katalog PDF - studiohanafi.com

Transcription

katalog PDF - studiohanafi.com
hanafi
pintu belakang | derau jawa
Sambutan Kepala Galeri Nasional Indonesia
Galeri Nasional Indonesia - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan - menyambut baik penyelenggaraan Pameran Tunggal Hanafi ”Pintu Belakang | Derau Jawa” di Galeri Nasional Indonesia.
Hanafi yang cukup lama berkecimpung di dunia
kesenian, utamanya di bidang seni rupa relatif intens berkarya dan telah menggelar banyak pameran,
baik pameran tunggal maupun pameran bersama,
di dalam negeri ataupun mancanegara. Pada tahun
2016 ini, merupakan pameran tunggal Hanafi untuk yang ketiga kalinya digelar di Galeri Nasional
Indonesia, setelah sebelumnya pernah diselenggarakan pada 2006 dan 2010.
Hanafi acapkali mengeksplorasi dan menerjemahkan idea konseptualnya ke dalam berbagai media ekpresi, seperti lukisan, patung, dan instalasi.
Karya-karyanya telah memiliki karakter dan identitas tersendiri yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Bahkan satu lukisannya telah menjadi
koleksi Galeri Nasional Indonesia / Koleksi Negara.
Lukisan tersebut berjudul Pukul 12 Siang Hari, akrilik dan enamel pada kanvas, 230 x 250 cm, 2006.
Pada karya yang lain pernah mendapatkan penghargaan seni, beberapa diantaranya adalah Top 10
Philip Morris Art Award (1997); Finalis Indofood
Art Award (2002 dan 2003); Top 10 Golden Palette, Ancol, Jakarta (2005); serta Anugerah Kebudayaan FIB Universitas Indonesia, Jakarta (2005).
Selain melahirkan karya–karya seni lukis dan instalasi, Hanafi juga menekuni dunia artistik panggung
dengan menggelar pertunjukan seni yang berkolaborasi dengan seniman tari, teater, dan sastra.
Melalui Pameran Tunggal Hanafi ”Pintu Belakang
| Derau Jawa” ini, diharapkan dapat membuka
kesempatan bagi masyarakat untuk mengapresiasi karya-karya Hanafi, menambah wawasan dan
mengenal lebih dekat tokoh-tokoh seni rupa Indonesia, serta membuka dialog publik yang memunculkan inspirasi serta motivasi dari perjalanan kreatif seorang Hanafi. Kami ucapkan selamat kepada
Hanafi, serta terima kasih kepada kurator pameran
ini Agung Hujatnikajennong, Studio Hanafi, dan
seluruh pihak yang telah bekerja keras mewujudkan
pameran ini.
Selamat berpameran, selamat mengapresiasi!
Jakarta, Maret 2016
Tubagus ‘Andre’ Sukmana
Esai Kuratorial
Opening Speech
from the Head of Galeri Nasional Indonesia
Galeri Nasional Indonesia--The ministry of Education and Culture--warmly welcome Hanafi’s Solo
Exhibition “The Backdoor | Noise Java” at Galeri
Nasional Indonesia. Hanafi has been involved in
the arts for a long time, particularly in visual arts
where he has been working relatively intensely and
has held numerous exhibitions, both solo and collaborative, national as well as international. In 2016,
this will be his third time holding an exhibition at
Galeri Nasional Indonesia, after having done so in
2006 and 2010.
Hanafi often explores and translates his conceptual
ideas into various media of expression, like paintings, sculptures, and installations. His works possess
a unique character and identity that are always interesting to discuss. One of his paintings has even
made it into the collection of Galeri Nasional Indonesia / the National Collection. The painting is
titled Pukul 12 Siang Hari, acrylic and enamel on
canvas, 230 x 250 cm, 2006. His other works have
also won awards, some of those awards are; Top
10 Philip Morris Art Award (1997); Indofood Art
Award Finalist (2002 and 2003); Top 10 Golden
Palette, Ancol, Jakarta (2005); and a Cultural Award
from Universitas Indonesia’s Cultural Studies Faculty, Jakarta (2005). Aside from producing visual arts
work and installations, Hanafi has also delved into
the performing arts by organizing an art show with
dance, theatre, and literary artists.
Through this solo exhibition, we hope to give the
public a chance to appreciate Hanafi’s works, expand their knowledge and familiarize themselves
with Indonesia’s art figures, in addition to starting a
public dialogue that births inspiration and motivation from Hanafi’s creative journey. We would like
to say congratulations to Hanafi, and thank you to
the curator of this exhibition Agung Hujatnikajennong, Studio Hanafi, and all parties that have made
this exhibition possible.
Happy exhibiting, happy appreciating!
Jakarta, Maret 2016
Tubagus ‘Andre’ Sukmana
Isi
Sambutan Kepala Galeri Nasional Indonesia
Tubagus ‘Andre’ Sukmana
Esai Kurator
Udara Menjadi Bunyi:
Keluar Masuk Jawa lewat Pintu Belakang
Agung Hujatnikajennong
Narasi-narasi dalam Pameran Hanafi
Pintu Belakang | Derau Jawa
Afrizal Malna
Kelompok Karya Hanafi
Program Pameran
Musik Performance:
Sa’Unine String Project
Diskusi Pra Pameran: Apa Itu Jawa
Lokakarya dan Pameran Lintas Media
Lokakarya dan diskusi Pembacaan karya
Hanafi
Ucapan Terima kasih
Tim Pameran
Content
Opening Speech
from the Head of Galeri Nasional Indonesia
Tubagus ‘Andre’ Sukmana
Curatorial Essay
Air Becomes Sound:
In and Out of Java through the Backdoor
Agung Hujatnikajennong
Narratives in Hanafi’s Exhibition
Back Door | Noise of Java
Afrizal Malna
Hanafi’s Artwork Group
Exhibition Program
Music Performance
Sa’Unine String Project
Pre-Exhibition Discussion: What is Java
Exhibition and Intermedia Workshop
Workshop and Hanafi’s Artwork
Reading Discussion
Biography
Hanafi
Agung Hujatnikajennong
Acknowledgment
Exhibition Team
Esai Kurator
Udara Menjadi Bunyi:
Keluar Masuk Jawa lewat Pintu Belakang
Agung Hujatnikajennong
Di antara sekian banyak tikungan maupun lompatan yang pernah dilalui Hanafi Muhammad dalam
rentang duapuluhlima tahun perjalanannya sebagai
seniman, proyek Oksigen Jawa (2015) adalah salah
satunya. Saya menyebutnya sebagai tikungan yang
penting. Meski karya-karya dalam pameran tersebut tidak memperlihatkan penemuan dan perubahan gaya, medium atau teknik baru, Oksigen Jawa
menandai tikungan tematik yang memberi warna
baru pada perhatian, cara kerja dan tabiat artistik
Hanafi hari-hari ini.
Dalam Oksigen Jawa, Hanafi menggarap segenap
ruang pamer di Galeri Soemardja menjadi instalasi
besar yang terbangun atas ingatan-ingatan tentang
kisah hidupnya. Dari pintu depan galeri, Hanafi
membangun labirin, menggiring penonton memasuki narasi-narasi tentang objek-objek yang mesin
jahit, peniti, ranjang rumah sakit, piring makan,
padi, troli beras, sulaman, handuk, kap lampu dan
gulungan benang. Semua itu tergambarkan pada
kanvas, atau hadir sebagai bagian dari instalasi di
ruang pamer. Oksigen Jawa adalah sebuah ‘biografi
visual’, Hanafi menegaskan.
Oksigen Jawa menampilkan lukisan-lukisan yang
tak lagi sepenuhnya ‘abstrak’ seperti yang kita
temui dalam pameran-pameran Hanafi sebelumnya.1 Nyaris pada semua lukisan Oksigen Jawa, objek-objek hadir dan digambarkan dengan sedikit
1 Lihat lukisan-lukisan Hanafi, terutama dalam pameran-pameran tunggalnya: id (2006), Enigma (2007), Of
Space and Shadows (2009) dan Migrasi Kolong Meja
(2014).
saja deformasi bentuk. Sebagian malah dipertegas
dengan tulisan-tulisan yang terbaca. Bagian integral
dari proyek Oksigen Jawa adalah buku tipis yang
Hanafi tulis dalam bentuk fragmen-fragmen cerita
tentang kehidupannya, serupa sketsa-sketsa untuk
memoar yang lebih luas. Saya menengarai bahwa
secara menyeluruh Oksigen Jawa dilatari oleh kebutuhan Hanafi untuk mengingat. Dan untuk membekukan kisah-kisah yang semula samar-samar dan
hanya berkelebat-kelebat dalam ranah ingatan itu,
ia memerlukan tanda-tanda dan gambaran yang
dapat terbaca secara lebih jelas. Objek-objek Oksigen Jawa hadir sebagai memento yang tidak sekadar
mematok jalan masuk menuju kisah-kisah, namun
harus dapat memancing keterlibatan penonton atau
pembacanya secara lebih langsung.
Publik telah mengenal dan terlanjur mengidentifikasi sosok Hanafi sebagai ‘pelukis abstrak’. Lansiran itu tidak sepenuhnya salah, mengingat sebagian
besar lukisan-lukisannya dihasilkan dari prinsip
mengaburkan atau menyembunyikan bentuk-bentuk representasional. Namun harus difahami bahwa prinsip abstraksi yang dianut Hanafi bukanlah melulu soal gubah-menggubah bentuk atau
bermain-main dengan bahasa formalistik. Kerja
melukisnya mencerminkan suatu pendekatan reflektif sekaligus refleksif dalam memecahkan persoalan: Reflektif, karena keseniannya melibatkan
pemikiran-pemikiran dan kontemplasi mendalam
tentang sesuatu di balik fenomena empirik atau inderawi belaka. Refleksif, karena Hanafi cenderung
menempatkan dirinya sendiri sebagai subjek yang
terkena dampak oleh, atau terlibat langsung dengan
persoalan yang dipikirkannya. Bagi Hanafi abstraksi
bukanlah suatu gaya, apalagi ideologi, yang harus
dipatuhi secara buta. Lebih penting baginya adalah
menempatkan kerja seninya sebagai manifestasi dari
caranya memikirkan persoalan, yang bukan kebetulan banyak diwarnai oleh pendekatan retorik kalau
bukan puitik.
Hanafi adalah seorang seniman yang cenderung terbuka, kalau bukan bebas, dalam bekerja. Sejumlah
pengamat telah mengulas karya-karyanya sebagai
manifestasi dari ‘keriangan dan kebebasan’ dalam
mencipta.2 Dalam pameran tunggalnya, Of Spaces
and Shadows (2009), misalnya, ia bisa dengan santainya menyandingkan lukisan-lukisan abstraknya
dengan instalasi atau patung yang justru nampak
‘realistik’, figuratif. Namun Oksigen Jawa, menurut
saya, bukan sekadar proyek yang menegaskan keriangan Hanafi dalam bekerja. Sebagaimana ditegaskan dengan frasa ‘biografi visual’, tanda-tanda
dalam Oksigen Jawa memang hadir untuk menegaskan memori dan narasi-narasi personal. Persoalan yang disuguhkan dalam Oksigen Jawa lebih
luas dari sekadar cerita seorang anak seorang tentara kelahiran Purworejo yang merantau ke Jakarta
setelah lulus dari sekolah menengah seni rupa. Kritikus Wicaksono Adi mengulas Oksigen Jawa sebagai
representasi ‘matriks ruang dalam’ seorang Jawa
yang menghayati objek-objek dalam kerangka aso2 Enin Supriyanto, Yang Hadir dalam Bayangan katalog pameran tunggal Hanafi, Of Spaces and Shadows
(2009), Galeri Salihara, hal. 25. Lihat juga Goenawan
Mohammad, Hanafi, Sejak di Depan Kanvas Kosong,
hal. 103. Sementara Jim Supangkat menyebut caracara Hanafi menyelesaikan lukisan-lukisannya adalah
refleksi cara-caranya menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan, sebagai manifestasi antara ego dan
id. Lihat Jim Supangkat, Catur Soliter Hanafi, katalog
pameran tunggal Hanafi, id, Jogja Gallery (2007),
hal. 6.
siasi atau sistem simbol Jawa.3 Yang tampil dalam
pameran itu memang bukan objek-objek eksotik
budaya Jawa—keris, wayang atau batik—melainkan objek-objek domestik yang bisa ditemukan di
rumah-rumah . Yang khas pada Hanafi, mungkin
juga seperti orang Jawa pada umumnya, adalah cara
penghayatannya yang ‘puitik’, dan dalam beberapa
hal ‘retorik’, terhadap berbagai persoalan.
Apa yang Hanafi telah capai dalam Oksigen Jawa
memang serta-merta menyeretnya ke dalam pameran tunggalnya kali ini: Pintu Belakang | Derau Jawa.
Satu hal yang tidak bergeser banyak adalah caranya
menempatkan ‘Jawa’ sebagai teks yang mengandung tegangan, terutama antara: 1) kebutuhan untuk
menyatakan identitas di satu pihak, dengan; 2) perubahan-perubahan kenyataan yang tak terelakkan
sehingga pernyataan identitas yang ajeg menjadi
musykil di pihak yang lain. Adapun pergeseran dalam caranya mempersoalkan Jawa sangat mencolok
pada surutnya persoalan ingatan dan narasi-narasi
personal, yang dalam pameran ini, diperluas menjadi suatu tilikan atas kenyataan-kenyataan komunal.
Untuk pameran ini, Hanafi, bersama Afrizal Malna,
melakukan perjalanan mengunjungi tempat-tempat
di Jawa, melihat, mengamati, mendokumentasikan,
melakukan serangkaian diskusi, mengumpulkan,
membaca dan mengolah data-data, menjadi jalan
masuk menuju gagasan. Hanafi berusaha menyelami kembali jejak-jejak masa lalu, untuk mengkonfirmasi apa yang pernah diingat dan difahaminya
tentang Jawa dengan kenyataan-kenyataan empirik dan ‘objektif ’. Meskipun inheren dalam proses
3 Wicaksono Adi, Tubuh, Ruang, teks dan ‘Oksigen
Jawa’, makalah untuk diskusi pameran Biografi Visual
Oksigen Jawa, Galeri Soemardja ITB, 15 Mei 2015.
berkesenian Hanafi sebelumnya, cara kerja yang refleksif ini menempati posisi penting sebagai suatu
metode yang ditempuh untuk proyek Pintu Belakang | Derau Jawa.
Derau
Hanafi lantas merumuskan gagasan tentang noise,
atau derau: semacam suara atau bunyi yang tak
diinginkan. Lagi-lagi, ini adalah yang khas dalam
cara berpikir Hanafi yang selalu lincah bermain
dengan metafor-metafor. Pada Derau Jawa ada
konversi kode yang menarik dari proses kerja yang
notabene visual ke gagasan yang justru audial. Dalam pameran ini, ingatan-ingatan dan kisah-kisah
tentang Jawa yang Hanafi jumput dari sana-sini
dijalin dan diperlakukan sebagai entitas inderawi
yang tak terjamah (intangible) dan tak kasat-mata
(invisible). Jika Jawa adalah bunyi, lalu apa dan di
manakah sumbernya? Adakah yang membunyikannya? Jika ya, siapakah ia? Sekeras apakah bunyi itu?
Bagaimana bunyinya? Apa dampaknya pada kita?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting jika untuk siapapun yang ingin mengimajinasikan Jawa yang diajukan oleh Hanafi.
