nurrina desiani-fdk - Institutional Repository UIN Syarif

Transcription

nurrina desiani-fdk - Institutional Repository UIN Syarif
ANALISIS WACANA BAHASA JURNALISTIK
RUBRIK EDITORIAL MEDIA INDONESIA EDISI
DESEMBER 2000
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
NURRINA DESIANI
NIM. 105051102024
JURUSAN KONSENTRASI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H./2011 M.
ANALISIS WACANA BAHASA JURNALISTIK
RUBRIK EDITORIAL MEDIA INDONESIA EDISI
DESEMBER 2000
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
NURRINA DESIANI
NIM. 105051102024
Pembimbing:
Drs. Jumroni, M.Si
NIP: 19630515 199203 1006
JURUSAN KONSENTRASI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H / 2011 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul ANALISIS WACANA BAHASA JURNALISTIK
RUBRIK EDITORIAL MEDIA INDONESIA EDISI DESEMBER 2000 telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 23 September 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam
(S.Kom.I) pada jurusan Konsentrasi Jurnalistik.
Ciputat, 01 Desember 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang
Sekretaris
Drs. H. Mahmud Jalal, MA
Ade Rina Farida, M.Si
NIP: 19520422 198103 1 002
NIP: 197700513 200701 2 018
Penguji 1
Penguji 2
Dr. H. Arief Subhan, MA
NIP: 19660110 199303 1 004
Rubiyanah, MA
NIP: 19730822 199803 2 001
Pembimbing
Drs. Jumroni, M.Si
NIP : 19630515 199203 1006
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar starta satu (S1) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat
atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 2011
Nurrina Desiani
ABSTRAK
Nurrina Desiani
105051102024
Analisis Wacana Bahasa Jurnalistik Rubrik Editorial Media Indonesia Edisi
Desember 2000
Media (pers) acap kali disebut sebagai the fourth estate (kekuatan keempat)
dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Sebagai suatu alat untuk
menyampaiakan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia
mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk
opini publik, karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas
suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia
representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.
Paska runtuhnya orde baru, pesuratkabaran Indonesia seolah lepas dari
keterkungkungan kebebasan dalam mempublikasikan berita. Realitas yang terjadi saat
ini adalah media massa seolah mengibarkan bendera setinggi-tingginya yang
berslogan bebas dan bertanggung jawab ke ranah publik. Sejauhmana pemberitaan
Editorial Media Indonesia, dilihat dari segi waktu yaitu paska orde baru? Dan
bagaimana Media Indonesia mengonstruksi atau membahasakan konteks di lapangan
ke dalam teks?
Sehubungan dengan hal tersebut, sebenarnya media berada pada posisi yang
mendua, dalam pengertian bahwa ia dapat memberikan pengaruh-pengaruh “positif”
maupun “negatif”. Di dalam masyarakat modern pun, media memainkan peran
penting untuk perkembangan politik masyarakatnya. Pers kerap disebut-sebut sebagai
salah satu pilar demokrasi. Kebebasan berekspresi dalam menyampaikan informasi
yang mengusung slogan kebenaran dan kenyataan, untuk disampaikan ke ranah
publik. Ironisnya, realitas yang terjadi di lapangan melihat media massa tak
sepenuhnya objektif dan tak adil dalam memberitakan atau mengkritik suatu
peristiwa. Tugas media massa bukanlah mengungkap kebenaran, karena kebenaran
mutlak itu tidak akan pernah kita ketahui, tetapi menanggalkan semaksimal mungkin
bias-bias yang mereka anut selama ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berlandaskan pada
paradigma kritis. Kritis di sini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kekuasaan
disalahgunakan, serta melihat bagaimana pemakaian bahasa pada sebuah teks
dijadikan sebagai praktik sosial.
Penelitian ini menggandeng analisis wacana model Norman Fairclough yang
mengaitkan analisis level teks dan level discourse practice saja. Level teks fokus
mengumpulkan data tertulis berupa Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000.
Level discourse practice (produksi teks dan konsumsi teks) dilakukan dengan
mewawancarai mantan penulis editorial yang juga dewan redaksi Media Group dan
seorang informan mantan tim penulis editorial.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas berkah dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Tanpa
sadar pula, begitu banyak pihak baik yang terlibat langsung maupun tidak
langsung dalam proses penyelesaian penelitian ini. Maka pada kesempatan ini
pula penulis hendak menghaturkan rimbunan rasa terima kasih atas bantuan dan
dukungan serta bimbingan kepada sejumlah nama di bawah ini yang telah
memberikan sumbangan pikiran, tenaga, waktu, materi dan dukungan semangat
serta doa:
1. Terima kasih kepada orang tua penulis, Rachmat Karel Mangente
(alm) dan Nani Ramdhani, atas cinta dan doanya yang tak letih mereka
panjatkan di sepanjang jalan kehidupan penulis. Spesial untuk alm.
Papih, di mana pun berada walau tak bisa berjumpa raga, tapi
keyakinanku amat kuat bahwa papih selalu ada untuk menemani jejak
langkahku.
2. Terima kasih kepada keluarga besar, Mas Syamsu, Teh Henny, Teh
Hetty, A Heddy, A Opik, Teh Kiki dan barisan keponakanku Aryanti,
Andini, Arini, Adrian, Nisya, Hawa, Daffa dan Rizky, untuk perhatian
dan tegurannya, tawa dan bawelannya sehingga membuat penulis lebih
semangat untuk menuntaskan skripsi ini, penulis merasa terhibur.
ii
3. Terima kasih kepada Dr. H Arief Subhan MA selaku Dekan Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah membimbing penulis
melalui aset fakultas berupa perpustakaan.
4. Terima kasih kepada Drs. Jumroni, M.Si selaku dosen pembimbing,
tak bosan membimbing penulis melewati hambatan baik dari segi
penulisan hingga jalannya sebuah penelitian dengan berbekal ilmu
pengetahuan. Makasih pak, selalu memberi kepercayaan penuh kepada
penulis untuk menuntaskan dengan baik.
5. Terima kasih kepada Dra. Rubiyanah yang selalu menanyai tanpa
bosan ”kamu kapan lulusnya, Nur?” Secara tidak langsung, pertanyaan
ibu memberi semangat lain kepada saya. Terima kasih juga kepada Ibu
Ade, kerja keras ibu untuk mengagendakan jadwal sidang sangatlah
luar biasa.
6. Terima kasih kepada seluruh dosen dan staff di Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi yang tidak bisa dirunutkan nama-namanya,
berkat semaian kasih sayangnya yang tercurah dalam doa, semangat
belajar dan kedewasaan dalam kerangka ilmu pengetahuan, telah
mengajarkan penulis menjadi seorang akademisi yang kaya ilmu, baik
ilmu yang tertuang dalam teori maupun praktiknya.
7. Terima kasih kepada Mas Djadjat Sudradjat selaku Pemred Lampung
Post sekaligus menjadi salah satu Dewan Redaksi Media Indonesia
yang sempat meluangkan waktunya untuk berdiskusi. Berbagai
pertanyaan yang disodorkan, beliau bersedia menggulirkan jawaban
iii
yang memuaskan serta memberikan informasi kepada peneliti seputar
Editorial Media Indonesia tahun 2000. Sehingga penelitian ini menjadi
layak dan sempurna.
8. Terima kasih kepada Bang Tonny Schumacer selaku staff sekretaris
redaksi Media Indonesia yang banyak membantu penulis dalam
menyusuri data-data editorial di ruang keredaksian dan di perpustakaan
Media Indonesia. Selalu saja mencuri waktu piketnya dan begadang
hingga tak terasa sudah begitu larut. Makasih bang Toni.
9. Terima kasih kepada sahabat dan sahabati di Pergerakan BIRU
khususnya penghuni Blue Dormitory 3, Yanti, Cindy, Ana, Uus, Irma.
10. Terima kasih kepada kubu ’senior = akting’ M. Iqbal Islami, Agung
Kumojoyo, Budi Purnomo, Zaid Muhammad dan Carman Latief
Anshori, selalu memberi dukungan doa dan celotehan yang kadang
membuat suasana tegang tapi bermakna.
11. Terima kasih tak terhingga kepada sahabat seperjuangan, sebaik dan
setangguh Joya (Dahliana Syahri), Jenong (Juliani) & Zha. Kita pernah
medayuh kebersamaan dalam manis dan pahitnya hidup, saat menebal
dan menipisnya isi dompet, saat salah satu di antara kita bersedih dan
selalu ada akhir yang menyenangkan. Tak pernah habis kata, tawa,
suka dan duka tuk membuat cerita hebat tiap harinya. Apapun yang
akan dinamakan pada persahabatan kita, ke depan akan selalu ada
cerita untuk kalian di hatiku. Ingat selalu mimpi kita, kelak mesti
terealisasikan walau hanya satu saja di antara beribu mimpi.
iv
12. Terima kasih untuk kawan-kawan seperjuangan, senasib dan sekelas,
Hilma, Liga dan Wilda. Berawal dari semester awal dan berakhir
dengan pilihan kita masing-masing, termasuk pilihanku untuk lulus
belakangan. Semoga perkawanan kita abadi.
13. Terima kasih kepada Bapak Rulli Nasrullah untuk pinjaman buku yang
ditulis oleh Jane Stokes, sangat membantu untuk mempermudah
pengerjaan skripsi dan menambah referensi.
14. Terima kasih kepada kawan-kawan Pers Mahasiswa , yakni Teras
Dekan, Transparan, Institut, Jarak Pena dan Local Wisdom.
15. Terima kasih kepada koran lokal Tangsel Pos yang telah memberikan
kesempatan
waktu
dan
pengertiannya
kepada
penulis
untuk
menuntaskan perjalanan tugas akhir ini yang sempat tertunda.
16. Terima kasih kepada pemilik ’Kosan Dewi Sartika’, Bapak H.
Abdullah Sukarta dan isteri, selalu rajin menanyakan kapan penulis
lulus dan mendoakan agar penulis menjadi orang sukses.
17. Terima kasih kepada pihak-pihak yang pernah membantu penulis
untuk pengeditan tata letak skripsi, Denadon Caniago, Kak Yazid dan
Kak Suudi.
18. Terakhir, terima kasih kepada sosok lelaki yang tak ingin saya
sebutkan namanya, untuk sodoran pikiran-pikiran kritis serta
kesetiaannya menemani penulis hingga akhir penelitian ini. Walaupun
selama kita bersama, tak pernah lepas dari konflik hebat yang selalu
membuat kita sama-sama sakit dan kecewa, seperti katamu ”itulah
v
siklus hidup, ada suka dan duka, ada tawa dan tangis, ada sukses dan
gagal”. Di setiap sudut ruang dan waktunya, kau tak henti menyemai
dengan penuh kesabaran agar kelak penulis mampu menjadi pribadi
yang cerdas, kuat dan bermoral dalam menggeluti dunia pers yang
penuh dengan benturan-benturan idealisme dan perpolitisan. Sengaja
kutulis terkahir di nomor 18, sejatinya nomor 18 merupakan identitas
kelahiranmu.
Akhir kata, penulis berharap agar penelitian ini selain bermanfaat juga
dapat mengundang lahirnya gairah penelitian-penelitian lain yang mengkaji
berbagai fenomena baru dalam praktik media massa, khususnya media cetak di
Indonesia. Sebab penelitian ini seperti sebuah karya yang baru menawarkan
sebutir pengetahuan tentang secuil saja dari rimbunan “kebenaran”.
Ciputat, 23 September 2011
Nurrina Desiani
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
i
ii
vii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Batasan dan Perumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Tinjauan Kepustakaan
E. Metodologi Penelitian
F. Pedoman Penulisan
G. Sistematika Penulisan
LANDASAN TEORI
A. Wacana
1. Pengertian Wacana
2. Wacana Norman Fairclough
B. Ruang Lingkup Bahasa Jurnalistik
1. Pengertian Bahasa Jurnalitik
2. Fungsi Bahasa Jurnalistik
C. Kebijakam
1. Pengertian Kebijakan
2. Proses Perumusan Kebijakan
D. Rubrik
E. Editorial
1. Pengertian Editorial
2. Fungsi Editorial
3. Sifat Editorial
4. Tipe Editorial
5. Kode Etik Editorial
GAMBARAN UMUM
A. Profil Media Indonesia
1. Sejarah Media Indonesia
2. Visi dan misi Media Indonesia
B. Profil Editorial Media Indonesia
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Teks
1. Editorial “Ironi Para Pemimpin”
2. Editorial “Yang Lucu dari Akbar dan Gus Dur”
3. Editorial “Gus Dur Pergi Lagi”
4. Editorial “Arti Sebuah Kunjungan”
5. Editorial “Senayan makin Panas
B. Analisis Discourse Practice
1. Produksi Teks
vii
1
9
12
13
15
22
22
24
27
29
30
33
34
37
37
39
42
43
48
50
52
54
56
58
60
62
64
67
2. Konsumsi Teks
BAB V
73
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
80
82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
83
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Media (pers) acapkali disebut sebagai the fourth estate (kekuatan keempat)
dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Sebagai alat untuk menyampaikan
berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai
kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik,
karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide
atau gagasan, dan bahkan suatu kepentingan atau citra yang ia representasikan
untuk diletakkan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.1
Pengertian senada juga diungkap Gamble dalam buku Abdul Muis tentang
media massa, “Media massa adalah bagian komunikasi antar manusia (human
communication) dalam arti media merupakan saluran atau sarana untuk
memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar
manusia.”2
Media massa identik dengan pers, mengenai hal ini Onong Uchjana
Effendy berpendapat, “Dalam perkembangnnya pers mempunyai dua pengertian,
yakni pers dalam pengertian luas dan sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi
segala penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran dan
1
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing (Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006), h. 30-31.
2
Abdul Muis, Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi,
Jurnalistik (Jakarta: PT. Mario Grafika, 1996), h. 12.
1
2
televisi siaran. Sedangkan pers dalam pengertian sempit hanya terbatas dalam
media cetak, yakni surat kabar, majalah dan buletin kantor berita.”3
Menurut Eriyanto, proses media mendapatkan dan merangkum dalam
berita karena berkaitan dengan politik pemberitaan media, di antaranya adalah
strategi media dalam meliput peristiwa, memilih dan menampilkan fakta serta
dengan cara apa fakta itu disajikan, secara langsung atau tidak langsung,
berpengaruh dalam mengonstruksi peristiwa.4
Sehubungan dengan hal tersebut, sebenarnya media berada pada posisi
yang mendua, dalam pengertian bahwa ia dapat memberikan pengaruh-pengaruh
“positif” maupun “negatif” kepada publik, sehingga publik juga dituntut untuk
tidak langsung mengonsumsi informasi yang disajikan secara mentah-mentah,
perlu dicerna dahulu keakuratan informasi atau berita yang disampaikan media
massa.
Di dalam masyarakat modern pun, media memainkan peran penting untuk
perkembangan politik masyarakatnya. Pers kerap disebut-sebut sebagai salah satu
pilar demokrasi. Kebebasan berekspresi dan menyampaikan informasi yang
mengusung slogan kebenaran dan kenyataan, untuk disampaikan ke ranah publik.
Ironisnya, realitas yang terjadi di lapangan melihat media massa tak
sepenuhnya objektif, tidak adil, dan tidak netral dalam memberitakan atau
mengritik suatu peristiwa, seperti yang sering diklaim selama ini. Tugas media
3
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001), h. 146.
4
Ibid., h. 40.
3
massa bukanlah menyingkap kebenaran, karena kebenaran mutlak itu tidak akan
pernah kita ketahui, tetapi menanggalkan semaksimal mungkin bias-bias yang
mereka anut selama ini.
Memang persoalannya adalah bahwa media tidak bisa bersifat netral.
Misalnya atribut-atribut tertentu dari media dapat mengondisikan pesan-pesan
yang dikomunikasikan. Sebagaimana dikatakan oleh Marshall McLuhan;
“The medium is the message,” medium itu sendiri merupakan pesan. “apaapa yang dikatakan” ditentukan secara mendalam oleh medianya. Terlebih
lagi jika disadari bahwa di balik pesan-pesan yang disalurkan lewat media
niscaya tersembunyi berbagai mitos. Dan, mitos sebagai sistem signifikasi,
mengandung muatan ideologis yang berpihak kepada kepentingan mereka
yang berkuasa.”5
Memori kita tentunya masih merekam peristiwa era Orde Baru pasca
Peristiwa Malari 1974, ketika rezim Soeharto sangat kuat, pers dalam hal ini
media cetak mendapat tekanan atau represi sedemikian rupa, sehingga media
cetak kala itu hanya murni sebagai corong penguasa. 6 Otoritarianisme di era Orde
Baru, media massa seolah-olah dibungkam untuk memberikan informasi dan
memberitakan suatu peristiwa yang tidak ada kaitannya dengan pemerintahan saat
itu. Pers Indonesia selama 32 tahun (1965-19987) terpasung. Media massa pada
era Orde Baru lebih banyak memberitakan hal-hal yang mendukung pemerintah,
dan sistem pers saat itu menganut sistem pers otoriter.7 Keadaan berubah ketika
5
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing (Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006), h. 37.
6
M Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi (Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h. 178.
7
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama, Jurnalistik Teori dan Praktik (Bandung: Rosdakarya,
2005), h. 36.
4
rezim Soeharto jatuh paska Mei 1998, sistem politik yang sebelumnya sangat
represif menjadi demikian longgar, berita media cetak pun menjadi leluasa.
Pers tentu saja memanfaatkan kebebasan pers yang selama pemerintah
Orde Baru tidak pernah didapatkan. Ibarat kuda lepas dari kandangnya, mereka
lari dengan sangat cepatnya. Namun, kebebasan pers yang selama ini didapatkan
dianggap sudah pada tempatnya. Coba bandingkan dengan kebebasan pers paska
Orde Baru yang sangat liar. Pada waktu itu, pers berada pada titik kulminasi
kebebasan tertinggi yang bebas membertitakan apa saja, meskipun tanpa fakta
sekalipun.
Saat ini, sejalan dengan tingkat kedewasaan pengelola media massa, pers
mengartikan kebebasan masih dalam tempat yang wajar. Ia tetap hati-hati dalam
meliput pelbagai persoalan di masyarakat, meskipun tentu dengan kekurangan
yang melekat di sana sini.8
Reformasi yang mengakhiri pemerintahan Orde Baru adalah tonggak
penting bagi perjuangan kebebasan itu. Ketika Reformasi tahun 1998 digulirkan di
Indonesia, pers nasional bangkit dari keterpurukannya dan kran kebebasan pers
dibuka lagi yang ditandai dengan berlakunya UU No. 40 Tahun 1999. Berbagai
kendala yang membuat pers nasional “terpasung”, dilepaskan. Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP) yang berlaku di era Orde Baru tidak diperlukan lagi,
siapapun dan kapanpun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan yang
rumit. Euforia reformasi pun hampir masuk, baik birokrasi pemerintahan maupun
8
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 294-295.
5
masyarakat mengedepankan nuansa demokratisasi. Namun, dengan maksud
menjunjung asas demokrasi, sering terjadi ide-ide yang pemunculannya acap kali
melahirkan dampak yang merusak norma-norma dan etika. Bahkan cenderung
mengabaikan kaidah profesionalisme, termasuk bidang profesi kewartawanan dan
pers pada umumnya.
Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berdasarkan
prinsip-prinsip
demokrasi,
keadilan
dan
supermasi
hukum.
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia yaitu right to know atau hak
untuk tahu, berpendapat dan mendapat informasi. Yang dimaksud dengan
kemerdekaan pers yang dijamin sebagai hak asasi manusia adalah pers yang bebas
dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan penekanan agar hak masyarakat untuk
memperoleh informasi terjamin.
Untuk itu lahirnya kebebasan pers di era Reformasi ini tentunya menjadi
parameter dari segi waktu, di mana pers, khususnya media cetak menjadi lebih
berani dalam mengamati dan mengritik birokrasi pemerintahan. Tampak dari
pengemasan sebuah bahasa dalam menginterpretasikan pesan yang disampaikan
dalam kaitannya dengan konteks secara keseluruhan.
