BUKU SOEMARMO_2015_FINAL.cdr
Transcription
BUKU SOEMARMO_2015_FINAL.cdr
“Saya senang menggambar dan melukis sejak masih jadi bocah ingusan namun saya juga punya kewajiban membantu bapak saya, agar tidak menyusahkan beliau,” tutur Soemarmo di studio lukis sekaligus kediamannya di kota Magelang, Jawa Tengah. S O E M A R M O SEORANG MAESTRO DI TOKYO DARI MAGELANG Oleh Argus FS Soemarmo kembali ke Magelang setelah berpuluh tahun menjadi maestro di Tokyo, Jepang. Seniman dan pelukis Indonesia makin dikenal oleh galeris dan kolektor seni rupa dunia sejak satu dekade terakhir. Lukisan-lukisan Raden Saleh Bustaman pada jaman kolonial belajar dan berkarya di Eropa. Raden Saleh dianggap sebagai tonggak seni lukis modern Indonesia. Akan tetapi pada abad itu seni lukis 1 2 Soemarmo menjadi pelukis maestro di Tokyo selama 35 tahun. Banyak jejak artistik dan perjalanan kreatifnya yang sangat inspiratif, terutama soal bagaimana beliau memegang teguh prinsip kesenimanannya, disiplin, etos kerja dan peran pemerintah Soekarno dan pemerintah Jepang dalam menunjang karirnya sebagai seniman di Tokyo dari kota Magelang. Kamasan di Klungkung juga dianggap lukisan modern dari sudut pandang antropologi yang hingga kini dimaktubkan pada lukisan tradisional. Dengan demikian, seni lukis Indonesia sudah memiliki tonggak sejarah seni lukis modern Indonesia selain Raden Saleh yang memang secara langsung banyak dipengaruhi oleh seni lukis Eropa. Seniman-seniman pionir dan pelukis old master Indonesia sudah meninggalkan jejak-jejak artistik melalui karya-karya mereka dan dibaca sebagai bagian sejarah seni rupa Indonesia di era pemerintahan Soekarno. Lukisan-lukisan Soedibio, Hendra Gunawan, Affandi, S. Soedjojono, H. Widayat, Edhi Soenarso (patung), Heng Antung dan nama-nama seniman lain yang sudah tercatat dalam buku-buku sejarah seni rupa Indonesia, sebagai karya-karya seniman/pelukis Indonesian old-master, adalah perkamen sejarah seni rupa Indonesia yang turut mendorong perkembangan seni rupa Indonesia kini agar lebih maju dan dikenal masyarakat dunia. Panggil Saya Marmo! Soemarmo. Pelukis kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, pada 9 Juli 1937, besar di Magelang dan Jakarta adalah salah satu seniman old-master Indonesia yang hingga kini masih produktif berkarya dan dikenal di luar Indonesia ketimbang di negaranya sendiri. Juga, boleh dikatakan sebagai salah satu korban sejarah politik Orba yang menumbangkan pemerintahan Soekarno. Lalu, siapakah Soemarmo dan bagaimana beliau dikenal sebagai salah satu seniman Jepang dari Indonesia? Pencapaian dan pengalaman estetik beliau dari mulai bocah ingusan di Magelang hingga menjadi salah satu pelukis yang sangat diperhitungkan di Tokyo, Jepang, dan dunia internasional adalah bagian dari sejarah penting seni rupa Indonesia, khususnya seni lukis. Studio Soemarmo, Magelang (2015) Marmo, panggilan akrab Soemarmo, adalah putra kedua dari sepuluh bersaudara. Beliau adalah laki-laki paling besar di keluarga besar Soekandar. Ayahnya adalah tentara rakyat yang turut berjuang merebut kemerdekaan bangsa ini. Namun demikian keluarga besar Soemarmo adalah keluarga yang sangat memandang penting arti Studio Soemarmo, Tokyo (1965) Soemarmo melukis di Wisma Indonesia, Tokyo. 1966 Soemarmo mendapat sertifikat khusus sebagai seniman yang dihormati di Jepang Sertifikat ini sederajat dengan Master di Tokyo pada tahun 1992 setelah puluhan tahun menjaga kualitas karya seni lukisnya pendidikan dan pembangunan karakter manusia yang bermanfaat untuk keluarga, masyarakat serta bangsanya. Situasi saat itu disikapi dengan kerja keras, terus belajar menggambar secara otodidak sambil bekerja untuk menopang ekonominya. Pribadinya yang sederhana, santai, konsekuen pada prinsip, berfikir positif dan kerja keras adalah karakter Marmo sejak kecil hingga pada suatu saat dimana Marmo masih remaja harus merantau ke Jakarta pada tahun 1954 dan tinggal di jalan Kebun Sereh, dekat stasiun Jatinegara. Marmo remaja mengenyam pendidikan menengah di SMA Pepsi seberang stasiun Gambir, sambil bekerja sebagai loper koran. “Saat itu sepertinya asyik dan seru melemparkan koran-koran ke halaman rumah orang, tapi kan di film itu, dik. Kenyataannya saya harus menyerahkan koran-koran itu langsung ke orang rumah yang jadi pelanggan koran tersebut,” kata Soemarmo. Walaupun sekolah sambil bekerja, Marmo termasuk remaja yang pintar dan rajin menggambar. Tentunya pelajaran kesenian adalah favoritnya daripada matematika. Perkara matematika diejawantahkan dengan hidup bersahaja oleh marmo remaja, hingga pekerjaannya yang serabutan bisa sedikit menopang hidupnya di Jakarta sambil belajar. Keseharian Marmo remaja adalah pelajar yang rajin menggambar. Ia sekolah di sore hari pada pukul empat sore hingga pukul sembilan malam, karena di pagi hari ia bekerja mengirim surat kabar. Bekerja sebagai loper koran waktu itu sangat dinikmati oleh Marmo karena saat itu beliau sembari membayangkan adegan film barat seorang loper koran yang melemparkan gulungan koran ke halaman rumah pelanggannya setiap pagi. Pada suatu hari di jam makan siang yang cerah, di sebuah warung makan dekat stasiun Gambir, Marmo remaja berjumpa dengan Pak Trisno Juwono, redaktur majalah Trio bersama S.M. Ardan, Halil Hasmanan (Reno) - pendiri band Gumaran yg terkenal di Jakarta waktu itu. Pada saat itu Marmo remaja diajak untuk bekerja di Majalah Trio oleh Trisno Juwono. Waktu berlalu, Marmo remaja sekolah sore sambil bekerja sebagai ilustrator dan pegawai administrasi di majalah seni tersebut. Pekerjaan Marmo remaja adalah sebagai loper koran pun bertambah, menjadi ilustrator majalah seni. Pekerjaan