- Perpustakaan Kemenkeu

Transcription

- Perpustakaan Kemenkeu
KATA PENGANTAR
Piutang Negara merupakan bagian dari kekayaan negara yang oleh
undang-undang diserahkan pengelolaannya kepada Menteri Keuangan. Oleh
karena itu piutang negara harus dikelola secara tertib, efektif, efisien,
transparan, bertanggungjawab, taat pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dalam
rangka pengelolaan piutang negara tersebut terdapat 2 (dua) unit organisasi di
lingkungan Departemen Keuangan, yaitu Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN) dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN). Kedua
unit organisasi tersebut berada di bawah dan bertanggungjawab langsung
kepada Menteri Keuangan.
Tujuan dibentuknya PUPN dan DJPLN tidak terlepas dari tujuan
pemerintah untuk mengamankan kekayaan negara yang berupa piutang.
Piutang negara tersebut berasal dari instansi pemerintah dan badan-badan yang
modalnya
sebagian
atau
seluruhnya
dikuasai
oleh
negara.
Pengamanan/pengembalian piutang negara tersebut tidak akan tercapai dengan
segera bila dilakukan menurut prosedur biasa, yaitu melalui badan peradilan
berdasarkan hukum acara perdata (HIR : Herizene Indonesisch Reglement,
Staatsblad 1941 No.44).
Dalam menyelesaikan piutang negara, PUPN dan/atau DJPLN
menempuh prosedur khusus (Lex Specialis) yaitu prosedur pengurusan piutang
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 beserta
segenap peraturan pelaksanaannya yang tertuang dalam berbagai Peraturan
Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri
Keuangan (KMK). Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya PUPN dan/atau
DJPLN juga memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan lain
yang terkait, seperti Undang-undang Keimigrasian, Undang-undang Keuangan
Negara, Undang-undang Perbendaharaan Negara dan undang-undang lainnya.
Penulisan buku ini difokuskan pada pengenalan prosedur pengurusan
Piutang Negara, khususnya prosedur yang lebih bersifat non eksekusi,
sedangkan yang bersifat eksekusi akan diuraikan dalam buku tersendiri. Materi
yang akan dibahas antara lain meliputi dasar hukum, tujuan dan asas-asas
dalam pengurusan piutang negara, beberapa pengertian penting, berbagai
instansi yang juga melakukan pengurusan piutang negara, prosedur
penyerahan dan penerimaan pengurusan piutang negara, pengurusan piutang
negara secara khusus termasuk pendekatan pengurusan non eksekusi,
ii
Kata Pengantar
pengelolaan barang jaminan, upaya pencegahan debitor bepergian ke luar
wilayah Republik Indonesia, pemeriksaan dalam pengurusan piutang negara,
tata cara penghapusan piutang negara, biaya pengurusan piutang negara serta
pengurusan piutang negara secara spesifik.
Dengan berbagai keterbatasan baik kemampuan, waktu maupun
kesempatan, penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan sumbangan pikiran,
usul maupun kritik dari pihak manapun sebagi bahan masukan yang tentunya
sangat bermanfaat bagi penyempurnaan buku ini.
Pada kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih
yang sebesar besarnya kepada:
1. Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Departemen Keuangan
beserta segenap jajarannya, yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk menulis buku ini;
2. Segenap Pimpinan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang
memberikan izin kepada penulis untuk mewujudkan buku ini;
3. Para pihak yang telah membantu dengan memberikan masukan-masukan,
serta kritik dan saran yang memperkaya penulisan buku ini.
Akhirnya penulis berharap agar kiranya buku ini dapat bermanfaat bagi
para mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara bidang Spesialisasi Piutang
Negara dan Lelang, para stakeholder PUPN/DJPLN, seperti para
debitor/Penanggung Hutang, kreditor/Penyerah Piutang, dan masyarakat
umum seperti para praktisi hukum, akademisi, dan masyarakat lain yang
berminat atau ingin memperoleh manfaat dari kinerja PUPN/DJPLN.
Jakarta, Oktober 2005
Penulis,
Samsul Chorib
Boedirijanto
Andy Pardede
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
i
iii
Bab 1 Pengertian Pengurusan Piutang Negara
Pendahuluan
Pengertian Piutang Negara
Institusi yang Dapat Melakukan Pengurusan Piutang Negara
Terminologi dalam Pengurusan Piutang Negara
Hubungan antara Penyerah Piutang, Penanggung Hutang, dan
Penjamin Hutang
Rangkuman
Latihan
1
2
3
9
15
Bab 2 Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
Pendahuluan
Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
Rangkuman
Latihan
29
30
31
50
51
Bab 3 Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
Pendahuluan
Tujuan Pengurusan Piutang Negara
Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
Rangkuman
Latihan
53
54
54
56
83
84
Bab 4 Instansi yang Mengurus Piutang Negara Berdasarkan
Undang-undang No. 49 Prp. Tahun 1960
Pendahuluan
Perkembangan Kelembagaan Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN)
23
25
27
85
86
86
iv
Daftar Isi
Perkembangan Kelembagaan Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara
Tugas, Fungsi, dan Struktur Organisasi DJPLN sesuai
Kepmenkeu No. 302/KMK.01/2004
Visi dan Misi DJPLN
Rangkuman
Latihan
Bab 5 Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang
Negara
Pendahuluan
Prosedur Pengurusan Piutang Negara
Penyerahan Pengurusan Piutang Negara
Penelitian Dokumen Penyerahan dan Perhitungan Besarnya
Piutang Negara
Penolakan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
Registrasi, Hasil, dan Verifikasi Pengurusan Piutang Negara
Rangkuman
Latihan
Bab 6 Pengurusan Piutang Negara secara Khusus
Pendahuluan
Due Process of Law
Penagihan Piutang Negara dengan Surat Paksa, Sita, dan
Lelang
Berbagai Upaya/Sarana Hukum Lain yang Dapat Dilakukan
PUPN/KP2LN
Rangkuman
Latihan
Bab 7 Pendekatan non-Eksekusi dalam Pengurusan Piutang
Negara
Pendahuluan
Penjualan Barang Jaminan Tidak Melalui Lelang
Penebusan Barang Jaminan
105
115
138
139
140
143
144
145
149
157
160
165
177
178
181
182
183
191
193
196
196
205
206
207
211
v
Pengurusan Piutang Negara
Pemberian Keringanan Penyelesaian Hutang
Rangkuman
Latihan
216
236
237
Bab 8 Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain 239
Pendahuluan
Penatausahaan Dokumen dan Fisik Barang Jaminan dan/atau
Harta Kekayaan Lain
Pengamanan Dokumen dan Fisik Barang Jaminan dan /atau
Harta Kekayaan Lain
Pendayagunaan Barang Jaminan
Rangkuman
Latihan
Bab 9 Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik
Indonesia
Pendahuluan
Pengertian Pencegahan
Dasar Hukum Pencegahan
Pihak yang Berwenang Melakukan Pencegahan
Obyek Pencegahan
Syarat Pencegahan
Prosedur dan Tata Cara Penerbitan Keputusan Pencegahan
Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia
Rangkuman
Latihan
Bab 10 Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara
Pendahuluan
Dasar Hukum Tugas/Wewenang PUPLN/DJPLN untuk
Melakukan Pengusutan/Pemeriksaan
Definisi/Pengertian Pemeriksaan
Tujuan, Obyek, dan Sasaran Pemeriksaan
Syarat-syarat Pemeriksaan
240
241
245
249
251
252
255
256
257
258
258
260
262
264
269
270
275
276
277
278
280
281
vi
Daftar Isi
Petugas Pemeriksa
Tata Cara Pemeriksaan
Tindak Lanjut Pemeriksaan
Rangkuman
Latihan
282
283
286
288
289
Bab 11 Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara
Pendahuluan
Pelunasan
Penarikan Pengurusan Piutang Negara
Pengembalian Pengurusan Piutang Negara
Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih
Rangkuman
Latihan
291
292
293
294
297
299
301
303
Bab 12 Penghapusan Piutang Negara
Pendahuluan
Dasar Hukum Penghapusan Piutang Negara
Kewenangan Penghapusan Piutang Negara
Persyaratan dan Prosedur Penghapusan Piutang Instansi
Pemerintah Pusat/Daerah
Persyaratan Penghapus Tagihan Piutang Perusahaan Negara
(BUMN)/Perusahaan Daerah (BUMD)
Proses Penghapus Tagihan Piutang Perusahaan Negara
(BUMN)/Perusahaan Daerah (BUMD)
Rangkuman
Latihan
305
306
309
314
Bab 13 Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara
Pendahuluan
Perkembangan Pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan
Piutang Negara
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Tarif Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara
337
338
318
325
328
332
334
339
341
342
Pengurusan Piutang Negara
Cara Pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang
Negara
Rangkuman
Latihan
Bab 14 Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik
Pendahuluan
Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan
Negara
Pengurusan Piutang Negara Atas Penanggung Hutang yang
Dinyatakan Pailit atau Atas Barang Jaminan Milik Pihak
Ketiga yang Dinyatakan Sebagai Boedel Pailit
Pengurusan Piutang Negara dengan Barang Jaminan yang
Diikat Sempurna
Pengurusan Piutang Negara dengan Barang Jaminan yang
Dibebani Hak Tanggungan
Pengurusan Piutang Negara dengan Barang Jaminan yang
Dibebani Jaminan Fidusia
Rangkuman
Latihan
Daftar Pustaka
Bio grafi Tim Penulis
vii
343
346
347
349
350
351
354
357
357
360
361
364
365
369
BAB 1
PENGERTIAN PENGURUSAN
PIUTANG NEGARA
Sasaran Pembelajaran
Setelah membaca dan mempelajari bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III
Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan
memahami pengertian pengurusan piutang negara. Pemahaman tentang arti piutang
negara dan arti pengurusan piutang negara sangat diperlukan untuk meminimalkan
terjadinya permasalahan hukum sebagai akibat adanya perbedaan pemahaman
tersebut.
Pendahuluan
2
Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara
Alinea pertama Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan rumusan sebagai berikut:
“Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara,
sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, dibentuk pemerintahan negara yang
menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang.
Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak
dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang
perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan
negara”.
Pengelolaan keuangan negara tersebut harus diselenggarakan secara
profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sebagai bagian dari upaya
perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Selain itu,
penyelenggaraan pengelolaan keuangan negara harus didasarkan pada
penerapan kaidah-kaidah yang baik (best practices), seperti akuntabilitas yang
berorientasi pada hasil, profesionalisme, proporsionalitas, keterbukaan, dan
pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Di atas telah disebutkan bahwa hak negara yang dapat dinilai dengan
uang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara, sehingga
pengelolaan hak negara tersebut harus sejalan dan selaras dengan pengelolaan
keuangan negara. Salah satu bentuk hak negara yang dapat dinilai dengan uang
adalah piutang negara. Oleh karena itu, pengelolaan (pengurusan) piutang
negara merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara.
Agar sejalan dengan sistem dan tujuan pengelolaan kekayaan negara,
maka pengurusan piutang negara harus juga diselenggarakan secara
profesional, terbuka, dan bertanggungjawab, serta menerapkan kaidah-kaidah
yang baik dalam penelolaan kekayaan negara. Untuk itu, seluruh pihak yang
terkait (stake holders) dalam pengurusan piutang negara perlu memiliki suatu
kesamaan dalam pengertian piutang negara, pengertian pengurusan piutang
negara itu sendiri, serta pengertian dari beberapa terminologi yang digunakan
dalam pengurusan piutang negara. Pengertian-pengertian tersebut akan
dijelaskan dalam uraian-uraian berikut.
Pengertian Piutang Negara
Pengurusan Piutang Negara
3
Pengertian piutang negara dapat ditemukan pada 2 undang-undang
yang saat ini masih berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960
tentang Panitia Urusan Piutang Negara, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara. Di dalam buku ini, dan di dalam
pelaksanaan pengurusan piutang negara yang saat ini masih berlangsung,
pengertian piutang negara yang digunakan adalah pengertian yang ada pada
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Penentuan pengertian tersebut di
dasarkan pada pertimbangan sesuai uraian berikut ini.
Pengertian Piutang Negara Menurut Undang-undang Nomor 49
Prp. Tahun 1960
Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 mendefinisikan
piutang negara atau hutang kepada negara sebagai jumlah uang yang wajib
dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak
langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau
sebab apapun. Penjelasan pasal tersebut menjabarkan piutang negara sebagai
hutang yang:
1. langsung terhutang kepada negara dan oleh karena itu harus dibayar
kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
2. terhutang kepada badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya
sebagian atau seluruhnya dimiliki Negara, misalnya Bank-bank Negara,
PT-PT Negara, Perusahaan-perusahaan Negara, Yayasan Perbekalan
Persediaan, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun
1960 dan penjelasannya tersebut dapat diketahui beberapa hal yang terkait
dengan pengertian piutang negara, yaitu:
1. piutang negara adalah hutang yang wajib dibayar;
2. pihak yang wajib membayar piutang negara adalah orang per orang atau
badan (berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960);
3. dasar terjadinya piutang negara atau hutang kepada negara:
Ø suatu peraturan, misalnya:
ü kewajiban pemegang konsesi pengusahaan hutan untuk membayar
Iuran Hasil Hutan dan PSDH;
ü kewajiban perusahaan untuk mengikutsertakan pegawainya dalam
program JAMSOSTEK sehingga perusahaan tersebut harus
membayar premi;
ü pengenaan denda oleh BAPEPAM atas pelanggaran yang
dilakukan oleh perusahaan yang telah masuk bursa;
4
Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara
ü dan sebagainya;
Ø suatu perjanjian, misalnya perjanjian kredit antara Bank BUMN
dengan Debitor, perjanjian kontrak kerja antara suatu departemen
dengan perusahaan kontraktor, tagihan rekening listrik dari PT. PLN
(Persero), tagihan rekening air dari PDAM, tagihan rekening telepon
dari PT. TELKOM (Persero), tagihan rumah sakit, dan sebagainya;
atau
Ø sebab apapun, misalnya tuntutan ganti atas kasus penggelapan uang
oleh Pegawai Negeri Bendahara, dan sebagainya.
4. pengertian negara adalah:
Ø Pemerintah Pusat, seperti Departemen/Kementerian, Lembaga Negara
Non Departemen, Sekretariat Lembaga Tertinggi Negara, dan
Sekretariat Lembaga Tinggi Negara;
Ø Pemerintah Daerah, Instansi-instansi Pemerintah di daerah baik tingkat
Provinsi, Kabupaten, maupun Kota; dan
Ø Badan-badan yang secara langsung dikuasai oleh negara, seperti
BUMN dan BUMD; dan
Ø Badan-badan yang secara tidak langsung dikuasai oleh negara, seperti
anak perusahaan (subsidiary) BUMN/BUMD (misalnya PT. Telkomsel
yang merupakan anak perusahaan PT. TELKOM (Persero);
5. hutang pajak merupakan piutang negara, tetapi penagihannya dilakukan
dengan undang-undang khusus bidang pajak.
Pengertian negara sebagaimana yang diuraikan di atas adalah pihakpihak yang memiliki piutang negara. Pihak-pihak tersebut terdiri dari
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Badan-badan yang secara langsung
maupun tidak langsung dikuasai negara. Pengertian yang luas atas definisi
pihak yang berpiutang negara tersebut disebabkan oleh situasi hukum, sosial
kemasyarakatan, dan keadaan politik pada pada saat penyusunan Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yaitu sebagai berikut:
1. di dalam sistem pengelolaan keuangan negara, yang masih berdasarkan
Undang-undang Perbendaharaan Indonesia / Indische Comptabiliteitswet
(ICW Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448, sebagaimana telah beberapa kali
diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
1968), terdapat juga Peraturan Keuangan Perusahaan Negara Indonesia /
Indische Bedrijvenwet (IBW Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419 jo.
Staatsblad Tahun 1936 Nomor 445). IBW tersebut mengatur ketentuan
tentang pengelolaan kekayaan perusahaan negara, dan kaitannya dengan
keuangan negara. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka pengelolaan
Pengurusan Piutang Negara
5
keuangan perusahaan negara (BUMN/BUMD) dimasukkan ke dalam
sistem pengelolaan keuangan negara, dan pada gilirannya menyebabkan
pengurusan piutang BUMN/BUMD dan piutang anak perusahaan
BUMN/BUMD diikutsertakan dalam pengurusan piutang negara secara
umum;
2. sistem pemerintahan belum melaksanakan desentralisasi dan otonomi
daerah, sehingga roda pemerintahan termasuk pengelolaan keuangan
negara dilaksanakan secara terpusat oleh Pemerintah Pusat. Keadaan ini
menyebabkan pengurusan piutang pemerintah daerah, termasuk
pengurusan piutang BUMD dan pengurusan piutang anak perusahaan
BUMD juga dilaksanakan sejalan dengan pelaksanaan pengurusan piutang
Pemerintah Pusat.
Pengertian Piutang Negara Menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004
Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 mendefinisikan
piutang negara sebagai jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah
Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai
akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui beberapa hal yang
terkait dengan piutang negara, yaitu:
1. Piutang negara adalah:
Ø sejumlah uang yang wajib dibayar oleh orang per orang atau badan;
dan/atau
Ø hak negara yang dapat dinilai dengan uang. Hak ini tentu harus
diupayakan untuk ditagih.
2. Piutang negara tersebut terjadi karena:
Ø suatu perjanjian, misalnya perjanjian kontrak kerja antara suatu
departemen dengan perusahaan kontraktor, dan sebaginya;
Ø suatu peraturan, misalnya
• kewajiban pemegang konsesi pengusahaan hutan untuk membayar
Iuran Hasil Hutan dan Dana Reboisasi;
• pengenaan denda oleh BAPEPAM atas pelanggaran yang
dilakukan oleh perusahaan yang telah masuk bursa;
6
Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara
• dan sebagainya;
Ø akibat lainnya yang sah, misalnya tuntutan ganti atas kasus
penggelapan uang oleh Pegawai Negeri Bendaharawan, dan
sebagainya.
3. Pengertian Negara adalah Pemerintah Pusat yang terdiri dari Kementerian
Negara, Lembaga Negara atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian
Negara (berdasarkan Pasal 1 angka 20 Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004).
Berdasarkan uraian di atas, pihak yang memiliki piutang negara
hanyalah Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah Daerah tidak memiliki
piutang negara tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 undang-undang
yang sama, hanya memiliki Piutang Daerah. Selain itu, piutang negara juga
tidak termasuk piutang Badan-badan yang secara langsung maupun tidak
langsung dikuasai negara.
Dibandingkan dengan pengertian pemilik piutang negara berdasarkan
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, pengertian pemilik piutang
negara berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 sangatlah sempit.
Keadaan tersebut tersebut disebabkan oleh perkembangan situasi hukum,
sosial kemasyarakatan, dan keadaan politik pada pada saat penyusunan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, yaitu antara lain:
1. Undang-undang Perbendaharaan Indonesia/Indische Comptabiliteitswet
(ICW Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448, sebagaimana telah beberapa kali
diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
1968) dan Peraturan Keuangan Perusahaan Negara Indonesia / Indische
Bedrijvenwet (IBW Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419 jo. Staatsblad
Tahun 1936 Nomor 445) telah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak
berlakunya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. Dengan tidak berlakunya ketentuan tentang IBW tersebut, maka
pengelolaan keuangan perusahaan negara (BUMN/BUMD) tidak lagi
dimasukkan ke dalam sistem pengelolaan keuangan negara, dan pada
gilirannya menyebabkan pengurusan piutang BUMN/BUMD dan piutang
anak perusahaan BUMN/BUMD tidak dimasukkan sebagai bagian dalam
pengurusan piutang negara secara umum.
2. Sistem pemerintahan telah melaksanakan azas desentralisasi dan otonomi
daerah, sehingga telah ada pembagian dan perimbangan roda
pemerintahan, termasuk pengelolaan keuangan negara, antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Keadaan ini menyebabkan piutang
Pemerintah Daerah, tidak termasuk dalam lingkup piutang negara.
7
Pengurusan Piutang Negara
Perbandingan Pengertian Piutang Negara
Berikut ini tabel perbandingan pengertian piutang negara berdasarkan
ketentuan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan
Piutang Negara dan pengertian berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Tabel 1.1. Perbandingan Pengertian Piutang Negara
PENGERTIAN BERDASARKAN
NO.
URAIAN
UU No. 49 Prp. Tahun
1960
1.
definisi piutang
2.
dasar terjadinya a. suatu perjanjian;
piutang
b. suatu peraturan; atau
c. akibat lainnya
3.
pemilik
Negara
UU No. 1 Tahun 2004
hutang kepada negara yang a. sejumlah uang yang
wajib dibayar oleh orang per
wajib dibayar oleh orang
orang atau badan
per orang atau badan;
dan/atau
b. hak negara yang dapat
dinilai dengan uang.
piutang a.
b.
c.
d.
Pemerintah Pusat;
Pemerintah Daerah;
BUMN/BUMD;
Subsidiary
BUMN/BUMD
a. suatu perjanjian;
b. suatu peraturan; atau
c. akibat lainnya yang sah.
Pemerintah Pusat
8
Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang sangat menyolok
dari kedua pengertian piutang negara di atas adalah perbedaan pihak-pihak
pemilik piutang negara. Namun demikian, sebagaimana diuraikan di atas,
dalam pengurusan piutang negara yang sampai saat ini masih dilaksanakan,
pengertian piutang negara yang dianut adalah pengertian berdasarkan Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, undang-undang yang sampai saat ini
masih berlaku dan belum dicabut.
Pengertian Pengurusan Piutang Negara
Pengurusan piutang negara yang dilaksanakan saat ini didasarkan pada
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara1. Undang-undang tersebut walaupun hanya berisi 15 Pasal tapi telah
mengatur tentang subyek, obyek, dan proses pengurusan piutang negara.
Proses pengurusan piutang negara yang diatur dalam undang-undang
tersebut ditujukan untuk memperoleh hasil pengurusan yang lebih cepat dan
efektif dibandingkan hasil pengurusan bila ditempuh cara pengurusan melalui
jalur hukum (Lembaga Peradilan) yang akan memakan waktu lama (melalui
pengadilan tingkat pertama, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Guna
mendukung proses yang cepat dan efektif tersebut, subyek yang melakukan
pengurusan piutang negara diberi kewenangan khusus yang disebut dengan
istilah “parate eksekusi” yaitu kewenangan untuk menerbitkan keputusankeputusan yang mempunyai kekuatan seperti keputusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti (in kracht van gewijsde).
Upaya percepatan dan efektivitas pengurusan piutang negara tersebut
memiliki tujuan masing-masing, yang bila dicermati keduanya bermuara pada
upaya penyelamatan keuangan negara. Tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Upaya percepatan proses pengurusan negara ditujukan untuk efisiensi
sumber daya yang digunakan, seperti waktu, biaya, dan tenaga. Efisiensi
tersebut tidak lain adalah bagian dari upaya penghematan keuangan
negara, yang pada gilirannya dapat diartikan sebagai salah satu bentuk
penyelamatan keuangan negara.
2. Upaya peningkatan efektivitas pengurusan piutang negara ditujukan untuk
memaksimalkan hasil pengurusan piutang negara. Semakin maksimal hasil
pengurusan yang diperoleh, maka semakin banyak kekayaan negara yang
diselamatkan dari piutang macet. Dengan demikian peningkatan efektivitas
1
Uraian lengkap tentang dasar hukum dan sumber hukum pengurusan piutang negara akan
dijelaskan pada Bab-bab selanjutnya
Pengurusan Piutang Negara
9
pengurusan piutang negara, pada dasarnya merupakan salah satu upaya
dalam penyelamatan keuangan negara.
Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa upaya percepatan dan
peningkatan efektivitas hasil pengurusan piutang negara pada akhirnya
ditujukan pada upaya penyelamatan keuangan negara. Dengan demikian,
pengurusan piutang negara dapat diartikan sebagai proses kegiatan yang secara
khusus dilakukan untuk mengurus piutang negara dalam rangka penyelamatan
keuangan negara.
Institusi yang Dapat Melakukan Pengurusan Piutang
Negara
Terdapat beberapa instansi yang berwenang menyelesaikan piutang
macet, yaitu:
Pengadilan Negeri
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, yang meliputi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara.
Berdasarkan Pasal 47 Undang-undang tersebut telah diatur bahwa
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan
kehakiman masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
dibentuk yang baru berdasarkan Undang-undang ini. Hal ini menunjukkan
bahwa peraturan perundang-undangan yang memuat aturan pelaksanaan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut di atas atau belum dibentuk
ketentuan yang baru berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
tersebut.
Aturan main yang masih berlaku tersebut menentukan batas yurisdiksi
untuk setiap badan peradilan. Khusus mengenai permasalahan sengketa
perkreditan, yurisdiksi termasuk kewenangan lingkungan Peradilan Umum,
sehingga badan peradilan yang secara resmi bertugas menyelesaikan kredit
macet bila disengketakan adalah Pengadilan Negeri.
10
Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara
Penyelesaian sengketa kredit macet dapat diselesaikan melalui
Peradilan Umum dengan beberapa cara, yaitu:
1. Pemilik Piutang menggugat nasabah karena telah melakukan wanprestasi
atas perjanjian kredit yang telah disepakati.
Pemilik Piutang (Kreditor) dapat menggugat debitor yang melakukan
wanprestasi dengan tidak membayar hutang pokok maupun bunga ke
Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dalam hal ini akan memproses
gugatan tersebut dengan mempertimbangkan bukti-bukti dan sanggahan
yang diajukan oleh kedua belah pihak. Apabila proses pemeriksaan selesai
dilakukan, Pengadilan Negeri akan mengeluarkan putusan. Putusan
tersebut dilaksanakan dengan sita eksekusi atas agunan yang diberikan
untuk kepentingan pelunasan hutang. Proses beracara di lembaga peradilan
ini, dapat berlangsung sampai pada tahap Kasasi di Mahkamah Agung.
Kondisi ini dapat menyebabkan lambatnya hasil dan rendahnya tingkat
pengembalian kredit, sehingga pengurusan piutang negara melalui cara ini
dipandang kurang efektif dan efisien (hal inilah yang mendasari
pembentukan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara).
2. Pemilik Piutang meminta penetapan Pengadilan Negeri tentang sita
eksekusi terhadap barang agunan debitor yang telah diikat secara
sempurna. Terhadap barang agunan debitor yang telah diikat secara
sempurna, seperti dengan cara hipotik (Pasal 224 HIR jo PMA Nomor 15
Tahun 1961), crediet verband (Stb. 1908 Nomor 542 jo Stb. 1937 Nomor
190), atau Hak Tanggungan (Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996) maka
pemilik piutang dapat langsung mengajukan permohonan penetapan sita
eksekusi barang agunan untuk dapat memperoleh pelunasan piutangnya
tanpa harus melalui proses gugatan biasa di Pengadilan.
Sebelum mengajukan penetapan eksekusi, pemilik piutang terlebih dahulu
harus mendaftarkan barang agunan dimaksud ke Pengadilan untuk
memenuhi prinsip “openbar” yang menentukan kepastian hukum kapan
pengikatan barang agunan tersebut mempunyai kekuatan mengikat. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 198 dan 199 HIR serta berdasarkan azas
ketertiban umum bahwa pengikatan barang agunan mempunyai kekuatan
mengikat kepada pihak ketiga, terhitung sejak tanggal diterbitkannya
sertifikat hipotik/crediet verband/hak tanggungan oleh kantor Badan
Pertanahan Nasional (BPN) yang bersangkutan.
Hal ini berbeda dengan pendaftaran conservatoir beslag (CB) dan sita
eksekusi yang merupakan kewajiban juru sita, sehingga apabila bank lalai
mendaftarkan dan ada kreditur lain yang telah terlebih dahulu
Pengurusan Piutang Negara
11
mendaftarkan barang agunan yang sama, hal ini akan merugikan bank
karena pelaksanaan eksekusi akan terhambat. Dalam praktek, sita eksekusi
(eksekutorial beslag) atau conservatoir beslag yang diajukan oleh bank
dapat ditangguhkan pelaksanaannya, karena pengadilan mengabulkan
conservatoir beslag yang diajukan pihak lain, ikut campurnya pihak III
dalam perkara (derdenverzet), atau pihak ke III mengajukan gugatan
kepada pemilik agunan.
Hal semacam ini sering dimanfaatkan oleh debitor yang merekayasa
perjanjian kredit baru dengan pihak ke III pada waktu agunannya akan di
eksekusi oleh pengadilan.
3. Pemilik Piutang bersama dengan satu atau lebih kreditor lain yang
memiliki tagihan kepada debitor yang sama mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Niaga (yang berada dalam lingkungan peradilan umum), untuk
memailitkan debitor yang bersangkutan. Mekanisme kepailitan tersebut
diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Kejaksaan
Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, di bidang perdata dan tata usaha
negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun
di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Berdasarkan
ketentuan tersebut, peranan kejaksaan dalam bidang hukum perdata dapat
disejajarkan dengan Government’s Law Office atau Advokat/ Pengacara
Negara.
Dengan peran tersebut, Kejaksaan dapat mewakili bank milik negara
dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum, yang timbul dari hubungan
pemberian kredit antara bank dengan debitor bilamana debitor tidak memenuhi
kewajibannya (wanprestasi) kepada bank. Dalam pelaksanaan pemberian
kuasa tersebut, Kejaksaan diartikan sebagai pihak terafiliasi sehingga
berkewajiban memenuhi ketentuan mengenai rahasia bank sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam pelaksanaan
penyelesaian masalah hukum yang timbul dalam hubungan antara bank
dengan nasabahnya antara lain dalam hubungan pemberian kredit perlu
dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
12
Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara
1. Untuk menangani masalah hukum yang bersifat perdata dalam hubungan
bank dengan nasabahnya, bank dapat memberikan Surat Kuasa Khusus
kepada Kejaksaan.
2. Dengan surat kuasa tersebut kejaksaan termasuk dalam kategori pihak
terafiliasi yang berkewajiban mematuhi ketentuan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk ketentuan
rahasia bank.
3. Sebagai penerima kuasa, Kejaksaan bertindak untuk dan atas nama bank
tanpa adanya pelepasan/penagihan hak tagih bank terhadap debitor.
4. Sebagai pengacara Kejaksaan akan menghormati rahasia klien termasuk
bank yang telah memberikan kuasa kepadanya.
Badan Arbitrase
Cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini diperlukan oleh para
pihak karena cara penyelesaian melalui gugatan perdata di Pengadilan
memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Dasar hukum penyelesaian
sengketa melalui arbitrase tersebut adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dalam klausul arbitrase tersebut biasanya ditetapkan cara-cara
penunjukan arbitrase (wasit) dan susunan tim arbiter yang akan memutuskan
sengketa yang mungkin terjadi. Tim arbiter ini hanya berwenang memutuskan
sengketa jika sebelumnya telah ada kesepakatan antara kedua pihak untuk
tidak menyelesaikan sengketa melalui pengadilan melainkan melalui arbitrase
yang dituangkan dalam suatu perjanjian tersendiri. Tanpa adanya kesepakatan
dimaksud lembaga arbitrase tidak sah dan keputusannya tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
Dasar pembentukan BPPN adalah berdasarkan Pasal 37A Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 yang menetapkan bahwa:
1. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan perbankan
yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank
Pengurusan Piutang Negara
13
Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat
sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.
2. Badan khusus tersebut melakukan program penyehatan terhadap bankbank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada badan
dimaksud. Yang dimaksud dengan kesulitan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional adalah suatu kondisi sistem
perbankan yang menurut penilaian Bank Indonesia terjadi krisis
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang berdampak kepada hajat
hidup orang banyak.
Menurut ketentuan ini, atas piutang bank terhadap pihak ketiga yang
diambil-alih oleh badan khusus, badan khusus tersebut dapat melakukan
tindakan penagihan piutang dengan penerbitan “Surat Paksa”, dengan
berdasarkan pada catatan utang debitor yang bersangkutan pada bank dalam
program penyehatan.
Surat Paksa ini berkepala kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan eksekutorial dan
kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap. Dalam hal tindakan penagihan piutang tidak
diindahkan oleh pihak berhutang, badan khusus tersebut dapat melakukan
penyitaan atas harta kekayaan milik pihak yang berhutang tersebut, dan
selanjutnya dapat melakukan pelelangan atas harta pihak yang berhutang
dalam rangka pengembalian piutang dimaksud. Harta yang tidak dapat disita
meliputi perlengkapan rumah tangga, buku-buku, dan peralatan kerja untuk
kelangsungan hidup dari yang berhutang. Walaupun badan khusus ini diberi
kewenangan untuk melakukan penagihan paksa, tata cara pelaksanaan
penagihan paksa tersebut tetap memperhatikan aspek kepastian hukum dan
keadilan.
Badan khusus yang melakukan tugas penyehatan perbankan pada saat
itu adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mempunyai
tugas melakukan Penyehatan Bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia:
1. Penyelesaian aset Bank baik aset fisik maupun kewajiban debitor melalui
Unit Pengelola Aset (Aset Management Unit/AMU).
2. Pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bankbank.
Dengan demikian timbul titik singgung antara kewenangan badan
khusus dimaksud (BPPN/AMU) dengan kewenangan yang dimiliki oleh
PUPN/DJPLN. Adapun perbedaannnya terletak pada obyek pengurusan,
dimana PUPN/DJPLN menangani kredit macet bank-bank BUMN, sedangkan
14
Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara
BPPN selain menangani kredit macet bank BUMN juga menangani kredit
macet perbankan swasta.
Di muka telah dikemukakan bahwa eksistensi BPPN bersifat
sementara. Pada tanggal 27 Februari 2004 Pemerintah mengakhiri tugas dan
membubarkan BPPN melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004
Tentang Pengakhiran Tugas Dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan
Nasional. Selanjutnya, dalam rangka penyelesaian pengakhiran tugas BPPN
Pemerintah membentuk Tim Pemberesan BPPN melalui Keputusan Presiden
Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Tim Pemberesan BPPN. Ketua
Tim Pemberesan tersebut adalah Menteri Keuangan. Selain itu, untuk
mengelola aset-aset bank dalam program penyehatan perbankan yang semula
dikelola BPPN dan saat ini sudah tidak terkait permasalahan hukum lagi,
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004 telah
membentuk suatu Perseroan Terbatas dengan nama PT. Perusahaan
Pengelolaan Aset (PT. PPA). Namun, badan usaha dimaksud, dalam
mengelola aset-aset eks BPPN tersebut, tidak dilengkapi dengan kewenangan
parate eksekusi.
Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)
Berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, PUPN
bertugas menyelesaikan piutang negara yang telah diserahkan kepadanya oleh
instansi pemerintahan atau badan-badan negara. Oleh karena itu, berdasarkan
undang-undang tersebut, penyelesaian masalah kredit macet bagi instansi
pemerintahan atau badan-badan negara wajib dilakukan melalui PUPN,
dimana dengan adanya penyerahan kredit macet kepada PUPN, secara hukum
wewenang penguasaan atas hak tagih dialihkan kepada PUPN. Pengurusan
piutang negara dimaksud dilakukan dengan membuat surat Pernyataan
Bersama antara PUPN dan debitor tentang besarnya jumlah hutang dan
kesanggupan debitor untuk menyelesaikannya. Pernyataan Bersama tersebut
mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara
perdata yang berkekuatan hukum tetap, sehingga pernyataan tersebut
mempunyai titel eksekutorial.
Jika debitor menolak membuat Pernyataan Bersama (PB), ketua PUPN
dapat menetapkan sendiri besarnya jumlah hutang melalui penerbitan PJPN
(Penetapan Jumlah Piutang Negara). Pemberlakukan ketentuan tentang PJPN
tersebut merupakan pelaksanaan Pasal 14 Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 yang mengamanatkan Menteri Keuangan untuk menetapkan
peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut. Produk hukum PJPN yang
diterbitkan oleh PUPN tersebut dikenal dan diakui dalam putusan Mahkamah
Pengurusan Piutang Negara
15
Agung antara lain Keputusan Mahkamah Agung Nomor 1500 K/SIP/1978
tanggal 2 Januari 1980 dan Keputusan Mahkamah Agung Nomor
1267/k/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986.
Apabila ketentuan yang telah disepakati dalam PB tidak dipenuhi oleh
debitor, PUPN dapat memaksa debitor untuk membayar seluruh hutang
dengan surat paksa. Selanjutnya bila surat paksa tidak dilaksanakan oleh
debitor, maka PUPN akan melaksanakan penyitaan dan pelelangan barang
jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik debitor. Dengan demikian
penagihan piutang negara dilakukan sesuai dengan azas parate eksekusi. Selain
itu, PUPN juga diberi kewenangan untuk melakukan Paksa Badan terhadap
Penanggung Hutang yang tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan
hutangnya walaupun yang bersangkutan mempunyai kemampuan untuk itu.
Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa pengurusan piutang negara oleh
PUPN menganut asas percepatan, efektifitas, dan efisiensi dalam
mengupayakan pengembalian piutang negara.
Terminologi Dalam Pengurusan Piutang Negara
Selain pengertian tentang pengurusan piutang negara dan pengertian
piutang negara itu sendiri, terdapat beberapa terminologi lain yang digunakan
dalam pengurusan piutang negara. Pemahaman tentang terminologi tersebut
perlu disepakati bersama, guna meminimalisasi kemungkinan terjadinya
permasalahan hukum sebagai akibat perbedaan pengertian atas terminologi
tersebut.
Penyerah Piutang
Penyerah Piutang adalah pemilik piutang negara yang menyerahkan
pengurusan piutangnya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).
Pemilik piutang negara, sebagaimana telah diuraikan pada sub bab sebelum
ini, berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 adalah:
1. Pemerintah Pusat, seperti Departemen, Lembaga Negara Non Departemen,
Sekretariat Lembaga Tertinggi Negara, dan Sekretariat Lembaga Tinggi
Negara;
2. Pemerintah Daerah, baik Provinsi, Kabupaten, maupun Kota; dan
3. Badan-badan yang secara langsung dikuasai oleh negara, seperti BUMN
dan BUMD; dan
16
Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara
4. Badan-badan yang secara tidak langsung dikuasai oleh negara, seperti anak
perusahaan (subsidiary) BUMN/BUMD (misalnya PT. Telkomsel yang
merupakan anak perusahaan PT. TELKOM (Persero).
Pemilik piutang tersebut di atas, berdasarkan Pasal 12 Undang-undang
Nomor 49 Prp. Tahun 1960 diwajibkan menyerahkan pengurusan piutangnya
kepada PUPN. Setelah para pemilik piutang tersebut di atas menyerahkan
pengurusan piutangnya kepada PUPN, status pemilik piutang tersebut menjadi
Penyerah Piutang. Secara umum terminologi Penyerah Piutang dikenal sebagai
Kreditor, karena pada dasarnya Penyerah Piutang adalah sama dengan
Kreditor yang adalah pihak yang berpiutang/yang memiliki piutang.
Di dalam operasional pengurusan piutang negara, Penyerah Piutang
dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Penyerah Piutang Perbankan, baik yang berstatus sebagai Badan Usaha
Milik Negara, maupun milik Daerah (BUMN/BUMD).
2. Penyerah Piutang Non Perbankan, yang terdiri dari:
Ø Instansi Pemerintah dan Lembaga Negara, yang terdiri dari:
• Lembaga-Lembaga Tinggi Negara (LLTN) dalam hal ini
Sekretariat Jenderal atau Biro Keuangan yang berperan selaku
Penyerah Piutang.
• Kementerian Negara.
• Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND)
Ø Pemerintah Daerah.
Ø BUMN/BUMD Non Perbankan, yang terdiri dari badan usaha yang
melakukan kegiatan di luar usaha perbankan, dan Badan/Lembaga
Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang terdiri dari:
1) Perusahaan Asuransi.
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang tidak diharapkan atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang
timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
2) Lembaga-Lembaga Pembiayaan.
Pengurusan Piutang Negara
17
Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang
modal dengan tidak menarik (menghimpun) dana secara langsung
dari masyarakat. Agar lembaga pembiayaan tidak menyerupai
perbankan khususnya kegiatan di sisi pasiva, maka lembaga
pembiayaan dilarang untuk:
Ø menerbitkan surat sanggup bayar (promissory notes) kecuali
sebagai jaminan atas hutang kepada bank yang menjadi
krediturnya;
Ø memberikan jaminan dalam segala bentuknya kepada pihak
lain.
Bidang usaha Lembaga Pembiayaan (menurut Keputusan Presiden
No. 61 Tahun 1998) adalah sebagai berikut:
Sewaguna Usaha (leasing)
Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam
bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh
suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara berkala disertai hak pilih (opsi)
bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal
tersebut atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan
nilai sisa yang telah disepakati. Jenis-jenis usaha leasing:
Financial Leasing
Lessee (penyewa) yang membutuhkan barang modal
menentukan sendiri jenis serta spesifikasi barang yang
dibutuhkan dan mengadakan negosisasi langsung dengan
suplier mengenai harga.
Lessor akan mengeluarkan dana untuk membayar barang
kepada suplier dan selanjutnya barang tersebut diserahkan
kepada lessee. Untuk itu lessee membayar rental yang
secara keseluruhan akan meliputi harga barang yang
dibayar lessor ditambah faktor bunga serta keuntungan
untuk lessor.
Operating Lease
Lessor membeli barang dan menyewakan kepada lessee.
Lessee membayar rental sedangkan lessor bertanggung
jawab atas perawatan barang tersebut.
Anjak Piutang (Factoring)
18
Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara
Pembiayaan anjak merupakan penjualan piutang dagang
eksportir kepada perusahaan factoring untuk mendapatkan uang
tunai dengan cara membayar komisi tertentu. Jasa-jasa
factoring antara lain:
ü Pembiayaan jangka pendek/menengah.
ü Asuransi kredit.
ü Akuntansi pembukuan.
Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance Co.)
Adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan
barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran
angsuran/berkala.
Pembiayaan
konsumen
merupakan
perusahaan yang bergerak dalam pembiayaan konsumen.
Kekayaannya berbentuk sewa beli dan berjatuh tempo jangka
panjang, sedang sifat pasivanya adalah berbentuk promes yang
berjangka menengah.
Perusahaan Perdagangan Surat Berharga (Securities Co.)
Adalah perusahaan efek yaitu badan usaha yang melakukan
usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau
pengalihan serta pengurusan piutang/tagihan jangka pendek
suatu perusahaan dalam transaksi perdagangan dalam dan luar
negeri.
Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Co.)
Adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam
bentuk penyertaan modal kedalam suatu perusahaan yang
menerima bantuan pembiayaan (investee Co) untuk jangka
tertentu.
Pasar Modal
Adalah tempat/sarana mendapatkan dana murah dalam jangka
panjang bagi perusahaan publik dan tempat menanamkan
modal bagi investor.
Pihak-pihak yang terlibat dalam pasar modal :
Ø Kelompok instansi pemerintah yang terdiri dari Bapepam,
BPKM, Departemen Kehakiman, dan departemen teknis yang
berfungsi memberi ijin usaha.
Ø Kelompok lembaga swasta yang terdiri dari notaris, konsultan
hukum, akuntan publik, penilai, konsultan efek dan bursa efek.
19
Pengurusan Piutang Negara
Kelompok pelaku pasar modal meliputi emiten, investor, penjamin
emisi, penanggung, wali amanat (trustee), perantara perdagangan
efek (broker/pialang), pedagang efek (dealer), perusahaan surat
berharga (securities company), perusahaan pengelola dana
(investment company), dan Biro Administrasi Efek.
Dana Pensiun
Perusahaan dana pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan
menjalankan program pensiun (berdasarkan peraturan yang berlaku
terkait dengan dana pensiun) yang menjanjikan manfaat yang dapat
diperoleh setelah yang terjamin memasuki masa pensiun.
Sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001,
kegiatan usaha BUMN dibagi menjadi 12 sektor, yaitu:
1. Sektor Keuangan Non Perbankan, seperti PT. ASKRINDO, Perum SPU,
dan sebagainya;
2. Sektor Logistik, yaitu Perum Bulog;
3. Sektor Pariwisata, yaitu hotel-hotel yang tergabung dalam PT. Hotel
International Indonesia (Persero);
4. Sektor Energi, seperti PT. PLN (Persero);
5. Sektor Komunikasi, seperti PT. TELKOM (Persero);
6. Sektor Konstruksi, seperti PT. Istaka Karya (Persero), PT. Hutama Karya
(Persero), dan sebagainya;
7. Sektor Jasa Konsultan dan Industri Pendukung;
8. Sektor Pertambangan, seperti PT. Timah (Persero), PT. Aneka Tambang
(Persero), dan sebagainya;
9. Sektor Industri Strategis, seperti PT. INKA (Persero), PT. Dirgantara
Indonesia, dan sebagainya;
10. Sektor Kehutanan, seperti INHUTANI;
11. Sektor Kertas, Percetakan dan Penerbitan, seperti PERURI;
12. Sektor Agro Industri, seperti PERTANI.
Secara garis besar Penyerah Piutang dapat digambarkan dalam skema
berikut ini:
Gambar 1.1. Bagan/Skema Penyerah Piutang
- BUMN
- Perbankan
-
Bank Mandiri
Bank BNI
BRI
BTN
- BUMD – Bank Pembangunan Daerah
20
Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara
Penanggung Hutang
Penanggung Hutang adalah badan atau orang yang berhutang menurut
peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan atau orang yang
menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang.
Secara yuridis formal, pengertian Penanggung Hutang tersebut dirumuskan
dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN
yang berbunyi:
(1) Penanggung Hutang kepada negara ialah orang atau badan
yang berhutang menurut perjanjian atau peraturan yang
bersangkutan.
(2) Sepanjang tidak diatur dalam perjanjian atau peraturan
yang bersangkutan, maka para anggota pengurus dari
badan-badan yang berhutang bertanggung jawab renteng
terhadap hutang kepada negara.
Dalam dunia perbankan, orang pribadi atau badan usaha yang
berhutang kepada bank disebut juga dengan istilah debitor. Definisi tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 18 Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yang berbunyi :
Nasabah Debitor adalah nasabah yang memperoleh
fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
Pengurusan Piutang Negara
21
atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian
bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Berdasarkan 2 definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Penanggung
Hutang tidak lain adalah debitor dan dalam pengertian teknis yuridis disebut
dengan istilah Peminjam.
Penjamin Hutang
Penjamin Hutang adalah badan atau orang yang menjamin
penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang. Penjamin
Hutang dalam lalu lintas hukum lazim disebut dengan istilah “borg”.
Penjamin Hutang atau borg ini timbul sebagai akibat adanya suatu perjanjian
yang dalam Buku Ketiga KUH Perdata disebut dengan perjanjian
“Penanggungan Hutang” sebagaimana dijumpai dalam Pasal 1820 sampai
dengan Pasal 1850. Pasal 1820 KUH Perdata secara lengkap berbunyi sebagai
berikut:
“Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana
seorang pihak ketiga, guna kepentingan pihak si berpiutang,
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang
manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”.
Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Borg/Penjamin
Hutang
merupakan
pihak
ketiga
yang
berjanji/menyanggupi kepada kreditor untuk menanggung pembayaran
suatu hutang bilamana si debitor tidak menepati kewajibannya.
2. Perjanjian Penanggungan Hutang ini merupakan perjanjian accessoir
(pelengkap) seperti halnya gadai dan hipotik, yang tidak mungkin timbul
bila tidak ada perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian pinjam meminjam
uang.
3. Mengingat borgtocht merupakan perjanjian pelengkap, maka terhadap
seorang borg secara azasi tidak boleh dipikulkan syarat-syarat yang lebih
berat melebihi beban yang menjadi kewajiban debitor (lihat Pasal 1822
KUH Perdata).
Berdasarkan uraian di atas, kedudukan borg tidak sama dengan
kedudukan debitor, kecuali borg/Penjamin Hutang yang bersangkutan telah
22
Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara
melepaskan hak-hak istimewanya sebagaimana diatur dalam Pasal 1831 dan
Pasal 1832 KUH Perdata. Hak-hak istimewa tersebut adalah:
1. jika ada penagihan, ia dapat meminta agar kreditor menagih/menuntut
kepada debitor terlebih dahulu, jika perlu dengan menyita kekayaan si
debitor;
2. jika terhadap suatu hutang terdapat beberapa borg/Penjamin Hutang, ia
berhak meminta agar pembayaran hutang tersebut dipikul bersama-sama
dengan borg lainnya;
Sebenarnya dalam sistem hukum perdata telah diatur suatu mekanisme
penjaminan dalam suatu perjanjian hutang-piutang yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa segala kebendaan (kekayaan) seseorang, baik yang
bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada
di kemudian hari, menjadi jaminan segala hutang-hutangnya (Subekti,
hlm.181). Azas hukum atau mekanisme penjaminan tersebut diatur dalam
Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Namun dalam praktek jaminan secara
umum tersebut dipandang kurang memadai/kurang aman dengan alasan selain
kekayaan debitor sewaktu-waktu bisa habis, dan mudah dialihkan (dijual),
juga jaminan secara umum tersebut berlaku untuk semua kreditor, sehingga
bila ada banyak kreditor, ada kemungkinan beberapa kreditor tidak lagi
mendapat bagian.
Seringkali terjadi dalam praktek seorang debitor, karena berbagai
alasan, telah memperoleh pinjaman uang dari beberapa kreditor. Oleh karena
itu seorang kreditor seringkali pula meminta untuk diberikan jaminan khusus
berupa jaminan kebendaan (hipotik, gadai, fiducia) di samping jaminan
perorangan yang dinamakan jaminan/perjanjian penanggungan hutang
(borgtocht atau guaranty). Sebagaimana halnya borgtocth, perjanjian hipotik,
pemberian gadai dan fiducia mempunyai kedudukan sebagai perjanjian
accessoir (pelengkap atau tambahan) atas perjanjian pokoknya.
Sesuai perkembangan dunia bisnis, saat ini dikenal adanya 2 jenis
borg, yaitu borg perseorangan (Personal Guarantor) dan borg perusahaan
(Corporate Guarantor). Perikatan pertanggungan tersebut dituangkan dalam
perjanjian penanggungan hutang dengan nama masing-masing adalah
Personal Guaranty dan Corporate Guaranty.
Seorang borg/guarantor/Penjamin Hutang sebagai pihak ketiga dalam
suatu perjanjian pinjam meminjam dapat menjadi penjamin hutang tanpa
diminta oleh debitor bahkan dapat terjadi tanpa sepengetahuan si debitor itu
sendiri. Hal ini adalah logis mengingat yang berkepentingan atas
pengembalian suatu hutang adalah kreditor, bukan debitor. Bahkan
berdasarkan Pasal 1823 KUH Perdata, seorang guarantor/borg dapat
Pengurusan Piutang Negara
23
mengikatkan diri sebagai penjamin hutang terhadap guarantor lainnya.
Penjamin hutang semacam ini dalam praktek disebut dengan nama sub
borg/sub guarantor/sub penanggung.
Hubungan antara Penyerah Piutang, Penanggung
Hutang, dan Penjamin Hutang
Hubungan antara Penyerah Piutang, Penanggung Hutang, dan
Penjamin Hutang dapat dilihat dalam bagan/skema berikut ini:
24
Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara
Gambar 1. 2.
Bagan/Skema Hubungan Antara Penyerah Piutang (PP),
Penanggung Hutang (H), dan Penjamin Hutang (PjH)
- Non Perbankan
Kreditor
(PP)
- Perbankan
1. Perjanjian Kredit
- Orang Pribadi / Perorangan
Debitor
(PH)
- Badan Usaha
2. Perjanjian
Penanggungan Hutang
(Borgtocht/Guaranty)
Badan Hukum
- PT
- Koperasi
- Yayasan, dst.
Bukan Badan Hukum
- CV
- Firma
- UD / Kongsi, dst.
- Non Perbankan
- Perbankan
Borg / Guarantor
(PJH)
- Perorangan (Personal Guaranty)
- Badan Usaha (Corporate Guaranty)
Keterangan:
Pengurusan Piutang Negara
25
1. Kreditor mengadakan perjanjian kredit dengan debitor sebagai
perjanjian utama/ pokok.
2. Guna menjamin adanya kepastian atas pengembalian kredit yang
telah dikucurkan, kreditor mengadakan perjanjian dengan
Borg/Guarantor/Penjamin
Hutang
sebagai
perjanjian
tambahan/accessoir/pelengkap.
• Dikenal adanya 2 macam debitor (Penanggung Hutang), yaitu
debitor perorangan dan debitor bahan usaha. Badan usaha ada yang
berstatus badan hukum (PT, Koperasi, Yayasan dan sebagainya)
dan bukan badan hukum (CV, Firma, Usaha Dagang/Kongsi dan
sebagainya), masing-masing mempunyai ciri-ciri perlakuan serta
aspek hukum yang berbeda dalam perjanjian kredit.
• Borg/Guarantor/Penjamin Hutang sebagai pihak ketiga terdiri dari
personal guarantor dan corporate guarantor. Dalam lalu lintas
hukum tidak dikenal adanya perbedaan antara keduanya. Dari sisi
Kreditor, corporate guarantor dirasakan atau diharapkan dapat
lebih memberikan jaminan atas pengembalian hutang debitor,
terlebih lagi apabila corporate guarantor tersebut adalah
perusahaan ternama/terkemuka.
Rangkuman
Pengertian piutang negara dapat ditemukan pada 2 undang-undang
yang masih berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. Di dalam buku ini, dan di dalam pelaksanaan
pengurusan piutang negara yang saat ini masih berlangsung, pengertian
piutang negara yang digunakan adalah pengertian yang ada pada Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960.
Terminologi piutang negara berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 mengandung pengertian sebagai berikut:
1. Piutang negara adalah hutang yang wajib dibayar (oleh orang per orang
atau badan berdasarkan Pasal 9 undang-undang yang sama);
2. Dasar terjadinya piutang negara atau hutang kepada negara adalah suatu
peraturan, perjanjian, atau sebab apapun.
3. Pengertian negara adalah:
26
Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara
Ø Pemerintah Pusat, seperti Departemen, Lembaga Negara Non
Departemen, Sekretariat Lembaga Tertinggi Negara, dan Sekretariat
Lembaga Tinggi Negara;
Ø Pemerintah Daerah, baik Provinsi, Kabupaten, maupun Kota; dan
Ø Badan-badan yang secara langsung dikuasai oleh negara, seperti
BUMN dan BUMD; dan
Ø Badan-badan yang secara tidak langsung dikuasai oleh negara, seperti
anak perusahaan (subsidiary) BUMN/BUMD (misalnya PT. Telkomsel
yang merupakan anak perusahaan PT. TELKOM (Persero)).
4. Hutang pajak merupakan piutang negara, tetapi penagihannya dilakukan
dengan undang-undang khusus bidang pajak.
Proses pengurusan piutang negara yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 49 Prp. Tahun 1960 ditujukan untuk memperoleh hasil pengurusan
yang lebih cepat dan efektif, yang pada akhirnya ditujukan untuk
penyelamatan keuangan negara. Oleh karena tujuan tersebut, maka pengurusan
piutang negara dapat diartikan sebagai proses kegiatan yang secara khusus
dilakukan untuk mengurus piutang negara dalam rangka penyelamatan
keuangan negara.
Selain pengertian tentang pengurusan piutang negara dan pengertian
piutang negara itu sendiri, terdapat beberapa terminologi lain yang digunakan
dalam pengurusan piutang negara. Pemahaman tentang terminologi tersebut
perlu disepakati bersama, guna meminimalisasi kemungkinan terjadinya
permasalahan hukum sebagai akibat perbedaan pengertian atas terminologi
tersebut. Terminologi dimaksud adalah:
1. Penyerah Piutang, yang merupakan pemilik piutang negara dan
menyerahkan pengurusan piutangnya kepada Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN). Secara umum Penyerah Piutang dikenal sebagai Kreditor.
2. Penanggung Hutang adalah badan atau orang yang berhutang menurut
peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan atau orang yang
menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang.
Secara umum Penanggung Hutang dikenal sebagai Debitor.
3. Penjamin Hutang adalah badan atau orang yang menjamin penyelesaian
sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang. Penjamin Hutang dalam
lalu lintas hukum lazim disebut dengan istilah “borg”.
27
Pengurusan Piutang Negara
- o0o-
Latihan
Untuk mengingatkan kembali materi yang telah anda pelajari, coba kerjakan
latihan di bawah ini:
1. Jelaskan pengertian yang terkandung dalam terminologi piutang negara
berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN !
2. Jelaskan pengertian yang terkandung dalam terminologi piutang negara
berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara !
3. Jelaskan perbedaan dari kedua pengertian pada nomor 1 dan 2 di atas !
4. Jelaskan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan
sebagaimana dimaksud pada soal nomor 3 di atas !
5. Jelaskan mengapa diperlukan adanya kesamaan pengertian atas
terminologi-terminologi yang ada dalam pengurusan piutang negara !
6. Jelaskan pengertian pengurusan piutang negara !
7. Jelaskan pengertian Penyerah Piutang !
8. Jelaskan pengertian Penanggung Hutang !
9. Jelaskan pengertian Penjamin Hutang !
10. Jelaskan hubungan antara Penyerah Piutang, Penanggung Hutang, dan
Penjamin Hutang !
- o0o-
BAB 2
SUMBER HUKUM PENGURUSAN
PIUTANG NEGARA
Sasaran Pembelajaran
Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III
Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan
memahami dasar hukum pengurusan piutang negara dan beberapa ketentuan
peraturan perundangan lainnya yang perlu diperhatikan dalam pengurusan piutang
negara.
Pendahuluan
30
Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
Indonesia adalah negara hukum atau disebut juga dengan istilah
“rechtsstaat”, dan bukan negara kekuasaan atau “machtsstaat”, demikian
bunyi salah satu pokok pikiran yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar
1945. Pokok pikiran ini dapat diartikan bahwa segala tindakan dan perbuatan
manusia Indonesia dalam tata pergaulan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara harus berdasarkan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang
berlaku.
Pokok pikiran tersebut di atas menjadi salah satu dasar pemikiran
dalam penyusunan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. Dasar pemikiran yang tertuang pada alinea kedua Penjelasan Umum
undang-undang dimaksud berbunyi sebagai berikut:
“Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat,
berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan
negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan
negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar. Dalam Undang-Undang Dasar 1945
Bab VIII Hal Keuangan, antara lain disebutkan bahwa anggaran
pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan
undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam
dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Halhal lain mengenai keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal
23C diatur dengan undang-undang”.
Dasar pemikiran tersebut di atas menjelaskan bahwa sistem
pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, aturan pelaksanaan
sistem pengelolaan keuangan negara tersebut harus diatur dengan undangundang. Oleh karena menjadi bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara,
maka pengelolaan (pengurusan) piutang negara juga diatur berdasarkan
undang-undang.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pengurusan piutang negara harus
didasarkan pada suatu dasar hukum yang jelas yang dapat menjadi payung
dalam setiap gerak pengurusan. Selain memperhatikan ketentuan hukum yang
mendasarinya, pengurusan piutang negara juga harus memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait guna
meminimalisasi kemungkinan terjadinya permasalahan hukum dalam proses
pengurusan piutang negara.
Pengurusan Piutang Negara
31
Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
Uraian tentang sumber hukum, latar belakang terbitnya dasar hukum
tersebut, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dalam
pengurusan piutang negara akan dijelaskan berikut ini.
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
Sebelum membahas sumber hukum pengurusan piutang negara,
kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian sumber hukum yang akan
menjadi acuan dalam pengurusan piutang negara. Dalam sistem hukum yang
berlaku di Indonesia, pengertian tentang sumber hukum dapat dijumpai dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan PerundangUndangan. Menurut Pasal 6 TAP MPR tersebut, yang dimaksud dengan
sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan
peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas sumber hukum tertulis dan
tidak tertulis.
Ketentuan TAP MPR tersebut di atas, bersama dengan amanat Pasal
22A Undang-Undang Dasar Tahun 1945, digunakan sebagai dasar pemikiran
dalam penerbitan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pemikiran tersebut terlihat pada
alinea kelima Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
tersebut1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut memuat ketentuan
tentang sumber dari segala sumber hukum negara, serta jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 mengatur bahwa
sumber dari segala sumber hukum negara adalah Pancasila, sedangkan Pasal 7
ayat (1) dan ayat (2) undang-undang dimaksud mengatur bahwa tata urutan
perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1
Uraian tentang dasar pemikiran penyusunan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
dengan TAP MPR Nomor III/MPR/2000 walaupun oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun
2004 TAP MPR tidak dimasukkan sebagai salah satu ketentuan hukum dalam tata urutan
perundang-undangan Republik Indonesia. Meskipun begitu, Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004 berdasarkan Pasal 7 ayat (4) tetap mengakui keberadaan TAP MPR dan
menyatakan bahwa TAP MPR memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, TAP MPR masih
dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum negara.
32
Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945);
2. Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu);
3. Peraturan Pemerintah (PP);
4. Peraturan Presiden (Perpres);
5. Peraturan Daerah (Perda), yang meliputi:
Ø Perda Provinsi, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi bersama dengan Gubernur, termasuk dalam jenis Perda ini
adalah Qanun yang berlaku di daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi
Papua;
Ø Perda Kabupaten/Kota, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Walikota;
Ø Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, yang dibuat oleh Badan
Perwakilan Desa, atau nama lainnya, bersama dengan Kepala Desa,
atau nama lainnya.
Selain itu, terkait dengan pengertian sumber hukum di atas, Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 juga mengatur beberapa hal berikut ini.
1. Pasal 7 ayat (4) mengatur bahwa jenis peraturan perundang-undangan
selain yang termasuk dalam tata urutan perundang-undangan, diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Penjelasan Pasal 7 ayat (4) ini menjelaskan bahwa jenis peraturan yang
tetap diakui tersebut antara lain adalah peraturan yang dikeluarkan oleh
MPR dan DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Gubernur Bank
Indonesia, Menteri, Kepala Lembaga, atau Kepala Komisi yang setingkat
yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undangundang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
2. Pasal 7 ayat (5) mengatur bahwa kekuatan hukum peraturan perundangundangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana yang diuraikan
dalam tata urutan perundang-undangan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk
menunjukkan penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan
yang didasarkan pada asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
33
Pengurusan Piutang Negara
Tata urutan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut
merupakan suatu sistem perundang-undangan yang dianut oleh sebagian
negara di dunia, termasuk Indonesia agar tercipta suatu tertib hukum di
masing-masing negara. Sesuai teori hukum yang lazim dianut, hukum suatu
negara merupakan suatu sistem, yaitu suatu keseluruhan yang merupakan
suatu kesatuan yang saling terkait satu dengan lainnya yang terdiri dari subsub sistem. Terdapat hubungan hierarkis antara kaedah hukum yang satu
dengan kaedah hukum yang lain dalam arti peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Sebagi contoh, suatu undang-undang tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945. Demikian juga Perda, tidak boleh
bertentangan dengan UU, PP, maupun Keppres. Hal tersebut sesuai dengan
teori “stufenban” (teori piramidal atau teori anak tangga) yang merupakan
pendapat ahli hukum terkenal Hans Kelsen (Simoeh, hlm. 22). Bila diterapkan
di Indonesia, stufenban teori dari Hans Kelsen tersebut dapat digambarkan
dalam bagan/skema sebagai berikut:
Gambar 2.1. Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia
UUD 1945
UU / PERPU
34
Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
PERATURAN
PEMERINTAH
PERATURAN PRESIDEN
PERATURAN DAERAH
PROVINSI
KABUPATEN /
KOTA
DESA / YG
SETINGKAT
Berdasarkan uraian tentang sumber hukum di atas, jelaslah bahwa
dasar hukum pengurusan piutang negara harus bersumber dan karenanya tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Dasar Hukum Pengurusan Piutang negara
Jauh sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, ketentuan tentang pengurusan piutang negara telah
diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara. Undang-undang inilah yang menjadi dasar hukum
pengurusan piutang negara.
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 sangat singkat dan hanya
memuat 15 pasal, sehingga masih belum bersifat paripurna dalam memberikan
aturan tentang proses pengurusan piutang negara. Namun demikian, undangundang tersebut telah dapat menjadi payung hukum dalam upaya optimalisasi
hasil pengurusan piutang negara, karena:
1. mengatur 3 hal penting, yaitu:
Ø subyek yang melakukan pengurusan piutang negara (yaitu Panitia
Urusan Piutang Negara/PUPN);
Ø obyek dalam pengurusan piutang negara; dan
Ø proses pengurusan yang dapat mendukung upaya-upaya percepatan dan
peningkatan efektivitas hasil pengurusan piutang negara, yaitu upaya-
Pengurusan Piutang Negara
35
upaya yang diharapkan dapat membantu terwujudnya optimalisasi hasil
pengurusan piutang negara; dan
2. memuat amanat kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan peraturanperaturan yang diperlukan dalam melaksanakan undang-undang tersebut.
Amanat kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan peraturanperaturan yang diperlukan dalam melaksanakan Undang-undang Nomor 49
Prp. Tahun 1960 terdapat dalam Pasal 14. Amanat tersebut ditindaklanjuti
dengan penerbitan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengurusan Piutang
Negara, yang lebih dikenal dengan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Pengurusan
Piutang Negara.
Petunjuk Pelaksanaan yang berlaku saat ini adalah Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara.
Pada intinya, juklak tersebut berisi:
1. Ketentuan pelaksanaan pengurusan piutang negara secara khusus
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960, seperti ketentuan tentang:
a. persyaratan dan mekanisme penyerahan pengurusan piutang negara
dan tindaklanjutnya;
b. mekanisme penerimaan atau penolakan pengurusan piutang negara;
c. mekanisme pemanggilan Penanggung Hutang tindaklanjutnya;
d. mekanisme pembuatan dan materi Pernyataan Bersama;
e. mekanisme penerbitan dan materi Surat Paksa;
f. mekanisme penyampaian Surat Paksa;
g. mekanisme penerbitan dan materi Surat Perintah Penyitaan;
h. mekanisme pelaksanaan Sita;
i. mekanisme pelaksanaan dan persyaratan lelang barang sitaan;
j. mekanisme dan persyaratan paksa badan terhadap Penanggung Hutang
dan/atau Penjamin Hutang; dan
k. mekanisme penerbitan, persyaratan, dan materi Surat Pernyataan
Piutang Negara Lunas.
2. Ketentuan yang diperlukan dalam pelaksanaan pengurusan piutang negara
namun secara tegas belum diatur dalam Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960, seperti ketentuan tentang:
a. mekanisme pembuatan dan materi surat Penetapan Jumlah Piutang
Negara yang diterbitkan PUPN Cabang bila Pernyataan Bersama tidak
dapat dibuat;
36
Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
b. mekanisme dan persyaratan pemberian keringanan penyelesaian hutang
kepada Penanggung Hutang;
c. mekanisme dan persyaratan pencegahan bepergian ke luar wilayah
Republik Indonesia terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang;
d. mekanisme dan persyaratan pengelolaan barang jaminan;
e. mekanisme dan persyaratan penilaian barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang;
f. mekanisme dan persyaratan penebusan barang jaminan milik Penjamin
Hutang, dan penjualan tidak melalui lelang atas barang jaminan
dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang;
g. mekanisme dan persyaratan pengenaan Biaya Administrasi Pengurusan
Piutang Negara; dan
h. mekanisme dan persyaratan pengurusan piutang negara secara spesifik,
seperti:
Ø pengurusan piutang negara eks-Kredit Perumahan PT. Bank
Tabungan negara (Persero);
Ø pengurusan piutang negara dengan jaminan yang telah diikat secara
sempurna; dan
Ø pengurusan piutang negara dengan Penanggung Hutang yang telah
atau sedang dalam proses dipailitkan.
Untuk kepentingan teknis operasional, Petunjuk Pelaksanaan tersebut
diatur lebih rinci lagi dengan Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang
Negara (dahulu Keputusan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara).
Pengaturan lebih rinci tersebut umumnya dikenal dengan nama Petunjuk
Teknis (Juknis) Pengurusan Piutang Negara. Petunjuk Teknis yang saat ini
berlaku adalah Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara
Nomor Kep-25/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara.
Bila dicermati, Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut
disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai
sumber hukumnya, yaitu UUD 1945. Pembentukannya Undang-undang
Nomor 49 Prp. Tahun 1960 didasarkan pada:
1. Pasal 23 UUD 1945, yang mengamanatkan negara untuk menguasai bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan
mempergunakan semuanya untuk kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut
tentunya termasuk juga amanat untuk mengelola kekayaan negara, yang di
dalamnya terdapat piutang negara.
Pengurusan Piutang Negara
37
2. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada
Presiden untuk menetapkan suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang bila terjadi suatu kegentingan yang memaksa. Ketentuan
tersebut digunakan untuk menyusun Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 karena situasi saat itu dianggap genting dan mendesak untuk
disusunnya suatu ketentuan tentang pengurusan piutang negara. Ketentuan
tersebut harus mengatur proses pengurusan piutang negara yang cepat dan
efektif.
Frasa (rangkaian huruf) “Prp” (merupakan singkatan dari “Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang”) yang terdapat pada nama
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 menunjukkan bahwa undangundang tersebut pada awalnya adalah Peraturan Pemerintah yang
ditetapkan sebagai undang-undang.
Selanjutnya, Perpu tentang PUPN tersebut, pada tahun 1961 sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan
menjadi undang-undang oleh Presiden Soekarno, setelah disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pada masa sekarang ini, setelah amandemen keempat UUD 1945,
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 masih tetap relevan dan masih
sesuai dengan UUD 1945 yang menjadi sumber hukumnya. Relevansi tersebut
dapat dilihat dari ketentuan Pasal 23C UUD 1945 yang mengatur bahwa,
“Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang”.
Pengaturan tentang pengurusan piutang negara berdasarkan Undang-undang
Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yang merupakan salah satu bagian dari sistem
pengelolaan keuangan negara, masih sesuai dengan isi Pasal 23C UUD 1945
tesebut.
Latar Belakang Terbitnya Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun
1960
Sebagaimana yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, dalam
judul Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN terselip frasa
(rangkaian huruf) “Prp”, yang merupakan singkatan dari “Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang”. Penyusunan ketentuan tentang
pengurusan piutang negara yang dimulai dengan pemberlakukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut tidak dapat dilepaskan dari
situasi politik, hukum, dan perekonomian pada masa sekitar tahun 1960.
Pada tahun 1958 Negara Republik Indonesia masih dalam keadaan
darurat perang (SOB). Untuk menyelesaikan hutang-hutang kepada negara,
oleh penguasa pada saat itu yaitu Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf
Angkatan Darat telah diambil tindakan yang pertama berupa Maklumat
38
Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
Bersama antara KSAD dengan Jaksa Agung Nomor MKL/Peperpu/01/1958
tanggal 4 Januari 1958. Materi utama maklumat tersebut antara lain adalah
pengumuman kepada semua debitur negara untuk segera menyelesaikan
kewajiban hutangnnya dan apabila tidak mau melaksanakan perintah tersebut
akan dilakukan penyitaan barang jaminan dan harta kekayaan debitur, yang
selanjutnya akan dilakukan penjualan barang jaminan melalui pelelangan.
Tindakan kedua adalah pada bulan April 1958 dengan pembentukan
Panitia Penyelesaian Piutang Negara (P3N) berdasarkan Keputusan Penguasa
Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Kpts/Peperpu/0241/1958
tanggal 6 April 1958. Tugas pokok P3N adalah menyelesaikan hutang-hutang
kepada negara secara cepat dan efisien. Pertimbangan cepat dan efisien ini
menjadi tujuan utama mengingat kalau ditempuh penyelesaian hutang melalui
jalur hukum (Lembaga Peradilan) penyelesaian akan memakan waktu lama
(Putusan Majelis Hakim, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Oleh
karena itu, agar dapat melaksanakan tugasnya secara cepat dan efisien
tersebut, P3N diberi kewenangan khusus yang disebut dengan istilah “Parate
Eksekusi”, yaitu dapat melaksanakan sendiri putusan-putusannya (paksa, sita,
lelang dan seterusnya) tanpa harus meminta bantuan lembaga pengadilan.
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali
Undang-Undang Dasar 1945, dan mengembalikan negara ke keadaan tertib
sipil mulai tanggal 16 Desember 1960. Dengan kembali diberlakukannya
UUD 1945 dan dalam situasi tertib sipil tersebut, maka dasar hukum yang
memayungi Keputusan Penguasa Perang Pusat (yaitu Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950) menjadi tidak berlaku lagi. Oleh karena itu, seluruh
Keputusan Penguasa Perang Pusat berikut semua aturan pelaksanaannya juga
tidak akan berlaku lagi.
Salah satu keputusan yang telah diterbitkan oleh Penguasa Perang
Pusat adalah Keputusan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat
Nomor Kpts/Peperpu/0241/1958 tanggal 6 April 1958 tentang pembentukan
Panitia Penyelesaian Piutang Negara.
Keputusan tersebut mengatur
pembentukan Panitia Penyelesaian Piutang Negara dengan tugas melakukan
penyelesaian piutang negara dengan cara yang cepat dan efisien.
Tidak terkecuali, dalam keadaan negara yang tertib sipil, keputusan
Penguasa Perang Pusat tentang pembentukan Panitia Penyelesaian Piutang
Negara tersebut juga tidak akan berlaku lagi. Namun demikian, tugas dan
kewenangan Panitia Penyelesaian Piutang Negara untuk menyelesaikan
hutang-hutang kepada negara secara cepat dan efisien masih dipandang
relevan untuk tetap dilaksanakan. Oleh karena itu, sebelum Keputusan
Penguasa Perang Pusat tersebut dicabut, maka dipandang perlu untuk
Pengurusan Piutang Negara
39
menyusun suatu ketentuan pengganti yang dapat mempertahankan eksistensi
tugas dan kewenangan pengurusan piutang negara yang cepat dan efisien.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka disusunlah Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang
memuat ketentuan yang “hampir” sama dengan Keputusan Penguasa Perang
Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Kpts/Peperpu/0241/1958 tanggal 6
April 1958, dengan perubahan-perubahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Perubahan tersebut antara lain adalah perubahan nama panitia, yang semula
adalah Panitia Penyelesaian Piutang Negara berdasarkan ketentuan yang baru
berubah menjadi Panitia Urusan Piutang Negara. Perubahan nama tersebut
disesuaikan dengan perubahan tugas panitia, yang semula bertugas untuk
menyelesaikan piutang-piutang negara, kemudian berubah menjadi mengurus
piutang-piutang negara. Perubahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa
terminologi pengurusan mengandung pengertian yang lebih luas dari pada
terminologi penyelesaian.
Satu hal yang dipertahankan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang tentang Panitia Urusan Piutang Negara adalah kewenangan
khusus “Parate Eksekusi” yang sangat membantu dalam percepatan dan
optimalisasi hasil pengurusan piutang negara. Dengan kewenangan tersebut
diharapkan penagihan piutang negara dapat dilakukan secara secara cepat, dan
efektif terutama terhadap para debitor “nakal”. Pada gilirannya proses yang
cepat dan efektif tersebut akan memberikan hasil yang lebih memuaskan
dibandingkan dengan hasil pengurusan bila ditempuh prosedur-produser biasa
yang diatur dalam hukum acara perdata yang saat itu berlaku di Indonesia.
