mai,
di nuku do siki ba takei, takei si, lakaang munuma. Munuma ya,
dikang di nukung sik mai, hewo hopa hayei, hen mi wal hayei. Wal
hayei yo, ai, hedo mia di sei dikang me, dikang mara, dikang sei
henile. Di sei yo fi, ai, mon foka ó marang, ah. Ó marang henir ba
nala:
“A te, te o haliol a niek hu o haliol re nawa hu o haliol!”
henir ba nala ti:
“Ah, ma te wir hu a sei fu do mia.” Henil ti, di hefangi ya:
“Ah, nemayol hefu hu na takei ya, di hefanga ti, omong baai
yaa mia, omalaida baai yaa mia, okilra baai yaa mia, onaida
baai yaa mia. Henir ba nala mi, hen na e sei mia hesei.”
Henir ba na la mi:
“Ai, kaang, hare fu do a mi ya, heri, a helunga he! Helungi
maiye, beeka!” Henir ba nala mi hen:
“Kaang to!”
Heniri ya, hen di fu do hen puna ba yaari, yaari ya:
“O efu do mia ya, na lako!”
Henil ti, hen di ahai we ti, hal telang.
120
"Jadi, mati juga, saya panjat, mampus
juga, saya panjat, hilang juga, saya
panjat."
“So I will climb even if I die. I
shall climb even if I perish. I will
climb even if I vanish!’
Then he climbed up. After he
climbed up, he plucked five betel
nuts and put them in his small
basket. Then he plucked one more
and chewed it. This was very
fragrant. He wanted to pluck
another one, but he dropped it in
the pond below. So he started
climbing down again. As he was
climbing down, a big snake was
climbing up the tree from below
him. The snake said:
“Where do you want to go? Will
you go through my butt or through
my mouth?”
Then he continued: “Why did you
come here to steal betel nuts?”
So the man answered: “Oh well, I
ate my wife’s betel nuts and she
then told me:
“You must go find some, even if
you die. You must get me some,
even if you perish. You must
bring me betel nuts, even if you
vanish!””
The snake said: “Well, you take
your betel nuts, go back and give
them to your wife. But don’t make
it long. If you stay long, you will
be in trouble.”
The man aswered: “Yeah, okay!”
Then he took the betel nuts home
and gave them to his wife saying:
“After you take your betel nuts, I
have to go back!”
His wife went to the door and
pulled him back. Then he said:
Begitu na dia panjat naik. Panjat naik
na, petik lima bua taru di dia pung
tempat kecil. Habis petik satu ko
makan, makan na, terlalu wangi
sekali.
Wangi na, dia petik satu na, jatu di
kolam di bawa. Jatu di kolam, dia
mulai turun-turun, mau turun di bawa,
begitu. Dia turun na, ular besar ada
naik ni, ada naik dari bawa:
"Lu ikut di mana, lu ikut di saya pung
pantat, ko lu ikut di saya pung mulut!"
Begitu tu: "Aaa, na kenapa baru lu
datang ambel pinang?"
Begitu dia omong bilang: "Ah, saya
pung istri pung pinang tu yang saya
makan na, dia omong bilang tu:
"Lu mati juga, lu pigi cari, lu hilang
juga, lu pigi cari! Begitu tu, yang saya
tadi turun ambel!""
Begitu na: "Baik, jadi pinang tu, lu
ambil bawa pigi kasi dia, tapi jangan
lama. Kalo lama, tida bisa!"
Begitu na: "Yoo, baik!"
Begitu na, pinang dia bawa jalan kasi
dia bilang: "Lu ambel lu pung pinang
habis, saya jalan oo!"
Begitu dia pung istri pigi di ambang
pintu ko tarik dia kembali:
121
“Dooma baai, ama e napei saki baai, kurbai beeka baai,
hare efu mia na lake!”
Hen fu nu mi ba hopa nung ii ya, nala:
“Wah, nopuna naha bai, na lak baai!” henil ti, o yaa do wil.
“Ai, ma a teng yaae?”
