usulan kegiatan riset perikanan tangkap th 2003 - BalitbangKP
Transcription
usulan kegiatan riset perikanan tangkap th 2003 - BalitbangKP
Hubungan Panjang-Berat, Kebiasaan Makan……………..di Danau Toba, Sumatera Utara (Umar, C., et al.) HUBUNGAN PANJANG - BERAT, KEBIASAAN MAKAN DAN KEMATANGAN GONAD IKAN BILIH (Mystaecoleucus padangensis) DI DANAU TOBA, SUMATERA UTARA Chairulwan Umar dan Endi Setiadi Kartamihardja Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 30 Juli 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 1 September 2010; Disetujui terbit tanggal: 29 Juli 2011 ABSTRAK Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) di Danau Toba adalah jenis ikan introduksi dari Danau Singkarak, Sumatera Barat. Pada saat ini terdapat kecenderungan ukuran individu menurun, hal ini antara lain disebabkan oleh penangkapan yang intensif menggunakan alat tangkap bagan apung dengan ukuran mata jaring relatif kecil (< 1,25 inci). Penelitian ini bertujuan untuk melihat beberapa aspek biologi meliputi ukuran panjang dan bobot, kebiasaan makan, tingkat kematangan gonad dan fekunditasnya. Hasil penelitian diperoleh hubungan panjang dan bobot individu bersifat allometrik positif dengan panjang total rata-rata 12,6 cm dan bobot rata-rata 19,8 g/ekor. Dari analisa lambung ikan bilih pemakan detritus (78,2 – 92,9 %), fitoplankton dan zooplankton sebagai pakan tambahan (4,9 – 11,5 %) serta seresah tumbuhan sebagai pakan pelengkap (1,9 – 1,8 %). Hasil pengamatan ikan bilih yang matang gonad diperoleh nilai fekunditasnya rata-rata berkisar antara 5.262 – 16.117 butir telur. Hasil pengamatan TKG dan jumlah telur menunjukkan ikan bilih dapat bertelur dan memijah sepanjang tahun dan berkembang dengan baik sehingga ikan ini tetap lestari walaupun adanya eksploitasi yang cukup intensif. KATA KUNCI : Ikan bilih, hubungan panjang-berat, kebiasaan makan, kematangan gonad, Danau Toba. ABSTRACT: Length–Weight relationship, food habit, gonad maturity and fecundity of bilih (Mystaecoleucus padangensis) in Toba lake, North Sumatera. Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) in Toba Lake was introduce from Singkarak Lake, West Sumatra. At present the growth was decreased, it caused by intensive fishing and the uses of lift net with small mesh size (under 1,25 inch). This research aims to know some biological aspects of bilih such as length - weight, relationship food habit, level of gonadal maturity, and fecundity. The results showed that growth pattern of bilih positive allometric with average length of about 12,6 cm and average weight of about 19,8 gr/each. Bilih detritus feeding (78,2 – 92,9%), phytoplankton and zooplankton as additional food (4,9 – 11,5%) and seresah tumbuhan as complement food (1,9 – 1,8 %). Fecundity of ranged from 5.262 – 16.117. TKG observation and eggs gain showed that bilih could development and spawn in long years and growth well enough, so that bilih can stlll growth rapidly eventhough there is an exploitation. KEYWORDS : Bilih, length-weight relationship, food habit, fecundity, Toba like. PENDAHULUAN Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) merupakan salah satu jenis ikan yang bukan asli Danau Toba, dan merupakan ikan introduksi dari Danau Singkarak, Sumatera Barat. Ikan ini bersifat endemik di Danau Singkarak dan daerah pengembangannya terbatas, dan di dunia hanya ditemukan di Danau Singkarak. Oleh karena itu, Danau Singkarak merupakan habitat asli dari ikan bilih. Danau Toba mempunyai habitat yang hampir sama dengan Danau Singkarak. Habitat yang yang disukai ikan bilih, yaitu berair jernih, suhu air berkisar antara o (26,0 – 28,0 C) dan dasar perairan berpasir. Di sekitar Danau Toba terdapat 152 buah sungai dan 212 anak sungai yang bermuara ke danau. Sebanyak 71 buah sungai selalu berair sepanjang tahun dan sesuai sebagai tempat pemijahan ikan bilih (Kartamihardja dan Sarnita., 2010). _______ Korespondensi Penulis : Jln. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta Utara-14430 Keputusan introduksi ikan bilih dari Danau Singkarak ke Danau Toba dilakukan setelah melalui kajian ilmiah cukup panjang yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap. Penelitian tentang ikan bilih meliputi kesesuaian habitat, makanan dan kebiasaan makan, pertumbuhan dan reproduksi ikan bilih serta peluang kompetisi dengan ikan lain yang terdapat di Danau Toba. Berdasarkan hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa introduksi ikan bilih mempunyai peluang keberhasilan yang tinggi. Ikan bilih dari Danau Singkarak diintroduksikan ke Danau Toba sebanyak 2.840 ekor dengan ukuran panjang total 4,1-5,7 cm dan berat 0,9-1,5 g per ekor. Habitat pemijahan ikan bilih cukup tersedia dan lebih banyak/luas dari pada di Danau Singkarak (Kartamihardja dan Sarnita. 2010). Secara sistematik, ikan bilih termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut: Kelas : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Sub Famili : Cyrpininae Genus : Mystacoleucus BAWAL: Vol.3 No.6-Desember 2011: 351-356 Species Mystacoleucus padangensis Bleeker Synonim Capoeta padangensis Bleeker : Bentuk badan ikan bilih mirip dengan wader, yaitu Mystacoleucus marginatus yang banyak terdapat di perairan umum Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Ikan bilih oleh masyarakat sekitar Danau Toba disebutnya ikan pora-pora (Gambar 1). : Puntius padangensis Bleeker Gambar 1. Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) di Danau Toba Figure 1. Bilih fish (Mystacoleucus padangensis Bleeker) in Toba Lake BAHAN DAN METODE Pada tahun 2005 hasil tangkapan ikan bilih di Danau Toba sebesar 14,6 % dari total produksi ikan di Danau Toba, dan merupakan hasil tangkapan ketiga setelah ikan mujair (25,3 %) dan nila (25,3). Pada tahun 2010 produksi tangkapan ikan bilih akan mendominasi total hasil tangkapan, yaitu sebesar 44,6 % (Kartamihardja dan Sarnita., 2010). Pada saat ini ukuran ikan bilih semakin kecil, diperkirakan oleh semakin banyak jumlah alat tangkap bagan dengan ukuran mata jaring kecil (< 1,25 inci) yang beroperasi di Danau Toba. Penelitian ikan bilih dilakukan pada bulan Juni 2009 dan Agustus 2010 di Danau Toba Sumatera Utara. Contoh ikan diperoleh dari hasil tangkapan bagan (liff net) pakai lampu dengan ukuran mata jaring antara 1,0 – 1,5 inci dan alat tangkap jala dengan ukuran mata jaring antara 0,75 – 1,5 inci disekitar Balige dan Samosir (Gamabr 1). Panjang ikan diukur dengan ketelitian 1 mm dan bobot ikan diukur dengan ketelitian 0,01 gram, dan jenis kelamin diukur secara primer. Gambar 2. Peta Danau Toba Sumatera Utara. Figure 2. Map Toba Lake, North Sumatera 2 Hubungan Panjang-Berat, Kebiasaan Makan……………..di Danau Toba, Sumatera Utara (Umar, C., et al.) Hubungan panjang – berat dianalisis dengan model Hile dalam Effendi, (1979) sebagai berikut : Hubungan Panjang dan Bobot b W = a*L .............................................................. (1 Hasil tangkapan ikan bilih pada bulan Juni 2009 menunjukkan rata-rata panjang total 12,3 cm dan bobot rata-rata 18,1 g/ekor. Pengembilan contoh ikan pada bulan Agustus 2010 diperoleh rata-rata panjang total 13,1 cm dengan bobot 21,5 g/ekor. Dengan demikian maka panjang dan bobot ikan bilih pada bulan Agustus 2010 menunjukkan peningkatan. Penelitian pada tahun 2008 oleh Kartamihardja dan Sarnita (2010) diperoleh ukuran ikan bilih di Danau Toba lebih kecil ukurannya yaitu panjang total rata-rata 20,5 cm dengan bobot rata-rata 9,5 gram. di mana: W = bobot ikan (g) L = panjang total (cm) a dan b = kostanta Analisa kebiasaan makan berdasarkan penghitungan frekuensi kejadian jenis makanan di dalam lambung ikan melalui Indeks of preponderan dari Natarjan & Jhingran dalam Prabha & Manjulatha, 2008) sebagai berikut : Ii Dari kenyataan tersebut dapat dikatakan sudah terdapat indikasi bahwa ikan bilih di Danau Toba sudah mulai terganggu perkembangannya atau pertumbuhannya hal ini berkaitan dengan ketersediaan makanan alami (fitoplankton) mulai berkurang. Semakin intensifnya eksploitasi ikan bilih dengan menggunakan bagan dan jaring insang dengan ukuran mata jaring relatif kecil (1,25 – 1, 5 inci), diduga juga ikut berperan dalam menurunkan ikan bilih yang tertangkap pada saat ini. Melihat hal ini seyogiyanya mendapat perhatian serius bagi para pengelola sumberdaya perairan Danau Toba. Menurut Sukimin et al. (2002), pertumbuhan ikan di suatu perairan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain : ukuran makanan yang dimakan, ukuran ikan di perairan, jenis makanan yang dimakan, serta kualitas lingkungan dan kondisi ikan (umur, keturunan, dan genetik). Ukuran panjang dan bobot ikan bilih di Danau Toba masih lebih besar dibandingkan dengan ukuran ikan di Danau Singkarak yang merupakan habitat asal ikan ini. Ukuran ikan di Danau Singkarak mempunyai panjang total antara 4,0-8,5 cm dan kisaran berat antara 0,5-5,1 g (Kartamihardja. E.S dan Sarnita. A., 2010). Hasil analisa hubungan panjang berat ikan bilih dari kedua pengamatan (tahun 2009 dan 2010) memperlihatkan pola pertumbuhan seperti tertera pada Gambar 3. Vi Oi X 100% ……………………...….. (2 (Vi Oi ) di mana: Ii = indeks of preponderance vi = persentase volume satu macam makanan Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan Identifikasi makanan dalam lambung ikan menggunakan acuan Edmonson (1959); Needham & Needham (1963). Tingkat Kematangan Gonad (TKG) mengacu pada kriteria dari Cassie dalam Effendie (1979). Penghitungan fekunditas ditujukan bagi ikan betina matang gonad dengan menggunakan metode gravimetrik (Effendi, 1979) dengan rumus : F = (G * X)/ Q ..................................................... (3 di mana: F = Jumlah telur di dalam gonad G = Seluruh gonad X = Jumlah telur contoh dari sebagian gonad Q = bobot telur contoh. 2010 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 2009 35.0 W = 0,0072 L3,1407 R2 = 0.9084 N= 150 W = 0,0077 L3,088 30.0 Bobot ( g ) Bobot ( g ) HASIL DAN BAHASAN R2 = 0.8443 N: 237 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 8 10 12 14 16 Panjang Total ( cm ) _______ Korespondensi Penulis : Jln. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta Utara-14430 0.0 7 9 11 13 15 Panjang Total ( cm) 17 BAWAL: Vol.3 No.6-Desember 2011: 351-356 Gambar 3. Hubungan panjang dan bobot ikan bilih di Danau Toba (2009 dan 2010) Figure 3. Correlation length and weight bilih fish in Lake Toba (2009 and 2010) Hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan bilih tahun 2009 memperlihatkan nilai koefisien regresi b > 3 yaitu sebesar 3.008, sedangkan untuk pengamatan tahun 2010 nilai koefien regresinya sebesar 3,1407. Dari kedua pengamatan untuk nilai koefisien regresinya lebih besar 3,0, hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tersebut bersifat allometrik positif, yaitu pertumbuhan bobot badan ikan bilih lebih cepat dibandingkan pertumbuhan panjangnya (Ricker, 1975). makanan ke dua (makanan yang terdapat dalam usus ikan dalam jumlah sedikit) dan makanan pelengkap (makanan yang sangat jarang terdapat pada usus ikan, dan hanya dimakan jika makanan utama tidak ada). Hasil analisis isi lambung ikan bilih pada pengambilan sampel tahun 2009 diperoleh makanan utama detritus (78,8 %), dengan makanan pelengkap berupa fitoplankton (11,2 %) dan zooplankton (8,0 %). Makanan tambahan berupa seresah tumbuhan (1,9 %). Pengamatan pada bulan Agustus 2010 diperoleh makanan utama berupa detritus (92,9 %), makanan pelengkap berupa fitoplankton (4,9 %) dan makanan tambahan berupa seresah tumbuhan (1,8 %). Dengan demikian hasil pengamatan dari kedua periode tersebut menunjukkan perbedaan pada makanan pelengkapnya (Gambar 4). Komposisi makanan ikan bilih yang hidup di Danau Toba hampir sama dari tahun sebelumnya maupun dari habitat asli di danau Singkarak Sumatera Bara, tetapi sedikit berbeda dalam prosentase komposisinya. Namun demikian perbedaan komposisi makanan tersebut erat kaitannya dengan umur ikan dan ketersediaan makanan alami di perairan tersebut. Jenis fitoplankton sebagai makanan pelengkap banyak dikonsumsi adalah Milosira sp, Eunotia sp dan Synedra sp, dari famili Bacillariophyceae Hubungan panjang total dengan bobot ikan bilih di Danau Toba pada tahun 2009 mengikuti persamaan: 3,008 2 W = 0,0072*L , (R = 0,9084). Pengamatan tahun 3.1407 2 2010 diperoleh persamaan : W = 0,0077*L , (R = 0,8443). Dari analisis hubungan panjang dan bobot ikan bilih di Danau Toba pengamatan tahun 2009 dan 2010 menunjukkan ada hubungan antara panjang total 2 dan bobot ikan tersebut dengan nilai R = 0,9084, dan 2 R = 0,8443. Kebiasaan Makan Pertumbuhan dan perkembangan biota di perairan sangat ditentukan oleh ketersedian pakan alami dan jenis ikan yang memanfaatkannya. Menurut Nikolsky (1963) makanan alami pada ikan terdiri atas makanan utama (menempati sebagian besar isi usus ikan), 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2010 Gambar 4. Komposisi makanan ikan bilih di Danau Toba pada tahun 2009 dan 2010 Figure 4. Feeding composistion fish bilih in Lake Toba at 2009 and 2010. Penelitian di Danau Singkarak diperoleh hasil yang sama, dimana fitoplankton yang paling banyak dikonsumsi oleh ikan bilih adalah famili Bacillariophyceae (Purnomo & Sunarno,.2009). Keadaan ini didukung ketersediaan atau kelimpahan di alam, dimana dkelimpahan plankton di Danau Singkarak di dominasi famili Bacillariophycea (48,6 %) (Purnomo., 2008). makanan yang berada di dasar Ikan bilih termasuk perairan (benthic) maupun di lapisan tengah dan permukaan air (pelagic). Kematangan Gonad dan Fekunditas Tingkat kematangan gonad berguna untuk mengetahui perbandingan antara gonad yang masak dengan stok yang ada di perairan, ukuran pemijahan, musim pemijahan dan lama pemijahan dalam satu siklus (Sukimin et al., 2002). Ciri sekunder dari jenis kelamin ikan bilih dapat dibedakan antara betina dan Hasil analisis isi lambung diperoleh makanan utama ikan bilih berupa detritus. Ikan bilih termasuk benthopelagis, yaitu ikan yang dapat memanfaatkan 2 Hubungan Panjang-Berat, Kebiasaan Makan……………..di Danau Toba, Sumatera Utara (Umar, C., et al.) 5.956 – 16.422 butir telur dengan rata-rata 11.286 butir telur. Fekunditas ikan bilih tahun 2010 rata-rata masih lebih tinggi dibandingkan dengan fekunditas ikan bilih tahun 2009. Demikian pula dibandingkan dengan fekunditas tahun 2005 berkisar 3.654-14.561 butir telur dengan rata-rata 7.580 butir (Kartamihardja & Purnomo, 2005). Dibandingkan dengan fekunditas ikan bilih di Danau Singkarak (rata-rata berkisar antara 2.155 – 5.000 butir telur) fekunditas ikan bilih di Danau Toba masih jauh lebih besar. jantan matang gonad dengan melihat warna kuning keemasan pada sirip ekornya. Ikan bilih betina dewasa yang sudah matang gonad dari hasil tangkapan 2009, berukuran panjang total antara 9,9 – 14,2 cm dengan rata- rata 12,4 cm dan kisaran berat antara 8,1 – 29,2 gram dengan rata-rata 19,5 gram. Ikan bilih betina hasil tangkapan 2010 yang sudah matang gonad berukuran panjang total antara 11,2 – 14,7 cm dengan rata-rata 12,8 cm dan beratnya berkisar 13,9 – 36,0 dengan rata-rata 23.0 gram. Hasil pengukuran panjang total dan bobot ikan bilih dewasa yang matang gonad dari kedua waktu pengamatan ( 2009 dan 2010) perbedaannya relatif kecil yaitu dari bobotnya, dimana ikan bilih hasil tangkapan 2010 bobotnya lebih besar. Hal ini diduga adanya pengaruh perubahan lingkungan perairan dan ketersediaan pakan alami (plankton) yang dapat merangsang kegiatan reproduksi ikan bilih tersebut. Fekunditas ikan bilih di Danau Toba mempunyai hubungan dengan panjang total ikan tersebut, yaitu 4,0924 mengikuti persamaan logaritma : F = 0,3369*L , 2 (R = 0,965) untuk tahun 2009, dan untuk tahun 2010 3.3885 2 persamaan: F = 1,9577*L , (R = 0,878), (Gambar 5), sedangkan di danau Singkarak mengikuti 2,6653 2 persamaan: F = 0,03632*L , (R = 0,82). Persamaan ini menunjukkan ada hubungan ukuran panjang total jumlah telur yang dihasilkan yaitu semakin panjang ukuran ikan semakin banyak jumlah telur ikan yang dihasilkan. 20,000 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 F = 0.3369* L4.0924 R² = 0.9645 7 8 9 101112131415 Fekunditas (butir telur) Fekunditas (butir telur) Fekunditas Ikan bilih di Danau Toba tahun 2009 berkisar 4.568 – 15.812 butir telur dengan rata-rata 10.897 butir dan tahun 2010 fekunditas nya berkisar 20,000 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 Panjang total (cm) F = 1.9577 L3.3885 R² = 0.8781 7 8 9 101112131415 Panjang Total (cm) Gambar 5. Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan bilih pengamatan tahun 2009 dan 2010, Di Danau Toba, Suamatera Utara. Figure 5. Hasil penelitian ikan bilih tahun 2009 dan 2010 menunjukkan ikan yang telah matang gonad dan siap memijah ukuran diameter telur berkisar antara 0.33 – 0.76 µm dan 0,54 – 0.87 µm dan tertinggi pada diameter 0.44 – 0.65 µm dan 0.55 – 0.76 µm. Dibandingkan di Danau Singkarak diameter telur ikan bilih yang siap memijah di Danau Toba relatif lebih besar. (Kartamihardja & Sarnita., 2010) mengemukakan diameter telur ikan bilih di Danau Toba relatif lebih besar dari pada telur ikan bilih di Danau Singkarak. Selain itu distribusi diameter telur di Danau Toba terdiri dari tiga puncak sedangkan distribusi telur di Danau Singkarak hanya dua puncak. Hal ini menggambarkan bahwa proses reproduksi ikan bilih di Danau Toba lebih unggul dari pada ikan bilih di Danau Singkarak. Sampel ikan bilih yang diperoleh di Danau Toba pada bulan Juni tahun 2009 dan Agustus 2010 umumnya sudah matang gonad (TKG IV). Hal ini menunjukkan bahwa ikan bilih di Danau ini memijah dalam beberapa bulan dalam setahun. Menurut Syandri (1996), populasi ikan bilih memijah lebih dari satu kali setiap tahunnya dan sifat pemijahannya adalah persial, dimana telur yang sudah matang tidak dikeluarkan sekaligus melainkan hanya sebagian saja dalam satu periode pemijahan. Waktu pemijahannya mulai dari sore hari sampai dengan pagi hari. Puncak pemijahan ikan bilih terjadi pada pagi hari mulai dari jam 5.00 sampai dengan jam 9.00. seperti diperlihatkan dengan banyaknya telur yang dilepaskan. Pemijahan ikan bilih terjadi hampir diseluruh aliran sungai yang bermuara di danau dan habitat pemijahan umumnya berair jernih, dasar 2 BAWAL: Vol.3 No.6-Desember 2011: 351-356 berbatu, kerikil atau berpasir dengan suhu air berkisar 0. antara 25,0 – 27,0 C. ikan Implikasi Pengelolaan dan Prospek Masa Depan. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Badan Litbang Kelautan dan Perikanan. Edisi II. Jakarta. 67 pp.. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Kartamihardja, E.S. dan K. Purnomo. 2006. Penyelamatan Populasi Ikan Bilih ke Habitatnya yang baru di Danau Toba. Demersal. Dari Laut untuk Pembangunan. Edisi Maret 2006. 1. Ikan bilih di Danau Toba tahun 2010, rata-rata pertumbuhannya lebih baik dibandingkan sampel tahun 2009, dengan ukuran panjang total ikan bilih rata-rata sekitar 12,3 cm dan bobot 18.05 g/ekor (2009). Untuk tahun 2010 rata-rata ukuran panjang total berkisar 13,1 cm dan bobot sekitar 21,5 g/ekor, dengan pola pertumbuhan ikan bilih di Danau Toba bersifat allometrik positif. 2. Kebiasaan makan Ikan bilih di Danau Toba relatif sama tahun 2009 dan 2010, dengan makanan utama detritus, makanan pelengkap fitoplankton dan zooplankton makanan tambahan seresah tumbuhan. 3. Ikan bilih di Danau Toba memijah secara parsial dan beberapa kali dalam setahun. Ikan bilih mulai matang gonad panjang nya berkisar 9,9 – 14,7 cm Fekunditas ikan bilih berkisar antara 4.568 – 15.812 butir telur dengan rata-rata 10.897 butir telur tahun 2009, untuk tahun 2010 fekunditasnya berkisar antara 5,956 – 16.422 butir telur dengan rata-rata sekitar 11.286 butir telur. Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. Transleted by. L. Brikett. Academy Press. London. 352 pp. Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A Guide to the Study of Freshwater Biology. Fifth edition. Revused and Enlarged. Holden Day Inc. San Francisco. 180 pp. Prabha, Y.S & C. Manjulatha. 2008. Food and feeding habits of Upeneus vittatus (Forsskall, 1775) from Visakhapatnam Coast (Andhra Pradesh of India . Int. J. Zool. Res. 4 (1) : 59 – 63. Purnomo, K. 2008. Pengelolaan sumberdaya ikan di Danau Singkarak, Prosiding Semnaskan Indonesia. 4 – 5 Desember 2008. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta. 437-444. SARAN Purnomo, K. dan Sunarno, M.T.,2009. Beberapa aspek biologi Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) di Danau Singkarak. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2 (6) : 265 - 271 Prosiding Semnaskan Indonesia. 4 – 5 Desember 2008. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta. 437-444. Dalam rangka pengelolaan ikan bilih di Danau Toba agar tetap lestari perlu dilakukan pembatasan jumlah alat tangkap dan ukuran mata jaring tidak lebih kecil dari 1,25 inci. Hal ini untuk memberi kesempatan bagi ikan bilih mencapai dewasa dan melakukan pemijahan. Selain itu perlu dilakukan penetapan suaka ikan bilih terutama di sungai sungai, karena ikan bilih ini memijah di sungai-sungai yang airnya jernih dan dasar berpasir. Sukimin, S., S. Isdrajat, & Y. Vitner. 2002. Petunjuk Praktikum Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. DAFTAR PUSTAKA Edmonson, W. T. 1959. Freshwater Biology. 2 John Wiley & Sons. Inc. New York. 1.248 pp. nd Syandri, H. 1996. Aspek reproduksi ikan bilih, Mystacoleucus padangensis Bleeker dan kemungkinan pembenihannya di danau Singkarak. Disertasi Program Pascasarjana IPB. 122 pp. Ed. Effendie, M.I. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 pp. Kartamihardja, E.S. dan Sarnita, A., 2010. Populasi Ikan Bilih di Danau Toba. Keberhasilan introduksi 2 BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 357-362 BEBERAPA ASPEK BIOLOGI CUMI-CUMI JAMAK (Loligo duvaucelli) YANG DIDARATKAN DI BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT Umi Chodrijah dan Tri Wahyu Budiarti Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 1 Desember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Mei 2011; Disetujui terbit tanggal: 28 September 2011 ABSTRAK Cumi-cumi (Loligo sp.) merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang memiliki nilai ekonomis penting dan mengandung nilai gizi tinggi dengan cita rasa yang khas. Pengamatan terhadap beberapa aspek biologi cumi-cumi jamak (Loligo duvaucelli) telah dilakukan pada bulan Juni 2005 sampai Nopember 2006 di Pusat Pendaratan Ikan Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran panjang mantel, nisbah kelamin, komposisi makanan, serta hubungan panjang mantel dan bobot cumi-cumi jamak. Pengukuran karakter biologi meliputi panjang mantel (ML), bobot tubuh (W), dan isi perut. Hasil penelitian ini menunjukkan sebaran panjang mantel cumi-cumi yang tertangkap berkisar antara 3,0-36,0 cm dengan modus 15 cm dan panjang mantel rata-rata 13,3 cm. Nisbah kelamin cumi-cumi pada bulan April dan Juni 2006 dalam keadaan tidak seimbang. Pola pertumbuhan cumi-cumi baik jantan maupun betina bersifat alometrik negatif. Cumi-cumi merupakan karnivora yang makanan utamanya adalah ikan-ikan kecil. KATA KUNCI: loligo duvaucelli, aspek biologi, Blanakan, Laut Jawa ABSTRACT: Some aspects of biology squid (Loligo duvaucelli) of the landed in Blanakan, Subang, West Java. By: Umi Chodrijah and Wiwiet An Pralampita The squid is one of living marine resources that have important economic value and conyain high nutrional value with a distinctive taste. Observation on the biological aspect of squid jamak) was performed in June 2005 to November 2006 in Blanakan, Subang, West Java. This study aims to determine the distribution of mantle length, sex ratio, food composition, and the relationship mantle and weight of squid. Measurement of biological characters include mantle length (ML), body weight (W), and stomach contents. The results showed that the distribution of squid mantle length capture at Blanakan, ranges from 3.0-36.0 cm with a mode at 15 cm and an average mantle length of 13.3 cm. The squid sex ratio in April and June 2006 in a state of imbalance. The growth rate of the squid both males and females are allometric negative. The squid is a carnivorous diet is primarily small fish. KEYWORDS: loligo duvaucelli, biology aspect, Blanakan, Java Sea PENDAHULUAN dengan menggunakan cahaya (Barnes, 1974; Roper et al., 1984). Cumi-cumi secara taksonomis termasuk kelas Chepalopoda. Cumi -cumi merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang memiliki nilai ekonomis penting, dan mengandung nilai gizi yang tinggi dengan cita rasa yang khas. Bagian yang dapat dimakan (edible portion) mencapai hampir 100%, karena termasuk hewan lunak (Phyllum Mollusc) dengan cangkang yang sangat tipis pada bagian punggung. Famili Loliginidae mempunyai beberapa genus yang sebagian besar jenisnya hidup di perairan laut daerah tropik. Genera yang mempunyai nilai atau berpotensi ekonomi adalah Loligo, Sepioteuthis, dan Uroteuthis (Djajasasmita et al., 1993). Studi tentang jenis kelamin dan tingkat kematangan seksual ikan merupakan pengetahuan dasar biologi reproduksi suatu jenis ikan, untuk mengetahui ukuran atau umur ikan serta siklus pertumbuhan ovarium sampai selesai memijah. Widodo (1991) mengatakan bahwa reproduksi adalah suatu proses perkembangbiakan jenis ikan sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan generasinya. Dalam memanfaatkan dan mengelola suatu sumber daya ikan memperhitungkan dan mempertimbangkan proses perkembangbiakan dalam rangka untuk mencegah kepunahan sumber daya tersebut. Cumi-cumi genus Loligo melakukan pergerakkan diurnal, berkelompok dekat dengan dasar perairan selama siang hari dan akan menyebar ke kolom air pada malam hari. Banyak spesies ini yang bersifat fototaksis positif (tertarik pada cahaya), oleh karena itu sering ditangkap Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sebaran panjang mantel, nisbah kelamin, hubungan panjang mantel dan bobot, dan komposisi makanan cumi-cumi jamak yang didaratkan di Pusat Pendaratan Ikan Blanakan, Subang, Jawa Barat. ___________________ Korespondensi penulis: Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Samudera Indonesia. Jakarta. 357 U. Chodrijah, T.W. Budiarti / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 357-362 BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung di Pusat Pendaratan Ikan Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat pada bulan Juni 2005 sampai Nopember 2006. Contoh cumi-cumi yang didapatkan kemudian diidentifikasi menurut Roper et al. (1984). Pengukuran karakter biologi meliputi panjang mantel (ML), bobot tubuh (W), dan isi perut. Analisis kebiasaan makanan menggunakan index of preponderance. Evaluasi jenis makanan merupakan gabungan dari dua metode yaitu metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik. Metode ini dikembangkan oleh (Natarajan & Jhingram, 1961 dalam Effendie, 1979) dengan rumus: Gambar 1. Jenis cumi-cumi Loligo duvaucelli (15 cmPM) yang tertangkap jaring cumi di Blanakan, Subang, Jawa Barat. Species of Loligo duvaucelli (15 cmML) landed at Blanakan Subang, West Java. Figure 1. Vi x Oi IP(%) = n x100 ......................................... (1 ∑ Vi x Oi i=1 ( ) di mana: IP = indeks bagian terbesar (index of preponderance) Vi = persentase volume makanan ikan jenis ke-i Oi = peresentase frekuensi kejadian makanan jenis ke-i n = jumlah organisme makanan Data pengukuran panjang dan bobot cumi tersebut dianalisis untuk mengetahui sifat pertumbuhan cumi (Effendie, 1979) apakah isometrik (b = 3) atau alometrik (b ≠ 3) dengan menggunakan rumus: W = a*Lb ....................................................................... (2 di mana: W = bobot cumi-cumi (g) L = panjang mantel (cm) a dan b = konstanta Cumi-cumi Loligo duvaucelli (Gambar 1) juga merupakan hasil tangkapan dominan (sekitar 80%) di perairan Selat Alas, Nusa Tenggara Barat (Mubarak & Suprapto, 1999; Hartati et al., 2001). Sebaran Panjang Mantel dan Nisbah Kelamin Cumi-Cumi Pengamatan contoh cumi-cumi 551 individu yang didaratkan di Blanakan diperoleh sebaran panjang mantel cumi-cumi jamak antara 3,0-36,0 cm dengan modus 15 cm (Gambar 2) dan panjang mantel rata-rata 13,3 cm. Hasil penelitian ini mirip dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rao (1988), bahwa panjang mantel cumicumi Loligo duvaucelli yang didaratkan di Mangalore, India berkisar antara 4,0-36,5 cm. Proporsi frekuensi bulanan menunjukkan cumi-cumi jamak yang didaratkan pada bulan September 2006 diperoleh ukuran panjang mantel klas ukuran 0,0-4,9 cm sampai 30,0-34,9 cm (Gambar 3). 16.00 HASIL DAN BAHASAN 14.00 Pada umumnya, cumi-cumi tertangkap sebagai hasil sampingan (bycatch), pada perikanan cantrang dan pukat cincin, namun di Blanakan merupakan hasil tangkapan utama (target species) dari armada jaring cumi yang berkembang sejak tahun 2002. Hasil penelitian Pralampita & Chodriyah (2009), mengatakan bahwa cumi-cumi jenis Loligo duvaucelli merupakan hasil tangkapan dominan Blanakan. Pada tahun 2005, mencapai 43% dan tahun 2006 mencapai 53%, dari seluruh cumi-cumi yang didaratkan, disusul oleh Loligo edulis, Loligo singhalensis, dan Sepioteuthis lessoniana. 