Peraturan Perundang-undangan yang Terkait
Proses pengurusan piutang negara tidak hanya didasarkan pada
ketentuan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 saja, tetapi juga harus
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait. Situasi
ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pengurusan piutang negara melibatkan
banyak pihak, seperti:
1. pihak debitor yang terkadang dengan diwakili oleh kuasanya;
2. pihak kreditor; atau
3. instansi pemerintah lain yang memberikan pelayanan yang diperlukan
dalam proses pengurusan piutang negara, seperti Badan Pertanahan
Nasional/Kantor Pertanahan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha
Negara, Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia, Kepolisian,
Kejaksaan, Pemerintah Desa/Kelurahan dan sebagainya.
40
Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
Masing-masing pihak tersebut di atas mempunyai kepentingan masing-masing
sesuai dengan rezim hukum/peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan bidang tugas masing-masing. Oleh karena itu, agar tidak terjadi
permasalahan hukum akibat masing-masing pihak saling tidak mau mengerti
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang tugas masingmasing.
Peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan pengurusan
piutang negara akan diuraikan berikut ini.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Pengurusan piutang negara harus memperhatikan dan tidak boleh
bertentangan dengan KUH Perdata. Beberapa pasal dalam KUH Perdata yang
memberikan pengaruh dalam pengurusan piutang negara adalah sebagaimana
uraian berikut .
1. Pasal 1131 yang berbunyi, “Segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perseorangan.” Ketentuan pasal ini memberikan PUPN suatu
kewenangan untuk melakukan penyitaan dan pelelangan harta kekayaan
Penanggung Hutang, walaupun harta kekayaan tersebut tidak diikat
sebagai barang jaminan hutangnya.
2. Pasal 1320 yang berbunyi, “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat:
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.”
Ketentuan pasal ini menjadi dasar PUPN untuk menentukan pihak-pihak
yang dijadikan Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang untuk
dimintakan pertanggungjawaban atas piutang negara yang timbul sebagai
akibat suatu perjanjian yang sah.
3. Pasal 1338 yang berbunyi, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Ketentuan tersebut merupakan salah satu ketentuan yang memungkinkan
Pengurusan Piutang Negara
41
PUPN (yang berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960
bertindak untuk dan atas nama Penyerah Piutang) untuk memaksakan
Penanggung Hutang melaksanakan perjanjian yang telah dibuat dan
disepakati bersama oleh Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang.
4. Pasal 1381 yang berbunyi, “Perikatan-perikatan hapus:
Ø karena pembayaran;
Ø karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan;
Ø karena pembaharuan utang;
Ø karena perjumpaan utang atau kompensasi;
Ø karena percampuran utang;
Ø karena pembebasan utangnya;
Ø karena musnahnya barang yang terutang;
Ø karena kebatalan atau pembatalan;
Ø karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab kesatu
buku ini;
Ø karena liwatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab
tersendiri.”
Ketentuan tersebut merupakan dasar bagi PUPN untuk menerbitkan
pernyataan piutang negara lunas dan karenanya Penanggung Hutang
dan/atau Penjamin Hutang dinyatakan tidak mempunyai kewajiban kepada
negara lagi, bila Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang
melakukan pembayaran pelunasan hutang Penanggung Hutang.
5. Pasal 1831 yang berbunyi, “Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar
kepada si berpiutang, selain jika si berutang lalai, sedangkan bendabenda si berutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi
utangnya.” Ketentuan pasal ini mengatur bahwa Penjamin Hutang
(terminologi berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960
yang memiliki arti yang sama dengan penanggung berdasarkan KUH
Perdata) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban untuk menyelesaikan
hutang Penanggung Hutang (terminologi berdasarkan Undang-undang
Nomor 49 Prp. Tahun 1960 yang memiliki arti yang sama dengan si
berutang berdasarkan KUH Perdata), bila:
Ø si Penanggung Hutang belum dinyatakan lalai menyelesaikan hutang
Penanggung Hutang; dan
Ø harta kekayaan si Penanggung Hutang belum laku terjual untuk
menyelesaikan hutang Penanggung Hutang.
42
Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
6. Pasal 1832 yang berbunyi, “Si penanggung tidak dapat menuntut supaya
benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi
hutangnya:
1. apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya
benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual;
2. apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan si
berutang utama secara tanggung-menanggung, dalam hal mana
akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan
untuk utang-utang tanggung-menanggung;
3. jika si berutang dapat memajukan suatu tangkisan yang hanya dirinya
sendiri secara pribadi;
4. jika si berutang berada dalam keadaan pailit;
5. dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh hakim.”
Ketentuan pasal ini merupakan pengecualian atas ketentuan Pasal 1831.
Oleh karena itu, bila ketentuan pasal 1832 telah dipenuhi, PUPN dapat
meminta pertanggungjawaban para Penjamin Hutang secara simultan
dengan penagihan kepada para Penanggung Hutang.
7. Ketentuan lain dalam KUH Perdata, seperti ketentuan tentang waris, surat
kuasa, perikatan, dan ketentuan lainnya yang terkait.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan
Keterkaitan undang-undang ini dalam proses pengurusan piutang
negara adalah melalui ketentuan Pasal 41A yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan
kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia
Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia
memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk
memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan
nasabah debitur.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara
tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang
Negara.
Pengurusan Piutang Negara
43
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
menyebutkan nama dan jabatan pejabat Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara,
nama nasabah debitor yang bersangkutan, dan alasan
diperlukannya keterangan.
Ketentuan tersebut di atas diperlukan BUPLN (saat ini telah berubah
menjadi DJPLN)/PUPN untuk mendapat izin memperoleh informasi tentang
keberadaan dan nilai simpanan debitor di suatu bank. Izin memperoleh
informasi tersebut, secara umum dikenal dengan nama izin membuka rahasia
bank sesuai dengan nama Peraturan Bank Indonesia2 yang merupakan aturan
pelaksanaan dari Pasal 41 sampai dengan Pasal 44A Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tersebut.
Izin membuka rahasia bank tersebut digunakan oleh DJPLN/PUPN
untuk melakukan pemblokiran dan/atau penyitaan harta kekayaan lain milik
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang tersimpan di bank.
Kewenangan PUPN untuk melaksanakan kegiatan tersebut dijamin oleh
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Apabila pejabat DJPLN/PUPN
melakukan tindakan pemblokiran dan/atau penyitaan tersebut tanpa dilengkapi
dengan izin membuka rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia, maka
pejabat DJPLN/PUPN tersebut terancam sanksi Pasal 47 ayat (1) Undangundang Nomor 7 Tahun 1992. Sanksi hukuman atas pelanggaran Pasal 47 ayat
(1) tersebut adalah pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
Keterkaitan undang-undang ini dalam proses pengurusan piutang
negara adalah melalui ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b yang mengatur
bahwa wewenang dan tanggungjawab pencegahan terhadap seseorang
bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia, sepanjang menyangkut urusan
piutang negara, adalah Menteri Keuangan.
2
Nama Peraturan Bank Indonesia tersebut adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor
2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis
Membuka Rahasia Bank
44
Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
Pada perkembangan selanjutnya, Menteri Keuangan mendelegasikan
wewenang dan tanggung-jawab kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang
Negara (dahulu Kepala BUPLN) untuk dan atas nama Menteri Keuangan
menandatangani keputusan Menteri Keuangan yang terkait dengan
pencegahan, yaitu:
1. Keputusan Menteri Keuangan tentang Pencegahan Bepergian ke Luar
Wilayah Republik Indonesia Terhadap Debitor Piutang Negara;
2. Keputusan Menteri Keuangan tentang Perpanjangan Pertama Pencegahan
Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia Terhadap Debitor Piutang
Negara;
3. Keputusan Menteri Keuangan tentang Perpanjangan Kedua Pencegahan
Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia Terhadap Debitor Piutang
Negara; dan
4. Keputusan Menteri Keuangan tentang Pencabutan Pencegahan Bepergian
ke Luar Wilayah Republik Indonesia Terhadap Debitor Piutang Negara.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1994 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
Keterkaitan undang-undang ini dalam proses pengurusan piutang
negara adalah melalui ketentuan Pasal 1 angka 1 yang berbunyi:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak
Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”
Ketentuan tersebut memberikan jaminan bagi PUPN untuk mendapatkan hak
mendahulu dari pada hak kreditor lainnya atas hasil penjualan barang jaminan
piutang negara yang telah dibebankan Hak Tanggungan secara sempurna3.
3
Pembebanan Hak Tanggungan tersebut dinyatakan telah sempurna setelah didaftarkan ke
Kantor Pertanahan dan oleh Kantor Pertanahan telah diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan.
Pengurusan Piutang Negara
45
Selain itu, Pasal 20 undang-undang ini mengatur bahwa bila
Penanggung Hutang cedera janji, objek Hak Tanggungan dapat dilelang
berdasarkan:
1. hak Pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan
sendiri (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6); atau
2. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, PUPN dapat langsung melakukan
lelang barang jaminan yang telah dibebani Hak Tanggungan, segera setelah
PUPN menerima pengurusan piutang negara dari Penyerah Piutang. Namun
demikian, karena berbagai pertimbangan, hak tersebut belum dilaksanakan di
dalam pengurusan piutang negara. Penjelasan tentang pengurusan piutang
negara dengan barang jaminan yang telah dibebankan Hak Tanggungan
diuraikan lebih lanjut dalam Bab 14.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
(PT)
Keterkaitan undang-undang ini dalam proses pengurusan piutang
negara adalah melalui ketentuan Pasal 3, Pasal 11, Pasal 15, Pasal 23, Pasal
79, Pasal 82, Pasal 85, dan Pasal 100. Ketentuan yang diatur oleh pasal-pasal
tersebut membantu PUPN dalam menentukan:
1. pihak-pihak yang bertanggungjawab menyelesaikan hutang badan usaha
yang berbentuk perseroan terbatas; dan
2. batasan pertanggungjawaban yang bersangkutan, apakah sampai pada
pertanggungjawaban secara pribadi atau tidak.
Pada dasarnya hutang badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas
harus diselesaikan oleh perseroan itu sendiri, dan bukan secara pribadi para
pengurus (Direksi) dan pengawas pengurus (Komisaris). Namun demikian,
dalam melaksanakan pengurusan piutang negara, PUPN tentu hanya
berhubungan dengan wakil dari perseroan tersebut, bukan berhubungan
dengan perseroan secara utuh. Proses pengurusan piutang negara yang harus
melibatkan pribadi pengurus atau komisaris adalah sebagai berikut:
1. pemanggilan kepada Penanggung Hutang yang berbentuk badan usaha
selalu ditujukan kepada pengurus badan usaha tersebut, bukan ditujukan
semata-mata kepada “badan hukum/perseroan” itu sendiri;
2. tindakan hukum pencegahan bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia
yang hanya dapat dilakukan kepada pribadi pengurus (Direksi) dan/atau
46
Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
pribadi pengawas direksi (komisaris) dan tidak akan pernah dapat
dilakukan terhadap organisasi badan usaha (organisasi perseroan terbatas);
dan
3. tindakan hukum paksa badan yang hanya dapat dilakukan kepada pribadi
pengurus (Direksi) dan/atau pribadi pengawas direksi (komisaris) dan tidak
akan pernah dapat dilakukan terhadap organisasi badan usaha (organisasi
perseroan terbatas).
Selain itu, berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, kepada
Direksi dan/atau Komisaris dapat dimintakan pertanggungjawaban secara
pribadi atas kewajiban perseroan terbatas. Hal ini tentu juga berpengaruh
terhadap pengurusan piutang negara yang dilakukan oleh PUPN. PUPN harus
dapat mengetahui batas-batas penagihan kepada pribadi Direksi dan/atau
Komisaris tersebut.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak berikut aturan pelaksanaannya merupakan dasar PUPN untuk
mengenakan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) atas
setiap pengurusan piutang negara. Penjelasan tentang Biad PPN akan
diuraikan lebih lanjut pada Bab 13.
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Keterkaitan undang-undang ini dalam proses pengurusan piutang
negara adalah melalui ketentuan Pasal 27 yang berbunyi:
(1) Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap
kreditor lainnya.
(2) Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil
pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi Benda yang
menjadi objek jaminan Fidusia.
(3) Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus
karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi
Fidusia.
Ketentuan tersebut di atas perlu diperhatikan oleh petugas
DJPLN/PUPN dalam melaksanakan penyitaan dan penjualan barang jaminan
Penanggung Hutang yang dibebani Jaminan Fidusia bukan oleh Penyerah
Pengurusan Piutang Negara
47
Piutang. Hasil penjualan barang jaminan tersebut terlebih dahulu harus
digunakan untuk menyelesaikan hutang kepada pihak lain tersebut. Di lain
pihak, bila barang jaminan milik Penanggung Hutang tersebut dibebani
Jaminan Fidusia oleh Penyerah Piutang, dan barang jaminan tersebut dijual
oleh Penanggung Hutang atau oleh pihak lain, maka PUPN mempunyai hak
preferen atas hasil penjualan barang jaminan tersebut.
Selain itu, Pasal 29 undang-undang ini mengatur bahwa apabila debitor
atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
1. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(2) oleh Penerima Fidusia;
2. penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
3. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Berdasarkan ketentuan tersebut, PUPN dapat langsung melakukan
lelang barang jaminan yang telah dibebani Jaminan Fidusia4 segera setelah
PUPN menerima pengurusan piutang negara dari Penyerah Piutang.
Pengurusan piutang negara dengan barang jaminan yang telah
dibebankan Jaminan Fidusia diuraikan lebih lanjut dalam Bab 14.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Keterkaitan undang-undang ini dalam proses pengurusan piutang
negara adalah melalui ketentuan Pasal 2 yang berisi ketentuan tentang ruang
lingkup Keuangan Negara, yang di dalamnya mencakup kekayaan
negara/kekayaan daerah. Kekayaan tersebut antara lain dapat berupa piutang
dan kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
Ketentuan ini penting bagi kegiatan pengurusan piutang negara, mengingat
ketentuan tersebut:
1. menjelaskan kedudukan piutang negara dan kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara/perusahaan daerah sebagai bagian dari Keuangan
Negara; dan
4
Pembebanan Jaminan Fidusia atas barang jaminan dinyatakan telah sempurna setelah barang
jaminan tersebut didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Berdasarkan pendaftaran
tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia telah menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia dan
menyerahkan sertifikat dimaksud kepada Penerima Fidusia.
48
Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
2. menjelaskan bahwa keuangan negara juga meliputi kekayaan daerah, baik
daerah Provinsi, maupun daerah Kabupaten/Kota.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara
Beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang
memberikan pengaruh dalam pengurusan piutang negara adalah sebagaimana
uraian berikut ini.
1. Pasal 37 undang-undang ini mengatur ketentuan tentang penghapusan
piutang negara/daerah. Ketentuan tersebut menjadi dasar ketentuan
penghapusan piutang negara. Uraian lengkap tentang penghapusan piutang
negara ada pada Bab 12.
2. Pasal 50 undang-undang ini berisi larangan untuk menyita uang dan
barang milik negara/daerah, dan atau yang dikuasai negara/daerah.
Ketentuan ini mendasari kekhususan pengurusan piutang negara dengan
Instansi Pemerintah atau BUMN/BUMD selaku Penanggung Hutang.
3. Pasal 64 undang-undang ini mengatur ketentuan untuk tetap melaksanakan
penagihan tuntutan ganti rugi kepada bendahara, pegawai negeri bukan
bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti
kerugian negara/daerah, walaupun yang bersangkutan telah dijatuhi
hukuman pidana.
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang
Terdapat beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 yang harus diperhatikan, sehingga pengurusan piutang negara tidak
melanggar ketentuan undang-undang tersebut, misalnya:
1. berdasarkan Pasal 55 ayat (1), Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia,
hak tanggunggan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya
diperbolehkan untuk mengeksekusi haknya seolah-olah tidak ada
kepailitan, namun Pasal 56 ayat (1) mengatur bahwa bila putusan pailit
telah dibacakan, maka hak eksekusi Kreditor tersebut ditangguhkan untuk
jangka waktu paling lama 90 hari sejak pembacaan putusan tersebut.
Kedua ketentuan tersebut mengatur bahwa PUPN dapat melakukan
eksekusi barang jaminan yang telah diikat sempurna milik debitor yang
telah pailit atau dalam proses pailit, seolah-olah tidak ada proses kepailitan
terhadap debitor tersebut. Namun demikian, hak untuk melakukan eksekusi
Pengurusan Piutang Negara
49
tersebut harus ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak
putusan pailit dibacakan.
2. Berdasarkan Pasal 59, telah diatur bahwa PUPN dapat melakukan eksekusi
barang jaminan yang diikat sempurna tersebut di atas dalam jangka waktu
paling lama 2 bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. Pengertian
keadaan insolvensi tersebut berdasarkan penjelasan Pasal 57 ayat (1)
adalah keadaan tidak mampu membayar.
Penjelasan tentang Pengurusan Piutang Negara Atas Penanggung
Hutang yang Dinyatakan Pailit atau Atas Barang Jaminan Milik Pihak Ketiga
yang Dinyatakan Sebagai Boedel Pailit diuraikan lebih lanjut dalam Bab 14.
Rangkuman
Indonesia adalah negara hukum atau “Rechtsstaat”, dan bukan negara
kekuasaan atau “Machtsstaat”, demikian bunyi salah satu pokok pikiran yang
terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pokok pikiran tersebut di atas
mewajibkan pengurusan piutang negara untuk didasarkan pada suatu dasar
hukum yang jelas yang dapat menjadi payung dalam setiap gerak pengurusan.
Jauh sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, ketentuan tentang pengurusan piutang negara telah
diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara. Undang-undang inilah yang menjadi dasar hukum
pengurusan piutang negara, walaupun belum bersifat paripurna dalam
memberikan aturan tentang proses pengurusan piutang negara. Namun
demikian, undang-undang tersebut telah dapat menjadi payung hukum dalam
upaya optimalisasi hasil pengurusan piutang negara, karena telah mengatur
subyek, obyek, dan proses pengurusan piutang negara. Selain itu, undangundang tersebut juga memberi amanat kepada Menteri Keuangan untuk
membuat aturan pelaksanaannya.
Selain memperhatikan ketentuan hukum yang mendasarinya,
pengurusan piutang negara juga harus memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan lain yang terkait guna meminimalisasi kemungkinan
terjadinya permasalahan hukum dalam proses pengurusan piutang negara.
Ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut antara lain adalah:
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata);
50
Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian;
4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1994 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah;
5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Pajak;
7. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
8. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
9. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
10. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Hutang.
- o0o -
Latihan
Untuk mengingatkan kembali materi yang telah anda pelajari, kerjakanlah
latihan di bawah ini !
1. Jelaskan arti dari pokok pikiran bahwa Indonesia adalah negara hukum
atau “Rechtsstaat”, dan bukan negara kekuasaan atau “Machtsstaat”! Apa
arti pokok pikiran tersebut bagi pengurusan piutang negara?
2. Apa pengertian “sumber hukum”? Apa dasar hukum pengertian tersebut?
3. Apakah yang menjadi sumber dari segala sumber hukum berdasarkan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004? Apa saja yang masuk dalam tata
urutan perundang-undangan menurut ketentuan undang-undang tersebut?
4. Jelaskan dengan singkat pengertian tentang hierarki peraturan perundangundangan!
5. Jelaskan dengan singkat stufenban teori dari Hans Kelsen!
51
Pengurusan Piutang Negara
6. Apa yang menjadi dasar hukum pengurusan piutang negara? Jelaskan
dengan singkat, mengapa undang-undang tersebut telah dapat menjadi
payung hukum dalam pengurusan piutang negara!
7. Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992
tentang Keimigrasian dengan pengurusan piutang negara!
8. Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1994
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah dengan pengurusan piutang negara!
9.
Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas dengan pengurusan piutang negara!
10. Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 20 Tahun
1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan pengurusan
piutang negara!
11. Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia dengan pengurusan piutang negara!
12. Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dengan pengurusan piutang negara!
13. Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan pengurusan piutang
negara!
- o0o -
BAB 3
TUJUAN DAN ASAS-ASAS
PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
Sasaran Pembelajaran
Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III
Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan
memahami tujuan dan asas-asas yang dianut dalam pengurusan piutang negara.
54
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
Pendahuluan
Tujuan kegiatan pengurusan piutang negara tentu tidak terlepas dari
tujuan dibentuknya Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) itu sendiri. Tujuan
tersebut tentu tidak terlepas pula dari keseluruhan sistem pengelolaan
keuangan negara, di mana pengurusan piutang negara merupakan bagian atau
sub sistemnya. Agar pengurusan piutang negara tidak menyimpang dari tujuan
yang telah ditetapkan, maka pelaksanaan pengurusan piutang negara perlu
memperhatikan pula asas-asas atau prinsip-prinsip pokok yang harus dianut
atau dipedomani oleh setiap insan PUPN dan DJPLN serta pihak-pihak lain
yang terkait dengan pengurusan piutang negara.
Tujuan dan prinsip-prinsip pokok dalam pengurusan piutang negara
secara rinci akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.
Tujuan Pengurusan Piutang Negara
Sebagaimana telah diuraikan dalam pendahuluan Bab ini, bahwa tujuan
pengurusan piutang negara tidaklah terlepas dari tujuan dibentuknya PUPN.
Tujuan dibentuknya PUPN itu sendiri dapat dijumpai dalam Penjelasan Umum
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yaitu melakukan penagihan
piutang negara secara singkat dan efektif dengan hasil yang optimal, terutama
terhadap penanggung hutang yang “nakal” dan dengan tindakannya terangterangan merugikan negara. Berdasarkan tujuan dibentuknya PUPN tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa tujuan pengurusan piutang negara adalah
penagihan piutang negara secara singkat dan efektif dengan hasil yang optimal
dengan tetap memberikan kepastian hukum kepada debitor/Penanggung
Hutang.
Pengurusan piutang negara dilakukan dalam rangka penyelesaian
piutang negara secara cepat dan efektif mensyaratkan adanya kewenangan
khusus yang harus diberikan kepada PUPN. Kewenangan khusus tersebut
adalah kewenangan “parate eksekusi”, dalam hal ini PUPN dapat
melaksanakan sendiri putusan-putusannya (paksa, sita, lelang dan seterusnya)
tanpa harus meminta bantuan lembaga peradilan.
Kewenangan khusus yang dimiliki PUPN itulah yang menimbulkan
pandangan beberapa pihak termasuk jajaran pengadilan bahwa PUPN adalah
lembaga quasi rechtspraak (setengah majelis), suatu lembaga yang
mirip/setengah
pengadilan
namun
berada
di
lingkungan
eksekutif/pemerintahan. Hal ini tidak terlepas dari situasi dan kondisi spesifik
Pengurusan Piutang Negara
55
Indonesia, di mana di satu sisi penyelesaian piutang melalui lembaga peradilan
memerlukan waktu yang tidak cepat, dan di sisi lain kecepatan terjadinya
piutang macet milik instansi pemerintah dan badan-badan yang baik secara
langsung maupun tidak langsung dikuasai negara, lebih cepat dibandingkan
penyelesaiannya. Dengan situasi seperti ini, maka percepatan penagihan
hutang debitor hanya dapat dilakukan melalui lembaga yang berada di luar
lembaga peradilan namun mempunyai kewenangan parate eksekusi. Keadaankeadaan tersebut tercemin pula dari adanya lembaga quasi rechtspraak di luar
PUPN seperti Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan baik tingkat Pusat
maupun Daerah (P4P dan P4D) yang khusus dibentuk untuk menangani
masalah-masalah perburuhan.
Pengurusan piutang negara dilakukan dengan tetap memberikan
kepastian hukum kepada debitor/Penanggung Hutang. Hal ini tentunya tidak
terlepas dari keseluruhan sistem pengelolaan keuangan negara sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, yang mengamanatkan pengelolaan keuangan negara harus dilakukan
secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan. Dengan demikian, pengurusan piutang negara akan
terhindar dari kesan seolah-olah PUPN dalam menagih hutang laksana tukang
jagal (eksekutor) belaka, tanpa memberi ruang gerak (kesempatan) bagi
debitor untuk berusaha melunasi hutangnya secara baik-baik.
Oleh karena itu, kepada debitor yang mempunyai itikad baik, dalam
arti menunjukkan sikap yang kooperatif dengan PUPN/DJPLN, maka
kepadanya perlu diberikan kesempatan untuk menyelesaikan hutangnya, baik
berupa kesempatan waktu maupun menyampaikan informasi untuk
memperoleh kepastian jumlah hutang, termasuk kesempatan untuk menjual
sendiri barang jaminan, serta harta kekayaan lain tanpa melalui mekanisme
lelang. Inilah yang dimaksud dengan kata “pengurusan” dalam kalimat
pengurusan piutang negara yang lebih luas maknanya dari pada sekedar kata
“penyelesaian/penagihan piutang negara“.
Dalam pengurusan piutang negara, tidak hanya hak negara untuk
menagih piutang saja yang dikedepankan, tetapi hak-hak debitor harus pula
diperhatikan sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan. Dengan demikian,
PUPN/DJPLN dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus
berlaku/bersikap objektif dan adil, harus memperhatikan baik kepentingan
kreditor/Penyerah Piutang maupun debitor/Penanggung Hutang.
Proses dan hasil pengurusan piutang negara yang paling ideal tentunya
apabila piutang negara dapat diselesaikan tanpa melakukan tindakan eksekusi.
56
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
Penyelesaian dimaksud dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara PUPN
dan Penanggung Hutang/debitor. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam
suatu dokumen yang disebut Pernyataan Bersama (PB), yang memuat
kesepakatan tentang jumlah hutang, cara, dan jangka waktu penyelesaiannya.
Keadaan ideal ini hanya akan terwujud apabila berbagai kondisi dapat
dipenuhi, seperti adanya itikad baik debitor/Penanggung Hutang, maupun
konsistensi PUPN/DJPLN dalam melaksanakan prosedur pengurusan piutang
negara yang sesuai dengan asas-asas atau prinsip-prinsip pokok yang telah
ditetapkan.
Asas-asas atau prinsip-prinsip pokok dalam pengurusan piutang negara
dimaksud adalah asas/prinsip cepat, efektif dan efisien, serta asas lainnya yang
akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.
Asas-Asas Pengurusan Piutang Negara
Agar pengurusan piutang negara dapat memperoleh hasil yang optimal
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang yang
mengatur tentang pengurusan piutang negara, maka dalam pengurusan
piutang negara perlu diperhatikan asas-asas/prinsip-prinsip pokok sebagai
berikut.
Prosedur Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus
Pengurusan piutang negara, oleh Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960, telah diamanatkan agar dilaksanakan dengan prinsip percepatan,
efektifitas dan efisiensi proses pengurusan piutang negara. Prinsip percepatan
proses pengurusan piutang negara diarahkan pada minimalisasi waktu
pencapaian hasil pengurusan piutang negara. Prinsip efektifitas proses
pengurusan piutang negara diarahkan pada optimalisasi hasil pengurusan
piutang negara, sedangkan prinsip efisiensi ditujukan pada minimalisasi biaya
dan sumber daya yang dipergunakan dalam pengurusan piutang negara.
Agar azas percepatan, efektifitas dan efisiensi proses pengurusan
piutang negara terpenuhi, maka dalam mengupayakan pengembalian piutang
negara, PUPN/DJPLN menempuh “prosedur khusus”. Prosedur tersebut
bukanlah prosedur biasa (lex generalis) yang terdapat di HIR, tetapi dengan
menempuh prosedur khusus (lex spesialiasis) berupa:
1. Pembuatan Pernyataan Bersama (PB);
2. Penerbitan Surat Paksa (SP);
Pengurusan Piutang Negara
3.
4.
5.
6.
57
Penyitaan Barang Jaminan dan Harta Kekayaan Lain milik debitor;
Pelelangan Barang Jaminan dan Harta Kekayaan Lain milik debitor;
Penyanderaan/Paksa Badan (Gijzeling/Lijfdwang);
Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah Republik Indonesia.
Pengurusan Piutang Negara secara khusus tersebut diatur dalam Pasal
10 dan 11 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN.
Prosedur pengurusan piutang negara yang dapat dikatakan khusus adalah
pembuatan Pernyataan Bersama, yaitu kesepakatan tertulis antara Ketua PUPN
Cabang dengan Penanggung Hutang tentang jumlah hutang yang wajib
dilunasi, termasuk cara-cara penyelesaiannya dan sanksi yang jelas kepada
debitor apabila yang bersangkutan tidak melaksanakan ketentuan yang telah
disepakati dalam Pernyataan Bersama (debitor wanprestasi).
Pernyataan
Bersama
tersebut
mempunyai
kekuatan
eksekutorial/kekuatan pelaksanaan seperti suatu putusan hakim dalam perkara
perdata yang berkekuatan hukum tetap/pasti yang tidak dapat dibanding dan
dikasasi. Oleh karena itu, Pernyataan Bersama diberi irah-irah/berkepala
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari segi hukum,
Pernyataan Bersama ini dikenal dengan istilah “grosse” akta. Setiap dokumen
yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku diberi irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka dokumen tersebut
mempunyai kekuatan eksekutorial dan dinamakan grosse. Grosse selain
Pernyataan Bersama (PB) antara lain adalah Surat Paksa, Akta Pengakuan
Hutang, Sertifikat Hipotek/Hak Tanggungan, Salinan Risalah Lelang dan
sebagainya. Materi/isi yang tercantum dalam PB adalah:
1. Jumlah hutang yang harus dilunasi oleh debitor yang terdiri dari hutang
pokok, bunga, denda dan ongkos-ongkos (BDO), dan Biaya Administrasi
Pengurusan Piutang Negara.
2. Cara-cara melunasinya, baik secara angsuran bulanan, triwulanan maupun
semesteran, yang harus dilunasi dalam jangka waktu maksimal 1 (satu)
tahun. Dengan adanya pembatasan jangka waktu yang dapat disepakati di
dalam Pernyataan Bersama, maka diharapkan pengurusan piutang negara
ini dapat diselesaikan secara cepat, efektif, efisien dan optimal.
3. Barang apa saja yang dijadikan agunan hutang debitor, termasuk harta
kekayaan lain miliknya bila diperlukan.
4. Kesediaan debitor untuk menerima sanksi bila terjadi wanprestasi, seperti
penagihan piutang negara dengan Surat Paksa, sita, pelelangan agunan
termasuk upaya hukum penyanderaan/paksa badan dan pencegahan debitor
bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia.
58
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
Ketentuan tentang PB ini diatur dalam Pasal 10 UU PUPN tersebut
yang secara lengkap berbunyi:
1. Setelah dirundingkan oleh Panitia (PUPN) dengan
Penanggung Hutang dan diperoleh kata sepakat tentang
jumlah hutangnya yang masih harus dibayar, termasuk
bunga uang, denda yang tidak bersifat pidana, serta biayabiaya yang bersangkutan dengan piutang ini (BDO), maka
oleh Ketua Panitia dan penanggung hutang dibuat suatu
pernyataan bersama (PB) yang memuat jumlah tersebut dan
memuat kewjiban penanggung hutang untuk melunasinya.
2. Pernyataan Bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan
seperti suatu putusan hakim dalam perkara perdata yang
berkekuatan pasti, untuk mana pernyataan bersama itu
berkepala “Atas nama Keadilan” (baca Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa).
3. Sanksi bila PB tidak dilaksanakan oleh debitor, dilakukan
oleh Ketua Panitia dengan mengeluarkan suatu surat paksa
(SP), yang dapat dijalankan secara pensitaan dan pelelangan
barang-barang kekayaan penanggung hutang dan secara
penyanderaan terhadap penanggung hutang.
Jadi, berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, status
hukum perjanjian kredit (PK) yang semula bersifat keperdataan diperbaharui
menjadi bersifat publik (dalam ilmu hukum dikenal sebagai verpublikesering
van het privatrecht). Hal tersebut berarti perjanjian yang semula merupakan
hubungan hukum perdata antara Penyerah Piutang (kreditor) dan Penanggung
Hutang (debitor) menjadi hubungan hukum publik antara PUPN yang
mewakili negara sebagai kreditor baru dan Penanggung Hutang (debitor)
sebagai warga negara pada umumnya. Dalam penjelasan Pasal 10 Undangundang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dijelaskan dalam kalimat terakhir yang
berbunyi:
“Pemakaian sistim surat paksa seperti dalam hal (penagihan)
pajak dapat dipertanggungjawabkan karena kinipun Negaralah
yang merupakan pihak berpiutang”
Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa PB disamakan atau
mempunyai kedudukan yang sama dengan putusan hakim dalam perkara
perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang berisi antara lain
pengakuan dan pengukuhan hutang debitor dan karenanya mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs) dan kekuatan memaksa
(dwingend bewijs).
Pengurusan Piutang Negara
59
Bila Penanggung Hutang mentaati kesepakatan yang tertuang dalam
Pernyataan Bersama, yang bersangkutan akan melunasi hutangnya, dan PUPN
akan menerbitkan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas (SPPNL). Namun
sebaliknya, bila Penanggung Hutang wanprestasi atas ketentuan yang telah
disepakati dalam Pernyataan Bersama, PUPN akan melakukan penagihan
secara sekaligus dengan Surat Paksa. Kemudian, bila Surat Paksa tersebut juga
tidak ditaati oleh Penanggung Hutang, maka PUPN akan melakukan tindakan
eksekusi, yang berupa:
1. penyitaan dan pelelangan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain
milik Penangung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; atau
2. pelaksanaan paksa badan terhadap Penangung Hutang dan/atau penjamin
Hutang.
Proses pengurusan yang dilakukan PUPN/DJPLN dengan tahapan
sebagaimana yang diuraikan di atas, merupakan proses pengurusan piutang
negara yang dilakukan secara khusus sebagai pelaksanaan kewenangan parate
eksekusi yang dijamin oleh Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960
tentang pengurusan Piutang Negara.
Piutang yang Diurus adalah Piutang Negara yang Telah Macet
Penjelasan Pasal 4 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960
berbunyi bahwa Piutang Negara pada tingkat pertama pada prinsipnya
diselesaikan oleh instansi dan badan-badan yang bersangkutan1. Apabila itu
tidak mungkin lagi terutama disebabkan oleh karena ternyata Penanggung
Hutang tidak ada kesediaan dan termasuk Penanggung Hutang yang nakal
maka oleh instansi dan badan-badan yang bersangkutan penyelesaiannya
diserahkan kepada Panitia. Isi penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa
Piutang Negara yang diurus oleh PUPN/DJPLN adalah piutang yang telah
dinyatakan macet dan sebelumnya telah diupayakan untuk ditagih sendiri oleh
masing-masing pemilik piutang.
Upaya penagihan yang dilakukan Penyerah Piutang antara lain berupa
pembinaan dari kreditor terhadap usaha para debitornya dalam hal piutang
negara perbankan (PNP), maupun penyuluhan/sosialisasi terhadap para
penanggung hutangnya dalam hal piutang negara non perbankan (PNNP).
Apabila upaya pembinaan tersebut kurang/belum berhasil, maka Penyerah
Piutang, melanjutkan upaya tersebut dengan upaya penyampaian peringatan
1
Instansi dan badan-badan yang berpiutang adalah Instansi Pemerintah Pusat atau Instansi
Pemerintah Daerah, dan badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau
seluruhnya milik negara, vide penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun
1960.
60
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
atau biasa disebut dalam bahasa hukumnya adalah somasi. Lazimnya somasi
ini dilakukan dengan memperhatikan asas kepatutan, yaitu 3 (tiga) kali
masing-masing berselang 1 (satu) minggu.
Salah satu tembusan surat peringatan terakhir disampaikan kepada
PUPN. Berdasarkan surat tembusan tersebut, PUPN dapat membuat dan
mengirimkan surat kepada debitor/Penanggung Hutang dengan isi pokoknya
agar yang bersangkutan segera melunasi hutangnya disertai penjelasan adanya
berbagai konsekuensi bilamana hal tersebut diabaikan oleh Penanggung
Hutang. Konsekuensi yang akan ditanggung oleh debitor antara lain adalah:
1. Penagihan atas hutangnya akan diserahkan pengurusannya ke PUPN,
ditambah biaya administrasi pengurusan piutang negara (Biad PPN)
sebesar 10% dari jumlah hutang.
2. Kemungkinan dilakukannya tindakan penagihan piutang negara oleh
PUPN dengan penerbitan Surat Paksa (SP), penyitaan dan pelelangan
barang jaminan/harta kekayaan lain milik debitor/Penanggung Hutang.
3. Dapat diterapkannya sanksi lainnya seperti tindakan pencegahan bepergian
ke luar negeri serta penyanderaan/paksa badan (gijzeling/lijfsdwang).
Bilamana berbagai upaya telah ditempuh oleh kreditor/Penyerah
Piutang, namun upaya-upaya tersebut tidak mungkin lagi berhasil terutama
karena tidak adanya kesediaan/itikad baik dari debitor/ Penanggung Hutang,
karenanya termasuk kategori debitor nakal, maka oleh instansi-instansi atau
badan-badan tersebut penyelesaiannya diserahkan kepada PUPN. Dengan
demikian penyerahaan kasus kredit/piutang macet kepada PUPN/DJPLN harus
terlebih dahulu didahului oleh upaya-upaya penagihan yang sungguh-sungguh
dari pihak Penyerah Piutang, sehingga terhindar kesan seolah-olah
PUPN/DJPLN hanya merupakan timbunan keranjang sampah belaka dari
kredit/piutang macet.
Penentuan kriteria macet atas suatu piutang non perbankan, dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada
pemilik piutang masing-masing. Penentuan kriteria macet atas piutang bankbank BUMN/BUMD, berlaku ketentuan kolektibilitas kredit perbankan yang
ditentukan/diatur oleh Bank Indonesia, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang
penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (dahulu Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang
Kualitas Aktiva Produktif dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Pengurusan Piutang Negara
61
Nomor 31/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif).
Dalam peraturan tersebut, kualitas kredit terbagi menjadi 5 golongan,
yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.
Tiga kategori kredit terakhir, yaitu kategori Kurang Lancar, Diragukan dan
Macet termasuk dalam kriteria kredit bermasalah (Non Performing Loans
/NPL). Berdasarkan Lampiran I Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/2/PBI/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/2/PBI/2005 tentang penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, penentuan
kriteria dari masing-masing kualitas kredit tersebut di atas dapat dijelaskan
berdasarkan tabel berikut ini.
Tabel 3.1. Penentuan Kriteria Kolektibilitas Kredit Perbankan
62
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
Pengurusan Piutang Negara
63
64
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
Pengurusan Piutang Negara
65
66
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
Sumber: Lampiran I Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/ 3 /DPNP tanggal 31 Januari 2005
Pengurusan Piutang Negara
67
Pada tahap awal, penyelamatan kredit macet dapat ditempuh melalui
beberapa cara yaitu:
1. penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang
menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa
tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak;
2. persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau
keseluruhan syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal
pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak
menyangkut perubahan maksimum saldo kredit, dan konversi seluruh atau
sebagian dari pinjaman menjadi equity perusahaan;
3. penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit
yang menyangkut:
Ø penanaman dana bank dan/atau;
Ø konversi seluruh, atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit
baru dan/atau;
Ø konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam
perusahaan.
Selain penyelamatan melalui tindakan tersebut di atas, penanganan
terakhir kredit macet dapat dilakukan melalui Lembaga Penyelesaian Piutang.
Bagi bank milik pemerintah penyelamatan kredit macetnya wajib diserahkan
ke PUPN/BUPLN, sesuai Pasal 8 jo Pasal 12 Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 tentang PUPN.
Adanya dan Besarnya Piutang Negara Telah Pasti Menurut Hukum
Apa yang dimaksud dengan adanya dan besarnya piutang negara telah
pasti menurut hukum itu? Dalam kalimat tersebut di atas, terdapat 2 (dua)
syarat kepastian hukum yang harus dipenuhi agar piutang negara dapat
diterima dan dilakukan pengurusannya oleh PUPN/ DJPLN, yaitu adanya
piutang negara dan besarnya piutang negara. Kepastian hukum tentang dua hal
tersebut merupakan syarat dasar yang harus dipenuhi untuk terbitnya produk
hukum PUPN yang bersifat parate eksekusi.
Tanpa adanya kepastian hukum atas kedua hal tersebut, maka piutang
dimaksud menjadi “tidak laik” urus dan PUPN/DJPLN wajib menolak
penyerahan kasus dimaksud. Azas ini tercantum dalam Pasal 4 butir 2 UU
Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN yang berbunyi:
68
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
“Piutang negara yang diserahkan sebagaimana tersebut dalam angka 1 di
atas, ialah piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum,
akan tetapi yang menanggung hutangnya tidak melunasinya sebagaimana
mestinya”.
Adanya dan Besarnya Piutang Negara Perbankan
Khusus untuk Piutang Negara Perbankan (PNP), keberadaan atau
timbulnya piutang negara sebagian besar atau hampir seluruhnya didasarkan
pada adanya perjanjian, yaitu perjanjian pemberian kredit antara bank sebagai
kreditor dengan debitor. Perjanjian pemberian kredit ini biasa disebut dengan
istilah “Perjanjian Kredit“ atau lazim disingkat dengan PK, sebagian bank
menyebutnya dengan singkatan PMK (Perjanjian Membuka Kredit).
Jadi, adanya piutang negara perbankan harus dibuktikan dengan
keberadaan PK. Tanpa adanya dokumen PK, maka suatu piutang sulit atau
tidak mungkin dibuktikan keberadaannya, atau patut diragukan
keberadaannya. Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu, terdapat
kemungkinan bahwa PK tidak ada, sehingga untuk membuktikan adanya
piutang negara perbankan diperlukan Pengakuan Hutang yang dibuat oleh
Penanggung Hutang.
Dalam praktek sering seorang debitor tidak mengakui bahkan menolak
mempunyai hutang kepada bank. Apalagi menghadapi “debitor nakal”, maka
tanpa adanya bukti PK, PUPN/DJPLN akan mengalami kegagalan dalam
menjalankan kewajibannya melakukan pengurusan piutang negara. Walaupun
secara teori hukum suatu perjanjian itu dapat juga dilakukan secara lisan,
namun hampir tidak mungkin dapat dibuktikan keberadaannya apabila kasus
kredit macet ini oleh debitor dibawa ke sidang pengadilan (perdata). Berbeda
dengan sistem peradilan pidana, menurut sistem hukum acara perdata di
Indonesia, hakim bersifat pasif dan putusannya sangat bergantung kepada
argumentasi serta alat-alat bukti, termasuk PK yang diajukan para pihak, baik
tergugat (PUPN/DJPLN), maupun penggugat (debitor).
Walaupun dokumen PK memang ada, belum tentu dapat menjamin
kelancaran dalam pengurusan piutang negara, karena masih banyak ramburambu hukum yang harus diperhatikan seperti syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian, batal (nietig) dan pembatalan (vernietigbaar) suatu perjanjian, saat
dan tempat lahirnya suatu perjanjian, adanya wanprestasi (ingkar janji) dalam
suatu perjanjian dengan segala akibat-akibat hukumnya, hapusnya suatu
perjanjian serta rambu-rambu hukum lain yang siap menghadang apabila
PUPN/DJPLN kurang hati-hati dalam mengantisipasinya. Sikap hati-hati
inilah yang harus selalu dipedomani oleh PUPN/DJPLN dalam memberikan
Pengurusan Piutang Negara
69
pertimbangan serta mengambil keputusan, apakah penyerahan suatu kasus
kredit macet dari Penyerah Piutang dapat diterima untuk diurus atau ditolak.
Setiap penyerahan kasus piutang macet harus diteliti terlebih dahulu
dengan cermat dan hasilnya dituangkan dalam suatu formulir “Resume Hasil
Penelitian Kasus” (RHPK). Dipandang dari sudut hukum, Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, suatu perjanjian termasuk PK dianggap sah
apabila memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
1. adanya kata sepakat antara para pihak;
2. para pihak mempunyai kecakapan dalam membuat perjanjian;
3. perjanjian dibuat mengenai suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.
Dua syarat pertama disebut sebagai syarat subyektif, karena
menyangkut persyaratan orang-orangnya atau subyek hukum yang
mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat obyektif,
karena menyangkut obyek perjanjian dari perbuatan hukum yang dilakukan
daalam perjanjian tersebut.
Apabila suatu kredit macet diserahkan pengurusannya oleh bank
kepada PUPN/DJPLN pada tanggal 1 Agustus 2005 yang didukung oleh suatu
perjanjian kredit yang dibuat pada tanggal 10 Januari 2000, maka
PUPN/DJPLN harus berhati-hati melakukan penelitian atas kasus dimaksud,
misalnya pihak debitor diketahui lahir pada tanggal 15 Desember 1983. Pada
saat perjanjian dibuat, yaitu pada tanggal 10 Januari 2000, si debitor baru
berumur kurang dari 17 tahun, sehingga perjanjian tersebut tidak memenuhi
syarat subyektif sahnya suatu perjanjian, termasuk PK, karena dalam hukum
perdata yang berlaku di Indonesia, seseorang dianggap cakap melakukan
perbuatan hukum termasuk membuat perjanjian apabila telah berumur 21
tahun.
Demikian juga dengan syarat-syarat lain tentang sahnya suatu
perjanjian, harus pula dicermati secara mendalam. Sebagai contoh misalnya
suatu bank memberi kredit kepada seorang/perusahaan importir atau
produsen/pabrik obat. Apabila ternyata uang hasil pinjaman tersebut
digunakan untuk mengimpor barang yang terlarang tanpa ijin resmi seperti
mengimpor senjata api, atau digunakan untuk mendirikan pabrik ekstasi,
apakah piutang macet tersebut dapat diterima untuk diurus oleh
PUPN/DJPLN? Satu hal yang jelas adalah bahwa perjanjian demikian tidak
memenuhi syarat obyektif sahnya suatu perjanjian.
Kepastian besarnya piutang negara perbankan dapat dibuktikan dengan
dokumen yang lazim diterbitkan oleh bank, yaitu berupa:
70
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
1. Rekening Koran (RK) yang menunjukkan adanya/terjadinya mutasi dana
keluar/masuk, baik mutasi atas hutang pokok maupun hutang bunga, denda
dan ongkos-ongkos (BDO). Atas dasar RK tersebut dapat diketahui kapan
suatu kredit termasuk kategori kurang lancar, diragukan dan macet.
2. Prima Nota, yaitu catatan-catatan yang dibuat oleh bank tentang mutasi
keuangan debitor yang dibuat secara manual dalam hal tidak ada atau tidak
dibuat rekening koran.
3. Dokumen lain yang dipersamakan dengan Rekening Koran ataupun Prima
Nota.
4. Surat Pengakuan Hutang yang dibuat oleh debitor yang berisi pengakuan
besarnya jumlah hutang yang diterima olehnya dari bank, biasanya disertai
pula dengan besarnya beban bunga yang harus ditanggung debitor.
Konstruksi besaran Piutang Negara Perbankan yang diserahkan oleh
Penyerah Piutang kepada PUPN terdiri dari:
1. Hutang Pokok.
2. Hutang Bunga, yang terdapat bermacam-macam variasi sesuai dengan
yang diperjanjikan kedua belah pihak. Cara pembebanan bunga ini antara
lain adalah fix rate, sliding rate, floating rate dan sebagainya.
3. Denda atas kelambatan pembayaran angsuran hutang pokok dan bunga.
4. Ongkos-ongkos yang lazim diperjanjikan seperti biaya pemasangan
hipotik/hak tanggungan, asuransi kebakaran dsb.
Butir 2, 3 dan 4 di atas biasa disingkat dengan istilah BDO (Bunga,
Denda dan Ongkos-Ongkos). Besarnya BDO yang boleh diperhitungkan
paling lama 6 bulan setelah kredit di kategorikan macet berdasarkan peraturan
tentang kategori kredit perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
(Pasal 11 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002).
Sebagai gambaran di bawah ini disampaikan contoh perhitungan
jumlah PNP2.
2
Contoh yang diberikan di sini adalah perhitungan yang dilakukan pada saat masih
berlakunya ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 376/KMK.01/1998 yang telah
diganti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, namun cara
perhitungan jumlah piutang negara di dalam kedua ketentuan tersebut tidak berbeda. Selain
itu, pada saat perhitungan tersebut dilakukan, aturan tentang penentuan kategori kredit
71
Pengurusan Piutang Negara
1. Sesuai dengan surat penyerahan pengurusan piutang Negara dari Kreditor
(Bank Raja Intan), PT. ANGPAU sebagai Penanggung Hutang mempunyai
kewajiban untuk membayar hutang sebesar Rp. 446.301.975.459,72
dengan rincian sebagai berikut:
Keterangan
KMK
KI
Bridging loan
Tunggakan
Pokok
Rp. 5.900.000.000,00
Rp. 77.400.000.000,00
Rp. 5.000.000.000,00
Tunggakan
Bunga
Rp. 8.017.339.583,34
Rp. 111.063.920.883,2
Rp. 7.086.920.884,00
Denda
Rp. 18.303.796.825,75
Rp. 211.871.611.200,5
Rp. 1.676.548.122,93
Total Kewajiban
Rp. 32.221.136.409,09
Rp. 400.335.532.083,7
Rp. 13.745.468.966,93
2. KP3N Jakarta I (sekarang KP2LN Jakarta II) telah melakukan perhitungan
jumlah hutang sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor
293/KMK.09/1993 tanggal 27 Februari 1993 Pasal 9 ayat (2), sehingga
jumlah hutang (27 bulan sejak diragukan) menjadi sebesar
Rp.253.220.585.145,47 dengan rincian sebagai berikut:
Keterangan
KMK
KI
Bridging loan
Tunggakan Pokok
Rp. 5.900.000.000,00
Rp. 77.400.000.000,00
Rp. 5.000.000.000,00
Tunggakan Bunga
Rp. 5.254.228.472,22
Rp. 73.995.476.438,73
Rp. 2.925.070.694,01
Denda
Rp. 9.531.286.393,44
Rp. 71.537.975.024,12
---
perbankan yang berlaku saat itu adalah Surat Edaran (SE) Bank Indonesia Nomor
30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 yang saat ini telah diganti dengan SE Bank Indonesia
Nomor 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
Di dalam SE Bank Indonesia Nomor 30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 telah diatur
bahwa kredit dapat dinyatakan macet apabila terjadi tunggakan pokok atau denda selama
270 hari, sedangkan di dalam SE Bank Indonesia Nomor 7/3/DPNP tanggal 31 Januari
2005, diatur bahwa kredit dapat dinyatakan macet apabila terdapat tunggakan pokok dan
atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari.
72
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
Biaya lainnya
---
Rp. 1.676.548.122,95
---
Total Kewajiban
Rp.20.685.514.865,66
Rp.224.609.999.585,8
Rp.7.925.070.694,01
3. Atas jumlah hutang tersebut, KP3N Jakarta I telah melakukan perhitungan
kembali jumlah hutang sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor
376/KMK.01/1998 tanggal 31 Juli 1998 Pasal 9 ayat (1) dan (2) dan sesuai
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/16/UPPB tanggal 27 Februari
1998, kredit dikategorikan macet apabila terdapat tunggakan angsuran
pokok, bunga atau denda selama 270 hari, sehingga jumlah hutang menjadi
sebesar Rp. 136.205.124.529,00 dengan rincian sebagai berikut:
Keterangan
KMK
KI
Tunggakan Pokok
Rp. 5.900.000.000,00
Rp. 77.400.000.000,00
Rp. 5.000.000.000,00
Tunggakan Bunga
Rp. 1.165.545.000,00
Rp. 15.638.670.000,00
Rp.
900.000.000,00
Denda Bunga
Rp. 1.748.317.500,00
Rp. 23.458.005.000,00
Rp.
450.000.000,00
Biaya lainnya
---
Rp. 2.633.161.061,00
Rp.
45.000.000,00
Biaya lainnya *)
---
Rp. 1.676.548.122,95
Total Kewajiban
Rp.9.005.740.345,63
Rp.120.804.384.183,95
Bridging loan
--Rp.6.395.000.000,00
*) Ket : biaya premi asuransi kebakaran yang telah dibayarkan oleh pihak bank
4. Rincian perhitungan jumlah hutang PT. Angpau tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Kredit Modal Kerja (KMK)
Pokok
= Rp.5.900.000.000,00
Bunga Rata-rata
= 26,34% (weighted average interest)
Denda pokok/Bunga = sebesar bunga ditambah 50% (150% dari
bunga)
Perhitungan kolektibilitas kredit macet menurut SE Bank Indonesia
Nomor 30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 adalah apabila terjadi
tunggakan bunga/denda selama 270 hari, sehingga perhitungan
menggunakan rumus:
Jumlah hutang macet sebesar:
- Bunga
: 270/360 x tingkat bunga x jumlah
hutang pokok
Pengurusan Piutang Negara
73
- Denda Pokok
: 270/360 x 150% x tingkat bunga x jumlah
hutang pokok
- Denda Bunga
: dihitung per bulan tergantung jumlah bunga
yang tertinggal atau 30/360 x 150% x tingkat
bunga x bunga tertunggak
Perhitungan Hutang Macet:
Hutang Pokok
= Rp.5.900.000.000,00
Hutang Bunga
= 270/360 x 26,34% x Rp.5.900.000.000,00
= Rp.1.165.545.000,00
Denda Pokok
= 270/360
x
150%
x
26,34%
x
Rp.5.900.000.000
= Rp.1.748.317.500,00
Denda Bunga
= Bunga tertunggak per bulan (debitor tidak
pernah melakukan pembayaran angsuran)
= 30/360 x 26,34% x Rp.5.900.000.000
= Rp. 129.505..000,00
Denda bunga bulan I = 30/360 x 150% x 26,34% x
Rp.129.505.000,00
= Rp.4.263.952,13
Denda bunga bulan II = 30/360 x 150% x 26,34% x
Rp.259.010.000,00
= Rp. 8.527.904,25
Denda bunga bulan III = 30/360 x 150% x 26,34% x
Rp.388.515.000,00
= Rp. 12.791.856,38
Denda bunga bulan IV = 30/360 x 150% x 26,34% x
Rp.518.020.000,00
= Rp. 17.055.808,80
Denda bunga bulan V = 30/360 x 150% x 26,34% x
Rp.647.525.000,00
= Rp. 21.319.760,63
Denda bunga bulan VI = 30/360 x 150% x 26,34% x
Rp.777.030.000,00
= Rp. 25.583.712,75
74
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
Denda bunga bulan VII
Denda bunga bulanVIII
Denda bunga bulan IX
Total denda bunga
Total Hutang KMK:
Pokok
Bunga
Denda Bunga
Denda Pokok
b. Kredit Investasi (KI)
Pokok
Bunga Rata-rata
Denda Pokok/Bunga
= 30/360x 150% x 26,34% x
Rp.906.535.000,00
= Rp.29.847.664,88
= 30/360x 150% x 26,34% x
Rp.10.360.400.000,00
= Rp.34.111.617,00
= 30/360x 150% x 26,34% x
Rp.11.655.450.000,00
= Rp.38.375.569,13
= Rp. 191.877.845,63
= Rp. 5.900.000.000,00
= Rp. 1.165.545.000,00
= Rp. 191.877.845,63
= Rp. 1.748.317.500,00
= Rp. 9.005.740.345,63
+
= Rp.77.400.000.000,00
= 26,94%
= sebesar bunga ditambah 50% (150%
dari bunga)
Perhitungan kolektibilitas hutang macet menurut SE Bank
Indonesia Nomor 30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 adalah
apabila terjadi tunggakan bunga/denda selama 270 hari, sehingga
perhitungan menggunakan rumus:
Jumlah Hutang macet sebesar:
- Bunga
: 270/360 x tingkat bunga x jumlah hutang
pokok
- Denda pokok
: 270/360 x 150% x tingkat bunga x jumlah
hutang pokok
- Denda Bunga
: dihitung per bulan tergantung jumlah bunga
yang tertinggal atau 30/360 x 150% x tingkat
bunga x bunga tertunggak
Pengurusan Piutang Negara
75
Perhitungan Hutang Macet:
Hutang Pokok
= Rp.77.400.000.000,00
Hutang Bunga
= 270/360 x 26,94% x Rp.77.400.000.000,00
= Rp.15.638.670.000,00
Denda Pokok
= 270/360 x 150% x Rp.77.400.000.000
= Rp.23.458.005.000,00
Denda Bunga
= Bunga tertunggak per bulan (debitor tidak
pernah melakukan pembayaran angsuran)
= 30/360 x 26,94% x Rp.77.400.000.000
= Rp. 1.737.630.000,00
Denda bunga bulan I = 30/360 x 150% x 26,94% x
Rp.1.737.630.000,00
= Rp.58.514.690,25
Denda bunga bulan II = 30/360 x 150 % x 26,94 % x
Rp.3.475.260.000,00
= Rp. 117.029.380,50
Denda bunga bulan III = 30/360 x 150 % x 26,94 % x
Rp.5.212.890.00000
= Rp. 175.544.070,80
Denda bunga bulan IV = 30/360 x 150 % x 26,94 % x
Rp.6.950.520.000,00
= Rp. 234.058.761,00
Denda bunga bulan V = 30/360 x 150 % x 26,94 % x
Rp.8.688.150.000,00
= Rp. 292.573.451,30
Denda bunga bulan VI = 30/360 x 150 % x 26,94 % x
Rp.10.425.780.000,00
=Rp. 351.088.141,50
Denda bunga bulan VII = 30/360x 150 % x 26,94 % x
Rp.12.163.410.000,00
= Rp. 409.602.831,80
Denda bunga bulanVIII = 30/360 x 150 % x 26,94 % x
Rp.13.901.040.000,00
= Rp.468.117.522,00
76
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
Denda bunga bulan IX = 30/360 x 150 % x 26,94 % x
Rp.15.638.670.000,00
= Rp.526.632.212,30
Total denda bunga
= Rp.2.633.161.061,00
Denda Pokok
= 150% x 270/360 x 26,94% x
Rp.77.400.000.000,00
= Rp.23.458.005.000,00
Total Hutang KI :
Pokok
= Rp. 77.400.000.000,00
Bunga
= Rp. 15.638.670.000,00
Denda Bunga
= Rp.
2.633.161.061,00
Denda Pokok
= Rp. 23.458.005.000,00
+
=Rp. 119.127.836.061,00
c. Bridging Loan
Pokok
= Rp.5.000.000.000,00
Bunga Rata-rata
= 24%
Denda Pokok/Bunga = 50% dari bunga
Perhitungan kolektibilitas hutang macet menurut SE Bank
Indonesia Nomor 30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 adalah
apabila terjadi tunggakan bunga/denda selama 270 hari, sehingga
perhitungan menggunakan rumus:
Jumlah Hutang macet sebesar:
- Bunga
: 270/360 x tingkat bunga x jumlah hutang
pokok
- Denda pokok
: 270/360 x tingkat bunga x 0,5% x jumlah
hutang pokok
- Denda Bunga
: dihitung per bulan tergantung jumlah bunga
yang tertinggal atau 30/360 x tingkat bunga
x bunga tertunggak
Perhitungan Hutang Macet:
Hutang Pokok
= Rp.5.000.000.000,00
Hutang Bunga
= 270/360 x 24% x Rp.5.000.000.000,00 =
Rp.900.000.000,00
Denda Pokok
= 270/360 x 24% x 0,5 x Rp.5.000.000.000
= Rp.450.000.000,00
Pengurusan Piutang Negara
77
Denda Bunga
= Bunga tertunggak per bulan (debitor tidak
pernah melakukan pembayaran angsuran)
= 30/360 x 24% x Rp.5.000.000.000
= Rp. 100.000.000,00
Denda bunga bulan I
= 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.100.000.000,00
= Rp.1.000.000,00
Denda bunga bulan II
= 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.200.000.000,00
= Rp.2.000.000,00
Denda bunga bulan III = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.300.000.000,00
= Rp.3.000.000,00
Denda bunga bulan IV = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.400.000.000,00
= Rp.4.000.000,00
Denda bunga bulan V
= 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.500.000.000,00
= Rp.5.000.000,00
Denda bunga bulan VI = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.600.000.000,00
= Rp.6.000.000,00
Denda bunga bulan VII = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.700.000.000,00
= Rp.7.000.000,00
Denda bunga bulan VIII = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.800.000.000,00
= Rp.8.000.000,00
Denda bunga bulan IX = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.900.000.000,00
= Rp. 9.000.000,00
Total denda bunga
= Rp. 45.000.000,00
Total Hutang Bridging Loan:
Pokok
= Rp. 5.000.000.000,00
Bunga
= Rp. 900.000.000,00
Denda Bunga
= Rp.
45.000.000,00
Denda Pokok
= Rp. 450.000.000,00 +
= Rp. 6.395.000.000,00
Dari contoh perhitungan jumlah Piutang Negara Perbankan tersebut di
atas, jelas terlihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara
perhitungan menurut kreditor dengan perhitungan menurut PUPN/KP3N
sebagai berikut :
78
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
-
Menurut Bank (Kreditor) ………….. Rp.446.301,975,459,72
Menurut PUPN/KP3N ………….. Rp.253.220,585,145,47 _
Selisih …………. Rp.193.081,390,314,25
Selisih jumlah piutang negara yang cukup besar tersebut di atas (Rp
193.081,390,314,25), merupakan resiko yang harus ditanggung oleh PT.
Bank Raja Intan selaku kreditor sebagai akibat tidak segera menyerahkan
pengurusan kredit macetnya kepada PUPN sesuai ketentuan kolektibilitas
kredit perbankan yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
Adanya dan Besarnya Piutang Negara Non Perbankan
Sebagian besar Piutang Negara Non Perbankan (PNNP) timbul atas
dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk hutang pajak dan
Piutang Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebagai contoh adalah:
1.
Iuran Hasil Hutan (IHH) dan PSDH, dipungut dari Pemegang Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) dalam rangka reboisasi, pembangunan hutan
tanaman industri dan rehabilitasi lahan hutan. Dasar hukum pungutan
IHH dan PSDH adalah Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1990
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan
Presiden Nomor 32 Tahun 1998, beserta segenap peraturan
pelaksanaannya seperti Keputusan Menteri Kehutanan, Keputusan
Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan dan sebagainya.
2.
Sanksi denda atas pelanggaran ketentuan pasar modal yang terhutang
berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
Pasar Modal beserta segenap peraturan pelaksanaannya. Piutang Negara
yang diurus oleh PUPN/DJPLN berupa “sanksi denda” atas kelambatan
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1)
undang-undang tersebut.
3.
Tunggakan biaya perawatan dan obat, yang terhutang berdasarkan
pernyataan kesanggupan pasien untuk menyelesaikan segala biaya
perawatan yang dilengkapi dengan surat peringatan pembayaran dan
kwitansi penagihannya.
Dengan demikian bukti adanya PNNP selain atas dasar peraturan, juga
didasarkan atas sebab-sebab lain yang sah. Seperti surat pernyataan
kesanggupan membayar dari debitor (Penanggung Hutang), surat peringatan
pembayaran, dan lain-lain seperti Surat Perintah Kerja (SPK).
Pengurusan Piutang Negara
79
Selanjutnya kepastian besarnya PNNP dapat dibuktikan dengan
berbagai dokumen yang beragam dan tidak sama di antara masing-masing PP.
selain dokumen yang berupa rekening seperti rekening listrik, telepon, air,
dapat juga berupa surat pernyataan kesanggupan membayar dari pasien suatu
rumah sakit disertai rincian kwitansi, bon sementara, pinjaman (kepada
karyawan), uang muka (persekot) dan sebagainya.
Dokumen pendukung adanya dan besarnya PNNP sering kurang jelas
dan tidak lengkap, bahkan sering terjadi penyerahan tanpa dilengkapi dengan
dokumen pendukung. Hal ini dapat terjadi mengingat bidang usaha dan
kegiatannya tidak selalu menuntut adanya bukti otentik.
Besarnya PNNP dihitung berdasarkan perhitungan pada saat piutang
jatuh tempo. Dalam hal terdapat pembebanan BDO, maka perhitungan BDO
tersebut ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah piutang jatuh tempo,
kecuali ditetapkan tersendiri berdasarkan peraturan perundang-undang yang
berlaku.
Sebagai gambaran di bawah ini disampaikan contoh perhitungan
jumlah PNNP. Sesuai penyerahan pengurusan piutang Negara dari PP, telah
ditetapkan jumlah piutang negara sebagai berikut :
1. Kasus Pertama
- Nama Debitor
: PT Mainan Utama
- Penyerah Piutang
: Bodipam
- Jenis Piutang Negara
: Sanksi Denda atas pelanggaran ketentuan
pasar modal
- Surat Penyerahan
: S-1779/PM/2005 tanggal 06 Juni 2005
- Alamat Debitor
: Menara Imperium Lt.16 Suite B,
Metropolitan Kuningan Superblok Kav.1
Jl. HR. Rasuna Said, Jakarta
- Jumlah Penyerahan
:
Hutang Pokok
: Rp.46.000.000,00 (denda kelambatan
pembayaran
Bunga
: Rp.
920.000,00 (bunga 2%/bulan
sesuai Pasal 17 UU No.20/1997 tentang
PNBP)
- Jumlah Penetapan Piutang Negara
Ditetapkan sejumlah penyerahan, yaitu
Rp.46.000.000,00 + Rp.920.000,00 = Rp.46.920.000,00
80
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
2. Kasus Kedua
- Penyerah Piutang
: RSUP Flamboyan
- Debitor
: Tn. Ali
- Jenis Piutang Negara
: Tunggakan biaya perawatan dan obat
- Dasar Hukum Terjadinya Piutang : - Surat pernyataan kesanggupan
penyelesaian biaya-biaya
- Kwitansi tagihan
- Surat peringatan pembayaran
- Jumlah Penyerahan
:
Biaya Perawatan
: Rp.3.481.150,00
Biaya Obat
: Rp.1.018.850,00
Jumlah
: Rp.4.500.000,00
- Jumlah Penetapan Piutang Negara
Ditetapkan sejumlah penyerahan, yaitu Rp.4.500.000,00
3. Kasus Ketiga
- Penyerah Piutang
- Surat Penyerahan
- Debitor
- Jenis Piutang Negara
- Jumlah Penyerahan
Hutang Pokok
Bunga
Jumlah
: Dinas Kehutanan Jaya Mania
: 737/1./12 tanggal 30 Agustus 2000
: Harga Diri
: Tunggakan pembayaran DR dan IHH
:
: Rp.1.542.008.212,29
: Rp.3.532.649.170,39
: Rp.5.074.657,382,68
Perhitungan denda dikoreksi sesuai dengan Undang-undang Nomor 20
tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan ketentuan
bunga sebesar 2% per bulan paling banyak 24 bulan dari jumlah hutang,
sehingga sesuai surat Penyerah Piutang (Dinas Kehutanan Propinsi
Jayamania Nomor: 802/1.712 tanggal 14 September 2004, jumlah hutang
penyerahan ditetapkan sebagai berikut :
Hutang Pokok
= Rp.1.542.008.212,29
Bunga (2%, 24 Bulan)
= Rp. 740.211.941,90
+
Pengurusan Piutang Negara
81
Jumlah
= Rp.2.282.220.154,19
Sehingga jumlah piutang negara ditetapkan sebesar Rp.2.282,220,154,19
Hutang penyerahan semula sebesar
Rp 5.074.657.382,68
Ditetapkan sebesar ……..………….. Rp 2.282.220.154,19 _
Selisih ......……….. Rp 2.792.437.228,49
Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara
Dalam setiap kasus piutang negara yang diterima dan dilakukan
pengurusannya oleh PUPN/DJPLN dikenakan pungutan negara yang disebut
Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN). Biad PPN ini
secara resmi dibebankan kepada debitor, bukan kepada kreditor. Biad PPN ini
termasuk kategori penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak. Ketentuan tentang Biad PPN telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Keuangan.
Biad PPN diatur dalam Pasal 4 ayat (5), huruf g, h, i dan j.
Secara garis besar dapat dijelaskan bahwa terdapat 4 (empat) macam
tarif Biad PPN, yaitu sebesar 0%, 1%, 10% dan 2,5%. Untuk jenis PNBP
mana saja masing-masing tarif tersebut diterapkan? Hal tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Tarif 0% diterapkan apabila debitor telah melunasi hutangnya sebelum
kasus hutangnya secara resmi diterima oleh PUPN/DJPLN. Penerimaan
Kasus Piutang Negara ditandai dengan diterbitkannya Surat Penerimaan
Pengurusan Piutang Negara atau disingkat SP3N. SP3N ditanda tangani
oleh Ketua PUPN Cabang dan merupakan “peristiwa hukum” teramat
penting yang mendahului pembuatan PB. Dengan terbitnya SP3N, maka
dalam penagihan / penyelesaian piutang negara berlaku rezim hukum
PUPN, tidak lagi berlaku rezim hukum perdata sebagaimana diatur dalam
Buku III KUHP tentang Perikatan (Verbintenis).
2. Tarif 1% diterapkan apabila debitor melunasi seluruh hutangnya dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan yang dihitung dari sejak tanggal diterbitkannya
SP3N.
82
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
3. Tarif 10% diterapkan apabila debitor melunasi seluruh hutangnya dalam
jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan yang dihitung dari sejak tanggal
diterbitkannya SP3N.
4. Tarif 2,5% diberlakukan apabila kreditor melakukan penarikan kasus
piutang negara yang sedang dilakukan pengurusannya oleh PUPN /
DJPLN dengan alasan untuk dilakukan upaya penyehatan terhadap usaha
debitor dengan jalan rescheduling, restructuring, ataupun reconditioning
(3R). Biad 2,5% dihitung dari sisa hutang yang masih harus diselesaikan
oleh debitor yang bersangkutan.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya pengenaan Biad PPN memberikan suatu penegasan sekaligus
suatu ciri khusus bahwa telah terjadi perubahan status hukum yang semula
berupa perjanjian utang piutang biasa antara kreditor dan debitor
(hubungan hukum perdata) berubah menjadi hubungan hukum publik,
yaitu antara Negara yang diwakili PUPN/DJPLN sebagai kreditor baru
dengan debitor selaku warga negara pada umumnya.
2. Melihat susunan tarif Biad PPN, terkandung unsur “Reward and
Punishment”, dalam arti debitor yang segera melunasi hutangnya akan
memperoleh tarif yang lebih rendah, bahkan nol persen, jika dibandingkan
dengan debitor yang lamban dalam menyelesaikan hutangnya. Disini
tercermin adanya azas pengurusan piutang negara yang cepat, efektif,
efisien dengan hasil yang optimal.
3. Biad PPN merupakan PNBP yang dibebankan kepada debitor sehingga
negara memperoleh tambahan penerimaan dengan jumlah yang tidak kecil,
di samping hasil utama yang diperoleh berupa piutang negara yang
berhasil ditarik kembali /diamankan.
Uraian lebih lengkap tentang Biaya Administrasi Pengurusan Piutang
Negara terdapat pada Bab 13.
Pengurusan Piutang Negara
83
Rangkuman
Tujuan yang hendak dicapai dalam pengurusan piutang negara tidak
terlepas dari tujuan dibentuknya PUPN, yaitu melakukan pengurusan piutang
negara secara singkat dan efektif dengan hasil yang optimal, terutama terhadap
Penanggung Hutang yang “nakal”, yang dengan segala tindakannya terangterangan merugikan negara. Walaupun demikian, pelaksanaan pengurusan
piutang negara tetap memperhatikan azas-azas kepatutan, keadilan, serta
dengan memberikan kepastian hukum kepada para Penanggung Hutang. Hal
ini tidak terlepas dari keseluruhan sistem Pengelolaan Keuangan Negara yang
harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif,
efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab, dengan memperhatikan
rasa keadilan dan kepatutan. Tidak hanya hak negara untuk menagih piutang
negara saja yang ditonjolkan, tetapi hak-hak debitor harus juga diperhatikan
sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan.
Agar tujuan pengurusan piutang negara dapat diwujudkan dengan
sebaik-baiknya, maka dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan azas-azas atau
prinsip-prinsip pokok sebagai berikut:
1. Prosedur pengurusan piutang negara secara khusus dengan menggunakan
prinsip cepat, efektif, dan efisien (lex specialis) dan tidak menggunakan
prosedur biasa yang tersedia dalam Hukum Acara Perdata biasa (lex
generalis). Hal ini dilakukan dengan menempuh prosedur:
Ø Pembuatan Pernyataan Bersama;
Ø Surat Paksa;
Ø Sita dan Lelang;
Ø Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia; dan
Ø Penyanderaan/Paksa Badan.
2. Piutang negara yang diurus oleh PUPN adalah piutang negara yang telah
macet. Untuk piutang negara perbankan, ukuran yang digunakan untuk
mengetahui apakah suatu piutang telah termasuk kategori piutang macet
adalah dengan memperhatikan ketentuan kolektibilitas kredit perbankan
yang diatur oleh Bank Indonesia;
3. Kepastian menurut hukum mengenai adanya dan besarnya piutang negara
yang dibuktikan dan didukung oleh dokumen-dokumen yang mendasari
terjadinya piutang (perjanjian kredit, misalnya) dan dokumen-dokumen
yang menunjukkan besarnya piutang (misalnya rekening koran);
84
Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara
4. Adanya pungutan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad
PPN), yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dimana
di dalamnya terdapat unsur “reward and punishment” sebagai insentif
bagi debitor yang bersedia untuk segera menyelesaikan hutangnya.
- o0o -
Latihan
Untuk mengingatkan kembali materi yang telah anda pelajari, kerjakanlah
latihan di bawah ini:
1. Jelaskan apa yang menjadi tujuan pengurusan piutang negara!
2. Sebutkan 4 (empat) azas yang harus diperhatikan oleh PUPN/DJPLN
dalam melakukan pengurusan piutang negara!
3. Dapatkah Pernyataan Bersama disamakan dengan novasi (pembaharuan)
piutang yang lazim digunakan dan dikenal dalam hukum perdata di
Indonesia? Jelaskan pendapat anda!
4. Dasar timbulnya Piutang Negara Perbankan (PNP) berasal dari Perjanjian
Kredit (PK) yang dibuat oleh pihak kreditor dengan pihak debitor. Jelaskan
apa yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian, termasuk PK,
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP)
di Indonesia! Bagaimana kaitannya dengan pengurusan piutang negara?
5. Apakah yang menjadi isi pokok Pernyataan Bersama itu? Bagaimana
kedudukan Pernyataan Bersama dalam konstelasi hukum di Indonesia,
jelaskan jawaban anda!
- o0o -
BAB 4
INSTANSI YANG MENGURUS
PIUTANG NEGARA BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 49 PRP.
TAHUN 1960
Sasaran Pembelajaran
Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III
Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan
memahami instansi yang mengurus piutang negara berdasarkan Undang-undang
Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, serta sejarah dan
perkembangan kelembagaannya.
Pendahuluan
86
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
Sesuai dengan amanat Pasal 1 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun
1960 tentang PUPN, Pemerintah1 selaku pemegang kewenangan eksekutif
telah membentuk Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Tugas utama PUPN
adalah melakukan pengurusan piutang negara dengan cara yang cepat dan
efektif dalam rangka pengamanan Keuangan Negara.
Tugas PUPN dalam pengurusan piutang negara diwujudkan dalam
penerbitan produk-produk hukum sebagai dasar pengurusan piutang negara,
sedangkan operasionalisasi atas produk-produk hukum tersebut dilaksanakan
oleh suatu Badan yang disebut Badan Pelaksana Administrasi (BPA). BPA ini
dalam perjalanan waktu telah beberapa kali mengalami reorganisasi, yaitu
berubah menjadi Badan Urusan Piutang Negara (BUPN), kemudian menjadi
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, dan terakhir berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 jo Keputusan Presiden Nomor 10
Tahun 2005 berubah lagi menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang
Negara (DJPLN).