menjadi ilustrator dan staf administrasi di majalah Trio. *** Hingga pada suatu sore yang cerah di belakang Sekolah Menengah Negeri 4, dekat kawasan Akademi Militer, kota Magelang, bulan Mei 2015, Soemarmo menuturkan kembali pengalaman hidupnya sebelum menjadi pelukis yang sangat diperhitungkan di Tokyo karena orisinalitas serta otentisitas karya-karyanya hingga saat ini. Setelah tamat SMA Marmo pindah ke Jalan Radio Dalam, Jakarta Selatan dan masih bekerja sebagai ilustrator. Hingga pada tahun 1958 Marmo pindah ke Yogyakarta dengan tujuan masuk Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) dan Marmo memiliki saudara yang bekerja sebagai guru di ASRI, Soekarno namanya. Soekarno adalah putra dari Bu’denya. Tapi niatnya belajar seni lukis di ASRI diurungkan. Sore itu, Marmo masih teringat kisah ketika beliau berniat sekolah menjadi pelukis di ASRI. Pada malam sebelum Marmo pergi ke ASRI untuk mendaftarkan diri, Soekarno melihat sketsa yang dibuat Marmo malam itu dan Soekarno memberikan penilaian bahwa Marmo bisa sekolah seni lukis di ASRI karena karyanya sudah bagus. Lalu, dinyatakan lulus tes seandainya beliau mendaftarkan diri ke ASRI. Lantaran hijrahnya Marmo saat itu dari Jakarta ke Yogyakarta diketahui oleh bapaknya, Marmo diminta kembali ke Jakarta dengan alasan ibu kota negara RI itu lebih menjanjikan masa depan. Marmo saat itu pun pun berfikir bijak saja dan mempertimbangkan masa depan delapan adik-adiknya. Maka, Marmo muda kembali ke Jakarta. Walhasil, setelah kembali ke Jakarta Marmo bekerja di departemen Pendidikan dan Kebudayaan (PDK) di bagian subsidi gedung-gedung yang terletak di jalan Cilacap No.4 Jakarta. Menggambar dan melukis tidak pernah ketinggalan dan karirnya terus menanjak hingga bisa bekerja sebagai staf bidang kesenian di Istana Negara. Peluang itu diperoleh karena beliau punya teman yang memiliki akses ke orang yang bekerja di bidang kesenian di Istana negara. Namanya Pak Gapoer, kepala staf bidang kesenian. 3 4 Selama beliau bekerja sebagai staf seksi kesenian yang tugasnya mengurus keperluan acara-acara kesenian di Istana Negara, hingga mengurus seniman-seniman yang dipanggil oleh Presiden Soekarno untuk menghibur tamutamu delegasi dari luar Indonesia. Beliau pun jadi mengenal seniman-seniman dan artis saat itu yang sering dipanggil oleh Presiden, antara lain Bing Slamet, Titik Puspa, S.Soedjojono, Trubus, Afandi, Soedarso, Soedibio. Sujono (guru ASRI) dan Eddi Soenarso, juga seniman-seniman yang sudah terkenal mulai jaman itu. Momen sejarah Soemarmo mengenal karya-karya Dulah justru setelah beliau bekerja di Istana Negara. Dulah adalah guru melukis Presiden Soekarno. Karena Dulah adalah salah satu seniman yang sering berjumpa dengan Presiden Soekarno, maka tidak bisa dihindari kedekatan Dulah dengan beliau pun terjadi. Marmo belajar ilmu melukis dari Dulah dengan cara mengamati cara bekerja Dulah dalam mencipta lukisan. Pengamatan dan interaksi langsung dengan Dulah pun mempengaruhi lukisan-lukisan Marmo khususnya periode lukisan naturalist. Tetapi, sebelum Soemarmo bertemu Dulah beliau sempat belajar seni lukis di sanggar lukis yang dinakhodai oleh S. Soedjojono di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Timur, tahun 1958 sampai dengan 1961. Semasa muda Marmo memetik ilmu melukis realis dari Dulah dan S. Soedjojono. sesuatu yang mustahil bila seorang pelukis mesti mencari atau menunggu inspirasi atau gagasan lukisan. Mengapa? Daya kreatif seorang pelukis atau seniman itu akan terus hidup hingga akhir hayatnya. Apa saja yang Somarmo dapatkan dari dua tokoh old master Indonesia itu? Banyak ilmu soal lukisan dan hal-hal prinsip mengenai kesenimannya. Perkara teknik melukis, Soemarmo sudah punya bakat dan skill melukis yang terus ditekuninya sejak kecil hingga saat dimana beliau dapat berguru secara langsung kepada Dulah dan S. Soedjojono di periode itu. “Saya masih ingat waktu itu Pak Djon menyuruh saya membuat konte. Karena waktu saya tidak tahu bagaimana caranya ya saya terlihat bingung oleh beliau. Terus dia kembali lagi kepada saya, 'kenapa belum dikerjakan?' tanya Pak Djon. Saya bilang saja bahwa saya tidak tahu caranya. Waktu itu saya diberi instruksi bagaimana membuat charcoal malahan. Ya, setelah diberi tahu saya buat charcoal untuk para pelukis di sanggar itu. Saya belajar melukis dengan cara melihat dan mengamati proses kerja para pelukis di sanggar itu. Jadi, menjadi pelukis waktu itu tidak langsung melukis, tetapi mesti paham bagaimana membuat bahan untuk melukis,” tutur Soemarmo. Menurut beliau lukisan-lukisan naturalis dari dua guru itu menjadi ilmu yang sangat bermanfaat, khususnya bagaimana menciptakan lukisan yang khas dan memiliki karakter pelukisnya. Marmo mendapat banyak pelajaran yang prinsip untuk seorang pelukis, selain menciptakan lukisan yang otentik atau orisinal, seorang pelukis yang total dan konsekuen dengan profesinya itu tidak akan pernah kekurangan gagasan artistik. Jadi, menurut Marmo adalah Kunjungan Presiden Soekarno, Wisma Indonesia, Tokyo (1964) Pada tahun awal tahun 1964, dua lukisan Soemarmo berjudul “Sayang Anak dan Sayang Ibu” dan “Wanita Indonesia Berkimono” dikoleksi oleh presiden RI pertama, maka lukisannya menjadi bagian penting dari 2000 karya seni yang dikoleksi presiden Soekarno meliputi lukisan, patung dan karya seni laiinya dari seniman-seniman dunia. Dua lukisan itu masuk daftar koleksi Soekarno karena Perhimpunan Pelajar Indonesia merupakan kader partai politik masa itu terlihat glamor di mata mahasiswa Jepang sendiri. Namun demikian, Soemarmo tetap hidup bersahaja karena fasilitas yang diterimanya sebagai pelajar Indonesia dimaksimalkan untuk mendukung kegiatannya melukis dan melukis. pelukis. Salah satunya adalah hidup dengan prinsip menjadi diri sendiri. Yaitu mencipta dalam karya seni lukis dengan bekerja keras menemukan ciri khas atau otentisitas karya seorang pelukis pada karyanya. Tentu saja kemauan kuat Soemarmo untuk menjadi pelukis yang baik mendorong Soemarmo memperoleh banyak pengetahuan dan pemahaman mengenai hidup sebagai seorang seniman. 