358 Frekuensi (%) 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 36 Panjang mantel (cm) Gambar 2. Figure 2. Histogram frekuensi panjang mantel (PM) cumi-cumi jamak di Blanakan, Subang, Jawa Barat. Mantle length frequency (ML) histograms of squid jamak at Blanakan, Subang, West Java. U. Chodrijah, T.W. Budiarti / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 357-362 Gambar 3. Figure 3. Proporsi frekuensi (%) ML class Loligo duvaucelli di Blanakan tahun 2005-2006. Proportion frequency (%) ML class Loligo duvaucelli at Blanakan, 2005-2006. Nisbah kelamin adalah suatu angka yang menunjukkan perbandingan jumlah individu jantan dan betina dalam suatu populasi. Menurut Bal & Rao (1984) secara alami di suatu perairan dengan populasi yang bersifat menyebar normal perbandingan individu jantan dan betina diperkirakan 1:1. Pengamatan terhadap 175 ekor Loligo duvaucelli yang didaratkan di Blanakan diperoleh hasil 89 ekor di antaranya berkelamin betina sedangkan 86 ekor berkelamin jantan. Ditinjau dari waktu pengamatan menurut bulanan, tampak bahwa perbandingan cumi-cumi jantan dan betina berfluktuasi (Gambar 4). Berdasarkan atas pada uji chisquare pada bulan pengamatan diperoleh pada bulan April dan Juni 2006 sangat berbeda nyata di mana ÷2 hitung > ÷2tabel (bulan April ÷2=4,8; bulan Juni diperoleh ÷2=10,704; ÷2tabel (0,05)=3.481), dengan demikian perbandingan jenis kelamin jantan dan betina dalam keadaan tidak seimbang. Berdasarkan atas hasil perhitungan tersebut, dapat dikatakan bahwa cumi-cumi Loligo duvaucelli betina dominan pada bulan April dan Juni 2006. Hasil penelitian ini ternyata tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian sebelumya (Rao, 1988). Menurut Rao (1988), cumi-cumi Loligo duvaucelli yang didaratkan di Mangalore, India individu betina dominan pada bulan Pebruari, April, Mei, dan Nopember. Selanjutnya Effendie (1979) dalam Sujono (1994) mengatakan dengan seimbangnya individu jantan dan betina, maka kemungkinan terjadinya pembuahan sel telur oleh spermatozoa semakin besar, sehingga dapat menetas menjadi individu baru. Gambar 4. Figure 4. Nisbah kelamin cumi Loligo duvaucelli di Blanakan tahun 2005-2006. Sex ratio of Loligo duvaucelli at Blanakan, 2005-2006. Komposisi Jenis Makanan Menurut Nikolsky (1963) urutan kebiasaan makanan dibedakan menjadi empat kategori berdasarkan atas persentase indeks bagian terbesar, yaitu makanan utama, pelengkap, tambahan, dan pengganti. Makanan utama adalah makanan yang dimakan ikan dalam jumlah yang besar. Makanan pelengkap adalah makanan yang ditemukan dalam saluran pencernaan ikan dalam jumlah 359 U. Chodrijah, T.W. Budiarti / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 357-362 yang lebih sedikit. Makanan tambahan adalah makanan yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan dalam jumlah yang sangat sedikit. Makanan pengganti adalah makanan yang hanya dimakan jika makanan utama tidak tersedia. Berdasarkan atas indeks bagian terbesar (index of preponderance), komposisi makanan cumi-cumi Loligo duvaucelli secara keseluruhan menunjukkan makanan utamanya ikan (65,4%). Makanan pelengkapnya crustacea (34%), makanan tambahannya larva veliger (0,2%), limacina (0,1%) (Gambar 5). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya (Barnes, 1974) yang mengatakan bahwa cumi-cumi digolongkan sebagai hewan karnivora 0.1% karena memakan udang dan ikan pelagis yang ditangkap dengan tentakelnya. Selanjutnya Rahardjo & Bengen (1984) mengatakan bahwa komponen makanan yang paling sering ditemukan dalam lambung cumi-cumi Loligo edulis dan Loligo duvaucelli adalah ikan-ikan kecil. Di samping ikan-ikan kecil, krustacea merupakan komponen makanan yang mempunyai frekuensi kejadian cukup besar. Kelompok jasad makanan lainnya yang ditemukan dalam lambung cumi-cumi tidak dapat dipastikan sebagai makanan cumi-cumi. Diduga kelompok Bacillariophyceae, Chlorophyceae, dan Protozoa merupakan makanan dari ikan-ikan kecil ataupun krustacea yang dimakan oleh cumicumi tersebut. 0.2% 0.1% 0.0% 0.0% Ikan Crustacea Bacteriostrum Limacina Teredojaponica Larva veliger Atlanta Polychaeta 0.0% 34.1% 65.4% Gambar 5. Figure 5. Indeks preponderance makanan cumi Loligo duvaucelli selama penelitian di Blanakan tahun 20052006. Index preponderance of food squids Loligo duvaucelli at Blanakan, 2005-2006. Kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain musim, umur ikan, dan ketersediaan makanan (Lagler et al., 1977). Banyak spesies ikan dapat menyesuaikan diri dengan persediaan makanan dalam perairan sehubungan dengan musim yang berlaku. Jenis makanan suatu spesies ikan berbeda ketika diamati pada waktu yang berbeda, meskipun diambil dari tempat yang sama. Perubahan makanan dari suatu spesies ikan adalah hal yang wajar, sehingga spektrum makanannya dapat berubah-ubah (Effendie, 1979). Hubungan Panjang Mantel dan Bobot Pertumbuhan merupakan suatu proses yang terjadi di dalam tubuh organisme yang menyebabkan perubahan ukuran panjang dan bobot tubuh dalam periode tertentu. Menurut Sukimin et al. (2002), pertumbuhan ikan di suatu 360 perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain ukuran makanan yang dimakan, ukuran ikan di perairan, jenis makanan yang dimakan, serta kualitas lingkungan dan kondisi ikan (umur, keturunan, dan genetik). Analisis terhadap cumi-cumi Loligo duvaucelli betina yang didaratkan di Blanakan menunjukkan hubungan panjang bobot bersifat allometrik negatif dengan nilai b = 2,0767 dan r2 = 0,8689, berarti pertambahan panjang mantel lebih cepat dari bobot cumi-cumi. Pada cumi-cumi jantan hubungan panjang dan bobot juga bersifat alometrik negatif dengan nilai b =1,9749 dan r2 = 0,9275 (Gambar 6). Menurut Rao (1988), hubungan panjang dan bobot cumicumi Loligo duvaucelli yang didaratkan di Mangalore, India adalah log W = 2,8486+2,2423 log L (r = 0,9624) pada individu betina, sedangkan cumi-cumi jantan persamaannya adalah log W = -2,2677+1,9420 log L (r = 0,9895). U. Chodrijah, T.W. Budiarti / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 357-362 300.0 y = 0.4005x2.0767 R² = 0.8689 n = 89 250.0 400.0 300.0 200.0 250.0 150.0 200.0 Berat (gr) Berat (gr) y = 0.4327x1.9749 R² = 0.9275 n=86 350.0 100.0 50.0 0.0 150.0 100.0 50.0 0.0 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 PM (cm (A) Gambar 6. Figure 6. 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 PM (cm) (B) Hubungan panjang mantel dan bobot cumi-cumi Loligo duvaucelli betina (A) dan jantan (B) selama penelitian di Blanakan, tahun 2005-2006. Mantle length and weight relationship of squid Loligo duvaucelli at Blanakan, 2005-2006. KESIMPULAN 1. Sebaran panjang mantel cumi-cumi Loligo duvaucelli yang didaratkan di Blanakan, Subang, Jawa Barat berkisar antara 3,0-36,0 cm dengan modus 15 cm dan panjang mantel rata-rata 13,3 cm. 2. Nisbah kelamin cumi-cumi Loligo duvaucelli pada bulan April dan Juni 2006 dalam keadaan tidak seimbang. 3. Pola pertumbuhan cumi-cumi Loligo duvaucelli baik jantan maupun betina bersifat alometrik negatif. 4. Cumi-cumi merupakan karnivora yang makanan utamanya ikan-ikan kecil. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan riset perubahan upaya, hasil tangkapan, dan biologi populasi ikan pelagis kecil di Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Makassar, T. A. 2005-2006, di Balai Riset Perikanan laut-Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Bal, D. V. & K. V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Ata Mc Graw-Hill Publ. Co. Ltd. New Delhi. 470 pp. Barnes, R. D. 1974. Invertebrate Zoology. Fifth Edition. Saunders College. Philadelphia. London. Toronto. 870 pp. Djajasasmita, M., S. Soemodihardjo, & B. Sudjoko. 1993. Status Sumber Daya Cephalopoda di Indonesia. Panitia Nasional Program MAB Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 74 pp. Hartati, S. T., I. S. Wahyuni, W. A. Pralampita, & U. Chodriyah. 2001. Sebaran kelimpahan cumi-cumi dan musim penangkapannya di perairan Selat Alas. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 7 (4): 9-16. Lagler, K. F., J. E. Bardach, R. R. Miller, & D. M. Passino. 1977. Ichthyology. John Wiley & Sons. Inc. New York. 505 pp. Mubarak, H. & Suprapto. 1999. Penangkapan cumi-cumi di Selat Alas (Nusa Tenggara Barat). Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 3: 2-10. Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. New York. 352 pp. Rahardjo, S. & D. G. Bengen. 1984. Studi beberapa aspek biologi cumi-cumi (Loligo spp.) di perairan Gugus Kepulauan Seribu. Laporan Penelitian. (Tidak Dipublikasikan). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 85 pp. Roper, C. F. E., M. J. Sweeney, & C. E. Nauen. 1984. Cephalopods of the world. Annoted and illustrated Catalogue of species of Interest to Fisheries. Food and Agriculture Organization Species Catalogue. 125 (3): 277 pp. Rao, S. G. 1988. Biology of inshore squid Loligo duvaucelli orbigny, with a note on its fishery off Mangalore. Indian J. Fish. 35 (3): 121-130. Sujono, B. 1994. Aspek reproduksi dan kondisi morfometri ikan juwi (Sardinella gibbosa) di Laut Jawa berdasarkan hasil tangkapan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Bajomulyo, Juwana. Tesis. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang. 113 pp. Effendie, M. I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 pp. 361 U. Chodrijah, T.W. Budiarti / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 357-362 Sukimin, S., S. Isdrajat, & Y. Vitner. 2002. Petunjuk Praktikum Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 25 pp. Pralampita, W. A. & U. Chodriyah. 2009. Aspek perikanan dan komposisi hasil tangkapan cumi-cumi yang didaratkan di Pusat Pendaratan Ikan. Blanakan, Subang, Jawa Barat. BAWAL-Widya Riset Perikanan Tangkap. 2 (5): 251-256. 362 Widodo, J. 1991. Petunjuk Teknis: Pemanfaatan dan Pengelolaan Beberapa Spesies Sumber Daya Ikan Demersal Ekonomis Penting. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan No.PHP/KAN/16/1991. Jakarta. 85 pp. BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 363-367 BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN BELOSO (Saurida micropectoralis) DI PERAIRAN UTARA JAWA TENGAH Adrian Damora dan Tri Ernawati Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 20 Januari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 15 Maret 2011; Disetujui terbit tanggal: 24 Agustus 2011 ABSTRAK Indeks kelimpahan stok ikan beloso (Saurida micropectoralis) di Laut Jawa cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun dan untuk mencegahnya perlu bahan masukan yang bersumber dari hasil penelitian yang dijadikan sebagai dasar pengelolaannya. Penelitian dilakukan untuk mengkaji beberapa aspek biologi meliputi hubungan panjangberat, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, panjang pertama kali tertangkap dan panjang pertama kali matang gonad, serta kebiasaan makan ikan beloso. Penelitian dilakukan pada bulan April–Agustus 2009 di perairan utara Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nisbah kelamin ikan jantan dan betina berada dalam keadaan tidak seimbang. Pertumbuhan ikan beloso bersifat allometrik positif, dimana pertambahan berat lebih cepat dibandingkan pertumbuhan panjangnya dan tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beloso didominasi oleh stadium I. Panjang pertama kali ikan beloso tertangkap lebih kecil dari panjang pertama kali matang gonadnya (Lc < Lm) sehingga akan mengancam kelestariaannya. Ikan beloso bersifat karnivora, dimana makanan utamanya adalah potongan ikan dasar, cumi, dan teri. KATA KUNCI: aspek biologi, ikan beloso, perairan utara Jawa Tengah ABSTRACT: Biological aspects of lizardfish (Saurida micropectoralis) in north waters of Central Java. By: Adrian Damora and Tri Ernawati Index of stock abundance of Lizardfish (Saurida micropectoralis) in Java Sea tend to decreased from year to year. The decline was expected because of the potential of Lizardfish decreasing but the effort continue to rise. The objective of this study is to assess the biological aspects including length-weight relationship, sex ratio, gonadal maturity stage, length of first capture (Lc) and length of first mature (Lm), and feeding habit of Lizardfish in north waters of Central Java. This study was conducted from April to August 2009 in north waters of Central Java. Results showed that the sex ratio between males and females was 1:0,97. Based on Chi-square test it is showed that sex ratio is not balanced. The growth of Lizardfish indicated positive allometric where the weight growth more faster than its length growth. The gonadal maturity stage of Lizard fish is dominated by the first stage. The length of first capture of Lizardfish was under the length of first mature (Lc < Lm) so that will threaten its sustainability. Lizardfish was indicated carnivorous species where its main food are part of demersal fishes, squids and anchovies. KEYWORDS: biological aspects, Lizardfish, north waters of Central Java PENDAHULUAN Perairan utara Jawa Tengah ialah salah satu daerah penyebaran dan penangkapan ikan demersal. Alat tangkap yang banyak digunakan saat ini adalah cantrang dan arad. Ikan beloso (Saurida micropectoralis) merupakan salah satu jenis ikan demersal yang dominan tertangkap di perairan utara Jawa Tengah. Ciri-ciri morfologis spesies ini adalah bentuk badan agak bulat memanjang, mempunyai bentuk kepala seperti kepala kadal. Di belakang sirip punggung terdapat sirip lemah lainnya yang tanpa duri yang berbentuk kecil, mata berukuran kecil, sisik tebal dan kuat. Kepala bersisik dan warna tubuh coklat dengan bagian bawah agak keputih-putihan (Dwiponggo, 1977). Hasil tangkapan per upaya (CPUE) ikan beloso di perairan utara Jawa Tengah relatif berfluktuasi dan cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Penurunan ini diduga karena stok ikan beloso semakin menurun akibat semakin tingginya upaya penangkapannya (Imron, 2008). Jika terus dibiarkan, dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian dan keberlanjutan usahanya, sehingga diperlukan penelitian mengenai aspek biologi ikan beloso di perairan tersebut untuk mendasari pengelolaannya. Tulisan ini membahas beberapa aspek biologi ikan beloso (S. micropectoralis), meliputi hubungan panjangberat, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, panjang pertama kali tertangkap dan panjang pertama kali matang gonad, serta kebiasaan makan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk pengelolaan sumberdaya ikan demersal khususnya ikan beloso di perairan utara Jawa Tengah. ___________________ Korespondensi penulis: Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Samudera Indonesia. Jakarta. 363 A. Damora, T. Ernawati / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 363-367 BAHAN DAN METODE Penelitian didasarkan pada data hasil pengambilan contoh ikan beloso (S. micropectoralis) di tiga tempat berbeda, yaitu TPI Asemdoyong Pemalang, TPI Tegalsari Tegal dan TPI Kluwut Brebes. Ketiga lokasi ini dianggap mewakili data ikan beloso di utara Jawa Tengah. Pengumpulan data ikan dilakukan pada bulan April– Agustus 2009. Pengamatan biometrik ikan yang dilakukan meliputi pengukuran panjang cagak (fork length), jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad. Hubungan panjang berat dianalisa menggunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Lagler, 1972; Jennings et al., 2001) : W = aLb ......................................................................... (1 di mana : W = berat total ikan (gram) L = panjang cagak ikan (cm) a dan b = konstanta hasil regresi Untuk mempermudah perhitungan, maka persamaan di atas dikonversi ke dalam bentuk logaritma sehingga menjadi persamaan linear sebagai berikut (Jennings et al., 2001) : loge W = loge a + b loge L ........................................ (2 maka tolak Ho, dan sebaliknya jika thit < ttabel, maka terima Ho. Perhitungan nisbah kelamin didasarkan pada persamaan berikut: NK = Nbi / Nji .............................................................. (4 di mana: NK Nbi Nji = Nisbah kelamin = Jumlah ikan betina pada kelompok ukuran ke-i = Jumlah ikan jantan pada kelompok ukuran ke-i Penentuan tingkat kematangan gonad secara visual dengan cara melihat perbandingan gonad yang disesuaikan dengan kriteria Holden & Raitt (1974). Ukuran rata-rata ikan tertangkap didapatkan dengan cara memplotkan frekuensi kumulatif dengan setiap panjang ikan, sehingga akan diperoleh kurva logistik baku, dimana titik potong antara kurva dengan 50% frekuensi kumulatif adalah panjang saat 50% ikan tertangkap (Saputra, 2005). Panjang pertama kali matang gonad (length of first mature, Lm), dilakukan sesuai dengan prosedur perhitungan metode Spearman-Karber yang dilakukan Udupa (1968): ≠ ∑ m = xk + x/2 – (x Pi).................................................... (5 Hubungan panjang berat dapat dilihat dari nilai konstanta b, jika b = 3, maka hubungannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan berat), jika b≠ 3, maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik (pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat). Apabila b > 3, maka hubungannya bersifat allometrik positif dimana pertambahan berat lebih dominan dari pertambahan panjangnya, sedangkan jika b < 3, maka hubungan yang terbentuk bersifat allometrik negatif dimana pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan beratnya. di mana: m = logaritma dari kelas panjang pada kematangannya yang pertama x = selisih logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang xk = logaritma nilai tengah panjang dimana ikan 100% matang gonad (Pi = 1) Pi = proporsi ikan matang gonad pada kelompok ke-i Untuk menentukan bahwa nilai b = 3 atau b 3, maka digunakan uji-t, dengan rumus (Walpole, 1993): Kebiasaan makan ikan beloso diketahui dengan cara menganalisis isi lambung dan dihitung memakai metode indeks preponderan (Natarajan & Jhingran, 1961), yaitu: thit = β −3 Sb ............................................................... (3 hipotesa : Ho : b = 3 pola pertumbuhan isometrik H1 : b 3 pola pertumbuhan allometrik Selanjutnya t hit yang didapat akan dibandingkan dengan ttabel pada selang kepercayaan 95%. Jika thit > ttabel, 364 Panjang ikan pertama kali matang gonad diperoleh dengan mengantilogkan nilai m. Ii = [(Vi*Oi)/ ∑(Vi*Oi)]*100%....................................... (6 di mana: Ii = indeks preponderan jenis makanan ke-i Vi = persentase volume makanan ke-i Oi = persentase kejadian makanan ke-i A. Damora, T. Ernawati / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 363-367 HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Panjang-Berat Hasil analisis hubungan antara panjang dan berat ikan beloso menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan beloso jantan mengikuti persamaan W=0,0076L3,0583 (N=99; r2=0,970). Persamaan hubungan panjang-berat ikan beloso betina mengikuti persamaan W=0,0083L3,0439 (N=102; r 2 =0,979) (Gambar 1). Jika ikan jantan dan betina digabungkan, maka persamaan hubungan panjangberatnya adalah W=0,0079L3,0539 (N=201; r2=0,974). Setelah dilakukan uji -t dengan tingkat kepercayaan 95% (á=0,05), Gambar 1. Hubungan panjang-berat ikan beloso (Saurida micropectoralis) jantan (a) dan betina (b) di perairan utara Jawa Tengah, 2009. Length-weight relationship of males (a) and females (b) of Lizardfish (Saurida micropectoralis) in north waters of Central Java, 2009. Figure 1. Nisbah Kelamin dan Tingkat Kematangan Gonad Pengukuran panjang cagak dan berat ikan beloso dilakukan terhadap 593 ekor ikan. Ukuran panjang cagak berkisar antara 11-29,5 cm, dengan berat berkisar antara 12,7-297,9 gram (Gambar 2). Frekuensi/Frequency (%) 45 n = 593 40 35 30 25 20 15 10 5 0 10.5 13.5 16.5 19.5 22.5 25.5 28.5 31.5 34.5 37.5 Panjang Cagak /Fork Length (cm) Gambar 2. Figure 2. didapatkan pola pertumbuhan ikan beloso jantan dan betina bersifat allometrik positif, yang berarti pertambahan berat ikan beloso lebih cepat dibandingkan pertambahan panjangnya. Sifat pertumbuhan seperti ini sama dengan hasil penelitian jenis ikan yang sama di perairan utara Jawa dengan nilai b sebesar 3,2 (Ernawati, 2008), namun berbeda dengan hasil penelitian di perairan Pemalang dan sekitarnya yang pertumbuhannya bersifat allometrik negatif (Karyaningsih et al., 1992). Hubungan antara panjang dengan berat dapat memberikan informasi tentang kondisi biota, dimana berat biota akan meningkat sehubungan dengan meningkatnya volume (Jennings et al., 2001). Distribusi frekuensi panjang cagak ikan beloso (Saurida micropectoralis) di perairan utara Jawa Tengah. Fork length frequency distribution of Lizardfish (Saurida micropectoralis) in north waters of Central Java. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa struktur ukuran panjang ikan beloso yang tertangkap cenderung menyebar normal dengan modus panjang sebesar 16,5 cm. Hal ini menunjukkan bahwa ikan beloso yang tertangkap didominasi oleh satu kohort dengan modus panjang 16,5 cmFL. Jumlah ikan betina yang diukur selama penelitian adalah 102 ekor dan ikan jantan sebanyak 99 ekor, sehingga nisbah kelamin ikan beloso adalah 1:0,97. Berdasarkan uji Chi-Kuadrat (Steel & Torrie, 1980), rasio kelamin ikan beloso jantan dan betina berada dalam kondisi tidak seimbang. Pengetahuan mengenai rasio kelamin berkaitan dengan upaya mempertahankan kelestarian populasi ikan yang diteliti, maka diharapkan perbandingan ikan jantan dan betina seimbang. Keseimbangan perbandingan jumlah individu jantan dan betina memungkinkan terjadinya pembuahan sel telur oleh spermatozoa hingga menjadi individu-individu baru semakin besar (Effendie, 2002). Secara umum kematangan gonad ikan beloso didominasi TKG I (74,13%), sedangkan TKG dengan persentase terkecil terdapat pada TKG IV (3,98%). Hal ini menunjukkan ikan yang tertangkap sebagian besar dalam 365 A. Damora, T. Ernawati / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 363-367 keadaan belum matang gonad. Komposisi kematangan gonad pada ikan beloso jantan menunjukkan persentase TKG I sebesar 73,74%, TKG II sebesar 22,22%, TKG III sebesar 4,04%, dan TKG IV data tidak diperoleh. Dengan demikian sebagian besar ikan beloso jantan berada pada stadia belum matang gonad. Komposisi kematangan gonad pada ikan beloso betina menunjukkan persentase TKG I sebesar 74,51%, TKG II sebesar 10,78%, TKG III sebesar 6,86%, dan TKG IV sebesar 7,84%. Sebagian besar ikan betina yang tertangkap dalam kondisi belum matang gonad. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu, sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi atau tidak. Dari pengetahuan kematangan gonad akan didapatkan juga keterangan tentang waktu ikan akan memijah, mulai memijah, atau sudah selesai memijah. dengan pertumbuhan ikan dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya (Effendie, 2002). Kondisi penangkapan yang baik untuk menunjang proses rekrutmen adalah ketika ukuran panjang individu yang ditangkap sama dengan ukuran panjang pertama kali matang gonad (Lm). Ukuran panjang tangkapan yang lebih rendah dibandingkan Lm akan mengakibatkan penurunan stok sumberdaya akibat terhambatnya proses rekrutmen (Henriques, 1999 dalam Pinheiro & Lins-Oliveira, 2006). Panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc) merupakan hal yang penting untuk dipelajari. Jika dihubungkan dengan panjang pertama kali matang gonad maka dapat diketahui status populasinya. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan panjang pertama kali ikan beloso tertangkap dengan cantrang sebesar 19,25 cm untuk ikan beloso jantan dan 20 cm untuk ikan beloso betina. Panjang pertama kali matang gonad (Lm) ikan beloso jantan yang sebesar 23,06 cm, sedangkan pada ikan beloso sebesar 18,23 cm. Dengan perkataan lain, panjang pertama kali ikan beloso tertangkap berada di bawah panjang pertama kali matang gonadnya (Lc < Lm). Panjang Pertama Kali Tertangkap dan Panjang Kebiasaan Makan Pertama Kali Matang Gonad Panjang pertama kali matang gonad merupakan parameter populasi yang dianggap sebagai indikator ketika individu telah mencapai tahap dewasa (Soares & Peret, 1998 dalam Pinheiro & Lins-Oliveira, 2006). Setiap spesies ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak sama ukurannya, demikian pula pada ikan-ikan yang sama spesiesnya. Jika ikan-ikan yang sama spesiesnya secara geografis menyebar pada lintang yang perbedaannya lebih dari lima derajat, maka akan terdapat perbedaan ukuran dan umur ketika mencapai kematangan gonad untuk pertama kalinya (Effendie, 2002). Selain itu, perbedaan ukuran tersebut juga terjadi akibat adanya perbedaan kondisi ekologis perairan. Ukuran ikan saat pertama kali matang gonad perlu diketahui karena ada hubungannya Gambar 3. Figure 3. 366 Pengamatan isi lambung ikan beloso pada bulan April 2009 menunjukkkan beloso secara berturut-turut (dua terbesar) adalah teri (Stolephorus spp.) (40% dari isi lambung), diikuti oleh cumi- cumi (Loligo spp.) (20%) dan sisanya merupakan campuran ikan yang jumlahnya tidak terlalu besar. Pada bulan Juni 2009, jenis makanan yang dikonsumsi terdirir dari poongan ikan petek (Leiognathus spp.) sebanyak 20%, cumi-cumi (Loligo spp.) sebanyak 13%, ikan beloso sebanyak 13%, dan sisanya merupakan potongan ikan yang jumlahnya tidak terlalu besar (Gambar 3). Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ikan beloso termasuk ikan yang bersifat karnivora. Menurut Dwiponggo (1977), ikan beloso dapat dikategorikan ikan buas yang makanannya berupa organisme dasar terutama ikan-ikan berukuran kecil. Komposisi makanan ikan beloso (Saurida micropectoralis) di perairan utara Jawa Tengah, April dan Juni 2009. Diet composition of Lizardfish (Saurida micropectoralis) in north waters of Central Java, April and June 2009. A. Damora, T. Ernawati / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 363-367 KESIMPULAN 1. Pertumbuhan ikan beloso bersifat allometrik positif, dimana pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjangnya. 2. Nisbah kelamin ikan beloso (Saurida micropectoralis) jantan dan betina di perairan utara Jawa Tengah adalah 1:0,97, dan berada dalam kondisi tidak seimbang. 3. Kematangan gonad ikan beloso jantan dan betina didominasi oleh TKG I. 4. Panjang pertama kali tertangkap (Lc) dengan alat tangkap cantrang berada lebih kecil dari panjang pertama kali matang gonadnya (Lm). 5. Ikan beloso bersifat karnivora, dimana makanan utamanya adalah potongan ikan dasar, diikuti oleh cumi-cumi dan teri. application. Food and Agriculture Organization. Roma. 135 pp. Imron, M. 2008. Pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal yang berkelanjutan di perairan Tegal Jawa Tengah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jennings S., M. Kaiser, & J. D. Reynolds. 2001. Marine Fisheries Ecology. Alden Press Ltd. Blackwell Publishing. United Kingdom. 417 pp. Karyaningsih, S., S. Marzuki, & Rusmadji. 1992. Beberapa aspek biologi, distribusi dan kepadatan stok ikan beloso (Saurida micropectoralis) di perairan Pemalang dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 75: 20-28. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset dinamika populasi dan lingkungan sumber daya ikan demersal dan udang penaeid di Laut Jawa (losari transect), T. A. 2009, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta. Lagler, K. F. 1972. Freshwater Fishery Biology. W.M.C. Brown Company Publisher. Dubuque, Iowa. 421 pp. Natarajan, A. V. & A. G. Jhingran. 1961. Index of preponderance- a method of grading the food elements in the stomach analysis of fishes. Indian J. Fish. 8 (1): 54-59. DAFTAR PUSTAKA Dwiponggo, A. 1977. Peta beberapa sumber perikanan demersal (dasar) di Laut Jawa dan Cina Selatan. Laporan Penelitiaan Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Departemen Pertanian. Jakarta. 35 pp.. Effendie, M.I. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 pp. Ernawati, T. 2008. Sebaran panjang, pertumbuhan dan kematangan ikan beloso (Saurida micropectoralis) di perairan utara Jawa. Prosiding Seminar Nasional Tahunan V Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 121-128. Henriques, V. M. C. 1999. Dinâmica da Reprodução da cioba, Lutjanus analis (Cuvier, 1828) (Osteichthyes: Lutjanidae), no município de Baía Formosa, Rio Grande do Norte. In Pinheiro, A. P. & J. E. Lins-Oliveira. 2006. Reproductive biology of Panulirus echinatus (Crustacea: Palinuridae) from São Pedro and São Paulo Archipelago, Brazil. Nauplius. 14(2): 89-97. Holden, M. J. & D. F. S. Raitt. 1974. Manual of Fisheries Science. Methods of resources investigation and their Pinheiro, A. P. & J. E. Lins-Oliveira. 2006. Reproductive biology of Panulirus echinatus (Crustacea: Palinuridae) from São Pedro and São Paulo Archipelago, Brazil. Nauplius. 14(2): 89-97. Saputra, S. W. 2005. Dinamika populasi udang jari (Metapenaeus elegans de Mann) dan pengelolaannya di Laguna Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soares, C. N. C. & A. C. Peret. 1998. Tamanho médio de primeira maturação da lagosta Panulirus laevicauda (Latreille), no litoral do Estado do Ceará, Brasil. In Pinheiro, A. P. & J. E. Lins-Oliveira. 2006. Reproductive biology of Panulirus echinatus (Crustacea: Palinuridae) from São Pedro and São Paulo Archipelago, Brazil. Nauplius. 14(2): 89-97. Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1981. Principles And Procedure of Statistic. Second Edition. Mic Graw Hill Book Company, Inc New York. 748 pp. Udupa, K.S. 1986. Statistical method of estimating the size of first maturing in fishes. Fishbyte. 4(2): 8-10. Walpole, R.E. 1993. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 pp. 367 BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376 PERIKANAN DAN ASPEK BIOLOGI IKAN PARI LAMPENGAN, Mobula japanica DI PERAIRAN SELATAN JAWA 1) Dharmadi1), Mas Tri Djoko Sunarno2), dan Isa Nagib Edrus3) Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Ancol-Jakarta 2) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor 3) Peneliti pada Balai Riset Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 30 Juli 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 4 April 2011; Disetujui terbit tanggal: 15 Agustus 2011 ABSTRAK Ikan pari merupakan salah satu jenis ikan yang banyak didaratkan berasal dari Selatan Jawa. Salah satu jenis ikan pari yang belum banyak dilakukan penelitian adalah ikan pari lampengan (Mobula japanica). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang perikanan dan aspek biologi jenis ikan tersebut di perairan Selatan Jawa sebagai informasi dasar bagi penentuan kebijakan pengelolaan perikanan Elasmobranchii. Penelitian menggunakan metode survei yang berlangsung dari Januari hingga Desember 2010 di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap-Jawa Tengah. Sejumlah 165 ikan pari yang tertangkap oleh jaring insang diamati tingkat kematangan seksual, tingkat kematangan gonad, jenis kelamin dan ukuran lebar cawannya. Wawancara dilakukan terhadap para nelayan dan nahkoda kapal yang menangkap ikan pari lampengen tersebut secara langsung dan atau oleh enumerator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tangkapan per satuan usaha (CPUE) ikan pari lampengan bervariasi, yakni tertinggi pada bulan Juli (22,6 kg/ hari) dan terendah pada bulan Oktober (6,6 kg/hari). Frekuensi lebar tubuh ikan pari lempengen terendah terdapat pada ukuran antara 100-140 cm dengan modus 120 cm yang termasuk kelompok muda, sedangkan ukuran antara 150200 cm dengan modus 170 cm, termasuk kelompok dewasa. Frekuensi lebar tubuh tertinggi terdapat pada ukuran antara 200-260 cm dengan modus 230 cm. Ikan pari lempengen sedikitnya terdiri atas 3 kelompok umur dengan modus sebaran lebar tubuh masing-masing 120, 170, dan 230 cm. Hubungan lebar tubuh (y) dan panjang klasper (x) mengikuti persamaan y=0,3784e0,0131x (r2=0,85), semakin bertambah lebar tubuh semakin bertambah panjang klaspernya. Perbandingan kelamin jantan dan betina adalah tidak seimbang (1,5:1). Sebagian besar kelompok umur ikan pari lampengan yang tertangkap tergolong usia muda, yang belum mencapai pertumbuhan optimum (growth over fishing). KATA KUNCI: perikanan, aspek biologi, ikan pari lampengan, Mobula japanica, Selatan Jawa, ABTRACT: Fisheries and biological aspects of Stingray, Mobula japanica caught from South of Java, By: Dharmadi, Mas Tri Djoko Sunarno, and Isa Nagib Edrus Stingray is one of the species of fish that many landed came from the South of Java. One of the species that have not many research is Japanese Devilray (Mobula japanica). The purpose of this study was to determine fisheries and biological aspects of Japanese Devilray, Mobula japanica in Indian Ocean as basic information for managing the elasmobranches fisheries. This study was conducted from January to December 2010 in the Ocean Fishing Port of Cilacap, Central Java. A total number of 165 individu of M. japanica caught by seine net and tuna longline were observed during the sampling periods. Body wide, sex, and gonad maturation of those fishes were analyzed. Interviews were also done to the fisherman and fishing master. The results showed that the body width of stingrays, M. japanica had the lowest frequency between 100-140 cm with mode of 120 cm,and grouped as young fish. Other groups has body width between 150-200 cm with mode 170 cm, and grouped as adult fishes. While the frequency of the highest body width was between 200-260 cm and 230 cm mode. At least, there were 3 cohorts of M. japanica found in this study with the body width mode of 120, 170 and 230 cm. Exponential relationship between body width (y) and claspers’ length (x) was observed for M. japanica, that expressed by equation: y=0.3784e 0.0131x (r2=0.85), that mean the more width fish body, the more increase claspers’ length. Unbalance sex ratio of 1.5:1 was observed for this fish. CPUE for M. japanica were varied between 6,6 kg/day during October and 22,6 kg/day 0n July. Most of fish caught were young fishes under their maturity stages that indicated a tendency of growth over fishing. KEYWORDS : fisheries, biological aspects, Mobula japanica, South of Java ___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta-Utara 14430 369 Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376 PENDAHULUAN Ikan pari (Elasmobranchii) merupakan salah satu komoditas penting perikanan di Indonesia. Proporsi kelompok ikan pari dari seluruh ikan bertulang rawan yang didaratkan meningkat secara tajam dari 32% pada tahun 1981 menjadi 51% pada tahun 2003 (Anonim, 2003). Meskipun terjadi peningkatan hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan elasmobranchii, namun hasil tangkapan per upaya (CPUE) dan kelimpahannya diduga mengalami penurunan. Di seluruh perairan di dunia dan sebagian di Asia Tenggara termasuk Indonesia, kelompok ikan bertulang rawan, baik yang tertangkap sebagai target utama maupun tangkapan sampingan, mengalami ekploitasi relatif tinggi (White & Dharmadi, 2007). Komposisi hasil tangkapan ikan termasuk famili Mobulidae dari perairan Samudera Hindia didominasi oleh M. japanica (50%), kemudian diikuti oleh M. tarapacana (24%), Manta birostris (14%), M. thurstoni (9%) dan M. cf kuhlii (2%) (White et al., 2006a). Produksi ikan pari famili Mobulidae (Mobula sp.; Manta sp.) pada tahun 2005 adalah 200 ton dan meningkat 2.768 ton pada tahun 2006 (DGCF, 2007 & 2008). Akan tetapi produksi ikan pari seperti M. japanica yang tertangkap di perairan Samudera Hindia dan didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap cenderung menurun, yaitu dari 84,4 ton pada tahun 2007 menjadi 74,6 ton pada tahun 2008 atau menurun 10,4% (Anonim, 2009). Menurunnya hasil tangkapan M. japanica dari perairan Samudera Hindia menunjukkan gejala penurunan populasinya karena diduga lebih tangkap. Menurut Stevens et al., (2000), beberapa jenis ikan pari membutuhkan waktu beberapa dekade untuk memulihkan populasinya ke kondisi semula (recovery) setelah mereka dieksploitasi. Di perairan Indonesia, aktivitas penangkapan ikan elasmobranchii masih berlangsung terus tanpa mempertimbangan kelestarian sumber dayanya, bahkan ikan pari jenis Mobula sp. dijadikan sebagai hasil tangkapan utama bagi nelayan karena memiliki nilai ekonomis tinggi terutama insangnya untuk diekspor ke Jepang . Di perairan Samudera Hindia dan beberapa perairan lainnya, pari lampengan (M. japanica) sering tertangkap dengan menggunakan jaring insang tuna (Last & Steven, 1994). Selain M. Japanica, beberapa jenis pari lainnya yang ikut tertangkap oleh jaring insang tuna adalah M. tarapacana, M. thursoni, M. cf khulii dan Manta birostris. M. japanica hidup pada kedalaman perairan 0-837 m (zipcodezoo.com/Animals/M/Mobula_japanica/-Cached. 25Juni2010). Spesies ini berkembang biak secara vivipar, yaitu embrio berkembang dalam uterus dan hanya melahirkan satu ekor anak dengan masa dalam kandungan belum diketahui (Paulina et al., 2010). 370 Status konservasi yang dikeluarkan oleh IUCN menunjukkan bahwa spesies ini hampir terancam punah, dan merupakan salah satu dari lima spesies cucut dan pari yang memiliki status konservasi sama (Dulvy et al., 2008). Karakteristik biologinya seperti berumur panjang, periode reproduksi relatif lama, pertumbuhan dan kematangan seksual lambat dan fekunditas rendah, mengakibatkan jenis ikan ini lebih rentan terhadap eksploitasi lebih (over exploitation) di habitatnya (Cavanagh et al., 2003). Data dan informasi yang terkait dengan indeks kelimpahan dan aspek biologinya sampai saat ini belum tersedia, sehingga perlu dilakukan penelitian. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kondisi perikanan (hasil tangkapan per upaya, daerah penangkapan, alat tangkap yang digunakan) dan aspek biologi (frekuensi lebar tubuh, rasio kelamin, tingkat kematangan kelamin dan gonad) dari ikan pari lampengan (Mobula japanica). Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi dasar dalam penentuan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber dayanya. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga Desember 2010 di Pelabuhan Perikanan Samudera CilacapJawa Tengah. Pengumpulan data menggunakan metode survei dan wawancara dengan para nelayan dan nahkoda kapal jaring insang permukaan dan rawai tuna permukaan yang melakukan penangkapan ikan pari lampengan (Mobula japanica) dari perairan Samudera Hindia, baik secara langsung dan atau melalui enumerator yang ditunjuk. Data dan informasi perikanan yang dihimpun meliputi hasil tangkapan harian, jumlah trip, tipe alat tangkap, dan daerah penangkapan, sedangkan data biologi mencakup ukuran lebar tubuh, rasio kelamin, tingkat kematangan kelamin, dan tingkat kematangan gonad. Jumlah sampel ikan pari lampengan untuk pengukuran aspek biologi adalah 165 ekor. Hasil tangkapan per upaya penangkapan (CPUE) adalah pembagian antara produksi hasil tangkapan dengan upaya penangkapan yang beroperasi dari suatu perairan berdasarkan perhitungan sebagai berikut (Anonim, 2008) : Hasil Tangkapan per Upaya Penangkapa n = Hasil Tangkapan (Kg) Upaya (Trip) Selanjutnya, untuk mengetahui apakah ada atau tidak ada perbedaan hasil tangkapan per upaya (CPUE), dilakukan pengujian dengan menggunakan metoda statistik menurut Walpole (1995). Aspek biologi yang diamati adalah tingkat kematangan seksual mengacu pada Martin & Cailliet (1988) seperti pada Tabel 1. Pengukuran alat kelamin jantan dilakukan mulai dari pangkal hingga ujung klasper dengan menggunakan alat pengukur meteran dengan satuan milimeter. Tingkat kematangan kelamin jantan diketahui berdasarkan kondisi klasper, yaitu klasper Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376 dalam keadaan lembek, belum terjadi pengapuran (non calcified), klasper sebagian berisi zat kapur (non full calcified), agak mengeras, dan klasper penuh zat kapur, keras dan kaku (full calcified). Tingkat kematangan gonad betina dilakukan pengamatan secara in situ, yaitu dengan Tabel 1. Table 1. pembedahan bagian perut (abdomen). Aspek perikanan yang diamati adalah tipe alat tangkap, ukuran jaring (panjang,dalam, mata jaring), teknik penangkapan, dan daerah penangkapan. Tingkat kematangan kelamin pada ikan bertulang rawan (Martin & Cailliet dalam White et al.,2001) Sex maturity stage of elasmobranch (Martin & Cailliet dalam White et al., 2001) Tingkat kematangan / Maturity stage Betina Belum matang Berkembang, anak dara Matang, belum bunting Matang, bunting Matang, pulih salin Jantan Belum matang Sedang berkembang Matang, belum bereproduksi Matang Perkembangan secara mikroskopis / Microscopic development Ovari kecil, kedua uteri berukuran sama, tipis dan lunak Ovari bagian kiri berisi kantong telur berukuran kecil, uterus bagian kiri mulai membesar tetapi masih tipis dan lunak. Ovari bagian kiri berisi telur berdiameter > 2 mm, masih lunak dan tipis. Uterus bagian kiri banyak mengandung trophonemata Ovari bagian kiri berdiameter >2 mm. Terjadi pembuahan telur atau embrio pada uterus bagian kiri. Trophonemata membesar dan berwarna gelap Ovari bagian kiri berdiameter >2 mm. Uterus bagian kiri membesar tetapi masih lunak, terlihat baru melahirkan anak. Trophonemata berwarna gelap Testis belum berkembang, klasper berukuran kecil dan belum terjadi pengapuran. Testis membesar tapi tanpa lubang-lubang di permukaannya, vas deferens (saluran sperma) membulat. Klasper membesar, mulai terjadi pengapuran dan kaku. Lubang-lubang pada testis membengkak disebabkan memproduksi sperma. Saluran sperma membulat kencang. Klasper sangat berkembang dan kaku disebabkan oleh zat kapur. Seminal vesikel penuh spermatozoa yang sudah matang. Lubanglubang permukaan testis dan klasper membesar dan kaku. HASIL DAN PEMBAHASAN Alat Tangkap dan Daerah Penangkapan Daerah penangkapan pari lampengan (M. japanica) dengan menggunakan alat tangkap jaring insang tuna hanyut di perairan Selatan Jawa disajikan pada Gambar 1 dan Tabel 2. Jaring insang hanyut (drift gillnet) merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap tuna sebagai target tangkapan utama, selain itu sering juga tertangkap jenis ikan pelagis besar lainnya seperti cucut dan pari sebagai hasil tangkapan sampingan. Spesifikasi umum jaring insang hanyut yang dimaksud adalah sebagai berikut: badan jaring dari bahan nilon multifilamen ukuran benang D9-D21 dengan ukuran mata jaring 114,3-139,7 mm (5 inci). Jumlah mata jaring ke bawah 210 mata. Koefisien pengikatan (hanging ratio) 0,55. Panjang satu pis jaring berkisar 45 m. Tiap kapal biasanya mengoperasikan 60-80 pis jaring. Ukuran kapal yang digunakan antara 15-30 GT dengan tenaga penggerak motor dalam (inboard motor) bertukuran 60-100 HP. Trip penangkapan berlangsung antara 15-20 hari. Pengoperasian dilakukan dengan cara menghadang arah gerak ruaya ikan sehingga ikan yang berenang melewatinya akan menabrak dan terjerat atau terpuntal. Tiga cara ikan tertangkap gillnet, yaitu terjerat sekitar insang, bagian tubuh terjepit mata jaring dan terbelit sehingga tidak dapat menerobos jaring (Baranov dalam Sparre & Venema, 1992). Elasmobranchii yang tertangkap jaring insang hanyut umumnya secara terbelit. 371 Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376 Laut Jawa Cilacap Lokasi pendaratan ikan Perkiraan daerah penangkapan Gambar 1. Figure 1. Tabel 2. Table 2. Samudera Hindia Hindia Daerah penangkapan jaring insang hanyut tuna Map of fishing area of tuna drift gillnet Daerah penangkapan jaring insang tuna di perairan Selatan Jawa Fishing area of tuna drift gillnet in Southern of Java waters Posisi geografi / Geographical position Lintang Selatan / Latitute Bujur Timur / Longitute (o) (o) 8,5 109 9,2-9,7 110 8-8.3 110 8-8,5 108 Hasil Tangkapan per Upaya Penangkapan Populasi sediaan sumberdaya atau kelimpahan ikan di suatu perairan dapat diukur dengan menghitung hasil tangkapan per unit upaya-CPUE (Conover, 1980 dalam Lucifora et al., 2002). Kecenderungan naik turunnya CPUE dan frekuensi ukuran ikan dapat menunjukkan kondisi stok terhadap tingkat kematian akibat penangkapan (Holts et al., 1998). Martosubroto (2011) menyatakan bahwa CPUE menggambarkan kondisi eksploitasi sumberdaya perikanan yang sesungguhnya. Penelitian ini menggunakan data tangkapan dari kapal-kapal ikan yang 372 Daerah penangkapan / Fishing areas Perairan sekitar selatan Gombong Perairan sekitar selatan Yogyakarta Perairan sekitar selatan Yogyakarta Perairan sekitar selatan Pangandaran menggunakan alat tangkap jaring insang tuna yang beroperasi di perairan Selatan Jawa pada posisi geografi antara 8 – 10o lintang selatan sampai dengan 108-110o bujur timur. CPUE ikan pari lampengan (M. japanica) bulanan dari hasil tangkapan jaring insang tuna permukaan disajikan pada Gambar 2. Pada bulan Januari, Nopember dan Desember tidak ada nelayan yang menangkap Mobula japanica, karena kondisi cuaca di laut (angin kencang, ombak besar) sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan penangkapan. Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376 n = 165 45 CPUE (kg/trip) Number of trip 35 30 25 20 10,9 15 11,9 7,1 10 1,6 5 6,6 3,1 5,3 0 Feb March April May June July Gambar 2. Figure 2. Aug Sept Oct cm (modus 120 cm) untuk kelompok muda, dan antara 150200 cm (modus 170 cm) untuk kelompok dewasa. Frekuensi lebar tubuh tertinggi dijumpai pada ukuran antara 200-260 cm dengan modus 230 cm (Gambar 3). Dari Gambar tersebut nampak bahwa dari jumlah sampel ikan pari lampengan yang tertangkap di perairan Selatan Jawa terdiri dari atas 3 kelompok umur dengan modus sebaran lebar tubuh masing-masing 120, 170, dan 230 cm. Ikan pari jantan dan betina ternyata memiliki pola penyebaran lebar tubuh yang hampir sama. CPUE bulanan ikan pari lampengan, M. japanica, pada tahun 2010 Monthly CPUE of M. japanica, in year 2010 Pada Gambar tersebut menunjukkan bahwa CPUE bulanan pari lampengan dari bulan Maret sampai Juli memberikan indikasi yang berfluktuasi, namun secara umum cenderung meningkat seiring dengan peningkatan jumlah armada kapal penangkap yang dioperasikan. Pada bulan Juli nilai CPUE relatif tinggi (22,6 kg/trip), tetapi sebaliknya terjadi penurunan jumlah armada penangkapan yang dioperasikan. Sementara pada bulan Agustus jumlah armada penangkap ikan meningkat, akan tetapi CPUE mengalami penurunan. Penurunan CPUE terendah terjadi pada bulan Oktober (6,6 kg/hari). Fluktuasi nilai CPUE ikan pari lampengan yang tertangkap di perairan Selatan Jawa tidak dipengaruhi oleh jumlah armada penangkap ikan, tetapi diduga disebabkan oleh kondisi stok sumberdaya ikan pari di perairan tersebut. Indikasi terjadinya penurunan populasi stok sumberdaya ikan di suatu perairan dapat ditandai dengan ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil, terjadi perubahan komposisi hasil tangkapan, semakin berkurangnya hasil tangkapan, dan menurunnya CPUE. Menurut Rosenberg et al. dalam Farias & Geniz, (1998) penurunan CPUE juga dapat ditunjukkan oleh terjadinya pergeseran daerah penangkapan, dan kondisi demikian merupakan salah satu indikator perikanan (Anonim, 2010). Frekuensi lebar tubuh Frekuensi lebar tubuh dapat digunakan sebagai parameter untuk mengetahui pertumbuhan dari suatu spesies ikan (Sparre & Venema, 1992). Hasil pengamatan ukuran lebar tubuh pari lampengan di tempat pendaratan ikan Cilacap selama tahun 2010 menunjukkan bahwa pari lampengan baik jantan maupun betina dengan frekuensi lebar tubuh terendah tercatat pada ukuran antara 100-140 Gambar 3. Frekuensi lebar tubuh ikan pari, M. japanica (J=jantan, B=betina) Body width frequency of M. japanica (J=male, B=female) Figure 3. Hubungan lebar tubuh dengan panjang klasper 14 J = 98 Grogan & Lund et al., (2004) menyatakan 12 dalam Carrier B = 72 bahwa terjadinya10perkembangan klasper dimungkinkan karena koordinasi perkembangan otot-otot yang 8 diperlukan untuk memompa sperma dan menggerakkan 6 klasper. Hubungan antara panjang klasper dan ukuran 4 tubuh biasanya digunakan untuk ikan jantan dari ikan2 ikan bertulang rawan (elasmobranchii) mencapai 0 kematangan kelamin (Stevens & McLoughlin, 1991). 100-120 121-140 141-160 161-180 181-200 201-220 221-240 241-260 Meskipun kedua bagian klasper kiri dan kanan berfungsi Lebar tubuh (cm) dalam proses reproduksi, tetapi hanya satu klasper yang ` dimasukkan ke dalam kloaka betina selama kopulasi atau proses perkawinan. Hubungan antara lebar tubuh (x) dan panjang klasper (y) pari lampengan diperoleh persamaan y=0,3784e0,0131x (R2=0,85) (Gambar 4). Berdasarkan uji t diperoleh nilai b tidak berbeda dengan nilai 3, sehingga hubungan tersebut bersifat isometrik yang berarti dengan bertambahnya lebar tubuh ikan pari lampengan, maka akan terjadi pertambahan panjang klasper. Artinya bahwa jika lebar tubuh (x) bertambah 10 cm, maka melalui persamaan ( y= 0,3784 x exp. (0,0131 x 10) = 0,431), panjang klasper akan bertambah 0,431 cm. Frekuensi (ekor) CPUE (kg/trip) 40 373 Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376 Clasper length (cm) 12 n = 65 y = 0.3784e0.0131x R² = 0.8522 10 Clasfer length 7 -- 9 (cm) 8 6 III 20 5 -- 6 (cm) II 19 4 1 -- 4 (cm) 2 I 36 n = 83 0 0 50 100 150 200 250 5 300 10 15 20 25 30 35 40 Frequency Body width (cm) Gambar 4. Figure 4. Hubungan lebar tubuh dan panjang klasper pari lampengan, M. japanica Relationship between body width and claspers length of M. japanica Gambar 5. Figure 5. Hubungan tingkat kematangan kelamin jantan dengan panjang klasper Relationship between sex maturity stage (male) and claspers length Rasio kelamin Tingkat kematangan gonad Salah satu faktor keberhasilan perkembangbiakan spesies ikan di suatu perairan dalam mempertahankan populasinya ditentukan oleh perbandingan jenis kelamin atau rasio kelamin. Rasio kelamin juga merupakan aspek yang sangat penting bagi kemampuan individu dalam proses rekruitmen suatu populasi spesies. Selain itu keseimbangan populasi suatu spesies dipengaruhi oleh perbandingan jumlah jantan dan betina. Hasil pengamatan sejumlah 165 ekor pari lampengan selama bulan Februari sampai Oktober 2010 menunjukkan bahwa jumlah jantan dan betina masing-masing adalah 100 dan 65 ekor dengan rasio (1,5:1). Berdasarkan uji X2 perbandingan jenis kelamin tersebut berbeda nyata (p<0,05), yang berarti rasio kelamin jantan dan betina ikan pari lampengan berada dalam kurang seimbang. Kondisi ini diduga akan mengganggu keseimbangan populasi, mengingat faktor keberhasilan spesies ikan di suatu perairan dalam mempertahankan populasi adalah perbandingan jantan dan betina harus dalam keadaan seimbang. Hubungan antara lebar tubuh dan tingkat kematangan gonad (TKG) dapat dilihat pada Gambar 6. Pengamatan perkembangan kematangan gonad ikan pari lampengan pada tahun 2010 dijumpai TKG I, II dan III. TKG I ditandai oleh ovari kecil, serta kedua uteri berukuran sama, tipis dan lunak serta terdapat pada ukuran lebar tubuh 110-150 cm. TKG II (kondisi gonad berkembang) ditunjukkan oleh perkembangan ovari bagian kiri yang berisi kantong telur berukuran kecil, uterus bagian kiri mulai membesar tetapi masih tipis dan lunak dan biasanya terdapat pada ukuran lebar tubuh 151-200 cm. Untuk TKG III (kondisi gonad sudah matang tetapi belum berkembang) terdapat pada ukuran lebar tubuh antara 201-250 cm yang ditandai oleh ovari bagian kiri berdiameter lebih dari 2 mm, namun dalam kondisi masih lunak dan tipis, uterus bagian kiri terlihat banyak mengandung trophonema. Ada sepasang ovari pada ikan elasmobranchii, bagian kiri dan kanan, tetapi yang berfungsi hanya satu yaitu di bagian kanan (Wourms, 1977; Castro, 1996; Hazin et al., 2001). Tingkat kematangan kelamin jantan n = 100 Hubungan antara tingkat kematangan kelamin dengan panjang klasper disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan data hasil tangkapan harian ikan pari lampengan diketahui bahwa tingkat kematangan kelamin jantan pertama terdapat pada kisaran ukuran panjang klasper 1-4 cm. Tingkat kematangan kelamin kedua terdapat pada kisaran panjang klasper 5-6 cm (25%). Sedangkan tingkat kematangan kelamin jantan ketiga terdapat pada kisaran ukuran panjang klasper 7-9 cm (27%). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa sebagian besar pari lampengan yang tertangkap di perairan Selatan Jawa dengan alat tangkap jaring insang tuna hanyut termasuk kelompok pari muda sekitar 48%. 374 Frequency (ind.) 50 40 30 20 10 0 Gambar 6. Figure 6. 110-150 (cm) 151-200 (cm) 201-250 (cm) Stage I Stage II Stage III Tingkat kematangan gonad berdasarkan lebar tubuh pari lampengan, M. japanica Gonad maturity stage based on body width of M. japanica Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376 Gambar 6 menunjukkan bahwa sebagian besar (45 %) kelompok pari lampengan yang tertangkap di perairan Selatan Jawa ditemukan pada TKG I. Kondisi demikian memberikan gambaran bahwa kelompok ikan pari lampengan muda yang banyak tertangkap dapat menyebabkan terjadinya growth over fishing, karena kelompok ikan pari muda belum mencapai pertumbuhan optimum (Picther & Hart, 1982), dan menyebabkan kemungkinan terjadi pengurangan kelompok ikan dewasa. Akibat selanjutnya dapat terjadi recruitment over fishing, yaitu terjadinya pengurangan ketersediaan kelompok ikan dalam kondisi matang karena penambahan individu yang dihasilkan tidak cukup untuk mempertahankan populasi. Sparre & Venema (1992) menyatakan bahwa proses rekruitmen suatu spesies kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu daerah penangkapan, alat tangkap yang digunakan, dan ukuran yang tertangkap. Proses rekruitmen dapat juga dipengaruhi oleh faktor kualitas lingkungan perairan, densitas induk yang tersedia, dan ada tidak pemangsa atau predator (Dharmadi & Fahmi, 2007). KESIMPULAN 1. Daerah penangkapan ikan pari lampengan meliputi wilayah perairan sekitar Gombong, Yogyakarta, dan Pangandaran. 2. Nilai CPUE tertinggi ikan pari ini tercatat pada bulan Juli (22,6 kg/trip) dan terendah pada bulan Oktober (6,6 kg/trip). 3. Terdapat tiga kelompok umur berdasarkan distribusi frekuensi lebar tubuh. Rasio kelamin jantan dan betina tidak seimbang (1,5:1). 4. Tingkat kematangan kelamin jantan I dengan panjang klasper berukuran panjang 1-4 cm lebih banyak tertangkap (48 %). 5. Tingkat kematangan gonad sebagian besar ikan betina ditemukan pada tingkat I atau belum matang dicirikan oleh ovari kecil, kedua uteri sebelah kiri dan kanan berukuran sama, tipis dan lunak. 6. Sebagian besar ikan pari lampengan yang tertangkap di perairan Selatan Jawa merupakan kelompok ikan pari muda. PERSANTUNAN Penelitian ini didanai dari APBN tahun anggaran 2010 melalui program intensif penelitian dan perekayaan di Dewan Riset Nasional-Kementerian Riset dan Teknologi. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Statistics of Marine Capture Fisheries Production by Fishery Managed Areas. Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 134 pp. Anonim. 2008. Cara Perhitungan Produktivitas Kapal Perikanan. harerablog.blogspot.com/6 Juni 2011. Anonim. 2009. Laporan Tahunan. Produksi hasil tangkapan di perairan Samudera Hindia. Pelabuhan Perikanan Samudera. Cilacap (Intern report). Anonim. 2010. Potensi Produksi Sumberdaya Ikan di WPP 571, 711, 712, dan 718. Buku Laporan. PRPT-BRKPKKP. 34 hal. Carrier, J.C., J.A. Musick & M.R. Herthaus. 2004. Biology of Sharks and Their Relatives. Texbook. CRC Press. Washington D.C. 596 p. Castro, J.I. 1996. Biology of the blacktip shark, Carcharhinus limbatus, off the southeastern United States. Bulletin of Marine Science 59: 508–522. Cavanagh, R. D., Kyne, P. M., Fowler, S. L., Musick, J. A., and Bennetf M. B. (Eds). (2003). The consentalion status of Australasian chondrichthyans: Report of the Shark Specialist Group Australia and Oceania regional Red List workshop, Queensland, Australia. Brisbane: The University of Queensland,School of Biomedical Sciences. Dharmadi & Fahmi. 2007. Distribusi frekuensi panjang, hubungan panjang tubuh, panjang klasper, dan nisbah kelamin cucut lanjaman (Carcharhinus falciformis). Jurnal Penelitian Perianan Indonesia, 13 (2): 243249. Directorate General Capture Fisheries (DGCF), 2007. Capture Fisheries Statistics of Indonesia, 2005. Ministry of Marine Affairs and Fisheries. Vol.6, No. 1. 134 pp. Directorate General Capture Fisheries (DGCF), 2008. Capture Fisheries Statistics of Indonesia, 2006. Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 7 (1). 134 pp. Dulvy, N.K., J.K. Baum, S. Clarke, L.J.V. Compagno, E. Cortés, A. Domingo, S. Fordham, S. Fowler, M.P. Francis, C. Gibson, J. Martínez, J.A. Musick, A. Soldo, J.D. Stevens, & S. Valenti. 2008. Global status of oceanic pelagic sharks and rays. A summary of new scie ntific analysis. Research Series. Lenfest Ocean Program: Protecting Ocean Life through Marine Science. Washington. 6pp. 375 Dharmadi, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 369-376 Farias J.F.M. & J.L.C. Geniz. 1998. Fishery biology and demography of the Atlantic sharpnose shark, Rhizoprionodon terraenovae, in the southern Gulf of Mexico. Elsevier. Fisheries Research. 39:183-198. Sparre, P. & S.C. Venema. 1992. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. Part I – Manual. FAO Fisheries Technical Paper. 306/1. Rev.1. Danida FAO, Rome, Italy. 376pp. Hazin, F., Fischer, A. & M. Broadhurst. 2001. Aspects of the biology of the scalloped hammerhead shark, Sphryrna lewini, off northeastern Brazil. Environmental Biology of Fishes. 61: 151–159. Stevens, J.D. & K.J. McLoughlin. 1991. Distribution, size and sex composition, reproductive biology and diet of sharks from northern Australia. Australian Journal of Marine and Freshwater Research. 42: 151–199. Holts D.B; A. Juliana; O.S.Nishizaki & N.W. Bartoo. 1998. Pelagic shark Fisheries along the west coast of the United States and Baja California, Mexico. Fisheries Research. 39: 115-125. Stevens, J.D., R. Bonfil, N.K. Dulvy, & P.A. Walker. 2000. The effects of fishing on sharks, rays, and chimaeras (chondrichthyans), and the implications for marine ecosystems. ICES Journal of Marine Science. 57: 476– 494. Last, P.P. & J.D. Steven. 1994. Sharks and Rays of Australia. CSIRO Publishing. Melbourne. 513pp. Lucifora L.O., R.C. Menni, & A.H. Escalante. 2002. Reproductive ecology and abundance of the sand tiger shark, Carcharias taurus, from the South-Western Atlantic. ICES Journal of Marine Science. 59: 553–561. Martin L.K., & Cailliet G.M. 1988. Aspects of the reproduction of the bat ray, Myliobatis californica, in central Califormia. Copeia. 1988:754-762. Martosubroto, P. 2011. Laporan Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan. Puslit P2KSI-Balitbang KP. 93 pp. Paulina, C.D., G. Habibb, C.L. Careyb, P.M. Swansonb, & G.J. Vossb. 2010. New records of Mobula japanica and Masturus lanceolatus, and further records of Luvaris imperialis (Pisces: Mobulidae, Molidae, Louvaridae) from New Zealand. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research. A National Museum of New Zealand, Wellington, New Zealand b Fisheries Research Division, Ministry of Agriculture and Fisheries, Wellington, New Zealand. 17pp. 376 Walpole, R.E., 1995. Pengantar Statistik. Edisi ke-3. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 515 pp. White, W.T., M.E. Platell, & I.C. Potter. 2001. Relationship between reproduction biology and age composition and growth in Urolophus lobatus (Batoidea : Urolophidae). Marine Biology.138: 135-147. White, W.T., J. Giles, Dharmadi & I.C. Potter. 2006a. Data on the bycatch fishery and reproductive biology of mobulid rays (Myliobatiformes) in Indonesia. Fisheries Research 82. 65–73. White . W.T. & Dharmadi. 2007. Species and size compositions and reproductive biology of rays (Chondrichthyes, Batoidea) caught in target and nontarget fisheries in eastern Indonesia. The Fisheries Society of the British Isles. Journal of Fish Biology. 70: 1809–1837. Wourms, J.P. 1977. Reproduction and development in chondrichthyan fishes. American Zoologist. 17: 379– 410. BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385 KOMPOSISI JENIS DAN DISTRIBUSI UKURAN IKAN PELAGIS BESAR HASIL TANGKAPAN PANCING ULUR DI SENDANG BIRU, JAWA TIMUR Ria Faizah dan Aisyah Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 30 Juli 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 1 September 2010; Disetujui terbit tanggal: 29 Juli 2011 ABSTRAK Sendang Biru merupakan salah satu tempat pendaratan ikan pelagis besar di Jawa Timur. Penelitian tentang komposisi jenis dan ukuran ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing ulur yang didaratkan di PPI Pondok Dadap, Sendang Biru, Jawa Timur, dilakukan pada bulan April dan Oktober 2010. Hasil penelitian menunjukkan hasil tangkapan pancing ulur didominasi oleh jenis tuna (Thunnus albacares dan Thunnus obesus) 45 %, cakalang (Katsuwonus pelamis) sebesar 38 %, dan lainnya (marlin, lemadang, lauro) sebesar 1,7 %. Ikan tuna yang didaratkan terdiri dari jenis yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan bigeye tuna (T. obesus) dengan ukuran panjang cagak masing –masing berkisar antara 40 - 170 cm FL dan 40 - 140 cm FL. Berat individu masing-masing berkisar antara 0.1 - 71 kg dan 0.5 - 43 kg. KATA KUNCI : komposisi jenis, ukuran, pelagis besar, pancing ulur, Sendang Biru, Tuna. ABSTRACT: Species composition and size distribution of pelagic fish caught by handline landed at Sendang Biru, East Java. By :Ria Faizah and Aisyah Sendang Biru is one of big pelagic’s landing site in East Java. Tuna on this research are caught by handline that landing in PPI Pondok Dadap, Sendang Biru, East Java. Research on the species composition and size distribution of big pelagic fish caught by handline were carried out during April and October 2010 at Sendang Biru, East Java. The result showed that Thunnus sp. are the most landed (45 %) followed by Katsuwonus pelamis (38 %) and others (Xiphias gladius, Coriphaena sp., Elagatis bipinnulatus) of 1.7 %. The dominant fork length of Thunnus albacares and Thunnus obesus ranged from about 40 - 170 cm and 40 – 140 cm. Individual weight ranged between 0.1 - 71 kg and 0.5 - 43 kg respectivelly. KEYWORDS : species composition, size distribution, pelagic fish, Sendang Biru PENDAHULUAN Sendang Biru merupakan salah satu tempat pendaratan ikan pelagis besar khususnya tuna hasil tangkapan nelayan skala kecil di Jawa Timur. Pada saat ini sudah tersedia pangkalan pendaratan ikan (PPI) dengan sarana yang memadai dan dikelola oleh Badan Pengelola Pangkalan Pendaratan Ikan (BPPPI). Aktivitas penjualan ikan sudah dilakukan melalui sistem lelang. Hasil tangkapan terutama dari jenis tuna yang sudah dilelang akan langsung dibawa menuju perusahaan pemindangan yang terletak tidak jauh dari lokasi PPI. Ikan yang didaratkan sebagian besar berasal dari daerah penangkapan di sekitar pantai sebelah selatan Kabupaten Malang dan perairan lepas pantai perairan Samudera Hindia selatan Jawa Timur (Nurdin &Nugraha, 2007). Jenis ikan yang didaratkan di PPI meliputi kelompok ikan pelagis kecil, pelagis besar, ikan karang dan kelompok ikan demersal lainnya. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Sendang Biru terdiri atas pancing (pancing ulur, rawai dan tonda), payang, gill net serta purse seine. Pancing tonda ___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur Jakarta-Utara 14430 merupakan jenis alat tangkap dominan dan umumnya menggunakan perahu motor tempel dan perahu berukuran antara 5-10 GT. Jenis armada didominasi oleh yang berukuran antara 5 – 30 GT dan perahu motor tempel. Penangkapan dengan alat tangkap pancing terutama dengan pancing ulur dilakukan di beberapa perairan di Indonesia seperti di perairan Maumere, Tomini, dan Sendang Biru. Penangkapan dengan alat ini dilakukan dengan menggunakan alat bantu rumpon. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan ukuran ikan pelagis besar khususnya ikan tuna hasil tangkapan pancing ulur yang didaratkan di PPI Pondok Dadap, Sendangbiru. Selain itu dibahas pula secara ringkas tentang hubungan panjang-berat, faktor kondisi dan nisbah kelamin ikan yang dominan tertangkap pancing ulur. Data dan informasi tersebut merupakan bahan dasar untuk menganalisis status sumberdaya ikan di wilayah Selatan Jawa khususnya, Wilayah Pengelolaan Perikanan Samudra Hindia Selatan Jawa hingga Nusa Tenggara pada umumnya. 377 R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385 BAHAN DAN METODE Faktor Kondisi Lokasi dan Waktu Faktor Kondisi ikan dinyatakan dalam angka yang dihitung sesuai dengan rumus yang dikemukakan Goddard (1996), yaitu : Penelitian ini dilakukan pada bulan April dan Oktober 2010 di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pondok Dadap, Sendang Biru, Jawa Timur. Pengambilan Contoh Ikan Contoh ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) dan madidihang (Thunnus albacares) hasil tangkapan pancing ulur pada bulan April dan Oktober 2010. Pengamatan biologi meliputi panjang cagak (fork length/FL), berat tubuh, nisbah kelamin dan faktor kondisi. Jumlah contoh ikan tuna mata besar yang diamati sebanyak 166 ekor dan madidihang sebanyak 337 ekor. Contoh ikan madidihang yang tertangkap pada bulan April 2010 tidak disajikan karena jumlahnya sangat sedikit. Pengamatan komposisi hasil tangkapan dilakukan dengan menimbang berat total dari masing-masing jenis ikan yang didaratkan oleh beberapa armada pancing ulur. Kt = 102 W/L3 ...................................................... (3 dimana : Kt = faktor kondisi W = bobot rata-rata (kg) L = panjang cagak rata-rata (cm) Faktor kondisi merupakan gambaran kondisi fisiologis ikan dilihat dari sudut pandang nutrisi, yang diperlukan untuk pertumbuhan dan reproduksi (Le Cren, 1957 dalam Abowei et al., 2009). Informasi mengenai faktor kondisi berguna pada saat akan membandingkan kondisi suatu populasi tertentu; berguna ketika menentukan masa pematangan gonad dan ketika menindaklanjuti tingkat pemanfaatan sumber makanan oleh suatu spesies (Bagenal and Tesch, 1978 dalam Abowei et al., 2009). HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Panjang –Berat Deskripsi Pancing Ulur Untuk mengetahui hubungan panjang-berat digunakan rumus Bal & Rao (1984) : W = aLb…………………........…………………….(1 dimana : W = berat ikan (kg) L = panjang cagak ikan (FL, cm) a = intercept (perpotongan antara garis regresi dengan sumbu y). b = koefisien regresi (sudut kemiringan garis) Dari persamaan tersebut dapat diketahui pola pertumbuhan ikan tuna yang diamati. Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan dengan kriteria (Bal & Rao,1984): (a).Jika b =3, pertumbuhan bersifat isometrik, yaitu pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan berat, (b). Jika b > 3, maka pola pertumbuhan bersifat allometrik positif, yaitu pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya, (c). Jika b < 3, maka pola pertumbuhan bersifat allometrik negatif, yaitu pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan berat. Untuk mengetahui apakah nilai b yang diperoleh lebih besar, sama dengan atau lebih kecil dari 3 digunakan uji t pada selang kepercayaan 95% (á = 0,05) (Steell & Torrie 1989). 378 Alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan tradisional di Sendang Biru untuk menangkap ikan tuna adalah pancing ulur (handline) dan tonda (trolling line). Tuna berukuran kecil kebanyakan tertangkap pukat cincin. Pancing ulur dioperasikan dengan perahu yang disebut sekoci. Waktu pengoperasian pada siang hari dengan aktivitas penangkapan di sekitar rumpon. Deskripsi pancing ulur sangat sederhana, terdiri dari mata pancing nomor 2 hingga 7 yang diikat pada tali pancing nomor 300 – 400 diameter 0.4 mm dengan panjang sekitar 40 – 50 m. Tali utama nomor 2000 – 3000, diameter 2 - 3 mm dengan panjang antara 200 – 250 m yang digulung pada sebuah jerigen ukuran 5 liter dan sekaligus berfungsi sebagai pelampung. Disamping itu ada yang digulung pada penggulung plastik. Berdasarkan cara pengoperasiannya, terdapat 3 jenis pancing ulur, yaitu: (1) pancing ulur menggunakan jerigen yang dilepas di permukaan laut dan menggunakan umpan hidup, (2) pancing ulur menggunakan penggulung plastik yang dipegang dari atas kapal dengan umpan potongan ikan, dan (3) pancing ulur yang dioperasikan menggunakan layang-layang dengan umpan palsu/buatan, untuk menangkap ikan tuna berukuran kecil dan cakalang biasanya menggunakan mata pancing nomor 5 dan 7 dengan umpan buatan dari tali rafia yang diurai menyerupai bulu atau benang sutra. Penggunaan jenis mata pancing tergantung pada ukuran ikan yang menjadi target, sedangkan penggunaan jenis/ tipe pancing ulur bergantung pada kondisi alam. R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385 Hasil tangkapan pancing ulur yang didaratkan di Sendang Biru terutama jenis yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan bigeye tuna (Thunnus obesus). Pada bulan tertentu tertangkap juga jenis ikan tuna albakor (Thunnus alalunga). Jenis – jenis tersebut merupakan sasaran penangkapan karena mempunyai harga tinggi. Sementara itu tertangkap juga jenis lainnya seperti cakalang, marlin, layaran, lemadang, dan sunglir. Gambar 1 merupakan gambaran rata-rata bulanan jenis pelagis besar yang didaratkan selama kurun waktu 3 tahun (2008-2010). Dari gambar tersebut terlihat bahwa rata-rata hasil tangkapan pancing ulur didominasi oleh jenis ikan tuna dan cakalang. Penangkapan ikan tuna di perairan Sendang Biru terjadi sepanjang tahun, dengan musim penangkapan umumnya terjadi pada bulan Mei hingga September, pada Gambar 1. terlihat bahwa musim penangkapan terjadi pada sekitar bulan April hingga Juni, hal ini dikarenakan tidak adanya data hasil tangkapan pada bulan Juni hingga Desember 2010, namun bulan tersebut tetap diperhitungkan dalam proses merata-ratakan hasil tangkapan. Hasil penelitian serupa di perairan Sendang Biru dinyatakan bahwa musim penangkapan tuna terjadi pada bulan Mei hingga Oktober dan puncaknya terjadi pada bulan September (Nurdin dan Budi, 2007). Produksi (ton) Komposisi Hasil Tangkapan 300 250 200 150 100 50 0 J F M Tuna Gambar 1. Figure 1. A Cakalang M J Tongkol J A Salem S O Layaran N D Lemadang Jenis ikan pelagis besar dominan yang didaratkan di Sendang Biru tahun 2008 – 2010 The dominant pelagic fish species landed at Sendang Biru in 2008 – 2010 Tabel 1. Hasil tangkapan dari 41 kapal pancing ulur yang mendarat pada periode pengamatan Table 1. The catch of 41 handline boats landed during the observation period No. Nama Kapal 1 Nusantara 2 Sampoerna 3 Mataram 4 Sumber Hati 5 Rajawali 6 BB-16 7 BB-05 8 AM-01 9 Praminto 10 tuna 02 11 P.D. Bulan 01 12 Enggal 13 DR-04 14 Tunggal 01 15 BM-09 16 Anang 17 Serba Indah 18 Maya 19 Camar-01 20 Camar-02 21 Kempul Total hasil tangkapan per kapal (kg) Rata-rata per kapal (kg) Hasil Tangkapan (kg) 277 234 1,747 729 281 1,012 1,057 1,883 336 293 253 840 1,547 780 456 315 1,608 404 319 280 352 No. Nama Kapal 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 Bide PB 02 SJ 01 Payang (tidak bernama) Sinar Harapan Tunggal 11 Madina BB 15 TM DR-01 BT Surya-03 Ira Jaya 8 Isabela-05 Josua Mawar Saron-02 Dival Bistala-07 MR-01 Karya Mina Hasil Tangkapan (kg) 631 68 544 1,012 1,083 308 1,043 169 1,472 335 483 441 340 240 344 428 469 368 222 88 25,081.46 611.74 379 R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385 16 0 17 0 13 0 14 0 15 0 90 10 0 11 0 12 0 80 60 70 0 380 90 10 0 11 0 12 0 13 0 14 0 15 0 16 0 17 0 80 60 70 50 40 20 0 10 0 11 0 12 0 13 0 14 0 15 0 16 0 17 0 20 60 90 40 80 80 60 Panjang (cm FL) Length (cm FL) Figure 4. 40 Frekuensi (ekor) Freq. (indv.) 80 40 50 Frekuensi (ekor) Freq. (indv.) Hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan Oktober 2010 diperoleh ikan madidihang banyak tertangkap berukuran antara 40-170 cm FL dan memiliki 3 kelompok ukuran. Kelompok ukuran pertama antara 40-70 cm dengan modus 60 cm, kelompok ukuran kedua antara 80-110 cm Distribusi ukuran panjang ikan tuna mata besar yang tertangkap pada bulan April dan Oktober 2010 sedikit berbeda (Gambar 4.). Ikan tuna mata besar yang tertangkap pada bulan April 2010 terdistribusi pada ukuran panjang 40-80 cm FL dan hanya memiliki 1 kelompok ukuran. Sementara itu, yang tertangkap pada bulan Oktober terdistribusi pada ukuran panjang 40-170 cm FL dan memiliki 2 kelompok ukuran. Kelompok ukuran pertama antara 40-80 cm FL dengan modus 50 cm dan kelompok ukuran kedua antara 110-140 cm FL. Dominansi hasil tangkapan ikan madidihang dikarenakan kesamaan waktu penangkapan pancing ulur dengan sifat madidihang yang memburu makan pada siang hari, yaitu dimulai jam 7 pagi, intensif pada jam 3 siang dan berakhir pada jam 9 malam (Grudinin, 1989, Weng et al., 2009). Tidak terlalu melimpahnya tuna mata besar diduga karena sifat memburu makanan terutama terjadi di kolom air yang lebih dalam karena pergerakan secara vertikalnya lebih tinggi dari pada madidihang (Itano et al., 2006, Musyl et al., 2003). 70 Komposisi hasil tangkapan pancing ulur di Sendang Biru pada bulan Oktober 2010 Catch composition of handline at Sendang Biru in October 2010 Distribusi Ukuran Gambar 4. Distribusi ukuran madidihang hasil tangkapan pancing ulur di Sendang Biru Oktober 2010 Length distribution of yellowfin tuna caught by handline at Sendang Biru, October 2010 Figure 3. Katsuw onus pelamis 38% Figure 2. Gambar 3. Elagatis bipinnulata (*0.1) 4% Thunnus sp. 45% Gambar 2. Panjang (cm FL) Length (cm FL) 60 Coriphaena sp. ( * 0.1) 3% 60 50 40 30 20 10 0 40 50 Xiphias gladius (* 0.1) 10% dengan modus 100 cm dan kelompok ukuran ketiga antara 120-170 cm dengan modus 140 cm (Gambar 3.). Frekuensi (ekor) Freq. (indv.) Rata - rata hasil tangkapan pancing ulur pada bulan Oktober 2010 sebesar 611.74 kg per kapal Tabel 1.). Hasil tangkapan dari satu armada pancing ulur dengan armada pancing ulur lainnya bervariasi. Selama periode penelitian, komposisi jenis hasil tangkapan didominasi oleh ikan tuna sebesar 45% dari hasil tangkapan total, diikuti oleh jenis cakalang (Katsuwonus pelamis) 38%, marlin (Xiphias gladius) 1%, lauro (Elagatis bipinnulatus) dan lemadang (Coriphaena sp.) masing-masing kurang dari 1% dari total yang didaratkan pada bulan itu. Variasi komposisi hasil tangkapan nelayan Sendang Biru juga dinyatakan oleh Nurdin & Budi (2007), dimana antara cakalang dan tuna masing-masing terkadang silih berganti menjadi hasil tangkapan dominan. Sedangkan lauro, marlin dan lemadang berkisar antara 3% hingga 11 % dari total hasil yang didaratkan. Panjang (cm FL) Length (cm FL) Distribusi ukuran tuna mata besar hasil tangkapan pancing ulur di Sendang Biru, April dan Oktober 2010 Length distribution of bigeye tuna caught by handline at Sendang Biru during April and October 2010 R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385 Ukuran ikan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan karena dengan mengetahui panjang ikan, kedewasaan ikan dapat ditentukan. Untuk ikan tuna mata besar, kisaran ukuran panjang yang sudah dapat dianggap dewasa adalah 91-100 cm dan setara dengan umur 2 tahun (Kikawa, 1953 in Miyabe, 1994 dalam Lehodey et al., 1999; Sun et al., 2006). Untuk ikan madidihang berada pada kisaran panjang yang sama namun setara dengan umur 1.6 tahun (Lehodey et al., 1999). Ukuran tingkat kedewasaan ikan tuna bervariasi, salah satu penyebabnya adalah adanya variasi geografis suatu perairan (Hampton and Williams, 2005 & Schaefer et al., 2005 dalam Zhu et al., 2011). Berdasarkan penjabaran hasil di atas dapat dilihat bahwa ikan yang tertangkap ada yang masih berukuran di bawah 100 cm baik untuk yellowfin tuna maupun tuna mata besar. Jika dibandingkan dengan penelitian Wudianto et al.(2002), kisaran ukuran yellowfin tuna yang tertangkap di perairan Sendang Biru hasil tangkapan pancing ulur memiliki ukuran yang mirip dengan yellowfin tuna hasil tangkapan longline di Cilacap pada bulan Agustus 2001 yaitu antara 91-170 cm FL dan di Muara Baru dengan kisaran antara 151-160 cm FL. Ikan tuna mata besar yang didaratkan di Sendang Biru memiliki ukuran yang tidak berbeda jauh dengan yang didaratkan di Cilacap dan Muara Baru, masing-masing antara 101160 cm FL dan 71-150 cm FL. Hubungan panjang cagak dan berat tubuh terhadap 166 ekor ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) hasil tangkapan pancing ulur pada bulan April dan Oktober 2010 adalah sebagai berikut: W=3 x10-5 x FL2,907 dengan nilai koefisien determinasi (r2) = 0.985 (Gambar 6). Hubungan Panjang Berat Berdasarkan uji t terhadap nilai b pada selang kepercayaan 95% (á = 0,05), diperoleh thit>ttab (b ≠ 3) yang artinya pola pertumbuhan ikan tuna mata besar dan madidihang cenderung bersifat allometrik negatif yaitu pertumbuhan berat tidak secepat pertumbuhan panjangnya. Menurut Sukimin et al. (2002), Dagorn et al. (2000), Marcinek et al. (2001), pertumbuhan ikan di suatu perairan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan di antaranya adalah ukuran makanan yang dimakan, jumlah ikan di perairan tersebut, jenis makanan yang dimakan, kondisi oseanografi perairan (suhu, oksigen dan lain-lain) dan kondisi ikan (umur, keturunan dan genetik). Pertumbuhan tuna mata besar yang didaratkan di Sendang Biru mirip dengan pertumbuhan tuna mata besar di perairan Laut Banda hasil tangkapan rawai tuna. Nugraha dan Mardlijah (2006) melaporkan bahwa tuna mata besar di perairan Laut Banda hasil tangkapan rawai tuna bersifat allometrik negatif. Pertumbuhan yellowfin tuna dalam penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian di Samudera Hindia bagian barat. Hasil penelitian Zhu, et al.(2008) menyebutkan yellowfin tuna di Samudera Hindia bagian barat hasil tangkapan rawai tuna bersifat isometrik dengan persamaan 1,63 x 10-2xFL 2,985 ( r2 = 0.9696, n= 1033). Hal yang sama diperoleh Kaymaram et al. (2000) bahwa pertumbuhan madidihang di Laut Oman bersifat isometrik dengan persamaan 1.2 x 10-6 x FL 3.083.Perbedaan sifat pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan jenis serta ukuran makanan yang dimakan (Sukimin et al., 2002). Hasil analisis hubungan panjang cagak dan berat tubuh terhadap 337 ekor yellowfin tuna hasil tangkapan pancing ulur diperoleh persamaan sebagai berikut : W=6 x 10-5 x FL2,710 dengan nilai koefisien determinasi (r2) = 0.912 (Gambar 5). Gambar 5. Figure 5. Hubungan panjang-berat ikan madidihang (Thunnus albacares ) hasil tangkapan pancing ulur yang didaratkan di Sendang Biru, Oktober 2010 Length-Weight relationship of yellowfin tuna (Thunnus albacares) caught by handline at Sendang Biru in October 2010 Berat (kg) 50 y = 3E-05x2.9079 R2 = 0.9852 n = 166 ekor 45 Weight 40 (kg) 35 30 25 20 15 10 5 0 0 20 40 60 80 100 120 140 Panjang (cm) Length (cm) Gambar 6. Figure 6. Hubungan panjang- berat ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) hasil tangkapan handline di Sendang Biru, bulan April dan Oktober 2010 Length-Weight relationship of Bigeye Tuna (Thunnus albacares) caught by handline at Sendang Biru in April and October 2010 381 R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385 Faktor Kondisi Faktor kondisi rata-rata untuk ikan madidihang yang didaratkan di Sendang Biru pada bulan Oktober 2010 adalah 1,66. Faktor kondisi rata-rata tertinggi terdapat pada nilai tengah 90 cm yaitu 2,37 dan terendah berada pada nilai tengah 120 cm yaitu 1.30. Faktor kondisi rata-rata ikan tuna mata besar pada bulan April adalah 1,74, dimana faktor kondisi rata-rata tertinggi yaitu 1,78 yang terdapat pada ukuran 50 cm dan terendah yaitu 1.63 yang berada pada nilai tengah 30 cm. Sementara itu faktor kondisi ratarata ikan tuna mata besar pada bulan Oktober adalah 1,80 dimana faktor kondisi rata-rata tertinggi yaitu 1,91 yang terdapat pada ukuran 120 cm dan terendah yaitu 1.35 yang berada pada nilai tengah 110 cm Hubungan antara faktor kondisi dengan ukuran dari ikan madidihang dan ikan tuna mata besar disajikan pada Gambar 7 dan 8. Pada gambar 7b terlihat grafik faktor kondisi ikan tuna mata besar terputus pada ukuran nilai tengah antara 85-105 cm hal ini disebabkan pada saat penelitian tidak ditemukan ukuran tersebut. (a) Gambar 8. Figure 8. Figure 7. Faktor kondisi dan frekuensi panjang ikan madidihang (Thunnus albacares ) hasil tangkapan pancing ulur di Sendang Biru Oktober 2010 Condition factor and length frequency of yellowfin (Thunnus albacares) caught by handline at Sendang Biru, October 2010 (b) Faktor kondisi dan frekuensi panjang ikan tuna mata besar (T. obesus) hasil tangkapan pancing ulur di Sendang Biru, (a) April dan (b) Oktober 2010. Condition factor and length frequency of bigeye tuna (T. obesus) caught by handline at Sendang Biru, April and October 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, terjadi fluktuasi nilai faktor kondisi rata-rata ikan tuna mata besar dan madidihang pada setiap selang ukuran dimana faktor kondisi yang paling tinggi terjadi pada ukuran yang lebih kecil, sementara faktor kondisi yang lebih kecil terjadi pada ukuran yang lebih besar. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya perbedaan pertumbuhan dan tingkat kematangan gonad dari masing-masing ikan. Artinya bahwa pada ukuran yang sama (ukuran kecil) ada ikan yang masih dalam proses pertumbuhan somatik sehingga secara fisik tubuh ikan lebih cepat berkembang dan faktor kondisinya menjadi besar, sementara pada ukuran yang lebih besar atau ikan dewasa yang akan memijah, energi yang diperoleh dari makanan digunakan untuk proses 382 Gambar 7. pemijahannya sehingga menyebabkan faktor kondisinya kecil. Menurut Agostinho (1985) dalam Vieira, et al., 2005 bahwa untuk spesies yang bermigrasi faktor kondisi menurun pada saat musim pemijahan. Tuna mata besar dan madidihang termasuk kedalam spesies yang bermigrasi. Kemudian Effendi (2002) dan Parrish & Mallicoate (1995) juga menambahkan bahwa variasi nilai faktor kondisi bergantung pada tingkat kematangan gonad, kepadatan populasi, makanan, fisiologi ikan, jenis kelamin, umur ikan dan lingkungan. Hasil pada penelitian ini serupa dengan hasil penelitian dari Wang et al. 2002 di sekitar perairan Taiwan, yang menggambarkan kisaran faktor kondisi yaitu 1,4-2,5 dan nilai faktor kondisi ini juga berfluktuasi pada setiap ukuran. R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385 Nisbah kelamin Berdasarkan pengamatan secara visual di lapangan diperoleh nisbah kelamin ikan madidihang jantan dan betina hasil tangkapan handline adalah 38.46% : 61.54 % dan nisbah kelamin ikan tuna besar jantan dan betina adalah 81.28% : 18.75% (Gambar 9.). Dari gambar tersebut terlihat bahwa ada perbedaan nisbah kelamin antara ikan madidihang dan tuna mata besar dimana ikan madidihang betina yang tertangkap handline lebih banyak daripada ikan jantan, sebaliknya untuk tuna mata besar, ikan jantan lebih banyak tertangkap daripada ikan betina. Nisbah kelamin ikan madidihang menunjukkan kondisi ideal karena jumlah betina yang relatif banyak. Menurut Wahyuono et al., (1983) yaitu apabila jantan dan betina seimbang atau betina lebih banyak dapat diartikan bahwa populasi tersebut masih ideal untuk mempertahankan kelestarian. Menurut Sadhotomo & Potier (1991), di perairan perbandingan jenis kelamin ikan diharapkan seimbang, bahkan diharapkan jumlah betina lebih banyak daripada yang jantan sehingga populasinya dapat dipertahankan walaupun ada kematian alami dan penangkapan. Keseimbangan perbandingan jumlah individu jantan dan betina mengakibatkan kemungkinan terjadinya pembuahan sel telur oleh spermatozoa hingga menjadi individu-individu baru semakin besar (Effendie, 2002). Tidak demikian adanya dengan nisbah kelamin ikan tuna mata besar, dimana jantan mendominasi. Kondisi tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh hasil dari sampling yang menyebabkan frekuensi kemunculan jantan menjadi lebih sering. 19 38.46 61.54 Jantan Betina 81 Jantan (a) Gambar 9. Figure 9. Betina (b) Nisbah kelamin madidihang (a) dan tuna mata besar (b) hasil tangkapan pancing ulur di Sendang Biru, Oktober 2010 Sex ratio of yellowfin tuna (a) and bigeye tuna (b) caught by handline at Sendang Biru, October 2010 KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA Hasil tangkapan handline didominasi oleh tuna 45 %, cakalang sebesar 38 %, dan lainnya (marlin, lemadang, lauro) 1,7 %. Ukuran madidihang yang tertangkap berada dalam kisaran ukuran 40-170 cm, tuna mata besar pada kisaran ukuran 40-140 cm. Baik madidihang maupun tuna mata besar memiliki sifat pertumbuhan yang alometrik negatif atau lebih kurus. Nilai faktor kondisi berfluktuasi pada setiap selang ukuran, untuk madidihang sebesar 1,18 – 3,06, untuk tuna mata besar sebesar 1,78 – 2.14. PERSANTUNAN Penelitian dibiayai oleh kegiatan riset Kajian Kesiapan Indonesia dalam Mengimplementasikan Ketentuan Pengelolaan Perikanan di Kawasan Konvensi RFMO melalui DIPA Pusat Riset Perikanan Tangkap tahun anggaran 2010. Abowei, J. F. N., O. A. Davies & A. A. Eli. 2009. Study of the length-weight relationship and condition factor of five fish species from Nkoro River, Niger Delta, Nigeria. Current Research Journal of Biological Science I (3) : 94-98, 2009. Bal, D.V.& K.V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata Mc. Grawhill Publishing Company Limited. New Delhi. 5 – 24. BPPPI, 2009. Laporan tahunan Unit Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai Pondokdadap dan Daftar Produksi hasil penangkapan ikan di Pondokdadap Kabupaten Malang TA. 2009. Dagorn, L., Filippo Menczer, Pascal Bach, Robert J. Olson. 2000. Co-evolution of movement behaviours by tropical pelagic predatory fishes in response to prey 383 R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385 environment: a simulation model. Ecological Modelling. 134 : 325–341. Efendie I.M. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Bogor. Goddard S. 1996. Feed Management in Intensive Aquaqulture. Fisheries and Marine Institute Memorial University. Newfounland, Canada. Chapman and Hall. New York. Grudinin,V.B.,1989. On the ecology of yellowfin tuna (Thunnus albacares) and bigeye (Thunnus obesus). Journal of Ichthyology. 29 (6). Itano, D.G. 2004. A handbook for the identification of yellowfin and bigeye tunas in fresh condition. Pelagic Fisheries Research Program JIMAR, University of Hawaii. SCTB17 Working Paper - FTWG–INF–5 USA. 28 pp. Itano, D. G., Kim Holland, & Laurent Dagorn. 2006. Behaviour of yellowfin (Thunnus albacares) and bigeye (T. obesus)in a network of anchored fish aggregation. Scientific Committee Second Regular Session, 7-18 August 2006 Manila, Philippines. 7 pp. Kaymaram, F., H. Emadi, B. Kiabi. 2000. Population parameters and feeding habits of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in the Oman Sea. IOTC Proceedings no. 3 : 283-285. Lehodey, P., J. Hampton & B. Leroy. 1999. Preliminary Results on Age and Growth of Bigeye Tuna (Thunnus obesus) from the Western and Central Pacific Ocean as Indicated by Daily Growth Increments and Tagging Data. Working Paper BET–2. Standing Committee on Tuna and Billfish, Tahiti 16-23 June 1999.18 pp. Marcinek, D.J., Blackwell, S.B., Dewar, H., Freund, E.V., Farwell, C., Dau, D., Seitz, A.C. & Block, B.A. 2001. Depth and muscle temperature of Pacific bluefin tuna examined with acoustic and pop-up satellite tags. Mar. Biol. 138 : 869-885. Musyl, M.K., Richard W. Brill, Christofer H. Boggs, Daniel S. Curran, Thomas K. Kazama & Michael P. Seki. 2003. Vertical movements of bigeye tuna (Thunnus obesus) associated with islands, buoys, and seamounts near the main Hawaiian Island from archival tagging data. Fisheries Oceanography. 12:3, p152-169. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan Jakarta. Nakamura, H. 1969. Tuna distribution and migration. Fishing news (books) Ltd. London. 76 pp. 384 Nikijuluw, V.P.H. 1986. Peranan stock assessment dalam pengelolaan Perikanan. Buletin Warta Mina No. 10 Tahun V. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. Nugraha B & Mardlijah S. 2006. Hubungan Panjang Bobot, Perbandingan Jenis Kelamin dan Tingkat Kematangan Gonad Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Perairan Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap 2006. Jakarta. 195-202. Parrish R. H. & D. L. MALLlCOATE. 1995 - Variation in the condition factors of California pelagic fishes and associated environmental factors. Fish. Oceanogr. 4 (2): 171-190. Rajapaksha J.K., Nishida T. & Samarakoon L. 2010. Environmental preferences of yellow_n tuna (Thunnus albacores) in the northeast Indian Ocean: an application of remote sensing data to longline catches. Proceeding of IOTC WPTT, 19 Oktober 2010.16 pp. Steell R.G.H & Torrie J.H. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika : Suatu Pendekatan Biometrik (Terjemahan dari Principle and procedure of statistic : a biometri approach). Sumantri B (penerjemah). Edisi kedua. PT.Gramedia. Jakarta. 748 pp. Sun, C.L., Chu, S.L. & Yeh, S.Z. 2006. The Reproductive Biology of Female Bigeye Tuna (Thunnus obesus) in the Western Pacific Ocean. WCPFC-SC2-BISWG-WP -1, 22 pp. Sukimin, S., Isdrajat S. & Yon Vitner. 2002. Petunjuk Praktikum Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wang S.B, Chang F.C., Wang S.H. & C.L Kuo. 2002. Some biological parameters of bigeye and yellowfin tunas distributed in surrounding waters of Taiwan. 15th meeting of the Standing Committee on Tuna and Billfish (SCTB) Hawaii, July 22-27, 2002. SCTB15 Working Paper. 13pp. Weng, K. C., M. J. W. Stokesbury, A. M. Boustany, A. C. Seitzjj, S.L.H. Teo, S.K. Miller & B.A. Block. 2009. Habitat and behaviour of yellowfin tuna Thunnus albacares in the Gulf of Mexico determined using popup satellite archival tags. Journal of Fish Biology. 14341449. Vieira, RK., Oliveira J. E. L., Maisa C. Barbalho1 & J. Garcia Jr. 2005. Reproductive characteristics of blackfin tuna Thunnus Atlanticus (lesson, 1831), in northeast Brazil. Col. Vol. Sci. Pap. ICCAT, 58(5): 1629-1634. R. Faizah, Aisyah / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 377-385 Zhu G, Xu L, Zhou Y & X. Dai. 2008. Length frequency compositions and weight-length relations for big-eye tuna, yellowfin tuna and albacore (Perciformes: Scombrinae) in the Atlantic,Indian and Eastern Pacific Oceans. Acat Ichthiologica Et Piscatoria. 38(2) : 157161. Zhu, G.P., Xiao Jie Dai, Li Ming Song, Liu Xiong Xu. 2011. Size at Sexual Maturity of Bigeye Tuna Thunnus obesus (Perciformes: scombridae) in the Tropical Waters: a Comparative Analysis. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 11: 149-156 (2011) : 149-156. Wahyuono, H., Budihardjo, S., Wudianto, Rustam, R. 1983. Pengamatan Parameter Biologi Beberapa Jenis Ikan Demersal di Perairan Selat Malaka Sumatera Utara. Laporan Penelitian Laut. Jakarta. Wudianto, Karsono Wagiyo dan Berbudi Wibowo. 2003. Sebaran Daerah Penangkapan Ikan Tuna di Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 9 (7). 385 BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395 DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL PLANKTON DI PERAIRAN TELUK TOMINI, SULAWESI Bram Setyadji1 dan Asep Priatna2 1 2 Peneliti Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa, Bali Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 1 Desember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Mei 2011; Disetujui terbit tanggal: 28 September 2011 ABSTRAK Plankton merupakan komponen penting dalam kehidupan akuatik karena fungsi biologisnya yang penting sebagai mata rantai paling dasar dalam rantai makanan dan merupakan organisme yang menduduki kunci utama di dalam ekosistem bahari. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei, Juli, dan Nopember 2010 yang mewakili musim peralihan I, musim timur dan musim barat dengan tujuan mengetahui distribusi-kelimpahan spasial dan temporal fitoplankton dan zooplankton di Teluk Tomini. Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton tertinggi terdapat pada musim barat sebesar 177.666 sel/m3 dan 7.088 ind/m3, sedangkan terendah pada musim timur sebesar 4.878 sel/m3 dan 1.118 ind/ m3. Tingkat indek keaneka-ragaman (H) baik fitoplankton dan zooplankton sedang, indek keseragaman (E) rendah hingga sedang, dan tidak ditemukan jenis tertentu yang dominan. Chaetoceros, Coscinodiscus, dan Rhizosolenia dari kelas Bacillariophyceae merupakan fitoplankton yang mempunyai frekuensi kehadiran yang tinggi, sedangkan Crustaceae merupakan zooplankton yang dominan. Konsentrasi sebaran terdapat di mulut teluk dan tersebar relatif sesuai dengan musim. KATA KUNCI: fitoplankton, zooplankton, kelimpahan, distribusi, spasial, temporal, Teluk Tomini ABSTRACT: Spatial and temporal distribution of plankton in Tomini Bay, Sulawesi. By : Bram Setyadji and Asep Priatna. Plankton plays important role in aquatic life due to its significant biological function as basic food chain in oceanic ecosystem. This study was conducted on May, July, and November representing north-west monsoon, east monsoon, and west monsoon, respectively. The purposed of this study is to know the spatial and temporal distribution and the abundance of phytoplankton and zooplankton in Tomini Bay. Results showed that the highest abundance of phytoplankton and zooplankton were 177.667 cell/m3 and 7.088 ind/m3 that appeared at north-west monsoon, while the lowest were 4.878 cell/m3 and 1.118 ind/m3 that shown in south-east monsoon. The diversity index (H) for both Phytoplankton and Zooplankton were in medium (1<H<3), while the eveness index (E) range from low (d”1) to medium. There were no dominance species found. However, Chaetoceros, Coscinodiscus and Rhizosolenia that representing Bacillariophyceae showed a high frequency of appearance, while Crustaceae group were the dominance of zooplankton. The distribution of plankton concentrated in the mouth of the bay and relatively distributed according to seasons. KEYWORDS: phytoplankton, zooplankton, abundance, distribution, spatial, temporal, Tomini Bay PENDAHULUAN Teluk Tomini adalah salah satu teluk terbesar di Indonesia, dengan luas sekitar 59.500 km2, termasuk dalam kesatuan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Teluk Tomini - Laut Maluku - Laut Seram. Perairan Teluk Tomini adalah laut dalam (oseanik) dengan kedalaman rata-rata >1500 m, berbentuk sebagai corong yang terbuka ke arah timur dan berhubungan langsung dengan Laut Maluku, Teluk Tolo dan Laut Sulawesi. Kondisi geografis demikian memberi konsekuensi terjadinya sirkulasi massa air diantara perairan di dalam teluk dengan perairan di sekitarnya. Perairan Teluk Tomini relatif subur dan kaya akan potensi alam laut (Yusron & Edward, 2000) selain itu juga dikenal sebagai daerah wisata bahari serta memiliki berbagai potensi sumberdaya ikan pelagis (Wiadnyana, 1998). Plankton merupakan komponen penting dalam kehidupan akuatik karena fungsi biologisnya yang penting Korespondensi penulis: Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali Jln. Pelabuhan Benoa-Bali sebagai mata rantai paling dasar dalam rantai makanan dan merupakan organisme yang menduduki kunci utama di dalam ekosistem bahari (Sediadi, 1986). Fitoplankton dengan proses fotosintesanya bertindak sebagai produsen primer terbesar di laut (Nybakken, 1988) sedangkan zooplankton berperan sebagai konsumen primer, sehingga menjadi penghubung antara fitoplankton dengan biota yang lebih tinggi pada tingkat rantai makanan, seperti ikan madidihang dan cakalang (Awwaludin et al., 2005; Roger, 1994). Keberadaan plankton dalam perairan juga mencerminkan kesuburan perairan, sehingga dapat menggambarkan tingkat produktivitas perairan tersebut (Sachlan, 1980 dalam Sagala, 2009). Kelimpahan dan penyebaran plankton di laut selain dipengaruhi oleh nutrien juga kondisi fisik perairan seperti penetrasi cahaya, suhu, salinitas dan arus permukaan (Djumanto et al., 2009; Nybakken, 1988; Lo et al., 2004; 387 B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395 Wiadnyana, 2002), sehingga kelimpahannya sangat fluktuatif menurut musim dan lokasi perairan (Arinardi et al., 1997). BAHAN DAN METODE Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya diketahui bahwa pada musim timur sebaran plankton terkonsentrasi di mulut teluk bagian utara, dengan kelimpahan fitoplankton berkisar antara 80.010 – 1.082.520 sel/m3 yang terdiri dari 45 spesies dan tergolong dalam 3 kelas fitoplankton yang didominasi oleh Bacillariophyceae, sedangkan kelimpahan zooplankton berkisar antara 17.000 – 28.233 ind/m3 yang terdiri dari 69 spesies dan tergolong dalam 5 kelas utama, yakni Crustacea, Hydrozoa, Mollusca, Urochordata, Polychaeta dan Veliger (Awwaludin et al., 2005). Pada musim peralihan II kandungan klorofil, volume, dan jumlah sel fitoplankton secara mendatar cenderung homogen. Tercatat ada 26 marga fitoplankton dengan jumlah total sel berkisar antara 25.000 sel/m3 dan 1.500.000 sel/m3, dimana komunitas fitoplankton didominasi oleh marga Chaetoceros dan Rhizosolenia (Wiadnyana, 1998). Kajian ini membahas tentang distribusi-kelimpahan spasial dan temporal fitoplankton dan zooplankton di Teluk Tomini berdasarkan pengambilan contoh yang dilakukan pada bulan Mei, Juli, dan Nopember tahun 2010. Penelitian dilakukan di Teluk Tomini bagian timur, yakni mulai dari perairan Kep. Tagihan sampai ke mulut teluk, pada bulan Mei, Juli, dan Nopember yang masingmasing mewakili musim peralihan I, musim Timur, dan musim Barat. Wahana penelitian menggunakan kapal nelayan setempat. Lokasi dan Pengambilan Sampel Pengambilan contoh plankton pada bulan Mei, Juli, dan Nopember masing-masing dilakukan di 14 Lintasan transek dan posisi stasiun dipresentasikan pada Gambar 1. Sampling dilakukan secara horizontal di lapisan permukaan (1-5 m); untuk fitoplankton dengan menggunakan plankton net berdiameter 31 cm mesh size 60 mm yang ditarik secara horisontal sejauh 10 m, sedangkan untuk zooplankton digunakan plankton net berdiameter 45 cm dengan mesh size 150 mm yang ditarik dari kedalaman 10 m hingga ke permukaan (vertikal). Contoh plankton diawetkan dengan larutan formalin 4% (Awwaludin et al. 2005) Mei 2010 1.5° MANADO Bitung 60 nmi 0.5° Ongka Tinombo Papayato Moutong GORONTALO Tilamuta Marisa Malibagu 4 Lintang 7 2 13 11 12 14 Pp. Tagihan 9 Toboli Parigi Laiga 1 6 5 8 Una-una Donggulu 0.5° 3 10 Pagimana Ampana Luwuk Tambu Tambarana P. Peleng POSOToliba 1.5° SULAWESI PP. Sula 120° 121° 122° 123° 124° 125° Bujur Juli 2010 1.5° MANADO Bitung 60 nmi 0.5° Ongka Tinombo Papayato Moutong Marisa GORONTALO Tilamuta Malibagu 17 16 13 12 1 Lintang 11 2 18 15 14 Una-una 19 10 Donggulu 8 Pp. Tagihan 0.5° Toboli Parigi Laiga 9 6 735 4 Pagimana Ampana Luwuk Tambu Tambarana P. Peleng POSOToliba 1.5° SULAWESI PP. Sula 120° 121° 122° 123° Bujur 388 124° 125° B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395 Nopember 2010 1.5° MANADO Bitung 60 nmi 0.5° Ongka Papayato Moutong 1 Lintang GORONTALO Tilamuta Marisa Tinombo 9 Malibagu 10 2 8 11 16 4 7 12 15 5 6 13 3 Una-una Donggulu Pp. Tagihan 0.5° Toboli Parigi Laiga 17 14 Pagimana Ampana Luwuk Tambu Tambarana P. Peleng POSOToliba 1.5° SULAWESI PP. Sula 120° 121° 122° 123° 124° 125° Bujur Gambar 1. Figure 1. Peta Teluk Tomini dan posisi sampling plankton pada bulan Mei, Juni, dan Desember 2010 Map of Tomini Bay and the position of plankton sampling on May, July,and December 2010. Pengolahan dan Analisis Data Pengamatan plankton meliputi identifikasi jenis dan pencacahan jumlah individu (sel) untuk setiap jenis. Pencacahan fitoplankton dan zooplankton dilakukan dengan menggunakan Sedgewick Rafter Counting Cell dengan volume 1 ml. Sampel diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 10x10 dengan mengikuti metode sapuan, yaitu mencacah semua jenis plankton yang ada dalam volume air contoh. Identifikasi plankton dengan mengacu pada buku identifikasi Yamaji (1996). Kelimpahan fitoplankton (N) dihitung dengan rumus sebagai berikut (Amin & Utojo, 2008): N = (T/L)*(P/p)*(V/v)*(1/W) .......................................(1 dimana, N: Kelimpahan fitoplankton (ind./l); T: Jumlah kotak dalam SRC (1000); L: Luas kotak dalam satu lapang pandang; P: Jumlah fitoplankton yang teramati; p: Jumlah kotak SRC yang diamati; V: Volume air dalam botol sampel; v: Volume air dalam kotak SRC; W: Volume air yang tersaring. Kelimpahan zooplankton dihitung berdasarkan rumus (lihat Awwaludin et al., 2005): N= n * Vc ..............................................(2 L*t*v Va dimana, N: kelimpahan zooplankton ( dalam individu/m3); n: jumlah individu plankton yang tercacah; Va: volume yang diamati (ml); Vc: volume botol contoh (ml); L: luas bukaan mulut bongo net (0,318 m2); t: lama penarikan jaring (menit); v: kecepatan kapal (m/menit). Struktur komunitas plankton digambarkan menggunakan indek matematis dengan memanfaatkan data jumlah jenis dan individu yang diperoleh. Indek keanekaragaman jenis (H) dipakai untuk menganalisa informasi tentang jenis dan jumlah organisme dalam suatu komunitas, sedangkan indek keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui sebaran jumlah jenis (Odum, 1971). Indek keanekaragaman dihitung berdasarkan indek keaneka-ragaman Shannon – Wiener (1949) dalam Aslam (2009) sebagai berikut: H : ∑ ni Ln ni ............................................ (3 N N dimana :ni: jumlah individu species ke i; N: jumlah total individu; s: jumlah species. Indek keseragaman (E) dihitung dengan menggunakan persamaan dari Pielou (1996) dalam Aslam (2009): E= H ............................................................... (4 Hmaks dimana Hmaks = ln s (s: jumlah jenis). Indek dominansi (D) dihitung berdasarkan indek Simpson (Yonvitner & Imran, 2006), yaitu: D = Pi2 ....................................................................... (5 ∑ dimana Pi: ni/N (spesies ke-I dari total individu); s: jumlah species. Berdasarkan indek Shannon-Wiener dapat dikelompokan kondisi keaneka-ragaman fitoplankton sebagai berikut: 389 B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395 H< 1: rendah, 1 < H < 3: sedang, H > 3: tinggi E H ≠ 1: Keseragaman tinggi, E < 1: Keseragaman rendah D H 1: Dominansi tinggi, D < 1: Dominansi rendah Nilai indek keseragaman (E) dan dominansi (D) umumnya berkisar antara 0-1, semakin kecil E menunjukkan bahwa penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama dan tidak ada species yang mendominasi, sebaliknya semakin besar E dan D maka kesamaan dalam penyebaran jumlah individu tiap jenis semakin tinggi serta ada species tertentu yang mendominasi. 1.5 MANADO Bitung 60 nmi 1 0.5 Ongka Pada musim peralihan I ada 24 jenis fitoplankton yang ditemukan, meliputi kelompok Diatom (15 jenis), dan nonDiatom masing-masing dari kelas Chrysophyceae (1 jenis), Cyanophyceae (1 jenis), Dinophyceae (7 jenis) (Tabel 1). Kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat di stasiun 14 sebesar 22.297 sel/m3, sedangkan yang terendah terdapat di stasiun 11 yakni 5.859 sel/m3 (Gambar 2). Hasil analisis index keanekaragaman (H) menunjukkan bahwa perairan Teluk Tomini berada pada kondisi sedang, dimana hal ini ditunjukkan oleh rentang indek yang berkisar antara 1,37 – 1,95. Indek keseragaman (E) yang cenderung mendekati nilai satu (1) menunjukkan bahwa keseragaman fitoplankton tinggi yang mana hal ini juga berarti bahwa di perairan Teluk Tomini tidak ada species yang mendominasi atas spesies yang lain. Kisaran indek dominansi (D) yang cenderung mendekati nol (0) (Gambar 3). Mengindikasikan dominansi yang rendah dengan sebaran tidak merata dan hanya pada spot-spot tertentu, dimana kebanyakan melimpah di pinggir pantai dan di mulut teluk. Zooplankton GORONTALO Tilamuta Malibagu Una-una Donggulu Sel/m3 -0.5 Pp. Tagihan 2000 to 5000 Toboli 5000 to Parigi 10000 Laiga Pagimana Ampana Luwuk -1 Tambu 10000 to 15000Tambarana 15000 to 20000 -1.5 P. Peleng POSOToliba SULAWESI 20000 to 25000 PP. Sula 121 Gambar 2. 122 123 124 125 Sebaran mendatar fitoplankton di Teluk Tomini pada bulan Mei 2010 (musim peralihan 1). Horizontal distribution of phytolankton in Tomini bay on May 2010 (north-west monsoon) Musim Peralihan – 1 Fitoplankton Marisa 0 120 HASIL DAN PEMBAHASAN Papayato Moutong Tinombo Figure 2. 2.5 2 1.5 H D 1 E 0.5 ≠0 1 2 3 4 5 Gambar 3. 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Sebaran indek diversitas (H), keseragaman (E) dan dominansi (D) fitoplankton pada tiap stasiun. Distribution of diversity index (H), eveness (E) and dominance (D) of phytoplankton in each station. Figure 3. 1.5 MANADO Bitung 60 nmi Pada musim Peralihan I didapatkan 21 jenis zooplankton, dengan urutan jenis tertinggi hingga terendah berturut-turut adalah Copepoda (10 jenis), Spirothrica (4 jenis), Annelida dan Moluska (2 jenis), serta Urochordata, Chaetognatha, dan larva Anadara sp. (masing-masing 1 jenis). Kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 12 yakni sebesar 3.487 sel/m3, sedangkan yang terendah terdapat di stasiun 8, yakni sebesar 939 sel/m3 (Gambar 4). Nilai Indek keaneka-ragaman (H) sedang, berada diantara 1,381 – 2,253. Indek Keseragaman (E) tinggi (mendekati 1), sedangkan Indek Dominasi (D) rendah (di bawah 0,5) menunjukkan bahwa populasi zooplankton cenderung seragam dan tidak ada jenis yang mendominasi (Gambar 5). Sebaran relatif merata dan terkonsentrasi di sekitar perairan pulau Una-una, dan disekitar mulut teluk bagian utara dan ujung. 390 1 Ind/m3 100 to 500 0.5 Ongka Papayato Moutong Tinombo Marisa GORONTALO Tilamuta Malibagu 500 to 1000 0 1000 to 1500 Una-una Donggulu -0.5 1500 to 2000 Pp. Tagihan Toboli Parigi 2000 to Laiga 2500 Pagimana Ampana Luwuk -1 Tambu Tambarana 2500 to 3000 P. Peleng POSOToliba -1.5 SULAWESI 3000 to 3500 PP. Sula 120 Gambar 4. Figure 4. 121 122 123 124 125 Sebaran mendatar zooplankton di Teluk Tomini pada bulan Mei 2010 (musim peralihan 1). Horizontal distribution of zooplankton in Tomini bay on May 2010 (northwest monsoon) B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395 1.5 MANADO Bitung 60 nmi 1 0.5 Ongka Tinombo Papayato Moutong Marisa GORONTALO Tilamuta Malibagu 0 Una-una Donggulu Sel/m3 -0.5 Pp. Tagihan 2000 to 5000 Toboli 5000 to Parigi 10000 Laiga Tambu 10000 to 15000Tambarana 15000 to 20000 Gambar 5. Figure 5. Sebaran indek diversitas (H), keseragaman (E) dan dominansi (D) zooplankton pada tiap stasiun. Distribution of diversity (H), Eveness (E) and dominance (D) indices of phytoplankton at each station. -1.5 Pada musim timur ditemukan 24 jenis fitoplankton yang terdiri atas kelompok Diatom (17 jenis) dan nonDiatom masing-masing dari kelas Cyanophyceae (1 jenis), Dinophyceae (6 jenis). Kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat di stasiun 4 sebesar 11.073 sel/m3, sedangkan yang terendah terdapat di stasiun 12, yakni 2.174 sel/m3 (Gambar 6) Indek keanekaragaman (H) berada pada kondisi sedang yang berkisar antara 1,21 – 2,14. Indek keseragaman (E) cenderung mendekati nilai satu (1). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada spesies yang mendominasi atas spesies yang lain. Kisaran indek dominansi (D) yang cenderung rendah mendekati nol memperlihatkan bahwa dominansi suatu spesies tidak ada (Gambar 7). Sebaran fitoplankton rendah (2.000 – 5.000 sel/m3) merata di sekitar pantai, namun sebaran yang relatif tinggi (5.000 – 15.000 sel/m3) cenderung mengumpul di mulut teluk Tomini. Awwaludin et al. (2005) menemukan sebaran fitoplankton yang mirip dengan penelitian ini, yaitu kepadatan tinggi cenderung mengumpul di mulut teluk bagian utara dan di ujung teluk sebelah barat. Fenomena ini dapat disebabkan oleh penaikan massa air dari lapisan bawah (upwelling) dengan salinitas lebih tinggi dan kaya kandungan nutrient. P. Peleng POSOToliba SULAWESI 20000 to 25000 PP. Sula 120 121 Gambar 6. 122 123 124 125 Sebaran mendatar fitoplankton di Teluk Tomini pada bulan Juli 2010. Horizontal distribution of phytolankton in Tomini bay on July 2010 (east monsoon) Figure 6. Musim Timur Fitoplankton Pagimana Ampana Luwuk -1 2.5 2 1.5 H E 1 D 0.5 0 1 2 3 4 5 6 Gambar 7. 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Sebaran indek diversitas (H), keseragaman (E) dan dominansi (D) fitoplankton pada tiap stasiun. Distribution of diversity (H), eveness (E) and dominance (D) indicies of phytoplankton at each station. Figure 7. 1.5 MANADO Bitung 60 nmi 1 Ind/m3 100 to 500 0.5 Ongka Tinombo Papayato Moutong Marisa GORONTALO Tilamuta Malibagu 500 to 1000 0 1000 to 1500 Una-una Donggulu Zooplankton -0.5 1500 to 2000 Pp. Tagihan Toboli Parigi 2000 to 2500 Laiga Kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 15, yakni sebesar 2.369,43 sel/m 3 , sedangkan yang terendah terdapat di stasiun 14, yakni sebesar 166 sel/m3 (Gambar 8). Indek Keaneka-ragaman (H) cenderung rendah (0,68 – 1,66). Indek Keseragaman (E) tinggi, ditunjukkan dengan kisaran nilai yang mendekati angka nol (0) (Gambar 9). Indeks Dominansi (D) yang cenderung bergerak ke arah satu (1) menandakan bahwa tidak ada spesies tertentu yang mendominasi. Pagimana Ampana Luwuk -1 Tambu Tambarana 2500 to 3000 P. Peleng POSOToliba -1.5 SULAWESI 3000 to 3500 PP. Sula 120 Gambar 8. Figure 8. 121 122 123 124 125 Sebaran mendatar zooplankton di Teluk Tomini pada bulan Juli 2010 (musim timur). Horizontal distribution of zooplankton in Tomini bay on July 2010 (east monsoon) 391 B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395 tahun sebelumnya (66 – 103 mm) (Ilahude, 2011) akan menyebabkan perairan menjadi subur dan membuat populasi fitoplankton juga meningkat. 2.5 2 1.5 H D 1 1.5 MANADO Bitung E 60 nmi 1 0.5 0.5 Papayato Moutong Ongka Tinombo Marisa GORONTALO Tilamuta Malibagu Sel/m3 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 2000 to 5000 Una-una 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Donggulu 5000 to 10000 -0.5 Pp. Tagihan 10000 Toboli to 15000 Parigi Laiga Gambar 9. Figure 9. Sebaran indek diversitas (H), Keseragaman (E) dan dominansi (D) zooplankton pada tiap stasiun. Distribution of diversity (H), Eveness (E) and dominance (D) indices of zooplankton at each station. Hasil dari sampling menunjukkan komposisi utama dari zooplankton di daerah penelitian berturut-turut Crustacea (7 jenis), Polychaeta (5 jenis), Hydrozoa (3 jenis), Sarcodina dan Bivalvia (2 jenis), Sagittoidea (1 jenis) serta larva moluska (1 jenis). Daerah sebaran terkonsentrasi di mulut teluk sebelah selatan dan mulut teluk bagian dalam sebelah utara. -1 Pagimana Ampana Luwuk 15000 to 20000 Tambu Tambarana 20000 to 25000 -1.5 P. Peleng POSOToliba SULAWESI 25000 to 450000 > 250000 PP. Sula 120 121 Gambar 10. 122 123 124 125 Sebaran mendatar fitoplankton di Teluk Tomini pada bulan Nopember 2010 (musim barat). Horizontal distribution of phytolankton in Tomini bay on November 2010 (west monsoon) Figure 10. 2.5 2 Musim Barat 1.5 Fitoplankton 1 H' D Pada musim barat ditemukan 27 jenis fitoplankton yang terdiri atas kelompok Diatom (19 jenis) dan non-Diatom masing-masing dari kelas Cyanophyceae (1 jenis), dan Dinophyceae (7 jenis). Kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat di stasiun 11 sebesar 420.060 sel/m3, sedangkan yang terendah terdapat di stasiun 14 yakni 9.843 sel/m3 (Gambar 10). Indek keanekaragaman (H) berada pada kondisi sedang (0,20 – 2,24). Indek keseragaman (E) cenderung mendekati nilai satu (1). Hal ini menunjukkan kesegaman jenis tinggi, sedangkan kisaran indek dominansi (D) cenderung mendekati nol (0) yang memperlihatkan bahwa dominasi suatu spesies rendah (Gambar 11). Sebaran fitoplankton dengan kelimpahan tinggi (15.000 – 25.000 sel/m3) cenderung mengumpul di mulut Teluk Tomini seperti pada musim timur namun dengan kelimpahan juga lebih tinggi. Hal ini berbeda dengan temuan-temuan sebelumnya dimana produktivitas tertinggi biasanya terjadi pada musim timur dan menurun pada musim barat yang diduga karena adanya fenomena upwelling (Awwaludin et al., 2005; Amri et al., 2005; Suwarso et al., 2005; Surinati, 2009). Pada tahun 2010, hujan hampir terjadi sepanjang tahun (fenomena La – Nina), sehingga input nutrient yang diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi dan lama dibandingkan tahun – 392 E 0.5 0 1 2 3 Gambar 11. Figure 11. 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Sebaran indek diversitas (H), keseragaman (E) dan dominansi (D) fitoplankton pada tiap stasiun. Distribution of diversity (H), Eveness (E) and dominance (D) indices of phytoplankton at each station. Secara keseluruhan, komunitas fitoplankton terdiri 33 genus termasuk dalam 3 kelas utama, yaitu Bacillariophyceae (21 genus), Chrysophyceae (1 genus), Cyanophyceae (1 genus), dan Dinophyceae (10 genus) menunjukkan tingkat keseragaman rendah hingga sedang, tidak ditemukan genus tertentu yang dominan. (Tabel 1). Kelas Bacillariophyceae merupakan kelompok yang memiliki frekuensi kehadiran paling tinggi (67,25 %), sedang kelas Chrysophyceae dan Cyanophyceae memiliki frekuensi kehadiran rendah, masing-masing adalah 2,08 % dan 4,08 %. Jenis fitoplankton seperti Chaetoceros, B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395 Coscinodiscus, dan Rhizosolenia diketahui mempunyai frekuensi kehadiran yang tinggi dari kelas Bacillariophyceae, selain sifatnya stenohalin (mempunyai toleransi tinggi terhadap perubahan salinitas) (Kennish, 1990), bentuk sel yang bersegmen, dimana tiap segmen bersifat mandiri, dan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya dan merupakan kelompok fitoplankton yang disenangi oleh ikan dan larva udang. Kelas Cyanophyceae hanya terdiri dari satu marga, yakni Trichodesmium sp. dengan kelimpahan yang cukup tinggi, marga ini dikenal bersifat endemik di sekitar Pulau Pari (Adnan, 1992 dalam Adnan, 1999). Kehadiran fitoplankton dari marga ini di suatu perairan terutama di bagian laut merupakan pionir bagi kehidupan perairan, tetapi apabila terdapat di bagian pantai dan berada dalam kondisi melimpah dapat merusak organisme lainnya (Adnan, 1999). Kelas Chrysophyceae hanya terdiri dari 1 marga, yakni Prorocentrum sp yang ditemukan pada 2 stasiun di bulan Mei, sehingga tingkat kehadiran paling rendah; jumlah genus dan jumlah individu tiap genus juga rendah. Dari kelas Dinophyceae kelimpahan paling banyak dari marga Protoperidium sp dan Ceratium sp, kecuali pada musim Barat Ceratocorys sp juga terdapat dalam jumlah yang melimpah. Zooplankton Kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 5, yakni sebesar 4.455 sel/m3, sedangkan yang terendah terdapat di stasiun 3, yakni sebesar 312 sel/m3 (Gambar 12). Indek Keaneka-ragaman (H) sedang, berada pada kisaran 1,603 – 2,403. Indek Keseragaman (E) tinggi (mendekati 1), dan Indek Dominasi (D) rendah menunjukkan bahwa jenis zooplankton memiliki keseragaman yang tiggi, dan tidak ada yang mendominasi (Gambar 13). Sebaran terkonsentrasi penuh di sekitar mulut teluk dengan jumlah yang relatif sama besarnya. 1.5 MANADO Bitung 60 nmi 1 Ind/m3 100 to 500 0.5 Ongka Tinombo Papayato Moutong Marisa GORONTALO Tilamuta Malibagu 500 to 1000 0 1000 to 1500 Una-una Donggulu 1500 to 2000 -0.5 Pp. Tagihan Toboli Parigi 2000 to Laiga 2500 Pagimana Ampana Luwuk -1 Tambu Tambarana 2500 to 3000 P. Peleng POSOToliba -1.5 SULAWESI 3000 > 3000to 3500 PP. Sula Distribusi fitoplankton dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi seperti arus, suhu permukaan, kecerahan, salinitas dan nutrient (Arinardi et al., 1997; Kennish, 1990). Pada musim timur, di Laut Maluku bergerak arus permukaan dari selatan ke arah utara (Laut Sulawesi). Massa air permukaan ini berasal dari Samudra Pasifik yang mengalir di sebelah utara Irian, masuk Laut Maluku melalui selatan Halamhera (Wyrtki, 1961 dalam Awwaludin et al., 2005); di daerah mulut teluk, arus cabang mengalir ke dalam teluk (Burhanuddin et al., 2004). Meskipun tipe-tipe massa air permukaan tersebut belum jelas, diperkirakan pola arus permukaan yang terkait dengan pola angin sangat berpengaruh terhadap distribusi plankton di daerah ini. Proses dinamik antara produktivitas primer kaitannya dengan distribusi nutrient belum diketahui, sehingga perlu dikaji lebih lanjut. 120 121 Gambar 12. 122 123 124 Sebaran mendatar zooplankton di Teluk Tomini pada bulan Nopember 2010 (musim barat). Horizontal distribution of phytolankton in Tomini bay on November 2010 (west monsoon) Figure 12. 3 2.5 2 H' 1.5 D E 1 Nilai kelimpahan fitoplankton bersifat relatif karena tergantung pada kondisi musim dan metode sampling yang diterapkan (Arinardi et al., 1997). Menurut Mann and Lazier (2006) distribusi vertikal fitoplankton (primary production) sangat ditentukan oleh proses-proses fisik yang mempengaruhi distribusi nutrient dan cahaya. Secara alamiah, fitoplankton tersebar di zona euphotic, dari lapisan permukaan hingga kedalaman air dimana sinar matahari masih dapat mencapainya dan proses fotosintesis dapat berlangsung, kelimpahan maksimum umumnya terdapat pada kedalaman 20 – 30 m (Wiandyana, 1998); sedangkan sampling di Teluk Tomini dilakukan hanya di permukaan saja (1 – 5 m). Pengambilan contoh pada kedalaman berbeda diperkirakan akan diperoleh hasil yang berbeda pula. 125 0.5 0 1 2 3 Gambar 13. Figure 13. 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Sebaran indek diversitas (H), Keseragaman (E) dan dominansi (D) fitoplankton pada tiap stasiun. Distribution of diversity (H), Eveness (E) and dominance (D) indices of phytoplankton at each station. 393 B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395 Dari 69 jenis zooplankton yang termasuk dalam 10 kelas, Crustacea memberi kontribusi terbesar dalam kelimpahan zooplankton (40,47 %) (Tabel 1), dengan Copepod sebagai jenis dominan perairan yang menandakan bahwa jenis ini adalah komponen utama zooplankton. Kelimpahan zooplankton di perairan ini cukup potensial untuk mendukung kehidupan biota laut pelagis, karena umumnya zooplankton merupakan makanan utama untuk berbagai jenis ikan pelagis seperti ikan layang (Decapterus macarellus), kembung (Rastreliger kanagurta), tembang dan lainnya (Wiadnyana, 1998; Awwaludin et al., 2005). Di dalam lingkungan yang normal, bergerombolnya biota laut selalu berkaitan erat dengan banyaknya mangsa pakan di suatu perairan. Indeks Keaneka-ragaman (H) zooplankton menunjukkan bahwa Teluk Tomini memiliki tingkat keaneka-ragaman zooplankton sedang, keseragaman (E) yang tinggi dan dominansi (D) rendah, sehingga tidak terlihat adanya dominansi dari jenis tertentu. Konsentrasi kelimpahan zooplankton di perairan mulut teluk tampaknya berkorelasi dengan kelimpahan fitoplankton sebagai makanannya yang juga tersebar di sekitar mulut teluk. Keberadaan yang sama antara fitoplankton dan zooplankton di mulut teluk belum diketahui alasannya secara pasti, namun faktor arus permukaan diduga sangat berperan. Arus permukaan pada musim dari sebelah selatan bergerak menuju utara, di daerah mulut teluk arus bercabang karena membentur daratan Sulawesi Utara, yaitu ke arah barat masuk teluk dan ke utara mengarah ke Laut Sulawesi (Burhanuddin et al., 2004) KESIMPULAN 1. 2. Kelimpahan baik fitoplankton dan zooplankton memperlihatkan nilai yang tinggi pada musim Barat, menurun di musim Peralihan I dan terendah pada musim Timur. Pada musim Barat sebarannya terkonsentrasi di sekitar mulut teluk, sedangkan pada musim Peralihan I sebarannya merata. Keanekaragaman fitoplankton dan zooplankton umumnya rendah sampai sedang. Keseragaman tinggi dan dominasi yang rendah mengindikasikan tidak adanya jenis tertentu yang mendominasi populasi baik fitoplankton maupun zooplankton. Chaetoceros, Coscinodiscus, dan Rhizosolenia merupakan jenis fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae yang memiliki frekuensi kehadiran yang tinggi, sedangkan, Crustacea merupakan zooplankton yang dominan dari kelompok zooplankton. Amin, M & Utojo. 2008. Komposisi dan keragaman jenis plankton di perairan Teluk Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur. Torani. 18(2): 129 – 135. Amri, K., Suwarso, & Herlisman. 2005. Dugaan upwelling berdasarkan analisis komparatif citra sebaran suhu permukaan laut dan klorofil-a di Teluk Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.11 (6): 57 – 71. Arinardi, O.H., Trimaningsih, Sudirdjo, Sugestiningsih, & S.H. Riyono. 1997. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta. 140 pp. Aslam, M. 2009. Diversity, species richness, and evenness of moth fauna of Peshawar. Pak. Entomol. 31(2): 99 – 102. Awwaludin, Suwarso, & R. Setiawan. 2005. Distribusikelimpahan dan struktur komunitas plankton pada musim timur di perairan Teluk Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia .11(6) : 33-56. Burhanuddin. Supangat, A., & T. Wagey (Eds.). 2004. Profil sumberdaya kelautan teluk tomini. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 84 pp. Djumanto, Sidabutar, T., Pontororing, H., & R. Leipary. 2009. Pola sebaran horizontal dan kerapatan plankton di perairan Bawean. Jurnal Perikanan . XI (1) : 146161. Ilahude, D. 2011. Mengapa ikan tuna sirip kuning semakin langka di perairan Gorontalo? http:// gorontalonews.wordpress.com, di akses tanggal 6 Juni 2011. Kennish, M.J. 1990. Ecology of estuaries: biological aspect. Volume 2. CRC Press, Inc., United States 408 pp. Lo, W.T., Hwang, J.J., Hsu, P.K., Hsieh, H.Y., Tu, Y.Y., Fang, T.H, & J.J. Hwang. 2004. Seasonal and spatial distribution of phytoplankton in the waters off nuclear power plant, North of Taiwan. Journal of Marine Science and Technology.12 (5): 372 – 379. DAFTAR PUSTAKA Mann, K.H. & J.R.N. Lazier. 2006. Dynamics of marine ecosystems: biological-physical interactions in the oceans. 3rd Edition. Blackwell Publishing Ltd. 496 pp. Adnan, Q. 1999. Kondisi populasi fitoplankton di perairan gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Prosiding Seminar Biologi menuju millenium III, Fak. Biologi UGM. 59 – 68 pp. Nybakken, J.W. 1988. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. Alih bahasa: M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, H. Malikusworo & Sukristijono. PT. Gramedia, Jakarta. 459 pp. 394 B. Setyadji, A. Priatna / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 387-395 Odum, E.P. 1971. Fundamentals of ecology. 3rd edition. WB. Saunders Company. London. 574 pp. Roger, C. 1994. The plankton of the tropical Western Indian Ocean as a biomass indirectly supporting surface tunas (yellowfin, Thunnus albacares and skipjack, Katsuwonus pelamis). Environmental Biology of Fishes. 39: 161 – 172. Sagala, E.P. 2009. Potensi komunitas plankton dalam mendukung kehidupankomunitas nekton di perairan rawa gambut, Lebak Jungkal di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Propinsi Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sains. Edisi Khusus Nopember 2009 (D) 09:12-11. Sediadi, A. 1986. Mengenal plankton. LONAWARTA, Tahun. X, ( 4) : 31 – 36. Surinati, D. 2009. Upwelling dan efeknya terhadap perairan laut. Oseana. XXXIV (4): 35 – 42. Suwarso, Zamrony, A., & R. Setiawan. Kebiasaan makan beberapa jenis ikan pelagis di perairan Teluk Tomini. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.11(6) : 109 – 113. Wiadnyana, N.N. 1998. Distribusi dan variasi pigmen fitoplankton di Teluk Tomini, Sulawesi Utara. Seminar Kelautan LIPI-UNHAS, Ambon 4-6 Juli 1997: 248 – 259. Wiadnyana, N.N. 2002. Kesuburan dan komunitas plankton di perairan pesisir Digul, Irian Jaya. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia (2002), IX (2): 1 – 10. Yamaji, I. 1996. Illustration of The Marine Plankton of Japan., 3rd Edition, Hoikusha Publishing Co.Ltd., Japan. 538 pp. Yonvitner & Z. Imran. 2006. Rasio biomassa dan kelimpahan makrozoobenthos sebagai penduga tingkat pencemaran di Teluk Jakarta. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 11(3): 11 – 17. Yusron, E & Edward. 2000. Kondisi perairan dan keanekaragaman hayati di perairan Teluk Tomini Sulawesi Utara. Seminar nasional pendayagunaan sumberdaya hayati dalam pengelolaan lingkungan. Tanggal 3 Juni 2000. Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. 