Unduh / PDF - Masyarakat Linguistik Indonesia

Transcription

Unduh / PDF - Masyarakat Linguistik Indonesia
MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA
Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)
merupakan organisasi profesi yang bertujuan
mengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa.
PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA
Ketua
: Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Wakil Ketua : Fairul Zabadi, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Sekretaris : Ifan Iskandar, Universitas Negeri Jakarta
Bendahara : Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
DEWAN EDITOR
Utama
: Bambang Kaswanti Purwo, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Pendamping : Lanny Hidajat, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Anggota
: Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Ellen Rafferty, University
of Wisconsin, Amerika Serikat; Bernard Comrie, Max Planck Institute; Timothy
McKinnon, Jakarta Field Station MPI; A. Chaedar Alwasilah, Universitas Pendidikan
Indonesia; E. Aminudin Aziz, Universitas Pendidikan Indonesia; Siti Wachidah,
Universitas Negeri Jakarta; Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia
Atma Jaya; D. Edi Subroto, Universitas Sebelas Maret; I Wayan Arka, Universitas
Udayana; A. Effendi Kadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar,
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Hasan Basri, Universitas Tadulako; Yassir
Nasanius, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Dwi Noverini Djenar, Sydney
University, Australia; Mahyuni, Universitas Mataram; Patrisius Djiwandono,
Universitas Ma Chung; Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Totok
Suhardijanto, Universitas Indonesia.
JURNAL LINGUISTIK INDONESIA
Linguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000
diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Linguistik Indonesia telah terakreditasi
berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 040/P/2014, 18 Februari 2014. Jurnal ilmiah ini
dibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannya umumnya
melalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secara
perseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp 200.000,00 (anggota dalam
negeri) dan US$30 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeri adalah
Rp 250.000,00 dan luar negeri US$50 per tahun.
Naskah dan resensi yang panduannya dapat dilihat di www.mlindonesia.org
dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian
belakang sampul jurnal.
ALAMAT
Masyarakat Linguistik Indonesia
Pusat Kajian Bahasa dan Budaya
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
JI. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930, Indonesia
e-mail: [email protected]; [email protected]
Tel./Faks.: +62 (0)21 571 9560
FORMAT PENULISAN NASKAH
Naskah diketik dengan menggunakan MS Word dikirimkan ke Redaksi melalui e-mail
[email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjang naskah, termasuk daftar
pustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman, dengan spasi 1.15 dan jenis
huruf Times New Roman 11 point. Naskah disertai dengan abstrak sekitar 150 kata dan kata
kunci (keywords) maksimal tiga kata. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa: bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, diletakkan setelah judul naskah dan afiliasi penulis.
Gaya penulisan kutipan hendaknya mengikuti format APA (American Psychological
Association) versi 6 (petunjuk dasar mengenai cara menulis kutipan menurut format APA dapat
dipelajari pada tautan berikut ini: https://owl.english.purdue.edu/owl/resource/560/02/). Untuk
kutipan pendek, yaitu kurang dari 40 kata, hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis. Kutipan
pendek langsung diawali dan diakhiri dengan tanda petik; kutipan pendek tidak langsung tidak perlu
menggunakan tanda petik. Untuk kutipan panjang, yaitu lebih dari 40 kata, kutipan diawali di baris
baru dengan indent ½ inch dari margin kiri, yaitu dalam tempat yang sama pada paragraf baru.
Margin kiri seluruh kutipan mengikuti margin kiri pada awal kutipan. Margin kanan kutipan sama
dengan margin kanan paragraf yang lain. Spasi dan ukuran tulisan kutipan tidak berubah. Setiap
kutipan harus disertai dengan sumber kutipan berupa nama belakang penulis dan tahun penerbitan,
misalnya (Radford, 1997). Untuk kutipan langsung—baik panjang maupun pendek—sumber kutipan
juga harus dilengkapi dengan keterangan nomor halaman, misalnya (Radford, 1997, p.215). Catatan
ditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada bagian bawah halaman (footnote).
Setiap sumber kutipan, baik artikel maupun buku tanpa dipilah-pilah jenisnya,
diurutkan menurut abjad berdasarkan nama akhir, tanpa diberi nomor urut. Sesuai dengan format
APA, daftar sumber kutipan ditulis sebagai berikut:
 Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) initial nama pertama, (4) titik, (5) kurung buka, (6)
tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) judul buku cetak miring, (10) titik, (11) kota
penerbitan, (12) titik dua (colon), (13) nama penerbit, dan (14) titik, seperti pada contoh
berikut:
Levinson, S.C. (2003). Space in language and cognition. Cambridge: Cambridge University
Press.
Malt, B., & Wolff, P. (2010). Words and the mind. Oxford,UK: Oxford University Press.
 Untuk artikel dalam jurnal: (1) nama akhir, (2) koma, (3) initial nama pertama, (4) titik, (5)
kurung buka, (6) tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) judul artikel, (10) titik, (11)
nama jurnal cetak miring, (10) koma, (11) volume cetak miring, (12) nomor issue dalam kurung
cetak tegak (kalau ada), (13) halaman, dan (14) titik, seperti pada contoh berikut:
Gentner, D., & Christie, S. (2010). Mutual bootstrapping between language and analogical
processing. Language and Cognition, 2(2), 261–283.
Li, P., & Gleitman, L. (2002).Turning the tables: Language and spatial reasoning. Cognition,
83 (3), 265–294.
 Untuk artikel dalam buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) initial nama pertama, (4) titik, (5)
kurung buka, (6) tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) berilah kata “Dalam” untuk
artikel dalam Bahasa Indonesia atau “In” (untuk artikel dalam Bahasa Inggris), (10) initial
nama pertama editor, (11) titik, (12) nama akhir editor disusul (ed.), atau (eds.) jika lebih dari
satu, (13) koma, (14) judul buku cetak miring, ( 15) kurung buka, (16) halaman, (17) kurung
tutup, (10) titik, (11) kota penerbitan, (12) titik dua (colon), (13) nama penerbit, dan (14) titik,
seperti pada contoh berikut:
Dryer, M.S. (2007). Noun phrase structure. Dalam T. Shopen (ed.), Complex Constructions,
Language Typology and Syntactic Description (II) (hlm. 151–205). Cambridge: Cambridge
University Press.
Gleitman, L., & Papafragou, A. (2005). Language and thought. Dalam K.J. Holyoak, & R.G.
Morrison (Eds.), Cambridge handbook of thinking and reasoning (hlm. 117-142). Cambridge:
Cambridge University Press.
 Jika ada lebih dari satu artikel oleh pengarang yang sama, nama pengarangnya ditulis ulang,
dimulai dengan tahun terbitan yang lebih dulu, mengikuti contoh ini:
Swain, M. (1985). Communicative competence: Some roles of comprehensible input and
comprehensible output in its development. In S.M. Gass, & C.G. Madden (eds.), Input in
second language acquisition (pp. 235–253). Cambridge, MA: Newbury House.
Swain, M. (2000). The output hypothesis and beyond: Mediating acquisition through
collaborative dialogue. In J.P. Lantold (ed.), Sociocultural theory and second language
learning (pp. 97–114). Oxford, England: Oxford University Press.
Daftar Isi
Infixation and Apophony in Malay: Description and Developmental
Stages
Timothy McKinnon, Yanti, Peter Cole, Gabriella Hermon ..............
1
Penetapan Bentuk Fonologis dari Bunyi yang Beralternasi: Satu Aspek
Terpenting dalam Sistem Tata Bahasa
I Wayan Pastika................................................................................. 21
The Expression of Possession in Some Languages of the Eastern Lesser
Sunda Islands
Philippe Grangé ................................................................................ 35
The Use of Hedges and Boosters as Rhetorical Devices in the
Construction of Speeches
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono ................................................. 53
Reduplikasi dalam Bahasa Mandar
Nurhayati........................................................................................... 73
Resensi:
Karen Sullivan
Frames and Constructions in Metaphoric Language
Diresensi oleh Bahren Umar Siregar ......................................................... 91
Jelajah Linguistik:
Lonceng Kematian Teori Tata Bahasa Universal?
Yassir Nasanius .......................................................................................... 95
Bincang antara Kita dari Dunia Maya:
Revolusi Mental Berawal dari Bahasa ............................................. 97
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 1-19
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
INFIXATION AND APOPHONY IN MALAY:
DESCRIPTION AND DEVELOPMENTAL STAGES
Timothy McKinnon*
University of Delaware
[email protected]
Yanti
Atma Jaya Catholic University of Indonesia
[email protected]
Peter Cole
University of Delaware; Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology
[email protected]
Gabriella Hermon
University of Delaware; Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology
[email protected]
Abstract
Malay(ic) languages of Sumatra show a high level of internal diversity. Linguists are
only beginning to understand the ways in which these languages differ from one
another, and what this divergence tells us about the origins and development of Malay.
This paper describes an important morphological phenomenon in Sumatran Malay:
morphological word-shape alternations. Kerinci, a Malayic language spoken in the
Bukit Barisan range in Jambi, exemplifies this phenomenon. Kerinci exhibits a
morphological alternation which is realized in the final –V(C) of roots (e.g. ataʔ ‘roof’
vs. atək ‘the/its roof’) (Prentice & Usman, 1978; Steinhauer & Usman, 1978) inter
alia). Previous studies have concluded that word-shape alternations of this sort are
attested only in a subregion of Kerinci (cf. Usman, 1988). In this paper, we show that
word-shape alternations resembling those found in Kerinci can be found sporadically
throughout a large region of Sumatra, in both Minangkabau and Traditional Malay
varieties. We describe these phenomena, and develop a historical account of their
development. We conclude that word-shape alternations developed independently in
several varieties as a result of shared prosodic properties.
Keywords: infixation, Malay, historical linguistics
Abstrak
Bahasa-bahasa Malayik di Sumatra memiliki keanekaragaman internal yang tinggi.
Para ahli bahasa baru saja mulai mengerti bagaimana bahasa-bahasa ini berbeda satu
sama lain dan bagaimana perbedaan ini menunjukkan asal-usul dan perkembangan
bahasa Melayu. Makalah ini mendeskripsikan sebuah gejala morfologis penting yang
ditemukan dalam bahasa Melayu di Sumatra, yaitu perubahan bentuk kata morfologis.
Bahasa Kerinci, sebuah bahasa Malayik yang digunakan di Bukit Barisan Jambi,
merupakan salah satu bahasa yang menunjukkan gejala morfologis tersebut. Bahasa
Kerinci memiliki perubahan morfologis yang diwujudkan dalam kata dasar yang
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
berakhiran –V(K) (misalnya, ataʔ ‘atap’ vs. atək ‘atap itu/atapnya’) (antara lain:
Prentice & Usman, 1978; Steinhauer & Usman, 1978). Dalam kajian-kajian
sebelumnya disimpulkan bahwa perubahan bentuk seperti ini hanya ditemukan di
daerah Kerinci (Usman, 1988). Dalam makalah ini kami tunjukkan bahwa perubahanperubahan bentuk kata seperti yang ditemukan di Kerinci itu juga ditemukan secara
sporadis di daerah yang besar di Sumatra, yaitu dalam ragam-ragam bahasa
Minangkabau dan Melayu Tradisional. Kami gambarkan gejala-gejala tersebut dan
paparkan sebuah penjelasan historis mengenai bagaimana gejala-gejala tersebut dapat
terjadi. Kami simpulkan bahwa perubahan-perubahan bentuk kata berkembang sendirisendiri dalam beberapa ragam bahasa sebagai hasil dari sifat prosodik yang sama.
Kata kunci: infiksasi, Melayu, linguistik historis
INTRODUCTION
Among the Malayic languages, Kerinci is well-known for its unusual morphological
characteristics. In many (but not all) Kerinci varieties, roots show apophony of the root-final
syllable rime. The following table, which lists several ‘basic’ forms and their respective
‘secondary’ forms, illustrates some of the phonological properties of the alternation as well as
its diverse morphological/syntactic functions. (An in-depth description of these functions can be
found in works like Steinhauer & Usman, 1978, Usman, 1988, Mckinnon, 2011, McKinnon,
Cole & Hermon, 2011, and Ernanda, 2015).
(1) Kerinci (Tanjung Pauh) root final alternation1
Basic Form Gloss
Secondary Form Gloss
gdɨ
‘large’
gdʌŋ
‘enlarge’ or ‘largeness of (something)’
tala͡e
‘rope’
talɨy
‘his/her/the rope’
mala
‘night’
maləŋ
‘last night’
anaʔ
‘child’
anə͡oʔ
‘his/her/the child’
manda͡e
‘bathe’ mandɨy
‘to bathe (someone)’
tidə͡o
‘sleep’
tidɨw
‘to put (someone) to sleep’
Until recently, word-shape alternations have been seen as a peculiarity, restricted to
certain Kerinci varieties, but otherwise not found in Malayic languages. Our recent fieldwork in
the region has revealed that morphological alternations like those found in Kerinci are also found
in several rural Malay varieties spoken well outside of Kerinci. One such variety is Rantau
Panjang, a Traditional Malayic variety spoken in upstream Jambi. As the following examples
illustrate, the final syllable rime of roots in Rantau Panjang exhibits a morphological alternation.
(2) Rantau Panjang root final alternation
Basic form Gloss
Secondary Form Gloss
gaham
‘salt’
gahom
‘his/her/the salt’
anaʔ
‘child’
anoʔ
‘his/her/the child’
ilaŋ
‘disappear’ ŋiloŋ
‘to make something disappear’
bulant
‘round’
bulont
‘to make something round’
api
‘fire’
apih
‘the fire’
baco
‘read’
bacuh
‘to read something’
Although there are similarities between the word-shape alternations in Kerinci varieties
and those found in non-Kerinci varieties, there are also important differences. Mckinnon et. al.
2
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
(under review) distinguish two general types of alternating varieties based on the grammatical
distribution of ‘basic’ and ‘secondary’ forms. In so-called ‘weakly’ alternating varieties (which
include non-Kerinci varieties as well as some Kerinci varieties, such as Lempur) secondary
forms have limited functions, and only appear in environments where a 3rd person pronoun or
suffix is attested in other varieties. The following examples show secondary forms and their
cognates in a non-alternating variety (e.g. Jambi Malay).
(3) Ablaut in Rantau Panjang (RP) and Overt Pronoun in Jambi Malay (JM)
RP (Secondary Form) JM (Overt Pronoun)
Meaning
gahom
garam-ɲo
‘his/her/the salt’
anoʔ
anaʔ-ɲo
‘his/her/the child’
apih
api-ɲo
‘the fire’
(4) Ablaut in Rantau Panjang (RP) and Overt Suffix in Jambi Malay (JM)
RP (Secondary Form) JM (Overt Suffix)
Meaning
pcoh
mcah-i
‘to break something’
ŋiloŋ
ŋilaŋ-kan
‘to make something disappear’
ŋatun
ŋato-kan
‘to say’
In strongly alternating varieties secondary forms do not only exhibit the functions
shown in (3) and (4), they also appear in certain phrase-medial contexts. For example, nouns
appear in the secondary form when followed by possessors (5), attributive adjectives (6), and
demonstratives (7), and active verbs appear in the secondary form when followed by a nominal
direct object (8). In weakly alternating varieties, the basic root form appears in these phrasemedial contexts.
(5)
Kerinci (Secondary form)
mamə͡oʔ kanta͡e
RP (Basic form)
mamaʔ kanti
Meaning
‘a friend’s uncle’
(6)
Kerinci (Secondary form)
talɨy panǰa
RP (Basic form)
tali panǰaŋ
Meaning
‘long rope’
(7)
Kerinci (Secondary form)
bidɨwʔ itə͡oh
myə͡o tah
RP (Basic form)
bidʊʔ-tu
macan-tu
Meaning
‘that boat’
‘that tiger’
(8)
Kerinci (Secondary from)
makən rutɨy
RP (Basic form)
makan/*makon ruti
maŋgaŋ/*maŋgoŋ ayam
Meaning
‘eat bread’
‘grill chicken’
In terms of their geographic distribution, strongly alternating varieties are spoken in a
small yet contiguous sub-region of Kerinci, whereas weakly alternating varieties are spoken
throughout a much larger region, and are interspersed with varieties that do not exhibit an
alternation.
3
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
The aims of this paper are to describe the properties of apophony in so-called weakly
alternating varieties and to provide an account of how this alternation developed historically.
We shall argue that morphological apophony developed independently in several varieties, and
that its development can be seen as a consequence of prosodic characteristics shared by Malayic
varieties spoken throughout the region. Specifically, we claim that secondary forms derive
historically from forms in which prosodically weak pronouns and suffixes underwent gradual
phonological reduction.
In this paper we focus exclusively on weakly alternating varieties for several reasons:
First, weakly alternating varieties have not yet been described in any detail. Secondly, weakly
alternating varieties are quite conservative in terms of their phonology. Thus, from these varieties,
we can reliably infer which historical changes have led to the development of the alternation. In
contrast, strongly alternating varieties have undergone complex historical changes that obscure the
historical origins of morphological apophony. Thirdly, we wish to avoid addressing the historical
relationship among weakly and strongly alternating varieties, because this issue is addressed
comprehensively in Mckinnon, Cole, Hermon, and Yanti (under review). The present paper
provides an in-depth description of weakly alternating varieties, which, due to limitations of
length and scope, could not be addressed in Mckinnon, et al. (under review).
STRUCTURE OF THE PAPER
The paper is structured as follows: The next three sections of this paper describe the
phonological properties of apophony in weakly alternating varieties. Our general claim is that
morphological apophony developed as a result of phonological reduction of post-root
morphology (e.g. suffixes and the 3rd person pronoun). Accordingly, we classify varieties based
on the degree to which post-root morphemes have become phonologically reduced. Weakly
alternating varieties can be described as belonging to three distinct groups, representing three
progressive historical stages, i.e. stages II, III, and IV below.
4
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
I.
II.
Original Stage: Post-root pronoun/suffix occurs as a separate syllable.
Reduced Stage: Post-root pronoun/suffix is highly reduced and appears as part of the rootfinal coda with some or all of the bases to which it attaches.
III. Infixation Stage: Post-root pronoun/suffix becomes an infix appearing in the final syllable
of the word.
IV. Morphologically Incorporated Stage: Post-root pronoun/suffix is no longer a distinct
morpheme; rather, it is marked via a morphophonological change in the base-final syllable.
These historical stages can be illustrated in brief by looking at the form of makan ‘eat’
as it appears with the 3rd person pronoun. Jambi Malay (Yanti, 2010) represents stage I. The
pronoun occupies a distinct syllable following the root.
(9) Jambi Malay:
makan-ɲo
|
|
base pro
Stage II is illustrated by Tapus, a variety of Minangkabau spoken near the northern
border of West Sumatra. In this variety, the pronoun occurs in a phonologically reduced form.
The pronoun appears at the right edge of the base makan, and receives some of its feature
specifications from the coda of the base.
(10) Tapus Minangkabau:
makan-n [makan:]
|
|
base pro
Stage III is illustrated by Jernih Sarolangun, a variety spoken in the Air Hitam region of
Sarolangun, Jambi. In this variety, the pronoun has become a phonological infix i.e. the
pronoun, which historically was a suffix, precedes the final coda and exhibits some assimilation
to the preceding vowel. In Jernih Sarolangun, the infixed vowel assimilates to the final syllable
nucleus of the base makan (pronounced as makat or makatn in phrase-final positions (see
Mckinnon et. al.)).
(11) Jernih Sarolangun
Base
/ \
maka-a-n
|
pro
Stage IV is illustrated by Rantau Panjang, a variety of Malay spoken in upstream Jambi
to the north of Bangko on the Trans-Sumatran Highway. In Rantau Panjang, the pronoun
morpheme is no longer retained as a distinct segment; instead, the pronominal function is
marked via a morphophonological rule which affects the final rime of the word. In its secondary
form, the final vowel of the root makan becomes o.
5
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
(12) Rantau Panjang
Basic form
Secondary form
makan
> makon
In the final section of the paper, following our description of varieties belonging to the
aforementioned groups, we discuss the historical relationship between weakly alternating
varieties. The fact that changes with similar functions occur in a wide variety of languages
might seem to suggest that the changes in weakly alternating varieties are all derived from a
shared historical innovation in an earlier variety of Malayic. While such an analysis is initially
attractive, we shall argue that it is not the correct analysis. This is because the phonological
manifestations of the changes are too different in the varieties considered to derive from a
shared innovation. Instead, we shall argue that the innovations developed in parallel, and were
due to shared phonological pressures (a shared “problem”) that received differing solutions in
different weakly alternating varieties.
STAGE II: VARIETIES WITH PHONOLOGICALLY REDUCED POST-ROOT
MORPHOLOGY
Tapus Minangkabau and Lempur Tengah, Kerinci, both illustrate Stage II, i.e. post-root
morphology appears in a phonologically reduced form at the right edge of the root/base.
Tapus Minangkabau
Tapus is a variety which illustrates an initial stage in the gradual reduction of root-final
morphology. The pronoun in this variety is an underspecified segment exhibiting the features
[nasal] and [sonorant], which attaches to the right edge of its base. The [place] (i.e. oral place)
and [consonant] (when present) features of this segment are determined via spreading from the
final segment of the base.2
(13) Spreading in secondary form:
a. V-final or Vʔ/h final bases:
[place]
[nasal] [sonorant]
...V
(ʔ/h)
X
b. VC-final bases:
[place] [cons.] [nasal] [sonorant]
...V
C
X
Thus, in bases containing a monophthong in final position, the secondary form surfaces with a
nasal vowel with the same features as the base final vowel.3
6
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
(14) Alternation in roots with final monophthong:
-V# Basic Form Secondary Form Malay
-i
padi
padiĩ
padi
-u
kayu
kayuũ
kayu
-o
raǰo
raǰoõ
raǰa
-a
gata
gataã
gatal
English
‘rice (unhusked)’
‘rich’
‘king’
‘itch’
Glottal segments do not trigger or block feature spreading in the derivation of secondary
forms. The following examples all contain glottal codas in final position. As in the examples
above, the additional [nasal] segment marking the secondary form exhibits [place] features
which are identical to the final vowel in the base.
(15) Alternation in roots with final glottal:
Rime
Basic Form Secondary Form
-iʔ
gigiʔ
gigiʔĩ
-eʔ
padeʔ
padeʔẽ
-aʔ
togaʔ
togaʔã
-oʔ
gonoʔ
gonoʔõ
-ih
gadih
gadihĩ
-eh
ǰoleh
ǰolehẽ
-ah
basah
basahã
Malay
gigit
padat
təgaʔ
gənap
gadis
ǰəlas
basah
English
‘to bite’
‘dense’
‘to stand up’
‘even/whole’
‘girl/virgin’
‘clear’
‘wet’
In words containing a diphthong or sequence of vowel and glide in the final coda, the
[place] features of the glide spread in the secondary form. In the two data sets below, bases in
the first set do not exhibit a final coda; whereas, in the second data set each of the bases
contains a glottal coda.
(16) Bases with final diphthongs
Rime Basic Form Secondary Form
-ia
bibia
bibiaã
a
a
-u
caŋku
caŋkuaã
-ay
lantay
lantayĩ
-aw
hiǰaw
hiǰawũ
Malay
bibir
caŋkul
lantay
hiǰaw
English
‘lips’
‘mattock’
‘floor’
‘green’
(17) Bases with final diphthong followed by glottal coda
Rime
Basic Form Secondary Form Malay
a
-i h
borosiah
brosiahã
bərsih
-uaʔ
buruaʔ
buruaʔã
buruk
-uah
subuah
subuahã
subuh
- i aʔ
baliaʔ
baliaʔã
balik
-uyʔ
cabuyʔ
cabuyʔĩ
cabut
English
‘clean’
‘ugly’
‘dawn’
‘return’
‘pull out’
Bases in which the final segment is a nasal stop exhibit secondary forms in which the
same nasal segment is realized with noticeably longer duration.
(18) Alternation in roots with final nasal stop:
Rime Basic Form Secondary Form Malay
-m
musim
musim:
musim
-n
diŋin
diŋin:
diŋin
a
a
-ŋ
kambi ŋ
kambi ŋ:
kambiŋ
7
English
‘season’
‘cold’
‘goat’
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
(19) Alternation in roots with final oral stop:
-VC# Basic Form Secondary Form
-p
waǰip
waǰipm
titip
titipm
-t
adat
adatn
dompɛt
dompɛtn
Malay
wajip
titip
adat
dompet
English
‘mandatory’
‘entrust’
‘customary law’
‘wallet’
To summarize, the pronoun is phonologically reduced in Tapus, and ‘relies’ on the final
segments of the root for its featural content.
Lempur Tengah
Post-root morphology is also reduced in Lempur Tengah, and like Tapus, the featural
specification of this morphology depends in large part on the phonological properties of the
root. With most roots, the third person pronoun is realized as a schwa-like segment with very
short duration compared to the root-final syllable (20). However, when the final coda of the root
is a glottal sound ([h] or [ʔ]), this schwa-like segment assimilates in place of articulation to the
vowel immediately preceding the glottal stop (20).
(20) Lempur Tengah (Kerinci): reduced pronoun/suffix
a. pronoun/suffix realized as schwa
panǰe ‘long’
> panǰeə
tanam ‘plant’
> tanamə
lantay ‘floor’
> lantayə
dɛnʌw ‘lake’
> dɛnʌwə
biçʊl
‘boil (skin)’ > bisyʊlə
b. pronoun/suffix harmonizes w/final vowel
lmaʔ
‘fat/tasty’
> lmaʔa
tgʌʔ
‘stand’
> tgʌʔʌ
tpoʔ
‘clap/slap’ > tpoʔo
panah
‘arrow’
> panaha
gɛǰʌh
‘elephant’ > gɛǰʌhʌ
iblih
‘evil spirit’ > iblihi
naŋeh
‘cry’
> naŋehe
haluyh
‘fine’
> haluyhi
buŋkuyh ‘pack’
> buŋkuyhi
puteh
‘white’
> putehe
Therefore, much as in Tapus, Lempur represents a variety wherein the root-final
morphology has undergone phonological reduction. In both varieties, the pronoun is
phonologically underspecified, and its surface manifestation is in part determined by the
phonological properties of the base to which it attaches (though it reflects the properties of the
base in different ways in each case).
8
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
STAGE III: VARIETIES WITH INFIXED POST-ROOT MORPHOLOGY
Tapan (West Sumatra) and Jernih, Sarolangun (Jambi), are both representative of Stage III, i.e.
the reflexes of post-root morphemes behave as infixes for some (Tapan) or all (Jernih) bases.
Tapan
Tapan is a Malayic variety spoken in the Pesisir region of West Sumatra, near the border with
Bengkulu. Gil, Kurniati, Wichmann, and Putri (2011) have argued that Tapan, along with
Muko-Muko (Bengkulu) and other varieties spoken in this region is a variety of Lunangic, a
divergent branch of Minangic. The variety we describe here is spoken in the village of Binjai.
This variety shows different phonological properties from the variety spoken in the Tapan Kota
(Tapan City) (Gil & Mckinnon, 2014).
In Tapan, the 3rd person pronoun is phonologically reduced, as in Tapus and Lempur.
According to speakers’ judgments, this morpheme does not constitute a separate syllable. In
contrast with the other varieties, in Tapan the pronoun does not always appear at the right edge
of the base to which it attaches. In fact, the position of the pronoun is determined by the
properties of the final coda.
For bases containing an open final syllable, [-low] vowels are inglided and [+low]
vowels are lengthened.
(21) Tapan: Vowel final bases
a. Forms ending with a [-low] vowel
matu > matua ‘eye’
piki > pikia ‘think’
bibe > bibea ‘lips’
b. Forms ending with [+low] vowel
miǰa
> miǰa:
‘table’
acara
> acara:
‘event’
maŋga > maŋga: ‘million’
In bases ending with most types of consonants, the reduced morpheme is articulated as
a reduced [-high] vowel after the final coda. In addition, the presence of the morpheme causes
the root-final vowel to become somewhat lengthened. Thus, in terms of where it is realized
phonetically, the reduced morpheme ‘straddles’ the final coda, rather than preceding or
following it.
(22) Tapan: bases ending with consonants
minum > minu:ma ‘drink’
ayam
> aya:ma
‘chicken’
bulan
> bula:na
‘moon’
a
diŋin
> diŋin
‘cold’
ada
> ada:pa
‘to face’
laŋit
> laŋi:ta
‘sky’
a
dawat
> dawa:t
‘ink’
cabut
> cabu:ta
‘pull out’
a
bəkas
> bəka:s
‘used, former’
9
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
ǰudul
iǰaw
latay
bʁeh
mutah
daʁah
anaʔ
ləmaɁ
lambeɁ
>
>
>
>
>
>
>
>
>
ǰudu:la
iǰa:wa
lata:ya
bʁe:ha
muta:ha
daʁa:ha
ana:ʔa
ləma:Ɂa
lambe:Ɂa
‘title’
‘green’
‘floor’
‘rice (uncooked)’
‘vomit’
‘blood’
‘child’
‘tasty/fat’
‘slow’
For bases in which the final rime contains a [+high] nucleus and a glottal coda, in the
secondary form the base-final vowel is inglided and weak vocalic articulation follows the glottal
segment.
(23) Tapan: bases/roots ending with a [-low] vowel followed by [–h]/[-ʔ]
putih
> putiaha
‘white’
a a
buʁuɁ
> buʁu Ɂ ‘ugly’
adiɁ
> adiaɁa
‘younger sibling’
a a
itiɁ
> iti Ɂ
‘duck’
These examples show that the pronoun is neither situated in a position preceding the coda, nor is
it situated after the final coda (as is Tapus).
In other forms, the pronoun appears to coalesce with an underlying coda consonant. In
bases ending with the velar nasal stop the derivation of the secondary form involves one of two
patterns. First, in forms ending with a velar nasal where this segment is from historical *ŋ, this
segment is replaced with a non-syllabic nasal vowel in the secondary form, as illustrated below.
(24) Tapan Binjai: pronominal morpheme and base ending with -ŋ: bases ending with /ŋ/
udaŋ
udaã
‘shrimp’
a
idu ŋ
iduã
‘nose’
a
ã
kambi ŋ kambi
‘goat’
goreaŋ
goreã
‘fry’
a
ã
boho ŋ boho
‘lie’
Secondly, some forms exhibit a ‘excrescent’ velar nasal in final position i.e. a nasal
sound inserted historically in word final position after the high vowels *i# and *u#. In these
forms, the final velar nasal in the base form is replaced by a non-syllabic oral vowel in the
secondary form.
(25) Tapan Binjai: Pronominal morpheme and bases ending with an ‘excrescent’ nasal
kakiŋ
kakia ‘leg’
kayuŋ
kayua ‘wood’
taliŋ
talia
‘rope’
atuŋ
atua
‘ghost’
In summary, we have seen that the reduced pronominal morpheme replaces or coalesces
with the final coda in bases which otherwise surface with a velar nasal stop. Moreover, in bases
with other types of final codas, the pronominal morpheme ‘straddles’ the final coda segment.
10
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
Based on these facts, Gil and Mckinnon (2014) argue that the pronoun coalesces with the
segment which occupies the final coda of the root.
Assuming this analysis is correct, Tapan represents an intermediate stage between
varieties in which the pronoun/suffix is realized as a suffix and varieties where it is realized as
an infix.
Jernih Sarolangun
In Jernih, the reflex of the 3rd person pronoun/suffix occurs as a phonologically reduced
segment which precedes the final coda of the base, and thus behaves like an infix. However, in
addition to behaving like an infix, the pronoun/suffix may also cause changes in the final vowel
nucleus and consonant coda of the base, changes in vowel height and debucalization of the coda
consonant. Let us consider bases ending in closed syllables before turning to bases ending with
open final syllables.
If the base contains a final coda, the reduced pronoun/suffix is realized as ingliding
following a [-low] nucleus, and as lengthening with a [+low] nucleus.4
(26) Jernih: Bases with a final coda
a. Forms ending with [-low] vowel
Basic Form 3rd Person/Suffix
dʊdʊɁ
dʊdʊ:əɁ
habɪnt
habɪ:ənt
cəlomp
cəlo:əmp
laher
laheər
‘sit’
‘crescent’
‘to dip’
‘neck’
b. Forms ending with a [+low] vowel
Basic Form 3rd Person/Suffix Gloss
anaɁ
ana:Ɂ
‘child’
panayç
pana:yç
‘hot’
pʊtaʁ
pʊta:ʁ
‘turn’
tanam
tana:m
plant’
In bases ending with a rime containing a low vowel nucleus (a or ɒ) followed by one of
the coronal codas t or (y)ç, the addition of the reduced morpheme may also cause fronting and
raising of the vowel ([+low] → [e]) as well as debucalization of the coda consonant ([t]→[Ɂ]
and [(y)ç]→ [h]).
(27) Vowel raising/fronting and debuccalization
Basic Form
Pronoun/Suffix
Gloss
balɒyç
> balɒ:yç or bale:əh ‘reply’
kəʁayç
> kəʁa:yç or kəʁe:əh ‘hard’
padɒnt
> padɒ:nt or pade:əɁ ‘dense’
səsant
> səsa:nt or səse:əɁ
‘off course’
Now, let us consider bases which end with an open syllable. When the reduced postroot morpheme appears with a base ending with the low vowel a, the morpheme is realized as
lengthening of this vowel (e.g. ʊsaha ‘effort’ vs. ʊsaha: ‘his/her/the effort’). With bases that
end with a non-low vowel, the reduced morpheme is realized as a central glide.
11
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
(28) Jernih: Vowel final bases
Forms ending with [-low] vowel
Basic Form 3rd Person/Suffix
ɪbʊ
ibo:ə
lʊpʊ
lʊpo:ə
bəliy
bəlɪ:ə
y
mati
matɪ:ə
w
hapu
hapʊ:ə
ɪnduw
ɪndʊ:ə
Gloss
‘sad’
‘forget’
‘buy’
‘dead’
‘broom’
‘long for’
Some additional discussion of these forms is warranted, since the addition of the
reduced morpheme may cause additional changes in the quality of the root-final vowel. First, in
forms which historically end with a high vowel, this vowel is inglided in the citation form;
however, when such forms occur with the reduced morpheme, the final vowel is realized as a
slightly lowered high monophthong (e.g. bəliy ‘buy’ vs. bəlɪə ‘the/its buying’; ɪnduw ‘long for’
vs. ɪndʊə ‘his/her/the longing’).5 Secondly, in many bases which exhibit the high vowel [ʊ] in
final position in citation form, this vowel surfaces as [o] in forms containing the reduced
morpheme (e.g. lʊpʊ ‘forget’ vs. lupo:ə ‘his/her/the forgetting’). An analogous alternation
between [ɪ] and [e] is found in a very limited number of forms (e.g. gawɪ ‘work’ vs. gawe:ə
‘his/her/the work’).6,7
The following diagram summarizes changes in vowel quality between citation forms
and forms containing a reduced pronoun/suffix.