5 Kunjungan Presiden Soekarno, Wisma Indonesia, Tokyo. 1964 (PPI) Tokyo, Jepang, meminta dua lukisan tersebut untuk dihadiahkan kepada presiden Soekarno sebagai karya pelajar Indonesia di Tokyo, Jepang. Penyerahan dua lukisan tersebut dilakukan di Wisma Indonesia dari Soemarmo kepada presiden Soekarno secara langsung. Marmo memang bekerja sebagai staf bidang kesenian di istana kepresidenan. Kedekatan beliau dengan putra-putri Presiden RI yang pertama itu tidak dapat dihindari sebagai seniman muridnya Dulah. Maka, kedekatan Soemarmo dengan pelukis Dulah memberikan banyak pelajaran penting dan bermanfaat bagi pencapaian artistik dan mentalitas Soemamro sebagai Kemudian, Soemarmo mendapatkan beasiswa untuk studi seni lukis di kota Tokyo pada tahun 1963, sebagai pelajar Indonesia yang kemudian bekerja sebagai staf lokal Bidang Penerangan di KBRI Tokyo, Jepang. Tentu saja bukan perkara mudah bagi Soemarmo pada masa itu karena sebagai mahasiswa seni di Tokyo ia harus berdikari dan masih memikirkan adik-adiknya. Masa-masa sulit itu tentu saja berbeda dengan masa sekarang. Presiden Soekarno di masa itu memberi dukungan yang cukup bagi seluruh pelajar Indonesia di Tokyo hingga kebutuhan para pelajar Indonesia dapat dikatakan mencukupi. Bahkan, Soemarmo menggambarkan fasilitas yang diterima para pelajar Indonesia di Tokyo yang sebahagian banyak 6 Soemarmo terbilang mahasiswa seni dari Indonesia yang sangat rajin, cerdas dan banyak diberi masukan oleh dosen-dosen seni lukis di Tokyo hingga seniman-seniman penting di Tokyo pada masa itu menambah nilai-nilai prinsipil yang dipegang teguh Soemarmo. Maka, setelah Soemarmo berguru kepada Dulah dan S. Soedjojono mendapat guru lukis Jepang, yaitu Hasegawa Michiharu, selama tiga tahun juga mendapat banyak pelajaran dari pelukis-pelukis, kritikus, kurator di Tokyo karena Soemarmo sudah menjadi pelukis Jepang. Kegigihan Soemarmo sebagai pelukis di Tokyo dari Magelang seperti tidak pernah surut dan selalu mencoba- dan mencoba membuat lukisan yang akan menjadi otentisitas dan orisinalitas dia di atas kanvas-kanvasnya. Setelah menyelesaikan studi seni lukis di GAKUGEI DAINGAKU (University of Art and Science), Tokyo, Soemarmo berada pada titik nol sebelum mengambil langkah pertama sebagai pelukis di Tokyo. Selama satu tahun setelah usai studi yang dilakukan Soemarmo adalah melukis dan melukis hingga terkumpul beberapa lukisan untuk sebuah pameran tunggal pertama di NICHIDO Undangan pameran tunggal Soemarmo yang kedua di MIMI Gallery, Tokyo, 1970 Gallery - sebuah galeri seni rupa yang paling bergengsi di kota Tokyo. Habislah uangnya dibelikan cat, kanvas, kuas dan peralatan lukis lainnya untuk menabung lukisan dalam rangka pameran tunggal pertama. Tak habis akal, Soemarmo meminjam sejumlah dana untuk membayar sewa galeri terbaik itu dan mengembalikan dana itu segera setelah malam pembukaan pameran tunggalnya. Benar, tiga lukisan Soemarmo laris terjual di malam pembukaan pameran perdananya. Perjuangan Soemarmo di gelanggang seni rupa Jepang di Tokyo menjalankan misi dan kebudayaan Indonesia di negeri Sakura itu. Lukisan-lukisan Soemarmo adalah lukisan mengenai kebudayaan Indonesia dengan visi bahwa kebudayaan Indonesia tidak akan pernah habis menjadi gagasan artistik bagi seorang seniman. Kekuatan karya lukisan Soemarmo juga berhasil menarik perhatian ICHIYO-KAI, salah satu dari lima organisasi seniman di Tokyo yang banyak memberikan kontribusi kepada museum-museum di Tokyo, Jepang. Soemarmo selalu menyertakan seni hiburan dari Bali dan budaya Indonesia pada umumnya di dalam goresan-goresan kuas dan lapisan-lapisan cat minyak di atas kanvas-kanvas lukisannya. Dan mulai tahun 1968 hingga kini Soemarmo aktif memamerkan lukisan-lukisannya di Mori Metropolitan Museum of Art, Ueno, Tokyo. Penghargaan karya seni banyak diraih oleh Soemarmo di Tokyo, antara lain: The Special Prize dari pameran seni rupa di Metropolitan Art Museum Ueno, Tokyo, tahun 1969 dan 10 Karya Terbaik dari pameran Japan Fine Art pada tahun 1977 - diselenggarakan oleh Ichiyo-kai. Special Prize Winner dari pameran seni rupa yang diselenggarakan oleh UNESCO Japan “Kyoto” tahun 1980. Setahun kemudian karya patung dengan material es yang diberi judul “Dewa Ruci” memenangkan posisi the First Winner dalam perhelatan The International Snow Festival di Sapporo, Jepang, dan sebagai bonusnya Soemarmo banyak melakukan lawatan ke museum-museum dan galeri seni rupa di Eropah. Dalam lawatannya di Paris, Soemarmo sempat berjumpa dengan Salim. Seniman dari Indonesia yang belajar seni rupa di Paris dan menetap di kota para seniman dunia itu menjadi tersohor. Soemarmo memaparkan bahwa pada era itu bukan hanya dirinya yang belajar seni rupa di luar Indonesia, tapi ada beberapa nama seniman yang berpetualang di negeri orang lain. Pak Salim, seniman Indonesia yang menetap di kota Paris, membantu Soemarmo juga hingga bisa mengikuti pameran-pameran lukisan di Itali, Perancis, Spanyol dan negeri Belanda. Corak lukisan-lukisan Soemarmo yang muncul belakangan ini bukan lukisan yang digarap dengan teknik melukis yang secara kebetulan 'ketemu' hingga dapat menunjukkan rasa dan kekuatan diri pelukisnya di atas kanvas menggunakan