al-qur`an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu

Transcription

al-qur`an dan tafsirnya dalam perspektif toshihiko izutsu
AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA DALAM PERSPEKTIF
TOSHIHIKO IZUTSU
TESIS
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Agama dalam
Bidang Pendidikan Bahasa Arab
Oleh:
FATHURRAHMAN
NIM. 07.2.00.1.13.08.0040
Pembimbing:
Dr. Yusuf Rahman, M.A.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
nama
: Fathurrahman
NIM
: 07.2.00.1.13.08.0040
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis dengan judul: “Al-Qur‟an dan
Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu‖ adalah benar merupakan hasil karya
saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila dikemudian hari
terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan
dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar.
Jakarta, 25 Pebruari 2010
Penulis,
Fathurrahman
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul ―Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko
Izutsu‖ yang ditulis oleh:
nama
: Fathurrahman
NIM
: 07.2.00.1.13.08.0040
telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk dibawa ke sidang ujian/penilaian
tesis.
Jakarta, 25 Pebruari 2010
Pembimbing,
Dr. Yusuf Rahman, M.A.
iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI
Tesis dengan judul ―Al-Qur‟an dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko
Izutsu‖ yang ditulis oleh Fathurrahman, NIM. 07.2.00.1.13.08.0040, telah diujikan
dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Senin, tanggal 8 Maret 2010, dan telah
diperbaiki sesuai saran dan rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.
TIM PENGUJI
Ketua Sidang/Penguji,
Pembimbing/Penguji,
Dr. Udjang Tholib, M.A.
Dr. Yusuf Rahman, M.A.
Tanggal: _______ 2010
Tanggal: _______ 2010
Penguji I,
Penguji II,
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A.
Prof. Dr. Suwito, M.A.
Tanggal: _______ 2010
Tanggal: _______ 2010
iv
ABSTRAK
Tesis ini membuktikan bahwa menjadi Muslim bukanlah merupakan syarat
utama bagi seseorang untuk dapat mengkaji al-Qur‘an.
Kesimpulan tesis ini pada dasarnya menolak pendapat yang menyatakan
bahwa non-Muslim tidak boleh mengkaji al-Qur‘an. Pendapat ini dikemukakan oleh
Muẖammad Nabîl Ghanâim, Dirâsât fî al-Tafsîr, (1987), Khâlid ʻAbd al-Rahmân alʻAk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, (1986), dan ‗Abd al-Hay al-Farmâwî, alBidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî: Dirâsah Manhajîyah Maudhuʻîyah, (1977).
Sebaliknya, tesis ini mendukung gagasan tentang kemungkinan bagi setiap orang
dapat mengkaji al-Qur‘an tanpa dibatasi oleh agamanya, apakah ia Muslim atau
bukan. Pendapat ini dikemukakan oleh Muẖammad Amîn al-Khûli, Manâhij alTajdîd fî al-Naẖwi wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adâb, (1961) dan Nashr
Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (1993).
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah karyakarya Toshihiko Izutsu tentang kajian al-Qur‘an, yaitu: God and Man in the Koran:
Semantics of the Koranic Weltanschauung, (2002), dan Ethico-Religious Concepts in
the Qur‟an, (2002). Sedangkan sumber sekunder di antaranya adalah: Ahmad
Sahidah, Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟ān menurut Pemikiran
Toshihiko Izutsu, (http://www.ahmadsahidah.blogspot.com), dan karya-karya yang
berkenaan dengan kajian al-Qur‘an. Dalam pengumpulan data, penulis menempuh
teknik studi literatur dan pencarian di internet. Sifat penelitian ini adalah deskriptifanalitis, yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk memberikan gambaran sekaligus
mengeksplorasi secara mendalam pandangan dan pendekatan Toshihiko Izutsu dalam
mengkaji al-Qur‘an. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tekstual, yakni
menyelami pemikiran seorang tokoh melalui karya-karyanya guna menangkap nuansa
makna dan pengertian yang dimaksud secara khas sehingga tercapai suatu
pemahaman yang benar. Penulis juga menempuh langkah komparatif, dengan
membandingkan pandangan dan pendekatan Toshihiko Izutsu dengan sarjana-sarjana
lain baik Muslim maupun non-Muslim seputar objek pembahasan guna menangkap
sisi persamaan dan perbedaannya.
v
ABSTRACT
This thesis proves that to be a Muslim is not the main criteria to study alQur‘ân.
Basically, the conclusion of this thesis refuses the statement of Muẖammad
Nabîl Ghanâim, Dirâsât fî al-Tafsîr, (1987), Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, Ushûl alTafsîr wa Qawâʻiduhu, (1986), and ‗Abd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr alMaudhûʻî: Dirâsah Manhajîyah Maudhuʻîyah, (1977), who state that non-Muslim
does not have authority to study the Holy Book. On the other side, this thesis
strengthens the statement of Muẖammad Amin al-Khûlî on Manâhij al-Tajdîd fî alNaẖwi wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adâb, (1961) and Nashr Hâmid Abû Zaid
on Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (1993), who suggest that
everyone who are interested in studying al-Qur‘ân can study the Holy Book without
seeing to his or her religion.
The principal sources in this research are Toshihiko Izutsu‘s books on the
Quranic studies, i.e.: ―God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic
Weltanschauung”, and ―Ethico-Religious Concepts in the al-Qur‟an”, whereas the
secondary sources of the research are Ahmad Sahidah‗s article, Hubungan Tuhan,
Manusia dan Alam dalam al-Qur‟ān menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu,
(http://www.ahmadsahidah.blogspot.com), and other books that have a correlation
with this study. In collecting some data, the writer uses literary research and access to
the internet. This research is a descriptive analysis that describes and explore deeply
the view and approach of Toshihiko Izutsu‘s study in al-Qur‘ân. The writer uses the
textual approach in understanding Toshihiko Izutsu‘s ideas that are written in his
books in order to get the meaning that he intended. The writer also uses comparative
approach, that compares view and approach between Toshihiko Izutsu and some
scholars (Muslim or non-Muslim) to find their similarities and differences.
vi
(1987)
(1977)
―ToshihikoIzutsu
God and Man in the Koran : Semantics
Ethico-Reliius Concepts in the
of
of the Koranic Weltanschanung (2002),
Qur‟an (2002)
Hubungan Allah, Manusia, Alam dalam al-Qur‟an Menurut Pemikiran
Toshihiko Izutsu (http://www.ahmadsahidah.blogspot.com)
Analisis Deskriptif
Toshihiko
Izutsu
Toshihiko Izutsu
vii
UNGKAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur terpanjatkan kehadirat Allah SWT., Rabb al-„Âlamîn,
karena tatkala penulis berada dalam kondisi sulit selalu saja ada kemudahan yang Dia
berikan melalui orang-orang terpilih-Nya. Demikian juga, shalawat dan salam penulis
sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tesis ini banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dukungan, dana, bimbingan,
arahan, dan masukan. Oleh karena itu, penulis merasa wajib berterima kasih kepada
jajaran Departemen Agama selaku pihak pemberi beasiswa, Kepala MAN Mandah,
Bapak Said Sulaiman Daud, S.Pd.I. yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
mengikuti program beasiswa ini, dan rekan-rekan guru dan pegawai di MAN Mandah
yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.
Kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin
Hidayat, M.A.; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof.
Dr. Azyumardi Azra, M.A.; dan para Deputi Direktur, yaitu: Prof. Dr. Suwito, M.A.;
Dr. Fu‘ad Jabali, M.A.; dan Dr. Udjang Tholib, M.A., serta seluruh staf pengajarnya,
penulis ucapkan terima kasih atas perkenannya untuk studi di lembaga ini dan atas
kuliah-kuliah yang inspiratif dan mencerahkan.
Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Pembimbing, yaitu Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A. yang dengan penuh
kesabaran memberikan arahan kepada penulis di tengah-tengah kesibukannya sebagai
Dosen tetap Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan
Penanggung jawab Program Khusus serta Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Sujud ta„zhîm untuk Ayahanda M. Asrori (al-Marẖûm) dan Ibunda Rusmini,
yang dengan penuh kesabaran mendidik penulis dari kecil hingga dewasa, mengajari
untuk mencintai ilmu pengetahuan, dan senantiasa mendo‘akan penulis supaya
menjadi pribadi yang baik dan berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Juga kepada
viii
Ayahanda Suroto, S.Ag., M.A. dan Ibunda Siti Asiyah, A.Ma., yang dengan ikhlas
memberikan semangat, perhatian, dan dorongan baik moril maupun materil kepada
penulis. Kepada adik-adik penulis, Ahmad Rifa‘i beserta istri, Ahmad Tarmuji, dan
Lilik Jauharotul Wastiyah, terima kasih telah memberikan perhatian dan semangat
dalam menyelesaikan studi ini.
Di samping itu juga, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan
dan karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur‘an (PSQ) Jakarta, dan
Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta atas
pelayanannya, baik dalam bentuk peminjaman maupun fotokopi data-data yang
penulis butuhkan, semoga bantuannya mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Kepada sahabat-sahabatku peserta program beasiswa Departemen Agama
angkatan 2007 dari PBA dan PAI di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
yang selalu memberikan semangat dan waktu berdiskusi untuk segera menyelesaikan
Program Magister terutama dalam penulisan tesis ini dan semua pihak yang telah
membantu penyelesaian tugas ini tanpa bisa disebutkan satu persatu.
Wa bi al khusûs, penghargaan yang paling istimewa penulis sampaikan kepada
isteri tercinta, Leni Rohani Afifah, S.Pd.I, dan putri kami, Ghaida Aurellia Nabila,
atas pengertian, kesabaran, dukungan, dan pengorbanannya demi studi suami dan
bapaknya, sehingga rela ditinggalkan bahkan ketika proses persalinan sekalipun.
Kepada mereka karya ilmiah ini penulis dedikasikan.
Akhirnya, jazâ‟akum Allah aẖsana al-jazâ‟.
Jakarta, 20 Pebruari 2010
Fathurrahman
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB - LATIN
A. Konsonan
Huruf
Arab
Nama
Huruf Latin
Alîf
Keterangan
Tidak dilambangkan
Bâ‟
B, b
Be
Ta‟
T, t
Te
Tsâ‟
Ts, ts
Te dan Es
Jîm
J, j
Hâ‟
H, ẖ
Kha‟
Kh, kh
Je
Ha (dengan garis di
bawah)
Ka dan Ha
Dâl
D, d
De
Dzâl
Dz, dz
De dan Zet
Râ‟
R, r
Er
Zây
Z, z
Zet
Sîn
S, s
Es
Syîn
Sy, sy
Es dan Ye
Shâd
Sh, sh
Es dan Ha
Dhâd
Dh, dh
De dan Ha
Thâ‟
Th, th
Te dan Ha
Zhâ‟
Zh, zh
Zet dan Ha
„Ain
‗
koma terbalik di atas
Ghain
Gh, gh
Ge dan Ha
Fâ‟
F, f
Ef
Qâf
Q, q
Ki
Kâf
K, k
Ka
Lâm
L, l
El
Mîm
M, m
Em
Nûn
N, n
En
x
Wâw
W, w
We
Hâ‟
H, h
Ha
Lâm alîf
Lâ, lâ
El dan A
Hamzah
‘
Apostrof
Yâ‟
Y, y
Ye
Nama
Huruf Latin
Keterangan
Fathah
a
A
Kasrah
i
I
Dhammah
u
U
Nama
Huruf Latin
Keterangan
Fathah dan Alîf
Â, â
a dan topi di atas
Kasrah dan Yâ‟
Î, î
i dan topi di atas
Dhammah dan Wâw
Û, û
u dan topi di atas
Nama
Huruf Latin
Keterangan
Fathah dan Yâ‟
ai
a dan i
Fathah dan Wâw
au
a dan u
B. Vokal
1. Vokal Pendek
Tanda
2. Vokal Panjang
Tanda
3. Vokal Rangkap
Tanda
C. Lain-lain
 Tâ‟ al-Marbûthah dilambangkan dengan /h/, sedangkan tâ‟ yang menunjukkan
jama‟ mu‟annats sâlim dilambangkan dengan /t/.
 Syaddah atau tasydîd dilakukan dengan menggandakan huruf yang sama.
xi
 Kata sandang ― ‖ ditransliterasikan dengan ―al‖ diikuti dengan tanda
penghubung, baik ketika bertemu dengan huruf qamariyah maupun dengan
huruf syamsiyah.
 Nama-nama atau kata yang telah ada versi populernya dalam tulisan latin, pada
umumnya, akan ditulis berdasarkan versi populer tersebut.
xii
DAFTAR ISI
Halaman Judul .............................................................................................................. i
Lembar Pernyataan ...................................................................................................... ii
Lembar Persetujuan Pembimbing ............................................................................... iii
Lembar Pengesahan Tim Penguji .............................................................................. iv
Abstrak ........................................................................................................................ v
Ungkapan Terima Kasih .......................................................................................... viii
Pedoman Transliterasi ................................................................................................. x
Daftar Isi ................................................................................................................... xiii
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Permasalahan ..................................................................................... 15
1. Identifikasi masalah ...................................................................... 15
2. Pembatasan masalah ..................................................................... 15
3. Rumusan masalah ......................................................................... 15
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ................................................... 16
D. Tujuan Penelitian ............................................................................... 19
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ........................................................ 20
F. Metode Penelitian .............................................................................. 20
1. Jenis dan pendekatan penelitian .................................................... 20
2. Sumber data .................................................................................. 21
3. Teknik pengumpulan dan analisis data ......................................... 22
4. Teknik penulisan dan penyajian hasil penelitian .......................... 23
G. Sistematika Pembahasan ................................................................... 24
BAB II : NON-MUSLIM DAN KAJIAN AL-QUR‘AN ...................................... 26
A. Kajian al-Qur‘an oleh Non Muslim dalam Lintasan Sejarah ............ 26
B. Kategori dan Pendekatan Kesarjanaan Barat dalam Kajian
al-Qur‘an ............................................................................................ 35
1. Pendekatan sejarah ........................................................................ 39
2. Pendekatan fenomenologis ........................................................... 41
3. Pendekatan strukturalisme linguistik ............................................ 43
xiii
C. Respon Sarjana Muslim .................................................................... 46
BAB III : AL-QUR‘AN DALAM PANDANGAN TOSHIHIKO IZUTSU .......... 51
A. Sketsa Biografis Toshihiko Izutsu ..................................................... 51
B. Status al-Qur‘an menurut Toshihiko Izutsu ...................................... 55
1. Al-Qur‘an: wahyu yang berasal dari Allah ................................... 60
2. Bahasa al-Qur‘an .......................................................................... 71
3. Tekstualitas al-Qur‘an .................................................................. 77
C. Kecenderungan dan Pendekatan Toshihiko Izutsu dalam Penafsiran
al-Qur‘an ............................................................................................ 82
D. Kritik terhadap Toshihiko Izutsu ....................................................... 90
BAB IV : METODE TOSHIHIKO IZUTSU DALAM PENAFSIRAN AL-QUR‘AN
DAN MEKANISME PENERAPANNYA ............................................. 96
A. Konsep-konsep Metodologis Penafsiran ........................................... 97
1. Semantik sebagai Kajian terhadap Pandangan Dunia ................. 97
2. Istilah-istilah Kunci dan Weltanschauung ................................ 105
3. Makna Dasar dan Makna Relasional ........................................ 111
B. Mekanisme Penerapan Metode Semantik terhadap al-Qur‘an ........ 114
1. Konsep Allah ............................................................................. 114
2. Relasi Allah dan Manusia ......................................................... 123
a. Relasi ontologis .................................................................. 123
b. Relasi komunikatif .............................................................. 126
c. Relasi tuan-hamba .............................................................. 130
d. Relasi etik ........................................................................... 136
C. Perbandingan Metode Semantik Toshihiko Izutsu dengan
Metode-metode lain dalam Penafsiran al-Qur‘an ............................ 140
BAB V : PENUTUP ............................................................................................ 151
A. Simpulan .......................................................................................... 151
B. Saran-saran ...................................................................................... 152
Daftar Pustaka
Daftar Riwayat Hidup
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kajian mengenai al-Qur‘an tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim, tapi
juga oleh kalangan non-Muslim. Akan tetapi kelompok yang disebutkan terakhir
tidak memandang al-Qur‘an sebagaimana kelompok pertama. Mayoritas kaum
Muslim meyakini bahwa al-Qur‘an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada
Muhammad melalui perantaraan Jibril, kemudian diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya secara mutawâtir, yang tertulis dalam mushaf dan membacanya
dianggap ibadah.1 Keyakinan demikian pada gilirannya menimbulkan ketertarikan
dalam diri kaum Muslim tersebut untuk memahami kandungan al-Qur‘an, sehingga
melahirkan karya melimpah yang terhimpun dalam kitab-kitab tafsir.2 Sementara
non-Muslim pada umumnya memandang al-Qur‘an bukanlah firman Tuhan, tapi
sebagai ucapan Muhammad.3 Pandangan yang secara diametral sangat bertentangan
1
Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill,
1974), h. 1-2; Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen and Unwin
Ltd., 1984), h. 42.
2
Salah satu indikatornya adalah penelitian yang dilakukan oleh Fuat Sezgin, Geschichte des
Arabischen Schriftums, yang menunjukan banyaknya karya tafsir, baik yang telah dianotasi dan
diterbitkan, maupun yang masih berupa manuskrip, dalam khazanah intelektual Islam klasik. Lihat Nur
Kholis Setiawan, ―Al-Qur‘an dalam Kesarjanaan Klasik dan Kontemporer; Keniscayaan
Geisteswissenschaften,‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 1, Januari 2006, h. 79. Lihat juga,
Muẖammad Husain Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I-III, (Kairo: Maktabah Wahbah,
2000). Berkenaan dengan hal ini, Stefan Wild mengatakan bahwa sejarah kajian al-Qur‘an yang selalu
menduduki peringkat utama, adalah sejarah penafsiran umat Islam terhadap al-Qur‘an. Lihat, Stefan
Wild, ―Kata Pengantar‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar,
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), h. xxiii.
3
Charles J. Adams mengatakan: ―Virtually all western scholarship, almost without stopping
to consider, considers Muhammad and his teaching to be the result of historical and personality
factors rather than of divine activity.‖ Charles J. Adams, ―Islam‖ dalam A Reader‟s Guide to the Great
Religious, (New York: The Free Press, 1975), h. 414. Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud,
Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997), h.
28. Pandangan demikian timbul karena didasarkan atas pra-anggapan Kristen bahwa wahyu (kitab
suci) Kristen didasarkan atas kesaksian-kesaksian manusia yang bermacam-macam dan tidak langsung.
11
2
dengan keyakinan umat Muslim ini mendasari penelitian-penelitian terhadap alQur‘an yang mereka lakukan.
Ketertarikan umat Muslim untuk mengkaji al-Qur‘an tentu saja tidak
menimbulkan keheranan, karena al-Qur‘an adalah kitab suci dan pedoman hidup
mereka, sehingga merupakan suatu kewajaran jika mereka mencurahkan segenap
perhatian untuk memahami ajaran-ajarannya untuk membimbing diri mereka dalam
menempuh kehidupan yang sesuai dengan tuntunan kitab suci tersebut. Sebaliknya,
ketertarikan non-Muslim terhadap al-Qur‘an sering mengundang tanda tanya. Apa
motivasi yang mendorong mereka mendedikasikan hidupnya untuk menggeluti alQur‘an, sementara dalam hati mereka tidak ada keyakinan terhadap al-Qur‘an dan
ajaran-ajarannya sebagai berasal dari Tuhan.
Kajian non Muslim terhadap al-Qur‘an telah muncul sejak awal, yakni sejak
kitab suci tersebut diwahyukan kepada Muhammad. Hal tersebut, menurut Andrew
Rippin, secara diakui oleh al-Qur‘an sendiri, yakni ketika al-Qur‘an mengklasifikasi
manusia kepada dua kelompok: orang-orang yang menerima ajaran-ajaran kitab suci
tersebut dan orang-orang yang menolaknya. Pilihan terhadap sikap itu tentu
didasarkan atas pengetahuan mengenai kitab suci tersebut.4
Kajian al-Qur‘an oleh non-Muslim terus berlanjut, dan sejak abad
pertengahan aktivitas ini tidak bisa dipisahkan dari orientalisme.5 Orientalisme ini
memiliki akar historis sejak adanya polemik keagamaan antara kaum Yahudi dan
Lihat Maurice Bucaille, Bibel, al-Qur‟an, dan Sains Modern, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), h. 18.
4
Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘an‖, dalam Jane Dammen McAuliffe
(ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟an, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h.
236-237.
5
Joesoef Sou‘yb memberikan definisi orientalisme sebagai suatu paham atau aliran yang
berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta
lingkungannya. Lebih jauh ia juga mendefinisikan orientalisme dalam arti sempit sebagai kegiatan
penyelidikan ahli-ahli ketimuran di Barat tentang agama-agama di Timur, khususnya tentang agama
Islam. Lihat Joesoef Sou‘yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. III, h. 1-2.
Sementara Edward W. Said memahami orientalisme sebagai suatu cara untuk memahami dunia Timur
berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pangalaman manusia Barat Eropa. Lihat Edward W. Said,
Orientalisme, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 2001), Cet. IV, h. 2.
3
Kristen dengan kaum Muslim pada masa awal. Polemik ini berlangsung bersamaan
dengan makin meluasnya kekuasaan kekhalifahan Islam ke Suriah, Yerusalem, dan
Mesir di belahan Timur, dan sampai ke Afrika Utara, Spanyol, dan Sicilia di belahan
Barat. Pada masa tersebut perdebatan teologis antara masing-masing pemuka agama
sering berlangsung. Perdebatan tersebut meniscayakan para pemuka agama Yahudi
dan Kristen memiliki pengatahuan tertentu mengenai doktrin Islam, meskipun dengan
tujuan untuk menolaknya. Pandangan bahwa Islam adalah ―bentuk lain‖ atau
penyimpangan dari Kristen tumbuh dari adanya polemik keagamaan tersebut. Hal ini,
misalnya, dapat ditemukan dalam gagasan Yohanes dari Damaskus (650-754),6 yang
bekerja sebagai pegawai dalam pemerintahan Bani Umayah. Ia adalah teolog Kristen
pertama yang menaruh perhatian besar dalam mengkaji Islam. Dalam satu
kesempatan ia menyatakan bahwa Islam memang meyakini adanya Tuhan, tetapi
secara bersamaan Islam juga menolak kebenaran tertentu dalam agama Kristen, dan
karena penolakan tersebut, maka seluruh doktrin agama Islam menjadi tidak
bermakna.7 Dengan demikian, pada fase yang masih tergolong awal telah ada usaha
untuk mengkaji Islam oleh sarjana-sarjana non-Muslim, meskipun dalam bentuk yang
masih sangat kabur.
Orientalisme mulai menemukan fokusnya yang lebih jelas pada abad ke-11,
tepatnya seiring dengan pecahnya perang Salib (1096-1291). Akibat perang Salib,
kelompok intelektual di Barat mulai menaruh perhatian terhadap Islam. 8 Aktivitas
6
Seorang sarjana dari gereja Yunani. Ayahnya menjadi kepala keuangan pada dinasti
Umayah dan ia sendiri pernah menjadi Perdana Menteri di dinasti tersebut. Setelah itu ia mulai
menarik diri dan menulis berbagai karya yang bersifat polemik antara Islam dan Kristen. Lihat Karel
A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II, (Yogyakarta: Fakultas Pasca
Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1988), h. 6.
7
Ichsan Ali Fauzi, ―Pandangan Barat,‖ dalam Taufik Abdullah, dkk. (eds.), Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Vol. 7, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 236.
8
Menurut Joesoef Sou‘yb, perang Salib merupakan salah satu faktor yang mendorong
pertumbuhan dan perkembangan orientalisme. Faktor-faktor lainnya adalah persentuhan antara Barat
dengan perguruan tinggi di dunia Islam, penyalinan manuskrip-manuskrip atau naskah-naskah Arab ke
dalam bahasa Latin sejak abad ke-13 M. sampai dengan masa renaissance di Eropa pada abad ke-14
M., dan perkembangan kekuasaan maritim pihak Barat terutama pengaruh perlawatan Marco Polo
(1254-1324) ke Tiongkok yang pada akhirnya mewariskan sebuah karya berjudul The Travels of
4
ilmiah yang menandai awal munculnya kajian orientalis terhadap Islam adalah
penerjemahan al-Qur‘an ke dalam bahasa Latin oleh Robert dari Ketton (Robertus
Retenensis), yang selesai pada tahun 1143.9 Terjemahan ini, yang diberi nama Liber
Legis Saracenorum quem Alcoran Vocant (Kitab Hukum Islam yang disebut alQur‘an), merupakan terjemahan al-Qur‘an yang pertama dan dijadikan sumber utama
oleh para pendeta, pastor, dan misionaris selama 600 tahun ketika merujuk kepada alQur‘an.10 Dari terjemahan bahasa Latin inilah kemudian al-Qur‘an diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa Eropa.11
Di sisi lain perang Salib juga menimbulkan kesalahpahaman Barat terhadap
Islam. Hal ini dapat dipahami karena dalam suasana konflik perang, dengan
sendirinya akan sulit melahirkan pandangan yang positif satu sama lain.
Kesalahpahaman Barat, yang menimbulkan pandangan negatif terhadap Islam,
dicirikan oleh tiga hal, yaitu: Pertama, memandang Timur sebagai bangsa dan agama
inferior. Islam, menurut mereka, adalah agama teror, agama permusuhan, dan kaum
Muslim sebagai gerombolan orang Barbar yang patut dibenci. Karena itu, Islam bagi
Barat merupakan trauma.12 Mereka menggambarkan Muhammad dalam persepsi
yang sangat negatif. Richard C. Martin mencatat bahwa pada saat itu banyak beredar
cerita yang melukiskan Muhammad sebagai tuhan bagi orang Islam, pendusta,
Marco Polo. Faktor-faktor ini masing-masing tidaklah berdiri sendiri, melainkan saling mendukung
dan saling berkaitan satu sama lain. Lihat Joesoef Sou‘yb, Orientalisme dan Islam, h. 36-37.
9
Kegiatan ini diprakarsai oleh Peter yang Agung (Petrus Venerabilis, 1094-1156) – kepala
biara induk di Cluny (Perancis) – ketika mengunjungi Toledo (Spanyol) sekitar tahun 1141-1142. Di
sana dia menghimpun, membiayai, dan menugaskan sejumlah orang untuk menghasilkan karya-karya
yang berkenaan dengan Islam. Lihat W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an,
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), h. 173.
10
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2005), h. 20.
11
Terjemahan ke dalam bahasa Jerman dilakukan oleh Schweigger di Nurenburg (Bavaria)
pada tahun 1616, terjemahan ke dalam bahasa Perancis dilakukan oleh Du Ryer yang diterbitkan di
Paris pada tahun 1647, dan terjemahan ke dalam bahasa Rusia diterbitkan di St. Petersburg pada tahun
1776. Pembahasan selengkapnya, lihat W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h.
173-186.
12
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.
18.
5
penggemar wanita, orang Kristen yang murtad, tukang sihir, dan lain sebagainya.13
Sementara W. Montgomery Watt mengemukakan persepsi sarjana-sarjana Barat abad
ke-19 yang negatif terhadap Muhammad, antara lain: Gustav Weil (1808-1889)
menganggap Muhammad menderita penyakit epilepsi (penyakit ayan), Alloys
Sprenger (1813-1893) mengatakan Muhammad mengidap penyakit histeria, Willian
Muir (1819-1905) mengatakan bahwa ketika di Mekah Muhammad adalah seorang
rasul yang sebenarnya dan memiliki jiwa yang tinggi tetapi setelah di Madinah dia
mulai tergoda rayuan setan untuk memperoleh keberhasilan duniawi.14
Kedua, sikap apologis. Sikap ini terkait erat dengan pandangan mereka
terhadap Timur, terutama Islam, sebagai inferior. Sikap apologis bertujuan untuk
menyerang keyakinan dasar Islam dan untuk memperkuat kedudukan agama Kristen.
Orang Barat menyebut Islam dengan ―Muhammadanisme‖ bertolak dari pandangan
Kristen tentang Kristus sebagai basis dogma Kristen.15 Pemberian nama
―Muhammadanism‖ tersebut untuk menumbuhkan kesan bahwa Islam adalah ciptaan
Muhammad, bukan agama yang diturunkan oleh Allah. Karel A. Steenbrink
menjelaskan bahwa penulis-penulis Barat pada abad pertengahan sampai dengan abad
ke-18 menulis tentang Islam bukan untuk memberikan informasi yang sebenarnya
mengenai Islam, akan tetapi untuk menanamkan misinformasi dengan maksud untuk
memperkuat keyakinan agama Kristen yang mereka anut.16
Ketiga, memandang Islam sebagai salah satu sekte Yahudi atau Kristen yang
sesat.17 Pandangan tersebut bermula dari persepsi Yohanes dari Damaskus.
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, dia memandang Islam tidak lain adalah
13
Richard C. Martin, ―Islamic Studies,‖ dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford
Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 2, (New York, Oxford: Oxford University Press,
1995), h. 325-331.
14
W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Edinbrugh: University Press,
1970), h. 17.
15
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.
18.
16
Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II, h. 16.
17
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.
19.
6
bid‘ah (heresy) Kristen. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Peter yang Agung
(abad ke-12 M.), John Wycliffe (abad ke-14 M.), dan beberapa sarjana Barat yang
lain di abad pertengahan. Mereka melihat bahwa dalam Islam banyak terdapat
kebenaran yang juga terdapat dalam Kristen, tetapi karena keyakinan Islam menolak
ajaran Tritunggal, maka hal ini menjadi sebab penolakan mereka untuk mengakui
Islam sebagai kebenaran; mereka memandang Islam sebagai bid‘ah Kristen saja.18
Kesalahpahaman pandangan Barat terhadap Islam ini dalam perkembangan
selanjutnya, menurut C. Cahen, menimbulkan usaha misionaris.19
Karena memandang Islam secara negatif, maka dengan sendirinya sarjanasarjana Barat juga memandang negatif terhadap al-Qur‘an. Peter yang Agung dan
Martin Luther (1483-1546) menyatakan bahwa al-Qur‘an tidak lain adalah buatan
setan.20 Ricoldo da Monte Croce (+1243-1320), seorang biarawan Dominikus, di
samping memandang al-Qur‘an adalah karya setan juga mengklaim bahwa banyak
terjadi penyimpangan terjadi dalam sejarah al-Qur‘an, susunan al-Qur‘an tidak
sistematis karena tidak ada kronologi waktu, tidak ada periodisasi raja-raja, susunan
kisahnya tidak teratur, subyek pembahasannya tidak memiliki relevansi antara yang
satu dengan yang lainnya, dan logikanya tidak bersusun. Ricoldo da Monte Croce
menyimpulkan pandangannya bahwa, pertama, al-Qur‘an hanyalah kumpulan bid‘ahbid‘ah lama yang telah dibantah sebelumnya oleh otoritas Gereja; kedua, karena
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak memprediksi sebelumnya, maka al-Qur‘an
tidak boleh diterima sebagai ―hukum Tuhan‖; ketiga, gaya bahasa al-Qur‘an tidak
sesuai untuk disebut sebagai ―Kitab suci‖; keempat, klaim al-Qur‘an yang berasal dari
Tuhan tidak memiliki basis di dalam tradisi Bibel; kelima, al-Qur‘an penuh dengan
berbagai kontradisi internal; keenam, kebenaran al-Qur‘an tidak dibuktikan dengan
18
Norman Daniel, Islam and the West: The Making of An Image, (Edinburgh: University
Press, 1966), h. 184,
19
Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat
(Sebuah Studi Evaluatif), h. 17.
20
Lihat Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, h. 25-33.
7
mukjizat; ketujuh, al-Qur‘an bertentangan dengan akal; kedelapan, al-Qur‘an
mengajarkan kekerasan; kesembilan, sejarah al-Qur‘an tidak menentu; dan terakhir,
peristiwa mi„râj adalah fiksi murni dan dibuat-buat.21
Pandangan sarjana-sarjana non-Muslim terhadap Islam tidak selamanya
negatif. Di penghujung abad ke-16 sampai dengan abad ke-18, yang sering disebut
sebagai abad pencerahan (enlightment ages), mulai terjadi pergeseran dalam cara
pandang mereka. Kesan negatif yang tadinya mendominasi karya-karya mereka,
mulai berkurang. Contoh konkrit dari fenomena ini adalah munculnya tokoh
semacam Count de Boulainvilliers yang mengatakan bahwa Islam bukan agama yang
salah; Islam bukan agama yang palsu. Ia juga menulis sebuah biografi Muhammad, di
mana ia memuji kepribadian Muhammad dan Islam.22 Akan tetapi hingga abad ke-20,
bahkan sampai abad ke-21 ini, masih terdapat corak prasangka dalam kajian-kajian
Islam yang dilakukan oleh orientalis. Karel A. Steenbrink menjelaskan bahwa
bagaimana pun juga, konfrontasi politik antara Barat dan Islam membawa pengaruh
besar terhadap ilmuwan Barat dalam mempelajari dunia Timur, khususnya mengenai
agama dan umat Islam. Ilmuwan Barat tersebut tidak bisa dipisahkan dari latar
belakang sosial-politiknya. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai pengawal
kolonial atau masuk ke dalam dinas gereja Kristen dalam usaha penyebara agama
Kristen. Tetapi ada juga ilmuwan yang hanya tinggal di universitasnya, tidak terlihat
dalam kegiatan politik praktis, akan tetapi tulisan-tulisan mereka sering sukar
diterima oleh pembaca Muslim karena adanya prasangka tadi. Prasangka yang
mencampuri tulisan-tulisan mereka dapat diklasifikasi kepada tiga macam, yaitu: (1)
prasangka historisme, (2) prasangka Kristen, dan (3) prasangka superioritas ras. 23
21
Hartmut Bobzin, ―A Treasury of Heresies: Christian Polemics against the Koran‖ dalam
Stefan Wild (ed.), The Qur‟ān as Text, (Leiden: E.J. Brill, 1996), h. 166.
22
W. Montgomery Watt, ―Studi Islam oleh para Orientalis,‖ diterjemahkan dari ―The Study of
Islam by Orientalist,” oleh Alef Theria Wasim, dalam al-Jami‟ah, No. 53, 1997, h. 37.
23
Karel A. Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II, h. 16-20.
8
Kajian-kajian mereka terhadap Islam yang dicampuri dengan prasangkaprasangka tersebut pada gilirannya mendapat reaksi ―perlawanan‖ dan penolakan dari
sarjana-sarjana Muslim, di antaranya yang dilakukan oleh Aẖmad al-Sanhaji (w.
1235) dengan al-Ajwibah al-Fakhirah „an As‟ilah al-Fajirah dan ibn Taimiyah, alJawâb al-Saẖîẖ li Man Baddala Dîn al-Masîẖ, sebagai jawaban terhadap sarjana
Kristen Ortodoks Yunani, Paulus al-Rahib dari Antioch yang menulis Risâlah ilâ
Aẖad al-Muslimûn. Di abad modern, sikap serupa ditunjukkan oleh Muẖammad
‗Abduh dengan bukunya al-Islâm wa al-Nashrâniyah ma„a al-„Ilm wa al-Madâniyah,
Jamâl al-Dîn al-Afghâni, al-Radd „alâ al-Dahriyîn, Ameer Ali, The Spirit of Islam,
dan lain sebagainya.24 Penulis juga mencatat bahwa Parvez Manzoor menyatakan
bahwa studi al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat, apapun manfaat dan gunanya,
merupakan proyek yang lahir dari kedengkian yang dipelihara dalam kefrustasian dan
disusui dalam kedendaman, yaitu kedengkian penguasa terhadap kaum yang lemah,
frustasi ―rational‖ terhadap ―superstitious‖, dan dendam “orthodoxy‖ terhadap ―nonconformist‖.25
Sinyalemen bahwa kajian Islam oleh sarjana-sarjana Barat tidak bisa
dipisahkan dari latar belakang sosial-politiknya dapat dikatakan mendekati
kebenaran, ketika Fazlur Rahman, dalam pendahuluan bukunya – Major Themes of
the Qur‟an, menyebutkan tipologi kajian orientalis tentang al-Qur‘an. Menurutnya,
ada tiga tipe, yaitu: pertama, kajian yang berusaha untuk membuktikan adanya
pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen terhadap al-Qur‘an; kedua, kajian yang
menekankan pada pembahasan sejarah dan kronologi turunnya al-Qur‘an; dan
terakhir, kajian tentang tema-tema tertentu dari al-Qur‘an.26
24
Lihat A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970), h. 17-
19.
25
Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.),
dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 45.
26
Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1996), Cet. II, h. x-xi.
9
Sampai di sini terlihat bahwa umat Muslim pada umumnya merasa keberatan
bila non-Muslim, melakukan kajian terhadap al-Qur‘an. Keberatan ini tidaklah secara
serta merta karena gerakan orientalisme. Secara historis, menurut Hartmut Bobzin,
berdasarkan apa yang disebut dengan perjanjian ‗Umar ibn Khattâb, non-Muslim dulu
dilarang untuk mengajarkan al-Qur‘an kepada anak-anak mereka.27 Keberatan umat
Muslim semakin diperparah oleh pendekatan dan metode yang mereka pergunakan.
Pendekatan dan metode tersebut dinilai ―sekuler‖ dan dianggap dapat menggoyang
kemapanan „Ulûm al-Qur‟ân yang sekian abad lamanya eksis di dunia Islam sebagai
sebentuk metodologi penafsiran kitab suci. Dalam konteks Asia Tenggara (khususnya
Indonesia dan Malaysia), sarjana-sarjana seperti Adian Husaini, Adnin Armas, Hamid
Fahmi Zarkasyi, Nasruddin Baidan, Syamsuddin Arif, dan Wan Mohd. Nor Wan
Daud,28 dapat dikategorikan dalam kelompok ini.29
Pandangan demikian menemukan relevansinya dengan pandangan yang telah
dimapankan oleh kelompok ulama konservatif sejak periode pertengahan.30 Bagi
27
Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen
McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, Vol. 4, h. 235-253. Lihat juga Andrew Rippin, ―Western
Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to the
Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 237.
28
Tulisan-tulisan mereka dapat dilihat misalnya: 1) Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat:
Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 288-333, dan
―Problem Teks Bible dan Hermeneutika,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA,
Tahun I, No. 1, Maret 2004, h. 7-15; 2) Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur‟an;
Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 35-80, dan ―Tafsir al-Qur‘an atau Hermeneutika alQur‘an,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, h. 38-45; 3) Hamid Fahmi
Zarkasyi, ―Menguak Nilai di Balik Hermeneutika,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam
ISLAMIA, h. 16-29; 4) Nashruddin Baidan, ―Tinjauan Kritis terhadap Konsep Hermeneutika,‖ dalam
Esensia, Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 2, No. 2, Juli 2001, h. 165-180; 5) Syamsuddin Arif,
Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), Cet. I, h. 176-184; dan 6) Wan
Mohd. Nor Wan Daud, ―Tafsir sebagai Metode Ilmiah,‖ dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban
Islam ISLAMIA, h. 55.
29
Andrew Rippin, sebagaimana dikutip oleh Yusuf Rahman, melihat pandangan kebanyakan
umat Islam yang berpendapat bahwa setiap penggunaan metode kritis terhadap al-Qur‘an (juga tradisitradisi Islam lainya) sebagai serangan dari pihak luar. Lihat Yusuf Rahman, ―Al-Tafsîr al-Adabî fî alQur‘ân: A Study of Amîn al-Khûlî‘s and Muhammad Khalaf Allâh‘s Approach to the Qur‘âan‖, dalam
jurnal Mimbar Agama & Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002.
30
Anwar Mujahidin, ―Antropologi al-Qur‘an (Dekonstruksi Nalar Bayani menuju Fiqh alQur‟ân) dalam Amin Abdullah, dkk., Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi
(Sebuah Antologi), (Yogyakarta: Penerbit SUKA Press, 2007), h. 129.
10
sarjana-sarjana Muslim ini, mendekati al-Qur‘an dengan menghadirkan ilmu-ilmu
bahasa, hukum, sastra, termasuk filsafat sebagai ilmu bantu dalam menyingkap
makna al-Qur‘an adalah karya yang dilarang (ẖarâm) yang berarti mengikutinya juga
ẖarâm. Hal tersebut dikarenakan ketepatan dan kebenaran suatu pendapat tidak
meyakinkan dan hanya bersifat dugaan dan perkiraan semata. Orang yang
mengatakan sesuatu tentang agama Allah menurut dugaan semata berarti ia telah
mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak ia ketahui.31 Aẖmad Taqî al-Dîn ibn
Taimiyah juga secara tegas mengklaim bahwa sebab-sebab kesesatan dalam
penafsiran al-Qur‘an adalah adanya interaksi dengan para filosof.32
Lebih lanjut pendekatan dan metode yang dianggap ―sekuler‖ tersebut
meniscayakan posisi al-Qur‘an sebagai teks (nashsh).33 Sebagai sebuah teks, menurut
Andrew Rippin, al-Qur‘an harus dipandang sejajar dengan karya-karya lain.34
Penolakan ini sebagaimana direpresentasikan oleh Mohammed Abu Musa dengan
pernyataannya bahwa dalam sejarah Islam terma teks tidak pernah digunakan untuk
merujuk kepada al-Qur‘an, dan tidak ada ulama yang menganggap al-Qur‘an sebagai
sebuah teks. Istilah teks, menurutnya, hanya dipakai oleh para orientalis dalam
berhubungan dengan al-Qur‘an.35 Memang bagi sarjana-sarjana Muslim tersebut, al31
Lihat, Mannâ‘ al-Qaththân, Mabâẖits fi ʻUlûm al-Qur‟ân, (Riyad: Mansyûrâh al-ʻAshr alHadîts, 1973), h. 352.
32
ʻAbd al-Raẖmân ibn Muẖammad ibn Qâsim al-ʻÂshim al-Najdi, Majmuʻ al-Fatawâ Syaikh
al-Islâm Aẖmad ibn Taimiyah, (T.t.: T.Pn., 1398 H.), Juz XIII, Kitab Muqaddimah al-Tafsîr, h. 206.
33
Nashsh dimaksud di sini berbeda dengan pemahaman al-Syâfiʻî ataupun al-Zamakhsyarî,
yaitu statemen Ilahiah yang tidak memerlukan interpretasi (ijtihâd). Baca Muẖammad ibn Idrîs alSyâfiʻî, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad
Syâkir (ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979), h. 14, 21.
34
Andrew Rippin, ―The Qur‘an as Literature; Perils, Pitfalls and Prospects‖, British Society
for Middle Eastern Studies Bulletin 10, 1 (1983); 40, sebagaimana dikutip oleh Yusuf Rahman, ―AlTafsîr al-Adabî fî al-Qur‘ân: A Study of Amîn al-Khûlî‘s and Muhammad Khalaf Allâh‘s Approach to
the Qur‘ân‖, dalam jurnal Mimbar Agama & Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 130.
35
Mohammed Abu Musa mengatakan: ―Dari keseluruhan sejarah Islam tidak ada seorangpun
yang menggunakannya ketika merujuk kata-kata al-Qur‘an selain apa yang Tuhan sendiri gunakan
dalam al-Qur‘an. Tidak satupun ulama yang pernah menghubungkan al-Qur‘an dengan teks, semoga
Tuhan memafkan akan hal ini, karena demikianlah cara orang orientalis Eropa (bukan Islam atau Arab)
berhubungan dengan al-Qur‘an.‖ Mohammed Abu Musa, al-Tashwîr al-Bayânî: Dirâsah Tahlîliyyah li
al-Masâil al-Bayân [Figures of Speech: an Analytical Study of Aspects of Retoric], Edisi kedua,
(Kairo: t.p., 1980), sebagaimana dikutip oleh Nashr Hâmid Abû Zaid, Al-Qur‟an, Hermeneutika, dan
11
Qur‘an adalah al-Qur‘an adalah firman Tuhan (verbum Dei),36 bukan kreasi Jibril
atau Nabi Muhammad, apalagi para Sahabat, yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad melalui perantaraan seorang utusan, yaitu malaikat Jibril, kemudian
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara mutawâtir, maka alQur‘an sebagaimana yang tertulis dalam mushẖaf adalah sama seperti yang diterima
oleh Nabi, sehingga tidak dapat disejajarkan dengan teks-teks lain.
Padahal apabila diperhatikan dengan sikap terbuka, tanpa kecurigaan akan
motif-motif yang tersembunyi, kajian non-Muslim dapat membuka horizon baru
dalam kajian al-Qur‘an.37 Untuk tujuan demikian, maka dalam tesis ini akan
dilakukan penelurusan terhadap pendekatan dan karya-karya Toshihiko Izutsu (19141993), seorang sarjana Jepang penganut Zen Budhism, tentang al-Qur‘an, yaitu:
Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an dan God and Man in the Qur‟an: Semantics
of the Qur‟anic Weltanschauung. Dalam Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an,38
Toshihiko Izutsu membahas konsep pemikiran tentang etika dalam al-Qur‘an.
Menurutnya, konsep pemikiran tentang etika dalam al-Qur‘an dapat diklasifikasi
menjadi tiga kelompok: Pertama, pembahasan yang menunjukkan dan menguraikan
sifat-sifat Tuhan. Kelompok konsep ini kemudian dikembangkan oleh ahli-ahli
teologi menjadi teori tentang sifat-sifat Tuhan; Kedua, pembahasan yang menjelaskan
berbagai aspek sikap fundamental manusia terhadap Tuhan. Kelompok konsep ini
menyangkut hubungan etik dasar antara manusia dan Tuhan; dan Ketiga, pembahasan
yang menunjukkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan tingkah laku yang menjadi milik
Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutika Al-Qur‟an, (terj.), (Bandung: RQiS, 2003),
h. 86.
36
Definisi-definisi Al-Qur‘an secara umum menggambarkan hal ini. Di antaranya adalah
definisi yang diberikan oleh Muẖammad ʻAlî al-Shâbunî, al-Tibyân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Beirut: ʻÂlam
al-Kutûb, 1985), Cet. I, h. 8, dan al-Zarqânî, Manâhil al-ʻIrfân fi ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 16.
37
Machasin, ―Kata Pengantar‖, dalam Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia;
Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, terj. Agus Fahri Husein, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1997), Cet. I, h. xiii.
38
Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of
the Ethical Terms in the Koran. Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal:
McGill-Queen‘s University Press, 2002), h. iv.
12
dan hidup dalam masyarakat Islam. Konsep ini berhubungan dengan sikap etik antara
seorang manusia dengan sesamanya yang hidup dalam masyarakat yang sama.39
Dari tiga konsep al-Qur‘an tentang etika tersebut, Toshihiko Izutsu
memfokuskan diri pada pembahasan mengenai konsep kedua saja. Ini bukan berarti
bahwa ia meninggalkan sama sekali dua konsep yang lain, karena – menurutnya –
ketiga kelompok konsep tersebut tidak berdiri secara terpisah, namun memiliki
hubungan yang sangat erat. Hal itu disebabkan karena pandangan dunia al-Qur‘an
pada dasarnya bersifat teosentris.
Kelompok kedua konsep al-Qur‘an mengenai etika pada akhirnya dapat dibagi
lagi menjadi dua konsep dasar yang antara keduanya memiliki perbedaan yang sangat
nyata, yaitu: pertama, keyakinan mutlak terhadap Tuhan; dan kedua, ketakutan yang
sungguh-sungguh kepadanya. Dua konsep ini, yang disebut Toshihiko Izutsu sebagai
saling berlawanan, merupakan refleksi dari keyakinan manusia terhadap sifat-sifat
Tuhan, yang menurutnya terbagi dalam dua kelompok yang juga saling berlawanan,
yaitu: kebaikannya yang tak terbatas, Maha Pengasih, Maha Memelihara, dan pada
sisi lain: kemurkaan-Nya, sifat membalas Nya, dan menyiksa mereka yang tidak
patuh terhadap-Nya.40
Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur‘an adalah: God and
Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung.41 Dalam buku ini,
Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an tentang
relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan al-Qur‘an,
menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuan-hamba, dan
etik. Secara umum relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama,
bahwa Tuhan adalah sumber wujud. Ia adalah pencipta segala yang ada, termasuk
manusia. Dengan demikian, secara ontologis, relasi antara Tuhan dengan manusia
39
Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17.
Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 18. God and Man in
the Qur‟an, h. 78.
41
Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas Keio.
40
13
adalah relasi antara pencipta dan makhluk. Kedua, antara Tuhan (pencipta) dan
manusia (makhluk) senantiasa terdapat jalinan komunikasi. Jalinan ini memiliki dua
bentuk, yaitu: bersifat verbal atau linguistik, dan non linguistik. Komunikasi
linguistik dilakukan melalui penggunaan bahasa yang dipahami oleh kedua belah
pihak. Sementara komunikasi non linguistik mengambil bentuk penggunaan tandatanda alam oleh Tuhan, dan isyarat atau gerakan tubuh oleh manusia. Baik dalam
komunikasi linguistik maupun non linguistik, inisiatif pada umumnya diambil oleh
Tuhan, sedangkan manusia pada dasarnya hanya melakukan respon atau tanggapan
terhadap inisiatif yang dilakukan oleh Tuhan. Ketiga, karena Tuhan adalah pencipta
dan pemelihara manusia, maka manusia harus tunduk dan mengabdi kepada-Nya
dengan sepenuh hati, sebagaimana seorang hamba mengabdi kepada tuannya. Dengan
demikian relasi ini dapat digambarkan sebagai relasi tuan-hamba. Dan keempat,
menurut konsep al-Qur‘an, Tuhan bersifat etik dan tindakannya terhadap manusia
dilakukan dengan cara yang etik. Sifat dan tindakan Tuhan tersebut membawa kepada
pengertian yang sangat penting bahwa manusia diharapkan untuk memiliki sifat etik
dan merespon tindakan Tuhan dengan cara yang etik pula.42 Relasi etik ini juga
dibahas secara panjang lebar dalam buku pertama yang disebutkan di atas.
Adapun pemilihan terhadap Toshihiko Izutsu, karena: Pertama, Tokoh
merupakan sosok intelektual yang dikenal memiliki pengetahuan yang baik tentang
Islam. Bahkan menurut Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang
sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang
mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat.43 Selain itu, Toshihiko Izutsu adalah
tokoh utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius
tidak hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya
melakukan perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan serius
pertama antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara pemikiran Islam
42
43
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 127-268.
http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.
14
dan Timur Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern.44 Sebagai pelengkap
kecemerlangannya, ia menguasai lebih dari tiga puluh bahasa dunia termasuk Yahudi,
Persia, Cina, Turki, Sansekerta, dan Arab, serta beberapa bahasa Eropa modern.45
Kedua, ia merupakan sarjana non Muslim yang dengan metode dan
pendekatan yang dipakainya – kalau dipandang dengan sikap tebuka, tanpa
kecurigaan akan tujuan-tujuan negatif yang tersembuyi – dapat membuka cakrawala
baru atau mengingatkan lagi pada khazanah yang selama ini terlupakan. Di antara
sebabnya, menurut Machasin, karena kalangan non Muslim (outsiders) relatif dapat
bersikap lebih netral terhadap data-data historis yang tersimpan dalam karya-karya
kaum Muslim sendiri.46
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, penulis memandang bahwa penelitian
terhadap pandangan dan pemikiran Toshihiko Izutsu dalam kaitannya dengan alQur‘an adalah menarik dan laik untuk dilakukan.47 Supaya penelitian ini memiliki
arah dan obyek yang jelas dan sistematis, maka penulis memberi judul: ―ALQUR‘AN DAN TAFSIRNYA DALAM PERSPEKTIF TOSHIHIKO IZUTSU‖.
44
http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.
http://www.worldwisdom.com/public/authors/Toshihiko-Izutsu.aspx. Diakses 3 Mei 2009.
46
Machasin, ―Kata Pengantar‖ untuk edisi terjemahan bahasa Indonesia dalam Toshihiko
Izutsu, God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung, diterjemahkan oleh
Agus Fahri Husein, dkk., Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. xiii.
47
Penelitian (Arab = al-bahts, al-dirâsah; Inggris = research, study) merupakan instrumen
atau media untuk memperoleh dan menemukan kebenaran ilmiah. Posisi penelitian dalam dunia
keilmuan sangat penting karena ilmu dapat berkembang jika diteliti secara ilmiah, terus-menerus,
terprogram, dan komprehensif. Menurut David Nunan, penelitian adalah aktivitas akademik yang
melibatkan proses dan produk inquiry (penemuan), investigation (investigasi), dan evalusi (termasuk
pengujian) suatu asumsi atau hipotesis untuk memperoleh kebenaran dan solusi terhadap suatu
persoalan. David Nunan, Research Methods in Language Learning, (New York: the Press Syndicate of
the University of Cambridge, 1992), h. 2.
45
15
B. Permasalahan
1. Identifikasi masalah
Permasalahan yang mungkin diteliti dari judul penulis tetapkan dalam tulisan
ini adalah: Bagaimana al-Qur‘an dalam pandangan Toshihiko Izutsu?; Apa motif
yang melatarbelakangi ketertarikan Toshihiko Izutsu terhadap studi al-Qur‘an?;
Pendekatan apa yang digunakan Toshihiko Izutsu dalam mengkaji al-Qur‘an?; Apa
sajakah perspektif baru yang diusulkan Toshihko Izutsu dalam metode
penafsirannya?; Sampai sejauhmana orisinilitas metode analisis semantik Toshihiko
Izutsu dibandingkan para ahli semantik sebelumnya?; Apa yang mendasari
terbentuknya metode analisis semantik Toshihiko Izutsu dan faktor-faktor apa yang
mempengaruhinya?; Apakah metode analisis semantik Toshihiko Izutsu representatif
untuk menjelaskan pandangan dunia al-Qur‘an? dan, Adakah pengaruh metode
analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu terhadap kajian-kajian
al-Qur‘an di Indonesia?
2. Pembatasan masalah
Mengingat luasnya ruang lingkup obyek kajian, maka dalam tesis ini penulis
membatasi permasalahan pada dua bagian: 1) Al-Qur‘an dalam pandangan Toshihiko
Izutsu; dan 2) Metode analisis semantik Toshihiko Izutsu dan penerapannya dalam
penafsiran al-Qur‘an.
3. Rumusan masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka pokok masalah dalam
penelitian ini adalah: ―Bagaimanakah pemikiran Toshihiko Izutsu tentang al-Qur‘an
dan metode penafsirannya?‖ Pertanyaan pokok ini secara lebih terinci, terurai dalam
pertanyaan-pertanyaan kunci berikut: bagaimanakah al-Qur‘an dalam pandangan
Toshihiko Izutsu?; dan apakah metode yang digunakannya memadai dalam
mengungkap kandungan al-Qur‘an?
16
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Ada beberapa tulisan yang membahas tentang kajian al-Qur‘an oleh nonMuslim, di antaranya adalah:
Pertama, Muẖammad Husain ‗Alî al-Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât alQur‟âniyah, (Beirut: Dâr al-Muarrikh al-‗Arabi, 1999). Buku ini menguraikan
aktivitas orientalis dalam kajian yang bermacam-macam mengenai al-Qur‘an dan
mendiskusikan kajian tematis yang mereka lakukan. Menurutnya, kajian al-Qur‘an
oleh orientalis dilakukan di samping karena motivasi-motivasi negatif terhadap Islam,
seperti upaya agar orang-orang Muslim meninggalkan agamanya dan imperialisme,
juga karena murni motivasi ilmiah.