Menurut ungkapan Lorens Bagus (1990), sebagaimana dikutip Alex
Sobur;
”Bahasa mempunyai kekuatan yang begitu dahsyat dan lebih tajam dari
sebuah pisau. Dalam filsafat bahasa dikatakan bahwa orang mencipta
realitas dan menatanya lewat bahasa. Bahasa mengangkat ke permukaan
hal yang tersembunyi sehingga menjadi kenyataan. Tetapi bahasa yang
6
sama dapat dipakai menghancurkan realitas orang lain, bahasa menjadi
tiran.”9
Sudah jamak dan tak asing lagi sebuah surat kabar nasional menyediakan
kolom khusus pada halaman tertentu yang menyajikan rubrikasi pendapat atau
opini, di antaranya tajuk rencana, surat pembaca, tulisan atau artikel dari tokoh
penulis atau ilmuwan. Pada kolom tersebut, segala pendapat, kritik, pikiran orangperorangan baik mengatasnamakan pribadi maupun institusi, digulirkan secara
bebas dalam praktik penggunaan bahasanya, bahkan ada yang menggunakan
bahasa sindiran (satire).
Editorial sebenarnya bukanlah kolom yang paling dicari pembaca. Ketika
berhadapan dengan media cetak, misalnya saja surat kabar, orang cenderung akan
terfokus pada informasi utama. Jarang sekali, kalau boleh dikatakan demikian,
ditemukan orang yang langsung mencari dan membaca kolom editorial.
Fakta tersebut yang mungkin menyebabkan kebanyakan media cetak tidak
menaruh editorial pada halaman muka, tapi bukan berarti tidak ada sama sekali.
Dalam format surat kabar skala nasional, Media Indonesia tercatat sebagai salah
satu dari segelintir surat kabar yang memilih meletakkan kolom editorialnya pada
halaman depan.
Kolom editorial memang tidak selalu hadir dengan nama editorial.
Masing-masing media cenderung memberi nama yang berbeda sebagai ciri khas
medianya. Ada yang menyebutnya sebagai "Dari Kami" milik majalah Intisari,
9
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing (Bandung: PT Reamaja Rosdakarya, 2006), h. 16.
7
"Dari Meja Redaksi" kepunyaan buletin Pilar. Sementara Kompas menyebutnya
"Tajuk Rencana", sedangkan Seputar Indonesia "Tajuk". Adapun Media
Indonesia dan Berita GKMI termasuk yang masih memakai nama "Editorial" pada
kolom tersebut.
Di Media Indonesia meyediakan kolom tajuk rencana yang disebut dengan
Editorial dan diletakkan di halaman muka tepatnya pojok kanan atas. Rubrik
Editorial Media Indonesia ini merupakan evolusi dari rubrik Selamat Pagi
Indonesia di Harian Prioritas yang harus dibredel karena telah berani berterusterang menyatakan pendapat, berjuang mengemukakan pendapat dan berpikir
dengan sangat bebas. Tidak gampang memang menemukan gaya tajuk rencana
yang dikemas sedemikian rupa agar tetap masuk ke ruang publik. Di tengah kultur
sopan santun, kritik dibungkus dalam kata-kata santun.
Tajuk rencana merupakan pendapat institusi mengenai isu yang dibuat
berdasarkan
rapat
redaksi,
yang
perlu
digarisbawahi
adalah
tidak
mengatasnamakan pribadi wartawan. Tajuk rencana pada dasarnya adalah roh
bagi sebuah surat kabar. Pada tajuk rencana itulah pandangan, pikiran, dan
kritisme redaksi pengelola terhadap beragam peristiwa dikonstruksi untuk
menghasilkan sebuah titik pandang dan kemudian ditampilkan ke tengah-tengah
publik, karena itu tidak disertai nama penulisnya.
Tajuk rencana menurut Jacob Oetama adalah “Suara lembaga koran
tersebut, maka sebenarnya tajuk rencana mestilah tidak bersifat “personal”
melainkan “institusional”. Diusahakan agar tajuk rencana itu mengungkapkan
8
fakta, baru kemudian komentar atas fakta tersebut. Ada dimensi etis, ada dimensi
kemanusiaan. Tidak sekadar semua asal dibicarakan, tetapi antara dibicarakan dan
juga dilaksanakan.”10
Tajuk Rencana adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media
sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau
kontroversial yang berkembang dalam masyarakat. 11
Seperti yang diungkapkan William L. Rivers, Byrce Mc Intryre dan Alison
Work;
“Editorial adalah pikiran sebuah institusi yang diuji di depan sidang
pendapat umum. Editorial juga adalah penyajian fakta dan opini yang
menafsirkan berita-berita yang penting dan mempengaruhi pendapat
umum.”12
Karakter atau identitas sebuah surat kabar terletak pada tajuk rencana.
Tajuk rencana pers papan atas atau pers berkualitas misalnya, memiliki ciri antara
lain senantiasa hati-hati, normatif, cenderung konservatif, dan menghindari
pendekatan kritik yang bersifat telanjang atau tembak langsung dalam ulasanulasannya.13
Terus terang, Tegas, dan Lugas adalah karakter paling menonjol dari
Editorial Media Indonesia. Editorial Media Indonesia memesona sebagai naskah,
dan juga memesona sebagai pemikiran. Di situlah letak kekuatan Editorial Media
10
Jacob Oetama, Perspektif Pers Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 137-138.
AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 2.
12
William L Rivers, Bryce Mc Intyre, dan Alison Work, Penyunting Dedy Djamaluddin Malik,
Editorial, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 5.
13
Jacob Otama, Perspektif Pers Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 81.
11
9
Indonesia. Begitu berani penulisan dan gaya bahasa yang digunakan oleh Media
Indonesia, khususnya pada rubrik editorial, sehingga tidak jarang menuai
kontroversi dari berbagai kalangan.
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk
menyajikan sebuah skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Bahasa Rubrik
Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000.”
B.
Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan lebih terarah dan fokus, maka peneliti memberi
batasan penelitian terhadap bahasa jurnalistik Editorial Media Indonesia
edisi Desember 2000. Peneliti meneliti Editorial Media Indonesia pada
setiap minggunya di bulan Desember 2000, terdapat lima editorial yang
dijadikan sebagai data utama penelitian. Alasan peneliti memilih kelima
sampel tersebut adalah dilihat dari segi isi, sejauhmana bahasa yang
dikemas dengan sangat lugas, berani dan menarik oleh editorial dalam
menuliskan sosok Abdurrahman Wahid.
Minggu pertama diambil pada edisi Minggu, 3 Desember 2000.
Minggu kedua diambil pada edisi Rabu, 6 Desember 2000. Minggu
ketiga diambil pada edisi Jumat, 15 Desember 2000. Minggu keempat
10
diambil pada edisi Rabu, 20 Desember 2000. Terakhir, minggu kelima
diambil pada edisi Sabtu, 30 Desember 2000.
Sejauh mana penggunaan dan penempatan kaidah bahasa
jurnalistik pada sebuah produk jurnalistik non berita, pada penelitian ini
adalah Editorial Media Indonesia.
Titik perhatian besar penelitian ini lebih menelusuri bagian judul
editorial dan isi editorial dari aspek kebahasaan, yaitu bahasa jurnalistik.
Selain itu agar penelitian ini mendapatkan hasil yang optimal dan akurat,
peneliti menggunakan analisis wacana model Norman Fairclough.
Fairclough mengaitkan analisis level teks (tingkat analisis mikro) dengan
analisis level discourse practice (tingkat analisis messo) yang
menjelaskan kaitan tentang produksi teks dan konsumsi teks. Peneliti
tidak memasuki wilayah sociocultural practice (tingkat analisis makro)
yang ada pada wilayah analisis Norman Fairclough secara utuh atau oleh
Fairclough disebut ”dimensi wacana”.
Pada tingkat mikro (teks), peneliti akan meneliti pemakaian
bahasa pada kelima Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000.
Penelitian pada level teks dilihat secara keseluruhan, yaitu judul dan isi (
pendahuluan, pembahasan, dan penutup) editorial Media Indonesia.
Di tingkat messo, peneliti akan meneliti pada dua level yaitu
produksi teks dan konsumsi teks. Level produksi teks, peneliti
melakukan wawancara dengan salah satu Tim Penulis Editorial
11
Media Indonesia yang juga sebagai Dewan Redaksi Media Group,
Djadjat Sudradjat. Wawancara dilakukan sebagai salah satu bentuk
penelusuran data dan fakta. Sedangkan pada level konsumsi teks,
peneliti melakukan wawancara dengan seorang informan yang
dipilih berdasarkan teknik sampling purposive. Lebih spesifik lagi,
informan bernama Edy A Effendi dipilih sesuai dengan ketepatan
relasi antara judul penelitian dengan kredibilitas serta kapabilitas
informan itu sendiri.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka timbul rumusan
masalah yang akan dibahas antara lain:
a. Bagaimana proses pemilihan tema
Editorial Media Indonesia?
Bagaimana pula alur produksi teks pada Editorial Media Indonesia?
Apakah penulisan Editorial Media Indonesia berpijak pada kaidah
bahasa jurnalistik dan etika bahasa? Adakah ideologi secara institusi
maupun pribadi yang melatari penulisan editorial?
12
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Akademis: penelitian ini merupakan syarat untuk
memperoleh gelar strata 1 (S-1) di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
b. Tujuan Praktis: untuk mengetahui penulisan editorial dan
mengetahui bagaimana penerapan bahasa jurnalistik di Media
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
perspektif atau cara pandang yang digunakan institusi media massa
dalam menyeleksi suatu isu yang berkaitan dengan penulisan non
berita (opini redaksi). Penelitian ini bertujuan untuk melihat
korelasi antara teks dan konteks dalam penulisan Editorial Media
Indonesia dan menelusuri adakah pesan yang tersembunyi (latent).
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis: Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk menambah referensi bagi ilmu pengetahuan, khususnya
ilmu pengetahuan pada bidang jurnalistik.
b. Manfaat
Praktis:
untuk
mengetahui,
mempelajari
serta
menganalisa bagaimana sebuah produk jurnalistik non berita
diperoleh, diolah dan disampaikan kepada khalayak pembaca
media massa cetak, di penelitian ini adalah Media Indonesia.
13
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi
dan evaluasi bagi institusi media khususnya Media Indonesia,
terkait dengan isu-isu sensitif yang berhubungan dengan
personalitas tokoh politik
D.
Tinjauan Kepustakaan
Peneliti melakukan observasi ke beberapa perpustakaan, di antaranya
adalah Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan IISIP Jakarta. Di perpustakaan tersebut
peneliti mendapatkan penulisan skripsi yang meneliti bahasa jurnalistik,
Abdurrahman Wahid, dan Media Indonesia.
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh beberapa peneliti yang meneliti
penggunaan bahasa jurnalistik, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan
Irvan, Mahasiswa IISIP Jurusan Jurnalistik. Skripsinya berjudul Konstruksi
Realitas Pemberitaan Presiden Abdurrahman Wahid Dalam Wacana Surat Kabar
Republika Edisi 7 Mei 2000-3 Februari 2001 (Analisis Wacana Kasus BULOG).
Penelitian lainnya dilakukan oleh Santi Irawati, Mahasiswi IISIP Jurusan
Jurnalistik. Skripsinya berjudul Penggunaan Kaidah Bahasa Jurnalistik Indonesia
Dilihat Dari Kata Mubazir, Kata Asing, dan Kerancuan Pada Headline Surat
Kabar Harian Media Indonesia Edisi Januari-Februari 2009.
Perbedaan penelitian yang peneliti lakukan dengan peneliti sebelumnya
adalah pada peneliti pertama penelitiannya pada media cetak yang berbeda yaitu
14
Republika. Walaupun meneliti subjek yang sama (Abdurrahman Wahid), tetapi
objek yang diteliti berbeda yaitu memfokuskan pada satu kasus (BULOG) tahun
2000-2001. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan memilih Media Indonesia
dan instrumen penelitiannya adalah editorial edisi Desember 2000.
Perbedaan dengan peneliti kedua terdapat pada fokus objek penelitian.
Pada peneliti kedua objek penelitiannya adalah headline, sedangkan objek
penelitian yang peneliti pilih adalah editorial. Peneliti kedua tidak menggunakan
spesifikasi analisis, berbeda dengan peneliti yang menggandeng analisis wacana
Norman Fairclough.
Peneliti yang ketiga adalah sama-sama berstatus sebagai mahasiswa di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FIDKOM, Komunikasi dan Penyiaran Islam,
Ruslan. Skripsinya berjudul Analisis Wacana Islam Liberal dalam Majalah
Syir’ah Edisi Oktober 2005.
Perbedaan yang pertama antara peneliti dengan peneliti ketiga ini adalah
fokus penelitian yg dilakukannya pada Islam Liberal, sedangkan peneliti lebih
kepada Editorial Media Indonesia. Perbedaan kedua, walaupun sama-sama
menggunakan analisis wacana Norman Fairclough, tetapi pada peneliti ketiga
tidak adanya penelitian di tingkat bahasa jurnalistik.
Adapun tinjauan yang dilakukan pada peneliti keempat yaitu salah satu
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FIDKOM, Konsentrasi jurnalistik,
Aris Takomala. Skripsinya berjudul Analisis Bahasa Jurnalistik Berita Utama
Surat Kabar Republika Edisi Desember 2008.
15
Perbedaan yang terlihat antara peneliti dengan peneliti keempat adalah
subjek penelitiannya adalah surat kabar Republika edisi Desember 2008. Objek
penelitiannya adalah berita utama surat kabar Republika edisi Desember 2008.
Penelitiannya juga lebih memfokuskan pada ciri bahasa jurnalitik yang
komunikatif, spesifik, hemat kata, jelas makna, dan tidak mubazir serta tidak
klise.
Perbedaan terakhir masih pada salah satu mahasiswi dari universitas,
fakultas dan jurusan yang sama dengan peneliti ketiga, yaitu Asih Amerti. Judul
skripsinya adalah Analisis Wacana Editorial Koran Tempo tentang Serangan
Israel ke Gaza (edisi 28 Desember 2008-18 Januari 2009).
Pada penelitiannya, subjek yang digunakan adalah serangan Israel ke
Gaza. Objek penelitiannya adalah Editorial Koran Tempo yang memuat tentang
serangan Israel ke Gaza edisi 27 Desember 2008-18 Januari 2009. Peneliti
terakhir menggunakan pisau analisis wacana model Teun van Dijk dan teori
konstruksi realitas Peter L Berger.
E.
Metodologi Penelitian
1
Paradigma Penelitian
Dalam tradisi keilmuan, seorang peneliti harus memilih salah
satu
paradigma
(paradigm)
yang
hendak
digunakan
dalam
penelitiannya. Menurut pemikiran Guba dan Lincoln sebagaimana
dikutip Dedy Nur Hidayat;
16
”Paradigma ilmu pengetahuan (komunikasi) terbagi menjadi
tiga, (1) paradigma klasik (classical paradigm) yang terdiri
dari positivist dan postpositivist, (2) paradigma kritis (critical
paradigm) dan (3) paradigma konstruktivisme (constructivism
paradigm).14
Karena penelitian ini menggunakan pisau Analisis Wacana,
maka penelitian ini termasuk dalam kategori paradigma kritis.
Paradigma kritis terhadap wacana sebagai tipe analisis yang terutama
mempelajari bagaimana kekuasaan disalahgunakan, atau bagaimana
dominasi serta ketidakadilan dijalankan dan direproduksi melalui teks
dalam sebuah konteks sosial politik.
Salah satu kriteria yang berlaku bagi sebuah studi kritis adalah
sifat holistik dan kontekstual. Kualitas suatu analisis wacana kritis
akan selalu dinilai dari segi kemampuan untuk menempatkan teks
dalam konteksnya yang utuh, holistik, melalui pertautan antara
analisis pada jenjang teks dengan analisis terhadap konteks pada
jenjang-jenjang yang lebih tinggi.
Mengambil pemikiran Fairclough dan Wodak, analisis wacana
kritis melihat wacana pada pemakaian bahasa dalam tuturan dan
tulisan, sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana
sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di
14
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi
di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2007), h. 237.
17
antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur
sosial yang membentuknya.15
Fairclough
menyempurnakan
pengertian
wacana
secara
komprehensif dari pandangan kritis. Menurutnya, wacana harus
dipandang secara simultan.16 Fairclough juga mengemukakan pokokpokok pikiran kritis yaitu setiap institusi sosial berisi “cara-cara
berbicara” dan “cara-cara melihat” yang dalam terminologi Fairclough
disebut “bentuk ideologis-diskursif” (BID). Biasanya hanya ada satu
BID yang dominan, sementara itu BID yang lain berada pada posisi
tersubordinasi dan terhegemoni. Setiap institusi sosial memiliki
norma-norma wacana yang dilekatkan dalam norma-norma ideologis
dan disimbolkan oleh norma-norma ideologisnya. Subjek institusi
dikonstruksikan menurut norma-norma sebuah BID dimana posisi
subjek yang mendukung ideologi itu mungkin saja tidak sadar.17
Sedangkan paradigma kritis menurut Eriyanto, tidak dipahami
semata sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana memang
menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang
dianalisis di sini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian
linguistik
tradisional.
menggambarkan
semata
Bahasa
dari
dianalisis
aspek
bukan
kebahasaan,
dengan
tetapi
juga
menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa itu
15
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 7.
Yoce Aliah Darma, Analisis Wacana Kritis (Bandung: Yrama Widya, 2009), h. 69.
17
Ibid., h. 71.
16
18
dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya
praktik kekuasaan.18
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang
mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di
masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna
dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan
dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai
kategorisasi tertentu.19
Pendekatan kualitatif tidak menggunakan prosedur statistik
dalam pendekatannya, melainkan dengan berbagai macam sarana.
Sarana tersebut antara lain dengan wawancara, pengamatan, atau
dapat juga melalui dokumen, naskah, buku, dan lain-lain.20 Seperti
yang diungkapkan Crasswell;
“Beberapa asumsi dalam pendekatan kualitatif yaitu pertama,
peneliti kualitatif lebih memerhatikan proses daripada hasil.
Kedua, peneliti kualitatif lebih memerhatikan interpretasi.
Ketiga, peneliti kualitatif merupakan alat utama dalam
mengumpulkan data dan analisis data serta peneliti kualitatif
harus terjun langsung ke lapangan, melakukan observasi
partisipasi di
lapangan. Keempat, peneliti kualitatif
menggambarkan bahwa peneliti terlibat dalam proses
18
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 7.
Ibid., h. 302.
20
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Penerjemah Muhammad
Shodia dan Imam Muttaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 4.
19
19
penelitian, interpretasi data, dan pencapaian pemahaman
melalui kata atau gambar.21
Dalam analisisnya, analisis wacana lebih bersifat kualitatif,
karena analisis wacana lebih menekankan pemaknaan teks daripada
unit penjumlahan kategori seperti pada analisi isi kuantitatif. Unsur
penting dalam analisis wacana adalah kepaduan (coherence) dan
kesatuan (unity) serta penafsiran peneliti.22
3. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek yang diteliti adalah Media Indonesia. Sedangkan objek
penelitiannya adalah Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000,
spesifikasi terhadap bahasa jurnalistik editorial beserta gaya penulisan
editorial terhadap personalitas Abdurrahman Wahid.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan
peneliti yaitu data primer dan sekunder. Data primer merupakan sasaran
utama dalam analisis, sedangkan data sekunder diperlukan guna
mempertajam analisis data primer sekaligus dapat dijadikan bahan
pendukung ataupun pembanding.
a. Data primer (Primary-Sources), yaitu data tekstual yang diperoleh
berupa berkas Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000.
21
Ibid., h. 303.
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 68.