(29) Jernih: changes in final vowel quality (form with reduced pronoun/suffix → citation form)
iy
high & diphthongized
uw
high
ɪ
e
mid
ʊ
o
ɒ
a
In summary, both Tapan and Jernih Sarolangun are varieties in which the pronoun (and
suffix) are phonologically incorporated into the base. In the case of Tapan, the pronoun is
attached directly to the final coda position of the base; whereas, in Jernih Sarolangun the
pronoun directly precedes the final coda of the base. Moreover, in addition to being
phonologically realized as an infix, the reduced morpheme in Jernih also causes changes in the
nucleus vowel and coda rime of the final syllable of its base. In this sense, the reduced
pronoun/affix in Jernih represents a transitional variety between varieties where the
pronoun/suffix is a distinct segment which is added to a base (e.g. Tapus and Tapan) and
varieties in which the historical pronoun/affix is realized via a morphophonological rule.
12
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
STAGE IV: POST-ROOT MORPHOLOGY IS REALIZED VIA A MORPHOPHONOLOGICAL RULE
Rantau Panjang
In Rantau Panjang, unlike the other varieties we have discussed, post-root morphology is not
reflected as a reduced suffix or infix, but rather as a morphophonological rule which affects the
properties of root final vowels. The derivation of the ablaut form (which occurs in environments
where a 3rd person pronoun or suffix occurred historically) involves raising the final vowel of
the base and insertion of [h] into coda position (when that position is empty). This derivation is
illustrated by the diagram below:8
(30)
CLOSED RIME
Front
Back
OPEN RIME
Front
High
i
u
High
i/ia ih
u/ua uh
Mid
ɪ
e
ʊ
o
Mid
e
o
Low
a
Back
oh
a
Roots for which the final rime contains the low vocalic nucleus /a/, for example, exhibit a
secondary form rime containing the mid nucleus [o].
(31) Rime
-ay
-aw
-aɁ
-ah
-a
-al
-aŋ
-an
-am
-amp
Basic Form
capay
santay
pulaw
kidaw
tgaɁ
paǰaɁ
dirah
gtah
data
dŋa
tiŋgal
paŋkal
kɲaŋ
bayaŋ
uǰan
kanan
alam
malam
taŋkamp
siyamp
Secondary Form
capoy
santoy
pulow
kidow
tgoɁ
paǰoɁ
diroh
gtoh
datoh
dŋoh
tiŋgol
paŋkol
kɲoŋ
bayoŋ
uǰon
kanon
alom
malom
taŋkom
siyomp
13
Gloss
'reach/achieve'
'relax'
'island’
'left handed'
'stand'
‘tax’
‘region’
‘sap’
‘flat’
‘hear’
‘stay’
‘base’
‘full (not hungry)’
‘shadow’
‘rain’
‘right’
‘nature’
‘night’
‘catch’
‘ready’
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
-ant
ktant
liwant
ktont
liwont
‘tight’
‘pass by’
For bases in which the final syllable contains the mid vowels /e/ or /o/, the rime of the
secondary form will contain high nucleus [i] and [u], respectively.
(32) Rime
-eh
-eʔ
-o
Basic Form
maleh
lpeh
kbeɁ
biheɁ
mato
pso
Secondary Form
malih
lpih
kbiɁ
bihiɁ
matuh
psuh
Gloss
‘lazy’
‘release’
‘tie’
‘weight’
‘eye’
‘force’
Likewise, in base forms containing the nuclei /ɪ/ and /ʊ/, the rime of the secondary form
contains the high vowels [i] and [u], respectively.
(33) Rime
-ʊh
-ʊɁ#
-ʊŋ#
-ʊl#
-ʊr#
(34) Rime
-ɪh
-ɪɁ
-ɪŋ
-ɪl
-ɪr
Basic Form
plʊh
guhʊh
masʊɁ
gpʊɁ
kŋkʊŋ
kampʊŋ
kumpʊl
bakʊl
ǰuǰʊr
giyʊr
Secondary Form
pluh
guhuh
masuɁ
gpuɁ
kŋkuŋ
kampuŋ
kumpul
bakul
ǰuǰur
giyur
Gloss
‘sweat’
‘thunder’
‘enter’
‘fat’
‘throat’
‘village’
‘gather’
‘basket’
‘fair/honest’
‘flatter’
Basic Form
lbɪh
pilɪh
naɪɁ
udɪɁ
pihɪŋ
malɪŋ
ǰiɲǰɪŋ
asɪl
tampɪl
lahɪr
ahɪr
Secondary Form
lbih
pilih
naiɁ
udiɁ
pihiŋ
maliŋ
ǰiɲǰiŋ
asil
tampil
lahir
ahir
Gloss
‘more’
‘choose’
‘ascend’
‘north/upstream’
‘plate’
‘steal’
‘carry in hand’
‘result’
‘appearance’
‘be born’
‘end’
An additional property of the alternation is that, for bases ending with open syllables,
the secondary form appears with the final coda [h]. Thus, for bases containing a final non-high
vowel, the same vowel in the secondary form is raised along the same lines as the examples
above, and [h] appears in the final coda position.
14
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
(35) Rime
-a
-o
-e
Basic Form
tawa
miǰa
kǰa
blanǰo
mato
dniyo
cabe
tante
lunte
Secondary Form
tawoh
miǰoh
kǰoh
blanǰuh
matuh
dniyuh
cabih
tantih
luntih
Gloss
‘offer’
‘table’
‘pursue/chase’
‘shopping’
‘eye’
‘world’
‘chili’
‘aunt’
‘prostitute’
In roots which contain an open final syllable with a high vowel, this vowel remains the
same in the secondary form and [h] occupies the final coda.
(36) Rime
-u
-i
Basic Form
abu
bumbu
pintu
tiŋgi
ati
pagi
Secondary Form
abuh
bumbuh
pintuh
tiŋgih
atih
pagih
Gloss
‘ash’
‘spice’
‘door’
‘tall’
‘liver’
‘morning’
The inglided vowels ia and ua behave in much the same way as monophthongs in open
syllables. In the secondary forms of such roots, ingliding is lost (i.e. ia and ua become i and u,
respectively), and [h] is inserted as a coda.
(37) Rime
-ua
-ia
Basic Form
ukua
ancua
dapua
pikia
ilia
liyia
Secondary Form
ukuh
ancuh
dapuh
pikih
ilih
liyih
Gloss
‘measure’
‘destroy’
‘kitchen’
‘think’
‘south’
‘neck’
In summary, in Rantau Panjang, unlike Tapan, Tapus, Lempur, and Jernih Sarolangun,
the reflex of the 3rd person pronoun and suffix is a regular morphophonological rule which
raises the base final vowel (and, in the case of final open syllables, inserts h into coda position).9
CONCLUSION
In this paper, we have described key phonological properties of weakly alternating traditional
Malay varieties. The data we have presented not only illustrate the fact that weakly alternating
varieties are spoken across a wide geographic region of Sumatra, they also show that the
alternation is manifested in phonologically diverse ways across the region. We have shown that
weakly alternating varieties differ in the degree to which historical post-root morphology has
been incorporated into the base phonologically. In Tapus and Lempur Tengah, varieties which
we described as exhibiting ‘Stage II’ alternations, historical post-root morphemes have
undergone considerable phonologically reduction, yet they remain in their historical position, at
15
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
the right edge of the base. In Jernih Sarolangun and Tapan, varieties which we described as
having ‘Stage III’ alternations, the historical post-root morphemes are reflected as reduced
segments which are phonologically incorporated into the base as an infix in most forms.
Finally, in Rantau Panjang, which exhibits ‘Stage IV’ alternations, we observed that the
historically post-root morphemes are not segmentable, but rather constitute a regular
morphophonological rule affecting the base.
Having established phonological reduction and incorporation as prevalent historical
process in Malayic varieties in Sumatra, the question arises whether apophony developed as a
result of shared innovations within a single branch of Malayic or whether these changes
occurred independently in several regions. We see strong evidence in favor of the view that the
alternation developed independently.
In particular, a shared innovation analysis fails to account for the sporadic distribution
of alternating varieties. As we have seen, the word-shape alternations are found both in
Minangkabau and non-Minangkabau varieties. Although our current understanding of the
internal genetic classification of Malayic languages in Sumatra is quite limited, dialectology in
the region has demonstrated the existence of some shared phonological changes which argue for
classifying Minangkabau(ic) as a distinct genetic group. It has been observed that in most ‘core’
Minangkabau varieties root-final obstruents were lost historically (i.e. *-up,*-ut > -uyʔ; *-it>iʔ; *-at>-eʔ; *-ap>-oʔ; *-as>-eh) and historical high vowels *i and *u in final syllables became
inglided before certain final codas (some or all of the following: __r#; __l#, __ʔ#, __h#, __ŋ# ).
Tapus underwent these same changes historically (as is evident from the examples we presented
earlier). If the development of the word-shape alternation were an innovation shared by Tapus
and other non-Minangkabau varieties, like Rantau Panjang and Jernih Sarolangun, and thus
predated the development of Minangkabau as a distinct branch of Malayic, we would expect
that ‘core’ Minangkabau varieties would also exhibit a word-shape alternation similar to the
alternation found in Tapus; however, this is not the case. These facts lead us to conclude that the
Tapus alternation developed independently within Minangkabau.
Minangkabau varieties aside, we also find evidence that the word-shape alternation in
the Malay varieties of Jambi developed independently. This can be seen by comparing the
phonological realization of the alternation in Jernih Sarolangun, Rantau Panjang, and Lempur
Tengah. As we have seen, in Jernih the secondary form is primarily manifested via insertion of
schwa or a low vowel between the final coda and final vowel of the root. In contrast, in Rantau
Panjang, the secondary form is marked by vowel raising and insertion of a coda [h], without
lengthening. In Lempur, the alternation is realized by insertion of a vowel which assimilates to
the final vowel of the root, and thus exhibits allomorphs with diverse phonetic properties. The
diverse phonological manifestation of the alternation suggests that the alternation developed
independently in each variety.
This being said, the fact that in so many varieties the secondary form is marked by
insertion of a phonologically reduced morpheme suggests that shared language internal
pressures lead to the development of the weak alternation. Specifically, we propose that postroot morphology appears in a prosodically weak position. Moreover, taken together, the
alternating varieties we have described above illustrate a particular diachronic path in the
development of root-shape alternations, as represented in (38), whereby post-root morphemes
(e.g. pronouns, applicative markers) underwent gradual phonological reduction, first losing their
status as distinct syllables, and then becoming phonologically manifested as a reduced sonorant
16
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
segment situated in the final syllable of the base (as a coda (e.g. Tapan) or nucleus (e.g. Jernih,
Sarolangun)). From this stage, coalescence of the pronoun/suffix segment with the nucleus lead
to the development of a morphophonological alternation of the type observed in weakly
alternating varieties.
(38) Path of diachronic change
Post-root suffix/3rd person pronoun is not
stressed, but occupies a distinct syllable
(Malay: non-alternating varieties)
Post-root suffix/3rd person pronoun is
phonologically reduced (Tapus, Lempur
Tengah)
Post-root suffix/3rd person pronoun no
longer syllabic, is syllabified in coda
(Tapan)
Post-root suffix/3rd person pronoun is
metathesized into the base (Jernih
Sarolangun, Dusun Baru Sarolangun)
Post-root suffix/3rd person pronoun is
metathesized into the base Post-root
suffix/3rd person pronoun merges with
nucleus of base, becomes
morphophonological alternation (Rantau
Panjang)
NOTES
* The authors would like to thank the two anonymous reviewers for their helpful comments on the earlier
version of this paper. Our deepest gratitude to Takiddin, Ade Putra, Midun, Doli Syahmandra, Santi
Kurniati, Fadlul Rahman, Yessy Prima Putri, Fitri, Elian Safrika, Lidya Emilda, Yosephine, and Hengky
Firmansyah for their various contributions to this work. We would also like to thank Uri Tadmor, David
Gil, Karl Anderbeck, Bernard Comrie, Martin Haspelmath, and John Bowden for their helpful insights on
this paper. This project was supported in part by the National Science Foundation (BSC-1126149), the
Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, the American Institute for Indonesian Studies, and
Atma Jaya Catholic University of Indonesia.
1
All data in this paper are transcribed in the International Phonetic Alphabet, except for the voiceless
palatal stop, the voiced palatal stop, and the palatal glide, which for reasons of simplicity are transcribed
as ‘c’, ‘ǰ’, and ‘y’, respectively.
17
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
2
We assume phonological features are privative; accordingly, we also assume that vocalic and glottal
segments do not contain a feature [consonant]. We assume that the glottal sounds do not exhibit these
features and thus are ‘invisible’ to spreading.
3
Although, as in other Minangkabau and Malayic varieties, vowels in Tapus are predictably nasalized
following nasal consonants (e.g. tamũ ‘guest’), the echoed vowels appearing in the secondary form seem
to exhibit a higher degree of nasality (e.g. tamũũ̃ ‘the guest’).
4
As in Lempur, the addition of the suffix also affects the realization of final stop segments. In final
position, the reflexes of *m, *n, and *ŋ are realized as pm, tn, and kŋ in phrase-final position, except in
forms where the preceding onset is a nasal segment. In secondary forms, these final stops are consistently
realized as nasal stops regardless of phrasal position.
5
We analyze the high diphthongs iy and uw as allophones of underlying monophthongs. We have
observed that dipthongization of these vowels occurs in phrase final positions.
6
There is some evidence in our database (albeit rather inconsistent) to suggest that the alternations [ɪ]~[e]
and [ʊ]~[o] are phrasally conditioned. For example, one finds the form gawe in phrase internal
environments e.g. preceding a possessor gawe lakɪə (work husband-pro) ‘her husband’s work’.
7
The alternation [ʊ]~[o] is robust, and involves roots ending with Proto-Malayic *a#.
8
In Rantau Panjang, some secondary forms of bases ending with /h/ or an open syllable appear with the
suffix -n. These forms are cognates of morphologically complex forms which, in other varieties of Malay,
occur with peN--an, -an or an applicative suffix. We see -n as a phonologically reduced morphological
remnant of such affixes.
9
Not all roots alternate; however, the set of roots which fail to alternate is predictable, and includes forms
in which the final rime is closed and contains a high vowel.
Non alternating forms:
-int
laŋint
‘sky’
-in
aŋin
‘wind’
-unt
takunt
‘afraid’
-un
daun
‘leaf’
-imp gaimp
‘magic’
-im
musim
‘season’
-ump tutump
‘close’
-um
minum
‘drink’
REFERENCES
Ernanda. (2015). A grammatical description of Pondok Tinggi Kerinci. Unpublished
manuscript, University of Leiden, Leiden.
Gil, D., Kurniati, S., Wichmann, S., & Putri, Y.P. (2011, June). Tapan: An exploration in
Malayic subgrouping. Paper presented at the Fifteenth International Symposium on
Malay/Indonesian Linguistics, Universitas Islam Negeri Malang, Malang, Jawa Timur,
Indonesia.
Gil, D., & Mckinnon, T. (2014, May). Codas with vowels in Western Sumatra. Paper presented
at the 24th Annual Meeting of the Southeast Asian Linguistics Society, Yangon
University, Myanmar.
McKinnon, T. (2011). The morphophonology and morphosyntax of Kerinci word-shape
alternation (Unpublished doctoral dissertation). University of Delaware, Newark.
McKinnon, T., Cole, P., & Hermon, G. (2011). Object agreement and 'pro-drop' in Kerinci
Malay. Language, 87(4), 715-750.
McKinnon, T., Cole, P., Hermon, G., & Yanti. (under review). From allophony to syntax in
Malay. Manuscript submitted for publication.
18
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
Prentice, D.J., & Usman, A.H. (1978). Kerinci sound-changes and phonotactics. In S.A. Wurm &
L. Carrington (Eds.), second international conference on Austronesian Linguistics,
fascicle I, Western Austronesian, Pacific Linguistics C-61 (pp. 121-163). Canberra:
Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National
University.
Steinhauer, H., & Usman, A.H. (1978). Notes on the morphemics of Kerinci (Sumatra). In S. A.
Wurm & L. Carrington (Eds.), second international conference on Austronesian
Linguistics, fascicle I, Western Austronesian, Pacific Linguistics C-61 (pp. 483-502).
Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The
Australian National University.
Usman, A.H. (1988). Fonologi dan morfologi bahasa Kerinci dialek Sungai Penuh (Unpublished
doctoral dissertation). Universitas Indonesia, Jakarta.
Yanti. (2010). A reference grammar of Jambi Malay (Unpublished doctoral dissertation). University
of Delaware, Newark.
19
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 21-34
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
PENETAPAN BENTUK FONOLOGIS DARI BUNYI YANG
BERALTERNASI: SATU ASPEK TERPENTING DALAM SISTEM
TATA BAHASA
I Wayan Pastika*
Universitas Udayana
[email protected]
Abstrak
Gambaran fonologis merupakan satu ruas bunyi yang diangkat dari salah satu bunyi
yang beralternasi dengan bunyi-bunyi lain dalam satu morfem. Pengangkatan satu ruas
bunyi tersebut dapat berbentuk teraga ataupun takteraga bergantung pada
lingkungannya dalam satu morfem. Penetapan semacam itu penting dilakukan karena
dapat menentukan kejelasan salah satu aspek dari sistem tata bahasa. Pilihan
“masukan” (input) didasarkan pada sistem perubahan fonologis yang berpegang pada
satu kaidah bahwa sebuah bunyi dipilih menjadi gambaran fonologis ditentukan oleh
keanekaragaman lingkungan bunyi itu terjadi, sementara bunyi yang lain dipilih sebagai
“luaran’ (output) karena terjadi pada lingkungan tertentu saja. Proses perubahan bunyi,
dengan mengikuti Tata Bahasa Generatif dan turunannya serta teori Optimalitas, tidak
cukup hanya dilihat dari hasil perubahan yang kasat mata (luaran) saja, tetapi harus
juga dilihat pada tingkatan abstrak (masukan). Derivasi dari masukan ke luaran tidak
selalu identik karena manakala sebuah morfem atau leksikon menjadi bagian dari
ungkapan, ruas-ruas bunyi yang membentuknya pada tingkat fonetik mengalami interaksi
satu sama lain yang menyebabkan bunyi-bunyi tersebut dipengaruhi (atau
mempengaruhi) ruas-ruas bunyi lain.
Kata kunci: input, output, proses fonologis
Abstract
The choice of a phonological representation can be overt or nonovert depending on its
phonological environments in a morpheme. The right decision with respect to the
phonological rule should define a right grammatical system on morphophonology. The
phonological process according to Generative theory and its daughter, Optimality
theory, considers the ‘input’ choice should be the most acceptable candidate among its
alternative counterparts. The choice of the input is not just seen from one single
phonological process of the morpheme in question, but it should be overtly identified
from other processes. The derivation from the ‘input’ to the output does not always
exhibit identically phonological representation of segmental sequences in a stem
because distinctive features always interact to each other in accordance with the
phonological environment. When each phonological segment keeps its features
faithfully, then there is no phonological change happening from the input to the output.
Therefore, the input or the underlying form of a morpheme in question is not always
overtly recognised from the ouput, but it may occur beyond the phonetic
representation.
Keywords: input, output, phonological process
I Wayan Pastika
PENDAHULUAN
Struktur fonologis dalam pandangan teori Generatif direpresentasikan ke dalam dua gambaran
bunyi, yakni, gambaran fonemik dan gambaran fonetis. Gambaran yang disebutkan pertama
merupakan struktur bunyi dalam bentuknya yang abstrak dan terpendam di benak penutur
pendukung bahasa. Istilah yang biasa digunakan untuk mengacu struktur bunyi abstrak tersebut
adalah Bentuk Asal atau the underlying form. Sementara itu, gambaran abstrak itu diwujudkan
dalam bentuk segmentasi bunyi yang nyata dan biasa disebut gambaran fonetis atau the phonetic
representation. Gambaran yang terakhir inilah yang diucapkan oleh penutur dan dipersepsikan
sebagai segmen bunyi tertentu oleh pendengar. Bunyi yang diucapkan itu tentu bukan hanya
dalam ruas atau segmen tersendiri tetapi dalam bentuk kata karena sebuah segmen bunyi bahasa
akan berfungsi ketika berada dalam satu rangkaian untuk membentuk kata atau morfem. Proses
yang sama juga berlaku pada kata dan morfem ketika membentuk konstituen yang lebih besar,
menjadi frasa, dan frasa menjadi klausa. Dalam hubungan inilah struktur tata bahasa dibangun
atas dasar hubungan interaktif antara fonologi ← → morfologi ← → sintaksis. Inti dari semua
tataran tata bahasa tersebut adalah untuk melahirkan gambaran makna, sebagai wilayah
semantik. Salah satu proses gambaran bunyi yang menjadi bagian dari struktur tata bahasa yang
lebih luas tersebut adalah bunyi bahasa yang berasimilasi dengan bunyi lain yang berada di
dekatnya. Contohnya, gambaran fonemik dari bunyi hambat bersuara bahasa Indonesia /b, d/
dapat dilafalkan tidak bersuara dalam ragam tak resmi menjadi [p, t] ketika posisinya di akhir
kata: /ləmbab/ dan /tekad/ masing-masing dapat dilafalkan [ləmbap] dan [tekat]. Namun, dalam
posisi yang lain justru konsonan hambat tak-bersuara /p, t/ merupakan fonem tersendiri yang
dapat berproses dengan wujudnya yang berbeda, misalnya, /məŋ+pukul/ menjadi [məmukul] dan
/məŋ+tənun/ menjadi [mənənun]. Keberadaan proses fonologis itu ditentukan oleh sistem tata
bahasa dalam bahasa bersangkutan. Dalam kaitan dengan contoh bahasa Indonesia tersebut,
pengawasuaran konsonan dapat terjadi apabila konsonan itu digunakan sebagai bagian dari kata
dan ditempatkan di posisi akhir kata. Dalam posisi yang lain, proses berbeda dapat terjadi,
misalnya, sebuah konsonan yang tadinya hanya gambaran fonetis dapat berubah status menjadi
gambaran fonemik ketika posisinya berbeda. Dalam posisi seperti itu proses fonologis yang
dikehendaki juga berbeda.
Bunyi-bunyi bahasa yang memiliki kemiripan secara fonetis dalam satu bahasa
memiliki kecenderungan berproses secara fonologis dengan cara yang mirip pula. Proses
tersebut dapat terjadi karena bunyi bahasa bersifat dinamis tidak hanya pada tingkat la parole
tetapi juga pada tingkat la langue. Kajian bahasa tertarik pada penemuan sistem tingkat la
langue sehingga kaidah yang ditetapkan bersifat umum dalam bahasa bersangkutan. Dalam
makalah ini hanya akan dikaji bunyi-bunyi bahasa yang beralternasi dan berproses karena
ditentukan oleh lingungan di sekitarnya. Lingkungan itu dapat berbentuk bunyi lain yang berada
pada posisi sebelumnya, posisi sesudahnya atau pada posisi di antara bunyi lain. Lingkungan itu
dapat pula merupakan perbatasan morfem atau kata.
Karena bunyi bahasa bagian dari segmen fonologis yang membentuk morfem, maka dua
permasalahan dibahas dalam makalah ini. Pertama, bagaimanakah pilihan bentuk morfem
berbasis kaidah fonologis. Permasalahan itu menyangkut (i) perbedaan kecil dalam gambaran
fonemik dapat menghasilkan perbedaan besar dalam gambaran fonetik dan (ii) gambaran
fonologis yang tidak hanya ditetapkan atas dasar satu kategori linguistik saja, misalnya, verba
saja, tetapi harus didasarkan pada fenemomena lintas kategorial. Permasalahan kedua adalah
22
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
sejauh manakah proses penyederhanaan dan perumitan fonologis dapat terjadi pada bunyi dalam
posisi koda, onset dan nukleus.
Tujuan dari pembahasan kedua permasalahan tersebut adalah untuk menemukan bentuk
fonologis yang lebih tepat dari bunyi yang beralternasi karena pengaruh lingkungan fonologis
atau pengaruh lingkungan morfologis atau sintaktis. Untuk mencapai semua itu diperlukan teori
linguistik yang mutakhir untuk menjelaskannya.
Teori Generatif dan teori Optimalitas merupakan dua teori mutakhir yang dianggap
sangat kuat dapat mengurai kompleksitas permasalahan tersebut. Teori yang disebutkan
belakangan memiliki prinsip dasar yang hampir sama dengan teori yang disebutkan duluan
karena memang kedua teori tersebut berbasis pada filosofi linguistik yang sama, yakni
rasionalisme. Dalam teori Generatif, representasi fonologis yang abstrak dirurunkan menjadi
gambaran fonetis yang konkret. Proses fonologis terlibat dalam derivasi dari gambaran
fonologis ke gambaran fonetis dan proses itu dapat berupa keselarasan bunyi, penghilangan,
penambahan, penggabungan dan sebagainya. Untuk menjelaskan proses-proses tersebut
diperlukan kaidah fonologis yang diatur oleh fitur-fitur pembeda. Sementara itu, teori
Optimalitas menggunakan istilah MASUKAN (input) dan LUARAN (output) yang masingmasing dapat disejajarkan dengan gambaran fonologis dan gambaran fonetis dalam teori
Generatif. Karena tujuan teori Optimalitas adalah menemukan sistem tata bahasa yang
universal, sebuah LUARAN dipilih dari beberapa kandidat leksikon fonologis; hanya kandidat
yang optimal dalam bahasa bersangkutan dinyatakan sebagai bentuk yang paling berterima.
Untuk menjelaskan keberterimaan sebuah kandidat diperlukan seperangkat kendala (constraint).
Interaksi antara seperangkat kendala dan seperangkat kandidat dievaluasi untuk menetapkan
struktur fonologis bahasa itu dan struktur fonologis yang universal.
Dalam makalah ini digunakan data leksikal dan posleksikal dari sumber primer yang
terbatas dan lebih banyak diambil dari sumber sekunder. Oleh karena itu, kajian dalam makalah
ini lebih dipusatkan pada kajian teoretis dengan proses pembuktian yang sistematis dan
mutakhir.
PILIHAN BENTUK MORFEM BERBASIS KAIDAH FONOLOGIS
Proses Fonologis pada Tingkat Input: Kasus Pemarkah Aktif Bahasa Indonesia: məŋ, mədan məNGambaran fonologis, yang ditetapkan tidak berdasarkan alternasi bunyi dengan realisasi
lingkungannya, akan memunculkan pilihan bentuk fonologis yang tidak berbasis pada sistem
gramatika bahasa yang dikaji. Pendekatan yang diterapkan bukan lagi pendekatan tradisional
atau preskriptif, tetapi deskriptif atau pendekatan yang lebih mutakhir, misalnya, Generatif atau
Optimalitas. Kedua pendekatan terakhir itu, dalam mengidentifikasi gambaran fonologis dan
gambaran fonetis dari suatu perubahan bunyi suatu bahasa, berpegangan pada distribusi bunyi
dalam lingkungannya. Apabila sebuah bunyi terjadi dalam berbagai lingkungan, sementara
alternasinya hanya terjadi pada lingkungan tertentu, maka bunyi yang muncul dalam berbagai
lingkungan itu harus ditetapkan sebagai bentuk fonologis atau disebut juga Bentuk Asal atau the
underlying form dalam teori fonologi Generatif. Sebaliknya, bunyi-bunyi yang termasuk dalam
alternasinya, dengan lingkungan kemunculannya dapat diramalkan, maka bunyi semacam itu
merupakan gambaran fonetisnya atau Bentuk Turunan (yang dalam teori struktural disebut
alofon).
23
I Wayan Pastika
Dalam bahasa Indonesia, misalnya, penetapan gambaran fonologis dari pemarkah aktif
selama ini, tidak didukung dengan identifikasi dan analisis fonologis yang akurat, sehingga
dalam tata bahasa Indonesia selalu dimunculkan ketaksaan bentuk. Gambaran fonologis dari
pemarkah aktif bahasa Indonesia, misalnya, ditetapkan secara berbeda-beda oleh berbagai
sumber. Bentuk məŋ- ditetapkan dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi I,
1988:87–90); Edisi III (Alwi, dkk. 2003:100–113); bentuk məN- dipilih oleh Verhaar (1982:54–
60) dan Sneddon (1996:9–14); dan bentuk mə- dipilih oleh Kentjono, dkk. (2004: 60–98).
Jika pendekatan teoretis diikuti, baik berdasarkan teori Generatif maupun teori
Optimalitas, maka pilihan bentuk fonologis yang paling akurat adalah məŋ-, bukan məN- atau
mə-. Ada sejumlah pertimbangan dan analisis yang perlu diketengahkan. Pertama, konsonan
nasal ŋ yang menjadi konsonan akhir dari afiks məŋ- dapat terjadi sebelum lingkungan bunyi
yang berbeda-beda, yakni, ia dapat muncul sebelum konsonan velar /k/ dan /g/ atau sebelum
berbagai tipe bunyi vokal berbeda. Kedua, kemunculan m, n, dan ɲ dapat diramalkan, yakni, m
terjadi sebelum bilabial /p/ atau /b/; n terjadi sebelum alveolar /t/ atau /d/; ɲ muncul sebelum
alveo-palatal /s, c, j/. Ketiga, proses perubahan konsonan nasal seperti itu disebut sebagai proses
asimilasi regresif, yakni, konsonan nasal ŋ dipengaruhi oleh tempat artikulasi dari konsonan
obstruen-hambat di belakangnya sehingga nasal tersebut berkesesuaian secara tempat artikulasi.
Di samping itu, nasal ŋ berdistribusi tidak hanya sebelum konsonan (yang homorgan), tetapi
juga dapat terjadi sebelum posisi vokal. Oleh karena itu, penetapan bentuk fonologis dari
pemarkah aktif yang paling tepat adalah məŋ-, bukan məN- atau mə-.
Penetapan məŋ- sebagai bentuk morfonologis yang paling berterima menyebabkan
pilihan məN- atau mə- sebagai bentuk yang sangat lemah dalam representasi fonologis karena
satu alasan. Alasan itu adalah gambaran fonologis N (dari məN-) sebagai arkifonem tidak tepat
karena distribusi keempat konsonan nasal yang beralternasi tidak sepenuhnya paralel.
Arkifonem N dipilih apabila asimilasi tempat artikulasi menjadi m, n, ɲ, ŋ semata-mata
menyesuaikan tempat artikulasinya masing-masing dengan /p, b/, /t, d/, /s, c, j/ dan /k, g/.
Namun, kenyataannya ŋ terjadi melampaui batas tempat artikulasinya, buktinya ŋ juga terjadi
pada posisi sebelum vokal. Oleh karena itu, ŋ merupakan gambaran abstrak dari salah satu
realisasi dari keempat nasal tersebut berkaitan dengan pemarkah aktif bahasa Indonesia.
Penetapan mə- sebagai gambara fonologis atau the underlying form tidak tepat karena
satu alasan juga. Kemunculan mə- dapat diramalkan, yakni hanya terjadi pada lingkungan
morfem pangkal yang mulai dengan konsonan sonoran, contohnya, sebelum /l, r, y, w/ dan
nasal/. Jika teori Generatif diikuti, maka bunyi sonoran merupakan bunyi yang berkenyaringan
tinggi, berbeda dengan bunyi obstruen yang dihasilkan dengan hambatan tinggi pada alat-alat
ucap. Tentang menge- harus dipandang dari sisi struktur silabe dan adanya kesan vokal yang
dimunculkan di awal suku. Sebuah morfem atau leksikon bersuku satu apabila dilekati məŋ-,
maka dalam bahasa Indonesia di antara konsonan ŋ dan konsonan lain yang mengawali suku
(dari morfem bersuku satu) harus ditambahkan fonem /ə/. Proses perubahan bunyi tersebut
dapat pula dikatakan seperti berikut: dengan adanya nuansa bunyi vokal ([ə]) pada leksikon
bersuku satu, maka Bentuk Asal məŋ- harus direalisasikan.
Jadi, dalam sistem tata bahasa Indonesia, gambaran fonologis dari pemarkah aktif
adalah məŋ-, sementara alternasinya (məm-, mən-, məɲ-, mə-, məŋ-, dan məŋə-) merupakan
Bentuk Turunan. Secara lebih jelas proses perubahan secara morfofonologis dapat dilihat pada
tabel berikut. (bd. Moeliono, dkk. 1988:87–90; Alwi, dkk. 2003:110–113; bd. Pastika 2012;
Pastika 2013).
24
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Tabel 1. Alternasi Fonologis dari Pemarkah Aktif məŋ- Bahasa Indonesia
GAMBARAN
FONOLOGIS
ALTERNASI →məmFONOLOGIS /__b, p
REALISASI
məmbantiŋ
məmukul
məŋ→mən/__ d, t
→məɲ/__ j, c, s
→məŋ/__ g, k, h
VOKAL
məndengar məɲjarah məŋgaruk
mənatap
məɲcaŋkul məŋikis
məɲantap məŋhirup
→məŋə/__
SUKU SATU
məŋətik
məŋəlas
məŋəcat
→mə/__ w,l,r,
NASAL
məwabah
məyakinkan
məlebar
mərakyat
məmarahi
Satu hal penting yang perlu pula dikemukakan di sini, berkaitan dengan asimilasi
regresif terhadap ŋ dari konsonan obstruen di belakangnya, adalah penjelasan soal pelesapan
konsonan obstruen yang tidak bersuara (/p, t, s, k/) setelah terjadinya asimilasi tersebut. Proses
pelesapan itu, dalam makalah ini, dijelaskan dengan penerapan teori fonologi Generatif. Dalam
teori ini, proses perubahan bunyi tidak hanya dilihat dalam wujudnya yang kasat mata (struktur
lahir), tetapi harus juga dilihat pada struktur kaidah yang terjadi pada benak penutur (struktur
batin). Struktur kaidah pada tingkat mental merupakan suatu perangkat yang dapat menderivasi
suatu bentuk sehingga hasilnya bisa sama atau berbeda dengan struktur lahirnya. Pada benak
penutur proses perubahan bunyi itu terjadi dalam dua proses perubahan: asimilasi regresif
terjadi pada nasal terlebih dahulu sebelum terjadi pelesapan obstruen. Pelesapan obstruen itu
terjadi dalam sistem tata bahasa Indonesia ketika berada di antara perbatasan morfem. Proses itu
tentu tidak terjadi apabila nasal yang berada serangkai dengan obstruen yang homorgan berada
di dalam satu morfem. Siklusnya dapat digambarkan berikut ini:
1. Kaidah I: asimilasi
m/____ + p
n/ ____ + t
ŋ
ñ/ ____ + s
ŋ/ ____ + k

Kaidah II: pelesapan obstruent
məmpukul  məmukul
məntukar
 mənukar
məñsantap  məñantap
məŋkurung  məŋurung
Jadi, proses fonologis tidak hanya dilihat pada perubahan segmental yang tersurat saja,
seperti ŋ menjadi homorganik dengan obstruen hambat yang berada sesudahnya. Penghilangan
obstruen setelah terjadi asimilasi harus juga dibuktikan. Kaum linguis strukturalis di Indonesia
tidak menganggap bahwa obtruen itu dilesapkan, melainkan berkualisi dengan nasal atau
berasimilasi secara resiprokal, yang dalam pengertian ini baik nasal maupun obstruen samasama berbagi ciri artikulasi. Pandangan yang terakhir itu menganggap bahwa hanya ada satu
proses fonologis dengan satu kaidah, sementara dalam artikel ini ditekankan bahwa terjadi dua
proses fonologis dengan dua kaidah secara berurutan. Dalam urutan kaidah tersebut, kaidah
asimilasi nasal dengan obstruen yang homorgan harus diterapkan terlebih dahulu sebelum
kaidah pelesapan obstruen diterapkan. Sebaliknya, pembalikan urutan kaidah, yakni, kaidah
pelesapan diterapkan terlebih dahulu sebelum kaidah asimilasi menghasilkan bentuk yang tidak
gramatikal, baik secara fonologis maupun morfologis. Ini berarti bahwa asimilasi tidak dapat
terjadi apabila tidak ada unsur penyebab dan pesebab lingkungan fonologis; /ŋ/ tidak akan
berubah menjadi bilabial /m/ apabila tidak ada bilabial hambat /p, b/; /ŋ/ tidak akan berubah
25
I Wayan Pastika
menjadi alveolar /n/ apabila tidak ada alveolar hambat /t, d/; /ŋ/ tidak akan menjadi alveo-palatal
/ɲ/ apabila tidak ada obstruen alveo-palatal /c, j, s, sy/; dan /ŋ/ tidak akan bertahan /ŋ/ apabila
tidak berada sebelum velar /k, g, h/. Bentuk yang tidak gramatikal dapat terjadi apabila
penerapan kaidah diurut secara terbalik, yakni /p, t, k/ dilesapkan sebelum adanya asimilasi pada
/ŋ/: /məŋ+pukul/  */məŋ+Øukul/  */məŋukul/ (Pastika, 2012; Pastika, 2013).
