World Bank Document

Transcription

World Bank Document
lic Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
19638
SERI
PELAKSANAAN
PEMBANGUNAN
Meredam Wabah
Pemerintah dan Aspek Ekonomi
Pengawasan terhadap Tembakau
Meredam Wabah
Pemerintah dan Aspek Ekonomi
Pengawasan terhadap Tembakau
BANK DUNIA
WASHINGTON D.C.
@ The International Bank of Reconstruction
and Development/THE WORLD BANK
1818 H Street, N.W.
Washington, D.C. 20433
Hak Cipta dilindungi
Dicetak di Indonesia
Cetakan pertama Oktober 2000
Penemuan, interpretasi dan kesimpulan yang disampaikan dalam buku ini adalah seluruhnya berasal
dari penulis dan tidak dapat dianggap sebagai hasil dari Bank Dunia (The World Bank), atau dari
organisasi organisasi yang berafiliasi dengannya atau dari anggota Dewan Eksekutif atau dari negaranegara yang diwakilinya. Bank Dunia tidak menjamin ketelitian data yang dimuat dalam buku ini
dan tidak bertanggungjawab atas akibat-akibat penggunaan data tersebut.
Bahan dalam buku ini memiliki hak cipta. Bank Dunia mendorong penyebaran publikasinya dan
umumnya segera memberikan izin untuk memperbanyak bagian-bagian dari buku itu.
Izin untuk memfotokopi artikel untuk keperluan internal atau pribadi, untuk keperluan internal atau
pribadi dari klien khusus, atau untuk keperluan mengajar di kelas diberikan oleh Bank Dunia, sepanjang
ongkos yang sebenarnya dibayar langsung kepada Copyright Clearance Center, Inc., 222 Rosewood
Drive, Danvers, MA 01923, USA.; telpon 978-750-8400, fax 978-750-4470. Harap menghubungi
Copyright Clearance Center sebelum membuat fotokopi.
Untuk memperoleh izin membuat reprint masing-masing artikel atau bab secara tersendiri, silahkan
kirim fax permintaan dengan informasi lengkap kepada Republication Department, Copyright Clearance Center, fax: 978-750-4470.
Lain-lain pertanyaan mengenai hak cipta dan perizinan hendaknya dialamatkan kepada Office of the
Publisher, World Bank di alamat tersebut di atas atau fax ke nomor 202-522-2422.
Foto kulit buku: Dr. Joe Losos, Health Canada
ISBN 0-8213-4856-6
Katalog dalam Terbitan
[Jha, Prabhat, 1965-]
Meredam wabah: Pemerintah dan aspek ekonomi
pengawasan terhadap tembakau /Prabhat Jha, Frank J. Chaloupka:
terjemahan Sri Moertiningsih Adioetomo.
... hal, ; ... Cm. (seri Pelaksanaan Pembangunan)
Judul asli: Curbing the epidemic : governments and the economics
of tobacco control.
Termasuk bibliografi
ISBN 0-8213-4856-6
1. Tembakau – aspek sosial 2. Rokok – aspek kesehatan I. Judul
II.. Chaloupka, Frank J. III. Adioetomo, Sri Moertiningsih.
III. Seri Pelaksanaan Pembangunan
363.4-dc21
Buku ini pada mulanya diterbitkan tahun 1999 oleh Bank Dunia dalam bahasa
Inggris dengan judul Curbing the Epidemic: Governments and the Economics of
Tobacco Control, kemudian diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia atas izin Bank Dunia. Edisi ini dicetak dengan mendapat bantuan cukup
dari US Center for Disease Control and Prevention, Office on Smoking and Health.
Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dilaksanakan oleh Tim yang
dikoordinasikan oleh Dr. Sri Moertiningsih Adioetomo, Kepala Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Buku ini bukanlah
terjemahan resmi Bank Dunia. Dalam hal ini Bank Dunia tidak menjamin
ketelitian terjemahan dan tidak bertanggung jawab atas konsekuensi penafsiran
atau penggunaannya dalam bentuk apa pun.
Daftar Isi
PENDAHULUAN xi
KATA PENGANTAR
RINGKASAN
1
xiv
1
Kecenderungan Global Konsumsi Tembakau
15
Peningkatan konsumsi tembakau di negara-negara
berpendapatan rendah dan menengah
15
Pola regional perilaku merokok
17
Hubungan merokok dengan status sosial ekonomi 18
Umur saat pertama kali merokok
20
Pola global berhenti merokok
21
2
Konsekuensi Kesehatan Perilaku Merokok
Sifat kecanduan merokok tembakau 23
Beban penyakit
24
Jangka waktu panjang antara mulai terpapar terhadap
risiko merokok dan timbulnya penyakit 25
Bagaimana merokok menyebabkan kematian
26
Wabah berbeda menurut tempat dan juga waktu
27
Merokok dan kerugian kesehatan bagi orang miskin
Risiko didapat dari asap rokok orang lain 29
Berhenti itu berguna
30
3
23
28
Apakah Perokok Tahu Risiko-Risikonya dan Menanggung
Biayanya ?
33
Kesadaran akan risiko-risiko merokok
34
VII
VIII
Remaja, kecanduan dan kemampuan untuk mengambil
keputusan yang sehat
35
Biaya yang dibebankan kepada orang lain
37
Tanggapan yang sepatutnya bagi pemerintah
40
Menangani kecanduan merokok
41
4
Langkah-Langkah Mengurangi Permintaan terhadap
Tembakau
43
Menaikkan pajak rokok
43
Langkah-langkah nonharga untuk mengurangi permintaan:
informasi untuk konsumen, pelarangan iklan dan promosi serta
pembatasan merokok
52
Terapi pengganti nikotin (NRT) dan intervensi lainnya
untuk penghentian merokok
61
5
Langkah-Langkah Mengurangi Penawaran Tembakau 65
Efektivitas terbatas sebagian besar intervensi dari sisi penawaran 65
Tindakan tegas terhadap penyelundupan
72
6
Biaya dan Konsekuensi Pengawasan terhadap Tembakau 75
Apakah pengawasan terhadap tembakau merusak ekonomi?
Apakah pengawasan terhadap tembakau pantas dibiayai
86
7
Sebuah Agenda untuk Bertindak
89
Mengatasi hambatan politis terhadap perubahan
Prioritas penelitian 92
Rekomendasi
93
91
LAMPIRAN A
PAJAK TEMBAKAU: SEBUAH PANDANGAN DARI
INTERNATIONAL MONETARY FUND
97
LAMPIRAN B
MAKALAH LATAR BELAKANG
99
LAMPIRAN C
UCAPAN TERIMA KASIH 101
LAMPIRAN D
NEGARA-NEGARA DI DUNIA MENURUT PENDAPATAN DAN
WILAYAH REGIONAL (PENGELOMPOKKAN MENURUT
KLASIFIKASI BANK DUNIA)
CATATAN BIBLIOGRAFIS
BIBLIOGRAFI
115
111
105
75
DAFTAR ISI
INDEKS
IX
128
GAMBAR
1.1
1.2
1.3
2.1
2.2
2.3
4.1
4.2
4.2a
4.2b
4.3
4.4
5.1
6.1
7.1
Konsumsi rokok meningkat di negara-negara berkembang
16
Merokok umum di antara orang berpendidikan rendah 19
Merokok dimulai pada usia muda
20
Tingkat nikotin cepat bertambah pada perokok muda 24
Pendidikan dan risiko kematian akibat merokok
28
Merokok dan melebarnya kesenjangan kesehatan antara yang kaya
dan yang miskin
30
Rata-rata harga, pajak dan persentase pajak sigaret per bungkus,
menurut kelompok pendapatan Bank Dunia
45
Harga dan konsumsi rokok sigaret dalam tren berlawanan
47
Harga riil rokok sigaret dan konsumsi sigaret per kapita di Kanada,
1989-1995
47
Harga riil rokok sigaret dan konsumsi sigaret tahunan per orang dewasa
(umur 15 tahun ke atas), Afrika Selatan, 1970-1989
47
Label peringatan yang sangat keras
54
Larangan menyeluruh untuk iklan menurunkan konsumsi sigaret
58
Penyelundupan tembakau cenderung meningkat sejalan dengan tingkat
korupsi
73
Dengan naiknya pajak tembakau pendapatan negara meningkat juga 82
Kecuali perokok saat ini berhenti merokok, kematian akibat merokok akan
meningkat secara dramatis dalam 50 tahun mendatang.
90
TABEL
1.1
2.1
4.1
4.2
4.3
5.1
6.1
6.2
Pola-pola regional merokok 17
Kematian akibat tembakau saat ini dan perkiraan di masa depan
Jumlah perokok potensial yang diimbau berhenti merokok dan
jiwa terselamatkan dengan kenaikan harga 10%
49
Jumlah perokok potensial diimbau berhenti merokok dan jiwa
terselamatkan menurut paket tindakan nonharga
62
Efektivitas berbagai pendekatan untuk penghentian [merokok]
Tiga puluh negara utama penghasil tembakau mentah 67
Studi dampak pengurangan atau penghapusan konsumsi
tembakau pada lapangan kerja
79
Keefektivan biaya langkah-langkah pengawasan terhadap tembakau
26
63
87
KOTAK
1.1
4.1
4.2
Berapa jumlah orang muda yang mulai menjadi perokok setiap hari? 22
Estimasi dampak langkah-langkah pengawasan terhadap konsumsi
tembakau secara global: variabel dalam model
50
Larangan promosi dan iklan tembakau di Uni Eropa 60
X
6.1
7.1
7.2
Bantuan kepada petani termiskin
80
World Health Organization (WHO) dan Framework Convention for
Tobacco Control
94
Kebijakan Bank Dunia mengenai tembakau 96
Pendahuluan
D
ENGAN pola-pola [kebiasaan] merokok yang terjadi seperti saat ini,
sekitar 500 juta orang yang kini masih hidup pada akhirnya akan mati karena
mengkonsumsi tembakau. Lebih dari separo angka ini adalah anak-anak dan
remaja. Pada tahun 2030, tembakau diperkirakan menjadi satu-satunya penyebab
terbesar kematian di seluruh dunia, yang mengakibatkan sekitar 10 juta kematian
per tahun. Peningkatan aksi-aksi untuk mengurangi beban ini menjadi prioritas
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) maupun Bank Dunia (WB) sebagai bagian
dari misi mereka untuk meningkatkan kesehatan dan mengurangi kemiskinan.
Dengan dimungkinkannya upaya-upaya untuk mengidentifikasi dan melaksanakan
kebijakan pengawasan terhadap tembakau secara efektif, terutama kepada anakanak, dua organisasi ini akan memenuhi misi mereka dan membantu mengurangi
penderitaan dan beban biaya akibat wabah merokok ini.
Tembakau mempunyai aspek yang berbeda dari banyak tantangan kesehatan
lainnya. Rokok diminati banyak konsumen dan menjadi salah satu bentuk
kebiasaan umum di banyak masyarakat. Rokok diperdagangkan secara luas dan
menjadi komoditi yang dapat menguntungkan, yang produksi dan konsumsinya
mempunyai dampak pada sumber-sumber daya sosial dan ekonomi baik di negara
maju maupun di negera berkembang. Oleh karena itu aspek-aspek ekonomi
penggunaan tembakau menjadi masalah kritis dalam perdebatan tentang
pengawasan terhadap rokok. Meskipun demikian, sampai saat ini aspek-aspek
tersebut hanya mendapatkan sedikit perhatian global.
Laporan ini bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut dengan
mengetengahkan isu-isu kunci yang dihadapi banyak masyarakat dan pembuat
kebijakan di saat mereka berpikir tentang tembakau atau pengawasannya. Laporan
ini menjadi bagian penting dari kerjasama antara WHO dan Bank Dunia. WHO,
sebuah lembaga utama internasional yang menangani isu kesehatan, telah menjadi
pelopor dalam menanggapi wabah itu dengan proyek Insiatif Bebas Tembakaunya (Tobacco Free Initiative). Tujuan Bank Dunia bekerjasama dengan lembaga
internasional ini dibuktikan dengan menawarkan sumber-sumber khusus untuk
analisis di bidang ekonomi. Sejak 1991, Bank Dunia telah memiliki kebijakan
XI
XII
formal tentang tembakau, yang mengakui bahwa, sejalan dengan keyakinannya,
tembakau membahayakan kesehatan. Kebijakan tersebut mencegah Bank Dunia
memberikan pinjaman untuk kegiatan yang berkaitan dengan tembakau dan
bahkan mendorong upaya-upaya pengawasannya.
Laporan ini juga keluar tepat pada waktunya. Mengingat makin
meningkatnya jumlah korban meninggal akibat tembakau, banyak pemerintah,
lembaga nonpemerintah, dan lembaga-lembaga dalam lingkungan PBB, seperti
UNICEF, FAO, dan IMF mencoba mengkaji kembali kebijakan mereka sendiri
tentang pengawasan terhadap tembakau. Laporan ini adalah hasil kerjasama yang
produktif tentang kajian-kajian dari berbagai pihak, baik pada tingkat nasional
maupun internasional.
Laporan ini dimaksudkan terutama untuk mengungkapkan kekhawatiran para
pembuat kebijakan tentang pengaruh kebijakan pengawasan terhadap tembakau
pada perekonomian. Keuntungan kebijakan pengawasan terhadap tembakau untuk
kesehatan, khususnya untuk anak-anak, memang sudah sangat jelas. Namun,
diperlukan biaya untuk kegiatan pengawasan terhadap tembakau ini dan para
pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan masalah ini secara hati-hati. Apabila
kebijakan pengawasan terhadap tembakau membebani kelompok warga termiskin
di masyarakat, pemerintah negara-negara bersangkutan bertanggung jawab untuk
membantu mengurangi beban biaya-biaya itu, misalnya dengan membuat skema
transisi untuk para petani tembakau yang miskin.
Tembakau merupakan satu di antara kasus penyebab kematian terbesar dan
penyebab kematian dini dalam sejarah manusia yang sesungguhnya dapat dicegah.
Meskipun demikian, kebijakan yang relatif sederhana dan dengan biaya yang
efektif (cost-effective) telah tersedia, serta mampu menurunkan dampak
menghancurkan itu. Bagi pemerintah yang berniat meningkatkan kesehatan dalam
kerangka kebijakan ekonomi yang sehat, tindakan pengawasan terhadap tembakau
merupakan suatu pilihan yang teramat menarik.
David de Ferranti
Wakil Presiden
Jaringan Pengembangan Manusia
(Human Development Network)
Bank Dunia
Jie Chen
Direktur Eksekutif
Penyakit tidak Menular
Organisasi Kesehatan Sedunia
Tim penulis laporan: Laporan ini dipersiapkan oleh suatu tim yang dipimpin
oleh Prabhat Jha, dengan anggota Frank J. Chaloupka (wakil ketua) Phyllida
Brown, Son Nguyen, Jocelyn Severino-Marquez, Rowena van der Merwe, dan
Ayda Yurekli. William Jack, Nicole Klingen, Maureen Law, Philip Musgrove,
Thomas E. Novotny, Mead Over, Kent Ranson, Michael Walton, dan Abdo
PENDAHULUAN
XIII
Yazbeck memberikan masukan dan nasihat yang berharga. Laporan ini
memanfaatkan hasil studi mengenai tembakau yang dilakukan Bank Dunia
sebelumnya dan dikerjakan oleh Howard Barnum. Masukan dari Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) dipersiapkan oleh Derek Yach, dan masukan dari Center for Disease Control and Prevention Amerika Serikat dipersiapkan oleh Michael
Eriksen. Laporan ini dikerjakan berdasarkan pengarahan umum dari Helen
Saxenian, Christopher Lovelace, dan David de Ferranti. Richard Feachem amat
berjasa dalam memprakarsai laporan ini. Namun, kesalahan-kesalahan yang ada
dalam laporan ini tetap menjadi tanggung jawab tim penulis.
Staf produksi laporan ini adalah Dan Kagan, Don Reisman, dan Brenda
Mejia.
Laporan ini telah mendapat banyak masukan dari berbagai konsultasi dengan
banyak pihak (lihat ucapan terima kasih di Lampiran C). Dukungan untuk laporan
ini datang dari Human Development Network, Bank Dunia, Institute of Social
and Preventive Medicine, Universitas Lausanne, dan Office on Smoking and
Health pada Center for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat. Atas
bantuan mereka diucapkan banyak terima kasih.
Kata Pengantar
Laporan ini berawal dari upaya-upaya mempertemukan pendapat yang
dilakukan beberapa teman kerja yang peduli untuk mengatasi masalah bersama:
yaitu relatif terabaikannya kontribusi ekonomi dalam diskusi tentang pengawasan
terhadap tembakau. Pada Konferensi Dunia ke-10 tentang Tembakau di Beijing,
Cina, tahun 1997, Bank Dunia telah mengorganisasikan satu sesi konsultasi
tentang aspek ekonomi pengawasan terhadap tembakau. Pertemuan ini merupakan
bagian dari upaya pengkajian yang sedang dilakukan Bank Dunia atas kebijakankebijakannya. Dalam pertemuan ini dengan tegas diakui bahwa perhatian global
sangat kurang memadai terhadap segi ekonomi wabah merokok itu. Peserta
pertemuan juga mengakui bahwa disiplin ilmu ekonomi tidak diaplikasikan dalam
kebijakan pengawasan terhadap tembakau di banyak negara, dan bahkan jika
pendekatan ekonomi digunakan, metodologinya mempunyai kualitas bervariasi.
Pada saat yang sama, ketika Bank Dunia mulai meninjau kembali
kebijakannya, para ekonom dari Universitas Cape Town, Afrika Selatan, memulai
suatu proyek mengenai aspek ekonomi pengawasan terhadap tembakau di Afrika
Selatan. Prakarsa-prakarsa ini kemudian dilakukan secara bersama-sama, dalam
suatu kerjasama dengan para ekonom dari Universitas Lausanne, Swiss, dan
juga dengan pakar lain, untuk membuat analisis yang lebih luas. Upaya ini
mencapai puncaknya pada konferensi di Cape Town pada bulan Februari 1998.
Prosiding konferensi tersebut telah dipublikasikan secara terpisah. Kerjasama
ini menghasilkan analisis yang lebih luas mengenai aspek ekonomi pengawasan
terhadap tembakau, yang melibatkan para ekonom dan pakar lainnya dari berbagai
negara dan lembaga. Beberapa penelitian yang dihasilkan dari analisis ini telah
diterbitkan dalam buku berjudul Tobacco Control in Developing Countries.
Laporan ini merupakan ringkasan temuan-temuan yang relevan dari penelitian
tersebut untuk para pembuat kebijakan.
XV
XVI
Catatan:
1. Abedian, Iraj, R. van der Merwe, N. Wikins, and P. Jha. Eds. 1998. The Economics of Tobacco
Control: Towards an Optimal Policy Mix. University of Cape Town, South Africa.
2. Jha, Prabhat and F. Chaloupka Eds 2000, Tobacco Control Policies in Developing Countries.
Oxford University Press for the World Bank and WHO, Oxford.
1
Ringkasan
M
EROKOK telah membunuh satu di antara 10 orang dewasa di
seluruh dunia. Pada tahun 2030, atau barangkali sedikit lebih cepat lagi,
proporsinya akan menjadi satu di antara enam orang dewasa, atau 10 juta kematian
per tahun— suatu jumlah yang lebih besar dari penyebab tunggal kematian lainnya.
Walaupun sementara ini, wabah penyakit kronis dan kematian dini [karena
merokok] terutama menghantui negara kaya, namun sekarang dengan sangat cepat
wabah ini berpindah ke negara berkembang. Pada tahun 2020, tujuh dari 10 orang yang mati karena merokok diperkirakan akan terjadi di negara-negara
berpendapatan rendah dan menengah.
Mengapa laporan ini dibuat ?
Saat ini, tidak banyak orang yang membantah kenyataan bahwa merokok dapat
merusak kesehatan manusia dalam skala global. Akan tetapi, banyak pemerintah
negara yang menghindar melakukan aksi pengawasan terhadap rokok—seperti
misalnya mengenakan pajak yang lebih tinggi, larangan iklan dan promosi secara
menyeluruh, atau larangan merokok di tempat umum—karena takut bahwa
intervensi yang dilakukan itu akan membawa konsekuensi yang buruk pada
perekonomian. Misalnya, beberapa pembuat kebijakan takut bahwa penurunan
penjualan rokok akan menghilangkan ribuan pekerjaan secara permanen; bahwa
pengenaan pajak yang tinggi pada tembakau akan mengakibatkan rendahnya
pendapatan pemerintah; dan penetapan harga tinggi untuk rokok akan mendorong
penyelundupan rokok secara besar-besaran.
1
2
MEREDAM WABAH
Laporan ini membahas masalah-masalah ekonomi yang harus diperhatikan
oleh para pembuat kebijakan bila akan mengadakan tindakan pengawasan terhadap
tembakau. Laporan ini mengungkapkan pertanyaan apakah perokok sadar akan
risiko dan beban biaya yang harus dipikul akibat pilihan konsumsinya, dan
menelaah pilihan-pilihan bagi pemerintah apabila mereka memutuskan bahwa
intervensi itu dapat dibenarkan. Laporan ini menjajagi konsekuensi kebijakan
pengawasan terhadap tembakau yang diperkirakan akan berakibat pada kesehatan,
ekonomi, dan individu. Laporan ini juga menunjukkan bahwa ketakutan atas
dampak perekonomian yang menjadi kendala pembuat kebijakan untuk melakukan
intervensi, pada umumnya tidak berdasar. Kebijakan yang mengakibatkan
penurunan permintaan tembakau, seperti keputusan meningkatkan pajak
tembakau, tidak akan menyebabkan hilangnya pekerjaan dalam jangka panjang
di banyak negara. Penetapan cukai rokok yang tinggi juga tidak akan menurunkan
pendapatan dari pajak; bahkan pendapatan akan semakin meningkat dalam jangka
menengah. Kesimpulannya, kebijakan-kebijakan tersebut bahkan dapat
memberikan keuntungan pada kesehatan yang belum pernah terjadi sebelumnya,
tanpa mengganggu perekonomian.
Kecenderungan-kecenderungan merokok saat ini
Saat ini sekitar 1.1 miliar orang merokok di seluruh dunia. Pada tahun 2025,
jumlah ini akan meningkat menjadi lebih dari 1.6 miliar. Di negara berpendapatan
tinggi, kebiasaan merokok pada umumnya menurun selama beberapa dekade
terakhir, meskipun terus meningkat untuk beberapa kelompok penduduk.
Sebaliknya, di negara berpendapatan rendah dan menengah, konsumsi rokok terus
meningkat. Perdagangan rokok yang lebih bebas memberikan kontribusi pada
peningkatan konsumsi rokok di negara-negara berpendapatan rendah dan
menengah pada tahun-tahun terakhir ini.
Banyak perokok mulai merokok sejak usia muda. Di negara berpendapatan
tinggi, sekitar delapan dari 10 perokok mulai merokok sejak mereka masih berusia
belasan tahun. Sementara banyak perokok di negara berpendapatan rendah dan
menengah mulai merokok pada awal umur duapuluhan, tetapi umur puncak awal
merokok ini makin menurun. Di banyak negara saat ini, lebih banyak terdapat
perokok di kalangan orang miskin daripada di kalangan orang kaya.
Konsekuensi-konsekuensi pada kesehatan
Ada dua konsekuensi kesehatan akibat merokok. Pertama, perokok dengan cepat
ketagihan nikotin. Sifat-sifat kecanduan nikotin telah terdokumentasikan dengan
baik tetapi seringkali diremehkan konsumen [perokok]. Di Amerika Serikat,
penelitian yang dilakukan terhadap siswa sekolah menengah atas tahun terakhir
menemukan bahwa ternyata lebih sedikit dari dua di antara lima perokok yang
percaya bahwa mereka mampu berhenti merokok dalam lima tahun, benar- benar
RINGKASAN
3
telah berhasil berhenti merokok. Sekitar tujuh dari 10 remaja perokok di negara
berpendapatan tinggi mengatakan bahwa mereka menyesal telah memulai
kebiasaan itu dan menyatakan ingin berhenti. Setelah melalui beberapa dekade
dan akibat meningkatnya pengetahuan tentang akibat merokok, negara-negara
berpendapatan tinggi telah memiliki sejumlah besar mantan perokok yang telah
sukses menghentikan konsumsi rokoknya. Akan tetapi, upaya-upaya perorangan
untuk berhenti merokok menunjukkan angka keberhasilan yang rendah: dari
mereka yang mencoba berhenti merokok tanpa bantuan program penghentian
merokok, sekitar 98 persen di antaranya akan mulai merokok lagi dalam setahun.
Di negara berpendapatan rendah dan menengah, kasus berhenti merokok dapat
dikatakan jarang.
Merokok dapat mengakibatkan penyakit serta kecacatan yang fatal, dan bila
dibandingkan dengan perilaku berisiko lainnya, risiko kematian dini akibat
merokok adalah luar biasa tingginya. Separo dari perokok jangka panjang pada
akhirnya akan meninggal karena tembakau, dan di antara mereka, separonya akan
mati dalam usia yang masih produktif, menyia-nyiakan 20-25 tahun sisa hidupnya.
Penyakit yang berhubungan dengan rokok telah terdokumentasikan dengan baik,
termasuk kanker paru-paru dan organ lainnya, penyakit jantung ischemic dan
penyakit yang berhubungan dengan peredaran darah, penyakit pernapasan seperti
emfisema (emphisema). Di daerah-daerah dimana TBC berkembang, risiko
terkena TBC bagi para perokok lebih besar dibandingkan mereka yang tidak
merokok.
Karena kemungkinan lebih banyak warga miskin merokok dibandingkan
warga yang kaya, risiko penyakit yang berhubungan dengan rokok dan kematian
dini juga lebih besar di kalangan warga miskin. Di negara berpendapatan tinggi
dan menengah, kemungkinan mati pada usia setengah baya bagi laki-laki dari
kelompok sosial ekonomi terendah adalah dua kali lebih besar dibandingkan lakilaki dari kelompok sosial ekonomi tertinggi, dan merokok minimal menyumbang
separo dari risiko kematian tersebut.
Merokok juga mempengaruhi kesehatan orang yang tidak merokok. Bayibayi dari ibu perokok lahir dengan berat badan yang rendah, menghadapi risiko
tinggi terjangkit penyakit pernapasan, dan menghadapi risiko “sindrom bayi
meninggal secara mendadak” (sudden death syndrome) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu bukan perokok. Orang dewasa
bukan perokok menghadapi risiko kecil, tetapi risiko untuk mendapat penyakit
dan kecacatan yang fatal terus meningkat karena berhadapan dengan orang lain
yang merokok.
Apakah perokok mengetahui risiko dan beban biaya yang harus
dipikul?
Teori ekonomi modern berpandangan bahwa konsumen biasanya memiliki
penilaian yang terbaik bagaimana mengatur pengeluaran uang mereka untuk
4
MEREDAM WABAH
barang dan jasa. Prinsip hak konsumen ini didasarkan beberapa asumsi tertentu:
pertama, bahwa konsumen membuat pilihan yang rasional dan berdasarkan
informasi setelah mempertimbangkan biaya dan manfaat pembeliannya; kedua,
bahwa konsumen memikul semua biaya yang dikeluarkan. Apabila semua
konsumen menggunakan hak-hak mereka dengan cara seperti ini — mengetahui
risiko dan beban biaya yang akan mereka tanggung — maka menurut teori, sumber
daya masyarakat sejauh mungkin akan teralokasikan secara efisien. Laporan ini
menyelidiki insentif konsumen untuk merokok, menanyakan apakah pilihan yang
mereka lakukan itu sama seperti pilihan untuk konsumsi barang lain, dan apakah
hal itu menyebabkan alokasi efisien dari sumber daya masyarakat, sebelum
mendiskusikan implikasinya bagi pemerintah.
Perokok dengan jelas merasakan keuntungan merokok, seperti perasaan
nikmat dan perasaan terbebas dari tekanan, dan mencoba membandingkan
keuntungan-keuntungan ini dengan biaya yang dikeluarkan secara pribadi atas
pilihan mereka. Dengan rumusan ini, keuntungan akan dirasakan melebihi biaya
yang diperkirakan, karena jika tidak demikian, perokok tidak akan mau
mengeluarkan uang untuk merokok. Meskipun begitu, ternyata bahwa pilihan
untuk membeli rokok mungkin berbeda dengan pilihan untuk membeli barang
konsumsi lain, yang dapat diterangkan dalam tiga cara khusus.
Pertama, ada bukti bahwa banyak perokok tidak sepenuhnya sadar akan
risiko penyakit dan kematian dini akibat pilihan mereka itu. Di negara
berpendapatan rendah dan menengah, banyak perokok sama sekali tidak
mengetahui bahaya-bahaya akibat merokok. Pada tahun 1996, di Cina, misalnya,
61 persen perokok yang disurvai mengatakan risiko merokok bagi mereka “kecil
dan tidak berbahaya”. Di negara berpendapatan tinggi, perokok mengetahui bahwa
risiko yang mereka hadapi akan meningkat, tetapi mereka menilai bahwa besaran
risiko ini lebih rendah dan lebih tidak pasti dibandingkan dengan yang dihadapi
orang yang bukan perokok. Mereka juga berusaha untuk meminimalkan relevansi
risiko-risiko tersebut terhadap dirinya.
Kedua, merokok biasanya dimulai sejak remaja atau menjelang dewasa.
Bahkan meskipun kepada mereka telah diberikan informasi, remaja tidak selalu
mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan informasi itu dalam arti untuk
membuat suatu keputusan (untuk tidak merokok). Remaja mungkin kurang
menyadari tentang risiko kesehatan yang dihadapi akibat merokok dibandingkan
dengan orang dewasa. Banyak orang yang baru mulai merokok dan para calon
perokok meremehkan risiko menjadi kecanduan nikotin. Sebagai akibat kondisi
ini, mereka sangat meremehkan biaya-biaya yang akan dihabiskan untuk rokok,
yaitu biaya yang harus dipikul dimasa tua nanti [biaya perawatan kesehatan dan
kehilangan kesempatan yang lain] akibat tidak mampu mengubah keputusan
merokok yang diambil di waktu muda. Masyarakat secara umum mengakui bahwa
remaja memiliki kemampuan terbatas untuk membuat keputusan, dan membatasi
kebebasan orang muda untuk membuat keputusan tertentu, misalnya, dengan
meniadakan hak mereka untuk memilih atau menikah sampai umur tertentu.
RINGKASAN
5
Demikian juga, masyarakat mungkin dapat mempertimbangkan bahwa membatasi
kebebasan orang muda dalam hal pilihan untuk menjadi pecandu rokok adalah
sah, karena perilaku itu membawa risiko kematian yang lebih besar dibandingkan
aktivitas berisiko lainnya yang biasa dilakukan para anak muda.
Ketiga, merokok memberi beban biaya pada orang yang tidak merokok.
Dengan membebankan sebagian biaya kepada orang lain, para perokok mungkin
akan terdorong untuk merokok lebih banyak lagi dibandingkan jika mereka harus
memikul sendiri semua biaya itu. Untuk mereka yang bukan perokok jelas biayabiaya itu termasuk terganggunya kesehatan, ketidaknyamanan serta iritasi yang
disebabkan tersebarnya kepulan asap rokok di lingkungan sekitarnya. Tambahan
pula, perokok dapat membebankan biaya finansial kepada orang lain. Biayabiaya semacam itu lebih sulit diidentifikasi dan dihitung secara kuantitas, lagipula
bervariasi menurut tempat dan waktu. Oleh karenanya masih belum
memungkinkan untuk menentukan bagaimana hal-hal tersebut dapat dijadikan
dis-insentif terhadap keinginan perorangan untuk memilih antara merokok sedikit
atau merokok banyak. Meskipun begitu, ada dua biaya yang secara singkat dapat
didiskusikan, yaitu untuk pelayanan kesehatan dan pensiun.
Di negara berpendapatan tinggi, pelayanan kesehatan yang berhubungan
dengan merokok menggunakan antara 6 sampai 15 persen dari semua biaya
pelayanan kesehatan selama setahun. Angka-angka ini belum tentu terdapat di
negara-negara berpendapatan rendah dan menengah yang wabah penyakit
berkaitan dengan merokok masih berada pada tingkat-tingkat awal dan mungkin
ada perbedaan-perbedaan lain yang bersifat kualitatif. Biaya tahunan sangat
penting bagi pemerintah, tetapi untuk konsumen-konsumen perorangan,
pertanyaan kuncinya adalah seberapa besar biaya yang harus mereka pikul sendiri
atau oleh orang lain.
Dalam tahun manapun, biaya pelayanan kesehatan untuk perokok rata-rata
melebihi biaya pelayanan kesehatan bagi yang bukan perokok. Bila biaya
pelayanan kesehatan pada tingkat tertentu dibayar dengan pajak umum, mereka
yang bukan perokok akan terbebani sebagian dari biaya untuk penduduk yang
merokok. Namun, sebagian peneliti berpendapat bahwa karena perokok cenderung
meninggal lebih cepat dibandingkan mereka yang bukan perokok, biaya
pelayanan kesehatan mereka seumur hidup mungkin tidak terlalu besar, dan
bahkan mungkin lebih kecil dibandingkan untuk yang bukan perokok. Isu ini
kontroversial, tetapi tinjauan akhir-akhir ini di negara berpendapatan tinggi
menyatakan bahwa pada akhirnya biaya seumur hidup perokok, ternyata memang
lebih tinggi dibanding dengan yang tidak merokok, meskipun umur perokok lebih
pendek. Berapa pun biayanya, apakah lebih tinggi atau lebih rendah, sejauh mana
perokok membebankan biaya-biaya tersebut kepada orang lain, tergantung pada
banyak faktor seperti tingkat pajak rokok yang ada, dan berapa banyak pelayanan
kesehatan yang disediakan untuk sektor publik. Sementara itu, di negara
berpendapatan rendah dan menengah, belum pernah ada penelitian yang cukup
dapat dipercaya mengenai isu-isu semacam ini.
6
MEREDAM WABAH
Pertanyaan menyangkut skema pensiun juga sama kompleksnya. Beberapa
peneliti di negara berpenghasilan tinggi berkesimpulan bahwa perokok
”membayar sendiri” dengan menyumbang pada skema pensiun publik karena
kemudian rata-rata mereka meninggal lebih cepat dibandingkan orang-orang
yang bukan perokok. Akan tetapi, pertanyaan ini tidak relevan untuk negaranegara berpendapatan rendah dan menengah, dimana umumnya para perokok
tinggal, sebab skema pensiun publik di negara-negara itu masih rendah.
Pendeknya, jelas bahwa perokok membebankan beberapa biaya fisik
(nonfinansial), termasuk kerusakan kesehatan, berbagai gangguan dan iritasi,
terhadap orang yang bukan perokok. Mereka juga membebankan biaya finansial,
tetapi lingkup masalah ini masih belum jelas benar.
Tanggapan-tanggapan yang tepat
Tampaknya sebagian besar perokok ternyata tidak tahu betul baik risiko
yang dihadapi karena merokok maupun beban biaya yang harus mereka pikul
akibat pilihan mereka. Oleh karena itu pemerintah dapat mempertimbangkan
bahwa intervensi merupakan suatu yang dapat dibenarkan, terutama untuk
menghindarkan keinginan merokok anak-anak dan remaja serta melindungi orang yang tidak merokok. Selain itu pemerintah juga harus memberikan semua
informasi yang dibutuhkan oleh orang dewasa agar pilihan yang mereka putuskan
berdasarkan informasi yang benar.
Idealnya, intervensi pemerintah hendaknya dapat memperbaiki setiap
masalah yang teridentifikasi secara khusus. Misalnya, pertimbangan anak-anak
yang kurang sempurna tentang dampak merokok pada kesehatan perlu ditangani
secara khusus dengan memperbaiki pendidikan anak-anak dan juga orangtuanya,
atau dengan membatasi akses anak-anak terhadap rokok. Akan tetapi, tanggapan
remaja terhadap pendidikan kesehatan umumnya sangat kurang, sedangkan
orangtua yang benar-benar mampu membimbing anak-anaknya agar menjauhi
perilaku merokok sangat jarang. Pada kenyataannya bentuk-bentuk pembatasan
penjualan rokok untuk anak-anak tidak berjalan sebagaimana mestinya, bahkan
di negara-negara berpendapatan tinggi sekalipun. Cara yang paling efektif untuk
menghindarkan anak-anak menjadi perokok adalah dengan meningkatkan pajak
tembakau. Harga yang tinggi akan mencegah anak dan remaja mulai merokok
dan mendorong perokok untuk mengurangi konsumsi rokok mereka.
Bagaimanapun, pajak merupakan instrumen yang berdampak langsung,
karena jika pajak rokok ditingkatkan, perokok dewasa akan cenderung mengurangi
konsumsi rokoknya karena terpaksa harus membayar harga lebih mahal untuk
membeli rokok. Untuk mencapai tujuan melindungi anak dan remaja, pajak juga
harus membebankan biaya-biaya pada perokok dewasa. Biaya-biaya ini mungkin
dapat diterima, tergantung pada berapa besar masyarakat menilai upaya mengatasi
konsumsi rokok pada anak-anak. Bagaimanapun juga, suatu usaha penurunan
konsumsi rokok pada orang dewasa dalam jangka panjang akan menurunkan
RINGKASAN
7
hasrat anak-anak dan remaja untuk merokok.
Masalah kecanduan nikotin juga perlu ditangani. Bagi pecandu rokok yang
ingin berhenti, pengorbanan yang dilakukan untuk menghentikan kebiasaan
merokok sangat besar. Pemerintah mungkin dapat mengadakan intervensiintervensi untuk membantu mengurangi pengorbanan tersebut sebagai bagian
dari paket pengawasan terhadap tembakau secara keseluruhan.
Langkah-langkah menurunkan permintaan terhadap tembakau
Diskusi selanjutnya membahas langkah-langkah pengawasan terhadap
tembakau, kemudian mengevaluasi masing-masing langkah.
Menaikkan pajak
Bukti dari negara-negara dengan berbagai tingkat pendapatan menunjukkan
bahwa menaikkan harga rokok sangat efektif untuk menurunkan permintaan
terhadap rokok. Pajak yang lebih tinggi mendorong sebagian perokok untuk
berhenti merokok dan mencegah orang lain untuk mulai merokok. Pajak yang
tinggi juga akan mencegah sejumlah mantan perokok kembali merokok dan
menurunkan besarnya konsumsi rokok bagi orang-orang yang masih merokok.
Rata-rata peningkatan 10 persen harga per bungkus rokok diharapkan dapat
menurunkan permintaan rokok sekitar empat persen di negara-negara
berpendapatan tinggi dan sekitar delapan persen di negara-negara berpendapatan
rendah dan menengah, dimana pendapatan rendah cenderung membuat orang
lebih sensitif terhadap perubahan harga. Anak-anak dan remaja lebih sensitif
terhadap kenaikan harga dibandingkan orang dewasa, sehingga intervensi seperti
ini akan memiliki dampak yang berarti bagi anak-anak dan remaja.
Model-model dalam laporan ini menunjukkan bahwa peningkatan pajak yang
akan menaikkan harga riil rokok sekitar 10 persen, menyebabkan 40 juta perokok
yang hidup pada tahun 1995 berhenti merokok, dan mencegah minimal 10 juta
kematian yang diakibatkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan tembakau.
Kenaikan harga akan menghalangi atau mencegah orang lain untuk menjadi
perokok. Asumsi-asumsi yang menjadi dasar model ini sengaja dibuat konservatif,
dan karena itu angka-angka ini dapat dianggap sebagai estimasi minimum.
Seperti disadari oleh banyak pembuat keputusan, pertanyaan mengenai
berapa besarnya pajak yang tepat adalah suatu pertanyaan yang kompleks.
Besarnya pajak secara rinci tergantung pada fakta empiris yang mungkin saja
belum tersedia, seperti skala biaya yang harus ditanggung oleh nonperokok dan
tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Hal ini juga tergantung pada variasi nilai
masyarakat, seperti sejauh mana anak-anak harus dilindungi, dan harapan apa
yang ingin dicapai oleh masyarakat melalui pajak, seperti misalnya keuntungan
khusus dari pendapatan pajak atau penurunan khusus pada biaya beban penyakit
yang diderita. Laporan ini menyimpulkan bahwa untuk saat ini, para pembuat
8
MEREDAM WABAH
kebijakan yang berupaya menurunkan konsumsi rokok, dapat menggunakannya
sebagai tolok ukur tingkat pajak yang diterapkan oleh negara-negara dimana
konsumsi rokok telah menurun, sebagai bagian dari kebijakan pengawasan
terhadap tembakau secara menyeluruh. Di negara-negara tersebut, komponen
pajak dalam harga sebungkus rokok adalah antara dua per tiga dan empat per
lima dari harga ecerannya. Di negara berpendapatan tinggi, dewasa ini pajak
rokok rata-rata 2/3 atau lebih dari harga eceran sebungkus sigaret. Sementara di
negara berpendapatan rendah, jumlah pajak tidak lebih dari separo harga eceran
sebungkus rokok.
Langkah-langkah lain yang nonharga untuk menurunkan permintaan
Di luar kebijakan menaikkan harga rokok, pemerintah juga dapat mengambil
langkah-langkah efektif lainnya. Langkah-langkah ini termasuk larangan yang
menyeluruh pada iklan dan promosi rokok; ketentuan-ketentuan mengenai
informasi seperti misalnya informasi tandingan melawan iklan rokok di media
masa, label peringatan kesehatan yang menonjol, publikasi dan penyebarluasan
hasil penelitian yang berhubungan dengan konsekuensi kesehatan akibat merokok
dan juga pembatasan atau larangan merokok di tempat kerja dan di tempat umum.
Laporan ini memaparkan bukti-bukti bahwa masing-masing langkah ini dapat
menurunkan permintaan terhadap rokok. Misalnya, “kejutan-kejutan informasi”
seperti publikasi hasil penelitian yang mengemukakan penemuan baru yang
signifikan mengenai dampak merokok pada kesehatan ternyata menurunkan
permintaan terhadap rokok. Pengaruh terbesar dari informasi dengan cara seperti
ini terutama terdapat pada penduduk yang relatif telah mempunyai sedikit
kesadaran tentang dampak merokok terhadap kesehatan. Larangan pada iklan
dan promosi rokok secara menyeluruh, dapat menurunkan permintaan sekitar 7
persen, seperti yang ditemukan dalam penelitian yang menggunakan pendekatan
ekonometri di negara-negara berpendapatan tinggi. Pembatasan-pembatasan
merokok jelas menguntungkan orang yang bukan perokok, dan ditemukan juga
beberapa bukti bahwa pembatasan dapat menurunkan prevalensi merokok.
Model-model yang dikembangkan untuk laporan ini menemukan bahwa,
dengan menerapkannya sebagai seperangkat paket, langkah-langkah nonharga
yang digunakan secara global, akan dapat meyakinkan sekitar 23 juta perokok
yang hidup pada tahun 1995 untuk berhenti merokok dan dengan demikian
mencegah 5 juta kematian di antara mereka akibat merokok. Seperti yang
diterapkan untuk mengestimasi dampak peningkatan pajak, estimasi ini juga
bersifat konservatif.
Terapi pengganti nikotin dan terapi-terapi penghentian lainnya
Intervensi ketiga adalah untuk membantu orang-orang yang ingin berhenti
dengan cara memberikan kemudahan untuk mendapatkan terapi pengganti nikotin
RINGKASAN
9
(Nicotine Replacement Therapy—NRT) dan intervensi-intervensi penghentian
lainnya. NRT secara menyolok meningkatkan keefektivan upaya-upaya
penghentian merokok dan juga mengurangi pengorbanan/biaya untuk
menghentikan merokok secara perorangan. Namun, di banyak negara, NRT sangat
sulit didapat. Model-model dalam studi ini mengemukakan bahwa ketersediaan
NRT yang dibuat seluas mungkin akan dapat membantu menurunkan permintaan
secara substansial.
Dampak dari kombinasi berbagai langkah untuk menurunkan permintaan
rokok ini belum diketahui, karena perokok di banyak negara yang menerapkan
kebijakan pengawasan terhadap tembakau, terpapar pada semua kebijakan tersebut
dan tak satu pun yang dapat dikaji secara murni terpisah. Namun, ada bukti bahwa
penerapan satu intervensi mendukung kesuksesan intervensi yang lain, dan
menekankan betapa pentingnya berbagai langkah pelaksanaan pengawasan
terhadap tembakau diterapkan sebagai satu paket. Kesimpulannya, langkahlangkah intervensi yang diterapkan secara bersama-sama dapat mencegah jutaan
manusia dari kematian.
Langkah-langkah menurunkan penawaran tembakau
Jika intervensi-intervensi untuk menurunkan permintaan terhadap tembakau
sedikit berhasil, maka langkah-langkah untuk menurunkan penawarannya tampak
kurang memberi harapan. Hal ini terjadi karena jika satu orang pemasok dihentikan
maka pemasok alternatif lainnya akan mendapat kesempatan besar untuk
memasuki pasar.