22
20
b. Data sekunder (Secondary-Sources), yaitu dengan mencari referensi
berupa buku-buku, makalah, jurnal dan tulisan lain yang berkaitan
dengan penelitian ini. Pada penelitian ini yang menjadi data sekunder
adalah buku terbitan LP3ES dengan judul Politik Editorial Media
Indonesia, Analisis Tajuk Rencana1998-2000.
c. Observasi, untuk mendapatkan data primer pada penelitian, peneliti
melakukan observasi sebagai bukti suatu pengujian. Observasi ini
dilakukan guna menjadi salah satu teknik pengumpulan data yang
menjadi bahan pijakan, yaitu mengumpulkan dan menyeleksi
penulisan Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000.
d.
Studi Pustaka, peneliti juga melakukan pencarian ke beberapa sumbersumber referensi yang terkait dengan studi kasus penelitian ini, baik
berupa buku, penelitian ilmiah maupun data dari internet.
e. Wawancara, teknik ini dilakukan untuk menambah data dan
menyinergikan data, dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan
kepada dewan redaksi atau wartawan yang mengelola Editorial Media
Indonesia. Wawancara dilakukan kepada narasumber terpercaya yakni
Djadjat Sudradjat sebagai salah satu Tim Penulis Editorial Media
Indonesia, kini sebagai Dewan Redaksi Media Group.
5. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini, data yang sudah diperoleh dengan menggunakan
teknik pengumpulan data di atas diteliti dengan menggunakan
pisau
Analisis Wacana. Sehingga akan terlihat bagaimana Editorial Media
21
Indonesia mengemas sebuah produk jurnalistik non-berita (opini redaksi).
Analisis wacana tidak hanya mengetahui bagaimana pesan disampaikan
melalui kata, frasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita
disampaikan. Analisis wacana lebih melihat bagaimana bangunan struktur
kebahasaan tersebut, Analisis Wacana juga lebih melihat pada makna yang
tersembunyi dari suatu teks.
Pendekatan yang akan digunakan dalam Analisis Wacana ini
menggunakan model Norman Fairclough. Titik perhatian besar dari
Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Model
Analisis Wacana ini dibagi ke dalam tiga struktur besar, yakni: teks,
discourse practice dan sociocultural practice.23
Discourse practice merupakan struktur yang berhubungan dengan
proses produksi dan konsumsi teks. Teks diproduksi dengan cara spesifik
dengan rutinitas dan pola kerja yang terstruktur.24
Dalam penelitian ini analisis discourse practice dilakukan dengan:
pertama, produksi teks dilakukan melalui wawancara mendalam dengan
Dewan Redaksi Media Group yaitu Djadjat Sudradjat. Kedua, konsumsi
teks dilihat dari bagaimana publik merespon penulisan opini institusi
dalam Editorial Media Indonesia Edisi Desember 2000. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap seorang informan
23
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 161.
24
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 287.
22
mantan Penulis Editorial dari unsur wartawan Media Indonesia, kini
sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid Kabar Lain dan Portal Berita On line
http://kabarlain.com, Edy A Effendi.25
F.
Pedoman Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku ”Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” yang ditulis oleh Hamid Nasuhi, Ismatu
Ropi, Oman Fathurahman, M. Syairozi Dimyati, Netty Hartati dan Syopiansyah
Jaya Putra. diterbitkan oleh CeQDA ( Center for Quality Development and
Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. buku ini merupakan cetakan pertama
pada Januari 2007.
G.
Sistematika Penulisan
BAB I diawali dengan latar belakang, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II berisi tentang tinjauan kepustakaan mengenai analisis wacana
model Norman Fairclough, ruang lingkup bahasa jurnalistik, pengertian
rubrik, ruang lingkup editorial atau tajuk rencana.
25
Ibid., h. 320-322.
23
BAB III membahas sejarah Media Indonesia, visi dan misi, struktur
keredaksian, profil pembaca dan profil Editorial.
BAB IV membahas tentang temuan Analisis Wacana Editorial Media
Indonesia Edisi Desember 2000, dan lebih dominan memberitakan
mengenai personalitas Abdurrahman Wahid. Temuan data dianalisis
dengan menggunakan Analisis Wacana model Norman Fairclough dan
akan dibuat hasil penelitian yang mengkritisi penulisan Editorial Media
Indonesia.
BAB V PENUTUP membahas kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Analisis Wacana
1. Pengertian Analisis Wacana
Análisis wacana merupakan bentuk análisis relatif baru yang
berkembang terutama sejak tahun 1970-an, seiring dengan studi mengenai
struktur, fungsi, dan proses dari suatu teks.1
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam
banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada
gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis
wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian
bahasa.
Dalam analisis wacana yang menjadi sorotan utama adalah
representasi, bagaimana seseorang atau segala sesuatu itu tidak tampil
sendiri, tetapi ditampilkan melalui mediasi bahasa. Baik tertulis, suara,
maupun gambar. Bahasa di sini tidak dimaknai sebagai sesuatu yang netral
yang bisa mentransmisikan dan menghadirkan realitas seperti keadaan
aslinya. Bahasa di sini bukan dimaknai sebagai sesuatu yang netral, tetapi
sudah tercelup oleh ideologi yang membawa muatan kekuasaan tertentu.
Bahasa adalah suatu praktik sosial, melalui mana seseorang atau kelompok
1
Dennis McQuail, Mass Communication Theory: An Introduction (London: Sage Publication,
third edition, 1995), h. 276-277
24
25
ditampilkan dan didefinisikan. Lewat bahasa, seseorang ditampilkan secara
baik dan buruk untuk ditampilkan kepada masyarakat.2
Analisis wacana berbeda dengan apa yang dilakukan oleh análisis isi
kuantitatif. 3 Dasar dari analisis wacana adalah interpretasi, karena analisis
wacana merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan
interpretasi dan penafsiran peneliti. Oleh karena itu, dalam proses
kerjanya, analisis wacana tidak memerlukan lembar koding yang
mengambil beberapa ítem atau turunan dari konsep tertentu. Meskipun ada
panduan apa yang bisa dilihat dan diamati dari suatu teks, pada prinsipnya
semua tergantung pada interpretasi peneliti. Isi dipandang bukan sesuatu
yang mempunyai arti yang tepat, di mana peneliti dan khalayak
mempunyai penafsiran yang sama atas suatu teks. Justru yang terjadi
sebaliknya, setiap teks pada dasarnya bisa dimaknai secara berbeda, dapat
ditafsirkan secara beraneka ragam. Perbedaan ini terutama didasarkan pada
yang satu merupakan bagian dari tradisi penelitian empiris, sedangkan
yang satu interpretatif.
Kedua, analisis wacana justru berpretensi memfokuskan pada pesan
yang tersembunyi (laten). Banyak sekali teks komunikasi disampaikan
secara implisit. Makna suatu pesan dengan demikian tidak dapat hanya
ditafsirkan sebagai apa yang tampak nyata dalam teks, tetapi harus dianalis
2
3
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 343
Ibid., h. 337.
26
dari makna yang tersembunyi. Pretensi analisis wacana adalah pada
muatan, nuansa, dan makna yang laten dalam teks media. 4
Ketiga, analisis wacana bukan hanya bergerak dalam level makro (isi
dari suatu teks) tetapi juga pada level mikro yang menyusun suatu teks,
seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris. Dalam analisis wacana, bukan
hanya kata atau aspek isinya yangg dapat dikodekan tetapi struktur wacana
yang kompleks pun dapat dianalisis pada berbagai tingkatan deskripsi.
Bahkan makna kalimat dan relasi koheren antarkalimat pun dapat
dipelajari. Dalam pendekatan ini, pengandaian yang digunakan untuk
memeriksa makna yang tersembunyi yang dimiliki wacana juga dapat
dipelajari dan dibedah. Kita juga dapat melihat bagaimana suatu peristiwa
dapat digambarkan dengan sedikit atau banyak detil dalam teks. Intinya,
semua elemen yang membentuk teks baik yang terlihat secara eksplisit
maupun tersamar dapat dibedakan dengan analisis wacana. Keempat,
analisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi dengan beberapa
asumsi.5
Foucault mengatakan wacana sebagai bidang dari semua pernyataan
(statement), kadang sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan,
dan kadang-kadang sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah
pernyataan (Mills, 1997: 8). Sementara Eriyanto (2005: 5) mendefinisikan
4
Peter Carsen, “Textual Analysis of Fictional Media Content”, dalam Klaus Bruhn Jensen dan
Michael Jankoviscki, A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication
Research (London and New York: Routledge, 1993), h. 123.
5
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 339-340.
27
análisis wacana sebagai suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi
dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Wacana
merupakan praktik sosial (mengonstruksi realitas) yang menyebabkan
sebuah hubungan dialektis antara peristiwa yang diwacanakan dengan
konteks sosial,budaya, ideologi tertentu. Di sini bahasa dipandang sebagai
faktor penting untuk merepresentasikan maksud si pembuat wacana.6
Dalam analisisnya, analisis wacana lebih bersifat kualitatif, karena
analisis wacana lebih menekankan pemaknaan teks daripada unit
penjumlahan kategori seperti pada analisi isi kuantitatif. Unsur penting
dalam analisis wacana adalah kepaduan (coherence) dan kesatuan (unity)
serta penafsiran peneliti.7
2. Kerangka Analisis Wacana Model Norman Fairclough
Pendekatan yang akan digunakan dalam analisis wacana ini
menggunakan model Norman Fairclough, dengan melihat berbagai
perbandingan antar model pada analisis wacana. Titik perhatian besar dari
Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Model
analisis wacana ini dibagi ke dalam tiga struktur besar, yakni: teks,
discourse practice dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough,
teks yang dianalisis secara linguistik dengan melihat kosakata semantik
6
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
cetekan ketiga, 2008), h. 260.
7
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 68.
28
dan tata kalimat. Termasuk di dalamnya koherensi dan kohesivitas,
bagaimana antarkata atau antarkalimat tersebut digabung sehingga
membentuk sebuah pengertian.8 Intinya adalah teks bukan hanya
menunjukkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana
hubungan antarobjek didefinisikan. Di sini dilakukan analisis linguistik
pada struktur teks untuk menjelaskan teks tersebut, yang meliputi kosa
kata, kalimat, proposisi, makna kalimat dan lainnya, untuk mempermudah
analisis bisa digunakan metode analisis pembingkaian.9
Discourse practice merupakan struktur yang berhubungan dengan
proses produksi dan konsumsi teks. Teks diproduksi dengan cara spesifik
dengan rutinitas dan pola kerja yang terstruktur.10 Praktik wacana
merupakan dimensi yang berkaitan dengan proses produksi dan konsumsi
teks. Sebuah teks pada dasarnya dihasilkan lewat proses produksi, seperti
pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas dalam menghasilkan teks. Demikian
pula dengan konsumsi teks dapat berbeda dalam konteks yang berbeda.
Konsumsi dapat dihasilkan secara personal atau kolektif.11
Pada struktur sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa
konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana
yang muncul dalam media. Sociocultural practice ini memang tidak
berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan
8
Alex Sobur, Analisi Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 161.
9
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 263.
10
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 287.
11
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 263.
29
bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Fairclough membuat tiga level
analisis pada sociocultural practice: level situasional, institusional dan
sosial.
12
Praktik sosial budaya melihat bangunan wacana yang
berkembang dalam masyarakat, di mana dimensi ini melihat konteks di
luar teks, antara lain sosial, budaya, atau situasi saat wacana itu dibuat.13
B. Ruang Lingkup Bahasa Jurnalistik
Penggunaan bahasa jurnalistik dalam surat kabar, tabloid, buletin,
majalah, radio, televisi, atau media on line, tidak bisa bersifat tiba-tiba atau
hadir begitu saja. Bahasa jurnalistik suatu media dipilih melalui proses
perencanaan dan bahkan hasil kajian yang sangat panjang. Setiap media
biasanya memiliki buku pedoman atau panduan masing-masing dalam
penetapan bahasa jurnalistik. Buku pedoman tersebut harus berpijak pada
empat faktor: filosofi media, visi media, misi media dan kebijakan
redaksional.14
1. Pengertian Bahasa Jurnalistik
a. Bahasa yang tunduk kepada kaidah dan unsur-unsur pokok yang
terdapat dan melekat dalam definisi jurnalistik. Susunan kalimat
12
Ibid., h. 320-322.
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 263.
14
AS Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2006), h. 21.
13
30
jurnalistik yang baik akan menggunakan kata-kata yang pas untuk
menggambarkan suasana serta isi pesannya.15
b. Bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau
bahasa jurnalistik. Bahasa pers ialah salah satu ragam bahasa yang
memiliki sifat-sifat khas yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, jelas,
lugas dan menarik16
Dengan berpijak pada uraian di atas, pengertian bahasa jurnalistik dapat
didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan oleh wartawan, redaktur, atau
pengelola media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan
dan menayangkan berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar,
aktual, penting dan menarik dengan tujuan agar mudah dipahami isinya dan
cepat ditangkap maknanya.
2. Fungsi Bahasa Jurnalistik
Karena sifat khalayak anonim dan heterogen, maka bahasa jurnalistik
yang dipilih tentu harus memenuhi asas anonim heterogenitas.
Dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu dalam garis besarnya adalah:
a. Alat untuk menyatakan ekspresi, bahasa menyatakan secara terbuka
segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita.
15
AM. Dewabrata, Kalimat Jurnalistik, Panduan Mencermati Penulisan Berita (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2004), h. 23.
16
Rosihan Anwar, Bahasa Jurnalistik dan Komposisi (Jakarta: Pradnya Paramitta, 1991), h. 1.
31
b. Alat komunikasi, dengan komunikasi kita dapat menyampaikan
semua yang kita rasakan, pikirkan, dan kita ketahui kepada orang
lain.
c. Alat
mengadakan
memungkinkan
mempelajari
integrasi
manusia
dan
dan
untuk
mengambil
adaptasi
sosial,
memanfaatkan
bagian
dalam
bahasa
pengalaman,
pengalaman-
pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang lain.
d. Alat mengadakan kontrol sosial, semua kegiatan sosial akan
berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan mempergunakan
bahasa.17
e. Fungsi pemersatu, menghubungkan semua penutur berbagai dialek
bahasa, dan mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat
bahasa, serta meningkatkan proses identifikasi penutur dengan
masyarakat itu.
f. Fungsi pemberi kekhasan, bahasa baku memperkuat perasaan
kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Yang
jelas bahasa Indonesia berbeda dari bahasa Melayu.
g. Fungsi pembawa kewibawaan, pemilikan bahasa baku membawa
serta wibawa atau prestise. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan
dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain
yang dikagumi lewat perolehan bahasa baku sendiri.
17
AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis
Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 8-9.
32
h. Fungsi sebagai kerangka acuan, bagi pemakaian bahasa dengan
adanya norma dan kaidah (yang dikodifikasikan) yang jelas. Norma
dan kaidah itu menjadi tolok ukur bagi benar tidaknya pemakaian
bahasa seorang atau golongan.18
i. Fungsi instrumental, menggunakan bahasa untuk memperoleh
sesuatu.
j. Fungsi regulatori, menggunakan bahasa untuk mengontrol perilaku
orang lain.
k. Fungsi interaksional, menggunakan bahasa untuk menciptakan
interaksi dengan orang lain.
l. Fungsi personal, menggunakan bahasa untuk mengungkapkan
perasaan dan makna.
m. Fungsi heuristik, menggunakan bahasa untuk belajar dan
menemukan makna.
n. Fungsi imajinatif, menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia
imajinasi.
o. Fungsi
representasional,
menggunakan
bahasa
untuk
menyampaikan informasi.19
Sebagai pegangan pokok, bahasa jurnalistik hanyalah salah satu ragam
bahasa, bahasa jurnalistik merujuk dan tunduk kepada kaidah bahasa baku,
18
Hasan Alwi, Soedjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M Moeliono, Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h. 14-16.
19
Furqanul Azies dan A Chaedar Alwasiah, Pengajaran Bahasa Komunikatif , Teori dan Praktek
(Bandung: PT Rosdakarya, 2000), h. 17-18.
33
dan bahasa jurnalistik tidak dimaksudkan sebagai suatu bentuk bahasa baru
yang sifatnya berbeda apalagi menggantikan bahasa-bahasa yang lain,
termasuk dan terutama bahasa nasional, bahasa Indonesia. Jika dikatakan dan
disimpulkan fungsi bahasa seluas samudera, maka seluas itu juga fungsi yang
diemban bahasa jurnalistik.
C. Kebijakan
1. Pengertian
Kebijakan secara umum diartikan sebagai kearifan mengelola. Dalam
ilmu-ilmu sosial, kebijakan diartikan sebagai dasar-dasar haluan untuk
menentukan langkah-langkah atau tindakan-tindakan dalam mencapai suatu
tujuan.20
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kebijakan adalah rangkaian proses dan
asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan kepemimpinan dan cara dalam bertindak; pernyataan cita-cita, tujuan,
prinsip, maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen usaha untuk mencapai
sasaran. Ada tiga kategori latar pembuatan kebijakan, yaitu:21
a. Isu-isu kebijakan pokok dihubungkan dengan masalah sosial,
masa kini, masa lalu, kecenderungan masalah itu di masa yang
akan datang.
20
Gunawan Wirardi, Ensiklopedia Nasional Indonesia (Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka, 1990), h.
260.
21
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 640.
34
b. Proses bagaimana pembuatan kebijakan dilakukan terutama yang
berkenaan
dengan
identifikasi
isu-isu
kebijakan.
Proses
pembuatan kebijakan melibatkan beberapa elemen itu.22
c. Proses saluran komunikasi dalam proses penyampaian informasi
mengenai isu-isu kebijakan, baik vertikal, horizontal, maupun
diagonal.
d. Gerbang-gerbang kritis dan titik pusat keputusan dimana isu-isu
berproses.
e. Mekanisme kebijakan secara tipikal dalam hubungannya dengan
isu kebijakan.
f. Sifat-sifat isu kebijakan.
g. Kecenderungan-kecenderungan
kontinuasi
dan
dekontinuasi
produk kebijakan yang menjadi isu utama.
2. Proses Perumusan Kebijakan
Dalam proses perumusan kebijakan ada beberapa tahap yang dilakukan
yaitu:
a. Identifikasi dan formulasi kebijakan
b. Penentuan alternatif kebijakan untuk pemecahan masalah
c. Pengkajian atas analisis kelayakan masing-masing alternatif
kebijakan
22
Dannim Sudarman, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 72.
35
d. Pelaksanaan kebijakan dengan menentukan standar kinerja
minimal
e. Evaluasi keberhasilan dengan ukuran-ukuran kuantitatif seperti:
keefisienan, keuntungan dan lain-lain.23
Sudirman Tebba menjelaskan kebijakan redaksional juga merupakan
sikap redaksi suatu media massa, terutama media cetak, terhadap masalah
aktual yang sedang berkembang, yang biasanya dituangkan dalam bentuk
tajuk rencana.
Kebijakan redaksional itu penting untuk menyikapi suatu peristiwa
karena dalam dunia pemberitaan yang penting bukan saja peristiwa, tetapi
juga sikap terhadap peristiwa itu sendiri. Kalau suatu media massa tidak
memiliki kebijakan redaksi, maka dapat dipastikan beritanya tidak akan
konsisten, karena ia tidak mempunyai pendirian seperti keranjang sampah.
Selain itu akan terlihat pada berita yang berubah-ubah, bahkan saling
bertentangan dari hari ke hari. Misalnya hari ini ia menyiarkan pendapat
yang mendukung kenaikan harga BBM, tetapi besoknya menyiarkan
pendapat yang menolak kenaikan harga BBM, dan besoknya lagi
menyiarkan pendapat yang tidak tegas tentang setuju atau menolak kenaikan
harga BBM, dan seterusnya.
Media massa yang beritanya tidak konsisten itu tidak akan mendapat
kredibilitas yang tinggi di mata khalayak. Padahal besar tidaknya pengaruh
suatu media tidak semata-mata pada jumlah oplahnya atau banyaknya
23
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru (Jakarta: Kalam Indonesia, 2005), h. 73.