Dalam bahasa Indonesia, proses asimilasi /ŋ/ yang diikuti pelesapan obstruen hanya
terjadi pada obstruen yang tidak bersuara. Sebaliknya, obstruen yang bersuara /b, d, j, g/ justru
tidak boleh dilesapkan setelah terjadinya asimilasi nasal tersebut. Permasalahan ini dibahas pada
subbagian berikut.
Perbedaan Kecil dalam Input dapat Menghasilkan Perbedaan Besar dalam Output
Terminologi MASUKAN (input) dan LUARAN (output) merupakan konsep dalam teori
Optimalitas yang masing-masing dapat didefinisikan sebagai berikut: MASUKAN adalah
gambaran fonologis atau suatu gambaran bunyi yang abstrak, sementara LUARAN merupakan
realisasi fonetis dari gambaran fonologis. Untuk menjelaskan proses derivasi dari MASUKAN
ke LUARAN diperlukan Generator ‘Pembangkit’, Evaluator dan Kendala. PEMBANGKIT
membentuk objek-objek linguistik dan mencatat relasi-relasi kesetiaan (faithfulness) pada
MASUKAN. EVALUATOR memanfaatkan hierarki kendala bahasa untuk menyeleksi kandidat
terbaik untuk MASUKAN yang ditentukan dari kandidat-kandidat yang dihasilkan oleh
PEMBANGKIT. Hierarki KENDALA untuk sebuah bahasa adalah pemeringkatan kendala itu
sendiri, yakni seperangkat kendala yang universal (Archangeli dan Langendoen, 1997:11–12).
Dua morfem yang berbeda yang sama-sama mengandung ruas bunyi yang mirip dengan
perbedaan tipis dalam hal ciri pembeda dapat memberikan pengaruh yang sama atau berbeda
terhadap satu bunyi tertentu dalam lingkungan yang sama. Hal itu dapat terjadi karena satu ciri
bunyi tertentu dapat bertahan atau dapat berubah bergantung pada sistem yang dibolehkan
dalam sistem tata bahasa bersangkutan. Kembali lagi ke contoh bahasa Indonesia yang
mengandung obstruen tak-bersuara /p, t, s, k/ yang dilesapkan setelah asimilasi (seperti
disebutkan sebelumnya), tampaklah perbedaan bahwa obstruen hambat bersuara /b, d, j, g/ atau
obstruen frikatif /f, v/ dan luncuran sy, kh (/ʃ/, /x/) tidak dilesapkan setelah /ŋ/ diasimilasi
menjadi nasal yang homorgan:
2.
Asimilasi tanpa pelesapan obstruen dalam bahasa Indonesia
/məmbantiŋ/
*/məmantiŋ/
/məmfitnah/
/məndataŋ/
*/mənataŋ/
/məmverifikasi/
/məŋguntiŋ/
*/məŋuntiŋ/
/məɲʃaratkan/
/məŋxususkan/ */məŋususkan/
*/məmitnah/
*/məmerifikasi/
*/məɲaratkan/
Kebertahanan obstruen hambat bersuara, obstruen frikatif dan luncuran disebabkan oleh
konsonan-konsonan tersebut memiliki ciri-ciri pembeda yang lebih kuat alih-alih ciri pembeda
dari obstruen hambat tak-bersuara (/p, t, s, k/) ketika berdampingan dengan nasal homorgan dari
prefiks /məŋ-/. Kekuatan obstruen hambat bersuara terletak pada cara artikulasinya, yakni,
adanya getaran pita suara ketika obstruen tersebut terbentuk; sementara obstruen hambat takbersuara tidak dihasilkan dengan cara itu. Untuk obstruen frikatif /f, v/ dan luncuran /sy, kh/,
ciri-ciri tempat artikulasinya diambil-alih oleh nasal sehingga nasal menjadi homorgan,
sementara obstruen frikatif dan luncuran tersebut sama sekali tidak berubah. Obstruen frikatif
dan luncuran itu mempertahankan ciri-ciri pembedanya seperti yang terjadi pada obstruen
26
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
hambat bersuara. Kebertahanan ciri-ciri frikatif dan luncuran terletak pada ciri kontinuan, yang
artinya bahwa ketika kedua tipe bunyi itu dihasilkan, udara keluar secara terus-menerus melalui
celah yang sempit. Sebaliknya, hal itu tidak terjadi pada nasal karena nasal dihasilkan dengan
cara menghambat udara sepenuhnya di rongga mulut, tetapi mengeluarkannya melalui rongga
hidung. Secara sederhana, kebertahanan ciri dari proses yang terjadi antara nasal dan obstruen
dapat dikaidahkan berikut ini:
3. Kaidah kebertahanan ciri:
[+labial, +obstruen, -suara]
[+labial, +obstruen, +suara]
  /[+nasal homorgan]+ ____
 TETAP/[+nasal homorgan]+___
[+obstruen, +kontinuan]
Jika keselarasan atau homorganitas nasal dilihat, sistem suatu tata bahasa tidak selalu
sama atau sepenuhnya sama dengan sistem tata bahasa lain atau bahkan keselarasan tersebut
tidak terjadi karena baik obstruen maupun nasal sama-sama mempertahankan ciri-ciri
pembedanya. Hal itu dapat dibandingkan, misalnya, dengan data bahasa Indonesia di atas
dengan data bahasa Yoruba, salah satu dialek dari bahasa Niger-Congo di Negeria; dan bahasa
Bura, salah satu dialek bahasa Chadic, juga di Negeria. Bahasa Yoruba mengharuskan tempat
artikulasi nasal (dari prefiks) tunduk sepenuhnya dengan obstruen yang mengawali morfem
pangkal (Archangeli dan Langendoen, 1997:65–66):
4. Nasal diasimilasi sepenuhnya oleh obstruen
Pangkal Bentuk Progresif
Arti
Pangkal Bentuk Progresif
Arti
ba
mba
ɲjo
menyalip jo
menari
fɔ
ɱfɔ
ŋkɔ
mengerim kɔ
menulis
ta
nta
menjual
gũ
ŋgũ
mendaki
dũ
ndũ
melukai
kpa
ŋmkpa
membunuh
sũ
ǹsũ
tidur
gbɔ
ŋmbɔ
mendengar
Keselarasan tempat artikulasi nasal dengan obstruen dalam sistem tata bahasa Yoruba
bersifat penuh, bukan lagi asimilasi sebagian seperti halnya dalam bahasa Indonesia karena
bahasa Yoruba memiliki sistem tempat artikulasi yang lebih renik dibagi ke dalam enam tempat
artikulasi. Karena keselarasan itu bersifat penuh dan paralel, penetapan MASUKAN untuk nasal
tidak sama dengan apa yang telah ditetapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Yoruba itu,
MASUKAN dari keenam nasal itu adalah arkifonem /N/ dengan LUARAN yang paling optimal
adalah nasal yang hormoganik penuh dengan obstruen yang mengawali pangkal kata. Keenam
tempat artikulasi dalam bahasa Yoruba adalah sebagai berikut:
5a.
5b.
5c.
5d.
5e.
Labial
Labiodental
Alveoral/koronal
Velar (dorsal)
Labio-velar serentak
: [b, m];
: [f, ɱ];
: [t, d, s, n];
: [k, g, ŋ];
: [kp, ŋm, gb, ŋm];
Pada data bahasa Indonesia dan bahasa Yoruba di atas, disajikan keselarasan atau
kesamaan tempat artikulasi dari nasal dengan obstruent yang berada pada posisi sebelum nasal.
27
I Wayan Pastika
Sebaliknya, pada data berikut, rangkaian konsonan nasal dan obstruen justru tidak
menyesuaikan diri, tetapi mempertahankan ciri pembedanya masing-masing, sehingga bentuk
fonemik pada tingkat MASUKAN tidak berubah pada tingkat LUARAN. Proses derivasi
semacam itu terjadi pada bahasa Bura, salah satu dialek bahasa Chadic di Negeria (Archangeli
dan Langendoen, 1997:65–66):
6. Pemertahanan ciri nasal tanpa pengaruh obstruen di dekatnya
mpà
‘berkelahi’
mbà
‘terbakar’
mtà
‘kematian’
mdâ
‘orang’
msəkâ
‘paman (dari pihak ibu)’
mší
‘mayat’
mžá
‘cukup’
Dari ketiga macam data di atas, terlihat bahwa kebertahanan obstruen lebih kuat alihalih kebertahanan nasal. Bunyi nasal dapat berubah menyesuaikan tempat artikulasinya dengan
obstruen yang ada di sampingnya, tetapi bunyi obstruen tidak pernah menyesuaikan ciri-ciri
artikulasinya terhadap bunyi nasal. Menurut Archangeli dan Langendoen (1997:68), seperti
digambarkan pada Tabel 2 berikut, belum pernah ditemukan bahwa tempat artikulasi nasal (dari
bahasa-bahasa di dunia) mempengaruhi tempat artikulasi obstruen, meskipun tempat artikulasi
nasal sendiri juga dapat tetap bertahan tanpa mampu dipengaruhi oleh obstruen yang ada di
belakangnya. Secara ringkas, retensi atau hilangnya ciri tempat artikulasi dalam rangkaian nasal
obstruen dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel 2. Hilangnya Spesifikasi Tempat Artikulasi dalam Rangkaian Nasal-Obstruen
Tempat
Tempat
Tempat
Tempat
Artikulasii Artikulasij
Artikulasij
Artikulasii
K
K
Nasal
Obstruen
Kesetiaan Penuh
Teruji
K
K
Nasal Obstruen
Fitur Obstruen yang Dipertahankan
K
K
Nasal
Obstruen
Fitur Nasal yang Dipertahankan
Tidak Teruji
Proses Fonologis Lintas Kategori: Kasus {–s, -z} dalam Bahasa Inggris
Pemarkah jamak dalam bahasa Inggris direalisasikan sebagai sufiks –s /s/ dan –z /z/ bergantung
pada penyuaraan bunyi yang mengakhiri morfem dasar. Kedua bentuk itu tidak hanya
digunakan untuk memarkahi kejamakan suatu morfem, tetapi juga digunakan untuk memarkahi
verba dalam kala kini yang bersubjek orang ketiga tunggal. Tabel (3), (4), (5) yang
bertranskripsi fonetik dari Odden (2005:77—79) berikut menunjukkan penggunaan sufiks
tersebut.
28
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Tabel 3. Asimilasi Penyuaraan Sufiks Pemarkah Jumlah pada Nomina Bahasa Inggris
→ [-suara]/[-suara]__
→[+suara]/[-suara]__
caps [kæps]
‘topi-topi’
cabs
[cæbz]
‘taksi’
caps [kæps]
‘topi-topi’
cads
[cædz]
‘orang yang kurang ajar’
cock [kaks]
‘ayam-ayam jantan’ cogs
[cagz]
‘roda penggerak’
proof [pruwfs]
‘bukti-bukti’
hooves [cʊbz]
‘kuku binatang’
→[+suara]/[+sonoran]__
cans
[cænz] ‘kaleng-kaleng’
cars
[karz] ‘mobil-mobil’
gulls
[gəlz]
‘burung pantai’
purees [pyrez] ‘sejenis bubur’
Data di atas menunjukkan bahwa pemarkah jamak [s] terjadi setelah nomina diakhiri
dengan konsonan tidak bersuara, sementara [z] muncul setelah nomina yang diakhiri dengan
bunyi bersuara (vokal atau konsonan). Jika dilihat dari segi distribusinya, [z] tampaknya
memiliki distribusi lebih luas karena tidak hanya terjadi setelah konsonan tetapi juga setelah
vokal dan semivokal yang semuanya memiliki ciri bersuara. Oleh karena itu, terjadi proses
pengawasuaraan (devoicing) /z/ menjadi [s] setelah bunyi tak bersuara. Dalam hal ini, suatu
bunyi akan kehilangan penyuaraannya jika berada setelah bunyi yang tidak bersuara. Namun,
proses pengawasuaraan dalam bahasa Inggris tentu tidak hanya diberlakukan untuk pemarkah
plural saja. Dalam bahasa Inggris, proses semacam itu juga dapat diberlakukan pada pemarkah
orang ketiga tunggal yang berbentuk sufiks pada verba berkala kini (Odden, 2005:77):
7. Asimilasi Penyuaraan Sufiks Orang III Subjek Kala Kini pada Verba Bahasa Inggris
slaps
[slæps]
stabs
[stæbz]
slams [slæmz]
hits
[hɪts]
hides
[haydez]
cans
[kænz]
pokes [powks]
digs
[digs]
hangs [hæŋz]
laughs [læps]
thrives [Ɵrayvz]
heals [hiylz]
piths
[pɪƟs]
bathes [beyõz]
hears [hɪrz]
flies
[flayz]
vetos [viytowz]
Berdasarkan data pemarkah jamak dan verba berkala kini dengan subjek orang ketiga tunggal,
maka diperlukan kaidah fonologis untuk menunjukkan apakah /s/ ataukah /z/ yang menjadi
bentuk fonologis dari kedua sufiks tersebut. Jadi, ada dua kaidah yang harus dipertimbangkan:
8. /z/ → [-suara ] / [ -suara ] ____ atau 9. /s/ → [ +suara ]/ [ +suara ] ____
Kaidah (8) dan (9) keduanya termasuk kaidah asimilasi penyuaraan, tetapi hanya kaidah
pertama yang dianggap paling tepat karena bahasa Inggris tidak membolehkan adanya bunyi
bersuara setelah bunyi tidak bersuara, misalnya, tidak ada kata seperti *[pɪfz], *[yəkd], *[sdɔp].
Kaidah kedua (9) mengimplikasikan bahwa bunyi yang tak-bersuara tidak boleh terjadi setelah
bunyi bersuara. Hipotesis itu tentu tidak tepat karena kenyataannya dalam bahasa Inggris hal itu
dibolehkan, seperti pada kata hiss [hɪs], dance [dæns], dan false [fals]. Di sini [s] tetap [s] (tidak
menjadi [z]) setelah vokal (semua vokal adalah [+suara]), dan [s] tetap [s] (tidak menjadi frikatif
bersuara [z]) setelah nasal [n] (semua nasal adalah juga [+suara]); juga tetap /s/ setelah konsonal
lateral /l/ yang bercirikan [+suara]. Oleh karena itu, dalam sistem tata bahasa Inggris harus
ditetapkan bahwa –z /z/ gambaran abstrak atau Bentuk Asal (the underlying form), sementara /s/
29
I Wayan Pastika
adalah gambaran nyata (alomorf atau Bentuk Turunan) melalui proses asimilasi
pengawasuaraan (devoicing), bukan sebaliknya.
Lebih dari itu, proses pengawasuaraan dalam bahasa Inggris tidak hanya berlaku untuk
pemarkah jumlah (jamak) dan pemarkah orang ketiga tunggal pada verba saja, tetapi juga
berlaku untuk kategori lain sepanjang lingkungan fonologis mendukungnya. Pemarkah Verba
Bantu (auxiliary) has [hæz] dan is [IƵ] dapat mengalami proses pengurangan bunyi apabila
pemarkah itu digunakan dalam bahasa lisan, menjadi ‘s atau ‘z sesuai kaidah pengawasuaraan di
atas (Odden, 2005:78–79). Perhatikan contoh berikut ini (dari Odden, 2005: 78); bagian
ortografi ditambahkan dalam tulisan ini):
Tabel 4. Pengurangan Bunyi Morfem has [hæz] dan is [IƵ] dalam Bahasa Inggris
Has [hæz]
ASIMILASI ORTOGRAFI
Is [iƶ]
ASIMILASI ORTOGRAFI
Jæk hæz iƴʔņ
Jæk iƴʔņ
Jack has eaten Jæk iƶ iƴDIŋ
Jæk iƴDIŋ
Jack is eating
Pæt hæz iƴʔņ
Pæt iƴʔņ
Pat has eaten Pæt iƶ iƴDIŋ
Pæt iƴDIŋ
Pat is eating
Jɛn hæz iƴʔņ
Jɛn iƴʔņ
Jen has eaten Jɛn iƶ iƴDIŋ
Jɛn iƴDIŋ
Jen is eating
Bab hæz iƴʔņ
Bab iƴʔņ
Bob has eaten Bab iƶ iƴDIŋ
Bab iƴDIŋ
Bob is eating
Contoh bahasa Inggris di atas merupakan contoh yang sangat komprehensif untuk
menentukan suatu kaidah fonologis dari perbendaharaan morfem yang beralternasi secara
fonologis. Kaidah itu tidak hanya terjadi di dalam satu morfem atau satu kategori, tetapi dapat
berlaku di dalam lingkungan antarmorfem, bahkan antarkata dalam satu frasa atau klausa.
Namun, perubahan bunyi dapat terjadi lebih banyak ditentukan oleh lingkungan bunyi yang ada
di sekitarnya.
KODA, ONSET DAN NUKLEUS: PENYEDERHANAAN DAN PERUMITAN
Bahasa-bahasa di dunia, berdasarkan onset (O), vowel (V), dan coda (C), dapat dipolakan ke
dalam empat pola struktur silabe: 1. (O)V(C) (bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan lain-lain), 2.
OV (bahasa Senufo di Guinea, Afrika), 3. OV(C) (bahasa Yawelmani (di California) dan 4.
(O)V (bahasa Hawai). Pola pertama berarti bahwa sebuah silabe dapat terdiri atas OVC, OV,
VC dan V saja (bahasa Indonesia: kan.tong, tu.ak, an.tar, a.ku); unsur yang berada di antara
tanda kurung kehadirannya bersifat opsional, sementara unsur yang tidak berada di antara tanda
kurung memiliki kehadiran wajib. Pola kedua, yakni, OV berarti bahwa pola struktur silabe
mewajibkan kehadiran onset-Vokal atau tidak membolehkan adanya Puncak saja atau tidak
membolehkan adanya silabe yang berkoda (contohnya, bahasa Senufo di Guinea, Afrika).
Dalam pola ketiga, hanya dibolehkan dua bentuk suku berupa: OVC dan OV, silabe tidak
dibolehkan hanya diisi oleh V saja atau VC saja (contohnya, bahasa Yawelmani di California:
xat.hin ‘kekuatan’, tetapi tidak ada pola OV, misalnya, a.ha tidak berterima). Pola terakhir
adalah sebuah silabe yang hanya membolehkan dua unsur: OV dan V saja, tidak dibolehkan
adanya koda (contohnya, bahasa Hawai: pa.la.o.a ‘tepung’, kanaka ‘lelaki’; kata seperti ka.kak
tidak dibolehkan karena ada suku berkoda (Archangeli 1997: 4, Hammond, 1997: 37).
Berkaitan dengan keempat pola struktur silabe bahasa-bahasa di dunia, ada bahasabahasa yang membolehkan adanya variasi jumlah konsonan pada tingkat koda dan/atau onset
(contohnya bahasa Inggris dengan kluster pada onset: spring [sprɪŋ], sclerosis [sklə’rəsɪs],
splendour [‘splendə], scream [skri:m], string [strɪŋ], square [skweə], student [stju:dənt]; kluster
pada koda: bankrupt [bæŋkrəpt], student [stju:dənt]); ada pula bahasa-bahasa yang hanya
30
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
membolehkan adanya variasi jumlah konsonan pada tingkat onset saja, tetapi tidak
membolehkan kluster pada koda (contohnya, onset bahasa Indonesia: prihatin, klepon); [bæŋk]
dari bahasa Inggris yang berkluster pada posisi koda berubah menjadi konsonan tunggal → baŋ
kata serapan modern dan film yang diserap dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia tidak
dilafalkan modərn dan film, tetapi moderən dan filəm. Sisipan vokal /ə/ pada koda berkluster
merupakan bentuk penolakan fonologis karena sistem fonotaktik bahasa Indonesia berbeda
dengan sistem fonotaktik bahasa Inggris.
Penghilangan -VK- atau -K- sebagai Bentuk Penyederhanaan Pola Kanonik: Kasus Bahasa
Bali
Glotal frikatif /h/ yang mengakhiri suatu morfem dalam bahasa Bali, misalnya, akan dilesapkan
apabila /h/ diapit oleh vokal. Setelah konsonan glotal itu lesap, yang tinggal adalah vokal ganda.
Apabila vokal pertama dari vokal ganda tersebut adalah /a / dan vokal kedua adalah /i/, maka
vokal /a/ kembali mengalami pelesapan (lihat kolom pertama Tabel 5). Namun, jika vokal
ganda itu adalah geminasi, maka justru geminasi tersebut dipertahankan (lihat kolom kedua
Tabel 5). Vokal ganda yang lain, misalnya, /i/ sebagai vokal pertama dan /a/ sebagai vokal
kedua, akan berproses seperti biasa dalam bahasa ini (seperti umumnya yang terjadi pada
bahasa-bahasa Austronesia), yakni adanya bunyi luncuran [ƴ] dimunculkan di antara kedua
vokal tersebut (lihat kolom ketiga Tabel 5).
Tabel 5. Pelesapan /h/ di antara Vokal dalam Bahasa Bali Dialek Gianyar1
-in ‘aplikatif’
-aŋ ‘kausatif’
(/h/→Ø/V_V)
(/h/→Ø/V_V)
/kalah+in/→[kalaɪn] ‘tinggali’
kalah+aŋ→[kalaaŋ] ‘tinggalkan’
/wadah+in/→[wadɪn] ‘wadahi’ wadah+aŋ→[wadaaŋ] ‘wadahkan’
/arah+in/→[arɪn] ‘beri tahu’
arah+aŋ→[araaŋ] ‘beri tahukan’
/tiŋgah+in/→[tiŋgɪn] ‘hinggapi’ ajah+aŋ→[ajaaŋ] ‘ajarkan’
/laŋah-laŋah+in/→[laŋin-laŋin] laŋah-laŋah+aŋ→[laŋga-laŋgaaŋ]
‘jarang-jarangi’
‘jarang-jarangkan’
tiŋgah+aŋ→[tiŋgaan] ‘hinggapkan’
-in, -aŋ ‘aplikatif, kausatif’
(/h/→Ø/V_V)
ilih+in, -aŋ→[illn, iliyaŋ] ‘kipasi, kipaskan’
tagih+in, -aŋ→[tagln, tagiyaŋ] ‘mintai, mintakan’
kikih+in, -aŋ→[kikln, kikiyaŋ] ‘paruti, parutkan’
tebih+in, -aŋ→[tebln, tebiyaŋ] ‘belahi, belahkan
Dalam sejumlah bahasa, penyederhanaan dari nukleus dapat terjadi melalui proses
monoftongisasi, yakni, nukleus yang mengandung satu vokal yang kompleks, misalnya, diftong,
dapat disederhanakan menjadi vokal tunggal atau monoftong atau berkoalisi, baik secara
sinkronik (misalnya, bahasa Indonesia) maupun secara diakronik (misalnya, dari bahasa Latin
ke bahasa Spanyol), seperti contoh berikut ini.
31
I Wayan Pastika
Tabel 6. Monoftongisasi secara Sinkronik dan Diakronik
Bahasa Indonesia (Sinkronik) Bahasa Latin → Bahasa Spanyol (Diakronik)
(Schane, 1973:55)
palau → pulo
aidifikium → edifisio ‘bangunan’
kərbau → kərbo
aikwálem → eguál ‘meskipun’
satai → sate
káusa
→ kósa
‘benda’
pantai → pante
pauper
→ póbre ‘miskin’
Perumitan Pola Struktur Silabe karena Interferensi Fonologis dari Bahasa Lain
Perumitan pola struktur silabe dapat terjadi bukan karena pola bahasa itu memiliki sistem yang
rumit, tetapi karena adanya faktor rekayasa dari pengambil kebijakan kebahasaan atau karena
suatu variasi yang digunakan oleh sekelompok kecil penutur bahasa itu. Dalam bahasa
Indonesia, misalnya, pola kanonik pada unsur koda dan onset tidak membolehkan adanya gugus
konsonan baik dalam gugus dua konsonan atau lebih, kecuali onset dibentuk dari rangkaian
konsonan yang diikuti konsonan sonoran /l, r/, contohnya, prihatin, dan klepon. Namun, onset
yang bergugus tiga konsonan tidak ada dalam bahasa Indonesia kecuali kosakata itu merupakan
unsur serapan dari bahasa asing. Gugus konsonan yang bukan merupakan ciri bahasa Indonesia,
tetapi kehadirannya dibiarkan berlawanan dengan sistem bahasa Indonesia, merupakan suatu
gangguan sistemik pada pola kanonik bahasa Indonesia atau dalam makalah ini diistilahkan
sebagai interferensi fonologis, seperti contoh berikut:
10. Onset dengan gugus konsonan yang bukan pola kanonik asli bahasa Indonesia
struktur
skema
stop
skrin
smes
spesialis
Gugus tiga konsonan dan dua konsonan pada onset dari kosakata bahasa Indonesia di atas jelas
tidak dikenal dalam pola kanonik bahasa Indonesia asli. Sistem ejaannya mewakili asal dari
kosakata tersebut, yakni, dari bahasa Inggris. Dalam sistem fonotatik kosakata bahasa Inggris
tersebut, pelafalannya jelas mempertahankan gugus konsonannya, sementara pelafalan asli
bahasa Indonesia adalah tanpa gugus konsonan, melainkan memunculkan penambahan bunyi
vokal kendur /ý/, seperti contoh berikut:
11. Realisasi penyisipan vokal pada onset berkluster
Onset Gugus K Bahasa Inggris2 Onset Tanpa Gugus K Bahasa Indonesia
structure /strʌktʃə/
/sətəruktur/
screen /skri:n/
/səkrin/
schema /ski:mə/
/səkema/
smash /smæʃ/
/səmes/
stop /stɒp/
/sətop/
specialist /spɛʃəlɪst/
/səpesialis/
Pada posisi onset, bahasa Indonesia masih membolehkan adanya gugus konsonan yang
sangat terbatas, baik dari segi tipe konsonan maupun dalam hal jumlah kehadirannya. Namun,
dalam posisi koda, bahasa ini sama sekali tidak membolehkan adanya gugus konsonan. Sejak
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan diluncurkan pada tahun 1972, pola kanonik
32
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
bahasa Indonesia dibiarkan terinterferensi oleh kluster konsonan pada unsur koda dari bahasa
Inggris, seperti contoh berikut:
12. Koda berkluster konsonan tidak dikenal dalam pola kanonik asli bahasa Indonesia
Koda Gugus K Bahasa Inggris
Koda Tanpa Gugus K Bahasa Indonesia
film /fɪlm/
/filəm/
modern /mɒdɜ:n/
/moderən/
standard /stændəd/
standar, *standard
standardization /stændəddaIzeiʃəǒn/ stardardisasi, *standarisasi
Penyerapan kosakata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia lebih banyak ditentukan
oleh pertimbangan politik kebahasaan, bukan sepenuhnya dikendalikan oleh kaidah kebahasaan
atau sistem tata bahasa Inndonesia. Ejaan yang diserap tersebut, misalnya, tidak sepenuhnya
mengikuti sistem fonologi bahasa Indonesia, tetapi mengikuti pola ejaan bahasa yang
mempengaruhinya. Oleh karena itu, dalam sistem tata bahasa Indonesia, khususnya menyangkut
sistem ejaan, pelafalan dan pola kanonik terjadi kerancuan. Seperti telah disebutkan di atas,
bahasa Indonesia yang tidak memiliki sistem gugus konsonan pada posisi koda dan onset,
dipaksakan untuk diadakan. Gugus konsonan tersebut akhirnya diterima dan digunakan oleh
penutur bahasa Indonesia, tidak hanya dalam sistem tulisan, melainkan juga dalam bahasa lisan.
Apabila bahasa lisan sudah dimasuki unsur-unsur bahasa lain, maka dalam kurun waktu yang
panjang akan menjadi bagian internal dari bahasa yang menerima pengaruh.
SIMPULAN
Penetapan bentuk morfem tidak dapat dilepaskan dari struktur fonologis karena segmen bunyi
yang membentuk morfem itu berproses ketika berada dalam lingkungan bunyi lain atau
perbatasan antarmorfem atau antarkata. Ada dua langkah fonologis yang harus dijalankan ketika
suatu bentuk ditetapkan. Pertama, bunyi mana yang berubah, bunyi mana merupakan hasil dari
perubahan dan di lingkungan mana proses perubahan itu terjadi. Kedua, pemilihan satu bentuk
bunyi harus didasarkan pada pertimbangan representasinya dalam struktur bunyi dan
perwujudannya dalam bentuk gambaran fonetis. Sebuah segmen yang memiliki distribusi yang
lebih luas, dalam arti bahwa bunyi itu memiliki kemampuan bertahan dalam lingkungan bunyi
yang berbeda, harus ditetapkan sebagai bentuk bunyi yang lebih abstrak, sementara segmen
bunyi yang hanya muncul dalam lingkungan terbatas atau dapat diramalkan kemunculannya
ditetapkan sebagai gambaran fonetis.
Bunyi bahasa yang berada dalam satu bentuk leksikal dapat mengalami penyederhanaan
atau perumitan sehingga berpengaruh pada struktur silabe. Kedua proses tersebut dapat terjadi
karena posisi bunyi dalam struktur suku. Sebuah bahasa yang tidak memiliki sistem gugus
konsonan di posisi koda dan onset dapat saja menyerap kosakata bahasa lain yang bergugus
konsonan pada kedua posisi itu dalam bentuk tulisan, tetapi penutur akan melafalkannya tanpa
gugus konsonan. Ini berarti bahwa proses penyederhanaan struktur silabe terjadi, dengan cara
proses penambahan bunyi vokal di antara gugus konsonan atau terjadinya pelesapan pada salah
satu gugus konsonan. Selain proses penyederhanaan dengan cara penyisipan bunyi vokal,
sebuah suku yang sederhana dapat mengalami proses perumitan ketika lingkungannya dalam
satu morfem mengizinkan. Vokal tunggal di posisi suku terbuka dapat mengalami kompleksitas
dengan salah satu proses berikut: diftongisasi, nasalisasi, glotalisasi dan geminasi, bergantung
pada bunyi yang langsung mendahuluinya.
33
I Wayan Pastika
CATATAN
* Penulis berterima kasih kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk
perbaikan makalah ini.
1
Data bahasa Bali dialek Gianyar yang tercantum di sini merupakan hasil pengamatan terlibat dari
penulis di lapangan. Penulis adalah penutur bahasa Bali yang berasal dan bertempat tinggal di Kabupaten
Gianyar.
2
Pelafalan kosakata bahasa Inggris yang digunakan dalam makalah ini mengacu Collins Cobuild English
Language Dictionary. 1987)
SUMBER RUJUKAN PUSTAKA
Alwi, H., Lapoliwa, H., & Darmowidjojo, S. (2003). Tata bahasa baku bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Archangeli, D. (1997). Optimality theory: An introduction to Linguistics in the 1990s. Dalam D.
Archangeli, & D. T. Langendoen (ed.), Optimality theory: An overview (hlm. 1–32).
Oxford: Blackwell.
Hammond, M. (1997). Optimality theory and prosody. Dalam D. Archangeli, & D. T.
Langendoen (ed.), Optimality theory: An overview (hlm. 33-58). Oxford: Blackwell.
Kentjono, D., Datang, F.A., & Candrayani A. (ed.). (2004). Tata bahasa acuan bahasa
Indonesia untuk penutur asing. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Moeliono, A.M., & Dardjowidjojo, S. (ed.). (1988). Tata bahasa baku bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Odden, D. (2005). Introducing phonology. Cambridge: Cambridge Universiity Press.
Pastika, I.W. (2012). Kelemahan Fonologis ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan.
Linguistik Indonesia, 30(2), 147–165.
Pastika, I.W. (2013). Aspek-aspek gramatikal yang terlewatkan dalam penyusunan tata bahasa
Indonesia. Adabiyyat: Jurnal Bahasa dan Sastra, XII (1), 134–156.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1997).
Pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka.
Sneddon, J.N. (1996). Indoenesian reference grammar. Crows Nest: Allen & Unwin.
Verhaar, J.W. (1982). Pengantar linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
34
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 35-51
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
THE EXPRESSION OF POSSESSION IN SOME LANGUAGES
OF THE EASTERN LESSER SUNDA ISLANDS
Philippe Grangé *
Université de La Rochelle
[email protected]
Abstract
The possessor-possessed, or “preposed possessor” syntactic order, has long been
considered a typological feature common to many Eastern Lesser Sunda Islands,
labelled either “Central-Malayo Polynesian languages” or “East Nusantara
languages”, although these groupings do not exactly coincide. In this paper, the syntax
and semantism of possession in some languages of the Eastern Lesser Sunda Islands
are described. There is a wide variety of possession marking systems in the Eastern
Lesser Sunda Islands, from purely analytic languages such as Lio to highly flexional
languages such as Lamaholot. The morphological contrast between alienable and
inalienable possession is widespread among the languages of this area. The study
focuses on Lamaholot, spoken at the eastern-most end of Flores, and the three
neighbouring islands of Adonara, Solor and Lembata. This language has a complex
possessive system, involving suffixes, free morphemes, a specific preposition, and
possessive pronouns, along with person agreement and morpho-phonological features.
Lamaholot can be considered a highly representative example of East Nusantara
languages.
Keywords: East Nusantara, Central-Malayo Polynesian, possession
Abstrak
Urutan sintaktis “pemilik”-“yang dimiliki”, atau dapat disebut juga “pemilik letak
kiri” sejak lama dianggap sebagai ciri khas sebagian besar bahasa Nusa Tenggara
Timur, yang tergolong dalam rumpun bahasa MalayoPolynesia Tengah atau “bahasa
Nusantara Timur”, meskipun kedua pengelompokan ini tidak persis sama. Dalam
makalah ini dibahas sintaksis dan semantik dari kepemilikan pada sejumlah bahasa
Nusa Tenggara Timur. Keanekaragaman yang luas menyangkut sistem pemarkahan
kepemilikan terbentang pada bahasa-bahasa Nusa Tenggara Timur, dari yang murni
bertipe analitik seperti bahasa Lio sampai bahasa yang murni bertipe fleksi seperti
bahasa Lamaholot. Di antara bahasa-bahasa di wilayah ini terhampar perbedaan
yang mencolok dari segi morfologi antara kepemilikan terasingkan dan kepemilikan
tak terasingkan. Pembahasan dalam makalah ini berfokus pada bahasa Lamaholot,
yang dituturkan di ujung timur Flores serta tiga pulau yang berdekatan: Adonara,
Solor dan Lembata. Untuk mengungkapkan kepemilikan, bahasa ini mempunyai sistem
yang rumit, dengan menggunakan sufiks, morfem bebas, preposisi khusus, dan
pronomina posesif, disertai persesuaian persona dan ciri-ciri morfo-fonologi. Oleh
sebab itu, bahasa Lamaholot patut dipandang sebagai contoh yang dapat mewakili
bahasa-bahasa Nusantara Timur.