Perkembangan kelembagaan PUPN dan Badan Pelaksana Administrasi
tersebut akan diuraikan lebih rinci berikut ini.
Perkembangan Kelembagaan Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN)
Perkembangan kelembagaan PUPN dapat dibagi dalam dua periode,
yaitu periode tahun pembentukan PUPN sampai dengan tahun 2002, dan
periode setelah tahun 2002 sampai dengan saat ini. Masing-masing periode
perkembangan tersebut diuraikan secara lengkap berikut ini.
Perkembangan PUPN sampai dengan Tahun 2002
Sebagaimana uraian latar belakang terbitnya Undang-undang Nomor
49 Prp. Tahun 1960 pada Bab 2, berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959, negara Indonesia kembali ke keadaan tertib sipil mulai tanggal 16
Desember 1960. Dalam situasi tertib sipil tersebut, maka dasar hukum yang
memayungi Keputusan Penguasa Perang Pusat (yaitu Undang-undang Dasar
Sementara Tahun 1950) menjadi tidak berlaku lagi. Oleh karena itu, seluruh
1
Pada tahun terbitnya Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, Pemerintahan masih
dipimpin oleh Menteri Pertama (atau Perdana Menteri), dan bukan oleh Presiden.
Pengurusan Piutang Negara
87
Keputusan Penguasa Perang Pusat berikut semua aturan pelaksanaannya juga
tidak akan berlaku lagi.
Salah satu keputusan yang telah diterbitkan oleh Penguasa Perang
Pusat adalah Keputusan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat
Nomor Kpts/Peperpu/0241/1958 tanggal 6 April 1958 tentang Pembentukan
Panitia Penyelesaian Piutang Negara.
Keputusan tersebut mengatur
pembentukan Panitia Penyelesaian Piutang Negara dengan tugas melakukan
penyelesaian piutang negara dengan cara Parate Eksekusi, (melaksanakan
sendiri putusan-putusannya seperti surat paksa, sita, lelang dan keputusan
hukum lainnya tanpa harus meminta bantuan lembaga peradilan).
Tidak terkecuali, dalam keadaan negara yang tertib sipil, keputusan
Penguasa Perang Pusat tentang pembentukan Panitia Penyelesaian Piutang
Negara tersebut juga tidak akan berlaku lagi. Namun demikian, tugas dan
kewenangan Panitia Penyelesaian Piutang Negara (P3N) untuk menyelesaikan
piutang (tagihan-tagihan) negara secara cepat dan efisien masih dipandang
relevan untuk tetap dilaksanakan. Oleh karena itu, sebelum Keputusan
Penguasa Perang Pusat tersebut dicabut, maka dipandang perlu untuk
menyusun suatu ketentuan pengganti yang dapat mempertahankan eksistensi
tugas dan kewenangan pengurusan piutang negara yang cepat dan efisien.
Pada tanggal 14 Desember 1960, dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang, Pemerintah membentuk Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN) sebagai pengganti P3N. Guna melestarikan dan
mempertahankan eksistensi kewenangan P3N, maka PUPN juga diberikan
kewenangan parate eksekusi dalam melaksanakan tugasnya.
Susunan keanggotaan PUPN adalah:
1. Dua Pejabat Departemen Keuangan.
2. Seorang Pejabat Bank Indonesia.
3. Seorang Pejabat Sekretariat Negara.
4. Seorang Pejabat Angkatan Perang.
5. Seorang Pejabat Kejaksaan Agung.
Untuk memudahkan pengurusan piutang negara di seluruh Indonesia,
telah dibentuk PUPN Cabang di masing-masing ibukota provinsi. Hal tersebut
sejalan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 49 Prp tahun
1960, yang mengatur bahwa, ”Bila dianggap perlu, di Daerah-daerah Tingkat
I, dapat dibentuk Cabang PUPN dengan keputusan Menteri Keuangan”.2
2
Sejak diberlakukannya asas desentralisasi dan otonomi daerah dalam sistem pemerintahan
negara, wilayah Daerah Tingkat I sudah ditiadakan dan penggunaan terminologi wilayah
88
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) tersebut, Menteri Keuangan
menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-731/MK/7/10/1969
tanggal 21 Oktober 1969 yang mengatur tentang organisasi, tata kerja, dan
keanggotaan organisasi PUPN Pusat dan PUPN Cabang di Daerah Tingkat I.
PUPN Cabang yang dibentuk atas usul Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I, adalah organisasi pelaksana yang secara Organisasi dan
Administrasi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua PUPN
Pusat. Adapun susunan keanggotaan PUPN Cabang adalah:
1. Dua Pejabat Departemen Keuangan;
2. Seorang Pejabat Bank Indonesia;
3. Seorang Pejabat Angkatan Perang;
4. Seorang Pejabat Kepolisian;
5. Seorang Pejabat Pemerintah Daerah; dan
6. Seorang Pejabat Kejaksaan Tinggi.
Untuk setiap anggota ditunjuk juga anggota penggantinya.
Tugas PUPN dalam pengurusan piutang negara diwujudkan dalam
penerbitan produk-produk hukum sebagai dasar pengurusan piutang negara,
sedangkan operasionalisasi atas produk-produk hukum tersebut dilaksanakan
oleh suatu Badan yang disebut Badan Pelaksana Administrasi (BPA). BPA
dipimpin oleh seorang anggota PUPN dari Departemen Keuangan. Kegiatan
operasional BPA tersebut, juga kegiatan PUPN dibiayai dengan menggunakan
dana yang bersumber dari pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan
Piutang Negara (Biad PPN) dari Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang.
Sebelum tahun 1974 susunan organisasi departemen belum seragam
dan masih banyak yang berupa jawatan-jawatan serta belum mengadopsi
sistem eselonering jabatan. Pada tahun 1974 dengan Keputusan Presiden
Nomor 44 dan 45 tahun 1974 Pemerintah melakukan penyeragaman susunan
organisasi departemen. Penyeragaman organisasi tersebut berupa: setiap
Departemen dipimpin oleh Menteri dengan Staf pembantunya yang terdiri dari
Sekretariat Jenderal, Direktorat-direktorat Jenderal dan Badan-badan. Pejabatpejabatnya masing-masing disebut Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal dan
Kepala-Kepala Badan yang dalam eselonering jabatan ditetapkan sebagai
Eselon I.
Provinsi tetap dipertahankan. Oleh karena itu, saat ini wilayah administrasi pemerintahan
yang dipimpin oleh Gubernur adalah Provinsi.
Pengurusan Piutang Negara
89
Untuk mengantisipasi pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 44 dan
Nomor 45 tahun 1974, pada tanggal 30 Mei sampai dengan 1 Juni 1974 telah
diadakan musyawarah kerja PUPN seluruh Indonesia di Pandaan Jawa Timur.
Dalam musyawarah kerja tersebut telah dibicarakan kebijakan-kebijakan dan
strategi untuk mempertahankan eksistensi PUPN dan BPA. Hasil-hasil
musyawarah kerja tersebut, berikut tembusan surat rekomendasi dari Ketua
BPK yang ditujukan kepada Presiden Nomor 861/5/8/1974 tanggal 20 Agustus
1974, dijadikan dasar oleh Departemen Keuangan untuk mengusulkan kepada
Pemerintah agar melakukan reorganisasi PUPN dan BPA. Berdasarkan usul
Departemen Keuangan tersebut, lahirlah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun
1976.
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 menetapkan sekaligus
dalam satu keputusan pembentukan PUPN dan Badan Urusan Piutang Negara
(BUPN). Dalam Keputusan Presiden tersebut ditetapkan antara lain:
1. pencabutan Keputusan Menteri Pertama Nomor 454/M-P/1961;
2. pembentukan PUPN yang bersifat interdepartemental sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960;
3. kedudukan Kepala BUPN adalah setingkat Direktur Jenderal pada
Departemen Keuangan. Dengan demikian, tingkatan Kepala BUPN
tersebut adalah Eselon I. Kepala BUPN secara Ex Officio adalah Ketua
PUPN Pusat;
4. di beberapa Daerah Tingkat I dibentuk Kantor Wilayah BUPN. Kepala
Kantor Wilayah BUPN secara Ex Officio menjabat Ketua Cabang PUPN.
Menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976, Menteri
Keuangan menerbitkan dua keputusan yaitu Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 517/MK/IV/4/1976 tentang Tata Kerja dan Organisasi BUPN dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-1075/MK/IV/8/1976 tentang
Organisasi Dan Tata Kerja PUPN.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-1075/MK/IV/8/1976 pada
pokoknya berisi ketentuan sebagai berikut:
1. Pencabutan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
KEP731//MK/7/10/1969.
2. Di daerah Tingkat I dapat dibentuk Cabang PUPN yang bertanggung
jawab kepada PUPN Pusat secara organisatoris, administratif dan operatif.
3. Di daerah Tigkat II dapat dibentuk Team atau Pejabat Pelaksana Daerah.
4. Untuk kelancaran tugas PUPN Pusat dan Cabang dapat diangkat seorang
Pejabat sebagai Sekretaris PUPN Pusat dan Sekretaris Cabang PUPN.
90
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
5. PUPN Pusat berkewajiban menyampaikan laporan kepada Menteri
Keuangan dan BPK.
6. PUPN Cabang dibentuk oleh Menteri Keuangan berada di Wilayah dan
bertanggung jawab kepada PUPN Pusat.
7. Susunan Organisasi PUPN Cabang adalah sebagai berikut:
a. Seorang Ketua yang merangkap sebagai anggota. Secara ex officio
Kepala Kanwil BUPN menjadi Ketua Cabang PUPN.
b. Seorang wakil dari ABRI sebagai anggota. Umumnya wakil dari ABRI
adalah Kepala Oditurat Militer setempat.
c. Seorang wakil Pemda Tingkat I sebagai anggota. Umumnya wakil dari
Pemda Tingkat I tersebut adalah Kepala Inspektorat Wilayah Pemda
Tingkat I
d. Seorang wakil dari Kejaksaan Tinggi sebagai Anggota. Umumnya,
wakil dari Kejaksaan Tinggi tersebut adalah Asisten Perdata dan Tata
Usaha Negara.
e. Seorang wakil dari Bank Indonesia. Umumnya wakil dari Bank
Indonesia adalah Pimpinan BI setempat.
Setelah melampaui waktu yang cukup lama, yaitu + 15 tahun, sejak
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 ditetapkan, pada tahun 1989
Menteri Keuangan menetapkan kebijakan baru untuk mempertahankan
eksistensi PUPN/BUPN. Bahkan, pada tingkat yang sangat menyakinkan,
kebijakan tersebut juga mencakup peningkatan segala sesuatu yang terkait
dengan institusi PUPN, seperti reorganisasi, peningkatan dan penambahan
kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM), pencukupan secara
bertahap sarana dan prasarana yang diperlukan, penciptaan suasana yang
kondusif, dan tertib administrasi di masing-masing kantor.
Langkah pertama yang diputuskan oleh Menteri Keuangan di bidang
pembenahan organisasi adalah pengalihan secara “Bedol Deso” Unit Lelang
Negara dari Direktorat Jenderal Pajak ke Badan Urusan Piutang Negara pada
tahun 1990. Secara “Bedol Deso” berarti seluruh perangkat lelang negara di
seluruh Indonesia meliputi organisasi, jabatan dan pejabatnya, peralatan
kantor, sarana dan prasarana dialihkan dari Ditjen Pajak ke BUPN. Selain itu,
di bidang SDM pembenahan dilakukan dengan ditariknya atau
dibebastugaskannya pimpinan teras di kantor Pusat BUPN maupun di 5 (lima)
pimpinan Kantor Wilayah BUPN, sebagai gantinya ditunjuk pejabat-pejabat
dari Direktorat Jenderal Moneter, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat
Jenderal Anggaran, dan Bapeksta Departemen Keuangan.
Pengurusan Piutang Negara
91
Langkah berikutnya adalah melaksanakan reorganisasi struktur BUPN
menjadi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) melalui
penerbitan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 tanggal 1 Juni 1991.
Ketentuan yang dicabut dari Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976
adalah ketentuan yang mengatur tentang Badan Urusan Piutang Negara
(BUPN). Sedangkan ketentuan tentang PUPN Pusat tidak dicabut, sehingga
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 masih berlaku. Dengan demikian
struktur organisasi PUPN Pusat didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor
11 Tahun 1976, sedangkan struktur organisasi BUPLN didasarkan pada
Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991.
Penjelasan lebih lanjut mengenai struktur organisasi BUPLN,
perbedaan-perbedaannya dengan struktur organisasi BUPN, pendekatan yang
dilakukan dalam penyusunan struktur organisasi, dan sebagainya akan
diuraikan dalan sub bab perkembangan kelembagaan DJPLN berikutnya.
Sementara itu, pengaturan tentang organisasi dan tata kerja PUPN
dilakukan kembali oleh Menteri Keuangan pada tahun 1993 dengan
menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 294/KMK.09/1993 tanggal
27 Pebruari 19993. Isi dari keputusan tersebut antara lain:
1. PUPN, sesuai dengan Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960 bersifat
interdepartemental,
2. PUPN terdiri dari PUPN Pusat, PUPN Wilayah dan PUPN Cabang.
3. PUPN Pusat berkedudukan di Pusat sesuai Keputusan Presiden Nomor 11
tahun 1976. PUPN Wilayah berkedudukan di masing-masing Kantor
Wilayah, PUPN Cabang berkedudukan di masing-masing Kantor
Operasional DJPLN (saat itu bernama Kantor Pelayanan Pengurusan
Piutang Negara /KP3N).
4. PUPN Cabang di bawah koordinasi PUPN Wilayah namun bertanggung
jawab kepada PUPN Pusat.
5. PUPN berwenang mengurus Piutang Negara macet milik Bank-bank
Pemerintah dan Badan-badan Usaha Milik Negara/Daerah non perbankan
serta Instansi Pemerintah, yang pengurusannya telah diserahkan
berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960.
6. Kewenangan sebagaimana dimaksud pada poin 5 di atas dilaksanakan oleh
PUPN dengan cara:
a. Menerbitkan Pernyataan Bersama yang ditandatangani Ketua PUPN
dan Penanggung Hutang/Penjamin Hutang atau
92
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
b. Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) yang ditandatangani oleh
Ketua PUPN dalam hal PB tidak dibuat berdasarkan alasan-alasan
yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
7. Pernyataan Bersama pada angka 6 di atas dilaksanakan dengan
menerbitkan Surat Perintah/ Keputusan:
a. Surat Paksa.
b. Surat Perintah Penyitaan.
c. Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan.
d. Surat Perintah Penangkalan Sita.
e. Surat Perintah Penyanderaan.
f. Surat Keputusan Pernyataan Lunas PN.
8. PUPN Pusat berkedudukan di Ibu Kota Negara sebagaimana ditetapkan
dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976
a. PUPN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri
Keuangan.
b. Wilayah kerja PUPN Pusat meliputi wilayah Kerja BUPLN.
c. Susunan keanggotaan PUPN Pusat adalah sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976.
d. PUPN dibantu oleh Sekretaris.
9. PUPN Wilayah
a. Berkedudukan di tingkat Kanwil BUPLN.
b. Berada di bawah dan bertanggung jawab kepada PUPN Pusat.
c. Wilayah kerja PUPN Wilayah adalah wilayah kerja Kanwil BUPLN.
d. Kepala Kanwil BUPLN karena jabatannya adalah Ketua PUPN
Wilayah.
e. Susunan keanggotaannya terdiri :
o Seorang Ketua merangkap Anggota.
o Seorang Anggota dari ABRI.
o Seorang Anggota dari Bank Indonesia setempat.
o Seorang Anggota dari Kejaksaan Tinggi setempat.
o Seorang Anggota dari Pemda Tingkat I.
o Seorang Anggota dari Departemen Keuangan.
o Kepala Bidang Informasi dan Hukum Kanwil karena jabatannya
adalah Sekretaris PUPN Wilayah.
10. PUPN Cabang
Pengurusan Piutang Negara
93
a. PUPN Cabang adalah Panitia di tingkat KP3N. Berada di bawah
koordinasi PUPN Wilayah dan bertanggung jawab kepada Ketua
PUPN Pusat.
b. Wilayah kerjanya adalah Wilayah kerja KP3N.
c. Tempat kedudukannya adalah tempat kedudukan KP3N.
d. Kepala KP3N karena jabatannya adalah Ketua PUPN Cabang.
e. Susunan keanggotaan PUPN Cabang terdiri dari :
o Seorang ketua merangkap anggota.
o Seorang anggota dari ABRI.
o Seorang anggota dari Bank Indonesia setempat.
o Seorang anggota dari Kejaksaan Tinggi setempat.
o Seorang anggota dari Pemda Tingkat I.
f. Ketua PUPN Pusat dapat menunjuk salah seorang wakil dari instansi
tersebut di atas sebagai Ketua PUPN Cabang.
g. Kepala Seksi/Kepala Sub Seksi Informasi dan Hukum pada KP3N,
karena jabatannya adalah Sekretaris PUPN Cabang.
h. Pada tahun 1998 peranan, tugas dan kedudukan Panitia Urusan Piutang
Negara yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
294/KMK.09/1993 tanggal 27 Pebruari 1993 dipandang perlu untuk
ditinjau kembali. Peninjauan kembali dimaksud dilakukan dengan
penerbitan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 381/KMK.09/1998.
Isi Keputusan Menteri Keuangan tersebut antara lain adalah:
1) PUPN terdiri PUPN Pusat dan PUPN Cabang. Dasar hukum PUPN
Pusat adalah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976,
sedangkan PUPN Cabang di mana KP3N berada disitulah
keberadaannya. Oleh karena itu, Kepala KP3N karena jabatannya
adalah Ketua PUPN Cabang. Adapun PUPN Wilayah dihapuskan.
2) Susunan keanggotaan PUPN Pusat terdiri dari:
o Seorang Ketua merangkap anggota.
o Seorang wakil dari Departemen Keuangan.
o Seorang wakil dari unsur ABRI.
o Seorang wakil dari Kejagung.
o Seorang wakil dari Bank Indonesia.
Ditegaskan juga dalam surat keputusan ini tentang Pemberdayaan
tugas
Sekretaris
PUPN
dalam
bidang
teknis
operasional/Pengurusan Piutang Negara.
94
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
3) Jabatan Sekretaris, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Cabang,
di samping memberikan pelayanan dan dukungan teknis
administratif juga memberikan pelayanan dan dukungan teknis
operasional. Oleh karena itu, Sekretaris PUPN Pusat adalah
Sekretaris BUPLN dalam tugas operasional PUPN dibantu oleh
Kepala Biro teknis pada kantor Pusat. Sedangkan di tingkat PUPN
Cabang yang menjabat Sekretaris adalah Kepala Seksi/Sub Seksi
Piutang Perbankan KP2LN dengan tujuan untuk dapat membantu
pelayanan dan dukungan baik teknis administratif maupun teknis
operasional Pengurusan Piutang Negara.
4) Keputusan PUPN Cabang adalah merupakan putusan final.
5) Terdapat penegasan bahwa Anggota PUPN Cabang dari unsur
ABRI adalah Oditurat Militer, dari unsur Kejati/Kejari adalah
Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara, dari unsur Pemda Tk I/Tk.
II adalah Inspektur Wilayah.
6) PUPN Cabang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan
Keputusan-keputusan hukum yang terdiri dari:
a) Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N);
b) Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara;
c) Pernyataan Bersama;
d) Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN);
e) Surat Paksa (SP);
f) Surat Perintah Penyitaan (SPP);
g) Surat Perintah Pengangkatan Sita (SPPS);
h) Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS);
i) Surat Perintah Penyanderaan.
7) Wilayah kerja PUPN Cabang adalah wilayah kerja KP3N.
8) Susunan keanggotaan PUPN Cabang adalah:
a) Seorang Ketua merangkap anggota.
b) Seorang anggota wakil dari unsur ABRI.
c) Seorang anggota wakil dari Kejati.
d) Seorang anggota wakil dari Bank Indonesia.
e) Seorang anggota wakil dari Pemerintah Daerah.
9) Apabila berhalangan sementara:
a) Ketua PUPN Pusat menunjuk Pejabat Penggantinya dari salah
satu anggota PUPN Pusat.
Pengurusan Piutang Negara
95
b) Ketua PUPN Cabang menunjuk pejabat penggantinya dari salah
satu anggota PUPN Cabang.
10) Apabila berhalangan tetap, maka:
a) Ketua PUPN ditunjuk Pejabat Penggantinya oleh Menteri
Keuangan.
b) Ketua PUPN Cabang ditunjuk pejabat penggantinya oleh Ketua
PUPN Pusat.
Perkembangan PUPN Periode Setelah Tahun 2002 sampai
Sekarang (Pasca Keputusan Menteri Keuangan Nomor
61/KMK.08/2002 Juncto Keputusan Menteri Keuangan Nomor
533/KMK.08/2002).
Di depan telah secara panjang lebar diuraikan mengenai perkembangan
kelembagaan PUPN sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 sampai dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 381/KMK.09/1998. Dalam sub bab ini pembahasan akan difokuskan
pada organisasi dan tugas PUPN sebagaimana dimaksud pada Undang-undang
Nomor 49 Prp Tahun 1960 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
61/KMK.08/2002 tanggal 26 Pebruari 2002 jo Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 533/KMK.08/2002 setelah pembentukan Direktorat Jenderal Piutang
dan Lelang Negara sebagai pengganti Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 49 Prp
Tahun 1960 Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) adalah suatu organisasi
yang bersifat secara interdepartemental. Maksud dari sifat interdepartemental
seperti itu adalah bahwa keanggotaan PUPN berasal dari berbagai instansi
pemerintah, seperti Departemen Keuangan, Kejaksaan, Kepolisian, Bank
Indonesia dan Pemerintah Daerah.
Karena sifat kepanitiaan yang interdepartemental, maka pembentukan
PUPN Pusat dan Badan Pelaksana Administrasi PUPN dilakukan oleh Menteri
Pertama3 yang mengkoordinasikan kementrian-kementrian negara melalui
Keputusan Nomor 454/MP/1960. Pada masa sekarang payung hukum PUPN
Pusat adalah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 dan PUPN Cabang
adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002.
3
Menteri Pertama adalah Kepala Pemerintahan pada sistem pemerintahan yang masih
berlaku pada tahun 1960, dan berdasarkan sistem negara Republik saat ini, kepala
pemerintahan tersebut dipegang oleh Presiden)
96
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 mengatur bahwa PUPN
bertugas mengurus Piutang Negara yang adanya dan besarnya sudah pasti
menurut hukum akan tetapi Penanggung Hutang tidak melunasi sebagaimana
mestinya. Pengurusan Piutang Negara tersebut dapat dilakukan PUPN
sepanjang ada penyerahan dari Penyerah Piutang yang terdiri dari Instansi
Pemerintah Pusat/Daerah atau Badan-badan yang secara langsung atau tidak
langsung dikuasai Negara dan Badan-Badan yang sebagian atau seluruhnya
milik Negara. Penyerahan pengurusan piutang negara tersebut oleh Penyerah
Piutang tersebut sifatnya wajib dan bukan pilihan (optional). Namun terdapat
klausul dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 bahwa pada tingkat
pertama apabila terdapat hutang macet harus diselesaikan terlebih dahulu oleh
Penyerah Piutang. Apabila Penyerah Piutang sudah berupaya sedemikian rupa
dan tidak ada hasilnya, terlebih-lebih apabila memang Debitur tersebut
termasuk Debitur nakal/On Will maka barulah piutang-piutang macet tersebut
diserahkan ke PUPN untuk ditetapkan menjadi Piutang Negara sepanjang telah
memenuhi segala persyaratan-persyaratan yang berlaku.
Selanjutnya, PUPN juga mempunyai tugas lainnya seperti:
1. mengurus Piutang-piutang Negara dengan tanpa menunggu penyerahan
dari Penyerah Piutang apabila ada cukup alasan yang kuat bahwa Piutangpiutang Negara tersebut harus segera diurus;
2. melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang/kredit-kredit yang telah
dikeluarkan oleh Negara/Badan-badan Negara apakah kredit benar-benar
dipergunakan sesuai syarat-syarat pemberian kredit;
3. dengan Keputusan Menteri Keuangan PUPN bertindak sebagai liquidator
atas Badan Negara yang telah diliquidasi;
4. menurut Penjelasan Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 PUPN
juga dapat melakukan Paksa Badan (Gijzeling).
Pada prakteknya butir 1 s.d. 4 di atas belum ada pelaksanaannya karena belum
ada juklaknya, sehingga PUPN hanya melakukan Pengurusan Piutang Negara
saja.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002
juncto Nomor 533/KMK.08/2002, Organisasi PUPN terdiri dari PUPN Pusat
dan PUPN Cabang. Materi pokok kedua ketentuan tersebut adalah
sebagaimana uraian berikut.
1. Organisasi PUPN Pusat
a. PUPN Pusat adalah PUPN sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan
Presiden Nomor 11 Tahun 1976 berkedudukan di Jakarta dengan
susunan keanggotaan sebagai berikut:
Pengurusan Piutang Negara
97
ü Seorang Ketua merangkap anggota.
ü Seorang wakil dari departemen Keuangan sebagai anggota.
ü Seorang wakil dari unsur polri sebagai anggota.
ü Seorang wakil dari unsur bank Indonesia sebagai anggota.
ü Seorang wakil dari unsur Kejaksaan Agung sebagai anggota.
b. Ketua PUPN Pusat secara ex officio adalah Direktur Jenderal Piutang
dan Lelang Negara.
c. Terdapat perubahan keanggotaan yaitu wakil dari unsur Hankam
diganti unsur Polri sebagai anggota.
d. Sekretaris PUPN Pusat secara ex officio adalah Sekretaris DJPLN.
Tugas Sekretaris terbatas hanya pada memberikan pelayanan dan
dukungan teknis administratif kepada Ketua PUPN Pusat sedangkan
pelayanan teknis operasional Pengurusan Piutang Negara dihilangkan
dari Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas.
e. Ketua PUPN Pusat dan anggota diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden. Walaupun demikian, PUPN Pusat berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan.
2. Organisasi PUPN Cabang
a. PUPN Cabang berkedudukan di semua Ibu Kota Provinsi, kecuali
untuk Provinsi Kalimantan Timur berkedudukan di Kota Balikpapan.
b. Di Ibu Kota Provinsi yang terdapat kantor Wilayah DJPLN Ketua
PUPN Cabang adalah Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
Adapun Kepala-Kepala KP2LN yang berada satu kota dengan Kanwil
DJPLN menjadi anggota PUPN Cabang. Dengan demikian terdapat 9
(sembilan) Ketua PUPN Cabang yang berasal dari Kepala Kanwil
DJPLN dan 21 (dua puluh satu) Ketua PUPN Cabang yang berasal dari
Kepala KP2LN .
c. Susunan keanggotaan PUPN Cabang terdiri adalah sebagai:
§ Seorang ketua merangkap anggota.
§ Seorang atau lebih wakil dari Departemen Keuangan.
§ Seorang wakil dari POLRI sebagai anggota.
§ Seorang wakil dari unsur Bank Indonesia setempat sebagai
anggota.
§ Seorang wakil dari unsur Kejaksaan Tinggi setempat sebagai
anggota.
§ Seorang wakil dari unsur Pemda setempat sebagai anggota.
98
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
d. Kepala Bagian Umum pada Kantor-kantor Wilayah DJPLN atau
Kepala Sub Bagian Umum pada KP2LN karena jabatannya adalah
Sekretaris PUPN Cabang yang memberikan pelayanan teknis
administratif PUPN Cabang saja dan tidak memberikan pelayanan
teknis operasional.
3. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, PUPN memiliki kewenangan untuk:
a. menerima/menolak/mengembalikan PPN;
b. membuat Pernyataan Bersama (PB);
c. menetapkan Jumlah Piutang Negara (PJPN);
d. mengeluarkan Surat Paksa (SP);
e. mengeluarkan Surat Perintah Penyitaan (SPP);
f. mengeluarkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS);
g. menetapkan/menolak penjualan barang jaminan;
h. menetapkan nilai limit lelang dan nilai pencairan di luar lelang;
i. meminta sita persamaan;
j. mengeluarkan surat perintah pengangkatan penyitaan;
k. menetapkan suatu piutang sebagai piutang untuk sementara belum
dapat ditagih (PSBDT);
l. mengeluarkan pernyataan Pengurusan Piutang Negara lunas/selesai;
m. menyetujui/menolak penarikan kembali Piutang Negara;
n. mengeluarkan surat perintah paksa badan;
o. mengaktifkan kembali pengurusan piutang yang telah dinyatakan
sebagai PSBDT.
Lebih lanjut, terdapat beberapa hal dari Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 61/MK.08/2002 tersebut di atas yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Pertanggungjawaban pekerjaan PUPN Cabang yang berada di kota yang
berbeda dengan tempat kedudukan Kantor Wilayah DJPLN, dilakukan
melalui Ketua PUPN Cabang yang dijabat oleh Kepala Kanwil.
2. Ketua dan Anggota PUPN Pusat diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
3. Anggota PUPN Pusat harus memenuhi persyaratan:
a. Berdinas aktif dan minimal eselon II.
b. Anggota dari Departemen Keuangan adalah Kepala Biro Hukum dan
Humas.
c. Anggota dari unsur POLRI adalah Pejabat DITSERSE.
d. Anggota dari unsur Bank Indonesia adalah Kepala Biro Kredit.
Pengurusan Piutang Negara
4.
5.
6.
7.
8.
9.
99
e. Anggota dari unsur Kejaksaan Agung adalah Direktur Pemulihan dan
Perlindungan Hak Jamdatun.
Ketua dan Anggota PUPN Cabang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua
PUPN Pusat atas nama Menteri Keuangan.
Anggota PUPN Cabang harus memenuhi persyaratan:
a. Berdinas aktif dan minimal eselon III.
b. Anggota dari Departemen Keuangan adalah Kepala KP2LN yang satu
kota dengan kantor Wilayah atau Kepala KP2LN yang tidak berada di
daerah tingkat I.
c. Anggota dari unsur POLRI adalah Kadit Serse atau Kasat Serse atau
Pejabat POLRI lainnya.
d. Anggota dari unsur Bank Indonesia adalah pemimpin Bank Indonesia
setempat atau Pejabat Bank Indonesia lainnya.
e. Anggota dari unsur Kejaksaan Tinggi adalah Asisten Perdata atau Tata
Usaha Negara setempat atau Pejabat lain yang setingkat.
Rapat PUPN dalam 1 (satu) tahun anggaran terdiri dari:
a. Rapat PUPN Pusat paling sedikit adalah 4 (empat) bulan sekali.
b. Rapat PUPN Cabang paling sedikit adalah 2 (dua) bulan sekali.
Apabila dianggap perlu, dapat diadakan rapat di luar jadwal yang telah
ditentukan.
Rapat PUPN Pusat membahas:
a. Rencana kerja tahunan.
b. Kebijaksanaan Pengurusan Piutang Negara.
c. Evaluasi Pengurusan Piutang Negara dan atau.
d. Materi lainnya yang dianggap perlu.
Rapat PUPN Cabang membahas :
a. Rencana kerja tahunan.
b. Evaluasi Pengurusan Piutang Negara.
c. Optimalisasi Pengurusan Piutang Negara dan atau
d. Penyelesaian Piutang Negara yang menurut pertimbangan Panitia perlu
dirapatkan.
Rapat PUPN dihadiri minimal 3 (tiga) anggota yang berasal dari 2 (dua)
unsur anggota atau lebih. Apabila anggota yang hadir tidak mencapai
quorum, diadakan rapat kedua yang harus dihadiri oleh minimal 2 (dua)
anggota yang berasal 2 (dua) unsur anggota yang berbeda. Hasil rapat
100
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
dinyatakan sah bila disetujui oleh minimal 2 (dua) anggota atau ¾ anggota
yang hadir.
Bila rapat kedua tetap tidak mencapai quorum, diadakan rapat ketiga tanpa
ada persyaratan quorum. Rapat di luar jadwal minimal harus dihadiri oleh
4 (empat) anggota. Hasil syah apabila disetujui minimal 3 (tiga) anggota
atau ¾ (tiga perempat) anggota yang hadir.
10. Tempat kedudukan PUPN Cabang di seluruh Indonesia berada di setiap
ibukota provinsi dan daerah kewenangannya meliputi daerah wewenang
provinsi yang bersangkutan. Namun demikian, terdapat pengecualian
tempat kedudukan PUPN Cabang, yaitu PUPN Cabang Provinsi
Kalimantan Timur yang berkedudukan di Balikpapan, bukan di Samarinda
yang merupakan Ibukota Provinsi Kalimantan Timur. Dengan demikian
PUPN Cabang di seluruh Indonesia berjumlah 30 (tiga puluh) PUPN
Cabang. Dari 30 (tiga puluh) PUPN Cabang, terdapat 9 (sembilan) PUPN
Cabang dengan Ketua yang dijabat oleh Kepala Kanwil DJPLN,
mengingat pada kota tempat kedudukan PUPN Cabang tersebut terdapat
Kantor Wilayah DJPLN. Berikut ini adalah tabel tentang tempat
kedudukan PUPN Cabang dan wilayah kerjanya.
Tabel 4.1. PUPN Cabang dengan Ketua yang Dijabat oleh Kepala Kanwil DJPLN
NO
PUPN CABANG
DAERAH WEWENANG
TEMPAT
KEDUDUKAN
1
2
3
4
1.
PUPN Cab. Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Utara
Medan
2.
PUPN Cab. Sumatera Selatan
Provinsi Sumatera Selatan
Palembang
3.
PUPN Cab. DKI Jakarta
Provinsi DKI Jakarta
Jakarta
4.
PUPN Cab. Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat
Bandung
5.
PUPN Cab. Jawa Tengah
Provinsi Jawa Tengah
Semarang
6.
PUPN Cab. Jawa Timur
Provinsi Jawa Timur
Surabaya
7.
PUPN Cab. Bali
Provinsi Bali
Denpasar
8.
PUPN Cab. Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Selatan
Makassar
9.
PUPN Cab. Sulawesi Utara
Provinsi Sulawesi Utara
Manado
Sumber:
Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
533/KMK.08/2002 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri
61/KMK.08/2002 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara
Nomor
Nomor
101
Pengurusan Piutang Negara
Tabel 4.2. PUPN Cabang dengan Ketua yang Dijabat oleh Kepala KP2LN
NO
PUPN CABANG
DAERAH WEWENANG
TEMPAT
KEDUDUKAN
1
2
3
4
1.
PUPN Cab. Nangroe Aceh
Darussalam
Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam
Banda Aceh
2.
PUPN Cab. Riau
Provinsi Riau
Pekanbaru
3.
PUPN Cab. Sumatera Barat
Provinsi Sumatera Barat
Padang
4.
PUPN Cab. Jambi
Provinsi Jambi
Jambi
5.
PUPN Cab. Bengkulu
Provinsi Bengkulu
Bengkulu
6.
PUPN Cab. Lampung
Provinsi Lampung
Bandar Lampung
7.
PUPN Cab. Bangka Belitung
Provinsi Bangka Belitung
Pangkal Pinang
8.
PUPN Cab. Banten
Provinsi Banten
Serang
1
2
3
4
9.
PUPN Cab. Daerah Istimewa
Yogyakarta
Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Kota
Megelang, Kab. Magelang,
Kab. Temanggung
Yogyakarta
10.
PUPN Cab. Kalimantan Barat
Provinsi Kalimantan Barat
Pontianak
11.
PUPN Cab. Kalimantan Tengah
Provinsi Kalimantan
Tengah
Palangkaraya
12.
PUPN Cab. Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan
Selatan
Banjarmasin
13.
PUPN Cab. Kalimantan Timur
Provinsi Kalimantan Timur
Balikpapan
14.
PUPN Cab. Nusa Tenggara
Barat
Provinsi Nusa Tenggara
Barat
Mataram
15.
PUPN Cab. Nusa Tenggara
Timur
Provinsi Nusa Tenggara
Timur
Kupang
16.
PUPN Cab. Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Tenggara
Kendari
17.
PUPN Cab. Sulawesi Tengah
Provinsi Sulawesi Tengah
Palu
102
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
18.
PUPN Cab. Gorontalo
Provinsi Gorontalo
Gorontalo
19.
PUPN Cab. Maluku
Provinsi Maluku
Ambon
20.
PUPN Cab. Maluku Utara
Provinsi Maluku Utara
Ternate
21.
PUPN Cab. Papua
Provinsi Papua
Jayapura
Sumber:
Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
533/KMK.08/2002 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri
61/KMK.08/2002 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara
Nomor
Nomor
11. Dalam PUPN Cabang yang secara ex-officio diketuai oleh Kepala Kanwil
DJPLN, Kepala KP2LN yang berkedudukan di kota yang sama dengan
Kepala Kantor Wilayah DJPLN, atau Kepala KP2LN yang berkedudukan
di luar ibukota Provinsi, statusnya dalam PUPN Cabang adalah sebagai
anggota. Tugas PUPN Cabang yang berupa penerbitan 15 produk hukum
sehari-hari dilaksanakan oleh Kepala KP2LN tersebut di atas. Namun,
berdasarkan Pasal 11 ayat (2), (3), dan (4) Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 61/KMK.08/2002 terdapat pengecualian akan hal-hal sebagai
berikut:
a. penandatanganan Pernyataan Bersama dan Surat Paksa dilakukan oleh
Ketua PUPN Cabang; dan
b. penetapan nilai limit lelang dan nilai pelepasan (pencairan) tidak
melalui lelang, kecuali pelepasan sebesar Hak Tanggungan, dimintakan
persetujuan kepada Ketua PUPN Cabang oleh Kepala Kantor Wilayah
DJPLN.
Seluruh pelaksanaan tugas PUPN Cabang yang diketuai oleh Kepala
KP2LN yang berkedudukan di ibukota Provinsi dilaksanakan sendiri oleh
Kepala KP2LN yang bersangkutan.
12. Untuk dapat mengerti uraian pada butir 11 di atas, berikut adalah contoh
yang terjadi dalam pengurusan piutang negara di Provinsi Jawa Tengah.
a. Ketua PUPN Cabang adalah Kepala Kanwil V DJPLN Semarang.
b. KP2LN yang berada di bawah koordinasi Kanwil V DJPLN Semarang
adalah KP2LN Semarang, KP2LN Tegal, KP2LN Purwokerto, KP2LN
Surakarta, KP2LN D.I.Yogyakarta, dan KP2LN Banjarmasin.
Kepala KP2LN yang menjadi anggota PUPN Cabang Jawa Tengah
adalah Kepala KP2LN Semarang, Kepala KP2LN Tegal, Kepala
KP2LN Purwokerto, dan Kepala KP2LN Surakarta, sedangkan:
1) Kepala KP2LN Banjarmasin menjadi Ketua PUPN Cabang
Kalimantan Selatan; dan
Pengurusan Piutang Negara
103
2) Kepala KP2LN Yogyakarta menjadi Ketua PUPN Cabang D.I.
Yogyakarta.
Seluruh tugas sehari-hari PUPN Cabang Jawa Tengah yang terkait
dengan penerbitan dan pelaksanaan 15 (lima belas) produk hukum
dilaksanakan oleh seluruh KP2LN yang menjadi anggotanya, sesuai
dengan wilayah kerja masing-masing. Pengecualian atas ketentuan
tersebut adalah penandatanganan Pernyataan Bersama (PB) dan Surat
Paksa (SP) yang dilakukan oleh Kepala Kanwil V DJPLN Semarang
selaku Ketua PUPN Cabang Jawa Tengah. Selain itu, penetapan nilai
limit lelang dan nilai pelepasan (pencairan) tidak melalui lelang,
kecuali pelepasan sebesar Hak Tanggungan, dimintakan persetujuan
kepada Kepala Kantor Wilayah V DJPLN selaku Ketua PUPN Cabang
Jawa Tengah.
Ketetapan tersebut membawa konsekuensi tidak efisien dan tidak
efektifnya pelaksanaan pengurusan Piutang Negara, khususnya
efisiensi yang terkait dengan penggunaan dana perjalanan dinas yang
tersedia baik di KP2LN maupun di Kantor Wilayah DJPLN
bersangkutan.
Seyogyannya Kepala Kanwil DJPLN tidak dibebani pekerjaan
pelaksanaan operasional pengurusan piutang negara, tetapi hanya
melaksanakan fungsi sebagai pembina, koordinator, pengendalian dan
pengawasan, serta menciptakan suasana yang kondusif pada kantorkantor operasional di wilayahnya. Penghapusan PUPN Cabang yang
ketuanya secara ex officio dijabat oleh Kepala Kantor Wilayah DJPLN
sudah pernah dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 381/KMK.09/1998. Dengan ketentuan tersebut, maka
keberadaan PUPN Cabang hanya terdapat pada seluruh KP3N di
seluruh Indonesia.
13. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 tersebut di atas
telah disempurnakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
533/KMK.08/2002. Perubahan yang dilakukan antara lain adalah:
a. Ketentuan Pasal 3 huruf J yang semula berbunyi “menetapkan nilai
limit lelang dan nilai pelepasan di luar lelang” diubah menjadi
“menetapkan nilai limit lelang dan nilai pencairan di luar lelang”.
b. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf b yang semula berbunyi
“menetapkan seorang wakil atau lebih dari unsur Departemen
Keuangan sebagai anggota” diubah menjadi “menetapkan seorang
atau lebih wakil dari unsur Departemen sebagai anggota”.
104
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
c. Ketentuan Pasal 10 ayat (6) yang semula berbunyi “Ketua PUPN
Cabang menunjuk/ mengangkat Staf Sekretariat sebanyak-banyaknya 5
(lima) orang” diubah menjadi “Pengangkatan Staf Sekretariat PUPN
Cabang dilakukan oleh Ketua PUPN Cabang dengan pertimbangan
efisiensi dan efektifitas”.
d. Ketentuan Pasal 11 ayat (4) yang semula berbunyi “hal-hal tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang harus dimintakan
persetujuan Ketua PUPN Cabang yang diketuai oleh Kepala Kanwil
adalah penetapan nilai limit lelang dan nilai pelepasan kecuali
pelepasan sebesar Hak Tanggungan” diubah menjadi “Hal tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang harus dimintakan
persetujuan Ketua PUPN Cabang yang diketuai oleh Kepala Kanwil
adalah Penetapan nilai limit lelang dan nilai pencairan kecuali
pelepasan sebesar Hak Tanggungan”.
e. Ketentuan Pasal 14 ayat (2) yang semula berbunyi “Calon anggota
yang mewakili unsur Pemerintah Daerah adalah Pejabat dari
Inspektorat Wilayah setempat atau Pejabat dari Badan Pertahanan
Nasional setempat” diubah menjadi “Calon anggota yang mewakili
unsur Pemerintah Daerah adalah Pejabat dari Inspektorat Wilayah
setempat atau Pejabat dari Badan Pertahanan Nasional setempat atau
Pejabat lain dari Pemerintah Daerah setempat yang setingkat”.
f. Isi lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002
Nomor 9 tentang tempat kedudukan PUPN Cabang Bangka Belitung
yang semula ditetapkan di Bangka, diubah menjadi di Pangkal Pinang.
g. Isi lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002
Nomor 30 tentang “wilayah kewenangan PUPN Cabang Irian Jaya
yang meliputi daerah wewenang Provinsi Irian Jaya, dan tempat
kedudukan PUPN Cabang Irian Jaya yang berada di Jaya Pura” diubah
menjadi “wilayah kewenangan PUPN Cabang Papua meliputi daerah
wewenang Propinsi Papua, dan tempat kedudukan PUPN Cabang
Papua berada di Jaya Pura”.
Perkembangan Kelembagaan Direktorat
Piutang dan Lelang Negara (DJPLN)
Jenderal
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa operasionalisasi atas
produk-produk hukum yang diterbitkan oleh PUPN dilaksanakan oleh suatu
Badan yang disebut Badan Pelaksana Administrasi (BPA). BPA tersebut,
Pengurusan Piutang Negara
105
dalam perjalanannya telah berkembang dan mengalami beberapa kali
reorganisasi, dan terakhir berubah menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara (DJPLN).
Perkembangan kelembagaan DJPLN dapat dibagi dalam dua periode,
yaitu periode tahun pembentukan PUPN sampai dengan tahun 1999, dan
periode tahun 1998 sampai dengan saat ini. Masing-masing periode
perkembangan tersebut diuraikan secara lengkap berikut ini.
Perkembangan Kelembagaan DJPLN sampai dengan Tahun 1999
Pasal 1 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN
menetapkan bahwa Menteri Pertama membentuk Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN). Menteri Pertama dengan keputusan Nomor 454/M.P/1961
menetapkan susunan keanggotaan PUPN secara interdepartemental.
Selanjutnya, Menteri Keuangan membentuk Badan Pelaksana
Administrasi (BPA) yang tugasnya menyelenggarakan tugas PUPN seharihari sebagaimana telah diuraikan pada Sub sebelum ini. BPA dipimpin oleh
Kepala Staf Administrasi yang membawahi Bagian Umum, Bagian Keuangan,
Bagian Pemeriksaan, Bagian Penyitaan dan Bagian Pengawasan. Hasil tugas
PUPN yang berupa Produk-produk Hukum Pengurusan Piutang Negara
pelaksanaan operasional dilakukan oleh Aparat BPA. Secara sederhana kalau
dibandingkan dengan lembaga peradilan produk-produk hukum putusan PUPN
adalah seperti perkara-perkara yang diputuskan oleh Majelis Hakim yang
kemudian pelaksanaan operasionalnya dilakukan oleh Panitera, Juru Sita
Pengadilan Negeri. Selanjutnya menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor
731/MK/7/10/1969 ditetapkan antara lain masing-masing Anggota PUPN
Pusat ditunjuk anggota pengganti, sedang BPA dipimpin oleh seorang anggota
PUPN yang berasal dari Departemen Keuangan. Dari segi pembiayaan segala
aktifitas PUPN dan BPA dibebankan kepada Penanggung Hutang/Debitur.
Setelah melampaui waktu yang cukup lama, yaitu kurang lebih 15
(lima belas) tahun sejak tahun 1961, dan mengingat pada tahun 1974
Pemerintah telah menetapkan keputusan-keputusan untuk menyeragamkan
susunan organisasi departemen-departemen dan menetapkan eselonering
jabatan, maka dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 Pemerintah
menetapkan organisasi PUPN dan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN)
yang mengadopsi susunan organisasi departemen. Isi dari Keputusan Presiden
tersebut antara lain:
1. Susunan organisasi Badan Urusan Piutang Negara (disingkat BUPN)
terdiri:
106
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
a. Kepala yang dirangkap Ketua PUN Pusat;
b. Sekretariat;
c. Direktorat Penetapan dan Penagihan Piutang Negara;
d. Direktorat Perbendaharaan Piutang Negara;
e. Direktorat Eksekusi dan Laporan;
f. Instansi vertikal di Daerah Tingkat I.
2. Kepala Badan kedudukannya setingkat Direktur Jenderal dan bertanggung
jawab kepada Menteri Keuangan.
3. Kepala Badan Urusan Piutang Negara diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.
4. Sekretaris, Kepala Direktorat, Kepala Kantor Wilayah BUPN didaerah
tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan.
5. Keputusan Menteri Pertama Nomor 454/MP/1961 dicabut.
Selanjutnya, dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep517/MK/IV/4/1976 telah ditetapkan susunan organisasi dan tata kerja BUPN.
Dalam Keputusan Menteri Keuangan dimaksud telah ditetapkan tugas, fungsi
dan susunan organisasi pada Sekretariat, Direktorat Penetapan dan Penagihan
Piutang Negara, Direktorat Perbendaharaan Piutang Negara, Direktorat
Eksekusi dan Laporan dan Kantor Wilayah BUPN di Daerah Tingkat I.
Susunan organisasi BUPN adalah sebagai berikut:
1. Sekretariat terdiri dari Bagian (3 Bagian) dan Sub Bagian (8 Sub Bagian);
2. Direktorat Penetapan dan Penagihan Piutang Negara terdiri dari Sub
Direktorat ( 2 Sub Dit) dan Seksi (5 Seksi);
3. Direktorat Perbendaharaan Piutang Negara terdiri dari Sub Direktorat (2
Sub Dit) dan Seksi (5 Seksi);
4. Direktorat Esekusi dan Laporan terdiri dari Sub Direktorat (2 Sub Dit) dan
Seksi (5 Seksi);
5. Kantor Wilayah BUPN di daerah tingkat I terdiri dari Bagian Umum (3
Sub Bagian) Bidang Penetapan dan Penagihan Piutang (2 Seksi), Bidang
Perbendaharaan Piutang Negara (2 Seksi), Bidang Eksekusi dan Laporan
(2 Seksi).
Susunan organisasi yang secara formal ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan tersebut pada pelaksanaan di lapangan, terutama pada
Kantor-kantor Wilayah BUPN tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Satu
Kepala Bagian Umum dan tiga Kepala Bidang tersebut tidak dilaksanakan
penunjukannya sesuai ketentuan, tetapi yang ada di lapangan adalah Kepala
Sub Bagian dan Kepala Seksi.
Pengurusan Piutang Negara
107
Di samping itu, fungsi Kantor Wilayah BUPN tidak berjalan sesuai
yang seharusnya, yaitu melakukan pembinaan, koordinasi dan pengawasan
Kantor-Kantor Operasional di wilayahnya. Kantor-Kantor Wilayah PUPN
pada saat itu masih melakukan operasionalisasi Pengurusan Piutang Negara.
Kantor-Kantor operasional pada waktu itu masih belum sepenuhnya berfungsi
sebagai kantor-kantor yang telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan
formal yang berlaku yaitu berupa Satgas BUPN.
Struktur Organisasi yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor
11 Tahun 1976 juga mengandung kelemahan-kelemahan karena struktur
organisasi tersebut disusun berdasarkan pendekatan “by process”. Dalam
pengurusan piutang negara, tahap pertama yang harus dilakukan adalah
menentukan besarnya piutang negara. Proses selanjutnya adalah penagihan
kepada Penanggung Hutang, dan kemudian bila diperlukan pelaksanaan
eksekusi. Proses pengurusan demikian yang menjadi dasar pemikiran dalam
penyusunan organisasi. Susunan organisasi pada lingkup Kantor Pusat BUPN
antara lain adalah Direktorat Penetapan dan Penagihan Piutang Negara, dan
Direktorat Eksekusi dan Laporan. Demikian pula pada struktur organisasi
Kanwil BUPN, terdapat Seksi Penetapan, Seksi Penagihan dan Seksi
Eksekusi.
Dengan susunan yang demikian maka Seksi Penagihan belum dapat
menjalankan tugasnya apabila Seksi Penetapan belum selesai melaksanakan
tugasnya. Demikian pula Seksi Eksekusi yang akan menunggu selesainya
Seksi Penagihan melakukan tugasnya. Situasi ini memperlambat penyelesaian
pengurusan piutang negara dengan cepat dan efisien, serta menimbulkan
ketidakjelasan tentang seksi mana yang harus dimintai pertanggungjawaban
atas terlambatnya pengurusan penyelesaian piutang negara atau hilangnya
sebagian dokumen dalam Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN).
Sistem kerja sebagaimana diuraikan di atas akan dapat berjalan dengan
baik apabila prinsip-prinsip KISS (Koordinasi, Integrasi, Simplifikasi dan
Sinkronisasi) diterapkan dengan ketat. Selain itu, sistem tersebut akan semakin
baik lagi apabila dilakukan sistem pengawasan melekat melalui penciptaan
“routing slip”, yaitu slip yang ditempelkan pada berkas di mana ada kewajiban
bagi petugas untuk menandatangani atau membubuhkan paraf pada slip
tersebut pada hari, tanggal, jam selesainya pelaksana yang bersangkutan
melaksanakan tugas.
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 dan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor Kep.517/MK/IV/4/1976 dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor Kep.1075/MK/IV/8/1976 berlaku dalam waktu yang cukup lama (yaitu
± 13 tahun) sampai dengan timbulnya pemikiran baru di tingkat pengambil
108
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
keputusan Departemen Keuangan. Pemikiran tersebut adalah mempertahankan
eksistensi PUPN, dan bahkan mengembangkannya. Masa yang cukup lama
tersebut adalah masa ”status quo” bagi BUPN, saat mana perkembangan
kelembagaan BUPN terhenti di segala bidang.
Didahului dengan pengisian jabatan-jabatan teras di Kantor Pusat
BUPN dan di Kantor-kantor Wilayah BUPN maka dimulailah pengembangan
di segala bidang sehingga pada tahun 1991 organisasi Badan Urusan Piutang
dan Lelang Negara (BUPLN) ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor
21 Tahun 1991 tanggal 1 Juni 1991. Isi dari Keputusan Presiden tersebut
antara lain:
1. Pencabutan ketentuan tentang BUPN dari Keppres Nomor 11 Tahun 1976
sedang PUPN Pusat tidak.
2. Susunan Organisasi BUPLN terdiri:
a. Kepala Badan
b. Sekretariat Badan
c. Biro Piutang Negara Perbankan
d. Biro Piutang Negara Non Perbankan
e. Biro Lelang Negara
f. Biro Informasi dan Hukum
g. Instansi Vertikal di daerah
3. BUPLN adalah badan yang berada di bawah dan bertanggungjawab
langsung kepada Menteri Keuangan.
4. BUPLN adalah badan yang bertugas menyelenggarakan pengurusan
piutang dan lelang negara. Dalam melaksanakan pengurusan piutang
negara, BUPLN melaksanakan penyelenggaraan tugas PUPN yang
hasilnya berupa produk-produk hukum PPN dan melaksanakan kebijakankebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
5. Kepala BUPLN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sedangkan
Sekretaris, Kepala-kepala Biro, dan Kepala Wilayah diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Keuangan.
Ketentuan tentang organisasi dan tata kerja BUPLN diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 940/KMK.01/1991 tanggal
12 September 1991. Isi Keputusan Menteri Keuangan tersebut antara lain
adalah:
1. BUPLN dipimpin oleh seorang Kepala Badan.
Pengurusan Piutang Negara
109
2. Susunan organisasi BUPLN terdiri dari Sekretariat, Biro Piutang Negara
Perbankan, Biro Piutang Negara Non Perbankan, Biro Lelang Negara, Biro
Informasi dan Hukum, Instansi vertikal di Wilayah.
3. Sekretariat terdiri dari:
a. Bagian Kepegawaian dan Organisasi
b. Bagian Keuangan
c. Bagian Perlengkapan
d. Bagian Tata Usaha dan Rumah Tangga.
Tiap Bagian terdiri 3 (tiga) Sub Bagian.
4. Biro Piutang Negara Perbankan terdiri dari:
a. Bagian Piutang Negara Perbankan I
b. Bagian Piutang Negara Perbankan II
c. Bagian Penataan Barang Jaminan
d. Sub Bagian Tata Usaha
e. Kelompok tenaga fungsional di Bidang Pengurusan Piutang Negara.
Tiap Bagian terdiri Sub Bagian.
5. Biro Piutang Negara Non Perbankan terdiri dari:
a. Bagian Piutang Negara Non Perbankan I
b. Bagian Piutang Negara Non Perbankan II
c. Sub Bagian Tata Usaha
d. Kelompok tenaga fungsional di Bidang Pengurusan Piutang Negara.
Tiap Bagian terdiri dari Sub Bagian.
6. Biro Lelang Negara terdiri dari:
a. Bagian Bina Lelang
b. Bagian Verifikasi dan Pembukuan Lelang
c. Sub Bagian Tata Usaha
d. Kelompok tenaga fungsional, Pejabat Lelang.
Tiap Bagian terdiri dari Sub-Sub Bagian.
7. Biro Informasi dan Hukum terdiri dari:
a. Bagian Perencanaan dan Pengolahan Data
b. Bagian Informasi Pembukuan
c. Bagian Peraturan Perundangan dan Bantuan Hukum
d. Sub Bagian Tata Usaha
110
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
e. Kelompok tenaga fungsional, Pranata Komputer.
Tiap Bagian terdiri dari Sub-Sub Bagian
8. Kantor Wilayah BUPLN:
a. Unsur Pelaksana BUPLN di Daerah berada di bawah dan bertanggung
jawab langsung kepada Kepala BUPLN.
b. Kanwil BUPLN dipimpin oleh seorang Kepala.
c. Susunan organisasi Kanwil:
§
Bidang Piutang Negara
§
Bidang Lelang
§
Bidang Informasi dan Hukum
§
Sub Bagian Tata Usaha.
Tiap Bagian terdiri Sub Bagian.
9. Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara (KP3N) adalah pelaksana
tugas BUPLN di bidang pelayanan Pengurusan Piutang Negara. Berada di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kanwil BUPLN.
Dipimpin oleh seorang Kepala, KP3N dapat diklasifikasikan menjadi
KP3N Tipe A dan KP3N Tipe B.
a. KP3N Tipe A terdiri dari:
§ Sub Bagian Tata Usaha
§ Seksi Piutang Perbankan
§ Seksi Piutang Non Perbankan
§ Seksi Penataan Barang Jaminan
§ Seksi Informasi dan Hukum
§ Kelompok Tenaga Fungsional di Bidang Pengurusan Piutang
Negara.
b. KP3N Tipe B terdiri dari:
§ Urusan tata Usaha
§ Sub Seksi Piutang Perbankan
§ Sub Seksi Piutang Non Perbankan
§ Sub Seksi Penataan Barang Jaminan
§ Sub Seksi Informasi dan Hukum
§ Kelompok Tenaga Fungsional di Bidang
Pengurusan Piutang Negara.
Pengurusan Piutang Negara
10.
111
Kantor Lelang Negara (KLN) adalah pelaksana tugas BUPLN di
bidang Pelayanan Lelang, berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Kepala Kanwil BUPLN.
11.
Struktur organisasi BUPLN yang telah ditetapkan dengan Keputusan
Presiden Nomor 21 Tahun 1991, telah memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 44 dan Nomor
45 Tahun 1974 dan persyaratan eseloneering jabatan, yaitu telah
dipenuhinya keberadaan organisasi baik pada tingkat Kantor Pusat,
Kantor Wilayah, maupun Kantor-Kantor Operasional Pengurusan
Piutang Negara, seperti :
a. Pada tingkat Kantor Pusat BUPLN sudah terdapat susunan organisasi
dengan eseloneering jabatan yaitu Eselon I untuk Kepala BUPLN,
yaitu Eselon II untuk Sekretaris BUPLN dan Kepala-kepala Biro,
Eselon III untuk Kepala-kepala Bagian, dan Eselon IV untuk Kepalakepala Seksi atau Sub Bagian.
b. Pada tingkat Kantor Wilayah BUPLN sudah terdapat susunan
organisasi dengan eseloneering jabatan yaitu Eselon II untuk Kepala
Kanwil BUPLN, Eselon III untuk Kepala-kepala Bidang, dan Eselon
IV untuk Kepala-kepala Seksi atau Sub Bagian.
c. Pada tingkat Kantor Operasional, yaitu Kantor Pelayanan Pengurusan
Piutang Negara sudah terdapat susunan organisasi dengan eseloneering
jabatan jabatan sebagai berikut:
o pada KP3N tipe A, Eselon III untuk Kepala KP3N, dan Eselon IV
untuk Kepala-kepala Seksi atau Sub Bagian;
o pada KP3N tipe B, Eselon IV untuk Kepala KP3N dan Eselon V
untuk Kepala-kepala Sub Seksi atau Kepala Urusan;
o pada KLN tipe A, Eselon III untuk Kepala KLN, dan Eselon IV
untuk Kepala-kepala Seksi atau Sub Bagian;
o pada KLN tipe B, Eselon IV untuk Kepala KLN dan Eselon V
untuk Kepala-kepala Sub Seksi atau Kepala Urusan.
12. Struktur organisasi BUPLN tersebut di atas disusun dengan pendekatan
“by commodity/product approach”, dengan maksud efesiensi dan
efektivitas pengurusan piutang negara. Organisasi BUPLN ini berjalan
dalam durasi waktu yang cukup lama yaitu selama 9 (sembilan) tahun
sampai dengan terbitnya Keputusan Presiden No.177 Tahun 2000 tanggal
15 Desember 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen.
Dalam Keputusan Presiden dimaksud, yaitu pada susunan Organisasi
Departemen Keuangan Pasal 10 ayat (1), diatur bahwa organisasi
112
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) ditetapkan
sebagai pengganti organisasi BUPLN.
Dengan terbentuknya organisasi DJPLN maka cita-cita di bidang
organisasi yang dicetuskan para peserta rapat kerja Kantor Pusat Badan
Urusan Piutang Negara (BUPN) dengan Kantor Wilayah BUPN dan PUPN
Cabang seluruh Indonesia Tanggal 6 – 8 November 1989 di Megamendung
Cipayung dapat direalisasikan. Rapat kerja tersebut merupakan tindak lanjut
kebijakan baru Menteri Keuangan pada waktu itu yang menetapkan bahwa
eksistensi BUPN dan PUPN harus dikembangkan setelah mengalami masa
status quo yang cukup lama yaitu 13 tahun (tahun 1976 – tahun 1989).
Menurut Buku Hasil Rapat Kerja yang diterbitkan pada tahun 1989 oleh
BUPN, para peserta rapat kerja pada waktu itu sepakat dan mendukung penuh
untuk segera dilakukan pembenahan, refungsionalisasi, konsolidasi dan
pengembangan Sumber Daya Manusia yang meliputi 5 (lima) bidang pokok
yaitu :
1. Bidang Organisasi, Uraian Pelaksanaan Tugas dan Prosedur Kerja;
2. Bidang Personalia, Keuangan dan Sarana Kerja;
3. Bidang Teknis Pengurusan Piutang Negara Perbankan;
4. Bidang Teknis Pengurusan Piutang Negara Non Perbankan;
5. Bidang Teknis Perencanaan dan Sistem Informasi.
Di samping menghasilkan susunan organisasi BUPLN yang telah
berjalan selama 9 (sembilan) tahun sebagaimana diuraikan di atas, upaya
pembenahan, refungsionalisasi, konsolidasi dan pengembangan sumber daya
manusia juga dilakukan di berbagai bidang antara lain:
1. Pada bidang Sumber Daya Manusia dilakukan rekrutmen sarjana (S1),
pengiriman pegawai untuk mendapatkan pendidikan tingkat master ke luar
negeri, pendidikan Program Diploma I dan III Pengurusan Piutang dan
Lelang Negara (PPLN) dan Program Pendidikan Keahlian/Keterampilan
para pegawai. Demikian juga dalam rangka penyegaran (refreshing)
pegawai yang dilakukan secara berkala berupa tour of duty dan tour of
area di kalangan pejabat dan pegawai BUPLN.
2. Pemenuhan sarana dan prasarana kerja telah dilakukan secara bertahap
sesuai dana yang tersedia pada Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar
Isian Pembangunan (DIP) serta dana Crash Program seperti pembangunan
Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara dan Kantor Lelang Negara,
pengadaan mobilitas operasional pengurusan Piutang dan Lelang Negara,
Pengurusan Piutang Negara
113
penertiban penyimpanan Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) dan
dokumen penting lainnya dengan pembelian almari tahan api dan rolling
door.
3. Pada bidang Teknis Pengurusan Piutang Negara dan Lelang telah
diterbitkan keputusan-keputusan Menteri Keuangan dan keputusankeputusan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara antara lain:
a. Petunjuk Pelaksanaan Pengurusan Piutang Negara yang diatur dalam
Keputusan Menteri yang telah beberapa kali diubah, yaitu:
♦ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 293/KMK.09/1993;
♦ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 376/ KMK.01/1998;
♦ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.01/2000.
b. Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara yang diatur dalam
Keputusan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)
telah beberapa kali diubah, yaitu:
♦ Keputusan Kepala BUPLN Nomor Kep-04/PN/1993;
♦ Keputusan Kepala BUPLN Nomor Kep-11/PN/1999;
♦ Keputusan Kepala BUPLN Nomor Kep-38/PN/2000.
c. Pengaturan tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) telah
beberapa kali diubah, yaitu:
♦ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 294/KMK.09/1993;
♦ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 381/KMK.09/1998.
d. Ketentuan yang terkait dengan pelayanan lelang telah beberapa kali
diubah, yaitu:
♦ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 295/KMK.09/1998;
♦ Keputusan Menteri Keuangan No.47/ KMK.01/1996 tentang
Regularisasi Lelang;
♦ Keputusan Kepala BUPLN No.kep1/1996 tentang Petunjuk Teknis
Lelang;
♦ Keputusan
Kepala
BUPLN
No.SE-39/PN/199
tentang
Pemasyarakatan Deregularisasi Lelang.
Perkembangan Kelembagaan DJPLN Periode Setelah Tahun 1999
sampai dengan Saat Ini (pasca Keputusan Presiden Nomor 177
Tahun 2000)
114
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
Ketentuan tentang Organisasi, Tugas dan Fungsi Direktorat Jenderal
Piutang dan Lelang Negara didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 177
Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004,
sedangkan ketentuan tentang organisasi dan tata kerja Kantor Wilayah DJPLN
dan KP2LN didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor
445/KMK.01/2001.
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa untuk melaksanakan Pengurusan
Piutang Negara terdapat 2 (dua) lembaga yang merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan yaitu PUPN dan DJPLN. Pembentukan DJPLN pada
hakekatnya adalah untuk melaksanakan atau menyelenggarakan Pengurusan
Piutang Negara dan pelayanan jasa lelang baik berdasarkan pelaksanaan tugas
PUPN maupun pelaksanaan kebijakan Menteri Keuangan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. DJPLN berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Menteri Keuangan. Kantor operasional DJPLN tersebar pada 54
(limapuluh empat) KP2LN yang dikoordinasikan oleh dan di bawah
pembinaan 9 (sembilan) Kantor Wilayah DJPLN.
Tugas, Fungsi, dan Struktur Organisasi DJPLN sesuai
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
302/KMK.01/2004
Tugas Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara adalah
merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
piutang negara dan lelang baik yang berasal dari penyelenggaraan tugas
Panitia Urusan Piutang Negara maupun berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Fungsi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara adalah:
1. Penyiapan rumusan kebijakan di bidang Piutang Negara dan lelang.
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang Piutang Negara dan lelang sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3. Perumusan standar, norma, kriteria, dan prosedur di bidang piutang negara
dan lelang.
4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengurusan piutang
negara dan pelayanan lelang.
5. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal.
115
Pengurusan Piutang Negara
Struktur organisasi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara terdiri dari :
1. Sekretariat Direktorat Jenderal
2. Direktorat Piutang Negara Perbankan
3. Direktorat Piutang Negara Non Perbankan
4. Direktorat Lelang Negara
5. Direktorat Informasi dan Hukum
Gambar berikut adalah struktur organisasi DJPLN:
Gambar 4.1. Struktur Organisasi DJPLN
DJPLN
SEKRETARIAT
DJPLN
DIREKTORAT
PNP
DIREKTORAT
PNNP
DIREKTORAT
LELANG
DIREKTORAT IH
KANTOR WILAYAH
KP2LN
Sumber:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tanggal
23 Juni 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Keuangan, Struktur Organisasi DJPLN
116
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
Tugas, Fungsi, dan Organisasi Vertikal DJPLN di Daerah sesuai
Keputusan Menteri Keuangan No.445/KMK.01/2004
1. Kantor Wilayah DJPLN
a. Tugas Kantor Wilayah DJPLN adalah melaksanakan bimbingan teknis,
pengendalian dan evaluasi pelaksanakan tugas di bidang Pengurusan
Piutang Negara dan lelang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Dalam
melaksanakan
tersebut
Kantor
Wilayah
DJPLN
menyelenggarakan fungsi:
♦ Pemberian bahan pertimbangan atas penghapusan, keringanan
hutang, pencegahan, paksa badan atau penyelesaian Piutang
Negara.
♦ Pemberian bimbingan teknis pengelolaan barang jaminan dan
pemeriksaan harta kekayaan atau barang jaminan yang tidak
diketemukan milik Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang.
♦ Pemberian bimbingan teknis, penggalian potensi, pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan lelang serta pengembangan lelang.
♦ Pemberian bimbingan teknis pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan
dan pelayanan, informasi serta pelaksanaan verifikasi pengurusan
piutang negara dan lelang.
♦ Pembinaan terhadap balai lelang dan superintendensi terhadap
pejabat lelang pemerintah.
♦ Pelaksanaan pengawasan teknis Pengurusan Piutang Negara dan
lelang.
♦ Pelaksanaan administrasi kantor wilayah.
c. Struktur organisasi Kanwil DJPLN terdiri dari:
♦ Bagian Umum
♦ Bidang Piutang Negara
♦ Bidang Lelang
♦ Bidang Informasi dan Hukum
♦ Kelompok Jabatan Fungsional
117
Pengurusan Piutang Negara
Gambar berikut adalah struktur organisasi Kantor Wilayah DJPLN:
Gambar 4.2. Struktur Organisasi Kantor Wilayah DJPLN
KANTOR WILAYAH
DJPLN
BAGIAN
UMUM
SUBBAGIAN
KEPEGAWAIAN
BIDANG
PIUTANG NEGARA
BIDANG LELANG
SUBBAGIAN
KEUANGAN
SUBBAGIAN
TATA USAHA DAN
RUMAH TANGGA
BIDANG
INFORMASI DAN HUKUM
SEKSI
PIUTANG NEGARA
PERBANKAN
SEKSI
BIMBINGAN LELANG
SEKSI INFORMASI DAN
HUKUM PENGURUSAN
PIUTANG NEGARA
SEKSI PIUTANG
NEGARA NON
PERBANKAN
SEKSI
VERIFIKASI LELANG
SEKSI INFORMASI DAN
HUKUM LELANG
SEKSI BIMBINGAN
PENGELOLAAN
BARANG JAMINAN
KELOMPOK
JABATAN FUNGSIONAL
KP2LN
Sumber:
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 445/KMK.01/2001
Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara
118
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
d. Wilayah kerja masing-masing Kantor Wilayah DJPLN adalah sebagaimana
tersebut pada tabel berikut ini:
Tabel 4.3.
NAMA, LOKASI, DAN WILAYAH KERJA KANTOR
WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN
LELANG NEGARA
WILAYAH KERJA
NO
NAMA
DAERAH
ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN
LOKASI
KP2LN
1. KP2LN Banda Aceh
2. KP2LN Medan
3. KP2LN Pematang
Siantar
4. KP2LN Pekanbaru
5. KP2LN Tanjung
Pinang
6. KP2LN Padang
1.
KANWIL I DJPLN
MEDAN
MEDAN
1.
2.
3.
4.
Provinsi Sumatera Utara
Provinsi D.I Aceh
Provinsi Riau
Provinsi Sumatera Barat
2.
KANWIL II DJPLN
PALEMBANG
PALEMBANG
1.
2.
3.
4.
Provinsi Sumatera Selatan 1. KP2LN Palembang
2. KP2LN Pangkal Pinang
Provinsi Jambi
Provinsi Bengkulu
3. KP2LN Bandar
Lampung
Provinsi Lampung
4. KP2LN Jambi
5. KP2LN Bengkulu
3.
KANWIL III DJPLN
JAKARTA
JAKARTA
1. Provinsi DKI Jakarta
2. Provinsi Kalimantan
Barat
3. Provinsi Kalimantan
Tengah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
KP2LN Jakarta I
KP2LN Jakarta II
KP2LN Jakarta III
KP2LN Jakarta IV
KP2LN Jakarta V
KP2LN Pontianak
KP2LN Palangkaraya
119
Pengurusan Piutang Negara
WILAYAH KERJA
LOKASI
DAERAH
ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN
NO
NAMA
4.
KANWIL IV DJPLN
BANDUNG
BANDUNG
Provinsi Jawa Barat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
KP2LN Bandung I
KP2LN Bandung II
KP2LN Bogor
KP2LN Cirebon
KP2LN Serang
KP2LN Bekasi
KP2LN Tangerang
KP2LN Tasikmalaya
5.
KANWIL V DJPLN
SEMARANG
SEMARANG
1. Provinsi Jawa Tengah
2. Provinsi D.I. Yogyakarta
3. Provinsi Kalimantan
Selatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
KP2LN Semarang
KP2LN Yogyakarta
KP2LN Surakarta
KP2LN Pekalongan
KP2LN Purwokerto
KP2LN Banjarmasin
6.
KANWIL VI DJPLN
SURABAYA
SURABAYA
1. Propinsi Jawa Timur
2. Propinsi Kalimantan
Timur
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
KP2LN Surabaya I
KP2LN Surabaya II
KP2LN Malang
KP2LN Jember
KP2LN Madiun
KP2LN Samarinda
KP2LN Balikpapan
7.
KANWIL VII DJPLN DENPASAR
DENPASAR
1. Propinsi Bali
2. Propinsi Nusa Tenggara
Barat
3. Propinsi Nusa Tenggara
Timur
1.
2.
3.
4.
5.
KP2LN Denpasar
KP2LN Singaraja
KP2LN Mataram
KP2LN Bima
KP2LN Kupang
8.
MAKASSAR
KANWIL VIII
DJPLN MAKASSAR
1. Propinsi Sulawesi Selatan
2. Propinsi Sulawesi Tengah
3. Propinsi Sulawesi
Tenggara
1.
2.
3.
4.
5.
KP2LN Makassar
KP2LN Pare-pare
KP2LN Palopo
KP2LN Kendari
KP2LN Palu
KP2LN
120
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
WILAYAH KERJA
NO
NAMA
9.
KANWIL IX DJPLN
MANADO
Sumber:
LOKASI
MANADO
DAERAH
ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN
1. Propinsi Sulawesi Utara
2. Propinsi Maluku
3. Propinsi Irian Jaya
KP2LN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
KP2LN Manado
KP2LN Gorontalo
KP2LN Ambon
KP2LN Ternate
KP2LN Jayapura
KP2LN Timika
KP2LN Sorong
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 445/KMK.01/2001
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang
dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara
2. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN)
Sebelum KP2LN terbentuk, kantor-kantor operasional yang berada di
dalam lingkungan Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)
adalah Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara (KP3N) dan Kantor
Lelang Negara (KLN) yang dikoordinasikan dan dikendalikan oleh Kantor
Wilayah BUPLN. Pada tahun 2001 kedua unit kantor tersebut digabung
menjadi satu kesatuan kantor yaitu menjadi Kantor Pelayanan Piutang dan
Lelang Negara (KP2LN). Kedudukan KP2LN berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah DJPLN.
Tugas KP2LN adalah melaksanakan pelayanan pengurusan piutang negara
dan lelang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugas tersebut KP2LN menyelenggarakan fungsi:
a. pelaksanaan penetapan dan penagihan piutang negara serta
pemeriksaan Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang dan eksekusi
barang jaminan;
b. pelaksanaan pemeriksaan barang jaminan milik Penanggung Hutang
atau Penjamin Hutang serta harta kekayaan lain milik Penanggung
Hutang;
c. penyiapan bahan pertimbangan dan pemberian keringanan hutang;
d. pengusulan pencegahan, pengusutan dan pelaksanaan paksa badan
serta penyiapan bahan pertimbangan penyelesaian atau penghapusan
hutang negara;
Pengurusan Piutang Negara
121
e. pelaksanaan pemeriksaan dokumen persyaratan lelang dan dokumen
obyek lelang;
f. penyiapan dan pelaksanaan lelang serta penyusunan dan verifikasi
minut Risalah Lelang serta pembuatan salinan, petikan, kutipan dan
grosse Risalah Lelang;
g. pelaksanaan penggalian potensi piutang negara dan lelang;
h. pelaksanaan superintendensi kepada pejabat lelang swasta serta
pengawasan balai lelang swasta dan pengawasan pelaksanaan lelang
pada PT Pegadaian (Persero) dan lelang kayu kecil oleh PT Perhutani
(Persero);
i. inventarisasi, registrasi, pengamanan, pendayagunaan dan pemasaran
barang jaminan;
j. pelaksanaan regristrasi dan penatausahaan berkas kasus Piutang
Negara, pencatatan surat permohonan lelang dan penyajian informasi
Piutang Negara dan lelang;
k. pelaksanaan pemberian pertimbangan dan bantuan hukum Pengurusan
Piutang Negara dan lelang;
l. verifikasi dan pembukuan penerimaan pembayaran piutang negara dan
hasil lelang;
m. pelaksanaan administrasi Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang
Negara.
