Theobroma cacao L.

Transcription

Theobroma cacao L.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budidaya kakao (Theobroma cacao L.) dewasa ini ditinjau dari
penambahan luas areal di Indonesia terutama kakao rakyat sangat pesat, karena
kakao merupakan salah satu komoditas unggulan nasional setelah tanaman karet,
kelapa sawit, kopi, dan teh. Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan
yang berperan penting bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia terutama
dalam penyediaan lapangan kerja baru, sumber pendapatan petani dan penghasil
devisa bagi negara.
Kakao merupakan tanaman tahunan yang mulai berbunga dan berbuah
umur 3-4 tahun setelah ditanam. Apabila pengelolaan tanaman kakao dilakukan
secara tepat, maka masa produksinya dapat bertahan lebih dari 25 tahun, selain itu
untuk keberhasilan budidaya kakao perlu memperhatikan kesesuaian lahan dan
faktor bahan tanam. Penggunaan bahan tanam kakao yang tidak unggul
mengakibatkan pencapaian produktivitas dan mutu biji kakao yang rendah,
oleh karena itu sebaiknya digunakan bahan tanam yang unggul dan bermutu
tinggi (Raharjo, 1999).
Indonesia merupakan negara terbesar ketiga mengisi pasokan kakao
dunia yang diperkirakan mencapai 20% bersama Negara Asia lainnya seperti
Malaysia, Filipina, dan Papua New Guinea (UNCTAD, 2007; WCF, 2007 dalam
Supartha, 2008) . Peningkatan luas areal pertanaman kakao belum diikuti oleh
produktivitas
dan
mutu
yang
tinggi.
Data
1
Biro
Pusat
Statistik
2
menunjukkan bahwa pada tahun 1983 luas areal tanaman kakao 59.928 ha, dengan
produksi sekitar 20.000 ton, dan pada tahun 1993 luas areal tanaman kakao
menjadi 535.000 ha dengan produksi mencapai 258.000 ton (Direktur Jenderal
Perkebunan, 1994). Produksi kakao saat ini 435.000 ton dengan produksi dari
perkebunan rakyat sekitar 87%. Produksi tertinggi yakni 67% diperoleh dari
wilayah sentra produksi kakao yang berpusat di daerah Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah ( Suhendi, 2007).
Provinsi
Bali
merupakan
salah
satu
di
antara
daerah
lain
penghasil kakao nasional yang juga memberi sumbangan rata-rata sekitar
5.968,11 ton setiap tahun mulai tahun 2003 (Dinas Perkebunan Provinsi Bali,
2009). Sumbangan tersebut terus meningkat pada tahun–tahun berikutnya
karena meningkatnya pertanaman kakao di Provinsi Bali. Luas
areal
tanaman kakao di Provinsi Bali antara tahun 2007 sampai 2009 mengalami
peningkatan seperti tahun 2007 seluas 11.641 ha, tahun 2008 seluas 12.528 ha,
dan pada tahun 2009 mencapai luas 12.796 ha (Dinas Perkebunan Provinsi
Bali, 2009).
Meningkatnya luas areal tanaman kakao tidak diikuti oleh peningkatan
produksi kakao yaitu tahun 2007 yaitu 7.425,94 ton, tahun 2008 yaitu 6.745,51
ton, dan tahun 2009 yaitu 6.800,54 ton (Dinas Perkebunan Provinsi Bali, 2009).
Produksi kakao di Provinsi Bali pada tahun 2009 mengalami peningkatan, namun
peningkatan tersebut sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah
tanaman produktif, sementara laju produktivitas tanaman per hektar per tahun
cenderung menurun.
3
Menurut Suhendi (2007) beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya
produktivitas kakao selain serangan hama dan penyakit, anomali iklim, tajuk
tanaman rusak, populasi tanaman berkurang, teknologi budidaya oleh petani yang
masih sederhana, penggunaan bahan tanam yang mutunya kurang baik
juga
karena umur tanaman yang sudah cukup tua sehingga kurang produktif lagi. Ratarata usia tanaman kakao di Bali
di atas 20 tahun (Dinas Perkebunan Provinsi
Bali, 2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kakao produktivitasnya
mulai menurun setelah umur 15 - 20 tahun. Tanaman tersebut umumnya memiliki
produktivitas yang hanya tinggal setengah dari potensi produktivitasnya. Kondisi
ini berarti bahwa tanaman kakao yang sudah tua potensi produktivitasnya rendah,
sehingga perlu dilakukan rehabilitasi ( Zaenudin dan Baon, 2004).
Upaya rehabilitasi tanaman kakao dimaksudkan untuk memperbaiki
atau meningkatkan potensi produktivitas dan salah satunya dilakukan dengan
teknologi sambung samping (side grafting). Menurut Prastowo dkk. (2006)
sambung samping merupakan teknik perbaikan tanaman yang dilakukan dengan
cara menyisipkan batang atas (entres) dengan klon-klon yang dikehendaki sifat
unggulnya pada sisi batang bawah. Secara garis besar, tujuan perbaikan tanaman
adalah untuk meningkatkan produktivitas dan mutu biji yang dihasilkan.
Sambung samping dapat juga digunakan untuk memperbaiki tanaman
yang rusak secara fisik, menambah jumlah klon dalam populasi tanaman,
mengganti klon, dan pemendekan tajuk tanaman. Jika dibandingkan dengan
sambung pucuk, maka sambung samping memiliki tingkat keberhasilan yang
4
lebih tinggi karena batang bawah masih memiliki tajuk yang lengkap, sehingga
proses fotosintesis untuk menghasilkan
zat-zat makanan dapat berlangsung
dengan baik (Agro Media, 2007).
Upaya yang telah dilakukan oleh petani selama ini untuk mengatasi
penurunan produksi tanaman kakao yang dipengaruhi umur tanaman yang sudah
tua adalah dengan melakukan peremajaan. Peremajaan dilakukan dengan cara
mengganti tanaman kakao yang tidak produktif (tua/rusak) dengan tanaman baru
secara keseluruhan atau bertahap dengan menggunakan bahan tanaman unggul .
Kegiatan ini dinilai kurang efektif karena membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk memperoleh hasil, dilain pihak kebutuhan hidup sehari-hari petani terus
meningkat. Apabila permasalahan tersebut tidak segera ditangani, maka dapat
mengganggu kelangsungan produksi kakao sebab akan terjadi penurunan produksi
dari waktu kewaktu.
Prinsip dasar rehabilitasi dengan metode sambung samping adalah
penyatuan kambium dari entres dengan kambium batang bawah, di samping itu
pula penggunaan entres dari klon – klon unggul sangat dianjurkan karena diyakini
mempunyai dampak positif terhadap peningkatan produksi dan mutu hasil,
sehingga ketersediaan klon unggul mutlak diperlukan. Alternatif rehabilitasi
dengan menggunakan metode sambung samping dianggap cukup efektif karena
petani dengan mudah dapat melakukan sendiri serta
waktu yang dibutuhkan
relatif singkat.
Suhendi ( 2007) mengatakan bahwa dibanding dengan okulasi tanaman
dewasa dan tanam ulang, metode sambung samping mempunyai keunggulan
5
antara lain: (a) areal tanaman kakao dapat direhabilitasi dalam waktu relatif
singkat, (b) lebih murah dan tanaman kakao lebih cepat berproduksi dibanding
cara tanam ulang (replanting), (c) batang atas hasil sambungan belum
berproduksi, hasil buah dari batang bawah dapat dipertahankan, (d) batang bawah
dapat berfungsi sebagai penaung yang bersifat sementara bagi batang atas yang
sedang tumbuh
Beberapa hal yang harus diperhatikan ketika menentukan kakao yang
akan direhabilitasi adalah mencari tanaman yang kurang produktif (umur diatas
20 tahun) dan secara teknis dapat dilakukan sambung samping, produktivitas
rendah
namun
masih
mungkin
untuk
ditingkatkan,
tidak
terserang
organisme pengganggu tanaman (OPT) utama seperti hama penggerek buah kakao
(PBK), Helopeltis sp,
busuk buah (Phythopthora palmivora), dan penyakit
Vascular streak dieback (VSD), serta batang bawah harus dalam kondisi sehat
dan tumbuh aktif (Deptan, 2009). Upaya untuk pengaktifan pertumbuhan batang
bawah ini dapat dilakukan lewat pengolahan tanah, pemupukan, pemangkasan,
dan kalau perlu dengan pengairan.
Kendala yang sering dihadapi ketika melakukan rehabilitasi tanaman
kakao dengan metode sambung samping adalah jauhnya jarak antara pohon induk
atau sumber entres dengan tempat atau kebun yang akan direhabilitasi,
sehingga dibutuhkan waktu yang agak lama mulai dari pengambilan entres
sampai dengan proses penyambungan. Selain itu pula jumlah tanaman kakao
yang akan disambung sering dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga tidak
bisa dilakukan penyambungan dalam waktu sehari dan entres yang belum
6
tersambung
harus
disimpan
untuk
keesokan
harinya
baru
dilakukan
penyambungan.
Keberhasilan usaha penyambungan tanaman kakao dipengaruhi
oleh beberapa faktor misalnya, kondisi tanaman dan lingkungan, tingkat kesehatan
batang
bawah,
kelembaban
udara
dan
intensitas
penyinaran
serta
penggunaan klon-klon unggul yang dapat beradaptasi dengan iklim mikro
(Sunanto, 1994). Lama penyimpanan dan media penyimpanan batang atas
sebelum dilakukan penyambungan juga berpengaruh terhadap keberhasilan
penyambungan (Djazuli, dkk. 1999). Waktu yang baik untuk melakukan
penyambungan adalah pada saat cuaca cerah, namun ada pula yang menyebutkan
bahwa penyambungan pada awal musim kemarau memberikan hasil yang
lebih baik dari pada musim hujan, tetapi hal tersebut perlu dikaji lebih lanjut
(Zaubin dan Suryadi, 1999).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah
yang digunakan sebagai dasar penelitian ini adalah :
1.
Apakah
interaksi antara jenis klon dan
lama penyimpanan entres
berpengaruh terhadap pertumbuhan sambung samping kakao?
2.
Apakah jenis klon entres berpengaruh terhadap
pertumbuhan sambung
samping kakao?
3.
Apakah lama penyimpanan entres berpengaruh terhadap pertumbuhan
sambung samping kakao?
7
1.3 Tujuan Penelitian
1.
Mendapatkan interaksi antar jenis klon dan lama
penyimpanan entres
terhadap pertumbuhan sambung samping kakao.
2.
Mendapatkan pengaruh
jenis klon entres terhadap pertumbuhan sambung
samping kakao.
3.
Mendapatkan pengaruh lama penyimpanan entres terhadap pertumbuhan
sambung samping kakao.
1.4 Manfaat Penelitian
1.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan membantu
petani menemukan cara atau metode yang praktis, murah serta jenis klon dan
lama penyimpanan entres sebelum melakukan penyambungan sehingga tidak
merugikan patani dalam merehabilitasi tanaman kakao.
2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pemanfaatan teknologi sambung
samping dalam melakukan rehabilitasi tanaman kakao.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Kakao
Kakao termasuk tanaman perkebunan berumur tahunan. Tanaman
tahunan ini dapat mulai berproduksi pada umur 3-4 tahun . Tanaman kakao
menghasilkan biji
yang selanjutnya bisa diproses menjadi bubuk coklat.
Sistematik tanaman kakao menurut Tjitrosoepomo (1988) adalah sebagai berikut:
Divisio
:
Spermatophyta
Subdivisio
:
Angiospermae
Ordo
:
Malvales
Famili
:
Sterculiaceae
Genus
:
Theobroma
Spesies
:
Theobroma cacao L.
Kakao merupakan tanaman perkebunan di lahan kering, dan jika di
usahakan secara baik dapat berproduksi tinggi serta menguntungkan secara
ekonomis. Sebagai salah satu tanaman yang dimanfaatkan bijinya, maka biji
kakao dapat dipergunakan untuk bahan pembuat minuman, campuran gula-gula
dan beberapa jenis makanan lainnya bahkan karena kandungan lemaknya
tinggi biji kakao dapat dibuat cacao butter/mentega kakao, sabun, parfum dan
obat-obatan.
Sunanto (1994) mengatakan bahwa sesungguhnya terdapat banyak
jenis tanaman kakao, namun jenis yang paling banyak ditanam untuk produksi
cokelat secara besar-besaran hanya tiga jenis, yaitu:
8
9
1) Jenis Criollo, yang terdiri dari Criollo Amerika Tengah dan Criollo Amerika
Selatan. Jenis ini menghasikan biji kakao yang mutunya sangat baik dan
dikenal sebagai kakao mulia. Jenis kakao ini terutama untuk blending dan
banyak dibutuhkan oleh pabrik-pabrik sebagai bahan pembuatan produkproduk cokelat yang bermutu tinggi. Saat ini bahan tanam kakao mulia
banyak digunakan karena produksinya tinggi serta cepat sekali mengalami
fase generatif.
2) Jenis Forastero, banyak diusahakan diberbagai negara produsen cokelat dan
menghasilkan cokelat yang mutunya sedang atau bulk cacao, atau dikenal
juga sebagai ordinary cacao. Jenis Forastero sering juga disebut sebagai
kakao lindak. Kakao lindak memiliki pertumbuhan vegetatif yang lebih baik,
relatif lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit dibandingkan kakao
mulia. Endospermanya berwarna ungu tua dan berbentuk bulat sampai
gepeng, proses fermentasinya lebih lama dan rasanya lebih pahit dari pada
kakao mulia.