cat akrilik atau cat minyak yang cukup tebal. Lukisan-lukisan Soemarmo merupakan proses kreatif yang tidak akan pernah selesai hingga akhir hayatnya. Soemarmo merupakan salah satu seniman yang ditempa oleh tiga jaman, yaitu jaman Orde lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Lukisan naturalist Soemarmo menggunakan cat minyak pada awalnya banyak dipengaruhi oleh seni lukis modern Eropah. Tetapi, lukisan naturalist Soemarmo selepas menjadi seniman Tokyo Soemarmo justru menunjukkan ciri naturalist Soemarmo. Dari lukisannya lukisan bunga banyak digarap dengan ciri khas ekspresionis dan impresionis Soemarmo, dan lukisan-lukisan figur serta lanskap dengan goresan-goresan ekspresionisnya. Seorang jurnalis surat kabar Asahi Shimbun di Tokyo, Mr. Suzuki Sho, adalah kolektor lukisan Soemarmo yang mulai dikoleksi sejak Soemarmo masih studi hingga menjadi seniman yang dihormati di Tokyo, Jepang, sebanyak lebih dari 140 lukisan Soemarmo. 7 8 Soemarmo adalah aset sejarah seni rupa Indonesia yang saat ini memang belum banyak dikenal di negerinya sendiri, Indonesia, meski sudah dapat digolongkan sebagai maestro atau Indonesia old master dari Magelang. Kehadirannya sebagai seniman dari Indonesia di negeri sakura bukanlah perkara mudah di mana pada saat itu Kunjungan Soemarmo ke museums di kota Paris. 1970 itu masih bisa 'terbaca' sedikit naturalis-nya Dulah dan S. Soedjojono. Lukisan-lukisan Soemarmo adalah lukisan gaya dan corak Soemarmo sendiri. Prinsip inilah yang ingin ditunjukkan melalui lukisan-lukisannya bahwa menjadi pelukis sejatinya menunjukkan karya dengan corak dan warna yang khas dari pelukisnya, meskipun melukiskan persoalan yang serupa. Soemarmo berupaya menjadi dirinya sendiri di dalam karya-karyanya. Meniru merupakan perkara yang bukan urusan seniman bagi Soemarmo. “Seniman itu tidak akan pernah habis ide-idenya. Dan meniru karya-karya pelukis lain itu bukan tabiatnya seniman. Ia harus menciptakan lukisannya sendiri. Mengolah rasa di dalam lukisannya dengan kejujuran diri senimannya. Itu saja. Maka penikmat lukisan atau kolektor dapat mengenali karya kita. Bagaimana caranya? Ya, teruslah melukis dan pameran di galeri dan museum,” kata Soemarmo. Lukisan-lukisan Soemarmo dapat dibagi ke dalam beberapa katagori lukisan, antara lain lukisan-lukisan naturalist dan realist dengan objek buah-buahan, lukisan- Tim Indonesia Juara I Perebutan bendera International Snow Festival, Sapporo, Jepang 1982 kondisi pendidikan, ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan tidak sebaik sekarang. Namun, seniman ini justru prihatin dengan situasi sosial dan kebudayaan Indonesia saat ini, khususnya pelaku-pelaku seni rupa di Indonesia. Prihatin karena aspek pendidikan tidak menjadi manusia-manusia Indonesia menjadi lebih baik dari generasinya dulu. Banyak yang memiliki kemampuan melukis tapi minim kapasitasnya untuk mencipta. Soemarmo memang terdidik secara mental sebagai seniman profesional di Tokyo hingga kembalinya beliau ke Indonesia untuk dapat memberikan pelajaran-pelajaran berharga kepada pelukis dan seniman Indonesia, khususnya generasi muda, yaitu mentalitas yang tidak diajarkan kepada seniman-seniman muda untuk memajukan seni rupa Indonesia yang lebih baik. Soemarmo kini hidup dan berkarya di Magelang dan selalu sedia untuk membagi ilmunya kepada semua seniman dan pelukis, meski sesekali harus berangkat ke Tokyo sebagai seniman Jepang yang dihormati di negeri Sakura itu.*** “Gadis Bali” Pastel on Paper 1994 9 10 “Barong” Oil on Canvas 1974 “Legong” Oil on Canvas 2010 “Kapal” Oil on Canvas 1981 “Apel” Oil on Canvas 1968 11 12 “Apel” Acrylic on Canvas 2010 “Apel” Pastel on Paper 2000 “Apel” Oil on Canvas 1970 “Mawar” Acrylic on Canvas 2010 13 14 “Pier” Pastel on Paper 2000 “Pier” Pastel on Paper 2000 “Bunga” Oil on Canvas 1990 “Bunga” Acrylic on Canvas 2010 15 16 “Bunga Matahari” Oil on Canvas 1970-75 “Persimmon” Oil on Canvas 1970-75 First painting during studied at S. Soedjojono workshop. “Nelayan”, oil on Canvas. 1955 “Semangka” Oil on Canvas 1968 17 18 “Gadis” Oil on Canvas 1968 Invitation First solo exhibition at Salon Nichido Gallery 1968 “Penari Bali” Oil on Canvas 1970 principle, positive thinking and hard working, are Marmo's characters since he was a child until the time when the teenage Marmo had to migrate to Jakarta in 1954 and lived in Kebon Sereh, near Jatinegara station.Teenage Marmo took his secondary education in SMA Pepsi - across the street from Gambir Station, while working as a newspaper boy. BEING a MASTER in TOKYO From MAGELANG By Argus FS SOEMARMO return to Magelang, central Java after being old master artist in Tokyo, Japan. Indonesian artists and painters are increasingly recognized by international art gallery owners and collectors in the last decade. Paintings of Raden Saleh Bustaman in the colonial era when he studied and worked in Europe. Raden Saleh is regarded as a milestone in modern Indonesian painting. But in that century, Kamasan painting art in Klungkung are also considered modern paintings from anthropological standpoint, despite being included among the traditional painting art until now. Thus, Indonesian painting art already has a milestone of modern painting apart from Raden Saleh who was directly influenced by European painting. Indonesian pioneering painting artists and old masters had bequeathed artistic traces through their works and are regarded as part of Indonesian art history in the era of Soekarno. The works of Soedibio, Hendra Gunawan, Affandi, S. Soedjojono, H. Widayat, Edhi Soenarso, Henk Ngantung and the names of other artists recorded in the history