Langkah pelarangan tembakau yang paling ekstrim sekalipun, secara ilmu
ekonomi adalah tidak dapat dijamin keberhasilannya, juga tidak realistik dan
mungkin sekali gagal. Tanaman pengganti tembakau sering diusulkan untuk
menurunkan penawaran tembakau, tetapi hampir tidak ada bukti yang
menunjukkan adanya penurunan konsumsi, karena insentif bagi para petani untuk
menanam tembakau belakangan ini lebih besar dibandingkan jenis tanaman
lainnya. Selagi tanaman pengganti tembakau masih dianggap kurang efektif
sebagai cara menurunkan konsumsi rokok, tetapi itu mungkin dapat merupakan
strategi yang bermanfaat untuk membantu petani tembakau termiskin dalam
transisi peralihan ke mata pencaharian lain, sebagai bagian dari program
diversifikasi yang lebih luas.
Demikian juga selama ini terbukti bahwa pembatasan-pembatasan
perdagangan seperti larangan impor, dampaknya kecil pada konsumsi rokok di
seluruh dunia. Sebaliknya negara-negara mungkin akan lebih berhasil
menanggulangi konsumsi rokok dengan mengadopsi langkah-langkah yang secara
efektif dapat menurunkan permintaan serta menerapkan langkah-langkah tersebut
secara simetris terhadap rokok impor dan rokok yang diproduksi di dalam negeri.
Demikian juga, dalam kerangka kebijakan perdagangan dan pertanian, subsidi
terhadap produksi tembakau yang terutama banyak ditemukan di negara-negara
10
MEREDAM WABAH
berpendapatan tinggi, tidak membawa manfaat yang berarti. Dalam beberapa
kasus, penghapusannya akan kecil dampaknya pada harga eceran secara
keseluruhan.
Namun demikian, ada satu perangkat dari sisi penawaran yang dapat menjadi
kunci strategi pengawasan terhadap tembakau yang efektif, yaitu tindakantindakan melawan maraknya penyelundupan. Tindakan-tindakan efektif tersebut
termasuk mengenakan cukai yang tinggi serta pencantuman peringatan bahaya
merokok pada bungkus rokok dengan menggunakan bahasa lokal dan juga
menerapkan hukuman keras yang agresif dan konsisten untuk mencegah para
penyelundup. Pengawasan terhadap penyelundupan secara ketat dapat
meningkatkan penerimaan pemerintah dari kenaikan pajak rokok.
Biaya dan konsekuensi pengawasan terhadap tembakau
Para pembuat keputusan biasanya mempertimbangkan beberapa
kekhawatiran sebelum melaksanakan tindakan pengawasan terhadap tembakau.
Kekhawatiran pertama adalah bahwa pengawasan terhadap tembakau akan
menghilangkan kesempatan kerja secara permanen dalam suatu perekonomian.
Akan tetapi, penurunan permintaan terhadap tembakau tidak berarti menurunnya
tingkat kesempatan kerja secara menyeluruh dalam suatu negara. Uang perokok
yang tadinya dikeluarkan untuk membeli rokok, akan digunakan untuk membeli
barang dan jasa lain. Ini berarti menciptakan pekerjaan-pekerjaan lain yang dapat
mengisi kembali pekerjaan yang hilang dari industri rokok. Studi yang dibuat
untuk laporan ini menunjukkan bahwa hampir semua negara tidak memperlihatkan
mengalami penurunan kesempatan kerja neto dan beberapa mendapat keuntungan
neto karena konsumsi tembakau berkurang.
Memang ada beberapa negara, terutama di Afrika Sub-Sahara, yang
perekonomian negaranya sangat bergantung pada perkebunan tembakau. Untuk
negara-negara seperti itu, walaupun upaya menurunkan permintaan dalam negeri
akan berdampak juga, tetapi penurunan permintaan secara global akan membuat
banyak pekerjaan hilang. Kebijakan-kebijakan untuk membantu penyesuaian
dalam keadaan tersebut akan sangat diperlukan. Namun, perlu ditekankan bahwa
walaupun permintaan turun secara signifikan, penurunannya akan terjadi dengan
lambat sekali, yang memerlukan waktu satu generasi atau lebih.
Kekhawatiran kedua adalah anggapan bahwa pengenaan pajak tinggi akan
menurunkan penerimaan pemerintah. Pada kenyataannya, bukti empiris
menunjukkan bahwa dengan peningkatan pajak tembakau akan dapat
menghasilkan penerimaan negara lebih besar [atas pajak tembakau]. Hal ini
sebagian disebabkan proporsi penurunan permintaan tidak sebanding dengan
proporsi peningkatan pajak, karena konsumen yang sudah kecanduan rokok
merespons kenaikan harga relatif lambat. Model yang dikembangkan dalam
laporan ini menyimpulkan bahwa peningkatan secara moderat pengenaan pajak
sebesar 10 persen di seluruh dunia akan meningkatkan penerimaan dari pajak
RINGKASAN
11
tembakau sekitar 7 persen secara keseluruhan, dengan dampak-dampak yang
bervariasi pada beberapa negara.
Kekhawatiran ketiga adalah bahwa pengenaan pajak yang tinggi
menyebabkan peningkatan penyelundupan besar-besaran, dengan demikian
membiarkan konsumsi rokok tetap tinggi tetapi menurunkan penerimaan
pemerintah. Penyelundupan memang suatu masalah yang sangat serius, tetapi
laporan ini menyimpulkan bahwa, di negara yang tingkat penyelundupannya
tinggi sekalipun, peningkatan pajak memberikan pemasukan yang lebih besar
dan menurunkan konsumsi. Oleh karena itu, daripada menunda peningkatan pajak,
diperlukan respons yang tepat terhadap penyelundupan dengan mengambil
tindakan tegas terhadap aktivitas kriminal.
Kekhawatiran keempat adalah peningkatan pajak rokok akan mempunyai
dampak yang tidak proporsional pada konsumen miskin. Pajak tembakau yang
sekarang berlaku memang menyerap bagian lebih besar dari pendapatan konsumen
miskin dibandingkan pendapatan konsumen kaya. Akan tetapi, perhatian utama
pembuat kebijakan hendaknya ditujukan pada dampak distribusi seluruh pajak
dan sistem pengeluaran, dan bukannya mengenai satu pajak secara terpisah. Hal
yang penting dicatat adalah konsumen miskin biasanya lebih sensitif terhadap
kenaikan harga dibandingkan konsumen kaya, sehingga konsumsi rokok mereka
akan turun lebih tajam mengikuti peningkatan pajak, dan sejalan dengan itu
beban finansial yang mereka tanggung akan menurun pula. Namun demikian,
hilangnya manfaat yang mereka dapatkan dari merokok mungkin dirasakan lebih
besar dibandingkan dengan yang dirasakan konsumen kaya.
Apakah pengawasan terhadap tembakau ada gunanya?
Bagi pemerintah yang berniat untuk mengadakan intervensi, pertimbangan
penting lebih lanjut adalah keefektivan biaya (cost-effectiveness) pengawasan
terhadap tembakau relatif dibandingkan dengan biaya intervensi kesehatan
lainnya. Untuk laporan ini telah dilakukan estimasi pendahuluan tentang biaya
publik (public cost) untuk pelaksanaan program pengawasan terhadap tembakau
dibandingkan dengan potensi jumlah tahun-tahun kehidupan sehat yang
terselamatkan. Ternyata hasilnya konsisten dengan studi-studi terdahulu yang
mengatakan bahwa keefektivan biaya pengawasan terhadap tembakau sangat
tinggi sebagai bagian dari suatu paket pelayanan kesehatan umum di negaranegara berpendapatan rendah dan menengah.
Jika dihitung dengan biaya per tahun penyelamatan hidup sehat, maka
peningkatan pajak adalah berbiaya-efektif. Tergantung dari berbagai asumsi,
instrumen peningkatan pajak ini membutuhkan antara US$5 dan US$171 per
tahun untuk biaya penyelamatan hidup sehat di negara-negara berpendapatan
rendah dan menengah. Perbandingan ini sangat cocok dengan banyak intervensi
kesehatan yang biasa dibiayai pemerintah, seperti program imunisasi terhadap
anak. Langkah-langkah nonharga dalam berbagai keadaan juga bersifat biaya-
MEREDAM WABAH
12
efektif. Langkah-langkah untuk meliberalisasikan akses pada NRT, misalnya,
dengan cara mengubah kondisi penjualannya, biayanya mungkin juga akan
bersifat efektif dalam berbagai situasi. Namun demikian, suatu negara harus
mengadakan penjajagan secara teliti sebelum memutuskan memberi subsidi pada
NRT dan lain-lain intervensi penghentian bagi para perokok miskin.
Potensi unik pajak tembakau untuk menaikkan pendapatan pemerintah tidak
dapat diabaikan. Di Cina, misalnya, dengan estimasi konservatif, ditemukan bahwa
peningkatan pajak rokok 10 persen menurunkan konsumsi rokok sebesar 5 persen,
dan meningkatkan pendapatan sebesar ± 5 persen, dan peningkatan ini akan cukup
besar untuk membiayai paket pelayanan kesehatan yang esensial untuk sepertiga
dari 100 juta warga miskin Cina.
Sebuah agenda untuk bertindak
Setiap masyarakat membuat keputusan sendiri mengenai kebijakan yang
menyangkut pilihan-pilihan individu. Pada kenyataannya, lebih banyak kebijakan
diambil berdasarkan gabungan dari beberapa kriteria, dan tidak hanya berdasarkan
pada pertimbangan ekonomi saja. Banyak masyarakat yang ingin mengurangi
beban penderitaan dan kerugian-kerugian emosional yang tidak dapat diukur
dengan angka disebabkan oleh penyakit dan kematian dini akibat merokok. Bagi
para pembuat kebijakan yang berusaha untuk meningkatkan kesehatan masyarakat
juga mengatakan bahwa pengawasan terhadap tembakau adalah pilihan yang
menarik. Bahkan dengan sedikit penurunan terhadap beban penyakit dalam skala
yang besar akan merupakan keberhasilan yang signifikan dalam upaya pelayanan
kesehatan.
Beberapa pembuat kebijakan berpendapat bahwa alasan-alasan terkuat
mengadakan intervensi adalah untuk mencegah anak-anak dari kebiasaan
merokok. Padahal, suatu strategi yang semata-mata bertujuan mencegah anakanak untuk menjadi perokok adalah tidak praktis dan tidak memberikan
keuntungan yang signifikan pada kesehatan masyarakat dalam beberapa dekade.
Sebagian besar kematian yang diakibatkan oleh perilaku merokok yang
diproyeksikan akan terjadi setelah 50 tahun mendatang adalah terjadi pada para
perokok saat ini. Pemerintah yang hanya memfokuskan pada keuntungan
kesehatan dalam jangka menengah karenanya dapat mempertimbangkan untuk
mengambil tindakan-tindakan yang lebih luas sehingga juga akan membantu
perokok dewasa berhenti merokok.
Laporan ini merekomendasikan dua hal:
1.
Jika pemerintah memutuskan untuk mengadakan aksi keras mengatasi wabah
tembakau, strategi atau langkah-langkah yang mencakup banyak aspek harus
dilaksanakan. Strategi beraspek banyak ini antara lain mencegah anak-anak
menjadi perokok, melindungi orang-orang yang bukan perokok, dan
menyediakan untuk semua perokok informasi tentang dampak merokok pada
RINGKASAN
2.
13
kesehatan. Strategi yang disesuaikan dengan kebutuhan negara yang
bersangkutan, hendaknya mencakup: (1) peningkatan pajak, dengan
menggunakan sebagai ukuran, angka yang diadopsi negara-negara yang
melaksanakan program pengawasan terhadap rokok secara menyeluruh dan
menyebabkan konsumsi rokoknya menurun. Di negara-negara tersebut,
besarnya pajak rokok adalah 2/3 sampai 4/5 harga eceran rokok; (2)
menerbitkan dan menyebarluaskan hasil-hasil penelitian tentang dampak
merokok pada kesehatan, menambah label peringatan bahaya merokok yang
menyolok, mengadakan larangan-larangan iklan dan promosi rokok yang
menyeluruh, dan membatasi orang merokok di tempat kerja dan tempattempat umum; dan (3) memperluas akses pada terapi pengganti nikotin (NRT)
dan terapi-terapi penghentian lainnya.
Organisasi internasional seperti lembaga-lembaga PBB harus meninjau
kembali program-program dan kebijakan-kebijakan mereka untuk
memastikan bahwa pengawasan terhadap tembakau mendapat perhatian yang
semestinya; mereka harus mensponsori penelitian yang berhubungan dengan
sebab-musabab, konsekuensi, dan biaya merokok, serta keefektifan biaya
(cost-effectiveness) intervensi pada tingkat lokal; dan mereka harus
memperhatikan isu-isu pengawasan terhadap tembakau lintas batas, termasuk
bekerja sama dengan WHO yang mempunyai program Framework Convention for Tobacco Control. Bidang-bidang penting untuk aksi ini termasuk
memfasilitasi antara lain perjanjian internasional mengenai pengawasan
terhadap penyelundupan, diskusi tentang harmonisasi pajak untuk
mengurangi rangsangan terhadap penyelundupan, dan larangan iklan dan
promosi rokok yang melibatkan media komunikasi global.
Ancaman perilaku merokok pada kesehatan global memang belum pernah
terjadi, demikian juga halnya dengan potensi untuk menurunkan kematian akibat
rokok dengan kebijakan yang berbiaya efektif. Laporan ini menunjukkan skala
yang mungkin dapat dicapai: aksi yang moderat mungkin dapat memberikan
keuntungan kesehatan secara substansial dalam abad ke-21 ini.
Catatan:
1. Semua kurs dollar yang digunakan berdasarkan kurs dollar terakhir ketika laporan ini ditulis
14
MEREDAM WABAH
15
B A B 1
Kecenderungan Global Konsumsi Tembakau
M
ESKIPUN sudah berabad-abad lamanya orang mengkonsumsi
tembakau, namun rokok sigaret belum menjadi industri besar-besaran sampai
abad ke 19. Sejak itu, perilaku merokok sigaret telah menyebar ke seluruh dunia
dalam skala yang luar biasa. Saat ini, sekitar satu di antara tiga orang dewasa
atau 1.1 miliar orang merokok. Dari angka ini, sekitar 80 persen di antaranya
tinggal di negara-negara berpendapatan rendah dan sedang. Angka ini sebagian
terjadi karena pertumbuhan penduduk dewasa, dan sebagian lagi karena
peningkatan konsumsi, sehingga total jumlah perokok diperkirakan akan mencapai
1.6 miliar pada tahun 2025.
Dahulu tembakau sering dikunyah atau diisap dengan menggunakan berbagai
bentuk pipa. Cara-cara seperti itu masih dilakukan, meskipun prevalensinya terus
berkurang. Rokok buatan pabrik dan berbagai jenis rokok gulung seperti bidis –
yang umum terdapat di Asia Tenggara dan India—sekarang jumlahnya mencapai
80 persen dari seluruh konsumsi tembakau di seluruh dunia. Tampaknya merokok
sigaret menimbulkan bahaya kesehatan yang lebih besar daripada bentuk awal
penggunaan tembakau. Karena itulah, laporan ini memfokuskan pada rokok hasil
pabrik dan bidis.
Peningkatan konsumsi rokok di negara-negara berpendapatan
rendah dan menengah
Penduduk negara-negara berpendapatan rendah dan sedang telah
meningkatkan konsumsi rokoknya sejak tahun 1970 (lihat Gambar 1.1). Konsumsi
per kapita negara-negara ini terus-menerus meningkat antara tahun 1970 sampai
tahun 1990, meskipun kecenderungan peningkatannya mulai sedikit menurun
15
MEREDAM WABAH
16
GAMBAR 1.1 KONSUMSI ROKOK MENINGKAT DI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG.
Kecenderungan konsumsi rokok per kapita pada orang dewasa
Konsumsi rokok sigaret pertahun
orang dewasa
3000
2500
negara maju
2000
negara berkembang
1500
dunia
1000
500
1970-72
1980-82
1990-92
Tahun
Sumber: World Health Organization, 1997. Tobacco or Health: a Global Status Report.
Geneva, Switzerland.
sejak awal tahun 1990-an.
Ketika perilaku merokok sudah menjadi kebiasaan di antara para pria di
negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, dalam periode yang sama
di negara berpendapatan tinggi, kebiasaan seperti itu secara keseluruhan
mengalami penurunan di antara para pria. Misalnya, lebih dari 55 persen pria di
Amerika Serikat berada pada puncak konsumsi pada pertengahan abad 20, tapi
proporsi itu telah mengalami penurunan sampai 28 persen pada pertengahan tahun
1990-an. Konsumsi per kapita penduduk di negara-negara berpendapatan tinggi
secara keseluruhan juga mengalami penurunan. Namun, ada beberapa kelompok
tertentu di negara-negara itu, seperti kelompok remaja dan wanita muda, dimana
proporsi mereka yang merokok mengalami pertumbuhan pada tahun 1990-an.
Secara keseluruhan, kemudian, wabah merokok telah dengan pesat beralih dari
fokusnya yang asli, yaitu dari para pria di negara-negara berpendapatan tinggi
kepada para wanita di negara berpendapatan tinggi dan para pria di negaranegara berpendapatan rendah.
Dalam tahun-tahun terakhir ini, perjanjian perdagangan internasional telah
memungkinkan perdagangan global yang bebas untuk berbagai barang dan jasa.
Tidak terkecuali dengan perdagangan rokok. Dengan hilangnya hambatanhambatan perdagangan, timbul kecenderungan kompetisi pasar yang lebih tinggi
yang menyebabkan antara lain harga-harga menjadi turun, adanya promosi dan
17
KECENDERUNGAN GLOBAL KONSUMSI TEMBAKAU
iklan yang lebih luas, dan aktivitas-aktivitas lain yang merangsang permintaan.
Satu studi menyimpulkan bahwa di empat negara ekonomi Asia – Jepang, Korea
Selatan, Taiwan dan Thailand — yang membuka pasar mereka sebagai respons
terhadap tekanan perdagangan Amerika Serikat dalam tahun 1980-an, konsumsi
rokok per orang hampir 10 persen lebih tinggi pada tahun 1991 daripada tingkat
yang seharusnya jika pasar mereka masih tetap tertutup. Satu model ekonometrika
yang dikembangkan dalam laporan ini menyimpulkan bahwa peningkatan
liberalisasi perdagangan memberikan kontribusi signifikan pada peningkatan
konsumsi rokok, terutama di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Pola regional perilaku merokok
Data jumlah perokok di setiap wilayah regional telah dikumpulkan WHO
dengan menggunakan lebih dari 80 studi yang terpisah. Untuk keperluan laporan
ini, data-data tersebut telah digunakan untuk mengestimasi prevalensi merokok
di setiap kelompok negara dari tujuh pengelompokan regional yang dibuat oleh
Bank Dunia.1 Seperti ditampilkan pada Tabel 1.1, terdapat variasi besar antarregional, dan terutama dilihat pada prevalensi merokok para wanita di wilayah
regional yang berbeda itu. Misalnya, di negara-negara Eropa Timur dan Asia
TABEL 1.1 POLA-POLA REGIONAL MEROKOK
Estimasi prevalensi merokok berdasarkan jender dan jumlah perokok pada penduduk
berumur 15 tahun ke atas, berdasarkan wilayah regional Bank Dunia, 1995
Wilayah regional
Prevalensi merokok (%)
Seluruhnya
Jumlah perokok
(% dr jml
(Juta) perokok)
Bank Dunia
Laki-laki
Perempuan
Asia Timur dan Pasifik
59
4
32
401
35
Eropa Timur dan Asia Tengah
59
26
41
148
13
Timur Tengah dan Afrika Utara
40
21
30
95
8
Amerika Latin dan wilayah Karibia
44
5
25
40
3
Asia Selatan (Sigaret)
20
1
11
86
8
Asia Selatan (bidis)
20
3
12
96
8
Afrika Sub Sahara
33
10
21
67
6
Negara berpendapatan rendah/sedang
49
9
29
933
82
Negara berpendapatan tinggi
39
22
30
209
18
Dunia
47
12
29
1,142
100
Catatan : angka telah dibulatkan
Sumber : Perhitungan penulis berdasarkan laporan World Health Organization,1997. Tobacco
or Health Status Report. Geneva, Switzerland.
18
MEREDAM WABAH
Tengah (terutama di negara-negara bekas ekonomi sosialis), 59 persen laki-laki
dan 26 persen perempuan merokok pada tahun 1995, lebih tinggi dari wilayah
regional lainnya. Namun di Asia Timur dan Pasifik, dimana kebiasaan merokok
laki-laki sama-sama tinggi yaitu 59 persen, perokok perempuan hanya ada 4
persen.
Hubungan merokok dengan status sosial ekonomi
Berdasarkan sejarah, dengan meningkatnya pendapatan para penduduk
jumlah orang yang merokok juga meningkat. Dalam beberapa dekade awal
terjadinya wabah merokok di negara berpendapatan tinggi, perokok cenderung
lebih banyak terdiri dari orang kaya daripada orang miskin. Tetapi dalam tiga
atau empat dekade terakhir, pola ini menjadi terbalik, sekurang-kurangnya di
antara para pria, dimana data untuk itu tersedia secara luas.2 Saat ini para pria
berkecukupan di negara berpendapatan tinggi yang meninggalkan perilaku
merokok meningkat dengan pesat sedangkan pria dari kelas ekonomi rendah belum
melakukan hal yang serupa. Misalnya, di Norwegia, persentase laki-laki perokok
yang berpenghasilan tinggi yang merokok telah menurun dari 75 persen pada
tahun 1955 menjadi hanya 28 persen pada tahun 1990. Pada periode yang sama,
proporsi laki-laki berpendapatan rendah yang merokok kurang mengalami
penurunan secara tajam, dari 60 persen pada tahun 1955 menjadi hanya 48 persen
pada tahun 1990. Saat ini, di banyak negara berpendapatan tinggi, terdapat
perbedaan yang signifikan dalam prevalensi merokok di antara kelompok sosial
ekonomi yang berbeda. Di Inggris, misalnya, hanya 10 persen wanita dan 12
persen laki-laki dari kelompok sosial ekonomi yang paling tinggi adalah perokok.
Di kelompok sosial ekonomi terendah persentase yang merokok tiga kali lebih
besar: 35 persen dan 40 persen. Hubungan terbalik yang sama juga ditemukan
antara tingkat pendidikan—sebagai tanda status sosial ekonomi—dengan
merokok. Secara umum, orang-orang yang mendapat sedikit pendidikan atau
tidak berpendidikan sama sekali, mempunyai kecenderungan yang lebih besar
untuk merokok dibandingkan mereka yang lebih tinggi pendidikannya.
Sebelumnya orang berpendapat bahwa situasinya berbeda di negara-negara
berpendapatan rendah dan sedang. Penelitian terakhir menyimpulkan bahwa di
negara-negara itu pun, laki-laki dengan status sosial ekonomi rendah lebih besar
kemungkinannya untuk merokok dibandingkan dengan laki-laki dengan status
sosial ekonomi tinggi. Tingkat pendidikan jelas merupakan faktor penentu
merokok di Chennai, India (Gambar 1.2). Studi-studi di Brasil, Cina, Afrika
Selatan, Vietnam, dan beberapa negara Amerika Tengah juga telah
mengkonfirmasikan adanya pola seperti itu.
Walaupun sudah jelas bahwa di seluruh dunia prevalensi merokok lebih
banyak terdapat di antara mereka yang miskin dan berpendidikan rendah, namun
tidak banyak ditemukan data tentang jumlah batang rokok yang diisap setiap
hari oleh kelompok-kelompok status sosial ekonomi yang berbeda. Di negara-
KECENDERUNGAN GLOBAL KONSUMSI TEMBAKAU
19
GAMBAR 1.2 MEROKOK UMUM DI ANTARA ORANG BERPENDIDIKAN RENDAH
Kebiasaan merokok di antara laki-laki di Chennai (India) berdasarkan tingkat pendidikan.
64%
58%
Prevalensi merokok
60%
42%
40%
21%
20%
0%
Buta huruf
<6 tahun
6-12
tahun
>12
tahun
Lama Pendidikan
Sumber: Gajalakshmi, C.K. P. Jha, S. Nguyen, dan A. Yurekli. Patterns of Tobacco Use, and
Health Cosequences. Makalah pendukung.
negara berpendapatan tinggi, dengan beberapa pengecualian, laki-laki miskin
yang berpendidikan rendah mengisap lebih banyak batang rokok per hari
dibandingkan laki-laki kaya yang berpendidikan lebih tinggi. Walaupun mungkin
dapat diharapkan bahwa laki-laki miskin di negara-negara berpendapatan rendah
dan sedang akan mengkonsumsi lebih sedikit batang rokok daripada laki-laki
kaya, data yang tersedia mengindikasikan bahwa secara umum perokok dengan
tingkat pendidikan rendah mengkonsumsi sama atau sedikit lebih banyak batang
rokok daripada mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Suatu pengecualian
penting adalah India, — bukan sesuatu yang mengherankan — dimana perokok
dengan tingkat pendidikan universitas atau akademi, cenderung mengkonsumsi
lebih banyak sigaret, yang harganya relatif lebih mahal, sementara perokok dengan
status pendidikan rendah mengkonsumsi lebih banyak rokok bidis yang lebih
murah.
MEREDAM WABAH
20
GAMBAR 1.3 MEROKOK DIMULAI PADA USIA MUDA
Distribusi kumulatif mulai merokok di Cina, India dan Amerika Serikat.
Amerika Serikat (laki-laki &
perempuan, lahir antara 1952-61)
Persentase umur mulai merokok secara kumulatif
100
Cina (laki-laki, 1996)
Amerika Serikat (laki-laki &
perempuan, lahir 1910-14)
80
India (laki-laki, 1995)
60
40
20
0
15
20
Umur
25
Sumber : Chinese Academy of Preventive Medicine. 1997. Smoking in China: 1996. National
Prevalence Survey of Smoking Pattern. Beijing. Science and Technology Press; Gupta P.C.,
1996. “Survey of Sociodemograpic Characteristics of Tobacco Use Among 99,598 Individuals in
Bombay, India, Using Handheld Computers.” Tobacco Control 5: 114-20 and U.S. Surgeon General Report, 1989 and 1994.
Umur saat pertama kali merokok
Rasanya tidak mungkin bahwa orang yang menghindari merokok pada masa
remaja atau menjelang dewasa di kemudian hari akan menjadi perokok. Sampai
saat ini, mayoritas perokok memulainya sebelum umur 25 tahun, seringkali bahkan
sejak masa anak-anak atau masa akil balik (lihat Kotak 1.1 dan Gambar 1.3). Di
negara berpendapatan tinggi delapan dari 10 perokok memulainya sejak mereka
KECENDERUNGAN GLOBAL KONSUMSI TEMBAKAU
21
KOTAK 1.1 BERAPA JUMLAH ORANG MUDA YANG MULAI MENJADI
PEROKOK SETIAP HARI?
Individu yang mulai merokok pada
umur muda besar kemungkinannya akan
menjadi perokok berat, dan juga mengalami
peningkatan risiko kematian dari penyakit
yang berkaitan dengan merokok di masa
tuanya. Karena itu sangat penting untuk
diketahui berapa banyak anak-anak dan orang muda yang mengisap rokok setiap hari.
Studi ini mencoba menjawab pertanyaan
tersebut.
Data yang digunakan adalah (1) data
Bank Dunia tentang jumlah anak-anak dan
remaja, pria dan wanita, yang mencapai
umur 20 tahun pada tahun 1995 untuk setiap
wilayah regional Bank Dunia, dan (2) data
WHO tentang kebiasaan merokok pada
setiap kelompok umur sampai umur 30 tahun
di setiap wilayah regional tersebut. Untuk
skenario estimasi lebih tinggi, digunakan
asumsi bahwa jumlah orang muda yang
merokok setiap hari adalah produk dari 1*2
per wilayah regional, untuk setiap jender.
Untuk estimasi lebih rendah, angka tersebut
diturunkan berdasarkan estimasi khusus
wilayah bersangkutan untuk jumlah perokok
yang memulai merokok setelah umur 30
tahun.
Kemudian dibuat tiga asumsi
konservatif: pertama, bahwa selama itu ada
perubahan minimal dalam rata-rata umur
saat merokok pertama kali. Akhir-akhir ini
ada kecenderungan menurun dalam umur
merokok pertama kali pada laki-laki muda
Cina. Tetapi asumsi perubahan minimal
tersebut mempunyai konsekuensi bahwa,
angka-angka yang terestimasi itu menjadi
terlalu rendah. Kedua, estimasi difokuskan
pada perokok secara teratur, jadi tidak
termasuk sejumlah besar anak-anak yang
ingin mencoba merokok tapi tidak menjadi
perokok tetap yang teratur. Ketiga, diasumsikan bahwa orang muda yang menjadi perokok tetap jarang berhenti merokok
sebelum mencapai usia dewasa.
Sementara jumlah remaja perokok
tetap yang berhenti merokok secara total
jumlahnya besar di negara berpendapatan
tinggi, di negara-negara berpendapatan
rendah dan menengah saat terakhir ini
jumlah tersebut sangat rendah.
Dengan asumsi ini, dikalkulasikan
bahwa setiap hari terdapat jumlah anak-anak
dan orang muda mulai menjadi perokok
berkisar antara 14.000 hingga 15.000 orang
di negara berpendapatan tinggi secara
keseluruhan. Untuk negara-negara
berpendapatan menengah dan rendah,
diperkirakan jumlahnya berkisar antara
68.000 hingga 84000 orang per hari. Ini
berarti bahwa setiap hari di seluruh dunia
terdapat antara 82000 dan 99000 orang-orang muda yang mulai menjadi perokok dan
berisiko sangat cepat mengalami kecanduan
nikotin. Angka-angka ini konsisten dengan
perkiraan yang ada pada setiap negara
berpendapatan tinggi.
22
MEREDAM WABAH
berusia belasan tahun. Di negara berpendapatan rendah dan sedang dengan data
yang tersedia, kelihatan bahwa sebagian besar perokok mulai merokok pada awal
umur 20-an, tetapi kecenderungannya mengarah pada umur yang lebih muda.
Sebagai contoh, di Cina antara tahun 1984 dan 1996, ada peningkatan yang
signifikan pada jumlah laki-laki muda yang mulai merokok pada umur antara 15
dan 19 tahun. Penurunan umur saat merokok pertama kali juga teramati di negaranegara berpendapatan tinggi.
Pola global berhenti merokok
Sementara bukti-bukti menunjukkan bahwa di seluruh dunia perilaku
merokok sudah dimulai sejak muda, proporsi perokok yang berhenti merokok
(quit smoking) menampakkan variasi yang tajam antara negara berpendapatan
tinggi dan negara lainnya di dunia, setidak-tidaknya untuk saat ini. Dalam
lingkungan dimana pengetahuan mengenai dampak rokok pada kesehatan terus
meningkat, prevalensi merokok lambat laun menurun dan jumlah mantan perokok
secara signifikan telah terakumulasi dalam beberapa dekade ini. Di sebagian besar
negara berpendapatan tinggi, sekitar 30 persen penduduk laki-laki adalah mantan
perokok. Sebaliknya, hanya 2 persen laki-laki di Cina yang berhenti merokok
pada tahun 1993, hanya 5 persen laki-laki di India pada tahun yang sama, dan
hanya 10 persen laki-laki Vietnam yang berhenti merokok pada tahun 1997.
Catatan :
1. Pengelompokan ini secara rinci ditampilkan dalam Lampiran D. Secara ringkas, negaranegara ini dikelompokkan seperti berikut; (1) Asia Timur dan Pasifik, (2) Eropa Timur dan
Asia Tengah (termasuk juga dalam kelompok ini hampir semua bekas negara ekonomi sosialis),
(3) Timur tengah dan Afrika Utara, (4) Amerika Latin dan wilayah Karibia, (5) Asia Selatan,
(6) Sub-Sahara Afrika, dan (7) negara berpendapatan tinggi, yang umumnya sama dengan negaranegara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development).
2. Penelitian yang mengungkapkan pola-pola merokok wanita sangat terbatas. Bagi para wanita
sudah merokok selama puluhan tahun, hubungan antara status sosial ekonomi dan perilaku
merokok sama dengan yang terlihat pada laki-laki. Di bagian lain, informasi yang layak dipercaya
lebih banyak lagi dibutuhkan sebelum kesimpulan dapat diambil.
23
BAB 2
Konsekuensi Kesehatan Perilaku Merokok
P
ENGARUH tembakau pada kesehatan telah terdokumentasi secara
luas. Laporan ini tidak bermaksud mengulangi informasi tersebut secara rinci
melainkan hanya untuk memberikan fakta-fakta yang ringkas saja. Bab ini dibagi
dalam dua bagian yaitu: pertama, diskusi ringkas tentang kecanduan nikotin; dan
kedua, deskripsi tentang beban penyakit yang dikaitkan dengan perilaku merokok.
Sifat kecanduan merokok tembakau
Tembakau berisi nikotin, suatu zat yang telah diakui oleh organisasi
kedokteran internasional sebagai pembawa sifat kecanduan. Ketergantungan pada
tembakau telah tercatat dalam Klasifikasi Penyakit Internasional (International
Classification of Diseases). Nikotin memenuhi kriteria kunci penyebab kecanduan
atau ketergantungan, seperti: dorongan penggunaan yang kuat, meskipun ada
hasrat dan upaya berulang-ulang untuk berhenti; pengaruh-pengaruh psikoaktif
akibat bekerjanya zat-zat itu pada otak; dan perilaku-perilaku yang dimotivasi
oleh efek-efek “penguatan” zat psikoaktif itu. Rokok sigaret, tidak seperti
tembakau kunyahan, memungkinkan nikotin mencapai otak dengan cepat hanya
dalam beberapa detik setelah menghirup asap rokok, dan selanjutnya perokok
dapat mengatur dosisnya kepulan demi kepulan.
Kecanduan nikotin terjadi secara cepat. Pada anak remaja yang baru mulai
merokok, konsentrasi kotinin dalam saliva (ludah), sebuah produk nikotin yang
bersifat merusak, terus meningkat secara tajam sampai mencapai tingkat yang
terdapat pada perokok tetap (Gambar 2.1). Tingkat rata-rata nikotin yang dihirup
cukup untuk memberikan efek farmakologis dan memainkan perannya untuk
23
MEREDAM WABAH
24
GAMBAR 2.1 TINGKAT NIKOTIN CEPAT BERTAMBAH PADA PEROKOK MUDA
Konsentrasi kotinin dalam ludah sekelompok gadis remaja di Inggris
Kotinin dalam saliva (mg/ml)
250
200
perokok tahun
1985
150
bukan perokok
tahun 1985,
menjadi perokok
tahun 1986-1987
100
50
0
1985
1986
tahun
1987
Sumber: McNeill, A.D 1989. “Nicotine Intake in Young Smokers: Longitudinal Study of Saliva
Cotinine Concentrations. “American Journal of Public Health 79(2): 172-75
merangsang perilaku merokok. Namun banyak perokok muda meremehkan risiko
kecanduan merokok ini. Antara separo dan tiga perempat jumlah perokok muda
di Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka telah mencoba untuk berhenti
sekurang-kurangnya sekali tetapi gagal. Hasil beberapa survai di negara
berpendapatan tinggi menyatakan bahwa suatu proporsi substansial perokok yang
semuda 16 tahun mengatakan menyesal telah mengisap rokok namun merasa
tidak mampu untuk berhenti.
Sesungguhnya ada kemungkinan perokok melepaskan diri [dari merokok]
secara permanen sebagaimana halnya dengan zat-zat kecanduan lainnya. Namun,
tanpa intervensi penghentian [dari pemerintah atau badan non-pemerintah
lainnya], angka keberhasilan secara perorangan akan rendah. Hasil temuan
penelitian terbaru menyimpulkan bahwa dari perokok tetap yang mencoba berhenti
tanpa bantuan, 98 persen di antaranya akan mulai merokok lagi dalam setahun.
Beban penyakit
Pada tahun mendatang, tembakau diperkirakan akan menyebabkan kematian
KONSEKUENSI KESEHATAN PERILAKU MEROKOK
25
sekitar 4 juta orang di seluruh dunia. Saat ini tembakau sudah menjadi penyebab
satu dari 10 kematian orang dewasa; pada tahun 2030 perbandingannya
diperkirakan akan menjadi satu di antara enam kematian, atau 10 juta kematian
per tahun—lebih besar dari penyebab kematian lainnya dan lebih banyak dari
angka kematian yang diproyeksikan akibat penyakit radang paru-paru, penyakit
diare, TBC, dan komplikasi kelahiran yang dijumlahkan untuk tahun itu. Jika
kecenderungan terakhir ini berlanjut maka sekitar 500 juta orang yang saat ini
masih hidup pada akhirnya akan terbunuh oleh tembakau, separo dari mereka
masih dalam usia setengah baya yang produktif, dan menyia-nyiakan 20-25 tahun
dari hidup mereka.
Kematian akibat merokok, yang semula hanya dialami sebagian besar lakilaki di negara berpendapatan tinggi, sekarang meluas ke kelompok perempuan
di negara berpendapatan tinggi dan kelompok laki-laki di seluruh dunia (Tabel
2.1). Pada tahun 1990 dua dari tiga kematian akibat merokok terjadi di negara
berpendapatan tinggi atau di bekas negara-negara sosialis di Eropa Timur dan
Asia Tengah, dan pada tahun 2030, tujuh dari 10 kematian akibat merokok akan
terjadi di negara perpendapatan sedang dan rendah. Dari setengah miliar kematian
yang diperkirakan terjadi pada orang yang hidup saat ini, sekitar 100 juta akan
terjadi pada laki-laki Cina.
Jangka waktu panjang antara mulai terpapar terhadap risiko
merokok dan timbulnya penyakit
Meskipun begitu, korban kematian dan kecacatan akibat merokok di luar
negara-negara berpendapatan tinggi masih belum banyak dirasakan. Hal ini terjadi
karena penyakit yang disebabkan karena merokok membutuhkan jangka waktu
puluhan tahun untuk berkembang. Bahkan ketika merokok menjadi suatu
kebiasaan yang lumrah di suatu masyarakat, dampak negatifnya terhadap
kesehatan mungkin masih belum kelihatan. Hal ini sangat jelas ditunjukkan oleh
kecenderungan penyakit kanker paru-paru di Amerika Serikat. Meskipun di
Amerika Serikat terjadi pertumbuhan pesat pada konsumsi rokok antara tahun
1915 dan 1950, angka prevalensi penyakit kanker paru-paru baru mulai
menunjukkan peningkatan yang tajam sekitar tahun 1945. Angka prevalensi
menurut umur yang distandardisasi dari penyakit menjadi tiga kali lipat antara
tahun 1930-an dan 1950-an, tetapi setelah tahun 1955 angkanya meningkat lebih
besar lagi: pada tahun 1980-an menjadi 11 kali lebih tinggi dari angka tahun
1940.
Di Cina saat ini, dimana seperempat dari jumlah seluruh perokok di dunia
tinggal, konsumsi rokoknya sama tingginya dengan konsumsi rokok di Amerika
Serikat pada tahun 1950, yaitu ketika tingkat konsumsi rokok per kapita mencapai
puncaknya. Pada tingkat wabah di Amerika Serikat itu, rokok menjadi penyebab
atas 12 persen dari semua kematian secara nasional pada penduduk usia setengah
baya. Empat puluh tahun kemudian, ketika konsumsi rokok di Amerika Serikat
MEREDAM WABAH
26
TABEL 2.1 KEMATIAN AKIBAT TEMBAKAU SAAT INI DAN PERKIRAAN DI MASA DEPAN
(dalam juta per tahun)
Negara:
Negara Maju
Negara Berkembang
Jumlah kematian akibat
tembakau tahun 2000
Proyeksi kematian akibat
tembakau, 2030
2
2
3
7
Sumber: World Health Organization. 1999. Making a Difference. World Health Report. Geneva,
Switzerland
telah menurun, tembakau bertanggungjawab atas sekitar sepertiga dari kematian
orang-orang usia setengah baya dari bangsa itu. Saat ini, dengan terdengarnya
gaung keras atas pengalaman Amerika Serikat tersebut, tembakau diperkirakan
sebagai penyebab sekitar 12 persen kematian laki-laki usia setengah baya di Cina.
Para peneliti memperkirakan bahwa dalam beberapa dekade mendatang,
proporsinya akan meningkat menjadi sekitar satu dalam tiga kematian,
sebagaimana terjadi di Amerika Serikat. Sebaliknya, merokok di antara para wanita
muda Cina belum menunjukkan peningkatan yang menyolok dalam dua dekade
terakhir dan para perokok wanita kebanyakan di antaranya berumur lebih tua.
Jadi, dengan pola merokok akhir-akhir ini, kematian akibat merokok pada wanita
di Cina mungkin turun secara nyata dari tingkat sekitar 2 persen dari total kematian
menjadi kurang dari 1 persen.
Bahkan di negara-negara berpendapatan tinggi yang penduduknya sudah
terjangkit kebiasaan merokok selama beberapa dekade, gambaran yang jelas
mengenai penyakit yang dikaitkan dengan perilaku merokok baru muncul minimal 40 tahun kemudian. Para peneliti menghitung kelebihan risiko (excess risk)
kematian perokok melalui studi prospektif yang membandingkan risiko kesehatan
yang dialami perokok dan bukan perokok. Setelah mengikuti selama 20 tahun,
pada awal tahun 1970-an, peneliti percaya bahwa perokok menghadapi satu di
antara empat risiko kematian akibat tembakau, tetapi sekarang, dengan adanya
lebih banyak data, mereka percaya bahwa risikonya adalah satu di antara dua
kematian.
Bagaimana merokok menyebabkan kematian
Di negara berpendapatan tinggi, studi prospektif jangka panjang seperti studi
Second Cancer Prevention yang dilakukan oleh Masyarakat Peduli Kanker
Amerika (Cancer Society), yang mengikuti kehidupan lebih dari satu juta orang
dewasa di Amerika Serikat, telah dapat memberikan bukti yang dapat dipercaya
KONSEKUENSI KESEHATAN PERILAKU MEROKOK
27
bagaimana merokok menyebabkan kematian. Perokok di Amerika Serikat
menghadapi 20 kali lebih besar kemungkinan mati akibat kanker paru-paru pada
umur setengah baya dibandingkan mereka yang bukan perokok, dan tiga kali
lebih besar kemungkinan mati pada umur tersebut karena penyakit pembuluh
darah, termasuk serangan jantung, stroke, dan penyakit urat nadi dan pembuluh
darah lainnya. Karena penyakit jantung ischemic sudah umum di negara-negara
berpendapatan tinggi, kelebihan risiko dari perokok dicerminkan ke dalam jumlah
kematian yang tinggi, sehingga penyakit serangan jantung menjadi penyebab
utama kematian yang dikaitkan dengan rokok yang terjadi pada negara-negara
tersebut. Merokok juga menjadi penyebab utama radang tenggorokan kronis dan
emfisema. Hal ini kemudian dihubungkan dengan penyakit kanker pada beberapa
organ lain, termasuk kandung kemih, ginjal, saluran pernapasan, mulut, pankreas,
dan perut.
Risiko terkena kanker paru-paru pada seorang perokok lebih banyak
disebabkan oleh lamanya menjadi perokok daripada banyaknya batang rokok
yang dikonsumsi setiap hari. Dengan kata lain, tiga kali peningkatan waktu
lamanya menjadi perokok berarti sama dengan 100 kali risiko terkena kanker
paru-paru, sementara peningkatan tiga kali jumlah rokok yang dikonsumsi setiap
harinya menyebabkan hanya tiga kali risiko terkena kanker paru-paru. Jadi, mereka
yang memulai merokok pada umur belasan tahun dan terus melakukannya akan
menghadapi risiko paling besar terkena penyakit kanker paru-paru.
Untuk beberapa tahun, pabrik rokok telah memasarkan merek rokok tertentu
yang disebutnya mempunyai “tar rendah” atau “nikotin rendah”, suatu modifikasi
yang oleh banyak perokok dipercaya dapat membuat rokok menjadi lebih aman.
Namun, perbedaan risiko kematian dini untuk perokok yang mengkonsumsi jenis
tar-rendah atau nikotin-rendah yang dibandingkan dengan perokok sigaret biasa
jauh lebih rendah daripada perbedaan risiko antara bukan perokok dengan perokok.
Wabah berbeda menurut tempat dan juga waktu
Oleh karena banyak studi jangka panjang telah dilakukan di negara-negara
berpendapatan tinggi, maka tidak banyak ditemukan data mengenai pengaruh
tembakau pada kesehatan di tempat lain. Namun demikian, beberapa studi besar
yang baru-baru ini dilakukan di Cina, dan studi yang sedang dilakukan di India,
mengindikasikan bahwa walaupun semua risiko bagi orang yang terus-menerus
merokok hampir sebesar di negara-negara berpendapatan tinggi seperti Amerika
Serikat dan Inggris, namun pola penyakit yang dihubungkan dengan merokok di
negara-negara ini secara substansial berbeda. Data dari Cina menunjukkan
proporsi kematian akibat penyakit jantung ischemic dari seluruh jumlah kematian
akibat rokok, ternyata lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di negaranegara di Barat, sementara di Cina penyakit pernapasan dan kanker tercatat sebagai
penyebab kematian terbesar. Yang sangat menarik adalah adanya anak muda yang
jumlahnya cukup signifikan terkena penyakit TBC. Perbedaan lain muncul pada
MEREDAM WABAH
28
penduduk-penduduk lainnya; misalnya, di Asia Selatan, polanya mungkin
dipengaruhi oleh tingginya prevalensi penyakit yang berkaitan dengan pembuluh
darah jantung (cardiovascular). Hasil-hasil ini menekankan pentingnya
memonitor wabah di semua wilayah. Namun demikian, meskipun ada pola yang
berbeda mengenai penyakit yang berkaitan dengan perilaku merokok di berbagai
masyarakat yang berbeda, tampaknya secara keseluruhan proporsi orang yang
pada akhirnya mati karena terus-menerus merokok sigaret, adalah rata-rata sekitar
satu dari dua kematian di banyak penduduk dunia.