Kedua, Muẖammad Muẖammad Abû Lailah, al-Qur‟ân al-Karîm min alManzhûr al-Istisyrâqî: Dirâsah Naqdiyah Taẖlîliyah, (Kairo: Dâr al-Nasyr li alJâmi‗ât, 2002). Dalam tulisannya, Muẖammad Muẖammad Abû Lailah menunjukkan
bahwa kajian terhadap al-Qur‘an oleh para orientalis dilakukan dengan tujuan untuk
mendistorsi dan mereduksi pemahaman terhadap al-Qur‘an.
Ketiga, Fazlur Rahman, dalam pendahuluan bukunya Tema Pokok al-Qur‟an,
terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), Cet. II, h. x-xi,
menyebutkan tipologi kajian orientalis tentang al-Qur‘an, yaitu: pertama, kajian yang
berusaha untuk membuktikan adanya pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen terhadap
al-Qur‘an; kedua, kajian yang menekankan pada pembahasan sejarah dan kronologi
turunnya al-Qur‘an; dan ketiga, kajian tentang tema-tema tertentu dari al-Qur‘an.
Keempat, Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian
Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005). Dalam tulisannya, Adnin Armas
memaparkan hujatan tokoh-tokoh Kristen terkemuka – dan juga Yahudi –kepada alQur‘an. Hujatan yang dilontarkan sejak abad ke-8 Masehi tersebut didasari oleh
keinginan untuk mempertahankan keyakinan mereka terhadap Bibel sebagai God‟s
word. Menurut mereka, jika al-Qur‘an mengkritik Bibel, maka al-Qur‘an adalah
karya setan; jika ada hal-hal dalam al-Qur‘an yang bertentangan dengan Bibel, maka
17
al-Qur‘an yang salah. Dengan demikian mereka menjadikan Bibel sebagai tolok ukur
untuk menilai al-Qur‘an.
Adnin Armas juga berusaha menolak penerapan metode-metode non „Ulum
al-Qur‟ân yang disebutnya sebagai metodologi Bibel terhadap al-Qur‘an serta
mengkritik sarjana-sarjana Muslim yang berusaha mengaplikasikannya seperti
Mohammed Arkoun dan Nashr Hâmid Abû Zaid. Selain itu, Adnin Armas juga
berusaha menanggapi kritikan para orientalis modern dan kontemporer yang
menggunakan metodologi Bibel untuk mengkaji al-Qur‘an. Berdasarkan metodologi
Bibel, mereka berkesimpulan bahwa al-Qur‘an Mushẖaf ‗Utsmânî telah mengalami
berbagai taẖrîf (penyimpangan). Oleh sebab itu, menurut mereka, al-Qur‘an edisi
kritis diperlukan. Terakhir, Adnin Armas juga memaparkan kajian-kajian sarjanasarjana Yahudi dan Kristen mengenai adanya kosakata asing dalam al-Qur‘an yang
dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa ajaran-ajaran al-Qur‘an
merupakan jiplakan dari ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen yang disusun oleh
Muhammad.
Kelima, Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat
(Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997). Tulisannya mencoba untuk
mengemukakan pandangan Barat tentang al-Qur‘an dengan menganalisis tiga metode
pendekatan yang digunakan, yaitu: (1) pendekatan historisisme, (2) pendekatan
fenomenologi, dan (3) pendekatan historisisme-fenomenologi. Ketiga metode
pendekatan tersebut dianalisis dan dievaluasi dalam tiga segi, yaitu: (1) evaluasi
historis, (2) evaluasi konsep-substansial, dan (3) evaluasi metodologis. Tujuan yang
ingin dicapai dengan penulisan tersebut adalah untuk memahami perspektif Barat
tentang al-Qur‘an yang menggunakan ketiga metode pendekatan tersebut di atas,
kemudian melihat sisi perbedaan pandangan Islam dan Barat melalui studi evaluatif.
Keenam, Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane
Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to the Qur‟ān, (Cambridge:
Cambridge
University
Press,
2007).
Dalam
tulisannya,
Andrew
Rippin
18
mendiskusikan
term
kesarjanaan
Barat
dalam
kajian
al-Qur‘an
dengan
mengemukakan kajian sarjana-sarjana Barat mulai dari abad pertengahan sampai
dengan abad kontemporer. Menurutnya, pendekatan terhadap al-Qur‘an yang dapat
diidentifikasi memiliki nilai kesarjanaan baru menemukan karakternya pada abad
kesembilan belas.
Ketujuh, Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi
Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2006). Dalam buku ini, Dadan Rusmana
memaparkan metodologi kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat. Tujuan yang
hendak dicapai adalah menarik peneliti untuk mengembangkan kajian lebih lanjut
mengenai studi al-Qur‘an di Barat, baik dari segi substansi maupun metodologi.
Kedelapan, Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dan
Studi al-Qur‘an‖ terj. Eva F. Amrullah dan Faried F. Saenong, dalam Jurnal Studi alQur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 45-74. Dalam artikel tersebut, S. Parvez Manzoor
mengkritik habis-habisan kajian al-Qur‘an yang dilakukan oleh para orientalis. Ia
menyatakan bahwa kajian mereka, terlepas dari manfaat yang dihasilkannya,
merupakan proyek yang dilatarbelakangi oleh rasa kedengkian, superioritas, dan
dendam terhadap umat Muslim. Tujuan yang ingin dicapai dari proyek tersebut
adalah melemahkan keyakinan umat Muslim terhadap kitab sucinya (al-Qur‘an).
Kesembilan, M. Quraish Shihab, ―Orientalisme‖ dalam Jurnal Studi alQur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 21-44. Dalam artikel ini, M. Quraish Shihab
mengungkapkan bahwa orientalis, berdasarkan pandangan dan hasil penelitian
mereka, terbagi kepada dua kelompok, yaitu: (1) para orientalis yang melakukan
penelitian secara obyektif ilmiah. Mereka ini terbagi lagi menjadi dua: yang berhasil
menemukan kebenaran bahkan menganut ajaran Islam dan yang gagal karena
keterbatasan pengetahuan atau penggunaan kacamata yang keliru; (2) para orientalis
yang melakukan penelitian secara subyektif, sehingga hasil yang mereka dapatkan
tidak benar. Kelompok ini juga dapat dibagi menjadi dua: yang pertama seluruh hasil
karyanya keliru dan yang kedua hasil karyanya sebagian keliru dan sebagian yang
19
lain benar. Keadaan ini memang mereka sadari, bahkan mereka pergunakan untuk
memperdaya pembacanya dengan cara menonjolkan kebenaran yang mereka
dapatkan, sehingga seolah-olah hasil penelitian mereka secara keseluruhan bersifat
obyektif dan benar.
Jika kekeliruan orientalis yang termasuk kelompok pertama adalah perbedaan
kacamata yang digunakan dan kelemahan ilmu bantu, maka kekeliruan orientalis
kelompok kedua adalah adanya pra-konsepsi. Orientalis kelompok kedua ini menarik
simpulan dengan cara: pertama, menukil pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan
sarjana Muslim, tetapi memilih apa yang dapat mereka jadikan bukti keinginan
mereka; kedua, menukil dalam bentuk yang secara selintas terlihat sempurna, tetapi
pada hakikatnya mengabaikan satu atau dua huruf yang amat berpengaruh dalam
makna; ketiga, mengemukakan kritik-kritik yang terlihat sebagai kritik mereka,
padahal sesungguhnya apa yang mereka kemukakan tersebut telah dikemukakan oleh
para sarjana Muslim dan telah pula diberi jawabannya yang tepat.
Berdasarkan pengamatan penulis, karya-karya di atas secara garis besar
merefleksikan dua arus utama respon sarjana Muslim terhadap kajian al-Qur‘an oleh
non-Muslim, yaitu: pertama, pendapat yang tidak memperbolehkan non-Muslim
mengkaji al-Qur‘an; dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa al-Qur‘an terbuka
bagi siapa saja yang mau mengkajinya. Adapun tesis ini pada dasarnya dimaksudkan
untuk mendukung pendapat kedua, dengan meneliti pandangan dan metode Toshihiko
Izutsu dalam mengkaji al-Qur‘an.
D. Tujuan Penelitian
Merujuk kepada rumusan masalah yang penulis sajikan di atas, maka
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: pertama, mengidentifikasi dan
menganalisis pandangan Toshihiko Izutsu tentang al-Qur‘an; kedua, mengidentifikasi
dan menganalisis metode analisis semantik yang dikembangkan Toshihiko Izutsu
dalam penafsiran al-Qur‘an.
20
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik secara akademik, sosial,
maupun praktis:
Secara akademik, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya khazanah studi
al-Qur‘an yang tidak hanya berorientasi pada metodologi klasik, tapi juga studi yang
membuka diri terhadap pemanfaatan teori hasil penelitian ilmiah modern, dalam hal
ini semantik.
Secara sosial, penelitian ini bermanfaat untuk membuka dialog yang lebih
inklusif antara Islam dan non-Islam, sehingga diharapkan pula muncul solusi
alternatif dalam pemecahan problem-problem kemanusiaan dewasa ini.
Secara praktis, penelitian ini untuk memberi wawasan dan pedoman kepada
para penafsir dalam menafsirkan al-Qur‘an dengan menggunakan teori semantik.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan pendekatan penelitian
Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian teks (dirâsat nushûsh),
karena obyek penelitian ini adalah teks yang merupakan karya-karya Toshihko Izutsu.
Peneliti dalam hal ini berupaya mengidentifikasi dan menganalisis pandangan
Toshihiko Izutsu tentang al-Qur‘an dan model pendekatannya dalam mengkaji alQur‘an melalui karya-karyanya tersebut. Karena itu, pendekatan yang digunakan
dalam pengumpulan dan pemaknaan data adalah pendekatan kualitatif atau
interpretatif.
Paradigma yang mendasari penelitian ini adalah interpretivisme dan
naturalisme. Realitas teks dipahami sebagai sebuah konstruksi pemikiran yang sarat
makna, tafsir atau interpretasi.48 Teks-teks yang ditulis oleh Toshihiko Izutsu
diperlakukan sebagai sebuah realitas pemikiran yang satu sama lain merupakan satu
kesatuan yang utuh. Dalam hal ini, peneliti memosisikan diri sebagai ―instrumen‖
48
A. Chaedar Alwasilah, Pokoknya Kualitatif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), Cet. I, h. 44-45.
21
yang bergumul dan berinteraksi langsung dengan teks yang diteliti dan berusaha
memberi makna (kognisi, afeksi, intensi, nosi, interpretasi, dan sebagainya) terhadap
realitas teks yang ada dan mempertautkan satu makna dengan lainnya dalam konteks
―pandangan dan pendekatan dalam kajian al-Qur‘an‖. Oleh karena itu, teks yang
diteliti diperlakukan sebagai sebuah sistem aktual (actual system) yang berkaitan
dengan persepsi dan metode pendekatan terhadap al-Qur‘an.
Dari segi pemahaman teks sebagai realitas pemikiran, penelitian ini
sesungguhnya berada dalam area textual linguistics („ilm al-lughah al-nashshî). Ilmu
ini mengemban dua misi atau fungsi utama, yaitu: (1) textual description (al-washf
al-nashshî), menggambarkan dan menarasikan fenomena-fenomena yang ditampilkan
teks; meneropong dan memetakan pemikiran yang tersurat maupun tersirat dalam
teks; dan (2) textual analysis (al-tahlîl al-nashshî), menganalisis dan menjelaskan
realitas teks; memaknai isi dan substansi teks melalui pembacaan lintas-teks
(intertextuality, al-tanâshsh).49 Dengan demikian, penelitian ini berbasis pendekatan
tekstual.
2. Sumber data
Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data itu dapat
diperoleh. Sumber data dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu
data primer dan data sekunder.
Sumber primer dalam penelitian ini adalah karya-karya Toshihiko Izutsu,
yaitu: God and Man in the Koran: Semantics of the Koran Weltanschauung, (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), dan Ethico-Religious Concepts in the Al-Qur‟an,
(Canada: McGill Queen‘s University Press, 2002). Sedangkan sumber sekunder di
antaranya: Ahmad Sahidah, Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Qur‟ān
menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu, (http://www. ahmadsahidah.blogspot.com), dan
karya-karya yang berkenaan dengan kajian al-Qur‘an.
49
Subhî Ibrâhîm al-Faqî, „Ilm al-Lughah al-Nashshî Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq:
Dirâsah Tathbîqiyyah „ala al-Suwar al-Makkiyah, (Kairo: Dâr Qubâ‘, 2000), h. 55.
22
3. Teknik pengumpulan dan analisis data
Data penelitian ini dikumpulkan melalui studi teks (literatur) terhadap karyakarya Toshihiko Izutsu yang dapat ditemukan. Untuk melengkapi dan memperkaya
wacana dan pemikirannya, penulis juga melakukan studi terhadap karya-karya yang
ditulis oleh sarjana-sarjana lain berkenaan dengan pemikiran Toshihiko Izutsu.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi teks. Analisis
isi teks ini menganut asas intertekstualitas (al-tanâshsh) karena, sebagaimana
dijelaskan oleh Tammâm Hassân, teks itu saling menjelaskan dan menafsirkan satu
sama lain.50 Teknik analisis ini mirip dengan metode tafsir tematik. Karena itu,
membaca dan memahami pemikiran Toshihiko Izutsu perlu diletakkan pada satu
kesatuan wacana dari keseluruhan karyanya yang dapat ditemukan dan dibaca ulang
melalui penelitian ini. Jadi, intertektualitas merupakan model analisis yang berupaya
menggabungkan atau membandingkan keseluruhan teks yang memiliki topik
pembicaraan yang sama. Analisis intertekstual menunjukkan bagaimana teks secara
selektif mempergunakan keteraturan wacana (orders of discourse), kekhususan
konfigurasi teks (genre, wacana, narasi, dan sebagainya), dan prosedur, interpretasi,
dan lingkungan sosial yang turut membentuk substansi teks. Analisis intertekstual
juga memberikan perhatian terhadap dependensi teks atas masyarakat dan sejarah
dalam bentuk sumber-sumber yang membuat keteraturan wacana:51 bagaimana secara
50
Dalam linguistik teks (‗ilm Lughat al-Nashsh), pemikiran yang ternarasikan dalam teks dapat
dipahami dan diinterpretasikan dengan baik jika diposisikan sebagai satu kesatuan yang utuh (wahdah
mutakâmilah atau al-nashsh ka kullin). Memperlakukan teks sebagai sebuah keseluruhan perlu
melibatkan berbagai perspektif dan relasi teks dengan konteks sosial, psikologis, kultural, dan
sebagainya sehingga dapat ditemukan pola-pola keteraturan dan kesimpulan alur pemikiran.
Bandingkan dengan Sa‘îd Hasan Buhairî, ‗Ilm Lughat al-Nashsh, (Kairo: Muassasah al-Mukhtâr,
2003), Cet. I, h. 93.
51
Wacana adalah pembicaraan, diskursus, mengenai suatu topik bahasan. Komponen wacana
dapat dibagi menjadi empat, yaitu: wacana referensi (khitâb al-ihâlah), wacana persuasif (khithâb
iqnâî), wacana susastra (khithâb adabî), dan wacana ekspresif (khithâb ta‟bîrî). Wacana referensi
meliputi wacana ilmiah, wacana informatif, dan wacana eksploratif. Cirinya adalah terdapat masalah,
hipotesis, dan usaha memecahkannya berdasarkan data empiris yang dapat diuji melakui penelitian
ilmiah. Kriteria wacana ini adalah logika ilmiah, penalaran deduktif dan induktif, aspek semantik,
pemilihan kata, ketatabahasaan dan efektivitas kalimat berikut pengorganisasiannya. Lihat JOS. Daniel
Parera, Linguistik Edukasional, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 119-120.
23
dinamis dan dialektif teks dapat merubah sumber-sumber sosial dan historis; dan
bagaimana genre (wacana, narasi, catatan, dan sebagainya) dapat menyatu dalam
teks?52
Adapun prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut: a)
mengidentifikasi pembahasan-pembahasan yang mengandung pandangan dan
pendekatan Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an dalam berbagai tulisannya yang
dapat ditemukan; b) mengelompokkan pembahasan-pembahasan sesuai karangka
pembahasan yang peneliti buat, yaitu: (1) konsep wahyu, sumber al-Qur‘an, dan
penafsiran al-Qur‘an, (2) konsep-konsep metodologis penafsiran dan aplikasinya
dalam penafsiran al-Qur‘an; d) menghubungkan materi dengan pendapat Toshihiko
Izutsu pada karyanya yang lain, yang menyinggung pembahasan yang sama; e)
menghubungkan dan membandingkan pendapat Toshihiko Izutsu dengan pendapat
sarjana-sarjana yang lain, baik Muslim maupun non-Muslim; dan f) menyimpulkan
hasil penelitian.
4. Teknik penulisan dan penyajian hasil penelitian
Teknik penulisan tesis ini didasarkan pada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah
(2007) dengan sedikit pengecualian pada penulisan catatan kaki (footnote) dan
transliterasi. Dalam penulisan catatan kaki, penulis tidak memakai istilah ibid, lok cit,
dan op cit, tetapi menggantinya dengan penulisan nama penulis berikut judul atau
judul besar buku tersebut. Sedangkan transliterasi yang digunakan mengacu pada
transliterasi yang ditetapkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
(2007) dengan beberapa modifikasi sebagai tercantum dalam Pedoman Transliterasi
di bagian awal tesis ini.
Hasil penelitian ini disajikan dalam semua pembahasan (bab) dalam tesis ini,
dan tidak dikhususkan pada bab tertentu, karena tesis ini merupakan satu kesatuan
52
Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language, (London:
Longman, Group Limited, 1995), h. 188-189.
24
yang utuh mengenai hasil pembacaan, penelusuran data, sistematisasi, validasi, dan
konklusi terhadap pandangan dan pendekatan Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an
yang terdapat dalam karya-karyanya.
Penyajian hasil penelitian ini juga diperkuat dan divalidasi dengan berbagai
literatur atau referensi terkait yang diletakkan pada catatan kaki (footnote). Beberapa
hal (istilah, konsep, dan ungkapan) yang dinilai perlu diberi penjelasan lebih lanjut
juga diberikan penjelasan dalam dua tanda kurung dan/atau dalam catatan kaki.
G. Sistematika Pembahasan
Hasil penelitian ini akan ditulis dalam lima bab dengan sistematika
pembahasan sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah,
permasalahan, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian,
manfaat/signifikansi penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II menguraikan non-Muslim dan kajian al-Qur‘an yang terdiri dari:
pandangan non-Muslim terhadap al-Qur‘an dan pendekatan-pendekatan yang mereka
gunakan dalam mengkaji al-Qur‘an, serta respon sarjana Muslim terhadap kajian alQur‘an oleh sarjana-sarjana non-Muslim. Uraian-uraian dalam bab ini dimaksudkan
untuk menganalisis perbedaan pandangan di antara sarjana-sarjana non-Muslim
mengenai al-Qur‘an, dan untuk memetakan pendekatan-pendekatan yang
dipergunakan al-Qur‘an sehingga menghasilkan simpulan yang berbeda, serta
menganalisis respon sarjana Muslim terhadap kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana
non-Muslim.
Bab III berisi uraian pandangan Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an. Bab ini
dimaksudkan untuk selain untuk mengungkap bagaimana pandangan Toshihiko
Izutsu terhadap al-Qur‘an, juga untuk menganalisis apakah pendekatan yang
dipergunakan dalam mengkaji al-Qur‘an.
25
Bab IV berisi analisis terhadap metode penafsiran Toshihiko Izutsu yang
terdiri dari: konsep-konsep metodologis, analisis perbandingan dengan metode lain,
terutama metode semantik, dan kritik terhadap metode semantik Toshihiko Izutsu.
Bab ini dimaksudkan untuk mengungkap dan menganalisis metode semantik yang
dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu dan mekanisme penerapannya, serta keunggulan
dan kelemahannya dalam penafsiran al-Qur‘an.
Bab V merupakan bab penutup yang meliputi: simpulan dan saran-saran.
Simpulan yang akan penulis sajikan dalam tesis, merupakan respon konkret atas
rumusan masalah yang dimajukan dalam penelitian. Sehingga semua problem yang
muncul dalam penelitian ini dapat terjawab dengan jelas, dengan harapan bisa
bermanfaat baik secara akademik, sosial, dan praktis.
26
BAB II
NON MUSLIM DAN KAJIAN AL-QUR‘AN
Kajian mengenai al-Qur‘an oleh non-Muslim memberikan implikasi yang
sampai sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan umat Muslim. Dalam
pandangan penulis, perdebatan tersebut menyangkut pendekatan non-Muslim dalam
kajian al-Qur‘an, dan otoritas non-Muslim dalam penafsiran al-Qur‘an. Dalam
kaitannya dengan tokoh yang pemikirannya menjadi fokus penelitian ini, kedua isu
tersebut menjadi penting untuk diuraikan dalam bab II ini. Namun sebelumnya perlu
juga diketengahkan sejarah aktivitas kajian al-Qur‘an oleh non-Muslim agar dapat
diketahui pencapaian-pencapaian mereka selama ini.
D. Kajian al-Qur‘an oleh Non-Muslim dalam Lintasan Sejarah
Sebagai sebuah Kitab Suci, al-Qur‘an ternyata sangat menarik perhatian tidak
saja umat Islam, namun juga non-Muslim. Ketertarikan non-Muslim terhadap alQur‘an, menurut Hartmut Bobzin, diawali oleh satu kenyataan bahwa dalam alQur‘an banyak ayat yang berkaitan dengan ajaran-ajaran kitab suci umat terdahulu.53
Di samping hal itu, dalam al-Qur‘an juga terdapat beberapa bagian yang oleh
kalangan non-Muslim, terutama umat Kristiani, dianggap mengkritik keyakinan
agama mereka.54 Untuk membela ajaran mereka, sarjana-sarjana non-Muslim banyak
melakukan kajian kitab suci umat Muslim dari pelbagai aspeknya. Debat polemik
mendapat perhatian yang besar. Hal ini membentuk tahapan awal bagi penelitian alQur‘an yang lebih obyektif-saintifik, sebuah upaya-upaya yang dimulai pada abad
modern. Karya-karya polemik yang menyerang Islam yang ditulis oleh orang-orang
Yahudi dan Kristen, dalam pandangan Hartmut Bobzin, tidak menjadikan karakter al53
Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen
McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, Vol. 4, (Leiden: E.J. Brill, 2004), h. 235.
54
Lihat Q.S. al-Nisâ‘ (4): 157; Q.S. al-Mâ‘idah (5): 72 dan 73; Q.S. al-Taubah (9): 30 dan 31.
40
27
Qur‘an sebagai wahyu Allah sebagai tema terpenting di dalamnya. Tema-tema seperti
monoteisme, otentisitas kitab-kitab suci terdahulu, dan bukti-bukti kenabian
Muhammad merupakan pokok bahasan dalam perdebatan mereka. Jika mereka
menulis tentang al-Qur‘an, maka mereka lebih berhati-hati karena dapat menyentuh
sensitivitas kaum Muslim. Maka tidaklah mengejutkan, jika karya-karya orang
Yahudi dan Kristen tentang al-Qur‘an pada ketika itu relatif masih sangat sedikit.55
Kajian al-Qur‘an oleh non-Muslim sejak abad ke-12 sampai sekarang
tampaknya direpresentasikan oleh sarjana-sarjana Barat. Kajian ini dimulai dengan
penerjemahan al-Qur‘an ke dalam berbagai bahasa Eropa. Usaha penerjemahan ini,
menurut W. Montgomery Watt, dimulai pada pertengahan abad kedua belas. Ketika
itu, Peter the Venerable (1094-1156) – kepala biara induk di Cluny (Perancis) –
dengan tujuan mempersiapkan orang-orang Eropa berhubungan dengan orang-orang
Islam, menghimpun, membiayai, dan menugaskan sejumlah orang untuk
menghasilkan karya-karya yang berkenaan dengan Islam. Salah satu hasilnya adalah
penerjemahan al-Qur‘an ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton, yang selesai
pada tahun 1143.56 Terjemahan ini, yang diberi nama Liber Legis Saracenorum quem
Alcoran Vocant (Kitab Hukum Islam yang disebut al-Qur‘an), merupakan terjemahan
al-Qur‘an yang pertama dalam bahasa Latin. Terjemahan al-Qur‘an ini memiliki arti
yang luar biasa bagi kaum intelektual dan agamawan di Barat. R.W. Southern, dalam
bukunya yang berjudul Western Views of Islam in the Middle Ages, menyatakan
bahwa dengan terjemahan tersebut Barat untuk pertama kalinya memiliki instrumen
55
Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen
McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, h. 235-253.
56
W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1970), h. 173. Usaha yang dirintis oleh Peter the Venerable telah memunculkan tradisi pecia,
yaitu tradisi penyalinan manuskrip ke dalam beberapa bagian. Tradisi, yang kemudian melembaga, ini
muncul karena kurangnya jumlah orang yang mampu menyalin manuskrip, bukan karena hasrat untuk
mencapai keakuratan dalam penyalinan. Franz Rosenthal, Etika Kesarjanaan Muslim, terj. Ahsin
Mohammad, (Bandung: Mizan, 1996), h. 101.
28
untuk mempelajari Islam secara serius.57 Terjemahan Latin tersebut pada gilirannya
memiliki pengaruh besar di kalangan sarjana selama beberapa abad.58 Sebagai sumber
utama studi al-Qur‘an, terjemahan Latin itu juga dimanfaatkan oleh sejumlah apolog
Kristen seperti Nicholas of Cusa, Dionysius Carthusianus, Juan of Torquemada, Juan
Luis Vives, Marthin Luther, Hugo Grotius, dan lainnya.59
Terjemahan al-Qur‘an Robert of Ketton dalam bahasa Latin tersebut, menurut
Regis Blachere, mengandung banyak sekali penyimpangan di dalamnya.60 Hal ini
juga disadari oleh Juan dari Segovia (1400-1458).61 Untuk itu itu, ia pada tahun 1454
berusaha untuk menggarap penerjemahan al-Qur‘an dengan harapan dapat
memperbaiki sejumlah kekeliruan dari naskah terjemahan al-Qur‘an Robert of Ketton
dengan mencari padanan yang tepat dalam bahasa Latin untuk dapat memindahkan
konsep-konsep al-Qur‘an. Langkah Juan ini didukung oleh Nicholas dari Cusa, yang
dalam Cibratio Alcoran (1460) berupaya menyajikan studi filologis dan historis yang
memadai atas al-Qur‘an. Meskipun demikian, menurut Samuel Zwemer, terjemahan
Robert of Ketton ini menjadi fondasi penerjemahan al-Qur‘an ke dalam bahasa Italia,
Jerman, dan Belanda.62
Pada abad ke-17 muncul berbagai usaha perjemahan al-Qur‘an ke dalam
bahasa-bahasa Eropa. Schweigger berusaha membuat terjemahan al-Qur‘an dalam
bahasa Jerman yang dilakukan di Nurenburg (Bavaria) dan selesai pada tahun 1616.
57
―With this translation, the West had for the first time an instrument for the serious study of
Islam.‖ Sebagaimana dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian
Kritis, h. 20.
58
Para pendeta, pastor, dan misionaris selama 600 tahun menjadikan terjemahan Robert of
Ketton sebagai sumber utama ketika merujuk kepada al-Qur‘an. Adnin Armas, Metodologi Bibel
dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 20.
59
Hartmut Bobzin, ―A Treasury of Heresies: Christian Polemics against the Koran,‖ dalam
Stefan Wild (ed.), The Qur‟an as Text, (Leiden: E.J. Brill, 1996), h. 159.
60
Sebagaimana dikutip oleh Muẖammad Husain ‗Alî al-Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât
al-Qur‟âniyah, (Beirut: Dâr al-Muarrikh al-‗Arabi, 1999), h. 64.
61
Lihat Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, (Bandung:
Pustaka Setia, 2006), h. 86.
62
Sebagaimana dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian
Kritis, h. 20.
29
Du Ryer membuat terjemahan dalam bahasa Perancis yang diterbitkan di Paris pada
tahun 1647. Terjemahan al-Qur‘an pertama ke dalam bahasa Inggris dilakukan oleh
Alexander Ross (Skotlandia) pada tahun 1649. Terjemahan ini tidak dilakukan dari
teks bahasa Arab, namun bersumber dari terjemahan al-Qur‘an dalam bahasa Perancis
yang dilakukan oleh Du Ryer. Ludovicci Maracci (1612-1700), seorang pendeta Italia
yang konon mengkaji al-Qur‘an selama 40 tahun, menghasilkan teks al-Qur‘an dari
berbagai naskah dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin pada tahun 1698 di
Padua. Ia tidak hanya menerjemahkan teks al-Qur‘an, tetapi juga menyelipkan
penolakan-penolakan terhadap klaim-klaim al-Qur‘an ke dalam bagian-bagian dari
terjemahan tersebut.63 Hal ini dilakukan untuk membuktikan kelemahan-kelemahan
al-Qur‘an. Terjemahan al-Qur‘an oleh Ludovicci Maracci ini dianggap terjemahan
yang terbaik di kalangan masyarakat Eropa ketika itu, karena mendukung upaya
penciptaan citra negatif terhadap Islam.
Pada abad ke-18, George Sale (1697-1736) menerjemahkan al-Qur‘an ke
dalam bahasa Inggris dengan judul The Alcoran of Mohammad: Translated from the
Original Arabic yang terdiri dari dua jilid dan dianggap sebanding dengan terjemahan
Ludovicci Maracci. Terjemahan yang muncul di London pada tahun 1734 ini
dilengkapi dengan catatan penjelasan dan komentar yang berharga yang didasarkan
atas karya tafsir penafsir Muslim terkemuka, al-Baidhâwî (w. 1268). Selain itu,
George Sale juga sering merujuk Injil St. Barnabas.64 Terjemahan ini juga disertai
preliminary discourse yang memberikan penjelasan singkat mengenai Islam,
kenabian Muhammad, dan al-Qur‘an, meskipun masih menunjukan subyektifitas dan
dan rivalitas ideologis Barat-Kristennya. Usaha penerjemahan George Sale ini
tampaknya diarahkan untuk memperbaiki terjemahan al-Qur‘an Robert of Ketton.
63
Andrew Rippn, ―Western Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe
(ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h.
239.
64
George Sale, The Koran Interpreted, h. ix-x, sebagaimana dikutip oleh Faried A. Saenong,
―Kesarjanaan al-Qur‘an di Barat,‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 151.
30
Karya terjemahan ini dimasukkan ke dalam seri ―Chandos Classic‖ serta mendapat
pujian dan restu dari Sir E. Denison Ross. Menurut W. Montgomery Watt,
terjemahan George Sale ini kemudian dicetak ulang dengan tambahan komentar dari
E.M. Wherry. Karya revisi ini berjudul A Comprehensive Commentary on the
Qur‟an: Comprising Sale‟s Translation and Preliminary Discourse with Notes and
Emendations, yang dicetak di London dan Boston pada tahun 1882-1886. Edisi ini
merupakan edisi yang paling memuaskan secara tipografis dibanding edisi-edisi
lainnya. Meskipun demikian, catatan-catatan tambahan yang dibuat oleh E.M.
Wherry berkualitas rendah dan mengurangi nilai karya George Sale.65
Karya George Sale ini kemudian diikuti oleh sarjana-sarjana Jerman dan
Perancis. Terjemah al-Qur‘an ke dalam bahasa Jerman dilakukan oleh Boysen pada
tahun 1773, Wahl pada tahun 1828, dan Ullman pada tahun 1840. Terjemah alQur‘an ke dalam bahasa Perancis dilakukan oleh Savary (1750-1788) dengan judul Le
Coran, traduit de l‟arabe, accompagné de notes, et précédé d‟un abrégé de la vie de
Mahomet, dan diterbitkan pada tahun 1783. Terjemahan ini muncul setelah disiapkan
di Mesir di mana ia tinggal dalam kurun waktu 1776-1779. Savary mengaku bahwa ia
beruntung dapat menerjemahkan al-Qur‘an ketika ia berada di tengah-tengah
masyarakat Muslim. Menurut Norman Daniel, terjemahan Savary ini cukup
bersahabat.66 Kemudian disusul oleh Kasimiriski pada tahun 1840 yang terbit untuk
pada tahun 1841 dan 1857.67 Salah satu faktor yang menyebabkan Perancis menaruh
perhatian kepada penerjemahan al-Qur‘an adalah karena Perancis pada saat itu
menduduki Aljazair dan Afrika Utara. Sementara itu, terjemahan dalam bahasa Rusia
diterbitkan di St. Petersburg pada tahun 1776.
Pada abad ke-19, kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat mengalami
banyak kemajuan. Perhatian terhadap al-Qur‘an tidak hanya terbatas pada penerbitan
65
W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 201.
Norman Daniel, Islam and the West, h. 313-320.
67
Najib al-‗Aqîqî, al-Musytasyriqûn, sebagaimana dikutip oleh Muẖammad Husain ‗Alî alShaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-Qur‟âniyah, h. 66.
66
31
teks al-Qur‘an dan terjemahannya. Kemajuan utama dalam kajian al-Qur‘an pada
abad ini ditandai dengan usaha-usaha untuk melacak sumber-sumber al-Qur‘an.
Abraham Geiger (1810-1874) dengan karyanya Was hat Muhammad aus dem
Judenthume Aufgenommen (Apa yang telah diambil Muhammad dari Yahudi). Jejak
Abraham Geiger ini baru diikuti setelah hampir setengah abad kemudian oleh
Hartwig Hirschfeld (1854-1934) dengan publikasinya pada tahun 1878, Judische
Elemente im Koran (Anasir Yahudi dalam al-Qur‘an), dan Manneval, La Christologie
du Koran (Kristologi al-Qur‘an, 1887).
Kemajuan lain juga ditunjukkan oleh sarjana-sarjana yang tertarik dengan
kehidupan Muhammad. Gustave Weil (1808-1889) – yang terkenal dengan
pendekatan historis-kritis terhadap sejarah Muhammad dalam karyanya, “Mohammed
der Prophet: sein Leben und seine Lehre,‖ – menulis Historische-critische Einleitung
in den Koran (Mukaddimah al-Qur‘an: kritis-historis, 1844), kemudian dilanjutkan
oleh Alloys Sprenger (1813-1893) dan William Muir (1819-1905). Alloys Sprenger
dan William Muir melakukan risetnya di India, dan menemukan sejumlah sumber
orisinil tentang biografi Muhammad.
Penerbitan dan penerjemahan al-Qur‘an pada abad ini masih tetap dilakukan.
Gustave Flügel (1802-1870) mempublikasikan al-Qur‘an yang diberi judul Corani
Textus Arabicus untuk pertama kali pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman).68 Ia juga
membuat sebuah konkordansi al-Qur‘an pada tahun 1842 dengan judul Concordantie
Corani Arabicae.69 Usaha ini disusul oleh J.M. Rodwell (1808-1900) menerjemahkan
al-Qur‘an ke dalam bahasa Inggris berdasarkan teks bahasa Arab yang diedit oleh
Gustave Flügel dan menyusunnya bukan menurut susunan tradisional, tetapi menurut
kronologinya mulai dari Q.S. al-‗Alaq (96) hingga Q.S. al-Maidah (5) berdasarkan
sejumlah hadits dengan merujuk kepada susunan William Muir dan juga berdasarkan
68
J.J.G Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974),
69
Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, h. 90.
h. 3.
32
pertimbangan hati-hati terhadap tema setiap surat dan hubungannya dengan sejarah,
peristiwa, dan kehidupan Muhammad. Karyanya ini terbit pertama kali pada tahun
1861.70 Arthur J. Arberry, dalam The Koran Interpreted (1955), menilai bahwa karya
ini jauh sekali dari konteks permusuhan abad XVII. J.M. Rodwell memang tidak ragu
untuk mengatakan bahwa al-Qur‘an adalah karya Muhamamad, akan tetapi
estimasinya terhadap karakter Muhammad tidak mengurangi kemurahhatian dan
kekagumannya.71
Penerjemahan al-Qur‘an ke dalam bahasa Inggris pada abad ini juga
dilakukan oleh E.H. Palmer (1840-1882), yang diterbitkan pada tahun 1880,72 dengan
judul The Qur‟an. Berbeda dengan J.M. Rodwell, ia melakukannya berdasarkan
susunan tradisional surat-surat al-Qur‘an. Menurut catatan A.R. Nykl, ―Notes on E.H.
Palmer‘s The Qur‘an,‖ dalam The Journal of American Oriental Society, 56 (1936),
h. 77-84, terjemahan E.H. Palmer ini banyak mengandung kesalahan.73
Kajian al-Qur‘an di Barat pada abad ini tidak hanya terbatas pada penelitianpenelitian yang dilakukan oleh kaum intelektualnya secara individu. Pada 1857,
Parisian Académie des Inscriptions et Bellers-Letters mengadakan kompetisi
penelitian yang bertema ―A Critical History of the Text of the Qur‘ān‖.74 Tema ini
menarik perhatian tiga sarjana terkemuka, yaitu: Alloys Sprenger, Michele Amari
(1806-1889), dan Theodore Nöldeke (1836-1930). Sarjana yang terakhir disebutkan
70
W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 178.
Sebagaimana dikutip oleh Faried A. Saenong, ―Kesarjanaan al-Qur‘an di Barat,‖ dalam
Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 153.
72
W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 178.
73
Sebagaimana dikutip oleh Faried A. Saenong, ―Kesarjanaan al-Qur‘an di Barat,‖ dalam
Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 154.
74
Ditetapkan bahwa penelitian tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
pertama, mengkaji bagian-bagian tahapan awal (primitif) dari komposisi al-Qur‘an dan menjelaskan
karakteristik bagian-bagaian tersebut; kedua, mengkaji sedalam mungkin bagian-bagian al-Qur‘an itu
untuk mencari tahapan-tahapan kehidupan Muhammad yang diceritakan di dalamnya, dengan bantuan
karya-karya sejarawan Arab dan para penafsir Muslim yang telah meneliti bidang yang sama; ketiga,
mengemukakan berbagai perubahan yang terdapat dalam al-Qur‘an sejak pembawaannya oleh
Muhammad sampai resensi definitive yang memberikan bentuk al-Qur‘an seperti yang ada sekarang;
keempat, mengkaji naskah-naskah paling tua untuk mengemukakan karakteristik variasi-variasi yang
muncul dari resensi-resensinya. W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 175.
71
33
inilah yang memenangkan kompetisi tersebut dengan karyanya Geschichte des Koran
(Sejarah al-Qur‘an).75
Kecenderungan kajian abad ke-20 belum beranjak dari model kajian-kajian
sebelumnya di abad kesembilan belas, meski dengan tekanan dan model yang sedikit
berbeda. Hal ini dapat dilihat pada usaha Joseph Horovitz (1874-1931), Jewish
Proper Names and Derrivatives in the Koran (Nama Diri Yahudi dan Derivasinya
dalam al-Qur‘an), terbit pada tahun 1925 dan dicetak ulang pada tahun 1964; Charles
Cutley Torrey (1863-1956), The Jewish Foundation of Islam (Fondasi Yahudi Agama
Islam), terbit pada tahun 1933 dan dicetak ulang pada tahun 1967; dan Abraham I.
Katsch, Judaism and the Koran (Agama Yahudi dan al-Qur‘an), terbit pada tahun
1962. Kajian-kajian kesarjanaan Yahudi ini mencapai titik kulminasinya yang tragis
dengan terbitnya karya John Wansbrough (1928-2002), Quranic Studies: Source and
Methods of Scriptural Interpretation (Kajian-kajian al-Qur‘an: Sumber dan Metode
Tafsir Kitab Suci), terbit pada tahun 1977.
Tor Andrae (1885-1947), Der Usprung des Islams und das Christentum (Asalusul Islam dan Kristen, 1926). Tetapi salah satu karya kesarjanaan Kristen yang
paling menonjol dan berpengaruh dalam kategori ini adalah yang ditulis oleh Richard
Bell (1876-1953), The Origin of Islam in its Christian Environment (Asal-usul Islam
dalam Lingkungan Kristennya, 1926).
Wilhelm Rudolf (w. 1978) yang menulis Die Abhängigkeit des Koran von
Judenthume und Christentum (Ketergantungan al-Qur‘an dari Yahudi dan Kristen,
1922); Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran (Jejakjejak Kebenaran Keimanan Kristiani dalam Islam, Leipzig, 1943); 76 dan D. Masson,
75
W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, h. 175.
Joseph Henninger menyatan bahwa Islam tanpa pengaruh dari Perjanjian Lama dan Baru
sulit terwujud. Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran, (Leipzig, 1943), h.
1, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa
Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan
Hadits, h. 3.
76
34
Le Coran et la Revelation Judeo-Chretienne (Al-Qur‘an dan Wahyu Yahudi-Kristen,
dua jilid, 1958).
Christoph Luxemberg (pseud.) yang telah mempublikasikan karyanya yang
berjudul Die Syrio-Aramäische Lesart des Koran: eine Entschüsselung der
Koransprache (Qira‘ah Syriak terhadap al-Qur‘an: Memecahkan Teka-teki Bahasa
al-Qur‘an). Buku ini, dengan perbedaan-perbedaan seperti yang dituturkan oleh
pengarangnya, merupakan babak lanjutan dari model kajian yang telah ditawarkan
oleh Abraham Geiger dan sarjana-sarjana lainnya yang berusaha untuk membuktikan
keterkaitan bahwa al-Qur‘an bersumber dari ajaran-ajaran kitab-kitab suci
sebelumnya. Christoph Luxemberg menganggap bahwa mushhaf al-Qur‘an sekarang
merupakan bentuk kesalahan salinan bahasa Arab fushẖâ dari bahasa Syria-Aramaik
(bahasa Aramaik dengan dialek Syria). Oleh karena itu, banyak penerjemahan dan
penafsiran kosakata al-Qur‘an yang tidak tepat. Ia juga menyatakan bahwa banyak
kata dalam al-Qur‘an yang disalah-artikan oleh kalangan penafsir. Anggapan ini
diperoleh dari investigasinya terhadap kosakata al-Qur‘an yang dibandingkan dengan
bahasa Syria-Aramaik sebagai lingua franca masyarakat Arab ketika al-Qur‘an
―diturunkan‖. Menurutnya, bahasa Arab fushẖâ merupakan bahasa yang datang
kemudian, setelah mantapnya bahasa Syria-Aramaik.77
Dalam perkembangan terakhir, menurut H.M. Nur Kholis Setiawan, terdapat
aspek lain yang turut mewarnai kajian al-Qur‘an dalam kesarjanaan di Barat, yaitu
mencari kesepahaman dalam perbedaan tradisi penafsiran kitab suci. Oleh karenanya,
tren mencari kelemahan suatu kitab suci dan mencari pengaruh suatu kitab suci
terhadap kitab suci lainnya telah ketinggalan jaman. Proyek-proyek prestisius yang
sedang dikembangkan adalah bagaimana tradisi penafsiran kitab suci memiliki fungsi
77
M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖
dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, (t.tp.:
Nawasea Press, 2007), h. 11. Lihat juga Syamsuddin Arif, ―Al-Qur‘an, Orientalisme, dan Luxemberg,‖
dalam Jurnal Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005, h. 19.
35
dalam percaturan intelektial para pengimannya.78 Namun hal tersebut tidak berarti
bahwa proyek riset mengenai sejarah teks dan ortografi al-Qur‘an telah selesai. Sejak
tahun 2006, telah muncul proyek penelitian baru yang disponsori oleh Berlin
Brandenburgische Akademie der Wissenschaft, sebuah lembaga riset milik
pemerintah Negara bagian Berlin-Brandenburg, menganai edisi kritis teks alQur‘an.79
Uraian di atas menunjukan bahwa kajian al-Qur‘an dalam kesarjanaan nonMuslim cukup dinamis dan berkesinambungan. Temuan-temuan pendahulu mereka
terus-menerus dielaborasi oleh sarjana-sarjana berikutnya dengan menggunakan
berbagai pendekatan dan metode yang berkembang dalam lapangan ilmu-ilmu sosial
dan humaniora. Pendekatan dan metode demikian meniscayakan al-Qur‘an
diposisikan sebagai teks. Sebagai teks al-Qur‘an dipandang sejajar dengan teks-teks
bahasa yang lain.
E. Kategori dan Pendekatan Non-Muslim dalam Kajian Al-Qur‘an
Fazlur Rahman, dalam pendahuluan bukunya – Major Themes of the Qur‟an,
mencoba memetakan karya-karya sarjana Barat modern dalam studi al-Qur‘an sejak
munculnya karya Gustave Flügel ini hingga paruh abad kedua puluh ke dalam tiga
kategori: Pertama, kajian yang berusaha untuk membuktikan adanya pengaruh tradisi
Yahudi dan Kristen terhadap al-Qur‘an; Kedua, kajian yang menekankan pada
78
Salah satunya adalah proyek ―Hermeneutika Yahudi, Kristen, dan Islam sebagai kritik
Budaya‖ selama tiga tahun (dari 2002-2004) di Berlin. Tema yang ditawarkan adalah ―Midrash (tradisi
tafsir Yahudi), Exegesis (tradisi tafsir Kriten), dan Tafsîr (Islam). Sedang pada tanggal 3-13 Agustus
2003, dalam rangka proyek yang sama digelar ―International Summer Academy‖ dengan tema yang
sama, melibatkan 24 doktor muda dari 14 negara untuk mencari kesepahaman tradisi penafsiran dalam
agama. M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖ dalam
M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, h. 38.
79
M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖
dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, h. 3839.
36
pembahasan sejarah dan kronologi turunnya al-Qur‘an; dan Ketiga, kajian tentang
tema-tema tertentu dari al-Qur‘an.80
Karya kesarjanaan Barat yang memiliki kecenderungan tipe pertama diawali
oleh Abraham Geiger (1810-1874), dengan karyanya Was hat Muhammad aus dem
Judenthume Aufgenommen (Apa yang telah diambil Muhammad dari Yahudi).
Sebuah karya yang ditulisnya dalam rangka mengikuti kompetisi masuk ke
Universitas Bonn pada tahun 1832.81 Sebagaimana tercermin dari judulnya, karya ini
memusatkan pada anasir Yahudi di dalam al-Qur‘an. Karya ini terdiri dari tiga
bagian: Bagian awal dari buku ini mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai
apakah Muhammad berniat untuk mengambil dari Yahudi, bisakah Muhammad
melakukan niatnya, jika bisa, bagaimana Muhammad melakukannya, dan apa yang
sebanding dengan rencana Muhammad untuk mengambil dari Yahudi. Kemudian
pada bagian kedua menghadirkan bukti-bukti historis untuk menopang argumen dan
jawaban beberapa pertanyaan tersebut. Bagian terakhir merupakan appendix
kelengkapan data bagi bagian kedua, sekaligus analisis mendalam untuk memperkuat
asumsi yang dibangun sebagai tesis sekaligus jawaban-jawaban bagian pertama.82
Temuan yang dihasilkan Abraham Geiger dalam penelitiannya adalah bahwa seluruh
ajaran Muhammad yang tertuang dalam al-Qur‘an sejak awal telah menunjukkan
sendiri asal-usul Yahudinya secara transparan: mulai dari sebagian besar kisah para
Nabi, sampai kepada ajaran-ajaran dan aturan-aturan al-Qur‘an.83 Jejak Abraham
Geiger ini baru diikuti setelah hampir setengah abad kemudian oleh Hartwig
Hirschfeld (1854-1934) dengan publikasinya pada tahun 1878, Judische Elemente im
80
Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1996), Cet. II, h. x-xi.
81
Lihat Andrew Rippin (ed.), Introduction to the Qur‟an: Style and Contents, (Hampshire:
Ashgate Publishing Limited, 2001), h. xi.
82
M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa Akan Datang,‖
dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, h. 5.
83
Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h.
67.
37
Koran (Anasir Yahudi dalam al-Qur‘an), yang mengkonfirmasi lebih jauh temuantemuan pendahulunya tersebut.
Setelah kemunculan dua karya tersebut, sejumlah besar sarjana Barat mulai
menaruh perhatian serius terhadap pelacakan asal-usul genetik al-Qur‘an. Terjadi
semacam peperangan akademik antara sarjana-sarjana yang memandang al-Qur‘an
tidak lebih dari tiruan rentan tradisi Yahudi dan sarjana-sarjana yang menganggap
agama Kristen sebagai sumber utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi berupaya keras
membuktikan bahwa asal-usul genetik al-Qur‘an secara penuh berasal dari tradisi
Yahudi dan bahwa Muhammad merupakan murid seorang Yahudi tertentu. Karyakarya kesarjanaan semacam ini antara lain ditulis oleh Joseph Horovitz (1874-1931),
Jewish Proper Names and Derrivatives in the Koran (Nama Diri Yahudi dan
Derivasinya dalam al-Qur‘an), terbit pada tahun 1925 dan dicetak ulang pada tahun
1964; Charles Cutley Torrey (1863-1956), The Jewish Foundation of Islam (Fondasi
Yahudi Agama Islam), terbit pada tahun 1933 dan dicetak ulang pada tahun 1967;
dan Abraham I. Katsch, Judaism and the Koran (Agama Yahudi dan al-Qur‘an),
terbit pada tahun 1962. Kajian-kajian kesarjanaan Yahudi ini mencapai titik
kulminasinya yang tragis dengan terbitnya karya John Wansbrough (1928-2002),
Quranic Studies: Source and Methods of Scriptural Interpretation (Kajian-kajian alQur‘an: Sumber dan Metode Tafsir Kitab Suci), terbit pada tahun 1977. Dalam buku
ini John Wansbrough melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa al-Qur‘an
merupakan hasil konspirasi antara Muhammad dan pengikut-pengikutnya pada dua
abad pertama Islam yang secara sepenuhnya berada di bawah pengaruh Yahudi.84
Sementara para sarjana Kristen juga melakukan upaya senada dan berusaha
membuktikan bahwa al-Qur‘an tidak lain merupakan imitasi dari tradisi Kristen dan
Muhammad hanyalah seorang pengikut Kristen yang mengajarkan suatu bentuk aneh
agama Kristen. Karya kesarjanaan Kristen modern yang awal tentang sumber-sumber
84
John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation,
(New York: Prometheus Books, 2004), h. 61.
38
Kristiani al-Qur‘an ditulis oleh Karl Friedrich Gerock, Versuch einer Darstellung der
Chronologie des Korans (Upaya Pengungkapan Kronologi al-Qur‘an), terbit pertama
kali pada tahun 1839.
Setelah tenggang waktu yang cukup lama, muncul karya-karya kesarjanaan
Kristen lainnya tentang topik ini, seperti Manneval, La Christologie du Koran
(Kristologi al-Qur‘an, 1887); dan Tor Andrae (1885-1947), Der Usprung des Islams
und das Christentum (Asal-usul Islam dan Kristen, 1926). Tetapi salah satu karya
kesarjanaan Kristen yang paling menonjol dan berpengaruh dalam kategori ini adalah
yang ditulis oleh Richard Bell (1876-1953), The Origin of Islam in its Christian
Environment (Asal-usul Islam dalam Lingkungan Kristennya, 1926).
Di samping karya-karya yang menitikberatkan asal-usul al-Qur‘an dalam
salah satu tradisi keagamaan Semit, yakni Yahudi dan Kristen, terdapat pula karyakarya kesarjanaan Barat lainnya yang menekankan pengaruh kedua tradisi keagamaan
tersebut secara serempak terhadap kitab suci kaum Muslim. Karya-karya kategori
terakhir ini antara lain ditulis oleh Wilhelm Rudolf (w. 1978) yang menulis Die
Abhängigkeit des Koran von Judenthume und Christentum (Ketergantungan alQur‘an dari Yahudi dan Kristen, 1922); Joseph Henninger, Spüren Chrislicher
Glaubensahrheiten im Koran (Jejak-jejak Kebenaran Keimanan Kristiani dalam
Islam, Leipzig, 1943);85 dan D. Masson, Le Coran et la Revelation Judeo-Chretienne
(Al-Qur‘an dan Wahyu Yahudi-Kristen, dua jilid, 1958). Sementara sejumlah sarjana
barat lain, seperti W. Montgomery Watt dan H.A.R Gibb, memperluas gagasan
terakhir ini dengan menegaskan bahwa latar belakang kelahiran Islam atau al-Qur‘an
adalah mileu Arab, walaupun banyak unsur-unsur Yudeo-Kristiani yang diserap
dalam formasi dan perkembangannya.
85
Joseph Henninger menyatan bahwa Islam tanpa pengaruh dari Perjanjian Lama dan Baru
sulit terwujud. Joseph Henninger, Spüren Chrislicher Glaubensahrheiten im Koran, (Leipzig, 1943), h.
1, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan,‖Orientalisme al-Qur‘an: Dulu, Kini, dan Masa
Akan Datang,‖ dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan
Hadits, h. 3.
39
Karya kesarjanaan Barat yang dapat dikategorikan tipe kedua adalah
Historische-critische Einleitung in den Koran (Mukaddimah al-Qur‘an: kritishistoris) karya Gustav Weil yang diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1844,
kemudian Geschichte des Koran (Sejarah al-Qur‘an) oleh Theodore Nöldeke (18361930) yang diterbitkan pada tahun 1860. Buku Geschichte des Koran ini terdiri dari
tiga jilid. Jilid pertama disusun oleh Theodore Nöldeke sendiri dan membahas
kronologi turunnya surat-surat al-Qur‘an. Jilid kedua ditulis oleh muridnya, Friedrich
Schwally (w. 1919), membahas sejarah pengoleksian al-Qur‘an. Jilid ketiga ditulis
oleh Gotthelf Bergsträsser (1886-1933) dan Otto Pretzl membahas sejarah variasi
qiraat.86
Pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh sarjana-sarjana non Muslim
dalam mengkaji Islam, termasuk di dalamnya al-Qur‘an, di antaranya adalah
pendekatan sejarah, pendekatan fenomenologi dan pendekatan strukturalisme
linguistik.
1. Pendekatan sejarah
Pendekatan sejarah yang sangat berperan dalam kajian al-Qur‘an adalah
metode kritik sejarah. Metode kritik sejarah merupakan pendekatan kesejarahan yang
pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta obyektif secara utuh dan mencari
nilai-nilai (values) tertentu yang terkandung di dalamnya.87 Fakta dan nilai tersebut
ditelusuri dalam sejumlah data sejarah, bukan peristiwa sejarah itu sendiri. Jika data
sejarah disajikan secara kronologis, maka ini disebut pendekatan kesejarahan.
Kritik sejarah merupakan metode yang luas. Dalam metode ini tercakup
beberapa jenis kritik yang saling terkait, di antaranya kritik teks (textual criticism),
kajian filologis (philological study), kritik sastra (literary criticism), kritik bentuk
86
M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin, ―Kata Pengantar‖ dalam Orientalisme
al-Qur‟an dan Hadits, h. x.
87
W. Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity, (London & New York:
Routledge, 1988), h. 68.
40
(form criticism), dan kritik redaksi (redaction criticism).88 Sebagai sebuah metode
dalam penelitian sejarah Islam, kritik sejarah pertama kali dirintis oleh David S.
Margoliuth (1858-1940), Ignaz Goldziher, Henry Lammens, Joseph Schacht, H.A.R.
