diskusi hari pertama - Dewan Kesenian Jakarta
Transcription
diskusi hari pertama - Dewan Kesenian Jakarta
Meja Bundar Musik - World Music i ii Meja Bundar Musik - World Music Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Meja Bundar Musik - World Music iii iv Meja Bundar Musik - World Music MEJA BUNDAR MUSIK—WORLD MUSIC Musik Tradisi Nusantara: Merawat, Mengembangkan, Mengilhami THE ROUND TABLE OF MUSIC—WORLD MUSIC Music Tradition of Nusantara: Fostering, Evolving, Inspiring Teater Luwes, TIM, 3-4 September 2015 © Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Pembicara / Speakers I Wayan Balawan, Rahayu Supanggah, Rence Alfons, Trisutji Djuliati Kamal Moderator / Moderators Jabatin Bangun, Nyak Ina Raseuki Penyunting / Editor Zen Hae Penerjemah / Translator Miagina Amal Penyelaras Bahasa / Proofreader Helly Minarti Desainer Grafis / Graphic Designer Riosadja Fotografer / Photographer Eva Tobing Videografer / Videographer Joel Taher, Indra Perkasa Cetakan pertama: Desember 2015 ix + 130 hlm; 148mm x 210mm ISBN: Dewan Kesenian Jakarta Jl. Cikini Raya 73 Jakarta 10330 Telepon/Faksimile: (021) 3193 7639 Website: www.dkj.or.i Meja Bundar Musik - World Music v DAFTAR ISI TABLE OF CONTENTS Sambutan Dewan Kesenian Jakarta Foreword from Jakarta Arts Council vi vii Pengantar Komite Musik DKJ Preface from the Music Committee viii ix Diskusi Hari Pertama First Day Discussion 3 29 Diskusi Hari Kedua Second Day Discussion 57 83 Biografi / Biographies 109 vi Meja Bundar Musik - World Music SAMBUTAN DEWAN KESENIAN JAKARTA Dialektika kebudayaan di dunia ini tidak mengenal kategori negara maju, negara berkembang atau negara miskin. Setiap negara punya kesenian yang saling memengaruhi, menguatkan dan menjadi ciri khas masing-masing. Menyadari dunia yang semakin terbuka, kita seperti tinggal dalam satu rumah ketika kesenian semakin dikenal luas oleh masyarakat dunia. Misalnya, blues dari Afrika atau reggae dari Kepulauan Karibia yang kini telah dikenal luas di dunia. Hal ini menegaskan bahwa pada dasarnya kehidupan kesenian itu beragam dan tidak didominasi hanya oleh kekuatan monoartistik. Nusantara terdiri atas ribuan jenis musik tradisi yang lahir dan hidup dalam denyut kehidupan masyarakatnya yang beragam. Musik-musik itu berasal dari akar budaya yang berbeda, namun berada dalam satu rumah “Bhineka Tunggal Ika”. Oleh karena fungsi kesenian adalah selalu mencari varian dan perkembangan, keberagaman artistik yang dihasilkan lewat eksperimentasi akan akar kesenian sangat penting diperbincangkan dan dijaga kelestariannya. Upaya menempatkan musik tradisi kita dalam konstelasi musik dunia adalah juga upaya merekontruksi kebudayaan dunia. Untuk itu, Dewan Kesenian Jakarta merasa perlu menyelenggarakan program yang mengangkat musik tradisi Nusantara sebagai persembahan bagi generasi penerus musik Indonesia. Bersama Komite Musik, gagasan tersebut terpenuhi dalam “Meja Bundar Musik—World Music”. Kami ucapkan terima kasih kepada moderator Nyak Ina Raseuki dan Jabatin Bangun; narasumber I Wayan Balawan, Rahayu Supanggah, Rence Alfons, Trisutji Djuliati Kamal; penyunting Zen Hae dan para panitia yang telah mewujudkan acara ini. Irawan Karseno Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015 Meja Bundar Musik - World Music FOREWORD FROM JAKARTA ARTS COUNCIL The classifying of developed, developing and underdeveloped countries is absent in the dialectic of world cultures. Every country has a unique artistic expresssion that could influence and support the other - and vice versa - to become one’s distinct character. With the ever open and approachable world, it seems that we are living in one mutual home when artistic expression has become appreciated by a larger society in the world. For instance, blues music from Africa and reggae from the Caribbean Islands had become world-famous. This underlines that art is diverse and is not dominated by a monoartistic influence. The Indonesian archipelago—or as we lovingly call “Nusantara”—is a home of thousands of traditional music, born and flourishing in the thriving lives of its diverse communities. The music originated from heterogeneous cultural roots, yet united in one home, “Unity in Diversity”, our national motto. Since the purpose of music is to seek for variety and progress, it is crucial to discuss and preserve the artistic range resulted from exploring the traditional roots. In this sense, our effort in placing our traditional music within the constellation of world music is also an effort to reconstruct the world culture. To honor that, Jakarta Arts Council senses the urgency to run a program that elevates the traditional music of Nusantara as a tribute to the next generation of Indonesian musicians. Together with the Music Committee, this initiative is realized through “The Round Table of Music—World Music”. We sincerely thank the moderators Nyak Ina Raseuki and Jabatin Bangun; our sources I Wayan Balawan, Rahayu Supanggah, Rence Alfons, Trisutji Djuliati Kamal; editor Zen Hae and the organizing committee behind this program. Irawan Karseno Chairman Jakarta Arts Council 2013-2015 vii viii Meja Bundar Musik - World Music PENGANTAR KOMITE MUSIK DEWAN KESENIAN JAKARTA Salam musik, Sudah menjadi perhatian setiap penggiat budaya di Indonesia akhir-akhir ini bahwa warisan budaya memiliki peran yang cukup penting dalam menentukan arah republik ini. Warisan budaya adalah salah satu kekayaan kita yang terus digali dan tidak akan kunjung habis. Namun, semua itu memerlukan usaha yang tak kenal lelah dari para penggiatnya. Meja Bundar Musik adalah gagasan Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta untuk menyajikan diskusi yang menarik ditonton. Kami mengundang tokohtokoh musik dalam tema yang aktual, dengan membelokkan rute kegiatan mereka hingga berpotongan satu sama lain di waktu dan tempat yang sama. Perpotongan sesaat ini tentu saja sebuah perkenalan yang memengaruhi satu sama lain dan menjadi peristiwa budaya tersendiri. Dua moderator, empat narasumber, sebuah meja bundar, sejumlah pemirsa. Pada edisi perdana ini Komite Musik memilih tema “World Music” dengan subtema “Musik Nusantara: Merawat, Mengembangkan, Mengilhami”. Kami mengundang empat penggiat musik tradisi. Mereka adalah komponis, pemusik sekaligus motivator yang bertahun-tahun menempuh jalan dengan gigih untuk menggali budaya musik Nusantara. World Music adalah istilah yang maknanya masih luas dan menjadi polemik tersendiri. Judul ini sengaja kami hadirkan tanpa membahas lebih lanjut asal muasalnya, membiarkan pemerhati Meja Bundar Musik menyerap obrolan hangat para penampil. Dokumentasi Meja Bundar Musik ini berupa terbitan dwibahasa dan video dengan subtitel bahasa Inggris. Suatu usaha untuk menyediakan referensi multimedia bagi para sarjana-peneliti di kemudian hari. Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta 3013-2015 Aksan Sjuman Budi Utomo Prabowo Aisha Sudiarso Pletscher Anusirwan Meja Bundar Musik - World Music PREFACE FROM MUSIC COMMITTEE OF THE JAKARTA ARTS COUNCIL Greetings, It is arguably the concern of every artist in Indonesia nowadays, that our cultural heritage holds an important role in determining the course of this republic. Our cultural heritage is a bottomless resource that we have to explore continually. However, it is an effort that demands an unwavering commitment of the individuals. The Round Table of Music is the initiative of the Music Committee of Jakarta Arts Council to present a lively discussion. We invited notable figures in music industry to discuss a current theme, thus resigning from their busy activities so they could meet up in a specified moment and place. These points of intersections, however brief, are indeed an introduction that influenced one another and emerged as a unique cultural phenomenon. Two moderators, four sources, a round table, and a group of viewers. In this first edition, the Music Committee selected the theme of “World Music” with the subtheme “Nusantara Music: Fostering, Evolving, Inspiring”. We invited four traditional music figures: composers, musicians and motivators who for years have strife to explore the music culture of Nusantara. World music is a general term with flexible meaning and is something of a polemic. We selected this term without further discussion on the origin, and just let the viewers absorb the lively discussion between the speakers. We documented the Round Table of Music in a bilingual print and video with English subtitle. It is our best effort to provide a satisfactory multimedia references to scholars and researchers of later day. Music Committee Jakarta Arts Council 2013-2015 Aksan Sjuman Budi Utomo Prabowo Aisha Sudiarso Pletscher Anusirwan ix x Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music xi xii Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music xiii xiv Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music DISKUSI HARI PERTAMA / FIRST DAY DISCUSSION 1 2 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music DISKUSI HARI PERTAMA Nyak Ina Raseuki Selamat siang hadirin semua. Meja Bundar ini harfiah ya. Sesekali kami harus menengok ke belakang, tanpa bermaksud membelakangi anda. Konsep diskusi ini adalah bundar, jadi kita memulai dari dengan sesuatu yang harfiah, bundar. DKJ tepat memulai ini dengan konsep yang bundar. Kami tidak harus memberi tahu siapa itu Rahayu Supanggah dan I Wayan Balawan. Mereka akan bercerita sendiri siapa mereka sebenarnya. Yang pasti kedua narasumber kita adalah orangorang yang punya dedikasi, yang memberikan seluruh waktu mereka kepada kesenian; musik Nusantara adalah bagian dari kehidupan mereka. Yang penting dari diskusi ini sebenarnya bagaimana kita memahami proses kreatif, kreator, seniman, produser. Yang tidak pernah kita share dalam pertemuan adalah apa sih yang pernah dilakukan seniman tradisi. Itu yang akan kita gali. Obrolan akan sangat cair. Kita tidak akan melihat yang besar-besar, tapi kita cari dari yang kecil-kecil yang membuatnya menjadi besar. Mungkin kita bisa mulai dari Mas Panggah. Bang Jabatin, silakan. Jabatin Bangun Baik. Mas Panggah kok bisa terlibat dalam dunia musik. Dari mana asalnya? Rahayu Supanggah Saya lahir dari keluarga seniman. Bapak saya seorang dalang, ibu saya dalang, nenek saya semuanya keluarga dalang. Jadi sejak kecil saya sudah mendengar pertunjukan wayang, suara gamelan, tapi saya tidak pernah bercita-cita menjadi seniman karena saya tinggal di desa dan ayah saya miskin, saya takut miskin. Saya tidak mau belajar kesenian, lebih senang pergi sekolah daripada berlatih gamelan atau main wayang. Tapi nasibnya memang sudah begitu. Waktu lulus SMP saya tidak 3 4 Meja Bundar Musik - World Music punya uang untuk melanjutkan ke SMA, padahal cita-cita saya setelah tamat SMP dan lanjut SMA adalah menjadi dokter atau insinyur. Akhirnya saya masuk Konservatori Karawitan Indonesia (kini Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8 Surakarta—ed.) karena itu sekolah yang paling murah. Tidak memerlukan biaya, malah buku disediakan oleh sekolah. Waktu masuk sekolah itu saya frustrasi. Nakal sekali. Selama saya belajar di Konservatori, walaupun saya tidak punya bakat, karena tidak pernah belajar, saat itu ada misi kesenian kepresidenan ke Jepang, Korea dan Cina. Saya dilibatkan dalam rombongan itu. Setelah melihat Jepang, Korea dan Cina saya kok senang dan berangan-angan mungkin dengan menjadi wiyaga ‘pemain musik’ itu bisa juga menjadi orang. Saat itu saya baru serius belajar gamelan. Dan satu hal yang menyadarkan saya, orang Jepang, Korea dan Cina memiliki kesenian tradisional yang luar bisa dan hidup semua. Artinya, senimanseniman bisa menghidupi diri mereka dan karya-karya mereka hidup, tidak hanya di negara mereka tapi juga di Eropa, Amerika dan sebagainya. Perjalanan itu terjadi pada 1965. Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Ternyata kesenian-kesenian yang disebut tradisional itu—saya benci sekali dengan istilah “tradisional”—bisa hidup ketika kesenian itu menjadi kontemporer, menjadi baru. Maka mulai 1965 saya mencoba untuk mengutak-utik keseniankesenian yang menggunakan zaman dengan bentuk dan karakter kesenian yang kontemporer. Ternyata langkah itu tidak terlalu salah. Kami banyak mendapat kesempatan dan rezeki dari yang saya perbuat itu. Jabatin Bangun Kenapa Mas Panggah memilih menjadi pemusik, tidak menjadi dalang? Rahayu Supanggah Menjadi dalang itu susah sekali. Harus bisa ngomong, bisa nembang, memainkan wayang, tahu cerita, tahu filsafat hidup. Banyak sekali persyaratannya. Kalau jadi seniman gamelan, memukul-mukul apa yang bisa dipukul, ya bisalah. Jadi saya mencari yang tidak terlalu mempersulit diri. Nyak Ina Raseuki Kita ke I Wayan Balawan. Bagaimana pengalaman bermusik Balawan sejak kecil? I Wayan Balawan Saya malu untuk menceritakannya, saya kebalikan dari Pak Supanggah. Saya dilahirkan di keluarga yang cukup berada. Bapak saya seorang seniman, kepala desa untuk urusan adat, mengurus pertunjukan, perkawinan. Ibu saya juga Meja Bundar Musik - World Music sama. Saudara saya ada tujuh orang. Dahulu tidak ada HP. Jadi, anak-anak harus belajar menari dengan cara memanggil guru. Itu wajib. Jika setiap purnama, ada odalan, kami harus bisa menari atau paling tidak menabuh gamelan. Suasana itu membuat saya terbiasa dengan musik tradisional. Semakin mendarah daging. Juga saat sekolah di SMP di Denpasar, orang bertanya, “Kamu dari Gianyar?” “Oh, kamu pegang instrumen ini”. Walaupun tidak jago-jago amat, tapi risiko orang dari Gianyar, sudah dianggap pintar. Gianyar itu gudangnya penari dan pemusik. Ya dianggap bisa dan harus bisa. Saya tinggal di daerah pariwisata, melihat banyak wisatawan, juga seniman yang membawa gitar atau turis yang bermain musik. Saya memang sekolah formal tetapi juga terpengaruh oleh lingkungan. Saya punya dua sisi: hari-hari biasa saya tinggal di Denpasar untuk sekolah, Sabtu-Minggu tinggal di kampung. Pergaulan saya berbeda. Di kampung tradisional, nongkrong (di) bale banjar, di sanggar tari, sementara di Denpasar sudah modern, ngeband dan segala macam. Yang tradisional dan yang modern berjalan bersamaan sampai saya kelas 1 SMA. Di SMA saya ngeband, setelah itu pakai pakaian tradisional, main gamelan. Lama-lama banyak yang jealous. Kok serakah banget, sih? Semuanya diambil. Nyak Ina Raseuki Jadi Balawan ini hidup di dua sistem musik, pentatonis dan diatonis. Mas Panggah juga mengalami itu dengan kolaborasi-kolaborasi beliau, seperti dengan Kronos Quartet. Saya dengar Mas Panggah sedang bekerja sama dengan kelompok musik dari Australia yang masa kerjanya dua tahun. Boleh Mas Panggah ceritakan pada kami? Rahayu Supanggah Ya, karena kepepet kadang saya mendapat kesempatan. Waktu saya sekolah di Konservatori Karawitan Indonesia kemudian di ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia), berbeda dari Balawan di Bali yang banyak turis asingnya, di Solo turis belum banyak saat itu. Saya blessing in disguise-lah. Waktu SMA saya senang belajar bahasa Inggris walaupun jelek. Saat itu banyak sekali peneliti dan seniman (musisi maupun komposer) yang datang ke Solo untuk belajar gamelan, untuk main bersama, berkolaborasi dan sebagainya. Tapi di kalangan kami yang bisa bahasa Inggris tidak banyak. Saya mendapat banyak kesempatan waktu itu. Saya kenal dengan Ton de Leeuw dari Belanda dan profesor Jarrad Powell dari Amerika yang menulis tentang patet (mood) dalam musik. Dia menulis tentang musik di Indonesia, saya menemani mereka sebagai narasumber dan 5 6 Meja Bundar Musik - World Music menemui seniman-seniman. Sejak itu saya mendapat tawaran banyak sekolah di Amerika dan Eropa. Tapi tidak diperbolehkan oleh rektor saya karena ASKI masih berbenah-benah. Tapi setelah ASKI agak mapan, ada tawaran untuk melanjutkan S2 di Prancis. Di Prancis saya tidak bisa bahasa Prancis sama sekali, sementara di Amerika saya sudah ada modal bahasa Inggris. Di Amerika waktu itu tawarannya di Maryland. Saya pilih ke Paris, yang penting saya bisa bertemu seniman-seniman, dari yang sangat tua hingga yang baru, film, teater, musik, semua ada. Setelah saya di Paris, saya banyak teman, kemudian saya mengajar di Amerika. Saya ketemu Rizaldi Siagian. Saya juga mendapat kesempatan membuat musik untuk film bersama Robert de Niro dalam film Once Upon a Time in America. Banyak teman untuk jam session dan memperkenalkan saya kepada dunia yang bukan slendro-pelog. Saat berkenalan dengan Peter Brook dan terlibat dalam produksi Mahabharata. Tapi karena saya masih sekolah saya tidak bisa ikut turnya, saya ikut workshop-nya. Itulah pertemuan saya dengan dunia yang bukan slendro-pelog. Jabatin Bangun Bagaimana Bli berkarya untuk dunia yang berbeda? I Wayan Balawan Di Bali tradisi tidak jadi masalah. Musik selalu berhubungan dengan adat istiadat. Musik akan selalu eksis, akan selalu ada pemain-pemain gamelan baru dan sangat dibutuhkan. Harus ada regenerasi dalam musik untuk keperluan agama. Setiap enam bulan sekali harus ada. Yang menjadi masalah bagaimana tidak sekadar eksis atau bisa bermain gamelan, tapi menghasilkan maestro-maestro yang bisa berkarya sebagai komposer. Kendalanya ada pada sistem gamelan Bali yang bersifat orkestra. Secara individual tidak begitu kelihatan. Kadang malah yang komposer biasa-biasa aja, pemainnya malah lebih pintar. Kelebihan komposer hanya ia bisa membuat komposisi. Di SMA band saya rock dan main segala macam, setelah lulus saya mendapat beasiswa ke Australian Institute of Music untuk belajar komposisi jazz. Pada saat itu segala jenis musik saya mainkan, metal dan sejenisnya, sudah jenuh. Tantangannya bagaimana kita harus eksplorasi lebih luas lagi. Teman saya menyarankan saya belajar tentang komposisi jazz. Katanya, “Jika kamu mau berkembang, ya belajar jazz.” Akhirnya saya belajar jazz dan klasik. Jazz untuk improvisasi, klasik untuk disiplin dan feel. Setelah saya lima tahun di Sydney, main di pub, saya sempat berkolabroasi dengan gamelan Jawa. Tapi dengan gamelan Jawa saya tidak cocok, bikin saya ngantuk. Meja Bundar Musik - World Music Rahayu Supanggah Dalam berkolaborasi yang pertama mesti kita lihat adalah musiknya, budayanya. Untuk mengenal musik Balawan, misalnya, kita mesti terlebih dulu mengenal budaya Balawan. Kalau saya berkolaborasi dengan Balawan saya pelajari musiknya, makanannya apa, kesukaannya apa. Dengan begitu saya mejadi tahu Balawan. Jika kita bekerja sama ada banyak permasalahan yang akan bertabrakan. Tergantung pada niat kita. Saya menyebutnya “ereksi budaya”. Selain exciting, kita maunya apa dengan kolaborasi ini. Mau jatuh cinta sampai pada perkawinan atau hanya ereksi budaya. Kalau kita mau kerja terus dan menjadi keluarga, kita harus saling berkorban, saling mengerti, saling menghormati. Dalam berkolaborasi, jangan sampai kita mencederai atau menyebabkan “sakit budaya”. Seperti saya belajar kepada orang Bugis dalam proyek I La Galigo. Saya pelajari teman-teman saya itu, termasuk musik dan kebudayaan mereka. Waktu kami berproses, semua orang Sulawesi dan kami terjun ke lapangan. Karena I La Galigo ini karya dari abad ke-14 dan orang sekarang tidak semua tahu karya itu. Karena pementasan ini, orang Makasar, Luwu, Selayar kembali lagi ke lapangan untuk belajar musik dan upacara. Tujuannya agar kita tidak salah menggarap musik, tidak mencederai pemilik budaya tersebut. Jadi, prosesnya memang lama. Paling tidak dua-tiga tahun. Misalnya dengan Melbourne Orchestra yang akan pentas pada 2017 kita sudah berkomunikasi dari sekarang. Mereka ke Solo untuk latihan bersama kami, saya juga ke Melbourne untuk latihan di sana. Jadi, prinsip dasar kolaborasi adalah karena keterbatasan pengetahuan kita akan rekan kerja kita. Dengan Kronos Quartet, misalnya, saya tidak tahu sama sekali musik Barat. Sama sekali nol. Semula saya sudah menolak, tidak bisa membuat karya untuk mereka. Apalagi Kronos itu grup yang sangat terkenal, kalau bisa mereka jangan sampai justru jatuh karena membawakan karya saya. Tapi itulah yang mendorong saya untuk lebih berani. Ketika mereka meminta saya mereka bilang, “Jangan takut. Kami sudah kerja sama dengan musisi Jepang dan Afrika. Ini CD-nya. Coba kamu pelajari.” Ternyata setelah saya pelajari, saya bisa. Saya berani. Tapi saya minta waktu dua tahun: kita dialog dulu, saya kirimkan CD karya saya, mereka mengomentarinya. Jadi pertemuan kami “gagal” untuk pertama kali karena ketika saya ke sana tahu-tahu mereka jam 9:00 pagi sudah siap. Sudah ada biola, biolin, cello di ruangan itu. Terus saya disuruh apa? Saya kalang kabut. Kita belum ngomong-ngomong. Bagaimana caranya kita bekerja sama. Hahahaha. Nyak Ina Raseuki Saya kira itu pentingnya tradisi oral dan tradisi tulis bagi mereka dan bagaimana jalan tengah ditempuh oleh Mas Panggah. Saya kira ini terjadi juga pada Bli 7 8 Meja Bundar Musik - World Music Balawan. Jika kita mendengarkan musik Balawan, ia seperti memindahkan musik Bali ke gitarnya. Bagaimana prosesnya? I Wayan Balawan Awalnya saya bereksperiman setelah pulang dari Australia. Gong kebyar main dan saya main gitar. Saya waktu itu belum ada rekamannya. Saya bilang ke teman-teman saya, “Pokoknya kalian main seperti biasa, jangan perhatikan saya.” Ternyata saya bisa dan mereka tidak terganggu. Lama-lama, dengan teknologi ternyata gitar bisa untuk suara gamelan juga, jadi semakin tidak terganggu. Itu permulaannya. Proses kreatif penciptaannya itu yang agak ribet dan banyak orang yang tidak tahu. Proses penciptaan komposisi saya itu dengan nongkrong berlama-lama. Jadi, kita nongkrong di rumah saya dekat sawah dan sungai dengan seluruh tim dari siang, makan siang. Ada suling, gangsa, cengceng. Gangsa dan suling itu paling sulit karena nadanya harus didikte satu-satu, dipecah. Kenapa komposisi saya selalu cepat temponya? Karena musik Bali itu agresif, sebagian besar musik Bali itu untuk berperang. Yang lain untuk religius dan untuk kematian. Garis besarnya, agresif, temponya cepat. Sebagai orang Bali kami juga sangat menghargai para pelatih karena latihannya berjam-jam. Satu per satu, didikte, kemudian digabungkan. Pendekatannya sangat personal. Apalagi dengan bagian yang namanya “polos sangsih”, bagian yang kompleks dimainkan oleh dua orang. Jadi, mereka harus menjadi teman yang sangat baik untuk menyatukan iramanya atau menghasilkan kombinasi yang cepat. Melodi yang cepat itu berawal dari yang simpel. Jadi, kita mesti berteman baik. Jika tidak cocok ya tidak bisa. Nyak Ina Raseuki Saya kira itu hal yang penting sekali bagi kita para pemusik atau seniman lainnya: bagaimana kita bergaul sebelum menghasilkan musik atau karya kolaborasi. Saya punya pengalaman pribadi beberapa waktu lalu. Suatu ketika kolaborasi kami macet. Akhirnya saya minta rekan saya untuk jalan-jalan ke Borobudur. Di sana ia mendengar suara gamelan. Sepulang dari sana kolaborasi kami malah lancar. Jadi, kolaborasi itu adalah proses berteman. Saya ingin tahu bagaimana proses detail Mas Panggah mencipta komposisi di antara tradisi lisan dan tradisi tulis saat berkolaborasi dengan Kronos Quartet? Rahayu Supanggah Proses kolaborasi kami (dengan) Kronos Quartet lama sekali. Sempat buntu karena problem komunikasi. Pertama komunikasi bahasa karena bahasa Inggris Meja Bundar Musik - World Music saya kurang bagus. Selanjutnya komunikasi budaya karena saya tidak tahu musik Barat. Sampai akhirnya kami sampai benar-benar buntu. Akhrinya mereka menawarkan apa perlu mediasi dan mereka menawarkan etnomusikolog John Bruner, temannya Mbak Ubiet, untuk menjembatani kami. “Apakah kamu butuh seseorang yang menuliskan musiknya?” tanya salah satu dari mereka. Maka didatangkan seseorang dari New York, Steve Laplanck. Akhirnya saya minta, “Bolehkah saya hari ini tidak latihan? Saya mau tidur.” Dan waktu tidur, ada sesuatu yang seperti pencerahan. Anda kok seperti orang desa saja? Bagaimana kalau kamu mengajarkan gamelan Jawa kepada mereka? Terus saya main rebab. Kata saya, “Coba kamu menirukan suara ini dengan biolamu, dengan bahasamu sendiri. Jangan seperti ini.” Dia kemudian mencoba. Lagunya tidak sama, karena ini menggunakan bahasa musik Barat. Akhirnya ketika semua bertemu, dia menangis karena senang sekali. Saat itu saya hanya memainkan rebab. Tantangannya adalah bagaimana jika nada-nada yang saya mainkan itu dikembangkan dalam biola. “Ini yang saya cari,” kata dia. Saat itu, kami harus menggunakan instrumen yang berbeda, tidak boleh sama. Dalam musik Jawa sama itu tidak boleh. Supaya tiap-tiap instrumen bisa saling mengisi. Nyak Ina Raseuki Jadi seperti yang dibilang Mas Panggah tadi, dalam musik Barat itu ada downbeat dan harus tepat. Namun, ketika Mas Panggah main tidak ada downbeat yang mesti ditemukan. Downbeat-nya bermacam-macam, ketukannya bermacammacam. Itu pengalaman yang bisa ditemukan oleh pemusik mana pun. Apakah hal seperti itu ditemukan pada pengalaman kolaborasi Balawan? I Wayan Balawan Saya pernah berkolaborasi dengan alat musik Safe dari Kalimantan. Waktu itu memang saya baru tahu alat musik itu. Saya berpikir, apa hitungan tempo mereka beda, apa mereka main suka-suka saja atau saya yang tidak bisa menghitungnya. Ya, seperti meraba-raba. Saya belum cukup waktu untuk memahaminya. Jabatin Bangun Bagaimana pengalaman Mas Panggah berhubungan dengan budaya-budaya selain budaya Jawa yang menjadi inti musik Mas Panggah Selama ini. Sebagaimana kita tahu, I La Galigo itu sangat erat dengan kebudayaan BugisMakassar, Toraja dan sekitarnya. Bagaimana interaksi Mas Panggah dengan budaya-budaya lain di Nusantara? 9 10 Meja Bundar Musik - World Music Rahayu Supanggah Saya dan Mas Jabatin ini beruntung karena ngakunya seniman tetapi juga etnomusikolog. Etnomusikolog kan mempelajari musik dalam ruang budaya, konteksnya, filosofinya. Jadi kami bisa mengetahui lebih detail musik bukan sekadar bunyi, tetapi sebagai simbol atau ekspresi sebuah kebudayaan. Makanya, ketika kami pergi ke Flores, banyak hal yang menarik di luar dugaan kami. Di sini kita tidak perlu teori, langsung terjun ke lapangan. Jika bergantung kepada teori, jadi tidak kreatif. Yang penting di antara dua atau lebih kebudayaan tidak saling memiliki tetapi kita mengadopsi, bisa saling mengisi dan tidak bentrok. Memang kita harus bertemu dengan berbagai kesenian dan budaya yang makin beragam agar kita makin kaya, agar kita tidak mengatakan, “Wah enggak, itu jelek.” Dalam kesenian pernyataan itu sangat peka. Setiap kesenian itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Saya waktu kecil mendengar suara gamelan dan berkomentar, “Waduh, ini bising.” Sementara Balawan berkomentar, “Wah, ini ngantuk”. Sementara jika kita mendengar gamelan Sunda, kesenian Sunda, menyedihkan, bikin menangis. Itu adalah stereotipe sebelum kita menyadari bahwa keberagaman itu penting. Pada prinsipnya, sekarang ini kita justru harus mencari hal-hal positif dari setiap budaya untuk menutupi kekurangannya. Musik itu seperti juga bahasa, mereka berbicara. Contohnya kalau saya ngomong, “Saya cinta Mba Ubiet”. Itu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bisa dengan memberi bunga, memberi kunci mobil, memberi kunci villa. Yang di Jawa tidak ada, kita bisa menggunakan cara lain. Begitu juga dengan kematian. Di keluarga dalang itu kematian bukan sesuatu yang menyedihkan. Jika ada kematian, itu akan seperti pesta, seperti dalam masyarakat Bali, Batak, Toraja. Ada perayaan besar karena mati itu hanya menyelesaikan satu tahap hidup, nanti anda akan hidup lagi. Mati itu bisa bahagia karena sudah berhasil menyelesaikan satu tahapan kehidupan. Sementara di Barat kematian berarti selesai semuanya. Nyak Ina Raseuki Saya ingin menyambung tema kita kali ini dengan kegiatan merawat. Di mana posisi pendidikan seni? Menurut Mas Supanggah dan Balawan, bagaimana peran seni sebagai pendidikan? Rahayu Supanggah Kadang-kadang kita mengartikan tradisi secara fisik, termasuk di Konservatori. Konservatorium berasal dari kata conserve ‘melestarikan’, dalam arti seperti melestarikan makanan. Diawetkan, tidak diubah. Tapi kesenian harus diubah agar sesuai dengan zaman. Istilanya, living tradition. Bagaimana mengubahnya, sangat banyak caranya. Yang paling banyak adalah mengubah fungsinya. Misalnya, tari Bedhaya itu berasal dari keraton dan fungsinya tertentu, tapi Meja Bundar Musik - World Music karena raja sudah tidak ada lagi, ia harus berubah untuk keperluan yang lain. Maka berubahlah fungsi atau kegunaannya, bentuknya, strukturnya, durasinya juga berbeda. Nyak Ina Raseuki Mungkin juga pemanggungannya ya, Mas. Pada dasarnya ketika orang menyebut pemanggungan yang tergambar adalah panggung prosenium, ada panggung dan penonton. Rahayu Supanggah Jadi, formatnya berubah. Banyak sekali yang berubah, direkreasi, direformasi formatnya, diciptakan kembali dalam bentuk yang berbeda. Masalahnya, ada musik dan tari yang bisa berubah, ada yang tidak. Kalau menurut Pak Hadi Susilo harus dilihat dari unsur kendablegannya, ‘stubbornness’-nya. Dalam musik Bali atau Jawa yang tidak boleh berubah adalah slendro-pelog. Jika unsur ini berubah, tidak ada musik Jawa atau Bali. Jabatin Bangun Apa yang dilakukan Bli Balawan dalam melihat aspek kebudayaan Bali atau Barat? I Wayan Balawan Kalau saya boleh ngomong, apa yang harus dirawat jika kenal saja tidak. Yang penting sosialiasi. Contohnya, pada 2012 saya tur ke Amerika, mengunjungi 10 universitas. Delapan universitas punya gamelan Bali-Jawa lengkap. Di Indonesia, berapa sekolah yang punya gamelan? Peran media juga kurang. Di televisi acara musik tradisional Jawa-Bali tidak di prime time. Acara wayang mainnya jam 01:00 dini hari, siapa yang mau nonton. Saya punya murid banyak di sanggar yang belajar modern, saya kasih yang tradisional secara gratis. Supaya mereka tahu. Anak-anak sekarang ini terlalu banyak les. Mereka tidak punya waktu lagi untuk belajar seni tradisi. Bayangkan, mereka pulang jam 13:00, jam 15:00-18:00 mereka les. Sampai di rumah mereka mengerjakan PR. Tidak ada waktu lagi untuk nongkrong, mereka pindah ke gadget. Main musik pun sudah di gadget sekarang. Jadi, yang tradisional itu semakin menghilang. Karena kesibukan itulah jika mereka datang ke upacara keagamaan di pura, setelah mereka itu pulang, nonton televisi. Cara berkomunikasinya beda. Jika ada pertunjukan musik tradisional jarang ada yang menonton. Meskipun begitu, proses belajar di banjar masih berjalan terus. Masih ada berlatih seminggu sekali atau dua kali sebulan. Sekarang ini siapa yang menonjol saja yang meneruskan kuliah ke ISI. Yang lain sebagai pelengkap saja. 11 12 Meja Bundar Musik - World Music Nyak Ina Raseuki Saya kira, merawat itu tidak harus di pendidikan tinggi seni. Sebetulnya, yang lebih hidup kalau kita mau rajin jalan-jalan untuk memahami Indonesia. Rahayu Supanggah Di Inggris ada proyek “Good Vibration”. Orang mau merawat sesuatu jika sesuatu itu ada gunanya. Orang-orang asing merawat musik kita, jika ada gunanya buat mereka. Mungkin hal ini tidak dilakukan di Indonesia, ternyata gamelan ada gunanya untuk terapi. Misalnya, terapi untuk orang yang punya problem mental, untuk orang yang dipenjara. Orang yang dipenjara itu biasa keras, egoistis, individualis. Tapi mereka bisa disembuhkan dengan suara gamelan. Bukan karena belajar gamelan, tapi cara belajar gamelan. Dalam belajar gamelan kita harus mendengarkan orang lain. Bukan dengan notasi. Ketika main bareng tidak boleh egoistis atau bermain lebih keras dari yang lain. Cara mendidik seperti itulah yang akhirnya bisa mengubah karakter seseorang. Itulah attitude bergamelan. Di Amerika orang mengangkat gamelan menangis karena bahagia. Di Jawa, kita marah-marah. Mereka di sana tidak pernah merasakan bisa bekerja sama tanpa ada uangnya. Jabatin Bangun Apa program musik yang sedang dilakukan Bli Balawan dalam waktu dekat? I Wayan Balawan Sementara ini yang masih saya lakukan adalah proyek gamelan orkestra dengan konsep “Semar Pegulingan”. Sebenarnya itu do re mi fa sol la si do. Di Bali ada itu, bukan hanya slendro-pelog. Satu lagi, gamelan yang in tune 440 Hz. Memang ada pro dan kontra. Kontra karena gamelan Bali itu bisa lebar suaranya karena ada suara yang fals-fals, seperti chorus. Tapi dari sisi rekaman sangat mengganggu jika kolaborasi dengan alat musik dalam frekuensi 440 Hz. Nyak Ina Raseuki Jadi, ada gamelan yang dibuat khusus untuk ini. Saya kira ini juga perlu dibicarakan dengan Mas Panggah. Dalam prosesnya, ada alat musik yang diciptakan kembali. Mas Panggah melakukan itu nggak? Rahayu Supanggah Saya pernah membuat gamelan semuanya berbentuk bulatan. Seperti gong Cina atau Kamboja, flat gong, tidak ada bulatan kecil di tengahnya. Justru yang penting bukan nadanya tapi ritme dan warna suara. Kalau kita pandai memainkannya, misalnya dengan posisi mike yang berbeda tempatnya, efeknya akan luas. Meja Bundar Musik - World Music Jabatin Bangun Dalam I La Galigo kan konsep musik yang sepenuhnya Bugis, tidak ada Jawa sama sekali. Bagaimana pengalaman Mas Panggah berinteraksi atau memikirkan komposisi seperti itu? Rahayu Supanggah Kasus I La Galigo memang spesial. Ini musik teater untuk durasi empat jam. Dari sedih, senang, perang hingga pacaran. Karakternya berbeda-beda. Dalam musik Bugis-Makassar instrumen seperti kecapi dan suling yang bersuara lembut, untuk mencari mood yang keras dan horor, susah. Akhirnya kita cari alat baru. Mas Anusirwan, misalnya, membuat alat musik yang bernama rebi. Itu sebenarnya rebana yang saya minta disunduki dan tampilannya jadi seperti cello. Ranting, peralatan untuk menghaluskan tembok, jadi alat musik yang bagus. Seng juga. Tergantung kita mau bikin yang seperti apa, untuk mendapatkan suara yang bagaimana. I Wayan Balawan Ya, gamelan yang kami desain itu kami bisa diganti-ganti kuncinya. Daunnya biasanya kan diikat, kalau saya tidak diikat tetapi dibolongin, dipaku, diganti. Misalnya mau nada dasar E, diganti. Zaman dulu, kolaborasi dengan gamelan Bali hanya dengan kunci A mayor dan Fis minor. Minimal dua jam show dengan kunci itu. Jadi, semua ini kembali lagi kepada upaya merawat tradisi Nusantara. Ini tugas yang berat. Suku bangsa di Indonesia banyak sekali. Perjalanan Mas Jabatin dan Pak Supanggah kan sangat menarik. Bagaimana perjalanan itu bisa mengangkat maestro-maestro setempat. Saya sendiri tidak mungkin menganjurkan untuk melestarikan musik Flores atau Dayak. Banyak sekali yang mesti saya lakukan. Usia kita sekarang paling 75 atau 80, setelah itu tidak sempat lagi. Di Bali saja belum selesai saya eksplorasi. Masih ada jegog, gambuh, wayang wong, kotekan, banyak sekali. Saya sudah kehabisan waktu, bagaimana memikirkan seni tradisi Dayak, misalnya? Maestro generasi muda di tiap daerah harus diekspos. Jabatin Bangun Jadi Bli mau mengatakan bahwa kalau kekayaan budaya di suatu daerah sulit dikembangkan itu memberi kesempatan bagi yang lain? I Wayan Balawan Ya dan saya tidak mau sok-sokan, biar dibilang “Kamu jago banget. Musikmu gaya Dayak atau Sumatra.” Sekarang kan banyak yang seperti itu. Saya mainkan apa yang nyaman dan saya pelajari dari kecil. 