395 BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404 KONSENTRASI TIMBAL DAN KADMIUM PADA ORGAN IKAN DI SUAKA MARGASATWA GIAM SIAK KECIL, PROVINSI RIAU Husnah dan Melfa Marini Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang Teregistrasi I tanggal: 22 Juni 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 3 Agustus 2011; Disetujui terbit tanggal: 8 September 2011 ABSTRAK Logam berat seperti timbal dan kadmium merupakan material antropogenik yang sering ditemukan pada sedimen di rawa banjiran. Konsentrasi logam timbal dan kadmiun pada sedimen di rawa banjiran dapat merubah keragaman jenis biota dan ekosistem akibat akumulasi dan daya racunnya, dan bila logam tersebut ditemukan di Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil yang merupakan zona inti Cagar Biosfir GSK-BB maka model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan berkelanjutannya perlu ditinjau ulang. Penelitian bertujuan mengetahui konsentrasi logam timbal dan kadmium pada berbagai jenis organ dari berbagai jenis ikan hasil tangkapan nelayan telah dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus 2010 di perairan danau rawa banjiran (Tasik Serai, Katialau, Betung dan Air Hitam) dan badan utama Sungai Siak Kecil dalam kawasan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil. Contoh organ insang, jaringan otot, ginjal dan hati berbagai jenis ikan diambil dari hasil tangkapan nelayan yang menggunakan berbagai alat tangkap dan diawetkan pada suhu kurang dari 4oC. Konsentrasi logam timbal dan kadmium pada sedimen juga diambil pada stasiun pengamatan yang sama dengan menggunakan Ekman grab. Logam timbal dan kadmium sebagian besar ditemukan pada organ insang, ginjal, dan hati ikan pada berbagai jenis ikan. Konsentrasi timbal pada organ tersebut telah melebihi batas maksimum yang ditetapkan oleh FAO yaitu lebih dari 0.5 mg/kg berat basah dan BPOM No. 03725/B/SK/VII/89 yaitu kurang dari 2 mg/kg sedangkan kadmium dengan konsentrasi lebih dari 0.05 mg/kg berat basah menurut FAO dan lebih dari 0.02 mg/kg berat basah menurut BPOM No. 03725/B/SK/VII/89. Pengelolaan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil dan Cagar Biosfir Giam Siak Kecil-Bukit Batu belum dapat melindungi biota khususnya sumberdaya ikan di perairan tersebut. Untuk mengurangi dampak negatif dari faktor antropogenik logam berat dari berbagai kegiatan di sekitar kawasan luar Cagar Biosfir GSK-BB perlu dipertimbangkan kembali upaya untuk melibatkan juga masyarakat lokal dan perusahaan yang sumberdaya alam disekitar kawasan luar Cagar Biosfir GSK-BB dalam pengelolaannya. KATA KUNCI : logam Berat, timbal, kadmium, organ ikan, rawa, Giam Siak Kecil ABSTRACT: Lead and cadmium concentration in fish organ of Giam Siak Kecil Wild Animal Reserve, Riau Province. By: Husnah and Melfa Marini Lead and cadmium are commonly antrophogenic substances recorded in floodplain sediment and this could influence fish health and diversity due to their accumulation and toxicities. The presence of high concentration of these heavy metals in sediment and fish organs of Giam Siak Kecil wild animal reserve as the core area of Giam Siak Kecil – Bukit Batu (GSK-BB) Natural Biosphere could influence their management model and sustainaible development approach. Study in order to know accumulation of lead and cadmium in fish organs of Giam Siak Kecil Wild Animal Reserve floodplain of Riau Province was conducted in June to August 2010. Fifteen sampling sites in Giam Siak Kecil floodplain were set up by using purposive random sampling based on microhabitat difference. Different fish organs (fish gill, tissue, and lever) from different fish species were collected from fishermen catch using different fishing gears and preserved with 4% of Formaldehyde solution. The result revealed that most of fish organs from different fish species contained lead and cadmium with concentration exceeded the acceptable limit permitted by FAO and Indonesian National Drug and Food Agency. It indicated that the presence of Giam Siak Kecil Wild Animal Reserves has not protected the animal yet specially aquatic organism such as fish. To reduce the negative effect of antrophogenic heavy metals from activities around the animal reserve, there should be considered more to involved local people and stakeholder utilized the natural around the wild animal reserve in its management. KEYWORDS: Heavy metals, Lead, Cadmium, fish organ, floodplain, Giam Siak Kecil. PENDAHULUAN Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil merupakan satu dari dua suaka margasatwa dalam kawasan inti (core) Cagar Biosfir Giam Siak Kecil - Bukit Batu (GSK-BB) di Provinsi Riau yang ditetapkan oleh United Nations Educational, Korespondensi penulis: Balai Riset Perikanan Perairan Umum-Palembang Jl. Beringin No.308 Mariana. Banyuasin III. Kab. Banyuasin Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada sidang pleno International Co-ordinating Council of the Man and the Biosphere Programme (MABlICC)-UNESCO pada tanggal 25-29 Mei 2009 di Jeju, Korea Selatan sebagai cagar biosfir ke tujuh di Indonesia (Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 2009). Dibandingkan 397 Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404 dengan enam cagar biosfir lainnya di Indonesia, Cagar Biosfir GSK-Bukit Batu memiliki karakteristik yang spesifik diantaranya adalah kawasan intinya (core zone) merupakan kawasan konservasi dan hutan produksi yang tidak dikonversi (MAP Biosphere Reserve Directory, 2010, LPPM IPB, 2009), sedangkan cagar biosfir lainnya kawasan intinya adalah taman nasional. Sasaran utama ditetapkannya Cagar Biosfer GSK-BB tersebut diantaranya adalah adalah: (1) memanfaatkan Cagar Biosfer untuk konservasi sumberdaya alam dan (2)memanfaatkan Cagar Biosfer sebagai model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan berkelanjutan di bentang lansekap (sustainable development of the landscape) hutan rawa gambut, tasik dan sistem perairannya, dan lahan gambut yang telah dikonversi menjadi hutan tanaman industri (HTI), perkebunan, pertanian, dan pemukiman (LIPI, 2009; MAP Biosphere Reserve Directory, 2010). Sungai Siak Kecil berikut rawa banjirannya (tasik) merupakan bagian dari sistim perairan di Suaka Margasatwa GSK yang terletak di zona inti, namun dari sebelum ditetapkan sebagai cagar biosfir hingga saat ini, perairan tersebut telah dimanfaakan masyarakat untuk berbagai kegiatan termasuk perikanan. Keragaman jenis ikan di perairan tersebut tercatat 37 jenis yang didominasi oleh kelompok ikan rawa (blackfish) ekonomis dari famili Siluridae yakni Ikan Lais-laisan (Kryptopterus spp) dan Ikan Tapah (Wallago leeri), dan dari famili Bagridae yaitu Ikan Baung (Hemibagrus nemurus)( (Husnah et al., 2010). Suatu wilayah yang akan dijadikan kawasan suaka hendaknya memenuhi beberapa persyaratan diantaranya tersedianya kualitas lingkungan yang baik bagi kehidupan, yakni untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan biota yang dilindungi (Koeshendrajana & Hoggarth, 1998; Hoggarth, 2000; Crivelli, 2002). Sampai saat ini, evaluasi terhadap kelayakan kualitas lingkungan perairan untuk hidup dan berkembangnya ikan di perairan rawa banjiran suaka margasatwa GSK masih terbatas, sedangkan di lahan sekitar kawasan tersebut seperti zona penyangga, zona transisi dan kawasan di luar cagar biosfir GSK-BB terdapat beberapa aktivitas yang berpotensi menimbulkan faktor antropogenik. Logam berat seperti timbal dan kadmium merupakan material antropogenik yang sering ditemukan pada sediment di rawa banjiran (Clevers & Kooistra, 2003; Du Laing et al, 2009). Tingginya ketersedian dan mobilitas logam berat tersebut diantaranya berkaitan erat dengan rendahnya topografi, seringnya frekuensi banjir, dan tingginya tingkat keasaman dan bahan organik di rawa banjiran (Du Laing et al, 2009; Middelkoop, 2000). Konsentrasi logam timbal dan kadmiun pada sedimen di rawa banjiran Suaka Margasatwa GSK telah melewati batas maksimum (Husnah et al., 2010). Konsentrasi logam berat yang tinggi dapat merubah keragaman jenis biota dan 398 ekosistem akibat akumulasi dan daya racunnya (Weher, 2008), dan bila hal ini ditemukan di Suaka Margasatwa GSK yang merupakan zona inti Cagar Biosfir GSK-BB maka model pengelolaan lahan dan pendekatan pembangunan berkelanjutannya perlu ditinjau ulang. Tujuan dari penelitiaan ini adalah untuk mengetahui konsentrasi logam timbal (Pb) dan kadmium (Cd) pada beberapa organ ikan hasil tangkapan nelayan di perairan rawa banjiran Suaka Margasatwa GSK METODE PENELITIAN Kondisi Lokasi Penelitian Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil (GSK) dengan luas lahan 84.000 ha (LIPI, 2009), terletak dalam zona inti (core zone) Cagar Biosfir GSK-Bukit Batu (BB). Suaka margasatwa ini merupakan dataran rendah dengan ratarata ketinggian antara 1-25 meter di atas permukaan laut. Struktur tanah sebagian besar merupakan tanah podsolik merah kuning dan batuan, dan alluvial serta tanah organosol yaitu jenis tanah yang banyak mengandung bahan organik dan gley humus dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah (Anonimous, 2010a; Anonimous, 2010b). Pemanfaatan lahan pada zona inti suaka margasatwa terdiri atas pemukiman penduduk, pertanian, perkebunan dan perikanan. Pada zona penyangga (buffer) merupakan kawasan hutan tanaman industri beberapa perusahaan yang tidak dikonversi. Kawasan luar merupakan area transisi atau kawasan budidaya dari berbagai pemangku kepentingan ditujukan untuk kerjasama antara masyarakat dengan pengusaha swasta lainnya. Lahan di luar kawasan Cagar Biosfir GSK-BB didominasi kegiatan pengeboran minyak dan perkebunan sawit. Tasik Serai, Katialau, Betung dan Air Hitam adalah bagian dari 17 tasik yang ada rawa banjiran Suaka Margasatwa GSK. Tasik-tasik ini terhubungkan satu sama lain oleh Sungai Siak Kecil (Gambar 1). Karakteristik perairan rawa banjiran ini diantaranya adalah keasaman air yang tinggi dengan nilai pH pada kisaran 3.5-4.25, kesadahan dan dan alkalinitas rendah, konsentrasi logam timbal (Pb) dan kadmium (Cd) pada sedimen mencapai 14 mg/kg dan 0.018 mg/kg (Husnah et al., 2010). Pengumpulan data Penelitian bersifat survei inventarisasi di lapangan dilakukan pada bulan Juni dan Agustus 2010 pada empat tasik dan badan utama Sungai Siak Kecil di Suaka Margasatwa GSK, Cagar Biosfir GSK-BB, provinsi Riau. Lima belas (15) stasiun pengambilan contoh ditetapkan dengan metode purpossive random sampling berdasarkan perbedaan mikrohabitat. Tiga belas (13) stasiun Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404 pengamatan terletak pada empat tasik (Serai, Katialau, Betung, dan Air Hitam), sedangkan dua stasiun lainnya terletak di badan utama Sungai Siak Kecil (Gambar 1). Logam berat timbal dan kadmium diamati pada beberapa organ ikan seperti jaringan otot, insang, hati dan ginjal dari beberapa jenis ikan ekonomis hasil tangkapan nelayan pada ke empat tasik dan badan utama Sungai Siak Kecil. Pemilihan contoh jenis ikan disesuaikan dengan ketersedian contoh ikan hasil tangkapan nelayan pada saat survey di lapangan. Pada bulan Juni contoh organ berasal dari 5 jenis ikan yaitu Ikan Baung (Hemibagrus nemurus), Ikan Tapa (Wallago leeri), Ikan Bujuk (Channa lucius), Ikan Toman (Channa micropeltes), dan Ikan Tuakang atau Tambakan (Helostoma temminckii), untuk bulan Agustus contoh organ berasal dari jenis Ikan Baung dan Tapa dengan ukuran pang rata rata 20 cm. Organ jaringan otot, insang, ginjal dan hati dikumpulkan dari lima ekor masing-masing jenis ikan dan dikomposit berdasarkan jenis organ dan jenis ikan. Contoh masing-masing organ dari setiap jenis ikan tersebut dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah diasamkan terlebih dahulu, kemudian diawetkan dengan cara pendinginan pada suhu 4oC. Contoh organ tersebut dikirimkan ke Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian Divisi Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Analisa logam timbal dan kadmium pada organ ikan berdasarkan metode tertuang dalam bab 3111 B pada APHA (1998). Konsentrasi logam timbal dan kadmium pada sedimen diambil pada stasiun pengamatan yang sama dengan menggunakan Ekman grab. Contoh sedimen pada masingmasing stasiun kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah diasamakan terlebih dahulu, kemudian disimpan pada suhu dibawah 4oC dan dianalisa pada Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian Divisi Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Analisa logam timbal dan kadmium pada sedimen berdasarkan metode tertuang dalam bab 3111 B pada APHA (1998). S.Siak Kecil hilir Serai Katialau Betung Air Hitam S.Siak Kecil hilir Gambar 1. Figure 1. Peta lokasi penelitian dan stasiun pengamatan di rawa banjiran (warna biru tua) Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil (GSK), Cagar Biosfir Giam Siak Kecil dan Bukit Batu (GSK-BB), Provinsi Riau (Sumber. PT Sinarmas Forestry) Sampling site located at Giam Siak Kecil (GSK) Wild Animal Reserve (blue color), Giam Siak Kecil dan Bukit Batu (GSK-BB) Biosphere, Provinsi Riau (Source: PT Sinarmas Forestry) Analisa Data HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi logam berat pada masing-masing organ dari setiap jenis ikan pada masing-masing tasik dan badan utama Sungai Siak Kecil ditabulasi dan dibuat grafik yang kemudian akan di analisa secara deskriftif. Pada bulan Juni yang bertepatan dengan musim kemarau, konsentrasi logam timbal pada berbagai jenis organ dari berbagai jenis ikan lebih tinggi dari pada logam kadmium (Gambar 2). Tingginya kandungan logam timbal 399 Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404 Dari ke empat organ ikan yang diamati, konsentrasi logam timbal yang tertinggi terdapat pada organ insang diikuti kemudian oleh ginjal, hati dan jaringan otot (Gambar 2). Pola yang sama juga ditemukan pada Ikan Juaro (Pangasius polyuronodon) di Sungai Siak bagian hilir (Husnah et al., 2010) dan studi yang dilakukan oleh Buhler et al. (1977) dan Oladimeji et al. (1989). Relatif lebih tingginya logam berat pada insang dibandingkan organ lain dikarenakan organ insang yang paling banyak bersinggungan dengan perairan dan bahan bahan tersuspensi di perairan (Olojo et al., 2005; Akan et. al., 2009). 12 10 8 6 4 2 0 Pb (mg/kg) Hati Ginjal Daging Insang Daging Hati Ginjal Insang Jaringan Tuakang Tapa Organ/Jenis Ikan Gambar 2. Konsentrasi logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) pada beberapa organ beberapa jenis ikan hasil tangkapan nelayan di Tasik Serai, Katialau, Betung dan Air Hitam serta di badan utama Sungai Siak Kecil kawasan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Cagar Biosfir Giam Siak Kecil-Bukit Batu, provinsi Riau pada bulan Juni 2010. Lead (Pb) and cadmium (Cd) concentration in fish organs of fishermen catch in Serai, Katialau, Betung and Air Hitam floodplain savannahs and Siak Kecil River located at Giam Siak Kecil Wild Animal Figure 2. Pb (mg/kg) Cd (mg/kg) 16 14 12 10 8 6 4 2 0 2 Serai 3 1 2 3 Katialau 1 2 3 Betung 1 2 Air Hitam 3 Siak kecil hulu Siak kecil hilir Hati Ginjal Daging Insang Hati Ginjal Insang Stasiun Pengamatan/Tasik Gambar 3. Tapa Organ/Jenis Ikan Tasik Betung 12 10 8 6 4 2 0 Pb (mg/kg) Cd (mg/kg) Bujuk Organ/Jenis Ikan Toman Hati Ginjal Insang Jaringan Otot Hati Ginjal Insang Figure 3. Jaringan Otot Konsentrasi Pb dan Cd (mg/kg) Hati Baung Cd (mg/kg) Baung 400 Ginjal Insang Cd (mg/kg) Jaringan Konsentrasi Pb dan Cd (mg/kg) 12 10 8 6 4 2 0 1 Pb (mg/kg) Jaringan Otot Konsentrasi Pb dan Cd (mg/kg) Tasik Serai (Ikan Baung); Tasik Katialau (Ikan Tapa) Tasik Air Hitam Konsentrasi Pb dan Cd (mg/kg) berkaitan dengan tingginya konsentrasi logam tersebut pada sedimen khususnya di tasik-tasik, sedangkan pada sedimen di badan utama Sungai Siak Kecil, logam timbal tidak terdeteksi (Gambar 3). Karakteristik perairan tasik yang tergenang menyebabkan logam-logam berat yang terbawa arus Sungai Siak Kecil menuju tasik akan terdeposisi pada sedimen lebih cepat dibandingkan dengan di badan sungai. Fenomena ini terjadi karena ekosistem danau rawa banjiran (tasik) merupakan satu kesatuan dengan sungai. Proses-proses fisiko kimia yang terjadi di tasik berkaitan erat dengan proses fisika kimia di badan sungai (Du Lang, 2009, Clevers & Kooistra, 2003). Selain itu, tingginya konsentrasi logam timbal di perairan Suaka Margasatwa yang mencapai konsentrasi 14 mg/kg berkaitan erat dengan kegiatan pengeboran minyak dan transportasi perkebunan yang ada pada kawasan di luar Cagar Biosfir GSK-BB. Kegiatan tersebut merupakan pasokan Timbal di daratan dan perairan (Olojo et al., 2005; Su et al., 2009). Konsentrasi logam berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada sedimen danau rawa banjiran (tasik) dan badan utama Sungai Siak Kecil, kawasan Suaka Margasatawa Giam Siak Kecil, Cagar Biosfir Giam Siak Kecil-Bukit Batu, provinsi Riau pada bulan Juni 2010 Lead and Cadmiun concentration i the sediment of floodplain savannahs and Siak Kecil River located at Giam Siak Kecil Wild Animal Reserve, Giam Siak Kecil dan Bukit Batu (GSK-BB) Biosphere, Riau Province in June 2010 Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404 Seperti halnya dengan logam timbal, konsentrasi logam kadmium pada beberapa organ ikan seperti insang Ikan Tapa, Bujuk dan Toman, organ hati Ikan Tapa, jaringan otot (daging) ikan Tambakan dan Ikan Bujuk, serta ginjal Ikan Tambakan telah melebihi batas maksimum yang diperbolehkan yaitu 0.05 mg/kgberat basah (Food, Agriculture Organization (FAO) dalam Nnaji et al., 2007) 0.02 mg/kg berat basah) dan BPOM No. 03725/B/SK/VII/ 89 yaitu kurang dari 0.02 mg/kg berat basah (Supriyanto et al., 2007). Logam kadmium ini ditemukan pada organ ikan disemua tasik kecuali Tasik Air Hitam. Tingginya kandungan logam timbal dan kadmium pada organ ikan di tasik Suaka Margasatwa GSK mempengaruhi kesehatan ikan. Berdasarkan analisa hispatologi, 16.67 % Ikan Baung menunjukkan ketidaknormal jaringan begitu juga dengan Ikan Toman, Ikan Bujuk dan Ikan Tambakan. Ketidaknormalan diantaranya adalah branchitis, congesti, dan fusi lamella pada insang, infark dan degenerasi pada hati, nephritis interstitialis dan intertubuli (radang) pada ginjal, serta haemoraghi pada jaringan otot. Fenomena yang sama juga ditemukan oleh(Olojo et al. (2005), Gupta & Mathur (1983) dalam Weher (2008), dan Vinodhini & Narayanan (2008). 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 PebruariMaret April Mei Juni Juli 1 1 1 1 1 1 1 1 Perbedaan konsentrasi logam timbal pada sedimen di tasik yang berada di bagian hulu seperti Tasik Serai dan Katialau dengan tasik yang terletak di bagian hilir seperti Tasik Air Hitam (Gambar 3) mempengaruhi akumulasi logam tersebut pada organ ikan. Kandungan logam timbal pada organ insang Ikan Baung di Tasik Serai relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Ikan Baung di Tasik Air Hitam. Pola yang sama juga ditemukan pada organ insang Ikan Tapa di Tasik Katialau dan Tasik Air Hitam (Gambar 2). Hal ini dikarenakan relatif lebih tingginya pasokan logam Timbal dari faktor antropogenik di luar kawasan Cagar Biosfir GSK-BB dan adanya pelarutan ataupun pengenceran logam tersebut di tasik Air Hitam oleh aliran air dari Sungai Siak Kecil. 26 1 Konsentrasi logam timbal juga bervariasi berdasarkan jenis ikan dan lokasi penelitian (Gambar 2). Pada ikan yang aktivitasnya lebih banyak di kolom air seperti Ikan Baung, konsentrasi logam timbal lebih rendah dibandingkan dengan kelompok ikan yang kegiatannya banyak bersinggungan dengan dasar perairan dan substrat seperti kelompok Gabus-gabusan (Chana micropeltes, Channa lucius), Helostom Temminckii, dan Ikan Tapa (Wallago leeri) (Gambar 2). Pada bulan Agustus yang merupakan puncak musim penghujan (Gambar 4) logam timbal dan kadmium ditemukan disebagian besar organ Ikan Baung, sedangkan logam timbal hanya ditemukan pada Ikan Tapa (Gambar 5). Pada Ikan Baung, konsentrasi logam timbal melebihi batas konsentrasi yang diperbolehkan dalam organ ikan yang ditetapkan oleh FAO dan BPOM hanya ditemukan pada organ insang khususnya pada lokasi Tasik Katialau dan Betung. Peningkatan konsentrasi logam timbal yang sangat nyata yaitu lebih dari 100 % ditemukan pada Ikan Tapa di tasik Katialau dibandingkan dengan Ikan Tapa di Tasik Air Hitam . Data ini juga memperkuat pernyataan sebelumnya yaitu adanya pasokan timbal antropogenik di bagian hulu Suaka Margasatawa GSK dan dari kawasan luar Cagar Biosfir GSK-BB. T in g g i a ir ( c m ) Konsentrasi logam timbal pada semua organ ikan kecuali jaringan otot telah melebihi batas maksimum yang diperbolehkan dalam organ ikan seperti yang ditetapkan oleh Food, Agriculture Organization (FAO) yaitu 0.5 mg/kg berat basah (Nnaji et al., 2007) dan BPOM No. 03725/B/SK/VII/89 yaitu kurang dari 2 mg/kg (Supriyanto et al., 2007). Agustus September Oktober November Waktu (Bulan) Gambar 4. Figure 4. Dinamika ketinggian air di tasik Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Cagar Biosfor Giam Siak Kecil-Bukit Batu, provinsi Riau (Husnah et al., 2010). Water level fluctuation in floodplain savanahs of Giam Siak Kecil Wild Animal Reserves located at Giam Siak Kecil dan Bukit Batu (GSK-BB) Biosphere, Riau Province in June 2010(Husnah et al., 2010). Peningkatan konsentrasi logam kadmium juga ditemukan pada organ insang, jaringan otot, ginjal dan hati Ikan Baung pada bulan Agustus. Konsentrasi logam tersebut melewati batas maksimum yang diperbolehkan dalam organ ikan. Besarnya peningkatan ini diperkirakan berkaitan dengan semakin luasnya sebaran Ikan Baung untuk mencari makan pada saat musim air besar yang berarti semakin besar kontak logam berat yang ada di subtrat dan sedimen perairan tasik. Luasnya sebaran Ikan Baung pada musim air besar berkaitan dengan sifatnya yang termasuk dalam kelompok ikan grey fish (Welcomme, 2011) dimana pada musim air kecil hidup pada sekitar tepian sungai, sedangkan pada musim air besar menyebar ke perairan rawa banjiran. 401 Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404 KESIMPULAN DAN SARAN 12 10 8 6 4 2 0 Pb (mg/kg) Katialau Betung Hati Hati Insang Jaringan Otot Ginjal Hati Insang Jaringan Otot Ginjal Cd (mg/kg) Insang Jaringan Otot Ginjal Konsentrasi Pb dan Cd (mg/kg) Ikan Baung Air Hitam Organ Ikan/Tasik 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Pb (mg/kg) Katialau Hati Ginjal Insang Jaringan Otot Hati Ginjal Insang Cd (mg/kg) Jaringan Otot Konsentrasi Pb dan Cd (mg/kg) Ikan Tapa Air Hitam Konsentrasi timbal pada organ tersebut telah melebihi batas maksimum yang ditetapkan oleh FAO yaitu lebih dari 0.5 mg/kg berat basah dan BPOM No. 03725/B/SK/ VII/89 yaitu kurang dari 2 mg/kg sedangkan kadmium dengan konsentrasi lebih dari 0.05 mg/kg berat basah menurut FAO dan lebih dari 0.02 mg/kg berat basah menurut BPOM No. 03725/B/SK/VII/89. Berdasarkan data tingginya konsentrasi logam berat timbal dan kadmium baik di sedimen maupun dalam organ insang, jaringan otot, ginjal dan hati dari beberapa jenis ikan hasil tangkapan nelayan di danau banjiran (tasik) dan Sungai Siak Kecil yang terletak dalam kawasan inti Suaka Margasatwa GSK dan Cagar Biosfir GSK-BB dapat dikatakan bahwa material antropogenik dari berbagai kegiatan disekitar kawasan Cagar Biosfir GSK-BB masih mempengaruhi kehidupan biota perairan di Suaka margasatawa GSK. Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi pengelolaan yang ada saat ini di Cagar Biosfir GSK-BB masih belum optimal. Organ Ikan/Tasik Gambar 5. Figure 5. Konsentrasi logam berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada beberapa organ beberapa jenis ikan hasil tangkapan nelayan di Tasik Serai, Katialau, Betung dan Air Hitam serta di badan utama Sungai Siak Kecil kawasan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Cagar Biosfir Giam Siak Kecil-Bukit Batu, provinsi Riau pada bulan Agustus 2010 Lead (Pb) and cadmium (Cd) concentration in fish organs of fishermen catch in Serai, Katialau, Betung and Air Hitam floodplain savannahs and Siak Kecil River located at Giam Siak Kecil Wild Animal Reserve, Giam Siak Kecil dan Bukit Batu (GSK-BB) Biosphere, Riau Province in August 2010 Walaupun Ikan Tapa tergolong ikan rawa (blackfish) dimana peluang organ bersinggungan dengan logam berat pada sedimen dan tumbuhan rawa lebih besar daripada Ikan Baung, namun konsentrasi kadmium pada organ Ikan Tapa relatif lebih rendah daripada Ikan Baung. Hal ini diperkirakan berkaitan dengan sifat memakan Ikan Tapa yang karnivora dan tergolong pemangsa puncak (top predator) sehingga akumulasi logam kadmium lebih rendah daripada Ikan Baung yang bukan termasuk ikan kelompok top predator. 402 Untuk mengurangi dampak negatif dari faktor antropogenik dan menjaga keberlanjutan kehidupan ikan dan kegiatan pemanfaatannya, perlu dipertimbangkan kembali upaya untuk melibatkan juga masyarakat lokal dan perusahaan yang sumberdaya alam disekitar kawasan luar Cagar Biosfir GSK-BB dalam pengelolaannya. PERSANTUNAN Materi yang disampaikan pada makalah ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 dengan judul” Karakteristik habitat, sumberdaya perairan, dan kegiatan penangkapan ikan di komplek danau rawa banjiran sub das mandau, provinsi Riau” dengan biaya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2010 sebesar 475.000.000,-. Ucapan terima kasih kepada Kepala Balai Riset Perikanan Perairan Umum yang telah memberikan kesempatan melakukan penelitian ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktur Lingkungan Hidup PT Sinarmas Forestry beserta staff yang telah membantu dan menfasilitasi dalam pengumpulan data sekunder dan primer di lapangan., DR. Etty Riani dari Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor atas kerjasama dan bantuannya memfasilitasi pengukuran logam berat di Institut Pertanian Bogor, peneliti dan teknisi dari Balai Riset Perikanan Perairan Umum Palembang tim penelitian Sub DAS Mandau atas kerja keras yang dilakukan dalam mengumpulkan data di lapangan. Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404 DAFTAR PUSTAKA Akan, J.C., F.I. Abdulrahman, O.A. Sodipo, & P.I. Akandu. 2009. Bioaccumulation of some heavy metals of six freshwater fishes caught from lake chad in doron buhari, maiduguri, Borno state. Nigeria. Journal of applied science in environmentl sanitation. 4(2):103114. Anonimous. 2010a. Pemerintah Kabupaten Bengkalis. Access 23 Desember 2010. http://www.bengkalis.go.id/ sajian_menu.php?link_unemdi=4 Anonimous. 2010b. Pemerintah Kabupaten Siak. Access 23 Desember 2010. http://siakkab.go.id/ tentangsiak_4_Geografi.html APHA. 1998. Standard methods for the examination of water and wastewater, 20th edition. American Publich Health Association, Washington, DC. Buhler, D.R., Stokes, R.M. and S.R. Coldwell, 1977. Tissue accumulation and enzymatic effects of hexavalent hromium in Rainbow Trout (Salmo gairdneri). Journal of Fisheries Research Board Can., 34: 9-18. Clevers, J.G.P.W. & Kooistra, L. 2003. Assessment of heavy metal contamination in river floodplains by using the red-edge index. Paper presented at the 3nd EARSel. Workshop on Imaging Spectroscopy, Hersching 1316 May 2003. 173-179. Crivelli, A.J. 2002. The role of protected areas in freshwater fish conservation. In Conservation of freshwater fishes: Option for the future (Collares-Pereira, M.J, M.M. Coelho & I.G. Cowx eds). Fishing News Book. Oxford. 373-388. Du Lang, G., J. Rinklebe, B. Vandecasteele, E. Meers, and F.M.G.Tack. 2009. Trace metal behaviour in estuarine and riverine floodplain soils and sediment: A Review. Science of the total environment 407: 3972-3985. Hoggarth, D.D. 2000. Selection criteria and co-management guidelines for harvest reserves for tropical river fisheries. Final Technical Report. Project R7043. Fisheries Management Science Programme managed by MRAG, under DFID Renewable Natural Resources Research Strategy. London. 14 pp. Husnah., Makri, E.Riani, K. Fatah, Maturidi, A. Sudrajat, M. Marini, Darmansyah, M. D. Rastina, R. S. Junianto. 2010. Karakteristik habitat, sumberdaya perairan, dan kegiatan penangkapan ikan di komplek danau rawa banjiran sub das mandau, provinsi Riau. Laporan Akhir Tahun Penelitian 2010 . Balai riset Perikanan Perairan Umum Palembang tahun 2010. Palembang. Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Menteri kehutanan canangkan cagar biosfer giam siak kecil – bukit batu prov. Riau. S i a r a n p e r s Nomor: S.339/ PIK-1/2009. Koeshedrajana, S. &D.D. Hoggarth. 1998. Harvest reserves in Indonesian River fisheries. Paper presented at the Fifth Asian Fisheries ForumInternational Conference on Fisheries and Food Security Beyond the Year 2000. 11-14 November Chiang May, Thailand. 15 pp. Lembaga Penelitian Pada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB). 2008. Cagar Biosfer akan ditambah.22 Oktober 2008. http//www.kompas.com. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 2009. LIPIProvinsi Riau: Kelola Cagar Biosfer Giam Siak KecilBukit Batu. http://www.lipi.go.id. Rabu, 18 Februari 2009. MAP Bosphere Reserve Directory. 2010. Giam Siak KecilBukit Batu.. Acces 23 Desember 2010.http:// www.unesco.org/mabdb/br/brdir/directory/biores.asp/ code= INS+07&mode=all Middelkoop, H. 2000. Heavy-metal pollution on the river Rhine and Meuse floodplain in the Netherlands. Geologie en Mijnbouw/Netherlands. journal of Geoscience 79 (4): 411- 427. Nnaji, J.C., A. Uzairu, G.F.S. Harrison, & M.L. Balarabe. 2007. Evaluation of cadmium, chromium, copper, lead and Zinc concentrations in the fish head/viscera of Oreochromis niloticus and Synodontis schall of River Galma, Zaria, Nigeria. Electronic Journal of Environmental, Agricultural, and Food Chemistry. 6 (10): 2420-2426. Oladimeji, A.A. & B.O.Offem, 1989. Toxicity of lead to Clarias lazera, Oreochromis niloticus, Chironomus tantans and Benacus sp. Water Air and soil Pollution. 44: 191-201. Olojo, E.A.A., K.B. Olurin, G. Mbaka, & A.D. Oluwemimo. 2005. Histopatologi of the gill and liver tissue of the African catfish Clarias gariepinus exposed to lead. African Kournal of biotechnology, 4(1): 117-122. Supriyanto, C., Samin, dan Z. Kamal. 2007. Analisis cemaran logam berat Pb, Cu, dan Cd pada ikan air tawar dengan metode spektrometri nyala serapan atom 403 Husnah, M. Marini / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 397-404z (SSA). Prosiding Seminar Nasional III SDM Teknologi Nuklir. Yogyakarta, 21-22 November 2007. 147-151. Su, G.S., K.J. Martillano, T.P. Alcantara, E. Ragragio, J.de Jesús, A. Hallare, & G. Ramos. 2009. Assessing heavy metals in the water, fish, and macroinvertebrate in Manila Bay, Philippines. Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation. 4(3):187-195. 404 Vinodhini, R., and M. Narayanan. 