Dalam wacana tentang bunyi, derau dapat ditemukan melalui tindakan ‘mendengar’ (to hear) maupun
‘menyimak’ (to listen). Namun Barthes dan Havas
membedakan kedua tindakan audial tersebut.4 Yang
pertama berkaitan dengan mekanisme fisiologis dan
biokimia dari fungsi struktur dan sistem kerja organ tubuh yang ada pada berbagai makhluk hidup
4 Roland Barthes dan Roland Havas. Listening
dalam The Responsibility of Forms, t Richard Howard
(trans.), New York, 1985, hal. 245–60.
(seekor tikus bisa mendengar suara langkah kucing yang mendorong instingnya untuk kabur atau
bersembunyi di dalam lubang). Sementara yang terakhir lebih bersifat psikologis, yakni tindakan kognitif yang berdampak pada motivasi, persepsi, emosi
maupun kebiasaan atau sikap manusia. Tindakan
menyimak lebih memiliki tujuan, dan menuntut
kemampuan untuk menyingkap dan menafsir kode-kode: Seorang penggemar sandiwara radio mampu membayangkan dramatisnya gerakan-gerakan
tubuh dua orang pendekar yang berduel, meskipun
yang terdengar hanyalah bunyi kelebatan-kelebatan
kain sarung yang mengiris angin.
Derau muncul ketika, dalam kegiatan menyimak,
seseorang menemukan sesuatu yang mengganggu,
tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan tujuan
awalnya. Namun sebagai suatu kategori semantik,
derau tidak memiliki bentuk ataupun wujud yang
pasti, karena apa yang dianggap derau untuk seseorang dapat menjadi bunyi atau suara yang bermakna untuk orang lain. Derau tidak selalu identik
dengan jenis bunyi, karena kesenyapan pun dapat
berarti derau (bayangkan kekecewaan penonton ketika listrik tiba-tiba padam di tengah-tengah konser musik rock). Di pihak lain, John Cage justru
menganggap tak ada kategori derau dalam musik.
Ketika ia memainkan komposisi 4’:33” yang justru menampilkan kesunyian dan kesenyapan, segala
jenis bunyi yang ada dalam ruang konser, termasuk
yang bunyi-bunyi diharamkan terdengar di dalam
sebuah konser (penonton yang bernafas, mendehem atau batuk, misalnya), adalah bagian integral
dari komposisi musiknya. Pendek kata, derau hanya
bisa dibedakan dengan tujuan atau inti dari suatu
proses kodifikasi (encoding) dan penyingkapan kode
(encoding). Ia dapat muncul dalam bentuk apapun
yang ‘tak-dihasratkan’ (undesired).
Jawa (?)
Lalu apa yang dimaksud dengan Derau Jawa? Sebelum memahami maksud Hanafi, anggaplah kita
punya bayangan-bayangan, stereotip, definisi atau
ideal tentang ‘Jawa’. Yang paling sederhana tentu
Jawa sebagai entitas geografis dan demografis, yakni pulau selebar 128.297 km2, pada 7° 29” 30’ LS,
110° 0” 16’ LU yang dihuni oleh lebih dari 141 juta
jiwa penduduk yang tersebar di enam provinsi. Sementara dalam pengertian antropologis dan etnologis, Jawa adalah entitas sosial, dan kultural spesifik yang diikat oleh bahasa, tata-cara hidup, sistem
kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh suatu
kelompok. Kelompok ini dibayangkan mewarisi
‘Jawa’ secara turun-temurun, menyerap dan menyebarkannya kembali melalui lingkungan hidup atau
pergaulan.
Harus diakui, dalam kerangka politik antara identitas etnis dan kebangsaan, kita tahu bagaimana
sepanjang sejarah bangsa ini, keragaman budaya
Nusantara tak pernah sebenar-benarnya terwakili
dalam kehidupan kebudayaan Indonesia. Alih-alih,
kekuasaan politik dan ekonomi yang selalu terpusat
di Jawa, harus diakui, menyebabkan wacana Jawa
menjadi dominan dalam kehidupan bernegara.
Proyek Oksigen Jawa maupun Derau Jawa dapat
diposisikan sebagai pertanyaan-pertanyaan dan tinjauan kritis pada superioritas Jawa, sebagai entitas
geografis maupun etnis di Indonesia.
Dalam frasa Oksigen Jawa maupun Derau Jawa, kita
menangkap gambaran samar-samar tentang definisi
antropologis yang tidak cukup memadai, atau tak
pernah stabil untuk menjelaskan Jawa. Dalam Oksigen Jawa Hanafi mengkonversi pengertian Jawa ke
dalam metafor tentang udara: Jawa adalah sesuatu
yang nirwarna, nir-bau, terbuka, bebas dan mengalir—ia dapat dihirup oleh di mana pun, kapanpun oleh siapapun. Sebagai tengara identitas, label
Jawa dapat dikenakan (dihirup) oleh siapapun yang
sewaktu-waktu membutuhkannya. Saya menggagap bahwa metafor ini menyarankan pengertian
Jawa yang tak hanya diikat oleh batasan geografis
maupun sosiokultural. Kita tahu bagaimana perpindahan manusia dari dalam dan luar pulau Jawa
berserta interaksi berbagai nilai lama dan baru yang
ditimbulkannya (misalnya melalui perang, pernikahan maupun penyebaran pengetahuan) pada
akhirnya selalu berpotensi menciptakan perubahan-perubahan makro maupun mikro dalam konsep
‘ke-Jawa-an’. Oksigen Jawa juga mengandung konotasi tentang ketaksadaran kolektif: Kita tak pernah
sepenuhnya sadar bahwa selama ini, secara sengaja
atau tidak, kita telah terlalu lama menghirup ‘udara Jawa’ yang mempengaruhi cara-cara kita berpikir
dan bertindak (ingatlah bagaimana kegiatan bernafas tak selalu sepenuhnya kita sadari).
Saya memaknai pilihan Hanafi untuk mengajukan noise atau derau sebagai hasil dari suatu peralihan dari cara kerja ‘mengingat’ (to memorize,
yang cenderung lebih menonjol dalam Oksigen
Jawa) ke ‘merenungkan’ (to contemplate). Keduanya berhubungan dengan masa lalu, namun memiliki dampak yang berbeda ketika dilakukan. Dalam
Derau Jawa, kita bolehlah membayangkan adanya ‘Jawa’ sebagai bunyi atau suara yang dominan,
bersumber tunggal, resmi, sahih. Dan yang Hanafi
coba lakukan adalah menangkap bunyi-bunyi di
luar yang dominan itu. Ia justru ingin menangkap
bunyi-bunyi yang tak diinginkan oleh pembawa suara dominan. Untuk menemukannya Hanafi harus
pertama-tama menemukan bunyi utama. Ini adalah
kegiatan yang lebih bertumpu pada analisa ketim-
bang sekedar mengingat (atau ‘menghirup udara’
secara tidak sengaja).
Ada sejumlah ‘frekuensi derau’ yang Hanafi coba
ungkap dalam pameran ini. Ia melukiskan dan
menghadirkan objek-objek sebagai metafor untuk
masuk pada narasi-narasi, simbol maupun mitos
yang tercecer, nyaris terlupakan atau terepresi—dianggap sebagai derau—dalam narasi-narasi tentang
Jawa kontemporer. Ia memang tidak secara langsung
mempersoalkan sejarah. Tapi tanda-tanda pada lukisan-lukisan dan instalasinya mewakili gaung dimensi ruang, waktu dan kejadian di masa lampau
yang disusun ke dalam komposisi yang tumbuh tidak linier, melainkan, seperti yang ditengarai Afrizal
Malna: Acak, melingkar, berlapis-lapis dan rizomatik bagai pertumbuhan umbi bawang.
Metafor lain yang Hanafi gunakan dalam proyek ini
adalah pintu belakang. Dibayang-bayangi kebiasaan
masa mudanya untuk pulang ke rumah lewat pintu belakang, Hanafi menjadikan ‘pintu belakang’
sebagai cara untuk melihat kembali kenyataan-kenyataan ‘Jawa’ melalui kacamata yang serba informal
dan ‘miring’. Jika pintu depan adalah representasi suara tunggal Jawa yang didominasi oleh sosok
‘Bapak’ (kekuasaan tunggal, dominan, laki-laki),
Hanafi menyusun Jawa dengan caranya sendiri, di
mana derau-derau—narasi-narasi yang tak diinginkan, dalam bentuk mitos, legenda, fiksi—berkelindan dengan data, fakta maupun narasi sejarahnya
sendiri. Pada titik itulah, saya menemukan keriangan dan kebebasan mencipta yang sebenarnya dan
khas dalam sosok Hanafi.
Konversi-konversi
“…Kepompong ulat sebagai kompas. Dalam kehidupan masyarakat Jawa pasca-kemerdekaan (terutama pada era Orde Baru) haluan untuk pergi hanya ada satu: kota. Kota-kota yang sekarang maju
di Jawa membujur sepanjang ujung barat dan timur
pulau Jawa. Padahal, poros utara-selatanlah yang
menjadi patokan penting dalam konsep mata angin
Jawa. Ini tercermin pada pertanyaan yang diajukan
anak-anak ketika bermain dengan kepompong ulat:
“Ndi lor, ndi kidul?” (Mana utara, mana selatan?).
Garis lurus yang ditarik dari poros utara selatan
konon menghubungkan Gunung Merapi, Keraton
Ngayogyakarta dan Laut Selatan. Gunung Merapi
dipercaya sebagai pewahyu tanda-tanda sosial: ia tak
boleh tersumbat. Sekalipun ia memuntahkan Wedhus Gembel dan menelan korban manusia, orang
Jawa harus tetap pasrah, nrimo. Sekalinya Merapi
tersumbat, revolusi sosial akan pecah di Jawa, dan
situasi politik di Keraton Yogyakarta akan guncang.
Laut Selatan adalah rumah Nyi Roro Kidul yang
sesekali akan datang ke Taman Sari untuk mandi
di kompleks pemandian rancangan Demang Tegis,
seorang arsitek Portugis.
Pintu belakang adalah gerbang
Sebelum masuk ke dapur, kita menemukan sumur
dan dinding bambu yang membangun bilik mandi dan cuci. Tak ada yang RT/RW yang membatasi
teritori ini. Semua orang bebas mandi dan mencuci di situ. Terkadang para tetangga berkumpul di
dapur, untuk menumpang memasak atau sekadar
nongkrong dan ngobrol-ngobrol. Pintu dapur selalu terbuka untuk siapapun yang kekurangan garam,
bumbu dapur, juga untuk kiriman-kiriman beras,
pisang dan palawija yang berdatangan ketika mu-
sim panen. Masuk ke dalam rumah, kita melihat
ibu sedang menjahit, atau melicin pakaian dengan
setrikaan arang.
Bapak meletakkan topi bajanya, mengenakan sarung dan bakiak untuk mengambil air wudhu,
mencuci tangannya yang berlumuran darah karena
G 30S. Ia minum obat buatan pabrik Jerman ketika pusing, tak lupa sambil mendengarkan bunyi
gamelan sebelum tidur di ranjang. Suara bapak selalu bergema di segenap penjuru rumah, terkadang
berisik sampai di ruang keluarga di mana anak-anak
biasa berkumpul dan menonton video. Hanya ibu
yang fasih menyanyikan lagu Tak Lelo Le Dhung,
agar anak-anak tidur dengan pulas. Sesekali ia mengajarkan anak-anak menulis dan mengeja Ha Na Ca
Ra Ka. Di kampung kami tak ada lagi bajak-bajak
sawah yang mondar-mandir melibas lumpur basah.
Tak ada pula bunyi-bunyian alu dan lumpang yang
bersahut-sahutan menumbuk padi. Bapak selalu
menyuruh anak-anak pergi dan datang lewat pintu
depan untuk menjaga kesopanan…”
Curatorial Essay
Air Becomes Sound:
In and Out of Java through the Backdoor
Agung Hujatnikajennong
Among the many leaps and turns that Hanafi Muhammad has gone through for 25 years as an artist,
the Oksigen Jawa project (2015) was one of them. I
call it an important turn. Even though his works at
the exhibition didn’t show any reinvention or transformation of style, medium, or technique, Oksigen
Jawa marked a thematic turn that gave a new color
to Hanafi’s attention, work method, and artistic behavior today.
In Oksigen Jawa, Hanafi turned an entire exhibition
room at Galeri Soemardja into a large installation
that is built upon the memories of his life story. At
the entrance of the gallery, Hanafi built a labyrinth,
guiding visitors through narrations about various
objects such as sewing machines, towels, lampshades, and rolls of yarn. All of these are depicted
on the canvas, or are present as part of the installation in the exhibition room. Oksigen Jawa is a ‘visual
biography’, stressed Hanafi.
Oksigen Jawa demonstrated paintings that are no longer completely ‘abstract’ like the ones in his past
exhibitions. 1 On almost every painting in Oksigen
Jawa, objects were present and drawn with little deformation. Half of them were even accentuated
by readable writings. An integral part of Oksigen
Jawa is a companion book that Hanafi had written
in the form of fragmented stories about his life,
like sketches for a larger memoir. As a whole, I see
Oksigen Jawa as based on Hanafi’s need to remember. And to freeze the stories that were vague at the
beginning and somewhat fleeting in his memory, he
needed signs and pictures that were clearer. The objects of Oksigen Jawa act as mementos that not only
had to pave a way into those stories, but also had to
capture the audience’s or the readers’ involvement
directly.
The public has known and already identified Hanafi as an ‘abstract painter’. That perception is not
completely wrong considering how the majority of
Hanafi’s work are born out of obstructing or concealing representational forms, but it must be understood that the principles of abstraction that Hanafi
adheres to are not always about altering forms or
playing with formalistic languages. His artwork reflects a reflective approach and are also reflexive in
problem solving: Reflective, because his art involves
thoughts and deep contemplations on something
behind a mere empirical or sensory phenomenon.
Reflexive, because Hanafi tends to position himself
as a subject that is affected by, or involved directly
with the problems he’s thinking about. To Hanafi,
abstraction isn’t a style, or even an ideology that has
to be followed blindly. What’s more important to
him is to place his artwork as a manifestation of
how he thinks about problems that are not coincidentally often decorated with rhetoric, if not poetic
approach.
Hanafi is an artist that tends to be open, if not free,
at work. Several observers have described his work
as a manifestation of ‘happiness and freedom’ in
creating.2 In his solo exhibition, Of Spaces and Shadows (2009) for example, he could casually pair his
abstract paintings with installations or sculptures
that otherwise looked ‘realistic’, figurative. However, Oksigen Jawa, in my opinion, is not only a project that emphasizes Hanafi’s joy in working. As has
been stressed with the statement ‘visual biography’,
the signs in Oksigen Jawa were there to clear memories and personal narrations. The problems presented by Oksigen Jawa are larger than the story of a Purworejo-born son of a war veteran who moved to
Jakarta after graduating from art school. Critic Wicaksono Adi viewed Oksigen Jawa as a representation
of an ‘inner-side matrix’ from the perspective of a
Javanese person who perceives objects in a Javanese
associative frame or system of symbols. What are
present at the exhibition are indeed not of Javanese
origins---like keris, wayang or batik---but they are domestic objects that can be found in a house. What
is unique about Hanafi, and perhaps every other Javanese person, is his poetic, and sometimes rhetoric
perception of problems.
What Hanafi has achieved with Oksigen Jawa has
inadvertently led him to his upcoming solo exhibition: The Backdoor | Noise Java. One thing that hasn’t
shifted much is the way he places ‘Java’ as a text that
contains tension, particularly between: 1) the need
to express identity on one side, with; 2) the inevitable changes in reality that make questions about
identity abstruse to the other side. If there’s a shift
in the way he thinks about Java, it is most clearly
seen in the lack of memory-related themes and personal narrations, which, in this exhibition, are expanded into a commentary on communal realities.
