tipologi sintaksis bahasa kemak

Transcription

tipologi sintaksis bahasa kemak
DISERTASI
TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK
I WAYAN BUDIARTA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
i
DISERTASI
TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK
I WAYAN BUDIARTA
NIM 1090171001
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
i
TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor
pada Program Doktor, Program Studi Linguistik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I WAYAN BUDIARTA
NIM 1090171001
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: I Wayan Budiarta, S.S., M.Hum.
NIM
: 1090171001
Program Studi
: Program Doktor (S3) Linguistik, Program
Pascasarjana Universitas Udayana
dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17, Tahun 2010 dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 27 Mei 2013
I Wayan Budiarta, S.S., M.Hum.
iii
Lembar Pengesahan
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 27 MEI 2013
Promotor,
Prof. Drs. Ketut Artawa, M.A., Ph.D.
NIP 19561024 198303 1 002
Kopromotor I,
Kopromotor II,
Prof. Dr. Aron Meko Mbete
NIP 19470723 197903 1 002
Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.
NIP 19710318 199403 2 001
Mengetahui
Ketua Program Doktor Linguistik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. Aron Meko Mbete
NIP 19470723 197903 1 002
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)
NIP 19590215 198310 2 001
iv
Disertasi ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup
Tanggal 13 Mei 2013
Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK. Rektor Universitas Udayana
Nomor: 0404/UN.14.4/HK/2013, Tanggal 23 Maret 2013
Ketua
: Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum.
Anggota
:
1.
Prof. Dr. Ketut Artawa, M.A., Ph.D.
2.
Prof. Dr. Aron Meko Mbete
3.
Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.
4.
Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A.
5.
Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum.
6.
Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S.
7.
Dr. Drs. I Ketut Yudha, M.Hum.
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke
hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Mahakuasa, hanya atas asung
kertha wara nugraha-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini
izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof.
Drs. Ketut Artawa, M.A., Ph.D., pembimbing utama yang dengan penuh perhatian
telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran kepada penulis
selama penulisan disertasi khususnya dan selama mengikuti kuliah Program
Doktor umumnya. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Aron
Meko Mbete dan Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum., pembimbing I dan
pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran senantiasa
memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp. P.D. (KHOM), atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
Program Doktor di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan
kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K), Asisten Direktur I yang dijabat oleh
Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II yang dijabat oleh Prof.
Dr. I Ketut Budi Susrusa, M.S., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis
untuk menjadi mahasiswa Program Doktor Linguistik pada Program Pascasarjana
Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.
vi
Aron Meko Mbete dan Dr. Anak Agung Putu Putra, M,Hum., selaku Ketua
Program dan Sekretaris Program Studi Doktor Linguistik Program Pascasarjana
Universitas
Udayana,
yang
telah
memberikan
motivasi
selama
proses
pembelajaran, baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada (alm) Drs.
Pieter A Napa, M.A., Ketua Sekolah Tinggi Bahasa Asing Mentari Kupang, atas
izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Doktor. Ucapan
terima kasih juga penulis tujukan kepada Drs. Lorens. T. Kerans, M.Ed., Ketua
STIBA Mentari Kupang periode 2011 -- sekarang, atas motivasinya kepada
penulis untuk melanjutkan pendidikan dan menyelesaikannya tepat pada
waktunya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Yohanis Lake, Ketua
Yayasan Pendidikan Mentari NTT yang menaungi Sekolah Tinggi Bahasa Asing
Mentari Kupang, atas izin dan motivasi yang diberikan kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan Doktor di Universitas Udayana.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji
disertasi, yaitu Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A., Prof. Dr. I Nyoman
Suparwa, M.Hum., Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.,Hum., Dr. Ni Made
Dhanawaty, M.S., dan Dr. Drs. I Ketut Yudha, M.Hum., yang telah memberikan
masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga disertasi ini dapat terwujud.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
lepada Pemerintah Indonesia c.q, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui
Tim Managemen Program Doktor
yang telah memberikan bantuan beasiswa
BPPS sehingga dapat meringankan beban penulis dalam menyelesaikan
vii
Pendidikan Doktor ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Gubernur
Provinsi Nusa Tenggara Timur yang telah memberikan bantuan dana sehingga
dapat meringankan beban penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
Penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih ditujukan
kepada semua guru yang telah membimbing dan mendidik penulis sejak penulis
masih duduk di sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Ucapan terima kasih yang
setulus-tulusnya ditujukan kepada staf pengajar pada Program Doktor Linguistik,
yakni Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U., Prof. Dr. I Gusti Made Sutjaja, M.A., Prof.
Dr. Aron Meko Mbete, Prof. Drs. Ketut Artawa, M.A., Ph.D., Prof. Drs. Dewa
Komang Tantra, M.Sc. Ph.D., Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D., Prof. Dr. Drs. Ida
Bagus Putra Yadnya, M.A., Prof. Dr. I Wayan Pastika. M.S., Prof. Dr. I Nyoman
Suparwa, M.Hum., Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., Prof. Dr. I Ketut Darma
Laksana, M.Hum., Prof. Dr. I Nengah Sudipa, M.A., Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati
Beratha, M.A., Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, S.U., Dr. Ni Made
Dhanawaty, M.S., dan Dr. I Nyoman Sedeng. M.Hum.
Terima kasih disampaikan pula kepada seluruh staf administrasi dan
perpustakaan Program Doktor Linguistik, yakni I Nyoman Sadra, S.S., I Ketut
Ebuh, S.Sos., I Gusti Agung Supadmini, Ni Nyoman Adi Triani, S.E., Ida Bagus
Suanda, Ni Nyoman Sumerti, dan Ni Nyoman Sukartini atas pelayanan prima
yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan. Tidak lupa
pula penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf administrasi di
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
viii
Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya penulis
sampaikan kepada teman-teman sejawat dan seperjuangan, yaitu Dra. I Gusti Ayu
Gde Sosiowati, M.A., Drs. Rambut Kanisius, M.Hum., Dra. Magdalena Ngongo,
M.Hum., Drs. I Ketut Murdana, M.Hum., I Ketut Paramarta, S.S., M.Hum., Desak
Putu Eka Pratiwi, S.S., M.Hum., dan Mirsa Umiyati S.S., M.Hum., atas masukan
lewat diskusi, baik di dalam maupun
di luar kelas terkait dengan persoalan
kelinguistikan yang penulis hadapi.
Rasa terima kasih juga penulis tujukan kepada Dr. Anthony Jukes (Centre
for Research on Language Diversity, La Trobe University) yang telah
membimbing dan memberikan masukan yang konstruktif kepada penulis selama
mengikuti Program Sandwich-Like terkait dengan penulisan disertasi. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada A. Prof. Adam Schembri (Director of Centre
for Research on Language Diversity, La Trobe University) atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk menyajikan makalah yang merupakan bagian dari
disertasi pada
CRLD Seminar Series. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada mahasiswa Program Linguistik La Trobe University dan
Melbourne University yang telah hadir dan memberikan masukan kepada penulis
ketika menyajikan makalah.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Yohanis Batu Mali, Kepala
Desa Umaklaran, Kecamatan Tasifeto Timur atas izin dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis selama proses pengambilan data. Ucapan terima kasih juga penulis
berikan kepada informan, Bapak Siprianus Asa Bete, Bapak Pius Ati Mali, Bapak
Yohanes Batu Mali, Bapak Yohanes Bili Making, dan Bapak Luis Bili Making
ix
atas kerja samanya dalam memberikan data yang penulis butuhkan selama proses
pengumpulan data.
Ucapan terima kasih yang mendalam dan setulus-tulusnya penulis berikan
kepada orang tua penulis, I Made Wisada dan Ni Nyoman Miarni yang senantiasa
memberikan dorongan kepada penulis untuk menempuh pendidikan doktor dan
menyelesaikan disertasi ini. Dalam kesempatan ini, ucapan terima kasih juga
ditujukan kepada kedua adik penulis, Ni Made Wijayanti dan Ni Nyoman
Rusmiani serta anggota keluarga lainnya yang telah memberikan dorongan, baik
dalam bentuk materi maupun nonmateri selama penulis menempuh pendidikan di
Program Doktor Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam penulis tujukan kepada istri
tercinta, Ni Ketut Suartini dan putra tersayang I Gede Putra Nugraha Artha yang
telah berkorban dengan memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan doktor dan menyelesaikan disertasi ini di tengah
kebutuhan mereka akan perhatian dan kasih sayang dari penulis.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya dan
sedalam-dalamnya kepada semua pihak. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Mahakuasa memberikan limpahan rahmat-Nya
kepada mereka
semua.
Denpasar, Mei 2013
Penulis
x
ABSTRAK
TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK
BKm merupakan bahasa yang dipergunakan oleh suku Kemak yang
bermukim di Desa Umaklaram dan Sadi, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten
Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian tipologi sintaksis BKm bertitik
tolak pada penelahaan struktur dasar klausa, predikasi, valensi, fungsi dan relasi
gramatikal, dan kalimat kompleks yang bertujuan untuk mengetahui sistem aliansi
gramatikal untuk dapat menentukan tipologi sintaksisnya.
Data lisan penelitian ini diperoleh melalui metode elisitasi langsung dan
perekaman. Sementara, data tulis penelitian ini diperoleh dari hasil penelitian
sebelumnya. Data penelitian ini dianalisis berdasarkan permasalahan yang dibahas
dalam penelitian ini dengan menggunakan metode agih (distribusional). Penyajian
hasil analisis data menggunakan dua metode, yaitu metode formal dan informal.
Penelahaan terhadap struktur dasar klausa menunjukkan bahwa klausa
BKm terdiri atas klausa yang berpredikat verbal dan klausa yang berpredikat nonverbal. Predikat klausa nonverbal dapat ditempati oleh nominal, adjektival,
numeral, dan frasa preposisional. Sementara, predikat klausa verbal ditempati oleh
verba intransitif dan verba transitif. Seluruh verba BKm merupakan verba dasar
(underlying verb). BKm merupakan bahasa yang memiliki struktur kanonis SVO.
Di samping itu, BKm memiliki struktur turunan, yaitu pemfokusan dan
pemasifan. Bentuk pasif BKm merupakan pasif analitik karena ketiadaan
pemarkah morfologis untuk mengubah konstruksi aktif menjadi pasif.
Penelahaan terhadap predikasi menunjukkan bahwa predikat klausa
intransitif menghendaki satu unsur argumen FN yang berfungsi sebagai subjek
gramatikal dan secara semantis berfungsi sebagai agen atau pasien. Sementara,
predikat dengan verba transitif menghendaki dua argumen atau lebih. Kehadiran
argumen-argumen tersebut dalam predikat kalimat transitif bersifat wajib. FV
BKm dapat dibangun oleh verba dan satu unsur aspek, modus, dan negasi yang
menempati posisi sebelum verba (praverbal) dan setelah verba (posverbal).
Konstruksi verba serial (KVS) BKm dapat dibangun oleh dua verba dan atau tiga
verba. Terdapat hanya satu subjek dan objek dalam konstruksi verba serial (KVS)
yang dimiliki secara bersama-sama.
Terkait dengan valensi verba, BKm hanya memiliki dua bentuk kausatif,
yaitu kausatif leksikal dan kausatif analitik. Tidak ditemukan kausatif morfologis
karena BKm tidak memiliki proses morfologis (afiksasi) pada verba. Konstruksi
aplikatif BKm dibangun oleh verba transitif dan pemarkah aplikatif podi yang
menempati posisi setelah verba transitif. Sementara, konstruksi resultatif BKm
dibangun dengan mekanisme pemasifan.
Relasi gramatikal inti yang dimiliki BKm adalah subjek (SUBJ) dan objek
(OBJ). Sementara, fungsi gramatikal noninti yang dimiliki BKm adalah oblik
(OBL), komplemen (KOMP), dan adjung (ADJ). SUBJ BKm muncul pada posisi
praverbal dan OBJ muncul pada posisi posverbal pada struktur kanonis. Selain
muncul pada posisi praverbal, SUBJ BKm juga dapat diidentifikasi antara lain
xi
melalui penyisipan adverbial, perelatifan, penyisipan penjangka kambang,
perefleksifan, pemfokusan, penaikan, dan subjek dapat dikontrol.
Telaah perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis menunjukkan
bahwa secara sintaksis BKm merupakan bahasa yang memiliki sistem aliansi
gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan memberi perlakuan yang
berbeda kepada P. Pengujian terhadap konstruksi dengan verba tak terbatas dan
konstruksi dengan pemerlengkap jusif menunjukkan bahwa jika S berkoreferensi
dengan A, maka pelesapan salah satu argumen dapat dilakukan secara langsung.
Namun, apabila S berujuk-silang dengan P, maka diperlukan proses penurunan
(derivasi) sintaksis melalui penopikan dan pemasifan (pasif analitik). Pengujian
kepivotan pada konstruksi koordinatif dan subordinatif juga membuktikan bahwa
BKm bekerja dengan S/A pivot. Berdasarkan sistem aliamsi gramatikal tersebut,
maka BKm dikategorikan sebagai bahasa akusatif
Kata kunci: struktur klausa dasar, fungsi/relasi gramatikal, predikasi, valensi,
koordinatif, subordinatif, tipologi sintaksis, akusatif
xii
ABSTRACT
SYNTACTIC TYPOLOGY OF KEMAK
Kemak is a language which is spoken by the Kemak tribe, located in
Umaklaran and Sadi Village, Tasifeto Timur, Sub-district, Belu Regency, East
Nusa Tenggara Province. The focus of this research is on the syntactic typology of
this language. In order to achieve the goal of this research, that is, the typological
analysis of Kemak, the syntactic aspects discussed include the basic clause
structures, grammatical relations, predication, valence, and the syntactic
alignment of the coreferential arguments in complex sentences.
The oral data of this research is obtained through the direct elicitation and
recording methods. Meanwhile, the written data of this research is obtained from
the data of the previous research. The data of this research is analyzed by using
the distributional method based on the problems discussed. The result of analysis
is presented by using the formal and informal methods.
The analysis of the basic clause structure showed that a clause in Kemak
can have either a verbal predicate or a non-verbal predicate. The predicate of nonverbal clause can be filled by a noun, adjective, numeral, and a prepositional
phrase. Meanwhile, the predicate of verbal clause is filled by intransitive and
transitive verbs. All verbs in Kemak are basic verbs. Kemak is a language which
has SVO word order. Besides having the SVO word order, Kemak also has
derived structures, they are focus and passive constructions. The passive
construction in Kemak can be regarded as an analytic passive as Kemak does not
have a morphological marker that alternate the active into the passive construction
The analysis of the predication showed that the predicate of intransitive
requires one NP argument as the only argument functioning as grammatical
subject which can be an agent or a patient. Meanwhile, the transitive predicate
requires two arguments or more. The structure of the verb phrase in Kemak can be
composed of a verb and an aspect marker or negation marker. The aspect marker
can precede or follow the verb. A serial verb construction can be constructed by
serial verb which consists of two or three verbs. There is only one grammatical
subject or object in the serial verb construction, that is, the subject and object are
shared by the serial verbs.
With regard to the verb valence, Kemak only has two kinds of causative
constructions, the lexical and analytic causative construction. There is no
morphological causative found as Kemak has no morphological process
(affixation) on the verb. Applicative construction is built by transitive verb and
applicative marker podi which occurs after the transitive verb.
Kemak has SUBJ (subject) and OBJ (object) as core grammatical
relations. Non-core grammatical relations of Kemak are an oblique (OBL),
complement, and an adjunct (ADJ). Subject occurs in pre-verbal position and
object occurs in post-verbal position in the sentence structure. Besides, it occurs in
pre-verbal position, subject in Kemak can also be identified through adverbial
insertion, relativization, quantifier insertion, reflexivization, focusing, raising, and
control.
xiii
The analysis on grammatical behavior on syntactic construction showed
that syntactically Kemak is a language which has grammatical alignment system
which gives the same treatment to A and S, and differently to P. The test on nonfinite construction and jussive complement construction shows that if S coreference with A, the deletion of one argument can be done directly. On the
contrary, if S co-reference with P, the deletion of one argument requires syntactic
derivation through topicalization and passivization. The pivot operation on
coordinative and subordinative construction also proves that Kemak works with
S/A pivot. Therefore, Kemak can be categorized as an accusative language
Keywords: basic clause structure, grammatical function, predication, valence,
coordinative, subordinative, syntactic tipology, accusative
xiv
RINGKASAN DISERTASI
TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Bahasa Kemak (BKm) merupakan satu dari beberapa bahasa Timor yang
dikelompokkan ke dalam bahasa Austronesia. Data terakhir menunjukkan bahwa
BKm memiliki jumlah penutur sekitar 3.000 orang. BKm memiliki jumlah
penutur yang paling sedikit dibandingkan dengan penutur bahasa lainnya, seperti
bahasa Tetun, bahasa Dawan, dan bahasa Bunak. BKm merupakan bahasa yang
digunakan oleh suku Kemak yang bermukim di Desa Umaklaram dan Sadi,
Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Jumlah penelitian yang mengkaji BKm masih sangat terbatas. Sejauh ini
hanya terdapat tiga penelitian yang mengkaji BKm, yaitu pertama dilakukan oleh
Stevens (1967), kedua dilakukan oleh Sadnyana dkk. (1996), dan ketiga dilakukan
oleh Mandaru dkk. (1998). Penelitian Stevens (1967) hanya mengungkap 200
daftar kata (daftar Swadesh). Penelitian Sadnyana dkk. (1996) mengungkap
struktur bahasa Kemak. Sementara penelitian Mandaru dkk. (1998) mengungkap
aspek morfologis dan sintaksis BKm. Ketiga penelitian tersebut belum
mengungkap secara khusus tipologi sintaksis BKm. Penelitian Sadnyana dkk. dan
Mandaru dkk. memang membahas aspek sintaksis BKm. Namun, pembahasan
tersebut terbatas pada pendeskripsian semata dan belum menjelaskan secara tegas
hakikat subjek, predikasi, dan objek. Penjelasan yang diberikan tentang subjek
dan predikat belum menguraikan perilaku subjek dan predikat untuk dapat
menentukan tipologi sintaksis BKm. Ketiga hasil penelitian tersebut juga tidak
menjelaskan lebih jauh mengenai relasi gramatikal atau aliansi gramatikal BKm.
Selain fenomena di atas, penelitian tipologi sintaksis BKm juga didasarkan
kepada kenyataan berikut. Pertama, BKm memiliki kecenderungan digunakan
oleh penuturnya sebagai bahasa lisan daripada bahasa tulisan sehingga penelitian
ini dapat sekaligus berfungsi sebagai bentuk dokumentasi BKm. Kedua, sampai
saat ini hanya terdapat tiga penelitian yang mengkaji BKm. Ketiga penelitian
tersebut belum mengkaji tipologi sintaksis BKm. Di samping itu, ketertarikan
untuk meneliti BKm khususnya mengenai tipologi sintaksis terkait dengan hasil
penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa BKm memiliki sistem yang mirip
dengan sistem bahasa rumpun Austronesia (Mandaru, 1998: 86). Merujuk
karakteristik bahasa Austronesia, penelitian tipologi sintaksis BKm juga sekaligus
diharapkan dapat memberikan bukti pendukung atau memperkuat bahwa bahasa
BKm benar-benar termasuk ke dalam kelompok bahasa Austronesia merujuk
kepada karakteristik yang dimilikinya.
Kajian tipologi bahasa yang dikemukakan oleh Comrie (1983; 1989)
merupakan teori yang lahir dari reaksi terhadap teori transformasi generatif yang
didasarkan pada perilaku kebahasaan bahasa Inggris. Teori tipologi bahasa
diklaim sebagai teori netral yang lebih bersifat lintas bahasa, baik dalam linguistik
teoretis maupun dalam bidang kajian bahasa. Penerapan teori tipologi bahasa
terhadap penelitian tipologi sintaksis BKm penting dilakukan untuk menguji
xv
apakah teori tersebut tepat diaplikasikan untuk menentukan tipologi BKm karena
teori tipologi diklaim sebagai teori netral yang bersifat lintas bahasa.
.
1.2 Rumusan Masalah
Terdapat lima permasalahan dalam penelitian ini, yaitu (1) tipe-tipe
struktur klausa apa saja yang dimiliki oleh BKm dan bagaimana sistem
perluasannya?; (2) bagaimanakah kaidah struktur klausa BKm?; (3)
bagaimanakah pola-pola valensi BKm?; (4) tipe-tipe struktur kalimat kompleks
apa saja yang dimiliki BKm?; dan (5) bagaimanakah sistem aliansi gramatikal
BKm?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali, menganalisis, dan
menjelaskan fenomena kebahasaan BKm terkait dengan struktur BKm serta
implikasi tipologisnya. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk
mengungkapkan dan sekaligus memperkenalkan fakta kebahasaan BKm terutama
terkait dengan bidang sintaksis untuk memperkaya khazanah linguistik Nusantara.
Sementara itu, tujuan khusus penelitian ini adalah sesuai dengan permasalahan
yang dibahas, yaitu (1) menemukan dan menjelaskan struktur klausa BKm, (2)
menemukan dan menjelaskan kaidah struktur klausa BKm, (3) menemukan dan
menjelaskan pola-pola valensi yang dimiliki BKm, (4) menemukan dan
menjelaskan struktur kalimat kompleks BKm, dan (5) menemukan dan
menjelaskan sistem aliansi gramatikal BKm.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
memberikan kontribusi bagi pengembangan teori linguistik secara lintas bahasa.
Selain itu, penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai informasi dan acuan
dalam usaha untuk memeroleh pengetahuan dan pemahaman yang berhubungan
dengan sintaksis khususnya dan linguistik umumnya. Manfaat teoretis lainnya
yang ingin dicapai penelitian ini adalah sejauh mana BKm berperilaku
menyerupai bahasa-bahasa semesta di samping mengungkapkan fenomenafenomena unik yang terdapat pada BKm. Sementara itu, secara praktis hasil
penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk merangsang para penutur BKm
dalam usaha mempertahankan dan mengembangkan bahasa ibunya Selain itu,
hasil penelitian ini diharapkan menjadi wadah dokumentasi untuk melestarikan
dan menjaga keberadaan BKm sehingga mampu hidup sejajar dengan bahasabahasa daerah lainnya. Di samping itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
salah satu rujukan dan pedoman dalam penyusunan bahan ajar dan menjadi acuan
dalam pengajaran BKm sebagai muatan lokal di tingkat pendidikan dasar. Terkait
dengan pengembangan, pembinaan, dan pemberdayaan BKm, hasil penelitian ini
dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pertimbangan dalam upaya pembakuan
BKm dalam tataran sintaksis. Selain itu, penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam
merumuskan kerangka dasar untuk pengembangan, pembinaan, dan
pemberdayaan BKm yang merupakan kekayaan budaya lokal yang harus
dilestarikan dan dikembangkan.
xvi
2. Kajian Pustaka, Konsep, Landasan Teori, dan Model Penelitian
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka menyajikan sejumlah penelitian yang relevan dengan
penelitian ini. Penelitian yang relevan tersebut meliputi (1) penelitian yang
mengkaji BKm sebagai objek penelitian dan (2) penelitian terhadap bahasa-bahasa
lain yang memiliki kesamaan dalam hal permasalahan yang dibahas. Penelitian
terhadap BKm yang relevan meliputi penelitian yang berjudul Kemak : An
Austronesian Language oleh Stevens (1967), Struktur Bahasa Kemak oleh
Sadnyana dkk. (1996), dan Morfologi dan Sintaksis Bahasa Kemak oleh Mandaru
dkk. (1998). Ketiga penelitian tersebut tidak satu pun membahas tipologi sintaksis
BKm. Namun, temuan dalam penelitian tersebut dapat bermanfaat dalam
memberikan gambaran awal khususnya yang berhubungan dengan sistem
sintaksis BKm. Sementara itu, penelitian terhadap bahasa-bahasa lain yang
memiliki kesamaan dalam hal permasalahan yang dibahas meliputi penelitian
yang berjudul “Keergatifan dan Sintaksis Bahasa Bali” oleh Artawa (1994),
“Relasi Gramatikal dalam Kalimat Bahasa Tetun Dili” oleh Widaningsih (1997),
“Aliansi Gramatikal dan Diatesis Bahasa Tetun Dialek Fehan: Sebuah Analisis
Leksikal Fungsional” oleh Suciati (2000), “Beberapa Aspek Intransitif Terbelah
pada Bahasa Nusantara” oleh Arka (2000), “Argumen Aktor dalam Bahasa
Manggarai dan Pemetaan Fungsinya” oleh Kosmas (2000), “Relasi Gramatikal
dan Perelatifan Bahasa Buna” oleh Partami (2001), “Struktur Argumen dan
Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau” oleh Jufrizal (2004), “Pelesapan pada
Konstruksi Koordinatif Bahasa Inggris” oleh Kasni (2008), “Aliansi Gramatikal
Bahasa Dawan” oleh Budiarta (2009), “Valensi dan Relasi Gramatikal Bahasa
Bima” oleh Satyawati (2009), dan “Struktur dan Fungsi Gramatikal Bahasa Lio”
oleh Yudha (2011). Walaupun dengan objek penelitian bahasa yang berbeda,
penelitian-penelitian tersebut sangat bermanfaat dan digunakan sebagai kajian
pustaka karena peneliti berpendapat bahwa masalah yang dikaji dalam penelitian
tersebut memiliki kemiripan dengan penelitian BKm. Kemiripan tersebut terlihat
pada permasalahan-permasalahan yang dikaji, yaitu tentang tipologi sintaksis.
Oleh karena itu, beberapa temuan dan simpulan penelitian sebelumnya dapat
dijadikan sebagai bahan acuan dan pembanding serta rujukan guna memeroleh
kesempurnaan penelitian tipologi sintaksis BKm.
2.2 Konsep
2.2.1 Klausa
Klausa tidak sama dengan kalimat yang berjenis kalimat minim/elip, tetapi
disejajarkan dengan kalimat tunggal atau kalimat sederhana karena merujuk pada
satuan predikasi. Dengan demikian, klausa yang dimaksud pada disertasi ini
adalah kalimat sederhana (Kridalaksana, 1993).
2.2.2 Subjek, Objek, dan Oblik
Subjek merupakan fungsi gramatikal paling utama yang biasanya
ditempati oleh nomina atau frasa nominal (FN) dalam sebuah kalimat. Objek
merupakan fungsi gramatikal selain subjek yang ditempati oleh nomina atau frasa
nominal yang juga berperan sebagai argumen inti. Secara tradisional, objek
xvii
dibedakan atas objek langsung dan objek tak langsung (Trask, 1993). Oblik atau
relasi oblik merupakan relasi gramatikal selain relasi gramatikal utama yang
meliputi subjek dan objek. Lebih jauh, relasi oblik merupakan relasi gramatikal
yang bersifat semantis (Palmer, 1994; Artawa, 2000).
2.2.3 Struktur Semantik
Struktur semantik (semantic structure) menggambarkan kandungan
semantis bentuk linguistik, khususnya verba yang berfungsi sebagai predikator.
Komponen-komponen makna yang bersesuaian secara sintaksis diungkapkan
dalam pengertian leksikal (Arka, 1998:197; Foley dan Van Valin, 1984).
2.2.4 Valensi
Valensi merupakan jumlah argumen dalam kerangka sintaksis yang dikaitkan
dengan verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi gramatikal (Katamba, 1993:
266). Konsep valensi berkaitan erat dengan perubahan jumlah argumen verba
sebagai PRED dalam sebuah klausa yang pada hakikatnya mekanisme perubahan
valensi ini memengaruhi argumen A atau SUBJ dan P atau OBJ suatu PRED
verba (Haspelmath: 2002:218).
2.2.5 Argumen
Argumen merupakan unsur sintaksis dan semantis yang diperlukan oleh
sebuah verba, yang umumnya berkorelasi dengan partisipasi pada suatu kejadian
atau keadaan yang dinyatakan oleh verba atau predikatnya. Jumlah argumen
dalam sebuah klausa atau kalimat sangat ditentukan oleh verba sebagai inti (head)
dari klausa atau kalimat tersebut (Wiliams, 1991:100; Culicover, 1997: 16--17).
2.2.6 Kalimat Kompleks
Secara sederhana dan praktis dapat diungkapkan bahwa kalimat kompleks
adalah kalimat yang memiliki klausa sematan (klausa bawahan) (Kuiper dan
Allan, 1996: 255, 264). Elson dan Pickett (1983: 120) berpendapat bahwa kalimat
sederhana dapat bergabung dengan kalimat sederhana lain untuk membentuk
konstruksi (kalimat) yang lebih kompleks.
2.2.7 Pivot
Pivot merupakan kategori yang mengaitkan S dan A, S dan P, S, A, dan P.
Pivot merupakan FN yang paling sentral secara gramatikal. FN yang berfungsi
sebagai pivot memiliki kemampuan mengoordinasikan, mengontrol anafora atau
pelesapan, dan dihilangkan dalam struktur kontrol (Trask, 1993; Dixon, 1994;
Matthews, 1997).
2.2.8 Aliansi Gramatikal
Aliansi gramatikal merupakan sistem atau kecenderungan persekutuan
gramatikal di dalam atau antarklausa dalam suatu bahasa secara tipologis, apakah
S=A, S=P, Sa=A, dan Sp=P. Aliansi gramatikal merupakan titik perhatian untuk
menentukan tipologi bahasa (Dixon, 1994; Palmer, 1994, Arka, 2000; Payne,
2002, Jufrizal. 2004).
xviii
2.2.9 Tipologi Sintaksis
Tipologi sintaksis merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan untuk
mengelompokkan bahasa berdasarkan struktur frasa, klausa, dan kalimatnya.
Terkait dengan tipologi sintaksis, Dixon (1994: 157--158) menambahkan bahwa
penentuan tipologi sintaksis sebuah bahasa dapat dilakukan dengan pengetesan
atau pengujian kepivotannya.
2.2.10 Tipologi Linguistik
Tipologi linguistik atau tipologi bahasa merupakan kajian ilmu bahasa
tentang bagaimana bahasa dikelompokkan. Pengelompokan bahasa-bahasa ini
didasarkan pada sifat-perilaku (property) yang dimiliki oleh bahasa itu sendiri
(Mallinson dan Blake, 1981; Comrie, 1983; dan 1988; Artawa, 2000).
2.3 Landasan Teori
Awal berkembangnya teori tipologi bahasa dimulai sekitar tahun 1960-an
yang dipelopori oleh Greenberg yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa dapat
dikelompokkan berdasarkan urutan dasar subjek, objek, dan verba (S-O-V).
Berkembangnya teori tipologi bahasa merupakan reaksi terhadap teori Tata
Bahasa Transformasi Generatif yang cenderung didasarkan pada perilaku
kebahasaan bahasa Inggris Perkembangan teori tipologi bahasa kemudian
dilanjutkan oleh Comrie pada awal tahun 1980-an. Comrie mengembangkan
kajian linguistik lintas bahasa yang mengarah kepada generalisasi dan
pengelompokan bahasa-bahasa. Kajian linguistik yang dikembangkan oleh
Comrie ini berada pada tataran morfosintaksis yang membahas (i) pemarkahan
agen dan pasien, (ii) urutan kata, (iii) koordinasi, dan (iv) subordinasi (Mallinson
dan Blake, 1981: 1—2). Pada dasarnya kajian tipologi bahasa terkait dengan
pengelompokan bahasa-bahasa menurut strukturnya. Pengelompokan berdasarkan
struktur ini tidak berarti bahwa bahasa-bahasa dikelompokkan hanya berdasarkan
struktur, tetapi juga dapat dibedakan berdasarkan genetis, tipologis, dan areal
(Mallinson dan Blake, 1981: 4--5).
Penelitian tipologi sintaksis BKm ini mengaplikasikan teori tipologi
bahasa yang dikemukakan oleh Comrie (1988) dan Dixon (1994). Seperti telah
diungkapkan sebelumnya bahwa penerapan teori tipologi bahasa bertujuan untuk
mengkaji struktur klausa sebagai titik perhatian dalam penentuan tipologi bahasa.
Selain itu, penerapan teori tipologi bahasa juga digunakan untuk mengkaji
penggabungan klausa untuk membentuk kalimat kompleks. Seperti telah
diungkapkan sebelumnya bahwa teori utama yang menjadi payung penelitian yang
mengkaji tipologi sintaksis BKm adalah teori tipologi bahasa yang dikemukakan,
baik oleh Comrie (1988) maupun Dixon (1994). Dalam teori tipologi bahasa
dinyatakan bahwa bila dalam suatu bahasa S (subjek), yakni argumen inti
intransitf diperlakukan sama dengan A (agen), yakni argumen agen transitif, tetapi
berbeda dari P (pasien), yakni argumen pasien transitif, bahasa tersebut bertipe
akusatif. Bila suatu bahasa memperlakukan S sama dengan P, tetapi berbeda dari
A, disebut sebagai bahasa ergatif, dan bila suatu bahasa memperlakukan S sebagai
S dan S yang lainnya sebagai P, bahasa tersebut termasuk bahasa bertipe Split-S.
Bahasa yang bertipe Split- S oleh Klimov (1979) disebut sebagai bahasa bertipe
xix
aktif. Dixon (1994) menyebutkan bahwa setiap bahasa memiliki klausa intransitif
dan klausa transitif, yakni klausa dengan satu argumen inti yang disebut dengan
“S”. Sementara itu, klausa transitif memiliki dua argumen inti yang disebut A dan
O (objek) yang dalam tulisan ini dipakai A dan P.
2.4 Model Penelitian
Bahasa Kemak
Data Lisan
Kalimat Bahasa Kemak
Data Tulis
Klausa Dasar
Bahasa Kemak
Klausa Kompleks
Bahasa Kemak
Teori Tipologi Bahasa
Temuan Penelitian
Model penelitian di atas menggambarkan bahwa penelitian tipologi sintaksis
BKm ini diawali dengan proses pemerolehan data sintaksis, baik berupa data lisan
maupun data tulisan. Data lisan dan data tulisan yang diperoleh berupa data dalam
bentuk klausa atau kalimat. Data yang telah diperoleh diklasifikasikan sesuai
dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Selanjutnya, data yang
telah diklasifikasikan dianalisis dengan menggunakan teori tipologi bahasa yang
dikemukakan oleh Comrie (1983; 1989). Hasil analisis data kemudian dirumuskan
sehingga menghasilkan temuan-temuan yang sesuai dengan tujuan penelitian ini.
3.
Metode Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Desa Umaklaran dan Desa Sadi, Kecamatan
Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini
dilaksanakan selama enam bulan, yaitu mulai Januari 2012 sampai Juni 2012.
Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu data yang berasal dari contohcontoh yang digunakan oleh penulis lainnya yang diakui kebenarannya dan (2)
informan yang merupakan penutur asli BKm.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data adalah
berupa daftar tanyaan karena peneliti bukan penutur asli BKm. Data penelitian ini
diperoleh dengan menerapkan metode linguistik lapangan yang meliputi elisitasi
langsung, perekaman, dan pengecekan elisitasi. Terkait dengan perekaman data
penelitian, hasil perekaman data yang berupa teks cerita ditranskripsi
xx
menggunakan perangkat lunak ELAN. Data transkripsi ini digunakan untuk
mendukung data yang diperoleh melalui elisitasi.
Data yang diperoleh dalam proses pengumpulan data melalui hasil elisitasi
dan perekaman diseleksi dan diklasifikasikan secara sistematis berdasarkan
kelompok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Setelah data
terkumpul, langkah selanjutnya adalah proses analisis data. Dalam proses analisis
data, metode yang digunakan adalah metode agih (metode distribusional).
Penelitian ini hanya menggunakan enam dari tujuh teknik yang termasuk dalam
metode agih, yaitu teknik lesap, teknik ganti, teknik perluas, teknik sisip, teknik
balik, dan teknik ubah wujud. Penyajian hasil analisis ini dirangkum dalam dua
metode, yakni metode formal dan metode informal. Metode informal berarti
metode penyajian hasil analisis data yang disajikan dalam bentuk paparan
menggunakan kata-kata biasa (bahasa verbal). Metode formal adalah metode
penyajian hasil analisis data dengan menggunakan tanda, lambang-lambang
tertentu, seperti tanda panah, tanda bintang, tanda kurung kurawal, lambang huruf
sebagai singkatan, dan atau bentuk-bentuk diagram yang dikenal dalam linguistik
4. Struktur Klausa Bahasa Kemak
4.1 Sistem Morfologi Verba Bahasa Kemak
Pembahasan sistem morfologi verba BKm terkait dengan fungsi verba
sebagai kategori utama yang bertugas mengisi slot predikat dalam kalimat.
Pembahasan tentang proses pembentukan verba (verbalisasi) bertujuan untuk
memberikan gambaran lengkap bagaimana verba BKm dibentuk. Pembahasan ini
juga diharapkan dapat menjadi penghubung antara sifat perilaku verba dan
struktur dasar klausa BKm. Pembahasan morfologi verba memiliki peranan yang
sangat penting dalam kajian morfosintaksis suatu bahasa. Deskripsi dan batasan
mengenai verba penting diberikan untuk dapat membedakan antara verba dan
kategori lainnya.
Sistem morfologi verba BKm menunjukkan bahwa verba BKm hanya
terdiri atas verba asal. Penelitian ini tidak menemukan verba turunan BKm.
Dengan kata lain, semua verba BKm yang ditemukan merupakan verba asal. Hal
ini berarti bahwa proses morfologis yang dapat mengubah sebuah kategori kata
yang sebelumnya bukan verba menjadi verba tidak ditemukan dalam BKm. Lebih
lanjut, verba yang menempati posisi predikat BKm hadir tanpa adanya pemarkah
morfologis yang melekat pada verba tersebut. Di samping itu, diketahui bahwa
tidak terdapat persesuaaian antara subjek dan predikat. Mengacu kepada ciri
verba, maka verba BKm memenuhi pedoman yang telah disampaikan oleh Alwi
dkk. (2000:87—88), yaitu (i) verba BKm memiliki fungsi utama yang menduduki
posisi predikat atau sebagai inti predikat dalam suatu klausa/kalimat, (ii) verba
BKm mengandung makna inheren perbuatan (tindakan), proses, atau keadaan
yang bukan sifat atau kualitas, dan (iii) verba BKm tidak dapat bergabung dengan
kata-kata yang menyatakan makna kesangatan, seperti agak, sangat, dan sekali.
xxi
4.2 Struktur Klausa Bahasa Kemak
Struktur klausa terdiri atas klausa berpredikat nonverbal.dan berpredikat
verbal. Predikat kluasa nonverbal BKm dapat diisi oleh nominal, adjektival,
numeralia, dan adverbial (frasa preposisional). Tidak terdapat verba kopula pada
konstruksi klausa yang berpredikat nonverbal. Predikat klausa nonverbal yang
ditempati oleh nomina, adjektival, numeralia, dan adverbial membutuhkan S yang
merupakan satu-satunya argumen pada konstruksi tersebut. S yang merupakan
satu-satunya argumen menempati posisi sebelum predikat. Klausa berpredikat
verbal BKm terdiri atas klausa intransitif dan klausa transitif. Klausa transitif
dapat pula dibagi menjadi klausa ekatransitif, yaitu klausa yang berargumen inti
dua dan klausa dwitransitif, yaitu klausa yang berargumen inti tiga. Sama seperti
klausa yang berpredikat nonverbal, klausa intransitif BKm membutuhkan S
(subjek intransitif) yang merupakan satu-satunya argumen pada konstruksi
tersebut yang hadir sebelum verba (praverbal). Sementara itu, klausa transitif
BKm membutuhkan dua argumen, yaitu argumen praverbal dan argumen
posverbal. Untuk meningkatkan jumlah argumen dari klausa berargumen inti dua
menjadi argumen inti tiga diperlukan kehadiran pemarkah podi. Di samping
memiliki klausa berpreddikat verbal dan berpredikat nonvebral, BKm juga
memiliki klausa eksistensial yang ditandai dengan kehadiran leksikal odi ‘ada’.
Klausa eksistensial BKm berfungsi untuk menyatakan keberadaan dan
kepemilikan.
4.3 Tata Urutan Kata Bahasa Kemak
BKm memiliki tata urutan kata atau pola kanonis SVO atau agen –verbapasien. Di samping memiliki tata urutan kata SVO, BKm juga memiliki struktur
turunan, yaitu struktur fokus dan struktur pasif. Struktur fokus BKm ditandai
dengan pemarkah fokus te yang hadir di antara subjek dan predikat (verbal).
Sementara struktur pasif BKm merupakan pasif analitik yang ditandai dengan
hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba
(praverbal) karena BKm tidak memiliki proses morfologis untuk mengubah
konstruksi aktif menjadi pasif. Sesuai dengan tata urutan kata BKm yang berpola
SVO, maka kalimat deklaratif (intransitif, ekatransitif, dan dwitransitif) BKm
memiliki tata urutan kata yang sama, yaitu SVO. Tata urutan kata yang sama juga
ditemukan pada kalimat interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat negatif BKm.
5. Predikasi Bahasa Kemak
5.1 Predikat dan Struktur Argumen Bahasa Kemak
Predikasi BKm dapat berupa satu predikat nonverbal yang dapat ditempati
oleh nominal, adjektival, numeral, dan adverbial dan satu argumen yang
menempati posisi di depan predikat yang berfungsi sebagai subjek gramatikal.
Predikat nonverbal BKm menghendaki satu argumen subjek untuk membentuk
predikasi. Unsur-unsur bukan argumen predikat dapat saja ditambahkan pada
predikasi tersebut. Selain predikasi BKm yang dibentuk oleh predikat nonverbal,
predikasi BKm dapat pula dibentuk oleh satu argumen dan satu predikat verbal,
yaitu predikat dengan verba intransitif. Sama seperti predikasi BKm yang
dibentuk oleh predikat nonverbal, predikat verbal intransitif juga menghendaki
xxii
satu unsur argumen FN yang dapat berfungsi sebagai subjek gramatikal dan secara
semantis berfungsi sebagai agen atau pasien. Predikasi BKm dengan predikat
verba transitif menghendaki dua argumen atau lebih. Kehadiran argumen-argumen
tersebut bersifat wajib.
5.2 Peran Semantis Argumen Bahasa Kemak
Verba yang menempati predikat merupakan unsur inti (head) yang
menyatakan situasi kebahasaan (state of affairs) yang berbeda-beda yang
memengaruhi keterlibatan argumen-argumen yang berbeda-beda pula. Van Valin
dan La Polla (1997:141) membagi peran semantik umum menjadi ACTOR dan
UNDERGOER. ACTOR merupakan generalisasi peran tipe aktor, sedangkan
UNDERGOER merupakan generalisasi peran tipe pasien. Lebih jauh, peran
ACTOR dapat dijabarkan ke dalam peran khusus, seperti agen, tema, pengalami,
dan sebagainya. Sementara, peran UNDERGOER dapat pula dijabarkan ke dalam
peran khusus, seperti pasien, tema, penerima, instrumen, dan sebagainya.
5.3 Tipe Semantis Verba Bahasa Kemak
Tipe semnatis verba BKm dapat dibedakan menjadi empat kelompok
situasi kebahasaan (state of affairs), yaitu (1) keadaan merupakan situasi
kebahasaan yang bersifat statis atau nondinamis yang mencakup lokasi
partisipan, situasi atau kondisi partisipan, dan pengalaman partisipan, (2)
peristiwa merupakan situasi kebahasaan yang terjadi secara spontan, (3) proses
merupakan situasi kebahasaan yang menggambarkan perubahan dan perubahan
tersebut memakan waktu yang lama atau perubahan yang terjadi membutuhkan
waktu yang lama, dan (4) aksi merupakan situasi kebahasaan yang bersifat
dinamis. Sifat dinamis ini digambarkan oleh partisipan dengan melakukan suatu
tindakan.
Situasi
kebahasaan
Tipe
Semantik
Verba
Keadaan
Peristiwa
Proses
Aksi
Keadaan
[+statis] [-telis]
[-tepat waktu]
Achievement
[-statis] [-telis]
[-tepat waktu]
Accomplishment
[-statis] [+telis]
[-tepat waktu]
Aktivitas
[-statis] [+telis]
[+tepat waktu]
1
2
3
tinaut ‘takut’ mnahu ‘jatuh’
tau ‘buat’
para ‘pukul’
bue ‘tidur’
teta ‘patah’
sana ‘asah’
ele ‘cari’
koleng
kariang
taua ‘masak’
hai ‘tendang’
‘lelah’
‘tumpah’
4
ber
tura ‘putus’
telu’u
enu ‘minum’
‘menyukai’
‘sambung’
5
gabarang
apan ‘hancur’
estuda
dale ‘bicara’
‘sakit’
‘belajar’
Pembagian tipe semantis verba BKm yang disajikan di atas
mengungkapkan bahwa (1) situasi kebahasaan yang menyatakan keadaan/situasi
dinyatakan oleh verba state/keadaan, seperti verba tinaut ‘takut, bue ‘tidur’, dan
koleng ‘sedih’; (2) situasi kebahasaan yang menyatakan peristiwa dinyatakan oleh
verba achievement, seperti verba mnahu ‘jatuh’, teta ‘patah’, dan kariang
‘tumpah’; (3) situasi kebahasaan yang menyatakan proses dinyatakan verba
accomplishment, seperti verba tau ‘buat’, taua ‘masak’, dan sana ‘asah’; serta (4)
xxiii
situasi kebahasaan yang menyatakan aksi dinyatakan oleh verba aktivitas, seperti
ele ‘mencari’, para ‘memukul’, dan dale ‘berbicara’.
5.4 Frasa Verbal Bahasa Kemak
Frasa verbal BKm dibentuk oleh verba sebagai unsur utama (head) dan
dapat disertai oleh unsur-unsur lain dalam sebuah klausa atau kalimat. FV BKm
dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus, dan negasi yang menempati posisi
sebelum verba (praverbal) dan setelah verba (posverbal). Aspek ei ‘akan’ dan hei
‘sedang’ menempati posisi sebelum verba, sedangkan aspek kasai ‘sudah’ berada
setelah verba. Modus mloing ‘bisa’ menempati posisi setelah verba dan modus los
‘harus’ menempati posisi sebelum verba. Negasi ti ‘tidak’ menempati posisi
sebelum verba. Di samping dapat disertai satu unsur aspek, modus, dan negasi,
FV BKm juga dapat dibentuk oleh verba dan disertai oleh gabungan dua unsur,
antara negasi dan aspek, seperti ti + ei ‘tidak+akan’; negasi+modus, seperti
ti+V+mloing
‘tidak+V+bisa’;
modus+modus,
seperti
los+V+mloing
‘harus+V+bisa’; dan aspek + modus, seperti kasai mloing ‘sudah bisa’.
5.5 Serialisasi Verba Bahasa Kemak
Konstruksi serialisasi verba pada prinsipnya merupakan konstruksi
monoklausal yang terbentuk dari paling tidak dua verba inti yang saling
berdampingan dan tidak memiliki hubungan komplementasi. Konstruksi verba
serial (KVS) BKm dapat dibangun oleh verba serial, baik yang terdiri atas dua
verba maupun verba serial yang terdiri atas tiga verba. Baik KVS BKm yang
dibangun oleh dua maupun tiga verba memiliki fungsi gramatikal satu subjek dan
objek yang dimiliki secara bersama-sama.
6.
Valensi Verba Bahasa Kemak
Pembahasan valensi terkait dengan proses penaikan/penambahan dan
penurunan/pengurangan jumlah argumen yang hadir pada sebuah konstruksi
klausa/kalimat. Proses penaikan/penambahan argumen yang hadir dalam sebuah
klausa/kalimat dapat dijumpai pada pengkausatifan dan pengaplikatifan.
Sebaliknya, proses penurunan/pengurangan jumlah argumen dapat dijumpai pada
proses pembentukan konstruksi resultatif, yang diturunkan dari konstruksi transitif
menjadi konstruksi intransitif.
Konstruksi kausatif BKm dapat dibedakan berdasarkan dua parameter,
yaitu parameter formal (morfosintaksis) dan parameter semantis. Berdasarkan
parameter formal, konstruksi kausatif BKm dibagi menjadi dua, yaitu kausatif
leksikal dan kausatif analitik. Kausatif analitik BKm dibangun oleh verba kausatif
tau ‘buat’ dengan predikat yang diisi oleh verba intransitif, verba transitif, dan
predikat adjektival. Di samping konstruksi kausatif yang dibangun oleh verba
kausatif tau ’buat’, konstruksi kausatif BKm juga dapat dibentuk dengan bantuan
verba kausatif laka ‘suruh’. Untuk membentuk konstruksi kausatif, verba laka
‘suruh’ hanya dapat diikuti oleh verba intransitif dan transitif. BKm tidak
memiliki kausatif morfologis karena BKm tidak memiliki proses afiksasi yang
dapat membentuk konstruksi kausatif. Berdasarkan parameter semantis,
konstruksi kausatif BKm dibedakan pula berdasarkan (1) tingkat kendali yang
xxiv
dimiliki oleh tersebab (causee) dan (2) parameter rentang waktu dari hubungan
antara sebab dan akibat. Berdasarkan tingkat kendali tersebab (causee), konstruksi
kausatif BKm dibedakan menjadi kausatif sejati dan kausatif permisif. Sementara,
berdasarkan rentang waktu dari hubungan antara sebab dan akibat, konstruksi
kausatif dibedakan menjadi kausatif langsung dan kausatif tak langsung.
Konstruksi aplikatif BKm dibangun oleh verba transitif dan pemarkah
aplikatif podi yang menempati posisi setelah verba transitif. Hadirnya pemarkah
podi ini secara otomatis meningkatkan jumlah argumen, yang sebelumnya verba
berargumen dua, yaitu subjek dan objek langsung berubah menjadi verba yang
berargumen tiga, yaitu subjek, objek langsung, dan objek tak langsung. Pemarkah
aplikatif podi secara otomatis memberikan ruang bagi argumen baru, yaitu objek
tak langsung yang langsung hadir setelah verba dan pemarkah podi. Sementara
itu, konstruksi resultatif BKm dibangun dengan mekanisme pemasifan. Pemasifan
merupakan salah satu mekanisme penurunan valensi. Pemasifan yang merupakan
penurunan valensi verba untuk membentuk konstruksi resultatif BKm memiliki
mekanisme tersendiri. Berbeda dengan bahasa-bahasa pada umumnya yang
memiliki proses morfologis (afiksasi) untuk membentuk konstruksi pasif, BKm
memiliki mekanisme tersendiri untuk membentuk konstruksi pasif, yaitu dengan
hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ sebelum verba untuk membentuk konstruksi
resultatif. Proses penuruann valensi melalui mekanisme pemasifan BKm dapat
pula membentuk konstruksi antikausatif karena agen pada konstruksi antikausatif
tidak pernah dinyatakan dan agen pada konstruksi pasif bersifat opsional, bisa
hadir dan bisa tidak, seperti tersaji pada contoh klausa-klausa di atas sehingga
konstruksi pasif, antikausatif, dan resultatif memiliki kemiripan atau persamaan.
Di samping konstruksi pasif analitik untuk menggambarkan konstruksi resultatif,
BKm juga memiliki mekanisme lain untuk membentuk konstruksi resultatif, yaitu
menghadirkan pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ pada sebuah klausa/kalimat yang
ditempatkan di akhir klausa/kalimat. Hadirnya pemarkah perfektif kasai ‘sudah’
mengandung makna bahwa sebuah peristiwa yang digambarkan oleh verba sudah
berhasil dilakukan.
7. Fungsi dan Relasi Gramatikal Bahasa Kemak
7.1 Fungsi Gramatikal Bahasa Kemak
Comrie (1981) dan Dixon (1994) menyatakan bahwa agen dan pasien
merupakan fungsi gramatikal. Hal ini berbeda dengan Palmer (1994) yang
menyatakan agen dan pasien merupakan peran gramatikal. Disertasi ini mengacu
kepada pendapat Comrie (1981) dan Dixon (1994) yang menyatakan bahwa agen
dan pasien merupakan fungsi gramatikal. Argumen pada klausa intransitif BKm
secara semantis memiliki fungsi gramatikal agen. Jika verba yang menempati
posisi predikat klausa intransitif merupakan verba keadaan (atau predikat bukan
verbal), subjek gramatikal pada klausa tersebut dapat berperilaku sebagai pasien.
Sementara itu, subjek gramatikal pada klausa transitif BKm pada umumnya
adalah agen, sedangkan objek gramatikal pada klausa transitif pada umumnya
merupakan pasien.
xxv
7.2 Relasi Gramatikal Bahasa Kemak
Relasi gramatikal memegang peranan yang penting dalam sintaksis bahasa
alamiah. Relasi-relasi gramatikal tersebut terdiri atas subjek (S), objek langsung
(OL), dan objek tidak langsung (OTL). Mengacu kepada teori tata bahasa
relasional, relasi gramatikal adalah S, OL, OTL, dan relasi oblik. Relasi
gramatikal S, OL, dan OTL merupakan relasi gramatikal sintaksis murni,
sedangkan relasi oblik (benefisiari, instrumental, dan lokatif) merupakan relasi
yang bersifat semantik. Subjek merupakan relasi gramatikal inti dalam BKm.
Terdapat sembilan cara untuk mengidentifikasi subjek BKm, yaitu (1) subjek
BKm muncul pada posisi praverbal pada struktur kanonis; (2) adverbial dan
penegasi dapat disisipkan di antara argumen praverbal dan verbal. Pada posisi
kanonik, argumen praverbal tersebut merupakan subjek sehingga antara subjek
dan verbal dapat disisipi oleh adverbial dan penegasi; (3) subjek BKm dapat
direlatifkan dengan pemarkah ne ‘yang’. Selain subjek, BKm juga dapat
merelatifkan argumen inti yang secara sintaksis berfungsi sebagai objek, baik
objek langsung maupun objek tak langsung; (4) antara subjek dan predikat dapat
disisipkan dengan penjangka kambang; (5) subjek dapat direfleksifkan; (6)
argumen selain subjek (objek, baik OL maupun OTL) dapat dinaikkan fungsinya
menjadi subjek melalui mekanisme penaikan; (7) subjek dapat difokuskan dengan
pemarkah fokus te; (8) subjek dapat dikontrol; dan (9) frasa nomina tidak terang
(PRO) berkoreferensi dengan subjek pada klausa yang lebih tinggi.
Selain relasi gramatikal inti subjek, objek yang juga merupakan relasi
gramatikal inti BKm dapat diidentifikasi dengan mengacu kepada struktur kanonis
yang menempatkan objek merupakan argumen yang secara langsung mengikuti
verba. Di samping itu, objek BKm dapat diidentifikasi melalui proses pemasifan.
Konstruksi pasif BKm merupakan konstruksi pasif analitik dengan kehadiran
pemarkah toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba (praverbal). Objek
BKm dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek dengan kehadiran pemarkah
analitik toma ‘dapat’. Di samping objek yang dapat diidentifikasi melalui
posisinya yang secara langsung mengikuti verba dan pemasifan, objek BKm juga
dapat diidentifikasi dengan pengedepanan objek dan menempati posisi subjek
dengan mekanisme pemfokusan dengan pemarkah fokus te yang hadir sebelum
verba. Penentuan objek BKm juga dapat dilakukan dengan pengujian penyisipan
adverbial. Hasilnya menunjukkan bahwa verba dan argumen yang secara langsung
mengikuti verba tidak dapat disisipi oleh adverbial sehingga dapat disimpulkan
bahwa argumen yang secara langsung mengikuti verba diidentifikasi sebagai
objek. Jadi, apabila dalam sebuah konstruksi klausa/kalimat BKm tidak
mengizinkan adanya penyisipan adverbial antara verba dan argumen yang secara
langsung mengikutinya, maka argumen yang secara langsung mengikutinya
adalah objek.
Relasi oblik BKm merupakan relasi gramatikal noninti yang terdiri atas
oblik goal, oblik lokatif, oblik sumber (source), dan oblik instrumen. Semua oblik
BKm dimarkahi oleh pemarkah dalam bentuk preposisi. Preposisi pemarkah oblik
BKm terdiri atas (1) de ’di/ke’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik lokatif, (2)
dase ‘dari’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik sumber (source), dan (3) odi
‘dengan/kepada/untuk’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik goal dan oblik
xxvi
instrumen. Komplemen BKm ditandai dengan hadirnya pemerlengkap.
Pemerlengkap BKm terdiri atas pemerlengkap bobe ‘bahwa’ dan pemerlengkap
nuabe ‘supaya’. Adjung BKm ditandai dengan kehadiran adverbial dan preposisi.
Adjung dalam bentuk adverbial menempati posisi akhir klausa, sedangkan adjung
yang berupa preposisi modifier menempati posisi akhir dari klausa tersebut.
Khusus untuk adjung yang berupa preposisi modifier, kehadirannya dalam sebuah
klausa hanya dapat menempati posisi akhir dari sebuah klausa; sedangkan adjung
yang berupa adverbial dapat menempati posisi awal dan tengah klausa.
8.
Kalimat Kompleks Bahasa Kemak
Pembahasan kalimat kompleks BKm meliputi (1) kalimat yang
mempunyai klausa relatif, (2) kalimat yang mempunyai klausa purposif/ bertujuan
(selanjutnva disebut klausa purposif), (3) kalimat yang mempunyai klausa alasan
(reason clause), dan (4) kalimat yang mempunyai klausa pemerlengkap
(selanjutnya disebut klausa pemerlengkap). BKm memiliki strategi atau kiat-kiat
gramatikal dalam perelatifan, yaitu dengan hadirnya pemarkah relatif ne ‘yang’.
Perelatifan BKm menunjukkan bahwa seluruh relasi gramatikal yang meliputi
subjek, objek (langsung dan tak langsung), dan relasi oblik dalam BKm dapat
direlatifkan secara langsung tanpa melalui kiat ‘penurunan diatesis’ atau kiat
‘penandaan verba’. Dengan demikian, BKm dan bahasa Inggris memiliki
persamaan, yaitu dapat merelatifkan semua relasi gramatikalnya. Kenyataan ini
memberikan isyarat bahwa BKm merupakan bahasa yang bertipologi akusatif
secara sintaktis, sama seperti bahasa Inggris yang merupakan bahasa bertipologi
akusatif.
Klausa purposif BKm merupakan adjung (keterangan) dari klausa
intransitif yang merupakan klausa utamanya. Agen klausa purposif yang
merupakan satu-satunya argumen yang muucul secara tersirat ditandai dengan ([
]) dan berkoreferensi (co-reference) dengan subjek klausa utamanya. Kata
penghubung (konjungsi) subordinatif yang digunakan untuk menghubungkan
klausa utama (induk) dengan klausa purposif dalam BKm adalah nuabe ‘supaya’
dan odi ‘untuk’. Agen klausa purposif yang merupakan satu-satunya argumen
muucul secara tersirat ditandai dengan ([ ]) berkoreferensi (co-reference) dengan
subjek klausa utamanya. Subjek klausa purposif dapat berkoreferensi, baik dengan
subjek klausa utama maupun objek klausa utama. Hal ini sangat tergantung pada
verba yang menempati fungsi predikat klausa tersebut. Sementara itu, kalimat
kompleks dengan klausa alasan menggunakan konjungsi subordinatif pita
‘karena’. Objek klausa alasan dapat berkoreferensi, baik dengan subjek klausa
utama maupun objek klausa utama. Hal ini sangat ditentukan oleh verba yang
menempati posisi predikat kalimat kompleks tersebut.
Klausa pemerlengkap (complement clause) adalah klausa yang merupakan
argumen sebuah predikat, khususnya berfungsi sebagai subjek atau sebagai objek
langsung. Perilaku gramatikal klausa pemerlengkap BKm ditunjukkan dengan
hadirnya verba tak-terbatas. Verba tak-terbatas yang menandai klausa
pemerlengkap BKm dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu verba jenis
‘ingin’, verba jenis ‘tahu’, dan verba jenis ‘mengatakan’. Kalimat kompleks
dengan klausa pemerlengkap berpredikat verba jenis ‘tahu’ memiliki perilaku
xxvii
gramatikal yang berbeda dengan perilaku yang diperlihatkan oleh klausa
pemerlengkap yang berverba jenis ‘ingin’. Apabila klausa pemerlengkapnya
berverba jenis ‘tahu’, maka S atau subjek klausa pemerlengkap tersebut
berkoreferensi dengan O atau P klausa induk. Sementara itu, apabila klausa
pemerlengkapnya berverba jenis ‘ingin’, maka S atau subjek klausa pemerlengkap
tersebut berkoreferensi dengan S klausa induk, dan S atau subjek pemerlengkap
dapat pula berkoreferensi dengan P klausa induk melalui mekanisme penopikan.
Pada klausa pemerlengkap dengan verba jenis ‘mengatakan’, S klausa
pemerlengkapnya berkoreferensi dengan P klausa induk.
9.
Tipologi Sintaksis Bahasa Kemak
Pembahasan tipologi sintaksis BKm diawali dengan menguraikan satuansatuan dasar sintaksis-semantis semesta. Selanjutnya, uraian tentang konstruksi
sintaksis BKm yang meliputi konstruksi dengan verba tak terbatas, pemerlengkap
jusif, konstruksi koordinatif, konstruksi subordinatif, dan pembentukan kalimat tanya.
Pembahasan berikutnya menguraikan sistem aliansi gramatikal BKm. Kemudian
dilanjutkan dengan membahas diatesis BKm. Pembahasan terhadap konstruksi
sintaksis BKm yang meliputi konstruksi dengan verba tak terbatas, konstruksi
dengan pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatif, konstruksi subordinatif, dan
pembentukan kalimat tanya dengan melihat perilaku gramatikalnya bertujuan
untuk menentukan tipologi sintaksisnya.
Konstruksi dengan verba tak terbatas dan konstruksi dengan pemerlengkap
jusif menunjukkan bahwa jika S berkoreferensi dengan A, maka pelesapan salah
satu argumen dapat dilakukan secara langsung. Namun, apabila S berkoreferensi
dengan P, maka diperlukan proses penurunan (derivasi) sintaksis melalui
penopikan dan pemasifan (pasif analitik). Dengan demikian, BKm
memperlihatkan bahwa A diperlakukan sama dengan S, tetapi berbeda dengan P.
Pengujian pivot terhadap konstruksi koordinatif dan subordinatif
berdasarkan sebelas kerangka kerja yang dikemukakan oleh Dixon (1998)
menunjukkan bahwa BKm bekerja dengan pivot S/A. Simpulan ini diambil
berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan pada saat proses penggabungan dua
klausa, baik secara koordinatif maupun subordinatif, yang menunjukkan proses
pelesapan dapat terjadi secara langsung apabila S berkoreferensi dengan A.
Sebaliknya, apabila S berkoreferensi dengan P, maka diperlukan proses penurunn
(derivasi) sintaksis melalui penopikan dan pemasifan (pasif analitik).
Pembentukan kalimat tanya BKm juga menunjukkan bahwa A
diperlakukan sama dengan S, tetapi berbeda dengan P. Berdasarkan pengamatan
perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis tersebut ditemukan bahwa
secara sintaksis BKm merupakan bahasa yang memiliki sistem aliansi gramatikal
yang memperlakukan A sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda
kepada P. Sistem aliansi gramatikal BKm tersebut digambarkan sebagai berikut.
xxviii
S
A
atau S = A, ≠ P
p
Berdasarkan sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama
dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda dengan P, maka BKm dapat
dikelompokkan sebagai bahasa yang bertipologi akusatif. BKm memiliki diatesis
aktif-pasif yang merupakan salah satu ciri penting dalam bahasa bertipologi
akusatif. Di samping diatesis aktif-pasif, BKm juga memiliki diatesis medial.
10. Temuan Penelitian
Temuan-temuan baru terkait penelitian tipologi sintaksis BKm diuraikan
sebagai berikut.
(1) Semua verba BKm merupakan verba dasar. Tidak ditemukan proses
morfologis yang mengubah satu kategori kata yang sebelumnya bukan verba
menjadi verba. Tidak ditemukan pula adanya persesuaian antara verba dan
argumen-argumennya.
(2) Selain memiliki klausa verbal dan nonverbal, BKm juga memiliki klausa
eksistensial.
(3) BKm memiliki pemarkah aplikatif podi yang berfungsi untuk meningkatkan
valensi verba dari verba bervalensi dua (ekatransitif) menjadi verba
bervalensi tiga (dwitransitif).
(4) BKm memiliki tata urutan kata SVO atau agen-verba-pasien. Di samping
itu, ditemukan struktur turunan pada BKm, yaitu pemfokusan dan pasif.
Konstruksi pemfokusan BKm ditandai dengan hadirnya pemarkah te.
Sementara, konstruksi pasif ditandai dengan hadirnya pemarkah toma
‘dapat’. Konstruksi pasif BKm merupakan pasif analitik (sintaksis)karena
BKm tidak memiliki proses morfologis untuk membentuk konstruksi pasif.
(5) FV BKm dapat dibangun oleh verba yang dapat disertai oleh satu unsur
aspek, modus, dan negasi atau gabungan dari unsur aspek, modus, dan
negasi.
(6) KVS BKm dapat dibangun, baik oleh dua maupun tiga verba. Baik KVs
yang dibangun oleh dua ataupun tiga hanya memiliki satu fungsi gramatikal
subjek dan objek.
(7) Berdasarkan parameter formal (morfosintaksis) BKm hanya memiliki
konstruksi kausatif leksikal dan kausatif analitik. Kausatif analitik BKm
dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat dan laka ’suruh’.
(8) Konstruksi aplikatif BKm ditandai dengan hadirnya aplikatif podi yang
hadir setelah predikat verba.
xxix
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
Konstruksi resultatif BKm dibangun dengan mekanisme pemasifan dan
dengan menghadirkan pemarkah perfektif kasai ‘sudah’.
BKm dapat merelatifkan seluruh relasi gramatikalmya. Klausa relatif BKm
ditandai dengan hadirnya pemarkah relatif ne ‘yang’.
Strategi penggabungan klausa secara koordinatif dan subordinatif
menunjukkan bahwa secara sintaksis BKm bekerja dengan sistem S/A pivot.
Berdasarkan pengamatan perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis
tersebut, ditemukan bahwa secara sintaksis BKm merupakan bahasa yang
memiliki sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S
dan memberikan perlakuan yang berbeda kepada P.
Berdasarkan sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan
S dan memberikan perlakuan yang berbeda dengan P, maka BKm dapat
dikelompokkan sebagai bahasa yang bertipologi akusatif.
Berdasarkan kriteria rumpun bahasa Autronesia yang dikemukakan oleh
Klamer (dalam Pieter Muysken, 2008: 112--113), BKm dapat
dikelompokkan ke dalam rumpun bahasa Austronesia.
11. Simpulan dan Saran
Simpulan ini menguraikan beberapa temuan yang terkait dengan lima
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Simpulan tersebut diuraikan
sebagai berikut.
11.1 Simpulan
(1) Klausa BKm terdiri atas klausa berpredikat nonverbal dan klausa berpredikat
verbal. Struktur klausa berpredikat nonverbal dapat berwujud klausa
berpredikat nominal, klausa berpredikat adjektival, klausa berpredikat
numeralia, dan klausa berpredikat frasa preposisional. Sementara itu, struktur
klausa berpredikat verbal terdiri atas klausa intransitif dan transitif. Klausa
transitif BKm dibagi menjadi klausa ekatransitif dan klausa dwitransitif. Di
samping memiliki klausa berpredikat verbal dan nonverbal, BKm juga
memiliki klausa eksistensial. Tata urutan kata klausa/kalimat dasar BKm
berdasarkan struktur kalimat deklaratif, kalimat interogatif, kalimat imperatif,
dan kalimat negatif adalah SVO (AVP). Di samping itu memiliki tata urutan
kata SVO, BKm juga memiliki struktur turunan, yaitu pemfokusan dan pasif.
Struktur pemfokusan ditandai dengan kehadiran pemarkah fokus te.
Sementara itu, konstruksi pasif BKm ditandai dengan kehadiran pemarkah
toma ‘dapat’.
(2) Predikasi BKm yang dibentuk oleh predikat nonverbal dan predikat verbal
intransitif menghendaki satu unsur argumen FN yang dapat berfungsi sebagai
subjek gramatikal dan secara semantis dapat berfungsi sebagai agen atau
pasien. Predikasi BKm dengan predikat verba transitif menghendaki dua
argumen atau lebih. Kehadiran argumen-argumen tersebut dalam predikat
kalimat transitif bersifat wajib. Argumen BKm memiliki peran semantis
umum argumen, yaitu ACTOR dan UNDERGOER. Peran semantis umum
ACTOR dan UNDERGOER sama dengan fungsi gramatikal agen dan pasien
dalam kajian tipologi bahasa.
xxx
(3) FV BKm dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus, dan negasi ataupun
gabungan dua unsur aspek, modus, dan negasi. Sementara itu, konstruksi
verba serial (KVS) BKm dapat dibangun oleh verba serial, baik yang terdiri
atas dua maupun tiga verba.
(4) Konstruksi kausatif BKm dapat dibedakan berdasarkan dua parameter, yaitu
parameter formal (morfosintaksis) dan parameter semantis. Berdasarkan
parameter formal, konstruksi kausatif BKm dibagi menjadi dua, yaitu kausatif
leksikal dan kausatif analitik. Berdasarkan parameter semantis, konstruksi
kausatif BKm dibedakan pula berdasarkan (1) tingkat kendali yang dimiliki
oleh tersebab (causee), yaitu kausatif sejati dan kausatif permisif dan (2)
parameter rentang waktu hubungan antara sebab dan akibat, yaitu kausatif
langsung dan kausatif tak langsung.. Konstruksi aplikatif BKm dibangun oleh
verba transitif dan pemarkah aplikatif podi yang menempati posisi setelah
verba transitif. Konstruksi resultatif BKm dibangun dengan mekanisme
pemasifan dan dengan kehadiran pemarkah perfektif kasai ‘sudah/telah’.
(5) Secara semantis, terdapat satu-satunya argumen pada klausa intransitif BKm
yang memiliki fungsi gramatikal agen atau pasien. Sementara itu, subjek
gramatikal pada klausa transitif BKm pada umumnya adalah agen, sedangkan
objek gramatikal pada klausa transitif pada umumnya merupakan pasien.
Subjek BKm dapat diidentifikasi karena muncul sebagai argumen preverbal
Sementara, objek BKm dapat diidentifikasi karena muncul sebagai argumen
posverbal. Oblik BKm dibedakan atas oblik goal, oblik lokatif, oblik sumber
(source), dan oblik instrumen. Semua oblik BKm dimarkahi preposisi.
(6) BKm secara langsung dapat merelatifkan seluruh relasi gramatikalnya. BKm
memiliki strategi perelatifan tersendiri, yaitu dengan kehadiran pemarkah
relatif ne ‘yang’. Agen klausa purposif yang merupakan satu-satunya
argumen yang muncul secara tersirat yang ditandai dengan ([ ]) berujuk silang
(co-reference) dengan subjek klausa utamanya. Objek klausa alasan dapat
berujuk silang dengan subjek klausa utama atau objek klausa utama. Hal ini
sangat ditentukan oleh verba yang menempati posisi predikat kalimat
kompleks tersebut. Verba tak-terbatas yang menandai klausa pemerlengkap
BKm dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu verba jenis ‘ingin’, verba
jenis ‘tahu’, dan verba jenis ‘mengatakan’.
(7) Pengujian pivot terhadap konstruksi koordinatif dan subordinatif
menunjukkan bahwa BKm bekerja dengan pivot S/A. Simpulan ini diambil
berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan pada saat proses penggabungan dua
klausa yang menunjukkan proses pelesapan dapat terjadi secara langsung
apabila S berujuk silang dengan A. Apabila S berujuk silang dengan P, proses
penurunn (derivasi) sintaksis melalui penopikan dan pemasifan (pasif
analitik) diperlukan.
(8) Pengamatan perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis menunjukkan
bahwa BKm merupakan bahasa yang memiliki sistem aliansi gramatikal yang
memperlakukan A sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda
kepada P. Berdasarkan sistem aliansi gramatikal tersebut, BKm
dikelompokkan sebagai bahasa bertipologi akusatif. Sistem aliansi gramatikal
BKm digambarkan sebagai berikut.
xxxi
S
p
atau S = A, ≠ P
A
11.2 Saran-Saran
Tidak dapat dipungkiri bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan harena
masih terdapat beberapa masalah yang masih perlu dikaji lebih lanjut. Misalnya,
terkait dengan tipologi morfologis BKm. Sejauh ini penelitian ini tidak
menemukan adanya pemarkah morfologis yang dapat digunakan untuk
menentukan tipologi morfologis BKm. Kesulitan untuk menentukan tipologi
morfologis BKm disebabkan oleh tidak adanya pemarkah yang memarkahi S
(satu-satunya argumen klausa intransitif), A (subjek transitif), dan O (objek
transitif). Hal lain yang belum juga diungkap pada penelitian kali ini adalah
terkait dengan tipologi sintaksis dari segi pragmatis. Dari segi penerapan teori,
penelitian ini hanya menggunakan teori tipologi bahasa. Dengan demikian,
peluang yang besar untuk para linguis atau pemerhati bahasa untuk melakukan
penelitian lanjutan dengan mengaplikasikan teori baru masih terbuka lebar.
xxxii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM .........................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ..................................................................................
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .............................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................................
vi
ABSTRAK ......................................................................................................
xi
ABSTRACT ..................................................................................................... xiii
RINGKASAN .................................................................................................
xv
DAFTAR ISI ................................................................................................... xxxiii
DAFTAR BAGAN........................................................................................ xxxviii
DAFTAR DIAGRAM .................................................................................... xxxix
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xl
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ................................................ xli
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xliv
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................
13
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................
14
1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................................
14
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................................
14
1.4 Manfaat Penelitian .....................................................................................
15
1.4.1 Manfaat Teoretis ..............................................................................
15
1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................................
16
1.5 Ruang Lingkup Penelitian..........................................................................
17
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN .................................................................................................
18
2.1 Kajian Pustaka............................................................................................
18
2.2 Konsep .......................................................................................................
33
2.2.1 Klausa ..............................................................................................
34
2.2.2 Subjek ..............................................................................................
35
2.2.3 Objek ................................................................................................
35
2.2.4 Oblik ................................................................................................
36
2.2.5 Struktur Semantik ............................................................................
36
2.2.6 Valensi .............................................................................................
36
2.2.7 Argumen ..........................................................................................
37
xxxiii
2.2.8 Kalimat Kompleks ...........................................................................
2.2.9 Pivot ................................................................................................
2.2.10 Aliansi Gramatikal .........................................................................
2.2.11 Tipologi Sintaksis ..........................................................................
2.2.12 Tipologi Linguistik ........................................................................
2.3 Landasan Teori ...........................................................................................
2.4 Model Penelitian ........................................................................................
38
38
39
39
39
40
54
BAB III METODE PENELITIAN ...............................................................
3.1 Rancangan Penelitian .................................................................................
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................................................
3.3 Jenis dan Sumber Data ...............................................................................
3.3.1 Jenis Data .........................................................................................
3.3.2 Sumber Data.....................................................................................
3.4 Instrumen Penelitian ..................................................................................
3.5 Metode dan Teknik Pemerolehan Data ......................................................
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ..............................................................
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis ...........................................
56
56
57
59
59
59
62
62
64
68
BAB IV STRUKTUR KLAUSA BAHASA KEMAK .................................
4.1 Pengantar ....................................................................................................
4.2 Pengertian Klausa dan Kalimat ..................................................................
4.3 Sistem Morfologi Verba Bahasa Kemak ...................................................
4.4 Struktur Klausa Bahasa Kemak .................................................................
4.4.1 Klausa Nonverbal Bahasa Kemak ...................................................
4.4.1.1 Klausa Berpredikat Nominal ...............................................
4.4.1.2 Klausa Berpredikat Adjektival ............................................
4.4.1.3 Klausa Berpredikat Numeralia ............................................
4.4.1.4 Klausa Berpredikat Frasa Preposisional ..............................
4.4.2 Klausa Verbal Bahasa Kemak .........................................................
4.4.2.1 Klausa Intransitif .................................................................
4.4.2.2 Klausa Ekatransitif ..............................................................
4.4.2.3 Klausa Dwitransitif..............................................................
4.4.3 Klausa Eksistensial Bahasa Kemak .................................................
4.5 Tata Urutan Kata Bahasa Kemak ...............................................................
4.5.1 Kalimat Deklaratif .......................................................................
4.5.2 Kalimat Interogatif ......................................................................
4.5.3 Kalimat Imperatif ........................................................................
4.5.4 Kalimat Negatif ...........................................................................
4.6 Temuan Penelitian......................................................................................
70
70
71
75
80
80
81
87
91
94
96
97
100
103
107
108
113
117
120
121
125
xxxiv
BAB V PREDIKASI BAHASA KEMAK ....................................................
5.1 Pengantar ....................................................................................................
5.2 Tinjauan Teoretis Predikasi Lintas Bahasa ................................................
5.3 Predikat dan Struktur Argumen Bahasa Kemak ........................................
5.4 Peran Semantis Argumen Bahasa Kemak ..................................................
5.4.1 Agen .................................................................................................
5.4.2 Penyebab (Causer) ...........................................................................
5.4.3 Pengalami .........................................................................................
5.4.4 Tema ................................................................................................
5.4.5 Pasien ...............................................................................................
5.4.6 Alat/Instrumen .................................................................................
5.4.7 Benefaktif/Pemanfaat .......................................................................
5.4.8 Resipien/Penerima ...........................................................................
5.4.9 Sumber/Asal .....................................................................................
5.4.10 Tujuan ............................................................................................
5.4.11 Lokatif ............................................................................................
5.5 Tipe Semantis Verba Bahasa Kenak ..........................................................
5.6 Frasa Verbal Bahasa Kemak ......................................................................
5.7 Serialisasi Verba Bahasa Kemak ...............................................................
5.8 Temuan Penelitian......................................................................................
128
129
129
139
147
150
152
154
155
156
157
159
160
161
162
163
164
171
175
182
BAB VI VALENSI VERBA BAHASA KEMAK ........................................
6.1 Pengantar ....................................................................................................
6.2 Valensi dan Ketransitifan Verba Bahasa Kemak ......................................
6.2.1 Ketransitifan Verba Bahasa Kemak .................................................
6.2.2 Valensi Verba Bahasa Kemak .........................................................
6.3 Mekanisme Perubahan Valensi Verba Bahasa Kemak ..............................
6.3.1 Konstruksi Kausatif Bahasa Kemak ................................................
6.3.1.1 Konstruksi Kausatif dengan Parameter Formal ...................
6.3.1.1.1 Kausatif Leksikal ..................................................
6.3.1.1.2 Kausatif Analitik...................................................
6.3.1.2 Konstruksi Kausatif dengan Parameter Semantis................
6.3.1.2.1 Kuasatif Sejati dan Kausatif Permisif ...................
6.3.1.2.2 Kausatif Langsung dan Kausatif Tak Langsung ...
6.3.2 Konstruksi Aplikatif Bahasa Kemak ...............................................
6.3.3 Konstruksi Resultatif Bahasa Kemak ..............................................
6.4 Temuan Penelitian......................................................................................
185
185
185
185
191
196
199
206
206
210
220
221
222
225
230
235
xxxv
BAB VII FUNGSI DAN RELASI GRAMATIKAL BAHASA KEMAK .
7.1 Pengantar ....................................................................................................
7.2 Pengertian Fungsi dan Relasi Gramatikal ..................................................
7.3 Fungsi Gramatikal Bahasa Kemak .............................................................
7.4 Relasi Gramatikal Bahasa Kemak..............................................................
7.4.1 Subjek Bahasa Kemak .....................................................................
7.4.1.1 Posisi Kanonikal ..................................................................
7.4.1.2 Penyisipan Adverbial...........................................................
7.4.1.3 Perelatifan ............................................................................
7.4.1.4 Penjangka Kambang ............................................................
7.4.1.5 Perefleksifan ........................................................................
7.4.1.6 Penaikan (Raising)...............................................................
7.4.1.7 Pemfokusan .........................................................................
7.4.1.8 Kontrol .................................................................................
7.4.1.9 Frasa Nomina Tidak Terang (PRO) ....................................
7.4.2 Objek Bahasa Kemak.......................................................................
7.4.3 Oblik Bahasa Kemak .......................................................................
7.4.4 Komplemen ......................................................................................
7.4.5 Adjung..............................................................................................
7.4.6 Relasi Gramatikal Inti Bahasa Kemak .............................................
7.5 Temuan Penelitian......................................................................................
239
239
239
242
246
247
251
255
262
266
268
270
273
274
276
278
292
300
301
304
307
BAB VIII KALIMAT KOMPLEKS BAHASA KEMAK ..........................
8.1 Pengantar ....................................................................................................
8.2 Tinjauan Teoretis Kalimat Kompleks ........................................................
8.3 Klausa Relatif Bahasa Kemak....................................................................
8.4 Klausa Purposif Bahasa Kemak .................................................................
8.5 Klausa Alasan (Reason Clause) Bahasa Kemak ........................................
8.6 Klausa Pemerlengkap Bahasa Kemak........................................................
8.6.1 Verba Jenis ‘ingin’ ...........................................................................
8.6.2 Verba Jenis ‘tahu’ ............................................................................
8.6.3 Verba Jenis ‘mengatakan’ ................................................................
8.7 Temuan Penelitian......................................................................................
311
311
312
315
326
333
335
338
341
342
343
BAB IX TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK ..............................
9.1 Pengantar ....................................................................................................
9.2 Ergatif dan Akusatif ...................................................................................
9.3 Satuan-Satuan Dasar Sintaksis-Semantis Semesta ....................................
9.4 Konstruksi Sintaksis Bahasa Kemak..........................................................
9.4.1 Konstruksi dengan Verba Tak Terbatas ...........................................
347
347
347
351
356
357
xxxvi
9.4.2 Pemerlengkap Jusif .........................................................................
9.4.3 Konstruksi Koordinatif ....................................................................
9.4.4 Konstruksi Subordinatif ...................................................................
9.5 Pembentukan Kalimat Tanya .....................................................................
9.6 Aliansi Gramatikal Bahasa Kemak ............................................................
9.6.1 Peran Semantis dalam Tipologi Bahasa dan Aliansi
Gramatikal .......................................................................................
9.6.2 Aliansi Gramatikal dan Tipologi Sintaksis Bahasa Kemak .............
9.7 Diatesis Bahasa Kemak ..............................................................................
9.8 Temuan Penelitian......................................................................................
359
361
372
387
389
X TEMUAN PENELITIAN ..........................................................................
407
XI SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
11.1 Pengantar ..................................................................................................
11.2 Simpulan ..................................................................................................
11.2.1 Struktur Klausa ..............................................................................
11.2.2 Predikasi .........................................................................................
11.2.3 Valensi Verba.................................................................................
11.2.4 Fungsi dan Relasi Gramatikal ........................................................
11.2.5 Kalimat Kompleks .........................................................................
11.2 6 Tipologi Sintaksis ..........................................................................
11.3 Saran-Saran ..............................................................................................
413
413
413
413
416
418
421
423
426
428
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
LAMPIRAN ....................................................................................................
430
436
xxxvii
390
393
397
404
DAFTAR BAGAN
Bagan 9.1 Sistem Aliansi Gramatikal Bahasa Kemak .......................................... 390
Bagan 9.2 Sistem Aliansi Gramatikal Bahasa Akusatif dan Ergatif ..................... 392
xxxviii
DAFTAR DIAGRAM
Diagram (1)
Diagram 4.1
Diagram 4.2
Diagram 4.3
Diagram 4.4
Diagram 4.5
Diagram 4.6
Diagram 4.7
Diagram 4.8
Model Penelitian...............................................................................
Struktur Dasar BKm dengan Predikat Nominal ...............................
Struktur Dasar BKm dengan Predikat Adjektival ............................
Struktur Dasar BKm dengan Predikat Numeralia ............................
Struktur Dasar BKm dengan Predikat Frasa Preposisional .............
Struktur Dasar BKm dengan Predikat Verba Intransitif ..................
Struktur Dasar BKm dengan Predikat Verba Ekatransitif ...............
Struktur Dasar BKm dengan Predikat Verba Dwitransitif...............
Alternasi Struktur Dasar BKm dari Predikat Verba Dwitransitif
Menjadi Verba Ekatransitif..............................................................
Diagram 5.1 Konstruksi Verba Serial Bahasa Kemak dengan Dua Verba ...........
Diagram 5.2 Konstruksi Verba Serial Bahasa Kemak dengan tiga Verba............
Diagram 6.1 Pembagian Konstruksi Kausatif .......................................................
xxxix
55
83
89
93
96
100
102
104
106
179
181
200
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4
Tabel 5.5
Tabel 6.1
Verba Bahasa Kemak ............................................................................
Adjektiva Bahasa Kemak ......................................................................
Struktur Klausa .....................................................................................
Predikasi Bahasa Kemsk dengan Predikat Nonverbal ..........................
Predikasi Bahasa Kemsk dengan Predikat Verba Intransitif ................
Predikasi Bahasa Kemsk dengan Predikat Verba Transitif ..................
Tipe Semantis Verba Bahasa Kemak ....................................................
Perubahan Valensi Verba Dasar Nonkuasatif Menjadi
Verba Kausatif ......................................................................................
xl
77
89
130
141
143
146
168
203
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang pada Model Penelitian
Garis anak panak ke bawah
: melambangkan fokus masalah
Garis anak panah dua arah
: melambangkan keterkaitan fokus masalah
Garis anak panak ke atas
: melambangkan keterkaitan antara fokus
masalah dan teori yang digunakan dalam
penelitian
Garis anak panah ke kanan
: melambangkan pemerolehan data penelitian
Garis anak panah putus ke bawah
: melambangkan proses analisis penelitian
hingga memeroleh hasil atau temuan
Singkatan
1TG
: orang pertama tunggal
1JM
: orang pertama jamak
2TG
: orang kedua tunggal
2JM
: orang kedua jamak
3TG
: orang ketiga tunggal
3JM
: orang ketiga jamak
A
: agen
ABS
: absolutif
Adj
: adjektif
Adv
: adverbial
AKT
: aktif
AKU
: akusatif
APL
: pemarkah aplikatif
ARG
: argumen
ART
: artikel
AV
: active voice
BB
: bahasa Bali
xli
BBn
: bahasa Bunak
BD
: bahasa Dawan
Ben
: benefaktif
BKm
: bahasa Kemak
BS
: bahasa Sabu
BSDW
: bahasa Sumba dialek Waijewa
BT
: bahasa Tetun
DEF
: definit
ERG
: ergatif
Fadj
: frasa adjektival
FG
: fungsi/relasi gramatikal
FN
: frasa nominal
FOK
: fokus
FI
: frasa infleksional
FPrep
: frasa preposisional
FV
: frasa verbal
INST
: instrumen
K
: klausa/kalimat
KAU
: kausatif
KVS
: konstruksi verba serial
Lig
: ligatur
MED
: medial
N
: nomina
NEG
: negasi
NONFUT
: nonfuturitif
NTT
: Nusa Tenggara Timur
NUM
: numeralia
O
: objek transitif
OBJ
: objek
OBL
: oblik
OL
: objek langsung
xlii
OTL
: objek tak langsung
OVS
: objek verba subjek
P
: argumen pasien dalam klausa transitif
PAS
: pasif
PERS
: persona
PRED
: predikat
Prep
: preposisi
PRO
: pronomina
PV
: passive voice
RDTL
: Republik Demokratik Timor Leste
REL
: pemarkah relatif
S
: argumen satu-satunya dalam klausa intransitif
Sa
: S dimarkahi seperti A
Sp
: S dimarkahi seperti P
SUBJ
: subjek
Suf
: sufiks
SVO
; subjek verba objek
Tm
: tema
TOP
: topik
TTS
: Timor Tengah Selatan
TTU
: Timor Tengah Utara
V
: verba
VI
; verba intransitif
VT
: verba transitif
xliii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Bahasa-Bahasa Lokal di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan
Sekitarnya ......................................................................................... 436
Lampiran 2 Peta Provinsi Nusa Tenggara Timur ................................................. 437
Lampiran 3 Peta Administrasi Kabupaten Belu .................................................... 438
Lampiran 4 Peta Lokasi Penelitian ....................................................................... 439
Lampiran 5 Surat Izin Penelitian .......................................................................... 440
Lampiran 6 Data Klausa Bahasa Kemak .............................................................. 445
Lampiran 7 Data Rekaman Bahasa Kemak .......................................................... 457
Lampiran 8 Daftar Informan ................................................................................. 473
Lampiran 9 Foto-Foto Penelitian .......................................................................... 474
xliv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
White dan Dillingham (1973: 9) mengungkapkan bahwa tidak ada
kebudayaan tanpa kehadiran manusia. Sebaliknya, tidak ada manusia tanpa
kebudayaan. Manusia dikatakan makhluk yang dapat memahami tanda, lambang,
dan konsep sehingga menjadikan manusia sebagai makhluk berkebudayaan. Salah
satu wujud kebudayaan manusia adalah bahasa.
Bahasa adalah sebuah wujud atau bentuk dasar budaya yang dihasilkan oleh
manusia. Bahasa dikatakan sebagai budaya dasar karena menjadi alat utama
pembentuk berbagai wujud dan jenis budaya lain. Dengan demikian, perbedaan
bahasa menunjukkan adanya perbedaan sistem dan pola budaya. Perbedaan sistem
dan pola budaya tersebut mencerminkan perbedaan karakteristik, sifat, atau watak
suatu masyarakat bahasa.
Emmit dan Pollock (1997: 22) menyatakan bahwa bahasa berfungsi sebagai
alat interaksi sosial, nilai sosial, dan bertukar informasi. Bahasa sebagai alat
interaksi sosial menunjuk pada orang-orang yang berbeda dengan perbedaan
budaya mereka masing-masing. Bahasa dapat mengidentifikasi dan menandai
perbedaan di antara budaya yang terdapat dalam masyarakat. Bahasa sebagai nilai
sosial berkaitan erat dengan individu-individu dan kelompok-kelompok yang
menggunakan bahasa untuk menegosiasikan hubungan sosial. Dengan kata lain,
bahasa memberi cara atau pilihan lain untuk menegosiasikan nilai sosial. Fungsi
bahasa sebagai alat pertukaran informasi terkait dengan bahasa sebagai alat untuk
1
2
berbagi informasi. Seseorang mendapatkan informasi dengan bertanya satu sama
lain (Emmit dan Pollock, 1997: 22).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa
merupakan alat komunikasi utama yang berfungsi untuk mengadakan hubungan
atau interaksi sosial oleh masyarakat penuturnya pada seluruh aspek kehidupan
mereka sehari-hari. Melalui bahasa seseorang dapat berkomunikasi satu dengan
yang lainnya dan memahami satu sama lainnya. Ini berarti bahwa bahasa
digunakan oleh penuturnya untuk mengungkapkan apa yang terdapat dalam
pikiran mereka, baik berupa ide, pemikiran, perasaan, maupun emosi.
Satu fenomena yang dapat dijumpai pada penutur bahasa daerah bahwa
dalam berkomunikasi seorang penutur bahasa daerah sering dihadapkan pada
pilihan apakah menggunakan bahasa daerahnya ataukah bahasa Indonesia. Hal ini
sering terjadi karena bahasa daerah dan bahasa Indonesia memiliki peranan
masing-masing dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahasa daerah lebih
cenderung digunakan sebagai alat komunikasi untuk kegiatan-kegiatan informal,
seperti kegiatan keagamaan. Sebaliknya, bahasa Indonesia lebih cenderung
digunakan sebagai alat komunikasi untuk kegiatan-kegiatan formal, seperti
pendidikan. Keberadaan bahasa
Indonesia
secara tidak langsung telah
menggantikan peranan bahasa daerah sebagai alat komunikasi. Hal ini terjadi
disebabkan oleh semakin tingginya interaksi yang terjadi antara penutur satu
bahasa daerah tertentu dan penutur bahasa daerah lainnya sehingga bahasa
Indonesia dijadikan sebagai alat komunikasi untuk menjembatani perbedaan
antarpenutur bahasa daerah tersebut. Di samping itu, semakin berkurangnya
3
peranan bahasa daerah juga disebabkan oleh tuntutan dunia pendidikan yang
mengharuskan siswa sekolah dasar sudah mampu berbahasa Indonesia dengan
baik.
Keberadaan bahasa daerah di Indonesia perlu mendapatkan perhatian yang
lebih serius dari pemerintah karena bahasa daerah menunjukkan keragaman dan
sekaligus kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya. Di samping itu, bahasa
daerah juga berperan dalam memperkaya khazanah bahasa Indonesia. Bahasabahasa daerah yang terdapat di Indonesia merupakan lahan subur bagi peneliti
untuk melaksanakan penelitian terkait dengan berbagai aspek kebahasaan. Sejauh
ini memang terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli bahasa menyangkut
jumlah bahasa daerah di Nusantara.
Salah satu wilayah di Indonesia yang kaya dengan bahasa daerahnya adalah
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi NTT merupakan provinsi yang
terletak di bagian timur wilayah Indonesia yang terdiri atas beberapa gugusan
pulau besar dan kecil. Provinsi NTT dikenal dengan keanekaragaman bahasa
daerahnya. Provinsi ini memiliki 61 bahasa daerah yang hidup dan berkembang
dengan jumlah penutur masing-masing (Grimmes dkk., 1997). Provinsi NTT
secara administratif mencakup 21 kabupaten. Salah satu di antaranya adalah
Kabupaten Belu. Kabupaten Belu terletak di Pulau Timor dengan luas wilayah
2.445,57 km2. Penduduk Kabupaten Belu berjumlah 750.000 jiwa dan merupakan
yang terbesar nomor dua setelah penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan
(BPS Provinsi NTT, 2010). Kabupaten Belu beribu kota Atambua. Atambua
merupakan kota terbesar kedua di Pulau Timor setelah Kota Kupang. Secara
4
geografis batas wilayah Kabupaten Belu adalah di sebelah utara Selat Ombay, di
sebelah selatan Laut Timor, di sebelah barat Kabupaten Timor Tengah Utara
(TTU) dan Timor Tengah Selatan (TTS), dan di sebelah timur Negara Republik
Demokratik Timor Leste (RDTL).
Jika dilihat dari adat istiadat dan kebudayaan, Kabupaten Belu merupakan
masyarakat adat Timor yang hidup dalam empat kelompok suku bangsa dan
bahasa. Penduduk Kabupaten Belu sebagian besar berasal dari suku Tetun. Suku
Tetun bermukim di sebagian besar wilayah Tasifeto, Malaka, dan Kobalima.
Selain suku Tetun, terdapat juga suku Marae atau Bunak yang bermukim hampir
di seluruh wilayah Lamaknen serta beberapa perkampungan lain di Tasifeto,
Malaka, dan Kobalima. Di samping kedua suku tersebut, terdapat pula suku
Kemak dan suku Dawan. Suku Kemak bermukim di wilayah Sadi dan beberapa
perkampungan lain di Tasifeto Timur. Suku Dawan bermukim di wilayah Manlea
Biudukfoho dan Malaka. Penduduk Kabupaten Belu berasal dari ras Melayu Tua
(Proto Melayu). Ras inilah yang diyakini lebih tua dan lebih awal mendiami Pulau
Timor. Selain ras Melayu Tua, terdapat juga ras Melayu Muda (Deutero Melayu)
dan Asia (Cina). Proses pembauran antara ras Proto Melayu, Deutero Melayu, dan
Asia telah terjadi karena adanya proses perkawinan antarras tersebut sejak
beratus-ratus, bahkan beribu-ribu tahun silam.
Seperti telah diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa di Kabupaten
Belu terdapat empat suku dengan empat bahasa yang berbeda yang digunakan
sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Keempat bahasa tersebut
adalah (1) bahasa Tetun yang digunakan oleh suku Tetun, (2) bahasa Bunak yang
5
digunakan oleh suku Bunak atau Marae, (3) bahasa Dawan yang digunakan oleh
suku Dawan, dan (4) bahasa Kemak yang digunakan oleh suku Kemak.
Suku Kemak adalah suku bangsa yang tinggal di wilayah pegunungan
tengah Timor, terpisah oleh perbatasan politik Timor Barat, Indonesia. Bahasa
Kemak (selanjutnya disingkat BKm) merupakan satu dari beberapa bahasa Timor
yang menjadi bagian dari bahasa Austronesia. BKm memiliki jumlah penutur
yang sangat sedikit dibandingkan dengan penutur bahasa lainnya (Tetun, Dawan,
Bunak). Penutur BKm tersebar di Kecamatan Tasifeto Timur. Keterbatasan
jumlah penutur BKm diduga berkaitan dengan kedatangan suku ini dari Timor
Timur ke Belu. Suku Kemak ini merupakan suku terakhir yang pindah ke wilayah
Belu. Di wilayah Belu telah menetap suku-suku yang lebih dulu datang, seperti
suku Tetun, Dawan, dan Bunak. Faktor inilah yang diyakini sebagai penyebab
utama terbatasnya jumlah penutur BKm. Terdapat dua belas desa di Kecamatan
Tasifeto Timur, yaitu (1) Silawan, (2) Tulakadi, (3) Sadi, (4) Umaklaran, (5)
Tialai, (6) Fatuba’a, (7) Dapala, (8) Manleten, (9) Takirin, (10) Halomodok, (11)
Saraban, dan (12) Bauho. Di antara kedua belas desa tersebut, penutur BKm
hanya terdapat di dua desa, yaitu Umaklaran dan Sadi. Maryanto (1985: 83)
mengungkapkan bahwa penutur asli BKm berjumlah kurang dari 5.000 orang.
Akan tetapi berdasarkan data dari jumlah penduduk kedua desa tersebut, maka
jumlah penutur bahasa Kemak berkisar 3.000 orang.
Terdapat tiga penelitian yang mengkaji BKm, yaitu pertama dilakukan
oleh Stevens (1967), kedua dilakukan oleh Sadnyana dkk. (1997), dan ketiga
dilakukan oleh Mandaru dkk. (1998). Sejatinya penelitian Stevens dilakukan pada
6
tahun 1961. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan pada jurnal Anthropological
Linguistic tahun 1967. Sebagai penelitian yang paling awal mengkaji BKm,
penelitian Stevens (1967) tersebut hanya memuat daftar 200 kata BKm (daftar
Swadesh). Berdasarkan daftar Swadesh tersebut Stevens menyatakan bahwa BKm
dikelompokkan ke dalam bahasa Austronesia.
Setelah penelitian Stevens (1967), penelitian BKm berikutnya dilakukan
oleh Sadnyana dkk. (1996). Penelitian tersebut mengungkapkan beberapa aspek
kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis. Lebih jauh, penelitian
terhadap aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis yang dilakukan Sadnyana dkk.
(1996) hanya bersifat deskriptif. Terkait dengan ketiga aspek kebahasaan BKm,
penelitian tersebut hanya mampu memberikan deskripsi awal dan belum
menyentuh secara tegas hakikat subjek, predikasi, dan objek. Penjelasan yang
diberikan tentang subjek dan predikat belum menguraikan perilaku subjek dan
predikat secara tipologis
Penelitian BKm yang ketiga dilakukan oleh Mandaru dkk. (1998).
Penelitian tersebut membahas beberapa aspek terkait dengan morfologi dan
sintaksis BKm. Penelitian tersebut menitikberatkan pada pengungkapan sistem
morfologi dan sintaksis BKm. Di samping itu, penelitian ini juga menyinggung
sistem fonologi. Hasil penelitian tersebut hanya melakukan deskripsi yang
meliputi konstituen dan tata urut kata tanpa pembahasan lebih lanjut mengenai
relasi gramatikal atau aliansi gramatikal. Penelitian yang dilakukan Mandaru dkk.
(1998) ini memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan landasan
serta acuan untuk penelitian BKm berikutnya. Di samping itu, penelitian Mandaru
7
dkk. (1998) ini juga memberikan peluang yang sangat terbuka untuk penelitian
lebih lanjut terutama terkait dengan masalah-masalah yang belum diungkap dalam
penelitian sebelumnya atau masalah-masalah yang telah dibahas pada penelitian
sebelumnya, tetapi dengan menerapkan teori lainnya tanpa mengecilkan arti dan
peranan teori struktural dalam penelitian sebelumnya.
Hasil penelitian Mandaru dkk. (1998) mengungkapkan bahwa BKm
memiliki tata urutan kanonik SVO. Tata urutan kanonik SVO BKm dapat dilihat
pada contoh berikut ini.
(1) Au (S) a (P)
1T
makan
‘Saya makan ikan’
ika (O)
ikan
(2) Romo (S)
seru (P)
3J
tenun
‘Mereka menenun kain’
tais (O)
kain
(3) Lain (S)
ele
lika (P)
Suami
Poss pelihara
‘Suaminya memelihara ayam’
manu (O)
ayam
(Mandaru, 1998: 66--76)
Contoh di atas menunjukkan bahwa BKm memiliki pola urutan kanonik
SVO. Subjek (S) kalimat di atas adalah au ‘saya, romo ‘mereka’, dan lain ele
‘suaminya’. Predikat (P) kalimat adalah a ‘makan’, seru ‘menenun’, dan lika
‘memelihara’. Sebaliknya, objek (O) kalimat adalah ika ‘ikan’, tais ‘kain’, dan
manu ‘ayam’. Hasil penelitian Sadnyana dkk. (1996) dan Mandaru dkk. (1998)
belum menjelaskan secara tegas hakikat subjek, predikasi, dan objek. Penjelasan
yang diberikan tentang subjek dan predikat belum menguraikan perilaku subjek
dan predikat secara tipologis. Kedua hasil penelitian tersebut tidak menjelaskan
lebih jauh mengenai alternasi struktur kanonik, relasi gramatikal atau aliansi
8
gramatikal BKm. Secara umum, hasil penelitian Sadnyana dkk. (1996) dan
Mandaru dkk. (1998) hanya bersifat struktural-lahiriah. Hasil penelitian Mandaru
dkk. (1998) hanya mendaftarkan contoh-contoh dan penjelasan maknanya. Hasil
Penelitian Sadnyana dkk. (1996) dan Mandaru dkk. (1998) belum mendasarkan
kajiannya dengan menggunakan pendekatan tipologi bahasa secara khusus.
Hal menarik dari keberadaan BKm di Kabupaten Belu adalah BKm hidup
berdampingan dengan bahasa lain, yaitu bahasa Tetun, bahasa Dawan, dan bahasa
Bunak.
Keberadaan
bahasa-bahasa
yang
hidup
berdampingan
tersebut
menimbulkan interaksi sangat intens dan sudah berlangsung sejak lama dari para
penuturnya. Interaksi yang intens dan telah berlamgsung lama ini berimplikasi
pada terjadinya proses saling memengaruhi di antara bahasa tersebut, sehingga
bahasa-bahasa tersebut memiliki karakteristik yang sama di samping perbedaan
yang dimilikinya. Fonomena ini sangatlah menarik untuk dicermati terlebih
dahulu sebelum membahas lebih jauh BKm.
Merujuk pada hasil penelitian bahasa Bunak (BBn) yang dilakukan
Partami (2001), BBn justru memiliki pola urutan kanonik yang berbeda, yaitu
SOV. Perbedaan pola urutan kanonik antara BKm dan BBn ini menarik karena
BKm dan BBn merupakan dua bahasa yang hidup berdampingan sehingga dapat
dipastikan terjadinya interaksi antara penutur BKm dan BBn. Selain itu, apakah
perbedaan pola urutan kanonik antara BKm dan BBn berimplikasi pada perbedaan
tipologi sintaksis kedua bahasa tersebut. Berikut adalah contoh klausa BBn yang
diambil dari Partami (2001: 55).
9
(4) Neto kau
g-ue
1T
adik 3T-pukul
‘Saya memukul adik’
(5) Ba’I eme g-eteke
3T
ibu
3T-lihat
‘Dia melihat ibu’
Contoh di atas menunjukkan bahwa BBn memiliki pola urutan kanonik
SOV. Berbeda dengan BBn, bahasa Tetun dan bahasa Dawan memiliki pola
urutan kanonik yang sama. Baik bahasa Tetun (BT) maupun bahasa Dawan (BD)
memiliki pola urutan kanonik SVO. Contoh-contoh berikut merupakan klausa BT
yang diambil dari Suciati (2000: 45) dan klausa BD yang diambil dari Budiarta
(2009: 70).
(6) Nia
n-are
3T
3T-lihat
‘Dia melihat saya’
hau
1T
(7) Hau fota
nia
1T
pukul 3T
‘Saya memukul dia
(8) Au
u-han
1T
1T-makan
‘Saya makan ikan”
ika
ikan
(9) In
fius
kau
3T
pukul 1T
‘Dia memukul saya’
Contoh (6--9) di atas menunjukkan bahwa BT dan BD memiliki pola
urutan kanonik yang sama dengan BKm, yaitu SVO. Walaupun memiliki pola
urutan kanonik yang sama, jika dicermati lebih jauh terdapat perbedaan antara
BKm dengan BD dan BT. Perbedaan tersebut tampak pada struktur klausa BD
10
dan BT yang menunjukkan adanya persesuaian antara subjek dengan verba.
Merujuk pada hasil penelitian BKm yang dilakukan Mandaru (1998)
menunjukkan bahwa struktur klausa BKm tidak mengenal adanya persesuaian
antara subjek dan verba. Jika dilihat secara geografis, BT, BD, dan BBn
merupakan bahasa-bahasa yang hidup berdampingan dengan BKm. Perbedaan dan
persamaan antarbahasa tersebut merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji
lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran atau fakta apakah perbedaan dan
persamaan tersebut berimplikasi pada perbedaan dan persamaan tipologi sintaksis
bahasa-bahasa tersebut.
Fenomena lain yang menarik untuk dicermati dari hasil penelitian
Mandaru dkk. (1998) adalah BKm memiliki sistem pengimbuhan (afiksasi) yang
kaya. Kenyataan ini bertolak belakang dengan kenyataan yang menunjukkan
bahwa bahasa-bahasa wilayah Indonesia timur merupakan bahasa yang miskin
afiks. Menurut para ahli bahasa, bahasa-bahasa daerah di wilayah timur Indonesia
merupakan bahasa isolatif karena bahasa-bahasa daerah tersebut sedikit sekali
atau hampir tidak memiliki afiks. Merujuk hasil penelitian Mandaru dkk.
(1998:86), BKm merupakan bahasa aglutinatif karena BKm kaya akan afiks.
Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut apakah afiks yang
disebutkan oleh Mandaru dkk. (1998) benar-benar afiks atau klitik. Apabila hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa BKm kaya akan afiks, maka hal ini akan
menjadi menarik untuk dikaji apakah afiks-afiks tersebut menyebabkan terjadinya
perubahan struktur klausa dan valensi sebuah konstruksi kalimat BKm.
11
Selain fenomena di atas, penelitian tipologi sintaksis BKm juga didasarkan
kepada kenyataan berikut. Pertama, BKm memiliki kecenderungan digunakan
oleh penuturnya sebagai bahasa lisan daripada bahasa tulisan sehingga penelitian
ini dapat sekaligus berfungsi sebagai bentuk dokumentasi BKm. Kedua, sampai
saat ini hanya terdapat tiga penelitian yang mengkaji BKm. Ketiga penelitian
tersebut belum mengkaji tipologi sintaksis BKm.
Ketertarikan untuk meneliti BKm khususnya mengenai tipologi sintaksis
juga didorong oleh hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mandaru
dkk. (1998: 86) yang menyatakan bahwa BKm memiliki sistem yang mirip
dengan sistem bahasa daerah rumpun Austronesia. Mandaru dkk. (1998) tidak
menjelaskan lebih lanjut sistem apa saja dari BKm yang mirip dengan sistem
bahasa rumpun Austronesia. Terkait dengan kelompok bahasa Austronesia,
Klamer (dalam Pieter Muysken, 2008: 112--113) mengungkapkan bahwa
kelompok bahasa Austronesia yang paling luas di wilayah Indonesia timur adalah
kelompok Central Eastern Melayu-Polynesia (CEMP). Kelompok CEMP ini
terdiri atas dua subkelompok bahasa, yaitu Central Melayu-Polynesia (CMP) dan
South Halmahera/West New Guinea (SHWNG).
Berdasarkan pembagian kelompok bahasa Austronesia tersebut, Klamer
(dalam Pieter Muysken, 2008: 112--113) mengungkapkan bahwa BKm masuk ke
dalam kelompok bahasa Central Melayu Polynesian (CMP). Paling tidak terdapat
600 bahasa yang tergabung dalam kelompok bahasa CMP ini yang tersebar di
Indonesia timur dan kawasan pasifik. Klamer (dalam Pieter Muysken, 2008: 112-113) lebih lanjut menambahkan bahwa karakteristik bahasa Austronesia adalah (1)
12
memiliki struktur kanonis SVO, (2) verba muncul pertama atau kedua, dan (3)
penegasi mendahului predikat verba. Merujuk karakteristik bahasa Austronesia di
atas, penelitian tipologi sintaksis BKm juga sekaligus diharapkan dapat
memberikan bukti pendukung atau memperkuat bahwa bahasa BKm benar-benar
termasuk ke dalam kelompok bahasa Austronesia merujuk kepada karakteristik
yang dimilikinya.
Kajian tipologi bahasa yang dikemukakan oleh Comrie (1983; 1989)
merupakan teori yang lahir dari reaksi terhadap teori transformasi generatif yang
didasarkan pada perilaku kebahasaan bahasa Inggris. Teori tipologi bahasa
diklaim sebagai teori netral yang lebih bersifat lintas bahasa, baik dalam linguistik
teoretis maupun dalam bidang kajian bahasa. Pengujian teori tipologi bahasa
terhadap BKm penting dilakukan untuk menguji apakah teori tersebut dapat dan
tepat diaplikasikan untuk menentukan tipologi BKm.
Pembahasan tipologi sintaksis erat kaitannya dengan pembahasan aliansi
gramatikal yang menyangkut istilah akusatif, ergatif, S-terpilah, dan S-alir (Dixon,
1994:72--79) yang biasa digunakan untuk menjelaskan suatu pola/aliansi
gramatikal. Pada bahasa tertentu, seperti bahasa Inggris secara morfologis hal ini
relatif mudah dilihat, tetapi sangatlah tidak mudah untuk dilihat atau dijelaskan
pada bahasa-bahasa Austronesia Barat, seperti pada bahasa Filipina (Artawa,
1998:21). Kenyataan ini menggugah peneliti untuk melihat permasalahan relasi
gramatikal atau aliansi gramatikal BKm yang tergolong ke dalam bahasa
Austronesia.
13
Untuk menentukan BKm mempunyai kecenderungan ke dalam tipe bahasa
nominatif-akusatif, ergatif-absolutif, ataupun dengan sistem terbelah, maka
struktur klausa atau kalimat merupakan pijakan utama. Pembahasan mengenai
struktur klausa atau kalimat suatu bahasa terkait dengan kehadiran argumen dan
predikat. Perilaku predikat sebuah klausa atau kalimat menentukan struktur
argumen. Pola struktur argumen di dalam klausa atau kalimat dasar merupakan
penentu tipologi suatu bahasa, apakah bahasa itu cenderung tergolong ke dalam
bahasa akusatif, ergatif, S-terpilah, dan S-alir. Dengan demikian, penentuan
tipologi BKm dapat membantu pengelompokan bahasa-bahasa di dunia yang
menjadi salah satu tujuan penelitian lintas bahasa dan kesemestaan bahasa.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti merasa
termotivasi untuk melakukan penelitian yang menganalisis lebih jauh tentang
BKm terkait dengan tipologi sintaksis BKm. Penelitian-penelitian sebelumnya
tidak menguraikan tentang perilaku subjek. predikat, relasi gramatikal atau aliansi
gramatikal sehingga penelitian-penelitian tersebut belum dapat mengungkap
tipologi sintaksis BKm.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka terdapat
lima permasalahan yang diteliti dan dikaji yang berhubungan dengan tipologi
sintaksis BKm, yaitu sebagai berikut.