Terdapat 2 (dua) tipe KP2LN, yaitu KP2LN Tipe A dan KP2LN Tipe B.
Susunan Organisasi Tipe A terdiri dari:
a. Sub Bagian Umum
b. Seksi Piutang Negara
c. Seksi Pengelolaan Barang Jaminan
d. Seksi Pelayanan Lelang
e. Seksi Dokumentasi dan Potensi Lelang
f. Seksi Informasi dan Hukum
g. Kelompok Jabatan Fungsional
Gambar berikut adalah struktur organisasi KP2LN Tipe A:
122
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
Gambar 4.3. Struktur Organisasi KP2LN Tipe A
KP2LN
TIPE A
SUBBAGIAN
UMUM
SEKSI
PIUTANG
NEGARA
SEKSI
PENGELOLAAN
BARANG
JAMINAN
SEKSI
PELAYANAN
LELANG
SEKSI
DOKUMENTASI
DAN POTENSI
LELANG
SEKSI
INFORMASI
DAN HUKUM
KELOMPOK
JABATAN
FUNGSIONAL
Sumber:
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 445/KMK.01/2001
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara
Susunan Organisasi KP2LN Tipe B terdiri dari:
a. Sub Bagian Umum
b. Seksi Piutang Negara
c. Seksi Pengelolaan Barang Jaminan
d. Seksi Lelang
e. Seksi Informasi dan Hukum
f. Kelompok Jabatan Fungsional
Gambar berikut adalah struktur organisasi KP2LN Tipe B:
123
Pengurusan Piutang Negara
Gambar 4.4.
Struktur Organisasi KP2LN Tipe B
KP2LN
TIPE B
SUBBAGIAN
UMUM
SEKSI
PIUTANG
NEGARA
SEKSI
PENGELOLAAN
BARANG
JAMINAN
SEKSI
LELANG
SEKSI
INFORMASI
DAN HUKUM
KELOMPOK
JABATAN
FUNGSIONAL
Sumber:
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 445/KMK.01/2001
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara
Dalam susunan organisasi, baik tingkat kantor Pusat DJPLN, Kantor
Wilayah DJPLN maupun Kantor KP2LN terdapat kelompok jabatan
fungsional yaitu kelompok yang mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai
dengan jabatan fungsional masng-masing berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku seperti Pejabat Penilai, Juru Sita, Pejabat Lelang.
Hingga sampai saat ini ketentuan yang mengatur jabatan fungsional pada
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara belum ada sehingga tugastugas penyelesaian Pengurusan Piutang Negara dan Lelang masih tetap
dilakukan sebagaimana biasa oleh aparat struktural DJPLN.
Penyusunan struktur organisasi Kantor Pusat DJPLN, Kanwil DJPLN
dan KP2LN masih tetap berdasarkan pendekatan “by commodity/by product”
sebagaimana diterapkan pada susunan organisasi BUPLN dahulu. Dengan
124
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
penyusunan organisasi yang demikian diharapkan terjaminnya efektifitas dan
efisiensi Pengurusan Piutang Negara dan Lelang.
Wilayah kerja masing-masing Kantor Wilayah DJPLN adalah
sebagaimana tersebut pada tabel berikut ini:
Tabel 4.4.
NAMA, LOKASI, DAN WILAYAH KERJA
KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN
NEGARA
LELANG
NO
NAMA
TIPE
LOKASI
WILAYAH KERJA
1.
KP2LN BANDA ACEH
A
BANDA ACEH
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
KOTA BANDA ACEH
KOTA-KOTA SABANG
KAB. ACEH BARAT
KAB. ACEH SELATAN
KAB. ACEH TENGAH
KAB. ACEH UTARA
KAB. ACEH BESAR
KAB. BEREUN
KAB. SIMELUE
KAB. ACEH TIMUR
KAB. ACEH TENGGARA
KAB. PIDIE
KAB. SINGKIL
2.
KP2LN MEDAN
A
MEDAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
KOTA MEDAN
KOTA TEBING TINGGI
KOTA BINJAI
KAB. DELI SERDANG
KAB. KARO
KAB. LANGKAT
KAB. DAIRI
125
Pengurusan Piutang Negara
3.
KP2LN PEMATANG
SIANTAR
B
PEMATANG
SIANTAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
KOTA SIANTAR
KOTA SIBOLGA
KOTA RANTAU PRAPAT
KOTA TANJUNG BALAI
KAB. ASAHAN
KAB. SIMALUNGUN
KAB. LABUHAN BATU
KAB. NIAS
KAB. TAPANULI TENGAH
KAB. TAPANULI UTARA
KAB. TAPANULI SELATAN
KAB. MANDAILING NATAL
KAB. TOBA SAMOSIR
4.
KP2LN PEKANBARU
A
PEKANBARU
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
KOTA PEKANBARU
KOTA DUMAI
KAB. ROKAN HULU
KAB. ROKAN HILIR
KAB. SIAK
KAB. INDRAGIRI HULU
KAB. INDRGIRI HILIR
KAB. KUANTAN SINGINGI
KAB. KAMPAR
KAB. PALALAWAN
5.
KP2LN BATAM
B
BATAM
1.
2.
3.
4.
5.
KOTA BATAM
KAB. KARIMUN
KAB. BENGKALIS
KAB. KEPULAUAN RIAU
KAB. NATUNA
6.
KP2LN PADANG
B
PADANG
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
KOTA PADANG
KOTA SAWAH LUNTO
KOTA SOLOK
KAB. PADANG PARIAMAN
KAB. MENTAWAI
KAB. PESISIR SELATAN
KAB. SAWAH LUNTO
KAB. SOLOK
126
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
7.
KP2LN BUKITTINGGI
B
BUKITTINGGI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
KOTA BUKITTINGGI
KOTA PAYA KUMBUH
KOTA PADANG PANJANG
KAB. AGAM
KAB. LIMA PULUH KOTA
KAB. PASAMAN
KAB. TANAH DATAR
8.
KP2LN PALEMBANG
A
PALEMBANG
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
KOTA PALEMBANG
KAB. MUSI BANYUASIN
KAB. OGAN KOMERING ILIR
KAB. OGAN KOMERING ULU
KAB. MUARA ENIM
KAB. LAHAT
KAB. MUSI RAWAS
9.
KP2LN
PANGKALPINANG
B
PANGKAL
PINANG
1.
2.
3.
KOTA PANGKALPINANG
KAB. BANGKA
KAB. BELITUNG
10.
KP2LN BANDAR
LAMPUNG
A
BANDAR
LAMPUNG
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
KOTA BANDAR LAMPUNG
KAB. METRO
KAB. LAMPUNG TENGAH
KAB. LAMPUNG TIMUR
KAB. LAMPUNG SELATAN
KAB. TENGAMUS
KAB. LAMPUNG BARAT
KAB. LAMPUNG UTARA
KAB. TULANG BAWANG
KAB. WAY KANAN
127
Pengurusan Piutang Negara
11.
KP2LN JAMBI
B
JAMBI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
KOTA JAMBI
KAB. BATANGHARI
KAB. KERINCI
KAB. MUARA JAMBI
KAB. T. JABUNG BARAT
KAB. T. JABUNG TIMUR
KAB. BUNGO
KAB. TEBO
KAB. MERANGIN
KAB. SAROLANGUN
12.
KP2LN BENGKULU
B
BENGKULU
1.
2.
3.
4.
KOTA BENGKULU
KAB. BENGKULU SELATAN
KAB. BENGKULU UTARA
KAB. REJANG LEBONG
13.
KP2LN JAKARTA I
A
JAKARTA
PENGURUSAN PN
BANK MANDIRI
LELANG :
1.
KP2LN JAKARTA I
2.
BALAI LELANG
3.
PN/KEJAKSAAN JKT. PUSAT
14.
KP2LN JAKARTA II
A
JAKARTA
PENGURUSAN PN
BRI
LELANG :
1.
KP2LN JAKARTA II
2.
BALAI LELANG
3.
PN/KEJAKSAAN JKT. UTARA
4.
BEA CUKAI
15.
KP2LN JAKARTA III
A
JAKARTA
PENGURUSAN PN
BNI
LELANG :
1.
KP2LN JAKARTA III
2.
BALAI LELANG
3.
PN/KEJAKSAAN JKT. BARAT
4.
SITA KEPOLISIAN
5.
KANWIL V DJP
128
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
16.
KP2LN JAKARTA IV
A
JAKARTA
PENGURUSAN PN
1.
BANK DKI-BANK LAIN
2.
BUMD
3.
INSTANSI LAIN
LELANG :
1.
KP2LN JAKARTA IV
2.
BALAI LELANG
3.
PN/KEJAKSAAN JKT. SEL.
4.
KANWIL IV DJP
5.
BUMD
6.
INSTANSI PUSAT DAERAH
7.
SUKARELA
17.
KP2LN JAKARTA V
A
JAKARTA
PENGURUSAN PN
1.
BTN
2.
BUMN
LELANG :
1.
KP2LN JAKARTA V
2.
BALAI LELANG
3.
PN/KEJAKSAAN JKT. TIMUR
4.
KEJAKSAAN TINGGI
5.
KEJAKSAAN AGUNG
6.
KANWIL V DJP
7.
BUMN
18.
KP2LN PONTIANAK
A
PONTIANAK
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
8.
KOTA PONTIANAK
KAB. KAPUAS HULU
KAB. KETAPANG
KAB. PONTIANAK
KAB. LANDAK
KAB. SAMBAS
KAB. SANGGAU
KAB. SINTANG
KAB. BENGKAYANG
129
Pengurusan Piutang Negara
19.
KP2LN
PALANGKARAYA
B
20.
KP2LN BANDUNG I
A
PALANGKARAYA 1.
2.
3.
4.
5.
6.
BANDUNG
KOTA PALANGKARAYA
KAB. BARITO SELATAN
KAB. BARITO UTARA
KAB. BARITO KAPUAS
KAB. KOTA WARINGIN BARAT
KAB. KOTA WARINGIN TIMUR
Meliputi: Kota Bandung, Kab.
Bandung dan Kab. Sumedang
PENGURUSAN PN:
1.
BRI
2.
BNI
3.
BPD
4.
BUMD
LELANG :
1.
KP2LN BANDUNG I
2.
KEJAKSAAN/POLISI
3.
BUMD
4.
BALAI LELANG
5.
BEA CUKAI
6.
KAYU JATI
7.
SUKARELA
21.
KP2LN BANDUNG II
A
BANDUNG
Meliputi: Kota Bandung, Kab.
Bandung dan Kab. Sumedang
PENGURUSAN PN :
1.
BANK MANDIRI
2.
BTN
3.
BUMD
4.
INSTANSI PEMERINTAH
PUSAT/DAERAH/INSTANSI
LAIN
LELANG :
1.
KP2LN BANDUNG II
2.
PENGADILAN
3.
BUMN
4.
INSTANSI PEMERINTAH
PUSAT/DAERAH
5.
PAJAK
6.
BALAI LELANG
7.
SUKARELA
130
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
22.
KP2LN BOGOR
A
BOGOR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
KOTA BOGOR
KOTA DEPOK
KOTA SUKABUMI
KAB. BOGOR
KAB. CIANJUR
KAB. SUKABUMI
23.
KP2LN CIREBON
A
CIREBON
1.
2.
3.
4.
5.
KOTA CIREBON
KAB. CIREBON
KAB. KUNINGAN
KAB. INDRAMAYU
KAB. MAJALENGKA
24.
KP2LN SERANG
A
SERANG
1.
2.
3.
4.
5.
6.
KAB. SERANG
KOTA. CILEGON
KAB. LEBAK
KAB. PANDEGLANG
KOTA TANGERANG
KAB. TANGERANG
25.
KP2LN BEKASI
A
BEKASI
1.
2.
3.
4.
5.
KOTA BEKASI
KAB. BEKASI
KAB. KARAWANG
KAB. PURWAKARTA
KAB. SUBANG
26.
KP2LN
TASIKMALAYA
B
TASIKMALAYA
1.
2.
3.
KAB. TASIKMALAYA
KAB. CIAMIS
KAB. GARUT
27.
KP2LN SEMARANG
A
SEMARANG
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
KOTA SEMARANG
KAB. SEMARANG
KAB. DEMAK
KAB. KUDUS
KAB. JEPARA
KAB. REMBANG
KAB. PATI
KAB. BLORA
131
Pengurusan Piutang Negara
28.
KP2LN
YOGYAKARTA
A
YOGYAKARTA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
KOTA YOGYAKARTA
KOTA MAGELANG
KAB. BANTUL
KAB. SLEMAN
KAB. KULONPROGO
KAB. GUNUNG KIDUL
KAB. TEMANGGUNG
KAB. MAGELANG
29.
KP2LN SURAKARTA
A
SURAKARTA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
KOTA SURAKARTA
KOTA SALATIGA
KAB. BOYOLALI
KAB. KLATEN
KAB. WONOGIRI
KAB. SRAGEN
KAB. KARANGANYAR
KAB. SUKOHARJO
KAB. GROBOGAN
30.
KP2LN TEGAL
B
TEGAL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
KOTA PEKALONGAN
KOTA TEGAL
KAB. PEKALONGAN
KAB. TEGAL
KAB. BREBES
KAB. KENDAL
KAB. PEMALANG
KAB. BATANG
31.
KP2LN
PURWOKERTO
A
PURWOKERTO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
KAB. PURBALINGGA
KAB. BANJARNEGARA
KAB. KEBUMEN
KAB. PURWOREJO
KOTA WONOSOBO
KAB. BANYUMAS
132
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
32.
KP2LN
BANJARMASIN
33.
KP2LN SURABAYA I
A
A
BANJARMASIN
SURABAYA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
KOTA BANJARMASIN
KAB. BANJAR BARU
KAB. BANJAR
KAB. BARITOKUALA
KAB. HULU SUNGAI SELATAN
KAB. HULU SUNGAI TENGAH
KAB. HULU SUNGAI UTARA
KAB. TANAH LAUT
KAB. TAPIN
KAB. PULAU LAUT
PENGURUSAN PN
1.
KOTA SURABAYA
- BRI
- BNI
- BANK LAINNYA
- NON BANK
2.
KAB. SIDOARJO
3.
KOTA MOJOKERTO
4.
KAB. MOJOKERTO
5.
KAB. JOMBANG
6.
KAB. BANGKALAN
7.
KAB. SAMPANG
8.
KAB. PAMEKASAN
9.
KAB. SUMENEP
LELANG :
1.
PUPN
2.
PENGADILAN
3.
BEA CUKAI
4.
BUMN/BUMD
5.
SUKARELA
6.
HAK TANGGUNGAN
133
Pengurusan Piutang Negara
34
KP2LN SURABAYA II
A
SURABAYA
PENGURUSAN PN
1.
KOTA SURABAYA
- BANK MANDIRI
- BTN
- BANK JATIM
2.
KAB. GRESIK
3.
KAB. LAMONGAN
4.
KAB. TUBAN
5.
KAB. BOJONEGORO
LELANG :
1.
PUPN
2.
KAYU JATI
3.
INVENTARIS
4.
BALAI LELANG
5.
KEJAKSAAN
35.
KP2LN MALANG
A
MALANG
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
KOTA
KOTA
KOTA
KOTA
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
MALANG
BLITAR
PROBOLINGGO
PASURUAN
MALANG
BLITAR
PROBOLINGGO
PASURUAN
TULUNGAGUNG
36.
KP2LN JEMBER
A
JEMBER
1.
2.
3.
4.
5.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
JEMBER
BONDOWOSO
BANYUWANGI
SITUBONDO
LUMAJANG
134
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
37.
KP2LN MADIUN
B
MADIUN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
KOTA
KOTA
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
MADIUN
KEDIRI
MADIUN
PONOROGO
PACITAN
NGAWI
MAGETAN
TRENGGALEK
NGANJUK
KEDIRI
38.
KP2LN BALIKPAPAN
A
BALIKPAPAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
KOTA
KOTA
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
BALIKPAPAN
TARAKAN
PASIR
BERAU
MALINAU
NUNUKAN
BULUNGAN
39.
KP2LN DENPASAR
A
DENPASAR
1.
2.
3.
4.
5.
KOTA
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
DENPASAR
BADUNG
GIANYAR
KLUNGKUNG
TABANAN
40.
KP2LN SINGARAJA
B
SINGARAJA
1.
2.
3.
4.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
BULELENG
BANGLI
JEMBRANA
KARANG ASEM
41.
KP2LN MATARAM
B
MATARAM
1.
2.
3.
4.
KOTA
KAB.
KAB.
KAB.
MATARAM
LOMBOK BARAT
LOMBOK TENGAH
LOMBOK TIMUR
42.
KP2LN BIMA
B
BIMA
1.
2.
3.
KAB. BIMA
KAB. DOMPU
KAB. SUMBAWA
135
Pengurusan Piutang Negara
43.
KP2LN KUPANG
B
KUPANG
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
KOTA KUPANG
KAB. KUPANG
KAB. ALOR
KAB. BELU
KAB. ENDE
KAB. FLORES
KAB. MANGGARAI
KAB. NGADA
KAB. SIKA
KAB. SUMBA BARAT
KAB. SUMBA TIMUR
KAB. TIMOR TENGAH
SELATAN
KAB. TIMOR TENGAH UTARA
KAB. LEMBATA
44.
KP2LN MAKASSAR
A
MAKASSAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
KOTA
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
MAKASSAR
GOWA
JENEPONTO
PANGKAJENE KEP.
MAROS
SELAYAR
BINJAI
TAKALAR
BULU KUMBA
BANTAENG
45.
KP2LN PARE--PARE
B
PARE-PARE
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
KOTA
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
PARE--PARE
BARRU
PINRANG
POLEWALI MAMASA
SINDENRENG RAPPANG
MAJENE
WAJO
SOPPENG
136
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
46.
KP2LN PALOPO
B
PALOPO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
LUWU
LUWU UTARA
TANA TORAJA
MAMUJU
ENREKANG
BONE
47.
KP2LN KENDARI
B
KENDARI
1.
2.
3.
4.
5.
KOTA
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KENDARI
BUTON
KENDARI
KOLAKA
MUNA
48.
KP2LN PALU
B
PALU
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
KOTA PALU
KAB. BANGAI
KAB. BANGGAI KEPULAUAN
KAB. TOLI-TOLI
KAB. BUOL
KAB. DONGGALA
KAB. POSO
KAB. MOROWALI
49.
KP2LN MANADO
A
MANADO
1.
2.
3.
4.
5.
KOTA
KOTA
KAB.
KAB.
KAB.
50.
KP2LN GORONTALO
B
GORONTALO
1.
2.
3.
KOTA GORONTALO
KAB. GORONTALO
KAB. BOALIMO
51.
KP2LN AMBON
B
AMBON
1.
2.
3.
KOTA GORONTALO
KAB. GORONTALO
KAB. BOALIMO
52.
KP2LN TERNATE
B
TERNATE
1.
2.
3.
KOTA TERNATE
KAB. MALUKU UTARA
KAB. HALMAHERA
MANADO
BITUNG
MINAHASA
SANGIHE TALAUT
BOLONG MANGAONDAU
137
Pengurusan Piutang Negara
53.
KP2LN JAYAPURA
B
JAYAPURA
1.
2.
3.
4.
5.
KOTA
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
JAYAPURA
JAYAPURA
JAYAWIJAYA
PUNCAK JAYA
MERAUKE
54.
KP2LN BIAK
B
BIAK
1.
2.
3.
4.
5.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
KAB.
TIMIKA
PANIAI
NABIRE
YAPEN WAROPEN
BIAK NUMFOR
55.
KP2LN SORONG
B
SORONG
1.
2.
3.
4.
KOTA
KAB.
KAB.
KAB.
SORONG
SORONG
FAK-FAK
MANOKWARI
Sumber:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/KMK.01/2001 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan
Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara
Visi dan Misi DJPLN
Sebagai acuan bagi seluruh aparatur DJPLN dalam menjalankan tugastugasnya, DJPLN menetapkan visi dan misi.
Visi DJPLN adalah menjadi lembaga pemerintah terbaik dalam
melakukan Pengurusan Piutang Negara dan lelang negara yang profesional
bertanggung jawab dan dapat dibanggakan masyarakat. Untuk mencapai Visi
tersebut DJPLN telah menetapkan misi yaitu melakukan Pengurusan Piutang
Negara dan memberikan pelayanan lelang dalam rangka pengamanan
keuangan negara, penerimaan negara dan pelayanan kepada masyarakat.
Secara lebih terinci misi yang dibebankan oleh PUPN meliputi:
1. Misi fiskal yaitu mengamankan keuangan dan asset negara sehingga
mewujudkan kontribusi yang signifikan terhadap pengamanan keuangan
negara dan penerimaan negara.
2. Misi sosial budaya yaitu meningkatkan kepatuhan/kesadaran para
pengguna jasa DJPLN yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya
setempat untuk mengoptimalkan pengurusan piutang dan pelayanan lelang.
3. Misi kelembagaan yaitu memberikan pelayanan kepada pengguna jasa
secara efisien, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan dan lebih
138
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
menjamin kepastian hukum sehingga menjadikan DJPLN sebagai
organisasi yang lebih akomodatif terhadap tuntutan dan kondisi yang ada.
Rangkuman
Sejarah kelembagaan Pengurusan Piutang Negara dimulai pada tahun
1958 dengan terbitnya Keputusan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf
Angkatan Darat Nomor Kpts/Peperpu/0241/1958 tanggal 4 Januari 1958
tentang Panitia Penyelesaian Piutang Negara (P3N). Tujuan utamanya adalah
untuk menyelesaikan hutang-hutang kepada negara secara cepat dan efisien.
Pada tanggal 14 Desember 1960 pemerintah dengan situasi negara
yang masih dalam keadaan darurat perang membentuk Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN) dengan UU No. 49 Prp Tahun 1960 sebagai pengganti P3N.
Pada tanggal 16 Desember 1960 Pemerintah menetapkan negara dalam
keadaan ”tertib sipil”. Dalam situasi tertib sipil tersebut, dengan pertimbangan
bahwa hasil yang dicapai oleh P3N sangat memuaskan, maka prinsip-prinsip
kerja P3N (yaitu cepat dan efisien dalam penyelesaian Piutang Negara serta
memberikan lebih perlindungan hukum bagi Debitur) perlu dipertahankan dan
dilestarikan. Dengan pemikiran tersebut, maka tugas dan kewenangan Panitia
Urusan Piutang Negara (PUPN) berdasarkan UU No. 49 Prp Tahun 1960 perlu
dipertahankan eksistensinya.
Keanggotaan PUPN menurut Undang-undang No. 49 Prp Tahun 1960
adalah PUPN secara interdepartemental artinya susunan keanggotaan PUPN
adalah terdiri dari wakil-wakil lembaga departemen yang bidang tugasnya ada
kaitan dengan penyelesaian Piutang-piutang Negara yang macet. Seperti
Departemen Keuangan, Kepolisian Negara, Kejaksaan Agung dan Bank
Indonesia ditingkat Pusat. Di tingkat daerah, keanggotaan ditambah dari unsur
pemerintah daerah.
PUPN terdiri dari PUPN Pusat dan PUPN Cabang. PUPN Pusat
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sedangkan PUPN Cabang diangkat
dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan. Direktorat Jenderal Piutang dan
Lelang Negara sebagai pejabat eselon I di bawah Menteri Keuangan secara Ex
Officio adalah Ketua PUPN Pusat. Di daerah-daerah di mana Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal (KW DJPLN) berkedudukan disitulah Kepala
Kanwil DJPLN secara Ex Officio sebagai Ketua PUPN Cabang Provinsi.
Dengan demikian di seluruh Indonesia terdapat 9 (sembilan) Kepala Kanwil
DJPLN yang menjadi Ketua PUPN Cabang sedangkan di Ibukota Provinsi Tk
I lainnya selain Provinsi Kalimantan Timur Ketua PUPN Cabangnya secara Ex
139
Pengurusan Piutang Negara
Officio dijabat Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan lelang Negara (KP2LN)
yang berkedudukan di Ibu Kota Provinsi Tk I bersangkutan.
Pada saat ini terdapat 21 (dua puluh satu) Kepala KP2LN secara Ex
Officio menjabat Ketua PUPN Cabang. Kewenangan PUPN Cabang adalah
menetapkan 15 (lima belas) keputusan-keputusan hukum/produk-produk
hukum dalam Pengurusan Piutang Negara.
- o0o -
Latihan
Pilihan Ganda
1. Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 menetapkan:
a. Panitia Penyelesaian Piutang Negara (P3N)
b. Badan Urusan Piutang Negara (BUPN)
c. Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)
d. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)
2. PUPN menurut UU Nomor 49 Prp. Tahun 1960 bertanggung jawab
kepada:
a. Menteri Pertama
b. Kepala Staf Angkatan Darat/Ketua TEPERPU
c. Menteri Keuangan
d. Presiden
3. Keanggotaan Cabang PUPN berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI
Nomor Kep.731/MK/7/10/1969 tanggal 21 Oktober 1969 ditetapkan oleh:
a. Ketua PUPN Pusat
b. Gubernur Kepala Daerah Tk I
c. Menteri Keuangan Langsung
d. Menteri Keuangan atas usul Gubernur KDH Tk. I melalui Ketua PUPN
Pusat
4. Organisasi dan Tata kerja BUPLN ditetapkan dalam:
a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 294/KMK.09/1993
b. Keputusan Menteri Kauangan Nomor 295/KMK.09/1993
c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 940/KMK.01/1991
140
5.
6.
7.
8.
Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara
d. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991
Menjelang ”tertib Sipil” UU Nomor 49 Prp Tahun 1960 ditetapkan pada
tanggal:
a. 12 Desember 1960
b. 13 Desember 1960
c. 14 Desember 1960
d. 16 Desember 1960
P3N adalah singkatan dari:
a. Panitia Pengurusan Piutang Negara
b. Panitia Penyelesaian Piutang Negara
c. Panitia Pemulihan Piutang Negara
d. Panitia Pemutihan Piutang Negara
Dasar Hukum pembentukan KP2LN adalah:
a. Keppres Nomor 11 Tahun 1976
b. Keppres Nomor 21 Tahun 1991
c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002
d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/KMK.01/2001
Sesuai UU Nomor 49 Prp. Tahun 1960 penyerahan piutang dari perbankan
pemerintah wajib menyerahkan piutang macetnya kepada:
a. Pengacara
b. Kejaksaan
c. Pengadilan
d. PUPN Cabang melalui KP2LN
Benar (B) - Salah (S)
1. B-S Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1991 tentang BUPLN mengenai
Organisasi dan Tata kerjanya diatur dalam keputusan Menteri
Keuangan No.940/KMK.01/1991
2. B-S PUPN Pusat, PUPN Wilayah dan PUPN Cabang diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan No.294/KMK.09/1993.
141
Pengurusan Piutang Negara
3. B-S Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 381/K Sekretaris PUPN
Cabang membantu Ketua PUPN Cabang dalam bidang teknis
administratif saja.
4. B-S Penanggung Hutang Non Perbankan adalah orang atau Badan yang
berhutang menurut perjanjian, peraturan atau sebab apapun yang
menimbulkan hutang kepada Negara.
5. B-S PUPN bertugas mengadili atas sengketa yang terjadi antara
Penanggung Hutang dengan Penyerah Piutang.
6. B-S Struktur organisasi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara
disusun berdasarkan prinsip by process Pengurusan Piutang Negara.
7. B-S Menurut Keputusan Menteri Keuangan
No.61/KMK.08/2002
KP2LN-KP2LN yang berada satu kota dengan Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara menjadi anggota
PUPN Cabang yang ketua PUPN Cabangnya adalah Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang bersangkutan.
8. B-S Sistem Pengurusan Piutang Negara secara khusus menurut UU No.49
Prp Tahun 1960 hanya untuk memberikan kepastian hukum kepada
Kreditur.
- o0o -
BAB 5
PENYERAHAN DAN PENERIMAAN
PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
Sasaran Pembelajaran
Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III
Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan
memahami proses pengurusan piutang negara, dan khususnya tahap penyerahan dan
penerimaan pengurusan piutang negara berikut kegiatan operasional dan administrasi
lainnya yang terkait.
Pendahuluan
144
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
Sebagaimana uraian pada Bab-bab sebelum ini, berdasarkan Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, PUPN bertugas:
1. mengurus Piutang Negara yang telah diserahkan pengurusannya oleh
Pemerintah atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak
langsung dikuasai oleh Negara; dan
2. Piutang Negara yang diserahkan tersebut ialah piutang yang adanya dan
besarnya pasti menurut hukum
Di dalam penjelasan pasal 4 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun
1960, diuraikan bahwa pada prinsipnya piutang negara pada tahap awal
diselesaikan oleh Instansi-Instansi dan Badan-badan pemilik piutang. Apabila
tidak mungkin lagi terutama disebabkan oleh karena Penanggung Hutang tidak
ada kesediaan dan termasuk Penanggung yang nakal, maka oleh pemilik
piutang tersebut, penyelesaiannya diserahkan ke Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN).
Penyerahan pengurusan piutang negara, dari instansi-instansi
pemerintah dan badan-badan negara yang memiliki piutang, tidak serta merta
diterima oleh PUPN, tetapi berkas-berkas penyerahan terlebih dahulu diteliti
oleh KP2LN. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah
penyerahan sudah memenuhi prosedur dan persyaratan-persyaratan yang telah
ditentukan. Dalam hal tidak memenuhi persyaratan maka penyerahan berkas
piutang macet dapat ditolak atau dalam hal tertentu dapat dikembalikan ke
Penyerah Piutang. Istilah penolakan dan pengembalian dalam pelaksanaan
Pengurusan Piutang Negara mengandung makna yang berbeda. Penjelasan
tentang hal ini akan diuraikan lebih detail pada sub-sub bab berikutnya.
Kegiatan penelitian berkas penyerahan oleh KP2LN dan penerimaan
pengurusan oleh PUPN berdasarkan hasil penelitian tersebut merupakan
tindakan yang sangat penting dalam proses Pengurusan Piutang Negara. Hal
tersebut disebabkan oleh karena:
1. hasil dari penelitian tersebut adalah kepastian tentang adanya dan besarnya
Piutang Negara menurut hukum, suatu kepastian yang diperlukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan dalam Undang-undang No. 49 Prp.
Tahun 1960 dan untuk keperluan pelaksanaan kewenangan parate
eksekusi; dan
2. keputusan penerimaan pengurusan piutang negara yang diterbitkan oleh
PUPN merupakan pintu hubungan antara PUPN dan Penyerah Piutang
dalam melakukan pengurusan piutang negara.
145
Pengurusan Piutang Negara
Oleh PUPN, pengurusan piutang negara tersebut dilaksanakan melalui
tahap-tahap pengurusan yang telah baku. Ketentuan tentang tahap pengurusan
piutang negara telah diatur dalam:
1. petunjuk pelaksanaan (juklak) pengurusan piutang negara, sebagaimana
tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan yang merupakan
pelaksanaan amanat Pasal 14 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun
19601; dan
2. petunjuk teknis (juknis) pengurusan piutang negara, sebagaimana tertuang
dalam Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang
merupakan pelaksanaan amanat juklak tersebut di atas2.
Agar dapat mengerti uraian tentang penyerahan dan penerimaan
pengurusan piutang negara, terlebih dahulu akan diuraikan prosedur
pengurusan piutang negara.
Prosedur Pengurusan Piutang Negara
Pengurusan piutang negara dilaksanakan PUPN dengan menempuh
tahap pengurusan sebagai yang dijabarkan pada Gambar 5.1
Alur tahapan pengurusan piutang negara tersebut di atas dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyerah Piutang menyerahkan pengurusan piutang/kredit macetnya
secara tertulis kepada PUPN melalui KP2LN, disertai berbagai dokumen
pendukung yang dapat membuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara
(seperti Perjanjian Kredit, Kontrak Kerja, Rekening Koran, dan
sebagainya) beserta dokumen lain yang dianggap perlu (dokumen barang
jaminan, dokumen pengikatan barang jaminan, dan sebagainya).
Gambar 5.1. Alur Prosedur Pengurusan Piutang Negara
MULAI
SURAT
PENYERAHAN
1)
1
2
MENGAKUI JML
HTG & SEPAKAT
CARA
PENYELESAIAN
5A)
SURAT
PENERIMAAN
PENGURUSAN
PIUTANG
NEGARA
3A)
PB
DITAATI
?
PB
7)
Y
BAYAR
8)
T
Juklak pengurusan piutang negara yang berlaku
pada saat buku ini ditulis
adalah
MENGAKUI
JUMLAH HUTANG
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
300/KMK.01/2002
tentang
Pengurusan
Piutang
TAPI TIDAK
PENELITIAN
Negara.KP2LN 2)
SEPAKAT CARA
PANGGILAN 2X
Y
PENYELESAIAN
Juknis pengurusan piutangDAN/ATAU
negara yang berlaku
pada saat buku iniLUNAS?
ditulis
adalah
SELESAI
5B)
9)
PENGUMUMAN
Keputusan Direktur Jenderal
Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep-25/PL/2002 tentang
PANGGILAN 4)
T
Petunjuk
Teknis Pengurusan Piutang Negara.
ADANYA &
BESARNYA
PASTI ?
3)
T
Y
WAWANC ARA 5)
MEMENUHI
PANGGILAN
?
Y
TIDAK
MENGAKUI
JUMLAH
HUTANG
5C)
LUNAS?
T 14B)
Y 14A)
PEMERIKSAAN 15)
Y 13A)
PSBDT 16)
LAKU?
146
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
2. KP2LN melakukan penelitian dokumen penyerahan yang hasilnya
dituangkan dalam Resume Hasil Penelitian Kasus (RHPK).
3. Dari RHPK tersebut dapat diketahui apakah kasus tersebut dapat diterima
untuk diurus (laik urus) atau tidak. Suatu piutang negara dikatakan laik
urus oleh PUPN bila adanya dan besarnya piutang negara tersebut dapat
dibuktikan secara hukum, dan
§ apabila laik urus, maka PUPN akan menerbitkan Surat Penerimaan
Pengurusan Piutang Negara (SP3N); atau
§ apabila tidak memenuhi syarat untuk diurus, maka PUPN akan
menerbitkan Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara, dan kasus
tersebut akan dikembalikan kepada Penyerah Piutang.
4. Setelah SP3N diterbitkan, maka KP2LN melakukan pemanggilan kepada
Penanggung Hutang (PH) dan/atau Penjamin Hutang (PjH), paling banyak
2 (dua) kali masing-masing berselang 7 (tujuh) hari. Bila PH/PjH tidak
diketahui keberadaannya, pemanggilan dapat dilakukan melalui
Pengumuman Panggilan pada media masa.
5. Apabila PH/PjH memenuhi panggilan, maka dilakukan wawancara yang
menyangkut pengakuan jumlah hutang, dan kesepakatan tentang cara dan
jangka waktu penyelesaian, serta sanksi bila PH/PjH wanprestasi/cidera
janji. Dari hasil wawancara, dapat diketahui kemungkinan sebagai berikut:
Pengurusan Piutang Negara
147
§
PH/PjH mengakui dan menyetujui jumlah hutangnya, serta
menyepakati cara dan jangka waktu penyelesaian;
§ PH/PjH mengakui dan menyetujui jumlah hutangnya, tapi tidak
menyepakati cara dan jangka waktu penyelesaian; atau
§ PH/PjH tidak mengakui dan/atau tidak menyetujui jumlah hutangnya
tanpa alasan yang sah.
6. Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) akan diterbitkan oleh PUPN
bila:
§ PH/PjH menghilang, tidak diketahui alamatnya, atau PH/PjH tidak
hadir memenuhi panggilan terakhir dan/atau pengumuman panggilan;
atau
§ PH/PjH hadir memenuhi panggilan, panggilan terakhir, atau
pengumuman panggilan, namun tidak mengakui dan/atau tidak
menyetujui jumlah hutangnya tanpa alasan yang sah.
7. Berdasarkan PJPN di atas, PUPN melaksanakan penagihan piutang negara
kepada PH/PjH secara sekaligus dengan Surat Paksa (SP). Tahap
pengurusan ini dilaksanakan sebagai berikut:
§ PUPN menerbitkan SP, yang berisi perintah kepada PH/PjH untuk
melunasi hutang dalam jangka waktu 1 X 24 jam sejak SP
diberitahukan; dan
§ Jurusita Piutang Negara memberitahukan SP tersebut kepada PH/PjH,
dengan menggunakan Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa.
8. Bila berdasarkan wawancara diketahui hasil sebagaimana dimaksud pada
butir 5A atau 5B, maka Pernyataan Bersama (PB) dibuat dan
ditandatangani bersama oleh PH/PjH dan Ketua PUPN.
9. Apabila PH/PjH mentaati isi PB, yang bersangkutan melaksanakan
pembayaran. Bila PH/PjH tidak mentaati isi PB (wanprestasi), PUPN akan
menerbitkan SP terhadap PH/PjH yang bersangkutan, sebagaimana
dimaksud pada butir 7.
10. Pembayaran yang dilakukan oleh PH/PjH sesuai ketentuan yang disepakati
pada PB, akan bermuara pada pelunasan hutangnya.
11. Apabila PH/PjH tidak memenuhi ketentuan SP, maka PUPN menerbitkan
Surat Perintah Penyitaan (SPP) terhadap barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain. SPP tersebut ditindaklanjuti dengan pelaksanaan penyitaan
oleh Jurusita Piutang Negara dengan menggunakan Berita Acara
Penyitaan.
148
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
12. Apabila debitor tetap tidak menyelesaikan hutangnya kepada negara
walaupun barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain miliknya telah
disita, maka tahap pengurusan akan ditingkatkan ke arah lelang barang
jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik PH/PjH yang telah disita.
Tahap pengurusan ini akan dilaksanakan sebagai berikut:
§ PUPN menerbitkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS)
yang memerintahkan Kepala KP2LN untuk melakukan penjualan di
muka umum (lelang) terhadap barang yang telah disita tersebut; dan
§ pelaksanaan lelang dihadapan Pejabat Lelang.
13. Pelaksanaan lelang barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik
PH/PjH dapat
§ berhasil (laku); atau
§ tidak berhasil (tidak laku), dan terhadap barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain tersebut akan dilakukan lelang ulang.
14. Terdapat 2 (dua) kemungkinan hasil yang diperoleh bila barang jaminan
dan/atau harta kekayaan lain tersebut laku terjual lelang, dan tidak ada lagi
barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang tersisa, yaitu:
§ piutang negara lunas; atau
§ piutang negara tidak lunas.
15. Bila piutang negara belum lunas meski sudah tidak ada lagi barang
jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik PH/PjH, maka untuk piutang
negara yang memenuhi persyaratan akan dilakukan pemeriksaan untuk
mengetahui:
§ kemampuan PH/PjH;
§ keberadaan harta kekayaan lain; atau
§ keberadaan diri PH/PjH bila yang bersangkutan menghilang, atau tidak
diketahui alamatnya.
16. Bila piutang negara belum lunas dan telah memenuhi persyaratan, maka
PUPN akan menghentikan sementara pengurusan piutang negara tersebut
dengan menerbitkan pernyataan Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih
(PSBDT).
Di samping proses pengurusan piutang negara sebagaimana yang
diuraikan di atas, PUPN/DJPLN dapat menempuh upaya hukum lain seperti
melakukan penyanderaan/paksa badan (gijzeling/lijfdwang), serta pencegahan
bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia terhadap PH/PjH. Waktu
pelaksanaan upaya hukum lain tersebut, walaupun tidak secara tegas diatur,
umumnya dilaksanakan setelah terbitnya SP.
Pengurusan Piutang Negara
149
Dalam uraian tentang proses pengurusan piutang negara tersebut,
terdapat beberapa terminologi yang perlu mendapat perhatian secara serius dan
memerlukan adanya kesamaan pengertian dari semua pihak yang terkait
dengan pengurusan piutang negara. Beberapa terminologi tersebut di atas,
secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Terminologi teknis yuridis, yang merupakan nama produk hukum yang
diterbitkan dan ditandatangani oleh Ketua PUPN Cabang, yaitu mulai dari
SP3N, PB, PJPN, SP, SPP, SPPBS, SPPS (Surat Perintah Pengangkatan
Sita), Surat Perintah Penyanderaan/Paksa Badan, penetapan PSBDT
(Piutang Sementara Belum Dapat diTagih) dan sebagainya.
2. Terminologi non teknis yuridis, yaitu surat-surat yang:
§ merupakan tindak lanjut/pelaksanaan dari putusan-putusan PUPN
tersebut pada butir 1 (satu) di atas, seperti RHPK, Surat Panggilan
kepada PH/PjH, surat pemblokiran rekening/harta kekayaan debitor
yang disimpan di Bank, surat pemblokiran tanah dan/atau bangunan
kepada Kantor Pertanahan; atau
§ bukan merupakan produk hukum yang diterbitkan dan ditandatangani
oleh Ketua PUPN Cabang, seperti Surat Keputusan Pencegahan
Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia.
Surat/dokumen tersebut dibuat dan diterbitkan oleh Kantor Pusat
DJPLN sebagai pelaksanaan kewenangan Menteri Keuangan terkait
dalam pengurusan piutang negara.
Penyerahan Pengurusan Piutang Negara
Penyerahan pengurusan piutang negara wajib dilakukan oleh para
Penyerah Piutang, yang menurut Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960
adalah Instansi-Instansi Pemerintah atau Badan-Badan yang kekayaannya
baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai Negara. Penyerahan
pengurusan tersebut disampaikan Penyerah Piutang secara tertulis kepada
PUPN Cabang melalui KP2LN yang wilayah kerjanya merupakan bagian dari
wilayah kerja PUPN Cabang yang bersangkutan. Secara umum, KP2LN
melalui siapa pengurusan piutang negara diserahkan, dipilih Penyerah Piutang
dengan pertimbangan:
1. Tempat kedudukan Penyerah Piutang sama dengan tempat kedudukan
KP2LN, misalnya:
150
§
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk. Cabang Rasuna Said Jakarta
menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN Cabang DKI
Jakarta melalui KP2LN Jakarta I;
§ PT. Jamsostek (Persero) Cabang Bekasi menyerahkan pengurusan
piutangnya kepada PUPN Cabang Jawa Barat melalui KP2LN Bekasi.
2. Wilayah kerja Penyerah Piutang mencakup juga tempat kedudukan
KP2LN, misalnya Perum Sarana Pengembangan Usaha Cabang Semarang,
yang wilayah kerjanya meliputi kota Purwokerto, menyerahkan
pengurusan piutangnya kepada PUPN Cabang Jawa Tengah melalui
KP2LN Purwokerto, dan tidak melalui KP2LN Semarang;
3. Tempat kedudukan Penyerah Piutang termasuk dalam wilayah kerja
KP2LN, misalnya PT. Bank BRI (Persero) Cabang Purwakarta
menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN Cabang Jawa Barat
melalui KP2LN Bekasi.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab IV, tempat kedudukan dan
wilayah kerja KP2LN adalah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 445/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang
Dan Lelang Negara. Tempat kedudukan dan daerah wewenang PUPN Cabang
diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 533/KMK.08/2002
tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Nomor 61/KMK.08/2002 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara.
Penyerahan pengurusan piutang kepada PUPN merupakan proses
pertama yang harus dilakukan oleh Penyerah Piutang dalam pengurusan
piutang negara. Penyerahan tersebut harus disertai dengan resume
perkembangan pengurusan/penagihan piutang yang diserahkan tersebut, dan
dokumen yang terkait. Resume tersebut berisi informasi sebagai berikut:
1. Identitas Penyerah Piutang.
2. Identitas Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.
3. Bidang usaha Penanggung Hutang, antara lain industri, manufaktur
perdagangan, pertanian, perkebunan atau bidang usaha lainnya.
4. Keadaan usaha Penanggung Hutang pada saat pengurusan piutang negara
atas namanya diserahkan ke PUPN Cabang.
5. Dasar hukum terjadinya hutang, antara lain perjanjian kredit, akta
pengakuan hutang, peraturan atau dasar hukum lainnya.
6. Jenis piutang negara antara lain kredit investasi, kredit modal kerja, kredit
umum, dana reboisasi, jasa pelabuhan atau jenis piutang negara lainnya.
Pengurusan Piutang Negara
151
7. Penjamin Kredit oleh pihak ketiga antara lain PT. Askrindo, PT. ASEI,
PERUM PKK atau Lembaga Penjamin lainnya.
8. Sebab-sebab kredit/piutang dinyatakan macet seperti kesalahan
manajemen, kerusuhan sosial atau sebab-sebab lainnya.
9. Tanggal realisasi kredit dan tanggal Penyerah Piutang mengkategorikan
kredit sesuai peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia dalam hal
Piutang Negara berasal dari perbankan atau tanggal PH dinyatakan
wanprestasi sesuai perjanjian, peraturan, surat keputusan pejabat
berwenang atau sebab apapun dalam hal Piutang Negara berasal dari Non
Perbankan.
10. Rincian hutang yang terdiri dari saldo hutang pokok, bunga, denda dan
ongkos/beban lainnya.
11. Daftar barang jaminan yang memuat uraian barang pengikatan, kondisi dan
nilai barang jaminan pada saat penyerahan, dalam hal penyerahan
didukung oleh barang jaminan.
12. Daftar harta kekayaan lain.
13. Penjelasan singkat upaya-upaya
penyelesaian piutang yang telah
dilakukan oleh PP dan
14. Informasi lainnya yang dianggap perlu disampaikan oleh PP antara lain PH
dan atau PjH sudah tidak diketahui tempat tinggalnya, ada kasus gugatan
di Pengadilan atau barang jaminan telah disita Pengadilan Negeri untuk
kepentingan pihak lain.
Selain resume yang berisi uraian di atas, penyerahan pengurusan
piutang negara juga dilampiri dokumen, yang berdasarkan tujuannya, dapat
dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
1. jenis dokumen yang dapat membuktikan adanya dan besarnya piutang
negara; dan
2. jenis dokumen yang terkait dengan penjaminan (baik perjanjian
penjaminan,
dokumen
asli
barang
jaminannya,
maupun
pengikatan/pembebanan Hak Tanggungan atau Jaminan Fidusia).
Pada tahap penyerahan pengurusan, dokumen yang dilampirkan tidak
harus dokumen asli tetapi cukup fotokopi dokumen saja. Dokumen-dokumen
yang dilampirkan tersebut adalah sebagai berikut:
1. penyerahan pengurusan piutang negara perbankan, dilampiri dengan
fotokopi:
152
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
a. perjanjian kredit (dan addendum perjanjian kredit jika ada), akta
pengakuan hutang, cessie, letter of crediet (LC) atau dokumen lain
yang sejenis yang dapat membuktikan adanya piutang;
b. rekening koran, prima nota, mutasi piutang dan atau dokumen lain
yang sejenis yang dapat membuktikan besarnya piutang;
c. dokumen barang jaminan serta pengikatannya dan surat pernyataan
kesanggupan Penyerah Piutang untuk mengajukan permohonan roya,
bila piutang yang diserahkan pengurusannya didukung dengan barang
jaminan;
d. Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor atau bukti diri Penanggung
Hutang dan/atau Penjamin Hutang;
e. daftar kekayaan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang
diperkuat dengan
dokumen kepemilikannya (bila ada) seperti
sertifikat, Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat
Tanda Nomor Kendaraan (STNK); dan
f. surat menyurat antara Penyerah Piutang dengan Penanggung Hutang
dan/atau Penjamin Hutang yang berkaitan dengan upaya-upaya yang
telah dilaksanakan dalam rangka penyelesaian hutang;
g. Akta Pendirian Perusahaan, pengumuman akta pendirian perusahaan
dalam Tambahan Berita Negara, beserta akta perubahannya, tanda
pengenal/pendaftaran perusahaannya dan atau identitas lainnya;
h. izin usaha, izin mendirikan bangunan dan atau surat-surat izin lainnya;
i. surat pemberitahuan dari Penyerah Piutang kepada Penanggung
Hutang bahwa pengurusan piutang negara diserahkan ke PUPN
Cabang.
2. penyerahan pengurusan piutang negara non perbankan oleh
BUMN/BUMD, dilampiri dengan fotokopi:
a. perjanjian, kontrak, surat perintah kerja, surat keputusan, peraturan
atau dokumen lain yang sejenis, yang dapat membuktikan adanya
piutang;
b. mutasi keuangan, faktur, resi, bon sementara rekening, tagihan kartu
kredit atau dokumen lain yang sejenis yang dapat membuktikan
besarnya piutang; dan
c. dokumen barang jaminan serta pengikatannya dan surat pernyataan
kesanggupan Penyerah Piutang untuk mengajukan permohonan roya,
bila piutang yang diserahkan pengurusannya didukung dengan barang
jaminan.
Pengurusan Piutang Negara
153
3. penyerahan pengurusan piutang yang diserahkan oleh Istansi Pemerintah
dan Lembaga Negara berupa Tuntutan Ganti Rugi (TGR) bagi Pegawai
Negeri Sipil bukan bendahara, dilampiri dengan fotokopi:
a. Laporan Kerugian Negara oleh atasan pegawai negeri yang dituntut
/Kepala Kantor;
b. Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak;
c. surat pemberitahuan dari Menteri/Ketua Lembaga Negara yang
bersangkutan kepada pihak/pegawai negeri yang dituntut;
d. Surat Keputusan Pembebanan Tingkat Pertama yang ditetapkan oleh
Menteri/Ketua Lembaga Negara;
e. Surat Keputusan Pembebanan Tingkat Banding; dan
f. surat-surat hasil pemeriksaan.
4. penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah dan Lembaga
Negara berupa Tuntutan Ganti Rugi bagi Pegawai Negeri Sipil selaku
Bendahara dilampiri dengan fotokopi:
a. hasil pemeriksaan yang mengungkapkan adanya kerugian negara;
b. berita acara pemeriksaan kas;
c. daftar pernyataan untuk menyusun Laporan Pemeriksaan Keuangan
Perbendaharaan guna keperluan proses Tuntutan Perbendaharaan;
d. Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak;
e. bukti angsuran kerugian negara;
f. surat keputusan menteri/ketua lembaga negara tentang penggantian
sementara;
g. Surat Keputusan Pembebanan Badan Pemeriksa Keuangan yang terdiri
dari :
♦ Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu untuk Menjawab;
♦ Surat Keputusan Pembebanan; dan/atau
♦ Surat Keputusan Pembebanan Tingkat banding; dan
♦ Surat kuasa untuk menjual barang.
5. penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah dan Lembaga
Negara berupa piutang ikatan dinas, dilampiri dengan fotokopi:
a. surat perjanjian;
b. surat keputusan Menteri/Ketua Lembaga Pemerintah Non Departemen
yang terdiri dari:
♦ Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil;
154
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
♦ Surat Keputusan Pemberhentian; dan
♦ perhitungan jumlah biaya yang harus dibayarkan.
6. penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah berupa piutang
Bea Masuk/Bea Masuk Tambahan, dilampiri dengan fotokopi:
a. bukti rincian perhitungan tagihan;
b. Pemberitahuan Import Untuk Dipakai/Pemberitahuan Import Barang
beserta lampiran-lampirannya; dan
c. Nomor Pokok Wajib Pajak.
7. penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah berupa piutang
Pajak Ekspor, dilampiri dengan fotokopi:
1) bukti rincian Perhitungan Pajak Ekspor; dan
2) Pemberitahuan Ekspor Barang.
8. penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah sektor kehutanan
berupa:
a. Tunggakan iuran Hasil Hutan/Provisi Sumber Daya Hutan dan dana
Reboisasi, dilampiri dengan fotokopi:
♦ Akta Pendirian Perusahaan pada saat memperoleh Hak
Pengusahaan Hutan berikut susunan direksinya;
♦ Surat Keputusan Penunjukan Selaku Pemegang Hak Konsesi
Hak Pengusahaan Hutan/Hak Pemanfaatan Hasil Hutan, Izin
Pemanfaatan Kayu dan izin lainnya;
♦ Surat Perintah Pembayaran Tunggakan Iuran Hasil Hutan/Provisi
Sumber Daya hutan dan dana Reboisasi;
♦ bukti rincian tunggakan; dan
♦ surat keputusan tentang terjadinya kerugian negara.
b. Tagihan atas Pelanggaran Eksploitasi Hutan, dilampiri dengan
fotokopi:
♦ Surat Keputusan Penunjukan Pemegang Hak Konsesi Hak
Pengusahaan Hutan;
♦ Akta Pendirian Perusahaan/Hak Pemanfaatan Hasil Hutan, Izin
Pemanfaatan Kayu, dan izin lainnya;
♦ foto/peta udara yang menunjukkan blok-blok dan batas konsesi;
♦ Laporan Hasil Pemeriksaan dan berita acara pemeriksaan di
lapangan;
Pengurusan Piutang Negara
155
♦ surat keputusan tentang terjadinya kerugian negara; dan
♦ surat-surat penjatuhan sanksi denda.
9. penyerahan pengurusan piutang oleh Badan Usaha Logistik, dilampiri
dengan fotokopi:
a. Akta Pendirian Perusahaan;
b. nota klaim;
c. surat perjanjian; dan
d. kontrak kerja.
10. Penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah sektor
pertambangan, yaitu fotokopi :
a. Akta Pendirian Perusahaan;
b. Surat Penunjukan Kontraktor Penambang; dan
c. bukti rincian perhitungan tagihan.
11. penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah instansi
pemerintah sektor kesehatan berupa tagihan biaya rumah sakit, dilampiri
dengan fotokopi:
a. bukti rincian tagihan; dan
b. surat pernyataan penanggungjawab hutang.
12. penyerahan pengurusan piutang proyek-proyek pemerintah, dilampiri
dengan fotokopi:
a. bukti rincian perusahaan;
b. Perjanjian Kontrak;
c. Surat Perintah Kerja; dan
d. Laporan Hasil Pemeriksaan dan atau bukti rincian ganti rugi.
13. penyerahan pengurusan piutang oleh Badan Penyehatan Perbankan
Nasional, yaitu:
a. piutang yang berasal dari kredit perbankan berupa fotokopi dokumen
sebagaimana dimaksud dalam rincian butir 1 di atas;
b. piutang yang bukan berasal dari kredit perbankan berupa fotokopi
dokumen:
§ Akta Pengakuan Utang, MSAA, MRNIA atau perjanjian yang
sejenis;
§ bukti pemilikan dan bukti pengikatan;
§ rekening koran, mutasi keuangan atau dokumen yang sejenis dan;
156
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
§
dokumen-dokumen lain yang mendukung adanya dan besarnya
piutang negara.
Selain ketentuan tentang lampiran surat penyerahan, terdapat ketentuan
lain yang terkait dengan penyerahan pengurusan piutang negara dari Penyerah
Piutang kepada PUPN Cabang. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. batas paling sedikit besaran piutang negara yang diserahkan
pengurusannya kepada PUPN Cabang adalah Rp. 2.000.000,00 (dua juta
rupiah) untuk setiap kasus. Batasan tersebut tidak berlaku bagi piutang
Instansi Pemerintah dan Lembaga Negara Tingkat Pusat maupun Daerah;
2. bila pada waktu yang bersamaan Penyerah Piutang menyerahkan lebih
dari 1 (satu) berkas kasus pengurusan piutang negara, maka setiap berkas
kasus dilengkapi surat penyerahan dengan nomor surat tersendiri;
3. bila berkas kasus yang diserahkan belum lengkap atau KP2LN yang
menerima penyerahan membutuhkan adanya informasi tambahan sebagai
bahan pengurusan, KP2LN yang bersangkutan dapat meminta tambahan
kelengkapan data kepada Penyerah Piutang. Demikian pula bila terdapat
suatu kasus tertentu, KP2LN secara selektif dapat meminta Penyerah
Piutang untuk memberikan ekspose atas kasus yang diserahkan dan/atau
melakukan penelitian ”on the spot” (lapangan);
4. bila terdapat piutang yang berasal dari kredit sindikasi/konsorsium,
sepanjang terdapat piutang negara yang harus diselesaikan, pengurusannya
dapat diserahkan kepada PUPN Cabang melalui KP2LN. Pihak yang
bertindak selaku Penyerah Piutang adalah anggota sindikasi yang berasal
dari Badan Usaha Milik Negara.
Ketentuan tentang hal ini diperjelas dengan surat Menteri Keuangan yang
ditujukan kepada sebuah bank swasta asing (milik seorang Jepang) yang
bersindikasi/ berkonsorsium dengan Bank BUMN. Surat dengan Nomor
1191/MK.09/1991 tanggal 30 Oktober 1991 tersebut, pada intinya berisi:
a. Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (sekarang DJPLN) akan
menerima pengurusan kredit macet dari Bank-bank BUMN tanpa
melihat keterkaitan kredit tersebut dengan sindikasi/konsorsium
sepanjang terdapat kepentingan Bank BUMN berupa piutang macet
yang harus diselesaikan.
b. Hasil pengurusan piutang negara tersebut pada butir a. di atas diberikan
kepada Bank BUMN bersangkutan selaku Penyerah Piutang setelah
Pengurusan Piutang Negara
157
diperhitungkan biaya administrasi pengurusan piutang negara sesuai
peraturan perundangan yang berlaku.
c. Bila kredit yang diberikan secara sindikasi/konsorsium, penyelesaian
piutang macet Bank BUMN yang bersangkutan oleh BUPLN tidak
mengurangi hak Kreditur lainnya berdasarkan perjanjian dan ketentuan
hukum yang berlaku atas hasil pengurusan yang diperoleh.
Penelitian Dokumen Penyerahan dan Perhitungan
Besarnya Piutang Negara
Penyerahan pengurusan piutang negara dari Penyerah Piutang
ditindaklanjuti KP2LN dengan melakukan penelitian atas surat penyerahan
berikut lampirannya, dan melakukan perhitungan besarnya piutang negara.
Kedua kegiatan tersebut akan diuraikan berikut ini.
Penelitian Dokumen Penyerahan
Penelitian atas surat penyerahan berikut dokumen-dokumen yang
dilampirkan dilakukan KP2LN dalam rangka mencari kepastian tentang
adanya dan besarnya piutang negara. Kepastian tersebut harus dapat didukung
dengan bukti-bukti yang sah, yang seharusnya sudah dipenuhi dan dilengkapi
melalui dokumen-dokumen yang dilampirkan dalam surat penyerahan.
Hasil penelitian tersebut di atas dituangkan dalam Resume Hasil
Penelitian Kasus (RHPK). Salah satu muatan yang terkandung dalam RHPK
tersebut adalah pendapat petugas peneliti tentang dapat atau tidaknya piutang
tersebut diurus oleh PUPN. Apabila berdasarkan hasil penelitian diperoleh
kepastian tentang adanya dan besarnya piutang, maka di dalam RHPK akan
dicantumkan pendapat bahwa piutang tersebut dapat diurus oleh PUPN.
Demikian juga sebaliknya, bila adanya dan besarnya piutang tidak dapat
dibuktikan secara hukum, maka di dalam RHPK akan dicantumkan pendapat
bahwa piutang tersebut tidak laik urus oleh PUPN.
Perhitungan Besarnya Piutang Negara
Bila berdasarkan penelitian diketahui bahwa adanya piutang dapat
dibuktikan secara hukum, maka petugas peneliti melakukan perhitungan
jumlah piutang. Perhitungan jumlah piutang tersebut dilakukan untuk
mengetahui besarnya jumlah hutang yang dapat dibuktikan secara hukum.
158
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
Untuk itu, perhitungan besarnya piutang negara harus didasarkan
pada
dokumen-dokumen yang sah yang dilampirkan dalam surat penyerahan.
Perhitungan besarnya piutang negara dilakukan sesuai cara yang telah
diuraikan pada Bab III, dan hasil perhitungan merupakan salah satu bagian
dalam RHPK. Selain itu, dalam menghitung besarnya piutang negara, petugas
peneliti harus memperhatikan kemungkinan adanya pembayaran-pembayaran
pada periode sejak 6 bulan setelah piutang dinyatakan macet sampai pada
pengurusan piutang diserahkan kepada PUPN, seperti:
1. pembayaran yang dilakukan oleh Penanggung Hutang atau oleh pihak lain
untuk kepentingan Penanggung Hutang yang merupakan angsuran hutang,
diperhitungkan sebagai pengurangan jumlah hutang;
2. pembayaran yang terkait dengan polis asuransi atas barang jaminan, biaya
pembebanan Hak Tanggungan/Jaminan Fiducia, biaya perpanjangan hak
atas tanah, biaya pengukuhan hak atas tanah, dan biaya-biaya lainnya
sesuai perjanjian antara Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang,
diperhitungkan sebagai penambahan jumlah hutang.
Perhatian yang seksama atas pembayaran-pembayaran tersebut
dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam petunjuk pelaksanaan pengurusan
piutang negara yang mengatur bahwa pembebanan bunga (bila ada) hanya
dapat dilakukan paling banyak selama 6 (enam) bulan sejak piutang
dinyatakan macet.
Aplikasi atas ketentuan tersebut dapat digambarkan dengan contoh
sebagai berikut:
1. Piutang atas nama PT. Hutang Slalu ditetapkan sebagai piutang macet pada
tanggal 1 Maret 2000, dengan rincian sebagai berikut:
a. Pokok hutang : Rp.200.000.000,00
b. Bunga
: Rp. 40.000.000,00
c. Jumlah
: Rp.240.000.000,00
2. Data di dalam rekening koran, terdapat informasi sebagai berikut:
a. pada tanggal 1 September 2000, rincian hutang adalah sebagai berikut:
1) Pokok hutang : Rp.200.000.000,00
2) Bunga
: Rp. 43.000.000,00
3) Jumlah
: Rp.243.000.000,00
b. pada tanggal 1 Oktober 2000 terdapat pembebanan kepada Penanggung
Hutang sebesar Rp.500.000,00, sebagai akibat pembayaran polis
159
Pengurusan Piutang Negara
asuransi kebakaran atas barang jaminan, sehingga rincian hutang pada
tanggal tersebut adalah:
1) Pokok hutang
:Rp.200.000.000,00
2) Bunga
:Rp. 43.500.000,00
3) Ongkos-ongkos :Rp.
500.000,00
4) Jumlah
:Rp.244.000.000,00
c. pada tanggal 1 November 2000 terdapat pembayaran angsuran sebesar
Rp.1.000.000,00, sehingga rincian hutang pada tanggal tersebut adalah:
1) Pokok hutang
:Rp.199.750.000,00
2) Bunga
:Rp. 43.250.000,00
3) Ongkos-ongkos :Rp.
500.000,00
4) Jumlah
:Rp.243.000.000,00
3. Piutang tersebut, diserahkan kepada PUPN Cabang melalui KP2LN pada
tanggal 1 Desember 2000, dengan rincian sebagai berikut:
a. Pokok hutang
:
Rp.199.750.000,00
b. Bunga
:
Rp. 43.750.000,00
c. Ongkos-ongkos :
Rp.
500.000,00
d. Jumlah
:
Rp. 244.500.000,00
Dari data tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jumlah hutang PT.
Hutang Selalu adalah Rp. 242.500.000,00, dengan perhitungan sebagai
berikut:
Uraian
Hutang Pokok
(Rp.)
Posisi macet + 6
200.000.000,00
bulan
Penambahan
setelah
posisi
macet + 6 bulan
Pengurangan
setelah
posisi
macet + 6 bulan
Rincian
jumlah
0,00
Bunga
(Rp.)
43.000.000,00
0,00
(250.000,00)
( 750.000,00)
199.750.000,00
42.250.000,00
Ongkos
(Rp.)
0,00
500.000,00
0,00
500.000,00
Jumlah
(Rp.)
243.000.000,00
500.000,00
(1.000.000,00)
242.500.000,00
160
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
hutang
Penolakan dan Penerimaan Pengurusan Piutang
Negara
Penolakan Pengurusan Piutang Negara
Bila di dalam RHPK tercantum pendapat bahwa piutang tidak laik urus
oleh PUPN karena adanya dan besarnya piutang tidak dapat dibuktikan secara
hukum, maka PUPN Cabang akan menolak pengurusan piutang negara yang
bersangkutan. Penolakan pengurusan tersebut dilakukan dengan penerbitan
Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara yang ditandatangani oleh Ketua
PUPN Cabang.
Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
Bila di dalam RHPK tercantum pendapat bahwa piutang laik urus oleh
PUPN karena adanya dan besarnya dapat dibuktikan secara hukum, maka
PUPN Cabang akan menerima pengurusan piutang negara yang bersangkutan.
Penerimaan pengurusan tersebut dilakukan dengan penerbitan Surat
Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) yang ditandatangani Ketua
PUPN Cabang. SP3N tersebut merupakan dasar hubungan antara Penyerah
Piutang yang memiliki piutang dengan PUPN yang akan melakukan
penagihan/pengurusan piutang.
Selain itu, SP3N dapat juga dikatakan sebagai peristiwa hukum yang
menandai beralihnya pengelolaan hak tagih kredit/piutang macet yang semula
berada di tangan Penyerah Piutang kepada pengelolaan PUPN. Hubungan
hukum yang semula bersifat perdata (yaitu antara Penanggung Hutang dan
Penyerah Piutang), menjadi hubungan hukum yang bersifat publik (yaitu
antara PUPN dan Penanggung Hutang). Hubungan hukum yang semula
berlaku antara kreditor dan debitor sebagai sesama warga negara dengan
derajat yang sama menjadi hubungan hukum antara negara yang diwakili oleh
PUPN dengan debitor selaku warga negara pada umumnya.
Sejak terbitnya SP3N, ketentuan hukum yang mendasari pengurusan
piutang atas nama Penanggung Hutang tersebut adalah rezim hukum PUPN,
yaitu Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dengan segenap peraturan
pelaksanaannya.
Pengurusan Piutang Negara
161
Dari konstelasi hukum yang demikian dapatkah SP3N disamakan
dengan “cessie” sebagaimana lazim dikenal dalam hukum perdata di
Indonesia? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini tentunya perlu diketahui
terlebih dahulu, apakah cessie itu?
Ketentuan tentang cessie diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata yang
pada pokoknya adalah “penjualan” hak tagih dari kreditor lama kepada
kreditor baru dengan cara “penyerahan” atau levering, atau disebut juga
dengan istilah overdracht. Menurut ketentuan hukum perdata yang berlaku,
penjualan/penyerahan hak tagih dari kreditor lama yang disebut “cedent”
kepada kreditor baru yang disebut “cessionaris” harus dilakukan dengan akta
otentik dan tidak boleh dengan lisan misalnya dengan cara menyerahkan surat
piutangnya saja (R. Subekti, 1980).
Dari uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa di dalam Cessie
terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
1. ada kreditor dan debitor;
2. kreditor mempunyai hak tagih terhadap debitor;
3. hak tagih tersebut dapat dipindah tangankan/dialihkan atau dijual oleh
kreditor lama kepada pihak lain sebagai kreditor baru;
4. kreditor lama disebut “Cedent” dan kreditor baru disebut “Cessionaris”;
5. cara pengalihan/pemindahan hak tagih dilakukan dengan metode
penyerahan atau levering/overdracht yang harus dilakukan dengan suatu
akta otentik atau tulisan di bawah tangan. Cara inilah yang disebut cessie.
Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam dunia perdagangan,
cessie seringkali dilakukan dan bahkan sudah merupakan kebutuhan nyata
para pedagang guna memenuhi kebutuhan cash flow. Tindakan alih kreditor
ini tidak memerlukan adanya persetujuan dari debitornya, namun kepada
debitor harus diberitahukan adanya alih kreditor setelah dibuatnya akta cessie.
Hal penting bagi debitor dengan adanya cessie tersebut adalah tidak adanya
perubahan jumlah hutang serta jangka waktu atau saat tertentu tagihan tersebut
harus dibayar.
Bagaimana halnya dengan SP3N, apakah metode penyerahan piutang
dari PP kepada PUPN dilakukan secara tertulis atau dengan akta otentik.
Apakah dengan terbitnya SP3N, PUPN dapat disebut atau disamakan dengan
Cessionaris (kreditor baru). Secara sepintas, memang terdapat banyak
persamaan antara Cessie dengan SP3N namun bila dicermati lebih mendalam
terdapat adanya berbagai perbedaan. Dapat dikatakan bahwa antara keduanya
adalah serupa tetapi tidak sama atau sama namun tidak serupa.
Perbedaan antara SP3N dan cessie adalah sebagai berikut:
162
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
1. meskipun cessie seringkali dilakukan dalam dunia bisnis namun
mengalihkan hak tagih kepada kreditor baru (cessionaris) bukan
merupakan keharusan bagi kreditor (cedent), sedangkan dalam SP3N terbit
karena adanya kewajiban Penyerah Piutang untuk menyerahkan
kredit/piutang macetnya kepada PUPN;
2. dalam Cessie, kreditor lama dapat menyerahkan hak tagihnya kepada siapa
saja sebagai kreditor baru asal dicapai kesepakatan di antara keduanya,
sedangkan dalam SP3N, penagihan atas kredit/piutang macetnya hanya
dapat diserahkan oleh Penyerah Piutang kepada PUPN. Bahkan dalam
Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang
PUPN, Penyerah Piutang dilarang menyerahkan pengurusan piutang/kredit
macetnya kepada pengacara sekalipun, apalagi kepada pihak lain yang
bukan pengacara;
3. dalam cessie jumlah piutang atau hak tagih yang dialihkan tidak berubah
sedangkan dalam SP3N jumlah tagihan dapat berubah sesuai ketentuan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi piutang negara non
perbankan, dan sesuai dengan ketentuan kolektilibitas kredit perbankan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia bagi piutang negara perbankan;
4. dalam cessie tidak dikenal adanya tambahan beban bagi debitor, sedangkan
dalam SP3N jumlah tagihan akan ditambah dengan Biaya Administrasi
Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) yang besarnya ditetapkan antara
1% sampai dengan 10% dari jumlah hutang (tagihan);
5. dalam cessie hasil penagihan seluruhnya menjadi milik kreditor baru
(cessionaris), sedangkan dalam SP3N, hasil tagihan atas pokok hutang
ditambah bunga, denda, dan ongkos-ongkos (BDO) diserahkan kepada
Penyerah Piutang.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa SP3N tidak
sama dengan cessie. Bila terdapat kesamaan antara SP3N dan cessie,
kesamaan tersebut hanya terletak pada adanya mekanisme penyerahan hak
tagih secara tertulis baik otentik maupun di bawah tangan, serta keduanya
mengenal adanya cessionaris (kreditor baru). PUPN sebagai kreditor baru
dijumpai secara jelas dalam naskah penjelasan Pasal 10 UU Nomor 49 Tahun
1960 tentang PUPN (di dalam kalimat terakhir) yang berbunyi, “Pemakaian
sistim surat paksa dalam pajak dapat dipertanggungjawabkan oleh karena
kinipun Negaralah yang merupakan pihak yang berpiutang”.
Hal-hal yang harus dimuat dalam SP3N adalah:
1. nomor dan tanggal Surat Penyerahan Pengurusan Piutang Negara;
2. identitas Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang;
Pengurusan Piutang Negara
163
3. pernyataan menerima Pengurusan Piutang Negara;
4. rincian dan jumlah Piutang Negara yang telah diperhitungkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana; dan
5. tanda tangan Ketua PUPN Cabang.
Sejak SP3N ditetapkan oleh Ketua PUPN Cabang maka Pengurusan
Piutang Negara beralih sepenuhnya kepada PUPN Cabang dan
penyelenggaraannya dilakukan oleh KP2LN. Dengan ditetapkannya SP3N
maka pengurusan piutang macet yang selama ini diselesaikan oleh Kreditur
(Penyerah Piutang) menjadi piutang negara yang pengurusannya menjadi
kompetensi PUPN Cabang dan KP2LN. Pelaksanaan Pengurusan Piutang
Negara tersebut tunduk sepenuhnya pada Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya yaitu:
1. petunjuk pelaksanaan pengurusan piutang negara, yang terakhir ditetapkan
Menteri Keuangan dengan Nomor 300/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni
2002; dan
2. petunjuk teknis pengurusan piutang negara yang ditetapkan Direktur
Jenderal Piutang dan Lelang Negara dengan Nomor 25/PL/2002 tanggal
18 September 2002 dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait.
Dalam hal Penanggung Hutang adalah BUMN, BUMD, InstansiInstansi Pemerintah atau Lembaga Negara, maka SP3N tidak diterbitkan oleh
PUPN. Apabila terdapat penyerahan pengurusan piutang negara dengan
Penanggung Hutang adalah seperti tersebut di atas, dan berdasarkan RHPK
piutang tersebut laik urus, maka penyerahan piutang tersebut akan diterima.
Penerimaan pengurusan tersebut dilakukan dengan menerbitkan Surat Tanda
Terima Penyerahan yang ditandatangani oleh Kepala KP2LN yang dalam
pelaksanaan pengurusan piutang tersebut bertindak sebagai Mediator.
Pengurusan semacam ini tidak dikenakan Biaya Administrasi.
Setelah SP3N diterbitkan, pada prinsipnya koreksi besaran piutang
negara tidak dapat dilakukan. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah,
koreksi dapat dilakukan apabila berdasarkan hasil penelitian atas bukti-bukti
yang bersumber dari Penyerah Piutang maupun dari Penanggung Hutang
diketahui bahwa terdapat:
1. pembayaran dari Penanggung Hutang yang tidak tercatat; dan/atau
2. kesalahan perhitungan oleh Penyerah Piutang.
Koreksi besaran piutang negara yang dilakukan tersebut tidak boleh dilakukan
dengan maksud memberi keringanan hutang. Selain itu, koreksi tersebut
diperhitungkan pada saat menetapkan besarnya piutang negara dalam
Pernyataan Bersama atau Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN).
164
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
Selain koreksi besaran piutang negara, terdapat kemungkinan
terjadinya perubahan besaran piutang negara setelah SP3N diterbitkan. Pada
prinsipnya, perubahan besaran piutang negara tersebut tidak dapat dilakukan
agar kepastian jumlah hutang tetap dapat dipertahankan, sehingga kewenangan
parate eksekusi dapat dilaksanakan. Namun demikian, perubahan besaran
piutang negara setelah terbitnya SP3N dapat dilaksanakan bila berdasarkan
hasil penelitian atas bukti-bukti yang bersumber dari Penyerah Piutang
maupun dari Penanggung Hutang diketahui bahwa terdapat:
1. pembebanan biaya-biaya Polis Asuransi, pembayaran atas pembebanan
Hak Tanggungan/ Jaminan Fidusia, perpanjangan hak atas tanah dan
biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan; dan/atau
2. persetujuan keringanan jumlah hutang.