13 14 Meja Bundar Musik - World Music Nyak Ina Raseuki Ada banyak pemusik populer yang menggunakan musik tradisi, seperti dalam lagu rakyat Yamko Rambe Yamko atau Bungong Jeumpa. Itu ada dua lapis penafsiran. Sebenarnya mereka menerjemahkan lagu-lagu Papua atau Kalimantan dalam penciptaan lagu-lagu rakyat, lalu ada pemusik lain yang menerjemahkan lagu rakyat itu. Ini bukan soal salah dan benar. Tapi apakah mungkin mereka bisa menggunakan itu tidak hanya 25 lagu daerah, tapi menggali apa yang ada di Bali dan Flores, tanpa harus mengambil secara harfiah. Mungkin kita berlanjut ke situ. Rahayu Supanggah Apa yang dikatakan Bli Balawan itu betul. Saya pernah diserahi tugas untuk menggarap musik Riau, karena mereka mendengar saya sukses dalam proyek I La Galigo. Mengangkat musik Riau tidak semudah itu. Saya harus benar-benar mengerti musik Riau dan itu lebih dari tiga tahun prosesnya. Kalau saya hantam kromo, saya gunakan estetika musik Jawa atau Bugis, justru estetika musik Riau akan hancur. Karena itu, pemusik Riau yang harus melakukannya sendiri, mengambil inspirasi dari tradisi mereka sendiri. Mungkin kita bisa mendampingi berdasarkan pengalaman yang ada, tapi apakah ini merusak atau memperkaya. Sebaiknya memang bukan orang luar, harus orang dalam yang melakukannya. Jika kita tidak hati-hati, bisa merusak tradisi itu. SESI 2 Jabatin Bangun Kita lanjutkan diskusi kita. Ada beberapa aspek yang perlu kita diskusikan juga berkaitan dengan pengalaman dan pengetahuan masing-masing akan perkembangan musik di berbagai wilayah. Bagaimana pengamatan Bli Balawan mengenai kelompok seni, sanggar, juga berbagai kesempatan yang diberikan oleh pengelola, baik pemerintah daerah, pemerintah pusat, bahkan dari luar negeri? I Wayan Balawan Kalau di Bali sendiri saya kurang setuju dengan konsepnya. Di Bali ada tempat pementasan yang namanya art center. Ini warisan gubernur Bali yang pertama Anak Agung Bagus Sutedja. Fungsinya sebagai tempat pelaksanaan Pesta Kesenian Bali, acaranya besar. Mulai dari 15 Juni hingga 15 Juli setiap tahunnya. Selama sebulan itu tempat itu diisi oleh delapan kabupaten di seluruh Bali. Memang ada dana subsidi dari pemerintah untuk biaya latihan dan segala macam, tapi tidak banyak. Tapi sekarang terlalu rancu pengertian antara Pesta Kesenian Bali dan Pesta Pedagang Bali. Tempatnya itu tidak nyaman. Beberapa Meja Bundar Musik - World Music kali saya mengantar wisatawan ke sana. Jika mereka melihat dari luar Bali Arts Festival kan terkesan wah banget, one month celebration. Tapi, begitu tiba di sana banyak sekali pedagang asongan. Suasana jadi penuh sesak, tidak nyaman untuk menonton. Jadi, Pesta Kesenian Bali itu bukan suatu pertunjukan yang dikemas dengan teratur. Saya lebih setuju jika Pesta Kesenian Bali dibagi-bagi. Misalnya, dalam setahun dibuat selama delapan bulan, tapi digilir di tiap kabupaten. Tidak semua ditumplekkan dalam satu bulan, semua kabupaten berjejalan di sana. Suasananya jadi penuh sesak, seakan-akan itu sudah mewakili Bali. Turis bisa bilang, “Oh Bali itu like this.” Saya kira, masih kurang. . . . Nyak Ina Raseuki Ya, begitu banyak festival kesenian di Indonesia. Apakah betul dengan itu kita bisa menghidupkan kembali atau merawat kesenian tradisi? Rahayu Supanggah Sebenarnya kita punya banyak seniman yang potensial. Tapi mereka tidak atau belum menemukan wadah atau forum yang sesuai dengan mereka. Festival itu sangat penting sekali. Di dunia banyak festival besar yang mampu mengangkat seniman menjadi seniman kaliber dunia. Kelemahanan festival seni di Indonesia adalah kita punya banyak festival, tapi satu sama lain tidak terkoordinasi dengan baik. Jadwalnya tidak dibuat sedemikian rupa agar wisatawan dari luar negeri bisa menonton festival di satu kota, kemudian ke festival di kota lain. Setiap festival mesti punya karakter yang berbeda. Di Solo saja dalam satu tahun ada 40 festival. Tapi ya itu. . . . Sebenarnya banyak yang berkesenimbungan tapi hampir semuanya sama. Ada SIPA, ada SIEM, tapi warnanya sama. Semua di panggung terbuka dan sebagainya, lebih pada hura-hura. Saya pernah mengundang Bli Balawan ke Solo. Tapi begitu jadi, mereka malah ribut siapa yang memiliki festival ini. Jadi, yang penting adalah bagaimana nanti pemerintah pusat bisa mengambil bagian untuk mengatur semua ini. Desain festival harus bagus, kuratorialnya harus benar sehingga seniman yang pentas itu merasa nyaman dan mendapat manfaat dari festival itu. Karena jika festivalnya cuma hura-hura, seperti di Solo, banyak festival yang bertempat di Benteng Vredeburg dan semua di panggung terbuka, kesenian yang serius kadang-kadang susah tampil di situ. Karena semua harus glamor, bermain lampu seperti pentas musik di televisi. Semua itu terjadi karena tidak ada kuratorial yang jelas, tidak ada penanggung jawab. Nya Ina Raseuki Jadi prinsipnya keseragaman, bukan keberagaman ya. Ini sangat berbahaya karena kita diseragamkan dari barat ke timur. Banyak festival dari barat ke timur, seperti Mas Panggah katakan tadi, mirip, senimannya sama semua. Yang 15 16 Meja Bundar Musik - World Music tadinya festival bisa menghidupkan kesenian setempat, pada kenyataannya itu belum terjadi. Jabatin Bangun Anda berdua ini kan sering kali tampil di banyak festival di luar negeri. Apa resepnya bisa ikut di banyak festival itu? Kami ingin ikut juga. Rahayu Supanggah Sebenarnya kata kuncinya kepercayaan. Jika pengelola festival di luar negeri sudah percaya dan kita mampu, apa yang kita lakukan ada manfaatnya, undangan dan biaya tidak terlalu masalah. Mereka akan menyediakan dan honornya banyak. Jaringan yang saya punya hanya dari telinga ke telinga, dari mulut ke mulut. Saya tidak punya manajemen atau manajer, tidak punya website. Mereka tahu saya hanya dari mulut ke mulut. I Wayan Balawan Ini pengalaman saya di Bali. Karena banyak wisatawan asing, saya biasa main di sejumlah tempat, termasuk kafe. Sampai sekarang pun saya masih main di kafe. Kenapa saya suka main di kafe, karena penontonnya tidak resek. Kalau penonton Indonesia, kita baru main dua lagu sudah diberi kertas request. Orang bule tidak seperti itu. Kita mau main apa, terserah, mereka ikut. Dari sana banyak bule yang melihat, membikin video pertunjukan saya. Banyak yang sangat baik, tapi yang holiday bullshit juga banyak. Ya, dari 10 bule, paling yang benar-benar serius hanya tiga, tujuh lainnya pembual saja, agar kita senang. Dari sana saya banyak bertemu orang, salah satunya Profesor David Harnis, etnomusikolog dari San Diego. Ia yang kemudian mengatur tur saya ke Amerika. Dan koneksi dia banyak. Dulu saya lebih banyak ke Eropa. Pada 2000-an saya pernah meluncurkan album di Jerman. Kami memainkan musik gitar gamelan. Dari sendiri kemudian bertambah hingga delapan orang. Dari situ kami mendapatkan kontak dan jaringan ke Belanda dan Jepang. Bandingkan misalnya dengan musisi-musisi Brazil yang diundang ke Eropa. Mereka mudah karena penerbangan negara mereka mendukung. Sementara saya sering kali menolak undangan festival-festival dari Kanada karena salah satu kendalanya adalah tiket pesawat terbang. Mereka menyiapkan honor dan akomodasi, tapi tidak menyediakan tiket pesawat terbang. Hanya ditanggung empat orang, sisanya mesti dibiayai dari sini. Sulit. Mencari kelebihan bagasi saja susah banget, bagaimana mau mendapat tiket gratis. Saya pernah dua kali ikut program pemerintah untuk pentas di luar negeri. Dari delapan orang anggota grup saya, pemerintah hanya bisa mendanai empat Meja Bundar Musik - World Music pemain. Bingung saya. Berarti satu orang harus memainkan tiga gamelan. Setiap lagu mereka harus jadi sirkus beneran. Itu pernah kami lakukan. Kenyataannya kebanyakan rombongan yang ikut kerjanya cuma bagi-bagi brosur di sana. Jika begitu, saya main langsung bagi-bagi brosur aja. Juga soal bagasi. Itu penting sekali. Yang sering memberi ekstra bagasi dan tiket murah itu malah Singapore Airlines. Aneh kan. Negara lain justru menggampangkan, mendukung kita. Nyak Ina Raseuki Saya kira mungkin kalau kita mau mengkritik pendistribusian peluang dana yang belum baik. Ada banyak dana yang bisa digunakan oleh seniman. Saya pikir jika kesempatan itu dibuka, ada open call, semua orang bisa memasukkan proposal, ada sebuah tim kurator yang menilai, akan lebih baik. Tim kurator tidak boleh menerima dana dari situ, mungkin bisa. Saya tidak tahu, ini kan hanya anganangan saja. Rahayu Supanggah Di Amerika ada perusahaan-perusahaan yang berkomitmen mengeluarkan dana untuk keperluan itu, dan seniman bisa mengajukan lamaran untuk dana tersebut. Saya pernah terlibat dalam proyek ini. Mereka kumpulkan uang kemudian dikelola oleh orang-orang Asia, pimpinannya Ong Keng Sen dari Singapura. Dewannya berganti setiap lima tahun, saya pernah jadi anggota dewan itu. Kelemahan orang Indonesia tidak bisa membuat proposal. Jika membuat proposal seperti merampok, tidak realistis. Misalnya, ada anggaran yang sudah tidak perlu karena sudah punya modal dan tidak perlu dimasukkan, tapi malah dimasukkan. Jabatin Bangun Berkaitan dengan dana saya kira juga berkaitan dengan substansi. Artinya, musik apa yang laku dijual. Rahayu Supanggah Ya, setiap yayasan mereka punya selera dan tujuan. Sejumlah yayasan dari Amerika trennya ke terorisme, lingkungan dan sebagainya. Jika ada karyakarya yang dengan tema itu mungkin lebih gampang untuk diterima. Sementara, tema-tema Indonesia Timur atau gender akan lebih mudah diterima di Australia. Jadi, seniman-seniman yang browsing harus tahu yayasan-yayasan ini punya kepentingan juga. Dari musiknya yang banyak diterima itu karya kolaborasi, bukan hanya seni dari Jawa atau Sumatra atau Bali, terutama dengan seniman dari negara pelamar. 17 18 Meja Bundar Musik - World Music Nyak Ina Raseuki Saya sepakat dengan Mas Panggah, kita tidak harus mem-bully pemerintah. Kita tidak pernah mendapat dana itu dari pemerintah. Sebenarnya ada banyak dana di luar yang terbuka dan bisa kita akses. I Wayan Balawan Kita ini sering mempromosikan Indonesia ke luar negeri, tapi salah sasaran. Saya sudah beberapa kali mengalami kejadian ini, saya tidak kaget—yang terakhir bulan lalu. Ada EO yang mengontak saya untuk mempromosikan musik Indonesia ke Australia. Mereka bilang, “Saya mau Bli Balawan dengan musik etniknya.” Saya bilang, “Oke, Oke.” Setelah itu saya di-WA. “Maaf ya, Mas, yang dipilih orang kita di sana itu band ini, mungkin Mas next time.” Lha, ini kita mau menghibur TKW atau apa. Mereka salah sasaran karena mendatangkan band untuk menghibur orang Indonesia di sana, TKW. Ya, targetnya apa mereka tidak tahu. Maunya apa, mereka juga tidak tahu. Jika memang bukan untuk itu, saya tidak usah dipilih dari awal. Jabatin Bangun Mengenai pendidikan juga penting sebenarnya. Seperti apa sebenarnya strategistrategi yang dilakukan berkaitan dengan tradisi kita ini? Adakah bahan atau materinya. Misalnya, jika anak saya mau les biola, di tiang listrik ada iklan “Guru privat les biola ke rumah, nomor telepon nomor sekian”. Sementara, saat kelompok ibu-ibu mau belajar kecapi dan suling Sunda, belum ada lembaganya sampai sekarang. Artinya, ada hal yang hilang dalam tradisi kita. Pertanyaan saya, usaha-usaha apa yang sudah kita lakukan untuk memberi ruang kepada tradisi kita supaya diakses oleh lebih banyak orang? Rahayu Supanggah Ya itu problem kita. Pendidikan sekolah pun kurang tepat sasaran. Di SD, SMP, SMA kita mendidik siswa jadi seniman. Itu tidak bisa, karena seminggu hanya dua jam pelajaran, itu pun dibagi ke dalam seni rupa, tari, musik, teater dan lainlain. Mungkin lebih baik pendidikan apresiasi. Tujuannya bukan untuk menjadi seniman, tapi bisa mengerti dan menghargai kesenian. Seperti saya, tidak bisa main bola tapi bisa menghargai siapa sih Christian Ronaldo, karena saya mendapat informasi yang baik dan benar tentang sepak bola. Nyak Ina Raseuki Saya kira sekarang itu tidak hanya kesenian, sains dan lain-lain juga sudah mengarah ke situ. Bagaimana mereka memahami dan mengapresiasi sesuatu, bukan sekadar bermain gamelan. Salah satu program sekolah kita yaitu menyanyi dan main pianika. Itu keseragaman dari barat sampai timur. Maksudnya Mas Meja Bundar Musik - World Music Panggah saya paham betul. Bagaimana anak Papua mengerti apa yang terjadi di Jawa, anak Jawa mengerti apa yang terjadi di Sumatra dan sebaliknya. Rahayu Supanggah Ya, kita, Mas Jabatin dan Mbak Ubiet terlibat dalam program kesenian. Kita berusaha menyusun bahan yang baik dan benar dan mudah dipahami, tapi diberikan gratis malah tidak diterima. Jika itu dijual malah laku, karena yang mendistribusikannya mendapat fee. Jabatin Bangun Mengenai instrumen pembelajaran. Kalau kita ingin belajar gamelan Jawa adakah buku-buku atau bahan-bahan yang diakses oleh guru? Rahayu Supanggah Itu kekurangannya. Justru ada produk sanggar-sanggar tari, rekaman tentang bagaimana belajar menari Gambyong. Itu malah banyak dijual. Nyak Ina Raseuki Jadi mereka belajar tari bentukan ya. Mereka belajar tari bentukan, bukan belajar memahami gerak atau bunyi, tapi menjadi seniman. Mungkin Bli Balawan bisa menceritakan bahwa di Bali semua anak di pangkuan bapaknya sudah terbiasa main di banjar-banjar. I Wayan Balawan Ya itu kan karena memang budayanya. Ear training secara natural. Kan banyak orang Bali yang tinggal di Australia atau di Amerika, mereka ikut grup gamelan. Mereka sudah diracuni sejak kecil, jadi otomatis mereka bisa. Sudah masuk feeling-nya. Rahayu Supanggah Saya cemburu kepada teman-teman seniman di Bali. Mereka punya web, ada sanggar ini, kegiatan itu. Termasuk memberi kursus dengan bayaran sekian. I Wayan Balawan Ya, karena persaingan tinggi, Mas. Sanggar itu banyak sekali. Atau alternatifnya mengajar di luar negeri. Maestro seperti Pak Bandem tidak pernah di Bali. Dikontrak di kampus ini dua tahun, pindah lagi ke mana. Banyak sekali seniman Bali mengajar di kampus luar negeri, karena di Bali mereka tidak bisa survive. Sebenarnya ini kerugian buat Bali. Tapi, alternatifnya itu tadi, menjaring wisatawan untuk belajar dan tinggal di Bali lebih lama. 19 20 Meja Bundar Musik - World Music Jabatin Bangun Kalau di Jawa belum ada kegiatan seperti itu ya? Rahayu Supanggah Belum, belum banyak. Manajemen kesenian itu memang masih sangat lemah. Di perguruan tinggi pun belum banyak diajarkan manajemen kesenian. Jabatin Bangun Jadi dilihat dari sini tema kita “merawat, mengembangkan, mengilhami”, banyak aspek yang saya kira perlu dikembangkan jika kita ingin melihat musik-musik kita yang begitu kaya di Nusantara ini agar bisa tampil di Indonesia maupun internasional. Menurut Mas Panggah, wilayah-wilayah mana yang menonjol di dunia internasional? Rahayu Supanggah Masih seperti dulu, didominasi Jawa, Bali, Sumatra, atau kesenian-kesenian yang sudah populer. Seperti tadi kita bicara I La Galigo, materinya sudah tidak ada, tapi ketika itu diangkat ke permukaan dan di-manage dengan baik, baik manajemen artistik maupun manajemen administrasi, ya berhasil. Bagaimana membuat kemasan pertunjukan itu sangat penting. Kita juga mesti tahu isu-isu kesenian apa yang sedang “laku” di dunia. Jabatin Bangun Di Bali yang sangat menonjol adalah musiknya. Paling dikenal di dunia. Bagi negara yang berbudaya tinggi, dalam arti ekonominya baik, selalu Bali yang yang paling dikenal, ya gamelannya ya tari. Bagaimana kondisinya sekarang? Apakah masih didominasi orang Bali atau orang asing yang memanfaatkan kehebatan Bali dan promosi di dunia internasional dan juga di Bali? I Wayan Balawan Untuk acara-acara besar banyak orang asing penyelenggaranya. Mereka memanfaatkan nama Bali. Istilahnya, meminjam tempat saja di Bali. Manfaat untuk orang Bali sendiri sedikit. Tidak signifikan. Jabatin Bangun Suatu aspek yang perlu kita pikirkan ke depan jangan sampai orang Bali jadi penonton di negerinya sendiri ya. I Wayan Balawan Sudah itu. Hahaha Meja Bundar Musik - World Music Nyak Ina Raseuki Saya ingin kembali lagi ke festival-festival yang ada, apakah itu di Bali, Ambon atau Solo. Apakah kita bisa mengopi festival-festival yang ada di dunia, atau memang kita perlu membuat festival yang cocok untuk kita, Mas Panggah? Rahayu Supanggah Saya agak lama di Prancis dan saya suka dengan sistem mereka. Di Prancis kota-kota punya festival yang berkarakter khusus. Misalnya festival kesenian tradisional ada di Rennes. Festival musik simfoni di Provence, teater di Nancy, Avignon dan lain-lain. Jadi, tiap-tiap kota itu diberi label dan permulaannya sangat sederhana sebagaimana yang kami lakukan saat itu di Sainte-Florence. Mereka membuat festival wayang, teater boneka, cuma lima grup pesertanya. Lima grup itu disponsori satu keluarga. Mereka tinggal di rumah keluarga, dikasih makan dan, tidur, grup lain di rumah keluarga yang lain. Praktis pemerintah tidak mengeluarkan biaya. Kemudian festival ini berhasil dan semakin menjadi besar. Sekarang kota itu menjadi pusat studi dan kehidupan teater boneka dunia. UNIMA (Union Internationale de la Marionnette) ada di sana. Sebenarnya, di Indonesia juga kita bisa lakukan itu. Di Kalimutu, Flores, mi salnya. Kita bisa tawarkan seniman-seniman untuk memilih tinggal di rumah keluarga. Mereka bisa tinggal bersama penduduk. Di Solo kami pernah mencoba tapi belum berhasil. Di Solo kan ada banyak dalang hebat, seperti Pak Manteb Soedharsono, Cermo Subroto dan sebagainya. Ada seorang dalang dari Jepang yang tinggal di tempat Pak Anom Suroto dan Pak Manteb Soedharsono untuk belajar. Tapi program ini hanya sekali berjalan, setelah itu tidak. I Wayan Balawan Kenapa Prancis bisa seperti itu? Pasti karena dukungan dari walikota dan gubernur. Izin kegiatan itu pasti dari mereka. Bayangkan jika generasi muda di Indonesia tidak punya pendidikan apresiasi kesenian seperti itu kemudian menjadi gubernur. Misalnya, kita mau mengadakan festival lenong, pasti mereka bilang, “Apaan itu, kuno banget!” Maka, hati-hatilah memilih walikota atau gubernur sekarang, karena izin dari mereka semua. Jabatin Bangun Ini ada pertanyaan dari peserta. Banyak kelompok kesenian tradisional kecil yg masih terus hidup dalam masyarakat, contohnya Gambang Kromong. Apa usaha kita untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut? Rahayu Supanggah Tradisi itu bukan tradisi yang mati, tetapi hidup. Sepanjang mereka selalu 21 22 Meja Bundar Musik - World Music mengaktualisasikan kesenian mereka untuk kebutuhan sekarang, mudah-mu dahan bisa. Sekarang yang sangat positif adalah perkembangan budaya Jawa Timur. Pemerintah setempat menyediakan dana dan itu dikelola oleh masyrakat. Bisa disesuaikan dengan keperluan mereka dan kesenian mereka dikembangkan dengan cara mereka masing-masing. Contohnya, Barong Banyuwangi. Kesenian ini didukung penuh oleh masyarakatnya. Jika mereka mentas supporternya sampai 15 truk. Jika mereka pentas, 15 truk itu ikut bernyanyi. Seperti sepak bola di Inggris. I Wayan Balawan Saya ingin bicara yang realistis dan tidak banyak orang tahu. Gamelan saya eksis dengan dua aliran: komposisi yang saya buat sesuka saya, satu lagi yang seperti “Can’t Take My Eyes Off You” dan “Do [sic!] You Survive” yang diiringi gamelan. Jika ada acara gathering, akan saya selipkan lagu-lagu saya. Saya kasih gamelan lagu Maroon 5. Saya gunakan yang komersial untuk membiayai yang idealis. Bagaimanapun, seniman tradisional juga perlu uang untuk membeli susu atau membayar SPP anaknya. Untuk acara-acara itu saya anggarkan mereka. Misalnya, untuk gathering satu pemain mendapat honor Rp750.000, untuk acara kawinan minimal satu pemain mendapat honor Rp1,5 juta. Grup saya dari 1997 sampai sekarang aman-aman saja. Mau bikin konser yang idealis, ayo, konser yang tidak ada uangnya juga, ayo. Mencari duitnya pas acara kawinan. Kalau grup saya tidak saya komersilkan seperti itu, lama-lama ngapain membuang waktu dari pagi sampai sore. Mending menjadi supir taksi. Ada beberapa kelompok yang tidak eksis, timbul tenggelam, karena mereka tidak bisa menyiasati hal ini. Konser yang idealis terus, tidak ada duitnya. Lama-lama ya tidak bisa latihan. Menurut saya, tetap harus ada unsur komersialnya. Nyak Ina Raseuki Ini ada pertanyaan lagi. Perkembangan musik tradisi terkadang terhambat oleh industri musik yang selalu mendahulukan pasar. Bagaimana kita menyikapi hal tersebut? Bagaimana cara agar musik tradisi bisa masuk industri musik nasional? I Wayan Balawan Kita harus pintar mengolah. Promosi ke anak muda harus banyak. Tips saya sederhana: ethnical, technical, entertainment, selling point. Ethnical artinya ada unsur etnisnya. Technical artinya kedengarannya susah. Jadi, orang yang mendengar tidak berpikir “Apaan itu, gampang banget!” Kotekan Bali yang cepat itu kan susah. Berikutnya entertainment. Yang terbaru saya kerjakan yaitu lagu Maroon 5 “Sugar” dengan gamelan. Orang bule bertanya, “What is this? Meja Bundar Musik - World Music Mereka belum pernah mendengar yang seperti itu, tapi untuk anak muda itu bisa masuk. Untuk bisa bersaing di pasar, kita harus mengetahui ngapain saja anak muda zaman sekarang. Ada Youtube dan Instagram. Kita bisa mengemas dan memasukkan yang tradisional ke Instagram dan itu banyak yang suka. Semua orang begitu sekarang, tidak ada yang mendengarkan radio. Jabatin Bangun Mas Panggah, bagaimana pandangan anda tentang musik industri? Kan ada satu zaman, musik dilihat dari sisi pariwisata dan industri. Kita selalu menolak itu. Rahayu Supanggah Seharusnya dipisahkan antara musik dan industri. Kesenian seperti musik dan tari biasanya ada dua jenis: show dan ekspresi. Tinggal kita mau memilih yang mana. Show itu lebih mementingkan teknik, enak didengar, enak dilihat. Sementara ekspresi lebih pada pesan moral. Keduanya bagus. Secara show bagus dan secara ekspresi juga bagus. Pengalaman saya di sebuah grup, kadang-kadang kami mendapat order dengan honor besar, kadang tidak. Dari yang berhonor besar biasanya kami sisihkan 15% dan digunakan jika kami akan membuat eksperimen atau apa. Atau yang jobnya tidak banyak, disubsidi. Jadi antara show dan ekspresi itu seimbang. Jabatin Bangun Perlukah dibuat sebuah wadah untuk generasi penerus bisa belajar dan melestarikan musik tradisi agar tetap hidup? I Wayan Balawan Yang paling gampang adalah sekolah. Anak-anak sekarang menghabiskan waktu mereka dari jam 07:00 pagi sampai 13:00 siang di sekolah. Harus ada ekstrakurikuler kesenian di sekolah. Di Bali semua itu bisa dan bertahan karena memang diperlukan untuk upacara keagamaan. Saya khawatir di Jawa, karena mereka melakukan itu hanya untuk festival dan tradisinya tidak seperti di Bali. Untuk 10 atau 20 tahun ke depan yang mengkhawatirkan. Rahayu Supanggah Bagi saya yang penting adalah strategi. Bagaimana kita membuat image bagus. Imej kita tidak bagus karena istilah. Pertama istilah. “Kesenian tradisi” itu kan istilah yang ketinggalan zaman. Saya benci sekali istilah itu. Seperti juga istilah tradisi dan modern, daerah dan pusat, rakyat dan pemimpin, industri atau urban. Istilah “etnik” tidak menguntungkan juga. Ya, harus seperti world music ini. Semua musik kan serta-merta sudah world music. Musik yang mereka katakan tradisi itu jika dikelola dan dikemas dengan baik dan bisa go international, bisa 23 24 Meja Bundar Musik - World Music jadi world music, karena dimiliki oleh dunia. Memang susah dicari istilahnya ya. Kalau saya lebih senang langsung saja, musik gamelan, gondang. . . . Nyak Ina Raseuki Saya kira yang paling tepat merujuk pada tempatnya. Jika di belakangnya ada istilah “gondang”, kita langsung sebut “gondang”, di Jawa jelas ada gamelan, di Bali ada gong kebyar. Langsung kita merujuk pada istilah tertentu. Saya sangat sepakat dengan hal itu. Meskipun demikian, dikotomi itu klise. Rahayu Supanggah Yang mengelompokkan itu kan para sarjana dan kritikus, seniman sendiri tidak. Saya membuat sebuah karya. “Karyamu itu apa?” Saya ditanya wartawan seperti itu, saya bingung. Ya karya saya seperti ini. I Wayan Balawan Agar musik bisa dicintai generasi sekarang, mungkin diperlukan public figure atau sosok yang sangat dikenal banyak orang. Mereka harus melakukan itu. ABG kan tidak tertarik menonton saya lagi, sudah tidak cocok lagi sebagai public figure. Misalnya, siapa sih penyanyi yang suaranya nge-rock, Judica! Jika dia bernyanyi diiringi musik tradisional Melayu atau Kalimantan, orang akan lihat seorang public figure melakukan itu dan itu akan lebih cepat meracuni anak muda. Atau Raisha, misalnya, yang membuat orang tergila-gila. Jika dia bernyanyi diiringi gamelan, orang akan bilang “Keren juga ya musiknya.” Jadi kita mesti menciptakan imej bagaimana bermain gamelan atau digabung dengan tradisi itu cool. Nyak Ina Raseuki Pertanyaan berikutnya: Bagaimana jika dalam kreativitas terjadi pergeseran titilarasnya terus-menerus, sampai tidak diketahui generasi baru, khususnya pada alat yang mudah dibuat dan mudah hancur seperti bambu. Misalnya, angklung atau semacamnya. Rahayu Supanggah Tadi saya sudah menyinggung, apakah kelangsungan hidup sebuah kesenian untuk bisa diterima, perubahan dan sebagainya, kita harus bisa melakukan penelitian terhadapnya. Unsur apa yang ndableg atau stubborn. Kita harus tahu apa yang tidak boleh dicatut, larasnya atau titilarasnya. Itu yang selalu harus dijaga. Dokumentasi kita sangat lemah. Jabatin Bangun Kalau tidak ada dokumentasinya, hancur karena tidak dijaga. Ini mengenai Meja Bundar Musik - World Music titilaras. Pada tiga-empat tahun lalu saya dan Mas Panggah membuat satu grup untuk berangkat ke festival Makyong di Bangkok. Ternyata grup Makyong ini tidak punya lagi pemain rebab. Saya bilang oke, kita panggil saja Mas Panggah untuk memainkan rebabnya. Kami undanglah Mas Panggah. Karena rebab bermain solo dengan penari itu, selesai, pulanglah Mas Panggah ke Amerika, dan penari itu ke negaranya, saya balik ke Indonesia. Ternyata ada evaluator dari Filipina yang memeriksa ini. Dia menelepon saya, “Hai, Pak Jabatin, itu pemain rebabnya Melayu dari mana?” Saya jawab, “Itu Melayu dari Solo”. “Itu Pak Supanggah yang main ya. Ini tidak ada Melayunya.” Jadi dikenali karakter itu. Saat main tidak ada yang tahu. Tapi saat evaluatornya datang, dia tahu bunyi rebab itu. Dia muridnya Mas Panggah. Walaupun Melayu, dia tahu itu rebabnya rebab Jawa. Nah itu pentingnya titilaras. Di sini pertanyaannya apakah titilaras itu bisa bertahan jika instrumennya rapuh. Nyak Ina Raseuki Atau dia terus-menerus berubah, atau diubah, seperti Sasando yang diubah tuning-nya. Rahayu Supanggah Sekarang berjalan di Jawa musik campur sari, sejenis musik Jawa yang digabung dengan banyak instrumen, termasuk keyboard. Karena mereka tidak menemukan cara menggabungkan slendro-pelog dan diatonis, salah satu harus mengalah. Jadi gamelannya dilaras seperti keyboard. Bukannya keyboard-nya yang dilaras seperti gamelan. Itu bisa menghilangkan gamelan dalam tanda kutip. Menurut banyak orang, unsur yang paling gampang untuk menandai identitas itu adalah titilaras. Tuning system, tangga nada. (Menyanyikan lagu Mandarin. . .) Orang pasti tahu kalau itu ada musik Cina. Jika slendro-pelog itu pasti musik Jawa, Bali atau Sunda. Jika tangga nada itu hilang, kemungkinannya adalah identitas itu bisa hilang. Jika tidak ada gamelannya tidak apa-apa. Tapi jika tangga nadanya hilang, tanpa gendang, orang masih bisa tahu bahwa itu gamelan. Termasuk warna bunyi instrumen. I Wayan Balawan Di Bali itu ada yang namanya standar, seperti jazz standar. Setiap tarian ada standarnya. Sudah baku. Sebelum beraneh-aneh seniman Bali harus tahu dasarnya. Dasar mereka sudah sangat kuat. Seperti pemain gamelan saya, mau diganti tangga nadanya, tidak berpengaruh. Mereka main di E, tidak masalah, karena dasar slendro-pelog mereka sudah sangat kuat. Nyak Ina Raseuki Seperti penguasaan bahasa saja, orang bisa poliglot. Bisa berbahasa Prancis, 25 26 Meja Bundar Musik - World Music Jawa, Sunda atau bahasa lain. Saya kira di musik juga ada, namanya bi-musicality. Bagaimana orang dengan mudah berpindah dari satu modus ke modus yang lain. Kalau saya sangat sulit, saya sangat diatonis. Mas Panggah di tengah-tengah, kiri tidak kanan tidak. Menarik jawaban Mas Panggah tadi. Kita mesti benarbenar mencatat kita mesti bagaimana. Tradisi itu sifatnya living tradition ya. Jadi, ada yang perlu kita pelihara, Mas Panggah? Rahayu Supanggah Yang harus kita pelihara itu yang harus kita cari, ada dokumentasinya. Nyak Ina Raseuki Persis. Kita punya pusat arsip tidak? Untuk musik tradisi, misalnya. Museum yang mengkhususkan diri untuk musik-musik Nusantara kita belum punya. Jabatin Bangun Saya ingin Mas Panggah menutup sesi ini dengan satu cerita bagaimana pengalaman berkolaborasi dengan Kronos Quartet saat pertunjukan di Amerika? Rahayu Supanggah Saya malu. Tahu-tahu saya mendapat tawaran membuat komposisi untuk Kronos. Pertama-tama saya jelas menolak, karena saya tidak tahu musik Barat dan saya khawatir membuat komposisi untuk grup yang sangat hebat itu, nanti mengecewakan mereka. Tapi mereka selalu meng-encourage, mereka memberi contoh seperti komposisinya Tan Dun, komposisinya orang Jepang, dan sebagainya. Akhirnya, saya mencoba. Kami bertemu untuk mencari bahasa, mencari cara kerja yang mungkin bisa dilakukan. Cara kerja yang kita sepakati adalah saya memberi contoh, mereka melanjutkan. Mereka senang, tapi susah juga karena mereka harus menghafal, bagi orang Barat susah untuk menghafal. Jadi saya harus membuat detail notasi, tapi saya tekankan, “Anda tidak harus seperti ini, karena di Jawa pun tidak semua dinotasikan dan orang bisa menginterpretasikan lagu itu berdasarkan kemampuan seniman itu sendiri.” Akhirnya jadi notasi dan setiap larik, setiap baris itu didiskusikan hingga seperempat jam, apakah begini dan sebagainya. Saya mendapatkan kehormatan yang luar biasa karena untuk komposisi ini mereka membuat gedung khusus delapan lantai. Ada yang main di lantai 8, 5, 2, 1, 3. Mereka tidak saling melihat, karena saya minta mereka menggunakan telinga daripada mata. Karena prinsip musik tradisi lisan yang penting telinga bukan mata. Di dinding gedung itu kemudian, notasi saya dituliskan dengan menggunakan biji-bijian, ditempelkan. Nyak Ina Raseuki Biji-bijian apa itu, Mas? Meja Bundar Musik - World Music Rahayu Supanggah Saya tidak tahu itu biji apa. “Kenapa kamu tulis pakai biji-bijian?” tanya saya. Mereka jawab, “Karena musikmu itu hidup”. Saya terharu sampai menangis. Nanti biji itu akan tumbuh, seperti musik yang juga tumbuh. Jabatin Bangun Bli Balawan bagaimana pengalaman terakhir ini, soal kolaborasi? I Wayan Balawan Saya sih sekarang sering mensosialisasikan musik saya secara teater. Di Bali kan ada konsep teater, bagaimana seniman tradisi di Bali bisa struggling, make a living, tanpa harus terpaksa. Bukan hanya bermain gamelan untuk upacara, tapi bagaimana mereka bisa make a living, eksis, tidak perlu kabur ke luar negeri. Ke sana fokus saya. Dan juga sanggar untuk anak-anak muda, saya gratiskan. Sebab tidak kenal maka tidak sayang. Nyak Ina Raseuki Baik. Terima kasih Mas Rahayu Supanggah dan Bli I Wayan Balawan atas percakapan kita yang intens ini. Kita mendapatkan esensi dari proses kreatif dari kedua seniman ini. 27 28 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music FIRST DAY DISCUSSION Nyak Ina Raseuki Good afternoon, ladies and gentlemen. This Round Table is very literal. Occasionally, we have to look back, although without the intent to turn our backs on you. The concept of this discussion is ‘round’, so let us start with that word literally, ‘round’. The Jakarta Arts Council (DKJ) has made the right decision to start this with a round concept. Now, we don’t have to tell you who Rahayu Supanggah and I Wayan Balawan are. They will personally tell who they really are. Our two sources surely are very dedicated individuals, who give all their time to the arts; the music of Nusantara is a big part of their lives. The most important thing we should achieve in this discussion is to understand the creative process, creator, artist, producer. One thing we never really share is what does exactly a traditional artist do. That is what we are going to explore. This discussion will be very relaxed. We are not going to inspect the great things, but rather the small things that contribute to the greatness. Perhaps we can start with Panggah. Jabatin, if you please. Jabatin Bangun Alright. Panggah , how did you become involved in music? 