Merokok dan kerugian kesehatan bagi orang miskin
Apabila konsumsi tembakau dikaitkan dengan kemiskinan dan status sosial
ekonomi rendah, demikian juga halnya dengan dampaknya yang merusak terhadap
kesehatan. Analisis untuk laporan ini menunjukkan dampak merokok pada
kelangsungan hidup laki-laki dari kelompok sosial ekonomi yang berbeda (diukur
berdasarkan pendapatan, kelas sosial, atau tingkat pendidikan) di empat negara
dimana wabah merokok sudah lama berlangsung yaitu Kanada, Polandia, Inggris,
dan Amerika Serikat.
GAMBAR 2.2 PENDIDIKAN DAN RISIKO KEMATIAN AKIBAT MEROKOK
Kematian laki-laki usia setengah baya dengan tingkat pendidikan berbeda, Polandia, 1996.
Risiko kematian (%)
60%
50%
40%
28%
30%
20%
10%
0%
4%
22%
21%
Dihubungkan dengan merokok
tapi bagaimanapun mungkin telah
meninggal pada umur 35-69
1%
19%
1%
Penyebab lain
Dihubungkan dengan merokok
9%
5%
Pendidikan
tinggi
Pendidikan
menengah
Pendidikan
dasar
Tingkat Pendidikan
Catatan: angka dibulatkan
Sumber: Bobak, Martin, P. Jha, M. Jarvis, dan S. Nguyen. Poverty and Tobacco. Makalah
pendukung.
KONSEKUENSI KESEHATAN PERILAKU MEROKOK
29
Di Polandia pada tahun 1996, 26 persen laki-laki berpendidikan universitas
berisiko mati pada umur setengah baya. Untuk laki-laki yang hanya berpendidikan
tingkat dasar, risiko kematiannya 52 persen, dua kali lipat lebih besar. Dengan
menganalisis proporsi kematian akibat merokok pada setiap kelompok, para
peneliti memperkirakan bahwa tembakau menjadi penyebab sekitar dua per tiga
kelebihan risiko merokok (excess risk) pada kelompok yang hanya berpendidikan
tingkat dasar. Dengan kata lain, jika merokok dihapuskan, kesenjangan
kelangsungan hidup antara dua kelompok akan berkurang secara sangat tajam.
Risiko kematian pada umur setengah baya akan turun sampai 28 persen pada
lelaki dengan hanya berpendidikan tingkat dasar dan 20 persen pada mereka
dengan pendidikan universitas (gambar 2.2). Hasil yang sama juga ditemukan di
negara-negara lain dalam studi ini, yang mengindikasikan bahwa tembakau
menjadi penyebab lebih dari separo perbedaan angka kematian laki-laki dewasa
antara mereka yang status sosial ekonomi tertinggi dan terendah di negara-negara
tersebut. Rokok juga besar kontribusinya dalam memperlebar kesenjangan
kelangsungan hidup selama ini antara laki-laki kaya dan laki-laki miskin di negaranegara tersebut (Gambar 2.3).
Risiko didapat dari asap rokok orang lain
Perokok tidak hanya mempengaruhi kesehatan perokok sendiri tetapi juga
pada kesehatan orang lain yang ada disekitarnya. Wanita yang merokok selama
hamil kemungkinan besar akan kehilangan janinnya karena keguguran spontan.
Bayi dari ibu perokok di negara berpendapatan tinggi secara signifikan mempunyai
kecenderungan yang lebih besar untuk lahir dengan berat badan rendah (BBLR)
dibandingkan bayi yang lahir dari ibu bukan perokok, dan kecenderungannya
mencapai 35 persen lebih tinggi untuk meninggal waktu masih bayi. Bayi-bayi
itu juga menghadapi risiko tinggi terjangkit penyakit pernapasan. Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa carcinogen, yang hanya terdapat dalam asap rokok,
ditemukan dalam air seni bayi yang baru lahir dari ibu perokok.
Merokok sigaret adalah penyebab banyak kerugian pada kesehatan bayi yang
lahir dari wanita miskin. Di antara wanita kulit putih di Amerika Serikat, merokok
ditemukan sebagai satu-satunya penyebab dari 63 persen perbedaan berat badan
antara bayi-bayi yang lahir dari wanita berpendidikan universitas dengan bayibayi yang lahir dari wanita berpendidikan menengah atau yang lebih rendah.
Orang dewasa yang secara terus-menerus terkena asap tembakau orang lain
mempunyai risiko kecil tapi secara nyata mempunyai risiko terkena kanker paruparu dan berisiko lebih tinggi terkena penyakit jantung (cardiovascular),
sementara anak-anak dari orang-orang perokok akan menderita sederetan masalah
kesehatan dan keterbatasan fungsi-fungsi organ (functional limitation).
Orang yang bukan perokok, termasuk anak-anak perokok dan pasangan
perokok, terkena asap rokok terutama dalam rumah mereka sendiri. Juga sejumlah
besar orang bukan perokok yang bekerja dengan perokok, atau dalam lingkungan
MEREDAM WABAH
30
GAMBAR 2.3 MEROKOK DAN MELEBARNYA KESENJANGAN KESEHATAN ANTARA
YANG KAYA DAN YANG MISKIN
Merokok dan perbedaan risiko kematian laki-laki pada umur setengah baya antara yang berstatus
sosial ekonomi (SSE) tertinggi dan terendah di Inggris
Perbedaan risiko kematian
pada laki-laki umur
setengah baya antara SSE
rendah dan lebih tinggi
25
20
Dihubungkan dengan merokok
Penyebab lain
15
10
5
0
1970-72
1980-82
Tahun
1990-92
Catatan: Di Inggris, status sosial ekonomi dikategorikan dalam lima kelompok dari I (tertinggi)
sampai V (terendah). Gambar ini memperlihatkan perbedaan risiko kematian di antara lakilaki umur setengah baya di kelompok I dan II terhadap kelompok V selama waktu itu.
Sumber: Bobak, Martin, P. Jha, M. Jarvis, dan S. Nguyen, Proverty and Tobacco. Makalah
pendukung.
penuh asap rokok, akan terkena asap rokok sepanjang waktu secara signifikan.
Berhenti itu berguna
Makin muda umur seorang mulai merokok, makin besar risiko mendapat
penyakit yang menyebabkan kecacatan. Di negara-negara berpendapatan tinggi
berdasarkan data jangka waktu panjang, para peneliti telah menyimpulkan bahwa
perokok yang mulai merokok pada umur muda dan melakukannya terus-menerus
secara teratur mempunyai kemungkinan lebih besar terkena kanker paru-paru
dibandingkan perokok yang berhenti ketika masih muda. Di Inggris, dokter pria
yang berhenti merokok sebelum berumur 35 tahun dapat bertahan hidup
sebagaimana mereka yang tidak pernah merokok. Mereka yang berhenti merokok
antara umur 35 dan 44 tahun juga mendapatkan manfaat yang lumayan besar,
dan juga ada manfaatnya bagi yang berhenti pada umur yang lebih tua.
KONSEKUENSI KESEHATAN PERILAKU MEROKOK
31
Kesimpulannya, wabah penyakit yang dikaitkan dengan merokok
berkembang luas dari fokus aslinya pada pria di negara-negara berpendapatan
tinggi, kemudian beralih berakibat pada wanita di negara-negara berpendapatan
tinggi dan laki-laki di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Perilaku merokok makin banyak dikaitkan dengan ketimpangan sosial,
sebagaimana diukur dengan tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan. Banyak
perokok pemula menganggap remeh risiko menjadi ketergantungan nikotin;
menjelang awal masa dewasa, mereka banyak yang menyesal karena telah
memulai merokok dan merasa tidak mungkin untuk berhenti. Separo dari perokok
jangka panjang pada akhirnya akan terbunuh oleh tembakau, dan separo dari
mereka akan meninggal pada umur-umur setengah baya.
32
MEREDAM WABAH
33
KONSEKUENSI KESEHATAN PERILAKU MEROKOK
29
Kesimpulannya, wabah penyakit yang dikaitkan dengan merokok
berkembang luas dari fokus aslinya pada pria di negara-negara berpendapatan
tinggi, kemudian beralih berakibat pada wanita di negara-negara berpendapatan
tinggi dan laki-laki di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Perilaku merokok makin banyak dikaitkan dengan ketimpangan sosial,
sebagaimana diukur dengan tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan. Banyak
perokok pemula menganggap remeh risiko menjadi ketergantungan nikotin;
menjelang awal masa dewasa, mereka banyak yang menyesal karena telah
memulai merokok dan merasa tidak mungkin untuk berhenti. Separo dari perokok
jangka panjang pada akhirnya akan terbunuh oleh tembakau, dan separo dari
mereka akan meninggal pada umur-umur setengah baya.
30
MEREDAM WABAH
31
BAB 3
Apakah Perokok Tahu Risiko-Risikonya
dan Menanggung Biayanya ?
D
ALAM bab ini, akan diteliti mengenai insentif yang membuat orang
(gemar) merokok. Juga akan diperhatikan apakah merokok sama seperti pilihan
konsumsi untuk barang-barang lainnya, dan apakah ini menghasilkan alokasi
sumber daya masyarakat yang efisien. Kemudian juga dibahas implikasinya bagi
pemerintah.
Teori ekonomi modern mengatakan bahwa konsumen individual adalah orang yang paling tepat untuk mempertimbangkan bagaimana membelanjakan
uangnya untuk barang-barang seperti beras, pakaian, atau menonton bioskop.
Prinsip-prinsip kedaulatan konsumen ini didasarkan pada asumsi tertentu: pertama,
bahwa setiap konsumen membuat pilihan secara rasional dan berdasarkan berbagai
informasi setelah mempertimbangkan biaya dan manfaat dari pembelianpembelian itu. Kedua, bahwa konsumen sendiri menanggung semua biaya dari
pilihan tersebut. Jika semua konsumen melaksanakan kedaulatannya dengan cara
seperti ini — mengetahui risiko dan beban biaya atas pilihan-pilihannya itu—
maka sumber daya dari suatu masyarakat, secara teoretis, akan teralokasikan
dengan sangat efisien.
Perokok sudah pasti merasakan manfaat dari merokok; kalau tidak mereka
tidak akan mau mengeluarkan uang untuk melakukannya. Manfaat yang dirasakan
termasuk merasakan kesenangan dan kepuasan, meningkatkan citra diri, dapat
mengendalikan stres, dan bagi perokok yang sudah kecanduan, akan menghindar
untuk menghentikan kecanduan nikotin. Biaya-biaya pribadi yang dikeluarkan
atau ditanggung akan dibandingkan dengan manfaatnya, termasuk uang yang
digunakan untuk membeli produk tembakau, kerusakan kesehatan, dan kecanduan
31
32
MEREDAM WABAH
nikotin. Dengan cara pemikiran seperti ini, manfaat yang dirasakan perokok
menjadi lebih besar daripada beban pengeluaran yang diperkirakan.
Akan tetapi ada tiga hal yang membedakan pilihan untuk membeli produk
tembakau dibandingkan dengan pilihan untuk membeli barang-barang lainnya
yaitu:
■
Pertama, terdapat bukti bahwa banyak perokok yang sama sekali tidak
sadar akan kemungkinan sangat besar terkena penyakit dan kematian
dini akibat memilih untuk merokok. Ini merupakan biaya pribadi (private cost) akibat merokok yang paling besar.
■
Kedua, terdapat bukti bahwa anak-anak dan remaja mungkin tidak
mempunyai kemampuan untuk secara tepat memahami berbagai
informasi yang mereka miliki mengenai akibat merokok bagi kesehatan.
Hal yang sama pentingnya, adalah terdapatnya bukti-bukti bahwa
perokok pemula menganggap enteng biaya yang akan mereka tanggung
di masa depan (future cost) sebagai akibat kecanduan nikotin. Biaya
yang diperlukan di masa depan mungkin dianggap sebagai biaya bagi
para perokok dewasa sebagai akibat dari ketidak-mampuan mengubah
keputusan merokok pada usia muda bahkan meskipun ada keinginan
untuk itu, karena sudah telanjur kecanduan.
■
Ketiga, terdapat bukti bahwa perokok membebankan biaya pada orang
lain, baik langsung maupun tidak langsung. Para ahli ekonomi biasanya
mengasumsikan bahwa orang-orang akan mempertimbangkan secara
tepat biaya dan manfaat dari pilihan mereka hanya jika mereka sendiri
memikul biayanya dan menikmati manfaatnya. Jika biaya ditanggung
oleh orang lain, perokok akan merokok lebih banyak lagi sebagaimana
yang mereka inginkan jika dibandingkan dengan bila mereka sendiri
yang harus menanggung semua biayanya.
Berikut ini disajikan bukti-bukti dari masing-masing asumsi tersebut di atas.
Kesadaran akan risiko-risiko merokok
Pengetahuan masyarakat mengenai risiko merokok bagi kesehatan
tampaknya hanya sebagian saja, terutama di negara-negara berpendapatan
menengah dan rendah karena informasi mengenai bahaya ini sangat terbatas. Di
Cina, sebagai contoh, 61% perokok yang disurvai pada tahun 1996 percaya bahwa
rokok “tidak atau sedikit sekali merugikan mereka.”
Tidak diragukan lagi bahwa selama empat dekade terakhir, di negara-negara
berpendapatan tinggi, kesadaran umum mengenai dampak merokok bagi
kesehatan telah meningkat. Akan tetapi banyak terjadi kontroversi mengenai
seberapa akurat perokok di negara-negara berpendapatan tinggi melihat risiko
akan terkena penyakit. Berbagai penelitian yang diadakan dalam dua dekade
terakhir ini menghasilkan bermacam-macam kesimpulan tentang keakuratan
persepsi seseorang mengenai risiko akibat merokok. Beberapa peneliti
APAKAH PEROKOK TAHU RISIKO-RISIKONYA DAN MENANGGUNG BIAYANYA
33
menemukan bahwa sebagian masyarakat melebih-melebihkan risiko ini, sebagian
yang lain menemukan bahwa masyarakat menganggap risiko itu tidak begitu
besar, dan sisanya lagi menemukan bahwa persepsi masyarakat mengenai risiko
merokok cukup memadai. Akan tetapi metodologi yang diterapkan pada
penelitian-penelitian ini telah dikritik dengan berbagai alasan. Sebuah tinjauan
literatur penelitian akhir-akhir ini menyimpulkan bahwa perokok di negara-negara
berpendapatan tinggi umumnya sadar akan meningkatnya risiko mereka akibat
merokok, tetapi mereka menilai risikonya lebih kecil dan lebih kurang pasti
dibandingkan dengan penilaian orang bukan perokok. Lebih jauh diketahui,
bahkan orang-orang yang mempunyai pandangan cukup akurat mengenai risiko
kesehatan yang dihadapi perokok (sebagai sebuah kelompok), mengecilkan
relevansi informasi ini terhadap diri sendiri, dan percaya bahwa risiko bagi
perokok lain lebih besar daripada risiko bagi dirinya sendiri
Akhirnya, terdapat bukti dari berbagai negara bahwa sebagian perokok
tampaknya mempunyai persepsi kacau mengenai risiko kesehatan akibat merokok
dibandingkan dengan risiko kesehatan lainnya. Sebagai contoh, di Polandia pada
tahun 1995 para peneliti bertanya kepada responden dewasa untuk mengurutkan
“faktor-faktor apa yang paling berpengaruh terhadap kesehatan manusia”. Faktor
yang banyak dipilih adalah “lingkungan”, diikuti oleh “pola makan”, dan “ stres
atau gaya hidup yang keliwat sibuk”. Merokok menempati urutan keempat dan
dinyatakan oleh hanya 27% responden dewasa. Pada kenyataannya, merokok
merupakan lebih dari sepertiga risiko kematian dini pada laki-laki berusia setengah
baya di Polandia, jauh lebih besar dari faktor risiko lainnya.
Remaja, kecanduan, dan kemampuan untuk mengambil keputusan
yang sehat.
Seperti diuraikan dalam Bab 1, sebagian besar perokok mulai merokok
pada usia muda dalam kehidupan mereka, dan anak-anak maupun para remaja
mungkin kurang memahami dampak rokok bagi kesehatan dibandingkan dengan
orang dewasa. Survai yang dilakukan baru-baru ini terhadap remaja umur 15 dan
16 tahun di Moskow menemukan bahwa lebih dari separo remaja tidak mengetahui
penyakit yang berhubungan dengan merokok atau hanya mampu menyebutkan
satu penyakit saja yaitu kanker paru-paru. Bahkan di Amerika, di mana remaja
diharapkan memiliki lebih banyak informasi, hampir separo dari remaja umur 13
tahun mengira bahwa menghabiskan satu bungkus rokok sehari tidak akan
menyebabkan gangguan kesehatan. Minimnya pengetahuan remaja mengenai
akibat merokok bagi kesehatan, menghadapkan mereka pada hambatan lebih besar
lagi daripada orang dewasa dalam membuat pilihan berdasarkan informasi (informed choices).
Sama pentingnya adalah bahwa remaja menganggap enteng risiko menjadi
kecanduan nikotin dan karena itu nyata sekali mereka meremehkan biaya yang
akan timbul di masa depan akibat merokok. Di antara siswa sekolah menengah
34
MEREDAM WABAH
atas kelas terakhir di Amerika yang merokok dan percaya bahwa mereka akan
mampu berhenti merokok dalam lima tahun, ternyata kurang dari 2 di antara 5
siswa tersebut yang benar-benar berhenti merokok. Sisanya masih tetap merokok
dalam lima tahun berikutnya. Di negara-negara yang berpendapatan tinggi sekitar
7 dari 10 perokok dewasa menyatakan penyesalannya telah memilih menjadi
perokok. Dengan menggunakan model ekonometri dan berdasarkan data dari AS
para peneliti menganalisis hubungan antara merokok sekarang dan merokok di
masa lalu. Mereka memperkirakan bahwa sedikitnya 60% dari kecanduan nikotin
disebabkan karena mengkonsumsi rokok sigaret [dalam satu tahun] dan mungkin
bisa mencapai sampai 95 % besarnya.
Bahkan para remaja yang telah diberi tahu mengenai risiko akibat merokok
mungkin mempunyai kemampuan terbatas untuk menggunakan informasi tersebut
secara bijaksana. Bagi sebagian remaja mungkin sangat sulit membayangkan
diri mereka pada umur 25 tahun, apalagi umur 55 tahun, sehingga peringatan
tentang kerusakan yang disebabkan oleh perilaku merokok terhadap kesehatan
mereka di masa depan yang masih jauh, kemungkinan besar tidak akan
mengurangi keinginan mereka untuk merokok. Kemungkinan bahwa remaja akan
membuat keputusan yang tidak bijaksana diakui oleh sebagian besar masyarakat
dan bukan hanya menyangkut pilihan tentang keinginan merokok. Sebagian besar
masyarakat membatasi remaja dalam membuat keputusan tertentu, walaupun hal
ini berbeda dari satu budaya ke budaya lainnya. Sebagai contoh, sebagian besar
masyarakat demokratis tidak mengijinkan remaja ikut pemilu sampai batas umur
tertentu; beberapa masyarakat melaksanakan wajib belajar hingga usia tertentu,
dan beberapa masyarakat lainnya melarang perkawinan sebelum mencapai usia
dewasa. Inti kesepakatan masyarakat-masyarakat tersebut adalah bahwa beberapa
keputusan sebaiknya ditunda hingga anak-anak remaja mencapai usia dewasa.
Demikian juga, masyarakat mungkin perlu mempertimbangkan bahwa kebebasan
remaja untuk memilih menjadi kecanduan [merokok] seharusnya dibatasi.
Mungkin dapat diperdebatkan bagaimana remaja umumnya tertarik pada
banyak kegiatan yang mengandung risiko seperti kebut-kebutan dengan kendaraan
bermotor atau pesta minum minuman keras, dan karenanya tidak ada yang
istimewa tentang merokok. Akan tetapi, sesungguhnya terdapat beberapa
perbedaan. Pertama, di sebagian besar negara di dunia, peraturan tentang merokok
relatif kurang dibandingkan dengan peraturan tentang perilaku berisiko lainnya.
Pengemudi biasanya didenda jika mengendarai kendaraan melebihi batas
kecepatan yang diijinkan dengan denda cukup berat atau malah bisa kehilangan
ijin mengemudi, dan ada hukuman untuk perilaku membahayakan yang berkaitan
dengan minuman keras, seperti mengemudi dalam keadaan mabuk. Kedua,
merokok lebih berbahaya daripada kegiatan-kegiatan berisiko lainnya sepanjang
hidup. Ekstrapolasi yang didasarkan pada data dari negara-negara yang
berpendapatan tinggi menunjukkan dari 1.000 remaja laki-laki umur 15 tahun
yang saat ini tinggal di negara-negara yang berpendapatan rendah dan sedang,
125 di antaranya akan meninggal oleh rokok pada usia setengah baya jika mereka
APAKAH PEROKOK TAHU RISIKO-RISIKONYA DAN MENANGGUNG BIAYANYA
35
terus merokok secara teratur, dengan tambahan ada 125 lagi meninggal pada
umur tua. Sebagai perbandingan, sekitar 10 orang akan meninggal di usia setengah
baya karena kecelakaan di jalan, sekitar 10 orang akan meninggal pada usia yang
sama karena kekerasan, dan 30 orang akan meninggal karena hal-hal yang
berkaitan dengan minuman alkohol termasuk kecelakaan lalu lintas dan kematian
dengan kekerasan. Ketiga, hanya sedikit perilaku berisiko lainnya membawa risiko
kecanduan yang tinggi seperti halnya perilaku merokok, oleh karena itu
kebanyakan perilaku berisiko itu lebih mudah menghentikannya dan memang
kemudian ditinggalkan, karena kematangan berpikir.
Biaya yang dibebankan kepada orang lain
Perokok membebankan biaya fisik pada orang lain dan juga mungkin biaya
finansial (financial cost). Secara teori, para perokok akan lebih sedikit
mengkonsumsi rokok jika mereka memperhitungkan biaya-biaya tersebut. Secara
sosial tingkat konsumsi optimal akan tercapai apabila semua biaya ditanggung
oleh konsumen dan ini berarti sumberdaya terdistribusikan secara merata dalam
masyarakat. Apabila ada sebagian biaya yang ditanggung oleh bukan perokok,
maka konsumsi rokok mungkin lebih tinggi daripada tingkat optimal konsumsi
masyarakat. Berikut ini akan dibahas berbagai jenis biaya yang dibebankan kepada
orang lain.
Pertama, perokok membebankan secara langsung biaya kesehatan kepada
orang lain yang bukan perokok. Dampak bagi kesehatan, seperti dijelaskan dalam
Bab 2, termasuk bayi lahir dengan berat badan rendah dan meningkatnya risiko
berbagai macam penyakit pada bayi yang ibunya merokok, dan penyakit pada
anak-anak dan orang dewasa yang terus-menerus terkena asap rokok orang lain.
Biaya langsung lainnya termasuk iritasi dan kejengkelan atas asap rokok dan
biaya untuk membersihkan pakaian dan mebel. Meskipun bukti-bukti yang ada
berserakan, mungkin ada juga biaya yang harus ditanggung karena adanya
kebakaran, degradasi lingkungan, dan pembabatan hutan (deforestation) sebagai
akibat penanaman dan pengolahan tembakau, dan sebagai konsekuensi merokok.
Dari data-data yang ada, biaya finansial yang dibebankan perokok kepada
orang lain sulit diidentifikasi dan dihitung. Laporan ini tidak berusaha untuk
memberikan estimasi besarnya biaya-biaya ini, tapi hanya mengidentifikasikan
beberapa kemungkinan di mana biaya-biaya tersebut dapat muncul. Pertama akan
dibahas biaya perawatan kesehatan untuk para perokok, kemudian masalahmasalah yang berkaitan dengan pensiun.
Di negara-negara berpendapatan tinggi, biaya perawatan kesehatan secara
keseluruhan yang berkaitan dengan merokok diestimasikan besarnya antara 6%
dan 15% dari biaya perawatan kesehatan secara keseluruhan. Di negara-negara
berpendapatan menengah dan rendah saat ini, biaya perawatan kesehatan tahunan
yang berkaitan dengan tembakau lebih rendah daripada angka di atas, sebagian
karena wabah yang berkaitan dengan penyakit akibat tembakau masih pada tahap
36
MEREDAM WABAH
awal, dan sebagian lagi karena faktor lain seperti jenis penyakit akibat konsumsi
tembakau yang sudah mewabah serta perawatan khusus yang mereka perlukan.
Akan tetapi, negara-negara ini melihat kemungkinan meningkatnya biaya
perawatan kesehatan di masa depan akan meningkat. Proyeksi yang dilakukan
untuk laporan ini, dengan menggunakan data dari Cina dan India, menunjukkan
bahwa biaya perawatan kesehatan setiap tahun untuk penyakit yang berkaitan
dengan rokok akan meningkat dan menyerap persentase lebih besar dari Produk
Domestik Bruto (PDB) dibandingkan dengan saat ini.
Bagi para pembuat kebijakan, sangat penting untuk mengetahui biaya
perawatan kesehatan tahunan ini dan bagian-bagian yang ditanggung oleh
masyarakat, karena biaya ini merupakan sumber daya nyata yang tidak dapat
dipergunakan untuk barang dan jasa lain. Sebaliknya, bagi konsumen perorangan
masalah utama adalah pada seberapa besar biaya akan ditanggung oleh mereka
sendiri atau oleh orang lain. Sekali lagi, jika beberapa bagian dari biaya itu akan
ditanggung oleh mereka yang bukan perokok, konsumen akan mendapat insentif
untuk merokok lebih banyak dibandingkan jika mereka harus menanggung sendiri
semua biayanya. Akan tetapi, sebagai mana ditunjukkan dalam pembahasan
berikut ini, perhitungan mengenai biaya-biaya ini sangat rumit, oleh karena itu
belum bisa disimpulkan apa-apa mengenai bagaimana biaya-biaya tersebut
mempengaruhi para perokok untuk menentukan pilihan konsumsinya.
Untuk sesuatu tahun tertentu secara rata-rata, biaya perawatan kesehatan
untuk seorang perokok mungkin lebih besar daripada biaya untuk bukan perokok
pada umur dan jenis kelamin yang sama. Akan tetapi, karena perokok cenderung
meninggal lebih dulu daripada bukan perokok, total biaya perawatan kesehatan
seumur hidup bagi perokok dan bukan perokok di negara-negara yang
berpendapatan tinggi mungkin hampir sama. Tetapi penelitian yang mengukur
biaya perawatan kesehatan seumur hidup bagi perokok dan bukan perokok di
negara-negara berpendapatan tinggi menghasilkan kesimpulan yang saling
bertentangan. Sebagai contoh, di Belanda dan Swiss, misalnya, perokok dan bukan
perokok ditemukan memiliki biaya yang sama, sementara di Inggris dan di
Amerika penelitian menyimpulkan bahwa biaya perawatan kesehatan seumur
hidup bagi perokok lebih tinggi. Tinjauan terakhir yang menghitung
perkembangan penyakit yang disebabkan oleh tembakau dan faktor-faktor lainnya
menyimpulkan bahwa, secara umum, biaya perawatan kesehatan seumur hidup
bagi perokok di negara-negara berpendapatan tinggi agak lebih besar daripada
bagi bukan perokok, walaupun perokok meninggal lebih awal. Sejauh ini belum
ada penelitian yang cukup dapat dipercaya (reliable) mengenai biaya perawatan
kesehatan seumur hidup di negara-negara berpendapatan sedang dan menengah.
Jadi jelaslah bahwa, untuk semua wilayah di seluruh dunia, perokok yang
menanggung seluruh biaya pelayanan medis tidak akan membebankan biayabiaya itu kepada orang lain, betapapun lebih besarnya biaya itu dibandingkan
dengan biaya bagi orang-orang bukan perokok. Akan tetapi banyak perawatan
kesehatan, terutama yang berkaitan dengan perawatan di rumah sakit, dibiayai
APAKAH PEROKOK TAHU RISIKO-RISIKONYA DAN MENANGGUNG BIAYANYA
37
dengan anggaran pemerintah atau melalui asuransi pribadi. Sejauh kontribusikontribusi kepada salah satu dari dua mekanisme pembiayaan ini —dalam bentuk
pajak atau premi asuransi–secara diferensial tidak lebih tinggi bagi perokok, maka
biaya kesehatan masyarakat yang lebih tinggi yang diberikan kepada perokok
paling tidak akan ditanggung sebagian oleh bukan perokok.
Sebagai contoh, di negara-negara berpendapatan tinggi, pengeluaran
pemerintah untuk kesehatan mencapai 65% dari seluruh pengeluaran kesehatan,
atau kira-kira 6% dari PDB. Jadi, jika biaya bersih (net) perokok untuk perawatan
seumur hidup lebih tinggi, maka orang-orang yang bukan perokok akan
mensubsidi biaya perawatan kesehatan perokok. Besarnya kontribusi yang tepat
adalah kompleks dan bervariasi, tergantung pada jenis cakupannya dan sumber
pajak yang digunakan untuk membayar pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh,
jika biaya perawatan kesehatan yang dibiayai pemerintah hanya untuk mereka
yang berumur 65 tahun ke atas, maka penggunaan pendapatan masyarakat oleh
para perokok secara neto mungkin kecil pada tingkat di mana banyak orang
memerlukan perawatan kesehatan yang berkaitan dengan rokok dan meninggal
sebelum usia tersebut. Demikian pula sama halnya jika pengeluaran masyarakat
dibiayai dari pajak konsumsi, termasuk pajak rokok, maka berarti perokok tidak
membebankan biaya pada orang lain. Sekali lagi, keadaannya berbeda pada
negara-negara berpendapatan rendah dan sedang, di mana komponen pemerintah
dari total pengeluaran perawatan kesehatan adalah rata-rata lebih rendah daripada
negara-negara berpendapatan tinggi di mana persentasenya mencapai 44% dari
total pengeluaran atau 2% dari PDB. Akan tetapi, semakin tinggi pengeluaran
pemerintah untuk kesehatan, maka bagian pengeluaran total yang dibiayai dengan
keuangan negara juga cenderung meningkat.
Sementara penilaian biaya-biaya relatif perawatan kesehatan perokok dan
bukan perokok masih merupakan isu yang kompleks, permasalahan tentang
pensiun ternyata juga menimbulkan perdebatan. Beberapa peneliti berpendapat
bahwa sumbangan para perokok di negara-negara berpendapatan tinggi kepada
program pensiun masyarakat adalah lebih besar daripada bukan perokok, karena
mereka membayar dana pensiun hingga mencapai sekitar umur pensiun tetapi
meninggal sebelum mereka dapat meng-klaim sejumlah manfaat penting yang
seharusnya diterima1 . Akan tetapi, seperempat dari perokok terbunuh oleh
tembakau di usia setengah baya, dan karena itu meninggal sebelum mereka
membayar iuran pensiun secara penuh. Pada saat ini, tidak diketahui apakah,
secara keseluruhan, para perokok di negara-negara berpendapatan tinggi
menyumbang lebih kecil atau lebih besar pada program pensiun masyarakat
dibandingkan dengan yang bukan perokok. Meskipun begitu, saat ini masalah
tersebut tidak relevan untuk negara-negara berpendapatan rendah dan sedang.
Di negara-negara berpendapatan rendah hanya sekitar satu dari 10 orang dewasa
memiliki program pensiun, dan di negara-negara berpendapatan menengah
proporsinya antara seperempat hingga setengah dari jumlah penduduk, tergantung
pada tingkat pendapatan masing-masing negara itu.
38
MEREDAM WABAH
Jadi, para perokok secara jelas membebankan biaya langsung seperti
kerusakan kesehatan pada bukan perokok. Mungkin juga ada biaya finansial,
misalnya untuk perawatan kesehatan, meskipun biaya-biaya itu sulit diidentifikasi
dan dihitung.
Tanggapan yang sepatutnya bagi pemerintah
Berdasarkan tiga permasalahan yang telah diidentifikasi tersebut, tampaknya
tidak mungkin bahwa sebagian besar perokok tahu segala risiko akibat merokok
atau menanggung semua biaya atas pilihan mereka untuk merokok. Jadi, pilihanpilihan konsumsi mereka dapat menyebabkan alokasi sumber daya yang tidak
efisien. Oleh karena itu pemerintah dapat dibenarkan untuk melakukan campur
tangan guna menyesuaikan insentif untuk konsumen sehingga mereka mengurangi
konsumsi rokok.
Masyarakat mungkin dapat menerima bahwa alasan kuat pemerintah
mengadakan campur tangan adalah untuk menghalangi anak-anak dan remaja
untuk menjadi perokok, mengingat adanya berbagai permasalahan kekurangan
akses terhadap informasi mengenai tembakau, risiko untuk mereka menjadi
kecanduan, dan terbatasnya kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang
masuk akal. Pemerintah juga mempunyai alasan untuk campur tangan mencegah
perokok membebankan biaya fisik langsung kepada bukan perokok. Sedangkan
alasan-alasan untuk melindungi orang lain dari biaya keuangan yang diakibatkan
oleh perokok, masih terasa kurang kuat, karena sifat dari biaya itu sendiri masih
kurang jelas. Akhirnya, beberapa masyarakat akan mempertimbangkan bahwa
adalah menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan semua informasi yang
dibutuhkan oleh orang dewasa agar mereka dapat menentukan pilihan konsumsi
mereka berdasarkan pengetahuan yang benar.
Idealnya, pemerintah mengadakan intervensi secara khusus pada setiap
masalah yang diidentifikasi. Akan tetapi, hal ini tidak selalu dapat dilaksanakan
dan beberapa intervensi mungkin memiliki dampak yang lebih luas. Sebagai
contoh, penilaian yang tidak sempurna dari anak-anak dan remaja mengenai
dampak rokok bagi kesehatan haruslah secara khusus ditangani dengan
meningkatkan pengetahuan mereka mengenai akibat-akibat merokok dan dengan
meningkatkan pendidikan orang tua mereka. Akan tetapi dalam kenyataannya,
anak-anak menanggapi pendidikan kesehatan secara negatif dan orang tua
bukanlah “agen” yang sempurna dan tidak selalu bertindak demi kebaikan
anaknya. Dalam kenyataannya, perpajakan —walaupun merupakan instrumen
yang tumpul — adalah metode yang paling efektif dan praktis dalam mencegah
anak-anak dan remaja untuk merokok. Bukti-bukti dari hasil beberapa penelitian
menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja cenderung lebih kecil
kemungkinannya mengkonsumsi rokok dan bahwa teman sebaya mereka
kemungkinan besar akan berhenti merokok, jika harga rokok naik.
Langkah-langkah khusus untuk melindungi orang yang tidak merokok adalah
APAKAH PEROKOK TAHU RISIKO-RISIKONYA DAN MENANGGUNG BIAYANYA
39
dengan menerapkan larangan merokok di tempat-tempat yang mungkin dipakai
untuk merokok. Walaupun ini akan melindungi orang yang bukan perokok di
tempat umum, tapi hal ini tidak akan mengurangi keterpaparan (exposure) mereka
terhadap asap rokok di rumah. Jadi pajak merupakan cara lain untuk membuat
perokok menanggung biaya yang telah mereka bebankan kepada orang-orang
bukan perokok.
Untuk membicarakan permasalahan biaya keuangan yang membebani bukan
perokok, seperti kelebihan biaya perawatan kesehatan bagi perokok, mekanisme
yang paling langsung adalah membuat sistem pembiayaan perawatan kesehatan
yang mencerminkan perilaku merokok secara individual. Sebagai contoh, perokok
seharusnya membayar premi lebih tinggi daripada bukan perokok, atau mereka
diminta membuat tabungan perawatan kesehatan yang mencerminkan
kemungkinan biaya mereka yang lebih tinggi. Dalam praktek, cara mudah untuk
membuat para perokok menyumbang lebih banyak adalah dengan menetapkan
pajak tembakau.
Dalam teori, jika pajak rokok digunakan untuk mencegah anak-anak dan
remaja agar tidak merokok, maka pajak untuk anak-anak seharusnya lebih tinggi
daripada pajak untuk orang dewasa. Namun, penetapan pajak yang berbeda itu
sebenarnya sangat mustahil dilaksanakan. Di lain pihak penetapan tingkat pajak
seragam untuk anak-anak dan dewasa, yang merupakan pilihan lebih praktis,
akan memberi beban kepada orang dewasa. Meskipun begitu, masyarakat mungkin
dapat membenarkan cara pemberian beban [pajak] kepada orang dewasa dengan
tujuan untuk melindungi anak-anak. Lagi pula jika orang dewasa mengurangi
konsumsi rokok, anak-anak mungkin juga akan merokok lebih sedikit, berdasarkan
bukti-bukti bahwa kecenderungan anak-anak untuk merokok dipengaruhi oleh
apakah orang tua atau idola mereka merokok.
Salah satu jalan untuk menerapkan sistem pajak yang berbeda (differential
tax system) untuk anak-anak dan dewasa adalah dengan melarang akses anakanak pada rokok. Menurut teori, pelarangan itu akan meningkatkan secara efektif
harga yang harus dibayar oleh anak-anak untuk rokok, tanpa mempengaruhi harga
yang dibayar orang dewasa. Dalam kenyataannya, hanya ada sedikit bukti bahwa
pelarangan yang berlaku dapat berjalan di negara-negara berpendapatan tinggi.
Di negara-negara berpendapatan menengah dan rendah, di mana kemampuan
untuk mengatur dan melaksanakan larangan semacam itu kemungkinan besar
sangat kecil, larangan itu sangat sulit untuk dilaksanakan. Karena itu, untuk
menghalangi anak-anak merokok, instrumen terbaik kedua yang lebih disukai
adalah pajak yang lebih tinggi.
Menangani kecanduan merokok
Selain perlu mengoreksi ketidak-efisienan yang muncul karena pilihan
konsumsi rokok dari para perokok, perlu juga membahas masalah kecanduan.
Karena kecanduan, para perokok dihadapkan pada biaya tinggi jika mereka ingin
40
MEREDAM WABAH
mengubah kebiasaan itu yang sebagian besar dibuat pada waktu muda itu.
Masyarakat mungkin akan memilih pemberian intervensi yang akan membantu
para calon perokok berhenti merokok dalam rangka menurunkan biaya-biaya
tersebut. Intervensi ini termasuk meningkatkan akses kepada informasi yang
memperingatkan perokok tentang biaya-biaya yang akan terjadi bila terus-menerus
merokok dan manfaatnya bila berhenti merokok, dan akses yang lebih besar
terhadap terapi penghentian merokok untuk menurunkan biaya-biaya dalam proses
berhenti merokok. Jelaslah bahwa, kenaikan pajak akan mendorong para perokok
berhenti merokok, tetapi hal ini juga akan membebankan berbagai biaya kepada
mereka. Biaya-biaya ini adalah kehilangan manfaat merokok yang mereka rasakan
selama ini dan biaya fisik tambahan yang berkaitan dengan upaya melepaskan
diri dari kecanduan. Pembuat kebijakan dapat mengurangi biaya-biaya tersebut
dengan memperluas akses perokok atas terapi penghentian merokok. Dalam
Bab 6 akan dibahas lebih lanjut mengenai biaya-biaya untuk upaya melepaskan
diri dari kecanduan (withdrawal costs). Sementara itu, untuk anak-anak yang
belum kecanduan nikotin, pengenaan pajak akan mejadi strategi yang efektif
karena tidak akan ada biaya penghentian yang berkaitan dengan keputusan untuk
tidak merokok.
Selanjutnya akan dibicarakan mengenai berbagai intervensi yang telah
diadopsi oleh beberapa pemerintah untuk mengendalikan rokok. Masing-masing
intervensi tersebut akan dievaluasi secara bergantian. Pada Bab 4, dibahas langkahlangkah yang dimaksudkan untuk mengurangi permintaan rokok, dan Bab 5
membahas tentang evaluasi tindakan untuk mengurangi pasokan tembakau.
Catatan
1. Walaupun perokok akan mengurangi biaya bersih yang dikenakan pada orang lain karena
meninggal di umur muda, adalah sangat menyesatkan untuk mengatakan bahwa masyarakat
akan menjadi lebih baik dengan adanya kematian dini itu. Dengan mengatakan demikian,
berarti sama dengan menerima anggapan bahwa masyarakat akan lebih baik tanpa
penduduk lansia.
41
BAB 4
Langkah-Langkah Mengurangi Permintaan
terhadap Tembakau
N
EGARA-NEGARA yang berhasil dalam kebijakan pengawasan
terhadap tembakau menerapkan kebijakan yang beragam. Berikut ini didiskusikan
beberapa ringkasan bukti-bukti yang menunjukkan efektivitas kebijakan tersebut.
Menaikkan pajak rokok
Selama berabad-abad, tembakau dianggap sebagai barang kebutuhan yang
pantas dikenakan pajak; tembakau bukan kebutuhan pokok, tetapi dikonsumsi
secara luas dan permintaan terhadap tembakau secara relatif bersifat inelastis,
karena itu sangat masuk akal untuk dikenakan pajak dan menjadi sumber
pemasukan pemerintah yang mudah diatur. Adam Smith, yang menulis dalam
Wealth of Nations pada tahun 1776, menyebutkan bahwa pajak seperti itu mungkin
akan membebaskan penduduk miskin dari beberapa pajak yang paling berat; mulai
dari pajak yang dibebankan pada kebutuhan hidup atau pada bahan-bahan hasil
pabrik.” Pajak tembakau, menurut Smith, akan memberi kesempatan penduduk
miskin “untuk hidup lebih baik, bekerja lebih mudah dan mengirim barangnya
dengan lebih murah ke pasar.” 1 Permintaan terhadap tenaga mereka akan
meningkat, yang pada gilirannya menaikkan pendapatan penduduk miskin dan
memberi keuntungan bagi perekonomian secara keseluruhan.
Dua abad kemudian, hampir semua pemerintah mengenakan pajak tembakau,
yang kadang-kadang cukup tinggi, yang bervariasi menurut cara pengenaan pajak.
Tujuan pemerintah-pemerintah tersebut hampir semua sama, yaitu bagaimana
41
42
MEREDAM WABAH
meningkatkan pendapatan pemerintah. Akan tetapi dalam tahun-tahun terakhir
ini pajak juga merefleksikan perhatian pemerintah yang semakin besar terhadap
pentingnya meminimalkan gangguan kesehatan akibat merokok.
Bagian ini akan mengadakan tinjauan tentang bukti-bukti mengenai
bagaimana kenaikan pajak mempengaruhi permintaan terhadap rokok dan produk
tembakau lainnya. Disimpulkan bahwa kenaikan pajak sangat mengurangi
konsumsi rokok. Hal yang penting lagi adalah bahwa dampak kenaikan pajak
yang tinggi cenderung paling besar pada orang muda, yang lebih tanggap terhadap
kenaikan harga daripada penduduk dewasa. Hal yang sama pentingnya,
pembahasan ini menyimpulkan bahwa pengenaan pajak tinggi akan mengurangi
permintaan rokok secara tajam di negara-negara berpendapatan menengah dan
rendah yang para perokoknya lebih tanggap terhadap kenaikan harga daripada
perokok di negara-negara berpendapatan tinggi. Walaupun ada penurunan
permintaan, tetapi pendapatan pemerintah tidak akan terganggu. Sebagaimana
terlihat dalam Bab 8, pajak yang lebih tinggi berarti akan menghasilkan
penerimaan yang secara substansial lebih tinggi dalam jangka pendek dan jangka
menengah.
Dalam Bab ini akan dijelaskan secara ringkas jenis-jenis pajak tembakau
yang digunakan oleh sebagian besar pemerintah dan memperkirakan bagaimana
kenaikan harga mempengaruhi permintaan. Juga dibandingkan bukti-bukti dari
negara-negara berpendapatan rendah dan menengah dengan negara-negara
berpendapatan tinggi. Implikasi kebijakan akan dibahas pula dalam Bab ini.
Jenis-jenis pajak tembakau
Pajak tembakau dapat dibedakan menjadi berbagai macam. Pajak-pajak
tembakau khusus, yakni suatu jumlah yang tetap (fixed amount) yang ditambahkan
pada harga rokok, akan memberikan keleluasan tertinggi dan memungkinkan
pemerintah menaikkan pajak dengan risiko kecil bahwa industri rokok akan
menanggapinya dengan tindakan yang menyebabkan jumlah pajak riil yang
dikenakan pada rokok tetap rendah. Pajak ad valorem, seperti pajak pertambahan
nilai atau pajak penjualan, adalah persentase harga dasar dan diterapkan oleh
hampir semua negara—sering kali di samping mengenakan cukai khusus. Pajak
ad valorem diterapkan pada tempat-tempat penjualan, atau seperti di banyak
negara Afrika, pada harga grosir. Pajak dapat bervariasi sesuai dengan tempat
pabrik memproduksi atau jenis produk, misalnya, beberapa negara mengenakan
pajak lebih tinggi pada rokok yang diproduksi di luar negeri daripada yang
diproduksi di dalam negeri, atau pada rokok yang tar-nya tinggi dibandingkan
dengan yang tar-nya rendah. Saat ini banyak negara mengenakan pajak rokok
yang tinggi sebagai kampanye antimerokok dan kegiatan khusus lainnya.
