ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013

Transcription

ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Buletin Alam Sumatera
dipublikasikan oleh KKI
WARSI
Susunan Redaksi
Penanggung Jawab:
Rakhmat Hidayat
Editor:
Sukmareni
Reporter:
Staf KKI Warsi
Web Master:
Askarinta Adi
Distribusi:
Aswandi Chaniago
Daftar Isi / penulis
SALAM RIMBA
• Sengkarut kelola berbuah nestapa / Sukmareni.............................................................................................…....4
4
INTRODUKSI
• Hutan Adat, Perjuangan yang Tak Kunjung Usai / Sukmareni...…..........................................……..........………....5
5
LAPORAN UTAMA
• Dilema Hutan Adat Batu Kerbau / Herma Yulis................…...............................................................................…7
7
• Terjebak dan Dijebak Kemakmuran Sesaat / Herma Yulis....................................................................................10
10
• Hutan Adar Renah Alai dan Rantau Kremas / Sukmareni…...........................................…..................................12
12
• Hutan Adat Kerinci dan peluang Meluaskan PHBM / Sukmareni..........................................................................14
14
• Memulihkan Kedaulatan Kawasan Hutan / Herma Yulis........................................................................................15
15
FOKUS
• RAN-GRK Sektor Gambut / Herma Yulis.…............................................................................................................18
18
• PHBM, Model Pembangunan Rendah Karbon Berbasis Masyarakat / Herma Yulis…...........................................20
20
• Manajemen Lahan Gambut dengan Konsep Pembangunan Rendah Karbon / Herma Yulis.................................23
23
GIS SPOT.
• GOOGLE EARTH (1) / Sofyan Agus Salim....………….....….……..........................................................................25
25
DARI HULU KE HILIR......
• Menuju Kantor Ramah Lingkungan / Elviza Diana.......................................................……...................................26
26
• Mengembangkan Energi Alternatif dari Desa ke Desa / Elviza Diana…................................................................29
29
WAWANCARA
• Bupati Tanjung Jabung Timur Zumi Zola Zulkifli / Herma Yulis............................……………...............................31
31
SUARA RIMBA
• Nasib OR dalam BPJS / Kristiawan....……...........................................................................................................33
33
• The Orang Rimba Education Hero/ Sukmareni......................................................…............................................35
35
AKTUAL.
• Harimau, Raja Kehilangan Hutan / Sukmareni.......................................................................................................38
38
• Stay alert on REDD+ (Bersiap untuk REDD+) / Emmy Primadona Than.......................…….......……...…….....39
39
• Mendulang Emas, Menuai Derita / Elviza Diana..........…………........................................................................41
41
MATAHATI
• Menggagas Pembangunan yang Ramah Lingkungan / Herma Yulis....................................................................43
43
• Hidup di Negeri Rawan bencana / Hambali............. ............................................................................................45
45
KAJIAN
• Potret FPIC ditengah Masyarakat Adat / Ilham Kurniawan.................................................................................48
48
• Menangkap Peluang PHBM / Elviza Diana........................................................................................................55
55
SELINGAN
• Kisah Dua Penyiar Rimba / Elviza Diana..................................................................................................…........52
52
• Menjadi Pekerja NGO, Aktivis NGO dan Pemikir NGO adalah Pilihan / Emmy Primadona Than......................53
53
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Dari Editor
Salam Lestari
P
embaca setia Alam Sumatera, tanpa terasa Maret sudah menyambangi
kita. Bagi kami setiap Maret ada sesuatu yang mengharu biru. Maret 14
tahun silam Yusak Adrian Hutapea sang pioner pendidikan rimba kembali
kepangkuan yang kuasa, menyerah pada malaria yang menggerogoti tubuhnya.
Tanpa terasa juga sudah 15 tahun Warsi menggeluti pendidikan alternatif untuk
anak-anak rimba. Rentang waktu yang tidak singkat untuk sebuah keadilan bagi
komunitas Orang Rimba. di Alam Sumatera ini, kami suguhkan tulisan mengenang 14 tahun kepergian Yusak, yang dihadiri oleh Ibunda Yusak, Ny Roosni,
murid-murid Yusak ada Pengusai, Siomban, ada juga Bepak Pengusai, tetua
orang rimba yang membantu Yusak merintis pendidikan di belantara Bukit Duabelas Jambi.
Pada Laporan utama kali ini, kami juga menyambangi ruang anda dengan beragam cerita dan informasi seputar pengelolaan sumber daya alam dan kehidupan
masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Terkoyaknya kearifan lokal masyarakat
oleh korporasi yang mengincar kawasan-kawasan yang diproteksi masyarakat,
menjadi ulasan kami. Batu Kerbau yang semula sebagai penerima Kalpataru untuk penyelamat lingkungan kini terbelit konflik lahan karena kawasan yang mereka lindungi digerogoti korporasi dan menjadikannya areal perkebunan sawit.
Foto Cover :
Ny Roosni, Ibunda Yusak
menyampaikan curahan hatinya terkait perjuangan sang
putra. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Desain dan Cetak:
[email protected]
Komunitas Konservasi
Indonesia - WARSI
Alamat :
Jl. Inu Kertapati No.12
Kel. Pematang Sulur
Kecamatan Telanai Pura
Kota Jambi. 36124
PO BOX 117 Jbi
Tel: (0741) 66695
Fax : (0741) 670509
E-mail : [email protected]
http://www.warsi.or.id
http://alamsumatera.org.
Di tempat lain, masyarakat masih terus berupaya untuk menjaga dan melindungi
sumber air dan kawasan hutan mereka. Renah Alai dan Rantau Kremas di Merangin misalnya, meski berada di lingkup TNKS tidak menyurutkan langkah mereka untuk melindungi kawasan mereka dan memohonkan kepada bupati untuk
melegalisasi hutan adat mereka.
Dibagian lain Alam Sumatera ini kami menyajikan serangkaian informasi terkait
pengelolaan kawasan gambut dan kegiatan-kegiatan Warsi untuk mendorong
pembangunan rendah karbon. Pelibatan masyarakat dalam setiap perencanaan
pengelolaan kawasan sudah harus dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha
sesuai dengan konsep FPIC kami hadirkan ulasannya dalam edisi ini. Semoga
analisis ini menjadi masukan bagi para pihak dalam pengambilan keputusan
terutama dalam hal perubahan yang akan terjadi dengan kehadiran korporasi di
sekitar masyarakat.
Tak lupa juga kami suguhkan beraneka tulisan lainnya semoga pembaca setia
Alam Sumatera tercukupi informasinya dan menjadikannya sebagai bahan untuk
memperbaiki kondisi lingkungan dan sumberdaya kita dimasa depan. Selamat
membaca!
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
SALAM RIMBA
4
INTRODUKSI
Sengkarut Kelola Berbuah Nestapa
A
wal tahun Jambi dihadiahi banjir besar. Hujan
yang merata mengguyur kabupaten dan kota
telah menyebabkan sungai-sungai tak mampu
lagi menampun luapan air dan kemudian merendam ribuan rumah, sekolah, tempat ibadah, areal
persawahan serta perkebunan. Kerugian materialpun
ditaksir milyaran rupiah. Tak lama berselang, kala luapan sungai surut panas terik mendera dan meningkatkan suhu hingga 34 derajat celcius. Berkisar hitungan
hari, muncul kehebohan akibat harimau yang menyerang serta memangsa manusia.
Fenomena-fonomena ini tentu menarik untuk diurai.
Banjir bukanlah sekedar musibah seperti yang selama
ini dikemukakan. Banjir bukanlah datang tiba-tiba tanpa
aba-aba. Dia datang akibat dari kesemrautan pengelolaan sumber daya. Tangan-tangan serakah yang dilegalisasi penguasa telah mencabik-cabik keseimbangan
alam hingga kemudian menyisakan bencana.
Pun demikian dengan serangan harimau yang menyasar masyarakat. Kehadirannya harimau bukan tanpa
sebab. Makhluk tertinggi dirantai makanan ini, terpaksa
beralih menu pada manusia karena menu utamanya binatang di hutan hilang seiring dengan beralihnya hutan
menjadi akasia dan sawit. Bencana dan konflik satwa
ini sudah nyata sebagai isyarat alam atas ketidakseimbangan ekosistem. Padahal ketika keseimbangan ekosistem terjadi, alam mengatur kodratnya untuk nyaman
dan ramah ditempati manusia. Namun apa daya kini keseimbangan itu hilang entah kemana.
Kendati begitu, masih ada peluang untuk kita bersama
membalik kondisi yang sudah ada. Masih ada jalan dan
upaya untuk keseimbangan yang lebih ideal. Ini bisa dicapai kala ada kesepakatan dan kesepahaman semua
untuk merubah diri, prilaku dan kebijakan yang ramah
untuk kehidupan. Menghutankan kembali tanah-tanah
yang gersang, menuntut pengusaha untuk mengalokasikan kawasan yang dikuasainya untuk kembali dijadikan hutan yang ramah untuk kehidupan satwa, yang
mampu menyerap hujan yang turun ke bumi, merupakan langkah yang harus ditempuh saat ini.
Disamping juga terus menghidupkan kembali azaz-azaz
lokal, keraifan adat yang selama ini sebenarnya sudah
sangat akrab dengan masyarakat. Dengan kearifannya
masyarakat sudah menerapkan pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan. Hutan adat, hutan lindung desa,
imbo pusako, rimbo larangan, rimbo parabukalo dan
lubuk larangan merupakan sedikit dari kearifan lokal
masyarakat dalam mengelola sumber daya alam mereka.
Dengan pengelolaan yang dilakukan masyarakat ini terbukti ampuh untuk meciptakan hubungan yang harmonis
antara alam dan manusia. Hanya saja, ketika pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada pengusaha
yang berekal izin negara, pengeksploitasianpun tak terhindarkan dan berujung pada kerusakan sumber daya.
Bukannya anti pengembangan ekonomi disektor ini,
namun yang terpenting adalah tetap mengarahkan
pembangunannya sebagai pembangunan yang tidak
mengesploitasi sumber daya dengan memperhatikan keberlanjutan. Jangan lagi dengan dalih investor
dan menggenjot pertumbuhan ekonomi, sumber daya
seolah diobral. Hasilnya secara angka-angka benar
memperlihatkan kemajuan pertumbuhan ekonomi yang
mencapai 6,8 persen pertahun diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Namun sangat perlu dicermati
bahwa pemanfaatan sumber daya alam ini di satu sisi
tidak akan mampu untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang terjadi.
Ketika kerusakan lingkungan terjadi dampaknya dirasakan oleh masyarakat yang nota bene tak menikmati dari
pengesksploitasian sumber daya alam. Kerugian harta
benda bahkan nyawa ketika bencana melanda hanya
dibalas dengan bantuan –bantuan ala kadarnya, itupun
dengan embel-embel politik dibelakangnya. Ketika harimau marah dan memangsa manusia yang disalahkan
satwanya tanpa mengevaluasi ruang satwa yang semakin terjepit.
Sudah waktunya saat ini untuk menimbang kembali
kebijakan yang sudah dilahirkan. Meninjau ulang perizinan-perizinan yang sudah dikeluarkan. Mengembalikan fungsi hutan dengan menghutankan kawasan menjadi penting untuk dilakukan. Minimal 30 persen provinsi
harus hutan sebagai mana diamanatkan Undang-Undang Penataan Ruang . Bagi perusahaan yang wilayah
konsesinya merupakan perlintasan satwa pada awalnya
harus menyediakan koridor untuk kehidupan satwa dan
terhubung dengan hutan alam yang masih tersisa.
Pilihan ini harus diambil jika memang mau mengarah
pada pembangunan hijau yang ramah dan bersahabat
dengan masa depan dan anak cucu nanti.
(Sukmareni)
ALAM
SUMATERA,
edisi
DESEMBER
2012
ALAM
SUMATERA,
edisi
MARET 2013
PT Mugi Triman Internasional yang sudah memasang patok areal konsesninya, sebagian areal konsesi
bersentuhan dengan kawasan kelola masyarakat Batu Kerbau. Foto Heri Doni/Dok KKI Warsi
Hutan Adat, Perjuangan yang Tak Kunjung Usai
E
foria kebaggaan pada kawasan hutan adat
yang meraih penghargaan Kaplataru kategori Penyelamat Lingkungan 2004 silam seolah hilang.
Kehadiran PT Citra Sawit Harum yang mengantongi
izin SK Bupati Nomor 282/Perek tahun 2007 tanggal 26
April 2007 seluas 10.500 ha, kemudian disusul Malaka
Agro Pratama yang dilegalitas negara dengan adanya
SK Menteri Kehutanan No. SK.570 /Menhut-II/2009
tanggal 28 September 2009 dan kemudian disusul
dengan SK HTI Mugi Triman Internasional No. SK.419/
Menhut-II/2009 tanggal 13 Juli 2009, menyerempet hutan adat dan hutan lindung desa di desa Batu Kerbau.
Tanpa sepengetahuan masyarakat, perusahaan-perusahaan ini melakukan land clearing termasuk dalam kawasan hutan adat dan hutan lindung desa.
Kearifan lokal masyarakat dalam mengelola sumber
daya alam, diobok-obok perusahaan. Hutan adat dan
hutan lindung desa yang keberadaannya sudah di gagas sejak 1995, tidak diperhitungkan para pengusaha.
Alat-alat berat terus saja menumbangkan dan meratakan tanah di kawasan ini. Masyarakat sejak mengetahui
kawasan hutan adat dan hutan lindung mereka digusur,
tentu melakukan perlawanan. Dari menegur para pekerja perusahaan untuk menghentikan aktifitasnya, hingga
menggelar unjuk rasa dan menyurati pihak-pihak terkait
untuk menghentikan aktifitas perusahaan.
“Biar pun sejengkal lahan tidak akan kami serahkan.
Meski harus sampai ke pusat tetap akan kami perjuangkan,” kata Datuk Muhammad Rasyid AK, tokoh
masyarakat Batu Kerbau, sekaligus pelopor kehadiran
Hutan Adat Batu Kerbau. Konflik lahan ini memanas
sejak 2010 silam. Masyarakat yang sebelumnya tidak
pernah tahu akan kehadiran perusahaan, tiba-tiba
saja kawasan hutan adat yang rimbun bertumbangan.
Upaya masyarakat untuk menghentikan aktifitas perusahaan tak berhasil. Dengan dalih sudah mengantongi
izin lengkap, tetap saja perusahaan ini melanjutkan aktifitasnya.
Kondisi ini sempat menimbulkan ketegangan. Di
pihak lain perusahaan berusaha untuk mempengaruhi
masyarakat dan ini sebagian sukses. Masyarakatpun
terbelah, namun sejumlah punggawa desa masih kukuh untuk mempertahankan hutan adat dan hutan lindung desa.
Kawasan kelola masyarakat di Batu Kerbau, sejak awal
dibagi dua ketegori yaitu hutan adat dan hutan lindung desa. Hutan adat merupakan kawasan hutan yang
dimanfaatkan masyarakat secara terbatas dan harus
mendapat izin dari kelompok adatnya serta pemerintah
desa. Sedangkan hutan lindung adalah kawasan yang
tak bisa dimanfaatkan karena merupakan sumber air.
Kedua wilayah hutan ini juga menyimpan potensi wisata
air terjun, goa-goa serta panorama yang indah.
Sejak kasus penyerobotan lahan muncul, telah menyita
terlalu banyak energi masyarakat. Namun sayangnya
masih belum membuahkan hasil. Demo-demo yang dilakukan ke Bupati dan DPRD hingga audiensi dengan
Kementrian Kehutanan akhir Januari lalu di Jakarta belum juga menemukan titik terang. Dengan alasan semua kewenangan ada di Mentri Kehutanan, masyarakat
harus kembali bersabar, menuggu pada staf Kemenhut melapor pada sang mentri dan entah kapan respon
mentri akan diterima masyarakat.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
5
6
INTRODUKSI
Memperpanjang Konflik Lahan di Provinsi Jambi
Kehadiran perusahaan yang seolah tiba-tiba, seharusnya sedari awal bisa dihindari jika dalam setiap langkah
perizinan dilakukan dengan baik dan benar. Namun
kenyataanya, dalam perizinan masyarakat malah tidak
dilibatkan, dan saling lempar tanggung jawabpun tak
terelakkan. Pada dialog dengan Kementrian Pemerintah Kabupaten Bungo menyerahkan persoalan hutan
adat Batu Kerbau ke Kementrian Kehutanan, dengan
alasan Menteri Kehutananlah yang sudah memberikan izin HTI. Namun dari kementrian kehutanan tidak
begitu saja mengamini kesalahan mereka. Dalihnya,
sebelum izin terbit semua langkah perizinan ada proses
dari daerah yaitu berupa rekomendasi dan pertimbangan teknis dari pemerintah daerah. Kalau sudah begini
masyarakat seolah dipingpong dan sulit untuk meraih
yang sesungguhnya sudah hak mereka.
Peliknya persoalan Batu Kerbau ini, hanya segelintir dari konflik lahan yang terjadi di Jambi. Sepanjang
2012, Warsi mencatat sebanyak 35 kasus lahan, berupa
sengketa masyarakat dengan perusahaan. Dari kasus
konflik lahan ini belum ada yang benar-benar tuntas penyelesaiannya. Namun disayangkan, pemerintah masih
saja abai. Bibit koflik baru terus saja disemai.
Di lokasi lain, tepatnya Merangin dan Sarolangun, proses perizinan HTI PT Hijau Artha Nusa (HAN) dan Gading Karya Makmur (GKM) masih bergulir. Padahal di
lokasi yang dituju kedua perusahan HTI ini, merupakan
hulu DAS Limun Sarolangun dan sebagian kawasannya
sudah dikelola oleh masyarakat dengan skema hutan
adat oleh 10 desa. Kearifan masyarakat yang mempertahankan hutan adat ini, diyakini akan tercabik-cabik
begitu HTI ini beroperasi. Hutan adat di Limun ini yang
merupakan perlindungan sumber air, dalam Rencana
Strategi Sarolangun sudah di plot sebagai daerah hulu
yang pemanfaatannya ditujukan untuk fungsi lindung.
Namun entah bagaimana, tiba-tiba di kawasan ini sudah diajukan oleh HAN dan GKM untuk HTI dan yang
pasti wilayah ini potensi kayu sangat tinggi. Dan ini tentunya dengan melihat wilayah di daerah hulu dan tutupan pohon yang rapat, tidak seharusnya diperuntukkan
bagi HTI.
Jika kedua perusahaan ini mendapatkan izin dari kementrian, maka konflik lahan akan kembali muncul di
Sarolangun, memperpanjang daftar konflik lahan yang
terjadi di Jambi. Dengan sudah banyaknya konflik lahan di Jambi, sudah seharusnya pemerintah mulai bercermin diri. Konflik lahan yang kini marak jika ditelusuri
sebagian disebabkan karena ‘ketidakjujuran’ dalam
menerapkan aturan. Jika masyarakat dilibatkan tentu
masyarakat bisa menentukan bahwa mereka menerima
atau tidak perusahaan yang akan hadir. Tentu penjelasan ini harus lengkap dengan konflik-konflik yang juga
mungkin diterima masyarakat dengan kehadiran peru-
LAPORAN UTAMA
sahaan. Pandangan pemerintah untuk membuka ruang
bagi investor dan adanya PAD yang akan diterima tentu
juga seharusnya dikaji dengan biaya yang akan dikeluarkan akibat dari kerusakan lingkungan dan dampak
yang akan diterima masyarakat.
Komitmen Para Pihak Untuk
Menyelamatkan Lingkungan
Hutan adat yang dikelola oleh masyarakat secara luasan tentu tidak seberapa luas dibanding dengan areal
HTI. Namun dilihat dari cita-cita awal untuk memproteksi kawasan ini memang sangat mulia. Seperti Batu
Kerbau, desa ini dahulunya berada dikedamaian suasana perkampungan dipinggiran hutan. Namun diera
80-an menjadi hinggar bingar dengan kehadiran HPH.
Penumbangan pohon-pohon oleh perusahaan yang
dilegalisasi negara ini, menghancurkan sumber daya
yang selama ini menopang kehidupan masyarakat.
Wabah kolera yang merenggut banyak nyawa, hingga
kemudian terserang hama yang menyebabkan sawahsawah tidak bisa ditanami dan terpaksa diberakan, adalah bagian sejarah yang pernah terjadi di desa ini . Pun
juga kepunahan ikan-ikan di sungai yang dahulunya
mendukung sumber protein masyarakat semakin sulit
di dapatkan seiring dengan semakin keruh dan dangkalnya sungai.
Aktifitas HPH yang dengan mudah memperdagangkan
pohon-pohon, kemudian mengundang minat masyarakat
untuk juga terlibat dalam membabat hutan, baik oleh
oknum masyarakat Batu Kerbau dan juga masyarakat
lain yang tertarik dengan pohon-pohon penghasil rupiah ini. Tokoh-tokoh adatpun resah dengan kondisi ini,
perubahan lingkungan yang sudah nyata memberikan
penyakit yang sebelumnya dan juga kekhawatiran para
pemangku adat akan hilangnya sumber daya untuk
generasi yang akan datang.
Keinginan untuk memproteksi kawasan dengan bentuk hutan adat dan hutan lindung desapun di usulkan.
Ketika ini sudah dilegalisasi dengan SK Bupati, tanpa
sepengetahuan masyarakat di tahun-tahun berikutnya
terbit izin yang dilegalisasi Mentri Kehutanan untuk HTI
dan SK Bupati untuk sawit yang sebagian lahannya berada di dalam kawasan hutan adat.
Kini kayu-katu dengan diameter lebih dari 60 cm dari
hutan adat dan hutan lindung desa bertumbangan, dan
lahan-lahan yang dahulunya bertutupan hutan rapat
menjadi daerah terbuka. Sangat mengherankan jika di
daerah hulu ini masih ditebangi ketika bencana ekologis
terus menghantui negeri ini. Dan ini masih juga bakal
terjadi jika izin HTI PT HAN dan GKM di Sarolangun
dan Merangin dikeluarkan Mentri Kehutanan. Masih
perlu dipertanyakan, dimanakan komitmen pemerintah
untuk menyelamatkan lingkungan dan berpihak pada
masyarakat. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Perambahan hutan adat Batu Kerbau yang ditentang oleh masyarakat desa. Foto Heri Doni/Dok KKI Warsi
Dilema Hutan Adat Batu Kerbau
K
ondisi hutan adat Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, saat ini sangat memprihatinkan. Ketika daerah lain sedang gencar
mengurus izin hutan adat dan hutan desa kepada pemerintah, namun hutan adat Batu Kerbau yang sudah
ada sejak lama justru sedang mengalami dilema. Hutan
adat ini terancam punah oleh ancaman aktivitas sejumah perusahaan yang mengepung kawasan tersebut.
Bahkan, di beberapa titik sudah ada yang diserobot
oleh pihak perusahaan.
Salah satu perusahaan, PT Citra Sawit Harum (CSH)
diketahui menyerobot kawasan hutan lindung yang
diperkirakan mencapai 20 hektare lebih. Pihak perusahaan melakukan pembukaan lahan tanpa melakukan koordinasi dengan masyarakat desa. Meski sudah
mengantongi izin sebagai hutan lindung dari pemerintah, ternyata tidak bisa menjamin kawasan ini aman dan
terhindar dari penyerobotan.
Aksi penyerobotan itu spontan mengusik ketenangan
masyarakat desa Batu Kerbau. Tak ingin mengulang sejarah kelam kasus eksploitasi hutan seperti yang dilakukan perusahaan HPH puluhan tahun silam, masyarakat
akhirnya sepakat menolak aktivitas perusahaan di dalam kawasan hutan lindung tersebut. Namun sayangnya, aktivitas PT CSH berhasil dihentikan ketika perusahaan sudah melakukan land clearing di dalam kawasan
hutan lindung itu.
Meski untuk sementara aktivitas perusahaan terhenti,
namun kondisi lahan sudah terlanjur rusak. Jika selama
ini kawasan itu ditumbuhi hutan alam yang terjaga dengan baik, saat ini kondisinya menjadi terbalik. Puluhan
hektare lahan yang masuk ke dalam areal hutan lindung
Desa Batu Kerbau itu berubah menjadi hamparan lahan
yang siap ditanami kelapa sawit oleh pihak perusahaan.
Aktivitas land clearing yang dilakukan perusahaan juga
membuat tapal batas hutan lindung menjadi semakin
kabur. Batas-batas alam yang selama ini disepakati
oleh masyarakat desa sudah tidak ditemukan lagi di
lokasi semula.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
7
8
LAPORAN UTAMA
Aktivitas pembukaan lahan itu langsung mendapat
protes keras dari masyarakat Desa Batu Kerbau. Mereka tak rela hutan lindung yang susah payah mereka
perjuangkan digusur menjadi areal perkebunan sawit.
Beberapa kali perundingan digelar untuk mencari solusi kasus penyerobotan itu, namun belum memberikan
kesepakatan final terkait penyelesaian sengketa antara
pihak PT CSH dengan masyarakat Desa Batu Kerbau.
Diperlukan niat baik dan keseriusan semua pihak terkait
untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Hal itu mendesak dilakukan mengingat fungsinya sebagai kawasan
lindung yang telah disyahkan oleh bupati kabupaten
Bungo.
Hutan Adat dan Hutan Lindung Batu Kerbau
Desa Batu Kerbau berada di kaki pegunungan Bukit
Barisan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) di sebelah barat. Sementara di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Batang
Kibul, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin; sebelah
utara dengan Desa Rantau Pandan, Kecamatan Rantau
Pandan; dan sebelah timur dengan Desa Baru Pelepat.
Desa ini berjarak sekitar 74 kilometer sebelah barat ibu
kota Kabupaten Bungo.
Di desa ini terdapat hutan adat dan hutan lindung yang
disahkan oleh bupati Bungo. Hutan adat Batu Kerbau
berhasil dikukuhkan melalui proses panjang dan melelahkan. Pengesahan itu dilakukan Bupati Bungo dengan
menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 1249 Tahun
2002 Tanggal 14 Juli 2002 tentang Pengukuhan Hutan
Adat Desa Batu Kerbau yang terdiri dari lima lokasi. Kelimanya adalah Hutan Lindung Batu Kerbau 776 hektar,
Hutan Lindung Belukar Panjang 361 hektar, Hutan Adat
Batu Kerbau 386 hektar, Hutan Adat Belukar Panjang
472 hektar, dan Hutan Adat Tebat 360 hektar.