For this exhibition, Hanafi, together with Afrizal
Malna, went on a journey to visit certain locations
in Java, seeing, observing, documenting, discussing,
gathering, reading, and processing data as means to
achieve an idea. Hanafi tried to retrace past steps,
to reconfirm what he once remembered and understood about Java in terms of empiric and ‘objective’
realities. Although inherent in Hanafi’s past creative
processes, this reflexive work method plays an important role as a method that is practiced for Pintu
Belakang | Noise Java.
Noise
Hanafi then defines his idea of noise, or derau: a
sound or voice that is unwanted. Yet again, this is
what is unique in Hanafi’s way of thinking that is
filled with metaphors. In Noise Java, there’s an interesting conversion of code from a working process
that is notably visual into an idea that is otherwise
audial. In this exhibition, the memories and stories
about Java that Hanafi has scavenged from various
places are structured and treated as a sensory entity that is intangible and invisible. If Java is noise,
then where is the source? Are someone making the
sound? If yes, then who are they? How loud is it?
How is the sound? How does it affect us? These
questions are important to anyone who wants to
imagine the Java that Hanafi presents.
On the subject of sound, noise can be discovered
through the act of hearing or listening. But Barthes
and Havas differentiate those two audial activities. 1
The former is related to the physiological and biochemical mechanisms of the structural function
and the systems of bodily organs that are inherent
to all living organisms (a rat can hear the sound of a
cat’s footsteps that compels it to escape or hide inside a hole), while the latter is more psychological, a
cognitive action that affects motivation, perception,
emotion, and even habit or human behavior. The
act of listening has more of a purpose and demands
the ability to react to and interpret codes: A fan of
a radio show can imagine the dramatic qualities of a
duel, even though all he receives are sound effects.
Noise appears when, during the act of listening,
one finds something intruding, something that is
unwanted or unfit with the original purpose. But
as a semantic category, noise doesn’t have an exact
shape or form, because what is considered as noise
to someone can be considered as a meaningful
sound to another. Noise isn’t always identical with a
specific type of sound, because silence can also be
defined as noise (imagine the disappointment of the
crowd when the electricity cuts mid-concert). On
the other hand, John Cage believes there is no noise
category in music. When he performs the composition “4’:33’” which consists of silence and faint
sounds, every type of sound that is present at the
venue, including the sounds that are forbidden at
a concert (breathing sounds, coughing, for example) are an integral part of his musical composition.
In short, noise can only be differentiated with the
purpose or core idea of a codification process and
encoding. It can appear in a form that is undesired.
Java (?)
So how does one define Noise Java? Before trying
to understand what Hanafi is trying to say, consider
that we have ideas, stereotypes, definitions, or ideals
about ‘Java’.
The simplest one is of course Java as a geographical
and demographic entity, which is an island 128.297
km2 wide, located at 7° 29” 30’ LS, 110° 0” 16’ (north
latitude), and occupied by more than 141 million
citizens spread across six provinces
Meanwhile, anthropologically and ethnologically,
Java is culture-specific social entity that is bound
by language, ways of life, belief system, and values
practiced by a group. This group is conceived as one
that inherits ‘Java’, absorbing and spreading it again
through its living environment or social circle.
It needs to be acknowledged that within the political framework between national and ethnical identities, we know how throughout this nation’s history,
the cultural diversity of Nusantara has never been
rightfully represented in Indonesia’s living culture.
Instead, political and economic powers are always
centralized in Java. This causes Java to play a dominant role in this nation’s citizenship. Oksigen Jawa
or Noise Java can be posed as questions and critical
overviews about the superiority of Java, both as a
geographical and ethnical entity in Indonesia.
Between the phrases of Oksigen Jawa and Noise Java,
we get a vague picture on a lackluster anthropological definition, or one that is never stable when it
comes to explaining Java. In Oksigen Jawa Hanafi
converted the definition of Java into a metaphor
for air: Java is a nirvana, something that is odorless,
open, free, and flowing--it can be breathed anywhere, anytime, and by anyone. As a landmark for
identity, the label Java can be breathed by anyone
needing it. I see this metaphor as suggestive of a
definition of Java that is not restricted by geographical or sociocultural bounds.
We know how the migration of humans from inside and outside of Java along with the interactions
between old and new values that it causes (for example, through war, marriage, or the spread of
knowledge) will ultimately produce macroscopic
and microscopic changes in the concept of ‘Java’.
Oksigen Jawa also contained a connotation about the
collective unconscious: We have never been fully
aware that all this time, consciously or not, we have
been inhaling the ‘air of Java’ that influences our
actions and ways of thinking (remember how the
act of breathing is not always conscious).
I define Hanafi’s choice to put forth noise as a product of a transition from memorizing (which was
prevalent in Oksigen Jawa) to contemplating. Even
though both are related to the past, they have different consequences when acted upon. In Noise Java,
we can imagine the existence of ‘Java’ as a sound
or a dominant voice with a single official and legal
source.And what Hanafi is trying to do is capture
the sounds outside of that dominance. He wants to
capture the sounds undesired by the proponents of
that dominance. To do so, Hanafi must first locate
the primary sound. This is a step that depends more
on analysis than memory (or ‘inhaling air’ unconsciously).
There are some ‘noise frequencies’ that Hanafi is
trying to uncover with this exhibition. He paints
and presents objects as metaphors to step into the
world of narrations, symbols, and myths that are
almost forgotten or repressed---treated as noise---in
narrations about contemporary Java. He indirectly
concerns himself with history. But the signs in his
paintings and installations represent the reverberation of a spatial and temporal dimension along with
past events that are stacked on top of each other
in a composition that doesn’t grow linearly, instead,
as what Afrizal Malna has explained: Random, circular, layered, and rhizome-esque, like the growth
of a tuber.
Another metaphor that Hanafi employs in this
project is the backdoor. Shadowed by a habit in his
youth of returning home through the backdoor,
Hanafi turns ‘the backdoor’ into a way of revisiting ‘Javanese’ realities through a pair of eyes that
is informal and ‘bent’. If the front door is a representation of Java’s singular voice that is dominated
by the father figure (a singular power, dominant,
male), Hanafi structures Java in his own way, where
noises---undesired narrations in the form of myths,
legends, and fictions---go hand in hand with data,
facts, and the narration of its own history. At that
point, I find the joy and freedom of creating that
are unique with Hanafi.
Conversions
“...a moth’s cocoon as a compas. In the lives of Javanese people after the independence (particularly in
the New Order era), there’s only one destination to
head to: the city. The cities that are now flourishing
in Java are located along the westernmost and easternmost corners of the Java Island. While in reality,
the north and south poles are the basis for the Javanese concept of direction.
This is reflected on the question put forth by children when playing with moth cocoons: “Ndi lor,
ndi kidul?” (Where’s north, where’s south?). A line
that is stretched from the north to the south poles
are said to connect Mount Merapi, the Ngayogyakarta Kraton, and the South Sea. Mount Merapi is
believed to be the foreteller of social signs: it cannot be obstructed. Even when it produces Wedhus
Gembel which has the potential to claim many lives,
the Javanese people must accept it, nrimo. Once the
Merapi is obstructed, social revolution will break
out in Java, and the political situation in the Ngayogyakarta Keraton will crumble. The south sea is
home to Nyi Roro Kidul, who occasionally visits
Taman Sari to bathe at a bathing complex designed
by Damang Tegis, a Portuguese architect.
The backdoor is a gateway. Before entering the kitchen,
we come across a well and walls of bamboo that
make up the washing and bathing quarter. There are
no restrictions to this territory. Everyone is allowed
to wash or bath there. Occasionally, the neighbors
get together at the kitchen, to cook or to just sit
down and chat. The door to the kitchen is always
open for anyone who is short of salt, spices, or to
the deliveries of rice, bananas, and palawija that arrive in the reaping season. Upon entering the house,
we see mother is sewing, or flattening clothes with coalmade clothes iron.
Father lays down his iron hat, puts on his sarung and
slippers to take absolution, and washes his bloodsoaked hands caused by the G 30S. He drinks a
German-manufactured medicine when he’s nauseated while listening to the sound of gamelan before
going to bed on his bunk. His voice is always present
in every corner of the house, sometimes so loud
that it’s heard in the family room where the children
get together to watch video. Only mother is capable
of singing the song Tak Lelo Le Dhung correctly, so
that the children sleep well. Every once in a while
she teaches the children to write and spell Ha Na
Ca Ra Ka. In our village there is no bajak-bajak sawah
that goes to and fro through mud. Also not present
is the sound of alu and lumpang going back and forth
against grain. Father always instructs the children
to come and go through the front door to maintain
civility..”
Narasi-narasi dalam Pameran Hanafi
Pintu Belakang | Derau Jawa
Afrizal Malna
Di Parang Kusumo, Yogyakarta, hari 6 Januari 2016,
sore sangat panas. Pengunjung sepi. Debur ombak
Pantai Selatan terus terdengar. Kami minta tolong
seseorang mencari juru kunci Parang Kusumo, sambil memesan bahan-bahan ritual. Sebuah sore di
antara kembang tujuh warna, asap dupa, sang Juru
Kunci, dua buah batu Ratu dan Raja dalam taman
pasir. Angin menghembuskan asap dupa. Kami memasuki, menghormati sebuah kepercayaan di sekitar Nyai Loro Kidul. Membersihkan diri dari dengki. Ini merupakan sebuah “pintu Jawa”, kosmologi
yang bermain dalam teritori teknologi imajinasi
bersama komunitas mistisnya.
Dunia lain dibuka melalui “pintu belakang”. Ruang
ini tidak ada hubungannya dengan “pintu depan”
yang menuju ke luar, ke dunia yang teritorinya
tidak berbatas. Pintu belakang teritorinya sangat
terbatas, hanya menghubungkan bagian belakang
rumah dengan halaman belakang rumah.Meskipintu ini hanyaberhubungan dengan kegiatan dapur
dan aktifitas kegiatan rumah tangga lainnya,fungsi
simbolisnya tidak terbatas. Struktur ruang ini, terutama dalam kehidupan masyarakat Jawa, berhubungan dengan budaya yang terkait erat dengan istilah
“jalan belakang” (liwat mburi), untuk menyebut
berbagai hubungan informal tanpa publik. Ia memang memiliki ruang gerak sosial dalam lingkup
kecil antar tetangga maupun kerabat, tapi juga
memiliki fungsi politik tak terduga untuk mencairkan peran negara, atau sebagai ruang dimana negara
tidak ikut hadir (lihat: nomor rumah ada di pintu
depan).Dalam budaya Sunda dikenal pula ungkapan ngaliwat ka jalan pipir (lewat jalan samping).
Seorang antropolog, Jan Newberry, pernah melakukan penelitian mengenai pintu belakang dalam konsep rumah Jawa di Kampung Putri di Yogyakarta. Ia
menyebut begitu pentingnya peran pintu belakang.
Sebuah rumah tanpa pintu belakang sama dengan
memutus hubungan antara keluarga dengan kampung, ruang untuk aliran udara, aliran arus orang
dan arus barang (Jan Newberry, Back Door Java,
Negara, Rumah Tangga dan Kampung di Keluarga
Jawa, 2013, hal. 15).
“Kalau pulang ke rumah, aku lebih suka masuk lewat
pintu belakang. Pintu depan selalu memunculkan
bayangan bapak yang duduk di kursi menatap lurus
ke luar pintu: Posisi yang mengandung konstruksi
kekuasaan untuk mengawasiku. Tapi kini pintu belakang tidak berfungsi lagi. Halaman belakang lalu
berubah jadi sebuah ideologi yang kosong, kemudian cenderung diisi dengan sampah,” kata Hanafi.
“Ketika kita tidak punya pintu belakang, kita tidak
punya pulang. Rumah menjadi tempat untuk pergi,” lanjutnya.
Pameran ini seperti arus balik ketika Hanafi mulai melihat arus eksternalisasi budaya, pasar global, alih-alih hanyut dalam arus dari “pintu depan”.
Konsep pintu belakang dalam tata ruang rumah
Jawa menjadi perhatiannya kembali. Jawa yang
dialami Hanafi berada di luar lingkaran Keraton,
meskipun untuk masyarakat Yogyakarta, Purworejo
(tempat kelahiran Hanafi) disebut sebagai daerah
Bagelen. Software identitas yang cair ini membuat
Hanafi nyaris tidak memiliki beban untuk mengalami Jawa secara personal. Tetapi apakah Jawa itu? Sebuah imajinasi yang tidak memiliki teritori. Atau,
jikapun ada, teritori itu hanya nyata dalam wujud
bahasa: Bahasa Jawa. Di Indonesia, keberagaman
mungkin tidak pernah ternyatakan tanpa melihat
berbagai jejak pengaruh masuknya Islam, kolonialisme, kemudian modernitas. Jawa sebagai mayoritas
menjadi bandul utama dalam arus politik identitas
ini.
Senirupa—sebagai praktik atau disiplin yang membantu Hanafi memahami dunia modern—cenderung berpusat pada arus “pintu depan”. Sebagai
akibatnya, arus progresif ini tidak sepenuhnya terhayati sebagai struktur emosi dalam ruang keseharian Hanafi. Dua kali Hanafi membuat pameran
dengan tema “dunia di bawah kolong meja” untuk
mengungkap sebuah dimensi ruang dalam memori
sosialnya.Memori sosial ini berakar jauh dalam ruang yang lebih arkhaik di sekitar peran sosial maupun peran simbolik pintu belakang dalam konsep
ruang Jawa. Ruang itu eksis tanpa instrumen-instrumen formal.
Sebuah pintu depan yang telah berlalu pernah dibuka. Sebagai contoh: Tahun 1929, berlangsung pameran senirupa Jerman untuk pertama kalinya di Batavia. Pameran ini menampilkan karya-karya Otto
Dix, Karl Hofer, Wassily Kandinsky, Fritz Mackensen, Laslo Moholy-Nagy, Max Pechstein, Max
Slevogt, Karl Schmitt-Rotluff, Heinrich Vogler,
Georg Kolbe, Emil Nolde, Josef Bato, Charlotte
Behrend-Corinth, Maria Caspar-Filser, Philipp
Frank, Emmy Gotzmann, Ernst Honigberger, Willy
Jackel, Wilhelm Kohlhoff, Calro Mense, Oskar Moll
dan Eugen Spiro. Informasi tentang peristiwa penting ini saya dapatkan ketika mengikuti diskusi Werner Kraus dari Centre for Southeast Asian Art(Passau), di Herrenhaus des Gutes Wahlstorf bei Ploun,
Jerman, 23 Agustus 2015. Topik diskusi dipaparkan
dengan menayangkan katalog pameran, lengkap
dengan ukuran maupun harga lukisan.
Saya tidak punya bayangan apa dampak pameran maupun liputan dari peristiwa di atas dalam
lingkungan kolonial di Batavia maupun Hindia Belanda yang terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama,yang disusul oleh krisis ekonomi dunia
pada masa itu.Tapi menjelang tahun 1930, kawasan
Hindia Belanda mulai mengatasi pengaruh depresi perekonomian ini dengan melakukan swastanisasi maupun liberalisasi perekonomian kolonial.