Misalnya salah satu kota terbesar di Cina, Chongqning, dan beberapa negara
bagian di Amerika Serikat menetapkan penggunaan sebagian dari pendapatan
pajak rokok untuk tujuan pendidikan tentang dampak negatif rokok, iklan
43
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK
antimerokok, dan kegiatan-kegiatan pengawasan lainnya. Negara-negara lainnya
menggunakan pajak rokok untuk mendukung pelayanan kesehatan.
Jumlah pajak yang dikenakan terhadap rokok berbeda-beda antarnegara
(Gambar 4.1). Di negara-negara berpendapatan tinggi, besarnya pajak rokok
bernilai dua pertiga atau lebih dari harga eceran sebungkus rokok. Sebagai kontras,
di negara-negara berpendapatan rendah, pajak rokok nilainya kurang dari setengah
harga eceran sebungkus rokok.
Harga rata-rata dalam $ AS
Pajak rata-rata dalam $ AS
Pajak sebagai persentase harga
3.50
3.00
80
70
60
2.50
50
2.00
40
1.50
30
1.00
20
0.50
10
0.00
Pajak sebagai persentase harga
Harga rata-rata atau pajak per bungkus
GAMBAR 4.1 RATA-RATA HARGA, PAJAK DAN PERSENTASE PAJAK SIGARET
PER BUNGKUS, MENURUT KELOMPOK PENDAPATAN BANK DUNIA, 1996
0
Tinggi
Menengah atas Menengah bawah
Rendah
Negara menurut pendapatan
Sumber: Hasil kalkulasi penulis
Dampak kenaikan pajak terhadap konsumsi rokok
Hukum dasar ekonomi menyatakan bahwa jika harga suatu komoditas naik,
permintaan akan komoditas tersebut akan turun. Di masa lalu, para peneliti
berpendapat bahwa sifat kecanduan tembakau menyebabkan hukum ekonomi
ini tidak berlaku: mereka yang sudah kecanduan rokok akan membayar berapa
pun harga sebungkus rokok dan akan terus merokok dengan jumlah yang sama
untuk memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi, makin banyak penelitian
menemukan bahwa pendapat ini salah dan bahwa permintaan rokok oleh perokok,
walaupun tembakau termasuk barang tidak elastik, sangat dipengaruhi oleh
44
MEREDAM WABAH
harganya. Sebagai contoh, kenaikan pajak di Kanada antara tahun 1982 hingga
tahun 1992 menyebabkan kenaikan cukup tajam pada harga riil dan menyebabkan
penurunan permintaan terhadap rokok yang cukup besar (Gambar 4.2a). Hal
yang serupa dalam penurunan konsumsi rokok sebagai akibat peningkatan pajak
terlihat di Inggris dan sejumlah negara lain. Sebaliknya, pajak yang lebih rendah
meningkatkan konsumsi rokok di Afrika Selatan antara tahun 1979 dan 1989
(Gambar 4.2b). Para peneliti secara konsisten menemukan bahwa kenaikan harga
mendorong masyarakat untuk berhenti merokok, mencegah orang lain untuk mulai
merokok, dan menurunkan jumlah mantan perokok yang ingin memulai lagi
kebiasaan merokok.
Bagaimana kecanduan rokok mempengaruhi tanggapan terhadap
kenaikan harga
Beberapa model [kuantitatif] yang berusaha menjajagi dampak kecanduan
nikotin atas kenaikan harga menerapkan berbagai asumsi yang berbeda mengenai
apakah perokok memikirkan akibat dari merokok atau tidak. Akan tetapi, semua
model yang dicoba menemukan bahwa dalam hubungannya dengan zat adiktif
[zat yang menyebabkan kecanduan] seperti nikotin, tingkat konsumsi
perseorangan saat ini ditentukan oleh tingkat konsumsinya pada masa lampau
dan harga barang saat ini. Hubungan antara konsumsi masa lampau dan konsumsi
saat ini memiliki implikasi yang penting dalam pembuatan model kuantitatif
mengenai dampak kenaikan harga pada permintaan tembakau. Jika perokok telah
kecanduan, mereka akan menanggapi kenaikan harga secara relatif lambat, tetapi
tanggapan ini akan lebih besar dalam jangka panjang. Literatur ekonomi
menyebutkan bahwa kenaikan harga permanen dan nyata akan memiliki dampak
kira-kira dua kali lebih besar pada jangka panjang daripada jangka pendek.
Perbedaan tanggapan mengenai kenaikan harga di negara-negara
berpendapatan rendah dan tinggi
Jika harga suatu barang naik, masyarakat berpendapatan rendah akan lebih
banyak mengurangi konsumsi barang tersebut dibandingkan dengan masyarakat
berpendapatan tinggi. Sebaliknya, jika harga turun, mereka mempunyai
kecenderungan lebih besar untuk meningkatkan konsumsinya. Keadaan tentang
sejauh mana permintaan konsumen terhadap suatu barang akan berubah sebagai
akibat atas perubahan harga barang tersebut, disebut sebagai elastisitas harga
terhadap permintaan. Sebagai contoh, jika harga naik 10% menyebabkan jumlah
yang diminta turun sebanyak 5%, elastisitas permintaan adalah –0,5. Makin
tanggap konsumen terhadap harga, makin besar elastisitas permintaan.
Estimasi elastisitas harga berbeda antara satu penelitian dengan penelitian
lainnya, tetapi ada bukti-bukti yang masuk akal bahwa di negara-negara
berpendapatan menengah dan rendah, elastisitas harga terhadap permintaan lebih
45
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK
GAMBAR 4.2 HARGA DAN KONSUMSI ROKOK SIGARET DALAM TREN
BERLAWANAN
Penurunan pajak dalam upaya
melawan penyelundupan
Harga riil per bungkus ($AS)
7
90
80
6
70
5
60
4
50
3
40
30
2
20
1
10
0
0
1989
1990
1991
1992
Harga Riil
1993
1994
1995
Komsumsi sigaret tahunan per kapita
(dalam bungkus)
4.2a Harga riil rokok sigaret dan konsumsi sigaret per kapita di Kanada, 1989-1995
Konsumsi
Konsumsi per orang dewasa
1.2
0.08
1.1
0.07
1
Harga riil
Konsumsi sigaret per orang dewasa
(dalam bungkus)
4.2b Harga riil rokok sigaret dan konsumsi sigaret tahunan per orang dewasa (umur 15
tahun ke atas, Afrika Selatan, 1970-1989
0.09
1.3
0.9
0.06
Harga riil
0.8
0.05
0.7
1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988
Tahun
Catatan: Angka konsumsi diambil dari data penjualan.
Sumber: 4.2a: Kalkulasi penulis. 4.2b: Saloojee, Yussuf. 1995. “Price and Income Elasticity
of Demand for Cigarettes in South Africa.”. In Slama, K. ed. Tobacco and Health. New York,
NY: Plenum Press; and Townsend, Joy. 1998. “The Role of Taxation Policy in Tobacco
Control.” In Abedian, I., and others., eds. The Economics of Tobacco Control. Cape Town,
South Africa: Applied Fiscal Research Centre, University of Cape Town
46
MEREDAM WABAH
besar dibandingkan di negara-negara berpendapatan tinggi. Di Amerika Serikat,
misalnya, para peneliti telah menemukan bahwa kenaikan harga 10% untuk satu
bungkus rokok menurunkan permintaan sebanyak 4% (berarti elastisitasnya –
0,4). Penelitian di Cina menyimpulkan bahwa kenaikan harga 10% menurunkan
permintaan dalam persentase lebih besar dibandingkan di negara-negara
berpendapatan tinggi. Tergantung pada penelitiannya, estimasi elastisitas berkisar
antara –0,6 dan –0,1. Penelitian di Brasil dan Afrika Selatan menunjukkan hasil
dengan rentang yang sama. Untuk negara-negara berpendapatan sedang dan
menengah secara keseluruhan, estimasi yang masuk akal dari rata-rata elastisitas
permintaan adalah –0,8 berdasarkan data terakhir.
Ada alasan-alasan lain mengapa masyarakat di negara-negara berpendapatan
rendah akan lebih menanggapi kenaikan harga rokok daripada masyarakat di
negara-negara berpendapatan tinggi. Struktur usia penduduk di sebagian besar
negara bependapatan rendah umumnya lebih muda dan penelitian di negara-negara
berpendapatan tinggi menunjukkan bahwa, secara keseluruhan, penduduk usia
muda lebih tanggap terhadap perubahan harga daripada penduduk usia dewasa.
Hal ini sebagian dikarenakan penduduk usia muda memiliki pendapatan lebih
rendah untuk pengeluaran mereka, sebagian karena pengaruh nikotin rokok belum
terlalu parah, sebagian karena perilaku mereka yang lebih berorientasi pada masa
kini, dan sebagian lagi karena mereka lebih mudah dipengaruhi oleh teman-teman
sebaya mereka. Jadi jika seorang anak muda berhenti merokok karena dia tidak
mampu membeli lagi, besar kemungkinan teman-temannya akan mengikuti
tindakannya dibandingkan dengan mereka dari kelompok usia dewasa. Suatu
penelitian yang dilakukan oleh US Centers for Disease Control and Prevention
menemukan bahwa elastisitas permintaan di kalangan penduduk muda usia 1824 tahun di Amerika Serikat adalah –0,6 lebih tinggi daripada perokok secara
keseluruhan. Para peneliti menyimpulkan bahwa jika rokok harganya tinggi,
tidak hanya para perokok muda yang berhenti, tetapi juga lebih sedikit [calon]
perokok muda potensial yang akan mengikuti kebiasaan ini.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada saat ini, maka ada dua hal yang dapat
disimpulkan. Pertama bahwa kenaikan pajak sangat efektif untuk mengurangi
konsumsi tembakau di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah,
tempat sebagian besar perokok saat ini tinggal; dan kedua, bahwa dampak
kenaikan pajak akan lebih dirasakan di negara-negara ini daripada di negaranegara berpendapatan tinggi.
Potensi dampak kenaikan pajak pada permintaan global terhadap
tembakau
Untuk tujuan penulisan laporan ini, para peneliti telah membuat model
potensi dampak serangkaian kenaikan pajak pada permintaan rokok di seluruh
dunia. Disain model dan masukannya digambarkan di Kotak 4.1. Asumsi yang
diterapkan pada model itu menyangkut elastisitas harga, dampak kesehatan, dan
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK
47
variabel lainnya yang sangat konservatif. Jadi, hasilnya mungkin merupakan
estimasi lebih rendah (underestimate) terhadap potensi itu. Model tersebut
menunjukkan bahwa kenaikan harga yang kecil pun dapat berdampak luar biasa
pada prevalensi merokok dan jumlah kematian dini akibat rokok pada orangorang yang hidup pada tahun 1995. Para peneliti menghitung bahwa jika ada
kenaikan harga 10% yang secara terus menerus dari harga estimasi rata-rata di
setiap wilayah, 40 juta penduduk dunia akan berhenti merokok dan lebih banyak
lagi orang yang semula ingin mulai merokok akan mengurungkan niatnya.
Berdasarkan kenyataan bahwa tidak semua perokok yang berhenti merokok akan
terhindar dari kematian, jumlah kematian dini yang akan terhindar masih tetap
besar diukur dengan standar mana pun —10 juta atau 3% dari semua kematian
akibat rokok— hasil dari kenaikan harga saja. Sembilan juta kematian dini yang
terselamatkan terdapat di negara-negara berkembang, di mana 4 juta di antaranya
berada di Asia Timur dan Pasifik (Tabel 4.1).
TABEL 4.1 JUMLAH PEROKOK POTENSIAL YANG DIIMBAU BERHENTI MEROKOK
DAN JIWA TERSELAMATKAN DENGAN KENAIKAN HARGA 10%.
Dampak pada perokok yang hidup tahun 1995, menurut wilayah regional Bank Dunia
Wilayah
Perubahan dalam
jumlah perokok
Perubahan dalam
jumlah kematian
Asia Timur dan Pasifik
Eropa Timur dan Asia Tengah
Amerika Latin dan wilayah Karibia
Timur Tengah dan Afrika Utara
Asia Selatan (Sigaret)
Asia Selatan (bidis)
Afrika Sub Sahara
-16
-6
-4
-2
-3
-2
-3
-4
-1.5
-1.0
-0.4
-0.7
-0.4
-0.7
Berpendapatan rendah/sedang
Berpendapatan tinggi
Dunia
-36
-4
-40
-9
-1
-10
Catatan: Angka dibulatkan
Sumber: Ranson, Kent, P. Jha, F. Chaloupka, and A. Yurekli. Effectiveness and Cost effectiveness of Price Increases and Other Tobacco Control Policy Interventions. Makalah latar belakang.
48
MEREDAM WABAH
KOTAK 4.1 ESTIMASI DAMPAK LANGKAH-LANGKAH PENGAWASAN
TERHADAP KONSUMSI TEMBAKAU SECARA GLOBAL: VARIABEL DALAM
MODEL
Pertama, para peneliti mengestimasi
jumlah penduduk di setiap wilayah regional menurut kelompok umur dan
jenis kelamin, dengan menggunakan
standar Proyeksi Penduduk dari Bank
Dunia untuk tujuh wilayah regional
Bank Dunia (lihat Lampiran D).
Kedua, mereka membuat estimasi
prevalensi merokok menurut jenis
kelamin untuk masing-masing dari
tujuh wilayah regional Bank Dunia,
dengan menggunakan sekumpulan data berasal lebih dari 80 penelitian dari
berbagai negara yang digunakan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
(data ditunjukkan di Bab 1, Tabel 1.1) .
Untuk India, bidis (sejenis rokok
lintingan) tersebar luas sebagai
pengganti rokok sigaret, prevalensi
merokok dari 2 jenis rokok tersebut
diambil dari penelitian lokal. Ketiga,
dengan menggunakan data yang
tersedia, tim peneliti mengestimasi
profil usia perokok di setiap wilayah regional, membuat ekstrapolasi dari penelitian-penelitian skala besar di
masing-masing
negara,
dan
mengestimasi rasio perokok dewasa
terhadap perokok muda. Keempat,
jumlah total perokok dan jumlah kematian yang diperkirakan akibat rokok
diestimasi berdasarkan wilayah regional, jenis kelamin, dan umur. Dalam
tahap ini para peneliti berasumsi
bahwa hanya satu dari tiga perokok di
negara maju akhirnya akan meninggal
karena kebiasaan merokok. Asumsi ini
sangat konservatif, berdasarkan hasil
penelitian-penelitian dari Inggris,
Amerika dan negara-negara lain yang
menunjukkan bahwa angka yang lebih
tepat adalah satu di antara dua, sehingga hasil studi dalam laporan ini
mungkin dibawah perkiraan (underestimated), karena penelitian terakhir di
Cina menunjukkan bahwa proporsi
perokok yang meninggal akan segera
mencapai tingkatnya yang sama
dengan yang ditemukan di Barat.
Selanjutnya, para peneliti membuat estimasi jumlah rokok atau bidis yang
dikonsumsi setiap hari oleh setiap
perokok di setiap wilayah, dengan
menggunakan angka WHO dan berbagai penelitian epidemiologi yang
telah diterbitkan. Mereka juga
membuat estimasi jumlah rokok/bidis
yang dikonsumsi oleh orang dewasa
dan anak muda di setiap wilayah untuk
memperoleh rasio tingkat merokok
harian orang dewasa terhadap anak
muda.
Para peneliti lalu mencoba mengukur
elastisitas harga dari permintaan rokok
di
setiap
wilayah
dengan
menggunakan data lebih dari 60
penelitian. Apabila telah dilakukan lebih
dari satu penelitian di satu negara
tertentu, angkanya dibuat rata-rata.
Peneliti lalu menggabungkan angkaangka itu untuk mendapat hasil ratabersambung pada halaman berikutnya
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK
rata untuk wilayah-wilayah berpendapatan tinggi dan rendah. Angka-angka
ini juga ditimbang (weighted) menurut
umur, karena penduduk usia muda
lebih tanggap terhadap perubahan
harga dibandingkan penduduk dewasa. Elastisitas harga jangka pendek
untuk negara berpendapatan tinggi
dihitung dengan hasil relatif lebih
rendah, yaitu –0.4, sedangkan untuk
negara-negara berpendapatan rendah
elastisitasnya lebih tinggi, yaitu –0.8.
Para peneliti mengasumsikan bahwa,
sesuai dengan salah satu penelitian
utama, setengah dari dampak
kenaikan harga akan berpengaruh
pada jumlah perokok dan setengahnya
lagi akan berpengaruh pada jumlah
rokok yang diisap oleh mereka yang
meneruskan merokok. Juga, sesuai
dengan bukti-bukti penelitian lainnya,
para peneliti mengasumsikan bahwa
49
mereka yang berhenti merokok pada
usia yang lebih muda kemungkinan
besar akan terhindar dari kematian akibat merokok dibandingkan mereka
yang berhenti pada usia yang lebih tua,
dan bahwa risiko kematian akibat rokok
tetap ada pada mereka yang terus
merokok meskipun sudah mengurangi
jumlah batang rokok yang diisap.
Semua variabel dalam model dapat
dianalisis sensitivitasnya untuk
mempertimbangkan ketidakpastiannya
(uncertainty) dengan kisaran antara
75% hingga 125% dari nilai dasar
perhitungan (baseline values) yang digunakan
dalam
perhitunganperhitungan tersebut. Ditekankan di
sini bahwa asumsi yang digunakan
dalam model ini didasarkan pada
asumsi yang konservatif sehingga
hasilnya mungkin merupakan estimasi
rendah, bukan estimasi tinggi.
Kesulitan menghitung tingkat pajak rokok yang optimal
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menetapkan seberapa besar seharusnya
tingkat pajak rokok “yang dianggap tepat.” Untuk menentukan tingkat tersebut,
pembuat kebijakan memerlukan fakta-fakta empiris, yang beberapa di antaranya
mungkin belum tersedia, seperti misalnya skala biaya yang ditanggung oleh bukan
perokok. Besarnya pajak rokok itu juga tergantung pada pendapatan dan asumsiasumsi atas dasar nilai-nilai yang berbeda antara satu masyarakat dan masyarakat
lainnya. Sebagai contoh, beberapa masyarakat akan lebih mementingkan
kebutuhan untuk melindungi anak daripada yang lainnya.
Dalam istilah ekonomi, pajak optimal terjadi apabila biaya sosial marjinal
(marginal social cost) dari rokok terakhir yang dikonsumsi sama dengan manfaat
sosial marjinal (marginal social benefit). Akan tetapi, seperti kita lihat dalam
Bab sebelumnya, besaran biaya dan manfaat sosial tersebut tidak diketahui secara
pasti dan hampir tidak mungkin untuk diukur, dan ini menjadi masalah yang
menimbulkan kontroversi berkelanjutan. Beberapa orang meragukan bahwa
perokok membebankan biaya fisik pada bukan perokok yang terpaksa menghirup
50
MEREDAM WABAH
asap rokok dengan beban terbesar perokok pasif ditanggung oleh anak-anak dan
pasangan si perokok. Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa keluarga adalah
unit pembuat keputusan yang paling dasar dalam masyarakat dan mereka
menganggap bahwa keterpaparan anak-anak serta pasangan perokok pada asap
rokok sebagai suatu biaya internal yang sudah diperhitungkan dalam keputusan
keluarga mengenai rokok dan bukannya biaya eksternal yang dibebankan oleh
perokok kepada orang bukan perokok. Sementara itu, skala biaya lainnya, seperti
perawatan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah untuk merawat pasien dengan
penyakit yang berkaitan dengan tembakau, seperti kita lihat, sangat sulit untuk
dinilai. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa upaya untuk
menghitung pajak optimal yang ekonomis menghasilkan serangkaian estimasi
dari beberapa sen hingga beberapa dolar.
Pendekatan lain untuk menetapkan besarnya pajak adalah dengan memilih
sesuatu angka (rate) yang akan menghasilkan penurunan khusus dalam konsumsi
rokok, oleh karenanya memenuhi sasaran khusus kesehatan masyarakat , daripada
menentukan angka yang akan mencakup biaya sosial akibat merokok. Tujuan
lain adalah menetapkan tingkat pajak untuk memaksimalkan pendapatan yang
dihasilkan dari pajak-pajak yang relatif efisien ini.
Daripada berupaya untuk menyarankan tingkat pajak yang optimal, laporan
ini mengusulkan pendekatan yang lebih pragmatis, yaitu mengamati tingkat pajak
yang diadopsi oleh negara-negara yang memiliki kebijakan pengawasan terhadap
tembakau yang komprehensif dan efektif. Di negara-negara tersebut komponen
pajak dalam harga satu bungkus rokok adalah antara dua pertiga dan empat perlima
dari harga eceran. Tingkat-tingkat ini dapat digunakan sebagai ukuran untuk
menyesuaikan kenaikan harga di mana-mana2 .
Langkah-langkah nonharga untuk mengurangi permintaan:
informasi untuk konsumen, pelarangan iklan
dan promosi, serta pembatasan merokok
Terdapat bukti-bukti yang luas di negara-negara berpendapatan tinggi bahwa
pemberian informasi kepada konsumen dewasa mengenai sifat kecanduan
tembakau dan beban penyakit fatal dan yang menyebabkan kecacatan, dapat
mengurangi konsumsi rokok. Dalam bagian ini akan dijelaskan apa yang diketahui
tentang efektivitas berbagai jenis informasi, termasuk penerbitan hasil penelitian
tentang konsekuensi kesehatan karena merokok, peringatan kesehatan pada
bungkus rokok dan iklan rokok, serta usaha-usaha untuk membalas iklan rokok.
Juga akan disajikan ringkasan mengenai dampak kegiatan iklan rokok dan kegiatan
promosi lainnya serta apa yang terjadi jika kegiatan ini dilarang. Karena
bermacam-macam jenis informasi sering tersedia bagi konsumen pada saat yang
sama, sangat sulit untuk memisahkan dampak masing-masing jenis kegiatan
tersebut, tetapi makin meningkat jumlah penelitian yang dilakukan dan
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK
51
berkembangnya pengalaman di negara-negara berpendapatan tinggi menunjukkan
bahwa masing-masing jenis informasi itu dapat menimbulkan dampak yang
signifikan. Hal yang penting pula, bahwa dampak tersebut muncul secara berbedabeda di setiap kelompok sosial. Secara umum, penduduk usia muda ternyata
kurang tanggap terhadap informasi mengenai dampak tembakau bagi kesehatan
dibandingkan dengan penduduk dewasa dan penduduk yang lebih berpendidikan
yang menanggapi informasi baru lebih cepat daripada mereka yang berpendidikan
minimal atau tidak berpendidikan sama sekali. Kesadaran atas adanya perbedaanperbedaan ini adalah masukan penting bagi para pembuat keputusan guna
merencanakan suatu intervensi gabungan yang disusun sesuai dengan kebutuhan
tertentu negara mereka.
Penerbitan hasil-hasil penelitian mengenai dampak merokok terhadap
kesehatan
Tren menurunnya prevalensi merokok dalam jangka panjang di kebanyakan
negara berpendapatan tinggi selama tiga dekade terakhir ini sejalan dengan
terjadinya tren meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai dampak yang
membahayakan dari merokok. Pada tahun 1950, di Amerika Serikat hanya 45%
orang dewasa yang mengatakan bahwa merokok adalah penyebab kanker paruparu. Pada tahun 1990, persentasenya menjadi 95%. Kira-kira pada periode yang
sama proporsi penduduk Amerika Serikat yang merokok telah menurun dari lebih
40% menjadi sekitar 25%.
Dalam berbagai kesempatan di negara-negara berpendapatan tinggi,
masyarakat diberi “kejutan informasi” mengenai dampak merokok bagi kesehatan
seperti publikasi laporan resmi dan diliput oleh media massa secara luas. Dampak
pemberian informasi tersebut telah diteliti di berbagai negara seperti Finlandia,
Yunani, Swiss, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan. Secara umum
dampaknya adalah terbesar dan berkelanjutan pada masyarakat yang berada pada
tahap relatif awal dari wabah penyakit yang berkaitan dengan tembakau, dan
ketika kesadaran masyarakat tentang bahaya merokok bagi kesehatan secara
umum masih rendah. Jika pengetahuan masyarakat sudah meningkat, kejutan
informasi baru menjadi kurang efektif.
Sebuah analisis yang dilakukan di Amerika Serikat yang didasarkan pada
sejumlah data time series antara tahun 1930-an dan akhir tahun 1970-an
menunjukkan bahwa tiga kejutan informasi, termasuk laporan Surgeon General
yang berpengaruh pada tahun 1964, telah mengurangi konsumsi rokok sebanyak
30% selama periode tersebut. Dalam beberapa dekade terakhir ini, penelitian
dari berbagai negara berpendapatan tinggi menyimpulkan bahwa publikasi
informasi mengenai dampak tembakau terhadap kesehatan telah menyebabkan
penurunan konsumsi rokok yang berkelanjutan. Sebagai contoh, antara tahun
1960 dan 1994 di Amerika Serikat, para orang tua yang memiliki anak telah
menurunkan konsumsi rokok mereka jauh lebih cepat daripada orang dewasa
MEREDAM WABAH
52
tunggal yang tidak memiliki anak. Para peneliti menyimpulkan bahwa kesadaran
orang tua terhadap bahaya merokok pasif bagi anak-anak mereka telah mendorong
mereka untuk berhenti merokok.
Di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah hingga saat ini hanya
ada sedikit penelitian untuk memantau dampak kejutan informasi seperti itu. Akan
tetapi, kecenderungan merokok di Cina sedang dipantau setelah adanya publikasi
hasil penelitian-penelitian utama tentang dampak merokok bagi kesehatan di
negara itu. Jelasnya, prasyarat untuk menerbitkan data yang menggambarkan
konsekuensi-konsekuensi merokok bagi kesehatan adalah mengumpulkan datadata tersebut terlebih dulu. Di Afrika Selatan dan di India akhir-akhir ini dilakukan
“penghitungan kematian akibat rokok” melalui metode yang tidak mahal, yaitu
mencatat status merokok/tidak merokok pada kartu kematian seseorang. Cara
ini akan membantu menyediakan data yang dibutuhkan untuk menggambarkan
bentuk dan ukuran epidemi tembakau di setiap wilayah.
GAMBAR 4.3 LABEL PERINGATAN YANG SANGAT KERAS
Bentuk usulan prototipe label peringatan pada bungkus rokok di Australia
Merokok menyebabkan
Kanker Paru-paru
Peringatan Otoritas Kesehatan
EKSTRA RINGAN
30 SIGARET
Peringatan Otoritas Kesehatan Mengenai Kanker Paru-paru.
Asap rokok mengandung banyak bahan kimia penyebab
kanker, Jika asap rokok diisap, akan membahayakan paru-paru
dan dapat menyebabkan kanker. Kanker paru-paru biasanya
tumbuh dan menyebar tanpa ada tanda-tanda sebelumnya.
Dalam banyak kasus, kanker ini dapat menyebabkan kematian
yang cepat.
Merokok berdampak buruk pada paru-paru serta jantung, dan
setelah beberapa tahun dapat menyebabkan penyakit serius
seperti penyakit jantung, stroke, emphysema, juga kanker paruparu. Jika anda merokok sepanjang hidup anda kemungkinan
asap rokok membunuh Anda lebih awal, akan lebih tinggi dari 1
banding 4. Makin muda Anda mulai merokok, makin banyak
Anda merokok, makin lama Anda merokok makin besar
bahayanya.
Orang lain yang mengisap asap rokok Anda juga mendapat
bahaya. Asap rokok Anda dapat meningkatkan risiko mereka
terhadap penyakit di dada, kanker dan penyakit jantung.
Merokok pada saat hamil membahayakan bayi yang
dikandung.
Merokok menyebabkan kecanduan karena adanya zat nikotin
dalam rokok. Kecanduan nikotin berat menyulitkan untuk
berhenti.
Berhenti pada usia berapa pun akan membantu kesehatan
Anda dan mengurangi resiko terhadap penyakit-penyakit serius.
Untuk informasi atau bantuan berhenti merokok:
Hubungi : Quit Line pada 008 11538
Sumber: Institute of Medicine: Growing Up Tobacco Free: Preventing Nicotine Addiction in Children
and Youths. 1994. National Academy Press. Washington, D.C.
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK
53
Label-label peringatan
Bahkan negara-negara yang konsumennya telah cukup memiliki akses
informasi mengenai dampak merokok bagi kesehatan pun masih terdapat buktibukti bahwa adanya kesalah pengertian yang luas mengenai dampak-dampak
tersebut sebagian di antaranya disebabkan oleh cara membungkus serta
melabelnya. Sebagai contoh, dalam dua dekade terakhir ini banyak perusahaan
telah memberi label tertentu pada bungkus rokok seperti “mengandung tar rendah”
dan “mengandung nikotin rendah”. Banyak perokok di negara-negara
berpendapatan tinggi percaya bahwa rokok dengan label itu lebih aman daripada
rokok lainnya, meskipun literatur penelitian menyimpulkan tidak ada rokok yang
aman bagi kesehatan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak konsumen
kurang paham mengenai unsur pokok dalam asap tembakau dan bahwa kemasan
rokok tidak cukup memberikan informasi mengenai produk yang mereka beli.
Sejak tahun 1960-an makin banyak pemerintah yang meminta kepada
perusahaan rokok untuk memasang label peringatan pada produk mereka. Pada
tahun 1991, sebanyak 77 negara telah menginstrusikan untuk mencantumkan
peringatan itu, meskipun hanya sedikit negara yang menuntut peringatan keras
dengan pesan yang berganti-ganti, seperti terlihat pada Gambar 4.3
Salah satu penelitian di Turki menunjukkan bahwa label peringatan kesehatan
menyebabkan konsumsi rokok turun 8% selama lebih dari enam tahun. Di Afrika
Selatan, ketika label peringatan serius diperkenalkan pada tahun 1994, ada
penurunan konsumsi yang cukup signifikan. Lebih dari separo (58%) perokok
yang ditanyai mengenai label itu mengatakan bahwa mereka berhenti atau
mengurangi merokok karena termotivasi oleh adanya label peringatan tersebut.
Akan tetapi, salah satu kelemahan label peringatan tersebut adalah bahwa
peringatan itu tidak sampai kepada penduduk miskin, terutama anak-anak dan
remaja di negara-negara yang berpendapatan rendah. Karena di antara konsumen
ini biasa membeli rokok batangan dan bukan dalam bungkusan.
Seringkali diperdebatkan bahwa pada penduduk yang telah banyak menerima
informasi di mana kebiasaan merokok telah menyebar luas dalam beberapa
dekade, prevalensi merokok cenderung tidak turun lebih rendah akibat adanya
label peringatan. Akan tetapi, bukti-bukti dari Australia, Kanada, dan Polandia
menunjukkan bahwa label peringatan itu masih cukup efektif, sepanjang
cakupannya luas, tulisannya mencolok, dan memberikan informasi yang tegas
serta nyata. Di Polandia pada akhir tahun 1990-an, label peringatan baru yang
menempati 30% dari dua halaman sisi terbesar bungkus rokok diketahui
berhubungan erat dengan keputusan perokok untuk berhenti atau mengurangi
jumlah rokok yang diisap. Di antara perokok laki-laki Polandia, sebanyak 3%
mengatakan telah berhenti merokok setelah dipasangnya label peringatan pada
bungkus rokok tersebut, 16% mengatakan mereka mencoba untuk berhenti
merokok, dan 14% mengatakan memahami lebih baik dampak rokok bagi
kesehatan setelah membaca peringatan itu. Di antara para perempuan, dampaknya
54
MEREDAM WABAH
hampir sama. Di Australia label peringatan diperkeras pada tahun 1995.
Dampaknya kelihatan lebih kuat dalam mendorong para perokok untuk berhenti
merokok dibandingkan dengan peringatan sebelumnya, yang kata-katanya kurang
tegas. Survai yang diadakan di Kanada pada tahun 1996 menunjukkan bahwa
separo dari perokok yang bermaksud berhenti atau mengurangi konsumsinya
termotivasi oleh apa yang mereka baca sebagai peringatan pada bungkus rokok
itu.
Iklan antimerokok di media massa
Terdapat banyak penelitian yang menganalisis dampak pesan-pesan negatif
mengenai konsumsi rokok. Pesan-pesan negatif ini atau kampanye antimerokok
disebarluaskan oleh pemerintah maupun badan-badan promosi kesehatan dan
ditemukan bahwa secara konsisten terdapat penurunan konsumsi secara
menyeluruh, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian-penelitian di tingkat
nasional maupun lokal di Amerika Utara, Australia, Eropa, dan Israel. Penelitipeneliti Swiss menyimpulkan bahwa dari penelitian konsumsi rokok orang dewasa
yang dilakukan pada tahun 1954 dan 1981, publikasi antimerokok di media massa
secara permanen mengurangi konsumsi sebanyak 11% selama periode tersebut.
Di Finlandia dan Turki kampanye antimerokok juga telah menyumbang penurunan
konsumsi rokok.
Program pendidikan antimerokok di sekolah
Program pendidikan antimerokok di sekolah sudah tersebar luas, terutama
di negara-negara berpendapatan tinggi. Namun, tampaknya upaya ini kurang
efektif dibandingkan dengan jenis-jenis penyebarluasan informasi yang lain.
Bahkan, program yang pada awalnya mengurangi kebiasaan merokok
kelihatannya hanya berdampak sementara; program itu hanya mampu menunda
sedikit untuk memulai merokok dan bukan mencegah siswa untuk merokok.
Kelemahan yang nyata dari program antimerokok di sekolah ini bukan pada
sifatnya, tetapi lebih pada pendengar yang menjadi sasarannya. Seperti diketahui,
remaja menanggapi informasi mengenai dampak jangka panjang tidak sama
dengan tanggapan orang dewasa mengenai informasi yang sama. Hal ini sebagian
disebabkan perilaku remaja yang umumnya lebih berorientasi pada masa sekarang
dan sebagian karena remaja cenderung untuk menentang nasihat orang dewasa.
Promosi dan iklan rokok
Para pembuat kebijakan yang tertarik pada pengawasan terhadap tembakau
perlu mengetahui apakah iklan dan promosi rokok mempengaruhi konsumsi
rokok. Jawabannya adalah hampir pasti ya, walaupun datanya tidak langsung
menyatakan begitu. Kesimpulan utama adalah pelarangan iklan dan promosi
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK
55
rokok terbukti efektif, tetapi hanya jika pelarangan itu komprehensif sifatnya,
mencakup semua media dan bentuk merek serta logo. Berikut ini diuraikan secara
singkat bukti-bukti tersebut.
Telah terjadi perdebatan sengit mengenai dampak iklan rokok pada
konsumen. Di satu pihak, para penyuluh kesehatan masyarakat berpendapat
bahwa iklan rokok itu meningkatkan konsumsi rokok. Sebaliknya, industri rokok
berpendapat bahwa iklan rokok tidak merekrut perokok baru tetapi hanya
mendorong para perokok untuk tetap merokok atau beralih kepada merk rokok
tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian empiris mengenai hubungan
iklan dengan penjualan cenderung menyimpulkan bahwa iklan tidak berdampak
positif pada konsumsi atau hanya menunjukkan dampak positif yang sangat
kecil. Namun, penelitian ini mungkin menyesatkan karena alasan berikut.
Pertama, menurut teori ekonomi, iklan mempunyai dampak marjinal yang
menurun pada permintaan, yang berarti bahwa jika iklan dari suatu barang
meningkat, tanggapan konsumen terhadap penambahan iklan secara perlahanlahan akan berkurang dan pada akhirnya, meningkatkan iklan tidak akan
berdampak sama sekali bagi konsumen. Persentase iklan dalam industri rokok
relatif lebih tinggi sekitar 6% dari nilai penjualan, kira-kira 50% lebih tinggi
daripada rata-rata berbagai industri. Jadi kenaikan konsumsi sebagai akibat dari
meningkatnya iklan mungkin sangat kecil dan sulit untuk ditelusuri. Hal ini
tidak berarti bahwa konsumsi dalam situasi tiadanya iklan, akan menjadi setinggi
seperti dengan adanya iklan—hanya saja kenaikan marjinal akibat iklan itu teramat
kecil. Kedua, data yang mencatat dampak iklan pada penjualan biasanya
dikumpulkan untuk jangka waktu yang relatif lama, untuk semua pengiklan, di
dalam semua media, dan sering meliputi populasi yang besar jumlahnya.
Setiap perubahan tipis yang mungkin hanya terlihat pada tingkat analisis
yang lebih disagregatif, dan karenanya, memberikan gambaran yang kabur. Dalam
penelitian yang menggunakan data yang tidak agregatif, para peneliti menemukan
lebih banyak bukti tentang dampak positif iklan terhadap konsumsi rokok, tetapi
penelitian semacam itu mahal biayanya dan membutuhkan waktu lama, karenanya
jarang dilakukan.
Dengan adanya masalah-masalah yang berkaitan dengan pendekatanpendekatan ini, para peneliti beralih ke penelitian mengenai apa yang terjadi jika
iklan dan promosi rokok dilarang, sebagai cara tidak langsung untuk mengukur
dampaknya pada konsumsi rokok.
Dampak pelarangan iklan
Apabila pemerintah melarang iklan rokok di satu media, seperti televisi,
industri rokok akan dapat menggunakan media lain dengan sedikit atau tanpa
mempengaruhi pengeluaran pemasaran secara keseluruhan. Oleh sebab itu,
berbagai penelitian yang meneliti dampak pelarangan iklan rokok secara parsial
tidak menemukan atau sedikit sekali dampaknya pada perilaku merokok.
MEREDAM WABAH
56
GAMBAR 4.4 LARANGAN MENYELURUH UNTUK IKLAN MENURUNKAN KONSUMSI
SIGARET
Konsumsi sigaret tahunan per kapita
Tren dalam perbandingan konsumsi sigaret per kapita di negara-negara dengan pelarangan
menyeluruh dan yang tidak ada larangan menyeluruh.
1750
Dengan larangan
1700
1650
1600
1550
Tanpa larangan
1500
1450
1981
1991
Tahun
Catatan: Analisa ini meliputi 102 negara, dengan atau tanpa larangan menyeluruh terhadap
iklan tembakau, dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan data konsumsi sigaret per orang
dewasa umur 15 sampai 64 tahun, dibandingkan dengan jumlah penduduk, antara 1980-82 dan
1990-92. Negara-negara dengan larangan menyeluruh mulai dengan tingkat konsumsi lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa larangan, tetapi mengakhiri periode dengan tingkat
konsumsi yang lebih rendah. Perubahan ini disebabkan tingkat penurunan konsumsi lebih tinggi
pada kelompok dengan larangan dibandingkan dengan yang tanpa larangan.
Sumber: Saffer, Henry. The Control of Tobacco Advertising and Promotion. Makalah latar belakang.
Larangan beriklan di semua media massa dan di kegiatan promosi, relatif
menciutkan alternatif untuk beriklan bagi industri rokok. Sejak tahun 1972,
negara-negara berpendapatan tinggi telah mengeluarkan larangan yang lebih keras
kepada lebih banyak jenis media dan segala bentuk sponsor kegiatan. Penelitian
terakhir dari 22 negara berpendapatan tinggi berdasarkan data dari tahun 1970
hingga tahun 1992 menyimpulkan bahwa pelarangan yang menyeluruh terhadap
promosi dan iklan rokok dapat mengurangi kebiasaan merokok, tetapi pelarangan
yang parsial (sebagian media saja) dampaknya hanya sedikit atau tidak ada sama
sekali. Jika pelarangan iklan rokok dilakukan secara menyeluruh, penelitian
menyimpulkan konsumsi rokok akan turun lebih dari 6% di negara-negara
berpendapatan tinggi. Model yang dibuat berdasarkan estimasi ini menunjukkan
bahwa larangan negara-negara Uni Eropa terhadap iklan rokok dapat mengurangi
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK
57
konsumsi rokok di Uni Eropa sebesar 7% (Kotak 4.2). Penelitian lain dari 100
negara membandingkan trend konsumsi dari waktu ke waktu di negara-negara
yang memiliki program pelarangan promosi dan iklan rokok yang relatif
menyeluruh dengan negara-negara yang tidak memiliki program pelarangan sama
sekali. Di negara-negara yang memiliki program pelarangan iklan dan promosi
yang hampir lengkap, tren penurunan konsumsi terlihat lebih tajam (Gambar
4.4). Penting untuk dicatat bahwa, dalam penelitian ini, terdapat faktor-faktor
lain yang juga menyumbang pada penurunan konsumsi rokok di berbagai negara.
Sementara itu, di luar literatur ekonomi, ada jenis penelitian lain, seperti
survai mengenai daya ingat anak-anak terhadap pesan-pesan iklan, yang
menyimpulkan bahwa promosi dan iklan memang mempengaruhi permintaan
rokok dan menarik perokok baru. Anak-anak tertarik pada iklan tersebut dan
mereka mengingat pesan-pesan yang disampaikan. Terdapat makin banyak bukti
yang menunjukkan bahwa industri-industri rokok sedang meningkatkan aktivitas
iklan dan promosi ke pangsa pasar yang diperkirakan akan berkembang atau
potensial untuk berkembang, termasuk pasar kelompok remaja dan kelompok
minoritas khusus yang sebelumnya tidak terbiasa merokok. Lembaga penelitian
nonekonomi ini mungkin dapat menarik perhatian para pembuat keputusan yang
peduli pada kecenderungan merokok kelompok tertentu di dalam masyarakat.
Pembatasan merokok di tempat umum dan di tempat kerja
Negara yang saat ini sedang menerapkan pembatasan merokok di tempat
umum seperti di restoran dan fasilitas transportasi, jumlahnya makin banyak. Di
beberapa negara, seperti di Amerika Serikat, beberapa tempat kerja juga terkena
pembatasan umum untuk merokok. Dengan adanya pembatasan ini, jelas yang
diuntungkan adalah mereka yang bukan perokok, yang menjadi terbebas dari
risiko kesehatan dan gangguan dari lingkungan asap rokok. Namun, orangorang yang tidak merokok terkena asap rokok oleh perokok bukan di tempat
umum atau di tempat kerja tetapi di rumah. Oleh karena itu, pembatasan ini
hanya merupakan sebagian dari cara-cara untuk memenuhi kebutuhan orang yang
bukan perokok.
Dampak kedua dari larangan merokok adalah keberhasilan mengurangi
konsumsi rokok dari sejumlah perokok dan mendorong sejumlah perokok lainnya
untuk berhenti merokok. Menurut berbagai estimasi, di Amerika Serikat
pembatasan tersebut telah mengurangi konsumsi rokok sekitar 4%-10%. Agar
pembatasan itu dapat berfungsi, tampaknya harus ada dukungan dari seluruh
masyarakat dan kesadaran akan akibat dari lingkungan yang tercemar asap rokok
pada kesehatan. Selain di Amerika Serikat, hanya sedikit data yang dapat
diperbandingkan mengenai efektivitas larangan merokok di dalam ruangan.
Dampak potensial tindakan-tindakan nonharga pada permintaan rokok
secara global
MEREDAM WABAH
58
KOTAK 4.2
LARANGAN PROMOSI DAN IKLAN TEMBAKAU DI UNI EROPA
Pada tahun 1989, sebagai bagian dari
prakarasa yang lebih luas melawan kanker,
Komisi Eropa mengajukan ketentuan untuk
membatasi iklan produk-produk tembakau
di media cetak dan yang menggunakan
papan iklan serta poster-poster. Pada tahun
1990 Parlemen Eropa mengubah usulan
Komisi Eropa tersebut dan memilih untuk
melarang iklan [tembakau].
Komisi Eropa mengamati bahwa
usulan itu hanya dapat menghasilkan
perjanjian untuk pelarangan parsial pada
satu saat saja, dan menambahkan sebuah
usulan baru yang mungkin dapat dipakai
untuk mengajukan pelarangan total
terhadap iklan rokok, tergantung pada
kemajuan yang dicapai oleh masingmasing negara anggota Uni Eropa. Pada
bulan Juni 1991 Komisi Eropa mengajukan
ketentuan tentang pelarangan iklan
tembakau yang telah mengalami
perubahan.
Dalam periode antara tahun 1992 dan
1996 tidak ada kemajuan mengenai
penerapan usulan itu karena sekurangnya
ada tiga negara yang menentang yaitu
Jerman, Belanda, dan Inggris. Namun,
partai oposisi di Inggris mengalami
kekalahan pada tahun 1997, ketika Partai
Buruh Inggris menang dalam pemilu dan
menyampaikan pernyataan komitmen
(pemerintah) untuk memberlakukan
larangan iklan tembakau. Teks mengenai
ketentuan pelarangan akhirnya diadopsi
oleh Komisi Eropa pada bulan Juni 1998.