Gibb, H.J. Coulson, dan lain-lain. Penerapan metode ini terhadap aspek tertentu
dalam sejarah Islam menghasilkan beberapa tesa yang menghebohkan masyarakat
Muslim yang tradisional minded. Hal inilah yang menyebabkan metode kritik sejarah
sama sekali tidak berkembang di kalangan pemikir Muslim sampai dengan
pertengahan abad ke-20 M.
Dalam studi al-Qur‘an, sarjana non Muslim yang termasuk pioner dalam
menggunakan metode kritik sejarah adalah Abraham Geiger (1870-1874), seorang
Rabbi sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman. Karyanya adalah Was hat
Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen?, yang ditulis pada tahun 1833;
Gustav Weil (1808-1889), dengan karyanya adalah Historische-Kritische Einletung in
der Koran, yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1844; dan Theodor Nöldeke
(1836-1930), dengan karyanya Geschichte des Qorans yang diterbitkan pada tahun
1860.89
Penerapan metode kritik sejarah dalam kajian al-Qur‘an mengantarkan para
orientalis sampai pada kesimpulan bahwa al-Qur‘an adalah ciptaan Muhammad.
Ajaran-ajaran al-Qur‘an merupakan jiplakan dari ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen.
Metode ini banyak digunakan oleh non Muslim pada abad ke-19 dan paruh pertama
abad ke-20. Selanjutnya mulai paruh kedua abad ke-20, mereka mulai menerapkan
pendekatan baru yang disebut dengan pendekatan fenomenologi.
88
Edgar Krentz, The Historical-Critical Method, (Philadelphia: Fortress Press, 1975), h. 48-
54.
89
Andrew Rippin, ―Western Scholarship and the Qur‘an‖, dalam Jane Dammen McAuliffe
(ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟an, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h.
239-241.
41
2. Pendekatan fenomenologi
Pendekatan fenomenologi dalam studi agama merupakan pendekatan yang
menjadikan agama sebagai obyek studi menurut apa adanya. Dengan kata lain,
fenomenologi agama berusaha menjelaskan fenomena keagamaan sebagaimana
ditunjukkan oleh agama itu sendiri. Dalam hal ini, kaum fenomenolog agama
mencegah sikap memandang fenomena keagamaan itu menurut visi mereka sendiri.90
Fenomenologi agama, menurut Ursula King, bertujuan untuk meneliti pola dan
struktur agama atau meneliti esensi agama di balik manifestasinya yang beragam atau
memahami sifat-sifat yang unik pada fenomena keagamaan serta untuk memahami
peranan agama dalam sejarah dan kebudayaan manusia.91
Fenomenologi agama merupakan reaksi terhadap pendekatan sejarah.
Menurut W. Brede Kristensen, pendekatan sejarah tidak dapat memahami
karakteristik yang absolut terhadap data-data keagamaan, karena dalam pendekatan
sejarah terdapat jarak antara peneliti dan obyek yang diteliti sehingga penelitian
tersebut tidak dapat mengidentifikasi data keagamaan sebagaimana yang dihayati
oleh orang-orang yang mengimaninya.92 Sementara dalam pendekatan fenomenologi,
peneliti menyatu dengan obyek yang diteliti. Dalam ungkapan Poespoprodjo, dalam
fenomenologi manusia menyatu dengan dunia.93
Berbeda dengan pendekatan sejarah, pendekatan fenomenologi mengakui
adanya fenomena supranatural atau transhistoris. Dalam fenomenologi terdapat
beberapa karakteristik wahyu, yaitu: a) dari segi asalnya, wahyu dipandang berasal
dari Tuhan, nenek-moyang, atau kekuatan mana‘; b) instrumen atau sarananya adalah
tanda-tanda yang suci di alam, binatang, tempat suci, mimpi, ekstasi, visi, dan lain90
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif),
(Semarang: Dina Utama, 1997), h. 74.
91
Ursula King, ―Historical and Phenomenological Approaches‖, dalam Frank Whaling (ed.),
Contemporary Approaches to the Study of Religion, (Berlin, New York, Amsterdam: Mouton
Publishers, 1984), h. 88.
92
Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat
(Sebuah Studi Evaluatif), h. 75.
93
Poespoprodjo, Interpretasi, (Bandung: Remadja Karya, 1987), h. 69.
42
lain; c) isi dan tujuannya adalah pendidkan, bantuan, hukum, perintah Tuhan, dan
lain-lain; d) penerimanya adalah dukun, tukang sihir, shaman, tukang tenung, nabi,
dan lain-lain; e) efek dan akibatnya menjadi pelajaran dan misi Tuhan.94
Salah
seorang
sarjana
non-Muslim
yang
menggunakan
pendekatan
fenomenologi dalam kajian al-Qur‘an adalah Charles J. Adams. Al-Qur‘an,
menurutnya, adalah wahyu yang diterima Muhammad dari Tuhan.95 William A.
Graham juga mengkaji al-Qur‘an dengan pendekatan fenonenologi. Ia menganalisis
keunikan karakter kitab suci umat Islam dari segi sifat oral al-Qur‘an dan fungsinya
sebagai firman Tuhan yang ―diturunkan‖, bukan dalam arti firman Tuhan yang
―tertulis‖ atau ―dibukukan‖. Sebagai firman Tuhan yang ―diturunkan‖, al-Qur‘an
memiliki beberapa karakteristik yang khas, yaitu: pertama, al-Qur‘an merupakan
umm al-Kitâb, ia mengakui adanya kitab suci sebelumnya dan menyatakan diri
sebagai wahyu Tuhan yang final dan lengkap; kedua, dalam agama-agama Ibrahim
(Abrahamic faith), yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, kitab suci menjadi pusat atau
sumber peribadatan, kesalehan, dan ketaatan. Namun dalam Islam, al-Qur‘an lebih
jelas lagi menjadi pusat transenden keimanan Muslim. Kalau dalam Yahudi,
kehadiran Tuhan termanifestaikan dalam hukum Taurat, Kristen dalam pribadi Yesus,
maka dalam Islam al-Qur‘an merupakan sarana langsung dalam perjumpaan dengan
Tuhan; ketiga, konsep mengenai kitab suci yang dikoleksi dalam satu kitab
merupakan ciri khas kitab suci Yahudi dan Kristen, sedang dalam Islam al-Qur‘an
merupakan Divine Word; oleh karena itu bentuk primer dan paling otoritatif dari teks
al-Qur‘an adalah bersifat oral, bukan tertulis.96
94
Johannes Deninger, ―Revelation‖, dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of
Religion, Vol. 11-12, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), h. 356.
95
Charles J. Adams, ―Qur‘an,‖ dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol.
12, (1987), h. 158.
96
William A. Graham, ―Qur‘an as Spoken Word: An Islamic Contribution to the
Understanding of Scripture,‖ dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies,
(Tucson: University of Arizona Press, 1985), h. 23-30.
43
Sarjana lain dari kalangan non-Muslim yang juga menggunakan pendekatan
fenomenologi dalam kajian al-Qur‘an adalah Marcel A. Boisard. Menurutnya, alQur‘an tidak lain adalah peringatan bagi seluruh umat manusia. Al-Qur‘an
merupakan ekspresi terakhir kehendak Tuhan, ia menjamin otentisitas dan kebenaran
wahyu sebelumnya, tetapi tidak menjamin keberlakuannya, karena masa berlakunya
telah habis dengan kedatangan Islam.97
Penggunaan pendekatan fenomenologi dalam studi al-Qur‘an relatif dapat
menghasilkan konklusi yang positif, karena fenomenologi memahami al-Qur‘an
berdasarkan data dokumen keagamaan dan data dari penganut agama Islam sendiri.
3. Pendekatan Strukturalisme Linguistik
Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai
sebuah struktur berikut unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun
struktur tersebut dipandang lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis daripada
sekadar susunan benda-benda. Oleh karena itu, masing-masing unsur hanya akan
bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur yang lain di dalam
struktur.98 Dengan demikian, pelbagai unsur pembangun struktur itu memiliki
koherensi atau pertautan yang erat. Mereka tidak otonom satu dengan yang lain,
melainkan menjadi bagian dari situasi yang rumit, dan hanya dengan interaksi itulah
ia mendapatkan arti.99 Strukturalisme linguistik memiliki akar-akarnya dalam
semiologi Saussure, Mazhab Linguistik Praha dan Formalisme Rusia. Pengaruh de
Saussure terhadap strukturalisme terletak pada pergeseran orientasi studi
linguistiknya dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Dengan pendekatan sinkronik,
97
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1980), h. 186-187.
98
Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e-Library, 2004), h. 6-7.
99
Pemahaman strukturalisme demikian serupa dengan konsep nazhm yang dikembangkan
‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî yang menyoal hubungan sintagmatis kata di dalam kalimat dan struktur teks
yang lebih luas. Kata-kata individual, menurut al-Jurjânî, tidak memiliki nilai distingtif kecuali berada
dalam struktur yang lebih luas. Lihat Aẖmad Sayyid Muẖammad ‗Ammâr, Nazhariyyat al-I„Jâz alQur‟ânî wa Atsaruhâ fî al-Naqd al-„Arabi al-Qadîm, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‗âshir, 1998), h. 152.
44
studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya melainkan pada
hubungan antarunsurnya. Dalam pendekatan struktural, masalah unsur dan hubungan
antarunsur merupakan hal yang krusial.
Sebuah karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari berbagai
unsur yang saling berhubungan secara sistemik dan saling menentukan satu sama lain
sehingga membentuk sebuah totalitas pada dirinya. Pengertian struktur, menurut Jean
Piaget dalam bukunya Le Structuralisme (1968),100 adalah ditemukannya kesatuan
yang meliputi tiga ide dasar: ide kesatuan (the idea of wholeness), ide transformasi
(the idea of transformation), dan ide pengaturan diri sendiri (the idea of selfregulation). Ide kesatuan mengandaikan bahwa struktur adalah keseluruhan yang
bulat, dan bahwa unsur-unsur pembentuknya tidak mungkin berdiri sendiri di luar
struktur. Ide transformasi menyaran pada pemahaman bahwa struktur dimaksud
bukanlah sesuatu yang statis melainkan mampu melakukan prosedur-prosedur
transformasional. Ide regulasi-diri menunjuk pada kemampuan struktur untuk
melakukan proses transformasi tanpa bantuan dari luar, melainkan cukup dengan
dirinya sendiri.101 Ketiga gagasan dasar dalam sebuah karya sastra demikian
mengasumsikan bahwa sebuah teks dapat dipahami cukup melalui berbagai unsur
yang membangunnya, berupa bahasa, ungkapan, dan sistem tanda lain yang tersurat,
tanpa memerlukan bantuan lain dari luar dirinya, hal-hal non-bahasa.
Dengan demikian, sebuah karya sastra, menurut kaum strukturalis, adalah
sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya,
yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan timbal balik dan saling
menentukan. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, unsur-unsur tersebut tidak
penting bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting
100
Sebagaimana dikutip oleh Terence Hawkes, Structuralism and
Semiotics, (Taylor &
Francis e-Library, 2004), h. 5.
101
Rahmad Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
cet. VII, 2000), h. 119.
45
setelah berada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana
sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.
Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi,
mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik karya
bersangkutan. Setelah menjelaskan fungsi masing-masing unsur itu dalam menunjang
makna keseluruhannya, selanjutnya dijelaskan pula bagaimana hubungan antarusur
tersebut secara bersama membentuk sebuah totalitas-kemaknaan yang padu. Dengan
demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin
fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama
menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.
Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi antarunsur
dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan juga relasi intertekstual.102 Analisis
mikroteks itu misalnya berupa analisis kata-kata dalam kalimat, atau kalimat-kalimat
dalam paragraf atau konteks wacana yang lebih besar. Analisis relasi intertekstual
berupa kajian hubungan antarteks, baik dalam satu periode maupun dalam periodeperiode yang berbeda.
Pendekatan struktural menawarkan kelebihan bahwa analisis karya sastra
tidak lagi membutuhkan berbagai pengetahuan lain sebagai referensi, misalnya
referensi sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain—walau harus diakui bahwa halhal tersebut dapat memperkaya wawasan dan pemahaman—melainkan ―cukup‖
berbekal kemampuan bahasa, kepekaan sastra dan minat yang intensif.103
Sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang melakukan studi al-Qur‘an
dengan pendekatan struktural belum banyak. Di antara yang sedikit tersebut adalah
Toshihiko Izutsu (1914-1933) dan Richards C. Martin. Toshihiko Izutsu menerapkan
pendekatan struktural terhadap al-Qur‘an untuk dapat menangkap pandangan dunia
102
Dick Hartoko dan Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1986),
103
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984),
h.136.
h. 139.
46
Kitab Suci tersebut. Kajiannya tertuang dalam Ethico-Religious Concepts in the
Qur‟an (terbit pertama kali pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the
Ethical Terms in the Koran) dan God and Man in the Qur‟an: Semantics of the
Qur‟anic Weltanschauung (terbit pertama kali pada tahun 1964). Sementara Richards
C. Martin menerapkan pendekatan strukturalisme linguistik ini ketika menganalisis
Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26). Tulisannya berjudul ―Structural Analysis and the Qur‟an:
Newer Approaches to the Study of Islamic Text‖, dimuat dalam Jurnal of the
American Academic of the Religion, Vol. XLVII (1979), No. 4.104
Pemahaman terhadap pendekatan yang digunakan oleh sarjana-sarjana non
Muslim dalam kajian al-Qur‘an dirasa perlu bagi umat Muslim, karena hal ini dapat
membantu untuk memahami penyebab lahirnya pandangan sarjana-sarjana non
Muslim tersebut terhadap al-Qur‘an. Bila umat Muslim hanya memahami konklusi
dan konsep-konsep mereka saja, maka kemungkinan ―ketersinggungan iman‖ dapat
terjadi yang pada gilirannya dapat menimbulkan bibit-bibit konflik dan perasaan
antipati. Pemahaman terhadap pendekatan sebagaimana yang telah disebutkan di atas,
dapat menyelamatkan umat Muslim dari sikap emosional dan menuntutnya untuk
berdialog secara sehat.
F. Respon Sarjana Muslim
Jika ketertarikan umat Islam terhadap al-Qur‘an dipandang sebagai hal wajar
bahkan suatu keharusan, karena al-Qur‘an memang Kitab Suci mereka dan sumber
utama ajaran Islam, maka berbeda halnya jika non-Muslim melakukan hal yang sama
terhadap Kitab Suci umat Muslim ini. Meskipun aktivitas ini sudah lama dilakukan,
namun di kalangan umat Islam sampai saat sekarang masih timbul kecurigaan
terhadap kajian-kajian mereka. Tidaklah mengherankan apabila pertanyaanpertanyaan mengenai keabsahan kajian mereka sering dikemukakan: apakah mereka
104
Ahmad Zaki Mubarak, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur‟an
Kontemporer “a la” M. Syahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), h. 11.
47
pantas atau memiliki otoritas untuk mengkaji al-Qur‘an? Apa motif-motif yang
mendorong mereka untuk melakukan kajian terhadap al-Qur‘an?
Secara historis, menurut Hartmut Bobzin, berdasarkan apa yang disebut
dengan perjanjian ‗Umar ibn Khattâb, non-Muslim dulu dilarang untuk mengajarkan
al-Qur‘an kepada anak-anak mereka. Dari sisi ini dapat diambil kesimpulan, bahwa
umat Islam pada umumnya tidak tertarik untuk memperbolehkan non-Muslim untuk
mengkaji al-Qur‘an.105 Kondisi ini kelihatannya terwariskan dalam sebagian kalangan
sarjana Muslim hingga sekarang.
Penolakan terhadap aktivitas non-Muslim dalam kajian al-Qur‘an disebabkan
oleh kekhawatiran akan dampak motivasi dan tujuan yang tidak baik dari orientalisme
kepada Islam. Beberapa studi terhadap kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat
memang menunjukkan dominannya motivasi dan tujuan dimaksud. Beberapa hasil
penelitian terhadap kajian-kajian orientalis seperti yang telah disampaikan oleh Fazlur
Rahman dalam Major Themes of The Qur‟an di atas, kemudian oleh Muẖammad
Musthafâ al-Aʻzhamî, dalam The History of The Qur‟anic Text: from Revelation to
Compilation, a Comparative Study with the Old and New Testaments, yang hampir
memastikan bahwa semua orientalis, meskipun dengan kadar yang berbeda, memiliki
motivasi dan tendensi yang berseberangan dengan tradisi Islam,106 demikian juga
dengan Muẖammad Husain ʻAlî al-Shaghîr, dalam al-Mustasyriqûn wa Dirâsât alQur‟âniyyah, yang menyebutkan bahwa kajian orientalis terhadap al-Qur‘an, secara
khusus, dan kajian terhadap Islam, pada umumnya, didorong oleh motivasi
105
Hartmut Bobzin, ―Pre-1800 Occupations of Qur‘ānic Studies,‖ dalam Janne Dammen
McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur‟ān, Vol. 4, h. 235-253. Lihat juga Andrew Rippin, ―Western
Scholarship and the Qur‘ān,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to the
Qur‟ān, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), h. 237.
106
Muẖammad Musthafâ al-Aʻzhamî, The History of The Qur‟anic Text: from Revelation to
Compilation, a Comparative Study with the Old and New Testaments, (terj.), (Jakarta: Gema Insani,
2005). h. 335-379.
48
penyebaran agama, imperialisme dan kolonialisme, di samping motivasi ilmiah,107
semakin memperkuat kekhawatiran tersebut.
Di samping itu, karena kebanyakan sarjana non-Muslim tidak mengakui alQur‘an sebagai firman Allah. Adalah hal yang tidak mengherankan apabila dalam
karya sarjana-sarjana non-Muslim ditemukan pernyataan seperti, ―Al-Qur‘an adalah
perkataan atau ucapan Muhammad‖,108 dan ungkapan-ungkapan lain yang senada.
Dan karena tidak mengakui al-Qur‘an sebagai firman Allah, mereka juga tidak
memperlakukan al-Qur‘an sebagai kitab suci, melainkan sebagai dokumen literer.109
Yang demikian itu tentu saja melukai perasaan umat Islam karena secara fundamental
bertentangan dengan keyakinan umat Islam itu sendiri.
Secara metodologis, kajian Islam oleh non-Muslim memang akan selalu
menghadapi resistensi, tantangan dan gugatan. Hal ini karena, seperti yang
diungkapkan oleh Abdul Rauf, berdasarkan data sejarah, agak susah – bahkan tidak
mungkin – bagi seseorang untuk mempelajari agama orang lain.110 Fazlur Rahman
mengakui kritik Abdul Rauf tersebut, namun ia menyatakan bahwa hal tersebut hanya
berlaku bagi kalangan orientalis dan non-Muslim yang mendekati dan mengapresiasi
Islam tanpa didukung oleh pengetahuan yang memadai, namun hanya berdasarkan
atas praduga-praduga.111 Namun demikian, di tengah arus penolakan tersebut,
beberapa sarjana Muslim seperti Muẖammad Amîn al-Khûlî (1895-1966) yang
menggemakan bahwa al-Qur‘an merupakan ―kitab berbahasa Arab yang terhebat dan
karya sastra yang terpenting‖ (kitâb al-„arabiyya al-akbar wa atsaruhâ al-a„al-adabî
107
Lihat Muẖammad Husain ʻAlî al-Shaghîr, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-Qur‟âniyyah,
(Beirut: Dâr al-Muarrikh al-ʻArabi, 1999), Cet. I, h. 13-18.
108
Lihat H.A.R. Gibb, Mohammadanism: A Historical Survey, (London: Oxford Press, 1950),
h. 35.
109
Lihat Helmut Gätje, The Qur‟an and Its Exegesis: Selexted Texts with Classical and
Modern Muslim Tradition, terj. Alford T. Welch, (London: Routledge & Kegal Paul, 1976), h. 42-43.
110
Muhammad Abdul Rauf, ―Outsider‘s Interpretation of Islam: A Muslim Point of View‖,
dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: The University of
Arizona, 1985), h. 185.
111
Fazlur Rahman, ―Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay‖, dalam
Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, h. 197.
49
al-a„zham),112 dan Nashr Hâmid Abû Zaid (l. 1943) dengan pernyataannya bahwa alQur‘an adalah ―teks bahasa‖ (nashsh lughawî) sebagaimana teks-teks yang lain yang
disusun oleh manusia,113 secara terang ingin membuka ruang bagi setiap orang untuk
mengkaji al-Qur‘an tanpa melihat latar keagamaannya, apakah ia Muslim atau bukan.
Memang bila dicermati, dalam al-Qur‘an sendiri terdapat perintah yang
ditujukan kepada kaum Muslim untuk memberi kesempatan kepada non-Muslim
untuk mendengarkan al-Qur‘an, dengan harapan mereka dapat menangkap makna dan
pesan-pesannya.114 Ini berarti terbuka kemungkinan bagi pemahaman yang benar dari
mereka. Dan kenyataan membuktikan adanya orang-orang non-Muslim yang masuk
Islam setelah mendengar atau mengkaji al-Qur‘an.115
Setiap Muslim harus dapat menerima pendapat yang baik dan benar dari siapa
pun, karena Islam sangat terbuka dan mengingatkan bahwa kebenaran harus menjadi
milik Muslim dari mana pun sumbernya. Kaum Muslim juga harus dapat menerima
kritik yang dilontarkan oleh siapa pun dengan lapang dada, dan mendiskusikannya,
lalu menerimanya selama tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip serta rincian ajaran
112
Lihat Muẖammad Amîn al-Khûli, Manâhij al-Tajdîd fî al-Naẖwi wa al-Balâghah wa alTafsîr wa al-Adâb, (Beirut: Dâr al-Maʻrifah, 1961), h. 303, dan Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm alNashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Kairo: al-Haiʻah al-Mishriyah al-ʻÂmmah li al-Kitâb, 1993), h.
12-13.
113
Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh, h. 27-28. Pernyataan Nashr Hâmid Abû Zaid
yang kontradiktif dengan keyakinan mayoritas umat Isam ini tentu saja mendapat protes dari kalangan
Ulama, di antaranya adalah seorang guru besar Universitas al-Azhar, Mohammed Abu Musa, yang
mengecam pendapatnya dengan mengatakan bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada seorang pun yang
menggunakan istilah ―teks‖ ketika merujuk kepada al-Qur‘an selain sebagaimana yang digunakan
Tuhan sendiri, seperti âyat dan sûrah. Hanya orientalis yang mengatakan al-Qur‘an adalah teks. Hal ini
sebagaimana diakui oleh Nashr Hâmid Abû Zaid dalam, al-Nashsh, al-Shulthah, al-Haqîqah, terj.
Dede Iswadi, dkk., (Bandung: RQiS, 2003), h. 86.
114
Baca Q.S. al-Taubah (9): 6.
115
Sebagai contoh adalah ʻUmar ibn al-Khattâb (w. 24/644) yang memeluk Islam setelah
membaca Q.S. Thâhâ (20): 1-2. Labid ibn Rabiʻa, seorang maestro penyair Arab, yang
menggantungkan syair-syair gubahannya di depan pintu Ka‘bah sebagai ajang unjuk kemampuan
menggubah syair di kalangan masyarakat Arab, juga masuk Islam setelah membaca beberapa ayat
yang digantung di atas pintu Ka‘bah oleh pengikut Nabi Muhammad. Navid Kermani, Gott ist Schön,
Das Aesthetische Erleben des Koran, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an
Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), h. 74, 80-81.
50
agama yang bersifat pasti, karena sebagaimana telah dikemukakan di atas, nonMuslim dapat meraih kebenaran dari bacaannya terhadap ayat-ayat al-Qur‘an.
51
BAB III
AL-QUR‘AN DALAM PANDANGAN TOSHIHIKO IZUTSU
Sebuah pandangan tidak muncul dalam ruang yang hampa tetapi sangat
dipengaruhi oleh subyektifitas dan historitas yang melingkupinya, maka pandangan
tersebut harus dipahami melalui usaha pembaca atau penafsir untuk merekonstruksi
atau membangun kembali pengalaman mental penulisnya atau mengulang proses
kreatif penulis secara utuh.116 Demikian juga halnya dengan pandangan Toshihiko
Izutsu terhadap al-Qur‘an, sebelum membahasnya lebih detail harus dipahami
terlebih dahulu pribadi tokoh dimaksud. Oleh karena itu, dalam bab ini akan dibahas
secara singkat riwayat hidup Toshihiko Izutsu dari sisi pengalamannya sejak kecil,
pendidikannya, kecenderungannya, dan karya-karyanya tentang al-Qur‘an.
A. Sketsa Biografis Toshihiko Izutsu
Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo pada tanggal 4 Mei 1914 dan meninggal di
Kamakura pada tanggal 7 Januari 1993.117 Pendidikan dasar sampai perguruan tinggi
diperolehnya di negaranya sendiri, Jepang. Setamat SMA, Toshihiko Izutsu
melanjutkan ke fakultas ekonomi Universitas Keio, Tokyo, tetapi kemudian pindah
ke jurusan sastra Inggris karena ingin dibimbing oleh Prof. Junzaburo Nishiwaki.118
Setelah selesai, ia mengabdikan dirinya menjadi dosen di lembaga ini, dan
mengembangkan karir sebagai seorang intelektual yang diakui dunia. Ia mengajar di
sini dari tahun 1954 sampai dengan 1968 dan mendapatkan gelar profesor pada tahun
1950. Antara tahun 1962-1968 ia menjadi profesor tamu di Universitas McGill
116
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta:
Paramadina, 1996), h. 135; E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1999), h. 31.
117
http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.
118
http://www.iiu.edu.my/irkhs/izutsu/?Who_is_Toshihiko_Izutsu%3F. Diakses 3 Mei 2009.
65
52
Montreal Kanada atas permintaan Wilfred Cantwell Smith selaku direktur program
kajian Islam di perguruan tinggi tersebut, dan selanjutnya menjadi profesor penuh
antara tahun 1969-1975. Setelah lepas dari mengajar di McGill, ia hijrah ke Iran
memenuhi undangan Seyyed Hossein Nasr untuk menjadi pengajar di Imperial
Iranian Academy of Philosophy antara tahun 1975 sampai dengan 1979. Setelah itu,
ia kembali ke tanah airnya dan menjadi profesor emiritus di Universitas Keio hingga
akhir hayatnya.119
Toshihiko Izutsu berasal dari keluarga yang taat kepada ajaran Zen
Buddhisme, bahkan ayahnya adalah seorang guru Zen. Oleh karena itu ia pun telah
dibiasakan untuk mengamalkan ajaran tersebut sejak kecil. Sebagai seorang guru Zen,
ayahnya mengajarkan Zen dengan menuliskan kata ―kokoro‖ yang berarti ―pikiran‖
pada sebuah kertas. Tulisan tersebut diberikan kepadanya untuk ditatap pada waktu
tertentu setiap hari. Lalu pada suatu ketika, ayahnya memerintahkan untuk
menghapus tulisan itu dan memintanya untuk melihat kembali tulisan tersebut di
dalam pikiran – bukan kata yang tertera pada kertas – dengan cara memfokuskan
perhatian kepada tulisan secara terus menerus. Berikutnya, ayahnya memerintahkan
untuk menghapuskan kata yang ada di dalam pikirannya, dan menatap pikiran yang
hidup di balik kata yang tertulis. Pengalaman kontemplasi dalam mengamalkan Zen
yang telah dilakukan sejak muda tersebut tampaknya turut mempengaruhi cara
berfikir dan pencariannya akan kedalaman pemikiran filsafat dan mistisisme.120
Toshihiko Izutsu adalah seorang sarjana yang jenius. Ia menguasai banyak
bahasa dunia.121 Kemampuan ini memungkinkannya untuk melakukan penyelidikan
terhadap kebudayaan-kebudayaan dunia dan menjelaskan secara spesifik substansi
berbagai sistem keagamaan dan filsafat melalui bahasa aslinya. Bidang kegiatan
penyelidikannya sangat luas, mencakup filsafat Yunani kuno, filsafat Barat abad
119
http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.
http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.
121
http://www.worldwisdom.com/public/authors/Toshihiko-Izutsu.aspx. Diakses 3 Mei 2009.
120
53
pertengahan, mistisisme Islam (Arab dan Persia), filsafat Yahudi, filsafat India,
pemikiran
Konfusianisme,
Taoisme
China,
dan
filsafat
Zen.
Keluasaan
pengetahuannya memungkinkan untuk melihat persoalan dari berbagai perpektif,
sehingga dapat melahirkan pandangan yang menyeluruh tentang satu masalah.122
Sejauh berkenaan dengan kajian Islam, kepentingan karya Toshihiko Izutsu
terletak pada sebuah pemikiran yang dibentuk oleh Zen Buddhisme, NeoKonfusianisme,
dan
Shintoisme
(yang
merupakan
unsur-unsur
pembentuk
kebudayaan klasik Jepang), yang dipertemukan dengan dunia wahyu al-Qur‘an dan
pemikiran Islam. Inilah yang membedakannya dengan sarjana-sarjana orientalis yang
menghasilkan begitu banyak karya tentang pemikiran Islam yang merupakan hasil
dari tradisi yang dibentuk oleh warisan Yahudi dan Kristen. Bagi Seyyed Hossein
Nasr, karya Toshihiko Izutsu dalam bidang kajian Islam sesungguhnya menunjukkan
betapa pentingnya sebuah pandangan dunia yang dijadikan pijakan oleh seorang
sarjana dalam mengkaji dunia intelektual lain dan bagaimana dangkalnya tuduhantuduhan yang disampaikan oleh begitu banyak sarjana Barat menurut pengertian
mereka, baik disadari atau tidak, merupakan ―alasan‘ yang anti-metafisis, bersifat
sekuler, dan rasionalisme Abad Pencerahan.123
Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah seorang
sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang
mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. Seyyed Hossein Nasr, sebagaimana
dikutip oleh Ahmad Syahidah, ketika menuliskan pengantar dalam Jalâl al-Dîn
Ashtiyani (et. al), Consciousness and Reality; Studies in Memory of Toshihiko Izutsu,
(Boston: Brill, 2000), menyatakan kekagumannya seraya mengatakan bahwa dengan
menggabungkan kepekaan Buddhis, disiplin Jepang tradisional, dan bakat yang luar
biasa dalam mempelajari bahasa dan kepintaran filsafat yang meliputi kemampuan
analitik dan sintetik, dapat melintasi batas-batas kultural dan intelektual, Toshihiko
122
123
http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.
http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.
54
Izutsu dapat
dengan mudah memasuki semesta makna yang berbeda dengan
wawasan yang hebat. Dia adalah seorang tidak saja ahli dalam bahasa utama tiga
peradaban: Timur Jauh, Barat dan Islam, tetapi juga warisan intelektualnya. Ia
menulis dengan sangat kompeten tidak hanya tentang Lao-Tse tetapi juga Ibn ‗Arabi
dan Mulla Sadra selain juga para ahli filsafat Barat.124
.Selain itu, tambah Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu adalah tokoh
utama pertama pada masa kini yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak
hanya dari perspektif non-Muslim tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya melakukan
perbandingan filsafat, utamanya dalam menciptakan persinggungan serius pertama
antara arus intelektual yang lebih dalam dan utama antara pemikiran Islam dan Timur
Jauh di dalam konteks kesarjanaan modern.125
Berkaitan dengan bagaimana Toshihiko Izutsu memahami kajian teks-teks
Islam, William C. Chittick memberikan testimoni bahwa hal ini tidak dapat
dilepaskan
dari
kehidupan
masa
kecilnya,
yang
dipaksa
ayahnya
untuk
mempraktikkan zazen.126 Toshihiko merasa sangat tidak nyaman dengan pengalaman
ini. Akibatnya, ia memutuskan untuk memasuki sebuah bidang yang sejauh mungkin
dari pendekatan Zen dalam memahami realitas, dan oleh karena itu ia memilih
linguistik. Sejak itulah, Toshihiko Izutsu mulai mempelajari beberapa bahasa
asing.127
Sebagai seorang sarjana yang prolifik dan diakui dunia, Toshihiko Izutsu telah
menghasilkan tidak kurang dari 120 karya tulis, baik yang berbentuk buku maupun
124
http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.
http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.
126
Toshihiko Izutsu dalam Toward A Philosophy of Zen Buddhism, (Tehran: Imperian Iranian
Academy of Philosophy, 1977), h. 5, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syahidah, menjelaskan bahwa
125
zazen (坐禅) adalah meditasi yang dilakukan dengan duduk yang dilakukan untuk menenangkan tubuh
dan pikiran untuk mencapai pengetahuan tentang hakikat eksistensi dan dengan demikian mendapatkan
pencerahan (satori). http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.
127
http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.
55
artikel.128 Dari sekian banyak tulisan Toshihiko Izutsu, ada dua karya yang patut
mendapat perhatian khusus berkenaan dengan kajian al-Qur‘an. Yang pertama yaitu,
Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an.129 Menurut Toshihiko Izutsu, konsep
pemikiran tentang etika dalam al-Qur‘an dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok:
Pertama, pembahasan yang menunjukkan dan menguraikan sifat-sifat Tuhan; Kedua,
pembahasan yang menjelaskan berbagai aspek sikap fundamental manusia terhadap
Tuhan; dan Ketiga, pembahasan yang menunjukkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan
tingkah laku yang menjadi milik dan hidup dalam masyarakat Islam.130
Dari tiga konsep al-Qur‘an tentang etika tersebut, Toshihiko Izutsu
memfokuskan diri pada pembahasan mengenai konsep kedua saja. Ini bukan berarti
bahwa ia meninggalkan sama sekali dua konsep yang lain, karena – menurutnya –
ketiga kelompok konsep tersebut tidak berdiri secara terpisah, namun memiliki
hubungan yang sangat erat. Hal itu disebabkan karena pandangan dunia al-Qur‘an
pada dasarnya bersifat teosentris.
Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur‘an adalah: God and
Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung.131 Dari judul buku
ini, jelas Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an
tentang relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan alQur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuanhamba, dan etik.132
B. Status al-Qur‘an Menurut Toshihiko Izutsu
128
Untuk lebih rincinya, lihat http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli
2009.
129
Buku ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1959 dengan judul: The Structure
of the Ethical Terms in the Koran. Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an,
(Montreal: McGill-Queen‘s University Press, 2002), h. iv.
130
Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17.
131
Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas
Keio.
132
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002),
h. 127-268.
56
Pada bab I telah dikemukakan bahwa mayoritas non-Muslim mengingkari alQur‘an bersumber dari Allah. Hal ini tercermin dari pandangan pemuka agama
Kristen abad pertengahan seperti Peter the Venerable (1094-1156), Martin Luther
(1483-1546), dan Ricoldo da Monte Croce (+1243-1320) yang menyatakan bahwa alQur‘an tidak lain adalah buatan setan. Pandangan demikian juga menjadi hal yang
umum dalam karya sarjana-sarjana al-Qur‘an non-Muslim sampai abad ke-19 dan 20.
Willian Muir (1819-1905), Richard Bell (1876-1953), dan John Wansbrough (19282002), sebagai contoh, menunjukkan kecenderungan tersebut. Menurut Willian Muir,
kepercayaan akan al-Qur‘an sebagai firman Tuhan hanya dipropagandakan oleh
generasi sesudah Muhammad. Abû Bakr, salah seorang sahabat Muhammad yang
utama dan menjadi khalifah pertama setelah Muhammad wafat, yang mula-mula
memperkenalkan al-Qur‘an sebagai firman Tuhan. Ketertarikan Abû Bakr terhadap
Muhammad sebagai pribadi yang sederhana dan konsisten yang menyebabkannya
mengangkat derajat ucapan Muhammad sebagai firman Tuhan dan menghimpunnya
untuk memelihara dari kehilangan. Sikap dan usaha yang sama diteruskan oleh ‗Umar
ibn Khattâb untuk melakukan kompilasi dan mendeklarasikan sebagai firman
Tuhan.133 Hal ini tentu bertentangan secara diametral dengan pandangan umat
Muslim. Meskipun di kalangan teolog Muslimnya terdapat perdebatan mengenai
status al-Qur‘an; apakah al-Qur‘an makhluk atau bukan, namun mereka sepakat
bahwa al-Qur‘an adalah firman Allah yang disampaikan kepada nabi dan rasul-Nya
yang terakhir, yaitu Muhammad. Richard Bell berpendapat bahwa al-Qur‘an dibuat
Muhammad berdasarkan ajaran-ajaran yang telah mapan saat itu, termasuk ajaran
Yahudi dan Kristen.134 Sementara menurut John Wansbrough al-Qur‘an merupakan
133
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif),
(Semarang: Dina Utama, 1997), h. 97.
134
Contoh pengaruh ajaran Kristen adalah kisah tentang penolakan penyaliban Yesus. Dalam
hal ini Muhamamd mengambil dari salah satu sekte Kristen Syria. Lihat Richard Bell, The Origin of
Islam in Its Christian Environment, h. 67-68.
57
imitasi dari Taurat.135 Salah satu buktinya adalah pengambilan term setan.136 Umat
Muslimlah, dalam pandangan John Wansbrough, yang menaikkan status dan
kumpulan ucapan (logia) al-Qur‘an kepada derajat kitab suci yang bernilai mutlak.137
Yang lebih fatal lagi, dengan merujuk kepada Q.S. al-A‗râf (7): 71 dan al-Shaffât
(31): 156, John Wansbrough memberi arti kata al-Kitâb/Kitâb Allâh yang ada dalam
al-Qur‘an dengan ketetapan (decree), otoritas (authority), bukan dengan kitab suci.138
Keengganannya untuk menyebut al-Qur‘an dengan kitab suci tersebut tampaknya
bertujuan untuk melepaskan al-Qur‘an dari jalinan yang transendental, yaitu wahyu
Allah. Oleh karena itu dimunculkanlah anggapan akan adanya kata-kata yang
disinyalir sebagai tambahan dari Muhammad. John Wansbrough menganggap bahwa
kata qul dalam Q.S. al-An‗âm (6): 15, al-Ra‗d (13): 36, dan al-Ankabût (29): 52, yang
menunjukkan bahwa Muhammad menerima perintah untuk menyampaikan suatu ayat
kepada umatnya, sengaja disisipkan untuk menunjukkan bahwa al-Qur‘an adalah
benar wahyu Allah. Keberadaannya justru menghilangkan struktur logis al-Qur‘an,
karena tidak sejalan dengan homogenitas gaya bahasanya yang dipandang
berlebihan.139 Dengan demikian, John Wansbrough melihat atau memperlakukan alQur‘an sebagai karya sastra berupa syair atau puisi yang harus konsisten dengan gaya
bahasanya. Dalam keyakinan kaum Muslim, al-Qur‘an memang mengandung nilai
135
John Wansbrough mengatakan: ―That logia once collected and canonized might be
granted enhanced status as the inimitable and uncreated world of God would not appear to have been
either logical or necessary. Both qualities how ever may be seen as reflexes af Rabbinic attitudes
toward the Mosaic revelation, possibly adobted and modified in the course of the Judeo-Muslim
polemic.‖ John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation,
(New York: Prometheus Books, 2004), h. 78.
136
John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, h.
61.
137
John Wansbrough mengatakan: ―Whatever body of prophetical wisdom might from time to
time have been regarded as supplementary to the contents of scripture, it was with an organized
corpus of recognizable logia that the mainstream of Islamic theology was concerned, and not with a
source of concealed wisdom for the elect.‖ John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods
of Scriptural Interpretation, h. 61.
138
John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, h.
75-76.
139
John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, h.
67-68.
58
sastra yang tinggi, yang diakui sendiri oleh bangsa Arab, namun al-Qur‘an bukan
sebuah karya sastra yang harus tunduk kepada aturan sastra.
Richard Bell, dalam The Origins of Islam in Its Christian Environment,
berusaha keras membuktikan bahwa sumber utama al-Qur‘an adalah doktrin Kristen,
meskipun ia juga mengakui kontribusi Yahudi dalam pembentukan doktrin Islam.140
Pengaruh Kristen memang belum terjadi pada fase awal kenabian, tetapi pada akhir
periode Mekah sampai dengan awal periode Madinah.141 Ia menunjukan salah satu
indikasinya, yaitu Q.S. al-Ikhlâsh (112) yang menurutnya bukan merupakan hasil
polemik antara Muhammad dengan orang-orang Kristen, tetapi hasil polemik antara
Muhammad dengan orang-orang musyrik yang mempunyai kepercayaan bahwa Allah
mempunyai tiga anak perempuan (al-Lât, al-Uzza, dan Manât). Q.S. al-‗Alaq (96): 15 yang menjelaskan penciptaan manusia dari segumpal darah juga bukan konsep yang
diambil dari Bibel, karena dalam Bibel dinyatakan bahwa manusia berasal dari tanah.
Konsep yang diambil dari Bibel baru pada ayat-ayat yang muncul kemudian yang
menyatakan bahwa manusia berasal dari tanah. Pengaruh Kristen juga dapat dilihat
melalui adanya persamaan antara kisah-kisah dalam al-Qur‘an dan Bibel seperti kisah
penolakan penyaliban Yesus yang diambil dari salah satu sekte Kristen di Syria.142
Sementara itu Philip K. Hitti memandang bahwa sumber-sumber al-Qur‘an
berasal dari campuran antara Kristen, Yahudi, dan Arab. Argumentasi yang
diajukannya adalah bahwa di Hijaz ketika itu telah terdapat sejumlah budak dan
pedagang Kristen, dan ada beberapa wilayah yang didiami oleh kaum Yahudi. Di
antara isteri-isteri Muhammad ada yang beragama Kristen, yaitu Mariyah al-Qibtiyah,
dan ada yang beragama Yahudi, yaitu Shâfiyah. Keadaan ini memungkinkan
Muhammad menyerap gagasan-gagasan Yahudi dan Kristen. Selanjutnya karena
Muhammad mendapatkan bahan dengan cara tidak langsung, yakni dari cerita-cerita
140
Richard Bell, The Origins of Islam in Its Christian Environment, h. 13-14.
W. Montgomery Watt, Bell‟s Introduction to the Quran, (Edinburgh: The University Press,
1991), h. 140.
142
Richard Bell, The Origins of Islam in Its Christian Environment, h. 67-68.
141
59
orang, maka dalam al-Qur‘an tercampur-aduk antara wahyu dan kepalsuan.
Kepalsuan ini tercermin, misalnya, dalam kisah Yusuf. Istri Potephar, Zulaikhâ,
mengundang para wanita Mesir yang mempergunjingkan kisah cintanya dengan
Yusuf ke suatu pesta. Ketika Yusuf dipanggil oleh Zulaikhâ untuk tampil di hadapan
para wanita tersebut, maka mereka yang ketika itu sedang mengupas buah yang
disajikan, tanpa menyadari mengiris tangannya sendiri karena terpana melihat
ketampanan Yusuf.143
Adapun Toshihiko Izutsu, sarjana yang menjadi fokus kajian ini, berpendapat
bahwa al-Qur‘an adalah wahyu yang berasal dari Tuhan.144 Pandangannya ini sejalan
dengan mayoritas umat Muslim. Bagi umat Muslim al-Qur‘an adalah wahyu Allah
dan Kitab di mana pesan-pesan-Nya kepada manusia terkandung. Ia adalah kalâm
Allah yang diwahyukan kepada Nabi melalui Malaikat Jibril.145 Meskipun ia juga
sempat mengatakan bahwa al-Qur‘an secara linguistik adalah sebuah karya asli
Arab,146 namun hal ini tidak berarti Toshihiko Izutsu berpendapat bahwa al-Qur‘an
adalah karya manusia. Pernyataannya lebih tepat dipahami sebagai pengakuannya
bahwa bahasa al-Qur‘an adalah murni bahasa Arab, bukan bahasa langit sebagaimana
yang dikemukakan oleh Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî dalam
Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm,147 atau bahasa Aramaik dengan dialek Syria (SyrioAramaic) sebagaimana yang disimpulkan oleh Christoph Luxenberg (pseud.) dalam
Die Syrio-Aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschüsselung der
Qur‟ansprache.148 Oleh karena menggunakan bahasa Arab, maka menurut Toshihiko
Izutsu, al-Qur‘an dapat didekati dengan melibatkan berbagai teori dalam lapangan
143
Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: Macmillan Co., 1958), h. 107.
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 164.
145
Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen and Unwin
Ltd., 1984), h. 42.
146
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 38.
147
Lihat Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî, Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm,
(Riyad: t.p., 1409 H.), Cet. III, h. 13.
148
Dikutip dari Syamsuddin Arif, ―Al-Qur‘an, Orientalisme, dan Luxenberg,‖ dalam Jurnal
Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005, h. 19.
144
60
ilmu sosial dan humaniora.149 Pendapatnya ini mengindikasikan bahwa Toshihiko
Izutsu memperlakukan al-Qur‘an sebagai sebuah teks (nashsh). Berikut akan
dielaborasi gagasan-gagasan Toshihiko Izutsu mengenai wahyu, bahasa, dan
tekstualitas al-Qur‘an.
1. Al-Qur‘an: Wahyu yang berasal dari Allah
Para orientalis menyatakan bahwa wahyu bukan merupakan suatu peristiwa
supernatural, tetapi merupakan peristiwa natural. Dengan kata lain, wahyu bukan
berasal dari Tuhan, tetapi merupakan ide-ide dalam jiwa yang kemudian disabdakan.
William Muir menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai wahyu tidak lain
sesungguhnya adalah kata-kata Muhammad sendiri. Kata-kata tersebut dihimpun dari
pengalaman-pengalaman Muhammad.150 Richard Bell juga menyatakan bahwa
wahyu sebagaimana yang digunakan dalam al-Qur‘an adalah sejenis komunikasi dari
suatu ide dengan bisikan (suggestion) atau dorongan (promting) yang cepat melalui
kilasan inspirasi. Wahyu demikian diperoleh dengan cara mempraktekkan kehidupan
seperti kahin atau tukang tenung (soothsayer), hidup menyepi dan merenung.
Argumen yang dikemukakannya adalah Q.S. al-Muzammil (73): 1-8, terutama ayat 6.
Ayat ini dipahami Richard Bell sebagai gambaran usaha Muhammad untuk bangun di
malam hari dalam rangka mendapatkan wahyu. Dalam suasana tengah malam lebih
hening dan khusyu‟, wahyu lebih mudah didapat.151 Pernyataan William Muir dan
Richard Bell tersebut mengindikasikan bahwa mereka menuduh Muhammad hanya
mengaku mendapat wahyu dari Tuhan. Konsep wahyu itu sendiri, menurut Arthur
Jeffery, telah dikenal oleh Muhammad melalui lingkungannya di masa kanak-kanak
dan masa muda. Pengetahuan tentang wahyu, ilham, malaikat, kenabian, rasul, dan
kitab suci sudah populer dalam masyarakat Arab sebelum atau menjelang kerasulan
149
150
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 1.
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.
151
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.
95.
95-96.
61
Muhammad. Ide mengenai wahyu lebih lanjut dipelajari oleh Muhammad melalui
kontak dengan ahl al-kitâb. Sementara ajaran mengenai Malaikat Jibril sebagai
pembawa wahyu diambil dari kitab Daniel dan Injil Lukas.152
Mengapa Muhammad mengaku mendapatkan wahyu dari Tuhan? Karena,
menurut Arthur Jeffery, Muhammad mengumumkan dirinya sebagai nabi. Mengaku
sebagai nabi harus mengetahui tentang Tuhan, mempunyai kitab suci, dan perlu
bimbingan dari Tuhan, yang semuanya diperoleh melalui wahyu. Dalam hal ini
Muhammad ingin menyerupai nabi-nabi dalam Perjanjian lama.153
Keinginan Muhammad untuk menjadi nabi, menurut Maxime Rodinson,
karena ada kontradiksi-kontradiksi intern dalam jiwa dan faktor-faktor sosial yang
kontradiktif dengan keadaan Muhammad yang mengakibatkan krisis nervous dalam
dirinya.154 Muhammad di satu sisi memiliki pikiran sehat dan tenang. Dalam
hidupnya selalu berpikir sebelum mengambil keputusan, melaksanakan kegiatan
bisnisnya dengan efisien, mengetahui kapan harus mengulur waktu dan kapan harus
memperketat serta kapan harus melakukan tindakan untuk keberhasilan rencananya.
Muhammad mampu berdiplomasi dan mampu berpikir yang jelas dan logis. Tetapi di
bawah dari apa yang nampak itu terdapat temperamen yang gugup, penuh gairah
nafsu agresif, gelisah, tidak sabar, serta mengangankan sesuatu yang tidak mungkin.
Keadaan jiwa yang demikian kontradiktif tersebut membawa kepada krisis nervous
yang merupakan kasus patologis.155
152
Arthur Jeffery, ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195,
197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al-Qur‟an di Mata Barat
(Sebuah studi evaluatif), h. 93. Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat,
(Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 176.
153
Arthur Jeffery, ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195,
197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al-Qur‟an di Mata Barat
(Sebuah studi evaluatif), h. 93.
154
Maxime Rodinson menyatakan menggunakan Psikoanalisa Sigmund Freud dalam melihat
kejiwaan Muhammad. Sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di
Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 91.
155
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.
91.
62
Menurut Maxime Rodinson, beberapa sifat Muhammad yang bisa
memberikan kebahagiaan walaupun sedikit, misalnya, sikap pasrah terhadap keadaan
yang ada. Akan tetapi sifat ini tidak bertahan lama, karena bertentangan dengan
sifatnya yang lain, yaitu menginginkan sesuatu di luar dari hal biasa. Hal lain adalah
karena ia tidak mempunyai anak laki-laki (anak laki-lakinya, Ibrahim wafat selagi
masih kecil). Sebagaimana lazimnya pada masa itu, anak laki-laki menjadi
kebanggaan, sementara anak perempuan merupakan bencana. Keadaan ini
menyebabkan Muhammad merasa malu, yang oleh Maxime Rodinson diidentikkan
dengan kata ―abtar‖ dalam Q.S. al-Kautsar (108): 3. Menurut pemahamannya, ayat
tersebut diucapkan oleh Muhammad sebagai kompensasi dari rasa kecewa karena
tidak mempunyai anak laki-laki. Di sisi lain, ketidakpuasan Muhammad juga
disebabkan oleh tradisi masyarakat Arab yang menganggap pria beristri satu tidak
pantas. Sementara itu, Muhammad tidak mungkin memadu Khadijah, istrinya yang
berjasa itu, dengan wanita lain. Keadaan ini juga bisa membawa frustasi.156
Keadaan lain yang mengakibatkan ketidakpuasan Muhammad adalah karena
famili-famili dan sahabat-sahabat karibnya adalah orang-orang kaya yang lebih
cenderung pada politik yang ditunjang oleh kekayaan mereka. Sementara anggota
masyarakat lainnya mempunyai kecenderungan pada masalah moral dan intelektual.
Muhammad sendiri tidak seperti famili-familinya yang praktisian. Ia adalah seorang
idealis yang tidak ofensif. Sementara itu, ia sejak kecil memiliki bakat seperti shaman
atau ahli magis yang bisa membuat ramalan-ramalan. Dengan kemampuan tersebut,
ia berusaha menarik simpati dari orang banyak dengan membuat ramalan-ramalan
untuk perbaikan masyarakatnya. Keadaan ini membuat Muhammad melakukan
pertapaan, kemudian berfatwa, dan lambat-laun menyatakan diri sebagai Nabi.157
Adapun menurut Arthur Jeffery, yang memotivasi Muhammad untuk mengaku
156
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.
157
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.
91.
92.
63
seorang nabi adalah karena masyarakat Arab tidak pernah mempunyai nabi atau rasul
dari bangsanya sendiri, sementara konsep kenabian sudah mereka ketahui melalui
tradisi Yahudi dan Kristen.158
Sementara menurut Toshihiko Izutsu, wahyu yang diperoleh oleh Muhammad
dan nabi-nabi sebelumnya berasal Tuhan. Baginya, fenomena wahyu merupakan
fenomena yang sudah dikenal oleh masyarakat Arab pra-Islam sebagaimana terekam
dalam syair-syair Jahiliyah.159 Dari beberapa contoh penggunaannya dalam syair
Jahiliyah, kata ini secara semantik dapat dikelompokkan menjadi tiga persoalan.
Pertama, ia merupakan proses komunikasi. Artinya, proses ini harus melibatkan dua
orang, atau harus ada dua orang di arena agar peristiwa yang disebut wahyu benarbenar terwujud. Di sini tidak harus terjadi hubungan timbal balik, hubungan tersebut
sepenuhnya merupakan komunikasi unilateral. Orang pertama berperan aktif dengan
melakukan tindakan pengiriman kehendak dan pikirannya melalui isyarat kepada
orang kedua, sementara orang kedua berperan sebagai penerima informasi dari orang
pertama tanpa melakukan tindakan sebaliknya; Kedua, komunikasi tersebut tidak
harus verbal. Artinya, media yang digunakan dalam penyampaian informasi tersebut
tidak selalu berbentuk bahasa. Meskipun kadang kala menggunakan kata-kata, namun
seringkali bersifat non-linguistik; dan Ketiga, komunikasi tersebut dilakukan dengan
cara yang misterius, rahasia, dan mengandung hal-hal yang bersifat pribadi. Dalam
arti orang pertama menyampaikan informasi dengan sangat jelas kepada orang kedua,
sehingga dengan demikian komunikasi tesebut terjadi dengan sempurna, namun
karena dilakukan dengan cara yang rahasia, maka komunikasi tersebut tidak dapat
158
Arthur Jeffery, ―The Qur‘an as Scripture,‖ dalam The Muslim Word, No. 40, 1950, h. 195,
197, dan 199, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Al-Qur‟an di Mata Barat
(Sebuah studi evaluatif), h. 93.
159
Johannes Deninger mendeskripsikan wahyu sebagai ajaran yang berasal dari Tuhan yang
biasanya disampaikan melalui perantaraan malaikat Jibril. Wahyu tersebut menyangkut firman Tuhan,
kehendak-Nya yang misterius, pernyataan mengenai hari kemudian, serta perintah-perintah dan
hukum-hukum-Nya. Wahyu disampaikan kepada Nabi Muhammad dalam bentuk definitif pada tahun
570-632 M. Lihat Johannes Deninger, ―Revelation‖, dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of
Religion, Vol. 11-12, (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), h. 361.
64
dipahami oleh orang-orang luar.160 Dengan demikian, makna sentral dari wahyu
adalah pemberian informasi. Syarat pemberian informasi ini harus berjalan secara
samar dan tersembunyi. Dengan kata lain, wahyu adalah sebuah hubungan
komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi (pesan) secara
samar dan rahasia.
Selain itu, konsep wahyu dalam masyarakat Arab pra-Islam terkait dengan
puisi dan ramalan yang dianggap datang dari dunia jin yang disampaikan kepada
penyair dan peramal melalui proses pewahyuan (waẖy, tanzîl). Syair dan ramalan
pada saat itu merupakan sumber kebenaran, karena keduanya digubah oleh para
penyair dan peramal berdasarkan informasi yang didapat dari jin yang mampu
mendengar atau mencuri informasi dari langit. Hal ini, menurut Nashr Hâmid Abû
Zaid (l. 10 Juli 1943), merupakan basis kultural fenomena wahyu keagamaan. Karena
keyakinan ini, pemikiran Arab juga akrab dengan konsep malaikat (malâ‟ikah) yang
berkomunikasi dengan seorang Nabi.161 Namun, dalam tahap selanjutnya al-Qur‘an
mendekonstruksi konsep kultural wahyu pra-Islam itu dengan mengatakan bahwa
para jin itu kini tidak bisa lagi mencapai langit, karena sebelum mencapainya mereka
telah dilempari bintang berapi oleh para malaikat.162 Jadi, logika budayanya berarti
bahwa syair dan ramalan bukan lagi merupakan sumber kebenaran, karena jin tidak
lagi dapat mencuri informasi dari langit. Dengan demikian, teks al-Qur‘an
menyatakan dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran, karena diwahyukan
sendiri oleh Allah (bukan dengan cara dicuri) kepada Muhammad melalui Malaikat
Jibril.
