Solidaritas Korban Pelanggaran HAM

Transcription

Solidaritas Korban Pelanggaran HAM
KontraS
KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan)
dibentuk untuk menangani persoalan
penculikan beberapa aktivis yang
diduga berhubungan
dengan kegiatan
politik yang mereka lakukan. Dalam
perjalanannya KontraS tidak hanya
menangani masalah penculikan dan
penghilangan orang secara paksa tapi
Salam dari Borobudur
Salam Redaksi
Di pertengahan Maret lalu, DPR RI menolak membawa peristiwa Trisakti, Semanggi I
dan kasus Semanggi II yang terjadi tahun 1998-1999 ke rapat paripurna. Alasan
penolakan ini ialah DPR periode 2004-2009 tidak mau melakukan perubahan terhadap
putusan DPR periode sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran
berat HAM pada peristiwa diatas. Keputusan ini jelas sangat mengecewakan dan
menggambarkan watak para wakil rakyat kita yang tidak menganggap penting ada
pembunuhan dan kekerasan lainnya yang dialami oleh warga bangsa yang dilakukan
negara. Bila kejahatan kemanusiaan tidak lagi dianggap sebagai bagian penting dari
persoalan bangsa ini, maka sama saja para wakil rakyat itu mengamini terjadi
kekerasan negara.
juga diminta oleh masyarakat korban
untuk menangani berbagai bentuk
kekerasan yang terjadi baik secara
vertikal di Aceh dan Papua maupun
secara horizontal seperti di Maluku,
Sambas, Sampit dan Poso.
Keadilan yang tak berpihak, dan hukum yang tak pernah berlaku adil ini menjadi
kupasan utama dalam edisi berita utama buletin kali ini. Kami memfokusnya dalam
tema besar tentang impunitas dalam kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Sementara
sejumlah berita dari daerah menjadi informasi yang diangkat dalam rubrik berita
daerah. Seperti biasa pula sejumlah informasi dalam rubrik rempah-rempah, seperti
peringatan HUT KontraS yang ke-9, seleksi para anggota Komnas HAM, hingga
perkembangan kasus Tanjung Priok, menjadi informasi penting lain yang kami sajikan.
Selanjutnya, ia berkembang menjadi
organisasi yang independen dan
banyak berpartisipasi dalam
membongkar praktek kekerasan dan
pelanggaran hak asasi manusia
Sementara itu, perkembangan atas kasus perjuang aktivis HAM Munir memasuki babak
baru. Di awal April, setelah tiga bulan melakukan penyelidikan pihak kepolisian
mengumumkan adanya dua tersangka baru dalam kasus ini. Meski dua tersangka ini
(Indra Setiawan dan Ramelgia Anwar), bukanlah orang baru, namun kedua orang
dalam Garuda ini terus diperiksa untuk mengembangkan keterlibatan mereka dalam
kasus ini.
sebagai akibat dari penyalahgunaan
kekuasaan.
KontraS diprakarsai oleh beberapa
organisasi non pemerintah dan satu
organisasi mahasiswa, yakni: AJI,
CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM,
YLBHI dan PMII
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri,
Polisi juga mengajukan tiga novum baru ke Kejaksaan Agung. Temuan tiga novum ini
diharapkan menjadi temuan penting yang dapat dipergunakan sebagai pengajuan
kembali (PK) kasus ini oleh pihak kejaksaan agung. Dan dari sejumlah temuan lain
yang ada, Pollycarpus disebut-sebut tetap terlibat dalam konsiprasi pembunuhan ini.
Artinya, meski Polly telah diputus bebas lewat kasasi MA akhir Desember tahun lalu,
tampaknya Polly akan kembali dijerat.
Kita berharap bahwa temuan kali ini menjadi bukti baru yang bisa menjerat aktor
intelektual dari kasus ini. Tak ada kata lain, sang aktor harus
mempertanggungjawabkan semua perbuatan biadabnya itu. Karena, keadilan dan
hukum memang harus berpihak pada kebenaran. ***
Ndrie, Gian, Abu, Victor, Sinung, Ori, ,
Alam, Haris, Harits, Papang, Helmi,
Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati,
Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud.
Federasi Kontras: Mouvty dan Bustami.
Asiyah (Aceh), Oslan Purba (Sumatera
Berita KontraS
Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).
Penanggung Jawab: Usman Hamid
Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi
Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati.
Sidang Redaksi: Haris Azhar, Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits, Sri
Suparyati dan Mufti Makaarim.
Design layout: BHOR_14
Utara), Pieter Ell (Papua).
Edmond LS (Kontras Sulawesi)
Badan Pekerja Kontras dibantu oleh
relawan-relawan yang tersebar
di seluruh Indonesia
Redaksi Berita KontraS menerima
kritik, saran dan tulisan untuk Berita
KontraS
Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia.
Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821
Email: [email protected]. website: www.kontras.org
KontraS berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia
dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak
mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat,
mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi
organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi
No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 3926983 atau
[email protected]
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
2
BERITA UTAMA
Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM
DPR Menjelma Dalam Modus Impunitas HAM
Sembilan tahun sudah reformasi bergulir. Sembilan tahun pula kasus pelanggaran HAM (Trisakti,
Semanggi I dan Seamnggi II, Penghilangan aktivis dan peristiwa Mei 1998) tak memperoleh tempat
bagi pemenuhan keadilan korban. Puncaknya di pertengahan Maret lalu, Badan Musyawarah
(Bamus) DPR menolak membawa kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS) ke Rapat
Paripurna DPR dengan alasan DPR periode 1999-2004 telah menyatakan kasus tragedi TSS
bukanlah pelanggaran berat HAM. Inilan gambaran bahwa pemberian impunitas (kekebalan
hukum) terhadap pelaku pelanggaran HAM telah berlangsung secara sistematis.
Hingga saat ini dengan beribu alasan negara masih bertanggungjawab untuk mengakui adanya warganegara yang
menunjukkan keengganan untuk mempertanggungjawabkan telah dihilangkan secara paksa dan sekaligus menjelaskan
kasus-kasus pelanggaran berat HAM terjadi. Misalnya pada keberadaan mereka saat ini.
kasus penculikan/penghilangan paksa ktifis 1997-1998,
Tapi, Kejaksaan Agung bukannya segara melakukan proses
peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, Tragedi
penyidikan, malah menyatakan akan
Mei 1998, kasus Wasior, Wamena hingga saat
menunggu keputusan politik dari DPR dan
ini Kejaksaan Agung masih bersikukuh
Dok.Kontras
Presiden. Hal ini kembali menunjukkan
menolak melakukan penyidikan dengan alasan
bahwa ada upaya penghambatan terhadap
materil maupun formil yang mengada-ada.
kasus penghilangan paksa seperti kasusDemikian pula peradilan terhadap kasus Timur
kasus pelanggaran HAM lain sebelumnya.
Timor dan Tanjung Priok di pengadilan HAM
ad hoc berujung pada pemberian impunitas
Seharusnya bila DPR serius menuntaskan
terhadap pelaku dan pengabaian terhadap
kasus pelanggarab HAM dengan cepat, tidak
pemberian reparasi (hak atas pemulihan) bagi
perlu mengikuti kemauan Kejagung,
korban. Pada kasus Timur Timor hanya satu
demikian dinyatakan oleh Mugiyanto, Ketua
orang sipil, Eurico Gutteres yang dipersalahkan
Ikatan Keluarga Orang Hilang. Begitu pula
sebagai terpidana, sementara kalangan TNI/
dengan Kejagung. Menurut Mugi, bila serius
Polri maupun Gubernur Timtimnya sendiri
menyelesaikan kasus itu, sebaiknya Kejagung
dinyatakan bebas oleh pengadilan. Pada kasus
langung menindaklanjuti hasil penyelidikan
Tanjung Priok semua terdakwa yang diajukan
Komnas HAM ke tingkat penyidikan, tanpa
Aksi menuntut penuntasan
ke pengadilan dinyatakan bebas atau tidak
perlu menunggu pembentukan pengadilan
kasus pelanggaran HAM
terbukti melakukan pelanggaran HAM. Hal
HAM ad hoc.
serupa terjadi ketika pengadilan HAM terhadap
peristiwa Abepura 2000 di gelar di Makassar, para pelakunya Alih-alih, menyikapi tuntutan pengungkapan kasus penculikan
dinyatakan bebas/tidak terbukti.
aktivis ini, DPR dalam Rapat Paripurnanya pada Februari lalu,
Dalam konteks ini negara telah kehilangan perannya yang
paling fundamental yaitu memberi rasa aman, dan menjamin
keadilan bagi warganya. Pada kasus-kasus pelanggaran HAM
berat ini negara dengan upaya sistematis malah melemahkan
posisi korban untuk mendapatkan kepastian hukum. Negara
membentengi dirinya dengan sibuk melindungi para pelaku
sejak kasus-kasus ini dilimpahkan ke Kejaksaan Agung,
kemudian politisasi di DPR, serta pengadilan sebagai pintu
terakhir pemberi impunitas.
Pada kasus penghilangan paksa 1997/1998, atau yang lebih
populer dengan sebutan penculikan aktivis pro-demokrasi,
sebelumnya, Komnas HAM (8/11/2006) telah menetapkan
kasus ini sebagai sebuah pelanggaran HAM yang berat. Dalam
rekomendasinya, Komnas meminta agar laporan ini
ditindaklanjuti Kejaksaan Agung, DPR RI dan Presiden untuk
dibawa ke pengadilan HAM. Sementara bagi korban dan
keluarga korban diupayakan rehabilitasi, kompensasi dan
restitusi. Disisi lai dapat dilihat bahwa Negara harus
3
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
memutuskan untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk
mengkaji hasil penyelidikan Komnas HAM. Langkah DPR ini
seolah ingin kembali mengulangi hasil fatal dari Pansus TSS pada
periode 1999-2004 lalu. Kritik terhadap putusan pembentukan
Pansus penculikan ini muncul dikalangan anggota dewan sendiri.
Misalnya, Akil Mochtar, anggota Fraksi Partai Golkar, yang juga
ditunjuk sebagai anggota dari Pansus ini menyatakan keraguan
atas hasil yang akan didapat dari Pansus ini. Akil malah
berencana mengundurkan diri dari Pansus ini dengan alasan
masih trauma dengan hasil Pansus TSS pada DPR periode
sebelumnya, yang dampaknya masih terasa hingga sekarang.
Menurutnya, DPR telah mengambil domain penyidikan yang
seharusnya menjadi otoritas Kejaksaan Agung. Seharusnya
Komisi III melakukan pengkajian terhadap temuan Komnas HAM
ini dan membuat rekomendasi perlu tidaknya dibuat
rekomendasi dibentuknya pengadilan HAM ad hoc atau tidak,
tambah Akil.
Pesimistis terhadap keberadaan Pansus ini juga diutarakan oleh
Benny K. Harman, anggota DPR dari Fraksi Demokrat.
BERITA UTAMA
Menurutnya, apa yang dikerjakan Pansus ini hanya akan
membuang-buang waktu saja, bila pansus kembali
melakukan penyelidikan sebagaimana telah dilakukan oleh
Komnas HAM. Dalam konteks ini menurut Benny, DPR akan
berada pada posisi yang justru menghambat penegakan
HAM di Indonesia.
Anti HAM dan Anti Konstitusi
Puncaknya, bak lakon sinetron Indonesia yang sudah bisa
ditebak, Bamus DPR (13/03/) menyatakan bahwa kasus
Trisakti 1998, Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999) tidak
dapat diteruskan ke Rapat Paripurna DPR karena Bamus
masih sependapat dengan hasil Pansus TSS pada DPR
periode 1999-2000 yang menyatakan kasus bukan
merupakan pelanggaran HAM yang berat. Jelas, kita
mengecam keputusan ini. Sikap ini menunjukan bahwa DPR
RI telah menjadi bagian penting dalam modus impunitas
(kejahatan tanpa hukum) di Indonesia. Padahal hal ini juga
bertentangan dengan Konstitusi dan UU nomor 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HAM.
korban serta keluarganya. Keputusan DPR ini merupakan sikap
politik yang setali tiga uang dengan sikap pemerintah cq Jaksa
Agung yang selama ini menolak untuk melakukan penyidikan.
Sulit mengharapkan pemerintahan SBY menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM masa lalu.
Sikap ini memang bukanlah suatu yang aneh bila melihat
konsfigurasi fraksi di DPR yang menolak penuntasan
pelanggaran HAM masa lalu. Sebagian besar fraksi-fraksi
tersebut merupakan partai-partai pendukung pemerintah. Jadi,
fakta ini sesungguhnya menunjukan bahwa politik HAM parpol
dan DPR sangat ditentukan oleh kepentingan untuk
mempertahankan kepentingan kekuasaan, bukan konstituen.
Situasi ini menjadi sebuah cermin labirin impunitas, sebuah
ketidakjelasan atas ketiadaan proses penghukuman dari
berbagai institusi negara yang semestinya berwenang.
Ketidakjelasan ini menunjukkan negara, bahkan melalui insitusi
perwakilan rakyatnya telah unwiliing (tidak berniat) and unable
(tidak mampu) dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
HAM. Sungguh ironis, karena sebagai anggota Dewan HAM PBB,
Indonesia harus membuktikan tercapainya penegakan dan
pemenuhan HAM, khususnya menyelesaikan problem-problem
pelanggaran HAM di masa lalu.
Sejak awal DPR (yang lalu maupun yang saat ini) memang
tidak berkehendak untuk mendorong kasus TSS diadili secara
layak dan akuntabel melalui mekanisme
pengadilan HAM. Hal ini bisa dilihat dari
Fungsi Jaksa Agung dua
Bamus telah dua kali pada 2006
Fenomena kasus TSS
merekomendasikan Komisi III untuk
ini merupakan wajah Sebelumnya juga, mengenai polemik Pasal 43 UU
Pengadilan HAM, KontraS sudah berkali-kali
melakukan kajian atas kasus TSS. Oleh
masifitas lembagamengingatkan bahwa fungsi Jaksa Agung ada dua,
karenanya hasil Komisi III yang menyatakan
lembaga negara
yakni sebagai penyidik dan penuntut. Jaksa Agung
terdapat pelanggaran HAM yang berat,
untuk menghindar
saat ini belum masuk dalam tahapan untuk
seharusnya otomatis diterima. Bukti lainya
menuntaskan kasus
menyerahkan kasus ini ke pengadilan HAM. Karena
adalah prosedur-prosedur DPR yang sangat
pelanggaran HAM
itu ada di tahap penuntutan. Saat ini kasus tersebut
tidak lazim dalam membuat keputusan.
yang berat.
baru masuk dalam tahap penyidikan, belum
Terakhir, sepertinya semua pihak dalam DPR,
penuntutan. Karena itu wajib menindak lanjuti hasil
Fraksi dan alat kelengkapan DPR, merasa
berkepentingan untuk membahas namun akhirnya tetap penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan. Jika
penyidikan selesai, dan Jaksa Agung hendak melakukan
menolak menindak lanjuti.
penuntutan, baru DPR merekomendasikan pengadilan HAM ad
Padahal, semangat dari dimintanya DPR membuat hoc. Dengan begitu, alasannya lebih masuk akal.
rekomendasi hanya untuk meminta ijin ketika prinsip
hukum non retro aktif dilanggar dalam penegakan hukum Permintaan Jaksa Agung agar DPR lebih dulu mengusulkan
atas kasus pelanggaran HAM dimasa lalu yang belum diadili pengadilan ad hoc HAM sebelum Jaksa Agung menyidik, sama
secara layak. DPR bukan diminta untuk menentukan kapan? saja dengan meminta DPR kembali masuk ke ranah hukum. Jaksa
Dimana? Dan layak atau tidaknya kasus tersebut diteruskan. Agung seharusnya berpegang teguh pada hukum yang memberi
kewenangan kepada Komnas HAM untuk menentukan dugaan
Hal ini telah menjadi tugas Komnas HAM.
terjadinya pelanggaran HAM berat. Sebab bukan tidak mungkin
Fenomena kasus TSS ini merupakan wajah masifitas kasus penculikan aktivis 1997/1998 akan bernasib seperti kasus
lembaga-lembaga negara untuk menghindar menuntaskan Trisakti Semanggi. Terhambat karena DPR masuk ke ranah
kasus pelanggaran HAM yang berat. Fakta ini justru hukum dan menganulir penyelidikan Komnas HAM.
bertentangan dengan norma dan image Indonesia di
Internasional. Penegakan HAM tanpa diskriminasi Hal senada diungkapkan oleh anggota Komnas HAM, Eny
merupakan amanat UUD 1945. Di level internasional Soeprapto, yang dengan tegas mengatakan bahwa Komnas HAM
Indonesia menduduki posisi cukup penting dalam Dewan menolak langkah DPR dalam membentuk Pansus kasus
HAM PBB serta telah meratifikasi konvenan hak-hak sipil penghilangan orang atau penculikan aktivisi 1997-1998.