1 Rahayu Supanggah I was born in the family of artists. My father was a wayang puppet master, my mother was a wayang puppet master, my grandmother, and they all came from a wayang master family. Therefore, I grew up listening to the wayang puppet show, the sound of gamelan, yet I never aspired to become an artist because I lived in a small village and my father was poor, and I was afraid that I would be poor as well. I did not want to study art; I prefer school than gamelan practice or playing the wayang puppets. However, fate had other plans for me. When 1) Panggah: Rahayu Supanggah’s nickname. 29 30 Meja Bundar Musik - World Music I finished junior high school, I did not have enough money to continue to senior high school, although I wanted to be a doctor or a professional engineer after I have finished high school. Finally I entered the Indonesian Karawitan Conservatory (now Surakarta Vocational School 8—ed) because at that time it was the cheapest school available. It did not require you to pay tuition fee, and all the books were provided by the school. I was frustrated when I joined the school. I became a disobedient boy. I had no talents, nor did I study hard.However, during my study there was a presidential cultural student mission to Japan, Korea, and China. I was involved in the mission. I thoroughly enjoyed my experience abroad in Japan, Korea, and China, and I started to dream of being a wiyaga or a musician. From that time, I began to study the gamelan earnestly. Moreover, one thing that really opened my eyes was that the Japanese, Koreans, and Chinese traditional arts were fantastic and thriving. That means the artists could make a decent living from it and their works flourished, not only in their respective countries but also in Europe, America, etc. The cultural mission was back in 1965. One thing that intrigued me was that all these “traditional” arts—and how I hated that term “traditional” then—could flourish when they became contemporary, became somehow new. Therefore, starting from 1965, I experimented and explored the arts that utilize time with the forms and characters of contemporary arts. It turned out to be a wise decision. We landed many opportunities and fortunes from it. Jabatin Bangun Why did you choose to be a musician, instead of a wayang puppet master? Rahayu Supanggah Simply because it was very hard to become a wayang puppet master. You have to be able to recite, sing, play the puppets, and know the storyline, knowledgeable about the philosophy of life, so many requirements. However, a gamelan artist is only required to strike anything he could strike.I chose the easy way. Nyak Ina Raseuki Let us move to I Wayan Balawan. How was your musical experience when growing up? I Wayan Balawan I am embarrassed to say that mine was the exact opposite of Mr. Supanggah’s. I came from a well to do family. My father was an artist; he was the village chief in Meja Bundar Musik - World Music charge of the local customs, organizing performances and weddings. So was my mother. I have seven siblings. There were no cell phones then, so kids had plenty of time to study traditional dance. A dance teacher used to teach us at home. It was obligatory. In the odalan [Balinese temple festival/ritual, ed] conducted every full moon, we have to perform a dance or at least play the gamelan. Therefore, I was accustomed to traditional music. It is in my blood. And when I studied in a junior high school in Denpasar, people used to ask, “Are you from Gianyar?” “Surely you can play this instrument.” It comes with you being from Gianyar, people expected you to be good in arts, although I was not exceptionally good. Gianyar is the breeding ground of dancers and musicians. People have high expectation of you and you have to live up to it. I lived in a tourism area/an area bustling with tourists, also artists with their guitars straddled on their backs or tourists playing music. I have a formal education; however, the environment also greatly influenced me. I have two sides of me: on weekdays, I stayed in Denpasar to study, and on the weekends I lived in my old village. I hung out with different people. In the village, I hung out at the local community center and dance studio, while Denpasar was a modern city with rock bands and such. So, the traditional and the modern were parallel influences in my life until I started high school. I joined a band, and afterwards I would go about in my traditional attire, playing the gamelan. After some time, people got jealous. They said I was greedy for playing both traditional and modern music. Nyak Ina Raseuki So Balawan, you were raised in two music scales, both pentatonic and diatonic. Panggah also experienced it in many of his work collaborations, such as with the Kronos Quartet. I gathered that Panggah is working with an Australian group for two years period. Could you please tell us more about that? Rahayu Supanggah Yes, for me, in the middle of difficulty, lies opportunity. When I studied in Indonesian Karawitan Conservatory (KOKAR) and continued to Indonesian Karawitan Arts Academy (ASKI) in Solo, it was different from Balawan’s situation in Bali. Bali was (already) an island packed with foreign tourists, while Solo was a quiet city at that time. It was a blessing in disguise for me. I enjoyed studying English although I was not very good at it. At that time, Solo was teeming with researchers and musicians who came to study the gamelan, to perform together with the locals, to collaborate etc, yet only a handful of the locals could speak English. So I was 31 32 Meja Bundar Musik - World Music presented with many opportunities. I met Ton de Leeuw from the Netherlands and Professor Jarrad Powell from the USA who wrote about mood (patet) in music. They wrote about Indonesian music and I accompanied them as a respondent and took them to the local musicians. Since then, I was offered many scholarships to study music in the US and Europe. However, the rector did not approve of it since at that time the ASKI was in the process of improving its administration. Afterwards when ASKI was administratively established, I had an offer to continue my master’s degree in France, also from US in Maryland. I could not speak any French. On the other hand, I could speak decent English if I accepted the offer from Maryland. However, I chose to go to Paris; I prefer to meet many artists, from the established-to the emerging ones, artists of various forms of arts: cinema, theater, music. I had many friends in Paris. Afterwards I took a teaching job in America, where I met Rizaldi Siagian. I also had the opportunity to do a music score with Robert de Niro in the movie, Once Upon a Time in America. I had many friends to do jam sessions with and they introduced me to a world that is not of gamelan scales, of slendro and pelog. I met the director Peter Brook and got involved in the production of his stage play, Mahabharata. However since I was still in school, I was unable to join the world tour and insteadI joined the workshops. It was my encounter with a different world, one that utilizes scales other than slendro and pelog. Jabatin Bangun Mr. Balawan, how was your experience in creating for an entirely different world? I Wayan Balawan There was no major problem with tradition in Bali. Music always has a strong connection with our daily customs and traditions. Music would always exist; there would always be new generations of the much needed gamelan players. A regeneration process is required for our spiritual rituals. It happens every six months. The real issue is how to generate maestros who could actually create gamelan compositions, not merely players. It is just harder with Balinese gamelan, which is orchestral in nature, to spot a maestro individually. The talented ones do not really stand out; often the regular players looked smarter. The composer’s advantage is they can create a composition. In high school, I joined a rock band and played all kinds of music. After graduation, I accepted a scholarship to study jazz composition at the Australian Institute of Music. Back then, I played all kinds of music, even metal and stuff, and I was getting bored. The challenge was I needed to do a wider exploration. A friend of mine suggested me to study jazz composition. He said, “Study jazz if you want to Meja Bundar Musik - World Music grow.” So I took (classes of) jazz and classics, jazz for improvisation and classics to get the discipline and feel. After five years in Sydney playing at a local pub, I did collaboration with gamelan. However, Javanese gamelan did not suit me since it makes me sleepy. Rahayu Supanggah In a collaboration work, first thing we need to do is to know our partner’s music and its culture. For instance, if we want to know Balawan’s music, first we have to know his cultural background. If I collaborate with him, I would study his music, his food, and his hobbies. That way I would know him well. If we are to work together there bound to be disagreements. It really depends on our motives. I call it “cultural erection”. Aside from the excitement, what do we really want to achieve in this collaboration? Do we want it to grow into a dynamic marriage or merely as a cultural erection? So, if we want to nurture it and build a family together, we have to be willing to make sacrifices, to understand and respect each other. In doing collaboration, we must never damage or cause “cultural harm”. This is a lesson I got from the Bugis people involved in the I La Galigo project. I studied my Buginese musician friends, their music and culture. In the collaboration process, all musicians were from Sulawesi and I went directly to the field, because I La Galigo is a 14th century masterpiece and not everybody are familiar with it. Because of this performance, the musicians from Makassar, Luwu and Selayar went back to the field to study the traditional music and rituals. The aim was to keep us from making mistakes when working with the music, to avoid hurting people from that culture. So, it was quite a lengthy process. It took us around two or three years. Another example is our collaboration with the Melbourne Orchestra. The performance will take place later in 2017, yet we already have started communication. We are already starting to practice; they visit us in Solo for practice and vice versa. Thus, the basic principle in collaboration work is we have to realize that we have a limited knowledge on our partner. With the Kronos Quartet, for an instance, I have no knowledge about music from Western culture, nothing whatsoever. Initially, I turned down their offer to write a composition for them. Kronos was already very famous, and I was afraid that they would become unpopular from performing my work. However, the same fear also drove me to become bold. When they approached me they said, “No need to be afraid. We have previously worked with musicians from Japan and Africa. Here’s the CD, just listen to it.” After I studied the CD, I knew I could pull it off. I became confident. However, I asked for some time, - about two years - to talk about our music. I sent them a CD of my works, and they commented on it. And yet, our first meeting was a “failure” because when 33 34 Meja Bundar Musik - World Music I showed up, they were ready at nine in the morning, with violas, violins, and cello. What am I supposed to do? I was at total loss. We haven’t had talked at all, how do we suppose to collaborate? Ha ha ha. Nyak Ina Raseuki I think that shows the importance of both oral and written traditions to them, and how Panggah took a middle path. I think it also happens to Balawan. When we listen to Balawan’s music, it sounds as if he has transported Balinese traditional music into his guitar. Tell us about the process. I Wayan Balawan At first, I was experimenting when I got back from Australia. I had the gong kebyar orchestra and I played guitar. I do not have any recordings of these. I said to my musician friends in the gong kebyar, “Just play like usual, and do not mind about me.” It turned out that I could pull it off, and they were not bothered. Gradually I found out that with the help of technology, guitar could sound like a gamelan, so it became less of a bother. That is how I started. It is the creative process that is more complicated, and it is a much-overlooked process. My compositions always took much time. All the orchestra players and I hung out near my house, near paddy fields and a river, and we had lunch together. We had the traditional flute, the gangsa metallophone, and the cengceng cymbals. Gangsa and cengceng were the hardest instruments since we had to direct them one by one, to break it down. Why are my compositions always fast in tempo? Because Balinese music is aggressive, most of Balinese music is war music. Some are used in religious and funeral rituals. The main characteristics are aggressive and fast-tempoed. We, the Balinese, have a very high respect for our musical trainers since each session could last for hours. We dictated it one by one then combined it together. It used a very personal approach. Especially in the section called “polos sangsih”, a very complex part played by two players. The two of them have to become very good friends to integrate the rhythms, to deliver a solid and fast combination. A fast melody came from simplicity. Therefore, we have to be good friends. It is useless if we cannot get along. Nyak Ina Raseuki I think it is a very important point for us musicians or other artists: how we get along before we work together in creating a musical composition or a collaboration work. I have a personal experience with that a while back. One day we hit a dead Meja Bundar Musik - World Music end in our collaboration. So I finally took my partner to the Borobudur temple for a tour. My partner listened to gamelan there. After the trip, our work together flourished. So, collaboration is a process of becoming friends. Now I would really like to know how Panggah wrote a composition in both the oral and written traditions when he worked together with the Kronos Quartet. Rahayu Supanggah My collaboration with the Kronos Quartet was a lengthy process. At one time, we did not get anywhere because of a communication problem. First is language problem; my English is poor. Next was cultural communication because I was ignorant of the music of western culture; we hit a dead end. So finally, they offered me to have some sort of mediation, and they mentioned the ethnomusicologist John Bruner, a friend of Nyak Ina’s, to act as a mediator. “Do you need someone to write the musical notation?” one of the quartet’s members asked. So, they flew Steve Laplanck from New York. One day I asked, “Can I skip practice today? I want to sleep.” And in my sleep, I had an epiphany; why did I act like a common villager? How would you teach Javanese gamelan to them? The next day I played the rebab fiddle and said to Laplanck, “Now please try to imitate this sound with your viola, in your own language. Not like the way I played it.” Then he tried to imitate it. The result was a different song, since it was in a Western musical language. He cried in joy when finally everything worked out. At that time, I only played the rebab. The challenge was to explore the notes I played, but using a viola. “This is what I came here for!” he said. We had to use different instruments at that time, not the same ones. It was prohibited in the Javanese musical tradition, so the instruments could compliment each other. Nyak Ina Raseuki So, like what Panggah said earlier, in Western music there’s downbeat, and it has to be precise. However, when Panggah plays his music, there is no downbeat to be found. There are many types of downbeats, with many tempos. It is something every musician experienced. Balawan, do you find this when you collaborate? I Wayan Balawan Once I did a collaboration using the safe instrument from Kalimantan. At that time, I just found out about this instrument. I wondered did they count the tap of the tempo differently, according to their mood or was it me who couldnot count it? I was at loss. Moreover, I had not enough time to understand it. Jabatin Bangun Panggah, please tell us about your experience in dealing with other cultures, aside 35 36 Meja Bundar Musik - World Music from Javanese culture that is the core of your music. We all know that I La Galigo was essentially a part of the culture of Bugis-Makasar, Toraja, and nearby areas. How is your interaction with other culture in Nusantara? Rahayu Supanggah Jabatin and I are among the lucky few, we call ourselves both artists and ethnomusicologists. Ethnomusicology studies music in its cultural space, its context, and its philosophy. So we have a detailed knowledge about the music, not only in sonic terms (as sounds) but also as a symbol or an expression of a culture. This is the reason why there were so many unexpected interesting things when we visited Flores. We did not need theories here; we went straight into the field. We lost our creativity when we think too much about theories. The most important thing between two or more cultures is not to dominate each other, instead to adopt and complement each other, and not to clash into each other. Indeed, we have to embrace the diversity of various arts and cultures to enrich ourselves, so we could not claim, “No, that one is not good.” This is a very sensitive statement in this art world. Every art has its own positive and negative points. When I was a child, I listened to the gamelan and said, “What a clamorous noise.” Yet Balawan commented, “This sound makes me sleepy.” On the other hand, when we listened to the Sundanese gamelan, Sundanese arts, it is melancholic in nature and it moves us to tears. These are accepted stereotypes before we realize that diversity is essential. In short, we must now explore the positive points of every culture to balance the negative ones. Much like language, music also ‘speaks’. For instance, when I say,“I love Ubiet ”, I can apply it to so many things. I could give her a bouquet of flower, buy her a car, or buy her a villa. If you don’t have this type of expression in Java, you could use other ways. It is the same thing with death. In a dalang (puppet master) family, death is not a heartbreaking affair. It would be like party, similar to the culture of the people in Bali, Batak, and Toraja. There will be a lively celebration, because to us, death is only a completion of a phase in life, another phase will soon follow. Death could mean joy for being able to finish a phase of life. In Western culture, on the contrary, death means the ultimate end. 2 Nyak Ina Raseuki I would like to continue our theme today, with the act of fostering. Where is the position of art education? What do you think, Mr. Supanggah and Balawan, how is the role of art as a way of educating? 2) Ubiet: Nyak Ina Raseuki’s nickname. Meja Bundar Musik - World Music Rahayu Supanggah Sadly, sometimes we take traditions as a physical matter, including in Con servatories. Conservatorium came from the word “to conserve”, the same as when you are conserving food. You conserve the food, not change it. However, art has to change, up to date with recent times. The term is “living tradition”. How do we change it, there are so many ways. The most common way is to change the purpose. For an example, Bedhaya dance originated from the royal palaces and it has a specific purpose. However, since we no longer have ruling kings, this dance have to adapt to serve another purpose. So its purpose or use, its form, its structure and its duration are altered. Nyak Ina Raseuki I am sure the staging changes as well, Mr. Supanggah. When we talk about staging, the first thing that comes to our minds is a proscenium stage; there are the stage and the audience. Rahayu Supanggah Therefore, the format changed. Many aspects changed, recreated, reformed, and reconstructed into a new structure. The problems are that some music and dance can change, and some cannot. Mr. Hadi Susilo said that we have to look for the “stubbornness” factor. In Balinese or Javanese traditional music, we can never change the slendro-pelog scale. If you change this, it is no longer Javanese or Balinese music. Jabatin Bangun Balawan, what is your view on the aspects of Balinese or Western culture? I Wayan Balawan If I may speak freely, how should we foster something if we are not even familiar with it? When I had a tour in the US back in 2012, for example, we toured ten universities. Eight of them possess a complete set of Javanese-Balinese gamelan. What about Indonesia? How many of our school possesses a complete set of gamelan? The role of the media is also sadly lacking. Javanese-Balinese traditional music shows do not air in primetime TV. Wayang puppet shows air at 1 AM, who would watch them? I have many pupils at my studio, I tutored them the traditional music, free of charge. Just so they know. Kids nowadays have too many study courses. They barely have time to study traditional music. Just imagine, they finish school at 1 PM, from 3 to 6 PM they have study courses. They get home and do their homework. They no longer hang out, now they have their gadgets. You can even play music using your gadget 37 38 Meja Bundar Musik - World Music nowadays. Therefore, everything traditional is fading away. Being so busy, the kids rarely attend the religious rituals at the temple. They get home and watch TV. They even have different way of communication. They rarely watch traditional music shows. However, fortunately, the gamelan learning process is still conducted at local community centers. They still have practice, at least once a week or twice a month. Only selected handfuls are given scholarships to ISI (Indonesian Arts Institute). The rest are only for accompaniments. Nyak Ina Raseuki I think fostering here does not have to be through higher education. In fact, I think it would be more dynamic if we spend more time in exploring more regions in order to have a better comprehension of Indonesia. Rahayu Supanggah There is this project in the UK called “Good Vibration”. People are willing to foster something if it gives them something in return. Foreigners are fostering our music if they get something in return. I never see this happen in Indonesia, but it turns out that gamelan is beneficial for therapy, for instance, for people with mental health issues, or for prison inmates. Inmates are rough, egoistical and individualistic people. Yet they could become better through gamelan, not because of learning gamelan, but rather because of the manner of the learning process. In learning gamelan, we have to listen to other people, not through reading a notation. When we play together as an orchestra, we cannot be selfish or play louder than any players. It is this sort of learning that could eventually change a person, his or her character. It is the attitude of gamelan. In the US, people are celebrating gamelan, they cry out of joy. Here in Java Island, we are angry. Over there they could never understand why bother to collaborate on pro bono basis? Jabatin Bangun What is the project you are currently working on, Balawan? I Wayan Balawan Currently I am working on a gamelan orchestra with the concept of “Semar Pegulingan”. It is actually a do re mi fa so la ti do. We have it in Bali, not only slendro-pelog. Another project is a gamelan that is in tune to 440 Hz. There are advantages and disadvantages, of course. The disadvantage is because Balinese gamelan could be very wide ranging, because it has out of tune melodies, as in the chorus. Yet from the recording point of view, it would interfere in collaboration with an instrument in the frequency of 440 Hz. Meja Bundar Musik - World Music Nyak Ina Raseuki So there is a gamelan specially made for this project. I think we need to talk about this with Panggah. In the process, an instrument is recreated. Have you done that? Rahayu Supanggah Once I created a gamelan set with round shape. It was like a Chinese or Cambodian gong - flat gongs - without the small round protrusion in the center. It was not the tune that is important, but the rhythm and timbre. If we play the set skillfully, for instance with different mike positions, the effect would be enormous. Jabatin Bangun In I La Galigo, the music concept was entirely Bugis in origin, not Javanese. How was your experience in interacting or concepting such composition? Rahayu Supanggah I La Galigo was indeed a special case. It was four hours music for a performance; the mood ranged from melancholy, joy, war, to amorous, different characters. Bugis-Makassar instruments - like the kecapi zither or flute - are soft in sound, so it was hard to get an intense or horror mood. So finally, we looked for another instrument. Mr. Anusirwan, for instance, fashioned an instrument called rebi. It was actually arebana drum assembled to look like a cello. Twigs, tools for wall polishing can be good instruments as well, also zinc sheets. It depends on what type we want to make, and to yield what type of sound. I Wayan Balawan Yes, we can change the key of the gamelan set we made. We would usually tie the bars in the conventional set, but in the new one, we drilled a hole and nailed it. In the old days, collaboration with Balinese gamelan could only be conducted in A major key and Fis minor. In those keys, we could play a minimum of two hours in a performance. So, it all came back to our effort to foster the traditions of Nusantara. This is no easy task. There are so many ethnic groups in Indonesia. Jabatin and Mr. Supanggah’s tour was immensely fascinating. This tour could support the local maestros. Being a Balinese, of course I could not advise to preserve the music from Flores or Dayak. I still have so much to do. In this age, human can only live to 75 or 80 years old top. After that, there is nothing we can do. I haven’t finished my exploration in Balinese music. We still have jegog, gambuh, wayang wong, kotekan, and many more. I will not have the time to think about the arts and traditions of the Dayak people. Therefore, we have to expose young maestros from all ethnicities. 