(1) Tipe-tipe struktur klausa apa saja yang dimiliki oleh BKm dan bagaimana
sistem perluasannya?
14
(2) Bagaimanakah kaidah struktur klausa BKm?
(3) Bagaimanakah pola-pola valensi BKm?
(4) Tipe-tipe struktur kalimat kompleks apa saja yang dimiliki BKm?
(5) Bagaimanakah sistem aliansi gramatikal BKm?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara garis besar terdapat dua tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
ini, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum adalah tujuan sebuah
penelitian bahasa yang dilihat dari sudut dimensi teori. Sebaliknya, tujuan khusus
sebuah penelitian bahasa meliputi bahasa sebagai objek penelitian itu sendiri.
1.3.1
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali, menganalisis, dan
menjelaskan fenomena kebahasaan BKm terkait dengan struktur BKm serta
implikasi tipologisnya. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk
mengungkapkan dan sekaligus memperkenalkan fakta kebahasaan BKm terutama
terkait dengan bidang sintaksis untuk memperkaya khazanah linguistik Nusantara,
khususnya linguistik mikro.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian berkaitan dengan masalah-masalah yang dibahas
dalam penelitian ini. Tujuan khusus penelitian ini dapat diformulasikan sebagai
berikut.
15
(1) Menemukan dan menjelaskan struktur klausa BKm.
(2) Menemukan dan menjelaskan kaidah struktur klausa BKm
(3) Menemukan dan menjelaskan pola-pola valensi yang dimiliki BKm.
(4) Menemukan dan menjelaskan struktur kalimat kompleks BKm
(5) Menganalisis dan sekaligus menentukan tipologi sintaksis BKm.
1.4 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan hasil yang
bermanfaat. Adapun manfaat yang dihasilkan dari setiap penelitian terdiri atas
manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis dan praktis penelitian
tipologi sintaksis BKm diuraikan pada sub-subbagian berikut ini.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
memberikan kontribusi bagi pengembangan teori linguistik secara lintas bahasa.
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dan
acuan dalam usaha untuk memeroleh pengetahuan dan pemahaman yang
berhubungan dengan tipologi sintaksis khususnya dan linguistik umumnya.
Manfaat teoretis lainnya yang ingin dicapai penelitian ini adalah sejauh mana
BKm berperilaku menyerupai bahasa-bahasa semesta khususnya dalam bidang
sintaksis di samping mengungkapkan fenomena-fenomena unik yang terdapat
pada BKm.
16
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk
merangsang
para
penutur
BKm
dalam
usaha
mempertahankan
dan
mengembangkan bahasa ibunya yang merupakan bagian dari budaya masyarakat
yang merupakan identitas pengungkap jati diri penuturnya. Hasil penelitian ini
juga diharapkan menjadi wadah dokumentasi BKm sehingga nantinya BKm dapat
dilestarikan, dijaga keberadaannya, dan mampu hidup sejajar dengan bahasabahasa daerah lainnya. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah
satu rujukan dan pedoman untuk merumuskan kebijakan penyelamatan bahasa
minoritas, terutama melalui jalur pendidikan. Salah satu langkah nyata yang dapat
dilakukan sebagai bentuk kebijakan penyelamatan bahasa minoritas melalui jalur
pendidikan adalah dengan menyusun bahan ajar dan memasukkannya sebagai
muatan lokal di tingkat pendidikan dasar. Hasil penelitian ini juga diharapkan
dapat membantu para pelajar, guru, mahasiswa, pemerhati bahasa, dan semua
pihak yang tertarik untuk memahami sintaksis BKm. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menggugah penutur-penutur BKm untuk mengajarkan BKm
kepada generasi penerusnya demi kebertahanan BKm itu sendiri.
Terkait dengan pengembangan, pembinaan, dan pemberdayaan BKm, hasil
penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pertimbangan dalam upaya
pembakuan BKm, terutama dalam tataran sintaksis. Selain itu, penelitian ini dapat
dimanfaatkan dalam merumuskan kerangka dasar untuk pengembangan,
pembinaan, dan pemberdayaan BKm yang merupakan kekayaan budaya lokal
yang harus dilestarikan dan dikembangkan.
17
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian tipologi sintaksis BKm ini terfokus pada salah satu aspek mikro
kebahasaan yang dimiliki BKm, yaitu aspek sintaksis. Kajian bidang sintaksis
meliputi tiga aspek, yaitu (1) frasa, (2) klausa, dan (3) kalimat. Kajian sintaksis ini
terfokus pada pembahasan struktur frasa, klausa, dan kalimat BKm, kaidah
struktur, pola-pola valensi, dan struktur kompleks untuk tipologi sintaksis BKm
berdasarkan sistem aliansi gramatikalnya. Pembahasan struktur BKm mencakup
pembahasan frasa dan klausa BKm. Pembahasan kaidah struktur mencakup
hubungan predikasi dengan struktur argumen, baik argumen inti, argumen noninti,
maupun argumen kompleks. Pembahasan tentang pola-pola valensi dilihat
berdasarkan struktur semantik dan head predikatnya. Pembahasan pola-pola
valensi ini mencakup pembahasan monovalent, bivalent, atau trivalent.
Pembahasan
struktur
kompleks
BKm
meliputi
strategi
perelatifan,
komplementasi, konstruksi koordinatif, konstruksi subordinatif, dan aliansi
gramatikal. Penentuan aliansi gramatikal BKm berkisar pada penentuan perilaku
subjek (S), agen (A), dan pasien (P), apakah S diperlakukan sama dengan A
ataukah S diperlakukan sama dengan P. Dengan demikian, dapat diketahui apakah
BKm itu memiliki kecenderungan masuk ke tipe bahasa nominatif-akusatif,
ergatif-absolutif, atau S-terpilah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka yang diuraikan dalam subbab ini meliputi hasil penelitian
yang berkaitan dengan BKm itu sendiri. Di samping itu, hasil penelitian yang
disajikan juga meliputi penelitian sintaksis dengan objek bahasa berbeda yang
telah teruji kebenarannya. Walaupun kajian pustaka yang ditampilkan memiliki
objek bahasa yang berbeda, permasalahan yang dibahas pada kajian pustaka
tersebut memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian
ini.
Seperti telah diungkapkan di bagian awal bahwa terdapat tiga penelitian
yang mengkaji BKm. Penelitian tersebut dilakukan oleh Stevens (1967),
Sadnyana dkk. (1996), dan Mandaru dkk. (1998). Penelitian yang mengkaji BKm
pertama kali dilakukan oleh Stevens (1967). Dalam laporannya yang dimuat
dalam jurnal Anthropological Linguistic yang dipublikasikan oleh Universitas
Indiana pada tahun 1967, dia mengungkapkan bahwa penelitian yang
dilakukannya dalam kondisi yang tidak baik karena satu-satunya informan yang
dapat berkomunikasi dengannya dalam keadaan sakit sehingga pengumpulan data
tidak maksimal. Dengan segala keterbatasan tersebut, Stevens menyimpulkan
bahwa BKm dikategorikan sebagai bahasa Austronesia. Penentuan BKm sebagai
bahasa Austronesia didasarkan kepada daftar 200 kata BKm (daftar Swadesh).
18
19
Penelitian kedua BKm dilakukan oleh Sadnyana dkk. (1996). Penelitian
yang berjudul “Struktur Bahasa Kemak” tersebut mengkaji aspek fonologi,
morfologi, dan sintaksis bahasa Kemak. Terkait dengan aspek fonologi, penelitian
tersebut mengungkapkan bahwa BKm memiliki lima vokal dan tujuh belas
konsonan. Pada tataran morfologi, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa
BKm memiliki tiga prefiks (e-, ua-, dan hei-), tiga sufiks (-la, -los, dan –banas),
dan
satu
konfiks
(po-la).
Pada
tataran
sintaksis,
penelitian
tersebut
mengungkapkan bahwa BKm memiliki lima frasa, yaitu frasa nominal, frasa
verbal, frasa adjektival, frasa numeralia, dan frasa preposisional. Lebih lanjut,
penelitian tersebut mengungkapkan bahwa BKm memiliki bentuk kalimat aktif
dan pasif.
Penelitian BKm berikutnya dilakukan oleh Mandaru dkk. (1998). Mandaru
dkk. (1998) mengkaji aspek morfologi dan sintaksis bahasa Kemak. Di samping
mengungkap sistem morfologi dan sintaksis, penelitian tersebut juga membahas
fonologi BKm. Pada tataran fonologi terungkap bahwa BKm memiliki tiga belas
konsonan
dan
lima
vokal.
Pada
tataran
morfologi,
hasil
penelitian
mengungkapkan bahwa terdapat lima kelas kata, yaitu nomina, verba, adjektiva,
adverbia, dan numeralia. BKm memiliki sistem pengimbuhan (afiksasi) yang
sangat kaya dan beragam. BKm tidak saja memiliki pengimbuhan yang berupa
awalan, sisipan, dan akhiran, tetapi juga pengimbuhan yang berfungsi sebagai
pemarkah persona penunjuk dan jenis kelamin. Dalam bidang sintaksis, BKm
memiliki sistem yang mirip dengan sistem bahasa daerah rumpun Austronesia
yang memiliki struktur kanonis SVO.
20
Jika dibandingkan, terlihat bahwa kedua hasil penelitian di atas memiliki
perbedaan, terutama pada bidang fonologi. Perbedaan hasil penelitian ini
kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan lokasi penelitian atau lokasi
pengambilan data penelitian. Jika dilihat lebih lanjut, kedua hasil penelitian
tersebut hanya memberikan deskripsi terhadap konstituen dan tata urut kata tanpa
adanya pembahasan lebih lanjut mengenai relasi gramatikal atau aliansi
gramatikal. Di samping itu, kedua penelitian tersebut juga tidak membahas
tipologi bahasa BKm. Namun, temuan dalam penelitian tersebut dapat bermanfaat
dalam memberikan gambaran awal khususnya yang berhubungan dengan sistem
sintaksis BKm.
Di samping kajian pustaka yang menguraikan BKm, juga yang mengarah
kepada pustaka-pustaka atau hasil-hasil penelitian yang berkaitan dan relevan
dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian tipologi sintaksis yang di
dalamnya dibahas struktur klausa dasar dan kalimat kompleks BKm. Kajian
pustaka yang ditampilkan memang tidak meneliti BKm secara langsung, tetapi
sangat relevan dan berhubungan erat dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian tipologi sintaksis BKm. Terdapat sejumlah penelitian yang dijadikan
kajian pustaka dalam penelitian ini, yaitu Artawa (1994), Widianingsih (1997),
Suciati (2000), Arka (2000), Kosmas (2000), Partami (2001), Jufrizal (2004),
Kasni (2008), Budiarta (2009), Satyawati (2009), Yudha (2011), Kasni (2012),
dan Sukendra (2012). Untuk lebih jelasnya, pustaka-pustaka dimaksud secara
terperinci dipaparkan di bawah ini.
21
Artawa (1994) dalam disertasinya mengkaji ”Keergatifan dan Sintaksis
Bahasa Bali”. Dalam penelitian tersebut, Artawa (1994) meneliti empat
permasalahan pokok yang berkenaan dengan keergatifan dan sintaksis bahasa
Bali. Keempat permasalahan pokok tersebut, yaitu relasi gramatikal, mekanisme
perubahan valensi, tipologi pragmatik, dan tipologi sintaksis. Penjelasan tentang
relasi gramatikal diawali dengan penentuan konstituen SUBJ yang dilakukan
dengan cara pengujian sintaksis, yaitu perelatifan, kontrol, penaikan, serta pivot.
Penjelasan tentang mekanisme perubahan valensi menggambarkan penurunan
dan penaikan valensi verba sehingga ditemukan adanya proses pengaplikatifan
dan pengkausatifan verba dasar bahasa Bali melalui proses morfosintaksis sufiks
(-ang) dan (-in). Pengkajian terhadap tipe pemarkahan sintaksis bahasa Bali
menghasilkan suatu simpulan bahwa bahasa Bali digolongkan ke dalam tipe
bahasa yang memiliki tipologi bahasa ergatif. Hasil ini sangat berbeda karena
secara umum bahasa Bali sering kali dianalisis sebagai bahasa akusatif. Artawa
menambahkan bahwa pada prinsipnya bahasa Bali
memperlakukan argumen
pasien (P) dari verba transitif yang tak bermarkah secara morfologis, seperti
argumen (S) dari klausa intransitif. Hasil penelitian Artawa (1994) ini dalam
kaitannya dengan penelitian tipologi BKm merupakan acuan dan pembanding
karena pembahasan dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan tipologi
BKm.
Widaningsih (1997) dalam tesisnya yang berjudul “Relasi Gramatikal
dalam Kalimat Bahasa Tetun Dili” mengungkapkan bahwa bahasa Tetun Dili
dikelompokkan ke dalam bahasa bertipe campuran (mixed type language) karena
22
dalam bahasa Tetun Dili terdapat dua tipe relasi gramatikal, yaitu akusatif dan
ergatif. Berdasarkan pengujian yang dilakukan, ciri akusatif dalam bahasa Tetun
Dili dapat ditemukan pada konstruksi kalimat aktif yang memperlakukan S
sebagai agen dan O sebagai pasien. Perlakuan ini akan berubah apabila ditemukan
dalam konstruksi kalimat pasif. Dalam konstruksi pasif ciri ergatif bahasa Tetun
Dili memperlakukan S sebagai pasien, sedangkan O diperlakukan sebagai agen.
Penelitian Widianingsih (1997) ini dijadikan rujukan dan acuan ditinjau dari aspek
tipologisnya. Di samping itu, BKm hidup berdampingan dengan bahasa Tetun.
Suciati (2000) dengan penelitiannya berjudul “Aliansi Gramatikal dan
Diatesis Bahasa Tetun Dialek Fehan: Sebuah Analisis Leksikal Fungsional”
mengungkapkan bahwa bahasa Tetun dialek Fehan memiliki kecenderungan
bahasa bertipe akusatif karena argumen agen (A) pada verba transitif dimarkahi
sama dengan satu-satunya argumen (S) pada verba intransitif. Argumen inti dalam
bahasa Tetun dialek Fehan tidak dimarkahi dengan pemarkah tertentu (misalnya
preposisi). Di samping itu, Suciati (2000) juga mengungkapkan dua kelompok
verba yang terdapat dalam bahasa Tetun dialek Fehan, yaitu kelompok verba yang
bersesuaian dengan subjek dan kelompok verba yang tidak bersesuaian dengan
subjek. Suciati (2008) menambahkan bahwa bahasa Tetun dialek Fehan memiliki
tata urutan kanonik yang tidak bermarkah dengan urutan agen, verba, pasien
dengan alternasi pasien, agen, verba dalam struktur yang bermarkah. Hasil
penelitian ini penting untuk dicermati karena penelitian Suciati ini mengkaji
tipologi bahasa sehingga dapat dijadikan acuan untuk mengkaji tipologi BKm.
23
Arka (2000) yang mengkaji beberapa aspek intransitif terpilah pada
bahasa-bahasa Nusantara menyimpulkan bahwa secara tipologis bahasa-bahasa
Nusantara memperlihatkan keterpilahan S, dengan strategi pemarkahan
pada
poros verbanya (head marking), seperti bahasa Bali, Lamaholot, Tetun, dan
Dawan atau pemarkahan argumennya (dependent marking), seperti bahasa Kolana
atau keduanya, seperti bahasa Aceh. Pemarkahan verbal biasanya berupa afiks,
dengan memiliki tingkat keterperincian yang bervariasi. Sementara itu, bahasabahasa isolasi seperti bahasa Sikka, yang memang miskin proses morfologis
khususnya afiksasi, keterpilahan S diperlihatkan melalui tata urutan antara S dan
poros verbanya. Penelitian Arka (2000) dapat dijadikan sebagai acuan dan
pedoman untuk menentukan apakah BKm termasuk kelompok bahasa akusatif,
ergatif, dan s-terpilah dilihat dari segi tipologi.
Kajian pustaka berikutnya merupakan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Kosmas (2000). Penelitian yang dilakukan Kosmas mengkaji “Argumen
Aktor dalam Bahasa Manggarai dan Pemetaan Fungsinya”. Penelitian ini fokus
pada aspek teoretis argumen inti dalam bahasa Manggarai serta implikasi
tipologisnya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahasa Manggarai
tidak memiliki pemarkah morfologis. Ketiadaan pemarkah morfologis disebabkan
oleh ketiadaan proses morfoleksikal karena minimnya afiks (sufiks, infiks,
prefiks) sehingga alternasi kalimat termasuk diatesis aktif-pasif sulit diukur
melalui pemarkahan morfologis. Alternasi kalimat dalam bahasa Manggarai
dilakukan dengan perubahan tata urutan
disertai dengan intonasi khusus
konstituen (constituent order) yang
sebagai pembeda makna. Dalam konstruksi
24
tertentu dimarkahi secara sintaktis meskipun jumlahnya sangat terbatas dan
penggunaannya pun hanya terbatas pada konstruksi pasif. Argumen inti (core
argument) bahasa Manggarai tidak dimarkahi, baik secara morfologis maupun
sintaksis. Sebaliknya, argumen noninti (non-core argument) dimarkahi secara
sintaksis dengan preposisi le ‘oleh’. Preposi le ‘oleh’ ini digunakan sebagai
pemarkah sintaktis, terutama dalam konstruksi pasif atau dengan kata lain
preposisi le ‘oleh’ merupakan pemarkah konstruksi pasif dalam bahasa
Manggarai. Dengan demikian, pasif dalam bahasa Manggarai merupakan pasif
secara sintaksis, bukan pasif secara morfologis.
Lebih lanjut Kosmas (2000) menambahkan bahwa selain melalui
pemarkahan sintaksis, argumen inti dan noninti juga dapat ditentukan berdasarkan
tata urut konstituen klausa. Perubahan unit konstituen klausa berpengaruh
terhadap status inti dan noninti sebuah argumen. Argumen aktor sebagai argumen
inti dipetakan ke fungsi SUBJ, sedangkan argumen aktor sebagai argumen noninti
dipetakan ke fungsi OBL.
Terkait dengan tipologi bahasa, Kosmas (2000) menyatakan bahwa secara
tipologis bahasa Manggarai merupakan bahasa yang dikelompokkan ke dalam
bahasa yang bertipe akusatif. Keakusatifan bahasa Manggarai ini ditunjukkan
dengan pengetesam pemetaan peran semantis dan fungsi gramatikal serta tes
kepivotan, yakni S/A pivot dan S/O pivot. Hasil penelitian Kosmas (2000) ini
penting untuk dicermati karena menjelaskan struktur klausa sehingga dapat
dijadikan acuan untuk mengkaji klausa dan kalimat kompleks BKm. Penelitian
25
tersebut juga menjelaskan tipologi bahasa Manggarai sehingga dapat dicermati
dan dijadikan acuan atau pedoman untuk dapat menentukan tipologi BKm.
Partami (2001) melakukan penelitian dengan topik “Relasi Gramatikal dan
Perelatifan Bahasa Buna”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa bahasa Buna
merupakan bahasa isolasi karena berdasarkan kenyataan bahwa dalam bahasa
Buna sangat jarang ditemukan proses morfologis. Relasi gramatikal bahasa Buna
menunjukkan bahwa kebanyakan verba transitif dimarkahi dengan prefiks
pronominal yang bersesuaian dengan objek gramatikal. Bahasa Buna dapat
merelatifkan fungsi-fungsi gramatikal, seperti subjek, objek primer, objek
sekunder, dan pasif yang menempati fungsi subjek. Bahasa Buna digolongkan ke
dalam kelompok bahasa akusatif dan memiliki diatesis agentif. Jika dilihat
berdasarkan tata urutan kata, dalam bahasa Buna terdapat pola urutan kanonik
SOV. Hasil penelitian Partami (2001) sangat relevan dengan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian tipologi sintaksis BKm. Di samping itu, penelitian
Partami (2001) dengan penelitian yang dilakukan ini memiliki objek yang hidup
berdampingan, yaitu bahasa Buna dan BKm.
Jufrizal (2004) melakukan penelitian yang mengkaji “Struktur Argumen
dan Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau”. Dari penelahaan tipologis
diketahui bahwa bahasa Minangkabau merupakan bahasa yang hanya dapat
merelatifkan relasi subjek secara langsung tanpa adanya penurunan diatesis.
Relasi objek hanya dapat direlatifkan dengan penurunan diatesis melalui
pemasifan dan penopikan. Berdasarkan sistem koreferensi relasi-relasi gramatikal
dalam kalimat kompleks dan penelahaan secara tipologis terhadap sifat-perilaku
26
gramatikal klausa dan klausa majemuk, baik kalimat majemuk setara maupun
bertingkat, diketahui bahwa secara sintaktis bahasa Minangkabau mempunyai
sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan S sebagai satu-satunya argumen
dalam klausa intransitif sama dengan argumen A dalam klausa transitif dan
perlakuan yang berbeda diberikan kepada P. Berdasarkan perilaku tersebut, secara
tipologis bahasa Minangkabau dapat dikelompokkan sebagai bahasa yang bertipe
nominatif-akusatif secara sintaksis.
Lebih jauh, penelitian ini telah sampai pada penemuan bahwa bahasa
Minangkabau adalah bahasa dengan tipe S-terpilah. Berdasarkan pengujian
kepivotan, secara gramatikal bahasa Minangkabau mempunyai S/A pivot.
Penelitian ini juga menemukan bahwa bahasa Minangkabau mengenal diatesis
aktif yang merupakan diatesis dasar dan diatesis pasif yang merupakan diatesis
turunan. Di samping itu, penelitian ini juga menemukan bahwa secara gramatikal
dan semantis, bahasa Minangkabau mempunyai diatesis medial. Jika dikaitkan
dengan penelitian tipologi sintaksis, penelitian Jufrizal ini memiliki kemiripan
dengan kajian BKm. Kemiripan ini terlihat dalam hal pengungkapan struktur
klausa dasar, kalimat kompleks, dan tipologi bahasa.
Kasni (2008) melakukan penelitian yang mengkaji “Pelesapan pada
Konstruksi Koordinatif Bahasa Inggris”. Penelitian Kasni menitikberatkan pada
pelesapan yang terjadi pada struktur klausa koordinatif dilihat dari segi
fungsional, keterpulangan, pengujian kepivotan yang diajukan oleh Dixon (1979).
Penelitian ini memadukan teori struktural dan pendekatan tipologi bahasa. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelesapan dapat terjadi pada tipe
27
konstruksi kalimat koordinatif yang terdiri atas dua klausa dan tipe konstruksi
kalimat koordinatif yang terdiri atas lebih dari dua klausa. Dari segi
fungsionalnya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa unsur-unsur yang
dilesapkan adalah unsur subjek, unsur subjek+verba bantu, dan unsur
objek+subjek. Dari segi keterpulangan, pelesapan subjek dan subjek+verba bantu
dikategorikan
sebagai
pelesapan
anaforis,
sedangkan
pelesapan
objek
dikategorikan sebagai pelesapan kataforis.
Lebih lanjut, Kasni (2008) menambahkan bahwa jika ditinjau dari segi
tipologi bahasa, pelesapan yang terjadi pada konstruksi koordinatif bahasa Inggris
terkait erat dengan tipologi bahasa Inggris itu sendiri yang bersifat akusatif yang
memperlakukan subjek pada kalimat intransitif (S) sama dengan argumen subjek
pada klausa transitif (A). Jika unsur S pada klausa intarnsitif dan unsur A pada
klausa transitif berkoreferensi, maka salah satu unsur tersebut dapat dilesapkan
tanpa mengubah struktur klausa. Akan tetapi, apabila yang berkoreferensi adalah
O dalam salah satu klausa, maka proses pemasifan harus dilakukan supaya O bisa
dilesapkan. Penelitian ini dijadikan sebagai acuan dan pembanding dalam
pembahasan klausa dan kalimat kompleks BKm karena pembahasannya bertitik
tolak dari klausa.
Budiarta (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Aliansi Gramatikal
Bahasa Dawan”. Dari penelitian awal tentang sistem aliansi gramatikal bahasa
Dawan tersebut diperoleh simpulan yang menyatakan bahwa bahasa Dawan
memiliki kecenderungan secara morfologis sebagai bahasa nominatif-akusatif.
Sebaliknya, secara sintaksis bahasa Dawan dikatakan sebagai bahasa yang
28
memiliki tipologi bahasa nominatif-akusatif karena memperlakukan S sama
dengan A dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada P. Berdasarkan
pengkajian sistem rujuk-silang
(koreferensial)
relasi-relasi gramatikal yang
terdapat dalam kalimat kompleks bahasa Dawan, dapat dikatakan bahwa bahasa
Dawan memperlakukan subjek (S) sama dengan agen (A) pada tataran sintaksis.
Di samping memiliki pembahasan permasalahan yang sama, penelitian ini penting
untuk dijadikan sebagai rujukan dalam pembahasan tipologi BKm karena bahasa
Kemak dan bahasa Dawan merupakan bahasa yang hidup berdampingan.
Satyawati (2009) melakukan penelitian yang mengkaji bahasa Bima.
Penelitian Satyawati berjudul “Valensi dan Relasi Gramatikal Bahasa Bima”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses penaikan valensi verba dilakukan
melalui proses pengkausatifan dan pangaplikatifan. Sebaliknya, proses penurunan
valensi dapat dilakukan dengan peresultatifan. Berkenaan dengan relasi sintaksis
bahasa Bima, hasil penelitian Satyawati (2009) mengungkapkan bahwa pola
urutan kata bahasa Bima pada level klausa adalah SVO. Lebih lanjut, klausa
bahasa Bima terdiri atas PRED dan argumen-argumennya yang menduduki fungsi
SUBJ, Ol, dan OTL. Penelitian Satyawati (2009) juga menemukan empat tipe
diatesis yang dimiliki oleh bahasa Bima, yaitu diatesis aktif, diatesis pasif, diatesis
medial, dan diatesis antipasif.
Lebih lanjut, Satyawati (2009) mengungkapkan bahwa bahasa Bima
memiliki tiga bentuk kausatif, yaitu leksikal, morfologis, dan analitik. Kausatif
leksikal terjadi karena konstituen yang membangun PRED berupa verba yang
bermakna kausatif, tanpa melalui proses pengkausatifan, seperti penambahan
29
pemarkah. Tanpa pemarkah PRED sudah dinyatakan oleh verba bermakna
kausatif. Kausatif morfologis dilakukan dengan cara menambahkan pemarkah
kausatif {ka-} pada verba. Pemarkah jenis ini, selain dapat dilekatkan pada verba
dapat pula dilekatkan pada adjektiva, nomina, dan numeralia. Kausatif analitik
dilakukan dengan menambahkan vebra ndawi, baik dalam konstruksi intransitif
maupun transitif.
Satyawati (2009) juga mengungkapkan bahwa pengaplikatifan dalam
bahasa Bima dilakukan dengan preposisi {-labo} dan {-kai}. Penempatan kedua
preposisi tersebut berada di belakang verba dan dapat dimarkahi pemarkah
perujuk silang dapat pula tidak. Di samping kedua preposisi tersebut, proses
pengaplikatifan bahasa Bima dapat dilakukan dengan menggunakan pemarkah {wea} dengan meletakkan pemarkah {-wea} di belakang verba. Peresultatifan
bahasa Bima dilakukan dengan menambahkan pemarkah {ra-} pada verba. Pada
konstruksi resultatif bahasa Bima, agen tidak disebutkan. Penelitian yang
dilakukan Satyawati (2009) memang tidak membahas tipologi bahasa. Namun,
penelitian ini penting untuk dijadikan acuan serta pedoman karena permasalahan
yang dibahas dalam penelitian Satyawati (2009) sangat relevan dengan penelitian
tipologi sintaksis BKm. Relevansi penelitian Satyawati (2009) dengan penelitian
tipologi sintaksis BKm terlihat pada pembahasannya yang mengutak-atik struktur
klausa.
Yudha (2011) dalam penelitiannya mengkaji “Struktur dan Fungsi
Gramatikal Bahasa Lio”. Hasil penelitian Yudha (2011) menunjukkan bahwa
struktur klausa bahasa Lio (BL) memiliki struktur kanonis SVO, VOS, dan OSV.
30
Struktur kanonis OVS ini terjadi karena bahasa Lio tidak memiliki diatesis pasif.
SUBJ bahasa Lio selalu muncul pada posisi preverbal dan OBJ muncul pada
posisi postverbal.
Lebih lanjut, Yudha (2011) mengungkapkan bahwa tipologi pemarkahan
BL tergolong bahasa akusatif yang memperlakukan A sama dengan S (S/A) dan
berbeda dengan P. Kalau dikaji secara sintaksis, BL termasuk kelompok bahasa
ergatif analitik karena tidak ada bahasa yang sepenuhnya akusatif ataupun ergatif.
Bahasa Lio merupakan bahasa yang bersifat ergatif analitik, argumen P verba
transitif tak bermarkah dan diperlakukan dengan cara yang sama dengan satusatunya argumen pada klausa intransitif sesuai dengan urutan konstituennya.
Keterbatasan BL terletak pada argumen P dan S yang dapat direlatifkan dan
dimodifikasi dengan pemarkah emfatik. Hanya P dan S yang berfungsi sebagai
pivot untuk memungkinkan proses pelesapan nomina yang berkoreferensi dengan
struktur klausa koordinasi dan klausa subordinasi. Penelitian yang dilakukan oleh
Yudha (2011) ini memiliki arti penting sebagai acuan serta pedoman dalam
penelitian tipologi sintaksis BKm karena dalam penelitian tersebut permasalahan
yang dikaji sangat relevan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini,
yang menitikberatkan pada struktur klausa. Di samping itu, penelitian Yudha
(2011) juga mengungkap tipologi BL sehingga sangat relevan untuk dijadikan
sebagai acuan dan pembanding dalam penentuan tipologi BKm.
Kasni (2012) dengan penelitiannya yang berjudul “Strategi Penggabungan
Klausa Bahasa Sumba Dialek Waijewa”. Terdapat tiga permasalahan yang
dibahas dalam penelitian Kasni (2012), yaitu (1) Struktur klausa, (2) struktur
31
argumen dan valensi verba, dan (3) strategi penggabungan klausa secara
koordinatif dan subordinatif. Hasil Penelitian Kasni (2012) mengungkapkan
bahwa klausa bahasa Sumba dialek Waijewa (BSDW) dapat dibentuk oleh unit
gramatikal, seperti pronomina, FN, verba, adjektiva, preposisi dan numeralia.
Klausa BSDW dibedakan menjadi dua, yaitu klausa verbal dan klausa nonverbal.
Argumen S klausa intransitif BSDW dimarkahi oleh kasus nominatif dan pada
pemakaian semantis tertentu argumen S dapat dimarkahi oleh pemarkah kasus
akusatif, genetif, atau pemarkah ganda (nominatif dan akusatif). Pemarkah yang
sama juga diberikan kepada argumen A klausa transitif. Sementara itu,
pemarkahan terhadap argumen O ditentukan oleh definit atau tidaknya unsur yang
mengisi O tersebut.
Lebih lanjut, Kasni (2012) mengungkapkan bahwa peningkatan valensi
verba BSDW dilakukan melalui pengkausatifan dan pengaplikatifan. Sementara
itu, penurunan valensi BSDW dilakukan melalui resiprokal dan antikausatif.
Terkait dengan penggabungan klausa BSDW, Kasni (2012) mengungkapkan
bahwa penggabungan klausa secara koordinatif dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu konstruksi syndetic yang dimarkahi oleh konjungsi monna ‘dan’, takka
‘tetapi’, dan ato ‘atau’ dan konstruksi asyndetic yang tidak dimarkahi oleh
konjungsi. Sementara itu, penggabungan klausa secara subordinatif (konstruksi
subordinatif) BSDW dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) konstruksi yang terdiri atas
klausa relatif, (2) klausa pelengkap, dan (3) klausa keterangan. Argumen S, A, O,
Pi, lokatif, dan instrumen direlatifkan melalui pengosongan, sedangkan pemilik
direlatifkan melalui pronomina retensi. Klausa pelengkap digabungkan melalui
32
serialisasi verba, konstruksi klausa relatif, aposisi, dan penggabungan tujuan.
Klausa keterengan digabungkan dengan konjungsi ataupun tanpa konjungsi.
Penelitian terakhir yang dijadikan kajian pustaka adalah penelitian yang
dilakukan oleh Sukendra (2012). Penelitian Sukendra (2012) berjudul “Struktur
Klausa Bahasa Sabu: Kajian Tipologi Bahasa”. Terdapat enam permasalahan yang
dibahas dalam penelitian tersebut, yaitu (1) struktur klausa, (2) struktur argumen,
(3) mekanisme perubahan valensi, (4) struktur informasi, (5) kalimat kompleks,
dan
(6)
sistem
aliansi
gramatikal.
Hasil
penelitian
Sukendra
(2012)
mengungkapkan bahwa struktur klausa bahasa Sabu (BS) terdiri atas klausa
berpredikat verbal dan nonverbal. Klausa berpredikat nonverbal dipredikati oleh
nomina, adjektiva, numeralia dan frasa preposisional. Tata urutan kata yang lazim
pada klausa dasar BS adalah SVO atau AVP. Predikasi BS terdiri atas predikat
verbal dengan satu argumen pada klausa intransitif, dengan dua argumen pada
klausa ekatransitif, dan dengan tiga argumen pada klausa dwitransitif. Terkait
dengan struktur informasi, BS diidentifikasi sebagai bahasa yang menonjolkan
subjek.
Lebih lanjut, terkait dengan penggabungan klausa secara koordinatif dan
subordinatif Sukendra (2012) mengungkapkan bahwa BS memiliki pivot S/A.
Kenyataan bahwa BS memiliki pivot S/A mengacu kepada konstruksi verba tak
terbatas dan konstruksi kalimat tanya. Konstruksi dengan verba tak terbatas dan
konstruksi kalimat tanya memperlihatkan bahwa S diperlakukan sama dngan A
dan berbeda dengan P Hal ini dibuktikan dengan diperkenankannya pelesapan
secara langsung jika S bekoreferensi dengan A. Sementara, jika S berkoreferensi
33
dengan P, maka diperlukan proses penurunan (derivasi) sintaksis melalui
mekanisme pemasifan dan penopikan.
Walaupun dengan objek penelitian bahasa yang berbeda, penelitianpenelitian yang dilakukan sebelumnya dan telah diuraikan di atas, baik yang
dilakukan oleh Artawa (1994), Widaningsih (1997), Suciati (2000), Arka (2000)
Kosmas (2000), Partami (2001), Jufrizal (2004), Kasni (2008), Budiarta (2009),
Satyawati (2009), Yudha (2011), Kasni (2012), maupun Sukendra (2012) sangat
bermanfaat dan digunakan sebagai kajian pustaka karena peneliti berpendapat
bahwa masalah yang dikaji dalam penelitian tersebut memiliki kemiripan dengan
penelitian BKm. Kemiripan tersebut terlihat pada permasalahan-permasalahan
yang dikaji, yaitu tentang tipologi sintaksis. Oleh karena itu, beberapa temuan
dan simpulan penelitian sebelumnya dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan
pembanding serta rujukan guna memeroleh kesempurnaan penelitian tipologi
sintaksis BKm.
2.2 Konsep
Subbab ini menguraikan beberapa konsep untuk menyamakan titik
pandang dan pemahaman serta memperjelas arah kajian penelitian ini. Konsepkonsep yang dijelaskan menyangkut konsep-konsep yang terkait dengan
pembahasan tipologi sintaksis yang meliputi konsep klausa, subjek, objek, oblik,
struktur semantik, valensi, argumen, kalimat kompleks, aliansi gramatikal,
tipologi sintaksis, pivot, dan tipologi linguistik.
34
2.2.1
Klausa
Kridalaksana (1993:110) menjelaskan bahwa klausa merupakan satuan
gramatikal yang berwujud kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas
subjek dan predikat dan memiliki potensi untuk menjadi kalimat. Selain
Kridalaksana, pengertian tentang klausa disampaikan juga oleh Verhaar (1996:
12). Verhaar menyebutkan bahwa klausa merupakan kalimat yang terdiri atas
sebuah verba dan frasa verbal yang disertai dengan satu konstituen atau lebih yang
secara sintaksis berhubungan dengan verba tersebut. Di samping pengertian yang
diberikan Kridalaksana dan Verhaar, Lapoliwa (1990:19) juga memberikan
penjelasan tentang klausa. Menurut Lapoliwa (1990: 19), istilah klausa dipakai
untuk merujuk pada satuan konstruksi dalam kalimat yang mempunyai struktur
predikasi sebagai kalimat tunggal tanpa adanya intonasi. Elson dan Pickett (1983:
120) mengungkapkan bahwa pengertian klausa adalah sama dengan pengertian
kalimat sederhana, yaitu kalimat yang terdiri atas satu subjek dan satu predikat.
Dalam penelitian ini, diacu pendapat Kridalaksana karena ahli tersebut
menyatakan bahwa konsep kalimat tidak disejajarkan dengan konsep klausa.
Kridalaksana (1993) secara jelas mengungkapkan bahwa klausa tidak sama
statusnya dengan kalimat apabila acuannya adalah kalimat minim/elip. Misalnya,
lari! dan pergi! bukan merupakan klausa karena tidak mengandung subjek dan
predikat. Bila sebuah konstruksi mengandung unsur subjek dan predikat dan
mengandung intonasi lanjut, maka bentuk tersebut adalah klausa dan klausa
tersebut akan menjadi kalimat apabila berisi intonasi final.
35
Berdasarkan pendapat tersebut diketahui bahwa klausa tidak sama dengan
kalimat yang berjenis kalimat minim/elip, tetapi disejajarkan dengan kalimat
tunggal atau kalimat sederhana karena merujuk pada satuan predikasi. Dengan
demikian, pemahaman klausa jika ditulis atau disebut tanpa keterangan lain sama
dengan kalimat sederhana; kalimat yang mempunyai satu subjek dan satu
predikat. Dengan demikian, klausa yang dimaksud pada disertasi ini adalah
kalimat sederhana (simple sentence). Dalam pembahasan kalimat kompleks juga
disebutkan istilah klausa yang mengacu kepada anak kalimat (dependent clause)
2.2.2
Subjek
Subjek merupakan fungsi gramatikal paling utama yang biasanya
ditempati oleh nomina atau frasa nominal (FN) dalam sebuah kalimat. Pada klausa
intransitif, subjek merupakan satu-satunya argumen inti yang terdapat dalam
struktur tersebut. Sementara, pada klausa transitif FN merupakan argumen yang
menempati posisi tertinggi pada herarki fungsi gramatikal (Blake, 1993).
2.2.3
Objek
Objek merupakan fungsi gramatikal selain subjek yang ditempati oleh
nomina atau frasa nominal yang juga berperan sebagai argumen inti. Secara
tradisional, objek dibedakan atas objek langsung dan objek tak langsung (Trask,
1993). Dalam klausa transitif, objek merupakan fungsi atau relasi gramatikal
yang harus hadir yang diisyaratkan oleh predikat (verba). Sebaliknya, klausa
intransitif tidak menghendaki kehadiran objek (Dixon, 1994).
36
2.2.4
Oblik
Oblik atau relasi oblik merupakan relasi gramatikal selain relasi gramatikal
utama yang meliputi subjek dan objek. Lebih jauh, relasi oblik merupakan relasi
gramatikal yang bersifat semantis (Palmer, 1994; Artawa, 2000).
2.2.5
Struktur Semantik
Struktur semantik (semantic structure) menggambarkan kandungan
semantis bentuk linguistik, khususnya verba yang berfungsi sebagai predikator.
Komponen-komponen makna yang bersesuaian secara sintaksis diungkapkan
dalam pengertian leksikal (Arka, 1998:197; Foley dan Van Valin, 1984).
2.2.6
Valensi
Shopen (1985: 96) mengungkapkan bahwa valensi mengacu pada jumlah
tipe elemen yang berbeda yang berkaitan dengan verba. Istilah valensi digunakan
untuk mengacu pada jumlah argumen nomina kluasa pada tingkat apa saja orang
menyebutnya (Aissen dalam Hopper and Thompson, 1982: 8). Dilihat dari
jenisnya, valensi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu valensi semantis dan valensi
sintaksis. Valensi semantis merupakan valensi yang terkait dengan jumlah
partisipan yang harus hadir yang diungkapkan oleh sebuah verba, sedangkan
valensi sintaksis atau valensi gramatikal merupakan valensi yang terkait dengan
jumlah argumen yang nyata pada klausa tertentu (Payne, 1977:169--170;
Haspelmath, 2002:210--211).
Katamba (1993: 266) mengemukakan bahwa
valensi merupakan jumlah argumen dalam kerangka sintaksis yang dikaitkan
37
dengan verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi gramatikal. Berdasarkan
definisi yang diberikan dapat disimpulkan bahwa konsepsi valensi berhubungan
erat sekali dengan ketransitifan verba pada tataran morfosintaksis. Senada dengan
Katamba, Van Valin Jr. dan Lapolla (2002: 147--150) mengemukakan bahwa
valensi merupakan banyaknya argumen yang diikat atau yang dibutuhkan oleh
verba. Valensi sintaksis verba adalah jumlah argumen yang disiratkan secara
morfosintaksis yang dibutuhkan verba tersebut, sedangkan valensi semantis
adalah jumlah argumen semantis yang dapat diambil oleh verba tertentu.
Konsep valensi berkaitan erat dengan perubahan jumlah argumen verba
sebagai PRED dalam sebuah klausa yang pada hakikatnya mekanisme perubahan
valensi ini memengaruhi argumen A atau SUBJ dan P atau OBJ suatu verba
PRED (Haspelmath: 2002:218). Lebih lanjut, valensi sangat erat berhubungan
dengan istilah yang terkait dengan penambahan jumlah argumen, yaitu
pengkausatifan dan pengaplikatifan dan istilah yang terkait dengan penurunan
jumlah argumen, yaitu pemasifan, pengantipasifan, dan pengintransitifan.
2.2.7
Argumen
Argumen merupakan unsur sintaksis dan semantis yang diperlukan oleh
sebuah verba, yang umumnya berkorelasi dengan partisipasi pada suatu kejadian
atau keadaan yang dinyatakan oleh verba atau predikatnya. Berdasarkan
pengertian tersebut, diketahui bahwa jumlah argumen dalam sebuah klausa atau
kalimat ditentukan oleh verba sebagai inti (head) dari klausa atau kalimat tersebut
(Wiliams, 1991:100; Culicover, 1997: 16--17).
38
2.2.8
Kalimat Kompleks
Kuiper dan Allan (1996: 255, 264) secara sederhana dan praktis
mengungkapkan bahwa kalimat kompleks adalah kalimat yang memiliki klausa
sematan (klausa bawahan). Elson dan Pickett (1983: 120) berpendapat bahwa
kalimat sederhana dapat bergabung dengan kalimat sederhana lain untuk
membentuk konstruksi (kalimat) yang lebih kompleks. Kalimat yang dibentuk
dari gabungan klausa-klausa tersebut melahirkan kalimat majemuk (complex
sentence). Hubungan antarklausa di dalam kalimat majemuk ini beragam dan
rumit. Kerumitan tersebut disebabkan oleh adanya interaksi tiga parameter yang
berbeda, yaitu susunan internal klausa-klausa tersebut, hubungan struktural klausa
satu sama lain, dan hubungan semantis klausa-klausa tersebut.
Dalam buku tata bahasa dan linguistik bahasa Indonesia, kalimat majemuk
dibedakan menjadi kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat.
Kalimat majemuk setara (compound sentence) adalah kalimat yang terdiri atas dua
klausa atau lebih yang dihubungkan secara setara (koordinatif) oleh konjungsi
koordinatif. Sebaliknya, kalimat majemuk bertingkat (complex sentence) adalah
kalimat yang terdiri atas klausa utama dan klausa bawahan yang menunjukkan
hubungan subordinatif (Verhaar, 1989: 102—103; Alwi dkk., 2000: 385--393).
2.2.9
Pivot
Pivot merupakan kategori yang mengaitkan S dan A, S dan P, S, A, dan P.
Pivot merupakan FN yang paling sentral secara gramatikal. FN yang berfungsi
sebagai pivot memiliki kemampuan mengoordinasikan, mengontrol anafora atau
39
pelesapan, dan dihilangkan dalam struktur kontrol. Pivot dalam bahasa bertipologi
akusatif adalah subjek gramatikal, sedangkan pada bahasa bertipologi ergatif
adalah pasien (Dixon, 1994; Trask, 1993; Matthews, 1997).
2.2.10 Aliansi Gramatikal
Aliansi gramatikal merupakan sistem atau kecenderungan persekutuan
gramatikal di dalam atau antarklausa dalam suatu bahasa secara tipologis, apakah
S=A, S=P, Sa=A, dan Sp=P (Dixon, 1994; Palmer, 1994, Arka, 2000; Payne,
2002, Jufrizal. 2004). Dixon (1994) dalam Artawa (2005:11) mengemukakan
bahwa sistem aliansi gramatikal menjadi titik perhatian untuk menentukan yang
mungkin untuk bahasa-bahasa di dunia, yaitu bahasa akusatif, bahasa ergatif,
bahasa agentif, bahasa aktif, dan sebagainya
2.2.11 Tipologi Sintaksis
Tipologi sintaksis merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan untuk
mengelompokkan bahasa berdasarkan struktur frasa, klausa, dan kalimatnya.
Terkait dengan tipologi sintaksis, Dixon (1994: 157-158) menambahkan bahwa
penentuan tipologi sintaksis sebuah bahasa dapat dilakukan dengan pengetesan
atau pengujian kepivotannya.
2.2.12 Tipologi Linguistik
Tipologi linguistik atau tipologi bahasa merupakan kajian ilmu bahasa
tentang bagaimana bahasa dikelompokkan. Pengelompokan bahasa-bahasa ini
40
didasarkan pada sifat-perilaku (property) yang dimiliki oleh bahasa itu sendiri
(Mallinson dan Blake, 1981; Comrie, 1983; dan 1988; Artawa, 2000).
2.3 Landasan Teori
Awal berkembangnya teori tipologi bahasa dimulai sekitar tahun 1960-an
yang dipelopori oleh Greenberg yang menyatakan bahwa bahasa-bahasa dapat
dikelompokkan berdasarkan urutan dasar subjek, objek, dan verba (S-O-V).
Berkembangnya teori tipologi bahasa merupakan reaksi terhadap teori Tata
Bahasa Transformasi Generatif yang cenderung didasarkan pada perilaku
kebahasaan bahasa Inggris
Perkembangan teori tipologi bahasa kemudian
dilanjutkan oleh Comrie pada awal tahun 1980-an. Comrie mengembangkan
kajian linguistik lintas bahasa yang mengarah kepada generalisasi dan
pengelompokan bahasa-bahasa. Kajian linguistik yang dikembangkan oleh
Comrie ini berada pada tataran morfosintaksis yang membahas (i) pemarkahan
agen dan pasien, (ii) urutan kata, (iii) koordinasi, dan (iv) subordinasi (Mallinson
dan Blake, 1981: 1—2).
Lebih jauh, Mallinson dan Blake (1981:3) mengungkapkan bahwa tipologi
bahasa bersinonim dengan istilah taksonomi. Dalam dunia linguistik, istilah
tipologi lebih sering digunakan. Istilah tipologi dalam dunia linguistik menjadi
terkenal yang digunakan untuk merujuk ke pengelompokan bahasa-bahasa
berdasarkan karakteristik tata kata dan tata kalimatnya. Lebih jauh, Mallinson dan
Blake mengungkapkan bahwa bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan batasanbatasan strukturalnya. Akan tetapi, tipologi yang baik adalah
tipologi yang
41
mampu mengelompokkan bahasa-bahasa secara luas berdasarkan sejumlah fitur
yang saling berhubungan. Pengkajian aliansi gramatikal (persekutuan gramatikal)
pada dasarnya didasari dan dicermati melalui kajian tipologi bahasa bersangkutan.
Untuk dapat sampai pada penentuan tipologi bahasa, banyak aspek kebahasaan
yang perlu dikaji lebih dahulu, baik secara gramatikal (morfosintaksis) maupun
melibatkan fenomena semantis. Begitu juga apabila ingin mengetahui aliansi
gramatikal, penelusuran secara tipologis pada tataran linguistik tertentu perlu
dilakukan.
Pada dasarnya kajian tipologi bahasa terkait dengan pengelompokan
bahasa-bahasa menurut strukturnya. Pengelompokan berdasarkan struktur ini
tidak berarti bahwa bahasa-bahasa dikelompokkan hanya berdasarkan struktur,
tetapi juga dapat dibedakan berdasarkan genetis, tipologis, dan areal (Mallinson
dan Blake, 1981: 4--5).
Pendapat yang dikemukakan oleh Mallinson dan Blake (1983) didukung
oleh Comrie. Comrie (1983: 30--32) mengungkapkan bahwa kajian kesemestaan
bahasa dan
kajian tipologi terlihat bertentangan. Kajian kesemestaan bahasa
bertujuan untuk menemukan (i) perilaku dan sifat-sifat yang umum bagi semua
bahasa manusia, (ii) mencari dan menemukan kemiripan secara lintas bahasa, dan
(iii) menetapkan batas-batas variasi dalam bahasa manusia. Sementara, kajian
tipologi bahasa bertujuan untuk (i) mengelompokkan bahasa-bahasa ke dalam
kelompok yang berbeda sesuai dengan karakteristiknya, (ii) mengkaji perbedaan
antara bahasa-bahasa, dan (iii) mempelajari variasi-variasi bahasa manusia.
Walaupun berbeda, keduanya memiliki keterkaitan sehingga keduanya dapat
42
berjalan bergandengan. Untuk menetapkan tipologi bahasa diperlukan penetapan
parameter tertentu untuk mengelompokkan bahasa di dunia. Penetapan tipologi
suatu bahasa membutuhkan pembuatan asumsi tentang kesemestaan bahasa.
Penelitian tipologi sintaksis BKm ini mengaplikasikan teori tipologi
bahasa yang dikemukakan oleh Comrie (1988) dan Dixon (1994). Seperti telah
diungkapkan sebelumnya bahwa penerapan teori tipologi bahasa bertujuan untuk
mengkaji struktur klausa sebagai titik perhatian dalam penentuan tipologi bahasa.
Selain itu, penerapan teori tipologi bahasa juga digunakan untuk mengkaji
penggabungan klausa untuk membentuk kalimat kompleks.
Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa teori utama yang menjadi
payung penelitian yang mengkaji tipologi sintaksis BKm adalah teori tipologi
bahasa yang dikemukakan, baik oleh Comrie (1988) maupun Dixon (1994).
Dalam teori tipologi bahasa dinyatakan bahwa bila dalam suatu bahasa S (subjek),
yakni argumen inti intransitf diperlakukan sama dengan A (agen), yakni argumen
agen transitif, tetapi berbeda dari P (pasien), yakni argumen pasien transitif,
bahasa tersebut bertipe akusatif. Bila suatu bahasa memperlakukan S sama dengan
P, tetapi berbeda dari A, disebut sebagai bahasa ergatif, dan bila suatu bahasa
memperlakukan S sebagai S dan S yang lainnya sebagai P, bahasa tersebut
termasuk bahasa bertipe Split-S. Bahasa yang bertipe Split- S oleh Klimov (1979)
disebut sebagai bahasa bertipe aktif.
Dixon (1994) menyebutkan bahwa setiap bahasa memiliki klausa
intransitif dan klausa transitif, yakni klausa dengan satu argumen inti yang disebut
43
dengan “S”. Sementara itu, klausa transitif memiliki dua argumen inti yang
disebut A dan O (objek) yang dalam tulisan ini dipakai A dan P.
Di antara kajian yang perlu dilakukan dalam tipologi bahasa adalah perihal
relasi gramatikal. Menurut Van Valin, Jr dan La Polla (1999: 242--243), relasi
gramatikal tradisional pada awalnya didasarkan pada fenomena gramatikal
bahasa-bahasa Indo-Eropa. Ada dua hal yang memungkinkan relasi gramatikal ini
berterima dalam beberapa teori tata bahasa yang setuju dengan konsep ini.
Pertama, relasi gramatikal dapat diterapkan sebagai bentuk asal (bukan bentuk
turunan dari yang lain). Kedua, relasi gramatikal dapat dianggap sebagai turunan
dari fenomena sintaksis, semantik, atau pragmatis. Namun, pada hakikatnya, relasi
gramatikal itu adalah asal dan turunan sekaligus agak sulit dipahami secara
teoretis dan terapan.
Untuk melihat bagaimana pemahaman relasi gramatikal itu secara
tipologis dan mengarah ke aliansi gramatikal, perlu diperhatikan pendapat yang
dikemukakan oleh Palmer (1994: 14). Menurut Palmer, dalam kajian tipologis,
kenyataan bahwa S diperlakukan sama dengan A dalam sistem akusatif dan
perlakuan S sama dengan P dalam sistem keergatifan menjadikan penting untuk
menjelaskan perbedaan antara ‘peran gramatikal dan relasi gramatikal’. Penentuan
S=A dan S = P merupakan konsep yang berbeda dari peran S, A, dan P. Dalam hal
ini S, A, dan P adalah peran gramatikal, sedangkan S=A dan S=P merupakan
relasi gramatikal.
Pengertian relasi gramatikal (S=A dan S=P) seperti dikemukakan oleh
Palmer (1994) itu bisa diterima sebagai dasar berpijak untuk kajian tipologis awal.
44
Namun, jika dihubungkan dengan pengertian relasi gramatikal dalam pembicaraan
terdahulu, apa yang dikemukakan oleh Palmer memerlukan penafsiran lebih lanjut
untuk memahaminya. Untuk memudahkan pemahaman, pendapat Palmer (1994)
itu digabungkan dengan Dixon (1994) dan Arka (2000). Peran gramatikal
digambarkan dengan S, A, dan P (bagi Dixon P diganti dengan O) dapat diterima
keberadaannya. Namun, kenyataan atau kecenderungan adanya sistem S=A dan S
=P dan sistem yang lainnya disebut sebagai aliansi gramatikal (persekutuan
gramatikal) (lihat Dixon, 1994; Arka, 2000: 242). Dengan demikian, aliansi
gramatikal adalah sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal yang ada
dalam suatu bahasa secara tipologis; apakah berupa S=A, S=P, Sa = A, Sp = P
atau yang lainnya (lihat Artawa, 1996).
Banyak bahasa mencampurkan jenis nominatif-akusatif dan absolutifergatif dalam hal pemarkah intraklausal. Kondisi itulah yang disebut sistem
terpilah (split). Kondisi itu berhubungan dengan hakikat semantik verba utama,
hakikat semantik frasa nominal inti, kala (tense) atau aspek atau modus (mood)
klausa,
atau
status
gramatikal
klausa
(apakah
klausa
utama
atau
bawahan/turunan), dan sebagainya. Beberapa bahasa menunjukkan keadaan
pertengahan (bukan akusatif, bukan pula ergatifi), memarkahi sejumlah S sama
dengan A dan sejumlah lainnya sama dengan P (Dixon, 1994) dan menggunakan
O sebagai pengganti P). Bahasa yang demikian dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu S-terpilah (Split-S) dan S-alur (fluid-S) (Dixon, 1994:70).
Selanjutnya, Dixon (1994: 70--71) menjelaskan aliansi gramatikal yang
(mungkin) ada dalam bahasa-bahasa di dunia (karena merujuk Dixon, 1994),
45
lambang yang digunakan adalah S (subjek intransitif), A (subjek intransitif), dan
O (objek transitif). S yang secara semantis mirip dengan A dilambangkan dengan
Sa dan dimarkahi seperti A, S yang secara semantis mirip dengan O dilambangkan
dengan So dan dimarkahi seperti O. Bahasa yang membedakan antara Sa dan So
sebagai subtipe dari S ada dua jenis. Pertama adalah seperti bahasa ergatif dan
akusatif, yaitu secara sintaksis terdapat pemarkah dasar pada unsur inti. Setiap
verba ditunjukkan oleh serangkaian kerangka sintaksis dengan pemarkah kasus
atau rujuk silang selalu dilakukan dengan cara yang sama, yakni memedulikan
semantik tertentu. Sistem itu disebut S-terpilah (Split- S). Jenis kedua, secara
sintaksis memperlakukan pemarkah dasar untuk verba transitif, tetapi hanya untuk
verba intransitif. Artinya, sebuah subjek intransitif dapat dimarkahi sebagai Sa
(seperti A) atau So (seperti So) bergantung pada semantik tertentu. Aliansi seperti
ini disebut S-alir (Fluid-S).
Tipologi bahasa sebenarnya mengacu pada pengelompokan bahasa-bahasa
berdasarkan ciri-ciri tertentu yang dimiliki oleh bahasa tersebut yang dapat juga
dilihat dari kata dan tata kalimatnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada beberapa
hal yang dibicarakan dalam tipologi bahasa secara morfosintaksis, yaitu (1)
pemarkahan agen dan pasien, (2) tata urut kata, (3) koordinasi : reduksi konjungsi,
dan (4) subordinasi: klausa relatif. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemarkahan agen
dan pasien dan tata urut kata merupakan dua buah topik yang bertautan dengan
kalimat sederhana, sedangkan koordinasi yang berupa reduksi konjungsi dan
subordinasi yang berwujud klausa relatif bertautan dengan kalimat kompleks.
Dengan adanya prinsip dasar kerja tipologi bahasa yang didasarkan atas struktur
46
kalimatnya, maka bahasa dapat dikelompokkan menjadi bahasa yang akusatif dan
bahasa yang ergatif.
Comrie (1988) dan Artawa (2004) mengungkapkan bahwa bahasa-bahasa
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu bahasa ergatif dan akusatif,
pasif dan aktif, dan antipasif. Suatu bahasa bertipe ergatif apabila pasien (P) dari
verba transitif diperlakukan sama atau koreferensial dengan subjek (S) pada
klausa intransitif dan berbeda dengan agen (A) dari verba transitif. Bahasa ergatif
memperlakukan P sama dengan S. Biasanya sama-sama tidak bermarkah. Bahasa
yang bertipe akusatif adalah bahasa yang memiliki sistem, yaitu A sama dengan S
dan perlakuan yang berbeda dengan P. Sebaliknya, bahasa yang bertipe aktif
adalah tipe bahasa yang menunjukkan bahwa ada sekelompok S yang berperilaku
sama dengan S yang beriperilaku sama dengan A dalam satu bahasa.
Dixon (1994: 157--580) lebih lanjut mengungkapkan bahwa dalam
menentukan tipologi bahasa, khususnya tipologi sintaksis dapat dilakukan dengan
pengetesan atau pengujian kepivotan bahasa tersebut. Menurut Dixon, teknik
pengetesan atau pengujian kepivotan adalah sebagai berikut.
Kedua klausa intransitif
(a) S1=S2
Klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif
(b) S1=P2
(c) S1=A2
Klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif
(d) P1=S2
(e) A1=S2
Klausa kedua transitif dengan satu FN yang sama
(f) P1=P2
47
(g) A1=A2
(h) P1=A2
(i) A1=P2
Kedua klausa transitif dengan dua FN yang sama
(j) A1=P2, A1=A2
(k) P1=A2, A1=P2
Dalam kaitannya dengan cara penggabungan klausa untuk membentuk
kalimat kompleks, Dixon (2010:313) menyatakan bahwa bentuk klausa dapat
dibedakan menjadi tiga seperti yang tercermin dalam ketiga contoh di bawah ini.
(1) The boy ate the mango after I left
(2) I know that the boy ate the mango
(3) I know the boy who ate the mango
Berdasarkan ketiga kalimat yang disajikan di atas dapat dijelaskan bahwa
kalimat (1) menggambarkan cara penggabungan klausa yang kedua klausanya
tidak menempel satu sama lain. Lebih lanjut, klausa kedua dimarkahi oleh
konjungsi after yang mengungkapkan klausa keterangan. Kalimat (2) dan (3)
menggambarkan dua klausa yang digabungkan melalui proses ‘embedding’,
artinya satu klausa merupakan bagian dari klausa yang lainnya. Klausa that the
boy ate the mango merupakan bagian dari klausa I know pada kalimat (2) yang
merupakan klausa komplemen (pelengkap). Sebaliknya, pada kalimat (3), klausa
who ate the mango adalah klausa relatif yang menjelaskan objek the boy.
Pembahasan
kalimat
kompleks
merupakan
pembahasan
sintaksis
antarklausa. Kajian tentang klausa relatif dan klausa komplemen ini tercakup
dalam pambahasan kalimat kompleks. Pembahasan klausa relatif dan klausa
komplemen dalam lingkup kalimat kompleks ini bertujuan untuk mengetahui
48
perilaku morfosintaksis secara tipologis klausa-klausa yang membentuk kalimat
kompleks tersebut. Pembahasan kalimat kompleks (klausa relatif dan klausa
komplemen) ini juga dimaksudkan untuk memeroleh gambaran dan butir-butir
gramatikal yang dapat mendukung dan memperjelas bahasan tentang aliansi
gramatikal BKm.
Comrie (1981: 136) dan Dully (1981: 114) mengungkapkan bahwa klausa
relatif merupakan klausa yang berfungsi memberikan keterangan terhadap nomina
inti yang berupa nomina atau frasa nominal. Pendapat senada juga dikemukakan
oleh Kroeger (1999:123). Kroeger menyatakan bahwa klausa relatif merupakan
klausa yang membatasi nomina inti dalam frasa nominal.
Dilihat dari konstruksinya, Dixon (2010: 314) mengungkapkan bahwa
klausa relatif memiliki struktur kanonik yang karakteristiknya sebagai berikut.
(1) Konstruksi klausa relatif terdiri atas dua klausa, yaitu klausa utama (main
clause) dan klausa relatif yang membentuk sebuah kalimat yang memiliki
intonasi tunggal.
(2) Argumen dari kedua struktur dasar harus merupakan argumen yang
disebut argumen umum (common argument). Argumen umum tersebut
merupakan argumen dari klausa utama (main clause) dan klausa relatif.
(3) Klausa relatif berfungsi secara sintaksis sebagai atributif dari argumen
umum (common argument) dalam klausa utama (main clause) dan secara
semantis berfungsi untuk memberikan informasi tentang argumen umum
yang membantu dalam membatasi acuan atau reference dari argumen
umum.
49
(4) Klausa relatif harus memiliki struktur dasar yang terdiri atas predikat dan
argumen inti.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang klausa relatif terkait
dengan klausa utama (main clause) dan argumen umum (common argument),
perhatikanlah contoh yang disajikan berikut ini.
(1) I know the boy who ate the mango
klausa utama
klausa relatif
(Dixon, 2010: 313)
Berdasarkan contoh di atas, tampak jelas mana yang merupakan klausa utama dan
mana yang merupakan klausa relatif. Klausa utama konstruksi tersebut adalah I
know the boy dan who ate the mango merupakan klausa relatif. Dari konstruksi
tersebut pula dapat diidentifikasi bahwa the boy merupakan argumen umum
(common argument).
Jika dilihat dari bentuknya, klausa relatif dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu klausa relatif restriktif dan klausa relatif nonrestriktif (Dixon, 2010: 314-315). Klausa relatif restriktif adalah klausa relatif yang bersifat membatasi referen
nomina inti yang diacu. Dengan kata lain, klausa relatif restriktif adalah klausa
yang berfungsi untuk menunjuk referen yang diacu. Sebaliknya, klausa relatif
nonrestriktif adalah klausa relatif yang hanya bersifat memberikan informasi
tambahan nomina inti yang diacu (Kroeger, 1999: 123--124).
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa struktur kanonik klausa relatif
meliputi klausa relatif yang berfungsi sebagai modifier sintaksis dari argumen
umum (common argument) dalam klausa utama. Klausa relatif memiliki struktur
dasar sebuah klausa yang terdiri atas predikat dan argumen inti yang dibutuhkan
oleh predikat. Terdapat beberapa cara bagaimana klausa relatif dimarkahi.
50
Beberapa cara pemarkahan tersebut kemungkinan bervariasi antara satu bahasa
dan bahasa yang lain. Cara pemarkahan klausa relatif meliputi hal-hal berikut.
(1) Pemarkahan klausa relatif dapat dilakukan dengan satu bentuk intonasi
terhadap konstruksi klausa relatif.
(2) Pemarkahan klausa relatif dapat dilakukan dengan keberadaan klausa
relatif dalam klausa utama.
(3) Pemarkahan klausa relatif dapat dilakukan dengan alat prosodik, seperti
penekanan/stress.
(4) Pemarkahan klausa relatif dapat dilakukan dengan proses infleksi verba
pada klausa relatif.
(5) Pemarkahan klausa relatif dapat dilakukan dengan menggunakan
pemarkah, seperti klitik atau kata gramatikal pendek.
(6) Pemarkahan klausa relatif dapat dilakukan dengan penggunaan pronominal
relatif.
Struktur klausa relatif dibedakan berdasarkan posisi nomina inti yang
terdapat dalam klausa relatif itu sendiri. Berdasarkan posisi nomina inti, klausa
relatif dapat dibedakan atas dua, yaitu (1) klausa relatif yang intinya di luar
struktur dan (2) klausa relatif yang intinya berada dalam struktur. Dari kedua jenis
struktur klausa relatif tersebut, lebih banyak klausa relatif yang berada di luar
struktur. Klausa relatif yang berada di luar struktur ada yang terletak di sebelah
kiri nomina inti dengan susunan klausa relatif + nomina inti. Ada juga yang
berada di sebelah kanan dengan susunan nomina inti + klausa relatif. Susunan
51
klausa relatif yang mendahului nomina inti disebut klausa relatif posnominal dan
klausa relatif yang berada setelah nomina inti disebut klausa relatif pronominal.
Pembahasan strategi perelatifan terkait dengan bagaimana cara sebuah
klausa relatif dibentuk dan sekaligus penentuan fungsi yang direlatifkan. Kroeger
(1999: 128) mengungkapkan bahwa terdapat tiga strategi perelatifan. Ketiga
strategi tersebut adalah (1) pengosongan (gapping), (2) pronominal relatif, dan (3)
pronominal retensi. Pengosongan (gapping) adalah cara pembentukan klausa
relatif dengan tidak hadirnya salah satu FN dalam klausa relatif. Posisi yang
direlatifkan harus ditunjukkan dengan cara membandingkan subkategori verba
dengan FN yang muncul dalam klausa relatif.
Strategi perelatifan berikutnya adalah pronominal relatif. Pronominal
relatif adalah unsur nomina yang berbeda dengan pronominal persona biasa.
Sebaliknya, pronominal retensi adalah strategi perelatifan di mana posisi yang
direlatifkan diisi oleh pronominal persona yang sesuai dengan nomina intinya.
Seperti telah dijelaskan dalam konsep bahwa klausa komplemen atau
klausa pelengkap merupakan klausa yang mengisi slot argumen dalam struktur
klausa yang lainnya. Dixon (2010: 370) mengungkapkan bahwa klausa
komplemen memiliki karakteristik sebagai berikut.
(1) Klausa komplemen memiliki struktur internal sebuah klausa dan paling
tidak berfungsi sebagai argumen inti.
(2) Klausa komplemen berfungsi sebagai argumen inti klausa yang lainnya.
(3) Klausa komplemen berfungsi untuk proposisi, yaitu tentang fakta,
aktivitas, dan keadaan (tidak untuk tempat dan waktu).
52
Jika dilihat dari segi semantis, klausa komplemen memiliki bentuk atau
tipe yang terdiri atas (1) tipe fakta, (2) tipe aktivitas, dan (3) tipe potensial (Dixon,
2010: 389). Untuk lebih jelasnya, tiap-tiap tipe klausa komplemen ini dijelaskan
secara lebih terperinci sebagai berikut.
(1) Tipe Fakta
Pada umumnya tipe fakta ini mengacu pada fakta yang terjadi. Tipe ini
menunjukkan struktur yang sama dengan klausa utama dengan
kemungkinan penuh untuk negasi dan pemarkah tense-aspek. Subjek
klausa komplemen tidak harus sama dengan subjek klausa utama. Akan
tetapi, kalau subjek klausa komplemen sama dengan subjek klausa utama,
maka bisa dilesapkan. Acuan waktu tipe fakta ini umumnya independen
dalam klausa utama dan dua klausa bisa mengungkapkan nilai tense-aspek
yang
berbeda.
Pada
umumnya
tipe
fakta
ini
dimarkahi
oleh
komplementiser (seperti that dalam bahasa Inggris) dan dalam kondisi
tertentu dapat dihilangkan.
(2) Tipe Aktivitas
Tipe ini umumnya mengacu pada aktivitas yang sedang terjadi. Terkait
dengan rentang waktunya, tipe aktivitas ini memiliki beberapa kemiripan
struktur dengan frasa nominal. Subjek klausa komplemen tipe aktivitas ini
tidak harus sama dengan subjek klausa utama. Apabila sama, subjek pada
klausa komplemen tipe aktivitas ini dapat dilesapkan.
53
(3) Tipe Potensial
Klausa komplemen tipe potensial ini pada umumnya mengungkapkan
kepotensialan subjek dari klausa utama (yang hampir selalu sama dengan
beberapa argumen di dalam klausa utama) menjadi terlibat dalam sebuah
aktivitas. Dalam beberapa bahasa, subjek klausa tipe potensial ini harus
memiliki subjek yang sama dengan klausa utama. Di samping itu, klausa
komplemen tipe potensial ini umumnya kurang memerhatikan tense-aspek.
Verba pada klausa komplemen tipe potensial ini memiliki bentuk yang
khusus (Dixon, 2010: 370--393).
Lebih lanjut, Dixon (2010: 409--413) mengungkapkan bahwa strategi
komplementasi dapat dibedakan menjadi empat, yaitu (1) strategi konstruksi
serialisasi verba, (2) strategi klausa relatif, (3) strategi nominalisasi, dan (4)
strategi penggabungan klausa dalam kalimat. Tiap-tiap strategi komplementasi
tersebut diuraikan lebih terperinci sebagai berikut.
Strategi serialisasi verba adalah strategi yang digunakan untuk membentuk
klausa komplemen dengan menggunakan dua verba yang berfungsi sebagai
predikat tunggal. Strategi klausa relatif ini dimaksudkan bahwa apabila sebuah
bahasa tidak memiliki konstruksi klausa komplemen yang tepat, pembentukan
klausa komplemen dapat dilakukan dengan strategi klausa relatif. Strategi
nominalisasi adalah sebuah strategi pembentukan klausa komplemen dengan
sebuah proses nominalisasi. Proses nominalisasi ini adalah sebuah proses
pembentukan nomina yang berasal dari verba ataupun adjektiva. Strategi
penggabungan klausa dalam kalimat dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu (1)
54
aposisi, (2) clause chaining, dan (3) purposive linking. Aposisi adalah dua klausa
yang dideretkan, clause chaining adalah sejumlah klausa yang berbeda, tetapi
merupakan kejadian yang berhubungan, sedangkan purposive linking adalah
penggabungan klausa terutama cocok untuk verba yang berhubungan dengan tipe
potensial (Dixon, 2010: 408--415).
2.4
Model Penelitian
Seperti telah diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa secara teoretis
penelitian ini menggunakan teori tipologi bahasa. Analisis tipologi bahasa
diharapkan dan dimaksudkan untuk bisa mengungkap dan menjelaskan secara
mendalam, terperinci, dan ilmiah beberapa aspek tipologi BKm, khususnnya
tentang klausa dan kalimat kompleks BKm. Untuk memberikan gambaran umum
tentang kerangka kerja teoretis penelitian, berikut ini digambarkan model
penelitian.
55
MODEL PENELITIAN
Kerangka Teoretis Penelitian
Bahasa Kemak
Data Lisan
Kalimat Bahasa Kemak
Data Tulis
Klausa Dasar
Bahasa Kemak
Klausa Kompleks
Bahasa Kemak
Teori Tipologi Bahasa
Temuan Penelitian
Berdasarkan model penelitian di atas, dapat dijelaskan bahwa penelitian
tipologi sintaksis BKm ini diawali dengan proses pemerolehan data sintaksis, baik
berupa data lisan maupun data tulisan. Data lisan dan data tulisan yang diperoleh
berupa data dalam bentuk klausa atau kalimat. Data yang telah diperoleh
kemudian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini. Selanjutnya, data yang telah diklasifikasikan dianalisis dengan
menggunakan teori tipologi bahasa (Comrie, 1983; 1989). Hasil analisis data
kemudian dirumuskan sehingga menghasilkan temuan-temuan yang sesuai dengan
tujuan penelitian ini.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Van Valin dan La Polla (1973: 3) mengungkapkan bahwa penelitian
linguistik
bertujuan
untuk
menjelaskan
fenomena-fenomena
kebahasaan.
Penjelasan tentang fenomena kebahasaan ini terkait dengan bahasa sebagai bahasa
individu atau bahasa yang bersifat universal. Penelitian tipologi sintaksis BKm ini
merupakan penelitian lapangan (field research) karena data penelitian diperoleh
dari
penutur.
Penelitian
tipologi
sintaksis
BKm
ini
bertujuan
untuk
mengambarkan dan menjelaskan fenomena kebahasaan BKm khususnya aspek
gramatikal yang berkaitan dengan struktur klausa dan kalimat.
Penelitian tipologi sintaksis BKm merupakan bentuk penelitian deskriptif
yang bersifat kualitatif, eksplanatoris, dan sinkronis karena pendeskripsian data
dalam penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan gambaran dan penjelasan
keadaan atau realitas bahasa seperti apa adanya. Selain itu, pemilihan model
penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif dalam membahas permasalahan yang
berkenaan dengan tipologi sintaksis BKm ini didasarkan pada sifat penelitian
yang mengarah kepada penelitian yang bersifat humanis yang menempatkan
manusia sebagai subjek utama dalam peristiwa sosial/budaya.
Penerapan metode deskriptif dalam penelitian deskriptif yang bersifat
kualitatif dinilai sangat tepat mengingat tujuan metode ini adalah untuk
menggambarkan data bahasa secara alamiah. Data alamiah penelitian ini
56
57
dikumpulkan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena bahasa yang memang
secara empiris digunakan oleh penutur BKm tanpa mempertimbangkan benar
salah secara preskriptif (Djajasudarma, 1993:8). Selain itu, dalam proses
penjaringan data penelitian harus tetap diperhatikan bahwa data yang diambil
merupakan data yang gramatikal dan berterima, baik secara semantik maupun
secara pragmatik (Sudaryanto, 1986 :62). Lebih lanjut, Mithun (2001: 34—43)
menyatakan bahwa hendaknya data yang dikumpulkan ke dalam korpus tidak
hanya data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, tetapi juga data yang berupa
aspek bahasa lain yang ditemukan penelitian ini. Mithun (2001:34--43) juga
menambahkan bahwa kualitas dan kuantitas pengumpulan data sangat bergantung
pada (1) peneliti dan (2) waktu dan keahlian penutur.
Terdapat tiga jenis metode yang digunakan dalam mendapatkan gambaran
yang lebih menyeluruh tentang tipologi sintaksis yang di dalamnya membahas
struktur klausa dasar dan kalimat kompleks BKm. Ketiga metode tersebut adalah
(1) metode dan teknik pengumpulan data, (2) metode dan teknik analisis data, dan
(3) metode dan teknik penyajian hasil analisis data.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Tasifeto Timur di Kabupaten Belu
Atambua. Secara administratif Kabupaten Belu mencakup tujuh belas kecamatan,
yaitu (1) Kecamatan Malaka Barat, (2) Kecamatan Malaka Tengah, (3)
Kecamatan Wewiku, (4) Kecamatan Weliman, (5) Kecamatan Raimanuk, (6)
Kecamatan Sasitamean, (7) Kecamatan Laenmanen, (8) Kecamatan Kobalima, (9)
58
Kecamatan Tasifeto Barat, (10) Kecamatan Tasifeto Timur, (11) Kecamatan
Rinhat, (12) Kecamatan Raihat, (13) Kecamatan Kota Atambua, (14) Kecamatan
Kakuluk Mesak, (15) Kecamatan Lamaknen, (16) Kecamatan Lasiolat, dan (17)
Kecamatan Malaka Timur (BPS Provinsi NTT, 2010).
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa di Kecamatan Tasifeto Timur
terdapat dua belas desa, yaitu (1) Silawan, (2) Tulakadi, (3) Sadi, (4) Umaklaran,
(5) Tialai, (6) Fatuba’a, (7) Dapala, (8) Manleten, (9) Takirin, (10) Halomodok,
(11) Saraban, dan (12) Bauho. Di antara kedua belas desa tersebut, hanya
penduduk Desa Umaklaran dan Desa Sadi yang merupakan penutur asli BKm.
Pemilihan desa-desa tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa memang
penduduk desa-desa tersebut menggunakan BKm sebagai alat komunikasi mereka
sehari-hari. Selain itu, penetapan desa tersebut juga didasarkan pada sebaran
wilayah penutur BKm itu sendiri. Dari tiap-tiap lokasi penelitian tersebut dipilih
seorang informan inti dan beberapa orang informan pendamping untuk
mendukung pemerolehan data.
Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, yaitu mulai Januari 2012
sampai Juni 2012. Pengambilan data selama kurun waktu enam bulan tersebut
dilakukan secara bertahap yang terbagi menjadi tiga tahap, yaitu (1) tahap pertama
dilakukan selama empat puluh hari dari Januari sampai dengan Februari 2012, (2)
tahap kedau dilakukan selama empat puluh lima hari dari Maret sampai dengan
April 2012, dan (3) tahap ketiga dilakukan selama empat puluh hari dari Mei
sampai dengan Juni 2012
59
3.3 Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis Data
Penelitian tipologi sintaksis BKm ini merupakan penelitian deskriptif yang
bersifat kualitatif. Penelitian ini memfokuskan perhatian pada pengungkapan
klausa dan kalimat kompleks BKm yang pada akhirnya juga dapat menentukan
tipologi BKm itu sendiri. Data penelitian berupa data kualitatif, berupa data lisan
dan data tulis. Lebih lanjut, sebagian besar wujud data penelitian ini berupa klausa
atau kalimat BKm yang umum dan nyata digunakan dalam komunikasi oleh
penuturnya sehari-hari di tempat-tempat, seperti di pusat kota, tempat
perdagangan, pendidikan, dan tempat-tempat umum lainnya. Dengan demikian,
bahasa yang digunakan tersebut menunjukkan kecenderungan menjadi BKm baku.
3.3.2 Sumber Data
Mallinson dan Blake (1981: 12--18) mengungkapkan terdapat tiga sumber
data yang digunakan dalam penelitian secara lintas bahasa (semesta), yaitu (1)
buku-buku gramatika bahasa yang diteliti, (2) data yang berasal dari contohcontoh yang digunakan oleh penulis lainnya yang diakui kebenarannya, dan (3)
informan yang merupakan penutur asli bahasa yang diteliti.
Berdasarkan pendapat Mallinson dan Blake (1981) di atas, maka
penelitian ini hanya menggunakan dua dari tiga sumber data lingual, yaitu (1) data
yang berasal dari contoh-contoh yang digunakan oleh penulis lainnya yang diakui
kebenarannya dan (2) informan yang merupakan penutur asli bahasa yang diteliti.
Penggunaan dua sumber data lingual ini didasarkan pada kenyataan bahwa tidak
60
terdapat buku-buku tata bahasa BKm. Seperti telah diungkapkan di awal bahwa
sejauh ini terdapat tiga penelitian BKm. Penelitian pertama BKm dilakukan oleh
Stevens (1967) yang berjudul Kemak: Austronesian Language. Penelitian kedua
dilakukan oleh Sadnyana dkk. (1996) yang berjudul Struktur Bahasa Kemak.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Mandaru dkk. (1998) yang berjudul Morfologi
dan Sintaksis Bahasa Kemak.
Pemilihan informan dalam penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa
informan yang dipilih dapat mewakili populasi penutur BKm berdasarkan sebaran
wilayah penuturnya. Pemilihan informan dari keseluruhan penutur dimaksudkan
dapat menggambarkan sifat populasi dari penutur bahasa tersebut (Bungin,
2003:52). Pemilihan informan dalam sebuah penelitian tidak ditentukan oleh
jumlah penutur, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh kualifikasi dan kemampuan
penutur itu dalam menguasai bahasa dan budayanya. Informan dalam penelitian
ini harus memiliki pemahaman yang baik terhadap bahasanya sendiri. Sering
dijumpai dalam sebuah penelitian bahwa seorang informan yang memberikan data
bertindak hanya untuk menyenangkan hati peneliti atau mengakomodasi
keinginan peneliti. Dengan demikian, data yang dihasilkan dari penelitian sering
diragukan kebenarannya atau data yang didapat tidak sahih (Djajasudarma, 1993
:20).
Untuk mendapatkan data yang sahih, pemilihan informan pada penelitian
ini harus berdasarkan fungsi. Penelitian tipologi sintaksis BKm ini menggunakan
jumlah informan yang disesuaikan dengan kebutuhan data dan sebaran wilayah
penutur BKm. Pemilihan informan pada penelitian ini dilakukan dengan sengaja
61
(purposive sampling) dan tidak bersifat manasuka, tetapi berdasarkan beberapa
ketentuan yang umum dalam pemilihan informan. Ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam pemilihan informan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Penutur asli yang berdomisili
sejak kecil hingga dewasa di wilayah
pemakaian BKm di Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa
Tenggara Timur yang mencakup enam desa, yaitu Desa Umaklaran, Desa
Mamutin, Desa Wehor, Desa Sadi, Desa Haliwen, dan Desa Atapupa.
2.
Berusia antara 20 sampai dengan 70 tahun.
3.
Sehat jasmani dan rohani (tidak cacat wicara).
4.
Pendidikan serendah-rendahnya setingkat sekolah dasar.
5.
Dapat berkomunikasi dengan baik.
6.
Bersedia menjadi informan dan memberikan data yang benar.
7.
Mempunyai keterampilan bahasa asli yang memadai (Nida, 1970:109;
Samarin, 1988: 55--70; Bungin, 2003:52).
Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan lima orang informan kunci
yang berasal dari tokoh masyarakat, tokoh atau kepala suku karena informan
tersebut menguasai bahasa dan budaya masyarakat Kemak. Di samping lima
informan kunci tersebut, penelitian ini juga didukung oleh sepuluh informan
pendamping. Penentuan informan kunci ini sangat penting guna memeroleh data
yang sahih. Jumlah informan yang banyak tidak menjamin bahwa data yang
diperoleh valid. Penentuan informan kunci didasarkan kepada kriteria yang telah
diuraikan di atas.
62
3.4 Instrumen Penelitian
Di samping proses pengumpulan data yang baik, validitas dan realibilitas
instrumen penelitian memegang peranan penting dalam penentuan sebuah kualitas
penelitian. Sebuah penelitian dikatakan memiliki kualitas yang baik dan dapat
dipertanggungjawabkan apabila instrumen penelitian yang dipakai memiliki
validitas dan realibilitas yang baik pula.
Seperti telah diungkapkan sebelumnya bahwa penelitian tipologi sintaksis
BKm
merupakan
penelitian
kualitatif.
Umumnya
penelitian
kualitatif
menggunakan instrumen dalam tahapan pemerolehan data, yaitu instrumen dalam
bentuk daftar tanyaan. Pembuatan daftar tanyaan ini didasarkan pada panduan
sintaksis terkait dengan kesemestaan bahasa (language universal) yang
dikemukakan oleh Comrie (1983). Daftar tanyaan ini merupakan panduan dan
dipersiapkan oleh peneliti sendiri untuk mempermudah proses pemerolehan data.
Dalam implementasinya, peneliti dengan bantuan daftar tanyaan ini melakukan
pendekatan kepada informan untuk mendapat data berupa klausa atau kalimat.
Dalam usaha untuk memerolah data, peneliti harus bertindak hati-hati karena
peneliti bukanlah penutur asli BKm.
3.5 Metode dan Teknik Pemerolehan Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa data yang terkait dengan
aspek sintaksis BKm, baik berupa inti maupun noninti. Pengumpulan data
penelitian ini menggunakan metode linguistik lapangan yang meliputi (1) elisitasi
langsung, (2) metode perekaman, dan (3) metode pengecekan elisitasi (Mithun,
63
2001: 34--43).
Menurut Mithun (2001: 34--43)) metode elisitasi langsung
merupakan metode yang utama dalam penelitian linguistik lapangan. Metode
elisitasi langsung ini dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data bahasa yang
diawali dengan menyiapkan daftar tanyaan, baik berupa kata, frasa, klausa,
maupun kalimat. Daftar tanyaan ini dibuat dengan bahasa yang mudah dipahami,
baik oleh peneliti maupun oleh informan.
Metode penelitian linguistik lapangan yang kedua adalah metode
perekaman (menurut Sudaryanto disebut teknik perekaman). Metode perekaman
ini dilaksanakan dengan cara merekam tuturan informan, baik berupa klausa,
kalimat, maupun dalam bentuk teks yang relevan dengan penelitian tipologi
sintaksis BKm. Terkait dengan data rekaman, data rekaman penelitian dalam
bentuk cerita ditranskripsikan menggunakan perangkat lunak khusus, yaitu ELAN
(EUDICO Language Anonator). Pengunaan ELAN untuk mentranskripsi data
rekaman karena ELAN merupakan perangkat lunak yang memiliki kemampuan
untuk mentransskripsi data rekaman dalam bentuk teks atau cerita yang panjang.
Metode penelitian linguistik lapangan yang ketiga adalah metode
pengecekan elisitasi. Metode pengecekan elisitasi ini digunakan untuk mengecek
beberapa konstituen, misalnya struktur klausa yang masih diragukan. Untuk
mengatasi keraguan sebuah struktur, peneliti membuat
beberapa klausa dan
menanyakan kepada penutur apakah kalimat-kalimat yang dibuat tersebut
gramatikal atau tidak dan apakah terdapat konstruksi kalimat lain yang dapat
digunakan untuk menyampaikan informasi yang sama seperti yang dinyatakan
kalimat-kalimat tersebut.
64
Pelaksanaan ketiga metode linguistik lapangan ini menggunakan metode
yang lebih khusus, yaitu metode simak dan metode cakap. Metode simak adalah
metode pengumpulan data dengan cara menyimak penggunaan bahasa. Metode
simak adalah metode yang dapat disejajarkan dengan metode pengamatan atau
observasi dalam ilmu antropologi. Sebaliknya, metode cakap adalah metode
pengumpulan data yang dapat disejajarkan dengan metode wawancara atau
interviu dalam ilmu sosial.
Salah satu kendala dalam pengumpulan data yang sesuai dengan
kepentingan penelitian adalah keterbatsan peneliti dalam berkomunikasi karena
peneliti bukan penutur BKm. Untuk mengatasi hal tersebut, pengumpulan data
penelitian ini juga menggunakan teks sebagai korpus data, selain data yang
dikumpulkan melalui ketiga metode di atas.
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam proses pengumpulan data melalui hasil teknik
elisitasi diseleksi dan diklasifikasikan secara sistematis berdasarkan kelompok
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Setelah data terkumpul, langkah
selanjutnya adalah proses analisis data. Dalam proses analisis data, metode yang
digunakan adalah metode agih (metode distribusional). Metode agih merupakan
metode analisis yang menjadikan bagian dari bahasa yang diteliti sebagai alat
penentu analisis (Djajasudarma, 1993: 60; Sudaryanto, 1993: 31--100).
Sudaryanto (1993: 31--40) lebih lanjut mengungkapkan bahwa intuisi
kebahasaan dan intuisi lingual bisa digunakan sepenuhnya apabila bahasa yang
65
diteliti adalah bahasa yang dikuasai oleh penelitinya. Akan tetapi, apabila bahasa
yang diteliti bukan bahasa yang dikuasainya, maka dalam pelaksanan penelitian
tersebut dibutuhkan pembantu bahasa. Pembantu bahasa ini sangat diperlukan
mengingat peneliti bukan penutur asli bahasa yang diteliti. Peranan pembantu
bahasa ini sangat penting mengingat pembantu bahasa inilah yang memberikan
gambaran pembagian unsur lingual yang tepat. Pembantu bahasa ini berfungsi
memberikan berbagai alternatif pembagian sebagai bahan pemancing dalam
proses pemerolehan data.
Dalam penerapan metode agih terdapat tujuh teknik lanjutan yang terdiri
atas (1) teknik lesap, (2) teknik sisip, (3) teknik ganti, (4) teknik perluas, (5)
teknik balik, (6) teknik ubah wujud, dan (7) teknik ulang. Tidak semua teknik
tersebut digunakan dalam penelitian ini. Dari ketujuh teknik tersebut, penelitian
ini hanya menggunakan enam teknik. Teknik yang dipakai dalam penelitian ini
terdiri atas teknik lesap, teknik ganti, teknik perluas, teknik sisip, teknik balik, dan
teknik ubah wujud (Sudaryanto, 1993: 36). Penerapan tiap-tiap teknik dalam
proses analisis data dijelaskan lebih terperinci di bawah ini.
Teknik lesap berguna untuk mengetahui kadar keintian suatu unsur yang
dilesapkan. Jika proses pelesapan tersebut menghasilkan sebuah konstruksi yang
tidak gramatikal, berarti unsur yang dilesapkan adalah unsur yang memiliki kadar
keintian yang sangat tinggi atau unsur tersebut merupakan unsur mutlak hadir
dalam sebuah konstruksi. Sebaliknya, apabila setelah proses pelesapan tetap
menghasilkan sebuah konstruksi yang gramatikal, maka unsur yang dilesapkan
tersebut bukan merupakan unsur yang mutlak hadir dalam sebuah konstruksi.
66
Misalnya, (1) Ana senua ele ika de tasi ibo ‘anak itu mencari ikan di pinggir laut’
dan (2) Ana senua tilu bola de tasi ibo ‘Anak itu bermain bola di pinggir laut’.
Apabila satuan lingual de tasi ibo ‘di pinggir laut dilesapkan pada kalimat (1) dan
(2), maka hasil dari proses pelesapan tersebut tetap menghasilkan konstruksi yang
gramatikal, yaitu (1) Ana senua ele ika ‘anak itu mencari ikan dan (2) Ana senua
tilu bola ‘anak itu bermain bola’. Terkait dengan penelitian yang dilakukan ini,
teknik lesap diaplikasikan untuk menganalisis struktur klausa BKm khususnya di
dalam menentukan argumen inti dan argumen noninti dalam sebuah konstruksi
kalimat dalam BKm.
Teknik berikutnya adalah teknik ganti (substitusi). Teknik ganti ini
merupakan teknik yang dalam penerapannya dengan cara
mengganti unsur
tertentu dengan unsur lain. Dalam penelitian sintaksis khususnya terkait dengan
klausa, teknik ganti ini berfungsi untuk mengetahui kadar kesamaan kelas atau
kategori terganti dengan unsur pengganti (Sudaryanto, 1993: 48). Apabila dalam
proses penggantian, unsur-unsur yang diganti tersebut dapat saling menggantikan,
berarti antara unsur terganti dan unsur yang mengganti memiliki kategori yang
sama. Penerapan teknik ganti ini diaplikasikan pada contoh yng ditampilkan di
bawah ini.
(1) Ua
la
de
3TG
pergi Prep
‘Dia pergi ke Kupang’
Kupang.
Kupang
(2) Au
la
de
Kupang
1TG
pergi Prep Kupang
‘Saya pergi ke Kupang’
67
(3) Ita
la
de
1JM
pergi Prep
‘Kita pergi ke Kupang
Kupang
Kupang
(4) Roma
la
de
Kupang
3JM
pergi Prep Kupang
‘Mereka pergi ke Kupang’
Kata ua ‘dia’ pada kalimat (1), au ‘saya’ pada kalimat (2), mane senua
‘laki-laki itu’ pada kalimat (3), dan roma ‘mereka’ pada kalimat (4) merupakan
dua unsur yang memiliki kategori yang sama sebagai pronominal sehingga
keempat unsur tersebut dapat saling menggantikan. Dalam pembahasan klausa
dan kalimat kompleks bahasa Kemak, teknik ganti ini digunakan untuk
menganalisis kategori kata yang dapat mengisi unsur sebuah klausa, baik pada
klausa verbal maupun klausa nonverbal.
Teknik perluas diterapkan untuk mengetahui segi-segi kemaknaan
(semantis) satuan lingual tertentu (Sudaryanto, 1993: 55). Dalam menganalisis
klausa dan kalimat kompleks bahasa Kemak, teknik ini dipakai dengan maksud
untuk menganalisis struktur kalimat dengan struktur kalimat yang berbeda, tetapi
memiliki makna yang sama. Teknik perluas ini dapat dilakukan pada sebuah
konstruksi dengan cara menambahkan unsur di depan kalimat (teknik perluas ke
depan) dan menambahkan unsur di belakang kalimat (teknik perluas ke belakang).
Teknik sisip digunakan untuk mengetahui kadar keeratan unsur-unsur
dalam sebuah konstruksi kalimat (Sudaryanto, 1993: 64). Dengan penggunaan
teknik sisip ini diharapkan dapat diketahui kadar keeratan unsur-unsur yang
disisipi. Terkait dengan penelitian klausa dan kalimat kompleks BKm, teknik sisip
68
ini digunakan untuk unsur apa saja dan di mana sebuah unsur dapat disisipi dalam
sebuah konstruksi klausa dan kalimat kompleks BKm.
Teknik berikutnya adalah teknik balik. Penerapan teknik balik berupa
pembalikan unsur satuan lingual. Tujuan teknik balik ini adalah untuk mengukur
kadar ketegaran letak unsur lingual dalam sebuah konstruksi kalimat (Sudaryanto,
1993: 72--74). Di samping itu, dalam penelitian ini teknik balik lebih cenderung
digunakan untuk menentukan pola urutan kanonik dalam BKm dan juga
digunakan untuk menguji alternasi apa saja yang mungkin terdapat dalam
konstruksi kalimat BKm.
Teknik terakhir adalah teknik ubah wujud (parafrasa). Teknik ubah wujud
atau parafrasa ini sering kali disebutkan sebagai teknik perubahan bentuk
(Sudaryanto, 1993: 82). Teknik ubah wujud ini merupakan sebuah teknik dengan
cara memparafrasakan atau mengubah bentuk dari satuan lingual yang dianalisis.
Perubahan wujud atau parafrasa yang merupakan hasil dari perubahan bentuk
tidak hanya harus mempertahankan informasi asli, tetapi juga harus bermakna dan
berterima/gramatikal.
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis
Hasil analisis disajikan dalam bentuk disertasi. Disertasi ini
memuat
kaidah-kaidah yang ditemukan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan dalam
penelitian ini. Kaidah ini dirumuskan secara ringkas. Penyajian hasil analisis ini
dirangkum dalam dua metode, yakni metode formal dan metode informal. Metode
informal berarti metode penyajian hasil analisis data yang disajikan dalam bentuk
69
paparan menggunakan kata-kata biasa (bahasa verbal). Metode formal adalah
metode penyajian hasil analisis data dengan menggunakan tanda, lambanglambang tertentu, seperti tanda panah, tanda bintang, tanda kurung kurawal,
lambang huruf sebagai singkatan, dan atau bentuk-bentuk diagram yang dikenal
dalam linguistik (Sudartanto, 1993: 145). Dengan menggunakan kedua metode
penyajian hasil analisis data tersebut diharapkan hasil penelitian yang disajikan
dapat dipahami dengan lebih mudah oleh pembaca.
BAB IV
STRUKTUR KLAUSA BAHASA KEMAK
4.1 Pengantar
Struktur klausa merupakan salah satu pembahasan dalam bidang
linguistik, khususnya dalam bidang sintaksis. Mengacu pada pendapat Foley dan
van Valin Jr. (1984: 4), Lyons (1987: 170), dan van Valin Jr. dan Lapolla (2002:
1), sintaksis hanyalah merupakan salah satu bagian dari gramatika. Lebih jauh,
sintaksis merupakan salah satu bidang kajian linguistik yang memfokuskan kajian
pada bagaimana kata bergabung untuk membangun unit yang lebih besar (frasa,
klausa, dan kalimat). Sintaksis lebih mudah dipahami sebagai ilmu atau kajian
atas klausa dan/atau kalimat.
Bab ini menyajikan serangkaian pembahasan yang terkait dengan struktur
dasar klausa BKm. Pembahasan dalam bab ini diawali dengan pengertian klausa
dan kalimat. Pembahasan tentang pengertian klausa dan kalimat dalam tulisan ini
dimaksudkan untuk menyamakan persepsi tentang penggunaan kedua istilah
tersebut. Berikutnya, pembahasan dilanjutkan pada sistem morfologi verba BKm.
Pembahasan mengenai sistem morfologi verba BKm didasarkan atas kenyataan
bahwa verba dalam sebuah bahasa sangat menentukan kajian tipologi sintaksis
bahasa tersebut. Kemudian, pembahasan dilanjutkan pada klausa BKm.
Pembahasan ini meliputi pembahasan tentang klausa berpredikat nonverbal dan
klausa berpredikat verbal. Klausa berpredikat nonverbal meliputi klausa
berpredikat nominal, klausa berpredikat adjektival, klausa berpredikat numeralia,
dan klausa berpredikat adverbial. Pembahasan tentang klausa berpredikat verbal
70
71
meliputi klausa intransitif dan klausa transitif. Pembahasan klausa transitif
mencakup pembahasan klausa ekatransitif dan klausa dwitransitif. Di samping
pembahasan tentang klausa berpredikat verbal dan berpredikat nonverbal,
pembahasan struktur klausa juga menguraikan tentang klausa eksistensial BKm.
Kemudian, pembahasan dilanjutkan dengan kajian tentang tata urutan kata BKm.
Pembahasan tata urutan kata ini meliputi pembahasan tata urutan kata dalam
kalimat deklaratif, kalimat interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat negatif.
Pembahasan pada bab ini diakhiri dengan pengungkapan temuan penelitian terkait
dengan struktur klausa BKm. Pembahasan lebih terperinci mengenai subsubbahasan tersebut disajikan di bawah ini.
4.2 Pengertian Klausa dan Kalimat
Beberapa ahli bahasa mengungkapkan bahwa klausa berbeda dengan
kalimat, tetapi di sisi lain ada juga ahli bahasa yang menyatakan bahwa klausa dan
kalimat merupakan istilah yang sama. Secara mendasar, klausa dan kalimat
merupakan dua hal yang tidak berbeda, tetapi pada kenyataaanya istilah klausa
dan kalimat dianggap dua hal yang berbeda. Perbedaan antara klausa dan kalimat
akan tampak jika mengacu pada jumlah klausa dalam kalimat yang dapat dihitung
dari predikat.
Alwi dkk. (1998: 311--313) menyatakan bahwa kalimat dalam banyak hal
tidak berbeda dengan klausa sehingga kalimat dan klausa merupakan dua unsur
sintaksis yang sulit dibedakan. Sering kali istilah kalimat dan klausa dianggap
sebagai dua istilah yang bersinonim. Artinya, kedua istilah tersebut bisa
72
digunakan secara bergantian untuk mengacu pada satuan lingual yang sama. Lebih
lanjut, Alwi dkk. (1998) menjelaskan
bahwa klausa merupakan konstruksi
sintaksis yang terdiri atas subjek dan predikat tanpa memperhitungkan intonasi
atau pungtuasi akhir. Jika dilihat dari konstruksi, baik klausa maupun kalimat,
keduanya merupakan konstruksi sintaksis yang minimal memiliki konstituen
predikasi, baik berupa predikat verbal maupun predikat nonverbal dan terdiri atas
satu atau beberapa argumen.
Pada bagian lain Alwi dkk. (1998) mengungkapkan bahwa kluasa dan
kalimat berbeda satu sama lain. Alwi dkk. mengemukakan bahwa intonasi akhir
atau pungtuasi menjadi ciri kalimat yang membedakannya dengan klausa. Kalimat
merupakan satuan lingual terkecil dalam wujud lisan atau tulisan yang
mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam bentuk lisan, kalimat diucapkan
dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan
intonasi akhir. Dalam wujud tulisan berhuruf Latin, kalimat dimulai dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!) yang
merupakan intonasi akhir; sementara itu, di dalam kalimat disertakan pula
berbagai tanda baca, seperti koma (,), titik dua (:) , dan tanda pisah (-).
Secara hierarki, klausa merupakan bagian kalimat karena kalimat dapat
dibentuk atas dua klausa atau lebih. Dengan kata lain, jumlah klausa dalam
kalimat dapat ditentukan dari jumlah predikat dalam kalimat, misalnya, au me’u
ua ‘saya mencium dia’ dan au tutu ua ‘ saya memukul dia’ dalam BKm. Kedua
bentuk tersebut dapat pula disebut kalimat karena masing-masing memenuhi
syarat minimal sebuah kalimat sederhana, yakni terdiri atas predikat, yaitu me’u
73
‘cium’, tutu ‘memukul’ yang merupakan konstituen inti pada kalimat tersebut.
Dilihat dari argumennya, kalimat au me’u ua ‘saya mencium dia’ dan au tutu imi ‘
saya memukul kamu’ membutuhkan dua argumen, yaitu au ‘saya’ yang secara
semantis memiliki peran agen (A) dan secara sintaksis sebagai SUBJ, dan ua ‘dia’
yang secara semantis berperan sebagai pasien (P) dan secara sintaksis berperan
sebagai OBJ.
Pendapat lain diungkapkan oleh Kridalaksana (1993). Kridalaksana (1993)
dengan tegas menyatakan bahwa klausa tidak sama statusnya dengan kalimat
apabila acuannya adalah kalimat minim/elip. Misalnya, Lari! dan Pergi! bukan
merupakan klausa karena tidak mengandung subjek dan predikat. Bila sebuah
konstruksi mengandung unsur subjek dan predikat dan mengandung intonasi
lanjut, bentuk tersebut adalah klausa dan klausa tersebut akan menjadi kalimat
apabila berisi intonasi final.
Berdasarkan pendapat Kridalaksana (1993) tersebut dapat disimpulkan
bahwa klausa tidak sama dengan kalimat yang berjenis kalimat minim/elip, tetapi
disejajarkan dengan kalimat tunggal atau kalimat sederhana karena merujuk pada
satuan predikasi. Dengan demikian, pemahaman klausa jika ditulis atau disebut
tanpa keterangan lain sama dengan kalimat sederhana; kalimat yang mempunyai
satu subjek dan satu predikat. Dengan demikian, klausa yang dimaksud pada
disertasi ini adalah kalimat sederhana (simple sentence). Dalam pembahasan
kalimat kompleks juga disebutkan istilah klausa yang mengacu kepada anak
kalimat (dependent clause).
74
Penggunaan istilah struktur dalam penelitian ini merupakan sebuah
terminologi yang mengacu pada pengertian keterkaitan hubungan antarkonstituen
dalam membangun sebuah makna lingual yang utuh sehingga struktur klausa
dapat dipahami sebagai jalinan makna antarkonstituen yang terdapat dalam klausa
untuk membentuk makna yang utuh dalam sebuah klausa.
Struktur klausa dibedakan atas struktur dasar dan struktur alternasi atau
struktur derivasi versi teori transformasi (Chomsky, 1965). Robins (1992: 267)
mengemukakan bahwa struktur dasar merupakan bentuk yang paling sederhana
dari kalimat lengkap mana pun yang menjadi dasar pembentukan kalimat panjang
yang tak terhitung jumlahnya dengan membuat sejumlah perluasan di berbagai
tempat dalam konstruksi tersebut. Istilah struktur dasar erat kaitannya dengan
istilah klausa dasar atau kalimat dasar. Struktur dasar dapat dipahami sebagai
struktur klausa dasar yang belum mengalami relevansi struktur, sedangkan klausa
dasar atau kalimat dasar merupakan kalimat berbentuk deklaratif afirmatif yang
paling sederhana yang mempunyai struktur predikasi (Lapoliwa, 1990:39).
Stockwell (1977: 11--12) menyatakan bahwa kalimat dasar adalah kalimat
yang memenuhi ciri-ciri (1) hanya terdapat satu verba, (2) tidak mengandung
unsur yang dihubungkan oleh konjungsi dengan unsur lain, (3) subjek, objek, dan
predikat kalimat dasar mempunai spesifikasi minimal, dan (4) tidak megandung
operator sekunder, seperti negasi, perintah, pertanyaan, dan modalitas.
Sebaliknya, struktur derivasi merupakan struktur yang telah mengalami perubahan
atau telah mengalami relevansi struktur. Pendapat senada dikemukakan oleh Alwi
dkk. (200:319) yang mengutip pendapat Stockwell. Alwi
dkk. (200:319)
75
mengemukakan bahwa sebuah struktur dikatakan kalimat dasar apabila struktur
tersebut memilikki ciri-ciri (1) terdiri atas satu klausa, (2) unsur-unsur intinya
lengkap, (3) tata urutan konstituennya mengikuti tata urutan yang umum, dan (4)
tidak mengandung pertanyaan atau pengingkaran.
Secara lintas bahasa, struktur dasar kalimat terdiri atas dua, yaitu (1)
struktur yang terdiri atas sebuah argumen inti dan sebuah predikat dan (2) terdiri
atas dua atau tiga argumen inti dan sebuah predikat. Jenis kalimat dasar dengan
struktur dasar yang terdiri atas sebuah argumen inti dan sebuah predikat
mengindikasikan kalimat tersebut merupakan kalimat intransitif karena satusatunya argumen inti dalam kalimat tersebut secara fungsional merupakan S
(argumen subjek intransitif). Sebaliknya, kalimat dasar yang terdiri atas dua
argumen inti atau lebih merupakan kalimat transitif.
4.3 Sistem Morfologi Verba Bahasa Kemak
Setelah diuraikan pengertian klausa dan kalimat, pembahasan dilanjutkan
pada sistem morfologi verba BKm. Pembahasan sistem morfologi verba BKm
terkait dengan fungsi verba sebagai kategori utama yang bertugas mengisi slot
predikat dalam kalimat. Berdasarkan ciri semantis yang dimilikinya, verba dapat
dibedakan atas verba tindakan (aksi), verba keadaan (statis), dan verba proses.
Dalam hal ini, verba tindakan (aksi) merupakan verba yang menyatakan tindakan;
verba keadaan merupakan verba yang menyatakan keadaan yang dialami oleh
seseorang atau suatu benda; dan verba proses merupakan verba yang menyatakan
76
adanya proses perubahan dari suatu keadaan yang lain atau keadaan yang ada saat
ini merupakan hasil suatu proses yang terjadi dari keadaan sebelumnya.
Mengacu pada kesemestaan bahasa, verba juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan parameter sintaksis. Secara sintaksis, verba dapat dibedakan atas
verba intansitif dan verba transitif. Verba transitif dapat dibedakan atas verba
ekatransitif dan verba dwitransitif. Sebagai kategori inti secara sintaksis, verba
menuntut kehadiran sejumlah argumen inti dalam sebuah kalimat. Dalam hal ini,
verba intransitif merupakan verba yang membutuhkan atau menuntut kehadiran
sebuah argumen inti; verba ekatransitif membutuhkan atau menuntut kehadiran
dua argumen inti; dan verba dwitransitif membutuhkan atau menuntut kehadiran
tiga atau lebih dari dua argumen inti dalam kalimat.
Pembahasan tentang proses pembentukan verba (verbalisasi) bertujuan
untuk memberikan gambaran lengkap bagaimana verba BKm dibentuk.
Pembahasan ini juga diharapkan dapat menjadi penghubung antara sifat perilaku
verba dan struktur dasar klausa BKm. Pembahasan morfologi verba memiliki
peranan yang sangat penting dalam kajian morfosintaksis suatu bahasa. Deskripsi
dan batasan mengenai verba penting diberikan untuk dapat membedakan antara
verba dan kategori lainnya. Berikut ini merupakan pedoman yang dapat digunakan
untuk membedakan verba dengan kategori atau kelas kata lain.
1) Verba memiliki fungsi utama yang menduduki posisi predikat atau sebagai
inti predikat dalam suatu klausa/kalimat.
2) Verba mengandung makna inheren perbuatan (tindakan), proses, atau
keadaan yang bukan sifat atau kualitas.
77
3) Verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat dilekati dengan
prefiks yang bermakna ‘paling’.
4) Pada umumnya verba tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang
menyatakan makna kesangatan, seperti agak, sangat, dan sekali (Alwi
dkk., 2000:87--88).
Jika mengacu kepada bentuk, verba dapat dibedakan menjadi verba dasar
dan verba turunan. Verba dasar (yang disebut juga verba murni) merupakan verba
yang terbentuk atau dari lahirnya telah berkategori verba, sedangkan verba
turunan merupakan verba yang terbentuk melalui proses morfologis. Seluruh
verba BKm merupakan verba asal. Untuk lebih jelas, tabel berikut ini menyajikan
contoh-contoh verba asal BKm.
Tabel 4.1: Verba Bahasa Kemak
No
Verba
Makna
No
Verba
Makna
No
Verba
Makna
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
/a/
/ala/
/ali/
/ara/
/barai/
/basa/
/bebe’i/
/ber/
/belo/
/betu/
/bobe/
/bue/
/bu’u/
/dale/
/do/
/e/
/ele/
/eli/
‘makan’
‘beli’
‘gali’
‘berdiri’
‘cangkul’
‘tampar’
‘ikut’
‘suka’
‘jilat’
‘tendang’
‘berkata’
‘tidur’
‘tunduk’
‘bicara’
‘lempar’
‘ingin/mau’
‘cari’
‘iris’
19
20
21
22
23
24
25
26
27
38
29
30
31
32
33
34
35
36
/gasi/
/gelo/
/gramas/
/guit/
/hai/
/hali/
/hasa/
/hetu/
/hoat/
/hui/
/huri/
/hnanu/
/hnoring/
/la/
/laka/
/leli/
/lesu/
/li’u/
‘gigit’
‘gantung’
‘raba’
‘cubit’
‘tendang’
‘pulang’
‘cuci’
‘ajak’
‘angkat’
‘cabut’
‘menari’
‘nyanyi’
‘ajar’
‘pergi’
‘suruh’
‘tebang’
‘tarik’
‘kejar’
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
/lodi/
/luma/
/mai
/mela/
/me’u/
/mnahu/
/ne/
/nunu/
/plai/
/praus/
/ruis/
/sali/
/sole/
/tada/
/tear/
/tau/
/tunu/
/tutu/
‘bawa’
‘pelihara’
‘datang’
‘panggil’
‘cium’
‘jatuh’
‘beri’
‘rebus’
‘lari’
‘basuh’
‘mandi’
‘tangkap’
‘jalan’
‘tahu’
‘lempar’
‘buat’
‘bakar’
‘pukul’
78
Penggunaan beberapa verba di atas yang menduduki posisi predikat dapat
dilihat dalam contoh-contoh klausa BKm berikut ini.