Kata kunci: Nusantara Timur, bahasa Malayo-Polynesia Tengah, kepemilikan
Philippe Grangé
INTRODUCTION
The expression of possession has long been considered a major typological characteristic of the
Austronesian languages spoken in the Eastern Lesser Sunda Islands. It is not my intention to
enter into ongoing typological debates, but in view of the significance of the possessorpossessed order, widely accepted for over a century as a major criterion, I shall investigate the
means of expressing the possessive in some Austronesian languages of the Eastern Lesser
Sunda Islands. Although the possessor-possessed, or “preposed possessor” order is largely the
rule, certain syntactic constraints may reverse that order, and these languages show significant
morphological diversity.
The first section of this article reviews some typological remarks on “preposed
possessor languages”, while the second section deals with the opposition between analytical and
flexional languages in the East Nusantara area. The third section focuses on Lamaholot, which
owns a particularly rich morphology, giving rise – in some dialects at least – to certain morphophonetic features, namely vowel alternation, epenthesis and metathesis. The fourth section
discusses the coexistence in Lamaholot of two paradigms of possessive markers (suffixes and
free morphemes), as well as a preposition expressing possession described in fifth section. The
sixth section describes a specific possessive preposition, ne. The seventh section argues that
East Nusantara languages broadly differ in semantic terms from West-Malayo-Polynesian
languages such as Indonesian. For example, Lamaholot deals with the categories of alienability
(the possibility of breaking up the possessor-possessed relation) very differently from
Indonesian, which is a further typological feature common to several East Nusantara languages.
Finally, the last section gives insights into the possible influence of non-Austronesian languages
over the expression of possession on East Nusantara languages.
TYPOLOGICAL REMARKS: THE POSSESSOR-POSSESSED ORDER
Linguistic investigation into the languages of the Eastern Lesser Sunda Islands (Nusa Tenggara
Timur) is recent1 and still incomplete. Eastern Indonesia is linguistically extremely diverse,
which can be explained both by the geography of this vast archipelagic region and by complex
prehistoric2 and historic migrations. The group of Central-Malayo-Polynesian (CMP) languages
has traditionally been located in south-eastern Indonesia (Eastern Lesser Sunda Islands,
Moluccas), but there is disagreement as regards their definition both as a linguistic area
(Sprachbund) and a typological group. A different grouping has recently been suggested, that of
“East Nusantara languages” (Klamer 2008, Klamer & Ewing 2010), which does not cover
exactly the same geographical area.
One of the most obvious typological features defining East Nusantara languages is the
“preposed possessor” (possessor-possessed order). This particular syntactic order was observed
as early as the late nineteenth century (Brandes 1884) and became the main defining criterion of
CMP languages, themselves a sub-grouping of Central-East-Malayo-Polynesian (CEMP).
Indeed Himmelman (2005:113, 175) even suggested labelling this group “Preposed Possessor
Languages”, as opposed to “symmetrical voice languages”, found mainly in the western part of
insular South-East Asia, for instance Indonesian. Extensive typological research has been
carried out in recent years, using the “preposed possessor” feature as an essential criterion
(Donohue & Musgrave 2007).
36
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
In East Nusantara languages, Klamer and Ewing (2010) also mention the morphological
distinction between alienable and inalienable possession, as well as the clause-final position of
negation morphemes. Though less systematic, one also observes a tendency towards metathesis
(both lexical and morpho-syntactic) and split intransitivity. Lamaholot is remarkable in that it
exhibits all five of these characteristics: preposed possessor, alienable versus inalienable
possession, metathesis, final negation and split intransitivity. To my knowledge, no other East
Nusantara languages include all these features, though the linguistic description of this vast
region is still too fragmentary to be able to claim this with certainty. Nevertheless, the
coexistence of all these “prototypical” criteria makes Lamaholot a particularly interesting
language. Only one of the features can be dealt with within the limits of this article: the
expression of possession.
What is meant by “preposed possessor”? In the possessor-possessed order, the head
noun of the noun-phrase (referring to the “possessor”) precedes a noun that is its complement,
as in example (1), whereas in the possessed-possessor order, the complement noun (referring to
the “possessed”) comes before the head of the noun-phrase,3 as it does in Indonesian – see
example (2).
(1)
(2)
guru
sa’o
teacher house
‘teacher’s house’
Lio (East Nusantara / CMP)
rumah
guru
house
teacher
‘teacher’s house’
Indonesian
It would appear that although the possessor-possessed order is found in virtually all the
East Nusantara languages, it is usually only considered acceptable when the possessor is
referred to by a noun. Indeed, “if a language has a possessor morpheme, it is generally a
suffix/enclitic, not a prefix/proclitic” (Klamer 2002:372). In other words, in most of those
languages, if the head of the noun phrase is a pronoun, the order can be reversed and become, as
in Indonesian, possessed-possessor. This is the case in Lamaholot:
(3)
(4)
lango
goen
house
1SG.POSS
‘my house’
Lamaholot, Adonara dialect
rumah
saya
house
1SG.POSS
‘my house’
Indonesian (WMP)
Furthermore, in Lamaholot the noun referring to the “possessed” bears a compulsory
possessive suffix, which agrees in person with the head of the noun phrase – see below in the
section on the morphology of possessives.
(5)
guru
langu -n
teacher
house -3SG.POSS
‘teacher’s house’
Lamaholot, Adonara dialect
37
Philippe Grangé
The possessive suffix is compulsory, whether the head is a noun or a pronoun. The
possessed-possessor order is always possible in Lamaholot, and in order to say my house, the
speaker can choose between (3), (6) and (7).
(6)
(7)
go
langu -k
teacher
house -1SG.POSS
‘my house’
Lamaholot, East Adonara dialect
langu
-k
house
-1SG.POSS
‘my house’
Lamaholot, East Adonara dialect
Example (6) illustrates the possibility of cross-reference to the person, for instance 1SG, while
the possessive is marked by the suffix 1SG.POSS. In this type of structure, the personal pronoun
go (1SG) is optional and does not fulfill its usual function as subject. It would seem
inappropriate to claim the possessor-possessed order for this pattern.
In short, then, in Lamaholot and probably in many other East Nusantara languages, the
preposed possessor criterion does not actually correspond to a compulsory set pattern, and the
reverse order is possible when the possessor is referred to by a pronoun. It would, therefore, be
more accurate to say that what characterizes most East Nusantara languages and distinguishes
them from WMP languages is the possibility, under certain conditions, of placing the possessor
before the possessed.
Map 1. Language areas of Lio, Sikka, Lamaholot and Kédang
ANALYTICAL VERSUS FLEXIONAL LANGUAGES
Some languages are clearly “analytical”, such as Lio (Central-Malayo-Polynesian – CMP),
spoken in the centre of Flores island, which has no specialized morpheme to express possession.
(8) guru
sa’o
teacher house
‘teacher’s house’
nua
aku
village 1SG
‘my village’
Lio (East Nusantara / CMP), Flores
38
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Other languages tend rather to be “flexional”; the further one moves from the centre of Flores
towards the east, the higher the chances of encountering languages in which the genitive is
expressed by means of flexional morphemes. One example is Sikka, spoken in an area
immediately to the west of the Lamaholot-speaking region – see Pareira and Lewis (1998): the
paradigm of possessive determiners is formed by adding the suffix -ng to the personal pronoun.
(9) ama
a’u -ng
father 1SG -POSS
‘my father’
oring
’ita
village 1PL.INCL
‘our house’
-ng
-POSS
Sikka (East Nusantara / CMP), Flores
In Lamaholot, the possessive entails fairly complex morphological changes:
(10) ama
-k
father -1SG.POSS
‘my father’
(kamé)
(1PL.EXCL)
‘our house’
langu
house
-kem
-1PL.POSS
Lamaholot, East Adonara dialect
Following the Lesser Sunda Islands towards the east, after the chain of Lamaholot
dialects one comes to the linguistic area of Kedang, on the Island of Lembata – see Sawardo and
Allii (1989:38, 50). In Kedang, subject pronouns ei 1SG, o 2SG and nuo 3SG differ from the
paradigm of possessive determiners.
(11) ko’
epu
1SG.POSS grand-father
‘my grandfather’
ne’
tene
3SG.POSS
pirogue
‘his pirogue’
Kedang (East Nusantara / CMP), Lembata
MORPHOLOGY OF POSSESSIVES IN LAMAHOLOT
Lamaholot is highly dialectalized. Keraf (1978) conducted a lexicological study identifying 33
languages or dialects with a common vocabulary, as shown in the Swadesh list, that could be as
low as 44 percent and no higher than 89 per-cent. The linguistic area of Lamaholot consists of a
“chain of dialects” along which, to put things simply, speakers of neighbouring dialects
understand each other, but not speakers of dialects at the two extremities of the chain.4 In the
latter case, we are talking about two distinct languages.
My field of inquiry is the eastern part of Adonara Island, to the north and west of Ile
Boleng volcano. This area corresponds to the very close “Dulhi” and “Kiwangona” dialects
described by Keraf (1978); I shall provisionally call it “Adonara dialect”. Even within a single
dialectal area there can be many phonological variants. For example, in the morphology of the
verb agreement particle, the onset consonant can vary, from one place to another, between /n/,
/j/ or /r/.5 Some phonological differences are also due to metathesis. For instance, in
Lamablawa, the enclitic genitive marker of 2PL is -kem [kəm], while in Sandosi (an hour’s walk
away), it is -kme [kmə]. In Lamablawa, “it is drying” translates as na pahéna, but is na phaéna
in Balaweling (twenty minutes away). Between dialectal areas that are further away from each
other, especially if they are separated by the sea, differences are of course greater, not only as
regards the lexicon (cognates, false friends, registers) but also with respect to morpho-syntax.
The semantic range of the use of possessive morphemes in Lamaholot is very wide,
including not only possession (for instance, a human possessing an inanimate object), but also
adnominal genitive and partitive. This distinction is discussed below, under “semantic
observations”.
39
Philippe Grangé
Two paradigms of possessive determiners are used in Lamaholot: free and enclitic, as
illustrated in examples (12) and (13); furthermore, the word lango ‘house’ undergoes vowel
alternation (/o/ > /u/) when a possessive suffix is added.
(12) Go hulin lango goen.
1SG look house 1SG.POSS
‘I am looking at my house.’
(13) Go hulin (go)
langu -k.
1SG look (1SG) house -1SG.POSS
‘I am looking at my house.’
Subject pronouns are included in the table below in order to highlight the morphological
features they share with the possessives.
Table 1. Personal Pronouns and Possessive Determiners in Lamaholot, Adonara Dialect
Subject
Free
Possessive
Determiner Possessive Suffix
Pronouns (Postposed to “Possessed”)
1SG
go
goen [ɡoɛ̃]
-k
2SG
mo
moen [moɛ̃]
-m
3SG
na
naen [naɛ̃] or [naɛ̃n]
-n
1PL.INCL
tité
tit’en [titʔɛ̃]
-ket / -t
1PL.EXCL kamé
kam’é [kamʔe]
-kem / -nem
2PL
mio
mion [miõ]
-ké / -né
3PL
ra
raen [raɛ̃]
-ka / -na
Variants of the singular and 3PL persons are found in other regions: goé, moé, naé, and
raé, as in Kiwang Ona and Boleng (south east of Adonara Island) or at the eastern point of
Flores (Mandiri Island).
Person
1SG
2SG
3SG
1PL.INCL
1PL.EXCL
2PL
3PL
Table 2. Examples of Possessive Noun Determiners
Free Possessive Morpheme
Bound Morpheme (Suffix)
lango goen [laŋo goɛ̃̃]
(go) languk [laŋuk]
lango moen [moɛ̃]̃
(mo) langum [laŋum]
lango naen [naɛ̃] or [naɛ̃n]
(na) langun [laŋun]
lango tit’en [titʔɛ̃]
(tité) languket [laŋukət]
lango kam’é [kamʔe]
(kamé) langukem [laŋukəm]
lango mion [miõ]
(mio) languké [laŋuke]
lango raen [raɛ̃]
(ra) languka [laŋuka]
Translation
my house
your house
his/her house
our (+ you) house
our (– you) house
your house
their maison
The suffix form is compulsory in the case of inalienable possession (see below).
According to our informers there is no difference in register between the paradigms of
possessive determiners. However, it would seem that Lamaholot speakers tend to prefer the
enclitic form, whatever the register.
40
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
AGREEMENT RULES
Within a Noun Phrase (NP), a possessive relation can be embedded inside another possessive
relation. For instance, if ∋ means “owns”, the object NP in example (14) can be represented as:
(you ∋ cousin (cousin ∋ sarong)):
(14)
Go
senan
bine
-m
1SG be.pleased cousin -2SG.POSS
‘I like your cousin’s sarong.’
kewatek -en.
sarong
3SG.POSS
The head noun of the object NP is kewatek-en ‘her sarong’ and it must agree with the head noun
of the NP referring to its possessor, bine ‘cousin’, thus 3SG. This rule holds even if both the NP
head noun and its complement have the same “possessor” in semantic terms; in other words,
there is no agreement-raising towards the NP higher up in the hierarchy. Therefore, in example
(15), leg seems, grammatically at least, to be the “possessor” of hairs.
(15)
Mo lei -m
rawu -ken
aya-aya.
2SG leg -2SG.POSS hair -3SG.POSS many
‘Your legs have a lot of hairs (are very hairy).’
litt. : ‘Your leg its hair are many.’
/ *rawu -kem
/ hair -2SG.POSS
/*‘your hairs’
We also saw that a person marker preposed to the head noun could optionally occur
together with the paradigm of possessive determiners in suffix form, as in (go) languk ‘my
house’, example (13). Even though the person marker has the form of a subject pronoun, it
merely expresses emphasis, as in “my own house”, and of course does not have subject
function. Example (16) offers an illustration of such an emphatic turn of phrase.6
(16)
Buah yang ra
rekan
né
ra
fruit REL
3PL 3PL.AGR- eat
DET
3PL
si
keranjang
onen.
na
naen
PREP 3SG
basket
3SG.POSS in
‘The fruit they are eating, they took it from his own basket.’
guté
take
The prepositional phrase si keranjang naen onen ‘in his basket’ would be perfectly acceptable.
But the fact that several baskets were mentioned in the story that example (16) is taken from,
prompted the narrator to specify that he was referring to the basket belonging to the main
character, hence the preposed pronoun na. Emphasis can also be expressed by taking up the
“possessor” noun phrase by means of a pronoun, as in (18):
(17)
Ni
guru
Yohanes langu
dét teacher house
NP
‘It is teacher Yohanes’s house.’
(18)
Ni
-n.
-3SG.POSS
guru
Yohanes langu -n
naen.
teacher PRN
house -3SG.POSS 3SG.POSS
‘It is teacher Yohanes’s house and no-one else’s / It is teacher Yohanes’s own house.’
DET
In some languages, use of the existential construction entails that of the genitive. In
Lamaholot, this constraint only applies to negative sentences. Thus rather than saying “I don’t
have a tree” or “her husband does not work”, one has to say “my tree is not” or “her husband his
work is not”.
41
Philippe Grangé
(19) Go karuk také.
Go karo -k
také.
1SG tree -1SG.POSS NEG
‘I don’t have a tree / I don’t have any wood.’
(20) Ina Benedikta lakhen olhan také, han pauro.
Ina Benedikta laké
-n
olha -n
lady
PRN
husband
-3SG.POSS
work
-3SG.POSS
také ha
NEG
wife
-n
pau -ro.
-3SG.POSS
feed
-3SG.OBJ
‘Mrs Benedikta’s husband doesn’t work, his wife supports him.’
MORPHOPHONOLOGY
There are many phonological variants in the Lamaholot dialect chain but the morpho-syntax of the
possessive remains basically the same. Here are a few examples of such variants in Lamaholot:
Lewoingu (Flores): mata-ken [matakən] ‘my eye’7
Witihama (Adonara): mata-k (eye-1SG.POSS) ‘my eye’
Witihama (Adonara): lango goen ’my house’; go atin-ek ‘my earring’
Sandosi (Adonara)8: lango goek ‘my house’; go atin-k ‘my earring’
Such minor variations can be observed even between the Witihama valley and the villages on its
slopes, although they are barely ten kilometers away from one another. Lamaholot speakers on
Adonara understand each other perfectly but can tell where they come from by these subtle
differences. Such diversity may be explained by a history of conflict between the different clans
on Adonara, as suggested by Barnes (1987:2005).
The possessive suffix for plural persons usually starts with /k/. However, with words
ending with a nasal vowel, the possessive starts with /n/, as in kenatan [kənatãn] ‘a bed’ – see
table below.
1SG
2SG
3SG
1PL.INCL
1PL.EXCL
2PL
3PL
Table 3. Variations of Possessive Suffix
lango ‘house’
kenatãn ‘bed’
(go) languk [laŋuk]
(go) kenatanek [kənatanək]
(mo) langum [laŋum]
(mo) kenatanem [kənatanəm]
(na) langun [laŋun]
(na) kenatan [kənatan]
(tité) languket [laŋukət]
(tité) kenatanet [kənatanət]
(kamé) langukem [laŋukəm]
(kamé) kenatanem [kənatanəm]
(mio) languké [laŋuke]
(mio) kenatané [kənatane]
(ra) languka [laŋuka]
(ra) kenatana [kənatana]
Furthermore, for some words with an open final syllable, the speaker may choose between /k/
and /n/ as the initial consonant of the possessive suffix in the following persons: 1 PL.EXCL, 2PL
and 3PL. For instance with kawi ‘fish-hook’ (also subjected to /h/ epenthesis, discussed below):
kamé kawhi-nem or kawhi-kem ‘our fish-hook’
mio kawhi-né or kawhi-ké ‘your fish-hook’
ra kawhi-na or kawhi-ka ‘their fish-hook’
We saw earlier, for instance with lango ‘house’, that the enclitic possessive morpheme
entailed the following vowel alternations for words ending with the vowels /o/ or /e/:
42
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
/o/ > /u/
lango > langun ‘his/her house’
aho > ahuk ‘my dog’
karo > karuket ‘our (incl.) tree’
pao > pauk ‘my mango’
lewo > lewuka ‘their village’
/e/ > /i/
kenubé > kenubik ‘my machete’
wawé > wawhik ‘my pig’
apé > aphikem ‘our (excl.) fire’
This rule only affects disyllabic words; kenubé ‘machete’ is the only exception to my
knowledge. Vowel alternation from /e/ to /i/ may be found together with epenthesized /h/ (see
below), but not, it would seem, the glottal stop /ʔ/.
Possessive suffixes also lead to epenthesis, through the insertion either of vowels
(modifying the suffix) or of consonants, affecting the word itself. Vocalic epenthesis consists in
the insertion of a [ ə ] in the suffix, on words ending with a consonant, thus avoiding the
formation of consonant clusters (two successive consonants). This can be illustrated with the
1SG possessive suffix -k:
manu’ [manuʔ] + -k 1SG.POSS > manuk-ek [manukək] ‘my rooster/hen’
maan [maːn] + -t 1PL.INCL.POSS > maan-et [maːnət] ‘our garden’
kenatan > kenatan-ek ‘my bed’
lamak > lamak-ek ‘my plate’
bal > bal-ek ‘my ball/balloon’
glas > glas-ek ‘my glass’
With open final syllables having an occlusive onset consonant (/p/, /b/, /t/, /d/, /k/, /g/), the
possessive suffix leads to epenthesis of /h/ as onset of the final syllable.
kuda + -k 1SG.POSS > kudhak ‘my horse’
bunga + -m 2SG.POSS > bungham ‘your flower’
pita + -nem 1PL.EXCL.POSS > pithanem ‘our door’
This rule also applies to recently borrowed words:
oto > othom ‘your car’
speda > spédhãn ‘his bicyle’, spédhak ‘my bicycle’
lampu > lamphuk ‘my lamp’
honda > hondhak ‘my moped’
Very few exceptions were noted:
wato > watuk ‘my stone’
mata > matak ‘my eye’
The extent to which this epenthesis is realized is more or less marked depending on the
speaker, and opinions on this issue may vary within a single village. In Sandosi, probably under
the influence of the Lembata Lamaholot dialect, the /h/ is placed between the two syllables:
43
Philippe Grangé
(21) tapo ‘coconut’
mo
taphu -m
mo
tahpu -m
2SG coco -2SG.POSS
‘your coconut’
Lamaholot, East Adonara dialect
Lamaholot, East Adonara dialect, Sandosi variant
Finally, again in the Sandosi variant, metathesis can be observed.
manu’ ‘chicken’ + =t 1PL.INCL.POSS >
manuket [manukət] ‘our chicken’
manukte [manuktə] ‘our chicken’ in Sandosi variant
manu’ ‘chicken’ + =k 1SG.POSS >
manukek [manukək] ‘my chicken’
manuke [manukə] ‘my chicken’ in Sandosi variante
Metathesis has also been noted in other Lamaholot dialects (Lamalera, Lewotobi).
POSSESSIVE PREPOSITION NE
There is evidence that when several possessive relations are embedded, speakers can use a
possessive preposition, ne [nə] (not to be mistaken for the definitive determiner or
demonstrative ni or né). This preposition is not compulsory and most probably serves to
disambiguate an utterance. For instance, in the following example, my informer considered the
first ne optional, but deemed the second one necessary.
(22) Ni
DET
go
ari
-k
(ne)
haa -n
ne
langu -n.
1SG
brother
-1SG.POSS
PREP.POSS
wife
PREP.POSS
house
-3SG.POSS
-3SG.POSS
‘It is my younger brother’s wife’s house.’
The preposition ne may be related to the 3SG subject pronoun na in Lamaholot (East
Adonara dialect). Such use of a possessive preposition derived from or morphologically close to
the 3SG pronoun is fairly common. Engelenhoven (2009:337, 355) notes that in accordance with
“the pattern found elsewhere in the Timor Sprachbund, Fataluku also uses the third person
singular marker i as a possessive marker between possessor and possession nouns.”
(23)
(24)
ocava i
pala
master 3SG field
‘the master’s field’
Fataluku (Engelenhoven 2009:355)
mane nia xapeu
man
3SG hat
‘the hat of the man’
Tetum (Engelenhoven 2009:337)
In Western Pantar (or Lamma), geographically speaking the closest non-Austronesian
language to Lamaholot, “an adjunct noun phrase referring to the possessor may optionally
precede the possessive pronoun.” (Holton 2007)
44
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
(25) aname gai
bla
person 3SG.POSS house
‘the man’s house’
Western Pantar (Holton 2007)
This is also the case in Alor (bahasa Alor), an East Nusantara language clearly derived
from Lamaholot (Klamer 2011).
(26) Ama kali
n- ei
nong ni
kafae.
father that 3SG go with POSS wife
‘That person went with his wife’
Alor (Klamer 2007:52)
POSSESSIVE PRONOUNS
A free possessive determiner may be used as a possessive pronoun when asking – or answering
– a question about the owner of an object.
(27) Tapo
lali
watã Sagu né
héku
raen ?
Né
coconut downhill beach NP DET INTERR 3PL.POSS DET
‘Who do the coconuts on Sabu beach belong to? – They are mine.’
(go)
(1SG)
goen.
1SG.POSS
In this type of question – literally “who theirs?” – the 3PL.POSS pronoun raen is used by default.
In the reply to the question in (27), the optional pronoun go expresses emphasis. This pattern is
found in paradigm I of possessive pronouns shown below.
It is also possible to use an independent possessive pronoun that refers back
anaphorically to a noun and can occupy the functions of a noun. In fact, this is compulsory in all
other cases than replying to a question. Previous research on Lamaholot only mentions the
existence of independent possessive pronouns in the Lamalera dialect (Lembata Island) – see
Keraf (1978:125). One can assume that possessive pronouns are only used in the eastern part of
the chain of dialects making up the linguistic area of Lamaholot, on the islands of Adonara,
Solor and Lembata.
Table 4. Independent Possessive Pronouns in the Adonara Dialect of Lamaholot
1SG
2SG
3SG
1PL.INCL
1PL.EXCL
2PL
3PL
Paradigm I
Paradigm II
gogoen [gogoɛ̃]
momoen [momoɛ̃]
nanaen [nanaɛ̃]
goének [goɛnək]
moénem [moɛnəm]
titénet [tit/enət]
kaménem [kam/enəm]
mioné [mione]
raraen [raraɛ̃ ]
raraéna [raraena]
mine
yours
his/hers/its
ours (incl.)
ours (excl.)
yours
theirs
Two synonymous forms are used in 1SG and 2SG persons. There is no evidence of a
difference in register, and they appear to be free variants. Two “competing” paradigms can be
identified as regards the formation of possessive pronouns:
45
Philippe Grangé
Paradigm I
For example: go 1SG + goen 1SG.POSS > gogoen PRO.1SG.POSS. It is not possible to form 1PL
and 2PL persons on this pattern.
subject pronoun + possessive determiner > possessive pronoun
Paradigm II
Here the formation rule is unclear. I would suggest that it is derived from lexicalisation of the
possessive preposition ne.
subject pronoun + possessive preposition + posessive enclitic > possessive pronoun
For example:
goé 1SG + ne PREP.POSS + -k 1SG.POSS > goének ‘mine’
moé 2SG + ne PREP.POSS + -m 2SG.POSS > moénem ‘yours’
tité 1PL.INCL + ne PREP.POSS + -t 1PL.INCL.POSS > titénet ‘ours (incl. you)’
kamé 1PL.EXCL + ne PREP.POSS + -m 1PL.EXCL.POSS > kaménem ‘ours (incl. you)’
mio 2PL + ne PREP.POSS + -é 2PL.POSS > mioné ‘yours’
SEMANTIC OBSERVATIONS
Lamaholot does not mark any difference between the relation of possession as such (most
commonly a human being who owns an inanimate object) and the adnominal genitive.
(28)
Rizal
otho
car
‘Rizal’s car’
PRN
(29)
-n
-3SG.POSS
Ama Niko no’on
Ina Pulo langu
-ka
Mr
PRN
with.3SG
Mrs PRN
house
-3PL.POSS
‘Mr Niko’s and Mrs Pulo’s house / the house of Mr Niko and Mrs Pulo’
Examples of adnominal genitive:
(30)
Kursi
lei
Chair
leg
‘chairleg’
(31)
sepatu wutu
shoe
end
‘toecap’
-n
-3SG.POSS
-n
-3SG.POSS
The distinction between alienable and inalienable possession is widespread among the
Lesser Sunda Island languages, and more generally in East Nusantara languages. The distinction
is common to both Austronesian and non-Austronesian languages in the region and applies to
different domains depending on the language; parts of the body and members of a family are
usually considered inalienable. In Alor, alienable 3SG ni stands in contrast to 3SG inalienable
no ; see Klamer (2007).
In Lamaholot, inalienable possession is compulsorily expressed by the paradigm of
enclitic possessive morphemes, while to express alienable possession, the paradigms of free
possessives or of suffixes can be used indifferently. In examples (32) to (34), sal ‘scarf’ can
46
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
receive possessive determination by means of a free morpheme or a suffix, whereas with wuli
‘neck’, clearly inalienable, possession can only be expressed by a suffix.
(32)
(33)
Na puin sal
na’en
Si
wuli -n.
3SG ties scarf 3SG.POSS PREP neck -3SG.GEN
‘He ties his scarf round his neck.’
Na puin sal -nen
si
wuli
-n.
3SG ties scarf -3SG.POSS
PREP
neck -3SG.GEN
‘He ties his scarf round his neck.’
Lamaholot, East Adonara
dialect
(34) *Na puin sal
na’en
si
wuli na’en.
3SG ties scarf 3SG.POSS PREP neck 3SG.GEN
‘He ties his scarf round his neck.’
Nouns referring to parts of the body, which are per se inalienable, never appear in their
bare form, without a possessive enclitic. Thus *lei ‘leg’ is unacceptable, and can only be found
in the forms lei-k ‘my leg’, lei-m’your leg’, lei-n’his/her leg’ and so on. Lexicographers need to
take this fact into account. Comparison of vocabulary lists (Swadesh lists) may also lead illinformed observers to believe they have come across lexical differences; some Swadesh lists
include the nouns leik, lein and leim as meaning leg, clearly reflecting the way in which the
linguist collected her or his data. For instance, if I point to my leg asking “what do you call
that?”, the chances are that the reply will be leim ‘your leg’.
INFLUENCE OF NON-AUSTRONESIAN LANGUAGES
Klamer (2002:377) stress the reciprocal influences of Austronesian and non-Austronesian
languages (Trans-New Guinea Phylum languages, also known as Papuan langages). It is likely
that Papuan languages gave the Austronesian languages of insular Southeast Asia three main
features: possessor-possessed order, alienable-inalienable distinction and sentence-final
negation. One or several of these features can be found in East Nusantara languages – see
Klamer (2008:74, examples 69 and 70).
In many languages of the region, whether Austronesian or not, possessive pronouns can
be proclitic. In Western Pantar, a non-Austronesian language – see Holton (2008:176) – they are
indeed proclitic (“possessive construction”) but are also found postposed (“genitive
construction”).
(35)
n= iu
1SG.POSS
mother
n= iaku
1SG.POSS
sibling
i= ga= aulang
PROG
3SG
‘my mother is bathing my brother [but I can’t see it]’
(36)
gai
bla
3SG.POSS house
‘his house’
bla
ga’ai
house 3SG.POSS
‘the house of his’
bathe
Western Pantar (Holton
2008:176)
Western Pantar (Holton
2008:176)
In Lamaholot, the possessive determiner, whether free-standing or enclitic, is always
postposed. Lamaholot’s emphatic construction (preposed pronoun + noun + enclitic possessive
determiner) can be found in some Papuan languages, for instance in Moi (West Papuan Phylum)
– see Staden and Reesink (2008:57) – or in Mangga Buang (North New Guinea Cluster), to
express inalienable possession – see Payne (1997:106).
47
Philippe Grangé
(37)
(38)
ta= laagi
=m
t
=a
1SG.POSS woman 1SG.POSS 1SG POSS
‘my wife’
sa
nama =ngg
o
nama =m
1SG hand 1
2SG hand
2
‘my hand’
‘your hand’
Moi (Staden & Reesink 2008:57)
Mangga Buang (Payne 1997:106)
The alienable-inalienable contrast is widespread in the East Nusantara languages,
although it takes different forms. According to Klamer, Reesink, and Staden (2007:119), in
Teiwa (Tidore Island), both alienable and inalienable possession are expressed with the same
paradigm of morphemes; this is also the case in Lamaholot. However, in Teiwa the possessive
proclitic is optional for nouns referring to the “possessed”, but compulsory for inalienable
“possessed objects”, while in Lamaholot it is the possessive enclitic that is compulsory for the
latter. In Blagar, Steinhauer (1993:150-151) has observed a free form for possessive determiners
of nouns with subject function, and a proclitic form for those of nouns with object function.
In view of the wide variety of forms (proclitics or enclitics; compulsory or optional) it
seems difficult and even virtually impossible to trace the history of the mutual influences
between the Austronesian languages of the Eastern Lesser Sunda Islands and the TNGP (Trans
New-Guinea Phylum) languages, which are also extremely diverse.
The “newcomer” to the region is the Malay language, which emerged from the sixteenth
century, and probably long before that, as the vehicular language of maritime trade. The various
Malay dialects of eastern Indonesia bear witness to the lingua franca that Malay represented for
the whole of insular South-East Asia during and before the colonial era – see Paauw (2008). For
example, Larantuka Malay adopted the possessor-possessed order, using the verb puN [pun],
[puŋ], [puɲ], [puɲa], meaning ‘to own’, as a preposition (40).
(39) Rumah saya rumah
-ku
house 1SG house
1SG.POSS
‘my house’
‘my house’
(40)
saya puN
1SG PREP
‘my house’
Saya punya
rumah.
1SG
to own house
‘I have a house.’
rumah.
house
Malay/Indonesian
Larantuka Malay
A similar structure can be found in various Malay dialects, in Kupang and in the
Moluccas. Although Larantuka Malay is spoken in the very centre of the Lamaholot linguistic
area, it is unlikely that the “N(POSSESSOR) pun N(POSSESSED)” structure was borrowed from
Lamaholot; on the other hand, it may have been borrowed from one or several East Nusantara
languages, in which use of the possessive preposition is widespread.
In Alor, according to Klamer (personal communication), the “possessive ligature” ning
probably comes from the grammaticalisation of the verb -eing / -ing ‘to have’.
(41)
(Bapa
John) ni
ning uma
(father
NP)
3SG POSS house
‘his (father John’s) house’
Alor (Klamer, p.c.)
There is a striking similarity with the puN construction in Larantuka Malay but no
certainty as regards the direction in which the borrowing took place. Some Timor languages
48
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
may have influenced Larantuka Malay.9 Another hypothesis, though less likely, is that the
vehicular Malay of traders and seafarers plying the eastern Indonesian sea routes might in its
turn have influenced popular Malay, or bahasa Melayu pasar, and led to its adopting this
pattern.
CONCLUSION
Typological classification of the Eastern Lesser Sunda Islands languages is no easy task,
especially in view of the presence in this vast area of several non-Austronesian languages. On
the basis of the likely reciprocal influences that shaped them, through what are still little-known
contacts between Austronesian and non-Austronesian languages, it is possible to define a group
of East Nusantara languages (Klamer 2008, Klamer & Ewing 2010:121) that share one or
several major typological features: preposed possessor, alienable versus inalienable possession,
metathesis, final negation, and split intransitivity.
Lamaholot may be the only language in which the five features are found together,
making it a particularly exciting and representative example of East Nusantara languages. The
expression of possession in Lamaholot is characterized by a very rich morphology: two
paradigms of possessive markers (suffixes and free morphemes), agreement rules that take into
account not only syntax but also semantics (alienable/inalienable contrast), a preposition that
specifically marks possession and two paradigms of possessive pronouns. Various morphophonological features (vowel alternation, epenthesis and metathesis) can also be observed,
reflecting a wide variety of dialects and sometimes even found within a single one, as in the
Adonara dialect. As a result, the study of the possessive system in Lamaholot probably raises
more questions than it answers: apart from the well-established criterion of “preposed
possessor” in East Nusantara languages, how do we identify the features that probably come
from one or several non-Austronesian languages, and those that can be accounted for by a
“local” morphological complexification reflecting the long history of the Lamaholot language?
NOTES
* I would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft.
1
It was not until the 1970s that detailed documentation work, using the tools of modern linguistics, was
carried out in the Eastern Lesser Sunda Islands; its pioneers were Wim Stockhof and Hein Steinhauer
(1993), as well as Gorys Keraf (1978) for Lamaholot.