Penetapan hutan adat dan hutan lindung Desa Batu
Kerbau memiliki latar belakang sejarah yang sangat
panjang. Sejak 1981, kawasan hutan di desa ini menjadi areal hak pengusahaan hutan (HPH) yang dikelola
oleh PT Mugi Triman dan PT Rimba Karya Indah. Kedua perusahaan itu sekarang sudah tutup. Ketika HPH
beroperasi, warga desa tidak bisa lagi memanfaatkan
hasil hutan non kayu yang ada di dalam kawasan itu.
Padahal, hasil hutan non kayu tersebut sangat membantu meningkatkan penghasilan masyarakat selain
mengandalkan dari sektor perkebunan karet. Selain
itu, ketika musim kemarau air sungai di desa ini juga
berubah kotor akibat beroperasinya alat berat milik perusahaan HPH di bagian hulu sungai. Sementara pada
musim hujan, selain membuat air sungai keruh, terjadinya longsor dan banjir juga meresahkan warga. Bahkan,
masyarakat mulai terserang wabah penyakit muntaber
karena tingginya aktivitas peracunan ikan di bagian hulu
sungai oleh para pekerja HPH pada masa itu.
LAPORAN UTAMA
Menyadari bahaya besar yang mengancam masyarakat
desa ketika itu, salah seorang tokoh masyarakat Batu
Kerbau, Datuk Rasyid berusaha mengajak warganya
untuk mempertahankan kawasan hutan agar tidak lagi
dibabat oleh perusahaan HPH. Ide cemerlang Datuk
Rasyid itu disambut baik oleh masyarakat. Bahkan, selain berhasil mendapatkan izin hutan adat dan hutan
lindung, masyarakat juga berhasil membentuk lubuk
larangan dalam rangka mempertahankan ikan hingga
bisa dinikmati oleh anak cucu mereka. Sehingga selain
memiliki hutan adat dan hutan lindung, semua dusun di
Desa Batu Kerbau juga memiliki Lubuk Larangan di Batang Pelepat dengan jenis ikan asli seperti semah, cupang hidung, barau, lampan, tapah, dan pangut. Lubuk
larangan tersebut disepakati baru akan dibuka sekali
setahun. Hasilnya kemudian digunakan untuk kepentingan masyarakat, seperti perbaikan masjid, jalan, dan
kepentingan masyarakat lainnya.
Tolak Penyerobotan Lahan
Indahnya bersahabat dengan alam setelah penetapan hutan adat dan hutan lindung oleh Bupati Bungo, akhirnya
terusik dengan adanya aksi penyerobotan hutan lindung
yang dilakukan PT CSH. Meski beberapa kali dilakukan
mediasi, namun masih terjadi tarik ulur yang tak berkesudahan. Masyarakat tetap menolak menyerahkan lahan
mereka, sementara pihak perusahaan juga mengklaim
bahwa lahan yang mereka garap masih di dalam peta izin
lokasi lahan perkebunan yang mereka dapatkan. Meski
sejumlah stakeholder di kabupaten Bungo dilibatkan untuk menyelesaikan persoalan ini, namun belum juga menemukan titik temu yang memuaskan bagi masyarakat.
Sebagai tindak lanjut beberapa pertemuan yang digelar sebelumnya, Kamis (10/01), Pemkab Bungo kembali
mengundang beberapa pihak terkait untuk melakukan
pengecekan langsung ke lapangan. Pengecekan itu melibatkan Dinas Kehutanan Kabupaten Bungo, BPN, pihak
PT CSH, masyarakat Desa Batu Kerbau, dan Komunitas
Konservasi Indonesia Warsi. Setelah dilakukan pengecekan, memang disinyalir bahwa hutan lindung Desa Batu
Kerbau sudah diserobot oleh PT CSH. Bahkan, sejumlah
batas-batas yang terdiri dari tanaman pohon pinang dan
dinding seng yang dibuat masyarakat juga sudah tertimbun akibat aktivitas land clearing yang dilakukan pihak perusahaan.
Melihat kondisi itu, masyarakat Batu Kerbau bertekad
akan terus mempertahankan hak mereka. Meski penyelesaian kasus itu harus sampai ke pemerintah pusat, mereka
mengaku tidak akan pernah mundur. Masyarakat berkeras
tidak mau menyerahkan tanah itu meski diberi iming-iming
ganti rugi oleh pihak perusahaan. Masyarakat desa Batu
Kerbau menggalang kekuatan guna menolak rencana perusahaan menguasai hutan lindung di desa mereka.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Land Clearing kawasan hulu yang berpotensi mengdatangkan bencana ekologis. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Antusiasme masyarakat mempertahankan hak mereka terlihat ketika dilakukan peninjauan lokasi yang dimediasi oleh Pemerintah Kabupaten Bungo beberapa
waktu lalu. Puluhan perwakilan masyarakat yang terdiri dari tokoh adat dan pemerintah desa Batu Kerbau
hadir di lapangan. Terik matahari yang menyengat tak
meruntuhkan semangat mereka. Masyarakat sempat
bersitegang dengan pihak Pemkab dan PT CSH, terkait
penentuan batas wilayah hutan lindung yang diserobot
perusahaan.
“Biar pun sejengkal lahan tidak akan kami serahkan.
Meski harus sampai ke pusat tetap akan kami perjuangkan,” kata Datuk Rasyid di sela-sela peninjauan lokasi.
Sementara perwakilan dari pihak BPN Bungo yang
hadir saat pengecekan menawarkan solusi agar pihak
perusahaan tidak melakukan aktivitas di kawasan yang
disengketakan itu. Mereka boleh beraktivitas di bagian
yang tidak masuk ke dalam kawasan sengketa.
Koordinator Project TFCA Yulqari mengatakan, terjadinya penyerobotan lahan dalam kawasan hutan lindung
Batu Kerbau oleh PT CSH diduga karena besarnya sumberdaya kayu yang ada di dalam kawasan itu. Sehingga
kemudian timbul skenario besar dari pihak perusahaan
untuk menguasai lahan di kawasan hutan lindung tersebut semaksimal mungkin, sekaligus mengambil kayu
yang memang masih cukup tersedia. “Untuk itu, semua
pihak perlu memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini,” ungkapnya.
Sedangkan hasil pengecekan kondisi terkini pada kawasan hutan lindung tersebut setelah adanya penyerobotan, selain ditemukan pembukaan lahan ternyata ada
juga pembukaan jalan baru pada dua titik. Satu titik
sekitar 1.000 meter dan satu titik lagi sekitar 3.500 meter. Sementara di sepanjang jalan itu juga ditemui kayu
bulat/log besar berukuran panjang. Hal itu semakin
memperkuat dugaan masyarakat bahwa perusahaan
selama ini memang telah mengincar kayu yang ada di
lahan hutan lindung tersebut.
Dari hasil pertemuan terakhir Rabu (23/01) yang difasilitasi oleh Pemkab Bungo, perusahaan setuju untuk
mengembalikan lahan yang dibuka kepada masyarakat,
melakukan reboisasi, membayar denda adat dengan
seekor kerbau selemak semanis, dan tidak mengganti
rugi kerugian dari kayu yang telah diambil, menurut taksiran masyarakat kerugian mencapai Rp 500 juta. Sebagai tindaklanjut penyelesaian persoalan itu, pada pertemuan berikutnya akan turun tim yang akan melakukan
tapal batas di areal yang berkonflik tersebut. (Herma
Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
9
LAPORAN UTAMA
10
Terjebak dan Dijebak
Kemakmuran Sesaat
Selain sering memicu konflik antara petani dengan perusahaan, pengembangan perkebunan kelapa sawit juga
potensial menimbulkan pencemaran lingkungan, serta
penurunan kualitas dan entitas air. Padahal, berkurangnya potensi air akan berdampak besar terhadap berbagai aktivitas masyarakat, termasuk untuk sektor pertanian.
K
ehadiran sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit menimbulkan perubahan besar bagi
kawasan hutan di Provinsi Jambi. Hamparan hutan alam disulap menjadi lahan kelapa sawit. Bahkan,
tak sedikit pula lahan milik masyarakat dialihfungsikan
menjadi lahan perkebunan dengan bermitra bersama
pihak perusahaan.
Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia
melaju pesat sejak tahun 1970-an. Awalnya dilakukan
oleh Perkebunan Besar Negara (PBN), kemudian dibuka Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan
Rakyat (PR) melalui pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat).
PTPN juga mengembangkan kelapa sawit di Provinsi
Jambi pada 1993/1994, melalui pola PIR. Langkah itu
kemudian diikuti sejumlah perusahaan swasta yang turut melakukan investasi membuka perkebunan kelapa
sawit di daerah ini. Saat ini luas lahan perkebunan sawit
di Provinsi Jambi diperkirakan sudah mencapai 574.514
hektar.
Pengembangan kelapa sawit memang sangat menggiurkan. Ia menawarkan kemakmuran yang menyilaukan bagi petani. Sehingga tak sedikit petani yang rela
melepas lahan untuk dikelola oleh perusahaan. Namun
sayangnya, ternyata banyak masyarakat yang terjebak
dalam pola kemitraan yang ditawarkan perusahaan.
Karena pada kenyataannya yang paling menikmati hasil
dari pola kemitraan tersebut adalah pihak perusahaan.
Sementara petani hanya sebagian kecil yang bisa merasakannya. Bahkan sejumlah konflik lahan antara petani
dan pihak perusahaan belakangan semakin marak terjadi.
Data dari Kementerian Pertanian menyebutkan produksi CPO nasional mencapai 20,8 juta ton pada 2010 dan
meningkat menjadi 23.5 juta ton pada 2011. Selain itu,
indutri sawit nasional juga menyumbang devisa bagi
negara sebesar 19,7 miliar dolar AS pada 2011.
Meski perkebunan kelapa sawit turut menyumbangkan devisa pada negara hingga triliunan rupiah dalam
setahun, namun ia juga menyisakan banyak persoalan.
Tidak saja persoalan kehancuran hutan dan pencemaran lingkungan, namun aktivitas perkebunan sawit juga
telah memicu terjadinya konflik agraria yang sudah
berkepanjangan. Akhirnya, petani bukannya menikmati
kemakmuran, malah tak jarang petani yang terilit hutang
pada perusahaan. Ini merupakan sebuah ironi. Mereka
yang menyerahkan lahan, tapi mereka juga dinyatakan
berhutang. Selain tak bisa menikmati tumpukan rupiah
yang mereka impikan, lahan milik mereka pun raib.
LAPORAN UTAMA
Padahal, setiap warga negara berhak atas lingkungan
yang baik dan sehat, sebagaiamana tercantum dalam
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang mengatur
tentang HAM. Hal itu tidak sesuai denga fakta yang
terjadi di lapangan. Kebijakan alihfungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit mengakibatkan terjadinya
pembabatan kawasan hutan secara besar sehingga
akan berdampak pada lingkungan yang tidak sehat.
Sawit, masih menjadi primadona sejumlah orang. Foto Heriyadi /Dok KKI Warsi
Maraknya konflik lahan yang melibatkan masyarakat
dengan perusahaan kelapa sawit di Jambi mengalami
peningkatan sejak adanya pola kemitraan Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Dalam pola KKPA ini
petani menyerahkan lahan mereka agar dikelola oleh
pihak perusahaan. Karena sebagai pihak yang tidak
memiliki akses modal, tentu saja petani sangat tergiur
dengan adanya pola kemitraan tersebut.
Adanya pembukaan perkebunan kelapa sawit dalam
skala besar selalu akan memicu terciptanya lingkungan
yang tidak sehat. Ia bisa memicu terjadinya kebakaran
hutan, bencana banjir, kesulitan air bersih dan pencemaran air, penurunan tingkat kesuburan tanah, serta penurunan tingkat keanekaragaman hayati oleh kerusakan
kawasan hutan. Pihak yang akan merasakan langsung
dampak tersebut adalah masyarakat lokal yang selama
ini tinggal di sekitar lokasi perkebunan kelapa sawit.
Melihat kondisi seperti itu, maka sangat disayangkan ketika sebagian besar masyarakat di sekitar perkebunan
kelapa sawit melepaskan lahan mereka untuk dikonversi menjadi lahan sawit. Seringkali mereka melepaskan
lahan setelah mendapat iming-iming dan propaganda bahwa perusahaan sawit dapat mensejahterakan
masyarakat. Mereka terjebak dan dijebak dengan kemakmuran sesaat yang ditawarkan pihak perusahaan,
sehingga melupakan dampak buruk akibat kehancuran
ekosistem di belakang hari.
Karena pembukaan lahan sawit dalam skala besar juga
akan menimbulkan ancaman terhadap sumberdaya
alam dan kearifan lokal. Dan yang tak kalah penting
adalah hilangya penguasaan atas tanah adat. Ruang
kelola masyarakat lokal atas lahan untuk kegiatan perladangan juga akan semakin menyempit. Sehingga tak
sedikit yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok dan
terpaksa menjadi buruh kasar di perusahaan perkebunan sawit yang berdiri di bekas tanah mereka sendiri.
(Herma Yulis)
Namun, mereka tidak menyadari bahwa dengan cara
itu perusahaan dengan mudah memasang jebakan. Karena meski secara de facto petani merupakan pemilik
lahan, namun secara de jure mereka tak memiliki bukti
kepemilikan yang kuat. Selama ini, kepemilikan lahan
petani cuma dibuktikan denga surat keterangan tanah
(SKT) yang dikeluarkan oleh kepala desa. Sementara
SKT ini memiliki legalitas hukum yang sagat lemah. Bahkan, dalam sistem legal formal surat keterangan tanah
ini tidak berlaku. Buktinya, meski memiliki SKT petani
tidak bisa mengucurkan dana pinjaman dari bank.
Nah, dalam pola kemitraan yang terjadi selama ini juga
dicurigai adanya ketidakterbukaan dari pihak perusahaan. Padahal, pola kemitraan antara petani dengan
perusahaan akan saling menguntungkan apabila dilakukan atas dasar kejujuran dan transparansi. Namun,
harapan adanya kemitraan seperti itu jauh panggang
dari api. Sehingga pihak petani sering dirugikan karena
tidak adanya transparansi dari pihak perusahaan.
Pola kemitraan yang tidak transparan ini telah memicu
terjadinya sejumlah konflik lahan di Jambi. Antara lain
konflik lahan antara masyarakat dengan PT Tunjuk
Langit Sejahtera (TLS) di Batanghari, konflik lahan
antara masyarakat dengan PT Asiatik Persada, konflik
masyarakat dengan PT Wira Karya Sakti, dan sejumlah
konflik lainnya.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
11
12
LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA
Hutan Adat
Renah Alai
dan Rantau
Kremas
13
hingga iuranpun bisa disesuaikan dengan
pemakaian. Dengan ini diharapkan terciptanya keadilan dan juga kontrol yang baik
dalam pemanfaatan air. Disamping juga
sungai-sungai ini sangat bermanfaat oleh
masyarakat untuk mengairi sawah-sawah
yang menjadi lumbung pangan dan penopang perekonomian keluarga.
Hal mendasar lainnya, adalah untuk melindungi kawasan hutan masyarakat dari
ekspansi penguasaan lahan oleh pihak luar.
Sebagaimana diketahui di desa tetangga
Renah Alai kini tengah berkutat dengan
persoalan okupasi kawasan hutan hingga
mencapai TNKS oleh penduduk dari luar.
Kawasan yang diokupasi sudah mencapai
19 ribu ha. Kondisi ini sudah sering menimbulkan konflik yang hingga kini belum
ada kejelasan penangananya. Mencegah
konflik serupa masyarakat Renah Alai dan
Rantau Kremas berupaya untuk memproteksi kawasan mereka.
Perlindungan Sumber Air
dan Pencegahan Konflik Lahan
D
esa Renah Alai dan Rantau Kremas di Kecamatan Jangkat Merangin terus berupaya untuk
melindungi daerah tangkapan air yang menunjang kehidupan mereka. Kedua desa ini awalnya tergabung dalam satu desa, namun banjir bandang di tahun 1977 menyebabkan Renah Alai pindah ke daerah
lebih ke hulu dan kemudian menjadi desa tersendiri.
Ketika pemerintah menetapkan Taman Nasional Kerinci
Seblat, kedua desa ini masuk dalam kawasan taman.
Masyarakat pun protes dan akhirnya setelah melewati
beberapa pertemuan dengan pengelola kawasan kedua
desa ini dikeluarkan dari TNKS.
Meski wilayah kedua desa ini tidak terlalu luas, karena sebagian besar masuk ke TNKS, namun pada
kawasan yang masih mempunyai tutupan hutan bagus, masyarakat kedua desa ini terus berupaya untuk
memproteksinya. Bencana-bencana ekologi masa lalu
dan juga melihat tren pemanfaatan sumber daya alam
di desa-desa sekitarnya masyarakat menginginkan kawasan desa yang bertutupan hutan baik, dikelola secara adat dan dilegalisasi oleh pemerintah.
Untuk mewujudkan keinginan ini, kedua desa sudah
mengusulkan kepada Bupati Merangin untuk pengukuhan hutan adat, yaitu Rantau Kremas seluas 120
ha yang terletak di dua tempat dengan luasan masingmasing 77 ha dan 43 ha, dan Renah Alai mengajukan
di dua tempat yaitu Blok Sungai Mengkeruh seluas 297
ha dan Blok Kaki Masurai seluas 248 ha dengan total
545 ha.
Pengajuan pengalolaan hutan dengan skema hutan adat
ini, sebanarnya sudah dua kali diusulkan masyarakat
yang pertama pada 1997, atau empat tahun pasca penetapan TNKS. Namun belum ada tanggapan dari Pemerintah Merangin atau pada saat itu bernama Sarko.
Setelah lama diam, kini masyarakat kembali membuat
usulan untuk pengakuan kawasan hutan adat ini.
Kayu manis dan kopi adalah komoditas unggulan masyarakat Kerinci yang bisa
dikembangkan di kawasan kelola masyarakat. Foto Dok. KKI Warsi.
Dengan memanfaatkan aliran Sungai Gedang dan Batang Langkup mampu menggerakkan turbin yang berkapasitas 40 ribu watt
yang menerangi 558 rumah di Renah Alai dan 30 ribu ribu watt di
Rantau Kremas untuk 100 lebih rumah.
Aktifitas masyarakat Renah Alai dan Rantau Kremas yang bergantung pada sumber daya alam. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Terdapat lima alasan penting bagi masyarakat yang
bisa ditempuh 4-5 jam berkendara dari Kota Bangko ini,
untuk memproteksi kawasan mereka. Alasan utama
adalah melindungi sumber air. Dengan posisi geografis
yang berada diketinggian 900-1.400 mdl dan berada di
pinggir hutan serta jauh dari ibukota kabupaten , desadesa ini tidak tersentuh jaringan listrik negara. Sejak
ada proyek ICDP TNKS, di kedua desa ini dikembangkan Pembangkit Listrik tenaga Mikro Hidro (PLTMH).
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Untuk menggelola PLTMH ini masyarakat sudah memiliki aturan
dan kelompok pengelola yang berjalan dengan baik. Bahkan kini di
masing-masing rumah pelanggan juga sudah dipasang meteran listrik untuk memantau penggunaan listrik sehingga pembayaranpun
berjalan adil sesuai dengan pemakaian. Dana iuran dari penggunaan listrik ini dimanfaatkan masyarakat untuk pemeliharaan mesin
pembangkit serta pemeliharaan jaringan dan sisanya untuk kas
desa.
Keinginan ini bukan tanpa sebab, belakangan di kawasan antara Renah Alai dan
Rantau Kremas, yaitu sekitar Danau Pauh
sudah mulai di garap oleh para pendatang
yang saat ini berjumlah sekitar 4 kk. Menurut pengamatan masyarakat, ini merupakan langkah awal untuk perambahan
dan jika tidak ada status yang jelas untuk
kawasan hutan di Renah Alai dan Rantau
Kremas, maka bisa diprediksi okupasi ini
bisa berlanjut hingga ke kawasan di kedua
desa ini.
Atas dasar-dasar ini masyarakat Renah Alai
dan Rantau Kremas kembali mengajukan
kepada Bupati Merangin untuk pengakuan
kawasan hutan adat. Langkah-langkah
yang sudah ditempuh masyarakat untuk
legalisasi kawasan ini, diantaranya adalah
penerbitan Surat Keterangan Pengelola
Hutan Adat oleh pemerintah desa dan pemangku adat kepada Bupati Merangin. Di
samping itu juga dipersiapkan data-data
lain penunjang seperti peta kawasan dan
profil desa. Dan yang paling penting adalah
‘pengawalan’ terhadap usulan ini supaya
tidak bernasib sama dengan dua usulan
sebelumnya (Sukmareni)
Tak hanya listrik, sumber air juga dimanfaatkan sebagai sumber air bersih yang dialirkan ke rumah-rumah warga. Ke depan
kelompok pengelola berencana untuk memasang meteran air seALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
LAPORAN UTAMA
LAPORAN UTAMA
14
Hutan Adat Kerinci
dan Peluang
Meluaskan PHBM
K
erinci, kabupaten paling barat Provinsi Jambi
mencatat sejarah baru dalam pengakuan hak
kelola masyarakat. Kabupaten Kerinci yang
sebagian besar wilayahnya termasuk dalam
kawasan Taman Nasional Keinci Seblat ini, dalam penataan ruangnya mengakui keberadaan kawasan konservasi yang dikelola masyarakat dengan skema Hutan
Hak Adat yang berada dalam kawasan penggunaan
lain.
Dalam Peraturan Daerah Kerinci No 24 tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Kerinci 2012-2032 secara nyata
disebutkan pengakuan hutan hak adat seluas 1.202 ha,
yang berada di sembilan lokasi. Yaitu Hutan Adat Ulu Air
Lempur Lekuk Limo Puluh Tumbi yang berada di Desa
Lempur Kecamatan Gunung Raya, Hutan Adat Nenek
Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning berada
di Desa Muara Air Dua Kecamatan Sitinjau Laut. Ada
juga Hutan Adat Temedak berada di Desa Keluru Kecamatan Keliling Danau, Hutan Adat Kaki Bukit Lengeh
berada di Desa Pungut Mudik Kecamatan Air Hangat
Timur, Hutan Adat Bukit Tinggai berada di Desa Sungai
Deras Kecamatan Air Hangat Timur. Kemudian Hutan
Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang berada di Desa Air Terjun Kecamatan Siulak, Hutan Adat
Bukit Sigi berada di Desa Tanjung Genting Kecamatan
Gunung Kerinci. Ada juga Hutan Adat Kemantan berada di Desa Kemantan Kecamatan Air Hangat, serta
Hutan Adat Bukit Teluh berada di Kecamatan Batang
Merangin.
Dengan pengembangan potensi PHBM ini, tentu juga
penting untuk pengembangan ekonomi masyarakat
sekitar dengan sumber daya yang mereka miliki. Sejalan dengan cita-cita pemerintah yang mengeluarkan
Permenhut untuk penetapan hutan desa, mensejahterakan masyarakat dengan hutan menjadi pilihan kala
selama ini masyarakat hanya menjadi penonton dalam
pemanfaatan sumber daya mereka.
Dengan pola PHBM di Kerinci, untuk kawasan yang
berada di hutan produksi masyarakat bisa memanfaatkan untuk pengayaan perkayuan dan bisa melakukan
pemanenan pada waktunya nanti. Tentu yang paling
penting dari ini adalah mengembangkan kemampuan
masyarakat dalam mengelola sumber daya mereka
secara berkelanjutan dan berkeadilan. Sekaligus memberikan jaminan pengelolaan kawasan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk melindungi sumber
air dan persediaan sumber daya bagi anak cucu kelak.
Kekuatan adat dan kearifan lokal diharapkan menjadi
payung dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat
ini. Harapannya semangat ini terus diturunkan dari
generasi ke generasi sehingga tumbuh kesepahaman
dan keyakinan yang sama betapa pentingnya kawasan
itu dipertahankan untuk kehidupan masyarakat sekitarnya.
Walau diyakini bahwa mewariskan nilai-nilai adat ini
juga bukanlah pekerjaan yang mudah. Mengingat
kebutuhan di masa datang dan juga godaan pengembangan ekonomi sesaat yang di gembar gemborkan
oleh seke-lompok orang. Pemanfaatan hasil hutan non
kayu dan juga memperkaya hutan adat dengan berbagai pepohonan yang bernilai ekonomi tinggi menjadi
pilihan untuk menjawab tantangan ini. (Sukmareni)
Dengan adanya pengakuan kawasan hutan hak adat
ini di Kerinci merupakan sebuah langkah maju dalam
pengelolaan hutan oleh masyarakat. Perda ini memperkuat posisi kawasan sehingga dalam masa perencanaan ruang untuk 20 tahun ke depan, kawasan hutan adat relatif aman dari pengalihfungsian kawasan.
Pengamanan kawasan ini penting untuk dilakukan
mengingat selama ini, Kerinci merupakan wilayah yang
berada di hulu dan berada dipunggung Bukit Barisan
sehingga menjadi rawan bencana ekologis. Namun dari
itu perlindungan kawasan ini juga penting untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Terkait dengan
ini, berdasarkan kajian yang dilakukan Warsi, Kerinci
merupakan daerah yang berpotensi untuk mengembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, diantaranya berada di Desa Renah Kayu Embun, Desa Air
Terjun dan Desa Tanjung Sam.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Kawasan hutan yang ditumbangkan untuk dialih fungsikan menjadi HTI. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Memulihkan Kedaulatan Kawasan Hutan
HTI, Sawit, dan Tambang: Pemicu Kerusakan
Sumberdaya Alam
I tingkat dunia hutan tropis Indonesia menempati
posisi terbesar ketiga setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo. Selain itu, ia juga merupakan rumah bagi 12 persen mamalia dunia, 16 persen
spesies reptil dan amfibi, serta 17 persen spesies burung. Bahkan, lebih dari 10.000 spesies pohon tercatat
tumbuh di seluruh nusantara.