“Ma ede e ta nabot ba omong baai mia, omalaida baai mia,
okilra baai mia, onaida baai mia yo, heniri yo.”
“Henil mi, na e yaar do hen nedo hen kilri, naidi hepoti ma
hare, efu mia na lako. Napuna naha baai, kurbai ti beeka!”
“Ai, nala beeka re baai?”
Ai, henilo lunga hal naha yo, di yaa wal ba amut bulongai wida
hen o ahai nung walri hen marang lik wo nu mia, henir ba nala mi
di:
“Ah, nopuna naha, a onang ahai nung wahai so.”
Henir ba nala yo, wan ding wahai sei ya fi, ai, wal ba hel
tamielang foka yo nokaango. Henir ba nala mi, hen datáng mi ya,
hen di saai. Hen di sei aka mia yo, wal do hen ming takati. Ming
takati ya, hen di oro we yo ai, mayol ba kila kika wida ayoku do
nuku deitu nuku doweka ya, di hetantamang laki ya, di hedo mia
ba di enra haba, “Ma e ede habot nu!” enra haba sama naha ya,
hel mayol ayoku dining sua do di we-we mi ba oro bataa foka
homi hen dong wei ya, naidi.
Kaanri.
122
"Jangan la, orang suda janji sama
saya juga, sebentar tida bisa, jadi
ambel lu pung pinang, saya jalan!"
Pinang tu taru di dia habis dia bilang:
"Aaa, jangan pegang saya, saya
jalan!"
"Habis, lu mau pigi di mana?"
"Tadi lu yang suru saya bilang lu mati
juga, pigi ambel, lu mampus juga, pigi
ambel, lu hilang, juga pigi ambel, lu
sesak juga, pigi ambel, begitu tu.
Begitu tu yang, saya tadi jalan ni,
saya termasuk suda hilang, suda
sesak, jadi ambel lu pung pinang,
saya jalan oo! Jangan pegang saya,
sebentar tida baik!"
"Aaa, tida baik apa?!"
Tida lama tu, seperti itu kolam yang
hitam sekali ada terkumpul di bawa
ambang pintu, ada naik di bawa balebale.
"Jangan pegang saya, lu lihat di bawa
ambang pintu dulu!"
Begitu ko dia lihat turun na, ai, kolam
begitu kita takut sekali, bagaimana ini
baik. Begitu na, dia lepas tangan ko
dia turun memang.
Dia suda turun di luar tu, air ni suda
kering.
Suda kering habis, dia ada pigi tu,
aaa, perempuan cantik dua ada satu
di muka, satu di belakang, ko jalan,
dia di tengah tapi dia menangis tapi:
"Tadi lu suruh dia tu!" menangis tapi
tida bisa ko itu perempuan dua,
dorang tiga pigi-pigi ko masuk di kayu
besar, pohon besar ko hilang.
Habis di situ.
“Don’t do that. I have promissed
to go, or else there will be
troubles. just take your betel nuts
and let me go back!”
He gave her the betel nuts and
said:
“Stop holding me, I have to go!”
“Well, where do you want to go?”
“You have commanded me earlier
on saying: You must go find some
betel nuts, even if you die. You
must get me some, even if you
perish. You must bring me betel
nuts, even if you vanish! So I
went and now I count as dead,
vanished. Take your betel nuts
and let me go! Don’t hold me
back, there will be troubles!”
“What kind of troubles?”
Not long after that, it was as if a
black lake rose under the door and
kept rising under the verandah.
“Don’t hold me back, just look
down under the door!”
She looked down and saw the
black water rising. It was very
scary and she did not know what
to do. So she let go his hand and
he climbed down from the house.
After he climbed outside, the
water immediately dried out. Then
two very pretty women appeared:
one in front of the man and one
behind him. The man was in the
middle. His wife was crying,
telling herself: “You have ordered
him yourself!” but she couldn’t
help it. The two women left with
the man and entered a big tree and
disappeared in it.
That’s the end.
123

Similar documents