3) Jenis Trinitario, merupakan campuran atau hibrida dari jenis Criollo dan
Forastero secara alami, sehingga kakao ini sangat heterogen. Kakao jenis
Trinitario menghasilkan biji yang termasuk fine flavour cacao dan ada yang
termasuk bulk cacao. Jenis Trinitario antara lain hybride Djati Runggo (DR)
dan Uppertimazone Hybride (kakao lindak). Kakao ini memiliki keunggulan
pertumbuhannya cepat, berbuah setelah berumur 2 tahun, masa panen
sepanjang tahun, tahan terhadap penyakit VSD (Vascular streak dieback)
serta aspek agronominya mudah.
10
2.1.1
Karakteristik tanaman kakao
2.1.1.1 Akar
Kakao adalah tanaman dengan surface root freeder, artinya sebagian
akar lateralnya (mendatar) berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada
kedalaman (jeluk) 0 – 30 cm. Menurut Himme (Smyth, 1960 dalam Puslit Kopi
dan Kakao 2004) 56% akar lateral tumbuh pada jeluk 0-10 cm, 26% pada jeluk
11- 20 cm, 14% pada jeluk 21-30 cm, dan hanya 4% tumbuh pada jeluk diatas
30 cm dari permukaan tanah. Jangkauan akar lateral jauh dari luar proyeksi tajuk
tanaman, selain itu pada akar kakao terdapat cendawan mikoriza yang membantu
penyerapan unsur hara tertentu terutama unsur P. Tanaman kakao yang
dikembangkan secara vegetatif tidak memiliki akar tunggang, namun nantinya
akan membentuk dua akar yang menyerupai akar tunggang (Susanto, 1994).
2.1.1.2 Batang dan cabang
Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis dengan naungan pohonpohon yang tinggi, curah hujan tingi, suhu sepanjang tahun relatif sama, serta
kelembaban tinggi dan relatif tetap. Kondisi habitat seperti itu, tanaman kakao
akan tumbuh tinggi tetapi bunga dan buahnya sedikit. Jika dibudidayakan di
kebun, tinggi tanaman umur tiga tahun mencapai 1,8 – 3,0 meter dan pada umur
12 tahun dapat mencapai 4,50 – 7,0 meter (Hall, 1932 dalam Puslit Kopi dan
Kakao 2004). Tanaman kakao bersifat dimorfisme, artinya mempunyai dua bentuk
tunas vegetatif. Tunas yang arah pertumbuhannya ke atas disebut dengan tunas
ortotrop atau tunas air (wiwilan atau chupon), sedangkan tunas yang arah
pertumbuhannya ke samping disebut dengan plagiotrop (cabang kipas atau fan).
11
2.1.1.3 Daun
Sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat
dimosfirme artinya bersifat tumbuh ke dua arah. Pada tunas ortotrop, tangkai
daunnya panjang, yaitu 7,5-10 cm, sedangkan pada tunas plagiotrop panjang
tangkai daunnya hanya 2,5 cm (Hall, 1932, dalam Puslit Kopi dan Kakao, 2004).
Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus), ujung daun meruncing
(acuminatus), dan pangkal daun runcing (acatus). Susunan tulang daun menyirip
dan tulang daun menonjol kepermukaan bawah helai daun. Permukaan daun licin
dan mengkilap.
2.1.1.4 Bunga
Tanaman kakao berbunga sepanjang tahun dan tumbuh secara
berkelompok pada bantalan bunga yang menempel pada bunga tua, cabangcabang dan ranting-ranting (Sunanto, 1994). Tanaman kakao bersifat kauliflori,
artinya bunga tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun pada batang
dan cabang. Tempat bunga tersebut semakin lama semakin membesar
dan menebal atau biasa disebut dengan bantalan bunga ( cushion) (Puslit Kopi
dan Kakao, 2004).
2.1.1.5 Buah dan biji
Warna buah tanaman kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya
ada dua macam warna. Buah yang ketika muda berwarna hijau atau hijau agak
putih jika sudah masak akan berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika
muda berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (orange). Kulit buah
memiliki 10 alur dalam dan dangkal silih berganti. Untuk jenis Criollo dan
12
Trinitario alur buah nampak jelas, kulit tebal tetapi lunak dan permukaan kasar.
Sedangkan jenis Forastero umumnya permukaan halus atau rata dan kulit buah
tipis ( Susanto, 1994; Puslit Kopi dan Kakao, 2004).
2.1.2 Syarat tumbuh
Di daerah tempat asalnya (Amerika Selatan), tanaman kakao tumbuh
subur di hutan-hutan dataran rendah dan hidup dibawah naungan pohon-pohon
yang tinggi. Kesuburan tanah, kelembaban udara, suhu dan curah hujan
berpengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman kakao. Susanto (1994)
mengatakan bahwa kakao mempunyai persyaratan tumbuh sebagai berikut : curah
hujan 1.600 – 3.000 mm tahun-1 atau rata-rata optimalnya 1.500 mm tahun-1 yang
terbagi merata sepanjang tahun (tidak ada bulan kering), garis lintang 20° LS
samapai 20° LU, tinggi tempat 0 s/d 600 m dpl, suhu yang terbaik 24°C s/d 28°C
dan angin yang kuat (lebih dari 10 m detik-1) berpengruh jelek terhadap tanaman
kakao. Kecepatan angin yang baik bagi tanaman kakao adalah 2-5 m detik-1
karena dapat membantu penyerbukan, kemiringan tanah kurang dari 45% dan
tekstur tanah terdiri dari 50% pasir, 10% - 20% debu dan 30% - 40% lempung.
Tekstur tanah yang cocok bagi tanaman kakao adalah tanah liat berpasir dan
lempung liat berpasir.
2.2 Perbanyakan Tanaman Kakao
Tanaman kakao dapat diperbanyak dengan dua cara yaitu perbanyakan
secara generatif maupun vegetatif. Cara perbanyakan generatif dewasa ini sangat
jarang digunakan lagi dalam penyediaan bahan tanam untuk usaha perkebunan,
karena dengan cara ini akan menghasilkan tanaman dengan tipe pertumbuhan
13
yang tidak seragam dan terjadi segregasi genetis (Prawoto dan Bambang, 1996).
Tujuan dari perbanyakan tanaman adalah untuk menghasilkan tanaman baru
sejenis yang sama unggul atau bahkan lebih. Caranya adalah dengan
menumbuhkan bagian-bagian tertentu dari tanaman induk yang memiliki sifat
unggul (Agro Media, 2007).
2.2.1 Teknik perbanyakan kakao secara generatif
Perbanyakan secara generatif dilakukan dengan menanam biji yang
dihasilkan dari penyerbukan bunga jantan (serbuk sari) dan bunga betina (kepala
putik). Benih kakao termasuk golongan benih rekalsitran sehingga memerlukan
penanganan khusus (Puslit Kopi dan Kakao, 2004). Dikatakan benih rekalsitran
karena ketika masak fisiologi kadar airnya tinggi yakni lebih dari 40%, viabilitas
benih akan hilang dibawah ambang kadar air yang relatif tinggi yaitu lebih dari
25%, untuk tahan dalam penyimpanan memerlukan kadar air yang tinggi. Benih
kakao yang dikeluarkan dari buahnya tanpa disimpan dengan baik akan
berkecambah dalam waktu 3–4 hari dan dalam keadaan normal benih akan
kehilangan daya tumbuhnya 10– 15 hari (Soedarsono, 1976 ).
Keunggulan tanaman hasil perbanyakan secara generatif adalah sistem
perakarannya yang kuat dan rimbun, oleh karena itu sering dijadikan sebagai
batang bawah untuk
okulasi atau sambungan. Selain itu, tanaman hasil
perbanyakan secara generatif juga digunakan untuk program penghijauan dilahanlahan kritis yang lebih mementingkan konservasi lahan dibandingkan dengan
produksi buahnya. Sementara itu ada beberapa kelemahan perbanyakan secara
generatif, yaitu sifat biji yang dihasilkan sering menyimpang dari sifat pohon
14
induknya. Jika ditanam ratusan atau ribuan biji yang berasal dari satu pohon induk
yang sama akan menghasilkan banyak tanaman baru dengan sifat yang beragam.
Ada sifat yang sama atau bahkan lebih unggul dibandingkan dengan sifat pohon
induknya, namun ada juga yang sama sekali tidak membawa sifat unggul pohon
induk, bahkan lebih buruk sifatnya. Keragaman sifat dipengaruhi oleh mutasi gen
dari pohon induk jantan dan betina (Agro Media, 2007).
2.2.2 Teknik perbanyakan kakao secara vegetatif
Perbanyakan tanaman secara vegetatif akan menghasilkan populasi
tanaman homogen dalam sifat-sifat genetiknya. Perbanyakan secara vegetatif
dilakukan dengan menggunakan bagian-bagian tanaman seperti cabang, ranting,
pucuk, daun, umbi dan akar. Prinsipnya adalah merangsang tunas adventif yang
ada dibagian-bagian tersebut agar berkembang menjadi tanaman sempurna yang
memiliki akar, batang dan daun sekaligus. Perbanyakan secara vegetatif dapat
dilakukan dengan cara cangkok, rundukan, setek dan kultur jaringan (AgroMedia,
2007 ).
Perbanyakan vegetatif pada tanaman kakao dikenal tiga macam cara
yang lazim digunakan, yaitu okulasi (budding), sambung pucuk (top grafting) dan
sambung samping (side grafting), namun akhir-akhir ini dikembangkan juga
perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan (tissue culture) atau yang lebih
dikenal dengan istilah Somatik Embryogenesis (SE).
2.2.2.1 Okulasi (budding)
Penempelan atau okulasi (budding) adalah penggabungan dua bagian
tanaman yang berlainan sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan
15
yang utuh dan tumbuh sebagai satu tanaman setelah terjadi regenerasi jaringan
pada bekas luka sambungan atau tautannya. Bagian bawah (yang mempunyai
perakaran) yang menerima sambungan disebut batang bawah (rootstock atau
understock) atau sering disebut stock. Bagian tanaman yang ditempelkan atau
disebut batang atas, entres (scion) dan merupakan potongan satu mata tunas
(Prastowo dan Roshetko, 2006).
Rukmana (1997) mengemukakan bahwa hal yang penting untuk
diperhatikan dalam perbanyakan tanaman dengan okulasi adalah persyaratan
batang bawah dan batang atas. Batang bawah harus memenuhi persyaratan antara
lain: pertumbuhan dan perakarannya baik (kuat), tahan kekurangan dan kelebihan
air, memiliki pertumbuhan yang seimbang dengan batang atas dan tahan terhadap
hama dan penyakit. Persyaratan batang atas adalah berproduksi tinggi,
berpenampilan menarik, tahan terhadap hama dan penyakit dan digemari oleh
masyarakat luas. Syarat lain yang perlu diperhatikan pada waktu pengambilan
entres adalah kesuburan dan kesehatan pohon induk.
Peningkatkan kesuburan pohon induk, biasanya tiga minggu sebelum
pengambilan batang atas dilakukan pemupukan dengan pupuk NPK. Kesehatan
pohon induk ini penting karena dalam kondisi sakit, terutama penyakit sistemik
mudah sekali ditularkan pada bibit. Entres diambil setelah kulit kayu cabangnya
dengan mudah dapat dipisahkan dari kayunya (dikelupas). Bagian dalam kulit
kayu (kambium) akan tampak berair menandakan kambiumnya aktif, sehingga
bila mata tunasnya segera diokulasikan akan mempercepat pertautan dengan
batang bawah.
16
Menurut Prawoto (1991) pada okulasi tanaman kakao telah dibuktikan
bahwa batang bawah juga mempengaruhi kadar unsur hara daun batang atas dan
kualitas hasilnya, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap mutu hasil biji. Syamsul
(2010) mengatakan bahwa penyambungan tanaman dari satu varietas atau dari
satu spesies memang dapat dilakukan tanpa mengalami kesukaran. Lain halnya
dengan okulasi yang dilakukan antar spesies biasanya sedikit mengalami
kesukaran karena antar batang atas dan batang bawah kadang-kadang terdapat
perbedaan fisiologis.
Okulasi dilakukan dengan metode okulasi fokert. Kulit batang bawah
disayat secara melintang dengan lebar 6-12 mm, kemudian dikupas ke arah bawah
dengan panjang 2-3 cm sehingga terbentuk lidah. Lidah kemudian dipotong
dengan menggunakan pisau okulasi dan disisakan seperempat bagian. Mata tunas
dari cabang entres disayat dengan kayunya sepanjang ± 2 cm. Selanjutnya mata
tunas disisipkan pada sayatan batang bawah, lalu diikat dengan tali plastik yang
telah disiapkan (Gambar 2.1). Pengikatan dimulai dari bagian bawah ke atas
(sistem genting bertingkat) agar pada waktu hujan atau penyiraman air tidak
masuk ke dalam okulasian. Setelah okulasi berumur dua minggu, tali plastik
dibuka. Mata tunas yang berwarna hijau menandakan bahwa okulasi berhasil
(hidup). Batang bawah kemudian dipotong dengan menyisakan dua helai daun.
Mata tunas yang berwarna coklat menandakan okulasi mengalami kegagalan.