39 40 Meja Bundar Musik - World Music Jabatin Bangun So are you saying that it would benefit other region(s) when the cultural wealth in a region is hard to develop? I Wayan Balawan Yes, and I’m not doing it so people could come and ask me “You are so good at it. Is your music in the style of Dayak or Sumatra?” A lot of musicians are doing it nowadays. I only play what I’m comfortable with and what I had learned since childhood. Nyak Ina Raseuki There are a lot of pop musicians who worked on traditional music, such as in the case of the folk song Yamko Rambe Yamko or Bungong Jeumpa. There are two layers of interpretation in this. They are actually representing the songs of Papua or Kalimantan in the folk song writing, and then there are other musicians who interpret those folk songs. This is not a matter of right or wrong. But could they apply it to not only twenty five regions, but to really dig and explore the music of Bali and Flores, without taking it too literally. Perhaps we can continue our talk in this area. Rahayu Supanggah What Balawan said is true. Once I had a task to work on music from Riau, because they heard about my success with the I La Galigo project. Yet, bringing music from Riau to light was not as easy as that. I really have to appreciate the music, and it took me three years to do that. If I did not care less, just went ahead, and did the project using the aesthetics of Javanese or Buginese music, it would have ruined the Riau music aesthetic. That is why musicians from Riau had to do it themselves, taking inspirations from their own tradition. I could supervise with the experience I have. The local musicians should do the job, not outsiders. We could damage the music if we are not careful. SECOND SESSION Jabatin Bangun Let us continue our discussion. We should talk about some aspects regarding our experiences and insights on the growth of music in several regions. Balawan, what is your observation on the numerous art groups, studios, and the opportunities given by the government, local, central, or even from abroad? Meja Bundar Musik - World Music I Wayan Balawan Personally, I cannot say that I agree with the system in Bali. There is a performance stage in Bali, the Arts Center. This is a policy from the first governor, a legacy of Anak Agung Bagus Sutedja. It serves as a venue for the Bali Arts Festival (PKB), a very large event that takes place every year from June 15 to July 15. Eight residences from all over Bali utilize the place for one whole month. There is a subsidy funding from the government for practices and such, but it is far from sufficient. Now the overall impression about that event has changed from Bali Arts Festival to Bali Bazaar Festival. The place was unpleasant. I took some tourists to the place several times. Foreigners would have a high expectation of this event, it sounded very promising: an art festival, one whole month of celebration. However, when they got there, the venue is swarming with hawkers. The place became overcrowded, not comfortable for watching performances on stage. Thus, the Bali Arts Festival is not a wellmanaged event. I am more in favor of the concept where we divide the Bali Arts Festival across the eight regencies. We could conduct it for eight months in a year, each regency taking turn for a month. So we don’t cram the performances from all eight regencies in a single month.Then the tourists could say, “Ah, so this is Bali.” I think it is far from that... Nyak Ina Raseuki Yes, there are so many art festivals in Indonesia. Could we really revive or nurture our traditional arts? Rahayu Supanggah Actually, we have many potential artists. They just haven’t found the right forum. Festivals are very important. Many world festivals could launch an artist into a world-class artist. I think our weakness is that we have numerous festivals but they are not coordinated as a whole. The calendar is not designed to allow foreign tourists to see a festival in a town and then go to another festival afterwards. Every festival should have its own character. There are 40 festivals a year in Solo alone. However, all of them are similar, although sustainable. We have SIPA (Solo International Performing Arts), SIEM (Solo International Contemporary Ethnic Music), but they have similar programs. All stages are open air etc, and with a party atmosphere. I invited Balawan to Solo. Nevertheless, as soon as it was confirmed, they had a dispute over the ownership of the festival. Thus, the most important thing is how the central government could take part to manage all these festivals. The festivals have to be well designed, with good curation so all the artists involved feel comfortable and benefited from it. Because if it is only for partying, like in Solo - many festivals took place at the Vredeburg 41 42 Meja Bundar Musik - World Music Fort in open air stages - so sometimes it is hard for serious arts to join. Since everything has to be glamour, with sophisticated lighting like a musical TV show. This happens because there is no accountable curator, no person in charge. Nya Ina Raseuki Thus, if I may conclude, in principal what is happening is similarity, not diversity. It is utterly dangerous when we are treated as homogenous, from west to east. Many festivals from east to west, like what Panggah said earlier, are similar; all the artists involved are the same. The festivals are supposed to support and revive local arts, but in reality, it is not happening. Jabatin Bangun Panggah and Ubiet, you two have participated in various festivals abroad. How do you manage to do that? Please share because we would also love to do that. Rahayu Supanggah Actually, the key point is trust. If the festival committee abroad have trusted us and we are competent to perform, and what we do is beneficial, then the invitation and funding should be no problem. They will provide it and the compensation is great. The network I have is based solely from ear to ear, mouth to mouth. I don’t have a management or a manager, or a website. They only know me from reputation. I Wayan Balawan Here is my experience in Bali. Due to the teeming tourists in Bali, I perform in many places, including cafes. I still perform in cafes. I love playing in cafes because the audience have a cool attitude. As with Indonesian audience, (the attitude is like...) we haven’t finished our second number and they already gave us song requests. Foreigners are not like that. They don’t care what you play. A lot of them are nice, but there are some who only make holiday bullshit as well. Well, generally only three out of ten foreigners who are serious, the rest are only sweet mouthing you. I met a few (good) people that way; one of them is Professor David Harnis, an ethnomusicologist from San Diego. He was the one who arranged my tour in America. In addition, he has many connections. I used to go to Europe more often. In the 2000s, I launched an album in Germany. We played guitar gamelan music. I started all by myself and now there are eight people in my group. From these connections, we managed to have contacts and network in the Netherlands up to Japan. Compare that to Brazilian musicians invited to Europe. It is much easier for them with their national airline’s support. While me, on the other hand, I have to often turn down invitations from festivals in Canada because of the airplane ticket. The Meja Bundar Musik - World Music committee provide us with compensations and accommodations, but airline tickets. They only provide four people at the most, and we have to finance everything else. It is hard to find a free excess baggage, let alone free airline tickets. I participated twice in a government’s program to perform abroad. From eight of my supporting artists, the government only funded four. I was exasperated. That means one musician has to play three gamelans. Every number we played turn to a circus. We did that, it happened. Moreover, it turned out that the government’s team members who joined were only handing out brochures there. If I had known that would be the case, I myself could do the brochures distribution. Then, there was the problem of baggage. It is a very important thing. The one airline who often gives free baggage and cheap tickets is Singapore Airlines. How strange. Other countries are the ones who facilitate and support us. Nyak Ina Raseuki I think we need to criticize the uneven distribution of potential funding. There should be more funding that artists could use. I think if the opportunity is made available, - there is open call - everyone can submit their proposals, and it would be better if there were a team of curators who will select the best proposals. The curators should not accept fee from the funding, or perhaps they could. I don’t know, this is just a dream. Rahayu Supanggah There are business corporations in America who are committed to fund arts projects, and artists can directly apply to them. I was involved in it once. The corporations raise money and the Asians, led by Ong Keng Sen from Singapore, manage the fund. The board was restructured every five years, and I had been a member. The weakness of Indonesian artists is they don’t know how to make a good reasonable proposal. If your proposal is unrealistic, it will look like you are trying to rob them. For instance, there are posts that you don’t need to list because it has already been covered, but it is still listed. Jabatin Bangun Funding is closely connected with the essentials, meaning what kind of music is the best selling. Rahayu Supanggah Yes, every art foundation has their own preferences and purposes. A number of foundations from America have interests in the issue of terrorism, the environment, etc. Works with that theme have a better chance to be accepted. On the other hand the theme of eastern Indonesia and gender would get better 43 44 Meja Bundar Musik - World Music reception in Australia. Consequently, artists who are looking for funding must know that these foundations have their own interests. From the musical aspect, they mostly welcome collaboration works, especially collaboration with artists from their own country. Nyak Ina Raseuki I agree with Panggah that we cannot keep pointing our fingers at our government. We never get the funding from our government. However, there are actually many open funding opportunities abroad that we could access. I Wayan Balawan We frequently promote Indonesia abroad, but we often aim the wrong target audience. I have experienced this several times, I am not surprised—the last one was last month. An event organizer contacted me to promote Indonesian music to Australia. They said, “I want you to play your ethnic music.” I said, “Okay.” Afterwards I received a Whatsap text. “I’m sorry, but the Indonesians in Australia chose another band. I hope we’ll work together some other time.” I was confused, were we supposed to entertain our migrant workers there? They missed target by sending a band to entertain the Indonesians there, the migrant workers. They didn’t even know their target audience, or their purpose there. If it was to entertain the Indonesians, they shouldn’t have asked me at all. Jabatin Bangun In fact, education also plays an important role. What kinds of strategies are being applied in terms of preserving our traditions? Are there notes or materials? If my kid wants to learn to play violin, there are ads glued to many utility poles written “Private at-home violin tutor, call this number.” On the other hand, there is no institution that could help a group of mothers who want to learn the kecapi zither and Sundanese flute. That means there is something missing in our tradition. My question is what efforts have we done to give our tradition a space so it could be explored by more people? Rahayu Supanggah Yes, that certainly is a problem, even in our formal schools. In elementary, junior high and high schools, we educate students to become artists. That is not fitting, because they only give two hours, and they are then split into fine arts, dance, music, theater, etc. Perhaps it is better to teach them how to appreciate the arts. The purpose is not to turn them into artists, but for them to understand and appreciate the arts. Like me, I cannot play football but I can appreciate Christian Ronaldo, because I get good valid information about football. Meja Bundar Musik - World Music Nyak Ina Raseuki I think the same situation also start to happen in science education etc, not only arts education; how students perceive and appreciate gamelan, for instance, not only play it. One of our school programs is singing and playing the melody. It is uniformity from the west to east. I know very well what Panggah was talking about. It is about how the Papuan children understand the conditions in Java, the children in Java understand the conditions in Sumatra and vice versa. Rahayu Supanggah Yes, we, Jabatin and Ubiet were involved in arts programs. We tried to compile a good and easy to understand materials, yet the schools would not accept it even when we gave them away free of charge. It would do better to sell it, since the distributor would get a fee. Jabatin Bangun Let us talk about teaching tools. Are there any books or materials that teachers can access when they teach Javanese gamelan? Rahayu Supanggah That is one of the shortcomings. There are many materials from dance studios; recordings on how to dance the Gambyong, many of them are on sale. Nyak Ina Raseuki So the students learn about the configuration of a dance. They learn its configu ration, not the comprehension of movement or sound, but the way to be an artist. Perhaps Balawan could share with us how it is that in Bali, little children who still cling to their fathers are already accustomed to play in the community centers. I Wayan Balawan Well it is a long held tradition, natural ear training. Many Balinese who live in Australia or in America join a gamelan group. They were “poisoned” since childhood, so it was natural for them. They already got the feeling for it. Rahayu Supanggah I am jealous with my fellow artists in Bali. They have their own websites, studios, and events. In addition, they teach courses with decent pay. I Wayan Balawan Yes, but we have high competition, Mr. Supanggah. There are countless studios. Alternatively, you could teach abroad at universities. A maestro like Mr. Bandem 45 46 Meja Bundar Musik - World Music never stays in Bali. He got a two-year contract to teach at a university, and then followed by another teaching contract. There are loads of Balinese artists who teach at universities abroad, simply because they could not make a decent living in Bali. This fact is actually a setback to Bali. Therefore, the alternative is what we were talking about earlier, attract tourists to study arts and spend more time in Bali. Jabatin Bangun Do we have similar phenomenon in Java? Rahayu Supanggah Only a few. Our art management is still ineffectual. Very few universities teach art management. Jabatin Bangun So if we consider the theme of our discussion, “fostering, evolving, inspiring”, I think there are still many aspect that we need to work on if we want to see the rich music of Nusantara could finally be under the spotlight in Indonesia and international stage. Panggah, what are the regions in our country that are most prominent in the international stage? Rahayu Supanggah There is no recent change; it is still dominated by Java, Bali, Sumatra, or other well-known arts. Like I La Galigo, there were no available materials at first, yet it worked out when excellently promoted and managed both artistically and administratively. Packaging a production is very important. We have to be aware of the current international trends, what is selling the most. Jabatin Bangun Music stood out most in Bali. It is world famous. In a high cultured and economically stable nation, the most famous art from Bali is either gamelan or dancing. How is the present condition? Are Balinese still dominating it, or are strangers taking advantage of Bali’s magnificence and promote it internationally and locally? I Wayan Balawan The organizers for big events are mainly foreigners. They took advantage of Bali’s name. It is as if they only borrow Bali for the venue. There are only a few or even none advantages for the locals. Very insignificant. Jabatin Bangun An aspect that we should work on in the future is to prevent the situation where Balinese become mere spectator in their own land. Meja Bundar Musik - World Music I Wayan Balawan Sadly, that is already happening. Ha ha ha. Nyak Ina Raseuki Let us go back to the existing festivals, whether in Bali, Ambon, or Solo. Could we copy festivals abroad, or should we create festivals that are fitting for us? Rahayu Supanggah I spent quite some times in France, and I admire their system. In France, each town has a specific theme for its festival. For example, traditional arts festival is in Rennes. Symphony music festivals are in Provence, theaters in Nancy, Avignon, etc. Each town was given a label and it started very simply, just like what we did in Saint-Florence. They made a puppet festival, marionette puppets, with only five participating groups. A family sponsored each of these five groups. They stayed at the host’s home, provided with meals. So did the rest of the other groups. That way, the government did not have any expenses at all. This festival was a success and it has grown bigger recently. Now the town has became the center of the world’s puppet art life and studies. UNIMA (Union Internationale de la Marionnette) has an office there. Why can’t we do the same thing in Indonesia? For instance, in Kalimutu, Flores. We could offer the artists to board in family homes. They could stay at the locals’ homes. We have tried once in Solo, but unfortunately, it did not continue. There are a lot of prominent wayang puppet masters, such as Mr. Manteb Soedharsono, Cermo Subroto, and many more. There was a puppet master from Japan who lodged in the homes of Mr. Anom Subroto and Mr. Manteb Soedharsono to study. However, this program was only tried once and it wasn’t continued. I Wayan Balawan How could France manage to do it? They must have the support of the mayor and governor. They issued the permit for these festivals. Imagine if Indonesian youth do not have the educationof arts appreciation, and they grow up to be a governor. As a result, when we want to hold a festival of lenong traditional theater, he would react, “Lenong festival? That is so outdated!” Thus, we have to be careful when electing a mayor or governor, because they issue all the permits. Jabatin Bangun Next, we have a question from the audience. There are numerous small-scaled traditional arts groups that still thrive among the populace, like Gambang Kromong. What is our effort to develop these potentials? 47 48 Meja Bundar Musik - World Music Rahayu Supanggah Tradition is alive, not dead. As long as they continue to actualize their arts with contemporary needs, I believe they can survive. A very positive recent development is happening in the East Javanese culture. The local government provides a funding and the locals manage it. They use the funding by tailoring to their specific needs, and their arts are supported with their own ways. For example, the masked dance Barong Banyuwangi performance. This art tradition has the full support of the locals; each performance could gather fifteen truckloads of supporters. These fifteen truckloads of supporters join the performance with their singing. It is just like the British football. I Wayan Balawan I want to talk realistically, and not many people know this. My gamelan consists of two styles; a composition that I created with my creative drive and the other style is popular numbers like “Can’t Take My Eyes off You” and “Do [sic!] You Survive” with gamelan arrangement. I would play some of my own compositions in big gathering events. I played Maroon 5 with gamelan set. I use the commercial numbers to finance the idealist style. Traditional artists also need money for buying their kids’ milks and school tuitions. I make budgets for these big events. For instance for a gathering a player could get a Rp. 750.000, - fee, and for weddings they each get Rp. 1.500.000, - at minimum. My gamelan group havesurvived since 1997. We can do both idealist concert, and even a free concert. We get our payment from weddings. What is the use of practicing for a whole day if we all don’t get a decent pay out of it? Being a taxi driver pays you better. That is the reason I work commercially. There are some groups with intermittent existence, chiefly because they could not work this payment thing out. Continually doing idealist concert gives you no payment, and soon you cannot practice. Therefore, I think there still has to be commercial gigs. Nyak Ina Raseuki Here is another question from the audience. The development of traditional music is sometimes held back by the music industry that always prioritizes the market. How do we suppose to react to that? How can traditional music get a decent spot in the national music industry? I Wayan Balawan We have to manage it smartly. There has to be a lot of promotion to the young generation. I have very simple guidelines: ethnical, technical, entertainment, selling point. Ethnical means there is an ethnic element. Technical means it sounds Meja Bundar Musik - World Music sophisticated. Hence, the listener cannot think, “there’s nothing to it, they use very easy technique!” The kotekan is very fast and complicated. Next is entertainment. The latest number I worked on is Maroon 5’s “Sugar” in gamelan. The foreigners would ask me, “What is this?”. 3 They have never heard anything like that, but it works well with the younger segment. To be able to compete in the market, we have to know their current habits. There are YouTube and Instagram’s generation. We could pack and put the traditional in Instagram, and many people love it. Nowadays everyone is online; no one is listening to the radio anymore. Jabatin Bangun Panggah, what is your view on the music industry? We had a phase a while back when we perceived music from the tourism and industry’s point of view. We musicians have always rejected that. Rahayu Supanggah We should be able to separate the music and the industry. The art forms like music and dance are usually divided into two types: show and expression. It is up to us, which type to choose. A show emphasizes on technique, it has to be easy to listen to with a pleasant visual. On the other hand, expression is more to the moral message. Both types are equally good. From my experience in a group, sometimes we are paid handsomely, sometimes none at all. Therefore, we set aside 15% of the big payment, to be used when we want to experiment a little, or to subsidize whenever we don’t have gigs. We have to balance between the show and the expression. Jabatin Bangun Do we need an institution as means for young generation to study and preserve traditional music? I Wayan Balawan The easiest way is school. Nowadays kids spend their time at school from 7 am to 1 pm. There have to be arts extracurricular activities at school. In Bali, tradition can survive out of necessity; we need it for our religious rituals. I fear for Java, because its people do it only because of festivals, and its traditions are different from Bali. Ten or twenty years ahead would be the turning point. Rahayu Supanggah The most important thing for me is strategy. How do we make good image. Ours 3) Kotekan: Balinese music’s technique: the interlocking of two or more instruments in the ensemble. 49 50 Meja Bundar Musik - World Music is not a very good one, mainly because of the technical term. “Traditional arts” is such an outdated term. I so hate that term. Like the term ‘traditional’ and ‘modern’, ‘central’ and ‘local’, ‘government’ and ‘citizen’, ‘industry’ or ‘urban’. The term ‘ethnic’ is not that beneficial as well. A better term is ‘world music’. All kinds of music are inevitably world music. Music that they categorized as traditional could make it to international stage, if properly managed and packaged. It could be world music because it is enjoyed throughout the world. It is hard to come up with a correct and fitting term. I personally prefer to use a direct term, i.e. gamelan music, gondang orchestra... Nyak Ina Raseuki I think the correct way is to refer to the place of origin. If it follows by ‘gondang’, we can say ‘gondang’, obviously in Java there is gamelan, and there is gong kebyar in Bali. We should always refer to a certain term. I very much agree with that. Even so, dichotomy is a cliché. Rahayu Supanggah Scholars and critics were the ones making the separation, not artists. I create. “What is your creation?” a journalist once asked me, and it baffled me. Well, this is my work, my creation. I Wayan Balawan We need a public figure or a famous person to make the young generation love music. They have to do it. Teenagers have no interest in watching me perform; I no longer fit as a public figure. For instance, who’s the singer with the rocker voice? Judika! If he sings accompanied by traditional Melayu or Kalimantan music, people would appreciate him as a public figure doing that and it would quickly influence the teenagers. And the famous pop singer Raisha; she would drive people crazy. If she sings accompanied by gamelan orchestra, people would say, “That’s a cool music.” Therefore, we must create an image that playing gamelan or music combined with tradition is a cool thing. Nyak Ina Raseuki Next question: What happens if there’s a continuous shift of the music scales during the process of creativity, so subtle that it is not known by the new generation, especially for easy to make instruments from fragile materials like bamboo, for instance the bamboo ensemble angklung and the likes? Rahayu Supanggah I spoke about this earlier, for an art form to survive and still accepted, with the changes etc, we need to conduct a proper research on this issue. Which element Meja Bundar Musik - World Music is the stubborn element? We have to know which one we cannot alter, the scale or the notes. We must always preserve it. In addition, our documentation effort is ineffective. Jabatin Bangun It will be ruined without proper documentation. This is about the scale of notes. Three or four years ago, Panggah and I put together a group to perform in the Makyong Festival in Bangkok. It turned out that this group did not have a rebab fiddler. So I said okay, let us ask Mr. Panggah to play the rebab. Thus, we invited Panggah. It was for a rebab solo with a dancer, and when the festival is over, Panggah returned to the US, the dancer to her country, and I returned to Indonesia. Then an evaluator from the Philippines evaluated the performances. And he called me, “Hi, Mr. Jabatin, from which part of Melayu is the rebab fiddler?” I answered “From Solo.” “Was that Mr. Panggah playing? There was no Melayu sound to it at all.” So he could identify the character. No one noticed it at the time of the performance. Yet the evaluator worked it out, he knew it was a Javanese rebab. See,that is the importance of scale of notes. The question here is whether it could survive intact if the instrument itself is fragile. Nyak Ina Raseuki Or it is changing continuously, or changed, like changing the tune of the harp-like instrument Sasando. Rahayu Supanggah Campur sari is very popular nowadays in Java. Its musicians could not come up with the way to mix slendro-pelog and diatonic, so one of them had to be given up so they harmonize the gamelan like the keyboard, not the other way around. It could “dismiss” the gamelan. Many people think that the easiest element to mark a musical identity is by the scale of notes. Tuning system, scale of notes. (Sings a Mandarin tune. . .).Everyone knows it’s a Chinese song. If it is slendro-pelog then it must be Javanese, Balinese, or Sundanese. If you lost the scale then it is possible that you lost its identity. It is okay to lose the gamelan. However, if you lost the scale, without the gendang drum, people could still know it is gamelan, including the color of the sound of the instruments. 4 I Wayan Balawan In Bali, we use this term “standard”. Like standard jazz. Every dance has its standard. It is already established. Before they improvise, all Balinese artists must know the basics. They have very good basics. Like my gamelan players, 4) Campur sari: Javanese music formed from many instruments including the keyboard. 51 52 Meja Bundar Musik - World Music they play equally well in different scales. They have no problem playing in E chord, because they have solid slendro-pelog basics. Nyak Ina Raseuki Just like in language, people can be a polyglot. They can speak French, Javanese, Sundanese, and other languages. I think it exists in music as well; it is called bimusicality. It is how a person could move from one mode to another. It is a hard thing for me to do, since I am very diatonic. Panggah would be in the middle, not to the left or right. Panggah’s answer was very interesting. We really have to record what we would do. An enduring tradition is a living tradition. So is there anything we should preserve, Panggah? Rahayu Supanggah We should find what we could preserve, with documentations. Nyak Ina Raseuki Exactly. Do we have an archive center for traditional music? We also don’t have a museum that focused on the music of Nusantara as well. Jabatin Bangun I want Panggah to close this session with a story of your experience in collaborating with the Kronos Quartet when you performed in the US. Rahayu Supanggah I was embarrassed. Unexpectedly,I got an offer to create a composition for Kronos. At first, I turned it down because I have no knowledge about western music and I worried that my work would disappoint the famous group. However, they kept encouraging me, they gave example like the Japanese composition, Tan Dun, etc. Finally I decided to try it. We met to share our vision, and to find a possible working system. Consequently, we decided that I would give an example and they would continue from there. They were happy about it, but it was hard for them to memorize it; it is hard for Westerners to memorize notations. So I have to write a detailed notation, but I told them, “You don’t have to follow this rigidly. Not everything is notated, even in Java. Each artist can make an interpretation based on his or her own skill.” So the notation was completed and they discussed every line for fifteen minutes minimum, what they should do about it. It was a great honor for me because of this project they built an eight-floor building. Some artists played in the eighth, fifth, second, first, and third floor. They did not contact to each other, because I asked them to use their ears rather than their eyes. They literally glued my composition to the wall; they shaped the notations with seeds. Meja Bundar Musik - World Music Nyak Ina Raseuki What kind of seed was it? Rahayu Supanggah I don’t know. “Why did you use seeds?” I asked. They answered, “Because your music is alive.” I was so touched I cried. Later the seeds would grow, just as the music would. Jabatin Bangun Balawan, how was your experience in your last collaboration? I Wayan Balawan Recently I’ve been socializing my music through theater. There is a theatrical concept in Balinese tradition, of how Balinese artists struggle to make a living without feeling forced to. Not only playing gamelan for the religious ceremonies, but also how can you continue to be an artist and able to support yourself, and not having to work abroad. That is my focus. I’m also working with studios for youth where I give free courses. You cannot love something you are not familiar with. Nyak Ina Raseuki Very well. Thank you, Mr. Rahayu Supanggah and Mr. I Wayan Balawan, for this intense discussion. We get the essence of the creative processes of these two great musicians. 