Ketentuan pelarangan itu menyebutkan
bahwa iklan produk-produk tembakau baik
yang langsung maupun tidak langsung
(termasuk iklan sponsor) dilarang di Uni
Eropa, dan akan memberlakukan seluruh
ketentuannya secara penuh dan final
dalam Oktober 2006. Ketentuan-ketentuan
penting dalam larangan itu adalah sebagai
berikut:
Semua anggota negara-negara Uni
Eropa harus memberlakukan
peraturan di tingkat nasional paling
lambat pada tanggal 30 Juli 2001.
Semua iklan di media cetak harus
dihentikan dalam waktu satu tahun
berikut.
Pemberian sponsor (kecuali untuk
acara
atau
kegiatan
yang
diselenggarakan pada tingkat dunia)
harus dihentikan dalam dua tahun
berikutnya lagi.
Dukungan sponsor tembakau dalam
kegiatan tingkat dunia, seperti Formula
Satu dalam balap mobil, boleh
dilanjutkan untuk tiga tahun lagi, tetapi
harus diakhiri pada tanggal 1 Oktober
2006. Dalam periode menjelang
penghentian itu, dukungan sponsor
harus dikurangi secara keseluruhan,
demikian juga harus ada kemauan
sukarela untuk tidak menyebarkan
iklan rokok di seputar kegiatan itu.
Informasi tentang produk (tembakau)
diizinkan penyebarannya di tempattempat penjualan.
Publikasi mengenai perdagangan
tembakau boleh memuat iklan
tembakau.
Publikasi negara ketiga, yang tidak
secara khusus ditujukan untuk pasar
Uni Eropa, tidak terkena larangan ini.
Ketentuan tersebut saat ini sudah
diterapkan.
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK
59
Sebelumnya telah dijelaskan tentang efektivitas sejumlah tindakan nonharga
termasuk informasi untuk konsumen, diseminasi laporan dan penelitian ilmiah,
label peringatan, iklan antimerokok, larangan promosi dan iklan secara
menyeluruh, dan pembatasan merokok. Sebagai latar belakang laporan ini, model
yang digambarkan di Kotak 4.1 digunakan untuk menilai dampak potensial dari
satu paket tindakan nonharga yang menyeluruh terhadap konsumsi rokok di
tingkat dunia. Karena sampai sekarang hanya ada sedikit upaya untuk
mengestimasi keseluruhan dampak dari tindakan-tindakan ini, model tersebut
disusun berdasarkan asumsi yang konservatif. Diasumsikan, bahwa berdasarkan
ukuran efektivitas yang ada untuk masing-masing tindakan nonharga, dampak
gabungannya mendorong 2% hingga 10% perokok untuk berhenti merokok.
Secara konservatif, model itu mengasumsikan bahwa langkah-langkah itu tidak
akan berdampak pada jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari oleh mereka
yang tidak berhenti merokok.
Berdasarkan pada asumsi ini, satu paket tindakan nonharga dapat mengurangi
jumlah perokok yang hidup pada tahun 1995 sebanyak 23 juta orang di seluruh
dunia, bahkan, pada estimasi yang paling rendah, yakni jika paket ini diterapkan
di seluruh dunia akan mengurangi jumlah konsumen perokok hanya sebesar 2%
(lihat Tabel 4.2). Dengan menggunakan asumsi sebelumnya mengenai jumlah
perokok yang berhenti dan akan terhindar dari kematian, model tersebut
menunjukkan bahwa 5 juta nyawa dapat terselamatkan.
Terapi pengganti nikotin (NRT) dan intervensi lainnya untuk
penghentian merokok
Selain pajak yang tinggi dan tindakan nonharga, masih ada seperangkat
tindakan ketiga yang dapat membantu mengurangi konsumsi tembakau.
Rangkaian tindakan itu adalah perawatan untuk yang berhenti merokok dan
berbagai jenis program, termasuk latihan perorangan, perawatan rumah sakit,
program penyuluhan, dan berkembangnya berbagai produk farmasi yang
diperuntukkan membantu penghentian merokok seperti Terapi Pengganti Nikotin
(NRT—Nicotine Replacement Therapy) dan obat anti stres dengan nama generik
bupropion. Produk NRT dalam bentuk plester kecil-kecil, permen karet, spray,
dan dalam bentuk barang yang diisap, berisi kandungan nikotin dosis rendah
tanpa mengandung bahan-bahan berbahaya lainnya seperti terdapat dalam asap
rokok. Apabila digunakan secara tepat, NRT dianggap aman dan efektif oleh
sebagian besar organisasi kesehatan di negara-negara berpendapatan tinggi.
Sebuah lembaga penelitian besar menyimpulkan bahwa keberhasilan NRT
mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan upaya lain untuk penghentian
merokok, dengan atau tanpa intervensi lain yang dijalankan bersamaan (Tabel
4.3). Bupropion juga menunjukkan efektivitasnya dalam percobaan di Amerika
Serikat. Kunci utama keunggulan NRT adalah bahwa terapi ini dapat dilakukan
MEREDAM WABAH
60
TABEL 4.2 JUMLAH PEROKOK POTENSIAL DIIMBAU BERHENTI MEROKOK, DAN JIWA
TERSELAMATKAN MENURUT PAKET TINDAKAN NONHARGA (dalam juta)
Untuk perokok yang hidup dalam tahun 1995
Perubahan jumlah perokok bila
paket menurunkan prevalensi
merokok dengan:
Wilayah Regional
2 persen
10 persen
Perubahan jumlah kematian
bila paket menurunkan
prevalensi merokok dengan:
2 persen
10 persen
Asia Timur dan Pasifik
Eropa Timur dan Asia Tengah
Amerika Latin dan wilayah Karibia
Timur Tengah dan Afrika Utara
Asia Selatan (Sigaret)
Asia Selatan (bidis)
Afrika Sub Sahara
-8
-3
-2
-0.8
-2
-2
-1
-40
-15
-10
-4
-9
-10
-7
-2
-0.7
-0.5
-0.2
-0.3
-0.4
-0.4
-10
-3
-2
-1
-2
-2
--2
Berpendapatan rendah/sedang
Berpendapatan tinggi
Dunia
-19
-4
-23
-93
-21
-114
-4
-1
-5
-22
-5
-27
Catatan: Angka dibulatkan
Sumber: Ranson, Kent, P. Jha, F. Chaloupka, and A. Yurekli. Effectiveness and Cost effectiveness of Price Increases and Other Tobacco Control Policy Interventions. Makalah latar belakang.
sendiri oleh perokok. Cara ini paling praktis bagi perokok yang ingin berhenti di
negara-negara yang memiliki sumberdaya terbatas terutama keberadaan tenaga
kesehatan profesional yang diperlukan untuk memberi dukungan intensif.
NRT ditujukan hanya untuk menangani gejala-gejala ketagihan nikotin pada
perokok dalam usahanya untuk berhenti merokok. Sampai saat ini produk NRT
tidak dihubungkan dengan penyakit kardiovaskular atau penyakit pernapasan,
dan terdapat konsensus bahwa produk-produk NRT lebih aman sebagai sumber
nikotin daripada rokok. Nikotin, tentu saja menghasilkan efek psikologi termasuk
peningkatan tekanan darah. Akan tetapi dibandingkan dengan rokok, dosis nikotin
yang dikandung dalam produk NRT lebih kecil dan dikeluarkan secara perlahanlahan. NRT adalah cara mengurangi biaya pengorbanan karena berhenti merokok.
Ketersediaan NRT berbeda-beda dari satu negara ke negara lainnya. Di
beberapa negara berpendapatan tinggi, produk NRT dijual bebas, sementara di
61
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK
TABEL 4.3 EFEKTIVITAS BERBAGAI PENDEKATAN UNTUK PENGHENTIAN
[MEROKOK]
Intervensi dan perbandingan
Nasihat singkat untuk berhenti (3-10 menit) oleh
petugas klinik versus tanpa nasihat
Peningkatan persentase perokok berhenti merokok
selama 6 bulan atau lebih
2 sampai 3
Nasihat singkat tambah NRT versus nasihat singkat
saja atau nasihat singkat plus placebo
6
Bantuan intensif (misalnya, klinik perokok) plus NRT
versus bantuan intensive atau bantuan intensif plus
placebo
8
Sumber: Raw, Martin, and others. 1999. Data dari Agency for Health Care Policy and Research,
dan perpustakaan Cochrane.
negara lain produk itu tersedia melalui resep dokter. Berbagai model yang
didasarkan pada data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa jika NRT dijual
secara bebas, lebih banyak penduduk yang akan berhenti merokok dan lebih
banyak nyawa yang bisa diselamatkan dibandingkan jika NRT hanya tersedia
lewat resep dokter. Dengan model tersebut diramalkan bahwa dalam lebih dari
lima tahun, hampir 3000 nyawa dapat diselamatkan di Amerika Serikat saja.
Ada juga bukti bahwa perokok menginginkan jenis bantuan ini: di Amerika
Serikat, penjualan NRT meningkat 150% antara tahun 1996 dan 1998, ketika
produk itu pertama kali dijual secara bebas.
Di luar negara-negara berpendapatan tinggi, ketersediaan NRT dalam bentuk
apapun tidak merata; sebagai contoh, produk NRT dijual di Argentina, Brasil,
Indonesia, Malaysia, Mexico, Filipina, Afrika Selatan, dan Thailand, tetapi di
antara negara-negara ini pasokan NRT hanya terbatas di beberapa kota-kota
besar. Di beberapa negara berpendapatan menengah dan di banyak negara
berpendapatan rendah produk NRT tidak tersedia sama sekali. Biaya penyediaan
produk NRT untuk keperluan sehari kira-kira hampir sama dengan rata-rata harga
dosis rokok sehari, tetapi karena produk NRT dijual dalam paket besar, diperlukan
pembayaran yang relatif besar untuk sekali pesan. Dibandingkan dengan rokok,
penjualan produk NRT sangat ketat peraturannya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, para pembuat kebijakan mungkin dapat
mempertimbangkan untuk memperluas akses mendapatkan NRT sebagai sebuah
komponen penting dalam upaya pengawasan terhadap rokok. Salah satu pilihan
adalah mengurangi ketatnya peraturan mengenai penjualan produk-produk seperti
ini, misalnya dengan meningkatkan jumlah tempat penjualan dan memperpanjang
waktu penjualan NRT, serta mengurangi pembatasan-pembatasan mengenai
kemasannya.
62
MEREDAM WABAH
Dengan adanya bukti bahwa NRT akan membantu mengurangi biaya untuk
berhenti merokok, pilihan lain yang perlu dipertimbangkan adalah ketersediaan NRT
dengan harga yang disubsidi atau secara cuma-cuma untuk periode tertentu bagi
perokok berpenghasilan rendah yang ingin berhenti merokok. Pendekatan ini telah
dicoba dilaksanakan di beberapa negara. Di Inggris, misalnya, ada usulan agar perokok
yang miskin dapat menerima pasokan NRT secara cuma-cuma jika mereka
memutuskan untuk berhenti merokok. Sasaran bantuan NRT kepada penduduk miskin
merupakan tantangan bagi semua negara.
Kini sudah jelas bahwa setiap keputusan apa pun untuk memperluas akses NRT
harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Sebagian besar masyarakat ingin agar anakanak mereka terhindar dari promosi produk-produk yang membuat anak-anak tersebut
kecanduan. Akan tetapi, ahli kesehatan di negara-negara berpendapatan tinggi sepakat
bahwa NRT, bila digunakan secara efektif akan sangat menguntungkan dan seharusnya
para perokok dewasa yang ingin berhenti didorong untuk menggunakannya. Analisis
keefektivan biaya (cost effectiveness) dari penggunaan NRT belum diteliti secara
luas, terutama di negara-negara berpendapatan sedang dan rendah tempat sebagian
besar perokok tinggal. Jelaslah bahwa adanya lebih banyak informasi mengenai
analisis manfaat-biaya akan sangat berguna bagi pembuat kebijakan di tingkat daerah,
baik untuk menentukan cara penggunaan dana pemerintah yang terbatas maupun
untuk memberikan dasar yang kuat bagi pembuat kebijakan untuk bertindak.
Sebagai latar belakang laporan ini, potensi dampak ketersediaan NRT yang
lebih luas dibuat sesuai model dengan metode yang sama seperti di atas. Secara
konservatif, diasumsikan bahwa efektivitas terapi mungkin lebih rendah dibandingkan
dengan yang ditemukan dalam penelitian-penelitian di negara-negara berpendapatan
tinggi. Dengan asumsi yang konservatif angka rata-rata orang yang berhenti merokok
di antara para pemakai NRT akan menjadi dua kali lipat dibandingkan yang tidak
memakainya, dan hanya 6% dari perokok yang menggunakan NRT untuk berhenti
merokok, maka diestimasikan bahwa 6 juta perokok yang hidup pada tahun 1995
mampu untuk berhenti merokok dan 1 juta kematian akan dapat dicegah. Sebaliknya,
jika 25% perokok menggunakan NRT, ditemukan bahwa 29 juta perokok yang hidup
pada tahun 1995 akan mampu berhenti merokok dan 7 juta kematian dapat dicegah.
Catatan:
1. Smith, Adam. Wealth of Nations, 1776. Version edited by Edwin Canaan, 1976. University of
Chicago Press, Chicago.
2. Sebagai contoh, jika pajak dihitung empat perlima dari harga eceran, hal ini menyebabkan
kenaikan harga 4 kali harga pabrik per bungkus (sebelum pajak). Misalnya, jika harga sebelum
pajak setara dengan $0.5, maka tingkat (rate) pajak adalah $2 (0.5 x 4= 2). Harga eceran akan
menjadi setara dengan $2 (pajak) + $0.5 (harga pabrik) = $2.5. Dampaknya terhadap harga
eceran tentu saja berbeda-beda untuk tiap negara, tergantung faktor-faktor eceran seperti harga
grosir, tetapi secara umum kenaikan semacam ini akan meningkatkan harga yang tertimbang
menurut penduduk antara 80 hingga 100% di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
63
BAB 5
Langkah-Langkah Mengurangi Penawaran
Tembakau
W
ALAUPUN terdapat banyak bukti bahwa permintaan tembakau
dapat diturunkan, tetapi bukti mengenai keberhasilan menurunkan penawarannya
jauh lebih sedikit. Pada bab ini akan dibahas secara singkat pengalaman beberapa
negara dalam usaha mereka mengurangi akses dan penawaran tembakau melalui
pembatasan perdagangan atau kebijakan pertanian. Bagian kedua bab ini
menguraikan suatu cara penting yang dapat digunakan pemerintah untuk
mengurangi penawaran tembakau, yaitu dengan mengawasi penyelundupan.
Efektivitas terbatas sebagian besar intervensi dari sisi penawaran
Pengamatan dasar pada pasar menunjukkan bahwa jika seorang pemasok
sebuah komoditas dicegah beroperasi, pemasok lain akan segera muncul
menggantikannya selama ada insentif kuat untuk melakukan hal tersebut. Pada
saat ini terdapat insentif kuat untuk memasok tembakau, seperti diuraikan di
bawah ini.
Pelarangan tembakau
Mengingat tidak ada bukti-bukti sebelumnya bahwa tembakau mampu
merusak kesehatan, beberapa penyuluh kesehatan masyarakat menyerukan untuk
melarangnya dengan alasan bahwa masalah tembakau tidak pada konsumsinya
tetapi pada produksinya. Seruan untuk mengadakan larangan terhadap tembakau
mengacu pada menurunnya secara nyata jumlah penyakit yang berhubungan
dengan alkohol ketika di abad ke-20 penawaran alkohol dibatasi. Misalnya, ketika
penawaran alkohol dibatasi di Paris, Prancis, konsumsi alkohol turun sekitar 80
63
64
MEREDAM WABAH
persen per kapita selama Perang Dunia II. Kematian yang disebabkan radang
hati pada para pria berkurang sampai menjadi setengahnya selama satu tahun
dan empat perlimanya setelah lima tahun. Setelah perang berakhir dan alkohol
dapat diperoleh dengan bebas, jumlah kematian karena radang hati kembali ke
tingkat sebelum perang.
Akan tetapi, berdasarkan beberapa alasan, pelarangan atas tembakau bukan
hanya tidak mungkin tetapi juga tidak efektif. Pertama, meskipun bahan-bahannya
dilarang, rokok tetap dikonsumsi secara luas, seperti kasus mengenai banyak
obat-obat terlarang. Kedua, pelarangan akan menciptakan masalahnya sendiri
seperti: kemungkinan akan meningkatkan aktivitas kriminal sehingga berbuntut
pada pengerahan polisi dengan biaya mahal. Ketiga, dari perspektif ekonomi,
konsumsi optimal tembakau tidaklah nol (zero). Keempat, pelarangan atas
tembakau secara politis mungkin tidak bisa diterima di banyak negara. Barubaru ini di India, usaha melarang sejenis tembakau kunyah yang dikenal dengan
nama gutka telah gagal, sebagian besar disebabkan reaksi politis terhadap
pelarangan tersebut.
Pembatasan akses para remaja terhadap tembakau
Di negara-negara berpendapatan tinggi, banyak usaha telah dilakukan untuk
mengadakan pembatasan penjualan rokok kepada para anak remaja. Dalam
bentuknya seperti sekarang, pembatasan seperti itu tampaknya tidak banyak
berhasil. Pada umumnya, pembatasan terhadap remaja sukar diterapkan, karena
kenyataannya mereka biasanya mendapat rokok dari teman-teman mereka yang
lebih tua dan kadang-kadang dari orang tua mereka sendiri. Tambahan pula, di
negara berpendapatan rendah di mana konsumsi tembakau meningkat, sistem,
prasarana, dan dana yang diperlukan untuk menerapkan pembatasan itu serta
memaksa mereka mematuhinya, adalah sangat kurang dibandingkan dengan di
negara-negara berpendapatan tinggi.
Tanaman pengganti dan diversifikasi produk pertanian
Lebih dari 100 negara menanam tembakau dan sekitar 80 dari jumlah tersebut
adalah negara-negara berkembang. Empat negara merupakan penghasil dari dua
pertiga jumlah total produksi: di tahun 1977, Cina menghasilkan 42 persen dari
seluruh tembakau yang ditanam, sedangkan Amerika Serikat, India, dan Brasil
bersama-sama menghasilkan sekitar 24 persen. Pada Tabel 5.1 terlihat 20 negara
pertama menghasilkan lebih dari 90 persen total hasil tembakau. Setelah lebih
dari dua dekade, sumbangan produksi global dari negara berpendapatan tinggi
menurun dari 30 persen menjadi 15 persen, sedangkan produksi di negara-negara
Timur Tengah dan Asia meningkat dari 40 persen menjadi 60 persen. Sumbangan
negara-negara Afrika meningkat dari 4 persen menjadi 6 persen, sedangkan
produksi di wilayah lain tidak banyak berubah.
Cina
Amerika Serikat
India
Brasil
Turki
Zimbabwe
Indonesia
Malawi
Yunani
Italia
Argentina
Pakistan
Bulgaria
Kanada
Thailand
Jepang
Filipina
Korea Selatan
Meksiko
Bangladesh
Spanyol
Negara
3.390,0
746,4
623,7
576,6
296,0
192,1
184,3
158,6
132,5
131,4
123,2
86,3
78,2
71,1
69,3
68,5
60,9
54,4
44,3
44,0
42,3
51,5
4.0
18,1
30,5
57,7
8,0
15,2
61,7
-2,2
0,3
50,3
-14,0
124,3
-0,5
17,4
-13,8
8,7
-44,8
-35,1
-26,7
0,1
42,12
9,27
7,75
7,16
3,68
2,39
2,29
1,97
1,65
1,63
1,53
1,07
0,97
0,88
0,86
0,85
0,76
0,68
0,55
0,55
0,53
(persentase)
produk dunia
nilai tahun 1984
Produksi terhadap
(1000
metrik ton)
Total jumlah
Perubahan
Produksi
data tahun 1997, diurut berdasarkan jumlah produksi
1.880,0
328,4
420,2
329,5
323,0
99,3
217,5
122,3
67,3
47,5
71,0
45,9
48,5
28,5
47,0
25,6
29,4
27,2
25,4
50,3
13,3
(1000 hektar)
Luas lahan
38,4
6,7
8,6
6,7
6,6
2,0
4,4
2,5
1,4
1,0
1,5
0,9
1,0
0,6
1,0
0,5
0,6
0,6
0,5
1,0
0,3
(persentase)
produk dunia
Total jumlah
TABEL 5.1 TIGA PULUH NEGARA UTAMA PENGHASIL TEMBAKAU MENTAH
2,9
35,5
23,2
77,0
89,3
109,7
10,2
74,2
74,5
78,7
60,6
1,6
53,5
24,0
48,5
0,5
17,2
8,4
31,8
c
53,9
(persentase)
Rasio ekspora
0,68
0,55
0,44
2,55
1,17
23,05
0,42
60,64
2,05
0,04
0,59
0,08
5,40
0,04
0,11
0,04
0,17
0,02
0,11
0,03
0,06
total ekspor 1995)
tembakau (persentase dari
Pendapatan dari ekspor
(bersambung ke halaman berikutnya)
4,7
7,4
c
0,2
0,5
c
27,6
c
12,8
18,3
5,1
c
58,3
12,6
15,3
145,4
18,3
26,2
8,3
16,1
126,7
(persentase)
Rasio imporb
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PENAWARAN TEMBAKAU
65
41,7
37,0
35,8
32,0
30,3
30,0
30,0
29,0
25,1
8.048,4
metrik ton)
-3,3
117,6
-15,8
n.a
41,7
n.a
-33,3
-1,4
15,1
25,9
nilai tahun 1984
0,52
0,46
0,45
0,40
0,38
0,37
0,37
0,34
0,31
100,0
(persentase)
(1000
19,0
59,0
17,2
36,0
21,2
22,0
12,0
14,9
n.a
4.893,8
(1000 hektar)
Luas lahan
Total jumlah
0,4
1,2
0,4
0,7
0,4
0,4
0,2
0,3
n.a
100,0
(persentase)
produk dunia
6,9
13,5
61,4
n.a
58,1
n.a
76,7
41,5
55,8
25,3
(persentase)
Rasio ekspora
66,4
0,8
6,7
n.a
2,2
n.a
3,3
55,5
c
24,4
(persentase)
Rasio imporb
Pendapatan dari ekspor
0,12
n.a
6,90
0,04
5,26
5,44
6,96
0,31
4,53
-
total ekspor 1995)
tembakau (persentase dari
a. Rasio ekspor terhadap produk domestik
b. Rasio impor terhadap produk domestik
c. Kurang dari 0,1 persen
n.a : tidak ada data
Sumber: Van der Merwe, Rowena, and others. The Supply-side Effets of Tobacco Control Policies. Makalah latar belakang (Data dihimpun dari Departemen
Pertanian Amerika Serikat, FAO dan lain-lain sumber).
Polandia
Kuba
Moldova
Vietnam
Republik Dominika
Masedonia
Kirgistan
Afrika Selatan
Tanzania
Total seluruh dunia
Negara
Total jumlah
produk dunia
Perubahan
Produksi terhadap
Produksi
TABEL 5.1 (sambungan)
66
MEREDAM WABAH
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PENAWARAN TEMBAKAU
67
Sementara negara Cina memasarkan tembakaunya di dalam negeri, negara
penghasil yang lain mengekspor sebagian besar produksinya. Brasil, Turki,
Zimbabwe, Malawi, Yunani, dan Italia mengekspor lebih dari tujuh persepuluh
produksi mereka. Di seluruh dunia hanya ada dua negara yang secara signifikan
tergantung pada tembakau mentah untuk memperoleh devisa dari ekspor —
Zimbabwe, dengan 23 persen dari pendapatan ekspornya, dan Malawi, 61
persen. Beberapa negara lain — Bulgaria, Moldova, Republik Dominika,
Macedonia, Kirgistan dan Tanzania — sangat bergantung pada tembakau sebagai
sumber devisa mereka, meskipun sumbangan mereka terhadap pasar tembakau
global adalah kecil. Tembakau merupakan sumber pendapatan penting bagi
beberapa negara berbasis ekonomi pertanian, termasuk Malawi, Zimbabwe,
India, dan Turki.
Sepanjang sejarah, tembakau merupakan produk pertanian yang sangat
menarik bagi para petani, karena memberikan penghasilan per unit tanah lebih
tinggi dibandingkan dengan kebanyakan hasil pertanian untuk pasar (cash crops)
lainnya dan secara substansial lebih besar lagi dibandingkan penghasilan dari
tanaman pangan. Daerah-daerah di Zimbabwe, di mana tembakau tumbuh
dengan sangat baik, misalnya, tanaman tersebut hampir 6,5 kali lebih
menguntungkan daripada tanaman alternatif terbaik berikutnya. Para petani
juga menganggap bahwa tembakau merupakan tanaman yang menarik, lebih
banyak karena alasan-alasan praktis. Pertama, harga tembakau di pasaran dunia
relatif lebih stabil dibandingkan dengan hasil pertanian lainnya. Kestabilan ini
memungkinkan para petani menyusun rencana ke depan dan dapat memperoleh
kredit untuk usaha lain maupun untuk menanam tembakau. Kedua, industri
rokok biasanya menyediakan bantuan cukup besar dalam bentuk bahan kepada
petani, termasuk kebutuhan pertanian dan konsultasi. Ketiga, industri rokok
sering memberi pinjaman kepada para petani. Keempat, tanaman lain mungkin
menimbulkan masalah bagi para petani dalam hal penyimpanan, pengumpulan
dan pengiriman hasilnya. Tembakau tidak cepat rusak dibandingkan dengan
banyak tanaman lain dan industri dapat membantu dalam hal pengiriman atau
pengumpulannya; sebaliknya, kelambatan pengumpulan, kelambatan
pembayaran serta fluktuasi harga dapat merusak hasil tanaman lainnya.
Telah banyak rencana percobaan yang dilakukan untuk mengganti tanaman
tembakau dengan tanaman lain. Akan tetapi, kecuali dengan Kanada yang masih
dipertanyakan, tidak ada bukti kuat bahwa rencana-rencana itu berhasil sebagai
suatu cara mengurangi konsumsi tembakau, karena kurangnya motivasi para
petani untuk berpartisipasi [dalam rencana substitusi tembakau itu] sementara
harga tembakau tetap sama dan adanya kesiapan para pemasok lain
menggantikan mereka. Meskipun demikian, tanaman pengganti kadang-kadang
berhasil dalam program-program diversifikasi yang lebih luas, yaitu apabila
tanaman itu dapat membantu petani tembakau miskin dalam transisi memasuki
mata pencarian lain. Hal ini akan diuraikan lebih rinci di bab berikutnya.
68
MEREDAM WABAH
Bantuan harga dan subsidi terhadap produksi tembakau
Sementara negara-negara berkembang cenderung mengenakan pajak pada
penghasilan ekspor tembakau/rokok, negara-negara berpendapatan tinggi seperti
Amerika Serikat dan negara anggota Uni Eropa serta Cina, secara tradisi
memberikan bantuan harga dan lain-lain subsidi kepada petani-petani yang
menanam tembakau. Motivasi pemberian subsidi pada produksi tembakau
termasuk menjaga agar harga tetap tinggi dan stabil, membantu pertanian keluarga
yang kecil, mengawasi impor tembakau dari luar negeri untuk menjaga devisa,
dan untuk mendapat dukungan politik. Sering semua bantuan tersebut dijalankan
bersama-sama dengan pembatasan impor.
Dengan kebijakan bantuan-harga bagi para produsen, pemerintah negaranegara berpendapatan tinggi secara artifisial menaikkan harga tembakau dunia
dan produknya. Para pakar ekonomi berpendapat bahwa, bilamana harga
dinaikkan dengan cara ini, para perokok mungkin menanggapi dengan cara
mengurangi konsumsinya. Akan tetapi, bukti menunjukkan bahwa kalaupun ada
efeknya terhadap konsumsi rokok, hasilnya sangat kecil. Di hampir semua negara
berpenghasilan tinggi seperti Amerika Serikat, harga daun tembakau dari produsen
hanya merupakan bagian kecil dari harga rokok. Ditambah lagi, impor tembakau
harga rendah menjadi meningkat. Dengan demikian bantuan harga dan subsidi
tersebut hanya membuat perbedaan yang tidak ada artinya bagi harga sebungkus
rokok. Suatu analisis baru-baru ini mengindikasikan bahwa program-program
ini meningkatkan harga sekitar satu persen di Amerika Serikat. Peningkatan
sebesar itu hampir tidak mempunyai pengaruh terhadap konsumsi. Oleh karena
itu, penghapusan subsidi tidak akan meningkatan konsumsi rokok secara
signifikan.
Namun, belum jelas bagaimana penghapusan bantuan harga dan subsidi ini
akan berdampak pada produksi global. Harga-harga dalam negeri yang lebih tinggi
di Amerika Serikat mungkin dapat membantu menaikkan harga daun tembakau
mentah di dunia, dengan demikian dapat menaikkan pendapatan para petani
tembakau di negara-negara berpendapatan rendah. Sebaliknya, akan terjadi
dampak yang beragam terhadap petani di negara-negara berpendapatan rendah
apabila subsidi-subsidi maupun pembatasan-pembatasan perdagangan
dihapuskan. Seandainya di Amerika Serikat harga tembakau yang dihasilkan
dalam negeri turun karena subsidi dihapuskan, industri rokok mungkin lebih
banyak menggunakan tembakau dalam negeri; dan mereka akan mengurangi
impor mereka terhadap tembakau bermutu rendah dari negara berpendapatan
rendah. Di lain pihak, pada saat yang sama, perdagangan bebas menyebabkan
impor tembakau jenis itu mungkin dapat meningkat.
Terlepas dari dampak minimal terhadap konsumsi [tembakau], bantuan harga
dan subsidi semacam itu kurang masuk akal dalam kerangka kebijakan-kebijakan
pertanian dan perdagangan yang sehat. Fungsinya yang paling utama mungkin
bersifat politis, yaitu menambah jumlah orang yang mempunyai kepentingan
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PENAWARAN TEMBAKAU
69
pribadi (vested interest) dalam produksi tembakau.
Pembatasan terhadap perdagangan internasional
Perdagangan bebas telah terbukti meningkatkan pilihan konsumen dan
membuat produksi lebih efisien. Sejumlah studi memperlihatkan bahwa hal itu
menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berpendapatan
rendah dan menengah. Meskipun kemudian pendapat yang mendukung
perdagangan bebas pada umumnya sangat kuat, perdagangan tembakau (secara
internasional) jelas lebih merusak kesehatan dibandingkan dengan sebagian besar
barang lain yang diperdagangkan. Isu pokok bagi para pembuat kebijakan adalah
memutuskan bagaimana mengawasi perdagangan tembakau tanpa mengacaukan
konsekuensi-konsekuensi yang seharusnya menguntungkan dari perdagangan
bebas. Seperti diuraikan dalam bab 1, liberalisasi perdagangan mengakibatkan
peningkatan konsumsi tembakau di negara-negara berpendapatan rendah dan
menengah. Oleh karena itu, tampak masuk akal bahwa pembatasan perdagangan
akan dapat menekan peningkatan konsumsi tersebut. Akan tetapi, ada beberapa
alasan mengapa pembatasan seperti itu akan membawa konsekuensi-konsekuensi
yang tidak diinginkan. Salah satu alasan penting adalah bahwa pembatasanpembatasan demikian mungkin akan menyebabkan timbulnya tindakan-tindakan
pembalasan yang cepat sehingga dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan. Sementara itu, liberalisasi perdagangan mengundang tanggapan
internasional melalui General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang
memberikan hak kepada negara-negara di dunia untuk menetapkan dan
menerapkan langkah-langkah guna melindungi kesehatan masyarakat. Syarat
untuk langkah-langkah semacam itu adalah bahwa penerapannya harus dilakukan
baik terhadap produk dalam negeri maupun produk impor. Pasal XX dalam GATT
secara jelas menyatakan bahwa langkah-langkah yang diperlukan untuk
melindungi kesehatan manusia tidak akan terhalang oleh adanya syarat-syarat
perdagangan bebas.
Pada tahun 1990, Thailand mencoba mengadakan larangan impor rokok
dan pemasangan iklan, suatu gerakan yang segera memunculkan tantangan dari
perusahaan-perusahaan rokok Amerika Serikat. Sebuah panel GATT mengadakan
investigasi mengenai situasi tersebut dan menentukan bahwa Thailand tidak dapat
melarang impor rokok, tetapi boleh mengenakan pajak, melarang iklan, serta
melakukan pembatasan harga; dan negara ini dapat meminta semua perusahaan
yang produknya dipasarkan di Thailand agar memasang label peringatan yang
keras serta mencantumkan ramuan bahan yang digunakan untuk produk mereka.
Bahkan, peraturan panel GATT telah ditafsirkan sebagai menyatakan bahwa
Thailand boleh melarang penjualan semua produk tembakau yang beredar di
dalam negeri, sepanjang larangan tersebut diterapkan juga secara simetris terhadap
rokok buatan dalam dan luar negeri. Thailand telah mengimplementasikan dengan
tegas langkah-langkah untuk menurunkan permintaan, termasuk larangan
70
MEREDAM WABAH
menyeluruh terhadap iklan dan promosi [rokok] serta memasang label peringatan
keras pada bungkus rokok. Keputusan penting ini serta tanggapan yang cepat
dan tegas dari Thailand menjadikannya suatu contoh bagi banyak negara untuk
melakukan intervensi guna mengurangi permintaan rokok demi kesehatan
masyarakat dengan tetap memegang prinsip-prinsip perdagangan bebas.
Tindakan tegas terhadap penyelundupan
Penyelundupan rokok merupakan masalah serius. Para peneliti
memperkirakan bahwa sekitar 30 persen ekspor rokok internasional, atau sekitar
355 miliar batang rokok diselundupkan. Persentase ini jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan persentase kebanyakan barang konsumsi lainnya yang
diperdagangkan secara internasional. Masalahnya menjadi pelik, karena adanya
perbedaan besar dalam pengenaan pajak antarnegara bagian atau antarnegara
bertetangga, karena korupsi meluas dan karena penjualan barang-barang
selundupan ditolerir. Di sini akan diuraikan secara singkat betapa luasnya masalah
penyelundupan dan akan dibahas beberapa pilihan untuk pengawasannya.
Keuntungan dari pengawasan terhadap penyelundupan bukanlah terutama karena
akan mengurangi penawaran, tetapi pada implementasi peningkatan harga yang
efektif yang dapat mengurangi permintaan.
Perbedaan-perbedaan harga di antara negara-negara atau antarnegara bagian
jelas akan meningkatkan insentif terhadap penyelundupan rokok. Akan tetapi,
determinan penyelundupan tampaknya bukan karena harga semata. Sebuah studi
yang dipersiapkan untuk laporan ini meneliti sejauh mana faktor-faktor lain, seperti
tingkat korupsi pada umumnya di sebuah negara, memberikan kontribusi terhadap
besarnya masalah penyelundupan. Dengan menggunakan indikator standar tingkat
korupsi berdasarkan Transparency International’s Index of Countries, studi
tersebut menyimpulkan bahwa, dengan beberapa pengecualian penting, tingkat
penyelundupan rokok cenderung naik sejalan dengan kenaikan tingkat korupsi
suatu negara (Gambar 5.1).
Penyelundupan rokok dalam skala besar tergantung pada organisasiorganisasi kejahatan, sistem yang secara komparatif canggih untuk
mendistribusikan rokok selundupan di negara tujuan, dan kurangnya pengawasan
terhadap lalu-lintas rokok secara internasional. Kebanyakan rokok yang
diselundupkan adalah dari merek internasional yang terkenal. Sejumlah besar
uang terlibat di sini: penyelundup yang terorganisasi mampu membeli satu peti
kemas berisi 10 juta batang rokok dengan harga $200.000, tanpa mereka harus
membayar pajak. Di Uni Eropa, nilai fiskal rokok sejumlah itu paling sedikit
sebesar $1 juta dengan menghitung cukai, pajak pertambahan nilai (VAT =
Value Added Tax) serta pajak impor. Keuntungan para penyelundup dengan
demikian sangat tinggi sehingga mereka dapat membiayai perjalanan jarak jauh.
Rokok biasanya diselundupkan dalam perjalanan transit antara negara asal
dan negara tujuan yang resmi. Untuk mendorong perdagangan antarnegara,
71
LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PENAWARAN TEMBAKAU
GAMBAR 5.1 PENYELUNDUPAN TEMBAKAU CENDERUNG MENINGKAT SEJALAN
DENGAN TINGKAT KORUPSI
Penyelundupan sebagai bagian konsumsi (%)
Penyelundupan sebagai fungsi indeks transparansi
0.40
Kamboja
0.35
0.30
Pakistan
y = - 0.02x + 0.2174
R2= 0.2723
0.25
0.20
Brasil
0.15
Austria
0.10
0.05
Indonesia
Swedia
0.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Indeks Transparansi untuk negara
9
10
Sumber: Merriman, David, A. Yurekli, dan F. Chaloupka. “How Big is the Worldwide
Cigarette Smuggling Problem?. NBER Working Paper. Cambridge, Mass. : National
Bureau of Economic Research.
diterapkan apa yang dinamakan sistem transit yang menunda untuk sementara
pembayaran bea masuk, PPN (VAT) yang dikenakan terhadap komoditas berasal
dari negara A dan dikirim ke negara B, sedangkan harus melakukan transit di
negara C, D, dan seterusnya. Akan tetapi, banyak rokok gagal sampai ke tempat
tujuan, karena telah dibeli atau dijual oleh pedagang tidak resmi. Bentuk lain
penyelundupan adalah apa yang disebut “round-tripping” dimana terdapat
perbedaan harga relatif besar antara negara-negara tetangga. Rokok-rokok yang
diekspor dari Kanada, Brasil, dan Afrika Selatan, misalnya, telah tercatat masuk
ke negara tetangga dan kemudian muncul kembali di negara asal dengan tingkat
harga dibanting dan tanpa pajak.
Keberhasilan penyelundupan terletak pada banyak kali terjadinya
perpindahan kepemilikan dalam waktu singkat, membuatnya hampir tidak
mungkin untuk ditelusur kembali geraknya. Ditambah pula lemahnya penerapan
hukum terhadap penjualan ilegal dan sukarnya memisahkan antara penjualan
legal dan ilegal menyebabkan berkurangnya risiko bagi para penyelundup.
Misalnya, di Rusia dan di banyak negara berpendapatan rendah, sebagian besar
72
MEREDAM WABAH
rokok dijual di jalan-jalan.
Menurut teori ekonomi, industri rokok sendiri akan mendapat keuntungan
dari adanya penyelundupan. Studi mengenai dampak penyelundupan
memperlihatkan bahwa apabila penjualan rokok selundupan mencapai persentase
tinggi dari seluruh penjualan maka harga rata-rata semua jenis rokok, baik yang
kena pajak atau tidak, akan jatuh, sehingga akibatnya meningkatkan penjualan rokok
secara keseluruhan. Adanya rokok hasil penyelundupan di pasar yang selama itu
tertutup terhadap merek-merek rokok impor, akan meningkatkan permintaan
terhadap rokok merek-merek tersebut dan pada akhirnya menaikkan pangsa pasar
mereka. Hal itu juga mempengaruhi pemerintah untuk tetap mengenakan pajak
yang rendah.
Pengalaman dan penelitian mengenai efektivitas berbagai tindakan anti
penyelundupan masih sangat sedikit. Akan tetapi, para pembuat kebijakan dapat
mempertimbangkan beberapa pilihan. Pertama, agar cepat diketahui oleh pembeli
dan penarik pajak apakah bungkusan-bungkusan rokok itu legal atau tidak, dapat
dilakukan misalnya dengan membubuhkan pita cukai yang sangat jelas — yang
sukar dipalsukan — pada kemasan yang telah membayar pajak serta membuat
kemasan khusus untuk rokok yang bebas-pajak. Label larangan yang keras dan
bervariasi dalam bahasa lokal juga dapat membantu membedakan penjualan yang
legal dari yang ilegal. Kedua, hukuman bagi penyelundup hendaknya dibuat cukup
berat untuk menghalangi mereka yang saat ini menganggap kecil risiko terkena
hukuman itu. Ketiga, semua pihak dalam matarantai antara perusahaan dengan
konsumen dapat diharuskan mempunyai izin. Cara seperti ini sudah diterapkan di
Prancis dan Singapura. Keempat, perusahaan dapat diminta untuk memberi stempel
nomor seri pada setiap kemasan rokok agar dapat ditelusuri. Dengan teknologi
yang semakin canggih, stempel itu bahkan dapat memuat informasi tentang distributor, grosir, dan pengekspor. Kelima, perusahaan dapat diminta bertanggungjawab atas pembuatan laporan yang baik untuk memastikan tujuan akhir produk
mereka sebagaimana dimaksudkan secara resmi. Sistem pengawasan
terkomputerisasi akan mempermudah pemerintah menelusuri setiap pengiriman
barang serta dapat setiap saat memeriksa kemajuannya. Sistem ini sudah dijalankan
di Hong Kong dan Cina. Keenam, pengekspor dapat diminta memberi label pada
kemasan dengan nama negara tujuan akhir dan menempelkan label peringatan
kesehatan dalam bahasa negara tersebut. Apabila perusahaan internasional
memproduksi rokok di negara setempat, hal tersebut juga harus dituliskan di
kemasan untuk membantu mendeteksi dan meningkatkan kesadaran adanya rokok
selundupan. Sejumlah negara mulai meningkatkan tindakan antipenyelundupan
mereka. Misalnya, Kerajaan Inggris belum lama ini mengumumkan suatu paket
bernilai lebih dari $55 juta untuk membasmi penyelundupan tembakau dan
alkohol, termasuk menambah jabatan-jabatan baru untuk tenaga yang berdedikasi.
Dengan bertambahnya pengalaman, prospek-prospek untuk mengadakan
pengawasan yang lebih baik di semua negara yang mempunyai masalah
penyelundupan tampaknya akan meningkat.
73
73
73
74
MEREDAM WABAH
75
BAB 6
Biaya dan Konsekuensi Pengawasan terhadap
Tembakau
W
ALAUPUN jelas-jelas terdapat ancaman tembakau terhadap
kesehatan global, namun banyak pemerintah, terutama dari negara-negara
berpendapatan rendah dan menengah, belum mengambil tindakan cukup
signifikan untuk mengurangi jumlah korbannya. Dalam beberapa kasus, hal ini
disebabkan karena mereka menganggap kecil skala ancaman itu, atau karena
keliru beranggapan bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengurangi
konsumsinya. Akan tetapi, banyak pemerintah ragu-ragu untuk bertindak karena
khawatir pengawasan terhadap tembakau akan mengakibatkan konsekuensi
ekonomi yang tidak diinginkan. Dalam bab ini akan dibahas beberapa
kekhawatiran umum tentang konsekuensi pengawasan terhadap tembakau atas
perekonomian serta perorangan dan kemudian menjajagi efektivitas biaya sebuah
intervensi.
Apakah pengawasan terhadap tembakau merusak ekonomi?
Di bawah ini akan dibahas secara singkat beberapa kekhawatiran yang
menjadi masalah bersama, yaitu dalam bentuk jawaban atas beberapa pertanyaan
yang sering dikemukakan.
75
76
MEREDAM WABAH
Jika permintaan terhadap tembakau menurun, apakah banyak pekerjaan
akan hilang?
Alasan utama pemerintah untuk tidak bertindak terhadap tembakau adalah
karena mereka takut akan terjadi pengangguran. Ketakutan ini terutama
disebabkan oleh argumentasi yang diajukan industri tembakau, yang mengatakan
bahwa langkah-langkah pengawasan akan mengakibatkan jutaan pekerjaan hilang
di seluruh dunia. Namun, dengan mempelajari secara lebih saksama argumen
mereka serta data yang mereka gunakan, dapat diketahui bahwa akibat negatif
pengawasan terhadap tembakau pada pekerjaan merupakan pernyataan yang
sangat berlebihan. Produksi tembakau merupakan bagian kecil dari perekonomian
sebagian besar negara. Dari semua negara agraris, hanya beberapa negara yang
sangat tergantung pada hasil pertanian tembakau. Karenanya, tidak akan ada
pekerjaan yang hilang secara netto, bahkan mungkin pekerjaan akan bertambah
jika konsumsi tembakau secara global menurun. Hal ini disebabkan uang yang
semula dibelanjakan untuk tembakau akan digunakan untuk membeli barang dan
jasa lain, yang pada akhirnya dapat menciptakan lebih banyak lagi pekerjaan.
Bahkan, beberapa negara yang perekonomiannya tergantung pada tembakau akan
memiliki pasar yang cukup besar untuk menjamin pekerjaan mereka selama tahuntahun mendatang, walaupun menghadapi permintaan yang secara gradual
menurun.