Keberhasilan okulasi sangat tergantung pada kondisi batang bawah
dan jenis tali okulasi. Prastowo dan Roshetko (2006) mengatakan bahwa waktu
terbaik pelaksanaan okulasi adalah pada pagi hari, antara jam 07.00 - 11.00,
17
karena saat tersebut tanaman sedang aktif berfotosintesis sehingga kambium
tanaman juga dalam kondisi aktif dan optimum, diatas jam 12.00 daun mulai
layu, tetapi ini bisa diatasi dengan menempel di tempat yang teduh sehingga
terhindar dari sinar matahari langsung (Puslit Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Mata
tempel
Mata tunas disisipkan
pada sayatan batang
bawah
Batang bawah disayat hingga
membentuk lidah
Arah ikatan mulai dari
bawah keatas
Ikatan dibuka
setelah 2 minggu
Gambar 2.1
Teknik Okulasi (gambar diambil dari penelitan Abdulrahman dkk, 2005)
2.2.2.2 Sambung pucuk (top grafting)
Menyambung (grafting) merupakan suatu usaha perbanyakan tanaman
dengan cara melukai atau menyayat kedua individu tanaman yang masih satu
species atau varietas dengan berbagai keunggulannya. Keduanya digabungkan
sehingga kambium mata tunas (entres) dan kambium batang bawah (understump)
18
saling melekat satu sama lain dan semakin banyak bagian yang melekat sesama
kambium tersebut semakin besar kemungkinannya untuk tumbuh (Wudianto dan
Rini, 1987). Keberhasilan penyambungan sangat tergantung pada kualitas batang
bawah dan entres (Ditjenbun, 2006). Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada
sambung pucuk (Ditjenbun, 2006; Usman 2008) adalah:
a) batang bawah merupakan tanaman yang sehat, mempunyai perakaran yang
dalam dan berasal dari jenis unggul. Bila berasal biji, tanaman telah berumur
3-4 bulan;
b)
batang atas diambil dari cabang atau tunas yang tumbuh ke atas (orthotrop);
c)
entres diusahakan tidak terinfeksi penyakit, sebagai antisipasi bisa disemprot
dengan Dhitane M-45 (0.2%). Entres diusahakan dalam keadaan lembab,
sebaiknya setelah dipotong dibungkus dengan kertas koran basah dan
dimasukkan dalam kotak (box) yang bersih;
d) pemeliharan tanaman dan kondisi sambungan sangat diperlukan seperti
membungkus sambungan dan menjaga kelembabannya agar tanaman tidak
kekeringan. Tunas akan tumbuh setelah 7-10 hari dan penyambungan dinilai
berhasil apabila setelah 2 bulan hasil sambungan masih hidup dan tumbuh
dengan baik.
Proses sambung pucuk dapat dilakukan sebagai berikut: batang bawah
dipotong setinggi 20-25 cm di atas permukaan tanah. Gunakan silet, pisau okulasi
atau gunting setek yang tajam agar bentuk irisan menjadi rapi. Batang bawah
kemudian dibelah membujur sedalam 2-2,5 cm. Batang atas yang sudah disiapkan
dipotong, sehingga panjangnya antara 7,5-10 cm. Bagian pangkal disayat pada
19
kedua sisinya sepanjang 2-2,5 cm, sehingg bentuk irisannya seperti mata kampak.
Selanjutnya batang atas dimasukkan ke dalam belahan batang bawah. Pengikatan
dengan tali plastik yang terbuat dari kantong plastik ½ kg selebar 1 cm. Kantong
plastik ini ditarik pelan-pelan, sehingga panjangnya menjadi 2-3 kali panjang
semula.Terbentuklah pita plastik yang tipis dan lemas.
Pada waktu memasukkan entres ke belahan batang bawah perlu
diperhatikan agar kambium entres bisa bersentuhan dengan kambium batang
bawah. Sambungan kemudian disungkup dengan kantong plastik bening dan
agar sungkup plastik tidak lepas bagian bawahnya perlu diikat.
Tujuan penyungkupan ini untuk mengurangi penguapan dan menjaga
kelembaban udara di sekitar sambungan agar tetap tinggi. Tanaman sambungan
kemudian ditempatkan di bawah naungan agar terlindung dari panasnya sinar
matahari. Biasanya 2-3 minggu kemudian sambungan yang berhasil akan tumbuh
tunas. Sambungan yang gagal akan berwarna hitam dan kering. Pada saat ini
sungkup plastiknya sudah bisa dibuka, tetapi pita pengikat sambungan baru boleh
dibuka 3-4 minggu kemudian. Selanjutnya tinggal merawat sampai bibit siap
dipindah ke kebun (Gambar 2.2).
20
Gambar 2.2
Teknik Sambung Pucuk pada Tanaman Perkebunan (Gambar diambil dari Hamid,
1999)
2.2.2.3 Sambungan samping (side grafting)
Penyambungan tanaman merupakan cara yang paling efektif dan efisien
dalam proses perbanyakan tanaman secara vegetatif. Salah satu keunggulan
dilakukan sambung samping adalah bibit yang dihasilkan sifatnya akan sama
dengan sifat induknya (Suryadi dan Zaubin, 2000). Sambung samping pada
tanaman kakao dewasa adalah salah satu kegiatan penyambungan yang dilakukan
dengan menempel satu potong cabang (entres) sepanjang sekitar 15 cm, pada
batang utama (batang penanti) tanaman dewasa. Pertumbuhan tunas selanjutnya
dipengaruhi oleh cahaya matahari yang masuk kebawah tajuk. Tajuk yang lebih
rapat menyebabkan pertumbuhan tunasnya lebih lambat dibangdingkan dengan
tajuk yang sudah dijarangkan (Napitupulu dan Pamin, 1995).
Semula teknik okulasi tanaman dewasa menjadi anjuran utama dalam
upaya klonalisasi tanaman kakao di Malaysia (Bahaudin dkk, 1984), tetapi kini
sambung samping lebih dipilih oleh petani karena lebih mudah pelaksanaannya
21
dan tanaman baru lebih cepat menghasilkan dibandingkan dengan teknik
okulasi (Prawoto, 1995).
Menutut Suhendi (2007) dibandingkan dengan okulasi tanaman
dewasa dan tanam ulang, metode sambung samping mempunyai keunggulan
sebagai berikut: (a) areal pertanaan kakao dapat direhabilitasi dalam waktu relatif
singkat, lebih murah, dan tanaman kakao lebih cepat berproduksi dibandingkan
cara tanam ulang (replanting), (b) sementara batang atas belum berproduksi, hasil
buah dari batang bawah dapat dipertahankan, (c) batang bawah dapat berfungsi
sebagai penaung sementara bagi batang atas yang sedang tumbuh.
Syamsul (2010) mengatakan bahwa manfaat sambung samping pada
tanaman adalah memperbaiki kualitas dan kuantitas hasil tanaman, dihasilkan
gabungan tanaman baru yang mempunyai keunggulan dari segi perakaran dan
produksinya,
juga
dapat
mempercepat
waktu
berbunga
dan
berbuah,
menghasilkan tanaman yang sifat berbuahnya sama dengan induknya, peremajaan
tanpa menebang pohon tua, sehingga tidak memerlukan bibit baru dan menghemat
biaya eksploitasi.
Faktor-faktor penentu keberhasilan sambung samping (Anonim, 2009)
yaitu:
(a) kemampuan batang bawah (under stock) dan atas (entres) menyatu (uniting);
(b) penyambungan entris harus dilakukan sedemikian rupa sehingga pembuluh
kambium dapat menyatu dengan batang bawah dengan baik, sehingga batang
bawah dapat menyuplai air dan bahan makanan sampai tunas baru keluar;
22
(c) penyambungan dilakukan pada saat yang tepat, dalam arti batang atas pada
tahap fisiologi yang baik (sebaiknya pada saat dormansi), sedangkan batang
bawah pada masa pertumbuhan aktif;
(d) setelah proses penyambungan selesai, usahakan bekas luka tidak mengalami
insfeksi oleh penyakit dan jamur;
(e) tanaman dirawat dengan baik sehingga memungkinkan tunas hasil
penyambungan berkembang dengan sempurna.
Ditjenbun (2006) menyebutkan bahwa syarat-syarat keberhasilan
penyambungan perlu memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: entres harus
diambil dari pohon yang telah diseleksi dan secara genetis harus serasi
(compatible); entres harus berada dalam kondisi fisiologis yang baik; sambungan
dari masing-masing bahan tanaman harus terpaut sempurna; tanaman hasil
penyambungan harus dipelihara dengan baik dalam jangka waktu tertentu.
2.3 Proses Fisiologi pada Penyatuan Penyambungan
Proses pembentukan pertautan sambungan dapat disamakan dengan
penyembuhan luka. Bila pangkal tanaman dibelah, maka jaringan yang luka
tersebut akan sembuh jika luka tersebut diikat dengan kuat. Keberhasilan
penyambungan suatu tanaman tergantung pada terbentuknya pertautan sambungan
itu, dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya hubungan kambium yang
rapat dari kedua batang yang disambungkan (Ashari, 1995). Adnance dan Brison
(1976, dalam Hamid, 2010)
menjelaskan adanya pengikat yang erat akan
menahan bagian sambungan untuk tidak bergerak, sehingga kalus yang terbentuk
akan semakin jalin-menjalin dan terpadu dengan kuat. Jalinan kalus yang kuat
23
semakin menguatkan pertautan sambungan yang terbentuk. Pada penyambungan
tanaman, pemotongan bagian tanaman menyebabkan jaringan parenkim
membentuk kalus. Kalus-kalus tersebut sangat berpengaruh pada proses pertautan
sambungan. Proses pembentukan kalus ini sangat dipengaruhi oleh kandungan
protein, lemak dan karbohidrat yang terdapat pada jaringan parenkim karena
senyawa-senyawa tersebut merupakan sumber energi dalam membentuk kalus.
Batang bawah lebih berperan dalam membentuk kalus (Harmann, 1997,
dalam Anonim, 2010). Pembentukan kalus sangat dipengaruhi oleh umur
tanaman. Batang bawah yang lebih muda akan menghasilkan persentase
sambungan yang tumbuh lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang lebih
tua (Samekto dkk, 1995).
Mekanisme terjadinya proses pertautan antara batang atas dan batang
bawah adalah sebagai berikut: (1) lapisan kambium masing-masing sel tanaman
baik batang atas maupun batang bawah membentuk jaringan kalus berupa sel-sel
parenkim, (2) sel-sel parenkim dari batang bawah dan batang atas masing-masing
saling kontak, menyatu dan selanjutnya membaur, (3) sel-sel parenkim yang
terbentuk akan terdiferensiasi membentuk kambiun sebagai lanjutan dari lapisan
kambium batang atas dan batang bawah yang lama, (4) dari lapisan kambium
akan terbentuk jaringan pembuluh sehingga proses translokasi hara dari batang
bawah ke batang atas dan sebaliknya untuk hasil fotosintesis dapat berlangsung
kembali (Hartmann dkk,1997, dalam
Barus, 2003). Menurut Hartmann dan
Kester (1978, dalam Ashari, 1994) proses pertautan somatis batang bawah dan
batang atas disajikan (Gambar 2.3, 2.4, 2.5, dan 2.6) dibawah ini :
24
Batang atas
Batang bawah
kambium
kambium
Gambar 2.3
Lapisan Kambium, Masing-masing Sel Baik Batang Atas dan Batang Bawah
Membentuk Jaringan Kalus yang Berupa Sel Parensima
Gambar 2.4
Sel-sel Parensima dari Batang Atas dan Batang Bawah Masing-masing
Mengadakan Kontak Langsung Saling Menyatu dan Membaur
25
Gambar 2.5
Sel Parensima Tertentu Mengadakan Diferensiasi Membentuk Kambium Sebagai
Kelanjutan dari Lapisan Kambium Batang Atas dan Batang Bawah yang Sama
Xilem baru
Floem baru
Gambar 2.6
Pembentukan Jaringan/Pembuluh Tanaman dari Kambium yang Baru Sehingga
Proses Translokasi Hara dari Batang Bawah ke Batang Atas dan Sebaliknya
Dapat Berlangsung Kembali.
26
2.3.1 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyambungan
Faktor yang berpengaruh terhadap penyambungan (Anonim, 2010)
dibagi menjadi tiga faktor:
1.
Faktor tanaman
Kesehatan batang bawah yang akan digunakan sebagai bahan
perbanyakan perlu diperhatikan. Batang bawah yang kurang sehat, proses
pembentukan kambium pada bagian yang dilukai sering terhambat. Keadaan ini
akan sangat mempengaruhi keberhasilan penyambungan (Sugiyanto, 1995, dalam
Hamid, 2009). Pendapat ini didukung oleh Garner dan Chaudri (1976, dalam
Hamid, 2009)
yang mengemukakan bahwa batang bawah berpengaruh kuat
dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga pemilihan tanaman
yang digunakan sebagai batang bawah sama pentingnya dengan pemilihan
varietas yang akan digunakan sebagai batang atas.
Berhasilnya pertemuan entris dan batang bawah bukanlah jaminan adanya
kompatibilitas pada tanaman hasil sambungan, sering terjadi perubahan pada
entris maupun pada tanaman hasil sambungan, misalnya pembengkakan pada
sambungan, pertumbuhan entris yang abnormal atau penyimpangan pertumbuhan
lainnya, dimana keadaan ini disebut inkompatibel. Kondisi ini dapat disebabkan
oleh perbedaan struktur antara batang atas dan batang bawah atau ketidakserasian
bentuk potongan pada sambungan (Rochiman dan Harjadi, 1973). Batang bawah
dan batang atas yang mampu menyokong pertautan dengan baik dan serasi
disebut kompatibel (Winarno, 1990).
27
2. Faktor pelaksanaan
Faktor pelaksanaan memegang peranan penting dalam penyambungan.
Menurut Rochiman dan Harjadi (1973) kecepatan penyambungan merupakan
pencegahan terbaik terhadap infeksi penyakit. Pemotongan yang bergelombang
dan tidak sama pada permukaan masing-masing batang yang disambungkan tidak
akan memberikan hasil yang memuaskan (Hartman dan Kester, 1976).
Kehalusan bentuk sayatan dari suatu bagian dengan bagian lain sangat penting
untuk mendapatkan kesesuaian posisi persentuhan cambium, disamping itu
ketrampilan dan keahlian dalam pelaksanaan penyambungan maupun penempelan
serta ketajaman alat-alat yang digunakan juga sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pekerjaan tersebut (Winarno, 1990).