53 54 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music DISKUSI HARI KEDUA / SECOND DAY DISCUSSION 55 56 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music DISKUSI HARI KEDUA Jabatin Bangun Baik, terima kasih. Selamat sore, Bu Trisutji Kamal, selamat sore, Bung Rence. Hari ini kita mulai lagi diskusi kita. Tapi saya kira pada bagian pertama kita lihat dulu video beberapa menit, setelah itu ada presentasi sedikit, dan kita lanjutkan dengan diskusi. Silakan. (Pemutaran video tentang Trisutji Djuliati Kamal bermain piano.) Trisutji Kamal: Kalau kita bicara mengenai karya seni itu sahsah saja. Tapi belum tentu orang yang tradisional menulis tradisinya. Bisa saja. Everything is possible. Nothing is new under the sun. (Suara piano lagu “Rambadia”.) Mulanya saya membuat karya sebenarnya ya tidak semua pakai musik tradisi, tetapi akhir-akhir ini saya mengembangkan musik, memasukkan instrumen tradisionil akhir-akhir ini. Perannya sebenarnya untuk memberikan nuansa etnik untuk musik saya. Perkembangan musik di mana pun akan ada karya baru, instrumen baru lahir. Dalam musik Romantik, misalnya, akan ada yang baru lagi. Dan sebagainya sampai sekarang pun. (Lanjutan suara piano. Tepuk tangan penonton.) (Pemutaran video musik Inafuka dari Buru.) Nyak Ina Raseuki Baiklah. Setelah dua tayangan barusan kita akan diskusi lebih lanjut. Seperti kemarin, kita akan jauh menyelami kedua seniman, Ibu Trisutji Kamal dan Bung Rence Alfons. Mereka akan menceritakan pengalaman mereka bermusik, proses kreatif mereka dan untuk yang pertama kita persilakan Bung Rence menyampaikan Power Point-nya. Rence Alfons Baiklah. Terima kasih, Kak Ubiet, Bang Jabatin dan Ibu Trisutji 57 58 Meja Bundar Musik - World Music Djuliati Kamal. Bapak-bapak, ibu-ibu semua, saya pertama merasa sangat bingung, diminta oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk hadir di sini karena terus terang saya sudah lama tidak biasa menulis. Namun, saya mencoba membuat judul diskusi ini dengan tulisan Revitalisasi Suling Bambu di Daerah Ambon. Musik di daerah Ambon ada beberapa yang dipengaruhi oleh Islam, Kristen, musik asli. Kalau kita lihat tadi musik Inafuka dari Buru, itu masih sangat orisinal, tidak terpengaruh oleh apa pun. Kalau dari Ambon ke Buru itu naik ferry bisa semalaman baru sampai. Yang keempat adalah musik pop sangat berpengaruh; budaya pop sekarang yang menjadi konsumsi masyarakat Ambon. Sejak saat Kristenisasi di Maluku, lagu-lagu upacara keagamaan semuanya dari Barat. Coba salah satu contohnya diputarkan. (Pemutaran lagu liturgi.) Lagu ini dalam liturgi Protestan biasanya dimainkan pada saat menghadap Yang Mahakuasa. Yang berikut adalah musik yang dipengaruhi oleh musik Islam yang banyak menggunakan rebana. Sementara musik etnik Maluku, Inafuka, adalah salah satu musik asli di Maluku. Kemudian musik pop. Contohnya lagu Sio Mama. Lagu ini sudah sangat familiar dari Merauke sampai ke Sabang. Suling bambu yang berkembang di daerah Ambon itu ada dua. Yang vertikal berkembang di daerah masyarakat muslim, dan yang horizontal berkembang di masyarakat Kristen. Saya kebetulan entah mengapa harus menjadi Kristen dan belajar sedikit tentang musik suling bambu horizontal. Musik vertikal ini untuk mengiringi tari Sawat. Terus terang saya tidak atau belum menggali lebih dalam tentang suling vertikal ini. Mungkin sistem tangga nadanya menggunakan magam yang biasa digunakan oleh musik di Timur Tengah atau bagaimana. Saya sering berkomunikasi dengan musisi-musisi jenis ini, terutama jika ada acara tamutamu penting. (Pemutaran video pertunjukan tari dan musik Sawat.) Musik Sawat ini tumbuh di semua komunitas Muslim di Maluku, di Maluku Utara dan Maluku Tengah juga berkembang musik ini. Jadi, kalau ada daerah yang beragama Islam di kawasan Maluku, pasti ada musik Sawat. Musik horizontal itu berkembang di masyarakat Kristen. Menurut informasi, musik suling bambu vertikal pertama dikembangkan oleh Joseph Kam. Oleh kalangan Kristen Katolik di Maluku dia disebut sebagai “Rasul Maluku” karena dia merupakan salah satu misionaris yang menyebarkan agama Kristen di daerah Maluku. Kenapa Joseph Kam sampai mengembangkan suling bambu vertikal yang tangga nadanya sangat diatonik, karena untuk kebutuhan liturgi Calvinis harus ada musik. Dia punya latar belakang flute yang kuat. Pada saat dia sampai di daerah Ambon, kultur flute tidak ada. Tapi begitu melihat bambu tumbuh liar di Ambon, dia berpikir ada sejenis flute yang bisa dikembangkan. Dia Meja Bundar Musik - World Music mengembangkan suling bambu yang bertangga nada diatonik khususnya untuk peribadatan. Dalam liturgi Protestan di Maluku pemegang suaranya menggunakan sistem lama. Ada suara satu, suara dua, suara tiga, suara empat. Tapi yang saya amati mereka itu terkesan asal ada melodi (menyenandungkan melodi), secara feel mereka ikut melodi, secara paralel. Suara mengikuti turun-naiknya melodi. Mengenai pembuatan instrumen, saya amati bahwa orang tua-tua di Ambon jika akan membikin suling itu mereka menjemur bambu-bambu itu di bawah panas matahari. Di daerah saya panas matahari paling banter 32˚ C. Proses pelubangannya itu menggunakan besi yang dipanaskan. Namanya pula-pula. Saking panasnya besi ini, bambu bisa terbakar. Untuk proses tuning mereka mengandalkan telinga masing-masing. Itu teknologi mereka waktu itu. Mengenai sistem permainan, mereka sangat awam terhadap ilmu harmoni konvensional. Mereka menggunakan paralel semua. Suara satu naik, suara dua, tiga dan empat ikut naik, begitu seterusnya. Bangunan harmoni menjadi tidak jelas. Anehnya, mereka biasa menggunakan satu nada saja. Mereka menggunakan satu nada F. Nah, bayangkan saja jika dalam satu ibadah itu bukan satu lagu saja. Syukur jika lagu itu pas di nada F, enak dinyanyikan. Tapi jika nada lain, ya tinggi sekali atau rendah sekali, sampai seperti orang ngorok. Itu kesulitan dari sistem lama yang digunakan oleh orang tua-tua saya dulu. Jadi, mereka tidak menggunakan sistem suara high, middle, low. Ketika pertama saya bikin suling dengan menggunakan besi yang dipanaskan, sulit sekali mendapat nada yang pas. Umpamanya saya butuh nada D, sulit sekali. Kenapa? Saya teringat teori Fisika pada zaman saya SMP dulu, bahwa jika sebuah benda padat dipanaskan dia akan memuai, jika didinginkan dia mengerut. Mungkin saja ini penyebabnya karena jika besi yang sudah dipanaskan itu kemudian mengenai bambu itu akan berpengaruh kepada semua tekstur bambu itu. Suara yang dihasilkan cenderung menjadi fals. Yang paling celaka karena generasi muda sekarang ini sudah bisa mengakses musik apa saja melalui Youtube. Jika dikasih musik suling seperti itu, mereka pasti ogah. Generasi muda memang tidak tertarik. Setelah saya pulang ke Ambon ternyata pemain-pemain musik suling bambu di gereja itu sudah sepuh semua.Tidak ada generasi muda satu pun. Anak muda punya apresiasi tersendiri terhadap musik di Youtube itu. Yang penting juga, suling bambu sudah tergeser, termarginalkan oleh keyboard dan trompet. Jadi kalau di GPM itu sekarang trennya saat mengiringi liturgi mereka memakai trompet dan keyboard. Jika 59 60 Meja Bundar Musik - World Music satu jemaat tidak punya trompet, mereka merasa rendah diri. Itu menggejala dan sangat mengkhawatirkan saya. Saya membuat instrumen ini tidak dengan menjemurnya di bawah panas matahari, tapi saya panaskan di oven. Ya, suatu ketika saya jalan-jalan ke Yogyakarta dengan mantan pacar saya, masuk ke toko Progo dan saya temukan oven yang besar sekali. Saya pikir, kayaknya bisa nih masukin bambu di sini. Saya beli dan saya coba di Ambon. Saya juga pakai alat ukur kadar air di dalam bambu. Jadi, bambu yang saya ambil dari hutan itu saya panaskan di dalam oven, saya kasih indikator suhu yang naik perlahan-lahan sampai 200˚ C. Ternyata bambu saya hangus. Saya melakukan itu hingga tiga atau empat kali. Jika bambu sudah dingin saya masukkan lagi. Ternyata bambu itu tidak habis kadar airnya. Bambu yang sudah terbakar itu saja masih 15% kadar airnya. Saya juga menggunakan bor listrik yang besaran mata bornya itu saya ukur dengan frekuensi skala Hertz. Saya membuat suling itu dengan menggunakan frekuensi suara high, middle, low. Suling suara satu pada frekuensi high, suara dua dan suara tiga pada frekuensi middle dan suara empat pada frekuensi low. Saya menggunakan G String yang saya unduh dari internet untuk mengukur tiap nada. Saya lalu berbicara dengan teman-teman dan mereka ternyata menginginkan memainkan lagu yang memang dibuat secara serius, tidak asal-asalan seperti orang tua-tua mereka. Akhirnya, saya menggunakan harmoni konvensional yang pernah saya pelajari. Pemilihan repertoar juga ada strateginya. Tahun kemarin kami konser mengambil sebagian Simfoni No. 5 karya Beethoven, kemudian kami buat medley dengan Eine Kleine Nachtmusil karya Mozart. Mereka ternyata sangat antusias memainkan ini. Mereka mau berlatih dan memainkan secara serius. Sekarang saya bikin dalam tiga nada D, F dan G. Memang, tidak semua repertoar bisa kami mainkan dengan suling ini. Moluccas Bamboowind Orchestra ini saya dirikan pada 2005 dan tampil perdana di perayaan HUT Kota Ambon yang ke-430. Saya bikin kelompok besar dengan 100 pemain suling bambu. Suara satu, dua, tiga, empat dan lima, masing-masing 20 orang. Musisi saya sangat beragam. Ada mahasiswa, pelajar, PNS aktif, PNS pensiunan, guru, polisi aktif, polisi pensiunan, tukang ojek, tukang pemeras enau yang biasa bikin sopi itu, terakhir ada montir bengkel. Usia mereka pun sangat beragam. Yang paling muda berumur 11 tahun dan yang paling sepuh berumur 73 tahun. Dalam membuat aransemen saya juga menggunakan small band: stringnya 10 orang, ada tifa, rebana, flute, saksofon, totoboang, hawaiian, vokalis, choir, ya tergatung pada arranger dia mau menggunakan instrumen apa. Saya Meja Bundar Musik - World Music bersyukur karena pemerintah daerah mendukung kami sejak 2007 sampai sekarang, mereka memberikan kami dana untuk tampil satu tahun satu kali. Pada Desember 2011, saya berkolaborasi dengan Ony and Friend di JCC pada perayaan Natal nasional dan pada 2012 itu kami diberikan kesempatan oleh Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif untuk tampil dalam acara Sound from the East di Ritz Carlton Hotel di Kuningan, Jakarta. Kesimpulannya, bagi saya, musik suling bambu tidak kaku dan bisa beradaptasi dengan tuntutan musik kekinian. Jika berbicara revitalisasi harus melihat instrumennya macam mana kemudian menyangkut musiknya, komposisi maupun aransemen. Yang tidak kalah penting adalah bahwa sesuatu yang tradisional di zaman ini tidak boleh alergi terhadap manajemen seni pertunjukan. Jika alergi, musik tradisional akan menjadi masalah di zaman sekarang. Terkadang pemerintah daerah tidak berpikir bahwa musik-musik tradisonal kita itu kalau dikemas secara serius, mestinya akan menjadi daya tarik. Karena musik tradisi kita punya keunikan masing-masing. Kalau itu digarap secara serius bisa menjadi salah satu tujuan wisata. Memang kami punya cita-cita begini, jika mau menonton konser suling bambu, datanglah ke Ambon. Sekarang ini kami sedang mendesain suatu panggung permanen semacam amfiteater. Tanahnya kami sudah dapat. Kami sedang merancang budgeting-nya. Tujuan saya akhirnya adalah musik bambu atau suling bambu ini akan menjadi salah satu destinasi pariwisata di Ambon, Maluku. Mbak, tolong putarkan lagu Rame-Rame. Audionya memang sangat sulit karena dua kali saya konser di Jakarta soundman juga bingung bagaimana cara menata mikrofon yang ideal. Mungkin karena bahan-bahannya baru bagi mereka dan mereka butuh adaptasi yang lama untuk itu. Saya sendiri kecewa sekali karena tidak ada balancing dari suling bambu dengan instrumen lain. Saat itu ada juga totobuang, flute, biolin. Di grup saya itu orang tuanya sudah sedikit. Saya tidak mengusir mereka. Mereka sendiri karena merasa sudah tua dengan sendirinya mengundurkan diri. Sudah capeklah. Silakan saja, saya tidak mengusir. Kalau mengusir ya tidak manusiawi. Nyak Ina Raseuki Sambil menunggu, saya kira nanti kita kembali ke Bung Rence dan mendiskusikan apa yang disampaikannya. Saya ingin ke Ibu Trisutji Kamal. Sebenarnya yang paling penting dari kedua seniman ini bagaimana kita memahami proses kreatif di dalam mereka berkarya. Mereka menghabiskan seluruh waktu, seluruh hidup, 61 62 Meja Bundar Musik - World Music untuk kesenian yang mereka geluti, tekuni. Ibu, mungkin Ibu mau cerita dari awal dari Binjai Medan, silakan. Tapi kalau Ibu mau memulai dari kapan sebetulnya Ibu tertarik menggunakan elemen-elemen musik Nusantara di dalam musik-musik Ibu, juga boleh. Terserah Ibu mau memulai dari mana. Trisutji Kamal Saya sebenarnya mau cerita dari awal. Saya mulai bikin lagu waktu saya umur enam tahun di Binjai. Tapi waktu itu saya belum bisa menulis not balok. Saya main piano untuk almarhum ibu saya. Tapi karya itu sudah hilang. Waktu remaja saya mulai belajar main piano. Setelah bisa main piano saya mulai mengarang lagu. Lingkungan saya itu sebenarnya Jawa. Ibu dari Jawa, dari Keraton. Pendidikan pertama dari keluarga saya itu Jawa. Jadi yang pertama masuk ke saya itu sebenarnya Jawa. Namun, dari remaja lingkungan saya Melayu, Batak, Islam dan sejak itu saya tampung secara tidak sadar. Bahkan salah satu karya yang saya tulis dan sering dimainkan sebagai lagu wajib di sekolah musik, Tarian Fantasi, itu sangat Jawa. Nyak Ina Raseuki Ya, hampir semua murid piano pasti memainkan karya itu. Trisutji Kamal Setelah saya remaja dan melanjutkan studi ke Eropa (Belanda, Paris, Roma), yang saya tampung sejak saya kecil itu sudah menjadi bagian dari diri saya sehingga bahasa musik saya itu sudah Indonesia, tapi belum menggunakan instrumen tradisional. Setelah saya dilatih untuk mencipta lama-lama saya pikir apakah saya punya bakat. Tapi guru saya melarang ini gak boleh, itu gak boleh. Menurut saya, ini bagus, tapi menurut guru saya mesti dicoret. Sedih banget rasanya. Demi menguasai teknik, saya lakukan itu. Jabatin Bangun Sebelum jauh karena ada beberapa yang hilang belum kita pahami, nanti orang lain bingung. Jadi Ibu itu berangkat dari Jawa ke Langkat, tinggal di Kesultanan Langkat, ya? Kenapa pindah dan umur berapa Ibu pindah ke Langkat itu? Trisutji Kamal Mungkin pada umur dua tahun saya pindah ke Langkat. Saya mulai belajar musik sekitar umur enam tahun. Tapi ayah saya senang musik sejak lama, beliau kan main biola dan passion-nya di situ. Waktu muda beliau ingin jadi musikus. Nenek saya sering ngumpetin biolanya. Ayah saya dokter di Kesultanan Langkat. Saya belajar piano pada orang Jerman yang sangat ketat. Memang sudah direncanakan, waktu remaja saya ingin belajar ke Eropa. Ketika itu belum banyak Meja Bundar Musik - World Music wanita yang belajar ke Eropa. Sebagai wanita saya masih sangat muda, tapi keluarga saya mendukung saya. Waktu itu seharusnya saya sekolah di Belanda. Waktu itu ada semacam pergantian politik yang menyebabkan siswa musik atau siswa seni tidak boleh sekolah Belanda. Itu sekitar 1955. Maka saya ke Paris, setahun kemudian saya pindah ke Italia. Nyak Ina Raseuki Setelah bertahun-tahun menulis musik piano, Ibu merasakan ada warna Jawa di sana, tanpa disadari. Yang menarik, kapan Ibu betul-betul mulai sadar betul ingin menggunakan elemen musik Nusantara? Trisutji Kamal Sudah dari awal. Selain Tarian Fantasi, karya saya yang paling terkenal berjudul Sungai. Itu menggambarkan sungai di Binjai. Karya itu sangat Jawa. Waktu itu saya sudah mulai berfilsafat. Ia menggambarkan kehidupan manusia. Sebagai setetes air dari gunung turun melewati lembah yang curam. Saya membuat musik itu tanpa saya sadari ya. Saya ingin membuat musik dari asal saya, Jawa, meskipun saat itu saya tinggal di Deli. Ketika saya berumur 16 tahun ibu saya meminta agar saya tetap menjadi wanita Indonesia, wanita Jawa, dan setiap hari Minggu saya harus masuk dapur dengan memakai kain. Nyak Ina Raseuki Selain Jawa, Ibu juga di kemudian hari tertarik menggunakan anasir musik Melayu atau Bali. Bisakah Ibu ceritakan itu? Trisutji Kamal Kalau musik Bali dan Jawa kayaknya sudah menyatu tanpa saya sadari sejak awal. Saaat itu ada seorang cellist dari Spanyol, Gaspar Cassadó, konser di Medan dan sempat mampir ke rumah. Saya mainkan karya saya di depan dia dan dia bilang saya ada bakat. Saat itu saya sekitar 14 tahun. Jabatin Bangun Dengan teknologi sekarang orang gampang sekali mendengar musik Afrika, Eropa, India. Zaman Ibu itu dari mana? Mungkin di Kesultanan Langkat selalu ada musik. Tapi bagaimana dengan musik Jawa dan musik-musik lainya yang Ibu dengar. Trisutji Kamal Karena saya juga belajar tari Jawa dan di rumah saya ada seperangkat gamelan. 63 64 Meja Bundar Musik - World Music Nyak Ina Raseuki Saya ingin kembali ke Bung Rence. Sebetulnya yang paling menarik buat saya kenapa Bung Rence melakukan revitalisasi ini? Rence Alfons Saya belajar musik Barat di ISI Yogyakarta dan lulus 1997 dengan mayor gitar. Setelah saya balik ke Ambon pada 1998 dan ternyata meletus kerusuhan 1999. Saat itu saya merenungkan diri saya. Saya ini siapa? Dari nama saja saya itu kok tidak Maluku. Dari nama saya itu dikasih Bapak saya itu Maynard Reynold Nataneil Alfons itu sudah tidak Maluku lagi. Saya merasa bahwa saya ini Barat tidak ya Maluku juga tidak. Apalagi musiknya. Saya seperti kehilangan sesuatu terus saya mau garap. Menggarap apa? Musik tradisi, musik etnik di Ambon itu sudah tidak ada lagi. Saya kebetulan asli orang Ambon yang tinggal di daerah pegunungan, kira-kira 500-600 di atas permukaan laut. Saya terus berpikir lagi, malu sendiri saya mendapat gelar S.Sn. ini. Lebih bagus dikatakan “Sarjana Sinting” ya daripada “Sarjana Seni”. Saya merasa malu terhadap diri saya sendiri dan tidak tahu mau ngapain. Mau main gitar klasik siapa yang mau dengar. Siapa yang membayar saya? Ada untungnya juga kerusuhan itu karena saya jadi tinggal di rumah melulu. Kalau saya dengar bom meledak ya dengar ada bom di sana, di sana. Saya suatu ketika ke gereja—kebetulan saya tidak rajin-rajin ke gereja. Saya lihat tidak ada suling lagi. Saya tanya kenapa sudah tidak ada suling lagi? Mereka bingung menjawab pertanyaan itu. Saya pergi ke gereja lain, ada yang memainkan suling tetapi sudah sepuh semua pemainnya. Yang napasnya sudah tidak jelas, pasti menentukan produksi nada sulingnya juga tidak jelas. Mereka ini generasi terakhir. Jadi, sulingnya dibuat oleh orang yang tidak jelas dan dimainkan oleh orang yang tidak jelas juga. Akhirnya melahirkan musik juga yang tidak jelas. Yang paling celaka lagi, Mbak, musik yang tidak jelas itu mainnya di gereja. Waduh, celaka. (Tertawa bersama.) Jabatin Bangun Perkenalan saya dengan Bung Rence ini sangat pribadi dan sangat sulit dilupakan. Suatu saat saya menjadi kordinator untuk pembuatan film dokumenter di 23 provinsi tentang seni-seni tradisi di Indonesia. Saya sudah berjalan di beberapa provinsi selama dua bulan. Dari Sulawesi terus ke Ambon. Saya bertemu dengan Bung Rence dan satu teman lain yang sekarang menjadi kepala Taman Budaya Ambon. Lalu saya minta mereka berdua menjadi koordinator untuk membuat upacara di pulau Nusa Laut. Setelah itu saya tergeletak, lelah sekali. “Anda saja berdua ke sana menggarap musiknya,” kata saya, saat itu. Mungkin saat itu Bung Rence sudah terpengaruh. Kok ada seorang gila datang dari Jakarta mengurusi musik di pulau yang jauh. Lalu saya pulang ke Jakarta, mereka pergi Meja Bundar Musik - World Music ke Nusa Laut. Ternyata tiba di Jakarta, KTP saya diperiksa. Kerusuhan Ambon pertama kali meledak dan hotel tempat saya tinggal itu terbakar habis. Mereka terkatung-katung di pulau Nusa Laut dan tak bisa lagi kembali ke keluarga yang ditinggalkan. Saya kira ada hikmahnya, mereka jadi belajar musik tradisi di sana. Setelah itu saya berulang-ulang bilang kepada dia, “Jangan lupakan tradisi walaupun kau belajar musik Barat.” Belakangan kami juga bekerja sama untuk revitalisasi totobuang. Jadi, Bung Rence datang dari Barat dan pergi ke wilayah yang tidak mengenal apa-apa. Nyak Ina Raseuki Ya, sebetulnya seperti yang sudah kita diskusikan kemarin, ini soal bagaimana kita datang dari sebuah masyarakat. Misalnya, saya orang desa dari ujung Sumatra tiba-tiba belajar musik Barat. Saya tidak sama sekali menolak musik Barat, ini bagian dari kehidupan kita. Kita orang kontemporer, kita orang Indonesia. Tapi bagaimana jika saya ada di dalam satu masyarakat, ada dalam satu budaya, tapi saya tidak tahu budaya itu. Mungkin seperti yang dikatakan Ibu Trisutji tadi, sebenarnya mungkin bukan tidak tahu tapi ia ada di dalam memori kita, memori audio kita, dalam semua ingatan yang bisa kita keluarkan pada satu saat. Saya kira Bang Jabatin sama saja. Jabatin Bangun Saya besar di Medan. Orang gunung Sinabung. Nyak Ina Raseuki Yang satu di Gunung Seulawah yang satu di Gunung Sinabung. Saya kira hampir semua seniman yang kita temui di seluruh penjuru Indonesia, apa pun latar belakang mereka akan menemui itu: pencarian identitas. Agak klise, ya. Apa yang sudah mereka alami begitu lama itu seperti muncul kembali. Apakah yang seperti itu yang Bung Rence rasakan? Rence Alfons Ya. Memang daerah Ambon budaya intinya sudah dikibas habis. Pengaruh Islam dan Kristen sudah habis semua. Saya inilah korbannya. Saya sebenarnya iri kepada gamelan Bali dan gamelan Jawa, juga kepada gondang Batak. Mereka itu ada ciri khas. Nyak Ina Raseuki Tapi begini, Bung. Saya potong dulu. Kalau kemarin Balawan dan Mas Rahayu Supanggah mengatakan musik-musik yang mereka mainkan atau yang mereka praktikkan setiap hari itu ada konteksnya, ada konteks budayanya. Ada banyak ritual di Indonesia yang sebetulnya juga sudah tidak ada. Jadi, dengan demikian, 65 66 Meja Bundar Musik - World Music keseniannya juga bisa tidak ada. Tapi seperti yang sudah dijelaskan oleh Mas Supanggah kemarin, dia terheran-heran di Korea, di Jepang, di Cina, orang malah beramai-ramai memeliharanya karena mereka ingin memelihara, menghidupkannya kembali, meskipun konteksnya sudah hilang. Mungkin yang terjadi di Maluku begitu. Rence Alfons Jika kita melihat musik tradisional atau musik etnik di daerah lain, masih adalah. Misalnya, musik Inafuka dari Buru itu. Tapi kalau bicara konteks Ambon, sama sekali sudah tidak ada. Entah itu di daerah pegunungan atau daerah pantai itu sudah habis. Saya akhirnya berpikir, ya sudahlah. Saya berusaha untuk bangga dengan suling bambu ini. Saya berusaha walaupun memang dari sisi tangga nadanya tidak asli lagi. Saya pernah datang di Seram lalu saya melihat lagulagu yang sangat tradisonal. Mereka selalu mendendangkan (bersenandung lala lalalala. . . ). Cuma tiga-empat nada saja, tapi itu masih ada. Balik ke suling bambu tadi. Akhirnya saya harus mengambil pilihan. Karena musik Maluku Tenggara saya juga tidak tahu, kemudian Maluku Utara atau di Pulau Seram saya juga tidak tahu, akhirnya saya memosisikan diri untuk menggarap yang ini sajalah. Nanti mau jadi apa, yang penting saya garap dulu. Karena saya punya pengalaman waktu di gereja. Sejak SD saya sudah ikut-ikut bapak saya memainkan suling bambu. Tapi saya sangat berbangga karena sebagian musisi saya itu pelajar dan mahasiswa. Setiap tahun biasanya kami mengambil pemain baru karena biasanya ada yang keluar. Entah dia sudah selesai studi mahasiswa, kerja di luar daerah, sudah tua. Jika mereka mengundurkan diri, kami merekrut lagi yang baru. Biasanya, untuk yang baru saya bikin kelas khusus. Saya mengajar mereka bagaimana meletakkan bibir di suling, posisinya harus benar. Bagaimana bernapas dengan baik sehingga menghasilkan tiupan yang baik. Setelah itu baru saya ajarkan bagaimana cara membaca notasi sampai mereka bisa tampil. Nyak Ina Raseuki Kelihatannya, seperti yang kemarin, Bung Rence ini mengambil jalan tengah. Dia merekonstruksi sesuatu yang hampir hilang, masih ada, generasi terakhir. Tetapi Bung Rence berusaha membuat rekonstruksi secara teknis. Pembuatan suling bambunya tadi kita sudah lihat, teknik bermainnya, lalu lagu-lagunya sudah dicatat juga. Lalu regenerasi, ia mengajarkannya kepada masyarakat sekitar. Itu juga kita bicarakan dengan Mas Panggah dan Bli Balawan. Tapi masalah di luar pulau Jawa sangat pelik. Kalau tidak ada orang-orang seperti Bung Rence ini, bagaimana jadinya. Meja Bundar Musik - World Music Jabatin Bangun Di Indonesia timur dia cuma sendiri. Kita cari-cari ke daerah lain, tidak ketemu. Di bawah bantal juga tidak ada. Ya, Bung Rence ini kan bekerja di Taman Budaya sebagai PNS, tapi sedikit sekali yang paham kesenian di situ. Nah, sekarang kita ke Ibu Trisutji Kamal. Apa yang terjadi selama berada di Eropa? Apa yang dilakukan? Lalu bagaimana dengan kehidupan musikal di sana? Trisutji Kamal Saya sulit memainkan alat musik sendiri. Dan tadi saya bilang bahwa semenjak guru saya berlaku seperti itu, saya takut. Saya jadi berpikir, saya sebenarnya punya bakat atau tidak. Sampai saya dua tahun tidak bisa nulis. Di Italia saya belajar bermain piano dan membuat komposisi. Belajar piano itu 10 tahun, belajar komposisi juga 10 tahun. Untuk komposisi ada tiga ujian, di tingkat 4 tingkat, tingkat 8, tingkat 10. Ujiannya sangat ketat. Tingkat 4 ujiannya itu soal Harmoni dan Kontrapung. Hari keempat tanya jawab. Waktu ujiannya 10 jam. Yang terakhir, ujiannya dua hari dan kami harus menginap di Konservatori. Saya harus menghasilkan karya orkes yang sudah siap dan bagus. Jadi, memang berat. Jabatin Bangun Selama di konservatori sudah adakah karya-karya yang berdasar kepada musik-musik di Nusantara, atau dari Timur Tengah, atau dari mana? Bagaimana Ibu membuat karya di zaman itu? Trisutji Kamal Di Kelas Komposisi kami dididik harus bisa menciptakan karya seperti Mozart atau Beethoven. Kami harus bisa sebelum mengembangkan diri sendiri. Saya menemui kesulitan untuk itu sebab saya tidak hidup di zaman Mozart. Saya pilih yang paling dekat dengan saya, Debussy. Masih bisa. Nyak Ina Raseuki Itu sangat dekat apa yang sudah Ibu dengar dari kecil karena kita sudah tahu Debussy sangat terpengaruh gamelan Jawa. Meski tidak secara harfiah, dia menemukan tone atau timbre gamelan Jawa dan sesuatu yang dia gambarkan itu warna bunyi. Saya kira itu yang bisa kita temukan di musik-musik Ibu Trisutji. Terutama karena kita paham musiknya Ibu Trisutji berlatar belakang musik klasik. Saya ingat ketika Ibu bertemu dengan Pak Kompyang Raka, misalnya. Itu sudah tahun 80-an, jadi kita agak lompat. Menurut Ibu, apa perbedaan yang sangat mendasar di komposisi Ibu? 67 68 Meja Bundar Musik - World Music Jabatin Bangun Sebelum Ibu cerita barangkali perlu kita sampaikan, mungkin Bung Rence juga belum tahu. I Gusti Kompyang Raka ini seorang musisi tradisional Bali yang pindah ke Jakarta lalu membuat sekolah musik tradisioal di Jakarta. Nah itulah yang akhirnya Ibu Trisutji membuat karya bersama dia. Trisutji Kamal Sebenarnya saya tertarik dari dulu pada musik Bali. Dan waktu saya pertama kali ke Bali pada tahun 1953-1954, saya sudah jatuh cinta pada Bali. Saya senang musiknya yang dinamis, saya senang orangnya. Sampai sekarang. (Tertawa bersama). Itulah yang terjadi antara Pak Kompyang dengan saya. Dan saya lihat Pak Kompyang orangnya sangat mudah menerima masukan dari saya dalam bekerja sama. Juga waktu itu beliau mengajak musisi lain yang main perkusi, namanya Ketut Budiasa. Dia hebat sekali. Dia main gendang dan segala macam. Proses kerja sama saya dengan Pak Kompyang ya dia mendengarkan musik saya, saya kasih pengarahan, saya akan memasukkan ini dan itu. Tidak ada tulisan. Saya hanya tahu istilah pendetan. Itu bisa dimasukkan di mana saja. Kalau cengceng, vokal, aksentuasi, semuanya dicoba. Secara teknis, di skor saya beri tanda silang untuk gendang Bali. Mereka punya catatan sendiri. Ya, musik Bali itu dinamis sekali. Saya sudah ada konsepnya kapan mesti menggunakan yang keras. Salah satu karya saya yang pertama kali menggunakan perkusi Bali adalah Dialogue for Two Pianos and Balinesse Percussion. Itu karya dalam tiga bagian dan dasarnya adalah surat Al-Fatihah. Yang kedua tasbih, yang ketiga salawat Nabi. Nyak Ina Raseuki Ini menarik, Bung Jabatin. Bagaimana Ibu Trisutji mencampurkan yang Bali, yang Jawa, yang Melayu, kemudian disatukan dengan elemen-elemen Quran atau dari ritual-ritual yang ada di dalam Islam. Saya ingat ada satu karya Ibu yang inspirasinya adalah tawaf di Kakbah. Bagaimana Ibu mendapat inspirasi itu dan bagaimana Ibu menuangkan teksturnya. Trisutji Kamal Tawaf itu untuk piano solo. Yang Dialogue ini pertama kali dasarnya adalah AlFatihah sebab ini saya temukan setelah belajar Quran. Saya ini orang Islam tetapi tidak pernah belajar Quran. Satu tahun saya tidak pegang musik sama sekali. Itu sekitar 1992. Saya katakan pada diri saya sendiri waktu itu bahwa saya harus bisa baca Quran. Terus apa yang terjadi? Saya pikir saya belajar Quran seperti bermain piano, berjam-jam. Itu saya lakukan dari subuh sampai maghrib, tidak Meja Bundar Musik - World Music berhenti baca Quran, sampai saya bisa baca. Saya baca satu halaman dengan stopwatch, kira-kira berapa menit saya bisa baca satu halaman. Lama-lama bisa lebih cepat, lebih cepat. Setelah saya bisa baca Quran dengan menggunakan tajwid. Nyak Ina Raseuki Jadi Ibu menemukan dalam dua tanda kutip, unsur musikal di dalam qira’ah Quran yang Ibu terjemahkan kembali ke musik piano atau ke musik Ibu yang lain? Trisutji Kamal Di dalam Quran tidak ada habis-habisnya inspirasi membikin musik. Nyak Ina Raseuki Saat itu Ibu membaca Quran dengan lagu seperti Bayati atau apa? Trisutji Kamal Ya, Bayati itu tujuh macam. Sangat menarik, ya. Setiap yang membaca, pasti beda. Jadinya style. Saya pikir dari kata-kata bismillah saja kita bisa bikin tema. Nyak Ina Raseuki Jadi Ibu mengambil selain tekstur juga ritme yang ada. Bagaimana Ibu mendapatkan inspirasi tajwid yang kalau kita terjemahkan ke musik Barat atau musik klasik Ibu menggunakannya sebagai tekstur, ritme? Trisutji Kamal Lebih ke tema. Jabatin Bangun Yang menarik dari Ibu Trisutji adalah sesuatu yang menggugah. Sebagai anak muda sering kita belajar musik itu serasa belajar enak-enak, gampangan. Padahal Ibu Trisutji bilang cara belajar musik itu penuh kedisiplinan, penuh aturan, intensitas yang panjang. Saya kira yang penting itu bisa diterapkan dalam kehidupan. Bisa juga belajar baca Quran. Kalau kita melihat orang belajar musik sekarang ini kan seolah-olah hanya ingin output-nya saja, bunyinya saja, tapi proses bagaimana menjadi seorang komposer atau musisi itu yang sering mungkin dilupakan orang. Itu adalah sebuah latihan kedispilinan yang menuntut sepanjang hidup. Nyak Ina Raseuki Mereka berdua melakukan riset yang panjang, yang di dunia sebelah sana disebut aspek ilmiah di dalam berkesenian. Tidak ada sesuatu yang tiba-tiba 69 70 Meja Bundar Musik - World Music terjadi. Ada proses yang sangat panjang sebelum mereka menuangkannya ke dalam komposisi. Sebagaimana dalam ilmu-ilmu yang lain, di dalam kesenian mereka membuat riset agar setiap nada, setiap bunyi, setiap tekstur itu mesti diperhitungkan. Jabatin Bangun Kak Ubiet, Ibu Trisutji dan Bung Rence, kita istirahat 15 menit ya. Setelah itu kita lanjut ke tema-tema berikutnya. SESI II Jabatin Bangun Pada sesi kedua kita ingin mendengarkan musik bambu yang sudah digarap di Ambon oleh Bung Rence supaya kita tidak melayang-layang apa maksudnya bunyi musik itu sendiri. Silakan diputar. (Pemutaran video.) Rence Alfons Oke. Suatu ketika saya didatangi Vidy Bapidaya. Kebetulan dia pernah belajar di IKJ. Dia bilang kepada saya, Bung saya boleh improvisasi gak? Improvisasi gimana? Mbok jangan improvisasi saja. Saya bikin aransemennya tapi pakai sequencer.Ya, bikin saja. Ya jadilah seperti itu salah satunya. Sebelumnya saya tidak menggunakan squencer, akhirnya menggunakan squencer. Jadi, saya memilih repertoar yang sekiranya menantang diri saya untuk belajar secara serius. Kemudian juga tidak asing, artinya lagu itu tidak terlalu asing lagi terutama bagi mereka. Pak, coba yang keduanya. (Pemutaran video. Tepuk tangan.) Jabatin Bangun Di sini kita lihat bersama bahwa kreativitas itu tidak membatasi anasir Barat, Timur, instrumen keras, bambu. Bahkan, di sini ada instrumen yang belum pernah saya lihat, totobuang, yang merupakan ciri khas musik di Ambon. Apakah dalam prosesnya Bung Rence mengalami kendala? Rence Alfons Ya. Pertama, sebelum bermusik saya berdialog dengan mereka dulu bahwa musik ini penting. Pendekatan saya sambil minum tuak, Bang. Minum sopi. Terus saking bersemangatnya, saya menggunakan bahasa agak tinggi menurut mereka. “Kalian tahu tidak, kita akan membuat suatu paradigma baru dalam musik di Maluku,” kata saya. “Ngomong apa kau, heh?” (Tertawa bersama.) Maksud saya, “Kalian mau tidak main suling bambu?” Ada yang mau ada yang bilang, “Ahh, musik itu. Ada tidak musik lain yang modern,” kata mereka. Saya Meja Bundar Musik - World Music berkata dalam hati, biola itu bukan modern lagi, sudah kuno banget. Okelah kita coba. Nah, pada tahun 2005 itu kebetulan Pak Walikota Ambon minta saya untuk bikin acara yang ada nuansa musik Ambonnya. Untuk itu, saya mengumpulkan beberapa puluh teman. Ini memang kendala pemahaman. Latar belakang mereka adalah musik Barat. Mereka sudah sangat Barat. Masalah berikutnya, mereka datang dari berbagai strata sosial. Mengumpulkan mereka itu susah. Kami baru bisa berkumpul setelah jam 07:00 malam. Bayangkan, ada yang jalan kali tanpa alas kaki sepanjang 5 km untuk latihan. Terkadang saya tanya kenapa tidak datang latihan? Mereka jawab, “Saya pulang sudah capek, ya saya langsung tidur.” Bagaimanapun latihan kami perlu kedisiplinan. Dulu kami latihan satu hari enam jam. Mereka harus disiplin seperti saya. Tapi akhirnya saya sadar, mereka punya latar belakang sosial yang sangat berbeda. Setelah itu, jika ada yang baru bergabung, saya langsung latih mereka. Kebetulan saya punya asisten pelatih khusus suara satu, dua, tiga, empat dan lima. Yang berikutnya, mereka tidak bisa membaca sama sekali. Saya mulai dari huruf-angka. Saya bikin notasi balok dan di bawahnya saya tuliskan notasi angkanya. Saya berharap suatu ketika ada yang bisa langsung membaca notasi balok karena saya tidak punya waktu untuk kasih belajar khusus untuk itu. Tapi ada beberapa orang yang karena keseriusan mereka akhirnya bisa membaca not balok. Yang berikutnya, memang manusiawi ya, mereka terkadang merasa jenuh untuk apa latihan. Tantangan saya yang berikut adalah saya bilang kepada temanteman bahwa sudah sejak 2007 pemerintah daerah kasih dana untuk MBO agar bisa konser satu tahun satu kali, tapi sampai kapan. Lantas saya pikir ayo kita bikin panggung. Jika kita punya panggung, kita pentas bukan satu tahun satu kali kami bisa konser kapan saja. Nyak Ina Raseuki Jika kita mendengarkan rekaman yang sebelumnya mungkin karena masalah teksnis kita tidak bisa mendengar semua suara-suara bambu tadi. Tapi yang kedua, lumayan. Memang salah satu masalah kita adalah bagaimana masalah teknis sound-nya. Bagaimana sound engineer atau sound designer memahami alat-alat musik yang ada di Nusantara ini. Bagaimana mereka bisa masuk ke dalam bunyi-bunyian atau timbre-timbre yang ada di Nusantara. Itu sebenarnya masalah yang agak klise, tapi selalu kita bicarakan dan kita tidak pernah menemukan solusinya. 