Berkenaan dengan al-Qur‘an, wahyu, menurut Toshihiko Izutsu, adalah
parole (kalâm/perkataan) Tuhan, yang termanifestasi dalam bahasa (lisân) Arab.163
160
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 169-178.
Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (t.tp.: al-Hai‘ah
al-Mishriyyah al-ʻÂmmâh li al-Kitâb, 1993), h. 38.
162
Q.S. al-Jinn (72): 8-9.
163
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 164.
161
65
Pendapatnya tersebut didasarkan kepada Q.S. al-Taubah (9): 6 dan Q.S. al-Baqarah
(2): 75, yang secara kontekstual mengandung pengertian bahwa firman Tuhan
mengacu kepada kata-kata yang telah diucapkan atau diwahyukan kepada Nabi.
Pendapat Toshihiko Izutsu secara linguistik memang cukup kokoh. Dalam kedua ayat
tersebut, yaitu: Q.S. al-Baqarah (2): 75; dan Q.S. al-Taubah (9): 6, kata ―kalâm‖,164
yang berasal dari akar kata k-l-m, dirangkaikan dengan kata ―Allah‖.165 AlZamakhsyarî (w. 538 H./1143 M.)166 dan Abû Hayyân al-Andalusî (w. 745 H./1353
M.)167 juga menginterpretasikannya sebagai wahyu Tuhan.
Sekarang problem sesungguhnya dari persoalan pewahyuan adalah ketika
menyingkap tabir Tuhan yang berkomunikasi dengan Muhammad. Jelasnya,
Bagaimana menjelaskan eksternalitas wahyu sebagai sesuatu yang datang dari
Tuhan? Apakah Tuhan berkomunikasi (menyampaikan wahyu) kepada Muhammad
secara langsung atau melalui perantara (Ruh, Malaikat atau Jibrîl)? Harus disadari
memang, situasi komunikasi dalam konteks wahyu al-Qur‘an memang berbeda
dengan situasi komunikasi lainnya. Dua sisi komunikasi yang mendasar dalam
konteks ini adalah Allah di satu pihak dan Muhammad yang manusiawi di pihak lain.
164
Menurut penelitian C.H.M. Versteegh, semenjak paruh awal abad kedua hijriah, para
ilmuwan bahasa Arab mempergunakan kata ―kalâm‖, ―qaul‖, ―kalimah‖, dan yang senada sebagai
istilah-istilah teknis dalam disiplin bahasa dan sastra Arab. Menurut pengertian teori bahasa Arab
tersebut, kata ―kalâm‖ diartikan sebagai ungkapan yang memiliki fungsi, atau dengan kata lain, frase
yang memiliki fungsi tertentu. Lihat, C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar and Qur‟anic Exgesis in
Early Islam, (Leiden: 1993), h. 99-104.
165
Selain dalam kedua ayat tersebut, kasus serupa juga terdapat dalam dan Q.S. al-Fatẖ (48):
15. Lihat Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm, h.
620.
166
Al-Zamakhsyarî mengartikan frase ―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Taubah (9): 6 dengan alQur‘an. Lihat Abû al-Qâsim Maẖmûd ibn ʻUmar ibn Aẖmad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ʻan Haqâ‟iq
Ghawâmidh al-Tanzîl wa ʻUyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‟wîl, Jilid III, (Riyad: Maktabah al-ʻAbîkân,
1998), h. 14-15.
167
Muẖammad ibn Yûsuf al-Syahîd bi Abî Hayyân al-Andalusî dalam menafsirkan frase
―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Baqarah (2): 75, terlebih dahulu ia memberikan definisi ―kalâm‖.
Menurutnya, ―kalâm‖ adalah ungkapan yang memberikan petunjuk akan adanya relasi terhadap
sesuatu yang dimaui atau dimaksud oleh si pengujar (al-kalâm huwa al-qaul al-dâll ʻalâ nisbah
isnâdîyah maqshûdah li dzâtihâ). Kemudian ia menegaskan bahwa kata ini berarti wahyu Tuhan yang
diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Lihat Abû Hayyân alAndalusî, Tafsîr al-Baẖr al-Muhîth, Juz I, (Beirut: dâr al-Kutub al-ʻIlmîyah, 2001), h. 435-439.
66
Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, komunikasi antara Tuhan dan manusia ini
memang mengalami masalah, karena keduanya berada dalam taraf ―eksistensi‘ yang
berbeda. Tuhan berada dalam taraf ―eksistensi‖ supra-natural, sementara manusia
berada dalam taraf ―eksistensi‖ natural, sehingga tidak ada keseimbangan ontologis
antara keduanya. 168 Problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem
bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai Dzat yang ghaib atau
supra-natural tentunya menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau non-natural,
sebaliknya manusia sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa alamiah
atau sistem bahasa natural.
Dalam pandangan Toshihiko Izutsu, problem tersebut dapat diatasi dengan
adanya perantara yang menjembatani kesenjangan komunikasi antara Tuhan dan
manusia tersebut. Ia menegaskan bahwa wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik
supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan tiga individu. Kondisi ini
juga berlaku dalam pewahyuan al-Qur‘an. Dengan kata lain, dalam kesadaran
kenabian yang dimiliki Muhammad, selalu ada seseorang, suatu makhluk misterius
antara Tuhan dan dirinya yang membawa kata-kata Tuhan ke dalam hatinya.
Makhluk ghaib tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain adalah
Malaikat Jibril, yang pada periode Mekah disebut sebagai rûh al-quds (roh suci) dan
rûh al-amîn (roh yang dapat dipercaya).169 Hal inilah yang secara membuat wahyu
secara struktural berbeda, bukan saja dengan perkataan manusia pada umumnya, tapi
juga dengan tipe inspirasi verbal lainnya yang bersumber dari jinn.170
Toshihiko Izutsu memperkuat penjelasannya dengan mengutip ayat al-Qur‘an
yang menjelaskan tentang cara pengiriman wahyu.171 Berdasarkan ayat tersebut,
diketahui ada tiga cara Tuhan berkomunikasi secara verbal kepada manusia, yaitu:
pertama, komunikasi misterius; kedua, berbicara dari balik tabir; dan ketiga, melalui
168
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 180.
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191-192.
170
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189.
171
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189.
169
67
pengiriman seorang utusan.172 Tipe pertama, menurut Toshihiko Izutsu masih gelap,
karena tidak dijelaskan oleh ayat tersebut. Ia menduga kata wahy adalah semacam
komunikasi langsung yang merupakan komunikasi khusus dari Allah yang diberikan
kepada Musa sebagai pengecualian dari Nabi-nabi yang lain.173 Dalam bagian yang
lain ia mengatakan, dari semua Nabi yang disebutkan dalam al-Qur‘an, Musa
menempati posisi yang istimewa. Keistimewaannya ditandai oleh Tuhan ―berbicara‖
secara langsung dengannya.174 Tipe kedua, yang menggunakan ungkapan ―dari balik
tabir‖, menegaskan bahwa komunikasi verbal benar-benar telah terjadi dalam
keadaan pendengar tidak melihat sama sekali si pembicara. Dalam kasus ini,
meskipun tidak melihat siapa-siapa, Muhammad memiliki kesadaran yang jelas
bahwa di suatu tempat di dekatnya ada makhluk ghaib yang berbicara kepadanya
dengan cara yang tidak biasa.175 Untuk menguatkan argumennya, Toshihiko Izutsu
mengutip sebuah hadis yang berasal dari ‗Âisyah yang menceritakan bahwa pada
suatu kesempatan al-Hârits ibn Hisyâm bertanya kepada Muhammad tentang cara
wahy datang. Lalu Muhammad menjelaskan bahwa wahy kadang kala datang seperti
suara gemerincing lonceng (mitsla shalshalah al-jaras).176 Tipe yang ketiga adalah
komunikasi verbal melalui utusan khusus. Dalam kasus ini Muhammad, seperti
ditegaskan oleh separuh lanjutan hadis ‗Âisyah,177 tidak hanya mendengar kata-kata
yang diucapkan, tetapi juga melihat pembicara.
Fakta yang sangat penting yang tidak boleh diabaikan, menurut Toshihiko
Izutsu, adalah penggunaan kata kerja ―wa„a”. Dalam bagian pertama muncul dalam
bentuk perfektif (wa„aitu ―aku telah mengetahui‖). Ungkapan ini mengandung makna
172
Q.S. al-Syûrâ (42): 51-52.
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190.
174
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 174-175.
175
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190.
176
Lebih lanjut dalam hadis tersebut Muhammad menjelaskan bahwa cara ini merupakan cara
yang paling berat. Lihat Abî ‗Abd Allah Muẖammad ibn Ismâ‗îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah ibn
Bardizabah al-Bukhârî al-Ja‗fî, Saẖîẖ al-Bukhârî, Juz I, (Semarang: Penerbit Toha Putra, t.th.), h. 2-3.
177
Lihat Abî ‗Abd Allah Muẖammad ibn Ismâ‗îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah ibn Bardizabah
al-Bukhârî al-Ja‗fî, Saẖîẖ al-Bukhârî, Juz I, h. 3.
173
68
bahwa pada saat makhluk ghaib tersebut berbicara, Muhammad tidak memiliki
kesadaran untuk mengerti apa yang dibicarakan. Semua yang beliau dengar
merupakan suatu misteri. Namun ketika momen tersebut berakhir dan beliau telah
kembali kepada kesadaran manusia normal, beliau menyadari bahwa suara tersebut
berubah menjadi kata-kata yang jelas maknanya. Sementara pada bagian kedua, kata
tersebut muncul dalam bentuk imperfektif (a„i). Hal ini menunjukan dengan jelas
bahwa dalam kasus kedua tersebut Muhammad mendengar kata-kata yang benarbenar diucapkan.178 Berdasarkan hal tersebut, Toshihiko Izutsu menyimpulkan bahwa
Muhammad bukan saja seorang Nabi yang bertipe auditory tetapi juga bertipe
visual.179 Hal ini berbeda dengan Tor Andrae. Setelah menganalisis wahyu yang
diterima para Nabi yang menurutnya memiliki dua tipe, yaitu: Pertama, wahyu yang
diterima melalui pendengaran (auditory). Dalam bentuk ini, wahyu seperti suara yang
berbicara ke telinga ataupun hati seorang nabi. Kedua, wahyu yang diterima melalui
penglihatan (visual). Menurut penjelasan ini, wahyu diterima dengan pandangan dan
gambaran yang jelas sekali, tetapi biasanya samar-samar. Selanjutnya, Tor Andrae
berpendapat, bahwa bentuk wahyu yang diterima oleh Muhammad adalah tipe yang
pertama, di mana Jibril secara langsung mendiktekan kepada Muhammad wahyuwahyu Tuhan yang menyatakan bahwa wahyu yang diterima Muhammad, didiktekan
oleh suatu suara yang diatributkan kepada Malaikat Jibril. Dalam keadaan demikian,
Muhammad tidak melihat sosok yang menditekan wahyu tersebut. Kesimpulannya,
Tor Andrae memandang Muhammad sebagai Nabi yang hanya bertipe auditory.180
Teori wahyu sebagai komunikasi verbal dan adanya ―perantara‖ dalam
pewahyuan al-Qur‘an sebagaimana yang dikemukakan Toshihiko Izutsu disanggah
oleh Fazlur Rahman. Tegasnya, Fazlur Rahman menolak bahwa wahyu datang
178
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 190-191.
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191.
180
Sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI
Press, 1986), Cet. II, h. 22. Juga Dadan Rusmana, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat,
(Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 179.
179
69
melalui telinga Nabi Muhammad dan melalui proses eksternal. Proses pewahyuan,
menurutnya, bukan merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian
inspirasi ke dalam hati Nabi Muhammad.181 Ia juga menolak malaikat Jibril sebagai
perantara dalam proses pewahyuan. Penggambaran seperti ini biasanya disimbolkan
sebagai proses mekanis perekaman suara. Tentang kehadiran figur malaikat Jibril
sebagai agen eksternal, Fazlur Rahman secara tegas dan sejak dini menolaknya.
―Sekalipun ada kisah yang menceritakan kehadirannya,‖ ia menyebutnya, ―Sebagai
kisah-kisah yang diadakan di kemudian hari‖ (must be regarded as later fictions).182
Penolakan Fazlur Rahman ini didasarkan atas al-Qur‘ân yang tidak
menyebutkan malaikat apapun yang diutus untuk menyampaikan wahyu, kecuali kata
yang sering disebut adalah rûh dan rûh al-amîn.183 Kesangsian Fazlur Rahman
terhadap malaikat Jibrîl ini, bisa jadi disebabkan karena adanya pertentangan dengan
ayat-ayat lainnya yang justru lebih banyak menyebutkan bahwa wahyu disampaikan
langsung oleh Tuhan kepada para nabi melalui ruh-Nya.
Memang banyak penafsir al-Qur‘an yang menganalogkan ruh tersebut sebagai
Malaikat (Jibril). Malaikat sering didefinisikan sebagai makhluk spiritual yang
181
Sebagaimana Toshihiko Izutsu, Fazlur Rahman dalam menjelaskan pendapatnya juga
bersandarkan kepada Q.S. al-Syûrâ (42): 51-52. Namun ia memahaminya sebagai ―God speak to no
human (i.e. through “sound words”) exept through wahy (i.e. through “idea-words” inspiration), or
from behind the veil, or He may send a messenger (an angel) who speak through wahy … even thus
have We inspired you with a spirit of Our command.‖ Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: Chicago
University Press, 1979), h. 30-31.
182
Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‘an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1996), Cet. II, h. 141. Dalam konteks ini tidak ada penjelasan dari Fazlur Rahman mengenai
kedudukan hadits-hadits, termasuk di dalamnya hadits qudsi, yang menjelaskan kehadiran Jibril,
apakah benar-benar ia menolaknya atau tidak. Pandangan Rahman di atas didasarkan keterangan yang
menyebutkan bahwa orang-orang Mekkah berulang kali mendesak agar diturunkan kepada
Muhammad. Al-Qur‘ân berulang kali pula menyangkal desakan-desakan tersebut. Keterangan tersebut
antara lain disebutkan dalam al-Qur‘ân, antara lain Q.S. al-Syu‗arâ (26): 193, al-Baqarah (2): 97, alSyûrâ (42): 24, al-Hijr (15): 81, dan lain sebagainya. Keterangan dari ayat-ayat tersebutlah yang
menjadi dasar argumen Rahman tentang penolakan Jibril sebagai figur penyampai wahyu.
183
Bahkan dalam cerita-cerita Nabi-nabi yang lain, Mûsa, Nûh dan Ibrâhîm, Tuhan seperti
berbicara langsung kepada mereka. Atau dalam istilah yang cukup populer disebutkan al-Qur‘ân, ―Dia
mengirimkan Ruh dari perintah-Nya kepada yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya (Q.S.
al-Mu‘min (40): 15). Beberapa Nabi memang mendapat manfaat dari kehadiran Ruh Tuhan ini, yang
kepadanya mereka disampaikan wahyu. Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‘an, h. 139.
70
mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Sekalipun kemudian berkembang
doktrin teologis tentang pembagian tugas malaikat, itu terjadi di kemudian hari.
Fazlur Rahman tidak menolak kalau Ruh Suci yang biasa menjumpai para Nabi
ketika menyampaikan wahyu adalah Malaikat. Bisa jadi Ruh Suci itu adalah malaikat
yang paling mulia dan paling dekat dengan Tuhan (It is probably that the Spirit is the
highest form of the angelic nature and the closest to God).184 Namun penolakan
Fazlur Rahman terhadap simbol-simbol atau figur-figur tersebut, harus dianggap
sebagai kekhawatirannya yang justru akan mengaburkan Tuhan sebagai Sang
Penyampai wahyu kepada para nabi-Nya. Selain itu, ia juga menolak reiifikasi
material (personal) terhadap simbol-simbol spiritual sekedar untuk memberikan
wadah bagi rûh yang menyampaikan wahyu.185
Patut dicatat, bahwa munculnya figur-figur eksternal penyampai wahyu (di
luar Tuhan dan Muhammad) terjadi di belakang hari. Hal ini merupakan upaya untuk
menjembatani kedudukan manusia yang menyejarah dengan Tuhan yang transenden.
Karenanya dibutuhkan figur tertentu untuk menjembatani rentang ruang tersebut.
Figur tersebut muncul, khususnya Jibrîl, diangkat dari sebuah hadis Nabi yang
berjumpa dan berdialog dengannya. Pada satu sisi otentisitas hadits tersebut patut
dipertanyakan. Namun di sisi lainnya merupakan keniscayaan historis, di mana umat
Islam tengah berupaya membersihkan pengaruh tradisi Judea-Kristiani terhadap
eksistensi wahyu. Dalam tradisi Kristen, wahyu (logos) identik dengan tubuh
Kristus.186 Wahyu (firman Tuhan) identik dengan dirinya, karena wahyu telah meLogos dalam dirinya, hingga tidak ada pemisahan antara perkataannya dengan Kalam
Tuhan itu sendiri. Islam menolak keidentikkan antara Muhammad dengan wahyu
Tuhan. Seluruh perkataan atau tindakan aktual yang dilahirkan olehnya dianggap oleh
umat Islam sebagai sunnah (tradisi). Sekalipun seluruh prilaku tersebut mendapat
184
Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‘an, h. 140.
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The Chicago University Press, 1979), h. 1
186
Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 88.
185
71
sinaran dari wahyu Tuhan, bagaimanapun keduanya tetap tidak identik. Dan tidak
dapat dikatakan bahwa Muhammad adalah Logos Tuhan yang menyejarah,
sebagaimana yang dipahami dalam doktrin Kristen.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat Toshihiko
Izutsu terhadap proses pewahyuan sejalan dengan mayoritas umat Muslim yang
menyatakan bahwa wahyu diturunkan Tuhan melalui perantara Malaikat Jibril. Hal
ini memang didukung oleh adanya keterangan (hadîts) yang menyatakan bahwa
Muhammad berjumpa dengan Jibrîl dan bercakap-cakap. Bahkan ia pernah
memperlihatkan wujud aslinya kepada Muhammad.
2. Bahasa al-Qur‘an
Wahyu Tuhan termanifestasi dalam langue (lisân/bahasa), dan bahasa yang
dipilih oleh Allah adalah bahasa Arab.187 Pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa alQur‘an bukan karena superioritas bahasa ini dibanding bahasa-bahasa lain
sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Jalâl al-Dîn al-Suyuthî,188 tetapi lebih
merupakan teknis penyampaian pesan. Penggunaan bahasa Arab untuk al-Qur‘an
adalah wujud khusus dari ketentuan umum bahwa Allah tidak mengutus seorang rasul
pun kecuali dalam bahasa kaumnya,189 yaitu masyarakat Arab yang menjadi audience
langsung seruan rasul itu dalam menjalankan misi sucinya. Dalam hal ini Muhammad
merupakan seorang rasul yang diutus kepada masyarakat Arab sebagai audience
187
Karena al-Qur‘an menggunakan bahasa Arab, dalam kalangan masyarakat Muslim timbul
pandangan tentang adanya semacam ―kesejajaran‖ antara Islam dan Arab. Pandangan seperti ini dapat
dilihat, misalnya, pada Abû Manshûr al-Tsa‗labî dalam mukaddimah bukunya ―Fiqh al-Lughah al„Arabiyah,‖ mengatakan bahwa: ―Barang siapa mencintai Allah, dia harus mencintai rasul-Nya,
Muhammad. Dan barang siapa mencintai rasul-Nya yang dari Arab itu, dia harus mencintai bangsa
Arab. Barang siapa mencintai bangsa Arab, dia harus mencintai bahasa Arab. … Berupaya
memahaminya adalah termasuk kewajiban agama, sebab bahasa Arab adalah merupakan alat dari ilmu
pengetahuan dan kunci mendalami agama ….‖ Sebagaimana dikutip oleh Utsman Amîn, Falsafah alLughah, (Mesir: Dâr al-Mishriyah li al-Ta‗lîf wa al-Tarjamah, 1965), h. 22.
188
Jalâl al-Dîn ‗Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî, al-Muzhhir fî „Ulûm al-Lughah wa
Anwâ„ihâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), h. 322. Salah satu keistimewaan bahasa Arab, menurutnya,
adalah bahasa sorga. Pandangannya ini didasarkan pada hadis yang menyatakan bahwa bahasa yang
dipakai oleh Adam untuk berkomunikasi ketika di sorga. Lihat Jalâl al-Dîn ‗Abd al-Rahmân ibn Abî
Bakr al-Suyûthî, al-Muzhhir fî „Ulûm al-Lughah wa Anwâ„ihâ, h. 30-31.
189
Lihat Q.S. Ibrâhîm (14): 4.
72
langsung, maka al-Qur‘an ―turun‖ menggunakan bahasa Arab. Ia mendasarkan
pandangannya atas Q.S. Ibrâhîm (14): 4, Q.S. Yûsuf (22): 2, Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26):
193-194, Q.S. Fushilat (41): 44, dan Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26): 198-199.190
Di sini timbul pertanyaan, siapa yang membahasaarabkan al-Qur‘an. Di
kalangan sebagian sarjana Muslim klasik setidaknya terdapat tiga pandangan yang
berkembang, yaitu: pertama, al-Qur‘an disampaikan dengan lafadz dan makna.
Mekanismenya adalah Jibril menghafalkan al-Qur‘an dari lauẖ al-maẖfûdz dan
membawanya ke bumi; kedua, Jibril hanya menyampaikan maknanya secara khusus,
lalu Nabi mempelajari dan mengartikulasikannya dengan bahasa Arab. Pendapat ini
merujuk kepada literal Q.S. al-Syu‗arâ‘ (26): 193-194; ―nazala bi hi al-rûẖ al-amîn
„alâ qalbika‖; ketiga, bahwa Jibril menyampaikan makna kepada Nabi dan
mengartikulasikannya ke dalam bahasa Arab. Jibril menyampaikannya dengan bahasa
Arab sebagaimana makhluk yang ada di langit membacanya.191 Pendapat pertama
dapat diartikan bahwa Tuhan mengirimkan pesan kepada Nabi Muhammad dengan
bahasa Arab. Sedang menurut pendapat kedua dan ketiga komunikasi Tuhan tidak
menggunakan sarana bahasa manusia, tetapi dengan bahasa langit yang tidak dapat
diidentifikasi oleh manusia. Adapun Toshihiko Izutsu, dengan mengaitkan
pendapatnya tentang proses pewahyuan di atas, dapat dipahami bahwa Tuhan
sendirilah yang membahasaarabkan al-Qur‘an. Pandangannya yang menyatakan
bahwa al-Qur‘an diturunkan dalam bahasa Arab lagi-lagi menegaskan bahwa ia sama
sekali tidak mempersoalkan otenstisitas kitab suci ini, sementara bagi sarjana lain hal
ini menjadi isu yang menarik, baik untuk menunjukkan transendensi al-Qur‘an
maupun untuk menunjukkan hal sebaliknya bahwa ia hanya jiplakan dari kitab suci
sebelumnya.
190
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 199-201.
Lihat Badr al-Dîn Muẖammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî,, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân,
taẖqîq: Muẖammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm, Juz I, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, t.th.), (Kairo:
Maktabah Dâr al-Turâts, t.th.), h. 229; Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân
fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.), h. 44-45.
191
73
Sarjana yang menyatakan bahwa bahasa al-Qur‘an bukan bahasa Arab dengan
tujuan untuk menunjukkan transendensi al-Qur‘an adalah Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân
ibn Sulaimân al-Rûmî. Untuk menguatkan pendapatnya tersebut, ia mengemukakan
beberapa contoh mukjizat yang diturunkan kepada utusan-utusan Tuhan sebelum
Nabi Muhammad. Nabi Isa, misalnya, yang diberi mukjizat dapat menyembuhkan
orang yang sedang sekarat bahkan menghidupkan kembali orang yang sudah mati.
Mukjizat ini meskipun ada kemiripan dengan ilmu kedokteran, namun tidak bisa
dikategorikan sebagai ilmu kedokteran. Dalam konteks al-Qur‘an, gaya bahasa
(uslûb)-nya yang tidak dapat ditandingi oleh sastra gubahan penyair-penyair Arab,
walau pun dapat dipahami oleh orang-orang Arab, menunjukkan bahwa bahasa alQur‘an berbeda dengan bahasa Arab.192
Sarjana-sarjana yang menyatakan bahasa al-Qur‘an sebagian bukan asli Arab
untuk menunjukkan bahwa al-Qur‘an tidak lain adalah jiplakan dari kitab-kitab
sebelumnya, di antaranya, adalah Abraham Geiger (1810-1874), Arthur Jeffery
(1893-1959), dan Christoph Luxenberg (nama samaran). Bukti-bukti bahwa bahasa
al-Qur‘an tidak otentik bahasa Arab, menurut Abraham Geiger adalah adanya empat
belas kosakata al-Qur‘an yang berasal dari bahasa Ibrani atau tradisi Yahudi. Kempat
belas kosakata tersebut adalah tâbût, taurâh, jannât „adn, jahannam, aẖbâr, darasa,
rabbânî, sabt, sakînah, thâghût, furqân, mâ„ûn, matsânî, dan malakût.193 Sementara
Arthur Jeffery menghimpun 317 kosakata yang diyakininya bukan asli bahasa
Arab.194 Menurutnya, keberadaan kosakata serapan tersebut meniscayakan bahwa
Muhammad selaku pengemban risalah al-Qur‘an banyak mempelajari fenomena
budaya dari bahasa asal kosakata tersebut.195 Untuk mengukuhkan pandangannya
tersebut, ia juga mengandalkan riwayat tentang ketidaktahuan ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs
192
Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rûmî, Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm, h. 13.
Lihat Abraham Geiger, ―What did Muhamamd Borrow from Judaism?‖ dalam Ibn Warraq
(ed.), The Origin of the Koran, (New York: Prometheus Books, 1998), h. 166-172.
194
Lihat Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, (Leiden-Boston: Brill, 2007),
h. 43-296.
195
Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 2.
193
74
– sahabat Nabi yang paling alim yang digelari tarjumân al-Qur‟ân – mengenai makna
kosakata tertentu dalam beberapa ayat al-Qur‘an, seperti makna kata fâthir (
)
yang terulang sebanyak enam kali dalam al-Qur‘an. ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs baru
memahami makna kata tersebut setelah secara tidak sengaja mendengar perkataan
salah seorang dari dua orang Arab yang sedang memperebutkan sebidang tanah.
Kalimat yang diucapkan oleh salah seorang tersebut adalah ana fathartuhâ (
).196 Ketidaktahuan seperti ini, menurut Arthur Jeffery, menjadi bukti bahwa kosakata
tersebut sebenarnya bukan asli dari bahasa Arab. Selain itu, Arthur Jeffery juga
menyatakan bahwa kosakata yang terkait dengan aksesori, seperti istabraq (
sundus (
), zanjabîl (
), misk (
), surâdiq (
),
), dan abâriq (
), tidak mungkin dikenal oleh masyarakat Arab yang pada ketika itu
kehidupannya masih diselimuti kejahiliahan.197 Dengan mengutip Jalâl al-Dîn alSuyûthî,198 ia mengklasifikasi sebelas bahasa asal kosakata serapan al-Qur‘an, yaitu:
Ethiopia, Persia, Romawi, India, Syria, Ibrani, Nabathean, Koptik, Turki, Negro, dan
Barbar.199 Dari bahasa-bahasa inilah bahasa Arab mengambil banyak kosakata yang
terkait dengan keagamaan ataupun kebudayaan. Kemudian ia menguraikan kesebelas
bahasa tersebut satu persatu untuk membuktikan kedekatan hubungannya dengan
bahasa Arab disertai sejumlah contoh kosakata. Arthur Jeffery menyimpulkan bahwa
adanya kosakata serapan tersebut dalam al-Qur‘an menunjukkan adanya pengaruh
luar, terutama dari ajaran Yahudi dan Nasrani terhadap al-Qur‘an.200 Christoph
Luxemberg, orientalis berkebangsaan Jerman asal Lebanon yang bernama asli
Ephraem Malki, melalui bukunya Die Syrio-Aramäische Lesart des Koran: eine
Entschüsselung der Koransprache, menyimpulkan bahwa bahasa al-Qur‘an
sebenarnya bukan bahasa Arab, tetapi bahasa Aramaik dengan dialek Syria (Syrio196
Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 7.
Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 11.
198
Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm alQur‟ân, Juz I, h.138-141.
199
Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 12.
200
Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟an, h. 43.
197
75
Aramaic). Oleh karena itu, banyak kosakata dan ungkapan yang semula sering dibaca
keliru atau sulit dipahami dapat diatasi dengan merujuk kepada bahasa Syrio-Aramaic
yang diyakininya menjadi lingua franca pada saat itu. Ia juga berkesimpulan bahwa
ajaran al-Qur‘an banyak mengambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen
Syria.201
Di kalangan sarjana Muslim sendiri masalah kemurnian bahasa Arab alQur‘an ini juga sempat menjadi polemik; apakah ia berbahasa Arab secara murni atau
ada unsur-unsur bahasa lain di dalamnya. Polemik seputar masalah ini melahirkan
dua kelompok mainstream. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa semua
kosakata yang ada dalam al-Qur‘an adalah bahasa Arab. Kedua, kelompok yang
berpendapat bahwa sebagian kosakata al-Qur‘an merupakan kosakata bahasa asing.
Sarjana-sarjana Muslim yang dapat dikategorikan termasuk dalam kelompok
pertama adalah Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‗î (w. 204/820), Abû ‗Ubaidah (w.
209/825), Muẖammad ibn Jarîr al-Thabarî (w. 310/923), Abû al-Husain ibn Fâris alLughawî (w. 395/1004), dan Abû Bakr ibn al-Thayyib al-Bâqillânî (w. 403/1012).202
Mereka mendasarkan argumentasinya pada ayat-ayat al-Qur‘an yang menyebutkan
bahwa al-Qur‘an diturunkan dengan bahasa Arab.203 Mereka menuduh orang-orang
yang berpendapat bahwa di dalam al-Qur‘an terdapat kosakata tertentu bukan bahasa
Arab sebagai tindakan tergesa-gesa, karena ketidaktahuan terhadap kosakata tersebut
lalu mengatakan sebagai bukan bahasa Arab, padahal sesungguhnya ia bahasa Arab.
Adalah sebuah kewajaran jika kosakata tertentu dituturkan oleh beberapa orang dari
penutur bahasa yang berbeda.204 Sementara itu, mereka yang berargumen bahwa di
201
Dikutip dari Syamsuddin Arif, ―Al-Qur‘an, Orientalisme, dan Luxemberg,‖ dalam Jurnal
Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005, h. 19.
202
Badr al-Dîn Muẖammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân, Juz I,
h. 287; Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân,
Juz I, h. 136.
203
Lihat Q.S. Yûsuf (12): 2; al-Ra‗d (13): 37; al-Naẖl (16): 103; Thâhâ (20): 113; al-Syu‗arâ
(26): 195; al-Zumar (39): 28; Fushshilat (41): 3 dan 44; al-Syûrâ (42): 3; al-Zukhruf (43): 3; dan alAẖqâf (46): 12.
204
Aẖmad Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfiʻî, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Muẖammad
ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir (ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979), h. 42.
76
dalam al-Qur‘an terdapat kosakata asing yang menjadikan al-Qur‘an tidak murni
berbahasa Arab adalah ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs (w. 68 H.), ‗Ikrimah (w. 105 H.), dan
lain-lain.205 ‗Abd Allah ibn ‗Abbâs, ketika ditanya tentang Q.S. al-Muddatstsir (74):
51 (
), menjelaskan bahwa kata qaswarah adalah bahasa Ethiopia,
yang padanannya dalam bahasa Arab adalah al-asad, dalam bahasa Persia disebut
syîr, dan dalam bahasa Nabathean disebut awiyâ.206
Di sisi lain, dalam tradisi kesarjanaan Muslim, kosakata asing dalam alQur‘an diistilahkan dengan al-gharîb atau gharîb al-Qur‟ân. Istilah ini mejadi bidang
kajian tersendiri dalam disiplin ilmu tafsir yang menafsirkan kosakata yang samar
dalam al-Qur‘an. Pembahasan tentang gharîb al-Qur‟ân didasarkan atas ẖadîst Nabi
saw, disamping fakta bahwa kaum Muslim generasi awal juga tidak mengetahui
makna beberapa kata dalam al-Qur‘an.207
Polemik sekitar kearaban al-Qur‘an ini di kalangan sarjana Muslim hanya
membawa implikasi terhadap boleh tidaknya salat menggunakan bahasa selain Arab.
Dengan kata lain, tidak sampai pada pendapat bahwa al-Qur‘an berasal dari kitabkitab lain. Imam al-Syâfi‗î tidak membolehkan salat dengan menggunakan bahasa
selain Arab, sementara Imam Abû Hanîfah memperbolehkannya dengan beberapa
alasan, di antaranya adalah riwayat ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd yang pernah membimbing
bacaan al-Qur‘an seorang non Arab („ajam). Ketika sampai pada bacaan
pada
[Q.S. al-Dukhân (44): 43-44] orang tersebut
membacanya dengan
, lalu oleh ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd diarahkan untuk
membacanya dengan
. Kemudian ‗Abd Allah ibn Mas‗ûd mengatakan
bahwa bukan merupakan suatu kesalahan jika seseorang mengganti kata
205
dengan
Lihat Badr al-Dîn Muẖammad ibn ʻAbd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân,
Juz I, h. 288.
206
‗Imâd al-Dîn Abî al-Fidâ‘ Ismâ‗îl ibn Katsîr al-Damsyîqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm, Jilid
XIV, Taẖqîq: Mushthafâ al-Sayid Muẖammad, et. al., (Kairo: Muassasah al-Qurthubah, 2000), h, 190.
207
Lihat Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi al-Suyûthî, al-Itqân fî ʻUlûm alQur‟ân, Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.), h. 115-133.
77
, namun yang dimaksud dengan kesalahan adalah jika ayat yang bermakna azab
diganti maknanya dengan kasih sayang.208
Pandangan Toshihiko Izutsu di atas sejalan dengan pandangan sarjana-sarjana
Muslim secara umum, sebagaimana direkam oleh Jalâl al-Dîn al-Suyûthi dalam alItqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân.209 Pandangan tersebut mendapat legitimasi dari ayat-ayat
al-Qur‘an. Dalam banyak tempat, al-Qur'an sendiri secara tegas mengatakan bahwa
dirinya sebagai ʻarabîy. Hal ini terekam dalam setidaknya ada dalam enam ayat, salah
satunya adalah Q.S. Thâhâ (20): 30, ―Kami menurunkan al-Qur‟an dalam bahasa
Arab agar kamu memahaminya.‖210 Adalah hal yang aneh jika al-Qur‘an tidak
memakai bahasa Arab, karena Nabi Muhammad adalah orang yang lahir, hidup, dan
besar dalam kultur dan budaya sosial masyarakat Arab yang bahasa Arab menjadi alat
komunikasinya.
3. Tekstualitas al-Qur‘an
Teks dapat dipahami sebagai fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa
wacana lisan dalam bentuk tulisan.211 Toshihiko Izutsu memang tidak menyatakan
secara eksplisit bahwa al-Qur‘an yang ada sekarang atau yang tertulis di antara dua
sampul sebagai teks, tetapi dari pernyataannya di atas bahwa al-Qur‘an adalah sebuah
karya asli Arab dan pendekatan yang digunakannya dalam mengkaji Kitab Suci ini,
maka dapat disimpulkan bahwa ia memperlakukan al-Qur‘an sebagai teks.
Bagi kalangan tertentu dalam Islam, menggunakan istilah ―nashsh‖ untuk
menyebut al-Qur‘an akan dianggap aneh, meskipun bagi orang yang hidup di luar
tradisi Islam, pernyataan di atas justru biasa-biasa saja dan tidak ada yang istimewa.
Bagi mayoritas umat Islam, pernyataan tersebut bertentangan dengan keyakinan yang
208
Ibn Qudamah, al-Mughnî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyah, t.th.), Cet. I, h. 527.
Lihat Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân,
Juz I, h. 127.
210
Ayat-ayat yang lain lihat Q.S. Yûsuf (12): 2; Q.S. al-Zumar (39): 28; Q.S. Fushilat (41): 3;
Q.S. al-Syûra (42): 7; dan Q.S. al-Zukhruf (43): 3.
211
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, h. 131.
209
78
selama ini dipegang yaitu bahwa al-Qur‘an adalah firman Tuhan (verbum Dei),212
bukan kreasi Jibril atau Nabi Muhammad, apalagi para Sahabat. Meskipun dalam
proses penyampaiannya kepada Nabi Muhammad, Allah melibatkan Jibril sebagai
perantara,213 namun Jibril adalah jenis makhluk yang memang dirancang Tuhan
untuk mematuhi semua perintah-Nya. Ia tidak diberi kemampuan untuk menolak dan
berpikir. Sehingga merupakan suatu kemustahilan baginya memberikan interpretasi
atas kalam Tuhan, apalagi melakukan penyimpangan dalam tugasnya. Dengan
demikian kalam Allah tersebut sampai kepada Nabi Muhammad secara verbatim.
Dengan kata lain, tidak ada dimensi profan dalam al-Qur‘an, karena seluruh
rangkaian huruf dan maknanya bersifat transenden.214
Untuk memahami teorisasi al-Qur‘an sebagai teks, perlu dielaborasi
pandangan Nashr Hâmid Abû Zaid yang merupakan sarjana Muslim yang secara
tegas menyatakan bahwa al-Qur‘an adalah teks bahasa (nashsh lughawî),215
sebagaimana teks-teks yang lain yang disusun oleh manusia.216 Menurut Nashr
Hâmid Abû Zaid bahwa penyebutan al-Qur‘an sebagai teks berkaitan dengan tiga hal:
Pertama, kata ―wahy‖ dalam al-Qur‘an secara semantik setara dengan perkataan
Allah (kalâm Allah) dan al-Qur‘an sebagai sebagai sebuah pesan (al-risâlah). Sebagai
212
Definisi-definisi al-Qur‘an secara umum menggambarkan hal ini. Di antaranya adalah
definisi yang diberikan oleh Muẖammad ʻAlî al-Shâbunî, al-Tibyân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Beirut: ʻÂlam
al-Kutûb, 1985), h. 8.
213
Mengenai proses umum penyampaian kalam Tuhan kepada para Nabi-Nya dijelaskan
dalam Q.S. al-Syûrâ: 51, yaitu dengan cara: 1) pemberitahuan secara langsung ke dalam hati Nabi; 2)
pemberitahuan dari balik tabir; dan 3) melalui perantaraan Jibril. Hal ini didiskusikan lebih lanjut oleh
Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi dalam al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, h. 45-46..
214
Keyakinan tersebut mendapatkan pembenaran dari al-Qur‘an. Lihat Q.S. al-Anʻam (6):
114; Hûd (11): 1; dan Fushshilat (41): 1-2.
215
Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, h. 27-28.
216
Lagi-lagi harus ditegaskan bahwa hal ini secara serta merta menjadikan orang yang
berpendapat demikian menafikan asal-usul al-Qur‘an yang bersumber dari Allah. Nashr Hâmid Abû
Zaid menegskan hal tersebut dengan mengatakan, “… anna al-nushûsh al-dinîyah nushûsh lughawîyah
sya‟nuhâ sya‟n ayyah nushûsh ukhrâ fî al-tsaqâfah ….” Nashr Hâmid Abû Zaid, Naqd Khitâb al-Dînî,
(Kairo: Sînâ li al-Nahsr, 1992), h. 197. Pernyataan tersebut muncul karena kalam Allah kemudian
mewujud dalam bahasa manusia, supaya dapat dipahami oleh manusia yang menjadi sasaran kalam itu.
Nashr Hâmid Abû Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections On Islam, (London:
Westport, Connectitut, 2004), h. 97.
79
perkataan dan pesan, al-Qur‘an meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai sebuah
―teks‖. Kedua, urutan tekstual surat dan ayat dalam teks al-Qur‘an tidak sama dengan
urutan kronologis pewahyuan. Urutan kronologis pewahyuan (tanjîm) al-Qur‘an
merefleksikan historisitas teks, sementara struktur dan urutan yang sekarang
merefleksikan tekstualitasnya. Ketiga, al-Qur‘an terdiri dari ayat-ayat yang sangat
jelas (âyât muẖkamât) yang merupakan induk (backbone) teks dan ayat-ayat yang
masih samar (âyât mutasyâbihât) yang harus dipahami berdasarkan ayat-ayat
muẖkamât. Keberadaan dua macam ayat ini merangsang pembaca bukan hanya untuk
mengidentifikasi ayat-ayat mutasyâbihât, namun juga membuatnya menentukan
bahwa ayat-ayat muẖkamât adalah kunci untuk melakukan penjelasan dan klarifikasi
terhadap ayat-ayat mutasyâbihât.217
Argumen lain yang dapat dikemukakan untuk menunjukkan sifat teks alQur‘an adalah dengan menganalisis kata-kata yang merujuk kepada al-Qur‘an, seperti
―qur‟ân”, ―kalâm‖, ―lisân‖, dan ―kitâb‖. Kata ―qur‟ân” dalam al-Qur‘an, menurut
Muẖammad Muẖammad Abû Lailah, disebut sebanyak enam puluh delapan kali:
lima puluh kali dengan menggunakan artikel (al-qur‟ân), dan delapan belas kali tidak
menggunakan artikel. Kemudian dari total enam puluh delapan kali tersebut, tiga
puluh delapan kali terdapat dalam surat-surat Makkiyah dan sisanya, tiga puluh kali,
terdapat dalam surat-surat Madaniyah.218 Namun, berdasarkan penelusuran terhadap
al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm, penulis menemukan bahwa
kata ―qur‟ân” disebut sebanyak tujuh puluh kali: lima puluh satu kali dengan
menggunakan artikel (al-qur‟ân), tujuh belas kali tanpa artikel (qur‟ân), dan dua kali
dikaitkan dengan kata ganti (qur‟ânah).219
217
Nashr Hâmid Abû Zaid, Al-Qur‟an, Hermeneutika, dan Kekuasaan: Kontroversi dan
Penggugatan Hermeneutika Al-Qur‟an, terj. Dede Iswadi, dkk., (Bandung: RQiS, 2003)., h. 91.
218
Muẖammad Muẖammad Abû Lailah, al-Qur‟ân al-Karîm min Manzhûr al-Istisyrâqî,
(Kairo: Dâr al-Nasyr li al-Jâmiʻât, 2002), Cet. I, h. 34.
219
Lihat, Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân alKarîm, (Kairo: Mathbaʻah Dâr al-Kutûb al-Mishriyyah, 1363 H.), h. 539-540.
80
Selanjutnya, dari tujuh puluh kali penyebutan itu, beberapa di antaranya
menunjukkan bahwa kata ―qur‟ân” dapat dimaknai sebagai sebuah teks. Hal ini
terdapat dalam: Pertama, Q.S. Yâsîn (36): 69; Q.S. Qâf (50): 1; Q.S. al-Raẖmân (55):
2; Q.S. al-Jinn (72): 1-2; Q.S. al-Wâqiʻah (56): 77; Q.S. al-Muzammil (73): 4; dan
Q.S. al-Burûj (85): 21. Kedua, kata ―qur‟ân” sebanyak enam belas kali didahului oleh
kata tunjuk ―hâdzâ” (hâdzâ al-qur‟ân).220 Ketiga, dalam enam ayat, yaitu: Q.S. alAraf (7): 204; Q.S. al-Naẖl (16): 98; Q.S. al-Isrâ‘ (17): 45 dan 106; Q.S. alMuzammil (73): 20; Q.S. al-Insyiqâq (84): 21, kata ―qur‟ân” merupakan obyek
langsung dari kata kerja ―qara‟a”, sedang di sebuah ayat, yakni Q.S. al-Naml (27):
92, merupakan obyek kata kerja ―talâ”, dan di sebuah ayat, yakni Q.S. al-Muzammil
(73): 4, sebagai obyek dari kata kerja ―rattalâ”, baik qara‟a, talâ, maupun rattala
mengandung arti ―membaca‖. Pengertian yang dapat diperoleh dari ayat-ayat ini
secara jelas menunjukkan bahwa al-Qur‘an adalah teks definitif yang dapat dibaca
dan bisa dipahami. Hal ini menunjukkan teksutalitas al-Qur‘an.
Selain itu kata ―qur‟ân‖ juga dirangkai dengan ―ʻarabî”, sehingga menjadi
―qur‟ân ʻarabî”. Ungkapan ini bisa ditemukan dalam al-Qur‘an sebanyak enam kali
adalah Q.S. Yûsuf (12): 2; Q.S. Thâhâ (20): 30; Q.S. al-Zumar (39): 28; Q.S. Fushilat
(41): 3; Q.S. al-Syûra (42): 7; dan Q.S. al-Zukhruf (43): 3. Ayat-ayat tersebut
menekankan bahwa al-Qur‘an diturunkan Tuhan dalam bahasa Arab. Suatu kenyataan
yang turut memperkokoh keberadaan al-Qur‘an sebagai teks, meskipun status
kearaban al-Qur‘an itu sendiri menimbulkan perdebatan di antara para sarjana
Muslim klasik, lantaran di dalam al-Qur‘an terdapat kosakata ―asing‖ (gharîb).221
Bukti lain yang menunjukan tektualitas al-Qur‘an adalah ungkapan “kalâm‖
dan ―lisân‖. Kata ―kalâm‖ yang berasal dari akar kata k-l-m dalam al-Qur‘an
220
Lihat Q.S. al-Anʻam (6): 19; Q.S. Yûnus (10): 37; Q.S. Yûsuf (12): 3; Q.S. al-Isrâ‘ (17): 9
41, 88, dan 89 ; Q.S. al-Kahfi (18): 54; Q.S. al-Furqân (25): 30; Q.S. al-Naml (27): 76; Q.S. al-Rûm
(30): 58; Q.S. al-Sabâ‘ (34): 31; Q.S. al-Zumar (39): 27; Q.S. Fushshilat (41): 26; Q.S. al-Zukhruf
(43): 31; dan Q.S. al-Hasyr (59): 21.
221
Perdebatan mengenai hal ini direkam dengan sangat baik oleh Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân
ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz I, h. 136.
81
dirangkaikan dengan kata ―Allah‖, yaitu dalam Q.S. al-Baqarah (2): 75, Q.S. alTaubah (9): 6, dan Q.S. al-Fatẖ (48): 15.222 Dalam Q.S. al-Taubah (9): 6 dan Q.S. alBaqarah (2): 75, kata "kalâm‖ berarti wahyu Tuhan. Hal ini berdasarkan interpretasi
para penafsir yang menggunakan analisis filologis gramatikal, seperti al-Zamakhsyarî
(w. 538 H./1143 M.)223 dan Abû Hayyân al-Andalusî (w. 745 H./1353 M.).224 Dari
paparan tentang ungkapan ―kalâm Allah‖ ini, terlihat dengan jelas bahwa ungkapan
tersebut sangat mendukung identifikasi status al-Qur‘an. Kitab al-Qur‘an yang
semula merupakan ungkapan dan sapaan Tuhan kepada umat manusia menjelma
menjadi teks bacaan yang memiliki banyak dimensi, di antaranya estetika, susastra
atau puitik. Dimensi-dimensi ini mengantarkan penetapan dan upaya untuk
memperlakukan al-Qur‘an sebagai teks.
Sedangkan kata ―lisân‖ yang tersambung langsung dengan kata ―arabî‖
menjadi ―lisân arabî‖, disebut dalam al-Qur‘an sebanyak tiga kali dalam tiga
kelompok ayat.225 Ketiga kelompok ayat tersebut adalah Q.S. al-Naẖl (16): 103; Q.S.
al-Syuʻarâ‘ (26): 192-195; dan Q.S. al-Ahqâf (46): 12. Ketiga kelompok ayat tersebut
menunjukkan dengan jelas bahwa bahasa al-Qur‘an adalah bahasa Arab yang dipilih
Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesan Ilahiyah kepada umat manusia. Kelompok
ayat ini juga memiliki relasi yang erat, secara substansial, dengan Q.S. Thâhâ (20):
30, Q.S. Yûsuf (12): 2; Q.S. al-Zumar (39): 28; Q.S. Fushilat (41): 3; Q.S. al-Syûra
222
Lihat Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân alKarîm, h. 620.
223
Al-Zamakhsyarî mengartikan frase ―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Taubah (9): 6 dengan alQur‘an. Lihat al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ʻan Haqâ‟iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ʻUyûn al-Aqâwîl fî
Wujûh al-Ta‟wîl, Jilid III, h. 14-15.
224
Muẖammad ibn Yûsuf al-Syahîd bi Abî Hayyân al-Andalusî dalam menafsirkan frase
―kalâm Allah‖ dalam Q.S. al-Baqarah (2): 75, terlebih dahulu ia memberikan definisi ―kalâm‖.
Menurutnya, ―kalâm‖ adalah ungkapan yang memberikan petunjuk akan adanya relasi terhadap
sesuatu yang dimaui atau dimaksud oleh si pengujar (al-kalâm huwa al-qaul al-dâll ʻalâ nisbah
isnâdîyah maqshûdah li dzâtihâ). Kemudian ia menegaskan bahwa kata ini berarti wahyu Tuhan yang
diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Lihat Abû Hayyân alAndalusî, Tafsîr al-Baẖr al-Muhîth, Juz I, h. 435-439.
225
Lihat Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân alKarîm, h. 647.
82
(42): 7; dan Q.S. al-Zukhruf (43): 3, yang menyinggung dan mengokohkan bahasa
yang dipakai oleh al-Qur‘an.
Kata ―al-kitâb‖, yang merupakan salah satu nama lain dari al-Qur‘an,226
dalam leksikografi Arab berarti buku atau nama sesuatu yang ditulis.227 Kata ini
disebut dua ratus dua puluh kali dalam al-Qur‘an.228 Meskipun tidak seluruhnya,
penggunaan kata al-kitâb untuk merujuk kepada al-Qur‘an juga menunjukkan
tekstualitas al-Qur‘an.
Bukti lain adalah adanya ayat-ayat tantangan (taẖaddî) kepada manusia untuk
membuat karya yang sebanding dengan al-Qur‘an.229 Hal ini, menurut M. Quraish
Shihab,230 menunjukkan bahwa al-Qur‘an menginginkan dirinya diposisikan sejajar
dengan karya manusia dan siap diposisikan menang atau kalah. Sebab, agar dapat
dimungkinkan penilaian yang obyektif, maka obyek yang dinilai harus diletakkan
dalam posisi sejajar. Dengan demikian, pernyataan bahwa al-Qur‘an sebagai teks
bacaan berbahasa Arab menemukan fondasi yang qur‘anik.
Pandangannya yang tidak mengingkari keyakinan umat Muslim terhadap
transendensi al-Qur‘an mengantarkan kepada simpulan bahwa Toshihiko Izutsu
merupakan sarjana non-Muslim yang dapat dikategorikan menggunakan pendekatan
fenomenologi dalam kajian al-Qur‘an, utamanya dalam memandang sumber alQur‘an.
226
Salah seorang sarjana Muslim kontemporer, Muẖammad Syaẖrûr, berpendapat bahwa alQur‟ân berbeda dengan al-Kitâb, atau al-Qur‟ân merupakan bagian dari al-Kitâb. Lihat Muẖammad
Syaẖrûr, al-Kitâb wa al-Qur‟ân: Qirâ‟ah Muʻâshirah, (Beirut: Syarikah al-Mathbûʻah li al-Tauzîʻ wa
al-Nasyr, 2000), Cet. VI, h. 57.
227
Lihat Abû al-Fadhl al-Dîn Muẖammad ibn Makram ibn Mandzûr, Lisân al-„Arab, (Kairo:
Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), h. 3816. Daniel A. Madigan menolak jika kata kitâb dalam al-Qur‘an dipahami
sebagai buku, tetapi lebih tepat diartikan sebagai tulisan. Daniel A. Madigan, The Qur‟an Self-Image:
Writing and Authority in Islamic‟s Scripture, (New Jersey: Princeton University Press, 2001), h. 82.
228
Lihat Muẖammad Fûad ʻAbd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân alKarîm, h. 592-595.
229
Baca Q.S. al-Baqarah (2): 23; Q.S. Yûnus (10): 38; Q.S. Hûd (11): 13; Q.S. al-Isrâ‘ (17):
88; dan Q.S. al-Thûr (52): 33-34.
230
M. Quraish Shihab, ―Orientalisme‖ dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 2, 2006, h.
44.
83
C. Kecenderungan dan Pendekatan Toshihiko Izutsu dalam Kajian al-Qur‘an
Kajian sarjana-sarjana non Muslim terhadap al-Qur‘an pada umumnya banyak
menyoroti sisi pengaruh tradisi Yahudi dan Kristen terhadap al-Qur‘an serta sejarah
dan kronologi turunnya al-Qur‘an. Sementara kajian mengenai kandungan al-Qur‘an
dapat dikatakan sangat minim. Karya-karya dalam bidang ini, menurut Parvez
Manzoor, menempati posisi pinggiran dalam khazanah karya-karya mereka tentang
kajian al-Qur‘an yang sangat melimpah.231 Hal ini mungkin karena, sebagaimana
disinyalir oleh Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun, umat Muslim sendirilah
dalam pandangan kaum intelek non-Muslim tersebut yang harus menggali kandungan
al-Qur‘an untuk dapat menerangi hidup mereka.232
Adapun Toshihiko Izutsu dengan karyanya God and Man in the Koran:
Semantics of the Koran Weltanschauung dan Ethico-Religious Concepts in the AlQur‟an berusaha untuk memahami kandungan al-Qur‘an. Usaha semacam ini dalam
tradisi umat Islam disebut dengan tafsir,233 yang dapat dipahami sebagai aktivitas
untuk memahami al-Qur‘an.234
231
Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dan Studi al-Qur‘an‖, terj. Eva F.
Amrullah dan Faried F. Saenong, dalam Jurnal Studi al-Qur‘an, Vol. I, No. 2, 2006, h. 59.
232
Fazlur Rahman, Tema Pokok the Qur‟an, h. xi.
233
Istilah ini merujuk kepada Q.S. al-Furqân (25): 33. Secara etimologis, tafsir berarti bayân
syai‟ wa îdhâẖihih (menjelaskan) dan kasyf al-mughaththâ (membuka sesuatu yang tertutup). Lihat
Musâ‗id ibn Sulaiman ibn Nâshir al-Thayyâr, al-Tafsîr al-Lughawî li al-Qur‟ân al-Karîm, (t.tp.: Dâr
Ibn Jauzî, 1422 H.), h. 19. Lihat juga Abû al-Fadhl al-Dîn Muẖammad ibn Makram ibn Mandzûr,
Lisân al-„Arab, h. 3412.