2
Recent archeological finds (Galipaud & Simanjuntak, personal communication) date the arrival of
Austronesians on East Flores between 2500 and 2000 BP.
3
Glossing abbreviations: AGR: agreement morpheme; NEG: negation; OBJ: object; PREP: preposition; PRN:
proper noun; POSS: possessive; PREP: preposition; SG: singular ; PL: plural; INCL: inclusive; EXCL:
exclusive; NP: noun phrase
4
Only two Lamaholot dialects have been described to date, by Keraf (1978) and Nishiyama & Kelen
(2007); to which should be added the dictionary compiled by Pampus (2001) and several articles by
Nagaya (2009 ; 2010).
5
Lamaholot spelling has not been normalized. The transcription used in this paper is: [e] = é ; [ɛ] = è ;
[ə] = e ; [ʔ] = ’.
6
Pear Story oral corpus – informer : Pak Yakobus ‘Obi’ Dewaraja Lamablawa, November 2009.
7
Example quoted from Nishiyama and Kelen (2007: 11) [matakən] ‘eye-my’
49
Philippe Grangé
8
It would appear that the Lamaholot dialect of Sandosi is close to that of Lamahera, on the neighbouring
island of Lembata, which can be seen from the village of Sandosi, built on high ground. Sandosi may
have been founded by a group coming from Lamahera, or at any rate been strongly influenced by
speakers from Lamahera; further historical investigation is called for on this matter.
9
It is well-known that Larantuka, in the sixteenth and seventeenth centuries, was considered by the
Portuguese as a kind of barrier that was supposed to protect Timor and its highly-coveted sandalwood –
see Barnes (1987). Relations with Timor were frequent, well before the colonial period. In one of the
Timor languages, Tetum, the structure using a possessive preposition is similar to that found in the Malay
dialects of eastern Indonesia. When the Dutch took control of Malacca in 1641, most of the Portuguese
and their allies took refuge on Larantuka, thus probably bringing with them linguistic influence from
peninsular Malay.
REFERENCES
Barnes, R. (1987). “Avarice and iniquity at the Solor Fort”, Bijdragen Tot de Taal-, Land-, en
Volkenkunde, Vol. 143 - No. 2/3, 208-236.
Brandes, J.L.A. (1884). Bijdragen tot de Vergelijkende Klankleer der Westersche afdeeling van
de Maleis-Polynesische taalfamilie, Utrecht: P. W. van de Weijer.
Donohue, M. & Musgrave, S. (2007). “Preposed possessor languages in a wider context”,
Workshop on the languages of Papua, Manokwari, http://profiles.arts.monash.edu.au/
simon-musgrave/download/Manokwari.pdf.
Engelenhoven A.Th.P.G. van (2009). On derivational processes in Fataluku, a non-Austronesian
language in East-Timor. In: Wetzels W.L. (Ed.) The Linguistics of Endangered
Languages, Contributions to Morphology and Morpho-Syntax. Utrecht: Netherlands
Graduate School of Linguistics. 331-362.
Himmelmann, N.P. (2005). “The Austronesian languages of Asia and Madagascar: typological
characteristics”. In The Austronesian languages of Asia and Madagascar (Eds. Adelaar,
A. & Himmelmann, N. P.) New York: Routledge, pp. 110-181.
Holton, G. (2007). http://www.faculty.uaf.edu/ffgmh1/pantar/nouns.html, consulté le 12-122009.
Holton, G. (2008). “The rise and fall of semantic alignment in North Halmahera, Indonesia”. In
The Typology of Semantic Alignment (Eds. Donohue, M. & Wichmann, S.) Oxford:
Oxford University Press, pp. 252-276.
Keraf, G. (1978). Morfologi dialek Lamalera, Ende: Arnoldus.
Klamer, M. (2002). “Typical features of Austronesian Languages in Central/Eastern Indonesia”,
Oceanic Linguistics, Vo. 41 No. 2, pp.364-383.
Klamer, M. (2008). “The Semantics of Semantic Alignment in eastern Indonesia”. In The
Typology of Semantic Alignment (Eds. Donohue, M. & Wichmann, S.) Oxford: Oxford
University Press, pp. 221-251.
Klamer, M. (2011). A Short Grammar of Alorese (Austronesian), Munich: Lincom Europa.
Klamer, M. & Ewing, M.C. (2010). “The languages of East Nusantara: An introduction”. In
Typological and Areal Analyses: Contributions from East Nusantara (Eds. Klamer, M.
& Ewing, M.) Canberra: Pacific Linguistics.
50
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Klamer, M., Reesink, G. & Staden, M. van. (2007). “East Nusantara as a Linguistic Area”. In From
linguistic areas to areal linguistics (Ed. MUYSKEN, P.) Amsterdam: Benjamins, p. 53.
Nagaya, N. (2009). “Subject and topic in Lamaholot, Eastern Flores”, 11th International
Conference on Austronesian Linguistics (11-ICAL), Aussois, France, 22-29 June 2009.
Nagaya, N. (2010). “Voice and grammatical relations in Lamaholot of eastern Indonesia”,
Proceedings of the Workshop on Indonesian-type Voice System, Research Institute for
Languages and Cultures of Asia and Africa (ILCAA), Tokyo University of Foreign
Studies (TUFS), July 17-18, 2010, http://lingdy.aacore.jp/doc/indonesia2010/
DrNagaya_proceedings.pdf.
Nishiyama, K. & Kelen, H. (2007). A Grammar of Lamaholot, Eastern Indonesia, Muenchen:
Lincom Europa.
Paauw, S.H. (2008). The Malay contact varieties of Eastern Indonesia : a Typological
Comparison, PhD, Buffalo: State University of New York at Buffalo.
Pampus, K-H. (2001). Mué Moten Koda Kiwan - Kamus Bahasa Lamaholot, Frankfurt:
Frobenius-Institut.
Pareira, M. & Lewis, D. (1998). Kamus sara Sikka - bahasa Indonesia, Ende: Nusa Indah.
Payne, T. (1997). Describing Morphosyntax: A Guide for Field Linguists, Cambridge:
Cambridge University Press.
Sawardo, P. & Allii. (1989). Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis Bahasa Kedang, Jakarta: Pusat
Bahasa.
Staden, M. van & Reesink, G. (2008). “Serial verb constructions in a linguistic area”. In Serial
Verb Constructions in Austronesian and Papuan languages, Vol. 594 (SENFT, G. ed.)
Canberra: Pacific Linguistics, pp. 17-54.
Steinhauer, H. (1993). “Bahasa Blagar Selayang Pandang”, Penyelidikan Bahasa dan
Perkembangan Wawasannya, Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia pp. 639-659.
51
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 53-71
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
THE USE OF HEDGES AND BOOSTERS AS RHETORICAL
DEVICES IN THE CONSTRUCTION OF SPEECHES
Farida Hidayati*
Ruswan Dallyono
Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] [email protected]
Abstract
The present study is a pragmatic analysis of the use of hedges and boosters in the
speeches of three ministers on the government’s policy of raising fuel prices during the
second tenure administration of Susilo Bamband Yudhoyono (SBY). This study explores
the distributions of hedges and boosters in the speeches and the pragmatic functions of
those hedges and boosters. Data were obtained from three speeches delivered by Hatta
Radjasa (HR), Jero Wacik (JW) and Armida Alisjahbana (AA). The theoretical
framework of this study was based on Hyland’s (1998a) and Hyland’s (1998b) theories
of hedging for categorizing the types of hedges and boosters and pragmatic functions.
This study indicates that both hedges and boosters were used by two politicians: HR
and AA with different distributions. This study confirms Hyland’s (1998a) and (1998b)
findings that hedges and boosters are used for mitigating and strengthening the truth
values of propositions.
Keywords: hedge, booster, function
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan hedge (piranti pemagaran) dan
booster (piranti penguat) yang terdapat pada pidato tiga menteri saat mereka
mengumumkan kebijakan pemerintah mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Penelitian ini
mempelajari sebaran piranti pemagaran dan piranti penguat yang terdapat pada
pidato dari tiga menteri tersebut dan juga fungsi-fungsi pragmatik dari piranti
pemagaran dan piranti penguat yang terdapat dalam pidato mereka. Data yang
diperoleh dari pidato yang disampaikan oleh Hatta Radjasa (HR), Jero Wacik (JW)
and Armida Alisjahbana (AA) diunduh dari dua laman. Teori yang digunakan dalam
penelitian ini berdasarkan teori pemagaran dari Hyland (1998a) and Hyland (1998b)
yang berfungsi untuk mengelompokkan jenis dan fungsi pragmatik dari piranti
pemagaran dan piranti penguat yang terungkap dalam pidato ketiga menteri tersebut.
Penelitian ini menegaskan teori pemagaran dari Hyland’s (1998a) dan (1998b) bahwa
piranti pemagaran dan piranti penguat digunakan secara instrumental untuk
memperlemah dan memperkuat nilai kebenaran dari sebuah proposisi.
Kata kunci: piranti pemagaran, piranti penguat, fungsi
INTRODUCTION
Hedges and boosters refer to communicative strategies used for augmenting or lessening the
strength of statements Hyland (1998a). It appears that their significance in creating discourse is
in their role to articulate proper rhetorical senses based on their contexts by putting across both
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
epistemic and affective meanings, which means that they carry not only the speaker’s or writer’s
degree of assurance in the truth value of statements, but also an attitude to the listener or reader.
A considerable number of studies have been conducted on hedges and boosters as
rhetorical devices in academic texts (Varttala 2001; Hyland 1994; Hyland 1998b; Hyland 2000;
Vázquez Orta & Giner, 2009). These studies primarily focus on the distributions and use of
rhetorical functions of hedges and boosters in academic discourse. Other studies compare the
use of hedges and boosters between native speakers of English and non-native speakers of
English (see Hyland & Milton, 1997 as cited in Behnam, Naeimi, & Darvishzade, 2012).
Meanwhile, there are also studies comparing the use of hedges and boosters between male and
female speakers in conversation (Holmes 1990).
The use of hedges and boosters in political discourse appears to have been underresearched. Our search for works on the topic revealed that there were only a few scholars who
have conducted research in the field. The first study was conducted by Taweel et al (2011).
They investigated hedging in political discourse by drawing on data from selected televised
interviews in Arabic television during the third gulf war. The second one was carried out by
Šandová (2010) who examined the use of boosters and hedges in political interviews from the
webpages of American and British TV and radio stations. The third one was a study of hedges
and boosters as persuasive devices in political language (Crespo-Fernández & López-Campillo,
2012). The fourth one was a study undertaken by Jalilifar and Alavi (2012) on the use of
hedging devices in political interviews. Finally, Garcia-Pastor (2008, in Jalilifar & Alavi 2012)
investigated face mitigating devices in political debates in US political campaigns.
In fact, research on the use of hedges and boosters in political discourse is essential
because hedges and boosters are devices which are often used by politicians to articulate their
messages to the public. By investigating hedges and boosters, researchers are in a position to
disclose the linguistic masks of politicians so that they can unveil the “actual” political
messages politicians conveyed to the people.
This study aims to describe the use of hedges and boosters in three political texts by
Hatta Radjasa (HR), Jero Wacik (JW), and Armida Alisjahbana (AA). We hoped to discover the
distributions and functions of hedges and boosters in their speeches. These politicians’ speeches
were considered to be significant because they provided information about the raising of the fuel
prices which was thought to cause a major impact on the people’s economy. Thus, it is essential
to discover how the three ministers crafted their messages by employing hedges and boosters
because they conveyed information which might stir the people’s anger.
METHODOLOGY
In this study we used a qualitative method with descriptive statistics. The purpose of using this
method was to explore the issue in a more revealing manner. Rather than merely describing
linguistic features being investigated, it is more significant to discover how these features are
distributed in terms of frequencies and percentages and how these quantitative data establish
pragmatic meanings. These quantitative data were used to discover the salience of occurrences
of tokens in the texts. The data were interpreted in terms of how salient or rare linguistic
features are used in the texts. The qualitative method was used to interpret the pragmatic
functions of the hedges and boosters used by the three ministers.
54
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Data Collection Procedure
We drew upon three transcripts of political speeches of Menko Perekonomian Hatta Rajasa
(HR), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik (JW) and Menteri
PPN/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana (AA) on June 21 st 2013. The speech transcripts
consisted of five pages of 1304 words. We decided to analyze these transcripts because we
found that these ministers used hedges and boosters in their speeches in order to persuade both
opponents and audiences to agree with them.
The transcripts were taken from http://www.youtube.com/watch?v=FNgdM_n4UUM for
HR’s speech and http://www.youtube.com/watch?v=ThN1oezJN3E for JW and AA’s speeches.
Data Analysis Procedure
To analyze the speeches, we drew upon Hyland's (1998a, 1998b) lexico-grammatical features
and pragmatic functions of hedges and boosters. According to Hyland (1998a:1), hedges and
boosters can be used as “communicative strategies for increasing or reducing the force of
statements.” This definition was used as the basis for analyzing the speeches of the three
ministers while assuming that they had hedged and/or boosted their statements for various
communicative purposes which were probably political in nature. Although Hyland used the
definition to refer to academic works, we believe that communicative strategies are valid in all
contexts, including in a political context where a speaker needs to draw on effective
communicative strategies to assure the audience.
First, we established criteria for hedges and boosters based on Hyland’s (1998a, 1998b)
theories. Hyland (1998a; 1998b) classified hedges as downtoners which were divided into four
categories, namely (a) compromiser e.g. sangat ‘quite’, biasanya ‘usually’ or ‘normally’; (b)
diminisher e.g. sebagian ‘partially’ and sedikit ‘slightly’; (c) minimiser e.g. jarang ‘rarely’ and
sewaktu-waktu ‘occasionally’; (d) approximator e.g. hamper ‘almost’, sebenarnya ‘virtually’
and secara relatif ‘relatively’. Meanwhile, boosters were defined as uptoners which consisted
of two categories, namely (a) intensifier: sangat ‘very’, ‘absolutely’ or ‘extremely’, and (b)
certainty: pasti ‘must’ or ‘certain’. This categorization of hedges and boosters is summarized in
Table 1 below. The lexico-grammatical features of both hedges and boosters, however, take
various forms of word classes and grammatical units. With these established criteria, we were
able to come up with well-categorized data along with quantitative information such as
distribution frequencies and percentages.
Table 1. A Modified Version of the Functions of Hedges and Boosters (Hyland, 1998b:139)
Rhetorical
No.
Functions
Features
Examples
Devices
Downtoner
compromiser: adverbs, modality, quite, usually, normally, may, can, it
agentless passives is argued that
1.
Hedges
diminisher:
adverbs, modality partially, slightly, might,
minimiser:
adverbs
rarely, occasionally
approximator: adverbs, modality almost, virtually, relatively, will, shall
2.
Boosters
Uptoner
intensifier:
certainty:
adverbs
modals
very, absolutely, extremely
must, certain
55
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
Afterward, we analyzed the data by labeling the words or phrases found in the speeches
understudy as hedges or boosters. The data were also classified into the types of hedges or
boosters to facilitate the process of identification. To identify the category of a certain word or
phrase, we analyzed the co-texts and contexts in which it occurred.
FINDINGS AND DISCUSSION
Hedges Used in the Speeches of HR, JW and AA Based on the Lexico-grammatical
Features
The first speech in the series of three speeches was delivered by HR as the Minister of
Economy. This part of findings and discussion start with the lexicogrammatical features of HR’s
speech. HR used both hedges and boosters, but first of all, the hedges will be highlighted.
Table 2 below indicates that HR used three tokens of hedges (0.70%) if divided by the
number of words used. From the three tokens, it was discovered that he used two adverbs
(66.67%) and 1 modality (33.33%). Compared to the total number of words used, namely 429
words, the use of only three hedges is relatively small. It is safe to state that HR’s speech is only
slightly hedged, which means that it may appear either reckless or confident in terms of its tone.
It will be further shown in what context actually HR used these hedges. A qualitative account of
this tendency is required to clarify the pragmatic functions of the hedges.
Table 2. The Percentages of Lexico-grammatical Features of Hedges in HR’s Speech
Hedges
Lexico-grammatical Features
Adverb: 2 tokens
3 tokens/429 words (66.67%)
(0.70%)
Modality: 1 token
(33.33%)
As earlier mentioned, in terms of lexico-grammatical features, HR used two types of
hedges, namely adverbs and modalities. He used two adverbs, namely kurang twice and only
one modality, namely dapat. In Indonesian, the adverb kurang is usually attached to an adjective
which is intended to weaken the meaning of the adjective. The adjective kurang is translated as
not enough into English. The clause … tapi juga dirasakan kurang adil bagi masyarakat kita
yang miskin may be translated as … but it is considered to be not fair enough by the poor.
In the speech, HR was actually referring to the subsidy on oil price which was
inappropriately enjoyed by rich people. The government was planning to decrease the subsidy
and would allocate some financial support for poor people, which was known as “BLSM” or
Bantuan Langsung Sementara. It is an amount of money, intended to relieve the people from the
burden of the fuel hike. The amount of BLSM was Rp150.000 per month or Rp450.000 per
three months.
The function of this hedge in the phrase kurang adil is apparently intended to minimize
the strength of the meaning. This function will be elaborated to later parts of the report.
Following is Table 3 presenting the lexico-grammatical features of hedges found in HR’s
speech:
56
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Table 3. Lexico-grammatical Features of Hedges in HR’s Speech
No.
Hedges
The Lexico-grammatical Features
… tidak tepat sasaran tapi juga dirasakan kurang
1.
Adverb
adil bagi masyarakat kita yang miskin dan …
… bagi masyarakat kita yang miskin dan kurang
2.
Adverb
mampu.
… dan dengan program-program tersebut yang satu
3.
Modality
paket maka kita dapat memberikan daya dorong …
Table 3 shows that the use of kurang in sentence 2 might have been intended to refer to
the same thing, namely as a minimiser. The phrase kurang mampu refers to those poor people or
those who might be deeply affected by the fuel hike. The phrase may be translated as not
capable enough into English. HR was referring to the magnitude of the impact of the increase in
the fuel price on economically weak people.
The second type of hedges that was used in the speech was modality, namely dapat. In
English, this modality is comparable to can or could. Hyland (1998b:102-107) categorizes
modality as one of the features of hedges. In English the meaning of can and could refers to
either capability or possibility, depending on the context in which the modality is used. In
Indonesian, the word dapat means either capable or obtain. It is categorized into a modality
because it appears to function like a modal auxiliary. In English, modal auxiliaries are used as
independent auxiliaries and do not need other auxiliary verbs. In Indonesian, it is possible to
construct a sentence such as Dapatkah kau menari? which is similar to the English equivalent
Can you dance? In addition, the word dapat is considered to be a modality because in terms of
meaning, it expresses both ability and possibility.
As a modality, however, it only means ‘capable’. In sentence 2 above, HR says … dan
dengan program-program tersebut yang satu paket maka kita dapat memberikan daya dorong.
In the sentence, HR actually stated that with all the programs that the government planned to
implement, they would be able to lift the poor from the financial impact they were likely to have
from the fuel prices’ hike. HR used the word dapat to imply that there was a potential of
“usefulness” for this financial support to alleviate the economic burden of poor people. In this
case, he was careful in paraphrasing his sentence so as to avoid criticisms from his political
opponents. Today, economic and political analysts were highly critical of the government’s
policies, especially those involving the fuel hike.
No hedges were found in JW’s speech. Apparently, JW did not wish to tone down his
statements. He just delivered what he was expected to convey to the people. The main reason
why he did not use any hedges was that he was not in a position to opinionate. He was merely
reading a report which was technical in nature. There was no need to hedge because he was only
presenting facts. JW only conveyed the contents of the final draft as an extension of the
government’s policy of securing the National Budget.
Next, it is imperative to discuss the lexico-grammatical features of the next speech
which was delivered by AA, who was the Minister of PPN and the Head of BAPPENAS. Table 4
demonstrates the hedges percentages and the lexico-grammatical features of hedges in AA’s
speech.
57
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
Table 4. The Percentages of Lexico-grammatical Features of Hedges in AA’s Speech
Hedges
Lexico-grammatical Features
Adverbs: 8 tokens (42.1%)
19 tokens/734 words Modality: 5 tokens (26.3%)
(25.88%)
Agentless Passive: 5 tokens (26.3%)
Adjectives: 1 token (5.26%)
Table 4 indicates that AA used nineteen tokens of hedges or 25.88% if divided by the
number of words used. From the nineteen tokens, it was discovered that she used hedges more
variously than HR. In her speech, AA used eight adverbs, five modalities, five agentless
passives, and one adjective. Compared to HR’s speech, there were more hedges in AA’s speech.
Hyland (1998b:102-107; 1998:186) says that modalities and agentless passives are categorized
as hedges. This fact suggests that AA’s way of speaking was more careful and thorough than the
two other speakers because the content of her speech consisted of both detailed information
about the programs to reduce the effect of fuel hike and persuasive explanation to convince the
public, especially those who were less fortunate.
In Table 5, the use of lexico-grammatical features of hedges in AA’s speech is
displayed to describe their uses in context.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Table 5. Lexico-grammatical Features of Hedges in AA’s Speech
The Lexico-grammatical
Hedges
Features
Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan …
Modality
… dampak penyesuaian harga BBM khususnya
Adverb
terhadap….
Secara garis besar ada dua kelompok … …
Adverb
…… masyarakat miskin dapat mengakses pendidikan…..
Modality
…… mencakup hampir 30% dari….
Adverb
…… harga BBM yang diperkirakan sekitar empat…..
Adverb
…… sekaligus juga akan membantu pemenuhan……
Modality
…… selanjutnya secara ringkas saya….
Adverb
…… juga mencakup kelompok rentan miskin
Adjective
…… ditingkatkan menjadi rata-rata sebesar 1.8 juta
Adverb
rupiah….
……akan saya ……
Modality
…… yang akan ……
Modality
……diberikan pada 15.5 juta………
Agentless passive
…….yang dirancang dalam bentuk program percepatan
Agentless passive
perluasaan……
…..daya air lainnya di sekitar 4 ribu desa
Adverb
… telah diperkenalkan kartu perlindungan sosial……
Agentless passive
…… yang diberikan kepada…
Agentless passive
…… infrastruktur dasar dilakukan dengan……
Agentless passive
…..pokok-pokok penjelasan yang dapat saya sampaikan
Modality
…..
58
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
As shown in Table 5, AA used modalities for expressing possibilities, capabilities or
even potentials which were not necessarily always the case in reality. For instance, when
someone says BLSM akan membantu masyarakat, the speaker is merely talking about the
potential or possibility that the aid will help the people. It is not a certainty that the people feel
assisted by the aid.
In addition, there was also an effort of evading responsibility on the part of the speaker.
Agentless passives were heavily distributed across the speech, suggesting that the speaker
wished to avoid assuming the responsibility of raising oil prices and that she was distancing
herself from actions reported in the speech. She appeared to be saying that all these actions were
beyond doubt necessary to be taken.
Meanwhile, adverbs were mostly used to express approximators and diminishers. AA
generally used approximators because she did not want to state things precisely. This is a
strategy of evasion of being truthful. She used the adverbs secara garis besar, hampir,
diperkirakan sekitar, secara ringkas rata-rata to refer to entities which are not certain when she
was explaining her points. She hoped that she would not be judged as biased in indicating
numbers. For instance, she said that Ini penting karena pangan mencakup hampir 30%. It
appears that she did not want to be particularly precise in mentioning this percentage.
AA only used one adverb (khususnya) to indicate a diminisher, namely when she stated
dampak penyesuaian harga BBM khususnya terhadap…. By using the adverb khususnya
(particularly), it appears that she intended to limit the case to only a particular issue. Her
statement suggests that she did not want to generalize her point. For instance, in the speech, AA
said saya akan menyampaikan program-program yang dirancang untuk mengatasi dampak
penyesuaian harga BBM khususnya terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. In this
utterance, it is apparent that she wanted to assert that the impact of the fuel hike only occurred to
those people with lower incomes. Thus, it was not meant to refer to all the people.
To summarize, Table 6 displays the number of hedges found in the speeches of the three
ministers:
Table 6. Hedges in the Speeches of the Three Ministers
No. The Ministers The Number of Hedges Percentage
1.
HR
3 tokens/429 words
0.69%
2.
JW
0 token/141 words
0%
3.
AA
19 tokens/734 words
2.59%
Table 6 shows that AA used hedges the most frequently, namely 25.88%, followed by
HR, 0.69%. JW, as stated earlier, did not use any hedges in his speech due to the genre of the
spoken text that he delivered, namely informational speech.
Boosters Used in the Speeches of HR, JW, and AA Based on the Lexico-grammatical
Features
HR’s speech is clattered with boosters all over the text. He used 14 boosters per 429 words or
3.26%. The types of boosters range from determiners to adverbs. Table 7 shows the percentages
of boosters and the lexico-grammatical features of hedges deployed in HR’s speech. As shown
in Table 7, from 14 occurrences of boosters in HR’s speech, the highest percentage occurs in
adverbs (35.7%). The second goes to modalities (21.4%), and the third goes to determiners
(14.3%). In addition, three other features, namely modalities plus particles, adverbs plus
59
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
particles, and particles have the same number of percentages, namely 7.14%. All these boosters
were used to suggest that the speaker wished to convey his conviction that the fuel hike was
inevitable due to the increasing world oil prices.
Table 7. The Percentages of Lexico-grammatical Features of Boosters in HR’s Speech
Boosters
Lexico-grammatical Features
Determiners: 2 (14.3%)
Modalities plus particles: 1 (7.14%)
14 tokens per 429 words Adverbs plus particles: 1 (7.14%)
(3.26%)
Particles: 1 (7.14%)
Modalities: 3 (21.4%)
Adverbs: 5 (35.7%)
The lexico-grammatical features of boosters in HR’s speech are displayed in Table 8.
This table shows that there are two determiners, one particle, three modalities, five adverbs, one
adverb plus particle and 1 modality plus particle used in his speech.
Table 8. Lexico-grammatical Features of Boosters in HR’s Speech
Lexico-grammatical
No.
Booster
Features
Seluruh rakyat Indonesia yang kami cintai, para wartawan yang
1.
Determiner
saya muliakan, …
… marilah pada kesempatan yang baik dan Insya Allah penuh
2.
Interjection + Particle
berkah ini, …
3.
Kita juga patut bersyukur, sebagaimana kita fahami bersama, …
Modality
Saudara sekalian yang saya cintai, APBN perubahan ini amatlah
4.
Adverb + Particle
penting bagi kita, …
… dan kesinambungan fiskal kita, APBN kita, tetapi juga
5.
Adverb
perekonomian kita secara keseluruhan.
… dan membengkaknya konsumsi BBM, akibat tentu saja dari
6.
Adverb
meningkatnya hasil pembangunan …
… mengakibatkan defisit anggaran kita melampaui 3% yang
7.
Adverb
tentu tidak dibenarkan oleh …
Besarnya subsidi BBM ini dan berpotensi terus akan
8.
Modality
membengkak di samping …
… di samping lebih dari 70% tidak tepat sasaran tapi juga
9.
Determiner
dirasakan …
10. Pemerintah tentu menyadari bahwa kebijakan tersebut …
Adverb
11. … bahwa kebijakan tersebut akan menimbulkan inflasi yang …
Modality
12. Ini adalah pilihan yang amat sulit dan …
Adverb
… penyesuaian harga BBM ini pemerintah mengambil kebijakan
13.
Modality + Particle
haruslah disertai dengan …
… kita dapat melindungi masyarakat kita yang tentu terkena
14.
Adverb
dampak tersebut dan …
60
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
The table above suggests that HR was represented as the minister who was responsible
for this policy. There are a number of boosters in the speech such as seluruh and secara
keseluruhan. He said, Seluruh rakyat Indonesia yang kami cintai … He addressed the audience
as “all our beloved people” in order to gain sympathy. There was no guarantee that he was
truthful in saying this. The determiner all referred to each and everyone in the country. There
was no way that he could love all Indonesian citizens.
HR said that the fuel hike had affected the Indonesian economy as a whole, as reflected
in the following statement: … tetapi juga perekonomian kita secara keseluruhan. Through this
statement, HR suggested that he was fully aware of the impact of the fuel hike. He knew that the
policy had a detrimental effect on the people’s economy.
In addition, to a significant extent, there is an impression of empathy in the use of
adverbs to boost statements as in Ini adalah pilihan yang amat sulit dan … There is this sense of
regret on the part of the government to raise fuel prices. He said, “it is a very difficult choice
and …” HR seemed to be saying that he actually hated to take this option of raising fuel prices,
considering the people’s current financial difficulties. The government had to make this policy
because it had to; otherwise, the National Budget would “bleed.”
In order to invite the audience to thank God for His blessings, HR used the combination
of interjection and particle as in marilah pada kesempatan yang baik dan Insya Allah berkah ini,
kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan YME. By using this hedge, HR wanted to
gain sympathy. Apparently, he wanted to create an impression that both HR and the audience
were religious people. Accordingly, the modal verb patut which means ‘should’ refers to
emphasize the same purpose, namely a sense of religiosity as in kita patut bersyukur (we should
be thankful).
In HR’s speech he used the adverb tentu twice. It appears he intended to assert that
something is fact that presumably both HR and the audience believe in. There is no doubt about
it. For instance, HR said kita dapat melindungi masyarakat kita yang tentu terkena dampak
tersebut dan …. HR was aware that the raising of the fuel prices would affect the people’s
economy. He understood the consequences of this policy. He wanted the people to know that he
had empathy with them.
Interestingly, JW’s speech did not contain any boosters at all. This finding implies that
he did not wish to tone up his message to the audience. As stated earlier, he also did not tone
down his speech either. It is possible that he did not boost or hedge in his statements because he
had no political interests in his rhetorical style. He seemed to be indifferent whether people
would react positively or negatively. In addition, the nature of JW’s speech was both technical
and informational. There was no need to convince the audience because all the arguments
justifying the policy to raise oil prices were given extensively by HR and AA. JW’s task was
only to announce the new prices of fuel; thus, he did not need to boost or hedge because the
prices had been calculated by the government.
The following table presents the number of boosters in AA’s speech. Different from
HR, AA used less boosters compared to hedges in her speech.
61
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
Table 9. The Percentages of Lexico-grammatical Features of Boosters in AA’s Speech
Boosters
Lexico-grammatical Features
Verbs: 3 (23%)
Adverb: 4 (30.8%)
13 tokens per 734 words
Adjective: 3 (23%)
(1.77 %)
Modality: 1 (7.7%)
Idiom: 1 (7.7%)
The table shows that the use of these types of boosters was amounted to thirteen. This
finding suggests that the speaker wished to convey her certainty to the audience that all the
programs prepared by the government would be able to ease the people’s burden due to the fuel
hike.
The lexico-grammatical features of boosters in AA’s speech are presented in Table 10.
Table 10. The Lexico-grammatical Features of Boosters in AA’s Speech
Lexico-grammatical
No.
Booster
Features
1.
… yaitu dengan memastikan bahwa….
Verb
2.
… … dimaksudkan untuk memastikan agar mereka…
Verb
3.
… memperoleh kebutuhan yang paling…
Adverb
4.
…mendasar yaitu pangan
Verb
5.
Ini penting karena ….
Adjective
6.
… … membantu masyarakat khususnya masyarakat miskin…..
Adverb
7.
…tersebut tanpa harus berdampak negatif…
Modality
8.
… perumahtangga sangat miskin pertahun
Adverb
9.
… sumber daya air yang terutama dialokasikan untuk…
Adverb
10. … tepat sasaran, khusus untuk ketepatan…
Adjective
11. … sosial ekonomi terendah sesuai …
Superlative adjective
12. … yaitu 25% terendah, pendistribusian…
Superlative adjective
13. …dengan sebanyak mungkin melibatkan…
Idiom
The above table indicates that there are a number of boosters in AA’s speech such as
memastikan, paling, mendasar, penting, khususnya, harus, sangat, terutama, terendah and
sebanyak mungkin. She mentioned the word memastikan twice in her speech namely, … yaitu
dengan memastikan bahwa…. and … dimaksudkan untuk memastikan agar mereka… She
intended to convince the people, especially those who were less fortunate, to believe that the
programs offered by the government, such as BLSM and PKH, could cut off the poverties’
chain. She assured that those programs would enable the poor to get access to education and
health. Furthermore, the addition of supply of rice for poor people could provide the most basic
necessity, that is, food.
In her speech, AA also mentioned the word terendah twice. This word is a superlative
adjective meaning ‘the lowest’. Armida used the word in two contexts, namely … sosial
ekonomi terendah sesuai … and … yaitu 25% terendah, pendistribusian…. By using this words,
she emphasized that ‘kartu perlindungan sosial’ or social protection card would only be given to
people in the lowest socio-economic strata. She wanted to make sure that the cards would not go
to the wrong hands that do not deserve them.
62
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Another finding in AA’s speech is that she used the phrase sebanyak mungkin meaning
‘as many as possible’ in the context … sementara untuk pelaksanaan infrastruktur dasar
dilakukan dengan sebanyak mungkin melibatkan masyarakat setempat agar memperoleh
tambahan kesempatan kerja. AA said that the government would ask the local people to get
involved actively in pelaksanaan infrastruktur dasar or ‘the development of basic
infrastructure’ so that they would get bigger chances to get jobs.
To summarize, Table 11 below presents the number of boosters found in the speeches of
the three ministers:
Table 11. Boosters in the Speeches of the Three Ministers
No. The Ministers The Number of Boosters Percentage
1.
HR
14 tokens/429 words
3.26%
2.
JW
0 token/141 words
0%
3.
AA
13 tokens/734 words
1.77%
Table 11 shows that HR used boosters the most frequently, followed by AA. HR used
boosters fourteen tokens in 429 words. HR prefers toning up his statements to toning them down
because his position as “the leader” or “the representative” of the government forced HR to
convince the people that the government policy about fuel hike was the best alternative among
the worst. HR might feel that the need to eliminate people’s doubt was more important than to
speak in a careful way. He was probably confident because he assumed that it was a president
mandate to announce the hike; therefore, his main duty was to tone his statements up, not to
tone them down.
Hedges and Boosters in the Speeches of HR, JW and AA and Their Distributions of
Lexico-grammatical Forms
Table 12 shows a comparison between the use of hedges and boosters in HR’s speech. As
shown in Table 12, it is evident that the comparison of hedges with boosters in HR’s speech is
three to fourteen. HR used three hedges per 429 words (0.70%) meanwhile he used fourteen
tokens of boosters in 429 words (3.26%). It means that HR used more boosters compared to
hedges. This fact constitutes a piece of the evidence that he is in a position to influence or to
convince the people to agree with the fuel hike. He did not use hedges as many as boosters
because his main duty was to influence the audience.
Table 12. Hedges and Booster in HR’s Speech
No.
Hedges
Booster
1.
… tidak tepat sasaran tapi juga
Seluruh rakyat Indonesia yang kami cintai,
dirasakan kurang adil bagi masyarakat
para wartawan yang saya muliakan, …
kita yang miskin dan …
2.
… bagi masyarakat kita yang miskin dan … marilah pada kesempatan yang baik dan
kurang mampu.
Insya Allah penuh berkah ini, …
3.
… dan dengan program-program
Kita juga patut bersyukur, sebagaimana kita
tersebut yang satu paket maka kita dapat fahami bersama, …
memberikan daya dorong …
4.