Pertumbuhan ekonomi, salah satu di antaranya,
bisa dilihat melalui berkembangnyaindustri percetakan dan desain yang mengiklankan berbagai
produk pabrikan (Budi Setiyono, ed, Cakap Kecap
1972-2003, Yogyakarta, Galang Press, 2004). Yang
menarik dari berbagai desain iklan yang ditawarkan
adalah bagaimana segmen Jawa (sebagai mayoritas dalam demografi Hindia Belanda), mendapatkan tubuh-identitas sebagai usaha melembagakan
sekaligus mengilusikan bagaimana tubuh-Jawa
memasuki kehidupan modern melalui produk-produk industrimodern yang dilempar ke pasar. Dari
sensus pemerintah kolonial yang dilakukan tahun
1930, jumlah penduduk di Hindia Belanda sebesar
60.727.233 jiwa (termasuk keturunan Tionghoa,
Eropa dan Timur Asing). Penduduk terbesar berada di Jawa (41.718.364 jiwa). Melalui iklan-iklan
produk industri modern, Ilusi tubuh-Jawa mulai
diintegrasikan antara pasta gigi, sabun mandi dan
sabun cuci.
Selain peralatan mandi dan cuci, gambaran tubuh-Jawa juga nampak pada produk-produk lain
berupa coklat (dengan penggambaran GarengPetruk), mentega atau rokok (dengan penggambaran perempuan berkebaya menghisap rokok dan
mengangkat kembali narasi Roro Mendut), Bier
Kris (keris pada botol bir), tembakau (tubuh-petani
di sawah), beberapa iklan dalam bahasa Jawa, maupun penawaran penerbangan untuk pariwisata
dengan penggambaran Candi Borobudur: Fly to
Java by KNILM. Narasi-narasi lokal, mooi indie
maupun mancanegara mulai membuat pergaulan
modern dalam lingkungan kolonial sebagai ilusi
baru tentang Jawa dalam realitas pasar. Semua ini
berlangsung bersamaan dengan lembaga penerbitan
Balai Pustaka yang kian banyak menerbitkan narasi
di sekitar legenda-legenda Jawa, dan mengakibatkan
silang pengaruh antara bahasa Melayu dan bahasa
Jawa.Tak ketinggalan, tubuh-Jawa dalam realitas
pasar juga ditawarkan melalui penawaran peralatan
pertanian.Konstruksi tubuh-Jawa ini putus pada
masa pendudukan Jepang dan memasuki realitasnya
yang paling ekstrim (1943-1945).
Ilusi tentang Jawa, menurut Bandung Mawardi,
mendapatkan momentumnya saat pemerintah kolonial membentuk lembaga Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) di Universitas
Leiden (Ironi dan Ilusi Jawa, Kompas, 22 Januari
2011). Jawa yang mulai terdekonstruksi kemudian
dikonstruksi kembali melalui bahasa, sastra, sejarah,
arsitektur, gamelan maupun berbagai bentuk budaya lainnya. Ini memunculkan ilusi tentang akar
yang rumit dari kemajemukan Jawa, sekaligus ilusi
tak langsung tentang “satu Jawa” dalam dunia modern yang mulai ditata. Sementara itu, kita juga sering lupa, bahwa ada ‘Sunda’ yang membuat (pulau)
Jawa sebagai kawasan noise sejarah maupun kebudayaan,karena teritori ideologis antara Sunda dan
Jawa tidak akan pernah ajek (terus saling bersinggungan). Bujangga Manik, misalnya, seorang resi
pra-Islam dari Pakuan Pejajaran (Sunda), pernah
melakukan perjalanan spiritual mengelilingi Jawa
dan Bali sebagai pola belajar maupun ngelakoniseperti dilakukan Amongrogo dari Giri (Jawa Timur)
ke Karang (Jawa Barat) dalam SeratCenthini.
Ilusi tentang teritori identitas dalam demografi Jawa
memasuki “derau”(noise) sejarahnya yang panjang
melalui berbagai gelombang migrasi maupun diaspora keluar dan kedalam, atau politik kawin-silang
yang dilakukan raja-raja Jawa. Proses itu membentuk medan reproduksi identitas di masa perbudakan maupun masa kolonial. Percampuran DNA
berlangsung paralel dengan pencampuran memori
asal-usul, keduanya membentuk kesadaran Jawa
yang menyimpan nilai-nilai Jawa ke dalam bahasa
(Kromo) dan serentak mengintegrasikannya ke dalam gamelan, wayang, rumah, pakaian, makanan
hingga keris dengan latar kawasan Nusantara yang
selalu bersinggungan dengan titik-titik arus global
di masa silam(sebagai kawasan geopolitik yang sudah terbentuk).
Pemerintah kolonial Belanda juga aktif melakukan
program transmigrasi sebagai akibat langsung dari
pengembangan industri perkebunan, pertambangan, transportasi kereta api maupun industri keamanan. Penyebaran penduduk Jawa kian meluas,
terutama ke Sumatra, Kalimantan kemudian Papua. Tahun 1929, di bawah kontrak Cultuurstelsel,
235.000 penduduk Jawa melakukan transmigrasi
ke pesisir Timur Sumatra. Konsep ruang pun mulai berubah dari istilah “migrasi” di era pra-kolonial, menjadi “transmigrasi” di era Hindia Belanda.
Setelah Indonesia Merdeka, pemerintah Sukarno
juga melakukan transmigrasi pada tahun 1949, dan
memuncak pada pemerintahan Suharto yang hampir mencapai 2,5 juta jiwa (Goldman, Michael, Imperial Nature: The World Bank and Struggles for
Social Justice in the Age of Globalization, 2006). Hanafi membuka kembali dialog kawasan historis
di sekitar dunia Jawa.Setelah pameran sebelumnya
(Oksigen Jawa) di Galeri Soemardja ITB, Bandung, 2015, kali ini ia lebih ingin melihatbagaimana
Jawa—sebagai sebuah “bungkusan identitas”—masih merupakan faktor penentu dalam politik identitas yang berlangsung di Indonesia. Jawa merupakan
mayoritas dimana proses politik kebudayaan masih
terus menggeliat hingga kini. Faktor Jawa jadi sangat menentukan bergeraknya bandul warna identitas di Indonesia ke arah menjaga keberagaman atau
penyeragaman.
Dari sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistiktahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,641,326 jiwa. 63.293.685 jiwa terdapat di
Jawa Barat (Jawa Barat, DKI. Jakarta dan Banten);
35.726.308 jiwa di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta; 37.476.757 jiwa di Jawa Timur dan Madura. Artinya 136.610.590 penduduk Indonesia
(setengah lebih) terbanyak di Jawa. Pemakai bahasa
Jawa sehari-sehari 68.044.660 jiwa; pemakai bahasa
Sunda, 32.412.752 Jiwa; dan pemakai bahasa Indonesia, 42.682.566 jiwa. Pemakai bahasa Jawa dan
Sunda ternyata dua kali lipat lebih besar dari pemakai bahasa Indonesia. Kita bahkan tidak pernah
tahu berapa banyak jumlah bahasa daerah di Indonesia (ada angka yang tidak mudah kita bayangkan:
746 bahasa daerah). Yang terpetakan sejumlah 594
bahasa daerah. Selebihnya kemungkinan dianggap
punah, karena tidak ada pemakainya lagi (Bahasa Daerah Semakin Punah, Republika, 05 Maret
2014).
Masuknya faktor bahasa dalam sensus di atas, memperlihatkan batas identitas yang tidak lagi ditentukan oleh kawasan, melainkan melalui tubuh-bahasa-ibu yang menyebar luas ke kawasan lain di luar
jawa. Sementara itu, juga ada fenomena nama anakanak Jawa masakini yang kian menjadi nama Arab
dan Barat,melalui budaya urban, maupun globalisasi bahasa Inggris. Belum lagi bahasa dalam ruang internet maupun ruang digital yang membawa realitas
lain yang tidak terbayangkan. Survey mengatakan
bahwa pemakai internet di Indonesia sudah mencapai 38.191.873: 15 % dari pemakai internet dunia
(id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_
jumlah_pengguna_Internet).
Sebuah laci pada tubuh patung Hanafi, ditempatkan pada posisi bagian hati, jantung dan paru-paru:
ruang yang bisa dibuka dan ditutup.
Alkisah, Ajisaka, yang dipercaya sebagai “manusia
pertama” dalam kepercayaanmasyarakat Tengger
(Jawa Timur), semasa mudanya pernah belajar agama di Mekkah. Ia bahkan dianggap lebih cerdas
dari Ali bin Abi Thalib. Ketika akan kembali ke
Jawa, Nabi Muhammad SAW menghadiahinya sebuah alat tulis. Ketika pulang, alat tulis itu tertinggal di Mekkah. Ajisaka meminta seseorang bernama
Hono untuk mengambil kembali alat tulis itu di
Mekah. Pada saat yang sama, Nabi juga memerintah
Alif untuk mengantar alat tulis itu kepada Ajisaka.
Dalam perjalanan Hono ke Mekah dan Alif ke Jawa,
keduanya bertemu dan saling memperebutkan alat
tulis itu. Keduanya berkelahi untuk menyelamatkan
amanah yang sama. akhirnya keduanya tewas dan
alat tulis itu pun hancur. Menemukan kedua mayat
itu, Ajisaka lalu menyuarakan kata-kata dengan lantang:
ha na ca ra ka
(ada pengawal)
da tha sa wa la
(beda pendapat)
pa dha ja ya n’ia
(sama kuatnya)
ma ga ba tha nga
(keduanya mati)
(Bisri Effendy dalam Walter J. Ong: Kelisanan dan
Keaksaraan. Gading Publishing, Yogyakarta, 2013).
Paku Buwana IX dalam tembang Kinanthi, menyebut aksara Jawa sebagai guru sejati. Aksara ini tidak
hanya merupakan sistem bahasa, tetapi juga sebuah
medan bagaimana seseorang menempatkan dirinya
dalam arti etik, politik, teologis maupun hubungan selaras dengan gerak alam dalam konsep ajaran
Jawa. Napas digunakan sebagai pusat relasi antara
tubuh dan bahasa. Narasi aksara Jawa bisa menjadi radikal dalam tubuhnya sendiri. Dalam dunia
modern, sekian banyak aksara kuno di Nusantara
telah menghilang. Tetapi apakah memori maupun
ajaran yang dikandungnya ikut lenyap? Apakah arti
memori di tengah angka-angka sensus pemakai bahasa? Di manakah posisi ketertarikan untuk mengenali asal-usul di tengah “akar majemuk”(Gilles
Deleuze dan Felix Guattari menyebutnya sebagai
rhizome) kebudayaan yang telah saling menjalin
satu sama lainnya?
Salah satu fokus Hanafi dalam pameran ini adalah
makna waktu dalam sebuah karya seni? Dimanakah
batas waktu ketika sebuah materi telah diubah menjadi medium seni? Apakah waktu yang terinspirasi
dari masalalu harus tetap dibaca sebagai masalalu
walau dibuat di masakini untuk sebuah pameran?
Jawa dalam pameran ini tidak hanya memiliki moda
waktu masalalu, tetapi juga moda waktu primitif
dengan ditemukannya Homo erectus paleojavanicus di desa Trinil yang disebut sebagai “Manusia
Jawa”, lebih dari sejuta tahun lalu. Penemuan yang
memunculkan ilusi tentang masalalu yang tak terbayangkan.
Hanafi menggunakan memori biografisnya untuk
mengelola arsip-arsip yang terpisah dari tubuhnya maupun yang masih melekat pada tubuhnya di
sekitar dunia Jawa. Untuknya, Jawa selalu hadir ketika dia hidup sebagai seorang Indonesia maupun
sebagai seorang Muslim. Tetapi ketika dia mencoba
menghayati kembali dirinya sebagai seorang Jawa,
pintu belakang kembali hadir sebagai ruang yang
menentukan pembatalan konfigurasi makna maupun arus formal yang ditentukan oleh otoritas pintu
depan.
Meski telah lama menginggalkan desanya di Purworejo, dalam kehidupan sehari-harinya Hanafi
cenderung membawa tubuhnya sebagai tubuh yang
menetap, tubuh yang lebih banyak menyerap daripada bergerak. Kecenderungan ini berhubungan
langsung dengan situasi ketika Hanafi harus membawa tubuhnya melalui percakapan bahasa Indonesia sebagai “bahasa-bahasa Indonesia”. Artinya,
bahasa Indonesia bukanlah bahasa tunggal: ada
banyak dialek lokal yang ikut menentukan perkembangannya menjadi bahasa majemuk.
Membawa faktor bahasa ke dalam dunia senirupa
menjadi menarik dalam konteks Indonesia yang
sangat khas.Masyarakat Indonesia memiliki bahasa-ibu yang majemuk di tengah bahasa-nasional
yang tunggal. Tetapi ketika Hanafi menggunakan
bahasa Jawa sebagai bahasa-ibu, tubuh yang menetap ini, cenderung berubah kembali menjadi tubuh-komunal dengan respon-respon spontan, unggah-ungguhJawa, lebih akrab dalam melakukan
kontak relasional yang mungkin dilakukan. Padahal
awal pertemuan Hanafi dengan Bahasa Indonesia
sama dengan awal pertemuannya dengan ruang
baru yang dianggapnya terkesan lebih tegas dan setara dalam melakukan transaksi. Perubahan penggunaan bahasa (Indonesia atau Jawa), membuat
tubuhnya seperti hidup dalam dua habitat ruang
komunikasi yang saling menentukan bentuk relasional yang ia ciptakan dengan respon-respon yang
berbeda. Di sini, identitas tidak bergerak tunggal,
melainkan hidup dalam dua kamar habitat bahasa
yang memiliki kodifikasi sosial masing-masing.
Dua ruang dari tubuh-habitat yang sangat ditentukan oleh faktor bahasa ini mendapatkan pengalaman representasi lain ketika Hanafi mulai belajar
senirupa di Yogyakarta. Latar lingkungan Jawa yang
mulai membaur dengan gejala awal dari dunia urban yang dialaminya.
Membuka kembali dialog seperti di atas sama dengan membuka kembali Jawa sebagai sebuah wilayah
noise dan rhizome sekaligus dalam pelbagai proses
perubahan eksternal-internal yang terjadi pada Jawa
dengan puncaknya pada peristiwa “Tragedi 1965”
yang telah meninggalkan gelombang bisu panjang. Noise atau derau Indonesia (sebagai wilayah
post-kolonial) bukanlah satu-satunya faktor utama
yang mengubah Jawa.Tetapi juga sebaliknya, derau
itu ikut mengubah Indonesia dengan kemajemukan sub-sub-kultur lain yang terdapat di dalamnya.
Derau bisa dilihat sebagai jembatan waktu. Hanafi
mencoba mengulik ulang konsep waktu Jawa sebagai “waktu bawang”, di mana waktu tumbuh dari
dalam. Bergerak melalui pinggiran (melipir):menempatkan waktu sebagai gerak melingkar dari dalam
hingga ke kulit luar(Denys Lombard: Nusa Jawa:
Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Jilid 3,
2005). Konsep narasi waktu Jawa ini diparalelkan
dengankonsep empat arah mata angindalam ruang
Jawa yang tidak hanya berlaku dalam ruang makrokosmis, melainkan juga konsep empat arah mata
angin dalam tubuh (Dr. S. Soebardi, Serat Cabolek,
Kuasa, Agama, Pembebasan, Nuansa Cendikia,
Bandung, 2004). Pameran ini menggarap waktu
dan ruang dimana arus eksternalisasi dari kerja representasi ditempatkan dalam hubungan mistis.
Narratives in Hanafi’s Exhibition
Back Door | Noise of Java
Afrizal Malna
On January 6, 2016, it was a very hot afternoon in
Parang Kusumo beach, Yogyakarta. It was very quiet but pounding waves from the South Coast filled
our ears. We sent someone to look for a caretaker
of Parang Kusumo, while ordering materials for the
ritual, in an afternoon among seven colors of flowers, incense smoke, the Caretaker, two stones of
The Queen and King in the sand garden. The wind
blew gently, carrying the smoke of the incense. We
entered, respecting the belief around Nyai Roro
Kidul’s existence. Cleaning ourselves of envy. This
is the ‘door of Java’, a cosmology that plays a role in
the territory of technology and the mystical imagination within the community.