(4.1)
Au
ala
baru
1TG beli
baju
‘Saya membeli baju’
(4.2)
Ua
a
ika
3TG makan ikan
‘Dia makan ikan’
(4.3)
Atmas senua li’u
bibu
Orang DEF kejar kambing
‘Orang itu mengejar kambing’
(4.4)
Romo luma
manu
3JM pelihara
ayam
‘Mereka memelihara ayam’
(4.5)
Hine
senua
ala
baru
Wanita
DEF
beli
baju
‘Wanita itu membelikan baju untuk saya’
(4.6)
Mane
senua
me’u
Laki-laki
DEF
cium
‘Laki-laki itu mencium wanita itu’
hine
wanita
(4.7)
Ua
mnahu
dase
3TG jatuh
Prep
Dia jatuh dari pohon’
ai
pohon
(4.8)
Au-ng
ama-ng
1TG-Lig
Ayah-Lig
‘Ayah saya menjual kerbau’
se’o
jual
(4.9)
Au
tulis surat sea
de
ua
1TG tulis surat DEF Prep 3TG
‘Saya menulis sepucuk surat untuk dia’
odi
Prep
ua
1TG
senua
itu
brau timur
kerbau
79
(4.10) Au-ng
ina-ng
1TG-Lig
ibu-Lig
‘Ibu saya menanak nasi’
tau’a etu
masak nasi
Klausa (4.1)—(4.10) di atas menunjukkan bahwa predikat klausa BKm
ditempati oleh verba. Verba yang menempati posisi predikat klausa BKm
merupakan verba asal. Contoh klausa tersebut juga memperlihatkan bahwa tidak
terdapat persesuaian, baik antara predikat dan subjek maupun antara predikat dan
objek. Lebih lanjut, verba yang menempati posisi predikat hadir tanpa adanya
pemarkah morfologis yang melekat pada verba tersebut.
Mengacu kepada ciri verba, maka verba BKm memenuhi pedoman yang
telah disampaikan oleh Alwi dkk. (2000:87—88), yaitu (i) verba BKm memiliki
fungsi utama yang menduduki posisi predikat atau sebagai inti predikat dalam
suatu klausa/kalimat, (ii) verba BKm mengandung makna inheren perbuatan
(tindakan), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas, dan (iii) verba
BKm tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna
kesangatan, seperti agak, sangat, dan sekali. Dari empat ciri verba yang
dikemukakan oleh Alwi dkk., hanya tiga ciri yang dipenuhi oleh verba BKm.
Perlu ditegaskan bahwa penelitian ini tidak menemukan verba turunan
BKm. Dengan kata lain, semua verba BKm yang ditemukan merupakan verba
asal. Hal ini berarti bahwa proses morfologis yang dapat mengubah sebuah
kategori kata yang sebelumnya bukan verba menjadi verba tidak dijumpai dalam
BKm. Dengan demikian, hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Sadnyana dkk. (1996) dan Mandaru dkk. (1998) yang menyatakan bahwa BKm
merupakan bahasa yang kaya akan afiks tidak ditemukan pada data penelitian ini.
80
Pembahasan sistem morfologi verba BKm pada bagian ini hanya
difokuskan pada pembahasan bentuk verba. Pembahasan lebih lanjut mengenai
perilaku semantis dan sintaksis verba BKm disajikan pada bab VI.
4.4 Struktur Klausa Bahasa Kemak
Struktur klausa merupakan unit sintaksis yang terbentuk dari konstituenkonstituen dasar yang berupa unit-unit sintaksis dan pelengkap. Di samping itu,
struktur klausa juga merupakan jalinan makna antarkonstituen yang terdapat
dalam klausa untuk membentuk makna yang utuh dalam sebuah klausa. Dalam
uraian sebelumnya dinyatakan bahwa predikat sebuah struktur dapat diisi, baik
oleh verbal maupun nonverbal. Seperti dalam banyak bahasa di dunia, predikat
klausa dasar BKm juga dapat diisi oleh unsur verbal atau nonverbal. Berdasarkan
fungsi-fungsi predikat, klausa dasar BKm terdiri atas dua jenis, yaitu klausa dasar
berpredikat verbal dan klausa dasar berpredikat nonverbal. Uraian lebih lanjut
kedua jenis klausa dasar tersebut disajikan berikut ini.
4.4.1 Klausa Nonverbal Bahasa Kemak
Predikat klausa BKm seperti bahasa-bahasa di dunia dapat diisi oleh
kategori verbal atau kategori nonverbal. Klausa nonvebal BKm adalah sebuah
konstruksi klausa yang predikatnya diisi oleh kategori selain verba. Klausa
nonverbal memiliki inti atau head yang bukan verbal. Predikat klausa nonverbal
dapat diisi oleh nomina, adjektiva, numeral, dan frasa preposisional
81
Berdasarkan jumlah partisipan yang hadir, predikat klausa nonverbal
memiliki karakteristik yang sama dengan predikat klausa intransitif. Baik predikat
klausa nonverbal maupun klausa intransitif hanya memiliki satu argumen inti.
Walaupun memiliki satu argumen inti, klausa nonverbal tidak dapat dikatakan
sebagai klausa intransitif karena istilah intransitif berkaitan erat dengan verba.
Berikut ini disajikan klausa dengan predikat nonverbal secara lebih terperinci.
4.4.1.1 Klausa Berpredikat Nominal
Seperti bahasa-bahasa umumnya di dunia yang memiliki klausa nominal,
BKm juga memiliki klausa yang predikatnya ditempati oleh nominal (klausa
nominal). Klausa nominal merupakan klausa yang dibangun oleh predikat yang
unsur pengisinya berkategori nomina. Klausa nominal sering pula disebut klausa
persamaan atau klausa ekuatif (Alwi, 2004: 350). Klausa nominal BKm disajikan
pada contoh berikut ini.
(4.11) Au-ng
ama-ng
1TG-Lig
ayah-Lig
‘Ayah saya guru’
guru
guru
(4.12) Au-ng
ana-ng
1TG-Lig
anak-Lig
‘Anak saya murid’
iskola
sekolah
(4.13) Atmas senua bali
Orang DEF pencuri
‘Orang itu pencuri’
(4.14) Ua
plai
3TG lari
‘Dia pelari’
blabag
tukang
ana
anak
82
(4.15) Hine
senua boso
Wanita
DEF tipu
‘Wanita itu penipu’
blabag
tukang
(4.16) Mane
senua pnao
Laki-laki
DEF curi
‘Laki-laki itu pencuri’
blabag
tukang
Klausa (4.11)—(4.16) di atas merupakan contoh klausa BKm yang
predikatnya ditempati oleh nomina. Predikat klausa yang ditempati oleh guru
‘guru’, isikola ana ‘murid’, bali ‘pencuri’, plai blabag ‘pelari’, boso blabag
‘penipu’, dan pnao balabag ‘pencuri’ dikategorikan sebagai nomina berdasarkan
sifat-perilaku gramatikal nomina yang memiliki fungsi utama sebagai argumen
dari predikat dan memiliki fungsi sekunder sebagai predikat. Di samping itu,
nomina memiliki sifat-perilaku gramatikal yang dapat diikuti oleh modifier berupa
adjektiva dan demonstratif. Contoh (4.11)—(4.16) di atas menunjukkan bahwa
nomina mengisi slot predikat yang merujuk fungsi sekunder nomina.
Klausa nominal (4.11)—(4.16) di atas juga memperlihatkan bahwa klausa
tersebut memiliki sebuah argumen S (S merupakan satu-satunya argumen klausa
tersebut). Jika mengacu pada struktur klausa di atas, predikat klausa nominal yang
ditempati nomina menempati posisi di sebelah kanan S, berada setelah S. Dengan
kata lain, S sebagai satu-satunya argumen pada klausa tersebut menempati posisi
mendahului predikat. Pada klausa (4.11), predikat guru ‘guru’ menempati posisi
di sebelah kanan atau setelah S, yaitu aung amang ‘ayah saya’; predikat iskola
anang ‘murid’ pada klausa (4.12) menempati posisi di sebelah kanan atau setelah
S, yaitu aung anang ‘anak saya’. Hal yang sama juga terjadi pada klausa (4.13)—
(4.16). Predikat ketiga klausa tersebut menempati posisi sebelah kanan atau
83
menduduki posisi setelah S. Fenomena unik juga dijumpai pada S (S merupakan
satu-satunya argumen) klausa (4.11) dan (4.12) yang ditempati oleh FN yang
merupakan konstruksi posesif. Konstruksi posesif tersebut menunjukkan bahwa
baik pemilik (possessor) maupun termilik (possessed) melekat ligatur -ng. Ligatur
–ng melekat pada pemilik (possessor) dan termilik (Ligessed) jika antara pemilik
(possessor) dan termilik (possessed) memiliki hubungan darah, keluarga, dan
bagian tubuh dari pemilik (possessor) dengan ketentuan bahwa termilik
(possessed) diakhiri dengan vokal. Namun, apabila termilik (possessed) diakhiri
oleh konsonan, maka termilik (possessed) tidak dilekati oleh ligatur –ng. Hanya
pemilik (posessor) yang dilekati oleh ligatur–ng.
Konstruksi posesif dengan
ligatur ini hanya dipakai oleh penutur BKm di desa Umaklaran, sedangkan
penutur BKm di desa Sadi tidak menggunakan ligatur pada konstruksi posesif.
Salah satu struktur klausa (str-k) dengan predikat nominal BKm di atas
dapat direpresentasikan pada diagram pohon di bawah ini.
K
FN1
N1
atmas
‘orang
FN2
DEF
senua
itu
N2
bali
pencuri’
Diagram 4.1 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Nomimal
84
Contoh klausa (4.11)—(4.16) di atas menunjukkan adanya perbedaan
nomina yang menempati posisi predikat pada klausa tersebut. Predikat pada
contoh klausa (4.11)—(4.13) di atas ditempati nomina dasar. Berbeda dengan
klausa (4.11)—(4.13), predikat pada klausa (4.14)—(4.16) di atas ditempati oleh
dua leksikal. Kedua leksikal yang menempati posisi predikat klausa (4.14)—
(4.16) di atas terdiri atas verba plai ‘lari’ (klausa 4.14), boso ‘tipu’ (klausa 4.15),
dan pnao ‘curi’ (klausa 4.16) yang semuanya diikuti oleh kata blabag ‘tukang’
yang menghasilkan makna baru yang berkategori nomina.
Seperti diuraikan di atas, nomina BKm terdiri atas nomina dasar dan
nomina yang dibentuk dari gabungan dua kata. Nomina BKm mengacu pada
orang (misalnya ama ‘bapak’), hewan (misalnya ahi ‘babi’), atau benda (misalnya
etu ‘pohon’). Nomina BKm juga dapat dibedakan atas nomina yang dapat
dihitung, seperti ika ‘ikan’ dan nomina yang tidak dapat dihitung, seperti bea ‘air’.
Nomina BKm dapat diikuti oleh kategori lain, seperti demonstratif,
numeralia, adjektiva, dan verba untuk membentuk frasa nominal (FN). Contoh
frasa nominal BKm disajikan di bawah ini.
(4.17) Atmas
Orang
‘Orang itu’
senua
DEF
(4.18) Ahi
hrua
Babi Num/dua
‘Dua babi’
(4.19) Baru heung
Baju Adj/baru
‘Baju baru itu’
senua
DEF
85
(4.20) Ika
sega-ng
ikan goreng-Lig
‘Ikan goreng’
Frasa nominal (FN) pada contoh (4.17) -- (4.19) menunjukkan bahwa frasa
nominal dapat dibentuk dari nomina dan demonstratif, nomina dan numeralia,
nomina dan adjektiva, serta nomina dan verba. Contoh FN (4.17) menunjukkan
bahwa FN tersebut dibentuk dari nomina atmas ‘orang’ dan demonstratif senua
‘itu’; contoh FN (4.18) menunjukkan bahwa FN tersebut dibentuk dari nomina
ahi ‘babi’ dan numeralia rua ‘dua’; contoh FN (4.19) menunjukkan bahwa FN
dibentuk dari nomina baru ‘baju’ dan adjektiva heung ‘baru’.
Berbeda dengan contoh FN (4.17)—(4.19),
FN (4.20) menunjukkan
bahwa FN tersebut dibentuk dari nomina ika ‘ikan’ dan verba sega ‘goreng’.
Pada contoh FN (4.20) terdapat atributif -ng yang melekat pada verba. Atributif ng tersebut selalu dilekatkan pada verba apabila membentuk FN yang terdiri atas
nomina dan verba. Dengan demikian, atributif -ng harus selalu hadir dan melekat
pada verba untuk membentuk FN yang terdiri atas nomina dan verba.
Selain mengisi fungsi predikat pada klausa nominal, berdasarkan fungsi
gramatikalnya, nomina dan frasa nominal dapat menempati posisi subjek dan
objek. Berikut ini ditampilkan contoh klausa yang subjek dan objeknya ditempati
oleh nomina dan frasa nominal.
(4.21) Atmas senua ala
ahi
hrua
Orang DEF beli
babi Num
‘Orang itu membeli dua babi’
(4.22) Au
tutu atmas senua
1TG pukul orang DEF
‘Saya memukul orang itu’
86
(4.23) Ahi
hrua senua
plai
Babi Num DEF
lari
‘Dua babi itu lari di dalam rumah’
de
Prep
uma
rumah
(4.26) Au-ng
ina-ng
ala
1TG-Lig
Ibu-Lig
beli
‘Ibu saya membeli baju baru’
baru
baju
heung
Adj
(4.27) ika
sega-ng
senua
Ikan goreng-Lig DEF
‘Ikan goreng itu sangat mahal’
mdedang
mahal
(4.24) Ina
sosa ahi
hrua
Ibu
beli
babi dua
‘Ibu membeli dua babi’
(4.25) Baru heung senua
Baju Adj
DEF
‘Baju baru itu putih’
buti
putih
los
Adv
(4.28) Busa senua a
ika
sega-ng
Kucing DEF makan ikan goreng-Lig
‘Kucing itu makan ikan goreng’
Contoh klausa (4.21)—(4.28) menunjukkan bahwa nomina dan FN BKm
dapat menempati posisi, baik sebagai subjek maupun sebagai objek dalam sebuah
konstruksi klausa. FN atmas senua ’orang itu’ dapat menempati posisi subjek
(lihat klausa 4.21) dan menempati posisi objek (lihat klausa 4.22). Demikian pula
yang terjadi pada FN ahi hrua ‘dua babi’ yang dapat menempati posisi subjek,
seperti terlihat pada klausa (4.23) dan menempati posisi objek, seperti terlihat
pada klausa (4.24). FN baru heung ‘baju baru’ dapat menempati posisi subjek,
seperti yang terlihat pada klausa (4.25) dan menempati posisi objek, seperti
terlihat pada klausa (4.26). FN ika segang ‘ikan goreng’ dapat menempati posisi
87
sebagai subjek, seperti terlihat pada klausa (4.27) dan menempati posisi objek,
seperti pada klausa (4.28).
4.4.1.2 Klausa Berpredikat Adjektival
Klausa berpredikat adjektival merupakan sebuah konstruksi klausa yang
predikatnya ditempati oleh adjektiva. Seperti halnya nomina, adjektiva BKm
memiliki kemampuan untuk menempati posisi predikat dalam sebuah konstruksi
klausa. Contoh klausa adjektival BKm dapat dilihat pada data berikut ini.
(4.29) Au-ng
lima-ng
1TG-Lig
tangan-Lig
‘Tangan saya panjang’
mlarung
panjang
(4.30) Hine
senua koet
Wanita
DEF cantik
‘Wanita itu cantik’
(4.31) Baru senogo
Baju DEF
‘Baju ini merah’
meak
merah
(4.32) Au-ng
ina-ng
1TG-Lig
ibu-Lig
‘Ibu saya sedih’
soleng
sedih
Klausa (4.29)—(4.32) di atas merupakan contoh klausa yang predikatnya
ditempati oleh adjektiva. Predikat klausa yang ditempati oleh mlarang ‘panjang’
(klausa 4.29), koet ‘cantik’ (klausa 4.30), meak ‘merah’ (klausa 4.31), dan soleng
‘sedih’ (klausa 4.32) di atas dikategorikan sebagai adjektiva. Hal itu didasarkan
atas sifat-perilaku gramatikal yang paling dominan yang dimiliki oleh adjektiva
untuk membedakannya dengan kategori lainnya, yaitu adjektiva merupakan satu-
88
satunya kategori kata yang memiliki kemampuan untuk membentuk konstruksi
komparatif dan superlatif.
Struktur klausa adjektival di atas memperlihatkan bahwa predikat klausa
yang ditempati oleh adjektiva berada di sebelah kanan atau setelah S yang
merupakan satu-satunya argumen pada klausa tersebut. Jika diuraikan lebih lanjut,
predikat
mlarung ‘panjang’ yang merupakan adjektiva menempati posisi di
sebelah kanan atau setelah argumen aung limang ‘tangan saya’ pada klausa
(4.29). Hal yang sama juga terlihat pada klausa (4.30)—(4.32). Pada klausa-klausa
tersebut, predikat koet ‘cantik’ (pada klausa 4.30), meak ‘merah’ (pada klausa
4.31), dan soleng ‘sedih’ pada (klausa 4.29) merupakan adjektiva yang posisinya
berada di sebelah kanan atau setelah satu-satunya argumen, yaitu hine senua
‘wanita itu’ (pada klausa 4.30), baru senogo ‘baju ini’ (pada klausa 4.31), dan
aung inang ‘ibu saya’ (pada klausa 4.32) yang secara gramatikal argumen klausa
tersebut menduduki fungsi sebagai subjek. Struktur klausa (str-k) dengan predikat
yang ditempati oleh adjektival BKm dapat direpresentasikan pada diagram pohon
di bawah ini.
K
FN
N
hine
‘Wanita
Fadj
DEF
senua
itu
Adj
koet
cantik’
Diagram 4.2 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Adjektival
89
Tabel berikut menyajikan beberapa adjektiva yang terdapat dalam BKm.
Tabel 4.2 : Adjektiva Bahasa Kemak
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Adjektiva
/anak/
/anakbisa/
/beik/
/boteng/
/bourung/
/dikner/
/garahitu/
/ibomloi/
/kiak/
/kating/
Makna
‘kecil’
‘sedikit’
‘bodoh’
‘besar’
‘gemuk’
‘rendah/pendek’
‘keras kepala’
‘ramah’
‘miskin’
‘mengantuk’
No
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Adjektiva
/koet/
/lear/
/matenek/
/milang/
/malaku/
/mrai/
/pereng/
/segong/
/slaing/
/tasik//
Makna
‘cantik’
‘banyak’
‘pintar’
‘cepat’
‘rajin’
‘malas’
‘nakal’
‘jauh
‘lapar’
‘dekat’
Adjektiva merupakan kategori gramatikal yang secara semantis berfungsi
menyatakan sifat. Jika dilihat secara sintaksis, adjektiva berfungsi untuk
menjelaskan nomina dalam frasa nominal (FN), misalnya, baru buti ‘baju putih’
hine koet ‘wanita cantik’, atmas matenek ‘orang pintar’, dan kopi bansan ‘kopi
panas’. Keempat FN tersebut mengungkapkan bahwa adjektiva berfungsi untuk
menjelaskan nomina. Adjektiva buti ‘putih’ menjelaskan nomina baru ‘baju’
dalam FN baru buti ‘baju putih’, adjektiva koet ‘cantik’ menjelaskan nomina hine
senua ‘wanita itu’ dalam FN hine senua koet ‘wanita itu cantik’, adjektiva
matenek ‘pintar’ menjelaskan nomina atmas senua ‘orang itu’ dalam FN atmas
senua matenek ‘orang itu pintar’, bansang ‘panas’ menjelaskan nomina kopi
senogo ’kopi ini’ dalam FN kopi senogo bansang ‘kopi ini panas’.
Givon (1984:7) dan Alwi dkk. (1998:171) menyatakan bahwa adjektiva
berfungsi untuk memberikan keterangan yang bersifat lebih khusus kepada
nomina dalam sebuah klausa. Salah satu ciri yang dimiliki adjektiva adalah
90
antonim, seperti beang ‘basah’ x megang ‘kering’, bansang ‘panas’ x sumang
‘dingin’, bou’rung ‘gemuk x kurung ‘kurus’, dan mlarung ‘panjang’ x badak
‘pendek’.
Selain memiliki antonim, adjektiva juga memiliki ciri lain yang
membedakannya dengan kategori lain, yaitu adjektiva dapat menyatakan tingkat
kualitas dan tingkat perbandingan (komparatif) pada nomina yang dibandingkan.
Sehubungan dengan itu, Dixon (2010:70--71) mengungkapkan bahwa salah satu
kriteria pembeda untuk membedakan adjektiva dengan kategori lain adalah
adjektiva dapat digunakan dalam struktur komparatif. Sebuah adjektiva selalu
berfungsi sebagai parameter dari komparatif.
Sama seperti adjektiva pada bahasa-bahasa lainnya yang dapat digunakan
dalam struktur komparatif, adjektiva BKm juga dapat digunakan dalam struktur
komparatif. Satu perbedaan yang terdapat pada struktur komparatif yang
menggunakan adjektiva BKm adalah adjektiva BKm hanya dapat digunakan
untuk membandingkan satu nomina atau frasa nominal dengan satu nomina atau
frasa nominal lain dengan menggunakan leksikon lau ‘lebih’. Struktur komparatif
BKm disajikan pada contoh klausa berikut ini.
(4.33) Ita-ng
uma boteng lau
dase oung
1JM-Lig
rumah besar lebih Prep 2TG-Lig
‘Rumah kita lebih besar daripada rumah kamu’
(4.34) Au-ng
ana-ng
matenek
lau
‘1TG-Lig
anak-Lig
pintar
lebih
‘Anak saya lebih pintar daripada orang itu’
uma
rumah
atmas senua
orang DEF
Contoh klausa (4.33) dan (4.34) di atas merupakan klausa intransitif yang
memperlihatkan struktur komparatif dalam BKm. Jika dicermati lebih jauh, klausa
91
(4.33) dan (4.34) menunjukkan bahwa
adjektiva boteng ‘besar’ pada klausa
(4.33) dan adjektiva matenek ‘pandai’ pada klausa (4.34) dalam struktur
komparatif menempati posisi sebelum kata lau ‘lebih’.
Di samping dapat menyatakan tingkat perbandingan (komparatif),
adjektiva BKm juga dapat digunakan untuk menyatakan tingkat kualitas. Terdapat
satu leksikon yang digunakan untuk menyatakan tingkat kualitas adalah los
‘paling/sangat’. Adjektiva yang menyatakan tingkat kualitas dalam BKm terlihat
pada klausa di bawah ini.
(4.35) Au-ng
ali-ng
mrai los
1TG-Lig
adik-Lig
malas sangat
‘Adik saya paling/sangat malas’
(4.36) Ita-ng
uma boteng los
1JM-Lig
rumah besar sangat
‘Rumah kita paling/sangat besar’
Contoh klausa (4.35) dan (4.36) merupakan klausa intransitif yang
predikatnya ditempati oleh adjektiva. Adjektiva yang menempati posisi predikat
menunjukkan tingkat kualitas karena adjektiva tersebut hadir bersamaan dengan
leksikon los ‘sangat’ yang menyatakan tingkat kualitas. Leksikon los ‘sangat’
menempati posisi setelah adjektiva. Pada klausa (4.35) adjektiva mrai ‘malas’
berada sebelum leksikon los ‘sangat’ yang berfungsi menyatakan tingkat kualitas.
Hal yang sama juga dapat dilihat pada klausa (4.36).
4.4.1.3 Klausa Berpredikat Numeralia
Alwi (1997:273) menjelaskan bahwa numeralia atau dalam bahasa
Indonesia lebih umum disebut kata bilangan merupakan konstituen yang berfungsi
92
untuk menghitung banyaknya maujud (orang, binatang, dan barang) dan konsep.
Lebih jauh, numeralia merupakan konstituen yang menyatakan jumlah atas
pertanyaan “berapa?” dan “yang ke berapa’.
BKm memiliki sistem numeralia yang umum, seperti dimiliki oleh bahasabahasa lainnya. Numeralia BKm bersifat umum, seperti sea ‘satu’, hrua ‘dua’,
telu ‘tiga’, pat ‘empat’, hlima ‘lima’, hnem ‘enam’, hitu ‘tujuh’, balu ‘delapan’,
sibe ’sembilan’, sapuluh ‘sepuluh, sapuluh resing sia ‘sebelas’, sapuluh resing
rua ‘dua belas’, gulurua ‘dua puluh’, guluhlima ‘lima puluh’, atussia ‘seratus,
atussia guluhlima ‘seratus lima puluh’, ribunsia ‘seribu’, dan seterusnya.
Penggunaan numeralia tersebut dalam klausa yang menduduki posisi predikat
dapat dilihat pada contoh klausa di bawah ini.
(4.37) Au-ng
uma hrua
1TG-Lig
rumah dua
‘Rumah saya dua’
(4.38) Au-ng
ama-ng
1TG-Lig
Ayah-Lig
‘Sapi ayah saya lima’
brau timur
sapi
(4.39) Ita-ng
ana-ng
1JM-Lig
anak-Lig
‘Anak kita tiga’
telu
tiga
hlima
lima
Contoh klausa (4.37)—(4.39) merupakan klausa yang dibangun oleh
sebuah argumen inti dan sebuah predikat yang ditempati oleh numeralia. Struktur
klausa dengan predikat numeralia memperlihatkan bahwa posisi numeralia yang
menempati posisi predikat berada di sebalah kanan atau berada setelah S yang
merupakan satu-satunya argumen pada klausa intransitif. Pada klausa (4.37),
predikat rua ‘dua’ berada di sebelah kanan atau setelah argumen aung uma
93
‘rumah saya’. Demikian halnya dengan contoh klausa (4.38) dan klausa (4.39),
predikat lima ‘lima’ pada klausa (4.38) dan telu ‘tiga’ pada klausa (4.39) berada di
sebelah kanan argumen S aung amang brau timur ‘kerbau ayah saya’ dan itang
anang ‘anak kita’. Struktur klausa (str-k) dengan predikat yang ditempati oleh
numeralia dapat direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini.
K
FN1
N1-Lig
au-ng
‘rumah saya
FNum
N2
uma
Num
hrua
dua’
Diagram 4.3 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Numeralia
Di samping memiliki numeralia yang bersifat umum, BKm juga memiliki
sistem numeralia yang bersifat khusus. Sistem numeralia khusus BKm ini hanya
digunakan untuk satuan jumlah tertentu, seperti tahan sia ‘sepucuk, hatan sia
‘seekor’, huan sia ‘sebutir’, turan sia ‘sepotong’, dan hutun sia ‘seikat’.
Penggunaan sistem numeralia khusus BKm ini dapat dilihat pada contoh klausa
berikut ini.
(4.40) Oli
laka surat tahan sea
Oli/nama orang
kirim surat pucuk satu
‘Oli mengirim sepucuk surat’
(4.41) Au-ng
ina-ng
ala
uta
kanko
1TG-Lig
ibu-Lig
beli
sayur kangkung
‘Ibu saya membeli sayur kangkung dua ikat’
hutun hrua
ikat
dua
94
(4.42) Pius
ne
dosi turan sea
Pius/nama orang
beri roti
potong satu
‘Pius memberikan sepotong roti kepada dia’
de
Prep
ua
3TG
(4.43) Roma se’o manutelon
huan sapuluh
3JM jual
telur
butir sepuluh
‘Mereka menjual sepuluh butir telur’
Contoh klausa (4.40)—(4.43) merupakan klausa transitif yang di dalamnya
terkandung numeralia khusus BKm. Numeralia khusus BKm ini berfungsi untuk
menerangkan nomina sehingga membentuk sebuah frasa nominal, seperti surat
tahan sia ‘sepucuk surat’ pada klausa (4.40), uta kanko hutun hrua ‘sayur
kangkung dua ikat’ pada klausa (4.41), dosi turan sia ‘sepotong roti’ pada klausa
(4.42), dan manutelon huan sapuluh ‘sepuluh butir telur’ pada klausa (4.43).
Mengacu kepada fungsi gramatikal, numeralia khusus yang terdapat pada klausa
BKm tersebut menempati posisi sebagai objek. Berbeda dengan numeralia BKm
yang bersifat umum yang dapat menempati posisi sebagai predikat, numeralia
khusus BKm tidak dapat menempati posisi sebagai predikat.
4.4.1.4 Klausa Berpredikat Frasa Preposisional
Frasa preposisional terdiri atas preposisi yang diikuti oleh nominal atau
frasa nominal. Frasa preposisional dapat berfungsi sebagai argumen oblik,
modifier temporal dan lokasi, modifier dari FN, atau bahkan dapat berfungsi
sebagai predikat. Klausa berpredikat frasa preposisional adalah klausa yang
preikatnya ditempati oleh preposisi atau frasa preposisional. Klausa dengan
predikat yang ditempati oleh frasa preposisional BKm disajikan di bawah ini.
95
(4.44) Hine senua dase Kupang
Wanita DEF Prep Kupang
‘Wanita itu dari Kupang’
(4.45) Au-ng
ali-ng
hei
1TG-Lig
adik-Lig
Mod
‘Adik saya masih di sekolah’
(4.46) Busa
senua de
Kucing
DEF Prep
‘Kucing itu di rumah’
de
Prep
iskola
sekolah
uma
rumah
Contoh klausa (4.44) -- (4.46) merupakan klausa nonverbal BKm. Klausa
nonverbal (4.44) -- (4.46) di atas dibangun oleh sebuah argumen inti dan sebuah
predikat. Predikat klausa (4.44) -- (4.46) di atas ditempati oleh frasa preposisional,
yaitu dase Kupang ‘dari Kupang’ pada klausa (4.44), de isikola ‘di sekolah’ pada
klausa (4.45), dan de uma ‘di rumah’ pada klausa (4.46). Struktur klausa dengan
predikat frasa prepositional memperlihatkan bahwa posisi frasa preposisional
yang menempati posisi predikat berada di sebelah kanan atau berada setelah S
yang merupakan satu-satunya argumen pada klausa tersebut. Pada klausa (4.44),
predikat dase kupang ‘dari Kupang’ berada di sebelah kanan atau setelah argumen
hine senua ‘wanita itu’. Demikian halnya dengan contoh klausa (4.45) dan klausa
(4.46), predikat de iskola ‘di sekolah’ pada klausa (4.45) dan de uma ‘di rumah’
pada klausa (4.46) berada di sebelah kanan argumen S aung aling ‘adik saya’ ada
klausa (4.45) dan busa senua ‘kucing itu’ pada klausa (4.46). Diagram pohon
berikut merepresentasikan struktur klausa (str-k) dengan predikat yang ditempati
oleh frasa preposisional.
96
K
FN
N1
hine
‘wanita
FP
DEF
senua
itu
Prep
dase
dari
N2
Kupang
Kupang’
Diagram 4.4 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Frasa Preposisional
4.4.2 Klausa Verbal Bahasa Kemak
Verba merupakan kategori utama di samping kategori lain yang berfungsi
sebagai predikat atau inti sebuah klausa/kalimat dan memiliki makna inheren
aksi, proses, dan keadaan yang tidak bersifat kualitas. Terdapat dua parameter,
yaitu parameter semantis dan sintaksis yang dapat digunakan sebagai panduan
terkait dengan verba sebagai pengisi fungsi predikat klausa. Kedua parameter ini
diterapkan secara terpadu sehingga menghasilkan klasifikasi verba atau predikat
yang tidak dalam bentuk terpisah antara parameter semantis dan parameter
sintaksis.
Mengacu pada parameter semantis, verba merupakan kategori yang
mengacu pada makna aktivitas (aksi/tindakan dan proses) dan keadaan. Lebih
lanjut, verba dikaji dari aspek semantis menyangkut jumlah partisipan atau
argumen yang terlibat dalam suatu kejadian atau keadaan. Sebaliknya, secara
sintaksis verba merupakan kategori inti yang hadir dalam posisi predikat klausa.
Di samping itu, verba dilihat secara sintaksis menyangkut jumlah argumen inti
97
yang harus hadir dalam sebuah klausa. Berdasarkan distribusi sintaksisnya, verba
merupakan inti dari frasa verba (FV) yang juga sekaligus sebagai konstituen inti
dari sebuah klausa. Verba juga memiliki fungsi untuk menentukan wajib atau
tidaknya kehadiran partisipan atau argumen dalam sebuah klausa.
Verba memiliki ciri sintaksis sebagai predikat yang melibatkan kehadiran
sejumlah argumen dalam fungsinya untuk membentuk klausa. Berdasarkan jumlah
argumen yang terdapat dalam sebuah klausa/kalimat, verba dapat dibedakan atas
verba intransitif, verba ekatransitif, dan verba dwitransitif. Ketiga jenis verba
tersebut menghasilkan konstruksi intransitif, konstruksi ekatransitif, dan
konstruksi dwitransitif. Pembahasan yang lebih terperinci mengenai ketiga jenis
klausa verbal (intransitif, ekatransitif, dan dwitransitif) tersebut adalah berikut ini.
4.4.2.1 Klausa Intransitif
Berdasarkan kategori utama pengisi fungsi predikat klausa, verba dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu verba intransitif dan verba transitif. Seperti
telah diuraikan sebelumnya, terdapat dua parameter yang digunakan untuk
menentukan klasifikasi verba. Kedua parameter tersebut adalah parameter
semantis dan parameter sintaksis. Mengacu pada parameter semantis, kehadiran
verba berperan untuk menentukan jumlah partisipan yang wajib hadir dalam suatu
peristiwa atau kejadian. Sementara, secara sintaksis verba berperan untuk
menentukan jumlah argumen inti yang wajib hadir dalam sebuah konstruksi
klausa. Dengan demikian, predikat intransitif merupakan verba yang hanya
98
membutuhkan satu argumen inti, sedangkan predikat transitif membutuhkan dua
argumen inti atau lebih.
Verba intransitif atau klausa intransitif dalam tulisan ini mengacu pada hal
yang sama karena keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Penggunaan istilah verba intransitif atau predikat intransitif memiliki makna yang
sama. Baik verba maupun predikat intransitif membutuhkan satu argumen inti saja
dalam sebuah konstruksi klausa. Dilihat dari sifat semantisnya, verba intransitif
yang mengisi predikat klausa intransitif dapat dibedakan atas verba pengalam dan
verba penindak. Verba pengalam merupakan verba yang memiliki makna
pengalam dan verba penindak merupakan verba yang memiliki makna tindakan.
Peran semantik yang dimiliki satu-satunya argumen inti pada klausa intransitif
berpredikat verba pengalam adalah pengalam (experiencer), sedangkan satusatunya argumen inti pada klausa berpredikat verba tindakan adalah pelaku atau
agen. Jika mengacu pada fungsi gramatikal, satu-satunya argumen yang terdapat
pada klausa intransitif menduduki fungsi sebagai subjek (Artawa, 1998: 13; Arka,
1998: 17). Terkait dengan itu, klausa intransitif BKm dapat dilihat pada contoh
berikut ini.
(4.47) Au
plai
1TG lari
‘Saya lari’
(4.48) Ua
huri
3TG tari
‘Dia menari’
(4.49) Roma la
de
iskola
3JM pergi Prep sekolah
‘Mereka pergi ke sekolah’
99
(4.50) Hine senua mnahu
Wanita DEF jatuh
‘Wanita itu jatuh’
(4.51) Ami slaing
2JM lapar
‘Kamu lapar’
Contoh klausa (4.47)—(4.51) di atas merupakan klausa intransitif yang
predikatnya diisi oleh verba intransitif. Verba yang mengisi predikat klausa
intransitif tersebut, yaitu verba plai ‘lari’ pada klausa (4.47), verba huri ‘tari’ pada
klausa (4.48), la ‘pergi’ pada klausa (4.49), mnahu ‘jatuh’ pada klausa (4.50), dan
slaing ‘lapar’ pada klausa (4.51). Berdasarkan contoh-contoh klausa (4.47) sampai
dengan (4.51)
di atas ditemukan juga satu-satunya argumen inti yang secara
fungsional berfungsi sebagai subjek. Argumen inti pada contoh-contoh klausa di
atas adalah au ‘saya’ merupakan argumen inti pada klausa (4.47), ua ‘dia’
merupakan argumen inti klausa (4.48), roma ‘mereka’ merupakan argumen inti
klausa (4.49), hine senua ‘wanita itu’ merupakan argumen inti klausa (4.50), dan
ami ‘kamu’ merupakan argumen inti klausa (4.51).
Secara struktural, verba pada klausa-klausa (4.47)—(4.51) menempati
posisi di sebelah kanan argumen inti atau di belakang argumen inti. Dengan
demikian, posisi argumen inti adalah praverbal atau berada sebelum verba
(predikat) atau argumen inti mendahului verba (predikat). Contoh klausa (4.47)—
(4.51) di atas menunjukkan bahwa secara tipologis tata urutan konstituen klausa
intransitif BKm adalah SV (subjek+verbal). Struktur klausa (str-k) verba intranstif
BKm direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini.
100
K
FN
roma
‘mereka
FV
V
FP
la
pergi
de isikola
ke sekolah
Diagram 4.5 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Verba Intransitif
4.4.2.2 Klausa Ekatransitif
Berbeda dengan klausa intransitif yang predikatnya membutuhkan satu
argumen inti, klausa ekatransitif merupakan klausa yang predikatnya (verbanya)
membutuhkan dua argumen inti. Berdasarkan data, BKm memiliki klausa
ekatransitif yang predikatnya (verbanya) mewajibkan kehadiran dua argumen inti.
Secara makro kedua argumen inti tersebut bisa disebut sebagai aktor dan
undergoer (Foley dan Van Valin, 1984) atau proto agen dan proto pasien (Dowty,
1991). Konstruksi klausa ekatransitif BKm terlihat pada contoh klausa di bawah
ini.
(4.52) Au
tutu ua
1TG pukul 3TG
‘Saya memukul dia’
(4.53) Mane
senua
unu
hine senua
Laki-laki
DEF
tikam wanita DEF
‘Laki-laki itu menikam wanita itu’
101
(4.54) Ua
li’u
asu
senua
3TG kejar anjing DEF
‘Dia mengejar anjing itu’
(4.55) Bili
me’u hine senua
Bili
cium wanita DEF
‘Bili mencium wanita itu’
(4.56) Au
ala
baru de
basar
1TG beli
baju Prep pasar
‘Saya membeli baju di pasar’
Contoh klausa (4.52)—(4.56) di atas merupakan klausa transitif yang
predikatnya diisi oleh verba transitif. Verba yang mengisi predikat klausa transitif
tersebut, yaitu tutu ‘pukul’ pada klausa (4.52), unu ‘tikam’ pada klausa (4.53), liu
‘kejar’ pada klausa (4.54), me’u ‘cium’ pada klausa (4.55), dan ala ‘beli’ pada
klausa (4.56). Verba-verba tersebut mewajibkan kehadiran dua argumen inti
dalam konstruksi klausa tersebut. Pada klausa (4.52), terdapat dua argumen inti
yang hadir, yaitu au ‘saya’ dan ua ‘dia’; pada klausa (4.53) terdapat dua argumen
inti yang hadir, yaitu mane senua ‘laki-laki itu’ dan hine senua ‘wanita itu’; pada
klausa (4.54) terdapat dua argumen inti yang hadir, yaitu ua ‘dia’ dan asu senua
‘anjing itu’, pada klausa (4.55) terdapat dua argumen inti yang hadir, yaitu Bili
(nama orang) dan hine senua ’wanita itu’, dan pada klausa (4.56) terdapat dua
argumen inti yang hadir, yaitu au ‘saya’ dan baru ‘baju’. Struktur klausa (str-k)
dengan verba ekatransitif BKm direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini.
102
K
FN1
au
‘saya
FV
V
FN2
tutu
pukul
ua
dia’
Diagram 4.6 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Verba Ekatransitif
Secara struktural, verba yang terdapat pada klausa transitif di atas
menempati posisi di antara kedua argumen inti. Klausa 4.52)—(4.56) di atas
menunjukkan bahwa terdapat dua arguemn inti yang secara fungsional berfungsi
sebagai subjek dan objek. Argumen inti yang menduduki posisi praverbal atau
sebelum verba secara fungsional merupakan subjek klausa transitif dan argumen
inti yang menduduki posisi posverbal secara fungsional berfungsi sebagai objek
dari klausa transitif. Argumen inti au ‘saya’ pada klausa (4.52), mane senua ‘lakilaki itu’ pada klausa (3.53), ua ‘dia’ pada klausa (4.54), Bili pada klausa (4.55),
dan au ‘saya’ pada klausa (4.56) berfungsi sebagai subjek. Sementara itu,
argumen inti ua ‘dia’ pada klausa (4.52), hine senua ‘wanita itu’ pada klausa
(4.53), asu senua ‘anjing itu’ pada klausa (4.54), hine senua ‘wanita itu’ pada
klausa (4.59), dan baru ‘baju’ pada klausa (4.56) berfungsi sebagai objek.
103
4.4.2.3 Klausa Dwitransitif
Selain klausa ekatransitif yang verbanya mewajibkan kehadiran dua
argumen inti dalam sebuah konstruksi, BKm juga memiliki konstruksi klausa
yang verbanya menghadirkan tiga argumen inti atau disebut klausa dwitransitif.
Dixon (2010:116--117) tidak menggunakan istilah klausa dwitransitif untuk
konstruksi klausa yang memiliki lebih dari dua argumen inti. Dixon menggunakan
istilah extended transitive untuk klausa dwitransitif. Konstruksi klausa dwitransitif
BKm yang menghadirkan tiga argumen inti terlihat pada contoh klausa berikut ini.
(4.57) Au
ala
podi ua
baru
1TG beli
APL 3TG baju
‘Saya membelikan dia baju’
(4.58) Ua
lodi podi au
buku
3SG bawa APL 1TG buku
‘Dia membawakan saya buku’
(4.59) Atmas senua ne
podi ua
Orang DEF beri APL 3SG
‘Orang itu memberikan dia uang’
osa
uang
(4.60) Ua
tau
podi au-ng
3SG buat APL 1TG-Lig
‘Dia membuatkan ayah saya kopi’
ama-ng
ayah-Lig
kopi
kopi
Contoh klausa (4.57)—(4.60) di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga
argumen inti yang hadir pada setiap klausa di atas. Argumen inti setiap klausa di
atas adalah au ‘saya’, ua ‘dia’, dan baru ‘baju’ pada klausa (4.57), ua ‘dia’, au
‘saya’, dan buku ‘buku’ pada klausa (4.58), atmas senua ‘orang itu’, ua ‘dia’, dan
osa ‘uang’ pada klausa (4.59), dan ua ‘dia’, aung amng ‘ayah saya’, dan kopi
104
‘kopi’ pada klausa (4.60). Struktur klausa (str-k) dengan verba dwitransitif BKm
direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini.
K
FN1
au
‘saya
FV
V+APL
FN2
FN3
ala+podi
membelikan
ua
dia
baru
baju’
Diagram 4.7 Struktur Klausa BKm dengan Predikat Verba Dwitransitif
Lebih lanjut, contoh klausa (4.57)—(4.60) di atas menunjukkan bahwa
BKm memiliki konstruksi klausa yang verbanya menghadirkan lebih dari dua
argumen inti. Contoh klausa di atas juga mengungkapkan bahwa BKm tidak
memiliki pemarkah morfologis yang melekat pada verba yang berfungsi untuk
meningkatkan kehadiran argumen inti dalam sebuah klausa. Contoh klausa di atas
memberikan gambaran yang jelas bahwa untuk meningkatkan kehadiran argumen
dalam sebuah klausa, BKm memiliki permarkah aplikatif podi yang berfungsi
meningkatkan jumlah argumen yang hadir dalam sebuah klausa dan secara
morfologis pemarkah tersebut tidak melekat pada verba, tetapi hadir secara
mandiri setelah verba. Pemarkah aplikatif podi hadir dalam posisi posverbal atau
hadir setelah verba pada klausa dwitransitif BKm. Contoh klausa (4.57)—(4.60)
di atas memiliki struktur alternasi, seperti terlihat pada klausa di bawah ini.
105
(4.61) Au
ala
baru odi
ua
1TG beli
baju Prep baju
‘Saya membeli baju untuk dia’
(4.62) Ua
lodi buku odi
au
3SG bawa nuku Prep 1TG
‘Dia membawa buku untuk saya’
(4.63) Atmas senua ne
osa
odi
ua
Orang DEF beri uang Prep 3S
‘Orang itu memberi uang untuk dia’
(4.64) Ua
tau
kopi odi
au-ng
3TG buat kopi Prep 1TG-Lig
‘Dia membuat kopi untuk ayah saya’
ama-ng
ayah-Lig
Contoh klausa (4.61)--(4.64) di atas merupakan klausa transitif yang
predikatnya ditempati oleh verba yang menghadirkan dua argumen inti. Argumen
inti setiap klausa di atas, yaitu au ‘saya’ dan baru ‘baju’ pada klausa (4.61), ua
‘dia’ dan buku ‘buku’ pada klausa (4.62), atmas senua ‘orang itu’ dan osa ‘uang’
pada klausa (4.63), dan ua ‘dia’ dan kopi ‘kopi’ pada klausa (4.64). Berbeda
dengan contoh klausa (4.57)--(4.60) yang memiliki tiga argumen inti, klausa
(4.61)--(4.64) hanya memiliki dua argumen inti. Satu argumen inti yang terdapat
pada klausa (4.57)--(4.60) mengalami perubahan fungsi gramatikal yang
sebelumnya sebagai objek, yaitu ua ‘dia’ pada klausa (4.57), au ‘saya’ pada
klausa (4.58), ua ‘dia’ pada klausa (4.59), dan aung amang ‘ayah saya’ pada
klausa (4.60) berubah menjadi oblik yang ditandai dengan hadirnya preposisi odi
‘untuk’ pada klausa (4.61)--(4.64).
Jika dibandingkan contoh klausa (4.57)--(4.60) dengan contoh klausa
(4.61) - (4.64), terdapat perbedaan karena klausa (4.57)--(4.60) merupakan klausa
106
dwitransitif (extended transitive) yang memiliki lebih dari dua argumen inti (tiga
argumen inti); sedangkan klausa (4.61)--(4.64) merupakan klausa transitif yang
memiliki hanya dua argumen inti yang merupakan alternasi struktur klausa (4.57)(4.60). Alternasi struktur klausa (4.57)--(4.60) menjadi struktur klausa (4.61)(4.64) mengakibatkan pemarkah aplikatif podi menjadi hilang pada contoh klausa
(4.61)--(4.64). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemarkah aplikatif
podi pada struktur klausa digunakan untuk meningkatkan jumlah argumen inti
dari verba berargumen inti dua menjadi verba berargumen inti tiga. Alternasi
struktur klausa (str-k) dari predikat dwitransitif menjadi predikat ekatransitif
direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini.
K
FN1
FV
V
FN2
FPrep
Prep
au
‘saya
ala
membeli
baru
baju
FN3
odi
ua
untuk dia
Diagram 4.8 Alternasi Struktur Klausa Dwitransitif Menjadi Klausa Ekatransitif
107
4.4.3 Klausa Eksistensial Bahasa Kemak
Seperti telah diuraikan di atas, BKm memiliki klausa berpredikat verbal
dan nonverbal. Di samping memiliki klausa berpredikat verbal dan nonverbal,
BKm juga memuliki klausa eksistensial. Klausa eksistensial merupakan klausa
yang menyatakan kehadiran atau keberadaan sebuah entitas. Di samping
menyatakan keberadaan dan kehadiran sebuah entitas, klausa eksistensial juga
berfungsi untuk menyatakan kepemilikan. Banyak bahasa membentuk klausa
eksistensial tanpa kehadiran pemarkah khusus. Contohnya, klausa eksistensial
bahasa Inggris yang menyatakan keberadaan atau kehadiran dibentuk dengan
kehadiran verba kopula (be) (Milsark, G. L., 1979; Comrie, 1981: 212--218)
Klausa eksistensial BKm dibentuk dengan kehadiran leksikal dia ‘ada’.
Berikut ini disajikan klausa eksistensial BKm.
(4.65) a. Ua dia
de
basar
3TG ada
Prep pasar
‘Dia berada di pasar’
b. Au-ng
ali-ng
dia
1TG-Lig adik-Lig
ada
‘Adik saya berada di sekolah’
de
Prep
isikola
sekolah
c. Ama
no
ina
dia
Ayah
dan
ibu
ada
‘Ayah dan ibu berada di rumah’
de
Prep
uma
rumah
(4.66) a. Au dia
osa
1TG`ada uang
‘Saya punya uang’
b. Au-ng
ama-ng
dia
ITG-Lig
ayah-Lig
ada
‘Ayah saya punya dua sapi’
brau hlima
sapi dua
108
c. Garang
ilat dia
uma hrua
Kepala
Desa ada
rumah dua
‘Kepala Desa punya dua rumah’
Klausa (4.65) dan (4.66) merupakan klausa eksistensial BKm. Klausa
(3.65a—c) merupakan klausa eksistensial yang menyatakan keberadaan atau
kehadiran argumen subjek ua ‘dia’ (klausa 4.65a), aung aling ‘adik saya’ (klausa
4.65b), dan ama ‘ayah’ (klausa 4.65c). Sementara, klausa (4.66a—c) merupakan
klausa eksistensial yang menyatakan kepemilikan. Khusus untuk klausa
eksitensial (4.65a--c) yang menyatakan kehadiran atau keberadaan, kehadiran
leksikal dia ’ada’ bersifat manasuka, artinya bisa hadir juga bisa tidak. Jika
leksikal dia ‘ada’ dihilangkan, maka makna kalimat tidak berubah. Namun,
konstruksi tersebut berubah menjadi konstruksi klausa dengan predikat adverbial
(frasa preposisional).
4.6 Tata Urutan Kata Bahasa Kemak
Bagian sebelumnya telah menguraikan struktur klausa BKm yang meliputi
klausa verbal, klausa nonverbal, dan klausa eksistensial. Bagian ini membahas tata
urutan kata (word order) BKm. Pembahasan tentang tata urutan kata BKm
mengacu pada pendapat yang dikemukakan Mallinson dan Blake (1981:121--124)
yang mengungkapkan bahwa bahasa-bahasa di dunia
mempunyai konstruksi
subjek-predikat sebagai dasar klausa/kalimat. Di samping mempunyai konstruksi
subjek-predikat sebagai dasar klausa/kalimat, keberadaan objek dalam sebuah
konstruksi klausa/kalimat dasar menjadi sangat penting terkait dengan sifatperilaku verba yang menempati posisi predikat. Dalam hal ini, pengertian tata
109
urutan kata BKm merujuk kepada tata urutan dasar, yaitu urutan yang terdapat
pada klausa netral. Pembahasan tata urutan kata ini bertujuan untuk mencermati
tata urutan subjek (S), verba (V), dan objek (0) yang memiliki sifat perilaku
gramatikal.
Pendapat yang dikemukakan oleh Malinnson dan Blake (1981:121--124)
ini mengacu kepada pendapat yang dikemukakan oleh Greenberg (1963), Pullum
(1977), dan Steele (1978). Pada awalnya Greenberg (1963b: 73) mengungkapkan
bahwa terdapat tiga tipe bahasa berdasarkan tata urutan kata, yaitu SOV, VSO,
dan SVO. Pendapat yang dikemukakan oleh Greenberg (1963) kemudian
direduksi oleh Song (2001) menjadi dua tipologi dasar, yaitu OV yang direduksi
dari SOV dan VO yang direduksi dari tipe VSO dan SVO. Lebih jauh, Song
(2001:49) menyatakan bahwa penentuan tata urutan dasar (basic word order) pada
umumnya memakai tiga konstituen utama pada level klausa, yaitu S, O, dan V.
Ketiga konstituen tersebut (S, O, dan V) memiliki enam permutasian logis, yaitu
SOV, SVO, VSO, VOS, OVS, dan OSV. Keenam tipe permutasian tersebut
masing-masing telah terbukti keberadaan dan kebenarannya dalam bahasa-bahasa
di dunia (Song, 2001: 49).
Hal senada juga diungkapkan oleh Dalrymple (2001). Dia mengungkapkan
bahwa penentuan tipologi tata urutan kata berkaitan erat dengan hubungan
predikat sebagai konstituen inti (head clause) dengan argumen-argumen inti (core
argument) yang terdapat dalam sebuah klausa. Secara umum A (agen) dan P
(pasien) merupakan argumen inti yang secara sintaksis dan secara gramatikal
adalah sebagai SUBJ (subjek) dan OBJ (objek).
110
Seperti telah diungkapkan di bagian awal bahwa BKm memiliki tata
urutan kata/pola kanonis SVO atau agen – verba – pasien. Contoh berikut
merupakan klausa BKm yang menggambarkan tata urutan kata atau pola kanonis
SVO.
(4.67) a.
Au
tutu ua
1TG pukul 3TG
‘Saya memukul dia’
b.
Atmas senua betu
au-ng
Orang DEF tendang
1TG-Lig
‘Orang itu menendang anjing saya’
c.
Ama lodi buku odi
ali
Ayah bawa buku Prep adik
‘Ayah membawakan buku untuk adik
asu
anjing
Contoh klausa (4.67a--c) menunjukkan bahwa tata urutan klausa dasar
BKm memiliki tata urutan kata agen-verba-pasien. Konstruksi agen-verba-pasien
merupakan konstruksi yang paling produktif dalam BKm. Hal ini didukung bukti
kehadiran konstruksi tersebut yang sangat dominan digunakan dalam percakapan
sehari-hari oleh penutur BKm itu sendiri. Dengan demikian, konstruksi agenverba-pasien ini dapat disimpulkan sebagai tata urutan kanonik dan secara
pragmatis tanpa kehadiran pemarkah.
Tata urutan kata pada klausa (4.67a--c) dapat dicermati lebih jauh
berdasarkan fungsi gramatikal terhadap konstituen yang membentuk klausa
tersebut. Agen pada konstruksi kanonis tersebut menduduki fungsi subjek.
Argumen inti pada tata urutan kata/pola kanonis klausa (4.67a--c) secara semantis
adalah agen yang dipetakan ke dalam fungsi tertinggi SUBJ (subjek gramatikal).
111
Dengan demikian, secara sintaksis tata urutan kanonis tersebut merupakan
struktur diatesis agentif. Makna yang terkandung dalam klausa (4.67a) au tutu ua
‘saya memukul dia’ tidak dapat ditafsirkan menjadi ‘dia membunuh saya’ dan
dalam klausa (4.67b) atmas senua betu aung asu ‘orang itu menendang anjing
saya’ tidak dapat ditafsirkan menjadi anjing saya menendang orang itu’. Demikian
pula makna pada klausa (4.67c). Hal ini dapat dijelaskan melalui tata urutan
argumen karena argumen praverba pada konstruksi kanonik adalah agen,
sementara argumen posverba adalah pasien. Dengan demikian, kemungkinan
makna yang ambigu pada sebuah konstruksi klausa tidak terjadi.
Selain memiliki tata urutan kata/pola kanonis SVO, BKm juga memiliki
struktur turunan, yaitu struktur pemfokusan dan struktur pasif.
Berikut ini
disajikan contoh klausa yang memiliki struktur pemfokusan dan struktur pasif.
(4.68) a. Ua te
au
3TG FOK 1TG
‘Dia saya pukul’
tutu
pukul
b. Au-ng
asu
te
atmas senua betu
1TG-Lig anjing FOK orang DEF tendang
‘Anjing saya orang itu tendang’
(4.69) a. Ua toma
tutu dase
3TG PAS-dapat pukul Prep
‘Dia dipukul oleh saya’
au
1TG
b. Au-ng
asu
toma
betu
dase atmas senua
1TG-Lig anjing PAS-dapat
tendang Prep orang DEF
‘Anjing saya ditendang oleh orang itu’
Klausa (4.68a) dan (4.68b) merupakan klausa dengan konstruksi
pemfokusan. Pasien pada tata urutan kanonis difokuskan dengan pemarkah fokus
112
te sehingga pasien menempati posisi subjek atau pasien mengawali klausa.
Sementara, konstruksi (4.69a) dan (4.69b) merupakan konstruksi pasif dalam
BKm. Konstruksi tersebut dapat dikategoriksn sebagai konstruksi pasif. BKm
tidak memiliki konstruksi pasif secara morfologis karena BKm tidak mempunyai
proses morfologis. BKm tidak memiliki afiks yang dapat dilekatkan pada verba
yang berfungsi mengubah konstruksi klausa/kalimat dari aktif menjadi pasif.
Namun, BKm memiliki konstruksi tersendiri yang dapat dikategorikan sebagai
konstruksi pasif seperti yang terlihat pada kluasa (4.69a) dan (4.69b). BKm
memiliki cara tersendiri untuk membentuk konstruksi pasif karena ketiadaan
afiks.
Konstruksi pasif (4.69a) dan (4.69b) merupakan konstruksi pasif analitik
yang ditandai dengan kehadiran pemarkah toma ‘dapat’ yang menempati posisi
sebelum verba. Selain hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ sebagai penanda
konstruksi pasif, konstruksi pasif BKm juga dapat diidentifikasi dengan
berpindahnya subjek yang menjadi adjung yang dimarkahi oleh preposisi. Cara
lain untuk membuktikan bahwa konstruksi (4.69a) dan (4.69b) merupakan
konstruksi pasif adalah dengan kehadiran adverbia pada konstruksi tersebut.
Apabila konstruksi tersebut dapat hadir dengan adverbial yang berfungsi untuk
menerangkan verba, konstruksi tersebut dapat dikategorikan sebagai konstruksi
pasif. Hasil pengujian dengan penempatan adverbial pada konstruksi (4.69a) dan
(4.69b) menunjukkan bahwa konstruksi tersebut merupakan konstruksi pasif.
Pengujian dengan menempatkan adverbial pada konstruksi tersebut tersaji pada
klausa (4.70a) dan (4.70b) berikut ini.
113
(4.70) a. Ua toma tutu no
milang dase
3TG dapat pukul Prep cepat Prep
‘Dia dipukul dengan cepat oleh saya’
au
1TG
b. Au-ng
asu
toma betu
no
maka’as dase atmas senua
1TG-Lig anjing dapat tendang Prep keras
Prep orang DEF
‘Anjing saya ditendang dengan keras oleh orang itu‘
Telaah tata urutan kata BKm ini dimaksudkan untuk mencermati tata
urutan subjek, verba, dan objek yang memiliki sifat-perilaku gramatikal. Tata
urutan kata tersebut ditelaah berdasarkan konstruksi kalimat deklaratif, interogatif,
imperatif, dan negatif. Penjelasan yang lebih terperinci setiap konstruksi tersebut
diuraikan berikut ini.
4.6.1 Kalimat Deklaratif
Kalimat
deklaratif
adalah
tipe
kalimat
yang
digunakan
untuk
memberitahukan atau menyatakan sesuatu kepada pihak lain. Pembahasan
mengenai tata urutan kata kalimat deklaratif mencakup (i) tata urutan kata pada
klausa intransitif, (ii) tata urutan kata pada klausa ekatransitif (klausa berargumen
2), (iii) tata urutan kata pada klausa dwitransitif (extended transitive clause)
(klausa berargumen 3 atau lebih). Berikut ini disajikan contoh tata urutan kata
BKm secara gramatikal.
(i) Klausa Intransitif
(4.71) Au
hnoring
de
1TG ajar
Prep
‘Saya mengajar di sekolah’
iskola
sekolah
114
(4.72) Ua
mnahu dase etu
3TG jatuh Prep pohon
‘Dia jatuh dari pohon’
(4.73) Au-ng
ama-ng
a
de
1TG-Lig
ayah-Lig
makan Prep
‘Ayah saya makan di dapur’
dapur
dapur
Contoh klausa (4.71)--(4.73) merupakan kalimat deklaratif dalam BKm.
Lebih jauh, contoh (4.71) merupakan kalimat intransitif karena dalam konstruksi
tersebut terdapat satu-satunya argumen yang berfungsi sebagai agen dan sekaligus
juga berfungsi sebagai subjek gramatikal. Lebih lanjut, klausa (4.71)--(4.73) di
atas masing-masing terdiri atas sebuah predikat dan sebuah argumen inti yang
secara gramatikal/sintaksis berfungsi sebagai SUBJ (subjek). Klausa (4.71)-(4.73)
di atas menunjukkan fungsi gramatikal SUBJ yang hadir pada posisi
praverbal atau berada di posisi sebelah kiri predikat yang ditempati oleh verba.
SUBJ au ‘saya’ pada klausa (4.71) hadir di posisi sebelah kiri atau praverbal yang
ditempati verba hnoring ‘ajar’. Hal yang sama juga terjadi pada SUBJ ua ‘dia’
pada klausa (4.72) dan aung amang ‘ayah saya’ pada klausa (4.73) yang hadir di
posisi sebelah kiri atau praverbal yang ditempati oleh verba mnahu ‘jatuh’ pada
klausa (4.72) dan ha ‘makan’ pada klausa (4.73).
Klausa (4.71)--(4.73) memberikan gambaran bahwa dalam pola kanonis,
klausa intransitif BKm memiliki tata urutan kata atau konstituen SV (subjek
mendahului verba atau predikat).
115
(ii) Klausa Ekatransitif
(4.74) Au
tutu mane
senua
1TG pukul laki-laki
DEF
‘Saya memukul laki-laki itu’
(4.75) Au-ng
ali-ng
betu
1TG-Lig
adik-Lig
tendang
‘Adik saya menendang dia’
ua
3TG
Contoh (4.74) dan (4.75) merupakan kalimat ekatransitif. Terdapat dua
argumen yang hadir pada konstruksi tersebut yang berfungsi sebagai A (agen) dan
P (pasien) dan secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan objek. Klausa
(4.74) dan (4.75) di atas masing-masing terdiri atas sebuah predikat dan dua
argumen inti yang secara gramatikal/sintaksis berfungsi sebagai SUBJ dan OBJ.
Klausa (4.74) dan (4.75) di atas menunjukkan fungsi gramatikal SUBJ yang
hadir pada posisi praverbal atau berada di posisi sebelah kiri predikat yang
ditempati oleh verba yang merupakan inti klausa (head clause) dan posisi OBJ
yang hadir pada posisi posverbal atau setelah verba. SUBJ au ‘saya’ pada klausa
(4.74) hadir di posisi sebelah kiri atau praverbal yang ditempati oleh verba tutu
‘pukul’, sedangkan OBJ mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (4.74) hadir di
posisi sebelah kanan atau posverbal. Hal serupa juga dapat dilihat pada klausa
(4.75). SUBJ aung aling ‘adik saya’ menempati posisi praverbal dan OBJ ua ‘dia’
menempati posisi posverbal.
(iii) Klausa Dwitransitif (Extended Transitive)
(4.76) Au
ala
podi ua
houn
1TG beli
APL 3TG buah
‘Saya membelikan dia buah’
116
(4.77) Atmas senua lodi podi au
sele
Orang DEF bawa APL 1TG jagung
‘Orang itu membawakan saya jagung’
Contoh klausa (4.76 dan (4.77) merupakan klausa dengan predikat yang
ditempati oleh verba dwitransitif. Verba ala ‘beli’ dan lodi ‘bawa’ yang terdapat
dalam konstruksi tersebut mewajibkan kehadiran tiga argumen, yaitu au ‘saya’, ua
‘dia’, dan houn ‘buah’ pada klausa (4.76) dan atmas senua ‘orang itu’, au ‘saya’,
dan sele ‘jagung’ pada klausa (4.77).
Tata urutan kata atau konstituen klausa (4.76) dan (4.77) di atas
menunjukkan bahwa argumen au ‘saya dan atmas senua ‘orang itu’ secara
sintaksis berfungsi sebagai SUBJ berada di sebelah kiri atau sebelum verba
dwitransitif ala ‘beli’ dan odi ‘bawa’. Sebaliknya, argumen ua ’dia’ dan houn
‘buah’ pada klausa (4.76) secara sintaksis berfungsi sebagai OBJ1 dan OBJ2
berada di posisi sebelah kanan verba dwitransitif ala ‘beli’. Secara semantis
argumen ua ‘dia’ berfungsi sebagai Ben (benefactive) dan houn ‘buah’ berfungsi
sebagai Tm (tema) pada klausa (4.76). Pada klausa (4.77), secara semantis
argumen au ‘saya’ berfungsi sebagai Ben (benefactive) dan sele ‘jagung’
berfungsi sebagai Tm (tema). Klausa (4.76) dan (4.77) yang memiliki tata urutan
konstituen SVO atau A-PRED-Ben-Tm dapat beralternasi dengan tata urutan kata
atau konstituen A-PRED-Tm-Ben, seperti yang tergambar pada klausa berikut ini.
(4.78) Au
ala
houn odi
ua
1TG beli
buah Prep 3TG
‘Saya membelikan buah untuk dia’
(4.79) Atmas senua lodi sele odi
au
Orang DEF bawa jagung Prep 1TG
‘Orang itu membawakan jagung untuk saya’
117
4.6.2 Kalimat Interogatif
Kalimat interogatif adalah kalimat yang mengandung unsur pertanyaan
atau menghendaki suatu jawaban atau penjelasan. Terdapat dua jenis kalimat
interogatif, yaitu kalimat interogatif total dan kalimat interogatif sebagian.
Kalimat interogatif total merupakan kalimat interogatif yang membutuhkan
jawaban ya atau tidak, sedangkan kalimat interogatif sebagian merupakan kalimat
yang membutuhkan jawaban menyangkut bagian tertentu yang ditanyakan.
(4.80) O
a
anan?
2TG makan nasi
‘Engkau makan nasi?’
(4.81) Ina
la
de
basar?
Ibu
pergi Prep pasar
‘Ibu pergi ke pasar?’
(4.82) Ama tutu sapasia?
Ayah pukul apa
‘Ayah pukul apa?
(4.83) O
a
sapasia?
2TG makan apa
‘Engkau makan apa?’
Contoh klausa (4.80) dan (4.81) merupakan bentuk kalimat interogatif
total yang membutuhkan jawaban ya atau tidak. Sementara itu, contoh klausa
(4.82) dan (4.83) merupakan bentuk kalimat interogatif sebagian karena kalimat
interogatif tersebut hanya membutuhkan jawaban yang menyangkut bagian
tertentu dari pertanyaan tersebut. Berdasarkan tata urutan kata atau konstituen,
kalimat interogatif memiliki tata urutan kata atau konstituen yang sama dengan
kalimat interogatif. Perbedaannya terletak pada intonasi kalimat ketika diucapkan.
118
Kalimat interogatif sebagian juga dapat dibedakan menjadi kalimat
interogatif sebagian yang menanyakan subjek dan kalimat interogatif sebagian
yang menanyakan objek. Kedua bentuk kalimat interogatif tersebut tersaji pada
contoh berikut ini.
(4.84) Basia (te)
a
etu
Siapa (FOK) makan nasi
‘Siapa makan nasi itu?’
senua?
DEF
(4.85) Sapasia
(te)
a
etu
Apa
(FOK) makan nasi
‘Apa makan nasi itu?’
(4.86) Sapasia
(te)
o
Apa
(FOK) 2TG
‘Apa engkau makan?’
senua?
DEF
a?
makan
(4.87) Basia (te)
o
eto?
Siapa (FOK) 2TG| lihat
‘Siapa engkau lihat?
Klausa (4.84) dan (4.85) merupakan bentuk kalimat interogatif yang
menanyakan subjek (yang menjadi jawaban informatif adalah subjek). Klausa
(4.86) dan (4.87) merupakan bentuk kalimat interogatif yang menanyakan objek
(yang menjadi jawaban informatif adalah subjek). Basia ‘siapa’ merupakan kata
tanya yang digunakan untuk menanyakan subjek yang bersifat insani atau orang,
sedangkan sapasia ‘apa’ digunakan untuk menanyakan subjek yang noninsani
atau selain orang. Kalimat interogatif (4.84) dan (4.85) di atas menunjukkan
bahwa tata urutan kata atau konstituennya adalah S/A-V. Tata urutan kata atau
konstituen S/A-V tersebut merupakan konstruksi yang paling umum digunakan
oleh penutur BKm yang berfungsi untuk menanyakan subjek/agen. Dalam
119
konstruksi (4.84) dan (4.85) di atas, terdapat pemarkah te yang berfungsi sebagai
pemarkah fokus yang ditempatkan setelah kata tanya basia ‘siapa’ dan sapasia
‘apa’ yang berfungsi memberikan aspek pragmatis dan secara gramatikal opsional
atau tidak wajib hadir dalam sebuah konstruksi kalimat interogatif.
Klausa (4.86) dan (4.87) di atas merupakan kalimat interogatif yang
berfungsi untuk menanyakan objek/undergoer. Klausa (4.86) dan (4.87) memiliki
tata urutan kata atau konstituen OSV (P-A-V). Dalam konstruksi (4.86) dan (4.87)
di atas, terdapat pemarkah te yang berfungsi sebagai pemarkah fokus yang
ditempatkan setelah kata tanya basia ‘siapa’ dan sapasia ‘apa’ pada konstruksi
kalimat interogatif tersebut. Dalam konstruksi (4.86) dan (4.87) di atas juga
terdapat pemarkah te ‘yang’ ditempatkan setelah kata tanya basia ‘siapa’ dan
sapasia ‘apa’ yang berfungsi memberikan aspek pragmatis dan secara gramatikal
bersifat optional atau tidak wajib hadir dalam sebuah konstruksi kalimat
interogatif. Kalimat interogatif (4.86) dan (4.87) memiliki bentuk alternasi seperti
terlihat pada klausa (4.88) dan (4.89).
(4.88) O
a
sapasia?
2TG makan apa
‘Engkau makan apa?’
(4.89) O
eto
basia?
2TG lihat siapa
‘Engkau lihat siapa?’
Klausa (4.88) dan (4.89) di atas adalah bentuk alternasi klausa (4.86) dan
(4.87) yang merupakan kalimat interogatif yang menanyakan objek. Klausa (4.88)
dan (4.89) memiliki tata urutan kata atau konstituen SVO (A-V-P).
120
4.6.3 Kalimat Imperatif
Kalimat imperatif adalah kalimat yang mengandung makna yang bertujuan
untuk memerintah atau menyuruh agar pihak kedua selaku penerima perintah
melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan pihak pertama selaku pemberi
perintah. Dalam BKm, perintah yang diberikan oleh pihak pertama selaku
pemberi perintah kepada pihak kedua selaku penerima perintah dapat
diungkapkan dengan (i) predikat verbal saja dan (ii) ujaran lengkap berpredikat
verbal. Kedua bentuk kalimat imperatif digambarkan pada klausa di bawah ini.
(4.90) Plai!
‘Lari!’
(4.91) Ala!
‘Ambil!’
(4.92) Ala
buku senua!
Ambil buku DEF
‘Ambil buku itu!’
(4.93) Tutu atmas senua!
Pukul orang DEF
‘Pukul orang itu!’
Contoh data (4.90)--(3.93) adalah kalimat imperatif BKm. Contoh data
(4.90) dan (4.91) merupakan bentuk kalimat imperatif BKm yang hanya memakai
verba. Berbeda dengan data (4.90) dan (4.91), contoh data (4.92) dan (4.93)
merupakan bentuk kalimat imperatif BKm yang memiliki ujaran lengkap
berpredikat verbal. Tata urutan kata atau konstituen pada kalimat imperatif BKm
sesuai dengan contoh data (4.92) dan (4.93) adalah VO yang merupakan reduksi
dari . dari tipe VSO dan SVO (Song, 2001:49).
121
4.6.4 Kalimat Negatif
Kalimat negatif merupakan konstruksi kalimat yang berisi pernyataan
yang bersifat mempertentangkan makna sebagian atau seluruhnya. Kalimat negatif
memiliki konstruksi yang menggunakan pengingkar dengan tujuan pengingkaran
(Alwi dkk., 2000: 378). Berikut disajikan kalimat negatif BKm.
(4.94) Roma ti
la
de
isikola
3JM NEG pergi Prep sekolah
‘Mereka tidak pergi ke sekolah’
(4.95) O
ti
a
de
uma
2TG NEG makan Prep rumah
‘Engkau tidak makan di rumah’
(4.96) Atmas senua ti
se’o sele de
Orang DEF NEG jual
jagung Prep
‘Orang itu tidak jual jagung di pasar’
basar
pasar
(4.97) Ua
ti
e
hasa baru de
3TG NEG mau cuci baju Prep
‘Dia tidak mau cuci baju di sungai’
holang
sungai
Contoh data (4.94)--(4.97) merupakan kalimat negatif BKm. Contoh
tersebut menunjukkan bahwa kata ti ‘tidak’ hadir di antara argumen inti pada
posisi praverbal yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dengan verba,
baik pada kalimat intransitif maupun kalimat transitif. Dengan demikian, tata
urutan kata atau konstituen pada kalimat imperatif BKm sesuai dengan contoh
data (4.94)--(4.97) adalah SVO dengan kehadiran penegasi ti ‘tidak’ yang berada
di posisi antara argumen inti yang hadir pada posisi praverbal yang secara
(gramatikal) sintaksis berfungsi sebagai subjek.
122
Di samping konstruksi kalimat negatif dengan kehadiran penegasi
ti
‘tidak’ pada posisi antara subjek dan predikat, konstruksi kalimat negatif BKm
memiliki penegasi hisar ‘/tidak boleh/jangan’ atau isi ‘tidak boleh/jangan’ atau
isibara ‘tidak boleh/jangan’. Penggunaan penegasi tersebut disajikan pada contoh
berikut ini.
(4.98) O
hisar/isi/isibara
la
de
isikola
2TG jangan
pergi Prep sekolah
‘Engkau tidak boleh/jangan pergi ke sekolah’
(4.99) O
hisar/isi/isibara
a
ika
sega-ng
2TG jangan
makan ikan goreng-Lig
‘Engkau tidak boleh/jangan makan ikan goreng itu’
senua
DEF
Klausa (4.98) dan (4.99) menunjukkan bahwa penegasi hisar/isi isibara
‘tidak boleh/jangan’ hadir pada posisi setelah argumen inti praverbal yang secara
gramatikal berfungsi sebagai subjek dan sebelum predikat yang ditempati oleh
verba intransitif atau verba transitif.
Selain hadir pada klausa yang berpredikat verbal, penegasi ti ‘tidak/bukan’
juga dapat hadir di antara argumen inti pada posisi praverbal dan predikat yang
ditempati oleh nominal, adjektival, numerial, dan adverbial. Contoh kalimat
negatif dengan predikat nominal, adjektival tersaji di bawah ini.
(4.100) Au-ng
ama-ng
ti
nai
1Tg-Lig
ayah-Lig
NEG kepala desa
‘Ayah saya bukan kepala desa’
(4.101) Ua
ti
kurung
3TG NEG kurus
‘Dia tidak kurus’
123
(4.102) Ina-ng
ahi
ti
hrua
Ibu-Lig
babi NEG dua
‘Babi ibu bukan dua’
(4.103) Ita-ng
ana-ng
ti
de
1JM-Lig
anak-Lig
NEG Prep
‘Anak kami tidak di rumah’
uma
rumah
Contoh data (4.100) - (4.103) merupakan kalimat negatif dengan predikat
nonverbal BKm. Sama halnya dengan kalimat negatif berpredikat verbal, kalimat
negatif dengan predikat nonverbal menempatkan penegasi ti ‘tidak/bukan’ pada
posisi setelah argumen inti yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan
sebelum predikat yang ditempati oleh predikat nonverbal’.
Penegasi hisar/isi/isibara ‘tidak boleh/jangan’ dapat pula ditempatkan
pada klausa intransitif dengan predikat yang ditempati oleh adjektival, seperti
terlihat pada contoh di bawah ini.
(4.104) O
hisar/isi/isibara
soleng
2TG NEG
sedih
‘Engkau tidak boleh/jangan sedih’
(4.105) O
hisar/isi/isibara
gbarang
2TG NEG
sakit
‘Engkau tidak boleh/jangan sakit’
Klausa
(4.104)
dan
(4.105)
merupakan
klausa
intransitif
yang
menunjukkan bahwa penegasi hisar/isi/isibara ‘tidak boleh/jangan’ hadir pada
posisi setelah satu-satunya argumen inti yang secara gramatikal berfungsi sebagai
subjek dan sebelum predikat yang ditempati oleh adjektival.
Selain dapat ditempatkan pada klausa dengan predikat verbal dan
adjektival, penegasi hisar/isi/isibara ‘tidak boleh/jangan’ dapat pula ditempatkan
124
pada klausa intransitif dengan predikat yang ditempati oleh adverbial, seperti
terlihat pada contoh di bawah ini.
(4.106) O
hisar/isi/isibara
de
uma
2TG NEG
Prep rumah
‘Engkau tidak boleh/jangan di/ke rumah’
(4.107) Au
hisar/isi/isibara
de
basar
1TG NEG
Prep pasar
‘Saya tidak boleh/jangan di/ke pasar’
Klausa
(4.106)
dan
(4.107)
merupakan
klausa
intransitif
yang
menunjukkan bahwa penegasi hisar/isi/isibara ‘tidak boleh/jangan’ hadir pada
posisi setelah satu-satunya argumen inti yang secara gramatikal berfungsi sebagai
subjek dan sebelum predikat yang ditempati oleh adverbial yang menyatakan
lokasi.
Selain penegasi ti ‘tidak’ dan hisar/isi/isibara ‘jangan’, BKm juga
memiliki penegasi ti-(P)-hei ‘belum’. Penggunaan penegasi tersebut tersaji,
misalnya, pada klausa berikut ini.
(4.108) Au
ti
a
hei
sele nunu-ng
1TG NEG makan NEG jagung rebus-Atr
‘Saya belum makan jagung rebus’
(4.109) Au-ng
ali-ng
ti
la
hei
isikola
1TG-Lig
adik-Lig
NEG pergi NEG sekolah
‘Adik saya belum pergi ke sekolah’
Contoh (4.108) dan (4.109) merupakan kalimat negatif BKm yang
menggunakan penegasi ti-P-hei ‘belum’. Pada kedua contoh tersebut dapat
dicermati bahwa penegasi ti- berada pada posisi sebelum predikat dan penegasi -
125
hei berada pada posisi setelah predikat. Gabungan kedua penegasi tersebut
melahirkan makna ‘belum’.
4.7 Temuan Penelitian
Pembahasan struktur dasar klausa BKm pada bab ini berujung pada
beberapa temuan penelitian, seperti tersaji di bawah ini.
(1) Sistem morfologi verba BKm menunjukkan bahwa verba BKm hanya
terdiri atas verba asal. Penelitian ini tidak menemukan verba turunan
BKm. Dengan kata lain, semua verba BKm yang ditemukan merupakan
verba asal. Hal ini berarti bahwa proses morfologis yang dapat mengubah
sebuah kategori kata yang sebelumnya bukan verba menjadi verba tidak
ditemukan dalam BKm. Di samping itu, sistem morfologi verba BKm
menunjukkan pula bahwa tidak ada persesuaian (agreement) antara verba
dan subjek atau verba dan objek.
(2) Struktur klausa BKm terdiri atas (1) struktur klausa berpredikat nonverbal
dan (2) struktur klausa berpredikat verbal. Struktur klausa berpredikat
nonverbal dapat berwujud (1) klausa berpredikat nominal, (2) klausa
berpredikat adjektival, (3) klausa berpredikat numeralia, dan (4) klausa
berpredikat frasa preposisional. BKm tidak memiliki verba kopula
sehingga verba kopula tidak hadir pada klausa berpredikat nonverbal.
Sementara itu, struktur klausa berpredikat verbal terdiri atas (1) klausa
intransitif, (2) klausa ekatransitif (klausa berargumen inti dua), dan (3)
klausa dwitransitif (klausa berargumen inti tiga/extended transitive).
126
(3) BKm
memiliki
pemarkah
aplikatif
podi
yang
berfungsi
untuk
meningkatkan jumlah argumen atau valensi verba, yaitu dari verba yang
bervalensi dua (verba ekatransitif) menjadi verba yang bervalensi tiga
(verba dwitransitif). Pemarkah aplikatif podi ini menempati posisi setelah
verbal (posverbal).
(4) Di samping memiliki klausa berpredikat verba dan nonverbal, BKm juga
memiliki klausa eksistensial. Klausa eksistensial BKm ditandai dengan
kehadiran leksikal dia ‘ada’. Klausa Eksistensial BKm memiliki dua
fungsi, yaitu berfungsi untuk menyatakan keberadaan atau kehadiran dan
kepemilikan.
(5) Tata urutan kata atau konstituen dalam klausa/kalimat dasar BKm
berdasarkan struktur kalimat deklaratif, kalimat interogatif, kalimat
imperatif, dan kalimat negatif adalah SVO (A-V-P). Di samping memiliki
tata urutan kata atau konstituen SVO (A-V-P), BKm memiliki struktur
turunan, yaitu pemfokusan dan pasif. Konstruksi pemfokusan ini ditandai
dengan hadirnya pemarkah te. Konstruksi pasif BKm ditandai dengan
hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ dan berpindahnya subjek menjadi adjung
yang dimarkahi dengan preposisi. Di samping itu, konstruksi pasif dapat
diidentifikasi dengan penempatan adverbia. Konstruksi pasif BKm
berbeda dengan konstruksi pasif yang dimiliki bahasa-bahasa di dunia
pada umumnya. BKm tidak memiliki proses morfologis yang dapat
mengubah konstruksi aktif menjadi pasif. BKm tidak memiliki afiks yang
dapat mengubah konstruksi aktif menjadi pasif, tetapi dalam BKm terdapat
127
memiliki konstruksi pasif analitik dengan kehadiran pemarkah pasif toma
‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba.
(6) Pada konstrusksi kalimat negatif, penegasi ti ‘tidak’ dan hisar/isi/isibara
‘jangan’ hadir di antara argumen inti praverbal dan predikat yang
ditempati oleh verba, baik pada klausa intransitif maupun klausa transitif.
Di samping kalimat negatif dengan predikat verbal, penegasi ti ‘tidak’ juga
dapat digunakan untuk membentuk kalimat negatif dengan predikat
nonverbal (nominal, adjektival, numeralia, dan frasa preposisional).
Khusus untuk kalimat negatif dengan predikat adverbial, hanya adverbial
yang menyatakan lokasi yang bisa digunakan. Penegasi hisar.isi/isibara
‘jangan’ juga dapat ditempatkan pada klausa intransitif yang predikatnya
ditempati oleh adjektiva. Posisi penegasi hisar/isi/isibara ‘jangan’ pada
klausa intransitif dengan predikat adjektiva berada di antara satu-satunya
argumen inti yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan
predikat.
BAB V
PREDIKASI BAHASA KEMAK
5.1 Pengantar
Bab sebelumnya telah menentukan struktur klausa BKm. Setelah
mengetahui struktur klausa, berikutnya adalah pembahasan predikasi dari klausa
tersebut. Bab ini membahas predikasi BKm sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dengan pembahasan struktur argumen karena pembahasan struktur argumen
sebenarnya lebih cenderung mengarah ke predikat verbal suatu klausa/kalimat.
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab IV, terungkap bahwa
klausa BKm dibangun oleh satu predikat dan argumen-(argumen)nya. Di samping
itu, telah dibahas pada bab tersebut bahwa predikat kluasa/kalimat BKm dapat
dibangun oleh predikat, baik predikat verbal maupun predikat nonverbal. Kedua
jenis predikat (verbal dan nonverbal) tersebut membutuhkan argumen untuk
membentuk sebuah klausa/kalimat utuh. Pembahasan predikat BKm pada bab ini
hanya difokuskan pada penjelasan predikat yang dibangun oleh verba. Namun,
pembahasan tentang predikat nonverbal juga disajikan seperlunya untuk
mendukung pembahasan predikat verbal.
Bab ini secara khusus membahas predikasi BKm yang mencakup predikat
dan struktur argumen predikat verbal (predikat BKm yang intinya adalah verba).
Pembahasan bab ini diawali tinjauan teoretis predikat untuk memberikan
gambaran awal tentang konsepsi predikat. Berikutnya, pembahasan dilanjutkan
pada uraian tentang predikat dan struktur argumen BKm. Pembahasan predikat
128
129
melibatkan pembahasan struktur argumen karena keduanya saling terkait dalam
membentuk sebuah klausa/kalimat. Klausa/kalimat dibentuk oleh predikat yang
merupakan unsur utama (head) dan argumen. Terkait dengan kajian predikasi
BKm, pembahasan selanjutnya adalah sajian peran semantis argumen BKm.
Pembahasan tentang peran semantis argumen BKm sangat perlu karena predikasi
dibangun oleh predikat dan argumen. Untuk itu, sajian ini diarahkan pada uraian
lebih lanjut tentang peran semantis argumen BKm. Berikutnya, pembahasan
dilanjutkan pada tipe semantis verba. Uraian tentang tipe semantis verba BKm
penting dibahas untuk mengetahui tipe semantis verba yang terdapat dalam BKm
karena predikat dibangun oleh verba (tentunya juga oleh unsur nonverbal) yang
merupakan inti (head) sebuah predikasi. Pembahasan dilanjutkan dengan
menguraikan frasa verbal. Pembahasan frasa verbal ini sangat penting karena
klausa dibangun oleh frasa verbal dan argumen-argumen yang menyertainya.
Berikutnya, pembahasan dilanjutkan pada serialisasi verba dalam BKm.
Pembahasan tentang serialisasi verbal erat kaitannya dengan pembahasan predikat
BKm karena predikat verbal BKm dapat dibangun oleh verba serial. Pembahasan
predikat dan struktur argumen BKm pada bab ini ditutup dengan sajian beberapa
temuan terkait dengan pokok-pokok bahasan dalam bab ini.
5.2 Tinjauan Teoretis Predikasi Lintas Bahasa
Tidak mudah memberikan definisi tentang predikasi. Istilah predikasi
(predication) dalam ilmu bahasa dapat disejajarkan dengan proposisi. Dasar-dasar
teori tata bahasa menjelaskan bahwa (a) di antara unsur-unsur yang
130
membangun/membentuk kalimat ada bagian yang disebut predikat (predicate) dan
(b) ada unsur lain dalam kalimat itu yang berperan sebagai argumen dari predikat
tersebut. Untuk memberikan batasan yang jelas, definisi predikasi dalam disertasi
ini mengacu kepada konstruksi dalam bentuk klausa (kalimat sederhana) yang
terdiri atas predikat dan argumennya (lihat Kac dalam Shibatani (ed.) 1976:229-230; Ackerman dan Webelhuth, 1998:37--38; Lyons, 1987:270, 337).
Secara lintas bahasa, wujud optimal sebuah klausa dibangun oleh unsurunsur yang mempredikati (predicating elements) dan unsur-unsur yang tidak
mempredikati (non-predicating elements) serta FN dan frasa adposisional (frasa
berpreposisi atau berposposisi) yang merupakan argumen predikat dan yang
bukan merupakan argumen predikat. Wujud klausa optimal tersebut dapat
digambarkan berikut ini.
Predikat
+ argumen
bukan argumen
(Van Valin Jr. dan LaPolla, 1999; 2002:25)
Tabel 5.1: Struktur Klausa
Klausa/kalimat biasanya dipredikati oleh unsur verbal. Namun, verba tidak
selalu hadir untuk mempredikati klausa/kalimat. Di samping unsur verbal,
klausa/kalimat dapat pula dipredikati oleh unsur nonverbal (Van Valin Jr. dan
LaPolla (1999; 2002:2--27). Bab sebelumnya telah mengungkapkan bahwa tidak
hanya verba yang dapat mempredikati kluasa/kalimat BKm, tetapi dapat juga
unsur lain, seperti nominal, adjektival, numeral, dan adverbial (frasa
131
preposisional). Berikut disajikan kembali klausa yang dibangun oleh predikat
verbal dan predikat nonverbal BKm.
(5.1) Ina
la
de
basar
Ibu pergi Prep pasar
‘Ibu pergi ke pasar’
(5.2) Ita-ng
ama-ng
1JM-Lig
ayah-Lig
‘Ayah kita guru’
guru
N/guru
(5.3) Roma-ng
uma boteng
3JM-Lig
rumah Adj/besar
‘Rumah mereka besar’
(5.4) Aung
bibu
1TG-Lig
kambing
‘Kambing saya lima’
hlima
.Num/lima
(5.5) Au
no
ali
de
1TG dan
adik Prep
‘Saya dan adik di sekolah’
iskola
sekolah
Klausa (5.1) -- (5.5) merupakan klausa dasar BKm yang dipredikati oleh
unsur verbal (klausa 5.1) dan unsur nonverbal (klausa 5.2 -- 5.5). Dapat dilihat
bahwa tidak terdapat perbedaan konstruksi antara yang dipredikati unsur verbal
dan unsur nonverbal. Berbeda dengan BKm, bahasa Inggris memiliki perbedaan
konstruksi antara klausa/kalimat yang dipredikati unsur verbal dan unsur
nonverbal. Bahasa Inggris memiliki dua strategi untuk menandai predikat, seperti
terlihat di bawah ini.
(5.6) a. John walks
‘John berjalan’
b. John is a tall
‘John tinggi’
132
c. John is a teacher
John (adalah) guru’
d. John is at home
John (berada) di rumah (dikutip dari Stassen, 1997:25)
Predikat nonverbal (nominal, adjektival, dan adverbial) bahasa Inggris
menghendaki kehadiran kopula be atau sejenis verba kopula. Sementara, predikat
verbal bahasa Inggris tidak menghendaki kehadiran kopula be atau sejenis verba
kopula. Klausa (5.6) di atas dengan jelas menunjukkan bahwa bahasa Inggris
memiliki dua strategi untuk menandai predikat verbal dan predikat nonverbal.
Klausa yang dipredikati oleh verbal tidak membutuhkan kehadiran kopula be.
Sementara, klausa yang dipredikati oleh nonverbal membutuhkan kehadiran
kopula be untuk membuat klausa/kalimat tersebut berterima. Dalam bahasa
Indonesia, kehadiran kopula pada klausa berpredikat nonverbal bersifat manasuka,
artinya bisa hadir dan bisa tidak, seperti yang tersaji pada contoh klausa berikut
ini.
(5.7) a.
Wanita itu (adalah) guru.
b. Wanita itu pergi ke pasar
Klausa (5.7a) menggambarkan bahwa klausa bahasa Indonesia yang
dipredikati oleh unsur nonverbal dapat hadir dengan dan tanpa kopula. Berbeda
dengan bahasa Inggris yang memiliki dua strategi untuk menandai predikat dan
bahasa Indonesia yang memiliki penandaan yang bersifat manasuka, bahasa
Tagalog hanya memiliki satu strategi untuk menandai predikat, baik predikat
verbal maupun predikat nonverbal, seperti tersaji pada contoh klausa berikut ini.
133
(5.8)
a. Kumanta ang mga
Nyanyi TOP JM
‘Anak-anak bernyanyi’
b. Baga
ang
Baru
TOP
‘Rumah baru’
bata
anak
bahay
rumah
c. Artista
ang babae
Artis
TOP wanita
‘Wanita itu artis’
d. Nasa
kusina ang
mesa
Prep
dapur TOP meja
‘Meja (berada) di dapur
Klausa (5.8) dengan jelas menunjukkan bahwa bahasa Tagalog memiliki
hanya satu strategi untuk menandai predikat klausa, baik predikat yang dibangun
oleh verbal maupun predikat yang dibangun oleh nonverbal. Tidak terdapat
strategi yang berbeda antara klausa yang dibangun oleh predikat verbal dan
predikat nonverbal. Klausa (5.8a) merupakan kalusa yang dibangun oleh predikat
verbal. Sementara, klausa (5.8b) – (5.8d) merupakan klausa yang dibangun oleh
predikat nonverbal. Jika dibandingkan dengan bahasa Tagalog, BKm memiliki
strategi yang sama, yaitu hanya satu strategi untuk menandai predikat verbal dan
predikat nonverbal.
Berdasarkan klausa-klausa yang disajikan di atas, yaitu klausa BKm,
bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia menunjukkan bahwa setiap bahasa memiliki
konstruksi tersendiri terkait dengan predikat. Satu bahasa membutuhkan kopula
be apabila klausanya dipredikati oleh nonverbal, sementara bahasa lain tidak
membutuhkan kopula untuk mempredikati klausa nonverbal. Di sisi lain terdapat
134
pula bahasa yang bersifat manasuka (optional), bisa hadir dan bisa tidak.
Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa predikat hanya mengacu
kepada unsur yang mempredikati, yakni verba, adjektiva, atau nomina. Predikat
membatasi unit sintaktis dalam struktur klausa, yang secara sintaktis merupakan
inti (nucleus). Hubungan antara unit-unit semantis dan sintaktis yang diungkapkan
oleh Van Valin, Jr. dan LaPolla (1999; 2002:27) merupakan unit-unit semantis
yang mendasari unit-unit sintaktis struktur klausa.
Alsina (1996:4--7) menyatakan bahwa sebuah predikat mengungkapkan
hubungan antara partisipan-partisipan dalam sebuah klausa. Partisipan itulah yang
disebut argumen predikat. Setiap predikat, baik
predikat verbal maupun
nonverbal, mempunyai hubungan logis dengan argumen-argumennya. Hubungan
antara fungsi-fungsi gramatikal, yaitu subjek, objek, dan oblik dengan argumen
predikat tidaklah bersifat acak atau tak terduga. Predikat secara semantis berperan
untuk menentukan apakah argumen tersebut merupakan subjek, objek, atau oblik.
Hubungan logis tersebut tidak hanya terkait dengan argumen dan fungsi
gramatikal yang terikat erat dengan setiap predikat, tetapi hubungan logis tersebut
terlihat juga dengan cara yang sama pada kelompok/kelas predikat yang luas
mengikuti prinsip-prinsip tertentu sehingga setiap klausa yang dipredikati verbal
harus bersesuaian dengan argumennya. Keteraturan prinsip-prinsip tersebut harus
dicermati secara sintaktis terkait dengan informasi yang relevan dan khas untuk
setiap predikat. Struktur argumen dibentuk berdasarkan keterikatan dan kaitan
informasi yang menjadi argumen predikat dengan predikat itu sendiri. Struktur
argumen juga merupakan informasi minimal predikat yang dibutuhkan untuk
135
menurunkan kerangka sintaktisnya atau subkategorisasi dan untuk menurunkan
kerangka sintaktis alternatif apabila sebuah alternatif ada, seperti pasangan aktifpasif.
Pendapat mengenai struktur predikat juga diungkapkan oleh Manning
(1996:35—36). Manning (1996:35—36) berpendapat bahwa struktur argumen
yang diberikan Alsina (1996) lebih cenderung dilihat sebagai perwujudan
semantis daripada sintaktis. Manning lebih cenderung menempatkan persoalan
struktur argumen sebagai perwujudan sintaktis. Menurutnya, struktur gramatikal
dan struktur argumen adalah hasil langsung dan gramatikalisasi dua rangkaian
hubungan yang berbeda. Struktur gramatikal adalah hasil gramatikalisasi peranperan wacana (discourse), sementara struktur argumen merupakan hasil
gramatikalisasi pemikiran prominansi semantik.
Perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, baik Alsina
(1996) yang melihat struktur argumen sebagai strukutr semantik maupun Manning
(1996) yang melihat struktur argumen sebagai perwujudan tataran sintaksis,
memiliki dasar pijakan teoretis yang beralasan. Jika dicermati lebih jauh, kedua
teori tersebut pada dasarnya memiliki titik temu. Baik struktur argumen yang
dipandang sebagai struktur semantis maupun struktur sintaksis, keduanya tidak
dapat berjalan sendiri-sendiri tanpa keterkaitan satu dengan yang lain. Keterkaitan
antara struktur semantis dan struktur sintaksis dalam melihat struktur argumen
juga diungkapkan oleh Van Valin Jr. dan LaPolla (1999, 2002:28). Van Valin Jr.
dan LaPolla (1999, 2002:28) menyatakan bahwa istilah argumen sebenarnya
merujuk ke argumen semantis, sedangkan istilah argumen inti (core argument)
136
jelas merupakan pengertian yang merujuk ke tataran sintaktis. Pembahasan
struktur argumen dalam disertasi ini mengacu pada struktur argumen yang dikaji
secara sintaksis serta rnemerhatikan pula keterkaitan dan keterikatannya sebagai
wujud perihal semantis.
Secara lintas bahasa, para ahli memperkenalkan dua jenis istilah predikat
berdasarkan wujud-bentuk predikat itu sendiri, yaitu istilah predikat sederhana
(simple predicate) dan predikat kompleks (complex predicate). Predikat sederhana
adalah predikat yang dibangun hanya dari satu unsur gramatikal (morfem atau
kata) (single-headed) yang menjadi induk (head). Sebaliknya, predikat kompleks
adalah predikat yang dibangun oleh banyak induk (multi-headed); predikat yang
tersusun dan lebih dari satu unsur gramatikal—morfem atau kata, yang setiap
bagian tersebut (morfem atau kata) menyumbangkan bagian informasi yang
biasanya dikaitkan dengan induk (head) (lihat Alsina, Bresnan, Sells dalam Alsina
dkk (ed.), 1997:1; Ackerman dan Webelhuth, 1998).
Terkait dengan predikat sederhana dan predikat kompleks, setiap bahasa
memiliki ciri dan sifat-perilaku yang berbeda. Perbedaan ciri dan sifat-perilaku
predikat sederhana dan predikat kompleks utamanya ditentukan oleh gramatika
dan tipologi bahasa yang bersangkutan. Untuk memberikan penjelasan yang lebih
terperinci, diperlukan contoh data klausa yang dapat menunjukkan perbedaan
antara predikat sederhana dan predikat kompleks yang dikutip dari Ackerman dan
Webelhuth; 1998:174—175.
(5.9) Weil die Ministerin ihrem Mann kusst.
karena ART menteri Lig3TG suami mencium
‘karena menteri itu mencium suaminya’
137
(5.10) Weil die Minislerin ihren Mann an-ruft.
karena ART menteri Lig3TG suami PAR-panggil
‘karena menteri itu menelepon suaminya’
Klausa (5.9) merupakan klausa bahasa Jerman yang dibangun oleh
predikat sederhana, yaitu
kussen (Inggris ‘kiss’; Indonesia ‘mencium’).
Sementara, klausa (5.10) merupakan klausa yang dibangun oleh predikat
kompleks, yaitu an-rufen (Inggris ‘call up’; Indonesia ‘menelepon’).
Klausa
(5.10) dibangun oleh predikat kompleks karena predikat tersebut terdiri atas
partikel an dan kata ruft. Partikel an dan kata ruft pada klausa (5.10) membentuk
predikat kompleks sehingga klausa tersebut dinyatakan sebagai klausa yang
dibangun oleh predikat kompleks. Dalam bangun klausa induk (utama), kedua
klausa di atas dapat diungkapkan menjadi (5.11) dan (5.12).
(5.11) Die Ministerin kusst ihrem Mann.
ART menjeri Lig3TG suami mencium
‘Menteri itu mencium suaminya’
(5.12) Die Ministerin ruft ihren Mann an.
‘ART’ ‘menteri’ ‘panggil’ ‘Lig3TG’ ‘suami’ ‘PAR’
‘Menteri itu menelepon suaminya’
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut disajikan klausa
sederhana dan klausa kompleks bahasa Inggris.
(5.13) They run to schoo;.
‘Mereka lari ke sekolah’
(5.14) We heard the news
‘Saya mendengar berita itu”
(5.15) I tied in the rope.
‘Saya menyambungkan tali’
138
(5.16) John put away the trash.
‘John membuang sampah’
Klausa (5.13) dan (5.14) merupakan klausa bahasa Inggris yang dibangun
oleh predikat sederhana. Sementara, klausa (5.15) dan (5.16) merupakan klausa
bahasa Inggris yang dibangun oleh predikat kompleks. Predikat (5.13) dan (5.14)
hanya terdiri atas satu unsur gramatikal yang menjadi induk (single headed), yaitu
run ‘lari’ dan heard ‘ dengar’. Sementara itu, predikat pada klausa (5.15) dan
(5.16) terbentuk atas lebih dan satu unsur gramatikal sebagai induk (multi
headed), yaitu tied in dan put away.
Lebih jauh, Alsina (1996:34--35) mengungkapkan bahwa struktur
argumen merupakan tingkat representasi yang berhubungan dengan representasi
semantik (atau konseptual-leksikal) di satu sisi dan dengan representasi fungsifungsi gramatikal (struktur-f) di sisi lain. Struktur argumen predikat ditentukan
oleh semantik predikat yang bersangkutan; selanjutnya, struktur argumen tersebut
juga membentuk fungsi-fungsi gramatikal yang dimiliki oleh predikat. Dengan
demikian, struktur argumen dihipotesiskan sebagai wujud/bentuk bersama antara
representasi semantik leksikal dari predikat dan pengategorian-lanjut sintaktiknya
dalam pengertian fungsi-fungsi gramatikal, seperti tersaji pada contoh klausa
bahasa Inggris berikut ini.
(5.17) The students put the drawing book on the table
‘Murid-murid meletakkan buku gambar itu di atas meja’
(5.18) The chairman delivered the speech.
‘Ketua memberikan ceramah’
(5.19) The children cried.
‘Anak-anak menangis’
139
Klausa (5.17) -- (5.19) merupakan klausa yang predikatnya diisi oleh
verba put ‘meletakkan’, delivered ‘memberikan’, dan cried ‘menangis’. Verba put
‘meletakkan’ pada klausa (5.17) memiliki tiga argumen, yaitu the students ‘muridmurid’, the drawing book ‘buku gambar itu’, dan on the table ‘di atas meja’;
verba delivered ‘memberikan’ pada klausa (5.18) memiliki dua argumen, yaitu
the chairman ‘ketua’ dan the speech ‘pidato’; verba cried ‘menangis’ pada klausa
(5.19) memiliki satu argumen, yaitu the children ‘anak-anak’. Jumlah dan wujud
argumen-argumen tersebut ditentukan oleh semantik verba yang menduduki
predikat dan struktur sintaksis secara keseluruhan. Berdasarkan contoh klausa
yang disajikan di atas, hipotesis yang menyatakan bahwa struktur argumen
merupakan pertautan aspek semantis dan sintaktis berterima dalam banyak bahasa
adalah benar. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah hipotesis tersebut berlaku
pada struktur argumen BKm? Pembahasan berikut ini mengenai predikat dan
struktur argumen BKm diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan di
atas.
5.3 Predikat dan Struktur Argumen Bahasa Kemak
Pada bab IV telah diuraikan bahwa klausa/kalimat dasar BKm dapat
berupa klausa berpredikat verbal dan klausa berpredikat nonverbal.
Stassen
(1997: 121—123) menyatakan bahwa klausa intransitif dibentuk oleh verba
intransitif. Sementara, klausa dengan predikat nonverbal dipredikati oleh
adjektival, nominal, dan lokasi (adverbial). Pendapat Stassen (1997) tidak
memasukkan unsur numeral sebagai unsur yang dapat membangun predikat
140
intransitif. Secara utuh, klausa verbal intransitif dan klausa nonverbal memiliki
satu argumen yang juga merupakan subjek gramatikal dan secara semantis
berperan sebagai agen atau undergoer (pasien, tema, benefisiari, dan lain-lain).
Berbeda dengan klausa verbal intransitif dan klausa nonverbal, klausa verbal
transitif memiliki dua argumen atau lebih. Wujud kalimat yang terdiri atas
predikat dan argumennya dalam tulisan ini disebut predikasi. Untuk lebih jelas,
cermatilah klausa-klausa BKm yang disajikan berikut ini.
(5.20) Ita-ng
ina-ng
1JM-Lig
ibu-Lig
‘Ibu kita pedagang’
pedagang
pedagang
(5.21) Hine
koet senua soleng
Wanita
cantik DEF sedih
‘Wanita cantik itu sedih sekali’
(5.22) Ama-ng
bibu
Ayah-Lig
kambing
‘Kambing ayah enam’
hnem
enam
(5.23) Au-ng
he-ng
1TG-Lig
istri-Lig
‘Istri saya di pasar’
de
Prep
Klausa
los
Adv
basar
pasar
(5.20) -- (5.23) merupakan klausa lengkap yang terdiri atas
predikat dan argumen subjek. Bentuk-bentuk klausa di atas merupakan bentuk
predikasi dalam BKm. Predikat klausa-klausa di atas merupakan predikat
nonverbal dengan satu argumen (FN) yang berkedudukan sebagai subjek. Predikat
nonverbal klausa (5.20) diisi nomina pedagang ‘pedagang’ dan argumen
subjeknya itang inang ‘ibu kita’. Predikat nonverbal klausa (5.21) diisi oleh
adjektiva soleng ‘sedih’ yang diikuti oleh los yang merupakan adverbia yang
141
menerangkan predikat adjektival soleng ‘sedih’ dan argumen subjeknya adalah
hine koet senua ‘wanita cantik itu’. Hal yang sama juga dapat dilihat pada klausa
dengan predikat nonverbal (5.22) dan (5.23). Predikat nonverbal pada klausa
(5.22) diisi oleh numeral hnem ‘enam’ dan argumen subjeknya adalah amang bibu
‘kambing ayah’. Predikat pada klausa (5.23) diisi oleh adverbial de basar ‘di
pasar’ dan argumen subjeknya adalah aung heng ‘istri saya’.
Mengacu pada klausa di atas, predikasi BKm dapat berupa satu predikat
nonverbal yang dapat ditempati oleh nominal, adjektival, numeral, dan adverbial
dan satu argumen yang menempati posisi di depan predikat yang berfungsi
sebagai subjek gramatikal. Predikat nonverbal BKm menghendaki satu argumen
subjek untuk membentuk predikasi. Unsur-unsur bukan argumen predikat dapat
saja ditambahkan pada predikasi tersebut. Predikasi BKm dengan predikat
nonverbal dan struktur argumennya dapat digambarkan pada tabel berikut.
Predikasi
Argumen + Predikat:
(Subjek)
Adjung
+ unsur bukan argumen
(nominal)
(adjektival)
(numeral)
(adverbial)
Tabel 5.2: Predikasi Bahasa Kemak dengan Predikat Nonverbal
Selain predikasi BKm yang dibentuk oleh predikat nonverbal, predikasi
BKm dapat pula dibentuk oleh satu argumen dan satu predikat verbal, yaitu
predikat dengan verba intransitif. Sama seperti predikasi BKm yang dibentuk
oleh predikat nonverbal, predikat verbal intransitif juga menghendaki satu unsur
142
argumen FN yang dapat berfungsi sebagai subjek gramatikal dan secara semantis
berfungsi sebagai agen atau pasien. Contoh klausa berikut memperlihatkan
predikasi BKm yang dibangun oleh predikat verbal intransitif.
(5.24) Ali mnahu dase ai
nua
Adik jatuh Prep pohon kelapa
‘Adik jatuh dari pohon kelapa’
(5.25) Ua mudu de
kursi
3TG duduk Prep kursi
‘Dia duduk di kursi’
(5.26) Roma la
segong
3JM pergi jauh
‘Mereka pergi jauh’
(5.27) Mane
boteng senua mai
de`
Laki-laki
besar DEF datang Prep
‘Laki-laki besar itu datang ke rumah’
uma
rumah
(5.28) Ita-ng
ana-ng
bue
1JM-Lig
anak-Lig
tidur
‘Anak kita tidur dengan cepat’
milang
cepat
no
Prep
Klausa (5.24) dibangun oleh predikat verbal mnahu ‘jatuh’ dan memiliki
satu argumen ali ‘adik’ dan unsur bukan argumen dase ai nua ’dari pohon
kelapa’. Argumen ali ‘adik’ berfungsi sebagai subjek dan sekaligus pasien karena
dipengaruhi oleh semantik verba klausa tersebut. Predikat verbal intransitif mnahu
‘jatuh’ mengisyaratkan satu argumen saja dan dapat ditambah dengan unsur bukan
argumen lainnya. Klausa (5.25) juga dibangun oleh predikat verbal mudu ‘duduk’
dan memiliki satu-satunya argumen, yaitu ua ’dia’ yang secara gramatikal
berfungsi sebagai subjek dan secara semantis berfungsi sebagai agen. Di samping
argumen ua ’dia’, klausa (5.25) juga memiliki unsur bukan argumen, yaitu de
143
kursi ‘di kursi’. Hal yang sama juga dapat dicermati pada klausa (5.26)—(5.28).
Klausa tersebut dibentuk oleh predikat verbal la ‘pergi’ pada klausa (5.26), verbal
mai ‘datang’ pada klausa (5.27), dan verbal bue ‘tidur’ pada klausa (5.28). Setiap
klausa (5.26)—(5.28) memiliki argumen yang berfungsi sebagai subjek
gramatikal dan secara semantis berfungsi sebagai agen, yaitu roma ‘mereka’ pada
klausa (5.26), mane boteng senua ‘laki-laki besar itu’ pada klausa (5.27), dan
itang anang ‘anak kita’ pada klausa (5.28). Di samping unsur argumen, terdapat
pula unsur bukan argumen yang membangun klausa (5.26)—(5.28), yaitu segong
‘jauh’ pada klausa (5.26), de uma ‘di rumah’ pada klausa (5.27), dan no milang
‘dengan cepat’ pada klausa (5.28). Predikasi dan struktur argumen dengan verba
intransitif dapat digambarkan pada tabel berikut.
Predikasi
Adjung
Argumen + Predikat:
+ unsur bukan argumen
(agen/pasien) (verba intransitif)
(adverbial)
Tabel 5.3: Predikasi Bahasa Kemak dengan Verba Intransitif
Bagian sebelumnya telah menguraikan predikasi BKm yang dibangun oleh
verba intransitif yang ditempati unsur verbal dan klausa berpredikat nonverbal
yang dipredikari oleh numeral, adjektiva, numeral, dan adverbial. Bagian
berikutnya membahas predikasi BKm yang dibangun oleh predikat verba transitif.
Seperti telah dibahas pada bab IV, verba transitif dapat bersifat ekatransitif dan
dwitransitif. Selain itu, ada juga verba semitransitif (verba yang objeknya bersifat
manasuka) (lihat Alwi7 2000:91--93). Apabila predikat suatu predikasi ditempati
oleh verba transitif, argumen yang dikehendaki predikat tersebut adalah dua atau
144
lebih. Verba ekatransitif menghendaki dua argumen. Sementara verba dwitransitif
membutuhkan lebih dari dua argumen. Berikut ini disajikan klausa BKm yang
dibangun oleh predikasi yang memiliki predikat verbal transitif.
(5.29) a. Bili
ala
si
manu de
Bili
beli
daging ayam Prep
‘Bili membeli daging ayam di pasar’
(5.30)
basar
pasar
b. Mane
senua ele
ika
de
Laki-laki DEF cari
ikan Prep
‘Laki-laki itu mencari ikan di laut’
tasi
laut
c. Au-ng
he-ng
hasa baru
‘1TG-Lig istri-Lig
cuci baju
‘Istri saya mencuci baju di sungai’
de
Prep
holang
sungai
a. Au
ala
podi ua
baru de
Atambua
1TG
beli
APL 3TG baju Prep Atambua
‘Saya membelikan dia baju di Atambua’
b. Ita-ng
Guru ne
podi au
kokis de
1JM-Lig Guru beri APL 1TG kue
Prep
‘Guru saya memberi saya kue di sekolah’
c. Ina
solok podi ali
osa
Ibu
kirim APL adik uang
‘Ibu mengirimi adik uang di Kupang’
de
Prep
isikola
sekolah
Kupang
Kupang
Predikasi klausa (5.29) dibangun oleh predikat verbal transitif dan
argumen-argumennya juga unsur bukan argumen. Lebih terperinci, predikasi
klausa (6.29a) dibangun oleh predikat verbal ala ‘beli’, argumen Bili ‘Bili’ yang
berfungsi sebagai subjek gramatikal dan secara semantis berfungsi sebagai agen,
dan argumen si manu ‘daging ayam’ yang berfungsi sebagai objek dan secara
semantis berfungsi sebagai pasien. Di samping itu, klausa (5.29a) juga memiliki
unsur bukan argumen, yaitu de basar ‘di pasar’. Predikasi klausa (5.29b)
145
dibangun oleh predikat verbal ele ‘cari’, argumen mane senua ‘laki-laki itu’ yang
secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan sebagai agen secara semantis, dan
argumen ika ‘ikan’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai objek dan secara
semantis berfungsi sebagai pasien. Di samping itu, klausa (5.29b) juga memiliki
unsur bukan argumen, yaitu de tasi ‘di laut’. Predikasi klausa (5.29c) dibangun
oleh predikat verbal hasa ‘cuci’, argumen aung heng ‘istri saya’ yang secara
gramatikal sebagai subjek dan secara semantis berfungsi sebagai agen, dan
argumen baru ‘baju’ yang berfungsi sebagai objek dan secara semantis berfungsi
sebagai pasien. Di samping itu, klausa (5.29c) juga memiliki unsur bukan
argumen, yaitu de hoang ‘di sungai’.