234
Para sarjana Muslim mengemukakan beragam pendapat mengenai definisi tafsir. Di
antaranya Muẖammad Husain al-Dzahabî yang mendefinisikan tafsir sebagai penjelasan tentang arti
atau maksud firman Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia (sebagai penafsir). Muẖammad Husain
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 14. al-Zarkasyî
mendefinisikannya suatu ilmu yang mengantarkan pada pemahaman terhadap Kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muẖammad saw., penjelasan makna-maknanya, dan penggalian hukumhukum dan hikmahnya. Lihat Badr al-Dîn Muẖammad ibn ‗Abd Allah al-Zarkasyî, al-Burhân fî „Ulûm
al-Qur‟ân, Juz. I, h. 13. Sementaraal-Zarqânî mengemukakan tiga buah definisi tafsir, yaitu: pertama,
tafsir adalah suatu ilmu yang mengkaji al-Qur‘an dari segi indikasi-indikasi yang mengantarkan
kepada yang dimaksud Allah sesuai dengan batas kemampuan manusia; kedua, tafsir adalah suatu ilmu
yang mengkaji tentang hal ikhwal al-Qur‘an dari segi sebab turunnya, sanad, tajwîd, lafadz-lafadz, dan
makna-makna yang berkaitan dengan lafadz dan hukum-hukumnya; ketiga, tafsir adalah suatu ilmu
yang mengkaji tentang cara penuturan lafadz-lafadz al-Qur‘an, petunjuk-petunjuknya, hukum-
84
Sejak awal, umat Muslim memiliki antusiasme yang besar untuk memahami
al-Qur‘an. Hal ini karena bagi kaum Muslim, al-Qur‘an di samping sebagai Kitab
Suci juga sekaligus sebagai petunjuk. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau
disiplin ini menempati urutan teratas dalam sejarah kajian al-Qur‘an.
Penafsiran Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an bertujuan untuk menemukan
pandangan dunia (weltanschauung) kitab suci ini. Suatu usaha yang menurut Fazlur
Rahman belum pernah dilakukan secara sistematis oleh sarjana-sarjana Muslim
sendiri sebelumnya. Kegagalan memahami al-Qur‘an sebagai kesatupaduan yang
berjalin berkelindan yang menghasilkan suatu weltanschauung yang pasti, telah
mengakibatkan terjadinya bencana besar dalam lapangan pemikiran teologi. Paling
tidak, hal ini pernah dialami oleh aliran Asy‗ariyah, sebuah aliran teologi Sunni yang
dominan selama abad pertengahan, ketika berlangsungnya pengadopsian gagasangagasan asing dalam aspek teologi dengan ketiadaan wawasan yang padu tentang
pandangan dunia al-Qur‘an.235
Untuk memenuhi tujuan tersebut, Toshihiko Izutsu menggunakan pendekatan
strukturalisme linguistik. Pemilihannya terhadap pendekatan ini dapat dilihat dari
keyakinannya, bahasa itu tidak hanya sebagai alat untuk berbicara dan berpikir,
namun lebih penting lagi sebagai alat untuk menangkap dan menerjemahkan dunia
yang mengelilinginya.236 Berdasarkan paparan ini, Toshihiko Izutsu mengikuti
hukumnya - baik ketika berdiri sendiri maupun ketika dirangkai dengan yang lainnya, makna-makna
yang mungkin dicakupnya, dan hal-hal lain yang menyangkut pengetahuan tentang nasakh, sabâb alnuzûl, dan aspek-aspek yang jelas seperti cerita dan perumpamaan. Dari ketiga definisi tersebut, alZarqânî cenderung memilih definisi yang pertama karena dianggap lebih sederhana dan semua rincian
yang ada pada kedua definisi terakhir memerlukan kemampuan manusia untuk meyerapnya. Lihat
Muẖammad ‗Abd al-‗Adzîm al-Zarqânî, Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân, taẖqîq: Badî al-Sayyid
al-Laẖẖâm, Jilid II, (t.tp.: Dâr al-Qutaibah, 1998), Cet. II, h. 7-9.
235
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,
(Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 3-4.
236
Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic
Weltanschauung, h. 3. Toshihiko Izutsu mengatakan: ―Semantics as I understand it is an analytic study
of the key-terms of a language with a view to arriving eventually at a conceptual grasp of the
„weltanschauung‟ or world-view of the people who use that language as a tool not only of speaking
and thinking, but, more important still, of contextualizing and interpreting the word that surrounds
them.‖
85
hipotesis Edward Sapir (1884-1939), salah seorang tokoh Strukturalisme,237 yang
menyatakan bahwa bahasa, budaya, dan kepribadian adalah satu kesatuan utuh.
Bahasa adalah sarana apresiasi perilaku dan pengalaman manusia, karena pengalaman
dapat diinterpretasikan oleh adat kebiasaan bahasa.238 Dengan demikian, maka bahasa
– menurut Edward Sapir – merupakan alat untuk mengungkapkan ide atau gagasan.
Hipotesis ini kemudian diperkuat oleh Hans Georg Gadamer (1900-1960) yang
menyatakan bahwa bahasa adalah produk kekuatan mental manusia, dan setiap
bahasa dengan kekuatan linguistiknya merupakan wadah akal-budi manusia.239
Pendekatan linguistik ala Saussurian ini tampak lebih nyata apabila
diperhatikan penjelasannya mengenai al-Qur‘an sebagaimana telah diuraikan di atas.
Al-Qur‘an menurutnya adalah kalâm Tuhan yang termanifestaikan dalam lisân Arab.
Ia menyamakan kalâm dengan parole, sementara lisân dengan langue.240 Istilahistilah ini pertama kali digagas oleh Ferdinad de Saussure (1857-1913),241 salah
seorang tokoh pendiri Strukturalisme yang melakukan diferensiasi terhadap istilah
bahasa. Menurut Ferdinand de Saussure, bahasa pada dasarnya memiliki dua aspek,
yaitu: parole dan langue. Parole atau tuturan adalah apa yang diwujudkan seseorang
ketika menggunakan bahasa dalam percakapan atau ketika menyampaikan pesan
237
Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai sebuah
struktur berikut unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun struktur tersebut dipandang
lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis daripada sekadar susunan benda-benda. Oleh karena itu,
masing-masing unsur hanya akan bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur
yang lain di dalam struktur. Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis eLibrary, 2004), h. 6-7.
238
Lihat Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech, (New York:
Harcourt Brace, 1921), h. 13.
239
Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Continuum, 1989), 2 nd Revision, h.
439.
240
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 164.
241
Seorang sarjana berkebangsaan Swiss yang beberapa waktu pernah mengajar di Paris
(Perancis) dan akhirnya menjadi Guru Besar di Jenewa. Selama hidupnya ia sedikit sekali
mempublikasikan karyanya. Buku yang membuat namanya terkenal dalam bidang linguistik pada
mulanya merupakan tiga seri kuliah tentang linguistik umum yang dikumpulkan dan diterbitkan pada
tahun 1916 atau tiga tahun setelah kematiannya oleh tiga orang muridnya, yaitu C.H. Bally, A.
Sechehaye, dan A. Riedlinger dan diberi judul Cours de Linguistique Generale. Lihat Ferdinand de
Saussure, Cours de Linguistique Generale, terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Perss, 1996), h. 374.
86
tertentu lewat suara-suara simbolik yang keluar dari mulut. Tuturan ini bersifat
individual, sehingga mencerminkan atau menunjukkan kebebasan pribadi seseorang.
Dengan demikian, parole atau tuturan merupakan sisi empirik, sisi konkrit dari
bahasa.242 Langue diartikan sebagai keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara
pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa yang memungkinkan para penutur saling
memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam masyarakat,
sehingga memenuhi syarat sebagai fakta sosial.243 Jadi langue adalah suatu sistem
kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai suatu bahasa, seolaholah kode-kode tersebut telah disepakati bersama di masa lalu di antara para penutur
bahasa tersebut. Langue dan parole memang meskipun berbeda, akan tetapi keduanya
tidak dapat dipisahkan. Keduanya dapat diibaratkan bagai dua sisi mata uang. Oleh
karena itu, agar informasi yang ingin disampaikan seseorang mencapai sasarannya
atau dimengerti pihak lain maka parole harus diwujudkan dalam sistem langue
tertentu. Diabaikannya langue akan membuat pesan yang ingin disampaikan tidak
dapat dimengerti atau disalahmengertikan. Dengan kata lain, tanpa adanya langue,
tidak aka nada parole. Sebaliknya, tanpa ada parole, langue juga tidak akan diketahui
keberadaannya.
Strukturalisme linguistik Toshihiko Izutsu semakin tampak nyata ketika ia
juga sangat menekankan pembahasan semantik secara sinkronis terhadap data-data
kebahasaan yang disediakan oleh al-Qur‘an. Meskipun demikian ia juga tidak
mengabaikan pembahasan semantik secara diakronis.244 Menurut Toshihiko Izutsu,
ada tiga alasan diperlukannya kajian historis terhadap istilah-istilah kunci al-Qur‘an,
yaitu: pertama, pada umumnya kajian terhadap persoalan tersebut berdasarkan atas
242
Ferdinand de Saussure, Cours de Linguistique Generale, h. 80.
Martin Krampen, ―Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi‖, terj. Lucia
Hilman, dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (ed.), Serba-serbi Semiotika, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996), h. 57.
244
Pembahasan mengenai studi sinkronis dan diakronis terhadap bahasa dapat dilihat, Heddy
Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Lévi Strauss: Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Kepel Press,
2006), h. 46-47.
243
87
dua sudut pandang yang berbeda atau lebih, namun sangat berkaitan erat, dan
biasanya berakhir dengan pandangan yang lebih dalam dan lebih komprehensif;
kedua, dengan mengikuti mengikuti perkembangan semantik istilah-istilah kunci
dalam al-Qur‘an melalui sistem non-al-Qur‘an yang muncul dalam Islam karena
perkembangan jaman, maka dapat diketahui keistimewaan makna kata-kata yang ada
dalam al-Qur‘an dengan sudut pandang yang baru; terakhir, analisis secara cermat
terhadap persoalan kemungkinan dan signifikansi semantik historis, memperlihatkan
secara jelas kelebihan dan kekurangan metode dan prinsip-prinsip khas semantik
statis, sehingga memungkinkan penggabungan kedua semantik tersebut dengan cara
yang sangat menguntungkan dalam menganalisis struktur kosakata al-Qur‘an.245
Berdasarkan sudut pandang diakronis, kosakata merupakan sekumpulan kata
yang mengalami pertumbuhan dan perubahan semantik. Beberapa kata dalam
kelompok tersebut berhenti tumbuh dalam pengertian tidak dipergunakan lagi oleh
masyarakat penuturnya dalam jangka waktu tertentu; sedang kata-kata yang lain
dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang lama. Demikian pula pada masa
tertentu muncul kata-kata baru, dan mulai dipergunakan sejak waktu itu. Kemudian
apabila arus sejarah kosakata ini dipotong pada suatu periode tertentu, maka akan
diperoleh sebuah lintas cross-section, yang dapat digambarkan sebagai permukaan
datar yang dibentuk oleh sejumlah kata yang telah mampu bertahan hidup sampai ke
titik waktu tertentu. Pada permukaan demikian kata-kata tersebut muncul dalam
bentuk jaringan konsep yang rumit, yang memungkinkan untuk diteliti secara
sinkronis.246 Dan bila untuk keperluan tertentu dibuat potongan-potongan sebanyak
yang diinginkan, lalu dibandingkan antara suatu permukaan dengan permukaan yang
245
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 32-33.
Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa kosakata pada permukaan datar pada dasarnya
merupakan sesuatu yang artifisial. Kosakata tersebut merupakan kondisi statis yang dihasilkan secara
artifisial oleh suatu pukulan dalam arus sejarah terhadap semua kata dalam sebuah bahasa pada suatu
titik waktu tertentu. Lintas bagian yang dihasilkan memberikan kesan sebagai sesuatu yang statis.
Kondisi statis ini hanya bila dilihat dari aspek makroskopik, sementara dari aspek mikroskopik
permukaan tersebut menggelegakkan kehidupan dan gerakan. Toshihiko Izutsu, God and Man in the
Qur‟an, h. 33-34.
246
88
lain, maka sesungguhnya hal itu disebut dengan semantik historis atau semantik
diakronis.247
Dengan demikian, semantik diakronis yang dimaksud Toshihiko Izutsu
bukanlah analisis historis terhadap kata-kata individual untuk melihat bagaimana
kata-kata tersebut berubah maknanya karena perjalanan sejarah, tetapi analisis
komparatif terhadap dua atau lebih permukaan statis suatu bahasa. Berkenaan dengan
al-Qur‘an, Toshihiko Izutsu membagi permukaan semantik bahasa Arab, yaitu: (1)
sebelum turunnya al-Qur‘an; (2) masa turunnya al-Qur‘an; dan (3) setelah turunnya
al-Qur‘an, terutama pada periode Abbasyiah.248 Masing-masing permukaan atau
sistem memiliki keunikan yang membedakan dengan sistem-sistem lainnya. Yang
dimaksud dengan sistem sebelum al-Qur‘an tentu saja adalah pandangan dunia orangorang Arab sebelum turunnya al-Qur‘an yang secara linguistik termanifestasikan
dalam syair-syair jahiliyah. Sementara sistem sesudah al-Qur‘an merupakan sistem
pemikiran yang timbul sebagai usaha untuk memahami al-Qur‘an. Sistem ini
beragam, antara lain adalah teologi, hukum, filsafat, dan tasawuf.
Perbedaan sistem al-Qur‘an dengan sistem pra-al-Qur‘an adalah bahwa
kosakata al-Qur‘an memiliki kata fokus tertinggi yaitu Allah, sementara sistem pra-alQur‘an tidak memiliki kata fokus demikian. Konsep ―Allah‖ dalam sistem jahiliyah
berdiri sejajar dengan konsep ―âlihah‖ (bentuk jamak dari ilâh), yaitu konsep tentang
politeisme.249 Dengan demikian, kata ―Allah‖ tidak menempati kedudukan sebagai
kata fokus tertinggi, justru ia menempati tempat pinggiran (peripheral) dalam seluruh
sistem konseptual jahiliyah. Demikian pula medan semantik konsep âlihah, terutama
247
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 34-35.
Pembagian ini memiliki kemiripan dengan pembagian yang dilakukan oleh Aẖmad alIskandârî dan Mushthafâ ‗Ananî. Keduanya membagi perkembangan bahasa dan sastra Arab ke dalam
lima fase perkembangan, yaitu: (1) bahasa Arab pada masa Jahiliyah; (2) bahasa Arab pada masa
permulaan Islam; (3) bahasa Arab pada masa dinasti Abbasiyah; (4) bahasa Arab pada masa kekuasaan
Turki; dan (5) bahasa Arab pada masa kebangkitan akhir. Lihat Aẖmad al-Iskandârî dan Mushthafâ
‗Ananî, al-Wasîth fî al-Adâb al-ʻArab wa Târîkhihi, (Kairo: Dâr al-Maʻârîf, t.t.), h. 10.
249
Agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Arab pra-al-Qur‘an atau pra-Islam adalah
politeisme. Lihat Bernard Lewis, The Arab in History, (New York: Oxford University Press Inc.,
2002), h. 20.
248
89
bila dibandingkan dengan medan penting lainnya yang lebih memiliki kaitan
langsung dengan kehidupan kesukuan orang Arab, seperti perasaan mulia, kebajikan
sosial dan individual, dan lain sebagainya yang tidak memiliki kaitan langsung
dengan Tuhan dan agama.250
Berkenaan dengan konsep kata fokus tertinggi tersebut, Toshihiko Izutsu
menyatakan bahwa menurut sistem al-Qur‘an, tidak terdapat satu medan semantik
pun yang tidak secara langsung berkaitan dengan dan diatur oleh konsep sentral
Allah. Karena sistem bahasa mencerminkan pandangan dunia pemakainya, maka
konsekuensi logis dari adanya konsep kata fokus tertinggi tersebut adalah bahwa di
dalam pandangan dunia al-Qur‘an terdapat suatu koherensi konseptual yang tidak
ditemukan di dalam sistem jahiliyah. Dengan kata lain, pandangan dunia al-Qur‘an
dapat disebut sebagai ‗teosentrik‘, sementara pandangan dunia pra-al-Qur‘an bersifat
‗antroposentrik‘.251
Dalam sistem al-Qur‘an, semua medan semantik – termasuk di dalamnya
semua istilah kunci – berada di bawah pengaruh kata fokus sentral dan tertinggi
tersebut. Pengaruhnya tidak saja terhadap konsep-konsep yang secara langsung
berhubungan dengan agama dan keimanan, tetapi juga semua gagasan moral, bahkan
juga konsep-konsep yang mewakili aspek-aspek keduniaan, seperti perkawinan dan
perceraian, warisan, perdagangan, dan lain sebagainya.252
Sementara itu, perbedaan antara sistem al-Qur‘an dengan sistem sesudahnya
sangat halus. Hal ini, menurut Toshihiko Izutsu, dikarenakan secara linguistik sistem
pasca al-Qur‘an sangat tergantung dan berdasarkan pada kosakata al-Qur‘an. Sebagai
ilustrasi perbedaan antara kedua sistem ini, dapat diambil pasangan konseptual yang
dibentuk oleh kata muslim, mu„min, dan kâfir. Dalam sistem al-Qur‘an, kata muslim
merupakan konsep yang terlihat jelas sebagai kata yang berlawanan dengan kata
250
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 38.
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 37.
252
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 37-38.
251
90
kâfir. Sementara kata mu„min merupakan konsep yang melengkapi kata muslim,
kecuali hanya dalam kasus tertentu saja kata islâm (bentuk nominal dari muslim)
berada dalam keadaan yang berlawanan dengan kata îman (bentuk nominal dari
mu„min).253
Perlawanan konseptual yang fundamental antara muslim dan kâfir berlanjut
dalam sistem teologi yang muncul pada periode pasca al-Qur‘an. Hal ini disebabkan,
secara semantik, teologi Islam merupakan sistem konseptual yang pada hakikatnya
didasarkan pada kosakata al-Qur‘an, maka ia mewarisi seluruh kesatuan kata dan
konsep dari al-Qur‘an. Oleh karena itu, secara lahiriah tidak ada perobahan berkenaan
dengan pasangan dasar muslim dan kâfir, namun jka ditelisik secara mendalam, telah
terjadi pergeseran struktur batin pasangan tersebut dalam sistem yang baru ini.
Pergeseran struktur makna batin ini terjadi dengan munculnya Khârijiyah
(sekte Khawârij) di tengah-tengah dunia Islam.254 Pada dasarnya persoalan tersbut
tidak lagi menyangkut hubungan antara orang-orang Islam dengan orang-orang di
luar Islam, tetapi menyangkut perbedaan di dalam batas-batas orang-orang Islam itu
sendiri. Menurut pandangan orang-orang Khawârij, seorang Muslim bila telah
melakukan dosa besar, maka dia bukan lagi sebagai orang Muslim, tetapi dia harus
dianggap sebagai seorang Kâfir yang akan masuk ke dalam neraka, sehingga
dibenarkan untuk dibunuh. Konsep dosa besar sendiri merupakan konsep yang
fleksibel. Dikatakan demikian karena sangat mudah diarahkan kemana saja, sehingga
bisa mencakup apa saja yang tidak disukai seseorang.
253
Lihat Q.S. al-Hujurât (49): 14-15.
Nama Khawârij berasal dari kata kharaja artinya keluar. Nama ini diberikan kepada
pengikut-pengikut ‗Alî ibn Abî Thâlib yang pergi meninggalkan barisannya karena tidak setuju dengan
sikap ‗Alî ibn Abi Thâlib yang menerima taẖkîm (arbritase) sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan
persengketaan tentang khâlifah dengan Muawwiyah ibn Abî Shufyân. Pendapat lain mengatakan
bahwa nama demikian berdasarkan Q.S. al-Nisâ‘ (4): 100 yang di dalamnya disebutkan: ―keluar dari
rumah lari menuju kepada Allah dan rasul-Nya.‖ Dengan demikian kaum Khawârij memandang
dirinya sebagai orang yang keluar dari rumah demi mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.
Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, (Jakarta:
Yayasan penerbit Universitas Indonesia, 1972), Cet. II, h. 11.
254
91
D. Kritik terhadap Toshihiko Izutsu
Tafsîr merupakan salah satu ilmu yang dikembangkan di dalam kajian
keislaman (dirāsat al-islamiyyah) selain fiqh, ushul al-fiqh, ushul al-dîn, dan hadîts.
Dibandingkan dengan kajian-kajian lain, tafsîr memiliki nilai yang sangat strategis
karena memberi jalan pada ilmu lain untuk menemukan rujukan yang sah. Karena
demikian pentingnya, maka dalam khazanah pustaka Islam, termuat berbagai
kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur‘an.
Dalam Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk menyatakan
ada lima belas kriteria yang harus dimiliki seorang penafsir al-Qur‘an, yaitu: pertama,
memahami hadis dengan baik; kedua, mengetahui bahasa Arab; ketiga, menguasai
gramatika bahasa Arab (naẖw); keempat, menguasai sistem konjugasi bahasa Arab
(tashrîf); kelima, menguasai etimologi bahasa Arab (isytiqâq); keenam, ketujuh dan
kedelapan, mempunyai kemahiran di dalam ilmu balâghah dan bagian-bagiannya
seperti ma‗ânî, bayân, badî‗; kesembilan, menguasai ragam bacaan (qirâ‟ât) alQur‘an; kesepuluh, mengerti ilmu tauhîd; kesebelas, mengetahui ushûl al-fiqh;
keduabelas, mengerti sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur‘an (asbâb al-nuzûl);
ketigabelas, memahami kisah-kisah yang ada di dalam al-Qur‘an; keempatbelas,
memahami nâsikh dan mansûkh; dan terakhir, mengamalkan apa yang telah
diketahui.255 Senada dengan hal tersebut, ʻAbd al-Hay al-Farmâwî menyatakan bahwa
seorang penafsir harus memenuhi empat syarat:256 Syarat pertama dan utama adalah
harus benar aqidahnya dan menjalankan sunah Nabi, kemudian benar tujuannya, yaitu
untuk mendekatkan diri kepada Allah, menggunakan jalur naql (metode tafsîr bi alma‟tsûr), dan menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan dalam penafsiran.257 Ini
255
Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, (Beirut: Dâr al-Nafâis,
1986), h. 186-187.
256
ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhûʻî: Dirâsah Manhajîyah
Maudhuʻîyah, (Kairo: Mathb‗ah al-Hadhârah al-‗Arabiyah, 1997), h. 17-19.
257
Ada lima belas ilmu, yang meliputi linguistik, teologi, ushûl al-fiqh, asbâb al-nuzûl wa alqashash, al-nâsikh wa l-mansûkh, hukum Islam, hadits, dan ʻilm al-mauhibah. Untuk lebih jelasnya,
lihat ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî, h. 19-20.
92
menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur‘an harus dilakukan oleh orang-orang Muslim
yang memiliki keahlian-keahlian khusus. Dengan demikian, muslim biasa (ʻawâm)
tidak diperkenankan melakukan pengkajian terhadap kandungan al-Qur‘an, apalagi
non-Muslim.
Pendapat-pendapat di atas diperkuat pula oleh Abdullah Saeed.258 Ia secara
tegas menyatakan bahwa non-Muslim tidak memiliki otoritas dalam menafsirkan alQur‘an. Baginya, penafsiran al-Qur‘an merupakan kerja kesalehan yang memerlukan
persyaratan-persyaratan khusus. Di antara persyaratan tersebut yang paling utama
adalah seorang penafsir harus Muslim dan menjalankan ajaran-ajaran Islam.259 Jadi,
jika ada non-Muslim yang menafsirkan al-Qur‘an, maka penafsirannya dianggap
tidak sah. Meskipun dipandang tidak memiliki otoritas, menurut Abdullah Saeed,
non-Muslim dapat menyumbangkan usaha penafsirannya terhadap al-Qur‘an dalam
kerangka akademis.260 Dalam artian penafsiran mereka secara ilmiah dapat diterima,
hanya saja tidak dapat dijadikan landasan dan pegangan amalan bagi umat Islam.
Apa yang dikemukakan oleh Khâlid ʻAbd al-Rahmân al-ʻAk, ʻAbd al-Hay alFarmâwî, dan Abdullah Saeed di atas merupakan pandangan mainstream kaum
Muslim. Pendapat serupa telah digagas oleh para pendahulu dalam kajian al-Qur‘an,
misalnya Ibn Jarîr al-Thabarî,261 yang secara ekplisit juga menyatakan keyakinan
yang benar (Muslim) sebagai syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang pengkaji
al-Qur‘an.
Berdasarkan hal tersebut, maka Toshihiko Izutsu tidak memiliki otoritas untuk
menafsirkan al-Qur‘an, karena sampai akhir hayatnya ia adalah seorang pemeluk Zen
258
Abdullah Saeed adalah profesor Kajian Arab dan Islam Sultan Oman dan direktur Pusat
Kajian Islam Kontemporer Universitas Melbourne, Australia. Dia telah banyak menulis tentang Islam
dan dia juga mengarang dan menjadi editor sejumlah buku, di antaranya Approaches to Qur‟an in
Contemporary Indonesia (2005), Freedom of Religion, Aposty and Islam (co-author, 2004), Islam and
Political Legimacy (2003), Islam in Australia (2003), dan Islamic Bank and Interest, (1996).
259
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur‟an, h. 114.
260
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur‟an, h. 114.
261
Al-Thabarî menyatakan, min shartihi shiẖẖah al-iʻtiqâd wa luzûm sunnah al-dîn, fa inna
man kâna maghmûsh ʻalaihi fî dînihi lâ yu‟tamanu ʻalâ al-dunyâ fa kaifa ʻala al-dîn. Lihat, Jalâl al-Dîn
ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz 2, h. 176.
93
Budhism. Namun dengan mencermati seruan Muẖammad Amîn al-Khûli (18951966) yang menggemakan bahwa al-Qur‘an merupakan ―kitab berbahasa Arab yang
terhebat dan karya sastra yang terpenting‖ (kitâb al-„arabiyyah al-akbar wa atsaruhâ
al-adabî al-a„zham),262 dan Nashr Hâmid Abû Zaid (l. 1943) dengan pernyataannya
bahwa al-Qur‘an adalah ―teks bahasa‖ (nashsh lughawî) sebagaimana teks-teks yang
lain yang disusun oleh manusia,263 dan perintah al-Qur‘an yang ditujukan kepada
kaum Muslim untuk memberi kesempatan kepada non-Muslim untuk mendengarkan
al-Qur‘an, dengan harapan mereka dapat menangkap makna dan pesan-pesannya,264
maka apa yang dilakukan oleh Toshihiko Izutsu dapat dipandang sebagai sesuatu
yang sah-sah saja.
Selain dipandang tidak memiliki otoritas dalam menafsirkan al-Qur‘an
berdasarkan sudut pandang sarjana-sarjana „ulûm al-Qur‟ân, Toshihiko Izutsu juga
tidak sepi dari kritik yang dilontarkan oleh sarjana-sarjana kontemporer. Kritik
terhadap Toshihiko Izutsu datang dari Fazlur Rahman yang menulis sebuah ulasan
terhadap God and Man in the Qur‟an.265 Dalam beberapa bagian dari review tersebut,
Fazlur Rahman mengkritik Toshihiko Izutsu yang terlalu bercita-cita tinggi untuk
menjelaskan al-Qur‘an atas dasar pencarian ―struktur dasar‖ dan ―konsep-kunci‖ al-
262
Lihat Muẖammad Amîn al-Khûli, Manâhij al-Tajdîd fî al-Naẖwi wa al-Balâghah wa alTafsîr wa al-Adâb, (Beirut: Dâr al-Maʻrifah, 1961), h. 303, dan Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm alNashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Kairo: al-Haiʻah al-Mishriyah al-ʻÂmmah li al-Kitâb, 1993), h.
12-13.
263
Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh, h. 27-28. Pernyataan Nashr Hâmid Abû Zaid
yang kontradiktif dengan keyakinan mayoritas umat Isam ini tentu saja mendapat protes dari kalangan
Ulama, di antaranya adalah seorang guru besar Universitas al-Azhar, Mohammed Abu Musa, yang
mengecam pendapatnya dengan mengatakan bahwa dalam sejarah Islam, tidak ada seorang pun yang
menggunakan istilah ―teks‖ ketika merujuk kepada al-Qur‘an selain sebagaimana yang digunakan
Tuhan sendiri, seperti âyat dan sûrah. Hanya orientalis yang mengatakan al-Qur‘an adalah teks. Hal ini
sebagaimana diakui oleh Nashr Hâmid Abû Zaid dalam, Al-Qur‟an, Hermeneutika, dan Kekuasaan:
Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutika Al-Qur‟an, h. 86.
264
Baca Q.S. al-Taubah (9): 6.
265
Ulasannya dimuat dalam Jurnal Islamic Studies, Juni 1966, Vol. V, No. 2, Islamic
Research Institute, Rawalpindi. Dan cantumkan dalam Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an,
h. vii-xiv.
94
Qur‘an. Bagi Fazlur Rahman, tanpa pendekatan sejarah, kita tidak akan dapat berlaku
adil terhadap evolusi konsep, khususnya konsep Allah.266
Kritik lain datang dari Harry Partin. Menurutnya, analisis Toshihiko Izutsu
tidak memadai secara historis. Hal ini berdasarkan, pertama, mengabaikan peranan
sejarah di dalam mempengaruhi perubahan makna, dan kedua Toshihiko Izutsu tidak
menegaskan fakta bahwa surat-surat dalam al-Qur‘ān diturunkan selama masa lebih
daripada dua puluh tahun dan beberapa kata yang terdapat di dalam surat-surat awal
sangat berbeda maknanya dengan surat-surat terakhir. Dengan kata lain, ada sebuah
sejarah semantik di dalam al-Qur‘an itu sendiri. Jelas, pendapat Harry Partin ini
makin mengukuhkan kritik Fazlur Rahman terhadap Toshihiko Izutsu.267
Daniel A. Madigan juga mengkritik Toshihiko Izutsu. Ia keberatan dengan
teori makna dasar dan makna relasional yang dikemukakan oleh Toshihiko Izutsu.
Premis dari teori tersebut adalah makna yang tepat dari suatu kata ditentukan oleh
posisinya dalam suatu sistem.268 Pendekatan Toshihiko Izutsu didasarkan atas
keyakinan bahwa orang dalam situasi budaya yang berbeda akan menggunakan katakata untuk mengelompokkan dan membagi realitas dengan cara yang beragam.
Dengan demikian kebutuhan akan pemetaan bidang semantik masing-masing kata
harus benar-benar dieksplorasi. Karena berdasarkan pemetaan dan hubungan dalam
bidang semantik, makna berubah seiring waktu. Menurut Daniel A. Madigan, istilah
―makna yang tepat‖ dapat membahayakan. Tidak ada satupun makna yang dapat
diklaim sebagai makna al-Quran. Mengutip Wilfred Cantwell Smith, makna Quran
adalah ―sejarah makna-maknanya‖.269
Meskipun demikian, beberapa sarjana Muslim memberikan apresiasi yang
positif. Parvez Manzoor, misalnya, sebagai seorang yang sangat keras menentang
266
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. x.
http://www.ahmadsyahidah.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.
268
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 13.
269
Daniel A. Madigan, The Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s Scripture,,
267
h. 80.
95
kajian al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat dengan mengatakan bahwa apapun
manfaat dan gunanya, studi al-Qur‘an oleh sarjana-sarjana Barat merupakan proyek
yang lahir dari kedengkian yang dipelihara dalam kefrustasian dan disusui dalam
kedendaman,270 merekomendasikan karya-karya Toshihiko Izutsu bagi sarjanasarjana Muslim. Dalam pandangannya, sarjana Jepang ini – sebagai orang luar
orientalisme – tidak mewarisi prasangka sejarah atau ketakutan emosional. Oleh
karena itu, meskipun karyanya ditopengi oleh metode orientalisme, namun bersinar
dengan kilauan yang mempesona. Karya-karyanya sekaligus menyajikan argumentasi
yang sangat meyakinkan dalam melawan klaim bahwa kebenaran sebuah kitab suci
hanya dapat dicapai oleh mereka yang menjadi insider tradisi suci tersebut. Parvez
Manzoor bahkan menganggap metode yang dipergunakan oleh Toshihiko Izutsu,
yaitu membiarkan al-Qur‘an berbicara sendiri, sebagai metode terbaik untuk
mengkaji al-Qur‘an.271
Demikian
juga
dengan
Seyyed
Hossein
Nasr.
Sebagaimana
telah
dikemukakan di muka, dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, Toshihiko Izutsu
adalah seorang sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan
seorang tokoh yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat. Selain itu, ia
menambahkan bahwa Toshihiko Izutsu adalah tokoh utama pertama pada masa kini
yang melakukan kajian Islam dengan serius tidak hanya dari perspektif non-Muslim
tetapi juga non-Barat. Ia tidak hanya melakukan perbandingan filsafat, utamanya
dalam menciptakan persinggungan serius pertama antara arus intelektual yang lebih
dalam dan utama antara pemikiran Islam dan Timur Jauh di dalam konteks
kesarjanaan modern.272
270
Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.),
dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 45.
271
Parvez Manzoor, ―Method Vis Á Vis Truth: Orientalisme dalam Studi al-Qur‘an‖ (terj.),
dalam Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006, h. 59-60.
272
http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal 7 Juli 2009.
96
Terlepas dari polemik otoritatif tidaknya Toshihiko Izutsu dalam penafsiran
al-Quran dan kritik-kritik yang dilontarkan oleh kalangan akedemisi, pendekatan dan
metode yang dipakai oleh Toshihiko Izutsu dapat membuka cakrawala baru dalam
studi al-Qur‘an.
97
BAB IV
METODE TOSHIHIKO IZUTSU DALAM PENAFSIRAN AL-QUR‘AN
DAN MEKANISME PENERAPANNYA
Metode merupakan sarana yang terpenting untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam hal ini Norman Calder menulis,273 bahwa metode yang digunakan
seorang penafsir dapat dianggap lebih penting daripada produk penafsiran yang dia
hasilkan, bahwa perbedaan interpretasi lahir terutama akibat perbedaan metode yang
digunakan oleh masing-masing penafsir.274 Dalam tradisi penafsiran al-Qur‘an,
setidaknya ada empat metode yang biasa digunakan oleh penafsir, yaitu: pertama,
metode global (tharîqah ijmâlî); kedua, metode analitis (tharîqah taẖlilî); ketiga,
metode tematik (tharîqah maudhû„î); dan kempat, metode perbandingan (tharîqah
muqârin). Pada bab ini, penulis akan menguraikan metode yang digunakan oleh
Toshihiko Izutsu, yaitu metode semantik dan mekanisme penerapannya dalam
penafsiran al-Qur‘an. Selanjutnya, untuk melihat distingsi metode semantik
Toshihiko Izutsu tersebut, akan dikomparasikan terutama dengan metode tematik. Hal
ini karena terdapat kemiripan antara keduanya, terlebih apabila dilihat dari judul
karya-karya Toshihiko Izutsu tentang kajian al-Qur‘an, dan oleh sebagian orang
metode semantik Toshihiko Izutsu dianggap sebagai metode tematik.275
273
Lihat Norman Calder, ―Tafsir from Tabari to Ibn Kathir: Problems in the description of a
genre, illustrated with reference to the story of Abraham‖, dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A.
Shareef [eds.], Approaches to the Qur‟an, (London dan New York: Routledge, 1993), h. 106.
274
Yusuf Rahman, ―The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: The Analytical
Study of His Method of Interpreting the Qur‟an‖, (Disertasi pada Institute of Islamic Studies, McGill
University, 2001), h. 105-106; juga dalam ―The Qur‘ān in Egypt III: Naṣr Abū Zayd‘s Literary
Approach‖, dalam Khaleel Mohammad dan Andrew Rippin (ed.), Coming Terms with the Qur‟an: A
Volume in Honor of Professor Issa Boullata, McGill University, (North Haledon: Islamic Publication
International, t.th.,), h. 228.
275
Lihat misalnya disertasi Ahmad Sahidah, ―Hubungan Tuhan, Manusia dan Alam dalam alQur‘ān Menurut Pemikiran Toshihiko Izutsu‖, di Universiti Sains Malaysia. Dalam Bab I, ia
mengatakan bahwa ―penafsiran Izutsu, iaitu kaedah semantik, dikategorikan sebagai tafsir maudu‗i
yang berusaha untuk menangkap konsep al-Qur‘ān tentang sesuatu yang bersifat khusus seperti
111
98
D. Konsep-konsep Metodologis Penafsiran
1. Semantik sebagai Metode Analisis Pandangan Dunia al-Qur‘an
Semantik merupakan salah satu cabang dari linguistik yang dipandang sebagai
puncak dari studi bahasa. Terma semantik atau dalam bahasa Inggrisnya semantics
secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu sema dalam bentuk nominanya
yang berarti ‗tanda‘ atau dalam bentuk verba semaino yang artinya ‗menandai‘ atau
‗melambangkan‘.276 Kata ini disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang
linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda dengan hal yang ditandainya.
Jadi, semantik merupakan bidang studi linguistik yang obyek penelitiannya adalah
makna bahasa.277 Dalam bahasa Arab kajian ini disebut „Ilm al-Dalâlah. Selain
semantik, ada istilah lain yang digunakan untuk merujuk pada bidang studi yang
mempelajari makna atau arti dari tanda atau lambang seperti semiotika, semiologi,
semasiologi, sememik, maupun semik. Namun, istilah semantik lebih sering
digunakan dalam studi linguistik karena istilah-istilah lainnya itu mempunyai
cakupan obyek yang lebih luas, yakni mencakup makna tanda atau lambang pada
umumnya seperti rambu-rambu lalu-lintas, tanda dalam ilmu matematika, kode
morse, dan lain-lain. Sedangkan semantik hanya mencakup makna atau arti yang
berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal.278
keadilan, kebahagian dan kepimpinan.‖ Selanjutnya dalam Bab III, ia menegaskan kembali
pernyataannya dengan menulis ―Model pentafsiran lain adalah tematik, sebuah cara yang digunakan
Toshihiko Izutsu dalam mengkaji al-Qur‘ān.‖ http://ahmadsahidah.blogspot.com. Diakses pada tanggal
7 Juli 2009.
276
Istilah ini sendiri muncul pada tahun 1894 yang diprakarsai dan dipopulerkan pertama kali
oleh ‗American Philologial Association‘ Yang kemudian dipakai untuk ilmu bahasa yang mempelajari
makna. Lihat, Muhammad Ali al-Khûlḭ, A Dictionary Of Theoretical Linguistics: English - Arabic,
(Beirut: Library Du Liban, 1982), Cet. I, h. 250 dan 367, Harimuti Kridalaksana, Kamus Linguistik,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), Edisi III, Cet. V, h. 193.
277
Lihat, Aẖmad Mukhtâr ‗Umar, „Ilm al-Dilâlah, (Kuwait: Maktabah Dâr al-‗Arûbah li
Nasyr wa al-Tauzî‗, 1982), h. 11. J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1999), Cet. II, h. 13. Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta,
1994), h. 284.
278
Lihat, Abdul Chaer, Pengantar Linguistik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,
2002), Cet. III, h. 3.
99
Kajian semantik secara sistematis baru mulai marak ketika Chomsky dengan
buku keduanya Aspect of the Theory of Syntax, terbit pertama kali pada tahun 1965,
memberi perhatian terhadap kajian semantik.279 Namun pada dasarnya kajian
terhadap makna ini sudah ada sejak dahulu sebagaimana yang dilakukan oleh para
filosof Yunani. Aristoteles (384 – 322 SM.),280 misalnya, sudah menggunakan istilah
makna untuk mendefinisikan kata, menurutnya kata adalah satuan terkecil yang
mengandung makna, yaitu makna referensial yang hadir dalam kata itu sendiri secara
otonom dan makna yang hadir sebagai akibat dari proses gramatika.
Di dunia Arab, studi mengenai makna ini sudah dimulai sejak abad kedua
hijriyah dengan disusunnya kamus oleh al-Khalîl ibn Aẖmad al-Farahidî (w. 175 H.)
yang diberi nama kitab al-„Ain.281 Abû ‗Ubaidah (110-203 H.) menyusun kitab
Gharîb al-Qur`ân pertama.282 Aktivitas ini pada periode berikutnya diikuti dengan
279
Lihat, Noam Chomsky, Aspects of Theory of Syntax, (Cambridge: The MIT Press, 1972),
h. 1 – 2.
280
Aristoteles (384 – 322 SM.) ahli bahasa dan filosof Yunani, karyanya antara lain Peri
Hermeias mengandung pembahasan tentang asal-usul bahasa; tentang peradaban antara anoma
‗subjek atau kata benda‘ dan rhema ‗predikat atau kata kerja‘ juga syndesmos ‗predikat‘ dan lain lain.
Lihat, Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, h. 17.
281
Diberi nama demikian karana sesuai dengan kata pertama dari urutan entrinya yang
disusun berdasarkan urutan makhraj bunyi dari halq (tenggorokan) sampai kebibir, dengan urutan
sebagai berikut:
Pada sistematika penyusunan entri kamus ini, terdapat beberapa pengecualian dari prinsip
awalnya (di atas); seperti peletakan entri (kitab) al-waw, al-alif, al-ya` dan al-hamzah di bagian akhir.
Sebenarnya, apabila al-Khalîl mengikuti prinsip pertamanya saja, maka mu‘jam tersebut akan dimulai
dengan kitab al-Hamz, baru al-Hâ`, namun pada identifikaasi awal ia menemukan karakter Hamzah
sebagai, lambang bunyi yang seringkali berubah, seperti pada proses al-tashîl (mempermudah
pengucapan) dan al-hadzf (pembuangan). Sedangkan al-Hâ`memiliki karakter bunyi hembusan yang
tidak bersuara, oleh karena itu maka ia beralih pada posisi ke-3 yakni al-„Ain. Nama lengkap alKhalil, Abû ‗Abd al-Raẖmân al-Khalîl ibn Aẖmad al-Farahidî al-Azdî. al-Khalîl adalah orang pertama
menulis kamus dalam bahasa Arab dengan bukunya ―al-„Ain‖, yang dicetak pertama tahun 1985 di
Bagdad. Ia juga peletak ilm ‗Arûḍ dan Qawâfî, ia wafat di Baṣraḥ 175 H. Lihat,
http://www.mawsoah.net, http://[email protected], diakses, 13 Maret 2008. Al-Khalîl ibn
Aẖmad al-Farâḥidî, Kitâb al-„Ain, Taẖqîq: Mahdî al-Maẖzumî dan Ibrâhîm al-Samirrâî, pengantar
oleh Aẖmad ‗Abd al-Gafûr ‗Aththâr, (Baghdad: Dâr Mauqi‘al-Warrâq, 1985), h. 5-11 dan Aẖmad
Mukhtâr ‗Umar, al-Bahs al-Lughawi „ind al-Arab, (Kairo: Dâr al-Miṣhr li al-Thabâʻah, 1985), h. 131132.
282
Nama lengkapnya Hafiz Abû ‗Ubaidah Ma‘mar ibn al-Matsnâ al-Tamîmî al-Bashrî.
Banyak linguis dan mufassir Arab yang mengikuti langkah Abû ʻUbaidah menyusun Garîb al-Qur`ân;
sebagaimana yang dilakukan al-Sudusî, Ibn Qutaibah, Abû ʻAbd al-Raẖmân al-Yazidî, Muẖammad ibn
100
penyusunan kitab tatabahasa Arab yang dipelopori oleh Sîbawaiḥ (148-188 H.)
dengan menyusun al-Kitâb, yang tidak hanya memuat materi morfologi dan sintaksis,
namun juga fonologi dan sastra.283
Setelah itu munculah para linguis yang menekuni kajian makna bahasa Arab
dengan berbagai sistematika penyusunan entri, sumber, metode dan objek
bahasannya. Usaha para linguis Arab itu mengambil berbagai teknik dan bentuk
kajian bahasa, antara lain: Pertama, membedakan makna kata-kata kepada makna
hakiki dan majâzî. Ini dilakukan al-Zamakhsyarî (467-538 H.)284 dalam kamusnya
Asâs al-Balâghah. Usaha al-Zamakhsyarî ini tercatat sebagai pola baru yang belum
dilakukan ahli bahasa sebelumnya;285 Kedua, teknik rolling huruf asal yang mungkin
dan makna dasar yang dimiliki bentuk kata yang tersusun dari huruf-huruf tersebut.
Umpamanya dari huruf
/
/
akan terbentuk enam kata yaitu:
/
/
/
dan bagaimana urutannya dalam kata, maka
kata-kata itu mengandung arti dasar ―kuat‖ dan ―keras‖;286 Ketiga, menghubungkan
Salâm al-Jumahî, Abî Ja‘far al-Thabarî, Abî ‗Ubaid al-Qâsim, Muẖammad ibn Dinâr, Abû Bakr ibn alAnbari dan Abû Hayyan. Lihat, Mauqi‘ Ya‘sûb, Mu‟jam al-Mathbû‟ât, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî,
1982), Jilid 1, h. 322, Shiddîq ibn Hasan al-Qunûjî, Abjad al-„Ulûm li Wasyi al-Marqûm Fi Bayân
Aẖwâl al-„Ulûm, Jilid 2, (Beirut: Dâr al-Kutûb al-‗Ilmîyyah, 1978), h. 502, dan Mauqi‘ Ya‘sûb, alFihrasat, Jilid 1, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî, 1979), h. 37.
283
Muẖammad ‗Ali Sulthânî, ketika men-taẖqîq Syarẖ al-Kitâb Sîbawaih mengklasifikasikan
materi al-Kitâb dalam empat kelompok ilmu tersebut. Lihat, Abî Muẖammad Yûsuf ibn Abî Sa‘îd alSairafî, Syarẖ Abyât Sibawaih, Taẖqîq: Muẖammad ʻAli Sulthâniî (Suriah: Dâr al-‗Ashâma, 2001), h.
445 – 464.
284
Tentang deskripsi dan gambaran sistematika yang ditempuh al-Zamakhsyarî dalam
pembahasan bukunya itu. Lihat, al-Babanî, Hidâyat al-„Ûrifîn, (Mesir: Dâr Mauqi‘ al-Warrâq, 1979),
Jilid 2, h. 160 dan Edward Phandek, Iktifâ al-Qunû‟ Bimâ Hua Mathbû‟, (Mesir: Dâr Mauqi‘ alWarrâq, 1979), h. 114.
285
Sebagai contoh dari rangkaian huruf
dirangkaikan makna hakiki dan majâz sebagai
berikut:
Lihat, Abû al-Qâsim Maẖmûd ibn ‗Umar ibn Aẖmad al-Zamakhsyarî, Asâs al-Balâgah, Jilid 2, (Kairo:
Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1973), Cet. II, h. 138.
286
Dikalangan linguis dan leksikolog yang mengakui teknik rolling sendiri menyatakan,
bahwa tidak semua kata yang diperoleh dari teknik rolling terpakai dalam keseharian ataupun karya
101
makna lafzhîyah dengan tuntutan siyâq atau ẖâl lughawî kalimat, upaya ini dilakukan
oleh ‗Abd al-Qâḥir al-Jurjânî (wafat 476 H) sebagai bentuk ketidakpuasan dengan
makna nahwî yang terkesan kaku dan terbatas, ia menyusun bukunya Asrâr alBalâgah yang memperkenalkan „ilm al-Ma‟ânî dan al-Bayân. Oleh karena itu, para
linguis menyebutnya sebagai pelopor madrasah al-Ma‟nâ dalam bahasa Arab.287 Di
samping ketiga jenis kajian ini, banyak kajian-kajian lain yang disumbangkan para
linguis Arab untuk memahami al-Qur`an, hadis dan buku-buku berbahasa Arab, yang
kemudian dikembangkan dan diinovasi oleh generasi berikunya.
Adanya perhatian terhadap studi mengenai makna muncul seiring dengan
adanya kesadaran para ahli bahasa dalam memahami ayat-ayat al-Qur`an disamping
juga dalam rangka menjaga kemurnian bahasa Arab. Berbagai kajian tentang bahasa
Arab, baik kajian tentang sistem bunyi, kajian bentuk kata, struktur kalimat, kajian
sistem makna (dalâlah), ataupun kajian tentang uslûb dan ragam kalimat atas dasar
kontekstual, pada mulanya hanya dimaksudkan untuk pengabdian kepada agama,
yaitu untuk menggali isi kandungan al-Qur`an, mencegah kesalahan membacanya dan
memahami hadis Rasul yang menjadi sumber hukum Islam dan konstitusi dasar bagi
kaum muslimin.288
tulis komunitas Arab; oleh karena itu setelah kata dikembangkan dengan teknik tersebut, kemudian
diidentifikasi kata yang muḥmal, agar ada kejelasan mengenai kata yang terpakai. Lihat materi
tentang Isytiqâq al-Akbar, Ibn Jinnî, al-Khashâish, Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1983),
h. 136.
287
‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî (wafat 471) dikenal sebagai ahli gramatikal Arab, dia belajar dari
‗Ali al-Fârisî pemegang riwayat al-Kitâb (karya Sibawaih), ia juga dikenal sebagai pelatak ‗ilm alBayân disebabkan ketidakpuasannya pada konsep makna nahwî khususnya ketika ia memberikan
makna pada ayat al-Qur‘an, sebagaimana ketidakpuasan Chomsky pada konsep strukturalis De
Sausure dan al-Ma‘ânî yang kemudian dikembangkan oleh al-Sakâkî. Lihat, Mauqi‘ Ya‘sûb, Mu‟jam
al-Mathbû‟ât, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî, 1982), Jilid 1, h. 681, ‗Abd al-Qâhir al-Jurjanî, Asrâr alBalâghah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982), h. 1, dan http://www.ArabicEncyclopedia.com. Diakses, 13
Maret 2008.
288
Hal ini dirasakan urgen dilaksanakan karena tuntutan masyarakat muslim yang mulai
banyak bergaul dengan non-Arab yang berpengaruh pada pergeseran kemurnian bahasa Arab dan
mulai adanya problem dalam pemahaman terhadap al-Qur‘an. Bahkan ada banyak kasus lahn pada
masa sahabat dan tabi‟în awal yang menuntut para ahli bahasa Arab mereka meletakkan dasar-dasar
kaidah bahasa Arab. Seperti kasus juru tulis Abû Mûsâ al-Asy‘arî jaman ‗Umar ra., kasus yang
dijumpai Abû al-Aswâd al-Dualî, kasus yang ‗Amr ibn al-‗Alâ dan kasus-kasus lainnya, Lihat, ‗Abd
al-Karîm Muẖammad al-As‘ad, al-Wasîth Fi Târîkh al-Nahw al-„Arabî, (Riyaḍ: Dâr al-Syawq, 1992),
102
Oleh karena itu kajian agama Islam erat sekali hubungannya dengan bahasa
Arab, dan agama menjadi motivasi para pakar bahasa Arab untuk memberikan
perhatian besar terhadap usaha penghimpunan bukti-bukti kebahasaan dan membuat
kaidah-kaidah bahasa, sehingga kebanyakan pakar linguistik Arab adalah juga orangorang yang ahli dalam bidang agama, seperti dalam bidang tafsir, hadis, teologi dan
fiqh. Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa di antara bentuk praktis usaha para
linguis Arab menghimpun ungkapan Arab serta analisis makna yang terkandung
dalam kata atau ungkapan suatu ayat, untuk memahami dan menggali hukum-hukum
dari al-Qur`an, agar dapat membantu orang-orang yang ingin memahami al-Qur`an
dan hadis Nabi serta buku-buku lainnya.289
Kajian semantik, sebagai satu disiplin dalam linguistik, dalam penafsiran alQur‘an telah mulai dilakukan oleh Muqâtil ibn Sulaimân (w. 150 H./767 M.) dengan
karyanya yang berjudul al-Asybâh wa al-Nadzâir fi al-Qur‟ân al-Karîm dan Tafsîr
Muqâtil ibn Sulaimân.290 Muqâtil ibn Sulaimân menegaskan bahwa setiap kata dalam
al-Qur‘an di samping memiliki makna yang definite, juga memiliki beberapa
h. 23-25; al-Qifthî, Inbâh al-Ruwât „âlâ Anbaâh al-Nuhât, Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah,
1979), Cet. 2, h. 319.
289
Untuk mendapatkan arti yang tepat dan menetapkan suatu kaidah kebahasaan terhadap
kata dalam ayat al-Qur`an umpamanya, mereka tidak segan-segan untuk mengadakan perjalanan jauh
pergi ke daerah pedalaman jazîrah Arab yang bahasa Arabnya dinggap masih murni, terhindar dari
pengaruh bahasa lain. Lihat, Hadzr Mûsa ‗Ali Maẖmûd, al-Nahw wa al-Nuhhât: al-Madâris wa alKhashâish, (Kairo: Dâr ‗Alam al-Kutûb, t.t.), h. 46-55, dan Tammâm Hassan, al-Ushûl: Dirâsah
Istimûlojiah li al-Fikr al-Lughwi „inda al-„Arab, (Kairo: Dâr ‗Âlam al-Kutub, 2000), h. 31-37. Tokoh
linguis aliran Kûfî, al-Kisâî (wafat 198 H.) pernah bertanya kepada al-Khalîl ibn Aẖmad: ―Dari mana
anda memperoleh ilmu bahasa ini? al-Khalîl menjawab, pedalaman Hijâz, Najd dan Tihâmah.
Kemudian al-Kissâî keluar menuju pedalaman jazîrah Arab, dan baru kembali setelah menghabiskan
kurang lebih lima belas botol tinta untuk mencatat tentang bahasa, selain yang telah dihafalnya. Lihat,
Ramadhân ‗Abd al-Tawwâb, Fushûl fi Fiqh al-„Arabîyyah, (Kairo: Maktabah al-Kanji, 1979), h. 230.
Muṣṭafȃ ‗Abd al-‘Azȋz al-Sanjarjȋ, al-Madzȃḥib al-Nahwiyah, (Jeddah: al-Fashȋliyah, 1988), h. 38.
Nama lengkap al-Kisâî adalah Abu al-Hasan ‗Ali ibn al-Hamzah al-Kissâî, lahir di Kufah, belajar
gramatikal Arab dengan Mu‘az al-Harra‘, penulis pertama buku-buku gramatikal Arab dari aliran Kûfî,
namun karya-karyanya tidak bertahan sampai sekarang. Lihat, Muẖammad al-Tanthawî, Nasy`ah alNaẖw wa al-Tarîkh Asyhuri al-Nuhât, (Kairo: Dâr al-Manâr, 1991), h. 70.
290
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2005), h. 169-170. Dan penulis yang sama, Pemikiran Progressif dalam Kajian Al-Qur‟an, (Jakarta:
Kencana, 2008),h. 120.
103
alternatif makna lainnya.291 Berkenaan dengan adanya kemungkinan makna ini,
Muqâtil menyatakan bahwa ―seseorang belum bisa dikatakan menguasai al-Qur‘an
sebelum ia menyadari dan mengenal pelbagai dimensi yang dimiliki al-Qur‘an
tersebut.‖292
Selain Muqâtil, sarjana yang melakukan hal senada adalah Hârun ibn Mûsa
(w. 170 H./786 M.) dalam karyanya al-Wujûh wa al-Nadzâir fi al-Qur‟ân alKarîm.293 Demikian juga al-Jâhiz dapat dikategorikan kelompok ini dengan pelbagai
karya yang ditulisnya seperti al-Bayân wa al-Tabyîn, al-Hayawân, al-Bukhalâ‟, alUtsmâniyyah, Rasâil al-Jâhiz, dan lain-lainnya.294 Tokoh lain yang juga
mendiskusikan aspek makna adalah Ibn Qutaibah (w. 276 H./898 M.) dengan
291
Salah satu contohnya adalah kata ―yad‖ yang memiliki makna dasar atau leksikal ―tangan‖.