Industri tembakau memperkirakan bahwa di seluruh dunia terdapat 33 juta
orang yang terlibat dalam pertanian tembakau. Jumlah ini meliputi pekerja
musiman, pekerja paro-waktu, dan anggota keluarga petani tembakau. Juga
termasuk para petani yang menanam tanaman lain di samping tembakau. Dari
jumlah keseluruhannya, sekitar 15 juta orang berada di Cina dan 3,5 juta lainnya
di India. Zimbabwe memiliki sekitar 100.000 pekerja pertanian tembakau. Jumlah
yang relatif kecil tetapi cukup signifikan adalah petani tembakau di negara
berpendapatan tinggi: di Amerika Serikat, misalnya, terdapat 120.000 usaha tani
tembakau dan Uni Eropa memiliki 135.000 usaha tani tembakau — kebanyakan
kecil lahannya — juga di Yunani, Italia, Spanyol, dan Prancis. Dari segi
manufaktur, industri tembakau merupakan sumber pekerjaan yang kecil, karena
bersifat mekanik canggih. Di hampir semua negara jumlah pekerjaan di pabrik
tembakau hanya sebanyak satu persen dari seluruh pekerjaan manufaktur. Namun,
terdapat beberapa pengecualian penting dalam pola ini, yaitu Indonesia tergantung
pada industri tembakau sebesar 8 (delapan) persen dari keseluruhan output industri,
sedangkan Turki, Bangladesh, Mesir, Filipina, dan Thailand bersandar pada
industri ini di antara 2,5 dan 5 persen dari seluruh industri mereka. Jadi jelaslah
bahwa pada umumnya produksi tembakau merupakan bagian kecil dari sebagian
besar perekonomian.
Pernyataan bahwa pengawasan terhadap tembakau akan membuat hilangnya
pekerjaan secara besar-besaran biasanya berdasarkan studi yang dibiayai oleh
industri tembakau yang menghitung jumlah pekerjaan terkait pada tembakau di
BIAYA DAN KONSEKUENSI PENGAWASAN TERHADAP TEMBAKAU
77
setiap sektor, pendapatan yang dihubungkan dengan pekerjaan tersebut, pajak
penghasilan yang didapat dari penjualan tembakau, dan sumbangan tembakau
pada neraca perdagangan negara tersebut di mana pun dirasakan relevansinya.
Studi tersebut juga memperkirakan efek ganda (mutiplier effect) dari uang yang
diperoleh dari pertanian tembakau dan industrinya dalam menstimulasi aktivitas
lainnya di bidang ekonomi. Akan tetapi, metode yang digunakan dalam studistudi tersebut mendapat kecaman. Pertama, mereka menghitung sumbangan kasar
(gross) tembakau kepada kesempatan kerja dan perekonomian. Jarang sekali,
kalau pun pernah ada, mereka mempertimbangkan kenyataan bahwa jika orangorang berhenti membelanjakan uangnya untuk tembakau, sebagai gantinya mereka
biasanya membelanjakan uangnya untuk barang lain, dengan demikian akan
menghasilkan pekerjaan-pekerjaan alternatif sebagai kompensasinya. Kedua,
metode mereka membesar-besarkan dampak setiap intervensi yang menyebabkan
penurunan permintaan, karena perkiraan mereka mengenai variabel-variabel
tertentu, seperti kecenderungan merokok dan kecenderungan mekanisasi produksi
rokok, condong bersifat statis.
Berbagai studi independen tentang dampak tembakau terhadap beberapa
perekonomian masing-masing mencapai kesimpulan yang berbeda. Studi
independen itu bukannya menghitung sumbangan ekonomi bruto tembakau
terhadap perekonomian, melainkan menilai kontribusi neto, yaitu keuntungan
terhadap perekonomian yang diperoleh dari semua aktivitas yang berhubungan
dengan tembakau, sesudah memperhitungkan efek kompensasi dari pekerjaan
alternatif yang akan tumbuh disebabkan oleh uang yang tidak digunakan untuk
membeli tembakau. Kesimpulan studi-studi tersebut adalah bahwa kebijakan
pengawasan terhadap tembakau mungkin mempunyai sedikit atau tidak ada
dampak negatif atas keseluruhan kesempatan kerja, kecuali di sedikit sekali negara
yang memproduksi tembakau.
Sebuah studi di Inggris menemukan bahwa di tahun 1990 jumlah pekerjaan
akan dapat meningkat sekitar lebih dari 100.000 pekerjaan penuh waktu, jika
para mantan perokok menggunakan uang mereka untuk membeli barang mewah
dan jika setiap penurunan pendapatan pajak yang disebabkan oleh langkah-langkah
non-pajak untuk menurunkan permintaan terhadap rokok diimbangi dengan
mengenakan pajak pada barang dan jasa lain. Sebuah studi di Amerika Serikat
menemukan bahwa sejumlah pekerjaan akan meningkat sekitar 20.000 buah antara
tahun 1993 dan 2000 jika semua konsumsi [rokok] domestik dihilangkan.
Meskipun di Amerika Serikat akan terjadi kehilangan pekerjaan neto di wilayah
pertanian tembakaunya, tetapi secara nasional keseluruhannya akan meningkat
karena uang tidak lagi untuk membeli tembakau tetapi digunakan untuk bidang
lain dalam perekonomian. Tentu saja, transisi industri akan menimbulkan kesulitan
dan dapat melahirkan masalah sosial dan politik dalam jangka pendek. Akan
tetapi berbagai perekonomian telah melewati banyak transisi seperti itu dan yang
ini tidak terkecuali.
Penemuan-penemuan tersebut tidak hanya terbatas pada negara-negara
78
MEREDAM WABAH
berpendapatan tinggi. Memang, beberapa negara berpendapatan rendah mungkin
mengalami keuntungan luar biasa. Misalnya, sehubungan dengan studi yang
dilakukan untuk latar belakang laporan ini. Bangladesh, yang rokoknya hampir
semuanya diimpor, akan memperoleh manfaat besar jika semua konsumsi
domestiknya terhapuskan. Di sektor formal dalam perekonomiannya, Bangladesh
akan mendapat keuntungan bersih tambahan pekerjaan sekitar 18 persen jika
para perokok membelanjakan uang mereka untuk barang dan jasa lain.
Dampak terhadap perekonomian akibat jatuhnya konsumsi tembakau secara
global akan bervariasi, tergantung pada jenis ekonomi suatu negara. Negara-negara
dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Kategori pertama meliputi negaranegara yang menghasilkan lebih banyak tembakau mentah dibandingkan dengan
yang dikonsumsi mereka, yaitu para pengekspor neto. Sebagai contoh adalah
Brasil, Kenya, dan Zimbabwe. Kategori kedua meliputi negara-negara yang
mengkonsumsi sebanyak yang mereka hasilkan, apa yang disebut ekonomi
tembakau berimbang (“balanced” tobacco economy). Kategori ketiga adalah
negara-negara yang mengkonsumsi lebih banyak dari yang mereka hasilkan,
berarti pengimpor neto penuh. Kategori terakhir meliputi jauh lebih banyak negara,
termasuk Indonesia, Nepal, dan Vietnam.
Untuk kelompok negara terbesar, pengimpor neto penuh, sebagian besar
dampak dari pengawasan terhadap tembakau akan dipikul oleh konsumen dan
lebih banyak pekerjaan yang tercipta daripada yang hilang (Tabel 6.1). Akan
tetapi, sebagian kecil negara agraris yang sangat tergantung pada tembakau akan
kehilangan pekerjaan neto secara nasional. Di antara negara-negara produsen
yang akan mengalami pengaruh paling parah adalah yang mengekspor sebagian
besar hasil panen mereka, seperti Malawi dan Zimbabwe. Satu model mengatakan
bahwa, jika semua pertanian tembakau di Zimbabwe berhenti besok, negara
tersebut akan kehilangan 12 persen neto dari jumlah pekerjaan mereka. Akan
tetapi, perlu diingatkan bahwa skenario yang demikian ekstrem adalah tidak
mungkin terjadi.
Pada tingkat rumah tangga dan masyarakat kecil pedesaan, penyesuaian
seperti itu akan berarti kehilangan penghasilan, timbulnya pergolakan, dan
kemungkinan relokasi. Selanjutnya, banyak pemerintah negara akan
mempertimbangkan pentingnya membantu mempermudah proses transisi
tersebut. (Kotak 6.1).
Apakah pajak tembakau yang lebih tinggi akan mengurangi pendapatan
pemerintah?
Para pembuat kebijakan berkali-kali menyatakan penolakannya terhadap
kenaikan pajak tembakau atas dasar pemikiran bahwa hasil penurunan permintaan
itu akan mengorbankan pendapatan vital pemerintah. Sesungguhnya, hal
sebaliknya akan terjadi dalam jangka pendek sampai jangka menengah, meskipun
untuk jangka waktu yang sangat panjang situasinya kurang pasti. Pendapatan
79
BIAYA DAN KONSEKUENSI PENGAWASAN TERHADAP TEMBAKAU
TABEL 6.1 STUDI DAMPAK PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN KONSUMSI
TEMBAKAU PADA LAPANGAN KERJA
Jenis/Nama Negara
dan tahun
Perubahan neto lapangan kerja
sebagai persentase dari seluruh
ekonomi berdasarkan tahun tertentu
Asumsi
Pengekspor Neto:
Kanada (1992)
0,1 %
Amerika Serikat (1993)
0%
Inggris (1990)
+0,5 %
Zimbabwe (1980)
-12,4 %
Penghapusan semua pengeluaran
konsumsi domestik sehubungan dengan
pola “rata-rata” pengeluaran
Penghapusan semua pengeluaran
konsumsi domestik sehubungan dengan
pola “rata-rata” pengeluaran
Pengurangan pengeluaran konsumsi
tembakau sekitar 40%, pengeluaran
sehubungan dengan pola pengeluaran
“yang berhenti saat ini” (recent stopper)
Penghapusan semua konsumsi dan
produksi
tembakau
domestik,
didistribusikan kembali menurut pola
“rata-rata” input-output
Ekonomi tembakau berimbang
Afrika Selatan (1995)
+0.4%
Inggris (1989)
+0.3%
Penghapusan semua pengeluaran
konsumsi
tembakau
domestik,
pengeluaran sehubungan dengan pola
pengeluaran “yang berhenti saat ini”.
Penghapusan semua pengeluaran
konsumsi
tembakau domestik,
pengeluaran sehubungan dengan pola
“rata-rata” pengeluaran.
Pengimpor neto
Amerika Serikat (1992)
+0.1%
Bangladesh
+18,7%
Penghapusan semua pengeluaran
konsumsi tembakau domestik sehubungan
dengan pola “rata-rata” pengeluaran.
Penghapusan semua pengeluaran
konsumsi tembakau domestik sehubungan
dengan pola “rata-rata” pengeluaran.
Sumber: Buck, David, and others., 1995; Irvine, I.J. and W.A. Sims, 1997; Mc Nicoll, I. H.
dan S. Boyle, 1992; van der Merwe, Rowena, and others. (makalah latar belakang ); Warner,
K.E. dan G.A. Fulton, 1994; Warner K.E. and others., 1996.
dari pajak dapat diharapkan meningkat dalam jangka pendek dan jangka
menengah, karena, meskipun harga yang lebih tinggi jelas mengurangi konsumsi,
permintaan terhadap rokok sifatnya inelastic. Jadi, konsumsi rokok akan
berkurang, tetapi dengan proporsi yang lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan
harganya. Di Inggris, misalnya, pajak rokok telah dinaikan berulang-ulang selama
tiga dekade terakhir ini. Sebagian disebabkan oleh kenaikan-kenaikan itu, dan
sebagian karena terus meningkatnya kesadaran akan konsekuensi kesehatan akibat
80
MEREDAM WABAH
KOTAK 6.1 BANTUAN KEPADA PETANI TERMISKIN
Prospeknya sangat kecil bahwa produksi tembakau akan turun tajam dan mendadak.
Seperti ditunjukkan pada bab sebelumnya, kebijakan-kebijakan sisi penawaran
produksi tembakau, sangat tidak mungkin dapat dipraktekkan atau diterima secara
politis oleh banyak negara. Sementara itu, jika permintaan terhadap tembakau turun
maka penurunannya itu akan lambat, sehingga memungkinkan mereka yang
langsung terkena dampak penurunan itu untuk mengadakan penyesuaian secara
perlahan-lahan pula.
Penjajagan akurat mengenai bagaimana penurunan permintaan secara bertahap
akan mempengaruhi masyarakat petani tembakau, jelas merupakan hal sangat
penting bagi para pembuat kebijakan. Studi di banyak negara berpendapatan tinggi
memperlihatkan bahwa ekonomi daerah-daerah penanaman tembakau di negaranegara tersebut secara perlahan-lahan telah dapat melakukan diversifikasi. Di
negara berpendapatan tinggi, petani tembakau sudah sejak beberapa dekade
melakukan penyesuaian-penyesuaian secara ekonomi dan banyak masyarakat
petani tembakau saat ini dapat mengambil lebih banyak keuntungan ekonomis
hasil diversifikasi dibandingkan di masa lalu. Minat terhadap diversifikasi lebih lanjut
merupakan hal yang umum. Survai terakhir tentang petani tembakau di Amerika
Serikat menunjukkan, misalnya, bahwa separo dari mereka yang ditanya paling
tidak menyadari tentang adanya pertanian alternatif yang menguntungkan, yang
kini diikuti oleh para petani tembakau di wilayah mereka sendiri. Petani yang lebih
muda dan lebih berpendidikan dibandingkan dengan mereka yang lebih tua ternyata
lebih berminat pada diversifikasi tersebut dan lebih melihat diversifikasi sebagai
sesuatu yang mungkin. Demikian juga, sejumlah kecil petani minoritas yang ditanya
pada survai itu menyadari prospek perubahan, tetapi mengakui bahwa hal itu akan
berjalan lamban. Meskipun lebih dari delapan di antara sepuluh petani mengatakan
bahwa mereka secara pribadi berharap tetap bertanam tembakau, tetapi satu dari
tiga petani mengatakan akan menasehati anak mereka untuk tidak berbisnis dalam
tanaman yang sama.
Meskipun demikian, terdapat beberapa alasan mengapa pemerintah ingin
memberikan bantuan kepada petani paling miskin untuk biaya transisi. Bertani
merupakan sumber utama pekerjaan di pedesaan dan secara sosial sering dianggap
sangat penting oleh banyak kalangan. Tambahan pula, para petani dapat menjadi
oposisi politik yang penting mengenai pengawasan terhadap tembakau. Tindakan
pemerintah yang sesuai termasuk sejumlah upaya yang berbeda, seperti mendorong
kebijakan yang sehat dalam pertanian dan perdagangan, mengadakan program
pembangunan pedesaan yang luas, memberikan bantuan untuk diversifikasi
tanaman, pelatihan pedesaan, dan sistem jaring pengaman yang lain. Beberapa
pemerintah mengusulkan bahwa bantuan semacam itu mungkin dapat dibiayai dari
pajak tembakau. Pemerintah boleh juga belajar dari keberhasilan upaya-upaya
setempat. Di Amerika Serikat, misalnya, beberapa masyarakat pedesaan yang
secara tradisional tergantung pada tembakau, telah membentuk koalisi dengan
pejabat-pejabat kesehatan masyarakat untuk menyetujui prinsip-prinsip dasar bagi
kebijakan yang akan menurunkan konsumsi tembakau dan juga mempromosikan
pembangunan masyarakat pedesaan yang berkesinambungan.
BIAYA DAN KONSEKUENSI PENGAWASAN TERHADAP TEMBAKAU
81
merokok, maka konsumsi rokok menurun tajam dalam waktu yang sama, dengan
jumlah rokok per tahun yang terjual turun dari 138 milyar menjadi 80 milyar
batang rokok selama tiga dekade. Meskipun begitu pendapatan negara tetap
meningkat. Di Inggris, untuk setiap kenaikan pajak satu persen, pendapatan
pemerintah naik sekitar 0,6 dan 0,9 persen (Gambar 6.1). Melalui sebuah model
yang dikembangkan dalam studi ini disimpulkan bahwa kenaikan sederhana cukai
rokok sebesar 10 persen di seluruh dunia akan menaikkan pendapatan dari pajak
tembakau sekitar 7 (tujuh) persen secara keseluruhan, dengan dampak yang
bervariasi untuk setiap negara.
Beberapa tindakan nonharga, seperti larangan iklan dan promosi, [pemuatan]
informasi di media massa, dan [pemasangan] label peringatan diperkirakan akan
mengurangi pendapatan. Intervensi yang lebih memberi kebebasan pada terapi
pengganti nikotin dan usaha penangkal yang lain juga akan mengurangi konsumsi,
demikian juga akan mengurangi pendapatan. Akan tetapi setiap bentuk pengaruh
terhadap pendapatan akan bersifat bertahap dan sebuah paket pengawasan
komprehensif yang mencakup peningkatan pajak, bagaimanapun, mungkin akan
membawa kepada peningkatan pendapatan bersih.
Memang perlu diketahui bahwa apabila tujuan akhir pengawasan terhadap
tembakau adalah demi kepentingan kesehatan manusia, maka secara ideal para
pembuat kebijakan akan berharap dapat melihat konsumsi tembakau merosot ke
tingkat yang paling rendah, sehingga akhirnya pendapatan dari pajak tembakau
akan menurun juga. Kehilangan pendapatan yang besar dapat diartikan sebagai
langkah sukses pengawasan tembakau – atau sebagai kemauan masyarakat untuk
membayar demi memperoleh manfaat kesehatan akibat mengurangi konsumsi
rokok. Tetapi ini lebih merupakan kemungkinan teoretis daripada skenario yang
dapat dijalankan. Berdasarkan pola dewasa ini, jumlah perokok diperkirakan
meningkat di negara berpendapatan rendah dalam tiga dekade mendatang. Yang
juga sama pentingnya, adalah bahwa pemerintah dapat bebas memperkenalkan
pajak pendapatan atau pajak konsumsi alternatif yang akan menggantikan
pendapatan dari hasil perolehan pajak tembakau.
Apakah kenaikan pajak tembakau akan meningkatkan penyelundupan
secara besar-besaran?
Sudah sejak lama menjadi perdebatan bahwa pajak yang lebih tinggi akan
menyebabkan meningkatnya penyelundupan rokok dan aktivitas kriminal yang
terkait. Menurut skenario ini, konsumsi rokok akan tetap tinggi dan pendapatan
pajak akan merosot. Akan tetapi, secara ekonometrik dan analisis lain sebagai
hasil pengalaman banyak negara berpendapatan tinggi menunjukkan bahwa,
walaupun menghadapi angka penyelundupan yang tinggi, peningkatan pajak tetap
menghasilkan kenaikan pendapatan dan menurunkan konsumsi rokok. Oleh karena
itu, walaupun penyelundupan tidak diragukan lagi sebagai masalah serius, dan
meskipun perbedaan tingkat pajak tembakau yang menyolok di antara negara-
MEREDAM WABAH
82
GAMBAR 6.1 DENGAN NAIKNYA PAJAK TEMBAKAU PENDAPATAN NEGARA
MENINGKATJUGA
Pendapatan dari pajak
(dalam juta pound sterling)
9000
Pendapatan
dari pajak
8500
£ 3.00
£ 2.80
£ 2.60
8000
£ 2.40
7500
£ 2.20
7000
£ 2.00
Harga
£ 1.80
6500
£ 1.60
6000
£ 1.40
1971 1974 1977 1980 1983 1986 1989 1992 1995
Tahun
Harga (dalam pound sterling tahun 1994)
Harga riil dan pendapatan dari pajak tembakau di Inggris, 1971-95
Sumber: Townsend, Joy “The Role of Taxation Policy in Tobacco Control.” dalam Abedian I., and
others.. eds. The Economic of Tobacco Control. Cape Town South Africa: Applied Fiscal Research Centre, University of Cape Town.
negara dapat menjadi insentif bagi para penyelundup, tetapi tanggapan yang sesuai
untuk masalah penyelundupan bukan dengan cara mengurangi tingkat pajak atau
membatalkan kenaikan pajak. Sebaliknya, tindakan yang tepat adalah memerangi
kejahatan itu. Kesimpulan logis kedua adalah harmonisasi tingkat pajak rokok di
antara negara-negara tetangga akan membantu turunnya insentif untuk
menyelundup.
Pengalaman Kanada memberikan gambaran yang jelas tentang hal di atas.
Pada permulaan tahun 1980-an dan 1990-an, Kanada menaikkan pajak rokok
cukup tinggi sehingga harga rokok meningkat secara signifikan. Antara tahun
1979 dan 1991 jumlah remaja yang merokok mengalami penurunan hampir dua
pertiganya, perokok dewasa menurun, dan pendapatan pajak dari rokok meningkat
secara substansial. Akan tetapi, karena khawatir akan makin meningkatnya
penyelundupan, pemerintah memotong pajak rokok secara tajam. Akibatnya,
prevalensi perokok remaja meningkat, demikian juga terjadi kenaikan perokok
di antara penduduk secara keseluruhan. Sementara itu pendapatan negara federal
atas pajak tembakau menurun lebih dua kali lipat dari yang diperkirakan.
Pengalaman negara Afrika Selatan juga menarik. Selama tahun 1990-an
BIAYA DAN KONSEKUENSI PENGAWASAN TERHADAP TEMBAKAU
83
Afrika Selatan menaikkan cukai rokok secara tajam dengan lebih dari 450 persen.
Sebagai persentase harga penjualan, pajak meningkat 38 sampai 50 persen. Tidak
mengherankan kalau penyelundupan meningkat juga, dari nol menjadi kira-kira
6 persen dari seluruh pasar secara rata-rata global. Penjualan pun menurun dengan
lebih dari 20 persen, dan ini menunjukkan penurunan konsumsi neto yang berarti,
sekalipun dengan penyelundupan yang meningkat. Sementara itu, secara riil
pendapatan total pajak lebih dari dua kali lipat.
Sebuah studi ekonometrik menilai dampak potensial berbagai skenario pajak
terhadap insentif penyebab penyelundupan rokok antarnegara di Eropa. Analisis
tersebut menyimpulkan bahwa meskipun tingkat penyelundupan beberapa kali
lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan di Eropa, pengenaan pajak yang lebih
tinggi akan tetap menghasilkan pendapatan yang lebih besar secara keseluruhan.
Studi tersebut menyimpulkan bahwa penyelundupan yang didorong oleh tingginya
harga rokok mungkin menjadi masalah besar di negara-negara yang rokoknya
telah dihargai tinggi. Penyelundupan ke negara-negara yang harga rokoknya relatif
murah, secara relatif tidak akan terpengaruh oleh kenaikan-kenaikan harga.
Apakah konsumen miskin akan menanggung beban finansial terberat?
Dalam banyak masyarakat terdapat konsesus bahwa sistem perpajakan
haruslah adil dalam arti mereka yang memiliki kemampuan membayar paling
besar harus dikenai pajak paling tinggi. Konsesus ini tercermin, misalnya, dalam
sistem pajak penghasilan progresif, yaitu angka marjinal pajak akan naik bila
penghasilan meningkat. Akan tetapi, pajak tembakau merupakan pajak regresif,
yaitu seperti halnya pajak atas barang-barang konsumsi lain, pajak-pajak ini secara
tidak proporsional memberi beban finansial yang berat kepada mereka yang
berpenghasilan rendah. Sifat regresif ini kemudian menjadi meningkat sesuai
kenyataan bahwa merokok merupakan hal yang lebih lumrah pada keluarga miskin
daripada keluarga kaya, sehingga perokok miskin menggunakan lebih banyak
penghasilannya untuk membayar pajak rokok daripada perokok kaya.
Timbul kekhawatiran bahwa kalau pajak dinaikkan, konsumen miskin
akan menggunakan makin banyak penghasilannya untuk membeli rokok, yang
akhirnya dapat menimbulkan kesulitan rumah tangga. Bahkan, dengan permintaan
yang makin kecil sekalipun, bila konsumen yang miskin terus mengkonsumsi
lebih banyak tembakau dibandingkan konsumen yang kaya, mereka juga akan
membayar pajak lebih banyak. Akan tetapi, banyak sekali studi membuktikan
bahwa penduduk dengan penghasilan lebih rendah jauh lebih tanggap terhadap
perubahan harga dibandingkan penduduk berpenghasilan tinggi. Ketika konsumsi
mereka menurun tajam, beban pajak relatif mereka akan menurun pula
dibandingkan dengan beban pajak konsumen yang lebih kaya, meskipun
pembayaran pajak absolut mereka tetap lebih besar. Dua studi dari Inggris dan
Amerika Serikat mendukung gagasan peningkatan pajak tembakau menjadi
progresif, meskipun pajak tembakau itu sendiri regresif. Studi lebih lanjut perlu
84
MEREDAM WABAH
dilakukan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah untuk
mengkonfirmasi temuan ini. Tentu saja semua perokok individual harus
melupakan manfaat yang dirasakan dari merokok serta menanggung biaya untuk
melepaskan diri dari merokok, dan semua kehilangan itu secara komparatif akan
dirasakan lebih berat oleh konsumen miskin.
Seperti halnya dengan bentuk pajak tunggal lainnya, pengenaan pajak
tembakau harus dengan tujuan yang memastikan bahwa seluruh sistem pajak
dan pengeluaran bersifat proporsional atau progresif. Dewasa ini, sistem
perpajakan di banyak negara merupakan campuran beberapa jenis pajak yang
berbeda, yang tujuan keseluruhannya adalah progresif atau proporsional, meskipun
mungkin ada pajak-pajak individual atau unsur-unsur dalam sistem pajak yang
sifatnya regresif. Untuk mengimbangi sifat regresif pajak tembakau, pemerintah
dapat memperkenalkan lebih banyak pajak progresif atau program transfer yang
lain. Pengadaan pelayanan sosial yang ditargetkan dengan baik, seperti program
pendidikan dan kesehatan, akan cenderung menahan regresivitas pajak tembakau.
Walaupun pada prinsipnya kepentingan umum harus dibiayai dari hasil pajak
secara umum, kemampuan unik perpajakan tembakau dalam meningkatkan
pendapatan tidak dapat diabaikan. Di Cina, diperkirakan 10 persen kenaikan pajak
rokok akan menghasilkan penurunan konsumsi rokok sekitar 5 persen dan
menaikkan pendapatan dari pajak sekitar 5 persen juga, dengan demikian membuat
peningkatan ini cukup untuk membiayai paket pelayanan kesehatan esensial bagi
sepertiga dari 100 juta penduduk termiskin di Cina.
Apakah pengawasan terhadap tembakau membebankan biaya pada
perorangan?
Dengan mengurangi konsumsi rokok, langkah-langkah pengawasan terhadap
tembakau akan mengurangi kepuasan atau keuntungan-keuntungan para perokok
– sama halnya seperti pengurangan barang konsumsi lainnya akan mengurangi
kesejahteraan konsumen. Perokok reguler harus meninggalkan kenikmatan
merokok atau menanggung biaya untuk lepas dari rokok, atau keduanya. Ini
merupakan hilangnya surplus konsumen dan harus diperbandingkan dengan
keuntungan-keuntungan pengawasan terhadap tembakau.
Akan tetapi, seperti terlihat sebelumnya, tembakau bukanlah barang
konsumsi khas dengan keuntungan yang khas pula karena adanya masalah
kecanduan dan informasi. Bagi perokok yang sudah kecanduan yang menyesal
telah merokok dan menyatakan keinginannya untuk berhenti merokok, keuntungan
merokok mungkin termasuk penghindaran dari penghentian merokok. Bila
langkah-langkah pengawasan terhadap tembakau mengurangi konsumsi para
perokok perorangan, perokok-perokok itu akan menghadapi biaya penghentian
merokok yang signifikan.
Mengingat bahwa sebagian besar perokok yang menyatakan keinginan untuk
berhenti merokok sangat sedikit yang berhasil atas biaya sendiri, hal itu mungkin
BIAYA DAN KONSEKUENSI PENGAWASAN TERHADAP TEMBAKAU
85
menunjukkan bahwa biaya untuk berhenti merokok dirasakan lebih besar daripada
biaya bila terus merokok, seperti biaya karena rusaknya kesehatan. Dengan
membuat biaya untuk terus merokok lebih besar daripada biaya penghentian
merokok, pajak yang lebih besar dapat mendorong sejumlah perokok untuk
berhenti merokok. Akan tetapi, para perokok ini masih tetap akan menghadapi
biaya penghentian merokok. Dengan memberikan informasi tentang konsekuensi
kesehatan akibat merokok, akan meningkatkan biaya yang dirasakan bila terus
merokok, serta mengingatkan perokok akan manfaat penghentian merokok. Akses
yang diperluas untuk memperoleh terapi pengganti nikotin (Nicotine Replacement Therapy= NRT) dan lain-lain intervensi pencegahan, dapat membantu
mengurangi biaya penghentian merokok.
Mungkin saja diperdebatkan bahwa langkah-langkah pengawasan terhadap
tembakau akan membebankan biaya lebih besar kepada orang-orang miskin
daripada kepada mereka yang berpendapatan lebih tinggi. Akan tetapi, jika
benar demikian keadaannya untuk tembakau, hal itu tentu bukan sesuatu yang
unik dilihat dari segi kesehatan. Untuk mendapatkan berbagai intervensi
kesehatan, seperti imunisasi anak atau keluarga berencana, biayanya sering
lebih mahal bagi rumahtangga yang miskin. Misalnya, keluarga miskin harus
berjalan lebih jauh untuk pergi ke klinik daripada keluarga kaya, dan selama
itu mereka bisa kehilangan penghasilan. Namun, biasanya tenaga kesehatan
tidak ragu-ragu mengatakan bahwa manfaat sebagian besar intervensi bagi
kesehatan, seperti misalnya imunisasi, adalah seimbang dengan biaya yang
dikeluarkan, sepanjang biaya itu tidak meningkat sedemikian tinggi sehingga
orang-orang yang lebih miskin menjadi tidak bergairah memanfaatkan pelayanan
tersebut.
Dalam mempertimbangkan hilangnya surplus konsumen terhadap perokok,
penting dibedakan antara perokok reguler dan yang lain. Untuk anak-anak dan
remaja, yaitu mereka yang pemula atau hanya perokok potensial, biaya untuk
menghindari tembakau mungkin tidak mahal, karena mereka belum sampai
kecanduan dan oleh karenanya biaya untuk melepaskan diri dari rokok tentunya
minimal. Kerugian lain dapat berupa, misalnya kurang diterima oleh kelompok
mereka, kurang merasakan kepuasan memberontak terhadap orang tua, dan
pengebirian kenikmatan lainnya yang diperoleh dari perilaku merokok.
Pembatasan merokok di tempat-tempat umum dan tempat kerja pribadi juga
merupakan beban bagi perokok karena memaksa mereka merokok di luar ruangan
atau terpaksa mengurangi kesempatan untuk merokok. Intervensi-intervensi ini
akan secara tepat menggeser biaya merokok dari bukan perokok kepada perokok.
Sekali lagi, bagi sebagian perokok, peningkatan biaya ini akan menyebabkan
mereka mengubah pola merokok mereka dan akan membebani mereka dengan
biaya. Akan tetapi bagi orang-orang bukan perokok, kebijakan pengawasan
terhadap tembakau akan memberikan keuntungan berupa kesejahteraan. Jadi
jelaslah bahwa kesejahteraan yang hilang dapat lebih diminimalkan jika intervensi
pengawasan diterapkan sebagai satu paket.
86
MEREDAM WABAH
Apakah pengawasan terhadap tembakau pantas dibiayai ?
Sekarang pertanyaannya apakah pengawasan terhadap tembakau itu efektif
secara biaya relatif dibandingkan dengan biaya intervensi-intervensi kesehatan
yang lain. Bagi pemerintah yang mempertimbangkan untuk melakukan intervensi,
informasi semacam itu akan merupakan faktor penting untuk menetapkan
bagaimana melaksanakan intervensi itu.
Keefektifan biaya berbagai intervensi kesehatan dapat dievaluasi dengan
memperkirakan keuntungan-keuntungan yang dapat diharapkan dalam tahuntahun hidup sehat (years of healthy life) dari masing-masing orang sebagai imbalan
dari dana masyarakat yang dipergunakan untuk menerapkan intervensi tersebut.
Sesuai dengan laporan Bank Dunia dalam 1993 World Development Report: Investing in Health, kebijakan pengawasan terhadap tembakau dianggap sebagai
efektif biayanya dan karenanya pantas dimasukkan dalam paket minimal
perawatan kesehatan. Studi-studi yang ada menyatakan bahwa biaya programprogram berdasar kebijakan adalah sekitar $20 sampai $80 per discounted year
of healthy life saved (one disability-adjusted life year atau DALY).1
Untuk studi ini, dibuat perkiraan mengenai analisis keefektivan biaya dari
setiap intervensi untuk menurunkan permintaan sebagaimana diuraikan dalam
Bab 4: peningkatan pajak, paket langkah-langkah nonharga termasuk larangan
iklan dan promosi, informasi kesehatan yang lebih luas, pembatasan merokok di
tempat umum, dan NRT . Penemuan ini mungkin memiliki nilai khusus bagi
negara berpendapatan rendah dan menengah untuk dapat menentukan penekananpenekanan intervensi spesifik yang mungkin lebih sesuai bagi keperluan mereka.
Perkiraan dibuat dalam kerangka model seperti diuraikan dalam Kotak 4.1.
Asumsi model dan variabelnya diuraikan secara lengkap dalam makalah latar
belakang laporan ini. Beberapa intervensi, seperti meningkatkan pajak atau
melarang iklan dan promosi rokok, memerlukan biaya nol atau sangat minimal,
karena langkah-langkah tersebut merupakan intervensi dengan hanya
menggoreskan pena (stroke-of-the-pen). Secara konservatif, model tersebut
banyak memasukkan biaya implementasi dan administrasi [kebijakan], di samping
biaya obat-obatan untuk NRT. Akan tetapi, biaya tersebut tidak memperhitungkan
biaya yang mungkin ditanggung oleh perorangan. Hasilnya (Tabel 6.2)
menyatakan bahwa meningkatkan pajak merupakan intervensi yang paling efektif
biayanya (cost-effective) jauh lebih baik dan merupakan sesuatu yang lebih
berhasil jika dibandingkan dengan intervensi kesehatan lainnya. Tergantung pada
asumsi-asumsi yang dibuat tentang biaya administrasi untuk peningkatan dan
pemantauan
pajak tembakau yang lebih tinggi,
biaya untuk
mengimplementasikan kenaikan pajak sebesar 10 persen dapat lebih kecil dari
$5 per DALY (dan mungkin tidak lebih tinggi dari $17 per DALY) di negara
berpendapatan rendah dan sedang. Hal ini memperlihatkan bahwa keefektifan
biaya mempunyai nilai yang sepadan dengan banyak intervensi kesehatan yang
87
BIAYA DAN KONSEKUENSI PENGAWASAN TERHADAP TEMBAKAU
dibiayai oleh pemerintah, seperti imunisasi anak. Langkah-langkah nonharga
mungkin dapat menyebabkan keefektifan biaya yang tinggi bagi negara-negara
berpendapatan rendah dan menengah. Tergantung pada asumsi yang menjadi dasar
estimasi, sebuah paket dapat dijalankan dengan biaya sebanyak-banyaknya $68
per DALY. Tingkat manfaat-biaya ini cukup sebanding dengan beberapa intervensi
kesehatan masyarakat yang telah berjalan, seperti paket pengelolaan terpadu
untuk anak sakit, yang di negara-negara berpendapatan rendah diperkirakan
biayanya sekitar $30 sampai $50 per DALY dan antara $50 sampai $100 di negaranegara berpendapatan sedang.
TABEL 6.2 KEEFEKTIVAN BIAYA LANGKAH-LANGKAH PENGAWASAN TERHADAP
TEMBAKAU
Nilai berbagai Intervensi Pengawasan terhadap Tembakau (US$ per DALY terselamatkan)
menurut Wilayah
Wilayah
Asia Timur & Pasifik
Eopa Timur & Asia Tengah
Amerika Latin & Karibia
Timur Tengah & Afrika Utara
Asia Selatan
Afrika Sub-Sahara
Berpendapatan rendah/sedang
Berpendapatan tinggi
Kenaikan
harga 10%
3 s/d 13
4 s/d 15
10 s/d 42
7 s/d 28
3 s/d 10
2 s/d 8
4 s/d 17
161 s/d 645
Tindakan nonharga
dengan
keefektifan 5%
53 s/d 212
64 s/d 257
173 s/d 690
120 s/d 482
32 s/d 127
34 s/d 136
68 s/d 272
1,347 s/d 5.388
NRT (disediakan
untuk umum)
dengan peliputan 25%
338 s/d 355
227 s/d 247
241 s/d 295
223 s/d 260
289 s/d 298
195 s/d 206
276 s/d 297
746 s/d 1.160
Catatan: Untuk semua perhitungan ini telah ditentukan 3% diskon dan keuntungan telah
diproyeksikan di atas 30 tahun; untuk intervensi nonharga, biayanya telah diproyeksikan
untuk jangka waktu 30 tahun. Dengan membuat beberapa jenis biaya pelaksanaan, intervensi
hasilnya berkisar antara 0.005% sampai 0.02% dari HKN (GNP) per tahun
Sumber: Ranson, Kent, P. Jha, F. Chaloupka, and A. Yurekli. Effectiveness and Cost-effectiveness of Price Increases and Other Tobacco Control Policy Interventions. Makalah latar
belakang.
Studi ini juga mempelajari keefektivan biaya yang mungkin terjadi dalam
perluasan akses untuk memperoleh NRT. Untuk perkiraan itu, diasumsikan bahwa
biaya NRT akan terpenuhi dari dana masyarakat. Hasil studi menyarankan bahwa
pemerintah harus secara hati-hati membuat analisis keefektivan biaya setempat
sebelum mempertimbangkan penyediaan terapi-terapi baru itu langsung kepada
umum. Penting dicatat bahwa hanya dengan membebaskan akses [kepada NRT]
saja sudah lebih mungkin menjadi efektif dari segi biaya dan dengan meningkatnya
efektivitas serta jumlah orang dewasa yang ingin berhenti merokok, maka manfaatbiaya NRT pun akan menjadi semakin baik.
88
MEREDAM WABAH
Sudah jelas bahwa diperlukan banyak penelitian untuk mengidentifikasi
efektivitas paket semacam itu, bagaimana kemungkinan efektivitas-biayanya di
negara-negara dengan tingkat penghasilan yang berbeda, dan berapa besar
biayanya untuk perorangan.
Yang ada sekarang baru suatu estimasi yang kurang sempurna tentang biaya
untuk mengimplementasikan program pengawasan terhadap tembakau secara
komprehensif. Bukti yang diperoleh dari negara berpendapatan tinggi
memperlihatkan bahwa dengan dana yang kecil pun, program-program
komprehensif semacam itu dapat dilaksanakan. Negara berpendapatan tinggi
dengan program yang sangat komprehensif menghabiskan dana antara 50 sen
dolar sampai $2.50 per kapita per tahun. Dalam hubungan ini, pengawasan
terhadap tembakau di negara berpendapatan rendah dan sedang mungkin dapat
dibiayai, bahkan demikian pula di negara-negara dimana pengeluaran per kapita
masyarakat untuk kesehatan sangat rendah. Dalam laporannya: 1993 World Development Report, Investing in Health, Bank Dunia memperkirakan bahwa untuk
menyelenggarakan paket intervensi kesehatan masyarakat yang esensial
dimasukkan pula program pengawasan terhadap tembakau. Untuk itu pemerintah
hanya perlu mengeluarkan uang $4 per kapita di negara berpendapatan rendah
dan $7 di negara berpendapatan sedang. Karena merupakan bagian kecil dari
biaya keseluruhan, biaya pengawasan terhadap tembakau menjadi sangat kecil.
Catatan
1. Disability-adjusted life year (DALY) adalah ukuran berdasarkan waktu yang memungkinkan
ahli epidemiologi mengetahui dalam satu indikator tahun-tahun yang hilang karena kematian
dini dan tahun-tahun ia hidup dengan kecacatan akibat penyakit dan lamanya menderita
(kematian dini itu didefinisikan sebagai sesuatu yang terjadi pada usia sebelum orang yang
mati itu menjalani tahun-tahun yang diharapkan ia masih hidup, seandainya ia menjadi anggota
model penduduk standar dengan angka harapan hidup sama dengan yang hidup terlama di
dunia, yaitu di Jepang). Satu DALY adalah satu tahun hidup yang hilang.
89
BAB 7
Sebuah Agenda untuk Bertindak
H
ANYA ada dua penyebab kematian yang tinggi tingkatnya dan
merambah ke dunia luas: HIV dan tembakau. Walaupun sebagian besar negara
sedikitnya telah menanggapi adanya HIV itu, tanggapan terhadap wabah tembakau
secara global sebegitu jauh masih terbatas dan terasa tidak beraturan (patchy).
Dalam bab ini akan dibahas beberapa faktor yang mungkin dapat mempengaruhi
keputusan-keputusan pemerintah untuk bertindak dan mengajukan suatu rencana
tindakan yang efektif.
Semua pemerintah mengakui bahwa dalam menyusun kebijakan, harus
memperhitungkan banyak faktor dan bukan hanya faktor ekonomi saja. Kebijakan
pengawasan terhadap tembakau tidak merupakan pengecualian. Sebagian besar
masyarakat sangat memperhatikan perlindungan terhadap anak-anak, walaupun
tingginya tingkat perhatian itu bervariasi dari satu budaya ke budaya lainnya.
Sebagian besar masyarakat mengharapkan agar lebih banyak diusahakan untuk
mengurangi penderitaan dan kerugian emosional yang diakibatkan oleh tembakau
yang membawa penyakit dan kematian dini itu. Studi ekonomi sampai saat ini
belum menemukan suatu konsensus bagaimana menilai beban ini. Bagi seorang
pembuat kebijakan yang berusaha memperbaiki kesehatan masyarakat,
pengawasan terhadap tembakau merupakan suatu pilihan yang menarik. Dengan
sedikit saja mengurangi beban penyakit berskala demikian besar, sudah akan
memberikan perbaikan kesehatan yang cukup signifikan. Konsensus yang muncul
di antara berbagai masyarakat yang menyatakan bahwa perlu ada perbaikan
kesehatan, tercermin dalam kebijakan-kebijakan mengenai rokok dan tindakantindakan World Health Organization serta organisasi-organisasi internasional
lainnya. (Lihat Gambar 7.1 dan 7.2 serta Lampiran A).
89
MEREDAM WABAH
90
Mungkin banyak masyarakat beranggapan bahwa alasan terkuat mengadakan
pengawasan terhadap tembakau adalah untuk menghalangi anak-anak dan remaja
mengisap rokok. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan dalam Bab 3, intervensi
yang secara khusus hanya ditujukan kepada konsumen termuda itu tidak akan
memberikan dampak yang diharapkan, sedangkan intervensi yang benar-benar
efektif — terutama perpajakan — akan juga berdampak pada orang dewasa.
Demikian pula, intervensi yang ditujukan khusus untuk melindungi orang-orang
GAMBAR 7.1 KECUALI PEROKOK SEKARANG INI BERHENTI, KEMATIAN AKIBAT
TEMBAKAU SECARA DRAMATIS AKAN MENINGKAT DALAM 50 TAHUN MENDATANG
Kematian kumulatif akibat tembakau yang diperkirakan terjadi tahun 1950-2050 dengan strategi
intervensi berbeda.
500
520
500
Baseline
Apabila setengah dari proporsi orang muda
Kematian akibat tembakau
(dalam juta)
dewasa mulai merokok pada tahun 2020
400
Apabila konsumsi orang dewasa menjadi
setengah pada tahun 2020
340
300
220
200
190
100
70
0
1950
2000
2025
2050
Tahun
Catatan: Peto dan kawan-kawan mengestimasi 60 juta kematian akibat tembakau di negaranegara maju antara tahun 1950-2000. Penulis mengestimasi tambahan 10 juta (kematian)
antara tahun 1990-2000 di negara-negara berkembang. Penulis mengasumsikan bahwa tidak
ada kematian akibat tembakau sebelum 1990 di negara-negara berkembang dan kematian
akibat tembakau di seluruh dunia sangat minimal sebelum 1950. Proyeksi-proyeksi jumlah
kematian dari tahun 2000 didasarkan atas [informasi dari] Peto (komunikasi pribadi (1998)
Sumber: Peto, Richards, and others, 1994. Mortality from Smoking in Developed Countries
1950-2000. Oxford University Press, dan komunikasi pribadi dengan Richard Peto.
SEBUAH AGENDA UNTUK BERTINDAK
91
yang tidak merokok akan gagal melindungi sebagian besar dari mereka dan
karenanya, sekali lagi, pajak adalah opsi yang paling efektif. Dalam konteks
pembuatan kebijakan yang sesungguhnya, banyak masyarakat akan
mempertimbangkan untuk menerima dampak yang lebih luas dari kebijakankebijakan itu, yang dalam istilah pragmatis, bahkan lebih diharapkan.
Bagaimanapun, setiap kebijakan pengawasan terhadap tembakau yang efeknya
hanya untuk menahan anak-anak agar tidak memulai merokok, dalam dekadedekade berikut tidak akan mempunyai dampak pada kematian secara global
sebagai akibat merokok, sebab sebagian besar kematian yang diperkirakan terjadi
dalam paro pertama abad berikut ini adalah para perokok yang memang sudah
lama ada (Gambar 7.1). Oleh karena itu, pemerintah yang ingin memperoleh
kemajuan dalam masalah kesehatan dalam jangka waktu menengah akan
berkeinginan mengajak orang-orang dewasa untuk juga berhenti merokok.