Berbeda dengan klausa (5.29) yang dibangun oleh predikat verbal transitif
yang mengisyaratkan dua argumen, klausa (5.30) merupakan klausa yang
dibangun oleh predikat verbal yang memiliki lebih dari dua argumen. Klausa
(5.30) dibangun oleh predikat verbal transitif dan argumen praverbal yang
berfungsi sebagai subjek gramatikal dan dua argumen posverbal yang berfungsi
sebagai objek tak langsung (O1) dan objek langsung (O2). Lebih terperinci,
predikasi klausa (5.30a) dibangun oleh predikat verbal ala ‘beli’, argumen au
‘dia’ yang berfungsi sebagai subjek gramatikal/agen, argumen ua ‘dia’ yang
berfungsi sebagai objek tak langsung (O1)/pasien, dan argumen baru ‘baju’ yang
berfungsi sebagai objek langsung (O2)/pasien. Di samping itu, klausa (5.30a) juga
mengandung unsur bukan argumen, yaitu de Atambua ‘di Atambua’. Predikasi
klausa (5.30b) dibangun oleh predikat verbal ne ‘beri’, argumen aung guru ’guru
saya’ yang berfungsi sebagai subjek gramatikal/agen, argumen ua ‘saya’ yang
146
berfungsi sebagai objek tak langsung (O1)/pasien, dan argumen kokis ‘kue’ yang
berfungsi sebagai objek langsung (O2)/pasien. Di samping itu, klausa (5.30b) juga
mengandung unsur bukan argumen, yaitu de isikola ‘di sekolah’. Predikasi klausa
(5.30c) dibangun oleh predikat verbal solok ‘kirim’, argumen ina ’ibu’ yang
berfungsi sebagai subjek gramatikal/agen, argumen ali ‘adik’ yang berfungsi
sebagai objek tak langsung (O1)/pasien, dan argumen osa ‘uang’ yang berfungsi
sebagai objek langsung (O2)/pasien. Di samping itu, klausa (5.30c) juga
mengandung unsur bukan argumen, yaitu de kupang ‘di Kupang’.
Predikasi BKm dengan predikat verba transitif menghendaki dua argumen
atau lebih. Kehadiran argumen-argumen tersebut bersifat wajib. Predikasi dengan
predikat verbal transitif digambarkan pada tabel berikut.
Predikasi
Argumen (1) + Predikat + (Argumen(2))
(semitransitif)
Adjung
+ unsur bukan
argumen
Argumen (1) + Predikat + Argumen (2)
(ekatransitif)
Argumen (1) + Predikat + Argumen (2) + Argumen (3)
(dwitransitif)
Tabel 5.4: Predikasi BKm dengan Verba Transitif
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa telaah tentang
predikat BKm memiliki peranan yang penting karena predikat merupakan inti
(head) sebuah predikasi klausa/kalimat. Telaah predikat BKm pada bagian ini
berupaya untuk melihat
predikasi dari segi bangun atau konstruksinya saja,
147
bagaimana sebuah predikasi dibentuk dan unsur unsur apa yang membentuk
sebuah predikasi dalam BKm.
5.4 Peran Semantis Argumen Bahasa Kemak
Peran semantis dalam lingkup kajian fungsi gramatikal penting dikaji
karena fungsi gramatikal biasanya mengungkapkan peran semantis dengan cara
yang sistematis. Fungsi semantis sering disebut pula dengan peran semantis.
Dalam struktur klausa dasar, verba merupakan unsur yang menunjukkan jenis
situasi yang biasanya menyatakan beberapa peran yang terlibat dalam sebuah
situasi yang diungkapkan predikat (verba). Sebagai contoh, verba kill ‘bunuh’
dalam bahasa Inggris menunjukkan peran semantis killed ‘terbunuh’ dan killer
‘pembunuh’.
Verba yang menempati predikat merupakan unsur inti (head) yang
menyatakan situasi kebahasaan (state of affairs) yang berbeda-beda yang
memengaruhi keterlibatan argumen-argumen yang berbeda-beda pula. Van Valin
dan La Polla (1997:141) membagi peran semantik umum menjadi ACTOR dan
UNDERGOER. ACTOR merupakan generalisasi peran tipe agen, sedangkan
UNDERGOER merupakan generalisasi peran tipe pasien. Dalam kajian tipologi
bahasa, istilah ACTOR yang merupakan peran semantik umum sama dengan agen.
Sementara, peran semantik umum UNDERGOER sama dengan pasien. Lebih
jauh, ACTOR dalam bahasa Inggris berfungsi sebagai subjek yang diisyaratkan
oleh verba tertentu dan berperan sebagai agen, tema, pengalam, dan sebagainya
yang disebut peran khusus ACTOR. Sementara, UNDERGOER dalam bahasa
148
Inggris berfungsi sebagai OL dan OTL dan berperan sebagai pasien, tema,
penerima, instrumen, dan sebagainya, yang disebut peran khusus UNDERGOER.
ACTOR merupakan partisipan/argumen yang memengaruhi, memprakarsai,
melakukan, dan mengontrol situasi yang dinyatakan oleh predikat, sedangkan
UNDERGOER merupakan partisipan/argumen yang tidak melakukan atau
mengontrol situasi, tetapi dipengaruhi atau menderita akibat perbuatan yang
dinyatakan oleh predikat. ACTOR tidak sama dengan agen begitu pula
UNDERGOER tidak sama dengan pasien (Van Valin dan La Polla, 1997: 85--86).
Peran semantis khusus argumen bahasa Inggris dapat diilustrasikan dari contoh
klausa yang disajikan berikut ini.
(5.31)
a. Bruce (agen) handed
Darlene(penerima)
‘Bruce memberikan Darlene steak’
b. The car (tema)
’Mobil mahal’
is
a steak (tema)
expensive
c. I (pengalami) love Lucy
‘Saya mencintai Lucy’
d. Frederika(penyebab) annoys
‘Frederika menggangu saya’
me(pengalam)
e. George(agen/tema) walks from school(sumber)
‘George berjalan dari sekolah’
Berikut disajikan contoh klausa BKm untuk mengungkapkan peran
semantis setiap argumen yang dinyatakan oleh predikat (verba).
(5.32)
a. Atmas senua para au
Orang DEF pukul` 1TG
‘Orang itu memukul saya’
149
b. Ama
ala
podi ali
Ayah
beli
APL adik
‘Ayah membelikan adik baju’
baru
baju
c. Roma
eto
pnaoblabag
3JM
lihat pencuri
‘Mereka melihat pencuri’
d. Au
tboa
gelas senua
1TG
memecahkan gelas DEF
‘Saya memecahkan gelas itu’
e. Au-ng
ali-ng
1TG-Lig adik-Lig
‘Adik saya jatuh’
mnahu
jatuh
Konstruksi klausa (5.32a) merupakan konstruksi klausa transitif dengan
predikat verbal para ‘pukul’ yang melibatkan dua partispan/argumen, yaitu atmas
senua ’orang itu’ yang berfungsi sebagai SUBJ dan au ‘saya’ yang berfungsi
sebagai OBJ. Peran semantis umum argumen atmas senua ’orang itu’ adalah
ACTOR, sedangkan au ‘saya’ berperan sebagai UNDERGOER. Peran semantis
khusus yang dimiliki oleh argumen ACTOR atmas senua ‘orang itu’ adalah
sebagai agen, sedangkan argumen UNDERGOER au ‘saya memiliki peran
semantis khusus sebagai pasien.
Argumen ama ‘ayah’ pada klausa (5.32b)
berfungsi sebagai SUBJ dan memiliki peran semantis umum sebagai ACTOR,
sedangkan ali ‘adik’ dan baru ‘baju’ berfungsi sebagai OBJ dan memiliki peran
semantis umum sebagai UNDERGOER. Ketiga argumen yang membangun klausa
tersebut memiliki peran semantis secara khusus, yaitu argumen ama ‘ayah’ yang
berperan sebagai agen, argumen ali ‘adik’ berfungsi sebagai penerima, dan
argumen baru ‘baju’ berperan sebagai tema. Klausa (5.32c) memiliki dua
150
argumen, yaitu roma ‘mereka’ yang berfungsi sebagai SUBJ dan pnaoblabag
‘pencuri’ yang berfungsi sebagai OBJ. Peran semantis umum yang dimiliki kedua
argumen tersebut masing-masing (1) argumen roma ‘mereka’ berperan sebagai
ACTOR dengan peran semantis khusus sebagai pengalami dan (2) argumen
pnaoblabag ‘pencuri’ berperan sebagai UNDERGOER dengan peran semantis
khusus sebagai tema. Klausa (5.32d) memiliki dua argumen yang terdiri atas (1)
argumen au ‘saya’ yang berfungsi sebagai SUBJ dan (2) argumen gelas senua
‘gelas itu’ yang berfungsi sebagai OBJ. Peran semantis umum kedua argumen
tersebut adalah argumen au ‘saya’ berperan sebagai ACTOR dengan peran
semantis khusus sebagai penyebab/causer dan argumen gelas senua ‘gelas itu’
berperan sebagai UNDERGOER dengan peran semantis khusus sebagai tema.
Berbeda dengan klausa (5.32a-d), klausa (5.32e) memiliki satu argumen saja,
yaitu aung aling ‘adik saya’ yang berfungsi sebagai SUBJ. Argumen tersebut
berperan sebagai ACTOR dengan peran semantis khusus sebagai pasien.
Pembahasan lebih terperinci terkait dengan peran semantis khusus yang dimiliki
oleh setiap argumen yang membangun klausa BKm dapat dilihat pada subsubbagian berikut ini.
5.4.1 Agen
Agen merupakan partisipan yang melakukan tindakan, peristiwa, atau
menyebabkan sesuatu terjadi yang dinyatakan oleh predikat verba, baik yang
disengaja maupun tidak disengaja dengan tujuan tertentu. Peran agen dalam BKm
dapat dilihat pada klausa berikut ini.
151
(5.33) a. Mane
senua leli
ai
boteng senua
Laki-laki DEF tebang pohon besar DEF
‘Laki-laki itu menebang pohon besar itu’
b. Ali
sama au-ng
Adik
injak 1TG-Lig
‘Adik menginjak tangan saya’
lima-ng
tangan-Lig
c. Ua
hai
asu
metam senua
3TG\
tendang
anjing hitam DEF
‘Dia menendang anjing hitam itu’
d. Au
tear hatu senua
1TG
lempar batu DEF
‘Saya melempar batu itu’
Argumen praverbal mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (5.33a), ali
‘adik’ pada klausa (5.33b), ua ‘dia’ pada klausa (5.33c), dan au ‘saya’ pada klausa
(5.33d) berperan sebagai pelaku/agen. Peran pelaku/agen setiap argumen klausa di
atas dengan jelas dinyatakan oleh verba leli ‘menebang’, sama ‘menginjak’, hai
‘menendang’, dan tear ‘melempar’. Argumen mane senua ‘laki-laki itu’ pada
klausa (5.33a), ali ‘adik’ pada klausa (5.33b), ua ‘dia’ pada klausa (5.33c), dan au
‘saya’ pada klausa (5.33d) dikatakan sebagai pelaku/agen dapat dibuktikan
dengan perilaku unsur inti (head) klausa yang dinyatakan oleh predikat verba leli
‘menebang’, sama ‘menginjak’, hai ‘menendang’, dan tear ‘melempar’ yang
melibatkan argumen pelaku/agen yang melakukan suatu tindakan atau kegiatan
dan argumen yang mengalami peristiwa atau tindakan, seperti yang dinyatakan
oleh verba. Misalnya, verba leli ‘menebang’ melibatkan argumen pelaku untuk
melakukan tindakan ’menebang’ dan melibatkan argumen yang mengalami
tindakan ‘ditebang’. Begitu juga verba sama ’menginjak’ melibatkan argumen
152
pelaku untuk melakukan tindakan ‘menginjak’ dan argumen yang mengalami
tindakan/peristiwa ‘diinjak’. Argumen yang sama juga dilibatkan dalam verba hai
‘menedang’ pada klausa (5.33c) dan tear ‘melempar’ pada klausa (5.33d).
5.4.2 Penyebab/Causer
Penyebab/causer merupakan partisipan/argumen yang berfungsi sebagai
penyebab suatu tindakan atau peristiwa terjadi. Pada dasarnya, penyebab
merupakan pelaku dari tindakan, kegiatan atau peristiwa, baik yang dilakukan
dengan sengaja maupun tidak sengaja
yang menyebabkan timbulnya suatu
akibat/tersebab dari tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang dinyatakan oleh
verba. Dalam kausatif terdapat dua situasi mikro yang mencakup dua istilah,
yaitu penyebab dan tersebab. Dua situasi mikro tersebut digambarkan oleh adanya
suatu peristiwa yang terjadi
(causing event) yang dilakukan oleh penyebab
(causer) yang mengakibatkan tersebab (causee) mengalami suatu kegiatan,
peristiwa,
atau
mengalami
perubahan
kondisi
yang
disebabkan
oleh
tindakan/perbuatan penyebab (causer).
Berdasarkan penjelasan di atas terungkap bahwa penyebab (causer) dan
tersebab (causee) berada dalam satu kondisi yang saling terkait karena sebuah
peristiwa terjadi mengandung dua komponen, yaitu penyebab yang merupakan
partisipan/argumen yang menyebabkan terjadinya peristiwa dan tersebab yang
merupakan partisipan/argumen yang mengalami peristiwa yang dinyatakan oleh
verba yang dilakukan olen penyebab (lihat Andrews dalam Shopen (Ed)., 1992:
153
66--71). Argumen klausa yang berfungsi sebagai penyebab/causer disajikan pada
contoh klausa berikut ini..
(5.34) a. Ali
tboa
ura
rae
Adik
memecahkan periuk tanah
‘Adik memecahkan periuk tanah’
b. Mane
senua pule
ai
sorun senua
Laki-laki DEF mematahkan pohon cabang DEF
‘Laki-laki itu mematahkan cabang pohon itu’
c. Au
tau
soleng
au-ng
1TG
KAU sedih
1TG-Lig
‘Saya membuat sedih ibu saya’
ina-ng
ibu-Lig
Contoh klausa (5.34a) di atas mengilustrasikan dua situasi mikro, yaitu
penyebab dan tersebab. Verba tboa ‘memecahkan’ melibatkan dua situasi mikro,
yaitu argumen ali ‘adik’ yang berperan sebagai penyebab (causer) dan argumen
ura
rae ‘periuk tanah’sebagai
tersebab yang mengalami peristiwa yang
diisyaratkan oleh predikat verba. Demikian pula halnya dengan klausa (5.34b dan
c). Kedua klausa tersebut juga melibatkan dua argumen yang berperan sebagai
penyebab dan tersebab. Pada klausa (5.34b), argumen mane senua ‘laki-laki itu’
berperan sebagai penyebab dan argumen ai sorun senua ‘cabang pohon itu’
berperan sebagai tersebab tindakan penyebab yang dinyatakan oleh verba pule
‘mematahkan’. Hal yang sama juga terlihat pada verba tau soleng ‘buat sedih’
pada klausa (5.34c). Verba tau soleng ‘buat sedih’ merupakan verba yang
mewajibkan dua argumen yang berperan sebagai penyebab dan tersebab.
Argumen au ‘saya’ berperan sebagai penyebab dan argumen aung inang ‘ibu
saya’ berperan sebagai tersebab tindakan yang dilakukan penyebab.
154
5.4.3 Pengalami
Parera
(1993:125)
menyatakan
bahwa
pengalami
merupakan
argumen/partisipan yang mengalami atau kena suatu peristiwa psikologis, seperti
sensasi, emosi, dan kognisi. Pendapat Parera diperkuat Vab Valin dan Foley
(1984:124) yang menyatakan bahwa pengalami merupakan argumen/partisipan
yang tidak melakukan, memainkan, memulai, memprakarsai, atau mengontrol
tindakan, tetapi lebih cenderung pada argumen/partisipan yang mengalami
pengalaman psikologis.
Terkait dengan istilah pengalami, secara logika hanya argumen bernyawa
yang dapat berperan sebagai pengalami karena argumen yang bernyawa saja yang
dapat mengalami proses psikologis, seperti sensasi, emosi, dan kognisi. Akan
tetapi, dalam disertasi ini istilah pengalami dipandang secara lebih luas sehingga
argumen yang tidak bernyawa pun dapat berperan sebagai pengalami. Peran
argumen sebagai pengalami dapat dilihat pada contoh klausa BKm yang disajikan
berikut ini.
(5.35) a. Ama
soleng los
Ayah
sedih Adv
‘Ayah sangat sedih’
b. Au
ber
hine koet senua los
1TG
suka wanita cantik DEF Adv
‘Saya sangat menyukai wanita cantik itu’
c. Asu
boteng senua tau
tinaut ua
Anjing
besar DEF KAU takut 3TG
‘Anjing besar itu menakuti dia’
d. Ina
tau
bdereng
Ibu
KAU besar
‘Ibu membersihkan kuali itu’
tasu
kuali
senua
DEF
155
Argumen ama ‘ayah’ yang berfungsi sebagai SUBJ pada klausa (5.35a)
berperan sebagai pengalami yang dinyatakan oleh predikat soleng los ‘sangat
sedih’. Argumen ama ‘ayah’ dapat pula berperan sebagai pasien. Argumen au
‘saya’ yang berfungsi sebagai SUBJ pada klausa (5.35b) berperan sebagai
pengalami yang dinyatakan oleh verba
ber ‘suka’. Argumen ua ‘dia’ yang
berfungsi sebagai OBJ pada klausa (5.35c) berperan sebagai pengalami yang
dinyatakan oleh verba tau tinaut ‘menakuti’. Argumen tasu senua ‘kuali itu’
yang berfungsi sebagai OBJ pada klausa (5.35d) berperan sebagai pengalami yang
dinyatakan oleh verba tau bdereng ‘membersihkan’. Jika dicermati lebih jauh,
terdapat perbedaan antara klausa (5.35a dan b) dan klausa (5.35c dan d).
Perbedaannya terletak pada fungsi argumen yang menjadi pengalami. Pada klausa
(5.35a dan b) argumen yang berperan sebagai pengalami berfungsi sebagai SUBJ,
sedangkan pada klausa (5.35c dan d) argumen yang berperan sebagai pengalami
berfungsi sebagai OBJ. Lebih jauh, argumen pengalami pada klausa (5.35a-c)
merupakan argumen pengalami bernyawa. Sementara, argumen pada (5.35d)
merupakan argumen pengalami tidak bernyawa.
5.4.4 Tema
Tema merupakan peran argumen yang diletakkan di suatu tempat atau
argumen yang mengalami suatu perpindahan lokasi. Dalam kalimat dengan verba
predikat intransitif, argumen tema secara gramatikal selalu berfungsi sebagai
SUBJ. Sementara itu, pada klausa dengan predikat transitif (ekatransitif atau
156
dwitransitif), argumen tema menempati posisi sebagai OBJ. Argumen tema dalam
BKm disajikan pada contoh klausa berikut ini.
(5.36) a. Roma
sole de
isikola
3JM
jalan Prep sekolah
‘Mereka berjalan ke sekolah’
b. Au
lui
buku senua de
1TG
taruh buku DEF Prep
‘Saya menaruh buku itu di meja’
meja
meja
c. Ama
ala
podi ali
paru
Ayah
beli
APL adik celana
‘Ayah membelikan adik celana’
Klausa (5.36) mengandung argumen yang berperan sebagai tema. Pada
klausa (5.36a), argumen yang berperan sebagai tema adalah argumen
roma
‘mereka’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai SUBJ. Argumen roma
‘mereka’ juga dapat berperan sebagai agen. Klausa (5.36b) memiliki argumen
buku senua ‘buku itu’ yang berperan sebagai tema dan secara gramatikal argumen
tersebut berfungsi sebagai OBJ. Demikian halnya dengan klausa (5.36c) yang
memiliki argumen tema paru ‘celana’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai
OBJ.
5.4.5 Pasien
Pasien, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa merupakan argumen
yang mengalami suatu keadaan atau mengalami suatu perubahan keadaan yang
dilakukan atau disebabkan oleh tindakan agen yang dinyatakan oleh verba yang
terdapat dalam konstruksi tersebut. Argumen pasien dalam klausa BKm tersaji
pada contoh klausa berikut ini.
157
(5.37) a. Ami
para pnaoblabag
IJM
pukul pencuri
‘Kami memukul pencuri itu’
senua
DEF
b. Ina
ta
si
manu odi
diir ana
Ibu
potong
daging ayam INST pisau
‘Ibu memotong daging ayam dengan pisau’
c. Ali
sama busa senua
Adik
injak kucing DEF
‘Adik menginjak kucing itu’
Klausa (5.37) merupakan klausa yang mengandung argumen pasien dalam
BKm. Argumen pasien pada setiap klausa (5.37a-c) di atas dengan jelas
dinyatakan oleh verba yang membangun klausa tersebut, yaitu para ‘pukul’, ta
‘potong, dan sama ‘injak’. Ketiga verba tersebut sudah pasti melibatkan argumen
agen sebagai pelaku tindakan dan argumen pasien yang mengalami perubahan
atau yang dikenai tindakan yang dilakukan oleh agen. Argumen pasien
pnaoblabag senua ‘pencuri itu’ (klausa (5.37a), si manu ‘daging ayam’ (klausa
(5.37b), dan busa senua ‘kucing itu’ (klausa 5.37c), secara gramatikal berfungsi
sebagai OBJ.
5.4.6 Alat/Instrumen
Alat/instrumen
digolongkan
ke
dalam
peran
argumen
noninti.
Alat/instrumen merupakan argumen berwujud entitas yang tidak bernyawa yang
digunakan oleh agen untuk melakukan suatu tindakan. Misalnya, verba ta
‘potong’ dalam BKm memerlukan alat/instrumen untuk melakukan tindakan yang
diungkapkan oleh verba tersebut. Salah satu cara untuk mengidentifikasi argumen
alat/instrumen dalam BKm adalah ditandai dengan hadirnya pemarkah odi
158
‘dengan’ yang hadir sebelum argumen yang berperan sebagai alat/instrumen.
Peran argumen yang berfungsi sebagai alat/instrumen disajikan pada contoh
klausa BKm di bawah ini.
(5.38)
a. Ina
ta
si
manu odi
diir ana
Ibu
potong
daging ayam INST pisau
‘Ibu memotong daging ayam dengan pisau’
b. Ama
leli
ai
boteng senua odi
diir suri
Ayah
tebang pohon besar DEF INST parang
‘ Ayah menebang pohon besar itu dengan parang’
c. Atmas
senua sali
ika
odi
blaki
Orang
DEF tangkap
ikan INST tombak
‘Orang itu menangkap ikan dengan tombak’
Klausa (5.38) di atas merupakan klausa yang menghadirkan argumen
(noninti) yang berperan sebagai alat/instrumen. Kehadiran argumen alat/instrumen
tersebut ditandai dengan hadirnya pemarkah odi ‘dengan‘ yang menempati posisi
sebelum argumen yang dimarkahi. Pada klausa (5.38a), argumen diir ana ’pisau’
berperan sebagai alat/instrumen yang digunakan oleh agen ina ‘ibu’ untuk
melakukan tindakan yang dinyatakan oleh verba ta ‘potong’. Hal yang sama juga
terlihat pada klausa (5.38b dan c). Argumen diir suri ‘parang’ pada klausa (5.38b)
dan blaki ‘tombak’ pada klausa (5.38c) berperan sebagai alat/instrumen yang
digunakan oleh agen untuk melakukan tindakan yang dinyatakan oleh verba leli
‘tebang’ (klausa 5.38b) dan verba sali ‘tangkap’ (klausa (5.38c). Kedua argumen
alat/instrumen tersebut ditandai dengan hadirnya pemarkah odi ‘dengan’.
159
5.4.7 Benefaktif/Pemanfaat
Benefaktif atau pemanfaat merupakan argumen yang menjadi acuan atau
argumen yang mendapat manfaat atau keuntungan atas tindakan yang dilakukan
oleh agen. Peran argumen benefaktif atau pemanfaat dapat dilihat pada klausa
BKm yang disajikan berikut ini.
(5.39) a. Pius
ala
podi Maria henu
Pius
beli
APL Maria kalung
‘Pius membelikan Maria kalung’
b. Ama
ne
podi au
osa
Ayah
beri APL 1TG uang
‘Ayah memberikan saya uang’
c. Ina
tau
podi ama
Ibu
buat APL ayah
‘Ibu membuatkan ayah kopi’
kohi
kopi
Klausa (5.39) mengandung argumen yang mendapatkan keuntungan atau
manfaat dari tindakan yang dilakukan agen. Argumen Maria ‘Maria’ pada klausa
(5.39a) merupakan argumen benefaktif yang mendapatkan keuntungan dari
tindakan yang dilakukan oleh agen yang dinyatakan oleh verba ala ‘beli’. Pada
klausa (5.39b) argumen au ‘saya’ berperan sebagai benefaktif dari tindakan yang
dilakukan agen yang dinyatakan oleh verba ne ‘beri’. Hal yang sama juga
terungkap dalam klausa (5.39c). Argumen ama ‘ayah’ merupakan benefaktif pada
klausa tersebut. Lebih jauh, klausa (5.39) di atas juga menunjukkan bahwa untuk
membentuk klausa yang mengandung argumen benefaktif/pemanfaat diperlukan
kehadiran pemarkah aplikatif podi.
160
5.4.8 Resipien/Penerima
Resipien atau penerima merupakan argumen yang mirip dengan benefaktif
dan tujuan. Pada dasarnya penerima merupakan argumen bernyawa yang
menerima sesuatu dari agen yang dinyatakan oleh predikat verba, sementara
tujuan lebih
kepada argumen yang tidak bernyawa. Jika dibandingkan, baik
penerima maupun benefaktif, sama-sama menerima sesuatu. Akan tetapi,
benefaktif lebih mengacu kepada keuntungan atau manfaat, sedangkan penerima
hanya bertindak sebagai penerima yang menerima sesuatu dari agen yang dapat
dikatakan tidak mengandung unsur keuntungan atau manfaat.
(5.40) a. Au
solok podi ina
1TG
kirim APL ibu
‘Saya mengirimi ibu surat’
surat
surat
b Au
solok surat de
ina
1TG
kirim surat Prep ibu
‘Saya mengirim surat kepada ibu’
(5.41) a. Au
pegegini
podi
1TG
pinjam
APL
‘Saya meminjami adik buku’
ali
adik
buku
buku
b. Au
pegegini
buku de
ali
1TG
pinjam
buku Prep adik
‘Saya meminjamkan buku kepada adik’
Argumen ina ‘ibu’ pada klausa (5.40a) dan (5.40b) merupakan argumen
yang berfungsi sebagai penerima. Argumen ina ‘ibu’ pada klausa (5.40a) hadir
dengan pemarkah aplikatif podi, sedangkan argumen ina ‘ibu’ pada klausa (5.40b)
hadir dengan pemarkah preposisi de. Hal yang sama dapat dicermati pula pada
klausa (5.41 a) dan (5.41b).
Argumen ali ‘adik ‘ merupakan argumen yang
berperan sebagai penerima dari tindakan yang dilakukan oleh agen yang
161
dinyatakan oleh predikat verbal. Argumen ali ‘adik’ pada klausa (5.41a)
dimarkahi oleh pemarkah aplikatif podi, sedangkan argumen penerima pada
klausa (5.41b) dimarkahi oleh preposisi de.
5.4.9 Sumber/Asal
Peran sumber atau asal mengacu kepada variasi kasus yang melibatkan
situasi yang ambigu antara penerima dan sasaran. Jika dalam sebuah konstruksi
terdapat perpindahan OBJ, posisi akhir tempat berpindahnya OBJ merupakan
penerima. Sementara, jika argumen yang berfungsi sebagai OBJ bergerak,
argumen pada posisi akhir merupakan tujuan.
Peran sumber/asal melibatkan
argumen dalam situasi yang sama pada posisi awal—SUBJ merupakan sumber
dan OBJ merupakan tema. Predikat verbal yang berbeda menyebabkan tidak
semua SUBJ merupakan argumen sumber karena argumen sumber berfungsi pula
sebagai OBL yang dimarkahi oleh preposisi dase. Di samping itu, argumen yang
beperan sebagai sumber dapat pula berperan sebagai agen, seperti yang terlihat
pada klausa BKm berikut ini.
(5.42) a. Ama
ne
podi au
osa
Ayah
beri APL 1TG uang
‘Ayah memberikan saya uang’
b. Au
toma osa
dase ama
1TG
dapat uang Prep ayah
‘Saya mendapat uang dari ayah’
Argumen ama ‘ayah’ pada klausa (5.42a) merupakan argumen yang
berperan sebagai sumber/asal yang secara gramatikal argumen tersebut berfungsi
sebagai SUBJ. Situasi sebaliknya terjadi pada klausa (5.42b). Argumen sumber
162
ama ‘ayah’ pada klausa tersebut secara gramatikal berfungsi sebagai OBL yang
dimarkahi preposisi dase.
5.4.10 Tujuan
Peran argumen tujuan memiliki kemiripan dengan peran argumen
penerima. Perbedaannya terletak pada entitas bernyawa dan tidak bernyawa.
Peran argumen tujuan lebih cenderung sebagai argumen yang tidak bernyawa.
Sementara, penerima lebih cenderung sebagai argumen yang bernyawa. Di
samping itu, perbedaan antara penerima dan tujuan terlihat pada pemarkah yang
memarkahi kedua argumen tersebut. Argumen penerima dapat dimarkahi oleh
pemarkah aplikatif podi dan preposisi, sementara argumen tujuan hanya dapat
dimarkahi oleh preposisi, seperti yang tersaji pada contoh klausa BKm berikut
ini.
(5.43) a. Ama
solok osa
de
Kupang
Ayah
kirim uang Prep Kupang
‘Ayah mengirim uang ke Kupang’
b. Roma
sole de
isikola
3JM
jalan Prep sekolah
‘Mereka pergi ke sekolah’
Argumen Kupang ‘Kupang’ dan argumen isikola ‘sekolah’ pada klausa
(5.43) merupakan argumen yang berperan sebagai tujuan. Jelas bahwa kedua
argumen yang berperan sebagai tujuan tersebut merupakan entitas yang tidak
bernyawa. Di samping itu, ciri argumen tujuan juga terlihat dengan pemarkah
yang memarkahi argumen tujuan, yaitu preposisi.
163
5.4.11 Lokatif
Peran argumen lokasi merupakan peran argumen yang mengacu kepada
tempat. Argumen lokatif ini berfungsi sebagai adjung sehingga argumen yang
berperan sebagai lokatif merupakan argumen noninti/OBL. Klausa berikut
menyajikan argumen lokatif dalam BKm.
(5.44) a. Roma
ala
baru de
basar
3JM
beli
baju Prep pasar
‘Mereka membeli baju di pasar’
b. Au
eto
guru koet de isikola
1TG
lihat guru cantik Prep sekolah
‘Saya melihat guru cantik di sekolah’
Argumen basar ‘pasar dan isikola ‘sekolah’ pada klausa (5.44) di atas
merupakan argumen yang berperan sebagai lokatif. Kedua argumen tersebut
dimarkahi preposisi.
Contoh klausa dan uraian yang disajikan di atas menunjukkan bahwa BKm
memiliki peran semantis umum argumen, yaitu ACTOR dan UNDERGOER. Peran
semantis umum argumen BKm tersebut dapat diperinci menjadi peran-peran
semantis khusus yang meliputi agen, penyebab/causer, pengalami, tema, pasien,
alat/instrumen, benefaktif/pemanfaat, resipien/penerima, sumber/asal, tujuan, dan
lokatif.
Satu argumen dapat memiliki peran lebih dari satu, misalnya dalam
kalimat au ne podi ua osa ‘saya memberikan dia uang‘. Argumen au ‘saya’ yang
berfungsi sebagai SUBJ memiliki dua peran semantik, yaitu sebagai sumber dan
sekaligus sebagai agen.
164
5.5 Tipe Semantis Verba Bahasa Kemak
Bagian sebelumnya telah menguraikan predikasi BKm yang mencakup
predikat dan struktur argumen BKm dan peran semantis argumen BKm yang
meliputi peran semantis umum, yaitu ACTOR dan UNDERGOER yang dijabarkan
ke dalam peran semantis khusus: agen, pasien, penyebab/causer, pengalami, tema,
penerima, sumber, benefaktif, instrumen/alat, dan lokatif (lihat juga Andrews
dalam Shopen (ed.), 1992: 71--70). Telah diuraikan pula bahwa predikasi BKm
dapat dibangun oleh predikat verbal dan nonverbal, dan argumen-argumen yang
diisyaratkan hadir oleh predikat, serta terdapat pula unsur bukan argumen yang
hadir dalam predikasi BKm. Bagian ini menitikberatkan pada pembahasan tentang
tipe semantis verba BKm terkait dengan pembahasan tipologis sintaksis suatu
bahasa berkaitan erat dengan predikat klausa/kalimat yang ditempati unsur verbal.
Bab IV disertasi ini telah menguraikan secara singkat tentang sistem
morfologi verba BKm yang mencakup pembahasan verba BKm beserta proses
morfologis yang ditemukan dalam BKm. Bab tersebut sama sekali tidak
mengungkapkan atau menguraikan secara lebih terperinci tentang tipe semantis
verba BKm. Oleh karena itu, pada subbagian disertasi ini dibahas tentang tipe
semantis verba BKm.
Terkait dengan pembahasan tipe semantis verba BKm, Van Valin dan
LaPolla (1997:83) mengungkapkan bahwa bahasa memiliki fungsi komunikatif.
Fungsi komunikatif bahasa adalah untuk mengungkapkan fenomena alam yang
muncul di dunia. Lebih jauh, Van Valin dan LaPolla (1997:83) menguraikan
165
bahwa fenomena alam yang diungkapkan oleh bahasa dapat dibedakan menjadi
empat kelompok situasi kebahasaan (state of affairs) sebagai berikut.
(1) Keadaan merupakan situasi kebahasaan yang bersifat statis atau nondinamis
yang mencakup
lokasi partisipan, situasi atau kondisi partisipan, dan
pengalaman partisipan.
(2) Peristiwa merupakan situasi kebahasaan yang terjadi secara spontan.
(3) Proses merupakan situasi kebahasaan yang menggambarkan perubahan dan
perubahan tersebut memakan waktu yang lama atau perubahan yang terjadi
membutuhkan waktu yang lama.
(4) Aksi merupakan situasi kebahasaan yang bersifat dinamis. Sifat dinamis ini
digambarkan oleh partisipan dengan melakukan suatu tindakan.
Keempat situasi kebahasaan tersebut melibatkan situasi yang bervariasi
karena mengandung dimensi yang meliputi (1) jumlah argumen/partisipan yang
terlibat, (2) titik akhir, dan (3) spontanitas. Satu situasi kebahasaan yang sama
dapat memiliki situasi yang berbeda dengan situasi kebahasaan dalam
kelompoknya jika jumlah argumennya berbeda. Titik akhir merupakan dimensi
lain yang juga dapat memengaruhi suatu situasi kebahasaan tertentu apabila satu
situasi kebahasaan memiliki titik akhir dibandingkan dengan situasi kebahasaan
yang tidak memiliki titik akhir. Berikut ini disajikan klausa BKm yang
mengungkapkan situasi kebahasaan yang berbeda-beda.
(5.45) a. Au-ng
ali-ng
1TG-Lig adik-Lig
‘Adik saya takut’
tinaut
takut
166
b Au-ng
ali-ng
tinaut asu metam senua
1TG-Lig adi-Lig takut anjing hitam DEF
‘Adik takut anjing hitam itu
(5.46) a. Gelas
senua mnahu
Gelas
DEF jatuh
‘Gelas itu jatuh’
b. Au
tau
mnahu
1TG
KAU jatuh
‘Saya menjatuhkan gelas itu’
(5.47)
Ina
taua uta
Ibu
masak sayur
‘Ibu memasak sayur’
(5.48)
Au
para ana
senua
1TG
pukul anak DEF
‘Saya memukul anak itu’
gelas senua
gelas DEF
Klausa di atas menggambarkan empat situasi yang berbeda dalam BKm.
Klausa (5.45a dan b) menggambarkan situasi kebahasaan keadaan; klausa (5.46a
dan
b)
menggambarkan
situasi
kebahasaan
peristiwa;
klausa
(5.47)
menggambarkan situasi kebahasaan yang berbeda, yaitu situasi kebahasaan
proses; dan klausa (5.48) menggambarkan situasi kebahasaan aksi. Jika dicermati
lebih jauh, klausa (5.45a) dan klausa (5.45b) memiliki perbedaan. Perbedaannya
terletak pada dimensi jumlah argumen yang terlibat dalam situasi kebahasaan
tersebut. Klausa (5.45a) memiliki satu argumen, yaitu aung aling ‘adik saya’,
sedangkan klausa (5.45b) memiliki dua argumen, yaitu aung aling ‘adik saya’
dan asu metam senua ‘anjing hitam itu’. Berdasarkan kedua situasi kebahasaan
tersebut terungkap bahwa perasaan takut aung aling ‘adik saya’ pada klausa
(5.45a) tidak diketahui penyebab pastinya, sementara perasaan takut aung aling
167
‘adik saya’ pada klausa (5.45b) disebabkan oleh asu metam senua ‘anjing hitam
itu’.
Perbedaan juga terlihat pada klausa (5.46). Klausa (5.46a) hanya
melibatkan satu argumen, yaitu gelas senua ‘gelas itu’, sementara pada klausa
(5.46b) melibatkan dua argumen, yaitu argumen au ‘saya’ dan gelas senua ‘gelas
itu’. Perbedaan situasi kebahasaan pada klausa (5.46) terungkap pula bahwa pada
klausa (5.46) peristiwa gelas senua mnahu ‘gelas itu jatuh’ tidak pernah diketahui
penyebabnya, mungkin bisa disebabkan oleh angin, binatang, atau oleh seseorang,
sementara pada klausa (5.46) peristiwa gelas senua mnahu ‘gelas itu jatuh’ sudah
pasti disebabkan oleh argumen au ‘saya’, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Klausa (5.47) yang menyatakan situasi kebahasaan proses melibatkan dua
partisipan, yaitu ina ‘ibu’ melakukan aktivitas memasak uta ‘sayur’. Aktivitas
yang dilakukan ini memerlukan sebuah proses dan membutuhkan waktu dari
sayur yang sebelumnya masih mentah dan menjadi sayur yang siap dimakan
setelah proses memasak. Klausa (5.48)
jelas sekali menggambarkan situasi
kebahasaan yang menyatakan aksi yang melibatkan dua argumen, yaitu au ‘saya’
yang merupakan argumen yang melakukan aksi para ‘memukul’ dan argumen
ana senua ‘anak itu’ yang merupakan argumen yang dikenai aksi/tindakan yang
dilakukan oleh argumen au ‘saya’.
Berdasarkan uraian di atas, empat situasi kebahasaan tersebut dapat
dinyatakan dengan mengacu kepada tipe semantis verba yang didasarkan pada
aktionsart, yaitu (1) situasi kebahasaan yang menyatakan situasi/keadaan
dinyatakan verba state/keadaan, (2) situasi kebahasaan yang menyatakan peristiwa
168
dapat dinyatakan verba achievement, (3) situasi kebahasaan yang menyatakan
proses dapat dinyatakan verba accomplishment, dan (4) situasi kebahasaan yang
menyatakan aksi dapat dinyatakan verba aktivitas. Keempat tipe semantis verba
yang mengacu kepada aktionasart ditentukan berdasarkan tiga sifat, yaitu (1)
statis, (2) telis, dan (3) ketepatan waktu (pungtual). Tabel (5.5) di bawah
menyajikan tipe semantis verba yang didasarkan pada aktionasart untuk
menghindari tumpang tindihnya tipe semantis verba terkait dengan pembahasan
perubahan valensi verba.
Situasi
Kebahasaan
Tipe
Semantik
Verba
1
2
3
4
5
Keadaan
Peristiwa
Proses
Aksi
Keadaan
[+statis] [-telis]
[-tepat waktu]
Achievement
[-statis] [-telis]
[-tepat waktu]
Accomplishment
[-statis] [+telis]
[-tepat waktu]
Aktivitas
[-statis] [+telis]
[+tepat waktu]
tinaut ‘takut’
bue ‘tidur’
koleng
‘lelah’
ber
‘menyukai’
gabarang
‘sakit’
mnahu ‘jatuh’
teta ‘patah’
kariang
‘tumpah’
tura ‘putus’
apan ‘hancur’
tau ‘buat’
sana ‘asah’
taua ‘masak’
para ‘pukul’
ele ‘cari’
hai ‘tendang’
telu’u
‘sambung’
estuda
‘belajar’
enu ‘minum’
dale ‘bicara’
Tabel 5.5: Tipe Semantis Verba Bahasa Kemak
Pembagian tipe semantis verba BKm yang disajikan pada tabel (5.5) di
atas
mengungkapkan
bahwa
(1)
situasi
kebahasaan
yang
menyatakan
keadaan/situasi dinyatakan oleh verba state/keadaan, seperti verba tinaut ‘takut,
bue ‘tidur’, dan koleng ‘sedih’; (2) situasi kebahasaan yang menyatakan peristiwa
dinyatakan oleh verba achievement, seperti verba mnahu ‘jatuh’, teta ‘patah’, dan
kariang ‘tumpah’; (3) situasi kebahasaan yang menyatakan proses dinyatakan
verba accomplishment, seperti verba tau ‘buat’, taua ‘masak’, dan sana ‘asah’;
169
serta (4) situasi kebahasaan yang menyatakan aksi dinyatakan oleh verba aktivitas,
seperti ele ‘mencari’, para ‘memukul’, dan dale ‘berbicara’.
Sifat statis merupakan hal yang mendasar yang digunakan untuk
membedakan antara verba yang menyatakan tindakan dan verba yang tidak
menyatakan tindakan. Ciri statis dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah
sebuah verba bersifat statis atau tidak. Statis dan tidak statisnya verba dapat
diidentifikasi dengan mengacu kepada pertanyaan ”apa yang terjadi atau apa yang
sedang terjadi?” Jika verba tersebut bersifat tidak statis, verba tersebut dapat
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Sebaliknya, jika verba tidak dapat
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, verba tersebut merupakan verba
statis. Berikut disajikan klausa BKm yang menggambarkan sifat statis dan tidak
statis verba.
(5.49) a. Hine
koet senua tinaut
Wanita cantik DEF takut
‘Wanita cantik itu takut’
b. Au
tau
tinaut hine koet senua
1TG
KAU takut wanita cantik DEF
‘Saya menakuti wanita cantik itu’
Klausa (5.49) di atas mengungkapkan situasi kebahasaan yang [+statis]
dan [-statis]. Sifat [+statis] tergambar pada klausa (5.49a), sedangkan sifat [statis] tergambar pada klausa klausa (5.49b). Sifat [+statis] situasi tinaut ‘takut’
dapat diidentifikasi karena situasi tersebut tidak dapat menjawab pertanyaan “apa
yang terjadi atau apa yang sedang terjadi?”; sedangkan sifat [-statis] pada klausa
(5.49b) dapat diidentifikasi karena situasi tersebut dapat menjawab pertanyaan apa
yang terjadi atau apa yang sedang terjadi?”.
170
Sifat [+telis] situasi dapat diidentifikasi berdasarkan titik akhir yang
dimiliki oleh suatu situasi kebahasaan. Apabila situasi tidak memiliki titik akhir,
situasi tersebut dapat diidentifikasi sebagai [-telis]. Sementara, apabila situasi
memiliki titik akhir, situasi tersebut merupakan situasi [+telis]. Berikut disajikan
klausa BKm yang menyatakan situasi [+telis] dan [-telis].
(5.50) a. Atmas
senua bue
Orang
DEF tidur
‘Orang itu tidur’
b. Ali
betu
busa senua
Adik
tendang
kucing DEF
‘Adik menendang kucing itu’
Klausa (5.50) memggambarkan situasi [-telis] dan situasi [+telis] dalam
BKm. Klausa (5.50a) merupakan situasi [-telis] karena situasi yang digambarkan
oleh verba bue ‘tidur’ tidak memiliki titik akhir. Kapan berakhirnya situasi
tersebut tidak dapat diketahui. Sebaliknya, klausa (5.50b) menggambarkan situasi
[+telis] yang tersirat oleh makna inheren verba betu ‘tendang’ yang memiliki titik
akhir. Titik akhir situasi tesebut adalah ketika kucing tertendang.
Sifat [+pungtual] atau ketepatan waktu sebuah situasi dapat diidentifikasi
berdasarkan waktu sebuah situasi berlangsung. Sebuah situasi yang membutuhkan
waktu atau proses untuk menyatakan sebuah situasi terjadi atau situasi tidak
bersifat spontan dikatakan memiliki sifat [-pungtual]. Sementara itu, sebuah
situasi yang secara singkat dapat menyatakan sebuah situasi terjadi atau secara
spontan dikatakan memiliki sifat [+pungtual]. Berikut contoh kausa BKm yang
mengungkapkan situasi [+pungtual] dan [-pungtual].
171
(5.51) a. Ua
unu atmas senua
3TG
tusuk orang DEF
‘Dia menusuk orang itu’
b. Ina
sego ika
Ibu
goreng ikan
‘Ibu menggoreng ikan’
Klausa (5.51) merupakan klausa yang menggambarkan dua situasi yang
berbeda, yaitu [+pungtual] dan [-pungtual]. Klausa (5.51a) mengungkapkan
situasi [+pungtual] karena situasi yang diungkapkan verba unu ‘tusuk’ memiliki
tingkat ketepatan waktu yang tinggi dibandingkan dengan situasi yang
diungkapkan verba sego ‘goreng’.
Berdasarkan uraian di atas, situasi kebahasaan (state of affairs) BKm
dinyatakan dengan empat tipe semantis verba yang mengacu kepada aktionasart
yang ditentukan berdasarkan tiga sifat, yaitu (1) statis, (2) telis, dan (3) ketepatan
waktu (pungtual). Empat tipe semantis verba BKm meliputi (1) verba keadaan—
diungkapkan dengan verba situasi, seperti tinaut ‘takut dan bue ‘tidur’; (2) verba
achievement—diungkapkan dengan verba peristiwa, seperti mnahu ‘jatuh’ dan teta
‘patah’; (3) verba accomplishment—diungkapkan dengan verba proses, seperti
taua ‘masak’ dan tau ‘buat’; serta (4) verba aktivitas—diungkapkan dengan verba
aksi, seperti tutu ‘pukul’ dan betu ‘tendang’.
5.6 Frasa Verbal Bahasa Kemak
Bagian sebelumnya telah membahas tipe semantis verba yang menyangkut
tipe-tipe verba yang dapat menempati posisi predikat klausa dan implikasi tipe
verba tersebut terhadap jumlah argumen yang terlibat dalam klausa. Pembahasan
172
tentang frasa verbal terkait erat pula dengan pembahasan tentang tipe semantis
verba karena frasa verbal dibentuk oleh verba sebagai unsur utama (head) dan
dapat disertai oleh unsur-unsur lain dalam sebuah klausa atau kalimat. Frasa
verbal merupakan frasa yang unsur intinya adalah verba dan biasanya dapat
disertai oleh unsur-unsur, seperti kala, aspek, modus, negasi, dan adverbial
yang berfungsi sebagai modifier frasa. Konstruksi FV BKm yang disertai dengan
modifier dapat hadir pada posisi praverbal, seperti tersaji pada klausa berikut ini.
(5.52) a. Au
ei
mai
de
isikola
1TG
akan datang Prep sekolah
‘Saya akan datang ke sekolah besok’
matamai
besok
b. Ama
ti
no
osa
Ayah
tidak punya uang
‘Ayah tidak mempunyai uang’
c. Ali
hei
a
sele
Adik
masih makan jagung
‘Adik sedang makan jagung’
d. Roma
los
la
de
Kupang
3JM
harus pergi Prep Kupang
‘Mereka harus pergi ke Kupang’
Klausa (5.52) merupakan klausa BKm yang dibangun oleh FV sebagai
inti. Klausa (5.52a) dibangun oleh PV ei mai de isikola matamai ‘akan datang ke
sekolah besok’, klausa (5.52b) dibangun oleh FV ti no osa ‘tidak punya uang’,
klausa (5.52c) dibangun oleh FV hei a sele ‘sedang makan jagung’, dan klausa
(5.52d) dibangun oleh FV los la de Kupang ‘harus pergi ke Kupang’. Lebih jauh,
setiap FV yang membangun klausa (5.52) disertai pula oleh aspek, negasi, dan
modus, yaitu aspek futuratif ei ‘akan’ pada kluasa (5.52a), negasi ti ‘tidak’ pada
173
klausa (5.52b), aspek kontinuatif hei ’sedang’ pada klausa (5.52c), dan modus
los ‘harus’ pada klausa (5.52d). Baik aspek futuratif ei ‘akan’, aspek kontinuatif
hei ‘sedang’, maupun negasi ti ‘tidak’ dan modus los ‘harus’, semuanya hadir
menempati posisi sebelum verba (praverbal).
Berikut ini disajikan klausa BKm yang dibangun oleh FV yang disertai
oleh unsur lain yang menempati posisi setelah verba (posverbal).
(5.53) a. Au-ng
ali-ng
nagi
1TG-Lig Adik-Lig
berenang
‘Adik saya bisa berenang di sungai’
mloing
bisa
de
Prep
holang
sungai
b. Hine
senua hali kasai dase Atambua
Wanita DEF pulang sudah Prep Atambua
‘Wanita itu sudah pulamg dari Atambua’
Klausa (5.53) merupakan klausa yang dibangun FV nagi mloing de
holang ‘bisa berenang di sungai’ pada klausa (5.53a) dan hali kasai dase Atambua
‘sudah pulang dari Atambua’. Kedua FV tersebut disertai modus mloing ‘bisa’
pada klausa (5.53a) dan aspek perfektif kasai ‘sudah/telah’ pada klausa (5.53b)
yang hadir atau menempati posisi setelah verba (posverbal).
Berikut ini disajikan klausa BKm yang disertai oleh negasi yang
merupakan gabungan dari negasi ti ‘tidak’ dan aspek perfektif hei ‘sudah’ yang
membentuk makna ‘belum’ dan ‘tidak bisa’.
(5.54) a. Atmas
senua ti
ruis hei
Orang
DEF tidak mandi sudah
‘Orang itu belum mandi’
b. Au-ng
he-ng
ti
hali mloing dase
1TG-Lig istri-Lig
tidak pulang bisa Prep
‘Istri saya tidak bisa pulang dari kota’
Kota
Kota
174
c. Au
los
baca mloing
1TG
harus baca bisa
‘Saya harus bisa membaca’
Klausa (5.54) menunjukkan bahwa klausa BKm dibangun oleh FV yang
disertai unsur negasi yang menempati posisi sebelum verba (praverbal) dan aspek
perfektif yang menempati posisi setelah verba (posverbal). Klausa (5.54a)
dibangun oleh negasi ti ‘tidak’ yang hadir di sebelah kiri atau sebelum verba ruis
‘mandi’ dan aspek perfektif hei ‘sudah’ yang hadir di sebalah kanan atau setelah
verba ruis ‘mandi’. Klausa (5.54b) dibangun negasi ti ‘tidak’ yang hadir di
sebelah kiri verba hali ‘pulang’ dan modus mloing ‘bisa’ yang hadir di sebelah
kanan verba hali ‘pulang’. Pada klausa (5.54c), modus los ‘harus’ hadir di
sebelah kiri verba baca ‘baca’ dan modus mloing ‘bisa’ yang hadir di sebelah
kanan verba baca ‘baca’.
Berikut disajikan klausa BKm yang dibangun oleh FV yang disertai dua
unsur yang menempati posisi, baik sebelum verba maupun sesudah verba.
(5.55) a. Au
ti
ei
hali de
1TG
tidak akan pulang Prep
‘Saya tidak akan pulang ke rumah’
uma
rumah
b. Kepala desa senua ti
los
botu
Kepala desa DEF tidak harus bertemu
‘Kepala desa tidak harus bertemu saya’
au
1TG
c. Ali
nagi
kasai mloing
‘Adik
berenang
sudah bisa’
‘Adik sudah bisa berenang’
Klausa (5.55) dibangun oleh FV yang ditempati oleh verba sebagai inti
(head) dan unsur lain yang menyertainya. Terdapat dua unsur lain yang menyertai
FV pada klausa (5.55), yaitu negasi ti ‘tidak’ dan aspek futuratif ei ‘akan’ pada
175
klausa (6.55a), negasi ti ‘tidak’ dan modus los ‘harus’ pada klausa (5.55b). Kedua
gabungan unsur yang menyertai klausa (5.55a) dan klausa (5.55b) menempati
posisi sebelum verba (praverbal). FV pada klausa (5.55c) juga disertai oleh dua
unsur, yaitu aspek perfektif kasai ‘sudah’ dan modus mloing ‘bisa’. Kedua unsur
yang menyertai verba tersebut berada di sebelah kanan verba atau sesudah verba.
BKm memiliki FV yang dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus,
dan negasi yang menempati posisi sebelum verba (praverbal) dan setelah verba
(posverbal). Aspek ei ‘akan’ dan hei ‘sedang’ menempati posisi sebelum verba,
sedangkan aspek kasai ‘sudah’
berada setelah verba.
Modus mloing ‘bisa’
menempati posisi setelah verba dan modus los ‘harus’ menempati posisi sebelum
verba. Negasi ti ‘tidak’ menempati posisi sebelum verba. Di samping dapat
disertai satu unsur aspek, modus, dan negasi, FV BKm juga dapat dibentuk oleh
verba dan disertai oleh gabungan dua unsur, antara negasi dan aspek, seperti ti +
ei ‘tidak+akan’ dalam kalimat au ti ei hali de uma ‘saya tidak akan pulang ke
rumah’; negasi+modus, seperti ti+V+mloing ‘tidak+V+bisa’ dalam kalimat aung
heng
ti hali mloing dase Kota ‘istri saya tidak bisa pulang dari kota’;
modus+modus, seperti los+V+mloing ‘harus+V+bisa’ dalam kalimat au los baca
mloing ’saya harus bisa membaca’; dan aspek + modus, seperti kasai mloing
‘sudah bisa’ dalam kalimat Ali nagi kasai
mloing ‘adik sudah bisa berenang’.
5.7 Serialisasi Verba Bahasa Kemak
Bagian sebelumnya telah menguraikan klausa BKm yang dibangun oleh
FV yang terdiri atas verba dan unsur-unsur, seperti aspek, negasi, dan modus.
176
Pembahasan tentang serialisasi verba pada bagian ini menjadi satu kesatuan
dengan pembahasan-pembahasan dalam bab ini karena klausa atau kalimat dalam
BKm tidak saja dapat dibangun oleh FV yang mengandung satu verba tunggal,
tetapi juga dapat dibangun oleh serangkaian verba yang berfungsi sebagai satu
predikat tunggal.
Aikhenvald (2006:1) mengungkapkan bahwa serialisasi verba merupakan
konstruksi yang dibentuk lebih dari satu verba. Semua verba yang membangun
serialisasi verba tersebut merupakan predikat tunggal yang tidak mengizinkan
adanya pemarkah dependensi sintaksis arntarkomponen yang membentuknya.
Klausa dengan serialisasi verba memiliki khazanah intonasi sebagai klausa dengan
verba tunggal sehingga tidak membutuhkan perbedaan intonasi antara
komponennya. Konstruksi serialisasi verba hanya memiliki satu penanda kala,
aspek, modus, modalitas, dan diatesis yang menyatakan satu kejadian tunggal.
Lord (1997: 2) juga mengungkapkan bahwa serialisasi verba merupakan
konstruksi yang dibangun oleh beberapa verba
yang mengungkapkan satu
peristiwa tunggal yang diungkapkan secara berurutan oleh verba yang
membentuknya. Urutan verba dalam serialisasi verba ini biasanya diawali verba
aksi atau verba keadaan dan verba yang mengikutinya biasanya menggambarkan
perkembangan, akibat, hasil, tujuan, atau titik puncak.
Senada dengan kedua pendapat ahli tersebut di atas, Durie (1997: 291)
menyatakan bahwa serialisasi verba terbentuk karena dua verba atau lebih berada
dalam posisi yang berdampingan dan verba-verba tersebut bertindak sebagai satu
predikat tunggal. Komponen verba yang membentuk serialisasi verba
dapat
177
diikat, baik secara sintaksis maupun secara morfologis. Verba yang membentuk
serialisasi verba secara bersama-sama membagi argumen inti. Tidak ada argumen
dalam konstruksi serialisasi yang hanya dimilikikan oleh satu verba dalam
konstruksi serialiasi verba tersebut. Lebih lanjut, verba-verba yang membentuk
serialisasi verba ini tidak memiliki hubungan koordinasi, subordinasi, tidak dapat
memiliki penanda kala, modus, aspek, dorongan ilokusi, dan negasi secara
tersendiri.
Berdasarkan ketiga pendapat tersebut di atas, dapat ditarik benang merah
bahwa konstruksi serialisasi verba pada prinsipnya merupakan
konstruksi
monoklausal yang terbentuk dari paling tidak dua verba inti yang saling
berdampingan dan tidak memiliki hubungan komplementasi, yaitu hubungan
antara atasan dan bawahan.
Klausa BKm berikut menggambarkan konstruksi verba serial (KVS) yang
dibangun oleh dua verba.
(5.56) a. Ami
ber
ala
baru de
2JM
suka beli
baju Prep
‘Kamu suka membeli baju di kota’
b. Ita
la
ruis de
1JM
pergi mandi Prep
‘Kita pergi mandi di sungai’
kota
kota
holang
sungai
c. Au
mai
nita osa
1TG
datang minta uang
‘Saya datang minta uang’
d. Au-ng
ama-ng
e
enu
kohi
1TG-Lig ayah-Lig
ingin minum kopi
‘Ayah saya ingin| minum kopi’
178
e. Pius
la
soi
bea
de
Pius
pergi timba air
Prep
‘Pius pergi menimba air di sumur’
bea
air
matang
mata
f. Roma
bebe’i tutu atmas senua
3JM
ikut pukul orang DEF
‘Mereka ikut memukul orang itu’
Klausa (5.56) merupakan klausa tunggal atau klausa sederhana yang
dibangun oleh FV yang ditempati oleh verba serial yang terdiri atas dua verba.
Klausa (5.56a) memiliki predikat yang ditempati verba serial
ber ala ’suka
membeli’, klausa (5.56b) memiliki predikat verba serial la ruis ‘pergi mandi’,
klausa (5.56c) memiliki predikat verba serial mai nita ‘datang minta’, klausa
(5.56d) memiliki predikat verba serial e enu ‘ingin minum’, klausa (5.56e)
memiliki predikat verba serial la soi ‘pergi timba’, dan klausa (5.56f) memiliki
predikat verba serial bebe’i tutu ‘ikut pukul’. Lebih jauh, konstruksi verba serial
dengan dua verba berperilaku seperti verba tunggal atau sederhana yang
menjalankan fungsi predikat
sebuah klausa atau kalimat. Fungsi gramatikal
subjek pada konstruksi verba serial menjadi subjek bersama bagi kedua verba
yang membentuk konstruksi verba serial, seperti pada klausa (5.56a) subjek
gramatikal
ami ‘kamu’ yang menjadi milik verba ber ‘suka’ dan verba ala
‘membeli’. Hal yang sama juga terjadi pada klausa (5.56b--f). Subjek gramatikal
konstruksi verba serial tersebut menjadi milik kedua verba. Subjek ita ‘kita’
menjadi milik verba la ‘pergi’ dan ruis ‘mandi’ pada klausa (5.65b). Subjek au
‘saya’ menjadi milik verba mai ‘datang’ dan nita ‘minta’ pada klausa (6.56c).
Verba e ‘mau’ dan verba enu ‘minum’ pada klausa (6.56d) memiliki satu subjek,
yaitu aung amang ‘ayah saya’. Demikian pula halnya dengan klausa (5.56e) dan
179
(5.56f). Verba la ‘pergi’ dan soi ‘timba’ memiliki satu subjek, yaitu Pius ‘Pius’
pada klausa (5.56e). Subjek roma ‘mereka’ pada klausa (6.56f) dimiliki bersamasama oleh verba bebe’i ‘ikut’ dan tutu ‘pukul’.
Di samping membagi fungsi gramatikal subjek, kedua verba yang
membentuk konstruksi verba serial juga membagi objek, seperti objek gramatikal
baru ‘baju’ pada klausa (5.56a) yang dimiliki secara bersama-sama oleh verba
ber ‘suka’ dan verba ala ‘membeli’. Kluasa (5.56b) tidak memiliki argumen objek
gramatikal. Sementara, klausa (5.56c--f) memiliki objek yang secara bersamasama dimiliki oleh verba serial klausa tersebut.
Struktur klausa (str-k) dengan predikat yang ditempati oleh konstruksi
verba serial (dua verba) BKm direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini.
K
FN1
FV
FN2
N2
V1
Ami
Kamu
FP
Prep
FN3
de
di
kota
Kota
V2
ber
suka
ala
baru
membeli baju
Diagram 5.1 KVS BKm dengan Dua Verba
180
Verba serial dengan tiga verba BKm biasanya diawali oleh verba e ‘ingin’,
verba ber ‘suka’, verba laka ’suruh’, verba bebe’i ‘ikut’, dan verba gesa ‘coba’.
Berikut ini disajikan konstruksi verba serial (KVS) yang dibangun oleh tiga verba.
(5.57)
a. O
e
la
soi
bea
2TG
ingin pergi timba air
Prep
‘Engkau mau pergi timba air di sumur’
de
bea matang
sumur
b. Hine
senua ber
mai odi
uta
de
Wanita DEF suka datang bawa sayur Prep
‘Wanita itu suka datang membawa sayur ke rumah’
c.
Ina
laka la
ala
si
de
Ibu
suruh pergi beli
daging Prep
‘Ibu suruh pergi beli daging di pasar’
uma
rumah
basar
pasar
d. Ita
bebe’i mai
eto
ama Bupati de
kantor desa
1JM
ikut datang lihat bapak Bupati Prep kantor desa
‘Kita ikut datang melihat bapak Bupati di kantor Desa’
e.
Ama
gesa mai
hoat osa
de
Ayah
coba datang pinjam uang Prep
‘Ayah coba datang meminjam uang di bank’
bank
bank
Klausa (5.57) merupakan klausa tunggal atau klausa sederhana yang
dibentuk oleh FV yang ditempati oleh verba serial yang terdiri atas tiga verba.
Klausa (5.57a) memiliki FV yang ditempati verba serial e la soi ‘ingin pergi
timba’; klausa (5.57b) dibangun oleh FV yang terdiri atas tiga verba, yaitu ber
mai odi ’suka datang bawa’, klausa (5.57c) memiliki FV dengan verba serial laka
la ala ‘suruh pergi beli’, klausa (5.57d) memiliki FV dengan verba serial bebe’i
mai eto ‘ikut datang lihat’, klausa (5.56e) dibentuk oleh FV dan verba serial gesa
mai hoat ‘coba datang pinjam’. Fungsi gramatikal subjek dan objek sama-sama
menjadi milik ketiga verba yang membangun konstruksi verba serial klausa
181
tersebut. Misalnya, verba e la soi ‘ingin pergi timba’ pada klausa (5.57a) yang
secara bersama-sama memiliki argumen subjek o ‘engkau’ dan argumen objek
bea ‘air’. Ketiga verba yang membangun
FV pada klausa klausa (5.57b)
memiliki argumen subjek dan objek secara bersama-sama. Subjek ina ‘ibu’ dan
si ‘daging’ menjadi subjek dan objek bersama dari verba serial laka la ala ‘suruh
pergi beli’ pada klausa (5.57c) . Hal yang sama juga terjadi pada klausa (5.57d
dan e). Verba serial yang membangun klausa tersebut memiliki argumen subjek
dan objek yang sama.
Struktur klausa (str-k) BKm dengan predikat yang ditempati oleh KVS
yang terdiri atas tiga verba direpresentasikan pada diagram pohon berikut ini.
FI
FN1
FV
FN2
N2
V1
O
e
Engkau ingin
V2
FPrep
Prep
FN3
de
Prep
bea matang
sumur
V3
la
soi
bea
pergi timba air
Diagram 5.2 KVS BKm dengan Tiga Verba
Berdasarkan uraian di atas, konstruksi verba serial (KVS) BKm dapat
dibangun oleh verba serial, baik yang terdiri atas dua verba maupun verba serial
182
yang terdiri atas tiga verba. Baik KVS BKm yang dibangun oleh dua maupun tiga
verba memiliki fungsi gramatikal satu subjek dan objek yang dimiliki secara
bersama-sama.
5.8 Temuan Penelitian
Bab ini mengkaji predikasi BKm. Pembahasan tentang predikasi BKm
meliputi pembahasan predikat dan struktur argumen, peran semantis argumen, tipe
semantis verba, frasa verbal BKm, dan diakhiri dengan pembahasan serialisasi
verba.
Beberapa temuan yang terkait dengan pembahasan tersebut disajikan
sebagai berikut.
1.
Predikasi BKm dibangun oleh unsur predikat dan argumen-argumennya.
Predikat BKm dapat berupa predikat verbal dan predikat nonverbal. Predikat
nonverbal dapat ditempati oleh nominal, adjektival, numeral, frasa
preposisional, dan satu argumen yang menempati posisi di depan predikat
yang berfungsi sebagai subjek gramatikal. Predikat nonverbal BKm
menghendaki satu argumen subjek untuk membentuk predikasi.
2.
Sama seperti predikasi BKm yang dibentuk oleh predikat nonverbal, predikat
verbal intransitif juga menghendaki satu unsur argumen FN yang dapat
berfungsi sebagai subjek gramatikal dan secara semantis dapat berfungsi
sebagai agen atau pasien.
3.
Predikasi BKm dengan predikat verba transitif menghendaki dua argumen
atau lebih. Kehadiran argumen-argumen tersebut dalam predikat kalimat
transitif bersifat wajib.
183
4.
Argumen BKm memiliki peran semantis umum argumen, yaitu ACTOR dan
UNDERGOER. Peran semantis umum argumen BKm tersebut dapat diperinci
menjadi peran-peran semantis khusus yang meliputi agen, penyebab/causer,
pengalami,
tema,
pasien,
alat/instrumen,
resipien/penerima, sumber/asal, tujuan, dan lokatif.
benefaktif/pemanfaat,
Satu argumen dapat
memiliki peran lebih dari satu, misalnya dalam kalimat au ne podi ua osa
‘saya memberikan dia uang‘. Argumen au ‘saya’ yang berfungsi sebagai
SUBJ memiliki dua peran semantik, yaitu sebagai sumber dan sekaligus
sebagai agen.
5.
BKm memiliki empat tipe semantis verba yang mengacu kepada aktionasart
yang ditentukan berdasarkan tiga sifat, yaitu (1) statis, (2) telis, dan (3)
ketepatan waktu (pungtual). Empat tipe semantis verba BKm meliputi (1)
verba keadaan yang diungkapkan dengan verba situasi, seperti tinaut ‘takut
dan bue ‘tidur’, (2) verba achievement yang diungkapkan dengan verba
peristiwa, seperti mnahu ‘jatuh’ dan teta ‘patah’, (3) verba accomplishment
yang diungkapkan dengan verba proses , seperti taua ‘masak’ dan tau ‘buat’,
dan (4) verba aktivitas yang diungkapkan dengan verba aksi, seperti tutu
‘pukul’ dan betu ‘tendang’
6.
BKm memiliki FV yang dapat disertai satu unsur aspek, modus, dan negasi
yang menempati posisi sebelum verba (praverbal) dan setelah verba (posverbal). Aspek ei ‘akan’ dan hei ‘sedang’ menempati posisi sebelum verba,
sedangkan aspek kasai ‘sudah’ berada setelah verba. Modus mloing ‘bisa’
menempati posisi setelah verba, sedangkan modus los ‘harus’ menempati
184
posisi sebelum verba. Negasi ti ‘tidak’ menempati posisi sebelum verba. Di
samping dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus, dan negasi, FV BKm
juga dapat dibentuk verba dan disertai oleh gabungan dua unsur, antara negasi
dan aspek, seperti ti + ei ‘tidak+akan’ dalam kalimat au ti ei hali de uma
‘saya tidak akan pulang ke rumah’; negasi+modus, seperti
ti+V+mloing
‘tidak+V+bisa’ dalam kalimat aung heng ti hali mloing dase kota ‘istri saya
tidak bisa pulang dari kota’; modus+modus seperti los+V+mloing
‘harus+V+bisa’ dalam kalimat au los baca mloing ’saya harus bisa
membaca’; dan aspek + modus, seperti kasai mloing ‘sudah bisa’ dalam
kalimat Ali nagi kasai
7.
mloing ‘adik sudah bisa berenang’.
Konstruksi verba serial (KVS) BKm dapat dibangun oleh verba serial, baik
yang terdiri atas dua verba maupun verba serial yang terdiri atas tiga verba.
Baik KVS BKm yang dibangun oleh dua maupun tiga verba memiliki fungsi
gramatikal satu subjek dan objek yang dimiliki secara bersama-sama.
BAB VI
VALENSI VERBA BAHASA KEMAK
6.1 Pengantar
Pada bab sebelumnya telah dibahas tentang struktur dasar klausa (Bab IV)
dan Predikasi dan struktur argumen BKm (Bab V). Pembahasan tentang struktur
dasar klausa mengungkapkan bahwa klausa BKm dibangun oleh predikat dan
argumen-argumen yang menyertainya. Predikat klausa BKm dapat berupa
predikat verbal dan predikat nonverbal. Sebagai lanjutan dari pembahasan
sebelumnya, pada bab ini dibahas tentang valensi verba BKm. Pembahasan
valensi verba BKm ini terkait dengan peran verba yang merupakan inti/pokok
(head) dari sebuah klausa/kalimat.
Pembahasan tentang valensi verba BKm terbagi atas beberapa pokok dan
sub-pokok bahasan. Pembahasan pada bab ini diawali dengan valensi dan
ketransitifan verba BKm. Pembahasan berikutnya dilanjutkan dengan mekanisme
perubahan valensi verba BKm yang mencakup konstruksi kausatif, aplikatif, dan
resultatif. Pembahasan tentang konstruksi kausatif mencakup jenis/tipe konstruksi
kausatif yang terdapat dalam BKm.
6.2 Valensi dan Ketransitifan Verba Bahasa Kemak
6.2.1 Ketransitifan Verba Bahasa Kemak
.
Menurut Herbert dalam Hopper dan Thompson (ed), 1982: 211--213)
ketransitifan dibedakan atas ketransitifan struktural dan tradisional. Ketransitifan
struktural adalah ketransitifan yang mengacu kepada struktur yang berhubungan
185
186
dengan sebuah predikat dan dua argumen, yaitu S
dan OL. Ketransitifan
tradisional adalah ketransitifan secara menyeluruh pada klausa, merujuk kepada
proses membawa atau memindahkan tindakan dari agen ke pasien. Ketransitifan
dapat pula dilihat dan dipahami sebagai jumlah komponen yang berkenaan dengan
aspek-aspek yang berbeda dari keefektifan atau intensitas yang terkait dengan
tindakan yang dilakukan. Hopper (1989:163--164) mengungkapkan bahwa
ketransitifan terdiri atas ketransitifan sintaksis dan semantis. Kedua ketransitifan
ini memiliki parameter tersendiri. Ketransitifan sintaksis ditentukan oleh
parameter kewajiban hadirnya argumen inti (core argument) dalam sebuah klausa,
sedangkan ketransitifan semantis ditentukan oleh parameter gabungan dari
berbagai karakteristik semantis
Istilah ketransitifan terkait dengan properti transitivitas lintas bahasa yang
menyangkut tansitivitas tinggi (high transitivity) dan transitivitas rendah (low
transitivity). Hopper (1989: 163--164) mengungkapan bahwa terdapat beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk mengukur tinggi-rendahnya transitivitas
sebuah klausa. Terdapat sepuluh parameter yang dikemukakan oleh Hopper
(1989: 163--164) untuk mengukur ketransitifan sebuah klausa, yaitu (1) partisipan
(participant), (2) aspek (aspect), (3) kinesis (kinesic), (4) keterkenaan pasien
(affectedness of patient), (5) polaritas/kekutuban (polarity/affirmation), (6)
modalitas
(modality),
(7)
potensi
keagenan
(potency
of
agent),
(8)
individual/kekhususan (individuation of patient), (9) kesengajaan (volitionality),
dan (10) kepungtualan (punctuality).
187
Berdasarkan kesepuluh parameter trasitivitas tersebut di atas, Hopper
(1989: 163--164) menambahkan bahwa sebuah klausa yang argumennya terdiri
atas agen dan pasien memiliki tingkat ketransitifan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan klausa yang hanya memiliki agen atau pasien. Lebih lanjut, klausa dengan
predikat telis (tertuju titik) memiliki tingkat ketransitifan yang lebih tinggi
daripada klausa yang berpredikat taktelis. Klausa yang predikatnya menyatakan
suatu tindakan tertentu yang melibatkan gerakan, baik pasien maupun agen,
memiliki tingkat ketransitifan yang lebih tinggi daripada klausa yang berpredikat
tidak menyatakan suatu tindakan. Lebih lanjut, klausa yang predikatnya
menyatakan tindakan yang disengaja memiliki tingkat ketransitifan yang lebih
tinggi daripada klausa yang predikatnya menyatakan tindakan yang tidak
disengaja. Klausa afirmatif memiliki tingkat ketransitifan yang lebih tinggi
daripada klausa dalam bentuk negatif.
Untuk mengetahui transitivitas klausa, berikut ini disajikan klausa yang
menunjukkan perbedaan tingkat transitivitas dalam BKm.
(6.1)
Au
tutu atmas senua
1TG pukul orang DEF
‘Saya memukul orang itu
(6.2)
Roma eto
hine senua de
Atambua
3JM lihat wanita DEF Prep Atambua
‘Mereka melihat wanita itu di Atambua’
(6.3)
Au-ng
ali-ng
1TG-Lig
adik-Lig
‘Adik saya lari ke sekolah’
plai de
pergi Prep
isikola
sekolah
Klausa (6.1)--(6.3) menunjukkan tingkat ketransitifan yang berbeda.
Klausa (6.1) memiliki dua partisipan, yaitu au’saya’ sebagai agen dan atmas
188
senua ‘orang itu’ sebagai pasien. Jika mengacu pada sepuluh parameter
transitivitas yang dikemukakan Hopper (1989), maka klausa (6.1) memiliki
tingkat ketransitifan yang tinggi. Paling tidak dari sepuluh parameter transitivas,
klausa (6.1) memenuhi enam parameter transitivitas, yaitu (1) partisipan, (2)
keterkenaan pasien, (3) modalitas, (4) potensi keagenan, (5) kesengajaan, dan (6)
individuasi pasien. Jika mengacu pada partisipan, klausa (6.1) memiliki dua
partisipan, yaitu au’saya’ sebagai agen dan atmas senua ‘orang itu’ sebagai
pasien. Dilihat dari keterkenaan pasien, klausa (6.1) mengungkapkan bahwa
pasien terkena suatu tindakan dari agen. Dari potensi keagenan, klausa (6.1)
mengungkapkan bahwa agen memiliki potensi atau kemampuan untuk melakukan
tindakan terhadap pasien. Dilihat dari segi modalitas, agen dan pasien pada klausa
(6.1) berssifat realis/nyata dan peristiwa yang diisyaratkan oleh predikat
mengutarakan peristiwa yang sesungguhnya. Klausa (6.1) juga mengungkapkan
bahwa agen melakukan tindakan dengan sengaja kepada pasien dan pasien
bersifat pasti/definit (takrif) karena adanya pemarkah kedefinitan (takrif) yang
mengikuti pasien.
Dibandingkan dengan klausa (6.1), klausa (6.2) memiliki tingkat
ketransitifan yang lebih rendah. Walaupun klausa (6.2) memiliki jumlah patisipan
yang sama dengan klausa (6.1), yaitu roma ‘meraka sebagai agen dan hine senua‘
‘wanita itu’ sebagai pasien, tidak berarti bahwa tingkat ketransitifan kedua klausa
tersebut sama. Perbedaan tingkat ketransitifan klausa tersebut disebabkan oleh
perbedaan parameter transitivitas yang dimiliki oleh setiap klausa. Jika dilihat dari
segi keterkenaan pasien, predikat klausa (6.2) mengindikasikan bahwa pasien
189
mane senua ‘wanita itu’ tidak mengalami suatu tindakan oleh agen roma
‘mereka’. Lebih jauh klausa (6.2) juga tidak mengindikasikan adanya unsur
kesengajaan yang dilakukan oleh agen.
Klausa (6.3) memiliki tingkat ketransitifan yang paling tinggi jika
dibandingkan dengan klausa (6.1) dan klausa (6.2).
Jika dilihat dari jumlah
kehadiran partisipan, klausa (6.3) memiliki jumlah partisipan hanya satu, yaitu
aung aling ‘adik saya’, sedangkan de isikola ’ke sekolah’ merupakan oblik, bukan
merupakan argumen pada klausa tersebut. Walaupun hanya memiliki satu
partisipan, klausa (6.3) memiliki tingkat ketransitifan yang paling tinggi jika
dibandingkan dengan klausa (6.1) dan (6.2).
Tingginya tingkat ketransitifan
klausa (6.3) disebabkan oleh kehadiran verba plai ‘lari’. Verba plai ‘lari’
tergolong memiliki tingkat transitivitas yang tinggi karena mengandung tingkat
kesengajaan (volitionality) dan keagenan (potency of agent) yang tinggi. Secara
semantis, ketiga verba pada klausa (6.1)--(6.3) memiliki tingkat transitivitas yang
berbeda. Verba plai ‘lari’ memiliki tingkat transitivitas yang paling tinggi jika
dibandingkan dengan verba tutu ‘pukul’ pada klausa (6.1) dan verba etu ‘lihat’
pada klausa (6.2). Jika dilihat dari jumlah kehadiran partisipan, klausa (6.3) justru
memiliki tingkat transitivitas yang lebih rendah daripada klausa (6.1) dan (6.2).
Klausa (6.3) hanya memiliki satu argumen inti (core argument) atau satu
partisipan, sedangkan klausa (6.1) dan (6.2) sama-sama memiliki dua argumen inti
(core argument) atau dua partisipan. Jadi, secara sintaksis, klausa (6.3) memiliki
tingkat ketransitifan yang lebih rendah daripada klausa (6.1) dan (6.2).
190
Tinggi-rendahnya tingkat ketransitifan sebuah klausa BKm pada
umumnya ditentukan oleh verba yang menempati posisi predikat klausa. Predikat
klausa dengan verba aksi
memiliki tingkat transitivitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan verba statis/keadaan dan verba proses.
Analisis yang dilakukan terhadap klausa (6.1)--(6.3) di atas menggunakan
parameter transitivitas yang dikemukakan oleh Hopper (1989). Tidak semua
parameter ketransitifan yang dikemukakan oleh Hopper (1989) tersebut diadopsi
dan diaplikasikan untuk menganalisis tingkat ketransitifan klausa BKm mengingat
Bkm tergolong ke dalam bahasa isolatif yang minim afiks. Mengingat BKm
sebagai bahasa isolatif yang minim afiks, hanya beberapa parameter yang
diaplikasikan untuk memeroleh gambaran umum tentang tinggi-rendahnya tingkat
ketransitifan klausa BKm. Beberapa parameter transitivitas yang digunakan untuk
menganalisis tingkat ketransitifan klausa (6.1)--(6.3) adalah parameter partisipan
(participant), keterkenaan pasien (affectedness of patient), modalitas (modality),
potensi keagenan (potency of agent), kesengajaan (volitionality), dan individuasi
pasien (individuation of patient). Penerapan beberapa parameter ketransitifan
tidak bertujuan untuk mengukur tingkat ketransitifan klausa secara kuantitatif
dengan melibatkan indeks ketransitifan yang berujung pada penghitungan
kumulatif indeks, tetapi untuk mengetahui tingkat ketransitifan klausa dalam
kaitannya dengan pembahasan valensi verba.
191
6.2.2 Valensi Verba Bahasa Kemak
Secara umum, istilah valensi dalam linguistik ditujukan pada kemampuan
verba, yang menempati unsur predikat sebuah klausa/kalimat untuk mengikat
argumen. Valensi lebih mengacu pada jumlah argumen yang dibutuhkan oleh
verba yang menempati posisi predikat. Aisen dalam Hopper and Thompson (ed)
(1982:8) menyatakan bahwa valensi digunakan untuk merujuk ke jumlah argumen
nominal dalam sebuah klausa pada tataran apa saja. Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Katamba (1993). Katamba (1993: 266) menyatakan bahwa
valensi adalah jumlah argumen dalam kerangka sintaksis yang dikaitkan dengan
verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi gramatikal. Selanjutnya, Katamba
menegaskan bahwa pada dasarnya valensi ditentukan oleh perilaku verba. Oleh
karena itulah, verba dapat disebut sebagai verba transitif (ekatransitif dan
dwitransitif).
Pendapat tentang konsepsi valensi juga dikemukakan oleh Van Valin Jr.
dan LaPolla (2002). Menurut Van Valin Jr. dan LaPolla (2002: 147--150), valensi
adalah jumlah argumen yang diikat oleh verba. Lebih lanjut, mereka
menambahkan bahwa valensi verba dibedakan atas valensi sintaksis verba dan
valensi semantis verba. Valensi sintaksis verba adalah jumlah argumen yang
disyaratkan secara morfosintaksis-nyata yang dibutuhkan oleh verba. Sementara,
valensi semantis verba adalah jumlah argumen semantik yang diambil oleh verba
tertentu dalam struktur logika. Perbedaan kedua jenis valensi tersebut ditunjukkan
pada kata rain ‘hujan’ dalam bahasa Inggris. Kata rain ‘hujan’ secara semantis
tidak memerlukan argumen, tetapi secara sintaksis kata tersebut membutuhkan
192
kehadiran satu argumen karena setiap klausa dalam bahasa Inggris memerlukan
subjek. Misalnya, it rained atau it is raining.
Berikut ini disajikan klausa BKm untuk menentukan valensi berdasarkan
valensi sintaksis verba, yaitu jumlah argumen yang disyaratkan secara
morfosintaksis-nyata yang dibutuhkan oleh verba.
(6.4)
Au
a
1TG makan
‘Saya makan’
(6.5)
Au-ng
ali-ng
1TG-Lig
adik-Lig
‘Adik saya minum’
(6.6)
Ina
ala
baru
Ibu
beli
baju
‘Ibu membeli baju’
(6.7)
Ua
pegegini
osa
3TG pinjam
uang
‘Dia mengirim surat’
(6.8)
Ina
ala
podi au
baru
Ibu
beli
APL 1TG baju
‘Ibu membelikan saya baju’
(6.9)
Ua
pegegini
podi ina
3TG pinjam
APL ibu
‘Dia meminjamkan ibu uang’
enu
minum
osa
uang
Klausa (6.4)--(6.9) menunjukkan peningkatan valensi verba pada klausa
BKm. Klausa dengan verba bervalensi satu tercermin pada klausa (6.4) dan (6.5),
klausa dengan verba bervalensi dua tercermin pada klausa (6.6) dan (6.7), dan
klausa dengan verba bervalensi tiga tercermin pada klausa (6.8) dan (6.9). Verba a
‘makan dan enu ‘minum’ pada klausa (6.4) dan (6.5) adalah verba yang
193
menghendaki satu argumen. Secara morfosintaksis, argumen yang dibutuhkan
klausa tersebut merupakan argumen subjek, yaitu au ‘saya’ dan aung aling ‘adik
saya’ yang berperan sebagai agen, Berbeda dengan verba a ‘makan’ dan enu
‘minum’, secara morfosintaksis, verba ala ‘beli’ dan pegegini ‘pinjam’ pada
kluasa (6.6) dan (6.7) menghendaki kehadiran dua argumen, yaitu ina ‘ibu’ yang
secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan baru ‘baju’ yang berfungsi secara
gramatikal sebagai objek pada klausa (6.6) dan ua ‘dia’ yang berfungsi sebagai
subjek dan surat ‘surat’ yang berfungsi sebagai objek pada klausa (6.7). Secara
semantis, subjek pada klausa (6.6) dan (6.7) merupakan agen, sedangkan objek
pada klausa (6.6) dan (6.7) merupakan undergoer. Verba pada klausa ala ‘beli’
pada klausa (6.6) dan verba pegegini ‘pinjam’ pada klausa (6.7) menghadirkan
tiga argumen dengan kehadiran pemarkah aplikatif podi seperti yang terlihat pada
klausa (6.8) dan (6.9). Ketiga argumen pada klausa (6.8), yaitu argumen ina ‘ibu’
secara gramatikal berfungsi sebagai subjek, argumen au ‘saya’ dan baru ‘baju’
secara gramatikal berfungsi sebagai objek. Ketiga argumen pada klausa (6.9),
yaitu argumen ua ‘dia secara gramatikal berfungsi sebagai subjek, sedangkan
argumen ina ‘ibu’ dan osa ‘uang’ secara gramatikal berfungsi sebagai objek.
Dengan demikian, untuk meningkatkan valensi verba BKm yang sebelumnya
verba bervalensi dua menjadi verba bervalensi tiga, diperlukan kehadiran
pemarkah aplikatif podi yang hadir setelah verba (posverbal)
Klausa (6.8) dan (6.9) yang menghendaki kehadiran tiga argumen dengan
kehadiran pemarkah aplikatif podi dapat juga diturunkan valensinya menjadi
verba bervalensi dua yang mengakibatkan salah satu objek pada klausa tersebut,
194
yaitu objek langsung diturunkan menjadi oblik dan pemarkah aplikatif yang
mengikuti verba secara otomatis menjadi hilang, seperti yang terlihat pada contoh
klausa di bawah ini.
(6.10) Ina ala
baru de
au
Ibu
beli
baju Prep 1TG
‘Ibu membeli baju untuk saya’
(6.11) Ua
pegegini
osa
de
ina
3TG pinjam
uang Prep ibu
‘Dia meminjamkan uang kepada ibu’
\
Klausa (6.10) dan (6.11) menunjukkan mekanisme penurunan valensi,
yaitu dari verba yang bervalensi tiga (klausa 6.8 dan 6.9) menjadi verba bervalensi
dua (klausa 6.10 dan 6.11). Selain mekanisme penurunan valensi tersebut,
mekanisme penurunan valensi juga dapat dilakukan dengan mekanisme
pemasifan. Mekanisme penurunan valensi klausa melalui mekanisme pemasifan
tersaji pada klausa berikut ini.
(6.12) a.
b.
(6.13) a.
b.
Ama ala
bibu
Ayah beli
kambing
‘Ayah membeli kambing’
bibu
toma ala
dase
Kambing
dapat beli
Prep
‘Kambing dapat beli oleh ayah’
ama
ayah
Ama ala
podi au
bibu
Ayah beli
APL 1TG kambing
‘Ayah membelikan saya kambing’
Bibu
toma ala
dase ama
Kambing
dapat beli
Prep ayah
‘Kambing dapat beli oleh ayah untuk saya
odi
Prep
au
1TG
195
Klausa (6.12) dan (6.13) menunjukkan mekanisme perubahan valensi
klausa BKm. Melalui mekanisme pemasifan, klausa (6.12a) yang merupakan
klausa yang bervalensi dua, yaitu ama ‘ayah’ yang secara gramatikal berfungsi
sebagai subjek dan bibu ‘kambing’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai
objek diturunkan velensinya menjadi klausa yang bervalensi satu, yaitu bibu
‘kambing’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek pada klausa (6.12b).
Objek pada klausa (6.12a) melalui mekanisme pemasifan dinaikkan fungsinya
menjadi subjek pada klausa (6.12b). Sementara, subjek pada klausa (6.12a)
diturunkan fungsi gramatikalnya menjadi relasi oblik yang ditandai dengan
kehadiran preposisi dase ‘oleh’ pada klausa (6.12b). Proses penurunan valensi
juga terjadi pada klausa (6.13). Klausa (6.13a) merupakan klausa bervalensi tiga,
yaitu ama ‘ayah’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek, au ‘saya’ yang
secara gramatikal berfungsi sebagai objek tak langsung, dan bibu ‘kambing’ yang
seara gramatikal berfungsi sebagai objek langsung diturunkan valensinya menjadi
klausa bervalensi satu, yaitu bibu ‘kambing’ yang secara gramatikal berfungsi
sebagai subjek. Sebaliknya, subjek dan objek tak langsung pada klausa (6.13a)
diturunkan fungsi gramatikalnya menjadi oblik pada klausa (6.13b).
Jika mengacu kepada valensi semantis verba, yaitu velensi yang
didasarkan atas jumlah argumen semantik yang diambil oleh verba tertentu dalam
struktur logika, maka klausa (6.4) dan (6.5) secara logika memiliki dua argumen
mengacu kepada verba a ‘makan’ dan enu ‘minum’. Terkait dengan verba a
makan’ pada klausa (6.4), maka secara logika pasti ada sesuatu yang dimakan
oleh argumen au ‘saya’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan
196
secara semantis berfungsi sebagai agen. Verba enu ‘minum’ pada klausa (6.5)
juga mengisyaratkan pasti ada sesuatu yang diminum oleh argumen aung aling
‘adik saya’ yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dan secara semantis
berfungsi sebagai agen. Dengan demikian, secara semantis atau secara logika
klausa (6.4) dan (6.5) membutuhkan kehadiran
argumen walaupun argumen
tersebut tidak muncul secara sintaksis, argumen tersebut ada secara semantis.
Secara semantis atau secara logika, klausa (6.4) dan (6.5) dapat menjadi seperti
klausa di bawah ini.
(6.14) Au
a
si
ahi
1TG makan daging babi
‘Saya makan daging babi’
(6.15) Au-ng
ali-ng
1TG-Lig
adik-Lig
‘Adik saya minum air’
enu
bea
minum air
6.3 Mekanisme Perubahan Valensi Verba Bahasa Kemak
Mekanisme perubahan valensi verba BKm mengisyaratkan bahwa
pembahasan pada bagian ini hanya memfokuskan kajian tentang klausa BKm
yang berpredikat verbal. Pembahasan klausa BKm yang berpredikat verbal
terutama terkait dengan konstruksi klausa/kalimat yang berpredikat verba
intransitif dan verba transitif. Pada bab sebelumnya memang telah dikaji tentang
konstruksi verbal. Pada bagian ini, pengkajian tentang konstruksi verbal terkait
dengan mekanisme perubahan valensi verba tetap merujuk kepada pembahasan
pada bab sebelumnya.
197
Seperti diketahui bahwa pembahasan tentang mekanisme perubahan
valensi verba memiliki hubungan yang erat dengan konstruksi verbal BKm.
Mekanisme perubahan valensi verba BKm ini mencakup pembahasan tentang
konstruksi verbal, yaitu konstruksi kausatif, aplikatif (lokatif, instrumental,
sumber, resipien/penerima),. dan resultatif.
Pembahasan ketiga konstruksi
tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran tentang mekanisme perubahan
valensi verba BKm, baik secara sintaksis maupun semantis.
Sebelum lebih jauh membahas ketiga konstruksi (kausatif, aplikatif, dan
resultatif), terdapat beberapa hal yang perlu dijelaskan untuk menyamakan
persepsi tentang konstruksi verbal BKm yang terkait dengan pembahasan
mekanisme perubahan valensi verba BKm. Pertama, subjek yang dimaksud pada
pembahasan ini adalah subjek yang merujuk kepada fungsi gramatikal (subjek
gramatikal), sedangkan subjek semantis hanya dipakai untuk memperkuat fungsi
subjek secara gramatikal. Kedua, verba BKm merupakan verba asal (murni).
Seperti dinyatakan pada bab sebelumnya bahwa BKm merupakan bahasa yang
tergolong ke dalam bahasa isolasi karena BKm minim afiks, Oleh karena itu, tidak
ditemukan proses morfologis pada verba yang memengaruhi mekanisme
perubahan valensi verba BKm.
Berikut ini disajikan klausa BKm dengan predikat verbal untuk
memberikan gambaran awal mekanisme perubahan valensi verba BKm.
(6.16) Atmas senua nua au-ng
Orang DEF bunuh 1TG-Lig
‘Orang itu membunuh anjing saya’
asu
anjing
198
(6.17) Ina
tau
podi au
kokis
Ibu
buat APL 1TG kue
‘Ibu membuatkan saya kue’
(6.18) Roma ala
buku kasai
3JM letak buku sudah
‘Mereka sudah membeli buku’
Klausa (6.16)--(6.18) merupakan klausa dengan predikat verbal BKm.
Dalam kajian linguistik tipologi, ketiga klausa tersebut dapat diklasifikasikan
sebagai konstruksi kausatif, benefaktif, dan aplikatif. Klausa (6.16) merupakan
konstruksi kausatif dengan kehadiran verba nua ‘bunuh’. Secara alami verba nua
‘bunuh’ sudah mengandung makna sebab-akibat
yang mengindikasikan
konstruksi tersebut sebagai konstruksi kausatif. Klausa (6.17) merupakan
konstruksi aplikaitf (benefaktif) BKm karena hadirnya argumen baru (benefaktif)
sebagai objek tak langsung pada konstruksi tersebut. Klausa (6.18) merupakan
konstruksi resultatif BKm. Konstruksi ini digolongkan sebagai konstruksi
resultatif mengacu kepada peristiwa ala ‘membeli’ yang telah berhasil dilakukan
yang ditandai dengan hadirnya pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ pada klausa
tersebut.
Penaikan dan penurunan valensi merupakan sebuah proses gramatikal
yang berhubungan dengan kemampuan verba untuk mengikat jumlah argumen
pada sebuah konstruksi klausa/kalimat. Proses penaikan valensi ditandai dengan
penambahan argumen baru pada struktur inti klausa, seperti pengkausatifan dan
pengaplikatifan.
Sementara,
proses
penurunan
valensi
ditandai
dengan
berkurangnya jumlah argumen dengan berpindahnya argumen inti menjadi
argumen noninti, seperti konstruksi resultatif, pasif, refleksif, dan resiprokal
199
(Payne, 1977:172). Pembahasan lebih terperinci mengenai konstruksi kausatif,
aplikatif, dan resultatif diuraikan pada sub-subbagian berikut.
6.3.1 Konstruksi Kausatif Bahasa Kemak
Bahasa-bahasa di dunia memiliki cara-cara untuk mengungkapkan
pengkausatifan atau konstruksi kausatif. Goddard (1998:266) mengungkapkan
bahwa kausatif merupakan sebuah ungkapan yang di dalamnya terkandung sebuah
peristiwa yang disebabkan oleh seseorang yang melakukan sesuatu atau karena
sesuatu terjadi. Pendapat tentang pengkausatifan atau konstruksi kausatif juga
diungkapkan oleh Artawa (2004:48), yang menyatakan bahwa hampir setiap
bahasa memiliki cara yang khas untuk mengungkapkan konstruksi kausatif.
Secara umum, konstruksi kausatif merupakan konstruksi yang mengungkapkan
suatu situasi makro-kompleks yang mengandung dua situasi mikro atau peristiwa
yang terdiri atas (1) peristiwa penyebab (causee) yang menyebabkan suatu
peristiwa terjadi (causing event) dan (2) peristiwa yang terjadi atau akibat yang
timbul (caused) yang disebabkan oleh tindakan tersebab (causee) (Shibatani 1976:
239, Comrie, 1985:330, dan Song, 2001:253).
Kenyataan menunjukkan bahwa tiap bahasa memiliki konstruksi
gramatikal yang berbeda untuk mengungkapkan konstruksi kausatif. Namun,
secara lintas bahasa ditemukan bahwa kesetaraan konstruksi kausatif dapat
diungkapkan secara sintaksis dan analitis. Goddard (1998:260--290) membagi
kausatif menjadi tiga berdasarkan sifat dan konstruksinya, seperti tersaji pada
diagram berikut ini.
200
Pembagian bentuk kausatif
kausatif analitik/
perifrastik
Konstruksi
sintaktik
kausatif morfologis
I made him work
I got him to do it
I had him do it
kausatif leksikal
membunuh
memecah
sufiksasi
kausatif produktif
kausatif langsung
Diagram 6.1: Pembagian Konstruksi Kausatif
Pendapat terkait dengan pengkausatifan atau konstruksi kausatif juga
diungkapkan
oleh
Comrie
(1981:
158--160;
1989:165--171),
yang
mengelompokkan tipe kausatif dengan menggunakan dua parameter, yaitu
parameter formal atau parameter morfosintaksis dan parameter semantis.
Parameter morfosintaksis mengelompokkan pengkausatifan atau konstruksi
kausatif menjadi tiga, yaitu kausatif analitik, kausatif morfologis, dan kausatif
leksikal. Kausatif analitik merupakan konstruksi kausatif yang memiliki predikat
yang mengungkapkan sebab-akibat, penyebab diungkapkan oleh kata terpisah dari
kata yang menunjukkan yang disebabkan (akibat). Kausatif morfologis merupakan
konstruksi kausatif yang ditunjukkan dengan hubungan antara predikat nonkausatif dan yang kausatif dimarkahi oleh perangkat morfologis, misalnya oleh
afiksasi. Kausatif leksikal merupakan konstruksi kausatif yang ditunjukkan
melalui verba yang saling berhubungan dalam predikat nonkausatif, tetapi tidak
berkaitan secara morfologis dengan predikat kausatif, hubungan predikat yang
201
mengungkapkan akibat dan yang mengungkapkan sebab tidak sistematis, hanya
diungkapkan dengan leksikal yang memiliki makna sebab-akibat.
Comrie (1981: 158--160; 1989:165--171) menambahkan bahwa parameter
semantis mengelompokkan pengkausatidan atau konstruksi kausatif berdasarkan
tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee) dan kedekatan hubungan
antara sebab dan akibat dalam sebuah situasi makro (kausatif). Berdasarkan
tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee), pengkausatifan atau
konstruksi kausatif dibedakan atas (1) kausatif sejati (true causative) dan (2)
kausatif permisif (permisive causative). Kausatif sejati merupakan konstruksi
kausatif yang menunjukkan ketidakmampuan tersebab (causee) memegang
kendali untuk mencegah terjadinya akibat. Sementara, kausatif permisif
merupakan kebalikan dari kaudatif sejati. Pada konstruksi kausatif permisif,
tersebab (causee) memiliki kemampuan untuk memegang kendali untuk
mencegah terjadinya akibat. Di samping pembagian kausatif berdasarkan tingkat
kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee), Comrie juga mengungkapakan
bahwa konstruksi kausatif dapat dikelompokkan berdasarkan kedekatan hubungan
antara komponen sebab dan komponen akibat, yaitu kausatif langsung dan
kausatif tak langsung (Comrie, 1989:171). Kausatif langsung merupakan
konstruksi kausatif yang memiliki hubungan yang sangat dekat antara komponen
sebab dan komponen akibat. Sementara, kausatif tak langsung merupakan
konstruksi kausatif yang memiliki hubungan yang jauh antara komponen sebab
dan komponen akibat.
202
Terkait dengan konstruksi nonkausatif dan konstruksi kausatif, Artawa
(1998: 32) mengungkapkan bahwa salah satu perbedaan sintaksis utama antara
konstruksi bukan kausatif dan konstruksi kausatif adalah terletak pada penaikan
valensi verba pada konstruksi kausatif. Kajian tentang perubahan valensi verba
yang disebabkan oleh pengkausatifan menitikberatksn pada perbedaan valensi
verba-verba dasar nonkausatif yang meliputi verba intransitif (tidak terdapat OL),
verba ekatransitif (terdapat OL, tetapi tidak terdapat OTL), dan verba dwitransitif
(terdapat Ol dan OTL).
Keterkaitan hubungan antara konstruksi kausatif dan konstruksi nonkausatif dijelaskan melalui hierarki relasi gramatikal subjek > objek langsung >
objek tak langung > objek oblik. Dalam hierarki relasi gramatikal tersebut
dijelaskan bahwa tersebab (causee) menempati posisi tertinggi, yaitu posisi paling
kiri yang merupakan posisi argumen kausatif yang belum terisi (Comrie,
1985:342). Perubahan valensi verba dasar non-kausatif menjadi verba kausatif ,
pada prinsipnya merupakan penambahan agen ke dalam valensi sehingga subjek
pada setiap konstruksi diungkapkan dalam hierarki yang berbeda. Subjek pada
klausa intransitif diungkapkan sebagai objek langsung, subjek pada klausa
ekatransitif diungkapkan sebagai objek tak langsung, dan objek langsung tetap
menempati posisi sebagai objek langsung. Subjek pada klausa dwitransitif
diungkapkan sebagai oblik, sementara objek langsung dan objek tak langsung
tetap menempati posisinya sebagai objek langsung dan objek tak langsung.
Mekanisme perubahan valensi antara verba dasar nonkausatif dan verba kausatif
yang telah diuraikan di atas disajikan pada tabel di bawah ini.
203
Tipe Klausa
Intransitif
Verba Dasar Nonkausatif
SUBJ
Verba Kausatif
SUBJ
OL
Ekatransitif
SUBJ
SUBJ
OL
OL
OTL
Dwitransitif
SUBJ
SUBJ
OL
OL
OTL
OTL
OBL
Tabel 6.1: Perubahan Valensi Verba Dasar NonKuasatif
Menjadi Verba Kausatif
Pendapat
tentang
pengkausatifan
atau
konstruksi
kausatif
juga
dikemukakan oleh Arka (1993). Berdasarkan pendapat Shibatani (1976), Comrie
(1981 dan 1989), Spencer (1991), dan
Jackenkoft (1991), Arka (1993:8)
mengungkapkan bahwa konstruksi kausatif dibedakan menjadi dua, yaitu kausatif
perifrastik/analitik dan kausatif morfologis/leksikal. Kausatif perifrastik/analitik
merupakan
konstruksi
biklausal.
Sementara,
kausatif
merfologis/leksikal
merupakan konstruksi monoklausal. Kausatif morfologis/leksikal disebut juga
sebagai kausatif langsung. Pembagian konstruksi kausatif yang dikemukakan oleh
Arka (1993:8) didasarkan atas jumlah klausa yang terdapat dalam sebuah
konstruksi kausatif. Perbedaan pembagian kausatif menurut Arka (1993:8) dan
Comrie (1981: 158--160; 1989:165--171), pada prinsipnya tidak bertentangan
satu sama lain.
204
Pendapat yang berbeda tentang pengkausatifan atau konstruksi kausatif
diungkapkan oleh Alsina dan Joshi (1991) (seperti dikutip dari Jufrizal 2004:198-200). Alsina dan Joshi (1991) mengusulkan pendekatan struktur argumen terhadap
pengkausatifan. Prinsip teori yang dikemukakan oleh Alsina dan Joshi (1991)
tidak berkenaan dengan fungsi gramatikal, tetapi berkenaan dengan struktur
argumen. Teori ini mengungkapkan bahwa argumen-argumen diurutkan menurut
Hierarki Tematik Universal (Universal Theumatic Hierarchy), yakni agen lebih
tinggi daripada resipien (penerima) yang pada gilirannya memiliki posisi lebih
tinggi daripada pasien dan tema.
Pendapat yang dikemukakan oleh Alsina dan Joshi (1991) didasarkan pada
kelemahan pendekatan kausatif morfologis yang semata-mata didasarkan pada
prinsip sintaksis. Mereka menilai bahwa prinsip sintaksis gagal mengetahui
rentangan penuh variasi sintaksis dan tidak mampu mengaitkan variasi sintaksis
dengan variasi semantis yang mendasarinya. Lebih jauh, mereka menegaskan
bahwa prinsip pemetaan memiliki peranan penting untuk menurunkan realisasi
morfosintaksis yang benar dari terakibat. Mereka berpendapat bahwa kausatif
morfologis dibentuk berdasarkan penggabungan struktur argumen dua prredikat,
yaitu predikat dasar dan morfem kausatif yang membentuk struktur sintaksis
klausa tunggal (monoklausal).
Di samping pendapat berbeda yang dikemukakan oleh Alsina dan Joshi
(1991) (seperti dikutip dari Jufrizal, 2004:198--200), pendapat yang berbeda juga
dikemukakan oleh Kozinsky dan Polinzky (1993:178). Mereka mengungkapkan
bahwa pengkausatifan atau konstruksi kausatif dapat diklasifikasikan berdasarkan
205
penanda verba (verb coding), yaitu tipe kausatif morfologis (morphological
causative) atau kausatif sintetik (synthetic causative) dan tipe kausatif sintaksis
(syntactic causative) atau kausatif analitik (analitic causative) atau kausatif
perifrastik (periphrastic causative). Kausatif morfologis merupakan konstruksi
kausatif yang secara sintaksis bersifat monoklausal, yakni verba kausatif dan
fungsi-fungsi
yang melekat pada verba
sebagai unit sintaksis tunggal.
Sebaliknya, kausatif sintaksis merupakan konstruksi kausatif yang secara sintaksis
bisa bersifat monoklausal (klausa tunggal) dan dapat bersifat biklausal.
Berdasarkan beberapa uraian tentang pengkausatifan atau konstruksi
kausatif di atas, pembahasan tentang pengkausatifan atau konstruksi kausatif
dalam disertasi ini berpedoman pada pendapat yang dikemukakan oleh Comrie
(1981: 158--160; 1989:165--171), yang membagi pengkausatifan atau konstruksi
kausatif menjadi tiga berdasarkan parameter formal (morfosintaksis), yaitu
kausatif analitik, kausatif morfologis, dan kausatif leksikal. Di samping itu juga
berdasarkan parameter semantis yang membagi kausatif menjadi kausatif sejati,
kausatif permisif, kausatif langsung, dan kausatif tak langsung.
Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa secara tipologis, BKm
digolongkan ke dalam kelompok bahasa isolasi karena minimnya afiks yang
ditemukan dalam BKm. Tidak adanya afiks yang berfungsi untuk mengubah
konstruksi nonkausatif menjadi konstruksi kausatif berdampak pada tidak
ditemukannya pengkausatifan atau konstruksi kausatif morfologis dalam BKm.
Dengan demikian, pembahasan pengkausatifan atau konstruksi kausatif dalam
BKm berdasarkan parameter formal (morfosintaksis) hanya mencakup kausatif
206
leksikal dan kausatif analitik. Sementara, berdasarkan parameter semantis,
pengkausatifan atau konstruksi kausatif BKm mencakup pembahasan tentang
kausatif sejati, kausatif permisif, kausatif langsung, dan kausatif tak langsung.
Setiap jenis kausatif di atas dibahas secara lebih terperinci pada sub-subbagian
berikut.
6.3.1.1 Konstruksi Kausatif dengan Parameter Formal (Morfosintaksis)
Pembahasan konstruksi kausatif BKm yang didasarkan pada parameter
formal hanya mencakup pembahasan kausatif leksikal dan kausatif analitik.
Kausatif morfologis tidak dibicarakan karena tidak ditemukannya afiks yang
mengubah verba nonkausatif menjadi konstruksi kausatif. Pembahasan setiap
konstruksi kausatif tersebut diuraikan di bawah ini.
6.3.1.1.1 Kausatif Leksikal
Kausatif leksikal merupakan konstruksi kausatif yang ditunjukkan
melalui verba yang saling berhubungan dalam predikat nonkausatif tetapi tidak
berkaitan secara morfologis dengan predikat kausatif, hubungan predikat yang
mengungkapkan akibat dan yang mengungkapkan sebab tidak sistematis, hanya
diungkapkan dengan leksikal yang memiliki makna sebab-akibat, seperti kata die
‘mati’ dan kill ‘bunuh’ dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia dapat
dicontohkan dengan verba kausatif, seperti
mati/bunuh dan tumbang/tebang.
Penerapan kedua verba mati/bunuh dan tumbang/tebang tersebut tersaji pada
proposisi saya membunuh anjing itu dan ayah menebang pohon itu memiliki
207
sinonim saya menyebabkan anjing itu mati dan ayah menyebabkan pohon itu
tumbang. Kausatif leksikal pada kedua klausa tersebut menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan yang sistematis antara verba bunuh dan tebang sebagai
penyebab dari mati dan tumbang.
Pengkausatifan atau konstruksi kausatif BKm umumnya menggunakan
verba ekatransitif. Verba ekatransitif BKm sebagian besar mengandung makna
kausatif, seperti verba nua ‘bunuh’, unu ‘tikam’, leli ‘tebang’, lobu ‘potong’, adi
‘asah’, demi ‘rendam’, sunu ‘bakar’, dan poa ‘belah’. Penerapan setiap verba
ekatransitif pada konstruksi kausatif BKm tersaji pada klausa-klausa berikut.
(6.19) Atmas senua nua ama-ng
bibu
Orang DEF bunuh ayah-Lig
kambing
‘Orang itu membunuh kambing ayah’
(6.20) Mane
senua unu
atmas senua
Lak-laki
DEF tikam orang DEF
‘Laki-laki itu menikam orang itu’
(6.21) Au
leli
ai
senua
1TG tebang pohon DEF
‘Saya menebang pohon itu’
(6.22) Ama lobu tali
senua
Ayah potong tali
DEF
‘Ayah memotong tali itu’
(6.23) Ua
adi
di’ir anag
3TG asah pisau
‘Dia mengasah pisau’
(6.24) Ina
demi
au-ng
Ibu
rendam
1TG-Lig
‘Ibu merendam baju saya’
baru
baju
208
(6.25) Roma sunu uma senua
3JM bakar rumah DEF
‘Mereka membakar rumah itu’
(6.26) Ita
poa
batu senua
1JM belah batu DEF
‘Kita membelah batu itu’
Klausa (6.19)--(6.26) merupakan konstruksi kausatif BKm. Dapat
dijelaskna bahwa setiap verba yang membangun klausa di atas mengandung
makna kausatif. Verba nua ‘bunuh’ yang membangun klausa (7.19) mengandung
makna kausatif. Klausa (6.19) menggambarkan bahwa argumen atmas senua
‘orang itu’ yang secara sintaksis merupakan subjek gramatikal dan sekaligus
secara semantis merupakan agen, melakukan suatu tindakan, yaitu membunuh
yang terungkap melalui verba nua terhadap argumen amang bibu ‘kambing ayah’
yang secara sintaksis merupakan objek dan secara semantis merupakan pasien
sehingga menyebabkan objek/pasien tersebut terbunuh/mati. Hal yang sama juga
terjadi pada konstruksi kausatif pada klausa (6.20). Argumen mane senua ‘lakilaki itu’ yang secara sintaksis merupakan subjek gramatikal dan sekaligus secara
semantis merupakan agen, melakukan suatu tindakan, yaitu menusuk argumen
atmas senua ‘orang itu’ yang secara sintaksis merupakan objek dan secara
semantis merupakan pasien melakukan suatu tindakan yang tercermin pada verba
unu ‘tusuk’ sehingga menyebabkan objek/pasien tersebut tertusuk. Sama halnya
pada klausa (6.19) dan (6.20), konstruksi kausatif pada klausa (6.21)
menggambarkan bahwa argumen au ‘saya’ melakukan sesuatu, yaitu menebang
argumen ai senua ‘pohon itu’ sehingga menyebabkan argumen tersebut
tertebang/tumbang. Konstruksi kausatif pada klausa (6.22) menggambarkan
209
bahwa argumen ama ‘ayah’ melakukan suatu tindakan yang tercermin oleh verba
lobu ‘potong’ sehingga menyebabkan tali senua ‘tali itu terpotong/putus.