Menurut Muqâtil, dalam konteks pembicaraan ayat, kata tersebut bisa memiliki tiga alternatif makna,
yaitu: i) tangan secara fisik sebagai anggota tubuh, seperti dalam al-A‘râf (7): 108, wa nazaʻa yadahû
fa idza hiya baydhâu li al-nâzhirîn; ii) kedermawanan, seperti dalam al-Isra (17): 29, wa lâ tajʻal
yadaka maghlûlatan ilâ ʻunuqika wa lâ tabsuthha kulla al-basthi fa taqʻuda maluman mahsûran, juga
dalam al-Mâidah (5): 64, wa qâlat al-yahûdu yad Allah maghlûlatan; iii) aktifitas atau perbuatan,
seperti dalam Yâsîn (36): 35, li ya‟kulû min tsamarihî wa mâ „amilathu aidîhim afalâ yasykurûn, serta
al-Hajj (22): 10, dzâlika bi mâ qaddamat yadâk. Muqâtil, al-Asybâh wa al-Nadzâir fi al-Qur‟ân alKarîm, (ed.), ʻAbd Allah Maẖmûd Syihata, (Kairo: al-Hay‘ah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitâb,
1975), h. 321-322, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra
Terbesar, h. 170-171. Dan penulis yang sama, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 121.
292
Nashr Hâmid Abû Zaid, al-Ittijâh al-„Aqli fi al-Tafsîr: Dirâsah fi Qadiyah al-Majâz inda
al-Mu‟tazilah, (Kairo: al-Markaz al-Thaqafî al-‗Arabî, 1997), h. 98.
293
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 172. Dan penulis yang
sama, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 122.
294
Dalam Rasâil, Jilid III, h. 347-349, al-Jâẖizh, sebagaimana dikutip oleh M. Nur Kholis
Setiawan, mendiskuskan beberapa contoh atau representasi ―nuansa makna‖ yang berbilang dari
kosakata. Salah satunya yang menonjol adalah nafkh al-rûh dalam al-Nisâ‘ (4):171; al-Sajdah (32):9;
Shâd (38):72; al-Taẖrîm (66):12. Al-Qur‘an meyebutkan kata ini dalam konteks yang berbeda-beda,
yang oleh al-Jâẖizh diistilahkan dengan ―ruang semantis‖ yang bisa mempengaruhi makna tersebut.
Pertama, al-Qur‘an menyebutkan kata ini dalam al-Nisâ‘ (4): 171; Kedua, dalam al-Sajdah (32):9;
Shâd (38):72; al-Taẖrîm (66):12. Menurut al-Jâẖizh, kata al-rûh ketika dirangkai dengan kata ―Tuhan‖
berarti jiwa dan dzat Tuhan. Kata ini juga berarti al-Qur‘an itu sendiri, khususnya dalam konteks alSyura (42):52, wa kadzâlika auẖainâ ilaika rûẖan min amrinâ, dan al-Qadr (97):4, tanazzal almalâikatu wa al-rûẖ fî hâ. Meskipun kata tersebut oleh para mufassir dipahami sebagai jiwa dan ruh,
bagi al-Jâhiz kata dalam konteks dua ayat tersebut tetap diartikan sebagai al-Qur‘an. Karena jiwa
dalam kedua ayat tersebut bukan sembarang jiwa, melainkan memiliki aspek yang dalam dari wahyu
yakni ruh Tuhan. Lihat, M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 173. Juga
tulisannya dalam, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 123-124.
104
karyanya yang berjudul Ta‟wîl Musykil al-Qur‟ân.295 Ia tidak saja mengulas kosakata,
akan tetapi juga sintaksis. Hal ini menunjukkan bahwa ia menekankan peranan
penting konteks dalam pemaknaan.296
Kesibukan para ahli dan pengkaji al-Qur‘an dalam kurun waktu paruh
pertama abad kedua hijrah ini menandakan pengembangan yang berarti dalam
stadium embrional penafsiran al-Qur‘an, terutama dengan metode analisis semantik.
Pada satu sisi, perhatian demikian pada masa awal, menjadi salah satu pelecut
perhatian beberapa sarjana di era modern dan kontemporer untuk mengkaji al-Qur‘an
dengan metode analisis yang sama.
Salah satu sarjana yang menggunakan metode analisis semantik dalam kajian
al-Qur‘an adalah Toshihiko Izutsu. Namun ia memandang bahwa semantik bukanlah
analisis sederhana terhadap struktur bentuk kata maupun kajian terhadap makna asli
(makna denotatif) yang melekat pada bentuk kata tersebut atau analisis etimologis,
tetapi sebagai suatu kajian analitis terhadap istilah-istilah kunci dari suatu bahasa
dengan maksud untuk akhirnya menangkap pandangan dunia (weltanschauung) dari
orang-orang yang menggunakan bahasa itu tidak hanya sebagai alat untuk berbicara
dan berpikir, namun lebih penting lagi sebagai alat untuk menangkap dan
menerjemahkan dunia yang mengelilinginya.297 Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa
semantik dalam pengertian seperti itu adalah sejenis weltanschauunglehre, sebuah
kajian terhadap sifat dan struktur pandangan dunia suatu bangsa saat sekarang atau
pada periode sejarahnya yang signifikan, dengan menggunakan alat analisis
metodologis terhadap konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya
sendiri dan telah mengkristal ke dalam kata-kata kunci bahasa itu.298
295
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 174. Juga tulisannya dalam,
Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 124.
296
Lihat M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, h. 174. Juga tulisannya
dalam, Pemikiran Progressif dalam Kajian al-Qur‟an, h. 124.
297
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic
Weltanschauung, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), h. 3.
298
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 3.
105
Dari paparan ini Toshihiko Izutsu tampaknya setuju dengan hipotesis Edward
Sapir (1884-1939), salah seorang tokoh Strukturalisme,299 yang menyatakan bahwa
bahasa, budaya, dan kepribadian adalah satu kesatuan utuh. Bahasa adalah sarana
apresiasi perilaku dan pengalaman manusia, karena pengalaman dapat
diinterpretasikan oleh adat kebiasaan bahasa.300 Dengan demikian, maka bahasa –
menurut Edward Sapir – merupakan alat untuk mengungkapkan ide atau gagasan.
Hipotesis ini kemudian diperkuat oleh Hans Georg Gadamer (1900-1960) yang
menyatakan bahwa bahasa adalah produk kekuatan mental manusia, dan setiap
bahasa dengan kekuatan linguistiknya merupakan wadah akal-budi manusia.301
Bahasa memiliki hubungan dua arah dengan realitas sosial. Di satu pihak
bahasa dapat menjadi cermin bagi keadaan di sekelilingnya, namun di lain pihak ia
juga dapat membentuk realitas sosial itu sendiri. Kemampuan bahasa untuk
membentuk realitas sosial, juga diungkapkan bahwa semua bahasa memiliki power
untuk mengkonstruksi. Oleh karena itu, bahasa bukan semata-mata alat komunikasi
atau sebuah sistem kode atau nilai yang sewenang-wenang menunjuk pada satu
realitas yang monolitik. Secara sosial, ia lebih dikonstruksi dan direkonstruksi dalam
setting sosial tertentu, daripada tertata menurut hukum dan kaedah secara ilmiah
universal. Martin Heidegger (1889-1976) pernah mengungkapkan bahwa dalam
bahasalah bersemayam ―sang ada‖.302 Oleh karena itu, sebagai representasi dari
hubungan-hubungan sosial tertentu, simbol-simbol bahasa senantiasa membentuk
subjek-subjek, strategi-strategi, dan tema-tema wacana tertentu.
299
Strukturalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia sebagai sebuah
struktur berikut unsur-unsur pembangunnya. Berbagai unsur pembangun struktur tersebut dipandang
lebih sebagai susunan hubungan yang dinamis daripada sekadar susunan benda-benda. Oleh karena itu,
masing-masing unsur hanya akan bermakna karena, dan ditentukan oleh, hubungannya dengan unsur
yang lain di dalam struktur. Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis eLibrary, 2004), h. 6-7.
300
Lihat Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech, (New York:
Harcourt Brace, 1921), h. 13.
301
Hans Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: Continuum, 1989), 2 nd Revision, h.
439.
302
W.J. Richardson, Martin Heidegger: Through Phenomenology to Thought. (The Hague:
Nijhoff, 1964), h. 320-330.
106
Dari uraian di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa semantik merupakan
sebuah bidang kajian yang luas dan berkembang secara terus-menerus. Kalau dalam
perkembangan awal semantik hanya berkaitan dengan makna sebuah teks, maka
semantik modern juga menaruh perhatian pada hubungan bahasa dan pikiran.
2. Istilah-istilah Kunci dan Weltanschauung
Toshihiko Izutsu mengaitkan metode semantik dengan weltanschauung.303
Secara sederhana, term ini sering diartikan sebagai filsafat hidup atau prinsip hidup.
Setiap agama (kepercayaan), bangsa, dan kebudayaan, bahkan setiap orang
mempunyai weltanscahuung masing-masing. Pada tataran wacana ilmiah, term ini
dimaknai secara lebih kompleks. Menurut Ninian Smart, weltanschauung adalah
kepercayaan, perasaan, dan apa saja yang terdapat dalam pikiran orang yang
berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.304
Sementara Thomas F. Wall memaknai weltanschauung sebagai sistem kepercayaan
asasi manusia yang integral mengenai hakikat dirinya sendiri, realitas yang
mengelilinginya, dan makna eksistensi.305 Pengertian-pengertian ini menunjukkan
bahwa weltanschauung merupakan sumber kekuatan bagi keberlangsungan atau
perubahan sosial dan moral, sekaligus merupakan landasan bagi pemahaman realitas
dan aktifitas ilmiah.
Dalam khazanah keilmuan Islam klasik, term khusus untuk pengertian
weltanscahauung, yang merupakan kata lain dari woldview, belum ada. Hal ini,
menurut Fazlur Rahman, karena permasalahan ini belum pernah dirumuskan secara
303
Merupakan istilah Jerman untuk menyebut pandangan dunia. Term ini sinonim dengan
worlview dalam bahasa Inggris. Edwin Hung menyamakannya dengan paradigma. Lihat Edwin Hung,
The Nature of Science: Problem and Perspectives, (Belmont: Wardsworth Publishing Company,
1997), h. 368.
304
Ninian Smart, Worldview; Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York:
Charles Sibner‘s Son, t.th.), h.1-2.
305
Thomas F. Wall, Thinking Critically about Philosophical Problem: A Modern
Introduction, (Belmont: Wadsworth Thompson Learning, 2001), h. 532.
107
sistematis dalam sejarah Islam.306 Para sarjana Muslim abad ke-20 menggunakan
istilah yang berbeda untuk menunjuk kepada pengertian weltanschauung ini. Maulana
al-Maududi mengistilahkannya dengan Islâmi Nazariat (Islamic Vision),307 Sayyid
Quthb menggunakan istilah al-Tasawwur al-Islâmî (Islamic Vision),308 Muẖammad
Athif al-Zain menyebutnya dengan al-Mabda‟ al-Islami (Islamic Principle),309
sementara Naquib al-Attas menamakannya Ru‟yât al-Islâm li al-Wujûd (Islamic
Vision).310 Meskipun istilah yang dipakai berbeda-beda, pada dasarnya para sarjana
tersebut memiliki semangat yang sama, yaitu untuk menunjukkan bahwa Islam
mempunyai cara pandang sendiri terhadap segala sesuatu. Penggunaan kata sifat
―Islam‖ menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya umum dan netral.
Dalam pandangan Syed Naquib al-Attas, dari perspektif Islam, sebuah
―pandangan dunia‖ tidak hanya pandangan akal terhadap dunia fisik dan keterlibatan
manusia secara historis, sosial, politik, dan budaya di dalamnya. Ia tidak berdasarkan
pada spekulasi filsafat yang dirumuskan terutama dari penyelidikan terhadap data
pengalaman dan penginderaan semata, karena semua itu terbatas dalam dunia materi
saja. Pandangan dunia menurut Islam berhubungan dengan aspek alam akhirat.
Segala sesuatu dalam Islam pada akhirnya difokuskan pada aspek akhirat, tanpa
mengabaikan aspek dunia.311 Pandangan Syed Naquib al-Attas ini sejalan dengan
Toshihiko Izutsu. Weltanschauung al-Qur‘an yang ingin diungkap Toshihiko Izutsu
306
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,
(Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 3-4.
307
Maulana al-Maududi, The Process of Islamic Revolution, (Lahore: t.p., 1967), h. 14 dan
41.
308
Sayyid Quthb, Muqawwamât al-Tasawwur al-Islâmî, (t.tp: Dâr al-Syurûq, t.th.), h. 41.
309
Muẖammad Athif al-Zain, al-Insân, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnân, 1989), h. 13.
310
Syed Naquib al-Attas, ―Islamic Philosophy: An Intoduction‖ dalam Journal of Islamic
Philosophy 1 (2005), h. 12. Diakses dari http;//www.pdcnet.org/pdf/jip1-Naquib%20al-Attas.pdf pada
tanggal 10 Agustus 2009. Tulisannya yang lebih lengkap terdapat dalam, Prolegomena to the
Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1995), h. 2.
311
Syed Naquib al-Attas, ―Islamic Philosophy: An Intoduction‖, h. 11; Prolegomena to the
Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, h. 1.
108
tidak hanya berkisar pada realitas yang tampak saja, namun juga realitas yang tidak
tampak.
Uraian di atas, selain menunjukkan keterpengaruhan Toshihiko Izutsu oleh
hipotesis Edward Sapir, juga semakin memperjelas pengertian semantik yang
digunakan oleh Toshihiko Izutsu. Semantik dimaksud adalah sejenis ontologi yang
konkrit, hidup, dan dinamis, bukan semacam ontologi yang sistematis-statis yang
merupakan hasil pemikiran seorang filosof. Menurut Toshihiko Izutsu, analisis
semantik akan membentuk sebuah ontologi wujud (being) dan eksistensi pada tingkat
konkrit sebagaimana tercermin dalam ayat-ayat al-Qur‘an. Tujuannya adalah untuk
memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur‘an dengan penelaahan
analitis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang
tampaknya memainkan peran yang menentukan dalam pembentukan weltanschauung
al-Qur‘an.312 Jadi, semantik yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu tidak hanya untuk
memahami makna, tetapi sekaligus budaya yang terkandung dalam bahasa itu.
Menurut Toshihiko Izutsu, hal ini merupakan bukan pekerjaan yang mudah.
Kata-kata atau konsep-konsep dalam al-Qur‘an tidak sederhana. Kedudukannya
masing-masing saling terpisah, tetapi memiliki ketergantungan yang sangat kuat
antara satu dengan yang lain, dan makna konkret dihasilkan dari seluruh sistem yang
saling berhubungan tersebut.313
Sebenarnya, menurut Toshihiko Izutsu, ada cara yang lebih mudah untuk
memahami makna sebuah kata asing, yaitu dengan menerjemahkan kata tersebut ke
dalam bahasa orang itu sendiri.314 Dengan cara ini, kata Arab ―kâfir‖ dapat dijelaskan
312
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 3.
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 4.
314
Kata terjemah secara etimologis berasal dari bahasa Arab (tarjamah), yang artinya: (a)
menerangkan dan menjelaskan (bayyanahu wa wadhdhaẖahu); (2) memindahkan makna kalimat dari
suatu bahasa ke bahasa lain (naql al-kalâm min lughah ilâ ukhrâ); (3) biografi seseorang (sîratuhu wa
ẖayâtuhu). Majma‗ al-Lughah al-‗Arabiyah Mesir, al-Mu„jam al-Wasîth, (Istambul: al-Maktabah alIslâmiyah, t.th), h. 83. Hans Wehr, Mu„jam al-Lughah al-„Arabiyah al-Mu„âshirah: „Arabiy – Inkliziy,
(Beirut: Maktabah Lubnân, 1980), Cet. III, h. 93. Muẖammad ibn Abî Bakr al-Râzî menambahkan
bahwa kata ini juga berarti menerangkan kalimat dengan bahasa lain (fassara al-kalâm bi lisân âkhar).
Muẖammad ibn Abî Bakr al-Râzî, Mukhtâr al-Shiẖâẖ, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), h. 108. Sementara
313
109
bahwa ia memiliki makna yang sama dengan kata Inggris ―misbeliever‖, ‖dzâlim‖
sama dengan ―evildoer‖, ―zhand‖ sama dengan ―sin‖, dan seterusnya. Namun dalam
penilaian Toshihiko Izutsu, cara ini kurang dapat diandalkan.315 Memang tidak ada
kata dari dua bahasa yang berbeda yang benar-benar memiliki muatan makna yang
sama (sinonim), karena – sebagaimana telah dikemukakan di depan – setiap bahasa
lahir dari pola pikir yang berbeda dalam memandang dunia. Dan ini merupakan salah
satu problem yang mendasar dalam penerjemahan.316 Penerjemahan kata-kata asing
ke dalam padanannya dalam bahasa sasaran, menurut Toshihiko Izutsu, hanyalah
merupakan sebuah langkah pertama untuk mempelajari bahasa asing.317
Supaya tidak terjadi eliminasi dalam memahami konsep weltanschauung alQur‘an, Toshihiko Izutsu berusaha untuk membiarkan al-Qur‘an menjelaskan
konsepnya sendiri dan berbicara untuk dirinya sendiri.318 Caranya adalah dengan
mengumpulkan semua kata-kata penting yang mewakili konsep-konsep penting
menurut Muẖammad Enani, kata ini mencakup semua hal yang terkait dengan penerjemahan, seperti
proses penerjemahan („amaliyah al-tarjamah) dan teks yang diterjemahkan (al-nashsh al-mutarjam).
Muẖammad Enani, Nazhariyah al-Tarjamah al-Haditsah: Madkhal ilâ Dirâsât al-Tarjamah, (Kairo:
Longman, 2003), h. 5. Adapun secara terminologis, menerjemah berarti mengganti materi tekstual
dalam suatu bahasa dengan materi tekstual yang padan dalam bahasa lain. J.C. Catford, Linguistic
Theory of Translation, (Oxford: Oxford University Press, 1969), h. 20. Lihat juga Eugene A. Nida dan
Charles S. Taber, Theory and Practice of Translation, (Leiden: E.J. Brill, 1982), h. 12.
315
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal: McGill-Queen‘s
University Press, 2002), h. 24.
316
Secara umum, problem penerjemahan dapat dibagi dua, yaitu: pertama, berkaitan dengan
kosakata, dan kedua, berkaitan dengan susunan kalimat. Lihat Muẖammad Enani, Fann al-Tarjamah,
(Beirut: Maktabah Lubnân Nasyirûn,), Cet. VII, h. 4.
317
Dalam pengajaran bahasa asing, terdapat banyak cara atau metode yang dikembangkan.
Salah satunya adalah metode terjemah. Metode ini dalam prakteknya dikombinasikan dengan
pengajaran tatabahasa, sehingga disebut dengan metode tatabahasa-terjemah (grammar-translation
method). Lihat Rusydi Aẖmad Thu‗aimah, Ta„lîm al-„Arabiyah li Ghair al-Nâthiqîna bi hâ:
Manâhijuhu wa Asâlibuhu, (Rabath: ISESCO, 1989), h. 127-129. Shalâh ‗Abd al-Majîd al-‗Arabî,
Ta„allum al-Lughât al-Hayyah wa Ta„lîmuhâ: Baina al-Nazharîyah wa al-Tathbîq, (Beirut: Maktabah
Lubnân, 1981), h. 40-41. Nâyif Kharmâ dan ‗Alî Hajjâj, al-Lughât al-Ajnabîyah: Ta„îmuhâ wa
Ta„allumhâ, (Kuwait: al-Majlis al-Wathanî li al-Tsaqâfah wa al-Funûn wa al-Âdâb, 1988), h. 169-172.
Jack C. Richards dan Theodore S. Rodgers, Approaches and Methods in Language Theaching, (New
York: Cambridge University Press, 1992), h. 3-5. Sri Utari Subyakto Nababan, Metodologi
Pengajaran Bahasa, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 11-14. Dan Bambang Kaswanti
Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 43-44.
318
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 4.
110
seperti Allah, Islâm, nabî, îmân, kâfir, dan lain sebagainya, lalu menelaah makna
kata-kata itu dalam konteks al-Qur‘an. Kata-kata penting ini, oleh Toshihiko Izutsu,
disebut sebagai istilah-istilah kunci. Konsep ini menunjukkan bahwa tidak semua
kata-kata dalam suatu kosakata memiliki nilai yang sama dalam pembentukan
struktur dasar konsepsi ontologis yang didasari kosakata tersebut.
Istilah-istilah kunci merupakan pola umum kosakata yang mewakili kata-kata
yang menjadi anggotanya. Istilah-istilah kunci tersebut memiliki hubungan antara
satu dengan yang lain sebagai suatu hubungan yang sangat kompleks dan memiliki
arah yang beragam.319 Berdasarkan eksposisi ini, sekarang dapat diketahui bahwa
kosakata dalam pengertian ini bukanlah semata-mata jumlah totalitas kata dari suatu
bahasa, dan bukan pula sekedar kumpulan acak sejumlah besar kata tersebut yang
dikumpulkan tanpa aturan dan prinsip yang masing-masing berdiri sendiri tanpa ada
hubungan dengan kata-kata yang lain.320 Kosakata adalah struktur multi-strata yang
dibentuk secara linguistik oleh kelompok-kelompok istilah-istilah kunci.321
Istilah-istilah kunci al-Qur‘an yang memainkan peranan yang sangat
signifikan dalam penyusunan struktur konseptual dasar pandangan dunia kitab suci
ini, menurut Toshihiko Izutsu, tidak ada satu pun yang baru, termasuk kata Allah
yang sekaligus berfungsi sebagai kata fokus tertinggi sebagaimana akan dikemukakan
dalam bagian selanjutnya. Tidak hanya istilah-istilah kunci saja, bahkan semua
kosakata yang digunakan oleh al-Qur‘an berasal dari kosakata pra-al-Qur‘an.322
319
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 20.
Gambaran umum tentang kosakata pada umumnya adalah khazanah atau perbendaharaan
kata suatu bahasa yang tersusun secara alfabetis. David Grambs, misalnya, mengatakan: ―Vocabulary
is a list of words, usually defined and alphabetized, as in dictionary or specialized glossary; complete
word stock of language; sum corpus of words used in a sublanguage by group, class, or individual
scope of diction;command of words or range of expression.‖ David Grambs, Words About Words,
(New York: Mc. Graw Hill Book Company, 1979), h. 387.
321
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 20.
322
Toshihiko Izutsu menegaskan: ―Since, the Qur‟an is, linguistically, a work of genuine
Arabic, it will readily be seen that all the words used in this Scripture have a pre-Qur‟anic or Islamic
background. Many of them came from the rank and file of pre-Islamic Arabic.‖ Toshihiko Izutsu, God
and Man in the Qur‟an, h. 38-39.
320
111
Hanya saja kata-kata tersebut berada dalam sistem konseptual yang berbeda. AlQur‘an menggunakan kata-kata tersebut dan mengkombinasikannya dalam suatu
kerangka konseptual yang secara total baru, dan dengan demikian belum dikenal pada
masa pra-al-Qur‘an.
Kata-kata yang menempati status sebagai istilah-istilah kunci dalam sistem alQur‘an, dilihat secara diakronis, memiliki dua tipe: Pertama, kata-kata tersebut
berasal dari kata-kata umum yang kedudukannya jauh di bawah tingkatan istilah
kunci. Kata taqwâ, misalnya, merupakan kata yang sangat penting dalam al-Qur‘an
dan salah satu istilah kuncinya yang paling khas, tempat seluruh bangunan kesalehan
dalam al-Qur‘an berpijak. Namun kata ini pada masa pra-al-Qur‘an merupakan kata
umum yang mengandung pengertian sebagai suatu bentuk perilaku binatang yang
sangat umum, yakni sikap membela diri disertai dengan rasa takut.323
Kedua, istilah-istilah kunci al-Qur‘an yang dalam sistem sebelumnya
merupakan istilah-istilah kunci juga. Hanya saja struktur semantiknya sudah jauh
berubah sebagai akibat dari perobahan sistem tersebut. Contohnya adalah kata karîm.
Kata ini merupakan istilah kunci yang sangat penting pada masa jahiliyah, yang
berarti kemuliaan garis keturunan, yakni seorang yang mulia semenjak lahir karena
silsilahnya yang masyhur dan tak memiliki cela sedikitpun. Kata karîm, dalam
konsepsi jahiliyah juga bermakna seseorang yang memiliki sifat dermawan yang luar
biasa, yang menurut konsep sekarang sifat tersebut dikategorikan sebagai
pemborosan. Dalam konsep al-Qur‘an, muatan makna kata ini harus mengalami
perubahan drastis karena harus diletakkan dalam hubungan yang dekat dengan
taqwâ.324
Untuk dapat menentukan kata-kata mana dari sekian banyak kata dalam alQur‘an yang patut disebut sebagai istilah-istilah kunci, maka seorang penafsir harus
memiliki gambaran skematik umum terlebih dahulu terhadap seluruh obyek yang
323
324
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 39.
Q.S. al-Hujurât (49): 13
112
akan ditafsirkan. Untuk mendapatkan gambaran skematik umum ini, seorang penafsir
disarankan untuk memahami al-Qur‘an secara langsung tanpa didahului oleh
pembacaan-pembacaan terhadap pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh
sarjana-sarjana Muslim dalam rangka memahami dan menafsirkan kitab suci ini.325
3. Makna Dasar dan Makna Relasional
Suatu tanda linguistik (dalam hal ini kata) memiliki dua sisi (two-sided sign)
yang tidak dapat dipisahkan, yaitu: signifie (signified: Inggris) yang merupakan
konsep, pikiran, atau gambaran mental; dan signifiant (signifier: Inggris) yang
merupakan citra akustik atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran
kita.326 Untuk kemudahan dalam tulisan ini, signifie disamakan dengan makna, dan
signifiant dengan kata. Hubungan antara kata dan makna ini bukan merupakan
hubungan yang kaku, dalam arti satu kata tidak hanya memiliki satu macam
makna.327 Di antara ragam makna yang dimiliki oleh satu kata adalah makna denotatif
dan makna konotatif.328
Menurut Toshihiko Izutsu, setiap kata memiliki makna dasar dan makna
relasional.329 Makna dasar merupakan kandungan unsur semantik yang tetap ada pada
bentuk kata tersebut di manapun ia diletakkan dan bagaimanapun ia digunakan.
Sementara makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan
ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi
khusus dan dalam bidang khusus pula.330 Dari pengertian ini, makna dasar dapat
325
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 75.
Menurut Ferdinand de Saussure, bahasa (dalam hal ini kata) merupakan signé linguistique
(tanda linguistik) yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifiant (penanda, citra akustis,
al-dâl) dan signifié (petanda, konsep, al-madlûl). Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum,
terj. Rahayu S. Hidayat, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), 146-147.
327
Abdul Chaer menghimpun tiga belas ragam makna yang dikenal dalam semantik, yaitu:
(1) makna leksikal, (2) makna gramatikal, (3) makna kontekstual, (4) makna referensial, (5) makna
non-referensial, (6) makna denotatif, (7) makna konotatif, (8) makna konseptual, (9) makna asiosiatif,
(10) makna kata, (11) makna istilah, (12) makna idiom, dan (13) makna peribahasa. Lihat Abdul
Chaer, Linguistik Umum, h. 289-297.
328
Aẖmad Mukhtar ‗Umar, „Ilm al-Dilâlah, h. 37.
329
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 11-16.
330
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 12-13.
326
113
disamakan dengan makna leksikal, sementara makna relasional hampir mendekati
makna kontekstual.
Toshihiko Izutsu menggambarkan distingsi kedua makna ini dengan
mengambil contoh kata ―kitâb‖. Kata ini memiliki makna dasar ―buku‖, namun dalam
konteks al-Qur‘an kata ―kitâb‖ memperoleh makna yang luar biasa pentingnya
sebagai isyarat konsep religius yang sangat khusus yang dilingkupi oleh cahaya
kesucian. Ini dilihat dari kenyataan bahwa kata ―kitâb‖ terletak dalam hubungan yang
sangat dekat dengan wahyu Ilahi, atau konsep-konsep yang cukup beragam yang
merujuk langsung pada wahyu.331
Jadi, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, suatu kata ketika digunakan dalam
kalimat atau suatu konsep tertentu maka ia memiliki makna baru yang diperoleh dari
posisi dan hubungannya dengan kata-kata lain dalam struktur kalimat atau konsep
tersebut. Kata ―kitâb‖ dalam konsep al-Qur‘an bermakna al-Qur‘an itu sendiri karena
ia berhubungan erat dengan kata-kata Allah, wahyu, tanzîl, dan nabî.332 Dan bisa juga
dimaknai sebagai Taurat atau Injil ketika ia, selain berhubungan erat dengan kata-kata
Allah, wahyu, tanzîl, dan nabî, berhubungan dengan kata ahl. Sehingga ahl al-kitâb
dapat dipahami sebagai masyarakat yang memiliki Taurat atau Injil.333
331
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 11.
Daniel A. Madigan menyatakan bahwa makna kitâb dalam al-Qur‘an bukan merujuk
kepada sebuah mushẖaf ataupun buku. Dalam pandangannya, al-Qur‘an bukanlah sebuah buku yang
umumnya diterima dengan makna mushẖaf tertutup (closed corpus). Ia lebih merupakan simbol dari
sebuah proses keterlibatan Tuhan dan manusia yang berkesinambungan, suatu keterlibatan yang kaya
dan beragam, namun langsung dan spesifik di dalam ucapannya yang hal tersebut tidak akan dapat
dipahami di dalam sebuah kanon yang tetap atau terbatas di antara dua sampul. Daniel A. Madigan,
The Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s Scripture, (New Jersey: Princeton
University Press, 2001), h. 165.
333
Menurut Fazlur Rahman, perkataan kitâb sering dipergunakan al-Qur‘an bukan dengan
pengertian kitab suci tertentu, tetapi sebagai istilah umum yang mempunyai pengertian keseluruhan
wahyu-wahyu Tuhan. Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1996), h. 235. Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya, al-Manar, menegaskan
bahwa di luar kalangan Yahudi dan Kristen juga terdapat ahli kitab. Ia menyebutkan tidak hanya kaum
Majusi dan Sabiin saja sebagai ahli kitab, tetapi juga Hindu, Budha, dan Konfusius. Ini disebabkan
karena kaum Majusi dan Sabiin berada dekat dengan mereka di Irak dan Bahrain. Selain itu, orang
memang belum pernah melakukan perjalanan ke India, Jepang, dan Cina, sehingga mereka belum
mengetahui golongan-golongan yang lain. Dalam hal ini, tujuan ayat suci sebenarnya sudah tercapai
dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal oleh orang-orang Arab, sehingga tidak perlu
332
114
Oleh karena itu, menurut Toshihiko Izutsu, kata-kata dalam al-Qur‘an harus
dipahami dalam kaitannya dengan kata-kata lain yang mengelilinginya. Dengan kata
lain, makna relasional memiliki kedudukan yang lebih penting dari pada makna
dasarnya. Bahkan makna yang dibangun dari relasi antar kata itu dapat
menghilangkan makna dasarnya. Peristiwa seperti ini menandai lahirnya sebuah kata
baru. Dalam hal ini, Toshihiko Izutsu mencontohkan transformasi semantik kata kerja
kafara dalam al-Qur‘an. Kafara memiliki makna dasar ―tidak berterima kasih‖ atas
pemberian orang lain, baik pemberian itu berupa jasa ataupun materi. Dengan
demikian, kafara merupakan lawan dari syakara yang berarti ―berterima kasih‖.
Namun dalam konteks teologi Islam, kata ini bermakna ―tidak percaya‖ kepada Allah.
Dengan demikian, kata ini merupakan lawan dari ―âmana‖ yang artinya ―percaya‖.
Kata kafara dalam pengertian dasarnya tetap digunakan oleh orang Arab Muslim
maupun non-Muslim, dan tetap begitu sejak masa pra-Islam hingga sekarang.334
Transformasi semantik kafara dari ―tidak berterima kasih‖ kepada ―tidak
percaya‖ tejadi secara gradual dan makna baru yang dimilikinya sesungguhnya
tidaklah lepas sama sekali dari makna dasarnya. Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa
kafara dalam konteks teologi pertama bermakna ―tidak berterima kasih‖, tapi tidak
dalam pengertian berterima kasih terhadap kebaikan orang lain. Tidak berterima kasih
di sini adalah kepada kebaikan-kebaikan Allah atau apa saja yang dianggap baik
menurut Allah. Dalam pandangan Islam, Allah-lah yang menciptakan manusia,
memeliharanya, dan mencukupi segala kebutuhannya. Oleh karena itu adalah wajar
jika Allah menyuruh manusia supaya berterima kasih kepada-Nya. Akan tetapi karena
Allah tidak mewujud dalam materi, dan oleh karenanya tidak dapat dilihat, maka ada
kelompok manusia yang tidak mematuhi perintah tersebut. Di sini kita dapat melihat
pergeseran makna kafara dari ―tidak berterima kasih‖ menjadi ―tidak percaya‖.335
keterangan asing. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Vol. VI, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h.
188.
334
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 14.
335
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 14-15.
115
E. Mekanisme Penerapan Metode Semantik terhadap al-Qur‘an
Perumusan pandangan dunia al-Qur‘an, menurut Fazlur Rahman, sangat urgen
karena dimensi metafisis ini merupakan latar belakang bagi elaborasi yang koheren
atas pesan-pesan al-Qur‘an dalam berbagai bidang.336 Pada kesempatan lain Fazlur
Rahman mengatakan bahwa dalam merumuskan pandangan dunia al-Qur‘an, langkah
yang harus dilakukan adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an yang berkaitan dengan
Tuhan, hubungan Tuhan dengan alam dan manusia, dan peran-Nya dalam sejarah
manusia dan masyarakat.337 Dengan menggunakan pendekatan semantik, Toshihiko
Izutsu memperoleh kesan bahwa al-Qur‘an merupakan sebuah sistem multi-strata
besar yang berada pada sejumlah oposisi konseptual mendasar, di mana masingmasing konsep tersebut merupakan sebuah medan semantik khusus. Dengan kata lain,
berdasarkan sudut pandang semantik, pandangan dunia al-Qur‘an dapat digambarkan
sebagai sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip pertentangan konseptual.
Pertentangan tersebut dibentuk oleh: Pertama, hubungan fundamental antara Tuhan
dan manusia; Kedua, pembagian tempat hidup manusia yang terdiri dari alam ghaib
(„âlam al-ghaib) dan alam nyata („âlam al-syahadah); dan Ketiga, konsep kehidupan
dunia (al-dunyâ) dan akhirat (al-âkhirah).338
1. Konsep Allah
Pandangan dunia atau weltanschauung al-Qur‘an, menurut Toshihiko Izutsu,
pada dasarnya bersifat teosentris. Gambaran tentang Tuhan meliputi seluruh sistem
al-Qur‘an. Dan dengan demikian, dalam sistem ini, konsep Tuhan menguasai dan
memaksakan pengaruhnya secara mendalam pada struktur semantik kata-kata kunci.
Atas pertimbangan inilah Toshihiko Izutsu membahas secara khusus konsep Allah ini
336
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, h. 143.
Fazlur Rahman, ―Islam: Challenges and Opporunities,‖ sebagaimana dikutip oleh Ahmad
Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi:
Sulthan Thaha Press, 2007), Cet. II, h. 137.
338
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 75-89.
337
116
dalam God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung,339
sebelum membicarakan secara terperinci mengenai hubungan Tuhan dan manusia.
Toshihiko Izutsu menyatakan bahwa konsep Tuhan dalam weltanschauung alQur‘an berbeda dengan konsep Tuhan dalam filsafat Yunani. Tuhan dalam filsafat
Yunani hidup dalam kemuliaan-Nya, mencukupi diri-Nya sendiri dengan kesunyian
dan jauh dari manusia. Sementara Tuhan dalam weltanschauung al-Qur‘an
melibatkan diri-Nya secara mendalam dalam urusan manusia, tidak hanya ketika
dalam kehidupan dunia ini, tapi juga dalam kehidupan akhirat kelak.340 Pernyataan ini
memiliki alur yang sejalan dengan pendapat Fazlur Rahman. Menurut Fazlur
Rahman, keberadaan Tuhan dalam pandangan al-Qur‘an sesungguhnya bersifat
fungsional. Artinya, Dia adalah Pencipta dan Pemelihara alam semesta dan manusia,
terutama Dia-lah yang memberi petunjuk kepada manusia dan yang akan mengadili
manusia kelak, baik secara individu maupun kolektif, dengan keadilan yang penuh
rahmat.341 Dengan kata lain, konsep Tuhan adalah fungsional. Yakni, Tuhan
dibutuhkan bukan karena siapa Dia atau bagaimana Dia, tetapi karena apa yang Dia
lakukan.342
Pengamatan yang cermat terhadap al-Qur‘an akan mengungkapkan bahwa alQur‘an menghubungkan seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan: mulai dari
hujan sampai ke proses jatuh-bangunnya bangsa-bangsa, dari kemenangan dan
kekalahan dalam perang dan damai sampai ke revolusi yang teratur dari benda-benda
kosmos, semuanya dikembalikan kepada Tuhan. Salah satu fungsi utama dari adanya
gagasan tentang Tuhan, tandas Fazlur Rahman, adalah menjelaskan keteraturan alam
semesta. Keteraturan ini dapat dilihat dari tidak adanya pelanggaran hukum dalam
jagat raya dan seluruh kosmos merupakan kesatuan yang organis. Sementara alam
339
Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, Bab IV, h. 100-124.
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 100.
341
Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur‘an, h. 1.
342
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, peny. Taufik Adnan Amal,
(Bandung: Mizan, 1994), Cet. VI, h. 91.
340
117
menurut al-Qur‘an merupakan sebuah tatanan (kosmos) yang berkembang dan
dinamis. Ia diciptakan bukan untuk suatu permainan yang sia-sia, tetapi harus
ditanggapi secara serius. Manusia harus mempelajari hukum-hukumnya, yang
merupakan bagian dari perilaku Tuhan, dan menjadikannya sebagai arena bagi
aktifitas manusia yang punya tujuan.343
Tuhan dalam al-Qur‘an dikenal dengan nama Allah.344 Kata ini, menurut
Toshihiko Izutsu, bukanlah nama yang asing dan aneh bagi orang-orang Arab pada
masa pra-al-Qur‘an, tapi sudah dikenal luas, bukan saja di lingkungan Yahudi-Kristen
yang monoteistik, tetapi juga di kalangan orang-orang nomaden murni.345 Sebagai
buktinya, kata tersebut sudah digunakan dalam puisi-puisi pra-Islam, gabungan namanama orang, dan tulisan-tulisan kuno.346 Bahkan Toshihiko Izutsu menandaskan
bahwa tanpa bantuan literatur non-al-Qur‘an sekalipun, dalam arti hanya dengan
mengandalkan informasi dari al-Qur‘an semata, dapat diketahui bahwa konsep Allah
tidak hanya ada dalam pandangan religius orang-orang Arab pra-Islam, bahkan lebih
dari itu konsep tersebut sudah memiliki struktur makna batin tersendiri di kalangan
orang-orang Arab pra-Islam tersebut.347Pandangan ini menegaskan apa yang telah
dikemukakannya di depan, bahwa dalam penyusunan struktur konseptual dasar
pandangan dunia al-Qur‘an tidak ada satu pun kata yang baru, termasuk kata Allah itu
sendiri.
343
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, h. 69.
Kata Allah menurut al-Râghib al-Asfahânî, diderivasi dari kata ilâh. Kata ―ilâh‖ ini
dibuang huruf depannya, yaitu hamzah, lalu diberi artikel definitif (alif-lâm) menjadi ―Allah‖. Kata
bentukan baru ini menjadi istilah khusus untuk menyebut Tuhan yang Esa, yang menciptakan dan
memelihara alam semesta serta satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah. Lihat al-Râghib alAsfahâni, Muʻjam Mufradât Alfâdz al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-ʻIlmîyah, 2004), h. 28.
345
Perlu diketahui bahwa, menurut Ali Mufrodi, para sejarawan Muslim tidak memberi
prediket kepada orang-orang Arab pra-Islam itu dengan sebutan paganism, tetapi orang-orang musyrik,
yaitu orang-orang yang mengakui Allah sebagai Tuhan tetapi juga memuja berhala-berhala. Mereka
berkeyakinan bahwa menyembah berhala itu bukan menyembah wujudnya, tetapi hal tersebut
dimaksudkan sebagai perantara untuk menyembah Tuhan. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h. 9.
346
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 5.
347
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 106.
344
118
Berdasarkan fakta tersebut, maka – menurut Toshihiko Izutsu – perlu
dielaborasi apakah konsep al-Qur‘an tentang Allah merupakan kelanjutan dari konsep
pra-al-Qur‘an, ataukah merepresentasikan konsep yang sama sekali terputus dari
konsep sebelumnya? Adakah kaitan esensial antara dua konsep tentang Tuhan yang
ditandai dengan satu nama yang sama? Atau apakah ia merupakan sebuah persoalan
tentang sebuah kata biasa yang digunakan untuk dua obyek yang berbeda?348 Untuk
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Toshihiko Izutsu menelusuri secara
historis sikap orang-orang Arab ketika al-Qur‘an pertama kali menggunakan nama
Allah ini. Ketika al-Qur‘an menyebut kata Allah, timbul perdebatan hangat antara
orang-orang Muslim dan kafir tentang hakikat kata ini. Dari sudut pandang semantik,
peristiwa ini mengindikasikan bahwa ada dasar pemahaman yang sama antara kedua
belah pihak. Sebab kalau tidak ada kesamaan, tentu tidak akan ada perdebatan.
Kesamaan dasar pemahaman tersebut dibangun oleh adanya unsur-unsur umum yang
melekat pada kata Allah tersebut. Unsur-unsur umum itu dapat diketahui berdasarkan
pembedaan metodologis antara makna dasar dan makna relasional.
Makna dasar kata ―Allah‖ dapat dibandingkan dengan kata Yunani ho theos,
yang biasanya berarti ―Tuhan‖. Pada aras makna ini, kata tersebut dikenal oleh semua
suku Arab pada masa pra Islam sebagai dewa lokal, karena masing-masing suku pada
masa itu memiliki tuhan atau dewa lokal yang dikenali dengan nama diri. Orang Arab
utara (Hijaz dan sekitarnya) memiliki tiga dewi, yaitu: al-Lat, al-Uzzâ, dan Manât
yang dianggap sebagai anak-anak perempuan dewa agung (banât Allah). Kabilah
Kinanah yang mempunyai hubungan intim dengan kabilah Quraisy baik dalam
masalah politik maupun dalam soal pertalian darah, menyembah binatang aldoraban
dan dewi al-Uzzâ yang dilambangkan sebagai sebuah pohon di Nakhla. Kabilah
Hawazin yang berdiam di sebelah tenggara kota Mekah menyembah dewi al-Lat yang
bertempat di Thaif dan dewi Manat yang dilambangkan sebagai sebuah batu di jalan
348
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 101.
119
kabilah antara Mekah dan Syiria.349 Sedangkan orang-orang Arab selatan percaya
kepada dewi bulan yang berpasangan dengan dewi matahari. Perkawinan antara
keduanya melahirkan Venus. Mereka menyembah sanam (adalah patung dalam
bentuk manusia yang terbuat dari logam dan kayu), watan (patung yang terbuat dari
batu), dan nusub (merupakan sesembahan dalam bentuk batu karang yang dianggap
berasal dari langit).350 Makna dasar ini merupakan salah satu garis penghubung antara
dua konsepsi tentang Tuhan dalam sistem Arab pra-Islam dengan sistem al-Qur‘an.
Hubungan lain didapat dari pengembangan makna relasional.
Pemahaman tentang makna relasional kata Allah di kalangan orang-orang
Arab pra-Islam perlu dibedakan ke dalam beberapa kasus yang berbeda, yaitu:
Pertama, konsep Allah menurut orang-orang Arab musyrik. Masyarakat Arab pra-alQur‘an telah mengenal konsep Allah sebagai Pencipta dunia; Yang menurunkan
hujan, atau dalam pengertian yang lebih umum, Allah sebagai Pemberi hidup
terhadap segala sesuatu yang ada di bumi; Dalam keadaan tertentu, Allah diyakini
sebagai Yang wajib ditaati; Tuhan Maha Agung yang mengawasi kesucian sumpah;
Pendiri beberapa kebiasaan keagamaan lama; dan Penguasa Ka‘bah. Dalam al-Qur‘an
ditemukan terdapat banyak bagian yang menginformasikan hal tersebut.351 Fakta ini
tentunya cukup mengejutkan, karena konsep demikian memiliki kedekatan dengan
konsep al-Qur‘an. Akan tetapi kondisi ini tidak sampai membawa mereka kepada
monoteisme murni. Mereka tetap menyembah dewa-dewa yang mereka percayai
dapat menghubungkan mereka dengan Allah, dalam kapasitasnya sebagai Tuhan
Ka‘bah di Mekah. Jadi dalam konsep masyarakat Arab pra-Islam, hierarki politeisme
tertinggi tampaknya diberikan kepada Allah.352 Konsepsi ini tampak dengan sangat
349
Syed Ameer Ali, Api Islam, terj. H.B. Jassin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 83.
Muhammad Husein Haekaal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), h. 14.
351
Lihat Q.S. al-Nisâ‘ (4): 139; Q.S. al-Mu‘minûn (23): 86-89; Q.S. al-‗Ankabût (29): 61, 63,
dan 65; Q.S. Luqmân (31): 32; dan Q.S. al-Quraisy (106): 1-3.
352
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 5.
350
120
jelas diungkap dalam al-Qur‘an.353 Al-Qur‘an juga merekam bahwa ide yang
mendasari adanya tuhan-tuhan lain di samping Tuhan yang maha tinggi adalah
qurbân, yang secara harfiah berarti sarana pendekatan, yaitu pengambil hati dan
perantara.354 Hal yang sama dilontarkan oleh W. Montgomery Watt. Ia menuturkan
bahwa kedudukan Allah dalam sistem kepercayaan masyarakat Arab pra-Islam
sebagai the High God, sementara dewi-dewi sebagai the lesser deities yang berfungsi
sebagai perantara dalam menyembah Allah.355
Kedua, konsep Allah menurut orang-orang Yahudi dan Kristen. Pada masa
itu, masyarakat Arab tinggal di lingkungan yang dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan
Kristen yang besar.356 Kerajaan Bizantium,357 kerajaan Abyssina,358 dinasti
Ghassaniyah,359 dan dinasti Lakhmid,360 semua merupakan kerajaan-kerajaan Kristen.
353
Dalam Q.S. al-Zumar (39): 3, sejumlah orang musyrik berkata: ―Kami hanya menyembah
mereka (tuhan-tuhan lain) karena mereka membuat kami lebih dekat kepada Allah.‖
354
Q.S. al-Ahqâf (46): 28.
355
W. Montgomery Watt, ―The Qur‘an and the Belief in a High God‖, dalam Publications of
the Nederlands Institute of Archeology and Arabic Studies in Cairo, No. 4, (Leiden: E.J. Brill, 1981),
h. 329, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat
(Sebuah Studi Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997), h. 172.
356
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 111-112.
357
Kerajaan Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur, dengan ibukota Konstantinopel,
merupakan bekas Imperium Romawi di masa klasik. Pada permulaan abad ke-7, wilayah imperium ini
telah meliputi Asia kecil, Syria, Mesir, dan bagian tenggara Eropa hingga Danube. Pulau-pulau di laut
Tengah dan sebagian daerah Italia serta sejumlah kecil wilayah di pesisir Afrika Utara juga berada di
bawah kekuasaannya. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2005), h. 11.
358
Kerajaan yang beribukota di Aksum dan beragama Kristen mazhab Monofisit ini
merupakan agen Kerajaan Bizantium yang bertugas menghalau segala ancaman dari Kekaisaran
Persia. Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur‟an: Model Dialektika wahyu dan Budaya, (Yogyakarta: ArRuzz Media, 2008), h. 36. Sekitar abad ke-6 sampai dengan abad ke-7 sedang terjadi persaingan
kekuasaan di Timur Tengah antara Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Persia. Lihat Taufik Adnan
Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, h. 11.
359
Kerajaan ini berfungsi sebagai pos luar Kerajaan Romawi Timur di Arab untuk
membendung serangan orang-orang Arab Badui. Sebagaimana kerajaan Abyssina, kerajaan ini juga
menganut Kristen mazhab Monofisit. Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur‟an: Model Dialektika wahyu
dan Budaya, h. 36. Mazhab Monofisit memandang Yesus hanya memiliki satu hakikat, yaitu: manusia
– Tuhan. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, catatan punggung, h. 51.
360
Kerajaan ini merupakan wakil Kekaisaran Persia di Arab. Didirikan oleh ‗Amr ibn ‗Adi ib
Nashr ibn Rabi‘ah ibn Lakhm. Kerajaan ini disebut juga Nasrid, berdiri pada pertengahan abad ke-3
M. Aliran Kristen yang berkembang di wilayah ini adalah Nestorian, yaitu suatu aliran yang
memandang bahwa Yesus adalah benar-benar Tuhan tetapi dilahirkan sebagai manusia dari rahim
perawan Maria. Dengan demikian, pribadi Yesus menyatukan dalam dirinya dua hakikat: manusia dan
121
Bahkan orang-orang Arab sendiri ada yang beragama Kristen. Di Hijaz ada dua
kabilah yang masuk Kristen, yaitu: kabilah Judham dan kabilah Udhra. Di kota
Mekah agama Kristen dianut secara individual, bukan dalam satu kabilah.361
Penganut Kristen di Mekah adalah orang-orang dari klan Banû Asad ibn ‗Abd alUzzâ.362
Kristen masuk ke Arab utara melalui perantaraan kerajaan Nabatean yang
dimulai pada masa apostelik. Nabatean membawahi wilayah Damaskus, tempat St.
Paulus menerima Kristen. Kelompok-kelompok Kristen telah berada di Arab barat
laut pada abad ke-3 M. Ketika kaisar Konstantin menerima agama Kristen, penyiaran
Kristen semakin berkembang di daerah perbatasan imperium Romawi. Kaisar
Konstantin bahkan mengutus para pekabar Injil ke beberapa wilayah, antara lain
Theophillus – seorang pekabar Injil berkebangsaan India – untuk mengabarkan Injil
ke wilayah Himyar (Arab selatan).363
Mengenai Yahudi, sejumlah suku Yahudi telah menetap di Arab. Mereka
bertempat tinggal di Yatsrib (Madinah), Khaibar, Fadak, Taimâ‘, dan Wadî al-Qurra.
Meskipun di Mekah secara praktis tidak tampak orang-orang Yahudi, ide-ide dan
konsep Yahudi telah akrab dengan masyarakat Mekah.364 Tidak diketahui secara pasti
sejak kapan agama ini masuk ke jazirah Arab. Menurut Alfred Guillaume ada tiga
kemungkinan waktu agama Yahudi masuk ke jazirah Arab, yaitu: Pertama, abad ke-8
SM. Pada abad ini diketahui telah ada orang Yahudi di Arab, yaitu pada masa
kejatuhan Samaria tahun 721 SM. Tetapi dugaan ini tidak begitu kuat, karena hampir
dapat dipastikan bahwa koloni militer di Aswan, sebelah utara Mesir, didirikan
setelah kejatuhan Samaria. Kedua, abad ke-6 SM. Abad ini ditandai dengan
Tuhan. Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.
168.
361
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.
168.
362
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 112.
363
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.
168.
364
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 112.
122
penyebaran secara besar-besaran orang Yahudi di berbagai wilayah. Di abad ini
terdapat perkampungan Yahudi yang besar di Mesopotamia. Ketiga, abad ke-1 dan
ke-2 SM. Yaitu ketika kerajaan Romawi begitu keras menekan orang-orang Yahudi
di Palestina, kemudian orang-orang Yahudi ini diterima dengan baik oleh masyarakat
Arab. Kemungkinan yang ketiga ini oleh Alfred Guillaume dianggap lebih tepat.365
Orang-orang Kristen dan Yahudi juga mengenal kata Allah sebagai Tuhan
mereka.366 Kedua agama yang merupakan agama wahyu ini memiliki kepercayaan
monoteistik yang diwarisi dari Ibrahim, yaitu mengakui dan menyembah Allah
sebagai Tuhan yang Esa. Meskipun dalam doktrin Kristen,367 Allah menyatakan atau
memperkenalkan diri-Nya sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus,368 namun menurut
rumusan ajaran Kristen, keyakinan yang demikian tidak boleh disebut dengan
politeisme, tetapi harus dikatakan sebagai suatu model dari monoteisme. Sebab
oknum kedua (Putra) dan oknum ketiga (Roh Kudus) merupakan bagian dari Allah
sang Bapa. Atau dengan istilah lain, bahwa ketiganya adalah dalam keesaan atau
keesaan dalam ketigaan.369
Konsep tentang Allah yang berkembang di Arab pada waktu itu, menurut
Toshihiko Izutsu, mempengaruhi kedua belah pihak, yaitu pihak Arab Jahiliyah di
365
Alfred Guillaume, Islam, (1982), sebgaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud,
Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 166. Pendapat ini sama dengan
Philip K. Hitti. Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: MacMillan & Co., 1958), h. 61.
366
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 104.
367
Istilah Kristen diambil dari kata kristus, gelar kehormatan keagamaan untuk Yesus,
pembawa agama ini. Kata kristus berasal dari bahasa Yunani (khristos) yang berarti diurapi, yaitu
digosok dengan minyak suci sebagai suatu upacara konsekrasi atau pensucian. Jadi kata ―Kristen‖
mengandung arti orang yang telah dibaptis dengan perminyakan suci. Dengan pembabtisan tersebut,
seseorang telah diakui sah sebagai pengikut Kristus. Lihat C.J. Bleeker, Pertumbuhan Agama-agama
Dunia, terj. Barus Siregar, (Bandung: Sumur Bandung, 1964), h. 64. H.M. Arifin, Menguak Misteri
Ajaran Agama-agama Besar, (Jakarta: P.T. Golden Terayon Press, 1997), h. 134.
368
Keyakinan seperti ini disebut trinitas atau tritunggal, yang berarti ada tiga oknum kekal
dalam hakikat Allah yang Esa itu. Tiga oknum ini dapat dikatakan sebagai tiga kepribadian Allah.
Ketiga-tiganya tidak dapat dipisahkan, namun dapat dibedakan. Ketiganya adalah kesatuan yang
merupakan satu kebenaran yang Esa. Tujuan pembedaan tersebut adalah supaya hamba-Nya
mengenal-Nya dan merasakan kedekatan dengan-Nya. Lihat Henry C. Theiessen dan Vermon D.
Doerksen, Teologi Sistematika, (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Emas, 1997), Cet. IV, h. 138.
369
H.M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, h. 143.