36
pendengar atau penonton, tetapi juga kredibilitasnya. Selain itu peristiwanya
menarik dan penting yang terjadi sehari-hari sangat banyak.
Sehingga tidak mungkin semuanya disiarkan. Karena itu, harus
disaring dan untuk menyaringnya harus ada dasar pertimbangan yang
ditetapkan bersama oleh pengelola media massa yang menyiarkan berita.
Karena itu, disiarkan tidaknya suatu peristiwa atau pertanyaan, tetapi juga
karena sesuai tidaknya dengan kebijakan redaksi suatu lembaga media
massa yang menyiarkan peristiwa itu.
Dasar pertimbangan suatu lembaga media massa untuk menyiarkan
atau tidaknya menyiarkan peristiwa pertama-tama ditentukan oleh sifatnya
media massa yang bersangkutan. Media massa itu ada yang bersifat umum
dan ada yang khusus. Media massa yang bersifat khusus misalnya, media
massa ekonomi, hanya menyiarkan berita ekonomi dan hal-hal yang
berkaitan dengan masalah ekonomi, media massa politik hanya menyiarkan
berita politik begitupun seterusnya.
Kemudian kalau media massa itu bersifat umum, maka ia pada
prinsipnya dapat menyiarkan setiap peristiwa yang menarik dan panjang.
Tetapi karena peristiwa yang menarik itu banyak, maka belum bisa
menyiarkan semuanya sehingga harus ditentukan dasar pertimbangannya
untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan suatu peristiwa.
Biasanya ada beberapa dasar pertimbangan untuk menyiarkan atau
tidak menyiarkan peristiwa, dasar pertimbangan yang bersifat ideologis,
37
politis dan bisnis. Pertimbangan ideologis suatu media massa biasanya
ditentukan oleh latar belakang agama maupun nilai-nilai yang dihayati.24
D. Rubrik
Pengertian Rubrik terbagi ke dalam beberapa definisi, yaitu:
a. Kepala karangan (ruangan tetap) dalam surat kabar, majalah, dan
sebagainya.25
b. Ruangan untuk karangan dalam surat kabar atau majalah.26
E. Editorial
1. Pengertian Editorial
Mengutip pengertian editorial yang ditulis AS Haris Sumadiria dalam
bukunya” Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis Profesional, editorial adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi
suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal,
dan atau kontroversial yang berkembang dalam masyarakat.27
William L. Rivers, Byrce Mc Intryre dan Alison Work mengatakan
“editorial adalah pikiran sebuah institusi yang diuji di depan sidang pendapat
24
Ibid.,h. 150-152.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1186.
26
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern (Jakarta: Pustaka Amani), h. 365.
27
AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis Profesional ( Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 2.
25
38
umum. Editorial juga adalah penyajian fakta dan opini yang menafsirkan
berita-berita yang penting dan mempengaruhi pendapat umum.28
Menurut Lyle Spencer, “tajuk rencana merupakan pernyataan
mengenai fakta dan opini secara singkat, logis, menarik ditinjau dari segi
penulisan dan bertujuan untuk memengaruhi pendapat atau memberikan
interpretasi terhadap suatu berita yang menonjol sebegitu rupa sehingga
kebanyakan pembaca surat kabar akan menyimak pentingnya arti berita yang
ditajukkan tadi.”29
Pendapat lain yang dkemukakan oleh Jacob Oetama, tajuk rencana
diartikan sebagai suara lembaga koran tersebut, maka sebenarnya tajuk
rencana mestilah tidak bersifat “personal” melainkan “institusional”.
Diusahakan agar tajuk rencana itu mengungkapkan fakta, baru kemudian
komentar atas fakta tersebut. Ada dimensi etis, ada dimensi kemanusiaan.
Tidak sekadar semua asal dibicarakan, tetapi antar dibicarakan dan juga
dilaksanakan.”30
Karena merupakan suara lembaga maka tajuk rencana tidak ditulis
dengan menyantumkan nama penulisnya, seperti halnya menulis berita atau
features. Idealnya tajuk rencana adalah pekerjaan, dan hasil dari pemikiran
kolektif dari segenap awak media. Jadi proses sebelum penulisan tajuk
rencana, terlebih dahulu diadakan rapat redaksi yang dihadiri oleh pemimpin
redaksi, redaktur pelaksana serta segenap jajaran redaktur yang berkompeten,
28
William L Rivers, Bryce Mc Intyre, dan Alison Work, Penyunting Dedy Djamaluddin Malik,
Editorial (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 5.
29
Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), h. 78.
30
Jacob Oetama, Perspektif Pers Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 137-138.
39
untuk menentukan sikap bersama terhadap suatu permasalahan krusial yang
sedang berkembang di masyarakat atau dalam kebijakan pemerintahan.
Maka setelah tercapai pokok- pokok pikiran, dituangkanlah dalam
sikap yang kemudian dirangkum oleh awak redaksi yang telah ditunjuk dalam
rapat. Dalam Koran harian bisanya tajuk rencana ditulis secara bergantian,
namun semangat isinya tetap mecerminkan suara bersama setiap jajaran
redakturnya. Dalam proses ini reporter amat jarang dilibatkan, karena dinilai
dari segi pengalaman serta tanggung jawabnya yang terbatas.
2. Fungsi Editorial
Untuk
memperjelas
terhadap
suatu
peristiwa
dengan
cara
menggunakan latar belakangnya. Tajuk rencana ini merupakan tempat
pembaca dapat mengharapkan opini dari redaksi, juga dimana pembaca
merasa sadar bahwa mereka sedang membaca apa yang menjadi pendapat
daripada surat kabar terhadap suatu peristiwa.31
Adapun fungsi lain dari editorial adalah sebagai berikut:
a. Memberikan fungsi
Seringkali begitu banyak fakta yang diperoleh seorang wartawan
atau redaktur, namun fakta tersebut tidak bisa dimasukkan ke dalam
berita karena keterbatasan halaman, karena bertentangan dengan
objektivitas berita, karena itu dimasukkan ke dalam tajuk rencana.
31
Teguh Meinanda, Pengantar Komunikasi dan Jurnalistik (Bandung: Armico, 1981), h. 47.
40
b. Menerangkan
Apabila suatu informasi begitu sulit untuk diterangkan tanpa
memasukkan interpretasi dan opini, maka untuk menerangkan sebuah
gejala atau kecenderungan bisa dipakai tajuk rencana.
c. Menafsirkan sebuah kejadian
Mungkin melalui tajuk rencana sebuah kecenderungan bisa
diramalkan bagaimana terjadi di masa mendatang. Ulasan editor yang
tajam tentang hal ini akan membantu pembaca. Umpanya paket
deregulasi. Bisa diterangkan kemungkinan-kemungkinannya dalam tajuk
rencana, pembaca dapat memahaminya.
d. Membujuk masyarakat
Seringkali dalam tajuk rencana, editor berkeinginan agar
pembacanya bersikap setuju atau pro terhadap suatu hal, atau bersikap
sealiran dengan surat kabar tersebut.
e.
Mendebat atau menentang suatu hal
Misalnya
surat
kabar
tersebut
berkeberatan
tentang
kecenderungan saat ini. Bila dia menentang hal tersebut lewat berita,
tidak bisa, karena akan mengorbankan aspek objektivitasnya. Sebab itu,
tajuk rencana menjadi sarana yang tepat untuk melawan arus pendapat
umum tersebut.
41
Menurut William Pinkerton dari Harvard University, Amerika
Serikat, mencakup empat hal:
a. Menjelaskan berita
Tajuk rencana menjelaskan kejadian-kejadian penting kepada
para pembaca. Tajuk rencana berfungsi sebagai guru, menerangkan
bagaimana suatu kejadian tertentu berlangsung. Faktor-faktor apa yang
diperhitungkan untuk menghasilkan
perubahan dalam kebijakan
pemerintah, dengan cara bagaimana kebijakan baru akan memengaruhi
kehidupan sosial dan ekonomi suatu masyarakat.
b. Menjelaskan latar belakang
Untuk memperlihatkan kelanjutan suatu peristiwa penting tajuk
rencana dapat menggambarkan kejadian tersebut dengan latar belakang
sejarah, yaitu menghubungkannya dengan suatu yang telah terjadi
sebelumnya. Dengan menganalisis sejarah sekarang, tajuk rencana
dapat memperlihatkan keterkaitannya dengan masalah-masalah umum
sekarang. Tajuk rencana dapat menunjukkan hubungan antara berbagai
peristiwa yang terpisah yang meliputi politik, ekonomi atau sosial.
c. Meramalkan masa depan
Suatu tajuk rencana kadang-kadang menyajikan analisis yang
melewati batas berbagai peristiwa sekarang dengan tujuan meramalkan
sesuatu yang akan terjadi pada masa mendatang.
42
d. Menyampaikan pertimbangan moral
Menurut tradisi lama, para penulis tajuk rencana bertugas
mempertahankan
kata
hati
masyarakat.
Mereka
diharapkan
mempertahankan isu-isu moral dan mempertahankan posisi mereka.
Jadi, para penulis tajuk rencana akan berurusan dengan pertimbangan
moral yang biasa disebut dengan ”pertimbangan nilai.”32
Idealnya, fungsi tajuk adalah membentuk dan mengarahkan
opini publik; menerjemahkan berita mutakhir kepada pembaca dan
menjelaskan maknanya.33
3. Sifat Editorial
a. Krusial dan ditulis secara berkala, tergantung dari jenis terbitan
medianya bisa harian (daily), atau mingguan (weekly), atau dua
mingguan (biweekly) dan bulanan (monthly).
b. Isinya menyikapi situasi yang berkembang di masyarakat luas baik itu
aspek sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, hukum, pemerintahan, atau
olah raga bahkan entertainment, tergantung jenis liputan medianya.
c. Memiliki karakter atu konsistensi yang teratur, kepada para
pembacanya terkait sikap dari media massa yang menulis tajuk
rencana.
32
AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis Profesional , h. 82-85.
33
Ibid., h. 155.
43
d. Terkait erat dengan policy media atau kebijakan media yang
bersangkutan. Karena setiap media mempunyai perbedaan iklim
tumbuh dan berkembang dalam kepentingan yang beragam, yang
menaungi media tersebut.34
4. Tipe-tipe Editorial
Editorial ini dapat ditulis dengan alasan yang telah terjadi, mengajak
orang untuk berbuat sesuatu, atau mendukung perubahan dan mengajak
pembaca mengikuti suatu sudut pandang. Beberapa tipe editorial ini,
khususnya yang mengkritik atau mengidentifikasi problem, juga memuat
satu atau beberapa usulan solusi. Pengetahuan tentang semua jenis
editorial ini penting bagi penulis editorial. Kekuatan pers, seperti yang
diekspresikan lewat editorial, dapat dipakai untuk mendukung atau
mengkritik.
a. Editorial Advokasi
Editorial yang menginterprestasikan, menjelaskan, membujuk
dan mendukung perubahan biasanya dihubungkan dengan suatu berita
penting yang ada di dalam koran tersebut. Editorial ini akan
memberitahu pembacanya mengapa kejadian-kejadian itu penting. Ia
juga bisa menjelaskan signifikansi ide atau kondisi tertentu. Dalam
beberapa kasus, editorial mendefinisikan term dan isu, mengidentifikasi
sosok dan faktor dan menerangkan latar belakang, historis, kultural,
34
www.kabarindonesia.com diakses pada 18 Februari 2011.
44
geografis, dan kondisi lainnya. Usaha penulis untuk membujuk
pembaca menerima interpretasi tertentu atau kesimpulan tertentu bisa
jadi dilakukan dengan halus dan terselubung.
Editorial
yang
menginterpretasikan,
menjelaskan
atau
membujuk juga dapat mengkaji motif orang yang terkait dengan isu
atau kejadian yang didiskusikan berdasarkan konsekuensi dari berbagai
tindakan.
Melalui interpretasi berita atau penjelasan gagasan atau kondisi,
staf koran membujuk pembaca agar setuju dengan pandangan staf
tersebut. Editorial dapat mempromosikan atau mendukung perubahan.
Fakta disajikan dengan jelas, dan alasannnya disamapaikan secara logis
kepada pembaca agar editorial berhasil mencapai tujuannya. Editorial
mungkin juga menawarkan solusi dan rekomendasi aksi. Akan tetapi,
tidak semua nada editorial mesti positif atau berupa kritik
komprehensif.
Editorial yang menginterpretasikan, menjelaskan, dan mengajak
dinamakan editorial advokasi.
b. Editorial Pemecahan Masalah
Editorial solusi problem adalah tipe lain yang lazim dijumpai di
koran-koran. Terkadang dinamakan ”editorial kritik”, tipe editorial ini
dipakai saat staf editorial ingin menarik perhatian pada suatu problem
atau ingin mengkritik tindakan seseorang. Karena koran perlu bertindak
secara bertanggung jawab, maka fakta harus disajikan untuk
mendukung kritik atau untuk menjelaskan sebab-sebab masalah, dan
45
solusi harus ditawarkan. Proses tiga langkah ini mirip dengan metode
ilmiah: pernyataan problem, penyajian bukti dan kesimpulan dengan
usulan solusi.
Kritik harus dikemukakan dengan hati-hati. Dalam editorial,
adalah fair untuk mengkritik tindakan seseorang jika tindakan mereka
berdampak pada orang lain; adalah tidak fair mengkritik karakteristik
fisik seseorang atau tindakan seseorang yang murni pribadi.
c. Editorial Penghargaan
Editorial penghargaan adalah salah satu pilihan bagi penulis
editorial. Tetapi koran juga punya pilihan lain; koran dapat memuji
orang atau kelompok itu secara langsung lewat editorial. Ini akan
membuat orang atau kelompok itu menjadi tenar. Biasanya, editorial
penghargaan akan memuji seseorang atau satu organisasi yang
melakukan sesuatu yang luar biasa.
Dalam editorial penghargaan, alasan pujian harus dijelaskan dan
dampak dari prestasi itu juga harus dimuat. Editorial ini tidak lazim
kecuali orang yang berprestasi itu benar-benar memengaruhi banyak
orang.
d. Komentar Editorial Singkat
Keringkasan punya manfaat tersendiri, dan editorial satu atau
dua paragraf bisa jadi efektif. Bentuk ini paling berguna jika hanya satu
poin atau sedikit bukti latar belakang informasi yang perlu diberikan.
Terkadang editorial semacam ini punya judul kolom, seperti ”The
Second Editorial.”
46
e. Editorial Pendek
Tipe editorial lain, adalah editorial ringkas. Ia berbeda dalam hal
panjang dan penataannya. Seperti ditunjukkan namanya, editorial ini
ringkas, dari satu kata sampai beberapa kalimat saja. Biasanya editorial
pendek dikelompokkan bersama sebagai heading kolom dan mencakup
pujian atau kritik.
f. Editorial Kartun
Mungkin bentuk yang paling ringkas adalah editorial kartun.
Dalam beberapa kata atau satu-dua kalimat, kartunis dapat melakukan
hal-hal yang dilakukan penulis editorial-mengomentari, mengkritik,
menginterpretasikan, membujuk dan menghibur. Kartun dan bentuk
seni lainnya merupakan komentar favorit bagi banyak pembaca.35
Berdasarkan isinya, editorial bisa dibedakan atas empat jenis.
a. Editorial yang menjelaskan atau menginterpretasikan sesuatu.
Model ini sering digunakan untuk menjelaskan cara media
tersebut menutupi subjek/topik yang sensitif atau kontroversional.
Terkadang model ini juga dipakai untuk menjelaskan situasi-situasi
baru yang berlangsung di seputar media tersebut. Misalnya, editorial
pada surat kabar sekolah akan menjelaskan peraturan-peraturan baru.
35
Tom E. Rolnicki dkk, Alih Bahasa oleh Tri Wibowo, Pengantar Dasar Jurnalsme: Scholastic
Journaism (Jakarta: Prenda Media Group, 2008), h. 135-144.
47
b. Editorial yang mengkritik.
Editorial ini menghadirkan kritik terhadap tindakan, keputusan,
maupun situasi yang sifatnya membangun sembari menyediakan solusi
bagi
masalah
yang
diidentifikasikan.
Tujuan
praktisnya
ialah
mendorong pembaca untuk melihat masalah, bukan solusinya.
c. Editorial yang persuasif.
Berbeda dengan tipe sebelumnya, editorial model ini bertujuan
untuk menyoroti solusi, bukan masalah. Umumnya, pembaca (atau
institusi tertentu, biasanya pemerintah) akan didorong untuk mengambil
tindakan spesifik yang nyata terhadap suatu masalah. Pernyataan politik
sering kali menjadi contoh editorial persuasif yang baik.
d. Editorial yang memuji.
Ini tipe editorial yang paling jarang ditemui ketimbang dua
model sebelumnya. Jenis editorial ini biasanya akan memuji orangorang atau organisasi-organisasi tertentu karena telah menghasilkan
sesuatu yang sangat baik.36
36
www.pelitaku.sabda.org diakses pada 18 Februari 2011.
48
5. Kode Etik Tajuk atau Editorial
Para penulis tajuk, baik perorangan maupun kolektif, mewujudkan
tanggung jawabnya selaku pembentuk opini publik ditunjukkan oleh bunyi
kode etik yang disusun dan disetujui Konperensi Nasional para Penulis
Tajuk di Amerika Serikat; Mukadimahnya menyatakan bahwa penulis
tajuk seperti halnya ilmuwan, di manapun ia berada, harus menganut
kebenaran, apabila setia pada karya dan masyarakatnya. Butir-butir pokok
dari kode etik itu adalah:
a. Penulis tajuk harus selalu menyajikan fakta dengan jujur dan lengkap.
b. Dia harus mengambil konklusi secara objektif dari fakta tertentu
dengan didasarkan pada bobot buktinya serta konsep yang telah
dipertimbangkan masak-masak.
c. Dia tidak akan pernah dimotivasi oleh kepentingan pribadi
d. Dia harus menyadari bahwa dirinya tidak sempurna, dan harus
mengutarakannya kepada mereka yang berbeda pendapat dengan
melalui cara yang pantas dalam bentuk karangan bagi publiknya.
e. Dia harus meninjau kembali konklusinya untuk menyatakan
keyakinannya secara benar dan tidak akan menulis apa pun yang
melawan kata hatinya. Apabila halaman tajuknya menghendaki
banyak pendapat, maka bisa diisi dengan himpunan tajuk-tajuk atau
karangan perorangan. Karenanya opini yang benar-benar hasil
pemikiran pribadinya akan selalu dihormati.
49
f. Dia
hendaknya
mendorong
para
koleganya
agar
memupuk
kesetiaannya pada integritas profesional yang bermutu tinggi. 37
37
Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik
(Bandung: Nuansa, 2004), h. 152-153.
BAB III
GAMBARAN UMUM HARIAN MEDIA INDONESIA
A. Profil Media Indonesia
1. Sejarah Media Indonesia
Media Indonesia pertama kali diterbitkan pada 19 Januari 1970. Sebagai
surat kabar umum pada masa itu, Media Indonesia baru bisa terbit 4 halaman
dengan tiras yang amat terbatas. Berkantor di Jl. MT. Haryono, Jakarta, di situlah
sejarah panjang Media Indonesia berawal. Lembaga yang menerbitkan Media
Indonesia adalah Yayasan Warta Indonesia.
Tahun 1976, surat kabar ini kemudian berkembang menjadi 8 halaman.
Sementara itu perkembangan regulasi di bidang pers dan penerbitan terjadi. Salah
satunya adalah perubahan SIT (Surat Izin Terbit) menjadi SIUPP (Surat Izin
Penerbitan Pers). Karena perubahan ini penerbitan dihadapkan pada realitas bahwa
pers tidak semata menanggung beban idealnya tapi juga harus tumbuh sebagai
badan usaha.