books of Indonesian art, as the works of Indonesian-old master artists / painters, is the parchment of Indonesian art history contributing to the development of Indonesian art to be more advanced and is now known internationally. Call Me Marmo. Soemarmo, that's all his name, is a painter born in Salatiga, Central Java, on July 9, 1937. He was raised in Magelang and Jakarta, and is one of the Indonesian old masters who are still productive and more known outside Indonesia than in their own country. Also, he may be regarded as one of the victims of the New Order political history after Soekarno was deposed. Who is Soemarmo then, and how did he get to be known as one of the Japanese artists from Indonesia? His achievements and his aesthetic experience spanning from his childhood in Magelang until he becomes one of the highly regarded painters in Tokyo, Japan, and also internationally, is an important part of the history of Indonesian art, particularly in painting. "I have loved drawing and painting since I was a snot-nosed kid, but I also have an obligation to help my father, so as not to trouble him," said Soemarmo in his studio painting cum residence in Magelang, Central Java. Soemarmo is a painter maestro in Tokyo for 35 years. There are many traces of his artistic and creative journey that are very inspiring, especially about how he held fast to his artistic principles, discipline, work ethic and the role of Soekarno and the Japanese government in supporting his career as a Magelang artist in Tokyo. Marmo, his familiar name, was the second son of ten siblings. He is the oldest son in Soekandar family. His father was an army officer who helped fight for the nation's independence. However, his big family had a very critical look on the meaning of education and development of human character that is beneficial for the family, the community and the country. The current situation at the time was addressed with hard work, continuing to learn to drawing and painting by himself while he worked to shore up the family's economy. His personality that is humble, relaxed, commit on the 19 20 "It seemed fun and exciting throwing those newspapers to people's front yards, but this is the moving images in the movies. In reality I hand to hand in the newspaper in person to the customers in their homes," said Soemarmo. Although he was working while schooling, teenage Marmo was smart and diligent in drawings. Of course art was his favorite subject compared to mathematics. Mathematical matters were embodied within a simple life of the teenage Marmo, until his odd jobs could help support his life a little in Jakarta while he was still studying. In his daily life the teen Marmo was a student with an avid passion in drawing. He went to school at four o'clock in the afternoon until nine o'clock at night, because in the morning he worked delivering newspapers. Working as a newspaper boy was enjoyed by Marmo very much because while doing it, he imagined he was in those western movie scenes where the newspaper boy threw newspaper rolls to the costumers' patio every morning. *** One day in a sunny lunch hour, at a warung near Gambir Station, teenage Marmo met Mr. Trisno Juwono, an editor of the Trio magazine along with S.M. Ardan, Halil Hasmanan (Reno) - founder of the band Gumarang that was famous in Jakarta that time. At that time the teenage Marmo was invited to work in Trio magazine by Trisno Juwono. As time passed, teenage Marmo will go to school in the afternoon while working as an illustrator and administrative staff in the art magazine. The teenage Marmo's job delivering newspapers developed, he became an illustrator for music and entertainment magazine. He worked as an illustrator and administrative staff in Trio magazines. Soemarmo Studio’s, Tokyo, Japan. 1965 One sunny afternoon on the back of a State Secondary School 4, near the area of a Military Academy in Magelang, in May 2015, Marmo recounted his experience before becoming a highly regarded painter in Tokyo because of the originality and authenticity of his work to date. After graduating high school Marmo moved to Jalan Radio Dalam, South Jakarta while he still working as an illustrator. In 1958 Marmo traveled to Yogyakarta with the aim of enrolling to Indonesian Fine Arts Academy (ASRI) and Marmo had a relative who worked as a teacher in ASRI, Soekarno his name was. Soekarno was the son of his sister’s mother. But his intention to study painting at ASRI was canceled. One upon a time, in afternoon, Marmo recalled the story of when he intended to learn painting in ASRI. On the evening before Marmo enrolled to ASRI, Soekarno saw sketches Marmo made that night and Soekarno assessed that Marmo could study painting in ASRI because his work was already good. Then, he could passed the test if he enrolled to ASRI. Because at the time Marmo moving from Jakarta to Yogyakarta was known by his father, Marmo was asked to return to Jakarta the reason was that the state capital of Indonesia had more after he worked at the State Palace. Dulah was President Soekarno's painting teacher. Because Dulah was one of the artists who frequently met the President, close acquaintance with Dulah was inevitable. Marmo studied painting from Dulah by observing Dulah working on a painting. Observation and direct interaction with Dulah also affect Marmo's paintings particularly during his period of naturalist painting. But, before Marmo ever met Dulah he had studied painting in a studio under S. Soedjojono in Pasar Minggu, East Jakarta, 1958 to 1961. “Relief Borobudur” Oil on Canvas, 1968 promising future. Marmo at