Penolakan ini karena DPR hanya lembaga politik yang tidak
dan Politik.
mempunyai kewenangan menyelidiki dan menyidik.
Pada posisi ini DPR juga kembali menunjukkan
keberpihakannya terhadap para pelaku, dibanding upaya Menurut UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, DPR hanya
untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi berperan mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
4
BERITA UTAMA
pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran berat HAM
masa lalu. Seharusnya, DPR menyerahkan kewenangan
penyelidikan dan penyidikan kepada Komnas HAM dan
Kejaksaan Agung. Untuk itu, Komnas HAM akan segera
melakukan rapat paripurna menyusul keputusan DPR tersebut.
Putusan ini kembali menunjukkan ada begitu banyak pihak,
khususnya lembaga negara yang ingin menggelapkan kasus ini,
salah satunya lewat sebuah keputusan atau sebuah kebijakan
yang kerap pula dipolitisir. Dalam perjalanan delapan tahun
kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada, kita bisa melihat
dengan arah kebijakan yang sangat tidak memihak pada
kepentingan korban oleh penguasa.
Atas kekacauan penegakan Hukum HAM dan intervensi politik
dalam penegakan HAM, KontraS merekomendasikan, dilevel
hukum, agar sesegera mungkin Departemen Hukum dan HAM
melakukan sosialisasi sistem penegakan hukum dan prinsipprinsip HAM ke anggota DPR. Tujuannya agar prinsip-prinsip
hukum dan HAM dimaknai dalam aktifitas politik, sehingga
terbangun politik yang konstitusional dan terpenuhinya hak
korban.
KontraS juga berharap Komnas HAM segera meminta
pendapat dari Mahkamah Konstitusi tentang peran DPR yang
terlalu jauh merasuki proses hukum. Secara politis, KontraS
juga mengingatkan DPR bersiap diri menerima sanksi sosial
dan moral dari masyarakat atas keputusannya. Dilevel
internasional putusan ini semakin memperburuk citra
Indonesia dalam penghormatan Hak Asasi Manusia dimata
dunia Internasional. ***
Mempertegas Komitmen Pelanggaran HAM
Dalam rangka sidang ke-empat Dewan HAM di Geneva 12-30
Maret 2007, delegasi NGO di Indonesia akan hadir untuk
mempertegas komitmen internasional dalam menyikapi
kondisi HAM di Indonesia.
Momentum ini menjadi ruang strategis untuk kembali
menagih komitmen pemerintah sebagai anggota Dewan HAM
PBB dalam menjalankan pemajuan dan pemenuhan HAM di
Indonesia. Pemantauan atas pelaksanaan komitmen ini akan
menjadi landasan bagi evaluasi kinerja pemerintah untuk
dipilih kembali menjadi anggota Dewan HAM PBB, pada Mei
2007.
Hingga saat ini, masih terjadi pelanggaran HAM di Indonesia,
khususnya di wilayah Poso dan Papua, kejahatan- kejahatan
perusahaan, pelanggaran terhadap hak-hak kesehatan,
kemisikinan, bencana alam, serta pelanggaran terhadap hakhak kelompok minoritas seperti buruh migran dan
masyarakat adat. Selain itu, problem impunitas atas
permasalahan HAM semakin menguat. Hal ini tampak dari
ketiadaan komitmen pemerintah dan DPR untuk
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di
Indonesia, termasuk penyelesaian kasus pembunuhan Munir.
Tampak jelas bahwa ratifikasi berbagai konvensi
internasional termasuk Kovenan Hak Sipil dan Politik serta
Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya pada 2005 lalu tidak
diimplementasikan secara penuh.
Hal ini sungguh bertolak belakang dengan pernyataan Menteri
Hukum dan HAM, Hamid Awaludin pada agenda high /eve/
segment dalam sidang Dewan HAM PBB, 13 Maret 2007 lalu.
Dalam pidatonya, pemerintah berjanji untuk meratifikasi 3
buah konvensi internasional, yaitu Migrant Worker’s Convention,
the Disabi/ities Convention dan Convention on Enforced Disappearance,
mengundang specia/ rapporteur untuk memberi masukan pada
mekanisme nasional. Selain itu, pemerintah juga berjanji
untuk mendukung pemenuhan norma HAM dan standar
intemasional serta akan menjalankan pelaksanaan Rencana
Aksi Nasional HAM 1999-2003 dan 2004-2009. Pemerintah
5
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
bahkan berjanji untuk mengedepankan perlindungan dan
pemenuhan hak-hak fundamental manusia (non derogab/e
rights).
Dukungan internasional
Di sisi lain, dengan jelas terungkap bahwa pernyataan
tersebut tidak merefleksikan kondisi hak asasi manusia di
tingkat nasional. Kiranya kita patut khawatir bila hal serupa
akan terus didengungkan sebagai alat bagi diplomasi
ditingkat internasional tanpa ada kontrol dari masyarakat
sipil.
Karenanya tidak salah bila kita terus memberi tekanan, agar
komunitas Internasional, khususnya melalui mekanisme
PBB, mendesak pemerintah Indonesia melaksanakan
berbagai instrument hukum HAM internasional dan
menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang terus
berlangsung. Termasuk pula dukungan intemasional baik
dari negara maupun dari Dewan HAM untuk perbaikan dan
penyelesaian HAM di Indonesia.
Sementara itu melihat maraknya praktek-praktek kejahatan
yang dilakukan oleh perusahaan TNCs-MNCs, secara
khusus kita meminta dewan ham PBB untuk berinisiatif
membentuk badan pelapor khusus yang melakukan
pemantauan atas kasus-kasus kejahatan korporasi yang
terjadi selama ini.
Sekali lagi, tak ada kata lagi, pemerintah Indonesia harus
secara serius melaksanakan berbagai janji yang diucapkan
baik dalam pidato high /eve/ segment maupun janji dan
komitmen saat mencalonkan diri menjadi anggota Dewan
HAM PBB. Secara khusus, juga meminta pemerintah segera
mengundang specia/ rapporteur extrajudicia/, summary or arbitrary
execution untuk kasus Munir serta specia/ rappertur of
independency judiciary untuk problem impunitas yang terjadi.
Terakhir, mendesak pelaksanaan RANHAM secara optimal
di seluruh wilayah Indonesia.***
OPINI
Labirin Impunitas Atas kejahatan Kemanusiaan
Indria Fernida
Kepala Bidang Operasional KontraS
Awal medio 2007, kembali
mengemuka pembahasan dan debat
terhadap tindak lanjut kasus-kasus
pelanggaran HAM berat yang
selama ini terbengkalai, kasus
Trisakti Semanggi I dan II, Mei 1998
dan Penculikan Aktivis 1997/1998.
Dalam Rapat Kerjanya Komisi III
DPR kembali mempertanyakan
penyelesaian kasus-kasus tersebut
kepada Jaksa Agung maupun
Komnas HAM. Komnas HAM
menyatakan bahwa penyelidikan
telah selesai dan prosesnya saat ini ada pada tingkat penyidikan
Jaksa Agung. Sementara Jaksa Agung juga tetap bersikukuh
untuk menunggu usulan DPR bagi pembentukan pengadilan
HAM adhoc. Di sisi lain, dalam level proses yang sama, tak
tampak pembahasan kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 di
Papua, yang secara hukum tak memiliki hambatan untuk segera
disidik.
Jawaban Komnas HAM dan Jaksa Agung tetap sama seperti
tahun lalu. Termasuk juga debat dan saling tuding yang
mendasarkan diri pada interpretasi yang berbeda dari regulasi
yang ada. Sementara Komisi III DPR tampak tak punya
argumentasi yang tegas sehingga memberikan respon yang
berbeda kepada Jaksa Agung dan Komnas HAM. Di sisi lain,
respon penanganan terhadap penyelesaian kasus Trisakti
Semanggi berbeda dengan kasus Mei 1998 dan kasus Penculikan
Aktivis 1997/1998.
Untuk kasus Trisakti Semanggi, DPR mendorong Jaksa Agung
untuk menyidik tanpa mencabut rekomendasi politik yang
dihasilkan pada periode 1999-2004 lalu, yang menyatakan tidak
ada pelanggaran HAM berat untuk kasus Trisakti Semanggi I
dan II. Setahun kemudian Komnas HAM, satu-satunya lembaga
yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki kasus-kasus
pelanggaran HAM menyatakan adanya dugaan pelanggaran
HAM berat untuk kasus ini. Jika dilihat dalam logika hukum,
tentu saja keputusan politik DPR yang lahir dari bias
kepentingan politik bisa diabaikan karena tidak memiliki upaya
hukum yang mengikat. Apalagi tidak ada kewenangan DPR
untuk melakukan tugas penyelidikan hukum. Namun ternyata
hal tersebut menjadi alasan utama ditundanya penyidikan Jaksa
Agung (selain tentunya alasan formil dan materil yang
dikemukakan, sehingga terjadi pengembalian berkas
penyelidikan berkali-kali).
Sejak pertengahan Juni 2005, janji DPR untuk mencabut
rekomendasi tak kunjung direalisasikan. Pembahasan dalam
mekanisme internal tidak pernah masuk dalam substansi
permasalahan, tetapi hanya mendelegasikan rencana
pembahasan dalam rapat internal lainnya. Alhasil, tak
pernah ada langkah nyata untuk pencabutan rekomendasi
tersebut.
Bagi kasus Penculikan Aktivis 1997/1998 berbeda lagi. Jaksa
Agung tak mau melakukan penyidikan dengan alasan
pengadilan HAM adhoc belum dibentuk. Sebuah alasan yang
mengada-ada karena secara institusional pengadilan HAM
terdapat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sementara ‘adhoc’ mengacu pada peristiwa serta perangkat pendukung
seperti hakim adhoc dan jaksa adhoc. Selain itu, proses
hukum dalam kasus tersebut saat ini ada pada tahap
penyidikan Jaksa Agung, yang memiliki kewenangan untuk
menggali fakta dan mencari bukti-bukti untuk memperkuat
hasil penyelidikan Komnas HAM yang telah menyimpulkan
‘dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat’. Proses
penuntutan inilah yang akan menjadi landasan DPR untuk
mengusulkan kepada Presiden bagi pembentukan pengadilan
HAM adhoc.
Di sisi lain, terdapat hal yang khusus dalam rekomendasi
Komnas HAM untuk kasus ini. Berdasarkan prinsip HAM
serta Konvensi tentang Perlindungan Semua Orang dari
Penghilangan Paksa, sejumlah aktivis yang masih hilang
harus diyakini masih hidup, sehingga dianggap sebagai
kejahatan yang berkelanjutan (continuoing crimes). Oleh
karenanya jurisdiksi pengadilan ada pada tahap pengadilan
HAM (yang permanen).
Di tengah ketidakjelasan tersebut, Komisi III DPR justru
“kalah berdebat” dengan Jaksa Agung. Rapat Paripurna DPR
memutuskan membentuk Pansus untuk kasus Penculikan
Aktivis 1997/1998 sebagai alat untuk rekomendasikan
pembentukan Pengadilan HAM adhoc kepada Presiden.
Sebuah keputusan yang mengecewakan mengingat langkah
serupa pernah diambil untuk kasus Trisakti Semanggi I dan
II, yang justru menjadi penghambat hingga kini. Langkah ini
juga justru memperlambat pemenuhan hak korban yang telah
lama menanti keadilan. Apalagi Rapat Kerja Tripartit antara
Komisi III DPR dengan Jaksa Agung dan Komnas HAM – yang
diusulkan oleh korban dan kelompok sipil dan diharapkan
dapat menghasilkan penyelesaian yang efektif – tidak berhasil
mengakhiri kebuntuan ini. Tampak jelas adanya politik hitam
yang kental dalam tubuh DPR yang menunjukkan
keberpihakannya untuk menghambat penyelesaian kasuskasus masa lalu.
Keadilan yang Terus Terbengkalai
Dalam waktu yang sama, Komnas HAM masih berkutat
untuk menyelidiki kasus Talangsari 1989. Proses hukumnya
berjalan tertatih-tatih, sejak dibentuk 2005 lalu. Secara
internal, para anggota Komnas HAM beralasan sibuk untuk
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
6
OPINI
melakukan pekerjaan lainnya, sehingga tidak memprioritaskan
penyelesaian kasus ini. Selain itu Komnas HAM juga tidak
mendapatkan respon serius dari aparat TNI untuk bekerja
sama. Sebuah bentuk nyata minimnya kerjasama dan kemauan
politik dari lembaga terkait lainnya. Hal serupa yang juga
terjadi pada saat penyelidikan kasus Trisakti Semanggi I dan
II, Mei 1998 maupun kasus Penculikan Aktivis 1997/1998,
seperti ijin Kejaksaan Agung untuk pemeriksaan lokasi serta
ijin Ketua Pengadilan Negeri untuk pemanggilan paksa.
Menjelang penyelidikan selesai, upaya Komnas HAM bertemu
Presiden untuk mendiskusikan hal ini juga
tak terwujud.
UU Otonomi Khusus di Papua dan UU Pemerintahan Aceh tak
juga nyata wujudkan pengadilan HAM dan KKR sebagai upaya
pemenuhan korban pelanggaran HAM. Korban ditinggalkan.
Korban dilupakan.
Labirin Impunitas
Ketidakjelasan seluruh proses ketiadaan pertanggungjawaban
dan penghukuman ini menunjukkan pola labirin impunitas.
Seluruh insitusi negara, seakan bahu membahu saling
menuding untuk melempar tanggung
jawabnya, tanpa ada jalan keluar yang
efektif. Tampak jelas tiadanya political
Dok.Kontras
will yang cukup dari pemerintah dan
DPR untuk mendorong proses
kebenaran (truthseeking) dari peristiwa
kemanusiaan di masa lalu.
Sementara sederet kasus pelanggaran HAM
berat lainnya tak juga tersentuh hukum.
Negara seakan lupa bahwa telah terjadi
berbagai kejahatan kemanusiaan di negeri
ini. Alih-alih mengakui bertanggungjawab
atas keterlibatannya, tetapi justru
Pembenahan reformasi sistem dan
membiarkan para korban pelanggaran HAM
institusi hukum serta reformasi dalam
terus menjadi korban. Hingga saat ini
sektor keamanan melalui regulasi yang
misalnya, korban 1965 tetap mengalami
berpihak pada HAM, ratifikasi
diskriminasi karena dituduh sebagai bagian
berbagai konvensi hingga janji dan
dari partai komunis yang diperlakukan
ikrar sukarela saat menjadi anggota
sebagai ‘anak tiri’ di negeri ini. Jangankan
Dewan HAM PBB tak cukup jika tak
digelarnya penyelidikan atas fakta yang
diiringi dengan pelaksanaan nyata.
terjadi, berbagai regulasi yang masih
Upaya itu justru menimbulkan dugaan
mendeskreditkan diri mereka masih belum
miring sebagai politik manis
dicabut. Akibatnya, rehabilitasi sosial tak
Aksi menuntut penuntasasan
pemerintah
dalam
kancah
pernah terwujud. Rekomendasi dari
pelanggaran HAM
internasional.
Mahkamah Agung, DPR dan Komnas HAM
kepada Presiden RI untuk pemenuhan
Pembiaran
terhadap
seluruh
rehabilitasi umum kepada para korban juga tak mendapatkan kebuntuan ini jelas merupakan pelanggaran konstitusional.
respon yang berarti.
Karena proses penegakan, perlindungan dan pemenuhan HAM
Kasus Pembunuhan Munir, yang menjadi harapan bagi
tonggak tercapainya keadilan kasus-kasus pelanggaran HAM
lainnya juga kelam. Kepolisian tak juga menuntut pelaku
konspirasi pembunuhan, walau jelas dinyatakan dalam
putusan PN Pusat. Jaksa Agung belum juga membuka
percakapan 41 kali antara Pollycarpus dan Muchdi PR, mantan
Deputy V BIN. Sementara Presiden tetap diam. Tak juga
umumkan hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta yang secara
politik semestinya dapat mendorong seluruh institusi negara
untuk mengungkap pembunuhan ini.