Selanjutnya berturut-turut verba adi ‘asah’ (klausa (6.23), demi ‘rendam’ (klausa
6.24), sunu ‘bakar’ (klausa 6.25), dan poa ‘belah’ (klausa 6.26) menggambarkan
suatu tindakan yang dilakukan oleh argumen ua ‘dia’ (klausa 6.23), ina ‘ibu’
(klausa 6.24), roma ‘mereka’ (klausa 6.25), dan ita ‘kita’ (klausa (6.26) yang
menyebabkan argumen di’ir anag ‘pisau’ menjadi terasah/tajam (klausa (6.23),
argumen aung baru ‘baju saya’ menjadi terendam/basah (klausa 6.24), argumen
uma senua ‘rumah itu’ menjadi terbakar/hangus (klausa 6.25), dan argumen batu
senua ‘batu itu’ menjadi terbelah/pecah (klausa 6.26).
Konstruksi kausatif pada klausa (6.23)--(6.26) merupakan konstruksi
kausatif BKm yang dibangun oleh verba ekatransitif. Lebih jauh verba-verba
ekatransitif tersebut secara alami telah memiliki makna sebab-akibat. Selain
verba-verba ekatransitif tersebut, salah satu keunikan terkait dengan konstruksi
kausatif yang dimiliki oleh BKm adalah BKm memiliki bentuk verba ekatransitif
dari verba intransitif, seperti verba pule ‘mematahkan’, pae ‘memasukkan’, tboa
‘memecahkan, ’lape ‘menaikkan’, dan luida ‘menurunkan’. Verba ekatransitif
yang membangun konstruksi kausatif BKm tersebut memiliki bentuk verba
intransitif tersendiri, yaitu teta ‘patah’, mola ‘masuk’, broe ‘pecah’, du ‘naik’, dan
sae ‘turun’. Klausa-klausa berikut menyajikan konstruksi kausatif BKm yang
dibangun oleh verba ekatransitif yang memiliki bentuk verba intransitif tersendiri.
(6.27) Au
pule
au-ng
1TG mematahkan 1TG-Lig
‘Saya mematahkan tangan saya’
lima-ng
tangan-Lig
210
(6.28) Ali
pae
ika
de
ember
Adik memasukkan ikan Prep ember
‘Adik memasukkan ikan ke ember’
(6.29) Ina
tboa
ura
rae
Ibu
memecahkan periuk tanah
‘Ibu memecahkan periuk tanah’
(6.30) Atmas senua lape
bea
dase
Orang DEF menaikkan
air
Prep
‘Orang itu menaikkan air dari sungai’
holang
sungai
(6.31) Mane
senua luida
nua
senua
Laki-laki
DEF menurunkan kelapa DEF
‘Laki-laki itu menurunkan kelapa itu’
Klausa (6.27)--(6.31) merupakan konstruksi kausatif leksikal yang
dibangun oleh verba ekatransitif. Verba ekatransitif yang membangun konstruksi
kausatif leksikal tersebut memiliki bentuk verba intransitif tersendiri. Lebih jauh,
verba-verba ekatransitif yang membangun konstruksi kausatif leksikal di atas
secara alami sudah mengandung makna sebab-akibat. Konstruksi kausatif leksikal
pada klausa (6.27)--(6.31) di atas menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang sistematis antara verba sebagai penyebab dari akibat yang ditimbulkan.
6.3.1.1.2
Kausatif Analitik
Kausatif analitik disebut juga kausatif perifrastik. Kausatif jenis ini
merupakan konstruksi kausatif yang memiliki predikat yang mengungkapkan
sebab-akibat, penyebab diungkapkan oleh kata terpisah dari kata yang
menunjukkan yang disebabkan (akibat). Predikat dalam konstruksi kausatif
analitik diwujudkan dalam predikat yang terpisah. Konstruksi kausatif analitik
211
dalam BKm dicirikan dengan kehadiran verba yang bermakna kausatif tau
‘buat’dan laka ‘suruh’.
Verba tau ‘buat’ dan laka ‘suruh’ merupakan verba yang mengandung
makna kausatif dalam BKm. Kedua verba tersebut dapat membangun konstruksi
kausatif dalam BKm. Verba tau ‘buat’ pada konstruksi kausatif menempati posisi
sebelum predikat yang diisi oleh verba yang tidak bermakna kausatif sehingga
membentuk verba kompleks yang bermakna kausatif yang menunjukkan sebabakibat. Penambahan verba tau ‘buat’ yang bernakna kausatif membawa dampak
kepada peningkatan valensi karena adanya argumen baru yang hadir akibat dari
penambahan verba yang bermakna kausatif tersebut. Seperti telah diuraikan
sebelumnya
bahwa
pada
hakikatnya
pengkausatifan
merupakan
proses
peningkatan valensi dengan penambahan argumen agen/aktor yang sekaligus
merupakan penyebab terjadinya sebuah peristiwa kausatif.
Untuk membentuk konstruksi kausatif, verba tau ‘buat’ dalam BKm dapat
diikuti oleh verba nonkausatif dalam bentuk verba intransitif dan verba transitif,
Di samping dapat diikuti oleh kedua tipe verba tersebut, verba kausatif tau ‘buat’
juga dapat diikuti oleh adjektival. Berikut disajikan konstruksi kausatif analitik
yang dibentuk dari verba kausatif tau ‘buat’ dan verba intransitif.
(6.32) a.
b.
Au
la
de
isikola
1TG pergi Prep sekolah
‘Saya pergi ke sekolah’
Ama tau
au
la
de
isikola
Ayah buat 1TG pergi Prep isikola
Ayah membuat saya pergi ke sekolah’
212
c.
(6.33) a.
Ama tau
la
au
de
isikola
Ayah buat pergi 1TG Prep isikola
Ayah membuat pergi saya ke sekolah’
Au-ng
ali-ng
1TG-Lig
adik-Lig
‘Adik saya tidur’
bue
tidur
b.
Ina
tau
au-ng
ali-ng bue
Ibu
buat 1TG-Lig
adik-Lig tidur
‘Ibu membuat adik saya tidur’
c.
Ina
tau
bue
au-ng
ali-ng
Ibu
buat tidur 1TG-Lig
adik-Lig
‘Ibu membuat tidur/menidurkan adik saya’
(6.34) a.
Gelas senua mnahu
Gelas DEF jatuh
‘Gelas itu jatuh’
b.
Busa
senua tau
gelas senua mnahu
Kucing
DEF buat gelas DEF jatuh
‘Kucing itu membuat gelas itu jatuh’
b.
Busa
senua tau
mnahu gelas senua
Kucing
DEF buat jatuh gelas DEF
‘Kucing itu membuat jatuh/menjatuhkan gelas itu’
(6.35) a.
Hine senua plai
wanita DEF lari
‘Wanita itu lari’
b.
Asu
boteng senua tau
hine senua plai
Anjing besar DEF buat wanita DEF lari
‘Anjing besar itu membuat wanita itu lari’
c.
Asu
boteng senua tau
plai hine senua
Anjing besar DEF buat lari
wanita DEF
‘Anjing besar itu membuat lari wanita itu’
213
(6.36) a.
Roma hali
3JM pulang
‘Mereka pulang’
b.
Ama tau
roma hali
Ayah buat 3JM pulang
‘Ayah membuat mereka pulang’
c.
Ama tau
hali roma
Ayah buat pulang 3JM
‘Ayah membuat pulang mereka’
Klausa (6.32a)--(6.36a) merupakan konstruksi klausa yang dibangun oleh
verba intransitif. Sementara, klausa (6.32b dan c) - (6.36b dan c) adalah
konstruksi kausatif analitik yang dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dan
verba intransitif. Lebih jauh, konstruksi kausatif analitik (6.32b)--(6.36b)
memiliki konstruksi yang berbeda dengan konstruksi kausatif analitik (6.32c)-(6.36c). Konstruksi kausatif analitik (6.32c)--(6.36c) merupakan konstruksi
alternasi dari konstruksi kausatif analitik (6.32b) - (6.36b). Namun, kedua
konstruksi kausatif tersebut berterima secara gramatikal dalam BKm. Pada
hakikatnya, konstruksi kausatif atau pengkausatifan yang mengubah klausa
intransitif menjadi konstruksi kausatif analitik yang dibangun oleh verba kausatif
tau ‘buat’ dengan verba intransitif, mengubah fungsi gramatikal subjek pada
klausa intransitif, yaitu au ‘saya’ pada klausa (6.32a), aung aling ‘adik saya’ pada
klausa (6.33a), gelas senua ‘gelas itu’ pada klausa (6.34a), hine senua ‘wanita itu’
pada klausa (6.35a), dan roma ‘mereka’ pada klausa (6.36a) menjadi fungsi
gramatikal objek pada konstruksi kausatif analitik pada klausa (6.32b dan c)-(6.35b dan c).
214
Berikut disajikan konstruksi kausatif analitik yang dibangun oleh verba
kausatif tau ‘buat’ dengan verba transitif.
(6.37) a.
b.
(6.38) a.
b.
(6.39) a.
b.
(6.40) a.
b
Au
tana ai
senua
1TG tanam pohon DEF
‘Saya menanam pohon itu’
Ama tau
au
tana ai
senua
Ayah buat 1TG tanam pohon DEF
‘Ayah membuat saya menanam pohon itu’
Ua
ala
si
ahi
3TG beli
daging babi
‘Dia membeli daging babi’
Ina
tau
ua
ala
si
ahi
Ibu
buat 1TG beli
daging babi
‘Ibu membuat saya membeli daging babi’
Mane
senua ne
osa
Laki-laki
DEF beri uang
‘Laki-laki itu memberi uang’
Atmas senua tau
mane
senua ne
Orang DEF buat laki-laki
DEF beri
‘Orang itu membuat laki-laki itu memberi uang’
osa
uang
Ali
leli
ai
enu
senua
Adik tebang pohon kelapa DEF
‘Adik menebang pohon kelapa itu’
Au
tau
ali
leli
ai
enu
senua
1TG buat adik tebang pohon kelapa DEF
‘Saya membuat adik menebang pohon kelapa itu’
Klausa (6.37a)--(6.40a) adalah klausa yang dibangun oleh verba transitif
dalam BKm. Verba transitif pada klausa tersebut dapat pula membentuk
konstruksi kausatif analitik apabila verba transitif tersebut didahului oleh verba
215
kausatif tau ‘buat’ seperti yang tersaji pada klausa (6.37b)--(6.40b). Konstruksi
kausatif analitik pada klausa tersebut dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat
dengan verba transiitf, yaitu tana ‘tanam’ pada klausa (6.37b), ala ‘beli’ pada
klausa (6.38b), ne ‘beri’ pada klausa (6.39b), dan leli ‘tebang’ pada klausa
(6.40b). Hakikat pengkausatifan yang mengubah kluasa dengan verba transitif
menjadi konstruksi kausatif analitik yang dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’
mengubah fungsi gramatikal subjek pada klausa transitif, yaitu au ‘saya’ pada
klausa (6.37a), ua ‘dia’ pada klausa (6.38a), mane senua ‘laki-laki itu’ pada
klausa (6.39a), dan ali ‘adik’ pada klausa (6.40a) menjadi fungsi gramatikal objek
pada konstruksi kausatif analitik pada klausa (6.37b)--(6.40b).
Bagian sebelumnya telah menguraikan konstruksi kausatif yang dibangun
oleh verba kausatif tau ‘buat’ dengan verba intransitif dan verba ekatransitif.
Bagian berikutnya menguraikan konstruksi kausatif yang dibangun oleh verba
kausatif tau ‘buat’ dengan predikat yang ditempati oleh adjektival. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan klausa-klausa di bawah ini.
(6.41) a.
Uma senua bderang
Rumah DEF bersih
‘Rumah itu bersih’
b.
Ina
tau
uma senua bderang
Ibu
buat rumah DEF bersih
‘Ibu membuat rumah itu bersih’
c.
Ina
tau
bderang
uma senua
Ibu
buat bersih
rumah DEF
‘Ibu membuat bersih rumah itu’
216
(6.42) a.
Au-ng
ahi
1TG-Lig
babi
‘Babi saya besar’
boteng
besar
b.
Ina
tau
boteng au-ng
ahi
Ibu
buat besar 1TG-Lig
babi
‘Ibu membuat besar/membesarkan babi saya’
c.
Ina
tau
au-ng
ahi
Ibu
buat 1TG-Lig
babi
‘Ibu membuat babi saya besar’
(6.43) a.
boteng
besar
Bea senua bansang
Air
DEF panas
‘Air itu panas’
b.
Atmas senua tau
bansang
bea
senua
Orang DEF buat panas
air
DEF
‘Orang itu membuat panas/memanaskan air itu’
c.
Atmas senua tau
bea
senua bansang
Orang DEF buat air
DEF panas
‘Orang itu membuat air itu panas’
(6.44) a.
Ita-ng
baru
1JM-Lig
baju
‘Baju kita kering’
mega’ang
kering
b.
Roma tau
mega’ang
ita-ng
baru
3JM buat kering
1JM-Lig
baju
‘Mereka membuat kering/mengeringkan baju kita’
c.
Roma tau
ita-ng
baru mega’ang
3JM buat 1JM-Lig
baju kering
‘Mereka membuat baju kita kering’
Klausa (6.41a)--(6.44a) merupakan klausa intransitif yang dibangun oleh
predikat yang ditempati oleh adjektival, yaitu bderang ‘bersih’ pada klausa
(6.41a), boteng ‘besar’ pada klausa (6.42a), bansang ‘panas’ pada klausa (6.43a),
217
dan mega’ang ‘kering’ pada klausa (6.44a). Sementara, klausa (6.41b dan c)-(6.44b dan c) merupakan hasil pengkausatifan atau konstruksi kausatif analitik
yang dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dan predikat intransitif yang
ditempati oleh adjektival. Lebih jauh, konstruksi kausatif analitik (6.41b)--(6.44b)
memiliki konstruksi yang berbeda dengan konstruksi kausatif analitik (6.41c)-(6.44c). Konstruksi kausatif analitik (6.41c)--(6.44c) merupakan konstruksi
alternasi dari konstruksi kausatif analitik (6.41b)--(6.44b). Namun, kedua
konstruksi kausatif tersebut berterima secara gramatikal dalam BKm. Pada
hakikatnya, pengkausatifan yang mengubah klausa intransitif dengan predikat
adjektival menjadi konstruksi kausatif analitik yang dibangun oleh verba kausatif
tau ‘buat’ dengan predikat intransitif yang diisi oleh adjektival, merubah fungsi
gramatikal subjek pada klausa intransitif, yaitu uma senua ‘rumah itu’ pada klausa
(6.41a), aung ahi ‘babi saya’ pada klausa (6.42a), bea senua ‘air itu’ pada klausa
(6.43a), dan itang baru ‘baju kita’ pada klausa (6.44a) menjadi fungsi gramatikal
objek pada konstruksi kausatif analitik pada klausa (6.41b dan c)--(6.44b dan c).
Di atas telah diuraikan pengkausatifan atau konstruksi kausatif analitik
yang dibentuk oleh verba kausatif tau ‘buat’ dengan verba intransitif, verba
transitif, dan predikat yang diisi oleh adjektival. Berikut ini diuraikan
pengkausatifan atau konstruksi kausatif yang dibanrtuk oleh verba kausatif laka
‘suruh’ yang diikuti oleh verba intransitif dan verba transitif. Pada konstruksi
kausatff dengan verba kausatif laka ’suruh’, tidak dapat diikuti oleh predikat yang
ditempati oleh adjektival. Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan konstruksi
218
kausatif yang dibentuk oleh verba kausatif laka ‘suruh’ dengan verba intransitif
dan verba transitif.
(6.45) a.
Mane
senua hali
Laki-laki
DEF pulang
‘Laki-laki itu pulang’
b.
Au-ng
ama-ng
laka hali mane
1TG-Lig
ayah-Lig
suruh pulang laki-laki
‘Ayah saya menyuruh pulang laki-laki itu’
c.
Au-ng
ama-ng
laka mane
1TG-Lig
ayah-Lig
suruh laki-laki
‘Ayah saya menyuruh laki-laki itu pulang’
(6.46) a.
Au-ng
he-ng
1TG-Lig
istri-Lig
‘Istri saya tidur’
bue
tidur
b.
Au
laka bue
Au-ng
1TG suruh tidur 1TG-Lig
‘Saya menyuruh tidur istri saya’
c.
Au
laka Au-ng
he-ng
1TG suruh 1TG-Lig
istri-Lig
‘Saya menyuruh istri saya tidur’
(6.47) a.
he-ng
istri-Lig
Hine senua hnanu
Wanita DEF nyanyi
‘Wanita itu bernyanyi’
b.
Yohanes
laka hnanu hine senua
Yohanes
suruh nyanyi wanita DEF
‘Yohanes menyuruh bernyanyi wanita itu’
c.
Yohanes
laka hine senua hnanu
Yohanes
suruh wanita DEF nyanyi
‘Yohanes menyuruh wanita itu bernyanyi’
bue
tidur
senua
DEF
senua hali
DEF pulang
219
(6.48) a.
b.
(6.49) a
b.
(6.50) a.
b.
Maria ala
kokis
Maria beli
kue
‘Maria membeli kue’
Ina
laka Maria ala
kokis
Ibu
suruh Maria beli
kue
‘Ibu menyuruh Maria membeli kua’
Au
pegegini
osa
1Tg pinjam
uang
‘Saya meminjam uang’
Ama laka au
pegegini
osa
Ayah suruh 1TG pinjam
uang
‘Ayah menyuruh saya meminjam uang’
Ali
lotu
uta
Adik potong
sayur
‘Adik memotong sayur’
Ina
laka ali
lotu uta
Ibu
suruh adik potong sayur
‘Ibu menyuruh adik memotong sayur’
Sama halnya dengan mekanisme pengkausatifan atau konstruksi kausatif
analitik dengan verba kausatif tau ‘buat’, verba kausatif laka ‘suruh’ juga
memiliki kemampuan untuk membentuk konstruksi kausatif analitik, seperti yang
tersaji pada konstruksi kausatif (6.45b)--(6.50b).
Klausa (6.45a)--(6.47a) adalah klausa yang dibangun oleh verba intransitif,
sementara klausa (6.48a)--(6.50a) dibangun oleh verba transitif dalam BKm.
Verba intransitif dan transitif pada klausa (6.45a)--(6.50a) dapat pula membentuk
konstruksi kauatif analitik apabila verba intransitif dan verba transitif tersebut
didahului oleh verba kausatif
laka ‘suruh’ seperti yang tersaji pada klausa
(6.45b)--(6.50b). Konstruksi kausatif analitik pada klausa tersebut dibangun oleh
220
verba kausatif laka ‘suruh’ dengan verba intransitif, yaitu hali ‘pulang’ pada
klausa (6.45b), bue ‘tidur’ pada klausa (6.46b), dan hananu ‘nyanyi’ pada klausa
(6.47b), dan dengan verba transitif , yaitu ala ‘beli’ pada klausa (6.48b), pegegini
‘pinjam’ pada klausa (6.49b), dan lotu ‘potong’ pada klausa (6.50b).
Pengkausatifan dengan verba kausatif laka ‘suruh’ mengubah kluasa dengan verba
intransitif dan verba transitif menjadi konstruksi kausatif analitik, pada hakikatnya
merngubah fungsi gramatikal subjek pada klausa dengan verba intransitif, yaitu
mane senua ‘wanita itu’ pada klausa (6.45a), aung heng ‘istri saya’ pada klausa
(6.46a), mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (6.47a). Di samping itu, juga
mengubah fungsi gramatikal subjek pada klausa dengan verba transitif, yaitu
Maria ‘Maria’ pada klausa (6.48a), au ‘saya’ pada klausa (6.49a), dan ali ‘adik’
menjadi fungsi gramatikal objek pada konstruksi kausatif analitik pada klausa
(6.45b)--(6.50b).
6.3.1.2 Konstruksi Kausatif dengan Parameter Semantis
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan tentang pengkausatifan atau
konstruksi kausatif dengan parameter formal (morfosintaksis). Terdapat dua
kelompok kausatif yang berdasarkan parameter semantis, yaitu konstruksi kausatif
yang didasarkan pada (1) tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee) dan
(2) kedekatan hubungan antara komponen sebab dan komponen akibat.
Pembahasan setiap jenis konstruksi kausatif disajikan sebagai berikut.
221
6.3.1.2.1
Kausatif Sejati dan Kausatif Permisif
Pada bagian berikut disajikan konstruksi kausatif BKm yang didasarkan
pada parameter semantis berdasarkan tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab
(causee) (Comrie, 1981: 158--160; 1989:165--171), yaitu kausatif sejati dan
kausatif permisif.
(6.51) Yohanes
pule
nou-ng
Yohanes
mematahkan 3TG-Lig
‘Yohanes mematahkan kakinya’
(6.52) Au-ng
ali-ng
lotu
1TG-Lig
adik-Lig
iris
‘Adik saya mengiris tangannya’
oe-ng
kaki-Lig
nou-ng
3TG-Lig
(6.53) Atmas senua nua
au-ng
Orang DEF bunuh
1TG-Lig
‘Orang itu membunuh anjing saya’
lima-ng
tangan-Lig
asu
anjing
(6.54) Au
leli
ai
senua
1TG potong
pohon DEF
‘Saya memotong pohon itu’
Klausa (6.51) dan (6.52) merupakan konstruksi kausatif sejati BKm.
Sementara, klausa (6.53) dan (6,54) merupakan konstruksi kausatif permisif
BKm. Dapat dijelaskan bahwa klausa (6.51) dan (6.52) merupakan konstruksi
kausatif sejati mengacu kepada ketidakmampuan Yohanes ‘Yohanes’ pada klausa
(6.51) dan aung aling ‘adik saya’ pada klausa (6.52) untuk mencegah terjadinya
sebuah kejadian yang menimpa, atau dengan kata lain, penyebab (causee) tidak
dapat memegang kendali atas kejadian yang terjadi (akibat). Sementara, klausa
(7.53) dan (7.54) memiliki situasi sebaliknya. Pada klausa (7.53) dan (7,54),
222
penyebab (causee) memiliki potensi untuk memegang kendali atau memiliki
kemampuan untuk mencegah terjadinya sebuah kejadian (akibat).
6.3.1.2.2
Kausatif Langsung dan Kausatif Tak Langsung
Comrie (1981: 165) menjelaskan bahwa kausatif langsung dan kausatif
tak langsung dibedakan berdasarkan parameter rentang waktu dari hubungan
antara sebab dan akibat. Kausatif langsung merupakan konstruksi kausatif yang
menunjukkan rentang waktu antara sebab dan akibat yang berlangsung tidak lama
atau berlangsung secara singkat. Sebaliknya, kausatif tak langsung adalah
konstruksi kausatif yang menunjukkan rentang waktu antara sebab dan akibat
yang berlangsung lama. Lebih jauh, Comrie (1981: 165) menambahkan bahwa
konstruksi kausatif langsung dan kausatif tak langsung dapat pula dibedakan
dengan parameter yang membangun konstruksi kausatif tersebut. Konstruksi
kausatif langsung umumnya dibangun oleh verba transitif. Sementara, kausatif tak
langsung dibangun oleh verba intransitif dan predikat intransitif yang ditempati
oleh adjektival. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh klausa berikut ini.
(6.55) Ua
tutu au
3TG pukul 1TG
‘Dia memukul saya’
(6.56) Mane
boteng senua betu
au-ng
Laki-laki
besar DEF tendang
1TG-Lig
‘Laki-laki besar itu menendang anjing saya’
(6.57) Ali
gasi ina-ng
lima-ng
Adik gigit ibu-Lig
tangan-Lig
‘Adik menggigit tangan ibu’
asu
anjing
223
(6.58) Au
tau
bderang
au-ng
uma
1TG` buat bersih
1TG-Lig
rumah
‘Saya membuat bersih/membersihkan rumah saya’
(6.59) Ina
tau
bue
au-ng
ali-ng
Ibu
buat tidur 1TG-Lig
adik_Lig
‘Ibu membuat tidur/menidurkan adik saya’
(6.60) Au-ng
he-ng
tau
bansang
1TG-Lig
istri-Lig
buat panas
‘Istri saya membuat panas/memanaskan air’
bea
air
Klausa (6.55)--(6.57) merupakan konstruksi kausatif langsung. Konstruksi
tersebut dikategorikan pula sebagai konstruksi kausatif leksikal berdasarkan
parameter formal (morfosintaksis). Dapat dijelaskan bahwa konstruksi klausa
(6.55) - (6.57) dikategorikan sebagai konstruksi kausatif langsung karena rentang
waktu antara sebab dan akibat terbilang singkat. Jika diamati satu demi satu dari
verba yang membangun konstruksi kausatif tersebut, seperti verba tutu ‘pukul’
pada klausa (6.55), betu ‘tendang’ pada klasau (6.56), dan gasi ‘gigit’ pada klausa
(6.57) menggambarkan rentang waktu yang singkat antara tindakan memukul,
menendang, dan menggigit sebagai sebab dan akibat yang ditimbulkan dari
tindakan tersebut.
Berbeda dengan konstruksi kausatif (6.55)--(6.57), konstruksi kausatif
(6.58)--(6.60) dikategorikan sebagai konstruksi kausatif tak langsung. Konstruksi
kausatif (6.58)--(6.60) tersebut dapat pula dikategorikan sebagai konstruksi
kausatif analitik dengan kehadiran verba kausatif tau ‘buat’ dan verba intransitif
dan predikat intransitif yang diisi oleh adjektival yang membangun konstruksi
kausatif tersebut. Terkait dengan konstruksi kausatif (6.58) sampai dengan (6.60)
yang dikategorikan sebagai kausatif tak langsung berdasarkan parameter semantis
224
dapat dijelaskan bahwa rentang waktu yang tersaji oleh verba tau bderang
‘membuat bersih/membersihkan’ pada klausa (6.58),
tidur/menidurkan’
pada
klausa
(6.59),
dan
tau
tau bue ‘membuat
bansang
‘membuat
panas/memanaskan’ pada klausa (6.60) menggambarkan rentang waktu yang lama
antara tindakan yang merupakan sebab dan akibat yang ditimbulkan. Misalnya, au
tau mderang aung uma ‘saya membuat bersih/membersihkan rumah saya’
membutuhkan waktu lama untuk tindakan yang digambarkan oleh verba tersebut
dengan akibat yang dihasilkan dari tindakan tersebut.
Pembahasan tentang konstruksi kausatif di atas menunjukkan bahwa
konstruksi kausatif BKm dapat dibedakan berdasarkan dua parameter, yaitu
parameter formal (morfosintaksis) dan parameter semantis. Berdasarkan
parameter formal, konstruksi kausatif BKm dibagi menjadi dua, yaitu kausatif
leksikal dan kausatif analitik. Tidak ditemukan adanya kausatif morfologis dalam
BKm karena BKm secara tipologis digolongkan ke dalam bahasa isolasi sehingga
tidak ditemukan pula proses afiksasi yang dapat membentuk konstruksi kausatif.
Kausatif analitik Bkm dibangun oleh verba kausatif tau ‘buat’ dengan predikat
yang diisi oleh verba intransitif, verba transitif, dan predikat adjektival. Di
samping konstruksi kausatif yang dibangun oleh verba kausatif tau ’buat’,
konstruksi kausatif BKm juga dapat dibentuk dengan bantuan verba kausatif laka
‘suruh’. Verba kausatif laka ‘suruh’ ini hanya bisa diikuti oleh verba intransitif
dan transitif untuk membentuk konstruksi kausatif BKm. Berdasarkan parameter
semantis, konstruksi kausatif BKm dibedakan pula berdasarkan (1) tingkat kendali
yang dimiliki oleh tersebab (causee) dan (2) parameter rentang waktu dari
225
hubungan antara sebab dan akibat. Berdasarkan tingkat kendali tersebab (causee),
konstruksi kausatif BKm dibedakan menjadi kausatif sejati dan kausatif permisif.
Sementara, berdasarkan rentang waktu dari hubungan antara sebab dan akibat,
konstruksi kausatif BKm dibedakan menjadi kausatif langsung dan kausatif tak
langsung.
6.3.2 Konstruksi Aplikatif Bahasa Kemak
Tidak seperti pengkausatifan yang menitikberatkan pada hubungan timbal
balik antara dua komponen, yaitu komponen sebab dan akibat dalam sebuah
situasi mikro, pengaplikatifan merupakan proses derivasional
yang lebih
menekankan pada aspek penaikan atau peningkatan jumlah argumen (Shibatani
dalam Shibatani dan Thompson, 1996: 159--160). Pendapat yang hampir sama
juga dikemukakan oleh Trask (1993:18--19) yang mengungkapkan bahwa
konstruksi aplikatif merupakan proses penciptaan objek baru, yakni objek (batin)
tak langsung (underlying indirect object). Payne (1997: 186) berpendapat bahwa
pengaplikatifan pada hakikatnya merupakan sebuah proses penaikan valensi
sehingga argumen periferi menduduki posisi yang lebih tinggi, yaitu menduduki
posisi argumen inti.
Berdasarkan pendapat yang diuraikan oleh para ahli bahasa (Shibatani
dalam Shibatani dan Thompson, (ed) 1996: 159--160; Trask, 1993:18--19; dan
Payne, 1997: 186 ) di atas pada prinsipnya sama dan dapat ditarik sebuah benang
merah bahwa pengaplikatifan atau konstruksi aplikatif merupakan sebuah proses
penaikan atau penambahan valensi dengan penciptaan argumen baru, yaitu objek
226
(batin) tak langsung (underlying indirect object), Argumen baru ini diciptakan
dari unsur periferi yang kemudian dinaikkan menjadi objek melalui mekanisme
pengaplikatifan. Pengaplikatifan tidak hanya berorientasi pada peningkatan
argumen, tetapi juga pada pengaplikatifan terkandung mekanisme perpindahan
atau transfer tindakan dari agen ke pasien.
Terkait dengan pengaplikatifan yang pada prinsipnya merupakan proses
penaikan valensi, maka pembahasan pengaplikatifan ini berhubungan erat dengan
ketransitifan verba. Verba sebagai poros inti (head) sebuah klausa memiliki
peranan penting dalam proses peningkatan valensi. Pada bahasa dengan tipe
aglutinasi, proses peningkatan valensi terjadi sebagai akibat dari proses
morfologis, yaitu afiksasi. Proses peningkatan valensi melalui proses afiksasi,
tersaji pada klausa bahasa Indonesia berikut.
(6.61) Ibu duduk di kursi
(6.62) Ibu menduduki kursi
Verba duduk pada klausa (6.61) hanya membutuhkan satu argumen inti
dengan peran semantis sebagai agen. Berbeda dengan klausa (6.61), klausa (6.62)
membutuhkan dua argumen inti, yaitu ibu yang secara semantis sebagai agen dan
kursi sebagai pasien. Sebelumnya, pasien pada klausa (6.62) merupakan unsur
periferi pada (6.61).
Berbeda dengan proses morfologis yang ditunjukkan pada contoh klausa
bahasa Indonesia di atas, BKm memiliki mekanisme tersendiri untuk membentuk
konstruksi aplikatif. Seperti diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa BKm
secara tipologis dikelompokkan ke dalam bahasa isolasi mengingat minimnya
afiks yang ditemukan pada BKm sehingga proses morfologis berupa afiksasi tidak
227
ditemukan untuk membentuk konstruksi aplikatif. Pengaplikatifan BKm memiliki
mekanisme
tersendiri, yaitu dengan hadirnya pemarkah aplikatif podi yang
menempati posisi setelah verba atau posverbal.
Konstruksi aplikatif BKm merupakan konstruksi aplikatif yang dinyatakan
dengan kehadiran pemarkah podi setelah predikat yang ditempati oleh verba
ekatransitif. Fungsi pemarkah podi ini adalah untuk meningkatkan valensi dengan
mewajibkan kehadiran argumen baru (benefaktif) yang berfungsi sebagai objek
tak langsung dan menempati posisi langsung setelah predikat. Di samping
hadirnya pemarkah aplikatif podi, konstruksi aplikatif BKm juga dapat dibangun
dengan dimarkahi preposisi odi ‘untuk’. Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan
proses pengaplikatifan atau konstruksi aplikatif BKm.
(6.63) a.
Au
ala
baru
1TG beli
baju
‘Saya membali baju’
b.
au
ala
podi ua
baru
1TG beli
APL 3TG baju
‘Saya membelikan dia baju’
c.
Au
ala
baru odi
ua
1TG beli
baju Prep 3TG
‘Saya membelikan baju untuk dia’
(6.64) a.
b.
Ama pegegini
osa
Ayah pinjam
uang
‘Ayah meminjam uang’
Ama pegegini
podi atmas senua osa
Ayah pinjam
APL orang DEF uang
‘Ayah meminjamkan orang itu uang’
228
c.
(6.65) a.
Ama pegegini
osa
odi
atmas senua
Ayah pinjam
uang Prep orang DEF
‘Ayah meminjamkan uang untuk orang itu’
Ina
ne
kokis
Ibu
beri kue
‘Ibu memberi kue’
b.
Ina
ne
podi au-ng
Ibu
beri APL 1TG-Lig
‘Ibu memberikan adik saya kue’
c.
Ina
ne
kokis odi
au-ng
Ibu
beri kue
Prep 1TG-Lig
‘Ibu memberikan kue untuk adik saya’
(6.66) a.
Ali
tau
kopi
Adik buat kopi
‘Adik membuat kopi’
b.
Ali
tau
podi ama kopi
Adik buat APL ayah kopi
‘Adik membuatkan ayah kopi’
c.
Ali
tau
kopi odi
ama
Adik buat kopi Prep ayah
‘Adik membuatkan kopi untuk ayah’
Maria tulis surat
Maria tulis surat
‘Maria menulis surat’
(6.67) a.
ali-ng
adik-Lig
b.
Maria tulis podi hine senua surat
Maria tulis APL wanita DEF surat
‘Maria menuliskan wanita itu surat’
c.
Maria tulis surat odi
hine senua
Maria tulis surat Prep wanita DEF
‘Maria menuliskan surat untuk wanita itu’
kokis
kue
ali-ng
adik-Lig
229
Klausa (6.63a)--(6.66a) merupakan klausa dengan predikat yang ditempati
oleh verba transitif. Konstruksi klausa tersebut menghadirkan dua argumen, yaitu
subjek dan objek langsung. Subjek klausa tersebut terdiri atas: au ‘saya’ pada
klausa (6.63a), ama ‘ayah’ pada klausa (6.64a), ina ‘ibu’ pada klausa (6.65a), ali
‘adik’ pada klausa (6.66a), dan Maria ‘Maria’ pada klausa (6.67a).
Objek
langsung klausa tersebut terdiri atas baru ‘baju’ pada klausa (6.63a), osa ‘uang’
pada klausa (7.64a), kokis ‘kue’ pada klausa (6.65a), kopi ‘kopi’ pada klausa
(7.66a), dan surat ‘surat’ pada klausa (6.67a).
Konstruksi
klausa
(6.63a)--(6.67a)
dengan
verba
transitif
yang
mewajibkan kehadiran dua argumen tersebut, memungkinkan hadirnya argumen
benefaktif berupa objek tak langsung yang hadir langsung setelah predikat
(verbal) dan pemarkah aplikatif. Untuk meningkatkan valensi verba, dibutuhkan
kehadiran pemarkah aplikatif podi untuk membentuk konstruksi aplikatif yang
menempati posisi antara verba dan objek tak langsung, seperti yang tersaji pada
klausa (6.63b)--(6.67b). Argumen benefaktif yang hadir pada klausa (6.63b) (6.66b), yaitu ua ‘dia’ pada klausa (6.63b), atmas senua ‘orang itu’ pada klausa
(6.64b), aung aling ‘adik saya’ pada klausa (6.65b), ama ‘ayah’ pada klausa
(6.66b), dan hine senua ‘wanita itu’ pada klausa (6.67b). Konstruksi klausa
(6.63c)--(6.67c) juga merupakan konstruksi aplikatif yang bermarkah preposisi de
‘untuk’. Konstruksi kausatif (6.63c)--(6.67c) memiliki konstruksi yang berbeda
dengan konstruksi aplikatif (6.63b)--(6.67b). Letak perbedaannya pada posisi
objek langsung dan objek tak langsung setiap konstruksi aplikatif tersebut. Objek
tak langsung pada konstruksi aplikatif (6.63b)--(6.67b) berada langsung setelah
230
predikat (verba) dan pemarkah aplikatif. Sementara, objek tak langsung pada
konstruksi aplikatif (6.63c)--(6.67c) berada setelah objek langsung dengan
dimarkahi oleh preposisi odi ‘untuk’ dan secara langsung membuat pemarkah
aplikatif podi menjadi hilang.
Berdasarkan contoh klausa (6.63)--(6.67) di atas, dapat dikemukakan
bahwa konstruksi aplikatif BKm dibentuk dengan kehadiran argumen baru
(benefaktif) sebagai objek tak langsung dan tidak berfungsi sebagai oblik. Lebih
jauh, konstruksi aplikatif BKm tidak dapat diturunkan dari klausa/kalimat dengan
predikat verba intransitif. Hal ini disebabkan oleh
hadirnya argumen baru
(benefaktif) pada konstruksi aplikatif tersebut yang berkedudukan sebagai objek
tak langsung dan tidak pernah sama sekali sebagai oblik. Simpulan tentang
konstruksi aplikatif (benefaktif) BKm diperkuat dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Shibatani (Shibatani dalam Shibatani dan Thompson, (ed.)
1996: 159--160), yang menegaskan bahwa konstruksi aplikatif benefaktif
diturunkan dari klausa dengan predikat verba transitif dan jarang diturunkan dari
klausa/kalimat dengan predikat verba intransitif.
6.3.3 Konstruksi Resultatif Bahasa Kemak
Istilah resultatif dimaknai sebagai suatu keadaan yang di dalamnya tersirat
peristiwa yang dinyatakan oleh verba resultatif telah terjadi dan dari peristiwa
yang dinyatakan itu menghasilkan suatu hasil. Konstruksi resultatif juga termasuk
salah satu mekanisme perubahan valensi verba. Konstruksi resultatif berbeda
dengan konstruksi statif. Sekilas kedua konstruksi tersebut tampak sama. Namun,
231
terdapat perbedaan antara konstruksi resultatif dan konstruksi statif, yakni (1)
konstruksi statif mengungkapkan suatu keadaan tanpa implikasi apa pun terkait
dengan asal-muasalnya, sedangkan konstruksi resultatif mengungkapkan, baik
keadaan maupun tindakan yang mendahuluinya (Nedjalkov dan Jaxontov,
1998:6). Pendapat terkait dengan konstruksi aplikatif juga diungkapkan oleh
Artawa (2004:84) dan Jufrizal (2004:248). Mereka mengungkapkan bahwa
konstruksi resultatif atau konstruksi hasilan umumnya diterapkan pada verba yang
mengungkapkan suatu keadaan yang menyiratkan peristiwa sebelumnya.
Comrie (1985) menggunakan istilah antikausatif untuk merujuk pada suatu
gejala sintaksis, yaitu penurunan verba intransitif dari verba transitif. Antikausatif
dan resultatif merupakan dua istilah yang berdekatan terkait dengan pengertian
dan cakupannya. Comrie (1985:325) juga mengungkapkan bahwa konstruksi
antikausatif ini memiliki persamaan dengan konstruksi pasif. Persamaan kedua
konstruksi terletak pada objek langsung pada verba intransitif dapat menjadi
subjek dalam konstruksi antikausatif. Agen konstruksi pasif bersifat opsional,
sedangkan agen pada konstruksi antikausatif tidak pernah dinyatakan. Berikut
disajikan contoh klausa bahasa Inggris yang memperlihatkan kaitan antara
antikausatif dan pasif (dikutip dari Jufrizal, 2004:249).
(6.68) a. Anton opened the door
b. The door opened
c. The door was opened
Klausa (6.68a) merupakan klausa dasar, klausa (6.68b)
merupakan
konstruksi kausatif, dan klausa (6.68c) merupakan konstruksi pasif. Perbedaan
antara antikausatif dan pasif terlihat pada klausa (6.68b) dan (6.68c). Agen pada
232
konstruksi pasif (6.68c) bersifat opsional, sedangkan agen pada konstruksi
antikausatif (6.68b) tidak pernah dinyatakan
Artawa (1998: 55--56) mengungkapkan bahwa konstruksi resultatif dapat
disejajarkan dengan istilah antikausatif (lihat juga Comrie (1985)) sehingga
pembahasan tentang konstruksi resultatif juga dapat dikatakan sebagai telaah
tentang konstruksi antikausatif. Artawa (1998:55--56) juga mengungkapkan
bahwa konstruksi resultatif dikenal sebagai konstruksi yang mirip dengan
konstruksi pasif.
Terkait dengan konstruksi resultatif yang mirip dengan
konstruksi pasif, maka pembahasan konstruksi resultatif BKm pada disertasi ini
juga menyentuh konstruksi pasif yang terdapat dalam BKm.
Pada prinsipnya konstruksi resultatif merupakan salah satu mekanisme
perubahan valensi berupa penurunan valensi. Penurunan valensi ini berakibat pada
penurunan fungsi argumen inti menjadi argumen noninti. Terkait dengan telaah
tentang resultatif yang mirip dengan konstruksi pasif, maka pembahasan resultatif
BKm ini terkait pula dengan konstruksi pasif. Seperti telah diungkapkan
ssbelumnya bahwa BKm tidak memiliki pemarkah morfologis untuk membangun
konstruksi pasif . Dengan kata lain, BKm tidak memiliki proses afiksasi (afiks)
yang dapat menurunkan valensi verba. Namun, BKm memiliki mekanisme sendiri
untuk membentuk konstruksi pasif atau mnurunkan valensi verba dari verba
transitif menjadi verba intransitif. Untuk penurunan valensi melalui mekanisme
pemasifan, BKm memiliki konstruksi pasif analitik dengan hadirnya pemarkah
pasif toma ‘dapat’ yang menempati posisi praverbal (sebelum predikat verbal).
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh klausa berikut yang memperlihatkan
233
konstruksi resultatif BKm, yaitu penurunan valensi verba dari verba transitif
menjadi verba intransitif.
(6.69) a.
b.
(6.70) a.
b.
(6.71) a.
b.
(6.72) a.
b.
Ina
ala
baru buti
Ibu
beli
baju putih
‘Ibu membeli baju putih’
Baru buti toma ala
Baju putih dapat beli
‘Baju putih dibeli’
Ua
pegegini
osa
ribun hrua
3TG pnjam
uang ribu dua
‘Saya meminjam uang dua ribu’
Osa ribun hrua toma pegegini
uang ribu dua
dapat pinjam
‘Uang dua ribu dipinjam’
Atmas senua tutu au
Orang DEF pukul 1TG
‘Orang itu memukul saya’
Au
toma tutu
1TG dapat pukul
‘Saya dipukul’
Bili
do
au-ng
Bili
lempar 1TG-Lig
‘Bili melempar adik saya’
ali-ng
adik-Lig
Au-ng
ali-ng
1TG-Lig
adik-Lig
‘Adik saya dilempar’
toma do
dapat lempar
Klausa (6.69a)--(6.72a) di atas adalah klausa transitif BKm. Sementara,
klausa (6.69b)--(6.72b) merupakan konstruksi hasilan atau konstruksi resultatif
yang diturunkan dari konstruksi (6.69a)--(6.72a). Pembentukan konstruksi
234
resultatif BKm melalui mekanisme pemasifan yang diturunkan dari klausa
transitif. Seperti telah diuraikan di atas bahwa konstruksi resultatif memiliki
kemiripan dengan konstruksi antikausatif dan konstruksi pasif. Dengan demikian,
konstruksi pasif yang dihasilkan dari klausa transitif merupakan konstruksi
antikausatif juga karena agen tidak pernah dinyatakan,
Di samping mekanisme
pemasifan untuk mengungkapkan berhasilnya suatu tindakan (resultatif), BKm
juga memiliki cara lain untuk mengungkapkan berhasilnya suatu tindakan, yaitu
dengan leksikal kasai ‘sudah’ yang menempatkan posisi akhir klausa/kalimat.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh klausa yang disajikan berikut.
(6.73) a.
b.
(6.74) a.
b.
(6.75) a.
b.
Ama leli
ai
nua
Ayah tebang pohon kelapa
‘Ayah menebang pohon kelapa’
Ama leli
ai
nua
kasai
Ayah tebang pohon kelapa sudah
‘Ayah sudah menebang pohon kelapa’
Roma sunu ika
3JM bakar ikan
‘Mereka membakar ikan’
Roma sunu ika
kasai
3JM bakar ikan sudah
‘Mereka sudah membakar ikan’
Ua
ala
buku
3TG beli
buku
‘Saya membeli buku’
Ua
ala
buku kasai
3TG beli
buku sudah
‘Saya sudah membeli buku’
235
(6.76) a.
Au
se’o au-ng
bibu
1TG jual
1TG-Lig
kambing
‘Saya menjual kambing saya’
b.
Au
se’o au-ng
bibu
1TG jual
1TG-Lig
kambing
‘Saya sudah menjual kambing saya’
kasai
sudah
Klausa (6.73a)--(6.74a) adalah konstruksi transitif BKm yang dibangun
oleh verba leli ‘tebang’ pada klausa (6.73a), sunu ‘bakar’ pada klausa (6.74a), ala
‘beli’ pada klausa (6.75a), dan se’o ‘jual’ pada klausa (6.76a). Secara khusus,
verba leli ‘tebang’ pada klausa (6.73a) dan sunu ‘bakar’ pada klausa (6.74a)
mengandung makna kausatif. Sementara, klausa (6.73b)--(6.74b) juga merupakan
konstruksi transitif. Perbedaannya terletak pada hadirnya pemarkah perfektif kasai
‘sudah’ pada (6.73b)--(6.74b) yang menyebabkan konstruksi tersebut menjadi
konstruksi transitif resultatif. Dengan hadirnya pemarkah perfektif kasai ‘sudah’
pada hakikatnya mengandung makna bahwa peristiwa tersebut telah berhasil
dilakukan.
6.4
Temuan Penelitian
Bab ini telah menguraikan valensi verba BKm. Pembahasan valensi verba
menyangkut ketransitifan verba, valensi verba, dan mekanisme perubahan valensi
verba BKm. Pembahasan mekanisme perubahan valensi verba meliputi konstruksi
kausatif, konstruksi aplikatif (benefaktif), dan resultatif. Berikut diuraikan
beberapa temuan yang terkait dengan pembahasan valensi verba BKm.
1. Pada hakikatnya, pembahasan valensi verba BKm terkait dengan proses
penaikan/penambahan dan penurunan/pengurangan jumlah argumen yang hadir
236
pada sebuah konstruksi klausa/kalimat. Proses penaikan/penambahan argumen
yang
hadir
dalam
sebuah
klausa/kalimat
dapat
dijumpai
pada
pengkausatifan/konstruksi kausatif dan pengaplikatifan/konstruksi aplikatif.
Sebaliknya, proses penurunan/pengurangan jumlah argumen
dalam BKm
dapat dijumpai pada proses pembentukan konstruksi resultatif, yang diturunkan
dari konstruksi transitif menjadi konstruksi intransitif.
2. Konstruksi kausatif BKm dapat dibedakan berdasarkan dua parameter, yaitu
parameter formal (morfosintaksis) dan parameter semantis. Berdasarkan
parameter formal, konstruksi kausatif BKm dibagi menjadi dua, yaitu kausatif
leksikal dan kausatif analitik. Kausatif analitik BKm dibangun oleh verba
kausatif tau ‘buat’ dengan predikat yang diisi oleh verba intransitif, verba
transitif, dan predikat adjektival. Di samping
konstruksi kausatif yang
dibangun oleh verba kausatif tau ’buat’, konstruksi kausatif BKm juga dapat
dibentuk dengan bantuan verba kausatif laka ‘suruh’. Untuk membentuk
konstruksi kausatif, verba laka ‘suruh’ hanya dapat diikuti oleh verba
intransitif dan transitif.
3. Tidak ditemukan adanya kausatif morfologis dalam BKm karena BKm secara
tipologis digolongkan ke dalam bahasa isolasi sehingga tidak ditemukan pula
proses afiksasi yang dapat membentuk konstruksi kausatif.
4. Berdasarkan parameter semantis, konstruksi kausatif BKm dibedakan pula
berdasarkan (1) tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee) dan (2)
parameter rentang waktu dari hubungan antara sebab dan akibat. Berdasarkan
tingkat kendali tersebab (causee), konstruksi kausatif BKm dibedakan menjadi
237
kausatif sejati dan kausatif permisif. Sementara, berdasarkan rentang waktu
dari hubungan antara sebab dan akibat, konstruksi kausatif dibedakan menjadi
kausatif langsung dan kausatif tak langsung.
5. Pembentukan konstruksi aplikatif BKm dibangun oleh verba transitif dan
pemarkah aplikatif podi yang menempati posisi setelah verba transitif.
Hadirnya pemarkah podi ini secara otomatis meningkatkan jumlah argumen,
yang sebelumnya verba berargumen dua, yaitu subjek dan objek langusng
berubah menjadi verba yang berargumen tiga, yaitu subjek, objek langsung,
dan objek tak langsung. Pemarkah aplikatif podi secara otomatis memberikan
ruang bagi argumen baru, yaitu objek tak langsung yang langsung hadir setelah
verba dan pemarkah podi.
6. Konstruksi resultatif BKm dibangun dengan mekanisme pemasifan. Pemasifan
merupakan salah satu mekanisme penurunan valensi. Pemasifan yang
merupakan penurunan valensi verba untuk membentuk konstruksi resultatif
BKm memiliki mekanisme tersendiri. Berbeda dengan bahasa-bahasa pada
umumnya yang memiliki proses morfologis (afiksasi) untuk membentuk
konstruksi pasif, BKm memiliki mekanisme tersendiri untuk membentuk
konstruksi pasif, yaitu dengan hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ sebelum verba
untuk membentuk konstruksi resultatif. Proses penuruann valensi melalui
mekanisme pemasifan BKm dapat pula membentuk konstruksi antikausatif
karena agen pada konstruksi antikausatif tidak pernah dinyatakan dan agen
pada konstruksi pasif bersifat opsional, bisa hadir dan bisa tidak, seperti tersaji
pada contoh klausa-klausa di atas, sehingga, konstruksi pasif, antikausatif, dan
238
resultatif memiliki kemiripan atau persamaan. Di samping konstruksi pasif
analitik untuk menggambarkan konstruksi resultatif, BKm juga memiliki
mekanisme lain untuk membentuk konstruksi resultatif, yaitu menghadirkan
pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ yang hadir pada sebuah klausa/kalimat yang
ditempatkan di akhir klausa/kalimat. Hadirnya pemarkah perfektif kasai
‘sudah’ mengandung makna bahwa sebuah peristiwa yang digambarkan oleh
verba sudah berhasil dilakukan.
BAB VII
FUNGSI DAN RELASI GRAMATIKAL BAHASA KEMAK
7.1 Pengantar
Bab sebelumnya telah menguraikan struktur klausa, predikasi, dan valensi
verba BKm. Setelah penentuan struktur klausa, predikasi, dan valensi verba,
berikutnya adalah pembahasan fungsi dan relasi gramatikal BKm. Pembahasan
fungsi dan relasi gramatikal bertujuan untuk menentukan fungsi dan relasi
gramatikal dari argumen-argumen yang membenruk klausa yang ditentukan oleh
predikatnya. Kajian tentang fungsi dan relasi gramatikal BKm dalam bab ini
diawali dengan pembahasan tentang pengertian fungsi dan relasi gramatikal.
Kemudian, dilanjutkan dengan pembahasan tentang fungsi gramatikal BKm yang
mencakup pembahasan tentang agen dan pasien. Pembahasan berikutnya adalah
tentang relasi gramatikal yang mencakup subjek, objek, relasi oblik, komplemen,
adjung, dan relasi gramatikal inti BKm. Pembahasan dalam bab ini diakhiri
dengan menyampaikan beberapa temuan baru terkait dengan peran dan relasi
gramatikal BKm.
7.2 Pengertian Fungsi dan Relasi Gramatikal
Banyak pendapat yang dikemukakan para linguis terkait dengan konsep
fungsi gramatikal, mulai dari pandangan linguistik tradisional sampai dengan
pandangan yang lebih mutakhir. Mengacu kepada pandangan linguistik
tradisional,
klausa (kalimat tunggal) terdiri atas subjek dan predikat. Subjek
dalam pandangan linguistik tradisional merupakan apa yang dibicarakan,
239
240
sedangkan predikat merupakan apa yang terjadi tentang sesuatu. Berbeda dengan
pandangan linguistik tradisional, pendapat yang lebih mutakhir menyatakan
bahwa klausa (kalimat tunggal) terdiri atas predikator dan argumen (bisa satu atau
lebih).
Terkait dengan fungsi gramatikal, kajian tipologi mempunyai dua asumsi
dasar tentang klausa atau kalimat, yaitu (1) konsep struktur predikator dapat
diperlakukan untuk semua bahasa dan (2) kedua argumen dapat berbeda dalam hal
hubungan semantiknya dengan predikator dan keduanya juga dapat berbeda satu
sama lain melalui pemarkah gramatikal. Bagi struktur klausa yang memiliki satu
argumen, argumen tersebut bisa diidentifikasi sebagai agen atau pasien.
Sementara struktur klausa yang memiliki dua argumen, satu argumen
diidentifikasi sebagai agen dan argumen yang lain diidentifikasi sebagai pasien.
Agen dan pasien dalam suatu bahasa merupakan fungsi gramatikal (Comrie. 1981:
51-56; Dixon, 1994: 6--8).
Senada dengan Comrie (1981) dan Dixon (1994), Artawa mengungkapkan
bahwa agen dan pasien merupakan fungsi gramatikal yang mengacu kepada peran
makro. Lebih lanjut, Artawa menjelaskan bahwa fungsi gramatikal agen tidak
hanya mencakup agen dari verba seperti memukul dan menendang, tetapi juga
termasuk experiencer dan perceiver dari verba seperti mencintai dan melihat.
Sementara, fungsi gramatikal pasien tidak hanya mencakup pasien yang dikenai
tindakan dari verba seperti memukul dan menendang, tetapi juga mencakup
entitas netral dan yang tidak dikenai tindakan dari verba seperti mencintai dan
melihat (Artawa dalam Alexander Adelaar, 2012: 5).
241
Berbeda dengan Comrie (1981) dan Dixon (1994), Palmer menggunakan
istilah peran gramatikal untuk fungsi gramatikal. Lebih jauh, Palmer (1994)
mengungkapkan bahwa dalam kajian tipologi, agen dan pasien merupakan dua
peran gramatikal yang paling penting. Selain dua peran gramatikal yang penting
tersebut, terdapat peran gramatikal lain, yaitu benefisiari, instrumental, dan lokatif
(Palmer, 1994: 2--3, 6--20). Untuk menghindari penggunaan dua istilah yang
berbeda, yaitu fungsi gramatikal dan peran gramatial, disertasi ini menggunakan
istilah fungsi gramatikal yang mengacu kepada agen dan pasien sebagai peran
makro yang mengacu kepada pendapat Comrie (1981), Dixon (1994), dan Aratwa
(dalam Alexander Adelaar, 2012: 5).
Pengertian tentang relasi gramatikal diberikan oleh Comrie (1983: 39) dan
Blake (1991:1). Comrie dan Blake mengungkapkan bahwa relasi-relasi gramatikal
memegang peranan yang penting dalam sintaksis bahasa alamiah. Relasi-relasi
gramatikal tersebut terdiri atas subjek (S), objek langsung (OL), dan objek tidak
langsung (OTL). Mengacu kepada teori tata bahasa relasional, relasi gramatikal
adalah S, OL, OTL, dan relasi oblik. Relasi gramatikal S, OL, dan OTL
merupakan relasi gramatikal sintaksis murni, sedangkan relasi oblik (benefisiari,
instrumental, dan lokatif) merupakan relasi yang bersifat semantis.
Kajian tentang fungsi dan relasi gramatikal BKm erat kaitannya dengan
sejumlah konsep dan istilah sintaksis (gramatikal), seperti agen, pasien, subjek,
objek, dan relasi oblik. Pengkajian tentang konsep atau istilah yang terkait dengan
peran dan relasi gramatikal diuraikan secara lebih terperinci pada sub-subbagian
di bawah ini.
242
7.3 Fungsi Gramatikal Bahasa Kemak
Berbeda dengan Comrie (1981) dan Dixon (1994) yang menyatakan agen
dan pasien sebagai fungsi gramatikal, Palmer (1994) menyebut agen dan pasien
sebagai peran gramatikal. Palmer (1994) berpendapat bahwa pembahasan tentang
peran gramatikal erat kaitannya dengan istilah agen dan pasien. Peran agen dan
pasien tersebut dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa peran tersebut merupakan
peran semantis. Van Valin, Jr. dan LaPolla (1999, 2002) mengungkapkan bahwa
prinsip peran umum semantis (semantic macrorole) mendasari pembahasan peran
gramatikal yang ditelaah dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini peran
gramatikal yang dibahas hanya peran gramatikal utama, yaitu agen dan pasien.
Agen dan pasien merupakan dua peran gramatikal penting dalam kajian tipologi
sintaksis di samping peran khusus, yaitu benefisiari, instrumental, dan lokatif
(Palmer, 1994: 2--3. 6--20).
Fungsi gramatikal agen dan pasien seperti yang diungkapkan di atas
merupakan peran semantis yang terdapat dalam sebuah klausa. Peran agen dan
pasien lebih dikenal dengan sebutan peran makro semantis (semantic macrorole).
Peran agen dan pasien tersebut dikatakan sebagai peran makro karena setiap peran
mengemas jenis-jenis argumen khusus atau yang lebih umum disebut dengan
relasi tematis. Mengacu pada teori peran makro semantis, peran agen diistilahkan
dengan aktor (pelaku) dan peran pasien diistilahkan dengan undergoer (tempat
jatuhnya perbuatan/penderita). Pada klausa intransitif, satu-satunya argumen
klausa intransitif dapat berperan sebagai aktor atau undergoer (van Valin, Jr. dan
Lapolla, 1999, 2002: 141--143).
243
Lebih jauh, teori peran makro semantis bertitik tolak dari interaksi dan
pertalian antara tataran sintaksis dan tataran semantis. Peran makro merupakan
generalisasi lintas jenis argumen yang ditemukan pada verba tertentu yang
mengandung muatan gramatikal penting. Pembahasan tentang fungsi gramatikal
tidak bisa terlepas dan mutlak menyangkut predikat yang ditempati verba dari
sebuah klausa karena bagaimanapun juga penetapan dan pemahaman tentang agen
dan pasien ini diisyaratkan oleh verba (predikat). Perhatikanlah contoh-contoh
yang ditampilkan di bawah ini.
(7.1)
Au-ng
ali-ng
1TG-Lig
adik-Lig
‘Adik saya lari’
plai
lari
(7.2)
Hine senua
ART Maria
‘Wanita itu menari’
(7.3)
Au
mnahu
1TG jatuh
‘Saya jatuh’
(7.4)
Atmas senua mate
Orang DEF mati
‘Orang itu mati’
(7.5)
Ua
tutu atmas senua
3TG pukul orang DEF
‘Dia memukul orang itu’
(7.6)
Mane
senua sali
Laki-laki
DEF tangkap
Laki-laki itu menangkap ikan’
(7.7)
Romo liu
manu senua
3JM kejar ayam DEF
‘Mereka mengejar ayam itu’
huri
tari
ika
ikan
244
(7.8)
Au
nua
ahi
sia
1TG bunuh babi NUM
‘Saya membunuh seekor babi’
Sesuai dengan penjelasan tantang fungsi gramatikal, klausa (5.1)--(5.4) di
atas merupakan klausa dengan predikat yang ditempati oleh verba intransitif.
Klausa (7.1) dan (7.2) di atas menunjukkan bahwa subjek gramatikal aung alig
‘adik saya’ dan hine senua ‘wanita itu’ merupakan agen, sedangkan klausa (7.3)
dan (7.4) menunjukkan bahwa subjek gramatikal atmas senua ‘orang itu‘ dan ua
’dia’ memiliki peran semantis yang tidak sama dengan subjek gramatikal yang
terdapat pada klausa (7.1) dan (7.2). Peran semantis subjek gramatikal atmas
senua ‘orang itu‘ pada klausa (7.3) dan
ua ’dia’ pada klausa (7.4) yang
diisyaratkan oleh verba mof ‘jatuh’ dan mate ‘mati’ adalah sebagai pasien karena
subjek gramatikal atmas senua ‘orang itu‘ dan
ua ’dia’ tidak melakukan
pekerjaan/tindakan, tetapi subjek gramatikal atmas senua ‘orang itu‘ dan ua ’dia’
dikenai/tempat jatuhnya perbuatan atau tindakan. Sehubungan dengan itu, dapat
disimpulkan bahwa satu-satunya argumen pada klausa intransitif tidak selalu
memiliki peran semantis sebagai agen. Pada kasus tertentu, satu-satunya argumen
pada klausa verba intransitif dapat pula menjadi pasien. Dengan demikian, peran
semantis yang dimiliki oleh satu-satunya argumen pada klausa verba intransitif
sangat ditentukan oleh predikatnya (verba).
Berbeda dengan klausa (7.1)--(7.4), klausa (7.5)--(7.8) merupakan klausa
transitif yang ditandai dengan hadirnya verba transitif yang menempati posisi
predikat. Klausa (7.5)--(7.8) di atas menunjukkan bahwa setiap klausa tersebut
memiliki dua argumen yang hadir sebelum dan sesudah predikat. Kedua argumen
245
tersebut dikategorikan sebagai subjek gramatikal yang hadir sebelum predikat dan
objek gramatikal yang hadir setelah predikat. Peran makro semantis yang ada
pada klausa transitif menunjukkan bahwa subjek gramatikal pada setiap klausa
tersebut adalah agen dan untuk objek gramatikalnya merupakan pasien. Dengan
demikian, klausa transitif BKm yang memiliki dua argumen, salah satu
argumennya berupa agen dan yang lainnya adalah pasien. Selanjutnya cermatilah
klausa di bawah ini.
(7.9)
Ina
ala
paru
Ibu
beli
baju
‘Ibu membeli baju’
(7.10) Ua
luma
ahi
3TG pelihara
babi
‘Dia memelihara babi’
(7.11) Au-ng
ali-ng
loke
1TG-Lig
adik-Lig
baca
‘Adik saya membaca buku’
buku
buku
(7.12) Atmas senua eto
au
Orang DEF lihat 1TG
‘Orang itu melihat saya’
Klausa (7.9)--(7.12) di atas merupakan klausa transitif karena setiap klausa
tersebut memiliki dua argumen. Subjek gramatikal klausa (7.9)--(7.12) merupakan
agen dan objek gramatikal klausa (7.9)--(7.12) merupakan pasien. Yang menjadi
pertanyaan sekarang adalah apakah subjek gramatikal klausa (7.9)--(7.12)
merupakan agen dan apakah objek gramatikal klausa (7.9)--(7.12) merupakan
pasien atau tempat jatuhnya perbuatan atau dikenai perbuatan yang dinyatakan
oleh predikat secara semantis. Jika demikian, subjek klausa tersebut adalah agen
246
dan objek adalah pasien. Jenis verba yang menempati posisi predikat pada sebuah
klausa merupakan penentu apakah argumen kedua (objek) klausa transitif dalam
BKm benar-benar pasien (penderita) yang bermakna bahwa argumen kedua ini
merupakan tempat jatuhnya perbuatan atau dikenai perbuatan.
7. 4 Relasi Gramatikal Bahasa Kemak
Konsep dasar relasi gramatikal yang digunakan dalam tulisan ini
dikemukakan oleh Comrie (1983:59) dan Blake (1981:1). Pembahasan relasi
gramatikal ini membicarakan bagian-bagian atau unsur-unsur klausa/kalimat yang
dikategorikan sebagai subjek (S), objek langsung (OL), dan objek tak langsung
(OTL). Ketiga relasi gramatikal tersebut bersifat sintaktis. Di samping relasi
gramatikal yang bersifat sintaktis (murni), ada pula relasi gramatikal yang bersifat
semantis, yaitu lokatif, benefaktif, dan instrumental. Relasi gramatikal ini secara
kolektif disebut sebagai relasi oblik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
relasi gramatikal meliputi subjek, objek langsung, objek tak langsung, dan relasi
oblik (S, OL, OTL, dan OBL). Jika dihubungkan dengan teori Tata Bahasa
Relasional, relasi gramatikal S, Ol, dan OTL disebut relasi gramatikal akhir,
sedangkan jika dihubungkan dengan teori Tata Bahasa Leksikal Fungsional
(TLF), relasi gramatikal S, OL, dan OTL yang merupakan relasi gramatikal lahir
disebut struktur fungsional atau fungsi gramatikal (f-structure).
Pembahasan yang lebih terperinci mengenai relasi gramatikal yang bersifat
sintaksis (S, OL, dan OTL) dan yang bersifat semantis (OBL) berdasarkan teori
tipologi linguistik bertujuan untuk dapat memberikan dukungan dan penjelasan
247
tentang struktur dasar klausa BKm. Penjelasan tentang setiap relasi gramatikal
tersebut secara terperinci diuraikan sebagai berikut.
7.4.1 Subjek Bahasa Kemak
Banyak pendapat yang dikemukakan para linguis terkait dengan hakikat
subjek.
Pendapat-pendapat
yang
dikemukakan
oleh
para
ahli
tersebut
menggambarkan bahwa pembahasan tentang subjek di satu sisi adalah cukup
menarik dan di sisi lain juga dapat dikatakan cukup rumit. Salah satu penyebab
kerumitan tersebut dipicu oleh perilaku gramatikal dan tipologi suatu bahasa.
Perilaku gramatikal bahasa yang beragam dan tipologi bahasa yang berbeda dari
satu bahasa dengan bahasa lain menyebabkan pengertian dan penetapan tentang
subjek memunculkan fenomena yang terus dapat diperdebatkan. Berikut ini
diuraikan konsepsi dan sifat-perilaku subjek menurut beberapa ahli bahasa
sebelum dibahas lebih terperinci mengenai sifat-perilaku subjek yang terdapat
dalam BKm.
Kridalaksana (1993:204) berpendapat bahwa subjek merupakan bagian
dari sebuah klausa/kalimat yang berwujud nomina atau frasa nominal yang
menandai apa yang dikatakan oleh pembicara. Konsep subjek sering
disalahartikan dengan fungsi-fungsi yang bersifat semantis dan pragmatis.
Sesungguhnya, subjek merupakan aspek sintaksis. Subjek dalam setiap klausa
atau kalimat memiliki peranan yang sangat penting untuk menjadikan
klausa/kalimat lebih utuh atau sempurna (Palmer, 1994:2). Lebih jauh, Palmer
248
(1994:2) mengungkapkan bahwa subjek merupakan apa yang dibicarakan atau
dikatakan tentang sesuatu yang ada.
Pendapat tentang subjek berikutnya disampaikan oleh Verhaar (1996:
166). Dia mengungkapkan bahwa subjek merupakan apa yang diuraikan oleh
verba yang menempati posisi predikat atau apa yang mengalami kejadian yang
diartikan oleh verba dalam posisinya sebagai predikat. Berikutnya, pendapat
tentang konsep subjek dikemukakan oleh Sugono (1995). Dia mengungkapkan
bahwa terdapat empat konsep subjek dalam telaah sintaksis, yaitu (1) konsep
gramatikal, (2) konsep kategori kata, (3) konsep semantis, dan (4) konsepsi
pragmatis atau organisasi penyajian informasi. Subjek sebagai konsep gramatikal
merujuk kepada fungsi subjek dari segi struktur sintaksis. Subjek sebagai konsep
kategori kata merujuk kepada fungsi subjek dari segi kategori kata. Subjek
sebagai konsep semantis merujuk kepada fungsi subjek dari segi peran semantis,
dan subjek sebagai konsep pragmatis merujuk kepada fungsi subjek dari segi
organisasi penyajian informasi (Sugono, 1995: 27).
Comrie (1983 :101) menyatakan bahwa hakikat asal subjek adalah adanya
saling keterkaitan antara agen dan topik. Dengan kata lain, secara lintas bahasa
subjek itu merupakan agen dan topik. Subjek dapat dikatakan agen karena terkait
dengan fungsi-fungsi semantis, sedangkan subjek dapat dikatakan topik atau tema
karena terkait dengan fungsi-fungsi pragmatis.
Pendapat lain tentang sifat perilaku subjek dasar dikemukakan juga oleh
Keenan (1977). Subjek dasar (selanjutnya disebut subjek) mempunyai ciri-ciri dan
sifat perilaku khas yang dikelompokkan menjadi empat, yakni (1) sifat-perilaku
249
otonomi, (2) sifat-perilaku pemarkah kasus, (3) peran semantis, dan (4) dominasi
langsung (immediate dominance). Lebih lanjut, dijelaskan bahwa sifat-perilaku
pemarkah kasus meliputi (a) subjek kalimat intransitif umumnya tidak dimarkahi
jika setiap frasa nominal (FN) dalam bahasa tersebut tidak bermarkah, (b) frasa
nominal yang mengubah penanda kasus pada pengkausatifan termasuk subjek,
dan (c) frasa nominal yang mengubah penanda kasus pada nominalisasi tindakan
termasuk subjek. Sifat-perilaku otonomi subjek dasar mencakup dua hal, yaitu (1)
keberadaan bebas (independence existance), ketidaktergerusan/sangat diperlukan
(indespensability), dan rujukan sendiri (autonomous reference). Peran semantis
(agen, pengalam, pasien, dan lain-lain) dari subjek dapat diramalkan dari bentuk
utama
verba. Subjek berdasarkan peran semantis dapat ditengarai, yaitu (a)
subjek biasanya mengungkapkan agen (dari tindakan) jika hanya terdapat satu
argumen, (b) subjek biasanya mengungkapkan frasa tujuan (addressse phrase)
bentuk imperatif, (c) subjek biasanya memperlihatkan posisi, pemarkah kasus,
dan persesuaian verba dengan FN penyebab dalam jenis kalimat kausatif yang
paling dasar. Sifat-perilaku dominasi langsung merupakan sifat-perilaku subjek
yang langsung didominasi oleh simpul dasar kalimat (Keenan, 1976: 312—324).
Keempat perilaku khas subjek tersebut bukanlah nilai mutlak. Mungkin saja
perilaku tersebut tidak cocok dengan perilaku bahasa tertentu.
Jika mengacu kepada teori Tata Bahasa Leksikal Fungsional (TLF), subjek
gramatikal (yang selanjutnya disebut SUBJ) merupakan sesuatu yang bersifat
universal. SUBJ merupakan fungsi gramatikal yang memiliki properti [+ inti],
sebagaimana juga OBJ. Pada konstruksi intransitif, satu-satunya argumen inti
250
sekaligus merupakan SUBJ. Hal ini merupakan implikasi dari dekomposisi
leksikal bahwa setiap predikat harus memiliki subjek. SUBJ adalah fungsi
tertinggi dalam struktur fungsi gramatikal yang bersifat obligatoris (Arka, 1998).
Dalam konstruksi transitif terdapat dua argumen inti sehingga perlu dilakukan
pengetesan terhadap argumen itu yang manakah yang berfungsi sebagai SUBJ dan
yang mana pula berfungsi sebagai OBJ.
SUBJ bersifat sintaksis sehingga untuk pengetesannya harus didahului
secara sintaksis pula dan bukan secara semantis (Artawa, 1998). Secara lintas
bahasa, properti SUBJ bervariasi antara satu bahasa dan bahasa lain. Meskipun
demikian, terdapat kesamaan properti SUBJ, misalnya argumen verba transitif
yang berperilaku sama dengan argumen intransitif. Subjek merupakan relasi
gramatikal sehingga penentuan subjek itu sendiri hendaknya didasarkan pada
perilaku gramatikal. Dalrymple (2001: 17--19) mengungkapkan bahwa terdapat
beberapa alat uji untuk menentukan subjek atau kesubjekan, seperti persesuaian
(agreement), honorifikasi (honorification), nonkoreferensi subjek (subject
noncoreference), dan peluncuran penjangka kambang (launching float quantifier).
Keempat sifat-perilaku subjek yang dikemukakan oleh Keenan (1976) dan
pengetesan subjek oleh Dalrymple (2001) di atas tidak seluruhnya dapat
digunakan untuk melakukan pengujian subjek atau kesubjekan BKm. Subjek
BKm dapat dilihat melalui (1) posisi kanonikal, (2) penyisipan adverbia, (3)
perelatifan, (4) pengambangan penjangka, (5) perefleksifan, (6) penaikan
(raising), (7) pemfokusan, (8) kontrol, dan (9) frasa nomina tidak terang (PRO).
251
Uraian yang lebih terperinci dari pengujian tentang hakikat subjek disajikan di
bawah ini.
7.4.1.1 Posisi Kanonikal
Seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa klausa BKm
memiliki struktur kanonis SVO (A-V-P). Struktur kanonis tersebut menunjukkan
bahwa subjek BKm muncul pada posisi praverbal atau berada di sebelah kiri
predikat (mendahului predikat). Argumen inti yang mengisi posisi subjek
menempati posisi praverbal (posisi kiri verba) pada klausa intransitif tersaji pada
contoh berikut ini.
(7.13) Au
a
1TG makan
‘Saya makan’
(7.14) O
mnahu
2TG jatuh
‘Engkau jatuh’
(7.15) Ina
la
de
Ibu
pergi Prep
‘Ibu pergi ke pasar’
basar
pasar
(7.16) Atmas senua mai
dase Kupang
Orang DEF datang Prep Kupang
‘Orang itu datang dari Kupang’
(7.17) Iskola
ana hnoring
Sekolah
anak belajar
‘Murid belajar di rumah’
de
Prep
uma
rumah
Klausa (7.13)--(7.17) menunjukkan bahwa klausa tersebut memiliki satu
argumen inti yang predikatnya ditempati oleh verba. Struktur klausa tersebut
252
menunjukkan bahwa argumen inti menempati posisi praverbal atau berada di
sebelah kiri predikat. Argumen inti au ‘saya’ pada klausa (7.13) berada di sebelah
kiri predikat yang ditempati verba a ‘makan’ (praverbal). Pada klausa (7.14),
argumen inti o ‘engkau’ berada di sebelah kiri predikat yang ditempati verba
mnahu ‘jatuh’. Subjek ina ‘ibu’ pada klausa (7.15) menempati posisi sebelum
predikat yang diisi verba la ‘pergi’. Pada klausa (7.16) argumen inti atmas senua
‘orang itu’ menempati posisi
sebelum predikat yang ditempati verba
mai
‘datang’. Klausa (7.17) menunjukkan bahwa argumen inti iskola anag ‘anak
sekolah’ berada pada posisi sebelah kiri predikat yang ditempati verba hnoring
‘belajar’. Kelima argumen inti pada klausa (7.13)--(7.17) yang berada di sebelah
kiri predikat secara sintaksis merupakan subjek.
Klausa (7.13)--(7.17) menunjukkan bahwa struktur kanonikal pada klausa
intransitif BKm hanya menghadirkan subjek pada posisi praverbal atau sebelum
verba. Selain predikat yang ditempati verbal, predikat klausa intransitif BKm
juga dapat ditempati oleh predikat nonverbal. Klausa intransitif dengan predikat
nonverbal dapat dilihat pada contoh di bawah ini.
(7.18) Au-ng
ina-ng
1TG-Lig
adik-Lig
‘Adik saya guru’
guru
guru
(7.19) Hine senua koet
Wanita DEF cantik
‘Wanita itu cantik’
(7.20) Ita-ng
ana-ng
2JM-Lig
anak-Lig
‘Anak kita tiga’
telu
tiga
253
(7.21) Busa
senua de
Kucing
DEF Prep
‘Kucing itu di rumah’
uma
rumah
Klausa (7.18)--(7.21) di atas merupakan klausa intransitif yang ditempati
oleh predikat nonverbal. Klausa (7.18)--(7.21) di atas masing-masing terdiri atas
satu argumen dan predikat. Argumen inti aung inag ‘ibu saya’ pada klausa (7.18)
menempati posisi sebelah kiri predikat nonverbal (nomina) guru ‘guru’. Pada
klausa (7.19), argumen inti hine senua ‘wanita itu’ berada pada posisi sebelah kiri
predikat nonverbal (adjektiva) koet ‘cantik’. Argumen inyi itang anag ‘anak kita’
pada klausa (7.20) menempati posisi di sebelah kiri predikat nonverbal
(numeralia) telu ‘tiga’. Pada klausa (7.21), argumen inti busa senua ‘kucing itu’
menempati posisi di sebelah kiri predikat nonverbal (adverbial) de uma ‘di
rumah’. Contoh klausa (7.18)--(7.21) menunjukkan bahwa argumen inti pada
klausa intransitif dengan predikat nonverbal menempati posisi di sebelah kiri
predikat secara sintaksis berfungsi subjek. Lebih jauh, posisi argumen inti yang
menempati posisi sebelah kiri yang secara sintaksis berfungsi sebagai subjek
menunjukkan bahwa argumen inti pada klausa intransitif, baik yang ditempati
oleh predikat verbal maupun nonverbal, merupakan satu-satunya posisi argumen
inti yang secara sintaksis berfungsi sebagai subjek dalam klausa intransitif BKm.
Mengacu kepada struktur kanonik, klausa intransitif BKm menunjukkan
bahwa posisi argumen inti berada di sebelah kiri predikat (praverbal).
Bagaimanakah struktur kanonik pada klausa transitif, baik ekatransitif maupun
dwitransitif dalam BKm. Berikut ini disajikan uraiannya.
254
(7.22) Ua
tutu au
3TG pukul 1TG
‘Dia memukul saya’
(7.23) Mane
senua
meu
Laki-laki
DEF
cium
‘Laki-laki itu mencium wanita itu’
hine senua
wanita DEF
(7.24) Ua
liu
asu
senua
3TG kejar anjing DEF
‘Dia mengejar anjing itu’
(7.25) Au-ng
ina-ng
ala
1TG-Lig
ibu-Lig
beli
‘Ibu saya membelikan dia baju’
podi
APL
ua
3TG
baru
baju
(7.26) Au
lodi podi ua
buku
1SG bawa APL 3TG buku
‘Saya membawakan dia buku’
(7.27) Ua
ne
podi atmas senua
1TG beri APL Orang DEF
‘Dia memberikan orang itu uang’
Klausa (7.22)--(7.24)
osa
uang
di atas merupakan klausa ekatransitif BKm.
Terdapat dua argumen inti pada klausa tersebut. Kedua argumen inti tersebut
secara semantis memilik peran sebagai aktor dan undergoer. Pada klausa (7.22),
argumen inti ua ‘dia’ secara semantis memiliki peran agen dan argumen inti au
‘saya’ secara semantis berperan sebagai pasien. Argumen inti mane senua ‘lakilaki itu’ pada klausa (7.23) dan ua ‘dia’ pada klausa (7.24) secara semantis
berperan sebagai agen, sedangkan argumen inti hine senua ‘wanita itu’ pada
klausa (7.23) dan asu senua ‘anjing itu’ pada klausa (7.24) secara semantis
berfungsi sebagai tema (tm). Argumen inti au ‘saya’ (kausa 7.22), mane senua
255
‘laki-laki itu’ (klausa 7.23), dan ua ‘dia’ (klausa 7.24) yang menduduki posisi
sebelum predikat (praverbal) secara sintaksis merupakan subjek.
Klausa (7.25)--(7.27) di atas merupakan klausa dwitransitif BKm.
Terdapat tiga argumen inti yang terdapat dalam klausa tersebut. Ketiga argumen
inti setiap klausa tersebut adalah aung inag ‘ibu saya’, ua ‘dia’, dan baru ‘baju’
pada klausa (7.25); au ‘saya’, ua ‘dia’, dan buku ‘buku’ pada klausa (7.26); dan
ua ‘dia’, atmas senua ‘orang itu’, dan osa ‘uang’ pada klausa (7.27). Argumen inti
yang menempati posisi di sebelah kiri predikat praverbal pada klausa (7.25)—
(7.27) terdiri atas argumen inti aung inag ‘ibu saya’ (klausa 7.25), au ‘saya’
(klausa 5.26), dan ua ‘dia’ (klausa 7.27) secara sintaksis merupakan subjek.
Uraian di atas telah menjelaskan struktur kanonis klausa intransitif dan
klausa transitif (ekatransitif dan dwitransitif) dalam BKm. Dari uraian tersebut
diperoleh simpulan bahwa subjek dalam BKm hanya dapat muncul atau hadir
pada posisi sebelah kiri predikat (praverbal), baik predikat verbal maupun predikat
nonverbal pada klausa intransitif BKm.
7.4.1.2 Penyisipan Adverbial
Pengetesan terhadap subjek BKm dapat dilakukan pula dengan penyisipan
adverbial. Di antara argumen inti yang menempati posisi praverbal dan predikat
pada klausa BKm dapat disisipi adverbial (ADV) yang berupa pemarkah kala.
Pemarkah kala seperti na’arua ‘kemarin’ dan matamai mata ‘besok pagi’ dapat
disisipkan di antara argumen inti yang berada di sebelah kiri predikat dan
256
predikat. Penyisipan adverbial pada klausa intransitif BKm terlihat pada contoh di
bawah ini.
(7.28) Romo hnoring
de
iskola
3JM belajar
Prep sekolah
‘Mereka belajar di sekolah’
(7.29) Au
hali de
uma
1TG pulang Prep rumah’
‘Saya pulang ke rumah’
(7.30) Mane
senua mai
dase
Laki-laki
DEF datang Prep
‘Laki-laki itu datang dari Kupang’
Kupang
Kupang
(7.31) Romo matamai
mata hnoring
3JM Adv
pagi belajar
‘Mereka besok pagi belajar di sekolah’
de
Prep
iskol
sekolah
(7.33) Mane
senua na’arua
mai
dase
Laki-laki
DEF Adv
datang Prep
‘Laki-laki itu kemarin datang dari Kupang’
Kupang
Kupang
(7.32) Au
bairua hali de
uma
1TG Adv pulang Prep rumah’
‘Saya lusa pulang ke rumah’
Klausa (7.28)--(7.30) merupakan klausa intransitif BKm. Klausa tersebut
terdiri atas satu argumen inti yang menempati posisi praverbal atau sebelah kiri
predikat dan predikat dalam klausa tersebut. Klausa (7.28)--(7.30) menunjukkan
pula bahwa klausa tersebut belum disisipi adverbial di antara satu-satunya
argumen inti dan predikat. Berbeda dengan klausa (7.28)--(7.30), klausa (7.31)-(7.33) merupakan klausa intransitif BKm yang telah disisipi oleh adverbial di
antara argumen inti dan predikat. Argumen inti roma ‘mereka’ pada klausa (7.31),
au ‘saya’ pada klausa (7.32), dan mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (7.33)
257
merupakan satu-satunya argumen inti yang terdapat dalam klausa tersebut yang
secara sintaksis berfungsi sebagai subjek. Pada klausa (7.31), adverbial matamai
busa ‘besok pagi’ disisipkan di antara subjek
romo ‘mereka’ dan predikat
hnoring ‘belajar’. Pada klausa (7.32), adverbial bairua ‘lusa’ disisipkan di antara
argumen inti au ‘saya’ dan predikat lali ‘pulang’. Pada klausa (7.33), adverbial
na’arua ‘kemarin’ disisipkan di antara argumen inti mane senua ‘laki-laki itu’ dan
predikat mai ‘datang’.
Di samping pengetesan subjek pada klausa intransitif BKm dengan
penyisipan adverbial di antara satu-satunya argumen inti dan predikat di atas,
pengetesan subjek pada klausa transitif, baik klausa ekatransitif maupun klausa
dwitransitif disajikan pada klausa berikut ini.
(7.34) Atmas senua tutu au
Orang DEF pukul 3TG
‘Orang itu memukul saya’
(7.35) Au
liu
asu
senua
1TG kejar anjing DEF
‘Dia mengejar anjing itu’
(7.36) Ina
ala
podi ua
Ibu
beli
APL 3TG
‘Ibu membelikan dia baju’
baru
baju
(7.37) Atmas senua ne
podi au
Orang DEF beri APL 1TG
‘Orang itu memberikan saya uang’
osa
uang
(7.38) Atmas senua na’arua
tutu au
Orang DEF Adv
pukul 3TG
‘Orang itu kemarin memukul saya’
258
(7.39) Au
na’arua
li’u
asu
senua
1TG Adv
kejar anjing DEF
‘Dia kemarin mengejar anjing itu’
(7.40) Ina
matamai
ala
podi ua
Ibu
Adv
beli
APL 3TG
‘Ibu besok pagi membelikan dia baju’
baru
baju
(7.41) Atmas senua mos matamai ne podi au
Orang DEF juga Adv beri APL 1TG
‘Orang itu juga besok memberikan saya uang’
osa
uang
Klausa (7.34) dan (7.35) merupakan klausa ekatransitif BKm yang belum
disisipi adverbial. Klausa intransitif tersebut terdiri atas dua argumen inti, yaitu
atmas senua ‘orang itu’ dan au ‘saya’ pada klausa (7.34) dan au ‘saya’ dan asu
senua ‘anjing itu’ pada klausa (7.35). Klausa (7.36) dan (7.37) adalah klausa
dwitransitif dalam BKm. Klausa tersebut terdiri atas tiga argumen inti, yaitu ina
‘ibu’, ua ‘dia’, dan baru ‘baju’ pada klausa (7.36) dan atmas senua ‘orang itu’, au
‘saya’, dan osa ‘uang’ pada klausa (7.37). Berbeda dengan itu, klausa (7.38)-(7.41) adalah klausa transitif (ekatransitif dan dwitransitif) yang telah disisipi
adverbial. Pada klausa (7.38), adverbial na’arua ‘kemarin’ disisipkan di antara
argumen inti atmas senua ‘orang itu’ dan predikat tutu ‘pukul’. Pada klausa
(7.39), adverbial na’arua ‘kemarin’ juga disisipkan di antara argumen inti au
‘saya’ dan predikat li’u ‘kejar’. Adverbial matamai mata ‘besok pagi’ disisipkan
di antara argumen inti ina ‘ibu’ dan predikat ala ‘beli’ pada klausa (7.40). Hal
yang sama juga terjadi pada klausa (7.41). Pada klausa tersebut, adverbial
matamai ‘besok’ disisipkan di antara argumen inti atmas senua ‘orang itu’ dan
259
predikat ne ‘beri’. Argumen inti pada setiap klausa (7.38)--(7.41) yang berada
pada posisi praverbal secara sintaksis merupakan subjek.
Berdasarkan analisis terhadap klausa transitif di atas, diketahui bahwa
adverbial dapat disisipkan di antara argumen inti yang berada pada posisi
praverbal dan predikat. Argumen yang menempati posisi praverbal merupakan
subjek gramatikal setiap klausa tersebut. Di samping menempati posisi antara
argumen praverbal dan predikat, adverbial dalam BKm juga dapat menempati
posisi sebelum argumen praverbal atau memulai sebuah klausa/kalimat. Berikut
disajikan klausa BKm dengan adverbial yang menempati posisi sebelum argumen
praverbal atau memulai sebuah klausa/kalimat.
(7.42) Na’arua
ua
liu
asu
senua
Kemarin
3TG kejar anjing DEF
‘Kemarin dia mengejar anjing itu’
(7.43) Matamai
ina
ala
podi
Besok
ibu
beli
APL
‘Besok ibu membelikan dia baju’
ua
3TG
baru
baju
Klausa (7.42) dan (7.43) menunjukkan bahwa adverbia dalam BKm dapat
menempati posisi di awal sebuah klausa/kalimat atau menempati posisi sebelum
argumen praverbal yang secara gramatikal argumen tersebut berfungsi sebagai
subjek.
Pengetesan subjek BKm dapat juga dilakukaan dengan penegasian.
Konstruksi negasi merupakan konstruksi kalimat yang berisi pernyataan yang
bersifat mempertentangkan makna sebagian atau seluruhnya. Kalimat negatif
memiliki konstruksi yang menggunakan pengingkar dengan tujuan pengingkaran
(Alwi, dkk. 2000: 378). Selain beberapa pengujian kesubjekan seperti yang telah
260
disajikan di atas, pengujian kesubjekan BKm juga dapat dilakukan dengan
penegasian. Berikut disajikan bentuk penegasian dalam BKm.
(7.44) Au-ng
ana-ng
ti
la
isikola
1SG-Lig
anak-Lig
NEG pergi sekolah
‘Anak saya tidak pergi ke sekolah kemarin’
na’arua
kemarin
(7.45) O
ti
ber
enu
kopi
2TG NEG suka minum kopi
‘Engkau tidak suka minum kopi’
(7.46) Atmas senua ti
no
osa
Orang DEF NEG punya uang
‘Orang itu tidak punya uang’
(7.47) Ua
ti
e
hali de
3TG NEG ingin pulang Prep
‘Dia tidak ingin pulang ke rumah’
uma
rumah
Contoh data (7.44)--(7.47) merupakan kalimat negatif BKm. Contoh
tersebut menunjukkan bahwa penegasi ti ‘tidak’ berada di antara argumen inti
pada posisi praverbal yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dengan
verba, baik pada kalimat intransitif maupun kalimat transitif. Dengan demikian,
tata urutan kata atau konstituen pada kalimat imperatif BKm sesuai dengan contoh
data (7.44) dan (7.45) adalah SVO dengan kehadiran penegasi ti ‘tidak’ yang
berada di posisi antara argumen inti yang hadir pada posisi praverbal yang secara
(gramatikal) sintaksis berfungsi sebagai subjek.
Selain hadir pada klausa yang berpredikat verbal, penegasi ti ‘tidak/bukan’
juga dapat hadir di antara argumen inti pada posisi pra-verbal dengan predikat
yang ditempati oleh nominal, adjektival, numerial, dan adverbial. Contoh kalimat
negatif dengan predikat nominal dan adjektival tersaji pada contoh berikut ini.
261
(7.48) Atmas senua
ti
nai
Orang DEF
NEG kepala desa
‘orang itu bukan kepala desa’
(7.49) Au
ti
kurung
1TG NEG kurus
‘Saya tidak kurus’
(7.50) Ina-ng
manu ti
sea
Ibu-Lig
babi NEG satu
‘Ayam ibu bukan satu’
(7.51) Au-ng
ana-ng
ti
de
1TG-Lig
anak-Lig
NEG Prep
‘Anak saya tidak di rumah’
uma
rumah
Contoh data (7.48)--(7.51) merupakan kalimat negatif dengan predikat
nonverbal BKm. Sama halnya dengan kalimat negatif dengan predikat verbal,
kalimat negatif dengan predikat nonverbal menempatkan penegasi ti ‘tidak/bukan’
pada posisi setelah argumen inti yang secara gramatikal berfungsi sebagai subjek
dan sebelum predikat yang ditempati predikat nonverbal.
Berdasarkan contoh konstruksi kalimat negatif (7.48)--(7.51) yang
disajikan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu alat yang dapat digunakan
untuk menguji subjek BKm adalah dengan penegasian. Konstruksi kalimat negatif
tersebut mengungkapkan bahwa hanya kategori subjek BKm yang dapat diikuti
oleh penegasi ti ‘tidak’ untuk membentuk konstruksi kalimat negatif. Penegasi ti
‘tidak’ dalam konstruksi kalimat negatif berada di antara subjek dan predikat, baik
predikat yang ditempati oleh verbal maupun nonverbal. Selain penegasi ti ‘tidak’,
konstruksi kalimat negatif BKm juga memiliki penegasi hisar ‘tidak
boleh/jangan’ atau isi ‘tidak boleh/jangan’ atau isibara ‘tidak boleh/jangan’ yang
262
juga posisinya berada di antara argumen praverbal dan predikat, baik yang
ditempati oleh verbal maupun nonverbal.
7.4.1.3 Perelatifan
Strategi perelatifan merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan
untuk menguji subjek atau kesubjekan dalam sebuah bahasa. Perelatifan
merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk menguji apakah sebuah
argumen dapat dikategorikan sebagai subjek. Kenyataan menunjukkan bahwa
tidak semua bahasa dapat merelatifkan relasi gramatikalnya. Bahasa Inggris,
misalnya, merupakan salah satu bahasa yang dapat merelatifkan semua relasi
gramatikalnya. Berbeda dengan bahasa Inggris, ada bahasa yang hanya dapat
merelatifkan
subjek
(Keenan
1977;
Comrie
1989).
Artawa
(1998:15)
mengungkapkan bahwa bahasa Bali (BB) termasuk bahasa yang hanya bisa
merelatifkan subjek.
Untuk memeroleh gambaran yang jelas mengenai strategi perelatifan
terkait dengan subjek atau kesubjekan BKm, berikut ini ditampilkan sejumlah
data.
(7.52) Atmas senua mudu de
Orang DEF duduk Prep
‘Orang itu duduk di kursi’
kursi
Kursi
(7.53) Ua
mnahu dase ai
3TG jatuh Prep pohon
‘Dia jatuh dari pohon’
(7.54) Mane
senua au-ng
Laki-laki
DEF 1TG-Lig
‘Laki-laki itu kakak saya’
ka’ak
kakak
263
(7.55) Atmas ne
bourung
senua mudu de
Orang REL Adj
DEF duduk Prep
‘Orang yang gemuk itu duduk di kursi’
kursi
Kursi
(7.56) Ua
ne
mela
au
mnahu dase
3TG REL panggil
1TG jatuh Prep
‘Dia yang memanggil saya jatuh dari pohon’
ai
pohon
(7.57) Mane
ne
betu
bola senua au-ng
Laki-laki
REL tendang
bola DEF 1TG-Lig
‘Laki-laki yang menendang bola itu kakak saya’
ka’ak
kakak
Klausa (7.52)--(7.57) merupakan klausa intransitif BKm. Satu-satunya
argumen inti yang hadir di awal klausa atau di sebelah kiri predikat di atas
semuanya dapat direlatifkan. Frasa nomina (FN) atmas senua ‘orang itu’ pada
klausa (7.52) muncul di posisi sebelah kiri predikat mudu ‘duduk’ yang secara
semantis berfungsi sebagai agen. Pada klausa (7.53), frasa nominal ua ‘dia’ hadir
di posisi sebelah kiri predikat mnahu ‘jatuh’ yang secara semantis berfungsi
sebagai pasien. Klausa (7.54) menunjukkan bahwa frasa nominal mane senua
‘laki-laki itu’ berada di posisi sebelah kiri predikat nonverbal (nominal) aung
ka’ak ‘kakak saya’.
Hasil perelatifan pada klausa intransitif (7.52)--(7.54.) terlihat pada klausa
(7.55)--(7.57). Satu-satunya argumen inti yang hadir pada posisi awal atau
sebelum predikat dapat direlatifkan. Hasil analisis klausa intransitif di atas
menunjukkan bahwa subjek gramatikal klausa tersebut yang secara semantis
berfungsi, baik sebagai agen maupun pasien, dapat direlatifkan dan hasil
perelatifan tersebut tersaji pada klausa (7.55) dan klausa (7.56). Sementara itu,
klausa (7.57) merupakan hasil perelatifan klausa (7.54) yang predikatnya
264
ditempati oleh predikat nonverbal. Klausa (7.47)—(7.49) menunjukkan bahwa
klausa relatif BKm dimarkahi pemarkah relatif ne ‘yang’.
Di samping strategi perelatifan pada klausa intransitif BKm, berikut
disajikan perelatifan yang terdapat pada klausa BKm, baik klausa ekatransitif
maupun klausa dwitransitif.
(7.58) Hine
senua meu mane
Wanita
DEF cium laki-laki
‘Wanita itu mencium laki-laki itu’
senua
DEF
(7.59) Atmas senua ala
podi ana
senua baru
Orang DEF beli
APL anak DEF baju
‘Orang itu membelikan anak itu baju’
(7.60) Hine
ne
koet senua
meu mane
Wanita
REL Adj DEF
cium laki-laki
‘Wanita yang cantik itu mencium laki-laki itu’
senua
DEF
(7.61) Atmas ne
ara
senua ala
podi ana
senua bara
Orang REL berdiri DEF beli
APL anak DEF baju
‘Orang yang berdiri itu membelikan anak itu baju’
Klausa (7.58)--(7.61) merupakan klausa transitif BKm. Klausa (7.58) dan
klausa (7.60) merupakan klausa ekatransitif BKm. Klausa (7.59) dan klausa (7.61)
merupakan klausa dwitransitif. Terdapat dua argumen inti yang hadir pada klausa
(7.58) dan klausa (7.60). Klausa (7.59) dan klausa (7.61) hadir dengan tiga
argumen inti. Argumen inti hine senua ‘wanita itu’ pada klausa (7.58) dan atmas
senua ‘orang itu’ pada klausa (7.59) yang secara sintaksis berfungsi sebagai
subjek yang hadir di awal atau sebelum predikat dapat direlatifkan. Hasil
perelatifan argumen inti yang secara sintaksis berfungsi sebagai subjek tersaji
265
pada klausa (7.60) dan (7.61). Lebih lanjut, klausa (7.60) dan (7.61) menunjukkan
bahwa klausa relatif BKm dimarkahi kata hubung (penanda relatif) ne ‘yang’.
Di samping dapat merelatifkan argumen yang berada pada posisi awal
klausa transitif (ekatransitif dan dwitransitif) seperti yang tersaji pada klausa di
atas, BKm juga dapat merelatifkan argumen inti lain yang hadir setelah verbal
(posverbal). Perelatifan terhadap argumen yang berada pada posisi posverbal
tersaji pada contoh di bawah ini.
(7.62) Au
meu
hine
1TG cium
wanita
‘Saya mencium wanita itu’
senua
DEF
(7.63) Atmas senua ala podi ana
senua baru
Orang DEF beli
APL anak DEF baju
‘Orang itu membelikan anak itu baju’
(7.64) Hine
ne
au
meu senua au-ng
Wanita
REL 1TG cium DEF 1TG-Lig
‘Wanita yang saya cium itu istri saya’
he-ng
istri-Lig
(7.65) Ana ne
atmas senua ala
baru matenek
Anak REL
orang DEF
beli
baju Adj/pintar
‘Anak yang orang itu belikan baju pintar sekali’
los
Adv
(7.66) Baru ne atmas senua ala odi ana senua mdedang
Baju REL orang DEF
beli Prep anak DEF mahal
‘Baju yang orang itu beli untuk anak itu mahal sekali’
los
Adv
Klausa (7.64) menunjukkan bahwa frasa nominal hine senua ‘wanita itu’
pada klausa (7.62) yang berada setelah predikat (posverbal) yang berfungsi
sebagai objek langsung dapat direlatifkan dalam BKm. Klausa (7.65) dan (7.66)
menunjukkan bahwa FN ana senua ‘anak itu’ pada klausa (7.63) yang berfungsi
sebagai objek tak langsung dan FN baru ‘baju’ yang berfungsi sebagai objek
266
langsung dapat direlatifkan. Klausa (7.62) - (7.66) menunjukkan bahwa objek
langsung, baik pada klausa ekatransitif maupun klausa dwitransitif dan objek tak
langsung pada klausa dwitransitif dapar direlatifkan.
7.4.1.4 Penjangka Kambang
Penjangka atau yang lebih dikenal dengan istilah kata bantu bilangan
(quantifier) tak takrif merupakan penentu penunjuk jumlah. Penggunaan istilah
penjangka kambang ini terkait dengan kemampuan untuk menduduki lebih dari
satu posisi dalam sebuah klausa/kalimat tanpa mengubah makna klausa atau
kalimat tersebut. Penjangka dalam BKm yang berfungsi untuk menunjukkan
jumlah kolektif adalah mamu ‘semua’ dan galang ‘semua’.
Selain tes kesubjekan seperti tersebut di atas, pengujian kesubjekan juga
dapat dilakukan dengan pengujian penjangka kambang. Dalam kaitannya dengan
pengujian subjek, penjangka kambang dapat menentukan apakah sebuah FN dapat
dikategorikan sebagai subjek atau tidak. Apabila penjangka kambang tersebut
tetap mengacu pada FN yang sama, FN tersebut adalah subjek. Sebaliknya,
apabila penjangka kambang tidak mengacu kepada FN yang berfungsi sebagai
subjek, FN tersebut bukan subjek. Untuk mengetahui kesubjekan BKm, berikut
disajikan contoh klausa yang menempatkan penjangka mamu ‘semua’ dan galang
‘semua’ setelah subjek dalam klausa intransitif BKm.
(7.67) Renu
mamu la
de
kantor desa
Masyarakat semua pergi Prep kantor desa
‘Masyarakat semua pergi ke kantor desa’
267
(7.68) Dato
galang
mai
de
kantor Bupati
Kepala Dusun semua
datang Prep kantor Bupati
‘Kepala dusun semua datang ke kantor Bupati’
Contoh klausa (7.67) dan (7.68) merupakan klausa intransitif BKm. Pada
klausa tersebut terdapat penjangka kambang yang muncul pada posisi sebelah kiri
verba (praverbal) pada contoh klausa (7.67) dan (7.68). Kedua klausa tersebut
sekaligus menunjukkan bahwa posisi penjangka kambang mamu ‘semua’ dan
galang ‘semua’ berada pada posisi antara satu-satunya argumen dan praverbal.
Penjangka kambang mamu ‘semua’ dan galang ‘semua’ mengacu pada FN
praverbal yang juga merupakan satu satunya argumen dalam klausa tersebut.
Dengan demikian, penjangka kambang mamu ‘semua’ dan galang ‘semua’ hanya
dapat ditempatkan pada posisi setelah FN praverbal pada klausa intransitif
BKm—yang merupakan subjek gramatikal. Posisi penjangka kambang pada
klausa transitif BKm dapat dicermati melalui contoh-contoh berikut ini.
(7.69) Imi
mamu selo bea
tonang sea
saba
2JM semua bayar pajak tahun satu sekali
‘Kami semua membayar pajak satu tahun sekali’
(7.70) Ana galang sali
ika
de
anak semua tangkap
ikan Prep
‘Anak semua menangkap ikan di sungai’
holang
sungai
Contoh klausa (7.69) dan (7.70) merupakan klausa transitif BKm. Pada
klausa tersebut terdapat penjangka kambang yang muncul pada posisi sebelah kiri
verba (praverbal) pada contoh klausa (7.69) dan (7.70). Kedua klausa tersebut
sekaligus menunjukkan bahwa posisi penjangka kambang mamu ‘semua’ dan
galang ‘semua’ berada pada posisi antara satu-satunya argumen dan praverbal.
Penjangka kambang mamu ‘semua’ dan galang ‘semua’ mengacu pada FN
268
praverbal yang juga merupakan satu-satunya argumen dalam klausa tersebut.
Dengan demikian, penjangka kambang mamu ‘semua’ dan galang ‘semua’ dapat
ditempatkan pada posisi setelah FN praverbal pada klausa transitif BKm di atas
yang merupakan subjek gramatikal.
7.4.1.5 Perefleksifan
Agen atau pelaku merupakan bagian yang berfungsi sebagai pengontrol
FN refleksif. Salah satu bahasa yang menempatkan agen atau pelaku sebagai
pengontrol FN adalah bahasa Inggris. Selain bahasa Inggris, bahasa Bali juga
merupakan salah satu bahasa yang menempatkan agen sebagai pengontrol
pereflesifan (lihat Artawa, 1998:18).
Artawa (1998:18) juga menambahkan
bahwa agen menjadi pengontrol perefleksifan merupakan kebenaran umum.
Argumen agen pada satu klausa selalu merupakan anteseden yang mungkin dari
bentuk refleksif dalam klausa tersebut.
Bentuk refleksif BKm, diungkapkan dengan bentuk du’uk ‘diri’ dan untuk
mempertegas dapat ditambahkan dengan kata lolog ‘sendiri’. Bentuk refleksif
BKm memiliki bentuk du’uk lolog ‘diri sendiri’ dapat dicermati pda contoh yang
disajikan berikut ini.
(7.71) Au
tutu du’uk lolog
1TG pukul diri
sendiri
‘Saya memukul diri sendiri’
(7.72) Ua
basa du;uk lolog
3TG tampar diri
sendiri
‘Dia menampar diri sendiri’
269
(7.73) Roma neu
du’uk lolog
3JM lihat diri
sendiri
‘Mereka melihat diri sendiri’
Contoh klausa (7.71)--(7.73) merupakan klausa refleksif BKm. Pada
ketiga klausa tersebut agen au ‘saya’ pada klausa (7.71), ua ‘dia’ pada klausa
(7.72), dan roma ‘mereka’ pada klausa (7.73) merupakan subjek gramatikal klausa
yang bersangkutan. Bentuk refleksif yang diungkapkan dengan kata du’uk lolog
‘diri sendiri’ dikontrol oleh agen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
agen dalam BKm berfungsi untuk mengontrol perefleksifan. Bentuk refleksif
(7.71)--(7.73) tersebut memiliki bentuk lain, seperti yang disajikan pada contoh
(7.74)--(7.76) berikut.
(7.74) Au
tutu du’uk (au) lolog
1TG pukul diri
(1TG) sendiri
‘Saya memukul diri (saya) sendiri’
(7.75) Ua
basa du’uk (ua) lolog
3TG tampar diri
(3TG) sendiri
‘Dia menampar diri (dia) sendiri’
(7.76) Roma neu
du’uk (roma) lolog
3JM lihat diri
(3JM) sendiri
‘Mereka melihat diri (mereka) sendiri’
Contoh klausa refleksif (7.74)--(7.76) merupakan bentuk alternatif dari
contoh klausa refleksif (7.71)--(7.73). Pada contoh klausa refleksif (7.74)--(7.76)
tersebut terdapat pengulangan agen dari setiap klausa yang ditempatkan di antara
kata du’uk ‘diri’ dan lolog ‘sendiri’. Pengulangan penempatan agen pada klausa
refleksif tersebut memiliki fungsi untuk mempertegas dan bersifat manasuka,
artinya bisa hadir juga bisa tidak.
270
Contoh klausa refleksif (7.71)--(7.76) di atas menunjukkan bahwa agen
memiliki fungsi untuk mengontrol bentuk refleksif (FN refleksif). Di samping itu,
agen pada klausa refleksif memiliki sifat-perilaku relasi gramatikal subjek karena
agen yang menempati posisi subjek secara gramatikal merupakan satu-satunya
argumen praverbal yang terdapat pada klausa refleksif yang berfungsi untuk
mengontrol bentuk refleksif. Dapat disimpulkan bahwa agen yang merupakan
satu-satunya argumen yang terdapat dalam klausa refleksif yang berfungsi untuk
mengontrol bentuk refleksif merupakan subjek secara gramatikal.
7.4.1.6 Penaikan (raising)
Kaidah penaikan (raising) mempunyai pengertian bahwa sebuah kategori
gramatikal (sintaksis) yang sebelumnya bukan merupakan subjek melalui
mekanisme tertentu dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek. Fungsi gramatikal
yang dapat dinaikkan menjadi subjek dalam BKm adalah fungsi gramatikal objek
melalui mekanisme pemasifan. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa BKm
tidak memiliki proses morfologis yang berupa afiks yang dilekatkan pada verba
untuk membentuk konstruksi pasif. Pemasifan BKm dilakukan dengan
mekanisme pemasifan analitik, yaitu dengan
menggunakan pemarkah toma
‘dapat’. Berikut ini disajikan contoh klausa BKm yang memperlihatkan proses
penaikan argumen yang bukan subjek menjadi subjek.
(7.77) a. Au
betu
mane
1TG
tendang
laki-laki
‘Saya menendang laki laki itu’
senua
DEF
271
b.
Mane
senua toma betu
Laki-laki DEF dapat tendang
‘Laki-laki itu ditendang oleh saya’
(7.78) a. Ina
ala
baru odi
Ibu
beli
baju Prep
‘Ibu membeli baju untuk adik’
Ina
ala
podi ali
Ibu
beli
APL adik
‘Ibu membelikan adik baju’
b. Baru
toma ala
ina
Baju
dapat beli
ibu
‘Baju dibeli ibu untuk adik’
c.
au
1TG
odi
Prep
ali
adik
ali
adik
b. Baru
toma ala
dase ina
Baju
dapat beli
Prep ibu
‘Baju dibeli oleh ibu untuk adik’
(7.79) a.
dase
Prep
baru
baju
odi
Prep
Ali
toma ala
baru dase
Adik
dapat beli
baju Prep
‘Adik dibelikan baju oleh ibu ’
ali
adik
ina
ibu
(7.80) a. Ua
pege
podi roma osa
3TG
pinjam
APL 3JM uang
‘Dia meminjamkan mereka uang’
b. Roma
toma pege osa
dase
3JM
dapat pinjam uang Prep
‘Mereka dipinjami uang oleh dia’
ua
3TG
c.
roma
3JM
Osa
toma pege ua
odi
Uang
dapat pinjam 3TG Prep
‘Uang dipinjmkan dia untuk mereka’
Klausa (7.77a) merupakan klausa ekatransitif BKm yang dibangun oleh
argumen subjek au ‘saya’ dan argumen objek langsung mane senua ‘laki-laki itu’.
Klausa (7.77b) menunjukkan bahwa proses penaikan argumen objek langsung
272
mane senua ‘laki-laki itu’ dapat dilakukan sehingga menempati posisi subjek.
Klausa (7.78a) juga merupakan klausa ekatransitif BKm yang terdiri atas argumen
subjek ina ‘ibu’, argumen objek langsung baru ‘baju’, dan relasi oblik odi ali
‘untuk adik’. Sama seperti klausa sebelumnya, argumen objek langsung baru
‘baju’ klausa (7.78a) dapat juga dinaikkan fungsinya menjadi subjek, seperti
terlihat pada klausa (7.78b). Berbeda dengan klausa (7.78a), klausa (779a)
merupakan klausa dwitransitif yang dibangun oleh argumen ina ‘ibu’ yang
berfungsi sebagai subjek, argumen ali ‘adik ‘ yang berfungsi sebagai objek tak
langsung, dan argumen baru ‘baju yang berfungsi sebagai objek langsung. Klausa
(7.79b) merupakan hasil dari proses penaikan argumen objek langsung baru ‘baju’
pada klausa (7.79a) menjadi argumen yang secara gramatikal berfungsi sebagai
subjek. Klausa (7.79b) juga menunjukkan bahwa argumen objek langsung dapat
dinaikkan menjadi subjek gramatikal. Sementara, klausa (7.79c) menunjukkan
bahwa argumen objek tak langsung dapat dinaikkan menjadi subjek gramatikal.