Pada 2010 Food and Agriculture Organization (FAO)
memerkirakan, tutupan hutan Indonesia berkurang
hingga 24,1 juta hektar antara tahun 1990-2010. Penyebab terbesar adalah akibat terjadinya kebakaran lahan hutan dan semak belukar sebesar 9,756 juta hektar
pada 1997-1998, yang sebagian besar terbakar karena
El Nino 1997-1998. Selanjutnya, pada periode 19901996, laju deforestasi Indonesia, baik di kawasan hutan
negara maupun di luar hutan negara seluas 1.870.000
hektar per tahun.
Namun sayangnya, dari tahun ke tahun kawasan hutan
terus mengalami kehancuran. Dan kerusakan tersebut
akan menimbulkan dampak besar bagi semua penduduk di dunia. Jika tak segera dicegah, hal ini akan
memunculkan persoalan baru yang lebih serius. Mulai
dari ancaman perubahan iklim hingga bencana alam
dalam berbagai bentuk yang kian sulit dikendalikan. Untuk kasus perubahan iklim belakangan ini sudah menjadi isu di tingkat dunia yang terus menghangat.
Angka ini terus meningkat pada masa transisi dari
pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis,
dengan laju deforestasi tahun 1997-2000 meningkat
menjadi 3.510.000 hektar per tahun. Laju deforestasi
berkurang dari tahun 2001-2003 menjadi sekitar 1,08
juta hektar per tahun. Pada periode 2004-2006, laju deforestasi Indonesia terjaga cukup rendah, sekitar 1,17
juta hektar per tahun. Pada 2007-2009 laju deforestasi
berada pada kisaran 0,83 juta hektar per tahun. Sementara pada 2009-2011, laju deforestasi berkurang hampir
setengahnya menjadi 0,45 juta hektar per tahun.
D
Kayu manis, komoditi yang bisa
dikembangkan di kawasan kelola
masyarakat. Foto: Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
15
16
LAPORAN UTAMA
Sementara Pulau Sumatera sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia kondisinya tak jauh berbeda.
Pada tahun 2003 keseluruhan luas tutupan hutan di Sumatera hanya tersisa sekitar 15 juta hektar. Sedangkan
ancaman terhadap kawasan hutan alam tersisa bahkan
terus meningkat melalui konversi hutan alam menjadi
peruntukan lainnya.
Keluarnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih
terkenal dengan nama Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) yang berlaku sejak 24 September 1960 menjadi pemicu pesatnya kerusakan hutan. Karena sejak itu,
pemanfaatan hutan dan pemungutan hasil hutan diatur
oleh negara. Hal itu secara tak langsung telah memutus
hubungan erat masyarakat dengan hutan yang sudah
terjalin sejak lama. Kondisi itu kemudian diperparah
dengan keluarnya UU No. 1/ 1967 tentang Penanaman
Modal Asing dan UU No. 6/1968 tentang Penananam
Modal dalam Negeri. Dengan adanya UU ini, pihak luar
pun diberi kewenangan untuk mengelola sumberdaya
alam, termasuk sumberdaya hutan.
Ketika itu pemerintah berdalih sedang melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi. Alhasil, sejak adanya
UU tersebut pemerintah banyak mengeluarkan izin-izin
usaha di bidang kehutanan dan perkebunan. Sedangkan masyarakat di sekitar hutan tidak dilibatkan oleh
pemerintah pusat. Mereka hanya menjadi penonton ketika kawasan hutan di sekitar mereka dibabat oleh pihak
perusahaan yang telah mengantongi izin.
Menurut data Departemen Kehutanan (2008), pada
periode 2003-2006 di Pulau Sumatera deforestasi di
kawasan hutan mencapai 268.000 hektar per tahun.
Angka ini adalah yang terbesar dibandingkan dengan
pulau-pulau lainnya.Pulau Sumatera bahkan berkontribusi sebesar 22,8 % terhadap deforestasi total di
Indonesia (1,17 juta hektar per tahun). Sedangkan hutan primer Sumatera yang masih tersisa hanya sekitar
29%, padahal daerah ini membutuhkan tutupan hutan
setidaknya 40 % untuk menyangga kehidupan dan melindungi pusat konsentrasi keanekaragaman hayati.
Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan. Ketimpangan dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang sudah berlangsung sejak lama menjadi salah satu pemicu kerusakan hutan yang sangat
terlihat. Sementara pihak yang selalu diuntungkan dan
menikmati kekayaan hasil hutan tersebut adalah para
pemilik modal (investor) dan oknum penguasa. Para investor mengeruk keuntungan dengan mengeksploitasi
hutan melalui banyak cara. Mulai dari pembukaan Hutan Tanaman Industri (HTI), pembangunan perkebunan
kelapa sawit, hingga pembukaan areal untuk pertambangan. Kerusakan ini semakin parah karena tidak diimbangi dengan proses pemulihan. Sehingga keberadaan
lahan kritis dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Berdasarkan Data Statistik Kehutanan Kementerian Kehutanan 2012, lahan kritis di Sumatera pada tahun 2011
sudah mencapai 10.138.995 hektar.
Begitupula yang terjadi di Provinsi Jambi. Dari 5,2 juta
hektar luas Jambi sudah dieksploitasi untuk berbagai peruntukan. Sebanyak 776.652 hektar untuk HTI, 72.095
hektar HPH aktif, 329.000 hektar untuk HPH tidak aktif
dan statusnya dikembalikan ke negara, 574.514 hektar
perkebunan kelapa sawit, dan sebanyak 434.646 hektar
pertambangan.
Pembukaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat sejak tahun 1970-an. Pada
masa awal, pengembangannya dilakukan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN), kemudian dibuka Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR)
melalui pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat). PTPN juga
mengembangkan kelapa sawit di Provinsi Jambi pada
1993/1994, melalui pola PIR. Langkah itu kemudian diikuti sejumlah perusahaan swasta yang turut melakukan
investasi membuka perkebunan kelapa sawit di daerah
ini. Pertumbuhannya pun cukup pesat, sehingga luas
lahan perkebunan sawit di Jambi saat ini mencapai
574.514 hektar.
Meski perkebunan kelapa sawit juga memberikan sumbangan devisa hingga triliunan rupiah dalam setahun,
namun ia juga menyisakan banyak persoalan. Tidak
saja persoalan kehancuran hutan dan pencemaran lingkungan, namun aktivitas perkebunan sawit juga telah
memicu terjadinya konflik agraria yang berkepanjangan.
LAPORAN UTAMA
perusahaan selalu mengulur waktu, dan pemerintah
seolah tak memiliki kekuasaan untuk memaksa.
Kegiatan alih fungsi hutan di Sumatera yang sebagian
besar tidak diiringi dengan kajian terhadap persoalan
ekologi patut disesalkan. Akibatnya, begitu hutan habis kemudian muncul persoalan baru berupa bencana
ekologis. Salah satunya adalah persoala banjir yang beberapa tahun terakhir sering terjadi. Hal itu dikarenakan
adanya pendangkalan di sungai-sungai sehingga tak
lagi mampu menampung curahan air hujan. Kondisi ini
sebenarnya disebabkan kawasan hutan di bagian hulu
yang sudah terlanjur rusak.
Selain banjir, isu perubahan iklim yang terjadi saat ini
juga sudah sangat mengkhawatirkan. Kemudian ditambah lagi dengan bermunculannya konflik kepemilikan
lahan antara masyarakat dengan perusahaan, konflik
dengan transmigrasi dan konflik dengan satwa. Ini semua terjadi karena kesalahan pengelolaan hutan yang
dilakukan secara top down. Sehingga kemudian terjadi
pengkaplingan hutan yang akhirnya menimbulkan banyak persoalan.
Dari segi biodiversity, Sumatera juga mengalami kerugian besar. Karena di hutan Sumatera hidup berbagai flora dan fauna seperti harimau, gajah, orangutan,
badak Sumatera, mentok rimba, bunga raflesia, dan
banyak lagi yang lainnya.
Tak jauh berbeda dengan pembukaan kelapa sawit,
sektor pertambangan juga menyisakan persoalan pelik.
Terutama pertambangan batubara. Selama beberapa
tahun terakhir, protes masyarakat terhadap perusahaan seringkali terjadi. Karena dampak aktifitas tambang ini sudah sangat meresahkan. Terutama dampak
buruk dari pengangkutan hasil tambang batubara yang
dibawa melintasi jalan umum. Hal itu memicu terjadinya
sejumlah aksi pemblokiran jalan yang dilakukan oleh
masyarakat. Persoalan reklamasi lokasi tambang juga
menjadi sorotan bayak pihak. Selama ini, pihak perusahaan banyak yang tidak melakukan reklamasi bekas
tambang. Begitu mereka selesai mengambil hasil tambang, perusahaan masih kubangan bekas pengambilan
batubara yang dikhawatirkan suatu saat akan menimbulkan masalah baru.
Namun demikian, pemerintah sepertinya tidak berkutik
menghadapi para pengusaha batubara. Bahkan rencana moratorium yang gencar disuarakan pada tahun
2012 lalu, hingga kini masih belum diberlakukan. Begitupula dengan jalur khusus angkutan batubara. Pihak
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Untuk itu, sudah sepatutnya semua pihak memikirkan
bagaimana upaya penyelamatan keanekaragaman
hayati Sumatera tersebut sebelum terlambat. Sebenarnya, pemerintah Indonesia telah menetapkan 134
unit kawasan konservasi di Pulau Sumatera, dengan
total luas keseluruhan 5.742.196,17 hektar dengan
bagian terbesar berupa 11 unit Taman Nasional seluas
3.882.218,48 hektar. Hanya saja, dalam kebijakan itu
terdapat kesenjangan keterwakilan ekologis di dalam
kawasan konservasi Sumatera. Pasalnya, ada kawasan
yang seharusnya menjadi kawasan konservasi namun
kenyataan malah boleh dikonversi. Aksi penyelamatan
bisa dengan melakukan perluasan atau penetapan kawasan konservasi baru dan pengelolaan hutan secara
lestari.
Barangkali, upaya penyelematan kawasan hutan di Sumatera bisa dilakukan dengan mengembalikan kedaulatan pengelolaan sumberdaya alam kepada masyarakat
setempat. Karena selama ini masyarakat memiliki kearifan lokal dalam menjaga lingkungan. Namun, hal itu terlupakan ketika pemerintah membagi-bagikan kawasan
hutan untuk berbagai peruntukan.
Melihat kondisi itu, maka mengembalikan kedaulatan
pengelolaan kawasan hutan kepada masyarakat sekitar
sepertinya sangat diperlukan. Karena praktek pengembangan kebun kelapa sawit, pembukaan tambang, dan
pemberian izin-izin HTI, yang terjadi selama ini ternyata
malah menjadi faktor utama kerusakan hutan dan lingkungan. Padahal, sejak dulu masyarakat lokal sudah
terbukti bisa hidup berdampingan dengan hutan serta
memberikan jaminan keberlangsungan dan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam untuk kehidupan
generasi yang akan datang. (Herma Yulis)
Ekspansi perkebunan kepala sawit kurang
memperhatikan keseimbangan ekosistem.
Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
17
19
cana Aksi Daerah (RAD) di berbagai sektor penghasil
emisi gas rumah kaca. Adapun kegiatan RAN GRK ini
mencakup bidang pertanian, kehutanan-lahan gambut,
energi-transportasi, industri, dan pengelolaan limbah.
Bagi Indonesia pengurangan emisi GRK merupakan
sebuah keharusan. Pasalnya, Indonesia memiliki kawasan hutan dan lahan gambut yang sangat besar.
Sementara potensi karbon yang terdapat pada lahan
gambut jauh lebih besar dibandingkan dengan karbon
pada tanah mineral. Perhitungannya, semakin tebal
lapisan tanah gambut, maka akan semakin besar pula
cadangan karbon yang tersedia. Bahkan, perbandingannya bisa mencapai 10 kali lipat dibandingkan dengan
cadangan karbon pada tanah yang bukan gambut.
Besarnya potensi karbon pada lahan gambut bisa
menjadi peluang sekaligus ancaman. Laporan Hooijer
et al, 2010, menyatakan bahwa emisi CO2 dari lahan
gambut dan alih guna lahan hutan lebih dari setengah
total emisi Indonesia. Ada banyak faktor yang dapat
mengubah fungsi lahan gambut dari penyerap CO2
menjadi sumber emisi CO2. Antara lain berupa penebangan pohon-pohon, pengeringan lahan gambut,
pembakaran lahan gambut, dan penambahan pupuk
dan amelioran.
Kayu alam dari lahan gambut di Tanjung Jabung Timur yang ditebang oleh perusahaan HTI. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
RAN-GRK Sektor Gambut
P
residen Susilo Bambang Yudhoyono saat berpidato di depan pemimpin negara G-20 pada
pertemuan di Pittsburgh, Amerika Serikat, 25
September 2009 menyatakan komitmen bahwa Indonesia akan menurunkan emisi GRK sebanyak 26%
pada tahun 2020 dari tingkat emisi berdasarkan Business as Usual (BAU). Namun, jika mendapat dukungan dari internasional, Indonesia berkomitmen untuk
menurunkan emisi GRK hingga 41%.
Pernyataan ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam menurunkan emisi GRK. Buktinya, menyusul pernyataan yang disampaikan presiden tersebut
tak lama kemudian diterbitkan Peraturan Presiden No-
mor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Peraturan ini menjadi dokumen kerja yang berisi upayaupaya untuk menurunkan emisi Peraturan Presiden
Nomor 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas GRK di Indonesia. Perpres ini kemudian diikuti pula dengan penerbitan Rumah Kaca (GRK)
Nasional. Dan dari semua sektor terkait dalam upaya
penurunan emisi tersebut, sektor kehutanan mendapatkan porsi terbesar.
Dengan adanya RAN GRK, masing-masing daerah di
Indonesia, mulai dari lingkup Provinsi hingga Kabupaten
diharuskan melakukan aksi daerah yang disebut Ren-
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Sementara McKinsey & Company menyebutkan
bahwa gambut merupakan kontributor terbesar (85
persen) terhadap total emisi Jambi bersama sektor
kehutanan. Jika tidak terdapat perubahan dalam cara
pengelolaan pada sektor ini, emisi GRK Jambi diperkirakan akan meningkat hingga 30 persen pada tahun
2030. Sebaliknya, jika upaya konservasi lahan gambut dilakukan, diperkirakan berkontribusi sebesar 48
persen terhadap pengurangan emisi GRK Jambi.
Menyikapi peningkatan emisi GRK yang kian meresahkan, pemerintah sudah melakukan berbagai langkah
strategis. Untuk level nasional, Pemerintah Republik
Indonesia melalui Presiden menyampaikan komitmen
akan mengurangi emisi GRK hingga 26 persen pada tahun 2020. Untuk merealisasikan komitmen ini kemudian diterbitkan Rencana Aksi Nasional (RAN) GRK.
Pada level Provinsi, Pemprov Jambi mengimplementasikannya dengan memunculkan konsep green eco-
nomy. Hal itu tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jambi (RPJMD)
2011-2015, dimana dalam pembangunan Provinsi
Jambi selain fokus pada pro growth, pro job, dan pro
poor, juga meletakkan pro environment sebagai fokus
pembangunan dengan konsep green economy. Selain
itu, untuk mendukung langkah-langkah Pemerintah
Pusat dalam penurunan emisi GRK, di Jambi telah ada
Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2012 tentang
Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD – GRK)
Provinsi Jambi.
Mengutip apa yang dikatakan Muhammad Farid, sekretaris kelompok kerja negosiasi internasional dewan nasional perubahan iklim, bahwa ada beberapa kebijakan
yang akan dilakukan di sektor kehutanan dan lahan
gambut. Yaitu menurunkan emisi GRK dengan sekaligus meningkatkan kenyamanan lingkungan, mencegah
bencana, menyerap tenaga kerja, menambah pendapatan masyarakat dan Negara, pengelolaan sistem jaringan dan tata air, serta peningkatan produktivitas dan
efisiensi produksi pertanian pada lahan gambut dengan
emisi serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal.
Agar semua kebijakan itu bisa dilakukan juga sudah disusun strategi berupa peningkatkan penanaman untuk
meningkatkan penyerapan GRK, penekanan laju deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi
GRK, melakukan perbaikan tata air (jaringan) dan blokblok pembagi, menstabilkan elevasi muka air pada jaringan; optimalisiasi sumberdaya lahan dan air secara
optimal tanpa melakukan deforestasi, serta penerapan
teknologi pengelolaan lahan dan budidaya pertanian
dengan emisi GRK serendah mungkin dan mengabsorbsi CO2 secara optimal.
Selain itu, pelaksanaan strategi RAN GRK di lahan gambut juga harus memperhatikan sejumlah arahan kegiatan. Misalnya, masyarakat harus memahami kenapa
gambut tidak boleh dirusak, menjaga volume air di
daerah gambut, mengontrol kebakaran, tidak melakukan konversi, dan bekerjsama dengan masyarakat
untuk membuat program-program prioritas. Semua
arahan ini harus dilakukan agar hasil yang diharapkan
sebagaimana yang ingin dicapai oleh RAN GRK bisa
terealisasi. (Herma Yulis)
ALAM
SUMATERA,
edisi
DESEMBER
2012
ALAM
SUMATERA,
edisi
MARET 2013
20
21
PHBM, Model Pembangunan Rendah
Karbon Berbasis Masyarakat
P
embangunan hutan dan kehutanan pada dasarnya
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui pemanfaatan hasil hutan yang
ramah lingkungan. Karena tak bisa dipungkiri, bahwa
hutan menyimpan sumberdaya alam yang beragam
dalam rangka mendorong kegiatan sosial ekonomi
masyarakat di sekitarnya. Kondisi itu bahkan mendorong banyak pihak melakukan tekanan sosial ekonomi
terhadap keberadaan kawasan hutan. Akibatnya, kerusakan hutan dan penurunan produktifitas hutan pun tak
bisa dihindari.
Untuk mengatasi kerusakan dan penurunan produktifitas hutan yang melejit pesat, dibutuhkan tata kelola
hutan yang memilki keberpihakan pada masyarakat.
Hal itu kemudian memunculkan model pengelolaan
hutan yang dikenal dengan istilah pengelolaan hutan
berbasis masyarakat (PHBM). Skema ini merupakan
pola pengelolaan kawasan hutan dengan memosisikan
masyarakat setempat sebagai aktor utama. Tujuannya
tak lain sebagai langkah untuk menanggulangi kemiskinan bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan dengan
tetap mempertahankan kelestarian kawasan.
Melalui skema PHBM masyarakat diajak terlibat langsung sebagai pengelola hutan dengan batas wilayah
yang sudah sangat jelas. Dengan demikian, kedekatan
masyarakat dengan hutan yang terjalin sejak lama bisa
tetap terjaga. Begitu pula dengan kearifan lokal yang
dimiliki masyarakat di sekitar kawasan hutan akan tetap
langgeng seiring dengan adanya pemeliharaan hutan
secara lestari.
Yang tak kalah penting, melalui kegiatan PHBM
masyarakat diberi pemahaman mendasar bahwa hutan sebenarnya lebih dari hanya sekedar tegakan pohon, namun hutan memilki peranan penting sebagai
penyeimbang dalam kehidupan. Karena mulai dari
kebutuhan bahan-bahan pangan, sandang, papan, dan
aneka jenis obat-obatan banyak diperoleh dari dalam
hutan. Di samping itu, ia juga berperan sebagai penahan bencana ekologis dan penyedia air untuk keberlangsungan hidup semua makhluk.
Skema PHBM berbeda dengan praktek pengelolaan
hutan secara sentralistik seperti yang terjadi selama ini.
Dimana pengelolaan hutan secara sentralistik malah
menyebabkan kerusakan hutan yang amat parah. Selain itu hasil eksploitasi hutan secara besar-besaran selama puluhan tahun hanya bisa dinikmati oleh segelintir
orang saja. Sementara masyarakat lokal hanya menjadi
penonton yang tak berani bersuara.
lagi-lagi keinginan ini butuh kesadaran dan komitmen
dari semua pihak terkait. Tanpa adanya sinergi antara
masyarakat, pemerintah, dan pihak terkait lainnya,
harapan untuk menyelamatkan hutan bakal menjadi
mimpi yang sulit terwujud.
PHBM di Lahan Gambut
Kerusakan hutan dan lingkungan akibat pembangunan di masa lalu dalam beberapa tahun terakhir diatasi
dengan memunculkan konsep pertumbuhan ekonomi
yang sengaja dirancang untuk menurunkan emisi karbon yang dikenal dengan ekonomi rendah karbon.
Karena sebagai salah satu negara berkembang yang
diprediksi menjadi sepuluh ekonomi terbesar dunia
pada 2025, maka tak bisa dihindari bahwa emisi karbon juga akan mengalami peningkatan drastis. Terutama dari sektor pertanian di kawasan hutan dan lahan
gambut, transportasi, serta pembangkit energi.
Selain itu, kasus illegal logging dan pembalakan liar
juga marak dilakukan masyarakat karena mereka melihat adanya celah untuk mengeruk keuntungan besar
seiring tingginya permintaan kayu untuk pabrik kertas.
Rendahnya kesadaran masyarakat tentang isu penyelamatan lingkungan membuat pembalakan liar tumbuh
subur. Para pembalak tak menyadari bahwa kegiatan itu
merupakan ancaman serius bagi kehidupan generasi di
masa yang akan datang. Meski hal itu telah berlangsung
dalam kurun waktu yang cukup lama, namun pemerintah seperti tak punya kemampuan untuk mengatasi
secara tuntas persoalan tersebut.
Inilah sejumlah benang kusut pengelolaan hutan yang
perlu diurai hingga tuntas. Apabila pemerintah dan
pihak terkait lainnya tidak menempuh langkah tepat
untuk menyelamatkan hutan, maka ancaman kerusakan yang terjadi akan semakin parah. Upaya menghentikan pesatnya laju degradasi dan deforestasi hutan
memang membutuhkan keseriusan, mengingat ia telah
berlangsung selama bertahun-tahun. Dibutuhkan tenaga ekstra dan kemauan keras dari semua pihak.
Namun demikian, semua kemungkinan itu tidak akan
bisa terwujud jika pemerintah dan masyarakat tidak
memiliki kepedulian dan kesadaran terhadap upaya
penyelamatan lingkungan. Di samping menuntut keseriusan pemerintah, pemeliharaan hutan juga membutuhkan kesadaran masyarakat agar bahu membahu
melakukan pengelolaan hutan dengan bijak agar ia
tetap lestari dan berguna untuk kehidupan. Dua unsur
ini ibarat dua kepingan mata uang yang tak mungkin
dipisahkan. Pemerintah tak bisa berbuat banyak tanpa
masyarakat, begitu pula sebaliknya, masyarakat juga
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Pengukuran kandungan karbon lahan gambut. Foto
Heriyadi/Dok KKI Warsi
bukan apa-apa tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Baik dukungan yang diberikan pemerintah pusat
maupun dari pemerintah daerah.
Apalagi selama ini angka kerusakan hutan yang terjadi
di Pulau Sumatera masih terbilang sangat tinggi. Bahkan pada tahun 2003, luas tutupan hutan di Sumatera
hanya tersisa sekitar 15 juta hektar. Kondisi itu tentu
membuat kita tersentak, ternyata laju kerusakan hutan
di Pulau Sumatera sudah begitu parah. Hal ini menyadarkan kita bahwa menyelamatkan kawasan hutan yang
masih tersisa sangat mendesak dilakukan. Akan tetapi,
Untuk itu, perbaikan tata kelola kehutanan memegang
peran penting dalam upaya pengurangan emisi. Perlu
juga diketahui bahwa sumber emisi karbon terbesar
di Indonesia berasal dari kebakaran hutan dan lahan,
deforestasi hutan, konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian, permukiman, serta berbagai kegiatan
pembagunan lainnya. Menurut Agus Purnomo (2011),
keberhasilan pemenuhan komitmen penurunan emisi
sebesar 26 persen pada tahun 2020 bergantung pada
kesuksesan upaya penegakan hukum untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, melindungi hutan dari
pembalakan liar, menyelesaikan konflik penguasaan
lahan hutan, dan menyelamatkan lahan gambut yang
tersisa.
Agar keinginan ini bisa terwujud, maka pengelolaan
hutan berbasis masyarakat barangkali bisa menjadi
salah satu model pembangunan rendah karbon berbasis masyarakat dalam rangka mengurangi emisi GRK.
Karena dengan skema ini, selain lingkungan akan terjaga dengan baik, masyarakat juga akan memperoleh
manfaat langsung dari aktvitas tersebut.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
22
23
Provinsi Jambi termasuk salah satu daerah yang sangat
potensi menerapkan pembangunan ekonomi rendah
karbon. Terutama di lokasi yang memiliki potensi lahan
gambut cukup besar sebagai penyimpan stok karbon
(carbon stock) seperti di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur. Bahkan, separuh lebih lahan gambut yang ada
di Provinsi Jambi berada di kabupaten Tanjung Jabung
Timur.
Besarnya potensi lahan gambut di Kabupaten Tanjabtim
semakin membuka peluang pengembangan PHBM
sebagai model pembangunan rendah karbon berbasis masyarakat. Terkait hal itu, KKI Warsi bekerjasama
dengan Pemkab setempat sudah melakukan pengusulan hutan desa untuk Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Jumlahnya pun cukup besar, yaitu mencapai seluas
19.000 hektar. Adapun rinciannya, hutan desa yang
sudah diusulkan berada di Desa Sinar Wajo Kecamatan
Mendahara Ulu seluas 5.000 hektar dan Kota Kandis
Dendang Kecamatan Dendang seluas 6.000 hektar.