Registrasi, Hasil, dan Verifikasi Pengurusan Piutang
Negara
Registrasi Pengurusan Piutang Negara
Registrasi adalah kegiatan atau tindakan melakukan pencatatan.
Registrasi pengurusan piutang negara adalah pencatatan segala data yang
berasal dari berkas penyerahan piutang macet dari Penyerah Piutang,
pencatatan semua tahapan pengurusan yang telah dilaksanakan PUPN
Cabang/KP2LN, serta pencatatan data dokumen dan fisik barang jaminan.
Pencatatan tersebut harus dilaksanakan secara cermat, tepat, akurat,
dan benar, karena registrasi yang salah akan menyebabkan terjadinya
kekeliruan pelaksanaan tahap pengurusan yang mempunyai dampak terhadap
hasil Pengurusan Piutang Negara. Pada tingkat yang ekstrim, kekeliruan
pelaksanaan tahap pengurusan tersebut dapat menimbulkan permasalahan
hukum yang kontra produktif bagi pengurusan piutang negara itu sendiri.
Selain itu registrasi juga akan berguna untuk mengetahui outstanding Piutang
Negara yang diurus oleh DJPLN dan tahapan pengurusan yang telah
dilaksanakan.
Bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk melakukan
pencatatan/registrasi pengurusan piutang negara antara lain adalah:
1. data penyerahan piutang negara;
2. tahap-tahap dan hasil pengurusan piutang pegara.
Sarana yang digunakan untuk melakukan registrasi adalah buku-buku
dan kartu-kartu seperti :
Pengurusan Piutang Negara
165
1.
2.
3.
4.
Buku Agenda Surat Penyerahan Piutang Macet;
Buku Penerimaan Surat Penyerahan Piutang Macet;
Buku Register Piutang Negara (BRPN);
Buku Dokumen Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain Milik
Penanggung Hutang/Penjamin Hutang;
5. Kartu Perkembangan Dokumen Barang Jaminan, dan Fisik Barang
Jaminan Bergerak;
6. Kartu Monitor Pengurusan Piutang Negara;
7. Buku-buku Bendahara Penerima.
Di Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN), kegiatan
registrasi atau pencatatan dilakukan pada masing-masing Seksi/Sub Bagian
yang berwenang untuk melakukannya.
1. Kegiatan Pencatatan pada Subbagian Umum
Data penyerahan dicatat dalam Buku Agenda Surat Penyerahan Piutang
Macet yang kolom-kolomnya adalah sebagai berikut:
a. nomor urut yang diisi berurutan sesuai tanggal surat;
b. nomor dan tanggal surat penyerahan;
c. nama Penyerah Piutang, yang diisi secara lengkap, seperti PT. BRI
(Persero), Tbk. Cabang Bekasi, PT Telkom (Persero), Tbk., dan
sebagainya;
d. nama Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang;
e. jumlah piutang negara, yang diisi dengan jumlah pokok, bunga, denda,
dan/atau ongkos-ongkos, total piutang sesuai penyerahan;
f. uraian lampiran, yang diisi dengan daftar lampiran surat penyerahan.
g. keterangan, yang diisi dengan penjelasan, misalnya dokumen barang
jaminan yang dilampirkan adalah asli, dan sebagainya.
2. Kegiatan Pencatatan pada Seksi Informasi dan Hukum
Apabila SP3N telah ditetapkan dan tembusan SP3N tersebut telah diterima
oleh Seksi Informasi dan Hukum, maka seksi tersebut sudah dapat
melakukan pencatatan pada Buku Registrasi Piutang Negara (BRPN), yang
memuat:
a. nomor dan tanggal registrasi;
b. nomor dan tanggal surat penyerahan;
c. nama Penyerah Piutang;
166
d.
e.
f.
g.
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
jumlah piutang negara;
nama dan alamat Penanggung Hutang;
nomor dan tanggal SP3N;
jumlah penambahan atau pengurangan nilai pengurusan piutang
negara.
Berdasarkan Surat Edaran Kepala BUPLN No.SE-32/PN/1992 tanggal 2
Oktober 1992 telah diatur bahwa untuk Berkas Kasus Piutang Negara
(BKPN) yang diserahkan pada tanggal 1 April 1993 dan sesudahnya,
penomoran registrasi menggunakan 8 (delapan) digit angka yang terdiri
dari:
a. 2 (dua) digit pertama diisi tahun penyerahan;
b. 2 (dua) digit kedua diisi bulan penyerahan;
c. 4 (empat) digit terakhir diisi dengan nomor urut penyerahan sesuai
catatan dalam Buku Register Piutang Negara yang pada setiap bulan
April dimulai dengan Nomor 1 (satu).
XX XX XXXXX
nomor urut
bulan penyerahan pengurusan piutang negara
tahun penyerahan pengurusan piutang negara
Penerapan ketentuan tersebut, dapat dilihat pada contoh berikut:
a. Pada bulan April 1993 terdapat 3 (tiga) BKPN yang diserahkan oleh
Penyerah Piutang. Seluruh penyerahan tersebut oleh PUPN Cabang
diterima pengurusannya dan diterbitkan SP3N. Pemberian nomor
registrasinya adalah 93040001, 93040002, 93040003. Setelah
penyerahan itu, pada bulan Mei 1993 terdapat penyerahan pengurusan
atas 5 (lima) BKPN. Pemberian nomor registrasi kepada kelima BKPN
tersebut, masing-masing adalah: 93050004, 93050005, 93050006,
93050007, 93050008.
b. Pada bulan April 1994 terdapat penyerahan pengurusan atas 2 kasus,
pada bulan Mei 1994 terdapat penyerahan pengurusan atas 2 kasus,
pada bulan Juni 1994 dan Juli 1994 tidak ada penyerahan, dan pada
Pengurusan Piutang Negara
167
bulan Agustus 1994 terdapat penyerahan pengurusan atas 3 kasus.
Pemberian Nomor registrasinya adalah : 94040001, 94040002,
94050003, 94050004, 94080005, 94080006, 94080007.
Cara penomoran registrasi dengan sistem 8 (delapan) digit sebagaimana
diuraikan tersebut di atas terdapat pada berkas-berkas kasus Piutang
Negara (BKPN) lama.
Pada saat ini, penomoran Registrasi BKPN dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang terdapat pada lampiran Keputusan Kepala Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara No.38/PN/2000 tentang Tata cara Pengurusan
Piutang Negara yang menetapkan cara penomoran Registrasi menjadi 11
(sebelas) digit. Cara penomoran Registrasi BKPN adalah sbb:
a. 4 (empat) digit pertama adalah tahun terbit SP3N;
b. 2 (dua) digit ke dua adalah bulan terbit SP3N;
c. 5 (lima) digit terakhir adalah nomor urut.
XXXX XX XXXXX
nomor urut
bulan terbit SP3N
tahun terbit SP3N
Penomoran BKPN disesuaikan dengan tahun anggaran yang dimulai pada
tanggal 1 Januari dan berakhir pada tanggal 31 Desember.
Contoh :
Sampai dengan tanggal 1 Nopember 2001 telah diterbitkan SP3N sebanyak
911. Pada tanggal 2 Nopember 2001 diterbitkan 4 SP3N, maka
penomorannya sbb:
BKPN A: 2001 11 00912
BKPN B: 2001 11 00913
BKPN C: 2001 11 00914
BKPN D: 2001 11 00915
Kepala Seksi Informasi dan Hukum membuat Nota Dinas pemberitahuan
Nomor Registrasi Kasus Piutang Negara ditujukan kepada Seksi/Sub
168
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
Seksi/Piutang Perbankan atau Non Perbankan dan Seksi/Sub Seksi
Penataan Barang Jaminan.
Setelah penomoran Registrasi dilakukan kemudian dilakukan penyusunan
berkas yang dilengkapi dengan nomor dan tanggal register, nama Penyerah
Piutang, dan nama Penanggung Hutang/Penjamin Hutang pada sampul
BKPN serta memasukkan dalam rumah berkas. Dokumen-dokumen yang
dimasukkan dalam berkas tersebut adalah sebagai berikut:
a. surat penyerahan Pengurusan Piutang Negara berikut lampirannya;
b. Resume Hasil Penelitian Kasus;
c. tembusan SP3N;
d. Nota Dinas pemberitahuan nomor register; dan
e. dokumen-dokumen serta data dan informasi yang berkaitan dengan
tindak lanjut perkembangan pengurusan piutang negara.
Selain pembuatan rumah berkas, Seksi Informasi dan Hukum juga
membuat kartu monitor, yang memuat semua data perkembangan tahap
pengurusan dan segala data yang tercatat pada BRPN. Selain itu, pada
kartu monitor ini juga dicatat semua tembusan surat/produk hukum yang
diterima Seksi Informasi dan Hukum dari seksi-seksi lainnya pada Kantor
Pelayanan Kantor Pelayanan yang bersangkutan, serta data penerimaan
pembayaran dan permasalahan-permasalahan yang ditemukan.
3. Kegiatan Pencatatan pada Seksi Pengelolaan Barang Jaminan
Dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung
Hutang/Penjamin Hutang, berikut dokumen pengikatannya, harus
ditatausahakan oleh Seksi Pengelolaaan Barang Jaminan dalam Buku
Dokumen Barang Jaminan. Penatausahaan tersebut meliputi kegiatan
penerimaan, pencatatan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pengeluaran
dokumen.
Informasi yang ada pada Buku Dokumen Barang Jaminan ini adalah
sebagai berikut:
a. nomor urut, yang diisi dengan nomor urut pencatatan dokumen;
b. nomor registrasi BKPN, yang diisi dengan nomor registrasi BKPN 11
digit;
c. nama dan alamat Penanggung Hutang/Penjamin Hutang;
d. nomor dan tanggal surat serah terima dokumen, yang diisi dengan
nomor dan tanggal Berita Acara Serah Terima Dokumen. Berita Acara
tersebut ditandatangani oleh Kasi Penataan Barang Jaminan dan
Penyerah Piutang;
169
Pengurusan Piutang Negara
e. uraian barang jaminan/harta kekayaan lain, yang diisi dengan jenis
barang jaminan, seperti kendaraan bermotor, jenis mesin, dan
sebagainya. Selain itu, uraian ini juga diisi dengan nomor, tahun, dan
merek mesin, kendaraan dan sebagainya. Apabila barang jaminan
adalah tanah, maka dalam uraian ini disebut jenisnya, seperti tanah
darat, atau tanah sawah, serta disebutkan juga tanda-tanda luar dan
letaknya;
f. dokumen barang jaminan, yang diisi dengan data masing-masing
dokumen barang yang terkait, misal: nomor dan tanggal terbitnya
Sertifikat Hak Milik, lokasi, nama pemegang hak, dan sebagainya;
g. jenis, nomor, dan tanggal pengikatan barang jaminan, yang diisi
dengan jenis, nomor dan tanggal pengikatan;
Contoh: Hipotik No... tanggal ....
Pengikatan Credit Verband atau
Tanggungan Nomor... tanggal ….
Pengikatan fidusia Nomor... tanggal ....
Pembebanan
Hak
h. nomor dan tanggal surat serah terima penitipan, yang diisi dengan
nomor dan tanggal Serah Terima Penitipan Dokumen Barang Jaminan
yang ditandatangani oleh Kepala KP3N dan Penyerah Piutang;
i. nomor dan tanggal Surat Penyerahan Dokumen, yang diisi dengan
nomor dan tanggal surat serah terima dokumen barang jaminan/harta
kekayaan yang ditandatangani oleh Kepala Seksi Penataan barang
Jaminan dan penerima dokumen;
j. identitas penerima, yang diisi dengan nama dan alamat penerima
dokumen;
k. keterangan yang diisi hal-hal yang perlu dijelaskan.
Selain membuat dan mengelola Buku Dokumen Barang Jaminan, Seksi
Pengelolaan Barang Jaminan juga membuat dan mengelola kartu
perkembangan dokumen dan barang jaminan bergerak. Kartu
perkembangan ini dibuat untuk setiap barang jaminan yang ada. Pencatatan
dilakukan pada kolom-kolom yang tersedia yaitu:
a. Nomor urut.
b. Identitas Penyerah Piutang.
c. Nomor Register BKPN.
d. Identitas Penanggung Hutang.
170
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
e. Alamat Penanggung Hutang.
f. Barang Jaminan yang berisi informasi tentang:
1) Uraian jenis barang.
2) Nilai barang.
g. Dokumen jaminan yang berisi informasi tentang:
1) Dokumen pemilikan.
2) Pengikatan.
h. Hasil penelitian/pemeriksaan yang berisi informasi tentang:
1) Keberadaan dokumen pemilikan.
2) Keberadaan dokumen pengikatan.
3) Fisik barang.
4) Nilai barang.
i. Hasil penyitaan
1) Surat Perintah Penyitaan Nomor... Tanggal ....
2) Berita acara penyitaan Nomor... Tanggal ....
3) Fisik barang.
4) Nilai barang.
j. Pelelangan:
1) Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan Nomor... Tanggal ....
2) Pelaksanaan lelang.
3) Harga penawaran tertinggi.
4) Harga jual.
5) Harga limit.
k. Penjualan tidak melalui lelang:
1) Surat pemberitahuan penetapan harga dari Kepala KP2LN
Nomor... Tanggal ....
2) Surat persetujuan dari Penyerah Piutang Nomor... Tanggal ....
3) Harga jual.
l. Pengeluaran Dokumen:
1) Surat Pengeluaran Nomor... Tanggal ....
2) Surat Piutang Negara Lunas Nomor... Tanggal ....
3) Surat Piutang Negara Selesai Nomor... Tanggal ....
4) Risalah Lelang Nomor... Tanggal ....
Pengurusan Piutang Negara
171
5) Surat Persetujuan KP3N mengenai pencairan barang jaminan
Nomor.... Tanggal...
6) Perintah Kepala KP3N mengenai pengeluaran dokumen Nomor...
Tanggal ....
7) Identitas penerima.
Bentuk Kartu Perkembangan Dokumen dan Barang Jaminan Tak
Bergerak pada prinsipnya sama dengan bentuk kartu seperti uraian tersebut
di atas.
Dengan Kartu Monitor yang dikerjakan dengan baik, lengkap dan up to
date maka fungsi kartu monitor sangat penting sebagai sumber informasi
dalam pembuatan laporan, evaluasi, pengambilan keputusan dan
kelancaran Pengurusan Piutang Negara.
Hasil Pengurusan Piutang Negara
Di depan telah diuraikan bahwa bahan-bahan yang dapat dipergunakan
untuk melakukan pencatatan/registrasi Pengurusan Piutang Negara antara lain
adalah hasil Pengurusan Piutang Negara yang ditatausahakan dan dikelola oleh
Bendahara Penerima KP2LN.
Terdapat 2 jenis Bendahara, yaitu Bendahara Umum dan Bendahara
Khusus. Bendahara umum adalah Kepala Kas Negara, sedangkan Bendahara
Khusus terdiri 2 (dua) macam yaitu Bendahara Khusus Pengeluaran tertentu
dan Bendahara Khusus Penerimaan tertentu. Bendahara Khusus Pengeluaran
tertentu terdapat di semua kantor Pemerintahan Pusat maupun Daerah,
sedangkan Bendahara Khusus Penerimaan tertentu tidak terdapat pada semua
Kantor Pemerintahan tetapi terdapat hanya pada kantor-kantor yang
menghasilkan Penerimaan Bukan Pajak (PNBP).
Salah satu kantor Pemerintah yang memiliki Bendahara Khusus
Penerimaan tertentu adalah KP2LN yang memberikan hasil Pengurusan
Piutang Negara dan pelayanan jasa lelang. Pembahasan pada bab ini khusus
terhadap
pengelolaan
hasil Pengurusan
Piutang
Negara
yang
dipertanggungjawabkan kepada Bendahara Penerima (Geregelde Storter)
KP2LN.
Penerimaan Hasil Pengurusan Piutang Negara dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu:
1. membayar tunai kepada Bendahara Penerima KP2LN;
2. membayar melalui rekening Bendahara Penerima KP2LN yang dibuka di
suatu bank Pemerintah;
172
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
3. membayar melalui Bank Penyerah Piutang;
4. membayar melalui Kantor Pos;
5. membayar melalui Kantor Lelang Negara.
Pembayaran tunai langsung kepada Bendahara Penerima KP2LN
dihapus sehubungan dengan adanya Keputusan Menteri Keuangan
No.300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara khususnya pada
Bab XXIII pasal 310 (1) yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pembayaran
hutang termasuk Biaya Administrasi PPN dilakukan melalui Rekening
Bendahara Penerima KP2LN.
Adapun penerimaan Hasil Pengurusan Piutang Negara berupa:
1. penerimaan Hak Penyerah Piutang;
2. penerimaan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara;
3. penerimaan denda kelambatan;
4. penerimaan jaminan lelang yang dibatalkan; dan
5. penerimaan Jasa Giro.
Penerimaan denda kelambatan Pernyataan Bersama terdapat pada
berkas-berkas lama, karena terdapat ketentuan pada waktu itu bahwa atas
keterlambatan pembayaran yang telah ditetapkan dalam Pernyataan Bersama
(PB) dikenakan denda sebesar 2 %. Pada saat sekarang ketentuan tersebut
sudah dihapus.
Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep16/PL/2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang Penatausahaan Hasil
Pengurusan Piutang Negara dan Pelayanan Lelang Pada KP2LN, merupakan
ketentuan yang berlaku tentang tugas-tugas Bendahara terkait dengan hasil
pengurusan piutang negara dan pelayanan lelang. Keputusan Dirjen Piutang
dan Lelang Negara tersebut merupakan pengganti Keputusan Kepala BUPLN
Nomor Kep-03/PN/1995 tentang Pedoman Bendahara Penerima pada KP3N
dan KLN.
Dalam kaitan dengan pengurusan piutang negara, tugas Bendahara
Penerima menurut Pasal 4a Keputusan Dirjen Piutang dan Lelang Negara
tersebut di atas adalah menerima pembayaran hasil pengurusan piutang negara
yang terdiri atas Uang Hak Penyerah Piutang, Biaya Administrasi Pengurusan
Piutang Negara (Biad PPN)3 dan Jasa Giro. Jadi hasil Pengurusan Piutang
Negara hanya berupa 3 hal yaitu:
1. Uang Hak PP;
3
Uraian lengkap tentang Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara ada pada Bab 13.
173
Pengurusan Piutang Negara
2. Biad PPN;
3. Jasa Giro.
Buku-buku yang dibuat dan dikelola oleh Bendahara Penerima KP2LN
antara lain adalah Buku Kas Umum, Buku Rekening Khusus, Buku
Setoran/Nota Kredit. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengerjakan
Buku Kas Umum adalah:
1. buku tersebut harus berada di kantor, tidak diperkenankan dibawa keluar;
2. harus dikerjakan sendiri oleh Bendahara Penerima atau petugas khusus
yang ditunjuk oleh atasan langsung Bendahara dengan persetujuan
Kepala KP2LN;
3. tiap halaman diberi nomor dan dibubuhi paraf oleh Bendahara Penerima,
kecuali halaman pertama dan halaman terakhir yang harus dibubuhi
tandatangan;
4. pencatatan harus menggunakan tinta hitam dan dilakukan dengan cermat,
tertib dan benar;
5. tiap tanda bukti pengeluaran maupun penerimaan harus diberi kode berupa
Nomor Urut sejak dimulainya sampai dengan berakhirnya Tahun
Anggaran berjalan.
6. pada halaman pertama Buku Kas Umum dibuat pernyataan ”Buku Kas
Umum ini terdiri atas ... halaman, dimulai No.... s.d. Nomor ... dan mulai
digunakan tanggal ....
Mengetahui
......tanggal .....
Atasan langsung
Bendahara Penerima
(
)
(
)
Verifikasi Pengurusan Piutang Negara
Melakukan verifikasi berarti melakukan penelitian, pemeriksaan,
pengujian yang dilakukan verifikator dengan berpedoman kepada peraturanperaturan, SOP (Standard Operating Procedures) yang berlaku terhadap suatu
berkas penyerahan atau tembusan surat hasil suatu kegiatan/aktifitas. Hasil
verifikasi dapat berupa penolakan atau pemberitahuan kepada unit terkait.
1. Seksi Piutang Negara melakukan verifikasi untuk penerbitan:
174
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
♦
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
Resume Hasil Penelitian Kasus;
SP3N;
Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara;
Surat Panggilan/Peringatan Panggilan/Surat Peringatan Terakhir;
Pernyataan Bersama (PB);
Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN);
Peringatan PB;
Surat Pencegahan dan Pencabutan PN/PjH ke Luar Negeri;
Surat Paksa;
Pemberitahuan Surat Paksa;
Surat Perintah Penyitaan;
Berita Acara Penyitaan;
Surat Sita Persamaan kepada Pengadilan Negeri atau Instansi Pajak;
Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan;
Surat Pemberitahuan Kepada PH/PjH disertai SPPBS;
surat permintaan penetapan tanggal pelaksanaan lelang kepada KLN;
Naskah Pengumuman Lelang dan Surat Pengantarnya ke surat kabar;
Surat Perintah Pengangkatan Sita;
surat permintaan pengangkatan sita;
surat permintaan persetujuan penyanderaan/Paksa Badan;
surat permintaan ijin ke Kejati mengenai penyanderaan;
surat permintaan penyediaan tempat penyanderaan kepada Lembaga
Pemasyarakatan oleh Juru Sita;
Berita Acara Pelaksanaan Penyanderaan;
Surat Perintah Pembebasan Penyanderaan/Paksa Badan;
Berita Acara Pembebasan Penyanderaan/Paksa Badan;
Surat Pernyataan Piutang Negara untuk Sementara Belum Dapat
Ditagih;
Surat Persetujuan Penarikan Pengurusan Piutang Negara.
2. Seksi Pengelolaan Barang jaminan melakukan verifikasi untuk penerbitan:
Pengurusan Piutang Negara
175
♦ surat permintaan kelengkapan dokumen barang jaminan kepada
Penyerah Piutang;
♦ surat serah terima dokumen barang jaminan;
♦ surat penitipan dokumen barang jaminan;
♦ penelitian dokumen barang jaminan;
♦ laporan tertulis hasil penelitian keaslian dokumen barang jaminan dan
kekuatan pengikatan barang jaminan;
♦ nota penunjukan petugas pemeriksaan untuk melakukan pemeriksaan
pisik barang jaminan;
♦ laporan tertulis hasil pemeriksaan phisik barag jaminan dan atau harta
kekayaan pemilik barang jaminan;
♦ surat permintaan pencabutan pemblokiran barang jaminan/harta
kekayaan;
♦ Surat Penyerahan dokumen.
3. Seksi Informasi dan Hukum
Seksi Informasi dan Hukum menerima tembusan dari semua produk
hukum yang diterbitkan oleh Seksi Piutang Negara, dan Seksi Pengelolaan
Barang Jaminan.
Dalam rangka pemenuhan fungsi internal audit dan pengamanan teknis
yuridis pengurusan piutang negara (ketentuan ini dimulai berlaku
berdasarkan Pasal 113 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
940/KMK.01/1991), atas dasar tembusan produk-produk hukum yang
diterima dari seksi-seksi lainnya, Seksi I&H melakukan verifikasi secara
post audit, untuk mengetahui apakah:
a. Standard Operating Procedures telah ditempuh dengan benar;
b. segala ketentuan-ketentuan yang berlaku mengenai pengurusan piutang
telah dipedomani dengan betul; dan
c. tidak ada cacat hukum dalam pengurusan piutang negara.
Di samping melakukan verifikasi yang berupa post audit atas seluruh
tembusan produk hukum, Seksi Informasi dan Hukum juga melakukan
verifikasi lainnya yang dilakukan dengan cara:
a. membuat dan menandatangani rincian hak penyerah piutang dan Biad
PPN berdasarkan tembusan kuitansi atau tembusan Credit Nota (CN)
yang diterima dari Bendahara Penerima;
176
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
b. membuat surat pernyataan Piutang Negara lunas dan surat pernyataan
Piutang Negara selesai yang ditandatangani Ketua PUPN. Sebelumnya
terlebih dahulu dibuat Nota hasil verifikasi oleh kepala Seksi Informasi
dan Hukum;
c. untuk pembuatan konsep surat bantahan ke Pengadilan Negeri.
Apabila pre audit oleh Seksi Piutang Negara, dan Seksi Pengelolaan Barang
Jaminan, dan Post Audit oleh Seksi/Informasi dan Hukum KP2LN telah
dilakukan dengan cermat, tepat dan benar maka fungsi internal control pada
KP2LN diharapkan dapat berjalan dengan baik, transparan dan accountable
sehingga fungsi pengamanan tehnis yuridis dapat terpenuhi.
Rangkuman
Bahwa pada tahap awal, piutang-piutang bermasalah atau piutangpiutang macet harus terlebih dahulu diselesaikan oleh para pemilik piutang
(BUMN Perbankan, BUMN Non Perbankan, Instansi Pemerintah, Lembagalembaga Negara) yang bersangkutan. Setelah dilakukan berbagai upaya yang
optimal dan hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, serta
Debitur/Penanggung Hutang nyata-nyata bersikap On Will/Nakal barulah para
pemilik piutang diwajibkan untuk menyerahkan piutang macetnya kepada
PUPN untuk diurus menurut ketentuan pengurusan piutang negara yang
berlaku. Penyerahan tersebut bersifat wajib, dan para pemilik piutang tersebut
dilarang menyerahkan kepada para pengacara.
Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002
tentang Pengurusan Piutang Negara, Penyerah Piutang menyerahkan
pengurusan piutang macetnya secara tertulis dan dilampiri dengan resume dan
dokumen-dokumen. Tindak lanjut dari penyerahan tersebut adalah penelitian
oleh KP2LN. Penelitian tersebut ditujukan untuk memastikan adanya dan
besarnya piutang negara. Bila adanya dan besarnya piutang telah pasti menurut
hukum, maka penyerahan pengurusan tersebut dapat diterima, dan oleh Ketua
PUPN Cabang dengan menerbitkan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang
Negara (SP3N), dan bila sebaliknya, Ketua PUPN Cabang akan menerbitkan
Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara.
SP3N tersebut merupakan dasar hubungan antara Penyerah Piutang
yang memiliki piutang dengan PUPN yang akan melakukan
penagihan/pengurusan piutang. Selain itu, SP3N dapat juga dikatakan sebagai
177
Pengurusan Piutang Negara
dasar penyerahan kewenangan untuk melakukan pengurusan dari Penyerah
Piutang kepada PUPN.
Setelah SP3N diterbitkan maka pada Seksi I&H KP2LN dilakukan
pemberian nomor Registrasi Pengurusan Piutang Negara yang terdiri 11
(sebelas) digit. Setelah itu, dilakukan penyusunan berkas dan dimasukkan ke
dalam Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN). Dokumen yang dimasukkan
dalam BKPN tersebut antara lain adalah resume, dokumen penyerahan,
putusan–putusan hukum PUPN Cabang, Resume Hasil Penelitian kasus,
tembusan SP3N, dan dokumen lainnya.
- o0o -
Latihan
Pilihan Ganda
1. Di bawah ini adalah informasi yang termuat dalam berkas penyerahan,
kecuali:
a. Identitas Penanggung Hutang.
b. Bidang usaha Penanggung Hutang.
c. Prima nota.
d. Pemberitahuan kepada Penanggung Hutang bahwa piutang macetnya
telah diserahkan kepada PUPN Cabang.
2. Pengurusan Piutang Negara sepenuhnya beralih ke PUPN sepanjang:
a. Berita acara tanya jawab telah ditandatangani Debitur.
b. PB berhasil ditetapkan.
c. Peringatan PB telah diterbitkan.
d. SP3N telah diterbitkan.
3. Di bawah ini adalah alasan pengembalian berkas penyerahan ke Penyerah
Piutang kecuali:
a. PP tidak bersikap kooperatif.
b. Kekeliruan perhitungan dari Penyerah Piutang.
c. Tidak dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara.
d. Piutang terkait dengan perkara pidana tingkat penyidikan.
178
Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
4. Penelitian atas penyerahan berkas Piutang Negara dari Penyerah Piutang
dituangkan dalam dokumen :
a. Berita Acara Tanya Jawab (BATJ).
b. Resume Hasil Pemeriksaan Kasus.
c. Resume Hasil Penelitian Kasus (RHPK).
d. Butir a, b dan c salah.
5. Jumlah Piutang Negara dalam SP3N yang telah ditetapkan terdapat
kesalahan, maka tindakan korektif yang dapat dilakukan adalah:
a. Ketua PUPN menerbitkan Surat Koreksi SP3N.
b. Ketua PUPN menerbitkan SP3N baru.
c. Ketua PUPN membatalkan SP3N bersangkutan.
d. Ketua PUPN melakukan koreksi perubahan besaran Piutang Negara
pada saat menetapkan PB.
6. Dalam hal menghitung besarnya Piutang Negara hal-hal yang dapat
dipertimbangkan sebagai penambahan adalah biaya:
a. Polis asuransi.
b. Perpanjangan hak atas tanah.
c. Pemasangan hak tanggungan.
d. Butir a, b dan c benar.
7. Salah satu dokumen yang paling penting berkaitan persyaratan penyerahan
kredit macet adalah:
a. Pengikatan barang jaminan.
b. Bukti pemilikan barang jaminan.
c. Perjanjian kredit.
d. Peringatan dari Kreditur.
8. Wewenang ketua PUPN Cabang antara lain:
a. Membuat Surat Paksa.
b. Menyampaikan Surat Paksa.
c. Mengeluarkan Surat Paksa.
d. Butir a, b dan c benar.
Benar (B) Salah (S)
179
Pengurusan Piutang Negara
1. B – S : Dalam hal Pengurusan Piutang Negara diselesaikan oleh instansi
lain KP2LN dapat menolak penyerahan piutang macet.
2. B – S : Berkas penyerahan piutang macet oleh Sub Bagian Umum dicatat
dalam buku penerimaan penyerahan piutang macet.
3. B – S : SP3N adalah surat yang ditandatangani Kepala KP2LN yang
menyatakan penerimaan penyerahan pengurusan piutang dari
Kreditur.
4. B – S : PUPN dibentuk berdasarkan UU Nomor 49 Prp. Tahun 1960
sedang DJPLN dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 177 Tahun
2000 dengan demikian tampaknya PUPN lebih tinggi dari pada
DJPLN.
5. B – S : Penetapan besarnya Piutang Negara perbankan didasarkan
peraturan kualitas kredit perbankan yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
6. B – S : Dalam konsorsium kredit sindikasi PT Bank BRI memiliki
konstribusi minoritas, jika piutang tersebut macet maka dapat
diterima pengurusannya oleh PUPN/KP2LN.
7. B – S : Kantor Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang Negara
digabung menjadi Kantor Pengurusan Piutang Negara.
8. B – S : Keputusan Menteri Kuangan Nomor 300/KMK.01/2002 adalah
penetapan mengenai Pengurusan Piutang Negara.
- o0o -
BAB 6
PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
SECARA KHUSUS
Sasaran Pembelajaran
Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III
Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan
memahami proses dan prosedur pengurusan piutang negara secara khusus yang
ditempuh oleh PUPN/DJPLN. Kekhususan proses pengurusan tersebut terkait dengan
kewenangan parate eksekusi yang dimiliki oleh PUPN.
Pendahuluan
182
Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus
Pada Bab 5 telah diuraikan tahap pengurusan piutang negara, yang
merupakan pintu hubungan hukum antara Penyerah Piutang dan PUPN.
Setelah tahap tersebut selesai dilaksanakan, pengurusan piutang negara
melangkah ke tahap hubungan hukum antara PUPN dan Penanggung
Hutang/Penjamin Hutang. Pada tahap ini, pengurusan piutang negara
dilakukan oleh PUPN dengan cara yang khusus.
Pengurusan piutang negara secara khusus merupakan pengurusan
piutang negara yang dilakukan dengan langkah-langkah yang sistematis
berdasarkan prinsip percepatan dan efektivitas. Pengurusan secara khusus
tersebut dimaksudkan sebagai pelaksanaan kewenangan parate eksekusi yang
dimiliki oleh PUPN berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.
Kenyataan tersebut di atas dapat diartikan bahwa PUPN dalam
melaksanakan tugasnya tidak menempuh prosedur umum yang tersedia dalam
HIR (Hukum Acara Perdata Indonesia), Staatsblad 1941 Nomor 44, terutama
Pasal 195 dan seterusnya. Bilamana ditempuh prosedur umum, maka hasil
pengurusan tidak akan memuaskan karena prosedur umum tersebut akan
menempuh upaya hukum konvesional dengan langkah sebagai berikut:
1. pada tingkat pertama, melakukan gugatan melalui pengadilan umum
(Pengadilan Negeri);
2. pada tingkat banding, melakukan upaya hukum melalui Pengadilan Tinggi;
dan
3. pada tingkat kasasi, melakukan upaya hukum melalui Mahkamah Agung.
Cara-cara konvensional tersebut di atas, sering memerlukan waktu yang
panjang, bahkan sering sangat panjang dan lama, sehingga percepatan dan
efektivitas hasil pengurusan piutang negara akan sulit untuk diwujudkan.
Untuk mengatasi kelemahan cara pengurusan piutang yang
konvensional itulah maka PUPN diberikan kewenangan parate eksekusi, yaitu
kewenangan untuk menerbitkan keputusan-keputusan yang mempunyai
kekuatan seperti keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan pasti (in kracht van gewijsde). Namun demikian, kewenangan
tersebut tentu saja dilaksanakan dengan tetap memberikan kepastian hukum
dan kesempatan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang untuk
menggunakan haknya terkait pengurusan hutang yang bersangkutan kepada
negara.
Penjelasan tentang pengurusan piutang negara secara khusus yang
dilakukan oleh PUPN akan diuraikan secara lengkap berikut ini.
Pengurusan Piutang Negara
183
Due Process of Law
Pada Bab terdahulu telah dijelaskan bahwa dalam melakukan
pengurusan piutang negara, PUPN/DJPLN menghadapi rambu-rambu hukum.
Bila PUPN/DJPLN tidak/kurang hati-hati sehingga rambu-rambu tersebut
terlanggar, maka berbagai langkah yang telah, sedang, dan akan ditempuh
menjadi cacat hukum.
Kehati-hatian PUPN/DJPLN dalam melaksanakan tugasnya dan
melaksanakan kewenangan parate eksekusi dimulai dengan pemberian
kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk menyanggah atau memberikan
bukti baru yang sah tentang keberadaan dan besaran hutangnya kepada negara.
Kesempatan yang diberikan kepada Penanggung Hutang tersebut dapat
diartikan juga sebagai penerapan azas keadilan dalam pengurusan piutang
negara. Adil di sini adalah kesetaraan antara pelaksanaan kewenangan parate
eksekusi yang dimiliki oleh PUPN dan pelaksanaan hak Penanggung Hutang
untuk membela dirinya.
Pemberian kesempatan kepada Penanggung Hutang tersebut di atas,
secara umum dikenal dengan terminologi “due process of law”. Pengertian
terminologi due process of law tersebut menurut Black’s Law Dictionary 6th
Edition
halaman
500
(dalam
http://www.criminalgovernment.com/docs/duproc0.html) adalah:
"Due Process of law implies the right of the person
affected thereby to be present before the tribunal which
pronounces judgement upon the question of life, liberty, or
property, in its most comprehensive sense; to be heard, by
testimony or otherwise, and to have the right of controverting, by
proof, every material fact which bears on the question of right in
the matter involved. If any question of fact or liability be
conclusively presumed against him, this is not due process of
law".
Secara bebas, pengertian due process of law tersebut di atas, bila
dikaitkan dengan pengurusan piutang negara, dapat diartikan sebagai hak
Penanggung Hutang untuk dipanggil dan didengar pendapatnya dan hak untuk
menunjukkan bukti-bukti yang terkait dengan keberadaan dan besaran
hutangnya kepada negara, serta cara-cara penyelesaian hutangnya tersebut.
Bila sah dan secara hukum dapat dipertanggungjawabkan, tentunya bukti-bukti
184
Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus
tersebut digunakan PUPN untuk memperbaiki data tentang adanya dan
besarnya piutang negara atas nama Penanggung Hutang yang bersangkutan.
Due process of law tersebut, dalam pengurusan piutang negara
dilaksanakan melalui tahap pemanggilan dan tanya jawab.
Pemanggilan Secara Tertulis kepada Penanggung Hutang
Pemanggilan kepada Penanggung Hutang dilakukan oleh KP2LN
sebagai pelaksanaan produk hukum SP3N yang diterbitkan oleh PUPN
Cabang. Pemanggilan tersebut dilakukan KP2LN secara patut dengan
mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 42
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan
Piutang Negara1.
Pemanggilan tersebut dilakukan secara tertulis dalam rangka
pemberian kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk dan didengar
pendapatnya dan hak untuk menunjukkan bukti-bukti yang terkait dengan
keberadaan dan besaran hutangnya kepada negara. Sesuai ketentuan,
pemanggilan dilakukan dengan ketentuan, bila Penanggung Hutang adalah:
1. perorangan, panggilan ditujukan kepada diri pribadi Penanggung Hutang;
2. badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas, panggilan ditujukan kepada
direksi dan/atau komisaris yang melakukan kegiatan pengurusan
perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan/atau Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga badan hukum
yang bersangkutan;
3. badan hukum koperasi dan/atau yayasan, panggilan ditujukan kepada
pengurus koperasi dan/atau yayasan;
4. firma, panggilan ditujukan kepada salah seorang firman; atau
5. commanditer vennootschap, panggilan ditujukan kepada pesero pengurus.
Bila Penanggung Hutang tidak datang memenuhi ketentuan yang
ditetapkan dalam Surat Panggilan, KP2LN melakukan panggilan kedua
(Panggilan Terakhir) paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah
tanggal untuk menghadap yang ditetapkan dalam Surat Panggilan pertama.
Agar pemanggilan dapat terjamin sampai kepada Penanggung Hutang maka
pemanggilan dilakukan dengan kurir (menggunakan tanda terima) atau pos
tercatat.
1
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang
Negara, merupakan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) pengurusan piutang negara yang berlaku
saat buku ini ditulis.
Pengurusan Piutang Negara
185
Apabila Penanggung Hutang menghilang atau tidak mempunyai tempat
tinggal atau tempat kediaman yang dikenal di Indonesia, dapat dilakukan
upaya Pengumuman Panggilan melalui surat kabar harian dan/atau media
masa lainnya. Selain itu, apabila Penanggung Hutang telah meninggal dunia,
pemanggilan dilakukan kepada ahli warisnya.
Dalam praktek, dapat terjadi Penanggung Hutang tidak datang secara
pribadi tetapi diwakilkan kepada kuasa hukum/pihak ketiga, untuk itu agar
tidak menimbulkan akibat hukum yang dapat menunda tahap pengurusan
disyaratkan pemberian kuasa untuk datang memenuhi panggilan harus
dituangkan dalam akta notaris.
Tanya Jawab/Wawancara
Apabila Penanggung Hutang datang atas inisiatif sendiri atau
memenuhi panggilan yang disampaikan oleh KP2LN (salah satu dari
Panggilan, Panggilan Terakhir, atau Pengumuman Panggilan) maka KP2LN
akan melakukan wawancara kepada Penanggung Hutang2. Wawancara
tersebut dilakukan guna mengetahui:
1. kebenaran tentang adanya dan besarnya Piutang Negara; dan
2. cara dan syarat penyelesaian piutang negara tersebut.
Tujuan akhir wawancara tersebut adalah pencarian informasi yang secara jelas
menggambarkan rencana Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya
dan arah tindak lanjut Pengurusan Piutang Negara yang akan dilaksanakan
oleh PUPN.
Hasil wawancara tersebut di atas, dituangkan dalam Berita Acara
Tanya Jawab yang ditandatangani oleh Penanggung Hutang, Kepala KP2LN
atau pejabat yang ditunjuk, dan 2 (dua) orang saksi untuk memberikan
kekuatan yuridis formal terhadap tanya jawab/pengakuan dari PH/PjH
sehingga dapat menjadi alat bukti yang kuat sebagai dasar tahap pengurusan
selanjutnya yaitu penyusunan Pernyataan Bersama (PB).
Pernyataan Bersama (PB)
Bila berdasarkan Berita Acara Tanya Jawab diketahui bahwa
Penanggung Hutang mengakui dan sepakat dengan jumlah hutang, serta
sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka
2
Ketentuan tentang wawancara kepada Penangung Hutang terdapat dalam Pasal 43 sampai
dengan Pasal 44 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang
Pengurusan Piutang Negara.
186
Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus
Pernyataan Bersama akan dibuat dan ditandatangani bersama antara PUPN
dan Penanggung Hutang. Pernyataan Bersama tersebut merupakan produk
hukum yang menjadi pintu hubungan hukum antara PUPN dan Penanggung
Hutang, analog dengan SP3N yang merupakan pintu hubungan hukum antara
PUPN dan Penyerah Piutang.
Pembuatan Pernyataan Bersama tersebut didasarkan pada ketentuan
Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara. Pernyataan Bersama
tersebut sekurang-kurangnya memuat:
1. irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
2. identitas Penanggung Hutang;
3. identitas Penanggung Hutang;
4. besarnya Piutang Negara dengan rincian terdiri dari hutang pokok, bunga,
denda dan/atau ongkos/beban lain;
5. besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara;
6. pengakuan hutang oleh Penanggung Hutang;
7. kesanggupan Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutang dan cara
penyelesaiannya;
8. sanksi jika tidak memenuhi cara penyelesaian hutang;
9. tanggal penandatanganan Pernyataan Bersama;
10. tanda tangan Ketua PUPN Cabang;
11. tanda tangan Penanggung Hutang di atas meterai cukup; dan
12. tanda tangan para saksi.
Bila diperhatikan secara cermat, uraian tersebut di atas menunjukkan
bahwa:
1. pada dasarnya Pernyataan Bersama tersebut adalah surat pernyataan
pengakuan dan pengukuhan
hutang Penanggung Hutang, hal ini
ditunjukkan dari disepakatinya besarnya piutang negara yang harus
diselesaikan Penanggung Hutang; dan
2. pada dasarnya Pernyataan Bersama tersebut adalah “Grosse Acte” yang
mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara
perdata yang berkekuatan pasti dan tidak dapat dibanding dan dikasasi
(inkracht
van
gewijsde),
mengingat
Pernyataan
Bersama
berkepala/berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”;
Pengurusan Piutang Negara
187
Kedua hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pengurusan piutang
negara dilakukan secara khusus dengan tahapan:
1. Pembuatan pengakuan hutang, kesepakatan cara dan jangka waktu
penyelesaian hutang, dan sanksi bila Penanggung Hutang wanprestasi.
Tahapan ini merupakan bagian upaya due process of law yang didasarkan
pada azas kesetaraan antara kewenangan PUPN dan hak Penanggung
Hutang.
2. Pembuatan grosse acte yang dapat langsung dieksekusi bila Penanggung
Hutang tidak melaksanakan kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan
Bersama. Selain itu, mengingat Pernyataan Bersama membuat pengakuan
dan pengukuhan hutang Penanggung Hutang dan karenanya mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs) dan kekuatan
memaksa (dwingend bewijs).
3. Pelaksanaan eksekusi bila Penanggung Hutang benar-benar wanprestasi
terhadap kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama.
Dengan adanya syarat “kata sepakat” antara Ketua PUPN Cabang dan
Penanggung Hutang, maka pengurusan piutang negara secara khusus, melalui
pembuatan Pernyataan Bersama ini tidak menyalahi hakekat bahwa segala
sengketa perdata harus diputuskan oleh Pengadilan. Dengan demikian, apabila
Penanggung Hutang wanprestasi terhadap kesepakatan yang tertuang dalam
Pernyataan Bersama, dan setelah Penanggung Hutang diberikan peringatan
namun tetap tidak bersedia memenuhi kewajibannya, maka PUPN berhak
untuk dengan segera melakukan penagihan piutang negara dengan surat paksa,
penyitaan dan pelelangan harta kekayaan Penanggung Hutang, bilamana perlu
dengan melakukan penyanderaan/paksa badan terhadap diri Penanggung
Hutang.
Jadi, berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, status
hukum perjanjian kredit (PK) yang semula bersifat keperdataan diperbaharui
menjadi bersifat publik, yaitu yang semula merupakan hubungan hukum
perdata antara kreditor dan Penanggung Hutang menjadi hubungan hukum
publik antara PUPN yang mewakili Negara sebagai kreditor baru dengan
Penanggung Hutang sebagai warga negara pada umumnya. Dalam penjelasan
Pasal 10 Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dijelaskan dalam kalimat
terakhir yang berbunyi, “Pemakaian sistim surat paksa seperti dalam hal
(penagihan) pajak dapat dipertanggungjawabkan karena kinipun Negaralah
yang merupakan pihak berpiutang”
Dari segi hukum, Pernyataan Bersama dapat juga diartikan sebagai
akta pembaharuan hutang (novasi) terutama yang menyangkut jumlah hutang.
Jumlah hutang dalam PB biasanya jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan
188
Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus
jumlah hutang penyerahan yang dihitung oleh bank, terutama apabila Penyerah
Piutang yang bersangkutan terlambat menyerahkan kasus piutang/kredit
macetnya ke PUPN yang jauh melampaui batas waktu saat kredit dinyatakan
macet.
Hukum Perdata Indonesia mengatur ketentuan tentang novasi dalam
Pasal 1413 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang berbunyi:
“Terdapat tiga cara untuk melakukan pembaharuan utang,
yaitu:
1. apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang
baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang
menggantikan utang yang lama, yang dihapuskan karenanya;
2. apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan
orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari
perikatannya;
3. apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang
berpiutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
berpiutang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari
perikatannya.”
Ketiga cara pembaharuan utang tersebut di atas, oleh R. Subekti (1996)
dijelaskan sebagai berikut:
1. cara pembaharuan hutang butir 1 di atas dinamakan novasi obyektif,
karena yang diperbaharui di situ adalah obyek perjanjiannya, sedangkan
cara yang ditempuh dalam butir 2 dan 3 di atas dinamakan novasi
subyektif, karena yang diperbaharui di situ adalah subyek (para pihak)
dalam perjanjian;
2. cara pembaharuan hutang butir 2 di atas disebut dengan nama novasi
subyektif pasif, karena yang digantikan adalah Penanggung Hutangnya;
3. cara pembaharuan hutang butir 3 di atas disebut dengan nama novasi
subyektif aktif, karena yang digantikan adalah kreditornya.
Pertanyaan yang timbul dari konstelasi/tatanan hukum yang
demikian, termasuk kriteria novasi yang manakah Pernyataan Bersama itu,
novasi obyektif atau subyektif. Dilihat dari segi obyeknya, yaitu jumlah
hutang yang seringkali berubah, maka Pernyataan Bersama dalam rangka
piutang negara perbankan adalah model novasi obyektif. Namun bila dilihat
dari segi subyeknya, maka Pernyataan Bersama termasuk jenis novasi
subyektif aktif, karena yng berubah adalah kreditornya, yaitu perubahan
kreditor yang semula adalah pihak Bank berubah menjadi PUPN/DJPLN.
Pengurusan Piutang Negara
189
Dalam hal novasi subyektif aktif, pada hakekatnya terjadi perundingan
segitiga, yaitu pihak kreditor lama, kreditor baru dan Penanggung Hutang.
Dilihat dari berbagai aspek hukum tentang novasi tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa Pernyataan Bersama dalam kerangka pengurusan piutang
negara mempunyai ciri yang spesifik, bukan hanya novasi obyektif dan bukan
pula hanya termasuk novasi subyektif aktif saja. Ciri-ciri dari kedua novasi
tersebut terdapat dalam PB. Jadi PB termasuk ciri novasi yang ke empat, yaitu
model “novasi berdasarkan undang-undang”, yaitu Undang-undang Nomor 49
Prp. Tahun 1960 tentang PUPN.
Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN)
Kenyataan operasional di lapangan menunjukkan bahwa tidak
selamanya Pernyataan Bersama dapat dibuat. Hal-hal yang menyebabkan
Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat adalah sebagai berikut:
1. Penanggung Hutang tidak memenuhi Surat Panggilan atau Panggilan
Terakhir yang diterbitkan KP2LN;
2. Penanggung Hutang tidak memenuhi Surat Panggilan atau Panggilan
Terakhir, namun:
§ menolak mengakui jumlah hutang tetapi tidak dapat menunjukkan
bukti-bukti pendukung;
§ mengakui jumlah hutang tetapi menolak menandatangani Pernyataan
Bersama tanpa alasan yang sah.
Bila Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat, maka pengurusan piutang
negara tidak dapat diteruskan, sehingga pada gilirannya penyelesaian piutang
negara menjadi berlarut-larut dan tidak akan pernah terwujudkan. Untuk
mengatasi hal tersebut, maka PUPN diberikan kewenangan yang bersifat
sepihak untuk menerbitkan Surat Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN).
Ketentuan tentang kewenangan pembuatan PJPN tersebut merupakan
pelaksanaan amanat Pasal 14 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960,
yang berbunyi, “Menteri Keuangan menetapkan peraturan-peraturan yang
perlu untuk melaksanakan peraturan ini”. Produk hukum PUPN tersebut telah
dikenal dan diakui dalam putusan Mahkamah Agung, antara lain Nomor 1500
K/SIP/1978 tanggal 2 Januari 1980 dan Nomor 1267/k/Pdt/1984 tanggal 30
Januari 1986.
PJPN yang diterbitkan oleh PUPN Cabang tersebut memuat ketetapan
tentang adanya dan besarnya piutang negara yang harus dilunasi Penanggung
Hutang dan/atau Penjamin Hutang, berikut Biad PPN yang harus dibayar,
yang dapat segera ditindak lanjuti dengan Surat Paksa dan Penyitaan.
190
Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus
Tindaklanjut dari penerbitan PJPN tersebut adalah penerbitan Surat Paksa oleh
PUPN guna penagihan secara sekaligus kepada Penanggung Hutang.
Koreksi PB dan Koreksi PJPN
Untuk mengakomodasikan perkembangan yang terjadi di lapangan,
dimungkinkan adanya koreksi jumlah Piutang Negara yang tercantum di
dalam Pernyataan Bersama atau PJPN. Koreksi tersebut dapat terjadi karena
alasan yang bersifat administratif, adanya penambahan biaya-biaya yang
berkenaan dengan pengamanan barang jaminan sebagaimana diperjanjikan
oleh Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang, maupun karena adanya buktibukti baru yang sah tentang pembayaran hutang namun sebelumnya tidak
diperhitungkan dalam jumlah hutang.
Untuk menghindari terjadinya ketidakpastian mengenai ada dan
besarnya Piutang Negara yang tercantum dalam PB atau PJPN, KP2LN harus
melakukan penelitian kembali terhadap seluruh berkas penyerahan dan buktibukti baru tersebut guna menetapkan kembali Piutang Negara yang ada dan
besarnya telah pasti menurut hukum. Bila koreksi dilakukan terhadap
Pernyataan Bersama, maka Ketua PUPN membuat Surat Pemberitahuan
Koreksi/Perubahan Besaran PN. Surat pemberitahuan tersebut merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pernyataan Bersama itu sendiri. Bila
koreksi dilakukan terhadap PJPN maka Ketua PUPN menerbitkan Surat
Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran PN. Surat pemberitahuan tersebut
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari PJPN itu sendiri. Selain
itu, surat-surat koreksi tersebut disampaikan kepada Penyerah Piutang dan
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sebagai pemberitahuan.
Penagihan Piutang Negara dengan Surat Paksa, Sita,
dan Lelang
Penagihan Sekaligus dengan Surat Paksa
PUPN Cabang dapat melakukan penagihan sekaligus dengan Surat
Paksa dalam hal:
1. Pernyataan Bersama telah dibuat, tetapi Penanggung Hutang tidak
mentaati kesepakatan yang tercantum dalam Pernyataan Bersama, dan atas
hal itu KP2LN telah melakukan peringatan secara tertulis; atau
2. Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat, dan PUPN Cabang telah
menerbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN).
Pengurusan Piutang Negara
191
Ketentuan tentang Surat Paksa terdapat pada Pasal 11 Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN. Secara khusus, di dalam
ketentuan di atas tidak terdapat pengertian tentang Surat Paksa. Namun dari
uraian Pasal 11 tersebut di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa Surat
Paksa adalah surat perintah yang berkepala “Demi Keadilan Berdsarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dikeluarkan oleh Ketua PUPN kepada
Penanggung Hutang untuk membayar secara sekaligus seluruh hutangnya
kepada negara berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960.
Identik dengan Pernyataan Bersama, Surat Paksa juga mempunyai
kekuatan yang sama seperti grosse akta dari putusan hakim dalam perkara
perdata, yang tidak dapat dimintakan banding lagi pada hakim atasan. Surat
Paksa ditandatangani oleh Ketua PUPN. Pemberitahuan Surat Paksa
dilaksanakan oleh Jurusita Piutang Negara (JSPN) dengan menyatakan dan
membacakan serta dituangkan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat paksa
(BAPSP).
Selanjutnya apabila dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh
empat) jam semenjak Pemberitahuan Surat Paksa, ternyata Penanggung
Hutang tidak memenuhi kewajiban pembayaran hutangnya kepada Negara,
maka atas perintah Ketua PUPN, JSPN melaksanakan penyitaan barang
jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau
Penjamin Hutang, dan selanjutnya dijual secara lelang.
Penyitaan Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain
Penyitaan terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik
PH/PjH termasuk harta kekayaan yang tersimpan di bank, saham, surat
berharga, dan lain-lain, yang dilakukan oleh PUPN dan merupakan tindakan
hukum lanjutan setelah perintah untuk membayar sejumlah uang tertentu, yang
tertuang dalam Surat Paksa, tidak ditaati oleh PH/PjH.
Penyitaan dilakukan oleh Jurusita Piutang Negara atas dasar Surat
Perintah Penyitaan (SPP) yang ditandatangani oleh Ketua PUPN. Di dalam
melaksanakan tugasnya, Jurusita Piutang Negara didampingi oleh 2 (dua)
orang saksi. Kegiatan pelaksanaan penyitaan tersebut dituangkan dalam Berita
Acara Penyitaan yang ditandatangani bersama oleh Jurusita Piutang Negara,
Penanggung Hutang/Penjamin Hutang atau pihak yang menempati/menguasai
obyek sita, serta kedua saksi tersebut tersebut di atas.
192
Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus
Satu lembar salinan berita acara penyitaan dapat ditempelkan di
tempat umum atau pada barang yang disita tersebut berada. Hal ini
dimaksudkan untuk memenuhi azas publisitas. Oleh karena itu, barang-barang
yang telah disita tersebut harus diberitahukan kepada instansi yang berwenang
untuk dilakukan pencatatan sebagaimana mestinya. Salah satunya adalah ke
instansi Badan Pertanahan Nasional, khusus untuk barang tidak bergerak
berupa tanah dan/atau bangunan.
Pelelangan Barang Sitaan
Penjualan barang sitaan melalui lelang dilakukan jika Penanggung
Hutang tidak menyelesaikan seluruh hutangnya kepada negara walaupun
barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain miliknya telah disita. Pelelangan
tersebut dilaksanakan oleh KP2LN berdasarkan Surat Perintah Penjualan
Barang Sitaan (SPPBS) yang ditandatangani oleh Ketua PUPN.
Pelaksanaan lelang barang sitaan dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang lelang. Dasar hukum utama
adalah Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor 189 jo. Stb. 1908 Nomor 190 jo.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 304/KMK.01/2002 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang. Berdasarkan ketentuan tersebut, pelaksanaan lelang
didahului dengan pengumuman pada surat kabar harian yang beredar di kota
tempat kedudukan KP2LN yang bersangkutan. Cara penawaran lelang akan
ditentukan pada saat pelaksanaan lelang, namun demikian cara penawaran
yang diutamakan adalah penawaran secara terbuka dengan sistem lisan naiknaik.
Sebelum lelang berlangsung, Kepala KP2LN selaku anggota PUPN
Cabang terlebih dahulu menetapkan nilai limit barang yang akan dilelang
dengan berpedoman kepada hasil penilaian (harga taksasi) yang dibuat oleh
Tim Penilai Internal KP2LN atau hasil penilaian perusahaan jasa penilai yang
independen. Pengertian nilai limit tersebut adalah harga dasar terendah sebagai
dasar persetujuan penjualan barang melalui lelang. Sedangkan harga taksasi
merupakan perkiraan nilai yang ditetapkan oleh Tim Penilai atas suatu barang
berdasarkan hasil penilaian yang dilaksanakan.
Hasil bersih lelang yang diperoleh akan diperhitungkan sebagai
pembayaran hutang Penanggung Hutang. Sebanyak 10/11 bagian dari hasil
bersih lelang tersebut diserahkan kepada Penyerah Piutang dan 1/11 bagian
sisanya diperhitungkan sebagai pembayaran Biad PPN dan disetorkan ke Kas
Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pengurusan Piutang Negara
193
Berbagai Upaya/Sarana Hukum Lain yang Dapat
Dilakukan PUPN/KP2LN
Uraian di atas merupakan tahapan yang ditempuh dalam pengurusan
piutang negara yang dilakukan oleh PUPN secara khusus. Pertanyaan yang
timbul selanjutnya adalah upaya apa lagi yang dapat dilakukan oleh
PUPN/DJPLN apabila setelah semua barang jaminan dan harta kekayaan lain
milik PH/PjH telah dilelang namun belum juga menutupi seluruh hutang
Penanggung Hutang?
Guna memperoleh hasil yang optimal dalam melaksanakan pengurusan
piutang negara maka disamping melakukan pengurusan piutang negara secara
khusus, PUPN/DJPLN juga dapat menempuh berbagai upaya/sarana hukum
lainnya yang tersedia. Upaya/sarana hukum yang tersedia dimaksud antara lain
adalah:
1. pencegahan bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia terhadap
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang memenuhi syarat;
2. pelaksanaan sandera/paksa badan terhadap Penanggung Hutang dan/atau
Penjamin Hutang yang memenuhi syarat;
3. pemanfaatan barang jaminan;
4. pemberian keringanan penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang;
5. pengusutan/pemeriksaan atas diri Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang dan/atau atas harta kekayaan Penanggung Hutang dan/atau
Penjamin Hutang;
6. penghentian sementara pengurusan piutang negara dengan menerbitkan
Pernyataan Piutang untuk Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT);
7. penghapusan piutang negara.
Masing-masing upaya hukum tersebut dijelaskan dalam uraian berikut ini.
Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia
Kewenangan pencegahan bepergian ke luar wilayah Republik
Indonesia (selanjutnya disebut pencegahan) dilaksanakan berdasarkan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan
dan Penangkalan. Pencegahan dilaksanakan DJPLN dengan prinsip efektivitas
194
Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus
dan efisiensi. Penjelasan lengkap tentang sarana hukum ini, akan diuraikan
pada Bab 9.
Penyanderaan/Paksa Badan
Penyanderaan atau paksa badan dapat dikatakan sebagai suatu tindakan
hukum yang luar biasa yang dilakukan terhadap diri seorang Penanggung
Hutang. Kewenangan untuk menyandera ini dimiliki oleh PUPN berdasarkan
ketentuan yang ada dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960.
Penyanderaan dapat dilakukan apabila Penanggung Hutang tidak
memenuhi ketentuan Surat Paksa. Kewenangan PUPN untuk menyandera
tersebut tidak termasuk kewenangan yang dilarang atas dasar instruksi
Mahkamah Agung Nomor 82/P/374/M/1964 tanggal 22 Januari 1964.
Meskipun demikian, prosedur penyanderaan harus dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Pasal 11 butir 15 sampai dengan 23 Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 dan juga dengan memperhatikan ketentuan Pasal 186 Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2000 yaitu:
1. jumlah piutang negara sekurang-kurangnya 1 milyar rupiah;
2. hasil pemeriksaan KP2LN menunjukkan bahwa Penanggung Hutang
mampu menyelesaikan hutangnya, tetapi tidak memperlihatkan itikad baik
untuk menyelesaikan;
3. Umur PH/PjH tidak lebih dari 75 tahun;
4. barang jaminan tidak ada atau tidak menutup sisa hutang; dan
5. Penanggung Hutang tidak memenuhi Surat Paksa.
Pemanfaatan Barang Jaminan
Dalam melaksanakan pengurusan piutang negara, PUPN/DJPLN
diberikan kewenangan untuk melakukan pemanfaatan barang jaminan.
Penjelasan lengkap tentang hal ini diuraikan dalam Bab 8.
Pemberian Keringanan Penyelesaian Hutang
Guna percepatan pengurusan piutang negara, DJPLN memiliki
kewenangan untuk memberikan keringanan penyelesaian hutang kepada
Penanggung Hutang. Penjelasan lengkap tentang hal ini diuraikan dalam Bab
7.
Pengusutan/Pemeriksaan
Pengurusan Piutang Negara
195
Pemeriksaan merupakan upaya yang dilakukan oleh KP2LN setelah
adanya informasi yang dapat dipercaya atas usaha dan kemampuan PH/PjH
yang dilakukan dengan prinsip efektivitas dan efesiensi dalam pengurusan
piutang negara. Penjelasan lengkap tentang pemeriksaan diuraikan dalam Bab
10.
Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT)
Bila pengurusan piutang negara telah optimal, PUPN diberi
kewenangan untuk menghentikan sementara pengurusan piutang negara
tersebut. Penghentian sementara tersebut ditandai dengan penerbitan Piutang
Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT). Penjelasan lengkap tentang
pemeriksaan diuraikan dalam Bab 11.
Penghapusan Piutang Negara
Terhadap piutang negara yang memenuhi syarat, dapat dilakukan
penghapusan. Penghapusan tersebut dapat berupa baik penghapusan piutang
dari pembukuan dengan tidak menghilangkan hak tagih negara, maupun
penghapusan piutang dengan menghilangkan hak tagih negara. Penjelasan
lengkap tentang hal ini diuraikan dalam Bab 11.
Rangkuman
Dalam rangka pengamanan keuangan negara Pemerintah Republik
Indonesia telah membentuk lembaga/institusi khusus yang diberi nama
PUPN, suatu unit organisasi yang bersifat antar departemen yang anggotanya
terdiri dari unsur Departemen Keuangan, Bank Indonesia, POLRI, Kejaksaan
Agung dan Pemda. Pembentukan PUPN tersebut dituangkan dalam UU No. 49
Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang berisi susunan
organisasi tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. Dalam melakukan
upaya penagihan piutang negara, PUPN tidak menempuh prosedur umum (lex
generalis) sebagaimana diatur dalam H.I.R., tetapi menempuh prosedur
khusus (lex specialis). Dengan prosedur khusus tersebut, diharapkan hasilnya
akan lebih efektif, efisien, cepat dan optimal. Hal mana tidak akan diperoleh
bilamana ditempuh melalui prosedur biasa, satu dan lain hal mengingat yang
dihadapi adalah debitur nakal yang dengan tindakannya secara terang-terangan
merugikan Keuangan Negara.
Di samping tindakan eksekusi dalam pengurusan piutang negara, maka
PUPN/KP2LN dilengkapi pula dengan berbagai upaya/sarana hukum agar
196
Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus
diperoleh hasil yang efektif dan efisien. Disamping hasil berupa uang, maka
hasil penyelanggaraan pengurusan piutang negara dapat diwujudkan dalam
bentuk penyelesaian administratif, yaitu berupa penarikan/pengembalian kasus
piutang negara kepada PP (kreditor) dengan alasan penyehatan usaha PH/PjH,
PSBDT serta penghapusan piutang negara. Penghapusan piutang negara ini
dapat diusulkan kepada
Menteri Keuangan setelah melalui prosedur
pengusutan/ pemeriksaan, baik terhadap diri PH/PjH maupun kemampuan
serta harta kekayaannya.
- o0o -
Latihan
Untuk mengingatkan kembali yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di
bawah ini:
1. Apa tujuan dibentuknya PUPN berdasarkan Undang-undang Nomor 49
Prp. Tahun 1960? Coba jelaskan pendapat/alasan/argumentasi saudara!
2. Bagaimana hubungan antara PUPN dengan DJPLN?
3. Jelaskan prosedur atau langkah-langkah yang harus ditempuh dalam
pengurusan piutang negara dari tahap penyerahan sampai dengan
penerbitan PB/PJPN!
4. Langkah-langkah apa saja yang perlu ditempuh oleh PUPN/KP2LN dalam
hal PH/PjH tidak memenuhi PB/PJPN ?
5. Bagaimana cara Juru Sita Piutang Negara (JSPN) menyampaikan/
memberitahukan SP kepada PH/PjH?
6. Tindakan apa yang dapat dilakukan oleh PUPN/KP2LN bilamana PH/PjH
tidak juga menyelesaikan hutangnya kepada negara ?
7. Sebutkan berbagai upaya/sarana hukum yang dapat ditempuh oleh
PUPN/KP2LN dalam pengurusan piutang negara disamping tindakan
penagihan dengan SP, SPP dan pelelangan barang jaminan!
8. Apa persyaratan yang harus dipenuhi agar PH/PjH dapat disandera / paksa
badan ?
9. Kapan PUPN/KP2LN dapat melakukan pelelangan atas barang jaminan
sebelum diterbitkannya PB atau PJPN ?
Pengurusan Piutang Negara
197
TES FORMATIF I
Pilih jawaban yang paling benar dengan melingkari jawaban yang
Saudara pilih.
1.
Hubungan antara PUPN dengan DJPLN ditinjau dari sudut organisasi
dan mekanisme kerjanya adalah:
A. PUPN dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun
1960, sedangkan DJPLN dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 177 Tahun 2000 sehingga secara organisasi kedudukan
PUPN lebih tinggi daripada DJPLN.
B. DJPLN memiliki tanggungjawab yang lebih luas daripada PUPN.
C. DJPLN bertugas menyelenggarakan Pengurusan Piutang dan Lelang
Negara baik yang berasal dari Penyelenggaraan tugas PUPN maupun
pelaksanaan kebijaksanaan Menteri Keuangan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
D. Pernyataan A, B, dan C salah.
2.
Pengurusan Piutang dan Lelang Negara oleh PUPN dilakukan secara
khusus, maksud secara khusus adalah :
A. PUPN dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun
1960 dan memiliki prosedur khusus sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959.
B. Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 bersifat lex specialis
dalam pengurusan piutang negara.
C. PUPN memiliki kewenangan Parate Eksekusi.
D. Pernyataan A, B, dan C benar.
3.
Pengertian piutang macet dalam Surat Keputusun Direksi Bank
Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang
Kualitas Aktiva Produktif, adalah:
A. Jika terdapat tunggakan angsuran bunga yang telah melampaui 270
hari.
B. Jika terdapat tunggakan angsuran pokok 240 hari dan tunggakan
angsuran bunga telah melampaui 270 hari.
C. Jika terdapat tunggakan angsuran pokok dan bunga yang telah
melampaui 270 hari.
198
Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus
D. Jika terdapat tunggakan angsuran pokok kurang dari 270 hari dan
tunggakan angsuran bunga kurang dari 270 hari.
4.
Berdasarkan Surat Panggilan tertanggal 4 Maret 2002 KP2LN Sorong
memanggil Sdr. Suto yang beralamat di JI. Pembangunan Sorong untuk
datang guna menyelesaikan piutang macet yang diserahkan olch Bank
BRI (Persero) Cabang Sorong pada tanggal 7 April 2002. Jika Sdr. Suto
tidak datang memenuhi Surat Panggilan tersebut maka panggilan kedua
(terakhir) paling lambat dibuat :
A. Tujuh hari setelah tanggal untuk menghadap.
B. Tujuh hari setelah tanggal surat panggilan.
C. Tujuh hari kerja setelah tanggal surat panggilan.
D. Tujuh hari kerja setelah tanggal 7 April 2002.
5.
Salah satu persyaratan penyerahan piutang macet kepada KP2LN
dilampirkan juga surat kesanggupan bank untuk meroya hipotik/crediet
verband/hak tanggungan. Persyaratan tersebut diperlukan untuk :
A. Melindungi kepentingan pernbeli objek hak tanggangan jika ternyata
harga pernbelian lebih rendah daripada nilai pembebanan hak
tanggungan.
B. Melindungi kepentingan KP2LN dari gugatan bank, jika barang
jaminan dijual di bawah nilai pembebanan hak tanggungan
berdasarkan penilaian dari tim penaksir.
C. Keperluan administrasi internal KP2LN.
D. Persiapan pelaksanaan lelang barang jaminan.
6.
Dalam hal PH/PjH tidak sanggup menyelesaikan hutangnya, maka
berdasarkan Pasal 51 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
300/KMK.01/2002:
A. PB tetap harus dibuat.
B. PB tidak perlu dibuat.
C. PB tetap dibuat yang berisi tentang kepastian adanya dan besarnya
piutang negara.
D. Langsung diterbitkan PJPN.
Pengurusan Piutang Negara
199
7.
Bilamana terdapat kekeliruan jumlah piutang negara yang tercantum
dalam PB, maka tindakan korektif yang dapat dilakukan adalah:
A. Membatalkan PB yang bersangkutan.
B. Ketua PUPN menerbitkan Surat Koreksi PB.
C. Menerbitkan PB baru.
D. Ketua PUPN menerbitkan Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan
Besaran Piutang Negara.
8.
Sedangkan bila terdapat kekeliruan jumlah piutang negara, yang
tercantum dalam PJPN, maka Ketua PUPN melakukan:
A. Pembatalan PJPN.
B. Menerbitkan PJPN yang baru.
C. Menerbitkan Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran
Piutang Negara.
D. Menerbitkan SP, SPP dan SPPBS.
Hasil wawancara dengan PH/PjH yang memenuhi panggilan KP2LN
dituangkan dalam:
A. Resume hasil Penelitian Kasus (RHPK).
B. Resume Hasil Pemeriksaan Penanggung Hutang (RHPD).
C. Berita Acara, Tanya Jawab (BATJ).
D. Jawaban A, B, dan C salah.
9.
10.
Penelitian atas dokumen penyerahan kasus piutang macet dari
kreditor/PP dituangkan dalam dokumen :
A. RHPD
B. RHPK
C. BATJ
D. Jawaban A, B dan C benar
TES FORMATIF II
1. PT. Bank BRI (Persero) menyerahkan piutang macet a.n. Sdr. Japra kepada
PUPN, dari Rekening Koran diketahui bahwa Sdr. Japra memiliki
tunggakan angsuran pokok selama 12 bulan sedangkan angsuran bunga
selama 6 bulan.
200
Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus
A. Piutang macet a.n. Japra yang dituangkan dalam Pernyataan Bersama
adalah jumlah tunggakan angsuran pokok selama 12 bulan ditambah
tunggakan angsuran bunga selama 6 bulan.
B. Piutang macet a.n. Japra yang dituangkan dalam Pernyataan Bersama
adalah jumlah tunggakan angsuran pokok selama 9 bulan ditambah
tunggakan angsuran bunga selama 6 bulan.
C. Nilai yang dituangkan dalam Pernyataan Bersama adalah nilai pada
saat penyerahan.
D. Pernyataan A dan B benar.
2.
3.
4.
Pemberitahuan Surat Paksa oleh Jurusita Piutang Negara kepada PH/PjH
dilaksanakan dengan ketentuan antara lain :
A. PH/PjH berada di tempat lain, yaitu apabila PH/PjH tidak diketahui
alamatnya secara pasti di Indonesia.
B. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja
di tempat usaha PH/PjH, apabila PH/PjH menolak meneima Surat
Paksa.
C. Para ahli waris PH/PjH secara pro rata parte, apabila PH/PjH telah
meninggal dunia melampaui waktu 6 (enam) bulan serta harta
warisan telah dibagi.
D. Salah seorang ahli waris PH/PjH apabila PH/PjH telah meninggal
dunia melampaui 6 (enam) bulan serta harta warisan telah dibagi.
Dalam hal PH/PjH tidak mentaati kesepakatan yang dituangkan dalam
PB, maka :
A. PH/PjH wajib diperingatkan secara tertulis oleh KP2LN.
B. Dilakukan tindakan eksekusi oleh PUPN/DJPLN.
C. Segera diterbitkan SP.
D. Jawaban A, B dan C benar.
Penyitaan atas agunan hutang dapat dilaksanakan oleh juru sita PUPN
setelah jangka waktu :
Pengurusan Piutang Negara
A.
B.
C.
D.
201
I x 24 jam setelah pemberitahuan SP.
2 x 24 jam setelah pemberitahuan SP.
7 x 24 jam setelah penerbitan SP.
Jawaban A, B dan C salah.
6. Dalam pelaksanaan lelang, PUPN terlebih dahulu menetapkan :
A. Nilai limit.
B. Harga limit.
C. Harga taksasi.
D. Harga dasar barang sitaan.
6.
Tim Penaksir dalam melakukan taksasi barang jaminan tidak perlu
melakukan pemeriksaan lapangan dalam hal barang jaminan :
A. Bernilai Rp. 10 juta ke atas tetapi kurang dari Rp. 20 juta.
B. Nilainya diperkirakan kurang dari Rp. 10 juta.
C. Bernilai sekitar Rp. 20 juta ke atas.
D. Nilainya kurang dari Rp 15 juta, tetapi di atas Rp. 10 juta.
7. Kebenaran atas harga taksasi merupakan tanggung jawab dari :
A. Ketua Tim Penaksir.
B. Salah satu anggota Tim Penaksir yang melakukan pemeriksaan
lapangan.
C. Sckrctaris Tim Penaksir.
D. Seluruh Anggota Tim Penaksir.
8.
Harga Taksasi berlaku selama 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkan,
dengan ketentuan sebagai berikut :
A. Dapat diperpanjang oleh Ketua PUPN sampai dengan 12 (dua belas)
bulan dengan pertimbangan karena belum laku dilelang.
B. Dapat ditinjau ulang oleh Ketua PUPN kurang dari 6 (enam) bulan
jika terdapat perubahan baik peruntukan maupun perubahan kondisi
barang jaminan.
202
Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus
C. Dapat diperpanjang oleh Kepala KP2LN sampai dengan 12 (dua
belas) bulan dengan pertimbangan karena belum ada perkembangan
perubahan harga yang berarti.
D. Pernyataan A dan B benar.
9.
Pelaksanaan lelang tidak dapat ditunda/dibatalkan oleh pejabat lelang,
kecuali hal-hal antara lain :
A. Atas permintaan pemohon lelang.
B. Karena adanya putusan pengadilan.
C. SKT belum diterbitkan oleh/diterima dari Kantor BPN setempat.
D. Jawaban A, B dan C benar.
10.
Penyitaan terhadap harta kekayaan lain PH/PjH di luar barang jaminan
dapat dilakukan oleh JSPN berdasarkan:
A. SPP yang diterbitkan PUPN atas barang jaminan PH/PjH.
B. SPP PUPN yang terbaru.
C. SPP
yang
diterbitkan
PUPN
berdasarkan
hasil
pemeriksaan/pengusutan atas harta kekayaan lain milik PH/PjH.
D. Jawaban A, B, dan C salah.
TES FORMATIF III
1.
Efektifitas tindakan pencegahan ke luar negeri dalam rangka pengurusan
piutang negara terhadap Penanggung Hutang/Penjamin Hutang (PH/PjH)
karena antara lain alasan sebagaimana di bawah ini :
A. Memiliki piutang negara senilai Rp. 500 juta dan berdasarkan
keterangan dari berbagai sumber terutama dari Penyerah Piutang
(PP) yang bersangkutan sering bepergian ke luar negeri baik untuk
kepentingan bisnis maupun pribadi.