Saudara sekalian yang saya cintai, APBN
perubahan ini amatlah penting bagi kita, …
63
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
… dan kesinambungan fiskal kita, APBN kita,
tetapi juga perekonomian kita secara
keseluruhan.
… dan membengkaknya konsumsi BBM,
akibat tentu saja dari meningkatnya hasil
pembangunan …
… mengakibatkan defisit anggaran kita
melampaui 3% yang tentu tidak dibenarkan
oleh …
Besarnya subsidi BBM ini dan berpotensi
terus akan membengkak di samping …
… di samping lebih dari 70% tidak tepat
sasaran tapi juga dirasakan …
Pemerintah tentu menyadari bahwa
kebijakan tersebut …
… bahwa kebijakan tersebut akan
menimbulkan inflasi yang …
Ini adalah pilihan yang amat sulit dan …
… penyesuaian harga BBM ini pemerintah
mengambil kebijakan haruslah disertai
dengan …
… kita dapat melindungi masyarakat kita
yang tentu terkena dampak tersebut dan …
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Compared to JW and AA, HR’s speech appears to stir up the audience’s emotion more.
The use of hedges tends to weaken the arguments. HR seemed to be aware of whom he was
addressing. Apparently, he attempted to persuade the audience by using many hedges in his
speech. In other words, he was trying to establish a discourse of emotional appeal rather than a
discourse of logic.
JW did not use any boosters or hedges in his statements. Apparently, there was no need
to boost or hedge. There are a number of possible reasons why he decided to avoid using both
hedges and boosters. First, he probably had no political interests in conveying his messages. He
appeared to be indifferent whether the people would react positively or negatively. Secondly, he
might want to appear professional as Minister of Energy and Natural Resources; he wanted to
give a neutral impression to the people. Thirdly, he was not in a position to opinionate. He was
merely reading a report which was technical in nature. There was no need at all to hedge or to
boost because he was only presenting facts. In fact, JW merely articulated the contents of the
final draft of the government’s policy under the framework of safeguarding the National
Budget.
Table 13 shows how AA used hedges and boosters in her speech. The table also
displays the comparison between the use of hedges and boosters in context. As shown in Table
13, AA used nineteen tokens of hedges per 734 words (25.88%) meanwhile she used thirteen
tokens of boosters in 734 words (1.77%). Different from HR in his speech, AA used more
hedges compared to boosters. This is probably because AA conveyed government programs to
minimise the effects of the fuel hike. There are always two possibilities when programs are
64
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
implented: success or failure. She appeared to be careful in putting forward these programs to
the people to avoid criticisms. Some people might endorse them; others might reject them.
AA’s speech contains adverbs that were used to qualify adjectives or verbs that express
meanings. By using adverbs, she was actually minimizing the impact of these meanings. She
was actually aware that there might be an error or the number is not the same in all places. Her
use of modalities further imply that the best she could say was all about possibilities,
capabilities or even potentials that are not necessarily always the case in reality. She was merely
talking about the potential or possibility that the aid will help the people. It is not a certainty that
the people feel assisted by the aid. In addition, there is also an effort of evading responsibility on
the part of the speaker. Agentless passives are significantly distributed across the speech, giving
the impression that the speaker wishes to avoid assuming the responsibility of raising oil prices
and that she was distancing herself from actions reported in the speech. She appeared to be
communicating that all these actions were, beyond doubt, necessary to be taken.
At the same time AA was also a government’s representative who had the capacity to
convince the people, especially those who were less fortunate to believe that the programs
offered by the government such as BSM and PKH were in a position to end the poverties’ chain.
She assured the people that those programs would help the poor in order to be able to access
education and health. Meanwhile, an added supply of rice for poor people has been assured to
provide the most basic necessity, namely, food. By using boosters, AA hoped to be able to put
an emphasis that the social protection cards would only be given to people in the lowest socioeconomic strata and would not go to the wrong hands that did not deserve to get them.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Table 13. Hedges and Boosters in AA’s Speech
Hedges
Booster
Pada kesempatan ini saya akan
… yaitu dengan memastikan bahwa….
menyampaikan …
… dampak penyesuaian harga BBM
… … dimaksudkan untuk memastikan
khususnya terhadap….
agar mereka……
Secara garis besar ada dua kelompok … … … memperoleh kebutuhan yang paling.
…… masyarakat miskin dapat mengakses
… mendasar yaitu pangan
pendidikan…..
…… mencakup hampir 30% dari….
Ini penting karena ….
…… harga BBM yang diperkirakan sekitar … … membantu masyarakat khususnya
empat…..
masyarakat miskin…..
…… sekaligus juga akan membantu
…tersebut tanpa harus berdampak
pemenuhan……
negatif…
…… selanjutnya secara ringkas saya….
… perumahtangga sangat miskin pertahun
…… juga mencakup kelompok rentan
… sumber daya air yang terutama
miskin
dialokasikan untuk…
…… ditingkatkan menjadi rata-rata
… tepat sasaran, khusus untuk
sebesar 1.8 juta rupiah….
ketepatan…
……akan saya ……
… sosial ekonomi terendah sesuai …
…… yang akan ….
… yaitu 25% terendah, pendistribusian…
……diberikan pada 15.5 juta….……
…dengan sebanyak mungkin
melibatkan…
65
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
14.
15.
16.
17.
18.
19.
…….yang dirancang dalam bentuk
program percepatan perluasaan……
…..daya air lainnya di sekitar 4 ribu desa
… telah diperkenalkan kartu perlindungan
sosial……
…… yang diberikan kepada…
…..…… infrastruktur dasar dilakukan
dengan……
…. pokok-pokok penjelasan yang dapat
saya sampaikan…
The Pragmatic Functions of Hedges in the Construction of the Speeches of the Ministers
In this study we used the classification of the pragmatic functions of hedges by Hyland
(1998b:139), which is presented in Table 1. Hyland (1998b) defines that hedges function as
compromisers, diminishers, minimisers and approximators. Those four functions were used as
categories to classify the data of the study.
Table 14 shows the functions of hedges in HR’s Speech. HR used hedges mostly for
minimizing the effect of his utterances. In addition, HR used hedges for compromising. A
detailed description of the functions of hedges used by HR is presented in Table 15 below:
Table 14. Functions of Hedges in HR’s Speech
Functions of Hedges
No.
Items Found in Speech
1. … dan dengan program-program tersebut
 Compromiser:
quite, usually, normally
yang satu paket maka kita dapat memberikan
daya dorong …
2. X
 Diminisher:
partially, slightly
3. … tidak tepat sasaran tapi juga dirasakan
Downtoner
kurang adil bagi masyarakat kita yang
 Minimiser:
miskin dan …
rarely, occasionally
… bagi masyarakat kita yang miskin dan
kurang mampu.
4.
 Approximator:
X
almost, virtually, relatively
In his speech, HR tends to use hedges for minimising, for example, … tidak tepat
sasaran tapi juga dirasakan kurang adil bagi masyarakat kita yang miskin dan … and … bagi
masyarakat kita yang miskin dan kurang mampu. HR used the word kurang instead of tidak to
show that he wishes to minimise the impact of his statement. The same thing applies when he
said kurang mampu. It seems that these hedges represent a sense of politeness from an
Indonesian perspective.
Meanwhile for compromising, HR used the word dapat, which means ‘can’, in … dan
dengan program-program tersebut yang satu paket maka kita dapat memberikan daya dorong
…. The use of the word dapat in the above context makes HR appear to be polite and humble.
Instead of saying program-program tersebut yang satu paket maka kita akan memberikan daya
66
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
dorong … that appears to be presumptuous, he uses a compromistic word by applying the word
dapat that is more modest and acceptable for Indonesian culture.
Different from JW who did not use any hedges when he announced the fuel hike, AA
used many hedging devices in her speech. As for the functions of hedges used by AA, the table
below summarizes the distribution of these hedging functions, categorising them into five
functions, namely compromiser, approximator, future, capability and avoiding responsibility.
Table 15. Functions of Hedges in AA’s Speech
Functions of Hedges
No.
Items Found in Speech
Compromiser:
Secara garis besar ada dua kelompok … …
1.
… dampak penyesuaian harga BBM khususnya
quite, usually,
terhadap….
normally
Diminisher:
2.
X
partially,
slightly
Minimiser:
Downtoner rarely,
3.
X
occasionally
…… mencakup hampir 30% dari….
Approximator:
…… harga BBM yang diperkirakan sekitar empat…..
…… selanjutnya secara ringkas saya….
almost,
4.
…… juga mencakup kelompok rentan miskin
virtually,
…… ditingkatkan menjadi rata-rata sebesar 1.8 juta
relatively
rupiah….
…..daya air lainnya di sekitar 4 ribu desa
Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan …
…… sekaligus juga akan membantu pemenuhan……
Future
5.
……akan saya ……
…… yang akan …
…….diberikan pada 15.5 juta………
…….yang dirancang dalam bentuk program
percepatan perluasaan……
6.
Avoiding Responsibility
… telah diperkenalkan kartu perlindungan sosial……
…… yang diberikan kepada…
…… infrastruktur dasar dilakukan dengan……
Table 15 outlines the functions of hedges in AA’s speech. The table shows that she used
hedges for compromising, approximating, showing future and capability and avoiding
responsibility. For the sake of cautiousness, AA used hedges mostly for approximating. She
used the words such as hampir ‘almost’, sekitar ‘approximately’, secara ringkas ‘briefly’,
rentan ‘vulnerable’, and rata-rata ‘average’. For example, the word rata-rata found in AA’s
speech, namely … ditingkatkan menjadi rata-rata10 sebesar 1.8 juta rupiah… shows that the
speaker did not want to be careless to say that the budget increase for Program Keluarga
Harapan (PKH) or Family Hope Program now amounts to exactly 1.8 million rupiahs per
family per year. By saying rata-rata, AA wants to play safe if the actual practices might turn out
to be different.
67
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
This study reveals that there are two particular functions of hedging that were not found
in Hyland’s criteria, namely avoiding responsibility and expressing the future. Arguably, these
functions still belong to the nature of hedging in general because the use of these functions may
have a lessening impact of statements. To avoid responsibility, AA used five agentless passives
in her speech, such as …diberikan pada 15.5 juta…, …yang dirancang dalam bentuk program
percepatan perluasaan…, …telah diperkenalkan kartu perlindungan sosial…, … yang diberikan
kepada…, and …infrastruktur dasar dilakukan dengan…. AA used agentless passives to hide or
to conceal the agent, namely the government. By using agentless passives, the impact of
statements is lessened because the illocution does not attack anyone in a direct way. This
function of agentless passives is reflected in sentence (b) in comparison to sentence (a) below:
a. X merancang program infrastruktur dasar dalam bentuk program percepatan perluasaan
pembangunan infrastruktur permukiman dengan jumlah total desa tambahan yaitu sebesar
11. 750 desa atau kelurahan dengan jumlah alokasi dana 250 juta perdesa atau
perkelurahan.
b. Program infrastruktur dasar yang dirancang dalam bentuk program percepatan perluasaan
pembangunan infrastruktur permukiman dengan jumlah total desa tambahan yaitu sebesar
11. 750 desa atau kelurahan dengan jumlah alokasi dana 250 juta perdesa atau
perkelurahan.
(AS’s Speech 2013 transcribed from http://www.youtube.com/watch?v=ThN1oezJN3E)
In sentence (a), it is clear who is going to be responsible for the success or the failure of
Program Infrastruktur Dasar or Basic Infrastructure Program, namely X. Meanwhile, in
sentence b, it is not clear who is to blame if there is embezzlement, abuse or even corruption in
the programs. No one knows who is going to take the responsibility for the success of the
programs, whether it is X, Y or Z. The use of agentless passives tends to give some spaces for
avoiding responsibility. If the programs fail, it will be easier for the government to accuse or to
blame other parties or sides.
After discussing the hedging function to avoid responsibility, it is imperative to discuss
the future function. Examples of the use of akan are shown below:
a. Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan … sekaligus juga akan membantu…
b. …pemenuhan……, ….akan saya ………… yang akan …
The word akan that has been stated for four times in the above examples has the same
meaning as will in English. The use of will in the two sentences above provides the speaker with
a sense of the future. If all elements involved could support the programs, the programs would
be achieved. Therefore, the implied meaning is that what has been proposed has the possibility
to fail unless the conditions are fulfilled. There are many aspects to the programs to work.
The Pragmatic Functions of Boosters in the Construction of the Speeches of the Ministers
In this study we used the definition of the pragmatic meanings of boosters by Hyland
(1998b:139). According to Hyland (1998b), boosters function as intensifiers and certainty.
Those two functions of boosters were employed as categories to classify our data of the study.
This study revealed the functions of boosters used by HR in his speech as shown in the
following table. Table 16 shows that there are two functions of boosters discovered: intensifiers
and certainties. As shown in Table 16, HR used boosters in his speech to express intensifiers
and certainties. Intensifiers were used to strengthen the magnitude of his statements. Meanwhile,
certainties were used to assert his conviction about the truth of his statements. It was significant
for HR to use boosters which function as intensifiers and certainties because he was in a
position to convince the audience about the need to raise fuel prices.
68
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Table 16. Functions of Boosters HR’s in Speech
Functions of Boosters No.
Items Found in Speech
1.
Seluruh rakyat Indonesia yang kami cintai, para wartawan
yang saya muliakan, …
…marilah pada kesempatan yang baik dan Insya Allah penuh
berkah ini, …
2
Kita juga patut bersyukur, sebagaimana kita fahami bersama,
…
Intensifier:
Saudara sekalian yang saya cintai, APBN perubahan ini
Uptoner
amatlah penting bagi kita, …
…dan kesinambungan fiskal kita, APBN kita, tetapi juga
perekonomian kita secara keseluruhan.
Besarnya subsidi BBM ini dan berpotensi terus akan
membengkak di samping …
…di samping lebih dari 70% tidak tepat sasaran tapi juga
dirasakan …
…bahwa kebijakan tersebut akan menimbulkan inflasi yang …
Ini adalah pilihan yang amat sulit dan …
3.
…dan membengkaknya konsumsi BBM, akibat tentu saja dari
meningkatnya hasil pembangunan …
…mengakibatkan defisit anggaran kita melampaui 3% yang
Certainty:
tentu tidak dibenarkan oleh …
Pemerintah tentu menyadari bahwa kebijakan tersebut …
…kita dapat melindungi masyarakat kita yang tentu terkena
dampak tersebut dan …
As for AA’s speech, it was discovered that AA used boosters in some parts of her
speech. As shown in Table 17, there are two functions of boosters in AA’s speech, namely
intensifiers and certainties. AA used some words namely paling ‘most’, mendasar ‘basic’,
penting ‘important’, harus ‘must’, sangat ‘very’, and terutama ‘particularly’ to intensify her
statements. In essence, these intensifying boosters were used to highlight certain qualities or
entities such as need and poverty. These issues are often used in speeches made by politicians
to win the audience’s hearts. In this speech, it appears that AA intended to show sympathy that
she cared for the people.
Table 17. Functions of BoosterAA’s Speech
No.
Items Found in Speech
1.
...memperoleh kebutuhan yang paling mendasar yaitu pangan
…Ini penting karena ….
Intensifier: 2.
3.
…tersebut tanpa harus berdampak negatif…
4.
…perumahtangga sangat miskin pertahun
5.
…sumber daya air yang terutama dialokasikan untuk…
…tepat sasaran, khusus untuk ketepatan…
Certainty: 7.
8.
…sosial ekonomi terendah sesuai …
9.
…yaitu 25% terendah, pendistribusian…
Functions of Booster
Uptoner
69
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
10.
11.
12.
13.
…dengan sebanyak mungkin melibatkan…
…yaitu dengan memastikan bahwa….
…dimaksudkan untuk memastikan agar mereka……
…membantu masyarakat khususnya masyarakat miskin…..
CONCLUSIONS
This study has indicated that both hedges and boosters were employed in the speeches of AA
and HR. This finding appears to confirm Hyland’s (1998b) theory of hedging that these two
pragmatic tools are useful for mitigating and strengthening the truth values of propositions.
The significant contribution of this study is that that hedges and boosters have been
proven to be functional for mitigating and strengthening propositions when the issues being
raised are sensitive. On the one hand, there was a need for these politicians to mitigate the effect
of the fuel hike. For this purpose they resorted to hedges. On the other hand, they also wanted to
accentuate their optimism that the government’s programs such as the cash assistance program
for poor people would succeed. For this purpose, they used boosters. As a matter of fact, the
topics discussed in this study pertain to the government policy of raising oil prices, which were
most worrying because it was announced at a bad time as Ramadan was drawing close and the
new academic year was commencing in which parents needed money to purchase their
children’s books, shoes and schoolbags.
The policy to raise the fuel prices is unsettling, yet unavoidable, due to the global
economic influences. It is hard to implement because it is an unpopular policy. People generally
reject raising fuel price policy because it will hurt many of them financially. Thus, there are
three issues at work here: first, they wanted to show empathy to the people on lower incomes;
second, they wanted to convince the people that the policy was necessary to be taken and if not,
a crisis would occur; and third, they wanted to assert that the policy would not do any harm to
poor people because the government has prepared programs to minimize the impact of the fuel
prices’ hike. HR and AA intelligently articulated these three issues by manipulating hedges and
boosters in their speeches.
Future researchers are recommended to analyze the grammatical structure of hedges and
boosters in the sense that they might be examined through analyses of various grammatical
levels such as morphological and syntactic levels. This linguistic pursuit aims to describe the
grammatical structures of hedges and boosters by analyzing grammatical elements and how
those elements work together to form hedges and boosters. The two pragmatic tools, in fact, not
only take the form of lexicons, but also phrases, and sentences. It would be more revealing to
investigate the grammatical aspect of hedges and boosters because this perspective will
highlight the formal parts of hedges and boosters. It would be interesting to examine the
relationships between the pragmatic insights and the structural insights.
Alternatively, researchers might also discover more pragmatic functions of hedges and
boosters. Instead of saying, for instance, that hedges function to mitigate statements and
boosters function to strengthen them, future researchers are challenged to identify the various
senses of hedges such as to insinuate and to evade responsibility. Meanwhile, those boosters
which may be found might include, among others, to brag and to overstate. These various senses
of hedges and boosters may be discovered, for example, through approaches such as discourse
analysis. In addition, future researchers are suggested that they should use concordance software
if they work with a large number of texts. Using concordance software will enable them to
describe hedges and boosters more accurately in terms of their distribution in larger texts.
70
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
NOTE
* We would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft.
REFERENCES
Behnam, B., Naeimi, A., & Darvishzade, A. (2012). A Comparative Genre Analysis of Hedging
Expressions in Research Articles: Is Fuzziness Forever Wicked? English Language and
Literature Studies, 2(2). doi:10.5539/ells.v2n2p20
Crespo-Fernández, E. & López-Campillo, R.M. (2012). Boosters and hedges as persuasive
devices in George Ridpath’s political language. In At a Time of Crisis: English and
American Studies in Spain, 317-322. Retrieved from http://www.aedean.org/pdf_
atatimecrisis/Crespo_LopezCampillo_AEDEAN35.pdf,
Holmes, J. (1990). Hedges and Boosters in Women’s and Men’s Speech. Language and
Communication, 10, 185-205
Hyland, K. (1994). Hedging in academic writing and EAF textbooks. English for specific
purposes, 13(3), 239–256.
Hyland, K. (1998a). Boosting, hedging, and the negotiation of academic knowledge. Text, 18,
349–382.
Hyland, K. (1998b). Hedging in Scientific Research Articles. Amsterdam: John Benjamins.
Hyland, K. (2000). Disciplinary Discourses: Social Interactions in Academic Writing. London:
Longman.
Jalilifar, A. & Alavi, M. (2012). Power and Politics of Language Use: A Survey of Hedging
Devices in Political Interviews. Journal of Teaching Language Skills, 3(3), 43–66.
Radjasa, Hatta. (2013). Pengumunan kenaikan BBM. Downloaded in June 2013 from
http://www.youtube.com/watch?v=FNgdM_n4UUM
Šandová, J.K. (2010). Speaker’s Involvement in Political Interviews (Doctoral Dissertation).
Masarykova Univerzita. Retrieved from https://is.muni.cz/th/237939/ff_d/Priloha_k_
disertacni_praci.pdf
Taweel, A.Q., Saidat, E. M., Rafayah, H.A., & Saidat, A.M. (2011). Hedging in Political
Discourse. The Linguistics Journal, 5(1). Retrieved from http://www.linguisticsjournal.
com/June-2011-ts.pdf
Varttala, T. (2001). Hedging in scientifically oriented discourse. Exploring variation according
to discipline and intended audience. Retrieved from http://tampub.uta.fi/handle/
10024/67148
Vázquez Orta, I. & Giner, D. (2009). Writing with conviction: the use of boosters in modelling
persuasion in academic discourses. Retrieved from http://rua.ua.es/dspace/handle/
10045/13822
Wacik, Jero & Alisjahbana, Armida. (2013). Pengumuman kenaikan BBM. Downloaded from
http://www.youtube.com/watch?v=ThN1oezJN3E
for Jero Wacik and Armida
Alisjahbana’s speeches.
71
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 73-90
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
REDUPLIKASI DALAM BAHASA MANDAR1
Nurhayati*
Universitas Hasanuddin
[email protected]; [email protected]
Abstrak
Fokus penelitian ini adalah reduplikasi dalam bahasa Mandar. Penelitian ini
menggunakan metode simak dan introspeksi dengan teknik simak libat cakap,
perekaman, dan pencatatan.Tujuan penelitian ini mengungkap bentuk, fungsi, makna,
dan keunikan reduplikasi dalam bahasa Mandar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada empat bentuk reduplikasi dalam bahasa Mandar: reduplikasi utuh, sebagian,
berkombinasi dengan afiksasi, dan berkombinasi dengan klitika. Dalam bahasa
Mandar, reduplikasi dapat muncul sebagai subjek, predikat, objek, dan keterangan.
Proses reduplikasi juga dapat mengubah makna. Adapun makna yang ditimbulkan
karena proses reduplikasi adalah menyatakan makna banyak, menyerupai, sekadar,
pekerjaan berulang-ulang, sangat, kumpulan dari suatu bilangan, berbalasan, dan
agak.
Kata kunci: reduplikasi, bahasa Mandar
Abstract
The present paper focuses on reduplication in Mandar language. The data of this study
were gathered through observation and introspective methods, which included listening
and getting involved in a conversation, recording, and note taking. The objective of this
study is to reveal the forms, functions, and meanings of Mandarese reduplication. The
results show that there are four forms of reduplication in Mandar: full reduplication,
partial reduplication, reduplication with affixation process, and reduplication in
combination with clitics. In Mandarese, reduplicated words can fill in the position of
subject, predicate, object, and adverb. Reduplication process can change the meaning
of the base words. Reduplicated words are generally plural. Other possible
interpretations of reduplicated words are to indicate resemblance, simplicity, repetitive
action, intensity, a collection of numbers, reciprocal action, the state of proximity.
Keywords: reduplication, Mandarese
PENDAHULUAN
Suku Mandar merupakan salah satu etnis yang ada di Indonesia, tepatnya di Provinsi Sulawesi
Barat. Provinsi ini resmi berdiri pada tanggal 14 Desember 2004 dengan lima kabupaten, yaitu
Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Majene, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamasa, dan
Kabupaten Mamuju Utara. Suku Mandar mendiami Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali
Mandar. Dari kelima kabupaten ini ada dua kabupaten yang dominan menggunakan bahasa
Mandar, yaitu Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali Mandar. Adapun tiga kabupaten
lainnya, yakni Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamuju Utara, dan Kabupaten Mamasa,
memiliki bahasa masing-masing.
Suku Mandar sebagai salah satu etnis yang ada di Sulawesi Barat kaya akan budaya
daerah. Beberapa budaya yang menonjol di antaranya kain sutra Mandar, perahu tradisonal,
Nurhayati
makanan tradisional, acara perkawinan, khitanan, dll. Untuk perahu tradisonal setiap tahunnya
diadakan lomba perahu sandeq atau Sandeq Race berupa ajang balap sandeq (perahu sandeq
adalah perahu tradisional khas Mandar). Sandeq Race biasanya diadakan di sekitar bulan
Agustus sampai dengan September pada setiap tahunnya.
Sejak abad ke-15, di wilayah Mandar terdapat tujuh kerajaan muara sungai dan tujuh
kerajaan hulu sungai. Masing-masing kelompok kerajaan tersebut bersatu dalam satu organisasi
ketatanegaraan yang berbentuk federasi yang dinamakan Pitu Ba’bana Binanga, yaitu tujuh
kerajaan muara sungai. Selanjutnya, tujuh kerajaan yang berada di hulu sungai disebut Pitu
Ulunna Salu membentuk satu federasi. Konfederasi kedua kerajaan disebut Pitu Ba’bana
Binanga dan Pitu Ulunna Salu.
Secara geografis daerah Mandar berada antara 180 04’ – 119010’ BT dan di antara 30 –
3035’ LS. Daerah Mandar terletak di Sulawesi Barat bagian Selatan yang memanjang dari arah
Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan ke Utara bebatasan dengan Kabupaten Mamuju
Provinsi Sulawesi Barat dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu Provinsi
Sulawesi Selatan.
Kata mandar menurut bahasa atau dialek sama dengan kata manda tanpa fonem /r/
yang berarti ‘kuat’. Kata ini masih digunakan di daerah Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan hulu
sungai). Kata mandar juga berarti nama sebuah sungai yang mengalir di Kecamatan Tinambung
Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat. Menurut kepercayaan orang-orang tua
zaman dahulu air sungai tersebut dapat mengobati segala macam penyakit. Pengertian kata
mandar dalam sejarah dan politik adalah nama dari suatu unit kerajaan, yaitu gabungan tujuh
kerajaan hulu sungai (Pitu Ulunna Salu) dan tujuh kerajaan muara sungai (Pitu Baqbana
Binanga). Kata mandar, yang juga biasa disebut tipalayo; tipa berarti ‘begitu (sangat)’ dan layo
berarti ‘tinggi semampai’. Kata tipalayo diasosiasikan pada pengertian segenap unsur
kecantikan seseorang, sesuatu yang indah.
Di dalam makalah ini dibahas reduplikasi bahasa Mandar dari segi bentuk, fungsi, dan
maknanya.
JENIS-JENIS REDUPLIKASI
Menurut Ramlan (1979:38), reduplikasi adalah proses pengulangan bentuk baik seluruhnya
maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan bentuk ini disebut
kata ulang. Verhaar (1980:63) berpendapat bahwa konstituen yang dikenai reduplikasi dapat
berupa monomorfemis maupun polimorfenis. Muslich (2008:48) menegaskan bahwa proses
pengulangan adalah peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik
seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan
afiks maupun tidak. Wijana (2010:6-4) berpendapat bahwa reduplikasi adalah proses
pengulangan bentuk dasar, baik keseluruhan atau sebagian, baik dengan atau tanpa proses
perubahan bunyi atau pembubuhan afiks. Adapun, menurut Darwis (2012:23), unsur dalam
reduplikasi dapat berbentuk monomorfemis dan polimorfemis. Dalam pendeskripsian bahasa,
reduplikasi atau pengulangan dilambangkan dengan {R} atau {Red}. Proses pembentukan
reduplikasi dapat dilihat pada tipe-tipe berikut ini:
74
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Tipe I Reduplikasi Utuh (Seluruhnya)
{makan}
+ R → makan-makan
{janji}
+ R → janji-janji
{cat}
+ R → cat-cat
{kelereng} + R → kelereng-kelereng
{jembatan} + R → jembatan-jembatan
Tipe II Reduplikasi Sebagian (Penghilangan Afiks)
{membeli}
+ R → membeli-beli
{menari}
+ R → menari-nari
{mencangkul} + R → mencangkul-cangkul
{tarian}
+ R → tari-tarian
{tanaman}
+ R → tanam-tanaman
Tipe III Reduplikasi dengan Perubahan Bunyi
1. Reduplikasi dengan Perubahan Vokal
{balik}
+ R → bolak-balik
{warna}
+ R → warna-warni
{colek}
+ R → colak-colek
{gembor} + R → gembar-gembor
{tindak}
+ R → tindak-tanduk
2. Reduplikasi dengan Perubahan Konsonan
{sayur} + R → sayur-mayur
{lauk}
+ R → lauk-pauk
{ramah} + R → ramah-tamah
Tipe IV Reduplikasi dengan Proses Pembubuhan Afiks
{kuda}
+ R + {-an} kuda-kudaan
{pohon} + R + {-an} pohon-pohonan
{rumah} + R + {-an} rumah-rumahan
Reduplikasi tipe I adalah reduplikasi utuh atau seluruhnya. Pembentukan reduplikasi ini
dengan mengulang kata dasar secara utuh atau seluruhnya.
Reduplikasi tipe II adalah reduplikasi sebagian yang dibentuk dari kata dasar berafiks
yang kemudian mengalami reduplikasi. Perhatikan contoh di atas, kata membeli dari kata beli
yang mendapat prefiks meN- menjadi membeli setelah direduplikasikan menjadi membeli-beli.
Jadi, reduplikasi membeli-beli dibentuk dari kata membeli bukan dari kata beli. Demikian pula
reduplikasi menari-nari dibentuk dari kata menari bukan dari kata tari, reduplikasi mencangkulcangkul dibentuk dari kata mencangkul bukan dari kata cangkul, reduplikasi tari-tarian
dibentuk dari kata tarian bukan dari kata tari, dan reduplikasi tanam-tanaman dibentuk dari
kata tanaman bukan dari kata tanam.
Reduplikasi tipe III adalah reduplikasi dengan perubahan bunyi baik perubahan vokal
maupun perubahan konsonan pada kata yang mengalami reduplikasi. Pada reduplikasi
perubahan vokal terjadi perubahan vokal pada kata yang direduplikasikan, misalnya kata balik
direduplikasikan menjadi bolak-balik, warna menjadi warna-warni, colek menjadi colak-colek,
gembor menjadi gembar-gembor. Pada reduplikasi perubahan konsonan terjadi perubahan
75
Nurhayati
konsonan pada kata yang direduplikasikan, misalnya kata sayur direduplikasikan menjadi
sayur-mayur, lauk menjadi lauk-pauk, dan ramah menjadi ramah-tamah.
Reduplikasi tipe IV adalah reduplikasi yang bersamaan dengan proses pembubuhan
afiks. Kata yang direduplikasikan pada tipe ini adalah kata dasar yang direduplikasikan
bersamaan dengan proses pembubuhan afiks. Pada contoh di atas, kata kuda direduplikasikan
bersamaan dengan pembubuhan sufiks –an menjadi kuda-kudaan bukan dari kata kudaan yang
mengalami reduplikasi; kata pohon direduplikasikan bersamaan dengan proses pembubuhan
sufiks –an menjadi pohon-pohonan bukan dari kata pohonan yang mengalami reduplikasi.
Kemudian, kata rumah direduplikasikan bersamaan dengan pembubuhan sufiks menjadi rumahrumahan bukan dari kata rumahan yang mengalami reduplikasi.
Reduplikasi tipe II dan tipe IV mempunyai kesamaan karena di dalamnya terjadi proses
pembubuhan afiks. Akan tetapi, pada tipe II, bentuk dasar yang diulang adalah kata yang sudah
mendapat afiks; sedangkan, pada tipe IV, kata dasar diulang bersamaan dengan proses
pembubuhan afiks.
Pada umumnya reduplikasi tidak mengubah kelas kata. Apabila kata dasar yang diulang
adalah nomina, hasil pengulangan berjenis nomina pula, misalnya, kata batu (nomina) diulang
menjadi batu-batu (nomina). Demikian pula jika verba diulang, hasil pengulangannya adalah
verba, misalnya berlari (verba) diulang menjadi berlari-lari (verba). Apabila kata dasar yang
diulang adalah adjektiva, hasil pengulangannya juga adjektiva, misalnya, kata pelan (adjektiva)
diulang menjadi pelan-pelan (adjektiva). Demikian pula kata bilangan, misalnya, kata tiga (kata
bilangan), jika direduplikasikan tetap kata bilangan, yaitu tiga-tiga (Muslich, 2008:50-51).
Fungsi reduplikasi bisa mengubah makna dari bentuk dasarnya, namun masih ada kaitan
makna dengan bentuk dasarnya, misalnya kata anak diulang menjadi anak-anak. Kata anak
bermakna manusia yang masih kecil, sedangkan anak-anak bermakna banyak manusia yang
masih kecil (KBBI, 1991:35). Fungsi lain reduplikasi adalah mengisi fungsi-fungsi dalam
kalimat, misalnya mengisi fungsi subjek, predikat, objek, dan keterangan. Adapun makna yang
terjadi akibat proses reduplikasi adalah makna banyak, menyerupai, sekadar, berulang, sangat,
kumpulan, sesuatu dilakukan berbalasan (saling balas), dan bermakna agak.
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam pengambilan data penelitian ini adalah metode simak dan
metode instrospeksi. Metode simak adalah metode yang digunakan dalam penelitian bahasa
untuk memperoleh data bahasa baik lisan maupun tulisan dengan cara penyimakan. Metode
simak yang digunakan dalam penelitian ini adalah menyimak secara langsung penggunaan
bahasa Mandar dari penutur aslinya ketika mereka bercakap-cakap dan ketika bertransaksi jual
beli di pasar, serta pada saat orang dituakan memberikan nasihat perkawinan dalam acara pesta
perkawinan. Dalam penyimakan tersebut dilakukan pula perekaman. Lama perekaman
disesuaikan dengan keadaan lapangan. Adapun waktu yang digunakan merekam data bahasa
Mandar, yakni setiap hari dua jam dalam empat hari seminggu selama satu bulan. Teknik
wawancara juga digunakan dalam penelitian ini, yaitu dengan mewawancarai tokoh-tokoh
masyarakat yang berkecimpung dalam pemerintahan maupun tokoh-tokoh adat Mandar. Selain
itu, untuk keperluan penelitian ini juga digunakan teknik simak libat cakap. Teknik ini
dilakukan dengan cara berpartisipasi dalam pembicaraan orang-orang Mandar, sambil
76
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
menyimak, saat berada di pasar, pertemuan di desa, atau dalam acara-acara adat dan agama,
misalnya acara khitanan, perkawinan, turun ke sawah, dan memasuki rumah baru.
Metode instrospeksi adalah metode yang melibatkan sepenuhnya peran peneliti sebagai
penutur bahasa yang diteliti. Metode pengumpulan data ini memanfaatkan intuisi kebahasaan
peneliti karena bahasa Mandar adalah bahasa ibu peneliti.
Data yang ditemukan di lapangan diklasifikasi dan selanjutnya dianalisis. Keseluruhan
data yang dianalisis dalam penelitian ini sebanyak 100 reduplikasi.
Lokasi penelitian di Kecamatan Tinambung. Kecamatan ini terletak di Kabupaten
Polewali Mandar sekitar 300 km sebelah utara Kota Makassar. Kecamatan ini dipilih dengan
alasan bahwa di kecamatan tersebut dahulu merupakan wilayah Kerajaan Balanipa yaitu
kerajaan terbesar di wilayah Mandar, sehingga bahasa Mandar Balanipa ditetapkan sebagai
bahasa kerajaan dan bahasa baku untuk bahasa Mandar.