3. Faktor lingkungan
Cahaya matahari sangat kuat akan berpengaruh terutama pada saat
pelaksanaan penyambungan, oleh karena itu penyambungan dilakukan pada waktu
pagi hari atau sore hari. Penyambungan sebaiknya dilakukan pada musim
kemarau. Selain untuk menghindari kebusukan, pada musim kemarau batang
sedang aktif mengalami pertumbuhan serta entris yang tersedia cukup masak
(Sugiyanto, 1995, dalam Hamid, 2010).
2.4 Klon – klon Unggul pada Tanaman Kakao
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kakao Indonesia adalah
masih belum digunakannya bahan tanam unggul yang sesuai kondisi lingkungan
setempat. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas kakao adalah
28
dengan perbaikan bahan tanam (Anonim, 2010). Pemuliaan tanaman melalui
pengujian klon, persilangan antar klon, pengujian keturunan serta pemilihan
individu pohon terpilih untuk menghasilkan klon baru merupakan cara untuk
mendapatkan bahan tanam unggul. Kegiatan tersebut dilakukan secara
berkesinambungan agar diperoleh bahan tanam unggul yang memiliki sifat
produksi tinggi dan cepat menghasilkan buah, kualitas atau mutu hasilnya sesuai
dengan keinginan konsumen dan toleran terhadap hama dan penyakit (Puslit Kopi
dan Kakao, 2004).
Langsa (2007) mengatakan bahwa penggunaan klon unggul harus
diyakini mempunyai dampak positif terhadap peningkatan produksi dan mutu
hasil, sehingga ketersediaan klon unggul mutlak diperlukan. Produk bahan tanam
unggul kakao yang berdaya hasil tinggi serta memiliki kualitas mutu hasil yang
sesuai dengan tuntutan produsen dan konsumen merupakan salah satu komponen
penting dalam menunjang pembangunan bisnis perkebunan kakao. Ketersediaan
dan penggunaan bahan tanam unggul tersebut akan mampu meningkatkan daya
saing produk kakao Indonesia di pasar internasional. Bahan tanam unggul baru
diharapkan dapat meningkatkan produksi dan mutu hasil kakao. Upaya untuk
mendapatkan klon kakao yang mempunyai sifat produksi yang tinggi, stabil dan
beradaptasi baik, serta mempunyai beberapa sifat sekunder yang menguntungkan
mutlak diperlukan.
Terdapat beberapa klon kakao yang telah dilepas oleh Menteri
Pertanian sejak tahun 2006 yang lalu karena mempunyai produksi yang lebih
tinggi, mutu hasilnya baik, tahan terhadap hama dan penyakit utama seperti
29
penggerek buah kakao (PBK), Helopeltis sp, Vasculas steak diabeck (VSD)
adalah ICCRI 03, ICCRI 04, Sulawesi 1, Sulawesi 2. (Deptan, 2009). Rata-rata
potensi daya hasil dari
masing-masing jenis kakao tersebut diatas adalah 1,5 –
2,9 ton ha-1 (Lampiran 1,2,3 dan 4).
30
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sangat penting
peranannya dalam perkembangan perekonomian nasional. Peningkatan luas areal
pertanaman kakao di Indonesia belum diikuti dengan peningkatan produktivitas
dan mutu yang tinggi, hal ini terbukti dari produksi rata–rata kakao nasional
masih rendah yaitu 0,7 ton, ha-1, thn-1 (Prawoto, 2006).
Mawardi (2004) mengatakan bahwa tanaman kakao dapat diperbanyak
dengan benih atau secara klon yaitu okulasi (tempel) dan sambungan. Pertanaman
kakao yang diusahakan oleh petani pada umumnya berasal dari benih hibrida.
Pemakaian benih hibrida pada awal penanaman di kebun petani merupakan
pilihan yang tepat karena relatif muda dalam pelaksanaan pembibitan, lebih
mudah penyediaan benih dalam jumlah banyak, serta lebih mudah pengiriman
bahan tanam kakao dalam bentuk benih.
Pertanaman kakao asal benih hibrida yang telah diusahakan petani sejak
tahun 1970 mulai menunjukan keragaman yang kurang produktif karena umur
tanaman yang sudah tua (Zaenudin dan Baon, 2004). Lebih lanjut dikatakan
bahwa rendahnya produktivitas tanaman kakao pada umumnya karena teknologi
pembudidayaan oleh kebanyakan petani masih sederhana, penggunaan bahan
tanam yang mutunya kurang baik, serangan hama dan penyakit, tajuk tanaman
rusak, populasi tanaman berkurang juga karena umur tanaman kakao yang sudah
tua sehingga kurang produktif dan perlu diremajakan atau direhabilitasi.
30
31
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kakao sudah tidak
produktif lagi bila umurnya sudah diatas
20 – 25 tahun. Tanaman tersebut
umumnya memiliki produktivitas yang hanya tinggal setengah dari potensi
produktivitasnya (Suhendi, 2007). Iswanto (2001) mengatakan bahwa keadaan
pertanaman yang kurang produktif tersebut mendorong petani melakukan
rehabilitasi dan penanaman ulang. Petani lebih tertarik melakukan sambung
samping untuk merehabilitasi tanaman kakao yang kurang produktif atau sudah
tua dibandingkan dengan cara membongkar dan tanam ulang, karena dengan
sambung samping petani masih dapat memungut hasil buah kakao dan dapat
menikmati pembuahan kakao yang lebih cepat dari keberhasilan sambung
samping.
Rehabilitasi secara vegetatif menggunakan varietas (klon) unggul
dengan teknik sambung samping merupakan salah satu alternatif yang dianjurkan
sebagai upaya untuk meningkatkan produksi kakao di Indonesia (Langsa, 2007).
Meningkatnya permintaan klon unggul oleh petani kakao karena mempunyai
produksi yang tinggi,
biji lebih besar, tahan terhadap hama penggerek buah
kakao (PBK) dan penyakit Vascular steak dieback (VSD), serta potensi daya hasil
dari klon–klon unggul bisa mencapai 2,9 ton-1 (Deptan, 2009). Penggunaan
klon unggul harus diyakini mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan
tanaman, produksi dan mutu hasil, sehingga ketersediaan klon unggul mutlak
diperlukan (Langsa, 2007).
Penggunaan beberapa klon unggul seperti ICCRI 03, ICCRI 04,
Sulawesi 1, dan Sulawesi 2 diharapkan mempunyai kemampuan yang berbeda –
32
beda dalam pertumbuhan, hal ini karena kakao mempunyai keragaman genetik
serta kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya yang berbeda-beda
pula.
Teknik sambung samping pertama kali diterapkan oleh BAL estate
pada tahun 1991 dan 1992 untuk rehabilitasi pada kebun benih (Yow dan Lim,
1994, dalam Prawoto, 2006) dan telah dipraktekkan secara luas di Sabah
(Departemen of Agriculture Sabah, 1993 dalam Prawoto, 2006). Di Malaysia,
sambung samping dilakukan untuk menanggulangi hama pengerek buah kakao
(PBK) dengan cara mengganti klon-klon yang ada dengan klon-klon yang potensi
produksinya tinggi, baik pada tanaman muda maupun tua. Hasil menunjukkan
produktivitas kakao meningkat 2-4 kali dibandingkan dengan produktivitas
sebelumnya ( Sastrosoedarjo dkk, 1995).
Kendala yang sering dihadapi dalam perbanyakan tanaman
secara
sambung samping adalah jauhnya jarak antara pohon induk dengan kebun yang
akan direhabilitasi, sehingga dibutuhkan waktu beberapa hari mulai dari
pengambilan entres sampai penyambungan. Selain itu jumlah tanaman yang akan
disambung sering dalam jumlah yang banyak, sehingga tidak bisa disambung
dalam waktu sehari dan entres yang belum tersambung harus disimpan untuk
keesokan harinya.
Menurut Jawal dan Alwarudin ( 2006) lamanya penyimpanan entres
mempengaruhi keberhasilan sambung pucuk dan panjang tunas, yaitu semakin
lama entres disimpan semakin rendah tingkat keberhasilan sambung pucuk dan
semakin pendek tunas yang terbentuk. Interaksi antara lama penyimpanan entres
33
dengan varietas berpengaruh terhadap persentase pecah tunas dan pembentukan
daun bibit sambung avokad. Diagram kerangka berpikir (Gambar 3.1)
Produktivitas kakao menurun
Petani belum melakukan
rehabilitasi kakao secara optimal
Rehabilitasi kakao menggunakan
teknik sambung samping
Penggunaan klon unggul
- Produksi tinggi
- Tahan terhadap hama dan penyakit
- Mudah
beradaptasi
dengan
lingkungan dalam proses penyatuhan
entris dan batang bawah
Waktu penyimpanan entris
-
Kemampuan daya tumbuh
Kesegaran
Warna kulit
Kadar air
-
Penelitian sambung samping dengan menggunakan
klon unggul dan waktu penyimpanan entris
Pertumbuhan entris yang optimum
Gambar 3.1
Diagram Kerangka Berpikir
34
3.2 Kerangka Konsep
Sambung samping (side grafting) merupakan teknik perbaikan tanaman
kakao yang dilakukan dengan cara menyisipkan batang atas dengan klon-klon
unggul yang dikehendaki sifat baiknya pada sisi batang bawah. Penggunaan klonklon unggul serta entres yang telah dipotong harus disimpan beberapa hari
sebelum dilakukan penyambungan dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan
entres yang akan disambung. Perlakuan pengunaan beberapa jenis klon dan lama
penyimpanan entres diduga saling berpengaruh, sehingga terdapat interaksi pada
kedua perlakuan tersebut.
Penggunaan klon unggul pada sambung samping kakao sangat
dianjurkan karena diharapkan mampu berproduksi tinggi, tahan terhadap hama
dan penyakit, lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan serta kemampuan untuk
menyesuaikan diri antar entris dengan batang bawah. Penggunaan klon unggul
diduga dapat mempercepat penyatuan batang atas dan batang bawah yaitu ditandai
dengan menutupnya luka pada sayatan sambungan dan berkembangnya entres
menjadi bagian utuh dari tanaman. Penutupan bekas sayatan akan membantu
meningkatkan kelembaban di daerah luka dan juga mencegah terjadinya dehidrasi
pada jaringan-jaringan disekitar sambungan. Penutupan juga bisa mencegah
terjadinya infeksi luka sayatan dan infeksi dari jamur dan pathogen lainnya.
Perbedaan lama penyimpanan entres juga dapat mempengaruhi
keberhasilan sambungan, pertumbuhan dan kesegaran entris yang akan
disambung.
Entres yang baru diambil dari pohon induk tampak segar serta
warnanya hijau kecoklotan, namun jika waktu penyambungan dilakukan beberapa
35
hari kemudian, maka warna entres tersebut
menjadi coklat kehitaman serta
kulitnya mengkerut. Terjadinya perubahan warna dan mengkerutnya kulit entres
dipengaruhi oleh berkurangnya kadar air pada entres akibat transpirasi. Entres
yang disambung beberapa hari setelah diambil dari pohon induknya harus
diperlakukan secara khusus sehingga kesegaran, warna serta kadar air tetap
terpelihara.
3.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1.
Interaksi antar jenis klon dan lama penyimpanan entres berpengaruh terhadap
pertumbuhan sambung samping kakao.
2.
Jenis klon entres berpengaruh terhadap pertumbuhan sambung samping (side
grafting) kakao.
3.
Lama penyimpanan entres berpengaruh terhadap pertumbuhan sambung
samping kakao.
36
Produksi kakao di Bali saat ini masih rendah jika dibandingkan dengan
luas areal pertanaman kakao. Pada tahun 2007 produksi kakao di Bali 7.425,94
ton, tahun 2008 yaitu 6.745,51 ton dan tahun 2009 yaitu 6.800,54 ton (Dinas
Perkebunan Provinsi Bali, 2010).
37
Kebutuhan kakao nasional dari tahun ke tahun terus meningkat seiring
meningkatnya permintaan pasar dunia. Meningkatnya permintaan kakao tersebut
tidak diimbangi oleh peningkatan produksi. Umur tanaman kakao yang sudah tua
merupakan salah satu penyebab yang berpengaruh terhadap rendahnya produksi.
Kondisi tersebut diatas juga dijumpai di lokasi penelitian Desa Angkah
Kecamatan Selemadeg Barat Kabupaten Tabanan Provinsi Bali.
Penggunaan klon – klon unggul dan waktu penyambungan juga mampu
meningkatkan penyatuhan batang atas dan batang bawah, sehingga mempengaruhi
keberhasilan sambung samping.
38
Tambanahan Kerangka konsep
Sejak dulu sampai sekarang petani di Desa Tonggolobibi masih tetap menggunakan
bahan tanam yang bersumber dari sesama petani atau dari kebunnya sendiri,
sehingga belum ditemukan petani yang menggunakan bahan tanam bermutu
(klon unggul) dengan cara membeli dari penangkar bibit atau lembaga penelitian.
Hal ini disebabkan karena di satu sisi bahan tanam berkualitas harganya relatif
mahal dan agak sulit diperoleh, sementara di sisi lain petani dapat dengan
mudah menggunakan bahan tanam yang bersumber dari kebunnya sendiri.
Rehabilitasi tanaman kakao dengan metode sambung samping menggunakan bahan
tanam unggul merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah
tersebut. Saat ini momennya cukup tepat karena ada kecenderungan
peningkatan minat petani kakao di Desa Tonggolobibi terhadap penggunaan
bahan tanam klonal dalam upaya memperbaiki performa tanaman yang sudah
tua untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil.
Teknologi sambung samping memerlukan entres yang cukup banyak. Oleh
karena itu selain menggunakan entres dari kebun-kebun entres dengan klon-klon
unggul yang telah diketahui, juga dapat memanfaatkan klon unggul lokal yang
telah diketahui petani dengan terlebih dahulu melalui tindakan seleksi dan
pemurnian.