Klausa (7.80a) juga merupakan klausa dwitransitif BKm yang dibangun
oleh argumen ua ‘dia’ sebagai subjek, roma ‘mereka’ sebagai objek tak langsung,
dan osa ‘uang’ sebagai objek langsung. Klausa (7.80b) menunjukkan bahwa
argumen objek tak langsung roma ‘mereka’ dapat dinaikkan fungsinya menjadi
subjek gramatikal. Sementara, klausa (7.80c) menunjukkan bahwa osa ‘uang’
sebagai objek langsung dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek gramatikal.
Klausa (7.79b dan c) dan (7.80b dan c) menunjukkan bahwa argumen objek, baik
objek langsung maupun objek tak langsung dapat dinaikkan fungsinya menjadi
273
subjek gramatikal. Dengan demikian, berdasarkan pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa penaikan juga dapat digunakan untuk menentukan subjek atau
kesubjekan BKm.
7.4.1.7 Pemfokusan
Pengetesan terhadap subjek pada BKm dapat pula dilakukan dengan
pemfokusan. Pemarkah fokus yang terdapat dalam BKm adalah te. Subjek pada
klausa intransitif dan transitif dapat difokuskan dengan pemarkah fokus te
sehingga argumen klausa, baik intransitif maupun transitif yang memiliki properti
dapat difokuskan tersebut dapat diasumsikan berfungsi sebagai subjek. Berikut ini
disajikan klausa yang mengandung pemfokusan subjek.
(7.81) Hine
koet senua te
huri
Wanita
cantik DEF FOK tari
‘Wanita cantik itu menari di kantor desa’
(7.82) Ua
te
semai dase
3SG FOK keluar Prep
‘Dia keluar dari sekolah’
de
Prep
kantor desa
kantor desa
isikola
sekolah
(7.83) Atmas senua te
mai
de
Orang DEF FOK
datang Prep
‘Orang itu datang ke rumah saya’
au-ng
1SG-Lig
(7.84) Roma te
basa
anag
3JM FOK tampar
anak
‘Mereka menampar anak itu’
senua
DEF
(7.85) Ina
te
ala
ua
buku de
Ibu
FOK beli
3SG buku Prep
‘Ibu membelikan dia buku di pasar’
basar
pasar
uma
rumah
274
(7.86) Ita
te
e
ne
ua
1JM FOK ingin beri 3SG
‘Kita ingin memberikan dia uang’
osa
uang
Klausa (7.81)--(7.86) merupakan klausa pemfokusan dalam BKm. Pada
klausa intransitif (7.81),
argumen hine koet senua ‘wanita cantik itu’ yang
menempati posisi sebelum predikat diikuti langsung oleh pemarkah fokus te.
Argumen klausa monotransitif atmas senua ‘orang itu’ pada klausa (7.83) yang
menempati posisi sebelum predikat juga langsung diikuti oleh pemarkah fokus te .
Demikian halnya pada klausa dwitransitif (7.85). Pada klausa (7.85) argumen ina
‘ibu’ yang menempati posisi sebelum predikat juga langsung diikuti oleh
pemarkah fokus te.
Berdasarkan contoh klausa (7.81) - (7.86) di atas, diketahui bahwa
argumen pada setiap klausa tersebut diikuti oleh pemarkah fokus te ‘yang’.
Pemarkah fokus te ‘yang’ tersebut secara langsung mengikuti dan sekaligus
memarkahi argumen yang menempati posisi sebelum predikat yang ditempati oleh
verba. Argumen yang menempati posisi sebelum predikat yang ditempati oleh
verba secara gramatikal merupakan subjek. Dengan demikian, pemfokusan
merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menentukan subjek BKm.
7.4.1.8 Kontrol
Kontrol juga dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk menguji subjek
atau kesubjekan dalam BKm. Kontrol dalam BKm dapat dicermati pada klausa
yang disajikan berikut ini.
275
(7.87) a.
Au
gesa ele
au-ng
her
de
1TG coba cari
1TG-Lig
istri Prep
‘Saya mencoba mencari istri saya di Kupang’
Kupang
Kupang
b.
Au
gesa [__ele au-ng
her
de
1TG coba [__cari 1TG-Lig
istri Prep
‘Saya mencoba mencari istri saya di Kupang’
Kupang]
Kupang]
c.
Au
gesa [*au ele au-ng
her de
1TG coba [*1TG cari 1TG-Lig istri Prep
‘Saya mencoba mencari istri saya di Kupang’
Kupang]
Kupang]
(7.88) a.
Ua
gesa do
au
odi
batu
3TG coba lempar
1TG Prep batu
‘Dia mencoba melempar saya dengan batu’
b.
Ua
gesa [__do
au
odi
batu]
3TG coba [__lempar
1TG Prep batu]
‘Dia mencoba melempar saya dengan batu’
c.
Ua
gesa [*ua do
au
odi
batu]
3TG coba [*3TG lempar 1TG Prep batu]
‘Dia mencoba melempar saya dengan batu’
Argumen au ‘saya’ pada klausa (7.87a) di atas dapat dikontrol, seperti
terlihat pada klausa (7.87b). Hal yang sama juga dapat dilihat pada klausa (7.88).
Argumen ua ‘dia’ pada klausa (7.88a) di atas juga dapat dikontrol (lihat 7.88b).
Jika dilihat dari strukturnya, klausa (7.87b) dan (7.88b) merupakan klausa yang
berterima/gramatikal. Dengan demikian, au ‘saya’ pada klausa (7.87) dan ua
‘dia’ pada klausa (7.88) merupakan subjek klausa tersebut.
Melihat posisinya, subjek yang dikontrol pada klausa (7.87) dan (7.88)
berada sebelum verba atau praverbal. Subjek au ‘saya’ dan ua ‘dia’ menempati
posisi sebelah kiri verba kontrol gesa ’coba’. Klausa tersebut menjadi tidak
276
gramatikal apabila subjek menempati posisi sebelah kanan verba kontrol, seperti
terlihat pada klausa (7.87c) dan (7.88c).
7.4.1.9
Frasa Nomina Tidak Terang (PRO)
Berdasarkan kehadiran subjek, verba dapat dibedakan menjadi verba
terbatas dan verba tidak terbatas. Verba terbatas merupakan verba yang dalam
kehadirannya dalam sebuah konstruksi kalimat membutuhkan kehadiran subjek,
sedangkan verba tak terbatas merupakan verba yang tidak begitu menghendaki
kehadiran subjek, baik secara morfologis maupun sintaksis. Teori Penguasaan
dan Pengikatan (Government and Binding Theory) yang dikemukakan Haegemen
(1999) mengungkapkan bahwa subjek klausa dengan verba tak terbatas dinukilkan
sebagai FN tidak terang (non-overt noun phrase) dan diwujudkan sebagai PRO.
Dalam bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa bertipologi akusatif, FN
tidak terang (PRO) berkoreferensi dengan subjek klausa yang lebih tinggi, seperti
yang disajikan pada contoh berikut ini.
(7.89) I want [PRO to sleep]
(7.90) I want [PRO to kill the man]
(7.91) I want [PRO to be killed by the man]
Klausa (7,89) dan (7,90) menunjukkan bahwa FN tidak terang (PRO)
berkoreferensi dengan subjek klausa yang lebih tinggi. Berbeda dengan klausa
(7.89) dan (7.90), klausa (7.91) menunjukkan bahwa FN tidak terang (PRO) yang
berkoreferensi dengan subjek yang secara semantis
memiliki peran sebagai
pasien sehingga diperlukan proses pemasifan pada verba untuk membuat klausa
(7.91) menjadi berterima/gramatikal.
277
Berikut disajikan klausa BKm yang memperlihatkan
FN tidak terang
sebagai PRO mengacu kepada contoh klausa bahasa Inggris di atas.
(7.92) Au
e
[PRO la]
1TG ingin [PRO pergi[
‘Saya ingin pergi’
(7.93) Ita
e
[PRO plai]
1JM ingin [PRO lari]
‘Kita ingin lari’
(7.94) Ua
e
[PRO nue
au]
3TG ingin [PRO lihat 1TG]
‘Dia ingin lihat saya’
(7.95) Roma e
[PRO luma
3JM ingin [PRO pelihara
‘Mereka ingin pelihara kucing’
busa]
kucing]
Klausa (7.92)--(7.95) merupakan klausa BKm yang memperlihatkan FN
tidak terang (PRO). Lebih lanjut, klausa tersebut menunjukkan bahwa FN tidak
terang, baik pada klausa intansitif, seperti terlihat pada klausa (7.92) dan (7.93)
maupun pada klausa transitif, seperti terlihat pada klausa (7.94)
dan (7.95)
berkoreferensi dengan subjek yang berperan sebagai agen pada klausa yang lebih
tinggi.
(7.96) *Au e
[PRO mane
1TG ingin [PRO laki-laki
‘Saya ingin laki laki itu panggil’
senua te
DEF` FOK
mela]
panggil]
(7.97) Au
e
[au
mane
senua te
1TG ingin [1TG laki-laki
DEF FOK
‘Saya ingin saya laki-laki itu panggil’
mela]
pamggil]
Klausa (7.96) tidak berterima dalam BKm. Jika subjek berkoreferensi
dengan subjek tidak terang pada klausa yang lebih rendah, subjek tidak terang
278
pada pada klausa yang lebih rendah tidak dapat dinukilkan, seperti yang terlihat
pada klausa (7.97).
FN praverbal yang berkoreferensi dengan FN tidak terang (PRO), baik
klausa intransitif maupun klausa transitif, sama-sama memiliki sifat-perilaku
subjek. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa subjek dalam BKm pada
klausa dasar adalah agen.
Hasil analisis data di atas menunjukkan bahwa subjek BKm memiliki
sifat-perilaku atau properti (1) subjek BKm muncul pada posisi praverbal pada
struktur kanonis, (2) adverbia dapat disisipkan di antara subjek sebagai argumen
praverbal dengan verbal, (3) subjek dapat direlatifkan, (4) antara subjek dan
predikat dapat disisipi penjangka kambang, (5) subjek dapat direfleksifkan, (6)
subjek dapat diikuti oleh penegasi, (7) argumen yang bukan subjek (objek
langsung dan objek tak langsung) dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek
melalui mekanisme penaikan (raising), (8) subjek dapat difokuskan dengan
menghadirkan pemarkah fokus te yang hadir langsung setelah subjek, (9) subjek
dapat dikontrol, dan (10) frasa nomina tidak terang (PRO) dapat berkoreferensi
dengan subjek pada klausa yang lebih tinggi.
7.4.2
Objek Bahasa Kemak
Teori Tata Bahasa Relasional mengungkapkan tiga jenis relasi gramatikal
murni yang bersifat sintaksis, yaitu S, OL, dan OTL. Pada bagian sebelumnya
telah dibicarakan tentang subjek BKm. Pembahasan pada bagian ini difokuskan
pada objek dalam BKm sebagai lanjutan pembahasan subjek di atas.
279
Pembahasan objek berhubungan dengan jenis klausa/kalimat dilihat dari
kehadiran argumen dalam klausa/kalimat tersebut. Klausa/kalimat intransitif
merupakan klausa/kalimat yang predikatnya (verba) hanya mampu mengikat satu
argumen inti. Sementara, klausa/kalimat transitif merupakan klausa/kalimat yang
predikatnya mengikat argumen dua atau lebih.
Terkait dengan pembahasan objek, tipe kalimat yang dibahas pada bagian
ini adalah klausa/kalimat transitif. Klausa/kalimat transitif mempunyai dua
argumen atau lebih yang secara gramatikal dikategorikan menjadi S dan O. Relasi
gramatikal S telah dibicarakan pada 7.4.1. Objek merupakan fungsi gramatikal
kedua setelah fungsi gramatikal subjek. Donohue (1999:48) mengungkapkan
bahwa objek adalah relasi gramatikal yang merujuk ke setiap argumen inti yang
bukan subjek. Sebuah predikat (transitif) dapat menghendaki satu O atau lebih
sehingga O dapat diklasifikasikan sebagai O utama (OL) dan O kedua (OTL).
Culicover (1997: 16--17) mengungkapkan bahwa secara umum, ada dua jenis
argumen: (i) argumen subjek yang kehadirannya dalam kalimat sebagai bagian
yang paling independen dari suatu verba; dan (ii) argumen yang dikaitkan dengan
verba tertentu. Argumen terakhir inilah yang menurut teori Tata Bahasa
Relasional (juga teori Tata Bahasa Tradisional) disebut objek. Objek dalam satu
klausa transitif merupakan argumen inti tidak banyak diperdebatkan lagi sejauh
ini.
Pendapat tentang objek juga dikemukakan oleh Alsina (1996: 149--160).
Alsina mengemukakan bahwa argumen-argumen internal pada dasarnya disebut
objek karena sebuah struktur argumen dapat terdiri atas lebih dari satu argumen
280
internal, hal itu menggambarkan bahwa sebuah klausa dapat mempunyai lebih
dari satu O. Jumlah O tersebut ditentukan oleh jenis verba sebagai pengisi sebuah
klausa. Verba dwitransitif menghendaki dua O yang secara tradisional dikenal
dengan objek langsung (OL) dan objek tidak langsung (OTL). Berdasarkan data
bahasa Romawi yang dikemukakannya, Alsina (1996) mengatakan bahwa OTL
mirip dengan oblik (OBL) yang ditandai oleh adanya preposisi, dan OTL
cenderung mengikuti OL. Selain itu, berbeda dengan OL, OTL tidak
berkorespondensi dengan S.
Objek adalah argumen yang dikenai tindakan yang dinyatakan oleh verba
transitif. Argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut
menduduki posisi kedua pada hirarki fungsi gramatika (sesudah subjek) (Verhaar,
1999; Alsina, 1999; Nazara, 2001:77). OL dan OTL harus muncul bersamaan
pada klausa dengan verba dwitransitif. Secara lintas bahasa tidak banyak verba
yang menuntut tiga argumen secara serentak. Verba give dalam bahasa Inggris,
memberikan dalam bahasa Indonesia, ne dalam BKm, dan beberapa verba lain
yang setara dengan itu adalah contoh verba dwitransitif.
Dilihat dari segi struktur, objek dikategorikan sebagai argumen internal
(internal NP) dari predikat yang ditempati oleh verba (transitif). Posisi objek
berada di bawah simpul struktur VP (verb phrase) bersama dengan verba yang
merupakan konstituen utama atau pokok klausa atau kalimat. Menurut Foley dan
Van Vallin (1984), objek secara semantis merupakan pasien (Ps) atau undergoer
dalam konsepsi peran makro (macrorole).
281
Sama halnya dengan penentuan sifat-perilaku subjek, penentuan sifatperilaku O secara lintas bahasa cukup rumit. Kisseberth dan Abasheikh dalam
Cole (ed.) (1977: 183--184) mengemukakan bahwa ”O” verba dalam bahasabahasa Bantu kebanyakan ditentukan dengan tiga perilaku dasar : (i) O adalah FN
yang mengontrol prefiks O yang dapat muncul pada verba; (ii) O adalah FN
(sekurang-kurangnya dalam konteks netral) yang secara langsung mengikuti
verba; dan (iii) O adalah FN yang dapat dinaikkan ke posisi S melalui proses
pemasifan. Butt dkk. (1999:48) menegaskan bahwa secara lintas bahasa,
pemasifan merupakan pengujian yang paling baik untuk menentukan keobjekan.
Melalui pemasifan, FN O dalam kalimat aktif menjadi S kalimat pasif. S aktif
diwujudkan sebagai NULL (dihilangkan dalam kalimat pasif). Dalam bahasa
Inggris dicontohkan sebagai berikut.
(7.98) .
a.
They saw the box (AKT)
‘Mereka melihat kotak itu’
b. The box was seen (PAS)
‘Kotak itu dilihat’
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, tidak semua sifatperilaku dasar tersebut dapat digunakan untuk menentukan objek. Dari ketiga
sifat-perilaku dasar tersebut, sifat-perilaku (ii) dan (iii) saja yang ada dalam
bahasa-bahasa Bantu yang dapat dipakai untuk menetapkan O dalam BKm. Sifat
perilaku (i) tidak dapat digunakan untuk menentukan objek BKm karena BKm
miskin afiks dan tidak ditemukan afiks O yang muncul pada verba. Sifat-perilaku
(iii) juga dapat digunakan untuk menentukan objek BKm. Seperti telah
diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa BKm tidak memiliki proses morfologis
282
berupa pelekatan afiks yang dilekatkan pada verba yang mengubah konstruksi
aktif menjadi pasif. Tidak seperti bahasa-bahasa pada umumnya di dunia yang
melalui proses morfologis, BKm memiliki cara tersendiri untuk membentuk
konstruksi pasif. Konstruksi pasif merupakan konstruksi pasif analitik, yaitu
konstruksi pasif yang dibentuk dengan kehadiran pemarkah toma ‘dapat’ yang
menempati posisi sebelum verba (praverbal). Berikut ini disajikan proses
pemasifan klausa sebagai salah satu pengujian untuk menentukan objek BKm.
(7.99) a.
b.
(7.100) a.
b.
Ua
tutu au
3TG pukul 1TG
‘Dia memukul saya’
Roma li’u
asu
senua
3JM kejar anjing DEF
‘Mereka mengejar anjing itu’
Au
toma tutu dase
1TG dapat pukul Prep
‘Saya dipukul oleh dia’
ua
3TG
Asu
senua toma li’u
dase
Anjing DEF dapat kejar Prep
‘Anjing itu dikejar oleh mereka’
roma
3JM
Klausa (7.99) merupakan klausa aktif BKm, sedangkan klausa (7.100)
merupakan hasil proses pemasifan dari klausa aktif (7.99). Lebih lanjut, klausa
(7.100a dan b) menunjukkan bahwa konstruksi pasif BKm tidak terjadi secara
morfologis, tetapi melalui proses analitik dengan kehadiran pemarkah toma
‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba. Objek au ‘saya’ pada klausa
(7.99a) dan asu senua ‘anjing itu’ pada klausa (5.99b) dinaikkan posisinya
menjadi subjek pada klausa (7.100a dan b). Hal sebaliknya terjadi pada subjek.
283
Subjek ua ‘dia’ pada klausa (7.99a) dan roma ‘mereka’ pada klausa (7.99b)
diturunkan fungsinya dari subjek menjadi oblik pada klausa (7.100a dan b) yang
dicirikan dengan kehadiran preposisi dase ‘dari’ pada klausa tersebut. Dengan
demikian, objek BKm dapat diidentifikasi sebagai argumen yang dapat dinaikkan
fungsi gramatikalnya dari argumen objek menjadi argumen subjek.
Klausa yang mempunyai verba dwitransitif mempunyai tiga argumen,
yaitu subjek, objek langsung, dan objek tak langsung. Bahasa Jerman, misalnya,
menggunakan pemarkah kasus untuk menetapkan OL dan OTL. Dalam bahasa
Inggris, pemasifan dan posisi merupakan cara pengujian/penentuan O. Namun,
baik OL maupun OTL, masing-masing dapat menjadi subjek kalimat pasif. Dalam
hal ini, posisi merupakan pembeda antara OL dengan OTL. OTL harus berada
langsung setelah verba, kemudian diikuti OL. Berikut ini adalah contoh kalimat
bahasa Inggris seperti diberikan Butt dkk. (1999 : 49).
(7.101)
a. She gave him the book. (AKT)
‘Dia (pr) memberinya (ll) buku itu’
b. The book was given him. (PAS)
‘Buku itu diberikan kepadanya (ll)’
Pada kalimat koordinatif, FN yang terdapat pada klausa kedua yang
mengacu orang atau benda (FN), klausa pertama dapat dilesapkan apabila FN
tersebut berfungsi sebagai subjek. Akan tetapi, apabila FN pada klausa kedua
tersebut berfungsi sebagai O, FN itu tidak bisa dilesapkan. Perhatikan contoh
kalimat koordinatif bahasa Inggris berikut ini!
(7.102)
a. The man kissed the girl and he married her.
‘Lelaki itu mencium gadis itu dan dia menikahinya’
284
b. The man kissed the girl and ----- married her.
‘Lelaki itu mencium gadis itu dan ----- menikahinya’
Pada kalimat (7.102a) walaupun berterima, kehadiran he yang mengacu
kepada the man dan berkedudukan sebagai subjek pada klausa kedua dianggap
mubazir. Pelesapan he yang menduduki posisi subjek pada klausa kedua
merupakan bentuk yang lebih berterima. Kalimat (7.103b) di bawah ini tidak
berterima karena yang dilesapkan adalah FN yang berkedudukan sebagai O pada
klausa kedua.
(7.103) a. The man kissed the girl and the dog bit her.
‘Lelaki itu mencium gadis itu dan anjing itu menggigitnya (gadis itu)’
b. *The man kissed the girl and the dog bit -------‘Lelaki itu mencium gadis itu dan anjing itu menggigit------(lihat Gee, 1993; Nazara, 2001: 81--82).
Pada bab sebelumnya juga telah diungkapkan bahwa BKm tergolong
memiliki tipologi tata urutan kata (word order) SVO dengan alternasi OVS. Tata
urutan kata SVO dengan alternasi OVS menunjukkan bahwa objek muncul di
sebelah kanan verba atau objek hadir pada posisi setelah verba. Di samping itu,
objek BKm juga dapat hadir pada posisi praverbal atau sebelum verbal dengan
mekanisme pemfokusan.
Pengujian keobjekan dan penetapan objek BKm dapat dilakukan dengan
seperangkat cara pengujian secara gramatikal yang sesuai dengan sifat-perilaku
morfosintaksis BKm. Berikut ini disajikan klausa transitif dengan verba
monotransitif untuk menentukan objek BKm berdasarkan sifat-perilaku seperti
yang dikemukakan oleh Cole (1977: 183--184) yang menyatakan bahwa objek
285
adalah FN (sekurang-kurangnya dalam konteks netral) yang secara langsung
mengikuti verba.
(7.104) Au
a
sele nunu-ng
1TG makan jagung rebus-Lig
‘Saya makan jagung rebus’
(7.105) Ua
unu
mane
senua
3TG tikam laki-laki
DEF
‘Dia menikam laki-laki itu’
(7.106) Asu
senua gasi au-ng
Anjing
DEF gigit 1TG-Lig
‘Anjing itu menggigit kucing saya’
busa
kucing
(7.107) Roma hai
au
3JM tendang
1TG
‘Mereka menendang saya’
(7.108) Ita
hoat kursi boteng senua
1JM angkat kursi Adj
DEF
‘Kita mengangkat kursi besar itu’
(7.109) O
luma
manu buti
2TG pelihara
ayam putih
‘Engkau memelihara ayam putih’
Klausa (7.104)--(7.109) merupakan klausa monotransitif yang berterima
atau gramatikal dalam BKm. FN dan pronomina sele nunung ‘jagung rebus’ pada
klausa (7.104), mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (7.105), aung busa ‘kucing
saya’ pada klausa (7.106), au ‘saya’ pada klausa (7.107), kursi boteng senua
‘kursi besar itu’ pada klausa (7.108), dan manu buti ‘ayam putih’ pada klausa
(7.109) secara langsung mengikuti (berada dalam lingkungan terdekat verba)
adalah objek klausa tersebut.
286
Kalimat transitif BKm dengan verba dwitransitif mempunyai tiga
argumen: S, OL, dan OTL. Sifat-perilaku OL dan OTL dalam BKm dapat
dicermati pada klausa yang disajikan berikut ini.
(7.110) Au-ng
ama-ng
ne
podi
1TG-Lig
ayah-Lig
beri APL
‘Ayah saya memberikan saya uang’
au
1TG
osa
uang
(7.111) Roma ala
podi ua
baru hrua
3JM beli
APL 3TG baju Num
‘Mereka membelikan saya baju dua’
(7.112) Ita
lodi podi roma sele
1JM bawa APL 3JM jagung
‘Kita memberikan mereka jagung’
(7.113) Au
solok podi ina
surat
1TG kirim APL ibu
surat
‘Saya mengirimkan ibu surat;
Klausa (7.110)--(7.113) merupakan klausa transitif BKm dengan verba
dwitransitif yang mengikat tiga argumen inti. Pada klausa (7.110), au ‘saya’ dan
osa ‘uang’ merupakan dua buah argumen yang hadir setelah verba ne ‘beri’.
Berdasarkan sifat-perilaku objek, maka kedua argumen yang langsung mengikuti
verba merupakan objek dari klausa tersebut. Secara semantis, osa ‘uang’
merupakan OL dan au ‘saya’ merupakan OTL dari verba ne ‘beri’. Argumen ua
‘dia’ dan baru hrua ‘dua baju’ merupakan dua objek yang terdapat pada klausa
(7.111). Baru hrua ‘dua baju’ merupakan OL dan ua ‘dia’ merupakan OTL dari
klausa tersebut. Hal yang sama juga dapat dilihat pada klausa (7.112) dan klausa
(7.113). Sele ‘jagung’ merupakan OL dan roma ‘mereka’ merupakan OTL pada
287
klausa (7.112). Surat ‘surat’ merupakan OL dan ina ‘ibu’ merupakan OTL pada
klausa (7.113).
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa BKm juga memiliki konstruksi
pasif analitik. Pengujian dan penentuan objek dalam BKm dapat juga dilakukan
dengan mekanisme pemfokusan. Perhatikan contoh klausa berikut ini.
(7.114) Roma mela
mane
3JM panggil
laki-laki
‘Mereka memanggil laki-laki itu’
senua
DEF
(7.115) Imi tutu au-ng
ali-ng
2JM pukul 1TG-Lig
adik-Lig
‘Kalian memukul adik saya’
(7.116) Ina ala
podi ua
Ibu beli
APL 3TG
‘Ibu membelikan dia baju’
baru
baju
(7.117) Atmas senua ne
podi roma osa
Orang DEF beri APL 3JM uang
‘Orang itu memberikan dia uang’
(7.118) Mane senua te
roma mela
Laki-laki DEF
FOK 3JM
‘Laki-laki itu mereka panggil’
(7.119) Au-ng
ali-ng
1TG-Lig
adik-Lig
‘Adik saya kamu pukul’
te
FOK
(7.120) Ua
te
ina
ala
3TG FOK ibu
beli
‘Dia ibu belikan baju’
baru
baju
(7.121) Roma te
atmas senua
3JM FOK orang DEF
‘Mereka orang itu berikan uang’
panggil
imi
2JM
ne
beri
tutu
pukul
osa
uang
288
Klausa (7,114)--(7.117) merupakan klausa ekatransitif dan dwitransitif
BKm. Berdasarkan sifat-perilaku subjek dan objek, maka subjek klausa tersebut
terdiri atas roma ‘mereka’ pada klausa (7,114), ami ‘kalian’ pada klausa (7.115),
ina ‘ibu’ pada klausa (7.116), dan atmas senua ‘orang itu’ pada klausa (7.117).
Sebaliknya, objek klausa tersebut adalah mane senua ‘laki-laki itu’ pada klausa
(7.114), aung aling ‘adik saya’ pada klausa (7.115), ua ‘dia’ dan baru ‘baju’ pada
klausa (7.116), serta roma ‘mereka’ dan osa ‘uang’ pada klausa (7.117).
Berbeda dengan klausa (7.114)--(7.117), klausa (7.118)--(7.121) memiliki
konstruksi yang berbeda. Pada klausa (7.118)--(7.121) terjadi proses pemfokusan
sehingga objek menempati posisi subjek dan sekaligus mengawali klausa tersebut.
Mengacu pada tata urutan kata SVO yang dimiliki BKm dan struktur lain seperti
pemfokusan dan pemasifan, maka proses pemfokusan ini dapat dijadikan sebagai
salah satu alat untuk menentukan objek dalam BKm karena objek dalam BKm
dapat difokuskan dengan hadirnya pemarkah fokus ‘te’.
Khusus untuk klausa (7.116) dan (7.117) merupakan klausa dwitransitif
karena terdapat dua objek, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Kedua
objek pada klausa tersebut dapat mengalami proses pemfokusan dan menempati
posisi subjek. Berikut disajikan hasil penaikan yang dilakukan pada objek
langsung pada contoh klausa (7.122) dan (7.123).
(7.122) Baru te
ina
ala
odi
Baju FOK ibu
beli
Prep
‘Baju ibu belikan untuk dia’
ua
3TG
(7.123) Osa te
atmas senua
ne
Uang FOK orang DEF
beri
‘Uang orang itu berikan kepada mereka’
de
Prep
roma
3JM
289
Klausa (7.122) dan (7.123) menunjukkan pemfokusan objek tidak
langsung sehingga menempati posisi subjek dalam BKm. Seperti diuraikan
sebelumnya bahwa tidak hanya objek langsung yang dapat mengalami proses
pemfokusan, objek tidak langsung juga mengalami pemfokusan dan menempati
posisi subjek. Jika dicermati lebih jauh, terdapat perbedaan yang terjadi pada
proses pemfokusan objek langsung dan objek tidak langsung. Pemfokusan objek
langsung dengan menempati posisi subjek pada klausa (7.118) dan (7.119) tidak
menunjukkan penurunan jumlah argumen yang diikat oleh verba klausa tersebut.
Sebaliknya, penaikan fungsi gramatikal objek tak langsung untuk menempati
fungsi gramatikal subjek pada klausa (7.122) dan (7.123) mengalami penurunan
jumlah argumen yang diikat oleh verba klausa tersebut, yang sebelumnya
mengikat tiga argumen menjadi hanya mengikat dua argumen karena satu
argumen berubah fungsi menjadi oblik.
Selain kedua pengujian tersebut, pengujian tentang
objek juga dapat
dilakukan dengan penyisipan adverbial. Cermatilah klausa berikut ini.
(7.124) Au
ala
baru de
basar
1TG` beli
baju Prep pasar
‘Saya membeli buku di pasar’
(7.125) Ita
tunu si
ahi
na’arua
1JM bakar daging babi kemarin
‘Kita membakar daging babi kemarin’
(7.126) Ua
ne
podi mane
senua osa
3TG beri APL laki-laki
DEF uang
‘Dia memberikan laki-laki itu uang lusa’
bairua
lusa
290
(7.127) Ina lodi podi au
inu
de
Ibu bawa APL 1TG pisang Prep
‘Ibu membawakan saya pisang ke rumah’
uma
rumah
Klausa (7.124)--(7.127) merupakan klausa transitif yang berterima atau
gramatikal dalam BKm. Seluruh klausa tersebut hadir dengan adverbial yang
menempati posisi akhir dari setiap klausa tersebut. Bandingkan klausa di atas
dengan klausa yang disajikan di bawah ini.
(7.128) *Au ala
de
basar baru
1TG` beli
Prep pasar baju
‘Saya membeli di pasar baju’
(7.129) *Ita tunu na’arua
si
ahi
1JM bakar kemarin
daging babi
‘Kita membakar kemarin daging babi’
(7.130) *Ua ne
podi bairua mane
3TG beri APL lusa laki-laki
‘Dia memberikan lusa laki-laki itu uang’
senua osa
DEF uang
(7.131) *Ina lodi podi de
uma au
Ibu bawa APL Prep rumah 1TG
‘Ibu membawakan ke rumah saya pisang’
inu
pisang
Klausa (7.128)--(7.131) merupakan klausa transitif dengan verba
dwitransitif yang tidak berterima/gramatikal. Jika dilihat dari unsur-unsur yang
membentuk klausa tersebut, klausa tersebut telah lengkap unsur pembentuknya,
seperti subjek, predikat, objek, dan adverbial. Namun, ketidakberterimaan klausa
ini disebabkan oleh ketidaktepatan penempatan posisi adverbial pada klausa
tersebut. Pada klausa (7.128)--(7.131) posisi adverbial berada di antara predikat
dan objek sehingga membuat klausa tersebut tidak berterima. Apabila adverbial
tersebut ditempatkan pada posisi akhir klausa, atau di antara argumen praverbal
291
dengan verbal, dan atau mengawali klausa tersebut, maka klausa tersebut menjadi
berterima atau gramatikal. Dengan demikian, penyisipan adverbial di antara verba
dan objek tidak diperkenankan sehingga penyisipan adverbial ini menjadi salah
satu alat yang dapat digunakan untuk menentukan objek dalam BKm. Penyisipan
adverbial ini dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan objek dalam BKm
karena
penyisispan adverbial ini tidak dapat dilakukan di antara verba dan
argumen yang secara langsung mengikuti verba. Jika ada adverbial yang
disisipkan di antara verba dan argumen yang secara langsung mengikuti verba
mengakibatkan klausa/kalimat tersebut, maka dapat dipastikan bahwa argumen
yang secara langsung mengikuti verba adalah objek.
Berdasarkan hasil analisis data di atas, diketahui bahwa objek BKm
merupakan argumen yang secara langsung mengikuti verbal atau argumen
posverbal. Di samping objek yang dapat diidentifiasi melalui posisinya yang
secara langsung mengikuti verba, objek BKm juga dapat diidentifikasi dengan
mekanisme pemasifan. Pemasifan BKm merupakan pemasifan secara analitik,
yaitu dengan kehadiran pemarkah toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum
verba (praverbal). BKm tidak memiliki proses morfologis (afiksasi) berupa
pelekatan afiks pada verba yang berfungsi untuk mengubah konstruksi aktif
menjadi konstruksi pasif. Di samping kedua alat identifikasi objek tersebut, objek
BKm dapat diidentifikasi dengan pengedepanan objek dan menempati posisi
subjek dengan mekanisme pemfokusan. Penentuan objek BKm juga dapat
ditentukan dengan pengujian penyisipan adverbial. Hasilnya menunjukkan bahwa
verba dan argumen yang secara langsung mengikuti verba tidak dapat disisipi oleh
292
adverbial. Dapat disimpulkan bahwa argumen yang secara langsung mengikuti
verba dapat diidentifikasi sebagai objek. Jadi, apabila dalam sebuah konstruksi
klausa.kalimat BKm yang tidak mengizinkan adanya penyisipan adverbial di
antara verba dan argumen yang secara langsung mengikutinya, maka argumen
yang secara langsung mengikutinya adalah objek.
7.4.3
Oblik Bahasa Kemak
Oblik (OBL) dikategorikan sebagai argumen noninti. Kehadiran oblik
sebagai argumen noninti tidak terlepas dari pemarkah yang umumnya hadir dalam
bentuk preposisi atau frasa preposisional. Di samping dimarkahi oleh preposisi
atau frasa preposisional, oblik juga dapat dimarkahi dengan pemarkah kasus.
Oblik merupakan relasi gramatikal yang bersifat semantis. Oblik merupakan
kelompok argumen yang sulit didefinisikan. Oblik pada umumnya merupakan
argumen bukan subjek dan merupakan bentuk morfosintaksis yang tidak
sesuai/layak sebagai objek. Oblik tidak mengalami proses sintaksis yang
memengaruhi objek (seperti pemasifan). Oblik umumnya berupa frasa
preposisional (FPrep) (Butt dkk., 1999 : 50). Dalam bahasa Inggris, misalnya,
FPrep to him dalam contoh berikut ini dianalisis sebagai OBL daripada OTL
karena frasa tersebut tidak ikut mengalami pemasifan dalam bahasa itu.
(7.132)
a. The man gave book to him.
‘Laki-lski itu memberikan buku kepada dia’
b. book was given to him.
‘Buku itu diberikan kepada dia ’
293
Salah satu verba yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok verba
menghendaki oblik adalah verba put ‘taruh’ dalam bahasa Inggris. Verba put
‘taruh’ ini menghendaki FPrep lokatif. Perhatikan contoh kalimat bahasa Inggris
berikut (dikutip dari Butt dkk., 1999 : 51).
(7.133)
They put the book in the bookshelf/
on the table (dan lain-lain yang sesuai)
‘Mereka meletakkan buku itu di dalam rak buku/
di atas meja (dan lain-lain yang sesuai).
Oblik sering terlihat menyerupai adjung (adjunct) atau keterangan dari
segi bentuk. Untuk dapat membedakan oblik dari adjung/keterangan, dapat
dilakukan dengan mempertanyakan apakah unsur itu dikehendaki oleh predikat
atau tidak. Oblik lazimnya dikehendaki hadirnya oleh predikat verba, sedangkan
adjung merupakan fungsi gramatikal yang tidak dikelompokkan untuk verba (lihat
Butt dkk, 1999 : 55). Yang lebih rumit lagi, ada argumen yang tampaknya seperti
oblik, tetapi sebenarnya adalah objek. Hal itu dapat terjadi pada verba tertentu
(dalam bahasa Inggris), dalam hal ini objek didahului oleh preposisi. Akan tetapi,
kenyataannya itu adalah objek (bukan OBL) (dilihat berdasarkan kemampuannya
untuk dipasifkan; proses yang hanya memengaruhi objek dalam bahasa Inggris)
(Butt dkk., 1999 : 51; Alsina, 1996 : 55--57).
(7.134)
a. Our employees frequently refer to this document.
‘Karyawan kami sering merujuk ke dokumen ini’
b. This document is frequently refered to by our employees.
‘Dokumen ini sering dirujuk oleh karyawan kami’
Arka (2002 : 2) menjelaskan bahwa oblik merupakan argumen verba yang
secara sintaktis bukan subjek atau objek. Oblik biasanya dimarkahi oleh
294
pre/posposisi. Oblik dikatakan argumen karena dia mencerminkan partisipan
penting yang diminta oleh verba. Dengan demikian, agen pada klausa pasif adalah
oblik. Kehadirannya biasanya (walaupun tidak harus) bersifat manasuka sehingga
oblik itu mirip dengan keterangan (adjunct). Perbedaan oblik dengan keterangan
adalah kehadiran oblik dikehendaki oleh verba, sedangkan kehadiran keterangan
tidak demikian halnya. Sebagai contoh, lokatif di meja pada klausa Dia menaruh
buku di meja adalah oblik karena secara semantis verba taruh menghendaki
tempat (lokatif). Sementara itu, lokatif di dapur pada klausa Dia makan di dapur
adalah keterangan (adjunct). Lokatif di dapur bukanlah bagian dari makna makan;
perannya hanyalah memberikan keterangan tambahan.
Oblik BKm dapat dibedakan atas oblik goal, oblik sumber (source), oblik
instrumen, dan oblik lokatif. Pemarkahan oblik dalam BKm, selain ditentukan
oleh predikat sebagai konstituen utama/pokok klausa/kalimat, juga ditentukan
oleh jenis oblik tersebut, terkait dengan peran semantis argumen. Semua
pemarkah oblik Bkm merupakan preposisi atau frasa preposisional, seperti de
‘di/ke’,
dase ‘dari’, dan odi ‘untuk/dengan/kepada’. Preposisi de ‘di/ke’
merupakan pemarkah oblik goal dan oblik lokatif. Preposisi dase ‘dari’
merupakan pemarkah oblik sumber. Preposisi odi ‘untuk/dengan/kepada’
merupakan pemarkah oblik agen, oblik goal, dan oblik instrumen.
Klausa berikut menampilkan preposisi de ‘di’ sebagai pemarkah oblik
lokatif.
(7.135) Au
ala
baru de
basar
1TG beli
baju Prep basar
‘Saya membeli baju di pasar’
295
(7.136) Au-ng
ali-ng
la
de
1TG-Lig
adik-Lig
pergi Prep
‘Adik saya pergi ke sekolah’
iskola
sekoah
(7.137) Ita
ele
ua
de
uma
1JM cari
3TG Prep rumah
‘Kita mencari dia di rumah’
(7.138) Roma mamu hali de
Atambua
3JM semua pulang Prep Atambua
‘Mereka semua pulang ke Atambua’
Klausa (7.135)--(7.138) merupakan klausa intransitif dan klausa transitif
BKm. Klausa tersebut masing-masing hadir disertai dengan oblik lokatif yang
dimarkahi oleh preposisi de ‘di/ke’. Oblik basar ‘pasar’ pada klausa (7.135) dan
oblik uma ‘rumah’ pada klausa (7.137) hadir dengan dimarkahi oleh preposisi de
‘di’. Hal yang sama juga terjadi pada klausa (7.136) dan klausa (7.138). Oblik
lokatif iskola ’sekolah’ (klausa 7.136) dan oblik Atambua ‘Atambua’ (7.138)
sama-sama hadir dimarkahi oleh preposisi de ‘ke’. Kehadiran preposisi de ‘yang
bermakna ‘ke’ saja yang memarkahi oblik dalam BKm bersifat optional (tidak
wajib). Dalam penggunaannya, preposisi pemarkah oblik ini dilesapkan. Namun,
pelesapan preposisi pemarkah oblik ini tidak menimbulkan klausa/kalimat
tersebut menjadi tidak berterima/gramatikal, seperti yang terlihat pada klausa
berikut.
(7.139) Au-ng
ali-ng
1TG-Lig
adik-Lig
‘Adik saya pergi sekolah’
la
iskola
pergi sekoah
(7.140) Roma mamu hali de
Atambua
3JM semua pulang Prep Atambua
‘Mereka semua pulang Atambua’
296
Di samping kehadiran preposisi de yang bermakna ‘ke’ saja sebagai
pemarkah oblik yang bersifat optional (tidak wajib), kehadiran oblik yang
dimarkahi oleh preposisi de ‘di/ke’ dalam BKm juga bersifat optional (tidak
wajib) tanpa memengaruhi keberterimaan klausa/kalimat tersebut, seperti yang
tersaji pada klausa berikut.
(7.141) Au
ala
baru
1TG beli
baju
‘Saya membeli baju’
(7.142) Au-ng
ali-ng
1TG-Lig
adik-Lig
‘Adik saya pergi’
la
pergi
(7.143) Ita
ele
ua
1JM cari
3TG
‘Kita mencari dia’
(7.144) Roma mamu hali
3JM semua pulang
‘Mereka semua pulang’
Berikut ini disajikan klausa dengan preposisi dase ‘dari’ sebagai pemarkah
oblik sumber.
(7.145) Atmas senua mai
dase kupang
Orang DEF datang Prep Kupang
‘Orang itu datang dari Kupang’
(7.146) Ua
solok surat senua dase Atambua
3TG kirim surat DEF Prep Atambua
‘Dia mengirimkan surat itu dari Atambua’
(7.147) Au
halan osa
dase au-ng
1TG dapat uang Prep 1TG-Lig
‘Saya mendapatkan uang dari ibu saya’
ina-ng
ibu-Lig
297
(7.148) Ami mamu rega brita soleng senua dase kepala desa
2JM semua dengar brita sedih DEF Prep kepala desa
‘Kamu semua mendengar berita sedih itu dari kepala desa
Klausa (7.145)--(7.148) merupakan klausa intransitif dan klausa transitif
BKm. Klausa tersebut masing-masing hadir disertai dengan oblik sumber (source)
yang dimarkahi oleh preposisi dase ‘dari’. Oblik Kupang ‘Kupang’ pada klausa
(7.145), oblik Atambua ‘Atambua’ pada klausa (7.146), oblik aung inang ‘ibu
saya’ pada klausa (7.147), dan kepala desa ‘kepala desa’ pada klausa (7.148)
hadir dengan dimarkahi oleh preposisi dase ‘dari’. Kehadiran oblik yang
dimarkahi oleh preposisi dase ‘dari’ dalam BKm juga bersifat optional (tidak
wajib). Ketiadaan/pelesapan oblik sumber yang dimarkahi preposisi tersebut tidak
memengaruhi keberterimaan klausa/kalimat tersebut, seperti yang tersaji pada
klausa (7.149)--(7.152) berikut.
(7.149) Atmas senua mai
Orang DEF datang
‘Orang itu datang’
(7.150) Ua
solok surat senua
3TG kirim surat DEF
‘Dia mengirimkan surat itu’
(7.151) Au
halan osa
1TG dapat uang
‘Saya mendapatkan uang’
(7.152) Ami mamu rega brita soleng senua
2JM semua dengar berita sedih DEF
‘Kamu semua mendengar berita sedih itu ‘
Klausa berikut menyajikan klausa dengan oblik yang dimarkahi oleh
preposisi odi ‘dengan’ sebagai pemarkah oblik instrumen.
298
(7.153) Ina ta
si
ahi
odi
di’ir anak
Ibu potong daging babi Prep pisau
‘Ibu memotong daging babi dengan pisau’
(7.154) Au
sega ika
odi
tasu
1TG goreng ikan Prep kuali
‘Saya menggoreng ikan dengan kuali’
(7.155) Ama tana ai
odi
besi rae
Ayah tanam pohon Prep cangkul
‘Ayah menanam pohon dengan cangkul’
Klausa (7.153)--(7.155) merupakan klausa transitif BKm. Klausa tersebut
masing-masing hadir disertai dengan oblik instrumen yang dimarkahi oleh
preposisi odi ‘dengan’. Oblik di’ir anak ‘pisau’ pada klausa (7.153), oblik tasu
‘kuali’ pada klausa (7.154), dan oblik besi rae ‘cangkul’ pada klausa (7.155) hadir
dengan dimarkahi oleh preposisi odi ‘dengan’. Kehadiran oblik yang dimarkahi
oleh preposisi odi ‘dengan’ dalam BKm juga bersifat optional (tidak wajib).
Ketiadaan/pelesapan oblik instrumen yang dimarkahi preposisi tersebut tidak
memengaruhi keberterimaan klausa/kalimat tersebut, seperti yang tersaji pada
klausa berikut.
(7.156) Ina ta
si
ahi
Ibu potong daging babi
‘Ibu memotong daging babi’
(7.157) Au
sega ika
1TG goreng ikan
‘Saya menggoreng ikan’
(7.158) Ama tana ai
Ayah tanam pohon
‘Ayah menanam pohon’
299
Berikut ini disajikan klausa dengan preposisi odi ‘kepada’ sebagai
pemarkah oblik goal.
(7.159) Hine senua ne
osa
odi
au
Wanita DEF beri uang Prep 1TG
‘Wanita itu memberi uang kepada saya’
(7.160) O
e
pege inu
odi
ina
2TG ingin minta pisang Prep ibu
‘Engkau ingin minta pisang kepada ibu’
(7.161) Ina solok osa
odi
au-ng
Ibu kirim uang Prep 1TG-Lig
‘Ibu mengirim uang kepada adik saya’
ali-ng
adik-Lig
(7.162) Au
e
tulis surat odi
au-ng
1TG ingin tulis surat Prep 1TG-Lig
‘Saya ingin menulis surat kepada istri saya’
he-ng
istri-Lig
Klausa (7.159)--(7.162) merupakan klausa transitif BKm. Klausa tersebut
masing-masing hadir disertai dengan oblik goal yang dimarkahi oleh preposisi odi
‘kepada’. Oblik au ‘saya’ pada klausa (7.159), oblik ina ‘ibu’ pada klausa (7.160),
oblik aung aling ‘adik saya’ pada klausa (7.161), dan oblik aung her ‘istri saya’
pada klausa (7.162) hadir dengan dimarkahi oleh preposisi odi ‘kepada’.
Kehadiran oblik yang dimarkahi oleh preposisi odi ‘kepada’ dalam BKm juga
bersifat optional (tidak wajib). Ketiadaan/pelesapan oblik goal yang dimarkahi
preposisi tersebut dalam sebuah klausa/kalimat tidak memengaruhi keberterimaan
klausa/kalimat tersebut, seperti yang tersaji pada klausa berikut.
(7.163) Hine senua ne
osa
Wanita DEF beri uang
‘Wanita itu memberi uang’
300
(7.164) O
e
pege inu
2TG ingin minta pisang
‘Engkau ingin minta pisang’
(7.165) Ina solok osa
Ibu kirim uang
‘Ibu mengirim uang’
(7.166) Au
e
tulis surat
1TG ingin tulis surat
‘Saya ingin menulis surat’
Hasil analisis klausa di atas menunjukkan bahwa oblik BKm dibedakan
atas oblik goal, oblik lokatif, oblik sumber (source), dan oblik instrumen. Semua
oblik BKm dimarkahi oleh pemarkah dalam bentuk preposisi. Preposisi pemarkah
oblik BKm terdiri atas (1) de ’di./ke’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik
lokatif, (2) dase ‘dari’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik sumber (source),
dan (3) odi ‘dengan/kepada’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik goal dan
oblik instrumen.
7.4.4
Komplemen
Komplemen (Komp) dikategorikan sebagai relasi gramatikal yang bersifat
noninti sama seperti oblik dan adjung (dibahas pada bagian selanjutnya, 5.4.5).
Sebagai
relasi
gramatikal
noninti,
komplemen
dapat
muncul
bersama
pemerlengkap (complementizer). dalam bentuk konjungsi dan dapat muncul tanpa
kehadiran konjungsi. Dalam bahasa Inggris komplemen ditandai dengan
konjungsi that ‘bahwa’ seperti yang terlihat pada klausa berikut (dikutip dari
Dixon, 2010: 370--371).
301
(7.167) I rememberred that John was born on the eighth of August
‘Saya ingat bahwa John lahir tanggal 8 Agustus’.
(7.168) I heard that Brazil beat Argentina
‘Saya dengar bahwa Brazil mengalahkan Argentina’.
Klausa (5.167) dan (5.168) di atas menunjukkan bahwa terdapat
komplemen pada setiap klausa tersebut yang ditandai dengan pemerlengkap that
‘bahwa’.
Pemerlengkap dalam BKm terdiri atas pemerlengkap bobe ‘bahwa’ dan
nuabe ‘supaya’. Berikut ini disajikan klausa yang mengandung pemerlengkap
bobe ‘bahwa’ dan nuabe ‘supaya’ yang menandai komplemen dalam BKm.
(7.169) Au
rega bobe ua
sirbisu
de
Kupang
1TG dengar bahwa 3TG kerja
Prep Kupang
‘Saya mendengar bahwa dia sudah bekerja di Kupang’
(7.170) Ua
mai
nuabe
botu
3TG datang supaya
bertemu
‘Dia datang supaya bisa bertemu saya’.
au
1TG
kasai
sudah
mloing
bisa
Pada klausa (7.169) dan (7.170) di atas terdapat komplemen ua sirbisu de
Kupang kasai ‘dia sudah bekerja di Kupang’ (7.169) dan botu au mloing ‘bisa
bertemu saya’ (7.170)
yang diawali dengan kehadiran pemerlengkap bobe
‘bahwa’ pada klausa (7.169) dan nuabe ‘supaya’ pada klausa (7.170).
7.4.5
Adjung
Selain mengandung partisipan yang dibutuhkan oleh predikat, sebuah
klausa juga bisa mengandung unsur lain yang secara semantis dan sintaksis tidak
berhubungan langsung dengan pedikat. Unsur-unsur lain yang tidak berhubungan
302
langsung dengan predikat tersebut dapat berupa adverbial dan preposisi modifier
yang berperan sebagai adjung sebuah predikat (Kaplan dan Bresnan, 1982: 204).
Kaplan dan Bresnan (1982: 215) menyatakan bahwa adjung digolongkan
sebagai partisipan nonargumen yang tidak dikaitkan dengan fungsi gramatikal
dan tidak dikendalikan oleh kriteria keunikan (uniqueness), kelengkapan
(completness), dan koherensi (coherence), seperti yang berlaku pada fungsi
gramatikal inti. Lebih jauh, adjung tidak merupakan argumen atau partisipan
dalam sebuah aksi, proses, dan keadaan yang dinyatakan oleh predikat sebuah
klausa/kalimat. Adjung tidak dikategorikan sebagai unit sintaksis, yang
kehadirannya tidak dibutuhkan oleh predikat sebagai konstituen pokok (head)
klausa/kalimat. Kehadiran adjung dalam sebuah klausa/kalimat bersifat manasuka
karena tidak memengaruhi struktur dan makna klausa/kalimat tempat adjung
hadir.
Jika dilihat sepintas, memang sulit untuk membedakan antara oblik dan
adjung karena keduanya sama-sama bukan merupakan argumen inti dan keduanya
juga dimarkahi oleh preposisi. Secara lintas bahasa, salah satu ciri pembeda yang
dimiliki oleh adjung untuk membedakannya dengan oblik adalah kemampuannya
untuk menempati posisi akhir, awal, bahkan di tengah klausa./kalimat.
Adjung BKm berupa adverbial dan preposisi modifier dapat dicermati
pada klausa yang disajikan berikut.
(7.171) Au
botu
ua
kasai na’arua
1TG bertemu
3TG masih kemarin
‘Saya masih bertemu dia kemarin’
303
(7.172) Roma e
la
matamai
3JM ingin pergi besok
‘Mereka ingin pergi besok’
(7.173) Au-ng
ina-ng
mai
no
1TG-Lig
Ibu-Lig
datang Prep
‘Ibu saya datang dengan adik’
ali
adik
(7.174) Atmas senua botu
no
au-ng
Orang DEF bertemu
Prep 1TG-Lig
‘Orang itu bertemu dengan istri saya’
he-ng
istri-Lig
Adjung hadir pada klausa (7.171)--(7.174). Pada klausa (7.171) dan
(7.172) adjung hadir dalam bentuk adverbial dan menempati posisi akhir dari
klausa tersebut. Sebaliknya, adjung pada klausa (7.173) dan (7.174) yang berupa
preposisi modifier juga menempati posisi akhir dari klausa tersebut. Khusus
untuk adjung yang berupa preposisi modifier, kehadirannya dalam sebuah klausa
hanya dapat menempati posisi akhir dari sebuah klausa. Tidak seperti adjung yang
berupa preposisi modifier, adjung yang berupa adverbial dapat menempati posisi
di awal (klausa 7.175) dan di tengah klausa (7.176) seperti yang tersaji pada
klausa berikut.
(7.175) Na’arua
au
botu
Kemarin
1TG bertemu
‘Kemarin saya masih bertemu dia’
ua
3TG
kasai
masih
(7.176) Au
na’arua
botu
ua
1TG kemarin
bertemu
3TG
‘Saya kemarin masih bertemu dia’
kasai
masih
304
7.4.6
Relasi Gramatikal Inti Bahasa Kemak
Verba merupakan elemen inti/pokok (head) dalam
sebuah konstruksi
klausa/kalimat. Selain kehadiran verba sebagai elemen inti/pokok, elemen lain
yang berupa gantungan (dependent) juga hadir dalam klausa/kalimat sehingga
klausa/kalimat tersebut menjadi berterima/gramatikal. Dalam kehadirannya, verba
dapat disertai oleh satu atau dua gantungan. Gantungan yang menyertai kehadiran
verba dalam sebuah klausa/kalimat adalah argumen yang diwujudkan oleh FN.
Argumen-argumen tersebut dapat dirujuk sebagai komplemen atau pelengkap.
Sebuah konstruksi dengan verba intransitif menghendaki kehadiran satu atau dua
komplemen; konstruksi dengan verba transitif menghendaki dua komplemen.
Relasi yang dimiliki oleh komplemen dari verba intransitif satu-tempat dan verba
transitif dua-tempat merupakan relasi gramatikal inti (core grammatical relation)
(lihat Artawa, 1998:27).
Klausa/kalimat dengan verba transitif dasar menghendaki komplemen
agen dan pasien. Dalam bahasa Inggris yang merupakan bahasa bertipologi
akusatif, agen diidentifikasikan sebagai subjek dan pasien sebagai objek klausa.
Untuk menelusuri relasi gramatikal inti BKm, berikut ini disajikan klausa dengan
verba intransitif satu-tempat dan dua-tempat.
(7.177) Roma mai
3JM datang
‘Mereka datang’
(7.178) Mane
senua la
Laki-laki
DEF pergi
‘Laki-laki itu pergi’
305
(7.179) Roma mai
de
au-ng
3JM datang Prep 1TG-Lig
‘Mereka datang ke rumah saya’
uma
rumah
(7.180) Mane
senua la
no
au-ng
Laki-laki
DEF pergi Prep 1TG-Lig
‘Laki-laki itu pergi dengan adik saya’
ali-ng
adik-Lig
Klausa (7.177) dan (7.178) merupakan klausa intranstif dengan satu
komplemen, yaitu roma ‘mereka’ pada klausa (7.177) dan mane senua ‘laki-laki
itu’ pada (7.178). Komplemen tersebut secara semantis diidentifikasikan sebagai
agen dan secara gramatikal berfungsi sebagai subjek dari klausa tersebut. Dengan
demikian, subjek menjadi satu-satunya relasi gramatikal inti pada klausa (7.177)
dan (7.178). Berbeda dengan klausa (7.177) dan (7.178) yang memiliki satu
komplemen, klausa (7.179) dan (7.180) memiliki dua komplemen, yaitu roma
‘mereka’ dan de aung uma ‘ke rumah saya’ pada klausa (7.179) serta mane senua
‘laki-laki itu’ dan no aung aling ‘dengan adik saya’ pada klausa (7.180) sebagai
subjek dari klausa tersebut. Kedua komplemen pada klausa (7.179) dan (7.180)
tersebut dapat diidentifikasi sebagai subjek dan oblik. Berdasarkan sifat-perilaku
subjek, subjek pada klausa tersebut dapat diidentifikasi sebagai argumen yang
hadir pada posisi praverbal, sedangkan oblik pada klausa tersebut ditandai dengan
kehadiran preposisi. Dengan demikian, subjek menjadi satu-satunya relasi
gramatikal inti pada klausa (7.179) dan (7.180).
Berikut ini disajikan klausa dengan verba transitif dua-tempat BKm.
(7.181) O
sali
ika
2TG tangkap
ikan
‘Engkau menangkap ikan’
306
(7.182) Atmas senua mela
au
Orang DEF panggil
1TG
‘Orang itu memanggil saya’
(7.183) Au
betu
ua
1TG tendang
3TG
‘Saya menendang dia’
Klausa (7.181)--(7.183) merupakan klausa dengan verba transitif dua
tempat. Terdapat dua komplemen yang hadir pada klausa tersebut. Satu
komplemen merupakan agen yang memiliki sifat-perilaku subjek gramatikal dan
satu komplemen merupakan pasien yang memiliki sifat-perilaku objek gramatikal.
Dengan demikian, relasi gramatikal inti yang diperkenalkan oleh klausa di atas
adalah subjek dan pasien. Klausa di atas memiliki alternasi struktur yang tersaji
pada klausa di bawah ini.
(7.184) a. ika
o
te
Ikan
2TG FOK
‘Ikan engkau tangkap’
sali
tangkap
b. ika
toma sali
Ikan
dapat tangkap
‘Ikan dapat tangkap’
(7.185) a. Au
atmas senua te
1Tg
Orang DEF te
‘Saya orang itu panggil’
mela
panggil
b. Atmas
senua toma mela
Orang
DEF dapat panggil
‘Orang itu dapat panggil’
(7.186) a. Ua
au
te
3TG
1TG FOK
‘Dia saya tendang’
betu
tendang
307
b. Ua
toma betu
3TG
dapat tendang
‘Dia dapat tendang’
Klausa (7.184)--(7.186) merupakan bentuk alternasi klausa (7.181)—
(7.183). Klausa (7.184a)--(7.186a) merupakan alternasi klausa melalui mekanisme
pemfokusan. Sementara klausa (7.184b)--(7.186b) merupakan alternasi melalui
mekanisme pemasifan analitik dengan hadirnya pemarkah toma ‘dapat’ sebelum
predikat. Terdapat dua komplemen yang hadir pada posisi praverbal pada klausa
tersebut. Satu komplemen merupakan agen yang memiliki sifat-perilaku subjek
gramatikal dan satu komplemen merupakan pasien yang memiliki sifat-perilaku
objek gramatikal. Dengan demikian, relasi gramatikal inti yang diperkenalkan
oleh klausa di atas adalah subjek dan objek.
7.5 Temuan Penelitian
Bab ini membahas fungsi dan relasi gramatikal BKm. Pembahasan fungsi
gramatikal BKm menyangkut agen dan pasien. Pembahasan relasi gramatikal
terkait dengan subjek dan objek sebagai relasi gramatikal inti dan oblik
komplemen serta adjung sebagai relasi gramatikal noninti. Bab ini ditutup dengan
pembahasan relasi gramatikal inti BKm. Adapun beberapa temuan yang terkait
dengan peran dan relasi gramatikal adalah berikut ini.
1) Terdapat satu-satunya argumen pada klausa intransitif BKm yang secara
semantis memiliki fungsi gramatikal agen. Jika verba yang menempati
posisi predikat klausa intransitif merupakan verba keadaan (atau predikat
bukan verbal), subjek gramatikal pada klausa tersebut dapat berperilaku
308
sebagai pasien. Sementara itu, subjek gramatikal pada klausa transitif
BKm pada umumnya adalah agen, sedangkan objek gramatikal pada
klausa transitif pada umumnya merupakan pasien.
2) Subjek merupakam relasi gramatikal inti dalam BKm. Subjek BKm dapat
diidentifikasi berdasarkan sifat-perilaku atau properti yang dimiliki subjek,
yaitu (1) subjek BKm muncul pada posisi praverbal pada struktur kanonis;
(2) adverbial dan penegasi dapat disisipkan di antara argumen praverbal
dan verbal. Pada posisi kanonik, argumen praverbal tersebut merupakan
subjek sehingga antara subjek dan verbal dapat disisipi oleh adverbial dan
penegasi; (3) subjek BKm dapat direlatifkan dengan pemarkah ne ‘yang’.
Selain subjek, BKm juga dapat merelatifkan argumen inti yang secara
sintaksis berfungsi sebagai objek, baik objek langsung maupun objek tak
langsung; (4)
antara subjek dan predikat dapat disisipkan dengan
penjangka kambang; (5) subjek dapat direfleksifkan; (6) argumen selain
subjek (objek, baik OL maupun OTL) dapat dinaikkan fungsinya menjadi
subjek melalui mekanisme penaikan; (7) subjek dapat difokuskan dengan
pemarkah fokus te; (8) subjek dapat dikontrol; dan (9) frasa nomina tidak
terang (PRO) berkoreferensi dengan subjek pada klausa yang lebih tinggi.
3) Objek BKm merupakan argumen yang secara langsung mengikuti verbal
atau argumen posverbal pada struktur kanonis. Objek BKm dapat
diidentifikasi melalui proses pemasifan. Konstruksi pasif BKm merupakan
konstruksi pasif analitik dengan kehadiran pemarkah toma ‘dapat’ yang
menempati posisi sebelum verba (praverbal). Objek BKm dapat dinaikkan
309
fungsinya menjadi subjek dengan kehadiran pemarkah analitik toma
‘dapat’. Di samping objek yang dapat diidentifiasi melalui posisinya yang
secara langsung mengikuti verba dan pemasifan, objek BKm juga dapat
diidentifikasi dengan pengedapanan objek dan menempati posisi subjek
dengan mekanisme pemfokusan dengan pemarkah fokus te yang hadir
sebelum verba. Penentuan objek BKm juga dapat ditentukan dengan
pengujian penyisipan adverbial. Hasilnya menunjukkan bahwa verba dan
argumen yang secara langsung mengikuti verba tidak dapat disisipi oleh
adverbial sehingga dapat disimpulkan bahwa argumen yang secara
langsung mengikuti verba diidentifikasi sebagai objek. Jadi, apabila dalam
sebuah konstruksi klausa/kalimat BKm yang tidak mengizinkan adanya
penyisipan adverbial antara verba dan argumen yang secara langsung
mengikutinya, maka argumen yang secara langsung mengikutinya adalah
objek.
4) Oblik BKm dibedakan atas oblik goal, oblik lokatif, oblik sumber
(source), dan oblik instrumen. Semua oblik BKm dimarkahi oleh
pemarkah dalam bentuk preposisi. Preposisi pemarkah oblik BKm terdiri
atas (1) de ’di./ke’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik lokatif, (2)
dase ‘dari’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik sumber (source), dan
(3) odi ‘dengan/kepada/untuk’ yang berfungsi sebagai pemarkah oblik
goal dan oblik instrumen.
310
5) Komplemen BKm ditandai dengan hadirnya pemerlengkap. Pemerlengkap
BKm terdiri atas pemerlengkap bobe ‘bahwa’ dan pemerlengkap nuabe
‘supaya’.
6) Adjung BKm ditandai dengan kehadiran adverbial dan preposisi. Adjung
dalam bentuk adverbial menempati posisi akhir klausa, sedangkan adjung
yang berupa preposisi modifier menempati posisi akhir dari klausa
tersebut. Khusus untuk adjung yang berupa preposisi modifier,
kehadirannya dalam sebuah klausa hanya dapat menempati posisi akhir
dari sebuah klausa; sedangkan adjung yang berupa adverbial dapat
menempati posisi di awal dan di tengah klausa.
7) Relasi gramatikal inti BKm adalah subjek dan objek. Subjek pada struktur
kanonis menempati posisi praverbal dan objek pada struktur kanonis
menempati posisi posverbal. Pada struktur lain, objek dapat menempati
posisi subjek melalui proses pengedepanan objek dengan mekanisme
pemasifan analitik dengan pemarkah toma ‘dapat’ dan dengan pemfokusan
dengan pemarkah fokus te.
BAB VIII
KALIMAT KOMPLEKS BAHASA KEMAK
8.1 Pengantar
Pembahasan pada bab-bab sebelumnya didasarkan pada kalimat tunggal
atau kalimat sederhana yang meliputi pembahasan struktur dasar klausa dan
struktur argumen BKm. Pembahasan pada bab ini menitikberatkan pada
pembahasan kalimat kompleks BKm. Meskipun kalimat kompleks merupakan
kajian sintaksis antarklausa, pembahasan tentang kalimat kompleks BKm pada
bab ini tidak membahas keseluruhan aspek kalimat kompleks. Pembahasan
kalimat kompleks pada bab ini dibatasi pada konstruksi sintaktis yang disebut
sebagai kalimat majemuk bertingkat.
Pembahasan kalimat kompleks pada bab ini meliputi (1) kalimat yang
mempunyai klausa relatif, (2) kalimat yang mempunyai klausa purposif/ bertujuan
(selanjutnva disebut klausa purposif), (3) kalimat yang mempunyai klausa alasan
(reason clause). dan (4) kalimat yang mempunyai klausa pemerlengkap
(selanjutnya disebut klausa pemerlengkap). Pembahasan keempat jenis kalimat
kompleks tersebut bertujuan untuk mengetahui perilaku morfosintaktis secara
tipologis klausa-klausa yang membentuk kalimat kompleks yang merupakan
kajian sintaksis antarklausa. Pembahasan kalimat kompleks juga bertujuan untuk
memeroleh gambaran dan butir-butir gramatikal yang dapat mendukung dan
memperjelas bahasan tentang aliansi gramatikal BKm yang sekaligus terkait erat
dengan tipologi sintaksis BKm. Pembahasan kalimat sederhana pada bab-bab
311
312
sebelumnya dan pembahasan kalimat kompleks merupakan dua pokok bahasan
yang saling mendukung untuk sampai pada pembahasan aliansi gramatikal yang
berujung pada penentuan tipologi sintaksis BKm.
Pembahasan tentang kalimat sederhana dan kalimat kompleks merupakan
dua topik yang saling terkait karena kalimat kompleks dibangun oleh gabungan
satu klausa/kalimat sederhana dengan klausa/kalimat sederhana yang lain untuk
membentuk konstruksi yang lebih kompleks. Pernyataan tersebut berimplikasi
kepada pembahasan kalimat kompleks yang juga terkait dengan pembahasan
klausa/kalimat sederhana pada bab-bab sebelumnya. Bab ini diawali dengan
memaparkan tinjauan teoretis kalimat kompleks. Pembahasan selanjutnya secara
berturut-turut menyajikan telaah tentang kalimat dengan klausa relatif/perelatifan,
kalimat dengan klausa purposif, kalimat dengan klausa alasan, dan kalimat dengan
klausa pemerlengkap. Bab ini ditutup dengan menyajikan beberapa temuan terkait
dengan pembahasan kalimat kompleks BKm
8.2 Tinjauan Teoretis Kalimat Kompleks
Sebelum membahas lebih lanjut tentang kalimat kompleks, perlu diperjelas
mengenai pengertian klausa. Klausa memiliki pengertian sama dengan kalimat
sederhana. Dalam hal ini, kalimat sederhana adalah kalimat yang terdiri atas
sebuah subjek dan sebuah predikat. Dalam disertasi ini, pengertian klausa sama
dengan pengertian kalimat sederhana, yaitu klausa bebas (independent clause).
Kalimat sederhana dapat bergabung dengan kalimat sederhana yang lain untuk
membentuk konstruksi atau kalimat yang lebih kompleks. Konstruksi yang
313
terbentuk dari gabungan klausa-klausa tersebut melahirkan kalimat majemuk
(complex sentence). Jika dilihat lebih dalam, hubungan antarklausa yang
membentuk kalimat kompleks tersebut begitu beragam dan rumit. Kerumitan itu
disebabkan oleh interaksi tiga parameter yang terdapat dalam kalimat kompleks
tersebut. Ketiga parameter tersebut, yaitu (1) susunan internal klausa-klausa, (2)
hubungan struktural klausa satu dengan yang lain, dan (3) hubungan semantis
klausa-klausa tersebut (Elson dan Pickett, 1983: 120).
Penjelasan yang diuraikan di atas telah memberikan batasan yang jelas
tentang klausa/kalimat sederhana dengan kalimat kompleks. Sebelum membahas
lebih jauh mengenai konstruksi kalimat majemuk, dibedakan antara konstruksi
kalimat majemuk setara dan konstruksi kalimat majemuk bertingkat. Kalimat
mejemuk dibedakan atas kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk
bertingkat. Kalimat majemuk setara (compound sentence) merupakan kalimat
majemuk yang terdiri atas dua klausa atau lebih yang dihubungkan secara setara
(koordinatif) oleh konjungsi koordinatif (selanjutnya disebut kalimat koordinatif).
Kalimat majemuk bertingkat (complex sentence) merupakan kalimat majemuk
yang terdiri atas klausa utama dan klausa bawahan yang menunjukkan hubungan
subordinatif (lihat Verhaar, 1989: 100--103, Alwi dkk., 2000: 385--393).
Terkait dengan kalimat kompleks. Kuiper dan Allan (1996: 255, 264)
memberikan
pengertian
yang
lebih
sederhana
dan
praktis.
Mereka
mengungkapkan bahwa kalimat yang mempunyai klausa sematan (klausa
bawahan) disebut kalimat kompleks. Pendapat yang lebih teoretis terkait dengan
pengertian kalimat kompleks, dikemukakan oleh Van Valin Jr. dan LaPolla (1999,
314
2002:441—443). Mereka mengungkapkan bahwa terdapat dua pertanyaan yang
mendasar terkait dengan kalimat kompleks, yaitu (a) unit-unit apa saja yang
terlibat dalam konstruksi kalimat kompleks, (b) hubungan-hubungan apa saja
yang terdapat di antara unit-unit dalam konstruksi tersebut? Untuk kedua jawaban
tersebut, Van Valin Jr. dan LaPolla (1999, 2002:441—443) menyatakan bahwa
jawaban untuk pertanyaan (a) diturunkan dari struktur berlapis klausa; batas-batas
pembentuk kalimat kompleks yang mendasar adalah inti, dasar, dan klausa.
Sementara,
jawaban
untuk
pertanyaan
(b)
secara
tradisional
mereka
mengungkapkan sebagai berikut.
“Kalimat kompleks dibagi dua: (a) kalimat yang unsur-unsurnya setara
(co-ordinate) secara gramatikal dan (b) kalimat yang unsur-unsurnya
(klausa pembentuknya) secara gramatikal tidak setara (sub-ordinate). Pada
jenis (a) klausa-klausa dihubungkan dengan konjungsi koordinatif dan
pada (b) dihubungkan dengan konjungsi subordinatif.”
Sehubungan dengan lima jenis kalimat majemuk bertingkat (klausa relatif,
klausa purposif, klausa alasan, klausa pemerlengkap, dan konstruksi penaikan).
Artawa (1998:83) berpendapat bahwa tidak semua bahasa memperlakukan
konstruksi sintaktis tersebut dengan cara yang sama. Perlakuan yang diberikan
sangat tergantung pada jenis bahasa yang bersangkutan. A(gen) dan S(ubjek)
dalam bahasa akusatif ditandai dengan sejumlah ciri seperti kasus, kontrol
persesuaian pada verba, tata urutan kata, dan A/S itu biasanya tidak diungkapkan
dengan bentuk-bentuk verba tak-terbatas. Sebaliknya, dalam bahasa ergatif secara
sintaktis, hubungan P(asien) dan S(ubjek) memainkan peran penting dalam
sejumlah proses gramatikal. Misalnya, hanya P dan S yang bisa direlatifkan, P dan
S tetap muncul dengan bentuk-bentuk verba tak-terbatas.
315
Terdapat perbedaan antara bahasa ergatif secara morfologis dan bahasa
yang mempunyai ergatif secara sintaktis. Kebanyakan bahasa yang ergatif secara
morfologis tidak memiliki ergatif secara sintaksis. Proses sintaktis dalam bahasa
jenis ini seperti proses sintaktis yang ada dalam bahasa akusatif. Kombinasi S/P
dalam bahasa ergatif sering dirujuk sebagai absolutif, sementara A dari klausa
transitif dalam bahasa jenis ini dikatakan membawa relasi ergatif.
8.3 Klausa Relatif Bahasa Kemak
Pembahasan klausa relatif pada bagian ini mengacu kepada klausa terikat
(dependent clause) yang merupakan klausa relatif. BKm memiliki strategi atau
kiat-kiat gramatikal tersendiri dalam perelatifan yang mungkin saja bisa sama
ataupun berbeda dengan bahasa-bahasa lain di dunia. Telaah tentang kiat (strategi)
perelatifan dalam BKm didasarkan pada pendekatan hierarki relasi gramatikal,
yaitu hierarki ketercapaian (accessibility hierarchy) yang dikemukakan oleh
Keenan dan Comrie (1977). Keenan dan Comrie (1977) (lihat juga Artawa,
1998:83; Song, 2001:211, 222—227; Andrew 2007:226—231) mengusulkan
hierarki berikut yang menunjukkan bahwa posisi puncak lebih mudah dicapai
secara universal untuk perelatifan:
Hierarki Ketercapaian (selanjutnya disebut HK):
Subjek (S) > objek langsung (OL) > objek tak langsung (OTL) >
oblik (OBL) > genitif (GEN) > objek perbandingan (O KOMP)
Hierarki ketercapaian yang disajikan di atas menggambarkan betapa mudahnya
pembentukan klausa relatif . Jika sebuah FN pada hierarki ketercapaian itu dapat
tercapai untuk perelatifan, maka semua FN yang lebih tinggi pada hierarki
316
tersebut juga dapat mencapai perelatifan. Lebih jauh, mereka mengungkapkan
seperangkat kendala hierarki (hierarchy constraints) terkait dengan HK, yaitu:
1. sebuah bahasa mesti bisa merelatifkan subjek;
2. setiap kiat pembentukan klausa relatif mesti berlaku untuk segmen
berkelanjutan dari HK;
3. kiat-kiat yang berlaku pada satu butir HK pada dasarnya boleh tidak
berlaku pada butir yang lebih rendah.
Berdasarkan kendala-kendala tersebut, suatu bahasa mungkin saja hanya
dapat merelatifkan subjek, tetapi tidak mungkin suatu bahasa hanya memiliki kiat
untuk bisa merelatifkan objek langsung atau lokatif tanpa memiliki kiat atau cara
untuk merelatifkan subjek. Satu bahasa bisa dengan bebas menetapkan posisi
berdekatan pada HK sebagai posisi yang sama, tetapi satu bahasa tidak dapat
melampaui posisi dalam batasan pembentukan klausa relatif.
Hierarki
ketercapaian memiliki beberapa pengecualian.yang umumnya terkait dengan
masalah penentuan subjek secara lintas-bahasa, terutama sekali penentuan
pengertian subjek dalam bahasa-bahasa ergatif secara sintaktis.
Comrie (1983, 1989) menegaskan bahwa subjek dapat dengan jelas
ditetapkna pada kebanyakan konstruksi intransitif, khsususnya pada konstruksi
yang secara jelas merupakan konstruksi predikat satu-tempat. Dalam konstruksi
transitif, sifat-perilaku subjek ditetapkan sebagai A (dalam bahasa nominatifakusatif) atau sebagai P (dalam bahasa ergatif-absolutif). Jika pengertian subjek
diambil sebagai subjek gramatikal atau subjek lahir, dapat dikatakan bahwa subjek
itu berlaku bagi bahasa akusatif atau ergatif. Akan tetapi, secara semantik, subjek
gramatikal klausa transitif bahasa akusatif adalah agen, yang mengontrol tindakan
yang ditunjukkan oleh verba. Sementara itu, dalam bahasa-bahasa ergatif secara
317
sintaktis, subjek klausa transitif dipengaruhi oleh tindakan (lihat Artawa,
1998:84).
Terkait dengan bahasa yang ergatif secara morfologis, Anderson dalam Li
(ed.) (1976) mengemukakan bahwa argumen satu-satunya (S) dari predikat
intransitif dan argumen agen (A) dari predikat transitif berperilaku sama dalam
banyak proses sintaktis. Akan tetapi, pengertian subjek dalam bahasa-bahasa
ergatif secara sintaktis masih merupakan hal yang diperdebatkan. Dalam hal ini,
Keenan dan Comrie (1977) menegaskan bahwa absolutif (S-P) dalam bahasa
seperti Dyirbal, yang merupakan bahasa ergatif secara sintaksis adalah subjek.
Pendapat mereka didukung oleh bukti-bukti sintaksis. Dalam bahasa ergatif secara
sintaktis seperti bahasa Kalkatungu, hanya absolutif yang dapat direlatifkan.
Contoh kalimat relatif berikut ini menunjukkan hal tersebut (dikutip dari Artawa,
1998:84--85):
(8.1)
ngulurrmayi-nha nga-thu yurni [ ] ngartathati-nyiu
tangkap lampau saya-ERG orang- NOM duduk –PART
‘Saya menangkap orang itu [begitu dia] sedang duduk’
(8.2)
ngulurrmayi-nha nga-thu yurru [ ] thuku-yu itya-nyin
tangkap -lampau saya-ERG orang-NOM anjing-ERG gigit-PART
‘Saya menangkap orang itu [begitu dia] sedang digigit oleh anjing’
Kalimat (8.1) menunjukkan bahwa fungsi yang direlatifkan dalam klausa
subordinat tersebut adalah S yang tidak diungkapkan dan ditandai [ ]. Sementara
kalimat (8.2) menunjukkan bahwa fungsi P yang direlatifkan dan P itu tidak
diungkapkan secara nyata dalam klausa subordinat.
Terkait dengan perelatifan, Artawa (1998:85—88) memberikan contoh
data dalam bahasa Bali (BB). Lebih jauh, dia menyatakan bahwa hanya subjek
318
yang bisa direlatifkan. Berikut ini disajikan klausa BB yang menunjukkan bahwa
hanya subjeklah yang dapat direlatifkan.
(8.3)
a. Emeng-e gugut cicing
kucing-DEF gigit anjing
‘Anjing menggigit kucing’
b. Emeng-e [ane gugut cicing] gelem.
Kucing-DEF [REL-gigit anjing] sakit
‘Kucing yang anjing gigit sakit’
c
* Cicing [ane emeng-e gugut] galak.
Anjing [REL kucing-DEF gigit] galak
‘Anjing [yang menggigit kucing] galak’
Contoh (8.3a) merupakan konstruksi verba dasar. FN praverbal adalah
pasien dan FN posverbal merupakan agen. Klausa relatif (8.3b) memperlihatkan
pasien dapat direlatifkan, sementara agen tidak dapat direlatitkan seperti
diperlihatkan pada contoh (8.3c). Perelatifan ini menegaskan bahwa FN praverbal
pada (8.3a) adalah subjek gramatikal klausa yang secara semantis bukan
merupakan agen. Justru agen menempati posisi objek grmatikal. Contoh (8.3a)
menunjukkan bahwa objek langsung yang secara semantis berfungsi sebagai agen
(cicing) tidak dapat direlatifkan. Jelas ditunjukkan bahwa FN yang dapat
direlatifkan pada klausa tersebut adalah FN yang menempati posisi subjek
gramaatikal (pasien secara semantis). Berdasarkan kenyataan tersebut, Artawa
(1998: 85--86) mengungkapkan bahwa BB memiliki cara lain untuk dapat
merelatifkan agen konstruksi zero untuk mengungkapkan informasi seperti
‘Anjing yang menggigit kucing itu galak’ (lihat 8.3c), yaitu dengan mekanisme
perelatifan tidak langsung dengan menggunakan kiat ‘diatesis turunan’
319
Di samping kiat ‘diatesis turunan’ untuk perelatifan, Givon (1990:669—
670), mengungkapkan beragam kiat perelatifan atau kiat pembentukan konstruksi
relatif secara lintas bahasa. Salah satu di antaranya adalah ‘kiat penandaan verba’
(verb-coding strategies), yaitu kiat perelatifan yang merupakan interaksi antara
perelatifan dan kaidah promosi (pensubjekan), Pensubjekan dalam BB dimarkahi
dengan prefiks nasal pada verba. Berikut ini adalah kiat penandaan verba dalam
perelatifan dalam BB (dikutip dari Artawa, 1998: 86).
(8.4)
a. Emeng- e gugut cicing.
Kucing-DEF gigit anjing
‘Anjing menggigit kucing’
b. Cicing-e ngugut emeng-e [N-gugut]
anjing-DEF AKT-gigit kucing-DEF
‘Anjing menggigit kucing’
c.
Cicing-e [cine ngugut emeng-e] galak.
Anjing- DBF [REL AKT-gigit kucing-DEF] galak
‘Anjing yang menggigit kucing galak’
Berdasarkan contoh kalimat BB yang disajikan di atas, Artawa (1998:86)
menjelaskan bahwa pada (8.4b) pelengkap agen (cicing) diungkapkan sebagai
subjek. Subjek tersebut dapat direlatifkan seperti pada (8.4c). Berdasarkan kalimat
(8.3b), (8.3c), dan (8.4c) BB yang disajikan di atas menunjukkan bahwa ternyata
dalam BB hanya subjek yang dapat direlatifkan.
Untuk mendukung data BB yang diungkapkan oleh Artawa yang
menunjukkan bahwa hanya subjek yang dapat direlatifkan, berikut ini disajikan
contoh kalimat dalam bahasa Malagasy yang hanya dapat merelatifkan FN yang
berfungsi sebagai subjek (dikutip dari E. L. Keenan (1972: 171).
320
(8.5)
a. manasa ny
lamba
ny
cuci
DEF pakaian
DEF
‘Wanita itu mencuci pakaian itu’
vehivahy
wanita
b. ny
vehivahy
(izay) manasa
DEF
wanita
REL cuci
‘Wanita itu yang mencuci pakaian itu’
ny
DEF
lamba
pakaian
c.
ny
DEF
vehivahy
wanita
*ny
lamba
(izay) manasa
DEF
pakaian
REL cuci
‘Pakaian itu yang wanita itu cuci’
Contoh (8.5a) merupakan klausa transitif yang umum bahasa Malagasy.
Contoh (8.5b) merupakan contoh yang menunjukkan proses perelatifan yang
terjadi pada FN yang menempati posisi subjek gramatikal. Sementara, contoh
(8.5c) menunjukkan proses perelatifan yang terjadi pada FN yang menempati
posisi objek gramatikal. Hasil perelatifan objek gramatikal pada contoh (8.5c)
merupakan konstruksi yang tidak gramatikal dalam bahasa Malagasy. Bahasa
Malagasy memiliki kiat tersendiri untuk dapat merelatifkan objek gramatikal,
yaitu dengan menerapkan ’diatesis turunan’ melalui mekanisme pemasifan.
Berikut ini disajikan proses perelatifan objek bahasa Malagasy dengan mekanisme
‘diatesis turunan’ melalui pemasifan.
(8.6)
a. Sasan
ny
vehivahy
ny
cuci-Pas DEF woman
DEF
‘Pakaian itu dicuci oleh wanita itu’
lamba
pakaian
b. ny
lamba
(izay) sasan
DEF
pakaian
REL cuci-Pas
‘Pakaian yang dicuci oleh wanita itu’
ny
DEF
vehivahy
wanita
Contoh (8.6) mengigambarkan bahwa untuk merelatifkan objek bahasa
Malagasy harus melalui kiat ‘diatesis turunan’, yaitu mengubah fungsi objek
321
untuk menempati posisi subjek seperti contoh (8.6a) sehingga memungkinkan
terjadinya perelatifan seperti contoh (8.6b).
E. L. Keenan dan Comrie dalam Andrew (2007: 230—231) memberikan
contoh bahasa Basque yang dapat merelatifkan, baik subjek, objek langsung
maupun oblik hanya dengan mekanisme memarkahi verba dengan sufik –n.
Proses perelatifan dengan memarkahi verba dengan sufik –n tersaji pada contoh
berikut.
(8.7)
a. Gizon-a-k
emakume-a-ri
liburu-a
eman dio
Laki-DEF;ERG wanita-DEF-DAT
buku-DEF
beri telah
‘Laki-laki itu telah memberikan buku itu kepada wanita itu’
b. Emakume-a-ri
liburu-a eman dio-n
gizon-a
Wanita-DEF-DAT buku-DEF beri telah-REL
beri-DEF
‘Laki-laki yang memberikan buku itu kepada wanita itu’
c. Gizon-a-k
emakume-a-ri
eman dio-n
liburu-a
Laki-DEF;ERG wanita-DEF-DAT beri telah-REL buku-DEF
‘Buku itu yang laki-laki itu telah berikan kepada wanita itu
d. Gizon-a-k
liburu-a eman dio-n
emakume-aLaki-DEF;ERG buku-DEF beri telah-REL wanita-DEF
‘Wanita itu yang laki-laki itu telah berikan buku itu’
Contoh (8.7) dengan jelas menunjukkan bahwa bahasa Basque hanya
mengizinkan terjadinya perelatifan dengan mekanisme pemarkahan verba.
Perelatifan dalam bahasa ini, baik perelatifan subjek, objek langsung, maupun
oblik tidak diperkenankan tanpa adanya pemarkah verba –n.
Setelah menyajikan beberapa contoh data perelatifan lintas bahasa di atas,
bagian berikut menyajikan kiat atau strategi perelatifan yang diperkenankan dalam
BKm. Seperti yang telah diuraikan pada bab V (subbagian 5.4.1.3) bahwa BKm
322
dapat merelatifkan subjek dan objek, baik objek langsung maupun objek tak
langsung. Untuk mengetahui lebih lanjut kiat perelatifan BKm terhadap relasi
gramatikal subjek dan objek. Cermatilah contoh kalimat yang disajikan berikut.
(8.8)
a.
Hine
koet senua mela
Wanita cantik DEF panggil
‘Wanita cantik itu memanggil kita’
ita
1JM
b.
Hine
koet
ne
lodi buku senua mela
Wanita cantik REL bawa buku DEF panggil
‘Wanita cantik yang membawa buku itu memanggil kita’
ita
IJM
c.
Ita
ne
hine
koet
senua mela mudu de
1JM REL wanita cantik DEF panggil duduk Prep
‘Kita yang wanita cantik itu panggil duduk di kursi’
kursi
kursi
Kalimat (8.8a) merupakan kalimat ekatransitif BKm. Kalimat (8.8b)
menunjukkan bahwa subjek gramatikal hine koet senua ‘wanita cantik itu’ pada
klausa (8.8a) dapat direlatifkan. Sementara, (8.8c) menunjukkan bahwa FN ita
‘kita’ yang berfungsi sebagai objek langsung juga dapat direlatifkan.
Berikut disajikan perelatifan relasi gramatikal yang terdapat pada kalimat
dwitransitif BKm.
(8.9)
a. Ua
ne
podi mane
3TG
beri APL laki-laki
‘Dia memberikan laki-laki itu uang’
senua osa
DEF uang
b.
Ua ne semai dase uma ne podi mane
senua osa
3TG REL keluar Prep rumah beri APL laki-laki DEF uang
‘Dia yang keluar dari rumah memberikan laki-laki itu uang’
c.
Mane
ne
ua
ne
osa snang
Laki-laki REL
3TG
beri
uang senang
‘Laki-laki yang dia berikan uang senang sekali’
los
Adv
323
d.
Osa ne
ua
ne odi
mane
senua lear
Uang REL 3TG beri Prep laki-laki DEF
banyak
‘Uang yang dia berikan untuk laki-laki itu banyak sekali’
los
Adv
Kalimat (8.9a) merupakan kalimat dwitransitif BKm. Kalimat (8.8b)
menunjukkan bahwa subjek gramatikal ua ‘dia’ pada klausa (8.8a) dapat
direlatifkan. Contoh (8.9c) menunjukkan bahwa FN mane senua ‘laki-laki itu’
yang merupakan objek tak langsung pada klausa (8.9a) juga dapat direlatifkan.
Contoh (8.9d) menunjukkan bahwa FN osa ‘uang’ yang merupakan objek
langsung juga dapat direlatifkan.
Kalimat (8.8b--c) dan (8.9b--d) telah memberikan gambaran yang jelas
tentang proses perelatifan yang terjadi pada relasi gramatikal subjek, objek
langsung, dan objek tak langsung pada kalimat ekatranstif dan dwitransitif BKm.
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa BKm dapat merelatifkan
subjek, objek langsung, dan objek tak langsung secara langsung, baik tanpa
menerapkan mekanisme ‘diatesis turunan’ maupun penandaan pada verba.
Pertanyaan yang muncul sekarang apakah BKm dapat merelatifkan relasi oblik?
Berikut disajikan contoh kalimat BKm untuk menggambarkan proses perelatifan
yang terjadi pada relasi oblik.
(8.10) a. Au
tana
atu
1TG
tanam padi Prep
‘Saya menanam padi di sawah’
(8.11)
de
hroe
sawah
b.
Hroe
ne
au
tana etu
boteng los
Sawah
REL 1TG tanam padi luas
Adv
‘Sawah yang saya tanami padi luas sekali’
a.
Ina
la
de
basar na’arua
Ibu
pergi Prep pasar Adv
‘Ibu pergi ke pasar kemarin’
324
(8.12)
(8.13)
(8.14)
(8.15)
b.
Au
tada basar ne
ina
la
na’arua
1TG
tahu pasar REL ibu
pergi Adv
‘Saya tahu pasar yang ibu pergi kemarin’
a.
Mane
senua pege osa
dase dato garang
Laki-laki DEF pinjam uang Prep dusun kepala
‘Laki-laki itu pinjam uang dari kepala dusun’
b.
Ita
nue
dato galang ne
mane senua pege osa
1JM
lihat dusun kepala REL laki-laki DEF pinjam uang
‘Kita lihat kepala dusun yang laki-laki itu pinjami uang’
a.
Au-ng
he-ng
ta
si
odi
1TG-Lig istri-Lig
potong daging Prep
‘Istri saya memotong daging dengan pisau’
b.
Au ala diir anak ne
au-ng
he-ng
ta
si
1TG beli pisau
REL 1TG-Lig istri-Lig potong daging
‘Saya membeli pisau yang istri saya potongi daging’
diir anak
pisau
a. Ama
solok buku odi
ali
Ayah
kirim buku Prep adik
‘Ayah mengirimkan buku untuk adik’
b.
Ali
ne
ama solok buku snang los
Adik
REL ayah kirim buku senang Adv
‘Adik yang ayah kirimkan buku senang sekali’
a.
Roma
mamu tau
uma odi
tumang
galang
3JM
Adv buat rumah Prep tua
adat
‘Mereka semua membuatkan rumah untuk tetua adat’
b.
Au rega tumang galang ne
roma mamu tau
1TG dengar tua
adat
REL 3JM Adv buat
‘Saya mendengar tetua adat yang mereka buatkan rumah’
uma
rumah
Kalimat (8.10a) dan (8.15a) merupakan kalimat BKm yang hadir dengan
relasi oblik. Relasi oblik yang hadir pada kalimat (8.10a) adalah de hroe ‘di
sawah’ yang merupakan relasi oblik yang menyatakan lokasi, kalimat (8.11a)
325
hadir dengan relasi oblik tujuan, yaitu oblik de basar ‘ke pasar’, kalimat (8.12a)
menghadirkan relasi oblik yang ditempati oleh relasi oblik sumber, yaitu dase
dato galang ‘dari kepala dusun’, kalimat (8.13a) hadir dengan relasi oblik
instrumen, yaitu odi diir anak ‘dengan pisau’, kalimat (8.14a) menghadirkan relasi
oblik penerima, yaitu odi ali ‘untuk adik’, dan kalimat (8.15a) hadir dengan relasi
oblik benefaktif odi ina ‘untuk ibu’ (kalimat 8.11a). Kedua relasi oblik odi ali
‘untuk adik’pada kalimat (8.10a) dan odi tumang galang ‘untuk tetua adat’.
Seluruh relasi oblik, baik yang menyatakan lokasi (kalimat 8.10a), tujuan (kalimat
8.11a), sumber (kalimat 8.12a), instrumen (kalimat 8.13a), penerima (kalimat
8.14a), maupun benefaktif (kalimat 8.15a) dapat direlatifkan seperti yang terlihat
pada kalimat (8.10b) dan (8.15b). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
BKm dapat merelatifkan relasi oblik tanpa
secara langsung menggunakan
‘diatesis turunan’ seperti bahasa Bali (lihat Artawa, 1998:86) ataupun penandaan
verba (lihat Givon, 1990:669—670; Artawa, 1998:86 ).
Pembahasan perelatifan di atas menunjukkan bahwa seluruh relasi
gramatikal yang meliputi subjek, objek (langsung dan tak langsung), dan relasi
oblik dalam BKm dapat direlatifkan secara langsung tanpa melalui kiat
‘penurunan diatesis’ atau kiat ‘penandaan verba’. Dengan demikian, BKm dan
bahasa Inggris memiliki persamaan, yaitu dapat merelatifkan semua relasi
gramatikalnya. Kenyataan ini memberikan isyarat bahwa BKm merupakan bahasa
yang bertipologi akusatif secara sintaktis, sama seperti bahasa Inggris yang
merupakan bahasa bertipologi akusatif.
326
8.4 Klausa Purposif Bahasa Kemak
Bagian sebelumnya telah membahas klausa relatif BKm. Selanjutnya
pembahasan dilanjutkan untuk menguraikan klausa purposif
masih dalam
kaitannya dengan kalimat kompleks. Klausa purposif merupakan jenis dari klausa
adverbial. Pembahasan klausa purposif di sini mengacu kepada klausa terikat
(dependent caluse) yang merupakan klausa purposif. Berikut ini disajikan contoh
kalimat kompleks bahasa Inggris yang mengandung klausa purposif (klausa yang
bergaris bawah).
(8.16)
a We went to the
zoo
to
see
elephant
1JM pergi Prep DEF kebun binatang untuk melihat gajah
‘Kita pergi ke kebun binatang untuk melihat gajah’
b. I
want
you
to
speak
1TG ingin
Poss2TG rumah Prep berbicara
‘Saya ingin kamu untuk berbicara bahasa Inggris’
english
Bhs Inggris
Makna yang terkandung dari kedua konstruksi kalimat kompleks di atas
menjelaskan bahwa klausa purposif merupakan klausa yang mengandung
pengertian sebagai klausa bertujuan. Kedua konstruksi kalimat kompleks yang
mengandung klausa purposif tersebut juga mengandung tujuan berbeda. Kalimat
kompleks (8.16a) merupakan kalimat kompleks yang memiliki klausa purposif
yang berorientasi kepada subjek, artinya subjek klausa utama berkoreferensi (coreference) dengan subjek klausa sematan.. Sementara, kalimat kompleks (8.16b)
merupakan kalimat kompleks yang mengandung klausa purposif yang berorientasi
kepada objek, artinya objek pada klausa utama berkoreferensi dengan subjek pada
klausa sematan (lihat Bach, 1982:53; Jones, 1985:105).
327
Untuk mendukung data bahasa Inggris di atas, berikut disajikan data
kalimat kompleks dengan klausa purposif bahasa Nilo-Saharan (kalimat 8.17a)
dan bahasa Ngizim (kalimat 8.17b) yang dikutip dari Andrews (dalam Shopen,
2007: 251).
(8.17) a. Biska
Monguno-ro
lete-ro
tawange
ciwoko
Kemarin Manguno-Prep pergi-Prep Adv(1TG)
bangun(1TG)
‘Kemarin saya bangun lebih awal untuk pergi ke Manguno’
b.
Varu
gaada da
si
sama
keluar
3TG untuk minum bir
‘Dia keluar untuk minum bir’
Untuk mengetahui lebih jauh kalimat kompleks dengan klausa purposif
BKm, mari cermati kalimat kompleks BKm melalui serangkaian contoh yang
disajikan berikut ini.
(8.18) a. Roma
plai [ ]
li’u
pnao-blabag brau metam
3JM
lari
kejar curi-suf
sapi
‘Mereka lari (untuk) mengejar pencuri sapi’
b,
Guru
mamu hali [ ]
nue
au-ng
Guru
Adv pulang
lihat 1TG-Lig
‘Guru semua pulang (untuk) melihat adik saya’
ali-ng
adik-Lig
c.
Atmas
senua mudu [ ]
dale no
ama
Orang
DEF duduk
bicara Prep ayah
‘Orang itu duduk (untuk) berbicara dengan ayah’
d.
Dato
galang
mai
[]
botu
ama Bupati
Dusun
kepala
datang
bertemu
Bapak Bupati
‘Kepala dusun datang (untuk) bertemu Bapak Bupati’
Contoh kalimat (8.17a--d) menunjukkan bahwa klausa-klausa purposif
dalam BKm merupakan adjung (keterangan) dari klausa intransitif yang
merupakan klausa utamanya. Agen klausa purposif yang merupakan satu-satunya
328
argumen muucul secara tersirat ditandai dengan ([ ]) pada contoh kalimat di atas
berkoreferensi(co-reference) dengan subjek klausa utamanya. Agen klausa terikat
tersebut tidak diwujudkan secara nyata.
Selain klausa purposif berfungsi sebagai adjung dari klausa utama
intransitif seperti contoh (8.17a--d) di atas, klausa dengan predikat nonverbal
dapat juga diikuti oleh klausa purposif. Sifat-perilaku agen klausa purposif
tersebut sama dengan yang ada pada (8.17a--d); agen klausa purposif
berkoreferensi (co-reference) dengan subjek klausa utama dengan predikat
nonverbal. Perhatikan contoh-contoh yang disajikan berikut ini
(8.19) a.
Dato
galang de kantor desa [ ] botu
ama Bupati
Dusun
kepala Prep kantor desa
bertemu
Bapak Bupati
‘Kepala dusun ke kantor desa (untuk) bertemu Bapak Bupati’
b.
Ama de hroe [ ]
tana etu
Ayah Prep sawah
tanam padi
‘Ayah ke sawah (untuk) tanam padi’
c.
Ina de basar [ ]
ala
si
ahi
Ibu Prep pasar
beli
daging babi
‘Ibu ke pasar (untuk) membeli daging babi’
d.
Au de Kupang [ ] nue
au-ng
1TG Prep Kupang
lihat 1Tg-Lig
‘Saya ke Kupang (untuk) melihat istri saya’
he-ng
istri-Lig
Kalimat kompleks (8.18a--d) di atas dibangun oleh dua klausa, yatiu
klausa utama ynag merupakan klausa dengan predikat nonverbal dan klausa
sematan yang merupakan klausa transitif. Kalimat kompleks (8.18a--d) di atas
juga memperlihatkan bahwa agen yang merupakan satu-satunya argumen pada
329
klausa utama (klausa intransitif) berkoreferensi (co-reference) dengan agen pada
klausa sematan/bawahan.
Untuk menghubungkan dua klausa, yang salah satu di antaranya klausa
purposif dalam membentuk konstruksi kalimat kompleks, BKm memiliki kata
penghubung (konjungsi) subordinatif yang digunakan berfungsi menghubungkan
klausa utama (induk) dengan klausa purposif, yaitu nuabe ‘supaya’ dan odi
‘untuk’. Kedua konjungsi subordinatif ini mempunyai makna semantis yang sama.
Dibandingkan dengan konjungsi subordinatif odi ‘untuk’, konjungsi subordinatif
nuabe ‘supaya’ lebih jarang digunakan oleh penutur BKm dalam percakapan
sehari-hari, baik percakapan yang bersifat formal maupun nonformal. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan penggunaan konjungsi subordinatif nuabe ‘supaya’ dan odi
‘untuk’ tersebut untuk menunjukkan kalimat kompleks yang mengandung klausa
purposif berikut ini.
(8.20) a. Ama hali de uma nuabe [ ] botu
mloing
Ayah pulang Prep rumah supaya
bertemu bisa
‘Ayah pulang ke rumah supaya bisa bertemu mereka’
roma
3JM
b. Ama hali de uma odi
[ ] botu
mloing
Ayah pulang Prep rumah untuk
bertemu bisa
‘Ayah pulang ke rumah untuk bisa bertemu mereka’
roma
3JM
(8.21) a. Au la de
isikola nuabe [ ] blajar mloing matematika
1TG pergi Prep sekolah supaya
belajar bisa matematika
‘Saya pergi ke sekolah supaya bisa belajar matematika’
b
Au la de
isikola odi [ ] blajar
mloing matematika
1TG pergi Prep sekolah untuk
belajar
bisa matematika
‘Saya pergi ke sekolah untuk bisa belajar matematika’
330
(8.22) a. Atmas senua mai de holang nuabe [ ] sali
mloing ika
Orang DEF datang Prep sungai supaya
tangkap bisa
ikan
‘Orang itu datang ke sungai supaya bisa menangkap ikan’
b. Atmas senua mai de holang odi [ ] sali
mloing
Orang DEF datang Prep sungai Prep tangkap bisa ikan
‘Orang itu datang ke sungai untuk bisa menangkap ikan’
ika
(8.23) a. Roma
mamu ara
nuabe [ ] nue mloing
ama Bupati
3JM
semua berdiri supaya
lihat bisa
bapak Bupati
‘Mereka semua berdiri supaya bisa melihat Bapak Bupati’
b. Roma
mamu ara
odi
[ ] nue mloing
ama Bupati
3JM
semua berdiri Prep
lihat bisa
bapak Bupati
‘Mereka semua berdiri untuk bisa melihat Bapak Bupati’
Kalimat (8.20)--(8.23) merupakan kalimat kompleks BKm
yang
mengandung klausa purposif. Kalimat kompleks dengan klausa purposif BKm di
atas menggunakan dua konjungsi subordinatif, yaitu nuabe ‘supaya’ yang tersaji
pada kalimat (8.20a)--(8.23a) dan konjungsi subordinatif odi ‘untuk’ yang terlihat
pada kalimat (8.20b)--(8.23b). Kalimat kompleks (8.20)--(8.23) dibangun oleh
dua klausa, yaitu klausa utama yang merupakan klausa dengan predikat verba
intransitif dan klausa purposif yang diawali oleh konjungsi subordinatif nuabe
‘supaya’
dan odi ‘untuk’.
Kalimat kompleks (8.20a dan b)--(8.23a dan b)
menunjukkan bahwa argumen ama ‘ayah’ (kalimat (8.20a dan b), au ‘saya’
(kalimat (8.21a dan b), atmas senua ‘orang itu’ (kalimat (8.22a dan b),. dan roma
‘mereka’ (kalimat (8.23a dan b) yang merupakan subjek gramatikal yang secara
semantis sebagai agen menjadi satu-satunya argumen (S) pada klausa utama
berkoreferensi
(co-reference)
dengan
subjek
yang
keberadaannya
tidak
331
ditunjukkan secara nyata pada klausa purposif. Subjek pada klausa purposif
tersebut dihilangkan dan ditandai dengan ([ ]).
Contoh kalimat berikut ini menampilkan kalimat kompleks BKm yang
klausa utamanya merupakan klausa dengan predikat verba transitif dan diikuti
oleh klausa purposif.
(8.24) a. Au
mela
ua
nuabe [ ]
1TG
panggil
3TG supaya
‘Saya panggil dia supaya bisa bicara’
b.
Au
mela
ua
odi
1TG
panggil
3TG Prep
‘Saya panggil dia untuk bisa bicara’
[]
dale mloing
bicara bisa
dale mloing
bicara bisa
(8.25) a. Ama
se’o
ika nuabe [ ]
a
mloing
Ayah
jual
ikan supaya
makan bisa
‘Ayah menjual ikan supaya bisa makan’
b.
Ama
se’o
ika odi
[]
a
mloing
Ayah
jual
ikan Prep
makan bisa
‘Ayah menjual ikan untuk bisa makan’
(8.26) a. Ita ne podi ua
osa
nuabe
[ ] ala
1JM beri APL 3TG uang aupaya
beli
Kita memberikan dia uang supaya bisa beli baju’
b.
Ita ne podi ua
osa
odi
[ ] ala
1JM beri APL 3TG uang Prep
beli
Kita memberikan dia uang untuk bisa beli baju’
mloing baru
bisa
baju
mloing baru
bisa
baju
(8.27) a. Ina ala podi ali
buku nuabe [ ] baca
Ibu beli APL adik buku supaya
baca
‘Ibu membelikan adik buku supaya bisa membaca’
mloing
bisa
b. Ina ala podi ali
buku odi [ ]
baca
Ibu beli APL adik buku Prep
baca
‘Ibu membelikan adik buku untuk bisa membaca’
mloing
bisa
332
Kalimat (8.24)--(8.27) merupakan kalimat
kompleks BKm
yang
mengandung klausa purposif. Sama seperti kalimat kompleks (8.20)--(8.23),
kalimat kompleks yang mengandung klausa purposif BKm di atas menggunakan
dua
konjungsi subordinatif, yaitu nuabe ‘supaya’ yang tersaji pada kalimat
(8.24a)--(8.27a) dan konjungsi subordinatif odi ‘untuk’ yang terlihat pada kalimat
(8.24b)--(8.27b), Berbeda dengan kalimat kompleks (8.20)--(8.23) yang dibangun
oleh klausa dengan predikat verba intransitif untuk klausa utamanya, kalimat
kompleks (8.24)--(8.27) dibangun oleh klausa dengan predikat verba transitif
untuk klausa utamanya.
Jika dicermati lebih jauh, terdapat perbedaan antara kalimat kompleks
(8.24) dan (8.25) dengan kalimat kompleks (8.26) dan (8.27). Perbedaannya
terletak pada koreferensia antara argumen pada klausa utama dan argumen pada
klausa purposif. Kalimat kompleks (8.24) dan (8.25) memperlihatkan bahwa
argumen au ‘saya’ (klausa (8.24a dan b) dan ama ‘ayah’ (klausa 8.25a dan b)
yang berfungsi sebagai subjek gramatikal dan merupakan agen secara semantis
berkoreferensi (co-reference) dengan subjek klausa purposif. Sementara, kalimat
kompleks (8.26) dan (8.27) memperlihatkan bahwa
bukan subjek yang
berkoreferensi pada klausa utama dengan subjek pada klausa purposif, melainkan
argumen yang berfungsi sebagai objek (tak langsung) pada klausa utama, yaitu ua
‘dia’ (kalimat 8.26) dan ali ‘adik’ (kalimat (8.27) berkoreferensi (co-reference)
dengan subjek pada klausa purposif. Subjek klausa purposif, baik pada kalimat
kompleks (8.24) dan (8.25) maupun pada kalimat kompleks (8.26) dan (8.27)
dapat dilesapkan karena berkoreferensi (co-reference) dengan salah satu argumen
333
pada klausa utama atau dapat dikatakan hadir secara tersirat dan ditandai dengan
([ ]). Dengan demikian, kalimat kompleks (8.24) dan (8.25) memiliki orientasi
subjek, artinya subjek klausa utama berkoreferensi dengan subjek klausa purposif.
Sementara kalimat kompleks (8.26) dan (8.27) memiliki orientasi objek, artinya
objek klausa utama berkoreferensi dengan subjek klausa purposif.
8.5 Klausa Alasan (Reason Clause)
Dua bagian sebelumnya telah membahas klausa relatif dan klausa purposif
BKm. Pembahasan berikutnya menjelaskan klausa alasan (reason clause) terkait
erat dengan kalimat kompleks. Klausa alasan (reason clause) merupakan tipe dari
klausa adverbial subordinasi. Pembahasan klausa alasan (reason clause) mengacu
kepada klausa terikat (dependent clause). Maksudnya klausa alasan merupakan
klausa bawahan yang merupakan bagian dari klausa utama untuk membentuk
kalimat kompleks. Berikut ini disajikan contoh data kalimat kompleks bahasa
Inggris yang mengandung klausa alasan (reason clause).
(8.28) a. Mark go there
because he want to
meet
him
Mark pergi ke sana karena 3TG ingin Prep bertemu Poss 3TG
‘Mark pergi ke sana karena dia ingin bertemu dia’
b. John like Mary because he
knew Mary
for
John suka Mary karena 3TG tahu
MAry Prep lama
‘John menyukai Mary karena dia kenal Mary sejak lama’
long
Klausa yang bergaris bawah di atas merupakan klausa alasan dalam bahasa
Inggris. Kedua klausa yang membentuk kalimat kompleks bahasa Inggris tersebut
menggunakan konjungsi subordinatif because ‘karena’.
334
Untuk mengetahui lebih jauh perilaku kalimat kompleks BKm yang
dibangun oleh klausa utama dan klausa bawahan yang merupakan klausa alasan
(reason clause), perhatikan contoh kalimat kompleks BKm berikut ini.
(8.29)
a. Ama
sirbisu
de
kota pita [ ] e
ala uma
Ayah
bekerja
Prep kota karena
ingin beli rumah
‘Ayah bekerja di kota karena ingin beli rumah’
b. Au
tutu ua
pita [ ]
pnau
1TG
pukul 3TG karena
curi
‘Saya pukul dia karena mencuri uang saya’
au-ng
1TG-Lig
osa
uang
c. Hine koet senua ala baru pita [ ] e
la
de pesta
Wanita cantik DEF beli baju karena ingin pergi Prep pesta
‘Wanita cantik itu membeli baju karena ingin pergi ke pesta’
Kalimat (8.29) merupakan kalimat kompleks yang dibangun oleh klausa
utama yang merupakan klausa intransitif (kalimat 8.29a) dan klausa transitif
(kalimat 8.29a dan b) dan klausa alasan yang ditandai oleh kehadiran konjungsi
subordinatif pita ‘karena’. Pada kalimat (8.29a), subjek klausa utama ama ‘ayah’,
yang merupakan satu-satunya argumen S berkoreferensi (co-reference) dengan
argumen subjek pada klausa sematan/bawahan yang ditempati oleh klausa alasan.
Argumen subjek pada klausa alasan dapat dilesapkan karena argumen tersebut
berkoreferensi dengan argumen subjek pada klausa utama. Klausa (8.29b)
merupakan kalimat kompleks yang dibangun oleh klausa utama yaang ditempati
klausa transitif dan klausa sematan/bawahan yang merupakan klausa alasan.
Objek klausa utama ua ‘dia’ pada kalimat (8.29b) berkoreferensi dengan subjek
klausa alasan dan dapat dilesapkan karena argumen tersebut berkoreferensi
dengan argumen objek pada klausa utama. Kalimat kompleks (8.29c)
menunjukkan bahwa argumen subjek hine koet senua ‘wanita cantik itu’ pada
335
klausa utama yang ditempati oleh klausa transitif berkoreferensi dengan subjek
pada klausa sematan/bawahan yang ditempati oleh klausa alasan.
8.6 Klausa Pemerlengkap
Klausa pemerlengkap (complement clause) adalah klausa yang merupakan
argumen sebuah predikat, khususnya berfungsi sebagai subjek atau sebagai objek
langsung (lihat Whaley, 1997:255). Pendapat Whaley (1997) senada dengan
pendapat Noonan (2007). Noonan (dalam Shopen, 2007: 52) berpendapat bahwa
klausa komplemen merupakan sebuah situasi sintaksis yang muncul
ketika
sebuah predikasi menjadi argumen dari predikat. Sebuah predikasi dapat dilihat
sebagai argumen predikat apabila berfungsi sebagai subjek atau objek dari
predikat. Berikut diberikan contoh klausa pemerlengkap bahasa Inggris yang
predikasinya merupakan argumen subjek predikat dan argumen objek predikat
(dikutip dari Noonan dalam Shopen, 2007: 52).