the time made a sensible consideration for the future of his eight younger siblings. Thus, young Marmo returned to Jakarta. Hence, upon his return to Jakarta, Marmo worked in the Departments of Education and Culture (PDK) in buildings subsidy division, that was located in Jalan Cilacap 4, Jakarta. Drawing and painting activities were abandoned as his career continued to climb until he could work as a staff for the arts at the State Palace. This opportunity was obtained because he had a friend who had access to people working in the arts division at the State Palace. His name is Mr. Gapoer, chief of staff of the arts. During his occupation as an art section staff whose job is to organize art events at the State Palace, taking care of artists who are invited by the President Soekarno, up to entertaining guests delegation from abroad. He became familiar with artists who at that time were often invited by the President, they were among others, Bing Slamet, Titik Puspa, S. Soedjojono, Trubus, Afandi, Soedarso, Soedibio, Sujono (an ASRI teacher) and Eddi Soenarso, apart from other artists who were well known ever since that era. The most historical moment for him was when he getting closer to the works of Dulah, actually, happened Young Marmo picked up the art of realist painting from Dulah and S. Soedjojono. According to him the knowledge of naturalist paintings from the two masters is very useful, especially on how to create a distinctive painting and has the characters of the artist. Marmo received a lot of principle lessons that, besides creating authentic or original paintings, a painter with totality and consistency to the profession will never be short of artistic ideas. Thus, according to Marmo it is Impossible that a painter should find or wait for inspiration or ideas to paint. Why? The creative power of a painter or artist will continue to thrive until his demise. What did Marmo get out of these Indonesia's old masters? A lot of knowledge about painting, matters of principle that concerning his own artistic language. Regarding painting techniques, Marmo already got the talent and skill to paint that he continuously practiced since childhood to the time when he could study directly under Dulah and S. Soedjojono in that period. "I still remember the time that Mr. Djon told me to make conté. Because at the time I did not know how, he saw me as being confused. Then he returned to me, 'why have you not done it yet?' Asked Mr. Djon. I just told him that I did not know how. At that time I was given instructions on how to make charcoal instead. So, after being told I made charcoal for the painters in the studio. I learned to paint by seeing and observing the artists' workin process in the studio. So, to become a painter was not produce painting directly, at the time, one must be understood and could do how to make the painting material first," Soemarmo explained. 21 22 In early 1964, two of Marmo's paintings titled "Love the Child and Love the Mother" and the "Indonesian Woman in Kimono" was collected by Indonesia's first president, the paintings became an important part of the 2000 works of art in the collection of President Soekarno which includes paintings, sculpture and other works of arts from internationally renowned artists. The two paintings included in President Soekarno's collection because the Indonesian Students Association (PPI) Tokyo, Japan, requested for the two paintings to be presented to the President Soekarno as the work of Indonesian student in Tokyo, Japan. The two paintings were handed over in Wisma Indonesia in person from Marmo to the President Soekarno. Marmo did worked as a staff of the arts division at the Presidential Palace. His close acquaintance with the sons and daughters of the first President was unavoidable as a painter who learn from Dulah. Marmo's close acquaintance with the painter Dulah provided many important and useful lessons for his artistic achievements and mentality as a great painter. Among these was living with the principle of being one's self, namely by working hard to discover a character or authenticity as a painter in creating identical painting. Certainly, his strong willingness to become a good painter motivated by his gain a lot of knowledge and understanding of life as an artist. Later on, Marmo received a scholarship to study painting in Tokyo city in 1963, as an Indonesian student who later worked as a local Information staff in the Indonesian Embassy in Tokyo, Japan. This was not an easy for Marmo at the time because he had to be independent as a student in Tokyo and at the same time must also be responsible for his younger siblings. Those hard times are certainly different from the situation today. Marmo at the time provided support for Indonesian students residing in Tokyo and made sure their needs are met. Marmo described that the facilities for Indonesian students in Tokyo, who were mostly political cadres, actually seemed glamorous if compared to Japanese students themselves. However, Marmo maintained his humble way of life because the facilities he received as an Indonesian student were maximized to allow him to keep painting and painting. HB IX show the painting by Soemarmo “Barong” Collection of Indonesian Ambassy Tokyo, Japan. 