Sementara hutan desa Sungai Beras Kecamatan Mendahara Ulu seluas 2.400 hektar masih dalam proses
persiapan tata batas. Kemudian hutan desa Pematang
Rahim, Kecamatan Mendahara Ulu seluas 2.600 hektar dan hutan desa Kelurahan Teluk Dawan, Kecamatan Muara Sabak Barat seluas 800 hektar saat ini masih
dalam proses persiapan administrasi usulan.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat berupa pengusulan hutan desa yang digulirkan Warsi ini dilakukan secara bertahap dengan beberapa bentuk kegiatan. Antara lain, pendokumentasian kearifan lokal,
musyawarah di berbagai level, hingga pengusulan legalitas dan pengakuan kawasan ke pihak yang berwenang.
Kemudian dilanjutkan dengan melakukan pengelolaan
kawasan sehingga memberikan nilai lebih untuk mendukung kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Karena sebelum bisa menjadi hutan desa, ada beberapa proses penting yang diperlukan. Yaitu adanya
komitmen masyarakat untuk menjaga, melestarikan,
mengelola secara arif kawasan hutan yang dimiliki yang
akan didorong untuk dikelola melalui skema pemberdayaan masyarakat dalam bentuk Hutan Desa/
Nagari dan HKM; kesepakatan terhadap mekanisme
pengelolaan hutan nagari mengacu pada sejarah adat
dan bentuk pengelolaan yang sudah ada serta sudah
dipraktekkan; kesepakatan mengenai aturan main yang
akan dipakai dalam pengelolaan Hutan Desa/Nagari
dan HKM mengacu pada aturan adat yang sudah ada;
kesepa-katan tentang lokasi (batas) areal hutan yang
disebut sebagai Hutan Desa/Nagari dan HKM; dan
kesepakatan untuk membentuk kelembagaan sesuai
dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masyarakat dimasing-masing Desa/Nagari.
Manajemen Lahan Gambut
Dengan Konsep Pembangunan
Rendah Karbon
Dalam pengembangan konsep PHBM, penguasaan lahan, distribusi, pemanfaatan dan pengusahaannya tidak
terlepas dari adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Sementara proses kontrol dilakukan oleh pranata
sosial dan budaya lokal. Dengan kata lain, pengembangan PHBM bukan untuk tujuan ekonomi semata,
karena sistem ini secara tegas menekan bahwa aktor
utamanya adalah rakyat yang berada pada komunitaskomunitas lokal.
embangunan Indonesia ke depan harus sejalan
dengan konsep pembangunan rendah karbon.
Konsep pembangunan seperti ini sangat diperlukan dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca
(GRK) yang sudah sangat mengkhawatirkan. Hal itu
bisa dilakukan dengan memperbaiki tata kelola kehutanan yang sangat berperan dalam upaya mengurangi
emisi karbon.
Seluruh aktifitas dalam pelaksanaan program PHBM
menggunakan pendekatan dengan proses dan dinamika yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan pola pendekatan seperti itu, hasil yang didapat
diharapkan tidak tertuju pada pencapaian fasilitas atau
pelayanan tertentu saja, namun adanya suatu proses
yang melibatkan seluruh warga desa dalam tindakan
dan pengambilan keputusan. Karena itu juga akan memotivasi, serta memberikan rasa tanggungjawab dan
ketrampilan kepada masyarakat desa dalam partisipasinya mendukung skema PHBM dalam rangka melakukan pembangunan ekonomi yang rendah karbon.
Karena upaya pengurangan emisi karbon mengharuskan negara melarang penebangan hutan. Padahal, hutan Indonesia kemungkinan akan terus menjadi sasaran
konversi. Adapun beberapa penyebabnya adalah pemekaran wilayah, kebutuhan pemukiman, dan peningkatan infrastruktur.
Menurut Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan
Kementerian Kehutanan R Iman Santoso yang dipublikasikan di Jurnal Nasional, 23 Agustus 2011, pembangunan ekonomi rendah karbon melalui pengurangan emisi dapat dilakukan dengan empat cara. Di
antaranya mengendalikan deforestasti dan degradasi,
konservasi stok karbon yang ada di hutan, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan daya serap karbon.
(Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
P
Selama ini kebakaran hutan, perusakan hutan, dan
konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian atau
permukiman, masih menjadi sumber emisi karbon
terbesar di Indonesia. Sehingga keberhasilan pemerintah memenuhi komitmen penurunan emisi sebesar
26 persen pada 2020, bergantung pada kesuksesan
mencegah pembakaran hutan dan lahan, menyelesaikan konflik penguasaan hutan, serta upaya penyelamatan lahan gambut yang masih tersisa.
Di Provinsi Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur
(Tanjabtim) termasuk daerah yang sangat potensial
menerapkan pembangunan rendah karbon. Karena
secara administratif Kabupaten Tanjabtim memiliki luas
daratan sekitar 5.445 km2, luas perairan 4.061,7 km2,
dengan panjang pantai 191 km atau 90,5% dari panjang pantai Provinsi Jambi. Dari luasan daratan tersebut, sekitar 65 % merupakan tanah gambut. Jumlah ini
hampir setengah dari luasan total lahan gambut yang
ada di Provinsi Jambi. Adapun luas lahan gambut di
Provinsi Jambi sekitar 6.763 km2.
Melihat tingginya potensi gambut di daerah ini, pemerintah daerah setempat dituntut memiliki keseriusan
menerapkan manajeman lahan gambut dengan konsep pembangunan rendah karbon. Sebab, keberadaan
lahan gambut bisa menjadi sebuah hambatan serius,
karena ia sangat mudah terbakar dan menimbulkan
emisi karbondioksida. Di sisi lain, keberadaan lahan
gambut juga memberikan keuntungan karena ia bisa
menyimpan karbon yang sangat besar. Hal itu terungkap dalam workshop bertema ‘peran strategis Kabupaten Tanjung Jabung Timur dalam implementasi
pembangunan rendah karbon di Provinsi Jambi’, yang
diadakan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi
bekerjasama dengan Pemkab Tanjabtim, Kamis, 7 Februari 2012 lalu.
Direktur Eksekutif KKI Warsi Rakhmat Hidayat mengatakan, selain memiliki kawasan gambut terluas di
Provinsi Jambi, Kabupaten Tanjabtim juga memiliki
potensi kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat
tinggi. Sehingga potensi pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat disini juga masih sangat besar.
Namun, untuk menjaga lingkungan harus ada komitmen dari pemerintah daerah maupun provinsi. Jika
sudah ada keseriusan dari para stakeholders tersebut,
maka harapan mengimplementasikan pembangunan
rendah karbon akan bisa dilakukan.
HTI di lahan gambut, butuh solusi untuk menyelamatkan kawasan gambut di timur Provinsi Jambi. Foto
Heriyadi/Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
GIS SPOT
24
hingga workshop ini sangat penting. Dan harapan saya
nanti ada langkah riil di lapangan dalam rangka menghadapi isu perubahan iklim ini,” kata bupati.
“Dengan adanya dukungan pembangunan dan dukungan kebijakan nanti akan membantu pemkab Tanjabtim
melakukan pembangunan rendah karbon,” katanya.
Koordinator Project KKI Warsi Nelly Akbar mengatakan, implementasi pembangunan rendah karbon
merupakan sebuah keharusan dalam upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Di level nasional,
Pemerintah Republik Indonesia berkomitmen untuk
mengurangi emisi GRK hingga 26 persen pada tahun
2020. Sehingga kemudian muncul Rencana Aksi Nasional (RAN) GRK, yang dilakukan oleh lima sektor
utama yaitu kehutanan dan lahan gambut, pertanian,
energi dan transportasi, industri, dan limbah.
Guna mendukung langkah-langkah Pemerintah Pusat
dalam penurunan emisi GRK, Jambi mengeluarkan
Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2012 tentang
Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD–GRK)
Provinsi Jambi. Sebagai kabupaten yang memiliki potensi gambut terbesar di Provinsi Jambi, Kabupaten
Tanjabtim memiliki peranan penting dan strategis dalam upaya penurunan emisi GRK tersebut.
“Berdasarkan pertimbangan itu, Warsi berinisiatif
menggelar workshop membahas konsep pembangunan rendah karbon yang dihubungkan dengan upaya
penurunan emisi GRK di Kabupaten Tanjabtim,” ungkapnya.
Dalam sambutannya Bupati Tanjabtim Zumi Zola Zulkifli menyatakan, pihaknya sangat mendukung pelaksanaan workshop tentang konsep pembangunan rendah
karbon di Kabupaten Tanjabtim. Sebab, isu pemanasan
global akibat kerusakan lingkungan belakangan ini sudah menjadi isu dunia yang sangat mengkhawatirkan.
Untuk itu, Tanjabtim akan berperan aktif dalam mengatasi persoalan tersebut. Apalagi Tanjabtim merupakan kawasan yang memiliki tanah gambut terbesar di
Provinsi Jambi.
“Kabupaten Tanjabtim memiliki potensi dan peran
besar dalam menurunkan CO2 di Provinsi Jambi. Se-
Dia menambahkan, untuk target penurunan emisi GRK
di Tanjabtim, pihaknya akan menyesuaikan dengan target nasional dan target provinsi Jambi. Adapun langkah
yang akan ditempuh adalah mempertahankan kawasan
lindung dan kawasan hutan sebesar 45,5 persen dari
luas wilayah, tidak mengeluarkan perizinan di kawasan lindung dan kawasan hutan, serta mengimbau
masyarakat agar tidak mengalihfungsikan lahan pangan
di daerah pasang surut menjadi lahan perkebunan.
Dalam mengimplementasikan pembangunan rendah
karbon, semua pihak perlu memahami bahwa konsep
pengembangan lahan pertanian rendah emisi karbon
juga perlu menjadi perhatian. Yaitu dengan memprioritaskan pengembangan lahan pertanian pada lahan
mineral; melestarikan hutan gambut alami dan hutan
primer; merehabilitasi lahan gambut terlantar menjadi
areal konservasi, lahan pertanian atau HTI; memilih
jenis tanaman yang toleran terhadap permukaan air
tanah dangkal; dan melakukan perbaiki pengelolaan
lahan pertanian eksisting di lahan gambut.
Beberapa Peraturan dan Undang-undang mengenai
pengelolaan lahan gambut tertuang dalam; Inpres
Nomor 32/1990: Lahan gambut dengan kedalaman
>3 m diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung, Kebijakan Deptan (1997): Pedum Pemanfaatan Lahan
Gambut, Aspek Kedalaman & Komoditas, Permentan
Nomor14/2009: Pedum Pengelolaan LG Untuk Perkebunan Kelapa Sawit, dan Perpres Nomor10/2011:
“Jeda/Moratorium” Pembukaan Hutan Alam (Primer)
dan Lahan Gambut.
Dengan adanya beberapa peraturan dan undang-undang yang mengatur kebijakan pengelolaan lahan gambut tersebut akan semakin memperkuat upaya penerapan pembangunan rendah karbon di kawasan gambut
seperti yang ada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Karena semua kegiatan yang akan dilakukan memiliki
legalitas hukum yang jelas. Sehingga upaya pembangunan rendah karbon yang dilakukan di daeerah ini diharapkan bisa membawa manfaat untuk penyelamatan
lingkungan dan kehidupan. (Herma Yulis)
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
GOOGLE EARTH (1)
Aplikasi GIS Sederhana Bagi Orang Awam
A
nda pernah menonton film Enemy of The State,
film yang diproduksi tahun 1998 ini dibintangi oleh
Will Smith. Pada film ini di gambarkan teknologi
Sistem Infomasi Geografi yang sangat canggih. Seluruh data terkoneksi dan dapat diakses dengan mudah.
Ketika penulis pertama melihat film ini sangat terkagumkagum dengan hal itu, dan pada saat itu sangat sulit
untuk membayangkan cara membuatnya serta dapat
diakses dengan mudah oleh orang awam.
Namun mimpi tahun 1998 itu sekarang sudah terwujud.
Alat yang dapat membantu itu bernama Google Earth.
Google Earth merupakan aplikasi dunia virtual yang dahulunya dinamai dengan Earth Viewer. Keyhole Inc sejak tahun 2001 telah menggagas ide tersebut, lalu tahun
2005 pihak Google mengakuisisinya.
Lalu sebenarnya apa kegunaan dari aplikasi Google
Earth ini ???. Banyak sekali manfaat yang bisa diambil
dari aplikasi ini, misalnya kita akan bepergian ke suatu
tempat yang belum pernah kita kunjungi. Maka aplikasi
ini dapat dengan mudah membantu kita. Cukup mengetikkan lokasi yang ingin kita tuju, maka dengan cepat
tempat itu tampil lengkap dengan foto-foto dan alternatif
jalan yang dapat kita tempuh untuk menuju lokasi tersebut.
Sebagai contoh kita coba mencari rute dari Bandara Sultan Thaha menuju Kantor Gubernur Jambi. Hal ini dapat
dengan mudah dilakukan. Dengan cara menekan link
Get direction. Kemudian isikan Bandara Sultan Thaha
di tempat awal dan isikan Kantor Gubernur Jambi di
tempat tujuan. Maka Google Earth akan menampilkan
Lokasi antara Bandara Sultan thaha dan Kantor Gubernur Jambi.
Dari Google Earth kita mendapatkan informasi Jarak
yang ditempuh adalah 11,6 Km atau sekitar 27 menit
perjalanan. Selain jarak dan waktu tempuh juga terdapat informasi rute lengkap dengan petunjuk arah (belok kanan-kiri) beserta nama jalan yang kita lalui untuk
menuju Kantor Gubernur Jambi.
Untuk melihat secara detail lokasi yang kita tuju. Kita
zoom tampilan Google Earth Menuju Kantor Gubernur
Jambi. Maka akan terlihat secara detail Kantor Gubernur Jambi lengkap dengan tampilan Citra Satelit, jalan
– jalan sekitar serta foto- foto Kantor Gubernur Jambi.
Dengan memanfaatkan salah satu tool dari google
earth ini maka dapat dengan mudah kita mengetahui
lokasi yang akan kita tuju walaupun kita baru pertama
kali pergi ketempat tersebut. (Sofyan Agus Salim)
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
25
26
DARI HULU KE HILIR
DARI HULU KE HILIR
Menuju Kantor Ramah Lingkungan
K
antor, tentu saja identik dengan keteraturan dan
kerapian. Tapi ini belum tentu satu paket dengan
kenyamanan dan kesejukan. Kenyamanan suasana kantor sangat diperlukan karena ia akan menjadi
rumah kedua, setelah hampir enam jam kita berutinitas
di sana. Dan tentu saja setiap tindakan dan kebiasaan
yang kita lakukan, dapat mengakibatkan kantor menjadi
tidak nyaman lagi ditempati. Ruangan yang panas, sesak, gersang tak memungkinkan kita bisa memberikan
kinerja yang baik. Padahal, untuk menciptakan kantor
yang ramah lingkungan tidak berarti harus merogoh kocek yang banyak. Yang diperlukan adalah kreatifitas dan
kemauan mengubah kebiasaan untuk lebih ramah lingkungan. Konsep kantor ramah lingkungan seperti yang
diusung KKI Warsi barangkali bisa menjadi inspirasi.
mengumpulkan daun-daun kering dari beberapa pohon
yang ada di kantor, lalu membakar sampah-sampah
tersebut. Namun sekarang sampah itu bisa dimasukkannya langsung dalam bak pengolahan dan ajaibnya
akan keluar cairan pupuk dari pengolahan sampah itu.
Siapapun akan merasakan suasana yang sejuk dan
rindang, sejak pertama kali menginjakkan kaki di kantor
KKI Warsi. Beralamat di JL. R. Inu Kertapati No 12 RT
10, Komp. DPRD, Kel. Pematang Sulur, Kecamatan, Telanaipura, Jambi. Sedikit jauh dari perkantoran lainnya.
Ya, memang kantor ini didirikan di komplek perumahan.
Namun jangan bayangkan kantor ini dibangun dengan
luasan minimalis. Mata anda akan dimanjakan dengan pekarangan rumput yang cukup luas dengan pohon berderet yang menjadi pengganti pagar. Suasana
itu menghilangkan kesan perumahan pada kantor KKI
Warsi. Yang uniknya lagi, kantor ini dipisahkan menjadi
dua bagian. Ada bangunan khas rumah meranjat berada di bagian depan, sementara di sisi belakang terdapat gedung tiga lantai. Bangunan dasar rumah meranjat
dan gedung tiga lantai itu berdiri di lahan seluas 1000
meter persegi.
Sebenarnya sampah dapat kita bedakan menjadi dua kelompok. Yaitu sampah organik dan non organik. Sampah
organik, tergolong sampah yang gampang busuk. Contohnya adalah sampah sisa makanan, dedaunan dan
masih banyak lagi. Sampah jenis ini sebenarnya masih
bisa kita manfaatkan lagi.
Bangunan tersebut dikelilingi ratusan lubang biopori
dan pohon-pohon di sekeliling pekarangan. Tidak hanya itu, di pekarangan juga berdiri kokoh solar cell dan
mesin pengolahan limbah sampah. Di sepanjang sudut
ruangan dan pekarangan juga tersedia kotak sampah
dua bagian yang bertuliskan sampah organik dan non
organik.
Kondisi kantor juga cukup terang, apalagi dengan deretan jendela kayu di ruangan meranjat yang berfungsi
sebagai pengurangan lampu dan tidak perlu lagi menggunakan air conditioner (AC).
Yuk, Mengolah Sampah Organik
Sugiyem, perempuan setengah baya yang sehari-hari
bekerja sebagai tukang bersih-bersih di kantor KKI
Warsi sekarang setiap paginya membuang sampah
basah ke dalam sebuah bak pengolahan sampah yang
terdapat di sekitar pekarangan kantor. Biasanya dia
Tidak hanya daun-daun kering, Sugiyem juga memasukkan sampah-sampah organik yang sudah dipisahkan
dengan sampah non organik. Dengan mesin pengolah
sampah ini sampah-sampah tersebut bisa diolah menjadi pupuk cair. Sugiyem cukup menambahkan satu ember sampah organik ke dalam bak pengolahan ditambah dengan air secukupnya. Dengan cara itu ia akan
mendapatkan setidaknya satu liter pupuk cair untuk
tanaman yang ada di pekarangan kantor.
Sampah organik pun terbagi dari sampah organik basah dan sampah organik kering. Yang dimaksud dengan
sampah organik basah yaitu sampah yang mempunyai
kadar kandungan air di dalamnya seperti sisa buah dan
sayuran.
Lalu apa yang dimaksud dengan sampah organik kering? Tentu saja terbalik dengan pengertian sampah organik basah di atas. Sampah ini tidak mempunyai kandungan air yang besar. Contohnya adalah sampah yang
berasal dari dedaunan kering dan lain sebagainya.
Sedangkan sampah non organik termasuk jenis sampah
yang memerlukan waktu yang cukup lama dalam penguraiannnya. Sampah non organik kebanyakan berasal
dari sumber daya alam, contohnya seperti plastik dan
aluminium. Sampah non organik yang telihat nyata dalam rumah tangga bisa berupa botol plastik, tas plastik,
kaleng dan lain sebagainya. Dan banyak sekali dampak
negatif bagi alam yang disebabkan oleh sampah non
organik ini, diantaranya menurunkan kualitas lingkungan dan juga menurunkan estetika lingkungan. Sampah
yang berserakan dan bau akan menjadikan lingkungan
tidak nyaman untuk ditempati.
Pembuatan biopori di halaman kantor KKI Warsi. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
peneliti dan dosen di Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Lubang
Resapan Biopori berupa sebuah lubang silindris yang
dibuat secara vertikal ke dalam tanah. Lubang ini akan
memicu munculnya biopori secara alami di dalam tanah.
jir akibat meluapnya air hujan. Selain itu, teknologi ini
juga mampu meningkatkan jumlah cadangan air bersih
dalam tanah. (sumber: http://alamendah.wordpress.
com/2009/10/14).
Biopori sendiri adalah istilah untuk lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai aktifitas organisme yang terjadi di dalam tanah seperti oleh cacing,
rayap, semut, dan perakaran tanaman. Biopori yang terbentuk akan terisi udara dan menjadi tempat berlalunya
air di dalam tanah.
Tahukah Anda, bahwa penggunaan listrik sangat berpengaruh pada penghematan energi bahan bakar
minyak. Saat ini terdapat sekitar 23 persen dari total
pembangkit listrik Indonesia yang menggunakan bahan
bakar minyak. Lebih parahnya lagi pembangkit listrik
berbahan bakar minyak ini menyedot 60 persen dari total bahan bakar yang diperlukan. Dan ini berarti juga
semakin tinggi emisi karbon yang dihasilkan, lho!
Biopori, Solusi Penangkal Banjir
Prinsip kerja lubang peresapan biopori sangat sederhana. Lubang yang kita buat, kemudian diberi sampah
organik yang akan memicu biota tanah seperti cacing
dan semut dan akar tanaman untuk membuat ronggarongga di dalam tanah yang disebut biopori. Ronggarongga (biopori) ini menjadi saluran air untuk meresap
kedalam tanah.
Lubang resapan biopori atau biasa disebut “lubang biopori” merupakan metode alternatif untuk meningkatkan
daya resap air hujan ke dalam tanah. Metode ini pertama kali dicetuskan oleh Dr. Kamir R. Brata, seorang
Lubang resapan biopori adalah teknologi sederhana
yang tepat guna dan ramah lingkungan. Lubang biopori ini mampu meningkatkan daya resap air hujan ke
dalam tanah sehingga mampu mengurangi resiko ban-
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Hemat Energi Ala Solar Cell
Sebagai upaya untuk menghemat energi, KKI Warsi
sudah mulai menggalakkan penggunaan solar cell atau
pembangkit listrik tenaga matahari. Salah satu upaya
yang sedang dilakukan, yaitu terdapatnya satu instalasi
solar panel telah dipasang di halaman kantor. Penggunaan solar cell ini sejak setahun yang lalu.
Solar cell merupakan salah satu energi masa depan
yang berkelanjutan. Bagaimana tidak, sumber energi
ini memanfaatkan sinar matahari yang bisa didapatkan
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
27
DARI HULU KE HILIR
28
secara gratis. Solar panel adalah alat yang merubah sinar matahari menjadi listrik melalui proses aliran-aliran
elektron negatif dan positif di dalam cell modul tersebut,
karena perbedaan elektron. Hasil dari aliran elektronelektron akan menjadi listrik DC yang dapat langsung
dimanfaatkan untuk mengisi battere/aki sesuai tegangan dan ampere yang diperlukan.
seminar juga lebih efektif dan hemat jika menggunakan
email. Bahkan untuk berbagi informasi, sudah digiatkan penggunaan milis-milis bersama. Ini memudahkan
setiap individu di kantor untuk saling berbagi informasi
yang kerahasiaannya tetap bisa terjaga untuk para anggota saja. yang tidak terlalu penting dan tidak butuh
bukti fisik berupa print surat, cukup gunakan email.
Mari Diet Kertas!
Belum lagi untuk dokumen atau laporan bulanan tidak
harus selalu dicetak, cukup dalam bentuk digital dan
disimpan secara sitematis di komputer anda. Pengiriman laporan juga cukup via email saja. Jika memang
anda benar-benar membutuhkan untuk me-ngeprint dokumen tersebut, maka anda bisa mencetak dokumen
tersebut. Tidak semua dokumen perlu dicetak bukan?
Cukup simpan saja file-nya di computer anda dan pastikan anda punya backupnya di tempat lain, misalnya di
flash disc, disc atau external hard disc untuk jaga-jaga
jika file di computer utama anda error. Dengan lebih
sedikit penggunaan kertas, kantor akan lebih rapi dan
keruwetan juga bisa ditekan. Ruang untuk penyimpanan kertas bisa digunakan untuk tujuan lain yang lebih
produktif. Dengan berbagi secara digital, dokumen dan
file bisa diakses oleh siapa saja yang diperbolehkan,
tanpa mengenal waktu dan tempat.
Setiap hari kita pasti menggunakan atau paling tidak
berhubungan dengan kertas. Mungkin saja kita berniat memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian
bumi. Namun, mengapa harus bersusah payah menekan penggunaan kertas? Itu menjadi pertanyaan yang
terkadang terlintas saat kita harus melakukan aksi
pengurangan penggunaan kertas. Perlu diketahui penggunaan kertas secara berlebihan akan membebani lingkungan karena berarti akan ada banyak pohon yang
harus ditebang.
Pertanyaan ini seringkali muncul, jika Anda bertekad
untuk memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian bumi ini.Mengapa harus bersusah payah menekan
penggunaan kertas? Betul bahwa kertas dengan mudah didapatkan sekarang. Tetapi menggunakan kertas
secara berlebihan akan mempercepat laju deforestasi
hutan, karena berarti akan ada lebih banyak pohon
yang harus ditebang. Setiap 15 rim kertas ukuran A4 itu
akan menebang 1 pohon. Setiap 7000 eks lempar koran
yang kita baca setiap hari itu akan menghabiskan 10-17
pohon hutan.
Dalam satu hari ada berapa jutaan lembar kertas yang
dipakai oleh orang Indonesia, dan ini artinya ada jutaan
pohon hutan yang ditebang untuk memenuhi kebutuhan
itu. Dengan menghemat penggunaan kertas, karena
kertas itu bahannya adalah dari kayu hutan. Sekitar 70%
bahan kertas adalah menggunakan kayu dari hutan.
Di kantor KKI Warsi gerakan penghematan kertas dilakukan dengan pemanfaatan kertas bekas untuk buku
catatan atau memo, serta pengoptimalan penggunaan
kertas secara dua sisi untuk print. Selain itu untuk penyimpanan file dan sistem backup bisa memanfaatkan
mesin scanner. Di sini sudah digunakan untuk penyimpanan data backup yang diakses dalam bentuk digital.
Untuk surat menyurat, biasanya staff kantor, cukup
dengan menggunakan email. Undangan diskusi atau
Selain beberapa gerakan di atas, kita harus terus
mengembangkan tindakan-tindakan kecil yang bisa kita
lakukan. Di antaranya, dengan mematikan peralatan listrik seperti lampu, televisi, komputer jika tidak digunakan. Jika setiap orang di masing-masing rumah melakukan hal yang serupa, bisa kita bayangkan sudah berapa
besar kita menghemat energi listrik. Sebenarnya masih
begitu banyak hal-hal teknis yang dapat kita lakukan
untuk menghemat penggunaan listrik seperti atur AC
sesuai kebutuhan. Yang paling penting adalah, segera
bersikap ramah lakukan. Jangan berhenti hanya sekedar niat baik.