123
satu sisi dan pihak Yahudi dan Kristen di sisi lain.370 Pendapat ini berbeda dengan
Philip K. Hitti yang menolak adanya pengaruh Yahudi dan Kristen di Hijaz. Ia
memandang bahwa meskipun wilayah dikelilingi oleh berbagai kebudayaan,
peradaban, dan agama, tetapi tidak mampu mengubah peradaban dan agama
penduduk asli Hijaz.371
Ketiga, Konsep Allah menurut orang-orang hanif. Konsep Allah juga dikenal
dalam agama hanif. Dalam agama hanif ini, Allah adalah Tuhan alam semesta,
Pencipta segala sesuatu dan dengan demikian semua makhluk adalah hamba-Nya,
Raja langit dan bumi yang Mahabesar yang menguasai rakyat-Nya dengan kekuasaan
yang absolut. Konsep demikian dalam agama hanif ini, menurut Toshihiko Izutsu,
dapat ditelusuri dari syair-syair Umayyah ibn Abî Salt.372
Dengan demikian untuk sementara dapat disimpulkan bahwa beberapa konsep
tentang Allah yang dimiliki oleh orang-orang Arab pra-al-Qur‘an memiliki kedekatan
dengan konsep Islam.
370
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 112.
Philip K. Hitti menyatakan: ―… it may be safely stated that al-Hijaz in the century
preceding the mission of Muhammad was ringed about with influences intellectual, religious and
material, radiating from Byzantine, Syrian (Aremean), Persian, Ghassanid, Lakhmid and Yamanite
channels; but it cannot be asserted that al-Hijaz was in such vital contact with the higher civilization
of the north as to transform its native cultural aspect. Then too, although Christianity did find a
footing in Najran, and Judaism in Yaman and Hijaz, neither seems to have left much of an impresson
on the North Arabian mind.‖ Philip K. Hitti, History of the Arabs, h. 107.
372
Umayyah ibn Abî Salt merupakan tokoh sastra Jahiliyah yang luar biasa. Ia merupakan
salah seorang pemuka suku Tsaqif. Pada jaman Jahiliyah, ia dikabarkan mencari agama monoteistik
sejati, menjauh dari semua penyembahan berhala, tapi merupakan pembangkang yang terisolir, tanpa
menjadi Yahudi maupun Kristen, sekalipun atmosfir spiritual tempat ia tinggal hampir sepenuhnya
Yahudi dan Kristen. Ia dikabarkan mempelajari bahasa Yahudi dan Syiria secara serius dan membaca
bagian-bagian dari Kitab suci yang bisa diperoleh dalam kedua bahasa tersebut. Hal ini diperkuat
dengan keberadaan sejumlah besar kata-kata Yahudi dan Syiria dalam syair-syairnya yang sangat
mengganggu para filologis periode Abbasiyah karena sangat aneh, sehingga Ibn Qutaibah menyatakan
bahwa dia merupakan satu-satunya penyair Jahiliyah yang syair-syairnya tidak dapat digunakan
sebagai ẖujjah dalam menafsirkan al-Qur‘an lantaran banyaknya kata-kata Yahudi dan Syiria dalam
syair-syairnya tersebut. Pakaiannya, dalam salah satu hadis, dinyatakan sebagai sarung atau kain yang
terbuat dari bulu kasar, sebagai tanda orang yang seluruh waktunya digunakan untuk beribadah. Ia
menyatakan bahwa anggur itu haram dan menyebut agama yang dicarinya sebagai al-dîn al-ẖanîfah
(agama hanif) yang dikaitkan dengan Ibrahim dan Ismail. Toshihiko Izutsu, God and Man in the
Qur‟an, h. 118-119.
371
124
2. Relasi Allah dan Manusia
Relasi antara Tuhan dan manusia, menurut Toshihiko Izutsu, terdiri dari
empat tipe, yaitu: relasi ontologis, relasi komunikatif, relasi tuan-hamba, dan relasi
etik.373
a. Relasi ontologis
Salah satu pertanyaan dasar dan selalu mengusik pikiran manusia dalam
weltanschauung religius dan filosofis adalah eksistensi manusia. Pertanyaan abadi
dan berulang-ulang adalah: ―Dari mana manusia berasal? Apa sumber wujudnya di
dunia ini?‖ Menurut konsepsi al-Qur‘an, Allah adalah pencipta manusia. Dialah
sumber wujud yang menganugerahkan eksistensi kepada manusia. Jadi secara
ontologis, relasi antara Allah dan manusia adalah relasi antara sang pencipta (khâliq)
dan yang diciptakan (makhlûq).374
Manusia bukanlah satu-satunya ciptaan Allah. Dalam al-Qur‘an juga
ditegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam semesta: mulai dari malaikat,375 jin,376
langit dan bumi,377 matahari, bulan, siang dan malam,378 gunung dan sungai,379
pohon-pohon, buah-buahan, biji-bijian, daun-daunan,380 hingga semua jenis
binatang,381 dan bahkan segala yang ada di alam semesta ini yang tak dapat
disebutkan satu persatu.382 Oleh karena itu kata khalq, khâlik, bâri‟, dan sebagainya
dalam al-Qur‘an selalu dikaitkan dengan ―Allah‖.
373
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 77-78.
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 127.
375
Q.S. al-Zukhrûf (40): 9.
376
Q.S. al-Raẖmân (55): 15.
377
Q.S. Ibrâhîm (14): 19.
378
Q.S. Fushilat (41): 37.
379
Q.S. al-Ra‗d (13): 3.
380
Q.S. al-Raẖmân (55): 11-12.
381
Q.S. al-Nûr (24): 45.
382
Q.S. al-An‗am (6): 102.
374
125
Konsep Allah sebagai pencipta alam semesta secara umum sudah dikenal oleh
masyarakat Arab pra-Islam. Meskipun ada juga beberapa orang penyembah berhala,
sebagaimana yang dilansir oleh ayat al-Qur‘an, yang menghubungkan kekuatan
penciptaan dengan berhala-berhala,383 namun pada umumnya, orang-orang Arab
pagan itu menisbatkan segala bentuk aktivitas penciptaan kepada Allah, Tuhan yang
maha tinggi. Toshihiko Izutsu membuktikan hal ini dengan adanya syair-syair Arab
pra-Islam, misalnya karya Antarah yang menghubungan penciptaan burung dan
penciptaan segala sesuatu dengan Tuhan. Bahkan dalam karya penyair serdadu
terkenal, Baith ibn Suraim al-Yashkuri, konsepsi tentang Allah sebagai Dzat yang
telah meninggikan langit dan bulan di sana sudah dikenal.384
Meskipun masyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal konsep penciptaan
Allah, akan tetapi konsep ini hampir-hampir tidak memiliki pengaruh terhadap pola
pikir mereka. Artinya, mereka dapat hidup dengan nyaman tanpa menaruh perhatian
sama sekali terhadap asal-usul eksistensinya sendiri. Dalam sistem jahiliyah, aktivitas
kreatif Allah adalah awal sekaligus akhir intevensi-Nya dalam urusan manusia. Dia
tidak menaruh perhatian terhadap makhluk ciptaan-Nya. Manusia, sesudah proses
penciptaannya selesai, dikuasai oleh wujud lain yang disebut dahr.385 Dahr ini
meskipun memiliki beberapa nama lain, yaitu: zamân, „ashr, ayyâm, dan „aud, namun
gagasan yang mendasari konsep dahr selalu sama, ia merupakan tiran yang tidak
memiliki belas kasihan dan berdarah dingin.386 Dahr ini, menurut Helmer Ringgren,
melahirkan sifat fatalism bagi orang Arab.387
Pandangan ini sejalan dengan W. Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa
menurut orang Arab, keuntungan dan kegagalan dalam usaha mereka sehari-hari
383
Lihat Q.S. al-Ra‗d (13): 16.
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 128-129.
385
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 131.
386
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 132.
387
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.
384
173.
126
semata-mata disebabkan oleh dahr tersebut.388 Dahr bagi orang Arab dipandang
sebagai penentu nasib mereka.389 Dalam hubungannya dengan Q.S. al-Jâtsiyah (45):
24 yang menyebutkan tentang dahr, W. Montgomery Watt berpendapat bahwa ayat
tersebut menunjukkan sikap sebagian orang Arab yang tidak percaya kepada
kekuasaan Tuhan yang menghidupkan dan mematikan, yang mematikan manusia
bukan Tuhan, tetapi dahr tersebut. Kehidupan, menurut mereka, hanya di dunia saja.
Mereka tidak percaya kepada adanya kehidupan akhirat. Kemungkinan akan
dibangkitkannya manusia dalam kehidupan mendatang sama sekali merupakan
konsep yang asing dan berada di luar benak orang Arab. Interpretasi ayat tersebut
menurut W. Montgomery Watt adalah bahwa bagi orang Arab, peristiwa-peristiwa
alam bukan ditentukan oleh kekuasaan Tuhan, tetapi oleh dahr. Oleh karena itu,
setelah kedatangan Islam banyak ayat al-Qur‘an yang membantah kepercayaan
tersebut dan menempatkan Tuhan yang berkuasa dan menentukan hidup dan
kematian manusia.390 Dengan demikian, orang Arab menerima fakta alami yang
terjadi tanpa mengaitkan dengan Allah ataupun kekuatan dewi-dewi.391
Sikap orang-orang Arab pra-al-Qur‘an yang tidak menaruh perhatian sama
sekali terhadap asal-usul eksistensinya sendiri bertentangan dengan ajaran al-Qur‘an.
Menurut al-Qur‘an, seorang Muslim harus selalu menyadari eksistensinya sebagai
makhluk. Tanpa adanya kesadaran tersebut, seseorang akan tidak dapat dikatakan
Muslim karena ia telah jatuh ke dalam dosa besar, yaitu kesombongan. Menurut
sistem Islam, penciptaan Allah menandai awal kekuasaan-Nya terhadap segala
388
Menurut W. Montgomery Watt, dahr ekuivalen dengan the course of events (jalannya
kejadian) atau the spatio-temporal process (proses ruang-waktu). W. Montgomery Watt, ―The Qur‘an
and the Belief in a High God‖, sebagaimana dikutip oleh Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: AlQur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h. 173.
389
W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, (Oxford: University Press, 1953), h. 26.
390
W. Montgomery Watt, ―The Qur‘an and the Belief in a High God‖, h. 330.
391
Hal ini berbeda dengan Philip K. Hitti yang mengemukakan bahwa nasib manusia
ditentukan oleh dewi manâh. Manâh dari kata maniyah (nasib yang ditentukan). Dengan demikian
dewi manât merupakan dewi nasib. Lihat Philip K. Hitti, History of Arabs, h. 99.
127
sesuatu yang diciptakan. Urusan-urusan manusia semuanya dalam pengawasan ketat
Allah.
b. Relasi komunikatif
Dalam bagian relasi ontologis telah diketahui bahwa Allah adalah pencipta
dan manusia adalah yang diciptakan. Antara pencipta dan yang diciptakan terdapat
hubungan komunikatif yang bersifat langsung dan bertimbal balik. Komunikasi
antara Allah dan manusia terjadi melalui dua cara, yaitu: pertama, melalui
penggunaan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak; kedua, melalui
penggunaan ―tanda-tanda alam‖ oleh Tuhan dan isyarat-isyarat atau gerakan tubuh
oleh manusia. Dengan demikian komunikasi tipe pertama bersifat linguistik atau
verbal, sedang komunikasi tipe kedua bersifat non linguistik atau non verbal.392
Komunikasi linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk
pengiriman wahyu dari Tuhan. Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa wahyu
merupakan perkataan (kalâm) Tuhan.393 Meskipun ia menyadari bahwa dalam
komunikasi model ini terdapat masalah karena keduanya, yaitu Tuhan dan manusia
sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi ini, berada dalam taraf
―eksistensi‘ yang berbeda. Tuhan berada dalam taraf ―eksistensi‖ supra-natural,
sementara manusia berada dalam taraf ―eksistensi‖ natural, sehingga tidak ada
keseimbangan ontologis antara keduanya. Oleh karena itu secara teoritik, tidak
mungkin terjadi pertukaran kata (al-taẖawwur), pengajaran (al-ta„lîm), dan juga
belajar (al-ta„llum).394 Problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada
sistem bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tuhan sebagai dzat yang ghaib
392
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 142.
Hal tersebut didasarkan kepada Q.S. al-Taubah (9): 6 dan Q.S. al-Baqarah (2): 75, yang
secara kontekstual mengandung pengertian bahwa perkataan Tuhan mengacu kepada kata-kata yang
telah diucapkan atau diwahyukan kepada Nabi. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 165.
394
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 180.
393
128
atau supra-natural tentunya menggunakan sistem bahasa non-alamiah atau nonnatural, sebaliknya manusia sebagai makhluk natural menggunakan sistem bahasa
alamiah atau sistem bahasa natural. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika
dalam konteks ini Fazlur Rahman berpendapat bahwa proses pewahyuan bukan
merupakan komunikasi verbal, tetapi merupakan pemberian inspirasi ke dalam hati
Nabi Muhammad.395
Problem tersebut, menurut Toshihiko Izutsu, dapat diatasi dengan
mengemukakan teori perantara. Perantara inilah yang menjembatani kesenjangan
komunikasi antara Tuhan dan manusia tersebut. Ia menegaskan bahwa wahyu sebagai
suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep yang berhubungan dengan
tiga individu. Kondisi ini juga berlaku dalam pewahyuan al-Qur‘an. Dengan kata lain,
dalam kesadaran kenabian yang dimiliki Muhammad, selalu ada seseorang, suatu
makhluk misterius antara Tuhan dan dirinya yang membawa kata-kata Tuhan ke
dalam hatinya. Makhluk ghaib tersebut, dalam pandangan Toshihiko Izutsu, tidak lain
adalah Malaikat Jibril, yang pada periode Mekah disebut sebagai rûh al-quds (roh
suci) dan rûh al-amîn (roh yang dapat dipercaya).396 Hal inilah yang secara membuat
wahyu secara struktural berbeda, bukan saja dengan perkataan manusia pada
umumnya, tapi juga dengan tipe inspirasi verbal lainnya yang bersumber dari jinn.397
Bila komunikasi linguistik dari Tuhan berupa wahyu, maka dari pihak
manusia berupa doa yang dipanjatkan ke hadirat-Nya. Sama seperti halnya wahyu,
problem eksistensi ontologis antara Tuhan dan manusia juga menjadi kendala dalam
komunikasi linguistik dari arah bawah ini. Menurut Toshihiko Izutsu, doa dapat
menjadi komunikasi dari manusia hanya terjadi dalam situasi yang sangat istimewa,
yakni ketika manusia mendapati dirinya berada dalam situasi yang tidak wajar.
395
Fazlur Rahman mengatakan: ―God speaks to no human (i.e. through “sound words”) exept
through wahy (i.e. through “idea-words” inspiration), or from behind the veil, or He may send a
messenger (an angel) who speak through wahy … even thus have We inspired you with a spirit of Our
command.‖ Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: Chicago University Press, 1979), h. 30-31.
396
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 191-192.
397
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, h. 189.
129
Ketika jiwa manusia sedang tidak dalam keadaan sebagaimana hari-harinya, maka ia
berada dalam posisi yang dapat mengucapkan kata-kata secara langsung kepada
Tuhan. Toshihiko Izutsu menegaskan bahwa hanya dalam situasi demikian saja hati
manusia dapat sepenuhnya murni dari semua pikiran keduniaan. Dengan demikian,
bahasa yang diucapkan manusia secara spiritual menjadi lebih tinggi, dan doa
merupakan percakapan personal yang paling intim antara hati dengan Tuhan. Situasi
luar biasa itu pada umumnya disebabkan oleh rasa patuh yang mendalam terhadap
Tuhan atau, yang lazim, karena bahaya kematian yang sudah mendekat.398 Dengan
mengutip al-Kirmani, Toshihiko Izutsu mengatakan bahwa dalam situasi seperti itu
manusia bukan lagi manusia dalam pengertian umum, ia sudah mentransformasikan
diri menjadi sesuatu yang berada di atas dirinya.399
Komunikasi non linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk
pengiriman tanda-tanda alam dari Tuhan. Tanda-tanda ini, bagi orang-orang yang
mau memperhatikan dan merenungkannya, dapat dilihat setiap saat, karena memang
semua yang sering disebut sebagai peristiwa alam, seperti hujan, angin, susunan
langit dan bumi, pergantian siang dan malam, dan sebagainya pada dasarnya
merupakan tanda-tanda yang menunjukkan kepedulian Tuhan terhadap kehidupan
umat manusia di muka bumi, sekaligus merupakan bukti Ketuhanan-Nya.400
Sementara dari manusia berupa salat. Tentu saja di dalam salat di samping gerakangerakan tubuh, terdapat unsur-unsur verbal yang berupa kata-kata.401 Akan tetapi
kata-kata di sini tidak sebagaimana dalam doa, yang digunakan untuk menyatakan
ungkapan khusus yang bersifat pribadi. Ungkapan-ungkapan verbal dalam salat
398
Lihat Q.S. Yunus (10): 12 dan 22; juga Q.S. al-An‗am (6): 40-41.
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 209.
400
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 143.
401
Menurut Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‗î, salat terdiri dari perkataan (qaul), perbuatan
(„amal), dan tindakan-tindakan yang dilarang (imsâk). Lihat, al-Syâfiʻî, Aẖmad Muẖammad ibn Idrîs,
al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir
(ed.), (Kairo; Maktabah Dâr al-Turâts, 1979), h. 121.
399
130
digunakan
secara
ritualistik,
dalam
arti
kata-kata
yang
diucapkan
tidak
menggambarkan gagasan pribadinya sendiri, tapi bersifat simbol.402
Komunikasi antara Tuhan dan manusia, baik yang bersifat verbal maupun
non-verbal, terjadi atas inisiatif dari Tuhan, sementara manusia pada dasarnya hanya
menanggapi apa yang dilakukan Tuhan. Kehendak Tuhan untuk membuka
komunikasi langsung antara Dia dan manusia termanifestasi dalam bentuk
pengiriman âyât (tanda-tanda).403 Âyât Ilahi yang dimaksud dalam al-Qur‘an
merupakan pengertian yang umum, yakni meliputi simbol-simbol verbal dan nonverbal. Dari kedua jenis simbol ini, pesan-pesan Tuhan melalui simbol verbal (waẖy)
dapat dikatakan lebih jelas, karena pada dasarnya bersifat konseptual dan analitis.
Dengan demikian, waẖy dapat menyajikan kehendak Tuhan dalam yang mudah
dipahami oleh alam pikiran manusia. Sementara dalam simbol non-verbal, kehendak
Tuhan termanifestasikan secara global. Dan karena sifatnya yang tidak konseptual,
maka pesan-pesan yang dibawa sangat tidak jelas atau kabur. Akan tetapi simbol nonverbal lebih terbuka, dapat diakses oleh siapa saja tanpa perantara, sedang simbol
verbal hanya mungkin diketahui oleh umat manuisa melalui seorang perantara, yaitu
Rasul.404
Respon yang dapat dilakukan manusia terhadap fakta adanya âyât Ilahi ini,
menurut al-Qur‘an, ada dua, yaitu: tashdîq dan takdzîb. Secara harfiah, tashdîq
bermakna ―menganggap dan menerima sebagai kebenaran,‖ sementara takdzîb
bermakna ―menganggap sebagai kepalsuan.‖ Tashdîq merupakan langkah pertama
menuju îmân, sementara takdzîb merupakan inti kekufuran. Di sini terlihat bahwa
tashdîq dan takdzîb berada dalam perlawanan konseptual yang tajam. Pertentangan
dasar ini lagi-lagi, menurut Toshihiko Izutsu, sebagai persoalan yang sangat penting
402
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 158.
Kata âyah (bentuk tunggal dari âyât), menurut Toshihiko Izutsu, pada masa pra-al-Qur‘an
tidak dikenal dalam kosakata Badui, namun dikenal dalam dalam kosakata pedagang, hanya saja tidak
pernah digunakan dalam pengertian religius; kata tersebut dipakai dalam pengertian alam, kecuali di
kalangan kelompok ẖanîf. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 144.
404
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 145.
403
131
dalam memahami pandangan dunia al-Qur‘an.405 Berdasarkan hal ini, maka hubungan
antara tashdîq dan takdzîb harus dilihat sebagai sumbu yang dikelilingi oleh medan
semantik masing-masing, sehingga dengan demikian setiap istilah kunci dapat
ditempatkan pada posisi yang tepat.
Istilah kunci bagi timbulnya tashdîq adalah pemahaman terhadap âyât Ilahi.
Tanpa pemahaman terhadap âyât, maka manusia tidak akan dapat menganggap
bahwa âyât tersebut berasal dari Tuhan. Aktivitas memahami ini ditunjukan oleh alQur‘an dengan kata-kata seperti „aqala, fahima, faqiha, tafakkara, tadzakkara, dan
tawassama. Perbuatan manusia untuk memahami tersebut sumbernya terletak pada
kemampuan psikologis yang disebut dengan lubb atau qalb (hati). Dengan kata lain,
hati bila berfungsi dengan baik merupakan sesuatu yang memungkinkan manusia
untuk memahami makna âyât Ilahi. Bagi hati yang semacam ini, maka âyât
merupakan simbol dari dua hal yang saling bertentangan. Beberapa âyât
melambangkan kebaikan Tuhan, sementara yang lainnya melambangkan kemurkaan
Tuhan. Bila manusia menerima karunia Ilahi yang disimbolkan oleh âyât yang
melambangkan kebaikan Tuhan sebagai kebenaran, maka hasilnya adalah syukr. Dan
jika ia juga menerima âyât yang melambangkan kemurkaan Tuhan, maka hasilnya
adalah taqwâ.
c. Relasi Tuan-hamba
Dalam sistem al-Qur‘an, Allah adalah penguasa mutlak; satu-satunya Tuhan
yang berkuasa di seluruh dunia, sementara manusia adalah hamba („abd). Sebagai
hamba („abd), manusia harus bersikap berserah diri sepenuhnya, merendah, dan
menghinakan diri di hadapan-Nya tanpa syarat.406 Inilah sebabnya, menurut
405
Di depan telah dikemukakan bahwa berdasarkan analisis semantik terhadap al-Qur‘an,
Toshihiko Izutsu memperoleh kesan bahwa al-Qur‘an merupakan sebuah sistem multi-strata besar
yang berada pada sejumlah oposisi konseptual mendasar, di mana masing-masing konsep tersebut
merupakan sebuah medan semantik khusus. Dengan kata lain, berdasarkan sudut pandang semantik,
pandangan dunia al-Qur‘an dapat digambarkan sebagai sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip
pertentangan konseptual. Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 75.
406
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 216.
132
Toshihiko Izutsu, al-Qur‘an sangat mementingkan kelompok istilah yang memiliki
makna kepatuhan mutlak, penyerahan dan kerendahan diri, seperti thâ„ah (patuh),407
qunût (setia, berserah diri),408 khusu„ (penyerahan),409 tadharru„ (menghinakan
diri).410 Akan tetapi, dari semua istilah-istilah tersebut, dalam pandangan Toshihiko
Izutsu, islâm merupakan istilah yang paling penting.411 Dengan menghubungkan kata
islâm dengan kata kerjanya, yaitu aslama,412 maka islâm dapat dipahami sebagai
tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan sukarela untuk menyerahkan diri
kepada kehendak Allah dan memercayakan diri secara penuh kepada-Nya. Pengertian
ini diperoleh berdasarkan penggunaannya dalam frase aslama wajhahu li Allâh.
Istilah islâm menjadi sangat penting karena fakta menunjukkan bahwa Tuhan
sendiri memilihnya menjadi nama agama baru yang dibawa oleh Muhammad di Arab
pada waktu itu.413 Pandangan ini senada dengan pandangan Wilfred Cantwel Smith
yang menyatakan bahwa dari semua nama agama di dunia, istilah islâm merupakan
satu-satunya nama agama yang built in (terpasang tetap). Kata islâm terdapat dalam
al-Qur‘an, dan orang-orang Muslim teguh menggunakan istilah tersebut untuk
mengenalkan sistem keimanannya. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada
masyarakat keagamaan lain.414 Pandangan kedua tokoh ini menunjukkan bahwa
agama Islam bukan Mohammedanism sebagaimana disebut oleh para orientalis.
Penamaan demikian karena dikaitkan dengan pembawanya, yaitu Muhammad,
407
Q.S. al-Ma‘idah (5): 92
Q.S. al-Baqarah (2): 110
409
Q.S. al-Hadîd (57): 16
410
Q.S. al-An‗am (6): 42
411
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 217.
412
Dalam pandangan Arthur Jeffery, kata aslama bukan asli bahasa Arab, tetapi merupakan
kata serapan. Pandangan ini tidak disertai dengan penjelasan yang memadai dari bahasa apa kata
tersebut diserap. Lihat Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur‟ân, (Leiden - Boston: Brill,
2007), h. 62.
413
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 218.
414
Wilfred Cantwel Smith, The Meaning and End of Religion, (New York: The New
American Library of the World Literature, 1964), h. 75.
408
133
sebagaimana yang terjadi pada agama-agama lain. Nama Islam bukan nama yang
lahir berdasarkan tokoh pendirinya atau pada tempat kelahiran tokoh tersebut.415
Hal lain yang menunjukkan bahwa istilah islâm sangat penting adalah karena
ia sebagai pengalaman batin religius yang bersifat personal pada tiap-tiap orang,
merupakan peristiwa penting yang menandai titik awal dimulainya penyerahan dan
kerendahan diri yang sesungguhnya. Ia menandai titik balik yang menentukan dalam
kehidupan seorang manusia. Sementara semua istilah al-Qur‘an lainnya yang
bermakna kepatuhan dan penyerahan diri sangat samar dan ambigu. Istilah-istilah
tersebut dapat memberikan kesan yang salah tentang kepatuhan dan kerendahan diri
sebagai sifat alamiah seseorang. Dalam struktur semantiknya tidak terdapat
momentum keputusan eksistensial, momentum lompatan ke dalam bidang kehidupan
yang tidak diketahui. Hanya kata islâm yang berimplikasi demikian.
Seorang muslim, menurut pengertian asalnya, adalah orang yang memiliki
keberanian untuk melakukan lompatan semacam itu. Baru setelah melakukan
lompatan yang pasti, maka konsep semacam kepatuhan, penyerahan, dan kerendahan
mulai muncul dan mengandung makna religius yang sesungguhnya. Kata-kata seperti
khusu„, tadharru„, dan lain-lain, tidak memiliki makna kerendahan diri yang umum.
Tapi semacam kerendahan diri khusus yang muncul dari tindakan pasti dalam islâm.
Analisis semantik terhadap istilah islâm dalam al-Qur‘an oleh Tohihiko Izutsu
ini menimbulkan perbedaan dengan penafsiran yang dilakukan sarjana lain.
Muẖammad Syahrûr – misalnya, dengan mengelaborasi Q.S. al-Baqarah (2): 62, 111,
dan 126; Q.S. al-Nisâ‘ (4): 125; Q.S. al-Mâ‘idah (5): 44; Q.S. al-Anbiyâ‘ (21): 108;
dan Q.S. Fushshilat (41): 33, islâm menurutnya adalah mengakui adanya Allah,
beriman kepada hari Akhir, dan beramal saleh. Sehingga siapa pun yang memiliki
ketiga sifat itu disebut sebagai seorang muslim tanpa melihat apakah dia termasuk
pengikut Muhammad, pengikut Musa, pengikut Isa, atau umat-umat beragama lain.
415
221-222.
Lihat Huston Smith, The Word‟s Religion, (San Fransisco: Harper Publishers, 1991), h.
134
Islâm dengan pengertian inilah yang dimaksud dalam al-Qur‘an sebagai dîn yang
diterima oleh Allah.416
Dalam pandangan Muẖammad Syahrûr, islâm bertentangan dengan ijrâm.
Kata ijrâm dan turunannya disebutkan dalam al-Qur‘an sebanyak 68 kali. Secara
etimologis, kata ijrâm berarti qath„ (memutus/memotong). Dalam kamus hukum,
pelaku kejahatan, seperti pencuri, pembunuh, dan perampok disebut sebagai mujrim,
karena dengan melakukan pencurian, pembunuhan, dan perampokan, pelakunya
berarti ―memutuskan hubungannya dengan masyarakat dan aturan-aturan sosial dan
bertindak sesuai dengan hawa nafsunya.‖ Dalam al-Qur‘an, kata tersebut berarti
kondisi yang bertolak belakang dengan islâm. Ayat-ayat, seperti Q.S. al-Qashshâsh
(28): 78; Q.S. Yâsîn (36): 59; Q.S. al-Rûm (30): 12; Q.S. al-Rahmân (55): 41-43;
Q.S. al-Naml (27): 69; dan Q.S. al-Mursalât (77): 18-19, mengaitkan secara
sintagmatis kata al-mujrimûn dengan sikap pengingkaran terhadap adanya Tuhan dan
hari Akhir. Sementara islâm dalam pandanganToshihiko Izutsu bertentangan dengan
jahiliyah.417 Namun pada masa pra-al-Qur‘an, term jahiliyah sama sekali tidak
mempunyai konotasi religius. Menurut konsepsi pra-Islam, jahl sama sekali tidak
mempunyai kaitan dengan tuhan-tuhan. Konsep ini semata-mata hanya meyangkut
hubungan manusia dengan sesamanya. Jahl merupakan sifat pribadi manusia yang
menjadi ciri khas masyarakat Arab pra-Islam.418 Konsep ini, bersama dengan
416
Muẖammad Syahrûr, al-Islâm wa al-Îmân: Mandhûmât al-Qiyam, (Damaskus: al-Ahâlî li
al-Thiba‗ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‗, 1996), h. 37-38.
417
Term jahiliyah ini dalam al-Qur‘an terulang sebanyak empat kali, yaitu dalam Q.S. Âli
‗Imrân (3): 154; Q.S. al-Mâ‘idah (5): 50; Q.S. al-Aẖzâb (33): 33; dan al-Fatẖ (48): 26.Lihat
Muẖammad Fu‘âd ‗Abd al-Bâqî, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân al-Karîm, h. 234.
418
Ada berbagai pandangan mengenai keadaan masyarakat Arab pada masa pra-Islam.
Aẖmad Amîn menyatakan bahwa keadaan mereka sebagai masyarakat yang diliputi oleh
kesombongan, kebanggaan, dan ketidaktahuan. Lihat Aẖmad Amîn, Fajr al-Islam, (Singapura:
Sulaiman Mar‘I, 1965 ), h. 76. Hasan Ibâhîm Hasan menyebut mereka sebagai komunitas yang
melecehkan fitrah manusia. Mereka adalah masyarakat yang suka berperang, gemar berjudi, mabukmabukan, melakukan seks bebas, memandang hina terhadap wanita, dan lain sebagainya yang
merupakan perbuatan amoral. Hasan Ibâhîm Hasan mendasarkan pada informasi yang diklaim
merupakan perkataan Ja‗far ibn Abî Thâlib yang mewakili sekelompok sahabat Muhammad ketika
Raja Etiopia, Negus, menanyakan alasan mereka meminta perlindungan kepadanya. Hasan Ibâhîm
Hasan, Târîkh al-Islâm, Juz I, (Beirut: Dâr al-Jail, 1996), h. 164. Riwayat ini diragukan keasliannya
135
pasangannya – hilm, begitu lekat dengan psikologi mayarakat Arab ketika itu,
sehingga wajar jika kata tersebut seringkali dijumpai dalam puisi-puisi jahiliyah.
Dalam al-Qur‘an, jahiliyah merupakan istilah religius dalam pengertian yang negatif,
karena merupakan landasan tempat kata kufr.419 Di sini Toshihiko Izutsu memandang
jahiliyah bukan sebagai fase sejarah yang mendahului Islam, tetapi merupakan sifat
yang dapat terjadi dalam diri seseorang yang berupa semangat kebebasan,
kesombongan, dan perasaan mulia yang menolak untuk tunduk di hadapan penguasa
manapun, baik manusia maupun Tuhan. Pandangan senada dikemukakan oleh sarjana
Muslim asal Mesir sekaligus seorang tokoh gerakan al-Ikhwân al-Muslimûn, yaitu
Sayyid Quthb (1906-1966).420
Jahiliyah, dalam pandangan Sayyid Quthb, bukan merupakan bagian tertentu
dalam suatu masa, tetapi ia adalah suatu kondisi yang bertentangan dengan Islam.421
Dengan demikian jahiliyah merupakan suatu keadaan yang boleh jadi dapat terjadi
kapan saja, baik pada masa lalu, masa sekarang, atau masa akan datang, di setiap
masyarakat apa saja, dan di mana saja. Meskipun Toshihiko Izutsu dan Sayyid Quthb
sama-sama memandang jahiliyah bukan merupakan suatu periode sejarah, namun
karena di dalamnya tercantum ucapan yang menyebutkan kewajiban untuk berpuasa. Padahal perintah
berpuasa baru diterima Muhammad dua tahun sesudah peristiwa hijrah. Lihat Muẖammad al-Khudhâri
Bîk, Târîkh al-Tasyrî„ al-Islâmî, (Kairo: Mathba‗ah al-Sa‗âdah, 1964), h. 48. Sementara itu Khalîl
‗Abd al-Karîm menolak predikat-predikat keji yang mengilustrasikan fase pra-Islam dan deskripsi
bangsa Arab di semenanjung Arabia ketika itu dengan gambaran-gambaran minor, sehingga
membentuk image yang kuat bahwa era tersebut merupakan era kegelapan, kebodohan dan kesesatan,
sehingga penduduknya tidak lebih dari kelompok orang-orang Barbar yang bengis, irasional, tak
berbudaya, dan bermoral bejat. Menurutnya predikat-predikat dan deskripsi semacam ini tidak justru
telah mendiskreditkan Islam itu sendiri, karena merupakan kekonyolan ketika al-Qur‘an mengajak
berdialog dan berdebat dengan suatu kaum yang berada dalam keadaan yang sedemikian bodoh. Khalîl
‗Abd al-Karîm, Syari‟ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, terj. Kamran As‘ad, (Yogyakarta: LKiS,
1990), h. ix. Pendapat senada dikemukaan oleh H. Lammens, ia mengatakan bahwa orang Arab
sebenarnya adalah bangsa yang unggul, bersikap terbuka, memiliki sifat yang tegas dan pemberani. H.
Lammens, Islam: Beliefs and Institutions, (New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation, 1979), h.
6.
419
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 223.
420
Uraian selengkapnya mengenai biografi Sayyid Quthb dapat dilihat dalam Shalah ‗Abd alFattaâẖ al-Khâlidî, ―Pengantar memahami Tafsir Fî Zhilâl al-Qur‟ân,‖ dalam Sayyid Quthb, Fî Zhilâl
al-Qur‟ân, terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 23-69.
421
Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur‟ân, Vol. VI, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), h. 904.
136
terdapat perbedaan antara keduanya, Toshihiko Izutsu memandang jahiliyah sebagai
sifat personal yang menganggap dirinya mulia sehingga tidak mau tunduk kepada
siapa pun, sementara Sayyid Quthb memandangnya sebagai sifat suatu masyarakat,
bangsa, atau negara yang tidak melaksanakan hukum Islam.
Pandangan Toshihiko Izutsu maupun Sayyid Quthb tentang jahiliyah berbeda
dengan Marshall G.S. Hodgson, Aẖmad Amîn, dan Hasan Ibâhîm Hasan. Marshall
G.S. Hodgson memang mula-mula berpendapat bahwa jahiliyah merupakan sebutan
untuk orang yang mempunyai sifat keras hati, namun kemudian ia berpendapat bahwa
jahiliyah merupakan suatu masa kebodohan (the time of dark ignorance).422 Jahiliyah
di sini tentu mengacu kepada masa pra-Islam. Dan orang-orang Arab yang hidup pada
masa ini diasumsikan sebagai orang-orang yang jâhil (bodoh). Adapun Toshihiko
Izutsu menyebut mereka sebagai ummîyûn (orang-orang yang tidak diberi kitab).
Pandangan ini senada dengan Theodore Nöldeke dan Friedrich Schwally yang
menyatakan bahwa konsep ummî di dalam al-Qur‘an adalah konsep yang
bertentangan dengan ahl al-kitâb. Dengan demikian ummîyûn merupakan sebuah
masyarakat tanpa wahyu.423 Sementara Joseph Horovitz memandang ummîyûn
mempunyai dua pengertian: Pertama, berkenaan dengan Q.S. Âli ‗Imrân (3): 20,
ummîyûn merupakan masyarakat yang tidak diberi kitab (ummōt hā-ōlām). Kedua,
berkenaan dengan Q.S. al-Baqarah (2): 78, ummîyûn merupakan sekelompok Yahudi
yang tidak mengikuti Taurat dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan sesuai dengan
hawa nafsu mereka („am-ha-āreṣ).424
Lebih lanjut Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa jahl pada hakikatnya
merupakan sifat cepat marah dan tidak sabar, yang mudah kehilangan kontrol
422
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme: Al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi Evaluatif), h.
171.
423
Theodore Nöldeke dan Friedich Schwally, Gessichte des Qorāns, sebagaimana dikutip
oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2005), h. 150.
424
Joseph Horovitz, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran, (Hildesheim: Georg
Olms Verlagbuchandlung, 1964), h. 46-47.
137
meskipun dengan provokasi yang sangat kecil. Akibat yang ditimbulkan dari sifat ini
adalah tindakan gegabah yang didorong oleh nafsu membabi buta tanpa kendali,
tanpa memikirkan akibat buruk dari perbuatan yang dilakukan tersebut. Lawan dari
sifat ini adalah hilm, yaitu perilaku tertentu yang didasari oleh kesadaran yang nyata
terhadap keunggulan dan kekuatan diri sendiri. Di sini hilm merupakan bentuk
ketenangan yang sangat khas yang di dalamnya tersimpan kekuatan yang luar biasa
yang termanifestasikan dalam bentuk waqar. Sementara manifestasi dari jahl adalah
zulm. Sifat jahl yang sedemikian rupa, sehingga bila dia aktif, maka dapat
melemahkan kekuatan akal manusia. Sementara hilm mempunyai pengaruh yang
positif terhadap akal. Dalam hal ini, orang Arab mengembangkannya ke arah
kemampuan memimpin dan kebijaksanaan politik. W. Montgomery Watt melihat
bahwa hilm yang dikembangkan menjadi kebijaksaan politik dan teknik memimpin
inilah yang menjadi landasan kesuksesan usaha perdagangan orang-orang Quraisy.425
Pandangan Toshihiko Izutsu ini sejalan dengan Ignaz Goldziher yang menyatakan
bahwa dalam bahasa Arab sekarang, istilah jahiliyah memang berarti bodoh, akan
tetapi dalam syair-syair pra-Islam istilah tersebut memiliki makna berani, kasar, dan
keras.426 Namun demikian Toshihiko Izutsu tidak menampik makna jahl sebagai
bodoh. Dengan demikian lawan katanya bukan lagi hilm, tetapi „ilm (pengetahuan).
Bahkan ia mengatakan ini merupakan makna jahl yang paling umum menurut bahasa
Arab klasik. Hanya saja makna ini merupakan makna yang kalah penting
dibandingkan dengan makna di atas.427
d. Relasi etik
Etika berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh manusia terhadap
Tuhan berkaitan dengan perintah dan larangan Tuhan, maupun bagaimana Tuhan
425
W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, h. 10-11.
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, Vol. I, (London: Allen & Unwin, 1967), h. 11.
427
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 234.
426
138
berkehendak terhadap makhluk-Nya.428 Menurut Toshihiko Izutsu, terdapat tiga
kategori yang berbeda mengenai konsep etik di dalam al-Qur‘an, yaitu: pertama,
kategori yang menunjukkan dan menguraikan sifat Tuhan; kedua, kategori yang
menjelaskan berbagai macam aspek sifat fundamental manusia terhadap Tuhan; dan
ketiga, kategori yang menunjukkan tentang prinsip-prinsip dan aturan tingkah laku
yang menjadi milik dan hidup di dalam masyarakat Islam.429 Ketiga konsep etika ini
pada dasarnya tidak berdiri sendiri, namun memiliki hubungan yang sangat erat.
Kelompok pertama terdiri dari nama-nama Tuhan (al-asmâ‟ al-ẖusnâ), seperti Maha
Pemurah, Maha Baik, Maha Adil, atau Maha Agung. Nama-nama ini pada hakikatnya
menggambarkan bahwa sifat dan tindakan Tuhan terhadap manusia adalah etik, dan
oleh karena itu manusia harus bersikap seperti itu dalam merespon sifat dan tindakan
Tuhan tersebut. Implikasi dari sikap etik manusia terhadap Tuhan tercermin dalam
etika antar sesama manusia yang hidup dalam masyarakat yang sama.
Relasi etis ini didasarkan pada dua aspek yang bertentangan secara
fundamental mengenai konsepsi tentang Tuhan dalam al-Qur‘an. Allah di satu sisi
disebutkan sebagai Tuhan yang penuh keadilan dan kebaikan.430 Dengan kata lain,
Tuhan bertindak kepada manusia dengan tindakan-tindakan yang baik. Namun di sisi
lain, Dia disebutkan sebagai Tuhan yang keras, yang akan membalas di Hari
Pengadilan dengan balasan yang sangat pedih (shadîd al-„iqâb), Tuhan yang
membalas dendam (dhu intiqâm), Tuhan yang kemarahan-Nya (ghadab) akan
428
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept in the Qur‟an, (Montreal: McGill-Queen‘s
University Press, 2002), h. 3. Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syukri Saleh,
mensinyalir bahwa di dalam al-Qur‘an terdapat tiga konsep kunci yang secara simultan membentuk
fondasi etika al-Qur‘an dan memberinya etos yang khas. Ketiga konsep ini, kendati berasal dari akar
kata bahasa Arab yang berbeda, secara menakjubkan memiliki pengertian yang sama. Pertama, konsep
îmân berasal dari kata a-m-n memuat arti pokok aman, bebas dari bahaya dan damai. Kedua, konsep
islâm berasal dari kata s-l-m yang mengandung arti aman, integral, dan totalitas. Ketiga, konsep taqwâ
berasal dari kata w-q-y, merupakan konsep etika al-Qur‘an yang paling utama, yang berarti takut
kepada Allah atau kesalehan, melindungi (diri) dari bahaya, memelihara dari kemusnahan, tersiasiakan, dan disintegrasi. Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer dalam
Pandangan Fazlur Rahman, h. 142-143.
429
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concept in the Qur‟an, h. 18.
430
Lihat misalnya, Q.S. al-Aẖzâb (33): 1; dan Q.S. al-Fâthir (35): 2.
139
melemparkan siapa saja ke dalam kebinasaan.431 Pandangan al-Qur‘an yang
menunjukkan dua aspek yang secara fundamental bertentangan satu sama lain –
menurut Toshihiko Izutsu – sangat sulit dipahami oleh logika orang-orang awam,
bahkan para pemikir pun menghadapi kesulitan untuk mempertemukan kedua aspek
tersebut satu sama lain, akan tetapi bagi orang-orang yang saleh dan beriman hal ini
tidak menjadi problem.432
Aspek Allah sebagai Tuhan yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, Maha
Penyayang, dan Maha Pengampun kepada manusia ini disebutkan dalam al-Qur‘an
dengan kata kunci seperti ni„mah (kenikmatan), fadl (kemurahan hati), rahmah (kasih
sayang), maghfirah (ampunan), dan sebagainya. Menurut Toshihiko Izutsu, fakta
yang menunjukkan bahwa Tuhan bersifat demikian dan menunjukkan semua
kebaikan dalam bentuk âyât ini hendaknya menentukan respon yang benar di pihak
manusia. Respon tersebut adalah syukr atau rasa terima kasih atas karunia yang telah
dianugerahkan Tuhan. Rasa terima kasih ini hanya mungkin timbul bila manusia
sudah mengerti makna âyât tersebut.433
Konsep syukr sesungguhnya telah mengakar kuat pada masa jahiliyah. Hal ini
ditunjukkan oleh sajak karya seorang penyair dari suku Hudzail, syukr bermakna
sebagai ungkapan terima kasih terhadap pemberian (ni„mah) orang lain.434 Dan
konsep ini sangat mudah dipahami menggunakan logika sederhana, yakni bila
seseorang menunjukkan kemurahan, dalam pengertian menganugerahkan ni„mah
kepada anda, maka reaksi wajar yang harus anda tunjukkan adalah berterima kasih.
Ini dapat dikatakan sebagai aturan moral dasar dalam hubungan antar sesama
manusia. Akan tetapi, respon manusia terhadap ni„mah tidaklah tunggal. Manusia
kadang kala bahkan sering mengingkari (kufr) atau menyikapi ni„mah dengan tidak
431
Lihat misalnya, Q.S. al-Mâ‘idah (5): 2; dan Q.S. Thâhâ (20): 81.
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 254-255.
433
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 255.
434
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 256-257.
432
140
berterima kasih.435 Tidak berterima kasih terhadap anugerah atau ni„mah yang telah
diterima tentu saja merupakan reaksi alternatif yang menyalahi aturan moral dasar.
Dengan demikian, makna dasar syukr adalah respon positif manusia terhadap
kebaikan yang diperlihatkan orang lain. Lawannya adalah kufr, yang makna dasarnya
adalah tidak berterima kasih.
Al-Qur‘an menaikkan struktur semantik respon manusia terhadap ni„mah ke
dalam tingkatan religius, yakni meletakkannya dalam hubungan antara Tuhan dan
manusia. Sehingga ni„mah di sini merupakan karunia Ilahi yang direspon oleh
manusia dengan sikap positif (syukr) maupun sikap negatif (kufr). Sehingga sangat
wajar bila konsep syukr ini kemudian berkembang ke arah ―percaya‖ (îman),
sementara kufr sebagai lawannya berkembang ke arah ―tidak percaya‖. Perlu dicatat
di sini bahwa, menurut Toshihiko Izutsu, transformasi semantik kufr dari ―tidak
berterima kasih‖ kepada ―tidak percaya‖ terjadi secara lebih menyeluruh apabila
dibandingkan dengan transformasi semantik syukr dari ―berterima kasih‖ kepada
―percaya‖. Hal ini karena pada kasus syukr, terdapat kata îman yang menghalangi
syukr ini menempati posisi semantik ―percaya‖. Sementara pada kasus kufr, tidak
terdapat pra-eksistensi kata seperti itu, sehingga kufr dapat dikatakan muncul dan
menempati posisi yang kosong. Dengan demikian, kufr dalam pengertian religius
berada pada posisi yang bertentangan secara diametral dengan îman.436
Aspek Tuhan yang keras, Tuhan yang akan membalas di Hari Pengadilan
dengan balasan yang sangat pedih (shadîd al-„iqâb), Tuhan yang membalas dendam
(dzû intiqâm), Tuhan yang kemarahan-Nya (ghadab) akan melemparkan siapa saja ke
dalam kebinasaan hendaknya menjadikan manusia tidak menolak untuk berserah diri
ke hadapan Tuhan dan tidak lalai dalam hidupnya. Penekanan mutlak terhadap
penyerahan diri dan kesungguhan dalam hidup yang berdasarkan kesadaran tentang
435
436
Lihat misalnya, Q.S. al-Zukhruf (43): 15; dan Q.S. al-‗Âdiyât (100): 6.
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 257-258.
141
Hari Pengadilan yang akan datang ini, menurut Toshihiko Izutsu, merupakan makna
asli taqwâ.437
Sebagaimana kata syukr, kata taqwâ ini juga telah dikenal pada masa
jahiliyah. Hal ini ditunjukkan oleh kata kerja ittaqâ yang merupakan salah satu kata
favorit dalam syair-syair pra-Islam.438 Hanya saja pada masa jahiliyah, kata ini tidak
dipergunakan dalam pengertian religius, kecuali mungkin di lingkungan khusus,
yakni di lingkungan orang-orang ẖanîf dan orang-orang yang secara nyata telah
terpengaruh oleh ajaran Yahudi. Dalam konsepsi jahiliyah, kata kerja ittaqâ
bermakna menjaga diri dari bahaya yang mengancam keselamatan dengan sesuatu,
baik berupa benda ataupun makhluk hidup.439 Dengan demikian, kata kerja ittaqâ
dalam konsepsi jahiliyah digunakan dalam pengertian fisik atau material, atau paling
tinggi diterapkan dalam konteks moral. Sementara dalam kasus al-Qur‘an, istilah
ittaqâ hampir selalu muncul dalam konteks religius.
F. Perbandingan antara Metode Semantik Toshihiko Izutsu dengan Metode-metode
lain dalam Penafsiran al-Qur‘an
Dalam usahanya untuk memahami weltanschauung al-Qur‘an, Toshihiko
Izutsu tidak menafsirkan seluruh ayat al-Qur‘an, namun hanya konsep-konsep
tertentu dari al-Qur‘an yang menggambarkan pandangan dunia Kitab Suci ini. Hal ini
tercermin dari judul bukunya yang berkenaan dengan kajian al-Qur‘an. Yang pertama
yaitu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, yang terbit untuk pertama kalinya
pada tahun 1959 dengan judul: The Structure of the Ethical Terms in the Koran.440
437
Berdasarkan analisis terhadap Q.S. al-Mâ‘idah (5): 2, taqwâ merupakan konsep
eskatologis, yang maknanya adalah ―takut kepada siksaan Ilahi di akhirat.‖ Dari makna yang asli ini
kemudian muncul makna ―ketakutan yang patuh (kepada Allah),‖ kemudian akhirnya ―ketaatan‖ saja.
Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 259.
438
Di antaranya adalah syair karya Antarah dan Zuhair. Toshihiko Izutsu, God and Man in
the Qur‟an, h. 261-162.
439
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 260-261.
440
Menurut Toshihiko Izutsu, konsep pemikiran tentang etika dalam al-Qur‘an dapat
diklasifikasi menjadi tiga kelompok: Pertama, pembahasan yang menunjukkan dan menguraikan sifatsifat Tuhan. Kelompok konsep ini kemudian dikembangkan oleh ahli-ahli teologi menjadi teori tentang
142
Dalam buku ini, Toshihiko Izutsu menjelaskan konsep al-Qur‘an menyangkut
hubungan etik dasar antara manusia dan Tuhan. Hubungan ini terdiri dari dua konsep
dasar yang antara keduanya memiliki perbedaan yang sangat nyata, yaitu: pertama,
keyakinan mutlak terhadap Tuhan; dan kedua, ketakutan yang sungguh-sungguh
kepadanya. Dua konsep ini merupakan refleksi dari keyakinan manusia terhadap
sifat-sifat Tuhan, yang menurut Toshihiko Izutsu terbagi dalam dua kelompok yang
juga saling berlawanan, yaitu: kebaikannya yang tak terbatas, Maha Pengasih, Maha
Memelihara, dan pada sisi lain: kemurkaan-Nya, sifat membalas Nya, dan menyiksa
mereka yang tidak patuh terhadap-Nya.441
Buku kedua yang berkenaan dengan penafsiran al-Qur‘an adalah: God and
Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung. Pertama kali
diterbitkan pada tahun 1964 di Tokyo, Jepang, oleh Universitas Keio. Dari judul buku
ini, jelas Toshihiko Izutsu memfokuskan pembahasan mengenai konsep al-Qur‘an
tentang relasi antara Tuhan dan manusia. Relasi Tuhan dan manusia berdasarkan alQur‘an, menurutnya, memiliki empat bentuk, yaitu: ontologis, komunikatif, tuanhamba, dan etik.442
Penafsiran yang hanya mengambil konsep atau tema tertentu dari al-Qur‘an,
dalam tradisi kesarjanaan Muslim dikenal dengan Tafsir Tematik (al-tafsîr almaudhûʻî).443 Menurut beberapa sarjana Muslim, seperti Mushthafâ Muslim, ʻAbd alsifat-sifat Tuhan; Kedua, pembahasan yang menjelaskan berbagai aspek sikap fundamental manusia
terhadap Tuhan. Kelompok konsep ini menyangkut hubungan etik dasar antara manusia dan Tuhan;
dan Ketiga, pembahasan yang menunjukkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan tingkah laku yang
menjadi milik dan hidup dalam masyarakat Islam. Konsep ini berhubungan dengan sikap etik antara
seorang manusia dengan sesamanya yang hidup dalam masyarakat yang sama.Lihat Toshihiko Izutsu,
Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 17.
441
Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, h. 18. Juga dalam, God
and Man in the Qur‟an, h. 78.
442
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an, h. 127-268.
443
‗Abd Hayy al-Farmawî mengemukakan ada empat metode yang biasa digunakan dalam
penafsiran al-Qur‘an, yaitu: pertama, metode global (tharîqah ijmâlî); kedua, metode analitis (tharîqah
taẖlilî); ketiga, metode perbandingan (tharîqah muqârin); dan kempat, metode tematik (tharîqah
maudhû„î). Abd Hayy al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû„î: Dirâsah Manhajîyah
Maudhû„îyah, (Kairo: Mathb‗ah al-Hadhârah al-‗Arabiyah, 1997), h. 23. Metode global (tharîqah
ijmâlî) adalah penafsiran dengan mengemukakan arti dan maksud ayat secara singkat mengikuti urutan
143
Sattâr, dan Shalaẖ ʻAbd al-Fattâẖ al-Khâlidî, praktek penafsiran al-Qur‘an secara
tematik telah dimulai sejak jaman Nabi Muhammad. Sementara Ziyad al-Daghâmîn
menyatakan tidak setuju terhadap pendapat yang dikemukakan oleh tiga sarjana
tersebut. Menurutnya tafsir yang ada pada jaman Nabi tidak mengindikasikan adanya
bentuk kesatuan tema dalam seluruh al-Qur‘an atau dalam satu surat. Namun hanya
mengumpulkan berbagai ayat yang mengandung satu tema tertentu. Ia berpendapat
bahwa sarjana pertama yang menggunakan tafsir tematik adalah ʻUmar ibn Baẖr alJâhizh (w. 255 H.).444
Pemikiran dasar dari metode tematik diarahkan pada kajian pesan al-Qur‘an
secara menyeluruh, dan menjadikan bagian-bagian yang terpisah dari ayat atau surat
al-Qur‘an menjadi kesatuan yang utuh dan saling berkaitan.445 Metode ini muncul
mushaf. Metode analitis (tharîqah taẖlilî) yaitu tafsir dengan mengurutkan ayat dari surat pertama
dalam al-Qur‘an sampai surat terakhir dari berbagai aspeknya, seperti aspek naẖwu, balâghah, i„jâz,
munâsabah dan sebagainya. Tafsir model ini akan dengan teliti merujuk riwayat Nabi, sahabat,
ataupun cerita-cerita pra-Islam bahkan israiliyat. Metode tafsir perbandingan (tharîqah muqârin)
adalah membandingkan beberapa penafsiran yang ada. Dengan metode ini diharapkan akan ditemukan
kecenderungan dari para penafsir dalam menafsirkan suatu ayat. Metode ini juga digunakan untuk
membahas ayat-ayat yang memiliki redaksi kata yang sama namun berbicara tentang topik yang
berbeda atau sebaliknya, dengan topik yang sama dengan redaksi yang berbeda. Metode tematik
(tharîqah maudhû„î) adalah tafsir secara tematik, artinya penafsir mengambil tema-tema tertentu yang
dihubungkan dengan ayat sebagai penjelas.
444
Ziyâd Khalîl Muẖammad al-Daghâmîn, Manhajîyah al-Baẖts fî Tafsîr al-Maudhûʻî li alQur‟ân al-Karîm, (Amman: Dâr al-Basyir, 1995), h. 15. Sementara menurut Mannâʻ al-Qaththân,
penafsiran ayat al-Qur‘an secara tematis ini, meski berbeda dalam sistematika penyajian, sebenarnya
telah dirintis dalam sejarah, misalnya: Majâz al-Qur‟ân oleh Abû ‗Ubaidah (w. 210/824), Mufradât alQur‟ân oleh Râghib al-Isfahânî (w.502/1108), Ibn Qayyîm al-Jauzîyah (w. 751 H.) menulis tentang
sumpah dalam al-Qur‘an dalam karyanya al-Tibyân fi Aqsâm al-Qur‟ân, dan sebagainya. Lihat Mannâʻ
al-Qaththân, Mabâẖits fi ʻUlûm al-Qur‟ân, (Riyad: Mansyûrah al-ʻAshr al-Hadîts, 1973), h. 342.