Dibandingkan dengan okulasi tanaman dewasa dan tanam ulang, metode sambung
samping menunjukkan keunggulan berikut:
Areal pertanaan kakao dapat direhabilitasi dalam waktu relatif singkat.
Lebih murah, dan tanaman kakao lebih cepat berproduksi dibandingkan cara
tanam ulang (replanting)
Sementara batang atas belum berproduksi, hasil buah dari batang bawah dapat
dipertahankan
Batang bawah dapat berfungsi sebagai penaung sementara bagi batang atas
yang sedang tumbuh.
PENGENDALIAN
Teknik ini dipilih dengan pertimbangan untuk memperbanyak tanaman yang
sukar/tidak dapat diperbanyak dengan cara stek, perundukan, pemisahan, atau
dengan cangkok. Menurut Ashari (1995), banyak jenis tanaman buah-buahan
yangsukar/tidak dapat diperbanyak dengan cara-cara tersebut, tetapi mudah
dilakukan
39
penyambungan, misalnya pada manggis, mangga, belimbing, jeruk dan durian.
Alasan lain untuk melakukan grafting adalah:
Ashari, S. 1995. Holtikultura. Aspek Budidaya. UI-Press. 485 hal.
40
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan
Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan perlakuan yang disusun secara
faktorial. Perlakuan yang dicoba terdiri dari dua faktor yaitu :
Faktor Pertama adalah klon unggul sebagai batang atas (entres) yang terdiri dari:
KS1 :
Klon Sulawesi 1
KS2 : Klon Sulawesi 2
KI1 : Klon ICCRI 03
KI2 : Klon ICCRI 04
K0
: Klon Lokal Bali
Faktor Kedua adalah lama penyimpanan entres:
H0
: Penyambungan dilakukan dengan
maksimal 16 jam sejak pemotongan
lama
penyimpanan
entres
H3
: Penyambungan dilakukan dengan lama
maksimal 72 jam sejak pemotongan (3 hari)
penyimpanan
entres
H6
: Penyambungan dilakukan dengan lama penyimpanan
maksimal 144 jam sejak pemotongan (6 hari)
entres
Dalam percobaan ini terdapat 15 kombinasi perlakuan (KS1H0, KS1H3,
KS1H6, KS2H0, KS2H3, KS2H6, KI1H0, KI1 H3, KI1 H6, KI2H0, KI2 H3, KI2H6,
K0H0,K0H3, dan K0 H6), dan masing-masing diulang tiga kali. Setiap kombinasi
perlakuan terdiri dari tiga pohon, sehingga diperlukan 135 pohon batang bawah
untuk disambung. Denah tata letak tanaman dilapangan disajikan (Gambar 4.1).
36
41
U
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
KI1H3
KS1H3
KS1H6
KI2H0
KS1H0
KS1H3
K0H6
KS2H3
K0H3
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
KI2H3
KI1H0
K0H3
KS1H6
KS2H0
K0H0
KS1H3
KI2H3
KI1H0
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
K0H0
KI2H6
KI1H6
K0H6
KS2H6
KI1H0
KI1H6
KS1H0
K0H0
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
KS2H0
KI1H0
K0H6
KI1H6
KS2H3
K0H3
KS2H6
KS2H0
KS1H6
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
XXX
KS2H6
KS1H3
KS1H0
KI1H3
KI2H3
KI2H6
KI2H6
KI1H3
KI2H0
II
Keterangan :
I,II,III
=
KS1
=
KS2
=
KI1
=
KI2
=
K0
=
I
Ulangan
Klon Sulawesi 1
Klon Sulawesi 2
Klon ICCRI 03
Klon ICCRI 04
Klon Lokal Bali
III
H0 = Penyambungan
dilakukan
dengan
lama
penyimpanan
entres maksimal 16 jam sejak
pemotongan
H3 = Penyambungan dilakukan dengan
lama
penyimpanan
entres
maksimal
72
jam
sejak
pemotongan (3 hari)
H6 = Penyambungan dilakukan dengan
lama
penyimpanan
entres
maksimal 144 jam sejak
pemotongan (6 hari)
XXX = Tanaman kakao yang akan
disambung. Tiap perlakuan
terdiri dari 3 tanaman.
Gambar 4.1
Denah Tata Letak Percobaan Dilapangan
42
4.2 Tempat dan Waktu Percobaan
Percobaan ini dilaksanakan di kebun petani yang terletak di Banjar
Samsaman Kelod, Desa Angkah, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten
Tabanan, Provinsi Bali. Ketinggian tempat percobaan adalah 120 meter diatas
permukaan laut (dpl). Pemilihan lokasi ini ditetapkan berdasarkan hasil survey
lokasi pada sentra-sentra produksi tanaman kakao yang rata-rata umur tanaman
kakao pada lokasi tersebut berkisar antara 15-20 tahun. Sumber klon untuk batang
atas (entres) diambil dari perkebunan milik Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia di Jember, Provinsi Jawa Timur dan klon unggul lokal Bali diambil dari
kebun petani di lokasi percobaan. Percobaan ini berlangsung dari bulan Januari
sampai dengan April 2011
4.3 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan meliputi : batang atas (entres) klon Sulawesi 1,
Sulawesi 2, ICCRI 03, ICRRI 04, klon unggul lokal Bali, tanaman batang bawah,
alkohol, plastik sungkup transparan, tali rafiah, label pengamatan, dan larutan
alkosorb. Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah: gunting pangkas,
pisau okulasi , penggaris, meteran, jangka sorong, kamera, dan alat tulis menulis.
4.4 Pelaksanaan Percobaan
4.4.1
Persiapan lahan
Lahan yang dipergunakan adalah kebun petani yang sudah ada tanaman
kakao dewasa umur 15 – 20 tahun. Areal dibagi menjadi tiga blok (ulangan),
dimana masing – masing ulangan terdapat 45 tanaman.
43
4.4.2
Penyiapan batang bawah
Batang bawah yang digunakan adalah kakao dewasa umur 15 - 20
tahun, pertumbuhan baik, sehat dan sedang bertunas. Batang bawah yang akan
disambung terlebih dahulu dilakukan pemupukan, pemangkasan, penyiangan
gulma serta pengendalian hama dan penyakit.
4.4.3
Penyediaan batang atas (entres)
Entres diambil dari perkebunan milik Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia di Jember yang secara individu telah diseleksi terkecuali klon lokal
Bali. Penyediaan batang atas (entres) yang digunakan adalah entres dari klon
kakao lokal Bali, Sulawesi 1, Sulawesi 2, ICCRI 03 dan ICCRI 04. Batang atas
dipilih dari ranting yang baik, dan tidak terserang hama dan penyakit, bentuknya
lurus panjang sekitar 15 cm dan terdiri dari 4 - 5 mata tunas. Entres berupa cabang
plagiotrop berwarna hijau atau hijau kecoklatan dan sudah mengayu, dengan
ukuran diameter 0,75-1,0 cm.
4.4.4
Pengemasan entres
Entres yang telah diambil langsung disambung pada hari itu juga,
namun karena pada percobaan ini jarak antara kebun sumber entres dengan lokasi
penelitian cukup jauh dan terdapat perlakuan dimana entres disimpan beberapa
hari kemudian baru dilakukan penyambungan, maka entres dikemas terlebih
dahulu (Gambar 4.2) dengan cara sebagai berikut :
1. Potong entres sepanjang ± 45 cm, masukkan kedalam dos ukuran 45 cm x 20
cm x 23 cm berisi media yang dilapisi plastik.
44
2. Media terdiri dari kertas koran yang telah dibasahi dengan air dan dicampur
dengan larutan alcosorb tiga g dan setelah itu dibungkus dengan plastik.
3. Bahan entres diatur sedemikian rupa sehingga setiap bahan tertutupi oleh kertas
koran yang telah dibasahi dengan air secukupnya dan setiap satu ikatan plastik
berisi 50 entris.
4. Entres yang akan disambung pada hari ke tiga dan ke enam dibungkus dengan
pelepah pisang dan plastik kemudian disimpan dalam ruangan yang sejuk
sehingga kesegaran entres tetap terjaga.
(1) Pengemasan entres
(3) Penyimpanan entres 3-6 hari
( 2) Pengepakan entres sebelum diangkut
(4) Media entres (kertas koran dan larutan
alkosorb)
Gambar 4.2
Proses Pengemasan Entres Sebelum dan Selama Penyimpanan
45
4.4.5
Pelaksanaan penyambungan
Tapak sambungan dibuat pada ketinggian 45 – 75 cm diatas permukaan
tanah, lalu kulit batang bawah disayat secara horizontal dengan panjang 4-6 cm
sampai menyentuh lapisan kambium (Gambar 4.3). Selanjutnya diatas sayatan
horizontal disayat/dikerat secara hati-hati sampai membentuk cekungan hingga
bertemu pada ujung dari sayatan horizontal, sehingga membentuk cekungan.
Bagian bawah cekungan disayat vertikal selebar 1,5 – 2,0 cm dan panjangnya ± 5
cm sampai menyentuh lapisan kayu/kambium. Selanjutnya kulit keratan diungkit
sedikit untuk mengetahui apakah batang tersebut mudah terkelupas/dibuka.
Tapak sambungan yang baik akan menunjukkan warna keputihan
apabila kulit tapak torehan dibuka. Kulit torehan ini ditutup kembali setelah
dibuka sementara menunggu entres disediakan. Entres yang telah disediakan
dipotong – potong dengan panjang ± 15 cm dan terdapat 3-4 mata tunas. Ujung
entres yang telah terpilih disayat sampai runcing menyerupai mata bajing dengan
panjang sayatan 4-5 cm. Entres yang telah disayat dimasukkan secara perlahanlahan kedalam tapak sambungan dengan membuka lidah torehan supaya bagian
potongan tidak rusak.
Sisi sayatan yang panjang pada entres harus menghadap ke arah kayu
tapak sambungan kemudian lidah kulit batang ditutup kembali. Setelah entres
dimasukkan ke dalam tapak sambungan lalu tapak sambung diikat kuat dengan
tali rafia pada titik pertautan sambungan sehingga sambungan tidak goyang.
Kemudian entres ditutup dengan plastik transparan dan diikat kuat dengan tali
46
rafiah karena keberhasilan sambungan juga ditentukan oleh sejauh mana entres
terhindar dari penguapan berlebihan dan pastikan air hujan tidak akan masuk.
(1) Tapak sambung
( 2) Entres di sayat membentuk mata bajing
(3) Entres disisip pada batang bawah
(4) entres disungkup
Gambar 4.3
Proses Tahapan Sambung Samping pada Tanaman Kakao
47
4.4.6
Pemeliharaan sambungan
Pemeliharaan batang bawah dan batang atas harus dilakukan secara
rutin dan intensif setelah penyambungan agar tunas dapat tumbuh sehat dan
normal. Tunas air yang tumbuh dari batang bawah dibuang, tajuk tanaman batang
bawah yang menaungi batang atas dipotong secara bertahap (disiwing),
pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara teratur (Gambar 4.4).
Ketika tunas muda hasil sambungan sudah mencapai 2-3 cm, maka
plastik sungkup dibuka sedikit, sedangkan tali pengikat pertautan tidak dilepas.
Dua bulan setelah penyambungan tali ikatan dapat dilepas, karena pada saat itu
entres sudah menyatu erat dengan batang bawah.
(1) Pencegahan hama dan penyakit
(2) Pembukaan sungkup
Gambar 4.4
Pemeliharaan Entres Sambung Samping
4.5 Pengamatan
Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan data pertumbuhan entres
kakao
setelah dilakukan penyambungan.
Pengamatan terhadap
variabel
pertumbuhan dilakukan pada tiga tanaman sampel pada masing - masing
48
perlakuan kemudian dirata - ratakan. Pengamatan dilakukan secara non destruktif
setiap 15 hari sekali mulai sambungan entres berumur 45 sampai 75 hari setelah
penyambungan (hsp).
4.5.1 Variabel pengamatan
Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah:
1.
Persentase sambung hidup
Pengamatan dilakukan pada setiap sambungan hidup yang ditandai
tumbuhnya tunas pada entres ataupun pada entres yang belum bertunas yang
dicirikan dengan entres yang masih segar, hijau dan masih bertautan dengan
batang bawah. Pengamatan dilakukan pada umur 75 hsp.
Persentase
sambung hidup (%) dihitung dengan menggunakan rumus :
a
P=
X 100 % ..............................................................(1)
b
Dimana :
P = Persentase batang atas (entres) yang hidup
a = Jumlah batang atas (entres) yang hidup
b = Jumlah batang atas (entres) yang disambung
2. Jumlah tunas (pucuk)
Pengamatan dilakukan pada setiap sambungan yang hidup dan bertunas.
3. Panjang tunas (cm)
Panjang tunas diukur mulai dari dasar tunas sampai titik tumbuh dengan
menggunakan penggaris. Pengamatan dilakukan pada umur 45, 60, dan 75
hsp.
49
4. Jumlah daun total tanaman (helai)
Jumlah daun yang diamati dengan cara menghitung seluruh helai daun yang
telah terbuka sempurna pada batang atas (entres). Pengamatan dilakukan pada
umur 45, 60, dan 75 hsp.
5. Diameter tunas entres (mm)
Diameter tunas diukur menggunakan jangka sorong, 5 cm dari bagian pangkal
tunas. Pengamatan dilakukan pada umur 45, 60, dan 75 hsp.
6. Luas daun tanaman (cm²)
Luas daun ditentukan dengan mengukur panjang dan lebar daun maksimum,
kemudian dikalikan dengan konstanta (Hamid 2009). Pengamatan dilakukan
pada umur 45, 60, dan 75 hsp.