Demikianlah langkah kecil yang sudah dikembangkan
KKI Warsi, yang dekat dengan keseharian kita guna
menghemat energi dan menyelamatkan bumi dari ketuaannya. Dan ketiga hal tersebut hanya bisa terjadi jika
didukung dengan kesadaran diri. Sebagaimana dikatakan AA Gym, bahwa kiat mengubah bangsa dapat dimulai dari diri sendiri, dari yang paling kecil, dan dimulai
dari saat ini. So, what are we waiting for? (Elviza Diana/
berbagai sumber)
DARI HULU KE HILIR
Pembangunan instalasi biogas di Napal Melintang Sarolangun. Foto Yusrita/Dok KKI Warsi
Mengembangkan Energi
Alternatif dari Desa ke Desa
A
bdul Mugis, berasal dari Kampung Mengkuang
Kecil, Dusun Laman Panjang Kecamatan Batin
Tiga Ulu, Kabupaten Bungo. Sudah tiga hari,
Mugis mengikuti praktek lapangan instalasi biogas dalam upaya pengembangan energi terbarukan berbasis
potensi lokal yang dilakukan KKI Warsi. Mengenakan
celana dasar berwarna hitam dan baju kaos biru, dia
tampak mencolok di antara peserta lainnya. Mugis juga
antusias mengajukan berbagai pertanyaan. Sepertinya
dia masih penasaran dengan materi-materi instalasi
biogas yang dijelaskan.
Padahal, sehari sebelumnya praktek serupa sudah
diberikan di rumahnya, namun dia terus berusaha
menggali informasi lebih banyak lagi terkait instalasi
biogas tersebut. Ketertarikannya terhadap biogas bermula pada kerepotannya menyediakan kayu bakar untuk memasak.
Setiap minggu, keluarganya membutuhkan paling sedikit
4 ambung kayu bakar (1 ambung berisi 30 kilo gram).
Ini berarti ia menghabiskan sekitar 120 kilo gram kayu
bakar dalam sebulan. Namun belakangan ini mencari
kayu bakar semakin sulit. Kesulitan bapak tiga putri ini
mencari kayu bakar seringkali memicu cekcok dengan
istrinya. Bayangkan saja, untuk mendapatkan kayu bakar itu, dia harus berjalan 20 kilo meter dari rumahnya.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Jika harus membeli, satu ambung ia harus mengeluarkan uang seharga Rp 15.000 hingga Rp 20.000.
Selain menggunakan kayu, Mugis juga pernah menggunakan minyak tanah dan gas. Namun lagi-lagi, dia harus merogoh kocek yang lebih besar. Jika menggunakan
gas, dia minimal harus membeli dua tabung gas ukuran
tiga kilo gram setiap bulan. Jika memilih menggunakan
minyak tanah bahkan akan memakan biasa yang lebih
besar. Dalam satu bulan Mugis harus merogoh isi kocek
hingga Rp 600.000 untuk 60 liter minyak tanah.
Menyulap Kotoran Sapi
Kondisi ini menginspirasi Mugis belajar dari pengalaman
Muhammad Razi (41), salah seorang warga di dusun
tetangganya, Dusun Senamat Ulu. Razi adalah salah
seorang pionir penggunaan instalasi biogas sederhana
dari kotoran sapi. Sejak enam bulan lalu Razi sudah
menggunakan biogas untuk keperluan memasak. Meski
tidak memiliki sapi dan kerbau, tak menyurutkan keinginannnya untuk membuat biogas. Karena kotoran ternak
sangat mudah didapat di Senamat Ulu. Sistem perternakan di daerah ini masih dengan sistem peternakan
lepas.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
29
DARI HULU KE HILIR
30
Alhasil, kotoran hewan berceceran dimana-mana. Setiap sore ayah dua orang anak ini cukup membawa
sebuah sekop dan bekas ember cat berkeliling desa
untuk mengambil kotoran-kotoran hewan mamalia itu.
Pada awalnya banyak sindiran dan cibiran dari para tetangga, namun ini sebanding dengan manfaat yang ia
dapat. Selain gas untuk memasak, sisa kotoran yang
sudah diambil gasnya (slurry) dapat dijadikan pupuk organik untuk kebun sayuran dan karet.
“Dengan pupuk organik tersebut, terlihat perbedaan
antara sayur-sayuran yang diberikan dan yang tidak.
Tanaman dengan pupuk organik terlihat lebih subur,”
ujarnya ketika meninjau kebun sayur miliknya.
Teknik pengembangan biogas ini sudah ada sejak tahun
1970, tapi mulai berkembang di awal 2006. Namun selama ini instalasi biogas masih berupa denplot-denplot
pemerintah. Hamdani Alwi, Specialist Kelembagaan
KKI Warsi telah berupaya mengembangkan biogas ini
sejak tahun 2005, namun dengan tipe dan volume yang
berbeda. Kontruksi digester biogas yang ia kembangkan pada awalnya terbuat dari semen dengan volume
berskala besar. Kepraktisan, merupakan satu-satunya
kata kunci, yang membuat alumni Universitas Syiah
Kuala ini berpikir memodifikasi pembuatan biogas menjadi mudah, murah dan mampu dilakukan masyarakat
di pedesaan dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Setidaknya ia telah membuat lebih dari 100 buah
instalasi biogas dengan tipe dan volume yang berbedabeda.
Menurut Hamdani, masyarakat memang harus diberi
pemahamam lebih banyak terkait biogas. Apalagi biogas
bukan hanya sekedar energi alternatif tapi limbahnya
dapat dijadikan pupuk. Kotoran ternak yang dibutuhkan
juga tidak teralu besar. Dengan menyediakan kotoran
ternak sebanyak 20 kilo gram untuk satu keluarga yang
dibiarkan sampai 15-21 hari sudah bisa menghasilkan
gas. Untuk pemakaian selanjutnya, hanya perlu menambahkan kotoran dengan penambahan air setengah
hingga satu ember perhari.
tiga Kabupaten di Provinsi Jambi. Praktek lapang ini
berlangsung di lima desa di Kecamatan Bathin Tiga
Ulu Kabupaten Muaro Bungo, satu desa di Kecamatan
Limun Kabupaten Sarolangun, dan satu desa di Kecamatan Bathin XXIV Kabupaten Batanghari. Praktek
lapang ini dilaksanakan dengan mengandalkan potensi
lokal yang tersedia.
Emmy Primadona, selaku koordinator kegiatan menyebutkan, kegiatan ini diharapkan bisa menambah pengetahuan masyarakat dalam memahami pemanfaatan
energi alternatif yang ramah lingkungan sekaligus upaya strategis mitigasi perubahan iklim.
“Biogas menjadi sebuah solusi dari kesulitan energi
masyarakat, serta sebagai pemacu masyarakat untuk
lebih memperhatikan lingkungan. Karena selama ini, kotoran sapi dan kerbau menyebabkan polusi udara, dan
menimbulkan berbagai penyakit yang disebarkan lalat
karena kotoran yang berserak. Dengan adanya pelatihan pembuatan instalasi biogas yang mudah, murah
dan mampu dikerjakan masyarakat, kita berharap ada
perubahan paradigma di tingkat masyarakat, khususnya pemilik ternak untuk mengandangkan hewan peliharaan mereka,” jelasnya.
Ia menambahkan, berdasarkan laporan FAO 2006 bahwa sektor peternakan merupakan penghasil emisi gas
rumah kaca yang besarnya kurang lebih 18 persen. Kotoran ternak merupakan penghasil gas metana (CH4)
yang sama bahayanya dengan karbon dioksida. Molekul
panas yang dihasilkan oleh gas metana menyebabkan
berlubangnya lapisan ozon dan berkontribusi pada pemanasan global. Kegiatan praktek lapang ini juga dalam rangka mengajak peran serta masyarakat untuk
berpartisipasi dalam upaya mitigasi perubahan iklim
baik. Sebab dengan adanya stasiun biogas di rumah
masyarakat akan mengurangi ketergantungan mereka
pada hutan sebagai sumber bahan bakar, serta mengurangi jumlah gas metana yang dilepaskan ke udara.
(Elviza Diana)
Sementara pupuk organik sisa limbah biogas, kata
Hamdani, mengandung mikroba-mikroba yang penting bagi tanah, sekaligus bersifat sebagai dekomposer
yang dapat menjadi bakteri baik untuk menghancurkan
bahan-bahan organik menjadi zat yang bisa diterima
tanaman. Selain itu limbah biogas juga makan melancarkan sirkulasi oksigen dalam tanah, dan mengembalikan kesuburan tanah.
Upaya Mitigasi Perubahan Iklim
Guna mendorong pengembangan penggunaan energi
terbarukan (green ekonomi) di tingkat komunitas, KKI
Warsi menyelenggarakan praktek instalasi biogas di
WAWANCARA
Memasak menggunakan bahan bakar biogas. Foto Ham
Alwi/Dok KKI Warsi.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Wawancara Bupati Tanjung Jabung Timur Zumi Zola Zulkifli
Pemberian Sanksi
Bagi Perusak Lingkungan
I
su pemanasan global terus bergulir dan mulai menerpa berbagai sektor kehidupan. Alih fungsi hutan
menjadi salah satu faktor yang menjadi sumber pemanasan global. Terkait konteks ini, bagaimana Kabupaten Tanjung Jabung Timur mengelola kawasan dan
kemana arah pembangunan Tanjabtim saat ini?
Sesuai misi ke-7 RPJMP Kabupaten Tanjung Jabung
Timur tahun 2011-2016, yaitu menata zonasi dan perlindungan terhadap kawasan konservasi, peninggalan
budaya situs dan pengembangan budaya tradisional.
Tujuannya adalah mewujudkan penataan zona dan melestarikan kawasan lindung, menjadikan situs budaya
tradisional sebagai pusat penelitian budaya, serta wisata budaya dan warisan budaya.
Sasarannya adalah kesadaran para stakeholders tentang pentingnya pelestarian alam dan lingkungan hidup,
khususnya kawasan konservasi dan kawasan lindung.
Adanya peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam
proses pengambilan kebijakan pemerintah daerah yang
berkenaan dengan lingkungan hidup, serta adanya
penghargaan kepada inisiator yang menjaga lingkungan hidup dan menerapkan sanksi secara konsisten terhadap perusak lingkungan hidup.
Jika arah pembangunan mengarah pada green
economy, apa yang akan menjadi fokus utama Tanjabtim dalam pengembangan pembangunan ini?
Di dalam Perda No. 11 Tahun 2012 RTRW Kabupaten
Tanjung Jabung Timur telah dituangkan dalam kajian
spasial bahwa kebijakan dan strategi penataan ruang
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
31
32
WAWANCARA
wilayah kabupaten, di antaranya adalah menjaga kawasan lindung untuk kelestarian sumberdaya alam
secara terpadu melalui pemanfaatan fungsi kawasan
lindung. Kemudian mempertahankan kawasan lindung
serta kawasan hutan seluas 45,5% dari luas wilayah
Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
berkontribusi sebesar 48 persen terhadap pengurangan
emisi GRK Jambi. Sementara pemerintah Indonesia
berkomitmen secara sukarela akan menurunkan emisi
GRK 26 persen dengan usaha sendiri atau mencapai
41 persen dengan bantuan internasional pada tahun
2020.
Keberadaan lahan gambut merupakan hambatan
(gambut mudah terbakar dan rawan pelepasan
karbondioksida), sekaligus menjadi peluang (gambut merupakan cadangan karbon terbesar) untuk
Tanjabtim. Bagaimana konsep pengelolaan gambut
yang ideal dilakukan di Kabupaten Tanjab Timur di
masa yang akan datang?
Sebagai daerah dengan lahan gambut terluas di
Provinsi Jambi, apakah Bapak memiliki target yang
akan dicapai untuk penurunan emisi GRK di Tanjab
Timur?
Kurang lebih 70 persen wilayah Kabupaten Tanjung
Jabung Timur merupakan lahan basah (wetland) yakni
gambut dan rawa, yang merupakan no renwable resources sehingga dalam pemanfaatan serta pengelolaannya harus sangat berhati-hati. Melalui Inpres No. 10
Tahun 2011 mengenai moratorium pemberian izin pada
lahan gambut melalui peta indikatif, kebijakan sudah diterapkan sesuai dengan peraturan.
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan
hutan sangat penting untuk mengontrol pembangunan rendah karbon dan pro poor. Menurut
Bapak, bagaimana pola pelibatan masyarakat yang
ideal dalam rangka mengelola sumberdaya lestari
dan berkelanjutan?
Peran aktif dari masyarakat itu pasti sangat penting.
Karena kalau pemda saja yang menjaga itu saya rasa
tidak memungkinkan. Dengan terlibatnya masyarakat
ada rasa sense of belonging, rasa bertanggungjawab
menjaga lingkungannya. Yang kita bicarakan bukan
masalah lima tahun sepuluh tahun, tapi terus untuk generasi yang akan datang. Keterlibatan aktif masyarakat
ini adalah ketika membuat kebijakan kita libatkan
masyarakat, tokoh-tokoh masyarakatnya, tokoh-tokoh
agamanya, orang yang sangat berperan di tengah
masyarakat juga kita libatkan.
Dan kemudian untuk inisiator yang berusaha menjaga
lingkungan kita berikan penghargaan tentunya. Dan
begitu juga sebaliknya, untuk yang melanggar ada
punishment. Saya berharap dengan adanya pendekatan-pendekatan ini bisa menjadi solusi yang berkesinambungan dan menjadi sinergi antara pemda dan
masyarakat.
Lahan gambut dan sektor kehutanan menjadi kontributor terbesar (85 persen) terhadap total emisi Jambi. Jika
tidak ada perubahan dalam cara pengelolaan sektor ini,
emisi GRK Jambi diperkirakan akan meningkat mencapai 30 persen hingga tahun 2030. Sebaliknya, jika
upaya konservasi lahan gambut dilakukan, diperkirakan
SUARA RIMBA
Ya. Kabupaten Tanjung Jabung Timur memliki lahan
gambut katakanlah 50 persennya lahan gambut yang
ada di Provinsi Jambi. Saya berharap kita jangan hanya
bicara dalam betuk kabupaten saja, tapi harus secara
keseluruhan, Provinsi dibicarakan.
Ketika dunia begitu memperhatikan masalah gambut
dan masalah karbon, saya rasa juga dari provinsi dan
kabupaten bersama-sama. Kalau kita tidak cepat-cepat,
ancamannya yang sama-sama kita ketahui bahwa sekitar 200 pulau yang akan tenggelam. Hal ini kan cukup
besar.
Untuk itu saya berharap kami dari kabupaten siap dan
dari provinsi juga siap. Ya mudah-mudahan kita bisa
bekerjasama. Kita sudah mempunyai perda RPJMD
dan RTRW yang salah satu substansinya adalah mengandung kegiatan yang terkait dengan emisi GRK.
Dalam jangka waktu berapa tahun target penurunan emisi GRK itu akan dicapai?
Untuk penentuan target, kami dari kabupaten Tanjung
Jabung Timur akan menyesuaikan dengan target nasional dan target Provinsi Jambi.
Apa langkah yang akan dilakukan Pemerintah Tanjab Timur untuk melakukan penurunan emisi GRK?
Kabupaten Tanjabtim memiliki potensi dan peran besar
dalam menurunkan CO2 di Provinsi Jambi. Dan harapan saya nanti ada langkah riil di lapangan dalam rangka menghadapi isu perubahan iklim ini.
Ada beberapa langkah yang akan ditempuh. Yaitu:
mempertahakan kawasan lindung dan kawasan hutan
sebesar 45,5 persen dari luas wilayah kabupaten sebagaimana diatur dalam Perda RTRW; tidak akan mengeluarkan perizinan yang termasuk dalam kawasan
lindung dan kawasan hutan; mempertahankan luas
kawasan tanaman pangan seluas 17 ribu hektar yang
berfungsi sebagai penyerap emisi; dan mengimbau
masyarakat untuk tidak mengalihfungsikan lahan pangan di daerah pasang surut menjadi lahan perkebunan.
(Herma Yulis)
ALAM
SUMATERA,
edisi
MARET 2013
ALAM
SUMATERA,
edisi
DESEMBER
2012
Pelayanan kesehatan Orang Rimba oleh fasilitator kesehatan KKI Warsi. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi.
Nasib Orang Rimba dalam
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
G
una mewujudkan masyarakat sehat dan sejahtera, pemerintah terus berupaya untuk
menghadirkan kebijakan dan aplikasinya. Salah
satunya adalah pelayana kesehatan bagi masyarakat
miskin dan rentan. Diawali dengan lahirnya UU No 40
Tahun 2004 tentang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diperkuat dengan UU No 24/2011
tentang Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS),
Pemerintah menjamin kesehatan setiap warga negara.
BPJS dalam praktiknya dibagi menjadi jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan. Sampai disini, jelas
kebijakan ini terlihat menguntungkan bagi masyarakat
miskin.
Direncanakan pada 1 Januari 2014 sistem jaminan social nasional sudah bisa berjalan. Namun rencana ini
masih diragunkan, mengingat persiapan untuk pelaksanaanya masih terkendala dengan belum keluarnya petunjuk teknis pelaksanaan di tingkat lapangan. Dalam
implementasi UU BPJS masih diperlukan tindak lanjut
PP dan Perpres yang diperkirakan selesai pada akhir
tahun 2013.
Dengan adanya BPJS ini secara otomatis menghilangkan program yang selama ini di berikan oleh pemerintah
pusat (Jamkesmas) dan pemerintah daerah (Jamkesda)
ataupun kartu sehat di Pemda DKI. Sekarang ini terdapat 76,4 juta jiwa yang mendapatkan kartu Jamkesmas
dan ribuan peserta Jamkesda (berbeda jumlah daerah
yang satu dengan daerah yang lain tergantung dari kemampuan daerah untuk mengalokasikan dana kesehatan). Itupun masih belum termasuk dengan masyarakat
miskin penghuni lapas rutan, penghuni panti panti
sosial dan masyarkat korban bencana, gelandangan
pengemis, anak terlantar, bayi baru lahir dari pasangan
keluarga Jamkesmas, penderita thalasemia mayor dan
peserta keluarga harapan (PKH) yang mendapat jaminan dari instansi tertentu.
Dalam UU BPJS tersebut semua orang yang akan dijaminkan dan mendapat jaminan adalah mereka yang
membayar iuran (premi) yang dibayarkan secara teratur
oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah. Kelompok masyarakat yang selama ini mendapat jaminan
dari instansi tertentu atau non peserta Jamkesmas dan
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
33
34
SUARA RIMBA
Jamkesda harus di dafarkan oleh pemerintah dan pembiayaanya juga akan di berikan oleh pemeritah.
Lantas bagaimana dengan nasib Orang Rimba dalam
jaminan ini? Orang Rimba jika merujuk kepada UndangUndang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan
Fakir Miskin termasuk dalam kelompok masyarakat
miskin yang wajib ditangani oleh pememrintah. Jika
pelaksanaan Jaminan kesehatan nasional ini persyaratan pesertanya merujuk ke UU ini, akan ditemukan banyak kerumitan dalam pemberian jaminan kesehatan
bagi Orang Rimba.
Orang Rimba meski termasuk dalam kelompok
masyarakat miskin, dalam program Jamkesda yang sudah digulirkan oleh pemerintah daerah, tidak semuanya
tercover oleh jaminan ini. Selama ini hanya beberapa
ratus Orang Rimba saja yang tercover jaminan kesehatan daerah ini, dari lebih dari 3.500 jiwa orang rimba
di Provinsi Jambi. Orang Rimba yang diakomodir dalam Jamkesda ini, sebagian besar tidak memiliki kartu,
akan tetapi berdasarkan kompromi Warsi dengan Dinas
KEsehatan Kabupaten Setempat, bahwa semua Orang
Rimba bisa dilayani. Hanya saja hal ini semakin sulit
mengingat
Dalam advokasi untuk kesehatan Orang Rimba sejak
2007 silam sudah ada Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman) antara Warsi dan Pemerintah Kabupaten Sarolangun. Walau sudah ada MoU ini
namun dalam pelaksanaannya, Orang Rimba masih
belum maksimal memanfaatkannya dikarenakan keterbatasan kemampuan Orang Rimba mengakses layanan
kese-hatan publik. Advokasi yang dilakukan Warsi, sejak 2010 telah ada beberapa kebijakan yang diberikan
pemerintah daerah seperti Sarolangun, Bungo dan Merangin tentang jaminan kesehatan yang diberikan ke
Orang Rimba. Kebijakan ini boleh dikatakan merupakan
hasil dari komunikasi intensif yang dilakukan oleh Warsi
ke instansi pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan kabupaten dan juga pusat layanan kesehatan
baik di Puskesmas maupun rumah sakit. Ketiga kabupaten tersebut terdapat keputusan kepala daerah yang
menerangkan bahwa setiap Orang Rimba yang membutuhkan perawatan rawat inap di puskesmas perawatan maupun rumah sakit daerah tidak dikenakan biaya
sedikitpun. Meskipun untuk ke tingkat rujukan lanjutan
di provinsi mereka harus mendapatkan surat keterangan dan jaminan dari instansi pemerintah tertentu.
Dalam pendampingan yang dilakukan Warsi, terdapat
banyak kasus kesehatan Orang Rimba yang membutuhkan rujukan perawatan ke tingkat provinsi. Karena
belum adanya kebijakan di tingkat provinsi tentang jaminan kesehatan ini terdapat beberapa kasus tidak
diberikan layanan kesehatan ketika tidak menunjukkan
SUARA RIMBA
jaminan dari instansi tertentu atau dapat dilayani apabila bersedia mengganti biaya perawatan. Ke depan
kebijakan ini tidak akan berlaku lagi karena semuanya
harus dapat dimasukkan dalam jaminan kesehatan (JK)
yang dikelola oleh BPJS. Hingga kini kriteria penerima
jaminan sosial nasional belum diputuskan pemerintah,
sejumlah perdebatanpun masih berlangsung. Desakan
untuk berpatokan pada kriteria masyarakat miskin yang
diatur dalam UU no 13 tentang Penanganan fakir miskin
kemungkinan akan digunakan.
Namun pertanyaannya, jika kriteria ini yang akan dipakai, maka akan ada beberapa persoalan yang akan
dihadapi. Diantaranya, bahwa peserta di data oleh
masing-masing RT-RW dan kelurahan untuk kemudian
diverifikasi instansi yang berwenang. Kenyataannya sejauh ini sebagian besar Orang Rimba tidak terintegrasi
ke dalam satu pemerintahan desa, jadi sebagai pendduduk mana mereka akan dicantumkan. Meskipun petunjuk teknis ini sampai saat ini belum ada akan tetapi
perlu di antisipasi adanya kerumitan yang akan di alami
Orang Rimba ketika mendaftar sebagai peserta JK ini.
Padahal menurut pengamatan Warsi, pada kurun waktu
satu tahun terakhir ini saja, terjadi peningkatan kebutuhan rujukan layanan kesehatan bagi Orang Rimba.
Fakor-faktor yang mempengaruhi peningkatan rujukan
layanan ini akibat meningkatnya varian penyakit yang
diderita kelompok Orang Rimba. Selain itu kemampuan
dukun Orang Rimba untuk penyembuhan secara tradisional juga mengalami kemunduran akibat semakin sulitnya menemukan tanaman obat di dalam rimba yang
terdegradasi. Kerentanan Orang Rimba pada penyakit
juga disebabkan sejauh ini Orang Rimba belum mendapatkan imuniasi yang memadai untuk peningkatan daya
tahan tubuh mereka.
Melihat begitu kompleknya permasalahan kesehatan mendasar yang dihadapi Orang Rimba mau tidak
mau, suka tidak suka Orang Rimba harus mendapatkan jaminan kesehatan dari BPJS ini. Keanggotaan
Orang Rimba merupakan syarat utama agar mereka
mendapatkan jaminan dari BPJS. Secara tegas UU
No 24/2011mengharuskan bahwa setiap peserta wajib
mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai
Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. Harusnya dalam aturan ini ada
tambahan untuk komunitas masyarakat seperti Orang
Rimba. Sehingga meski secara administrasi mereka
tidak terintegrasi dengan desa manapun, pemerintah
dapat tetap memberikan jaminan kesehatan bagi mereka. Untuk itu diperlukan dukungan dari semua pihak
agar Orang Rimba mampu mendapatkan hak mereka
sebagai peserta BPJS. (Kristiawan)
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Teater Tonggak memperagakan teatrikal perjuangan Yusak ketika mengajar di Bukitduabelas. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Mengenang 14 Tahun Kepergian Yusak
The Orang Rimba Education Hero
A
ir matanya menggantung dipelupuk, diciumnya lukisan sang putra yang sudah 14 tahun
silam pergi meninggalkannya untuk selamanya. Haru, sedih namum ada kebanggaan di
hati Roosni Hutapea, sang ibu yang telah melahirkan
Yusak Adrian Hutapea pionir guru pendidikan Orang
Rimba. Dalam kisahnya Roosni (75) sempat melarang
Yusak putra kelimanya untuk bekerja di Warsi, ia meminta Yusak bekerja di kota dengan pekerjaan yang lebih
mapan.
Namun larangan sang mama, dijawab dengan bijak
oleh Yusak. “Mama, kalau mama lihat sendiri orang rimba, melihat bagaimana mereka hidup, melihat bagaimana tanah-tanah mereka diambil pihak lain, saya yakin
mama akan mendukung saya,” tutur Roosni menirukan
ucapan Yusak kala itu.