2008. Bioaccumulation of heavy metals in organs of freshwater fish Cyprinus carpio (common carp). Int. J. Environ.Sci.Tech. 5(2):179-182. Weher, S.M. 2008. Level of heavy metal Cd, Cu, & Zn in three fish species collected from the northen Jordan Valley, Jordan. Jordan Journal of Biological Science 1(1): 41-46. BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413 KAJIAN BIOLIMNOLOGI PERAIRAN DI SITU CILEUNCA, BANDUNG JAWA BARAT Didik Wahju Hendro Tjahjo dan Sri Endah Purnamaningtyas Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta Teregistrasi I tanggal: 24 September 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 4 Pebruari 2011; Disetujui terbit tanggal: 23 September 2011 ABSTRAK Perairan Situ Cileunca terletak di Kabupaten Bandung Selatan, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan peternakkan sapi perah yang berkembang sangat pesat di Kecamatan Pengalengan sehingga menghasilkan limbah organik yang dibuang ke sungai dan akhirnya masuk ke Situ Cileunca. Hal tersebut mendorong terjadinya kerusakan habitat dan mempengaruhi keanekaragaman hayati perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek biolimnologi dan beberapa aspek biologi beberapa jenis ikan dominan di Situ Cileunca. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli, Agustus, dan Oktober 2009. Hasil pengamatan menunjukkan kecerahan perairan Situ Cileunca bekisar antara 0,50,8 m, oksigen terlarut sangat rendah (0,78-5,98 mg/l), ortofosfat relatif tinggi (0,028-0,469 mg/l), dan kelimpahan fitoplankton tinggi (279.668-2.169.938 sel/l). Perairan ini dapat digolongkan mempunyai kesuburan eutrofikhipertrofik. Berdasarkan atas biomasa fitoplankton, Situ Cileunca mempunyai potensi sumber daya ikan berkisar antara 714-1.000 kg/ha. Jenis ikan yang ditemukan selama penelitian 11 jenis. Berdasarkan atas kebiasaan makannya ikan betutu (Oxyeleotris marmorata), golsom (Aequidens golsom), dan lele (Clarias batrachus) termasuk golongan ikan karnivora, dan ikan mas (Cyprinus carpio) dan beunteur (Puntius binotatus) yang termasuk ikan herbivora. Di Situ Cileunca, kelimpahan pakan yang tersedia sangat tinggi tetapi jumlah ikan yang memanfaatkan rendah, sehingga sumber daya pakan yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, Situ Cileunca perlu mengembangan culture based fisheries dengan penebaran jenis ikan pemakan plankton. KATA KUNCI: biolimnologi, biologi ikan, potensi biomasa ikan, Situ Cileunca ABSTRACT: Study of waters biolimnology in situ cileunca, Bandung West Java. By: Didik Wahju Hendro Tjahjo and Sri Endah Purnamaningtyas. Situ Cileunca waters located in South Bandung Regency, West Java Province. Activities of the dairy farm that growing very rapidly in the District of Pengalengan resulting organic wastes discharged into rivers and into Situ Cileunca. It encourages the occurrence of damage or degradation of habitat and affecting aquatic biodiversity. This study aims to determine the aspects of biolimnologies and some aspects of the biology of some fish species predominant in Situ Cileunca. The study was conducted in July, August, and October 2009. The observations showed that waters at Situ Cileunca transparancy range between 0.5-0.8 m, dissolved oxygen is very low (0.78-5.98 mg/l), orthophosphate relatively high (0.028-0.469 mg/l) and high phytoplankton abundance (279,668-2,169,938 cells/l). These waters can be classified into eutrophic-hypertrophic waters. Based on phytoplankton biomass, Situ Cileunca fish resources have the potential ranges between 714-1,000 kg/ha. Species of fish found during the study as many as 11 species. Based on the food habits of marbled gudgeon (Oxyeleotris marmorata), red devil (Aequidens golsom), and walking catfish (Clarias batrachus) grouped as carnivorous fish. On the otherhand common carp (Cyprinus carpio), and spotted barb (Puntius binotatus) classified as herbivorous fish. In Situ Cileunca, abundance of food available is very high but the amount of fish that use is still low, so the available feed resource has not been used optimally. Therefore, to develop culture based fisheries Situ Cileunca need to be stocked with plankton feeder species. KEYWORDS: biolimnology, fish biology, potency of fish biomass, Cileunca Reservoir PENDAHULUAN Situ Cileunca berada 45 km di sebelah selatan Kota Bandung merupakan salah satu situ yang terletak di Kecamatan Pangalengan. Situ ini dibangun pada masa pemerintahan Belanda pada tahun 1919-1926, mempunyai luas ±180 ha, dan berada pada ketinggian 1.400 m dari permukaan laut, volume air 11.500.000 m3 dan kedalaman air 6-10 m. Perairan ini merupakan tempat pembuangan limbah, dari peternakan sapi dan pertanian yang ada di sekitar perairan, sehingga pemanfaatan dan pengembangan sumber daya perairan cederung mengabaikan fungsi utama yaitu sebagai pasokan air minum dan pembangkit tenaga listrik untuk daerah Bandung dan sekitarnya. Berbagai kegiatan yang dilakukan, telah mengakibatkan perubahan kualitas perairan, sehingga mendorong terjadinya kerusakkan atau degradasi habitat dan keanekaragaman hayati perairan. Usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Pengalengan telah berkembang dengan pesat. Pada saat ini jumlah peternak sapi tersebut telah mencapai 4.500 ___________________ Korespondensi penulis: Jl. Cilalawi Tromol Pos No. 1 Jatiluhur, Purwakarta-Jawa Barat 41152, Tlp. 0264-208768 405 D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413 orang dengan jumlah sapi 18.500 ekor (Danuwijaya, 2009; Candana, 2009). Selanjutnya Candana (2009) mengatakan bahwa peternakan sapi tersebut dalam satu bulan menghasilkan limbah kotoran sekitar 22.000 ton. Sebagian besar limbah organik tersebut masuk ke Situ Cileunca. Berdasarkan atas beban bahan organik tersebut, perairan situ tersebut telah mencapai tingkat kesuburan eutrofikhipertrofik, dan memberi dampak negatif terhadap perairan (Hakim, 2007). Dalam upaya mengatasi permasalahan yang sangat kompleks tersebut dan mengoptimalkan produktivitas perairan, perlu langkah-langkah pengendaliannya. Salah satunya melalui pemacuan sumber daya ikan dengan menebar jenis ikan yang sesuai. Untuk itu perlu data dan informasi tentang biolimnologi perairan Situ Cileunca. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui biolimnologi dan beberapa aspek biologi jenis ikan dominan sebagai salah satu dasar pengembangan perikanan berbasis budi daya (culture based fisheries). Dasar pemikiran untuk pemulihan sumber daya ikan (enhancement) adalah intervensi teknologi yang pada dasarnya untuk meningkatkan pemanfaatan produktivitas perairan alami pada kondisi tertentu oleh manusia. Penebaran benih ikan budi daya dapat meningkatkan hasil perikanan tangkap dari jenis ikan yang diinginkan di mana produktivitas alami tinggi tetapi rekruitmen terbatas. Produksi perikanan sebagian besar berasal dari penangkapan kembali ikan yang ditebarkan. Culture based fisheries dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas produksi perikanan tangkap di mana rekruitmen alami lebih rendah dibandingkan daya dukung perairan (Lorenzen et al., 2001). Potensi produksi dari culture based fisheries mempunyai hubungan yang kuat dengan produktivitas ekosistem (De Silva, 2001). Pemanfaatan terhadap pengelolaan sumber daya tersebut merupakan suatu upaya untuk memanfaatkan potensi produksi secara efisien dan hal tersebut merupakan salah satu faktor kunci dalam pengelolaan culture based fisheries. Penilaian penebaran dan pemanenan (pemanfaatan) memerlukan informasi kuantitatif dalam proses density dependent populasi (Lorenzen et al., 1998). BAHAN DAN METODE Lokasi Kegiatan Lokasi penelitian ini dilakukan di Situ Cileunca, terletak di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Situ Cileunca termasuk kategori waduk kecil di dataran tinggi dengan luas sekitar ±180 ha dengan kedalaman antara 6-10 m. Metode Pengumpulan Data Pengamatan dilakukan pada bulan Juni, Agustus, dan Oktober 2009, pada empat pengamatan yaitu 1) Dam Pulosari, 2) Outlet Cipanunjang, 3) Cipanyisikan, dan 4) bagian tengah perairan (Gambar 1). 1 4 3 2 U Gambar 1. Figure 1. 406 Peta Situ Cileunca dan lokasi stasiun pengamatan. (1 = Dam Pulosari, 2= outlet Cipanunjang, 3 = Cipanyisikan, dan 4= bagian tengah). Map of Situ Cileunca and location of observation station. (1 = Dam Pulosari, 2 = outlet Cipanunjang, 3 = Cipanyisikan, and 4 = middle region). D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413 Pengamatan aspek biolimnolgi meliputi suhu, pH, O2, CO2, alkalinitas, nitrogen, fosfat, sulfat, dan plankton. Parameter suhu, pH, O2, CO2, dan alkalinitas diamati secara in situ, dan parameter lainnya diamati di Laboratorium Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur. Contoh plankton diambil dari volume air 3,5 l, selanjutnya air tersebut disaring dengan plankton net (ukuran mata jaring 40 µm) dan dipadatkan menjadi 25 ml, dan akhirnya diamati di Laboratoriun Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur. Pengambilan contoh ikan dilakukan dengan menggunakan gillnet dengan ukuran 1; 1,5; dan 2 inci serta pengambilan contoh hasil tangkapan nelayan. Parameter yang diamati meliputi jenis ikan dan kebiasaan makan. Jenis dan sumber data yang dikumpulkan seperti dalam Tabel 1. kuantitatif. Pendekatan secara kuantitatif antara lain pendekatan analisis dengan mengamati komposisi jenisjenis tertentu yang dominan dan kelimpahan sel. Pendekatan secara kualitatif (indeks biologi) yaitu dengan melakukan kalkulasi terhadap komponen-komponen tertentu dari struktur komunitas plankton yang diamati. Analisis Data di mana: N = jumlah total plankton n = jumlah rata-rata total individu per lapangan pandang A = luas gelas penutup (mm2) B = luas lapangan pandang (mm2) C = volume air terkonsentrasi (mL) D = volume air satu tetes (mL) di bawah gelas penutup E = volume air yang disaring (L) Kualitas perairan yang diambil meliputi suhu air, kecerahan, alkalinitas, pH, oksigen terlarut, karbon dioksida bebas, ammonium, bahan organik total, orthofosfat, dan SO4. Metode yang digunakan dalam analisis kualitas air meliputi tetrimetri dan spektrofotometrik dalam Tabel 1. Tabel 1. Table 1. Metode yang digunakan dalam pengamatan peubah kualitas air di Situ Cileunca Method used for observation of water qualities variable in Situ Cileunca Kelimpahan plankton (individu per liter), dihitung dengan menggunakan metode Lackey Drop Microtransect Counting dengan persamaan sebagai berikut (American Public Health Association, 1989): N = n× A B × C D × 1 ................................................... (1 E Kebiasaan Makan Satuan / Metode pengukuran / Parameter / Unit Method of measurement Parameter Perhitungan kebiasaan makan untuk masing-masing Warna air Pengamatan visual jenis ikan menggunakan Indeks Preponderance, dengan Kecerahan cm Secchi disk 0 Suhu sebagai berikut: rumus C Termometer pH unit pH indicator solution 4-10 mg/L Winkler O2 Vi × O CO2 mg/ i L × 100 Na2CO3/Titrimetri Ii = Total alkalinas mg/l eq CaCO HCl/Titrimetri .............................................. (2 O i L 3 Brucine sulfat/Spektrofotometer N-NO3 ∑ Vi ×mg/ N-NO2 mg/ L Naftilamine/Spektrofotometer N-NH4 mg/ L Nessler/Spektrofotometer mg/ L SnCl2/Sektrofotometer di P-PO mana: 4 HV2S mg/ L Na2S2O3/Titrimetri = persentase volume satu macam makanan i BOT mg/ L KMnO4/Titrimetri Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam Chlorophyll-a mg/m3 Spectrophotometric ( ) makanan Ó(VixOi ) = jumlah VixOi dari semua macam makanan Teknis analisis, kesuburan perairan menggunakan metode yang digunakan oleh American Public Health Association (1989); Davis (1955); Boyd (1990); Ryding & Rast (1989), sedangkan analisis plankton menggunakan Needham & Needham (1963). Identifikasi populasi dan analisis biologi ikan dari hasil tangkapan menggunakan metode yang dikatakan oleh Kottelat et al. (1993); Effendie (1979); Ludwig & Reynolds (1988). Karakteristik struktur komunitas plankton, dilakukan dengan pendekatan yang bersifat kualitatif dan Estimasi tingkat trofik jenis ikan dihitung dengan menggunakan cara yang dikatakan oleh Mearns et al. (1981) dalam Caddy & Sharp (1986), dengan rumus sebagai berikut: Ttp × I p ............................................... (3 100 Tt = 1 + ∑ di mana: Tt = tingkat trofik Ttp = tingkat trofik kelompok pakan ke-p Ip = indeks preponderan kelompok pakan ke-p 407 D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413 HASIL DAN BAHASAN Kualitas Air Suhu air sangat mempengaruhi kehidupan organisme akuatik. Suhu air di Situ Cileunca berkisar antara 20,123,8ºC. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu untuk pertumbuhan maksimal. Menurut Pratiwi et al. (2000) fitoplankton dapat berkembang pada kisaran suhu 2030ºC, artinya suhu di Situ Cileunca dapat mendukung pertumbuhan plankton. Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu pada suatu perairan antara lain ketinggian, lamanya hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran, serta kedalaman badan air (Effendie, 2003). Hasil penelitian tersebut relatif sama dengan hasil penelitian Sulastri et al. (2009), yaitu 23,31ºC, dan relatif berbeda dengan hasil pengamatan Hakim (2007), yaitu berkisar antara 18,5-20,0ºC. konsentrasi oksigen lebih besar 3 mg/L (Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001). Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut tersebut disebabkan penguraian bahan organik yang berasal dari limbah bahan organik yang sangat tinggi, di mana laju produksi oksigen oleh fitoplankton lebih rendah daripada laju pemanfaatan oksigen oleh bakteri, zooplankton, dan ikan. Kondisi ini jauh berbeda dengan hasil pengamatan Situ Cileunca pada tahun 2007 oleh Hakim (2007), yaitu berkisar antara 3,3-7,9 mg/L. Kecerahan di Situ Cileunca berkisar antara 50-80 cm. Rendahnya kecerahan di Situ Cileunca dapat disebabkan oleh kelimpahan fitoplankton, bahan organik, dan partikel tanah yang masuk ke situ tersebut. Kecerahan ini juga dipengaruhi oleh cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan tersebut. Oleh karena itu, warna air di Situ Cileunca dari coklat sampai hijau. Derajat keasaman (pH) di Situ Cileunca berkisar antara 6,5-9,0 (Gambar 2). pH terendah terdapat di Stasiun Tengah (bulan Juni), dan tertinggi terdapat di Stasiun Cipangisikan (bulan Oktober). Berdasarkan atas pendapat (Boyd, 1982) pH yang berkisar antara 6-9 dapat mendukung kegiatan perikanan dan dapat menggambarkan kemampuan suatu badan air untuk menetralkan ion hydrogen yang masuk ke badan air. Hasil penelitian tersebut sedikit berbeda dengan hasil pengamatan Hakim (2007), yaitu berkisar antara 5,5-8,0. Gambar 2. Figure 2. Derajat keasaman di Situ Cileunca menurut waktu dan stasiun pengamatan (bA dan bB = lebih rendah dan lebih tinggi dari nilai baku mutu air; [ = simpangan baku). pH in Situ Cileunca according to time and station ( bA and b B = under and over of values of water quality standard; [ = standard deviation). Gambar 3. Oksigen merupakan parameter kualitas air yang penting untuk menentukan kualitas air, karena oksigen merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme ikan dan organisme perairan lainnya. Kebutuhan organisme terhadap oksigen sangat bervariasi tergantung dari jenis, stadia, dan aktivitas organisme tersebut. Konsentrasi oksigen di Situ Cileunca berkisar antara 0-6,8 mg/L dengan rata-rata 2,5 mg/l (Gambar 3). Menurut Swingle (1968) dalam Effendie (2003) kadar oksigen terlarut yang lebih kecil dari 0,3 mg/L hanya sedikit jenis ikan yang dapat bertahan hidup dan jika pada kisaran 1-5 mg/L ikan dapat bertahan hidup namun pertumbuhannya terganggu. Berdasarkan atas baku mutu air untuk kegiatan perikanan 408 Figure 3. Oksigen terlarut (mg/L) di Situ Cileunca menurut waktu dan stasiun pengamatan (bA = lebih rendah dari nilai baku mutu air; [ = simpangan baku). Dissolved oxygen (mgL) of Situ Cileunca according to observation time and station ( bA = under of values of water quality standard; [ = standard deviation). Karbondioksida berperan sebagai salah satu komponen sistem penyangga dan bahan utama dalam proses fotosintesis, tetapi dalam jumlah besar mampu menghambat absorpsi oksigen oleh darah. Menurut D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413 Effendie (2003) bahwa perairan yang baik bagi kepentingan perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida bebas lebih rendah dari 10 mg/L dapat ditolerir oleh orgnisme akuatik. Menurut National Technical Advisory Committee (1968) kandungan karbondioksida bebas sebaiknya tidak melampaui 25 mg/L dengan catatan oksigen terlarut cukup tersedia. Konsentrasi karbondioksida di Situ Cileunca berkisar antara 0-2,5 mg/ L dengan rata-rata 0,7 mg/L. Hal tersebut berarti kandungan karbondioksida bebas dalam batas untuk mendukung kehidupan ikan dan organisme makanannya. Besarnya nilai alkalinitas suatu perairan menunjukkan kapasitas penyangga perairan tersebut, dan dapat digunakan sebagai penduga kesuburan (Swingle, 1968). Hal tersebut disebabkan banyaknya kandungan kalsium dan magnesium karbonat secara potensial diikuti oleh banyaknya unsur atau ion N dan P yang merupakan indikator kesuburan suatu perairan (Wardoyo, 1981). Kisaran alkalinitas di Situ Cileunca berkisar antara 9,932,2 mg/L CaCO3 eq. dengan rata-rata 20,4 mg/L CaCO3 eq. (Gambar 4). Pada umumnya konsentrasi alkalinitas kurang dari 40 mg/L disebut dengan perairan lunak (soft water). Tetapi unsur-unsur alkalinitas (karbonat dan bikarbonat) berperan sebagai buffer (penyangga pH) untuk menjaga kestabilan pH di suatu perairan. Berdasarkan atas nilai baku mutu air untuk kegiatan perikanan menunjukkan bahwa kandungan alkalinitas perairan lebih besar dari 20,0 mg/L CaCO3 eq. Hal tersebut berarti perairan Situ Cileunca b mempunyai pH yang cukup bervariasi, penyedia CO2 bebas sedang, dan produksi perairan sedang, serta layak untuk kegiatan perikanan. Nitrogen merupakan salah satu unsur yang penting bagi pertumbuhan tamanan air, dan berperan dalam pembentukkan dan pemeliharaan protein. Sumber senyawa nitrogen di perairan waduk atau danau terutama berasal dari limbah pertanian, rumah tangga, dan industri (Goldman & Horne, 1983). Dalam keadaan aerob dengan bantuan bakteri, bahan organik diurai menjadi amonium, selanjutnya amonium diubah menjadi nitrit dan nitrat. Nitrogen di perairan terdapat dalam berbagai bentuk seperti gas N2, nitrit, nitrat, amonia, amonium, serta nitrogen yang berikatan dengan senyawa organik kompleks. Konsentrasi nitrit di Situ Cileunca berkisar antara 0,0110,113 mg/l dengan rata-rata 0,032 mg/l (Gambar 5). Baku mutu perairan untuk nitrit kurang dari 1 mg/l (Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001). Secara umum, berdasarkan atas konsentrasi nitritnya, perairan Situ Cileunca layak untuk kehidupan dan perkembangan ikan dan organisme pakannya. Gambar 5. Figure 5. Gambar 4. Figure 4. Total alkalinitas (mg/L CaCO3 eq.) di Situ Cileunca menurut waktu dan stasiun pengamatan ( A = lebih rendah dari nilai baku mutu air; [ = simpangan baku). Total alkalinity (mg/L CaCO3 eq.) according to Situ Cileunca by observation time and station ( bA = under of values of water quality standard; [ = standard deviation). Nitrit (mg/L) di Situ Cileunca menurut waktu dan stasiun pengamatan ( bB = lebih tinggi dari nilai baku mutu air; [ = simpangan baku). Nitrite (mg/L) of Situ Cileunca according to observation time and station ( b B = over of values of water quality standard; [ = standard deviation). Konsentrasi nitrat di Situ Cileunca berkisar antara 0,007-2,281 mg/L dengan rata-rata 0,396 mg/L. Baku mutu untuk perairan berdasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 maksimal 10 mg/L. Konsentrasi nitrat di Situ Cileunca relarif rendah, sehingga nitrat di perairan ini berperan sebagai limiting factor. Unsur N dalam bentuk ammonia terionisasi (ammonium) dan nitrat sangat diperlukan oleh produksi primer untuk proses fotosintesis (Jørgensen, 1986), dipihak lain ammonia terionisasi di perairan membentuk keseimbangan dengan ammonia bebas dan keseimbangan tersebut sangat dipengaruhi oleh suhu dan pH (Boyd, 409 D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413 Sulfat merupakan salah satu anion dari belerang dan terdapat di hampir semua perairan. Di perairan anaerob sufat direduksi menjadi senyawa sulfida dan bersifat sangat toksin bagi ikan dan organisme makanannya. Suatu perairan yang kekurangan kandungan sulfatnya akan menghambat perkembangan plankton. Konsentrasi sulfat di Situ Cileunca berkisar antara 5,89-32,72 mg/L dengan rata-rata 12,18 mg/L. Baku mutu untuk sulfat sendiri berdasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 sebesar 400 mg/L. Berdasarkan atas kandungan sulfat pada baku mutu air, maka perairan Situ Cileunca baik untuk mendukung pengembangan kegiatan perikanan. Ortofosfat merupakan salah satu bentuk persenyawaan fosfor yang terlarut dalam air yang dapat digunakan secara langsung oleh tumbuhan air dan fitoplankton tanpa pemecahan lebih lanjut. Kadar ortofosfat di Situ Cileunca berkisar antara 0,012-0,789 mg/L dengan rata-rata 0,174 mg/L (Gambar 6). Baku mutu air untuk ortofosfat tidak lebih dari 0,1 mg/L, untuk daerah stasiun pengamatan Cipanunjang telah melebihi baku mutu air yang ada. Hal tersebut berarti Situ Cileunca mempunyai peluang yang tinggi terjadi blooming algae. pengamatan didominansi oleh kelas Dinophyceae, kecuali pada bulan Oktober kelimpahan kelas Dinophyceae dan Desmidiaceae relatif seimbang (Gambar 7). Adanya dominansi kelas Dinophyceae tersebut merupakan indikator bahwa pada perairan tersebut mempunyai konsentrasi bahan organik yang tinggi. 100% Komposisi Fitoplankton 1990). Secara umum, kadar amonium di Situ Cileunca berkisar antara 0,088-2,556 mg/L dengan rata-rata 0,704 mg/L. Konsentrasi amonium terendah berada di Stasiun Tengah pada bulan Agustus dan tertinggi berada di Stasiun Cipanunjang pada bulan Oktober. 80% 60% 40% 20% 0% Juni Chloro. Gambar 7. Figure 7. Agus Cyano. Bacill. Okto Desmi. Dino. Komposisi kelimpahan fitoplankton di Situ Cileunca menurut waktu pengamatan. Composition of phytoplankton abundance in Situ Cileunca by observation time. Kandungan nutrien yang tinggi (N dan P) pada batasbatas tertentu akan merangsang pertumbuhan plankton dengan cepat, sehingga pada kondisi ini mendorong terjadinya blooming algae, sedangkan peningkatan kandungan nutrien yang melebihi batas tersebut akan mencemari lingkungan. Blooming algae tersebut cenderung berdampak negatif terhadap kegiatan perikanan. Dengan asumsi biomasa fitoplankton tersebut dimanfaatkan oleh ikan herbivora secara optimal, maka potensi biomasa ikan herbivora tersebut dapat mencapai 714-1.000 kg/ha dengan rata-rata 905 kg/ha (Tjahjo & Purnamaningtyas, 2010 ). Jenis Ikan Gambar 6. Figure 6. Ortofosfat (mg/L) di Situ Cileunca menurut waktu dan stasiun pengamatan ( b B = lebih tinggi dari nilai baku mutu air; [ = simpangan baku). Orthophosphate (mg/L) of Situ Cileunca according to observation time and station ( b B = over of values of water quality standard; [ = standard deviation). Kelimpahan Fitoplankton Kelimpahan fitoplankton di Situ Cileunca berkisar antara 279.668-2.169.938 sel/l dengan rata-rata 722.991 sel/ l. Komposisi kelas fitoplankton secara umum selama 410 Jenis ikan yang tertangkap selama pengamatan adalah Bacenang paris (Xiphophorus halleri), Seribu (Poecilla sp.), tawes (Puntius gonionotus), Golsom, Lele (Clarias batrachus), Boboso (Glossogobius sp.), Beunter, Tempele (Betta coccina), Betutu (Oxyeleotris marmorata), Mas (Cyprinus carpio), dan Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii.). Ikan benteur mempunyai makanan utama fitoplankton dan zooplankton dengan makanan pelengkapnya detritus dan serangga (Gambar 8). Ikan ini mempunyai tingkat trofik 1,42, berarti ikan benteur di Situ Cileunca termasuk ikan herbivora dan cenderung omnivora. Hasil kebiasaan makanan ikan benteur tersebut relatif sama dengan ikan benteur di Waduk Bening, Madiun (Tjahjo, 1987). Menurut D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413 Anonimus (2007) mengatakan bahwa ikan ini merupakan ikan air tawar yang bersifat benthopelagis, tidak bermigrasi dan litororal dengan makanannya berupa zooplankton, larva serangga, dan potongan tumbuhan. Ikan mas yang hidup di Situ Cileunca ini mempunyai makanan utama fitoplankton dan detritus dengan makanan pelengkapnya tumbuhan dan zooplankton. Dengan demikian ikan ini mempunyai tingkat trofik 1,03, berarti ikan ini termasuk ikan herbivora pemakan plankton dan detritus. Menurut Anonimus, (2007) mengatakan bahwa ikan ini hidup di air tawar dan payau yang bersifat bentopelagis, tidak bermigrasi, dan bersifat litoral. Ikan mas termasuk kelompok ikan omnivora dengan makanan utamanya serangga air, udang, cacing, siput, biji-bijian, rumput-rumputan, dan algae (Anonimus, 2007; Tjahjo, 1988). Perbedaan makanan tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kelimpahan makanan yang tersedia, sehingga ikan mas yang ada menggeser perannya dari omnivora ke herbivora. Kebiasaan Makanan Ikan Lele dan Golsom termasuk ikan karnivora, di mana ikan lele mempunyai makanan utama serangga dan siput, dan ikan Golsom mempunyai makanan utama serangga. Kebiasaan makanan ikan golsom tersebut relatif sama dengan kebiasaan makanan ikan yang sama di Waduk Darma (Tjahjo & Purnamaningtyas, 2004). Ikan Lele tersebut termasuk ikan air tawar yang bersifat benthik dan potamodromous, serta ikan golsom juga merupakan ikan air tawar dan bersifat benthopelagis (Anonimus, 2007). Sedangkan ikan betutu termasuk benthik dengan makanan utamanya ikan dan udang. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Gambar 8. Figure 8. Langkah Pengendalian Dalam upaya mengatasi permasalahan yang sangat kompleks tersebut, perlu langkah-langkah pengendaliannya. Salah satunya melalui pemacuan sumber daya ikan dengan menebar jenis ikan yang sesuai. Oleh karena itu, di Situ Cileunca perlu penelitian lanjutan untuk menentukan strategi pemacuan atau pemulihan sumber daya ikan. Diharapkan jenis ikan tersebut mampu memanfaatkan dan mengendalikan perkembangan plankton yang ada. Dengan demikian dalam siklus proses tersebut akan mampu meningkatkan kualitas air, sehingga pendapatan nelayan dan kelestarian sumber daya perairan dapat terjaga. Upaya pengendalian blooming algae di Waduk Ir. H. Djuanda telah dilakukan melalui penebaran ikan bandeng (Channos channos) dan berhasil (Kartamihardja, 2007; Tjahjo et al., 2009; Tjahjo & Purnamaningtyas, 2009). Hal yang sama terdapat di Waduk Gajah Mungkur melalui penebaran ikan patin dan berhasil (Kartamihardja et al., 2004). Peluang jenis ikan yang ditebar di Situ Cileunca adalah ikan nilem (Osteoichillus haselti), bilih (Mystacoleucus padangensis), dan patin (Pangasionodon hypopthalmus). Ketiga jenis ikan tersebut perlu dikaji kemampuannya dalam memanfaatkan plankton, bersifat pelagis, mampu tumbuh dengan baik di perairan dataran tinggi dengan suhu rendah, dan interaksinya dengan jenis ikan asli perairan tersebut. Sehingga penebaran ikan tersebut mampu memperbaiki kualitas perairan (mencegah terjadinya blooming algae), ikan tersebut mampu tumbuh dengan baik, laju sintasannya tinggi, dan dapat tertangkap kembali oleh nelayan. Dampak penebaran tersebut diharapkan peningkatan pendapatan nelayan dan perbaikan kualitas perairan untuk mendukung pengembangan daerah wisata Situ Cileunca. KESIMPULAN Beunteur Fitopl Cacing tersebut telah mencapai tingkat kesuburan eutrofikhipertrofik, kelimpahan pakan yang tersedia sangat tinggi tetapi jumlah ikan yang memanfaatkan rendah, sehingga sumber daya pakan yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal. Zooppl Ikan Mas Lele Tumb Udang Golsom Betutu Serang. Detritus Siput Kebiasaan makanan jenis ikan dominan di Situ Cileunca. Food habit of dominace fish species according to observation time. Keragaman ikan sangat rendah sekitar 11 jenis dengan jumlah nelayan relatif sedikit dan hasil tangkapan nelayan yang sangat rendah (rata-rata kurang dari 2 kg/hari). Di pihak lain, berdasarkan atas kualitas airnya, perairan situ 1. Kecerahan berkisar antara 0,5-0,8 m, oksigen terlarut 0,78-5,98 mg/L, ortofosfat 0,028-0,469 mg/L, dan kelimpahan fitoplanktonnya 279.668-2.169.938 sel/L, sehingga perairan ini termasuk perairan dengan tingkat kesuburan eutrofik-hipertrofik. Berdasarkan atas biomassa fitoplanktonnya Situ Cileunca mempunyai potensi biomassa ikannya 714-1.000 kg/ha. 2. Jumlah jenis ikan yang ditemukan selama penelitian 11 jenis, yaitu Bacenang paris, Seribu, Tawes, Golsom, Lele, Boboso, Beunter, Tempele, Betutu, Mas, dan Udang galah. 411 D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413 3. Berdasarkan atas kebiasaan makannya ikan Betutu, Golsom, dan Lele termasuk golongan ikan karnivora, sedangkan Mas, dan Beunteur termasuk ikan herbivora. Di Situ Cileunca, kelimpahan pakan yang tersedia sangat tinggi tetapi jumlah ikan yang memanfaatkan rendah, sehingga sumber daya pakan yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal. 4. Situ Cileunca perlu pemulihan sumber daya ikan, melalui penebaran jenis ikan herbivora pemakan plankton, seperti ikan nilem, bilih, dan patin. Dampak penebaran tersebut diharapkan peningkatan pendapatan nelayan dan perbaikan kualitas perairan untuk mendukung pengembangan daerah wisata Situ Cileunca. Proceedings of an International Workshop held in Bangkok, Thailand from 15–18 February 2000. ACIAR Proceedings. 98: 384 pp. Danuwijaya, M. T. 2009. Pengolah Limbah Sapi Pangalengan Minim: Sumber Bahan Baku Pupuk Organik. http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/19/ 12581225/pengolah.limbah.sapi.pangalengan.minim. Diakses Tanggal 28 Oktober 2009. Effendie, M. I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 pp. Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 37 pp. PERSANTUAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset biolimnologi dan hidrologi waduk kaskade Sungai Citarum, Jawa Barat, T. A. 2009, di Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan-Jatiluhur, Purwakarta. DAFTAR PUSTAKA American Public Health Association. 1989. Standard Method the Examination of Water and Wastewater. 15th Edition. Washington, D. C. Am. Public Health Ass. Am. Water Works Ass. 1,134 pp. Anonimus. 2007. FishBase. www.fishbase.org/ Eschmeyer/EschPiscesSummary.cfm?ID = 2. Diakses Tanggal 29 September 2007. Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Science Publishers Company. New York. 318 pp. Boyd, E. C. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham Publishing Co. Birmingham. 442 pp. Caddy, J. F. & G. D. Sharp. 1986. An ecological framework for marine fishery investigations. Food and Agriculture Organization Fish. Tech. Pap. 283: 152 pp. Candana, I. 2009. Peternak Sapi Kesulitan Menjual Pupuk Kandang. http://newspaper.pikiran-rakyat.com/ prprint.php?mib=beritadetail&id=81720. Diakses Tanggal 28 Oktober 2009. Davis, G. A. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Michigan State University Press. USA. 526 pp. De Silva, S. S. 2001. Reservoir fisheries: Broad strategies for enhancing yields. In De Silva, S. S. (ed.). Reservoir and culture based fisheries: Biology and management. 412 Goldman, C. R. & A. J. Horne. 1983. Limnology. McGraw Hill Int. Book Comp. London. 464 pp. Hakim, 2007. Studi Penataan Perairan Umum Situ Patenggang dan Situ Cileunca (Untuk Pengembangan Perikanan). C. V. ECOTERRA MULTIPLAN-Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung. 82 pp. Jørgensen, S. E. 1986. Fundamental of Ecological Modelling. Elsevier Science Publishers B. V. Amsterdam. 389 pp. Kottelat, M., A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, & S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Editins Ltd. 293 pp. Kartamihardja, E. S., K. Purnomo, H. Satria, D. W. H. Tjahjo, & S. E. Purnamaningtyas. 2004. Peningkatan stok ikan patin (Pangasius hypopthalmus) di Waduk Wonogiri, ikan baung (Mystus nemurus) di Waduk Wadaslintang, dan udang galah (Macrobrachium rosernbergii) di Waduk Darma. Prosiding Hasil-Hasil Riset.¨97997194-3-7. 159-171. Kartamihardja, E. S. 2007. Spektra ukuran biomassa plankton dan potensi pemanfaatannya bagi komunitas ikan di zona limnetik Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 137 pp. Ludwig, J. A. & J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. John Wiley & Sons. New York. 335 pp. Lorenzen, K., J. Juntana, J. Bundit, & D. Tourongruang. 1998. Assessing culture fisheries practices in small D.W.H. Tjahjo, S.E. Purnamaningtyas / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 405-413 water bodies: A study of village fisheries in Northeast Thailand. Aquaculture Research. 29: 211-224. Jawa. Prosiding Forum Perairan Umum. Palembang (Dalam Proses Publikasi). MSP. 461-473. Lorenzen, K., U. S. Amarasinghe, D. M. Bartley, J. D. Bell, M. Bilio, S. S. de Silva, C. J. Garaway, W. D. Hartmann, J. M. Kapetsky, P. Laleye, J. Moreau, V.V. Sugunan, & D. B. Swar. 2001. Strategic Review of enhancements and culture based fisheries. In R. P. Subasinghe, P. Bueno, M. J. Phillips, C. Hough, & S. E. McGladdery (Eds). Aquaculture in the Third Millennium. Technical Proceedings of the Conference on Aquaculture in the Third Millennium, Bangkok, Thailand, 20-25 February 2000. 221-237. Tjahjo, D. W. H. 1987. kebiasaan pakan komunitas ikan di Waduk Bening, Jawa Timur. Bulletin Penelitian Perikanan Darat. 6 (1): 59-64. Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A Guide to the Study of Freshwater Biology. Fifth Edition. Revised and Enlarged. Holden Day. Inc. San Fransisco. 180 pp. Tjahjo, D. W. H. 1988. Kebiasaan pakan komunitas ikan di Waduk Saguling, Jawa Barat. Bulletin Penelitian Perikanan Darat. 7 (1): 86-91. Tjahjo, D. W. H. & S. E. Purnamaningtyas. 2004. Evaluasi penebaran udang galah di Waduk Darma: Pemanfaatan makanan dan interaksi antar jenis ikan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia: Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. 10 (6): 31-39. National Technical Advisory Committee. 1968. Water Quality Criteria. Federal Water Pollution Control Administration. Washington D. C. 234 pp. Tjahjo, D. W. H. & S. E. Purnamaningtyas. 2009. Evaluasi kemampuan ikan bandeng dan nila tebaran dalam memanfaatkan kelimpahan fitoplankton di Waduk Ir. H. Djuanda. Forum Nasional Pemacuan Stok Ikan. 11 pp. Pratiwi, N. T. M., K. Praptokardiyo, & N. Indriyani. 2000. Tingkat kesuburan perairan Situ Ciguded, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Prosiding Semi Loka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran. Bandung. 199-210. Tjahjo, D. W. H., S. E. Purnamaningtyas, & E. S. Kartamihardja. 2009. Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda. Pusat Riset Perikanan Tangkap. 12 pp. Ryding, S. O. & W. Rast (eds.). 1989. The Control of Eutrophication of Lake and Reservoirs. Man and the Biosphere Series. 314 pp. Swingle, H. S. 1968. Standardization of chemical analysis for water pond muds. Food and Agriculture Organization Fish. Rep. 44 (4): 397-406. Sulastri, T. Suryono, & Sudarsono. 2009. Pengembangan kriteria starus ekologis danau-danau kecil di Pulau Tjahjo, D. W. H. & S. E. Purnamaningtyas. 2009. Sumber daya perikanan di Situ Cileunca, Jawa Barat. Laporan kerjasama Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bandung. Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan, Jatiluhut. 36 pp. Wardoyo, S. T. H. 1981. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Training Analisa Dampak Lingkungan. PPLH-UNDP-PUSDIPSL, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 15-40. 413 BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422 KEANEKARAGAMAN PLANKTON DAN TINGKAT KESUBURAN PERAIRAN DI WADUK GAJAH MUNGKUR Agus Djoko Utomo 1), Mohamad Rasyid Ridho 2), Dinar DA Putranto 3) Edward Saleh 4) 1) 1) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum Palembang Mahasiswa S3 pada Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Sriwijaya 2) Dosen pada Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya 3) Dosen pada Fakultas Teknik Sipil Universitas Sriwijaya. 4) Dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Teregistrasi I tanggal: 23 Februari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 Juli 2011; Disetujui terbit tanggal: 26 September 2011 ABSTRAK Perairan Waduk Gajah Mungkur merupakan tipe perairan yang tergenang mempunyai dan arti penting bagi perikanan. Plankton di perairan Waduk mempunyai peranan bagi sumberdaya perikanan, antara lain sebagai produsen primer dan dapat dijadikan sebagai indikator kualitas lingkungan perairan. Kelimpahan plankton di suatu perairan dipengaruhi oleh parameter lingkungan perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan, kelimpahan dan keanekaragaman plankton Penelitian dilakukan bulan Pebruari - Nopember 2010 dengan frekuensi pengambilan contoh sebanyak empat kali yaitu pada bulan Pebruari, Mei, Juli dan Nopember. Analisis tingkat kesuburan perairan dengan metode Carlon’s dapat diketahui perairan Waduk Gajah Mungkur termasuk katagori perairan dengan tingkat kesuburannya tinggi. Waduk Gajah Mungkur termasuk perairan dengan kelimpahan plankton tinggi dan keanekaragaman plankton rendah yang didominansi oleh Synedra ulna KATA KUNCI: keanekaragaman, plankton, kesuburan perairan, Waduk Gajah Mungkur ABSTRACT : Diversity of Plankton and Productivity Level of Gajah Mungkur Reservoir. By: Agus Djoko Utomo, Mohammad Rasyid Ridho, Dinar Dwi Anugerah Putranto, dan Edward Saleh Gajah Mungkur reservoir is a lentic water and has significance impact for fishery. Plankton in the reservoir as the primary producer has an important role on fisheries, could be used as an indicator of aquatic environmental quality. Abundance of plankton will be influenced by environmental condition including water quality. The purpose of this study to determine the productivity level of water quality, abundance and diversity of plankton. The study was conducted from February to November 2010, with schedule of sampling was in February, May, July and November 2010. Based on analysis by Carlon’s method, the results showed that the water quality at Gajah Mungkur reservoir was eutrophic level. Gajah Mungkur reservoir has high plankton abundance and low plankton diversity the species of plankton was dominated by Synedra ulna. KEYWORDS: diversity, plankton, productivity state, reservoir, Gajah Mungkur PENDAHULUAN Waduk Gajah Mungkur seluas 8.800 ha merupakan waduk serbaguna di Kabupaten Wonogiri yang dapat dimanfaatkan sebagai irigasi persawahan, pembangkit tenaga listrik, sumber air minum, pariwisata, perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Sumber mata air yang penting yaitu Kali Keduang, Bengawan Solo, Kali Tirtomoyo, Kali Melati (Direktorat Pengelolaan Bengawan Solo, 2003). Di sekitar waduk Gajah Mungkur banyak lahan pertanian dan perkebunan, pemukiman, disamping itu usaha budidaya ikan pada keramba jaring apung berkembang pesat sehingga membawa dampak tekanan ekosistem perairan waduk. Untuk itu perlu dilakukan kajian tentang kualitas air dan tingkat kesuburan perairan, serta kelimpahan mikro algae. Korespondensi penulis: Balai Riset Perikanan Perairan Umum-Palembang Jl. Beringin No.308 Mariana. Banyuasin III. Kab. Banyuasin Beberapa hasil penelitian banyak memberikan informasi penting. Purnomo (2000) melaporkan bahwa di Waduk Gajah Mungkur terdapat 15 jenis ikan. Jenis ikan introduksi antara lain nila (Oreochromis niloticus), jambal sius (Pangasius hypophthalmus) dan tawes (Barbonymus gonionotus). Ikan nila dan tawes dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di Waduk Gajah Mungkur disebabkan ikan tersebut dapat memanfaatkan relung ekologi banyaknya tumbuhan air. Di sisi lain jambal sius dapat tumbuh dan berkembang dengan baik karena banyak tersedia pakan alami yang sesuai yaitu plankton dan detritus (Purnomo et al 2003). Selanjutnya Utomo et al. (2005) menyebutkan bahwa jambal sius dapat berkembang dengan baik karena terdapat daerah pemijahan di Waduk Gajah Mungkur banyak, terutama daerah inlet Keduang. Menurut Utomo et al. (2010) keramba jaring apung di 415 A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422 Waduk Gajah Mungkur telah berdampak negatif terhadap kualitas perairan, karena banyak sisa pakan dan kotoran ikan yang lolos ke perairan dan mencemari perairan sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan mikro algae yang cepat. Mikro algae plankton dapat dijadikan sebagai indikator kualitas lingkungan perairan, karena merupakan parameter biologi yang erat hubungannya dengan zat hara (Sachlan, 1982). Menurut Lancar & Krake (2002) kelimpahan fitoplankton dapat mengasimilasi sebagian besar zat hara dari perairan. Kelimpahan plankton di suatu perairan akan dipengaruhi oleh parameter lingkungan termasuk kualitas perairan dan fisiologi. Kelimpahan dan komposisi plankton dapat berubah pada berbagai tingkatan sebagai respon terhadap perubahan kondisi lingkungan fisik, biologi dan kimiawi perairan. Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon pertumbuhan plankton yaitu suhu, cahaya dan nutrien. Bila suhu, cahaya dan nutrien dalam kondisi yang optimum maka plankton akan tumbuh dengan pesat (Vithanage, 2009). Kajian tentang kualitas perairan dan kelimpahan plankton di waduk Gajah Mungkur diharapkan dapat sebagai bahan pertimbangan bagi dasar pengelolaan sumber daya perairan. Gambar 1. Picture 1. 416 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Waduk Gajah Mungkur Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah pada bulan Februari 2010 - November 2010 melalui survei lapangan dan analisis sampel di laboratorium. Pengambilan contoh di lapangan dilakukan pada bulan Februari, Mei, Juli dan Nopember. Lokasi pengamatan dilakukan pada enam stasiun yang dapat mewakili tipe perairan Stasiun 1 (Pulau), merupakan stasiun di tengah waduk. Stasiun 2 (dekat inlet Wiroko), merupakan perairan yang dekat dengan sungai yang memasok air ke waduk. Stasiun 3 (Tengah) merupakan perairan yang jauh dari daratan. Stasiun 4 (KJA) merupakan stasiun yang banyak terdapat KJA. Stasiun 5 (dekat inlet Keduang) merupakan stasiun dekat sungai masuk (Keduang) memasok air dari sungai ke waduk. Stasiun 6 (out let), suatu perairan yang dekat dengan pintu keluar (Gambar 1). Peta Lokasi Penelitian di Waduk Gajah Mungkur Map showing of Research Location at Gajah Mungkur Reservoir A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422 Parameter yang diamati Data kelimpahan plankton (individu/liter) disajikan dalam bentuk tabulasi data. Selanjutnya data plankton dianalisis keanekaragaman (H’) dan keseragamannya (E). Kualitas air Parameter kualitas air yang diamati meliputi: kecerahan, chlorophil dan total phosphat, oksigen terlarut (Tabel 1). Pengamatan kualitas air dilakukan pada lapisan permukaan, 3 m dan 5 m. Metode analisis kualitas air berdasarkan APHA (1986). Tabel 1. Tabel 1. Parameter dan Metode Analisis Parameters and analisys methods. Parameter / Parameters 1. P- total perairan 2. Chlorophyl-a perairan 3. Karbondioksida perairan 4. Oksigen terlarut perairan 5. Kecerahan Satuan / Unit mg/l mg/l mg/l mg/l cm Metode dan peralatan / Equipment and Methods Metode Vanadate molibdate, Spectrophotometric Spectropho tometric Insitu,metode Winkler, titrimetri dengan NaOH sebagai titrant Insitu. Do-meter Insitu. Piring Sechi. Plankton Sampel plankton diambil dengan menggunakan water sampler volume 3,3 liter dan disaring dengan plankton net no: 25 µm kemudian dimasukkan dalam botol vial ukuran 25 ml. Sampel diambil pada kedalaman 0 m dan 3 m. Sampel yang tersaring dalam botol vial diawetkan dengan lugol sebanyak 5 tetes, selanjutnya diperiksa di laboratorium untuk diidentifikasi jenis planktonnya dan kelimpahannya. Buku acuan untuk identifikasi plankton yaitu Needham & Needham (1963) dan Prescott (1979). Analisis data Plankton Kelimpahan plankton dihitung dengan Sedwich Rafter Counting Cell (Welch, 1962; Edmonson, 1971) melalui persamaan: N = (ns x va) / (vs x vc ) Keterangan: N = Jumlah sel plankton/liter Ns = Jumlah sel plankton pada Sedwick Rafter va = Jumlah air dalam botol vial (25 ml ) vs = Volume air dalam preparat sedwick Rafter (1 ml) vc = Volume air contoh yang disaring dari water sampler (3,3 liter). a). Indeks Keanekaragaman (H’) Indeks keanekaragaman adalah indeks yang menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada dalam suatu komunitas. Perhitungan indeks keanekaragaman dengan menggunakan persamaan indeks Shanon sebagai berikut (Bengen, 2000). H’ = − s ∑ pi ln pi n =1 H’ = Indeks keanekaragaman dimana, pi = ni N ni = jumlah individu dari jenis ke-i N = jumlah total individu b). Indeks keseragaman (E) Indeks keseragaman jenis adalah indeks yang menunjukkan tingkat kemerataan individu tiap spesies di dalam suatu komunitas (Bengen 2000; Odum, 1971); E= H' ln S dimana, E = indeks keseragaman jenis H’ = Indeks keanekaragaman S = jumlah jenis plankton Kualitas air Untuk menggambarkan kualitas air di waduk Gajah Mungkur maka dilakukan tabulasi data dan grafik kualitas air berdasarkan lokasi dan kedalaman perairan. Tingkat kesuburan perairan atau status trofik perairan dihitung memakai rumus index status trofik dari Carlson’s (Carlson’s trophic state index, TSI) (Carlson, 1977), dengan rangkaian rumus sebagai berikut : 1) TSI-TP = 14,42 * Ln [TP] + 4,15, dimana TP = total P dalam satuan ì g/l ; 2) TSI-SD = 60 –14,41 * Ln [SD], dimana SD = kecerahan air dalam meter ; 3) TSI-Chl = 30,6 + 9,81 * Ln [Chl], dimana Chl = klorofila dalam satuan ì g/l 4) Rataan TSI = (TSI-TP + TSI-SD + TSI-Chl) / 3 417 A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422 Tabel 2. Table 2. Skor / Score < 30 Kategori Status Trofik berdasarkan pada Indeks Status Trofik Carlson Trophic status catagory based on the Trophic Status Index’ Carlson Status Trofik / Trophic Status Ultraoligotrofik Keterangan / Remarks Kesuburan perairan sangat rendah. Air jernih, konsentrasi oksigen terlarut tinggi sepanjang tahun dan mencapai zona hypolimnion 30 - 40 Oligotrofik Kesuburan perairan rendah. Air jernih, dimungkinkan adanya pembatasan anoksik pada zona hypolimnetik secara periodik (DO= 0) 40 - 50 Mesotrofik Kesuburan perairan sedang. Kecerahan air sedang, peningkatan perubahan sifat anoksik di zona hypolimnetik, secara estetika masih mendukung untuk kegiatan olahraga air 50 - 60 Eutrofik ringan Kesuburan perairan tinggi. Penurunan kecerahan air, zona hypolimnetik bersifat anoksik, terjadi masalah tanaman air, hanya ikan-ikan yang mampu hidup di air hangat, mendukung kegiatan olahraga air tetapi perlu penanganan 60 - 70 Eutrofik sedang Kesuburan perairan tinggi. Didominasi oleh alga hijau-biru, terjadi penggumpalan, masalah tanaman air sudah ekstensif 70 - 80 Eutrofik berat Kesuburan perairan tinggi. Terjadi bloming algae berat, tanaman air membentuk lapisan seperti kondisi hypereutrofik > 80 Hypereutrofik Kesuburan perairan sangat tinggi. Terjadi gumpalan alga, sering terjadi kematian ikan, tanaman air sedikit didominasi oleh alga Sumber dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2008) Sumber: Carlson : Carlson(1977) (1977) dalam Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2008) HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Air dan Tingkat Kesuburan Perairan Kecerahan Secara keseluruhan nilai kecerahan perairan waduk Gajah Mungkur rendah, hanya berkisar antara 7 – 119 cm (Lampiran1). ). Menurut Effendi (2000) perairan dengan nilai kecerahan kurang dari 200 cm termasuk perairan yang eutrofik. Nilai kecerahan pada perairan yang dangkal (dekat oulet dan inlet) lebih rendah dari pada perairan yang dalam. Pada bulan November 2010 kecerahan hanya berkisar antara 7- 54 cm, pada inlet sungai Keduang nilai kecerahan dibawah 10 cm. Pada awal musim penghujan (Nopember) banyak materi sedimen yang terbawa air masuk ke waduk, sehingga perairan menjadi keruh nilai kecerahan rendah dan nilai kekeruhan tinggi. Daerah yang dangkal seperti tepian waduk dan inlet sungai pada umumnya mempunyai nilai kecerahan rendah karena banyak partikel anorganik dari hasil erosi daratan tepian waduk. Kesuburan Perairan a) Fosfor (P) Sumber phosphor di alam sangat sedikit, apa bila di perairan kandungan phosphornya tinggi maka dapat dipastikan berasal dari aktivitas manusia. Kandungan total phosphor di Waduk Gajah Mungkur pada kedalaman antara 0–5 m berkisar antara 9,8 –273 (µg/L) dengan nilai rata rata 48,3 µg/L (Lampiran 1). Menurut Novotny & Olem (1994); perairan oligotrofik (kesuburan rendah) bila 418 kandungan total phosphor < 10 ì g/L, mesotrofik (kesuburan sedang) bila kandungan phosphor total antara 10 – 35 ì g/L, eutrofik (kesuburan tinggi) bila kandungan phosphor antara 35 – 100 ì g/L, hipertrofik bila kandungan phosphor total > 100 ì g/L. Perairan Gajah Mungkur berdasarkan kandungan total phosphor, secara umum sudah masuk katagori perairan eutrofik (kesuburan tinggi). b) Klorofil-a Kandungan total klorofil-a di perairan Waduk Gajah Mungkur berkisar antara 2,3–86 ì g/L dengan nilai rata rata adalah 21,31 ì g/L (Lampiran1). Menurut Novotny & Olem (1994); perairan oligotrofik bila kandungan klorofil < 4 ì g/L, mesotrofik bila kandungan klorofil antara 4-10 ì g/ L, eutrofik bila kandungan klorofil >10 ì g/L. Perairan Gajah Mungkur berdasarkan kandungan klorofil-a, secara umum sudah masuk katagori perairan eutrofik (kesuburan tinggi). c) Nilai status trofik (TSI) Nilai indeks status trofik perairan Waduk Gajah Mungkur yang didasarkan pada hasil pengukuran kecerahan perairan, kandungan total fosfor dan kandungan klorofil-a dapat dilihat dalam Tabel 3. Nilainilai indek status trofik (TSI) pada semua stasiun pengamatan menunjukkan nilai antara 60 – 70, maka Waduk Gajah Mungkur sudah termasuk dalam kategori mempunyai tingkat kesuburan eutrofik (tingkat kesuburan tinggi). Tingkat kesuburan yang tinggi tersebut tidak terlepas dari masukan bahan organik terutama dari KJA dan volume air yang semakin mengecil karena laju sedimentasi yang cukup tinggi yaitu 7.029.958 m3/tahun (Ditjen Pengelolaan Bengawan Solo, 2008). A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422 Tabel 3. Table 3. Stasiun/ Stations KJA Aquafarm Inlet Wiroko Outlet Tengah I Inlet Keduang Tengah II KJA Cakalan Indek Status Trofik Perairan Waduk Gajah Mungkur Trophic State Index of Gajah Mungkur Reservoir S.Disk (m) Chl-a (ug/L) Total-P (ug/L) TSI S.Disk TSI Chl-a TSI Total-P 0,72 0,67 0,43 0,58 0.50 0,77 0,54 24 19,5 24 21 33,7 19 67,6 46 39,5 44,6 42,7 85,1 59,4 90,1 64,73 65,77 72,16 67,85 69,98 63,77 68,88 61,77 59,74 61,77 60,47 65,11 59,49 71,93 59,35 57,16 58,91 58,28 68,23 63,04 69,05 B. Plankton Selama penelitian didapatkan 29 jenis plankton yang terdiri dari 21 jenis fitoplankton dan 6 jenis zooplankton. Fitoplankton didominansi oleh jenis Synedra ulna, sedangkan zooplankton didominansi oleh Cyclop sp. (Lampiran 2). Ditinjau dari jumlah jenis plankton maka perairan Waduk Gajah Mungkur merupakan perairan yang jenis planktonnya tidak banyak, bila dibanding Waduk lain di luar Jawa seperti Waduk Koto Panjang Riau dimana jumlah jenis fitoplankton mencapai 36 spesies (Sugiyanti et al. 2009). Kelimpahan plankton di Waduk Gajah Mungkur relatif tinggi, terutama pada lapisan permukaan daerah sekitar KJA milik Aquafarm mencapai 91.079 sel/L untuk fitoplankton dan 625 sel/L untuk zooplankton. Stasiun pengamatan pada KJA milik Aquafarm mempunyai kelimpahan plankton yang lebih banyak dari pada stasiun yang lain. Hal ini disebabkan pada area budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) akan menyumbangkan nutrien ke perairan sehingga akan memicu tumbuhnya fitoplankton. Menurut Krismono & Krismono (2003) setiap satu ton ikan yang dipelihara pada KJA akan melepaskan nutrien ke perairan sebesar 85 – 90 kg P dan 12-13 kg N. Produksi ikan dari keramba jaring apung di Waduk Gajah Mungkur pada tahun 2009 mencapai 1.100 ton ikan (Dinas Kehewanan dan Perikanan Wonogiri, 2010). Keberadaan jenis fitoplankton Microcystis sp di Waduk Gajah Mungkur walaupun belum banyak namun perlu diwaspadai karena plankton ini merupakan plankton yang beracun. Jenis racun Microcystine yang ada pada plankton tersebut bila terminum atau termakan oleh binatang maka akan menimbulkan kelumpuhan syaraf (Lindon & Heickary, 2009). Nilai indeks keanekaragaman (H’) plankton pada semua stasiun menunjukkan nilai yang rendah dengan kisaran 0,28 -1,08 untuk fitoplankton dan 0 – 1,10 untuk zooplankton. Nilai indeks kesergaman (E) plankton pada semua stasiun juga rendah dengan kisaran 0 – 0,99 untuk zooplanjkton dan 0,12 – 0,44 untuk fitoplankton. Bila Rataan/ Avarage TSI 61,95 60,89 64,28 62,20 67,77 62,10 69,95 S.Dev TSI ± 2,69 ± 4,42 ± 6,97 ± 5,01 ± 2,47 ± 2,29 ± 1,71 dibanding dengan Waduk lain diluar Jawa seperti Waduk Koto Panjang yang mempunyai kisaran indeks keanekaragaman fitoplankton antara 2,57 – 2,97 (Sugiyanti et al., 2009), maka Waduk Gajah Mungkur mempunyai nilai keanekaragaman plankton lebih rendah. Fitoplankton di Waduk Gajah Munkur didominansi oleh Synedra ulna yang mencapai rata rata 84,14 %, dominansi oleh salah satu spesies menunjukkan bahwa perairan tersebut kurang stabil, bila terjadi perkembangan yang Sangat peasat (blooming) terhadap species tersebut maka akan membawa dampak negatif terhadap kualitas perairan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Waduk Gajah Mungkur termasuk perairan dengan tingkat kesuburannya tinggi (eutrofik). 2. Perairan Waduk Gajah Mungkur mempunyai kelimpahan fitoplankton yang tinggi namun keanekaragamannya rendah dan didominansi oleh Synedra ulna. Saran 1. Oleh karena tingkat kesuburan perairan Waduk Gajah Mungkur sudah tinggi maka untuk pengembangan keramba jaring apung harus memperhatikan daya dukung perairan dan sebaiknya tidak dikembangkan sistem budidaya intensif. 2. Sebaiknya di Waduk Gajah Mungkur dilakukan penebaran jenis ikan pemakan fitoplankton untuk mengurangi jumlah kelimpahan fitoplankton yang didominansi oleh Synedra ulna. DAFTAR PUSTAKA APHA, 1986. Standard methods for the examinations of water and wastewater. APHA Inc, Washington DC: 986 p. 419 A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422 Boyd, C.E 1988. Water Quality in Warm Water Fish Ponds. Fourth printing. Auburn University Agriculture Experiment Station. Alabama. USA. 359 pp. Nedham,G.J & P.R Nedham 1963. A Guide to the Study of Freshwater Biology. Holden Day. Inc, San Francisco. 106 p. Bengen, D.G 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Novotny,V & Olem,H.1994. Water Quality, prevention, identification, and management of diffuse polluition. Van Nostrans Reinhold. New York. 1054 pp. Carlson, R.E 1977. Atrophic state index for lakes. Limnol. Oceanogr. 5(2): 2-22 Dinas Kehewanan dan Perikanan Kabupaten Wonogiri, 2009. Pengelolaan Usaha Perikanan di Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri. 30 pp. Direktorat Pengelolaan Bengawan Solo, 2003. Ringkasan Bendungan Serbaguna Wonogiri. Jasa Tirta I. Solo: 14 pp. Direktorat Pengelolaan Bengawan Solo, 2008. Pekerjaan Pengukuran Echo Sounding Waduk Wonogiri. Jasa Tirta I. Solo-Surakarta. 136 pp. Odum, E.P 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition Saunders College Publishing. Rinehart and Winston. 486 p. Prescott, G.W. 1979. How to Know the Freshwater Algae. Mc. Brown Company Publishers, Dubuque Lowa. 293 p. Purnomo, K, 2000. Kompetisi dan Pembagian Sumberdaya Pakan Komunitas Ikan di Waduk Wonogiri. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 6(3-4): 16-23. Edmonson, G.G 1971. A Manual and Methods for Assessment of Secondary Productivity in Fresh Water. IBP. Hand Book. Blackwell Sci. Pulb. Oxford. 209 pp. Purnomo, K., E. S. Kartamihardja & S. Koeshendrajana 2003. Pertumbuhan, Mortalitas, dan kebiasaan makan ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) introduksi di Waduk Gajah Mungkur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 9 (3): 13- 21. Effendi,H 2003. Telaahan Kualitas Air. Jurusan MSP Fak. Perikanan dan Kelautan IPB Bogor. 259 hal. Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fak Peternakan dan Perikanan. Univ Diponegoro. Semarang. 156 pp. Haslam, S.M. 1995. River Pollution and Ecological Perspective. John Wiley and Sons. Chichester, UK. 253 pp. Sugiyanti, Y., A.S .N Krismono & A. Warsa 2009. Keanekaragaman fitoplankton pada perairan calon Suaka Perikanan di Waduk Koto Panjang Riau. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 15(1): 23-31. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2008. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau. KSDA dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan. Jakarta. 118 pp. Krismono, A & Krismono, 2003. Indikator Umbalan Dilihat Dari Segi Aspek Kualitas Air di Waduk Ir. Djuanda, Jatiluhur Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 9(4): 8-17. Lancar, L & K. Krake. 2002. Aquatic Weeds and Their Management. International Commission on Irrigation and Drainage, France-Australia. 65 pp. Lindon, M & S. Heiskary 2009. Blue-green algae toxin (Mycrocystin) levels in Minnesota Lakes. International Journal. Lake and Reservoir Management. Taylor and Francis. London. 25 (3):240 -252. Utomo, AD; S. Adjie; N.Muflikah & A. Wibowo, 2005. Distribusi jenis ikan dan kualitas perairan di Bengawan solo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 12 ( 2 ): 89 -103. Utomo, AD., M.R Ridho., D.D.A Putranto & Edward Saleh 2010. The Water Quality Assessment at Gajah Mungkur Reservoir. Proceeding International Conference on Indonesian Inland Waters II. Research Institute for Inland Fisheries. 123- 133 pp. Vithanage, I.C.B, 2009. Analisis of Nutrien Dynamics in Roxo Catchment Using Remote Sensing Data and Numerical Modeling. Disertasi. International for GeoInformation Science and Earth Observation Enscede, The Netherlands. 103 pp. Welch, P.S. 1962. Limnological Methods, Mc.Graw-Hill Book Company Ltd., New York. 381 pp. 420 A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422 Lampiran 1. Appendix 1. Tabel Kualitas Air Waduk Gajah Mungkur Table of Water Quality at Gajah Mungkur Reservoir STASIUN / STATION 1. KJA Aquafarm (LS; 07.52.184 BT:110.54.253) 2. In let Wiroko (LS: 07.53.910 BT:110.55.054) 3.Outlet (LS: 07.50.589, BT: 110.55.497) 4.Tengah I (LS : 07.52.134, BT :110.54.517) 5.Inlet Keduang (LS: 07.50.990, BT: 110.56.005) 6. Tengah II (LS : 07.54.659 BT: 110o53.014) 7. KJA Cakalan LSS: 070.51’ 871, BT: 1100.54’.453” ) PARAMETER / PARAMETERS Chlorofil (µg/L) TP (µg/L) Kecerahan (m) Kedalaman dasar (m) Chlorofil (µg/L) TP (µg/L) KEDALAMAN / DEPTH (m) Permukaan 3 5 12,7 – 38,4 4.56 – 64 7.94 – 65,2 31,8 – 67,9 10 – 87,8 23,1 – 97,5 0,40 – 0,105 11- 14 2,3 – 33,6 2,3 - 26 2,3 - 55 10 – 48,7 10 - 52 10 -87 Kecerahan (m) Kedalaman dasar (m) Chlorofil (µg/L) TP (µg/L) Kecerahan (m) Kedalaman dasar (m) Chlorofil (µg/L) TP (µg/L) Kecerahan (m) Kedalaman dasar (m) Chlorofil (µg/L) TP (µg/L) Kecerahan (m) Kedalaman dasar (m) Chlorofil (µg/L) TP (µg/L) Kecerahan (m) Kedalaman dasar (m) Chlorofil (µg/L) TP (µg/L) Kecerahan (m) Kedalaman dasar (m) 0,40 – 1,10 4 – 9.9 11 - 213 30,4 - 219 0,17 – 0,80 4-5 2,3 – 47,1 9,9 – 78 0,30 - 1 10.5 - 15 16,6 – 86 38 – 273 0,1 - 0, 82 3,8 - 6 12,9 – 118 32,4 – 146 0,54 – 1,19 3 - 5,2 25- 106.58 32- 136 0,47 -1,11 10.8 – 12 7,6 – 93,5 22,5 – 112 4,5 – 27,2 15.8 – 53,7 12,9 – 31,7 32 – 117 13,6 – 34,8 22,4 – 63,4 12 - 95.65 16 - 126 2,3 – 65,2 9,9 – 97,6 54 – 119 30 - 166.47 48-185 Keterangan / Remark : - Pengambilan contoh dilakukan pada bulan Maret, Mei, Juli dan Nopember tahun 2010 /Sampling was conducted on March, May, July and November 2010 421 A.D. Utomo, et al. / BAWAL Vol.3 (6) Desember 2011 : 415-422 Lampiran 2. Appendix 2. No Kelimpahan,keanekaragaman dan keseragaman plankton Waduk Gajahmungkur Abundance,diversity and equitability of Plankton at Gajah Mungkur Reservoir Jenis/ Species Kelimpahan rata rata/ Avarage abundance (sel/l) Stasiun/Stations Inlet Tengah KJA Aquafarm 0m 3m 0m 3m 0m 3m Outlet 0m A FITOPLANKTON Amphora sp. 42 1 0 0 0 0 0 0 Anabaena menderi 42 125 114 2 0 0 0 0 Ankistrodesmus spiralis 42 3 0 0 0 0 0 0 Chroococcus sp. 1.083 8.523 3.417 958 5.682 625 4 6 Closterium juncidum 227 42 167 167 5 0 0 0 Coconeis sp. 42 6 0 0 0 0 0 0 Cosmarium absoletum 125 125 568 7 0 0 0 0 Cymbella sp. 114 8 0 0 0 0 0 0 Merismopedia elegan 455 1.625 1.167 2.159 333 9 0 16 Microcystis sp. 1.000 2.386 750 227 125 10 0 84 Mougeotia sp. 42 167 11 0 0 0 0 0 Navicula radiosa 250 455 958 125 1.136 12 3 Nitzschia sigma 250 833 125 13 0 0 0 0 Pediastrum duplex 208 1.932 42 72 167 568 292 14 Peridinium willey 0 0 0 256 0 0 0 15 Phacus sp. 0 341 0 0 375 0 0 16 Pinularia sp. 0 0 0 0 0 114 0 17 Staurastrum gracille 500 3.523 917 178 1.333 2.727 833 18 Synedra ulna 66.458 50.909 43.958 1.641 85.208 72.727 26.250 19 Trachelomonas sp. 0 227 0 0 0 0 0 20 Ulotrix aequalies 0 1.023 0 3 0 227 42 21 Kelimpahan (N) 69.916 70.570 51. 168 2.259 91.079 86.249 28.792 Jumlah species (i) 10 13 10 9 13 11 9 Indeks keanekaragaman ( H’ ) 0,28 1,08 0,60 0,98 0,37 0,69 0,46 Indeks keseragaman (E) 0,12 0,42 0,26 0,44 0,14 0,29 0,21 ZOOPLANKTON B Ceratium hirundinella 0 0 0 6 0 0 0 1 Cyclops sp 0 455 0 44 0 144 42 2 Difflugia sp 0 0 0 0 83 0 0 3 Keratella valga 0 114 0 0 0 0 0 4 Trachelomonas granulosa 42 0 0 6 125 114 125 5 Trichocerca tenuior 0 0 0 0 42 0 0 6 Kelimpahan (N) 42 114 0 56 625 258 167 Jumlah species (i) 1 1 0 3 4 2 2 Indeks Keanekaragaman (H’) 0 0 0 0,67 1,10 0,69 0,56 Indeks keseragaman (E) 0 0 0 0,61 0,78 0.99 0.81 Keterangan/Remark : Pengambilan contoh dilakukan bulan Maret dan Juli 2010 / Sampling was conducted on March and July 2010 422