71 72 Meja Bundar Musik - World Music Di sini ada beberapa ahli akustik, kita nanti bisa bicarakan itu. Kita sebenarnya bisa mengubah cara pandang kita terhadap pementasan musik. Kita selalu mau melihat pertunjukan itu di panggung prosenium. Padahal kalau di Nusantara itu pertunjukan musik itu di arena, amfiteater. Kita bisa memainkan musik di museum-museum yang ada di kota, misalnya. Saya tidak tahu di Ambon, apakah ada gedung-gedung seperti itu. Bukan gedung pertunjukan, tapi gedung-gedung yang bisa kita manfaatkan untuk bunyi-bunyi akustik seperti bambu. Rence Alfons Bambu itu, seperti yang saya bilang, dimainkan oleh sedikit orang. Jika dimainkan di amfiteater tidak kedengaran. Nyak Ina Raseuki Rasanya Ibu Trisutji juga pernah melakukan itu ya, bagaimana tata panggungnya diubah. Pak Kompyang atau gamelan Bali ada di satu sudut, piano di sudut yang lain, penonton boleh ada di mana-mana. Trisutji Kamal Ya, saya pernah lakukan itu di JakArt. Itu terjadi juga saat saya pentas di Cirebon, Semarang, Solo, Bali, di dalam stagebus. Itu bus biasa yang dijadikan panggung. Ada teaternya, ada sound system-nya, sehingga saya bisa main piano di situ. Pernah juga saya main di pasar dan tempat parkir. Nyak Ina Raseuki Saya kira ada banyak hal yang bisa kita ambil dari penampilan musik Nusantara. Apa yang Bung Rence sudah lakukan ada di antara itu. Jasa anda besar sekali dalam menemukan jalan tengah di antara yang klise, Timur dan Barat atau modern. Seperti Mas Panggah kemarin menolak istilah-istilah “tradisi” dan lainlain itu. Tapi bagaimana kita menemukan jalan tengah itu? Jabatin Bangun Sama seperti suling bambu, kan. Karena secara tradisional suaranya lain dan tidak mencapai estetika bunyi yang anda perlukan, lalu Bung melakukan eksperimen dan lain-lain akhirnya sampai. Saya kira semua pertunjukan itu selalu juga kita harus mengikuti pola eksperimen ini. Karena dalam beberapa repertoar sebelumnya saya pernah dengar metode ruang. Dalam kehidupan belakangan tadi Ibu cerita bagaimana pengalaman Ibu menemukan kembali jalan agama dalam kehidupan. Bagaimana Ibu bisa sampai pada ide itu? Meja Bundar Musik - World Music Trisutji Kamal Ya, setelah saya naik haji. Mulanya saya kira haji itu seperti turis. Tapi ternyata bukan. Saat bulan haji tiba-tiba kok saya kepingin menangis. Kenapa ya? Ternyata pada saat itu saya jadi peka sekali. Tiap kali mendengar azan saya menangis. Saya terharu. Setiap kali saya mengaji Quran, ayat-ayat tertentu yang dibacakan, saya terharu. Saya pikir saya mau kembali ke rumah Allah. Kami berempat waktu itu dan sempat bertemu dengan rombongan Pak Harto. Di tahun berikutnya saya pergi lagi. Itu suatu mukjizat benar-benar. Habis itu saya pulang, terus saya terharu. Setelah saya alami ternyata banyak sekali masukan. Pada 2003 saya diundang oleh sebuah asosiasi di Italia. Mereka meminta saya membikin karya setelah akhirnya saya bisa membaca dan menulis Quran. Aneh, kan. Saya ciptakan itu terus dipentaskan di gereja. Waktu itu ada aktor Italia yang terlibat di dalam pementasan itu akhirnya ikut baca syahadat, tapi dia kan tidak tahu artinya. Nyak Ina Raseuki Tadi ketika istirahat kami juga ngobrol-ngobrol, ternyata Ibu Trisutji juga pernah membuat komposisi yang terinspirasi oleh chanting-chanting Hindu. Bisa cerita itu, Bu. Trisutji Kamal Saya mempelajari musik Hindu, Buddha, segala macam. Kebetulan di Roma saya suka belajar budaya. Jadi saya bikin karya. Saya juga bermusik di gereja dan musiknya itu berat-berat. Untuk itu saya mempelajari gereja, saya jalani semua. Akhirnya saya membuat lagu judulnya SKPB. Setiap minggu dinyanyikan di gereja. (Tepuk tangan.) Nyak Ina Raseuki Saya juga tadi sempat ngobrol dengan Ibu Trisutji, ternyata guru mengaji Ibu orang Bali. Luar biasa kehidupan Ibu ini. Inspirasi yang tertuang di dalam musiknya itu berkelindan, bersaing, berputar, berbaur, interlocking, kait-mengait. Ada kotekan yang interlocking, kait-mengait. Sangat khas dindonesia. Saya tidak bisa membayangkan lagi bagaimana Ibu mengalami itu dan menuangkannya ke dalam musik. Mungkin Bung Jabatin mau menyambung. Jabatin Bangun Ya, kisah ini bisa menjadi inspirasi. Mas Supanggah kemarin lupa menceritakan dia terlibat dalam sebuah program musik selama dua tahun Sulawesi Selatan dan di Flores. Sementara Ibu Trisutji mengambil inspirasi dari naik haji dan pergi ke gereja. Ini membuktikan bahwa inspirasi karya bisa datang dari mana saja. 73 74 Meja Bundar Musik - World Music Dan pengalaman hidup yang miskin, saya kira, sulit untuk menghasilkan sebuah karya yang luar biasa. Nyak Ina Raseuki Intinya, bagaimana kita dengan cara-cara masing-masing melakukan penelitian. Penelitian dengan tanda kutip, tidak harus secara ilmiah seperti yang dilakukan orang-orang akademik. Tapi bagaimana setiap seniman itu melakukannya dengan caranya sendiri. Bung Rence dengan caranya sendiri, Bu Trisutji, Mas Supanggah, Wayan Balawan juga sangat unik. Dia hidup di antara banjar dan musik populer dan dia mencari solusi di dalam tubuhnya. Seperti Ibu yang poliglot, Balawan juga seorang yang dwimusikal. Dia bisa berpindah-pindah dari slendro-pelog ke diatonis dengan mudah. Saling silang. Jabatin Bangun Bagi kaum akademisi itu masalah. Tapi bagi dia yang praktik itu biasa saja. Tidak ada bedanya. Nyak Ina Raseuki Bagi saya itu masalah. Dari slendro-pelog saya harus balik lagi. Saya ngobrol dengan Budi Utomo Prabowo kemarin, saya ini apa. Diatonisnya sudah kalau ukuran mereka intonasinya sudah fals. Jabatin Bangun Ketika Ibu Trisutji dihadapkan kepada pengalaman yang banyak, dengan musik Melayu dan lain-lainnya, bagaimana Ibu menggarap komposisi-komposisi itu? Trisutji Kamal Saya rasa itu bergantung kepada siapa yang membawakan musik itu. Kita bisa bikin musik apa saja, tetapi yang paling penting kita bisa menginterpretasikannya. Apakah orang itu terbiasa mendengarkan musik itu atau tidak. Saya pernah punya pengalaman, kalau tidak salah pada 1994. Kami latihan di sini TIM, ada penyanyi dari Aceh, ada dari Jawa. Saya waktu itu punya konsep menyatukan Nusantara lewat musik. Tidak harus orang dari daerah itu yang menyanyikan. Yang penting, dia bisa menyanyikan atau memainkan musik daerah tersebut. Ternyata tidak bisa. Ia ingin menyanyi berdasarkan apa yang ditafsirkannya. Ya, penyanyi artis itu tidak dapat soul-nya. Akhirnya saya minta orang lain. Nyak Ina Raseuki Ya, saya sempat beberapa kali bekerja sama dengan Ibu Trisutji. Saya alami bagaimana prosesnya betul-betul tidak hanya Ibu dengan tradisi klasiknya yang kuat, tetapi ada gendang, turis. Tapi Ibu punya kemampuan untuk melihat Meja Bundar Musik - World Music itu secara rileks. Sesuatu itu dicoba. Jadi, ada trial. Jika tidak cocok, Ibu menyesuaikan dengan musik lain, misalnya musik Bali atau musik Aceh. Trisutji Kamal Saya mengenal jazz ini sangat sulit. Saya juga belajar, tapi saya tidak terlalu dan tidak selalu mengenal jazz. Setelah mengenal, jazz itu membutuhkan improvisasi dan saya mendapat banyak masukan. Tapi itu masalahnya, saya dari musik klasik dan harus memberikan kebebasan kepada penyanyi untuk berekspresi demikian, walaupun itu bukan karya dia. Nyak Ina Raseuki Seperti yang saya lakukan terhadap karyanya Ibu, ya. Saya obrak-abrik. (Tertawa bersama.) Jabatin Bangun Kita akan melihat pertanyaan-pertanyaan yang datang dari akun Twitter DKJ sehingga kita bisa mendiskusikan dan diamati oleh khalayak yang lebih luas. Silakan. Ada pertanyaan? Sebelum muncul, Bung Rence saya kira juga menarik. Apakah selama ini karya-karya yang ditampilkan di dalam orkestra musik bambu itu adalah karya Bung Rence sendiri atau sudah ada dari karya orang lain? Mana tahu nanti Bu Trisutji mau menawarkan satu bentuk komposisi untuk ditampilkan oleh kelompok Bung Rence. Rence Alfons Saya pernah juga membuat komposisi untuk piano, totobuang, suling. Tapi karena konsentrasi saya sekarang ini adalah untuk instrumen saya. Saya harus perjuangkan suling saya itu bisa bertahan lebih satu tahun. Setelah satu tahun, karena cuaca, kualitas suling itu menurun. Namun, saya kira kenapa tidak jika ada yang membikin komposisi atau memainkan komposisi saya. Sekarang ini saya jika kami konser kami tidak sendirian membuat aransemen. Ada komposer dari UKSW Salatiga, ada dari Jakarta, ada dari ISI Yogyakarta. Kami berenam. Dalam sekali pentas masing-masing bikin dua komposisi. Nyak Ina Raseuki Ini ada pertanyaan: Apakah perlu bagi musisi tradisi untuk juga belajar secara Barat? Kenapa musik tradisi harus beradaptasi? Tradisi jadi seperti outsider yang mesti beradaptasi di ruangnya sendiri. Rence Alfons Musik itu berkembang dari manusianya. Jadi kalau bicara etnik atau tradisi mungkin kita bisa bilang tidak. Sejak dalam kandungan saya sudah dikasih 75 76 Meja Bundar Musik - World Music musik Barat di gereja. Unsur tradisi tidak bisa menutup diri terhadap dunia luar. Kecuali itu etnik, ya. Etnik itu sangat spesifik. Misalnya, gamelan. Kalau kita lihat campur sari itu sudah sangat pop. Kalau saya mendengarkan campur sari saya membayangkan oh, ini menggunakan slendro atau slendro ala Barat. Jika digabung dengan keyboard, kord progresifnya itu sudah jelas. Jabatin bangun Sebenarnya, Bung Rence datang dari wilayah budaya tempat tradisi dan etnik dibedakan. Di Jawa kan tidak terlalu dibedakan. Karena etnik sebagai budaya Ambon itu sudah habis dikikis oleh agama sehingga semua yang terjadi dalam musik itu adalah Barat. Nyanyian gereja yang berasal dari Barat dianggap sebagai tradisi. Sedangkan etnik itu adalah sesuatu yang belum mendapat pengaruh dari Barat. Nyak Ina Raseuki Tapi saya juga sepakat dengan Bung Rence bahwa sebenarnya tergantung konteksnya. Musik Inafuka tadi sudah begitu, berarti sudah tidak bisa diubah, mau kita apakan lagi. Dia akan hidup di masyarakatnya dengan konteksnya. Tapi yang dilakukan oleh Bung Rence berada di antara diatonis dan bukan-diatonis, kita bisa namakan apa pun itu. Ya, saya kira, itu tergantung konteksnya. Trisutji Kamal Saya punya pengalaman diundang ke sebuah festival musik. Saya tidak menyajikan musik tapi saya tampilkan di panggung basically slendro. Hindu. Perasaannya tidak masuk karena suasana festival. Justru karya saya yang bukan sacred, tapi saya bikin berdasarkan soul, malah mendapat penghargaan. Aneh, kan? Padahal itu bukan karya saya, itu ada nuansa agama Hindu. Tapi yang lain-lain, seperti yang ada di gereja, ya itu udah biasa. Tapi itu ada yang tidak biasa, itu langsung masuk. Nyak Ina Raseuki Maksud Ibu, musik itu bisa kehilangan konteksnya? Memang musik dimainkan karena konteks tertentu, kalau musik itu dibuat untuk sebuah pemanggungan, dia akan menjadi sebuah panggung. Ketika chanting-chanting Hindu dimainkan di sebuah panggung mungkin bisa kehilangan suasana. Rence Alfons Saya pernah membuat aransemen yang melodinya dari grup Masada, mereka adalah keturunan Ambon yang tinggal di Belanda. Melodinya seperti ini (tari nanana. . .menyenandungkan), seperti itu kira-kira. Terus saya bikin melodi itu untuk biolin dan vokal. Nah, sulingnya saya bikin pelog ala saya. Karena kebetulan saya pernah belajar dua semester dan saya bikin karya itu untuk diri sendiri. Meja Bundar Musik - World Music Kemudian suara (menyenandungkan), ya seperti itulah artinya. Bang Jabatin, kemarin waktu kita bicara soal bahasa, mari kita hubungkan itu dengan bahasa melodi-melodi itu. Jangan menutup diri kita dengan melodi lain. Jabatin Bangun Bagaimana upaya pemerintah untuk mengomunikasikan antar-kesenian secara seimbang agar bukan satu atau dua kesenian saja yang menonjol, terawat, berkembang dan menjadi ilham? Rence Alfons Jadi malu saya. Memang saya kira sistem kita ini sudah agak runyam. (Tertawa). Bayangkan saja seorang kepala dinas pariwisata itu dijabat oleh orang yang latar belakangnya kelautan. Dari mana ini hubungannya. Saya sendiri tidak suka dengan sistem pemerintahan ini. Karena mereka berbuat setahu mereka. Mereka berpikir mereka itu tahu padahal sebenarnya tidak tahu. (Tertawa bersama.) Sebenarnya saya seperti orang kesepian di kantor itu. Mau ngajak ngomong, ngomong sama siapa, mereka tidak ngerti. Ya, ngomonglah saya dengan diri sendiri. (Tertawa bersama.) Jabatin Bangun Untungnya sekarang, dia superstar di sana. Orang sudah lihat konsernya, orang yakin. Jika tidak, dia sendiri saja di puncak gunung itu. Untuk Ibu Trisutji, mengapa kok hanya satu-dua kesenian saja yang menonjol. Kita sebagai seniman tentu tidak dibatasi oleh satu-dua kesenian yang diperkenalkan oleh pemerintah. Ibu sendiri pernah mengalami? Trisutji Kamal Kalau menurut saya sih semua bisa diapresiasi. Musik yang sederhana sekalipun. Jabatin Bangun Seperti Sungai tadi. Sebagai sebuah inspirasi itu tidak ada hubungannya dengan pemerintah. (Tertawa.) Tapi pengalaman saya bekerja dengan pemerintah itu terbatas sekali. Kemarin Balawan menyentil dalam dan menarik sekali. Katanya, jika di Eropa banyak sekali kegiatan-kegiatan kesenian itu diputuskan oleh kepala daerah yang sejak kecil sudah dididik untuk apresiatif terhadap kesenian. Coba bayangkan di sini orang kelautan jadi gubernur kok mau mengatur kesenian. Mengatur musik. Ini sangat memprihatinkan. Lebih sulit lagi saya ketemu seorang bupati yang bilang kita bikin program kesenian begini-begini. Bapak tidak usah datang uangnya saja ke sini. Kesenian itu tidak ada masa depannya. Jadi, itu persoalan yang sangat serius. Jika kita bersama-sama dari setiap sisi 77 78 Meja Bundar Musik - World Music memberikan ide, gagasan, dorongan kepada pemerintah, mungkin lama-lama timbul kesadaran. Tapi sampai sekarang itu memang masih kecil. Nyak Ina Raseuki Atau begini Bang Jabatin, seperti yang kemarin kita diskusikan dengan Mas Supanggah. Mengapa kita harus menuntut, selalu menuntut pemerintah, mereka kerjanya sudah banyak. Kenapa tidak kita saja yang berbuat. Seperti cerita Mas Panggah kemarin, dia menemukan begitu banyak festival kecil yang dilakukan oleh komunitas-komunitas kecil yang ada di Paris, di Lyon, di mana-mana. Dia cerita, ada festival yang tumbuh karena masyarakat, dari kecil tanpa dana, nol dana. Kita punya begitu banyak festival, menurut Mas Panggah, tapi sama semua. Satu pemusik akan main dari festival ini ke festival lain, lama festivalnya sama. Jabatin Bangun Ya, kebetulan saya sudah, menyombongkan diri, menjelajahi Indonesia ini untuk membuat film, merekam, bermacam-macam. Jadi, secara pribadi saya mengalami sendiri, bertemu dengan tokoh-tokoh, hidup berhari-hari dengan mereka, hidup berhari-hari di Flores. Saya kira sedikit sekali kesempatan diberikan kepada orang Indonesia. Misalnya, apakah orang-orang yang ingin terlibat dengan musik Bung Rence punya kesempatan? Belum tentu. Yang paling berat lagi sebenarnya sekarang tidak ada usaha yang mencukupi. Jadi orangorang lokal itu tidak punya kapabilitas, tidak punya uang, untuk memperkenalkan musik mereka. Misalnya, bagaimana orang Mentawai bisa membawa musiknya ke Jakarta. Tidak mungkin. Nyak Ina Raseuki Atau dibalik. Kita yang bisa. Jabatin Bangun Ya itulah maksud saya. Jadi harus ada usaha juga dilakukan bagaimana kita bisa mencari inspirasi, mencari jalan. Saya dan Nyak Ina Raseuki baru menyelesaikan satu seri film. Kami pergi ke suatu daerah, dari Medan itu 16 jam perjalanan jika naik mobil, dan masyarakatnya mandi di sungai, tapi musiknya, tempatnya, indah sekali. Kita perlu melakukan ini walaupun memerlukan dana dan usaha yang besar, dan saya kira inilah tanggung jawab kita. Kita harus memberikan apresiasi, harus mencari jalan bagaimana mengangkat musik-musik ada yang itu supaya bisa diakses oleh orang banyak. Rence Alfons Kalau saya begini, Bang. Kalau kamu tidak bisa, kamu kasih ke orang lain yang bisa mengerti tentang musik. Kasihlah. Masalah yang sok tahu inilah yang bikin bahaya. Meja Bundar Musik - World Music Nyak Ina Raseuki Ya, para pembuat keputusan, mungkin mereka punya wawasan, mungkin mereka punya prioritas yang berbeda dari orang-orang seperti Bung Rence yang punya kepedulian akan kesenian yang ada di Ambon. Mungkin kita harus ke pertanyaan berikutnya: Para pemain dalam Molucca Bamboowind Orchestra bisa terdiri dari berbagai profesi, bagaimana cara Bung Rence mengajari mereka? Rence Alfons Ya, seperti saya sudah katakan tadi, kalau ada yang baru, langsung saya latih. Kebetulah saya punya beberapa asisten pelatih. Contohnya, ada seorang anak berumur 10 tahun datang ke rumah saya sore-sore. “Om, saya mau belajar suling,” katanya. “Mau belajar suling.” Saya berpikir kalau dia datang ke rumah saya itu niatnya sudah luar biasa. “Disuruh sama siapa?” “Ndak ada, saya sendiri saja, saya ingin belajar flute.” Saya kasih suling, dia megangnya salah. Megang suling aja salah. Tak apa-apalah. “Nanti hari sekian, jam sekian, kamu datang.” Kebetulan saya punya asisten pelatih instrumen flute lulusan ISI Yogyakarta, jadi saya sharing sama dia. “Kau kasihlah sedikit ilmu kau itu kepada temanteman itu. Bagaimana cara memegang, cara duduk, kemudian bagaimana cara memegang suling itu, kemudian bibir ini basic-nya itu macam mana diletakan di suling itu.” Dia mau. Dan memang kami mengajarkan mereka itu satu per satu dari nol. One by one, kami dengan kesabaran yang ekstralah, tenaga ekstra, semuanya ekstra. Biasanya kalau kami sudah pentas, kami kumpul dan nonton, mereka bangga setengah mampus. Saya punya pengalaman yang sangat menarik. Ada dua kampung. Kampung saya kampung Tumi dan sebelah lagi ada kampung Atalay. Kami dulunya berantem terus. Tapi semenjak ada Molucca Bamboowind Orchestra tidak ada lagi berantem. Karena pemainnya dari dua komunitas itu, dari anak-anak muda. Nyak Ina Raseuki Sudah banyak negara yang mengumpulkan anak-anak jalanan. Misalnya, Venezuela. Dudamel adalah salah satu orang yang penting dan pernah terlibat dalam proyek ini. Bagaimana anak-anak itu diajak tanpa harus dipaksa, sebetulnya seperti yang dilakukan oleh Bung Rence. Jadi, ketika ada kegiatan musik itu dengan sendirinya orang akan datang. Tapi kalau kita tidak memulai, ya tidak akan ada yang mereka datangi. Apa yang dilakukan Bung Rence baru di satu daerah. Bayangkan jika Bung Rence bisa punya kaki tangan yang banyak. Mungkin tidak harus musik bambu seperti ini tapi bagaimana ide itu ditularkan ke kampung atau ke masyarakat yang lain menjadi proyek-proyek yang lain atau percobaan-percobaan yang lain. 79 80 Meja Bundar Musik - World Music Jabatin Bangun Apakah mungkin membuat peraturan yang mewajibkan setiap lembaga pendidikan musik yang ada untuk menyediakan pilihan kelas instrumen tradisional Indonesia? Ibu dengan Pak Kompyang Raka itu bagaimana kira-kira? Trisutji Kamal Beliau sudah mendirikan sekolah musik tradisi LKB Saraswati. Jabatin Bangun Tapi itu maksudnya musik Barat, Bu. Yang paling dominan sekarang kan musik Barat. Kalau musik tradisi kan terbatas sekali. Ada Sunda, ada Bali. Apakah musik seperti itu ada gagasan untuk diadopsi? Trisutji Kamal Saya rasa bisa. Jabatin Bangun Bisa ya, Bu. Kalau Bung Rence? Rence Alfons Bisa ya bisa tidak. Artinya ya memang ini kan sistem, pemerintah. Suka-suka lembaga itu saja. Tapi yang saya lakukan itu bahwa saya waktu itu kaget dengan konsepnya Bang Jabatin tentang PSM (Pendidikan Seni Musik). Dari Merauke sampai ke Sabang kita kan tidak saling memahami. Tapi kalau umpamanya kita memahami musik saja, kita bisa memahami saudara kita. Jika umpamanya pemerintah membuat itu, baik juga. Umpamanya muatan lokal itu tidak hanya soal Maluku saja atau lokal Jawa saja atau tidak lokal Sumatra saja tapi persilangannya. Misalnya, anak-anak di Sumatra Utara bisa belajar musik Bali seperti Ibu Trisutji Kamal. Nyak Ina Raseuki Prinsipnya adalah bagaimana pendidikan atau kurikulum musik itu diberikan dengan cara apresiasi, seperti yang kemarin dikatakan oleh Mas Panggah. Kami di IKJ sudah sama-sama belajar musik Barat. Dosen-dosen kami juga mewajibkan kita belajar yang lain. Silakan jalan-jalan. Ibu selalu mengatakan pergi ke sana, pergi ke sini. Apakah itu LPM, apakah itu pendidikan tinggi seni, saya kira kalau memang memungkinkan kenapa tidak. Jabatin Bangun Nah, menurut saya itu kan kalau kita lihat apresiasi yang berkembang, kasus Ambon itu selalu kita berpikir untuk melihatnya secara ekonomi dan politik. Tapi kalau secara musik, kalau orang-orang yang berbudaya dari Maluku mengajar Meja Bundar Musik - World Music masyarakat di budaya lain dalam program-program lembaga pendidikan musik, akan tumbuh apresiasinya. Nyak Ina Raseuki Jadi prinsipnya keragaman kita sebetulnya tidak pada jargon, tapi bagaimana dalam praktik musik bisa mengantarkan kita untuk saling mengenal. Baik, apakah ada pertanyaan ada yang lain? Jabatin Bangun Habis. Nyak Ina Raseuki Habis? Kalau habis, sebetulnya waktu kita memang sudah habis. Baik, kita sangat berterima kasih kepada Bung Rence Alfons, Ibu Trisutji Kamal yang sudah berbagi cerita kepada kita semua. Juga kepada dua narasumber kita yang lain. Terima kasih. Selamat sore. (Tepuk tangan meriah.) 81 82 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music SECOND DAY DISCUSSION Jabatin Bangun All right, thank you, let us begin. Good afternoon, Mrs. Trisutji Kamal and Mr. Rence Alfons. We will shortly begin our second day discussion. However, I think we should watch a short video in the first session, then a presentation and followed by discussion. Play the video, please. (Video screening of Trisutji Djuliati Kamal playing the piano). Trisutji Kamal: It is valid if we talk about art works. However, traditional artists not necessarily write his or her tradition. It is possible. Everything is possible. There is nothing new under the sun. (The sound of piano of the song Rambadia). I didn’t start right away using traditional music, but recently I am expanding my music, and I’m starting to use traditional instruments. The real function is to give an ethnic touch to my music. There will always be new creation in the development of music, a birth of a new instrument. In Romantic music, for example, there will always be a new one, etc until now. (The piano sound continues. Audience applauses). (Screening of Inafuka music video from Buru Island). Nyak Ina Raseuki After the two previous videos, let us continue our discussion. Like in yesterday’s discussion, we will examine these artists, Mrs. Trisutji Kamal and Mr. Rence Alfons. They will share their experience in music, their creative processes. First,I will give the chance to Rence for his presentation in Power Point. Rence Alfons Very well. Thank you, Ubiet, Jabatin and Mrs. Trisutji Djuliati Kamal. Ladies and gentlemen. At first, I was perplexed when 83 84 Meja Bundar Musik - World Music the Jakarta Arts Council asked me to write for this program, because frankly, it has been awhile since I last wrote a presentation. However, here it is, titled The Revitalization of Bamboo Flute in the City of Ambon. Ambonese music is an amalgamation of Christian, Islamic, and native music. The Inafuku music from Buru Island we watched earlier is very pure and original, untainted by any outside influence. Using the ferry ride, it took a whole night to reach Buru from the town of Ambon. The fourth influence is pop music; it is a powerful influence, and pop culture has now been widely appreciated by the Ambonese community. Ever since the Christianization in Maluku Islands, all the songs of religious ceremonies are the music of Western. Now we should listen to one of the examples. (Recording of a liturgy was being played). This song is a Protestant liturgy usually played at funerals. The next one is heavily influenced by Islamic music with its signature instrument, the rebana drum, while Maluku’s ethnic music, the Inafuka, is one of the native Maluku’s original music. Then we have pop music, for example, the song Sio Mama. This is a very well known song from Merauke to Sabang . 1 There are two types of bamboo flutes that we utilize in Ambon area. The vertical ones are mainly in the Muslim community and the horizontal type in the Christian community. I happen to be a Christian and I did a little study about the music of the horizontal bamboo flute. Vertical flute music is used to accompany the Sawat dance. Frankly, I haven’t done any in depth study about vertical bamboo flute. It uses the magam scale, distinctive of the Middle Eastern music and the like. I frequently talked with artists from this genre, particularly in events with VIP guests. (Video screening of Sawat dance and music). Sawat music flourishes in all Muslim communities in Maluku, North Maluku, and even in Central Maluku. So, any Muslim region in the Maluku Islands has their own Sawat tradition. Horizontal flute flourishes in Christian communities. According to my data, Joseph Kam first popularized vertical bamboo flute. The Catholics in Maluku called him “Maluku Prophet” because he was one of the prominent missionaries who converted many Moluccans into Catholicism. Kam made use of this diatonic vertical flute out of necessity, because there has to be music in most Calvinic liturgy. Moreover, he had a solid background in flute playing. At the time of his arrival, there was no flute-playing culture in Ambon. Yet as soon as he saw 1 The phrase “From Merauke to Sabang” refers to the way of describing the furthest reaches of Indonesia’s territory:Sabang is in the westernmost, of the province of Nanggroe Aceh and Merauke in Papua, the farthest eastern province. Meja Bundar Musik - World Music bamboo groves grew wild in the area, he came to think that he could fashion some flutes. Therefore, he developed a diatonic scale flute mainly for worship needs. Protestant liturgies in Maluku used the old voice system. There were first, second, third, and fourth voice. However, from my observation, the natives simply followed a tune (humming a tune); they have the natural tendency or the feel of following a tune in parallel. Their voice rose and fell according to the tune. About the making of the instrument, I saw that prior to the making of the flutes, elderly in Ambon would dry the bamboo stalks under the sunlight. In the area where I stayed, the heatcould be as high as 32˚C. They used heated iron to make the holes. They called it the toolpula-pula. This pula-pula is so hot that it could burn the stalks. They still relied on their ears for the tuning process. Such was their technology at that time. In playing the flutes, the natives were lay people in terms of the conventional harmonization. They used parallel vocalization. When the first voice ascends, so does the second, third and fourth voice, and so on. The harmony construct became indistinguishable. The strange thing is they were used to using only one chord, which is the F chord. Well, you can imagine if they sing more than one song in their ceremony. It was great if the song was a good one to perform in F chord. Nevertheless, it would be like a snoring sound when it was too high or too low to sing in F chord. This was the problem with the old system my elders used. Therefore, they didn’t use the high, middle, or low vocal register. It was very difficult for me to get a solid tune when I first made a bamboo flute using the heated iron.For instance, I needed the D chord but it was very hard to get. Why was that? Then I remembered a Physics theory I studied back in junior high, it stated that when you heat a solid matter, it would expand, and when you cool it, it would contract. Perhaps this is the reason; the heated iron would affect the texture of the whole flute. All the tunes would tend to be disharmonious. The most frightening thing is that the younger generation is now able to access all kinds of music from YouTube. They would be indifferent with the bamboo flute music. They are unenthusiastic. When I went back home to Ambon, I found that all the bamboo flutists in church were old people. There was no single youngster. The youngsters have their own appreciation of the popular music in YouTube. Not less worrying is that the role of the bamboo flutes has diminished, slowly replaced by trumpet and keyboard. A parishioner would feel embarrassed if he or she does not own a trumpet. It has become a frequent phenomenon recently and I am worried about it. 85 86 Meja Bundar Musik - World Music I made this instrument without sun dryingthem; rather I heated it in an oven. Yes, one day I was in an excursion with my wife in Yogyakarta, I went to the Progo store and found this huge oven. I thought that it looked like I could put bamboo stalks in there. So I bought it and used it in Ambon. I also used a moisture meter that I insert in the stalks. So I took some bamboo stalks from the forest and heat it in the oven. I used a temperature indicator showing the heat rose slowly up to 200° C. However, the stalks came out burnt. I tried it three or four times. I put the stalks back in the oven once they cooled off. Apparently, it is hard to reduce the moisture content of bamboo stalks. Even the burnt stalks still had 15% moisture content. I used an electric drill and chose the type of drill points using Hertz frequency scale. So I made flutes with high, middle, and low sound frequency. The first voice flute was on high, second and third voice