Dengan kesadaran untuk terus maju, pada tahun 1988, Teuku Yousli Syah
selaku pendiri Media Indonesia bergandeng dengan Surya Paloh, mantan
pimpinan Surat Kabar Prioritas. Dengan kerjasama ini, dua kekuatan bersatu:
kekuatan pengalaman bergandeng dengan kekuatan modal dan semangat. Maka
pada tersebut lahirlah Media Indonesia dengan manajemen baru di bawah PT.
Citra Media Nusa Purnama.
Surya Paloh sebagai Direktur Utama, sedangkan Teuku Yousli Syah
sebagai Pemimpin Umum, dan Pemimpin Perusahaan dipegang oleh Lestary
50
51
Luhur. Sementara itu, markas usaha dan redaksi dipindahkan ke Jl. Gondangdia
Lama Np. 46, Jakarta.
Awal tahun 1995, bertepatan dengan usianya ke-25, Media Indonesia
menempati kantor barunya di Komplek Delta Kedoya, Jl. Pilar Mas Raya Kav. AD, Kedoya Selatan, Jakarta Barat. Di gedung baru ini semua kegiatan di bawah
satu atap, redaksi, usaha, percetakan, pusat dokumentasi perpustakaan, iklan,
sirkulasi dan distribusi serta fasilitas penunjang karyawan.
Sejarah panjang serta motto ”Pembawa Suara Rakyat” yang dimiliki
oleh Media Indonesia bukan menjadi motto kosong dan sia-sia, tetapi menjadi
spirit pegangan sampai kapan pun.
Sejak Media Indonesia ditangani oleh tim manajemen baru di bawah
payung PT. Citra Media Nusa Purnama, banyak pertanyaan tentang apa yang
menjadi visi harian ini di dalam industri pers nasional. Terjun pertama kali dalam
industri pers tahun 1986 dengan menerbitkan Harian Prioritas. Namun Prioritas
memang kurang bernasib baik, karena belum lama menjadi koran alternatif
bangsa, SIUPP-nya dibatalkan Departemen Penerangan. Antara Prioritas dengan
Media
Indonesia
memang
ada
benang
merah,
yaitu
dalam
karakter
kebangsaannya.
Surya Paloh sebagai penerbit Harian Umum Media Indonesia, tetap gigih
berjuang mempertahankan kebebasan pers. Wujud kegigihan ini ditunjukkan
dengan mengajukan kasus penutupan Harian Prioritas ke Pengadilan, bahkan
menuntut Menteri Penerangan untuk mencabut Peraturan Menteri No. 01/84 yang
dirasakan membelenggu kebebasan pers di tanah air.
52
Tahun 1997, Djafar H. Assegaff yang baru menyelesaikan tugasnya
sebagai Duta Besar di Vietnam dan sebagai wartawan yang pernah memimpin
beberapa harian dan majalah, serta menjabat sebagai Wakil Pemimpin Umum
LKBN Antara, oleh Surya Paloh dipercayai untuk memimpin Harian Media
Indonesia sebagai Pemimpin Redaksi. Saat ini Djafar H. Assegaff dipercaya
sebagai Corporate Advisor. Para pimpinan Media Indonesia saat ini adalah:
Direktur Utama dijabat oleh Rahni Lowhur Schad, Direktur Pemberitaan dijabat
oleh Saur Hutabarat dan di bidang usaha dipimpin oleh Alexander Stefanus selaku
Direktur Pengembangan Bisnis.
2. Visi dan Misi Media Indonesia
VISI:
“menjadi surat kabar independen yang inovatif, lugas, terpercaya, dan paling
berpengaruh.”
URAIAN VISI:
1. Independen, yaitu menjaga sikap non partisipan, dimana karyawan tidak
menjadi pengurus partai politik, menolak segala bentuk pemberian yang
dapat mempengaruhi objektivitas, dan mempunyai keberanian bersikap
beda.
2. Inovatif, yaitu terus menerus menyempurnakan dan mengembangkan
kemampuan teknologi dan sumber daya manusia, serta secara terus-
53
menerus
mengembangkan
rubrik,
halaman
dan
penyempurnaan
perwajahan.
3. Lugas, yaitu menggunakan bahasa yang terus terang dan langsung.
4. Terpercaya, yaitu selalu melakukan check dan re-check, meliputi berita
dari dua pihak dan seimbang, serta selalu melakukan investigasi dan
pendalaman.
5. Paling berpengaruh, yaitu dibaca oleh para pengambil keputusan,
memiliki kualitas editorial yang dapat mempengaruhi pengambil
keputusan,
mampu
membangun
kemampuan
antisipatif,
mampu
membangun network narasumber, dan memiliki pemasaran/distribusi yang
andal.
MISI:
1. Menyajikan informasi terpercaya secara nasional dan regional serta
berpengaruh bagi pengambil keputusan.
2. Mempertajam isi yang relevan untuk pengembangan pasar.
3. Membangun sumber daya manusia dan manajemen yang professional dan
unggul, mampu mengembangkan perusahaan penerbitan yang sehat dan
menguntungkan.
54
B. Profil Editorial Media Indonesia
Dalam
jagad
jurnalisme
Indonesia,
Editorial
Media
Indonesia
sesungguhnya merupakan sebuah fenomena. Tampil dengan kelugasan naratif
dan semantiknya, editorial ini termasuk yang banyak memperoleh perhatian
dari publik pembaca Indonesia. Apalagi setelah setiap hari dibacakan di
Metro-TV, daya jangkau editorial tersebut semakin ekspansif.
Review Editorial Media Indonesia dalam rentang waktu terbit dari tahun
1998-2001 diseleksi guna menemukan satuan-satuan tema yang memiliki
dimensi kekuatan sejarah.1
Spirit Editorial Media Indonesia dapat dikatakan sebagai penerus rubrik
“Selamat Pagi Indonesia” (SPI) dalam harian ekonomi Prioritas, sebuah
harian di Jakarta yang terbit perdana pada 2 Mei 1986 dan diberangus
pemerintah Orde Baru pada 29 Juni 1987.2 Trio yang memimpin harian
Prioritas, Surya Paloh sebagai Pemimpin Umum, Panda Nababan sebagai
Wakil Pemimpin Umum, dan Nasruddin Hars sebagai Pemimpin Redaksi,
memutuskan untuk membuka rubrik SPI dengan menampilkannya di halaman
depan. Ditulis dengan bahasa yang lugas dan penuh humor, SPI dirancang
sebagai rubrik yang menampung keluh kesah publik berdasarkan fakta-fakta
keras tentang tercabiknya rasionalitas sosial.3
1
Ashadi Siregar, Politik Editorial Media Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2002), h. 1-2.
2
Usamah Hisyam dkk, Editorial Kehidupan, Surya Paloh (Jakarta: Yayasan Dharmapena
Nusantara, 2001), h. 374, 384-385.
3
Tjipta Lesmana, Tragedi Prioritas (Jakarta: Penerbit Erwin-Rika Pers, 1988), h. 30.
55
Editorial Media Indonesia merupakan evolusi dari rubrik Selamat Pagi
Indonesia di harian Prioritas yang harus dibredel karena telah berani berterus
terang, adalah perjuangan kebebasan berpendapat dan berpikir. Terus terang,
tegas, dan lugas adalah karakter paling menonjol dari editorial Media
Indonesia. Editorial, dengan demikian, boleh disebut sebagai ideologi
pembebasan. Manusia Indonesia harus bebas dari rasa takut dan bebas untuk
berterus terang. Karena dua syarat ini mutlak bagi tumbuhnya akal sehat dan
kecerdasan.4
Dalam formatnya kini, Editorial Media Indonesia tampil sebagai
kelanjutan dari obsesi Surya Paloh yang jejaknya ada di SPI itu. Termasuk
dalam hal kelugasan bahasa dan logika pada Editorial yang merupakan
manifestasi dari obsesi Surya Paloh.
4
Ashadi Siregar, Politik Editorial Media Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2002), h. xii.
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Pokok analisis pada Editorial Media Indonesia edisi Desember tahun 2000
didominasi oleh pemberitaan yang fokus membahas Abdurrahman Wahid (Gus
Dur), baik yang terkandung pada judul editorial maupun isi Editorial Media
Indonesia yang terkumpulkan sebanyak lima editorial utama.
Rubrik yang akan dianalisis adalah rubrik Editorial edisi Desember tahun
2000, antara lain edisi 3 Desember yang berjudul “Ironi para Pemimpin”, edisi 6
Desember yang berjudul “Yang Lucu dari Akbar dan Gus Dur”, edisi 15
Desember yang berjudul “Gus Dur Pergi Lagi”, edisi 20 Desember yang berjudul
“Arti Sebuah Kunjungan”, dan edisi 30 Desember yang berjudul “ Senayan makin
Panas”.
A. Analisis Teks
Editorial 1
Judul
Tanggal
: Ironi para Pemimpin
: 3 Desember 2000
Analisis
Di tingkat judul terlihat bagaimana Editorial Media Indonesia
memilih ketiga kata tersebut dengan sangat singkat, lugas, dan menarik
untuk ditampilkan menjadi sebuah judul. Secara kebahasaan, judul
editorial ini sangat memikat untuk dibaca serta tidak bertele-tele.
Selanjutnya
di
tingkat
isi,
Editorial
Media
Indonesia
memperlihatkan wacana mengenai tiga tokoh, Abdurrahman Wahid,
56
57
Amien Rais, dan Akbar Tandjung yang menjabat sebagai pimpinan negara
di tingkat eksekutif dan legislatif (presiden, Ketua MPR, dan Ketua DPR).
Isi editorialnya menyoroti konflik dan ketegangan yang terjadi pada tiga
lembaga tinggi negara dan Editorial Media Indonesia menilai bahwa tidak
adanya penyelesaian masalah (mengurus rakyat) di antara ketiganya.
Konflik dan ketegangan yang terjadi justru membuat bosan rakyat dan
kehabisan energi untuk menyaksikannya.
Selanjutnya pada tingkat kebahasaan, Editorial Media Indonesia
menggunakan gaya bahasa pertentangan
ironi, satire, dan sarkasme.
Seperti di paragraf pertama “Ketegangan dan konflik. Itulah dua kata yang
kian mengukuhkan „prestasi‟ para elite politik negeri ini….” Kemudian di
paragraf ketiga “…Tapi, ada pula yang mengatakan, itulah jurus orang
kepepet, orang kalah. Ngawur!....” Temuan selanjutnya ada di paragraf
terakhir “…Inilah Indonesia! Sebuah Negara dengan elite politik yang tak
tahu diri….”
Selain itu, Editorial Media Indonesia menggunakan gaya bahasa
perumpamaan yang cukup menyolok ketika sudah menjadi sebuah tulisan.
Seperti di paragraf ketujuh “…Konflik dan ketegangan di negeri ini juga
bak judul sebuah drama yang wajib dimainkan teater (politik) Indonesia.
Dengan para pemain (para politikus itu) seolah tak pernah kehabisan
energi untuk bertarung di atas panggung. Sementara para penonton-ya,
rakyat itu-justru kian terkapar karena kehabisan energi…..”
Berdasarkan temuan-temuan fakta penulisan dan gaya bahasa di
editorial pertama, kesimpulan yang diperoleh adalah secara etika
58
kebahasaan, editorial ini kurang etis dan sangat menyudutkan pada tingkat
personal.
Editorial 2
Judul
Tanggal
: Yang Lucu dari Akbar dan Gus Dur
: 6 Desember 2000
Analisis
Di tingkat judul editorial ini memang jelas terbaca menarik,
walaupun sedikit membuat penasaran pembacanya. Ketika sebuah kata
yang biasa digunakan untuk suatu hal yang biasa dan ringan, kemudian
disandingkan dengan nama tokoh yang luar biasa, hasilnya menjadi
kolaborasi kata yang mengandung arti seperti guyonan. Padahal
sandingannya adalah nama tokoh politik, tentu bukanlah guyonan lagi,
melainkan keseriusan. Tetapi pada judul editorial ini, telah menjadikannya
menjadi kepaduan antar kata yang menarik.
Pada tingkat isi, Editorial Media Indonesia mengangkat wacana
mengenai hubungan antara Abdurrahman Wahid dan Akbar Tandjung.
Kedua tokoh yang memimpin lembaga formal, eksekutif dan legislatif,
seringkali merajut hubungan non formal, walaupun di media massa
cenderung saling kritik. Tetapi itulah hubungan antara keduanya yang
digambarkan oleh Editorial Media Indonesia melalui penulisan dan gaya
bahasanya.
Di paragraf pertama, Editorial Media Indonesia langsung
menyajikan pembukaan yang menggunakan gaya bahasa perumpamaan
seperti “Bagaikan dua anak kucing yang tengah bercanda. Sekali waktu
59
berkejaran, lompat-lompat, bergumul, dan kembali berpacu menemui sang
induk. Sesekali tampak rukun, cakar-cakaran, lalu kembali bersatu. Tidak
ada yang terluka. Mereka tampak sangat lucu….” Editorial Media
Indonesia ini mencoba menggambarkan bagaimana hubungan yang dijalin
oleh Abdurrahman Wahid dan Akbar Tandjung, mengumpamakan dengan
hewan (kucing). Secara kebahasaan, etika kebahasaan jelas sudah sangat
bersebrangan, tidak adanya penghormatan kepada manusia yang notabene
adalah pimpinan lembaga tertinggi negara.
Selanjutnya paragraf kedua memperlihatkan ironi hubungan
Abdurrahman Wahid dan Akbar Tandjung, kemudian dipertegas di
paragraf ketiga. Pemilihan bahasa di paragraf ketiga sangat tidak etis
“…Simak saja beberapa episode pergumulan „dua anak kucing‟ itu dalam
sepekan terakhir….”
Di
paragraf
keempat,
terdapat
penggunaan
gaya
bahasa
perbandingan, personifikasi, “…Kritikan Akbar itu membuat merah
telinga Gus Dur dan Menko Perekonomian Rizal Ramli….”
Kemudian di paragraf terakhir, Editorial Media Indonesia mencoba
memberikan
perumpamaan.
solusi
bujukan
Editorial
dengan
menyimpulkan
menggunakan
bahwa
gaya
bahasa
hubungan
antara
Abdurrahman Wahid dan Akbar Tandjung memang unik dan lucu,
sehingga mengumpamakan seperti grup lawak Srimulat atau Ketoprak
Humor.
60
Kesimpulan yang diperoleh dari editorial kedua adalah, terjadinya
pengulangan kesalahan pada tingkat bahasa. Editorial ini seolah
kehilangan kesantunannya sebagai sebuah opini redaksi.
Editorial 3
Judul
Tanggal
: Gus Dur Pergi Lagi
: 15 Desember 2000
Analisis
Pemilihan kata-kata pada judul editorial ini sangat mudah dipahami
dan dimengerti sesuai arti yang sebenarnya. Berbeda dengan judul kedua
editorial sebelumnya, membutuhkan kecermatan dan pemahaman yang
lebih untuk mengerti daripada judul editorialnya.
Wacana yang diapungkan di editorial kali ini yaitu menyoal
seringnya kunjungan yang dilakukan Abdurrahman Wahid ke luar negeri.
Terlalu seringnya melakukan kegiatan berpergian ke luar negeri, Gus Dur
melanggar aturan yang dikeluarkan sendiri oleh pemerintah. Larangan
bepergian tersebut dikeluarkan olah Megawati Soekarnoputri (wakil
presiden) bagi seluruh pejabat selama bulan puasa. Konsekuensi dari
larangan tersebut, Megawati pun membatalkan kunjungannya ke Meksiko.
Fakta, larangan tersebut justru dilanggar oleh kepala negara dan
beberapa pejabat negara lainnya, namun yang menjadi sorotan di editorial
ini adalah pelanggaran yang dilakukan Gus Dur. Lawatan yang dilakuakan
Gus Dur ke Bangkok dalam rangka penerimaan anugerah doctor honoris
causa di bidang teknologi komunikasi.
61
Selanjutnya pada tingkat isi, di paragraf pertama editorial ini
memperjelas judul itu sendiri, bahwa Gus Dur kembali bepergian ke luar
negeri yang kali ini adalah Bangkok.
Di paragraf keenam, Editorial Media Indonesia menggunakan gaya
bahasa pertentangan ironi “…Gus Dur memperoleh apresiasi kuat di luar
negeri. Prestasi itu bertolak belakang dengan dengan apresiasi di dalam
negeri. Di luar negeri semakin dipuja, di dalam negeri semakin dijauhi….”
Paragraf ketujuh menggunakan gaya bahasa perumpamaan,
bagaiman editorial menggambarkan posisi Gus Dur yang menjabat sebagai
kepala negara, kemudian diumpakan dengan profesi yang berbeda “…Gus
Dur itu seperti petugas pemadam kebakaran yang tidak segera
memadamlan api tetapi menyiram air di pinggir hutan agar tidak merambat
….”
Awal kalimat di paragraf ketujuh sangat hiperbola “…Gus Dur
rupanya senang berkelana. Untuk seorang pengembara sejati diam di
tempat adalah siksaan yang tidak tertahankan….” Kemudian kalimat
selanjutnya dikemas dengan sinisme yang kentara sekaligus kesimpulan
yang terlalu menuduh “…bepergian ke luar negeri yang terlalu sering
jangan-jangan sebuah kompensasi yang menyesatkan….”
Kesimpulan pada editorial ini hampir sama dengan kedua editorial
sebelumnya, kesalahan pada penempatan bahasa atau tepatnya adalah
menggunakan perumpamaan yang tidak sesuai.
62
Editorial 4
Judul
Tanggal
: Arti Sebuah Kunjungan
: 20 Desember 2000
Analisis
Judul pada editorial ini sangat sederhana dan mudah dimengerti.
Judul ini juga menjelaskan mengenai tujuan dari kunjungan yang
dilakukan oleh Abdurrahman Wahid ke Aceh.
Selanjutnya, wacana yang digaungkan di sini mengenai kunjungan
Abdurrahman Wahid ke Aceh. Kunjungan Gus Dur kali ini memang
berisiko besar, baik dari segi keselamatan jiwanya maupun keamanan
jabatannya sebagai Presiden. Ancaman yang terjadi selama perjalanan di
udara hingga ancaman pembunuhan dan penembakana pesawat. Namun,
ancaman tersebut tidak menyurutkan niat kunjungan Gus Dur ke Serambi
Mekah.
Editorial Media Indonesia juga menilai arti kunjungan Gus Dur ke
Serambi Mekah sangatlah sia-sia, tidak adanya sambutan pejabat setempat
seperti yang diharapkan. Sehingga kunjungan Gus Dur tersebut tidak
berarti karena tidak memberikan solusi bagi permasalahan di Aceh.
Editorial Media Indonesia juga menyindir Gus Dur dengan memberikan
penghargaan atas keberaniannya untuk berkunjung ke Aceh.
Beberapa temuan kata atau kalimat yang memperjelas judul dan
wacananya diawali pada paragraf kedua yang menggunakan gaya bahasan
personifikasi “…Bahkan alam pun mengingatkan Gus Dur bahwa Aceh
memang sulit. Pesawat yang ditumpangi Presiden harus bergulat dengat
hujan lebat dan badai sebelum menyentuh Tanah Rencong….”
63
Paragraf ketiga editorial ini lebih menggunakan gaya bahasa
pertentangan, antifrasis “…Kedatangan Gus Dur hanya sukses dalam satu
soal, yaitu keberanian….”
Temuan berikutknya di paragraf keempat, paragraf ini didominasi
oleh penggunaan bahasa sinisme “…Di luar itu, harus dikatakan
kunjungan ini gagal. Gus Dur datang di Banda Aceh yang berubah
menjadi kota mati. Gus Dur berpidato di ruang hampa. Gus Dur memang
datang tetapi tidak menemui siapa-siapa, kecuali para pejabat yang
sebenarnya tidak membutuhkan solusi….” di paragraf ini lebih menyindir
Gus Dur dengan kedatangannya yang sia-sia.