Di sisi lain harapan dari pengadilan HAM seakan pupus,
melihat kenyataan bahwa pengadilan justru membebaskan
para pelaku pelanggar HAM. Sungguh ironi, karena ternyata
tak ada yang bertanggung jawab atas peristiwa kejahatan
kemanusiaan di Timor Leste, Tanjung Priok dan Abepura.
Termasuk pula tak ada langkah konkret yang dilakukan untuk
pemenuhan korban-korban di masa DOM di Aceh dan Papua.
adalah tanggungjawab negara. Maka sudah saatnyalah
Presiden bertindak untuk mengatasinya. Dukungan politik
kepada seluruh institusi negara merupakan hal yang mutlak
dilakukan. Apalagi, Presiden telah menegaskan bahwa
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM adalah salah satu
program utama pemerintahannya.
Namun tanggung jawab negara memang tak pernah diberikan
cuma-cuma. Keadilan harus direbut. Untuk itulah aksi DiamHitam-Kamisan yang dilakukan para korban pelanggaran
HAM di depan Istana Presiden terus dilakukan Untuk menjaga
harapan. Untuk terus mengingatkan, bahwa korban masih ada.
Korban masih terus menggugat. Korban tak pernah diam.
Selama tak ada pemenuhan hak yang efektif bagi korban
pelanggaran HAM berupa kebenaran (truth), keadilan (justice)
dan reparasi (reparation), bangsa ini akan terus terjebak hidup
dalam sejarah hitam masa lalu yang selalu coba ditutupi
sekalipun nyata terlihat. ***
Berdasarkan prinsip HAM serta Konvensi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan
Paksa, sejumlah aktivis yang masih hilang harus diyakini masih hidup, sehingga dianggap sebagai
kejahatan yang berkelanjutan (continuoing crimes)
7
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
JEJAK SANG PEJUANG
Ajukan PK Dengan Bukti-bukti Baru
Di awal Bulan April, kasus Munir memasuki babak baru. Meskipun bukanlah suatu
perkembangan yang baru, namun perkembangan dari kasus ini menunjukkan bahwa aparat
kepolisian terus bekerja dalam pengusutan kasus ini. Dan kita patut menyambut baik
perkembangan dari penyidikan yang telah dilakukan oleh pihak berwajib ini.
Perkembangan itu terlihat jelas saat Kapolri Jenderal Susanto
seusai mengikuti rapat koordinasi terbatas di Kementerian
Hukum dan Keamanan (5/4), menyampaikan bahwa
pihaknya akan mengumumkan tersangka baru terkait kasus
pembunuhan Munir. “Dalam waktu dekat akan saya
sampaikan (tersangka baru) itu, jangan disampaikan
sekaranglah. Sampai saat ini kami masih terus melakukan
proses penyelidikan. Sabar saja, “ ujar Susanto.
Menanggapi pernyataan ini, Sekretaris Eksekutif KASUM,
Usman Hamid mengaku menyambut baik rencana Polri
untuk menangkap dan mengumumkan sejumlah nama pelaku
baru terkait kasus pembunuhan Munir. Usman berharap
tidak ada lagi penundaan seperti beberapa kali terjadi
sebelumnya. Menurut Usman, dalam beberapa pertemuan,
pihak kepolisian telah menjanjikan adanya nama tersangka
baru dari hasil penyelidikan mereka.
“Sebelumnya malah pernah menjanjikan Maret kemarin
mereka (polisi) akan memberi nama tersangka baru, tetapi
sampai sekarang kan omongan itu tidak terealisasi. Mudahmudahan dalam beberapa hari ini, sesuai dijanjikan Kepala
Polri, memang benar –benar akan ada nama tersangka baru.
Mari kita tunggu saja, “ ujar Usman.
Usman mengatakan dalam beberapa kali pertemuan dengan
pihak penyidik, dirinya menangkap kesan pihak intelijen
kepolisian sebenarnya telah berhasil memperoleh sejumlah
kemajuan, termasuk mengantongi beberapa nama mereka
yang terlibat atau tahu pembunuhan itu.
Dari sejumlah temuan itu, pihak kepolisian tampak sudah
mulai mengerucut ke sejumlah nama orang yang dicurigai
terlibat dan berperan, baik sebagai perencana maupun
operator dalam pembunuhan Munir.
Sedangkan dari kalangan DPR, anggota Komisi Hukum DPR,
Mutammimul Ula, juga mendesak polisi bergerak cepat dalam
mengungkap kasus pembunuhan Munir sebelum
internasionalisasi kasus tersebut berjalan lebih jauh.
Internasionalisasi kasus ini akan memunculkan persoalan
baru bagi pemerintah. “Segera saja diumumkan tersangka
itu, “ kata Mutammimul.
dua tersangka baru kasus pembunuhan yang terjadi pada 7
September 2004, hampir tiga tahun lalu itu. Kedua tersangka
adalah Indra Setiawan (IS), mantan direktur utama PT. Garuda
dan Rohanil Aini (RA), karyawan PT. Garuda Indonesia.
Penetapan dua tersangka berkaitan dengan hasil uji
laboratorium dan forensik atas barang bukti yang dikirim ke
Seattle, Amerika Serikat, dan keterangan sejumlah saksi. Hasil
itu menunjukkan dalam tubuh Munir ditemukan racun arsenik
jenis tiga (racun berbahaya) dan lima. Arsenik jenis tiga itu,
kata Kapolri, tingkat kecepatan reaksi racunnya 0,5-1,5 jam.
Dari hasil itulah terungkap pula bahwa tempat kejadian perkara
terbunuhnya Munir di Bandara Changi, Singapura.
Kapolri Jenderal Sutanto mengatakan bahwa peran (tersangka),
ikut terlibat dalam suarat palsu yang dikeluarkan untuk
Pollycarpus, tersangka sebelumnya yang dinyatakan bebas dari
tuduhan pembunuhan Munir. Lebih lanjut dikatakan Kapolri,
dari bukti baru dan tersangka baru, kepolisian akan
mengembangkan pemeriksaan lebih lanjut sehingga muncul
tersangka lain. Jumlah tersangka masih akan berkembang.
“Tidak bisa kita tetapkan langsung semua yang terlibat.
Penyelidikan bertahap, “ ujarnya.
Untuk menyebut dua tersangka baru, Susanto mengaku sangat
berhati-hati. Kehatian-hatiannya didasarkan pada pengalaman
kaburnya tersangka setelah disebut aparat kepolisian.
Menimbulkan pertanyaan
Di sisi lain, pengumuman dua tersangka baru ini oleh Kapolri
menimbulkan pertanyaan dari kalangan anggota DPR dan
aktivis. Mereka mempertanyakan apa sebenarnya yang mau
diungkap Polri, kasus pemalsuan surat atau pembunuhan Munir.
Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan mengapresiasi
perkembangan pengungkapan kasus pembunuhan Munir yang
dilakukan Polri, namun dia berharap pencapaian itu bukan
sekadar gula-gula menjelang diadakannya Sidang Dewan HAM
PBB. “Pengungkapan kasus Munir ini semestinya tidak berhenti
pada dua orang tapi membongkar mata rantai sehingga
mengetahui siapa sesungguhnya pembunuh Munir, “ lanjutnya.
IS dan RA, tersangka baru
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa,
Nursyahbani Katjasungkana, juga meminta Kapolri agar segera
melakukan pengusutan dan kemudian melaporkan hasilnya ke
publik. Sedangkan aktivis LSM, Amiruddin Al Raham, menduga
penetapan dua tersangka baru itu terkait dengan usaha untuk
mengamankan pencalonan anggota Dewan HAM PBB yang
pemilihannya akan dilakukan akhir Mei 2007.
Pada akhirnya, lima hari setelah memberikan sinyal akan
mengumumkan temuannya, aparat kepolisian menetapkan
Sedangkan mantan anggota TPF, Asmara Nababan
mempertanyakan atas dasar apa Kapolri menyebutkan kedua
Lebih lanjut Mutammimul mengatakan kepolisian harus
berani mengumumkan tersangka kalau memang itu
berdasarkan hasil penyidikan, sehingga kepolisian lebih
transparan, akuntabel, dan profesional.
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
8
JEJAK SANG PEJUANG
inisial nama IS Dan RA. Apakah mereka ditetapkan sebagai
tersangka dalam kasus pembunuhan atau sekedar terkait
pemalsuan surat, seperti tersangka sebelumnya, Pollycarpus BP.
Sedangkan menurut Bambang Herdarso Danuri, kedua
tersangka itu terkait proses penunjukan Polly, untuk menjadi
petugas aviation security dalam pesawat Garuda yang
ditumpangi Munir.
“Kami mempersoalkan status kedua inisial nama tersangka baru
ini. Sebenarnya yang mau disidik itu kan kasus pembunuhan,
bukan kasus pemalsuan surat di Garuda. Memang apa
urusannya Garuda mau membunuh Munir? “ ujar Asmara.
“Itu (penunjukan Polly) bukan ujuk-ujuk, tapi ada sesuatu
yang bisa kita ungkap di baliknya, “ ujar Bambang. IS dan RA
segera akan dipanggil penyedik untuk diperiksa.
Sedangkan mantan anggota TPF Munir lainnya, Rachland
Nashidik, menyatakan, pengumuman tersangka baru itu hanya
merupakan pernyataan.”Itu namanya penyataan, bukan
pengumuman. Jadi itu mirip dagelan. Soalnya polisi sudah
mengubah locus delicti (tempat kejadian perkara/TKP) seperti
temuan TPF di perjalanan pesawat Garuda-Singapura menjadi
di Bandara Changi, “ kara Rachland.
Rachland menyebutkan dalam temuan polisi itu ada kejanggalan.
“Berarti dengan menyatakan dua tersangka, polisi menemukan
fakta baru. Misalnya dinyatakan bahwa pembunuhan dilakukan
di Changi, padahal TPF tidak mendapatkan fakta itu. Tapi
berdasarkan pemeriksaan saksi-saksi di antaranya menyatakan
bahwa saat di bandara itu, Munir dalam keadaan pucat, “
katanya.
Sementara Koordinator KontraS Usman Hamid yang juga
mantan Sekretaris TPF mengemukakan adanya kepentingan
sebuah kekuatan lembaga untuk menggunakan PT Garuda
Indonesia sebagai sarana melakukan pembunuhan. “Harusnya
diusut, siapa pihak yang bisa menggunakan Garuda untuk
melakukan aksi itu, “ ujar Usman.
Sedangkan isteri (alm) Munir, Suciwati, mengaku tidak bisa
menutupi rasa kecewa terkait pengumuman dua tersangka
tersebut. Dan pada saat bertemu dengan Kepala Badan Reserse
Kriminal Polri Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri di Mabes
Polri (12/4), Suciwati yang didampingi Usman Hamid
mengatakan bahwa dalam waktu dekat Mabes Polri akan
menangkap para tersangka kasus Munir. “Polri serius, satu dua
hari ini ke depan ada tersangka yang ditangkap. Ada tersangka
lain di luar PT Garuda. Saya minta tangkap dan umumkan namanama mereka, “ ujar Suciwati.
Polisi serahkan tiga bukti baru
Setelah tiga bulan penyelidikan, Kepolisian RI menyerahkan tiga
bukti baru ke Kejaksaan Agung (13/04) untuk proses Pengajuan
Kembali (PK) dalam perkara kasus Munir. Ketiga bukti tersebut
berupa hasil uji laboratorium forensik CCL Tequika di Seattle,
Amerika Serikat, pengakuan saksi kunci melihat pelaku
pembunuhan di Bandar Udara Changi, Singapura, dan ketiga,
beberapa keterangan saksi tambahan dalam penerbangan ke
Amsterdam.
Terkait dengan dua tersangka yang telah ditetapkan, Kapolri
Jenderal Sutanto menegaskan bahwa penetapan dua tersangka,
IS dan R dari PT Garuda Indonesia, tidak terkait dengan
pemalsuan surat. Keduanya diduga terlibat dalam proses
perencanaan pembunuhan Munir. “Kami tentu menyelidiki ke
arah pembunuhannya. Surat digunakan untuk memperlancar, “
Ujar Sutanto.
9
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
Lebih lanjut Bambang menjelaskan, kontruksi kasus Munir
tersebut terbagi menjadi tiga lokasi kejadian perkara. Lokasi
pertama terkait serangkaian proses perencanaan
pembunuhan. Lokasi kedua, eksekusi peracunan terhadap
Munir, yaitu di Bandara Changi Internasional, Singapura.
Ketiga, yaitu lokasi pasca-eksekusi ketika Munir akhirnya
tewas dalam pesawat Garuda Indonesia bernomor GA-974,
saat penerbangan dari Singapura menuju Bandara
Schiphol,Amsterdam,Belanda.
Kepolisian menurut Bambang telah bekerja sama dengan
Departemen Investigasi Kriminal Singapura untuk
prarekontruksi. Hasilnya, katanya, saksi melihat Munir
bersama seorang seseorang sebelum borading di salah satu
tempat di Bandara Changi. “Saya yakin proses 340 KUHP
(pembunuhan) terjadi di tempat itu, “katanya.
Kejakgung optimis PK
Sementara itu, Jaksa Agung yakin upaya peninjauan kembali
(PK) atas Pollycarpus BP dalam kasus Munir bisa dilakukan.
Ke-optimisan tersebut, menurut Jaksa Agung Abdul Rahman
Saleh didasarkan pada novum yang ada. “Kan ada
yurisprudensi, “ ujarnya, Rabu (18/4).
PK merupakan upaya hukum luar biasa yang ditempuh oleh
terpidana atau keluarganya. Ketentuan itu ada dalam Pasal
263 KUHAP. Upaya PK yang diajukan oleh jaksa tak disebutsebut dalam ketentuan itu.
Mengenai aturan PK dalam KUHAP, Jaksa Agung menegaskan,
upaya PK itu bisa saja dilakukan oleh jaksa. Dikatakannya,
PK oleh jaksa itu sudah ada yuresprudensinya. Pada tahun
1996, MA mengeluarkan putusan kontrovesial, yang baru
pertama kali terjadi di dunia hukum Indonesia, dengan
mengabulkan permohonan PK dari jaksa penuntut umum.
Dalam kasus kisruh buruh di Medan pada tahun 1994, di
pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, Mochtar
Pakpahan dihukum empat tahun penjara. Namun, di tingkat
kasasi Mochtar dibebaskan. Atas putusan kasasi itu, jaksa
Havid Latif dari Kejaksaan Negeri Medan kemudian
mengajukan PK yang diterima dan dikabulkan oleh MA pada
1966 oleh majelis hakim agung Soerjono, Palti Raja Siregar,
dan Sarwata.
Kejagung sendiri menurut Arman, baru menerima sebagian
bukti baru (novum) dari Mabes Polri pada 13 April 2007, yang
akan digunakan untuk mengajukan PK. Novum yang
diserahkan itu Mabes Polri itu antara lain, kesaksian seseorang
yang melihat Munir bersama dengan Pollycarpus di Bandara
Changi, Singapura, hasil forensik dari Seattle, Amerika Serikat,
JEJAK SANG PEJUANG
yang diyakini lebih detil dari forensik yang dihasilkan oleh
tim di Belanda, serta gambar denah pesawat Garuda buatan
Pollycarpus yang diduga sebagai bagian dari rencana
pembunuhan.
tertutup. Perwakilan negara yang hadir dalam acara itu, antara
lain, dari Belanda, Swedia, Kanada, dan Selandia Baru.
Dua tokoh kunci diburu
Namun, perkembangan kasus pembunuhan ini nyatanya juga
mengalami hambatan. Di akhir bulan April lalu, Kapolri Jenderal
Sutanto mengaku tidak bisa mengungkap isi percakapan telepon,
yakni antara mantan pilot Garuda, Pollycarpus dengan mantan
Deputi V BIN, Muchdi Purwopranjono.
Penyidikan dari kasus Munir terus dilakukan oleh aparat
kepolisian. Dari penemuan bukti-bukti baru yang telah
didapati tersebut, pihak kepolisian memburu dua orang yang
terlibat dalam kasus pembunuhan Munir, yakni Raymond
Latuihamalo alias Ongen dan seseorang berinisial BI. Kedua
orang ini diduga bertemu dengan Munir di Bandar Udara
Changi, Singapura.