The other world is opened through the ‘back door’.
This space has nothing to do with the ‘front door’
that leads out to a world whose territory is limitless. The back door has a very limited territory, only
connecting the rear of the house with a backyard.
Although the door is only related to activities in the
kitchen and other household activities, it offers an
unlimited symbolic function. The structure of this
space, particularly to the Javanese community, is associated with the term “back-way” (liwatmburi), to
mention a variety of informal relationships implicitly. While it has a very small scope in familial or
household relationships, it has an unexpected political function to dilute the role of the state, or as a
space where the state is not present (see: the house
number is on the front door).In the Sundanese culture, it is also known as the phrase ngaliwat ka jalan
pipir (via side roads).
An anthropologist, Jan Newberry, conducted a
study on the back door and the concept of Javanese
houses in Kampung Putri, Yogyakarta. He emphasized the importance of the role of the back door.
A house without a back door represents a cut tie between the family and the village,a space for air flow,
people and household commodity (Newberry, Back
Door Java, Negara, Rumah Tangga dan Kampung
di Keluarga Jawa, 2013, p. 15).
“When I went home, I’d rather go in through the
back door. The front door always conjured up images of my father sitting in a chair looking out of
the door: a position that commands power over me.
But now the back door does not function anymore.
Thebackyard has turned into an empty ideology,and
tends to be filled with trash,” said Hanafi. “When
we do not have a back door, we can’t go home. The
house will become a place for going.” he continued.
The exhibition is like a reverse flow when Hanafi begins to see the externalization of culture and
global market, instead of being caught up in the
stream of the “front door”,he focuses on the concept of the back door in Javanese architecture. The
Java that Hanafi experienced is removed from the
Keraton which is referred as the Bagelen area. This
kind of fluid identity saves Hanafi from having a
burden to experience Java personally. But what is
Java? An imagination that has no territory. Or, even
if there is, the territory is only real in terms of language: Java. In Indonesia, diversity may never be
realized without the influence of the entry of Islam, colonialism, and modernity. Java as a majority
becomes the pendulum of identity in this political
stream.
Fine art—the practice or the discipline that has
helped Hanafi understand the modern world—
tends to be based around the current of the ‘front
door’. As a result, this progressive flow is not completely internalized as a structure of emotion in
Hanafi’s everyday life. Hanafi has made two consecutive exhibitions with the theme of ‘The world under the table’ to unveil a dimension of social space
in memory. This social memory is deeply rooted in
a more archaic space around the social or symbolic
role of the back door. The space exists without any
formal instruments.
A former front door was once opened. For example: in 1929, the first German art exhibition took
place in Batavia. This exhibition featured the works
by Otto Dix, Karl Hofer, Wassily Kandinsky, Fritz
Mackensen, Laslo Moholy-Nagy, Max Pechstein,
Max Slevogt, Karl Schmitt-Rotluff, Heinrich Vogler,
Georg Kolbe, Emil Nolde, Josef Bato, Charlotte
Behrend-Corinth, Maria Caspar-Filser, Philipp
Frank, Emmy Gotzmann, Ernst Honigberger,
Willy Jackel, Wilhelm Kohlhoff, Calro Mense, Oskar Moll, and Eugen Spiro. I received information
about this important event through a discussion on
Werner Kraus at the Centre for Southeast Asian
Art (Passau), Herrenhaus des Gutes Wahlstorf bei
Ploun, Germany, on August 23, 2015. The topic
of discussion was presented by airing the exhibition catalog, complete with the size and price of
the paintings.
I’m oblivious to the impact of the exhibition as well
as its publications on the colonial neighborhood in
Batavia and the Dutch East Indies that occurred after the end of the First World War and followed by
the world economic crisis at that time. But by 1930,
the Netherlands East Indies have begun to over-
come the effects of this economic depression with
the privatization and liberalization of the colonial
economy. An aspect of the economic growth could
be seen through the development of the printing industry and design that advertised products or manufacturers (Budi Setiyono, ed, Proficient Ketchup
1972-2003, Yogyakarta, Galang Press, 2004). What
is interesting from a variety of ad designs offered
is how a segment of Java (as a demographic majority in the Dutch East Indies), has gotten a body of
identity as well as efforts to institutionalize and create an illusion ofhow this body of Javanese entered
the modern life through modern industrial products introduced in the market. From the colonial
government census conducted in 1930, the number
of residents in the Indies were 60,727,233 inhabitants (including Chinese descent, Eastern Europe,
and Foreigners). The largest population is in Java
(41,718,364 inhabitants). Through ads for modern
industrial products, The illusion of ‘Javanese body’
began to be integrated with toothpaste, bath soap,
and laundry soap.
In addition to toiletries and washing equipment,
the image of body of Java also appeared on other
products such as chocolate (which depicts GarengPetruk), butter or cigarettes (with the portrayal of
women wearing the kebaya chloth and smokinga
cigarette—Elevating the narrative of Roro Mendut), Bier Kris (keris on the beer bottle), tobacco
(which depicted farmers in a field), there were a lot
more ad using Java language, and tourism promotion on flight which depicts Borobudur Temple:
Fly to Java by KNILM. Local narratives, mooi indie
and foreign tourists began to make modern relationships in the colonial environment as new illusions of Java inthe market. All of these coincide
with the rise of the agency Balai Pustaka that was
publishing the narrative around the legends of Java,
resulting in the cross-cultural influence between
Malay and Javanese. Not to forget, the body of Java
in the market was also offered through the supply
of agricultural equipment. Body of Java construction, dropped during the Japanese occupation into
an extreme reality (1943-1945).
Illusions about Java, according to Bandung
Mawardi, gained its momentum when the colonial
government established the Instituut voor het Javaansche Taal (Java Language Institute) at the University of Leiden (The Java irony and illusion,Kompas, January 22, 2011).Java was being deconstructed
and then reconstructed through language, literature,
history, architecture, gamelan (the Javanese orchestra) and various other cultural forms.This gave rise
to an illusion about complex roots of plurality, as
well as indirect illusions about “the one Java” in the
modern world which was being laid out.Meanwhile,
we often forget that there is Sunda which makes the
island of Java a region where the noise of history
and culture thrives, because of the ideological territory between Sundanese and Javanese that would
never intersect.For example, Bujangga Manik, a
pre-Islamic sage from Pakuan Padjajaran (Sunda),
oncetook a spiritual journey circlingJava and Bali as
some sort of learning pattern called ngelakoni as
was doneby Amongrogo from Giri (East Java) to
Karang (West Java) in Serat Centhini.
Illusion of territorial identity in Java demographics entered the ‘noise’ of its long history through
the various waves of migration and diaspora to the
outside and the inside, or the political cross-mating
that was practiced by Javanese kings. This process
formed the basis for the reproduction of identity
in the slavery as well as the colonial eras. The mix-
ing of DNA took place in parallel with the mixing
of origins, forming a consciousness of Java that
stored Javanese values in the language (Kromo)
while simultaneously integrating it into the gamelan,
wayang, housing, clothing, food, and evenkeris (the
Javanese dagger) with the Nusantara region as a
backdrop that always intersected with the aspects
of the global stream of the past (as an established
geopolitical region).
The Dutch colonial government was also active inpromoting transmigration programs as a direct result of the development ofthe plantation industry,
mining, railway transportation,and security. Population distribution of Java was increasingly widespread, especially in Sumatra, Kalimantan, and later
Papua. In 1929, under a contract called Cultuurstelsel, 235,000 of Javanese people migrated to the
east coast of Sumatra.The concept of space began
to change from the term ‘migration’ in pre-colonial
era, to ‘transmigration’ in the Dutch East Indies era.
After the proclamation, Sukarno’s government also
used the term transmigration in 1949 and culminated in the reign of Suharto, amounting to nearly 2.5 million people (Goldman, Michael, Imperial
Nature: The World Bank and Struggles for Social
Justice in the Age of Globalization,2 006).
Hanafi has reopneeda dialog onthe historical area
around Java. After his previous exhibition (Oxygen
of Java) in Gallery Soemardja, ITB, Bandung, 2015,
he is now more eager to see whether the Java “identity package” is still a deciding factor in the identity
politics that are taking place in Indonesia.Java is a
majority in which cultural and political processes
are still very much alive.Java has started to play a
major role in the direction of Indonesia’s identity
pendulum, which could swing to the preservation
of diversity or diversification.
From the census conducted in 2010 by the Central Bureau of Statistics, the population of Indonesia has reached 237,641,326 people. There are
63,293,685 inhabitants in West Java (West Java,
DKI, Jakarta and Banten); 35,726,308 inhabitants in
Central Java and Yogyakarta; 37,476,757 inhabitants
in East Java and Madura. 136.610.590 of Indonesia’s total population, meaning more than half of
Indonesian citizens are Javanese. Users of Java language in everyday life amounts to 68,044,660; Users
of Sundanese language are 32,412,752;and users of
Bahasa Indonesia 42,682,566.Users of Javanese and
Sundanese turned out to be twice as many as users of Bahasa Indonesia.We do not even know how
many regional languages there are in Indonesia. It
is not easy to imagine that we have 746 local languages, 594 of which are officially recorded while
the rest are probably deemed extinct considering
they’re no longer practiced.
The importance of the language factor in the above
census shows the limits of identity which is no longer determined by the district, but by the mother
tongue which spread to other regions outside Java.
Meanwhile, there is also the phenomenon of children’s names in Java nowadays which is increasingly
shifting to Arabian and Western names, through urban culture, as well as the globalization of the English language.Not to mention the language used on
the Internet and digital spaces which bring another
unimaginable reality. Survey says that internet users
in Indonesia has reached 38,191,873: 15% of the
world’s Internet users. (id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_jumlah_pengguna_Internet).
A drawer on the body of Hanafi’s statue, placed in
the position of the liver, heart and lungs: a room
that can be opened and closed.
Once upon a time, Ajisaka, who is believed to be ‘the
first man’ according to the people of Tengger (East
Java), had studied religion in Mecca in his youth. He
was apparently considered smarter than Ali bin Abi
Thalib. Before returning to Java, the Prophet Muhammad presented him with a stationery. Unfortunately, he accidentally left the stationery in Mecca.
Ajisaka asked someone named Hono to take the
stationery back in Mecca for him. At the same time,
the Prophet also sent Alif to deliver it to Ajisaka.
The two met halfway and both were vying for the
stationery. They ended up fighting each other for it,
resulting in their deaths and the destruction of the
stationery. Finding their bodies, Ajisaka said aloud;
ha na ca ra ka
(There are two guards)
da tha sa wa la
(With differing opinions)
pa da ja ya n’ia
(Equally strong)
ma ga ba tha nga
(Both dead)
(Bisri Effendy in Walter J. Ong: orality and literacy.
Ivory Publishing, Yogyakarta, 2013).
Pakubuwana IX in the song Kinanthi, called the
Javanese script as a true teacher. In the Java teachings, the script is not only a language system, but
also the way one conducts oneself ethically, politically, theologically and his relationship with the
natural motion. Breath is used as the center of relationship between body and language. Java script
narration could be radical in its own way. In the
modern world, many ancient characters in the archipelago have disappeared. But have the memory
or the teachings vanished? What is the meaning of
memory in relation to the census onthe users of
a language? Where is the interest in recognizing
our own origins in the middle of the ‘compounding root’? (Gilles Deleuze and Felix Guattari call it
a rhizome), cultures which have been intertwined
with each other?
Hanafi has one focus in this exhibition which is
to question the meaning of time in a work of art.
Where is the limit of time when a material is converted into an art medium? Must the time inspired
by the pastremain readable as the past even though
it is createdin the present? Java in this exhibition not
only has the past time mode, but also the mode of
primitive time with the discovery of Homo erectuspaleojavanicus in Trinil called ‘Java Man’, more than
a million years ago. The discovery that gave rise to
the illusion of the past that is unimaginable.
Hanafi uses his biographical memory to manage
the archives that are separated from his body but
are still attached to his body around concept of
Java.For him, Java is always present when he lives
and with his belief as a Muslim. But when he tries
to relive himself as Java, the back door presents a
space that determines the cancellation of the current configuration of meaning and forms that are
determined by the authority of the front door.
Although he has long left the village of Purworejo,
in his daily life, Hanafi tends to bring his body as a
permanent body: more absorbing than moving.This
trend is directly related to the situation when Hanafi
has to carry it through conversation using Bahasa
Indonesia as one of ‘Indonesian languages’. Which
means, ‘Bahasa Indonesia’ is not a single language:
there are many local dialects that determines its development into a compound language.
Bringing forward the language factor into the
world of art is interesting in the context of Indonesia which is very typical. Indonesian society has
a mother tongue that compounds in the middle
of the one and only national language. But when
Hanafi uses Java language as a mother tongue, his
body tends to turn back into a communal body with
spontaneous responses, unggah-ungguh (Javanese
manner), more friendly in performing relational
contacts. Though Hanafi became familiar with Bahasa Indonesia when he first entered the new world
or with the new space which seems more assertive
and considered equal in the transaction. Changes
in the use of language (Indonesian or Java), make
his body live in two habitatsof communicationthat
mutually determine his relational forms in relation
to different responses. Here, identity doesn’t move
alone, but it lives in two separate rooms of language
that have their own respective social codifications.
These two separate rooms are exposedto other representations when Hanafi began studying art in Yogyakarta. The background of the Java environment
that is beginning to mix with the early symptoms of
the urban world he’s living in.
Reopening the dialogue on the above themes together with the reopening of Java as a region of
noise and rhizome at in various process of external-internal changes occurred in Java with a peak
in ‘The tragedy of 1965’ has left a wave of long
‘silence’. Noise Indonesia (as post-colonial territory) is not the only major factor that transforms Java.
But on the contrary, it helped change the noise that
comes with plurality and sub-cultures contained
therein. Noise can be seen as a bridge of time.
Hanafi tries to see the ‘Java concept of time’ as a
“time onion”, where time is growing from within.
Moving through the periphery (melipir): and seeing
time as a circular motion from the inner to the outer skin (Denys Lombard: Nusa Java: Cross-Cultural,
Historical Study of Integrated, Volume 3, 2005).
The concept of narrative time Java is a parallel to
the concept of the four cardinal directions in the
Java space that is not only true in the macrocosm
of space, but also the concept of the four cardinal directions in the body (Dr. S. Soebardi, Fibre
Cabolek, Authorization, Religion, Liberation, Nuance Cendikia , Bandung, 2004). The exhibition is
working on a time and space where the current externalization of labor representation is placed in a
mystical relationship.
Hanafi’s Artwork Group
The home number is not placed
on the back door
2016
Mix media: Booth, bamboo.