B. PH/PjH memiliki piutang negara senilai Rp. 2 milyar dan menurut
penilaian Tim Penaksir memiliki jaminan hutang senilai Rp. 2 milyar
dan dokumennya lengkap.
C. PH/PjH memiliki piutang negara senilai Rp. 1 milyar dan dalam
keadaan pailit.
D. Pernyataan A dan B benar.
2.
Pernyataan di bawah ini BENAR, kecuali :
Pengurusan Piutang Negara
203
A. Penyanderaan merupakan kewenangan PUPN.
B. Penyanderaan dalam rangka pengurusan piutang negara tidak
dilarang oleh Mahkamah Agung.
C. Penyanderaan memerlukan izin dari Kepala Kejaksaan Tinggi.
D. Dampak
positif
penyanderaan
adalah
dapat
mengatasi
berkembangnya praktek Debt Collector yang bersifat melanggar
hukum sehingga secara tuntas dapat meniadakan terjadinya kredit
macet.
3.
Gijzeling/Lijfdwang dapat dilaksanakan kembali dalam hal :
A. Adanya persamaan persepsi antara seluruh penegak hukum untuk
menghidupkan kembali Gijzeling/Lijfdwang.
B. PUPN Cabang memperoleh persetujuan dari Ketua PUPN Pusat dan
memperoleh persetujuan dari Kepala Kejaksaan Tinggi.
C. PUPN Cabang memperoleh izin dari Ketua PUPN Pusat dan
memperoleh persetujuan dari Kepala Kejaksaan Tinggi.
D. Direkomendasikan untuk dilaksanakan oleh Komisi Nasional Hak
Azasi Manusia (Komnas HAM).
4.
Tindakan paksa badan tidak dapat dilakukan terhadap debitur yang
berumur :
A. 50 tahun ke atas.
B. 75 tahun ke atas.
C. 60 tahun ke atas.
D. 70 tahun ke atas.
5.
Terjemahan gijzeling menjadi istilah paksa badan didasarkan atas
pertimbangan :
A. Demi penegakan hukum/law enforcement yang lebih efektif.
B. Menyesuaikan dengan perkembangan kondisi penegakan HAM.
C. Sesuai dengan pengertian “Imprisonment for civil debt” yang
berlaku secara universal.
D. Jawaban A, B dan C benar.
204
Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus
- o0o -
BAB 7
PENDEKATAN NON EKSEKUSI DALAM
PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
Sasaran Pembelajaran
Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III
Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan
memahami salah satu pendekatan yang ditempuh PUPN dalam melaksanakan
Pengurusan Piutang Negara. Pendekatan dalam pengurusan piutang negara yang akan
diuraikan dalam Bab ini adalah pendekatan non eksekusi, yaitu langkah yang ditempuh
PUPN dengan memberikan kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk
menyelesaikan hutangnya tanpa perlu adanya tindakan hukum eksekusi barang jaminan.
Langkah-langkah tersebut adalah pemberian kesempatan kepada Penanggung Hutang
untuk menjual barang jaminan miliknya tidak melalui lelang, kesempatan kepada
Penjamin Hutang untuk melakukan penebusan barang jaminan miliknya, dan pemberian
keringanan penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang.
Pendahuluan
206
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
Pada Bab 2 telah diuraikan, bahwa pengurusan piutang negara oleh PUPN
didasarkan pada Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara. Undang-undang tersebut memuat aturan pengurusan
piutang yang bersifat khusus dengan tujuan efisiensi proses pengurusan piutang
negara dan percepatan hasil kegiatan pengurusan tersebut.
Dengan aturan main tersebut, diharapkan bahwa pengurusan piutang
negara oleh PUPN dapat dilaksanakan dengan lebih efisien dan lebih cepat
memberikan hasil dibandingkan dengan pengurusan piutang yang dilaksanakan
berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (H.I.R. Staatsblad
1941 Nomor 44). Efisiensi dan percepatan perolehan hasil pengurusan tersebut
dimungkinkan terjadi mengingat proses pengurusan piutang negara oleh PUPN
diatur sangat singkat.
Sebagaimana yang telah diuraikan di Bab 6, proses singkat pengurusan
piutang negara dimulai dari pemanggilan kepada Penanggung Hutang dan
dilanjutkan dengan pembuatan Pernyataan Bersama, yang berisi pengakuan
hutang dan rencana penyelesaiannya oleh Penanggung Hutang. Apabila
Penanggung Hutang tidak melaksanakan Pernyataan Bersama tersebut, PUPN
melakukan penagihan secara sekaligus dengan Surat Paksa. Setelah itu, bila
Penanggung Hutang tetap tidak menyelesaikan hutangnya, pengurusan piutang
negara akan dilanjutkan dengan penyitaan dan pelelangan barang jaminan dan
harta kekayaan lain.
Proses pengurusan yang dikenal dengan “Penagihan Piutang Negara
Dengan Surat Paksa” tersebut dapat dikatakan juga sebagai pendekatan eksekusi
dalam pengurusan piutang negara. Pendekatan eksekusi tersebut, di satu sisi
dapat membantu upaya percepatan pengurusan piutang negara. Namun demikian,
di sisi lainnya, pendekatan eksekusi terkadang menjadi kontra produktif dalam
pengurusan piutang negara. Hal tersebut disebabkan karena:
1. Penyitaan barang jaminan merupakan hal yang tidak disukai oleh
Penanggung Hutang, dan bahkan pada kasus-kasus tertentu menyebabkan
ketersinggungan sehingga yang bersangkutan melakukan segala upaya untuk
membatalkan penyitaan tersebut. Pada gilirannya, keadaan ini menjadi
penghambat dalam pengurusan piutang Negara.
2. Di mata para Penanggung Hutang pada umumnya, harga jual yang terbentuk
pada lelang eksekusi barang jaminan berada di bawah nilai pasar sehingga
Penanggung Hutang selalu memiliki alasan untuk melakukan gugatan kepada
PUPN. Gugatan-gugatan tersebut, juga menjadi penghambat dalam
pengurusan piutang negara.
Pengurusan Piutang Negara
207
Guna meminimalkan hambatan yang terjadi sebagai akibat digunakannya
pendekatan eksekusi dalam pengurusan piutang negara, dan memperhatikan
paradigma baru yang berlaku di masyarakat terkait dengan penegakan hak asasi
manusia (HAM), PUPN mulai mengedepankan pendekatan non eksekusi dalam
pengurusan piutang negara. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara
memberikan kesempatan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang
untuk menyelesaikan hutangnya melalui cara-cara berikut:
1. penjualan barang jaminan tidak melalui lelang;
2. penebusan barang jaminan; dan/atau
3. penyelesaian hutang dengan keringanan.
Penjualan Barang Jaminan Tidak Melalui Lelang
Sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab sebelum ini, di dalam praktik
secara umum, seorang kreditor seringkali meminta kepada seorang debitor untuk
memberikan jaminan khusus berupa jaminan kebendaan (hipotik, gadai, fidusia),
di samping jaminan perorangan yang dinamakan jaminan/perjanjian
penanggungan hutang (borgtocht atau guaranty). Selain diberikan oleh debitor
yang bersangkutan, jaminan kebendaan dapat juga diberikan diberikan oleh
orang/pihak lain. Sedangkan jaminan perorangan, selalu diberikan oleh
orang/pihak lain. Jaminan khusus tersebut digunakan oleh kreditor sebagai
bagian upaya penyelesaian hutang debitor bila yang bersangkutan tidak mampu
menyelesaikan kewajibannya sesuai yang dipersyaratkan dalam perjanjian hutang
piutang.
Dalam melakukan pengurusan piutang negara, PUPN juga menggunakan
jaminan kebendaan yang ada menjadi bagian dalam upaya penyelesaian hutang
Penanggung Hutang. Bila menggunakan pendekatan eksekusi, barang jaminan
tersebut dapat disita dan dilelang yang hasilnya digunakan sebagai bagian dalam
penyelesaian hutang. Dalam pendekatan non eksekusi, PUPN memberikan
kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk melakukan penjualan barang
jaminan tanpa melalui lelang.
Keuntungan dari pendekatan ini adalah bahwa harga jual barang jaminan
merupakan harga yang disetujui oleh Penanggung Hutang, Penyerah Piutang, dan
PUPN, sehingga tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan. Berbeda dengan
penjualan barang jaminan melalui lelang, harga yang terjadi belum tentu disetujui
oleh Penanggung Hutang, sehingga terkadang ada saja Penanggung Hutang yang
208
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
melakukan gugatan ke pengadilan. Keadaan ini pada gilirannya menjadi
penghambat dalam pengurusan piutang negara.
Syarat Penjualan Barang Jaminan Tidak Melalui Lelang
Di dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pengurusan piutang
negara yang berlaku, penjualan barang jaminan tidak melalui lelang hanya dapat
dilakukan oleh Penanggung Hutang apabila telah terpenuhi hal-hal sebagai
berikut:
1. Penjualan barang jaminan tidak melalui lelang hanya dapat dilakukan oleh
Penanggung Hutang yang memiliki barang jaminan tersebut.
Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penanggung Hutang perlu
diberi kesempatan untuk menjual sendiri barang miliknya yang telah
dijadikan jaminan atas pelunasan hutangnya. Sepanjang memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan, dengan menjual sendiri, diharapkan
Penanggung Hutang tidak akan mempermasalahkan nilai jual barang
miliknya.
2. Penjualan tidak melalui lelang hanya dapat disetujui dengan nilai penjualan
paling sedikit sama dengan nilai pasar, dan nilai pasar tersebut paling sedikit
sama dengan nilai pengikatan Hypotheek/Credietverband atau nilai
pembebanan Hak Tanggungan (untuk simplifikasi, selanjutnya disebut nilai
pengikatan/pembebanan). Nilai penjualan yang disetujui tersebut didasarkan
pada Laporan Penilaian.
Persyaratan ini dirumuskan untuk menjamin bahwa nilai yang terjadi pada
penjualan tersebut adalah transparan, dan dapat dipertanggung-jawabkan.
Selain itu, untuk menjamin bahwa nilai penjualan merupakan nilai yang dapat
diterima oleh semua pihak, maka nilai tersebut diatur untuk mengacu pada
nilai pasar.
3. PUPN menyetujui penebusan tersebut.
Dasar pemikiran persyaratan ini jelas bahwa PUPN yang berwenang
melakukan pengurusan piutang negara harus memberikan persetujuan
penebusan barang jaminan terlebih dahulu sebelum penebusan tersebut
efektif.
Dari persyaratan ini juga dapat diketahui bahwa PUPN hanya memberikan
persetujuan penjualan tidak melalui lelang, dan bukan menjadi para pihak
yang terlibat dalam jual beli barang (bukan pihak yang ikut menandatangani
akta jual beli).
Pengurusan Piutang Negara
209
4. Permohonan penjualan tidak melalui lelang dengan nilai yang berada di
bawah nilai pengikatan/pembebanan dapat diajukan sepanjang Penyerah
Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan
keputusan penebusan kepada PUPN.
Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penyerah Piutang,
berdasarkan perjanjian penjaminan, mempunyai jaminan penyelesaian
piutangnya sebesar nilai pengikatan/pembebanan yang melekat pada barang
jaminan milik Penanggung Hutang. Bila Penanggung Hutang ingin menjual
barang jaminan tersebut, tentunya yang bersangkutan harus menjualnya
minimal sama dengan nilai yang diperjanjikan. Bila ingin menjual dengan
nilai di bawah yang diperjanjikan, adalah hal yang wajar bila diperlukan
adanya persetujuan dari Penyerah Piutang sebagai penerima Hypotheek/
Credietverband atau pemegang Hak Tanggungan.
Proses Penjualan Barang Jaminan Tidak Melalui Lelang
Penjualan barang jaminan tidak melalui lelang oleh Penanggung Hutang
yang memiliki barang jaminan dilakukan sebagai berikut:
1. Tentang pengajuan permohonan penebusan barang jaminan:
a. Penanggung Hutang mengajukan permohonan penjualan tidak melalui
lelang secara tertulis kepada PUPN. Surat permohonan tersebut
dilengkapi dengan uraian barang yang akan dijual, nilai penjualan,
identitas calon pembeli, dan cara pembayaran.
Prosedur ini diperlukan untuk kepentingan dokumentasi proses
pengurusan piutang negara oleh PUPN, serta untuk memastikan bahwa
pembeli barang jaminan bukanlah Penanggung Hutang sendiri, atau
keluarganya, atau bahkan pembeli fiktif.
b. Bila Penanggung Hutang telah meninggal dunia, ahli warisnya dapat
mengajukan permohonan penjualan barang jaminan di luar lelang.
c. Permohonan penjualan barang jaminan di luar lelang dapat diajukan pada
setiap tahap pengurusan piutang negara, dengan ketentuan permohonan
telah diterima PUPN paling lambat 14 hari sebelum pelaksanaan lelang.
2. Tentang persetujuan/penolakan penjualan barang jaminan tidak melalui
lelang:
a. Persetujuan/penolakan penjualan ditetapkan oleh PUPN, dengan
ketentuan:
210
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
1) berpedoman pada Laporan Penilaian yang masih berlaku dan
ditetapkan paling lama 1 bulan sejak surat permohonan diterima
PUPN; dan
2) apabila nilai penjualan di bawah nilai pengikatan/pembebanan
persetujuan/penolakan ditetapkan paling lama 2 bulan sejak surat
permohonan diterima PUPN. Hal ini dimaksudkan untuk memberi
kesempatan kepada PUPN dan Penyerah Piutang guna mengumpulkan
bukti-bukti yang menguatkan persetujuan/ penolakan dengan nilai di
bawah nilai pengikatan/pembebanan. Bukti utama adalah Laporan
Penilaian yang masih berlaku.
b. Jangka waktu pemberian persetujuan Penyerah Piutang atas permohonan
penjualan barang jaminan tidak melalui lelang dengan nilai di bawah nilai
pengikatan/pembebanan diatur tidak boleh melebihi 15 hari sejak
permintaan persetujuan diterima Penyerah Piutang. Apabila Penyerah
Piutang tidak menyetujui nilai penjualan tersebut, Penyerah Piutang harus
menyampaikan secara tertulis keberatan tersebut disertai dengan Laporan
Penilaian yang masih berlaku.
c. Sejak permohonan penjualan diterima sampai terbitnya keputusan, PUPN
tidak melakukan tindakan hukum pengurusan piutang negara yang terkait
dengan barang jaminan yang akan dijual tersebut. Hal ini diatur untuk
memberikan kepastian hukum kepada Penanggung Hutang dalam
menjual barang jaminannya guna menyelesaikan kewajibannya.
3. Tentang pembayaran:
a. Pembayaran atas penjualan barang jaminan tidak melalui lelang dengan
nilai sampai dengan Rp.1.000.000.000,00, hanya dapat dilakukan secara
tunai paling lama 2 bulan sejak tanggal surat persetujuan penjualan.
Sedangkan pembayaran atas penjualan dengan nilai lebih dari
Rp.1.000.000.000,00, dapat dilakukan secara angsuran pro rata dengan
jangka waktu paling lama 6 bulan sejak tanggal surat persetujuan
penjualan.
Ketentuan ini dirumuskan dengan mempertimbangkan jangka waktu
pembayaran dibandingkan dengan besarnya nilai uang yang digunakan
untuk jual beli barang jaminan. Semakin besar nilai transaksi penjualan,
tentu semakin banyak waktu yang diperlukan pembeli barang jaminan
untuk menyiapkan uang tersebut.
b. Pembeli barang jaminan tidak melalui lelang hanya membayar sebesar
nilai penjualan yang disetujui semua pihak (Penanggung Hutang,
Penyerah Piutang, dan PUPN) dan tidak dikenakan pembayaran Biaya
Pengurusan Piutang Negara
211
Administrasi Pengurusan Piutang Negara. Hasil transaksi tersebut, bila
tidak melebihi sisa hutang Penanggung Hutang, akan digunakan
seluruhnya sebagai bagian dari penyelesaian hutang Penanggung Hutang.
Alokasi hasil penjualan tersebut adalah sebagai berikut:
1) 10/11 (sepuluh per sebelas) bagian akan diserahkan kepada Penyerah
Piutang, dan
2) 1/11 (satu per sebelas) bagian akan disetorkan ke kas negara.
Ketentuan ini didasarkan pada pemikiran bahwa pembeli barang jaminan
tidak melalui lelang bukanlah pihak yang bertanggung-jawab untuk
menyelesaikan hutang Penanggung Hutang sehingga tidak berkewajiban
membayar Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.
Penebusan Barang Jaminan
Dalam pendekatan non eksekusi, selain memberikan kesempatan kepada
Penanggung Hutang untuk melakukan penjualan barang jaminan tanpa melalui
lelang, PUPN juga memberikan kesempatan kepada Penjamin Hutang untuk
menebus barang jaminan miliknya. Hasil yang diperoleh dari penebusan tersebut
digunakan sebagai bagian dalam penyelesaian kewajiban Penanggung Hutang.
Keuntungan Penebusan Barang Jaminan
Kesempatan untuk menebus barang jaminan miliknya merupakan bentuk
jaminan hukum yang diberikan PUPN kepada Penjamin Hutang untuk menjadi
prioritas yang mendapatkan kembali barang miliknya yang telah dijadikan barang
jaminan hutang. Dengan penebusan, nilai barang jaminan dapat dipertahankan.
Selain itu, adanya kesempatan Penjamin Hutang untuk menebus barang jaminan
miliknya memberikan keuntungan nyata dalam pengurusan piutang negara, yaitu:
1. Percepatan perolehan hasil pengurusan piutang negara.
Dengan adanya penebusan barang jaminan, terlebih bila penebusan tersebut
dilakukan dengan nilai penebusan minimal sama dengan nilai
pengikatan/pembebanan, pengurusan piutang negara dapat lebih cepat
diselesaikan karena tidak perlu ada tahap penilaian dan lelang barang
jaminan.
2. Efisiensi biaya pengurusan piutang negara.
Dengan berkurangnya tahap pengurusan yang harus ditempuh karena adanya
penebusan barang jaminan, tentunya biaya yang harus dikeluarkan dalam
212
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
pengurusan piutang negara juga dapat diminimalkan. Biaya yang dapat
diminimalkan tersebut antara lain adalah biaya penilaian barang jaminan, dan
biaya yang terkait dengan lelang seperti biaya pengumuman lelang.
Syarat Penebusan Barang Jaminan
Berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pengurusan
piutang negara yang berlaku1, penebusan barang jaminan hanya dapat dilakukan
oleh Penjamin Hutang apabila telah terpenuhi hal-hal sebagai berikut:
1. Penebusan barang jaminan tidak dapat dilakukan oleh Penanggung Hutang
atau Penjamin Hutang yang menjamin seluruh hutang/kewajiban Penanggung
Hutang.
Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa keinginan Penanggung
Hutang untuk menebus barang jaminan miliknya menunjukkan bahwa yang
bersangkutan memiliki uang/kemampuan yang seharusnya diprioritaskan
untuk membayar hutangnya. Oleh karena itu, yang bersangkutan wajib
menggunakan uang/kemampuannya tersebut untuk menyelesaikan hutangnya.
Dan apabila setelah adanya pembayaran tetapi hutangnya belum lunas,
barang jaminan milik yang bersangkutan tetap menjadi barang jaminan
hutang. Dengan konsep ini, terlihat bahwa uang milik Penanggung Hutang
digunakan untuk membayar hutangnya dan bukan untuk menebus barang
jaminan miliknya.
Selain itu, seperti yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, PUPN juga
memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan harta kekayaan lain milik
Penanggung Hutang yang tidak dijadikan sebagai barang jaminan. Dengan
adanya kewenangan PUPN ini, maka dari sudut pandang Penanggung Hutang
upaya penebusan barang jaminan miliknya merupakan suatu upaya yang siasia. Hal tersebut terjadi karena barang jaminan miliknya yang telah ditebus
dari PUPN (apabila diperbolehkan, tentunya) akan serta merta disita kembali
oleh PUPN apabila Penanggung Hutang masih memiliki sisa hutang yang
masih harus diselesaikannya.
Penjamin Hutang yang menjamin seluruh hutang Penanggung Hutang tidak
diperbolehkan untuk menebus barang jaminan miliknya didasarkan pada
pemikiran bahwa Penjamin Hutang seperti itu kedudukan hukumnya adalah
sama dengan Penanggung Hutang sehingga kewajibannya juga sama dengan
1
Ketentuan tentang penebusan barang jaminan diatur dalam Pasal 286 – Pasal 299 Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, dan Pasal 107 – Pasal 110 Keputusan Dirjen
Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep-25/PL/2002.
Pengurusan Piutang Negara
213
Penanggung Hutang. Dengan demikian, bila Penanggung Hutang tidak dapat
menebus barang jaminan miliknya, maka Penjamin Hutang yang menjamin
seluruh hutang Penanggung Hutang juga tidak dapat menebus barang jaminan
miliknya.
2. Nilai penebusan yang diajukan paling sedikit sama dengan nilai pengikatan
Hypotheek/Credietverband atau nilai pembebanan Hak Tanggungan.
Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penjamin Hutang,
berdasarkan perjanjian penjaminan, mempunyai kewajiban untuk ikut
menyelesaikan kewajiban Penanggung Hutang sebesar yang diperjanjikan,
yang dalam hal ini tercermin dari nilai pengikatan/pembebanan. Oleh karena
itu, bila Penjamin Hutang berniat menebus barang jaminan miliknya, yang
bersangkutan harus menebusnya dengan nilai yang diperjanjikan tersebut.
3. PUPN menyetujui penebusan tersebut.
Dasar pemikiran persyaratan ini jelas bahwa PUPN yang berwenang
melakukan pengurusan piutang negara harus memberikan persetujuan
penebusan barang jaminan terlebih dahulu sebelum penebusan tersebut
efektif.
4. Nilai penebusan yang diajukan di bawah nilai pengikatan/pembebanan dapat
dilakukan, sepanjang:
a. Nilai penebusan tersebut paling sedikit sama dengan nilai pasar barang
yang akan ditebus, dan nilai pasar tersebut berdasarkan Laporan Penilaian
yang masih berlaku berada di bawah nilai pengikatan/ pembebanan;
Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa apabila barang jaminan
yang akan ditebus tersebut dijual, harga optimal yang akan tercapai tentu
tidak akan jauh lebih besar dari nilai pasar. Oleh karena itu, apabila
Penjamin Hutang tidak diperkenankan untuk menebus barang miliknya
sebesar nilai pasar, tentu yang bersangkutan akan berusaha mendapatkan
kembali barang jaminan miliknya tersebut sebesar nilai pasar dengan cara
pembelian baik melalui lelang maupun tidak melalui lelang. Dengan
demikian, bila penjualan barang jaminan hanya akan memberikan hasil
sebesar nilai pasar, adalah hal yang wajar bila sebelum penjualan terjadi
Penjamin Hutang diperbolehkan untuk menebus barang jaminan miliknya
sebesar nilai pasar.
b. Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau
menyerahkan keputusan penebusan kepada PUPN.
Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penyerah Piutang
berdasarkan perjanjian penjaminan mempunyai hak tagih kepada
214
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
Penjamin Hutang sebesar nilai pengikatan/pembebanan yang melekat
pada barang jaminan milik Penjamin Hutang. Bila Penjamin Hutang ingin
melepaskan ikatan/pembebanan tersebut, tentunya yang bersangkutan
harus membayar sebesar nilai yang diperjanjikan. Bila ingin membayar
dengan nilai di bawah yang diperjanjikan, adalah hal yang wajar bila
diperlukan adanya persetujuan dari Penyerah Piutang sebagai penerima
Hypotheek/ Credietverband atau pemegang Hak Tanggungan.
c. Penanggung Hutang menyetujui penebusan tersebut.
Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa ekspektasi Penanggung
Hutang, bila situasi tidak berjalan sesuai yang diharapkan, sebagian
hutang yang bersangkutan dapat diselesaikan sebesar nilai
pengikatan/pembebanan, melalui penjualan atau penebusan barang
jaminan yang ada. Agar ekspektasi tersebut terpenuhi, tentu Penanggung
Hutang berharap agar penjualan atau penebusan barang jaminan benarbenar dilakukan dengan nilai paling sedikit sama dengan nilai
pengikatan/pembebanan. Apabila penjualan atau penebusan barang
jaminan dilakukan dengan nilai di bawah nilai pengikatan/pembebanan,
nilai hutang Penanggung Hutang yang tidak tertutup barang jaminan
menjadi bertambah, sehingga beban Penanggung Hutang untuk
menyelesaikan hutangnya dapat dikatakan “bertambah”. Oleh karena itu,
bila Penjamin Hutang hendak menebus barang jaminan miliknya dengan
nilai penebusan di bawah nilai pengikatan/pembebanan, adalah wajar
untuk meminta persetujuan Penanggung Hutang.
Proses Penebusan Barang Jaminan
Penebusan barang jaminan oleh Penjamin Hutang yang memiliki barang
jaminan tersebut dilakukan sebagai berikut:
1. tentang pengajuan permohonan penebusan barang jaminan:
a. Penjamin Hutang mengajukan permohonan penebusan secara tertulis
kepada PUPN. Surat permohonan tersebut juga dilengkapi dengan uraian
barang yang akan ditebus, nilai penebusan, dan cara pembayaran.
Prosedur ini diperlukan untuk kepentingan dokumentasi proses
pengurusan piutang negara oleh PUPN.
b. Bila Penjamin Hutang telah meninggal dunia, ahli warisnya dapat
mengajukan permohonan penebusan.
c. Permohonan penebusan dengan nilai sebesar nilai pengikatan/
pembebanan dapat diajukan pada setiap tahap pengurusan piutang negara,
Pengurusan Piutang Negara
215
sedangkan permohonan penebusan dengan nilai di bawah nilai
pengikatan/pembebanan hanya dapat dilakukan paling lambat 14 hari
sebelum pelaksanaan lelang.
2. Tentang persetujuan penebusan barang jaminan:
a. Persetujuan penebusan ditetapkan oleh PUPN, dengan ketentuan:
§ apabila nilai penebusan sama dengan nilai pengikatan/pembebanan
persetujuan ditetapkan paling lama 7 hari sejak surat permohonan
diterima PUPN; dan
§ apabila nilai penebusan di bawah nilai pengikatan/pembebanan
persetujuan ditetapkan paling lama 2 bulan sejak surat permohonan
diterima PUPN. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan
kepada PUPN dan Penyerah Piutang guna mengumpulkan bukti-bukti
yang menguatkan persetujuan penebusan di bawah nilai
pengikatan/pembebanan. Bukti yang paling utama adalah Laporan
Penilaian yang masih berlaku.
b. Jangka waktu pemberian persetujuan Penyerah Piutang atas penebusan
barang jaminan dengan nilai di bawah nilai pengikatan/pembebanan
diatur tidak boleh melebihi 15 hari sejak permintaan persetujuan diterima
Penyerah Piutang. Apabila Penyerah Piutang tidak menyetujui nilai
penebusan tersebut, Penyerah Piutang harus menyampaikan secara tertulis
keberatan tersebut disertai dengan Laporan Penilaian yang masih berlaku.
c. Sejak permohonan penebusan diterima sampai terbitnya keputusan,
PUPN tidak melakukan tindakan hukum pengurusan piutang negara yang
terkait dengan barang jaminan yang akan ditebus tersebut. Hal ini diatur
untuk memberikan kepastian hukum kepada Penjamin Hutang dalam
menyelesaikan hak dan kewajibannya.
3. Tentang pembayaran:
a. Pembayaran penebusan barang jaminan dengan nilai sampai dengan 1
milyar rupiah, hanya dapat dilakukan secara tunai paling lama 2 bulan
sejak tanggal surat persetujuan penebusan. Sedangkan pembayaran
penebusan barang jaminan dengan nilai lebih dari 1 milyar rupiah, dapat
dilakukan secara angsuran pro rata dengan jangka waktu paling lama 6
bulan sejak tanggal surat persetujuan penebusan.
Ketentuan ini dirumuskan dengan mempertimbangkan jangka waktu
pembayaran dibandingkan dengan besarnya nilai uang yang digunakan
untuk menebus barang jaminan. Semakin besar nilai penebusan, tentu
semakin banyak waktu yang diperlukan untuk ketersediaan uang tersebut.
216
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
b. Penjamin Hutang selain membayar sebesar nilai penebusan yang disetujui
PUPN, juga membayar Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara
sebesar 10% dari nilai yang disetujui tersebut.
Ketentuan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penjamin Hutang, sama
dengan Penanggung Hutang merupakan pihak yang bertanggung-jawab
menyelesaikan pengurusan piutang negara dan yang berkewajiban
membayar Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.
Pemberian Keringanan Penyelesaian Hutang
Di depan telah diuraikan dua kebijakan dalam pengurusan piutang negara
yang dapat dilakukan oleh PUPN. Keduanya merupakan bagian dari pendekatan
non eksekusi yang terkait dengan barang jaminan. Selain itu, terdapat satu
kebijakan lagi dalam pengurusan piutang negara yang termasuk dalam
pendekatan non eksekusi, namun tidak semata-mata terkait dengan barang
jaminan. Kebijakan tersebut adalah pemberian keringanan penyelesaian hutang.
Kebijakan untuk memberikan keringanan penyelesaian hutang kepada
Penanggung Hutang didasarkan pada pemikiran bahwa dengan diberikan
keringanan yang bersangkutan dapat menyelesaikan hutangnya lebih optimal dan
lebih cepat bila dibandingkan dengan cara penyelesaian hutang lainnya. Cara
penyelesaian lainnya di sini adalah penyelesaian dengan pendekatan eksekusi
dalam pengurusan piutang negara.
Selain itu, kewenangan untuk memberikan keringanan hutang perlu
dimiliki oleh DJPLN agar tercipta keseimbangan kewenangan dengan Penyerah
Piutang. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat Penyerah Piutang yang secara
legal memiliki kewenangan untuk memberikan keringanan. Bila DJPLN tidak
memiliki kewenangan yang sama, maka kewenangan Penyerah Piutang tersebut
tidak akan pernah bisa digunakan untuk memberikan keringanan kepada
Penanggung Hutang yang penagihan hutangnya telah diurus oleh PUPN/DJPLN.
Penyerah Piutang yang memiliki kewenangan untuk memberikan
keringanan penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang adalah Perbankan
BUMN/BUMD. Kewenangan tersebut diberikan oleh Rapat Umum Pemegang
Saham dan tertuang di dalam Anggaran Dasar pendirian perusahaan. Selain itu,
kewenangan untuk memberikan keringanan penyelesaian hutang juga telah diatur
oleh Bank Indonesia sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi
perbankan. Pengaturan oleh Bank Indonesia tersebut ada dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
Pengurusan Piutang Negara
217
(dahulu diatur dengan Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/Kep/Dir
Tanggal 12 November 1998 Tentang Restrukturisasi Kredit sebagaimana diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/ 15 /PBI/2000 tentang Perubahan
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/Kep/Dir Tanggal 12
November 1998 Tentang Restrukturisasi Kredit).
Jenis Keringanan Penyelesaian Hutang
Di dalam petunjuk pelaksanaan pengurusan piutang negara2 telah diatur
bahwa bila memenuhi syarat, kepada Penanggung Hutang dapat diberikan
keringanan penyelesaian hutang. Jenis keringanan yang dapat diberikan adalah:
1. Keringanan jangka waktu penyelesaian hutang.
Dengan keringanan ini Penanggung Hutang diberi kesempatan untuk
menyelesaikan hutangnya dalam jangka waktu lebih lama dari 12 bulan,
jangka waktu maksimal yang diperkenankan diberikan kepada Penanggung
Hutang dalam Pernyataan Bersama3. Kebijakan ini didasarkan pada
pemikiran bahwa Penanggung Hutang yang memenuhi syarat akan dapat
menyelesaikan seluruh hutangnya bila diberikan perpanjangan jangka waktu.
2. Keringanan jumlah hutang.
Dengan jenis keringanan ini Penanggung Hutang diberi insentif pengurangan
hutang bunga, beban, dan ongkos-ongkos. Kebijakan ini didasarkan pada
pemikiran bahwa Penanggung Hutang akan dapat menyelesaikan sebagian
hutangnya dalam jangka waktu maksimal yang diperkenankan diberikan
kepada Penanggung Hutang dalam Pernyataan Bersama bila yang
bersangkutan diberi diberi insentif berupa pengurangan jumlah hutang bunga,
denda, dan ongkos-ongkos.
3. Keringanan jumlah hutang sekaligus jangka waktu penyelesaian hutang.
Dengan jenis keringanan ini Penanggung Hutang yang memenuhi syarat
diberikan insentif berupa pengurangan jumlah hutang bunga, denda, dan
ongkos-ongkos, serta perpanjangan jangka waktu penyelesaian hutang.
Kebijakan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penanggung Hutang akan
2
Ketentuan tentang Keringanan Penyelesaian Hutang diatur dalam Pasal 59 – Pasal 81
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, dan Pasal 6 – Pasal 30 Keputusan
Dirjen Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep-25/PL/2002.
3
Uraian lengkap tentang Pernyataan Bersama dapat dilihat pada Bab 6
218
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
dapat menyelesaikan sebagian hutangnya bila yang bersangkutan diberi diberi
insentif berupa pengurangan jumlah hutang bunga, denda, dan ongkosongkos serta perpanjangan jangka waktu.
Kewenangan untuk Memberikan Keringanan Penyelesaian Hutang
Di dalam petunjuk pelaksanaan pengurusan piutang negara4 telah diatur
bahwa kepada Penanggung Hutang dapat diberikan keringanan penyelesaian
hutang. Pihak yang memiliki kewenangan untuk memberikan keringanan tersebut
bukanlah PUPN melainkan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara
(DJPLN)5.
Kewenangan untuk memberikan keringanan penyelesaian hutang kepada
Penanggung Hutang tersebut merupakan pelaksanaan kebijakan Menteri
Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan
kekayaan negara yang dipisahkan. Oleh karena itu, untuk melaksanakan
kebijakan tersebut, Menteri Keuangan memberikan kewenangan kepada DJPLN
yang salah satu tugas pokok adalah melaksanakan kebijakan Menteri Keuangan.
Kewenangan yang dimiliki DJPLN untuk memberikan keringanan
penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang didelegasikan kepada Kantor
Wilayah DJPLN dan Kantor Pelayanan dengan arestasi kewenangan yang
didasarkan pada jumlah pokok hutang/kredit Penanggung Hutang. Di dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, telah diatur bahwa
arestasi kewenangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara berwenang untuk:
a. menyetujui permohonan keringanan hutang, dalam hal pokok kredit
paling banyak Rp.1.000.000.000,00, berupa keringanan hutang:
§ bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100%;
§ jangka waktu paling lama 3 tahun; atau
§ bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100%
sekaligus jangka waktu paling lama 3 tahun;
b. menolak permohonan keringanan hutang; atau
c. memberikan pertimbangan kepada Kepala Kantor Wilayah agar
permohonan keringanan hutang dapat disetujui.
4
5
Ketentuan tentang Keringanan Penyelesaian Hutang diatur dalam Pasal 59 – Pasal 81
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, dan Pasal 6 – Pasal 30 Keputusan
Dirjen Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep-25/PL/2002.
Uraian lengkap tentang PUPN dan DJPLN dapat dilihat pada Bab 4.
Pengurusan Piutang Negara
219
2. Kepala Kantor Wilayah DJPLN berwenang untuk:
a. menyetujui permohonan keringanan hutang, dalam hal pokok kredit lebih
dari Rp.1.000.000.000,00, atau pokok kredit dalam satuan mata uang
asing, berupa keringanan hutang:
§ bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100%;
§ jangka waktu paling lama 5 tahun untuk pokok kredit paling banyak
Rp.5.000.000.000,00;
§ jangka waktu paling lama 7 tahun untuk pokok kredit lebih dari
Rp.5.000.000.000,00;
§ bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100%
sekaligus jangka waktu paling lama 5 tahun untuk pokok kredit paling
banyak Rp.5.000.000.000,00; atau
§ bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100%
sekaligus jangka waktu paling lama 7 tahun untuk pokok kredit lebih
dari Rp.5.000.000.000,00; atau
b. menolak permohonan keringanan hutang.
Permohonan Keringanan Penyelesaian Hutang
Penanggung Hutang dapat mengajukan permohonan keringanan
penyelesaian hutang kepada Kepala Kantor Pelayanan. Permohonan tersebut
harus dilakukan secara tertulis dengan disertai proposal penyelesaian hutang
berikut alasan-alasan dimintanya keringanan hutang. Ketentuan permohonan
secara tertulis dirumuskan untuk keperluan dokumentasi Kantor Pelayanan,
sedangkan proposal dan alasan permohonan keringanan dimaksudkan untuk:
§ mengetahui itikad, kemampuan, dan upaya Penanggung Hutang dalam
menyelesaikan hutangnya, dan
§ mengetahui penyebab Penanggung Hutang tidak mampu menyelesaikan
seluruh hutangnya tepat waktu sehingga yang bersangkutan mengajukan
permohonan untuk diberikan keringanan.
Permohonan keringanan hutang tersebut di atas harus sudah diajukan oleh
Penanggung Hutang sebelum terbitnya pengumuman lelang barang jaminan.
Apabila lelang pernah dilaksanakan, namun Penanggung Hutang masih memiliki
sisa hutang dan sisa barang jaminan, Penanggung Hutang dapat mengajukan
permohonan keringanan sebelum terbitnya pengumuman lelang ulang.
Agar permohonan Penanggung Hutang dapat segera ditindaklanjuti
Kantor Pelayanan, permohonan tersebut harus dilengkapi dokumen-dokumen
220
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
yang diperlukan. Bila usaha Penanggung Hutang masih berjalan, permohonan
harus dilengkapi dengan dua dokumen berikut:
1. Laporan Keuangan sekurang-kurangnya 2 tahun terakhir, untuk Penanggung
Hutang dengan pokok hutang/kredit paling banyak Rp.5.000.000.000,00, atau
sekurang-kurangnya 3 tahun terakhir, untuk Penanggung Hutang dengan
pokok hutang/kredit lebih dari Rp.5.000.000.000,00. Bila pokok
hutang/kredit lebih dari Rp.1.000.000.000,00, Laporan Keuangan tersebut
harus sudah diaudit oleh Akuntan Publik.
2. Rencana kegiatan usaha (business plan) yang akan berlaku sejak permohonan
diajukan sampai dengan saat akhir jangka waktu keringanan yang diminta.
Bila pokok hutang/kredit lebih dari Rp.5.000.000.000,00, rencana kegiatan
usaha yang disampaikan harus berupa proyeksi laporan keuangan yang dibuat
oleh perusahaan jasa konsultan keuangan.
Ketentuan tentang dokumen tersebut dirumuskan untuk menjamin bahwa
permohonan keringanan yang diajukan oleh Penanggung Hutang didasarkan pada
historis usaha yang bersangkutan dengan data yang cukup dan yang telah
diperiksa kebenaran penyusunannya. Selain itu, permohonan tersebut juga
didasarkan pada prediksi kelayakan usaha di masa depan yang penyusunannya
juga dapat dipertanggung-jawabkan.
Bila usaha Penanggung Hutang sudah tidak ada, permohonan harus
dilengkapi dengan 3 informasi berikut:
1. latar belakang permohonan keringanan penyelesaian hutang, yang diperlukan
untuk mengetahui penyebab Penanggung Hutang tidak dapat menyelesaikan
hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan dan penyebab yang
bersangkutan mengajukan permohonan keringanan;
2. rencana pelunasan hutang, yang diperlukan untuk mengetahui tingkat
keseriusan Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya dan jadwal
serta metode riil yang akan ditempuh dalam penyelesaian hutang yang
bersangkutan;
3. sumber dana pelunasan hutang, yang diperlukan untuk mengetahui sumbersumber yang digunakan Penanggung Hutang dalam menyelesaikan hutangnya
mengingat usaha yang bersangkutan sudah tidak ada dan diperkirakan yang
bersangkutan tidak akan mampu menyelesaikan hutangnya bila tidak
menggunakan sumber dana lainnya.
Analisis Atas Permohonan Keringanan Penyelesaian Hutang
Pengurusan Piutang Negara
221
Permohonan keringanan yang diajukan Penanggung Hutang
ditindaklanjuti Kantor Pelayanan dengan melakukan analisis yang akan
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Analisis tersebut umumnya
dapat dibedakan menjadi 2 jenis analisis berdasarkan keadaan usaha Penanggung
Hutang.
1. Analisis atas permohonan keringanan yang diajukan Penanggung Hutang
dengan usaha yang masih berjalan.
Bila usaha Penanggung Hutang masih berjalan, terdapat 5 materi pokok yang
dianalisis, yaitu latar belakang pengajuan permohonan, itikad Penanggung
Hutang, kemampuan/usaha Penanggung Hutang, nilai dan daya laku barang
jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang, dan usul
rencana pelunasan hutang.
a. Latar belakang pengajuan permohonan.
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang kemacetan
pembayaran hutang seperti adanya kebijakan umum pemerintah, keadaan
perekonomian secara umum yang tidak kondusif, atau sebab-sebab
lainnya. Sebab-sebab lain di sini dapat berupa kegagalan manjemen usaha
Penanggung Hutang, atau bahkan karena kenakalan para Penanggung
Hutang itu sendiri. Dasar dari pemikiran ketentuan ini adalah bahwa
keringanan penyelesaian hutang hanya akan diberikan kepada
Penanggung Hutang yang nakal, yang sengaja menjadikan hutangnya
macet.
Salah satu contoh kebijakan pemerintah yang menjadi penyebab
kemacetan pembayaran hutang adalah larangan ekspor rotan
asalan/mentah (rotan yang belum diolah, yang belum memiliki nilai
tambah). Kebijakan ini menyebabkan matinya usaha Penanggung Hutang
yang berupa eksportir rotan mentah. Hal ini tentunya bukan menjadi
kemauan Penanggung Hutang seperti itu, sehingga tentu kepada yang
bersangkutan harus diberikan pertimbangan yang lebih dalam
menganalisis permohonannya.
Salah satu contoh keadaan perekonomian secara umum yang tidak
kondusif bagi usaha penyelesaian hutang Penanggung hutang adalah
krisis keuangan yang menjadi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia
mulai pertengahan tahun 1997 yang dampaknya masih dirasakan sampai
saat ini. Situasi perekonomian secara umum seperti ini menjadi penyebab
terjadinya kemunduran usaha para Penanggung Hutang. Keadaan seperti
ini juga bukanlah kemauan mereka, sehingga kepada merekapun perlu
222
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
diberikan pertimbangan lain dalam menganalisis permohonan yang
bersangkutan.
Selain latar belakang kemacetan pembayaran hutang, analisis ini juga
digunakan untuk mengetahui latar belakang diajukannya permohonan
keringanan penyelesaian hutang. Permohonan keringanan tesebut tentu
didasarkan pada pemikiran bahwa yang bersangkutan hanya akan dapat
menyelesaikan hutangnya (baik seluruhnya maupun sebagian) apabila
diberi tambahan jangka waktu penyelesaian, diberi pengurangan jumlah
hutang, atau diberi pengurangan jumlah hutang sekaligus penambahan
jangka waktu penyelesaian. Namun demikian, Kantor Pelayanan tetap
harus melakukan analisis untuk memastikan bahwa apabila kepada
Penanggung Hutang diberikan keringanan, yang bersangkutan secara
nyata dapat menyelesaikan hutangnya sesuai yang dimohon. Untuk itu,
Kantor Pelayanan perlu mengetahui latar belakang yang melandasi
perkembangan kemampuan si pemohon keringanan dalam menyelesaikan
hutangnya. Latar belakang tersebut dapat berupa prediksi peningkatan
usaha, peningkatan efisiensi, atau sebab-sebab lain yang memberikan
pengaruh yang siginifikan terhadap kemajuan usaha Penanggung Hutang
dalam menyelesaikan hutangnya.
b. Itikad Penanggung Hutang.
Analisis ini dilakukan untuk menilai kesungguhan Penanggung Hutang
dalam menyelesaikan hutangnya. Kantor Pelayanan tentunya tidak ingin
memberikan keringanan kepada para Penanggung Hutang yang tidak
mempunyai kesungguhan menyelesaikan hutangnya. Perlu diingat bahwa
terdapat kemungkinan Penanggung Hutang mengajukan permohonan
keringanan hanya untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian sehingga
pengurusan piutang negara tidak segera ditingkatkan ke arah penyitaan
dan lelang barang jaminan.
Materi yang dianalisis terkait dengan itikad Penanggung Hutang adalah
tingkat keaktifan yang bersangkutan dalam melakukan angsuran secara
proporsional dengan hutangnya. Yang diperhitungkan di dalam analisis
ini adalah jumlah/besaran angsuran yang sudah diselesaikan relatif
terhadap jumlah hutang secara keseluruhan. Misalnya, jumlah hutang
adalah Rp.1.000.000.000,00, dan Penanggung Hutang selama 1 tahun
rajin mengangsur hutangnya sebesar Rp.50.000,00 per bulan. Angsuran
tersebut tentu tidak proporsional dengan jumlah hutang secara
keseluruhan, sehingga Penanggung Hutang seperti ini belum dapat
Pengurusan Piutang Negara
223
dikatakan sebagai Penanggung Hutang yang mempunyai kesungguhan
untuk menyelesaikan hutangnya.
Selain tingkat keaktifan membayar hutang, itikad Penanggung Hutang
juga dapat dianalisis dengan memperhatikan kemauan yang bersangkutan
untuk bekerja sama dalam upaya menyelesaikan hutangnya. Sifat
kooperatif tersebut umumnya diperlihatkan Penanggung Hutang dengan:
§ berinisiatif atau secara aktif berusaha menyelesaikan hutangnya,
misalnya dengan mau menjual barang jaminan dan/atau harta
kekayaan miliknya tidak melalui lelang;
§ melakukan pengungkapan secara transparan (full disclosure)
mengenai keadaan dan kondisi perusahaan dan/atau diri Penanggung
Hutang; serta
§ mempunyai rencana penyelesaian hutang yang realistis.
c. Kemampuan/usaha Penanggung Hutang.
Analisis tentang kemampuan Penanggung Hutang dilakukan dengan
mempertimbangkan kemampuan usaha yang bersangkutan, dan hasil
penjualan aset Penanggung Hutang yang tidak terkait kegiatan usaha (non
core asset), dan/atau kemungkinan pencarian sumber-sumber pelunasan
hutang lainnya. Contoh non core aset adalah sebuah rumah yang dimiliki
oleh perusahaan farmasi yang dijadikan tempat kos dan disewa oleh pihak
ketiga (misalnya para mahasiswa).
Analisis tentang usaha Penanggung Hutang dilakukan dengan mengkaji
hal-hal sebagai berikut:
§ kemampuan produksi, pemasaran produk, persaingan usaha,
prospek usaha, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan
usaha Penanggung Hutang;
§ data keuangan historis, yang meliputi identifikasi perubahan dari
tahun ke tahun dan penyebabnya, dan ikhtisar atas laporan
keuangan yang terdahulu.
§ aspek persaingan dan makro ekonomi yang terkait dengan usaha
Penanggung Hutang, seperti kondisi dan prospek sektor industri,
pasar produk atau jasa yang dihasilkan, upaya yang telah dan akan
dilakukan oleh Penanggung Hutang untuk meningkatkan efisiensi
dan daya saing, serta identifikasi keunggulan kompetitif usaha
Penanggung Hutang.
224
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan usaha dari waktu ke
waktu, dari beberapa periode laporan keuangan sebelum diajukannya
permohonan sampai pada periode penyelesaian hutang.
d. Nilai dan daya laku barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik
Penanggung Hutang.
Analisis tentang nilai barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik
Penanggung Hutang dilakukan dengan mengkaji hasil penilaian yang
dilakukan oleh Penilai Internal DJPLN atau Penilai Eksternal. Analisis
tentang daya laku barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik
Penanggung Hutang dilakukan dengan mengkaji potensi kemudahan
untuk menjual barang-barang tersebut. Daya laku tersebut dapat diketahui
dari:
§ data/informasi yang menunjukkan bahwa barang belum pernah
dijual (baik melalui lelang maupun tidak melalui lelang) atau telah
pernah dijual tetapi tidak laku;
§ ada atau tidak permasalahan hukum yang terkait dengan barang
tersebut;
§ kondisi fisik/letaknya yang menyebabkan barang menjadi mudah
atau sulit terjual.
Analisis ini diperlukan untuk mengetahui potensi hasil yang akan
diperoleh bila PUPN menggunakan pendekatan eksekusi barang jaminan
dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang. Potensi hasil
tersebut diperlukan sebagai pembanding atas hasil yang akan diperoleh
bila Penanggung Hutang membayar hutangnya setelah yang bersangkutan
diberi keringanan. Bila hasil lelang barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain lebih besar dari pada pembayaran yang dilakukan
Penanggung Hutang pasca keringanan, dan hasil lelang dapat diperoleh
dalam rentang waktu yang relatif sama dengan rentang waktu yang
diberikan sebagai keringanan, tentu alternatif eksekusi barang jaminan
yang akan dipilih. Oleh karena itu, dengan hasil analisis seperti itu, maka
permohonan keringanan Penanggung Hutang tidak dapat disetujui,
kecuali
apabila
yang
bersangkutan
bersedia
meningkatkan
pembayarannya.
e. Usul rencana pelunasan hutang.
Dalam hal permohonan keringanan diajukan Penanggung Hutang tentu
terdapat rencana pelunasan sisa hutang bila keringanan tesebut jadi
Pengurusan Piutang Negara
§
225
diberikan. Rencana pelunasan tersebut harus dianalisis untuk diketahui
kelayakannya. Hal-hal yang dikaji adalah:
§ Asumsi-asumsi yang digunakan dalam proyeksi laporan arus kas,
untuk mengetahui apakah proyeksi arus kas disusun dengan
menggunakan asumsi yang dapat dipertanggung jawabkan atau tidak.
Misalkan tingkat pertumbuhan penjualan perusahaan diasumsikan
sebesar 25% per tahun selama 5 tahun, sedangkan asumsi
pertumbuhan ekonomi secara umum adalah 5% per tahun yang
mungkin akan berubah-ubah tiap tahunnya. Hal ini merupakan
indikasi bahwa asumsi yang digunakan dalam menyusun proyeksi
laporan perubahan arus kas bersifat sangat optimis, yang akan
menyebabkan angka-angka proyeksi menjadi sangat bias bila ternyata
perekonomian secara umum berkembang hanya sebesar 5% per tahun.
Kajian tentang asumsi ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
ü pembuatan daftar asumsi yang digunakan dalam penyusunan
angka-angka proyeksi;
ü pembuatan komentar atas asumsi-asumsi tersebut berdasarkan
penelaahan terhadap latar belakang permohonan keringanan
hutang dan kegiatan usaha Penanggung Hutang;
ü perbaikan asumsi apabila diperlukan.
Proyeksi arus kas, untuk mengetahui perkembangan arus kas yang akan
dihadapi Penanggung Hutang selama periode penyelesaian hutang. Analisis
ini ditujukan untuk mengetahui apakah arus kas yang akan dihadapi
Penanggung Hutang dapat mendukung upaya penyelesaian hutang tanpa
mengganggu kegiatan usaha yang bersangkutan. Kajian tentang proyeksi
arus kas ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
ü rekonstruksi proyeksi arus kas dengan menggunakan asumsiasumsi yang telah diperbaiki;
ü pelaksanaan analisis sensitivitas, dengan cara membuat beberapa
proyeksi arus kas dengan menggunakan beberapa asumsi yang
berbeda;
ü identifikasi proyeksi arus kas berdasarkan asumsi-asumsi bisnis
yang rasional;
ü pengkajian proyeksi arus kas yang dikaitkan dengan keringanan
yang dimohonkan, misalnya proyeksi arus kas yang dikaitkan
dengan keringanan jangka waktu penyelesaian hutang atau
keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu.
226
§
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
Penyusunan dan pengkajian alternatif keringanan yang akan diberikan
kepada Penanggung Hutang. Kegiatan ini diperlukan untuk mencari
alternatif jenis keringanan dan besaran keringanan yang dapat diberikan
kepada Penanggung Hutang dengan tingkat pengembalian yang paling
maksimal dan jangka waktu pengembalian yang paling minimal.
Penyusunan dan pengkajian alternatif keringanan tersebut di atas dilakukan
dengan cara berikut ini.
ü Penyusunan sekurang-kurangnya 2 alternatif keringanan dengan
menggunakan proyeksi arus kas yang telah diperbaiki sesuai
asumsi-asumsi bisnis yang rasional. Penyusunan minimal 2
alternatif keringanan tersebut ditujukan untuk mencari kebijakan
keringanan yang akan diberikan dengan prediksi tingkat
pengembalian piutang yang paling optimal dan dalam waktu yang
relatif paling cepat, tanpa mengganggu usaha Penanggung Hutang.
ü Penghitungan nilai sekarang neto (net present value) total
angsuran dari masing-masing alternatif proyeksi arus kas. Tingkat
suku bunga (discount factor) yang digunakan dalam perhitungan
net present value tersebut, yang diatur6 saat ini adalah tingkat suku
bunga simpanan yang berlaku pada Penyerah Piutang saat
perhitungan dilakukan.
Perhitungan net present value tersebut dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
i. menghitung present value tiap angsuran dengan rumus7:
PV=
Xn
1
1+k n
PV: adalah present value dari angsuran bulan ke n
Xn: adalah angsuran bulan ke n
k: adalah tingkat suku bunga (discount factor)
n: adalah jarak waktu pembayaran angsuran dari
pertama
6
7
pembayaran
Pasal 15 ayat (2) Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep25/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara.
James C. Van Horne (1989) hlm. 58.
227
Pengurusan Piutang Negara
ii. menghitung net present value dengan cara menjumlahkan
seluruh present value tiap-tiap angsuran.
Berikut adalah contoh perhitungan net present value total
angsuran yang dibandingkan dengan nilai barang jaminan (yang
tidak menutup jumlah hutang).
Sisa Hutang Pokok Rp.920.000.000,00, sisa Hutang BDO Rp.125.000.000,00
Tingkat bunga: 9% per tahun = 0,75% per bulan
Nilai Barang jaminan: Rp.750.000.000,00
Bulan
ke
Angsuran
Present Value
Bulan
ke
Angsuran
Present Value
0
45.000.000,00
45.000.000,00
18
25.000.000,00
21.853.903,55
1
25.000.000,00
24.813.895,78
19
25.000.000,00
21.691.219,40
2
25.000.000,00
24.629.176,95
20
25.000.000,00
21.529.746,31
3
25.000.000,00
24.445.833,21
21
25.000.000,00
21.369.475,24
4
25.000.000,00
24.263.854,30
22
25.000.000,00
21.210.397,26
5
25.000.000,00
24.083.230,07
23
25.000.000,00
21.052.503,49
6
25.000.000,00
23.903.950,44
24
25.000.000,00
20.895.785,10
7
25.000.000,00
23.726.005,40
25
25.000.000,00
20.740.233,35
8
25.000.000,00
23.549.385,02
26
25.000.000,00
20.585.839,55
9
25.000.000,00
23.374.079,42
27
25.000.000,00
20.432.595,09
10
25.000.000,00
23.200.078,83
28
25.000.000,00
20.280.491,40
11
25.000.000,00
23.027.373,53
29
25.000.000,00
20.129.520,00
12
25.000.000,00
22.855.953,87
30
25.000.000,00
19.979.672,46
13
25.000.000,00
22.685.810,30
31
25.000.000,00
19.830.940,41
14
25.000.000,00
22.516.933,30
32
25.000.000,00
19.683.315,54
15
25.000.000,00
22.349.313,45
33
25.000.000,00
19.536.789,62
16
25.000.000,00
22.182.941,39
34
25.000.000,00
19.391.354,46
17
25.000.000,00
22.017.807,83
35
25.000.000,00
19.247.001,95
Jumlah 470.000.000,00
442.625.623,08
Jumlah 450.000.000,00
369.440.784,19
228
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
Total 920.000.000,00
Net Present Value
812.066.407,27
Ket: Angsuran bulan ke-0 adalah angsuran pertama yang dilakukan dan biasanya disyaratkan
untuk segera dilakukan pada saat keringanan disetujui.
Angsuran bulan ke-1 adalah angsuran kedua yang dilakukan 1 bulan setelah tanggal
persetujuan keringanan
Dari contoh di atas diketahui bahwa Penanggung Hutang dengan
mengangsur tiap bulan selama 3 tahun akan dapat melunasi hutang pokok.
Net Present Value dari seluruh angsuran tersebut adalah sebesar
Rp.806.356.235,50, angka yang masih lebih besar dari nilai barang jaminan.
Dengan situasi ini, Penanggung Hutang dapat diberikan keringanan berupa
pengurangan 100% hutang BDO dan jangka waktu peyelesaian hutang
sampai dengan 3 tahun.
Analisis yang dilakukan Kantor Pelayanan juga dilakukan terhadap
aset/kekayaan Penanggung Hutang yang tidak terkait dengan usaha yang
bersangkutan. Analisis ini digunakan untuk mengetahui nilai dan daya laku
aset tersebut yang hasil penjualannya akan digunakan sebagai bagian dalam
penyelesaian hutang. Penjualan asset yang tidak terkait dengan usaha
Penanggung Hutang tersebut merupakan salah satu persyaratan persetujuan
pemberian keringanan hutang kepada Penanggung Hutang yang usahanya
masih berjalan.
2. Analisis atas permohonan keringanan yang diajukan Penanggung Hutang
dengan kegiatan usaha yang sudah tidak berjalan atau tidak ada usaha sama
sekali.
Bila usaha Penanggung Hutang sudah tidak berjalan atau sudah tidak ada
sama sekali, terdapat 5 materi pokok yang dianalisis, yaitu latar belakang
pengajuan permohonan, itikad Penanggung Hutang, nilai dan daya laku
barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang,
rencana dan sumber pelunasan hutang; dan aspek-aspek lainnya.
a. Analisis tentang latar belakang pengajuan permohonan, itikad
Penanggung Hutang, serta nilai dan daya laku barang jaminan dan/atau
harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang adalah sama dengan
analisis serupa yang dilakukan atas permohonan keringanan yang
diajukan Penanggung Hutang dengan kegiatan usaha yang masih berjalan.
Pengurusan Piutang Negara
229
b. Analisis tentang rencana dan sumber pelunasan hutang dilakukan untuk
mengetahui kemampuan, cara pembayaran yang akan ditempuh, dan
sumber-sumber dana yang digunakan oleh Penanggung Hutang dalam
menyelesaikan hutangnya. Hasil analisis atas ketiga hal tersebut akan
bermuara pada penentuan berapa besar jumlah hutang yang akan
didiskon.
c. Aspek-aspek lainnya yang dapat dianalisis adalah aspek buruh/tenaga
kerja, masalah perizinan, permasalahan hukum, atau permasalahan sosial
lainnya. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu juga dianalisis,
mengingat untuk menyelesaikannya diperlukan sumber daya (baik waktu,
tenaga, maupun biaya) yang tidak kecil. Sumber daya yang akan terbuang
dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, berpotensi mengurangi
kemampuan Penanggung Hutang dalam menyelesaikan hutangnya. Oleh
karena itu, hasil analisis tentang hal ini juga bermuara pada besaran
diskon yang akan diberikan kepada Penanggung Hutang.
Keputusan atas Permohonan Keringanan Penyelesaian Hutang
Hasil analisis yang dilakukan Kantor Pelayanan digunakan sebagai dasar
oleh Kepala Kantor Pelayanan atau Kepala Kantor Wilayah untuk menetapkan
keputusan atas permohonan keringanan penyelesaian hutang. Sebagaimana yang
telah diuraikan sebelumnya, terdapat 3 jenis keringanan yang dapat diputuskan
untuk diberikan kepada Penanggung Hutang, yaitu keringanan jangka waktu
penyelesaian hutang, keringanan jumlah hutang, atau keringanan jumlah hutang
sekaligus jangka waktu penyelesaian hutang.
1. Keringanan jangka waktu penyelesaian hutang.
Keputusan untuk memberikan keringanan jenis ini hanya dapat diberikan bila
hasil analisis membuktikan bahwa:
a. Laporan keuangan dan rencana kegiatan usaha Penanggung Hutang
mendukung penyelesaian seluruh hutang secara bertahap, paling lama:
1) tiga tahun bila pokok hutang/kredit paling banyak sebesar
Rp.1.000.000.000,00;
2) lima tahun bila pokok hutang/kredit paling banyak sebesar
Rp.5.000.000.000,00;
3) tujuh tahun bila pokok hutang/kredit lebih besar dari
Rp.5.000.000.000,00.
230
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
b. Nilai barang jaminan tidak dapat menutup jumlah hutang, atau bila nilai
barang jaminan dapat menutup jumlah hutang tetapi daya laku barang
jaminan tersebut sangatlah rendah.
2. Keringanan jumlah hutang.
Keputusan untuk memberikan keringanan jenis ini hanya dapat diberikan bila
hasil analisis membuktikan bahwa:
a. Penanggung Hutang menggunakan sumber-sumber lain dalam
penyelesaian hutang, misalnya menggunakan dana bantuan keluarga besar
yang bersangkutan, atau menggunakan hasil usaha lainnya;
b. Laporan keuangan dan rencana kegiatan usaha Penanggung Hutang tidak
mendukung penyelesaian hutang secara bertahap, misalnya:
§ Penanggung Hutang memiliki sisa hutang pokok sebesar
Rp.1.000.000.000,00 dan hutang bunga, denda, dan/atau ongkosongkos (hutang BDO) sebesar Rp.400.000.000,00. Hasil analisis
menunjukkan bahwa yang bersangkutan dalam jangka waktu 3 tahun
hanya
sanggup
melakukan
pembayaran
kurang
dari
Rp.1.000.000.000,00, sehingga dalam jangka waktu yang maksimal
diperkenankan, Penanggung Hutang tidak dapat melunasi pokok
hutang/kredit. Dengan demikian, kepada yang bersangkutan hanya
dapat diberikan keringanan jumlah hutang (maksimal sebesar 100%
hutang BDO) dan tidak diberikan keringanan jangka waktu
penyelesaian hutang. Oleh karena itu, bila keringanan jadi ditetapkan,
maka Penanggung Hutang wajib melunasi sisa hutangnya pasca
keringanan secara tunai dalam jangka waktu paling lama 2 bulan.
§ Penanggung Hutang memiliki sisa hutang pokok sebesar
Rp.5.000.000.000,00
dan
sisa
hutang
BDO
sebesar
Rp.2.000.000.000,00. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang
bersangkutan dalam jangka waktu 5 tahun hanya sanggup melakukan
pembayaran kurang dari Rp.5.000.000.000,00, sehingga dalam jangka
waktu yang maksimal diperkenankan, Penanggung Hutang tidak dapat
melunasi pokok hutang/kredit. Dengan demikian, kepada yang
bersangkutan hanya dapat diberikan keringanan jumlah hutang
(maksimal sebesar 100% hutang BDO) dan tidak diberikan
keringanan jangka waktu penyelesaian hutang. Oleh karena itu, bila
keringanan jadi ditetapkan, maka Penanggung Hutang wajib melunasi
sisa hutangnya pasca keringanan secara tunai dalam jangka waktu
paling lama 2 bulan.
Pengurusan Piutang Negara
§
231
Penanggung Hutang memiliki sisa hutang pokok sebesar
Rp.10.000.000.000,00
dan
sisa
hutang
BDO
sebesar
Rp.4.000.000.000,00. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang
bersangkutan dalam jangka waktu 7 tahun hanya sanggup melakukan
pembayaran kurang dari Rp.10.000.000.000,00, sehingga dalam
jangka waktu yang maksimal diperkenankan, Penanggung Hutang
tidak dapat melunasi pokok hutang/kredit. Dengan demikian, kepada
yang bersangkutan hanya dapat diberikan keringanan jumlah hutang
(maksimal sebesar 100% hutang BDO) dan tidak diberikan
keringanan jangka waktu penyelesaian hutang. Oleh karena itu, bila
keringanan jadi ditetapkan, maka Penanggung Hutang wajib melunasi
sisa hutangnya pasca keringanan secara tunai dalam jangka waktu
paling lama 2 bulan.
c. Nilai barang jaminan tidak dapat menutup jumlah hutang, atau bila nilai
barang jaminan dapat menutup jumlah hutang tetapi daya laku barang
jaminan tersebut sangatlah rendah.
3. Keringanan jumlah hutang sekaligus jangka waktu penyelesaian hutang.
Keputusan untuk memberikan keringanan jenis ini hanya dapat diberikan bila
hasil analisis membuktikan bahwa:
a. Laporan keuangan dan rencana kegiatan usaha Penanggung Hutang hanya
mendukung penyelesaian sebagian hutang secara bertahap, misalnya:
§ Penanggung Hutang memiliki sisa hutang pokok sebesar
Rp.1.000.000.000,00 dan hutang BDO sebesar Rp.400.000.000,00.
Hasil analisis menunjukkan bahwa yang bersangkutan dapat
melakukan
pembayaran
angsuran
hutang
sebesar
Rp.1.100.000.000,00 dalam jangka waktu 3 tahun, maka kepada yang
bersangkutan dapat diberikan keringanan jumlah hutang BDO sebesar
Rp.300.000.000,00 (atau setara dengan 75% hutang BDO) dan
diberikan juga keringanan jangka waktu penyelesaian hutang selama 3
tahun.
§ Penanggung Hutang memiliki sisa hutang pokok sebesar
Rp.5.000.000.000,00
dan
sisa
hutang
BDO
sebesar
Rp.2.000.000.000,00. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang
bersangkutan dapat melakukan pembayaran angsuran hutang sebesar
Rp.6.200.000.000,00 dalam jangka waktu 5 tahun, maka kepada yang
bersangkutan dapat diberikan keringanan jumlah hutang BDO sebesar
Rp.800.000.000,00 (atau setara dengan 40% hutang BDO) dan
diberikan juga keringanan jangka waktu penyelesaian hutang selama 5
232
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
tahun. Bila hasil analisis menunjukkan bahwa Penanggung Hutang
dapat
melakukan pembayaran
angsuran
hutang
sebesar
Rp.5.000.000.000,00 dalam jangka waktu 3 tahun, maka kepada yang
bersangkutan dapat diberikan keringanan jumlah hutang BDO sebesar
Rp.2.000.000.000,00 (atau setara dengan 100% hutang BDO) dan
diberikan juga keringanan jangka waktu penyelesaian hutang selama 3
tahun.
§ Penanggung Hutang memiliki sisa hutang pokok sebesar
Rp.10.000.000.000,00
dan
sisa
hutang
BDO
sebesar
Rp.4.000.000.000,00. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang
bersangkutan dapat melakukan pembayaran angsuran hutang sebesar
Rp.13.000.000.000,00 dalam jangka waktu 7 tahun, maka kepada
yang bersangkutan dapat diberikan keringanan jumlah hutang BDO
sebesar Rp.1.000.000.000,00 (atau setara dengan 25% hutang BDO)
dan diberikan juga keringanan jangka waktu penyelesaian hutang
selama 7 tahun. Bila hasil analisis menunjukkan bahwa Penanggung
Hutang dapat melakukan pembayaran angsuran hutang sebesar
Rp.11.000.000.000,00 dalam jangka waktu 4 tahun, maka kepada
yang bersangkutan dapat diberikan keringanan jumlah hutang BDO
sebesar Rp.3.000.000.000,00 (atau setara dengan 75% hutang BDO)
dan diberikan juga keringanan jangka waktu penyelesaian hutang
selama 4 tahun.
b. Nilai barang jaminan tidak dapat menutup jumlah hutang, atau bila nilai
barang jaminan dapat menutup jumlah hutang tetapi daya laku barang
jaminan tersebut sangatlah rendah.
Ketentuan Lain Dalam Pemberian Keringanan Penyelesaian Hutang
Selain hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, terdapat ketentuan lain
yang perlu diperhatikan dalam menindaklanjuti permohonan keringanan
penyelesaian hutang yang diajukan Penanggung Hutang. Ketentuan tersebut
adalah:
1. Guna keperluan perhitungan sisa hutang sebelum pemberian keringanan,
telah diatur bahwa angsuran sejak Surat Penerimaan Pengurusan Piutang
Negara (SP3N) terbit, dan yang dilakukan sejak tanggal 13 Juni 2002,
diperhitungkan sebagai pembayaran hutang pokok. Ketentuan ini diperlukan
untuk mengetahui rincian sisa hutang pokok dan sisa hutang BDO. Selama ini
di dalam pembukuan PUPN hanya ada jumlah total piutang negara dan tidak
Pengurusan Piutang Negara
233
ada rincian hutang pokok dan hutang BDO, sehingga setiap ada pembayaran,
akan diperhitungkan sebagai pengurang total hutang. Pengurangan tersebut
tidak dirinci sebagai pengurangan hutang pokok maupun pengurangan hutang
BDO.
Perlakuan pembukuan atas angsuran yang terjadi sebelum tanggal 13 Juni
2002, apakah dibukukan sebagai pengurang hutang BDO terlebih dahulu atau
sebagai pengurang hutang pokok terlebih dahulu, walaupun tidak diatur,
tetapi perlu dimintakan konfirmasi kepada Penyerah Piutang. Hal ini perlu
dilakukan agar tidak terjadi perbedaan jumlah hutang pokok dan hutang BDO
antara yang dihitung oleh PUPN dan yang dihitung oleh Penyerah Piutang.
2. Besarnya keringanan hutang dihitung dari sisa hutang BDO pada saat
persetujuan. Maksud dari ketentuan ini adalah agar besarnya keringanan tidak
dihitung dari nilai hutang BDO pada saat SP3N terbit. Ketentuan ini
dirumuskan mengingat perbedaan penentuan posisi hutang BDO yang
digunakan sebagai dasar pemberian keringanan jumlah hutang akan
mengakibatkan perbedaan besarnya nilai keringanan. Perbedaan tersebut
dapat dilihat pada 2 contoh berikut ini.
a. Contoh perhitungan yang sesuai ketentuan
Hutang SP3N/PB/PJPN
Hutang pokok Rp. 15.000.000,00
Hutang BDO Rp. 4.000.000,00
Rp.19.000.000,00
Angsuran sebelum 13-06-2002 (konfirmasi
ke PP, misal dihitung sebagai angsuran
BDO)
Rp. 3.000.000,00
Angsuran sesudah 13-06-2002
Rp. 1.000.000,00
Sisa hutang
Hutang pokok Rp. 14.000.000,00
Hutang BDO Rp. 1.000.000,00
Rp.15.000.000,00
Keringanan BDO 100%
Rp. 1.000.000,00
Sisa hutang yang masih harus diselesaikan
Rp.14.000.000,00
b. Contoh perhitungan yang tidak sesuai ketentuan
234
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
Hutang sesuai SP3N/PB/PJPN
Hutang pokok
Rp. 15.000.000,00
Hutang BDO
Rp. 4.000.000,00
Rp.19.000.000,00
Keringanan BDO 100%
Rp. 4.000.000,00
Sisa hutang pasca keringanan
Hutang pokok
Rp. 15.000.000,00
Hutang BDO
Rp.
0,00
Rp.15.000.000,00
Angsuran
Sebelum 13-06-2002 Rp.3.000.000,00
Sesudah 13-06-2002 Rp.1.000.000,00
Rp. 4.000.000,00
Sisa hutang yang masih harus diselesaikan
Rp.11.000.000,00
Dari kedua contoh di atas, terlihat bahwa perbedaan posisi hutang BDO yang
digunakan sebagai dasar perhitungan, menyebabkan perbedaan besarnya sisa
hutang yang harus diselesaikan Penanggung Hutang pasca keringanan
(contoh a sebesar Rp.14.000.000,00 sedangkan contoh b sebesar
Rp.11.000.000,00). Hanya dengan menggunakan total jumlah hutang sebesar
Rp.19.000.000,00, sebagai contoh, terdapat perbedaan sisa hutang yang harus
diselesaikan Penanggung Hutang sebesar Rp.3.000.000,00 sebagai akibat
perbedaan cara menghitung pemberian keringanan. Bayangkan berapa besar
jumlah perbedaan sisa hutang bila perbedaan cara perhitungan tersebut terjadi
pada permohonan keringanan dengan total jumlah hutang sebesar
Rp.1.900.000.000,00.
3. Kepada Penanggung Hutang yang telah pernah diberikan keringanan
penyelesaian hutang tidak dapat lagi diberikan keringanan berdasarkan
ketentuan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang
Negara. Apabila terdapat ketentuan lain di luar ketentuan tersebut yang
memperbolehkan adanya pemberian keringanan hutang lagi, misalnya
Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Crash Program
Pengurusan Piutang Negara Perbankan, maka kepada Penanggung Hutang
tersebut dapat diberikan lagi keringanan penyelesaian hutang sepanjang
memenuhi persyaratan.
235
Pengurusan Piutang Negara
Rangkuman
Proses pengurusan piutang negara yang dikenal dengan “Penagihan
Piutang Negara Dengan Surat Paksa” dapat dikatakan juga sebagai pendekatan
eksekusi dalam pengurusan piutang negara. Pendekatan eksekusi tersebut, di satu
sisi dapat membantu upaya percepatan pengurusan piutang negara. Namun
demikian, di sisi lainnya, pendekatan eksekusi terkadang menjadi kontra
produktif dalam pengurusan piutang negara.
Guna meminimalkan hambatan yang diakibatkan oleh pendekatan
eksekusi dalam pengurusan piutang negara, dan dengan memperhatikan
paradigma baru yang berlaku di masyarakat terkait dengan penegakan hak asasi
manusia (HAM), PUPN mulai mengedepankan pendekatan non eksekusi dalam
pengurusan piutang negara. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara
memberikan kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk menyelesaikan
hutangnya melalui penjualan barang jaminan miliknya tidak melalui lelang dan
penebusan barang jaminan oleh Penjamin Hutang. Hasil penjualan dan
penebusan barang jaminan tersebut digunakan sebagai bagian dalam
penyelesaian hutang Penanggung Hutang. Selain itu, pendekatan non eksekusi
dapat juga dilakukan dengan memberikan keringanan penyelesaian hutang
kepada Penanggung Hutang. Pemberian keringanan penyelesaian hutang
diarahkan sebagai insentif kepada Penanggung Hutang agar bersedia
menyelesaikan hutangnya seoptimal dan secepat mungkin.
Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan
penebusan barang jaminan oleh Penjamin Hutang, penjualan barang jaminan
milik Penanggung Hutang tidak melalui lelang, dan pemberian keringanan
penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang. Selain persyaratan, telah diatur
juga proses pengambilan keputusan dalam menindaklanjuti permohonan atas
ketiga kebijakan tersebut, mulai dari ketentuan tentang pengajuan
usul/permohonan, penelitian yang harus dilakukan sebagai tindak lanjut
usul/permohonan yang telah diajukan, penetapan keputusan dan
penyampaiannya, sampai pada pengaturan tentang tindakan yang dilakukan pasca
penetapan keputusan.
- o0o -
236
Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi
Latihan
Untuk mengingatkan kembali yang telah Anda pelajari, kerjakanlah latihan di
bawah ini!
1.
Jelaskan mengapa di dalam pengurusan piutang negara juga dikenal
pendekatan non eksekusi?
2.
Jelaskan secara singkat keuntungan penjualan barang jaminan tidak melalui
lelang!
3.
Jelaskan mengapa persetujuan Penyerah Piutang diperlukan dalam
penjualan barang jaminan tidak melalui lelang dengan nilai di bawah nilai
pengikatan/pembebanan? Mengapa persetujuan tersebut dimintakan juga
kepada Penanggung Hutang?