Tak terekam
Padahal, isi percakapan itu penting karena diduga membahas
rencana pembunuhan terhadap Munir. Menurut Sutanto,
penyedia jasa telepon di Indonesia hanya merekam tagihan
(billing) yang berisi data tanggal, jam, dan durasi percakapan.
“Tidak ada isi pembicaraan antara Muchdi dan Polly,” ujar
Kapolri (24/04).
Ongen, yang menurut saksi mata berbincang-bincang dengan
Munir dan Pollycarpus di Bandara Udara
Changi, Singapura, saat pesawat yang
mereka tumpangi transit, dianggap polisi
sebagai salah satu tokoh kunci untuk
Berdasarkan fakta di
menguak kasus pembunuhan ini.Ongen,
sebelumnya lebih dikenal sebagai
pengadilan, terungkap
penyanyi dan pengarang lagu pada
adanya 41 kali sambungan
dasarwasa 1980. Ongen banyak
antara telepon Polly dan
menciptakan lagu top, termasuk yang
telepon di ruang kerja kerja
dibawakan oleh keponakannya, penyanyi
Muchdi. Komunikasi
terkenal, Glen Fredly.
tersebut terjadi sebelum
Penyidik, menurut Kapolri, sekarang bisa
meminta pembicaraan telepon disadap dan
direkam. “Tapi itu hanya berlaku setelah
adanya pembunuhan Munir. Sebelum terjadi
peristiwa itu, tidak bisa dilakukan, “ujar
Kapolri.
Sutanto menambahkan, meskipun ada
indikasi komunikasi berkali-kali antara
Muchdi dan Pollycarpus, polisi tidak bisa
gegabah mengajukan indikasi itu sebagai
bukti baru.”Harus ada alat bukti yang
menguatkan. Kalau tidak ada, bisa ditolak
pengadilan.”
Sebelumnya, berdasarkan hasil temuan
dan setelah pembunuhan
(dokumne) TPF, BI, (salah seorang yang
Munir.
diduga terlibat dalam kasus ini), memiliki
hubungan dekat dengan Pollycarpus,
pada tanggal 14 Mei 2003 dia bersama
Berdasarkan fakta di pengadilan, terungkap
Pollycarpus pergi ke Banda Aceh dan Lhokseumawe.
adanya
41
kali
sambungan
antara telepon Polly dan telepon di
Pollycarpus mengenal BI, karena sama-sama anggota
ruang
kerja
kerja
Muchdi.
Komunikasi
tersebut terjadi sebelum
Persatuan Penembak Indonesia. Menurut TPF, pria tersebut
dan
setelah
pembunuhan
Munir.
pernah menjadi Kepala Pos Wilayah Badan Intelijen Negara
Kalimantan Selatan.
Pada 25 Agustus sampai dengan 7 September 2004, terjadi 10
TPF sendiri pernah mengundang BI pada tanggal 13 Juni 2005 kali sambungan antara telepon seluler Polly dan nomor BIN.
dengan mengambil tempat pertemuan di kantor Lemhanas. Adapun setelah pembunuhan Munir, tepatnya pada 17
Tapi dokter yang paham soal unsur-unsur kimia tersebut November 2004, tercatat lima kali sambungan. Pada waktu yang
tidak datang. Dia juga tidak tercantum dalam manifes sama terjadi pula komunikasi 27 kali antara Polly dan Muchdi
melalui ponsel atas nama Yohanes Ardian (Vice Presiden PT
pesawat Garuda yang ditumpangi Munir.
Barito).Muchdi sendiri mengakui nomor telepon yang dihubungi
Perkembangan penyelidikan dan langkah pihak kepolisian Polly itu miliknya. Namun, dia membantah melakukan
terhadap pengungkapan kasus Munir ini ternyata sangat pembicaraan dengan Polly.
dihargai oleh sejumlah perwakilan negara sahabat. Mereka
menilai, pengungkapan kasus ini memiliki arti yang sangat Sedangkan Kepala BIN, Syamsir Siregar berharap polisi
membuka isi percakapan teepon Polly dan Muchdi tersebut.
penting dalam pertumbuhan demokrasi di Indonesia.
“Kan (rekaman percakapan) sudah dibawa ke Amerika. Saya
“Para diplomat juga mengatakan pentingnya dukungan minta polisi buka itu. Apa sulitnya, “ ujarnya. Sementara itu,
politik Presiden SBY kepada polisi untuk menyelesaikan kasus Syamsir sendiri juga berjanji tidak akan menghalangi penyidik
dalam memeriksa anggota BIN yang diduga terlibat kasus
ini, “ ujar Rafendi Djamin dari Human Rights Working Group.
Munir.
Pernyataan itu diberikan setelah Rafendi bersama dengan
sejumlah anggota KASUM bertemu dengan perwakilan dari Garuda harus bayar Rp 664 juta
10 negara dan Komisi Eropa di sebuah hotel di Jakarta.
Pertemuan dengan agenda utama membahas perkembangan Sementara dalam gugatan terhadap PT. Garuda yang dilakukan
kasus Munir ini berlangsung sekitar 1,5 jam dan bersifat oleh Suciwati, Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan
tergugat I PT. Garuda dan tergugat IX pilot GA 974 Singapuran
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
10
JEJAK SANG PEJUANG
– Amsterdam bersalah atas Perbuatan Melawan Hukum Munir hingga jenjang sarjana Rp 557 juta, uang kesehatan Rp
(PMH). Dalam petikan putusan yang dijatuhkan oleh majelis 35,7 juta, uang pemakaman Rp 3 juta, serta uang pengganti biaya
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dipimpin oleh yang dikeluarkan untuk pendidikan Munir sebesar Rp 6 juta.
Andriyani Nurdin dengan anggota Sutiyono dan Kusriyanto,
Kamis, (3/5), Pantun Matondang, pilot pesawat Garuda Mengenai tergugat lain, yaitu mantan Direktur Utama PT
Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974, yang Garuda Indonesia (tergugat II), Vice President Corporate Ramelgia
ditumpangi oleh Munir dalam penerbangan Jakarta- Anwar (tergugat III), Flight Operator Support Officer Rohainil Aini
(tergugat IV), Pollycarpus BP (tergugat V),
Amsterdam, dan PT Garuda Indonesia
dan awak GA 974 lain, majelis menyatakan
dinyatakan terbukti lalai menjaga keamanan
mereka tidak terbukti melakukan
dan keselamatan salah satu penumpangnya.
Dok.Kontras
perbuatan melawan hukum. Menanggapi
putusan itu, pengacara PT Garuda
Oleh sebab itu, Pantun dan PT Garuda
Indonesia, Uki Indra, mengatakan akan
Indonesia diperintahkan membayar ganti
mengajukan
banding.
Sebab,
rugi kepada Suciwati sebesar Rp 664,209 juta
pertimbangan hakim tentang kelalaian
secara tanggung renteng. Lebih lanjut,
pilot tak meminta saran dari petugas
menurut majelis, Pantun (tergugat IX)
medis di darat dinilainya tidak tepat.
terbukti melakukan perbuatan melawan
hukum, yaitu melanggar kaidah kepatutan,
Suciwati ajukan banding
ketelitian, dan kehati-hatian yang
seharusnya dipegang pilot. Pantun
Sementara itu, menanggapi putusan
mengetahui keadaan Munir, tetapi tidak
gugatan perdatanya kepada PT Garuda,
segera berkonsultasi dengan petugas darat
Suciwati akan mengajukan banding.
(ground of-ficer) untuk meminta izin
Suciwati menganggap putusan tersebut
pendaratan pesawat. Pilot dinilai melanggar
itu jauh dari keadilan. “Saya tegaskan
hak subyektif Munir.
bahwa saya banding. Saya tidak rela. Dari
beberapa poin yang saya tuntut, hanya
Majelis juga berpendapat, Pantun
Suciwati di ruang persidangan
beberapa yang dikabulkan. Juga dari 11
melakukan tindakan yang bertentangan
pihak yang kita gugat, hanya dua orang
dengan kewajiban hukumnya yang
yang dinyatakan terbukti salah. Itu hanya
ditentukan Basic Operator Manual (BOM)
dan Pasal 23 Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 1992 sekitar 10 persen dari gugatan kami, “ ujar Suciwati.
tentang penerbangan juncto Pasal 40 Peraturan pemerintah
(PP) Nomor 3 Tahun 2001. Ketentuan itu mengatur, kapten Suciwati juga mengaku kecewa. Pasalnya, hal yang penting dari
pesawat udara berhak menentukan dan mengambil tindakan gugatannya justru tidak dikabulkan majelis hakim. Padahal
demi keselamatan penerbangan serta bertanggung jawab atas menurutnya, hal terpenting yang tercantum dalam gugatannya
adalah permohonan audit terhadap PT Garuda Indonesia.
keamanan dan keselamatan penumpang.
“Justru itu yang terpenting. Selama ini penerbangan Garuda
Dalam BOM 5.2.1. disebutkan, jika penumpang mengalami sering dipakai untuk kepentingan lain, seperti kepentingan
sakit serius di pesawat, pilot in command harus berkonsultasi intelijen, “ kata Suciwati.
dengan dokter untuk menentukan perlu atau tidak
meneruskan penerbangan atau mendarat. Bila ragu-ragu, ia Audit terhadap PT Garuda Indonesia, kata Suciwati, akan
mencegah berulangnya kejadiannya seperti yang menimpa
harus minta saran medis dari darat.
Munir. “Yang paling mengerikan adalah terulangnya kejadian
Pantun bekerja di PT Garuda Indonesia. Karena itu, majelis seperti ini. Permintaan audit, kita ajukan untuk mencegah
hakim menyatakan perusahaan itu, selaku tergugat I, terulangnya peristiwa kematian Munir, “ kata Suciwati.
otomatis juga melakukan perbuatan melawan hukum.
Pantun dan PT Garuda Indonesia diperintahkan membayar Salah seorang kuasa hukum Suciwati, Asfinawati SH, juga
ganti rugi materiil dan imateriil sebebsar Rp 664,209 juta. menyatakan ketidakpuasannya atas putusan majelis hakim.
Nilai ini lebih kecil dari ganti rugi yang dituntut Suciwati, Dirinya mempertanyakan dasar pertimbangan hakim yang
hanya memandang gugatan perdata dari soal nominal ganti
yakni Rp 14,329 miliar.
rugi, tanpa mengabulkan permintaan permohonan maaf serta
Besaran ganti rugi itu dihitung berdasarkan ganti gaji Munir audit terhadap PT Garuda Indonesia.***
selama tiga bulan Rp 21,390 juta, uang pendidikan untuk anak
“Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan peribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau
ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan
alasan alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.”
(Pasal 9 (ayat 1) Konvenan Hak Sipil Politik)
11
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
JEJAK SANG PEJUANG
Eksaminasi Kasus Munir
Proses hukum atas kasus Munir sejak awal hingga kini terus
menjadi sorotan. Wajar kiranya, lantaran saratnya berbagai
hal yang mencurigakan. Mulai dari kurangnya keseriusan
pihak aparat penegak hukum (pihak kepolisian dan
kejaksaan), resistensi dari pihak Badan Intelejen Negara dan
perusahaan Garuda, sampai pada proses persidangan yang
tidak maksimal. Sementara itu, publik menduga adanya
kejahatan konspirasi yang melibatkan banyak pihak harus
dijadikan pertimbangan untuk mendapatkan keadilan
hukum yang materiil.
pengiriman dan pembacaan berkas, pembuatan legal anotasi,
sidang eksaminasi, penyusunan putusan eksaminasi,
permusyawaratan Majelis Eksaminasi dan diakhiri dengan
pembacaan putusan eksamnasasi publik (14/03).
Dari hasil eksaminasi yang ada menunjukkan bahwa memang
telah terjadi kekeliruan dalam proses hukum kasus
pembunuhan Munir. Karenanya, rekomendasi dari Majelis
Eksaminasi harus dapat ditindaklanjuti pihak-pihak terkait
untuk menuntaskan kasus ini sekaligus melawan impunitas
terhadap pelaku.
Untuk itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) dan Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) Laporkan kasus Munir Ke Dewan HAM
didukung oleh berbagai lembaga lain membentuk Majelis
Eksaminasi untuk melakukan Eksaminasi Publik atas proses Sementara itu, KASUM mengapresiasi langkah Specia! Rapporleur
hukum kasus pembunuhan Munir. Hal ini dilakukan karena on Extra Judicial Execution Prof. Philips AIston yang akhir Maret
lalu secara resmi melaporkan kasus Munir
putusan Mahkamah Agung (3/10/06) atas
ke Dewan HAM PBB.
terdakwa Pollycarpus dalam perkara
pembunuhan Munir dirasakan telah
Dalam laporannya itu pihak Pelapor
mementahkan logika hukum. Sebab,
Eksaminasi ini
Khusus menilai pemerintah RI
terdapat kejanggalan-kejanggalan kejadian
bertujuan melakukan
menunjukan sikap yang “Kooperatif namun
dan hubungan-hubungan pihak-pihak yang
tidak lengkap” (cooperative but incomplete)”.
kajian yuridis terhadap
dicurigai, namun pengadilan tidak mampu
Hal itu karena dari sejumlah keterangan atau
proses hukum dalam
memutus siapa yang bersalah dan siapa
informasi yang diminta, pemerintah Indonesia
yang paling bertanggungjawab.
kasus ini dan
tidak responsif terhadap sejumlah hal yang
memberikan
memerlukan klarifikasi.
Eksaminasi ini bertujuan melakukan kajian
rekomendasi hukum
yuridis terhadap proses hukum dalam
Philips Alston sebelumnya meminta
kepada pihak-pihak
kasus ini dan memberikan rekomendasi
sejumlah informasi, terutama terkait soal
hukum kepada pihak-pihak terkait.
terkait.
salinan laporan dan rekomendasi Tim
Eksaminasi ini juga merupakan bentuk dari
Pencari Fakta (TPF) Munir serta salinan
pengawasan masyarakat terhadap jalannya
putusan Mahkamah Agung tertanggal 3
penegakan hukum di negeri ini.
Oktober 2006, yang menganulir vonis
Majelis Eksaminasi terdiri dari Prof. Soetandyo pembunuhan Pollycarpus. Termasuk informasi terhadapa
Wignjosoebroto MPA (Guru Besar Universitas Airlangga), individu-individu tambahan, selain Pollycalpus, dan informasi
Prof. DR. Komariah Emong Sapadjaja (Guru Besar mengenai rekomendasi kunci TPF Presiden yang terlihat
Universitas Padjajaran), DR. Rudy Satriyo Mukantardjo diabaikan oleh Polri dan Kejaksaan Agung.
(Pakar Hukum Pidana UI), Irianto Subiakto, S.H., LL.M.
(Advokat), dan Firmansyah Arifin, S.H. (Ketua Konsorsium KASUM berharap desakan itu ditanggapi serius oleh
Pemerintah RI terutama Presiden SBY. Terlebih pada 7 Desember
Reformasi Hukum Nasional).
2006 lalu, DPR RI telah merekomendasikan kepada Presiden
Latar belakang para anggota Majelis Eksaminasi akan untuk bekerjasama dengan lembaga hak asasi manusia
memperkuat kajian yuridis terhadap proses hukum kasus intemasional.
pembunuhan Munir. Begitu pula halnya dengan
kemandirian dan obyektifitas anggota Majelis Eksaminasi, KASUM berpendapat jika hal ini diabaikan akan semakin
diharapkan dapat menunjukkan kredibilitas hasil berdampak buruk bagi citra dan kiprah RI dalam diplomasi
intemasional. Hal ini juga berpotensi membuka ruang bagi
eksaminasi.
penggunaan mekanisme internasional dalam kasus Munir,
Proses eksaminasi sendiri sudah berjalan sejak akhir Januari terlebih karena Alston merupakan pejabat kunci PBB.
2004. Didahului dengan pembentukan Majelis Eksaminasi, Penyidikan kasus Munir oleh Polri saat ini dapat berperan besar
dalam menjawab desakan PBB tersebut.***
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
12
BERITA DAERAH
BERITA DAERAH
Penegakan Hukum Prioritas Menuju Damai
Setelah rentetan kekerasan dan kriminalitas di penghujung
tahun 2006 yang lalu belum terlupakan dari memori kolektif
kita, memasuki tahun 2007 sampai detik ini, kekerasan dan
meningkatnya kriminalitas seakan-akan tidak terbendung.