Mengatasi hambatan politis terhadap perubahan
Untuk membuat [suatu kebijakan itu] efektif, setiap pemerintah yang
memutuskan untuk melaksanakan pengawasan terhadap tembakau harus
melakukannya dalam konteks bahwa keputusan tersebut mendapatkan dukungan
luas. Walaupun tampaknya para perokok akan menentang keras pengawasan
terhadap tembakau itu, namun dalam kenyataan agak berbeda. Dalam berbagai
studi di negara-negara berpendapatan tinggi yang memiliki program-program
pengawasan terhadap tembakau, kebanyakan perokok dewasa ternyata
mendukung paling tidak sebagian program pengawasan tersebut, misalnya
tersedianya informasi yang bisa diperoleh secara mudah. Pemerintah tidak akan
berhasil mengerjakannya sendiri tanpa melibatkan masyarakat sipil, sektor swasta,
dan kelompok-kelompok peduli. Program-program itu mungkin akan lebih
berhasil apabila terdapat suatu persetujuan kolektif dan rasa memiliki melalui
kerja sama luas antara berbagai kepentingan masyarakat dengan penguasa untuk
melaksanakan dan mempertahankan perubahan itu.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengukur dampak terpadu dari
gabungan intervensi-intervensi itu. Seperti dilukiskan dalam Bab 4, setiap
intervensi mampu mencegah jutaan kematian, tetapi apakah suatu paket tindakan
akan mampu lebih banyak lagi menyelamatkan kehidupan dibandingkan dengan
jumlah dari hasil semua intervensi individual itu, sampai kini belum diketahui.
Dalam melaksanakan suatu paket [tindakan], setiap negara tampaknya akan
memberikan tekanan berbeda pada bermacam-macam intervensi, tergantung pada
kondisi negara tersebut. Misalnya, sebuah negara yang tingkat pajak rokoknya
lebih rendah daripada yang dikenakan di negara-negara tetangganya, akan
mendapatkan bahwa kenaikan pajak akan memberi dampak yang istimewa
kuatnya terhadap konsumsi rokok. Demikian pula halnya dengan penduduk yang
relatif terpelajar dan mampu akan kurang terpengaruh pada harga, tetapi lebih
memperhatikan informasi baru jika dibandingkan dengan penduduk yang kurang
92
MEREDAM WABAH
berpendidikan dan lebih miskin. Faktor-faktor budaya, misalnya, adanya suatu
kekuasaan totaliter, mungkin dapat mempengaruhi penerimaan suatu peraturan
misalnya, larangan merokok di tempat-tempat umum. Generalisasi ini tampaknya
suatu penyederhanaan, namun para pembuat kebijakan mungkin perlu
memperhatikan bila bermaksud memulainya.
Banyak pemerintah yang merencanakan suatu perubahan dengan tindakan
pengawasan terhadap tembakau, menghadapi halangan politis yang besar. Namun,
dengan mengidentifikasi pihak-pihak berkepentingan [stakeholders] di suatu
negara, baik dari pihak penyedia maupun dari pihak pemakai, para pembuat
kebijakan akan dapat mengetahui situasi masing-masing pihak, apakah tersebar
atau terkonsentrasi dan lain-lain faktor yang akan dapat mempengaruhi tanggapan
pihak-pihak tersebut terhadap suatu perubahan. Sebagai contoh, pembuat
kebijakan mungkin mengetahui bahwa para “pemenang”, yaitu mereka yang tidak
merokok mungkin adalah kelompok yang bertebaran dan berjauhan; sedangkan
mereka yang kalah, seperti petani tembakau mungkin mempunyai pengaruh politik
dan emosional yang kuat. Oleh karena itu, suatu perencanaan dan pemetaan
politik yang teliti sangat diperlukan agar dapat mencapai transisi yang mulus
dari ketergantungan sampai menjadi bebas dari tembakau, betapa pun sifat
ekonomi dan bentuk kerangka politik nasionalnya. Pemetaan semacam itu telah
dilakukan, misalnya di Vietnam.
Prioritas penelitian
Langkah-langkah untuk menekan permintaan seperti pajak lebih tinggi dan
larangan iklan serta promosi sudah tampak hasilnya di negara-negara
berpendapatan tinggi dan sudah cukup diketahui pentingnya untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan tersebut tanpa ditunda-tunda lagi. Namun, sejalan dengan
itu diperlukan suatu agenda penelitian, baik di bidang epidemiologi maupun
ekonomi, untuk membantu pemerintah menyesuaikan paket-paket intervensi
mereka sehingga mampu mencapai keberhasilan besar. Di bawah ini diberikan
beberapa bidang penelitian penting.
Penelitian terhadap penyebab, konsekuensi, serta biaya merokok pada
tingkat nasional dan regional
Suatu penelitian diperlukan pada tingkat nasional maupun regional untuk
“menghitung kematian akibat tembakau” dan menggolong-golongkan kematian
berdasarkan penyebabnya. Suatu cara mudah dan murah adalah menuliskan
keterangan mengenai perilaku merokok [seseorang] di masa lalu pada sertifikat
kematiannya, dan dengan demikian dapat mengadakan perbandingan kelebihan
merokok di antara kematian yang disebabkan oleh tembakau atau oleh sebab
lain. Keuntungan penelitian semacam itu melebihi nilai praktisnya sebagai suatu
informasi bagi pemerintah tentang status wabah tembakau atau sekedar suatu
SEBUAH AGENDA UNTUK BERTINDAK
93
informasi dasar (baseline) yang dapat digunakan untuk memantau dampak usahausaha pengawasan selanjutnya. Hasil-hasil penelitian tersebut akan meningkatkan
tanggapan terhadap suatu kebijakan dan dapat memberikan dampak signifikan
pada konsumsi tembakau.
Walaupun penelitian tentang epidemiologi konsekuensi merokok sedikitnya
telah mulai menyebar di luar negara-negara berpendapatan tinggi, namun
penelitian terhadap penyebab merokok, sifat kecanduan penggunaan tembakau,
dan faktor-faktor perilaku dihubungkan dengan umur mulai merokok masih
banyak mengacu pada Amerika Utara dan Eropa Barat. Sementara intervensiintervensi pengawasan sedang dilaksanakan, aktivitas penelitian yang paralel
dengan masalah ini akan dapat membantu mempermudah penentuan sasaran
intervensi, misalnya seperti yang dirancang untuk memperbaiki informasi
kesehatan bagi penduduk miskin demi memperoleh efek yang besar.
Bagi para ahli ekonomi, penelitian mengenai keefektifan biaya setiap
intervensi pada tingkat nasional merupakan suatu prioritas juga. Selanjutnya,
data tentang elastisitas harga di negara-negara berpendapatan rendah dan
menengah akan sangat berguna karena akan dapat dipakai untuk mengestimasi
biaya sosial dan perawatan kesehatan akibat penggunaan tembakau di negaranegara tersebut.
Sesungguhnya, penelitian mengenai pengawasan terhadap tembakau
memperoleh dana kurang dari yang diharapkan jika dilihat dari besarnya beban
penyakit akibat merokok. Selama awal tahun 1990-an, suatu periode waktu terbaru
yang datanya dapat diperoleh, investasi untuk penelitian dan pengembangan
pengawasan terhadap rokok berjumlah $50 per 1990 kematian (seluruhnya
berjumlah $148-$164 juta). Sebaliknya penelitian dan pengembangan mengenai
HIV mendapat dana $3,000 per 1990 kematian (total berjumlah $919 - $985
juta). Pengeluaran untuk kedua penyakit itu terutama terkonsentrasi di negaranegara berpendapatan tinggi.
Rekomendasi
Laporan ini mengajukan dua rekomendasi:
1. Bila pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan keras untuk
meredam wabah tembakau, perlu disusun suatu strategi multi-aspek.
Tujuannya adalah untuk menghindarkan anak-anak dari perilaku merokok,
melindungi mereka yang tidak merokok, dan memberikan informasi
tentang dampak merokok terhadap kesehatan kepada semua perokok.
Strategi yang perlu disusun sesuai dengan keperluan masing-masing negara
meliputi: (1) meningkatkan pajak dengan menggunakan ukuran kenaikan
yang digunakan oleh negara-negara yang melaksanakan kebijakan
pengawasan terhadap tembakau secara komprehensif dan menyebabkan
konsumsinya menjadi jauh berkurang. Di negara-negara tersebut besarnya
pajak adalah dua pertiga atau empat perlima dari harga eceran rokok; (2)
MEREDAM WABAH
94
menerbitkan dan menyebar-luaskan hasil-hasil penelitian tentang efek
tembakau pada kesehatan, menambahkan label peringatan keras pada
rokok, melarang iklan dan promosi [rokok] secara menyeluruh, dan
membatasi kegiatan merokok di tempat-tempat kerja atau tempat-tempat
umum; dan (3) memperluas akses pada pengganti nikotin (NRT) dan terapiterapi penyembuhan ketagihan yang lain.
2. Organisasi-organisasi internasional seperti badan-badan PBB harus
meninjau kembali program dan semua kebijakan mereka yang ada untuk
memastikan bahwa pengawasan terhadap tembakau mendapat perhatian
besar. Mereka harus mensponsori penelitian mengenai penyebab,
konsekuensi, dan biaya merokok serta keefektifan biaya suatu intervensi
yang dilakukan pada tingkat lokal. Mereka harus memperhatikan isu
pengawasan terhadap tembakau yang melampaui batas-batas negara,
termasuk bekerja sama dalam usulan WHO tentang Framework Convention for Tobacco Control. Bidang-bidang utama untuk suatu tindakan
termasuk memfasilitasi perjanjian internasional mengenai pengawasan
terhadap penyelundupan, mengadakan diskusi tentang penyesuaian pajak
guna mengurangi insentif bagi penyelundup serta melarang iklan dan
promosi yang melibatkan media komunikasi global.
Ancaman yang disebabkan oleh merokok terhadap kesehatan global memang
tidak ada sebelumnya, demikian pula halnya dengan potensi untuk mengurangi
kematian akibat rokok dengan kebijakan yang bermakna efektif-biaya. Laporan
ini menunjukkan skala keberhasilan yang mungkin dapat dicapai: tindakan yang
moderat dapat menjanjikan keberhasilan kesehatan secara substansial bagi abad
ke-21.
KOTAK 7.1 WORLD HEALTH ORGANIZATION (WHO) DAN FRAMEWORK
CONVENTION FOR TOBACCO CONTROL
Dalam Sidang Kesehatan Dunia bulan
Mei 1996, negara-negara anggota WHO
telah menetapkan suatu resolusi yang
meminta Direktur Jenderal WHO
memprakarsai pengembangan suatu
konvensi kerangka pengawasan terhadap
tembakau. WHO di bawah kepemimpinan
Direktur Jenderal Gro Harlem Brundtland,
telah menetapkan prioritas untuk
meningkatkan kembali tugas pengawasan
terhadap rokok dan telah menetapkan
sebuah proyek baru yaitu Tobacco Free
Initiative (TFI) - Prakarsa Bebas Tembakau.
Sebagai landasan tugas TFI adalah WHOFramework Convention for Tobacco Control (FCTC).
WHO-FCTC akan menjadi suatu
instrumen hukum internasional yang
dirancang guna membatasi perkembangan
wabah global disebabkan oleh tembakau
bersambung ke halaman berikutnya
95
SEBUAH AGENDA UNTUK BERTINDAK
KOTAK 7.1 (SAMBUNGAN)
terutama di negara-negara berkembang.
Bila [instrumen ini] diterapkan, konvensi ini
merupakan yang pertama bagi WHO dan
juga yang pertama di dunia. Ini adalah
pertama kalinya 191 anggota WHO
menggunakan wewenang konstitusional
mereka sebagai landasan pengembangan
sebuah konvensi. Di samping itu, ini adalah
konvensi multilateral yang pertama yang
secara khusus memfokuskan pada masalah
kesehatan masyarakat. Pengembangan
WHO FCTC akan banyak terbantu oleh
pengetahuan tentang kualitas kecanduan
dan yang mematikan akibat penggunaan
tembakau,
digabungkan
dengan
kepentingan banyak negara untuk
memperbaiki peraturan mengenai
tembakau melalui perangkat-perangkat
internasional.
Strategi pengaturan internasional
yang digunakan untuk memajukan
persetujuan dan tindakan multilateral
mengenai pengawasan terhadap tembakau
adalah dengan pendekatan protokol
kerangka konvensi. Strategi ini
memantapkan konsensus global dalam
tahap-tahap yang meningkat dengan jalan
mengadakan negosiasi-negosiasi secara
terpisah perihal berbagai masalah sehingga
menghasilkan persetujuan-persetujuan
tersendiri :
Pertama
negara-negara
menerima sebuah kerangka
konvensi yang memerlukan suatu
kerja sama untuk mencapai
tujuan-tujuan yang dinyatakan
secara garis besar serta
membangun institusi-institusi
dasar dengan struktur multilateral
yang legal.
Adanya persetujuan-persetujuan
protokol terpisah yang memuat
ketentuan-ketentuan spesifik
dimaksudkan untuk menerapkan
tujuan-tujuan umum yang
diperlukan oleh kerangka
konvensi.
Pendekatan dengan kerangka
konvensi-protokol telah digunakan untuk
menangani berbagai masalah global,
misalnya Konvensi Wina untuk Melindungi
Lapisan Ozon dan Protokol Montreal.
Negosiasi dan implementasi WHO
FCTC akan mampu membantu mengatasi
penggunaan tembakau dengan jalan
memobilisasi kesadaran nasional dan
internasional maupun sumber-sumber
teknis dan finansial demi langkah-langkah
pengawasan nasional yang efektif terhadap
tembakau. Konvensi tersebut juga akan
memperkuat kerja sama global mengenai
aspek-aspek pengawasan terhadap
tembakau yang melampaui batas-batas
negara, termasuk pemasaran dan promosi
produk-produk tembakau secara global
maupun dalam mengawasi penyelundupan.
Walaupun negosiasi setiap perjanjian itu
unik sifatnya dan tergantung pada kemauan
politis dari negara-negara bersangkutan,
namun WHO FCTC Accelerated Work Plan
(Rencana
Kerja
Dipercepat)
memperkirakan persetujuan mengenai
konvensi itu akan dapat dicapai selambatlambatnya bulan Mei 2003.
MEREDAM WABAH
96
KOTAK 7.2 KEBIJAKAN BANK DUNIA MENGENAI TEMBAKAU
Sejak tahun 1991 Bank Dunia telah
mempunyai kebijakan mengenai tembakau
karena menyadari bahayanya bagi
kesehatan. Kebijakan itu memuat lima butir
utama. Pertama, aktivitas Bank di sektor
kesehatan, seperti mengadakan dialog
tentang kebijakan dan peminjaman [dana]
dan [bagaimana] menghalangi keinginan
menggunakan produk-produk tembakau.
Kedua, Bank tidak langsung meminjamkan
dana untuk, atau melakukan investasi dalam,
atau menjamin investasi atau pinjaman untuk
produksi, pemrosesan atau pemasaran
tembakau. Akan tetapi, di beberapa negara
agraris yang sangat tergantung pada
tembakau sebagai sumber pendapatan dan
perolehan devisa, Bank bertujuan
menangani isu itu dengan cara menanggapi
secara efektif kebutuhan-kebutuhan
pembangunan [nasional] negara-negara
tersebut. Bank bertujuan membantu negeranegara itu melakukan diversifikasi pertanian
selain tembakau. Ketiga, Bank juga tidak
meminjamkan secara tidak langsung kepada
kegiatan-kegiatan berkaitan dengan produksi
tembakau, sejauh hal ini dapat dijalankan.
Keempat, tembakau dan mesin pemrosesan
serta alat-alatnya tidak dapat dimasukkan
sebagai barang impor yang dibiayai dengan
pinjaman [dari Bank]. Kelima, impor
tembakau dan barang-barang impor
berkaitan dengan tembakau mungkin
dikecualikan dalam perjanjian antara
nasabah
dengan
Bank
untuk
membebaskan perdagangan dan
menurunkan tarif.
Kebijakan Bank ini konsisten dengan
alasan-alasan untuk mengakhiri subsidi
seperti diuraikan dalam laporan ini. Akan
tetapi, langkah-langkah yang menekankan
pada tindakan terhadap segi penawaran
belum berhasil mengurangi konsumsi
tembakau dalam ukuran apa pun sejak
1991 hingga kini. Dalam laporan
sementaranya, tugas Bank mengenai pengawasan terhadap rokok yang meliputi
kurang lebih 14 negara dengan total biaya
proyek lebih dari US$100 juta adalah
sebagian besar di bidang promosi dan
informasi kesehatan. Pekerjaan ini
diperluas dengan memfokuskan pada
harga dan peraturan, yang pada dasarnya
telah mendapat dukungan sebagaimana
diuraikan dalam Sector Strategy Paper
1997 dari Bank. Laporan itu mengkonfirmasikan betapa pentingnya memfokuskan
pada harga sebagai satu cara efektif untuk
mengurangi permintaan.
97
LAMPIRAN A
Pajak Tembakau : Sebuah Pandangan dari
International Monetary Fund
M
ENAIKKAN besarnya cukai tembakau sering dimasukkan sebagai
komponen program stabilisasi yang didukung IMF untuk negara-negara yang
perlu memobilisasi tambahan pendapatan dari pajak sebagai upaya mengurangi
defisit anggaran. Walaupun cukai terhadap produk-produk tembakau mungkin
ditingkatkan terutama untuk menaikkan pendapatan negara, namun ada juga
keuntungannya dilihat dari segi kesehatan sebagai akibat menurunnya konsumsi
rokok.
Dalam menentukan besarnya pajak tembakau, pemerintah perlu
mempertimbangkan beberapa faktor, termasuk dampak penyelundupan,
perdagangan lintas batas negara serta perdagangan bebas pajak di atas kapal dan
pesawat terbang. Adalah untuk kepentingan pemerintah mengurangi
penyelundupan rokok bukan saja guna meningkatkan pendapatan dari cukai tetapi
juga untuk membatasi kehilangan pendapatan dari pajak-pajak lain, seperti pajak
pendapatan dan pajak pertambahan nilai sebagai akibat transaksi gelap yang
menggantikan transaksi legal. Pada akhirnya, besarnya cukai tembakau harus
mencerminkan daya beli konsumen lokal, tingkat harga di negara-negara tetangga
dan terutama sekali kemampuan dan kesediaan para pejabat pajak untuk
menerapkan peraturan secara luwes.
Dalam kaitannya dengan cukai tembakau, negara seharusnya mengenakan
pajak pada semua jenis rokok: sigaret, cerutu, tembakau pipa, tembakau isap
atau kunyah dan rokok linting. Suatu praktek internasional yang terbaik adalah
mengenakan cukai berdasarkan tujuan barang dengan mengenakan pajak pada
barang yang diimpor sedangkan yang diekspor dibebaskan dari pajak.
Cukai itu dapat berupa pajak khusus (berdasarkan kuantitas) atau ad valorem (berdasarkan nilai). Apabila tujuan pertama pengenaan cukai itu adalah untuk
mengurangi konsumsi, hal itu dapat menjadi alasan kuat guna menetapkan cukai
khusus untuk setiap batang rokok. Pajak-pajak khusus akan lebih mudah
97
98
MEREDAM WABAH
mengaturnya, sebab hanya diperlukan penentuan jumlah fisik suatu produk yang
akan dikenai pajak dan tidak perlu menetapkan nilai produk tersebut. Namun,
pajak-pajak ad valorem akan lebih dapat disesuaikan dengan tingkat inflasi
dibandingkan dengan pajak khusus, walaupun untuk pajak khusus yang sudah
cukup sering disesuaikan.
Pengaturan cukai tembakau domestik memerlukan suatu strategi terpadu
untuk pendaftaran pembayar pajak; pengajuan (filing) dan pembayaran;
pemungutan pajak tertunggak; audit; dan layanan pada pembayar pajak. Negaranegara berkembang dan negara-negara dalam transisi mungkin perlu mengatur
fasilitas-fasilitas produksi tembakau sebagai suatu ekstrateritorial dan menerapkan
cukai sama seperti menerapkan bea pabean. Petugas pajak harus mengawasi
pengiriman-pengiriman ke dalam dan ke luar suatu wilayah produksi.
Pita cukai dapat membantu memastikan pembayaran cukai dan untuk barangbarang yang telah dikenai cukai untuk suatu [wilayah] jurisdiksi, tidak akan
dikirim ke tempat lain. Namun, penerapan pita cukai akan menyangkut biaya
yang cukup besar di pihak produsen barang-barang kena cukai. Selanjutnya, pita
cukai akan kurang artinya sebagai suatu bentuk pengawasan kecuali kalau
penggunaannya pada tingkat eceran terus menerus dipantau.
99
LAMPIRAN B
Makalah Latar Belakang
B
EBERAPA dari makalah latar belakang di bawah ini telah diterbitkan
oleh Oxford University Press dalam buku berjudul Tobacco Control Policies in
Developing Countries yang diedit oleh Prabhat Jha dan Frank J. Chaloupka.
Bobak, Martin, Prabhat Jha, Son Nguyen, and Martin Jarvis. Poverty and Tobacco.
Chaloupka, Frank, Tei-Wei Hu, Kenneth E. Warner, Rowena van der Merwe, and
Ayda Yurekli. Taxation of Tobacco Products.
Gajalakshmi, C.K., Prabhat Jha, Son Nguyen, and Ayda Yurekli. Patterns of Tobacco Use and Health Consequences.
Jha, Prabhat, Phillip Musgrove, and Frank Chaloupka. Is There a Rationale for
Government Intervention?
Jha, Prabhat, Fred Paccaud, Ayda Yurekli, and Son Nguyen. Strategic Priorities
for Governments and Development Agencies in Tobacco Control.
Joossens, Luk, David Merriman, Ayda Yurekli, and Frank Chaloupka. Issues in
Tobacco Smuggling.
Kenkel, Donald, Likwang Chen, Teh-Wei Hu, and Lisa Bero. Consumer Information and Tobacco Use.
Lightwood, James, David Collins, Helen Lapsley, Thomas Novotny, Helmut Geist,
and Rowena van der Merwe. Counting the Costs of Tobacco Use.
Merriman, David, Ayda Yurekli, and Frank Chaloupka. How Big Is the Worldwide Cigarette Smuggling Problem?
99
100
MEREDAM WABAH
Novotny, Thomas E., Jillian C. Cohen, and David Sweanor. Smoking Cessation,
Nicotine Replacement Therapy, and the Role of Government in Supporting
Cessation.
Peck, Richard, Frank Chaloupka, Prabhat Jha, and James Lightwood. Cost Benefit Analysis of Tobacco Consumption.
Ranson, Kent, Prabhat Jha, Frank Chaloupka, and Ayda Yurekli. Effectiveness
and Cost-effectiveness of Price Increases and Other Tobacco Control Policy
Interventions.
Saffer, Henry. The Control of Tobacco Advertising and Promotion.
Sunley, Emil M., Ayda Yurekli, and Frank Chaloupka. The Design, Administration, and Potential Revenue of Tobacco Excises: A Guide for Developing and
Transition Countries.
Taylor, Allyn L., Frank Chaloupka, Emmanuel Guindon, and Michaelyn Corbett.
Trade Liberalization and Tobacco Consumption.
Van der Merwe, Rowena, Fred Gale, Thomas Capehart, and Ping Zhang. The
Supply-side Effects of Tobacco Control Policies.
Woollery, Trevor, Samira Asma, Frank Chaloupka, and Thomas E. Novotny. Other
Measures to Reduce the Demand for Tobacco Products.
Yurekli, Ayda, Son Nguyen, Frank Chaloupka, and Prabhat Jha. Statistical Annex
101
LAMPIRAN C
Ucapan Terima Kasih
L
APORAN ini banyak memanfaatkan gagasan dan masukan teknis
maupun tanggapan kritis dari sejumlah orang dan lembaga. Sumbangansumbangan terhadap bab-bab tertentu dapat dilihat dalam Catatan Bibliografi.
Para pembahas makalah-makalah latar belakang atau ringkasan laporan
dicantumkan di bawah ini. Di samping itu masukan yang penting telah diperoleh
melalui serangkaian konsultasi.
A. Pembahas makalah-makalah latar belakang dan ringkasan laporan
Iraj Abedian, Samira Asma, Peter Anderson, Enis Baris, Howard Barnum, Edith
Brown-Weiss, Neil Collishaw, Michael Ericksen, Christine Godfrey, Robert
Goodland, Ramesh Govindaraj, Vernor Griese, Jack Henningfield, Chee-Ruey
Hsieh, The-Wei Hu, Gregory Ingram, Paul Isenman, Steven Jaffee, Dean Jamison,
Michael Linddal, Alan Lopez, Dorsati Madani, Will Manning, Jacob Meerman,
Cyril Muller, Philip Musgrove, Richard Peck, Richard Peto, Markku Pekurinen,
John Ryan, David Sweanor, John Tauras, Joy Townsend, Adam Wagstaff, Kenneth Warner, Trevor Woollery, Russell Wilkins, Witold Zatonski, Barbara Zolty,
dan Mitch Zeller.
B. Konsultasi
1. Penelaahan Garis Besar Laporan Buram (draft) dan Isu-isu Ekonomi
Utama
Pada Konferensi Dunia ke-10 tentang Tembakau dan Kesehatan yang diadakan
di Beijing, Cina pada tanggal 27 Agustus 1997. Didukung oleh Bank Dunia.
101
102
MEREDAM WABAH
Ketua: Thomas Novotny
Peserta: Iraj Abedian, Frank Chaloupka, Simon Chapman, Kishore Chaudry,
Neil Collishaw, Vera Luisa da Costa y Silva, Prakash Gupta, Laksmiati Hanafiah,
Natasha Herrera, Teh-Wei Hu, Desmond Johns, Prabhat Jha, Luk Joossens, Ken
Kyle, Eric LeGresley, Michelle Lobo, Judith Mackay, Patrick Masobe, Kathleen
McCormally, Zofia Mielecka-Kubien, Rafael Olganov, Alex Papilaya, Terry
Pechacek, Milton Roemer, Ruth Roemer, Lu Rushan, Cecilia Sepulveda, David
Simpson, Paramita Sudharto, Joy Townsend, Sharad Vaidya, Rowena Van Der
Merwe, Kenneth Warner, Shaw Watanabe, David Zaridze, dan Witold Zatonski.
2. Pembahasan Awal mengenai Garis Besar dan Isi Makalah-Makalah Latar
Belakang
Tanggal 20 Februari 1998 pada konferensi di Universitas Cape Town tentang
“Ekonomi Rokok: Menuju suatu Rumusan Kebijakan yang Optimal,” Cape Town,
Afrika Selatan. Didukung oleh Institute of Social and Preventive Medicine Universitas Lausanne dan Universitas Cape Town.
Ketua: Paul Isenman
Peserta: Iraj Abedian, Judith Bale, Enis Baris, Frank Chaloupka, David Collins,
Neil Collishaw, Brian Easton, Helmut Geist, Chee-Ruey Hsieh, Teh-Wei Hu,
Prabhat Jha, Luk Joossens, Kamal Nayan Kabra, Pamphil Kweyuh, Helen Lapsley,
Judith Mackay, Eddie Maravanyika, Sergiusz Matusia, Thomas Novotny, Fred
Paccaud, Richard Peck, Krzysztof Przewozniak, Yussuf Saloojee, Conrad
Shamlaye, Timothy Stamps, Krisela Steyn, Frances Stillman, David Sweanor,
Joy Townsend, Rowena Van Der Merwe, Kenneth Warner, dan Derek Yach.
3. Rapat Pembahasan Teknis Para Pakar Ekonomi
Pada tanggal 22-24 November 1998 di Lausanne, Swiss. Disponsori oleh Institute of Social and Preventive Medicine Universitas Lausanne dan Bank Dunia.
Ketua bersama: Felix Gutzwiller dan Fred Paccaud
Peserta: Iraj Abedian, Nisha Arunatilleke, Martin Bobak, Phyllida Brown, Frank
Chaloupka, David Collins, Jacques Cornuz, Christina Czart, Nishan De Mel,
Jean-Pierre Gervasoni, Peter Heller, Tomasz Hermanowski, Alberto Holly, TehWei Hu, Paul Isenman, Dean Jamison, Prabhat Jha, Luk Joossens, Jim Lightwood,
Helen Lapsley, David Merriman, Phillip Musgrove, Son Nguyen, Richard Peck,
Markku Pekurinen, Thomson Prentice, Kent Ranson, Marie-France Raynault,
John Ryan, Henry Saffer, David Sweanor, John Tauras, Allyn Taylor, Joy
LAMPIRAN C
103
Townsend, Rowena van der Merwe, Kenneth Warner, Trevor Woollery, dan Ayda
Yurekli.
4. Pembahasan oleh Pakar-Pakar Eksternal
Pada tanggal 17 Maret 1999, di Washington, D.C. Disponsori oleh Office on
Smoking and Health, US Centers for Disease Control and Prevention.
Ketua: Michael Ericksen
Peserta: Iraj Abedian, Samira Asma, Judith Bale, Enis Baris, Phyllida Brown,
Frank Chaloupka, Peter Heller, Paul Isenman, Prabhat Jha, Nancy Kaufman,
Thomas Loftus, Judith Mackay, Caryn Miller, Rose Nathan, Son Nguyen, Fred
Paccaud, Anthony So, Roberta Walburn, Kenneth Warner, Trevor Woollery, Derek
Yach, dan Ayda Yurekli.
104
MEREDAM WABAH
Bosnia dan
Laos
Moldavia
Vietnam
Tajikistan
Kirghizia
Myanmar
Herzegovina
Azerbaijan
Cina
Mongolia
Armenia
Kamboja
Berpendapatan rendah
Eropa dan
Asia Tengah
Asia Timur
dan Pasifik
Guyana
Haiti
Honduras
Nikaragua
dan Karibia
Amerika Latin
Rep. Yemen
dan Afrika Utara
Timur Tengah
Afganistan
Bangladesh
Bhutan
India
Nepal
Pakistan
Sri Lanka
Asia Selatan
berpendapatan tinggi
bersambung ke halaman berikutnya
Lain negara
Negara OECD
berpendapatan tinggi
Angola
Benin
Burkina Faso
Burundi
Kamerun
Rep. Afrika Tengah
Chad
Rep. Demo. Komoro
Rep. Demo. Kongo
Rep. Kongo
Pantai Gading
Guinea Ekuatorial
Eritrea
Ethiopia
Gambia
Ghana
Guinea
Guinea-Bissau
Sub-Sahara
Afrika
Negara-Negara di dunia menurut pendapatan dan wilayah regional
(Pengelompokan menurut klasifikasi Bank Dunia)
LAMPIRAN D
105
105
Asia Tengah
dan Pasifik
Albania
Belarus
Fiji
Indonesia
Berpendapatan menengah ke bawah
Berpendapatan rendah (sambungan)
Eropa dan
Asia Timur
Bolivia
Belize
dan Karibia
Amerika Latin
Arab Mesir
Aljazair
dan Afrika Utara
Timur Tengah
Maladewa
Asia Selatan
Negara OECD
berpendapatan tinggi
Tanjung Verde
Botswana
Kenya
Lesotho
Liberia
Madagaskar
Malawi
Mali
Mauritania
Mozambique
Niger
Nigeria
Rwanda
Sao Tome dan Principe
Senegal
Sierra Leone
Somalia
Sudan
Tanzania
Togo
Uganda
Zambia
Zimbabwe
Sub-Sahara
Afrika
berpendapatan tinggi
Lain negara
Negara-negara di dunia menurut pendapatan danilayahegional (Pengelompokan menurut klasifikasi Bank Dunia) - sambungan
106
MEREDAM WABAH
Rep. Dominika
Kazakstan
Latvia
Neg. Fed
Peru
St. Vincent dan
Grenadines
Rumania
Fed. Rusia
Turki
Turmenistan
Ukraina
Uzbekiztan
Rep. Fed.
Kep. Solomon
Thailand
Tonga
Vanuatu
Barbados
Brasil
Cile
Rep. Ceko
Hongaria
Pulau Man
Malta
Polandia
Malaysia
Palau
Argentina
Barbuda
Kroasia
Amerika
Antigua dan
Venezuela
Suriname
Panama
Jamaika
Guatemala
Grenada
Samoa
Berpendapatan menengah atas
Yugoslavia
Paraguay
FYR
Samoa
El Savador
Macedonia
Filipina
Ekuador
Lithuania
Kuba
Papua Nugini
Mikronesia
Dominika
Georgia
Kep. Marshall
Kosta Rika
Estonia
Korea Utara
Kolombia
Bulgaria
Kiribati
Arab Saudi
Oman
Libia
Bahrain
Gaza
Tepi Barat dan
Tunisia
Suriah
Rep. Arab
Maroko
Lebanon
Yordania
Irak
Rep. Islam Iran
Maldives
Afrika Selatan
Seychelles
Mayotte
Mauritius
Gabon
Swaziland
Namibia
Jibuti
bersambung ke halaman berikutnya
DUNIA MENURUT PENDAPATAN DAN WILAYAH REGIONAL
107
dan Karibia
Amerika Latin
Berpendapatan tinggi
Meksiko
Slovenia
Uruguay
Tobago
Trinidad dan
Santa Lusia
Timur Tengah
dan Afrika Utara
St. Kitts & Nevis
Puerto Riko
Guadeloupe
Rep. Slowakia
Berpendapatan menengah atas (sambungan)
Eropa dan
Asia Tengah
Asia Timur
dan Pasifik
Asia Selatan
Sub-Sahara
Afrika
Andora
Aruba
Bahama
Bermuda
Brunei
Kep. Cayman
Kep. Channel
Siprus
Austria
Belgia
Kanada
Denmark
Finlandia
Perancis
Jerman
tinggi
Australia
Lain negara
berpendapatan tinggi
OECD berpendapatan
Negara-negara di dunia Menurut Pendapatan dan Wilayah Regional (Pengelompokan menurut klasifikasi Bank Dunia) - sambungan
108
MEREDAM WABAH
Sumber : Bank Dunia, 1998
Polinesia Prancis
Greenland
Guam
Hongkong
Irlandia
Italia
Jepang
Korea Selatan
Kuwait
Liechtenstein
Makao
Martinik
Monaco
Antilla Belanda
Kaledonia Baru
Kep. Mariana
Selandia Baru
Norwegia
Portugal
Spanyol
Swedia
Swiss
Inggris
Amerika Serikat
Kep. Virgin (AS)
Uni Emirat Arab
Singapura
Reunion
Qatar
Utara
Israel
Belanda
Cina
Guyana Prancis
Eslandia
Luxembourg
Kep. Faeroe
Yunani
DUNIA MENURUT PENDAPATAN DAN WILAYAH REGIONAL
109
110
MEREDAM WABAH
111
Catatan Bibliografis
Bab 1. Kecenderungan Global Konsumsi Tembakau
Pembahasan tentang konsumsi dan epidemiologi diambil dari tulisan-tulisan yang
dibuat oleh Gajalakshmi dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Lund dan
kawan-kawan, 1995; Ranson dan kawan-kawan, makalah latar belakang ; Wald
dan Hackshaw, 1996, dan WHO, 1997. Seksi mengenai status sosio-ekonomi
diambil dari makalah latar belakang Bobak dan kawan-kawan; Chinese Academy of Preventive Medicine, 1997; Gupta, 1996; Jenkins dan kawan-kawan, 1997;
Obot, 1990; Hill dan kawan-kawan, 1998; Laporan US Surgeon General, 1989
dan 1994; Pemerintah Inggris, 1998; Wersall dan Eklund, 1998; serta White dan
Scollo, 1998. Uraian tentang liberalisasi perdagangan diambil dari Chaloupka
dan Laixuthai, 1996; dan makalah latar belakang dari Taylor serta kawan-kawan.
Bab 2. Konsekuensi Kesehatan Perilaku Merokok
Pembahasan mengenai kecanduan nikotin diambil dari tulisan Charlton, 1996;
Foulds, 1996; Lynch dan Bonnie, 1994; Kessler, 1995; McNeill, 1989; dan
Laporan-laporan US Surgeon General 1988, 1989, dan 1994. Uraian tentang
beban penyakit disebabkan oleh rokok diambil dari makalah latar belakang Bobak
dan kawan-kawan; Doll dan Peto, 1981; Doll dan kawan-kawan, 1994; Environmental Protection Agency, 1992; makalah latar belakang Gajalakshmi dan kawankawan; Gupta,1989; Jha dan kawan-kawan, akan terbit; Liu dan kawan-kawan,
1998; Meara, akan terbit; Niu dan kawan-kawan, 1998; Parish dan kawan-kawan,
1995; Peto dan kawan-kawan, 1994; Peto, Chen, dan Boreham, 1999; dan Royal
College of Physicians, 1992.
Bab 3. Apakah Perokok Tahu Risikonya dan Menanggung Biayanya?
111
112
MEREDAM WABAH
Uraian tentang kesadaran mengenai risiko kesehatan diambil dari Ayanian dan
Cleary, 1999; Barnum, 1994; Chaloupka dan Warner, dari pers; Chinese Academy of Preventive Medicine, 1997; Johnston dan kawan-kawan; 1998; Kenkel
dan kawan-kawan, ; makalah latar belakang; Kessler, 1995; Levshin dan
Droggachih, 1999; Schoenbaum, 1997; Viscusi, 1990,1991 dan 1992; Weinstein,
1998 dan Zatonski, 1996. Diskusi mengenai Biaya dibebankan pada orang lain
diambil dari Lightwood dan kawan-kawan, makalah latar belakang, Manning
dan kawan-kawan, 1991; Pekurinen, 1992; Viscusi, 1995; Warner dan kawankawan, dalam pers; dan Bank Dunia 1994b.
Bab 4. Langkah-Langkah Mengurangi Permintaan terhadap
Tembakau
Bab ini diambil dari Abedian dan kawan-kawan, 1998; Chaloupka dan kawankawan, makalah latar belakang; Chaloupka dan Warner, dalam pers; Townsend,
1996; Jha dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Kenkel dan kawan-kawan,
makalah latar belakang; Laugesen dan Meads, 1991; Novotny dan kawan-kawan,
makalah latar belakang; Pekurinen, 1992; Ranson dan kawan-kawan, makalah
latar belakang; Raw dan kawan-kawan, 1999; Reid, 1996; Saffer dan Chaloupka,
1999; Saffer dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Tansel, 1993; Townsend,
1998; UK Department of Health, 1998; Laporan US Surgeon General 1989;
Warner dan kawan-kawan, 1997; dan Zatonski dan kawan-kawan, 1999.
Bab 5. Langkah-Langkah Mengurangi Penawaran Tembakau
Bab ini diambil dari Altman dan kawan-kawan, 1998; Berkelman dan Buehler,
1990; Chaloupka dan Warner, dalam pers; Crescenti, 1992; Food and Argiculture
Organization, 1998; Ginsberg, 1999; IEC, 1998; Joossens dan kawan-kawan,
makalah latar belakang; Maravanyika, 1998; Merriman dan kawan-kawan,
makalah latar belakang; Reuter, 1992; Taylor dan kawan-kawan, makalah latar
belakang; Thursby dan Thursby, 1994; US Department of Agriculture 1998; Van
der Merwe, makalah latar belakang; Warner, 1988; Warner dan Fulton, 1994;
Warner dan kawan-kawan, 1996; dan Zang dan Husten, 1998.
Bab 6. Biaya dan Konsekuensi Pengawasan terhadap Tembakau
Bab ini diambil dari Altman dan kawan-kawan, 1998; Buck dan kawan-kawan,
1995; Centers for Disease Control and Prevention, 1998; Chaloupka dan kawankawan, makalah latar belakang; Doll dan Crofton, 1996; Efroymson dan kawankawan, 1996; Irvine dan Sims, 1997; Jones, 1999; Joossens dan kawan-kawan,
makalah latar belakang; McNicoll dan Boyle, 1992; Murray dan Lopez, 1996;
Orphanides dan Zervos, 1995; Suranovic dan kawan-kawan, 1999; Townsend,
1998; Van der Merwe, 1998; Van der Merwe dan kawan-kawan, makalah latar
CATATAN BIBLIOGRAFIS
113
belakang; Warner 1987; Warner dan Fulton, 1994; Warner dan kawan-kawan,
1996; Bank Dunia, 1993.
Bab 7. Sebuah Agenda untuk Bertindak
Bab ini diambil dari Jha dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Abedian dan
kawan-kawan, 1998; WHO, 1996a; US Surgeon General 1999, dan Samet dan
kawan-kawan, 1997.
114
MEREDAM WABAH
115
Bibliografi
Abedian, Iraj, Rowena van der Merwe, Nick Wilkins, and Prabhat Jha, eds. 1998.
The Economics of Tobacco Control. Towards an Optimal Policy Mix. Cape
Town, South Africa: Applied Fiscal Research Centre, University of Cape Town.
Agro-economic Services, Ltd, and Tabacosmos, Ltd. 1987. The Employment,
Tax Revenue and Wealth that the Tobacco Industry Creates.
Altman, D. G., D. J. Zaccaro, D. W. Levine, D. Austin, C. Woodell, B. Bailey, M.
Sligh, G. Cohn, and J. Dunn. 1998. “Predictors of Crop Diversification: A
Survey of Tobacco Farmers in North Carolina.” Tobacco Control 7(4):37682.
American Economics Group, Inc. 1996. Economic Impact in the States of Proposed FDA Regulations Regarding the Advertising, Labeling and Sale of Tobacco Products. Washington, D.C.
Atkinson, A. B., and J. L. Skegg. 1973. “Anti-Smoking Publicity and the Demand for Tobacco in the UK.” The Manchester School of Economic and Social Studies 41:265-82.
Atkinson, A. B., J. Gomulka, and N. Stern. 1984. Household Expenditure on
Tobacco 1970-1980. Evidence from the Family Expenditure Survey. London:
London School of Economics.
Ayanian, J., and P. Cleary. 1999. “Perceived Risks of Heart Disease and Cancer
Among Cigarette Smokers.” Journal of the American Medical Association
281 (11): 1019-21.
115
116
MEREDAM WABAH
Barendregt, J. J., L. Bonneux, and P. J. van der Maas. 1997. “The Health Care
Costs of Smoking.” New England Journal of Medicine 337(15): 1052-7.
Barnum, Howard. 1994. “The Economic Burden of the Global Trade in Tobacco.”
Tobacco Control 3:358-61.
Barnum, Howard, and R. E. Greenberg. 1993. “Cancers.” In Jamison, D. T, H. W
Mosley, A. R. Measham, and J. L. Bobadilla, eds., Disease Control Priorities
in Developing Countries. New York: Oxford Medical Publications.
Becker, G. S., M. Grossman, and K. M. Murphy. 1991. “Rational Addiction and
the Effect of Price on Consumption.” American Economic Review 81:237 41.
—— .1994. “An Empirical Analysis of Cigarette Addiction.” American
Economic Review 84:396-418.
Berkelman, R. L., and J. W. Buehler. 1990. “Public Health Surveillance of NonInfectious Chronic Diseases: the Potential to Detect Rapid Changes in Disease Burden.” International Journal of Epidemiology 19(3):628-35.
Booth, Martin. 1998. Opium: A History. New York: St. Martin’s Press.
British American Tobacco. 1994. Tobacco Taxation Guide: A Guide to Alternative Methods of Taxing Cigarettes and Other Tobacco Products. Woking, U.K.:
Optichrome The Printing Group.
Buck, David, C. Godfrey, M. Raw, and M. Sutton. 1995. Tobacco and Jobs.
York, U.K.: Society for the Study of Addiction and the Centre for Health
Economics, University of York.
Capehart, T. 1997. “The Tobacco Program—A Summary and Update.” Tobacco
Situation & Outlook Report. U.S. Department of Agriculture, Economic Research Service, TBS-238.
Chaloupka, F. J. 1990. Men, Women, and Addiction: The Case of Cigarette Smoking. NBER Working Paper No. 3267. Cambridge, Mass.: National Bureau of
Economic Research.
———.1991. “Rational Addictive Behavior and Cigarette Smoking.” Journal of
Political Economy 99(4):722 42.
———.1998. The Impact of Proposed Cigarette Price Increases. Policy Analysis No. 9, Health Sciences Analysis Project. Washington D.C.: Advocacy Institute.
Chaloupka, F. J., and A. Laixuthai.1996. US Trade Policy and Cigarette Smoking in Asia, NBER Working Paper No. 5543. Cambridge, Mass.: National
Bureau of Economic Research.
Chaloupka, F. J., and H. Saffer. 1992. “Clean Indoor Air Laws and the Demand
for Cigarettes.” Contemporary Policy Issues 10(2):72-83.
Chaloupka, F. J., and H. Wechsler. 1997. “Price, Tobacco Control Policies and
Smoking Among Young Adults.” Journal of Health Economics 16(3):35973.
Chaloupka, F. J., and K. E. Warner. In press. “The Economics of Smoking.” In
Newhouse, J., and A. Culyer, eds., The Handbook of Health Economics.
Amsterdam: North Holland.
BIBLIOGRAFI
117
Chaloupka, F. J., and M. Grossman. 1996. Price, Tobacco Control Policies and
Youth Smoking. NBER Working Paper No. 5740. Cambridge, Mass.: National
Bureau of Economic Research.
Chaloupka, F. J., and R. L. Pacula. 1998. An Examination of Gender and Race
Differences in Youth Smoking Responsiveness to Price and Tobacco Control
Policies. NBER Working Paper No. 6541. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research.