23 Marmo's struggles in the Japan Arts Arena in Tokyo held an Indonesian mission and culture in Japan. Marmo's paintings are about Indonesian culture with a vision that Indonesian culture will never cease to provide artistic ideas for the artist. The power in Marmo's painting attracted the attention of ICHIYO-KAI, one of the five artist's organization in Tokyo that contributed greatly to museums in Tokyo, Japan. Marmo always included the art of entertainment from Bali and Indonesia in general in his brush strokes and oil paint layers of his painting canvases. Since 1968 until today, Marmo has been actively exhibiting his paintings in Mori Metropolitan Museum of Art - Ueno, Tokyo, Japan. “Legong Bali” Collection of Indonesian Embassy Tokyo, Japan Marmo was regarded as an Indonesian art student who is very intelligent and received a lot of inputs from the painting teachers and important artists of Tokyo at the time, and this added to the principle values that Marmo held fast. After learning from Dulah and S. Soedjojono, Marmo studied under a Japanese painter, Hasegawa Michiharu for three year, and also learning from other painters, critics and curators in Tokyo. Because he has 24 year holding a degree in painting was not something to take lightly of, Marmo painted and painted until he had several works for his first solo exhibition in the most prestigious art gallery in Tokyo. He spent all his money to buy paints, canvases, brushes and other painting material to prepare a collection of paintings for his first solo exhibition. Speculatively, Marmo loaned some funds to rent the best gallery and vowed to return the fund immediately after the opening night of his solo exhibition. He was right at that time. Three paintings were sold during the opening night of that exhibition. been being a Japanese artist. Marmo's persistence as a Magelang painter in Tokyo never subsided and he kept experimenting in trying to create paintings with his authenticity and originality on canvases. After graduating with a degree in painting from the University of Arts and Science, Tokyo, Marmo was at his zero-point before his first step as a painter in Tokyo. One Many art awards were received by Marmo in Tokyo, among others: the Special Prize in the art exhibition at Metropolitan Art Museum Ueno, Tokyo (1969); 10th Best Works during Japan Fine Art exhibition in 1977 -- organized by ICHIYOKAI. Special Prize Winner in art exhibition organized by UNESCO Japan, Kyoto (1980); A year later an ice sculpture titled "Dewa Ruci" won First Winner during the International Snow Festival in Sapporo, Japan and as a bonus Soemarmo traveled to museums and galleries in Europe. In his trip to Paris, Marmo met Salim, an Indonesian artist who studied art in Paris who later settled and became famous in that city. Marmo explained that in the era he was not the only one who went abroad to study art, there were several other artists who traveled abroad. Then, he was supported by Mr. Salim for paintings exhibition in Italy, Spain, France, Netherland. More recent Marmo's painting style is not something he accidentally "stumbled upon", so that he could demonstrated the painter's senses of art and the power of aesthetic on canvas using thick layers of acrylic or oil paints. Marmo's paintings are part of a creative process that will never stop until his demise. Marmo is one of the artists who forged in three eras, the era of the Old Order, New Order and the Reformation. Marmo's naturalist painting with oil paint in the beginning was heavily influenced by European modern paintings. However, Marmo's naturalist painting after he graduated with a degree in painting and residing as an artist in Tokyo indicated instead his naturalist characteristics. One might say that on his paintings could be seen how a little bit trace of Dulah and S. Soedjojono's naturalist style. However, Marmo's paintings are his own style and patterns. It is this principle that he wished to show through his paintings, that becoming a painter is to truly show a work with his or her own distinctive characteristic of style or pattern although the painting might describe a common issue. Marmo seeks to be himself in his work. Imitation is not a concern of artists for Marmo. "An artist will never run out of ideas and imitation works from other painters is not an artist's character. He must create his own painting. Processing his own senses on his own painting and devoted within the self-honesty. That is all. So painting lovers or collectors can recognize our works. How is it done? Well, by keep on painting and exhibiting," Soemarmo said. paint but lacking the capacity to create. Indeed, the mentality of Soemarmo as a professional artist has been educated in Tokyo. His returning to Indonesia were prepared to share his lessons for Indonesian painters and artists, especially for those young artists. The lessons of mental for those artist which is not educating yet to develop a better Indonesian art scene. Now he live and works in Magelang and he has been give a promise to share his knowledge and experiences for all painters and artist, even sometime he must gone to Tokyo as Japanese artist who has achieved by an honour in Japanese art scene. *** Soemarmo was born at Salatiga, Central Java, on 9th July 1937. He came from family artists. He went to The University of Art and Science Tokyo in 1964 to studied painting then he began to paint under the personal tutorship by Mr. Hasegawa Michiharu, a painter of nation fame in Japan, for three years. His first one man show at NICHIDO Gallery Ginza, Tokyo, was on September 1968, then ICHIYO KAI selecting two of his work, “THE BALINESE DANCER” and “THE FISHERMAN”. Since 2000 he work and live in Magelang, Central Java, Indonesia. 25 26 The last meeting Soemarmo and Jack Lesmana with President Soekarno in the Presidential Palace, Jakarta. 