70 X 3,2 m
Well
450 X 255 cm
Mix media. iron plate, bricks
Asmorodono
2016
Mix media: 12 milli concrete iron, toa, MP3 speaker
230 x 140 cm
Ajisaka: Seeing upside down
2015
Mix-media. Iron plates
200 x 220 x 320 cm
Ajisaka: Seeing upside down
2015
Aluminum plate
135 x 55 CM. 9 figures
9 panel
Acrylic on paper
73 x 82 cm
Wedhus gembel and the body of Java
2016
245 X 883 cm
Acrylic on canvas
Tubuh Jawa
2016
290 X 340 cm
Acrylic on canvas
Bade Tindak
Pundi Nopo
2016
215 x 215 cm
Acrylic on Canvas
Bade Tindak Pundi Nopo
2016
73 x 82 cm
4 panels
Acrylic on Canvas
Demography on Clogs and a Baby Stroller
2016
Mix media. Eser plate, wire ram, 150 wooden clogs
290 x 281 cm
Time Illusion
28 iron board
Steel pipes
677 x 123 X 60 cm
Time Illusion
2015-2016
200 x 220 cm
Acrylic on Canvas
Error + Noise
2016
Mix media. Iron plate, wire ram, 389 steel helmets, barbed wire
126 x 126 x 136 cm
Photo Copy Online
2015
185x185cm
Acrylic on Canvas
Photo Copy Online
2015
220 x 235 cm
Acrylic on Canvas
Mask in the Blue Pool
650 x 270 cm
Acrylic on Canvas
Headaches - Fever
2016
Alumunium 60 pieces
Tak Lelo Lelo Ledung
2015
Mix media
400 x 150 cm
8 panel acrylic on canvas
400 x 75 cm
4 panel acrylic on canvas tempat tidur, kelambu,
audio nyanyian Tak Lelolelo Ledhung, speaker MP3,
batu hebel
Entrance Without Ontology
2015-16
Mix media: Tables, chairs, plastic flowers, deer heads,
cabinets, books on Java, audio-video
5 pieces of bun, surjan, blangkon, menyan, sewing
machine
Paintings Category
Asmorodono
2016
215 x 220 cm
Acrylic on Canvas
Love For Pembayun’s Daughter
2016
235 x 270 cm
Acrylic on Canvas
Java Demograpghy On Baby Stroller
2016
220 x 235 cm
Acrylic on Canvas
Sangir Land
2015
160 x 200 cm
Acrylic on Canvas
Not Seeing You
2016
200 x 220 cm
Acrylic on Canvas
No Others Borobudur
2016
200 x 220 cm
Acrylic on Canvas
Arc Time
2016
220 x 235 cm
Acrylic on Canvas
Java Noise
2015
220 x 200 cm
Acrylic on Canvas
The Lost Voice
2015
215 x 215 cm
Acrylic on Canvas
Measuring Blue Color
2016
200 x 220 cm
Acrylic on Canvas
program pameran
1.
Diskusi Pra Pameran: “Apa Itu Jawa”
Prapto Yuwono, Hanafi, JJ. Rizal, Afrizal Malna
13 Februari 2016
Kaldera, Bogor.
2.
Performance music:
Sa’Unine String Project
Pembukaan Pameran
1 Maret 2016
Galeri Nasional Indonesia
Sa’Unine String Project adalah suatu kelompok musisi gesek yang didirikan pada tahun 1992 yang pada
awalnya ber format String Quartet (4 Orang musisi
gesek). Makna kata Sa’Unine (bahasa Jawa) dalam
bahasa Indonesia yaitu ‘asal bunyi’ namun bukan
berarati musik yang di mainkan hanya asal membunyikan instrumen musik saja, melainkan lebih
mengutamakan pada usaha mengekploitasi segala
bentuk bunyi yang dapat di hasilkan oleh instrumen
musik gesek. Dalam perjalanan musiknya Sa’Unine
telah beberapa kali mengikuti berbagai Workshop
Musik oleh Dr. Sophie dari Canada, Rene Bergman
dari Belanda, Cecylia Berczyk dari USA. dll Wolfgang poduchka (Austria) Phillip Green (Australia)
Asean Youth Music Workshop di Jakarta 1991, Asean Youth Music Workshop di Brunei Darussalam
1993, Euopean- Indonesia Youth Music Camp di
Yogyakarta, Asian Youth Music Workshop on Tour
of Asia di Hongkong 1996, Selain itu Sa’ Unine juga
banyak mengisi rekaman album penyanyi solo dan
Group Band di Indonesia
Music Director dan Conductor
Oni Krisnerwinto
Violin Guntur Nurpuspito
Fafan Isfandiar
Andi Amrullah
Saptadi
ViolaJunaidi
Sagaf
CelloGana
Sinden Silir Pujiwati
3.
Lokakarya dan Diskusi Pembacaan Karya Hanafi:
2 Maret 2016
Ruang Serbaguna, Galeri Nasional Indonesia
Fasilitator
Agung Hujatnikajennong
Pembicara
Stanislaus Yangni dan Riyadhus Shalihin
Pameran seni rupa menjadi semakin inklusif saat ini.
Diskusi pembacaan karya dalam pameran Hanafi:
Pintu Belakang | Derau Jawa menjadi penting selain
ditujukan sebagai ruang bertumbuhnya potensi kesenian dengan ide-ide dan gagasan baru yang (mungkin) dimiliki atau diketahui kurator muda, juga
sebagai upaya untuk mencampur-baurkan wacana
terbaru yang muncul dalam seni lintas media.
Seorang kurator seni kontemporer yang baik hampir selalu adalah seorang narator ulung. Selebihnya
ia berperan sebagai pendamping yang anti-judgemental terhadap karya sebagai subjek kajiannya,
memiliki strategi interpretatif karena menghendaki perangkat-perangkat tertentu untuk memberi,
memunculkan, dan atau bahkan merusak narasi
yang diciptakannya. Semua yang dielaborasi harus
bisa dilihat sebagai hasil kajian (pembacaan) yang
boleh saja melibatkan praktik lintas perspektif, lintas disiplin keilmuan, lintas media, lintas diskursus—terhadap karya yang harus dapat dipertanggung-jawabkan.
Kurator hadir untuk bernegosiasi terus-menerus tidak hanya dengan seniman dengan karyanya tetapi juga teks dan konteks yang mengelilinginya. Ia
harus hadir dan menemani keduanya: secara verti-
kal maupun horizontal. Untuk itu semua, mereka
dituntut untuk membuat laboratorium gagasan
tersendiri, memperbarui informasi-informasi terkini yang melatari kesenian, dan mengikuti setiap
perubahan yang terjadi.
Lokakarya dan Diskusi Pembacaan Karya ini bisa
menjadi pintu belakang yang lain, dimana pintu depan dalam kesenian telah dipenuhi kekuasaan atau
semacam kekuasaan yang digenggam kurator-kurator terdahulu. Pembocoran semacam ini bisa menjadi awal yang baik bagi masa depan kesenian yang
telah meninggalkan (berupaya) melampaui hegemoni wacana dalam kesenian.
Biodata singkat
Stanislaus Yangni
Lahir di Lampung, 1982, Stanislaus Yangni (Sius),
penulis buku Dari Khaos ke Khaosmos, Estetika
Seni Rupa (Erupsi, 2012), menekuni penelitian
seni rupa, filsafat, dan estetika. Pernah bekerja sebagai jurnalis di majalah Visual Arts, kontributor di
Indoart & Lifestyle, menulis beberapa esai di katalog pameran seni rupa, dan ulasan seni yang pernah
dipublikasikan, antara lain di Koran Tempo, Suara
Pembaruan, dan Mata Jendela. Lahir di Lampung
pada 1982, ia menyukai aktivitas traveling, melukis, dan memotret. Ia mengenyam pendidikan di
Fakultas Psikologi Sanata Dharma, STF Driyarkara
Jakarta, dan menyelesaikan pascasarjananya bidang
pengkajian seni lukis di ISI Yogyakarta. Ia tinggal
dan berkarya di Yogyakarta.
Riyadhus Shalihin
lahir di Bandung, 1989. Sutradara, peneliti seni.
Karya terakhir 2015; ‘biografi tomat dan batu’ (afrizal malna & hanafi), ‘pertemuan dalam lubang
jarum’ (hanafi & kiki sulistyo), ‘jarak yang tajam’
(pina bausch) dan ‘kapai-kapai’ (arifin c noer).
Lokakarya terakhir - 2015; Mengikuti workshop
performance art; ‘Teks dan Tindakan’, Melati
Suryodarmo- Seni Rupa ITB. Residensi performing-performance art, Sasikirana Dance Camp, di
Nuart Sculpture Park, Bandung. Lokakarya penulisan dan kuratorial seni rupa bersama institut ruang
rupa dan komite seni rupa DKJ (Dewan Kesenian
Jakarta). Workshop Visuality Culture and Performance Art bersama Anna-Sofya Sayser di Ruang
Gerilya, Bandung.
4.
Seni Lintas Media Sebuah Pintu Belakang
Lokakarya + Produksi + Pameran Seni Lintas Media
Scaffolding
Galeri Nasional Indonesia
Lokakarya
Rabu, 2 Maret 2016
Produksi
Kamis-Senin, 3-7 Maret 2016
Pameran
Jumat-Selasa, 8-15 Maret 2016
Sebuah lokakarya yang tidak sekadar mencoba
menjawab pertanyaan apakah masa depan yang
diperbincangkan sesuai dengan gambaran dystopia
fiksi ilmiah atau utopia kapitalisme. Lebih dari itu,
lokakarya ini justru mengajak semua pihak untuk
memikirkan bahwa umat manusia memiliki alternatif masa depan lain, yang berbeda dari kedua pilihan
tersebut. Jika tidak, masa depan yang tengah menghampiri kita akan memaksa kita untuk mengikuti
narasi yang telah dipersiapkannya sendiri. Persoalannya kemudian, narasi seperti apakah yang ia telah siapkan dan bagaimanakah keterlibatan kita di
dalamnya? Ketika narasi tersebut tidak melibatkan
kita – umat manusia – maka kita akan lenyap dalam
untaian sejarah peradaban, seperti sekian puluh ribu
tahun yang sudah-sudah.
Dasar tema pameran Hanafi: Pintu belakang | Derau Jawa beserta pemahaman umum ‘media’ sebagai
alat atau kendaraan gagasan baik dalam praktek kesenian, kebudayan maupun industri adalah titik tolak kegiatan lokakarya dan bincang-bincang dibuka
untuk direspon para peserta undangan dan publik.
Kegiatan ini hendak menyoal keterkaitan antara
tema besar “pintu belakang” dengan praktek lintas media kini sebagai penerokaan kemungkinan
kreativitas yang lintas batas di masa depan dengan
partisipasi lintas disiplin publik di luar seni.
Bagaimana kita berpikir ke depan ketika bahasa adalah media? Keberagaman sebagai media? Disiplin
ilmu sebagai media? Data sebagai media? Dimensi
waktu adalah media? Kolaborasi adalah media? Keseharian adalah media? Bagaimana pertanyaan-pertanyaan ini meruntuhkan segregasi keilmuan dan
menjadi dasar bersama untuk berkarya, berpikir
tentang keberlanjutan praktek bersama.
Workshop seni rupa pada umumnya adalah kegiatan
yang pada akhirnya akan menghasilkan karya rupa.
Pada kesempatan ini, lokakarya lintas media ini tak
hanya bercita-cita menghasilkan karya, namun juga
sesuatu yang akan berlanjut seusai kegiatan dengan
memproduksi imajinasi dan pengetahuan untuk
publik tentang masa mendatang. Mengeksplisitkan
pengetahuan tacit peserta menjadi eksplisit dalam
bentuk dokumentasi dan data.
Konsep Dasar Wacana
1. Data
Dewasa ini mau tak mau kita semua adalah data.
Identitas jender, prilaku, pilihan, apapun yang kita
gunakan, keseharian yang kita jalani, terakumulasi
menjadi kekayaan data. Menjadi aset pusat-pusat
pengumpul dan penyedia data. Hidup kita dikemas
dan dimaknai jadi modal dan dasar pengetahuan
bagi yang dominan untuk mengendalikan kembali
prilaku kita dan membingkai pilihan-pilihan hidup
kita.
Bagaimana kita sebagai data yang punya daya pikir
kreatif dan bagasi ideologi masing masing berkesempatan meretas balik atau menciptakan kedaulatan
tandingan dari data-data yang kita kontribusikan
dengan sadar, sukarela ataupun tanpa sadar?
Berbagi data dan berdialog atas data akan jadi salah
satu komponen lokakarya bincang warteg dihadirkan dalam bentuk dokumen, live feed dan layar TV.
2. Warteg 2085:
#kemasadepanan #kontrakini
Warteg sebagai media ruang dan modal awal peserta. Mengimajinasikan pola produksi dan konsumsi
dari skala warteg; “Warteg 2085”(2085 merespon
peta jalan ‘Nawa cita’ pemerintah kini. program
perencanaan Indonesia 70 tahun ke depan) adalah
titik picu awal. Rentang masa ke 2085 ini merupakan gagasan yang merespon kecenderungan publik
untuk melihat sejarah, kejayaan masa lalu atau obsesi akan kekinian, Warteg 2085 akan menggulirkan
gagasan akan masa depan #kemasadepanan #kontra
kini.
Nilai apa yang akan ditukar dagangkan pada warteg
2085? Bentuk tempe apa yang akan hadir? Apakah
kedelai masih bisa disebut kedelai dengan rekayasa
genetik, biologi sintetik, politik benih, singularity?
Keseharian apa yang kelak dihasilkan oleh hibrida
seni dan teknologi kini? narasi Distopia atau Utopia apa yang kita mainkan di benak sejak hari ini?
Bagaiman masa depan menghampiri kita? Bagaimana membingkai pertanyaan yang tepat untuk livelihood dan praktek 2085?
Titik picu ini diharapkan memproduksi imajinasi baru dan pengetahuan dalam rentang 70 tahun.
Dengan ruang publik urban; warteg sebagai katalis,
juga tak kalah penting manusia sebagai subyek aktif,
narasumber, peserta juga publik.
Selaras dengan tema pintu belakang, Warteg 2085
menggagas masa depan dan kreativitas dari skala
warteg yang bersentuhan langsung dengan keseharian dan realitas publik akar rumput bukan dari
façade identitas bangsa ke publik global yang selama
ini menjadi ilusi dan hiper-realitas bersama.
3. Manusia kolaboratif:
Berbagi pengetahuan tacit dengan inklusif
Mempertemukan peneliti, pelaku pelaku industri,
seni, akademisi dan aktivis yang berpengalaman dari
berbagai bidang yang jarang untuk bertemu di satu
forum bersama untuk makan, minum dan ngobrol
bersama di warteg galnas untuk berbagi, berdiskusi dan membuka pengetahuan tacit masing-masing
jadi eksplisit, berdialog dan membongkar ekslusifitas pengetahuan atau persaingan antar disiplin dengan perbincangan dan permainan.
Berbincang, bermain, berkolaborasi memproduksi
pengetahuan bersama.
Biodata Singkat
Cecil Mariani
Desainer Grafis, pengajar di Universitas Pelita Harapan 2001-2011, Melanjutkan pendidikan S2 nya
2011-2013 dengan inisatif beasiswa mandiri @
tuatuasekolah bersama Lisabona Rahman dan Felencia Hutabarat. Mengajar di IKJ Seni Rupa dan
Pasca Sarjana sejak 2014. Untuk mata kuliah Social
Campaign, Seni Urban dan produksi budaya, dan
sejarah seni populer. Berpartisipasi dalam “imagining Jakarta” yang digagas oleh Marco Kusumawijaya
dan Rifky Efendi yang kemudian dipamerkan di
Galeri Cemara 6 dan CP biennale, Memamerkan
karya di Jakarta Biennale 2009. Pernah menggagas
revitalisasi neighbourhood di New York untuk Area
Washington Heights tempat tinggal kelompok imigran Dominika dengan kampanye “Explora! Washington Heights” dalam Program Impact! Design for
Social Change bekerja sama dengan Business Improvement District NYC dan School of Visual Arts.
Turut serta merintis Komunitas Salihara dari segi
desain dan pengalaman visual 2008-2011, Baru-baru ini bekerja dalam tim Jakarta Biennale 2015.