Dilanjutkan di paragraf keenam yang menggunakan gaya bahasa
satire terhadap Gus Dur “…Aceh, adalah ironi yang berakar pada
ketidakpedulian, keserakahan sentralisme, keteledoran, dan inkonsistensi.
Gus Dur mempunyai porsi juga dalam ironi itu….” Paragraf ini menyindir
Gus Dur ikut bagian terhadap unsur-unsur negatif. Kemudian dipertegas di
paragraf
ketujuh
pengertiannya
oleh
“…Ketika
Jakarta
referendum
karena
kemudian
keteledoran,
dibelokkan
kekecewaan
itu
memuncak….”
Paragraf terakhir, paragraf 10, Editorial Media Indonesia mencoba
memberikan pemecahan masalah dengan pemilihan kata yang provokatif
dan sinisme yang kental “…Gus Dur harus pintar-pintar mengelola pikiran
dan sikap agar menjadi bagian dari solusi, bukan sebaliknya, biang
persoalan.”
64
Editorial 5
Judul
Tanggal
: Senayan makin Panas
: 30 Desember 2000
Analisis
Judul editorial ini menggunakan pilihan kata yang lugas dan jelas.
Pemilihan kata Senayan dimaksudkan untuk DPR yang memang berlokasi
di Senayan. Begitupun dengan kata berikutkany yang menyertai, kata
„panas‟ di sini menggambarkan sebuah situasi yang sedang genting dan
tegang. Secara keseluruhan, judul editorial ini sangat jelas dan dapat
dimengerti.
Pada Editorial Media Indonesia, wacana yang coba diapungkan
adalah mengenai ketegangan yang kembali terjadi antara ketiga pemimpin
lembaga tinggi negara, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, dan Akbar
Tandjung. Ketegangan kali ini disinyalir oleh kata-kata yang diucapkan
Gus Dur dan dianggap meresahkan serta merupakan sebuah pelanggaran
hukum oleh Amien Rais.
Dalam editorial ini, jelas terbaca bagaimana posisi Gus Dur yang
ditergur dari berbagai pihak, yaitu oleh Amien Rais dan Akbar Tandjung.
Situasi ini jelas menggambarkan hubungan yang sudah tidak saling
menghormati antara dua lembaga, kepresidenan dan DPR. Sehingga publik
dibuat tidak tentram lagi dengan adanya konflik yang tidak pernah
berujung. Editorial Media Indonesia “Senayan makin Panas” memang
disajikan dengan gaya bahasa yang penuh dengan kritikan pedas dan
sindiran yang pahit.
65
Paragraf pertama dikemas dengan bahasa satire “Tidak ada solusi
yang hendak dicari politisi dan pemimpin. Mereka cuma melanggengkan
pertentangan….” Editorial Media Indonesia menyinggung para politisi dan
pemimpin yang anti terhadap pencarian solusi guna terciptanya
perdamaian, melainkan sebaliknya, menikmati pertentangan.
Selanjutnya di paragraf keempat, Editorial Media Indonesia
menggunakan gaya bahasa perumpamaan, personifikasi, yaitu “…Kita
sedang dijajah oleh kerakusan bicara.…” Kemudian di paragraf kelima
adanya penggunaan gaya bahasa metafora”…Kita akan memasuki kurun
yang sudah dipatok oleh para pemimpin sebagai masa panas. Senayan,
markas DPR dan MPR, yang seharusnya menjadi pusat wacana solusi,
sudah dinobatkan sebagai tempat panas bagi Presiden Abdurrahman
Wahid….”
Di paragraf keenam, Editorial Media Indonesia menggabungkan
gaya bahasa satire, sinisme dan sarkasme “…Selain itu, perangai politik
para pemimpin tidak beranjak jauh dari kekerdilan yang menggelikan.
Tetapi mereka memamerkannya dengan kebanggaan yang maksimum.
Pendek kata para pemimpin kita sangat optimal dengan kekerdilan….”
Begitupun di paragraf ketujuh dan kedelapan, sama halnya dengan
penggunaan gaya bahasa di paragraf keenam “…Kehidupan publik
menjadi arena mainan konyol para pemimpin. Mereka tidak peduli pada
kurs karena mereka adalah penikmat dari gejolak itu. Mereka tidak peduli
pada korban yang berjatuhan karena mereka mengendalikan sentimen pro
dan kontra….”
66
Di paragraf kedelapan, Editorial Media Indonesia memberikan
penutup opini redaksi dengan menggunakan gaya bahasa sarkasme
“…Kalau semua pemimpin hanya bias menjanjikan kegalauan dan
keresahan, untuk apa kita memiliki pemimpin seperti itu? Tetapi ini adalah
pertanyaan konyol, karena mereka telah kita pilih denga nkeyakinan
optimal. Kita adalah buah dari sebuah proses pembodohan yang teramat
panjang.” Di paragraf terkahir terlihat sekali bagaimana Editorial Media
Indonesia memberikan sebuah argument yang sangat kasar dan tendensius
terhadap kredibilitas dan kapabilitas para pemimpin lembaga tinggi
negara, Presiden, MPR, dan DPR.
Dari keseluruhan analisis teks kelima Editorial Media Indonesia,
peneliti menemukan beberapa fakta tertulis yang dikemas dalam editorial.
Temuan tersebut lebih kepada penelusuran penggunaan gaya bahasa pada
sebuah produk jurnalistik non berita yaitu opini dari kacamata institusi
media, Editorial Media Indonesia.
Ternyata dari kelima editorial tersebut, gaya bahasa sebuah
editorial sangatlah berbeda dengan gaya bahasa jurnalistik pada sebuah
berita. Gaya bahasa jurnalistik pada editorial sangatlah luas dan bebas.
Eufimisme dalam penulisan sebuah editorial sangat dihindari, karena
kekuatan sebuah editorial ada pada pengemasan bahasa yang lugas, berani
dan menarik.
Bila dikaitkan dengan pendapat Stanley, pendiri Aliansi Jurnalis
Independen (AJI), terdapat beberapa kesalahan morfologis dan kesalahan
sintaksis di tingkat judul dan isi editorial. Namun, kesalahan-kesalahan
67
tersebut seolah tidak mejadi masalah berarti dalam menyampaikan suatu
opini institusi media. Setiap media memiliki buku pedoman atau panduan
masing-masing dalam penetapan bahasa jurnalistik, sepanjang buku
pedoman tersebut berpijak pada empat faktor: filosofi media, visi media,
misi media, dan kebijakan redaksional.
Fakta yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Editorial Media
Indonesia
memberlakukan
penggunaan
dua
gaya
bahasa
yaitu
perbandingan dan pertentangan. Gaya bahasa perbandingan diantaranya
ada perumpamaan, metafora, dan personifikasi. Sedangkan gaya bahasa
pertentangan yaitu ada hiperbola, ironi, satire, antifrasis, sinisme, dan
sarkasme.
Selain itu, berdasarkan hasil analisis bahasa jurnalistik pada kelima
Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000 yang diamati peneliti,
dalam penulisannya Editorial Media Indonesia kurang memenuhi tata
bahasa jurnalistik, yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang
baku. Bahasa yang diterapkan Editorial Media Indonesia lebih
mengutamakan bahasa yang menarik dan metafor. Penggunaan bahasa
yang tidak terlalu baku dan metafor itulah yang terpenting bagi Editorial
Media Indonesia dalam menyampaikan opininya kepada khalayak
pembaca, walaupun dilihat dari etika kebahasaan sangatlah rendah.
B. Analisis Discourse Practice
1. Produksi Teks
Proses pemilihan tema Editorial Media Indonesia
68
Tema Editorial Media Indonesia muncul berdasarkan hasil
koordinasi tim penulis editorial, dengan menyepakati batasan-batasan
penulisan yang harus dihindari. Seperti yang dituturkan mantan
penulis editorial dan kini sebagai Dewan Redaksi Media Group,
Djadjat Sudradjat
“Proses pemilihan tema pada tahun 2000, saat awal-awal
Media Indonesia hadir, belum ada rapat redaksi yang membahas
tema. Laurens Tato menjadi penulis tunggal editorial saat itu.
Tetapi setelah terbentuknya tim, mulailah ada forum. Ada Saur
Hutabarat, Laurens Tato dan saya. Koordinasinya tidak tentu
dan tidak formal, main feeling saja. Memang dalam konteks
sebuah industri media massa besar, ini tidak sehat. Hanya saja
sudah ada kesepakatan mengenai batasan-batasan umum yang
sekiranya memiliki tingkat sensitivitas tinggi (SARA,
menyerang pribadi, meruntuhkan kredibilitas negara,
menyinggung merah putih) harus dihindari. Kemudian terjaring
pelatihan editorial dan sekarang sudah makin terencana dan ada
rapat redaksi. Ada jatah-jatah siapa yang menulis apa,
pembagian tersebut disesuaikan dengan bidang kemampuannya.
Gairah ke politiknya relatif tinggi, sesekali ekonomi,
pendidikan, dan kebudayaan.”1
Editorial Media Indonesia ditulis berdasarkan fakta yang terjadi
di lapangan
“Editorial Media Indonesia tentu saja merekonstruksi faktafakta di lapangan. Kerja jurnalistik itu pasti ada fakta dulu. Jika
ada teks dulu baru peristiwa, itu namanya agenda setting. Kerja
jurnalistik adalah memaknai peristiwa, peristiwa harus
mempunyai makna. Kerja jurnalistik juga harus merekonstruksi
peristiwa. Cara menilai suatu rekonstruksi benar atau tidak
adalah semakin dekat dengan fakta peristiwa aslinya, semakin
benar dari perstiwa. Semakin dipelintir, semakin jauh dari
kebenaran peristiwa. Artinya, publik boleh dan mempunyai hak
menyeleksi dan meninggalkan yang rekonstruksinya jauh dari
peristiwa. Setelah Metro lahir, editorial ditampilkan di Metro.
1
Wawancara Djadjat Sudradjat (Dewan Redaksi Media Group), 23 Februari 2010.
69
Sehingga bagaimana setiap kata harus diucapkan dengan enak
dan harus dipertanggung jawabkan visualnya.”2
Editorial Media Indonesia sebagai bentuk kritisme sebuah
institusi media massa nasional, mampu menyajikan penulisan dengan
bahasa yang terus terang, berani, dan tegas; baik kritisme yang
disajikan secara personal maupun institusional kepada publik
“Kalau kita bicara proses dari awal, editorial itu hak privat
publisher, sikap penerbit terhadap sesuatu. Media Indonesia
menjadi menarik karena editorial yang sifatnya privat dibedah di
ruang publik, publik dilibatkan. Agar memiliki public meaning,
silakan saja publik berkomentar. Tetapi dalam konteks
membangun demokrasi, interaksi seperti ini menjadi penting.
Barang privat dipublikasikan di ruang publik, hasilnya jadi milik
bersama. Pers semakin punya makna publik, semakin dibaca
banyak orang. Semakin jauh dari makna publik, semakin
ditinggalkan. Jika ada bahasa pribadi, mudah saja. Hukumannya
hanya tinggal diberikan ke publik, biar publik yang menilai.
Tetapi spiritnya harus institusi. Subjektivitas dalam editorial
merupakan subjektivitas yang harus mempunyai makna publik,
dipertanggung jawabkan secara publik dan relnya tetap kembali
ke publik”.3
Editorial Media Indonesia memiliki karakter yang berani
mengolah dan memainkan bahasa dalam dalam penulisannya. Editor
bahasa hanya melakukan koreksian dalam pada penulisan tiap kata,
kalimat, dan paragraf saja
”Tentunya dalam sebuah struktur keredaksian sudah
memiliki job desk masing-masing sesuai dengan perannya.
Memang tak jarang ada perdebatan menyoal gaya bahasa antara
redaktur bahasa dengan tim editorial. Seperti yang tadi saya
katakan bahwa semakin lama semakin ketemu keseragaman
bahasanya. Editor bahasa dan tim editorial mampu sinergi. Jadi
seolah-olah isi kepala kita sudah sepemikiran dan seragam,
2
Ibid., Djadjat Sudradjat.
3
Ibid., Djadjat Sudradjat.
70
justru hal tersebut menjadi sebuah karakter Editorial Media
Indonesia, terus terang, tegas dan lugas. Mengenai perombakan
pada konten, tentu ada aturannya dan mesti melalui kesepakatan
rapat redaksi. Peran editor bahasa harus mampu meminimalisir
kesalahan pada penulisan tiap kata, kalimat dan paragraf yang
masih berbentuk dummy sebelum proses akhir naik cetak. Editor
bahasa tentu memiliki bobot peran yang sangat penting dalam
proses produksi penulisan editorial”. 4
Dibuktikan melalui penulisannya mengenai Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI.
Pemilihan
bahasanya
sangatlah
berani,
menggunakan
bahasa
perumpamaan, satire, sinisme, dan sarkasme. Seolah mengubur etika
bahasa
”Gus Dur bagi pers saat jelang jatuh, tidak menarik
pemberitaannya. Dari segi pemerintahan, sudah jauh bersimpang
jalan dengan kehendak publik. Gus Dur itu demokratis, tahan
banting, dan hanya Gus Dur yang bisa dikiritik dan tidak pernah
ada masalah. Tapi memang tidak semua kebijakan Gus Dur
mesti kontra. Secara integrasi kebangsaan, sangat bagus.
Wacana yang disodorkan Gus Dur saat itu mampu
meminimalisir konflik”.5
Namun,
tanpa
bermaksud
mengabaikan
kaidah
bahasa
jurnalistik beserta etika bahasanya, Editorial Media Indonesia
akhirnya menemukan formula kebahasaan yang menjadi standarisasi
dalam penulisannya
“Penulis editorial itu macam-macam, punya latar belakang
kultural berbeda. Punya cita rasa bahasa yang berbeda. Cita rasa
bahasa dibentuk oleh pemahaman. Menjadi menarik, bahasa itu
arbitrer (sembarang). Kata yang sama jika diucapkan oleh orang
beda budaya akan berbeda maknanya. Kasar tidak kasar, halus
tidak halus, tidak ada standarnya. Gaya bahasa personal pasti
4
Ibid., Djadjat Sudradjat.
5
Ibid., Djadjat Sudradjat.
71
tidak bisa dihilangkan. Tetapi jika setiap orang harus
membangun standar bahasa yang sama, iya. Walaupun ada
pertentangan dengan bahasa, tapi semakin lama semakin ketemu
keseragaman
bahasanya.
Akhirnya
Media
Indonesia
menemukan formula bahasa yang bisa diterima masyarakat.
Bahasa yang baik mesti bahasa yang terdidik, bahasa yang tidak
vulgar, tidak menyerang secara pribadi, sedikit ada sentuhan
sastra. Bahasa yang miskin metafor, tak ada analogi, tak ada
kata imaji, akan membuat jenuh pembaca.”6
Sehingga otoritas tertinggi dalam struktur keredaksian ada pada
pemimpin redaksi (pemred). Selain memiliki tanggung jawab yang
besar, pemred memiliki hak untuk mengubah isi penulisan
”Apapun bentuknya, berita itu wajar mengalami perubahan
di akhir. Jika ada peristiwa yang lebih aktual dan menarik,
memungkinkan ada perubahan. Bukan menjadi monopoli
editorial, jadi wajar saja jika ada perubahan. Jika perubahan itu
dilakukan oleh pemred, itu bukan masalah. Pemred memiliki
otoritas dan pemred pula yang bertanggung jawab jika ada
masalah. Pemred punya hak”.7
Analisis Produksi Teks
Sejarah hadirnya Editorial Media Indonesia dilatar belakangi oleh
keterkungkungan pada masa Orde Baru. Proses menjadi Editorial Media
Indonesia hingga menjadi sekarang ini mengalami fase-fase perjalanan dan
merupakan metamorfosis dari rubrik Selamat Pagi di koran Prioritas. Semangat
perjuangannya tetap sama, melawan bahasa yang melingkar-lingkar. Di sinilah
Editorial Media Indonesia diperhitungkan oleh publik, dilihat dari aspek
kebahasaannya yang lugas, berani, dan terus terang dalam mengkritisi realitas
6
Ibid., Djadjat Sudradjat.
7
Ibid., Djadjat Sudradjat.
72
yang terjadi di lapangan. Gairah penulisannya lebih kepada politik, sesekali
kepada ekonomi, sosial, pendidikan, dan kebudayaan.
Proses pemilihan tema editorial memang berdasarkan koordinasi tim
penulis editorial, dengan menyepakati beberapa batasan umum yang sekiranya
memiliki
sensitivitas
tinggi
(SARA,
pribadi,
kredibilitas
negara,
dan
menyinggung merah putih) harus dihindari. Sirkulasi penulisannya secara bergilir,
sesuai bidangnya masing-masing dan tentu saja menyesuaikan tema yang sudah
disepakati oleh tim.
Fakta bahwa Editorial Media indonesia merupakan opini institusi media
massa yang ditulis secara perorangan (tim penulis editorial), namun semangatnya
harus institusi. Subjektivitas memang tidak bisa diredam dalam penulisan sebuah
opini (Editorial Media Indonesia), namun tetap memiliki makna publik. Penulisan
Editorial Media Indonesia berangkat dari realitas yang terjadi di lapangan,
kemudian dikemas dengan bahasa yang menarik (salah satu karakteristik bahasa
jurnalistik) dan dipadukan dengan gaya bahasa perumpamaan dan pertentangan
(satire, sinisme, dan sarkasme), jenis gaya bahasa yang termasuk subjektif.
Editorial Media Indonesia tergolong media cetak yang memiliki karakter
penulisan yang berani, terus terang, dan lugas. Hasil wawancara dengan salah satu
tim penulis editorial serta beberapa temuan data editorial edisi Desember 2000
mempertegas adanya keberanian dalam membahasakan kritisme Media Indonesia
sebagai sebuah institusi. Adapun peran editor bahasa, hanya memiliki garis
kewenangan untuk mengoreksi kesalahan penulisan pada tingkatan kata, kalimat,
dan paragraf saja. Otoritas tertinggi untuk mengubah, mengurangi, menambahkan
bahkan mengoreksi judul dan isi editorial adalah pemimpin redaksi.
73
Merujuk pada hasil wawancara dengan salah satu tim penulis Editorial
Media Indonesia, intinya jika ada bahasa pribadi, hukumannya tinggal diserahkan
kepada publik. Relnya tetap kembali ke publik, biarkan publik yang menilai.
Editorial sebagai salah satu produk jurnalistik (opini) bukanlah sebuah kebenaran
mutlak, tetapi semangatnya harus selalu mencari kebenaran. Bahwa Editorial
Media Indonesia sebagai salah satu media massa skala nasional, mampu
memberikan ruang berinteraksi untuk membangun dan mencari kebenaran. Selain
itu media massa memiliki salah satu fungsi sebagaimana dijelaskan oleh Yoseph
R. Dominick, dalam bukunya The Dynamics of Mass Communication.
Menurutnya, salah satu fungsi media massa adalah interpretasi. Media massa tidak
hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta interpretasi
mengenai suatu peristiwa tertentu.8
Untuk itu, media massa bukanlah segala-galanya. Dia tidak memiliki
kebenaran mutlak dalam menyajikan informasi yang dibungkus menjadi lebih
menarik untuk diminati publik. Sehingga segala bentuk pemberitaan dan
penulisannya, baik secara personal maupun institusional, wajib dipertanggung
jawabkan kepada publik.
2. Konsumsi Teks
Berikut hasil wawancara penulis dengan seorang informan yang
memiliki latar belakang selain sebagai pembaca, juga mantan penulis
Editorial Media Indonesia tahun 2006-2007.
8
Onong Uchjana Efendi, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006), h. 20
74
Poin-poin yang menjadi pokok pembahasan dengan informan adalah
sebagai berikut:
1. Perkenalan informan dengan Media Indonesia
2. Perbedaan Media Indonesia dengan surat kabar lainnya
3. Perkenalan informan dengan Editorial Media Indonesia
4. Pandangan informan mengenai Editorial Media Indonesia
5. Pandangan informan mengenai gaya bahasa penulisan Editorial
Media Indonesia terhadap Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Informan Edy A Effendi (EAE):
Edy A Effendi (EAE) merupakan lelaki kelahiran Slawi, Jawa
Tengah, 18 Februari 1966. Domisili saat ini di Jalan Sawah Dalam
No. 68 RT/RW 04/04, Panunggangan Utara, Pinang, Kota Tangerang
15143.