Sang mamapun akhirnya merestui putra kelimanya itu
bekerja bersama Orang Rimba yang diawalinya pada
24 Januari 1998. Kala itu, Yusak sebagai antropolog
lulusan Universitas Gajah Mada 1997, direkrut Warsi
untuk mengembangkan pendidikan bersama anakanak rimba. Yusak bersemangat sekali menekuni
pekerjaaannya, kelompok demi kelompok Orang Rimba
ditemuinya. Bergaul akrab dengan Orang Rimba, Yusak
melihat suatu kenyataan bahwa Orang Rimba kehilangan sumber daya mereka karena ketidaktahuan Orang
Rimba pada huruf-huruf dan angka. Hanya disodori
selembar kertas kemudian di diminta Orang Rimba
membubuhkan jempolnya, seminggu berikutnya Orang
Rimba sudah tergusur di tanahnya sendiri, rupanya cap
jempol yang dibubuhi merupakan surat persetujuan
Orang Rimba untuk pengalihan lahan mereka menjadi
perkebunan sawit, HTI transmigrasi.
Terlihat sekali ketidaktahuan Orang Rimba dimanfaatkan pihak lain, satu-satunya cara harus memberitahukan
Orang Rimba tentang huruf dan angka. Kala itu Warsi
belum menemukan metoda yang cocok untuk memulai
pendidikan bersama anak-anak rimba. Adat dan budaya
Orang Rimba yang unik menjadi kendala utama untuk
pengenalan huruf dan angka pada Orang Rimba. Kala
berdiskusi dengan rekan-rekan dan managemen Warsi
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
35
36
SUARA RIMBA
SUARA RIMBA
yang kala itu dipimpin Firdaus Jamal, timbul pertanyaan
“Bagaimana caranya, bagaimana memulainya? itu pertanyaan kami waktu itu,”ujar Firdaus Jamal mengingat
pertemuan kantor Warsi di Kota Bangko.
Sedikit demi sedikit anak-anak rimba semakin tertarik
untuk mengetahui huruf-huruf dan cara membacanya.
Siomban yang juga bergabung dengan Yusak, menyebutkan kala itu, dia sangat tertarik untuk mengetahui
pelajaran yang dibawa Yusak. “Kami sering dipalolo,
jual getah sudah sekwintal tapi kato toke kurang, sen
yang kami dapat sedikit, ini yang mendorong akeh untuk terus ikut pendidikan bersama Yusak,”ujar Siomban
salah satu murid Yusak dengan bahasa Indonesia yang
cukup lancar.
Yusak punya ide untuk belajar di Kali Code Yogyakarta. Yusak yang lama menempuh pendidikan di Yogya
melihat ada sekolah untuk anak jalanan dan terlantar.
Warsipun mendukung Yusak untuk belajar ke Yogya,
selama satu bulan Yusak mempelajari seluk beluk pendidikan alternatif di Yogya. Sepulang dari Yogja, Yusak
melakukan studi awal pilot projek pendidikan pada 15
Juni hingga 15 Juli 1998. Kemudian dilanjutkan pada
25 Juli hingga 2 Agustus 1998. Fokus studi dilakukan
di daerah Makekal Hulu dan Makekal Hilir, Bukit Dua
Belas Jambi.
Untuk lebih memudahkan orang rimba melafalkan alphabet ini, Yusak kemudian merekam suaranya menggunakan tape recorder, kemudian diperdengarkan kembali pada Orang Rimba. Hal ini ternyata cukup ampuh
dan mereka cukup cepat melafalkannya A sampai Z.
Studi diawali di pinggir Sungai Pengelaworon dan Sungai Sako Rempon di Makekal Hulu. Orang Rimba di
daerah ini dipimpin oleh Mangku Tuha dengan anggota
kelompok 98 jiwa. Kemudian ia melanjutkan studi ke
daerah Pangarukan yang saat itu dipimpin Menti Bepak
Pengusai. Jumlah Orang Rimba disini hanya 22 jiwa.
Yusak juga mengunjungi kelompok Tumenggung Mirak
di Sungai Sako Talun yang memiliki anggota kelompok sebanyak 24 jiwa. Sedangkan di Makekal Hilir, ia
mengunjungi kelompok Bedinding Besi, kelompok Nitip
(Bepak Bepiun), dan kelompok Mensemah (Bepak Sijangkang). Ketiga kelompok ini memiliki jumlah anggota
sebanyak 83 jiwa.
Dari studi ini, dan mempelajari adat kebiasaan Orang
Rimba Yusak berkesimpulan, bahwa pendidikan untuk
Orang Rimba hanya fokus pada baca tulis dan hitung.
Namun bukan perkara mudah untuk menenalkan angka
dan huruf-huruf pada Orang Rimba. Dengan adat budaya yang menganut kebalikan dari masyarakat melayu, Orang Rimba menolak semua hal-hal yang berasal
dari luar adat dan kebiasaan mereka, termasuk mengenal pendidikan. “Waktu itu, Tumenggung kami melarang
untuk ado nang diajarko Yusak, tapi dio datang pado
akeh, dio cakopkan ke akeh, apo perlunya belajor nang
dimaksud mendiang (Yusak). Waktu itu akeh suruh budak-budak cubo ikut dulu, anak akeh Pengusai, ternong
anak adik akeh, satu lagi Beseling, yang akeh suruh ikut
pelajoron,”kenang Bepak Pengusai, tengganai Orang
Rimba yang mendukung Yusak untuk pendidikan pertama di gelar di pinggir Sungai Pengelaworan.
Kala mengajari ketiga murid ini, murid Yusak bertambah,
ada Ngrip, Mendawai dan Ngetepi juga ikut bergabung.
Anak-anak rimba ini diajarkan Yusak huruf demi huruf,
angka demi angka. Dari catatan Yusak menuliskan
memberikan pengajaran bagi Orang Rimba ternyata
tidak mudah. Banyak huruf yang tidak diketahui dalam
bahasa rimba, sehingga Orang Rimba sulit membacanya. Huruf-huruf seperti E, F, H, I, K, M, N, O, Q, V, W, X,
Ibu kandung Yusak Adrian Hutapea, Roosni, memberikan testimoni
pada acara In Memory of Yusak The Orang Rimba Education Hero.
Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Y, Z, sangat susah mereka hafalkan bentuk hurufnya.
Namun jika disuruh untuk meniru tulisan tersebut, mereka cukup cepat melakukannya. Selain itu kebiasaan
mereka memakai bahasa orang rimba/cakap rimba juga
membuat mereka sulit melafalkan beberapa huruf, yaitu
F, R, V, W, X, Y, Z.
Untuk mempermudah pengenalan huruf-huruf yang
sama sekali belum diketahui Orang Rimba, Yusak mengaitkan bentuk huruf dengan alam sekitar, terutama
yang ada dalam pikiran mereka. Misalnya, huruf A seperti sesudungon (rumah Orang Rimba yang beratapkan terpal), E seperti angka 3 terbalik, I seperti titian
batang/kujur, J seperti mata pancing, K seperti ranting
pohon, M seperti burung terbang, N seperti huruf M terpotong, O seperti tutup botol, T seperti tiang jemuran,
W seperti kebalikan huruf M, X seperti palang, Y seperti ketapel/peci. Sisa huruf lainnya, Yusak meminta
murid-muridnya untuk mengaitkan dengan benda yang
ada disekitar mereka. Cara ini ternyata cukup membantu untuk mempercepat mereka dalam membaca
dan menghafal huruf-huruf.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Dengan enam orang rimba yang mengikuti pendidikan
yang di buat Yusak, tak langsung berjalan mulus. Dalam
beberapa hari Mendawai dan Ngentepi sudah ada yang
mengundurkan diri. Tanggal 29 Juli 1998 petang, Betatai
(anak Tumenggung Mirak), Besangkil, dan Manggung,
datang ke pondok belajar. Sebenarnya mereka dalam
perjalanan menuju SPG Bungo Tanjung untuk belanja.
Yusak sudah menjelaskan pada mereka kalau Tumenggung Mirak kurang setuju dengan program pendidikan
ini, tetapi ketiga anak ini tetap ingin mengikuti pendidikan. Ternyata kedatangan mereka bertiga membuat
Mendawai dan Ngentepi datang lagi ke pondok belajar,
dan mereka semua ikut dalam kegiatan belajar. Tambahan murud ini, membuat Yusak senang, karena pesertanya bertambah banyak. Pada malam itu, Terenong,
Pengusai, Beseling, dan Grip memamerkan kepandaiannya kepada Betatai, Besangkil, dan Manggung yang
baru datang. Ternyata mereka tertarik dan ikut belajar
walau cuma satu malam saja.
Pada kesempatan pendidikan perdana ini, selain anakanak beberapa Orang Tua juga mulai ikut, terutama setelah sore hari. Mengajar Orang Rimba menurut Yusak,
juga membuatnya kadang senyum sendiri, pasalnya
Orang Rimba begitu besarnya mengerahkan energi untuk dapat menulis dan membaca. Keringat mereka bercucuran dengan deras, dan setiap kali mereka mencoba
untuk membaca dan menulis.
Setelah seminggu memberikan pendidikan ini, Yusak
melihat kemajuan yang berarti pada orang rimba. Grip,
Terenong, Pengusai, Besuling sudah dapat membaca
dan menulis huruf A sampai Z. Mereka juga sudah mulai
bisa mengeja beberapa kata, seperti I - bu; a - ke; a - ku,
ba - pak; oi; au; ho - pi. Suatu gambaran atas puasnya
mereka setelah pandai membaca dan menulis huruf A
sampai Z adalah penuhnya dinding pondok dengan tulisan kapur mereka.
Setelah sukses dengan pilot projeknya ini, Yusak dengan
dukungan penuh staf Warsi lainnya, mulai mengembangkan pendidikan ke sejumlah kelompok lain. Yusak makin
bersemangat, anak-anak rimbapun semakin akrab. Hingga pada pagi 25 Meret 1999, Yusak tidak enak badan.
Bepak Pengusai yang kala itu mengantarkan Yusak ke
tepi rimba untuk pualng ke Bangko. Bepak Pengusai
masih ingat dengan baik kala guru rimba yang mereka
cintai itu, diantarkannya ke SPG Bungo Tanjung. Menurut Bepak Pemusai kala itu, Yusak masih mengendarai
motor trailnya keluar rimba, jalannya sangat buruk dan
licin. Kala itu Bepak Pengusai memilih berjalan kaki di
belakang Yusak. Namun dikejauhan didengarnya Yusak
berteriak, bergegas dia menyusul sang guru, “Waktu itu
ngeri naik motor, jalannya buruk, jalan logging licin, akeh
hopi berani naik motor, mako akeh susul dari belakang,
waktu kanti berteriak akeh kejar, ruponyo Bepak Guru
salah jalan, akeh tunjukkan jalan ke SPG nang biaso
kami lalui, hopi tau kenapo bisa salah jalan, padahal sudah sering jalan itu dilaluinya,”tutur Bepak Pengusai.
Bepak Pengusai tak pernah menyangka hari itu adalah untuk terakhir kalinya ia melihat Yusak yang telah
me-ngajarkan anak-anaknya baca tulis dan berhitung.
Sore harinya, sesampai di kantor Bangko, Yusak masih
sempat bercengkrama dengan sesama penghuni mess
tempat mereka tinggal dan melepas lelah kala kembali
dari lapangan. Demam yang dirasakannya dianggap
demam biasa, tapi tanpa di sangka, sore itu langsung
terjadi kepanikan kala Yusak kejang, dan tak lama berselang dalam perjalanan ke rumah sakit yang hanya
berjarak 1 km dari mess Yusak menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Kini empat belas tahun berlalu, Yusak mungkin sudah
tenang di alam sana, melihat pendidikan anak rimba
sudah berkembang pesat. Ibu Roosnipun sudah ikhlas
dengan kepergian anaknya. Kali ini empat belas tahun kemudian air matanya jatuh lagi, bukan menyesali kepergian anaknya, namun rasa haru yang sangat
membuncah, bangga dengan perjuangan sang putra
yang sudah membuka jalan, meretas aksara bagi anakanak rimba di belantara.
Yusak telah menemui takdirnya, sesuai dengan janjinya
pada sang mama akan pulang pada tanggal 26 Maret
1999. “Ia benar-benar pulang, tetapi sudah di dalam peti,
waktu saya menangis, kenapa.. kenapa… tapi kini saya
bangga dititipkan anak seberani dan setekun Yusak,
semoga yang dilakukannya terus membakar semangat
kalian (Warsi) untuk melanjutkan perjuangannya, dan
semoga orang rimba semakin baik kehidupannya,”ujar
Rosni dengan suara bergetar.
Yusak, engkau tak pernah pergi semangat dan perjuanganmu akan selalu ada di dalam jiwa dan semangat kami. (Sukmareni)
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
37
AKTUAL
38
38
AKTUAL
bar ditemui hamparan perkebunan sawit, lebih ke atas
disambut dengan HTI. Sangat sulit bagi harimau untuk
bertahan hidup di kondisi yang sudah tidak berhutan, dan
akhirnya dia berjalan terus mencari hutan dan ketika bertemu dengan manusia kemudian diserangnya.
Agaknya perlu direnungkan kembali, bahwa hutan tidak
cuma sebagai habitat untuk harimau supaya mereka bisa
hidup damai di dalamnya. Hutan merupakan penanda
bagi keseimbangan ekosistem, ini yang paling penting.
Bisa dilihat di Jambi, dua minggu yang lalu Jambi dilanda
banjir hebat yang menyebabkan banyak korban tewas dan
juga ribuan orang terdampak bencana tahunan ini. Banjir
bukanlah bencana yang serta merta datang, bukan bencana yang datang begitu saja, namun bencana yang hadir
akibat salah kelola sumber daya alam. Pembabatan hutan yang menyebabkan raja kehilangan wilayahnya, juga
menyebabkan banjir di musim hujan, dan sudah pasti bisa
diprediski pada empat bulan ke depan, kekeringan kemudian disusul kebakaran lahan akan terjadi.
Petugas mengobati Harimau Sumatera di kebun binatang Taman Rimba, Jambi. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Harimau, Raja Kehilangan Hutan
S
ejak awal Januari tahun ini, Jambi kembali dihebohkan dengan konflik harimau. Merujuk data
BKSDA yang dipublikasikan media massa di
Jambi awal Maret 2013, sejak awal tahun sudah ada 11
kasus konflik harimau dengan masyarakat, dengan satu
korban tewas dan empat luka. Saat ini, diperkirakan posisi harimau semakin dekat ke Kota Jambi. Tentu saja,
kehadiran harimau ini menakutkan. Raja hutan itu tidak
diketahui keberadaannya. Jika diibaratkan dengan rajaraja pada umumnya yang kehilangan tahta, tentu sangat
dimaklumi jika kemudian harimau bertindak anarki kepada yang bukan warga hutan, yang nota bene bagian
dari yang telah menghilangkan kerajaannya. Manusia,
sapi ayam, kambing yang bukan warga hutan diserang
harimau untuk memenuhi kebutuhannya.
Dengan tidak mengurangi rasa duka untuk para korban
harimau, sudah saatnya kita merenung untuk kehidupan yang lebih baik. Mengembalikan raja pada posisinya dan tidak merusak wilayah kerajaannya merupakan suatu yang harus dilakukan, supaya raja hutan dan
manusia bisa hidup rukun tanpa saling serang.
Jika melihat kasus yang terjadi belakangan ini, awal
mula konflik harimau dengan manusia di PT WKS di
Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar), ini artinya harimau
berada di HTI (hutan monokultur), habitat yang sangat
tidak cocok dengan harimau karena bisa dipastikan hutan tanaman tidak menyediakan makanan untuk harimau. Harimau terus bergerak ke lokasi HTI DAS masih
di Tanjabbar, kemudian dia ke PT CKT perkebunan
sawit di Dusun Mudo Merlung, Tanjabbar, kemudian ke
Desa Awin Jaya Muara Jambi, terus ke Teluk Ketapang
Pemayungan Kabupaten Batanghari, kemudian Pulau
Betung Batanghari dan terakhir di Desa Baru Mestong
Muara Jambi. Jika ditarik garis lurus, perjalanan harimau
ini dari awal dia menampakkan diri hingga 3 Maret dia
menampakkan diri di Mestong, artinya dia sudah menempuh jarak lebih dari 60 km. Sudah sejauh itu yang
dilaluinya, si raja hutan ini belum juga bertemu dengan
wilayah kekuasaannya, yang ditemukan HTI, sawit, kemudian kebun masyarakat dan perkampungan.
Habitat harimau di Jambi memang sudah rusak parah.
Sejauh mata memandang di Muara Jambi dan Tanjab-
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Bencana-bencana ekologis ini hadir sebagai akibat dari
keserampangan manusia dalam mengelola sumber
dayanya, eksploitasi yang berlebihan pada sumber daya
alam inilah akibatnya. Untuk diketahui pemanfaatan sumber daya alam di Jambi, lebih dari 700 ribu ha dikuasai
HTI, lebih dari 500 ribu ha perkebunan sawit, 300 ribu pertambangan, kemudian ada APL untuk hidup lebih dari 2
juta penduduk Jambi. Yang tersisa untuk habitat satwa
yang merupakan hutan sebagai penyeimbang ekosistem
dan pengendali bencana ekologis tidak lebih dari 1 juta
ha. Kondisi ini menyebabkan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan manusia semakin merosot, bencana dan
koflik dengan satwa semakin tinggi.
Uniknya lagi dari pemanfaatan sumber daya alam di Jambi,
hanya sedikit yang dinikmati oleh masyarakat Jambi yang
lebih dari 2 juta jiwa ini. Hanya orang-orang tertentu saja
menikmati pengerukan sumber daya alam di Jambi. Namun
dampak negatif dari pengelolaan sumber daya alam ini justru dirasakan oleh masyarakat luas. Banjir dan terakhir
kemarahan si raja yang kehilangan tahtanya. ‘Kemarahan’
raja ini seharusnya menjadi penanda bagi manusia untuk
menangkap sinyal-sinyal ketidak adilan dan kemarukan
dalam eksploitasi sumber daya hanya untuk memperkaya
segelintir manusia dan dipihak lain merugikan warga Jambi
secara keseluruhan.
Kini ketika korban serangan harimau berjatuhan, tim BKSDA yang kesusahan untuk menangkap sang raja. Pihakpihak yang yang telah menghilangkan rumah raja sama
sekali tak turun andil untuk mengembalikan rumah sang
raja, pun tak ada kepedulian mereka pada korban yang terus berjatuhan. Ironi sebuah negeri tengah dipertontonkan,
dan sang raja datang untuk memberikan peringatannya.
(Sukmareni)
Kondisi Hutan Desa di Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo.
Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Stay Alert on
REDD+ (Bersiap
untuk REDD+)
M
ari bersiap untuk REDD+..!
Implementasi
REDD+ di Indonesia sudah mulai mengarahkan hal-hal yang kongkrit, dimana pada fase
persiapan REDD+ akan disinergiskan dengan rencana
pembangunan nasional dan sub nasional. Hal ini sangat disadari bersama oleh seluruh negara di dunia
pada COP 18 di Qatar bulan Desember 2012 yang lalu,
bahwa suksesnya REDD+ membutuhkan kebijakan nasional dibanding hanya menunggu dan mengandalkan
pasar karbon internasional yang masih belum menampakkan kejelasannya.
Selanjutnya bagaimana kebijakan nasional mampu
mengakomodir isu perubahan iklim, untuk mencapai
target nasional pengurangan emisi 26% dan 41% dan
juga pada saat bersamaan harus mampu mencapai per-
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
39
39
40
AKTUAL
tumbuhan ekonomi 7% pada 2020? Jawaban ini adalah
hal yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Tidak dipungkiri bahwa target ini sangat bombastis untuk dapat diwujudkan hingga 7 tahun mendatang.
Tapi, untuk sekarang mungkin tidak perlu berbicara
tentang angka, tetapi bagaimana secara substantif
pemerintah mampu bekerja untuk mengelola sumber
daya alam secara berkelanjutan dan effektif. Salah satunya adalah mensinergiskan pembangunan nasional
dan daerah pada isu pembangunan rendah karbon dan
green economy.
Saat ini SATGAS UKP4, selaku agen persiapan REDD+
Nasional, sedang mengupayakan agar Rancangan Tatar Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) mampu mengakomodir dokumen SRAP (Strategi dan Rencana Aksi
Provinsi) dan RAD GRK (Rencana Aksi Daerah Gas
Rumah Kaca) di 11 provinsi percontohan di Indonesia.
Dengan ini ke depan perencanaan pembangunan akan
menyelaraskan sektor ekonomi dan konservasi.
Namun, tentu sinergitas pembangunan dengan REDD+
belumlah cukup untuk menjamin bahwa REDD+ dapat
sukses dijalankan oleh Indonesia. REDD+ bukanlah
berarti mensterilkan hutan, dengan membiarkannya
tumbuh subur dan lebat sehingga harus menutup pintu
masuk atau mengeluarkan masyarakat yang selama ini
menggantungkan hidupnya pada hutan. Akan tetapi
kita mendorong yang sebaliknya. Pengelolaan hutan
yang selama ini dilakukan masyarakat secara lestari
harus mendapat pengakuan dari pemerintah. Selama
ini pemerintah memberikan hak pengelolaan hutan kepada swasta dengan sangat royalnya, namun sangat
minim kepada masyarakat. Bahkan pada prakteknya
justru masyarakat yang diuber-uber dan dipenjarakan
atas penyebab kehancuran hutan. Padahal kalau dilihat secara penuh berapa banyak masyarakat menghancurkan hutan dibanding apa yang dilakukan oleh
korporasi. Masyarakat yang tinggal disekitar hutan selama bertahun-tahun dan bahkan sebelum Indonesia
merdeka tidak akan merusak hutan sebagai sumber
penghidupannya dimasa kini dan nanti. Mereka tahu
AKTUAL
pasti, pembabatan hutan secara eksploitatif akan menyebabkan sawah mereka tidak akan terairi, bahkan
mengakibatkan bencana bagi mereka. Oleh karena itu
praktek pengelolaan hutan berdasarkan local wisdom
telah lama dilakukan oleh masyarakat agar hutan lestari. Hal ini perlu dihargai oleh pemerintah dan projek
REDD+. Perlu juga dipastikan bahwa mereka berhak
mendapatkan kompensasi atas kerja kerasnya menjaga
dan mengelola hutan secara lestari.
Hal serupa juga didiskusikan pada pertemuan Asia
REDD+ Working Group pada Januari 2013. Dimana
negara-negara Asia yang terdiri dari perwakilan pemerintah dan organisasi mayarakat berbagi pengalaman
implementasi REDD+ diberbagai negara di Asia. Beberapa rekomendasi dihasilkan bahwa 1. masyarakat
pengelola hutan perlu diberikan wewenang mengelola
dan menerima pembayaran (benefit sharing) atas usaha mereka mengelola hutan. 2. Masyarakat harus dilibatkan dalam penyusunan sistem pembagian manfaat
(benefit sharing), untuk memastikan bahwa manfaat
tersebut dapat dinikmati secara merata dan bermanfaat
sesuai dengan kebutuhan lokal dan yang terakhir pemerintah harus menghargai usaha peranan masyarakat
dalam menjaga dan mengelola hutan dengan memberikannya hak secara legal.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang mulai
menggeliat di Indonesia memberikan peluang yang sangat besar bagi perhutanan Indonesia untuk mendapatkan manfaat ganda dari REDD+ bukan hanya sekedar
karbon, namun juga peningkatan fungsi hidrologi dan
ketersediaan air, pengurangan bahaya banjir, kontrol
erosi, serta perlindungan biodiversity.
Selain itu, hal yang juga sama pentingnya adalah pembangunan dan proteksi sumber daya alam harus diselaraskan dengan pertumbuhan ekonomi berbasis non
lahan dan penyetaraan pembangunan hingga di pedesaan, yakni meliputi pembangunan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur penunjang lainnya. (Emmy Primadona Than)
Hamparan Rimbo Puliah di Nagari Simanau, Kabupaten Solok,
Sumatera Barat. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Sungai Batanghari tercemar akibat penambangan emas tanpa izin. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Mendulang Emas, Menuai Derita
S
iapa pun akan silau melihat kemilau butiran-butiran emas yang dengan mudah didapat dari dasar
sungai. Tak tahan dengan godaan itu, membuat
banyak orang berlomba-lomba mencari emas di Sungai
Batanghari. Kegiatan penambangan emas tanpa izin
ini juga dilirik sejumlah perusahaan tambang ilegal. Di
Kabupaten Solok Selatan tambang emas di Sungai Batanghari Hulu kini menjadi persoalan yang menyandera
para stakeholder di kawasan ini.
Dari informasi yang didapatkan hingga kini terdapat
lebih dari 700 ekskavator mengeruk sempadan sungai. Dipastikan sebagian besar merupakan tambang
illegal dan berlindung di balik yang namanya tambang
rakyat. Memprihatinkan ketika tambang ini, mengatas
namakan tambang rakyat namun kenyantaannya yang
melakukan penambangan merupakan pihak-pihak tertentu yang diyakini punya modal besar dan ditengarai
dibekingi para penguasa dan aparatur negara. Tuding-tudingan siapa membekingi aktifitas ini sudah saling dilemparkan, statemen para penegak hukum siap
menghentikan aktifitas juga sudah diperdengarkan dan
aksi-aksi penuntut diilegalkannya tambang rakyat juga
sudah dipertontonkan.
Gubernur Sumatera Barat pun dibuat pening dengan
persoalan penambangan emas tanpa izin ini. Pada
suatu kesempatan Gubernur Sumbar Iwan Prayitno
pernah menyebutkan bahwa pihaknya lebih berpihak
pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat daripada
memberikan izin untuk tambang. Menurut sang Gubernur tambang tidak memberikan hasil nyata untuk peningkatan perekonomian rakyat, karena tambang butuh
modal besar dan jikapun tambang ada masyarakat hanya akan kembali menjadi buruh.
Kenyataannya di lapangan tambang seperti yang terlihat di sepanjang sungai Batanghari hulu di Solok Selatan ratusan alat berat menggeruk sempadan sungai
setiap hari, bahkan pohon-pohon yang berada di pinggir
sungai sudah mulai bertumbangan. Kondisi ini sangat
mengkhawatirkan karena menimbulkan kerusakan lingkungan yang bisa dipastikan akan menimbulkan bencana ekologis kelak.