on middle, and fourth voice on low frequency. I used a G-string I downloaded from the internet to determine every melody. Then I talked with my friends and they too indeed wanted to play songs with serious arrangement, not in the haphazard way as their parents did. So finally, I employed the conventional harmony I had learned. Selecting the repertoire also needed a particular strategy. Last year we played a medley of selected part of Beethoven’s Symphony No. 5 in our concert, followed by Eine Kleine Nachtmusilk. They all played very enthusiastically. They were willing to set aside the time to practice and played their instruments wholeheartedly. Recently I have been arranging in three chords, D, F, and G. Although it is true that not all music repertoire can be played with bamboo flutes. I founded The Moluccas Bamboowind Orchestra in 2005, and our first performance was at Ambon’s 430th Anniversary celebration. I assembled a big group with a hundred flutists. There are each twenty flutists for the first, second, third, fourth, and fifth voice. The musicians are from a variety of background. We have college students, students, active civil servants and police officers, teachers, retired civil servants and police officers, motor cab drivers, palm wine makers, and recently we have a mechanic. Their age is also diverse, the youngest is 11- and the oldest is 73 years old. In writing a music arrangement, I also use a small band: ten strings players, and we have tifa drum, rebana, flute, saxophone, totobuang drums, Hawaiian, vocalists, choir; it depends on the arranger which instrument he wanted to use. I am grateful because the local government has been giving us a tremendous support since 2007; they fund us to perform a concert once a year. On December 2011, I collaborated with Ony and Friends at the JCC, Jakarta, for the national Christmas celebration, and in 2012, the Ministry of Tourism and Creative Economy gave us the opportunity to perform in the event Sounds from the East at Ritz Carlton Hotel Meja Bundar Musik - World Music in Kuningan, Jakarta. I concluded that for me, bamboo flute music is flexible and can adapt with the demands of the current music. If we are talking about revitalization, we have to know the instruments and the music, its composition and arrangement. Equally important is that traditional music artists in this age should not be ‘allergic’ to art performance management. If they objected, traditional music would be a problem in this age. Sometimes our local governments do not have the perception that if seriously formatted, traditional music could become a great tourist attraction. Each of our traditional music has its own unique points. If managed properly, it could become a tourist destination. We wish that every time one wants to see abamboo flute concert, they would go to Ambon. We are now designing a permanent stage, a sort of an amphitheatre. We already secured the land. Now we are working on the budgeting. My final aim is to make this bamboo flute music a tourist attraction in Ambon, Maluku. Miss, could you please play the song Rame-rame. Unfortunately, the audio is of poor quality; it is tricky because I did two concerts in Jakarta and the soundmen were confused about setting the ideal positions of the microphones. Perhaps because the instruments were new to them and they needed longer time to adapt. I was very disappointed because there was no balance of the sounds of the bamboo flutes and other instruments. At the concert, we also had totobuang, flute, and violin. There are now only a handful of old people in my team. I did not throw them out. They resigned themselves, feeling they are getting too old. It’s an exhausting activity. I am fine with it, I didn’t ask them to. It would be inhumane. Nyak Ina Raseuki While we wait for the Rame-rame song, I think we would return to Mr. Rence and discuss his experience. Let us talk to Mrs. Trisutji Kamal. The most important thing from these two artists is for us to appreciate their creative process. They spend all their time and their lives for their art. Mrs. Trisutji, perhaps you want to share with us how you started your music in Binjai, Medan. However, you are also welcomed to start at when you began to incorporate the elements of Nusantara traditional music in your own work. It is up to you. Trisutji Kamal I actually prefer to start from the beginning. I wrote my first composition in Binjai, when I was only six years old. However, at that time I could not write notation. I played the piano for my late mother. However, the piece is now lost. When I was a 87 88 Meja Bundar Musik - World Music teenager, I started to study the piano seriously. After I can play piano, I started to write compositions. My cultural background was actually Javanese. My mother was from the royal palace, Keraton, Java. Therefore, my first influence was of course Javanese culture. Yet when I was a teenager my surroundings was a mixture of Melayu, Batak, and Islam, I have always absorbed them, albeit subconsciously. One of my most popular compositions, which often played in music schools, is Tarian Fantasi (Fantasy Dance); it is intensely influenced by Javanese (culture). Nyak Ina Raseuki Yes, nearly all of piano students learned to play that song. Trisutji Kamal I continued my piano study to Europe (the Netherlands, Paris, and Rome). The ethnic influence I had absorbed since I was a little child has become a part of me, so my music character is definitely Indonesian, although I haven’t used any traditional instruments. After I got the proper training in writing piano composition, I started to wonder whether I have real talent. My teacher did not agree with many aspects in my music. What I think was wonderful was challenged. It was disheartening. Yet I continued my study in order to master the techniques. Jabatin Bangun So as not to confuse the audience, we should add more information about you, before you go further. Thus, you relocated from Java to Langkat, and lived in the Langkat Sultanate. Why did you relocate and how old were you at that time? Trisutji Kamal I was perhaps two years old when I relocated to Langkat. I started to learn music when I was about six years old. My father was an avid music lover, he played violin, it was his passion. He used to aspire to be a musician when he was young. My grandmother used to hide his violin. My father was the doctor in the Langkat Sultanate. I studied piano under a very strict German teacher. My parents hadalready planned that I would study piano in Europe. There were only a handful of women who studied in Europe back then. I was still a very young woman, but I had my family’s support. At that time, there was a shift in the politics, and music or arts students were forbidden to study in the Netherlands. It was around the year of 1955. Therefore, I went to Paris, and a year later to Italy. Nyak Ina Raseuki After years of writing piano compositions, you realized that there was a subconscious Javanese influence in your work. The interesting thing is when did you fully want to use Nusantara musical elements? Meja Bundar Musik - World Music Trisutji Kamal Since from the beginning, actually. Beside Tarian Fantasi, another famous composition of mine is Sungai (River). It depicts a river in Binjai, yet very Javanese in style. I had started to philosophize at that time. The composition portrays the human life, like a drop of water that trickles from the mountain through a steep ravine. I wrote the composition without being very conscious of it. I wanted to make music from my Javanese root, although I was living in Deli at that point in time. When I turned sixteen, my mother asked me to keep being an Indonesian woman, a Javanese woman, and every Sunday I had to cook, wearing a batik sarong. Nyak Ina Raseuki Beside Javanese music, later you would also incorporate elements of Melayu or Balinese music. Please tell us more about it. Trisutji Kamal Balinese and Javanese music were natural for me since early on. At that time there was a Spanish cellist, Gaspar Cassadó, performing a concert in Medan and he visited my house. I played my composition to him and he said that I am talented. Jabatin Bangun Recent technology has made it easy for people to listen to African, European, and Indian music. How was it back in your days? I suppose there was always music in the Langkat Sultanate. However, how about Javanese and other music that influenced you? Trisutji Kamal We owned a set of gamelan at home, where I also studied Javanese dance. Nyak Ina Raseuki Very well, now let us get back to Mr. Rence. What really intrigues me is that what is the motive behind your efforts in revitalizing the bamboo flutes? Rence Alfons I studied the Westerm music at ISI (the arts institute), Yogjakarta and graduated in 1997 majoring in guitar. I returned to Ambon in 1998, and in 1999, the riots broke out. At that point, I was shaken badly, and I did some soul searching. Who am I? Even my name doesn’t sound like a Moluccan. My father named me Maynard Reynold Nataneil Alfons. It is not a Moluccan name. I felt that I didn’t belong to either Maluku or Western culture. Let alone the music. I lost focus in what I should do in terms of music. What was left there to work on? Ambonese ethnic music no longer existed. I happen to be a native Ambonese who lives in the mountain area, 89 90 Meja Bundar Musik - World Music about 500-600 meters above the sea level. I was ashamed with the Bachelor of Arts (BA) degree that I held. It would be more appropriate to be called “Bachelor of Abnormality” than “Bachelor of Arts”. I was ashamed of myself and did not know what to do. Who would appreciate if I played classical guitar? Who would pay me? The only good thing of the riots was that it forced me to stay put at home and reflect. I could hear the sounds of bombs here and there in the city. One time I went to the church—although I usually wasn’t in the habit of doing so. I saw that there were no flutes left at all. So I asked around why. Everybody was baffled about how to answer my question. So, I went to another church; there were flutists but they were all very old. Their breathing was naturally short and it definitely played part in the quality of the sound produced. They were the last generation. It means, these bamboo flutes were flawedly made and played by flawed flutists as well. Consequently, it produced a flawed, unsatisfactory music. And to top it off, the flawed music was played in the sacred church. I’ll be damned! (The sound of collective laughter). Jabatin Bangun My first acquaintance with Rence was very personal and unforgettable. I was the project coordinator of a documentary on traditional arts in 23 provinces in Indonesia that I was involved. So I’ve been travelling across provinces for two months. From Sulawesi, I went to Ambon, and met Rence and another friend who is now the head of Ambon Cultural Arts Center (Taman Budaya Ambon). Then I asked them to become the coordinators of a ceremony in Nusa Laut Island. I was exhausted and a sleepy. I said, “You guys just go to the island and work on the music.” Perhaps at that time Rence was stirred. Why did this lunatic from Jakarta come all the way to Ambon care so much about the local music? Then I went back to Jakarta and the two musicians went to Nusa Laut. When I arrived in Jakarta, the officials searched my personal identifications and belongings thoroughly. It turned out that the first riot of the Ambon Tragedy broke out, the hotel where I stayed had been burned to the ground, and Rence and his friends were stranded in the island of Nusa Laut. They could not return to their family. So there was a blessing in disguise, they stayed in the island and study its local music. After that incident, I said to him repeatedly, “Never abandon your tradition, although you studied the music of Western culture.” Later we also worked together for the revitalization of totobuang music. Hence, Rence came from the West and went to a region that was unmindful of their traditions. Nyak Ina Raseuki Right, just as we discussed yesterday, this is about how we originate from a cultural community. For instance, I came from a village in the outskirts of Meja Bundar Musik - World Music Sumatra and suddenly I found myself studying the Western music. I am not against Western music; it is undeniably a part of our lives. We Indonesians are contemporary people. However, what will happen if I am in a single community, in a single culture, yet I have no awareness of that culture. Maybe it is what Mrs. Trisutji said earlier; it is not that we are not aware of it, but it is in our subconscious memory, our auditorial memory, in our recollection that could surfaces in one particular moment. It is the same thing with Jabatin, I think. Jabatin Bangun I grew up in Medan. I’m a Mount Sinabung folk. Nyak Ina Raseuki I’m from Mount Seulawah, Aceh. Thus, one is from Mount Seulawah and one is from Mount Sinabung. I think that almost all artists from the entire Indonesia, whatever their backgrounds are, would encounter this aspect: identity search. It is rather cliché. What they have been experiencing for so long has reemerged. Is that how you feel, Rence? Rence Alfons Yes it does. The core culture of Ambon has eroded completely. The influences of Islam and Christianity were all gone. I am its victim. I actually am envious of the Balinese and Javanese gamelan, also to the Batak gondang orchestra. They all have their unique characteristics. Nyak Ina Raseuki However, Rence, pardon me for interrupting. In yesterday’s chat, Balawan and Panggah told us that the music they play every day has its context, cultural context. Numerous rituals in Indonesia have perished. Therefore, that means we also lost its arts. However, as Panggah explained yesterday, it astonished him that people of Korea, Japan, China, were upholding their traditions because they want to preserve and reinvigorate them, although their contexts have vanished. Perhaps Maluku experiences the same phenomenon. Rence Alfons Some traditional or ethnic music still exists in other regions, for example the Inafuka music from Buru Island. However if we speak in terms of Ambon, there’s nothing left, whether in mountains or coastal areas. So I said, oh well. I tried to be proud of the bamboo flutes. I’m trying my best although it doesn’t have its authentic scale. I once visited Seram Island and encountered very authentic traditional songs. The natives sing like (Hums lala lalala...). Only a short fragment, three or four tunes, but it survives. 91 92 Meja Bundar Musik - World Music Back to the bamboo flutes. In the end, I had to make a decision. I have no knowledge of the southeast Moluccan music, or the music of Seram Island. I finally decided to work on these bamboo flutes. I didn’t care what it would turn out like, the important thing was I should start to work on it immediately. I also have previous experiences with them in church; I used to play them with my father since I was only in elementary school. Now I took pride of the fact that some of my musicians are students and college students. Every year we recruit new musicians because there would be some musicians who resigned for various reasons. It could be because they were too old, they have finished their college, or they moved out of town for a new career. When they resign, we recruit new members. I usually start a special class for the new recruits. I teach them how to position their lips on the flute; there’s a proper way to do it.I also teach them how to manage your breathing to produce a solid wind. After all that, then I teach them to read the notation until they are ready to perform. Nyak Ina Raseuki Apparently, like what we learned from yesterday’s discussion, Rence took the middle way. He reconstructed something that still exists but nearly gone; the last generation. However, Rence technically reconstructed the instrument. We watched the process of the remaking of the flutes, its playing techniques.The songs were also properly notated. Next is the regeneration phase; he taught it to the surrounding community members. We also talked about that with Panggah and Balawan. However, problems in regions outside Java are truly complicated. I cannot imagine if musicians like Rence do not exist. Jabatin Bangun He’s practically alone in Eastern Indonesia. We have searched in other regions to no success, even under the pillows. Yes, Rence works in the Arts Center as a civil servant, but only a handful of people truly understand what is art. Now we’re moving to Mrs. Trisutji Kamal. What happened in Europe? What were your activities? In addition, how was the musical life there? Trisutji Kamal It was hard for me to play my instrument. I told you earlier about my teacher who was very discouraging, and I grew afraid. It made me think whether I had talent or not. I was unable to write compositions for two years. In Italy, I studied to play the piano and write compositions. It took me ten years each to master the skills, so twenty years in total. There were three examinations in compositions, in grade four, eight, and ten. They were very hard. At grade four, Meja Bundar Musik - World Music the exam was about Harmony and Contrapuntal. The fourth day was the interview, the exams duration was ten hours. The last exam took two days and we had to spend a night in the Conservatory. I had to create a quality composition for an orchestra. Yes, it was hard. Jabatin Bangun Were there any compositions based on music from Nusantara, or Middle Eastern at your time in the conservatory? How did you create at that point in time? Trisutji Kamal We were taught to create works akin to Mozart or Beethoven’s in the Composition class. We had to be able to develop our own skill. I had trouble with that because I wasn’t living in Mozart’s time. Therefore, I chose a composer that I was most familiar to, Debussy. I finally managed it. Nyak Ina Raseuki It is the most familiar music you’ve heard since you were a child, and we know that Debussy was greatly influenced by Javanese gamelan. He discovered a way to express the Javanese tone or timbre, something he described as the color of a sound. I think that is exactly what we could find in Mrs. Trisutji’s music. Particularly because we know that her background is classical. I remembered when you worked with Mr. Kompyang Raka, for instance. It was back in the 1980s, so we have to fast forward. What do you think was the most fundamental difference in your compositions? Jabatin Bangun Perhaps Rence is uninformed of the facts of that question. Allow me to add some information for clarity’s sake. I Gusti Kompyang Raka is a traditional Balinese music maestro, who moved to Jakarta and founded a traditional music school here. That was how he ended up collaborating with Mrs. Trisutji. Trisutji Kamal In fact, I have a longtime fascination with Balinese music. I have fallen in love with Bali the first time I went there in 1953-1954. I love its dynamic music, the people. I still do now. (Sound of collective laughter). That was what happened between Mr. Kompyang and me. Mr. Kompyang was very accommodative in the collaborations. At that time, he also asked another Balinese musician in our collaboration, Mr. Ketut Budiasa. He was an excellent musician. He plays the gendang drum and many more. 93 94 Meja Bundar Musik - World Music Our process of collaboration includes him listening to my music, then me briefing him which elements I would put in our work. There were no writings in this stage. All I know was the term pendetan. It could be incorporated anywhere. As for cengceng cymbals, vocals, accentuation, we tried them out one at a time. On the technical side, I put a cross mark on segments for the Balinese gendang. They have their own notes. Yes, Balinese music is very dynamic. I already concepted when is the time I had to play loud. My first composition that utilizes Balinese percussion was Dialogue for Two Pianos and Balinese Percussion. It is a three fragments composition, and based on the Al Fatiha surah. The second fragment was of Tasbih prayer beads, the third one was ofShalawat prayer for the Prophet. Nyak Ina Raseuki This is fascinating, Jabatin, how Mrs. Trisutji incorporated the Balinese, Javanese, Melayu elements and fused them with elements from the Quran or Islamic rituals. I remember one of your compositions was inspired from the Tawaf or the circling of Kaaba, a part ofthe Islamic Hajjritual. How did you come up with that inspiration, and how did you transfer the texture into your work? Trisutji Kamal Tawaf is for a piano solo. I wrote the first fragment of Dialogue for Two Pianos and Balinese Percussion, the one that is based on the Al Fatiha, sometime after I studied to recite the Quran. I am a Muslim yet then, I never studied the Quran. So I put my music on hold for one year; it was around 1992. I promised myself that I have to be able to read and recite the Quran. And what happened next? I studied the Quran just as I played the piano, which was for hours at a time. I started from the Subh pre-dawn prayer until the Maghrib sunset prayer; I would read the Quran, no breaks, until I finally managed to read it. I read a page and timed it with a stopwatch, how many minutes it took me to read an entire page. My speed increased the longer I studied. Afterwards I could recite the Quran with the proper tajweed or elocution. Nyak Ina Raseuki Hence, you have found the “musicality” of Quran in its qira’at or reading, which you conveyed in your piano music and other music. Trisutji Kamal For me, Quran is a neverending inspiration in making music. Meja Bundar Musik - World Music Nyak Ina Raseuki At that time, did you recite the Quran in the mode like Bayati or anything else? Trisutji Kamal Yes, there are seven modes of reciting Quran, very fascinating. Different reciting brings different mode. It’s a style. I think we could make numerous themes only from the word bismillah . 2 Nyak Ina Raseuki Thus, aside from texture, you also made use of the rhythm. How did you get the inspiration from tajweed, which you would use as texture and rhythm if we convert them to Western music or classical music? Trisutji Kamal I incorporated it more to the theme. Jabatin Bangun The interesting appeal of Mrs. Trisutji’s music is its ability to move and inspire. Young people often feel that studying music is an easy and no sweat process. You, on the other hand, said that studying music requires discipline, obeying rules, and time-consuming intensity. I think what is important is that these principles could be applied in life, for instance like learning to recite the Quran. When we look at people nowadays who’s studying music, it is like they want to go straight to the result, the sound, yet people often overlook how hard the process is to become a composer or a musician. It is simply a practice of discipline for the rest of your life. Nyak Ina Raseuki Both of these musicians have conducted an extensive research of their craft, a process the Westerners call the scientific aspect in the arts. Nothing happens by chance. There is a very long process before they express it into their compositions. Just like in any other fields of knowledge, they do research so that every tune, every sound, every texture can be accounted for. Jabatin Bangun Ubiet, Mrs. Trisutji, and Rence, let ustake a 15 minutes break. After that, we will continue to explore other themes. 2) Bismillah: Arabic, means“in the name of Allah”. It is an invocation used by Muslims at the beginning of any undertaking. 95 96 Meja Bundar Musik - World Music SECOND SESSION Jabatin Bangun In this second session, we will listen to the bamboo flute music created by Rence so we will have a clear perception of how the music sounds. Play the video, please. (Video screening). Rence Alfons Okay. One day Vidy Bapidaya, who studied at IKJ, came to me. He asked me, Rence, could I improvise? What kind of improvisation? Do not just do a simple one. Therefore, I made the arrangement using a sequencer. I just made it like that. The result is like the one we listened from the preceding video. Previously I didn’t use a sequencer, but I grew to love using one. Thus, I chose repertoires that could present a challenge to me to study harder. I also do familiar repertoires, meaning my players often hear it. Please play the second video. (Video screening. Applause). Jabatin Bangun We can see here that creativity does not restrain elements of Western, Eastern, solid instruments, and bamboo. I even saw an instrument I have never seen before, the totobuang, which is unique to Ambonese music. Rence, did you encounter problems in your process? Rence Alfons Yes I did. First, before we play music together, I have a discussion with the players; I stressed that this music is important. I approached them by drinking traditional palm wine called sopi together. I was so excited that I started to use too sophisticated words to them. ”Do you know that we’ll make a new paradigm in the Moluccan music world?” I said. “Para...what? What are you talking about?” (Sound of collective laughter). “I mean, do you want to play bamboo flute?” Some said yes, but some said, “Ah that old music. Do you have anything more modern?” they asked. I said to myself: violin is not a modern instrument, it is ancient. Okay, let us try it. It so happened that in 2005 the mayor of Ambon asked me to create an event with traditional Ambonese music in it. Thus, I gathered tens of my friends. Comprehension was definitely a problem. Their background is of Western music; it had ingrained in them. The next one was they came from various social strata. It was very difficult to get them together for practice. Our musicians could only assemble fully at 7 PM. Just imagine , one of them walked barefoot for five km every time for practice. When I asked why he didn’t show up for practice, they replied, “I was tired after practice, so I went straight to bed.” Nevertheless, our practice requires discipline. We used to practice for six hours. They have to be as Meja Bundar Musik - World Music disciplined as I am. However, eventually I realized that they have very different social backgrounds. So afterwards, I trained the new recruits myself. Fortunately,I have an assistant trainer for the first, second, third, fourth, and fifth voices. Next is they could not read notations at all. I started with letters-numbers. I wrote the notes and added the number notations below. I was hoping that they could learn to read the notations in no time, because I barely had the time to teach them that. However, some of them with perseverance could finally read notations. The next thing is they sometimes felt bored with the practice, and it is completely understandable. So I challenged them and said that the local government has been funding us, MBO (Moluccas Bamboo Orchestra), for a concert a year, but how long would the help lasts? So I said,let us make a stage. We can perform a concert anytime we want if we have our own stage. Nyak Ina Raseuki Because of the poor audio, we couldn’t really distinguish the sounds of all the flutes in the previous video. However, it got better in the second video. Rence, the audio technical problem was indeed a problem. How to make sound engineers or sound designers understand our traditional instruments? How could they capture the sounds and timbres of Nusantara music? It is a rather cliché problem, but we always talk about it and never come up with the solution. There are some acoustic experts here, so we could discuss this problem later. We could change our perspective about musical performances. We always prefer to watch performances in a proscenium stage, while in Nusantara, they commonly held in arenas and amphitheatres. We could perform music in big city’s museums, for instance. I don’t know whether we have buildings like that; not a playhouse, but buildings that we could use for acoustics like bamboo. Rence Alfons As I previously stated, less people play bamboo orchestra. It would not sound ideal if performed in an amphitheatre. Nyak Ina Raseuki I think Mrs. Trisutji in an occasion had altered her stage set. Mr. Kompyang and the Balinese gamelan occupied a corner, the piano in another corner, and the audience could sit anywhere they like. Trisutji Kamal Yes, I did that in the JakArt event. In cities like Cirebon, Semarang, Solo, and Bali, I 97 98 Meja Bundar Musik - World Music performed in a stage bus. It was a regular bus turned to a stage. It got the theatre, the sound system, so I could perform on it. Once I also performed in a traditional market and a parking lot. Nyak Ina Raseuki I think there is so much we could learn from musical performances in Nusantara. What you did, Rence, is one of the examples. You have contributed a great service in finding a middle way between the cliché: Eastern, Western or modern elements. Just like yesterday when Panggah rejected the terms “tradition” etc. However, how can we discover this middle way? Jabatin Bangun It is the same thing as the bamboo flutes. When traditionally these flutes did not sound ideal nor achieve the sound aesthetics you wanted, you conducted some experiments and finally achieved it. All performances need to have this pattern of experiment, I think, because I have heard a space method in some repertoires I listened to previously. Mrs. Trisutji, you have mentioned earlier about your experience in rediscovering your religious faith in life. How could you get to that idea? Trisutji Kamal Well, it was after I performed the Hajj ritual. Initially I thought the pilgrimage would be just like a tourist’s excursion. Nevertheless, it was none of that. In the Hajj month, I was suddenly overcame with this overwhelming sadness and just wanted to cry my heart out. Why? I became very sensitive, every time I heard the adhan call of prayer I would cry. It stirred me intensely. Every time I recited the Quran, certain verses would move me. I wanted to return to the house of Allah. There were four people in my group at that time. In our pilgrimage, we met the group of ex president Suharto. The following year I was also blessed to return to Kaaba. It was truly a miracle. I went home profoundly changed. Afterwards, I received many contributions in my creative process. In 2003, an association in Italy asked me to work on a composition that reflects the changes I experienced after I could recite the Quran and write in Arabic. How strange! Thus. I wrote a composition and performed it in an Italian church. An Italian actor who was involved in the performance gets to recite the shahada .However, he did not know the meaning, of course. 