Selain memosisikan diri sebagai pembaca aktif Media Indonesia
dan editorial, informan juga pernah bergabung sebagai wartawan di
Media Indonesia selama tujuh tahun lebih.
Perkenalan dengan Media Indonesia
Informan EAE mengenal Media Indonesia sejak tahun 1997.
“Saya tahu Media Indonesia sejak awal, persisnya saya
lupa. Koran ini sebenarnya koran lama secara domain dan nama,
kemudian dibeli Surya Paloh. Pada awalnya grup Surya Paloh
mempunyai koran bernama Prioritas, kemudian dibredel Orba
karena pemberitaan di halaman belakang dengan judul kalau tak
75
salah „Soeharto dan Firaun‟, penulisnya Elman Saragih
(sekarang Pemred Metro Tv). Akibat dibredel, Elan digusur
menjadi reporter senior dan dibuang ke Medan. Surya Paloh
kemudian membeli domain Media Indonesia yang sudah lama
tak aktif”.9
Perbedaan Media Indonesia dengan surat kabar lainnya
“Dari sisi pemberitaan, Media Indonesia sangat lugas.
Lugas dalam mengelola pemberitaan, tidak bertele-tele. Ini
terlihat pada pola penulisan berita yang tidak bersambung ke
halaman lain. Misalnya ada berita halaman pertama, tak ada
sambungan di halaman lain. Tentu ini berbeda dengan harian
Kompas. Tak bersambung ke halaman lain ini, memudahkan
pembaca untuk menyelesaikan secara tuntas di halaman awal.
Tapi risikonya tak ada kedalaman dari isi berita itu”.10
Perkenalan dengan Editorial Media Indonesia
Bagi EAE, Editorial Media Indonesia sudah tidak asing lagi dan
sudah cukup mengenalnya sejak lama.
“Saya tahu Editorial Media Indonesia, karena saya pernah
terlibat selama dua tahun di dalamnya. Kebetulan saya menjadi
Tim Editorial pertama dari unsur wartawan. Generasi baru
penerus editorial, khusus dari unsur wartawan. Diambil dari
juara-juara workshop editorial di berbagai tempat selama tiga
hari. Inilah hebatnya Media Indonesia, kawan-kawan digodok
dalam menulis editorial atau apapun secara selektif”.11
EAE menambahkan soal pembagian tema penulisan editorial
dan Tim Penulis yang biasa menulis editorial.
“Sejak lama Tim Editorial ditulis unsur pimpinan, di antara
unsur pimpinan itu ada Saur Hutabarat, Djadjat Sudradjat, dan
Laurens Tato. Waktu itu ada Mas Imam Anshori Saleh, seorang
Gus Durian PKB asli. Isu-isu ke-Islaman biasanya ditulis Mas
Iman, baik momentum hari raya, Iedul Adha atau isu-isu politik
9
Wawancara Edy A. Effendi, 5 April 2011.
10
Ibid., Edy A. Effendi.
11
Ibid., Edy A. Effendi.
76
yang terkait dengan soal Islam. Sejatinya, seorang Saur
Hutabarat dan Laurens Tato yang non muslim pun bisa menulis
soal-soal keislaman. Seperti halnya Djadjat Sudradjat menulis
soal kekristenan, karena patokan penulisan editorial sudah
baku.”12
Pandangan tentang Editorial Media Indonesia
EAE menilai Media Indonesia bersama editorialnya sangat tidak
imbang dan tidak objektif dalam menuliskan sebuah berita ataupun
editorial.
“Soal Editorial Media Indonesia saya pikir sama dengan
editorial-editorial lain. Tapi kalau mau jujur, setiap penulisan
berita maupun editorial itu cerminan dari institusi yang
mengelolanya, siapa yang di belakang layar pengelola. Secara
otomatis berbagai kebijakan penulisan tak lepas dari cara
berpikir mereka. Secara kebetulan kawan-kawan yang berdiri di
tingkat elit Media Indonesia dalah non muslim. Sebut saja Andy
F Noya, Laurens Tato, Saur Hutabarat, dan Elman Saragih. Dulu
ketika saya masih menjadi wartawan Media Indonesia, kami
menyebut empat sekawan”.13
EAE juga merasakan betul adanya ketidak berimbangan mulai
dari peliputan, penulisan hingga penerbitan berita maupun editorial. Ia
juga memberikan beberapa fakta yang terjadi di lapangan dan ruang
redaksi.
“Ketika fotografer mau memuat foto kebiadaban Israel di
Palestina, Yohanes Widada, waktu itu asisten redaktur eksekutif,
selalu menghalangi. Juga ketika demo PKS yang begitu rapi dan
sangat massif, Elman Saragih selalu meminta tak memuat foto,
hanya beritanya saja. Ini jelas-jelas tak fair. Saya waktu itu
sebenarnya malu karena KOMPAS yang dikenal sebagai bagian
dari kelompok Katolik, justru memuat foto demo PKS di
halaman muka. Hal lain ketika kasus Sekolah Sang Timur,
12
Ibid., Edy A. Effendi.
13
Ibid., Edy A. Effendi.
77
Karang Tengah, Tangerang, Editorial Media Indonesia jelasjelas memihak sekolah itu dengan alasan tak jelas. Tentu ini
dibarengi unsur subjektif”.14
Penilaian terhadap penulisan Editorial Media Indonesia yang
memuat tentang Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
EAE juga mendefinisikan Editorial Media Indonesia
“Dari sisi kebahasaan, Editorial Media Indonesia terkenal
sangat lugas dan tegas. Dari kalangan manapun, orang bisa
langsung membaca Editorial Media Indonesia. Inilah sisi
kebahasaan, kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif,
padat, dan singkat. Biasanya penulisan editorial tak lebih dari 45
baris atau sekitar tujuh paragraf atau satu halaman setengah
kuarto”.15
Ia juga memandang bahwa gaya bahasa Editorial Media
Indonesia dalam penulisannya mengenai Abdurrahman Wahid, kental
dengan sinisme, satire, dan dan subjektif yang keluar dari etika
kebahasaan.
“Spesifikasi pada penulisan Gus Dur, saya melihat,
membaca, dan meraba, terkesan sangat sinis dan satire. Sikap
sinis itu lagi-lagi dipengaruhi unsur subjektif dari Tim Editorial.
Kami selalu rapat editorial sebelum editorial ditulis. Jadi,
pendapat yang mengemuka di editorial bukan pendapat pribadi
tapi pendapat institusi. Susahnya kemudian, meski pendapat
institusi, Media Indonesia, tapi penulisan editorial tak lepas dari
unsur subjektivitasnya. Unsur subjektivitas inilah yang
kemudian seringkali menggangu piranti objektivitas ketika
berhadapan dengan persoalan Gus Dur. Judul dan isi editorial
seringkali diedit oleh tim yang lebih senior”.16
14
Ibid., Edy A. Effendi.
15
Ibid., Edy A. Effendi.
16
Ibid., Edy A. Effendi.
78
Analisis Konsumsi Teks
Informan mengenal Editorial Media Indonesia sejak 14 tahun yang lalu,
rentang waktu yang terbilang lama untuk mengenal sebuah koran harian, Media
Indonesia. Ia sangat responsif ketika ditanyai seputar Editorial Media Indonesia
beserta gaya penulisannya. Menurutnya, Media Indonesia sebagai sebuah institusi
media massa nasional sangatlah lugas, tegas, dan berani. Lugas, tegas, dan berani
dari segi penulisan isi berita maupun editorial sebagai sebuah opini redaksinya.
Walaupun dia sempat menilai bahwa Editorial Media Indonesia hampir sama
dengan editorial (tajuk rencana) koran lainnya. Namun, Setelah cukup lama
bergabung di keredaksiaa Media Indonesia, sebagai wartawan dan pernah menjadi
salah satu penulis editorial dari unsur wartawan, dia memiliki pandangan sendiri
yang kontra terhadap penulisan Editorial Media Indonesia. Bahwa Media
Indonesia sangatlah kental dengan subjektivitas dan ideologi para pemimpinnya
dalam memutuskan sebuah kebijakan redaksi. Maka tidaklah heran menurutnya,
jika beberapa editorial sering dikemas dan disajikan tidak cover both side. Ketidak
berimbangan penulisan editorial tentu saja dilatari oleh orang yang berada di balik
layarnya. EAE juga mempertegas bahwa Editorial Media Indonesia merupakan
cerminan dari institusi yang mengelolanya, otomatis berbagai kebijakan penulisan
tak lepas dari cara berpikir mereka. Terlepas suka ataupun tidak suka, menurut
EAE, itu sudah menjadi kebijakan baku. Hal-hal seperti itulah yang selalu menjadi
pertentangan dalam dirinya, posisinya mendua, satu sisi sebagai seorang wartawan
dan sisi lainnya sebagai pembaca setia Media Indonesia. Penjabarannya mengenai
beberapa fakta yang terjadi di lapangan maupun redaksi, Editorial Media
Indonesia pernah menunjukkan keberpihakan terhadap Sekolah Sang Timur di
79
Tangerang. EAE menilai keberpihakan Editorial Media Indonesia tidaklah
beralasan,
melainkan
adanya
unsur
subjektif.
Apalagi
EAE
mencoba
membandingkan Media Indonesia dengan koran nasional lainnya, KOMPAS, yang
menurutnya KOMPAS merupakan koran yang berkiblat non Islam, mampu
memuat foto demo PKS yang rapi dan massif di halaman muka, Media Indonesia
tidak melakukan itu, EAE merasa malu dengan sikap yang diusung Media
Indonesia yang tidak adil dan terkesan memilih. Fakta lainnya saat salah satu
fotografernya mau memuat foto kekejian Israel terhadap Palestina, Redaktur
Eksekutifnya yang berlatar non muslim, menghalanginya. Padahal konflik Israel
dengan Palestina murni soal perebutan batas wilayah yang kebetulan saja
memiliki keyakinan (agama) berbeda. Sehingga menurut penilaian EAE, Media
Indonesia sangatlah tebang pilih dalam menyoroti berbagai fakta yang terjadi di
lapangan, berita maupun opini redaksi yang dipilih berdasarkan kesukaan
pimpinannya, walaupun melalui rapat redaksi, pada praktiknya tidaklah terlihat
sebagai sebuah keputusan bersama atau redaksi. Pandangan lain yang digulirkan
oleh EAE mengenai gaya penulisan Editorial Media Indonesia terhadap
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sinismenya sangat kental. Kesantunan dalam
berbahasa tidak selalu diusung dalam penulisan Editorial Media Indonesia,
spesifikasinya terhadap sosok Abdurrhamn Wahid. Menurutnya sikap tersebut
sangatlah merugikan untuk pihak lain, dalam kasus ini adalah Abdurrahman
Wahid. Janganlah Editorial Media Indonesia menjadi Media yang provokatif,
melainkan media yang inovatif dalam segi penulisan, informatif dalam segi isi ,
dan edukatif dalam segi manfaat.
BAB V
PENUTUP
Setelah melalui tahapan mulai dari bab I (pendahuluan), bab II (tinjauan
pustaka), bab III (gambaran umum harian Media Indonesia), dan bab IV (temuan
dan analisis data), maka akan dihasilkan rumusan masalah melalui kesimpulan
dan saran, sebagai berikut :
A. Kesimpulan
Dari kelima data utama penelitian ini (Editorial Media Indonesia),
kesimpulan yang diperoleh pada tingkat analisis teks adalah Editorial Media
Indonesia sebagai sebuah institusi media massa nasional (koran), dalam segi
penulisan judul dan isinya sangatlah berani, lugas dan terus terang. Ketiga
modal penulisan tersebut sekaligus karakter dari Media Indonesia. Dilihat dari
segi etika kebahasaan, Editorial Media Indonesia tidak ragu untuk
menggunakan gaya bahasa pertentangan (ironi, satire, sarkasme) dan gaya
bahasa perumpamaan terhadap objek pemberitaannya, baik secara institusional
(lembaga tinggi pemerintah) maupun personal (Abdurrahman Wahid). Dari
segi pengemasan sebuah opini redaksi, Editorial Media Indonesia memang
sangat menarik untuk dibaca.
Selain itu, berdasarkan hasil analisis bahasa jurnalistik pada kelima
Editorial Media Indonesia edisi Desember 2000 yang diamati peneliti, dalam
penulisannya Editorial Media Indonesia kurang memenuhi tata bahasa
80
81
jurnalistik, yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baku.
Bahasa yang diterapkan Editorial Media Indonesia lebih mengutamakan
bahasa yang menarik dan metafor. Penggunaan bahasa yang tidak terlalu baku
dan metafor itulah yang terpenting bagi Editorial Media Indonesia dalam
menyampaikan opininya kepada khalayak pembaca, walaupun dilihat dari
etika kebahasaan sangatlah rendah.
Pada tataran produksi teks dan merunut dari hasil wawancara dengan
salah satu dewan redaksi Media Group, Djadjat Sudradjat. Proses lahirnya
Editorial Media Indonesia tentunya berawal dari fakta di lapangan, ada fakta
ada berita. Fakta-fakta di lapangan itulah kemudian diangkat untuk dibuat
opini redaksi (editorial), memang tidak semuanya, pemilihannya berdasarkan
rapat redaksi. Sistem penulisannya pun berdasarkan kapabilitas dan
kredibilitas tiap-tiap personal (penulis editorial). Proses pemilihan tema
editorial memang berdasarkan koordinasi tim penulis editorial, dengan
menyepakati beberapa batasan umum yang sekiranya memiliki sensitivitas
tinggi (SARA, pribadi, kredibilitas negara, dan menyinggung merah putih)
harus dihindari.
Di tataran konsumsi teks, dapat disimpulkan melalui wawancara
dengan Edy A Effendi, dan sudah cukup mengenal sejak lama Editorial Media
Indonesia. Sebagai sebuah koran nasional, Media Indonesia belum bisa berdiri
di atas kaki yang imbang. Imbang di sini sama dengan objektivitas sebuah
penulisan opini redaksi. Terdapat fakta-fakta bagaimana Editorial Media
Indonesia memang melakukan pemihakkan, sehingga tidak cover both side.
Setiap penulisan berita maupun editorial itu cerminan dari institusi yang
82
mengelolanya, siapa yang di belakang layar pengelola. Secara otomatis
berbagai kebijakan penulisan tak lepas dari cara berpikir mereka.
B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan kepada Media Indonesia, khusunya
bagian redaksi. Editorial merupakan pandangan atau kritisme redaksi terhadap
suatu berita yang memang layak dan penting untuk ditulis. Sebaiknya
penulisan editorial lebih mengusung kritisme yang berpijak pada kebenaran
dan berimbang. Tidak adanya intervensi dari pemilik maupun penjaga kolom
editorial tersebut. Publik sebagai pembaca sangat ingin tahu pandangan dari
redaksi. Sehingga diperlukan lagi formulasi gaya bahasa penulisannya yang
etis dan tetap kritis.
83
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Ali, Lukman. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1994.
Ali, Muhammad. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka
Amani. 1998
Alwi, Hasan, dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesi. Jakarta: Balai Pustaka,
2000.
Anwar, Rosihan. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya
Paramitta. 1991.
Azies, Furqanul dan A Chaedar Alwasiah. Pengajaran Bahasa Komunikatif.
Teori dan Praktek. Bandung: PT Rosdakarya, 2000.
Birowo, M Antonius. Metode Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Gitanyali.
2004.
Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana. 2007.
Carsen, Peter. Textual Analysis of Fictional Media Content”. dalam Klaus
Bruhn Jensen dan Michael Jankoviscki. A Handbook of Qualitative
Methodologies for Mass Communication Research. London and
New York: Routledge. 1993.
Darma, Yoce Aliah. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya. 2009.
Dewabrata, AM. Kalimat Jurnalistik, Panduan Mencermati Penulisan Berita.
Yogyakarta: Gadjah Mada University.2004.
Djuroto. Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002.
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. 2001.
Eriyanto.
Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LkiS. 2001.
Hisyam, Usama, dkk. Editorial Kehidupan, Surya Paloh. Jakarta: Yayasan
Dharmapena Nusantara. 2001.
84
Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. Cetekan ketiga. 2008.
Kusumaningrat, Hikmat, dkk. Jurnalistik Teori dan Praktik. Bandung:
Rosdakarya. 2005.
Lesmana, Tjipta. Tragedi Prioritas. Jakarta: Penerbit Erwin-Rika Pers. 1988.
McQuail, Dennis. Mass Communication Theory: An Introduction. London:
Sage Publication. third edition. 1995.
Meinanda, Teguh. Pengantar Komunikasi dan Jurnalistik. Bandung: Armico.
1981.
Muis, Abdul. Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah
Komunikasi, Jurnalistik. Jakarta: PT. Mario Grafika. 1996.
Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Nurudin. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Oetama, Jacob. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES. 1987.
Rivers, William L, Bryce Mc Intyre, dan Alison Work. Penyunting Dedy
Djamaluddin Malik. Editorial. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
1994.
Rolnicki, Tom E, dkk. Alih Bahasa oleh Tri Wibowo. Pengantar Dasar
Jurnalsme: Scholastic Journaism. Jakarta: Prenda Media Group.
2008.
Siregar, Ashadi. Politik Editorial Media Indonesia. Jakarta: LP3ES. 2002.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif.
Penerjemah Muhammad Shodia dan Imam Muttaqin. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2003.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT Reamaja
Rosdakarya. 2006.
Sudarman, Dannim. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: Bumi
Aksara. 2000.
Suhandang, Kustadi. Pengantar Jurnalistik Seputar Organisasi, Produk, dan
Kode Etik. Bandung: Nuansa. 2004.
85
Sumadiria, AS Haris. Bahasa Jurnalistik Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2006.
. Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis
Penulis dan Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media. 2005.
Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Jakarta: Kalam Indonesia. 2005.
Wirardi, Gunawan. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Cipta Adi
Pusaka. 1990.
B. MEDIA ONLINE
Artikel diakses pada Jumat, 18 Februari 2011 pukul
http://gusdur.net/Profil.
21.15 WIB dari
Artikel diakses pada Jumat, 18 Februari 2011 pukul
http://kabarindonesia.com.
21.15 WIB dari
Artikel diakses pada Jumat, 18 Februari 2011 pukul
http://pelitaku.sabda.org.
21.15 WIB dari
C. LAIN-LAIN
Company Profile Media Indonesia
Wawancara pribadi dengan Djadjat Sudradjat, Dewan Redaksi Media Group.
Dilaksanakan pada Selasa, 23 Februari 2010 jam 19.00 WIB di Kantor
Media Indonesia, Kedoya Selatan - Jakarta Barat.
Wawancara pribadi dengan Edy A Effendi, mantan wartawan Media
Indonesia sekaligus informan. Dilaksanakan pada Selasa, 5 April 2011
jam 17.00 WIB di Summarecon Serpong, Kota Tangerang.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA
Narasumber
: Djadjat Sudradjat
Hari/tanggal
: Selasa/ 23 Februari 2010
Waktu
: 19.00 WIB
Jabatan
: Dewan Redaksi Media Group
Tempat
: Kantor Media Indonesia, Kedoya Selatan - Jakarta Barat
1. Bagaimana proses pemilihan tema Editorial Media Indonesia? Apakah tema
editorial merupakan representasi dari konteks yang terjadi di ranah publik?
Bagaimana pula alur produksi teks pada Editorial Media Indonesia yang
ditulis sangat terus terang, berani dan tegas?