(8.30)
a. That eliot entered the room annoted Floyd
‘Elliot masuk ruangan mengganggu Floyd’
b. Zeke remembered that Nell left
Zeke ingat bahwa Nell pergi’
Klausa pemerlengkap pada (8.30a) merupakan subjek dari klausa
kompleks secara keseluruhan dan pada (8.30b) berfungsi sebagai objek. Lebih
lanjut, Whaley (1997) menyatakan bahwa pemerlengkap itu tidak selalu berwujud
sebagai klausa utuh, tetapi dapat pula muncul sebagai frasa yang diinduki oleh
bentuk-bentuk verba tak terbatas, seperti infinitif dan partisipel. Contoh berikut
336
menggambarkan klausa pemerlengkap dalam bahasa Inggris yang diinduki oleh
verba tak terbatas (infinitif dan partisipel) (dikutip dari Whaley, 1997:255).
(8.31)
a.
Knowing the answer makes taking the exam easier.
‘Mengetahui jawabannya membuat mudah dalam mengikuti ujian’
b.
I want him to leave.
‘Saya ingin dia pergi’
Contoh (8.31a) menunjukkan bahwa pemerlengkap muncul sebagai
infinitif, sementara contoh (8.31b) menunjukkan bahwa pemerlengkap muncul
sebagai partisipel. Lebih lanjut, Noonan (dalam Shopen, 2007: 52--53)
mengungkapkan bahwa satu bahasa memiliki bentuk klausa komplemen tersendiri
yang mungkin sama atau berbeda dengan bahasa yang lain. Misalnya, bahasa
Inggris memiliki empat jenis klausa komplemen, yaitu (1) klausa dengan that , (2)
infinitif, (3) gerund, dan (4) klausa partisipel. Keempat jenis klausa komplemen
bahasa Inggris tersebut tersaji pada contoh berikut.
(8.32)
a. That Eliot entered the room annoted Floyd (that clause)
‘Elliot masuk ruangan mengganggu Floyd’
b. Eliot entering the room annoyed Floyd (gerund)
Eliot memasuki ruangan mengganggu Floyd’
c. For Eliot to enter the room would annoy Floyd (infinitif)
‘Eliot masuk ruangan akan mengganggu Floyd’
d. I saw Eliot entering the room annoyed floyd
‘Saya lihat Eliot masuk ruangan mengganggu Floyd’
Perlu diketahui bahwa tidak semua klausa yang dilekatkan atau
ditempelkan (embedded clause) merupakan klausa komplemen. Klausa relatif,
klausa purposif, klausa alasan, dan lainnya tidak dapat dikatakan sebagai klausa
337
komplemen karena klausa-klausa tersebut tidak merupakan
argumen dari
predikat. Contoh di atas menunjukkan bahwa secara umum terdapat dua
mekanisme utama yang digunakan menandai (klausa) pemerlengkap, yaitu dengan
pemakaian penanda pemerlengkap (partikel subordinasi), seperti contoh (8.30 a
dan b) dan dengan pemakaian bentuk verba tak terbatas, seperti contoh (8.31a dan
b). Umumnya, kedua mekanisme tersebut diturunkan secara lintas-bahasa (lihat
Whaley, 1997: 256). Di samping kedua mekanisme tersebut, kalimat kompleks
dengan klausa pemerlengkap dapat pula dijumpai dengan penyematan berganda.
Dalam bahasa Inggris, misalnya, kalimat kompleks berikut ini mempunyai klausa
pemerlengkap berganda (Whaley 1997: 255).
(8.33)
I want [to believe [that you are right]].
‘Saya ingin memercayai bahwa kamu benar’
Pembahasan klausa pemerlengkap BKm dikhususkan untuk mencermati
perilaku klausa tak terbatas yang ditandai dengan pemakaian bentuk verba tak
terbatas yang berfungsi sebagai pemerlengkap predikat yang lebih tinggi (predikat
klausa induk). Pembahasan ini bertujuan untuk memeroleh perilaku gramatikal
kalimat kompleks yang tidak ditandai oleh konjungsi subordinatif (pembahasan
kalimat kompleks dengan penanda konjungsi subordinatif (REL) telah disajikan
pada bagian sebelumnya). Terkait dengan klausa pemerlengkap, Artawa (1998:92)
mengungkapkan bahwa pemakaian verba tak terbatas ini dapat dikelompokkan
menjadi tiga jenis, yaitu jenis pemerlengkap dengan kelompok verba ‘ingin’
(selanjutnya disebut verba jenis ‘ingin’), jenis pemerlengkap dengan kelompok
verba ‘tahu’ (selanjutnya disebut verba jenis ‘tahu’), dan jenis pemerlengkap
dengan kelompok verba ‘mengatakan’ (selanjutnya disebut verba jenis
338
‘mengatakan’). Ketiga jenis klausa pemerlengkap tersebut diuraikan secara lebih
terperinci sebagai berikut.
8.6.1
Verba Jenis ‘ingin’
Seperti umumnya bahasa-bahasa di dunia, BKm juga memiliki verba e
yang bermakna ‘ingin’ atau ‘mau’ dan verba ber yang bermakna ‘suka’.
Perhatikan contoh berikut untuk mengetahui lebih jauh kalimat kompleks yang
mempunyai klausa pemerlengkap yang ditandai dengan hadirnya verba bermakna
‘ingin/mau’ dan suka’.
(8.34) a. Attnas
senua
Orang
DEF
‘Orang itu ingin pulang’
e
[]
ingin
b. Ua
e
[]
mela
3TG
ingin
panggil
‘Dia ingin memanggil saya’
c. Ua
e
[}
3TG
ingin TOP
‘Dia ingin saya panggil’
au
1TG
hali
pulang
au
1TG
mela
panggil
(8.35) a. Mane
senua e
[ ] la de
Kupang
Lak0’laki DEF ingin
pergi Prep Kupang
‘Laki-laki itu ingin pergi ke Kupang’
b. O
e
[]
eto
mane koet senua\
2TG
ingin
lihat wanita cantik DEF
‘Engkau ingin melihat wanita cantik itu’
c. O
e
[]
hine koet senua eto
2TG
ingin TOP wanita cantik DEF lihat
“Engkau ingin wanita cantik itu lihat’
339
(8.36) a. Roma
ber
[]
3JM
suka
‘Mereka suka menari’
huri
menari
b. Roma
ber
tutu [ ]
pnaoblabag
3JM
suka pukul
pencuri
‘Mereka suka memukul pencuri itu’
c. Roma
ber
[]
pnaoblabag
3JM
suka TOP pencuri
‘Mereka suka pencuri pukul’
(8.37) a Au-ng
ina-ng
1TG-Lig ibu-Lig
‘Ibu saya suka tidur’
tutu
pukul
ber
suka
[]
bue
tidur
b Au-ng
ali-ng
ber
1TG-Lig adik-Lig
suka
‘Adik saya suka melihat ibu’
[]
eto
lihat
ina
ibu
c. Au-ng
ali-ng
ber
1TG-Lig adik-Lig
suka
‘Adik saya suka ibu lihat’
[]
TOP
ian
ibu
eto
lihat
Contoh (8.34a) dan (8.35a) adalah kalimat kompleks BKm dengan verba
bermakna ‘ingin’ yang dibangun oleh klausa induk dan klausa pemerlengkap
dalam bentuk klausa intransitif. Apabila dicermati lebih jauh, S klausa
pemerlengkap (klausa intransitif) yang berkoreferensi dengan S klausa induk
(klausa intransitif), yaitu atmas senua ‘otang itu’ (kalimat 8.34a) dan mane senua
‘wanita itu’ (kalimat 8.35a). Subjek klausa pemerlengkap (klausa intransitif)
tersebut dapat dihilangkan dan ditandai dengan ([ ]). Sementara, kalimat kompleks
(8.34b) dan (8.35b) juga merupakan kalimat kompleks yang dipredikati oleh verba
bermakna ‘ingin’. Kalimat kompleks tersebut dibangun oleh klausa induk (klausa
intransitif) dan klausa pemerlengkap (klausa transitif). Perbedaannya, klausa
340
pemerlengkap (8.34a) dan (8.35a) merupakan klausa intransitif, sedangkan klausa
pemerlengkap (8.34b) dan (8.35b) merupakan klausa transitif. S yang merupakan
agen klausa pemerlengkap berkoreferensi dengan S satu-satunya argumen pada
klausa induk, yaitu ua ‘dia’ (kalimat 8.34b) dan o ‘engkau’ (kalimat 8.35b).
Kalimat kompleks (8.34c) dan (8.35c) merupakan kalimat kompleks yang
dibangun oleh klausa induk dan klausa
pemerlengkap. P klausa terikat
berkoreferensi dengan S klausa induk, yaitu ua ‘dia’ (kalimat 8.34c)
dan o
‘engkau’ (kalimat 8.35c). Konstruksi ini dimungkinkan terjadi melalui mekanisme
penopikalan
Kalimat (8.36a) dan (8.37a) merupakan kalimat kompleks BKm dengan
verba bermakna ‘suka’ yang dibangun oleh klausa induk dan klausa
pemerlengkap. S klausa pemerlengkap berkoreferensi dengan S klausa induk,
yaitu roma ‘mereka’ (kalimat 8.36a) dan aung inang ‘ibu saya’ (kalimat 8.37a).
Subjek pada klausa pemerlengkap dihilangkan dan ditandai dengan ([ ]) .
Sementara, kalimat (8.36b)
dan (8.37b) yang juga dipredikati oleh verba
bermakna ‘suka’ dibangun oleh klausa induk (klausa intransitif) dan klausa
pemerlengkap (klausa transitif). Perbedaannya, klausa pemerlengkap (8.36a) dan
(8.37a) merupakan klausa intransitif, sedangkan klausa pemerlengkap (8.36b) dan
(8.37b) merupakan klausa transitif. S yang merupakan agen klausa pemerlengkap
berkoreferensi dengan S satu-satunya argumen pada klausa induk, yaitu au ‘saya’
(kalimat 8.36b) dan aung aling ‘adik saya’ (kalimat 8.37b). Kalimat kompleks
(8.36c) dan (8.37c) merupakan kalimat kompleks dengan verba ‘suka‘. Kalimat
kompleks tersebut
dibangun oleh klausa induk dan klausa pemerlengkap. P
341
klausa terikat berkoreferensi dengan S klausa induk. Hal ini dimungkinkan terjadi
melalui mekanisme penopikalan. Contoh kalimat (8.34)--(8.37) di atas
menunjukkan bahwa baik subjek maupun objek pada klausa pemerlengkap dapat
berkoreferensi dengan subjek klausa induk, yaitu ua ‘dia’ (kalimat 8.34b dan c), o
‘engkau’ (kalimat 8.35b dan c), roma ‘mereka’ (kalimat 8.36b dan c), dan aung
aling ‘adik saya’ (kalimat 8.37b dan c).
8.6.2
Verba Jenis ‘tahu’
BKm juga memiliki verba yang dapat dikelompokkn ke dalam verba jenis
‘tahu’, yaitu tada ‘tahu’, eto ‘lihat’, rega ‘dengar’, dan hanoing ‘pikir. Perilaku
gramatikal kalimat kompleks dengan verba klausa pemerlengkap bermakna ‘tahu’
dapat dicermati melalui contoh yang disajikan berikut ini.
(8.38) a. Au tada au-ng
ali-ng [ ]
1TG tahu 1TG-Lig
adik-Lig
‘Saya tahu bahwa adik saya pulang’
hali
pulang
b. Ina tada ama
[]
tutu atmas senua
Ibu tahu ayah
pukul orang DEF
‘Ibu tahu ayah memukul orang itu
(8.39) a. Roma
rega dato galang [ ]
mnahu dase
3JM
dengar dusun kepala
jatuh Prep
‘Mereka mendengar kepala dusun jatuh dari pohon’
b. Ua rega
mane
senua [ ]
3TG dengar
lak-laki
DEF
‘Dia mendengar laki-laki itu mencuri sapi’
Kalimat
(8.38a)
memperlihatkan
bahwa
pnao
curi
S
klausa
ai
pohon
brau
sapi
pemerlengkap
berkoreferensi dengan O atau P klausa induk, yaitu aung aling ‘adik saya’.
342
Kalimat (8.38b) menunjukkan bahwa subjek atau agen klausa pemerlengkap
berkoreferensi dengan P klausa induk, yaitu ama ‘ayah’. Perilaku yang sama juga
ditunjukkan oleh kalimat (8.39a) dan kalimat (8,39b). Subjek klausa
pemerlengkap pada kalimat (8.39a) berkoreferensi dengan O atau P klausa induk,
yaitu dato galang ‘kepala desa’. Kalimat (8.39b) menunjukkan bahwa subjek atau
agen klausa pemerlengkap berkoreferensi dengan pasien klausa induk, yaitu mane
senua ‘laki-laki itu’
Contoh kalimat yang disajikan di atas mrnunjukkan bahwa kalimat
kompleks dengan klausa pemerlengkap berpredikat verba jenis ‘tahu’ memiliki
perilaku gramatikal yang berbeda dengan perilaku yang diperlihatkan oleh klausa
pemerlengkap yang berverba jenis ‘ingin’. Apabila klausa pemerlengkapnya
berverba jenis ‘tahu’, maka S atau subjek klausa pemerlengkap tersebut
berkoreferensi dengan O atau P klausa induk (kalimat 8.38 dan 8.39). Sementara
itu, apabila klausa pemerlengkapnya berverba jenis ‘ingin’, maka S atau subjek
klausa pemerlengkap tersebut berkoreferensi dengan S klausa induk (kalimat
8.34b--8.37b) dan S atau subjek klausa pemerlengkap dapat berkoreferensi dengan
P pada klausa induk melalui mekanisme penopikalan (kalimat 8.34c--8.37c)
8.6.3
Verba Jenis ‘mengatakan’
Verba-verba yang termasuk verba jenis ‘mengatakan’ atau ‘berkata’ dalam
BKm,
seperti
verba
adalah
tugu
‘bertanya,
boi
‘berkata’,
obriga
‘paksa/memaksa’, dan tau ‘buat/membuat. Untuk mengetahui lebih jauh perilaku
343
gramatikal klausa pemerlengkap dengan verba jenis ‘mengatakan’. Perhatikanlah
contoh kalimat kompleks BKm berikut ini.
(8.40) a. Ua
obriga au
[]
semai dase
3TG
paksa 1TG
keluar Prep
‘Dia memaksa saya keluar dari rumah itu’
b.
(8.41) a.
b.
uma senua
rumah DEF
Dato
galang obriga ita
[]
selo bea
rae
Dusun
kepala paksa 1JM
bayar pajak tanah
“Kepala dusun memaksa kita membayar pajak tanah’
Atmas
senua tau
au-ng
Orang
DEF buat 1TG-Lig
‘Orang itu membuat adik saya jatuh’
ali-ng
adik-Lig
[]
Mane
senua tau
ana
senua [ ]
pnao
Laki-laki DEF buat anak DEF
mencuri
‘Laki-laki itu membuat anak itu mencuri uang’
mnahu
jatuh
osa
uang
Kalimat (8.40a) dan (8.41a) merupakan kalimat kompleks yang dibangun
oleh klausa pemerlengkap (klausa intransitif) dan klausa induk (klausa intransitif).
S klausa pemerlengkap, yaitu au ‘saya’ (kalimat 8.40a) dan aung aling ‘adik saya’
(8.41a), berkoreferensi dengan P klausa induk,.Perilaku gramatikal yang sama
juga terlihat pada kalimat (8.40b) dan (8.41b).
8.7 Temuan Penelitian
Dalam bab ini telah dibahas sejumlah konstruksi kalimat kompleks yang
meliputi perelatifan, klausa purposif, kalusa alasan dan klausa pemerlengkap.
Pembahasan tentang konstruksi kalimat kompleks pada bab ini terkait dengan
pembahasan pada bab-bab sebelumnya terutama terkait dengan pemabahsan
struktur klausa mengingat kalimat kompleks dibangun oleh gabungan klausa.
344
Beberapa temuan penelitian terkait dengan pembahasan kalimat kompleks BKm
disajikan berikut ini.
1.
Penelaahan perelatifan BKm didasarkan pada pendekatan hierarki relasi
gramatikal, yakni hierarki ketercapaian (accessibility hierarchy).
2.
Pembahasan perelatifan di atas menunjukkan bahwa seluruh relasi gramatikal
yang meliputi subjek, objek (langsung dan tak langsung), dan relasi oblik
dalam BKm dapat direlatifkan secara langsung tanpa melalui kiat ‘penurunan
diatesis’ atau kiat ‘penandaan verba’. Dengan demikian, BKm dan bahasa
Inggris memiliki persamaan, yaitu dapat merelatifkan semua relasi
gramatikalnya. Kenyataan ini memberikan isyarat bahwa BKm merupakan
bahasa yang bertipologi akusatif secara sintaktis, sama seperti bahasa Inggris
yang merupakan bahasa bertipologi akusatif.
3.
Kata
penghubung
(konjungsi)
subordinatif
yang
digunakan
untuk
menghubungkan klausa utama (induk) dengan klausa purposif dalam BKm
adalah nuabe ‘supaya’ dan odi ‘untuk’. Klausa purposif BKm merupakan
adjung (keterangan) dari klausa intransitif yang merupakan klausa utamanya.
Agen klausa purposif yang merupakan satu-satunya argumen yang muucul
secara tersirat ditandai dengan ([ ]) dan berkoreferensi (co-reference) dengan
subjek klausa utamanya.
4.
Agen yang merupakan satu-satunya argumen klausa utama yang merupakan
klausa intransitif berpredikat nonverbal berkoreferensi (co-reference) dengan
agen pada klausa purposif..
345
5.
Terkait dengan kalimat kompleks yang dibangun oleh klausa utama klausa
transtitif dan klausa purposif dapat dikemukakan bahwa klausa-klausa
purposif dalam BKm merupakan adjung (keterangan) dari klausa intransitif
yang merupakan klausa utamanya. Agen klausa purposif yang merupakan
satu-satunya argumen muucul secara tersirat ditandai dengan ([ ]) pada
contoh kalimat di atas berkoreferensi (co-reference) dengan subjek klausa
utamanya. Subjek klausa purposif dapat berkoreferensi, baik dengan subjek
klausa utama maupun objek klausa utama. Hal ini sangat tergantung pada
verba yang menempati fungsi predikat klausa tersebut.
6.
Kalimat kompleks dengan klausa alasan menggunakan konjungsi subordinatif
pita ‘karena’. Objek klausa alasan dapat berkoreferensi, baik dengan subjek
klausa utama maupun objek klausa utama. Hal ini sangat ditentukan oleh
verba yang menempati posisi predikat kalimat kompleks tersebut.
7.
Perilaku gramatikal klausa pemerlengkap ditunjukkan dengan hadirnya verba
tak-terbatas. Verba tak-terbatas tersebut berfungsi sebagai pemerlengkap
predikat yang lebih tinggi. Verba tak-terbatas yang menandai klausa
pemerlengkap BKm dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu verba
jenis ‘ingin’, verba jenis ‘tahu’, dan verba jenis ‘mengatakan’.
8.
Kalimat kompleks dengan klausa pemerlengkap berpredikat verba jenis ‘tahu’
memiliki perilaku gramatikal
yang berbeda dengan perilaku
yang
diperlihatkan oleh klausa pemerlengkap yang berverba jenis ‘ingin’. Apabila
klausa pemerlengkapnya berverba jenis ‘tahu’, maka S atau subjek klausa
pemerlengkap tersebut berkoreferensi dengan O atau P klausa induk.
346
Sementara itu, apabila klausa pemerlengkapnya berverba jenis ‘ingin’, maka
S atau subjek klausa pemerlengkap tersebut berkoreferensi dengan S klausa
induk dan S atau subjek pemerlengkap dapat pula berkoreferensi dengan P
klausa induk melalui mekanisme penopikan
9.
Pada klausa pemerlengkap dengan verba jenis ‘mengatakan’, S klausa
pemerlengkapnya berkoreferensi dengan P klausa induk.
BAB IX
TIPOLOGI SINTAKSIS BAHASA KEMAK
9.1 Pengantar
Bab-bab sebelumnya telah menguraikan tiga pokok bahasan terkait dengan
penentuan tipologi sintaksis BKm yang meliputi pembahasan struktur dasar dan
kaidah struktur dasar, valensi verba, dan kalimat kompleks BKm. Terkait dengan
pembahasan struktur dasar juga telah diuraikan tentang peran dan relasi
gramatikal dan predikasi BKm. Pembahasan pada bab ini bertitik tolak pada
pokok masalah terakhir, yaitu penentuan tipologi sintaksis berdasarkan aliansi
gramatikal yang dimiliki BKm.
Pembahasan pada bab ini diawali dengan pemaparan teoretis terkait
dengan tipologi linguistik, ergatif, dan akusatif. Pembahasan berikutnya
dilanjutkan dengan menguraikan satuan-satuan dasar sintaksis-semantis semesta.
Selanjutnya, uraian tentang konstruksi sintaksis BKm yang meliputi konstruksi
dengan verba tak terbatas, pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatif, dan
konstruksi subordinatif. Pembahasan berikutnya
menguraikan sistem aliansi
gramatikal BKm. Kemudian dilanjutkan dengan membahas diatesis BKm. Bab ini
ditutup dengan menyajikan beberapa temuan terkait dengan pembahasan tipologi
sintaksis BKm.
9.2 Ergatif dan Akusatif
Kajian
tentang
mengelompokkan
tipologi
bahasa-bahasa
linguistik
di
dunia
347
utamanya
terkait
bertujuan
dengan
untuk
sifat-perilaku
348
strukturalnya. Comrie (1988); Artawa (1998: 127); Artawa (2000: 487—489)
mengungkapkan bahwa terdapat dua asumsi penting terkait dengan tipologi
linguistik, yaitu (1) bahasa-bahasa diduga dapat dibandingkan antara satu dan
yang lainnya dalam hal strukturnya, (2) asumsi tipologi linguistik menyatakan
bahwa bahasa-bahasa memiliki perbedaan. Asumsi pertama mengisyaratkan
bahwa bahasa memiliki sifar-perilaku semesta (universal) yang digunakan sebagai
dasar perbandingan sehingga kajian tipologi linguistik dikatakan berjalan
berdampingan dengan kajian kesesmestaan bahasa (langauge universality).
Asusmi kedua mengisyaratkan bahwa jika bahasa-bahasa tidak memiliki
perbedaan, maka bahasa-bahasa tersebut dapat dikelompokkan menjadi satu
kelompok yang sama (lihat juga Comrie, 1983: 30—32; Mallinson and Blake,
1981:4—5).
Setiap bahasa di dunia memiliki sifat perilaku yang dapat dijadikan
sebagai dasar tipologi linguistik. Utamanya, kajian tipologi linguitik ditujukan
untuk mencari sifat-perilaku yang signifikan sehingga dapat dijadikan sebagai
dasar penafsiran sifat perilaku yang lainnya. Artawa (1998:128) mengungkapkan
bahwa terdapat dua istilah yang sering digunakan untuk mengelompokkan bahasa,
yaitu ergatif dam akusatif. Terkait dengan istilah tersebut, terdapat tiga tataran
yang berbeda, yaitu morfologis, sintaksis, dan wacana. Sebuah bahasa dikatakan
ergatif secara morfologis jika bahasa tersebut memiliki pemarkah yang sama pada
pasien verba transitif dengan subjek verba intranstif (S), tetapi memiliki pemarkah
yang berbeda pada agen verba transtitif. Sementara, sebuah bahasa dikatakan
akusatif secara morfologis apabila agen verba transitif dimarkahi sama dengan
349
subjek pada verba intransitif (S), tetapi dimarkahi berbeda dengan pasien pada
verba transitif (lihat Comrie, 1998: 124—127; Artawa, 1995: 59—62; Paine,
1997: 133—139; Whaley, 1997: 155—160; Song, 2001: 140--145).
Lebih jauh, Artawa (1998:127—128) mengungkapkan bahwa bahasa
Inggris merupakan salah satu bahasa yang secara jelas merupakan bahasa yang
bertipe akusatif. Hal ini ditunjukkan dengan kasus, persesuaian, dan tata urutan
kata yang menunjukkan bahwa A (agen) verba transitif dimarkahi sama dengan
subjek verba intransitif. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh klausa berikut
untuk menunjukkan bahwa bahasa Inggris tergolong bahasa akusatif.
(9.1) a.
b.
She (S) walks
3TG
jalan
‘Dia berjalan’
She (A) calls
3TG
panggil
‘Dia memanggilnya’
him (P)
3TGOBJ
Contoh klausa bahasa Inggris (9.1) tersebut memerlihatkan bahwa subjek
verba intransitif (S) pada klausa (9.1a) sama dengan agen (A) verba transitif
(klausa 9.1a), tetapi berbeda dari pasien (P) verba transitif klausa (9.1b). A dan S
terjadi dalam kasus nominatif, sementara P terjadi pada kasus akusatif. Apabila
dicermati lebih jauh, baik A (agen) verba tramsitif
maupun S subjek verba
intransitif menempati posisi yang sama, berada sebelum atau mendahului verba
(praverbal).
Satu bahasa dapat dikelompokkan ke dalam bahasa ergatif secara sintaksis
apabila bahasa tersebut memberikan perlakuan yang sama antara S dan P, tetapi
memberikan perlakuan yang berbeda terhadap A.
Ahli tipologi menyatakan
350
bahwa terdapat bahasa yang secara ergatif morfologis, tetapi tidak memiliki
ergatif secara sintaksis. Para ahli menduga bahwa tidak terdapat bahasa yang
ergatif sepenuhnya, baik ergatif dalam tataran sintaksis maupun ergatif dalam
tataran morfologis. Dugaan tersebut ternyata kurang tepat karena seperti
diungkapkan Dixon (1979), bahasa Dyirbal yang merupakan salah satu bahasa
yang hidup di Australia, tapatnya di wilayah timur laut Queensland adalah bahasa
yang bertipe ergatif. Ciri keergatifan bahasa Dyirbal ditunjukkan dengan
memperlihatkan bahwa semua operasi sintaksis utama perelatifan dan
pemerlengkapan memberikan perlakuan yang sama terhadap S dengan P, tetapi
memberikan perlakuan berbeda terhadap A.
Lebih jauh, Dixon (1979)
mengungkapkan bahwa dua klausa dalam bahasa Dyirbal dapat dikoordinasikan
jika FN ‘umum’ berada dalam fungsi S atau P pada setiap klausa. FN yang berada
pada klausa kedua biasanya dilesapkan dan keseluruhan konstruksi dua klausa
tersebut dapat terdiri atas
satu kelompok intonasi. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan contoh kalimat bahasa Dyirbal yang dikutip oleh Artawa (1998:128)
dari Dixon (1989).
(9.2)
Marri
janinggu bura-n
Meri-ABS(P) John-ERG(A) melihat-NONFUT
John melihat Meri dan Meri duduk’
nyina-nyu
duduk-NONFUT
Contoh kalimat (9.2) di atas hanya memiliki makna ‘John melihat Meri dan
Meri duduk’. Bahasa Dyirbal menunjukkan bahwa FN verba intransitif (S) tidak
pernah diungkapkan karena telah dilesapkan. Pelesapan ini terjadi karena S verba
intransitif berkoreferensi dengan P verba transitif pada klausa utama/induk.
Kalimat (9.2) tersebut menunjukkan bahwa bahasa Dyirbal merupakan bahasa
351
yang membolehkan pelesapan sebuah FN dalam klausa yang dikoordinasikan
(klausa terikat) jika FN tersebut persis sama dengan FN klausa utama/induk. Di
samping itu, jika FN berfungsi sebagai S atau P pada setiap klausa tersebut.
Dengan demikian, bahasa Dyirbal dikategorikan sebagai bahasa yang bertipe
ergatif secara sintaksis.
Berdasarkan contoh kalimat yang disajikan sebelumnya, telah jelas
ditunjukkan bahwa bahasa ergatif secara sintaksis (bahasa Dyirbal) berbeda
dengan bahasa akusatif secara sintaksis (bahasa Inggris). Bahasa akusatif secara
sintaksis (bahasa Inggris) menunjukkan bahwa FN yang dilesapkan pada klausa
kedua (klausa terikat) sama dengan FN subjek (A) verba transitif klausa
utama/induk. Cermati contoh kalimat berikut.
(9.3) Bill saw
Lucy and sat down
Bill melihat Lucy dan
duduk’
‘Bill melihat Lucy dan (Bill) duduk’
9.3 Satuan-Satuan Dasar Sintaksis-Semantis Semesta
Sebelum membahas lebih lanjut tentang konstruksi sintaksis BKm untuk
menentukan tipologi linguistiknya, maka perlu diuraikan mengenai satuan-satuan
dasar (premitives) sintaksis-semantis semesta (universal). Satuan-satuan dasar
sintaksis-semantis semesta yang digunakan untuk penentuan tipologi linguistik
BKm mengacu kepada satuan-satuan dasar sintaksis-semantis yang dikemukakan
oleh Dixon (1994) khususnya terkait dengan pivot dan konsep lain yang terkait
dengannya. Dixon (1994: 111) menambahkan bahwa terjadi kebingungan dalam
menentukan subjek dalam bahasa ergatif yang secara mendasar disebabkan oleh
352
teori linguistik yang berpedoman pada bahasa-bahasa Eropa ynag merupakan
bahasa yang memiliki ciri bahasa akusatif.
Lebih lanjut, Dixon (1994: 6—8) memperkenalkan sistem deskripsi
gramatikal yang digunakan untuk menggambarkan fenomena gramatikal dalam
setiap bahasa, apa pun jenisnya (akusatif, ergatif, S-terpilah, dan S-alir). Dixon
(1994: 6—8) mengemukakan satuan-satuan dasar (primitives) sintaksis untuk
menggantikan istilah subjek dan objek. Satuan-satuan dasar sintaksis prateoretis
tersebut adalah sebagai berikut.
S
: subjek intransitif
A
: subjek transitif
O
: objek transitif
Dixon menegaskan bahwa ketiga satuan dasar tersebut (S, A, dan O merupakan
kategori inti semesta. Dalam sistem ini, S dan A dikelompokkan bersama sebagai
subjek (Dixon, 1994: 111--142).
Pengelompokkan S dan A didasarkan pada
pendapat Dixon yang menyatakan bahwa setiap usaha menyusun kesemestaan
tipologi yang benar harus didasarkan secara semantis. Dengan demikian,
pengertian subjek paling cocok dipahami sebagai kategori semantis dipandang
dari sudut semantis.
Berdasarkan pendapat Dixon tersebut, Artawa (1998:132) menambahkan
bahwa dalam memahami relasi S, A, dan O harus diperhatikan bahwa S tidak
selalu agen secara semantis. S bisa saja berfungsi sebagai pasien secara semantis.
S yang secara semantis bisa berfungsi sebagai agen dan pasien disebabkan oleh
sifat-perilaku verba intransitif yang menghendaki S sebagai A dan S sebagai P.
353
Perhatikan contoh berikut yang menunjukkan bahwa S sebagai A dan S sebagai P
dalam BKm.
(9.4) a.
b.
Au(S)
la
de
1TG
pergi Prep
‘Saya pergi ke pasar’
basar
pasar
Au(S)
mnahu
dase
1TG
jatuh
Prep
‘Saya jatuh dari pohon’
ai
pohon
Contoh klausa (9.4) BKm di atas menggambarkan apa yang dikemukakan
oleh Artawa (1998:132) yang menyatakan bahwa S tidak selalu agen. Klausa (a)
menggambarkan bahwa S merupakan agen (A), sementara klausa (b)
menggambarkan bahwa S merupakan pasien (P).
Berbeda dengan Dixon, Comrie (1981, 1989) menggunakan istilah P untuk
menggantikan istilah O yang dikemukakan oleh Dixon. Pendapat Comrie ini
didukung oleh Artawa (1998: 132—133; 2002: 23), yang menyatakan bahwa ada
pelengkap pasien/P (O menurut Dixon) pada konstruksi transitif yang berperilaku
seperti subjek sehingga tidak begitu tepat jika dikatakan sebagai objek. Comrie
menambahkan bahwa dalam bahasa ergatif, bukan A yang berperilaku subjek,
melainkan P berperilaku subjek. Dengan demikian, pembahasan tipologi sintaksis
BKm dalam disertasi ini mengacu kepada pendapat Comrie (1981, 1989) dan
Artawa (1998: 132—133; 2002: 23) yang menggunakan istilah P untuk merujuk
ke objek transitif. Berikut ini satuan-satuan dasar sintaksis prateoretis yang
digunakan dalam disertasi ini.
S
: subjek intransitif
A
: subjek transitif
354
P
: objek transitif
Berikut ini disajikan contoh klausa BKm yang menggambarkan satuansatuan dasar sintaksis prateoretis.
(9.5) a.
b.
Ua (S)
plai
3TG
lari
‘Engkau lari’
Ua (A) tutu au (P)
3TG
pukul 1TG
‘Kamu memukul saya’
Klausa (9.5a) merupakan klausa intransitif BKm yang hanya memiliki satu
argumen S, yaitu ua ‘dia’. Sementara, klausa (9.5b) merupakan klausa transsitif
BKm yang
memiliki dua argumen, yaitu argumen praverbal ua ‘dia’ yang
berfungsi sebagai agen dan argumen posverbal au ‘saya yang berfungsi sebagai
pasien. Argumen praverbal merupakan A dan argumen posverbal merupakan P.
Terkait dengan subjek dalam bahasa ergatif secara sintaksis, terdapat
perbedaan pandangan antara Dixon dengan Comrie. Perbedaan pandangan
tersebut dijelaskan oleh Artawa (2002: 23) dengan mengemukakan bahwa subjek
menurut Comrie dapat dikatakan sebagai subjek permukaan/subjek lahir/subjek
gramatikal dalam bahasa-bahasa ergatif secara sintaksis (S/P-absolutif).
Sebaliknya, subjek menurut Dixon merupakan subjek batin (S/A-akusatif), yang
hanya berlaku pada struktur dasar.
Terkait dengan perbedaan pandangan tentang subjek tersebut, penelitian
tentang tipologi sintaksis BKm ini mengacu pada subjek dalam bentuk subjek
lahir atau subjek gramatikal. Merujuk pada subjek lahir atau subjek gramatikal
355
yang diacu dalam disertasi ini, penting dijelaskan tentang pivot karena pengujian
tipologi sintaksis BKm dilakukan dengan pengujian pivot.
Artawa (1998:132—133) mengungkapkan bahwa istilah pivot pertama kali
diperkenalkan oleh Health (1975). Health (1975) tidak memberikan definisi
tentang pivot. Namun, dia menggunakan dua istilah, yaitu ‘pengontrol’ dan
‘pivot’ untuk mendeskripsikan penentuan saling rujuk silang
pada kalimat
kompleks. Masih menurut Health, FN pengontrol merupakan FN yang berada
pada klausa yang lebih tinggi sementara pivot merupakan FN yang berada pada
klausa yang lebih rendah. Lebih lanjut, Health menganggap bahwa FN dalam
kasus nominatif dalam sebuah klausa merupakan pivot.
Pendapat terkait dengan pivot juga dikemukakan oleh Foley dan van Valin
(1984: 110). Mereka menyatakan bahwa pivot adalah semua jenis FN yang
kepadanya proses gramatikal utama dikaitkan, baik sebagai pengontrol maupun
sebagai target. Lebih jauh, mereka mengungkapkan bahwa subjek merupakan FN
pivot dalam bahasa Inggris, sementara objek adalah FN pivot dalam bahasa
Dyirbal.
Dixon (1994:154) lebih jauh menegaskan bahwa penting untuk
membedakan subjek dengan pivot. Masih menurut Dixon, subjek merupakan
kategori semesta yang terbatas pada kriteria sintaksis semantis, sementara pivot
merupakan kategori khusus bahasa yang benar-benar sintaksis pada hakikat dan
aplikasi. Subjek hanya berlaku pada struktur dalam, sementara pivot merujuk ke
fungsi-fungsi turunan. Dixon (1994:154) mengajukan jika sebuah bahasa
mempunyai pivot sintaksis yang benar-benar S/A, maka bahasa tersebut dapat
356
menggunakan hanya satu istilah, yaitu subjek atau pivot. Sebaliknya, jika sebuah
bahasa mempunyai S/P pivot, maka istilah subjek dan pivot harus dipertahankan.
Terkait dengan pivot, Dixon (1994: 154) menjelaskan bahwa pada
dasarnya terdapat dua variasi (beberapa bahasa hanya menunjukkan satu jenis,
sementara bahasa lainnya menunjukkan campuran dari keduanya), yaitu
(1) pivot S/A – FN yang berkoreferensi harus pada fungsi S atau A turunan
pada setiap klausa yang digabungkan;
(2) pivot S/P – FN yang berkoreferensi harus pada fungsi S atau P turunan
pada setiap klausa yang digabungkan.
Artawa (1998:1330) menyatakan bahwa untuk menentukan tipologi
morfologis atau sintaksis sebuah bahasa bukan sebuah pekerjaan yang mudah.
Sulitnya menentukan tipologi sebuah bahasa disebabkan oleh ciri-ciri yang
ditemukan dalam sebuah bahasa memiliki ciri-ciri yang bercampur antara tipologi
ergatif dan tipologi akusatif. Dalam tataran sintaksis, tipologi bahasa ditentukan
oleh perilaku A dan P. Sebuah bahasa dikatakan memperlihatkan ciri akusatif
secara sintaksis apabila A diperlakukan sama secara sintaksis dengan S.
Sementara, bahasa dikatakan memperlihatkan ciri ergatif secara sintaksis apabila
P diperlakukan sama secara sintaksis dengan S.
9.4 Konstruksi Sintaksis Bahasa Kemak
Telaah tentang konstruksi sintaksis secara tipologis BKm bertujuan untuk
menentukan apakah BKm merupakan bahasa yang bertipologi akusatif atau ergatif
secara sintaksis. Terkait dengan telaah konstruksi sintaksis BKm, sub-subbagian
357
berikut dimulai dengan menyajikan
konstruksi
pemerlengkap
jusif,
konstruksi
konstruksi
dengan verba tak terbatas,
koordinatif,
dan
konstruksi
subordinatif. Pembahasan tentang konstruksi sintaksis ini diakhiri dengan
pembahasan tentang sistem aliansi gramatikal BKm. Uraian lebih terperinci
terkait dengan konstruksi sintaksis BKm disajikan pada sub-subbagian berikut.
9.4.1
Konstruksi dengan Verba Tak Terbatas
Bab VII (subbagian 7.4.1.9) telah menguraikan FN tidak terang (PRO)
yang digunakan sebagai parameter untuk pengujian subjek gramatikal BKm dan
bab VIII (bagian 8.6) juga telah menguraikan konstruksi verba tak terbatas dalam
kaitannya dengan pembentukan kalimat kompleks dengan klausa pemerlengkap
yang menggunakan verba jenis ‘tahu’ dan yang sejenis. Penggunaan verba tak
terbatas pada sebauah konstruksi umumnya tidak mempunyai ungkapan yang
nyata untuk satu argumen. Argumen yang tidak nyata tersebut
bisa jadi
dinukilkan sebagai FN tidak terang (non-overt noun phrase) dan diwujudkan
sebagai PRO.
(9.6) a.
Au
e
[]
1TG
ingin
‘Saya ingin pergi ’
la
pergi
b.
O
e
[]
2TG
ingin
‘Kamu ingin duduk’
mudu
duduk
(9.7) a.
Ua
e
[]
botu
3TG
ingin
bertemu
‘Dia ingin bertemu kepala dusun’
dato galang
dusun kepala
358
b.
Ama
e
[]
mela
Ayah
ingin
panngil
‘Ayah ingin memanggil mereka’
roma
3JM
Contoh (9.6) menunjukkan bahwa S klausa terikat pada konstruksi dengan
verba tak terbatas berkoreferensi dengan S klausa utama/induk. Sementara itu,
contoh (9.7)
memperlihatkan bahwa A klausa terikat pada konstruksi yang
dibangun oleh verba tak terbatas berkoreferensi dengan S klausa utama/induk.
Konstruksi dengan verba tak terbatas pada contoh (9.6) dan (9.7) di atas
memperlihatkan bahwa secara sintaksis S dan A diperlakukan sama.
Berikut disajikan contoh konstruksi dengan verba tak terbatas BKm yang
memperlihatkan P klausa terikat berkoreferensi |dengan S klausa induk.
(9.8) a.
Ua
e
[]
dato galang
3TG
ingin TOP dusun kepala
‘Dia ingin kepala dusun temui’
b.
Ama
e
[]
roma mela
Ayah
ingin
3JM panggil
‘Ayah ingin mereka panggil’
botu
bertemu
Contoh (9.8) di atas memperlihatkan bahwa untuk membuat P klausa terikat
berkoreferensi dengan S klausa induk, maka diperlakukan mekanisme konstruksi
penopikan. Contoh (9.6) – (9.8) di atas memberikan penjelasan bahwa secara
sintaksis BKm memiliki perilaku gramatikal yang sama dengan bahasa Inggris
yang memperlakukan S dengan A dan apabila S berkoreferensi dengan P, maka
diperlukan konstruksi turunan, yaitu melalui konstruksi penopikan. Dengan
demikian, BKm merupakan bahasa yang bekerja dengan sistem S/A pivot.
359
9.4.2
Pemerlengkap Jusif
Artawa (1998:154) mengungkapkan bahwa secara semantis pemerlengkap
jusif (jussive complement) dapat dianggap sebagai kalimat perintah tak langsung.
Konstruksi dengan pemerlengkap jusif mempunyai verba klausa utama, seperti
‘mengatakan’, ‘menyuruh’, ‘meminta’, dan sebagainya. Sebelum menguraikan
lebih jauh tentang konstruksi dengan pemerlengkap jusif BKm, ada baiknya
dicermati konstruksi dengan pemerlengkap jusif bahasa Inggris berikut ini.
(9.9) a. He told
them
to
call
the
3TG mengatakan OBJ3JM
Prep menelepon
Art
‘Dia mengatakan kepada mereka untuk menelepon dokter’
doctor
dokter
b I
asked
him
to
leave
the house immediately
1TG meminta OBJ3TG Prep meninggalkan ART rumah segera
‘Saya meminta kepadanya untuk meninggalkan rumah segera’
Contoh kalimat bahasa Inggris (9.9) yang memiliki pemerlengkap jusuf di
atas menunjukkan bahwa P verba klausa utama/induk berkoreferensi dengan
dengan S atau A klausa pemerlengkap. Terkait dengan contoh di atas, Dixon
menyatakan bahwa sebagai bahasa yang bertipe akusatif, bahasa Inggris
menunjukkan bahwa P klausa utama harus berkoreferensi dengan S atau A klausa
pemerlengkap karena menggambarkan perintah yang telah diberikan kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu, maka
baik A maupun S, mempunyai
kemungkinan rujukan yang sama.
Untuk mengamati sifat-perilaku gramatikal konstruksi yang memiliki
pemerlengkap jusif BKm apakah mirip dengan bahasa Inggris yang merupakan
bahasa bertipe akusatif, contoh berikut diharapkan dapat memberikan gambaran
360
apakah BKm dapat dikelompokkan ke dalam bahasa yang bertipe akusatif atau
tidak.
(9.10) a.
b.
(9.11) a.
b.
Ina
laka ali
la
de
Ibu
suruh adik pergi Prep
‘Ibu menyuruh adik pergi ke sekolah’
isikola
sekolah
Ama
laka au
se’o ika
de
Ayah
suruh 1TG jual
ikan Prep
‘Ayah menyuruh saya menjual ikan di pasar’
basar
pasar
Roma
nita dato galang
mai
matamai
3JM
minta dusun kepala
datang besok
‘Mereka meminta kepala dusun datang besok’
Mane
senua nita ita
li’u
asu senua
Laki-laki DEF minta 1JM kejar anjing DEF
‘Laki-laki itu meminta kita mengejar anjing itu’
Contoh kalimat (9.10) dan (9.11) di atas merupakan konstruksi yang
memiliki pemerlengkap jusif dengan verba klausa laka ‘suruh’ dan nita ‘minta’.
Kalimat (9.10a) dan (9.11a)
menunjukkan bahwa S klausa pemerlengkap
berkoreferensi dengan P klausa utama. Sementara itu, kalimat (9.10b) dan (9.11b)
menunjukkan bahwa A klausa pemerlengkap berkoreferensi dengan P klausa
utama. Contoh (9.10) dan (9.11) yang disajikan di atas sekaligus menunjukkan
bahwa A dan S dalam BKm diperlakukan sama dalam konstruksi yang memiliki
pemerlengkap
jusif,
yaitu
sama-sama
berkoreferensi
dengan
P
klausa
utama/induk. Dengan demikian, sifat-perilaku gramatikal yang ditunjukkan
tersebut mengungkapkan bahwa secara sintaksis BKm bekerja dengan S/A pivot.
361
9.4.3
Konstruksi Koordinatif
Pembahasan dua konstruksi sebelumnya, yaitu konstruksi dengan verba
tak terbatas dan konstruksi dengan pemarkah jusif telah menunjukkan bahwa
BKm memiliki ciri-ciri gramatikal sebagai bahasa yang secara sintaksis bertipe
akusatif (S dan A diperlakukan sama) seperti bahasa Inggris. Terkait dengan
simpulan yang ditunjukkan dari kedua konstruksi BKm sebelumnya, maka
pembahasan konstruksi koordinatif ini bertujuan untuk menemukan lebih jauh
apakah BKm benar-benar bekerja dengan sistem S/A pivot atau mungkin bekerja
dengan S/P pivot. Untuk mengetahui sifar-perilaku gramatikal pada konstruksi
koordinatif, pengujian dilakukan dengan menerapkan kerangka–uji yang
dikemukakan oleh Dixon (1994:157—160) yang telah digunakan untuk
penggabungan klausa dalam bahasa Inggris. Penggunaan kerangka-uji yang
diterapkan dalam bahasa Inggris bertujuan untuk mendapatkan kemiripan ataupun
perbedaan antara bahasa Inggris yang merupakan bahasa bertipe akusatif dan
BKm yang sejauh ini telah menunjakkan sifat-perilaku gramatikal yang sama
sebagai bahasa yang bertipe akusatif.
Berikut ini disajikan kerangka kerja dasar yang telah digunakan untuk
menentukan pivot bahasa Inggris yang selanjutnya diterapkan pada penggabungan
dua klausa BKm secara koordinatif untuk melihat perlakuan FN biasa/umum
dalam klausa yang digabungkan. Fungsi-fnngsi FN biasa/umum yang mungkin
dalam penggabungan dua klausa secara sintaksis sebagai berikut.
(i) Kedua klausa intransitif
(a) S1 = S2
(ii) Klausa pertama intransitif, kedua transitif
(b) S1 = P2
362
(c) S1 = A2
(iii) Klausa pertama transitif, kedua intransitif
(d) P1 = S2
(e) A1 = S2
(iv) Kedua klausa transitif, satu FN biasa/umum
(f) P1 = P2
(g) A1 = A2
(h) P1 = A2
(i) A1 = P2
(v) Kedua klausa transitif, dua FN biasa/umum
(j) P1 = P2 dan A1 = A2
(k) P1 = A2 dan A1 = P2
Berdasarkan sebelas kemungkinan penggabungan dua klausa secara
sintaksis untuk menentukan pivot di atas, Dixon (1994 : 158 – 159) lebih lanjut
mengatakan bahwa bahasa Inggris dikatakan sebagai bahasa yang mempunyai
pivot S/A lemah. Menurut Dixon, pemberlakuan kondisi pivot pada pelesapan FN
dalam bahasa Inggris dapat digambarkan dengan contoh-contoh yang dibuat untuk
setiap kemungkinan (a – k) tersebut. Berikut ini adalah gambaran pivot S/A dalam
bahasa Inggris (Dixon, 1994 : 158).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
(j)
(k)
S1 = S2 Bill entered and sat down
S1 = P2 Bill entered andwas seen by Fred
S1 = A2 Bill entered andsaw Fred.
P1 = S2 Bill was seen by Fred and laughed
A1 = S2 Fred saw Bill and langhed
P1 = P2 Bill was locked by Tom and punched by Bob (atau Tom kicket
and Bob punched Bill)
A1 = A2 Bob kicked Jim and punched Bill.
P1 = A2 Bob was kicked by tom and punched Bill
A1 = P2 Bob punched Bill and was kicked by Tom
P1 = P2, A1 = A2 Fred punched and kicked Bill
P1 = A2 A1 = P2 Fred punched Bill and was kicked by him (atau Freid
punched and was kicked by Bill)
363
Kerangka
kerja dasar untuk menentukan pivot menunjukkan bahwa
pelesapan dapat terjadi secara langsung tanpa diperlukan adanya turunan
(derivasi) sintaktis jika FN biasa ada dalam fungsi S atau A pada tiap klausa,
seperti pada (a), (c), (e), (g), dan (j). Akan tetapi, apabila FN umum berada dalam
fungsi P pada satu klausa, klausa tersebut mesti dipasifkan agar pelesapan FN
diizinkan. Hal itu berlaku pada (b), (f), (h), dan (k). Pada (f) kedua klausa perlu
dipasifkan.
Dixon (1994 : 159) menyatakan bahwa bahasa Inggris memiliki strategi
untuk penggabungan klausa lebih jauh jika dua klausa berbeda dalam hal
verbalnya, verba tersebut dapat dengan mudah dikoordinasikan. Dengan
demikian, dari klausa-kalusa Fred punched Bill and Fred kicked Bill dapat
diperoleh Fred punched and kicked Bill pada (j) yang dalam hal ini Fred dan Bill
hanya dinyatakan satu kali (Fred punched Bill and kicked him merupakan pilihan
yang mungkin). Pada (k), sebagai satu pilihan untuk Fred punched Bill and was
kicked by him, sebagian (tetapi tidak semua) penutur asli menyenangi bentuk Fred
punched and was kicked by Bill. Ada juga kemungkinan penggabungan FN – A
tambah verba dari dua klausa yang mempunyai FN – P yang sama sehingga
bentuk pilihan untuk Bill was kicked by Tom and punched by Bob pada (f), juga
mungkin untuk mengatakan Tom Kicked and Bob punched Bill (meskipun tidak
semua penutur asli menyenangi ini).
Dixon (1994:159) juga menekankan bahwa skema yang disusun di atas
hanya menyajikan kerangka kerja dasar untuk menemukan apakah sebuah bahasa
mempunyai pivot dan jika benar, apa pivotnya itu. Kerangka kerja tersebut dapat
364
diperbaiki menurut organisasi gramatikal setiap bahasa. Misalnya, keadaan pivot
mungkin juga berkaitan dengan objek tak-langsung (dimarkahi oleh kasus datif
dan sebagainya) atau dengan jenis unsur klausa yang lain dalam lingkungan
tertentu. Rangkaian kemungkinan yang lebih lengkap perlu diracik dan diujikan
untuk bahasa S-terpilah atau S-alir. Kondisi sintaktis tertentu mengizinkan FN
biasa jadi beragam menurut hakikat semantis/sintaktis
induk FN itu. Dalam
bahasa Inggris, tidak ada kendala pivot pada perelatifan, misalnya setiap dua
klausa dapat digabungkan dalam kontruksi klausa relatif (salah satunya klausa
utama dan yang lainnya sebagai klausa relatif) sejauh klausa-klausa itu
mempunyai FN umum. FN itu dapat berada pada setiap fungsi (inti atau periferal)
dalam setiap klausa.
Sebelum menerapkan pengujian dengan penggabungan dua klausa dengan
sebelas kemungkinan kerangka kerja penggabungan klausa yang dikemukakan
oleh Dixon (1994) terhadap BKm, ada baiknya dicermati penerapan sebelas
kemungkinan penggabungan dua klausa dalam bahasa Dawan (BD) oleh Budiarta
(2009: 116--177) untuk menentukan sistem pivot dan sekaligus dapat digunakan
untuk menentukan tipologi bahasa tersebut secara sintaksis. Berikut ini
ditampilkan beberapa contoh pengetesan penggabungan dua klausa pada
konstruksi koordinatif BD yang diharapkan dapat menjadi panduan
pengetesan penggabungan dua klausa pada konstruksi koordinatif BKm.
(9.12) a. S1=S2 (kedua klausa intransitif)
In
nem neu-i
Dia
datang ke sini lalu
‘Ia datang kemari lalu pergi’
okat [ ]
pergi lagi
nao
nten
untuk
365
c. S1=A2 (klausa pertama intransitif, kedua transitif)
Na
Silas nem okat [ ]
kius na
Lukas
ART
Silas datang lalu
lihat ART Lukas
‘Silas datang lalu melihat Lukas’
e. A1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif)
Na
Silas kius na
Lukas okat [ ] main
ART
Silas lihat ART Lukas lalu
tertawa
‘Silas melihat Lukas lalu tertawa’
g. A1=A2 (klausa pertama transitif, satu FN biasa)
Na
Silas kios
na Lukas okat [ ] nek bi
Maria
ART
Silas pandang ART Lukas lalu
cium ART Maria
‘Silas memandang lukas lalu mencium Maria’
j. P1=P2 dan A1=A2 (kedua klausa transitif, dua FN bebas)
Na
Silas kiso
[ ] okat [ ] nek
bi
Maria
ART
Silas pandang
lalu
cium ART Maria
‘Silas memandang lalu mencium Maria’
Contoh (9.12) di atas menunjukkan bahwa proses
penggabungan dua
klausa secara koordinatif BD berdasarkan kemungkinan (a), (c), (e), (g), dan (j)
serta menunjukkan bahwa tidak diperlukan struktur turunan sintaktis. Artinya,
penggabungan dua klausa, dengan pelepasan FN pada salah satu klausa, dapat
dilakukan secara langsung tanpa mengubah struktur sintaktis pada salah satu atau
kedua klausa yang digabungkan. Pada contoh (9.12a) kedua klausa adalah
intransitif, S1 = S2. Pada contoh (9.12c), S klausa pertama berkoreferensi dengan
A pada klausa kedua (Silas). Pada contoh (9.12e), A klausa pertama (Silas)
berkoreferensi dengan S klausa kedua yang juga Silas. Pada contoh (9.12g), A
klausa pertama adalah Silas dan A pada klausa kedua yang juga Silas Dengan
demikian, A1 berkoreferensi dengan A2. Sementara itu, pada contoh (9.12j), A
klausa pertama adalah Silas dan A pada klausa kedua juga Silas. Dengan
366
demikian, A klausa pertama berkoreferensi dengan A klausa kedua. Sementara itu,
P pada klausa pertama adalah Maria; dan melalui penelusuran sintaksis-semantis
diketahui bahwa P pada klausa kedua juga Maria. Jadi, P1 berkoreferensi dengan
P2. Berdasarkan sistem koreferensial ini, dapat disimpulkan bahwa BD
mempunyai pivot S/A, sebagaimana halnya yang terdapat dalam bahasa Inggris.
Berikut ini bisa dicermati pula bagaimana perilaku gramatikal BD jika
dilihat berdasarkan penggabungan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k), seperti dikutip dari
Budiarta (2009:18—120). Perhatikan contoh kalimat berikut ini.
(9.13) b. S1=P2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif)
(i) Na
Silas nem
okat
[]
ma-kiso
nako na lukas
ART Silas datang
lalu
PAS-lihat
Prep ART Lukas
‘Silas datang lalu dilihat oleh Lukas’
(ii) Na
Silas nem
ART
Silas datang
‘Silas datang lalu Lukas lihat’
okat [ ] na Lukas
lalu TOP ART Lukas
d. P1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif)
(i) . Na Silas ma-kiso
nako na
Lukas okat [ ]
ART Silas PAS-lihat
Prep ART Lukas lalu
‘Silas dilihat oleh Lukas lalu tertawa’
(ii) Na
Silas
na
Lukas
ART
Silas TOP ART Lukas
‘Silas Lukas lihat lalu tertawa’
kiso
lihat
main
tertawa
kiso
okat [ ] main
AKT-lihat lalu
tertawa
f. P1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
(i) Na Silas ma-kiso nako bi Maria okat [ ] ma-biso nako na Lukas
ART Silas PAS-lihat Prep ART Maria lalu PAS-pukul Prep ART Lukas
‘Silas dilihat oleh Maria lalu dipukul oleh Lukas’
(ii) Na
Silas
bi Maria kiso okat [ ] na Lukas bius
ART
Silas-TOP ART Maria lihat lalu
ART Lukas pukul
‘Silas Maria lihat lalu Lukas pukul’
367
h. P1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
(i) Na Silas ma-kiso nako
na Lukas okat [ ] nek
bi Maria
ART Silas PAS-lihat Prep ART Lukas lalu AKT-cium ART Maria
‘Silas dilihat oleh Lukas lalu mencium Maria’
(ii) Na Silas
na Lukas kiso okat [ ] nek
bi Maria
ART Silas-TOP ART Lukas lihat lalu
AKT-cium ART Maria
‘Silas Lukas lihat lalu mencium Maria’
i. A1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
(i) Na Lukas kius
na Silas
okat [ ] ma-neka nako bi Maria
ART LukasAKT-lihat ART Silas lalu PAS-cium PREP ART Maria
‘Lukas melihat Silas lalu dicium oleh Maria’
(ii) Na
Lukas kius
na Silas
okat [ ] bi Maria nek
ART
Lukas AKT-lihat ART Silas lalu TOP ART Maria cium
‘Lukas melihat Silas lalu Maria cium’
(SD-Inf)
k. P1=A2 dan A1=P2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa)
(i) Na Lukas kius
na Silas okat [ ]
in-ma-biso
ART Lukas AKT-lihat ART Silas lalu
PAS-pukul-3T
‘Lukas melihat Silas lalu dipukulnya’
(ii) Na Lukas
kius
na Silas okat [ ] na Lukas bius
ART Lukas AKT-lihat ART Silas
lalu TOP ART Lukas pukul
‘Lukas melihat Silas lalu Lukas pukul’
Berdasarkan contoh-contoh (9.13b. d, f,) yang disajikan di atas,
ditunjukkan bahwa apabila FN biasa menduduki fungsi P dalam salah satu klausa,
klausa tersebut mesti dipasifkan agar pelesapan FN tersebut bisa berterima secara
gramatikal. Dengan kata lain, pelepasan FN pada salah satu klausa yang
menduduki fungsi P tidak bersifat langsung; tetapi diperlukan penurunan
konstruksi sintaktis. Penurunan (derivasi) sintaktis yang diperlukan agar
pelepasan FN yang menduduki fungsi P tersebut dibolehkan secara gramatikal
adalah pemasifan (perhatikan contoh yang ditandai (i) atau melalui konstruksi
368
penopikan (perhatikan contoh yang ditandai (ii)). Dalam hal ini, FN yang
dilepaskan menjadi topik dari konstruksi penopikan itu.
Pengujian yang dilakukan pada penggabungan dua klausa sesuai dengan
kerangka kerja yang dikemukakan oleh Dixon (1994) terhadap BD tersebut dapat
menjadi pedoman untuk penerapan pengetesan penggabungan dua klausa dengan
kerangka kerja yang sama terhadap BKm.
Setelah menyajikan proses penggabungan dua klausa BD secara
koordinatif, berikut ini ditampilkan contoh penggabungan dua klausa secara
koordinatif untuk menemukan pivot dalam BKm. Sebagaimana disinggung pada
bagian terdahulu, BKm cenderung berperilaku secara sintaktis sebagai bahasa
akusatif. Berpedoman pada ilustrasi pivot S/A bahasa Inggris (Dixon, 1994:158),
pengujian pivot BKm melalui contoh-contoh berikut ini diarahkan pada pelepasan
langsung, yaitu (a), (c), (e), (g), dan (j) (lihat kerangka kerja untuk menentukan
pivot di atas). Sebelum dicermati contoh-contoh kalimat koordinatif, dapat
dikemukakan bahwa konjungsi koordinatif dalam BKm adalah kahi yang dapat
bermakna ‘lalu’ atau ‘kemudian’.
(9.14) a. S1=S2 (kedua klausa intransitif)
Ali
hali kahi [ ]
la
milang
Adik pulang lalu
pergi cepat
‘Adik pulang lalu pergi cepat’
c. S1=A2 (klausa pertama intransitif, kedua transitif
Pius hali kahi [ ]
me’u ina
Pius pulang lalu
cium ibu
‘Pius pulang lalu mencium ibu’
369
e. A1=S2 (klausa pertama transitif, kedua intransitif)
Pius me’u ina
kahi [ ]
la
de
kota
Pius cium ibu
lalu
pergi Prep kota
‘Pius mencium ibu lalu pergi ke kota’
g. A1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Pius eto
ina
kahi [ ]
mela
Pius lihat ibu
lalu
panggil
‘Pius melihat ibu lalu memanggil ayah’
ama
ayah
j. P1=P2 dan A1=A2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa)
Pius eto
[[
kahi [ ]
mela
ina
Pius lihat
lalu
panggil
ibu
‘Pius melihat lalu memanggil ibu’
Proses penggabungan klausa BKm secara koordinatif berdasarkan
kemungkinan (a), (c), (e), (g), dan (j) pada contoh (9.14) di atas menunjukkan
bahwa
proses
memerlukan
penggabungan dua klausa secara koordinatif BKm tidak
penuruan struktur sintaktis. Artinya, penggabungan dua klausa
dengan pelepasan FN pada salah satu klausa dapat dilakukan secara langsung
tanpa mengubah struktur sintaktis pada salah satu atau kedua klausa yang
digabungkan. Pada contoh (9.14a) kedua klausa adalah intransitif, S1=S2. Pada
contoh (9.14c), S klausa pertama berkoreferensi dengan A pada klausa kedua
(Pius). Pada contoh (9.14e), A klausa pertama (Pius) berkoreferensi dengan S
klausa kedua juga Pius. Pada contoh (9.14g), A klausa pertama adalah Pius dan A
pada klausa kedua yang juga Pius Dengan demikian, A1 berkoreferensi dengan
A2. Sementara itu, pada contoh (9.14j), A klausa pertama adalah Pius dan A pada
klausa kedua juga Pius. Dengan demikian, A klausa pertama berkoreferensi
dengan A klausa kedua. Sementara itu, P pada klausa pertama adalah ina ‘ibu’.
Penelusuran sintaktis-semantis menunjukkan bahwa P pada klausa kedua juga ina
370
‘ibu’. Dengan demikian, P1 berkoreferensi dengan P2. Berdasarkan sistem
koreferensial ini, dapat disimpulkan bahwa BKm mempunyai pivot S/A,
sebagaimana halnya yang terdapat dalam bahasa Inggris dan BD.
Contoh (9.14) di atas menunjukkan mekanisme penggabungan klausa
secara koordinatif Bkm berdasarkan kemungkinan (a), (c), (e), (g), dan (j).
Perhatikan contoh yang disajikan berikut ini untuk mengamati perilaku gramatikal
penggabungan dua klausa secara koordinatif berdasarkan kemungkinan (b), (d),
(f), (h), (i) dan (k).
(9.15) b. S1=P1 (klausa pertama intransitif, kedua transitif)
(i) Pius
mai
kahi [ ] toma
eto
odi
ina
Pius
datang lalu
PAS-dapat lihat Prep ibu
‘Pius datang lalu dilihat oleh ibu’
(ii)
(i)
(ii)
(i)
Pius
mai
kahi [ ]
Pius
datang lalu
‘Pius datang lalu ibu lihat’
TOP
ina
ibu
eto
lihat
d. P1=S2 (klausa pertama transitif, kedua intransitif)
Pius
toma
eto odi
ina kahi [ ] la
de
Pius PAS-dapat lihat Prep ibu lalu
pergi Prep
‘Pius dilihat oleh ibu lalu pergi ke Atambua’
Pius
ina eto
kahi [ ]
la
de
Pius -TOP ibu lihat lalu
pergi Prep
‘Pius ibu lihat lalu pergi ke Atambua’
Atambua
Atambua
Atambua
Atambua
f. P1=P2`(kedau klausa transitif, satu FN biasa)
Pius
toma
eto
odi
ina kahi [ ] toma
Pius
PAS-dapat
lihat Prep ibu lalu
PAS-dapat
odi
ama
Prep
ayah
‘Pius dilihat oleh ibu lalu dipegang oleh ayah’
sali
tangkap
371
(ii)
(i)
(ii)
(i)
(ii)
(i)
(ii)
Pius
ina eto kahi [ ] ama
Pius-TOP ibu lihat lalu TOP ayah
‘Pius ibu lihat lalu ayah pegang’
sali
pegang
h. P1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Pius
toma
eto odi
ina kahi [ ] sali
ali
Pius PAS-dapat lihat Prep ibu lalu
AKT-pegang adik
‘Pius dilihat oleh ibu lalu memegang adik’
Pius
ina eto kahi [ ]
Pius -TOP ibu lihat lalu
‘Pius ibu lihat lalu ayah pegang’
ama
ayah
sali
AKT-pegang
i. A1=P2 (Kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Ina eto
Pius kahi [ ] toma
me’u odi
Ibu AKT-lihat Pius lalu
dapat PAS-cium Prep
‘Ibu melihat Pius lalu dicium oleh ayah’
Ina eto
Pius kahi [ ]
Ibu AKT-lihat Pius lalu TOP
‘Ibu melihat Pius lalu ayah cium’
ama
ayah
ama
me’u
ayah AKT-cium
k. P1=A2 dan A1=P2 ( kedua klausa transitif, dua FN biasa)
Ina eto
Pius kahi [ ] toma
sali
odi Pius
Ibu AKT-lihat Pius lalu
dapat PAS-pegang Prep Pius
‘Ibu melihat Pius lalu dipegang oleh Pius’
Ina eto
Pius kahi [ ]
Ibu AKT-lihat Pius lalu TOP
‘Ibu melihat Pius lalu Pius pegang’
Pius sali
Pius AKT-pegang
Contoh (9--15) di atas merupakan penggabungan dua klausa secara koordinatif
berdasarkan kemungkinan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k). Contoh tersebut
menunjukkan bahwa apabila FN biasa menduduki fungsi P dalam salah satu
klausa, klausa tersebut mesti dipasifkan agar pelesapan FN bisa berterima secara
gramatikal. Dengan kata lain, pelepasan
FN pada salah satu klausa yang
menduduki fungsi P tidak bersifat langsung; tetapi diperlukan penurunan
372
konstruksi sintaktis. Penurunan (derivasi) sintaktis yang diperlukan agar
pelesapan FN yang menduduki fungsi P tersebut dibolehkan secara gramatikal
adalah pemasifan (perhatikan contoh yang ditandai (i) atau melalui konstruksi
penopikan (perhatikan contoh yang ditandai (ii)). Dalam hal ini, FN yang
dilesapkan menjadi topik dari konstruksi penopikan itu. Sebagai catatan terkait
dengan pemasifan BKm, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa BKm
tidak memiliki proses morfologis (afiksasi) untuk membentuk konstruksi pasif,
maka untuk membentuk konstruksi pasif, BKm memiliki mekanisme tersendiri,
yaitu pemasifan secara analitik dengan menghadirkan permarkah pasif toma
‘dapat’ seperti yang telihat pada contoh (9.15) yang ditandai dengan (ii).
9.4.4
Konstruksi Subordinatif
Bagian sebelumnya telah menelaah klausa koordinatif dalam kaitannya
dengan penentuan pivot yang memperlihatkan bahwa BKm bekerja dengan S/A
pivot. Pembahasan ini menelaah dua jenis klausa subordinatif untuk memeriksa
lebih jauh apakah BKm benar-benar dikategorikan sebagai bahasa yang bekerja
dengan pivot S/A atau bukan. Kedua jenis klausa subordinatif yang ditelaah pada
bagian ini adalah klausa purposif dan klausa adverbial.
Pembahasan klausa
purposif pada bagian ini tetap dalam kaitannya dengan kalimat kompleks (bab
VIII, bagian 8.4). Dalam disertasi ini, istilah klausa purposif merujuk kepada
klausa terikat (dependent clause). Sementara itu, pengertian klausa adverbial
dalam disertasi ini didasarkan pada pengertian seperti dijelaskan oleh Whaley
(1997: 247--248;250). Whaley menyebutkan bahwa secara tradisional klausa
373
adverbial (sangat) mirip dengan adverbial, secara sintaktis tidak dikehendaki
kehadirannya oleh verba. Sebagai adjung, klausa adverbial lebih cenderung
berfungsi sebagai informasi tambahan yang dikandung oleh proposisi (klausa
utama) daripada mewajibkan argumen proposisi.
Sebelum lebih lanjut menerapkan pengujian dengan penggabungan dua
klausa dengan sebelas kemungkinan kerangka kerja penggabungan klausa yang
dikemukakan oleh Dixon (1994) terhadap BKm, ada baiknya dicermati penerapan
sebelas kemungkinan penggabungan dua klausa dalam BD oleh Budiarta
(2009:125--132) untuk menentukan sistem pivot yang sekaligus dapat digunakan
untuk menentukan tipologi bahasa tersebut secara sintaksis. Berikut ini
ditampilkan beberapa contoh pengetesan penggabungan dua klausa pada
konstruksi subordinatif BD dengan kemungkinan penggabungan (a), (c), (e), (g),
dan (j) yang dapat dijadikan panduan untuk pengetesan penggabungan dua klausa
pada konstruksi subordinatif BKm (Budiarta, 2009: 125--126).
(9.16)
a. S1=S2 (kedua klausa intransitif)
In
nem neu
kean he
[ ]
3TG
datang Prep kamar supaya
‘Dia datang ke kamar supaya bisa tidur’
nabei ntup
bisa tidur
c.
S1=A2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif)
In nem he
[ ]
nabei kius kai
3TG
datang supaya
bisa melihat 1JM
‘Dia datang supaya bisa melihat kami’
e.
A1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif)
In
nek
buku he
[ ]
nabei nanoina
3TG
bawa buku supaya
bisa belajar
‘Dia membawa buku supaya bisa belajar’
374
g.
j.
A1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
In
sos
buku he
[ ] nabei
ntui
3TG
beli
buku supaya
bisa
tulis
‘Dia membeli buku supaya bisa menulis surat’
sulat
surat
P1=P2 dan A1=A2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa)
In
naim kau
he
[ ] nabei
kius kau
3TG
cari
1TG supaya
bisa
lihat 1TG
‘Dia mencari saya supaya bisa melihat saya’
Contoh klausa (9.16) berikut ini merupakan bentuk alternasi dari klausa
subordinatif (9.15) yang disajikan di atas.
(9.17)
a. He
[ ]
nabei ntup In
nem neu
kean
Supaya
bisa tidur 3TG datang PREP kamar
‘Supaya bisa tidur dia datang ke kamar’
c.
He
[ ]
nabei kius kai
In
Supaya
bisa lihat 1JM 3TG
‘Supaya bisa melihat kami dia datang’
nem
datang
e.
He
[ ]
nabei nanoina
In
Supaya
bisa belajar
3TG
‘Supaya bisa belajar dia membawa buku’
nek
buku
bawa buku
g. He
[ ]
nabei tui
sulat In
sos
Supaya
bisa tulis surat 3TG beli
‘Supaya bisa menulis surat dia membeli buku’
j. He
[ ]
nabei kius kau
In
Supaya
bisa lihat 1TG 3TG
‘Supaya bisa melihat saya dia mencari saya’
buku
buku
naim kau
cari
1TG
Contoh (9.15 dan 9.16)) di atas menunjukkan bahwa pelesapan FN pada
klausa purposif BD dengan kemungkinan penggabungan (a), (c), (e), (g), dan (j)
bersifat langsung. Artinya pelesapan FN pada klausa purposifnya tidak
menyebabkan
terjadinya
penurunan
(derivasi)
sintaktis.
Kenyataan
ini
375
memperkuat simpulan sebelumnya bahwa BD termasuk bahasa yang bekerja
dengan pivot S/A.
Berikutnya adalah pengujian untuk penggabungan klausa subordianatif
dengan klausa purposif berdasarkan kemungkinan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k)
(Budiarta, 2009: 127—129). Perhatikan contoh-contoh yang ditampilkan berikut
ini.
(9.17) b. S1=P2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif)
(i) In nao neu ume
he [ ] nabei ma-tulun nako
ama
3TG pergi Prep rumah supaya bisa PAS-tolong
Prep ayah
‘Dia datang ke rumah supaya bisa ditolong oleh ayah’
(ii)
(i)
(ii)
(i)
(ii)
In nao neu ume
he [ ] nabei
ama
3TG pergi Prep rumah supaya bisa TOP ayah
‘Dia datang ke rumah supaya bisa ayah tolong’
ntulun
tolong
(SD-Inf)
d. P1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif)
Oli
ma-hanet
nako ena
he
[ ]
ntup nai
Adik
PAS-bujuk
Prep ibu
supaya
tidur segera
‘Adik dibujuk oleh ibu supaya tidur segera’
Oli
ena
n-hanet
he
[ ] ntup nai
Adik
ibu
bujuk
supaya TOP tidur segera
‘Adik ibu bujuk supaya tidur segera’
f. P1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Oli ma-keo
nako ena
he [ ] ma-tulun
nako na
Adik PAS-ajak Prep ibu
supaya PAS-tolong Prep ART
‘Dia diajak oleh ibu supaya ditolong oleh Lukas’
Oli
ena
na-keo he
[ ] na Lukas ntulun
Adik
ibu
ajak supaya TOP ART Lukas tolong.
‘Adik saya ibu ajak supaya Lukas tolong’
Lukas
Lukas
376
(1)
(ii)
(i)
(ii)
(i)
(ii)
h. P1=A2 ( kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Ena
ma-keo
oli
he [ ] nanoina na Lukas
Ibu
PAS-ajak
adik supaya AKT-ajar Lukas
‘Ibu diajak adik supaya mengajar Lukas’
Ena
oli na-keo he
[ ] nanoina
na Lukas
Ibu TOP adik ajak
supaya AKT-ajar ART Lukas
‘Ibu adik ajak supaya mengajar Lukas’
i. A1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Ama
nakeo
oli
he
[ ] manoina nako na Silas
Ayah AKT-ajak
adik supaya
PAS-ajar PREP ART Silas
‘Ayah mengajak adik supaya diajar oleh Silas’
Ama
nakeo
oli
he
[ ]
Ayah AKT-ajak
adik supaya TOP
‘Ayah mengajak adik supaya Lukas ajar’
na Lukas nanoina
ART Lukas AKT-ajar
(SD-Inf)
k. P1=A2 dan A1=P2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa)
Na Lukas
nakeo
oli
he [ ]
in
manoina
ART Lukas
AKT-ajak
adik supaya
PAS-ajak-3T
‘Lukas mengajak adik supaya diajarnya’
Na Lukas
nakeo
oli
he [ ]
ART Lukas
AKT-ajak adik supaya TOP
‘Lukas mengajak adik supaya Lukas ajar’
na Lukas nanoina
ART Lukas ajar
Contoh (9.17 (i) dan (ii) ) memperlihatkan bahwa jika S berkoreferensi
dengan P, maka terjadi revaluasi struktur, yaitu penurunan (derivasi) sintaktis,
yaitu pemasifan (contoh yang ditandai (i)) salah satu klausanya atau penopikan
(contoh yang ditandai (ii)). Berdasarkan kenyataan itu secara sintaksis BD tidak
memperlakukan S sama dengan P sehingga dapat disimpulkan bahwa BD bekerja
dalam sistem pivot S/A.
Setelah menentukan perilaku gramatikal BD terkait dengan pelesapan FN
pada klausa purposif, langkah berikutnya dilanjutkan dengan mencermati perilaku
377
gramatikal BD yang berkenaan dengan penggabungan dua klausa secara
subordinatif dengan klausa adverbial berdasarkan kemungkinan penggabungan
(a), (c), (e), (g), dan (j) untuk penentuan pivot (Budiarta, 2009:129—130).
Perhatikan contoh klausa adverbial BD berikut ini.
(9.18) a. S1=S2 (kedua klausa intransitif)
Atone na
nao la fe [ ]
nahan
Orang DEF pergi sebelum
makan
‘Orang itu pergi sebelum makan’
c. S1=A2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif)
Na
Silas main
leka
[ ] nit na
Lukas
ART Silas tertawa ketika AKT-lihat ART Lukas
‘Silas tertawa ketika melihat Lukas’
e. A1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif)
Bi
Maria nit
na
Lukas la fe [ ]
main
ART Maria AKT-lihat
ART Lukas sebelum
tertawa
‘Maria melihat Lukas sebelum tertawa’
g. A1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Bi
Maria nit
na
Lukas leka [ ] na
buku
ART Maria AKT-lihat ART Lukas ketika AKT-pegang buku
‘Maria melihat Lukas ketika memegang buku’
j. P1=P2 dan A1=A2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa)
Bi
Maria na
la fe
[ ] nek
na Lukas
ART Maria AKT-pegang sebelum
AKT-cium ART Lukas
‘Maria memegang sebelum mencium Lukas’
Contoh (9.18) di atas menegaskan bahwa rujuk-silang A dengan S atau A1
dengan A2 memungkinkan terjadinya pelepasan secara langsung tanpa terjadinya
penurunan (derivasi) sintaksis sehingga dapat dinyatakan kembali bahwa BD
secara sintaksis mempunyai pivot S/A. Dengan demikian, bahasa dengan pivot
seperti ini secara tipologi merupakan bahasa akusatif secara sintaktis.
378
BD tidak mengizinkan terjadinya pelesapan FN pada salah satu klausa
tanpa terjadinya penurunan sintaksis (melalui pemasifan atau penopikan) apabila
A berunjuk silang dengan P. Keadaan itu menunjukkan bahwa BD tidak bekerja
dengan pivot S/P. Contoh berikut ini memperlihatkan penggabungan dua klausa
berdasarkan kemungkinan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k) untuk menunjukkan bahwa
BD bekerja dengan sistem S/A pivot bukan dengan S/P pivot (Budiarta, 2009:
130—132).
(9.19) b. S1=P2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif)
(i) Bi
Maria nah
leka [ ] ma-nami
nako na Lukas
ART
Maria AKT-makan ketika
PAS-cari
Prep ART Lukas
‘Maria makan ketika dicari oleh Lukas’
(ii)
(i)
(ii)
(i)
(ii)
Bi Maria
nah
leka [ ]
ART Maria
AKT-makan ketika TOP
‘Maria makan ketika Lukas cari’
na Lukas
nami
ART Lukas AKT-cari
d. P1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif)
Na
Lukas ma-nami nako
na Silas leka [ ] nanoina
ART
Lukas PAS-cari Prep ART Silas ketika belajar
‘Lukas dicari oleh Silas ketika belajar’
Na Lukas
na Silas nami
leka
ART Lukas TOP
ART Silas AKT-cari ketika
“Lukas Silas cari ketika belajar’
[ ] nanoina
AKT-belajar
f. P1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Na Lukas ma-nami nako ena leka [ ] ma-tana nako ama
ART Lukas PAS-cari Prep ibu ketika PAS-tanya Prep ayah
‘Lukas dicari oleh ibu ketika ditanya ayah’
Na
Lukas
ena nami
ART
Lukas TOP ibu AKT-cari
‘Lukas ibu cari ketika ayah tanya’
leka [ ] ama natan
ketika
ayah AKT-tanya
379
(i)
(ii)
(i)
(ii)
(i)
(ii)
h. P1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Na Lukas ma-nami nako ena
leka [ ] naeuk
bi Maria
ART Lukas PAS-cari Prep ibu
ketika AKT-temu ART Maria
‘Lukas dicari oleh ibu ketika bertemu Maria’
Na
Lukas
ena nami
leka [ ] naeuk
bi Maria
ART
Lukas TOP Ibu AKT-cari ketika
AKTtemu ART Maria
‘Lukas ibu cari ketika bertemu Maria’
i. A1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Na Lukas naim
bi Maria leka [ ] ma-tana
nako ena
ART Lukas AKT-cari ART Maria ketika PAS-tanya PREP ibu
‘Lukas mencari Maria ketika ditanya ibu’
Na Lukas
naim
bi Maria leka [ ]
ena
ART Lukas AKT-cari ART Maria ketika TOP ibu
‘Lukas mencari Maria ketika ibu tanya’
natan
tanya
k. P1=A2 dan A1=P2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa)
Na Lukas
naim bi Maria lafe
[ ] in ma-biso
ART Lukas AKT-cari ART Maria sebelum
PAS-pukul-3T
‘Lukas mencari Maria sebelum dipukulnya’
Na Lukas
naim
bi Maria
lafe
[ ]
na Lukas biso
ART Lukas AKT-cari ART Maria sebelum TOP ART Lukas pukul
‘Lukas mencari Maria sebelum Lukas pukul’
Proses pengujian penggabungan klausa yang telah dilakukan terhadap BD
menunjukkan bahwa bahasa tersebut secara sintaksis bekerja dengan S/A pivot.
Pengujian penggabungan klausa BD dijadikan sebagai rujukan dan pedoman
karena BD dan BKm merupakan dua bahasa yang hidup berdampingan dan
keduanya merupakan kelompok bahasa Austronesia (Klamer dalam Pieter
Muysken, 2008: 112--113).
Pengujian yang dilakukan untuk menggabungkan dua klausa secara
subordinatif di atas mengacu kepada kerangka kerja yang dikemukakan Dixon
380
(1994). Selanjutnya, kerangka kerja tersebut digunakan sebagai pembanding serta
pedoman untuk penerapan pengetesan penggabungan dua klausa secara
subordinatif dengan kerangka kerja yang sama terhadap BKm.
Proses pengujian kemungkinan dengan penggabungan dua klausa untuk
menentukan pivot BKm seperti disajikan pada bagian 9.4.3 disertasi ini diterapkan
kembali untuk konstruksi subordinatif dengan klausa purposif dan klausa
adverbial. Kemungkinan penggabungan (a), (c), (e), (g), dan (j) bersifat langsung
dan kemungkinan penggabungan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k) bersifat tidak
langsung pada konstruksi subordinatif. Berikut ini adalah contoh konstruksi
subordinatif dengan klausa purposif.
(9.20) a.
c.
S1=S2 (kedua klausa intransitif)
Au
hali de
uma nuabe
[ ] bue
1TG
pulang Prep rumah supaya
tidur
‘Saya pulang ke rumah supaya bisa tidur’
mloing
bisa
S1=A2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif)
Au
hali
nuabe
[ ] botu
ina
1TG
pulang
supaya
bertemu
ibu
‘Saya pulang supaya bisa bertemu ibu’
e. A1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif)
Au
lodi osa
nuabe [ ]
selo mloing
1TG
bawa uang supaya
bayar bisa
‘Saya membawa uang supaya bisa bayar’
g.
A1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Au
lodi osa
nuabe [ ]
ala
buku mloing
1TG
bawa uang supaya
beli
buku bisa
‘Saya membawa uang supaya bisa membeli buku’
mloing
bisa
381
j.
P1=P2 dan A1=A2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa)
Au
ele
ua
nuabe [ ] botu
ua
mloing
1TG
cari
3TG supaya
bertemu 3TG bisa
‘Saya mencari dia supaya bisa melihat dia’
Contoh klausa (9.21) berikut ini merupakan bentuk alternasi dari klausa
subordinatif (9.20) yang disajikan di atas.
(9.21) a. Nuabe
[ ] bue
mloing au
hali de
um
Supaya
tidur bisa 3TG datang PREP kamar
‘Supaya bisa tidur saya pulang ke rumah’
c.
Nuabe
[ ]
botu
ina
mloing au
Supaya
bertemu
ibu
bisa 1TG
‘Supaya bisa bertemu ibu saya pulang’
hali
pulang
e.
Nuabe
[ ]
selo mloing
au
Supaya
bayar bisa
1TG
‘Supaya bisa bayar saya membawa uang’
g.
Nuabe
[ ]
ala
buku mloing au
lodi osa
Supaya
beli
buku bisa 1TG bawa uang
‘Supaya bisa membeli buku saya membawa uang’
j.
Nuabe
[ ]
botu
ua mloing au
Supaya
bertemu 3TG bisa 1TG
‘Supaya bisa bertemu dia saya mencari dia’
lodi osa
bawa uang
ele
cari
ua
3TG
Penggabungan dua klausa subordinatif dengan klausa purposif berdasarkan
kemungkinan penggabungan (a), (c), (e), (g), dan (j) seperti contoh (9.20) dan
9.21) di atas memperlihatkan bahwa pelesapan FN pada klausa purposif BKm
bersifat langsung. Artinya pelesapan FN pada klausa purposifnya tidak
menyebabkan terjadinya penurunan (derivasi) sintaktis. Contoh data yang
disajikan di atas memperkuat kembali simpulan sebelumnya bahwa BKm
termasuk bahasa yang bekerja dengan pivot S/A.
382
Pengujian penggabungan klausa subordinatif dengan klausa purposif
berikutnya adalah berdasarkan kemungkinan penggabungan (b), (d), (f), (h), (i),
dan (k). Contoh berikut menyajikan proses penggabungan klausa subordinatif
tersebut.
(9.22) b. S1=P2 (klausa pertama intransitif, kedua transitif)
(i) Pius hali
de
uma
nuabe [ ]
toma
Pius AKT-pulang
Prep rumah
supaya
PAS-dapat
eto
lihat
mloing odi
ina
bisa Prep
ibu
‘Pius pulang ke rumah supaya bisa dilihat oleh ibu’
(ii) Pius
hali de
uma nuabe
Pius
pulang Prep rumah supaya
‘Pius pulang ke rumah supaya ibu bisa lihat’
[]
TOP
ina
ibu
eto
lihat
mloing
bisa
d. P1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif)
(i) Ua
toma
mela
odi
ina
nuabe [ ]
3TG
PAS-dapat
panggil
Prep ibu
supaya
bue
de
uma
AKT-tidur Prep rumah
‘Dia dipanggil oleh ibu supaya tidur di rumah’
(ii) Ua
ina
mela
nuabe [ ]
3TG
ibu
AKT-panggil supaya TOP
‘Dia ibu panggil supaya tidur di rumah’
bue
tidur
f. P1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
(i) Ali
toma
mela odi ina
nuabe [ ]
Adik
PAS-dapat
panggil Prep ibu
supaya
eto
odi
ama
lihat
oleh ayah
‘Adik dipanggil oleh ibu supaya dilihat oleh ayah’
de
Prep
uma
rumah
toma
PAS-dapat
383
(ii) Ali
ina mela
nuabe [ ] ama
Adik ibu ajak
supaya TOP ayah
‘Adik ibu panggil supaya ayah lihat’
(1)
(ii)
(i)
(ii)
(i)
eto
lihat
h. P1=A2 ( kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Au
toma
mela odi ina nuabe [ ] hetu
1TG
PAS-dapat
panggil Prep| ibu supaya AKT-ajak
‘Saya dipanggil oleh ibu supaya mengajak adik’
Au
ina
mela
nuabe
[ ]
Ibu TOP adik ajak
supaya
‘Saya ibu panggil supaya mengajak adik’
hetu
AKT-ajak
i. A1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Ama
hetu
ali
nuabe [ ] toma
eto
Ayah AKT-ajak
adik supaya
PAS-dapat lihat
‘Ayah mengajak adik supaya dilihat oleh ibu’
Ama
nhetu
ali
nuabe [ ]
Ayah AKT-ajak
adik supaya TOP
‘Ayah mengajak adik supaya ibu lihat’
ina
ibu
ali
adik
ali
adik
odi
Prep
ina
ibu
eto
AKT-lihat
k. P1=A2 dan A1=P2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa)
Au
mela
ali
nuabe [ ]
toma
eto
1TG
AKT-panggil adik supaya
PAS-dapat
lihat
odi
ali
Prep
adik
‘Saya memanggil adik supaya dilihat oleh adik’
(ii)
Au
mela
ali
nuabe [ ]
1TG
AKT-ajak adik
supaya TOP
‘Saya memanggil adik supaya adik lihat’
ali
adik
eto
AKT-lihat
Contoh (9.22) yang ditandai dengan (i) dan (ii) menunjukkan bahwa jika S
berkoreferensi
dengan P,
maka terjadi revaluasi struktur, yaitu penurunan
(derivasi) sintaktis berupa pemasifan (contoh yang ditandai (i)) salah satu
klausanya atau penopikan (contoh yang ditandai (ii)). Berdasarkan kenyataan itu
384
secara sintaksis BKm tidak memperlakukan S sama dengan P sehingga dapat
disimpulkan bahwa BKm bekerja dalam sistem pivot S/A.
Pembahasan sebelumnya telah menguraikan perilaku gramatikal
BKm
terkait dengan pelesapan FN pada klausa purposif. Pembahasan berikutnya
dilanjutkan dengan mencermati perilaku gramatikal BKm yang terkait dengan
penggabungan dua klausa secara subordinatif dengan klausa adverbial
berdasarkan kemungkinan penggabungan
(a), (c), (e), (g), dan (j) untuk
penentuan pivot. Perhatikan contoh klausa adverbial BKm berikut ini.
(9.23) a. S1=S2 (kedua klausa intransitif)
Hine senua hali
hei ti [ ]
Wanita DEF pulang
sebelum
‘Wanita itu pulang sebelum minum’
enu
minum
c. S1=A2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif)
Pius mai
pas
[]
eto
Yanti
Pius datang waktu
AKT-lihat
Yanti
‘Pius datang ketika melihat Yanti’
e. A1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif)
Yanti eto
Pius hei ti
[ ] la
de
Atambua
Yanti AKT-lihat
Pius sebelum
pergi Prep Atambua
‘Yanti melihat Pius sebelum pergi ke Atambua’
g. A1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Pius eto
Yanti pas [ ]
ala
Pius AKT-lihat
Yanti waktu
AKT-beli
‘Pius melihat Yanti ketika membeli daging babi’
j. P1=P2 dan A1=A2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa)
Pius guit
hei ti [ ] me’u
Yanti
Pius AKT-cubit
sebelum
AKT-cium Yanti
‘Pius mencubit sebelum mencium Yanti’
si
ahi
daging babi
385
Contoh (9.23) memperlihatkan proses penggabungan dua klausa secara
koordinatif yang mengandung klausa adverbial berdasarkan kemungkinan
penggabungan
(a), (c), (e), (g), dan (j). Contoh
tersebut
dengan jelas
menunjukkan bahwa A dengan S atau A1 dengan A2 dapat berkoreferensi secara
langsung, tanpa melalui proses penurunan (derivasi) sintaksis. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa BKm secara sintaksis bekerja dengan sistem pivot S/A.
Proses penggabungan dua klausa yang mengandung klausa purposif BKm
berdasarkan kemungkinan penggabungan (b), (d), (f), (h), (i), dan (k) telah
menunjukkan bahwa BKm tidak memperkenankan terjadinya pelesapan salah satu
FN secara langsung tanpa
berkoreferensi
dengan
P.
penurunan
BKm
(derivasi) sintaksis apabila A
memiliki
mekanisme
tersendiri
untuk
memungkinkan terjadinya pelesapan FN pada saat penggabungan dua klausa
secara subordinatif berdasarkan kemungkinan penggabungan (b), (d), (f), (h), (i),
dan (k), yaitu dengan pemasifan (pasif analitik) dan pentopikan. Berikut disajikan
proses penggabungan dua klausa BKm secara subordinatif melalui penurunan
(derivasi) sintaksis.
(9.24) b.
S1=P2 (klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif)
(i) Pius enu
pas [ ] toma
eto
odi
Yanti
Pius AKT-minum
ketika
PAS-dapat lihat Prep Yanti
‘Pius minum ketika dilihat oleh Yanti’
(ii)
Pius
enu
pas [ ]
Pius
AKT-minum ketika TOP
‘Pius minum ketika Yanti lihat’
Yanti eto
Yanti AKT-lihat
386
(i)
(ii)
(i)
d.
P1=S2 (klausa pertama transitif, klausa kedua intransitif)
Yanti toma
eto
odi
Pius pas [ ] hali
Yanti PAS-dapat
lihat Prep Pius ketika AKT-pulang
‘Yanti dilihat oleh Pius ketika pulang’
Yanti
Pius eto
Yanti TOP
Pius AKT-lihat
‘Yanti Pius lihat ketika pulang’
pas
[ ] hali
ketika
AKT-pulang
f. P1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Yanti
toma
ele
odi
ina
pas [ ]
Yanti PAS-dapat
cari
Prep ibu
ketika
toma
PAS-dapat
eto
odi
ama
lihat
Prep ayah
‘Yanti dicari oleh ibu ketika dilihat oleh ayah’
(ii)
(ii)
Yanti
ina
ele
YantiTOP
ibu
AKT-cari
‘Yanti ibu cari ketika ayah lihat’
pas [ ] ama eto
ketika
ayah AKT-lihat
h. P1=A2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Ali
toma
ele
odi
ina
pas [ ] botu
Yanti
Adik
PAS-dapat
cari
Prep ibu
ketika
AKT-temu Yanti
‘Adik dicari oleh ibu ketika bertemu Yanti’
(ii) Ali
ina ele
pas
[]
Adik TOP ibu AKT-cari
ketika
‘Adik ibu cari ketika bertemu Yanti’
(i)
(ii)
botu
AKT-temu
Yanti
Yanti
i. A1=P2 (kedua klausa transitif, satu FN biasa)
Ina
ele
ali
pas [ ] toma
mela odi ama
Ibu
AKT-cari
adik ketika PAS-dapat panggil Prep ayah
‘Ibu mencari adik ketika dipanggil oleh ayah’
Ina
ele
ali
pas [ ]
ama
Ibu
AKT-cari
adik
ketika TOP ayah
‘Ibu mencari adik ketika ayah panggil’
mela
panggil
387
(ii)
k. P1=A2 dan A1=P2 (kedua klausa transitif, dua FN biasa)
Pius
li’u
Yanti hei ti
[ ] toma
me’u
Pius
AKT-kejar
Yanti sebelum
PAS-dapat
cium
odi
Yanti
Prep
Yanti
‘Pius mengejar Yanti sebelum dicium dari Yanti’
(ii)
Pius
li’u
Yanti hei ti
[ ] Yanti me’u
Pius
AKT-kejar
Yanti sebelum
TOP Yanti AKT-cium
‘Pius mengejar Yanti sebelum Yanti cium’
Contoh (9.24) sekali lagi menegaskan bahwa penggabungan klausa yang
telah dilakukan terhadap BKm menunjukkan bahwa bahasa tersebut secara
sintaksis bekerja dengan S/A pivot. Hal ini disebabkan oleh BKm tidak
mengizinkan pelesapan secara langsung FN apabila A berkoreferensi dengan P
sehingga diperlukan adanya proses penuruan (derivasi) sintaksis melalui
mekanisme pemasifan (pasif analitik) yang ditandai (i) dan penopikan yang
ditandai (ii) pada contoh di atas. Berdasarkan contoh penggabungan klausa secara
subordinatif BKm yang telah disajikan di atas, dapat ditegaskan kembali bahwa
BKm merupakan bahasa yang secara sintaksis bekerja dengan sistem S/A pivot.
9.5 Pembentukan Kalimat Tanya
Pada bab IV (bagian 4.5.2) telah diuraikan konstruksi kalimat interogatif
BKm. Pada bagian ini, kembali dijelaskan tentang bagaimana konstruksi kalimat
tanya BKm dibentuk. Pembahasan pembentukan kalimat tanya ini bertujuan
mengamati perilaku gramatikal konstruksi tersebut sehingga dapat memperkuat
simpulan sebelumnya yang menyatakan bahwa BKm merupakan bahasa yang
bertipe akusatif secara sintaksis dengan mengacu pada konstruksi sintaksis, yaitu
388
konstruksi dengan verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap jusif,
konstruksi koordinatof, dan konstruksi subordinatif. Perhatikan contoh kalimat
tanya berikut untuk melihat apakah BKm bekerja dengan S/A pivot atau bukan.
(9.25) a. Mane
senua mai
de
Laki-laki DEF datang Prep
‘Pius datang ke rumah saya‘
au-ng
1TG-Lig
b. Basia
mai
de
au-ng
Siapa
datang Prep 1TG-Lig
‘Siapa datang ke rumah saya?’
(9.26) a.
uma
rumah
uma?
rumah
Ina
laka au
hali de
uma
Ibu
suruh 1TG pulang Prep rumah
‘Ibu menyuruh saya pulang ke rumah’
b. Basia
laka au
hali de
uma?
Siapa
suruh 1TG pulang Prep rumah
‘Siapa menyuruh saya pulang ke rumah?’
Contoh (9,25a) merupakan kalimat intransitif BKm. Pada contoh (9.25b)
terlihat bahwa S, mane senua ‘laki-laki itu’ dapat ditanyakan secara langsung
dengan menggunakan kata tanya basia ‘siapa’ tanpa melalui proses penurunan
(derivasi) sintaksis. Contoh (9.26) merupakan kalimat transitif BKm.
Pada
kalimat tersebut, ina ‘ibu’ berperan sebagai agen (A) dan au ‘saya’ berperan
sebagai pasien (P). Contoh ini juga menunjukkan bahwa agen ina ‘ibu’ dapat
ditanyakan secara langusng dengan menggunakan kata tanya basia ‘siapa’ tanpa
melalui proses penurunan (derivasi) sintaksis. Ini menunjukkan bahwa S dan A
dalam BKm diperlakukan sama secara sintaksis.
Contoh kalimat tanya di atas membuktikan bahwa BKm merupakan
bahasa yang bekerja dengan S/A pivot karena S (kalimat intransitif) dan A
389
(kalimat transitif) dapat ditanyakan secara langsung dengan kata tanya basia
‘siapa’ tanpa melalui proses penurunan (derivasi) sintaksis. Sebaliknya, untuk
menanyakan P, diperlukan penurunan (derivasi) sintaksis melalui penopikan dan
pemasifan, seperti tersaji pada contoh berikut.
(9.27) a.
Basia
ina
laka hali de
Siapa
ibu
suruh pulang Prep
‘Siapa ibu suruh pulang ke rumah?’
uma?
rumah
b. Basia
toma
laka hali de
Siapa
PAS-dapat
suruh pulang Prep
‘Siapa disuruh pulang ke rumah oleh ibu?’
uma odi
rumah Prep
ina?
ibu
Contoh (9.30) di atas menunjukkan bahwa P tidak dapat ditanyakan secara
langsung. Untuk dapat menanyakan P, diperlukan penurunan (derivasi) sintaksis,
yaitu penopikan seperti contoh (9.30a) dan pemasifan seperti contoh (9.30b).
9.6 Aliansi Gramatikal Bahasa Kemak
Bagian sebelumnya telah menguraikan perilaku gramatikal kalimat BKm
yang terkait di dalamnya tentang klausa dasar (kalimat tunggal) dan kalimat
majemuk, baik kalimat majemuk setara maupun bertingkat. Setelah mencermati
pengujian terhadap perilaku gramatikal terkait dengan konstruksi sintaksis BKm,
yaitu konstruksi dengan verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap jusif,
konstruksi koordinatif, dan konstruksi subordinatif pada akhirnya berujung pada
penentuan tipologi sintaksis BKm yang memperlihatkan bahwa BKm merupakan
bahasa yang secara tipologi merupakan bahasa akusatif secara sintaksis. Akusatif
390
secara sintaksis
BKm ditunjukkan dengan perlakuan yang diberikan
kepada A sama dengan S dan berbeda dengan P. Sistem aliansi gramatikal secara
sintaksis BKm dapat digambarkan seperti di bawah ini.
A
S
p
Bagan di atas menggambarkan sistem aliansi gramatikal BKm secara
sintaksis merupakan bahasa yang bertipologi akusatif. Simpulan ini diperoleh
berdasarkan perpaduan dari temuan-temuan dan simpulan-simpulan yang telah
disajikan pada pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Secara khusus bagian ini
bertujuan untuk memperlihatkan kembali bukti-bukti gramatikal yang mendukung
penentuan sistem aliansi gramatikal BKm yang merupakan bahasa bertipologi
akusatif seara sintaksis. Sebelum menguraikan lebih jauh tentang aliansi
gramatikal BKm, berikut ini dipaparkan kembali sekilas tentang teori yang terkait
dengan aliansi gramatikal sebagai pijakan teoretis dalam penentuan aliansi
gramatikal BKm.
.
9.6.1
Peran Semantis dalam Tipologi Bahasa dan Aliansi Gramatikal
Penentuan jenis-jenis bahasa berdasarkan teori tipologi linguistik dapat
dilakukan melalui pengujian secara semantis dan sintaksis. Asumsi dasar
menyatakan bahwa setiap bahasa pasti memiliki verba intransitif dan verba
transitif. Dalam sebuah konstruksi dengan verba intransitif, dibutuhkan satu
391
argumen
yang merupakan satu-satunya argumen S pada konstruksi tersebut.
Sementara, konstruksi dengan verba transitif membutuhkan dua argumen atau
lebih. Bagian awal bab ini telah menguraikan tentang satuan-satuan dasar
semantis-sintaksis
seperti yang dikemukakan oleh Comrie (1981, 1989) dan
Artawa (1998: 132—133; 2002: 23) yang menggunakan istilah P untuk merujuk
ke objek transitif. Berikut ini disajikan kembali satuan-satuan dasar semantissintaksis tersebut.
S
: satu-satunya argumen kalimat intransitif
A
: argumen agen kalimat transitif
P
: argumen pasien kalimat transitif
Dalam menentukan aliansi gramatikal, perilaku sintaksis A dan P
merupakan patokan dalam penentuan tipe sebuah abahasa, apakah bertipe akusatif
atau bertipe ergatif. Jika A diperlakukan sama dengan S (satu-satunya argumen
kalimat intranstif), maka bahasa tersebut dikategorikan sebagai bahasa yang
bertipologi akusatif secara sintaksis. Sementara, jika P diperlakukan sama dengan
S, maka bahasa tersebut dikatakan memiliki tipologi ergatif secara sintaksis.
Lebih lanjut dalam penentuan aliansi gram
atikal, para ahli tipologi bahasa
menganggap bahwa argumen satu-satunya pada kalimat intransitif merupakan
subjek gramatikal yang dijadikan patokan dalam penentuan tipologi bahasa.
Kalaupun terdapat argumen lain yang hadir dalam kalimat intransitif, umumnya
argumen tersebut ditandai oleh kehadiran preposisi atau pemarkah kasus yang
menandakan bahwa argumen tersebut merupakan argumen oblik/relasi oblik.
Dijadikannya S yang merupakan satu-satunya argumen kalimat intranstitf sebagai
patokan penentuan tipologi bahasa, baik secara morfologis maupun sintaksis
392
karena melihat apakah S tersebut diperlakukan sama dengan A atau P (Artawa,
1995: 60—61).
Terkait dengan istilah ‘perlakuan yang sama’, Artawa (1995:61)
mengungkapkan bahwa perlakuan yang sama tersebut dapat terjadi, baik pada
tataran morfologis maupun tataran sintaksis. Perlakuan yang sama ini merujuk
kepada perlakuan yang diberikan S, A, dan P. Lebih jauh, Artawa
mengungkapkan bahwa perbedaan perlakuan pada tataran semantis dan sintaksis
ini merupakan unsur yang sangat penting dalam menentukan tipologi sebuah
bahasa. Hal ini disebabkan oleh fakta bahasa yang menunjukkan bahwa terdapat
bahasa pada tataran morfologis merupakan bahasa yang bertipe ergatif, sementara
pada tataran sintaksis bahasa tersebut berperilaku seperti bahasa yang bertipe
akusatif. Berikut ini digambarkan kedua tipe tipologi bahasa tersebut.
S
S
A
P
P
Akusatif
A
Ergatif
Penting diketahui bahwa perbedaan antara ‘peran gramatikal’ dan ‘fungsi
gramatikal’ terkait erat dengan istilah perlakuan yang sama antara A dan S, tetapi
berbeda dengan P dalam sistem akusatif dan perlakuan yang sama antara S dan P,
tetapi berbeda dengan A. Palmer (1994:14) menyatakan bahwa S, A dan P
merupakan peran gramatikal, sementara S=A dan S=P merupakan relasi
gramatikal. Jika peran gramatikal S, A, dan P (S, A, dan O menurut Dixon, 1994)
393
dikaitkan dengan kecenderungan sistem tipologi bahasa, maka didapat bahasa
yang bersistem S=A dan S=P atau yang lainnya. Sistem pengelompokan peran S,
A, dan P yang melahirkan sistem relasi gramatikal secara tipologis yang
memperlakukan S=A dan S=P inilah yang disebut dengan aliansi gramatikal
(grammatical alignment) atau disebut juga sebagai persekutuan gramatikal (lihat
Dixon, 1994; Arka 2000: 424; Payne, 2002: 133—139).
Pengkajian aliansi gramatikal BKm dalam disertasi bertujuan untuk
menentukan sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal yang dimiliki
oleh BKm secara tipologis, apakah BKm merupakan bahasa bertipe S=A, S=P,
Sa=A, dan Sp=P, atau yang lainnya. Pengkajian tipologi BKm ini dibatasi hanya
pada tataran sintaksis untuk melihat dua sistem aliansi gramatikal, apakah BKm
sebagai bahasa bertipe akusatif, ergatif, S-terpilah, atau S-alir.
9.6.2
Aliansi Gramatikal dan Tipologi Sintaksis Bahasa Kemak
Pembahasan tentang aliansi gramatikal dan tipologi sintaksis merupakan
dua pemabahsan yang saling terkait. Sistem aliansi gramatikal satu bahasa, baik
S=A dan S=P maupun yang lainnya mencerminakan tipologi bahasa tersebut. Jadi,
sistem aliansi gramatikal satu bahasa dijadikan sebagai pedoman untuk
menentukan tipologi bahasa tersebut, apakah bertipe akusatif (S=A dan ≠ P),
ergatif (S=P dan ≠A), atau Sa=A dan Sp=P. Penentuan sistem aliansi gramatikal
BKm mengacu kepada penelahaan-penelahaan yang telah disajikan pada bab-bab
sebelumnya, yaitu dari pembahasan struktur dasar, kalimat kompleks, dan
konstruksi sintaksis BKm. Setelah dapat ditentukan sistem aliansi gramatikal
394
BKm, maka selanjutnya temuan tersebut dijadikan pijakan untuk menetapkan
tipologi sintaksis BKm. Berdasarkan pengujian-pengujian konstruksi sintaksis
yang telah dilakukan, ditemukan bahwa BKm memiliki ciri sebagai bahasa yang
bertipe akusatif secara sintaksis.
Pada bab IV telah diuraikan struktur dasar BKm dan diperoleh simpulan
awal bahwa klausa (kalimat tunggal) BKm terdiri atas klausa dengan predikat
verbal dan klausa dengan predikat nonverbal. Terkait dengan penelitian tipologi
sintaksis, hanya klausa dengan predikat verbal yang digunakan untuk melakukan
pengujian sintaksis untuk menentukan sistem aliansi gramatikal BKm. Mari
cermati kembali contoh klausa intransitif dan transitif BKm berikut ini.
(9.28) a.
b.
Ina
hali na’arua
Ibu
pulang kemarin
‘Ibu pulang kemarin’
Hine senua me’u au
Wanita DEF cium 1TG
‘Wanita itu mencium saya’
Contoh (9.28) di atas merupakan klausa intransitif dan transitif BKm.
Subjek (gramatikal) klausa tersebut adalah ina ‘ibu’ (klausa 9.28a) dan hine senua
‘wanita itu (klausa 9.28b). Kedua argumen tersebut dikategorikan sebagai subjek
(gramatikal) didasarkan pada pengujian subjek atau kesubjekan BKm (seperti
telah diuraikan pada bab VII subbagian 7.4.1. Berdasarkan pengujian tersebut
didapat ciri-ciri utama subjek (gramatikal) BKm, yaitu (i) FN praverbal, (ii) satusatunya argumen) FN praverbal pada konstruksi intransitif, (iii) FN praverbal
yang berfungsi sebagai agen, (iv) FN yang dapat direlatifkan, dan (v) FN (agen)
yang mengontrol bentuk refleksif.
395
Apabila diulas lebih jauh, ina ‘ibu’ pada klausa (9.28a) merupakan satusatunya
argumen (FN praverbal) yang
sekaligus berfungsi sebagai subjek
gramatikal verba intransitif. Sementara, pada klausa (9.28b) terdapat dua
argumen, yaitu argumen praverbal hine senua ‘wanita itu’ yang secara semantis
berperan sebagai agen (A) dan argumen posverbal au ’saya’ yang secara semantis
berperan sebagai pasien (P). Berdasarkan ciri subjek yang telah dijelaskan di atas,
maka argumen hine senua ‘wanita itu’ merupakan subjek gramatikal dari klausa
transitif tersebut. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa argumen hine senua
‘wanita itu’ menempati posisi praverbal yang juga merupakan FN pra-verbal agen.
Di samping itu, argumen hine senua ‘wanita itu’ tersebut juga dapat direlatifkan,
seperti yang digambarkan pada klausa di bawah ini.
(9.29) Hine
ne
tama baru meak senua me’u
Wanita
REL pakai baju merah DEF cium
‘Wanita yang memakai baju merah itu mencium saya’
au
1TG
Bukti yang diajukan berikutnya untuk dapat menentukan sistem aliansi
gramatikal BKm yang sekaligus digunakan untuk menentukan tipologi sintaksis
BKm adalah dengan menyajikan kembali konstruksi sintaksis BKm yang terdiri
atas konstruksi verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap jusif,
konstruksi koordinatif, dan konstruksi subordinatif. Berikut ini disajikan kembali
setiap contoh konstruksi tersebut.
(9.30) a. Ua
e
[]
botu
3TG
ingin
bertemu
‘Dia ingin bertemu kepala dusun’
dato galang
dusun kepala
b. Roma
nita dato galang
mai
matamai
3JM
minta dusun kepala
datang besok
‘Mereka meminta kepala dusun datang besok’
396
c. Pius
hali kahi [ ]
Pius
pulang lalu
‘Pius pulang lalu mencium ibu’
me’u
cium
ina
ibu
d. Pius
mai
pas
[]
eto
Pius
datang waktu
AKT-lihat
‘Pius datang ketika melihat Yanti’
Yanti
Yanti
Contoh (9.30a) merupakan konstruksi dengan verba tak terbatas, contoh
(9.30b) merupakan konstruksi dengan pemerlengkap jusif, contoh (9.30c)
merupakan konstruksi koordinatif, dan contoh (9.30d) merupakan konstruksi
subodinatif.
Keempat
contoh
tersebut
memberikan
bukti
bahwa BKm
memperlakukan A pada klausa transitif sama dengan S pada klausa intransitif dan
memberikan perlakuan yang berbeda kepada P (S=A dan
P). Jika S
berkoreferensi dengan P, maka diperlukan penurunan (derivasi) sintaksis melalui
pemasifan dan penopikan sehingga S dengan P dapat berujuk silang.
Mekanisme perubahan valensi BKm juga telah menunjukkan bukti bahwa
BKm memiliki ciri sebagai bahasa akusatif secara sintaksis sama halnya dengan
bahasa Inggris. Berdasarkan telaah data-data dan bukti-bukti yang telah diuraikan
pada bab-bab sebelumnya, yaitu mulai dari pembahasan struktur dasar sampai
pada kalimat kompleks pada dasarnya telah ditemukan bukti-bukti gramatikal
yang menunjukkan bahwa BKm merupakan bahasa yang memberikan perlakuan
yang sama antara A dan S, tetapi perlakuan yang berbeda diberikan kepada P.