3 3) Shahada: the Muslim’s profession of faith. Meja Bundar Musik - World Music Nyak Ina Raseuki I had a little chat with Mrs. Trisutji in the break, and apparently, she also wrote a composition inspired from Hindu chanting. Please share more about that. Trisutji Kamal I studied the music of Hindu, Buddha; all kinds of music. I studied culture since I was in Rome. So I wrote some compositions. I also played music in church and the instruments were complicated. So I studied church music, I did it all. Finally, I wrote a song called SKPB. They used to perform it every week at the church. (Applause). Nyak Ina Raseuki In my little chat with Mrs. Trisutji, I found out that her Quran recitation tutor is a Balinese. You have such an amazing life! The inspirations in her music have intertwined, competed, spinned, mingled, interlocking, and interwoven. There is an interlocking and interwoven kotekan, a true Indonesia character. I simply cannot imagine how you went through the process and conveyed them to your music. Perhaps Jabatin would like to add something. Jabatin Bangun Yes, it is such an inspirational story. Mr. Panggah yesterday forgot to mention how he was involved in a two years music project in South Sulawesi and Flores, while Mrs. Trisutji here took her inspiration from her experience from the Hajj pilgrimage and performing in church. They proved that inspirations could come from anything. In addition, I think it is hard to create a phenomenal work with insignificant life experiences. Nyak Ina Raseuki The point is how we, each in our ways, conduct experiments. Just “experiments”, mind you, not like the real ones academics do, yet how artists do it with their own means. Rence, Mrs. Trisutji, Panggah, each has their own unique approaches. Mr. Wayan Balawan also had a unique background. He lives in the middle of the traditional atmosphere of the community center and pop music he grew up with, and he’s continually searching for a resolution within him. Like his polyglot mother, Balawan is also a bimusical; he could shift from slendro-pelog scale to diatonic scale effortlessly, intercrossing easily. Jabatin Bangun For academicians, that would present a huge problem. However, for Balawan who is actually doing it, it is possible. 99 100 Meja Bundar Musik - World Music Nyak Ina Raseuki For me as a vocalist, it would be a problem to go back from slendro-pelog, definitely. I chatted with Budi Utomo Prabowo yesterday, what kind of singer I am. In diatonic scale, I am already out of tune. Jabatin Bangun Mrs. Trisutji, with your years of experience in Melayu music and others, how did you write your compositions? Trisutji Kamal I think it depends on who will perform it. We could create all types of music, but it is important that we could make a fair interpretation of it. Is the performer accustomed to listening to music or not? Once in 1994, if I am not mistaken, we were practicing with singers from Aceh and Java. My concept at that time was to unite Nusantara through music. The singers do not have to be a native of the area they were singing. He or she just has to essentially play or sing the music of the particular region. It turned out that one singer could not sing it. She preferred to sing based on her own interpretation, but unfortunately, the celebrity singer could not get the soul of the music. I finally had to choose another singer. Nyak Ina Raseuki Yes, I have the privilege of working together several times with Mrs. Trisutji. I really experienced it firsthand how not only you have a strong classical tradition, but you also have the gendang drum, and the tourists. You,somehow, have the capacity to perceive it in a relaxed way. Everything is open for experiment. Therefore, there is always a try-out process. If it doesn’t suit you, you would try it out with another music, for example the music from Bali or Aceh. Trisutji Kamal It was hard for me to learn jazz. I wasn’t really into it; I wasn’t familiar with it. After I know jazz, I discovered that it needs improvisation and I got a lot of input for that. However, the problem was my background was classical and I needed to allow freedom for the vocalist to express his or herself, although the number was not mine. Nyak Ina Raseuki Just like what I did to your composition, I completely messed it up. (Both laugh). Jabatin Bangun We will be able to see the questions from the DKJ’s Twitter account, so we could discuss and observe by a larger public. Does the audience have some questions? It is also interesting to ask Rence, did every work his bamboo orchestra performed Meja Bundar Musik - World Music was his own work or other composer’s? Who knows, perhaps Mrs. Trisutji would offer one of her composition for your orchestra to play. Rence Alfons I wrote compositions for piano, totobuang, and regular flute as well. However, right now I’m concentrating on my bamboo flute. I have to make sure that my flutes would last for more than a year. Right now, after one year of usage, the quality of the flute deteriorates, perhaps because of the weather. I welcome everyone to play my compositions or for other musician to write compositions for us. I am not always alone in writing the arrangements for the orchestra to perform. We have a composer from UKSW (Satya Wacana Christian University) Salatiga, one is from Jakarta, and the other one is from ISI Yogyakarta. There are in total six of us. Each of us composes two numbers for each concert. Nyak Ina Raseuki We have a question here: do traditional musicians need to learn in Western schools or environment? Why traditional music needs to adapt? Tradition has become an outsider that has to readapt in its own space. Rence Alfons Its people determine the progress of music. Therefore, when we talk about ethnic or traditional, I don’t think that it is an outsider. I have listened to music from the Western culture ever since I was still a baby inside my mother’s belly. Traditional music cannot shun the outside world. It is another thing with ethnic music, which is very specific. For example, gamelan, and it is different in comparison with the extremely pop campur sari music. Whenever I listen to campur sari I can picture, ah, in this part, they use slendro scale or Western style slendro. You can really track its progressive chord when combined with keyboard. Jabatin Bangun Actually, Rence came from a cultural place where there is a difference between traditional and ethnic. Religion had trampled the ethnicity of the Ambonese, so all religious songs are Western, and considered a tradition. While on the other hand ethnicity is something pure; it is not influenced by the Western culture. Nyak Ina Raseuki I have to say that I agree with Rence that it depends on the context. The Inafuka is a perfect example; it can no longer be altered, what else can we do with it? It will continue to live among the people with its context. Yet, what Rence could do is being between diatonic and non-diatonic, we can call it whatever it is. Therefore, I think it depends on the context. 101 102 Meja Bundar Musik - World Music Trisutji Kamal I have an experience I want to share. I was invited to a religious music festival. At the stage, I didn’t perform any elaborate music, just basically a simple Hindu slendro. I thought that perhaps what I performed did not really suit the festival’s atmosphere; it was not a number with sacred tone. It was more soulful. Yet it won an award. How strange! The other performers were doing church numbers, nothing new. Yet when there was a varied performance, it was instantly recognized. Nyak Ina Raseuki Do you mean that music could lose its context? Music is indeed played in a certain context; when the music is performed on a stage, it would become a stage. Hindu chanting performed on a stage could definitely lose its spiritual aura. Rence Alfons I once wrote an arrangement with melodies from the Masada group, the group members are Ambonese descendants who are living in the Netherlands. It goes like this (Tari nanana. . . Hums). Then I made it into violin and vocal arrangement. However, I turned the flute in pelog scale, in my style. I used to study for two semesters and I made the arrangement only for my personal pleasure. The vocal goes like (Hums). Jabatin, yesterday we talked about language, let’s connect that with the language of melody. We cannot afford to ignore other melody. Jabatin Bangun How is the government’s effort in making a balanced intercommunicating of various art forms so that not only one or two art forms that would stand out, preserved, make progress and become inspirational? Rence Alfons I feel guilty now, being a civil servant. I think our system now is somewhat complex. (Laughs). Just imagine an officer with Marine Studies degree holds the position of head of the Tourism Board. What does it have to do with Tourism? As for me, I don’t always agree with this government system, because people would only do what they are familiar with. They think they know much, but in fact, they don’t. (Collective laughter). Actually, I feel a bit lonely at my office. I have no one with the same vision to talk to. So I just talk to myself. (Collective laughter). Jabatin Bangun Thank God, he’s now a superstar in Ambon. People have seen his concerts, they are certain of his worth.Otherwise, he would be alone at the mountain peak. Meja Bundar Musik - World Music Mrs. Trisutji, why do you think only one or two of art forms that stand out in Indonesia? As artists, certainly we wouldn’t want to be restricted by a few art forms that are being unfairly promoted by the government. Have you any direct experience in this issue? Trisutji Kamal I think we can appreciate all art forms, even the simplest of music. Jabatin Bangun Just like your composition, River. It has nothing to do with the government, as an inspiration. (Laughs). However, I have a very limited experience in working with the government. Yesterday Balawan pointed out a profound and interesting irony. He stated that local government heads, people who were taught to appreciate art since their childhood, organized many arts events in Europe. On the other hand, here a Marine studies degree holder was appointed as governor and he has to manage the arts, to manage music.What is more terrible is when I met a regentwho imposed his rules on the event. He said “.... I don’t even have to show up as long as the fund is used” and he got his bribe. The arts have no future this way. Hence, this is a very grave problem. Perhaps in time they will be a new awareness, if we all join from allsides, contribute ideas, and support the government. However, there is little chance for that to happen now. Nyak Ina Raseuki Another perspective on this, Jabatin, is exactly like what we discussed yesterday with Mr. Supanggah. Why should we keep making demands to the government? They already have massive work at hand. Why don’t we act for a change? Panggah told us yesterday that he found numerous thriving small-scale festivals, organized by small communities in Paris, Lyon, and many places. He said that many festivals thrived because of the hard work of the communities, they started without funding, zero money. Now here we have numerous festivals, he said, but all are alike. One musician would perform from festival to another and the festivals’ length was similar. Jabatin Bangun Yes, I don’t want to show off, but I have explored Indonesia to shoot a documentary, to record various aspects. Thus, I have a firsthand experience in meeting many admirable characters, live with them for days, in Flores. I think Indonesians have not been given the opportunities they deserve. For example, the people who want to join Rence’s orchestra, were they given opportunities and support? Not necessarily, I think. The hardest part is that now we don’t see many decent, reasonable efforts. The local artists have neither sufficient competence nor 103 104 Meja Bundar Musik - World Music money to introduce their music. For example, how can the people of Mentawai bring their music to Jakarta? It is simply impossible. Nyak Ina Raseuki Reverse it; WE can. Jabatin Bangun Yes, that is what I mean. So we have to make an effort on how we could find inspirations, solutions. Nyak Ina Raseuki and I have just wrapped up a movie series. We went to a region, a sixteen hours car trip from Medan. The local still bathe in the river, but the music, the scenic nature, just beautiful. We need to continue doing these things although they take a lot of money and great effort; I think it is a part of our responsibility as artists. We have to appreciate the arts, find a way to make these multitudes of traditional music accessible to greater audience. Rence Alfons If I may add, Jabatin; if you cannot do the job, give it to someone who understands music. Share the load. This arrogant attitude is putting our efforts in danger. Nyak Ina Raseuki Yes, maybe the decision-makers have other perspectives or priorities that are different from Rence who has a genuine concern for the Ambonese arts. Perhaps we should go to the next question: how do you teach your orchestra members who come from very diverse line of work? Rence Alfons Well, as I stated before, I give beginner class to the new members. Fortunately, I have several assistant trainers. For example, a kid came to my house in the afternoon and said, “Sir, I want to learn how to play flute.” I think just by coming to my house is a very good proof of his motivation. “Who ordered you to?” “None, I myself want to learn the flute.” I handed him a flute, and he held it all wrong. That’s fine by me. I told him to come at a specified time. My assistant trainer graduated from ISI Yogyakarta, so I asked him to help me teach. “Please share your skill with our friends. Teach them the basics on how to hold, to sit, place the flute on their lips.” He agreed. Therefore, we finally teach the new members from zero, one by one, with extra patience and time. When they finally performed, we got together and watched the video. They were very proud of themselves. Another interesting story: there are two villages, one of them is my village, Tumi, and the neighboring village is Atalay. The kids from both villages used to fight Meja Bundar Musik - World Music all the time. However, there are no more fights ever since I found the Moluccas Bamboowind Orchestra, since the players came from both villages, the teenagers. Nyak Ina Raseuki Many countries have started projects, bringing together street kids. Venezuela, for instance. Dudamel is one of the prominent artists involved in one of these projects. The kids joined without force, just like what Rence is doing. Thus, when there is a music activity, people would show up. However if we don’t start, they would have no place to come to. What Rence is doing is only in one region. Imagine if Rence has many arms and legs, figuratively speaking. It does not have to be the bamboo flutes, but how they could transmit the idea to villages or communities, to other projects and experiments. Jabatin Bangun Is it possible to make a regulation that requires all music schools and institutions to provide students with optional classes in Indonesian traditional instruments? How was your experience with Mr. Kompyang Raka? Trisutji Kamal He already founded the traditional music school Balinese Arts Institute (LKB) Saraswati. Jabatin Bangun What I meant was that the music of the western culture. It is the most dominant music nowadays. However, informal schools for transmitting traditional music are very limited. There are for Sundanese and Balinese music.Is there any ideas to adopt that types of musical transmission? Trisutji Kamal I think it is plausible,locally. Jabatin Bangun A yes from Mrs. Trisuci. How about you, Rence? Rence Alfons It could go both ways. After all, this is a system and it concerns the government. It is actually up to the institutions. Nevertheless, I was intrigued with your concept in Music Basic Education (PSM). We couldn’t even identify with our fellow Indonesians from Sabang to Merauke. However, if we understand each other’s music, we could also understand our brothers. It is excellent if the government wants to start the project. For instance, local contents are not only about the local tradition, but also 105 106 Meja Bundar Musik - World Music about intersections with other traditions. For example, kids in North Sumatra could also learn Balinese music, like in Mrs. Trisutji Kamal’s case. Nyak Ina Raseuki The main thing is how the education or the curriculum is taught with ways to appreciate, like what Panggah said yesterday. In IKJ, we learned all about western music. Our lecturers also required us to study other styles. Go out and explore, they said. You always say go there, go here. Why not do it if it is attainable, whether it is LPM, or higher educations? Jabatin Bangun When we look at the current perception, we tend to look economically and politically at the case of Ambon, however, musically speaking, art appreciation would grow if the artistically enlightened Moluccans teach community members from other culture in programs at music education institutions. Nyak Ina Raseuki So essentially our diversity would not only be a national jargon, because in practice music could bring us to understand each other better. Very well, any other questions. Jabatin Bangun That was all. Nyak Ina Raseuki No more questions? Anyway, we run out of time. Very well, we thank Mr. Rence Alfons and Mrs. Trisutji Kamal who have shared so much with us, also to our two other speakers. Thank you, good evening. (Big round of applause). Meja Bundar Musik - World Music 107 108 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music BIOGRAFI / BIOGRAPHIES 109 110 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music I WAYAN BALAWAN I Wayan Balawan dilahirkan di Gianyar, Bali, 9 September 1973. Menempuh pendidikan musik di Australian Institute of Music dan lulus pada 1997. Ia mendirikan sejumlah grup musik, di antaranya, Batuan Ethnic Fusion, Bali Guitar Club dan Trisum. Ia juga mengelola Yayasan Balawan untuk Musik Indonesia. Album solo Balawan yang pertama berjudul Balawan dan diterbitkan di Jerman pada 1997. Album solonya yang lain adalah See You Soon (2009), Magic Fingers (2005), Self-titled (2001). Sementara bersama Batuan Ethnic Fusion ia menerbitkan album GloBALIsm (1999); bersama Trisum 1st Edition (2007); bersama Bali Guitar Club 1st Anniversary Album (2008). I Wayan Balawan was born in Gianyar, Bali, in September 9 1973. He studied music in Australian Institute of Music and graduated in 1997. He founded a number of music groups, including Batuan Ethnic Fusion, Bali Guitar Club, and Trisum. He also manages the Balawan Foundation for Indonesian Music. Balawan’s first solo album is Balawan and released in Germany in 1997. His other solo albums are See You Soon (2009), Magic Fingers (2005), and Self-titled (2001). With Batuan Ethnic Fusion he released an album GloBALIsm (1999); 1st Edition (2007) with Trisum; and with Bali Guitar Club 1st Anniversary Album (2008). 111 112 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music RAHAYU SUPANGGAH Rahayu Supanggah dilahirkan di Boyolali, Jawa Tengah, 28 April 1949. Ia menamatkan pendidikan musiknya di Akademi Seni Karawitan Indonesia (kini ISI Surakarta) dan meraih Doktor Etnomusikologi dari Universitas Paris VII (1985). Di kampusnya ia pernah menjabat sejumlah posisi penting, di antaranya, Rektor, Direktur Pascasarjana, Guru Besar Etnomusikologi dan Komposisi dan Ketua Jurusan Musik. Rahayu Supanggah berkolaborasi dengan sejumlah seniman Indonesia dan luar negeri, termasuk dengan Kronos Quartet dan Melbourne Orchestra. Karya-karyanya, antara lain adalah, Wayang Buddha, Gambuh, Gilgamesh, Sesaji Raja Suya, Karawitan New Waves, Passage Through the Gongs, The Death of Menakjingga, I La Galigo, Megalithikum Kwantum, Opera Jawa. Rahayu Supanggah juga menulis sejumlah buku, di antaranya, Mutar-muter (2004), Oblok-oblok (2004), Pendidikan Seni Nusantara (2003), Bothekan I (2002), Ethnomusicology (editor,1996). Rahayu Supanggah juga meraih sejumlah penghargaan, di antaranya, Anugerah Akademi Jakarta (2011), Bintang Budaya Parama Dharma (2010), World Master in Music and Culture di Seoul, dan Penata Musik Terbaik FFI 2006 untuk film Opera Jawa. Rahayu Supanggah was born in Boyolali, Eastern Java, in April 28 1949. He studied at Indonesian Karawitan Art Academy (now ISI Surakarta) and earned his doctorate degree in Ethnomusicology at Paris VII University (1985). As a lecturer he held several key positions in his almamater, including as a rector, director of postgraduate, professor in Ethnomusicology and Composition, and head of Music Faculty. Rahayu Supanggah had collaborated with various Indonesian and international artists, such as Kronos Quartet and M Melbourne Orchestra. His works, among many, are Wayang Buddha, Gambuh, Gilgamesh, Sesaji Raja Suya, Karawitan New Waves, Passage through the Gongs, The Death of Menakjingga, I La Galigo, Megalithikum Kwantum, Opera Jawa. He penned more than a few books; Mutar-muter (2004), Oblok-oblok (2004), Nusantara Arts Education (2003), Bothekan I (2002), and Ethnomusicology (editor, 1996). He was awarded Anugerah Akademi Jakarta (2011), Bintang Budaya Parama Dharma (2010), World Master in Music and Culture in Seoul, and Best Film Scores in Indonesian Film Festival (FFI) 2006 for the movie Opera Jawa. 113 114 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music RENCE ALFONS Rence Alfons atau Maynard R.N. Alfons dilahirkan di Ambon, 18 Januari 1967. Saat ini ia bekerja sebagai PNS di Taman Budaya Provinsi Maluku di Ambon. Ia menamatkan pendidikan Musikologi di ISI Yogyakarta pada 1997. Sepulang ke Ambon, Rence merevitalisasi suling bambu di Ambon dan mendirikan Molucca Bamboowind Orchestra pada 2005. Di Molucca Bamboowind Orchestra ia juga menjadi komposer, arranger dan konduktor. Bersama kelompoknya ini ia tampil di sejumlah acara kesenian di Ambon, Jakarta dan Belanda. Selain mengelola Molucca Bamboowind Orchestra, Rence juga menjadi pelatih dan juri untuk lomba vokal, paduan suara dan qasidah di Maluku. Rence Alfons or Maynard R.N. Alfons was born in Ambon, 18 January 1967. Currently he is a civil servant at Maluku Province’s Cultural Arts Center in Ambon. He finished his study of Musicology from ISI Yogyakarta in 1997. On his return to Ambon, Rence revitalized the traditional instrument of bamboo flutes in Ambon, and founded the Moluccas Bamboowind Orchestra in 2005, in which he also serves as its composer, arranger, and conductor. The Moluccas Bamboowind Orchestra had performed in numerous arts events in Ambon, Jakarta, and the Netherlands. Aside from managing the orchestra, Rence is also a trainer and a jury for vocal contests, choirs, and qasidah contests in Maluku. 115 116 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music TRISUTJI DJULIANTI KAMAL Trisutji Djulianti Kamal dilahirkan di Jakarta, 28 November 1936. Belajar musik klasik saat tinggal di Binjai, Sumatra Utara, dan melanjutkannya di Belanda, Prancis dan Italia. Di Italia ia menamatkan pendidikan musiknya di Conservatorio de Musica St. Caecelia, Roma. Dalam kariernya yang lebih dari setengah abad, Trisutji Kamal telah menggubah tak kurang dari 200 karya, yakni lebih dari 130 komposisi untuk piano solo, 10 musik ilustrasi film, 25 vokal dengan piano (art song), 8 duo piano dengan perkusi dan vokal Bali, 6 ansambel, 5 simfoni, 5 musik sendratari dan sebagainya. Beberapa karyanya telah menjadi klasik dan selalu dimainkan di sekolahsekolah piano di Indonesia. Misalnya, Tarian Fantasi. Pada Juli 2015, sejumlah karyanya dimainkan di Forum World Music di Komunitas Salihara. Atas pencapaiannya di bidang musik, Trisutji Kamal mendapatkan Anugerah Yayasan Pendidikan Musik (2012) dan Bintang Budaya Parama Dharma (2010). Trisutji Djulianti Kamal was born in Jakarta, 28 November 1936. She studied classical music while she lived in Binjai, North Sumatra, and continued in the Netherlands, France, and Italy. She graduated her music education in Conservatorio de Musica St. Caecelia, Rome. In her career that has spanned over a half century, Trisutji Kamal has composed more than 200 compositions, which include over than 130 solo piano compositions, 10 movie music illustrations, 25 vocals with piano (art song), 8 piano duo/duet with Balinese percussion and vocal, 6 ensembles, 5 symphonies, 5 dance drama music, etc. Some of her works have become classics and are always played in piano schools in Indonesia, such as Tarian Fantasi. In July 2015, a number of her works was played in Salihara Community’s Forum World Music. For her accomplishments in music, Trisutji Kamal has received honors from Yayasan Pendidikan Musik Award (2012) and Bintang Budaya Parama Dharma (2010). 117 118 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music JABATIN BANGUN Jabatin Bangun dilahirkan di Kabanjahe, Sumatra Utara, 18 Oktober 1967. Ia menamatkan pendidikan Etnomusikologi di Universitas Sumatra Utara dan Program Pascasarjana Antropologi di Universitas Indonesia (tanpa ijazah). Jabatin juga menempuh Program Pascsarjana di STF Driyarkara. Sejak 1988 Jabatin aktif dalam berbagai penelitian etnomusikologi di sejumlah wilayah di Indonesia. Ia juga menjadi pemateri dan tutor untuk sejumlah pelatihan tentang etnomusikologi dan menyampaikan kertas kerja di sejumlah seminar di Indonesia dan Belanda. Bersama sejumlah seniman ia menjalankan program Pendidikan Seni Nusantara (PSN). Selain mengajar di Institut Kesenian Jakarta, Jabatin pernah menjabat sejumlah posisi, misalnya Wakil Rektor Bidang Akademik (2009-2013). Ia adalah juga anggota Dewan Kesenian Jakarta (2006-2013). Jabatin Bangun was born in Kabanjahe, North Sumatra on 18 October 1967. Majoring in ethnomusicology, he graduated from University of North Sumatra and Anthropology postgraduate program from University of Indonesia (no certificate). Jabatin also studied at postgraduate program in Driyarkara Philosophy College (STF Driyarkara). Bangun keenly participated in numerous ethnomusicology researches in regions of Indonesia. He is also a speaker and a tutor for a number of trainings on ethnomusicology and presented his paper in several seminars in Indonesia and the Netherlands. Together with several artists, he founded the Nusantara Arts Education (PSN). Aside from lecturing in Jakarta Arts Institute (IKJ), Bangun also held previous positions in the institute, including as Vice Rector for Academic Affairs (20092013). He also served as a member of Jakarta Arts Council (DKJ) (2006-2013). 119 120 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music NYAK INA RASEUKI Nyak Ina “Ubiet” Raseuki dilahirkan di Jakarta, 24 Mei 1965. Ubiet menamatkan pendidikan di Jurusan Musik-Vokal Institut Kesenian Jakarta; Master Etnomusikologi dari Universitas Wisconsin, Madison, dan Ph.D dalam Etnomusikologi dari universitas yang sama dengan tesis Seudati in Acehnese Tradition: A Premiliminary Study (2009) Sejak 1993 hingga sekarang Ubiet mengajar di Program Pascasarjana IKJ. Selain itu ia juga pernah menjadi Sekretaris Jenderal Pendidikan Seni Nusantara (2002-2006) dan anggota Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (2006-2009). Sebagai pesuara Ubiet telah meluncurkan sejumlah album, di antaranya, Ubiet Keroncong Tenggara (2007), Two Worlds dan Rhythms of Reformation (2006), Music for Solo Performer: Ubiet Sings Tony Prabowo (2006), Populer Archipelagongs (2000), Commonality, The New Jakarta Ensemble (1997). Born in Jakarta, 24 Mei 1965, Nyak Ina “Ubiet” Raseuki graduated from Jakarta Arts Institute (IKJ) with Music-Vocal major. She continued both her Master and her Ph.D in Ethnomusicology at the Wisconsin University, Madison, with her theses titled Seudati in Acehnese Tradition: a Preliminary Study (2009). Since 1993 until now, Ubiet teaches at the postgraduate program in IKJ. She also held the position of Secretary-General of Nusantara Arts Education (2002-2006) and a member of the Music Committee of Jakarta Arts Council (2006-2009). As a vocalist, she has released several albums, such as Ubiet Keroncong Tenggara (2007), Two Worlds and Rhythms of Reformation (2006), Music for Solo Performer: Ubiet Sings Tony Prabowo (2006), Popular Archipelagongs (2000), Commonality, The New Jakarta Ensemble (1997). 121 122 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music ZEN HAE Zen Hae menulis puisi, cerita, dan kritik sastra. Bukunya yang terbaru adalah kumpulan cerpen tigabahasa The Red Bowl and Other Stories (Yayasan Lontar, 2015). Sebelumnya: kumpulan cerita pendek Rumah Kawin (KataKita, 2004) dan buku puisi Paus Merah Jambu (Akar Indonesia, 2007)—yang terakhir ini termasuk lima besar Khatulistiwa Literary Award 2008 dan mendapatkan penghargaan “Karya Sastra Terbaik 2007” dari majalah Tempo. Ia anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (2006-2012); kini Manajer Penerbitan di Komunitas Salihara. Zen Hae writes poetry, stories, and literary criticisms. His latest work was a trilingual selected short story The Red Bowl and Other Stories (Lontar Foundation, 2015). The previous ones were selected short story Rumah Kawin (KataKita, 2004) and poetry book Paus Merah Jambu (Akar Indonesia, 2007)—from which Hae won “Best Literary Work” from the reputable magazine Tempo. He was a member of the Literary Committee of Jakarta Arts Council (2006-2012), and currently holds the position of Publishing Manager in Salihara Community. 123 124 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music 125 126 Meja Bundar Musik - World Music Meja Bundar Musik - World Music 127 128 Meja Bundar Musik - World Music KERABAT KERJA / THE CREW PENANGGUNG JAWAB / PERSONS IN CHARGE Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015 / Jakarta Arts Council 2013-2015 Irawan Karseno (Ketua Umum Pengurus Harian / Chairman) Alex Sihar (Sekretaris Umum dan Administrasi / General Secretary and Administration) Madin Tsayawan (Ketua Bidang Umum / Head of General Affairs) Helly Minarti (Ketua Bidang Program / Head of Program) Komite Musik - Dewan Kesenian Jakarta / Music Committee - Jakarta Arts Council Aksan Sjuman (Ketua / Head) • Budi Utomo Prabowo (Sekretaris / Secretary) Aisha Sudiarso Pletscher (Anggota / Member) • Anusirwan (Anggota / Member) REKAN KERJASAMA / COOPERATION PARTNERS Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta / Ethnomusicology Studies Program, Faculty of Performing Arts Jakarta Arts Institute MODERATOR / MODERATORS Jabatin Bangun • Nyak Ina Raseuki NARASUMBER / SPEAKERS I Wayan Balawan • Rahayu Supanggah Trisutji Djuliati Kamal • Rence Alfons TASK FORCE MANAGER Anita Dewi Puspita Hutasuhut PELAKSANA PROGRAM / PROGRAM OFFICER Winda Anggriani PELAKSANA MUDA / PROJECT OFFICER Rini Angraini MANAJER PANGGUNG / STAGE MANAGER Novan Trijaya Seri Putra KRU PANGGUNG / STAGE CREW Krisna SOUND Kadir HUMAS / PUBLIC RELATION Dita Kurnia DESAINER GRAFIS / GRAPHIC DESIGNER Riosadja NOTULIS / SCRIBES Ariani • Wa Ode Wulan Ratnaningsih ADMIN TEKNIS LIVE TWEET / LIVE TWEET TECHNICAL ADMINS Rizaldy Bagus • Dita Kurnia PROJECTIONIST Camelia FOTOGRAFER / PHOTOGRAPHER Eva Tobing VIDEOGRAFER / VIDEOGRAPHERS Joel Taher • Indra Perkasa MARKETING Anggara Sudiarianto Subowo KEUANGAN / FINANCE Trisuci Meilawati KONSUMSI /MEALS COORDINATORS Trisuci Meilawati • Serley Banowati • Meita Rosmala STAND BUKU / BOOK STAND Reny Rufaidah PENERIMA TAMU / RECEPTION Yuni USHER Anne • Ucup PEMANDU TAMU / GUESTS RELATION OFFICERS Deddy Hendrawan • Syah Putra Ramadhan PENGEMUDI TRANSPORTASI / DRIVER Sukadi OFFICE BOY Juliansyah Iyan • Jaelani • Dedi • Syaiful Meja Bundar Musik - World Music UCAPAN TERIMA KASIH / ACKNOWLEDGEMENTS Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Provincial Government of Special Capital Territory of Jakarta Program Studi Etnomusikologi Ethnomusicology Study Program Fakultas Seni Pertunjukan - Institut Kesenian Jakarta Performance Art Faculty – Jakarta Arts Institute (IKJ) Seluruh kerabat kerja, staf Dewan Kesenian Jakarta, moderator, pembicara, penyunting, dan sukarelawan yang telah membantu terselenggaranya acara ini. All crewmembers and staffs of the Jakarta Arts Council, moderators, speakers, editors, and volunteers who have contributed immensely in this program. 129 130 Meja Bundar Musik - World Music