REDUPLIKASI DALAM BAHASA MANDAR
Dalam proses pembentukan reduplikasi perlu diperhatikan adanya hubungan yang harmonis
antara bentuk dasar dan bentuk ulang dalam hal makna. Selain itu, dalam pembentukan kata
ulang harus pula diperhatikan hubungan yang setara antara bentuk ulang dalam hal strukturnya
dan maknanya (Parera, 1980:44).
Reduplikasi dalam bahasa Mandar dapat dilihat dalam bentuk, fungsi, dan maknanya,
seperti yang akan dibahas lebih lanjut di bawah ini. Sebelum membahas reduplikasi dalam
bahasa Mandar, perlu diketahui terlebih dahulu fonem-fonem dalam bahasa Mandar dan posisi
fonem-fonem tersebut pada kata. Fonem vokal dalam bahasa Mandar adalah /a, i, u, e, o/ dan
fonem konsonan adalah /b, č, d, g, h, ǰ, k, l, m, n, ŋ, ɲ, p, ʔ, r, s, t, w, j/. Huruf <q> dalam bahasa
Mandar dipakai untuk pelambangan suara glotal stop [ʔ]. Fonem vokal bisa terdapat di awal, di
tengah, dan di akhir kata; sedangkan posisi fonem konsonan dalam kata biasanya hanya terdapat
pada awal dan tengah kata. Konsonan yang bisa ada di akhir hanya fonem /ŋ/, /ʔ/, /r/, /s/
Perhatikan contoh berikut:
/a/
/i/
/u/
/e/
/o/
di awal
‘anak’
inrang
urang
eloq
olo
anaq
‘hutang’
‘hujan’
‘mau’
‘depan’
di tengah
bata
‘batu bata’
baleq
‘balik’
ulu
‘kepala’
bueq
‘bangun’
boccor ‘bocor’
di akhir
ala
‘ambil’
alli
‘beli’
bulu ‘bulu’
meke ‘batuk’
bulo ‘bambu’
Pada contoh di atas dapat dilihat bahwa fonem vokal bahasa Mandar ada lima, yaitu /a,
i, u, e, o/ dapat ditemukan di awal, di tengah, dan di akhir kata.
Adapun posisi konsonan bahasa Mandar dapat dilihat dalam contoh berikut:
/b/
/č/
/d/
/g/
/h/
/ǰ/
di awal
bawa
coba
dalikang
goli
haccur
jari
di tengah
‘bawa’
lambar
‘coba’
laci
‘tungku’
landur
‘kelereng’ longgar
‘hancur’
aha
‘jadi’
aju
77
‘lembar’
‘laci’
‘lewat’
‘longgar’
‘ahad’
‘kayu’
di akhir
-
Nurhayati
/k/
/l/
/m/
/n/
/ŋ/
/ɲ/
/p/
/k/
/r/
/s/
/t/
/w/
/j/
/ʔ/
kalindoro
loliq
mala
na
nganga
nyaman
pole
kunut
rare
susuq
tutuq
wake
yau
‘cacing’
‘tidur’
‘bisa’
‘di’
‘mulut’
‘senang’
‘datang’
‘kunut’
‘lelap’
‘tusuk’
‘tutup’
‘akar’
‘saya’
waka
baleq
kama
anaq
langnga
lanynye
luppe
areq
asa
ator
awang
boyang
‘akar’
‘balik’
‘ayah’
‘anak’
‘jewawut’
‘manja’
‘lupa’
‘perut’
‘asa’
‘atur’
‘awan’
‘rumah’
goccing
laccar
lappas
eloq
‘gunting’
‘lempar’
‘lepas’
‘mau’
Dari contoh-contoh di atas terlihat konsonan /b, č, d, g, h, ǰ, k, l, m, n, ɲ, p, t, w, j/ ada
di awal dan di tengah kata. Adapun konsonan-konsonan yang bisa berada di awal, tengah, dan
akhir kata hanyalah fonem /ŋ/, /r/,dan /s/. Adapun fonem /ʔ/ hanya berada di akhir kata.
Bentuk Reduplikasi dalam Bahasa Mandar
Dalam bahasa Mandar terdapat beberapa bentuk reduplikasi, yaitu reduplikasi utuh, reduplikasi
sebagian, reduplikasi berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, dan reduplikasi
berkombinasi dengan klitika.
a. Reduplikasi Utuh
Reduplikasi utuh (seluruhnya) adalah mengulang secara keseluruhan kata yang diulang
1) Reduplikasi Utuh Kata Bersuku Satu
Reduplikasi utuh pada kata yang bersuku satu dalam bahasa Mandar adalah mengulang
seluruhnya kata yang diulang.
seng
gol
roq
tue
raq
‘seng’
‘bola’
‘rok’
‘tiup’
‘rak’
→ seng-seng
→ gol-gol
→ roq-roq
→ tue-tue
→ raq-raq
‘seng dalam bentuk kecil’
‘bola-bola’
‘rok-rok’
‘tiup-tiup’
‘rak-rak’
Contoh di atas memperlihatkan bahwa reduplikasi utuh bersuku satu dalam bahasa Mandar
terjadi pada kata-kata bersuku satu yang berakhir dengan vokal maupun berakhir dengan
konsonan.
2) Reduplikasi Utuh Kata Bersuku Dua
Reduplikasi utuh pada kata yang bersuku dua dalam bahasa Mandar adalah mengulang secara
utuh (seluruhnya) kata tersebut apabila suku kedua kata tersebut berakhir dengan vokal.
baju
ande
goli
golla
mata
‘baju’
‘makanan’
‘kelereng’
‘gula’
‘mata’
→ baju-baju
→ ande-ande
→ goli-goli
→ golla-golla
→ mata-mata
78
‘banyak baju’ atau ‘baju kecil’
‘makanan-makanan’
‘kelereng-kelereng’
‘gula-gula’
‘mata-mata’
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Kelima contoh reduplikasi utuh pada kata dasar bersuku dua di atas adalah pengulangan
seluruhnya pada kata dasar bersuku dua yang berakhir dengan vokal. Adapun kata bersuku dua
yang berakhir dengan konsonan dalam bahasa Mandar tidak direduplikasikan secara utuh.
b. Reduplikasi Sebagian
Reduplikasi sebagian adalah pengulangan sebagian kata yang diulang. Dalam bahasa Mandar,
reduplikasi sebagian ini terjadi pada kata dasar yang besuku dua dan bersuku tiga atau lebih.
Bentuk reduplikasi ini akan dijelaskan berikut ini.
1) Reduplikasi Sebagian Kata Dasar Bersuku Dua dan Bersuku Tiga
Berikut adalah contoh reduplikasi sebagian yang terjadi pada kata dasar bersuku dua atau
bersuku tiga dalam bahasa Mandar:
balek
goccing
bemmeq
gareme
beluaq
haranal
karoppoq
gurinda
garattas
‘balik’
‘gunting’
‘jatuh’
‘jari’
‘rambut ’
‘tusuk konde’
‘kerupuk’
‘gurinda’
‘kertas’
→ bale-balek
→ gocci-goccing
→ bemme-bemmeq
→ gare-gareme
→ belu-beluaq
→ hara-haranal
→ karo-karoppoq
→ guri-gurinda
→ gara-garattas
‘balik-balik’
‘gunting-gunting’
‘jatuh-jatuh’
‘jari-jari’
‘rambut-rambut’
‘tusuk-tusuk konde’
‘kerupuk-kerupuk’
‘gurinda-gurinda’
‘kertas-kertas’
Pada contoh-contoh di atas, terjadi reduplikasi sebagian pada kata dasar bersuku dua dan
bersuku tiga. Pada kata dasar bersuku dua dan tiga, jika suku kata kedua berakhir dengan
konsonan, maka konsonan tersebut tidak direduplikasikan. Contohnya: kata balek menjadi
bale-balek, kata goccing menjadi gocci-goccing, kata bemmeq menjadi bemme-bemmeq,
kata gurinda menjadi guri-gurinda, karoppoq menjadi karo-karoppoq dan garattas menjadi
gara-garattas. Pada kata dasar bersuku tiga, jika suku kata kedua berakhir dengan vokal,
maka yang direduplikasikan hanya suku pertama dan suku kedua. Contohnya: gareme
menjadi gare-gareme, beluaq menjadi belu-beluaq, dan haranal menjadi hara-haranal.
2) Reduplikasi Sebagian pada Kata yang Berafiks
Reduplikasi sebagian pada kata yang berafiks terdapat pada kata yang berprefiks, konfiks,
berinfiks dan bersufiks.
a) Reduplikasi sebagian Kata Berprefiks
Reduplikasi sebagian kata berprefiks adalah pengulangan kata yang mendapat awalan.
Perhatikan contoh berikut ini.
ma + kacca
= makacca
‘ bagus’
ma + lakka
= malakka
‘panjang’
me + luttus
= melluttus
‘melakukan terbang’
pi + nganga = pingnganga
‘menganga’
pe + bueq
‘bangun’
= pembueq
79
→ maka-makacca
‘sangat bagus’
→ mala-malakka
‘sangat panjang’
→ melu-meluttus
‘sekadar terbang’
→ pinga-pingnganga
‘buat jadi menganga’
→ pembu-pembueq
‘buat jadi bangun’
Nurhayati
Reduplikasi bentuk ini yang direduplikasikan adalah prefiks dan suku pertama kata
yang diulang. Kata makacca dibentuk dari prefiks ma- + kacca menjadi makacca,
setelah direduplikasikan menjadi maka-makacca, kata malakka ‘panjang’ dibentuk dari
prefiks ma- + lakka, setelah direduplikasikan menjadi mala-malakka. Kata melluttus
‘terbang’ dibentuk dari prefiks me- + luttus, setelah direduplikasikan menjadi mellumelluttus’. Kata pingnganga ‘menganga’ dibentuk dari prefiks piN- + nganga, setelah
direduplikasikan menjadi pingnga-pingnganga. Kata pembueq ‘bangun’ dibentuk dari
prefiks peN- + bueq, setelah direduplikasikan menjadi pembu-pembueq.
b) Reduplikasi sebagian Kata yang Berprefiks Ganda
Reduplikasi kata yang berprefiks ganda adalah pengulangan kata yang mendapat prefiks
ganda. Perhatikan contoh berikut.
ma- + po- + gauq = mappogauq ‘melakukan kegiatan’
→ mappo-mapogauq
‘sekadar melakukan kegiatan’
di- + po - + rannu = diporannu
‘yang diharapkan’
→ dipo-diporannu
‘sangat diharapkan’
na- + po- + caiq
= napocaiq
‘hal yang membuat marah’ → napo-napocaiq
‘hal membuatnya marah’
ma- + pa- + lambiq = mappalambiq ‘menyampaikan’
→ mapa-mapalambiq
‘sekadar menyampaikan’
na- + pa- + coa
= napacoa
‘dia perbaiki’
→ napa-napacoa
‘sekadar dia perbaiki’
Contoh di atas adalah reduplikasi sebagian dari kata yang berprefiks ganda (dua atau
lebih) dalam bahasa Mandar. Yang mengalami reduplikasi adalah prefiks gandanya,
sedangkan kata dasarnya tidak mengalami reduplikasi. Kata mappogauq dibentuk dari
prefiks ganda mapo- + gauq, setelah direduplikasikan menjadi mapo-mapogauq. Kata
diporannu dibentuk dari prefiks ganda dipo- + rannu, setelah direduplikasikan menjadi
dipo-diporannu. Kata napocaiq dibentuk dari prefiks ganda napo + caiq, setelah
direduplikasikan menjadi napo-napociq. Kata mapalambiq dibentuk dari prefiks ganda
mapa- + lambiq, setelah direduplikasikan menjadi mapa-mapalambiq. Kata napacoa
dibentuk dari prefiks ganda napa- + coa, setelah direduplikasikan menjadi napanapacoa.
c) Reduplikasi sebagian Kata yang Berinfiks
Reduplikasi sebagian kata dasar yang berinfiks adalah pengulangan kata yang mendapat
infiks. Perlakuan kata yang berinfiks dalam proses reduplikasi bahasa Mandar seperti
dalam bahasa Indonesia, yaitu dianggap satu kata. Perhatikan contoh berikut.
kepus + -erkekeq + -el-
= karepus
= kalekeq
‘jelek’
→ kare-karepus
‘gelitik’ → kale-kalekeq
‘sangat jelek’
‘sekadar gelitik’
Seperti bisa dilihat pada contoh di atas, kata yang mendapat infiks dianggap satu kata
sehingga kata dan infiksnya menyatu. Reduplikasi ini sama prosesnya dengan
reduplikasi sebagian bersuku tiga, yaitu yang mengalami reduplikasi hanya suku
pertama dan suku kedua. Kata kepus mendapat infiks –er- menjadi karepus setelah
direduplikasikan menjadi kare-karepus. Kata kekeq mendapat infiks -el- menjadi
kalekeq setelah direduplikasikan menjadi kale-kalekeq.
80
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
d) Reduplikasi sebagian Kata yang Bersufiks
Reduplikasi sebagian kata yang bersufiks adalah pengulangan kata yang mendapat
akhiran. Dalam bahasa Mandar pengulangan dilakukan pada suku kata dasarnya,
dengan tidak mereduplikasikan sufiksnya. Perhatikan contoh berikut.
moka
tunu
cobeq
cappur
garu
+- i
+ -ang
+ -ang
+-i
+ -ang
= mokai
= tunuang
= cobeqang
= cappuri
= garuang
‘tidak mau’
‘bakarkan’
’cobekan’
‘campuri’
‘garukan’
→ moka-mokai
→ tunu-tunuang
→ cobe-cobeqang
→ cappu-cappuri
→ garu- garuang
‘tidak-tidak maui’
‘bakar-bakarkan’
‘cobek-cobekan’
‘campur-campuri’
‘garu-garukan’
Reduplikasi sebagian kata dasar yang bersufiks dalam bahasa Mandar adalah pengulangan
kata yang mendapat akhiran. Maksudnya, kata dasar yang mendapat akhiran kemudian
direduplikasikan. Pada reduplikasi tersebut hanya kata dasar yang mengalami
pengulangan; sufiksnya tidak. Kata moka ‘tidak mau’ mendapat sufiks -i kemudian
direduplikaikan menjadi moka-mokai. Kata tunu mendapat sufiks -ang kemudian
direduplikasikan menjadi tunu-tunuang. Kata cobeq mendapat sufiks -ang setelah
direduplikasikan menjadi cobe-cobeqang. Kata cappur mendapat sufiks -i, setelah
direduplikasian menjadi cappu-cappuri. Kemudian, kata garu mendapat sufiks -ang
setelah direduplikasikan menjadi garu-garuang.
e) Reduplikasi sebagian Kata yang Berkonfiks
Reduplikasi sebagian kata yang berkonfiks adalah pengulangan kata yang mendapat
awalan dan akhiran. Pada reduplikasi ini, pengulangan terjadi pada prefiks dan suku
pertama kata dasar. Perhatikan contoh berikut:
ma- + coa -i
= macoai
’sangat bagus’
pa-
= palakkai
‘pajangkan’
ma- + lajo+-i
= malajo
‘semampai’
po-
+ ande–ang
= poandeang
‘bahan makanan’
na-
+ tiddi-i
= natiddii
‘ditetesi’
+ lakka+-i
→ maco-macoai
‘sangat bagus’
→ pala-palakkai
‘panjang-panjangkan‘
→ mala-malajoi
‘sangat semampai’
→ poande-andeang
‘bahan-bahan makanan’
→ nati-natidii
‘ditetes-tetesi’
Seperti terlihat pada contoh di atas, pada jenis reduplikasi ini hanya prefiks dan suku
pertama yang mengalami reduplikasi. Suku kata berikutnya dan sufiks tidak diulang.
Kata macoai dibentuk dari konfiks ma-i + coa, setelah direduplikasikan menjadi macomacoai. Kata palakkai dibentuk dari konfiks pa-i + lakka, setelah direduplikasikan
menjadi pala-palakkai. Kata malajoi dibentuk dari konfiks ma-i + lajo, setelah
direduplikasikan menjadi mala-malajoi. Kata poandeang dibentuk dari konfiks po-ang
+ ande, setelah direduplikasikan menjadi poande-andeang, Kata natiddii dibentuk dari
konfiks na-i + tiddi, setelah direduplikasikan menjadi nati-natiddii.
81
Nurhayati
c. Reduplikasi Berkombinasi dengan Proses Pembubuhan Afiks
Pada reduplikasi yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, pengulangan terjadi
bersama-sama dengan proses pembubuhan afiks. Misalnya, bentuk dasar kereta-kerataan adalah
kereta bukan keretaan (Ramlan, 1979:44-45). Dalam bahasa Mandar, reduplikasi bentuk ini
dapat dilihat dalam contoh berikut ini.
kerepus
caiq
boyang
goccing
bemmeq
‘jelek’
‘marah’
‘rumah’
‘gunting’
‘jatuh’
sakarepus-karepusna
sacaiq-caiqna
boya-boyangang
gocci-goccingang
sabemmeq-bemmeqna
‘sejelek-jeleknya’
‘selalu marah’
‘rumah-rumahan’
‘gunting-guntingan’
‘selalu jatuh’
Reduplikasi sakarepus-karepusna bukan dari kata sakarepus atau karepusna, melainkan dari
kata kerepus yang diulang bersamaan dengan proses pembubuhan afiks dalam hal ini konfiks
sa-na. Reduplikasi sacaiq-caiqna bukan dari kata sacaiq atau caiqna tetapi dari kata caiq yang
diulang bersamaan dengan proses pembubuhan afiks yakni konfiks sa-na, reduplikasi
sabemmeq-bemmeqna bukan dari kata sabemmeq atau bemmeqna, tetapi dari kata bemmeq yang
berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, yakni konfiks se-na. Reduplikasi boyaboyangang bukan dari kata boyangang melainkan kata boyang dan reduplikasi goccigoccingan, bukan dari kata goccingan melainkan dari kata goccing direduplikasikan yang
bersamaan dengan proses pembubuhan afiks yakni sufiks –ang.
d. Reduplikasi Berkombinasi dengan Klitika
Dalam bahasa Mandar, klitika bisa muncul sebagai proklitika maupun enklitika. Proklitika dalam
bahasa Mandar adalah u- ‘saya’, mu- ‘kamu’, dan na- ‘dia’; sedangkan enklitika adalah - aq
(persona pertama tunggal), -o (persona kedua tunggal), -i (persona ketiga), -meq (persona kedua
jamak), -na (persona ketiga), dan -ta (persona pertama jamak inklusif).
1) Reduplikasi Berkombinasi dengan Proklitika
Reduplikasi yang berkombinasi dengan proklitika adalah pengulangan kata yang mendapat
klitika di depan kata dasar. Perhatikan contoh berikut ini.
u
mu
mu
na
na
+ ande
+ kulissi
+ goccing
+ jama
+ bukkus
= uande
= mukulissi
= mugoccing
= najama
= nabukkus
‘saya makan’
‘kamu cubit’
‘kamu gunting’
‘dia kerja’
‘dia bungkus’
→ ua-uande
→ muku-kulissi
→ mugocci-goccing
→ naja-najama
→ nabu-nabukkus
‘sekadar saya makan’
‘sekadar kamu cubit’
‘sekadar kamu gunting’
‘sekadar dia kerja’
‘sekadar dia bungkus’
Pada contoh-contoh di atas adalah, proklitika u-, mu-, dan na- dan suku pertama kata dasar
mengalami pengulangan. Reduplikasi ua-uande dibentuk dari proklitika u- + ande menjadi
uande, setelah direduplikasikan menjadi ua-uande. Kata mukulissi dibentuk dari proklitika
mu- + kulissi, setelah direduplikasikan menjadi mukuli-kulissi. Kata mugoccing dibentuk
dari proklitika mu- + goccing, setelah direduplikasikan menjadi mugo-mugoccing. Kata
najama dibentuk dari proklitika na- + jama, setelah direduplikasikan menjadi naja-najama.
Kata nabukkus dibentuk dari proklitika na- + bukkus, setelah direduplikasikan menjadi
nabu-nabukkus.
82
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
2) Reduplikasi Berkombinasi dengan Enklitika
Reduplikasi yang berkombinasi dengan enklitika adalah pengulangan kata yang mendapat
klitika di belakang kata dasar. Perhatikan contoh berikut:
Contoh:
pole
+ -aq
ande + -o
barang + -mu
suraq + -meq
baju
+ -na
boyang + -ta
= poleaq
= andeo
= barangmu
= suraqmeq
= bajuna
= boyatta
‘datang saya’
‘makan kamu’
‘barang kamu’
‘surat kalian’
‘baju dia’
‘rumah kita’
→ pole-poleaq
→ ande-andeo
→ bara-barangmu
→ sura-surqmeq
→ baju-bajunna
→ boya-boyatta
‘datang-datang saya’
‘makan-makan kamu’
‘barang-barang kamu’
‘surat-surat kalian’
‘baju-baju dia’
‘rumah-rumah kita’
Pada bentuk reduplikasi ini, pengulangan hanya terjadi pada kata dasar. Pada contoh di atas,
kata poleaq dibentuk dari kata pole + enklitika -aq setelah direduplikasikan menjadi polepoleaq. Kata andeo dibentuk dari kata ande + enklitika -o, setelah direduplikasikan menjadi
ande-andeo. Kata barangmu dibentuk dari kata barang + enklitika -mu menjadi barangmu,
setelah direduplikasikan menjadi bara-barangmu. Kata suraqmeq dibentuk dari kata suraq
+ enklitika -meq, setelah direduplikasikan menjadi suraq-suraqmeq. Kata bajunna dibentuk
dari kata baju + enklitika –na, setelah direduplikasikan menjadi baju-bajunna. Kata boyatta
dibentuk dari kata boyang + enklitika -ta setelah direduplikasikan menjadi boya-boyatta.
Posisi Reduplikasi dalam Kalimat
Dalam bahasa Mandar, reduplikasi dapat muncul sebagai subjek, predikat, objek, dan
keterangan.
a. Reduplikasi muncul sebagai subjek pada kalimat-kalimat berikut ini:
(1) Boto-botol napasirumung i Kaco.
‘Botol-botol dikumpulkan si Kaco.’
‘Botol-botol dikumpulkan si Kaco.’
(2) Pinda-pindang naissii bau.
‘Piring-piring diisi ikan.’
‘Piring-piring diidi ikan.’
b. Reduplikasi muncul sebagai predikat pada kalimat-kalimat berikut ini:
(1) Mequ-mequjai lettena i Cicci.
‘Bergerak-gerak kakinya si Cicci.’
‘Kakinya si Cicci begerak-gerak.’
(2) Massuppeq-suppeq kacci i Pudding
‘Menjolok-jolok mangga si Pudding.’
‘Si Pudding menjolok-jolok mangga.’
(3) Mapu-maputei bajunna.
‘Agak putih-putih bajunya.’
‘Bajunya agak putih-putih.’
(4) Mabbalu-balui i Hadara.
‘Menjual-jual si Hadara.’
‘Si Hadara menjual-jual.’
83
Nurhayati
c. Reduplikasi muncul sebagai objek pada kalimat-kalimat berikut ini:
(1) Simata mambureang roppo-roppong diqe sanaekee.
‘Selalu menghamburkan sampah-sampah ini anak.’
‘Anak ini selalu menghamburkan sampah-sampah.’
(2) Massuppeqi jole-joleng i Ba’du.
‘Menjolok jambu-jambu si Ba’du.’
‘Si Ba’du menjolok jambu-jambu.’
(3) Susungngi dolo diqe buku-buku Cicci.
‘Susun dulu ini buku-buku Cicci.’
‘Cicci susunlah buku-buku ini terlebih dahulu.’
d. Reduplikasi muncul sebagai keterangan pada kalimat-kalimat berikut ini:
(1) Male-malemei millamba i Cicci.
‘Lamban- lamban berjalan si Cicci.’
‘Si Cicci berjalan lamban-lamban (sangat lamban) .’
(2) Malu-malumburri kedona diqe tu baine.
‘Lembek- lembek geraknya ini perempuan.’
‘Perempuan ini geraknya lembek-lembek ( sangat lembek) .’
(3) Masi-masiga millamba i Kaco
‘Cepat-cepat berjalan si Kaco.’
‘Si Kaco berjalan cepat-cepat (agak cepak) .’
(4) Masi-masikki die lalang dilanduri.
‘Sempit-sempit ini jalan dilewati.’
‘Jalan ini dilewati sempit-sempit (sangat sempit).’
Makna Reduplikasi dalam Bahasa Mandar
Salah satu fungsi reduplikasi adalah mengubah makna dari kata dasar atau bentuk dasarnya.
Dari bentuk-bentuk reduplikasi yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa makna yang
disandang reduplikasi atau kata ulang dalam bahasa Mandar dari kata dan bentuk dasarnya.
Perhatikan delapan makna berikut ini.
a. Reduplikasi menyatakan makna banyak
b. Reduplikasi menyatakan makna menyerupai atau kecil
c. Reduplikasi menyatakan makna sekadar
d. Reduplikasi menyatakan makna berulang-ulang
e. Reduplikasi menyatakan makna sangat
f. Reduplikasi menyatakan makna kumpulan dari suatu bilangan
g. Reduplikasi menyatakan makna saling
h. Reduplikasi menyatakan makna agak
a) Reduplikasi Bermakna Banyak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:92), kata banyak bermakna tidak sedikit. Jadi,
makna banyak di sini artinya banyak jumlahnya. Berikut contoh reduplikasi yang bermakna
banyak.
84
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
(1) Diluppi i diqe baju-baju
‘Dilipat ini baju-baju.’
‘Baju-baju ini dilipat.’
(2) Paalao batu-batu di biring lembang.
‘Ambilko batu-batu di pinggir sungai.’
‘Kamu pergi ambil batu-batu di pinggir sungai.’
(3) Uitai goli-goli lalang lamari.
‘Saya melihat kelereng-kelereng dalam lemari.’
‘Saya melihat banyak kelereng dalam lemari.’
(4) Pamarenta mapakede boya-boyang di biring batattanga.
‘Pemerintah mendirikan banyak rumah di pinggir jalan.’
‘Banyak rumah dibangun oleh pemerintah di pinggir jalan.’
Reduplikasi baju-baju pada contoh kalimat (1) di atas kata dasarnya baju ‘baju’, setelah
direduplikasikan menjadi baju-baju yang menyatakan banyak baju. Reduplikasi batu-batu
pada contoh kalimat (2) di atas kata dasarnya batu, setelah direduplikasikan menjadi batubatu yang menyatakan banyak batu. Reduplikasi goli-goli pada kalimat (3) di atas kata
dasarnya goli ‘kelereng’, setelah direduplikaskan menjadi goli-goli yang menyatakan
makna banyak kelereng. Redulikasi boya-boyang pada contoh kalimat (4) di atas kata
dasarnya boyang ‘rumah, setelah direduplikasikan menjadi boya-boyang yang menyatakan
makna banyak rumah.
b) Reduplikasi Bermakna Seperti atau Menyerupai
Kata seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:992) bermakna serupa atau
semacam. Berikut contohnya dalam kalimat.
(1) Maqalli i say-sayyangang kandiu di pasar.
‘Membeli kuda-kudaan adikku di pasar.’
‘Adikku membeli kuda-kudaan di pasar.’
(2) Mappapia gade duri-duriang kindoqna.
‘Membuat kue durian-durian ibunya.’
‘Ibunya membuat kue durian-durian (menyerupai durian).’
(3) Maeqdi tau-tauang di galungngu.
‘Banyak orang-orangan di sawahku.’
‘Banyak orang-orangan (menyerupai orang) di sawahku.’
(4) Maptokkomeq posa-posaang pole di litaq.
‘Bentuk kalian kucing-kucingan dari tanah.’
‘Kalian bentuk kucing-kucingan (menyurupai kucing) dari tanah!’
Reduplikasi say-sayyangang pada contoh kalimat (1) di atas kata dasarnya sayyang ‘kuda’,
dalam proses pembentukan reduplikasi kata tersebut bersamaan dengan dengan proses
pembubuhan sufiks –ang, sehingga menjadi say-sayyangang yang menyatakan makna
seperti atau menyerupai kuda atau permainan anak-anak yang menyerupai kuda.
Reduplikasi duri-duriang pada contoh kalimat (2) di atas kata dasarnya adalah duriang
‘durian’ direduplikasikan menjadi duri-duriang yang menyatakan makna menyerupai
atau seperti durian. Reduplikasi tau-tauang pada contoh kalimat (3) di atas kata dasarnya
85
Nurhayati
adalah tau “orang’, dalam proses pembentukan reduplikasi kata tersebut bersamaan
dengan proses pembubuhan sufiks –ang, sehingga menjadi reduplikasi tau-tauang yang
menyatakan makna seperti atau menyerupai orang. Demikian pula reduplikasi posaposaang pada contoh kalimat (4) di atas kata dasarnya posa ‘kucing’ dalam proses
pembentukan reduplikasi kata tersebut bersamaan dengan proses pembubuha afiks –ang,
sehingga menjadi posa-posaang yang menyatakan makna menyerupai kucing.
c)
Reduplikasi Bermakna Sekadar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:921), kata sekadar bisa bermakna hanya
perlu, seperlunya, atau seadanya. Berikut contohnya dalam kalimat.
(1) Meca-mecawa tappa uita leqmai diayau diqo tau.
‘Ketawa-ketawa hanya saya lihat kemari kepada saya itu orang.’
‘Saya lihat orang itu ketawa-ketawa (sekadar ketawa) kepada saya.’
(2) ‘Macco-maccoba madattar polisi i Kaco, muaq lulusi dallena .
‘Mencoba-coba mandattar polisi si Kaco, kalau lulusi itu rezekinya.’
‘Si Kaco mencoba-coba (sekadar mencoba) mendaftar polisi, kalau lulus itu rezekinya.’
(3) Marra-marrannu tappa aq peppoleangna.
‘Mengharap-harap saya kedatangannya.’
‘Saya hanya mengharap-harap (sekadar mengharap) kedatangannya.’
(4) Andangngaq macai, ukuli-kulissi tappa i.
‘Tidak saya marah, saya cubit-cubit saja dia.’
‘Saya tidak marah, saya cubit-cubit (sekadar cubit) saja dia.’
Reduplikasi meca-mecawa pada contoh kalimat (1) bentuk dasarnya mecawa ‘ketawa’,
untuk konteks kalimat tersebut menyatakan makna sekadar ketawa. Reduplikasi maccomaccoba pada contoh kalimat (2) bentuk dasarnya maccoba ‘mencoba’, untuk konteks
kalimat tersebut menyatakan makna sekadar mencoba. Reduplikasi marra-marrannu
‘mengharap’ pada kalimat (3) bentuk dasarnya marrannu ‘mengharap’, konteks kalimat
tersebut menyatakan makna sekadar mengharap. Reduplikasi kuli-kulissi ‘cubit-cubit’
pada contoh kalimat (4) kata dasarnya kulissi ‘cubit’ pada konteks kalimat tersebut
menyatakan makna sekadar cubit.
d)
Reduplikasi Bermakna Berulang-ulang
Berulang-ulang yang kata dasarnya ulang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1991:1098) bermakna lakukan lagi. Berikut contohnya dalam kalimat.
(1) Mattu-mattuttu meja jamanna diqe sanaeke.
‘Memukul-mukul meja saja kerjanya anak ini.’
‘Anak ini memukul-mukul meja saja kerjanya.’
(2) Putar-putar tutuqna botol minnamu anna masse.
‘Putar-putar tutupnya botol minyakmu agar kuat.’
‘Putar-putar tutup botol minyakmu agar kuat.’
(3) garu-garu gollana diqe wai kopi anna mammis.
‘Garu-garu gulanya ini air kopi supaya manis.’
‘Garu-garu gulanya air kopi ini supaya manis.’
86
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
(4) Tollo-tollo i wai pambulang doajumu tuttu allo.
‘Siram-siram air tanaman sayurmu setiap hari’.
‘Tanaman sayurmu siram-siram dengan air setiap hari.’
Reduplikasi matu-matuttu ‘melempar-lempar’ pada contoh kalimat (1) di atas bentuk
dasarnya mattuttu yang menyatakan makna berulang-ulang memukul. Reduplikasi putarputar ‘putar-putar’ pada contoh kalimat (2) di atas bentuk dasarnya adalah putar yang
menyatakan makna berulang-ulang memutar. Reduplikasi garu-garu ‘garu-garu’ pada
contoh kalimat (3) di atas bentuk dasarnya garu yang menyatakan makna berulang-ulang
menggaru. Reduplikasi tollo-tollo ‘siram-siram’ pada contoh kalimat (4) di atas kata
dasarnya tollo ‘siram’ yang menyatakan makna berulang-ulang menyiram.
e) Reduplikasi Bermakna Sangat
Kata sangat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:875) bermakna ‘berlebih-lebih
dan amat terlalu’. Perhatikan contoh berikut ini.
(1) Mangi-mangingngir nyawau meita naung.
‘Gamang- gamang perasaanku melihat turun.’
‘Perasaanku gamang-gamang (sangat gamang) melihat turun.’
(2) Mara-maranni diqe bajummu andiangmo sirua.
‘Kecil-kecil ini bajumu, kamu sudah tidak cocok lagi.’
‘Bajumu kecil-kecil (sangat kecil), kamu sudah tidak cocok lagi.’
(3) Mara-marasa kande-kandemu niande..
‘Enak-enak kue-kuemu dimakan.’
‘Kue-kuemu ini enak-enak (sangat enak) dimakan.’
(4) Mapi-mapia uita loddiangmu.
‘Bagus-bagus saya lihat cincimu.’
‘Saya lihat bagus-bagus (sangat bagus) cincinmu.’
Reduplikasi mangi-mangingngir ‘gamang-gamang’ pada contoh kalimat (1) di atas kata
dasarnya mangingngir, yang menyatakan makna sangat gamang. Reduplikasi maramaranni ‘kecil-kecil’ pada contoh kalimat (2) di atas kata dasarnya maranni ‘kecil’ yang
mayatakan makna sangat kecil. Reduplikasi mara-marasa ‘enak-enak’ pada contoh kalimat
(3) di atas kata dasarnya marasa yang menyatakan makna sangat enak. Reduplikasi mapimapia ‘bagus-bagus’ pada contoh (4) di atas kata dasarnya mapia ‘bagus’ yang bermakna
sangat bagus.
f) Reduplikasi Bermakna Kumpulan
Makna kumpulan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:541) berarti himpunan.
Perhatikan contoh berikut ini.
(1) Silima-lima diqe issinna bua durian sattuju
‘Satu lima-lima ini isinya durian dalam seikat.’
‘Buah durian ini lima-lima dalam seikat.’
(2) Tujuq i anjoro diqe sisappulo-sappulo sattujuqna.
‘Ikat kelapa ini seikat sepuluh-sepuluh dalam satu ikatan.’
‘Ikat kelapa ini sepuluh-sepuluh dalam satu ikatan.’
87
Nurhayati
Reduplikasi silima-lima ‘satu himpunan (ikat) ada lima’ pada contoh (1) kata dasarnya
silima ‘selima’ yang menyatakan makna dalam satu himpunan ada lima. Reduplikasi
sappu-sappulo ‘ sepuluh-sepuluh’ contoh (2) kata dasarnya sappulo yang menyatakan
makna dalam satu himpunan (ikat) ada sepuluh isinya.
g) Reduplikasi Bermakna Berbalasan atau Saling.
Berbalasan kata dasarnya balas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 83) berarti
reaksi. Perhatikan contoh berikut ini.