Sekedar informasi, saat ini sedikitnya 7.000 Izin Usaha
Pertambangan (IUP) di Indonesia bermasalah. Sehingga pemerintah pusat melarang pengeluaran izin baru
hingga undang-undang baru diberlakukan. Dan tidak
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
41
42
AKTUAL
tangung-tanggung moratorium penertiban izin baru
ini juga meliputi wilayah pertambangan rakyat (WPR).
Tidak hanya itu, pemerintah juga menegaskan bahwa
lokasi wilayah tambang rakyat pun harus ditentukan
dengan kajian-kajian konservasi. Niat baik pemerintah
dalam penertiban ijin tambang tersebut ternyata tidak
menghasilkan apa-apa. Buktinya, tambang terus bermunculan dimana-mana dengan mengatasnamakan
pertambangan rakyat. Padahal tumpukan rupiah yang
didapat nyatanya bukan untuk rakyat.
Namun yang nyata terlihat, rakyat mendapatkan sungai yang tercemar merkuri dan kerusakan lingkungan
akibat kegiatan pertambangan tersebut. Lihat saja yang
terjadi di Kabupaten Solok Selatan, pertambangan ilegal ini dilakukan di daerah sempadan hulu Sungai Batanghari. Padahal menurut aturan yang tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahuni 2011, sempadan sungai berfungsi sebagai ruang penyangga antara
ekosistem sungai dan daratan. Ditetapkan juga garis
sempadan untuk sungai dengan panjang melebihi 500
km, dimasukkan dalam kategori sungai besar harus lebih dari 1500 meter. Sungai Batanghari tergolong dalam
Sungai Besar. Setidaknya, 1500 meter garis sempadan
merupakan areal penyangga yang harus diperhatikan.
Namun fakta yang terjadi, sempadan sungai dijadikan
tempat tumpukan hasil penyaringan pengerukan material tambang.
Pengerukan sungai dilakukan menggunakan alat ekskavator dan memakai kapal –kapal bermesin dompeng.
Kondisi ini akhirnya menyebabkan terbentuknya deltadelta dan terjadi penyempitan aliran sepanjang sungai.
Kegiatan ini berakibat pada penyempitan aliran sungai
dan pendangkalan. Dan yang lebih fatal akan menjadi
penyebab terjadinya banjir di daerah hulu sungai.
Perlu diketahui, selama ini Sungai Batanghari dimanfaatkan lebih dari 3,2 juta penduduk di Provinsi Jambi
dan Sumatera Barat. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan
pasokan air bagi irigasi puluhan ribu ha lahan persawahan, perikanan, hingga sumber kebutuhan air minum.
Sementara kegiatan penambangan emas yang dilakukan tidak lepas dari penggunaan merkuri. Kemanakah
air bersih akan didapat, jika bagian hulu sungai telah
tercemar.
Dalam pertambangan, logam merkuri digunakan untuk
membentuk amalgam. Contohnya dalam pertambangan emas, logam merkuri digunakan untuk mengikat
dan memurnikan emas. Proses amalgamisasi akan
menghasilkan dampak positif berupa emas yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi
juga menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran
lingkungan oleh uap Hg. Sebanyak 10%-30% Hg yang
digunakan dalam kegiatan tersebut akan terlepas/hilang
ke lingkungan (Alpers et al, 2006).
MATAHATI
Pengaruh Hg pada kesehatan bergantung pada bentuk
senyawanya. Salah satu senyawa yaitu merkuri yang
merupakan bahan berbahaya dan bersifat karsinogen
terhadap manusia. Merkuri merupakan neurotoksik
yaitu racun terhadap sistem syaraf pusat (Central Nervous System- CNS) (WHO,1976;1990;2001). Efek dari
Hg organik adalah pada gangguan syaraf, walaupun organ lain juga terlibat seperti sistem pencernaan, sistem
pernapasan, hati, immunitas, kulit dan ginjal (Risher et
al, 2002). Keracunan merkuri menimbulkan gangguan
CNS seperti ataxia, pandangan menyempit, pendengaran menurun, neuropathy.
Meski belum dipastikan berapa persentase kadar
merkuri yang terkandung dalam air Sungai Batanghari
tersebut, akan tetapi sangatlah mustahil daerah hulu
Sungai Batanghari dengan ratusan dompeng tidak tercemar mercuri. Keracunan mercuri dalam kadar ringan
saja bisa berpengaruh besar dalam sistem koordinasi
otak. Akan menyebabkan kesemutan di bibir, lidah, jarijari, gemetar, hingga berimplikasi menjadi sakit kepala,
pikun dan masalah kooordinasi gerak dan penglihatan.
Merkuri ini tidak hanya meracuni tubuh kita dengan terpapar secara langsung.
Merkuri bisa tertimbun di dalam tubuh ikan, dan binatang. Ikan yang hidup di dalam air yang tercemar akan
berbahaya untuk dikonsumsi meski airnya sendiri dapat digunakan untuk mandi atau berenang. Apabila
kita menelan merkuri lebih banyak daripada yang dapat dibuang oleh tubuh, merkuri dapat menyebabkan
masalah kesehatan yang serius. Ikan adalah makanan
sehat, kaya protein. Ikan seringkali disebut “makanan
untuk otak” karena mengandung lemak yang baik untuk otak. Ikan menjadi bagian dari menu tradisional bagi
banyak orang. Tetapi bila ikan ditangkap dari perairan
yang tercemar buangan usaha pertambangan atau tempat pembuangan merkuri, ikan tersebut sangat mungkin
mengidap kandungan merkuri yang membahayakan
kesehatan.
Data yang didapat dari ratusan tambang yang ada di
Solok Selatan, hanya 35 tambang yang sudah memiliki
IUP, dan ini termasuk dalam tambang bijih besi, tembaga, mangan, galena, serta beberapa jenis lainnya.
Melihat kenyataan ini semoga saja perang melawan illegal mining (penambangan liar) di Solok Selatan bukan
hanya sekedar polesan pemanis sebuah kebijakan saja.
Sehingga masalah ini bisa dilihat tidak hanya dari kacamata keuntungan saja, namun dampak yang diakibatkan sungguh jauh lebih besar. Dan lagi-lagi rakyat juga
yang akan menikmati derita bencana alam tak berujung.
(Elviza Diana/ berbagai sumber)
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Masyarakat Desa Butang Baru, Kecamatan Mandiangin sedang memanen kacang panjang. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Menggagas Pembangunan
yang Ramah Lingkungan
I
su perubahan iklim dan pemanasan global yang
menjadi perbincangan hangat belakangan ini sebenarnya tak lepas dari kebijakan pembangunan yang
dijalankan pemerintah selama ini. Yaitu pembangunan
dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi yang tidak
seimbang (unbalance economy growth approach). Dimana semua sumberdaya dioptimalkan penggunaannya dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi pada
sektor terpilih (leading sector).
Terutama sejak rezim Orde Baru (Orba) mulai berkuasa. Pada waktu itu hutan menjadi penyelamat perekonomian nasional yang sedang mengalami masa krisis.
Namun sayangnya, pengelolaan hutan yang diterapkan
tidak diimbangi dengan cara yang tepat untuk mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat lokal, serta
mengabaikan kelestarian hutan di masa yang akan datang. Akhirnya, eksploitasi hutan yang dilakukan secara
masif justru memicu timbulnya persoalan serius yang
sangat mengkhawatirkan.
Dosen Magister Ekonomi Pembangunan Pascasarjana
Universitas Jambi, M Surya Hidayat mengungkapkan,
pembangunan ekonomi seperti ini cenderung berorientasi jangka pendek (short run oriented). Salah satu kebijakan yang populer dilakukan adalah melalui pendekatan pertumbuhan ekonomi berbasis sumberdaya alam
(resources base economy growth approach). Kebijakan
ini terbukti manjur mendongkrak pertumbuhan ekonomi
daerah. Inidikator keberhasilannya adalah peningkatan
nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Namun demikian, kebijakan ini juga memiliki sisi negatif.
Karena ia lebih banyak bergantung pada ketersediaan
sumberdaya alam, akhirnya malah memengaruhi kualitas lingkungan dan kualitas hidup masyarakat. Sebab
ekonomi yang tumbuh pesat hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, khususnya pelaku ekonomi.
Sementara sebagian besar masyarakat yang tidak
terlibat tetap membayar biaya ekonomi yang sangat
tinggi. Ini adalah dampak negatif memacu pertumbuhan
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
43
44
MATAHATI
ekonomi yang berbasis pada eksploitasi alam namun
tidak ramah lingkungan.
Menurut Surya, fenomena kebijakan pembangunan
seperti ini juga terjadi di Provinsi Jambi. Dia memberi
ilustrasi, selama 3 tahun terakhir terjadi peningkatan
nilai PDRB Provinsi Jambi secara signifikan. Pada tahun 2010 pertumbuhan nilai PDRB Jambi adalah sebesar 7,07% dan meningkat menjadi 7,68% pada tahun
2011 dan pada tahun 2012 adalah sebesar 7,4%. Peningkatan nilai PDRB tersebut tidak terlepas dari meningkatnya nilai tambah yang dihasilkan dengan aktivitas eksploitasi sumberdaya subsektor perkebunan,
kehutanan, pertambangan, serta sektor industri barang
dari kayu dan hasil hutan.
Sedangkan dampak yang akan timbul dari kebijakan
pembangunan tersebut selama ini tidak terpikirkan
oleh banyak pihak. Sehingga kemudian terjadi peningkatan deforestasi lahan hutan seluas (2.148.950 Ha),
peningkatan konversi lahan yang dilakukan untuk sektor perkebunan (1.254.764 Ha), dan pertambangan
(502.209 Ha).
Dengan kata lain, kebijakan memacu pertumbuhan
ekonomi tersebut tanpa disadari justru membutuhkan
biaya ekonomi yang sangat besar. Kerusakan lingkungan akibat salah kelola sumberdaya alam akan memicu
terjadinya bencana lingkungan yang lebih besar. Dan
yang menanggung beban ekonomi dari kerusakan lingkungan akibat kebijakan pembangunan tersebut adalah
masyarakat banyak.
Untuk itu, menggagas pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan sangat mendesak dilakukan. Konsep ini
dilakukan melalui penghitungan pertumbuhan ekonomi
dengan memasukkan nilai ekonomi yang hilang dari de-
MATAHATI
45
gredasi kualitas lingkungan akibat kebijakan ekonomi.
Yaitu menghitung pertumbuhan ekonomi suatu daerah
tanpa mengesampingkan dampak kerusakan lingkungan yang terjadi ketika berupaya mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
Namun demikian, bukan berarti proses pembangunan
yang menggunakan pendekatan pertumbuhan ekonomi
berbasis sumber daya alam (resources base economy
growth approach) tidak dapat diterapkan lebih lanjut.
Hanya saja, paradigma melakukan pertumbuhan PDRB
sebagai sasaran pembangunan harus diluruskan. Sebab konsep pembangunan juga harus mempertimbangkan perhatian terhadap kelestarian alam untuk masa
yang akan datang.
Karena sebagai salah satu negara berkembang yang
diprediksi menjadi sepuluh ekonomi terbesar dunia
pada 2025, maka tak bisa dihindari bahwa kerusakan
lingkungan juga akan mengalami peningkatan drastis.
Terutama dari sektor pertanian di kawasan hutan dan
lahan gambut, transportasi, serta pembangkit energi.
Untuk itu, dalam membangun perekonomian, antara
masyarakat dan ekosistem harus bisa berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuhan kebutuhan dengan memperhatikan aspek keberlanjutan,
baik dari sisi ekologi maupun sosial. P e m b a n g u n a n
jangan sampai hanya bisa memenuhi kebutuhan generasi sekarang sekaligus tidak mengesampingkan kebutuhan generasi yang akan datang. Inilah yang dimaksud dengan pembangunan yang berkelanjutan.
Jika Pemerintah Provinsi Jambi memiliki komitmen
menerapkan konsep pembangunan seperti ini, maka
kesuksesan sebuah pembangunan akan dirasakan
oleh gerasi sekarang hingga generasi yang akan datang. “Secara filosofis, inilah yang
dikenal dengan istilah membangun
tanpa merusak.” katanya.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Banjir menggenangi rumah warga di
Sijenjang, Kecamatan Jambi Timur.
Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Hidup di Negeri Rawan Bencana
T
Melihat kondisi pembangunan yang
terjadi selama ini, maka melakukan perbaikan tata kelola lingkungan dalam upaya pembangunan
harus segera dilakukan. Dengan
demikian, percepatan peningkatan
perekonomian daerah bisa didongkrak, namun kondisi lingkungan
tetap akan terjaga dengan baik.
(Herma Yulis)
uhan sedang marah dan memberikan peringatan
pada bangsa ini dengan bencana alam yang silih
berganti. Itulah ucapan yang selalu kita dengar
setiap terjadi peristiwa bencana. Rentetan bencana,
mulai gempa hingga gulungan tsunami, tanah longsor hingga banjir bandang, bencana lumpur lapindo
yang sampai saat ini tidak bisa dikendalikan, kebakaran
hutan-lahan dan rumah dengan skala masif serta berbagai peristiwa bencana sosial lainnya melanda seluruh
wilayah negeri hampir setiap hari. Dari rangkaian bencana itu, ratusan ribu korban jiwa melayang, ditambah
dengan hancurnya sumber-sumber kehidupan, harta
benda penduduk dan kerusakan infrastruktur bernilai
triliyunan rupiah.
Masyarakat memanfaatkan lahan kosong
untuk menanam sayur-sayuran di Desa Butang Baru, Kecamatan Mandiangin. Foto:
Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Menyikapi berbagai peristiwa bencana ini, sebagian kalangan beranggapan bencana sebagai peringatan atau
azab dari Tuhan atas diri manusia yang makin menjauh
dari Sang Pencipta. Sebagian lagi menyikapinya sebagai sebuah takdir yang harus dihadapi dengan pasrah.
Namun ada juga sebagian kalangan yang menyikapi
bencana alam sebagai bagian dari cara alam itu sendiri
untuk menjaga keseimbangannya agar dapat dihuni oleh
makhluk yang ada didalamnya. Apapun yang menjadi
argumentasinya, bila bencana sudah datang, manusia
tidak akan bisa menolaknya. Saat gempa dan tsunami
datang, getaran bumi dan air bah tidak bisa dihentikan.
Yang masih bisa dilakukan adalah mengurangi dampaknya, yakni menghidari daerah rentan bencana, membuat
desain khusus bagi lingkungan maupun hunian yang
aman bencana, mengusahakan sistem peringatan dini
dan tanggap bencana yang efektif. Namun untuk dapat
melakukan semua ini diperlukan kesiapan institusional
yang efektif dan teknologi yang tepat untuk mencegah
dan memulihkan rakyat dari dampak bencana. Termasuk didalamnya membangun institusi sosial ditingkat
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
46
MATAHATI
rakyat yang telah terbukti efektif dan efisien menanganani kondisi ini. Untuk membangun institusi rakyat yang
berdaulat dalam penanganan dan pengurangan resiko
bencana membutuhkan keputusan politis dari elit
penguasa. Tapi sayangnya dalam pembentukannya
yang biasanya diputuskan oleh mereka yang tidak
terkena bencana sehingga kerap kurang sensitif untuk
melepaskan sebagian kewenangan tradisionalnya, baik
secara materil maupun institusional.
Paradigma yang berkembang di masyarakat bahwa
‘alam sedang murka” atau Tuhan Marah” cenderung
menenggelamkan perbincangan tentang jenis-jenis
bencana yang jelas-jelas adalah hasil tindakan manusia yang berdampak lebih luas dibandingkan bencana
alam. Seperti kegagalan teknologi, gagal modrenisasi,
epidemi dan wabah penyakit, teror dan konflik yang disebabkan oleh tarikan kepentingan politik partisan, politik
ekonomi dari berbagai pihak di luar rakyat.
Kepercayaan akan adanya “kemurkaan alam” juga
membuat sebagian besar dari kita lupa menanyakan
darimana munculnya ‘kemurkaan’ alam tersebut, yang
akhir-akhir ini semakin murka dan meminta banyak korban. Ada juga kemurkaan alam yang memang alami
seperti gempa, tsunami, erupsi gunung berapi namun
jumlah korbannya bisa ditekan dengan penguatan institusi masyarakat dan kecanggihan teknologi informasi.
Namun ada juga ragam kemurkaan alam yang memang
secara terang-terangan disebabkan oleh kelakuan dan
kerakusan manusia, seperti banjir, longsor, kekeringan
dan penyakit yang sejatinya diciptakan oleh manusia
sendiri.
Sebagian besar rakyat, termasuk elite politik dan penguasa masih lemah dalam memahami jenis-jenis
bencana. Umumnya masih benganggapan bencana
disebabkan oleh ‘alam yang murka”, berakibat pada
kurangnya pemahaman untuk menyusun langkah yang
lebih komprehensif dan lebih sensitif pada kehidupan
rakyat yang rentan terkena bencana.
Kondisi ini tampak jelas terlihat dari ketidakseriusan
pemerintah dalam menyusun langkah-langkah pengurangan resiko bencana di tingkat masyarakat. Semua
elite penguasa dan politik sepakat jika negeri ini rawan
bencana. Tapi tidak bersepakat dalam menyusun kebijakan dan langkah-langkah dalam mengurangi resiko
bencana. Sebagai contoh betapa lemahnya kebijakan
penanggulangan bencana di negeri ini dapat dilihat dari
carut marutnya penanganan tanggap darurat pada setiap kejadian bencana. Mulai dari ketidakjelasan data
korban, lambatnya evakuasi korban, carut marutnya distribusi bantuan, lambatnya penanganan paska bencana,
serta memunculkan politik bantuan, korupsi dan menghancurkan kemandirian masyarakat yang dampaknya
lebih dasyat dari peristiwa bencananya sendiri.
MATAHATI
Membangun Paradigma Baru
Penanganan Bencana.
Untuk mengurangi ancaman dan kerentanan terhadap bencana inilah saatnya dibutuhkan perspektif
pengurangan resiko bencana di semua sektor pembangunan, termasuk di kalangan masyarakat. Kita
harus membangun kesadaran baru bahwa setiap
ancaman bencana sebagai sesuatu yang masih bisa
dihindari dan dikendalikan dengan memindahkan
calon korban dari tempat-tempat yang rentan terkena
ancaman. Itu semua bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan kebencanaan yang lebih baik dimasyarakat, membangun rumah dan fasilitas publik
yang tahan terhadap goncangan gempa, membangun
sistem peringatan dini ditempat-tempat yang rawan
bencana, menyiapkan jalur evakuasi yang baik, tiap
desa memiliki data based peta ancaman bencana,
walaupun bencana tidak dapat dihindari tetapi kita
bisa mengurangi dampak yang akan ditimbulkan dari
bencana tersebut.
Semua menyadari jika negeri ini rawan bencana, tetapi
sedikit sekali orang yang menyadari bahwa ancaman
bencana tidak akan menjadi bencana jika setiap wilayah
di negeri ini warganya dipersiapkan dengan pengetahuan dan ketrampilan untuk mengenal potensi ancaman, kerentanan dan kapasitas mereka dalam menghadapi bencana.
Dalam membangun kesadaran warga dan penguasa dinegeri rawan bencana, perlu membangun ulang pengertian konsep “bencana” yang lebih berorientasi pada
rakyat dan hubungannya dengan konsep bencana. Dari
berbagai pemahaman baru yang berkembang dibanyak
negara tentang kebencanaan terhadap konsep ancaman (hazard), resiko (risk), dan kerentanan (vulnerability).
Ancaman bencana merupakan kejadian atau peristiwa
yang bisa menimbulkan bencana, bisa berupa bahaya
laten atau faktor resiko (risk) ekternal yang senantiasa
mengancam manusia. Ancaman ini muncul karena aktifitas alam atau manusia, menyimpan daya rusak dan
menimbulkan kerugian. Disebut bencana ketika terdapat komunitas manusia yang rentan terkena limpahan
ancaman tersebut.
Bencana hanya bisa terjadi bila terdapat masyarakat
yang rentan terkena ancaman atau bahaya bencana atau ketika kerugian telah melebihi kemampuan
masyarakat untuk menyerap, mengatasi dan memulihkan dirinya. Bencana buka fenomena alam semata,
melainkan juga timbul karena perbuatan manusia. Bukan pula sesuatu yang serta merta terjadi ketika ‘alam
murka’ akibat perbuatan manusia atau fenomena alam
sendiri. Dia adalah proses pertemuan dua aspek, yaitu
ada kelompok masyarakat yang rentan, misalnya mereka yang berdiam di wilayah cincin api, lereng gunung
berapi dan bantaran sungai atau tinggal dibawah bukit
terjal yang rentan longsor karena tak ada lagi tempat
aman yang dapat mereka huni, dan atau karena tak
menerima informasi tentang ancaman yang tengah
mengintai mereka. Disisi lain ada, ada kondisi alam/
sosial yang memburuk karena berbagai sebab, seperti
meluasnya eksploitasi hutan secara besaran-besaran,
konflik perebutan sumber daya, kesenjangan sosial,
dampak pemanasan global dan sebagainya.
Sedangkan secara awam. bencana melihat manusia
dan alam sebagai entitas yang terpisah, sehingga alam
hanya dilihat sebagai sasaran dominan dan kendali manusia demi kenyamanan hidup dan realisasi diri mereka
melalui praktik material yang dibentuk oleh pertukaran
dan kendali pasar. Manusia juga cenderung menganggap alam sebagai sesuatu yang jahat, tidak beraturan
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Seorang siswa SD sedang melintasi banjir di Kumpeh, Kabupaten
Muarojambi. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
berlawanan dengan manusia yang teratur dan beradab.
Karena itu, penggagasnya menyarankan agar alam
bisa dikendalikan demi mulusnya pembangunan dan
kemajuan untuk dapat memenuhi hajat hidup manusia.
Padahal, sudah banyak bukti menunjukkan bahwa justeru mengejar pertumbuhan ekonomi melalui eksploitasi
alam secara berlebihan telah menempatkan manusia
sebagai sasaran empuk ancaman bencana, misalnya
dengan rusaknya sumberdaya hutan dan kohesi sosial
masyarakat di sekitarnya.
Oleh karena itu, kerentanan mesti dilihat sebagai
sebuah lapisan hirarkis yang terdiri dari tumpukan kelas
masyarakat yang berada dalam jalur ancaman bencana
pada derajat yang berbeda, baik dalam hal peluang
terwujudnya ancaman tersebut atau dalam hal kemampuan kelompok-kelompok masyarakat menerima efek
ancaman dan seberapa besar mereka bisa membantu
kelas masyarakat lain untuk memulihkan diri setelah
terkena bencana.
Jika kita melihat kondisi di Indonesia, uraian di atas menyarankan bahwa rakyat yang termiskinkan, termarginalisasikan, ekologi yang rentan, dan kerja institusi yang
lemah sangat berpotensi menjadi sasaran empuk ancaman bencana. Kita dapat melihat paska bencana gempa
dan tsunami di Aceh, rakyat di negeri ini terus menerus
disambangi bencana, korban pun terus bertambah sepertinya kita tidak pernah belajar dari bangsa lain yang
telah mampu mengurangi ancaman dan ke-rentanan
terhadap bencana dengan meningkatkan kapasitas, sehingga dampak bencana dapat dikurangi/dihindari.
Jika kita semua mau, sebenarnya sebenarnya masih
banyak yang bisa, dan harus dilakukan demi menghadapi
kerja alam yang tak bisa dihentikan ini. Dan bukan bukan
hanya berdiam diri dan pasrah menanti limpahan lumpur
dan air bah dari atas bukit, atau hanya berdoa siang dan
malam agar dapat terhindar dari amukan alam.
Pemerintah (pusat-daerah), perguruan tinggi, organisasi sosial kemasyarakatan dan pihak-pihak yang peduli
dengan kondisi negeri yang rawan bencana ini untuk
duduk bersama menyusun paradigma dan kerangka
kerja baru dalam pengurangan resiko bencana. Badan
Penanggulangan Bencana terutama di daerah yang telah dibentuk, dapat merangkul semua pihak, tidak seperti saat ini yang lebih cenderung berkutat pada urusan
dirinya sendiri dengan birokrasi yang kaku.
Penguatan institusional Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Propinsi&Kabupaten) menjadi skala prioritas bagi pemerintah. Bukan hanya sekedar melengkapi kebutuhan prasarana dan sasaran, sumber daya
manusia, alokasi pendanaan, organisasi dan manajemen, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menjadikan BPBD menjadi institusi profesional, transparan
dan akuntable serta mampu menyusun konsep dan
strategi aplikatif dan komprehensif dalam penanganan
kebencanaan di daerah.
Pemerintah Daerah harus berani melakukan refleksi
atas kelemahan penanganan bencana yang terjadi saat
ini. Kita semua tahu ada banyak kelemahan yang dilakukan, seperti distribusi bantuan yang tidak merata
sebagai dampak dari lemahnya sistem pendataan, tidak
cakapnya manajemen tanggap darurat serta lemahnya
koordinasi di tingkat lapangan. Semua ini jika tidak diselesaikan dengan baik akan menjadi sumber ancaman
bencana baru, selain bencana yang disebabkan oleh
alam. (Hambali)
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
47
KAJIAN
48
Suasana perkampungan Tanjung Alam, Kecamatan Jangkat, di pagi pagi. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
Potret FPIC di Tengah Masyarakat Adat
L
okalitas masyarakat adat merupakan kebenaran
empiris negara kita karena negara ini lahir tidak
bisa dilepaskan dari keberadaan dan kebersatuan masyarakat adat. Sejarah membuktikan bahwa
masyarakat adat sudah ada jauh sebelum republik ini
didirikan. Begitu juga dalam perjalanan pendirian republik ini para founding father sudah membicarakan
kepentingan masyarakat adat terutama ketika penyusunan konstitusi sebagai norma dasar negara kita.
Akan tetapi pada perkembangannya lokalitas adat
semakin memudar karena tidak adanya political will
pemerintah dalam mengakui dan memperkuat keberadaan masyarakat adat. Disamping itu dalam
hukum positif keberadaan masyarakat adat tidak dimasukkan sebagai penyangga hukum (hak) dasar sebagaimana disusun oleh para founding father.