Kritik yang disampaikan beberapa LSM dan aktifis bahwa
telah terjadi indikasi kegagalan reintegrasi di Aceh telah
ditampik oleh AMM pada saat itu. Namun yang terjadi hari
ini adalah kekhawatiran pada saat itu.
Reintegrasi di Aceh masih membutuhkan iktikad baik dan
komitmen semua pihak dan ketegasan aparat hukum, dalam
hal ini kepolisian dan masyarakat peradilan untuk secara
konsisten dan konsekwen tetap menjalankan proses
penegakan hukum yang fair dan tidak diskriminatif. Suasana
perdamaian yang telah berjalan merupakan sebuah peluang
dan kesempatan yang baik bagi jajaran pemerintahan dan
instansi peradilan, untuk membuktikan bahwa hukum bisa
ditegakkan sebagai penyangga perdamaian. Reintegrasi akan
menemukan semangat dan kedigdayaan tatkala penegakan
hukum mampu dijalankan.
Mulai dari insiden penganiayaan terhadap tiga aparat TNI
di Trumon Timur, Aceh Selatan (16/1/2007), kemudian
penyanderaan delapan anggota Jamaah Tabligh karena
diduga menyebarkan aliran sesat di desa Lhok Meureubo,
Kec. Sawang Kab. Aceh Utara (12/3/2007). Selanjutnya
penganiayaan sekelompok masyarakat terhadap empat
anggota TNI di desa Alue Dua, Nisam yang dibalas dengan
pengiriman pasukan TNI ke desa tersebut dan terjadinya
pemukulan terhadap masyarakat dengan alasan untuk
mencari pelaku (24/3/2007). Tidak berselang lama, dini hari
(26/3/2007) sekelompok orang dengan menggunakan senjata
tajam dan potongan kayu melakukan aksi pembacokan
terhadap warga di tiga lokasi terpisah di kecamatan Juli,
Bireun. Momen lain yaitu, (26/3/2007) penghitungan ulang
hasil Pilkada di Aceh Tenggara yang sedang di gelar berakhir
rusuh dan mengakibatkan jatuhnya korban.
Rentetan insiden kekerasan ini telah memakan korban. Hal
ini tentu saja menjadi preseden negatif untuk capaian
reintegrasi dan perdamaian ke depan. Masa transisi yang
sedang dilewati rakyat Aceh tentu saja akan menghadapi
banyak tantangan dan kendala, namun lemahnya penegakan
hukum akan semakin mendorong aksi balas dendam dari
para pihak. Apapun alasannya pengiriman pasukan ke desa
Alue Dua adalah tindakan yang tidak benar, arogansi dan
brutalisme yang dilakukan pihak TNI di desa Alue Dua akan
menjadi kontraproduktif bagi proses reintegrasi.
Menghancurkan kepercayaan
Demikian halnya dengan penganiayaan sekelompok warga
terhadap anggota TNI tersebut, juga suatu hal yang salah
kaprah, main hakim sendiri mengartikulasikannya dengan
kekerasan adalah sebuah tindakan yang akan
menghancurkan rasa kepercayaan antar para pihak.
Keberadaan pasukan TNI di SD Alue Dua patut
13
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
dipertanyakan, apabila menyangkut fungsi pengamanan seperti
yang disampaikan Dandim Aceh Utara, Letkol Inf Yogi Gunawan
(Rakyat Aceh, 23/3). Maka hal tersebut bertentangan dengan
UU TNI No. 34/2004 pasal 5, 6 dan 7 tentang peran, fungsi dan
tugas TNI. Tindakan ini juga bertentangan dengan poin MoU
Helsinki pasal 4.11 yang menyebutkan Tentara akan
bertanggungjawab menjaga pertahanan eksternal Aceh.
Sementara, dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya
tentara organik yang akan berada di Aceh. UU No. 11/2006
tentang Pemerintahan Aceh juga mempertegas pada pasal 202
ayat 1 yang menyebutkan Tentara Nasional Indonesia
bertanggungjawab menyelenggarakan pertahanan negara dan
tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundangundangan. Apalagi kondisi Aceh sudah damai, menjadi tugas
kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
dan TNI hanya terlibat jika diminta bantuannya. Juga di tengah
proses damai yang sedang berlangsung dan kondisi masyarakat
Aceh yang masih mengalami trauma masa lalu, maka
keterlibatan TNI diluar fungsi utamanya sebisa mungkin harus
direduksi.
Namun demikian, tindakan kekerasan terhadap siapapun dan
oleh siapapun tetap tidak bisa ditolerir. Komisi Peralihan Aceh
(KPA), masyarakat dan pihak-pihak lainnya harus bisa menahan
diri. Bila didapati indikasi yang tidak baik terhadap suatu
keadaan, segera lakukan koordinasi dengan pihak polisi atau
pihak-pihak lain yang berwenang. Upaya hukum untuk
menyelesaikan kasus tindak kekerasan secara transparan,
objektif dan tidak pandang bulu tetap harus dilakukan dan lagilagi ini merupakan wilayah kewenangan dari kepolisian. Dan
aksi kekerasan yang diduga kuat dilakukan oleh TNI “aksi balas
dendam” (24/03), merupakan tindakan pelanggaran hukum yang
berpotensi semakin memperkeruh suasana dan berdampak pada
semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap
institusi TNI juga terhadap proses penegakan hukum.
Rendahnya kesadaran hukum
Tindakan brutal dari aparat TNI ke desa Alue Dua secara jelas
menunjukkan masih rendahnya kesadaran hukum dan HAM
anggota TNI. Dan secara sengaja dan terang-terangan, anggota
TNI telah menginjak-injak hukum dan konstitusi yang
memberikan perlindungan atas hak seluruh warga, yang
merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati.
Jika pihak kepolisian dan dunia peradilan lainnya tidak pernah
tegas dan berani untuk mengungkap segala bentuk pelanggaran
hukum ini, maka dapat dipastikan segala bentuk kekerasan akan
semakin me-lembaga. Amuk massa, brutalitas, pembunuhan
dan arogansi kekuasaan akan menjadi cerita keseharian rakyat.
Gagasan dan impian untuk mewujudkan perdamaian demi
tercapainya rakyat yang sejahtera secara ekonomi, adil secara
sosial demokratis secara politik dan partisipatif secara budaya
hanya menjadi impian dan pepesan kosong belaka. Para elit
hendaknya bersama-sama meningkatkan rasa percaya terhadap
BERITA DAERAH
seluruh masyarakat bahwa perdamaian ini adalah pintu
masuk untuk mewujudkan cita-cita sosial yang diidamkan.
Lebih jauh menilik semua permasalah yang ada tersebut,
sesegera mungkin kepala pemerintahan Aceh, kepolisian,
unsur pimpinan KPA, melakukan rembuk guna mencari
solusi yang tepat untuk mewujudkan normalisasi dampak
dari rentetan kekerasan yang terjadi.
Pihak Kepolisian untuk segera menjalankan fungsinya selaku
aparat penegak hukum dan pengayom masyarakat dan
menyelesaikan insiden kekerasan dan tindakan kriminal.
Termasuk pula mendesak TNI untuk tidak mengintervensi proses
hukum kasus Alue Dua dengan memberi kewenangan
sepenuhnya kepada polisi untuk mengusut kasus tersebut secara
objektif.
Sementara lembaga-lembaga internasional yang sedang
melakukan proses rehab dan rekons di Aceh bisa menghormati
proses hukum dengan tidak melibatkan TNI sebagai penjaga
keamanan. Pada akhirnya, meminta semua pihak untuk
menghormati MoU Helsinki, menjalankan UU No.11/2006
tentang Pemerintahan Aceh dan menjaga perdamaian di Aceh.***
Dukung Penarikan Senjata Polisi di Aceh
Instruksi Kapolda NAD, Irjen Pol Bachrumsyah Kasman
tentang penarikan senjata api aparat Polri di Aceh patut
mendapat dukungan penuh semua pihak. Dimana,
penarikan senjata ini dilaksanakan mengikuti instruksi
Kapolri pasca terjadinya penembakan yang mengakibatkan
gugurnya Wakapolwiltabes Semarang, AKBP Drs Lilik
Purwanto yang ditembak bawahannya, Briptu Hance di
kantor Poltabes Semarang (14/3).
Peristiwa penembakan antar sesama polisi merupakan
salah satu kasus penyalahgunaan kewenangan oleh institusi
kepolisian dalam menggunakan senjata api. Di Aceh
misalnya, pascapenandatanganan MoU pemerintah RI dan
GAM di Helsinki, meskipun angka kekerasan menurun
drastis dan kondisi Aceh sudah damai. Masih juga
ditemukan tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat
kepolisian dengan atau tanpa senjata api. Diantaranya kasus
pemukulan dan penembakan di kec. Peudawa, Aceh Timur
(7/3/2006), kasus penembakan di kec. Indra Makmur, Aceh
Timur (18/4/2006), kasus pemukulan oleh Brimob di kec.
Nibong, Aceh Utara (1/5/2006) dan kasus pemukulan yang
mengakibatkan kematian Satpam Dinsos NAD, Banda Aceh
(25/10/2006).
Sementara, penggunaan metode kekerasan masih juga
dilakukan aparat kepolisian dalam menyelesaikan
permasalahan. Lumrah kiranya, lantaran minimnya
pemahaman polisi tentang norma-norma HAM. Di sisi lain
pelatihan penggunaan senjata api terus diutamakan,
mengabaikan pelatihan skill lainnya seperti metode persuasi,
mediasi atau negosiasi. Padahal ini semua penting untuk tidak
membiasakan kepolisian selalu menggunakan metode
kekerasan (senjata api).
Kultur sulit diubah
Persoalan lainnya adalah kultur “militeristik” yang masih sulit
diubah dalam kepolisian yang sudah menjadi institusi sipil.
Kebutuhan publik akan fungsi kepolisian sangat berbeda
dengan peran militer. Dalam era terbuka saat ini, peran polisi
bersifat fleksibel dalam mengatasi persoalan sosial di
masyarakat, mulai dari melumpuhkan teroris, mengejar pelaku
kasus kriminal pascadamai, menginvestigasi kasus pidana,
mediasi, hingga menerima pengaduan dari masyarakat.
Kepolisian juga masih mengedepankan mekanisme
penyelesaian internal bila mendapati anggotanya melakukan
suatu kejahatan. Hal ini mengakibatkan kontrol eksternal
terhadap institusi kepolisian menjadi lemah dan tidak efektif.
Kasus penembakan Wakapolwiltabes Semarang menunjukkan
bahwa persoalan psikologi kepolisian tidak hanya terjadi di
wilayah konflik, tetapi diluar wilayah konflik juga didapati
polisi yang mengalami gangguan psikologi. Karena itu
dibutuhkan pelaksanaan psikotes secara reguler, tidak hanya
reaksi dari suatu peristiwa.***
“Perlindungan saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau
Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana”
(Undang-Undang No.13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban)
“Negara-negara pihak harus mengambil tindakan-tindakan untuk memerangi perdagangan
gelap anak-anak dan tidak dipulangkan kembali anak-anak yang ada di luar negeri”
(Pasal 11 (1) Konvensi Hak Anak)
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
14
BERITA DAERAH
Tindakan Premanisme ala TNI AU
Perkelahian antara beberapa warga dengan dua prajurit TNI AU
paska kebut-kebutan di jalan raya Medan-Sibolangit, Sumatera
Utara, malah berakibat tragis. Warga yang tadinya melerai
perkelahian itu justru menjadi korban kekerasan yang dilakukan
oleh puluhan prajurit TNI AU yang melakukan balas dendam
terhadap perlakuan yang dialami 2 rekannya sebelumnya.
Peristiwa ini terjadi pada Minggu 25/3.
Dengan menggunakan dua bus dinas TNI AU, sekitar 50 prajurit
TNI mendatangi tempat pertikaian yang terjadi satu setengah
jam sebelumnya.
Tanpa basa-basi mereka langsung
mendaratkan pukulan dan tendangan terhadap siapa saja yang
berada disekitar lokasi. Bahkan seorang ibu yang berusaha
melindungi anaknya dari pemukulan yang dilakukan oleh tentara
tersebut tak terhindar dari tindak kekerasan.
Belum cukup dengan aksi kekerasan tersebut, 3 orang warga
dibawa paksa ke Polsek Pancur Batu. Dikantor polisi ini ke 3
warga itu masih mengalami penganiayaan dari para tentara itu.
Sementara polisi yang melihat kejadian itu tidak mampu berbuat
banyak. Polisi lalu membawa ke 3 orang itu ke dalam sel untuk
menghidari amukan dari tentara tersebut.
Kapolresta Pancur Batu, malah meminta persoalan ini tidak besarbesarkan. Pernyataan ini seolah menegasikan kewajiban yang
seharusnya dijalankan untuk mengusut secara tuntas apa
sebenarnya yang terjadi. Ditambah, Polsek Pancur Batu juga tidak
memberikan tanggapan positif kepada korban yang berniat
melaporkan kejadian.
Aksi kekerasan dan penganiayaan ini jelas menggambarkan
kurangnya perlindungan saksi pelapor dari aparat kepolisian.
Meski kita menaruh apresiasi terhadap pernyataan Kapoldasu yang
menyesalkan kejadian pemukulan saksi di Polsek Pancur Batu, namun
kita tetap mengharapkan sebuah tindakan nyata untuk mengusut
tuntas, tidak melindungi tersangka utama, dan menutup-nutupi fakta
yang sebenarnya terjadi.
Trauma yang dialami oleh korban, membuat korban enggan
melaporkan kasus ini ke polisi militer seperti yang dikatakan oleh
Sekdes Batulayang, Dharma Tarigan. Masyarakat masih mengalami
ketakutan pasca kebrutalan TNI AU di kampung mereka. Warga
memilih bungkam menutup rapat kejadian yang mereka alami
minggu sore itu.
Kasus ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena akan membuka
peluang pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil di masa
mendatang oleh aparat. Meskipun kedua belah pihak ingin
menempuh jalan damai, namun kasus ini tetap harus diproses secara
hukum. Pelaku harus mendapat hukuman agar menimbulkan
appropriate punishment (aspek jera). Bukan hanya hukuman
administrative-indispliner seperti yang telah diberikan TNI AU kepada
anggotanya saat ini.
Atas peristiwa itu, KontraS Sumatera Utara mendesak Panglima TNI
cq KASAU cq Danlanud mengusut tuntas kejadian pemukulan warga
sibolangit yang melibatkan anggota TNI AU. Dan menindak tegas
anggota TNI AU yang terbukti terlibat pemukulan warga Sibolangit
secara hukum.
KontraS juga meminta Kapolri termasuk Kapolsek Pancur Batu
memberikan perlindungan kepada masyarakat korban untuk
mengadukan kasus ini ke POM. Polisi dan TNI masih dituntut untuk
bersikap profesional dalam menjalankan fungsinya masing-masing.***
Anggota Polri Tembak Atasannya
Insiden penembakan oleh Briptu Hance Christian pada
atasannya, Wakapolwiltabes Semarang, AKBP Lilik
Purwanto memang pantas disesalkan. Persoalan ini tidak
dapat lihat sebagai kejahatan personal belaka, namun
merepresentasikan persoalan akut dan sistemik di dalam
tubuh institusi Kepolisian. Yang unik, kali ini, hanyalah
tindakan tersebut dilakukan antar petugas kepolisian
sendiri.
Menurut KontraS, persoalan sistemik itu menyangkut mutu
anggota Polri yang masih minim akibat proses seleksi dan
pelatihan, dimana hanya sedikit perhatiannya pada norma
HAM. Pelatihan penggunaan senjata api terus diutamakan
dan mengabaikan pelatihan skill lain yakni, metode
persuasi, mediasi, atau negosiasi. Padahal ini semua
menjadi begitu penting agar tidak membiasakan kepolisian
selalu menggunakan metode kekerasan (senjata api).
Karenanya, sungguh ironis seorang polisi juga
menggunakan senjata api dalam menyelesaikan problem
dengan atasannya.
Sementara itu, kultur militeristik dengan mengedepankan
metode kekerasan masih sulit diubah dalam kepolisian
yang sudah menjadi institusi sipil. Kebutuhan publik akan
15
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
fungsi kepolisian sangat berbeda dengan peran militer. Dalam
era terbuka saat ini, peran polisi bersifat fleksibel dalam
mengatasi persoalan sosial di masyarakat, mulai dari
melumpuhkan teroris, menginvestigasi kasus pidana rumit,
mediasi, hingga menerima pengaduan dari masyarakat.