Bukti yang menyatakan bahwa BKm merupakan bahasa yang bekerja dengan
sistem S/A pivot telah diberikan melalui pengujian penggabungan dua klausa
berdasarkan sebelas kerangka kerja yang dikemukakan oleh Dixon (1994:157—
397
160), baik secara koordinatif maupun subordinatif. Pengujian secara sintaksis
yang telah dilakukan menghasilkan temuan dan simpulan
yang menyatakan
bahwa BKm secara tipologis merupakan bahasa yang bertipe nominatif/akusatif
pada tataran sintaksis. Dengan simpulan tersebut dapat digambarkan sistem aliansi
gramatikal BKm sebagai berikut.
S
atau S = A, ≠ P
A
p
9.7 Diatesis Bahasa Kemak
Seperti telah diungkapkan pada bagian awal disertasi ini bahwa BKm
tergolong ke dalam bahasa yang memiliki diatesis aktif. Pada bab IV juga telah
diuraikan bahwa BKm memiliki pola urutan kanonis SVO. Pola kanonis SVO ini
mencerminkan pola kalimat aktif yang lebih menonjolkan pelaku atau agen
daripada pasien.
Shibatani (1988:3) menyatakan bahwa diatesis (voice) dipahami sebagai
satu mekanisme yang memilih unsur-unsur sintaksis utama, yaitu subjek
gramatikal dari fungsi-fungsi semantis dasar (kasus dan peran tematis) klausa.
Terkait dengan istilah diatesis, Kridalaksana (1993:3) juga mengungkapkan
bahwa diatesis merupakan kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan
antara partisipan atau subjek dan perbuatan yang dinyatakan oleh verba dalam
398
klausa. Shibatani (1988:3) lebih jauh mengungkapkan bahwa pada umumnya
bahasa-bahasa di dunia memiliki strategi diatesis dasar yang dikenal dengan
diatesis
aktif-pasif.
Pertentangan
diatesis
aktif-pasif
ini
merujuk
pada
pertentangan semantis. Pada diatesis aktif, subjek bertindak sebagai instigator
atas yang lain atau memengaruhi yang lain. Sebaliknya pada diatesis pasif, subjek
dipengaruhi atau tempat jatuhnya perbuatan.
Bahasa yang bertipologi sebagai bahasa akusatif memiliki diatesis aktif
pasif. Sementara, bahasa yang bertipologi sebagai bahasa ergatif memiliki diatesis
ergatif dan antipasif. Diatesis pasif merupakan diatesis turunan dari diatesis aktif,
sementara diatesis antipasif merupakan diatesis turunan dari diatesis ergatif. Salah
satu contoh bahasa yang memiliki diatesis aktif-pasif adalah bahasa Inggris yang
secara tipologi merupakan bahasa akusatif. Sementara, bahasa Dyirbal yang
merupakan bahasa yang bertipologi ergatif memiliki diatesis ergatif dan diatesis
turunan antipasif.
Data kebahasaan BKm yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya
telah mengungkapkan bahwa bahasa tersebut merupakan bahasa yang bertipe
akusatif secara sintaksis. Berdasarkan uraian di atas, yaitu sebagai bahasa yang
bertipologi akusatif, BKm memiliki diatesis aktif-pasif. Konstruksi sintaksis
dengan diatesis aktif merupakan konstruksi dasar (underlying form). Sementara,
konstruksi sintaksis dengan diatesis pasif merupakan konstruksi turunan (derived
form). Perhatikan contoh konstruksi berikut yang menggambarkan konstruksi
dengan diatesis aktif BKm.
399
(9.31) a.
b.
Au
para
mane
1TG AKT-pukul laki-laki
‘Saya memukul laki-laki itu’
senua
DEF
Ama betu
asu
senua
Ayah AKT-tendang anjing DEF
‘Ayah menendang anjing itu’
Contoh (9.31) menggambarkan konstruksi sintaksis BKm yang memiliki
diatesis aktif. Seperti dijelaskan di atas bahwa perbedaan antara diatesis aktifpasif merujuk pada pertentangan semantis sehingga kedua contoh klausa tersebut
dikategorikan sebagai konstruksi dengan diatesis aktif karena subjek dari kedua
klausa tersebut, yaitu au ‘saya (klausa 9.31a) dan ama ‘ayah’ (klausa 9.31b)
bertindak selaku instigator dan memengaruhi partisipan yang lain, yaitu mane
senua ‘laki-laki itu’ pada klausa (9.31a) dan asu senua ‘anjing itu’ pada klausa
(9.31b).
Pada pembahasan tata urutan kata BKm pada bab IV telah diuraikan pula
bahwa BKm memiliki pola kanonis SVO dan memiliki struktur lain, yaitu
pemfokusan dan pemasifan. Terkait dengan pamasifan atau konstruksi pasif, para
ahli telah memberikan ciri-ciri umum konstruksi pasif (lihat Givon, 1990: 566;
Foley dan van Valin, Jr. 1994; Dixon, 1994; Palmer, 1994: 16) yang dapat
dirangkum sebagai berikut.
Diperlakukan pada klausa transitif untuk membentuk klausa intransitif;
(i) Objek naik atau promosi untuk menempati posisi subjek.
(ii) Subjek diturunkan ke argumen oblik atau dapat juga dihilangkan atau
bersifat opsional.
(iii) Perubahan terjadi pada tataran morfologi verba untuk menandai proses
pemasifan.
(iv) Secara sintaksis, pemasifan merupakan proses penciptaan subjek.
(v) Pasif merupakan proses daur ulang (cyclic).
400
(vi)
Pasif merupakan bentuk terikat (dalam satu) klausa.
(vii) Pasif merupakan bentuk transformasi struktur yang bersifat turunan.
(viii) Pasif diatur kaidah (tata bahasa).
Telah dijelaskan pula bahwa BKm memiliki konstruksi pasif analitik
dengan menghadirkan leksikal toma ‘dapat’ untuk dapat membentuk konstruksi
pasif. Hal ini terjadi karena BKm tidak memiliki afiks (proses morfologis) untuk
menurunkan konstruksi pasif dari konstruksi aktif. Berikut ini disajikan contoh
klausa BKm yang merupakan konstruksi sintaksis dengan diatesis pasif yang
merupakan turunan dari konstruksi diatesis aktif contoh klausa (9.28) di atas.
(9.32) a.
b.
Mane
senua toma
Laki-laki
DEF PAS-dapat
‘Laki-laki itu dipukul oleh saya’
para dase au
pukul Pprep 1TG
Asu
senua toma
betu
Anjing DEF PAS-dapat
tendang
‘Anjing itu ditendang oleh ayah’
dase
Prep
ama
ayah
Contoh (9.32) merupakan konstruksi sintaksis BKm yang mengandung
diatesis pasif. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam diatesis pasif,
subjek merupakan tempat jatuhnya perbuatan. Dengan demikian, contoh (9,32)
merupakan konstruksi sintaksis yang memiliki diatesis pasif karena subjek pada
konstruksi tersebut, yaitu mane senua ‘laki-laki itu’ (klausa 9.32a) dan asu senua
‘anjing itu’ (klausa 9.32b) merupakan tempat jatuhnya perbuatan. Satu hal lagi
yang dapat dilihat pada konstruksi tersebut bahwa pasif BKm merupakan pasif
analitik memperkuat pernyataan sebelumnya bahwa BKm tidak memiliki proses
morfologis untuk menurunkan konstruksi pasif dari konstruksi aktif.
Berdasarkan ciri-ciri umum yang dikemukakan oleh para ahli terkait
dengan konstruksi pasif, maka konstruksi pasif BKm paling tidak telah memenuhi
401
delapan dari sembilan ciri umum pasif. Hanya satu ciri umum konstruksi pasif
yang tidak dimiliki oleh konstruksi pasif BKm, yaitu ciri nomor (v) yang
menyatakan bahwa perubahan terjadi pada tataran morfologi verba
untuk
menandai pemasifan. Ciri nomor (v) ini tidak dapat dipenuhi oleh BKm
mengingat BKm merupakan bahasa yang tergolong tidak memiliki proses
morfologis (afiksasi) untuk menurunkan konstruksi pasif dari konstruksi aktif.
Namun, BKm memiliki mekanisme tersendiri untuk membentuk konstruksi pasif,
yaitu dengan menghadirkan leksikal toma ‘dapat’.
Di samping memiliki diatesis aktif-pasif yang merupakan dua diatesis
yang dimiliki oleh bahasa yang bertipologi akusatif, BKm juga memiliki ditesiss
medial. Terkait dengan diatesis medial, Shibatani dalam Kulikov dan Vater (ed.)
(1998:17) mengungkapkan bahwa secara tradisional diatesis merupakan pertautan
antara (rujukan) subjek dan tindakan yang dinyatakan oleh verba. Lebih lanjut,
Shibatani dalam Kulikov dan Vater (ed.) (1998:17) menyatakan bahwa diatesis
adalah nama untuk konstruksi verbal sesuai dengan bagaimana konstruksi tersebut
mengungkapkan tindakan atau keadaan berkenaan dengan subjeknya (diatesis
aktif), dikenai perbuatan/tindakan (diatesis pasif), dan dipengaruhi oleh
tindakannya sendiri (diatesis medial/refleksif). Terkait dengan tiga oposisi
mendasar kategori tersebut, Shibatani (1998) mengemukakan tiga bentuk
(konstruksi) verbal sebagai berikut.
(i)
Bentuk aktif: subjek sebagai agen, melakukan tindakan yang meluas ke
wujud (entitas) bebas, yaitu pasien, memengaruhi pasien sehingga pasien
sampai pada keadaan tertentu.
402
(ii)
Bentuk medial: subejk melakukan tindakan yang memengaruhi dirinya
sendiri sehingga subjek mengalami perubahan keadaan.
(iii)
Bentuk pasif: subjek, pasien berada dalam keadaan tertentu akibat
mengalami perubahan keadaan yang disebabkan oleh tindakan yang
dilakukan oleh agen.
Terkait dengan diaresis medial, Klaiman dalam Shibatani (ed.) 1988: 31—
33) mengemukakan lima ciri gramatikal diatesis medial sebagai berikut.
(i)
Verba diatesis medial menunjukkan makna atau kegiatan refleksif atau
resiprokal.
(ii)
Diatesis medial berfungsi untuk memperlihatkan status keberutungan
(beneficiary) yang dialami subjek terhadap tindakan. Diatesis medial
memperlihatkan status ganda subjek, sebagai sumber tindakan dan
sekaligus juga sebagai entitas yang dipengaruhi oleh tindakan tersebut atau
tempat jatuhnya pengaruh/tindakan tersebut.
(iii)
Pengungkapan tindakan yang dialami oleh penderita dipahami sebagai
tindakan yang berada dalam lingkaran subjek; penderita berperilaku atau
termasuk ke subjek itu sendiri.
(iv)
Diatesis medial mengungkapkan watak subjek, akibat yang timbul tertuju
pada subjek.
(v)
Pengaruh tindakan yang dilakukan oleh agen/subjek, baik atau buruk,
tertuju langsung kepada subjek.
Untuk mengamati perilaku gramatikal terkait dengan diatesis medial BKm,
berikut ini disajikan contoh konstruksi verbal yang berdiatesis medial yang
403
menunjukkan status ganda subjek, baik yang berfungsi sebagai sumber tindakan
maupun sekaligus berfungsi sebagai entitas yang mendapat keuntungan atas
tindakan yang dilakukan tersebut.
(9.33) a.
Pius
himos
Pius
MED-membersihkan
‘Pius membersihkan tangannya’
b. Yanti
sau
Yanti
MED-menyisir
‘Yanti menyisir rambutnya’
(9.34) a.
ua-ng
3TG-Lig
ua-ng
3TG-Lig
hulu-ng
rambut-Lig
Au
a
si
ahi
1TG
MED-makan daging babi
‘Saya makan daging babi’
b. Au-ng
ali-ng
ruis
de
1TG-Lig adik-Lig
MED-mandi Prep
‘Adik saya mandi di sungai
(9.35) a.
lima-ng
tangan-Lig
holang
sungai
Roma
para arag
3JM
pukul MED-saling
‘Mereka saling pukul’
b. Pius
no
Yanti me’u
Pius
dan
Yanti cium
‘Pius dan Yanti saling cium’
arag
MED-saling
Contoh (9.33)--(9.35) merupakan konstruksi yang mengandung diatesis
medial dalam BKm. Contoh (9.33a dan b) memperlihatkan bahwa subjek (agen)
melakukan suatu kegiatan atau tindakan yang mengenai atau memengaruhi subjek
itu sendiri. Hal yang sama juga terlihat pada contoh (9.34a dan b)
yang
menunjukkan bahwa subjek (agen) melakukan tindakan atau kegiatan yang
memberikan keuntungan kepada subjek (agen) itu sendiri. Contoh (9.35 a dan b)
juga merupakan kontruksi medial karena hadirnya leksikon arag ‘saling’ yang
404
mengandung makna resiprokal, yaitu subjek (agen) melakukan suatu tindakan
yang memengaruhi subjek itu sendiri.
9.8 Temuan Penelitian
Bab ini telah menguraikan tipologi sintaksis BKm yang membahas
konstruksi sintaksis yang meliputi konstruksi dengan verba tak terbatas,
konstruksi dengan pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatif, konstruksi
subordinatif, dan pembentukan kalimat tanya. Bab ini juga menguraikan diatesis
BKm, yaitu diatesis aktif-pasif dan diatesis medial. Berdasarkan uraian di atas
ditemukan beberapa hal sebagai berikut.
1. Penentuan tipologi sintaksis BKm dilakukan dengan mengamati perilaku
gramatikal terhadap konstruksi sintaksis BKm yang meliputi konstruksi
dengan verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap jusif,
konstruksi koordinatif, konstruksi subordinatif, dan pembentukan kalimat
tanya.
2. Konstruksi dengan verba tak terbatas dan konstruksi dengan pemerlengkap
jusif menunjukkan bahwa jika S berkoreferensi dengan A, maka pelesapan
salah satu argumen dapat dilakukan secara langsung. Namun, apabila S
berkoreferensi dengan P, maka diperlukan proses penurunan (derivasi)
sintaksis melalui penopikan dan pemasifan (pasif analitik). Dengan
demikian, BKm memperlihatkan bahwa A diperlakukan sama dengan S,
tetapi berbeda dengan P.
405
3. Pengujian pivot terhadap konstruksi koordinatif dan subordinatif
berdasarkan sebelas kerangka kerja yang dikemukakan oleh Dixon (1998)
menunjukkan bahwa BKm bekerja dengan pivot S/A. Simpulan ini
diambil berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan pada saat proses
penggabungan dua klausa, baik secara koordinatif maupun subordinatif
yang menunjukkan proses pelesapan dapat terjadi secara langsung apabila
S berkoreferensi dengan A. Sebaliknya, apabila S berkoreferensi dengan P,
maka diperlukan proses penurunn (derivasi) sintaksis melalui penopikan
dan pemasifan (pasif analitik).
4. Pembentukan kalimat tanya BKm juga menunjukkan bahwa A
diperlakukan sama dengan S, tetapi berbeda dengan P.
5. Berdasarkan pengamatan perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis
tersebut ditemukan bahwa secara sintaksis BKm merupakan bahasa yang
memiliki sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S
dan memberikan perlakuan yang berbeda kepada P. Sistem aliansi
gramatikal BKm tersebut digambarkan sebagai berikut.
S
A
p
atau S = A, ≠ P
6. Berdasarkan sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama
dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda dengan P, maka BKm
dapat dikelompokkan sebagai bahasa yang bertipologi akusatif.
406
7. BKm memiliki diatesis aktif-pasif yang merupakan salah satu ciri penting
dalam bahasa bertipologi akusatif. Di samping diatesis aktif-pasif, BKm
juga memiliki diatesis medial.
BAB X
TEMUAN PENELITIAN
Bab ini menyajikan temuan penelitian berdasarkan analisis yang telah
dilakukan pada bab IV – IX. Temuan penelitian tersebut meliputi struktur klausa
BKm, tata urutan kata BKm, predikasi BKm, valensi verba, fungsi dan relasi
gramatikal BKm, kalimat kompleks BKm, dan sistem aliansi gramatikal BKm
diuraikan sebagai berikut.
(7)
Semua verba BKm merupakan verba dasar. Hal ini berarti bahwa proses
morfologis yang dapat mengubah sebuah kategori kata yang sebelumnya
bukan verba menjadi verba tidak ditemukan dalam BKm. Di samping itu,
sistem morfologi verba BKm menunjukkan pula bahwa tidak ada
persesuaian (agreement) antara verba dan subjek atau verba dan objek.
(8)
Di samping memiliki klausa verbal dan nonverbal, BKm juga memiliki
klausa eksistensial. Klausa eksistensial BKm ditandai dengan kehadiran
leksikal dia ‘ada’. Klausa eksistensial BKm memiliki dua fungsi, yaitu
berfungsi untuk menyatakan keberadaan atau kehadiran dan kepemilikan.
(9)
BKm memiliki pemarkah aplikatif podi yang berfungsi untuk meningkatkan
jumlah argumen atau valensi verba, yaitu dari verba yang bervalensi dua
(verba ekatransitif) menjadi verba yang bervalensi tiga (verba dwitransitif).
Pemarkah aplikatif podi ini menempati posisi setelah verbal (posverbal).
(10) BKm memiliki tata urutan kata SVO atau agen-verba-pasien. Di samping
itu, penelitian ini menemukan bahwa BKm memiliki struktur turunan, yaitu
407
408
pemfokusan dan pasif. Konstruksi pemfokusan ini ditandai dengan hadirnya
pemarkah te. Sementara itu, konstruksi pasif BKm ditandai dengan hadirnya
pemarkah toma ‘dapat’ dan berpindahnya subjek menjadi adjung yang
dimarkahi dengan preposisi. Konstruksi pasif BKm merupakan konstruksi
analitik (sintaksis) karena BKm tidak memiliki permarkah morfologis untuk
membentuk konstruksi pasif.
(11) Predikasi BKm dibangun oleh unsur predikat dan argumen-argumennya.
Predikat nonverbal dan intransitif BKm menghendaki satu argumen subjek
untuk membentuk predikasi. Sementara, predikasi BKm dengan predikat
verba transitif menghendaki dua argumen atau lebih. Argumen BKm
memiliki peran semantis umum argumen, yaitu ACTOR dan UNDERGOER.
Peran semantis umum ACTOR sama dengan peran agen dan UNDERGOER
sama dengan peran pasien dalam kajian tipologi bahasa.
(12) FV BKm dibangun oleh verba dan dapat disertai satu unsur aspek, modus,
dan negasi yang menempati posisi sebelum verba (praverbal) dan setelah
verba (posverbal). Aspek ei ‘akan’ dan hei ‘sedang’ menempati posisi
sebelum verba, sedangkan aspek kasai ‘sudah’
berada setelah verba.
Modus mloing ‘bisa’ menempati posisi setelah verba, sedangkan modus los
‘harus’ menempati posisi sebelum verba. Negasi ti ‘tidak’ menempati posisi
sebelum verba. Di samping dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus,
dan negasi, FV BKm juga dapat dibentuk verba dan disertai oleh gabungan
dua unsur, antara negasi dan aspek, seperti ti + ei ‘tidak+akan’,
negasi+modus, seperti ti+V+mloing ‘tidak+V+bisa’, modus+modus seperti
409
los+V+mloing ‘harus+V+bisa’, dan aspek + modus, seperti kasai mloing
‘sudah bisa’.
(13) KVS BKm dapat dibangun oleh verba serial, baik yang terdiri atas dua
verba maupun verba serial yang terdiri atas tiga verba. Baik KVS BKm
yang dibangun oleh dua maupun tiga verba memiliki fungsi gramatikal satu
subjek dan objek yang dimiliki secara bersama-sama.
(14) Berdasarkan parameter formal, BKm tidak memiliki kausatif morfologis
karena dalam BKm tidak ditemukan proses morfologis yang dapat
membentuk konstruksi kausatif. BKm hanya memiliki kausatif leksikal dan
kausatif analitik. Kausatif analitik BKm dibangun oleh verba kausatif tau
‘buat’ dan laka ‘suruh’.
(15) Konstruksi aplikatif BKm dibangun oleh verba transitif dan pemarkah
aplikatif podi yang menempati posisi setelah verba transitif. Hadirnya
pemarkah podi ini secara otomatis meningkatkan jumlah argumen, yang
sebelumnya verba berargumen dua, yaitu subjek dan objek langusng
berubah menjadi verba yang berargumen tiga, yaitu subjek, objek langsung,
dan objek tak langsung. Pemarkah aplikatif podi secara otomatis
memberikan ruang bagi argumen baru, yaitu objek tak langsung yang
langsung hadir setelah verba dan pemarkah podi.
(16) Konstruksi resultatif BKm dibangun dengan mekanisme pemasifan. Di
samping dengan mekanisme pemasifan untuk membentuk konstruksi
resultatif, BKm juga memiliki mekanisme lain untuk membentuk konstruksi
410
resultatif, yaitu menghadirkan pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ yang hadir
pada sebuah klausa/kalimat yang ditempatkan di akhir klausa/kalimat.
(17) Subjek BKm dapat diidentifikasi berdasarkan sifat-perilaku atau properti
yang dimiliki subjek, yaitu (1) subjek BKm muncul pada posisi praverbal
pada struktur kanonis; (2) adverbial dan penegasi dapat disisipkan di antara
argumen praverbal dan verbal. Pada posisi kanonik, argumen praverbal
tersebut merupakan subjek sehingga antara subjek dan verbal dapat disisipi
oleh adverbial dan penegasi; (3) subjek BKm dapat direlatifkan dengan
pemarkah ne ‘yang’. Selain subjek, BKm juga dapat merelatifkan argumen
inti yang secara sintaksis berfungsi sebagai objek, baik objek langsung
maupun objek tak langsung; (4) antara subjek dan predikat dapat disisipkan
dengan penjangka kambang; (5) subjek dapat direfleksifkan; (6) argumen
selain subjek (objek, baik OL maupun OTL) dapat dinaikkan fungsinya
menjadi subjek melalui mekanisme penaikan; (7) subjek dapat difokuskan
dengan pemarkah fokus te; (8) subjek dapat dikontrol; dan (9) frasa nomina
tidak terang (PRO) berkoreferensi dengan subjek pada klausa yang lebih
tinggi.
(18) Objek BKm merupakan argumen yang secara langsung mengikuti verbal
atau argumen posverbal pada struktur kanonis. Di samping itu, objek BKm
dapat pula diidentifikasi melalui proses pemasifan dan pengedepanan
melalui mekanisme pemfokusan.
(19) Oblik BKm dimarkahi oleh pemarkah dalam bentuk preposisi. Preposisi
pemarkah oblik BKm terdiri atas (1) de ’di./ke’ yang berfungsi sebagai
411
pemarkah oblik lokatif, (2) dase ‘dari’ yang berfungsi sebagai pemarkah
oblik sumber (source), dan (3) odi ‘dengan/kepada/untuk’ yang berfungsi
sebagai pemarkah oblik goal dan oblik instrumen.
(20) Terkait dengan perelatifan, seluruh relasi gramatikal yang meliputi subjek,
objek (langsung dan tak langsung), dan relasi oblik dalam BKm dapat
direlatifkan secara langsung tanpa melalui kiat ‘penurunan diatesis’ atau kiat
‘penandaan verba’. BKm
(21) BKm memiliki konjungsi subordinatif nuabe ‘supaya’ dan odi ‘untuk’ yang
digunakan untuk menghubungkan klausa utama (induk) dengan klausa
purposif
dalam
BKm.
Kalimat
kompleks
dengan
klausa
alasan
menggunakan konjungsi subordinatif pita ‘karena’. Sementara itu, perilaku
gramatikal klausa pemerlengkap ditunjukkan dengan hadirnya verba takterbatas, yaitu verba jenis ‘ingin’, verba jenis ‘tahu’, dan verba jenis
‘mengatakan’.
(22) Pengujian
pivot
terhadap
konstruksi
koordinatif
dan
subordinatif
berdasarkan sebelas kerangka kerja yang dikemukakan oleh Dixon (1998)
menunjukkan bahwa BKm bekerja dengan pivot S/A. Berdasarkan
pengamatan perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis tersebut
ditemukan bahwa secara sintaksis BKm merupakan bahasa yang memiliki
sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan
memberikan perlakuan yang berbeda kepada P. Sistem aliansi gramatikal
BKm tersebut digambarkan sebagai berikut.
412
S
A
p
atau S = A, ≠ P
(23) Berdasarkan sistem aliansi gramatikal yang memperlakukan A sama dengan
S dan memberikan perlakuan yang berbeda dengan P, maka BKm dapat
dikelompokkan sebagai bahasa yang bertipologi akusatif.
(24) Berdasarkan kriteria rumpun bahasa Autronesia yang dikemukakan oleh
Klamer
(dalam
Pieter
Muysken,
2008:
112--113),
BKm
dapat
dikelompokkan ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Pengelompokkan
BKm ke dalam rumpun bahasa Austonesia juga didukung oleh hasil
penelitian Stevens (1967: 26) dan Klamer (dalam Pieter Muysken,
2008:112).
BAB XI
SIMPULAN DAN SARAN
11.1 Pengantar
Bab ini merupakan bab penutup yang memuat simpulan dan saran terkait
dengan pembahasan tipologi sintaksis BKm. Simpulan ini menguraikan beberapa
temuan yang terkait dengan rumusan masalah atau terkait dengan pertanyaan
penelitian. Simpulan tersebut diuraikan secara deskriptif untuk memberikan
gambaran yang jelas tentang temuan-temuan terkait dengan pembahasan tipologi
sintaksis BKm. Bagian akhir bab ini ditutup dengan memuat saran-saran yang
berisi harapan yang ditujukan kepada para linguis atau pemerhati bahasa yang
tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan terhadap BKm.
11.2 Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang meliputi penelahaan tentang struktur
dasar BKm, peran dan relasi gramatikal BKm, predikasi BKm, valensi verba
BKm, dan kalimat kompleks BKm dapat disimpulkan beberapa temuan, seperti
tersaji di bawah ini.
11.2.1 Struktur Dasar Klausa
Penelahaan tentang struktur dasar klausa BKm menghasilkan temuantemuan berikut ini.
413
414
(25) Sistem morfologi verba BKm menunjukkan bahwa verba BKm hanya terdiri
atas verba asal. Penelitian ini tidak menemukan verba turunan BKm. Dengan
kata lain, semua verba BKm yang ditemukan merupakan verba asal. Hal ini
berarti bahwa proses morfologis yang dapat mengubah sebuah kategori kata
yang sebelumnya bukan verba menjadi verba tidak ditemukan dalam BKm.
Di samping itu, sistem morfologi verba BKm menunjukkan pula bahwa tidak
ada persesuaian (agreement) antara verba dan subjek atau verba dan objek.
(26) Struktur klausa BKm terdiri atas (1) struktur klausa berpredikat nonverbal
dan (2) struktur klausa berpredikat verbal.
Struktur klausa berpredikat
nonverbal dapat berwujud (1) klausa berpredikat nominal, (2) klausa
berpredikat adjektival, (3) klausa berpredikat numeralia, dan (4) klausa
berpredikat frasa preposisional. BKm tidak memiliki verba kopula sehingga
verba kopula tidak hadir pada klausa berpredikat nonverbal. Sementara itu,
struktur klausa berpredikat verbal terdiri atas (1) klausa intransitif, (2) klausa
ekatransitif (klausa berargumen inti dua), dan (3) klausa dwitransitif (klausa
berargumen inti tiga/extended transitive).
(27) BKm memiliki pemarkah aplikatif podi yang berfungsi untuk meningkatkan
jumlah argumen atau valensi verba, yaitu dari verba yang bervalensi dua
(verba ekatransitif) menjadi verba yang bervalensi tiga (verba dwitransitif).
Pemarkah aplikatif podi ini menempati posisi setelah verbal (posverbal).
(28) Tata urutan kata atau konstituen dalam klausa/kalimat dasar BKm
berdasarkan struktur kalimat deklaratif, kalimat interogatif, kalimat imperatif,
dan kalimat negatif adalah SVO (AVP). Di samping memiliki tata urutan
415
kata atau konstituen SVO (A-V-P), BKm memiliki struktur turunan, yaitu
konstruksi pemfokusan dan pasif. Konstruksi pemfokusan ini ditandai dengan
hadirnya pemarkah te. Konstruksi pasif BKm ditandai dengan hadirnya
pemarkah toma ‘dapat’ dan berpindahnya subjek menjadi adjung yang
dimarkahi dengan preposisi. Di samping itu, konstruksi pasif dapat
diidentifikasi dengan penempatan adverbia. Konstruksi pasif BKm berbeda
dengan konstruksi pasif yang dimiliki bahasa-bahasa di dunia pada umumnya.
BKm tidak memiliki proses morfologis yang dapat mengubah konstruksi aktif
menjadi pasif. BKm tidak memiliki afiks yang dapat mengubah konstruksi
aktif menjadi pasif, tetapi memiliki konstruksi pasif analitik dengan kehadiran
pemarkah pasif toma ‘dapat’ yang menempati posisi sebelum verba.
(29) Pada konstrusksi kalimat negatif, penegasi ti ‘tidak’ dan hisar/isi/isibara
‘jangan’ hadir di antara argumen inti praverbal dan predikat yang ditempati
oleh verba, baik pada klausa intransitif maupun klausa transitif. Di samping
kalimat negatif dengan predikat verbal, penegasi ti ‘tidak’ juga dapat
digunakan untuk membentuk kalimat negatif dengan predikat nonverbal
(nominal, adjektival, numeralia, dan adverbial). Khusus untuk kalimat negatif
dengan predikat adverbial, hanya adverbial yang menyatakan lokasi yang bisa
digunakan. Penegasi hisar/isi/isibara ‘jangan’ juga dapat ditempatkan pada
klausa intransitif yang predikatnya ditempati oleh adjektiva. Posisi penegasi
hisar/isi/isibara ‘jangan’ pada klausa intransitif dengan predikat adjektiva
berada di antara satu-satunya argumen inti yang secara gramatikal berfungsi
sebagai subjek dan predikat.
416
11.2.2 Predikasi
Penelahaan terhadap predikasi BKm menghasilkan temuan-temuan
sebagai berikut.
8.
Predikasi BKm dibangun oleh unsur predikat dan argumen-argumennya.
Predikat BKm dapat berupa predikat verbal dan predikat nonverbal. Klausa
berpredikat nonverbal dapat ditempati oleh nominal, adjektival, numeral,
frasa preposisional, dan satu argumen yang menempati posisi di depan
predikat yang berfungsi sebagai subjek gramatikal. Predikat nonverbal BKm
menghendaki satu argumen subjek untuk membentuk predikasi.
9.
Sama seperti predikasi BKm yang dibentuk oleh predikat nonverbal, predikat
verbal intransitif juga menghendaki satu unsur argumen FN yang dapat
berfungsi sebagai subjek gramatikal dan secara semantis dapat berfungsi
sebagai agen atau pasien.
10. Predikasi BKm dengan predikat verba transitif menghendaki dua argumen
atau lebih. Kehadiran argumen-argumen tersebut dalam predikat kalimat
transitif bersifat wajib.
11. Argumen BKm memiliki peran semantis umum argumen, yaitu ACTOR dan
UNDERGOER. Peran semantis umum argumen BKm tersebut dapat diperinci
menjadi peran-peran semantis khusus yang meliputi agen, penyebab/causer,
pengalami,
tema,
pasien,
alat/instrumen,
resipien/penerima, sumber/asal, tujuan, dan lokatif.
benefaktif/pemanfaat,
Satu argumen dapat
memiliki peran lebih dari satu, misalnya dalam kalimat au ne podi ua osa
‘saya memberikan dia uang‘. Argumen au ‘saya’ yang berfungsi sebagai
417
SUBJ memiliki dua peran semantik, yaitu sebagai sumber dan sekaligus
sebagai agen.
12. BKm memiliki empat tipe semantis verba yang mengacu kepada aktionasart
yang ditentukan berdasarkan tiga sifat, yaitu (1) statis, (2) telis, dan (3)
ketepatan waktu (pungtual). Empat tipe semantis verba BKm meliputi (1)
verba keadaan yang diungkapkan dengan verba situasi, seperti tinaut ‘takut’
dan bue ‘tidur’, (2) verba achievement yang diungkapkan dengan verba
peristiwa, seperti mnahu ‘jatuh’ dan teta ‘patah’, (3) verba accomplishment
yang diungkapkan dengan verba proses, seperti taua ‘masak’ dan tau ‘buat’ ,
dan (4) verba aktivitas yang diungkapkan dengan verba aksi, seperti tutu
‘pukul’ dan betu ‘tendang’.
13. BKm memiliki FV yang dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus, dan
negasi yang menempati posisi sebelum verba (praverbal) dan setelah verba
(posverbal). Aspek e ‘akan’ dan hei ‘sedang’ menempati posisi sebelum
verba, sementara aspek kasai ‘sudah’ berada setelah verba. Modus mloing
‘bisa’ menempati posisi setelah verba, sementara modus los ‘harus’
menempati posisi sebelum verba. Negator ti ‘tidak’ menempati posisi
sebelum verba. Di samping dapat disertai oleh satu unsur aspek, modus, dan
negator, FV BKm juga dapat dibentuk oleh verba dan disertai oleh gabungan
dua unsur, antara negasi dan aspek, seperti ti + ei ‘tidak+akan’ dalam kalimat
au ti ei hali de uma ‘saya tidak akan pulang ke rumah’; negasi+modus, seperti
ti+V+mloing ‘tidak+V+bisa’ dalam kalimat aung heng ti hali mloing dase
kota ‘istri saya tidak bisa pulang dari kota’; modus+modus, seperti
418
los+V+mloing ‘harus+V+bisa’ dalam kalimat au los
baca
mloing
’saya
harus bisa membaca’; dan aspek + modus, seperti kasai mloing ‘sudah bisa’
dalam kalimat Ali nagi kasai mloing ‘adik sudah bisa berenang’.
14. Konstruksi verba serial (KVS) BKm dapat dibangun oleh verba serial, baik
yang terdiri atas dua verba maupun verba serial yang terdiri atas tiga verba.
Baik KVS BKm yang dibangun oleh dua maupun tiga verba memiliki fungsi
gramatikal satu subjek dan objek yang dimiliki secara bersama-sama.
11.2.3 Valensi Verba
Pembahasan tentang valensi verba mencakup penelahaan tentang
ketransitifan verba, valensi verba, dan mekanisme perubahan valensi verba BKm.
Pembahasan mekanisme perubahan valensi verba meliputi pembahasan tentang
konstruksi kausatif, konstruksi aplikatif (benefaktif), dan resultatif. Berikut
diuraikan beberapa temuan yang terkait dengan pembahasan valensi verba BKm.
7.
Pada hakikatnya, pembahasan valensi verba BKm terkait dengan proses
penaikan/penambahan dan penurunan/pengurangan jumlah argumen yang
hadir pada sebuah konstruksi klausa/kalimat. Proses penaikan/penambahan
argumen yang hadir dalam sebuah klausa/kalimat dapat dijumpai pada
pengkausatifan/konstruksi kausatif dan pengaplikatifan/konstruksi aplikatif.
Sebaliknya, proses penurunan/pengurangan jumlah argumen
dalam BKm
dapat dijumpai pada proses pembentukan konstruksi resultatif, yang
diturunkan dari konstruksi transitif menjadi konstruksi intransitif.
419
8.
Konstruksi kausatif BKm dapat dibedakan berdasarkan dua parameter, yaitu
parameter formal (morfosintaksis) dan parameter semantis. Berdasarkan
parameter formal, konstruksi kausatif BKm dibagi menjadi dua, yaitu kausatif
leksikal dan kausatif analitik. Kausatif analitik BKm dibangun oleh verba
kausatif tau ‘buat’ dengan predikat yang diisi oleh verba intransitif, verba
transitif, dan predikat adjektival. Di samping
konstruksi kausatif yang
dibangun oleh verba kausatif tau ’buat’, konstruksi kausatif BKm juga dapat
dibentuk melalui verba kausatif laka ‘suruh’. Untuk membentuk konstruksi
kausatif, verba laka ‘suruh’ hanya dapat diikuti verba intransitif dan transitif.
9.
Tidak ditemukan adanya kausatif morfologis dalam BKm karena BKm secara
tipologis digolongkan ke dalam bahasa isolasi sehingga tidak ditemukan pula
proses afiksasi yang dapat membentuk konstruksi kausatif.
10. Berdasarkan parameter semantis, konstruksi kausatif BKm dibedakan pula
berdasarkan (1) tingkat kendali yang dimiliki oleh tersebab (causee) dan (2)
parameter rentang waktu hubungan antara sebab dan akibat. Berdasarkan
tingkat kendali tersebab (causee), konstruksi kausatif BKm dibedakan
menjadi kausatif sejati dan kausatif permisif. Sementara, berdasarkan rentang
waktu hubungan antara sebab dan akibat, konstruksi kausatif dibedakan
menjadi kausatif langsung dan kausatif tak langsung.
11. Pembentukan konstruksi aplikatif dalam BKm dibangun oleh verba transitif
dan pemarkah aplikatif podi yang menempati posisi setelah verba transitif.
Hadirnya pemarkah podi ini secara otomatis meningkatkan jumlah argumen
yang sebelumnya verba berargumen dua (subjek dan objek) langsung berubah
420
menjadi verba yang berargumen tiga (subjek, objek langsung, dan objek tak
langsung). Pemarkah aplikatif podi secara otomatis memberikan ruang bagi
argumen baru, yaitu objek tak langsung yang langsung hadir setelah verba
dan pemarkah podi.
12. Konstruksi resultatif BKm dibangun dengan mekanisme pemasifan.
Pemasifan merupakan salah satu mekanisme penurunan valensi. Pemasifan
yang merupakan penurunan valensi verba untuk membentuk konstruksi
resultatif BKm memiliki mekanisme tersendiri. Berbeda dengan bahasabahasa pada umumnya yang memiliki proses morfologis (afiksasi) untuk
membentuk konstruksi pasif, BKm memiliki mekanisme tersendiri untuk
membentuk konstruksi pasif, yaitu dengan menghadirkan pemarkah toma
‘dapat’ sebelum verba untuk membentuk konstruksi resultatif. Proses
penurunan valensi melalui mekanisme pemasifan BKm dapat pula
membentuk konstruksi antikausatif karena agen pada konstruksi antikausatif
tidak pernah dinyatakan dan agen pada konstruksi pasif bersifat opsional, bisa
hadir dan bisa tidak, seperti tersaji pada contoh klausa-klausa di atas. Dengan
demikian, konstruksi pasif, antikausatif, dan resultatif memiliki kemiripan
atau persamaan. Di samping konstruksi pasif analitik untuk menggambarkan
konstruksi resultatif, BKm juga memiliki mekanisme lain untuk membentuk
konstruksi resultatif, yaitu menghadirkan pemarkah perfektif kasai ‘sudah’
yang hadir pada sebuah klausa/kalimat yang ditempatkan di akhir
klausa/kalimat. Hadirnya pemarkah perfektif kasai ‘sudah’ mengandung
421
makna bahwa sebuah peristiwa yang digambarkan oleh verba sudah berhasil
dilakukan.
11.2.4 Fungsi dan Relasi Gramatikal
Beberapa temuan yang terkait dengan fungsi dan relasi gramatikal tersaji
di bawah ini.
(1) Secara semantis, terdapat satu-satunya argumen pada klausa intransitif BKm
yang memiliki fungsi gramatikal agen. Jika verba yang menempati posisi
predikat klausa intransitif merupakan verba keadaan (atau predikat bukan
verbal), subjek gramatikal pada klausa tersebut dapat berperilaku sebagai
pasien. Sementara itu, subjek gramatikal pada klausa transitif BKm pada
umumnya adalah agen, sedangkan objek gramatikal pada klausa transitif pada
umumnya merupakan pasien.
(2) Subjek merupakam relasi gramatikal inti dalam BKm. Subjek BKm dapat
diidentifikasi berdasarkan sifat-perilaku atau properti yang dimiliki subjek.
Properti tersebut meliputi hal-hal berikut. Pertama, subjek BKm muncul pada
posisi praverbal pada struktur kanonis. Kedua, adverbial dapat disisipkan di
antara argumen praverbal dan verbal. Pada posisi kanonik, argumen praverbal
tersebut merupakan subjek sehingga antara subjek dan verbal dapat disisipi
oleh adverbial. Ketiga, subjek BKm dapat direlatifkan dengan pemarkah ne
‘yang’. Selain subjek, BKm juga dapat merelatifkan argumen inti yang secara
sintaksis berfungsi sebagai objek, baik objek langsung maupun objek tak
langsung. Keempat, subjek dapat disisipkan dengan penjangka kambang.
422
Kelima, subjek dapat direfleksifkan. Keenam, argumen selain subjek (objek,
baik OL maupun OTL) dapat dinaikkan fungsinya menjadi subjek melalui
mekanisme penaikan. Ketujuh, subjek dapat difokuskan dengan pemarkah
fokus te. Kedelapan, subjek dapat dikontrol. Kesembilan, frasa nomina tidak
terang (PRO) berujuk silang dengan subjek pada klausa yang lebih tinggi.
(3) Objek BKm merupakan argumen yang secara langsung mengikuti verbal atau
argumen posverbal pada struktur kanonis. Objek BKm dapat diidentifikasi
melalui proses pemasifan. Konstruksi pasif BKm merupakan konstruksi pasif
analitik dengan kehadiran pemarkah toma ‘dapat’ yang menempati posisi
sebelum verba (praverbal). Objek BKm dapat dinaikkan fungsinya menjadi
subjek dengan menghadirkan pemarkah analitik toma ‘dapat’. Di samping
objek yang dapat diidentifikasi melalui posisinya yang secara langsung
mengikuti predikat (verba) dan pemasifan, objek BKm juga dapat
diidentifikasi dengan pengedepanan objek dan menempati posisi subjek
melalui mekanisme pemfokusan dengan pemarkah fokus te yang hadir
sebelum verba. Penentuan objek BKm juga dapat dilakukan dengan pengujian
penyisipan adverbial. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa verba dan
argumen yang secara langsung mengikuti verba tidak dapat disisipi adverbial.
Sehubungan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa argumen yang secara
langsung mengikuti verba diidentifikasi sebagai objek. Jadi, apabila sebuah
konstruksi klausa/kalimat BKm tidak mengizinkan adanya penyisipan
adverbial antara verba dan argumen yang secara langsung mengikutinya,
argumen yang secara langsung mengikutinya adalah objek.
423
(4) Oblik BKm dibedakan atas oblik goal, oblik lokatif, oblik sumber (source),
dan oblik instrumen. Semua oblik BKm dimarkahi preposisi. Preposisi
pemarkah oblik BKm terdiri atas (1) de ’di/ke’ yang berfungsi sebagai
pemarkah oblik lokatif, (2) dase ‘dari’ yang berfungsi sebagai pemarkah
oblik sumber (source), dan (3) odi ‘dengan/kepada/untuk’ yang berfungsi
sebagai pemarkah oblik goal dan oblik instrumen.
(5) Komplemen BKm ditandai dengan kehadiran pemerlengkap. Pemerlengkap
BKm terdiri atas pemerlengkap bobe ‘bahwa’ dan pemerlengkap
nuabe
‘supaya’.
(6) Adjung BKm ditandai dengan kehadiran adverbial dan preposisi. Adjung
dalam bentuk adverbial menempati posisi akhir klausa, sedangkan adjung
yang berupa preposisi modifier menempati posisi akhir klausa tersebut.
Khusus untuk adjung yang berupa preposisi modifier, kehadirannya dalam
sebuah klausa hanya dapat menempati posisi akhir dari sebuah klausa;
sedangkan adjung yang berupa adverbial dapat menempati posisi awal dan
tengah klausa.
(7) Relasi gramatikal inti BKm adalah subjek dan objek. Subjek pada struktur
kanonis menempati posisi praverbal, sedangkan objek pada struktur kanonis
menempati posisi posverbal.
11.2.5 Kalimat Kompleks
Beberapa temuan penelitian terkait dengan pembahasan kalimat kompleks
BKm adalah berikut ini.
424
1. Penelaahan perelatifan BKm didasarkan pada pendekatan hierarki relasi
gramatikal, yakni hierarki ketercapaian (accessibility hierarchy).
2. Pembahasan perelatifan di atas menunjukkan bahwa seluruh relasi gramatikal
yang meliputi subjek, objek (langsung dan tak langsung), dan relasi oblik
dalam BKm dapat direlatifkan secara langsung tanpa melalui kiat ‘penurunan
diatesis’ atau kiat ‘penandaan verba’. Dengan demikian, BKm dan bahasa
Inggris memiliki persamaan, yaitu dapat merelatifkan semua relasi
gramatikalnya. Kenyataan ini memberikan isyarat bahwa BKm merupakan
bahasa yang bertipologi akusatif secara sintaktis, sama seperti bahasa Inggris
yang merupakan bahasa bertipologi akusatif.
3. Kata
penghubung
(konjungsi)
subordinatif
yang
digunakan
untuk
menghubungkan klausa utama (induk) dengan klausa purposif dalam BKm
adalah nuabe ‘supaya’ dan odi ‘untuk’. Klausa purposif BKm merupakan
adjung (keterangan) dari klausa intransitif yang merupakan klausa utamanya.
Agen klausa purposif yang merupakan satu-satunya argumen muncul secara
tersirat ditandai dengan ([ ]) dan berujuk silang (co-reference) dengan subjek
klausa utamanya.
4. Agen yang merupakan satu-satunya argumen klausa utama yang merupakan
klausa intransitif berpredikat nonverbal berujuk silang (co-reference) dengan
agen pada klausa purposif.
5. Terkait dengan kalimat kompleks yang dibangun oleh klausa utama yang
merupakan klausa transitif dan klausa purposif dapat dikemukakan bahwa
klausa-klausa purposif dalam BKm merupakan adjung (keterangan) dari
425
klausa intransitif yang merupakan klausa utamanya. Agen klausa purposif
yang merupakan satu-satunya argumen muncul secara tersirat ditandai dengan
([ ]) pada contoh kalimat di atas berujuk silang (co-reference) dengan subjek
klausa utamanya. Subjek klausa purposif dapat berkoreferensi, baik dengan
subjek klausa utama maupun objek klausa utama. Hal ini sangat tergantung
pada verba yang menempati fungsi predikat klausa tersebut.
6. Kalimat kompleks dengan klausa alasan menggunakan konjungsi subordinatif
pita ‘karena’. Objek klausa alasan dapat berujuk silang dengan subjek klausa
utama atau objek klausa utama. Hal ini sangat ditentukan oleh verba yang
menempati posisi predikat kalimat kompleks tersebut.
7. Perilaku gramatikal klausa pemerlengkap ditunjukkan dengan hadirnya verba
tak-terbatas. Verba tak-terbatas tersebut berfungsi sebagai pemerlengkap
predikat yang lebih tinggi. Verba tak-terbatas yang menandai klausa
pemerlengkap BKm dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu verba jenis
‘ingin’, verba jenis ‘tahu’, dan verba jenis ‘mengatakan’.
8. Kalimat kompleks dengan klausa pemerlengkap berpredikat verba jenis ‘tahu’
memiliki
perilaku
gramatikal
yang
berbeda
dengan
perilaku
yang
diperlihatkan oleh klausa pemerlengkap yang berverba jenis ‘ingin’. Apabila
klausa pemerlengkapnya berverba jenis ‘tahu’, S atau subjek klausa
pemerlengkap tersebut berujuk-silang dengan O atau P klausa induk.
Sementara itu, apabila klausa pemerlengkapnya berverba jenis ‘ingin’, S atau
subjek klausa pemerlengkap tersebut berujuk-silang dengan S klausa induk
426
dan S atau subjek pemerlengkap dapat pula berujuk silang dengan P klausa
induk melalui mekanisme penopikan.
9. Pada klausa pemerlengkap dengan verba jenis ‘mengatakan’, S klausa
pemerlengkapnya berkoreferensi dengan P klausa induk.
11.2.6 Tipologi Sintaksis
Pembahasan tentang tipologi sintaksis BKm mencakup konstruksi
sintaksis: konstruksi dengan verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap
jusif, konstruksi koordinatif, konstruksi subordinatif, pembentukan kalimat tanya,
dan diatesis BKm. Beberapa temuan terkait dengan pembahasan tipologi sintaksis
BKm diuraikan sebagai berikut.
1. Penentuan tipologi sintaksis BKm dilakukan dengan mengamati perilaku
gramatikal terhadap konstruksi sintaksis BKm yang meliputi konstruksi
dengan verba tak terbatas, konstruksi dengan pemerlengkap jusif, konstruksi
koordinatif, konstruksi subordinatif, dan pembentukan kalimat tanya.
2. Konstruksi dengan verba tak terbatas dan konstruksi dengan pemerlengkap
jusif menunjukkan bahwa jika S berkoreferensi dengan A, pelesapan salah
satu argumen dapat dilakukan secara langsung. Namun, apabila S
berkoreferensi dengan P, proses penurunan (derivasi) sintaksis melalui
penopikan dan pemasifan (pasif analitik) dibutuhkan. Dengan demikian, BKm
memperlihatkan bahwa A diperlakukan sama dengan S dan memberikan
perlakuan yang berbeda dengan P.
427
3. Pengujian pivot terhadap konstruksi koordinatif dan subordinatif berdasarkan
sebelas kerangka kerja yang dikemukakan oleh Dixon (1998) menunjukkan
bahwa BKm bekerja dengan pivot S/A. Simpulan ini diambil berdasarkan
bukti-bukti yang ditemukan pada saat proses penggabungan dua klausa, baik
secara koordinatif maupun subordinatif, yang menunjukkan proses pelesapan
dapat terjadi secara langsung apabila S berujuk silang dengan P. Apabila S
berujuk silang dengan P, proses penurunn (derivasi) sintaksis melalui
penopikan dan pemasifan (pasif analitik) diperlukan.
4. Pembentukan kalimat tanya BKm juga menunjukkan bahwa A diperlakukan
sama dengan S dan memberikan perlakuan yang berbeda dengan P.
5. Pengamatan perilaku gramatikal terhadap konstruksi sintaksis menunjukkan
bahwa secara sintaksis BKm merupakan bahasa yang memiliki sistem aliansi
gramatikal yang memperlakukan A sama dengan S dan memberikan perlakuan
yang berbeda kepada P. Sistem aliansi gramatikal BKm tersebut digambarkan
sebagai berikut.
S
A
p
atau S = A, ≠ P
6. Sistem aliansi gramatikal menunjukkan bahwa BKm memperlakukan A sama
dengan S dan berbeda dengan P sehingga BKm dapat dikelompokkan sebagai
bahasa yang bertipologi akusatif.
428
7. BKm memiliki diatesis aktif-pasif yang merupakan salah satu ciri penting
dalam bahasa bertipologi akusatif. Di samping diatesis aktif-pasif, BKm juga
memiliki diatesis medial.
11.3 Saran-Saran
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tipologi sintaksis BKm yang
didasarkan pada penelahaan struktur dasar dan kalimat kompleks. Disadari bahwa
penelitian yang dilakukan ini memiliki keterbatasan, baik keterbatasan dalam hal
permasalahan yang dicoba dijawab maupun penerapan teori yang dilakukan dalam
penelitian ini sehingga masih menyisakan aspek-aspek bahasa BKm yang lain
bagi para linguis atau pemerhati bahasa untuk melakukan penelitian-penelitian
lainnya terhadap BKm.
Terkait dengan keterbatasan penelitian ini, terdapat beberapa masalah
yang masih perlu dikaji lebih lanjut. Misalnya, terkait dengan tipologi morfologis
BKm. Sejauh ini penelitian ini tidak menemukan adanya pemarkah morfologis
yang dapat digunakan untuk menentukan tipologi morfologis BKm. Kesulitan
untuk menentukan tipologi morfologis BKm disebabkan oleh tidak adanya
pemarkah yang memarkahi S (satu-satunya argumen klausa intransitif), A subjek
transitif, dan O (objek transitif). Masalah lain yang belum juga diungkap pada
penelitian kali ini adalah terkait dengan tipologi pragmatis. Dari segi penerapan
teori, penelitian ini hanya menggunakan teori tipologi bahasa sehingga belum
dapat mengungkap seluruh aspek sintaksis BKm. Dengan demikian, peluang
429
yang besar untuk para linguis atau pemerhati bahasa untuk melakukan penelitian
lanjutan dengan mengaplikasikan teori baru masih terbuka lebar.
Tidak dapat dimungkiri bahwa penelitian-penelitian bahasa di wilayah
Timur Indonesia diawali dan lebih banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti asing
sehingga mereka lebih dahulu mampu memberikan deskripsi tentang karakteristik
bahasa-bahasa di wilayah Timur Indonesia. Namun, hasil penelitian yang
disajikan pada disertasi ini memiliki arti penting bagi kemajuan penelitian
linguistik Indonesia. Penelitian ini juga sekaligus diharapkan dapat menjadi
panduan untuk penelitian-penelitian lanjutan terhadap BKm. Di samping itu,
penelitian ini juga diharapkan dapat memicu dan memacu penelitian-penelitian
lanjutan, baik terhadap fenomena linguistik BKm yang belum terungkap maupun
penelitian-penelitian terhadap bahasa lain di wilayah Timur Indonesia.
430
DAFTAR PUSTAKA
Aissen, Judith. 1982. Valence and Coreferennce. Dalam Paul J. Hopper dan
Sandra A Thompson (Ed) Studies in Transitivity: 7 – 35. New York:
Axademic Press.
Alsina, A., Joshi, S. 1991. Parameters in Causative Constructions. Chicago
Linguistics Society 27. Hal 2--16.
Alsina, Alex. 1992. The Role of Argument Structure in Grammar: Evidence from
Romance. Stanford. California: CSLI Publishers.
Alsina, Alex. 1996. On the Argument Structure of Causative. Linguistic Inquiry
23: 517—555.
Alsina, A., Bresnan, J., Sells, P., (editor) 1997. Complex Predicate. Stanford,
Ca;ifornia. CSLI Publishers.
Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H., Moeliono, A. M. 2000. Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Andrews. Avery D. 2007. Relative Clauses. Dalam Timothy Shopen (Ed).
Language Typology and Syntactic Description. Vol II. Hal: 206—236.
Cambridge: Cambridge University Press.
Arka, I Wayan. 1993. “Morpholexical Aspects of the-Kan Causative in Indonesia”
(tesis). Sydney: University of Sydney.
Arka, I Wayan. 1998. “From Morphosyntac to Pragmatics in Balinese: A Lexical
Functional Approach” (disertasi). Sydney: University of Sydney.
Arka, I Wayan. 2000. “Beberapa Aspek Intransitif Terbelah pada Bahasa
Nusantara”: Makalah dipresentasikan pada Austronesia Formal Linguistic.
Artawa, Ketut. 1994. “Ergativity and Balinese Syntax” (disertasi). Melbourne: La
Trobe University.
Artawa, Ketut 1996. Keergatifan Sintaksis dalam Bahasa Bali, Sasak, dan
Indonesia. Dalam PELLBA 10. Jakarta: Lembaga Bahasa Universitas
Katholik Atma Jaya.
Artawa, Ketut 1998. Ergativity and Balinese Syntax. Dalam NUSA Vol. 42--44.
Jakarta : Pusat Kajian Bahasa dan Budaya.
431
Artawa, Ketut. 2012. The Basic Verb Construction in Balinese. Dalam Alexander
Adelaar (Ed.) Voice Variation in Austronesian Language of Indonesia.
NUSA 54, 5-27.
Bach E. 1982. Purpose Clauses and Control. Dalam Jacobson & Pullum, op.cit.
Blake, Barry J. 1990. Relational Grammar. London: Routledge.
Bresnan, J. 1995. Lexical Functional Syntax. Stanford: Stanford University.
Bresnan, J. 2001. Lexical Functional Syntax. Oxford: Blackwell Publishers.
Brown, Kieth and Jim Miller. 1994. Syntax:
Sentence Structure. London: Routledge.
A Linguistics Introduction to
Budiarta, I Wayan. 2009. “Aliansi Gramatikal Bahasa Dawan: Kajian Tipologi
Bahasa” (tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Butt, M., King, T. H., Nino. M. E., Segond, F. 1999.
Cookbook. Stanford: California CSLI Publishers.
A Grammar Writers
Comrie, B. 1983, 1989. Language Universal and Linguistic Typology. Oxford:
Basil Blackwell.
Comrie, B. 1983, 1989. “Linguistic Typology”. Dalam Newmeyer, F. J. (Ed.)
Linguistics : The Cambridge Survey. Vol I. Hal : 447--467. Cambridge:
Cambridge University Press.
Crystal, David. 1985. A Dictionary of Lingistics and Phonetics. New York: Basil
Blackwell Ltd.
Culicover, P. W. 1997. Principles and Parametersz; An Introduction to Syntactic
Theory. Oxford: Oxford University Press.
Dally, J. et al. 1981. A Course in Basic Grammatical Analysis. Hunlington
Beach, California: Summer institute of Linguistics.
Dixon. R.M.W. 1967. Studies in Ergativity: Introduction. Lingua 71 Hal. 1--15.
Dixon. R.M.W. 1994. Ergativity. Cambridge: Cambridge University Press.
Dixon, R.M.W. 2010. Basic Linguistic Theory. Vol 2. Oxford: Oxford University
Press.
432
Djajasudarma, T. Fatimah. 1993a. Metode Linguistik: Ancangan Metode
Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco.
Durie, Mark. 1977. Grammatical Structure in Verb Serialization. Dalam Alsina
Alex, Joan Bresnan, dan Peter Sells (Ed.). Complex Predicate. 289--354.
Stanford California CSLI.
Emmitt, Marie dan Pollock, John. 1997. Language and Learning: An Introduction
for Teaching. Australia: Oxford University Press.
Foley, William. A. dan Van Valin Jr., Robert D. 1984. Functional Syntax and
Universal Grammar. Cambridge: Cambridge University Press.
.
Givon. T. 1984. Syntax A Fuctional-Typological Introduction. Vol. 1.
Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Givon. T. 1990. Syntax A Fuctional-Typological Introduction. Vol. II.
Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Haegeman, L. 1993. An Introduction to Goverment an Binding Theory. Oxford:
Blackwell.
Haspelmath, Martin. 2002. Understanding Morphology. London: Arnold.
Jones, C. 1985. Agent, Patient, and Control in Purpose Clauses. Dalam CLS 21,
Bagian 2, April 1985; Chicago: Chicago University Linguistics Seminars
Jufrizal. 2004. “Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau”
(disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Katamba, Francis. 1993. Modern Linguistics Morphology. London: Macmillan
Press LTD.
Kosmas, Jeladu. 2000. “Argumen Aktor dalam Bahasa Manggarai dan Pemetaan
Fungsinya” (tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas
Udayana
Kozinsky, Isaac., Polinsky, Maria. 1993. Causative and Patient in the Causative
Transitive: Coding Conflict or Doubling of Grammatical Relations.
Dalam Comrie dan Polinsky (Ed.). Causative and Transitivity: 177—
240. Amsterdam.Philadelphia: John Benjamin Publishing Company.
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Lingusitik. (Edisi Ketiga). Jakarta:
Penerbit PT Gramedia.
433
Kroeger, Paul R. 1999. Grammar 2: Syntax. Australia: Summer Institute of
Linguitics.
Kuiper, K. and Allan, W. S. 1996. An Introduction to English Language. London:
Macmillan Press Ltd.
Lapoliwa, Hans. 1990. Klausa Pemerlengkapan dalam Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius.
Lord,
Carol. 1993. Historical Change in Serial Verb Constructions.
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Lyons, J. 1987. Introduction to Theoretical Linguistics. Cambridge: Cambridge
University Press.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mallinson, Graham, Blake, B. J. 1981. Language Typology: Cross-Linguistic
Studies in Syntax. Amsterdam: North Holland Publishing Company.
Mandaru, A. Mans., Haan, John W., Liufeto, G. 1998. Morfologi dan Sintaksis
Bahasa Kemak. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Manning, C. D. 1996. Ergativity: Argument Structure and Gramamtical Relation.
Stanford: California CSLI Publications.
Maryanto, Sandi. 1985. Pemetaan Bahasa di NTT. Kupang: Universitas Nusa
Cendana.
Matthews, P. H. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford:
Oxford University Press.
Mithun, Marrianne. 2001. Who Shapes the Record, the Speaker and the Linguist.
Dalam Newman, Paul and Martha Ratliff, Editors. Linguistics Fieldwork.
First Edition. Cambridge: Cambridge University Press.
Noonan, Michael. 2007. Complementation. Dalam Timothy Shopen (Ed).
Language Typology and Syntactic Description. Vol II. Hal: 52--150.
Cambridge: Cambridge University Press
Palmer, F. R. 1994. Grammatical Roles and Relations. Cambridge: Cambridge
University Press.
Parera, Jos Daniel. 1993. Sintaksis. Ende-Flores: Nusa Indah.
434
Payne, T. E. 1997 , 2002. Describing Morphosyntac: A Guide for Field Linguists.
Cambridge: Cambridge University Press.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1980. Untaian Teori Sintaksis 1979--1980-an.
Jakarta: Arcan.
Radford, Andrew. 2004. Minimalist Syntax: Exploring the Structure of English.
Cambridge: Cambridge University Press.
Sadnyana, I Nengah Semeta., Sutama, I Putu., Sunihati Anak Agung Dewi.,
Aridawati, Ida Ayu Putu. 1996. Struktur Bahasa Kemak. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Samarin, William J. 1998. Ilmu Bahasa Lapangan. (J. S. Badudu Penerjemah)
Yogyakarta: Kanisius.
Satyawati, Made Sri. 2009. “Valensi dan Relasi Sintaksis Bahasa Bima”
(disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
Shibatani, Masayoshi (Ed.). 1976. Syntax and Semantic: The Grammar of
Causative Construction. New York: Academic Press.
Shibatani, Masayoshi. 1996. Applicative and Benefactives. A Cognitive Acount.
Dalam Shibatani, Masayoshi dan Sandra A Thompson. (ed.) Grammatical
Construcstion: Their Form and Meaning: 157—194. Oxford: Clarendon
Press.
Song, Jae Jung. 2001. Linguistic Typology: Morphology and Syntax. London:
Longman.
Stassen, Leon. 1997. Intransitive Predicate. Oxford: Clarendon Press.
Stevens, Alan M. 1967. Kemak: An Austrinesian Language. Dalam
Anthropological Linguistics Vol 9. No 1. Januari 1967. Hal: 26—32.
Suciati, Ni Luh Gede. 2000. “Aliansi Gramatikal dan Diatesis Bahasa Tetun
Dialek Fehan: Sebuah Analisis Leksikal Fungsional” (tesis). Denpasar:
Universitas Udayana.
Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung:
Alfabeta.
435
Thompson, Sandra A; Longacre, Robert E; dan Hwang, Shin Ja J, 2007.
Adverbial Clauses. Dalam Timothy Shopen (Ed). Language Typology
and Syntactic Description. Vol II. Hal: 237--300. Cambridge: Cambridge
University Press
Trask , R. L. 1993. A Dictionary of Grammatical Terms in Linguistics. London:
Routledge.
Van Valin, Jr, Robert D and Randy J. Lapolla. 1999. Syntax and Structure:
Meaning and Function. Cambridge: Cambridge University Press.
Verhaar, John W. M. 1980. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Verhaar, John W. M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
White, Leslie A. dan Beth Dillingham. 1973. The Concept of Culture. Burgess
Publishing Company.
Widaningsih, Margaretha Sri. 1997. “Relasi Gramatikal dalam Kalimat Bahasa
Tetun Dili” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Yudha, I Ketut. 2011. “Struktur dan Fungsi Gramatikal Bahasa Lio” (disertasi).
Denpasar: Universitas Udayana.
436
LAMPIRAN
Lampiran 1
PETA BAHASA-BAHASA LOKAL
DI PROVINSI NUSA TENGGARATIMUR DAN SEKITARNYA
437
Lampiran 2
PETA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
438
Lampiran 3
PETA ADMINISTRASI KABUPATEN BELU
439
Lampiran 4
PETA LOKASI PENELITIAN
LOKASI
PENELITIAN
440
Lampiran 5
SURAT IZIN PENELITIAN
441
442
443
444
445
Lampiran 6
DATA KLAUSA BAHASA KEMAK
(1) Lari
Au plai
‘Saya lari’
O plai
‘Engkau lari’
Imi plai
‘Kalian lari’
Ua plai
‘Dia (laki-laki.perempuan) lari’
Ita plai
‘Kita lari’
Ami plai
‘Kami lari’
Roma plai
‘Mereka lari’
Ana senua plai
‘Anak itu lari’
Pius plai
‘Pius lari’
Plai!
lari
(2) Berjalan
Au sole
‘Saya berjalan’
O sole
‘Kamu berjalan’
Ua sole
‘Dia berjalan’
Pius sole
‘Pius berjalan’
Anag senua sole
‘Anak itu berjalan’
Asu senua sole
‘Anjing itu berjalan’
Ita sole
‘Kita berjalan’
Ami sole
‘Kami berjalan’
Imi sole
‘Kalian berjalan’
Roma sole
‘Mereka berjalan’
446
Ana senua sole
Anak itu berjalan
Sole
‘Jalan!’
(3) Menari
Au huri
‘Saya menari’
O huri
‘Engkau menari’
Ua huri
‘Dia menari’
Senua huri
‘Itu menari’
Ita huri
‘Kita menari’
Ami huri
‘Kami menari’
Imi huri
‘Kalian menari’
Roma huri
‘Mereka menari’
Ana senua huri
‘Anak itu menari’
Pedro huri
‘Pedro menari’
Huri!
Menari ! (perintah)
(4) Pergi dan Datang
Au la de iskola harang-harang
‘Saya pergi sekolah setiap hari’
Au mai de iskola harang-harang
‘Saya datang ke sekolah setiap hari’
Au la/mai de iskola harang-harang
‘Saya pergi/datang ke sekolah setiap hari’
Imi la/mai de iskola harang-harang
‘Kalian pergi/datang ke sekolah setiap hari’
Imi mai dase iskola
‘Kalian datang dari sekolah’
O mai dase iskola
‘Engkau datang dari sekolah’
Au mai dase iskola
‘Saya datang dari sekolah’
Ua la de iskola
‘Dia pergi sekolah’
447
Ita la de iskola
‘Kita pergi sekolah’
Imi la de iskola
‘Kalian pergi sekolah’
Roma la de iskola
‘Mereka pergi ke sekolah’
Ana senua la de iskola
‘Anak itu pergi sekolah’
Pius la de iskola
‘Pius pergi ke sekolah’
Pius no au la de iskola
‘Pius dan saya pergi ke sekolah’
Pius no Maria la de iskola
‘Pius dan Maria pergi ke sekolah’
(5) Duduk dan Berdiri
Au mudu de korsi
‘Saya duduk di kursi’
Ua mudu de korsi krosi
‘Dia duduk di kursi’ (laki-laki)
Ua mudu de korsi krosi
‘Dia duduk di kursi’ (perempuan)
Roma mudu de korsi
‘Mereka duduk di kursi’
Imi mudu de korsi
‘Kalian duduk di kursi’
Au arah
‘Saya berdiri’
Imi arah
‘Kalian berdiri’
O arah
‘Engkau duduk’
Ua arah
‘Dia
Roma arah
‘Mereka berdiri’
(6) Menunduk
Au bu’u
‘Saya menunduk’
O bu’u
‘Engkau menunduk’
Ua bu’u
‘Dia menunduk’
Ami bu’u
‘Kami menunduk’
448
Roma bu’u
‘Mereka menunduk’
Ita bu’u
‘Kita menunduk;
Imi bu’u
‘Kalian menunduk’
Ana senua bu’u
‘Anak itu menunduk’
(7) Mati
Au mate
‘Saya mati’
Ua mate
‘Dia mati’
Roma mate
‘Mereka mati’
Ita mate
‘Kita mati’
Ami mate
‘Kami mati’
Imi mate
‘Kalian mati’
(8) Jatuh
Au mnahu dase ai laung
‘Saya jatuh dari pohon’
Ua mnahu dase ai laung
‘Dia jatuh dari pohon’
Ita mnahu dase ai laung
‘Kita jatuh dari pohon’
Ami mnahu dase ai laung
‘Kami jatuh dari pohon’
Roma mnahu dase ai laung
‘Mereka jatuh dari pohon’
Imi mnahu dase ai laung
‘Kalian jatuh dari pohon’
Hine koet senua mnahu dase ia laung
‘Gadis cantik itu jatuh dari pohon’
Pius no Maria mnahu dase ai laung
‘Pius dan Maria jatuh dari pohon’
(9) Berkeringat
Au honung
‘Saya berkeringat’
O honung
‘Engkau berkeringat’
449
Ua honung
‘Dia berkeringat’
Ita honung
‘Kita berkeringat’
Ami honung
‘Kami berkeringat’
Roma honung
‘Mereka berkeringat’
Imi honung
‘Kalian berkeringat’
Mane senua honung
‘Laki-laki itu berkeringat’
Pius no Maria honung
‘Pius dan Maria berkeringat’
(10) Lelah
Au koleng
‘Saya lelah’
O koleng
‘Engkau lelah’
Ua koleng
‘Dia lelah’
Ita koleng
‘Kita lelah’
Ami koleng
‘Kami lelah’
Roma koleng
‘Mereka lelah’
Imi koleng
‘Kalian lelah’
Atmas senua koleng
‘Orang itu lelah’
Pius no Maria koleng
‘Pius dan Maria lelah’
(11) Lapar
Au slaing
‘Saya lapar’
Ua slaing
‘Dia lapar’
Ita slaing
‘Kita lapar’
Roma slaing
‘Mereka lapar’
Imi slaing
‘Kalian lapar’
450
Ana senua slaing
‘Anak itu lapar’
Pius no Maria slaing
‘Pius dan Maria lapar’
(12) Verba Transitif
Au tutu imi
‘Saya memukul kalian’
Au tutu o
‘Saya memukul engkau’
Au tutu ua
‘Saya memukul dia’
Au tutu roma
‘Saya memukul mereka’
Imi tutu ua
‘Kalian memukul dia’
Imi tutu roma
‘Kalian memukul mereka’
Ita tutu ua
‘Kita memukul dia’
Ua tutu ita
‘Dia memukul kita’
Au tutu mane senua
‘Saya memukul laki-laki itu’
Atmas senua tutu mane senua
‘Orang itu memukul laki-laki itu’
(13)
Imi tutu au
‘Kalian memukul saya’
O tutu au
‘Engkau memukul saya’
Ua tutu au
‘Dia memukul saya’
Roma tutu au
‘Mereka memukul saya’
Ua tutu imi
‘Dia memukul kalian’
Roma tutu imi
‘Mereka memukul kalian’
Ami tutu lia
‘Kami memukul dia’
Ua tutu ami
‘Dia memukul kami’
Mane senua tutu au
‘Laki-laki itu memukul saya’
Mane senua tutu atmas senua
‘Laki-laki itu memukul orang itu’
Agen Fokus (AF) dan Pasien Fokus (PF)
O tutu aut
Anda memukul saya (AF)
Pius tutu au
Pius memukul saya (AF)
Au te o tutu
Saya anda pukul (PF)
Au te ua tutu
Saya dia pukul (PF)
Au toma tutu dase Pius
Saya dipukul oleh Pius (Pasif)
Au toma tutu dase o
Saya dipukul oleh engkau (Pasif)
Pius sali manu senua
‘Pius menangkap ayam itu’
Pius sali manu lear
‘Pius menangkap banyak ayam’
Pius sali au
‘Pius menangkap saya’
451
Pius sali imi
‘Pius menangkap kamu’
Pius sali ua
‘Pius menangkap dia’
Pedro sali imi
‘Pedro menangkap kamu’
Pius sali ita
‘Pius menangkap kita’
Pius sali ami
‘Pius menangkap kami’
Pius sali roma
‘Pius menangkap mereka’
(14) Perelatifan/Klausa Relatif
Mane senua tutu hine senua
‘Laki-laki itu memukul wanita itu’
Au tada mane senua ne unu hine senua
‘Saya tahu laki-laki yang menikam perempuan itu’
Au tada hine senua ne mane senua unu
‘Saya tahu wanita yang laki-laki itu tusuk’
(15)
Aktif/PF/Pasif
Mane senua unu hine senua
‘Laki-laki itu menikan wanita itu’
Mane senua unu hine senua
‘Laki-laki itu menikan wanita itu’
Hine senua te mane senua unu
‘Wanita itu laki-laki itu tikam’ (PF)
Hine senua toma unu dase mane senua
‘Wanita itu ditikam oleh laki-laki itu’ (pasif)
Hine senua mane unu mane senua
‘Wanita itu menikam laki-laki itu’
Ita unu mane senua
‘Kita menikam laki-laki itu’
Mane senua unu au
‘Laki-laki itu menikam saya’
Au te mane senua unu
‘Saya laki-laki itu tikam’ (PF)
Au toma unu dase mane senua
‘Saya ditikam oleh laki-laki itu’ (pasif)
Roma mane senua te unu
‘Mereka laki-laki itu tikam’ (PF)
Hine senua mane te unu
‘Wanita ditikam oleh laki-laki itu’ (pasif)
Mane senua unu roma
‘Laki-laki itu menikam mereka’
452
Mane senua unu ua
‘Laki-laki itu menikam dia’
Mane senua unu roma
‘Laki-laki itu menikam mereka’
Ua te mane senua te unu
‘Dia laki-laki itu tikam’ (PF)
Ua toma unu dase mane senua
‘Dia ditikam oleh laki-laki itu’ (pasif)
(16) Perelatifan/Nominalisasi
Imi atmas ne plai odi lolor
‘Kalian adalah orang yang melarikan diri’
Atmas ne plai odi lolor aung sabar
‘Orang yang melarikan diri adalah teman saya’
Mane anak senua plai aung sabar
‘Anak laki-laki yang melarikan diri adalah teman saya’
Roma ne plai aung sabar
‘Mereka yang melarikan diri adalah teman saya’
(17)
Kontrol
Au e unu mane senua
‘Saya mau un menikam laki-laki itu’
Roma te mane senua unu
‘Mereka laki-laki itu’tikam (PF)
Roma toma unu dase mane senua
‘Mereka ditikam oleh laki-laki itu (pasif)
Mane senua unu roma
‘Laki-laki itu menikam mereka’
Mane senua e unu roma
‘Laki-laki itu mau menikam mereka’
Mane senua e unu au
‘Laki-laki itu mau menikam saya’
Imi e unu au
‘Kalian mau menikam saya’
Imi e me’u au
‘Kalian mau mencium saya’
Imi e me’u au
‘Kalian mau mencium saya’
Au ber me’u ua
‘Saya ingin mencium dia’
(18)
Perintah
Pius me’u o
‘Pius mencium engkau’
Au laka o me’u Pius
‘Saya suruh kamu mencium Pius’
453
Au laka o toma me’u dase Pius
‘Saya suruh kamu dicium Pius’
Ua laka au toma me’u dase Pius
‘Dia suruh saya dicium oleh Pius’
Pius kabeng (no) aung anang
‘Pius menikah (dengan)/menikahi anak saya’
Au laka aung anang kabeng (no) Pius
‘Saya suruh anak saya menikah (dengan)/menikahi Pius’
Au e o eme’u Pius
‘Saya mau kamu mencium Pius’
Au he la de basar
‘Saya mencoba pergi ke pasar’
Au e la basar
‘Saya mau pergi ke pasar’
Au e dadi mlarung
‘Saya mau menjadi tinggi’
(19)
(20)
Reflexives
Pius tutu au
‘Pius memukul saya’
Au tutu du’uk lolog
‘Saya memukul diri sendiri’
Ua basa du’uk lolog
‘Dia menampar diri sendiri’
Ita tutu du’uk lolog
Kita memukul diri sendiri
Au tutu Pius
‘Saya memukul Pius’
Imi tutu du’uk lolog
Kalian memukul diri sendiri
O neu du’uk lolog
Engkau melihat diri sendiri
Ami para du’uk lolog
‘Kami memukul diri sendiri’
Ita me’u arag
‘Kita saling cium’
Roma basa arag
‘Mereka saling tampar’
Imi tutu du’uk imi lolor
‘Kalian memukul diri kalian sendiri
Para ua /tutu ua
‘Pukul dia!’
Roma tutu du’uk roma lolor
‘Mereka memukul diri mereka sendiri
Para mane senua
‘Pukul laki-laki itu’
Verba Serial / Aplikatif
Au ala payung sea
‘Saya membeli sebuah payung’
Au ne payung odi aung inang
‘Saya memberikan payung untuk ibu saya’
Au ala payung sea odi aung inang
‘Saya membelikan sebuah payung untuk ibu saya’
Au ala payung sea kahi au ne odi aung inang
‘Saya membeli sebuah payung kemudian memberikan kepada ibu saya
Hine ne au ala payung aung inang
‘Perempuan yang saya belikan payung ibu saya’
454
Au lo’e saca matang odi aung inang
‘Saya membuka pintu untuk ibu saya’
Bentuk kepemilikan/Kepemilikan
Au no ana
‘Saya punya anak’
Au no ana telu
‘Saya memiliki tiga anak’
Imi no ana ubung telu
‘Kalian memiliki tiga anak’
Imi no ana boteng ubung telu
‘Kamu memiliki tiga anak yang besar’
Au no ana hine ubung telu
‘Saya memiliki tiga anak perempuan’
Pius go aung sabang
‘Pius adalah teman saya’
Pius no Maria aung sabang
‘Pius dan Mari teman saya’
Ita no ana hlima
‘Kita punya anak lima’
Ua no her koet
‘Dia punya istri cantik’
Oung her koet
‘Istri kamu/mu cantik’
Au no uma boteng
‘Saya punya rumah besar’
Ami no osa lear
‘Kami punya banyak uang’
Aung no garang boteng
‘Saya punya kepala besar’
Aung garang boteng
‘Kepala saya besar’
Ua no matang boteng
‘Dia punya mata besar’
Uang matang boteng
‘Mata dia besar’
Ana ne matang boteng aung anag
‘Anak yang matanya besar anak saya’
Ana ne garang boteng aung anag
‘Anakyang kepalanya besar anak saya’
Aung garang boteng
‘Kepala saya besar’
O no oer mlarung
‘Engkau punya kaki panjang’
Aung garang gbarang
‘Kepala saya sakit’
455
Aung uma
Aung anang
Aung limang
‘Rumah saya’
‘Anak saya’
‘Tangan saya’
Itang uma
Itang anang
Itang limang
‘Rumah kita’
‘Anak kita’
‘Tangan kita’
Oung uma
oung anang
Oung limang
‘Rumah engkau’
‘Anak engkau’
‘Tangan engkau’
Noung uma
Noung anang
Noung limang
‘Rumahnya/dia’
‘Anaknya/dia’
‘Tangannya/dia’
Itang uma
Itang anang
Itang limang
‘Rumah kita’
‘Anak kita’
‘Tangan kita’
Aming uma
aming anang
Aming limang
‘Rumah kami’
‘Anak kami’
‘Tangan kami’
Iming umu
Iming anang
Iming limang
‘Rumah kalian’
‘Anak kalian’
‘Tangan kalian’
Pedro no uma
Pedro no ana
Pedro nolimang
‘Pedro punya rumah’
‘Pedro punya anak’
‘Pedro punya tangan’
Pedro noung uma
Pedro noung ana
Pedro nolimang
‘Rumah Pedro’
‘Anak Pedro’
‘Tangan Pedro’
Au me’u ua
Imi me’u au
‘Saya mencium kamu’
‘Kamu mencium saya’
Au me’u ua
Ua me’u au
‘Saya mencium dia’
‘Dia mencium saya’
Au me’u Pius
Pius me’u au
‘Saya mencium Pius’
‘Pius mencium saya’
Pius me’u Maria
Mane senogo me’u hine sanua
Pius mencium Maria’
‘Laki-laki ini mencium wanita itu’
Au liu asu senua
Asu senua li’u busa senua
‘Saya mengejar anjing itu’
‘Anjing itu mengejar kucing itu’
Au liu ua
Ua liu au
‘Saya mengejar dia’
‘Dia mengejar dia’
Imi liu au
Imi liua ua
‘Kalian mengejar saya’
‘Kalian mengejar dia’
Ua liu imi
‘Dia mengejar kalian’
Au bebei ua
Ua bebei au
‘Saya mengikuti dia’
‘Dia mengikuti saya’
Imi bebei au
‘Kalian mengikuti saya’
Au ele aung asu
Au ele aung asu
‘Saya mencari anjing saya’
‘Dia mencari anjing saya’
Imi ele aung asu
‘Kalian mencari anjing saya’
(21)
Verba Ingnestif
Au a etu
‘Saya makan nasi’
456
Au enu bea
‘Saya minum air’
Au hnoring Inggris leuhu’ung de iskola
‘Saya belajar bahasa Inggris di sekolah’
Au baca buku de iskola
‘Saya membaca buku di sekolah’
Au nae poto senua
‘Saya melihat foto itu’
(22) Kognisi
Au tada mane senua
‘Saya tahu laki-laki itu’
Au tada habu senua
‘Saya tahu jawaban itu’
Au tada lehug senua
‘Saya tahu masalah itu’
Au hanoing aung inang
‘Saya memikirkan ibu saya’
(23) Berbicara
Au dale
Dale
‘Saya (ber)bicara’
Bicara
Au dale Indonesia leuhu’ung
‘Saya bicara bahasa Indonesia’
Au dale no ua
‘Saya bicara dengan dia’
Ua dale te inang
‘Dia (laki-laki/perempuan) bicara tentang ibunya’
Ua dale de au
‘Dia (laki-laki/perempuan) berbicara kepada saya’
(24)
TAM (Tense Aspek dan Modalitas)
Ua a na’a rua
‘Dia makan kemarin’
Ua a nogo
‘Dia makan sekarang’
Ua a matmai
‘Dia makan besok’
Au a nogo
‘Saya sedang makan’
457
Lampiran 7
DATA REKAMAN BAHASA KEMAK
(ditranskripsi dengan ELAN)
Teks 1
tx
au-ng galang
Siprianus
Asa Bete
ami amar galang
gl
saya-Poss nama
Siprianus
Asa Bete
kami bapak nama
ft
nama saya Siprianus Asa Bete nama bapak kami
tx
ft
Biasius Mau Laka ami inar galang
yustina
dau
mali
roma bua
Biasius Mau Laka kami ibu nama
yustina
dau
mali
mereka berdua
Biasius Mau Laka nama ibu kami Yustina Dau Mali mereka berdua
tx
gl
ft
pehe au mesang
kahi tau au isikola
melahirkan saya sendiri habis buat saya sekolah
mempunyai anak satu saya selesai sekolah di Sadi
tx
gl
ft
isikola sd na
tamat kahi de isikola SD
sekolah sd saja
tamat habis di sekolah SD
hanya SD saja setelah tamat SD
tx
au la SMP de atambua
isikola
SMP ti
kahi
hali au semai
saya pergi SMP di atambua
sekolah
SMP tidak
habis
lagi saya keluar
Saya sekolah SMP di Atambua saya tidak tamat SMP
gl
gl
ft
tx
gl
ft
de sadi
di sadi
au semai mai de ilat
roma tumanggalang mudu
lulu
saya keluar datang ke kampung
mereka berkumpul duduk
semua
saya keluar dan pulang ke kampong mereka semua duduk
bersama
tx
gl
ft
roma dale
odi hoat au dadi dato de tonang
merka bicara
untuk angkat saya jadi kepala dusun di tahun
mereka bicara mengangkat saya menjadi kepala desa pada tahun
tx
ribungsea atussibe
guruhnem resing balu
kahi
de tonang
seribu sembilan ratus
enam puluh delapan
lalu
di tahun
seribu sembilan ratus enam puluh delepan kemudian pada tahun
gl
ft
458
tx
gl
ft
ribungsea
attussibe
guruhitu resing hnem
seribu
sembilan ratus
tujuh puluh enam
seribu sembilan ratus tujuh puluh enam
tx
gl
ft
nai hoat au de oeng no Iimang
teda tonang
desa angkat saya di kaki tangan
pada tahun
desa mengangkat saya menjadi sekretaris desa pada
tx
ribungsea attussibe
gurung balu resing hlima ro hoat tau
de
seribu sembilan ratus
delapan puluh lima
orang angkat
taruh di
seribu sembilan ratus delapan puluh lima orang angkat menjadi
gl
ft
tx
gl
ft
tx
gl
ft
tx
kepala desa dadau teda tonang ribungsea
attussibe gurubalu
resing
kepala desa sampai pada tahun seribu
sembilan
ratus
delapan puluh
kepala desa sampai tahun seribu sembilan ratus delapan puluh
sibe
kahi hoat hali
da oer no limar
nai
teda tonang
sembilan
habis angkat lagi
di kaki tangan
desa
pada tahun
sembilan selesai diangkat lagi menjadi sekretaris desa pada tahun
ft
ribungsea
attussibe
gurusibe resing hnem
hoat
hali de
seribu
sembilan ratus
sembilan puluh enam
angkat
lagi di
seribu sembilan ratus sembilan puluh enam angkat lagi menjadi
tx
gl
ft
kepala desa teda tonang ribungsea
attusibe
kepala desa pada tahun seribu
sembilan ratus
kepala desa pada tahun seribu sembilan ratus
tx
gurusibe resing sibe
kahi au brenti
au
brenti
kahi
sembilan puluh sembilan lalu saya berhenti
saya berhenti
lalu
sembilan puluh sembilan kemudian saya berhenti saya berhenti
lalu
gl
gl
ft
459
tx
gl
ft
tx
gl
ft
teda tonang ribunghrua hitu hoat hali au
de
pamong adat
pada tahun dua ribu
tujuh angkat lagi saya
di
pamong adat
pada tahun dua ribu tujuh angkat lagi saya menjadi pamong adat
hoat au da pamong adat au odi
bantu sirbisu de
nai
angkat saya di pamong adat saya untuk
bantu kerja di
desa
angkat saya menjadi pamong adat, saya membantu pekerjaan di
desa
tx
gl
ft
odi dale
adat de ilat umaklaran
untuk bicara
adat di desa umaklaran
untuk bicara adat di desa Umaklaran lalu
kahi
lalu
tx
gl
ft
hoat hali au de
garang HPD odi
urus leahu’u
angkat lagi saya di
kepala HPD untuk urus masalah
angkat saya lagi menjadi kepala HPD untuk mengurus masalah
tx
gl
ft
hine salah mane salah
perempuan salah laki-laki salah
kesalahan masyarakat
tx
gl
ft
no leahu’u umaing no asi ailarang
dan masalah rumah tangga dan di luar rumah tangga
dan masalah rumah tangga dan bukan rumah tangga
tx
gl
ft
kahi hoat hali au da
garang PPK odi urus
lalu angkat lagi saya di
kepala PPK untuk urus
lalu angkat saya lagi kepala PPK untuk mengurus
tx
gl
ft
leahu’u kase nung
odi tau
mloing da
masalah pemerintah punya
untuk buat baik di
masalah urusan pemerintah untuk buat baik di
tx
gl
ft
hine renu mane renu
odi pae leahu’u
perempuan hadir laki-laki hadir
untuk bagi masalah
keberadaan perempuan dan laki-laki untuk membagi masalah
tx
gl
ft
kase nung
nuabe renu odi tau bebe’i
pemerintah punya
supaya masyarakat untuk buat ikut
urusan pemerintah supaya masyarakat untuk ikut berpartisipasi
460
tx
gl
ft
tx
gl
ft
tx
gl
ft
tx
gl
ft
tx
gl
ft
tx
gl
ft
odi muas pede
orasnogo
kahi hoat hali au de garang
raskin
untuk hidup sampai sekarang
lalu angkat lagi saya di kepala
raskin
untuk hidup sampai sekarang Ialu angkat saya lagi jadi kepala raskin
odi kepu urus renu noung
a
enu mreas
ne
kase
untuk urus
masyarakat punya makan minum beras
beri
pemerintah
untuk mengurus urusan makan minum beras masyarakat yang
pemerintah berikan
daerah ne mai da
renu
dadi oras
nogo
pede
pemerintah beri datang kepada
masyarakat jadi sekarang ini
begini
pemerintah menyerahkan masyarakat jadi sekarang ini begini
au e
ganti dadi nai
de pamong adat odi urus
saya mau
ganti jadi kepala desa
di pamomg adat untuk
urus
saya mau ganti menjadi kepala desa di pamong adat untuk
mengurus
riga membangun
ilat umaklaran
pede
hedia itang ilat
sama-sama membangun
desa umaklaran
seperti
perbaki kita desa
membangun bersama desa umaklaran seperti memperbaiki desa kita
hedia itang ilat
hedia itang sala
odi
tau
mloing mamu
perbaiki kita desa
perbaiki kita jalan
untuk
buat
baik semua
memperbaiki desa kita memperbaiki jalan kita untuk memperbaiki
semua
tx
gl
ft
nuabe renu odi moas koet
odi moas mloing
pede
supaya masyarakat hidup bagus bisa hidup baik
seperti
supaya masyarakat hidup baik bisa hidup baik seperti
tx
gl
ft
leahu’u dasi kase laka
nuabe tau bebe’i ala
masalah dari pemerintah suruh
supaya buat ikut semua
masalah dari pemerintah berikan supaya mengikuti semua
461
tx
gl
ft
nuabe odi dadi mloing
odi hedia ar
supaya untuk jadi baik
untuk perbaiki diri
supaya menjadi baik untuk memperbaiki diri seperti
tx
gl
ft
itang moas mloing pede
ro ne
kita hidup baik seperti
orang beri
hidup kita baik seperti orang memberi
tx
ft
perae galang tasi heling tasi laung la
oras nogo
pede
kase
ditanah laut seberang sana
sekarang ini seperti
pemerintah
ditanah laut seberang sana sekarang ini seperti pemerintah
tx
gl
ft
daerah ne hali mai de ami
de api
daerah beri kembali datang di kami
di api
daerah memberi kembali datang ke kami di api
tx
gl
ft
senua ta pede uma aing dusae saetio senogo
itu yang seperti rumah yang turun naik ini
itu yang seperti rumah yang turun naik ini
tx
pede de mamu api anang mola de umaing larang
pege berang
a enu
seperti di semua api anak masuk di rumah tangga
minta selain
makan minum
sepertidi semua anak api masuk di rumah tangga minta selain
makan minum
gl
gl
ft
pede
seperti
tx
gl
ft
ti pede munang tata kai isi
moas mai go
tidak seperti dulu nenek mereka lahir datang
tidak seperti dulu nenek mereka lahir
tx
pede nogo pede moas heung
tau reme
renu
e moas mloing
sperti ini seperti hidup baru
anggap remeh
masyarakat
ingin hidup baik
seperti ini seperti hidup baru anggap remeh masyarakat ingin hidup
baik
gl
ft
tx
gl
ft
renu e koet
senua te pede leahu’u ne pede
masyarakat ingin bagus
itu yang seperti masatah yang seperti
masyarakat ingin baik itu masalah yang seperti
462
tx
ft
kase noung nogo ne mai de
renu
odi
tau
mloing
pemerintah punya ini kasi datang di
masyarakat untuk
buat
baik
milik pemerintah diberikan kepada masyarakat untuk memperbaiki
tx
gl
ft
senua te pede ami no nai isi gala tuang pita
itu yang seperti kami dengan kepala desa hanya tambah saja
itu yang seperti kami dengan kepata desa hanya tambah saja
tx
ami renu odi te mloing
pede leahu’u hotu-hotu
ami
gala
kami masyarakat bawa yang baik seperti masalah semua
kami
hanya
kami masyarakat bawa yang baik seperti semua masalah kami
hanya
gl
gl
ft
tx
ft
au tau koet
ro odi moas mloing
ro
bisa
hetang
mloing pede
saya buat baik
orang bawa hidup baik
orang bisa dapat
baik seperti
saya memperbaiki kehidupan orang orang bisa dapat baik seperti
tx
gl
ft
kase halao mloing
odi garo nung ne
pemerintah memberi jalan baik
bawa tuntut punya ini
pemerintah memberikan jalan baik
tx
au
sirbisu
harang harang
no
tau
saya
bekerja
hari-hari
dengan
buat
saya bekerja tiap hari dengan kepala desa membuat
gl
gl
ft
tx
ilat
garang
kepala desa
ft
kepala desa pae au
de pamong adat
dadi
au no
kepala desa masukan saya
di pamong adat
jadi
saya dengan
kepala desa masukan saya menjadi pamong adat saya dengan
tx
gl
ft
garang de desa
ami sirbisu lulu
semai potam ilat
kepala di desa
kami kerja sama sama
keluar tiap kampung
kepala di desa kami bekerja bersama keluar tiap kampung
tx
gl
ft
odi ne ukong no badu
bawa kepada hukum dan larangan
memberikan penjelasan tentang hukum dan larangan
gl
463
tx
gl
ft
de nine renu mane renu
kepada perempuan masyarakat laki-laki masyarakat
kepada masyarakat perempuan dan laki-laki
tx
gl
ft
ukong no badu ne ami ne nua
hukum dan larangan yang kami kasi itu
hukum dan larangan yang kami kasi itu
tx
odi hine renu mane renu
odi
tau
bebei
untuk perempuan masyarakat laki laki masyarakat
untuk
buat
ikut
untuk masyarakat perempuan dan laki-laki untuk mengikuti
gl
ft
tx
gl
ft
nuabe odi moas
mloing
isibara
boi arag
isibara
pereiarag
supaya untuk hidup baik
jangan
saling marah jangan
berkelahi
supaya untuk hidup baik jangan marah jangan berkelahi
tx tau mloing arag hadomi arag
ami ne
gl buat baik saling cinta saling
kami kasi
ft saling berbuat baik saling mencintai kami berikan
tx okung no badu kahi
mulai ami hali sai
gl hukum dengan larangan selesai
mulai kami pulang sudah
ft selesai memberikan penjelasan hukum dan larangan kami mulai
pulang
tx sea sea tau nung sirbisu
e tau aung sirbisu
gl masing masing buat kerja punya
mau buat saya kerja
ft masing masing mengerjakan pekerjaannya mau mengerjakan
pekerjaan saya
tx pede au
pe’i brau
sai brau odi la de sut
gl seperti saya
lihat sapi
keluar sapi bawa pergi ke rumput
ft seperti saya lihat sapi mengeluarkan sapi bawa pergi ke rumput
tx kahi lelo mahung odi hali mai de uma
odi hesi de
uma
gl lalu matahari jatuh bawa kembali pulang ke rumah
bawa ikat di
rumah
ft lalu sore hari bawa pulang kembali ke rumah mengikat di rumah
464
tx la soi bea
odi hati
kahi lelo mnahu
gl pergi timba air
untuk minum
sudah matahari jatuh
ft pergi menimba air untuk minum setelah sore
tx pe’i ahi nung na
odi la pa na de
ahi liang
gl lihat babi punya makanan
bawa pergi kasi makan di babi kandang
ft melihat makanan babi memberikan makanan ke kandang babi
tx kahi lelo mnahu
pe’i manu anang nobate
gl sudah matahati jatuh lihat ayam anak yang mana
ft setelah sore melihat anak ayam yang mana
tx no inang no anang nobate
de uma belang belang
gl dengan induk dengan anak yang mana
di rumah pinggir pinggir
ft dengan induk dengan anak yang mana di pinggir-pinggir rumah
tx ita raka odi
pae mote de itang uma
gl kita angkat untuk
kasi masuk di kita rumah
ft kita pindahkan memasukan ke rumah kita
tx pede sirbisu luma sanu senua mloing
odi tuang itang moas
odi
gl seperti kerja pelihara barang itu baik
buat bantu kita hidup
untuk
ft seperti memelihara barang itu baik untuk membantu hidup kita untuk
tx ala mina rae odi ala baku no mama
gl beli minyak tanah untuk beli tembakau dan sirih pinang
ft membeli minyak tanah dan membeli tembakau dan sirih pinang
tx odi ala itang
sanu nobate ita
ber ita e a enu
odi sosa
gl untuk beli kita barang yang kita
suka kita mau makan minum
untuk beli
ft untuk beli kita barang yang kita suka kita mau membeli makan minum
tx dadi luma sanogo mloing
pede
ami sirbisu
gl jadi pelihara barang baik
seperti
kami kerja
ft jadi pelihara barang baik seperti kami bekerja
tx ne tuangpita aung moas de uma ainglarang
au e luma
sanu
gl beri bantu saya hidup di rumah tangga
saya mau pelihara
barang
ft memberi bantuan hidup saya di rumah tangga saya mau memelihara
barang
465
tx kahi au tau asi
au e
tana uta au pi uta anang
gl lalu saya buat kebun saya mau
tanam sayur saya siram sayur
bibit
ft lalu saya buat kebun saya mau tanam sayur dan siram bibit sayur
Teks 2
tx oh bera isi
emi ele koti
rae orga pnaba
gl oh kalian semua
kalian cari coba
tanah ujung dimana
ft oh kalian semua coba kalian cari ujung bumi ada dimana
tx oh hine bala
mane bala isi
oho no tasi
gl oh perempuan kawan laki-laki kawan semua
gunung dan laut
ft oh kawan perempuan kawan laki-laki semua gunung dan laut
tx ele ti eto
rae tali pnaba
gl cari tidak dapat
tanah cipta di mana
ft tidak dapat mencari di mana pencipta bumi
tx ele ti eto
ama kahi mloi
ama maromak
o tana
gl cari tidak dapat
bapak amat baik
bapak Allah
engkau pencipta
ft tidak dapat mencari bapak maha baik bapak Allah engkau pencipta
tx rae lelo mata
ete koti lah o ele koti lah
gl tanah matahari
cari coba lah kamu cari coba lah
ft bumi dan seisinya coba carilah kamu coba carilah
tx dase lelo du te lelo sae
gl dari matahari terbenam sampai matahari terbit
ft dari matahari terbit sampai terbenam
tx nae desa lah o nae desa lah dase sabang te de merauke
gl lihat coba lah kamu lihat coba lah dari sabang sampai merauke
ft coba lihatlah kamu coba lihatlah dari sabang sampai merauke
tx nae sae saka nae du saka
taka ukuperi
gl lihat atas lihat bawah
awan tutup
ft lihatlah ke atas lihatlah ke bawah tertutup awan gelap
soar ara peri
gelap
tx tasi keta bali
rae beka bote
no orga nua
ita
kakoa
gl laut
tanah itu besar
dengan batas itu
kita
kagum
ft terpisah laut bumi itu luas dengan batasnya itu membuat kita kagum
466
tx ita Indonesia
ita rae orgo
dase sabang
te
da
merauke
gl kita Indonesia kita tanah ujung
dari sabang
sampai
ke
merauke
ft kita Indonesia wilayah negara kita dari sabang sampai ke merauke
tx ita briheu
ita saeheu mari tau madu
rae sora bote
gl kita pemuda
kita pemudi mari buat maju
tanah
ft kita pemuda kita pemudi mari memajukan negeri
tx ele koti lah o ele koti lah
gl cari coba lah kamu ari coba lah
ft coba carilah kamu coba carilah
tx dase lelo du te lelo sae
gl dari matahari terbenam sampai matahari terbit
ft dari matahari terbit sampai terbenam
tx nae desa lah o nae desa lah
dase sabang te da merauke
gl lihat coba lah kamu lihat coba lah
dari sabang sampai merauke
ft coba lihatlah kamu coba lihatlah dari sabang sampai merauke
Teks 3
tx matsung nei
au la basar
au hali-hali mae
gl pagi tadi
saya pergi pasar
saya kembali datang
ft Tadi pagi saya pergi ke pasar saya datang kembali
tx au botu ami nanar
de sirani
kahi ua bobe
o
nopodi
gl saya jemput kami kakak
di sirani
lalu dia bilang
kamu
antar
ft saya menjemput kakak kami di Sirani lalu dia berkata kamu antar
tx au la de umaklaran
au bobe
au
e
aitahang brau nung
gl saya pergi ke umaklaran
saya bilang saya mau
daun sapi punya
ft saya ergi ke Umaklaran saya berkatasaya mau potong
daun untuk sapi
ta
potong
tx ua bobe
o nobali la kahi
o mae hali
gl dia bilang
kamu antar pergi kembali kamu pulang datang
ft dia berkata kamu antar pergi lalu kamu datang kembali
467
tx lapa o ta
ong brau noung aitahang
gl nanti kamu potong
kamu sapi punya daun
ft nanti kamu potong daun untuk sapi
tx au e la de debuklaran
au sole
aung oeng
gabarang
au bobe
gl saya mau pergi ke debuklaran
saya jalan saya kaki
sakit
saya bilang
ft saya mau pergi ke Debuklaran saya jalan kaki saya sakit saya berkata
tx senua lapa au nopodi ua
itang nanang la te de uma
gl itu nanti saya antar dia
kita kakak perempuan pergi sampai di
rumah
ft nanti saya antar dia kakak perempuan kita pergi sampai di rumah
tx au hali mai
lapa au ta brau noung aitahang
kahi
gl saya pulang datang
nanti saya potong sapi punya daun
lalu
ft saya datang kembali nanti saya potong daun untuk sapi kemudian
tx au e hali
aung nanar bobe
gl saya mau pulang
saya-poss kakak bilang
ft saya mau pulang kakak perempuan saya berkata
tx o hisar hali tesi
ami hali dasa basar
kahi
lapa
gl kamu jangan pulang dulu
kami oulang dan pasar
lalu
nanti
ft kamu jangan pulang dulu sekarang kami pulang dari pasar lalu
kemudian
tx imi hali
gl kami pulang
ft kami pulang
Teks 4
tx la ele lah
oh beluk
ele lah
ele lah
la
o
la ele lah
gl pergi cari lah
oh kawan
cari lah
cari lah
pergi kamu
pergi cari lah
ft pergi carilah oh kawan carilah carilah pergi kamu pergi carilah
tx o ele
o dede nasi
au mai
te
mai
mida hali
gl kamu cari
kamu janji baru
saya datang sampai
datang
bohong lagi
ft kamu cari kamu janji baru saya datang sudah datang bohong lagi
468
tx tau au hali odi lima lausuma
gl buat saya kembali bawa tangan kosong
ft membuat saya kembali dengan tangan kosong
tx ele gesa lah o ele gesa lah
gl cari coba lah kamu cari coba lah
ft coba carilah kamu coba carilah
tx ele lah dase lelo dung te lelo saeng
gl cari lah dari matahari terbenam sampai matahari terbit
ft carilah dari matahari terbit sampai terbenam
tx beluk o isi gmagang
nua itang oho no rae
gl kawan kamu jangan bodoh
itu kita wilayah dan tanah
ft kawan kamu jangan bodoh itu wilayah kita
tx oho rae dase sabang te de merauke
gl wilayah tanah dari sabang sampai di merauke
ft wilayah dari sabang sampai merauke
tx ele gesa lah o ele gesa lah
gl cari coba lah kamu cari coba lah
ft coba carilah kamu coba carilah
tx ele lah dase lelo dung te lelo saeng
gl cari lah dari matahari terbenam sampai matahari terbit
ft carilah dari matahari terbit sampai terbenam
tx beluk o isi gmagang
nua itang oho no rae
gl kawan kamu jangan bodoh
itu kita wilayah dan tanah
ft teman kamu jangan bodoh itu wilayah kita
tx oho rae dase sabang te de merauke
gl wilayah tanah dari sabang sampai di merauke
ft wilayah dari sabang sampai merauke
Teks 5
tx na’arua lelomahung
ami ubung hitu
sali ika de
larang
gl kemarin sore
kami orang tujuh
tangkap ikan di
dalam
ft Kemarin sore kami bertujuh menangkap ikan di dalam sawah
hroe
sawah
469
tx ami sali lulu ika
pae de ember
gl kami tangkap kumpulkan
masuk ke ember
ft kami bersama-sama menangkap ikan masukan ke dalam ember
tx ami sali kahi mamu
nasi ami pa’e
nesa ubung
sea-sea
gl kami tangkap selesai semua kemudian kami bagi
per
orang
satu-satu
ft selesau kami semua menangkap ikan kemudian kami bagi satu-per
orang
tx kahi
pae kahi sea sea odi la
de uma
gl lalu
masuk lalu satu satu bawa pergi
ke rumah
ft lalu masukan kemudian kami bawa pergi satu per satu ke rumah
tx odi tunu no
sega
odi a
gl untuk bakar dan
goreng
untuk makan
ft untuk bakar dan goreng untuk makan dengan nasi
no seleapang
dengan nasi
tx kahi mata mata anak
ami la isikola
gl lalu pagi pagi kecil
kami pergi sekolah
ft kemudian pagi-pagi sekali kami pergi ke sekolah kami
ami
kami
tx ami heti arag heli
kokisa lelomahung
gl kami ajak saling lagi
sebentar sore
ft kami saling mengajak lagi sebentar sore
tx ita la sali hali ika
go be
sering bobe
ami
tmaut sai
gl kita pergi tangkap lagi ikan
itu tapii yang lain bilang kami
takut sudah
ft kami pergi menangkap ikan lagi tapi yang lain bilang kami sudah takut
tx pita ami sali
sali muna ne senogo
ami oeng
mamu
gl karena kami tangkap tangkap dulu yang ini
kami
kaki
semua
ft karena kami tangkap dulu yang ini kaki kami gatal semua
atang
gatal
Teks 6
tx ami
umamane maneheu
mudu lulu ido dale
gl kami
pihak perempuan pihak laki-laki duduk kumpul buat bicara
ft kami pihak perempuan dan laki-laki duduk berkumpul untuk berbicara
470
tx de arag ne menung
bodik dale anar hine
gl di saling beri waktu
untuk bicara anak perempuan
ft saling memberikan waktu untuk bicarakan anak perempuan
tx no anar mane noung
harang ne e pae hadat
no e
kabeng
gl dengan anak laki-laki punya hari yang mau masuk adat
dan
mau kawin
ft dengan anak laki-laki punya untuk hari masuk adat dan mau menikah
tx ami dale lulu maneheu
e mai pae hadat
gl kami bicara kumpul pihak laki-laki
mau datang masuk adat
ft kami pihak laki-laki kumpul berbicara mau datang masuk adat
tx de harang
hrua hula hitu
roma hine mane e kabeng
gl di hari
dua bulan tujuh
mereka perempuan laki-laki mau
kawin
ft pada tanggal dua bulan tujuh mereka perempuan dan laki-laki mau
menikah
tx kase nung go
de harang sapuluh
resing
hula hitu
gl umum punya itu
di hari
sepuluh
sisa
bulan tujuh
ft di gereja pada tanggal se[uluh sembilan belas bulan tujuh
sibe
sembilan
tx leahuu umamane maneheu dale bebei arag sai
gl masalah pihak perempuan pihak laki-laki bicara ikut saling sudah
ft masalah pihak perempuan dan laki-laki sudah saling bicara
tx gala gini ta
harang go te
hating hrua mudu lulu
odi
gl hanya tunggu saja
hati itu
yang tempat dua duduk kumpul
buat
ft hanya menunggu saja hari tersebut yang dua pihak duduk
berkumpul untuk
tx pae hadat
no e kabeng bebei de
harang ne ita dale
lulu go
gl masuk adat
dan mau kawin ikut di
hari yang kita bicara
kumpui itu
ft masuk adat dan mau ikut kawin di hari yang kita sepakati tersebut
tx kahi odi dogo
gl selesai buat ini
ft sudah selesai
471
Teks 7
tx pede kepuharang nogo
ami no kepala desa
no
dato
galang
gl seperti hari ini
kami dan kepala desa
dengan
d
usun kepala
ft seperti hari ini saya dan kepala desa dengan kepala dusun
tx no tumang gatang
no hine renu
no
mane
renu
gl dengan tua adat
dan perempuan masyarakat
dan laki-laki
masyarakat
ft dengan tetua adat dan masyarakat perempuan dan masyarakat lakilaki
tx ami da mata mamu
da abe mamu
odi teha ama bupati
gl kami di bangun semua
di depan semua
untuk terima bapak
bupati
ft kami semua bangun semua di depan untuk menerima bapak bupati
tx no oeng no limang
e sahi mai
e paga mai
gl dengan kaki dengan tangan mau maju datang mau langkah datang
ft dengan bawahannya mau datang maju ke depan
tx de kantor desa e mai ne ukung
no badu
gl di kantor desa mau datang beri hukum
dengan larangan
ft di kantor desa mau datang memberikan hukum dan larangan
tx da ami hine renu
no mane renu
ama
bupati
gl di kami perempauan masyarakat
dan laki-laki masyarakat bapak
bupati
ft di masyarakat perempuan dan masyarakat laki-laki kami bapak bupati
tx ne kahi ukung no badu
roma takaar hali
gl beri selesai hukum dan larangan
mereka kembali pulang
ft selesai memberikan hukum dan larangan mereka pulang kembali
tx roma takaar ha;i
la de kota
gl mereka kembali pulang
pergi ke kota
ft mereka pulang kembali pergi ke kota
472
Teks 8
tx harang pila nogo
ami tau sirbisu
kase nung
gl hari beberapa ini
kami buat kerja
pemerintah punya
ft beberapa hari ini kami mengerjakan pekerjaan pemerintah
tx ami pamong galang
no kepata desa
la potam de ilat
gl kami pamong sema
dengan kepala desa
pergi tiap ke desa
ft kami pamong semua dan kepala desa pergi ke tiap desa
tx no dato galang
pege osa bea nung
de renu mamu
gl dengan dusun semua minta uang pajak punya di
masyarakat
semua
ft dan semua dusunmenagih uang pajak kepada masyarakat semua
tx sea nobata osa taing
laka ua se’o
nung manu
ahi anak
gl satu yangmana uang tidak
suruh dia jual
punya ayam
babi anak
ft yang mana tidak ada uang menyuruh dia menjual ayam dan anak babi
tx odi ala osa
odi mai selo bea nung
gl untuk beli uang
bawa datang bayar pajak punya
ft untuk mendapatkan uang untuk membayar pajak tersebut
tx tonang sea ita selo saba
da kase
nasi kase
galang
gl tahun satu kita bayar sekali di pemerintah
baru pemerintaha
kepala
ft kita bayar satu tahun sekali di pemerintah lalu kepala pemerintah
tx hanoing kahi ita
roma odi tau podi itang sala
gl pikir
kembali kita mereka bawa buat untuk kita jalan
ft memikirkan kita kembali mereka membuat jalan
uma
rumah
rumah
tx no beamatang tau
koet
no mloing
mola potam da ilat
gl dan sumur buat
bagus
dengan baik masuk tiap di desa
ft dan membuat sumur menjadi bagus dan baik masuk tiap desa
473
Lampiran 8
DAFTAR INFROMAN
1.
Nama
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Alamat
: Siprianus Asa Bete
: 67 Tahun
: Laki-laki
: Petani
: Desa Umaklaran
Nama
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Alamat
: Pius Ati Mali
: 38 Tahun
: Laki-laki
: Petani
: Desa Sadi
2.
Nama
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Alamat
: Yohanes Batu Mali
: 67 Tahun
: Laki-laki
: PNS Kepala Desa
: Desa Umaklaran
3.
Nama
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Alamat
: Yohanes Bili Making
: 65 Tahun
: Laki-laki
: Petani
: Desa Umaklaran
4.
Nama
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Alamat
: Luis Bili Making
: 40 Tahun
: Laki-laki
: karyawan Swasta
: Desa Umaklaran
474
Lampiran 9
FOTO-FOTO PENELITIAN
475