Padahal konstruksi masyarakat adat sudah dirumuskan ketika penyusunan konstitusi pertama, pasal 18
UUD 1945 menyatakan pemerintahan masyarakat adat
sebagai pemerintah “bawahan” yang istimewa untuk
menopang Pemerintahan Republik di Jakarta. Pada
penjelasannya mengatakan “Dalam teritori Negara
Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landchappen (daerah-daerah swapraja) dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri
di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan
sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai
daerah yang bersifat istimewa.” Kebenarannya saat ini
masyarakat adat dihadapkan pada kondisi dilematis terhadap pengakuan dan penguasaan tenurialnya serta
dikepung ekspansi pencaplokan lahan yang berujung
pada penggusuran masyarakat adat. Begitu juga beragam konflik dan pengambilan hak-hak masyarakat terhadap potensi yang sudah turun temurun dikelola tidak
kunjung usai.
Mereduksinya pengakuan dan perlindungan masyarakat
adat membuat para pemerhati masyarakat adat
mengembangkan pola ataupun regulasi untuk menguatkan lokalitas masyarakat adat. Menguap ide
Free and Prior Informed Consent (FPIC) yang dimaknai
sebagai persetujuan bebas tanpa paksa yang didahu-
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
KAJIAN
Orang Rimba sedang mengambil manau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI Warsi
lui dengan informasi memadai tentang sebab dan akibat suatu proyek menjadi peluang dalam menguatkan
masyarakat adat.
tifikasi kepada perusahan perkebunan dan kehutanan
yang menghargai keberadaan masyarakat adat melalui
penerapan FPIC.
FPIC dan HAM
Jika kita kaitkan FPIC dengan doktrin tanggungjawab
negara dalam Hak Asasi Manusia (HAM) terdapat empat fungsi pokok yang wajib dilakukan negara yaitu
penghormatan (to respect), perlindungan (to protect),
pemenuhan (to fullfill) dan mengkampanyekan (to promote) penegakan hak masyarakat adat atas sumberdaya alamnya dalam setiap tindakan yang dilakukan pihak
luar terhadap masyarakat adat.
FPIC semula digunakan untuk melindungi kepentingan
pasien di rumah sakit yang semestinya mengetahui setiap proses dan jenis pengobatan yang akan dilaluinya
secara pribadi. Kemudian konsep ini dikembangkan
sebagai standar perlakuan terhadap masyarakat adat
oleh beberapa organisasi internasional. Konvensi ILO
169 tahun 1989 menjadi cikal bakal pentingnya persetujuan masyarakat adat atas pemindahan (relocation)
masyarakat dari tanah leluhur mereka. Kemudian dalam United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang diadopsi Majelis Umum PBB pada
13 September 2007, konsep FPIC dilengkapi dalam sejumlah pasal, tidak terbatas pada soal relocation lagi.
Konsep ini juga dikembangkan oleh lembaga internasional multipihak untuk memberikan pelabelan terhadap
perusahaan yang memiliki performance baik dalam
lapangan usahanya. Pada sektor kehutanan dikembangkan oleh Forest Stewart Council (FSC), di sektor
perkebunan dikembangkan oleh Rountable Sustainable
Palm Oil (RSPO). Kedua lembaga ini memberikan ser-
FPIC memuat empat komponen yang dapat menjadi pintu
masuk penguatan masyarakat adat dan resolusi konflik
tenurial. Pertama Free, berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan. Artinya kesepakatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan masyarakat tanpa
ada unsur pemaksaan dalam merumuskan kesepakatan ataupun aturan. Kedua Prior, sebelum proyek atau
kegiatan tertentu diizinkan pemerintah, terlebih dahulu
harus mendapat izin dari masyarakat. Ketiga Informed,
informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai
proyek yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya; dan Keempat Consent, persetujuan diberikan
oleh masyarakat sendiri.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
49
KAJIAN
50
Orang Rimba di SPA hidup
terlunta-lunta di tengah kebun
sawit. Sebelum dialihfungsikan
menjadi kebun sawit kawasa ini
merupakan ruang jelajah mereka.
Foto: Heriyadi Asyari/dok. KKI
Warsi
KAJIAN
Orang Rimba terusir dari hutan
mereka dan terpaksa hidup di
tengah kebun sawit milik perusahaan. Foto: Heriyadi Asyari/dok.
KKI Warsi
Perlukah FPIC ?
Nuansa FPIC dalam Masyarakat Adat
Penulis menilai selama ini pemamfaatan SDA menempatkan posisi masyarakat adat sebagai penonton eksploitasi kekayaan alam yang diwariskan oleh leluhur
mereka dulu. Bila kondisi ini dibiarkan, maka tesis bahwa
sumberdaya alam merupakan kutukan bagi masyarakat
pada kawasan sumberdaya alam tidak dapat dielakkan.
Pengadopsian FPIC dalam kerangka hukum nasional
dapat menjadi tawaran penguatan masyarakat adat dan
dinamika internasional dan tradisi lokal menjadi konsideran yang cukup untuk melahirkan kebijakan yang
lebih menghargai hak asasi masyarakat adat.
Konsep FPIC sebenarnya bukanlah konsep asing pada
masyarakat lokal di Indonesia. Ia mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat lokal dalam bentuk
musyawarah untuk melakukan pemanfaatan aset yang
dimiliki dengan pihak luar. Tetapi konsep lokal ini sering
dilabrak oleh ketentuan nasional yang ramah terhadap
korporasi.
Penulis menilai perlunya adopsi FPIC dalam kerangka
hukum nasional dikarenakan beberapa alasan yaitu: (a)
untuk mencegah konflik antar masyarakat adat dengan
pihak lain; (b) merupakan wujud penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat atas hak
ulayatnya; dan (c) Menjaga keberlanjutan lingkungan
sebab penguatan masyarakat yang berada pada kawasan sumberdaya alam, yang selama ini bercorak komunal, dapat menghadang kerusakan lingkungan dari
ketamakan individu dan korporasi.
Baru Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, mencoba
mengadopsi pentingnya informasi, persetujuan dan
pengutamaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sedangkan UU lainnya seperti UU Pokok
Agraria, UU Petambangan, UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Sumberdaya Air lebih memilih menerapkan pengakuan bersyarat keberadaan masyarakat adat
daripada membangun mekanisme yang aplikatif dan
menghargai.
Begitu juga pengakuan bersyarat masyarakat adat
juga tertuang dalam Kepmen Agraria/Kepala BPN No.
5/1999 (pasal 6) dan Keppres No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan (pasal 2 ayat 2
huruf F) sama-sama menegaskan bahwa kewenangan
penyelesaian dan penetapan hak ulayat diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota melalui Perda. Berbicara
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
pengakuan masyarakat hukum adat perlu penulis bunyikan keberadaan Surat Edaran Mentri Kehutanan No.
S.75/Menhut-II/2004, 12 maret 2004, tentang masalah
hukum adat dan tuntutan kompensasi/ganti rugi oleh
masyarakat hukum adat. SE a quo menyatakan jika
terdapat tuntutan oleh masyarakat hukum adat di kawasan HPH/IUPHHK maka perlu sebelumnya dilakukan
penelitian oleh pakar hukum adat, tokoh masyarakat
di daerah bersangkutan, instansi atau pihak lain yang
terkait serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat berdasarkan kriteria pada penjelasan pasal 67 ayat
(3) UU Kehutanan. Jika hasil penelitian menyatakan
ada masyarakat hukum adat maka Pemda dan DPRD
menetapkannya melalui Perda Provinsi dan kemudian
disampaikan kepada Kemnhut untuk dinilai apakah
diterima atau tidaknya. Yang menjadi pertanyaan jika
Perda itu ditolok Menhut bagaimana status masyarakat
adat tersebut. Tentunya regulasi ini dapat melemahkan masyarakat adat, disamping proses yang panjang
juga kental dengan nuansa politik baik itu dalam proses
penyusunan Perdanya maupun ketika sampai di meja
Mentri.
Manipulasi pengakuan bersyarat keberadaan masyarakat
adat, pada kenyataannya justru melanggengkan konflik
agraria yang terjadi antara masyarakat adat, pemerintah
dan korporasi. Tahun 2010 KPA mencatat terdapat 106
konflik agraria dengan tiga orang meninggal. Sepanjang
tahun 2011 terdapat 163 konflik agraria di Indonesia
dengan jumlah rakyat atau petani meninggal mencapai
22 orang. Sedangkan Januari-Juli 2012 terdapat 23 korban meninggal terkena tembakan. Begitu juga konflik
agraria yang terjadi pada tahun 2011 melibatkan 69.975
kepala keluarga dengan luasan areal konflik mencapai
472.048,44 hektar. Dari 163 konflik agraria tahun 2010,
rinciannya 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus
di sektor kehutanan, 21 kasus di sektor infrastruktur, 8
kasus di sektor pertambangan, dan 1 kasus di wilayah
tambak atau pesisir (Kompas.com).
Sedangkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN),
sampai tahun 2011 terdapat 14.337 sengketa pertanahan. Selain konflik antara warga dengan pihak pengusaha/penguasa maupun dengan aparat, juga terjadi
konflik antar sesama warga (pendatang dengan penduduk asli, maupun warga yang pro dengan yang anti
perkebunan).
Munculnya skema FPIC menjadi peluang bagi penguatan masyarakat adat. Kedepannya kita harus mendorong skema FPIC diadopsi dalam hukum positif sehingga lokalitas dan pemenuhuan hak tenurial masyarakat
adat dapat dipenuhi. (Ilham Kurniawan Dartias, Staf
Hukum dan Analisis Kebijakan Hukum)
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
51
SELINGAN
52
Lain lagi dengan Meranggai, meski sama-sama berasal
dari kelompok Kedundung Muda dia beralasan menjadi
penyiar adalah tempat untuk melatih keberanian dan
lebih cerdas. Meranggai merasa diskriminasi yang ada
selama ini terhadap Orang Rimba dikarenakan kebodohan bisa ditepis jika generasi mudanya banyak menimba ilmu pengetahuan.
“Akeh ndok berani dan cerdas, dan bisa diskusi segalo
macam. Hopi diloloi lagi,” ujar Meranggai.
SELINGAN
Kisah Dua
Penyiar Rimba
Meranggai merasakan, semenjak menjadi penyiar dia
bisa mendapatkan informasi pengetahuan dari desadesa di luar. Setiap harinya Tembuku dan Meranggai
bisa menghabiskan minimal tiga jam di depan meja siar.
Beragam cerita yang mereka dapat, dan tentu saja banyak pengalaman dan ilmu memperkaya pemikirannya.
Meranggai menyebutkan siaran yang paling disukainya,
adalah Kabar Rimba. Kabar Rimba ini adalah rubrik
khusus yang menceritakan kehidupan orang rimba,
terkait dengan kesehariannya dan kebudayaan mereka. Biasanya kabar rimba juga diselingi dengan kabar
Desa. Ini dilakukan agar terjadi pertukaran informasi
antara Rimba dan Desa.
Orang Rimba bisa menjadi penyiar, terutama jika mereka masih berstatus belum menikah. Namun akan menjadi sulit, jika perempuan rimba yang ingin menjadi penyiar. Ini dikarenakan, dalam aturan rimba sangat tabu
jika perempuan berada di luar komunitasnya, apalagi
bersama lawan jenis.
“Kanti-kanti rimba semua merasa senang karena bisa
mewakili mereka untuk menjadi penyiar. Kalau untuk
bujang tidak ado larangan di aturan rimba, kecuali untuk perempuan menjadi penyiar baru bisa dilarang,” katanya
Menjadi penyiar, bukan sekedar unjuk kebolehan bagi
mereka. Mereka berharap dengan suara mereka mengudara, pesan-pesan ilmu pengetahuan akan tersampaikan kepada saudara-saudara mereka yang berada di
ujung-ujung Taman Nasional Bukit Duabelas. (Elviza
Diana)
Secara adat, tidak ada aturan khusus dalam larangan
T
embuku dan Meranggai, dua pemuda rimba
ini belajar menjadi penyiar lebih dari enam bulan lalu di Radio Benor FM. Kedua pemuda
itu, hampir sama dengan pemuda rimba lainnya yang masih malu-malu untuk bercuap-cuap di depan mikrofon. Memutuskan menjadi penyiar, bukanlah
perkara gampang bagi kedua pemuda rimba ini. Pasalnya selain belum memiliki kemampuan dalam dunia
broad casting, Tembuku dan Meranggai juga masih
malu untuk berkomunikasi dengan orang dari luar komunitas mereka. Memunculkan keberanian mereka
menjadi langkah yang diambil demi sebuah misi mulia
bagi pengetahuan Orang Rimba lainnya.
Kini enam bulan berlalu, Tembuku dan Meranggai,
tampaknya sudah mulai menikmati menjadi penyiar.
Ketika ditanyakan alasannya menjadi penyiar, ternyata
alasannya memiliki makna pengabdian yang luar biasa.
Seperti yang dikatakan Tembuku, bahwa dia menjadi
penyiar untuk membantu Orang Rimba lainnnya agar
dapat mengetahui banyak informasi. Seperti yang
diketahui, kemampuan untuk membaca bagi Orang
Rimba sangatlah minim. Hampir sebagian besar belum
bisa membaca, menulis dan berhitung. Sebagai salah
satu kader pendidikan Orang Rimba, Tembuku melihat
itu menjadi sebuah masalah untuk Orang Rimba dalam
memperoleh informasi dari luar. Melalui radio, dia bisa
menyampaikan informasi tersebut, dengan bahasa
yang bisa dipahami teman-temannya.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Menjadi Pekerja
NGO, Aktivis NGO
dan Pemikir NGO
adalah Pilihan
B
ertempat di Sebapo Institut, KKI WARSI mentraining 18 fasilitator desa guna meningkatkan
kapasitas mereka agar menjadi fasilitator handal. Kegiatan ini dimulai dengan mempekenalkan visi
WARSI yakni “konservasi bersama masyarakat”. Visi
ini diharapkan mampu ditransformasikan secara utuh
oleh fasilitator kepada berbagai pihak. Kegiatan berbentuk pelatihan ini diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan staf fasilitator baru dalam menjalankan
tugas-tugas mereka dilapangan dan juga untuk menghilangkan kesenjangan kemampuan fasilitasi antara staf
baru dan staf lama. Hal ini dirasakan oleh management
WARSI, sehingga walaupun telah melakukan beberapa
upaya untuk mengurangi kesenjangan tersebut, namun
belum secara sistematis mampu mengurangainya. Berdasarkan hal tersebut, dirasa penting untuk melakukan pelatihan fasilitator secara intensif, terstruktur dan
terprogram untuk menciptakan fasilitator tangguh dan
handal yang mampu mendapampingi dan menginternalisasikan program WARSI bersama masyarakat dan
sekaligus meningkatkan rasa percaya diri fasilitator.
Training yang diaksanakan selama 5 hari berturut-turut
ini dibuka secara resmi oleh sektretaris dewan anggota
WARSI, Adam Azis. Dimulai dengan mengulas pekerjaan NGO adalah pekerjaan yang menuntut para pekerja
bekerja dengan prinsip dan komitmen yang tinggi dalam
menjalankan tanggung jawab. Adam Azis mengungkapkan penting sekali bagi staff WARSI untuk memikirkan
tujuan hidupnya dimasa mendatang. “Apakah ingin
menjadi pekerja NGO, aktivis NGO ataupun Pemikir
NGO, semua menjadi pilihan anda,” sebutnya.
Tembuku dan Meranggai, pemuda rimba
yang menjadi penyiar radio komunitas. Foto:
Andi Agustanis/dok. KKI Warsi
Hal yang senada diungkapkan oleh Direktur Eksekutif
WARSI, Rakhmat Hidayat. Dalam presentasinya Rakhmat menjelaskan bahwa optimalisasi diri dapat dilakukan dengan menspesialisasikan diri, sehingga potensi
yang dimiliki bisa lebih tajam dan fokus. “Ada banyak
hal yang bisa dipelajari di KKI WARSI, hal ini pun diakui oleh pihak luar dimana WARSI telah menjadi learning center atau contoh sukses dari konservasi bersama
masyarakat. Dengan demikian, masing-masing staf harus paham isu besar KKI WARSI dengan tidak mengkotak-kotakkan diri berdasarkan program,”sebutnya.
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
53
SELINGAN
54
AKTUAL
mereka merasa puas dengan hasil psikotes ringan
tentang potensi diri ini. Mereka merasa lebih percaya
diri dibanding sebelumnya, karna mereka sadar ada
potensi untuk dikembangkan melalui pengembangan
pengetahuan, spesifikasi dan interaksi.
Pengenalan Teori Reseach Cepat.
Peserta training fasilitator desa yang digelar Warsi di Sebapo Institut
antusias mengikuti kegiatan. Foto: Emmy Primadona/dok. KKI Warsi
Disadari bersama, berbagai program yang telah dan
sedang berjalan pada dasarnya bermuara pada visi
yang sama yakni konservasi bersama masyarakat yang
berkeadilan dan berkelanjutan.
Motivasi dan Pengenalan Potensi Diri.
Salah satu materi yang sangat dinikmati perserta adalah, pengenalan potensi diri sehingga secara tidak
langsung memacu motivasi staf sehubungan dengan
pekerjaan. Adalah teori Douglas Mc.Gregor seorang
psikolog menemukan dua “”Kutub Ekstrem” tentang
“sifat dasar manusia” yang dinanamakan teori X dan
teori Y. Kedua teori ini menggabarkan bagaimana sikap
seseorang terhadap diri dan komunitas di sekitarnya.
Teori ini diujicobakan kepada staf oleh Hambali, selaku
koordinataor pelatihan ini, melalui analisa study kasus
seorang pemandu lapangan. Teori X lebih menjelaskan
bahwa seseorang butuh tindakan tegas untuk menjadi
disiplindan bertanggung jawab. Hal ini diperjelas dengan
sikap yang sungkan mengambil keputusan, susah percaya diri, mementingkan diri sendiri, butuh pengawasan
dan lebih dimotivasir oleh uang. Sebaliknya teori Y lebih
mencerminkan seorang individu yang berkerja karena
komitmen terhadap tujuan yang dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan sikap yang mampu mengembangkan
diri sendiri tanpa tekanan dan mampu berkembang di
berbagai macam kondisi. Mereka yang memiliki faktor Y
yang besar bepotensi sebagai pemimpin dan pengambil
keputusan. Hasil uji coba “Kutub Ekstrem” ini menunjukkan bahwa rata-rata peserta pelatihan mengarah pada
ke kutub Y, dan angka menuju kutub Y sangat variatif,
diharapkan dengan meningkatnya jam terbang sebagai
fasilitator maka nilai kutub Y pada diri fasilitator dapat
ditingkatkan.
Setelah menyadari potensi diri yang dimiliki oleh masing-masing staf, pandangan peserta training fasilitator
mengenai diri mereka sedikit jauh berubah. Perbincangan masing-masing peserta mengungkapkan bahwa
Tidak hanya pengenalan diri, training ini juga mengajarkan staf bagaimana memahami konstalasi politik dan
kepentingan di tengah masyarakat. Seperti yang dipaparkan oleh Rudi Syaf seperti yang dikutib di buku Tania
Lee “The will to improve” adalah Niat baik serta rencana
hebat untuk memakmuran kehidupan masyarakat
bukan jaminan kemakmuran tersebut akan terwujud.
“Masyarakat bukanlah ruang kosong yang mampu diisi
dengan apa saja, sehingga adanya pergeseran output
dari yang direncanakan menjadi satu hal yang mungkin
terjadi. Oleh karena itu, peranan fasilitator yang handal
dan penggunaan strategi fasilitasi yang tepat adalah
kunci utama keberhasilan tercapainya suatu program,”
urai Rudi.
Salah satu metode yang diperkenalkan untuk memahami kondisi atau dinamika yang terjadi di tengah
masyarakat adalah dengan melakukan metode PRA
(participatory Rural Appaisal) dan RRA (Rapid Rural Appraisail). Metode ini tidak hanya diperkenalkan secara
teori namun juga dipraktekkan langsung oleh peserta.
Dengan menguasai metode PRA dan RRAS, fasilitator
akan mampu menganalisa kondisi disuatu komunitas
dan mempersiapkan strategi fasilitasi yang tepat yang
bisa diterapkan.
Dalam pelaksanaannya training lima hari presentasi,
analisa study kasus, dan diskusi interaktif adalah metode yang diterapkan secara berimbang selama proses
pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran terasa begitu cepat dan menyenangkan. Disela-sela break, pertanyaan krisis sering kali muncul di
kalangan staf. Rasa frustrasi yang dirasakan staf mengenalkan program konservasi bersama masyarakat
yang sarat dengan perubahan, adalah hal yang lumrah
seperti yang dikatakan oleh Rudi Syaf. Hal yang terpenting untuk menjadi fasilitator handal adalah tetap semangat dan konsisten dalam menyampaikan informasi.
Karena bekerja bersama masyarakat bukanlah pemaksaan ideologi, tapi bagaimana mereka paham dan sadar dengan apa yang mereka lakukan setelah mendapatkan informasi yang cukup dari berbagai pihak.
Secara umum pandangan peserta fasiliator mengenai
pelatihan fasilitator ini sangatlah positif. “Ibarat baterai
rasanya sudah fully charged” ujar Agus, salah satu peserta pelatihan. Mereka telah siap kembali berinteraksi
dengan masyarakat dengan amunisi dan semangat
baru. (Emmy Primadona Than)
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013
Menangkap Peluang PHBM
Warsi menggelar lokakarya pengelolaan hutan berbasis masyarakat, perkembangan dan peluang ke depannya di Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun. Foto: Yusrita/dok. KKI Warsi
S
ejak pagi, Bukhori ketua kelompok pengelola
hutan adat Desa Temalang, Kecamatan Limun,
Kabupaten Sarolangun, sudah berangkat dari
rumahnya menuju kantor camat. Namun perjalanan yang biasanya hanya memakan waktu satu
hingga dua jam dari rumah itu, kini harus ditempuh menjadi empat jam. Ia pun terlambat mengikuti pertemuan
yang akan dihadiri. Hal itu dikarenakan banjir yang melanda desanya, dan beberapa desa sekitar.
Bukhori, adalah salah satu peserta perwakilan dari
sepuluh desa di Kecamatan Limun yang mengikuti lokakarya terkait dengan perkembangan dan peluang pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). Enam di
antara sepuluh desa ini merupakan daerah penyangga
Hutan Adat Bukit Bulan, yaitu Desa Lubuk Bedorong,
Desa Napal Melintang, Desa Meribung, Desa Mersip,
Desa Berkun dan Desa Temalang. Sementara empat
desa lainnya berbatasan langsung dengan kawasan
Hutan Produksi Ketalo Singkut dan Hutan Lindung Bukit
Tinjau Limun, yaitu Desa Suka Damai, Panca Karya,
Demang dan Ranggo.
Ada sekitar 30 orang peserta yang merupakan perwakilan setiap desa. Masing-masing terdiri dari kepala desa,
ketua BPD dan ketua pengelola hutan adat. Meski telah
memiliki hutan adat sejak penetapan kawasan Hutan
Adat Bukit Bulan pada 2010 lalu, masyarakat mengaku
masih belum merasakan manfaat yang cukup signifikan dari penetapan kawasan tersebut. Seperti yang
diungkapkan Nasrul, ketua pengelola hutan adat Desa
Berkun. Menurut dia, sejak ditetapkankannya kawasan
Hutan Adat Bukit Bulan, belum ada program pemerintah
disana yang kemudian berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Padahal, program-program pemerintah sebenarnya
bukan satu-satunya tujuan yang akan dicapai dalam
upaya penyelamatan hutan. Sebab, masyarakat Desa
Temalang dan Napal Melintang sudah merasakan manfaat dari terjaganya hutan berupa kesediaan air di dae-
rah hulu. Dengan tersedianya pasokan air mereka bisa
merasakan sumber penerangan dari pembangkit listrik
tenaga mikro hidro (PLTMH). PLTMH ini mulai berjalan
sejak 2006 dengan daya sebesar 30 Kwh. PLTMH ini
mampu menjadi satu-satunya sumber listrik untuk 67
kepala keluarga di Desa Temalang dan seratus kepala
keluarga di Desa Napal Melintang.
Dalam lokakarya tersebut, Rainal Daus, koordinator KKI
Warsi menjelaskan skema pengelolaan hutan berbasis
masyarakat dan peluang-peluang pemanfaatan yang
dapat diperoleh oleh masyarakat. Dalam prakteknya,
pengelolaan hutan berbasis masyarakat selalu melibatkan masyarakat setempat sebagai pengelola. Lembaga pengelola ini dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh masyarakat setempat, serta
memiliki wilayah yang jelas.Pengelolaan hutan seperti
ini melibatkan masyarakat sebagai aktor utama, sehingga masyarakat dituntut memiliki kearifan lokal dalam menjaga hutan sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian. Dengan adanya pengelolaan hutan berbasis
masyarakat, diharapkan bisa menjadi sumber pendapatan untuk pembangunan desa dengan memperhatikan
prinsip kelestarian hutan. Untuk itu lembaga pengelola
yang dibentuk diharapkan mampu berperan sebagai
pengontrol dalam mempertahankan kelestarian hutan.
Seperti yang diatur dalam Undang-undang 41 Tahun
1999 pasal 15 (Kehutanan) dan Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2008 dalam pasal 84 menyebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pemberian akses
dan peningkatan askes dan peningkatan kapasitas dalam pengelolaan hutan. Ini tentu akan membuka peluang bagi upaya-upaya pengembangan dan percepatan
program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
Konsep pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat
merupakan salah satu bentuk pemikiran pengelolaan
hutan dengan memadukan tujuan tercapainya kelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
(Elviza Diana)
ALAM
SUMATERA,
edisi
DESEMBER
2012
ALAM
SUMATERA,
edisi
MARET 2013
55
ALAM SUMATERA, edisi MARET 2013

Similar documents

Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997

Analisa konflik: sektor kehutanan di Indonesia 1997 FWI dan GFW (2001) telah memetakan sebaran konflik kehutanan di Indonesia berdasarkan hasil survei terbatas tentang konflik sumber daya hutan1 . Beberapa penyebab umum konflik di sektor kehutanan b...

More information