Enrico Halim
Setelah menyelesaikan pendidikan formal desain
grafis di 1994, ia memulai lembaga not-for-profit
bernama aikon yang bertujuan mendorong keterbukaan berpikir dalam masyarakat Indonesia. Pararel
dengan itu, ia bekerja di biro desain grafis, yang
melayani perusahaan komersial maupun lembaga
not-for-profit dunia. Sejak 2004 ia mengelola situs aikon.org dan mengajar di fakultas Seni Rupa
dan Desain Universitas Tarumanagara satu hari
dalam seminggu. Di 2009 karya yang melibatkan
pengamen dan para pelaju di kereta listrik jurusan
Tanah Abang Serpong berjudul Mari Menggambar
mengikuti Biennale Jakarta. Di 2013 mengelola
program publik Biennale Jakarta dengan judul Adakah Seni di Antara Kita? Pada 2012 mulai bereksperimen dengan pembuatan bemo bertenaga listrik
yang diluncurkan kemudian di 2013.
Yuka Dian Narendra
Dilahirkan di Jakarta 15 September 1972. Adalah
peneliti independen di bidang budaya populer, mengajar di School of Design Universitas Pelita Harapan. Minat penelitiannya adalah hal remeh-temeh
dalam kebudayaan populer Indonesia, terutama kajian tentang subkultur musik Metal. Kegemarannya
terhadap musik Metal itulah yang membuat Kandidat doktor bidang Cultural Studies dari Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini memutuskan
untuk menulis disertasi subkultur Metal Indonesia.
Selain menjadi peneliti, Yuka menghabiskan waktu
senggangnya dengan berburu makanan enak, terutama Chinese Food yang otentik bersama istrinya.
Cara lain bersenang-senang ia lakukan dengan merekam dan memproduksi band-band underground
di studio rekaman kecil di rumahnya.
program exhibition
1.
Pre Exhibition Discussion: “What is Java”
With Prapto Yuwono, Hanafi, JJ. Rizal, Afrizal Malna
February 13 2016
Kaldera, Bogor.
2.
Music Performance: Sa’unine String Project
Opening of the exhibition
National Gallery of Indonesia
March 1, 2016
Sa’ Unine String Project is a string music ensemble that was established in 1992 and was originally
a String Quartet (consisting of 4 string musicians).
The definition of the Javanese word “Sa’Unine”
in Indonesian is “origin of sound, however, this
doesn’t mean that the music being played only originates from the instruments, but also from exploiting the many forms of sound that can be generated
by stringed instruments. Throughout their musical
journey, Sa’Unine has participated in various music
workshops by Dr. Sophie from Canada, Rene Bergman from Holland, Cecylia Berczyk from the USA,
Wolfgang Poduchka from Austria, Philip Green
from Australia, Asean Youth Music Workshop in
Jakarta in 1991, Asean Youth Music Workshop in
Brunei Darussalam in 1993, European-Indonesian
Youth Music Camp in Yogyakarta, and Asian Youth
Music Workshop on Tour of Asia in Hongkong in
1996. Sa’unine has also provided recordings for Indonesian solo artists and bands.
Music Director and Conductor
Oni Krisnerwinto
Violins Guntur Nurpuspito
Fafan Isfandiar
Andi Amrullah
Saptadi
ViolasJunaidi
Sagaf
CelloGana
Sinden Silir Pujiwati
3.
Discussion on the Interpretation of Hanafi’s Art:
National Gallery of Indonesia, March 2nd, 2016
Facilitator
Agung Hujatnikajennong
Speakers
Stanislaus Yangni and Riyadhus Shalihin
The art exhibition has become more inclusive these
days. A discussion on the interpretation of Hanafi’s
art: The Backdoor | Derau Jawa becomes necessary
not only as a space for growth in art potential with
ideas and proposals that (might be) possessed or
known by young curators, but also as an attempt to
merge new topics that have arisen in the inter-media
arts.
A good contemporary art curator is almost always a
proficient narrator. Additionally, he acts as a partner
who is anti-judgmental toward the works he analyz-
es, and has an interpretative strategy to make certain
components inform, conjure, or even destroy the
narrative he creates. Everything that is elaborated
on must be able to be seen as a result of analysis
(interpretation) that can involve inter-perspective
practices, interdisciplinary knowledge, inter-media,
inter-discourse---on works that must be able to be
accounted for.
Curators live to negotiate constantly, not only with
artists and their works but also with the text and
context that surround them. He has to be there for
both: vertically, as well as horizontally. They are expected to make a personal laboratory of proposals,
renew the latest information that underscore the
arts, and follow every change that occurs.
This discussion can act as another backdoor, where
the front door of the arts has been filled with power
or the kind of power that was commanded by past
curators. This kind of breakage can be a good beginning for the future of the arts that have stopped
(trying to) surpass the hegemony of discourse in
the arts.
Short Biography
Stanislaus Yangni
Born in Lampung, 1982, writer of Dari Khaos
ke Khaosmos, Estetika Seni Rupa (Erupsi, 2012),
Yangni focuses her works on art research, philosophy and aesthetics. She has worked as a journalist
at Visual Arts Magazine, a contributor at Indoart&Lifestyle, writes critical essays in the exhibition
catalogue, and art reviews which were published in
some newspapers, like Koran Tempo, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, and local magazines like
Mata Jendela. She studied in Sanata Dharma Faculty
of Psychology, Driyarkara School of Philosophy/
(STF) Driyarkara, and Indonesia Art Institute Yogyakarta/ISI Yogyakarta, concerned with painting
research. She lives and works in Yogyakarta.
Riyadhus Shalihin
Born in Bandung , 1989, Shalihin is a director and
art researcher. He has worked at mediateater-Bandung and studiohanafi-Depok. Among his last works
are - 2015 ; ‘biography of tomatoes and stones’ (afrizal malna & hanafi), ‘meeting in pinhole’ ( hanafi
& kiki sulistyo), ‘distance sharp’ (pina bausch) and
‘kapai-kapai’ (arifin c noer). last activity - 2015 ; following the workshop of performance art ; ‘text and
action’, melati suryodarmo. ‘performing and space’
residency-nuart sculpture park-bandung, melati
suryodarmo. Curatorial and art writing workshop
- with ruang-rupa initiative space and jakarta arts
council. visuality culture, and a performance art
workshop with Anna-Sofya Sayser in ruang-gerilya,
Bandung.
4.
Workshop + Production + Exhibition:
Inter-media Art
Inter-media Art at the Back Door
Wednesday, March 2 2016
Production
Thursday-Monday, March 3-7, 2016
Exhibition
Friday-Tuesday, March 8-15, 2016
A workshop that not only tries to answer the ques-
tion of whether the future being discussed is reminiscent of the future depicted in dystopian science
fiction or the future of a capitalist utopia, but also
encourages every party to think that humanity has
another alternative for the future, one that is apart
from those two possibilities. If not, the future that
is approaching us will force us to follow the narrative it has prepared. The problem, then, is what
kind of narrative has it prepared and how are we
involved in it? If that narrative doesn’t involve us
- humanity - then we will vanish between the historical chains of civilization, like we did tens of thousands of years ago.
The basis of the theme of Hanafi: The Backdoor
| Noise Java as well as the general definition of
‘media’ as a tool or vehicle for proper ideas in art,
cultural, and industrial practices are the points of
departure of this workshop and discussions are
opened to be responded by the invitees and the
public.
This event aims to discuss the relationship between
the big themes of the “backdoor” and modern inter-media practices as an exploration into boundless
creative possibilities in the future with the participation of public inter-disciplines outside of the arts.
How do we think forward when language is a medium? Variety as a medium? Scientific discipline as a
medium? Data as a medium? Is space-time a medium? Is collaboration a medium? Are our daily lives
a medium? How do these questions bring down the
segregation of knowledge and become the universal basis of artwork, the continuation of a shared
practice?
In general, art workshops are events that will ultimately produce artwork. On this occasion, not only
does this inter-media workshop aim to produce
artwork, but also something that will endure after
the workshop is over by encouraging imagination
and knowledge about the future to the public. To
make explicit the participants’ tacit knowledge in
the form of documentation and data.
Basic Concept of Discussion
1. Data
These days, we’ve all practically become data. Gender identity, behavior, choice, everything that we
use, the day-to-day that we undergo, are accumulated into the richness of data. They become assets
to data-mining centers and data providers. Our lives
are packaged and defined as a capital and a basic
knowledge to the dominant few that aim to control
our behaviors and frame our life choices,
How do we, as data with creative thinking abilities
and unique ideologies, seize the chance to regain or
create our own competing autonomy over the data
that we contribute consciously, voluntarily, or consciously?
Sharing data and having a dialogue on data will be
one of the components of this workshop, discussion on warteg will be delivered in the form of documentation, live feed, and TV broadcast.
2. Warteg 2085
#kemasadepanan #kontrakini
#futurism #counterpresent
Warteg as a spatial medium and starting capital of
the participants. Imagining the patterns of production and consumption from the scale of the warteg: “Warteg 2085” (2085 refers to the ‘Nawa cita’
road map of the present government. A long-term
program for Indonesia in the next 70 years) is the
starting point. This 15 year-long stretch of time can
be seen as a response to how the public tends to see
history, past glory or how it is obsessed with being
“present”, Warteg 2085 will topple ideas for the future. #futurism #counterpresent
What values will be exchanged at Warteg 2085?
What form of tempeh will be there? Will soy still be
called soy with the advent of genetic engineering,
synthetic biology, seed politics, singularity? What
kind of day-to-day will be produced by the hybridization of art and current technology? What dystopian or utopian narrative will we begin to play in our
heads from today? How does the future approach
us? How do we frame the correct questions for the
livelihood and practices of 2085?
This subject is expected to produce new imagination and knowledge in a span of 70 years. With an
urban public space; warteg as a catalyst, also just as
important, humans as an active subject, source, participant, and the public.
In tune with the theme of the backdoor, Warteg
2085 envisions the future and creativity from the
scale of the warteg that brushes directly with the
day-to-day and the roots of public reality, not with
the façade of our nation’s identity in the global public that has been our shared illusion and hyperreality.
3. The Collaborative Human:
Sharing Tacit Knowledge Inclusively
Gathering researchers, industry makers, artists, academics, and activists who are experienced in their
respective fields and rarely meet in a shared forum
to eat, drink, and chat at warteg galnas to share, discuss, and turn each other’s tacit knowledge into an
explicit one, engaged in dialogue and dismantling
the exclusivity of knowledge or inter-disciplinary rivalries with discussion and games. Collaborating to
produce a shared knowledge for the public.
Chatting, playing, and collaborating to produce a
shared knowledge.
Short Biography
Cecil Mariani
Cecil Mariani is a graphic designer and former lecturer at Universitas Pelita Harapan (2001-2011).
She did her graduate work from 2011 to 2013 with
the initiative of self-sustainable scholarship @tutuasekolah with Lisabona Rahman and Felencia
Hutabarat. She has been teaching at IKJ’s graduate
program for fine arts since 2014, specifically the Social Campaign, Urban Art, Cultural Birth, and Modern Art History classes. She participated in “Imagining Jakarta” that was conceptualized by Marco
Kusumawijaya and Rifki Efendi which was then exhibited at Galeri Cemara 6 and CP Biennale. She exhibited some artwork at Jakarta Biennale 2009. She
also proposed a revitalization for a neighborhood in
New York, specifically for the Washington Heights
area where Dominican immigrants lived with the
campaign “Explora! Washington Heights” in the
program “Impact! Design for Social Change” and
working with Business Improvement District NYC
and the School of Visual Arts. She was involved
with Komunitas Salihara (Salihara Community)
from a design standpoint and overall visual experience from 2008 to 2011. Most recently, she worked
with a team to organize Jakarta Biennale 2015.
Enrico Halim
After finishing his graphic design study in 1993, he
started aikon in 1994, a not-for-profit organization.
Since then he worked simultaneously in a design
bureau and gave lectures in Tarumanagara University. In 2009 he made an art participation project
with local musicians and the train commuters for
Jakarta Biennale. Experimenting with electric vehicle conversion in 2012, and launched electric bemo
in early 2013. For Jakarta Biennale 2013 he manage
public program titled: Is there art among us?
Yuka Dian Narendra
Born in Jakarta on September 15, 1972, Yuka Dian
Narendra is an independent researcher in the field
of popular culture and a lecturer at School of Design Universitas Pelita Harapan. His research interest lies in the seemingly mundane aspects of Indonesia’s popular culture, especially the local heavy
metal music subculture. This fondness for heavy
metal music was what made this cultural studies
doctoral candidate of Universitas Indonesia decide
to write a dissertation on Indonesia’s heavy metal
music subculture. Aside from being a researcher,
Yuka spends his free time hunting for good food,
particularly authentic chinese food with his wife.
He also enjoys recording and producing local underground bands at a small studio in his house.
Hanafi biography
Hanafi
Born in Purworejo (Central Java) July 5th l960
Education
1976-1979 Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI)
Yogyakarta.