LD = P x L x k .............................................................................................(2)
Dimana:
LD : Luas daun
P : Panjang daun (cm)
L : Lebar daun maksimum (cm)
k : Konstanta
Konstanta ditentukan berdasarkan metode planimetri yaitu luas helai
daun diukur diatas kertas milimeter blok, sedangkan panjang dan lebar daun
maksimum diukur menggunakan penggaris. Nilai konstanta dicari dengan cara
membagi luas daun sebenarnya pada kertas milimeter blok dengan panjang x lebar
daun maksimum.
Konstanta = Luas daun sebenarnya (di atas kertas milimeter blok) (cm2).......(3)
Panjang x Lebar daun maksimum (cm2)
50
4.6 Analisis Data
Data yang dikumpulkan dianalisis secara stastistik dengan analisis
varian (analisis sidik ragam) sesuai dengan rancangan yang digunakan. Apabila
interaksi memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap variabel yang
diamati, maka dilanjutkan dengan uji beda rata-rata dengan uji jarak berganda
Duncan 5 %. Bila hanya perlakuan tunggal yang berpengaruh nyata (P<0,05),
maka dilanjutkan uji beda rata-rata dengan uji BNT 5% (Gomes dan Gomes,
1995). Pada penelitian ini terdapat perlakuan yang datanya nilai nol, sehingga
data tersebut harus di transformasi dengan √x+½ sebelum dianalisis.
Hubungan antara lama penyimpanan entres dengan pertumbuhan entres
dianalisis dengan analisis regresi non linier sederhana dan hasil ditampilkan dalam
bentuk gambar (Petersen, 1994).
51
BAB V
HASIL PENELITIAN
Selama percobaan berlangsung pertumbuhan entres hasil sambung
samping tanaman kakao tidak mengalami gangguan yang berarti baik oleh
serangan hama dan penyakit maupun gangguan lainnya. Pemeliharaan sambungan
seperti penyiangan gulma, pemangkasan tunas air, dan pengendalian hama dan
penyakit dilakukan secara teratur sehingga pertumbuhan entres tidak terganggu.
Data yang dianalisis pada penelitian ini adalah data yang telah
ditransformasi dengan √x+0,5 pada seluruh variabel pengamatan kecuali
persentase sambung hidup. Transformasi data dilakukan karena pada perlakuan
lama penyimpanan entres hari ke-6 (H6) terdapat data 0 (nol) pada ulangan I, II
dan III pada seluruh variabel pengamatan pertumbuhan antara lain: luas daun,
diameter tunas, jumlah daun, panjang tunas, dan jumlah tunas. Perlakuan yang
nilainya 0 (nol) tidak berarti entres hasil sambung samping pada kakao tersebut
mati. Entres tersebut masih hidup yang ditandai dengan warna entres masih hijau
dan telah terjadi pertautan (kompatibilitas) dengan batang bawah, tetapi belum
mengeluarkan tunas sehingga tidak dapat diamati pertumbuhan tunasnya.
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara
jenis klon dengan lama penyimpanan entres terhadap semua variabel yang diamati
baik pada pertumbuhan vegetatif maupun persentase sambung hidup (Tabel 5.1).
Perlakukan lama penyimpanan entres berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap
luas daun, jumlah daun, panjang tunas namum tidak berpengaruh nyata (P≥0,05)
terhadap diameter tunas dan panjang tunas. Perlakuan jenis klon tidak
47
52
berpengaruh nyata (P≥0,05) terhadap pertumbuhan dan persentase sambung hidup
umtuk semua variebel pengamatan (Tabel 5.1).
Tabel 5.1
Signifikansi Pengaruh Jenis Klon (K) dan Lama Penyimpanan Entres (H) serta
Interaksinya (K x H) terhadap Variabel yang Diamati
No
Variabel
1
Prosentase sambung hidup
2
Luas daun
- 45 hsp
- 60 hsp
- 75 hsp
3
4
5
6
Diameter tunas
- 45 hsp
- 60 hsp
- 75 hsp
Jumlah daun
- 45 hsp
- 60 hsp
- 75 hsp
Panjang tunas
- 45 hsp
- 60 hsp
- 75 hsp
Jumlah tunas
- 45 hsp
- 60 hsp
- 75 hsp
K
Perlakuan
H
KxH
TN
**
TN
TN
**
**
**
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
**
**
**
TN
TN
TN
**
**
**
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
TN
Keterangan : * = berpengaruh nyata (P<0,05), ** = berpengaruh sangat nyata (P<0,01),
TN
= berpengaruh tidak nyata (P≥0,05)
TN
TN
TN
TN
TN
TN
53
5.1 Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entres
5.1.1 Persentase sambung hidup umur 75 hsp
Hasil analisis statistika menunjukkan, bahwa persentase keberhasilan
sambung hidup untuk masing-masing jenis klon tidak berpengaruh nyata (Tabel
5.1), sedangkan lama penyimpanan entres berpengaruh sangat nyata terhadap
persentasi sambung hidup.
Persentase sambung hidup tertinggi yaitu 63,0%
dicapai pada klon Sulawesi 1, ICCRI 03, dan ICCRI 04, sedangkan terendah pada
klon Sulawesi 2 yaitu 44,4 (Tabel 5.2), namun tidak berbeda nyata antara satu
klon terhadap klon lainnya.
Persentase keberhasilan sambung samping paling tinggi dicapai pada
klon yang langsung disambung pada hari itu (H0) yaitu 73,33%, sedangkan
terendah pada perlakuan lama penyimpanan entres 6 hari (H6). Makin cepat entres
disambung maka ada kecendrungan
makin tinggi persentase keberhasilan
sambung hidup.
Tabel 5.2
Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entris terhadap Persentase
Sambung Hidup Umur 75 hsp
Perlakuan
Sambung hidup
--------------------------%--------------------------Jenis Klon
Sulawesi 1 (KS1)
63,0 a
Sulawesi 2 (KS2)
44,4 a
ICCRI 03 (KI1)
63,0 a
ICCRI 04 (KI2)
63,0 a
Lokal Bali (KO)
51,9 a
BNT 5 %
18,887
Lama Penyimpanan Entres
Langsung disambung (H0)
73,33 a
Disimpan 3 hari (H3)
62,22 a
Disimpan 6 hari (H6)
35,56 b
BNT 5 %
17,582
Keterangan : - Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan variabel yang
sama adalah berbeda tidak nyata pada uji BNT 5 %
54
5.1.2 Luas daun umur 45, 60, dan 75 hsp
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pada umur 45, 60, dan
75 hsp perlakuan jenis klon berpengaruh tidak nyata terhadap luas daun (Tabel
5.1), tetapi lama penyimpanan entres berpengaruh sangat nyata terhadap luas
daun. Luas daun umur 75 hsp tertinggi diperoleh pada klon lokal Bali 102,20 cm2
dan terendah pada klon ICRRI 03 yaitu 60,20 cm2. Penyimpanan entres yang
semakin lama berpengaruh terhadap luas daun tanaman kakao dimana luas daun
tertinggi umur 75 hsp dicapai pada penyambungan langsung (H0) yaitu 107,85
cm2 dan terendah pada lama penyimpanan 6 hari (H6) (Tabel 5.3).
Tabel 5.3
Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entres terhadap Luas
Daun Umur 45, 60, dan 75 hsp
Perlakuan
Jenis Klon
Sulawesi 1 (KS1)
Sulawesi 2 (KS2)
ICCRI 03 (KI1)
ICCRI 04 (KI2)
Lokal Bali (KO)
BNT 5 %
Lama Penyimpanan Entres
Langsung disambung (H0)
Disimpan 3 hari (H3)
Disimpan 6 hari (H6)
BNT 5 %
Keterangan : -
Luas daun
45 hsp
60 hsp
75 hsp
2
--------------------------cm --------------------------47,90 (2,84)a
56,22 (2,63)a
35,24 (2,56)a
46,10 (2,53)a
61,60 (2,66)a
0,467
58,54 (2,58)a
70,71 (2,78)a
47,92 (2,73)a
59,54 (2,68)a
85,15 (2,90)a
0,506
75,39 (2,72)a
86,49 (2,92)a
60,20 (2,86)a
71,25 (2,80)a
102,20 (3,05)a
0,541
71,54 (2,95)a
61,51 (2,84)a
15,19 (1,84)b
0,544
90,44 (3,12)a
81,78 (3,04)a
20,89 (1,95)b
0,590
107,85 (3,35)a
102,26 (3,22)a
27,22 (2,06)b
0,631
Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan variabel
yang sama adalah berbeda tidak nyata pada uji BNT 5 %
Angka dalam kurumg menunjukan data transformasi . BNT 5 % adalah angka
yang membandingkan dengan angka yang telah ditransformasi dengan √x+½
55
5.1.3 Diameter tunas umur 45, 60, dan 75 hsp
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pada umur 45, 60, dan 75
hsp perlakuan jenis klon dan lama penyimpanan entres berpengaruh tidak nyata
terhadap diameter tunas (Tabel 5.1). Diameter tunas terbesar (1,0 cm) adalah
umur 75 hsp pada klon lokal Bali dan terendah klon Sulawesi 1, ICCRI 03, dan
ICCRI 04 masing-masing (0,8 cm) (Tabel 5.4).
Penyimpanan entres yang
semakin lama berpengaruh terhadap diameter tunas tanaman kakao, dimana
diameter tunas entres yang langsung disambung (H0) menunjukkan pertumbuhan
paling besar adalah 1,06 cm, sedangkan terkecil pada penyimpanan entres enam
hari (H6).
Tabel 5.4
Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entres terhadap Diameter
Tunas Umur 45, 60, dan 75 hsp
Perlakuan
Jenis Klon
Sulawesi 1 (KS1)
Sulawesi 2 (KS2)
ICCRI 03 (KI1)
ICCRI 04 (KI2)
Lokal Bali (KO)
BNT 5 %
Lama Penyimpanan Entres
Langsung disambung (H0)
Disimpan 3 hari (H3)
Disimpan 6 hari (H6)
BNT 5 %
Keterangan : -
Diameter tunas
45 hsp
60 hsp
75 hsp
----------------------------cm------------------------0,5 (0,98) a
0,6 (1,03) a
0,6 (1,03) a
0,6 (1,05) a
0,7 (1,10) a
0,102
0,6
0,7
0,7
0,7
0,8
(1,04) a
(1,10) a
(1,07) a
(1,10) a
(1,15) a
0,109
0,72 (1,10) a
0,70 (1,09) a
0,36 (0,92) a
0,119
0,88 (1,17) a
0,86 (1,16) a
0,42 (0,94) a
0,127
0,8
0,9
0,8
0,8
1,0
(1,11) a
(1,16) a
(1,11) a
(1,13) a
(1,20) a
0,120
1,06 (1,25) a
1,02 (1,23) a
0,46 (0,96) a
0,140
Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan variabel
yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 %
Angka dalam kurumg menunjukan data transformasi . BNT 5 % adalah angka
yang membandingkan dengan angka yang telah ditransformasi dengan √x+½
56
5.1.4 Jumlah daun umur 45, 60, dan 75 hsp
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pada umur 45, 60, dan 75
hsp perlakuan jenis klon berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun (Tabel
5.1), tetapi lama penyimpanan entres berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah
daun. Jumlah daun terbanyak dicapai pada klon ICCRI 03 dengan rata – rata 8,2
helai tan-1 (Tabel 5.5) .
Penyimpanan entres yang semakin lama berpengaruh terhadap jumlah
daun, dimana Jumlah daun tan-1 paling banyak terdapat pada perlakuan lama
penyimpanan entres yang langsung disambung (H0) dengan rata-rata 7,93 helai
tan-1 dan berbeda sangat nyata dengan penyimpanan entres 6 hari (H6).
Tabel 5.5
Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entres terhadap Jumlah
Daun Umur 45, 60, dan 75 hsp
Perlakuan
Jenis Klon
Sulawesi 1 (KS1)
Sulawesi 2 (KS2)
ICCRI 03 (KI1)
ICCRI 04 (KI2)
Lokal Bali (KO)
BNT 5 %
Lama Penyimpanan Entres
Langsung disambung (H0)
Disimpan 3 hari (H3)
Disimpan 6 hari (H6)
BNT 5 %
Jumlah daun
45 hsp
60 hsp
75 hsp
-----------------------------helai----------------------5,3 (2,23)a
5,1 (2,27)a
8,2 (2,63)a
5,7 (2,39)a
4,9 (2,25)a
0,476
5,3 (2,23)a
5,1 (2,27)a
8,2 (2,63)a
5,7 (2,39)a
4,9 (2,25)a
0,476
5,3 (2,23)a
5,1 (2,27)a
8,2 (2,63)a
5,7 (2,39)a
4,9 (2,25)a
0,476
7,93 (2,88)a
7,47 (2,79)a
2,13 (1,50)b
0,555
7,93 (2,88)a
7,47 (2,79)a
2,13 (1,50)b
0,555
7,93 (2,88)a
7,47 (2,79)a
2,13 (1,50)b
0,555
Keterangan : - Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan variabel
yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 %
- Angka dalam kurumg menunjukan data transformasi . BNT 5 % adalah angka
yang membandingkan dengan angka yang telah ditransformasi dengan √x+½
57
5.1.5 Panjang tunas 45, 60, dan 75 hsp
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa umur 45, 60, dan 75 hsp
perlakuan jenis klon berpengaruh tidak nyata terhadap panjang tunas (Tabel 5.1),
tetapi lama penyimpanan entres berpengaruh sangat nyata terhadap panjang tunas.
Panjang tunas entres umur 75 hsp terpanjang diperoleh pada klon ICCRI 03
dengan rata – rata 30,8 cm tan-1 (Tabel 5.6). Penyimpanan entres yang semakin
lama berpengaruh terhadap panjang tunas dimana panjang tunas (34,19 cm) umur
75 hsp terpanjang diperoleh pada perlakuan penyambungan langsung (H0) dan
terendah pada lama penyimpanan 6 hari (H6).