1962 Marmo's paintings can be sorted into several categories, namely naturalist and realistic paintings with fruits as objects, flower paintings are mostly worked on in Marmo's distinct expressionist and impressionist style, while the figures and landscape paintings are made in impressionist strokes. A journalist who work for Asahi Shimbun new paper also an art collector for Soemarmo's painting in Tokyo, he is Mr. Suzuki Sho, collecting more than 140 paintings since Soemarmo being an art student in Tokyo. Marmo is an asset to the Indonesian art history despite up until today he is yet widely known in his own country, Indonesia, even thought, he can already be categorized as a maestro or an Indonesian old master from Magelang. His presence as an Indonesian artist in Japan was not a simple feat as in the old days the education, economy, social, political, and cultural condition were not as good as they are today. However, the artist is in fact concerned with the current social and cultural condition in Indonesia, especially on the artists and visual art in Indonesia. These situations concerned because the educational aspect does not make Indonesian artists better than their predecessors. Many have the ability to Sejak kecil saya ingin jadi pelukis dan harus terus melukis Curriculum Vitae Soemarmo produce his painting at Paris and visiting Louvre museum in Paris as japanese artist. 1970. th 1969 “The 5 International Young Artist Exhibition” held at Seibu Department Store selected one of his work i.e “THE LEGONG DANCE” and he got the special prize together with other Japanese prize winners in the exhibition at METROPOLITAN ART MUSEUM UENO, Tokyo. 1969 One man shows at SOPPORO, HOKKAIDO. 1970 Ichiyo-Kai selected his work “FUNE” Exhibition in Thailand 1971 Soemarmo's One Man Show in Hammatsu. 1972 Ichiyo-Kai selecting his work, “JANGGER” and got the prize and became an associated member of Ichiyo-Kai. 1973 Soemarmo's One Man Show at Mimi Gallery Ginza Tokyo and Yokohama 1974 Made a study trip in France, Spain, Italy and Holland to obtain picture image data 1975 Won Senkei Newspaper Price in Asian Fine Art Association Exhibition. 1976 Asian Fine Art Association at Mori Metropolitan Museum of Art Ueno Tokyo selected two of his work “ROSE” and “KYOTO TEMPLE” and Ichiyo-Kai selecting one of his work “BARONG”. 1977 The exhibition of Ichiyo-Kai selected one of his work “KECAK” and he became one of the best ten in JAPAN FINE ART. 1977 The Exhibition in Bangkok 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1983 1984 1985 1987 1987 1988 1988 1988 1989 1989 1989 1990 1990 1991 1991 1992 1993 1994 1994 1995 1996 1996 1996 1998 2002 2004 2014 2015 Ichiyo Kai selected one of his work “FISHERMAN”. Ichiyo-Kai selected one of his work “RANGDA”. Won a special prize in group show by UNESCO JAPAN “KYOTO” Indonesia Group Prize Number One Sculpture in the International Show Festival Concurs held in Sapporo, “DEWA RUCI”. Ichiyo-Kai selected one of his work “FUNE”. The exhibition in France Asian Fine Art Association Exhibition selected one of his work “BARONG”. Ichiyo-Kai selected one of his work “THE SUN” Asian Fine Art Association Exhibition selected one of his work “FUNE”. Asian Fine Art Association Exhibition selected two of his work “BALI TEMPLE” and “KYOTO TEMPLE”. The exhibition in South Korea Exhibition at TAKAGENGALLERY together with the member of Ichiyo-Kai Ichiyo-Kai selected one of his work “BARONG DANCE” The Exhibition in Italy. Exhibition at TAKAGEN GALLERY together with the member of Ichiyo-Kai. Exhibition at YURAKUCHO SEIBU DEPT. SSTORE AB Building, Tokyo Transmission Recent work by the Tokyo International Art Community. Exhibition : One Man Show at SEIBU DEPT. STORE, Shibuya Ichiyo-Kai selected one of his work “BALI DANCE” Ichiyo-Kai selected one of his work “BARONG DANCE” to exhibit at UENO MUSEUM TOKYO Exhibition at TAKAGEN GALLERY Ginza Tokyo Ichiyo-Kai selected one of his work and got the special price to be member of Ichiyo-Kai in Japan. Ichiyo-Kai made the exhibition at TAKAGEN GALLERY, Ginza Tokyo. Ichiyo-Kai selected one of his work “LEGONG DANCE”. Exhibition at TAKAGEN GALLERY together with the member of Ichiyo-Kai. Exhibition at MUSEUM METROPOLITAN of ART TOKYO together with the member of Ichiyo-Kai. Exhibition at ROYAL GINZA MUSEUM together with the member of Ichiyo-Kai. Exhibition at MUSEUM METROPOLITAN of ART TOKYO together with the member of Ichiyo-Kai. Exhibition at ROYAL GINZA MUSEUM together with the member of Ichiyo-Kai. Exhibition at MUSEUM METROPOLITAN of ART TOKYO together with the member of Ichiyo-Kai. Exhibition in Swiss Exhibition in Swiss Exhibition in Pondok Tingal BOROBUDUR INDONESIA. Exhibition at Tuksongo Visual Art House, Borobudur, Central Java. 27 28 Publisher ARTLINKED INDONESIA Jl. Ronggo Alap-Alap RT 04 RW 06, Nyamplung Kidul, Gamping - Sleman YOGYAKARTA Tel: +62 2748219848 Mail: [email protected] This book is published in conjunction with the exhibition MILESTONE by Antonios Kho, Cipto Purnomo, Damtoz Andreas, Deddy PAW, Didi Kasi, Hatmojo, Koni Herawati, Noor Ibrahim, Soemarmo, Syahrizal Zain Koto, Yudhi Legowo. at TUKSONGO Visual Art House, Magelang, Indonesia from 9 - 27 June 2015 Copyright book © 2015 Publisher Copyright text © 2015 Writer Copyright works © 2015 Artist Writer : Argus FS (independent Idea Based Curator, Artis) English Editor : Mirna Adzaini and Argus FS. Reproduction/Photograph : Bambang. Design : A L I No part of this book may be replaced or transmitted in any form or by any means, electronic or mechanical, including image, recording or any information storage and retrieval system, without the prior concent from the writer, publisher and artist.