Hal lainnya menyangkut tentang minimnya kontrol eksternal
terhadap institusi kepolisian. Untuk yang terakhir ini misalnya,
kepolisian mengedepankan mekanisme penyelesaian internal
bila mendapati anggotanya melakukan suatu kejahatan. Pasca
pemisahan Kepolisian dengan TNI belum menjawab persoalan
apakah polisi bisa dikontrol secara efektif. Sejauh ini
menguatnya posisi Kepolisian RI tidak diimbangi oleh
akuntabilitasnya.
Atas dasar itu KontraS selalu mendesak Kepolisian RI agar
segera mengadopsi prinsip perilaku aparat penegak hukum
(Code of Conduct for Law Enforcement Officials) dan prinsip dasar
penggunaan kekerasan dan senjata oleh aparat penegak hukum
(Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement
Officials). Keduanya merupakan norma HAM universal yang
dibuat berdasarkan pengalaman kasus penyalahgunaan
kewenangan oleh institusi kepolisian, yang salah satunya
mencakup penggunaan senjata api.***
BERITA DAERAH
Tragedi Banggai Sulawesi Tengah
Akibat Kekerasan Polisi Empat Warga Tewas
KontraS mengecam keras
tindak kekerasan yang
dilakukan oleh polisi
kepada warga (28/2) di
tengah aksi penolakan
perpindahan
ibukota
Kabupaten dari Banggai,
Sulawesi Tengah. Tindakan
ini memperpanjang daftar
penyalah
gunaan
wewenang yang dilakukan
Kepolisian Republik Indonesia
oleh Polri. (Sepanjang 2006,
KontraS mencatat adanya
91 peristiwa yang terdiri dari pembunuhan, penyiksaan,
penembakan, penculikan, dan penangkapan sewenangwenang yang dilakukan oleh polisi. Tindakan tersebut
mengakibatkan 19 orang tewas, 115 luka.)
Pada kasus Banggai, protes warga terhadap soal pemindahan
ibukota Kabupaten itu, bagaimanapun kerasnya, tidak dapat
membenarkan polisi untuk melakukan tindakan membabi
buta dengan melakukan penembakan, penganiayaan, dan
tindakan brutal, apalagi kemudian mengakibatkan kematian
empat orang (Jurais, Ardan Bambang, Ridwan, Ilham), dua
diantaranya adalah orang yang tengah melintas di depan
Polsek Bangkep.
Sebelum kejadian, massa memang menyegel kantor-kantor
pemerintah sebagai bentuk protes atas dilaksanakannya
Sidang Pleno DPRD Kab Bankep di Salakan. Massa tidak puas
dengan cara-cara pemindahan operasional pemerintahan
Kabupaten Bangkep secara paksa, tidak melewati prosedur
administrasi pemerintahan yang benar. Pada (28/02),
konsentrasi massa meningkat karena berhembus isu ada
tambahan jumlah personil Polri untuk membebaskan kantorkantor penyegelan secar paksa.
Dari rekaman video serta keterangan para saksi di lapangan,
terlihat sejak awal polisi tidak bermaksud melakukan
pendekatan persuasif. Polisi, misalnya, tidak berupaya
melakukan pendekatan dialog dengan tokoh-tokoh
masyarakat dan pemimpin massa. Dan sekitar pukul 09.00,
pada saat massa di depan Kantor Bupati Bangkep melakukan
pembakaran ban di luar Kantor Bupati, beredar kabar puluhan
tambahan personil Polisi sedang melakukan apel bersenjata
di Kantor Polsek (yang berjarak lebih kurang 2 km di sebelah
Utara Kantor Bupati Bangkep). Sebagian massa yang memiliki
sepeda motor turun menuju kantor Polsek dengan
berboncengan. Apel baru saja bubar. Di sinilah peristiwa
nahas itu bermula.
Alih-aih menghadapi massa yang tidak terlalu besar itu
dengan ramah, Polisi malah melakukan tindakan represi,
mendorong-dorong dan malah melakukan pemukulan
terhadap massa. Satu orang yang belakangan diketahui
bernama Jurais, kena pukul popor senjata dan tendangan
sepatu lars polisi berulang-ulang. Tidak cukup dengan itu polis
terus memburu massa dengan pentungan dan kokangan serta
tembakan senjata senjata.
Pukul 09.30, ambulance dari RSUD Banggai datang untuk
mengangkut Jurais, sementara aksi lempar melempar batu
diselingi tembakan senjata aparat tejadi di sekitar Kantor Polsek
Banggai, di sekitar SMP Negrei 1 Banggai, di bawah Keraton, di
sekitar Rumah Dokter Gafur dan sepanjang jalan depan Kantor
Kejaksaan menuju Perempatan Lonas. Di titik-titik inilah jatuh
korban, luka-luka maupun meninggal.
Jauh dari persuasif
Dengan demikian, telah jelas bahwa jatuhnya korban yang
begitu banyak disebabkan oleh pendekatan aparat Kepolisian
yang represif dan jauh dari pendekatan persuasif seperti yang
digembar-gemborkan Kadiv Humas Polri, Kapolda Sulteng dan
Kapolres Bangkep. Padahal kalau mau, misalnya, Polisi bisa
berinisiatif melibatkan tokoh-tokoh masyarakat untuk
menghentikan kemarahan massa melihat telah jatuhnya korban
di pihak mereka akibat kebrutalan aparat, misalnya dengan
memanfaatkan alat pengeras suara Masjid Jami Attaqwa
Banggai yang juga berada di sekitar lokasi konsentrasi
kekerasan.
Meskipun polisi mempunyai kewenangan untuk menggunakan
tindakan keras, namun hal itu dipergunakan apabila mutlak
diperlukan dan sebatas yang diperlukan untuk melaksanakan
tugas mereka. Dan penggunaan senjata api itu merupakan
langkah terakhir (tindakan ekstrim), sebagai langkah yang tidak
dapat dihindari dan bertujuan untuk melindungi nyawa.
Namun, penggunaan senjata api ini juga hanya dimaksudkan
sebagai upaya melumpuhkan bukan mematikan.
Hingga saat ini, polisi masih melakukan pengejaran terhadap
sejumlah orang tokoh masyarakat yang dianggap sebagai
dalang atas aksi yang dilakukan oleh warga Banggai tersebut.
Sementara disisi lain, tidak terlihat adanya upaya pimpinan
Polri untuk menindak aparatnya yang telah melakukan tindak
kekerasan/pidana yang telah melampaui batas tersebut. Ketidak
sepadanan upaya hukum ini akan mengakibatkan konflik baru
yang kontraproduktif. Termasuk menyesalkan diturunkannya
pasukan TNI dari Kodim 1306 Luwuk, karena perbantuan oleh
TNI ditentukan oleh otoritas sipil dan didasarkan pada situasi
dimana polisi tidak dapat menanganinya.
KontraS menilai tindakan penembakan dan kekerasan oleh
polisi ini tidak terlepas dari perintah tembak ditempat yang
dikeluarkan oleh Kapolda Sulteng. Serta akibat dari tidak adanya
lembaga politik yang memayungi dan melakukan pengawasan
terhadap kerja-kerja Polri. Sehingga Polri menjadi institusi
secara mandiri lepas dari kontrol politik yang seharusnya
mengarahkan kebijakan dan melakukan fungsi pengawasan
terhadapnya.
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
16
BERITA DAERAH
Atas dasar itu, Kapolri selayaknya mengambil tindakan tegas
aparatnya baik pada tingkat komando maupun pelaku
dilapangan yang telah mengakibatkan jatuhnya korban
dikalangan warga sipil melalui proses peradilan. Sedangkan
Komnas HAM segera melakukan penyelidikan atas peristiwa
ini
dan
mengusut
tuntas
serta
meminta
pertanggungjawaban Kapolres Banggai dan menyeret para
pelaku penembakan ke pengadilan. Ada baiknya banyak kasus
kekerasan polisi ini menjadi bahan bagi Presiden dan DPR
meninjau kembali kewenangan Polri pada UU No.2/2002. ***
Usut Tuntas Semua Senjata Api Di Poso!
Langkah Polisi Resort Kota (Polresta) Palu,
Sulawesi Tengah, melakukan pemeriksaan
atas Senjata Api (senpi) pada anggota
Polresta Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng),
layak dianggap sebagai langkah yang maju.
Langkah ini sebaiknya diikuti oleh Polres
lainnya diwilayah kerja Polisi Daerah
(Polda) Sulteng, terutama yang pernah
terjadi
kecelakaan
maupun
penyalahgunaan Senpi.
“Polisi tidak cukup
hanya mengatakan
senjata yang dimiliki
DPO (Daftar Pencarian
Orang) berasal dari
Filipina dan eks
kerusuhan Ambon, tetapi
juga harus menangkap
aktor yang mengedarkan
senjata itu, “
Seperti tahun 2006, dimana ada anggota
Polsek Buol yang telah melakukan
penembakan kepada warga sipil, kemudian
juga peristiwa korban jiwa akibat peluru
nyasar terjadi di Palu. Korban peluru nyasar kembali jatuh,
penembakan yang dilakukan Bripda (Andri) menelan
korban jiwa yang mengakibatkan korban Akbal Setyawan
(27) warga Jalan Melati, Perumnas Balaroa, Kecamatan Palu
Barat Meninggal dunia pada dini hari (14/1) lalu.
Pemeriksaan ini harus dilakukan secara serentak dan merata
pada semua tingkatan Polres di Sulteng. Dimana
pemeriksaan Senpi ini juga meliputi pemeriksaan mengenai
jumlah senpi dan amunisi yang sedang dipergunakan oleh
anggota kepolisian maupun yang berada di dalam Gudang,
karena tidak menutup kemungkinan ada yang hilang.
Kemudian, mengenai administrasinya atau surat-surat
kelengkapan, karena bisa jadi ada kemungkinan ada suratsuratnya yang telah hilang atau kadaluarsa. Termasuk
pemeriksaan penting lainnya, yakni menyangkut psikologi
pemegang senpi itu sendiri.
Harus usut tuntas
Koordinator KontraS Sulawesi Edmond Siahaan menilai
bahwa polisi tak pernah berusaha mengusut tuntas dan
transparan peredaran senjata ilegal di Poso. Padahal, jika
ingin menyelesaikan persoalan keamanan Poso sampai ke
akarnya, polisi tidak cukup hanya menangkap para pelaku
teror, tetapi juga harus mengusut dari mana mereka
mendapatkan senjata api dalam jumlah cukup banyak.
Lebih lanjut Edmond mengatakan langkah polisi melakukan
penegakan hukum terhadap warga Poso yang masuk dalam
17
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
daftar pencarian orang dan anggota
kelompok bersenjata Gebangrejo lainnya
adalah langkah maju untuk menyelesaikan
persoalan keamanan di Poso. Sayangnya,
langkah itu tidak diikuti pengusutan dari
mana dan bagaimana pelaku teror itu
mendapat senjata api.
“Polisi tidak cukup hanya mengatakan
senjata yang dimiliki DPO (Daftar Pencarian
Orang) berasal dari Filipina dan eks
kerusuhan Ambon, tetapi juga harus
menangkap aktor yang mengedarkan
senjata itu, “ kata Edmond.
Menurut Edmond, masih cukup banyak senjata api ilegal yang
beredar di Poso, sehingga bukan tidak mungkin suatu saat
nanti senjata itu akan digunakan untuk melakukan kejahatan.
Namun, Wakil Kepala Polda Sulteng Komisaris Besar I
Nyoman Sindra mengatakan, semua senjata api yang
ditemukan dan disita dari DPO telah didata dan tengah
diselidiki asalnya dari mana. “Pengusutan itu kami lakukan
bersama-sama dengan sejumlah polda terkait, bahkan dengan
Filipina dan Malaysia, “ kata Sindra.
Akan tetapi, Sindra mengakui pengusutan itu tidak mudah
sebab sebagian besar senjata api yang ditemukan di Poso
nomor registrasinya telah dihapus. Pengawasan masuknya
senjata api juga sulit karena banyaknya celah di sepanjang
pantai Indonesia yang mudah dimasuki pengedar senjata
ilegal.
Menanggapi kondisi tersebut, KontraS sendiri menilai langkah
awal yang seharusnya dapat dilakukan polisi, juga TNI, adalah
mengaudit seluruh persenjataan (senpi) dan Amunisi disemua
tingkatan Polres yang mencakup Polsek diseluruh wilayah
kerja Polda Sulteng.
Selanjutnya secepatnya pula melakukan kembali uji psikotes
kepada semua anggota polisi yang memegang senpi, karena
senpi ini merupakan jenis senjata yang sangat berbahaya dan
mematikan apabila tidak diawasi penggunaannya secara
ketat. Terakhir, menjatuhkan hukuman yang tegas kepada
anggota kepolisian yang terbukti menyalahgunakan
penggunaan senpi.***
REMPAH-REMPAH
Maut Berulang Di IPDN
Awal April lalu tepatnya (02/04), kita kembali terhenyak dengan berita tewasnya Praja
Cliff Muntu (20 thn), akibat penganiayaan yang dilakukan oleh kakak kelasnya di
Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Entah apa yang telah terjadi di
dalam kampus yang konon harusnya mencetak calon pamong praja, malah sangat
termasyur oleh budaya kekerasan yang seolah-olah dilembagakan.
Sekali lagi kita mengutuk tindak biadab dalam dunia
pendidikan ini. Bagaimana tidak. Rasanya baru kemaren kita
mendengar seorang praja asal Jawa Barat, Wahyu Hidayat,
juga harus merenggang nyawa ditangan senior-nya, di dalam
kampusnya sendiri, tempat dimana ia menuntut ilmu demi
masa depannya(2003).
Pelanggaran HAM berat
Lebih jauh dari semua itu, segala bentuk, cara dan praktek
kekerasan di IPDN telah mengarah pada tindakan pelanggaran
HAM berat, yakni pelanggaran terhadap hak hidup dan hak
untuk tidak disiksa. Metode penyiksaan menjadi salah satu
pola yang secara tak langsung dilegalkan dan dilakukan secara
sistemik. Pola ini justru dilakukan di bawah kewenangan
insitusi pendidikan kedinasan yang diselenggarakan oleh
negara, yang memiliki tujuan mulia, menyediakan pemimpin
pemerintahan yang profesional, demokratis dan berwawasan
kenegarawanan, sesuai visinya.
Tinta bercampur darah terus ditorehkan oleh lembaga
pendidikan ini. Sejak sekolah ini didirikan pada tahun 1999,
sejumlah korban yang berasal dari siswanya sendiri terus
berjatuhan. Dengan dalih menanamkan kedisiplinan, institusi
itu kemudian menghiasi catatan perjalanannya dengan
sejumlah aksi kekerasan. Departemen Dalam Negeri
mengatakan selama periode 1993-2007, tercatat 27 praja Ini adalah kebiadaban dari dunia pendidikan yang harus
meninggal dalam pendidikan.
dihapus sampai keakar-akarnya. Apalgi melihat
Namun, katanya, hanya tiga
tindakan kekerasan yang terus berulang, maka
kasus kematian karena kekerasan
hal itu menjadi pola, sehingga menjadi kebijakan.
yang terjadi di dalam kampus.
Ironisnya, dari pengakuan
Penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh
Ini adalah kebiadaban
seorang dosen IPDN, Inu Kencana
praja bukan semata-mata karena lemahnya
dari dunia pendidikan
Syafei, Cliff adalah korban ke-35.
kontrol yang dilakukan terhadap praja tetapi
yang harus dihapus
Artinya, setiap semester satu
merupakan kesalahan sistematis yang dilakukan
sampai keakar-akarnya.
nyawa melayang di kampus yang
oleh Pemerintah. Kesalahan ini bisa dilihat dari
Apalagi melihat
penghuninya terikat sumpah
eksistensi lembaga yang bertentangan dengan
menaati hukum karena berstatus
UU Pendidikan Nasional (Lembaga Kedinasan
tindakan kekerasan
pengawai negeri ini.
hanya memberikan pelatihan tambahan bukan
yang terus berulang,
menyelenggarakan pendidikan yang setara
maka hal itu menjadi
Evaluasi menyeluruh
dengan SI atau Diploma), besarnya alokasi dana
pola, sehingga menjadi
yang diberikan setiap tahun, maupun materi ajar
Agaknya Presiden terusik dengan
kebijakan.
yang
mengakomodir
penyimpanganaksi barbar yang terus terjadi di
penyimpangan lain yang sangat tidak
lembaga pendidikan ini. Presiden
menghargai dan merendahkan harkat dan
pun membentuk tim evaluasi
martabat manusia.
untuk membenahi lembaga ini.