Tabel 5.6
Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entres terhadap Panjang
Tunas Umur 45, 60, dan 75 hsp
Perlakuan
Jenis Klon
Sulawesi 1 (KS1)
Sulawesi 2 (KS2)
ICCRI 03 (KI1)
ICCRI 04 (KI2)
Lokal Bali (KO)
BNT 5 %
Panjang tunas
45 hsp
60 hsp
75 hsp
-----------------------cm----------------------16,7 (1,99)a
20,3 (2,14)a
23,3 (2,22)a
21,4 (2,18)a
14,6 (2,06)a
0,287
20,5 (2,07)a
23,8 (2,22)a
27,4 (2,30)a
25,4 (2,26)a
17,8 (2,15)a
0,305
23,3 (2,13)a
26,7 (2,27)a
30,8 (2,35)a
28,4 (2,32)a
20,7 (2,23)a
0,316
25,32 (2,35)a
25,04 (2,34)a
7,48 (1,16)b
0,334
30,11 (2,44)a
29,87 (2,43)a
8,94 (1,73)b
0,356
34,19 (2,52)a
33,69 (2,50)a
10,08 (1,76)b
0,369
Lama Penyimpanan Entres
Langsung disambung (H0)
Disimpan 3 hari (H3)
Disimpan 6 hari (H6)
BNT 5 %
Keterangan : -
Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan variabel
yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 %
- Angka dalam kurumg menunjukan data transformasi . BNT 5 % adalah angka
yang membandingkan dengan angka yang telah ditransformasi dengan √x+½
58
5.1.6 Jumlah tunas 45, 60, dan 75 hsp
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa umur 45, 60, dan 75 hsp
perlakuan jenis klon berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah tunas, tetapi lama
penyimpanan entres berpengaruh sangat nyata ( Tabel 5.1). Jumlah tunas
terbanyak terdapat pada klon ICCRI 03 dengan rata – rata 1,8 tunas tan-1 (Tabel
5.7). Jumlah tunas tan-1 sejak umur 45-75 hsp tidak bertambah pada semua jenis
klon.
Penyimpanan entres yang semakin lama berpengaruh terhadap jumlah
tunas tanaman kakao, dimana jumlah tunas tan-1 paling banyak (1,73 tunas) umur
75 hsp dicapai pada penyambungan langsung (H0) dan terendah pada lama
penyimpanan 6 hari (H6).
Tabel 5.7
Pengaruh Tunggal Jenis Klon dan Lama Penyimpanan Entris terhadap Jumlah
Tunas Umur 45, 60, dan 75 hsp
Jumlah tunas
Perlakuan
Jenis Klon
Sulawesi 1 (KS1)
Sulawesi 2 (KS2)
ICCRI 03 (KI1)
ICCRI 04 (KI2)
Lokal Bali (KO)
BNT 5 %
45 hsp
60 hsp
75 hsp
--------------------------batang----------------------1,2 (1,27)a
1,2 (1,27)a
1,2 (1,27)a
1,2 (1,29)a
1,2 (1,29)a
1,2 (1,29)a
1,8 (1,36)a
1,8 (1,36)a
1,8 (1,36)a
1,1 (1,25)a
1,1 (1,25)a
1,1 (1,25)a
1,3 (1,34)a
1,3 (1,34)a
1,3 (1,34)a
0,200
0,200
0,200
Lama Penyimpanan Entres
Langsung disambung (H0)
Disimpan 3 hari (H3)
Disimpan 6 hari (H6)
BNT 5 %
Keterangan : -
1,73 (1,48)a
1,60 (1,43)a
0,67 (1,05)a
0,233
1,73 (1,48)a
1,60 (1,43)a
0,67 (1,05)a
0,233
1,73 (1,48)a
1,60 (1,43)a
0,67 (1,05)a
0,233
Angka – angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan variabel
yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji BNT 5 %
Angka dalam kurumg menunjukan data transformasi . BNT 5 % adalah angka
yang membandingkan dengan angka yang telah ditransformasi dengan √x+½
59
5.2 Hubungan antara Lama Penyimpanan dengan Pertumbuhan Tunas
Entres
Hubungan antara lama penyimpanan entres dengan pertumbuhan
vegetatif kakao menunjukkan hubungan yang tidak linier. Hubungan antara lama
penyimpanan entres yang langsung disambung (H0), disimpan tiga hari (H3), dan
disimpan enam hari (H6) dengan pertumbuhan entres pada masing-masing
pengamatan luas daun, jumlah daun, diameter batang, diameter tunas dan panjang
tunas dinyatakan dengan persamaan regresi (Tabel 5.8) dan (Gambar 5.1, 5.2, 5.3,
5.4, dan 5.5)
Tabel 5.8
Regresi Hubungan antara Lama Penyimpanan (H) dengan Pertumbuhan Entres
Perameter
Pertumbuhan
LD 45
DT 45
JD 45
PT 45
JT 45
Rata-rata
Persamaan Regresi
Y= 2,949 + 0,112H - 0,04952H2
Y= 1,745 + 0,035H - 0,02056H2
Y= 3,003 + 0,165H - 0,06915H2
Y= 2,606 + 0,091H - 0,04092H2
Y= 2,023 + 0,053H - 0,02917H2
R2
(%)
56,7
8,5
68,0
56,3
20,3
r
-0,683
-0,270
-0,743
-0,669
-0,417
Waktu Optimum
(jam)
27,14
21,06
28,70
34,61
21,84
26,67
Keterangan : LD 45=luas daun 45 hsp, DT 45= diameter tunas 45 hsp, JD 45= jumlah daun 45 hsp,
PT45= panjang tunas 45 hsp,
JT45= jumlah tunas 45 hsp, dan H= lama
penyimpanan entres.
4 ,0
LUAS DAUN 45
3 ,5
3 ,0
LD 45= Luas daun umur
45 hsp
H= Lama penyimpanan
2 ,5
2 ,0
LD 4 5
1 ,5
=
2 ,9 4 9 + 0 ,1 1 2 0 H
2
- 0 ,0,04952H
04952 H2
2
R = 56,7 %
r = -0,683
1 ,0
0
1
2
3
H
4
5
6
Gambar 5.1
Hubungan antara Lama Penyimpanan Entres dengan Pertumbuhan Luas Daun
60
3,5
DIAMETER TUNAS 45
3,0
2,5
2,0
DT 45= Diameter tunas
umur 45 hsp
H= Lama penyimpanan
1,5
2
DT
= 1,745
+ 0,0351 H - 0,02056
0,02056H
DT4545=
1,745+0,0351H
H2
1,0
- R2 = 8,5 %
r
= -0,270
0
1
2
3
H
4
5
6
Gambar 5.2
Hubungan antara Lama Penyimpanan Entres dengan Pertumbuhan Diameter Tunas
4,0
JUMLA H DAUN 45
3,5
3,0
2,5
JD 45= Jumlah daun
umur 45 hsp
H= Lama penyimpanan
2,0
1,5
JD 45= 3,003 + 0,1654 H
2
- 0,06915
0,06915HH2
2
R = 68,0%
r =-0,743
1,0
0
1
2
3
H
4
5
6
Gambar 5.3
Hubungan antara Lama Penyimpanan Entres dengan Pertumbuhan Jumlah Daun
61
3,5
PANJANG TUNAS 45
3,0
2,5
PT 45= Panjang tunas
umur 45 hsp
H= Lama penyimpanan
2,0
2
PT 45 = 2,606 + 0,09126 H - 0,04092H
0,04092 H2
1,5
R2 = 56,3%
r = -0,669
1,0
0
1
2
3
H
4
5
6
Gambar 5.4
Hubungan antara Lama Penyimpanan Entres dengan Pertumbuhan Panjang Tunas
3,5
JUMLAH TUNAS 45
3,0
2,5
JT 45= Jumlah tunas
umur 45 hsp
H= Lama penyimpanan
2,0
1,5
1,0
JT 45 = 2,023 + 0,0531 H
2
- 0,02917H
0,02917 H2
R2 = 20,3%
r = -0,417
0
1
2
3
H
4
5
6
Gambar 5.5
Hubungan antara Lama Penyimpanan Entres dengan Pertumbuhan Jumlah Tunas
62
BAB VI
PEMBAHASAN
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara
perlakuan jenis klon dengan lama penyimpanan entres terhadap semua variabel
yang diamati antara lain: persentase sambung hidup, luas daun, diameter tunas,
jumlah daun, panjang tunas, dan jumlah tunas (Tabel 5.1). Hal ini berarti masingmasing perlakuan baik jenis klon maupun lama penyimpanan entres tidak saling
mempengaruhi sehingga tidak terjadi interaksi terhadap kedua perlakuan tersebut.
Perlakuan jenis klon tidak berbeda nyata terhadap persentase sambung
hidup (Tabel 5.2) dan beberapa variabel pertumbuhan antara lain: luas daun,
diameter tunas, jumlah daun, panjang tunas, dan jumlah tunas, sedangkan lama
penyimpanan entres 0, 3, dan 6 hari berbeda sangat nyata. Hal ini berarti antara
kelima jenis klon tersebut mempunyai pengaruh yang sama baik terhadap
pertumbuhan tunas sambung samping, walaupun pada klon ICRRI 03 cenderung
pertumbuhan lebih baik, disamping itu pula diduga karena entres diambil dari
jenis kakao yang sama (kakao mulia) sehingga mempunyai kemampuan yang
sama atau keragaman genetik yang homogen dalam pertumbuhan.
Persentase sambung hidup tertinggi dicapai klon Sulawesi 1, ICRRI 03,
dan ICRRI 04 masing –masing 60,3 % (Gambar 6.2). Hal ini diduga karena
terjadi pertautan yang lebih baik antara batang atas dan batang bawah serta
kemampuan yang lebih baik antara batang atas dan batang bawah untuk tumbuh
menjadi satu tanaman baru dan secara genetis serasi (kompatibel).
Menurut
Ashari (1995) bahan tanam yang disambung akan menghasilkan persentase
58
63
kompatibilitas yang tinggi apabila tanaman tersebut masih dalam satu spesies atau
satu klon. Apabila tanaman yang akan disambung mempunyai kekerabatan yang
agak jauh misalnya berbeda dalam level ordo biasanya kompatibilitasnya rendah.
Entres yang akan disambung harus selalu berada dalam kondisi fisiologis yang
baik, sehingga mempunyai peranan yang sangat penting terhadap keberhasilan
sambung hidup (Ditjenbun, 2006).
Keberhasilan penyambungan juga dapat terjadi klon entres diambil dari
pohon induk yang sehat, sehingga mengandung nutrien yang cukup untuk
pembentukan kalus dan kambium baru. Selain itu klon entres yang cukup tua
mampu
mengurangi kehilangan lengas
yang berlebihan.
Penelitian ini
menggunakan umur klon entres yang sama yang dicirikan dengan warna entres
hijau kecoklatan sehingga hasil persentase sambung hidup relatif sama.
Berhasilnya pertautan antara batang atas dan batang bawah bukanlah
jaminan adanya kompatibilitas pada tanaman hasil sambungan. Sering terjadi
perubahan pada entris maupun pada tanaman hasil sambungan, misalnya
pembengkakan pada sambungan, pertumbuhan entris yang abnormal atau
penyimpangan pertumbuhan lainnya, dimana keadaan ini disebut inkompatibel.
Kondisi ini dapat disebabkan oleh perbedaan struktur antara batang atas dan
batang bawah atau ketidakserasian bentuk potongan pada sambungan (Rochiman
dan Harjadi, 1973 dalam Gago, 1997). Winarno (1990) mengatakan bahwa,
batang atas dan batang bawah yang mampu menyokong pertautan dengan baik
dan serasi disebut kompatibel (Gambar 6.1).
64
(1) Entres tumbuh normal
(2) Entres tumbuh tidak normal
Gambar 6.1
Pertumbuhan Entres pada Lokasi Penelitian Umur 75 hsp
Faktor suhu juga diduga berpengaruh pada persentase sambung hidup.
Suhu udara berpengaruh terhadap pembentukan sel-sel parenkim penyusun
jaringan kalus yang terbentuk akibat adanya perlukaan (sayatan) . Suhu optimum
untuk pertumbuhan entres sambung samping 260-29 0C. Suhu lebih tinggi dari
290C menyebabkan pembentukan sel-sel parenkim berlebihan tetapi dinding
selnya tipis sehingga mudah rusak. Suhu di bawah 200C, pembentukan kalus
lambat dan suhu di bawah 150C kalus sama sekali tidak terbentuk (Puslit Kopi
dan Kakao, 2004).
Pada penelitian ini, tidak di lakukan pengukuran suhu di lokasi
penelitian, namun data suhu diperoleh dari Stasiun Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika yang terdekat dengan lokasi penelitian dan data dapat
dihitung mendekati data elevasi (Lampiran 5,6, dan 7). Suhu rata-rata di lokasi
penelitian (26 0-270C), hal ini menunjukkan bahwa suhu dilokasi penelitian cukup
optimum untuk pertumbuhan entres dan pembentukan sel-sel parenkim penyusun
65
kalus pada tempat penyambungan, sehingga luka bekas sayatan cepat tertutup dan
translokasi fotosintat dari batang bawah ke batang atas juga dapat berlangsung
dengan baik.
Iklim mikro juga penting untuk terbentuknya pertautan. Pemberian
sungkup menyebabkan entres tetap dalam keadaan hijau segar dan terhindar dari
kekeringan,
dengan demikian pembentukan kalus dan kambium dapat
berlangsung secara aktif
sehingga memungkinkan terjadinya pertautan dan
pertumbuhan entres yang baik. Pengikatan dengan tali plastik yang cukup erat
pada bagian pertautan dapat berfungsi untuk merapatkan penyambungan,
sehingga terjadi persentuhan kambium yang cukup banyak antara batang atas dan
batang bawah.