4.
Jelaskan secara singkat keuntungan penebusan barang jaminan!
5.
Jelaskan mengapa Penanggung Hutang tidak dapat menebus barang
jaminan miliknya? Mengapa Penjamin Hutang yang menjamin seluruh
penyelesaian hutang Penanggung Hutang tidak dapat menebus barang
jaminan miliknya?
6.
Jelaskan mengapa persetujuan Penyerah Piutang diperlukan dalam
penebusan
barang
jaminan dengan
nilai di
bawah
nilai
pengikatan/pembebanan? Mengapa persetujuan tersebut dimintakan juga
kepada Penanggung Hutang?
7.
Jelaskan mengapa persetujuan pemberian keringan penyelesaian hutang
ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan atau Kepala Kantor Wilayah
DJPLN, dan bukan ditetapkan oleh Ketua PUPN?
8.
Jelaskan secara singkat jenis-jenis keringanan penyelesaian hutang yang
dapat diberikan kepada Penanggung Hutang, dan apa saja syarat pemberian
masing-masing jenis keringanan tersebut?
9.
Jelaskan dengan singkat analisis yang harus dilakukan terhadap
permohonan keringanan yang diajukan Penanggung Hutang!
10. Jelaskan cara penentuan rincian jumlah hutang dan cara perhitungan
keringanan jumlah hutang yang sesuai dengan ketentuan!
237
Pengurusan Piutang Negara
- o0o -
BAB 8
PENGELOLAAN BARANG JAMINAN
DAN/ATAU HARTA KEKAYAAN LAIN
Sasaran Pembelajaran
Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III
Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan
memahami kegiatan pengelolaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.
240
Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain
Pendahuluan
Sebagaimana telah diuraikan pada Bab V di muka bahwa penyerahan
piutang-piutang bermasalah atau piutang-piutang macet dari para Penyerah
Piutang harus memenuhi segala persyaratan sesuai Undang-undang Nomor 49
Prp. Tahun 1960 berikut aturan pelaksanaannya, yaitu dokumentasi yang dapat
membuktikan adanya dan besarnya piutang negara.
Dokumen yang dapat membuktikan adanya piutang berupa Perjanjian
Kredit dan perubahannya, atau dokumen lain yang sejenis yang membuktikan
adanya piutang negara. Dokumen yang diperlukan untuk membuktikan
besarnya piutang negara adalah Rekening Koran, Primanota, Mutasi Piutang,
dan/atau dokumen lain sejenis yang membuktikan besarnya piutang.
Setelah segala persyaratan dipenuhi, dan bila adanya dan besarnya
piutang negara dapat dibuktikan serta pasti menurut hukum, maka PUPN
Cabang/KP2LN akan menerima penyerahan dengan penerbitan Surat
Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) yang ditandatangani Ketua
PUPN Cabang. Dengan diterbitkannya SP3N, maka pengurusan piutang
negara beralih kepada PUPN Cabang dan penyelenggaraannya dilakukan oleh
KP2LN. Dengan beralihnya Pengurusan Piutang Negara kepada PUPN
Cabang maka Penyerah Piutang wajib menyerahkan semua dokumen asli
barang jaminan sesuai dengan Pasal 17 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
300/KMK.01/2002.
Asli dokumen (dan fisik barang jaminan apabila dikuasai
PUPN/DJPLN) wajib dikelola dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu
kegiatan pengelolaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain telah diatur
dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 95 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
300/KMK.01/2002 dan Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang
Negara Nomor 25/PL/2002. Di dalam ketentuan tersebut telah diatur ruang
lingkup pengelolaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain meliputi
kegiatan:
1. penatausahaan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan
lain;
2. pengamanan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan
lain; dan
3. pendayagunaan barang jaminan.
Penatausahaan Dokumen dan Fisik Barang Jaminan
dan/atau Harta Kekayaan Lain
Pengurusan Piutang Negara
241
Dalam struktur organisasi KP2LN terdapat Seksi Pengelolaan Barang
Jaminan (Seksi PBJ). Seksi PBJ inilah yang melaksanakan tugas pengelolaan
barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang ruang lingkup kegiatannya
sebagaimana telah diuraikan di atas.
Pada Seksi PBJ ini terdapat Petugas Khusus yang ditunjuk dengan
Surat Keputusan Kepala KP2LN untuk melaksanakan penatausahaan dokumen
dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain. Sesuai ketentuan
yang berlaku, rumusan penatausahaan adalah kegiatan yang meliputi
penerimaan,
pencataatan,
penyimpanan,
pemeliharaan
dan
pengeluaran/penyerahan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
penatausahaan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain meliputi 5 (lima) kegiatan, yaitu:
1. penerimaan;
2. pencatatan;
3. penyimpanan;
4. pemeliharaan dan yang terakhir;
5. pengeluaran/penyerahan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain.
Tanggung jawab atas pelaksanaan kelima kegiatan tersebut di atas diserahkan
kepada Petugas Khusus.
Penerimaan Penyerahan Dokumen dan/atau Fisik Barang
Kegiatan pertama dalam rangka penataan barang jaminan dan/atau
harta kekayaan lain yang dilakukan oleh Petugas Khusus di KP2LN adalah
penerimaan penyerahan:
1. dokumen asli barang jaminan;
2. dokumen asli harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau
Penjamin Hutang;
3. fisik barang jaminan; dan/atau
4. fisik harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang.
242
Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain
Serah terima tersebut dituangkan dalam Tanda Terima Dokumen Asli Barang
Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain, atau Tanda Terima Fisik Barang
Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain.
Pencatatan Dokumen dan/atau Fisik Barang
Kegiatan kedua yang dilakukan Petugas Khusus tersebut di atas adalah
melakukan pencatatan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain, berikut pengikatannya. Kegiatan tersebut dituangkan dalam:
1. Buku Dokumen Asli dan Fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan
Lain; dan
2. Kartu Perkembangan Dokumen Asli dan/atau Fisik Barang Jaminan
dan/atau Harta Kekayaan Lain.
Pencatatan dokumen dan/atau fisik tersebut di atas dilakukan secara
sistematis, dengan tujuan:
1. mempermudah penyimpanan, pemeliharaan dan pengeluaran dokumen
dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain;
2. memperlancar pemberian informasi mengenai dokumen dan/atau fisik
barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain berikut pengikatannya.
Penyimpanan Dokumen dan/atau Fisik Barang
Kegiatan ketiga yang dilakukan Petugas Khusus adalah melakukan
penyimpanan:
1. dokumen asli barang jaminan;
2. dokumen asli harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau
Penjamin Hutang;
3. fisik barang jaminan berupa barang-barang bergerak; dan/atau
4. fisik harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang berupa barang-barang bergerak.
Penyimpanan tersebut dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. penyimpanan dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain
dilakukan di tempat khusus yang memenuhi syarat keamanan, dan bila
sarana penyimpanan belum memenuhi syarat keamanan, maka KP2LN
dapat menitipkan kembali dokumen tersebut kepada Penyerah Piutang
yang dibuktikan dengan Tanda Terima Penitipan Dokumen Asli Barang
Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain;
Pengurusan Piutang Negara
243
2. penyimpanan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain berupa
barang-barang bergerak dilakukan di tempat khusus yang memenuhi syarat
keamanan, dan bila sarana penyimpanan fisik barang belum tersedia, maka
KP2LN dapat menitipkan fisik barang tersebut kepada Penyerah Piutang
atau Instansi lain yang berwenang. Penitipan tersebut dituangkan dalam
Tanda Terima Penitipan Fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan
Lain.
Pemeliharaan Dokumen dan/atau Fisik Barang
Kegiatan keempat yang dilakukan oleh Petugas Khusus adalah
pemeliharaan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan
lain. Tujuan kegiatan ini adalah untuk:
1. mencegah rusaknya atau hilangnya dokumen barang jaminan dan/atau
harta kekayaan lain; dan
2. mencegah penurunan nilai barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain.
Selain itu, kegiatan pemeliharaan tersebut di atas juga dilakukan
terhadap hal-hal sebagai berikut:
1. bila barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain mengalami perubahan
fisik yang disebabkan oleh antara lain pelebaran jalan, longsor, atau abrasi,
KP2LN melakukan koordinasi dengan Penyerah Piutang guna melakukan
penyesuaian dokumen asli melalui instansi yang berwenang;
2. bila penyesuaian dimaksud di atas belum dapat dilaksanakan, informasi
tentang perubahan fisik tersebut dicantumkan dalam surat-surat yang
memuat uraian barang.
Penyerahan Dokumen dan/atau Fisik Barang
Kegiatan kelima adalah penyerahan dokumen dan/atau fisik asli barang
jaminan dan/atau harta kekayaan lain, kepada:
1. Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang, bila piutang negara dinyatakan
lunas;
2. Penyerah Piutang, bila pengurusan piutang negara dinyatakan selesai;
3. Penyerah Piutang atau pihak yang berwenang, bila barang jaminan
dan/atau harta kekayan lain disita dalam perkara pidana;
4. Pemenang Lelang, bila barang jaminan dan/atau harta kekayan lain telah
laku terjual lelang;
5. Pembeli, bila barang jaminan dan/atau harta kekayan lain telah laku terjual
tidak melalui lelang dan pembeli telah membayar lunas;
244
Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain
6. Penjamin Hutang, bila barang jaminan milik penjamin hutang telah ditebus
dan uang penebusan telah dibayarkan seluruhnya.
Penyerahan dokumen tersebut di atas dituangkan dalam Berita Acara Serah
Terima Dokumen Asli Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain,
sedangkan penyerahan fisik barang jaminan dan atau harta kekayaan lain
dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima Fisik Barang Jaminan dan/atau
Harta Kekayaan Lain.
Selain itu, penyerahan dokumen dan/atau fisik tersebut di atas,
dilakukan dengan ketentuan:
1. bila dari hasil penelitian diketahui bahwa dokumen yang diserahkan oleh
Penyerah Piutang bukan milik Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang
atau milik pihak lain yang tidak ada kaitannya dengan piutang negara yang
diurus, dokumen asli dikembalikan kepada Penyerah Piutang. Dokumen
tersebut dapat juga diserahkan kepada pemilik yang sah, dengan syarat
telah diperoleh persetujuan tertulis dari Penyerah Piutang dan Penanggung
Hutang;
2. bila pelunasan piutang negara dilakukan oleh Penjamin Hutang, dokumen
barang jaminan milik Penjamin Hutang dapat diserahkan kepada Penjamin
Hutang dengan syarat yang bersangkutan membuat pernyataan sanggup
menanggung risiko yang mungkin timbul dan membebaskan KP2LN dari
segala tuntutan Penanggung Hutang;
3. bila pelunasan piutang negara dilakukan oleh ahli waris Penanggung
Hutang dan/atau Penjamin Hutang, dokumen barang jaminan dan/atau
harta kekayaan lain diserahkan kepada ahli waris Penanggung Hutang
dan/atau Penjamin Hutang dimaksud, dengan ketentuan ahli waris tersebut
harus:
§ mendapat kuasa dari ahli waris lainnya; dan
§ membuat pernyataan sanggup menanggung risiko yang mungkin
timbul dan membebaskan KP2LN dari segala tuntutan Penanggung
Hutang.
Perbandingan antara Petugas Khusus dengan Bendahara UP
Penatausahaan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain yang meliputi 5 (lima) kegiatan sebagaimana yang diuraikan di
atas, pada prinsipnya sama dengan rumusan tugas Bendahara UP (Bendahara
Pemegang Uang Persediaan) yang ada di setiap kantor pemerintahan.
Rumusan tugas Bendaharawan tersebut didasarkan pada Pasal 77 UndangUndang Perbendaharaan Indonesia/I.C.W. (Indiesche Comptabiliteit Wet)
Pengurusan Piutang Negara
245
yang sekarang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara.
Perbedaan yang sangat jelas terlihat antara tugas Petugas Khusus dan
tugas Bendaharaan UP adalah bahwa kegiatan penatausahaan barang jaminan
dan/atau harta kekayaan lain yang diserahkan kepada Petugas Khusus terkait
dengan pengelolaan barang, sedangkan kegiatan Bendahara UP terkait dengan
pengelolaan uang. Sepantasnyalah kalau Petugas Khusus pengelola barang
jaminan dan/atau harta kekayaan lain diangkat menjadi Bendahara Barang
(Bendaharawan Materiil berdasarkan Pasal 55 ICW). Sehingga pada saatnya
nanti sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004, Petugas Khusus tersebut dapat diangkat
menjadi Pejabat Fungsional sehingga resiko yang dihadapi karena hilangnya
barang atau sebab-sebab lainnya dapat terobati karena mendapat tunjangan
resiko (Resico Toelage) sebagai Pejabat Fungsional, sama dengan
Bendaharawan Pengelola Uang.
Pengamanan Dokumen dan Fisik Barang Jaminan
dan/atau Harta Kekayaan Lain
Pengamanan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain dapat dilakukan dengan 3 (tiga) kegiatan, yang meliputi:
1. penelitian terhadap keaslian, kebenaran atau jangka waktu berlakunya hak
atas dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain beserta
pengikatannya;
2. penelitian lapangan; dan/atau,
3. pemblokiran barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain.
Penelitian Terhadap Keaslian, Kebenaran atau Jangka Waktu
Berlakunya Hak Atas Dokumen Barang Jaminan dan/atau Harta
Kekayaan Lain Beserta Pengikatannya
Penelitian terhadap keaslian dokumen dan kebenaran pengikatan
barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dilakukan dengan cara
melakukan koordinasi dan konfirmasi kepada instansi terkait yang berwenang.
Bila jangka waktu berlakunya dokumen barang jaminan akan segera berakhir
atau dokumen asli barang jaminan rusak/hilang, KP2LN melakukan koordinasi
dengan pihak Penyerah Piutang, untuk menghubungi Instansi yang berwenang
guna:
246
Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain
1. perpanjangan masa laku dokumen atau perbaikan/penggantian fisik
dokumen yang rusak/hilang; dan
2. perbaikan/penggantian fisik dokumen yang rusak/hilang.
Penelitian Lapangan
Kegiatan penelitian lapangan (on the spot) merupakan kegiatan
pemeriksaan atas keadaan/kondisi fisik barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang
sesungguhnya ada di lokasi tempat barang tersebut berada. Kegiatan tersebut
juga termasuk pencocokan data yang ada di dokumen dengan keadaan nyata
fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain tersebut.
Kegiatan penelitian lapangan ditujukan untuk:
1. pengamanan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; dan
2. identifikasi/pencocokan data yang terdapat di dalam dokumen asli dengan
keadaannya yang sesungguhnya di lapangan, sehingga pengurusan piutang
negara yang dilaksanakan tidak menimbulkan permasalahan hukum,
misalnya:
Di dalam dokumen barang jaminan tertera luas tanah sebesar 100 M2,
namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa luas tanah hanya
sebesar 70M2, yang disebabkan adanya pelebaran jalan, misalnya. Bila
dokumen barang jaminan tersebut tidak dicocokkan dengan keadaan di
lapangan, dan apabila barang jaminan tersebut laku terjual lelang, terdapat
kemungkinan Pembeli Lelang akan melakukan gugatan melalui pengadilan
karena merasa dirinya ditipu PUPN/DJPLN (seharusnya membeli tanah
seluas 100 M2 tapi hanya memperoleh tanah seluas 70 M2).
Kegiatan yang dilaksanakan dalam penelitian lapangan adalah sebagai
berikut:
1. Inventarisasi barang jaminan, guna mencocokkan fisik aktual di lapangan
dengan data yang ada pada daftar barang jaminan. Kegiatan ini tidak hanya
sekedar mencocokkan data administratif dengan data aktual di lapangan,
tetapi juga mencari data sebagai bahan merumuskan langkah yang tepat
untuk pengamanan, pengelolaan dan perkiraan nilai sementara barang
jaminan.
2. Identifikasi dan inventarisasi harta kekayaan lain milik Penanggung
Hutang/Penjamin Hutang yang dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan
hutang Penanggung Hutang. Kegiatan identifikasi dan inventarisasi
tersebut ditujukan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data dan bukti
Pengurusan Piutang Negara
247
tentang kekayaan lain milik Penanggung Hutang/Penjamin, khususnya
data dan bukti tentang status kepemilikan, kondisi, dan kemungkinan
pemanfaatan barang tesebut.
Pemblokiran Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain, dan
Pencabutan Pemblokiran
Kegiatan pemblokiran barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain
milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dilaksanakan dengan
cara menerbitkan Surat Pemblokiran yang ditandatangani oleh Kepala KP2LN.
Surat Pemblokiran tersebut dapat diterbitkan oleh KP2LN setelah
diterbitkannya SP3N, dan ditujukan kepada Instansi yang berwenang
melakukan pemblokiran, seperti:
1. Kantor Pertanahan untuk memblokir dokumen yang terkait dengan hak
atas tanah dan bangunan; atau
2. Kantor SAMSAT untuk memblokir dokumen kendaraan.
Bila KP2LN dapat memperoleh data yang valid tentang keberadaan
harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang yang tersimpan pada Bank,
harta kekayaan tersebut dapat diblokir setelah diperoleh izin tertulis dari
Pimpinan Bank Indonesia. Adapun harta kekayaan lain yang tersimpan di
Bank dapat berupa rekening, simpanan, giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Izin tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia tersebut diperlukan untuk
mencegah terjadinya pelanggaran ketentuan tentang rahasia bank
(sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan).1 Izin tertulis tersebut diperoleh melalui proses sebagai
berikut:
1. KP2LN mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Piutang dan
Lelang Negara/Ketua PUPN Pusat, dengan menyebutkan sekurangkurangnya:
a. identitas Penanggung Hutang;
b. nama kantor bank tempat Penanggung Hutang mempunyai simpanan;
c. keterangan yang diminta; dan
d. alasan diperlukannya keterangan.
1
Lihat uraian dalam Bab 2, halaman 43.
248
Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain
2. Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara setelah menerima surat
permohonan dari KP2LN tersebut di atas, mengajukan permohonan izin
pemblokiran kepada Pimpinan Bank Indonesia untuk ditindaklanjuti
penerbitannya.
Setelah Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin, maka izin tertulis
tersebut dilampirkan KP2LN dalam Surat Pemblokiran Harta Kekayaan Lain
yang tersimpan di Bank. Surat pemblokiran tersebut disampaikan kepada
kepada Bank tempat disimpannya harta kekayaan tersebut.
Dengan proses dan persyaratan yang sama, KP2LN dapat juga
melakukan pemblikiran harta kekayaan lain milik Penjamin Hutang yang
tersimpan di Bank. Namun demikian, pemblokiran atas harta kekayaan
Penjamin Hutang tersebut hanya dapat dilaksanakan apabila Penjamin Hutang
yang bersangkutan menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung
Hutang.
Selain itu, dengan proses dan persyaratan yang analog dengan yang
telah diuraikan di atas, KP2LN juga dapat melakukan pemblokiran Harta
Kekayaan Lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang
berupa Surat Berharga yang diperdagangkan di Bursa Efek setelah
memperoleh izin tertulis dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
(BAPEPAM).
Surat Pemblokiran barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dapat
dicabut oleh KP2LN apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:
1. piutang negara dinyatakan lunas;
2. pengurusan piutang negara dinyatakan selesai karena adanya penarikan
pengurusan oleh Penyerah Piutang dalam rangka program restrukturisasi
hutang kepada Penanggung Hutang;
3. barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain tidak lagi merupakan jaminan
penyelesaian hutang;
4. barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain telah disita terlebih dahulu
oleh instansi lain yang berwenang;
5. barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain diketahui mengandung cacat
hukum berdasarkan keputusan instansi yang berwenang.
Pendayagunaan Barang Jaminan
Berdasarkan Pasal 94 sampai dengan Pasal 96 Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, KP2LN dapat melakukan
Pengurusan Piutang Negara
249
pendayagunaan barang jaminan dengan cara dilakukan sewa-menyewa. Hasil
sewa menyewa tersebut digunakan untuk pembayaran hutang Penanggung
Hutang.
Perjanjian sewa-menyewa tersebut di atas, dilakukan dengan
ketentuan:
1. sewa-menyewa disepakati oleh KP2LN, Penyerah Piutang, Penanggung
Hutang dan Pemilik Barang Jaminan;
2. jangka waktu sewa-menyewa ditetapkan paling lama 3 (tiga) tahun;
3. tidak menghalangi proses pengurusan piutang negara terhadap barang
jaminan lainnya dan/atau harta kekayaan lain;
4. perjanjian sewa-menyewa antara pemilik barang jaminan dengan penyewa
dibuat dengan Akte Notaris.
Selain itu, berdasarkan Pasal 313 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
300/KMK.01/2002, Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dapat
melakukan kerjasama dengan:
1. Penyerah Piutang;
2. Badan Usaha Milik Negara penjamin kredit;
3. pihak-pihak yang mempunyai keahlian di bidang pengelolaan aset,
restrukturisasi hutang, peningkatan kualitas sumber daya manusia;
dan/atau
4. instansi lain yang berkaitan dengan pengurusan piutang negara.
Secara historis, ketentuan tentang kerjasama ini baru di atur di dalam
Bab VI Pasal 42 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 367/KMK.01/1998
tentang Pengurusan Piutang Negara. Di dalam beberapa Keputusan Menteri
Keuangan sejenis sebelumnya, ketentuan tentang kerjasama belum diatur.
Contoh kerjasama yang telah pernah diselenggarakan oleh DJPLN
(pada saat masih berbentuk Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara) adalah
Perjanjian Kerjasama antara Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara dengan
PT. Surveyor Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 31 Oktober 1977.
Dalam perjanjian tersebut, bertindak selaku Pihak Pertama adalah Kepala
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, dan selaku Pihak Kedua adalah PT.
Surveyor Indonesia (PT. SI). Nomor perjanjian tersebut adalah Nomor
Perj.01/PN/1997 (nomor yang dikeluarkan oleh BUPLN) dan Nomor
Perj.14/HKM-DRU/X/AICAM/97 (nomor yang dikeluarkan oleh PT. SI).
Perjanjian kerjasama dengan dasar Surat Menteri Keuangan Nomor S149/rk09/1997 Tanggal 14 Maret 1997 dan Nomor S-465/rk09/1997 tanggal 6
250
Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain
Oktober 1997 tersebut antar lain memuat poin yang terkait dengan
Pengelolaan Barang Jaminan. Poin tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pasal 2, yang memuat kesepakatan sebagai berikut:
Pemeriksaan barang jaminan dilakukan Pihak Kedua untuk memastikan
bahwa barang jaminan benar ada dan sesuai dengan dokumen yang
diserahkan sebagai bukti jaminan, dengan kegiatan meliputi:
a. survey lapangan, yaitu memastikan barang jaminan benar-benar ada
dan sesuai dengan dokumen barang yang dijaminkan, termasuk
pengukuran dan pengecekan batas-batas;
b. inventarisasi barang jaminan, yaitu melakukan pencatatan dan
indeksasi barang jaminan;
c. pemeriksaan kondisi fisik barang jaminan, yaitu melakukan
pemeriksaan untuk mengetahui kondisi barang jaminan pada saat
verifikasi dan memperkirakan adanya perbaikan dan pengelolaan
barang jaminan.
2. Pasal 4, yang memuat kesepakatan sebagai berikut:
Pengelolaan barang jaminan dilakukan oleh Pihak Kedua untuk
mempertahankan nilai barang jaminan, dengan kegiatan meliputi:
a. penguasaan/pengamanan, yaitu melakukan penguasaan/pengamanan
penuh terhadap barang jaminan dari kemungkinan pencurian dan/atau
pemindahan;
b. penyimpanan, yaitu melakukan penyimpanan barang jaminan berupa
barang bergerak;
c. pemeliharaan, yaitu memelihara barang jaminan secara berkala dengan
melakukan kegiatan pembersihan, perawatan, pembayaran rekening
telepon, rekening listrik dan rekening air minum (untuk barang
jaminan berupa tanah dan bangunan), pengecekan fungsional dan
perawatan berkala (untuk barang jaminan berupa mesin) serta kegiatan
lainnya yang termasuk dalam lingkup pemeliharaan, untuk menjaga
kualitas dari barang jaminan;
d. perbaikan kecil/ringan dan pembaharuan/penyelesaian dokumen
kepemilikan, yaitu melakukan perbaikan-perbaikan kecil yang
diperlukan terhadap barang jaminan yang meliputi pengecatan dan
perbaikan fisik bangunan, reparasi dan penggantian suku cadang
(mesin-mesin) serta memperpanjang/memperbaharui masa berlaku
dokumen.
251
Pengurusan Piutang Negara
Rangkuman
Ruang lingkup pengelolaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan
lain meliputi kegiatan sebagai berikut:
1. penatausahaan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan
lain;
2. pengamanan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan
lain;
3. pendayagunaan barang jaminan.
Penatausahaan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain adalah kegiatan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan, yaitu:
1. penerimaan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan
lain;
2. pencatatan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain;
3. penyimpanan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain;
4. pemeliharaan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain;
5. penyerahan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta
kekayaan lain.
Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam penatausahaan tersebut di atas
dilaksanakan oleh Petugas Khusus pada Seksi Pengelolaan Barang Jaminan
yang diangkat oleh Kepala KP2LN. Tugas yang dilaksanakan Petugas Khusus
dimaksud pada hakekatnya identik/sama dengan Bendahara Materiil
(Bendahara Barang) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 I.C.W. (Indiesche
Comptabiliteit Wet) yang saat ini sudah dicabut dan digantikan dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Kegiatan pengamanan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau
harta kekayaan lain dilakukan dengan penelitian atas keaslian, kebenaran dan
jangka waktu dokumen, penelitian on the spot (lapangan), dan pemblokiran
barang jaminan dan harta kekayaan lain. Selanjutnya, kegiatan pendayagunaan
barang jaminan dapat dilakukan antara lain dengan cara sewa menyewa, yang
hasilnya digunakan untuk pembayaran hutang Penanggung Hutang.
- o0o -
252
Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain
Latihan
Untuk mengingatkan kembali materi yang telah anda pelajari, kerjakanlah
latihan di bawah ini!
Pilihan Ganda
1. Di bawah ini adalah tugas dari Petugas Khusus KP2LN yang ditunjuk
melakukan penatausahaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain,
kecuali:
a. Menerima barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain
b. Mencatat barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain
c. Meneliti keabsahan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain
d. Menyimpan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain
2. Ruang lingkup Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan
Lain meliputi :
a. Penatausahaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain
b. Pengamanan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain
c. Pendayagunaan Barang Jaminan
d. Jawaban a, b, dan c benar
3. Pendayagunaan barang jaminan dapat dilakukan dengan jalan disewakan
dengan batas waktu maksimum:
a. 2 (dua) tahun
b. 3 (tiga) tahun
c. 4 (empat) tahun
d. 5 (lima) tahun
4. Pemblokiran harta kekayaan Debitur yang tersimpan di Bank dapat
dilakukan oleh KP2LN sepanjang ada izin dari:
a. Menteri Keuangan
b. Dirjen Piutang dan Lelang Negara
c. Pimpinan Bank Indonesia
d. Jawaban a, b, dan c benar
5. Pemeriksaan on the spot dalam rangka pengamanan barang jaminan
bertujuan untuk :
a. Mempercepat penjualan melalui lelang
b. Melihat kondisi fisik barang jaminan
Pengurusan Piutang Negara
253
c. Mencocokkan data administrasi dengan fakta di lapangan
d. Jawaban a, b, dan c salah
6. Dokumen barang jaminan dapat diserahkan kepada yang berhak apabila :
a. Barang jaminan telah ditebus pemiliknya
b. Barang jaminan telah dicairkan
c. Barang jaminan telah laku melalui penjualan melalui lelang
d. Jawaban a, b, dan c benar
7. Pencatatan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dilakukan secara
sistematis, dengan tujuan untuk:
a. Mempermudah penyimpanan
b. Mempermudah pemeliharaan
c. Mempercepat pemberian informasi Barang Jaminan dan/atau Harta
Kekayaan Lain
d. Jawaban a, b, dan c benar
BENAR (B) – SALAH (S)
1. B – S
: Dalam rangka pengamanan dokumen barang jaminan dilakukan
penyimpanan dokumen barang jaminan di tempat yang khusus.
2. B – S
: Pemanfaatan barang jaminan dilakukan dilakukan dengan cara
menyewakan cukup dengan persetujuan pemilik barang
jaminan.
3. B – S
: Tujuan pemblokiran harta kekayaan Penanggung Hutang yang
disimpan di Bank ialah agar harta kekayaan tidak terdapat
perubahan kecuali bertambah.
4. B – S
: Barang jaminan laku terjual melalui lelang, dokumen barang
jaminan diserahkan oleh Pejabat Penjual KP2LN.
5. B – S
: Dalam pemeriksaan on the spot salah satu objek yang perlu
diidentifikasi adalah sikap dan perilaku.
6. B – S
: Pemblokiran terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan
lain, dilaksanakan dengan menerbitkan Surat Pemblokiran yang
ditandatangani ketua PUPN Cabang.
254
7. B – S
Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain
: Pengelolaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain
dipertanggung jawabkan kepada Petugas Khusus KP2LN yang
diangkat oleh Kepala KP2LN.
- o0o -
BAB 9
PENCEGAHAN BEPERGIAN KE LUAR
WILAYAH REPUBLIK INDONESIA
Sasaran Pembelajaran
Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III
Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan
memahami ketentuan tentang prosedur dan persyaratan pencegahan bepergian ke luar
wilayah Republik Indonesia terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang
dalam rangka pengurusan piutang negara.
Pendahuluan
256
Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI
Sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab sebelum ini, setelah SP3N
diterbitkan maka kewenangan pengurusan piutang negara beralih sepenuhnya
kepada PUPN, dan operasional pengurusannya dilakukan oleh DJPLN. Salah
satu kewenangan yang dimiliki oleh DJPLN adalah Pencegahan Bepergian Ke
Luar Wilayah Republik Indonesia (selanjutnya disebut Pencegahan) terhadap
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang telah memenuhi segala
persyaratan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara memiliki kewenangan
Pencegahan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang tersebut
berdasarkan delegasi kewenangan yang diberikan oleh Menteri Keuangan
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 374/KMK.01/1994.
Keputusan Menteri Keuangan tersebut berisi pelimpahan kewenangan kepada
Pejabat Eselon I di lingkungan Departemen Keuangan untuk dan atas nama
Menteri Keuangan menandatangani surat dan/atau Keputusan Menteri
Keuangan. Oleh karena itu Penetapan Pencegahan, Perpanjangan Pencegahan
Pertama, Perpanjangan Pencegahan Kedua, dan Pencabutan Pencegahan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara atas nama
Menteri Keuangan.
Kewenangan Menteri Keuangan yang dilimpahkan kepada Direktur
Jenderal Piutang dan Lelang Negara tersebut berasal dari ketentuan Pasal 11
ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
Pasal 11 ayat (1) huruf b tersebut mengatur bahwa wewenang dan
tanggungjawab pecegahan terhadap seseorang bepergian ke luar wilayah
Republik Indonesia, sepanjang menyangkut urusan piutang negara, adalah
Menteri Keuangan.
Pada hakekatnya Pencegahan merupakan sarana hukum yang dapat
dipergunakan di PUPN/DJPLN untuk menegakkan hukum (law enforcement)
dalam rangka percepatan dan optimalisasi hasil pengurusan piutang negara. Di
sisi lain, Pencegahan tersebut merupakan upaya pembatasan terhadap hak asasi
manusia karena bertentangan dengan prinsip-prinsip umum yang berlaku
secara internasional seperti hak untuk melakukan perjalanan ke luar negeri.
Namun demikian karena kewenangan untuk melakukan Pencegahan tersebut
dijamin oleh undang-undang, dan demi kepentingan pengamanan Keuangan
Negara, maka upaya Pencegahan tersebut tetap dilakukan oleh PUPN/DJPLN.
Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan permasalahan hukum, terlebih bila
dikaitkan dengan permasalahan hak asasi manusia, maka Pencegahan terhadap
Pengurusan Piutang Negara
257
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang harus dilakukan secara tertib
dan teliti.
Guna mendapatkan pemahaman yang lebih baik, penjelasan lengkap
tentang Pencegahan akan diuraikan berikut ini.
Pengertian Pencegahan
Pencegahan berdasarkan Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 9
Tahun 1992 tentang Keimigrasian adalah larangan yang bersifat sementara
terhadap orang-orang tertentu ke luar dari wilayah Republik Indonesia
berdasarkan alasan tertentu. Pelarangan tersebut bersifat sementara karena
pelaksanaan Pencegahan tersebut bersinggungan dengan persoalan hak asasi
manusia, dimana setiap orang mempunyai hak untuk melakukan perjalanan ke
luar negeri (Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992). Karena bersifat
sementara, maka dalam pelaksanaan pencegahan ditegaskan adanya jangka
waktu pencegahan.
Di dalam pengertian di atas, terdapat terminologi orang-orang tertentu
yang dapat dikenakan Pencegahan dan alasan-alasan tertentu yang
menyebabkan dilaksanakannya Pencegahan. Bila dikaitkan dengan tugas
DJPLN dalam melakukan pengurusan piutang Negara, pengertian:
1. orang-orang tertentu adalah pihak-pihak yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban dalam penyelesaian hutang Penanggung Hutang; dan
2. alasan tertentu adalah adanya piutang negara atau hutang kepada negara
yang harus diselesaikan oleh Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang.
Di dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian,
di samping pengertian dan ketentuan tentang Pencegahan, diatur juga
pengertian dan ketentuan tentang Penangkalan. Dalam Pasal 1 angka 13
undang-undang tersebut telah ditegaskan bahwa Penangkalan adalah larangan
yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk masuk wilayah
negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu.
Penangkalan tersebut pada dasarnya ditujukan kepada orang-orang
asing, namun bukan berarti penangkalan tidak dapat dilakukan terhadap orang
Indonesia. Berdasarkan undang-undang tersebut telah ditegaskan bahwa
Penangkalan dapat dilakukan terhadap orang Indonesia yang dalam keadaan
sangat khusus, misalnya :
1. telah lama meninggalkan Indonesia;
258
Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI
2. tinggal menetap atau menjadi penduduk negara lain;
3. melakukan tindakan atau sikap bermusuhan terhadap negara dan
Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945;
4. diperkirakan dengan masuknya mereka ke wilayah Indonesia dapat
menimbulkan ancaman terhadap dirinya atau keluarganya.
Dasar Hukum Pencegahan
Tindakan Pencegahan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang yang hendak bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia dilakukan
oleh DJPLN dalam rangka pengamanan dan kelancaran pengurusan piutang
negara. Dalam melakukan tindakan pencegahan tersebut, DJPLN tentu
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang mendasari pencegahan tersebut.
Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan.
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 374/KMK.01/1994 tentang
Pelimpahan Kewenangan Kepada Pejabat Eselon I di Lingkungan
Departemen Keuangan untuk dan atas nama Menteri Keuangan.
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang
Pengurusan Piutang Negara (Bab XII, Pasal 117-134).
5. Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep25/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara (Bab VI
Pasal 54-61).
Pihak yang Berwenang Melakukan Pencegahan
Pasal 11 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 mengatur bahwa
wewenang dan tanggung jawab pencegahan dilakukan oleh:
1. Menteri Kehakiman, sekarang dikenal dengan sebutan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia (MENKUMHAM), sepanjang menyangkut urusan
yang bersifat keimigrasian.
Pencegahan yang terkait dengan urusan yang bersifat keimigrasian adalah
pencegahan yang dilakukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
Pengurusan Piutang Negara
259
§
Warga Negara Indonesia yang pernah diusir/dideportasi ke Indonesia
oleh suatu negara lain.
§ Warga Negara Indonesia yang pada saat berada di luar negeri
melakukan perbuatan yang mencemarkan nama baik bangsa dan negara
Indonesia.
§ Warga Negara Asing yang belum atau tidak memenuhi kewajibankewajiban terhadap negara atau pemerintah RI, misalnya belum
melunasi pajak bangsa asing dan pajak-pajak lain sebagai orang
asing/penduduk Indonesia.
2. Menteri Keuangan, sepanjang menyangkut urusan piutang negara.
Selama ini, pengertian piutang negara yang digunakan terkait dengan
Pencegahan adalah pengertian piutang negara yang ditetapkan oleh
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN, sebagaimana
yang telah dijelaskan pada Bab I1. Sebagaimana uraian pada pendahuluan
bab ini, kewenangan Menteri Keuangan untuk melakukan Pencegahan
telah didelegasikan kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara.
3. Jaksa Agung, sepanjang menyangkut pelaksanaan ketentuan Pasal 32
angka 9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia2.
4. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Imdonesia (sekarang disebut
Panglima Tentara Nasional Republik Indonesia), sepanjang menyangkut
pemeliharaan dan penegakkan keamanan dan pertahanan negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982
tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1988. Tujuan Pencegahan dalam hal ini adalah untuk menjamin
tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 terhadap segala macam ancaman baik dari luar maupun
dari dalam negeri serta tercapainya tujuan nasional.
1 Pada masa sekarang ini, bila dikaitkan dengan Pencegahan, piutang pajak juga dimasukkan
ke dalam pengertian piutang negara. Dalam Bab ini, pengertian piutang negara yang terkait
dengan kewenangan Pencegahan adalah pengertian yang diatur oleh Undang-undang
Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN.
2
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut
telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
260
Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI
Terkait dengan uraian tentang kewenangan Penangkalan pada
pendahuluan bab ini, timbul pertanyaan apakah DJPLN mempunyai
kewenangan untuk melakukan penangkalan? Pasal 15 Undang-undang Nomor
9 Tahun 1992 memberi jawaban, yaitu hanya ada 3 (tiga) pejabat yang
diberikan kewenangan untuk melakukan penangkalan. Pejabat itu adalah
Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Panglima ABRI/TNI. Dengan
demikian, DJPLN (dan bahkan Menteri Keuangan sekalipun) tidak
mempunyai kewenangan untuk melakukan penangkalan.
Objek Pencegahan
Terkait dengan kewenangan Pencegahan oleh DJPLN, berdasarkan
Pasal 117 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, objek
Pencegahan pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan hutang
kepada negara. Pihak-pihak tersebut adalah Penanggung Hutang dan/atau
Penjamin Hutang.
Penanggung Hutang
Berdasarkan Pasal 117 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
300/KMK.01/2002, pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai
Penanggung Hutang kepada negara, dan yang dapat dijadikan sebagai objek
Pencegahan adalah:
1. pihak-pihak yang menandatangani perikatan hutang (Perjanjian Kredit,
Kontrak), atau orang-orang yang berdasarkan peraturan perundangundangan dan/atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara,
apabila Penanggung Hutang adalah orang/pribadi;.
2. direksi/anggota
pengurus
perusahaan/yayasan/koperasi,
apabila
Penanggung Hutang adalah badan hukum (PT, Yayasan, Koperasi);
3. para anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas yang berdasarkan
Anggaran Dasar atau keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
melakukan tindakan kepengurusan, apabila Penanggung Hutang adalah
badan hukum perseroan; atau
4. salah seorang pesero dan/atau pesero pengurus dari Badan Usaha dalam hal
Penanggung Hutang adalah Firma, Perseroan Komanditer (Commanditer
Vennootschap), atau Persekutuan Perdata.
Penjamin Hutang
Pengurusan Piutang Negara
261
Berdasarkan Pasal 117 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
300/KMK.01/2002, pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai Penjamin
Hutang atas hutang kepada negara, dan yang dapat dijadikan sebagai objek
Pencegahan adalah:
1. Penjamin hutang pribadi (borgtoch atau personal guarantee);
2. Penjamin atas pembayaran wesel (avalist);
3. Pengurus dari badan usaha atau badan hukum yang mengikatkan diri
sebagai penjamin (corporte guarantee).
Dalam melakukan Pencegahan terhadap Penjamin Hutang pribadi
(borgtoch atau personal guarantee), disyaratkan adanya ketelitian yang tinggi
dari jajaran DJPLN. Ketelitian tersebut diperlukan untuk meminimalisasi
kemungkinan timbulnya permasalahan hukum akibat kesalahan melakukan
Pencegahan. Salah satu cara menjaga ketelitian tersebut adalah aparat DJPLN
yang bertugas mengelola Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) dapat
membaca dan mengerti akta Borgtoch secara cermat.
Contoh kemungkinan permasalahan hukum yang mungkin terjadi
adalah adanya gugatan kepada DJPLN dari Penjamin Hutang yang tidak
melepaskan hak istimewanya karena kepada yang bersangkutan dikenakan
Pencegahan meskipun barang jaminan dan harta kekayaan milik Penanggung
Hutang belum digunakan sebagai pembayaran hutang yang dijamin oleh
Penjamin Hutang tersebut. Sebagaimana yang telah diuraikan di dalam Bab II,
bahwa hak istimewa adalah hak yang diberikan undang-undang kepada
Penjamin Hutang pribadi (Borgtoch) untuk meminta agar barang jaminan dan
harta kekayaan Debitur (terminologi dalam pengurusan piutang negara adalah
Penanggung Hutang) terlebih dahulu dicairkan atau dijual untuk melunasi
hutangnya, dan bila barang jaminan dan harta kekayaan Debitur telah habis,
namun hutangnya masih ada, baru kemudian harta kekayaan Penjamin pribadi
dicairkan untuk menyelesaikan hutang Debitur dimaksud.
Bagaimana kedudukan Borgtoch yang telah melepas hak istemewanya
di dalam pengurusan putang negara? Borgtoch demikian mempunyai
kedudukan yang sama dengan Penanggung Hutang, artinya si Borgtoch
bersama-sama Penanggung Hutang dapat diminta pertanggungjawabannya
untuk menyelesaikan hutang Penanggung Hutang sejak awal pengurusan.
Pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah, apakah setiap Penanggung
Hutang/ Penjamin Hutang dapat dikenakan tindakan pencegahan? Tentu saja
jawabannya tidak semua. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa pencegahan
merupakan sarana hukum yang dimiliki oleh DJPLN di dalam melaksanakan
pengurusan piutang negara yang bertujuan untuk memaksa PH/PjH
262
Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI
menyelesaikan hutangnya. Oleh karena itu, tindakan Pencegahan harus
mengena pada sasarannya (efektif), dalam arti apabila dilakukan Pencegahan,
Penanggung Hutang/Penjamin Hutang diperkirakan akan berupaya untuk
menyelesaikan hutangnya atau tidak dapat melaksanakan niatnya untuk pergi
ke luar negeri.
Dengan demikian, tindakan Pencegahan semata-mata ditujukan kepada
Penanggung Hutang/Penjamin Hutang yang tidak menunjukkan itikad baik
untuk menyelesaikan hutangnya. Pada akhirnya, Pencegahan yang efektif
adalah pencegahan yang menyebabkan salah satu atau beberapa kejadian
berikut:
ü Penanggung Hutang/Penjamin Hutang melunasi hutang;
ü Penanggung Hutang/Penjamin Hutang mengangsur hutang dan
memberikan rencana penyelesaian yang jelas.
Syarat Pencegahan
Berdasarkan Pasal 121 sampai dengan Pasal 123 Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, Pencegahan dapat dilaksanakan apabila
telah terpenuhi seluruh syarat berikut ini:
1. Sisa hutang yang masih harus diselesaikan oleh objek Pencegahan
(Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang) adalah lebih dari Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Apabila sisa hutang kurang dari Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), terhadap objek Pencegahan tetap
dapat dilakukan Pencegahan apabila yang bersangkutan sering bepergian
ke luar wilayah Republik Indonesia.
Indikator sering tidaknya seseorang ke luar wilayah Republik Indonesia
adalah bahwa yang bersangkutan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
melakukan perjalanan ke luar wilayah Republik Indonesia paling sedikit
sebanyak 2 (dua) kali. Informasi tentang sering tidaknya objek Pencegahan
melakukan perjalanan ke luar negeri tersebut dapat diperoleh/diketahui
dari paspor yang bersangkutan, pengakuan objek Pencegahan atau
informasi dari Penyerah Piutang.
2. Objek Pencegahan (Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang)
beritikad tidak baik, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. tidak pernah atau jarang memenuhi panggilan KP2LN;
Pengurusan Piutang Negara
263
b. belum pernah membayar sama sekali, atau pernah membayar dalam
jumlah yang relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan sisa
hutangnya;
c. menunda-nunda pembayaran tanpa alasan yang sah; dan/atau
d. bergaya hidup mewah namun tidak menyelesaikan hutangnya.
Informasi tentang hal ini dapat diperoleh dari hasil penelitian lapangan,
Penyerah Piutang, dan/atau informasi dari pihak lain.
3. Nilai barang jaminan diperkirakan tidak menutup hutang.
Berdasarkan persyaratan di atas, dan dalam rangka efektivitas upaya
Pencegahan, maka Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang akan
dijadikan sebagai objek Pencegahan agar dicermati dan diteliti secara seksama.
Penelitian tersebut ditujukan untuk mengetahui secara jelas apakah
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang akan dikenakan tindakan
pencegahan adalah orang yang benar-benar mampu untuk menyelesaikan
hutangnya?
Pertanyaan tersebut di atas timbul karena berdasarkan pengalaman,
sering ditemukan bahwa Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang
menduduki jabatan Direksi atau Komisaris suatu perusahaan bukanlah
pengambil keputusan/pemilik/pengendali perusahaan tersebut. Pada
kenyataannya orang-orang tersebut adalah orang-orang suruhan (seperti
pembantu atau sopir, misalnya) pemilik perusahaan yang aktual (secara de
facto). Hal tersebut dilakukan oleh pemilik aktual untuk menghindari tanggung
jawab selaku pengurus perusahaan. Apabila pencegahan dilakukan terhadap
pihak-pihak yang hanya secara de jure saja dan tidak secara de facto bertindak
sebagai pengurus atau komisaris perusahaan, maka pencegahan tersebut tidak
akan kena sasaran/tidak efektif.
Selain persyaratan di atas, Pencegahan yang dilakukan oleh DJPLN
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan, dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing selama 6 (enam) bulan;
2. Pencegahan atau perpanjangan Pencegahan berakhir demi hukum apabila:
a. jangka waktu Pencegahan berakhir dan tidak ada perpanjangan;
b. jangka waktu perpanjangan Pencegahan pertama berakhir dan tidak ada
perpanjangan; atau
c. jangka waktu perpanjangan Pencegahan kedua berakhir;
3. dalam jangka waktu Pencegahan atau perpanjangan Pencegahan, kepada
Objek Pencegahan dapat diberikan izin ke luar wilayah Republik
264
Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI
Indonesia oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan, dengan
pertimbangan objek Pencegahan:
a. menjalankan tugas negara atau mewakili kepentingan negara di forum
internasional;
b. menjalankan ibadah haji;
c. memerlukan perawatan atau pengobatan kesehatan ke luar wilayah
Republik Indonesia yang didukung dengan rekomendasi dari dokter
ahli di Indonesia;
d. melakukan kerjasama dengan mitra luar negeri untuk kegiatan usaha
dalam rangka menyelesaikan hutangnya; atau
e. memerlukan pergi ke luar wilayah Republik Indonesia karena alasan
kemanusiaan, seperti membesuk atau mendampingi orang
tua/suami/istri/anak yang memerlukan pengobatan/perawatan.
Prosedur dan Tata Cara Penerbitan Keputusan
Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik
Indonesia
Tindakan pencegahan ditetapkan dengan keputusan tertulis yang
ditandatangani oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara atas nama
Menteri Keuangan. Keputusan tersebut memuat sekurang-kurangnya hal-hal
sebagai berikut:
1. identitas objek Pencegahan, antara lain:
a. nama;
b. umur;
c. pekerjaan/kedudukan;
d. alamat;
e. jenis kelamin;
f. kewarganegaraan;
2. alasan pencegahan; dan
3. jangka waktu pencegahan.
Keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Piutang
dan Lelang Negara, dikirimkan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk
ditindaklanjuti melalui aparat/petugas imigrasi. Petugas imigrasi inilah yang
secara efektif melakukan pencegahan bepergian pada pintu-pintu keluar masuk
Indonesia di seluruh Indonesia. Selain itu, keputusan Pencegahan disampaikan
dengan surat tercatat kepada objek Pencegahan selambat-lambatnya 7 (tujuh)
Pengurusan Piutang Negara
265
hari terhitung sejak tanggal penetapan. (Pasal 134 ayat (1) Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002).
Pengertian surat tercatat tersebut di atas, termasuk juga bukti
penerimaan oleh objek Pencegahan yang bersangkutan, atau oleh orang lain
yang berada pada alamat objek Pencegahan. Contoh: Surat Keputusan
Pencegahan terhadap Budi ditetapkan pada tanggal 2 Maret 2000. Surat
Keputusan tersebut harus sudah dikirim melalui surat tercatat (pos) atau
dengan kurir kepada alamat domisili Budi, paling lambat pada tanggal 9 Maret
2000.
Prosedur Pengajuan Usul Pencegahan
Usul Pencegahan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang yang memenuhi persyaratan untuk dicegah, dilakukan secara tertulis
oleh KP2LN dan ditujukan kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang
Negara. Usul Pencegahan hanya dapat dilaksanakan setelah Surat Penerimaan
Pengurusan Piutang Negara (SP3N) terbit. Apabila terdapat informasi bahwa
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang akan melakukan perjalanan ke
luar wilayah Republik Indonesia, surat usul Pencegahan dapat ditandatangani
dan dikirim bersamaan dengan terbitnya SP3N.
Usul Pencegahan yang disampaikan oleh KP2LN kepada Direktur
Jenderal Piutang dan Lelang Negara dilengkapi dengan dokumen dan
keterangan sebagai berikut:
1. fotocopy KTP atau SIM atau dokumen identitas lain yang otentik yang
memuat data dan informasi bukti diri objek Pencegahan yang lengkap;
2. alamat terakhir objek Pencegahan;
3. fotocopy perjanjian atau akta borgtoch yang menunjukkan bahwa orang
yang akan dicegah adalah benar sebagai borgtoch atau guarantor atau
Penjamin Hutang yang melepaskan hak-hak istemewanya atau yang ikut
menandatangani Perjanjian Kredit;
4. jumlah pembayaran hutang dan sisa hutang;
5. kondisi terakhir usaha Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang;
6. alasan yang mendukung untuk dilakukan pencegahan seperti:
a. itikad Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; dan
b. perkiraan harga jual barang jaminan Penanggung Hutang dan/atau
Penjamin Hutang; dan
266
Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI
7. pendapat KP2LN mengenai efektifitas pencegahan dalam arti tindakan
pencegahan tersebut akan memberikan dampak positif dalam penyelesaian
pengurusan piutang negara.
Usul pencegahan tersebut oleh Kantor Pusat DJPLN diteliti dan
dianalisa, apabila sudah memenuhi ketentuan dan persyaratan maka
diterbitkan Keputusan Penetapan Pencegahan. Salah satu salinan keputusan
tersebut disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk ditindaklanjuti,
dan satu petikan keputusan tersebut disampaikan kepada objek Pencegahan
yang bersangkutan.
Menteri Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Imigrasi dalam
waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal penerimaan Keputusan
Penetapan Pencegahan tersebut memasukkan nama orang yang terkena
pencegahan ke dalam “Daftar Pencegahan” dan mengirimkannya kepada
Kepala Kantor Imigrasi di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk
melaksanakan pencegahan. Kantor-kantor Imigrasi melaksanakan pencegahan
tersebut di pintu-pintu keluar masuk wilayah Republik Indonesia, seperti di
bandar-bandar udara atau di pelabuhan-pelabuhan laut.
Paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya masa laku
Pencegahan (atau perpanjangan Pencegahan pertama), KP2LN harus
mengajukan usul perpanjangan Pencegahan pertama (atau usul perpanjangan
Pencegahan kedua) ke Kantor Pusat DJPLN, dilengkapi dengan dokumen dan
keterangan sebagai berikut :
1. identitas objek Pencegahan;.
2. perkembangan penyelesaian hutang Penanggung Hutang; dan
3. alasan yang mendukung perpanjangan pencegahan, antara lain
perkembangan penyelesaian hutang dan itikad PH/PjH.
Kantor Pusat DJPLN memproses usulan tersebut untuk kemudian
menerbitkan Keputusan Perpanjangan Pertama Pencegahan atau Keputusan
Perpanjangan Kedua Pencegahan. Selanjutnya, salah satu salinan keputusan
tersebut disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk ditindaklanjuti
dengan proses yang serupa dengan yang telah diuraikan di atas.
Sebagai ilustrasi, berikut adalah contoh proses Pencegahan yang
dilakukan dalam rangka optimalisasi pengurusan piutang negara oleh
PUPN/DJPLN.
1. Pada tanggal 10 Maret 2000 Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara
menetapkan Keputusan Pencegahan untuk bepergian ke luar wilayah
Republik Indonesia terhadap Munasir selaku Direktur PT. ABC untuk
Pengurusan Piutang Negara
2.
3.
4.
5.
6.
7.
267
jangka waktu selama 6 (enam) bulan. Dengan demikian, pencegahan
tersebut berlaku terhitung sejak tanggal 10 Maret 2000 sampai dengan
tanggal 9 September 2000.
Paling lambat, 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal 9 September 2000
yaitu tanggal berakhirnya masa laku pencegahan tersebut (tepatnya paling
lambat tanggal 9 Agustus 2000), KP2LN mengirimkan usulan secara
tertulis kepada Kantor Pusat DJPLN untuk memperpanjang pencegahan
terhadap Munasir selaku Direktur PT. ABC.
Apabila masa Pencegahan telah lewat 6 (enam) bulan, KP2LN tidak
mengusulkan perpanjangan pertama Pencegahan, maka pencegahan
tersebut berakhir demi hukum pada tanggal 10 September 2000.
Sebelum berakhirnya masa laku Pencegahan terhadap Munasir selaku
Direktur PT. ABC tersebut (sebelum tanggal 9 September 2000),
berdasarkan usul perpanjangan Pencegahan dari KP2LN, Kantor Pusat
DJPLN akan menerbitkan Keputusan Perpanjangan Pertama Pencegahan.
Perpanjangan pertama Pencegahan tersebut akan berlaku selama 6 (enam)
bulan berikutnya, terhitung sejak tanggal 10 September 2000 sampai
dengan tanggal 9 Maret 2001.
Apabila masa perpanjangan pertama Pencegahan telah lewat 6 (enam)
bulan, KP2LN tidak mengusulkan perpanjangan kedua Pencegahan, maka
pencegahan tersebut berakhir demi hukum pada tanggal 9 Maret 2000.
Bila KP2LN kembali mengusulkan perpanjangan kedua Pencegahan, maka
Keputusan Perpanjangan Kedua Pencegahan akan diterbitkan oleh Kantor
Pusat DJPLN dengan masa laku selama 6 (enam) bulan, yaitu sejak
tanggal 10 Maret 2001 sampai dengan 9 September 2001.
Sejak tanggal 10 September 2001, Munasir selaku Direktur PT. ABC telah
bebas dari Pencegahan, atau dengan kata lain Pencegahan terhadap
Munasir selaku Direktur PT. ABC telah berakhir demi hukum.
Pencegahan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang
dapat dilakukan untuk setiap kasus piutang negara. Dalam hal terhadap
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah dilakukan pencegahan
pada salah satu kasus piutang negara, tidak perlu dilakukan pencegahan
kembali terhadap kasus piutang negara yang lain, sepanjang jangka waktu
pencegahan untuk kasus yang pertama masih berlaku. Bilamana masa
pencegahan untuk kasus yang pertama telah berakhir, terhadap Penanggung
Hutang/Penjamin Hutang tersebut dapat diusulkan kembali untuk dilakukan
pencegahan atas kasus yang lain.
268
Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI
Sebagai ilustrasi, berikut adalah contoh proses Pencegahan yang
dilakukan dalam rangka optimalisasi pengurusan piutang negara oleh
PUPN/DJPLN.
1. Udin adalah Penanggungjawab PT. X, di samping itu yang bersangkutan
menjadi penanggungjawab PT. Y. Pengurusan piutang atas nama kedua
Penanggung Hutang tersebut (PT. X dan PT. Y) telah diserahkan kepada
KP2LN.
2. KP2LN dapat mengajukan usul kepada Kantor Pusat untuk melakukan
Pencegahan terhadap Udin selaku penanggungjawab PT. X paling lama 18
bulan. Setelah masa Pencegahan tersebut berakhir demi hukum, terhadap
Udin masih bisa dikenakan pencegahan dengan jangka waktu paling lama
18 bulan. Namun pencegahan tersebut tidak dilakukan terhadap Udin
selaku Penanggungjawab PT. X, tetapi selaku Penanggungjawab PT. Y.
Apabila Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dapat
menyelesaikan hutangnya sebelum jangka waktu pencegahan berakhir, maka
KP2LN harus mengajukan usul pencabutan pencegahan. Usul pencabutan
tersebut dilengkapi dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut :
1. identitas Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang menjadi
objek Pencegahan;
2. perkembangan penyelesaian hutang;
3. alasan yang mendukung pencabutan pencegahan, antara lain:
• Penanggung
Hutang
dan/atau
Penjamin
Hutang
melunasi/menyelesaikan hutangnya;
• Kasusnya telah ditarik oleh Penyerah Piutang;
• Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah menunjukkan
itikad baik dengan melakukan pembayaran ke arah pelunasan dan ada
kejelasan rencana penyelesaian atas sisa hutang. Misal: barang jaminan
telah terjual untuk mengangsur hutang dan untuk menyelesaikan sisa
hutangnya Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang berupaya
dari sumber lain; dan
• Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah meninggal dunia.
Kantor Pusat DJPLN meneliti dan menganalisa usulan KP2LN
tersebut. Apabila permohonan tersebut dapat dipertimbangkan, maka
diterbitkan Keputusan Pencabutan Pencegahan, dan selanjutnya salinan
keputusan tersebut disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk
ditindaklanjuti.
Pengurusan Piutang Negara
269
Dalam praktek, terdapat usul pencabutan Pencegahan yang diajukan
dengan pertimbangan objek Pencegahan tidak lagi berkedudukan sebagai
komisaris/direksi perusahaan yang memiliki hutang kepada negara
(perusahaan tersebut merupakan Penanggung Hutang). Dalam menindaklanjuti
usul pencabutan pencegahan tersebut, perlu dilakukan analisa dan penelitian
untuk membuktikan bahwa perubahan susunan pengurus (direksi) dan
pengawas (komisaris) perusahaan tersebut telah disetujui oleh Penyerah
Piutang. Apabila belum ada persetujuan, maka kepada yang objek Pencegahan
tersebut diminta untuk melampirkan persetujuan Penyerah Piutang atas
perubahan susunan pengurus perusahaan Penanggung Hutang. Persetujuan
tersebut diperlukan untuk memenuhi salah satu klausul dalam Perjanjian
Kredit yang mengatur bahwa segala perubahan yang menyangkut modal,
kepemilikan saham, atau susunan pengurus terlebih dahulu harus mendapat
persetujuan Kreditur.
Rangkuman
Pencegahan dilakukan dalam rangka pengamanan kekayaan dan
kelancaran pengurusan piutang negara. Tindakan pencegahan dalam
pelaksanaannya harus dilakukan secara efektif, mengingat tindakan
pencegahan terkait dengan hak asasi manusia di mana setiap Warga Negara
Indonesia berhak untuk melakukan perjalanan ke luar negeri. Oleh karena itu,
diperlukan adanya batasan atau kriteria yang jelas, PH/PjH mana saja dapat
dikenakan pencegahan.
Pelaksanaan Pencegahan tersebut, harus dikoordinasikan secara cermat
antara Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Direktorat Jenderal
Imigrasi Departemen Hukum dan HAM. Koordinasi tersebut dilaksanakan
mengingat hal-hal sebagai berikut:
1. Keputusan tentang Penetapan Pencegahan, Perpanjangan Pencegahan
Pertama, Perpanjangan Pencegahan Kedua diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Piutang dan Lelang Negara atas nama Menteri Keuangan;
2. Operasionalisasi di lapangan atas keputusan-keputusan tersebut pada
angka 1 di atas dilaksanakan oleh Direktorat Imigrasi Departemen Hukum
dan HAM, yang memiliki aparatur yang bertugas di bandar udara dan
pelabuhan laut dan memonitor lalu lintas orang ke luar dan masuk wilayah
Republik Indonesia.
270
Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI
Usul penetapan Pencegahan, perpanjangan pertama Pencegahan,
perpanjangan kedua Pencegahan, pencabutan Pencegahan, dan izin sementara
ke luar negeri diajukan oleh KP2LN kepada Direktur Jenderal Piutang dan
Lelang Negara. Usul tersebut harus senantiasa didukung dengan
dokumen/data, alasan serta pertimbangannya. Di samping itu, pertimbangan
yang paling utama dalam pengajuan Pencegahan adalah efektivitas dari
pencegahan itu sendiri.
- o0o -
Latihan
Untuk mengingatkan kembali materi yang telah anda pelajari, kerjakanlah
latihan di bawah ini:
1. Pencegahan terhadap Penanggung Hutang dan Penjamin Hutang dapat
dilakukan dalam hal jumlah piutang negara sebagai berikut:
a. Rp. 1 Milyar atau lebih atau kurang dari Rp. 1 Milyar, tetapi
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sering bepergian ke
luar negeri.
b. Rp. 500 juta atau lebih atau kurang dari Rp. 500 juta, tetapi
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sering bepergian ke
luar negeri.
c. Rp. 250 juta atau lebih.
d. Rp. 500 juta atau lebih.
2. Penjamin hutang adalah orang atau badan sebagaimana dimaksud di bawah
ini, kecuali:
a. Borgtocht
b. Avalis
c. Persero diam
d. Corporate guarantee
3. Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang dapat dikenakan
pencegahan ke luar negeri adalah:
Pengurusan Piutang Negara
a.
b.
c.
d.
271
Komisaris utama
Direktur utama
Borgtoch
Jawaban a, b, dan c benar
4. Dalam hal apa saja DJPLN dapat melakukan pencegahan terhadap
borgtoch yang tidak melepaskan hak istimewanya?
a. Dalam hal agunan telah habis dicairkan/dilelang
b. Debitur tidak lagi mempunyai harta kekayaan lain yang dapat
dipergunakan untuk melunasi hutang
c. Jawaban a benar
d. Jawaban a dan b benar
5. Dasar hukum pencegahan, sepanjang menyangkut urusan piutang negara
diatur dalam:
a. Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960
b. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992
c. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997
d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
6. Pencegahan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dapat
dilakukan apabila:
a. Telah diterbitkan Surat Paksa
b. Telah diterbitkan SP3N
c. Jawaban a dan b benar
d. Telah dilakukan pengusutan/pemeriksaan
7. Yang dimaksud dengan pencegahan berdasarkan Undang-undang Nomor 9
Tahun 1992 adalah:
a. Larangan untuk ke luar negeri.
b. Larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk
ke luar negeri dari wilayah Republik Indonesia berdasarkan alasan
tertentu.
c. Larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk
masuk wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu.
d. Larangan untuk ke luar dan masuk wilayah Republik Indonesia
terhadap orang-orang tertentu berdasarkan alasan tertentu.
272
Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI
8. Pencegahan dilakukan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang:
a. Melakukan tindakan atau sikap bermusuhan terhadap negara dan
pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
b. Telah lama meninggalkan Indonesia
c. Mempunyai hutang kepada negara namun tidak mempunyai itikad baik
untuk menyelesaikannya
d. Tersangkut tindak pidana
9. Menteri Keuangan hanya dapat mengenakan tindakan pencegahan yang
menyangkut:
a. Urusan keimigrasian
b. Urusan piutang negara
c. Urusan pidana
d. Urusan keamanan dan pertahanan wilayah Republik Indonesia
10. Penangkalan dapat dilakukan oleh pejabat pemerintah, kecuali:
a. Jaksa Agung
b. Menteri Hukum dan HAM
c. Pangab/Panglima TNI
d. Menteri Keuangan
11. Keputusan Pencegahan berlaku untuk jangka waktu paling lama:
a. 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 6 (enam) bulan.
b. 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali
tidak lebih dari 8 (delapan) bulan.
c. 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali
masing-masing tidak lebih dari 6 (enam) bulan.
d. 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 3 (tiga) kali tidak
lebih dari 6 (enam) bulan.
12. Pencegahan harus dengan keputusan yang memuat sekurang-kurangnya:
a. Identitas, alasan dan jangka waktu pencegahan.
b. Identitas, jangka waktu dan tujuan pencegahan.
c. Identitas, tujuan pencegahan dan jumlah piutang negara.
d. Identitas, jumlah piutang negara dan jangka waktu pencegahan.
273
Pengurusan Piutang Negara
13. Apabila tidak ada Keputusan Perpanjangan
pencegahan pertama, pencegahan tersebut:
a. Dianggap masih berlaku
b. Batal demi hukum
c. Ditunda
d. Berakhir demi hukum
setelah
berakhirnya
14. Pelaksanaan Keputusan Pencegahan dilakukan oleh:
a. Menteri Keuangan
b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
c. Menteri Hukum dan HAM atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk
olehnya.
d. Bank Indonesia
15. Keputusan Pencegahan harus disampaikan kepada Penanggung Hutang
dan/atau Penjamin Hutang paling lambat:
a. 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan
b. 7 (tujuh) hari sejak tanggal penetapan
c. 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penetapan
d. 14 (empat belas) hari sejak tanggal penetapan
16. Sejak kapan borgtocht yang melepaskan hak istimewanya dikenakan
tindakan pencegahan:
a. Harta kekayaan debitur telah habis terjual.
b. Diterbitkannya SP3N.
c. Setelah adanya pengusutan/pemeriksaan
d. Diterbitkannya Pernyataan Bersama.
17. Keputusan Pencegahan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang diterbitkan oleh:
a. Kepala KP2LN.
b. Ketua PUPN Cabang.
c. DJPLN atas nama Menteri Keuangan.
d. Direktur Piutang Negara Perbankan atas nama Menteri Keuangan.
18. Dengan pertimbangan/alasan di bawah ini, Penanggung Hutang dan/atau
Penjamin Hutang dapat diberi izin untuk bepergian ke luar negeri, kecuali:
a. Mengikuti seminar.
274
Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI
b. Menjalankan ibadah agama.
c. Kemanusiaan.
d. Melakukan pengobatan dan perawatan.
19. Keputusan Pencegahan diterbitkan apabila:
a. Telah memperoleh persetujuan dari Penyerah Piutang.
b. Telah memperoleh persetujuan dari Kejaksaan Tinggi setempat.
c. Telah memperoleh persetujuan dari Kepala DJPLN.
d. Jawaban a, b dan c salah semua.
20. Dalam hal terdapat Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah
dikenakan pencegahan pada kasus piutang negara selama 18 (delapan
belas) bulan, maka terhadap kasus piutang negara lainnya, PH/PjH
dimaksud dapat :
a. Dikenakan tindakan pencegahan maksimal 6 (enam) bulan.
b. Dikenakan tindakan pencegahan maksimal 12 (dua belas) bulan
c. Dikenakan tindakan pencegahan maksimal 18 (delapan belas) bulan
d. Dikenakan tindakan pencegahan sampai hutangnya dilunasi
- o0o -
BAB 10
PEMERIKSAAN DALAM PENGURUSAN
PIUTANG NEGARA
Sasaran Pembelajaran
Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III
Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan
memahami pengertian, tata cara, pedoman serta sasaran/tujuan yang hendak dicapai
dari kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh KP2LN dalam rangka pengurusan
piutang negara.
Pendahuluan
276
Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara
Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jenderal
Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya selalu dihadapkan pada berbagai masalah dan hambatan yang terus
meningkat baik kualitas dan kuantitasnya sejalan dengan perkembangan serta
dampak kondisi perekonomian saat ini. Hambatan yang paling menonjol
adalah jumlah Piutang Negara yang jauh melebihi nilai barang jaminan,
barang jaminan yang bermasalah, bahkan seringkali piutang negara yang
bersangkutan tidak didukung oleh adanya barang jaminan. Selain itu,
pengurusan piutang negara seringkali pula dihadapkan pada permasalahan
“menghilangnya” Penanggung Hutang/Penjamin Hutang (PH/PjH) termasuk
Ahli Waris, begitu juga masalah piutang yang sudah diterbitkan PSBDT
namun berdasarkan informasi yang diterima yang bersangkutan masih
mempunyai harta kekayaan/usaha yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
hutangnya.
Untuk menghadapi masalah-masalah tersebut di atas, telah diupayakan
adanya kegiatan Pemeriksaan/ “Pengusutan” sebagaimana telah beberapa kali
diatur dalam Keputusan Kepala BUPLN Nomor KEP-11/PN/1999 tanggal 12
Mei 1999 dan terakhir diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
300/KMK.01/2002. Namun ketentuan tersebut hanya memuat aturan yang
tidak terlalu detail (teknis), sehingga pelaksanaan pemeriksaan di lapangan
menghadapi kendala dan belum dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Untuk kepentingan tersebut diperlukan suatu “pedoman” yang
mengatur secara lebih terperinci mengenai “pengusutan”/pemeriksaan
sehingga dapat diterapkan di lapangan dan dapat menjadi petunjuk untuk
menemukan keberadaan, kemampuan, harta kekayaan PH/PjH termasuk Ahli
Waris, serta menemukan fisik barang jaminan. Hasil-hasil temuan tersebut
diharapkan dapat membantu penyelesaian Piutang Negara dalam rangka
meningkatkan hasil pengurusan sesuai dengan yang diharapkan.
“Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pengurusan Piutang
Negara” merupakan pengaturan lebih lanjut tentang pengusutan sebagaimana
dimaksud di atas. Ketentuan tentang pemeriksaan ini diperkirakan akan dapat
diterapkan di lapangan karena telah mengatur secara lebih jelas dan terperinci
mengenai pedoman berikut langkah-langkah dalam pelaksanaan pemeriksaan.
Dengan demikian diharapkan ketentuan ini dapat menjadi “darah segar” bagi
DJPLN dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam rangka turut
serta menyelamatkan/mengamankan Keuangan Negara.
Pengurusan Piutang Negara
277
Penjelasan lengkap tentang pemeriksaan dalam pengurusan piutang
negara akan diuraikan berikut ini.
Dasar Hukum Tugas/Wewenang PUPN/DJPLN untuk
Melakukan Pengusutan/ Pemeriksaan
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dijadikan sebagai dasar
hukum PUPN/DJPLN dalam “pemeriksaan” adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan
Piutang Negara;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (stbl.1847 Nomor 23);
5. Keputusan Presiden nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara;
6. Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi
Dan Tugas Departemen, terakhir diatur dalam Keputusan Presiden Nomor
10 Tahun 2005;
7. Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Instansi Vertikal di
Lingkungan Departemen Keuangan;
8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Departemen Keuangan;
9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan;
10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang
Pengurusan Piutang Negara;
11. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/KMK.01/2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang
Dan Lelang Negara Dan Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara;
12. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 tentang Panitia
Urusan Piutang dan Lelang Negara.
Definisi / Pengertian Pemeriksaan
278
Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara
Pengertian pengusutan/pemeriksaan dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Usut/mengusut adalah :
ü memeriksa, menyelidiki suatu perkara (hal dan sebagainya) yang
belum terang;
ü mencari/meminta keterangan tertentu suatu perkara (hal dan
sebagainya).
(Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ketiga
(Jakarta: Balai Pustaka,1990) , hal.671).
b. Pengusutan/Pemeriksaan adalah:
ü Proses, pembuatan, cara mengusut; penyelidikan; untuk pengusutan /
pemeriksaan lebih lanjut
ü Usaha mencari bahan-bahan bukti apabila timbul dugaan seseorang
melakukan suatu tindak pidana.
( Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ketiga(Balai
Pustaka 1990), hal.671).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pengusutan/pemeriksaan dapat
juga diartikan sebagai penyelidikan.
Pengertian penyelidikan dan penyelidik adalah:
a. Penyelidikan adalah :
Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undangundang ini.
(Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal
1 butir ke 5 dan Undang-undang No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian RI
Pasal 1 butir ke 7).
b. Penyelidik adalah :
Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
Undang-undang untuk melakukan penyelidikan.
(Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal
1 butir ke 4 dan UU No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian RI Pasal 1
butir ke 6 ).
Di dalam Keputusan Kepala BUPLN Nomor : KEP-11/PN/1999 tanggal
12 Mei 1999 mengenai petunjuk Teknis dan Tata Cara Pengurusan
piutang Negara Bab X angka I menyatakan bahwa :
Pengurusan Piutang Negara
279
Pengusutan/Pemeriksaan adalah suatu upaya yang dilakukan
oleh KP2LN untuk memperoleh informasi atas diri
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, usaha
dan/atau harta kekayaan atau kemampuan Penanggung
Hutang
dan/atau
Penjamin
Hutang
yang
dalam
pelaksanaannya memperhatikan prinsip
efisiensi
dan
efektifitas Pengurusan Piutang Negara.
Dalam keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/ 2002, Pemeriksaan
adalah:
serangkaian upaya penelitian yang dilakukan Pemeriksa guna
memperoleh informasi dan atau bukti-bukti dalam rangka
penyelesaian Piutang Negara. ( Pasal 1 butir 27 )
Kesimpulan :
a. Pengusutan/Pemeriksaan dalam kaitannya dengan Pengurusan Piutang
Negara adalah:
suatu
upaya/usaha
yang
dilakukan
oleh
pengusut/pemeriksa
untuk
mencari/memperoleh
informasi,
mengumpulkan
bukti-bukti,
meminta
keterangan-keterangan tertentu dari berbagai pihak atas
diri PH/PjH guna menentukan ada tidaknya usaha
dan/atau harta kekayaan atau kemampuan Penanggung
Hutang dan/atau Penjamin Hutang serta keberadaannya
dalam rangka penyelesaian Piutang Negara dengan
memperhatikan prinsip efisiensi dan efektifitas.
b. Pengusut/Pemeriksa adalah :
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu DJPLN yang
diberi wewenang khusus oleh peraturan perundangundangan untuk melakukan pengusutan.
c. Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/ 2002 secara
operasional dirumuskan sebagai berikut :
Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa
Menteri Keuangan yang diberi tugas, wewenang dan
tanggung jawab untuk melakukan Pemeriksaan. (Pasal 1
butir 28 ).
Terminologi.
Dalam pengurusan piutang negara sekarang ini, terminologi yang digunakan
adalah pemeriksaan. Terminologi pengusutan tidak digunakan lagi karena
280
Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara
terminologi tersebut dapat dikonotasikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh
petugas kepolisian, atau petugas intelijen dari instansi lainnya, sedangkan
pemeriksaan yang dilakukan oleh DJPLN hanya sebatas pencarian dan validasi
data yang terkait dalam pengurusan piutang negara.
Tujuan, Objek & Sasaran Pemeriksaan
Tujuan, obyek, dan sasaran pemeriksaan dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Tujuan Pemeriksaan adalah untuk penyelamatan/pengamanan keuangan
negara.
Pengusutan/pemeriksaan dilakukan dengan tujuan untuk menyelesaikan,
menyelamatkan/ mengamankan keuangan negara dengan cara melakukan
penelitian, mencari dan mengumpulkan bukti-bukti/dokumen dan
informasi atas diri Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang
termasuk Borg atau Ahli Waris usaha dan harta kekayaan atau kemampuan
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, termasuk Borg atau Ahli
Waris beserta keberadaannya.