Proses pemilihan tema pada tahun 2000, saat awal-awal Media Indonesia
hadir, belum ada rapat redaksi yang membahas tema. Laurens Tato menjadi
penulis tunggal editorial saat itu. Tetapi setelah terbentuknya tim, mulailah ada
forum. Ada Saur Hutabarat, Laurens Tato dan saya. Koordinasinya tidak tentu
dan tidak formal, main feeling saja. Memang dalam konteks sebuah industri
media massa besar, ini tidak sehat. Hanya saja sudah ada kesepakatan mengenai
batasan-batasan umum yang sekiranya memiliki tingkat sensitivitas tinggi
(SARA, menyerang pribadi, meruntuhkan kredibilitas negara, menyinggung
merah putih) harus dihindari. Sekarang sudah makin terencana dan ada rapat
redaksi. Ada jatah-jatah siapa yang menulis apa, pembagian tersebut disesuaikan
dengan bidang kemampuannya. Gairah ke politiknya relatif tinggi, sesekali
ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan.
Editorial Media Indonesia tentu saja merekonstruksi fakta-fakta di
lapangan. Kerja jurnalistik itu pasti ada fakta dulu. Jika ada teks dulu baru
peristiwa, itu namanya agenda setting. Kerja jurnalistik adalah memaknai
peristiwa, peristiwa harus mempunyai makna. Kerja jurnalistik juga harus
merekonstruksi peristiwa. Cara menilai suatu rekonstruksi benar atau tidak
adalah semakin dekat dengan fakta peristiwa aslinya, semakin benar dari
perstiwa. Semakin dipelintir, semakin jauh dari kebenaran peristiwa. Artinya,
publik boleh dan mempunyai hak menyeleksi dan meninggalkan yang
rekonstruksinya jauh dari peristiwa.
2. Apakah dalam memproduksi sebuah teks dalam Editorial Media Indonesia
dihasilkan secara personal? Bagaimana akurasi kecocokkan antara
kebenaran konteks dengan kebenaran teks?
Kalau kita bicara proses dari awal, editorial itu hak privat publisher, sikap
penerbit terhadap sesuatu. Media Indonesia menjadi menarik karena editorial
yang sifatnya privat dibedah di ruang publik, publik dilibatkan. Agar memiliki
public meaning, silakan saja publik berkomentar. Tetapi dalam konteks
membangun demokrasi, interaksi seperti ini menjadi penting. Barang privat
dipublikasikan di ruang publik, hasilnya jadi milik bersama. Pers semakin punya
makna publik, semakin dibaca banyak orang. Semakin jauh dari makna publik,
semakin ditinggalkan.
Jika ada bahasa pribadi, mudah saja. Hukumannya hanya tinggal
diberikan ke publik, biar publik yang menilai. Tetapi spiritnya harus institusi.
Subjektivitas dalam editorial merupakan subjektivitas yang harus mempunyai
makna publik, dipertanggung jawabkan secara publik dan relnya tetap kembali ke
publik.
Menurut saya, pers itu bukan sebuah kebenaran. Tapi semangatnya harus
selalu mencari kebenaran. Pers itu bukan agamawan, tetapi harus seperti
ilmuwan. Lagi-lagi peran publiklah yang sangat penting untuk menilai suatu
kebenaran, pers bukan segala-galanya. Itulah pentingnya ruang publik, ada hak
jawab dan hak bertanya. Ada ruang berinteraksi untuk membangun dan mencari
kebenaran. Wartawan itu perlu didebat atau dipersoalkan, supaya wartawan dapat
mempertanggung jawabkan hasil berita yang diliputnya di lapangan. Pers perlu
berbagi tugas. Sebagai wartawan, di lapangan tak ada problem. Yang jadi
problem ketika disampaikan ke ruang publik. Semakin banyak angel, semakin
banyak yang bisa dinikmati publik. Jika pers tidak menarik, publik berhak
meninggalkan. Pers itu sama seperti bank, jika tak percaya ya pindah saja.
3. Terkait dengan produksi teks, bagaimana peran editor bahasa dalam
melihat teks editorial yang ditulis oleh Tim Editorial. Apakah berpandu
pada kaidah bahasa jurnalistik? Tolong jeleskan sejauh mana wewenang
editor bahasa, apakah ia berhak melakukan perombakan dalam sisi teks?
Tentunya dalam sebuah struktur keredaksian sudah memiliki job desk
masing-masing sesuai dengan perannya. Memang tak jarang ada perdebatan
menyoal gaya bahasa antara redaktur bahasa dengan tim editorial. Seperti yang
tadi saya katakan bahwa semakin lama semakin ketemu keseragaman bahasanya.
Editor bahasa dan tim editorial mampu sinergi. Jadi seolah-olah isi kepala kita
sudah sepemikiran dan seragam, justru hal tersebut menjadi sebuah karakter
Editorial Media Indonesia, terus terang, tegas dan lugas. Mengenai perombakan
pada konten, tentu ada aturannya dan mesti melalui kesepakatan rapat redaksi.
Peran editor bahasa harus mampu meminimalisir kesalahan pada penulisan tiap
kata, kalimat dan paragraf yang masih berbentuk dummy sebelum proses akhir
naik cetak. Editor bahasa tentu memiliki bobot peran yang sangat penting dalam
proses produksi penulisan editorial.
4. Siapakah yang memiliki otoritas mengubah, mengurangi, menambahkan
dan mengoreksi judul serta isi editorial?
Apapun bentuknya, berita itu wajar mengalami perubahan di akhir. Jika
ada peristiwa yang lebih aktual dan menarik, memungkinkan ada perubahan.
Bukan menjadi monopoli editorial, jadi wajar saja jika ada perubahan. Jika
perubahan itu dilakukan oleh Pemred, itu bukan masalah. Pemred memiliki
otoritas dan Pemred pula yang bertanggung jawab jika ada masalah. Pemred
punya hak.
5. Mengapa penulisan Editorial Media Indonesia terhadap pemerintahan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan personalitasnya sebagai tokoh politik,
ditulis menggunakan gaya bahasa perumpamaan, satire, sinisme, dan
sarkasme? Apakah penulisan Editorial Media Indonesia berpijak pada
kaidah bahasa jurnalistik dan etika bahasa? Adakah ideologi secara institusi
maupun pribadi yang melatari penulisan editorial?
Gus Dur bagi pers saat jelang jatuh, tidak menarik pemberitaannya. Dari
segi pemerintahan, sudah jauh bersimpang jalan dengan kehendak publik. Gus
Dur itu demokratis, tahan banting, dan hanya Gus Dur yang bisa dikiritik dan
tidak pernah ada masalah. Tapi memang tidak semua kebijakan Gus Dur mesti
kontra. Secara integrasi kebangsaan, sangat bagus. Wacana yang disodorkan Gus
Dur saat itu mampu meminimalisir konflik.
Penulis editorial itu macam-macam, punya latar belakang kultural
berbeda. Punya cita rasa bahasa yang berbeda. Cita rasa bahasa dibentuk oleh
pemahaman. Menjadi menarik, bahasa itu arbitrer (sembarang). Kata yang sama
jika diucapkan oleh orang beda budaya akan berbeda maknanya. Kasar tidak
kasar, halus tidak halus, tidak ada standarnya. Gaya bahasa personal pasti tidak
bisa dihilangkan. Tetapi jika setiap orang harus membangun standar bahasa yang
sama, iya. Walaupun ada pertentangan dengan bahasa, tapi semakin lama
semakin
ketemu
keseragaman
bahasanya.
Akhirnya
Media
Indonesia
menemukan formula bahasa yang bisa diterima masyarakat. Bahasa yang baik
mesti bahasa yang terdidik, bahasa yang tidak vulgar, tidak menyerang secara
pribadi, sedikit ada sentuhan sastra. Bahasa yang miskin metafor, tak ada analogi,
tak ada kata imaji, akan membuat jenuh pembaca.
Ideologi bukan menjadi permasalahan besar, tinggal bagaimana dengan
public meaningnya. Intinya antara formula kebahasaan dengan public meaning
mesti seimbang antara konten dengan kemasan.
HASIL WAWANCARA
Narasumber
: Edy A Effendi
Hari/tanggal
: Selasa/ 5 April 2011
Waktu
: 17.00 WIB
Jabatan
: Mantan Wartawan Media Indonesia
Tempat
: Summarecon Serpong, Kota Tangerang
1. Perkenalan informan dengan Media Indonesia. Sejauh mana mengenal
Media Indonesia?
Saya tahu Media Indonesia sejak awal, persisnya saya lupa. Koran ini
sebenarnya koran lama secara domain dan nama, kemudian dibeli Surya Paloh.
Pada awalnya grup Surya Paloh mempunyai koran bernama Prioritas, kemudian
dibredel Orba karena pemberitaan di halaman belakang dengan judul kalau tak
salah ‘Soeharto dan Firaun’, penulisnya Elman Saragih (sekarang Pemred Metro
Tv). Akibat dibredel, Elan digusur menjadi reporter senior dan dibuang ke
Medan. Surya Paloh kemudian membeli domain Media Indonesia yang sudah
lama tak aktif”.
2. Di mana perbedaan Media Indonesia dengan surat kabar lainnya?
Dari sisi pemberitaan, Media Indonesia sangat lugas. Lugas dalam
mengelola pemberitaan, tidak bertele-tele. Ini terlihat pada pola penulisan berita
yang tidak bersambung ke halaman lain. Misalnya ada berita halaman pertama,
tak ada sambungan di halaman lain. Tentu ini berbeda dengan harian Kompas.
Tak
bersambung
ke
halaman
lain
ini,
memudahkan
pembaca
untuk
menyelesaikan secara tuntas di halaman awal. Tapi risikonya tak ada kedalaman
dari isi berita itu
3. Perkenalan informan dengan Editorial Media Indonesia. Sejauh mana
mengenal Editorial Media Indonesia?
Saya tahu Editorial Media Indonesia, karena saya pernah terlibat selama
dua tahun di dalamnya. Kebetulan saya menjadi Tim Editorial pertama dari unsur
wartawan. Generasi baru penerus editorial, khusus dari unsur wartawan. Diambil
dari juara-juara workshop editorial di berbagai tempat selama tiga hari. Inilah
hebatnya Media Indonesia, kawan-kawan digodok dalam menulis editorial atau
apapun secara selektif.
Sejak lama Tim Editorial ditulis unsur pimpinan, di antara unsur
pimpinan itu ada Saur Hutabarat, Djadjat Sudradjat, dan Laurens Tato. Waktu itu
ada Mas Imam Anshori Saleh, seorang Gus Durian PKB asli. Isu-isu ke-Islaman
biasanya ditulis Mas Iman, baik momentum hari raya, Iedul Adha atau isu-isu
politik yang terkait dengan soal Islam. Sejatinya, seorang Saur Hutabarat dan
Laurens Tato yang non muslim pun bisa menulis soal-soal keislaman. Seperti
halnya Djadjat Sudradjat menulis soal kekristenan, karena patokan penulisan
editorial sudah baku.
4. Bagaimana pandangan anda terhadap Editorial Media Indonesia?
Soal Editorial Media Indonesia saya pikir sama dengan editorial-editorial
lain. Tapi kalau mau jujur, setiap penulisan berita maupun editorial itu cerminan
dari institusi yang mengelolanya, siapa yang di belakang layar pengelola. Secara
otomatis berbagai kebijakan penulisan tak lepas dari cara berpikir mereka. Secara
kebetulan kawan-kawan yang berdiri di tingkat elit Media Indonesia dalah non
muslim. Sebut saja Andy F Noya, Laurens Tato, Saur Hutabarat, dan Elman
Saragih. Dulu ketika saya masih menjadi wartawan Media Indonesia, kami
menyebut empat sekawan.
Ketika fotografer mau memuat foto kebiadaban Israel di Palestina,
Yohanes Widada, waktu itu asisten redaktur eksekutif, selalu menghalangi. Juga
ketika demo PKS yang begitu rapi dan sangat massif, Elman Saragih selalu
meminta tak memuat foto, hanya beritanya saja. Ini jelas-jelas tak fair. Saya
waktu itu sebenarnya malu karena KOMPAS yang dikenal sebagai bagian dari
kelompok Katolik, justru memuat foto demo PKS di halaman muka. Hal lain
ketika kasus Sekolah Sang Timur, Karang Tengah, Tangerang, Editorial Media
Indonesia jelas-jelas memihak sekolah itu dengan alasan tak jelas. Tentu ini
dibarengi unsur subjektif.
5. Bagaimana Penilaian terhadap penulisan Editorial Media Indonesia yang
memuat tentang Abdurrahman Wahid (Gus Dur)?
Dari sisi kebahasaan, Editorial Media Indonesia terkenal sangat lugas dan
tegas. Dari kalangan manapun, orang bisa langsung membaca Editorial Media
Indonesia. Inilah sisi kebahasaan, kemampuan menggunakan kata-kata secara
efektif, padat, dan singkat. Biasanya penulisan editorial tak lebih dari 45 baris
atau sekitar tujuh paragraf atau satu halaman setengah kuarto.
Spesifikasi pada penulisan Gus Dur, saya melihat, membaca, dan meraba,
terkesan sangat sinis dan satire. Sikap sinis itu lagi-lagi dipengaruhi unsur
subjektif dari Tim Editorial. Kami selalu rapat editorial sebelum editorial ditulis.
Jadi, pendapat yang mengemuka di editorial bukan pendapat pribadi tapi pendapat
institusi. Susahnya kemudian, meski pendapat institusi, Media Indonesia, tapi
penulisan editorial tak lepas dari unsur subjektivitasnya. Unsur subjektivitas
inilah yang kemudian seringkali menggangu piranti objektivitas ketika
berhadapan dengan persoalan Gus Dur. Judul dan isi editorial seringkali diedit
oleh tim yang lebih senior.
Profil Edy A Effendi
Menekuni dunia tulismenulis sejak duduk di
bangku SMA, Edy A
Effendi terus mengasah
dan
kemudian
menemukan
dunianya
dalam ranah kepenyairan
dan jurnalistik. Sebagai
Edy A Effendi (tengah) bersama Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA
(kiri) dan H. Rosihan Anwar(kanan), saat menghadiri seminar di
penyair, ia sudah beberapa
Afrika Selatan.
kali mengikuti even-even
berskala nasional dan
internasional. Membaca sajak dan menjadi pembicara di berbagai forum sastra.
Jejak kepenyairan inilah yang kemudian menggiring langkahnya menjajaki bumi
Amerika Serikat.
Di negeri Paman Sam, ia memperoleh bea siswa tuk menulis novel dan
mempelajari sastra modern Amerika di University of Southern California pada
paruh 2007. Jejak-jejak seperti inilah menjadi momentum sosok Edy A Effendi
masuk lebih dalam lagi dalam dunia sastra.
Di luar jejak kepenyairan, ia juga menggeluti dunia jurnalistik sejak tahun 1987.
Terakhir dia menduduki jabatan sebagai Redaktur Budaya harian nasional Media
Indonesia. Bekal sebagai penulis menjadikan dirinya mudah menempatkan profesi
jurnalistik. Kemudahan ini dapat terlihat ketika ada workshop pelatihan penulisan
editorial bagi wartawan Media Indonesia selama tiga hari di Anyer, Banten,
dirinya menjadi juara satu penulisan editorial gelombang II. Sebagai juara satu,
otomatis ia menjadi penulis editorial yang setiap hari harus memantau berbagai
gejolak kehidupan publik.
Beberapa tulisan di media massa, khususnya soal sastra menghiasi pelataran koran
Indonesia, khususnya koran Kompas. Selain menulis di media massa, ia juga
menulis lima buku, 19 buku tokoh dan 29 sebagai editorial. Salah satu buku yang
dia edit dan menjadi isu pembicaraan hangat di kalangan mahasiswa Islam adalah
“Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat,” yang diterbitkan Penerbit Zaman, 1999.
Selain itu, ia juga menjadi editor buku disertasi Prof. Dr. Greg Barton, yang
dikenal sebagai penulis buku-buku Gus Dur itu.
Saat ini, ia tengah mengelola Tabloid KABAR LAIN sebagai pemimpin redaksi.
Struktur Keredaksian Media Indonesia
Pendiri :
Drs. H. Teuku Yousli Syah, MSi (Alm).
Direktur Utama :
Rahni Lowhur Schad
Direktur Pemberitaan :
Saur Hutabarat
Dewan Redaksi Media Grup :
Elman Saragih (Ketua)
Anna Wijaya
Rahni Lowhur Schad
Djafar Husin Assegaff
Saur Hutabarat
Andy F. Noya
Djadjat Sudrajat
Toeti Adhitama
Lestarai Moerdijat
Bambang Eka Wijaya
Sugeng Suparwoto
Redaktur Senior :
Saur Hutabarat
Laurens Tato
Elman Saragih
Kepala Divisi Pemberitaan :
Usman Kansong
Deputi Kadiv. Pemberitaan :
Kleden Suban
Kadiv. Artistik, Foto dan Produksi :
Sinartus Sosrodjojo
Kadiv Content Enrichment :
Gaudensius Suhandi
Ass. Kadiv Pemberitaan :
Abdul Khohar
Yohanes S. Widada
Ade Alawi
Ono Sarwono
Haryo Prasetyo
Rosmery Christina S.
Sekretaris Redaksi :
Teguh Nirwahyudi
Ass. Kadiv. Foto :
Hariyanto
Ass. Kadiv. MICOM :
Tjahyo Utomo
Victor J.P. Nababan
Redaktur :
Agus Wahyu Kristianto
Cri Canon Riadewi
Eko Suprihatno
Eko Rahmawanto
Fitriana Siregar
Gantyo Koespradono
Hapsoro Poetro
Hendri Salomo
Ida Farida
Jaka Budisantosa
Lintang Rowe
Mathias S. Brahmana
M. Anwar Surachman
Sadyo Kristriarto
Soelistijono
Profil Pembaca Media Indonesia
Keterangan Gambar:
Profil pembaca Media Indonesia
diklasifikasikan berdasarkan beberapa
golongan, antara lain:
1. Jenis kelamin. Mayoritas pembaca setia Media Indonesa berasal dari
golongan laki-laki (87%) dan selebihnya perempuan (13%). Melihat
persentase tersebut dapat disimpulkan bahwa laki-laki lebih memiliki
minat baca lebih tinggi daripada perempuan, khususnya terhadap Media
Indonesia.
2. Pendidikan. Pembaca Media Indonesia berdasarkan level pendidikan
memang cukup menarik untuk dibahas. Dapat dilihat persentase dari tiap
jenjangnya, sampai dengan SLTA (10%), D1-D3 (15%), S1 (51%), S2
(19%), dan S3 (5%). Ini membuktikan bahwa budaya baca masyarakat
Indonesia memang unik, unik dalam arti semakin tinggi tingkat pendidikan
(intelektualitas) semakin rendah minat membaca. Kesadaran akan
pentingnya membaca media cetak tergolong lemah. Dominasi minat baca
di tingkat S1 cukup baik dari lainnya.
3. Usia. Pada usia remaja 17-24 tahun (12%), usia produktif 25-34 tahun
(45%), usia matang 35-44 tahun (29%), usia 45-55 tahun (12%) dan usia
di atas 55 tahun (2%). Usia produktif lebih konsumtif terhadap bacaan
media cetak (Media Indonesia), kebutuhan akan informasinya lebih tinggi
dibandingkan usia lainnya.
4. Pekerjaan. Pembaca Media Indonesia dilihat dari golongan pekerjaan
sangat variatif , berdasarkan database pihak sekretaris redaksi hanya
beberapa responden yang diambil sebagai pengelompokkan pembaca
dilihat dari pekerjaan. Pegawai swasta (52%), PNS (13%), Pegawai
BUMN (14%), Pengusaha (4%), Mahasiswa (11%), TNI-Polri (1%), Eks.
Patriot dan lainnya (pedagang, pengangguran) 3%. Pembaca Media
Indonesia paling banyak adalah pegawai swasta.
5. Pengeluaran.
Dari sisi jatah pengeluaran, responden pembaca Media
Indonesia lebih banyak di tingkat pengeluaran lebih dari 3,5 Juta.