Faktor penyakit juga diduga dapat mempengaruhi keberhasilan
penyambungan. Entres yang diambil dari pohon induk mungkin telah terserang
penyakit yang secara visual tidak diketahui sebelumnya. Penggunaan sungkup
dari kantong plastik yang menutupi entres secara rapat menyebabkan kelembaban
di dalamnya yang selalu tinggi sehingga entres terhindar dari kekeringan, tetapi
juga menjadi medium yang baik untuk perkembangan patogen.
Entres yang hidup pada penelitian ini dicirikan dengan entres yang telah
terjadi pertautan dengan batang bawah, masih segar, dan warna entres hijau.
Entres sambungan yang hidup belum bisa menunjukkan keberhasilan pertautan
antara batang atas dan batang bawah secara umum, karena entres yang hidup
sampai denga pengamatan 75 hsp belum mengeluarkan tunas pada bagian
batangnya.
66
a
a
a
a
a
sambung hidup (%)
a
Jenis Klon
Gambar 6.2
Persentase sambung hidup klon pada umur 75 hsp
Lama penyimpanan entres memberi pengaruh berbeda sangat nyata
terhadap persentase
sambung hidup (Gambar 6.3). Entres yang disambung
langsung (H0) dan disambung setelah disimpan tiga hari (H3) tidak berbeda nyata
terhadap sambung hidup, namun berbeda sangat nyata terhadap sambung hidup
setelah entres disimpan enam hari (H6). Ini berarti bahwa entres yang disambung
langsung tanpa disimpan dan yang disimpan tiga hari apabila disambung pada
kakao batang bawah dewasa memberikan tingkat keberhasilan yang sama dan
hanya berbeda kalau entresnya disimpan selama enam hari (H6) (Gambar 6.3).
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam perbanyakan vegetatif
tanaman kakao melalui sambung samping adalah kesegaran entres. Menurut
Palaciois dan Monteiro (2002, dalam Raharjo, 2007) kesegaran entres kakao perlu
dijaga untuk menjamin tingkat
keberhasilan dalam penyetekan kakao.
67
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama entres disimpan berat segar
atau kadar air entres semakin menurun.
Hasil pengukuran berat segar entres setelah disimpan menunjukkan
penurunan
berat segar dibandingkan berat segar pada awal penyimpanan.
Sebelum dilakukan penyambungan, rata-rata berat segar entres yaitu 7,44 g,
penyimpanan hari ke tiga 6,85 g, dan pada hari ke enam 6,64 g (Lampiran 8). Hal
ini menunjukkan bahwa kadar air pada entres terus berkurang selama entres di
simpan. Semakin lama entres kakao disimpan berat segar entres akan semakin
rendah. Menurunnya kadar air atau berat segar entres disebabkan selama
penyimpanan entres tetap terjadi transpirasi dan respirasi.
Upaya untuk mempertahankan kesegaran entres selama penyimpanan
dilakukan dengan cara menutup bekas potongan memakai parafin sehingga
mengurangi kehilangan air akibat penguapan dan kemudian entres dibungkus
dengan pelepah pisang. Penurunan kadar air masih tetap terjadi selama
penyimpanan diduga
akibat penguapan secara perlahan. Dampak lain akibat
penurunan berat segar pada entres adalah tingkat kesegaran entres. Penyimpanan
entres selama enam hari talah mulai memperlihatkan gejala permukaan kulit agak
layu (Lampiran 8)
Penelitian pengaruh cara pengemasan dan lama penyimpanan yakni
tiga, enam dan sembilan hari terhadap pertumbuhan bibit kakao sambungan telah
dilakukan oleh Yudianto (2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
lama
penyimpanan berpengaruh terhadap persentase sambung hidup. Penyimpanan tiga
68
hari memberikan persentase
hidup
tertinggi jika dibandingkan dengan
penyimpanan enam dan sembilan hari.
Demikian pula penelitian Iswahyudi (2002) mengatakan bahwa
penyimpanan yang lebih lama mempengaruhi kesegaran, warna dan berkurangnya
kadar air pada entres sehingga menurunkan viabilitas atau kemampuan hidup
entres saat disambung. Penurunan viabilitas merupakan perubahan fisik, fisiologis
dan biokimia yang akhirnya dapat menyebabkan hilangnya viabilitas bibit.
Menurut Abdul
(1994) selama penyimpanan entres, tetap terjadi proses
transpirasi dan semakin lama proses transpirasi berlangsung maka semakin
banyak kadar air yang hilang sehingga persentase entres yang hidup semakin
menurun.
Penyimpanan entres yang lebih lama dapat mengakibatkan habisnya
cadangan makanan dan kadar air pada entres untuk proses metabolisme selama
penyimpanan. Hal ini disebabkan selama penyimpanan entres tetap melakukan
proses respirasi, semakin lama proses respirasi berlangsung semakin banyak
cadangan makanan yang digunakan sehingga persentase sambungan yang hidup
juga berkurang. Menurut Iswahyudi (2002) entres sebagai organisme hidup yang
dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya melakukan proses metabolisme
dan respirasi. Pada keadaan normal entres akan melakukan proses respirasi pada
tingkat yang tidak begitu membahayakan, tetapi dengan perubahan faktor
lingkungan akan dapat mengakibatkan perubahan respirasi dalam entres, ini
merupakan suatu proses pelepasan energi.
69
a
Sambung hidup (%)
a
b
H0, H3 dan H6=
Lama penyimpanan
entres
sebelum
dilakukan
penyambungan
Gambar 6.3
Persentase sambung hidup berdasarkan lama penyimpanan entres
Pertumbuhan tunas yang meliputi luas daun, diameter tunas, jumlah
daun, panjang tunas, dan jumlah tunas memberikan pengaruh yang tidak nyata
terhadap perlakuan jenis klon. Hal ini diduga masing – masing jenis klon
mempunyai pengaruh dan kemampuan yang sama baik terhadap pertumbuhan
tunas sambung samping.
Luas daun terbesar dicapai pada klon lokal Bali 102,20 cm2 75 hsp dan
terkecil pada klon ICRRI 03 (Tabel 5.3). Hal ini diduga sambungan yang telah
terbentuk dengan baik pada klon lokal Bali akan mempercepat transport nutrisi
dari batang bawah ke batang atas melalui proses fotosintesis, sehingga nutrisi
tersebut akan diubah menjadi energi dalam fotosintesis dan energi inilah yang
digunakan untuk pembelahan sel-sel meristem daun sehingga luas daun menjadi
meningkat. Selain energi, fotosintesis juga menghasilkan fotosintat yang
70
kemungkinan juga ditranslokasikan untuk pelebaran luas daun. Pembagian
asimilat atau fotosintat sangat penting pada masa pertumbuhan vegetatif maupun
reproduksi (Garner dan Perce.Rager, 1985 dalam Anonim, 2006). Demikian pula
diameter tunas 45, 60, dan 75 hsp pada klon lokal Bali paling besar (Tabel 5.4),
diduga klon lokal Bali lebih cepat terjadi pertautan antara batang atas dan batang
bawah.
Menurut Rochman dan Harjadi (1973, dalam Anonim, 2006)
keberhasilan sambungan dipengaruhi oleh berbagai hal, disamping batang atas
dan batang bawah juga dipengaruhi oleh hubungan sel-sel fungsional pada daerah
tempelan.
Panjang tunas, jumlah daun, dan jumlah 75 hsp tertinggi dicapai klon
ICRRI 03 (Tabel 5.5, 5.6, dan 5.7), hai ini diduga dipengaruhi oleh cepatnya
pertautan antara batang atas dan batang bawah sehingga aliran nutrisi berjalan
dengan lancar serta memudahkan aktifitas meristem apikal dapat berlangsung
dengan baik dan perkembangan tunas segera terjadi (Anonim, 2006). Hal ini
didukung Garner dan Chaundri (1976, dalam Anonim, 2006) mengemukakan
bahwa batang atas berpengaruh kuat dalam pertumbuhan dan perkembangan
tanaman.
Langsa (2007) tampilan suatu klon sangat dipengaruhi lingkungan
(kondisi tanah dan agroklimat), disamping managemen budidaya. Apabila
kondisi tanah, agroklimat, dan budidaya yang baik maka karakter klon yang
diinginkan tidak akan tampak secara maksimal. Penggunaan klon unggul lebih
diyakini mempunyai dampak positif terhadap peningkatan produksi, mutu hasil
dan tolerans terhadap beberapa hama dan penyekit utama, sehingga ketersediaan
71
klon unggul mutlak diperlukan, sedangkan pertumbuhan vegetatif pada klon –
klon mulia relatif sama.
Peran batang bawah pada proses pertautan sambung samping sangat
besar. Batang bawah dalam kondisi tumbuh aktif yang dapat menyebabkan
pertautan mudah terbentuk. Kandungan nutrisi pada batang bawah juga berperan
penting, karena untuk terjadinya pertautan batang bawah harus menyediakan
energi dan bahan pembangun yang cukup berupa karbohidrat, lemak, dan protein
sehingga jaringan kalus dan kambium dapat tumbuh dengan baik (Rochiman dan
Harjadi, 1973 dalam Gago, 1997).
Peranan hormon tumbuh endogen juga sangat berpengaruh dalam
mengaktifkan proses pertumbuhan. Menurut Heddy (1986) hormon tumbuh yang
terdiri dari auksin, giberelin, dan sitokinin mempunyai pengaruh kompetitif
terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman melalui pembelahan, pembesaran, dan
diferensiasi sel. Gardner, dkk (1991) mengatakan bahwa hormon auksin berperan
dalam memelihara fisiologi dan fungsi biokimia yang sedang berlangsung dan
mobilisasi hara ke pengguna asimilat yang lebih kuat disamping itu berperan
dalam diferensiasi sel. Giberelin berperan dalam perluasan daun dan pemanjangan
batang, sedangkan sitokinin berperan dalam merangsang pembelahan sel
Pertumbuhan entres yang disimpan 6 hari (H6) lebih rendah atau
berbeda sangat nyata bila dibandingkan dengan entres yang langsung disambung
(H0) dan yang disimpan 3 hari (H3).
Entres yang langsung disambung
pertumbuhannya lebih baik jika dibandingkan dengan entres yang disimpan. Hal
ini menunjukkan kemampuan entres sambung samping kakao bertunas
72
dipengaruhi oleh lama penyimpanan entres yaitu semakin lama entres disimpan
semakin turun kemampuan bertunasnya.
Penyimpanan lebih dari 3 (tiga) hari menyebabkan berkurangnya
kandungan air entres sehingga menghambat proses metabolisme yang terjadi pada
entres.
Entres yang langsung disambung tanpa disimpan kandungan air dan
cadangan makanan pada entres masih tinggi. Entres yang langsung disambung
dengan viabilitas yang cukup mengakibatkan pertumbuhan entres tidak terhambat
serta berpengaruh terhadap pertumbuhan selanjutnya.
Abdul (1994 dalam Iswahyudi, 2002) menyatakan bahwa salah satu
gejala biokimia pada bibit selama mengalami viabilitas adalah perubahan
kandungan beberapa senyawa yang berfungsi sebagai sumber energi karena terjadi
perombakan senyawa makanan seperti lemak, karbohidrat menjadi senyawa
metabolik lainnya. Beberapa senyawa metabolik dapat mengakibatkan hilangnya
daya tumbuh sebab persediaan energi habis dalam bibit selama penyimpanan yang
lama. Pertumbuhan tunas seperti luas daun, panjang tunas, jumlah daun, diameter
tunas dan jumlah tunas sangat dipengaruhi oleh faktor genotip dan lingkungannya.
Pengaruh lama penyimpanan entres terhadap pertumbuhan luas daun,
panjang tunas, diameter tunas, jumlah daun, dan jumlah tunas sambung samping
kakao (Gambar. 5.1, 5.2, 5.3, 5.4, dan 5.5) menunjukkan pengaruh yang sangat
erat, sehingga semakin lama entres disimpan maka semakin rendah kemampuan
pertumbuhan pada masing-masing variabel pengamatan.
Faktor
genetik
mempunyai peranan yang sangat penting pada awal pertumbuhan entres (45 hsp),
namun selanjutnya faktor lingkungan seperti suhu, cahaya matahari, kelembaban,
73
dan fisiologi baik dari batang bawah maupun batang atas berperan terhadap
pertumbuhan entres. Hasil analisis regresi (Tabel 5.8) diperoleh waktu optimum
penyimpanan entres adalah 26,67 jam, apabila entres disimpan lebih dari waktu
tersebut kemampuan pertumbuhannya mulai menurun.
74
75
76
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
1.
Tidak terdapat interaksi antara jenis klon dan lama penyimpanan entres
terhadap pertumbuhan sambung samping (side grafting) kakao.
2.
Sambung samping pada tanaman kakao dapat digunakan segala jenis klon dan
pertumbuhan vegetatifnya tidak dipengaruhi oleh jenis klon.
3.
Lama penyimpanan entres selama enam hari sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan sambung samping kakao, semakin cepat entres disambung
semakin baik pertumbuhannya dan rata-rata waktu optimal pertumbuhan
entres adalah 26,67 jam
7.2 Saran
1.
Penggunaan klon ICCRI 03 dianjurkan karena terdapat kecendrungan
pertumbuhan vegetatif yang lebih baik
dibandingkan dengan klon-klon
lainnya.
2.
Pengukuran suhu dan kelembaban di tempat penelitian sangat penting
dilakukan karena pertumbuhan entres sambung samping sangat dipengaruhi
oleh keadaan suhu dan kelembaban
3.
Pelaksanaan penyambungan sebaiknya tidak boleh lebih dari 26,67 jam
setelah entres di potong, sehingga pertumbuhan entres lebih optimal.
70
77
78
79