445
Ide tentang keterpaduan ayat-ayat al-Qur‘an dan keserasiannya sebenarnya bukanlah hal
baru. Orang yang pertama kali memperkenalkan ide ini adalah Abû Bakr al-Naisâbûrî (w. 324 H.) dan
telah dibuktikan oleh banyak pakar, antara lain oleh al-Syâthibî melalui penafsirannya atas Q.S. alMu‘minûn (23). Ia mengatakan bahwa ―tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian dari
suatu suatu pembicaraan kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu
kesatuan kata menurut etimologi, bukannya menurut maksud pembicaraannya. Kalau arti itu tidak
dipahami, maka ia harus segera kembali memperhatikan seluruh pembicaraan‖. Tokoh utama yang
mendiskusikan keserasian ayat-ayat al-Qur‘an adalah Ibrâhîm ibn ‗Umar al-Biqâʻî (w. 808 H.) dalam
karyanya Nazm al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwâr yang dipublikasikan dalam 22 jilid. Ide ini
juga dibuktikan oleh Muẖammad ‗Abduh dalam Tafsîr al-Manâr. Dalam tafsirnya tersebut, ‗Abduh
meletakkan keserasian ayat sebagai satu faktor penting dalam menetapkan arti dan sebagai pijakan
dalam mengevaluasi pandangan yang berbea-beda. Selain itu, ide ini juga diterapkan dalam penafsiran
144
dari konsep ―al-qur‟ân yufassiru baʻdhuhu baʻdha‖ (sebagian ayat al-Qur‘an
menafsirkan ayat yang lain).
Metode tematik mulai menemukan bentuknya yang jelas ketika pada akhir 60an, Ahmad Sayyid al-Kûmî, salah seorang guru besar dan ketua jurusan Tafsir pada
Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar sampai tahun 1981menggulirkan gagasan
untuk menampilkan penafsiran pesan al-Qur‘an secara menyeluruh dan menjadikan
bagian-bagian yang terpisah dari ayat atau surat al-Qur‘an menjadi kesatuan yang
utuh dan saling berkaitan. Ide tersebut tidak lain adalah kelanjutan dari metode
Mahmûd Syaltût (1893-1962),446 dalam karyanya Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm: al-Ajza„
al-„Asyarah al-Ûlâ (terbit pada tahun 1960).447 Rintisan Ahmad Sayyid al-Kûmî ini
mendapat sambutan hangat dari koleganya, terutama yang ditandai oleh kehadiran
beberapa karya ilmiah yang mengimplementasikan metode tersebut, di antaranya alFutûhât al-Rabbânîyah fî al-Tafsîr al-Maudhû‟î li al-Âyât al-Qur‟ânîyah (2 jilid)
karya al-Husaini Abû Farẖah, dan al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû‟î (1977) karya
‗Abd al-Hayy al-Farmâwî.448 Metode ini tidak hanya dipopulerkan di kalangan
penafsir Sunni, tetapi juga di kalangan penafsir Syi‘ah, di mana dalam pengembangan
ayat-ayat yang kurang mendapat perhatian para penafsir terdahulu. Lihat M. Quraish Shihab, Studi
Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 27.
446
Dalam bukunya, Min Hudâ al-Qur‟ân, Mahmûd Syaltût secara khusus mengangkat sebuah
sub judul tentang ―Metode yang ideal dalam menafsirkan al-Qur‘an‖. Dalam sub judul ini, ia
menyebutkan bahwa ada dua metode dalam menafsirkan al-Qur‘an, yaitu: Pertama, penafsiran alQur‘an berdasarkan urutan surat dalam al-Qur‘an. Dalam hal ini penafsir menafsirkan kosakatanya,
menjalin kaitan ayat, dan menjelaskan makna-makna yang ditunjukkannya; Kedua, penafsiran ayatayat yang berkenaan dengan topik tertentu. Dalam hal ini penafsir mengoleksi ayat-ayat yang dapat
diletakkan di bawah satu topik, kemudian menganalisa dan memahami makna-maknanya, menjelaskan
hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain sehingga dapat ditemukan suatu hikmah tertentu dan
menerangkan tujuan ayat-ayat yang ada dalam topik tersebut. menurut Syaltût, metode yang terakhir
ini merupakan metode yang ideal, terutama bagi penafsir yang ingin menginformasikan tentang
kandungan al-Qur‘an yang memiliki nuansa hidayah terhadap berbagai peristiwa yang dialami
manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Lihat, Mahmûd Syaltût, Min Hudâ alQur‟ân, (Kairo: Dâr al-Kâtib al-‗Arabî li al-Thibâʻah wa al-Nasyr, t.t.), h. 322-324.
447
Mahmûd Syaltût dalam karyanya ini tidak mengomentari teks kata perkata, melainkan
memfokuskan perhatian pada kata-kata kunci. Lihat J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in
Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974), h. 14.
448
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), h. 74 dan 114.
145
metode ini, tokoh sekaliber Muhammad Baqir al-Sadr (w. 1980 M), seorang ulama
Syi‘ah terkemuka asal Irak, tidak dapat diabaikan begitu saja.449
Secara umum, metode tematik ini memiliki dua bentuk kajian, yaitu: Pertama,
pembahasan mengenai satu surat al-Qur‘an secara utuh dan menyeluruh dengan
menjelaskan maksudnya yang umum dan spesifik, menerangkan kaitan antara
berbagai persoalan yang dimuatnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang
utuh dan cermat. Dalam hal ini, penafsir hanya menyampaikan pesan yang dikandung
dalam satu surat itu saja, dan biasanya kandungan pesan tersebut tersirat dari nama
surat yang ditafsirkan.450
Kedua, mengumpulkan sejumlah ayat dari berbagai surat yang membahas satu
persoalan tertentu yang sama, lalu ayat-ayat itu disusun berdasarkan urutan
kronologis pewahyuan dan diletakkan di bawah satu topik bahasan, dan selanjutnya
ditafsirkan secara tematik. Bentuk ini lahir atas kesadaran para pakar al-Qur‘an
bahwa menafsirkan pesan yang dimuat dalam satu ayat saja acapkali tidak
menyelesaikan persoalan. Bukan tidak mungkin pesan-pesan yang dikandung pada
surat tersebut juga diutarakan pada surat-surat al-Qur‘an lainnya, sehingga tidak ada
salahnya untuk menghimpun surat lain yang memuat pesan yang senada.451
Dari kedua bentuk kajian di atas, ulama kontemporer cenderung
mempopulerkan istilah ―tafsîr maudhû‟î" terhadap bentuk kedua dengan
449
Di antara tulisannya yang membahas tentang tafsir tematik adalah al-Madrasah alQur‟ânîyah: al-Sunan al-Târîkhîyah fî al-Qur‟ân al-Karîm dan al-Tafsîr al-Maudhûʻî wa al-Tafsîr alTajzi‟î fî al-Qur‟ân al-Karîm.
450
Contoh tafsir tematik bentuk ini adalah Nahw Tafsîr Maudhûʻî li Suwâr al-Qur‟ân alKarîm, karya Muẖammad al-Ghazalî yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Akhmad Syaikho dan Ervan Nurtawab dengan judul Menikmati Jamuan Allah: Inti Pesan Quran dari
Tema ke Tema, 3 Jilid, (Jakarta: P.T. Serambi Ilmu Semesta, 2007).
451
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, h. xii-xiii. Muhammad Quraish Shihab
mencontohkan bahwa mengkaji satu atau dua ayat tidak memberikan jawaban tuntas. Jika seseorang
hanya mengkaji ayat tentang larangan atas orang-orang yang mendirikan salat dalam keadaan mabuk
sampai menyadari apa yang mereka ucapkan (Q.S. al-Nisâ (4): 3), maka ia mungkin mengira bahwa
minuman keras hanya dilarang menjelang pelaksanaan salat. Namun, apabila disajikan kepadanya
seluruh ayat yang terkait (dalam surat yang berbeda-beda) dengan minuman keras, maka akan
tergambar proses pemahaman sampai pada putusan akhir tentang minuman keras tersebut.
146
mendefinisikannya sebagai metode yang ―menghimpun ayat-ayat al-Qur‘an yang
mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik
masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat
tersebut. Kemudian si penafsir mulai memberikan keterangan dan mengambil
kesimpulan‖.452 Sementara bentuk pertama, oleh Shalâẖ ‗Abd al-Fattâẖ al-Khâlidî,
disebut sebagai ―al- tafsîr al-maudhi‟î‖.453
Prosedur penafsiran al-Qur‘an dengan metode tematik dapat dirinci sebagai
berikut: Pertama, menentukan bahasan al-Qur‘an yang akan diteliti secara tematik;
Kedua, melacak dan mengoleksi ayat-ayat sesuai topik yang diangkat; Ketiga, menata
ayat-ayat tersebut secara kronologis (sebab turunnya), mendahulukan ayat makkîyah
dari madanîyah, dan disertai dengan pengetahuan tentang latar belakang turunnya
ayat; Keempat, mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut; Kelima,
menyusun tema bahasan dalam kerangka yang sistematis; Keenam, melengkapi
bahasan dengan hadits-hadits terkait; Ketujuh, mempelajari ayat-ayat itu secara
tematik dan komprehensif dengan cara mengkoleksi ayat-ayat yang membuat makna
yang sama, mengkompromikan pengertian yang umum dan khusus, muthlaq dan
muqayyad, menyinkronkan ayat-ayat yang tampak kontradiktif, menjelaskan nâsikh
dan mansûkh, sehingga semuanya memadu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau
pemaksaan dalam penafsiran.454
452
ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî: Dirâsah Manhajîyah
Maudhuʻîyah, h. 52.
453
Shalâẖ ‗Abd al-Fattâẖ al-Khâlidî, al-Tafsîr al-Maudhû‟î Baina al-Nadzarîyah wa alTathbîq: Dirâsah Nadzarîyah wa Tathbîqîyah Murfaqah bi Namâzhij wa Lathâ‟if al-Tafsîr alMaudhû‟î, (Oman: Dâr al-Nafâ‘is li al-Nasyr wa al-Tauzîʻ, 1997), h. 40.
454
ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî, h. 61-62. M. Quraish Shihab,
dkk., Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, ed. Azyumardi Azra, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 193-194.
Meskipun tidak semua prosedur ini diikuti, tetapi paling tidak ada kesepakatan untuk membahas
persoalan berdasarkan tema yang diangkat. Sebagai ilustrasi, dapat dikemukakan dua contoh prosedur
yang disajikan al-Farmâwî dengan analisis yang berbeda. Ketika mengkaji topik ―Memelihara Anak
Yatim Piatu Menurut al-Qur‘an al-Karim‖, terlebih dahulu ia mengutarakan pemeliharaan anak yatim
dan hartanya berdasarkan ayat-ayat periode Mekah, kemudian ia melanjutkan kajian tentang
pembinaan moral dan pendidikan anak-anak yatim, perihal harta mereka, dan perintah menyantuni dan
menyayangi mereka berdasarkan ayat-ayat periode Madinah. Sementara ketika mengkaji topik
―Ummiyah Bangsa Arab Menurut al-Qur‘an al-Karim‖, ia membahas konsep ummiyah dalam al-
147
Di antara karya tafsir yag menjadi representasi metode ini adalah al-Mar‟ah fi
al-Quran dan al-Insân fi al-Qur‟an karya ‗Abbâs Mahmûd al-Aqqâd, al-Ribâ fî alQur‟ân al-Karîm karya Abu al-‗Alâ al-Maudûdî (W. 1979 M), al-Washâyâ al-Asyar
karya Mahmûd Syaltût, Major Themes of the Qur‟an karya Fazlur Rahman (w.
1408/1988), Wawasan al-Qur‟an karya M. Qurash Shihab, al-‟Aqidah fi al-Qur‟ân
al-Karîm karya M. Abû Zahrah dan Washâyâ Sûrat al-Isrâ karya ‗Abd al-Hayy alFarmâwî. Perlu dicatat bahwa semua karya ini ada yang menerapkan sistematika
metode tematik secara utuh, ada yang hanya sebagian, dan ada pula yang tidak
memakainya sama sekali.
Di Indonesia, metode penafsiran ini semakin digemari oleh para peminat studi
Al-Qur‘an, utamanya pada dasawarsa 1990-an. Beberapa karya tafsir, umumnya lahir
dari kepentingan akademik, menunjukkan hal ini, di antaranya adalah: Pertama,
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur‟an; Suatu Kajian Teologis dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),455 menelusuri termaterma yang secara langsung menunjuk pada konsep kekafiran dengan pelbagai variasi
makna dan konteknya: juhûd, inkâr, dan nakr, ilẖâd, syirk, serta terma-terma yang
secara tidak langsung menunjuk kepada kekafiran: fusûq, dzulm, ijrâm, ʻisyan, dzalal,
ghayy, isrâf, iʻtidâ‟, fasâd, ghaflat, kizhb, istikbâr, dan takabbur.
Qur‘an dengan menghimpun semua ayat-ayat yang terkait, kemudian memaparkan pengertian ummi
menurut bahasa, dilanjutkan dengan batasan pengertian ummiyah menurut bangsa Arab dan terakhir ia
mengemukakan pendapat ahli tentang konsep ummiyah bangsa Arab tersebut, dan mengritik pendapat
tersebut sejauh yang dipahaminya. Berdasarkan hal ini, pada satu sisi, al-Farmâwî menafsirkan satu
persoalan (pemeliharaan anak yatim) berdasarkan pada perkembangan konsep menyangkut
pemeliharaan dan pembinaan anak yatim serta hartanya pada ayat-ayat periode Mekah dan Madinah.
Dan pada sisi lain, ia menafsirkan persoalan ummiyah dengan mengacu pada pemahaman arti yang
berkembang dalam al-Qur‘an, bahasa, dan pemahaman bangsa Arab, serta pendapat ahli terkait. Lihat
ʻAbd al-Hay al-Farmâwî, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhûʻî, h. 81-103.
455
Buku ini berasal dari disertasi Harifuddin Cawidu di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang diujikan pada tanggal 27 Maret 1989, dengan promotor M. Quraish Shihab dan Nurcholish
Madjid.
148
Kedua, Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia menurut Al-Qur‟an;
Suatu Kajian Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),456 menelusuri termaterma yang dipakai Al-Qur‘an yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Ada enam
kata kunci yang dianalisis: al-fi‟l, al-ʻamal, al-saʻyu, al-shanʻu, al-iqtiraf, dan aljarah. Kata-kata tersebut, menurut Jalaluddin Rahman, merupakan kata-kata yang
searti dengan kata kasb. Ia juga mengungkap hubungan antara kata kasb dengan katakata lain yang searti tersebut.
Ketiga, Muhammad Ghalib Mattalo, Ahl al-Kitâb, Makna dan Cakupannya,
(Jakarta: Paramadina, 1998),457 menganalisis pandangan Al-Qur‘an tentang Ahl alKitâb. Ia menguraikan terma-terma yang mengarah kepada pemahaman tentang Ahl
al-Kitâb dengan merajut seluruh medan semantiknya, baik terma-terma yang sepadan
maupun yang tidak secara langsung menunjuk Ahl al-Kitâb.
Keempat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif AlQur‟an, (Jakarta: Paramadina, 1999),458 menganalisis kata-kata kunci yang
mengungkapkan makna tentang identitas jender yang dipakai Al-Qur‘an dan medan
semantiknya. Kata-kata kunci dimaksud adalah; al-rajul, al-nisâ‟, al-dzakar, dan aluntsâ,459 dan juga al-zauj, al-zaujah, al-ab dan al-umm sebagai gelas status yang
berhubungan dengan jenis kelamin,460 untuk menemukan pandangan dunia Al-Qur‘an
tentang relasi laki-laki dan perempuan secara utuh.
Kelima, Delami, Analisis Semantik terhadap Ayat-ayat Jender, (Tesis: PPs
UIN Jakarta, 2007), membahas ayat-ayat jender dengan menggunakan pendekatan
semantik dan terfokus pada beberapa ayat yang banyak menjadi sorotan bagi para
456
Buku ini berasal dari disertasi Jalaluddin Rahman di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dipromotori oleh M. Quraish Shihab dan Agustiar.
457
Sama dengan tiga buku yang telah disebutkan sebelumnya, buku ini berasal dari disertasi
Muhammad Ghalib Mattalo di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1997).
458
Buku ini pada mulanya adalah disertasi Nasaruddin Umar di PPs IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan judul Perspektif Jender dalam al-Qur‟an, di bawah bimbingan M. Quraish Shihab dan
John Hendrik Meuleman.
459
Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta:
Paramadina, 1999), h. 159-160.
460
Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 173-191.
149
mufassir kontemporer dan para pemerhati jender. Dalam penelitiannya, Delami
menemukan bahwa ayat-ayat tentang penciptaan manusia pertama, poligami,
kepemimpinan dalam rumah tangga, dan pakaian perempuan dalam penafsirannya
tidak terdapat bias jender. Bahkan, menurut pandangannya, yang menonjol dari ayatayat tersebut adalah pembelaan terhadap hak-hak perempuan.
Berdasarkan uraian ini, sekarang dapat diketahui perbedaan antara metode
semantik Toshihiko Izutsu dengan metode tematik. Perbedaan tersebut tampak pada
prosedur kerja dan tujuan yang hendak dicapai. Akan tetapi baik metode Toshihiko
Izutsu maupun metode tematik merupakan proses penafsiran yang sama-sama
terfokus teks, dan tidak menekankan pada pembacaan realitas. Penafsiran yang
terfokus pada teks cenderung untuk memaksa realitas takluk kepada teks jika ada
kesenjangan antara keduanya. Untuk saat sekarang, produk penafsiran demikian
dirasa kurang menggairahkan, mengingat materi yang diajarkan tidak banyak
berorientasi pada kebutuhan, meminjam istilah Fazlur Rahman, tidak selaras dengan
tantangan modernitas. Dengan kata lain, penafsiran yang terfokus pada teks kurang
sejalan dengan kebutuhan modern akan tafsir yang dapat merespon problem-problem
baru yang muncul dari perubahan-perubahan politik, sosial, dan kultural dalam
masyarakat Muslim yang disebabkan oleh pengaruh peradaban Barat. Menurut
Rotraud Wielandt, problem krusial yang harus segera dicarikan jalan keluarnya
adalah kesesuaian pandangan dunia al-Qur‘an dengan temuan-temuan ilmu
pengetahuan modern dan permasalahan tatanan politik dan sosial yang didasarkan
atas prinsip-prinsip al-Qur‘an yang mungkin membuat umat Muslim dapat
menghilangkan beban dominasi Barat.461
Rumusan-rumusan metode tafsir yang lebih menekankan kepada realitas
datang dari sarjana-sarjana Muslim yang pada umumnya pernah mengecap
461
Rotraud Wielandt, ―Exegesis of the Qur‘ān: Early Modern and Contemporary‖, dalam Jane
Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur‟ān, Vol. 2, (Leiden-Boston-Köln: Brill, 2002), h.
124.
150
pendidikan Barat, di antaranya adalah Fazlur Rahman (1919-1988)462 dengan double
movement-nya. Menurut Fazlur Rahman, dalam, Islam and Modernity, untuk dapat
menjawab berbagai problem kontemporer, seorang penafsir harus melakukan dua
langkah, yaitu: pertama, memahami makna suatu pernyataan (ayat) dengan mengkaji
situasi atau problem historis di mana pernyataan tersebut merupakan jawabannya;
kedua, menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik dan menyatakannya sebagai
pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum.463 Setelah
mengetahui apa yang menjadi ―ideal moral‖ dari ayat itulah seorang penafsir dapat
menyelesaikan problem kontemporer tersebut.
Selain Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun (lahir di Kabilia, Aljazair, pada
tanggal 2 Januari 1928)464 termasuk dalam jajaran sarjana yang lebih menekankan
462
Pada tahun 1946, Fazlur Rahman nekat berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya
pada program doktor di Universitas Oxford, karena pendidikan yang diperolehnya di Pakistan dirasa
sangat tidak memuaskan dirinya. Ia prihatin melihat realitas pendidikan di negaranya yang kurang
bermutu serta tidak mampu merangsang nalar kreatif-kritis. Keputusannya tersebut merupakan awal
sikap kontroversi dari Fazlur Rahman. Karena, merupakan suatu yang dipandang ganjil oleh ulamaulama Pakistan jika seseorang pelajar yang beragama Islam belajar Islam ke Barat. Bahkan lebih dari
itu apapun bentuk sikap cenderung ke Barat dinilai negatif oleh para Ulama Pakistan, sekalipun sikap
tertentu ditempuh demi kebaikan dan kemajuan umat Islam. Studinya rampung pada tahun 1950
dengan disertasi berjudul Avicenna‟s Psychology, yang merupakan sub bahasan yang dimuat dalam
Kitâb al-Najât, karya Ibn Sina (w. 428/1037) di bawah bimbingan S. Van den Berg dan H.A.R. Gibb.
Namun setelah menamatkan studinya, Fazlur Rahman tidak langsung kembali ke tanah airnya. Ia
menyempatkan diri untuk menyambut tawaran mengajar di Universitas Durham, Inggris, untuk
beberapa tahun (1950-1958). Setelah itu, tidak kurang dari tiga tahun (1958-1961), ia mengajar di
Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada. Fazlur Rahman, Islam and
Modernity, Transformation of an Intellectual, h. 81-82.
463
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an
Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, h. 131-132.
464
Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Mohammed Arkoun
melanjukan studi tentang bahasa dansastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu, dia sempat
bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee)
di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta member kuliah di Fakultas Sastra
Universitas Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Mohammed Arkoun diangkat sebagai dosen di
Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doktor di
bidang sastra pada Universitas tersebut. Mohammed Arkoun menulis desertasi doktor mengenai
humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada abad
X M yang menekuni kedokteran dan filsafat. Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai
berbagai bidang ilmu dan menekuni persamaan dan perbedaan antara Islam dengan tradisi pemikiran
Yunani. Semenjak menjadi dosen di Universitas Sorbonne tersebut, Mohammed Arkoun menetap di
Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang
islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi
151
penafsiran yang berangkat dari realitas. Ia menawarkan metode penafsiran dengan
menggunakan ilmu-ilmu sosial. Muhammed Arkoun menilai bahwa perkembangan
mutakhir ilmu pengetahuan belum diterima sepenuhnya di kalangan kaum Muslim,
sehingga wacana ilmu-ilmu dalam Islam bernuansa kering dan terkesan melangit.
Penilaian ini mengantarkannya menggunakan pendekatan dan metodologi ilmu-ilmu
sosial, seperti: antropologi, sosiologi, sejarah, linguistik, dan filsafat untuk
menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an.465
Sarjana lain yang juga menganjurkan penafsiran yang memperhatikan realitas
adalah Nashr Hâmid Abû Zaid (lahir di Thantha, Mesir, pada 10 Juli 1943).466
Dengan meminjam hermeneutika E.D. Hirsch dalam merumuskan metode penafsiran
al-Qur‘an, Nashr Hâmid Abû Zaid membagi makna al-Qur‘an menjadi dua, yaitu:
makna obyektif dan makna signifikansi.467 Menurutnya, secara umum, kosakata alQur‘an mengambil dua unsur makna, yaitu: pertama, makna obyektif atau makna
awal, yang terdiri dari dua bentuk: historis dan metaforik; dan kedua, unsur
signifikansi, yakni level kata yang maknanya dapat diperluas ke dalam kultur yang
berbeda dari kultur awal.468 Setelah makna obyektif atau makna awal kosakata alQur‘an ditemukan, maka dilanjutkan pada upaya mengaitkan al-Qur‘an dengan
realitas kekinian supaya al-Qur‘an dapat memberikan jawaban atas persoalan yang
dihadapi. Inilah unsur kedua makna al-Qur‘an yang dalam pandangan Nashr Hâmid
Abû Zaid disebut dengan signifikansi.
keilmuan Perancis. Sulhani Hermawan, ―Mohammed Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam‖,
dalam jurnal Dinika, Vol. 3 No. 1, January 2004, h. 103.
465
Contoh lebih jelasnya dapat dibaca, Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur‟an,
terj. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), h. 35.
466
Pada tahun 1975-1977, Nashr Hâmid Abû Zaid mendapat beasiswa dari Ford Foundation
Fellowship untuk studi di Universitas Amerika, Kairo. Hal yang sama diraihnya pada tahun 1978
sampai 1980 di Center for Middle East Studies, Universitas Pennsylvania, Philadelphia, Amerika
Serikat. Di Universitas Pennsylvania, Philadelphia, inilah ia mulai mengenal teori-teori hermeneutika.
Lihat Nashr Hâmid Abû Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam,
(Westport: Greenwood Publishing Group, 2004), h. 57.
467
Lihat Nashr Hâmid Abû Zaid, Naqd Khitâb al-Dînî, (Kairo: Sîna li al-Nasyr, 1994), Cet.
II, h. 220.
468
Nashr Hâmid Abû Zaid, Naqd Khitâb al-Dînî, h. 210.
152
Akan tetapi apa yang telah dilakukan Toshihiko Izutsu tidak sepenuhnya
dapat dikatakan sia-sia sama sekali. Penafsirannya, meminjam klasifikasi ayat alQur‘an Asghar Ali Engineer, memang tidak dalam domain ayat-ayat al-Qur‘an yang
mengandung statemen kontekstual.469 Studi Toshihiko Izutsu patut diapresiasi, ia
telah menunjukkan bahwa studi ilmiah terhadap kitab suci tidaklah mengurangi
kesuciannya atau melecehkannya, justru menjadikan pembaca bisa memahaminya
lebih baik.
469
Asghar Ali Engineer mengharuskan pemilahan antara ayat-ayat al-Qur‘an yang
mengandung statemen normatif dan statemen kontekstual dalam menawarkan suatu pendekatan
terhadap al-Qur‘an. Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan
Farah Ciciek Assegaf, (Yogyakarta: LSSPA, 1994), h. 16.
153
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Keseluruhan pembahasan tesis ini paling tidak menunjukkan bahwa nonMuslim juga dapat berkontribusi untuk menafsirkan atau mengungkap kandungan alQur‘an.
Dengan menggunakan pendekatan linguistik struktural, yang mempola bahasa
menjadi dua bagian, yaitu: langue dan parole, Toshihiko Izutsu berhasil mengurai
problem pewahyuan al-Qur‘an dari sudut pandang ilmiah. Berdasarkan pendekatan
ini, wahyu adalah parole (kalâm/perkataan) Tuhan yang termanifestasi dalam bahasa
(lisân) Arab.
Wahyu sebagai suatu peristiwa linguistik supranatural merupakan konsep
yang berhubungan dengan tiga individu, yaitu Tuhan sebagai pengirim pesan,
Muhammad sebagai penerima pesan, dan Jibril sebagai perantara (channel) dalam
pengiriman pesan tersebut agar sampai kepada penerima, yaitu Muhammad.
Pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur‘an bukan karena superioritas bahasa ini
dibanding bahasa-bahasa lain tetapi lebih merupakan teknis penyampaian pesan.
Dengan demikian pendapat Toshihiko Izutsu terhadap proses pewahyuan sejalan
dengan mayoritas umat Muslim yang menyatakan bahwa al-Qur‘an diturunkan Tuhan
melalui perantara Malaikat Jibril dalam bahasa Arab.
Di sisi lain, Toshihiko Izutsu menyatakan bahwa pandangan dunia al-Qur‘an
bersifat teosentris. Hal ini dibuktikan bahwa tidak ada satupun istilah kunci dalam alQur‘an yang tidak terkait dengan kata fokus tertinggi, yaitu Allah. Pembuktian ini
dilakukan dengan menggunakan metode analisis semantik yang dipahaminya
bukanlah analisis sederhana terhadap struktur bentuk kata maupun kajian terhadap
makna asli (makna denotatif) yang melekat pada bentuk kata tersebut atau analisis
167
154
etimologis, tetapi sebagai suatu kajian analitis terhadap istilah-istilah kunci dari suatu
bahasa dengan maksud untuk akhirnya menangkap pandangan dunia
(weltanschauung) dari orang-orang yang menggunakan bahasa itu tidak hanya
sebagai alat untuk berbicara dan berpikir, namun lebih penting lagi sebagai alat untuk
menangkap dan menerjemahkan dunia yang mengelilinginya.
B. Saran-saran
Kajian terhadap pemikiran Toshihiko Izutsu terhadap al-Qur‘an, terutama
pandangan dan pendekatannya, merupakan manifestasi ketertarikan akademisintelektual sarjana-sarjana non-Muslim terhadap al-Qur‘an. Apa yang telah dilakukan
oleh Toshihiko Izutsu tersebut merupakan kontribusi yang dapat membuka cakrawala
baru dalam kajian al-Qur‘an, tentunya apabila diperhatikan dengan cara terbuka. Oleh
karena itu perlu kiranya untuk diapresiasi.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kajian dalam tesis ini masih jauh dari
bentuk yang diharapkan, apalagi ada semacam maksim bahwa suatu kajian pasti
meninggalkan ruang dan celah permasalahan yang menuntut pengkajian berikutnya
guna menutupi dan melengkapi cela dan kekurangan penelitian tersebut. Demikian
juga dengan penelitian ini, yang memfokuskan pada pandangan dan pendekatan
Toshihiko Izutsu, masih banyak hal yang perlu ditelaah, dielaborasi, dan dikritisi
lebih tajam, sehingga menghasilkan manfaat yang lebih baik lagi.
155
DAFTAR PUSTAKA
I.
Buku
Abdullah, Amin, dkk., Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi
(Sebuah Antologi), (Yogyakarta: Penerbit SUKA Press, 2007).
Abdullah, Taufik, dkk. (eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. 7, (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002).
Ahimsa-Putra, Heddy Shri, Strukturalisme Lévi Strauss: Mitos dan Karya Sastra,
(Yogyakarta: Kepel Press, 2006).
Ali, A. Mukti, Ilmu Perbandingan Agama, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970).
Ali, Syed Ameer, Api Islam, terj. H.B. Jassin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978).
Alwasilah. A. Chaedar, Pokoknya Kualitatif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002).
Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet,
2005).
‗Ammâr, Aẖmad Sayyid Muẖammad, Nazhariyyat al-I„Jâz al-Qur‟ânî wa Atsaruhâ
fî al-Naqd al-„Arabi al-Qadîm, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‗âshir, 1998).
Amîn, Aẖmad, Fajr al-Islam, (Singapura: Sulaiman Mar‘i, 1965).
Amîn, Utsman, Falsafah al-Lughah, (Mesir: Dâr al-Mishriyah li al-Ta‗lîf wa alTarjamah, 1965).
al-‗Arabî, Shalâh ‗Abd al-Majîd, Ta„allum al-Lughât al-Hayyah wa Ta„lîmuhâ:
Baina al-Nazharîyah wa al-Tathbîq, (Beirut: Maktabah Lubnân, 1981).
Arif, Syamsuddin, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani,
2008).
Arifin, H.M., Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, (Jakarta: P.T. Golden
Terayon Press, 1997).
Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Qur‟an, terj. Machasin, (Jakarta: INIS,
1997).
Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur‟an: Kajian Kritis, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2005).
al-ʻAkk, Khâlid ʻAbd al-Rahmân, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâʻiduhu, (Beirut: Dâr alNafâis, 1986).
156
al-Andalusî, Abû Hayyân, Tafsîr al-Baẖr al-Muhîth, Juz I, (Beirut: dâr al-Kutub alʻIlmîyah, 2001).
al-As‘ad, ‗Abd al-Karîm Muẖammad, al-Wasîth Fi Târîkh al-Nahw al-„Arabî,
(Riyaḍ: Dâr al-Syawq, 1992).
al-Asfahâni, al-Râghib, Muʻjam Mufradât Alfâdz al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Kutub alʻIlmîyah, 2004).
al-Attas, Syed Naquib, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of
the Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC,
1995).
al-A‗zami, Muẖammad Mushthafâ, The History of The Qur‟anic Text: from
Revelation to Compilation, a Comparative Study with the Old and New
Testaments, (terj.), (Jakarta: Gema Insani, 2005).
al-Babanî, Hidâyat al-„Ûrifîn, Jilid 2, (Mesir: Dâr Mauqi‘ al-Warrâq, 1979).
al-Bâqî, Muẖammad Fûad ʻAbd, al-Muʻjam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân alKarîm, (Kairo: Mathbaʻah Dâr al-Kutûb al-Mishriyyah, 1363 H.).
Bell, Richard, The Origin of Islam in Its Christian Environment, (London:
Macmillan, 1968).
Bîk, Muẖammad al-Khudhâri, Târîkh al-Tasyrî„ al-Islâmî, (Kairo: Mathba‗ah alSa‗âdah, 1964).
Bleeker, C.J., Pertumbuhan Agama-agama Dunia, terj. Barus Siregar, (Bandung:
Sumur Bandung, 1964).
Boisard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta: Bulan
Bucaille, Maurice, Bibel, al-Qur‟an, dan Sains Modern, terj. H.M. Rasyidi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979).
Catford, J.C., Linguistic Theory of Translation, (Oxford: Oxford University Press,
1969).
Chaer, Abdul, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994).
--------, Pengantar Linguistik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet.
III.
Chomsky, Noam, Aspects of Theory of Syntax, (Cambridge: The MIT Press, 1972).
al-Daghâmîn, Ziyâd Khalîl Muẖammad, Manhajîyah al-Baẖts fî Tafsîr al-Maudhûʻî li
al-Qur‟ân al-Karîm, (Amman: Dâr al-Basyir, 1995).
al-Dzahabi Muẖammad Husain, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I-III, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000).
157
Eliade, Mircea (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 11-12, (New York: Simon &
Schuster Macmillan, 1995).
Enani, Muẖammad, Fann al-Tarjamah, (Beirut: Maktabah Lubnân Nasyirûn,), Cet.
VII.
--------, Nazhariyah al-Tarjamah al-Haditsah: Madkhal ilâ Dirâsât al-Tarjamah,
(Kairo: Longman, 2003).
Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Farah
Ciciek Assegaf, (Yogyakarta: LSSPA, 1994).
Fairclough, Norman, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language,
(London: Longman, Group Limited, 1995).
al-Faqî, Subhî Ibrâhîm, „Ilm al-Lughah al-Nashshî Baina al-Nazhariyyah wa alTathbîq: Dirâsah Tathbîqiyyah „ala al-Suwar al-Makkiyah, (Kairo: Dâr
Qubâ‘, 2000).
al-Farâḥidî, al-Khalîl ibn Aẖmad, Kitâb al-„Ain, Taẖqîq: Mahdî al-Maẖzumî dan
Ibrâhîm al-Samirrâî, (Baghdad: Dâr Mauqi‘al-Warrâq, 1985).
al-Farmawî, ‗Abd Hayy, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû„î: Dirâsah Manhajîyah
Maudhû„îyah, (Kairo: Mathb‗ah al-Hadhârah al-‗Arabiyah, 1997).
Gadamer, Hans Georg, Truth and Method, (New York: Continuum, 1989), 2nd
Revision.
Gätje, Helmut, The Qur‟an and Its Exegesis: Selexted Texts with Classical and
Modern Muslim Tradition, terj. Alford T. Welch, (London: Routledge &
Kegal Paul, 1976).
al-Ghazalî, Muẖammad, Menikmati Jamuan Allah: Inti Pesan Quran dari Tema ke
Tema, terj. Akhmad Syaikho dan Ervan Nurtawab, Jilid 1-3, (Jakarta: P.T.
Serambi Ilmu Semesta, 2007).
Gibb, H.A.R., Mohammadanism: A Historical Survey, (London: Oxford Press, 1950).
Goldziher, Ignaz, Muslim Studies, Vol. I, (London: Allen & Unwin, 1967).
Grambs, David, Words About Words, (New York: Mc. Graw Hill Book Company,
1979).
Haekal, Muhammad Husein, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984).
Hartoko, Dick dan Rahmanto, Pemandu di Dunia Sastra, (Yogyakarta: Kanisius,
1986).
Hasan, Hasan Ibâhîm, Târîkh al-Islâm, Juz I, (Beirut: Dâr al-Jail, 1996).
158
Hassan, Tammâm, al-Ushûl: Dirâsah Istimûlojiah li al-Fikr al-Lughwi „inda al„Arab, (Kairo: Dâr ‗Âlam al-Kutub, 2000).
Hawkes, Terence, Structuralism and Semiotics, (Taylor & Francis e-Library, 2004).
Hawting, G.R. dan Abdul-Kader A. Shareef [eds.], Approaches to the Qur‟an,
(London dan New York: Routledge, 1993).
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,
(Jakarta: Paramadina, 1996).
Hitti, Philip K., History of the Arabs: From Earliest Times to the Present, (London:
Macmillan Co., 1958).
Horovitz, Joseph, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran, (Hildesheim:
Georg Olms Verlagbuchandlung, 1964).
Hung, Edwin, The Nature of Science: Problem and Perspectives, (Belmont:
Wardsworth Publishing Company, 1997).
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular-Liberal, (Jakarta: Gema Insani, 2005).
Ibn Jinnî, al-Khashâish, Jilid 2 (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1983).
Ibn Katsîr, ‗Imâd al-Dîn Abî al-Fidâ‘ Ismâ‗îl, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Adhîm, Jilid XIV,
Taẖqîq: Mushthafâ al-Sayid Muẖammad, et. al., (Kairo: Muassasah alQurthubah, 2000).
Ibn Mandzûr, Abû al-Fadhl al-Dîn Muẖammad ibn Makram, Lisân al-„Arab, (Kairo:
Dâr al-Ma‘ârif, t.th.).
Ibn Qudamah, al-Mughnî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyah, t.th.).
Ibn Warraq (ed.), The Origin of the Koran, (New York: Prometheus Books, 1998).
al-Iskandârî, Aẖmad dan Mushthafâ ‗Ananî, al-Wasîth fî al-Adâb al-ʻArab wa
Târîkhihi, (Kairo: Dâr al-Maʻârîf, t.t.).
Izutsu, Toshihiko, Ethico-Religious Concepts in the Qur‟an, (Montreal: McGillQueen‘s University Press, 2002).
--------, God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anic Weltanschauung,
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002).
--------, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, terj.
Agus Fahri Husein, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).
al-Ja‗fî, Abî ‗Abd Allah Muẖammad ibn Ismâ‗îl ibn Ibrâhîm ibn Mughîrah ibn
Bardizabah al-Bukhârî, Saẖîẖ al-Bukhârî, Juz I, (Semarang: Penerbit Toha
Putra, t.th.).
159
Jalâl al-Dîn ʻAbd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthi, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân,
Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.).
Jansen, J.J.G., The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill,
1974).
Jeffery, Arthur, The Foreign Vocabulary of the Qur‟ân, (Leiden - Boston: Brill,
2007).
John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol.
2, (New York, Oxford: Oxford University Press, 1995).
al-Jurjanî, ‗Abd al-Qâhir, Asrâr al-Balâghah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982).
al-Karîm, Khalîl ‗Abd, Syari‟ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, terj. Kamran
As‘ad, (Yogyakarta: LKiS, 1990).
Kharmâ, Nâyif dan ‗Alî Hajjâj, al-Lughât al-Ajnabîyah: Ta„lîmuhâ wa Ta„allumhâ,
(Kuwait: al-Majlis al-Wathanî li al-Tsaqâfah wa al-Funûn wa al-Âdâb, 1988).
al-Khâlidî, Shalâẖ ‗Abd al-Fattâẖ, al-Tafsîr al-Maudhû‟î Baina al-Nadzarîyah wa alTathbîq: Dirâsah Nadzarîyah wa Tathbîqîyah Murfaqah bi Namâzhij wa
Lathâ‟if al-Tafsîr al-Maudhû‟î, (Oman: Dâr al-Nafâ‘is li al-Nasyr wa alTauzîʻ, 1997).
al-Khûlî, Muhammad Ali, A Dictionary Of Theoretical Linguistics: English - Arabic,
(Beirut: Library Du Liban, 1982).
al-Khûlî, Muẖammad Amîn, Manâhij al-Tajdîd fî al-Naẖwi wa al-Balâghah wa alTafsîr wa al-Adâb, (Beirut: Dâr al-Maʻrifah, 1961).
Krentz, Edgar, The Historical-Critical Method, (Philadelphia: Fortress Press, 1975).
Kridalaksana, Harimuti, Kamus Linguistik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
Edisi 3, 2001), Cet. V.
Lailah, Muẖammad Muẖammad Abû, al-Qur‟ân al-Karîm min Manzhûr alIstisyrâqî, (Kairo: Dâr al-Nasyr li al-Jâmiʻât, 2002).
Lammens, H., Islam: Beliefs and Institutions, (New Delhi: Oriental Books Reprint
Corporation, 1979).
Lewis, Bernard The Arab in History, (New York: Oxford University Press Inc.,
2002).
Madigan, Daniel A., The Qur‟an Self-Image: Writing and Authority in Islamic‟s
Scripture, (New Jersey: Princeton University Press, 2001).
Maẖmûd, Hadzr Mûsa ‗Ali, al-Nahw wa al-Nuhhât: al-Madâris wa al-Khashâish,
(Kairo: Dâr ‗Alam al-Kutûb, t.t.).
160
Mahmud, Moh. Natsir, Orientalisme: al-Qur‟an di Mata Barat (Sebuah Studi
Evaluatif), (Semarang: Dina Utama, 1997).
al-Maududi, Maulana, The Process of Islamic Revolution, (Lahore: t.p., 1967).
Majma‗ al-Lughah al-‗Arabiyah Mesir, al-Mu„jam al-Wasîth, (Istambul: al-Maktabah
al-Islâmiyah, t.th).
Martin, Richard C. (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson:
University of Arizona Press, 1985).
McAuliffe, Jane Dammen (ed.), Encyclopaedia of the Qur‟ān, Vol. 2, (LeidenBoston-Köln: Brill, 2002).
-------- (ed.), Encyclopaedia of the Qur‟ān, Vol. 4, (Leiden: E.J. Brill, 2004).
-------- (ed.), The Cambridge Companion to the Qur‟an, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2007).
Mohammad, Khaleel dan Andrew Rippin (ed.), Coming Terms with the Qur‟an: A
Volume in Honor of Professor Issa Boullata, McGill University, (North
Haledon: Islamic Publication International, t.th.,).
Mubarak, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur‟an
Kontemporer “ala” M. Syahrur, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007).
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997).
Nababan, Sri Utari Subyakto, Metodologi Pengajaran Bahasa, (Jakarta: P.T.
Gramedia Pustaka Utama, 1993).
al-Najdi, ʻAbd al-Raẖmân ibn Muẖammad ibn Qâsim al-ʻÂshim, Majmuʻ al-Fatawâ
Syaikh al-Islâm Aẖmad ibn Taimiyah, Juz XIII, (t.tp.: t,p., 1398 H.).
Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen and
Unwin Ltd., 1984).
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. II.
--------, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan, (Jakarta:
Yayasan penerbit Universitas Indonesia, 1972), Cet. II.
Nida, Eugene A. dan Charles S. Taber, Theory and Practice of Translation, (Leiden:
E.J. Brill, 1982).
Nunan, David, Research Methods in Language Learning, (New York: the Press
Syndicate of the University of Cambridge, 1992).
Parera, JOS. Daniel, Linguistik Edukasional, (Jakarta: Erlangga, 1987).
Phandek, Edward, Iktifâ al-Qunû‟ Bimâ Hua Mathbû‟, (Mesir: Dâr Mauqi‘ alWarrâq, 1979)).
161
Poespoprodjo, Interpretasi, (Bandung: Remadja Karya, 1987).
Pradopo, Rahmad Djoko, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, cet. VII, 2000).
Purwo, Bambang Kaswanti, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990).
al-Qaththân, Mannâʻ, Mabâẖits fi ʻUlûm al-Qur‟ân, (Riyad: Mansyûrah al-ʻAshr alHadîts, 1973).
al-Qifthî, Inbâh al-Ruwât „âlâ Anbaâh al-Nuẖât, Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb alMishrîyah, 1979).
al-Qunûjî, Shiddîq ibn Hasan, Abjad al-„Ulûm li Wasyi al-Marqûm Fi Bayân Aẖwâl
al-„Ulûm, Jilid 2, (Beirut: Dâr al-Kutûb al-‗Ilmîyyah, 1978).
Quthb, Sayyid, Fî Zhilâl al-Qur‟ân, terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Era
Intermedia, 2001).
--------, Fî Zhilâl al-Qur‟ân, Vol. VI, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992).
--------, Muqawwamât al-Tasawwur al-Islâmî, (t.tp: Dâr al-Syurûq, t.th.).
al-Râzî, Muẖammad ibn Abî Bakr, Mukhtâr al-Shiẖâẖ, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001).
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,
(Chicago: The University of Chicago Press, 1982).
--------, Islam, (Chicago: Chicago University Press, 1979).
--------, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, peny. Taufik Adnan Amal,
(Bandung: Mizan, 1994), Cet. VI.
--------, Tema Pokok al-Qur‟an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Penerbit Pustaka,
1996), Cet. II.
al-Rûmî, Fahd ibn ʻAbd al-Rahmân ibn Sulaimân, Khasâ‟is al-Qur‟ân al-Karîm,
(Riyad: t.p., 1409 H.), Cet. III.
Richards, Jack C. dan Theodore S. Rodgers, Approaches and Methods in Language
Theaching, (New York: Cambridge University Press, 1992).
Richardson, W.J., Martin Heidegger: Through Phenomenology to Thought, (The
Hague: Nijhoff, 1964).
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Vol. VI, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.).
Rippin, Andrew (ed.), Introduction to the Qur‟an: Style and Contents, (Hampshire:
Ashgate Publishing Limited, 2001), h. xi.
Rosenthal, Franz, Etika Kesarjanaan Muslim: dari al-Farabi hingga ke Ibn Khaldun,
terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Mizan, 1996).
162
Rusmana, Dadan, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, (Bandung:
Pustaka Setia, 2006).
Sa‘îd Hasan Buhairî, ‗Ilm Lughat al-Nashsh, (Kairo: Muassasah al-Mukhtâr, 2003).
Said, Edward W., Orientalisme, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 2001), Cet.
IV.
al-Sairafî, Abî Muẖammad Yûsuf ibn Abî Sa‘îd, Syarẖ Abyât Sibawaih, Taẖqîq:
Muẖammad ʻAli Sulthâniî (Suriah: Dâr al-‗Ashâma, 2001).
Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan
Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), Cet. II.
al-Sanjarjȋ, Muṣṭafȃ ‗Abd al-‘Azȋz, al-Madzȃḥib al-Nahwiyah, (Jeddah: alFashȋliyah, 1988).
Sapir, Edward, Language: An Introduction to the Study of Speech, (New York:
Harcourt Brace, 1921).
Saussure, Ferdinand de, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993).
Setiawan, M. Nur Kholis, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2005).
--------, Pemikiran Progressif dalam Kajian Al-Qur‟an, (Jakarta: Kencana, 2008).
-------- dan Sahiron Syamsuddin, Orientalisme al-Qur‟an dan Hadits, (t.tp.: Nawasea
Press, 2007).
al-Shâbunî, Muẖammad ʻAlî, al-Tibyân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Beirut: ʻÂlam al-Kutûb,
1985).
al-Shaghîr, Muẖammad Husain ‗Alî, al-Mustasyriqûn wa Dirâsât al-Qur‟âniyah,
(Beirut: Dâr al-Muarrikh al-‗Arabi, 1999).
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992).
--------, Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994).
--------, dkk., Sejarah dan „Ulûm al-Qur‟ân, ed. Azyumardi Azra, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999).
Smart, Ninian, Worldview; Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York:
Charles Sibner‘s Son, t.th.).
Smith, Huston, The Word‟s Religion: Islam, (San Fransisco: Harper Publishers,
1991).
Smith, Wilfred Cantwel, The Meaning and End of Religion, (New York: The New
American Library of the World Literature, 1964).
163
Sodiqin, Ali, Antropologi al-Qur‟an: Model Dialektika wahyu dan Budaya,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).
Sou‘yb, Joesoef, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. III.
Steenbrink, Karel A., Mencari Tuhan dengan Kacamata Kaum Barat, Jilid II,
(Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1988).
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (ed.), Serba-serbi Semiotika, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 57.
Sumaryono, E., Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999).
al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‗Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr, al-Muzhhir fî „Ulûm alLughah wa Anwâ„ihâ, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.).
--------, al-Itqân fî ʻUlûm al-Qur‟ân, Juz I, (Kairo: Mathba‗ah Hijazî, t.th.).
al-Syâfiʻî, Aẖmad Muẖammad ibn Idrîs, al-Risâlah li al-Imâm al-Muththallabi
Muẖammad ibn Idrîs al-Syâfi‟î, Aẖmad Muẖammad Syâkir (ed.), (Kairo;
Maktabah Dâr al-Turâts, 1979).
Syahrûr, Muẖammad, al-Islâm wa al-Îmân: Mandhûmât al-Qiyam, (Damaskus: alAhâlî li al-Thiba‗ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‗, 1996).
--------, al-Kitâb wa al-Qur‟ân: Qirâ‟ah Muʻâshirah, (Beirut: Syarikah al-Mathbûʻah
li al-Tauzîʻ wa al-Nasyr, 2000), Cet. VI, h. 57.
Syaltût, Mahmûd, Min Hudâ al-Qur‟ân, (Kairo: Dâr al-Kâtib al-‗Arabî li al-Thibâʻah
wa al-Nasyr, t.t.).
al-Tanthawî, Muẖammad, Nasy`ah al-Naẖw wa al-Tarîkh Asyhuri al-Nuhât, (Kairo:
Dâr al-Manâr, 1991).
al-Tawwâb, Ramadhân ‗Abd, Fushûl fi Fiqh al-„Arabîyyah, (Kairo: Maktabah alKanji, 1979).
al-Thayyâr, Musâ‗id ibn Sulaiman ibn Nâshir, al-Tafsîr al-Lughawî li al-Qur‟ân alKarîm, (t.tp.: Dâr Ibn Jauzî, 1422 H.).
‗Umar, Aẖmad Mukhtâr, „Ilm al-Dilâlah, (Kuwait: Maktabah Dâr al-‗Arûbah li
Nasyr wa al-Tauzî‗, 1982).
--------, al-Bahs al-Lughawi „ind al-Arab, (Kairo: Dâr al-Miṣhr li al-Thabâʻah, 1985).
Teeuw, A., Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1984).
Theiessen, Henry C. dan Vermon D. Doerksen, Teologi Sistematika, (Malang:
Yayasan Penerbit Gandum Emas, 1997), Cet. IV.
164
Thu‗aimah, Rusydi Aẖmad, Ta„lîm al-„Arabiyah li Ghair al-Nâthiqîna bi hâ:
Manâhijuhu wa Asâlibuhu, (Rabath: ISESCO, 1989).
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif al-Qur‟an, (Jakarta:
Paramadina, 1999).
Verhaar, J.W.M., Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1999), Cet. II.
Versteegh, C.H.M., Arabic Grammar and Qur‟anic Exgesis in Early Islam, (Leiden:
1993).
Wall, Thomas F., Thinking Critically about Philosophical Problem: A Modern
Introduction, (Belmont: Wadsworth Thompson Learning, 2001).
Wansbrough, John, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretation, (New York: Prometheus Books, 2004).
Watt, W. Montgomery, Bell‟s Introduction to the Qur‟an, (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1970).
--------, Islamic Fundamentalism and Modernity, (London & New York: Routledge,
1988).
--------, Muhammad‟s Mecca: History in the Qur‟an, (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1988).
Wehr, Hans, Mu„jam al-Lughah al-„Arabiyah al-Mu„âshirah: „Arabiy – Inkliziy,
(Beirut: Maktabah Lubnân, 1980), Cet. III.
Whaling, Frank (ed.), Contemporary Approaches to the Study of Religion, (Berlin,
New York, Amsterdam: Mouton Publishers, 1984).
Wild, Stefan (ed.), The Qur‟an as Text, (Leiden: E.J. Brill, 1996).
Ya‘sûb, Mauqi‘, Mu‟jam al-Mathbû‟ât, Jilid 1, (Mesir: Dâr al-Turâts al-Islamî,
1982).
Zaid, Nashr Hâmid Abû, al-Ittijâh al-„Aqli fi al-Tafsîr: Dirâsah fi Qadiyah al-Majâz
inda al-Mu‟tazilah, (Kairo: al-Markaz al-Thaqafî al-‗Arabî, 1997).
--------, Al-Qur‟an, Hermeneutika, dan Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan
Hermeneutika Al-Qur‟an, (terj.), (Bandung: RQiS, 2003).
--------, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî ʻUlûm al-Qur‟ân, (Kairo: al-Haiʻah alMishriyah al-ʻÂmmah li al-Kitâb, 1993).
--------, Naqd Khitâb al-Dînî, (Kairo: Sîna li al-Nasyr, 1994), Cet. II.
-------- dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam, (Westport:
Greenwood Publishing Group, 2004).
al-Zain, Muẖammad Athif, al-Insân, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnân, 1989).
165
al-Zamakhsyarî, Abû al-Qâsim Maẖmûd ibn ‗Umar ibn Aẖmad, Asâs al-Balâgah,
Jilid 2, (Kairo: Dâr al-Kutûb al-Mishrîyah, 1973), Cet. II.
--------, al-Kasysyâf ʻan Haqâ‟iq Ghawâmidh al-Tanzîl wa ʻUyûn al-Aqâwîl fî Wujûh
al-Ta‟wîl, Jilid III, (Riyad: Maktabah al-ʻAbîkân, 1998).
al-Zarkasyî, Badr al-Dîn Muẖammad ibn ‗Abd Allah, al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟ân,
taẖqîq: Muẖammad Abû al-Fadhl Ibrâhîm, Juz I, (Kairo: Maktabah Dâr alTurâts, t.th.).
al-Zarqânî, Muẖammad ‗Abd al-‗Adzîm, Manâhil al-„Irfân fî „Ulûm al-Qur‟ân,
taẖqîq: Badî al-Sayyid al-Laẖẖâm, Jilid II, (t.tp.: Dâr al-Qutaibah, 1998), Cet.
II.
II. Tesis/Disertasi
Rahman, Yusuf, ―The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: The
Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur‟an‖, (Disertasi pada
Institute of Islamic Studies, McGill University, 2001).
III. Majalah/Jurnal
Jurnal al-Jami‟ah, No. 53, 1997.
Esensia, Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 2, No. 2, Juli 2001.
Jurnal Mimbar Agama & Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002.
Jurnal Dinika, Vol. 3 No. 1, Januari 2004.
Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Tahun I, No. 1, Maret 2004.
Jurnal Kajian Islam al-Insan, Tahun I, No. I, Januari 2005.
Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No. 1, Januari 2006.
Jurnal Studi al-Qur‟an, Vol. I, No.2, 2006.
IV. Internet
http://ahmadsahidah.blogspot.com.
http://www.ArabicEncyclopedia.com.
http://www.iiu.edu.my/irkhs/izutsu/?Who_is_Toshihiko_Izutsu%3F.
http://www.mawsoah.net.
http://www.worldwisdom.com/public/authors/Toshihiko-Izutsu.aspx.
166
http://[email protected].
http;//www.pdcnet.org/pdf/jip1-Naquib%20al-Attas.pdf.