Art Activities
Selected Single Exhibtions
2015
“Oksigen Jawa”, Galeri Soemardja, Bandung,
Indonesia
2014
“Migrasi Kolong Meja #3”, Salihara Gallery, Jakarta, Indonesia
2013
“Migrasi Kolong Meja #2”, Komaneka Fine Art
Gallery, Bali, Indonesia
“Migrasi Kolong Meja #1”, Semarang Gallery,
Semarang, Indonesia
2011
Hanafi Solo Exhibition, Ciptadana, Jakarta, Indonesia
Hanafi Solo Exhibition, Sin Sin Gallery, Hongkong
2010
“Saat Usia Lima Puluh”, Komaneka Fine Art Gallery, Bali, Indonesia
“Saat Usia Lima Puluh”, National Gallery of Indonesia Jakarta, Indonesia
2009
“Nyanyian Angsa”, Bandung Mengenang Rendra,
Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Indonesia
“Of Spaces and Shadows”, Selasar Sunaryo Art
Space, Bandung, Indonesia
“Of Spaces and Shadows”, Salihara Gallery, Jakarta, Indonesia
2007
“Enigma”, O House Gallery, Jakarta, Indonesia
“Home Of Images”, Museu de art of Girona,
Spain
“Darkness”, Taksu Singapore & Cream, Singapore
“Orang Negeri Seberang”, The Arts House Singapore, Singapore
“id”, O House Gallery, Jogja Gallery, Jogjakarta,
Indonesia
2006
“id”, O House Gallery, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia
“Configu(art)ion”, Espai(B) Contemporary
Gallery, Barcelona, Spain
“Bahasa Tangan Membaca”, Taksu Gallery , Jakarta, Indonesia
2005
”Tiga Hari Dalam Sepatu”, Bentara Budaya Jakarta
(BBJ), Indonesia
2004
“UR (you are) URBAN ROOM Project”, Komaneka Gallery, Bali, Indonesia
“R U A N G “, Taksu Gallery, Kuala Lumpur,
Malaysia
“HOTPLATE”, Taksu Gallery, Jakarta, Indonesia
“Dive Into”, Canna Gallery, Jakarta, Indonesia
2002
“Study For Distance”, Mares Del Sure, Barcelona,
Spain
“Hanafi,s Diary”, Chateu d’Arts, Singapore
“Sepuluh Tahun Pertama”, National Gallery of
Indonesia, Jakarta, Indonesia
2001
“Lukisan Besar” Minima Maxima Gallery, Jakarta,
Indonesia
“Study For Distance”, One 2 One Gallery, Toronto, Canada
“Keheningan Sayan”, Komaneka Fine Art Gallery,
Ubud, Bali, Indonesia
2000
“Desa Batu di Costabrava”, Millenium Gallery,
Jakarta, Indonesia
“Stone Village of Costabrava”, KOI Gallery, Jakarta, Indonesia
“Blue Print”, Puzzle Gallery, Cinere, Jakarta,
Indonesia
1999
“Time”, Deutche Bank, Jakarta, Indonesia
“Som Ni de Miro”, Mares del Sur, Barcelona,
Spain
1998
FOCUS Gallery, Kemang, Jakarta, Indonesia
1996
“Dancer’s Dream”, Cemara 6 Gallery, Jakarta,
Indonesia
”Menguji Tradisi”, Cipta II Gallery, Taman Ismail
Marzuki, Jakarta, Indonesia
1995
“Sabuk-sabuk Hanafi”, Gorong Gorong Budaya,
Depok, West Java, Indonesia
1993
“Hitam-Putih”, The Stage, Ratu Plaza, Jakarta,
Indonesia
1992
Single Exhibition at Hilton Executive Club, Jakarta,
Indonesia
Selected Group Exhibitions
2015
“Kepada Republik”, Gedung DPR Jakarta
“Vertical Horizon”, ICAD, Grand Kemang Jakarta
“TRAX 15, Simpang Siur”, Taman Ismail Marzuki
Cipta II, Jakarta
“(Belum Ada Judul) Pameran dan Peluncuran
Buku: Sesudah Aktivisme, Serpihan Esai Seni Rupa
Enin Supriyanto (1994-2015)”, Sangkring Art
Space, Yogyakarta, Indonesia
“START”, Saatchi Gallery, London, Inggris
2014
“Fiesta Kota Tua Jakarta”, Jakarta Contemporary
Artspace, Jakarta, Indonesia
2013
“RESTART”, ICAD 2013, Grand Kemang Hotel,
Jakarta, Indonesia
2012
“Slenco”, Bentara Budaya Jakarta, Jakarta, Indonesia
“Locafore”, Bale Pare, Kota Baru Parahyangan,
Bandung, Indonesia
“Hidupmu Keajaibanmu – Your Life Your Miracle”, A Collaboration with Nukila Amal, dia.lo.gue
artspace, Jakarta
“Karya Sang Juara”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia
“Indonesia Contemporary Art and Design (ICAD)
2012” Grand Kemang Hotel, Jakarta, Indonesia
2011
“Flight for Light: Indonesian Art and Religiosity,
Mon Décor Gallery, Jakarta, Indonesia
“Landscape of Nation Field and Mountain as
a Symbol”, Museum Basoeki Abdullah, Jakarta,
Indonesia
“Locafore”, Bale Pare, Kota Baru Parahyangan,
Bandung, Indonesia
“Bayang”, National Gallery of Indonesia, Jakarta,
Indonesia
“EKSPANSI”, National Gallery of Indonesia,
Jakarta, Indonesia
Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas, Bantara Budaya
Jakarta
”Escapology”, ICAD 2011, Grand Kemang Hotel,
Jakarta, Indonesia
”Art Motoring”, National Gallery of Indonesia,
Jakarta, Indonesia
“1001 doors: Reinterpreting Tradition”, Ciputra
World Marketing Gallery, Jakarta, Indonesia
2010
“Dari Seni Untuk Anak”, Kolaborasi Perupa dan
Penulis, CCF Jakarta, Indonesia
“Tramendum”, National Gallery of Indonesia,
Jakarta, Indonesia
“Crossing and Blurring The Boundaries”, National
Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia
“Sign and After”, Lawangwangi, Bandung, Indonesia
“Percakapan Masa”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia
Artpreneurship, Spaces & Images, Ciputra World
Marketing Gallery, Jakarta, Indonesia
2009
“Art/ention Hotel, Indonesian Contemporary Art
and Design”, Grand Kemang Hotel, Jakarta,
Indonesia
“Common sense”, National Gallery of Indonesia,
Jakarta, Indonesia
“Kado #2”, Think Outside The Box, Nadi Gallery,
Jakarta, Indonesia
“2nd Odyssey”, Srisasanti Gallery, Jogjakarta,
Indonesia
“Bazaar Art Jakarta 2009”, The Ritz-Carlton,
Jakarta, Indonesia
“The Running Stars”, North Art Space (Ancol),
Jakarta
“Seni Rupa Rai Gedheg”, Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), dan Bentara Budaya Jakarta (BBJ),
Indonesia
“Hybridization”, North Art Space, Jakarta, Indonesia
“Vox Populi”, Sangkring Art Space, Jogjakarta,
Indonesia
“Revisiting The Last Supper”, CGartspace, Jakarta,
Indonesia
“Vox Populi”, Bentara Budaya Jakarta (BBJ),
Indonesia
2008
“Surat Cinta di Bulan ke Dua Belas”, O House
Gallery, Jakarta, Indonesia
“Self Portrait-Famous Living Artists of Indonesia”, Jogja Gallery, Yogyakarta, Indonesia
“Sejarah dan lantai yang datang ke atas”, O House
Gallery, Jakarta, Indonesia
“Dari Penjara Ke Pigura”, Salihara Gallery, Jakarta,
Indonesia
“Art Beijing 2008”, Beijing, China
“ini baru ini”, vivi yip art room, Jakarta, Indonesia
“Indonesia Contemporary All Star”, Tujuh Bintang
Art Space, Yogyakarta, Indonesia
“E-Motion”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia
“Manifesto”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia
“Art Shanghai”, Shanghai, China
2007
“Biennale Jogja IX”, Taman Budaya Yogyakarta,
Indonesia
The 12th Guangzhou International Art Fair,
Guangzhou, China
“200 th Raden Saleh”, Jogja Gallery, Yogyakarta,
Indonesia
“Boeng Ajo Boeng !”, Bentara Budaya Jogja, Yogyakarta, Indonesia
“Celebr‘art’e Fire Boar”, Kupu-Kupu Art Gallery,
Jakarta, Indonesia
2005
“Biennale Yogyakarta VII”, Tarumatani, Yogyakarta, Indonesia
”Biennale Bali 2005”, Toni Raka Gallery, Ubud,
Bali, Indonesia
“The Pre Biennale Exhibition 2005”, YDBA Gallery, Jakarta, Indonesia
“CELEBRATION”, Orasis Gallery, Malang,
Indonesia
“Nasi Campur”, Taksu Gallery, Jakarta, Indonesia
2006
“Commermoration of Hans Winkelmolen”, The
Dutch photografer killed By the Marriot bomb
“Sayap Kata, Sayap Warna”, Langgeng Gallery,
Magelang, Indonesia
“Merahnya Merah”, Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia
2003
“Future is Made of Water”, Installation Exhibitions for 5th Anniversary of UPC (Urban Poor
Consorcium), Kridaloka, Jakarta, Indonesia
“Indonesian-Dutch Artist Exhibitons”, Menteng,
Jakarta, Indonesia
“Borobudur Agitatif ”, Langgeng Gallery-Cultur
House, Magelang, Indonesia
“Sorak-Sorai Identitas”, Langgeng Gallery,
Magelang, Indonesia
2002
”Selamatkan Laut Kita” (Yapteka), The National
Museum, Jakarta, Indonesia
“Zaini-Hanafi On Paper”, The Regent Hotel,
Jakarta, Indonesia
Hanafi-Yunizar “Seni Yang Sembunyi”, Santi Gallery, Jakarta, Indonesia
“Festival Abstrak”, Millenium Gallery, Jakarta,
Indonesia
1999
“Hitam-Putih”, Cipta Gallery, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia
“Hanafi With Nunung WS”, Koong Gallery, Jakarta, Indonesia
1998
“Ventilasi Ruang I”, with Yori Antar, Puzzle Gallery, Jakarta, Indonesia
“The Abstrak Art”, Duta Fine Art Foundation,
Jakarta, Indonesia
“BIENNALE X”, Cipta II Taman Ismail Marzuki,
Jakarta, Indonesia
“LOS”, Cipta II Taman Ismail Marzuki, Jakarta,
Indonesia
1997
“Philips Morris Indonesia Art Award”, Agung Rai
Museum, Bali, Indonesia
“AXIS”, Indonesian-Belgian Artist, National Gallery of Indonesia, Indonesia
“Trans-Aksi”, YPK BUILDING, Bandung, Indonesia
“Ruwatan BUMI”, Cemara 6 Gallery, Jakarta,
Indonesia
1996
“BIENNALE IX” Cipta II Taman Ismail Marzuki,
Jakarta, Indonesia
“Contemporary Art-Istioqlal Festival”, TMII,
Jakarta, Indonesia
“Therre Cities”, Museum Of National Monumen,
Jakarta, Indonesia
”Hanafi-Eugene Brands”,Cemara 6 Gallery, Jakarta, Indonesia
1995
“BIAS”, Artist Group, Bogor, West Java, Indonesia
1994
“Gerak”, Museum Of Cramics, Jakarta, Indonesia
1993
“Exhibitions of Three Artist, Indonesian-American Institute, Jakarta, Indonesia
Other Activities
January 2016
Wayang Installation for ‘1 Year remembrance day
and tribute to Sitor Situmorang, Taman Ismail
Marzuki Jakarta
2015
Artistic for Keng Sien’s exhibition, Salihara Gallery,
Jakarta, Indonesia
2014
Collaboration with Sunaryo and artists from ITB
Bandung in ‘Pasar Seni ITB’, Senayan Jakarta
As a art mentor for ‘Benda-benda Biografi’, Jakarta
theater Festival 2014, Taman Ismail Marzuki.
“Doa Untuk Sitor”, a tribute to Sitor Situmorang
and a collaborative art project Mayang Sunda,
Bandung
2012-2013
Soekarno Statue in Ende-NTT with the Government of Indonesia
2012
Collaboration with Nukila Amal for “Mirahmini”
Children book project
Residencial program for emerging artists from
East of Indonesia (Lombok, Ambon, Papua, NTB,
NTT and Ternate in Studiohanafi, Depok
2010
“Hujan Mencari Kali”, Collaboration with Hikmat
Gumelar and Adinda Luthvianti, Padjajaran University, Bandung
2005
“Solo Sans Frontieres Collaboration”, With Fitri
(Dancer)-Yassin Burhan (Celloist)-Afrizal Malna
(Movie)
2004
Scenographer for “Future President Debate”
Jakarta, Indonesia
2003
“Art_chipelago, Presentation of Indonesian Art
and Culture, Athens, Greece
2002
“Guest Lecture on Art Workshop”, Nanyang
Academy of Fine Art, Singapore
“Window”, Collaboration with Liem Fei Shen
(Singaporean Coreographer)-Maxine Heppner
(Canadian Dancer), Substation, Singapore.
2001
“Across Ocean”, Multimedia Workshop, York
Universirty, Toronto, Canada
“Erotique de Picasso”, Presentation of Arcitecture, Jakarta Festival, AMI Center Jakarta.
2000
“Ruang Runtuh”, Collaboration With Otig Pakis
(Actor)-Eko Partitur (Violist)-Jalu (Perccusion),
Hotel Indonesia, Jakarta, Indonesia
“Mereka Berjaga Dalam Tarian dan Warna”,
Teater, Maxine Heppner (Canadian Dancer), aikon,
Jakarta, Indonesia
1999
“Labour Exhibition”, Collaboration with Afrizal
Malna (Poet)-Diyanto (Painter), Indonesian National Gallery, Jakarta, Indonesia
1998
“I’ve to Bury the Dead Bird”, Collaboration with
Afrizal Malna (Poet)-Boy G Sakti (Coreographer)-Eko Partitur (Violist)-Yassin Burhan (Celloist), Cemara 6 Gallery, Jakarta, Indonesia
1997
“Trip Tich”, Collaboration With Maxine Heppner
(Dancer)-Cilla (Photographer), Parung Bingung,
Depok, West Java, Indonesia
1993
“B/W”, Collaboration With Agoes Jolly (Performance Artis)-Eko Partitur (Violist), The Stage Ratu
Plaza, Jakarta Indonesia
Awards
2005
Anugerah Kebudayaan FIB Universitas Indonesia,
Jakarta, Indonesia Top 10 Golden Palette, Ancol,
Jakarta, Indonesia
2003
Finalis Indofood Art Awards
2002
Finalis Indofood Art Awards
1997
Top 10 Philip Morris Art Award
Agung Hujatnika biography
Agung Hujatnika a.k.a Agung Hujatnikajennong is
a lecturer in the Faculty of Arts and Design at the
Institute of Technology in Indonesia. He attained
his doctorate from the Institute of Technology,
Bandung, with a dissertation on curatorial practice
in Indonesia.
Since 1999 he has written articles about art in various kinds of mass media and presented seminars
nationally and internationally. Agung has undertaken curatorial residencies in Australia (Queensland
Art Gallery, Brisbane; Drill Hall Gallery, Canberra,
2002) and in Japan (Nanjo and Associates, Tokyo,
2004; Arts Initiative Tokyo, 2011). He was curator
at Selasar Sunaryo Art Space (2001 – 2012) and has
curated many exhibitions in Indonesia and abroad,
among these are OK Video – Jakarta Video Festival (2003; SUB/VERSION, 2005; FLESH, 2011);
Bandung New Emergence (2006, 2008, 2010); and
a number of solo shows by Indonesian contemporary artists, such as Agus Suwage, Handiwirman Saputra, Jompet Kuswidananto, Mella Jaarsma, Heri
Dono, Dadang Christanto and Hanafi. In 2009, he was the curator of “Fluid Zones”, the
main exhibition in the Jakarta Biennale program:
ARENA and “Exquisite Corpse”, a pavilion for
Bandung at the Shanghai Biennale (2012) and Jogja Biennale XI (2013). His book on the art curatorship in Indonesia, Kurasi dan Kuasa (Curation
and Power), was published in March 2015 by the
Jakarta Arts Council. In 2014 he was nominated for
the Independent Vision Curatorial Award by the Independent Curators International, New York, USA.
acknowledgment
Hanafi would like to take this opportunity to give
a very special thank to the people who have a big
contribution for this exhibition
Goenawan Mohamad
Sa’Unine String Project
Umar Ahmad (The Regent of Tulang Bawang
Barat)
Tubagus Andre (Director of National Gallery
Indonesia)
Wahyu Koman Suteja (Komaneka Fine Art Gallery)
Agus Yanuar
Tim Okt8+ (Aini, Uli, Nuni, Uci, Anya, Reni,
Shanti, Angel)
Bustomy Kaldera
Koko Sondari
Carlo Warella
JJ. Rizal
Zeffri Alkatiri
Prapto Yuwono (FIB UI)
Toro Wantara
Ayang Kalake
Chandra Maulana
Cyprianus Jaya Napiun
Endah Afiff
JNE
Media Partners
Kompas
Akar Padi.com
Indopos
Majalah Dewi
Bravacasa
Esquire
ntu
pintu
belakang
belakang
erau
| derau
jawajawa
ennong
016
nal
deka
Diselenggarakan
Diselenggarakan
didukung
didukung
mitra
mitra media
exhibition team
Researcher
Afrizal Malna
Exhibition Curator
Agung Hujatnikajenong
Curator Assistant
Riyadhus Shalihin
Program producer and networking
Adinda Luthvianti
Artist Assistant
Hendro Rukmono, Rapin, Apep, Toro
Exhibition Manager
Semi Ikra Anggara
Translators
Rizki Asasi, Sartika Dian Nuraini
Graphic Designer
Cecil Mariani
Public Relation | Publication | Documentation
Taufik Darwis, Ratu Selvi Agnesia, Iyya Malya Displays: Hendro, Yatno, Bambang, Bengkel Artistik
Rapin, John Heryanto, Asep Holidin, Yanto
Intermedia workshop
Cecil Mariani, Enrico Halim, Yuka D. Narendra
Curatorial Discusion
Stanislaus Yangni, Riyadhus Shalihin
0115032016