Chalton, A. 1996. “Children and Smoking: The Family Circle.” British Medical
Bulletin, 52(1):90-107.
Chase Econometrics. 1985. The Economic Impact of the Tobacco Industry on the
United States Economy in 1983. Bala Cynwyd, Penn.: Chase Econometrics.
Chinese Academy of Preventive Medicine. 1997. Smoking in China: 1996 National Prevalence Survey of Smoking Pattern. Beijing: China Science and
Technology Press.
Coalition on Smoking or Health. 1994. Saving Lives and Raising Revenue. The
Case for a $2 Federal Tobacco Tax Increase. Washington D.C.
Collins, D. J., and H. M. Lapsley. 1997. The Economic Impact of Tobacco Smoking in Pacific Islands. Wahroonga, NSW, Australia: Pacific Tobacco and Health
Project.
Collishaw, Neil. 1996. “An International Framework Convention for Tobacco
Control.” Heart Beat 2: 11.
Crescenti, M. G. 1992. “No Alternative to Tobacco.” Tobacco Journal International 6, November-December 14.
Doll, Richard, and R. Peto. 1981. The Causes of Cancer. New York: Oxford
University Press.
Doll, Richard, R. Peto, K. Wheatley, R. Gray, and I. Sutherland. 1994. “Mortality in Relation to Smoking: 40 Years’ Observations on Male British Doctors.”
British Medical Journal, 309(6959):901-11.
Doll, Richard, and John Crofton, eds. 1996. “Tobacco and Health.” British Medical
Bulletin Vol. 52, No. 1.
Douglas, S. 1998. “The Duration of the Smoking Habit.” Economic Inquiry
36(1):49-64.
Duffy, M. 1996. “Econometric Studies of Advertising, Advertising Restrictions,
and Cigarette Demand: A Survey.” International Journal of Advertising 15:123.
The Economist. 1995. “An Anti-Smoking Wheeze: Washington Needs a Sensible All-Drugs Policy, Not a “War’ on Teenage Smoking.” 19 August, pp.
14-15.
———. 1997. “Tobacco and Tolerance.” 20 December, pp. 59-61.
Efroymson, D., D. T. Phuong, T. T. Huong, T. Tuan, N. Q. Trang, V. P. N. Thanh,
and T Stone. Decision Mapping for Tobacco Control in Vietnam: Report to
the International Tobacco Initiative. PATH Canada Project 94-0200-01/02214.
Ensor, T. 1992 “Regulating Tobacco Consumption in Developing Countries.”
118
MEREDAM WABAH
Health Policy and Planning, 7:375-81.
EPA (Environmental Protection Agency). 1992. Respiratory Health Effects of
Passive Smoking: Lung Cancer and Other Disorders. EPA, Office of Research and Development, Of fice of Air and Radiation. EPA/600/6-90/006F.
Evans, W. N., and L. X. Huang. 1998. Cigarette Taxes and Teen Smoking: New
Evidence from Panels of Repeated Cross-Sections. Working paper. Department of Economics. University of Maryland.
Evans, W. N. and M. C. Farrelly.1998. “The Compensating Behavior of Smokers: Taxes, Tar and Nicotine.” RAND Journal of Economics 29(3):578-95.
Evans, W. N., M. C. Farrelly, and E. Montgomery. 1996. Do Workplace Smoking
Bans Reduce Smoking? NBER Working Paper No. 5567. Cambridge, Mass.:
National Bureau of Economic Research.
FAO (Food and Agriculture Organization). 1998. Food and Agriculture Organization of the United Nations Database (http://apps.fao.org).
Federal Trade Commission. 1995. “Cigarette Advertising and Promotion in the
United Sates, 1993: A Report of the Federal Trade Commission.” Tobacco
Control 4:310-13.
Foulds, J. “Strategies for Smoking Cessation.” British Medical Bulletin 52(1):
157-73.
Gajalakshmi, C. K., and R. Peto. Studies on Tobacco in Chennai, India. In Lu,
R., J. Mackay, S. Niu, and R. Peto, eds. The Growing Epidemic, proceedings
of the Tenth World Conference on Tobacco or Health, Beijing, 24-28 August
1997. Singapore: Springer-Verlag (in press).
Gale, F.1997. “Tobacco Dollars and Jobs.” Tobacco Situation & Outlook. U.S.
Department of Agriculture, Economic Research Service, TBS 239(September):37-43
———. 1998. “Economic Structure of Tobacco-Growing Regions.” Tobacco
Situation & Outlook. U.S. Department of Agriculture, Economic Research
Service, TBS 241(April): 40-47.
General Accounting Office.1989. Teenage Smoking: Higher Excise Tax Should
Significantly Reduce the Number of Smokers. Washington D.C.
Ginsberg, S. “Tobacco Farmers Feel the Heat.” Washington Post January 2, 1999.
Glantz, S. A., and W. W. Parmley. 1995. “Passive Smoking and Heart Disease:
Mechanisms and Risk.” Journal of the American Medical Association 73(13):
1047-53.
Gong,Y. L., J. P. Koplan, W. Feng, C. H. Chen, P. Zheng, and J. R. Harris. 1995.
“Cigarette Smoking in China: Prevalence, Characteristics, and Attitudes in
Minhang District.” Journal of the American Association of Medicine
274(15):1232-34.
Goto, K., and S. Watanabe. 1995. “Social Cost of Smoking for the 21st Century.”
Journal of Epidemiology, 5(3): 113-15.
Gray, Mike.1998. Drug Crazy: How We Got Into This Mess And How We Can
Get Out. New York: Random House.
BIBLIOGRAFI
119
Grise, V. N. 1995. Tobacco: Background for 1995 Farm Legislation. Agricultural Economic Report No.709. Washington: U.S. Department of Agriculture, Economic Research Service.
Gupta, P. C. 1989. “An Assessment of Morbidity and Mortality Caused by Tobacco Usage in India.” In Sanghvi, L. D. and P. Notani, eds., Tobacco and
Health: the Indian Scene. Bombay: International Union Against Cancer and
Tata Memorial Center.
———. l996 “Survey of Sociodemographic Characteristics of Tobacco Use
Among 99,598 Individuals in Bombay, India, Using Handheld Computers.”
Tobacco Control 5: 114-20.
Hackshaw, A. K., M. R. Law, and N. J. Wald. 1997. “The Accumulated Evidence
of Lung Cancer and Environmental Tobacco Smoke.” British Medical Journal 315(7114):980-88.
Harris and Associates. 1989. Prevention in America. Steps People Take—or Fail
to Take—For Better Health, cited in U.S. Department of Health and Human
Services. 1989. Reducing the Health Consequences of Smoking: 25 Years of
Progress: a Report of the Surgeon General, DHHS Publication No. (CDC)
89-8411, Office on Smoking and Health, Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Centers for Disease Control, Public Health Service, Washington, D.C.: U.S. Department of Human and Health Services.
Harris, J. E. 1987. “The 1983 Increase in the Federal Cigarette Excise Tax.” In
Summers L. H., ed., Tax Policy and the Economy. Vol. I . Cambridge, Mass.:
MIT Press.
———. 1994. A Working Model for Predicting the Consumption and Revenue
Impacts of Large Increases in the U.S. Federal Cigarette Excise Tax. NBER
Working Paper No.4803. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic
Research.
Hill, D. J., V. M. White, and M. M. Scollo. 1998. “Smoking Behaviours of Australian Adults in 1995: Trends and Concerns.” Medical Journal of Australia
168 (5):209-13.
Hodgson, T. A. 1998. “The Health Care Costs of Smoking.” New England Journal of Medicine 338(7):470.
Hodgson, T. A., and M. R. Meiners. 1982. “Cost-of-Illness Methodology: A Guide
to Current Practices and Procedures.” Milbank Memorial Fund Quarterly
60:429-62.
Hsieh, C. R., and T. W. Hu. 1997. The Demand for Cigarettes in Taiwan: Domestic Versus Imported Cigarettes. Discussion Paper No. 9701. Nankang (Taipei):
The Institute of Economics, Academia Sinica.
Hu, T. W., H. Y. Sung, and T. E. Keeler. 1995a. “Reducing Cigarette Consumption in California: Tobacco Taxes vs. an Anti-Smoking Media Campaign.”
American Journal of Public Health 85(9):1218-22.
———.1995b. “The State Antismoking Campaign and the Industry Response:
the Effects of Advertising on Cigarette Consumption in California.” Ameri-
120
MEREDAM WABAH
can Economic Review 85(2):85-90.
Hu, T. W., H. Y. Sung, and T. E. Keeler, M. Marcinia, A. Keith, and R. Manning.
Forthcoming. “Cigarette Consumption and Sales of Nicotine Replacement
Products.”
Hu, T. W., J. Bai, T. E. Keeler, P. G. Barnett, and H. Y. Sung. 1994. “The Impact
of California Proposition 99, A Major Anti-Cigarette Law, on Cigarette Consumption.” Journal of Public Health Policy 15(1):26-36.
Hu, T. W., T. E. Keeler, H. Y. Sung, and P. G. Barnett. 1995. “Impact of California Anti-Smoking Legislation on Cigarette Sales, Consumption, and Prices.”
Tobacco Control 4(suppl):S34-S38.
IEC. 1998. IEC Foreign Trade Statistics, World Bank Economic and Social Database, Washington D.C.: The World Bank.
Irvine, I. J., and W. A. Sims.1997. “Tobacco Control Legislation and Resource
Allocation Effects.” Canadian Public Policy 23(3): 259-73.
Jenkins, C. N., P. X. Dai, D. H. Ngoc, H. V. Kinh, T. T. Hoang, S. Bales, S.
Stewart, and S. J. McPhee. 19~7. “Tobacco Use in Vietnam: Prevalence, Predictors, and the Role of the Transnational Tobacco Corporations.” Journal of
the American Medical Association 277(21):1726-31.
Jha, P., O. Bangoura, and K. Ranson 1998. “The Cost-Effectiveness of Forty
Health Interventions in Guinea.” Health Policy and Planning 13(3): 249-62.
Jha, P., R. Peto, A. Lopez, W. Zatonski, J. Boreham, and M. Jarvis. Forthcoming.
“Tobacco-Attributable Mortality by Socioeconomic Status.”
Johnston, L. D., P. M. O’Malley, and J. G. Bachman. 1998. Smoking Among
American Teens Declines Some. Monitoring the Future Study. University of
Michigan Institute for Social Research. Press release. December 18. Washington D.C.
Jones, A. M. 1999. “Adjustment Costs, Withdrawal Effects, and Cigarette Addiction.” Journal of Health Economics 18: 125-37.
Joossens, L., and M. Raw. 1995. “Smuggling and Cross-Border Shopping of
Tobacco in Europe.” British Medical Journal 310(6991):1393-97.
Jorenby, D. E., S. J. Leischow, M. A. Nides, S. I. Rennard, J. A. Johnston, A. R.
Hughes, S. S. Smith, M. L. Muramoto, D. M. Daughton, K. Doan, M. C.
Fiore and T. B. Baker “A Controlled Trial of Sustained-Release Bupropion, a
Nicotine Patch, or Both for Smoking Cessation.” New England Journal of
Medicine 340(9):685-91.
Keeler, T: E., M. Marciniak, and T. W. Hu. Forthcoming. “Rational Addiction
and Smoking Cessation: An Empirical Study.” Journal of Socio-Economics.
Keeler, T. E., T. W. Hu, P. G. Barnett, and W. G. Manning. 1993. “Taxation,
Regulation and Addiction: A Demand Function for Cigarettes Based on TimeSeries Evidence.” Journal of Health Economics 12(1): 1-18.
Kenkel, D. S. 1991. “Health Behavior, Health Knowledge, and Schooling.” Journal of Political Economy 99(2):287-305.
Kessler, D .A.1995. “Nicotine Addiction in Young People.” New England Jour-
BIBLIOGRAFI
121
nal of Medicine 333(3):186-89.
Laugesen, M., and C. Meads. 1991. “Tobacco Advertising Restrictions, Price,
Income and Tobacco Consumption in OECD Countries, 1960-1986.” British
Journal of Addiction 86(10):1343-54.
Leu, R. E., and T. Schaub. 1983. “Does Smoking Increase Medical Expenditures?” Social Science & Medicine 17(23): 1907-14.
Levshin, V., and V. Droggachih. 1999. “Knowledge and Education Regarding
Smoking Among Moscow Teenagers.” Paper presented at the workshop on
“Tobacco Control in Central and Eastern Europe.” Las Palmas de Gran
Canaria. February 26, 1999.
Lewit, E. M., and D. Coate. 1982. “The Potential for Using Excise Taxes to
Reduce Smoking.” Journal of Health Economics 1(2):121 45.
Liu, B. Q., R. Peto, Z. M. Chen, J. Boreham, Y. P. Wu, J. Y. Li, T. C. Campbell,
and J. S. Chen. 1998. “Emerging Tobacco Hazards in China. I. Retrospective
Proportional Mortality Study of One Million Deaths.” British Medical Journal 317(7170): 1,411 -22.
Longfield, J. 1994. Tobacco Taxes in the European Union: How to Make Them
Work for Health. London: UICC and Health Education Authority.
Lu, R., J. Mackay, S. Niu, and R. Peto, eds. The Growing Epidemic, proceedings
of the Tenth World Conference on Tobacco or Health, Beijing, 24-28 August
1997. Singapore: Springer-Verlag (in press).
Lund, K. E., A. Roenneberg, and A. Hafstad. 1995. “The Social and Demographic
Diffusion of the Tobacco Epidemic in Norway.” In Slama, K., ed., Tobacco
and Health. New York: Plenum Press.
Lynch, B. S., and R. J. Bonnie, eds. Growing Up Tobacco Free: Preventing Nicotine Addiction in Children and Youths. Washington D.C.: National Academy
Press.
Mackay, Judith, and J. Crofton. 1996. “Tobacco and the Developing World.”
British Medical Bulletin 52(1):206-21.
Mahood, G. 1995. “Canadian Tobacco Package Warning System.” Tobacco Control 4:10-14.
Manning, W. G., E. B. Keeler, J. P. Newhouse, E. M. Sloss, and J. Wasserman.
1991. The Costs of Poor Health Habits. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
———. 1989. “The Taxes of Sin: Do Smokers and Drinkers Pay Their Way?”
Journal of the American Medical Association 261 ( I I ): 1604-09.
Maravanyika, Edward. 1998. “Tobacco Production and the Search for Alternatives for Zimbabwe.” In Abedian, I., and others, eds., The Economics of Tobacco Control. Cape Town, South Africa: Applied Fiscal Research Centre,
University of Cape Town.
Massing, Michael. 1998. The Fix. New York: Simon & Schuster.
McNeill, A. D., and others. 1989. “Nicotine Intake in Young Smokers: Longitudinal Study of Saliva Cotinine Concentrations.” American Journal of Public
122
MEREDAM WABAH
Health 79(2): 172-75.
McNicoll, I. H., and S. Boyle, 1992. “Regional Economic Impact of a Reduction
of Resident Expenditure on Cigarettes: A Case Study of Glasgow.” Applied
Economics 24:291-96.
Meara, E. “Why Is Health Related to Socioeconomic Status?” Ph.D. dissertation. Department of Economics. Harvard University, forthcoming.
Merriman, David, A. Yurekli, and F. Chaloupka. “How Big Is the Worldwide
Cigarette Smuggling Problem?” NBER Working Paper. Cambridge, Mass.:
National Bureau of Economic Research, forthcoming.
Miller, V. P., C. Ernst, and F. Collin. 1999. “Smoking-Attributable Medical Care
Cost in the USA.” Social Science & Medicine 48:375-91.
Moore, M. J. 1996. “Death and Tobacco Taxes.” RAND Journal of Economics
27(2):415-28.
Murray, C. J., and A. D. Lopez, eds. 1996. The Global Burden of Disease. A
Comprehensive Assessment of Mortality and Disability from Diseases, Injuries, and Risk Factors in 1990 and Projected to 2020. Cambridge, Mass.:
Harvard School of Public Health.
Musgrove, Philip. 1996. Public and Private Roles in Health. Discussion Paper
No. 339, Washington, D.C.: The World Bank.
National Cancer Policy Board. 1998. Taking Action to Reduce Tobacco Use. Washington, D.C.: National Academy Press.
Niu, S. R., G. H Yang, Z. M. Chen, J. L. Wang, G. H Wang, X. Z. He, H. Schoepff,
J. Boreham, H. C. Pan, and R. Peto. 1998. “Emerging Tobacco Hazards in
China 2. Early Mortality Results from a Prospective Study.” British Medical
Journal 317(7170):1423-24.
Non-Smokers’ Rights Association/Smoking and Health Action Foundation. 1994.
The Smuggling of Tobacco Products. Lessons from Canada. Ottawa: NSRA/
SHAF.
Obot, I. S. 1990. “The Use of Tobacco Products Among Nigerian Adults: A General Population Survey.” Drug Alcohol Dependence 26(2):203-08.
Orphanides, A., and D. Zerv~)s. 1995. “Rational Addiction with Learning and
Regret.” Journal of Political Economy 103(4):739-58.
Parish, S., R. Collins, R. Peto, L. Youngman, J Barton, K. Jayne, R. Clarke, P.
Appleby, V. Lyon, S. Cederholm-Williams, and others. 1995..”Cigarette Smoking, TarYields, and Non-Fatal Myocardial Infarction:14,000 Cases and 32,000
Controls in the United Kingdom. The International Studies of Infarct Survival (ISIS) Collaborators.” British Medical Journal 311 (7003):471 -77.
Pearl, R. 1938. “Tobacco Smoking and Longevity.” Science 87:216-7.
Pekurinen, Markku. 1991. Economic Aspects of Smoking: Is There a Case for
Government Intervention in Finland? Helsinki: Vapk-Publishing.
Peto, Richard, A. D. Lopez, and L. Boqi. “Global Tobacco Mortality: Monitoring the Growing Epidemic.” In Lu R., J. Mackay S. Niu, and R. Peto, eds.,
The Growing Epidemic. Singapore: Springer-Verlag (in press).
BIBLIOGRAFI
123
Peto, Richard, A. D. Lopez, J. Boreham, M. Thun, and C. Heath, Jr. .1994. Mortality from Smoking in Developed Countries 1950-2000. Oxford: Oxford
University Press.
Peto, Richard, Z. M. Chen, and J. Boreham. l999. “Tobacco: the Growing Epidemic.” Nature Medicine 5 ( l ): l 5- l 7.
Price Waterhouse. 1992. The Economic Impact of the Tobacco Industry on the
United States Economy. Arlington, Virginia.
Raw, Martin, A. McNeill, and R. West. 1999. “Smoking Cessation: Evidence
Based Recommendations for the Healthcare System.” British Medical Journal 318(7177): 182-85.
Reid, D. 1994. “Effect of Health Publicity on Prevalence of Smoking.” British
Medical Journal 309(6966): 1441.
———. 1996. “Tobacco Control: Overview.” British Medical Bulletin 52( l ): l
08-20.
Reuter, P. 1992. The Limits and Consequences of U.S. Foreign Drug Control
Efforts. RAND Cooperation Publication No. RP-135.
Rice, D. P., T. A. Hodgson, P. Sinsheimer, W. Browner, and A. N. Kopstein.
1986. “The Economic Costs of the Health Effects of Smoking, 1984.” Milbank
Quarterly 64(4):489-547.
Rigotti, N. A., J. R. DiFranza, Y. C. Chang, and others. 1997. “The Effect of
Enforcing Tobacco-Sales Laws on Adolescents’Access to Tobacco and Smoking Behavior.” New England Journal of Medicine 337(15): 1044-51.
Roberts, M. J., and L. Samuelson. 1988. “An Empirical Analysis of Dynamic,
Nonprice Competition in an Oligopolistic Industry.” RAND Journal of Economics 19(2):200-20.
Robson, L., and E. Single.1995. Literature Review of Studies of the Economic
Costs of Substance Abuse. Ottawa: Canadian Center on Substance Abuse.
Roemer, R. 1993. Legislative Action to Combat the World Tobacco Epidemic.
2nd ed. Geneva: World Health Organization.
Royal College of Physicians. 1962. Smoking and Health. Summary and Report
of the Royal College of Physicians of London on Smoking in Relation to Cancer of the Lung and Other Diseases. New York: Pitman Publishing Co. 1992.
Smoking and the Young. London.
Rydell, C. P., and S. S. Everingham. 1994. Controlling Cocaine: Supply Versus
Demand Programs. RAND Cooperation Publication No. MR-331-ONDCP/
A/DPRC.
Rydell, C. P., J. P. Caulkins, and S. S. Everingham. 1996. “Enforcement or Treatment? Modeling the Relative Efficacy of Alternatives for Controlling Cocaine.” Operations Research 44(5):687-95.
Saffer, Henry, and F. Chaloupka. l 999. Tobacco Advertising: Economic Theory
and International Evidence. NBER Working Paper No. 6958. Cambridge,
Mass.: National Bureau of Economic Research.
Saffer, Henry. 1995. “Alcohol Advertising and Alcohol Consumption: Econo-
124
MEREDAM WABAH
metric Studies.” In Martin, S. E., ed., The Effects of the Mass Media on the
Use and Abuse of Alcohol. Bethesda: National Institute on Alcohol Abuse
and Alcoholism.
Saloojee, Yussuf. 1995. “Price and Income Elasticity of Demand for Cigarettes
in South Africa.” In Slama, K., ed., Tobacco and Health. New York, NY:
Plenum Press.
Samet, J. M., D. Yach, C. Taylor, and K. Becker. 1998. Research for effective
global tobacco control in the 21 st century working group convened during
the 10th World Conference on Tobacco or Health. Tobacco Control; 7(1):727.
Schelling, T. C. 1986. “Economics and Cigarettes.” Preventive Medicine
15(5):549-60.
Schoenbaum, M. 1997. “Do Smokers Understand the Mortality Effects of Smoking? Evidence from the Health and Retirement Survey.” American Journal of
Public Health 87(5):755-59.
Scitovsky, T.1976. The Joyless Economy: An Inquiry into Consumer Satisfaction
and Human Dissatisfaction. Oxford: Oxford University Press.
Silagy, C., D. Mant, G. Fowler, and M. Lodge. 1994. “Meta-Analysis on Efficacy of Nicotine Replacement Therapies in Smoking Cessation.” Lancet
343(8890): 139-42.
Single, E., D. Collins, B. Easton, H. Harwood, H. Lapsley, and A. Maynard.
1996. 1nternational Guidelines for Estimating the Costs of Substance Abuse.
Ottawa: Canadian Center on Substance Abuse.
Slama, K., ed. 1995. Tobacco and Health. New York, NY: Plenum Press.
Smith, Adam.1776. Wealth of Nations. Edition edited by Canaan, Edwin, 1976.
University of Chicago Press. Chicago.
Stavrinos, V. G. 1987. “The Effects of an Anti-Smoking Campaign on Cigarette
Consumption: Empirical Evidence from Greece.” Applied Economics
19(3):323-29.
Stigler, G., and G. S. Becker. 1977. “De Gustibus Non Est Disputandum.” American Economic Review 67:76-90.
Stiglitz, J. 1989. “On the Economic Role of the State.” In A. Heertje, ed., The
Economic Role of the State. Cambridge, Mass.: Basil Blackwell in association with Bank Insinger de Beauford NV.
Sullum, J. 1998. For Your Own Good: The Anti-Smoking Crusade and the Tyranny of Public Health. New York: The Free Press.
Suranovic, S. M., R. S. Goldfarb, and T. C. Leonard. 1999. “An Economic Theory
of Cigarette Addiction.” Journal of Health Economics 18: 1 -29.
Sweanor, D. T., and L. R. Martial. 1994. The Smuggling of Tobacco Products:
Lessons from Canada. Ottawa (Canada): Non-Smokers’ Rights Association/
Smoking and Health Action Foundation.
Tansel, A. 1993. “Cigarette Demand, Health Scares and Education in Turkey.”
Applied Economics 25(4):521-29.
BIBLIOGRAFI
125
Thursby, J. G., and M. C. Thursby. 1994. Interstate Cigarette Bootlegging: Extent, Revenue Losses, and Effects of Federal Intervention. NBER Working
Paper No. 4763. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research.
Tobacco Institute. 1996. The Tax Burden on Tobacco. Historical Compilation
1995. Vol. 30. Washington D.C.
Townsend, Joy. 1987. “Cigarette Tax, Economic Welfare, and Social Class Patterns of Smoking.” Applied Economics 19:355-65.
———. 1988. Price, Tax and Smoking in Europe. Copenhagen: World Health
Organization.
———. 1993. “Policies to Halve Smoking Deaths.” Addiction 88(1):37-46.
———. 1996. “Price and Consumption of Tobacco.” British Medical Bulletin
52(1): 132-42.
———. 1998. “The Role of Taxation Policy in Tobacco Control.” In Abedian, I.,
and others, eds., The Economics of Tobacco Control. Cape Town, South Africa: Applied Fiscal Research Centre, University of Cape Town.
Townsend, Joy, P. Roderick, and J. Cooper. 1994. “Cigarette Smoking by Socioeconomic Group, Sex, and Age: Effects of Price, Income, and Health Publicity.” British Medical Journal 309(6959):923-27.
Treyz, G. 1. 1993. Regional Economic Modeling: A Systematic Approach to Economic Forecasting and Policy Analysis. Boston, Mass.: Kluwer Academic
Publishers.
Tye, J. B., K. E. Warner, and S. A. Glantz. 1987. “Tobacco Advertising and Consumption: Evidence of a Causal Relationship.” Journal of Public Health Policy
8:492-508.
U.S. Centers for Disease Control and Prevention. 1994. “Medical-Care Expenditures Attributable to Cigarette Smoking—United States, 1993.” Morbidity
and Mortality Weekly Report 43(26):469-72.
———. 1998. “Response to Increases in Cigarette Prices by Race/Ethnicity, Income, and Age Groups—United States,1976- 1993.” Morbidity and Mortality Weekly Report 47(29):605-9.
U.K. Department of Health. 1998. Smoking Kills: A White Paper on Tobacco.
London: The Stationary Office. (http://www.official-documents.co.uk/document/cm41/4177/ contents.htm).
U.S. Department of Health and Human Services. 1988. The Health Consequences
of Smoking: Nicotine Addiction. A Report of the Surgeon General. Rockville,
Maryland: U.S. Department of Health and Human Services, Public Health
Service, Centers for Disease Control, Center for Health Promotion and Disease Prevention, Office on Smoking and Health. DHHS Publication
No.(CDC)88-8406.
———. 1989. Reducing the Health Consequences of Smoking: 25 Years of
Progress. A Report of the Surgeon General. Rockville, Maryland: U.S’ Department of Health and Human Services, Public Health Service, Centers for
Disease Control, Center for Chronic Disease Prevention and Health Promo-
126
MEREDAM WABAH
tion, Office on Smoking and Health. DHHS Publication No.(CDC)89-8411.
———. 1990. The Health Benefits of Smoking Cessation: A Report of the Surgeon General. Rockville, Maryland: U.S. Department of Health and Human
Services, Public Health Service, Centers for Disease Control, Center for
Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Office on Smoking and
Health. DHHS Publication No. (CDC) 90-8416.
———. 1994. Preventing Tobacco Use Among Young People. A Report of the
Surgeon General. Atlanta, Georgia: U.S. Department of Health and Human
Services, Public Health Service, Centers for Disease Control, Center for
Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Office on Smoking and
Health.
USDA (U.S. Department of Agriculture). 1998. Economic Research Service
Database. (http://www.econ.ag.gov/prodsrvs/dataprod.htm).
Van der Merwe, Rowena. 1998. “Employment and Output Effects for Bangladesh
Following a Decline in Tobacco Consumption.” Population, Health and Nutrition Department. The World Bank.
Viscusi, W. K.1990. “Do Smokers Underestimate Risks?” Journal of Political
Economy 98(6):1253-69.
———. 1991. “Age Variations in Risk Perceptions and Smoking Decisions.”
Review of Economics and Statistics 73(4):577-88.
———. 1992. Smoking: Making the Risky Decision. New York: Oxford University Press.
———. 1995. “Cigarette Taxation and the Social Consequences of Smoking.”
In Poterba, J. M., ed., Tax Policy and the Economy. Cambridge, Mass.: MIT
Press.
Wald, N. J., and A. K. Hackshaw. 1996. “Cigarette Smoking: An Epidemiological Overview.” British Medical Bulletin, 52(1):3-11.
Warner, K. E. 1986. “Smoking and Health Implications of a Change in the Federal Cigarette Excise Tax.” Journal of the American Medical Association
255(8):1028-32.
———. 1987. Health and Economic Implications of a Tobacco-Free Society.”
Journal of the American Medical Association 258(15):2080-6.
———. 1988. “The Tobacco Subsidy: Does it Matter?” Journal of the National
Cancer Institute 80(2) 81-83.
———. 1989. “Effects of the Antismoking Campaign: An Update.” American
Journal of Public Health 79(2): 144-51.
———.1990. “Tobacco Taxation as Health Policy in the Third World.” American Journal of Public Health 80(5):529-31.
———.1997. “Cost-Effectiveness of Smoking Cessation Therapies: Interpretation of the Evidence and Implications for Coverage.” PharmacoEconomics l
l :538-49.
Warner, K. E., and G. A. Fulton. 1994. “The Economic Implications of Tobacco
Product Sales in a Non-tobacco State.” Journal of the American Medical As-
BIBLIOGRAFI
127
sociation 271(10):771-6.
Warner, K. E., and others. The Medical Costs of Smoking in the United States.
Estimates, Their Validity and Their Implications, forthcoming.
Warner, K. E., F. J. Chaloupka, P. J. Cook, and others. 1995. “Criteria for Determining an Optimal Cigarette Tax: the Economist’s Perspective.” Tobacco
Control 4:380-86.
Warner, K. E., G. A. Fulton, P. Nicolas, and D. R. Grimes. 1996. “Employment
Implications of Declining robacco Product Sales for the Regional Economies
of the United States.” Journal of the American Medical Association
275(16):1241-6.
Warner, K. E., J. Slade, and D. T. Sweanor. 1997. “The Emerging Market for
Long-term Nicotine Maintenance.” Journal of the American Medical Association 278(13):1087-92.
Warner, K. E., T. A. Hodgson, and C. E. Carroll. 1999. The Medical Costs of
Smoking in the United States: Estimates, Their Validity and Implications.
Ann Arbor, MI: University of Michigan, School of Public Health. Department of Health Management and Policy. Working Paper.
Watkins, B. G. III. 1990. “The Tobacco Program: An Econometric Analysis of
Its Benefits to Farmers.” American Economist 34(1):45-53.
Weinstein, N. D. 1998. “Accuracy of Smokers’ Risk Perceptions.” Annals of
Behavioral Medicine 20(2): 135-40.
Wersall, J. P., and G. Eklund.1998. “The Decline of Smoking Among Swedish
Men.” International Journal of Epidemiology 27(1):20-6.
WHO (World Health Organization). 1996a. Investing in Health Research and
Development, Report of the Ad Hoc Committee on Health Research Relating
to Future Intervention Options (Document TDR/Gen/96.1.), Geneva, Switzerland.
———.1996b. Tobacco Alert Special Issue: the Tobacco Epidemic: a Global
Public Health Emergency. Geneva, Switzerland.
———. 1997. Tobacco or Health: a Global Status Report. Geneva, Switzerland.
———. 1999. Making a Difference. World Health Report. Geneva, Switzerland.
World Bank. 1990. Brazil: the New Challenge of Adult Health. Washington, D.C.
———.1992. China: Long-term Issues and Options in the Health Transition.
Washington, D.C.
———.1993. The World Development Report 1993: Investing in Health. New
York: Oxford University Press.
———.1994a. Chile: the New Adult Health Policy Challenge. Washington, D.C.
———.1994b. Averting the Old Age Crisis. Washington, D.C.
———.1996. China: Issues and Options in Health Financing. Report No. 15278CHA, Washington, D.C.
———.1997. Confronting AIDS: Public Priorities in a Global Epidemic. World
Bank Policy Report. Washington, D.C.
———. 1998. World Development Indicators. Washington, D.C.
128
MEREDAM WABAH
Zatonski, W. l996. Evolution of Health in Poland Since 1988. Warsaw: Marie
Skeodowska-Curie Cancer Center and Institute of Oncology, Department of
Epidemiology and Cancer Prevention.
Zatonski, W., K. Przewozniak, and M. Porebski. l999. The Impact of Enlarged
Pack Health Warnings on Smoking Behavior and Attitudes in Poland. Paper
presented at the workshop on “Tobacco Control in Central and Eastern Europe.” Las Palmas de Gran Canaria. February 26, l 999.
Zhang, Ping, and C. Husten. 1998. “The Impact of the Tobacco Price Support
Program on Tobacco Control in the United States.” Tobacco Control 7(2):
176-82.
Zhang, Ping, C. Husten, and G. Giovino. 1997. The Impact of the Price Support
Program on Cigarette Consumption in the United States. Atlanta: Office on
Smoking and Health, Centers for Disease Control and Prevention.
129
Indeks
A
Afrika Selatan
label, 55
pajak, 46, 47, 82-83
Amerika Serikat
anak belasan tahun, 34-35
biaya perawatan kesehatan, 37-38
kejutan informasi, 54
kenaikan harga, 48, 49, 50-51
pekerja, 76, 77
remaja, 23-24
terpapar penyakit, tertunda, 25-26
anak-anak
dari perokok, 28
iklan, 50
pendidikan kesehatan, 40
risiko, 34, 35-36
antimerokok, program sekolah, 56
Asia Selatan
morbiditas, 28
B
Bank Dunia, kebijakan
mengenai tembakau, 96
bantuan harga, 70
bayi, kesehatan, 29
beban penyakit, 24-26
Belanda
biaya perawatan, 38
berat badan waktu lahir, 29
berhenti (quitting), 30-31, 42, 84
efektivitas, 61-62
pola global, 20-22
biaya perawatan kesehatan, 37-40
pembiayaan, 40
seumur hidup, 38
biaya, 3-6, 34, 37-39, 92-93
beban pada orang lain, 37-39
NRT, 61
perawatan kesehatan, 3-4
bidis, 50
Brundtland, Gro Harlem, 94
130
bukan perokok terpapar asap
rokok, 29, 49-50, 51
bupropion, 61
C
Cina, 21, 22
cukai, 97-98
morbiditas, 27
kenaikan harga, 46,48-49
pajak, 84
pekerja, 76
produksi tembakau, 66
terpapar penyakit,
tertunda 25-26
lihat juga: pajak
cukai, pita, 98
E
ekonomi tembakau berimbang, 78
eksportir, 73-74
epidemiologi, 92
MEREDAM WABAH
larangan, 57-58
informasi, 52-53
kejutan, 8, 54
Inggris, 18
biaya perawatan kesehatan, 37-38
kenaikan harga, 50-51
pajak, 46
pekerja, 76-77
remaja, 24
insentif
lihat: manfaat
internasional, badan, 13
International Monetary Fund, 97
pajak, 97-98
intervensi
dari sisi penawaran, 65-72
individual, 91
J
jumlah rokok diisap, 18
K
Kanada
label, 54-55
pajak, 43, 45, 78, 81-82
tanaman pengganti, 66
G
kanker paru-paru, 27, 30
General Agreement on Tariffs and
kardiovaskular, penyakit, 62
Trade (GATT), 71
kebijakan, 12-13, 80-91, 94-96, 97-98
biaya perawatan kesehatan, 37
H
kecanduan, 23, 41
halangan, 40-41
kehamilan, 29
hambatan politis untuk perubahan, 91- keluarga, 51-52
92
kerangka konvensi-pendekatan
harga,
protokol, 95
kecanduan dan tanggapan, 46,
konsekuensi kesehatan, 2-3, 24-29
48, 49, 50-51
konsumen miskin, 11-12, 27-28
penyelundupan, 72
perpajakan, 83-84
hasil penelitian, penerbitan, 53, 94
konsumsi, tingkat, 48
F
Framework Convention for Tobacco
Control, 13, 95
I
iklan tandingan, media masa, 57
iklan, 56-57
L
label, peringatan, 54-55
langkah nonharga menurunkan
131
INDEKS
permintaan, 8, 78-79
permintaan global, 59, 61
lapangan kerja, 76
pengawasan tembakau dan, 75-78
larangan
lihat: pembatasan
M
Malawi, produksi tembakau, 69
manfaat, 4, 33
pengawasan tembakau dan, 85-86
menghindarkan, 6-9
intervensi pemerintah, 40-41
morbiditas, 27
mortalitas, 25, 90
N
negara berkembang, 16
produksi tembakau, 66
negara berpendapatan rendah, 15-17
biaya perawatan kesehatan, 37-38
kenaikan harga, 46-48
mortalitas, 25
umur, 20-21, 22
negara berpendapatan sedang, 15-17
biaya perawatan kesehatan, 37-38
mortalitas, 25
umur, 20-21, 22
negara berpendapatan tinggi, 16, 18,
34
biaya perawatan kesehatan, 37-38,
40
kenaikan harga, 46-48
larangan iklan, 57
mortalitas, 25
NRT, 61-62
pajak, 48, 51, 52
pajak dan pendapatan pemerintah,
82
penerbitan hasil penelitian, 53
terpapar penyakit, tertunda, 25-26
negara produsen, pekerja, 77-78
nikotin
kecanduan, 2, 6, 7, 23-24
pemutusan (withdrawal), 62
nikotin rendah, 27
label, 54
Norwegia, 18
P
pajak, 6, 7, 41-42, 43-44, 94
ad valorem, 44
cukai, 97-98
dampak pada konsumsi, 45-46
harmonisasi, 82
International Monetary Fund, 92-98
jenis, 44
konsumen miskin, 83-84
manfaat biaya, 11-12
pendapatan pemerintah, 10-11, 7879, 81,82
penetapan tingkat, 97
penyelundupan, 81-83
permintaan global, 48, 49
persamaan, 83-84
sistem yang berbeda, 41
tingkat optimal, 51-52
pajak tembakau khusus, 44
pembatasan, 40, 41, 59, 65-66, 85
pembatasan perdagangan, 9, 16
internasional, 71
pemerintah, 13
intervensi,40-41
pendapatan, 78, 81
pemuda, pembatasan akses, 66
penawaran, langkah penurunan, 65-74
pendidikan, 19, 20, 28
pendidikan kesehatan, 40
penerbitan, hasil penelitian, 53,94
pengawasan tembakau, 9-13
biaya, 10-11, 75-88
biaya implementasi, 88
biaya untuk individu, 85-86
konsekuensi, 75-88
manfaat-biaya, 11-12, 86-88
pengawasan, perkiraan dampak, 50
MEREDAM WABAH
132
pengeluaran, 76-78
pengusaha pabrik, 74
penyakit jantung, 26, 27-28
penyakit jantung dan pembuluh darah
lihat: kardiovaskular, penyakit
penyelundupan, 10, 11, 72-74
industri tembakau dan, 74
pajak dan, 81-83
permintaan
langkah-langkah nonharga
penurunan,
52-60
langkah-langkah penurunan, 43-64
perokok
jumlah potensial diimbau berhenti
merokok, 62
reguler, 85
perokok pasif
lihat: bukan perokok
petani, bantuan, 80
pihak-pihak berkepentingan, 92
pita pajak, 74
pita cukai, 98
pola regional, 17
Polandia, 29
label, 54
pendidikan, 29
risiko, 34-35
preservasi, 89-90
prevalensi, 18
prioritas penelitian, 92-93
promosi
lihat: iklan
R
rekomendasi, 93-94
remaja, 4-5, 19, 20-21, 35
saliva, 23-24
remaja, risiko, 34, 35-36
Rencana Kerja Dipercepat, 95
risiko, 3-5, 33-35
S
saliva, 23-24
Sector Strategy Paper (1997), 96
sekolah, program antimerokok, 56
stakeholders
lihat: pihak-pihak berkepentingan
status sosio-ekonomi, 18-19, 30
subsidi, 70
Surgeon General, laporan 1964, 53
Swiss
biaya perawatan kesehatan, 38
T
tanaman pengganti dan diversifikasi,
9-10, 66-70
tar rendah, 17
label, 54
tempat kerja, 59
tempat-tempat umum, 59
terapi pengganti nikotin (NRT), 7,
61-64
manfaat-biaya, 87-88
terpapar pada kematian, tertunda, 2526
Thailand, larangan, 71
Tobacco Free Initiative (TFI), 94-95
tren, 2, 15-22
Turki, label, 54-55
U
umur, 21-22
tingkat penyakit, 24-25
lihat juga: remaja, 166
Uni Eropa, larangan iklan, 58,60
V
Vietnam, 21
W
WHO, Framework Convention for
Tobacco Control, 13, 94-95
133
withdrawal cost, 42
Z
Zimbabwe
pekerja, 76
produksi tembakau, 69
tanaman pengganti dan diversifikasi,
9-10, 66-70
tar rendah, 17
label, 54
tempat kerja, 59
tempat-tempat umum, 59
terapi pengganti nikotin (NRT), 7,
61-64
manfaat-biaya, 87-88
terpapar pada kematian, tertunda, 2526
Thailand, larangan, 71
Tobacco Free Initiative (TFI), 94-95
tren, 2, 15-22
Turki, label, 54-55
Meredam Wabah
Tembakau akan membunuh 4 juta orang dalam duabelas bulan mendatang. Pada tahun 2030 tembakau
akan membunuh 10 juta orang dalam setahun, suatu jumlah yang lebih besar dari kematian yang disebabkan
salah satu penyakit apa pun, dan 7 juta dari jumlah kematian tersebut akan terjadi di negara-negara
berpendapatan rendah dan sedang, dimana sebelumnya rokok itu merupakan barang langka. Kalau orang-orang berpendidikan dan kaya meninggalkan kebiasaan merokok, kegemaran ini menjadi makin
meningkat terkonsentrasi pada orang-orang miskin di sebagian besar masyarakat. Paling tidak di negaranegara kaya, terlihat dampak merokok yang merugikan kesehatan berupa kesehatan memburuk dan
kematian dini yang dialami orang-orang miskin. Namun banyak pemerintah ragu-ragu mengambil tindakan
pengawasan terhadap tembakau karena khawatir akan dampak ekonomi dari tindakan tersebut. Misalnya,
banyak pembuat keputusan takut bahwa dengan mengurangi konsumsi tembakau akan menghilangkan
lapangan kerja secara permanen.
SERI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
MEREDAM WABAH
Pemerintah dan Aspek Ekonomi
Kini untuk pertama kalinya aspek ekonomi pengawasan terhadap tembakau dibahas dalam laporan tunggal
yang ringkas yang meninjau pengalaman-pengalaman berbagai negara. Laporan ini menyimpulkan bahwa
dengan menaikkan pajak rokok akan dapat diselamatkan jutaan nyawa, sementara itu pendapatan negara
akan meningkat dalam jangka menengah, dan bahwa lain-lain tindakan nonharga seperti melarang iklan
dan promosi rokok secara menyeluruh, akan dapat juga menurunkan konsumsi rokok secara signifikan.
Studi ini juga mempelajari efek pengawasan tembakau terhadap lapangan kerja dan menemukan bahwa
sebagian besar negara tidak akan mengalami kehilangan lapangan kerja secara permanen.
Pengawasan terhadap Tembakau
Laporan ini juga mempelajari biaya yang diperlukan untuk kebijakan pengawasan dan menyarankan
suatu agenda kepada para pemerintah negara untuk bertindak, termasuk memberi bantuan kepada petani
tembakau miskin. Selain itu laporan ini juga mengungkapkan peranan lembaga-lembaga internasional
dalam menurunkan jumlah korban yang dapat dihindarkan dari kematian dini dan kecacatan disebabkan
oleh rokok
“Rokok adalah pembunuh dahsyat di seluruh dunia dan masuknya ke Dunia Ketiga akan membunuh
lebih banyak penduduk di masa yang akan datang. Laporan ini memberikan pengertian tentang sifat dan
gawatnya masalah ini dan bagaimana cara mengatasinya. Suatu karya yang memberi informasi cukup
berimbang serta rencana tindakan tepat pada waktunya.” Profesor Amartya Sen, Penerima Hadiah Nobel
bidang Ekonomi, 1998.
“Rokok adalah pembunuh utama di seluruh dunia. Harga yang paling mahal yang harus dibayar karena
rokok, adalah korban yang diakibatkannya berupa penyakit, penderitaan dan kekalutan dalam keluarga.
Masalah kesehatan, dan bukannya ekonomi, yang menjadi alasan untuk mengawasi konsumsi rokok.
Akan tetapi alasan ekonomi dikemukakan sebagai hambatan pada kebijakan pengawasan terhadap
rokok. Laporan ini menyampaikan penyelidikan yang sangat berguna dan tepat waktu tentang tuntutantuntutan yang sering menyebabkan pemerintah negara terhambat tindakannya dalam mengatasi pembunuh
global ini.”
Dr. Gro Harlem Brundtland
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
The
World
Bank
1818 H Street, N.W.
Washington, D.C. 20433, USA
World Wide Web
E-Mail
: (202) 477-1234
: (202) 477-6391
: MCI 64145 WORLDBANK
MCI 248423 WORLDBANK
: http://www.worldbank.org/
: [email protected]
ISBN 0-8213-4856-6
Bank Dunia
Telpon
Facsimile
Telex
PUBLIKASI
BANK DUNIA