Salah satu kebijakan yang
Sementara dengan terulangnya kembali peristiwa ini,
dikeluarkan oleh Pemerintah adalah menghentikan sementara menunjukkan tidak adanya evaluasi reguler terhadap sistem
penerimaan praja baru di IPDN. Kebijakan ini memang patut pendidikan yang sarat tindakan kekerasan, walaupun hampir
kita dukung, namun KontraS sendiri memandang langkah itu tiap tahun ada praja yang meninggal akibat pola pendidikan
tak cukup.
yang menyalahi hukum dan HAM.
Mengapa tak cukup? Karena tindakan tersebut harusnya juga
diikuti dengan evaluasi menyeluruh terhadap bangunan
sistem pendidikan serta membuat pengawasan intensif atas
pelaksanaannya selama jangka waktu yang jelas. Di sisi lain,
pihak kepolisian harus segera melakukan pengusutan terhadap
tanggungjawab unsur pimpinan IPDN. Dan selama proses
pengusutan berlangsung, pemerintah juga harus menjamin
perlindungan atas para saksi yang mengungkap fakta atas
peristiwa kekerasan yang telah terjadi selama ini.
KontraS mendorong diterapkannya langkah-langkah khusus
oleh pemerintah bagi pembenahan institusi dan sistem
pendidikan di IPDN. Pemerintah harus membuka diri atas
koreksi penyalahgunaan pendidikan, termasuk memberikan
perlindungan bagi saksi dan korban yang membuka fakta
kekerasan, baik dosen, alumni maupun pihak-pihak yang
mengetahuinya. Momentum ini kembali menegaskan
pentingnya Lembaga Perlindungan Saksi Korban, seperti
diamanatkan oleh UU No.13 tahun 2006.***
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
18
REMPAH-REMPAH
13 tahun Misteri Helikopter HS 7060,
Bukti Beban Buruk Bisnis Militer di Indonesia
KontraS mendesak Kepolisian RI secepatnya menjelaskan
fakta yang sebenarnya di balik peristiwa penemuan bangkai
helikopter jenis Bolcow HS 7060 milik TNI AD di Deli Serdang
Sumatera Utara (21/03/2007), yang diduga hilang pada tahun
1994. Sebelumnya, pada April 1996 helikopter sejenis juga
ditemukan di Dusun Sumberikan II, Desa Sukamakmur,
Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang Sumatera
Utara.
perintah Kodam I/BB. Padahal, berdasarkan kesaksian penyewa
(pihak production house) maupun foto-foto saat korban akan
berangkat, jelas bahwa helikopter yang digunakan merupakan
milik TNI dengan nomor HS 7060 dan penyewaan tidak memiliki
relasi dengan Kodam Bukit Barisan.
Selanjutnya akhir Maret 2007 lalu, ditemukannya kembali
bangkai helikopter di tempat yang sama. Diduga kuat bangkai
helikopter tersebut merupakan sisa bangkai saat ditemukan
Peristiwa ini kembali mengingatkan bahwa 13 tahun yang
pertama kali (1996) dan sengaja tidak dievakuasi dan
lalu (22/08/1994), Helikopter HS 7060 TNI AD ini hilang.
disembunyikan untuk menutupi bukti bahwa para korban
Helikopter disewa oleh sebuah production house selama dua
menyewa helikopter milik TNI. Ahmad Faisal, seorang fotografer
jam, sejak pukul 10.30 Wib, untuk keperluan melakukan
di Medan maupun Edu Sinaga,
shooting udara bagi pembuatan film
anggota SAR yang ikut melihat
dokumenter PLN yang membawa
ditemukannya
bangkai
kru film Burhan Piliang, seorang
Dok.Pribadi keluarga
helikopter pertama menyatakan
fotografer Majalah Prospek yang
bahwa penemuan bangkai
juga ayah dari salah seorang staf
kedua ada pada lokasi yang
Kontras, Ori Rahman, Diaz Barlean,
sama.
kameramen dan mahasiswa IKJ,
Temmy Setiawan, mahasiswa IKJ,
Fakta lain yang menguatkan,
Lettu Alt. Irawan CP, pilot helikopter,
pada saat keluarga korban (6/04/
dan. Letda Czi. Asep Mulyadi, Co1996), mengambil peti berisi
pilot helikopter. Saat para korban
tulang-belulang para korban di
akan berangkat dari Bandara Polonia
rumah sakit Kodam I Bukit
Medan, kru film lainnya sempat
Barisan,
Medan
sempat
mengabadikan foto-foto yang
mengalami kesulitan. Keluarga
menampilkan helikopter HA 7060
hanya diperlihatkan barangyang ditumpangi para korban.
barang milik keluarga seperti
Saat hendak melakukan perjalanan
sepatu, dompet, KTP, kartu pers,
Selang beberapa jam helikopter tidak
kalung dan lain-lainnya untuk
kembali dan dinyatakan hilang.
mengenali korban. Keluarga
Kelompok pencinta alam di Medan
korban tidak diperkenankan
serta aparat TNI melakukan pencarian selama satu bulan.
untuk membuka peti tanpa disertai keterangan resmi serta tanpa
Namun tidak menampakkan hasil sehingga pencarian
santunan dan permintaan maaf.
dihentikan.
Pada (2/04/1996), empat orang masyarakat menemukan
bangkai helikopter di lembah antara gunung Sibayak Tanah
Karo dan gunung Pintau di daerah Dairi, Kabupateng
Sidikalang, Sumatera Utara. Tim mengevakuasi tulang
belulang dan selanjutnya dibawa ke RS. Bukit Barisan Medan.
Sengaja menutupi
Kontras sendiri menduga bahwa aparat TNI telah sengaja
menutup-nutupi kebenaran di balik peristiwa ditemukannya
bangkai pesawat, sejak penemuan pada 2 April 1996 ( yang
pertama), maupun penemuan 21 Maret 2007 (yang kedua).
Peristiwa ini terkait erat dengan sejumlah fakta-fakta yang
ada, diantaranya sanggahan aparat TNI yang menyatakan
bahwa tidak ada penyewaan helikopter milik TNI kepada
sipil. Helikopter tersebut diBKO-kan kepda Kodam I/Bukit
Barisan dan pemberangkatan tersebut berdasarkan pada
19
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
Salah satu dari jenazah yakni jenazah Diaz Barlean juga
dikirimkan ke Jakarta, dengan hanya dimasukkan dalam tas
travel dan bukan peti jenazah. Jenazah lalu diterbangkan secara
sembunyi-sembunyi ke Bandung dengan menggunakan
helikopter AD. Disamping itu, aparat TNI juga meminta pada
keluarga korban pada saat helikopter pertama kali ditemukan
tahun 1996 tidak mengungkapkan peristiwa tersebut pada
media.
Fakta-fakta tersebut menguatkan bahwa aparat TNI telah
melakukan bisnis militer illegal dengan menyewakan helikopter
pada tahun 1994. Tidak menutup kemungkinan, ketiadaan proses
hukum pada saat itu justru melanggengkan bisnis sejenis hingga
saat ini. Oleh karenanya dengan semangat profesionalisme TNI,
KontraS mendesak aparat kepolisian untuk melakukan
penyelidikan menyeluruh terhadap peristiwa misterius ini.
KontraS juga meminta Mabes TNI membuka akses seluasluasnya terhadap penyelidikan yang profesional bagi
terungkapnya kejelasan masalah ini. ***
REMPAH-REMPAH
HUT IX KontraS
Pemimpin Politik Gagal Jadi Layar Perahu Demokrasi
Sejumlah bendera partai politik dipegang oleh korban pelanggaran HAM. Tak lama, benderabendera nan penuh warna berhiasan logo partai tertentu digulung rapi. Ada makna mendalam
dari peristiwa ini. Makna dari sebuah bentuk kekecewaan untuk para pemimpin politik negeri.
Barangkali inilah puncak dari peringatan Hut KontraS yang IX
(20/03). Pengulungan sejumlah bendera partai politik yang
dilakukan oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM
bertempat di kantor KontraS, jalan Borobudur Jakarta ini
disaksikan oleh sejumlah tamu, para aktivis, korban. Termasuk
sejumlah media yang setia menjadi teman dalam mendukung
perjuangan melawan segala bentuk tindak kekerasan dan
pelanggaran HAM yang menjadi motto utama perjuangan
KontraS selama ini.
Tampak hadir dalam acara peringatan tersebut adalah Asmara
Nababan (Direktur Demos), Zumrotin K Soesila (Wakil Ketua
Komnas HAM), Romo Sandyawan (TRK, Romo Benny (KWI, MM
Billah (anggota Komnas HAM) dan lainnya.
20 Maret 1998, KontraS didirikan. Tujuan utamanya menentang
politik kekerasan dan ikut menggulirkan perubahan dan gerakan
reformasi 1998. Di masa-masa menjelang pendiriannya, banyak
aktivis mahasiswa, partai politik dan LSM yang dihilangkan
akibat politik Soeharto yang anti keadilan dan kemanusiaan.
Memperingati HUT IX, KontraS mencoba mengajak korban,
kerabat dan pendukung KontraS untuk memberikan catatan
politik atas agenda reformasi.
Gerakan reformasi 1998 yang diperjuangkan dengan darah dan
airmata meyakini demokrasi sebagai pilihan terbaik.
Pertimbangan utamanya adalah cita-cita demokrasi itu sendiri,
penghargaan setiap manusia, kepentingan rakyat sebagai
pedoman negara dan pencabutan mandat penguasa bila tak
membela kepentingan rakyat. Reformasi meneguhkan kembali
cita-cita pendirian republik, yakni keadilan dan kemanusiaan.
Tindakan politik para elit kekuasaan harus ditujukan bagi
pencapaian cita-cita itu. Bahwa cita-cita itu telah dikhianati oleh
sikap Pemerintah dan partai politik di DPR yang mengabaikan
keadilan bagi korban-korban penembakan mahasiswa Trisakti,
Semanggi I dan II. Sikap ini juga cermin dalam kasus
penghilangan paksa aktivis 1997-1998, Tragedi Mei 1998,
Talangsari 1989, Tanjung Priok 1984, Tragedi 1965, pembunuhan
Munir, lumpur Lapindo, PHK pekerja/buruh, perampasan lahan
petani, penggusuran paksa di mana-mana, serta lemahnya
penanganan berbagai peristiwa kemanusiaan.
Sebuah bentuk penghianatan
Ini merupakan bentuk penghianatan terhadap perjuangan
rakyat yang meyakini demokrasi sebagai pilihan rasional.
Sebagai pemilik kedaulatan, kepentingan rakyat seharusnya
menjadi pedoman moral elit politik, bukan justru
dikesampingkan demi kepentingan dan ideologi semu. Jika itu
terjadi, ini merupakan perilaku pongah dari kekuasaan yang
tak hanya mengabaikan rakyat, namun juga sinis terhadap
tuntutan rakyat yang dinilainya sebagai ancaman
kekuasaan.
Memasuki tahun ketiga jalannya Pemerintahan Negara hasil
Pemilu 2004, KontraS merasa belum melihat tanda-tanda
keadilan di tegakkan untuk memperbaiki kondisi penegakan
HAM di Indonesia. Yang terlihat justru, Pemerintahan yang
kian reaksioner, hukum yang kian lemah, dan Politisi yang
beretika murahan.
Padahal rakyat mendambakan pulihnya kehidupan
masyarakat seperti saat berdirinya republik Indonesia,
dimana para pemimpin politik bersemangat menentang
penindasan, melindungi hak rakyat kecil, dan mencitacitakan pemerintahan rakyat.
Pemerintahan rakyat yang sesungguhnya itu bukan sekadar
pemerintahan hasil pemilu, dipilih langsung oleh rakyat.
Bukan sekadar pemerintahan mayoritas. Ini memang
demokrasi. Tapi jika hanya itu, sama saja kita lupa bahwa
demokrasi punya cita-cita, yaitu kemanusiaan dan keadilan.
Gagal jadi layar
Partai politik adalah pilar demokrasi. Karena itu Partai
politik seharusnya mampu menjadi layar dalam perahu
demokrasi Indonesia untuk mencapai cita-cita demokrasi itu
sendiri.
Namun kenyataannya, partai politik justru gagal. Parpol
gagal menjadi penyalur aspirasi rakyat korban ketidakadilan
untuk mendapatkan pertolongan. Parlemen tak lagi bisa
diharapkan menjadi tempat riuh dimana pemimpin politik
memperjuangkan nasib rakyatnya.
Parlemen kini tak lebih dari sekadar pasar politik, yang di
dalamnya bisa terjadi transaksi apa saja, termasuk tawar
menawar dan jual beli keadilan.
Meski keadaan ini tak membahagiakan, KontraS tetap ingin
memperingati hari lahirnya KontraS dalam rasa syukur.
KontraS tetap merasa bersyukur dengan keadaan hak asasi
manusia dan kebebasan dari reformasi yang ada. Namun
kebebasan ini barulah setetes air dari samudera hak dan
kebebasan asasi manusia yang luas.
KontraS bersama para korban tak akan memilih diam. Sebab
kita semua telah berkomitmen untuk menolak tunduk pada
politik anti keadilan dan kemanusiaan. Oleh karena itu,
dalam situasi seperti ini, kita tetap akan melanjutkan
perjuangan HAM. Karena, perjuangan HAM merupakan
perjuangan untuk membela kemerdekaan dan demokrasi.***
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
20
REMPAH-REMPAH
Tragedi 65
Komnas HAM Segera Lakukan Pemeriksaan
Korban dan Saksi
Korban dan keluarga korban tragedi 1965 bersama KontraS dan
LBH Jakarta, kembali mengingatkan negara untuk segera
menuntaskan persoalan pelanggaran HAM yang terjadi pada
peristiwa 1965. Ironisnya, pelanggaran-pelanggaran HAM
tersebut masih terjadi hingga kini. Karenanya tak ada kata lain
Komnas HAM segera menunaikan kewajibannya dan secepatnya
mengawali respon negara yang minim dalam kasus ini.
Sayangnya tindak lanjut tersebut masih belum diwujudkan oleh
Komnas HAM. Sebagian korban dalam peristiwa 1965 sempat
berharap dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun,
Undang- Undang yang mengatur KKR tersebut dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi pada tanggal (6/12/2006).
Kita mungkin tak akan pernah lupa bagaimana peristiwa politik
pada 1965 berimplikasi terhadap pelanggaran HAM atas sejumlah
orang, seperti penahanan sewenang-wenang, pemenjaraan tanpa
pengadilan, pembunuhan, pembantaian, pembuangan, sampai
pada penerapan politik diskriminasi hak-hak sipil dan ekonomi
para korban.
Penuntasan kasus 1965 merupakan keharusan bagi pemerintahan
Indonesia dan harus disegerakan. Ada sejumlah faktor yang
membuat hal ini menjadi urgent, pertama, kondisi para korban yang
masih terus tercerabik dari hak-haknya. Padahal hak-hak tersebut
telah dijamin oleh UUD 1945, terutama Amandemen II (2000). Kedua,
bangsa Indonesia penting untuk membongkar tentang fakta perihal
yang sesungguhnya terjadi, terutama soal kekerasan atau
pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu maupun yang berimbas
hingga kini. Ketiga, diharapkan dengan diketahuinya “kebenaran”
atas pelanggaran HAM tersebut mampu menjadi tali pengikat
(rekonsiliasi) dengan warganegara lainnya yang selama ini terdistorsi
akan cerita negatif para korban 1965. Terakhir yang juga menjadi
salah satu unsur yang paling penting adalah, kebenaran akan
pelanggaran HAM bisa dijadikan dasar pemberian rekomendasi
reparasi bagi korban dan penuntutan jika didapati pihak-pihak yang
diduga terlibat dan bersalah.
Sementara itu, Komnas HAM berangkat dari tragedi tersebut
pernah membuat pengkajian perihal atas Pelanggaran HAM
dimasa Soeharto. Salah satu yang dijadikan kasus kajian adalah
kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Buru 1965-1966.
Tim mulai bekerja pada (14/01/2003), kemudian diperpanjang
hingga (14/05/2003) dan dalam kesimpulan laporannya
menyatakan ada indikasi kuat terjadi pelanggaran HAM berat
karena ditemukan serangan terhadap penduduk sipil secara
meluas dan sistematik.