(1) Sila-silatuang tau di pasar malam.
‘Senggol –senggolan orang di pasar malam.’
‘Orang senggol-senggolan di pasar malam.’
(2) Naeloqo sikuli-kulissiang diqe sanaeke muaq mangino.
‘Dia suka cubit-cubitan ini anak kalau bermain.’
‘Anak ini suka cubit-cubitan kalau bermain.’
(3) Sija-sijagur diqe sanaeke muaq siruppa.
‘Tinju-meninju ini anak-anak kalau bertemu.’
‘Anak-anak ini suka tinju-meninju bila bertemu.’
(4) Sila-silaccar boi diqo mahasiswa di batattanga.
‘Lempar-melempar lagi mahasiswa di jalanan.’
‘Mahasiswa itu lempar- melempar lagi di jalanan.’
Reduplikasi sila-silatu ‘saling beradu’ pada contoh (1) kata dasarnya latu bermakna
‘senggol’ setelah direduplikasikan menjadi sila-silatu dan yang menyatakan makna saling
senggol.Reduplikasi sikuli-kulissi ‘saling mencubit’ pada contoh kalimat (2) bentuk
dasarnya sikulissi, setelah direduplikasikan menjadi sikuli-kulissi yang manyatakan makna
saling cubit. Reduplikasi sija-jagur ‘saling tinju’ pada contoh (3) bentuk dasarnya adalah
sijagur ‘bertinju’, setelah direduplikasikan menjadi sija-sijagur yang menyatakan makna
saling tinju. Reduplikasi sila-silaccar ‘saling melempar’ pada contoh kalimat (4) bentuk
dasarnya adalah silaccar ‘berlemparan’, setelah direduplikasikan menjadi sila-silaccar yang
menyatakan makna saling melempar.
h) Reduplikasi Bermakna Agak.
Kata agak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:10) berarti ‘perkiraan,
persangkaan’. Perhatikan contoh berikut ini.
(1) Tumbi-tumbiring boyanna niita.
‘Miring- miring rumahnya kelihatan.’
Rumahnya kelihatan miring-miring (agak miring) .’
(2) Mangu-mangura anjoromu kandi
‘Muda-muda kelapamu adik.’
‘Kelapa adik muda- muda (agak muda).’
(3) Maca-macai kannequ saba boroaq.
‘Marah-marah nenekku karena nakalkaq.’
‘Nenekku mara-marah (agak marah) karena saya nakal.’
88
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
(4) Mara-maraqe mi bajunna i kandiq.
‘Kering-kering sudah bajunya di adik.’
‘Baju si Adik sudah kering-kering (agak kering).’
Reduplikasi tumbi-tumbiring ‘agak miring’ pada contoh kalimat (1) di atas kata dasarnya
tumbiring ‘miring’, setelah direduplikasikan menjadi tumbi-tumbiring yang menyatakan
makna agak miring. Reduplikasi mangu-mangura ‘agak muda’ pada contoh kalimat (2) di
atas kata dasarnya mangura ‘muda’, setelah direduplikasikan menjadi mangu-mangura
yang menyatakan makna agak muda. Reduplikasi maca-macai ‘agak marah’ pada contoh
kalimat (3) di atas kata dasarnya macai ‘marah’, setelah direduplikasikan menjadi macamacai yang menyatakan makna agak marah. Reduplikasi mara-maraqe ‘agak kering’ pada
contoh kalimat (4) di atas kata dasarnya maraqe ‘kering’, setelah direduplikasikan menjadi
mara-maraqe yang menyatakan makna agak kering.
PENUTUP
Reduplikasi dalam bahasa Mandar berbentuk reduplikasi utuh, sebagian, berkombinasi dengan
afiksasi, dan berkombinasi dengan klitika Reduplikasi dalam bahasa Mandar pada umumnya
tidak mengubah kelas kata dan bisa muncul sebagai subjek, predikat, objek dan keterangan.
Adapun fungsi reduplikasi dalam bahasa Mandar adalah mengubah makna kata sehingga
mempunyai salah satu dari makna berikut: banyak, menyerupai, sekadar, melakukan pekerjaan
berulang, sangat, kumpulan, saling atau resiprokal, dan agak.
CATATAN
 Penulis berterima kasih kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk
perbaikan makalah ini.
1
Artikel “Reduplikasi dalam Bahasa Mandar” di atas adalah hasil pengembangan dari Skripsi S1 penulis
(Nurhayati 1985) dan makalah yang dipresentasikan dan dimuat dalam Kolita 12 (2014) dengan judul
yang sama. Namun, terdapat perbedaan di antara keduanya. Ada beberapa bagian dalam makalah ini yang
tidak dibahas dalam makalah Kolita 12, yaitu: Tipe-tipe reduplikasi lengkap dengan contoh-contoh;
metode penelitian; bentuk-bentuk reduplikasi yang sudah ditata dengan baik dan runtut dengan
menyatukan kata dasar bersuku dua dan bersuku tiga yang berakhir dengan konsonan; penjelasan
mengenai reduplikasi sebagian yang berafiks, reduplikasi berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks,
reduplikasi yang berkombinasi dengan klitika, fungsi reduplikasi, dan makna reduplikasi yang sudah
diperbaiki dan lebih rinci.
SUMBER RUJUKAN PUSTAKA
Darwis, M. (2012). Morfologi bahasa Indonesia bidang verba. Makassar: Menara Intan.
Muslich, M. (2008). Tata bentuk bahasa Indonesia: Ke arah tata bahasa deskriptif. Jakarta:
Bumi Aksara.
Nurhayati. (1985). Sistem reduplikasi dalam bahasa Mandar (Skripsi sarjana tidak diterbitkan),
Makassar: Universitas Hasanuddin.
Parera, J. D. (1980). Pengantar Linguistik umum bidang morfologi. Ende: Nusa Indah.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1991). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
89
Nurhayati
Ramlan, M. (1979). Morfologi: Suatu tinjauan deskriptif. Yogyakarta: Karyono.
Verharr, J. W. (1980). Teori Linguistik dan bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Wijana, I. D. (2010). Pengantar semantik bahasa Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
90
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 91-93
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
Resensi Buku
Judul
ISBN
Penulis
Penerbit
Tebal
: Frames and Constructions in Metaphoric Language
: 978 90 272 0436 3 (Hb; alk. paper), 978 90 272 7240 9 (Eb)
: Karen Sullivan
: John Benjamins B.V. (2013)
: 192 halaman
Bahren Umar Siregar
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
[email protected]
Berbeda dari sebagian besar buku yang membahas metafora, dalam buku ini penulis
menganalisis metafora atau bahasa yang metaforis dengan menggabungkan kerangka teoretis
Construction Grammar (CxG) dengan beberapa pandangan lainnya seperti Cognitive Grammar
(CG), Conceptual Metaphor Theory (CMT) dan Frame Semantics (Fillmore, 1982).
Penggabungan ini bertujuan untuk memberikan cara pemerian yang baru tentang bahasa yang
metaforis di samping untuk menumbuhkan kesadaran tentang bidang penelitian baru yang subur
ini dan memberikan beberapa keterkaitan antara beberapa bidang kajian yang diperlukan untuk
meneroka bidang penelitian baru ini. Meskipun demikian, seperti yang disebutkan pada
halaman 5, buku ini tidak dimaksud untuk menjadi panduan dalam pengidentifikasian metafora.
Buku ini terdiri atas sepuluh bab, yang diawali dengan Bab 1 berjudul ‘Metaphoric
language and metaphoric thought’ (1-11), dan diakhiri dengan Daftar Pustaka (references),
Sumber Utama (primary sources), Indeks Konstruksi (index of constructions) dan Indeks
(index). Bab pertama, yang juga berfungsi sebagai bab pendahuluan, dibuka dengan menelaah
secara kritis kajian-kajian sebelumnya tentang bahasa metaforis. Penelaahan kritis dimulai
terhadap CMT (Lakoff, 1993; Lakoff & Johnson, 1980) dengan metafora konseptualnya. Dalam
teori metafora konseptual, metafora adalah proses kognitif yang memungkinkan satu ranah
pengalaman, yang disebut dengan ranah sasaran, dipahami berdasarkan ranah pengalaman yang
lain, yang disebut dengan ranah sumber. Ranah sasaran biasanya merupakan konsep abstrak
sementara ranah sumber khususnya merupakan konsep yang lebih konkret. Selanjutnya, penulis
buku ini (2013:2) menyatakan bahwa sejak dari awal pengikut teori metafora konseptual telah
berketetapan untuk mempertegas bahwa metafora sebagai gejala konseptual bukanlah sekadar
gejala bahasa (sekadar ihwal kata-kata) tetapi sebagai struktur konseptual yang menurunkan
metafora. Sementara itu, menurut Karen Sullivan bahasa metaforis dapat melibatkan kata-kata
metaforis tetapi kata-kata tidak cukup untuk menyampaikan metafora karena konstruksi
metafora itulah yang memilih ranah sumber dan target dari unsur leksikal yang terdapat dalam
konstruksi tersebut. Pada halaman tiga disebutkan dengan jelas “It appears, then, that
metaphoric language depends not only on the choice ofwords, but also on particular
grammatical constructions.” Bab ini kemudian ditutup dengan penjelasan bagaimana penelitian
tentang hubungan antara penggunaan kata-kata dan konstruksi metaforis dan non-metaforis
dapat dilakukan dengan menggunakan alat seperti Frame Semantics (FS), Construction
Grammar (CxG) dan Cognitive Grammar (CG).
Resensi Buku
Pada Bab 2, ‘Frames in metaphor and meaning’ (17–33), penulis memperkenalkan
bagaimana FS dan CG digabungkan dan digunakan untuk mengkaji bahasa metaforis. Pada
bagian akhir, penulis kemudian menyimpulkan bahwa teori autonomy/dependence dari CG
(Langacker, 1997; 2002) dan FS dapat secara efektif memberikan generalisasi terhadap
konstruksi metaforis dan non-metaforis.
Bab 3, ‘Frames and lexical choice in metaphor’ (35–48), membahas penerapan
kerangka teoretis yang diberikan pada bab sebelumnya dalam satu studi kasus yang datanya
dikumpulkan melalui beberapa penelusuran dalam British National Corpus (BNC). Melalui
studi kasus ini ditunjukkan bagaimana rangka semantik (frames) yang dipantulkan oleh artian
(senses) yang bersifat non-metaforis dari satu unsur leksikal dapat menjelaskan unsur yang
mana yang terpilih untuk mengungkapkan metafora konseptual tertentu. Dengan kata lainnya,
ranah yang dipantulkan oleh satu unsur leksikal dapat saja membatasi penggunaan unsur itu
dalam ungkapan metaforis (untuk lebih memahami pandangannya ini, Karen Sullivan
memberikan beberapa contoh pada halaman 40-42).
Bab 4, ‘Frames in metonymic inferencing’ (49–61), seperti judulnya, membahas
metonimi, khususnya menunjukkan FS dan CxG dapat digunakan secara efektif untuk
membedakan metafora dari metonimi. Secara umum disebutkan bahwa metafora memetakan
rangka dari satu ranah ke ranah lainnya sementara metonimi bertumpu pada penjajaran rangka
yang memang sudah ada yang memungkinkan terjadinya ketaksaan (61).
Selanjutnya, Bab 5-9 menggabungkan temuan-temuan yang berasal dari penerapan FS,
CxG, dan CMT. Masing-masing bab membahas konstruksi gramatikal dasar atau gabungan
beberapa konstruksi gramatikal dasar yang menghasilkan struktur suatu metafora tertentu. Bab
5, ‘Two types of adjective construction in metaphor’ (63–86), membahas konstruksi ranah dan
konstruksi pembatas predikat. Bab 6, ‘Argument structure constructions in metaphor’ (87–114),
menelaah konstruksi struktur argumen seperti resultatif, ditransitif dan penggunaan kopula. Bab
7, ‘Metaphoric preposition phrases and closed-class items’ (115–30), menyelisik konstruksi
frasa preposisi, salah satu konstruksi yang sering digunakan untuk mengungkapkan metafora
dalam bahasa Inggris. Bab 8 dengan judul ‘Repeated domain evocation and xyz constructions’
(131–48), menyelidiki gabungan sejumlah konstruksi yang sudah dibahas pada Bab 5-7. Yang
dimaksud dengan konstruksi xyz adalah konstruksi berbentuk “x adalah y (z)”. Dalam konteks
ini, x, y dan z adalah FN (NPs) seperti ‘old age is the sunset of life’. Sementara itu, Bab 9 yang
berjudul ‘Metaphoric constructions beyond the clause’ (149–66), membahas lebih jauh lagi
beberapa struktur lebih besar dari kalimat yang memunculkan metafora seperti struktur klausa
relatif dan konstruksi kondisional maupun struktur kompleks seperti paralelisme dan bentuk
negasi hurufiah.
Bab 10, ‘Conclusion’ (167–72), tentu saja memberikan kesimpulan dan ringkasan
kajian yang sudah diberikan dalam buku ini. Bagian ini juga menyajikan manfaat dan
keterbatasan penelitian yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa buku ini memberikan wawasan yang berbeda
dari yang pernah ada dalam pustaka metafora dalam konteks analisis metafora. Ketidak puasan
terhadap teori CMT sebagai alat untuk meneliti metafora sebenarnya sudah banyak disuarakan
oleh beberapa peneliti (Kövecses, 2015, hlm. xi-xii) dan beberapa di antaranya (termasuk
Kövecses (2015) sendiri) mencoba upaya lain dengan menggabungkan teori CMT dengan satu
atau beberapa teori lainnya. Karen Sullivan merupakan salah seorang yang berupaya yang sama
92
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
untuk menjelaskan konstruksi metafora dengan menggunakan pendekatan yang berbeda.
Meskipun tidak memperkenalkan satu teori yang sama sekali baru, buku Karen Sullivan ini
memberikan beberapa bukti bagaimana penggabungan beberapa pendekatan (dalam hal ini: FS,
CG, CxG, dan CMT) dapat menjelaskan bagaimana metafora terbentuk melalui konstruksi
metaforis. FS dan CxG memiliki peran penting dalam studi kasus yang dilakukan oleh Karen
Sullivan. Hal yang mirip juga telah ditunjukkan oleh Moore (2013) dalam kasus yang berbeda,
melalui beberapa contoh, bahwa rangka semantik (semantic frames) pun menjadi alat yang
penting dalam analisis metafora.
Meskipun topik yang dibahas termasuk rumit dan bertumpu pada data korpus bahasa
Inggris saja, buku ini berhasil menyajikannya dengan runtut dan sistematis. Buku ini perlu
dibaca untuk memperkaya wawasan peneliti dan pengamat metafora dalam hal teori metafora.
SUMBER RUJUKAN PUSTAKA
Fillmore, C.J. (1982). Frame semantics. Dalam The Linguistic Society of Korea (ed.),
Linguistics in the morning calm (hlm. 111-137). Seoul: Hanshin Publishing Co.
Lakoff, G. (1993). The Contemporary Theory of Metaphor. Dalam A. Ortony (ed.), Metaphor
and thoughts (hlm. 202-251). Cambridge: Cambridge University Press.
Lakoff, G. & Johnson, M. (1980). Metaphors we live by. Chicago: University of Chicago Press.
Langacker, R.W. (1997). Constituency, dependency and conceptual grouping. Cognitive
Linguistics, 8 (1), 1-32.
Langacker, R.W. (2002). Concept, image and symbol: The cognitive basis of grammar. New
York: Mouton de Gruyter.
Moore, K.E. (2013). Frames and the experiential basis of the Moving Time metaphor. Dalam
M. Fried & K. Nikiforidou (ed.). Advances in frame semantics (hlm. 85-108).
Amsterdam: John Benjamins.
Kövecses, Z. (2015). Where metaphors come from: Reconsidering context in metaphor. Oxford:
Oxford University Press.
93
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 95-96
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-32, No. 1
JELAJAH LINGUISTIK
Rubrik ini membuka peluang untuk saling berbagi di antara kita tentang beberapa kemungkinan topik ini:
a. pencanangan metode penelitian linguistik yang belum lazim digunakan
b. daur-ulang metodologi penelitian linguistik
c. persoalan data yang – meskipun barangkali belum ditemukan pemecahannya – penelusurannya
berpeluang membuka sesuatu yang baru yang belum pernah menjadi perhatian peneliti terdahulu
d. penerapan teori linguistik tertentu untuk menjelaskan data bahasa seperti bahasa Indonesia yang
membuat peneliti mempersoalkan teori yang bersangkutan
LONCENG KEMATIAN TEORI TATA BAHASA UNIVERSAL?
Yassir Nasanius
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
[email protected]
Kalau kita mencermati pelbagai buku teks tentang pemerolehan bahasa, baik pemerolehan bahasa
pertama atau kedua, akan kita temui bahwa salah satu teori yang dibahas untuk menjelaskan
fenomena pemerolehan bahasa pastilah teori Tata Bahasa Universal (Universal Grammar) yang
dicetuskan oleh Chomsky (Chomsky, 1986; Chomsky, 1995). Data pemerolehan bahasa
menunjukkan bahwa anak-anak menguasai aspek tata bahasa melebihi masukan bahasa (language
input) yang diterima. Oleh Chomsky dan para pengikutnya, kenyataan ini menjadi dasar dari
argumen Kekurangan Stimulus (the Poverty of Stimulus). Menurut teori ini, pemerolehan bahasa
dapat dijelaskan dengan gamblang karena anak-anak dianugerahi dengan Tata Bahasa Universal
(TBU) ketika lahir. TBU inilah yang membantu menuntun mereka dalam mencerna masukan bahasa
sehingga pada akhirnya anak-anak dapat menguasai tata bahasa dari bahasa ibu mereka. Visualisasi
pemerolehan bahasa menurut teori TBU dapat dirangkum dalam diagram berikut (Radford, 2004):
Masukan
Bahasa
→
Tata Bahasa
Universal
→
Tata Bahasa dari
Bahasa Ibu X
Akan tetapi, teori TBU dikritik dengan pedas oleh seorang pakar linguistik terapan bernama
Kees De Bot melalui pandangan-pandangannya yang dimuat dalam sejumlah makalah dan yang
paling mutakhir dalam buku tulisannya yang berjudul A History of Applied Linguistics (2015). Di
dalam buku ini, De Bot menyatakan bahwa paradigma teori TBU yang menguasai ranah
pemerolehan bahasa dan ranah linguistik terapan selama puluhan tahun terakhir ini tengah
mengalami fase keredupan. Ini ditandai, menurut De Bot, dengan hampir tidak adanya makalahmakalah yang berbasis teori TBU pada konferensi-konferensi besar seperti the American
Association of Applied Linguistics, International symposia on Bilingualism, dan the Boston
Conference on Language Development.
Jelajah Linguistik
Lebih lanjut, melalui metode wawancara dan survei dengan sebagian besar responden yang
berkiprah dalam pemerolehan bahasa kedua, De Bot (2015) melaporkan bahwa sebagian kecil
responden masih mengakui keberadaan teori TBU. Akan tetapi, responden yang lainnya
menyampaikan bahwa teori TBU ini merupakan teori yang salah dan teori yang salah ini telah
dibiarkan merajalela terlalu lama. Menurut para responden ini, setelah hampir 40 tahun penelitian,
teori TBU belum dapat menjabarkan rincian dari TBU; penelitian TBU hanya berkutat pada
sejumlah fitur sintaksis seperti fenomena pro-drop. Di samping itu, argumen Kekurangan Stimulus,
yang menjadi fondasi dari teori TBU, telah mendapat penjelasan yang lebih baik dan lebih masuk
akal secara empiris melalui pelbagai penelitian yang berbasis korpus bahasa dan pemodelan
kognitif.
Tentunya kritikan pedas dari De Bot ini telah dan akan mendapat sanggahan dari penganut
teori TBU. Misalnya, Slabakova, Leal,dan Liskin-Gasparro mencoba menanggapi kritikan De Bot
dalam sebuah makalah mereka yang segera akan terbit di jurnal Applied Linguistics. Di dalam
makalah yang mereka beri judul Rumors of UG’s Demise Have Been Greatly Exaggerated,
ketiganya berpendapat bahwa sejumlah pandangan dari De Bot tidak berdasar sama sekali,
misalnya, anggapan De Bot bahwa teori TBU tengah mengalami fase keredupan. Menurut mereka,
teori TBU masih merupakan teori yang banyak ditekuni oleh sejumlah besar linguis. Tengoklah
konferensi-konferensi besar seperti the Generative Approaches to Second Language Acquisition
Conference dan the Boston University Conference on Language Development, yang masih
didominasi oleh makalah-makalah yang melaporkan penelitian pemerolehan bahasa berbasis teori
TBU. Tengoklah pula jurnal-jurnal ilmiah ternama seperti Second Language Research dan Studies
in Second Language Acquisition, yang dipenuhi oleh makalah-makalah yang melaporkan penelitian
pemerolehan bahasa kedua berbasis teori TBU. Yang terakhir, masih disemaikan benih calon
linguis penerus yang berkiprah dalam teori TBU. Program doktoral linguistik dan linguistik terapan
berbasis teori TBU masih ditawarkan di sejumlah universitas ternama di Amerika Serikat seperti
MIT, University of Hawai‘i, University of Illinois (Urbana–Champaign dan Chicago), University of
Indiana, University of Iowa, McGill University, UCLA, dan USC. Masih ditawarkan juga di
universitas-universitas terkenal di Inggris, seperti Cambridge University, University of Essex,
University of Leeds, University of Newcastle, University of Reading, University of Sheffield,
University of Southampton, dan York University.
SUMBER RUJUKAN PUSTAKA
Chomsky, N. (1986). Knowledge of language. New York: Praeger.
Chomsky, N. (1995). The minimalist program. Cambridge: MIT Press.
De Bot, K. (2015). A history of applied Linguistics: 1980–2010. London: Routledge.
Radford, A. (2004). Minimalist syntax: Exploring the structure of English. Cambridge: Cambridge
University Press.
Slabakova, R., Leal, T., & Liskin-Gasparro, J. (2015). Rumors of UG’s demise have been greatly
exaggerated. Dalam Applied Linguistics, 36 (2), 265-269.
96
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 97-100
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
BINCANG ANTARA KITA DARI DUNIA MAYA
REVOLUSI MENTAL BERAWAL DARI BAHASA
From: [email protected] [Masyarakat_Linguistik_Indonesia]
Sent: Monday, 24 November 2014 08:51
To: [email protected]
Reply To: [email protected]
Subject: [mlindo] Revolusi Mental Berasal dari Bahasa
Selamat pagi,
Silakan menyimak pandangan Dr. Sudaryanto mengenai "Revolusi Mental Berawal dari
Bahasa" di
http://nasional.kompas.com/read/2014/11/23/16233291/Revolusi.Mental.Berawal.dari.Bahasa.
Dr. Sudaryanto adalah salah seorang perintis dan pendiri Masyarakat Linguistik Indonesia
(MLI). Semoga bermanfaat.
Salam MLI,
Katharina Endriati Sukamto
Ketua
Minggu, 23 November 2014 | 16:23 WIB
Oleh: Frans Sartono
KOMPAS.com - Revolusi mental dimungkinkan kalau orang kembali menyadari fungsi hakiki
bahasa, yaitu untuk mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama. Itu pandangan
Sudaryanto, doktor linguistik yang puluhan tahun mencurahkan perhatian dan pikirannya pada
bahasa.
Hiruk-pikuk kehidupan, termasuk kehidupan di panggung politik, tidak lepas dari peran bahasa.
Ada yang menggunakan bahasa untuk menusuk perasaan, menyakiti, mengutuk. Orang lupa
pada fungsi hakiki bahasa yaitu untuk mengembangkan akal budi, dan memelihara kerja sama.
Ketika akal budi tidak dikembangkan, ketika kerja sama tidak dipelihara dengan bahasa, maka
hasilnya? Mungkin hiruk-pikuk di pentas politik, dan peristiwa-peristiwa di sekitar kita akan
menjelaskan hasil tersebut. Meja bergelimpangan, batu-batu beterbangan....
Bahasa diberikan kepada manusia itu sebenarnya untuk apa? Bertahun-tahun Sudaryanto, doktor
linguistik yang lulus dengan predikat cum laude dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
tahun 1979, itu mencoba mengidentifikasi fungsi bahasa. Ada dua fungsi bahasa yang ia sebut
sebagai khas dan hakiki, yaitu mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama.
Sejauh ini orang mengidentifikasi fungsi bahasa sebagai alat komunikasi.
Itu bukan spesifikasi bahasa. Untuk alat komunikasi, bukan bahasa verbal pun bisa. Apa pun
yang keluar dari hati bisa diungkapkan. Tapi, untuk mengungkapkan isi hati, kan, tidak harus
dengan bahasa. Dengan tindakan, dengan kesenian juga bisa kok. Dengan kata lain kita
sebetulnya belum mengidentifikasi fungsi bahasa itu sebetulnya untuk apa.
Saya sebagai orang yang terjun di bidang bahasa berusaha memikirkan betul-betul, mestinya
kalau orang diberikan bahasa verbal, mestinya ada fungsi yang khas. Fungsi yang hanya bisa
dijalankan oleh bahasa, dan tidak mungkin oleh yang lain. Saya mengidentifikasi fungsi bahasa
Bincang antara Kita dari Dunia Maya
yang khas dan sangat hakiki ada dua, yaitu untuk mengembangkan akal budi dan untuk
memelihara kerja sama.
Akal budi itu hubungannya dengan kesadaran. Akal budi itu, kan, agar untuk orang menjadi
sadar, dan yang disadari itu mestinya nilai-nilai. Mengembangkan nilai-nilai, akal budi, itu
hanya bisa lewat bahasa verbal ini.
Untuk memelihara kerja sama, juga hanya dengan bahasa?
Kalau hanya untuk kerja sama saja, tanpa untuk memelihara, itu bisa saja tanpa bahasa. Wong
kita neson-nesonan (saling marah) saja masih bisa kerja sama kok. Tapi, untuk memelihara
harus pakai bahasa. Jadi, tampaknya dua fungsi itu yang esensial dan tak bisa digantikan dengan
yang lain. Saya sendiri sudah puluhan tahun berusaha menentang pendapat saya ini, tapi tidak
bisa. Karena hanya dengan bahasa verbal itulah kita bisa memelihara.
Konflik politik, diselesaikan dengan bahasa?
Setiap ada konflik, entah itu taraf lokal, nasional seperti yang terjadi DPR, atau bahkan kelas
dunia, mau tak mau harus kembali menggunakan bahasa verbal, dialog, musyawarah. Ketika
ada konflik Israel dengan Palestina, mereka harus berdialog, musyawarah. Mereka
menggunakan bahasa verbal tadi.
Seperti juga ketika Jokowi menjadi Wali Kota Solo, dia menggunakan dialog dengan pedagang
kaki lima. Dialog tidak sekali, tapi sampai sekian puluh kali, dalam sekian bulan. Karena kalau
tidak ada dialog, tidak dengan bahasa, ya tidak bisa. Kalau kita menyadari fungsi hakikinya,
orang tidak akan bisa semena-mena menggunakan bahasa.
Mengapa?
Karena hanya dengan menyadari fungsi hakiki dan setia pada fungsi hakiki itu bahasa menjadi
kreatif. Kalau tidak, pasti tidak menjadi kreatif. Coba kita marah-marahan, mengumpat-umpat
nanti, kan, bahasa tidak kreatif. Kata-katanya, ya, itu-itu saja.
Lain itu kalau untuk mengembangkan akal budi dan untuk betul-betul memelihara kerja sama,
akhirnya menjadi sangat kreatif. Seperti di dalam dunia ilmiah, seni, kepengarangan, bahkan
juga di dalam dunia bisnis yang sungguh-sungguh. Saya kira itu merupakan hal yang layak
disadari oleh kita semua.
Mengapa dua fungsi itu?
Mestinya ada yang lebih mendasar lagi, yaitu agar setiap manusia itu bisa menjadi sesama buat
yang lain. Sebab, tanpa itu, tidak bisa menjadi sesama. Untuk menjadi sesama, dialognya
memang luar biasa. Itu mengapa kita perlu orang lain, bahkan dalam keluarga itu ada suami istri
karena mau tak mau kita harus mengembangkan dialog. Orang yang berkeluarga 25 tahun saja
dimungkinkan untuk tidak klop kok.
Itu artinya kita menjadi manusia itu harus berdialog terus-menerus, sebab tanpa dialog tidak bisa
menjadi sesama. Padahal, di keluarga itulah puncaknya orang untuk menjadi sesama. Kalau di
luar keluarga masih ada sekat, tapi kalau dengan bojo, (suami/istri) atau dengan anak, jaraknya
apa?
Oleh karena itu, di keluarga, kita dididik betul menjadi manusia, lepas dari orang yang
mendapat kelebihan, ora nikah ya ra papa itu kita anggap orang yang luar biasa. Orang
ditempatkan di suatu kondisi sehingga yang bersangkutan itu bisa menjadi sesama, untuk bisa
mengembangkan akal budinya, untuk bisa bekerja sama, harus dialog.
98
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Budaya
Lebih jauh dalam pandangan Sudaryanto, kebudayaan pun hanya bisa ada karena dua fungsi
bahasa tersebut. Kebudayaan ada kalau akal budi berkembang, juga kalau ada kerja sama yang
bisa dipelihara. Sudaryanto melihat ada kaitan yang sangat erat dan esensial, dan bahkan
"mutlak".
"Jadi ada hubungan antara memelihara kerja sama, mengembangkan akal budi lewat bahasa, dan
memunculkan kebudayaan, menghadirkan kebudayaan. Bukan hanya menghadirkan tapi juga
memelihara kebudayaan, memperlancar berkembangnya kebudayaan, memanfaatkan
kebudayaan, sampai menikmati kebudayaan. Itu satu keutuhan," kata Sudaryanto.
"Saya tidak tahu kalau saat ini, terjadi perubahan yang luar biasa, apakah hal ini disadari tidak
oleh tokoh-tokoh kita, siapa pun mereka. Kalau ini disadari, persoalannya saya kira akan
menjadi lebih jelas. Harus dikembalikan ke situ."
Kaitannya dengan revolusi mental?
Kalau kaitannya dengan revolusi mental saya kira kita harus kembali menyadari fungsi hakiki
bahasa. Kalau kita menyadari hal itu, saya kira revolusinya dimungkinkan. Karena revolusi
mental itu sebenarnya, kan, kembali agar orang itu bisa mengembangkan akal budi, dan bisa
memelihara kerja sama sehingga bisa menciptakan, menghasilkan, memelihara, memanfaatkan,
dan menikmati kebudayaan. Dengan begitu, orang bisa menjadi sesama bagi yang lain. Revolusi
mental itu seharusnya ke sana. Itu menurut hemat saya, lho.
Rancu
Namun, terjadi pamahaman yang rancu tentang kebudayaan. Hal itu tampak pada penamaan
lembaga. Dulu ada fakultas "sastra dan kebudayaan". Jadi, kebudayaan dan sastra itu seakan
setara. Ada juga "seni dan budaya", lantas "bahasa, sastra, dan budaya".
"Kenapa kita menyetarakan kebudayaan itu dengan macam-macam; misalnya, pariwisata dan
kebudayaan? Jadi, seakan ada budaya dan ada pariwisata, setingkat. Ada Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi, di sini, ada pendidikan sendiri, ada pula kebudayaan sendiri.
Jadi, wajar sekali kalau sampai hari ini orang menentukan yang namanya kebudayaan itu tidak
cetha (tidak jelas.)
Kebudayaan itu apa?
Kalau kita kaitkan bahasa, lalu pengembangan akal budi, memelihara kerja sama yang itu semua
memungkinkan terciptanya kebudayaan, saya kira kebudayaan itu, ya, keseluruhan dari
manifestasi wujud manusia. Jejak dan langkah manusia demi penghidupan dan kehidupannya
itulah kebudayaan.
Sekarang ada Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Menurut Anda?
Ya bagaimana kita tidak kacau. Lalu yang menjadi masalah selanjutnya, sekiranya kita itu
menyetujui bahwa harus ada kebudayaan yang memang harus dikembangkan, dan harus bisa
dinikmati, terus kebudayaan macam apa? Ini perlu dipikirkan. Kalau tidak ada gambaran yang
jelas mengenai kebudayaan, ke depan Indonesia itu saya kira akan menjadi repot.
99
Bincang antara Kita dari Dunia Maya
Pendurgunaan bahasa
Sudaryanto menengarai adanya pendurgunaan bahasa. Pendapat yang mengatakan bahwa
bahasa itu alat untuk mengeluarkan isi hati, lupa bahwa hal itu itu telah mengawafungsikan atau
mendisfungsikan bahasa. Hal itu justru menggunakan bahasa tidak sebagaimana yang menjadi
fungsi bahasa.
"Banyak kegiatan yang mengawafungsikan, mendisfungsikan, atau istilah saya mendurgunakan
bahasa, atau menggunakan bahasa untuk hal yang jahat dan kejam."
Sudaryanto menambahkan bahwa ia tidak suka menggunakan dengan istilah "kekerasan",
karena bagi dia tidak begitu konkret. "Misalnya kekerasan seksual atau apa. Saya menggunakan
kejahatan dan kekejaman seksual, karena konkret dan karena hal itu memang jahat dan kejam.
Kalau kekerasan itu tidak ada lawan katanya. Lalu apa (lawan katanya), kelunakan?" katanya.
"Selama kita tidak menyadari fungsi yang hakiki tadi pasti muncul hal-hal seperti itu. Selama
bahasa tidak menjadi kreatif, maka orang akan cenderung mendurgunakan atau
mengawafungsikan bahasa. Sebab, kalau sesuai dengan fungsi yang sesungguhnya, bahasa itu
akan selalu berkembang dengan kreatif."
From: [email protected] On behalf of Setiawati
Sent: Monday, November 24, 2014 5:23 PM
To: [email protected]
Subject: Re: [mlindo] Revolusi Mental Berasal dari Bahasa
Selamat sore Bu Katharina, gagasan Pak Sudaryanto kebetulan topiknya mirip dg pidato
pengukuhan saya yang akan saya bacakan pada tanggal 10 Desember yad di UI. Pak Sudaryanto
tdk sendiri memikirkan hal ini, saya juga memperkuat keinginan Bapak terkait dg revolusi
mental melalui bahasa.
Terima kasih.
Setiawati/UI
From: [email protected] On behalf of Ali Imron Al-Ma'ruf
Sent: Monday, November 24, 2014 7:30 PM
To: [email protected]
Subject: Re: [mlindo] Revolusi Mental Berasal dari Bahasa
Selamat berjumpa lagi Bu Katharina.
Saya setuju dengan pandangan Dr. Sudaryanto mengenai urgensi bahasa dalam revolusi mental.
Betapa pentingnya bahasa sebagai alat untuk mengembangkan akal budi dan kerja sama, yang
kadang-kadang fungsi ini dilupakan banyak orang, terutama para politisi.
Namun, tentu diperlukan perangkat lain yang tidak kalah pentingnya dalam revolusi mental,
yakni bahwa semua itu harus dilandasi oleh moralitas yang tinggi --dalam bahasa lain adalah
akhlaqul karimah--. Terima kasih.
Salam sukses,
Ali Imron Al-Ma'ruf
Universitas Muhammadiyah Surakarta
100

Similar documents