Tim pengkajian juga mencatat jumlah korban dalam Tragedi 1965
mencapai tiga juta orang lebih, dengan enam unsur kejahatan
(element of crime), sesuai dengan Undang – Undang 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan temuan tersebut tim
pengkajian merekomendasikan agar Komnas HAM segera
menindaklanjuti dengan membentuk tim penyelidik projustitia dan
tim pengkajian terhadap pembantaian 1965.
Sebuah Keharusan
Kita memang harus terus mengingatkan dan kembali mengingatkan
serta meminta Komnas HAM segera melakukan pengumpulan fakta
(Fact Finding) terhadap pelanggaran HAM yang berat atas kasus
1965. Selain itu, Komnas HAM harus menindak lanjuti hasil kajian
Komnas HAM tentang Pulau Buru. Komnas HAM harus secepatnya
juga melakukan pemeriksaan (statement taking) dari para korban dan
saksi peristiwa 1965, demi mendapatkan sebuah kebenaran alternatif
(Alternatif Truth). ***
Serangan Terhadap Papernas:
Isue Komunis Jadi Dalih Hambat Kebebasan Berekspersi
Kita sangat menyesalkan terjadinya aksi kekerasan yang
dilakukan oleh massa Front Pembela Islam (FPI) pada kelompok
demonstrasi Papemas, yang terjadi (29/03), sekitar pukul 11.00
WIB di Dukuh Atas, Sudirman Jakarta. FPI berdalih bahwa
Papernas sebagai embrio partai komunis. Penyerangan kepada
masyarakat sipil, khususnya terhadap perempuan dan anakanak tersebut menyebabkan jatuhnya korban luka-luka dan
membubarkan diri karena lari ketakutan. Sementara itu, entah
mengapa, aparat kepolisian terlihat lamban dalam
menghentikan aksi kekerasan yang berlangsung.
Tindakan kekerasan dengan dalih untuk meredam kebebasan
berekspresi dan berpendapat masyarakat sipil merupakan
tindakan yang melanggar HAM dan konstitusi. Hal ini ironis,
karena pada saat yang sama pemerintah sedang membicarakan
upaya-upaya perlindungan HAM dan peradaban manusia dalam
Dewan HAM PBB.
21
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
Apa yang terjadi kali ini bukan hal pertama. Telah kesekian kali,
negara melalui aparat hukumnya tidak memberikan rasa aman
dalam melindungi warganya sendiri. Kita wajib mengkhawatirkan
jika pengabaian terhadap jaminan keamanan masyarakat ini terus
berlangsung, maka bentuk-bentuk kekerasan serupa akan semakin
buruk di masa datang. Negara telah membiarkan kasus serupa
terus berlangsung dengan membiarkan penyerangan,
penganiayaan terhadap masyarakat yang menjalankan hak untuk
mengeluarkan pendapat dan berekspresinya.
KontraS sendiri mendesak aparat kepolisian untuk melakukan
penyelidikan terhadap kasus ini. Penyelidikan harus berjalan secara
jujur dengan melakukan pemeriksaan terhadap seluruh pelaku.
KontraS juga mendesak Presiden mengambil langkah aktif untuk
menghentikan aksi-aksi kekerasan serupa yang ditujukan pada
kelompok-kelompok masyarakat sipil yang menyuarakan
demokrasi. Sekali lagi, kita sepertinya memang tak boleh henti
menghimbau, agar seluruh masyarakat menghormati konsitusi
dengan saling menjamin upaya-upaya bebas untuk berekspresi.***
REMPAH-REMPAH
Aksi Diam Hitam Kamisan
Solidaritas Korban Pelanggaran HAM
Setelah delapan tahun reformasi bergulir, delapan tahun pula kasus pelanggaran HAM
kian mengelam, tapi tak satupun pelanggaran berat HAM menemui titik terang.
Bahkan para pelaku tak tersentuh hukum dan keadilan. Semuanya kian menggelap.
Pemerintahan otoriter Orde Baru berdiri
diawali dengan pembohongan terhadap
publik dan pembantaian massal yang
dikenal dengan Tragedi ’65. Ratusan ribu
bahkan jutaan nyawa manusia dirampas
tanpa melalui proses peradilan. Perilaku
yang tidak manusiawi dan jelas melanggar
hak asasi manusia (HAM) itu, dilakukan
demi
mewujudkan
serta
mempertahankan kekuasaannya dan
berlangsung selama 32 tahun (1966-1998).
Dok.kontras
busana kedukaan dan kekelaman “hitamhitam”, bersama payung hitam dan
kenangan kedukaan “foto-foto korban”,
mereka melakukan aksi diam.
Aksi ini sengaja digelar sebagai pertanda
habisnya segala artikulasi korban dan
keluarga korban terhadap bebalnya
penguasa negeri ini terhadap penuntasan
kasus-kasus pelanggaran HAM. Meski
demikian, aksi ini tetap dilakukan dengan
Aksi kamisan oleh korban
sebuah pengharapan, bahwa negara akan
memberikan
pertanggungjawaban
Ironisnya, sekalipun Soeharto telah
terhadap tragedi pelanggaran HAM berat
lengser dari kursi kepresidenan, sisa-sisa
gaya Orde Baru, terus dipratekkan. Sebagai contoh: pembunuhan yang terjadi di Indonesia. Aksi ini juga menjadi bagian dari
terhadap aktivis HAM Munir pada September 2004.
gerakan moral yang ingin menyebarkan tentang pentinganya
arti kemanusiaan kepada masyarakat luas.
Terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM itu ternyata belum ada
penyelesaian yang mematuhi kaidah dalam standar hukum Pada aksi Kamisan (18/01), selain diikuti korban dan keluarga
HAM nasional maupun internasional. Perwujudan Pengadilan korban, juga terlibat aktif di dalamnya Rieke “Oneng” Diah
HAM ad hoc yang mengacu pada UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pitaloka. Dan sekali waktu, Sony Tulung pun ikut terlibat.
Pengadilan HAM, hanya diperuntukkan bagi Kasus Tanjung Aksi ini memang dimaksudkan untuk merangkul dan
Priok dan Kasus Timor-Timur saja, bukan untuk kasus-kasus mengajak siapapun masyarakat yang peduli, memiliki
yang lain. Nyatanya, Pengadilan HAM ad hoc kedua kasus itu solidaritas dan keinginan untuk bersama bergabung
menjadi pintu membebaskan orang-orang yang terlibat dari menyuarakan penegakan HAM di Indonesia.
sanksi hukum, yang kebanyakan milter.
Gerakan tersebut, terinspirasi dari gerakan ibu-ibu di
Upaya lain untuk impunitas juga tampak dengan cara Argetina, yang anak-anaknya yang dihilangkan secara paksa
mempersulit pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus- oleh rezim militer Argentina, dan kemudian dikenal dengan
kasus seperti: Kasus Trisakti dan Semanggi I-II, Kasus Kerusuhan nama “Mother Plaza De Mayo”. Mereka melakukan aksi setiap
Mei ’98, Kasus Penculikan Aktivis 1997-1998, dan sebagainya. hari Kamis di depan Plaza De Mayo, Menuntut
Demikian pula dengan pembentukan KPP HAM untuk Kasus dikembalikannya anak-anak mereka. Sampai akhirnya aksi
Kejahatan Soeharto, Kasus Talangsari, Kasus 65, di mana langkah “Plaza De Mayo” melegenda di seluruh dunia. Sebagai simbol
geraknya sengaja dihambat agar tidak mencapai kinerja yang perlawanan ibu-ibu yang terus konsisten akan perjuangan
maksimal, atau sengaja diarahkan untuk berakhir tanpa ujung. demi hukum dan keadilan.
Sangat disesalkan, pemerintahan baru di bawah SBY-JK, tidak
memiliki greget atau niat untuk menyelesaikan secara tuntas
kasus-kasus pelanggaran HAM. Hal ini dapat dilihat dari Pidato
Awal Tahun 2007, di mana dalam dua tahun pemerintahannya
tidak menjamah perihal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran
HAM.
Aksi Kamisan
Dari kondisi yang ada itulah, korban dan keluarga korban
dengan segenap keyakinan akan kebenaran, dan keyakinan pada
kesabaran, mendatangi dan berdiam di pusat simbol kekuasaan
negeri ini “Istana Merdeka”. Aksi ini dilakukan pada hari Kamis
selama satu jam, dimulai dari pukul 16.00-17.00 Wib. Bersama
Pada aksi Kamisan yang ke-10, bertepatan dengan Hari
Perempuan Internasional, aksi ini menjadi sebuah
momentum yang menegaskan bahwa kekerasan berbasis
jender yang terjadi terhadap perempuan harus dihentikan.
Kesengajaan negara menyingkirkan keadilan dan kebenaran
bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat
adalah bentuk dari kekerasan terhadap perempuan.
Aksi yang akan terus digelar sepanjang Kamis sore ini akan
terus dilakukan oleh korban dan keluarga korban
pelanggaran HAM berat beserta para simpatisan. Aksi ini
akan terus digelar demi menuntut Negara untuk
menuntaskan segala kasus pelanggaran HAM berat. ***
Berita Kontras No.02/III-IV/2007
22
KABAR DARI SEBERANG
Sidang ke-4 Dewan HAM PBB di Jenewa
KontraS menyambut baik hal ini, karena mencerminkan wujud
dari komitmen negara untuk melaksanakan komitmen dan ikrar
sukarela ketika menjadi anggota Dewan HAM PBB tahun lalu.
Namun tentu saja langkah ini tak cukup hanya dinyatakan di dalam
forum internasional. KontraS berharap pernyataan tersebut diikuti
dengan langkah baru penyelesaian kasus-kasus pelanggaran
HAM berat yang terbengkalai saat ini. Secara khusus, komitmen
untuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Setiap Orang dari
Secara khusus, dalam mengawal proses reformasi pembangunan Penghilangan Orang Secara Paksa juga memandatkan
institusi dalam PBB, KontraS bersama dengan 46 LSM di Asia tanggungjawab negara untuk segera menjelaskan keberadaan
(KontraS menjadi anggota Human Rights Working Group dan Forum korban yang masih hilang serta pemenuhan hak-hak yang efektif
Asia) mendorong mekanisme proteksi HAM internasional yang (effective remedy) bagi korban penghilangan paksa, termasuk kasusefektif dan dapat membawa keadilan dan pemenuhan hak-hak kasus serupa di Aceh dan Papua. KontraS juga mempertanyakan
komitmen untuk mengundang pelapor khusus untuk kasus Munir.
korban pelanggaran HAM berdasarkan standar-standar HAM.
Karena pada kenyataannya pemerintah belum juga memenuhi
Kelompok sipil di Asia berharap dalam reformasi PBB ini tidak ada permintaan Philip Alston, Pelapor Khusus untuk Pembunuhan di
Luar Proses Hukum untuk memberikan
intervensi negara terhadap mekanisme HAM
asistensi kepada aparat penegak hukum untuk
yang independen. Tentu saja reformasi dalam
menuntaskan kasus pembunuhan Munir yang
kondisi transisi ini harus juga mendapatkan
“Pemerintah RI akan
belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.
partisipasi aktif dari LSM, kelompok masyarakat
mengedepankan mekanisme
sipil, komisi nasional hak asasi manusia yang
Dewan HAM dalam
berdasar pada Prinsip Paris dan DPR, untuk
Pelaporan Kondisi HAM
menghadapi
persoalan aktual
memperkuat system HAM internasional.
Dewan HAM PBB kembali menggelar sidang regulernya di Jenewa,
12-30 Maret 2007. Sidang ke-4 Dewan HAM PBB ini sebagian besar
menerima masukan dari para Pelapor Khusus PBB lewat laporan
tahunannya. Sidang ini juga membahas agenda reformasi
pembangunan insitusi dan mekanisme HAM di PBB. Namun
pembahasan tidak berhasil diselesaikan pada sesi ini dan
direncanakan baru akan selesai pada Sidang ke-5 berikutnya.
pelanggaran HAM yang serius,
khususnya menyangkut
masalah perdagangan orang,
pembunuhan di luar proses
hukum, penyiksaan,
penghilangan orang secara
paksa serta kejahatan terhadap
perempuan dan anak”. ungkap
Hamid Awaluddin
Pernyataan Menhukham dalam High Level Segment
Pada kesempatan Sidang ke-4 Dewan HAM
PBB ini, KontraS juga berkontribusi lewat
organisasi koalisinya, HRWG (Human Rights
Working Group) dan INFID (International NGO
Forum on Indonesian Development) melaporkan
situasi HAM nasional untuk mempertegas
komitmen internasional dalam menyikapi
persoalan HAM di Indonesia. Kegiatan ini
bertujuan untuk kembali menagih janji dan
ikrar sukarela pemerintah sebagai anggota
Dewan HAM PBB sejak Mei 2006, dalam
menjalankan pemajuan dan pemenuhan HAM
di Indonesia. Pemantauan atas pelaksanaan komitmen ini menjadi
acuan evaluasi kinerja pemerintah bagi kelayakan untuk dapat
dipilih kembali menjadi anggota Dewan HAM PBB, Mei 2007
mendatang.
Dalam sidang ini juga tampak komitmen positif bagi perkembangan
tema HAM di Indonesia. Hal ini dinyatakan dalam pidato Menteri
Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin di acara pembukaan sidang,
High Level Segment, pada 12 Maret 2006. Dalam pidatonya itu, Hamid
Awaluddin menyatakan bahwa Pemerintah RI akan mengedepankan
mekanisme Dewan HAM dalam menghadapi persoalan aktual
pelanggaran HAM yang serius, khususnya menyangkut masalah
perdagangan orang, pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa serta kejahatan terhadap
perempuan dan anak.
Dalam pernyataan tertulisnya (written statement), kelompok
masyarakat sipil melaporkan situasi HAM yang berkaitan dengan
isu penghilangan paksa (enforced disappearances), penyiksaan
(torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary detention),
kebebasan beropini dan berekspresi (freedom of opinion and
expression), kebebasan beragama dan berkeyakinan (freedom of
religion and belief), pembela HAM (human rights defender), kekerasan
terhadap perempuan (violence against women), korporasi
internasional (international corporations), serta kebijakan ekonomi,
hutang dan MDG’s (Debts, MDGs, and Indonesian Economic Policies).
Pemerintah RI juga menyatakan akan menandatangani dua
konvensi HAM baru; Konvensi Perlindungan Semua Orang dari
Penghilangan Paksa (International Convention for the Protection of All
Persons from Enforced Disappearance) dan Konvensi Hak-Hak Orang
Cacat (Convention on the Rights of Persons with Disabilities).
Penandatangan merupakan langkah terakhir sebelum proses
ratifikasi. Selain itu pemerintah menyatakan mendukung penuh
bekerjanya mekanisme HAM internasional untuk memberikan
masukan kepada institusi domestik, seperti yang ditunjukan dengan
mengundang beberapa Pelapor Khusus ke Indonesia.
Sebagai alat kontrol politik, NGO memberi tekanan kepada
pemerintah internasional lewat mekanisme PBB untuk mendesak
pemerintah Indonesia agar melaksanakan berbagai instrumen
HAM internasional bagi penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM
yang masih terus terjadi. NGO menegaskan bahwa penyelesaian
tak cukup hanya melakukan ratifikasi atau membuat regulasiregulasi yang melindungi HAM, namun juga adanya mekanisme
yang efektif untuk mengadili pihak-pihak yang melanggarnya.
Secara khusus, NGO akan terus mengawal dan mendorong kerjakerja konkret pasca sidang Dewan HAM PBB dalam menuntaskan
berbagai masalah dan mengambil kebijakan perbaikan kondisi
HAM di Indoensia.***
Oleh karenanya untuk memastikan pelaksanaan
tanggung jawab negara, LSM-LSM di Asia
meminta Dewan HAM untuk mempromosikan
konsultasi reguler di tingkat nasional dan regional
antara negara-negara di Asia, LSM, kelompokkelompok sipil dan Komnas HAM. Kelompok LSM
juga mendorong mekanisme yang efektif
khususnya berkaitan dengan mekanismen
Peninjauan Berkala Universal (Universal Periodic
Review), Prosedur Khusus (Special Procedure),
Badan Konsultan Ahli (Expert Advisory Body),
Prosedur Pengaduan (Complaint Procedure) dan Partisipasi LSM (NGO
Participation).
23
Berita Kontras No.02/III-IV/2007