2. Objek Pemeriksaan adalah :
a. Penanggung Hutang;
b. Penjamin Hutang;
c. harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang, termasuk Borg atau Ahli Waris;
d. kemampuan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang termasuk
Borg atau Ahli Waris yang antara lain dapat dibuktikan dari
penghasilan dan atau usahanya;
e. keberadaan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang termasuk
Borg dan Ahli Waris;
f. fisik barang jaminan yang belum diketemukan, sedangkan dokumen
barang jaminan lengkap dan dikuasai oleh KP2LN.
3. Sasaran Pemeriksaan adalah sebagai berikut :
Sasaran pelaksanaan pemeriksaan adalah diperolehnya kebenaran
informasi obyek pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada butir 2 di atas.
Dengan diperolehnya kebenaran informasi atas obyek pemeriksaan, maka
akan diperoleh hasil sebagai berikut:
Pengurusan Piutang Negara
281
a. Pelunasan atau pembayaran Piutang Negara, baik melalui tindakan
eksekusi maupun non eksekusi.
b. Penerbitan surat PSBDT (Piutang yang Untuk Sementara Belum Dapat
Ditagih).
c. Penghapusan Piutang Negara melalui mekanisme usul rekomendasi
penghapusan kepada Menteri Keuangan dan atau pejabat yang
berwenang.
d. Penyanderaan/Paksa Badan (Gijezeling/Lijfdwang) dan tindakan
pencegahan ke luar negeri.
Syarat-Syarat Pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan memperhatikan syarat-syarat
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan dapat dilakukan pada setiap tahap pengurusan setelah SP3N
diterbitkan dengan memperhatikan faktor efisiensi dan efektifitasnya. Jadi
pemeriksaan hanya dapat dilakukan oleh KP2LN apabila telah diterbitkan
SP3N.
2. Pemeriksaan
dilakukan
bilamana
diperoleh
adanya
laporan,
pemberitahuan, pengaduan dari pihak terkait terutama dari pihak Penyerah
Piutang mengenai harta kekayaan, kemampuan/usaha serta keberadaan
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang termasuk Borg atau Ahli
Waris.
3. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap setiap kasus Piutang Negara dengan
kriteria/persyaratan sebagai berikut:
a. fisik barang jaminan belum diketemukan, sedangkan dokumen barang
jaminan lengkap dan dikuasai KP2LN;
b. barang jaminan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sudah
habis namun berdasarkan informasi yang bersangkutan mempunyai
harta kekayaan lain yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan
hutangnya; atau
c. Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang tidak diketahui
alamat/domisili atau menghilang ; atau
d. dalam rangka memberikan pertimbangan mengenai usul Penghapusan
Piutang Negara;
e. piutang negara untuk sementara dihentikan pengurusannya namun
diperoleh informasi bahwa Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
282
Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara
Hutang termasuk Borg atau Ahli Waris mempunyai harta
kekayaan/kemampuan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
hutangnya;
f. pada saat akan diterbitkan SPPBS dalam rangka memastikan adanya
barang jaminan dan atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang
dan/atau Penjamin Hutang baik jenis maupun jumlahnya.
Petugas Pemeriksa
Pegawai/Pejabat DJPLN yang diangkat oleh Menteri Keuangan dan
dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Piutang Dan Lelang
Negara atas nama Menteri Keuangan untuk melakukan pemeriksaan adalah
pegawai/pejabat yang dianggap mampu untuk melaksanakan tugas dimaksud
dan memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Dalam melaksanakan tugasnya Petugas Pemeriksa minimal terdiri dari
2 ( dua ) orang yang dilengkapi dengan:
1. Surat Tugas;
2. Tanda Pengenal dan atribut lainnya;
3. alat-alat pendukung lainnya.
Tugas dan Wewenang Petugas Pemeriksa
Tugas Petugas Pemeriksa adalah melakukan pemeriksaan dengan cara
sebagai berikut:
1. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan/bukti-bukti/dokumen
dokumen sehubungan dengan adanya informasi atas diri Penanggung
Hutang dan/atau Penjamin Hutang termasuk Borgocht atau Ahli Waris,
usaha dan/atau harta kekayaan atau kemampuan Penanggung Hutang
dan/atau Penjamin Hutang termasuk Borgtocht atau Ahli Waris;
2. meminta informasi/keterangan dari berbagai pihak atas diri Penanggung
Hutang dan/atau Penjamin Hutang, usaha dan/atau harta kekayaan atau
kemampuan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang;
3. melakukan wawancara/konfirmasi dengan berbagai pihak yang berkaitan
dengan obyek yang akan diusut.
Petugas Pemeriksa mempunyai kewenangan sebagai berikut:
Pengurusan Piutang Negara
283
1. Dapat memasuki kediaman/rumah, kantor, pekarangan, tempat
usaha/tempat kediaman yang diduga/patut diduga milik Penanggung
Hutang dan/atau Penjamin Hutang.
2. Memotret dan/atau merekam melalui media audio visual terhadap barang
atau apa saja yang diduga atau patut diduga sebagai bukti ada dan tidaknya
usaha dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau
Penjamin Hutang.
3. Memeriksa catatan dan pembukuan yang diduga atau patut diduga berasal
dari usaha milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dan dapat
meminta turunan dokumen yang diperlukan dalam pemeriksaan dan
disahkan oleh pihak yang bersangkutan.
4. Melakukan tindakan-tindakan lain yang dianggap perlu demi kelancaran
tugas pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable)
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tata Cara Pemeriksaan
Pemeriksaan dilaksanakan dengan menempuh tahap-tahap sebagai
berikut:
1. Persiapan Pemeriksaan
a. apabila menerima laporan atau informasi yang dapat dipercaya, maka
KP2LN menugaskan Kepala Seksi PBJ, untuk melakukan pemeriksaan
atas kemampuan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung
Hutang dan/atau Penjamin Hutang;
b. Kepala Seksi Penataan Barang Jaminan membuat konsep Surat Tugas
atas nama Petugas Pemeriksa disertai nota program pengusutan dan
paling lambat dalam waktu 1 (satu) hari menyampaikan kepada Kepala
KP2LN untuk ditandatangani;
c. Surat Tugas Pemeriksaan sekurang-kurangnya memuat:
1) Kepala KP2LN menugaskan Petugas Pemeriksa untuk melakukan
pemeriksaan;
2) identitas Petugas Pemeriksa;
3) setelah melakukan pengusutan agar menyampaikan laporan tertulis
kepada Kepala KP2LN;
4) tanda tangan Kepala KP2LN.
d. Nota Program Pemeriksaan sekurang-kurangnya memuat :
284
Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara
1) identitas Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang;
2) sisa Hutang;
3) asal informasi;
4) program kerja;
5) waktu dan petugas yang diperlukan;
6) ditandatangani Kepala Seksi Penataan Barang Jaminan
e. Kepala KP2LN menandatangani Surat Tugas dan paling lambat dalam
waktu 3 (tiga) hari menyampaikan kepada Kepala Seksi Penataan
barang jaminan melalui Sub Bagian/Urusan Tata Usaha setelah diberi
nomor, tanggal dan stempel.
2. Pelaksanaan Pemeriksaan
a. Berdasarkan Surat Tugas Pemeriksaan, Petugas Pemeriksa
melaksanakan pemeriksaan atas kemampuan dan/atau harta kekayaan
lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sesuai
dengan program pemeriksaan.
b. Dalam melaksanakan Pemeriksaan, Petugas Pemeriksa harus :
1) memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal;
2) memperlihatkan Surat Tugas;
3) memberitahukan tentang maksud dan tujuan pengusutan.
c. Dalam melaksanakan pemeriksaan, Petugas Pemeriksa wajib
menjunjung hukum yang berlaku.
d. Dalam melaksanakan pemeriksaan, Petugas Pemeriksa dapat meminta
bantuan kepada:
1) Kepolisian Negara RI;
2) Pejabat Daerah setempat;
3) instansi lain yang ada hubungannya dengan objek yang akan
diusut.
e. Petugas Pemeriksa dalam memasuki rumah/tempat kediaman, kantor,
tempat usaha/tempat kegiatan yang diduga/patut diduga milik
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang harus disaksikan
minimal oleh seorang saksi dalam hal Penanggung Hutang dan/atau
Penjamin Hutang menyetujuinya.
f. Petugas Pemeriksa dalam memasuki rumah/tempat kediaman, kantor,
tempat usaha/tempat kegiatan yang diduga/patut diduga milik
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang harus didampingi oleh
Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan disaksikan minimal oleh
Pengurusan Piutang Negara
285
seorang saksi dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang tidak menyetujui atau tidak ada/tidak diketahui keberadaannya.
g. Mendayagunakan para anggota PUPN dan Penyerah Piutang serta
Pejabat terkait.
h. Memanggil Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang untuk
dimintakan pertanggungjawaban.
3. Laporan Hasil Pemeriksaan
a. Setelah selesai melakukan tugas, Petugas Pemeriksa membuat dan
menandatangani laporan Pelaksanaan Pemeriksaan yang disampaikan
kepada Kepala KP2LN melalui Kepala Seksi Penataan Barang Jaminan
untuk tindak lanjut pengurusan.
b. Laporan Pemeriksaan sekurang-kurangnya memuat :
1) identitas petugas Pemeriksa;
2) nama Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang;
3) tanggal pemeriksaan;
4) pokok-pokok hasil pemeriksaan;
ü Dasar Pemeriksaan
ü Temuan/Fakta
ü Analisis/Kesimpulan
ü Tanda Tangan Petugas Pemeriksa.
c. Dalam hal letak objek yang akan diperiksa berada di luar wilayah kerja
KP2LN yang menerbitkan Surat Tugas Pemeriksaan, maka Kepala
KP2LN yang menerbitkan Surat Tugas Pemeriksaan dapat meminta
bantuan secara tertulis kepada KP2LN di wilayah kerja di mana objek
yang akan diperiksa berada dengan melampirkan Program
Pemeriksaan.
Apabila pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa dari KP2LN yang
menerbitkan surat tugas pemeriksaan, maka KP2LN tersebut terlebih
dahulu memberitahukan secara tertulis kepada KP2LN di wilayah kerja
di mana objek yang akan diusut/diperiksa itu berada.
d. KP2LN yang menerima permintaan bantuan pemeriksaan sebagaimana
yang dimaksud dalam butir 3, yang memberitahukan tindakan-tindakan
Petugas Pemeriksa yang dilakukan dan hasil pelaksanaan pemeriksaan
agar secepatnya diberitahukan kepada Kepala KP2LN yang meminta
bantuan, paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah
tugas pemeriksaan selesai dilaksanakan.
286
Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara
Tindak Lanjut Pemeriksaan
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan diharapkan akan diperoleh
berbagai alternatif penyelesaian pengurusan piutang pegara, atau dengan
perkataan lain akan diperoleh hasil/output sebagai berikut :
1. Pemblokiran harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau
Penjamin Hutang.
2. Penyitaan.
3. Angsuran/Pelunasan.
4. Lelang.
5. PSBDT.
6. Penghapusan Piutang Negara.
7. Pencegahan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang bepergian ke
luar negeri.
8. Penyanderaan/Paksa Badan (Gijzeling/Lijfdwang).
Untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan flowchart pemeriksaan yang
dilakukan oleh KP2LN.
10.1. Flow Chart
PEMERIKSAAN – KP2LN
PBJ
Informasi
Tentang Objek
Pemeriksaan
PP
KEPALA
KANTOR
PNP
Sumber
Info
Lain
Paling lambat
3 hari
KASUBAG/KAUR
TATA USAHA
- Surat Tugas
- Program
Pemeriksa
INSTANSI
TERKAIT
KASI/KASUBSI
PBJ
- Kartu Tanda Pengenal
- Surat Tugas
- Alat Pendukung Lain
PH/PjH
9
P
E
R
S
I
A
P
A
N
P
E
L
A
K
Pengurusan Piutang Negara
287
Rangkuman
Pengusutan, yang dalam praktek pengurusan piutang negara disebut
dengan istilah pemeriksaan, adalah suatu upaya/usaha yang dilakukan oleh
pemeriksa untuk mencari/memperoleh informasi, mengumpulkan bukti-bukti,
meminta keterangan-keterangan tertentu dari berbagai pihak atas diri
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang guna menentukan ada
tidaknya usaha dan atau harta kekayaan atau kemampuan Penanggung Hutang
dan/atau Penjamin Hutang serta keberadaannya dalam rangka penyelesaian
pengurusan Piutang Negara dengan memperhatikan prinsip efisiensi dan
efektivitas. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh PPNS (Pejabat Pegawai
Negeri Sipil) di lingkungan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara
yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan untuk melakukan tugas,
wewenang dan tanggung jawab pemeriksaan.
Mengingat posisinya yang cukup strategis dalam keseluruhan proses
pengurusan piutang negara, maka pelaksanan tugas, wewenang dan tanggung
jawab pemeriksaan tersebut harus dilakukan oleh SDM yang berkualitas, yaitu
yang memenuhi kriteria/persyaratan, antara lain minimal berijazah S1(Sarjana,
diutamakan Sarjana Hukum), mengikuti dan lulus diklat Pemeriksaan, sehat
288
Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara
jasmani dan rohani serta mempunyai integritas dan dedikasi yang cukup
tinggi.
Obyek pemeriksaan adalah Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang, harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin
Hutang, keberadaan dan kemampuan Penanggung Hutang dan/atau
Penjamin Hutang termasuk borg/guarantor, dan ahli warisnya serta lokasi
dan kondisi fisik barang jaminan. Sasaran tugas pemeriksaan adalah
memperoleh kebenaran informasi atas obyek pemeriksaan dengan tujuan
utamanya tidak lain adalah untuk menyelamatkan/mengamankan keuangan
negara.
Agar diperoleh hasil yang optimal, maka dalam melakukan tugas
dimaksud petugas pemeriksa harus mengikuti pedoman dan tata cara serta
pertahapannya, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan laporan pemeriksaan.
Dari pemeriksaan tersebut diharapkan diperoleh hasil berupa tindak
lanjut yang nyata, seperti pemblokiran harta kekayaan milik Penanggung
Hutang dan/atau Penjamin Hutang, penyitaan, angsuran atau bahkan
pelunasan hutang oleh Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang,
pelelangan, PSBDT, pencegahan bepergian ke luar negeri dan juga
penyanderaan/paksa badan.
- o0o -
Latihan
Untuk mengingatkan kembali yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di
bawah ini!
1. Apa yang dimaksud dengan ”Pemeriksaan”dan siapa pula”Pemeriksa”itu ?
2. Sebutkan apa saja yang menjadi obyek pemeriksaan !
3. Apa yang menjadi sasaran tugas pemeriksaan itu ?
4. Apa pula tujuan dilakukannya pemeriksaan ?
5. Tindak lanjut apa saja yang dapat dilakukan dari upaya pemeriksaan itu ?
289
Pengurusan Piutang Negara
- o0o -
BAB 11
PENYELESAIAN PENGURUSAN
PIUTANG NEGARA
Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari Bab ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan
memahami cara-cara penyelesaian Pengurusan Piutang Negara. Penyelesaian
pengurusan piutang negara yang akan diuraikan dalam bab ini tidak terbatas hanya
pada pelunasan hutang, tetapi lebih dari itu, penyelesaian pengurusan piutang negara
dapat juga diselesaikan secara administratif yang berupa penarikan pengurusan
piutang negara oleh Penyerah Piutang atau penerbitan pernyataan piutang negara
sementara belum dapat ditagih (PSBDT).
292
Bab 11 : Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara
Pendahuluan
Mengingatkan kembali uraian pada bab-bab sebelum ini, kegiatan
yang dilakukan oleh PUPN tidak hanya sekedar ditujukan untuk penyelesaian
piutang negara, yaitu lunasnya hutang Penanggung Hutang. Hal tersebut
disebabkan oleh kenyataan bahwa karena berbagai sebab tidak semua
Penanggung Hutang yang akan dapat melunasi hutangnya. Oleh karena itu,
upaya-upaya yang dilakukan PUPN pada dasarnya ditujukan untuk mengurus
(atau mengelola) piutang negara dalam rangka penagihan piutang secara cepat
dan efisien dengan tetap memberikan jaminan hukum kepada para
Penanggung Hutang. Namun demikian, bukan berarti bahwa pelunasan hutang
Penanggung Hutang tidak menjadi tujuan lagi. Pelunasan tetap menjadi tujuan
utama kinerja PUPN, selain tambahan upaya berupa pengurusan piutang
negara untuk mencapai hasil penagihan yang optimal.
Jika hanya ditujukan untuk penyelesaian piutang negara, maka terdapat
kemungkinan upaya-upaya yang dilakukan PUPN hanya semata-mata
ditujukan untuk pemenuhan tugas saja, seperti eksekusi barang jaminan dan
pelaksanaan paksa badan kepada Penanggung Hutang. Eksekusi barang
jaminan tersebut umumnya tidak dapat menyelesaikan piutang negara,
mengingat secara umum nilai barang jaminan tidak menutup (meng-cover)
jumlah hutang. Oleh karena itu, jika barang jaminan habis dilelang, masih
terdapat sisa hutang yang harus diselesaikan oleh Penanggung Hutang. Bila
Penanggung Hutang sudah tidak memiliki kemampuan lagi, tentu yang
bersangkutan tidak akan mampu melunasi hutangnya. Sisa hutang yang masih
ada tersebut menunjukkan bahwa piutang negara masih belum bisa
diselesaikan. Situasi tersebut, pada gilirannya akan menunjukkan bahwa
PUPN tidak dapat melaksanakan tugasnya.
Bila ditujukan untuk mengurus/mengelola piutang negara, maka
kinerja PUPN akan diarahkan untuk secara cepat mencapai hasil penagihan
piutang negara yang optimal dan dilakukan dengan cara yang efisien, dengan
tetap memberikan kepastian hukum kepada para Penanggung Hutang.
Dalam upaya mendapatkan hasil penagihan yang optimal dengan
proses yang cepat dan efisien, PUPN tentu tidak akan semata-mata melakukan
eksekusi barang jaminan atau melakukan paksa badan kepada Penanggung
Hutang, apalagi terhadap Penanggung Hutang yang bersikap kooperatif. Untuk
itu, PUPN juga mengenal pendekatan non eksekusi yang diharapkan dapat
memberikan hasil yang lebih optimal dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh dari pendekatan eksekusi.
Pengurusan Piutang Negara
293
Pengurusan piutang negara oleh PUPN pada suatu saat tertentu harus
diselesaikan. Penyelesaian proses pengurusan dimaksud dapat disebabkan
karena Penanggung Hutang menyelesaikan hutangnya, Penyerah Piutang
menarik kembali pengurusan piutang negara, PUPN mengembalikan
pengurusan piutang negara, atau PUPN menghentikan sementara pengurusan
dengan menerbitkan PSBDT. Penjelasan atas masing-masing jenis
penyelesaian pengurusan piutang negara akan diuraikan berikut ini.
Pelunasan
Salah satu cara penyelesaian pengurusan piutang negara yang paling
diharapkan terjadi adalah pelunasan hutang Penanggung Hutang. Pelunasan
hutang tersebut dapat ditempuh dengan berbagai cara, yaitu pembayaran baik
secara sekaligus maupun angsuran, penebusan barang jaminan oleh Penjamin
Hutang, dan penjualan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik
Penanggung Hutang baik melalui lelang maupun tidak melalui lelang.
Kepada Penanggung Hutang yang telah melunasi hutangnya akan
diterbitkan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas (SPPNL) oleh PUPN.
SPPNL tersebut terbit setelah KP2LN selesai melakukan verifikasi atas
kebenaran bukti-bukti pembayaran (baik pembayaran hutang maupun
pembayaran Biaya Adminsitrasi Pengurusan Piutang Negara). Untuk
keperluan administrasi dan memenuhi hak Penyerah Piutang, selain diberikan
kepada Penanggung Hutang, SPPNL juga diberikan kepada Penyerah Piutang.
Dengan terbitnya SPPNL, maka PUPN akan mengangkat sita dan/atau
mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut
pemblokiran atas barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang masih ada
dan masih diletakkan sita atau blokir terhadapnya. Selain itu, PUPN juga
menyerahkan dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang
masih ada, dengan ketentuan:
1. dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung
Hutang diserahkan kepada Penanggung Hutang; dan
2. dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penjamin
Hutang diserahkan kepada Penjamin Hutang.
Ketentuan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa bila ada pelunasan
hutang, maka PUPN hanya akan mengembalikan dokumen barang jaminan
dan/atau harta kekayaan lain yang telah disimpan PUPN kepada yang berhak,
294
Bab 11 : Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara
yaitu pemilik barang tersebut. Hal ini dirumuskan untuk menghindari
permasalahan hukum sebagi akibat jatuhnya barang jaminan ke tangan-tangan
yang tidak berhak.
Dokumen yang dititipkan PUPN pada Penyerah Piutang juga
diserahkan kepada pemiliknya masing-masing melalui Penyerah Piutang.
Serah terima dokumen ini dilakukan dengan cara PUPN memberikan surat
pengantar kepada Penanggung Hutang untuk datang kepada, dan menerima
dokumen dari Penyerah Piutang.
Dengan terbitnya SPPNL, Penyerah Piutang wajib mengajukan
permohonan kepada Kantor Pertanahan untuk melakukan roya (pencoretan)
pengikatan Hypotheek/ Credietverband atau pembebanan Hak Tanggungan
atas barang milik Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang yang diikat
menjadi jaminan. Hal ini dilakukan untuk menjamin hak Penanggung Hutang
atau Penjamin Hutang dalam menggunakan haknya sebagai pemilik barang
jaminan, misalnya menyewakan, atau menjual barang tersebut.
Penarikan Pengurusan Piutang Negara
Salah satu cara penyelesaian
administrasi adalah penerbitan Surat
(SPPNS) oleh PUPN. SPPNS tersebut
menarik pengurusan piutang negara
tersebut hanya dapat dilakukan bila
penarikan yang telah ditentukan.
pengurusan piutang negara secara
Pernyataan Piutang Negara Selesai
diterbitkan apabila Penyerah Piutang
dari PUPN. Penarikan pengurusan
memenuhi persyaratan dan proses
Syarat Penarikan
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, penarikan pengurusan piutang
negara oleh Penyerah Piutang hanya dapat dilakukan dalam rangka pemberian
restrukturisasi kredit/hutang kepada Penanggung Hutang. Dengan demikian,
penarikan pengurusan tersebut tidak boleh dilakukan bila tidak ada program
restrukturisasi kredit/hutang yang akan diberikan kepada Penanggung Hutang.
Usul penarikan pengurusan piutang negara diajukan secara tertulis oleh
Penyerah Piutang kepada PUPN dengan dilengkapi rencana pelaksanaan
restrukturisasi yang akan diberikan kepada Penanggung Hutang. Informasi
tersebut untuk memastikan bahwa Penyerah Piutang memang benar akan
memberikan program restrukturisasi. Surat formal tersebut akan mengikat
Penyerah Piutang sebagai penerbit surat, apabila di kemudian hari diketahui
Pengurusan Piutang Negara
295
bahwa ternyata tidak ada program restrukturisasi yang diberikan kepada
Penanggung Hutang. Contoh kemungkinan penyalahgunaan penarikan
pengurusan oleh Penyerah Piutang adalah setelah penarikan pengurusan dari
PUPN, Penanggung Hutang segera melunasi hutangnya langsung kepada
Penyerah Piutang. Hal ini dilakukan untuk mengurangi pembayaran Biaya
Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) sebesar 7,5%,
mengingat:
1. Biad PPN yang harus dibayar Penanggung Hutang apabila yang
bersangkutan melunasi hutangnya di PUPN adalah sebesar 10% dari nilai
pembayaran pelunasan tersebut;
2. Biad PPN yang dikenakan kepada Penanggung Hutang dalam penarikan
pengurusan piutang negara adalah sebesar 2,5% dari nilai hutang yang
ditarik; dan
3. Biad PPN tidak dikenakan kepada Penanggung Hutang apabila yang
bersangkutan melunasi hutangnya pada Penyerah Piutang pasca penarikan
pengurusan dari PUPN.
Usul penarikan pengurusan piutang negara dapat diajukan Penyerah
Piutang kepada PUPN sewaktu-waktu dengan ketentuan paling lambat 6 hari
sebelum pelaksanaan lelang barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik
Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. Bila telah pernah
dilaksanakan pelelangan dan masih terdapat sisa hutang yang masih harus
diselesaikan Penanggung Hutang, usul penarikan dapat dilakukan paling
lambat 6 hari sebelum pelaksanaan lelang ulang.
Ketentuan tentang waktu penarikan tersebut di atas hanya mengatur
tentang batas waktu paling akhir diperbolehkannya pengajuan usul penarikan.
Batas waktu paling cepat untuk mengajukan usul penarikan tidak diatur.
Seyogyanya batas waktu paling cepat tersebut perlu diatur untuk menghindari
penyalahgunaan penyerahan pengurusan piutang negara oleh Penyerah
Piutang.
Contoh kemungkinan penyalahgunaan penyerahan pengurusan piutang
negara adalah RUPS sebuah BUMN mewajibkan Direksi untuk menyerahkan
upaya penagihan kredit/ piutang macet kepada PUPN sebelum kredit/piutang
macet tersebut dihapustagihkan. Agar dapat segera menghapustagihkan
kredit/piutang macet tersebut Direksi menyerahkan pengurusannya kepada
PUPN dan segera menarik kembali pengurusan tersebut setelah PUPN
menerbitkan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N). Apa yang
dilakukan oleh Direksi BUMN tersebut secara legal tidak dapat dipertanggung
jawabkan mengingat PUPN belum melakukan pengurusan atas kredit/piutang
296
Bab 11 : Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara
macet tersebut secara wajar, sehingga seharusnya penghapustagihan atas
kredit/piutang macet dimaksud tidak dapat dilaksanakan.
Selain persyaratan di atas, telah diatur juga bahwa penarikan
pengurusan piutang negara atas nama suatu Penanggung Hutang tertentu
hanya dapat dilakukan satu kali. Ketentuan ini didasarkan pada pemikiran
bahwa terdapat kemungkinan program restrukturisasi yang diberikan oleh
Penyerah Piutang kepada Penanggung Hutang tidak berjalan sesuai dengan
rencana. Bila Penanggung Hutang wanprestasi atas kesepakatan program
restrukturisasi tersebut, tentu Penyerah Piutang akan menghadapi kredit macet
kembali atas nama Penanggung Hutang yang bersangkutan. Pada gilirannya
nanti, kredit macet tersebut akan diserahkan kembali pengurusannya kepada
PUPN. Pengurusan piutang negara yang kedua kali atas nama Penanggung
Hutang ini tidak dapat ditarik kembali oleh Penyerah Piutang.
Piutang negara atas nama Penanggung Hutang yang telah pernah
ditarik dan diserahkan kembali pengurusannya, akan diurus oleh PUPN sesuai
dengan proses pengurusan pada umumnya, yaitu dimulai dari penerbitan
SP3N, dilanjutkan dengan pemanggilan Penanggung Hutang, dan seterusnya.
Proses Penarikan
Usul penarikan yang diajukan Penyerah Piutang ditindaklanjuti Kantor
Pelayanan dengan melakukan penelitian yang ditujukan untuk mengetahui
apakah permohonan penarikan tersebut memenuhi syarat untuk disetujui. Bila
usul penarikan tersebut dilengkapi dengan penjelasan singkat tentang rencana
restrukturisasi yang dapat dipertanggung-jawabkan, maka usul penarikan
tersebut dapat disetujui.
Bila usul penarikan yang diajukan Penyerah Piutang dapat disetujui,
PUPN menerbitkan Surat Persetujuan Penarikan Pengurusan Piutang Negara.
Bila usul penarikan tersebut tidak dapat disetujui, PUPN menerbitkan Surat
Penolakan Penarikan Pengurusan Piutang Negara.
Dengan terbitnya Surat Persetujuan Penarikan Pengurusan Piutang
Negara, Penanggung Hutang harus segera membayar Biad PPN sebesar 2,5%
dari sisa hutang yang pengurusannya ditarik. Bila bukti pembayaran Biad PPN
tersebut telah diverifikasi kebenarannya oleh Kantor Pelayanan, PUPN akan
menerbitkan Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai.
Dengan terbitnya Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai,
PUPN akan mengangkat sita atau pemblokiran atas barang jaminan dan/atau
harta kekayaan lain yang masih ada dan masih diletakkan sita atau blokir
Pengurusan Piutang Negara
297
terhadapnya. Selain itu, PUPN juga akan mengembalikan sisa dokumen asli
yang masih ada kepada Penyerah Piutang.
Dari uraian di atas terlihat bahwa penarikan pengurusan piutang negara
dari PUPN merupakan salah satu cara penyelesaian pengurusan piutang
negara. Penyelesaian disini mengandung maksud selesainya proses pengurusan
oleh PUPN dan bukan selesainya kewajiban Penanggung Hutang , mengingat
Penanggung Hutang belum melunasi hutangnya, baik melalui PUPN maupun
melalui Penyerah Piutang. Dengan demikian jelaslah bahwa pengembalian
pengurusan piutang negara merupakan penyelesaian secara administratif atas
pengurusan suatu piutang negara.
Pengembalian Pengurusan Piutang Negara
Walaupun Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara telah terbit,
PUPN dimungkinkan untuk mengembalikan pengurusan piutang negara
kepada Penyerah Piutang. Pengembalian pengurusan ini juga termasuk dalam
jenis penyelesaian pengurusan secara administrasi.
Pengembalian pengurusan tersebut hanya boleh dilakukan karena
terjadinya salah satu sebab berikut ini:
1. terdapat kekeliruan Penyerah Piutang karena Penanggung Hutang tidak
mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan;
2. piutang yang diurus PUPN terkait dengan perkara pidana; atau
3. Penyerah Piutang bersikap tidak kooperatif.
Pengembalian pengurusan piutang negara karena kekeliruan Penyerah
Piutang harus didasarkan pada pemberitahuan tertulis dari Penyerah Piutang.
Surat pemberitahuan tersebut harus dilengkapi dengan bukti-bukti yang
menunjukkan telah terjadi kekeliruan, sehingga sebenarnya Penanggung
Hutang tidak mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan.
Pengembalian pengurusan piutang negara karena piutang terkait
dengan perkara pidana dilakukan agar pengurusan piutang negara tidak
berbenturan dengan penyelesaian perkara pidana tersebut. Pengembalian
tersebut dapat dilakukan pada tahap dilaksanakannya penyidikan yang terkait
dengan perkara pidana dimaksud. Setelah perkara pidana diselesaikan, dan bila
masih terdapat hutang yang harus diselesaikan Penanggung Hutang, penyerah
Piutang dapat menyerahkan kembali pengurusan piutang tersebut kepada
PUPN.
298
Bab 11 : Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara
Pengembalian karena piutang terkait dengan perkara pidana dapat
dilakukan untuk semua jenis piutang yang diurus PUPN. Namun demikian,
piutang negara non perbankan yang berupa Tuntutan Ganti Rugi tidak
dikembalikan pengurusannya kepada Penyerah Piutang walaupun piutang
tersebut terkait perkara pidana. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa
pihak yang menimbulkan kerugian kepada negara sehingga dituntut untuk
membayar ganti rugi dapat didakwa telah melakukan tindak pidana. Oleh
karena itu, pidana tersebut masuk ke dalam kategori perkara pidana. Namun
demikian, dari sisi Keuangan Negara, si terpidana tersebut tetap dikenai
kewajiban untuk mengembalikan kerugian negara yang disebabkannya. Oleh
karena itu, kepada yang bersangkutan tetap dikenakan hutang yang berupa
Tuntutan Ganti Rugi, yang pengurusannya dilaksanakan oleh PUPN.
Pengembalian pengurusan piutang negara karena Penyerah Piutang
tidak bersikap kooperatif terjadi karena Penyerah Piutang melakukan salah
satu dari yang berikut ini:
1. tidak bersedia menyerahkan dokumen asli barang jaminan berikut
pengikatannya kepada Kantor Pelayanan, setlah diminta secara tertulis;
atau
2. tidak menanggapi surat-surat yang dikirimkan Kantor Pelayanan yang
terkait dengan pengurusan piutang atas nama Penanggung Hutang yang
dikembalikan pengurusannya.
Meskipun Penyerah Piutang melakukan salah satu dari yang telah disebutkan
di atas, PUPN tidak serta merta mengembalikan pengurusan piutang kepada
Penyerah Piutang. Pengembalian tersebut didahului dengan peringatan secara
tertulis dari PUPN kepada Penyerah Piutang.
Pengembalian pengurusan piutang negara dituangkan dalam Surat
Pengembalian Pengurusan Piutang Negara yang diterbitkan oleh PUPN. Surat
pengembalian tersebut disampaikan kepada Penyerah Piutang berikut
dokumen yang telah diserahkan Penyerah Piutang kepada PUPN yang terkait
dengan piutang tersebut, atas pengembalian pengurusan piutang negara
tersebut tidak dikenakan Biad PPN.
Dari uraian di atas terlihat bahwa pengembalian pengurusan piutang
kepada Penyerah Piutang merupakan salah satu cara penyelesaian pengurusan.
Penyelesaian disini mengandung maksud bukan selesainya kewajiban
Penanggung Hutang, melainkan selesainya proses pengurusan oleh PUPN.
Dengan demikian jelaslah bahwa pengembalian pengurusan piutang negara
merupakan penyelesaian secara administratif atas pengurusan suatu piutang
negara.
Pengurusan Piutang Negara
299
Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih
Jenis terakhir dari penyelesaian pengurusan piutang negara secara
administrasi adalah penghentian sementara pengurusan oleh PUPN.
Penghentian sementara tersebut ditandai dengan terbitnya pernyataan Piutang
Negara Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT).
Suatu piutang negara dinyatakan sebagai PSBDT oleh PUPN bila
masih terdapat sisa hutang yang harus diselesaikan Penanggung Hutang,
namun:
1. Penanggung
Hutang
tidak
mempunyai
kemampuan
untuk
menyelesaikannya; dan
2. barang jaminan tidak ada, sudah dijual atau ditebus, tidak lagi mempunyai
nilai ekonomis, atau bermasalah yang sulit diselesaikan.
Nilai ekonomis yang menjadi dasar terbitnya pernyataan PSBDT tersebut
didasarkan pada Laporan Penilaian bahwa barang jaminan mempunyai nilai
jual yang rendah atau sama sekali tidak mempunyai nilai jual. Kondisi
barang-barang jaminan terkait masalah yang sulit ataukah tidak dapat dilihat
berdasarkan pada Laporan Hasil Pemeriksaan.
Pernyataan PSBDT atas suatu piutang negara disampaikan kepada
Penyerah Piutang. Pernyataan tersebut oleh Penyerah Piutang dapat digunakan
sebagai
dasar
untuk
mengusulkan
penghapusbukuan
dan/atau
penghapustagihan piutang.
Walaupun telah memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai PSBDT,
piutang negara dengan nilai sisa hutang tertentu tidak dapat secara otomatis
dinyatakan sebagai PSBDT oleh PUPN. Piutang tersebut hanya dapat
dinyatakan sebagai PSBDT setelah dilakukan pemeriksaan untuk memastikan
bahwa Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang memang benar sudah
tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan hutang. Piutang yang
sebelum dinyatakan sebagai PSBDT harus dilakukan kegiatan pemeriksaan
terlebih dahulu adalah piutang dengan sisa hutang:
1. Rp.1.000.000.000,00 untuk piutang negara perbankan; atau
2. Rp.250.000.000,00 untuk piutang negara non perbankan.
Pemeriksaan yang dilakukan tersebut ditujukan untuk mencari,
meneliti, dan mengumpulkan keterangan atau bukti-bukti yang berhubungan
dengan:
300
Bab 11 : Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara
1. diri Penanggung Hutang dan Penjamin Hutang, misalnya informasi tentang
gaya hidup mereka apakah memang sudah menunjukkan bahwa mereka
sudah tidak mampu, informasi tentang keberadaan mereka bila mereka
menghilang, dan sebagainya;
2. kemampuan Penanggung Hutang;
3. harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang, yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban Penanggung Hutang; dan
4. fisik barang jaminan, bila selama proses pengurusan fisik barang jaminan
tersebut tidak diketahui keberadaannya.
Bila berdasarkan hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam Berita
Acara Pemeriksaan, Penanggung Hutang terbukti sudah tidak memiliki
kemampuan lagi untuk menyelesaikan hutangnya, barang jaminan sudah habis
terjual atau meskipun barang jaminan masih ada tapi daya lakunya rendah,
serta harta kekayaan lain tidak ada, maka piutang dengan nilai
Rp.1.000.000.000,00 untuk piutang negara perbankan atau Rp.250.000.000,00
untuk piutang negara non perbankan tersebut dapat dinyatakan sebagai
PSBDT.
Khusus untuk piutang negara yang berasal dari Instansi Pemerintah,
PSBDT dinyatakan oleh PUPN bila Penanggung Hutang:
1. tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutangnya;
2. telah meninggal dunia dan ahli waris tidak mampu menyelesaikan hutang;
3. diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil dan/atau telah dikenakan
hukuman pidana; atau
4. menghilang, atau tidak diketahui tempat tinggalnya.
Penerbitan PSBDT tidak berarti Penanggung Hutang dibebaskan dari
kewajibannya untuk melunasi hutangnya. Namun PSBDT diartikan sebagai
penghentian sementara proses pengurusan sampai diperoleh informasi baru
tentang perkembangan kemampuan Penangggung Hutang untuk
menyelesaikan hutangnya. Bila di kemudian hari diketahui bahwa kemampuan
Penanggung Hutang sudah meningkat sehingga yang bersangkutan
diperkirakan mampu menyelesaikan sisa hutangnya, maka pengurusan piutang
negara atas nama yang bersangkutan dilanjutkan kembali.
Ketentuan yang ada pada saat buku ini disusun, belum mengatur cara
melanjutkan kembali pengurusan piutang negara yang telah pernah dinyatakan
sebagai PSBDT. Seharusnya ada pengaturan tentang hal tersebut, mengingat
PSBDT adalah suatu produk hukum yang dikeluarkan PUPN dan bila
pengurusan akan dilanjutkan kembali maka produk hukum PSBDT tersebut
Pengurusan Piutang Negara
301
harus dicabut terlebih dahulu. Oleh karena itu, ke depan pengaturan tentang
hal ini harus segera dirumuskan.
Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa pernyataan PSBDT merupakan
salah satu penyelesaian pengurusan piutang negara. Namun, mengingat pada
suatu saat pengurusan dapat dilanjutkan kembali, maka penyelesaian dimaksud
bukanlah penyelesaian permanen seperti halnya pelunasan hutang, atau
penghapustagihan piutang. Dengan demikian, cara penyelesaian tersebut dapat
dikatakan sebagai penyelesaian secara administratif.
Rangkuman
Pengurusan piutang negara oleh PUPN pada suatu saat tertentu harus
diselesaikan. Penyelesaian proses pengurusan dimaksud dapat disebabkan
karena Penanggung Hutang menyelesaikan hutangnya, Penyerah Piutang
menarik kembali pengurusan piutang negara, PUPN mengembalikan
pengurusan piutang negara, atau PUPN menghentikan sementara pengurusan
dengan menerbitkan PSBDT.
Pelunasan hutang Penanggung Hutang merupakan cara penyelesaian
pengurusan piutang negara yang paling diharapkan terjadi. Pelunasan hutang
tersebut dapat ditempuh dengan berbagai cara, yaitu pembayaran baik secara
sekaligus maupun angsuran, penebusan barang jaminan oleh Penjamin
Hutang, dan penjualan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik
Penanggung Hutang baik melalui lelang maupun tidak melalui lelang.
Penarikan pengurusan piutang negara dari PUPN merupakan salah satu
cara penyelesaian pengurusan piutang negara secara administratif. Hal tersebut
karena yang dinyatakan selesai adalah proses pengurusan oleh PUPN dan
bukanlah kewajiban Penanggung Hutang, mengingat Penanggung Hutang
belum melunasi hutangnya, baik melalui PUPN maupun melalui Penyerah
Piutang.
Pengembalian pengurusan piutang kepada Penyerah Piutang juga
merupakan salah satu cara penyelesaian pengurusan piutang negara secara
administratif. Pengembalian tersebut dilakukan PUPN karena:
1. terdapat kekeliruan Penyerah Piutang karena Penanggung Hutang tidak
mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan;
2. piutang yang diurus PUPN terkait dengan perkara pidana; atau
3. Penyerah Piutang tidak bersikap kooperatif dalam proses pengurusan.
302
Bab 11 : Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara
Cara terakhir untuk penyelesaian pengurusan piutang negara secara
administratif adalah penghentian pengurusan piutang negara untuk sementara
waktu melalui penerbitan pernyataan piutang sebagai PSBDT. Mengingat pada
suatu saat pengurusan piutang yang telah dinyatakan sebagai PSBDT dapat
dilanjutkan kembali, maka penyelesaian dimaksud bukanlah penyelesaian
permanen seperti halnya pelunasan hutang, atau penghapustagihan piutang.
Dengan demikian, maka cara penyelesaian tersebut dapat dikatakan sebagai
penyelesaian adminstratif.
- o0o -
Latihan
Untuk mengingatkan kembali yang telah anda pelajari, coba kerjakan latihan
di bawah ini!
1. Jelaskan mengapa tugas PUPN yang berupa pengurusan piutang negara
lebih luas dari penyelesaian piutang negara!
2. Kegiatan apa saja yang harus dilakukan PUPN bila Penanggung Hutang
melakukan pelunasan hutangya?
3. Jelaskan syarat penarikan pengurusan piutang negara!
4. Kegiatan apa saja yang harus dilakukan PUPN bila usul penarikan
pengurusan piutang negara dapat disetujui?
5. Mengapa PUPN mengembalikan pengurusan piutang negara kepada
Penyerah Piutang?
6. Mengapa PUPN tidak mengembalikan pengurusan piutang negara non
perbankan yang berupa Tuntutan Ganti Rugi meskipun piutang tersebut
terkait dengan perkara pidana?
7. Kegiatan apa saja yang harus dilakukan PUPN bila mengembalikan
pengurusan piutang negara?
303
Pengurusan Piutang Negara
8. Apa persyaratan untuk menyatakan bahwa suatu piutang negara adalah
PSBDT?
9. Apa persyaratan untuk menyatakan bahwa suatu piutang negara yang
berasal dari Instansi Pemerintah adalah PSBDT?
10. Piutang negara yang seperti apakah yang harus diperiksa sebelum
dinyatakan sebagai PSBDT? Mengapa perlu diperiksa?
- o0o -
BAB 12
PENGHAPUSAN
PIUTANG NEGARA
Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari Bab ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan
memahami pengertian, jenis-jenis, dan proses penghapusan Piutang Negara. Materi
yang akan diuraikan dalam bab ini adalah dasar hukum, jenis-jenis penghapusan,
persyaratan, dan proses penghapusan piutang negara.
Pendahuluan
306
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur bahwa
perikatan hapus karena pembayaran, karena penawaran pembayaran tunai
diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, karena pembaharuan hutang,
karena perjumpaan hutang atau kompensasi, karena percampuran hutang,
karena pembebasan hutang, karena musnahnya barang yang terhutang, karena
kebatalan atau pembatalan, karena berlakunya suatu syarat pembatalan, atau
karena lewat waktu. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa
perikatan/perjanjian hutang piutang dapat hapus karena berbagai cara.
Demikian juga halnya dengan penghapusan perikatan/perjanjian hutang
piutang antara negara sebagai pemilik piutang dengan Penanggung Hutang.
Perikatan hutang piutang antara negara dan Penanggung Hutang dapat hapus
karena Penanggung Hutang melakukan pembayaran pelunasan hutangnya,
negara membebaskan Penanggung Hutang dari kewajiban untuk melunasi
hutangnya, umur piutang telah lewat waktu (daluwarsa), atau sebab lain yang
diijinkan berdasarkan Pasal 1381 tersebut di atas.
Melalui penghapusan piutang negara yang dilakukan secara sepihak
oleh negara selaku pemilik piutang, kewajiban Penanggung Hutang untuk
menyelesaikan hutangnya menjadi hapus. Dalam hal ini, penghapusan piutang
negara merupakan pembebasan hutang Penanggung Hutang. Dengan hapusnya
kewajiban Penanggung Hutang, maka hapus juga perikatan/perjanjian hutang
piutang antara negara dan Penanggung Hutang. Oleh karena itu, penghapusan
piutang negara dapat dikatakan sebagai penghapusan perikatan/perjanjian
karena pembebasan hutang.
Selain itu, sebagaimana yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu,
pengurusan piutang negara dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang pengurusan piutang negara, dan ketentuan
lain yang terkait. Penerapan seluruh ketentuan yang terkait tersebut
dimaksudkan untuk mengupayakan hasil pengurusan piutang negara secara
optimal tanpa melanggar rambu-rambu yang ada.
Di sisi lain, pemilik piutang negara – bila instansi pemerintah – akan
mengelola piutang tersebut dengan sistem akuntansi pemerintahan yang
menurut Sugijanto, Robert Gunardi H, dan Sonny Loho (1995) memiliki
persamaan dengan akuntansi komersial, yaitu:
1. akuntansi pemerintahan maupun akuntansi komersial sama-sama
memberikan informasi mengenai mengenai posisi keuangan dan hasil
operasi;
2. akuntansi pemerintahan maupun akuntansi komersial mengikuti prinsipprinsip dan standar akuntansi yang diterima secara umum, yaitu prinsip
Pengurusan Piutang Negara
307
objektivitas (objectivity), prinsip konsitensi (consistency), prinsip
materialitas (materiality), dan prinsip pengungkapan yang memadai (full
disclosure).
Bila pemilik piutang negara adalah badan usaha, maka badan usaha tersebut
mengelola piutangnya dengan sistem akuntansi komersial yang sama dengan
yang diterapkan badan-badan usaha swasta. Dengan penerapan sistem
akuntansi keuangan yang baku dan memperhatikan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku tentang tata cara penghapusan piutang negara,
Penyerah Piutang dimungkinkan untuk melakukan penghapusan piutang
tersebut bila upaya penagihannya telah optimal dilakukan, namun masih
terdapat sisa piutang dan Penanggung Hutang sudah tidak memiliki
kemampuan untuk menyelesaikannya. Penghapusan tersebut dapat berupa
penghapusbukuan piutang tanpa menghilangkan hak tagih, dan berupa
penghapustagihan piutang yang menghilangkan hak tagih.
Dasar pemikiran tersebut dirumuskan dalam alinea keenam dan ketujuh
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, yang berbunyi:
“Pengelolaan Piutang Negara/Daerah yang menganut asas-asas
umum pengelolaan keuangan negara, juga mengikuti sistem
akuntansi yang sesuai dengan standar akuntasi keuangan yang
berlaku. Berdasarkan standar akuntasi tersebut di dalam
pengelolaan piutang dimungkinkan adanya penghapusan piutang
dari pembukuan dengan tidak menghapuskan hak tagih Negara
(didefinisikan sebagai penghapusbukuan secara bersyarat).
Piutang-piutang yang telah dihapuskan secara bersyarat
dari pembukuan tersebut, tetap dikelola dan diupayakan
penyelesaiannya. Dalam hal upaya-upaya penyelesaian tersebut
tidak berhasil, dan kewajiban Penanggung Utang tetap tidak
terselesaikan, serta diperoleh keterangan dari Pejabat yang
berwenang bahwa Penanggung Utang yang bersangkutan tidak
mempunyai kemampuan lagi untuk menyelesaikan utangnya,
dimungkinkan dilaksanakannya penghapusan hak tagih Negara
(didefinisikan sebagai penghapusbukuan secara mutlak).”
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis penghapusan
piutang negara, yaitu penghapusbukuan dengan tidak menghilangkan hak
tagih, dan penghapustagihan piutang negara dengan menghapuskan hak tagih.
Kedua jenis penghapusan tersebut dilakukan secara berurutan, yaitu
penghapustagihan piutang negara dilakukan hanya apabila piutang dimaksud
telah dihapusbukukan terlebih dahulu.
308
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
Penghapusbukuan piutang merupakan jenis penghapusan yang
dilakukan hanya dalam administrasi pembukuan saja, yaitu dengan
memindahkan pencatatan dari pembukuan utama (misalnya neraca) ke
pembukuan khusus piutang yang telah dihapusbukukan. Oleh karena itu,
penghapusbukuan piutang tidak menghilangkan hak tagih. Karena tidak
berpengaruh terhadap kewajiban Penanggung Hutang, maka penghapusbukuan
piutang tidak diberitahukan pemilik piutang kepada Penanggung Hutang.
Apabila penghapusbukuan diberitahukan kepada Penanggung Hutang, dapat
diperkirakan bahwa yang bersangkutan akan semakin tidak berniat untuk
menyelesaikan hutangnya.
Bila pemilik piutang adalah badan usaha, kegiatan penghapusbukuan
piutang tersebut meningkatkan biaya yang otomatis mengurangi keuntungan.
Peningkatan biaya tersebut terjadi karena sebelum penghapusbukuan atas
suatu piutang terjadi 100%, secara berkala pemilik piutang tersebut harus
mencadangkan penghapusannya. Pencadangan yang dilakukan tersebut
dibukukan sebagai biaya. Dengan demikian, walaupun penghapusbukuan
hanya dilakukan secara administrasi pembukuan saja, namun dari sisi
keuangan badan usaha yang melakukannya, penghapusbukuan memberikan
implikasi biaya yang dapat mengurangi keuntungan.
Penghapustagihan piutang merupakan jenis penghapusan yang
dilakukan dengan menghilangkan hak tagih. Dengan kata lain,
penghapustagihan piutang dilakukan dengan menghapuskan kewajiban
Penanggung Hutang.
Guna meminimalisasi terjadinya kesalahan dalam penghapusan piutang
sehingga dapat terhindar dari permasalahan hukum yang mungkin timbul,
Penyerah Piutang harus mengetahui ketentuan hukum tentang persyaratan dan
proses pelaksanaan penghapusan piutang tersebut. Di dalam bab ini akan
diuraikan dasar hukum, kewenangan, serta persyaratan dan prosedur
penghapusan piutang negara.
Dasar Hukum Penghapusan Piutang Negara
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Pasal 1381 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata mengatur bahwa pembebasan hutang
(penghapusan piutang) dapat dilakukan pemilik piutang guna menghapuskan
perikatan/perjanjian hutang piutang. Walaupun tidak secara khusus ditujukan
kepada negara sebagai pemilik piutang, ketentuan tersebut dapat juga
Pengurusan Piutang Negara
309
digunakan pemerintah sebagai dasar penghapusan perikatan/perjanjian hutang
piutang antara negara dan Penanggung Hutang. Namun demikian, sebagai
bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara, Pemerintah tidak
dapat mendasarkan penghapusan hutang semata-mata hanya pada ketentuan
tersebut. Untuk itu, diperlukan suatu ketentuan yang secara khusus menjadi
dasar bagi Pemerintah untuk melakukan penghapusan piutang negara.
Ketentuan yang secara spesifik mengatur tentang penghapusan piutang
negara pertama kali dirumuskan dalam Pasal 19 Undang-undang
Perbendaharaan Indonesia (Indische Comptabiliteitswet / ICW) sebagaimana
telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun
1968 yang mengatur bahwa Pemerintah dapat memberikan pembebasan
penagihan (atau dengan kata lain, menghapuskan piutang negara) dengan
ketentuan:
1. Pemerintah telah mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan
atas pembebasan tersebut; dan
2. pembebasan penagihan dengan jumlah melebihi f.10.000,00 ditetapkan
dengan undang-undang.
Saat ini, Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indonesische
Comptabiliteitswet /ICW) S. 1864 – 106 tersebut sudah tidak berlaku lagi dan
digantikan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
Di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, pengaturan tentang
penghapusan piutang negara diatur dalam Pasal 37 ayat (1) yang berbunyi
“Piutang negara/daerah dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat dari
pembukuan, kecuali mengenai piutang negara/daerah yang cara
penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang.” Aturan pelaksanaan
ketentuan tersebut dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
Untuk dapat mengerti secara utuh isi ketentuan Pasal 37 ayat (1), perlu
diuraikan beberapa hal dalam rumusan tersebut.
1. Tentang pengertian piutang negara/daerah.
Di dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 telah
diatur bahwa Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar
kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai
dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah,
dan Pasal 1 angka 7 mengatur bahwa Piutang Daerah adalah jumlah uang
yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah
310
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau
akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau akibat lainnya yang sah.
Pengertian tentang piutang negara dan piutang daerah tersebut hanya
terbatas pada piutang instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, saja.
Pengertian tersebut tidak mencakup piutang badan-badan usaha yang
seluruh atau sebagian modalnya dimiliki milik negara atau daerah.
Pengertian tersebut berbeda dengan pengertian piutang negara dalam Pasal
8 (dan penjelasannya) Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang
PUPN. Perbedaan tersebut adalah:
a. Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tidak membedakan
piutang negara dan piutang daerah, sehingga semua piutang yang
diurus oleh PUPN didefinisikan sebagai piutang negara, sedangkan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 membedakan pengertian piutang
negara (yang hanya terbatas pada piutang instansi pemerintah pusat
saja) dengan pengertian piutang daerah (yang merupakan piutang
instansi pemerintah daerah).
b. Pengertian piutang negara dalam Undang-undang Nomor 49 Prp.
Tahun 1960 selain mencakup pengertian yang lebih luas dari sekedar
piutang instansi pemerintah pusat dan daerah, juga mencakup
pengertian piutang badan-badan yang umumnya kekayaan dan
modalnya sebagian atau seluruhnya milik
negara/daerah
(BUMN/BUMD). Bahkan pengertian piutang negara tersebut
mencakup juga pengertian piutang milik badan-badan usaha yang
merupakan anak perusahaan (subsidiary) dari BUMN/BUMD tersebut.
Di sisi lain, pengertian piutang negara dan piutang daerah hanya
terbatas pada pengertian piutang instansi pemerintah, baik pusat
maupun daerah saja dan tidak mencakup pengertian piutang badanbadan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara atau
daerah.
2. Tentang penghapusan piutang secara bersyarat dan penghapusan piutang
secara mutlak.
Selama ini, pengertian yang lazim digunakan adalah penghapusbukuan dan
penghapustagihan piutang, sedangkan penghapusan piutang secara
bersyarat dan penghapusan piutang secara mutlak baru mulai dikenal sejak
diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Negara/Daerah, telah dirumuskan ketentuan yang
Pengurusan Piutang Negara
311
sekaligus menjelaskan pengertian kedua terminologi penghapusan piutang
tersebut. Pengertian tersebut adalah:
a. Penghapusan Secara Bersyarat adalah penghapusan piutang dengan
tidak menghilangkan hak tagih, yang secara umum dikenal dengan
terminologi penghapusbukuan1;
b. Penghapusan Secara Mutlak adalah penghapusan piutang dengan
menghilangkan hak tagih, yang secara umum dikenal dengan
terminologi penghapustagihan 2.
3. Tentang pengertian piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya
diatur tersendiri dalam undang-undang.
Ketentuan tentang pengelolaan keuangan negara diatur dalam lebih dari
satu undang-undang, seperti Undang-undang tentang Keuangan Negara,
Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara, beberapa undang-undang
yang terkait dengan perpajakan, Udang-undang tentang Kepabeanan,
Undang-undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Undangundang tentang PUPN. Sebagian dari undang-undang tersebut mengatur
ketentuan tentang piutang negara yang secara spesifik berbeda jenis satu
sama lainnya (misalnya piutang pajak, piutang bea dan cukai, dan piutang
negara versi Undang-undang PUPN).
Penghapusan piutang negara tidak dapat dilakukan dengan menggunakan
ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dan aturan
pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005) atas jenis
piutang negara yang diatur secara khusus di dalam suatu undang-undang,
baik ketentuan tentang pengelolaannya
maupun penghapusannya,
misalnya piutang pajak yang diatur dalam undang-undang tentang
perpajakan, dan piutang bea cukai yang diatur dalam undang undang
tentang kepabeanan).
Dari uraian di atas rumusan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004 dapat direkonstruksi menjadi “Piutang Instansi Pemerintah Pusat
atau piutang Instansi Pemerintah Daerah diperbolehkan untuk dihapusbukukan
dan/atau dihapustagihkan dari pembukuan. Piutang-piutang yang
dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan tersebut tidak termasuk jenis
piutang yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan berdasarkan
undang-undang lain, seperti piutang pajak dan piutang bea cukai”.
1
2
Vide Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Penghapusan Secara Bersyarat dilakukan dengan
menghapuskan Piutang Negara/Daerah dari pembukuan Pemerintah Pusat/Daerah tanpa
menghapuskan hak tagih Negara/Daerah”
Vide Pasal 2 ayat (3) yang berbunyi “Penghapusan Secara Mutlak dilakukan dengan
menghapuskan hak tagih Negara/Daerah”
312
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
Sebagaimana diuraikan di atas, rumusan Pasal 37 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tidak mengatur tentang penghapusan piutang
negara yang berasal dari badan-badan usaha yang seluruh atau sebagian
modalnya dimiliki negara atau daerah. Di sisi lain, badan-badan usaha tersebut
memerlukan payung hukum untuk melakukan penghapustagihan piutangpiutang mereka, mengingat anggaran dasar masing-masing badan usaha hanya
memberi kewenangan kepada masing-masing direksi untuk melakukan
penghapusbukuan piutang saja.
Payung hukum yang diperlukan oleh Direksi tersebut dapat diberikan
melalui perubahan anggaran dasar masing-masing badan usaha yang dilakukan
dengan cara sebagaimana yang diuraikan berikut ini.
1. perubahan anggaran dasar masing-masing oleh Rapat Umum Pemegang
Saham, bila badan usaha (BUMN) tersebut berbentuk persero3.
2. berdasarkan Peraturan Pemerintah yang diusulkan oleh Menteri yang
diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik modal, bila badan
usaha (BUMN) tesebut berbentuk Perusahaan Umum4.
Namun demikian, RUPS masing-masing BUMN Persero dan Pejabat yang
diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik modal Perusahaan
Umum tidak dapat memberikan kewenangan penghapustagihan piutang
kepada masing-masing Direksi. Hal tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa
RUPS dan Pejabat tersebut pada dasarnya adalah Menteri Keuangan5 yang
belum memiliki dasar hukum yang kuat (baik berdasarkan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2003 maupun Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004) untuk
memberikan kewenangan penghapustagihan piutang kepada Direksi.
Agar BUMN (baik yang berbentuk Persero maupun yang berbentuk
Perusahaan Umum) tersebut dapat menghapustagihkan piutangnya yang telah
diurus secara optimal, maka kepada Menteri Keuangan selaku Wakil
3 Vide Pasal 11 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
yang mengatur bahwa pengaturan terhadap BUMN yang berupa Persero berlaku segala
ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Undang-udang
tentang Perseroan Terbatas tersebut mengatur bahwa kewenangan untuk melakukan
perubahan anggaran dasar ada pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
4 Vide Pasal 41 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.
5 Kedudukan Menteri Keuangan tersebut dialihkan kepada Menteri Negara BUMN
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan,
Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan perseroan (Persero),
Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) kepada Menteri Negara
BUMN.
Pengurusan Piutang Negara
313
Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan6, perlu
diberikan kewenangan untuk membuat pengaturan tentang penghapustagihan
piutang-piutang BUMN. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan
tersebut didasarkan pada Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005
tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Seperti yang telah
kemukakan sebelumnya, Peraturan Pemerintah tersebut merupakan pengaturan
lebih lanjut atas Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dalam
hal ketentuan penghapusan piutang negara/daerah.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa berdasarkan aturan pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, Menteri Keuangan diberikan
kewenangan untuk membuat pengaturan tentang penghapustagihan piutangpiutang BUMN yang telah diurus secara optimal. Di sisi lain, Pasal 14
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 juga memberikan kewenangan
kepada Menteri Keuangan untuk membuat peraturan-peraturan yang
diperlukan dalam pelaksanaan pengurusan piutang negara sesuai Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan
tersebut sangatlah kuat karena dijamin oleh 2 undang-undang.
Sebagai pelaksanaan kewenangan yang telah diberikan kepadanya,
Menteri Keuangan telah menetapkan pengaturan tentang tatacara penghapusan
piutang BUMN, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005
tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, Dan Penetapan Penghapusan
Piutang Perusahaan Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. Peraturan
Menteri Keuangan tersebut berlaku juga untuk penghapusan piutang Badan
Usaha Milik Daerah, meskipun Menteri Keuangan bukan menjadi Wakil
Pemerintah Daerah pemegang saham.
Hal ini dilakukan mengingat di dalam ketentuan tersebut, yang dapat
dihapuskan secara mutlak (dihapustagihkan) adalah piutang yang telah diurus
oleh PUPN. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, piutang-piutang yang
diurus PUPN juga meliputi piutang Instansi Pemerintah Daerah, dan piutang
Badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau
seluruhnya milik Daerah. Agar terdapat kesamaan perlakuan antara piutang
BUMN dan piutang BUMD, maka selama Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota)
yang bersangkutan belum memiliki Peraturan Daerah sendiri tentang
penghapusan piutang Instansi Daerah dan piutang BUMD, maka penghapusan
piutang BUMD juga dapat dilakukan dengan menggunakan Peraturan Menteri
Keuangan tersebut.
6
Vide Pasal 6 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
314
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
Di samping itu, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 yang menjadi sumber disusunnya Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005, selain mengatur ketentuan
tentang penghapusan piutang Instansi Pemerintah Pusat juga mengatur tentang
penghapusan piutang Instansi Daerah. Oleh karena itu, bila Peraturan Menteri
Keuangan mengatur ketentuan tentang penghapusan piutang BUMN sudah
pada tempatnya nila peraturan tersebut juga mengatur ketentuan tentang
penghapusan piutang BUMD.
Kewenangan Penghapusan Piutang Negara
Ketentuan tentang penghapusan piutang negara sebagaimana diuraikan
di atas mengatur juga tentang pihak-pihak yang berwenang melakukan
penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang negara. Ketentuan
tentang kewenangan tersebut akan diuraikan berikut ini.
Penghapusbukuan dan/atau Penghapustagihan Piutang Instansi
Pemerintah Pusat
Berdasarkan Pasal 37 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan
piutang Instansi Pemerintah Pusat ditetapkan oleh:
1. Menteri Keuangan untuk jumlah sampai dengan Rp.10.000.000.000,00;
2. Presiden untuk jumlah lebih dari Rp.10.000.000.000,00 sampai dengan
Rp.100.000.000.000,00;
3. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk jumlah
lebih dari Rp.100.000.000.000,00.
Batasan nilai Piutang Negara yang dapat dihapusbukukan dan/atau
dihapustagihan tersebut di atas adalah nilai hutang per Penanggung Hutang7.
Bila di dalam perjanjian/peraturan/hal lain yang menjadi dasar terjadinya
Piutang Negara diatur bahwa Penanggung Hutang wajib menyalurkan kredit
kepada para anggotanya, maka nilai Piutang Negara yang dapat dihapuskan
secara bersyarat adalah per anggota Penanggung Hutang. Contoh Penanggung
Hutang seperti itu adalah Koperasi.
7
Vide Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
Pengurusan Piutang Negara
315
Untuk piutang Instansi Pemerintah Pusat dalam satuan mata uang
asing, nilai yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan adalah nilai
yang setara dengan nilai sebagaimana dimaksud di atas. Untuk keperluan
penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan, piutang negara tersebut tidak
perlu dikonversi menjadi dalam satuan mata uang rupiah. Namun, untuk
mengetahui batasan nilai yang dapat dihapusbukukan dan/atau
dihapustagihkan, nilai piutang negara tersebut dihitung dengan kurs tengah
Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari sebelum tanggal surat pengajuan
usul penghapusan8.
Penghapusbukuan dan/atau Penghapustagihan Piutang Instansi
Pemerintah Daerah
Penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang Instansi
Pemerintah Daerah, berdasarkan Pasal 37 ayat (3) Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, ditetapkan oleh:
1. Gubernur/Bupati/Walikota
untuk
jumlah
sampai
dengan
Rp.5.000.000.000,00;
2. Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah untuk jumlah lebih dari Rp.5.000.000.000,00.
Batasan nilai Piutang Negara yang dapat dihapusbukukan dan/atau
dihapustagihkan tersebut di atas juga sama, yaitu nilai hutang per Penanggung
Hutang9. Pengaturan tentang penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan
piutang Instansi Pemerintah Daerah dalam satuan mata uang asing juga sama
seperti pengaturan untuk piutang Instansi Pemerintah Pusat dalam satuan mata
uang asing10.
Penghapusbukuan dan/atau Penghapustagihan Piutang BUMN
Sebagaimana diuraikan di depan, kewenangan penghapusbukuan
dan/atau penghapustagihan piutang BUMN tidak diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah, melainkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, Dan
8
Vide Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (2)
berikut penjelasannya.
9
Vide Penjelasan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 2005.
10
Vide Penjelasan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 2005.
316
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah Dan Piutang
Negara/Daerah. Ketentuan pokok tentang kewenangan penghapusan tersebut
adalah sebagaimana diuraikan berikut ini.
1. Kewenangan Penghapusbukuan
Penghapusbukuan piutang BUMN, dilakukan sendiri oleh BUMN yang
bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan11. Ketentuan
ini didasarkan pada pemikiran bahwa penghapusbukuan merupakan salah
satu kegiatan dalam pengelolaan keuangan badan usaha yang menjadi
tugas dan tanggungjawab Direksi. Selain itu, penghapusbukuan tersebut
merupakan bagian dalam sistem akuntasi keuangan yang secara periodik
akan selalu dilaksanakan bila telah memenuhi persyaratan, sehingga
pemberian ijin dari RUPS cukup hanya satu kali saja yaitu di dalam
Anggaran Dasar.
2. Kewenangan Penghapustagihan
Penghapustagihan piutang pokok BUMN yang telah diurus oleh PUPN
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan batasan nilai yang dapat
dihapustagihkan adalah sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 per
Penanggung Hutang12. Batasan nilai yang dapat dihapustagihkan tersebut
disesuaikan
dengan
kewenangan
Menteri
Keuangan
untuk
menghapustagihkan piutang negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal
37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.
Pengaturan tentang penghapustagihan piutang BUMN dengan nilai di atas
Rp.10.000.000.000,00 tidak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 31/PMK.07/2005. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran
sebagai berikut:
a. Di dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, telah diatur
bahwa penghapustagihan piutang negara dengan nilai di atas
Rp.10.000.000.000,00
sampai
dengan
Rp.100.000.000.000,00
ditetapkan oleh Presiden, dan piutang dengan nilai di atas Rp.
100.000.000.000,00 ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Bila piutang BUMN dengan nilai sebesar itu akan dihapustagihkan,
maka yang dapat menetapkan penghapustagihannya adalah Presiden
atau Presiden dengan persetujuan DPR. Oleh karena itu, apabila akan
diatur, maka Peraturan Menteri Keuangan tidak tepat bila mengatur
kewenangan Presiden atau kewenangan Presiden dan DPR.
11
Vide Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata
Cara Pengajuan Usul, Penelitian, Dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan
Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah.
12
Vide Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005.
Pengurusan Piutang Negara
317
b. Pihak yang dapat memberikan persetujuan penghapustagihan piutang
BUMN Persero adalah RUPS, sedangkan yang memberikan
persetujuan penghapustagihan piutang Perusahaan Umum adalah
Pejabat yang diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik
modal. Baik RUPS BUMN Persero maupun Pejabat tersebut pada
kenyataannya adalah Menteri Keuangan, mengingat Pasal 6 ayat (2)
huruf a Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
memberikan kuasa kepada Menteri Keuangan untuk menjadi Wakil
Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.
Dengan demikian, pihak yang dapat memberikan persetujuan
penghapustagihan piutang BUMN hanya Menteri Keuangan, dan
bukan pihak-pihak lain. Namun, dengan pertimbangan kewenangan
yang diberikan Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, maka
Menteri Keuangan hanya mengatur ketentuan penghapustagihan
piutang BUMN dengan nilai sampai dengan Rp.10.000.000.000,00.
c. Kondisi aktual yang ada di masyarakat pada saat penyusunan ketentuan
tentang penghapustagihan piutang BUMN, pada saat imbas krisis
ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 masih sangat
terasa, serta kondisi keuangan negara yang masih mendapat tekanan
pembayaran hutang dan tekanan kenaikan harga bahan bakar minyak,
akan menyebabkan kebijakan penghapustagihan piutang BUMN
dengan nilai yang sangat besar (di atas Rp. 10.000.000.000,00 per
Penanggung Hutang) menjadi suatu kebijakan yang tidak populer di
mata masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan penghapustagihan piutang
BUMN dengan nilai di atas Rp. 10.000.000.000,00 per Penanggung
Hutang tidak diatur.
Penghapusbukuan dan/atau Penghapustagihan Piutang BUMD
Sama
seperti
kewenangan
penghapusbukuan
dan/atau
penghapustagihan piutang BUMN, kewenangan penghapusbukuan dan/atau
penghapustagihan piutang BUMD hanya diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul,
Penelitian, Dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah
Dan Piutang Negara/Daerah. Ketentuan pokok tentang kewenangan
penghapusan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kewenangan penghapusbukuan piutang BUMD ada pada BUMD yang
bersangkutan13. Dasar pemikiran ketentuan ini sama dengan pemikiran
13
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005.
318
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
yang mendasari ketentuan tentang kewenangan penghapusbukuan piutang
BUMN.
2. Kewenangan untuk menetapkan penghapustagihan piutang pokok BUMD
ada pada Gubernur/Bupati/Walikota dengan batasan nilai yang dapat
dihapustagihkan adalah sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 per
Penanggung Hutang14. Ketentuan ini juga didasarkan pada pemikiran
yang analog dengan pemikiran yang mendasari ketentuan tentang
kewenangan penghapustagihan piutang BUMN.
Persyaratan dan Prosedur Penghapusan Piutang
Instansi Pemerintah Pusat/Daerah
Agar suatu piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah dapat
dihapusbukukan, piutang tersebut harus sudah diurus secara optimal oleh
PUPN, sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang
PUPN berikut aturan pelaksanaannya. Pengurusan piutang yang optimal
tersebut ditandai dengan terbitnya pernyataan Piutang Sementara Belum Dapat
Ditagih (PSBDT)15. Selain itu, bila piutang tersebut berupa Tuntutan Ganti
Rugi, persyaratan penghapusbukuan piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah
ditambah dengan adanya rekomendasi penghapusan secara bersyarat
(penghapusbukuan) dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Agar suatu piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah dapat
dihapustagihkan, persyaratan yang harus dipenuhi adalah:
1. usul penghapustagihan diajukan setelah lewat waktu 2 tahun sejak sejak
tanggal penetapan penghapusbukuan piutang dimaksud; dan
2. Penanggung Hutang tetap tidak mempunyai kemampuan untuk
menyelesaikan sisa kewajibannya, yang dibuktikan dengan keterangan dari
Aparat/Pejabat yang berwenang.
Penghapusbukuan/Penghapustagihan Piutang Instansi Pemerintah Pusat
Prosedur yang harus ditempuh dalam penghapusbukuan/
penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Pusat adalah:
14
15
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005.
Uraian tentang PSBDT dapat dilihat pada Bab 11 Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara.
Pengurusan Piutang Negara
319
1. Usul penghapusbukuan diajukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang
berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurangkurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang; dan
b. Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN.
Bila piutang negara tersebut berupa Tuntutan Ganti Rugi, usul
penghapusbukuan dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang dan Surat Pernyataan PSBDT
dari PUPN; dan
b. surat rekomendasi penghapusan secara bersyarat dari Badan Pemeriksa
Keuangan.
2. Usul penghapustagihan diajukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang
berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurangkurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang;
b. Surat Penetapan penghapusan Secara Bersyarat atas piutang yang
diusulkan untuk dihapustagihkan; dan
c. Surat Keterangan dari Aparat/Pejabat yang berwenang menyatakan
bahwa Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk
menyelesaikan kewajibannya.
3. Penghapusbukuan/penghapustagihan dengan nilai penghapusan sampai
dengan Rp.10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang.
a. Usul penghapusbukuan/penghapustagihan diajukan kepada Menteri
Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara.
b. Oleh Direktur Jenderal, usul tersebut segera diteliti kelengkapan
persyaratan dan kebenarannya.
c. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul tidak dapat
diterima,
usul
penghapusbukuan/penghapustagihan
tersebut
dikembalikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
d. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul dapat diterima,
hasil penelitian disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan disertai
pertimbangan.
Setelah
ditetapkan
oleh
Menteri
Keuangan,
penetapan
penghapusbukuan/ penghapustagihan
disampaikan oleh Direktur
Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri/Pimpinan
Lembaga yang mengajukan usul. Selain itu, penetapan
320
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut juga diberitahukan
Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Kepala Kantor
Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
4. Penghapusbukuan/penghapustagihan dengan nilai penghapusan lebih dari
Rp.10.000.000.000,00 sampai dengan Rp.100.000.000.000,00 per
Penanggung Hutang.
a. Usul penghapusbukuan/penghapustagihan diajukan kepada Presiden
melalui Menteri Keuangan.
b. Oleh Menteri Keuangan usul tersebut ditindaklanjuti dengan
menginstruksikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk
segera meneliti usul tersebut
c. Oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara, usul tersebut
diteliti kelengkapan persyaratan dan kebenarannya.
d. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul tidak dapat
diterima,
usul
penghapusbukuan/penghapustagihan
tersebut
dikembalikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
e. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul dapat diterima,
hasil penelitian disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan disertai
pertimbangan. Oleh Menteri Keuangan, usul tersebut diteruskan
kepada Presiden dengan disertai pendapat bahwa usulan dapat
diterima.
f. Bila
Presiden
tidak
memberikan
persetujuan
penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut, Menteri Keuangan
menyampaikan usul penghapusan yang tidak disetujui tersebut kepada
Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk dikembalikan
kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
Bila
Presiden
menyetujui
dan
menetapkan
penghapusbukuan/penghapustagihan, penetapan tersebut disampaikan
oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara atas nama Menteri
Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
Selain itu, penetapan penghapusbukuan/ penghapustagihan tersebut
juga diberitahukan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara
kepada Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah
DJPLN.
5. Penghapusbukuan/penghapustagihan dengan nilai penghapusan lebih dari
Rp.100.000.000.000,00 per Penanggung Hutang.
Pengurusan Piutang Negara
321
a. Usul penghapusbukuan/penghapustagihan diajukan kepada Presiden
dengan persetujuan DPR, melalui Menteri Keuangan.
b. Oleh Menteri Keuangan usul tersebut ditindaklanjuti dengan
menginstruksikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk
segera meneliti usul tersebut
c. Oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara, usul tersebut
diteliti kelengkapan persyaratan dan kebenarannya.
d. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul tidak dapat
diterima,
usul
penghapusbukuan/penghapustagihan
tersebut
dikembalikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
e. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul dapat diterima,
hasil penelitian disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan disertai
pertimbangan. Oleh Menteri Keuangan, usul tersebut diteruskan
kepada DPR dengan disertai pendapat bahwa usulan dapat diterima.
f. Bila
DPR
tidak
memberikan
persetujuan,
usul
penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut oleh Menteri Keuangan
disampaikan kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara
untuk dikembalikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang
mengajukan usul.
g. Bila DPR memberikan persetujuan, Menteri Keuangan menyampaikan
usul penghapusbukuan/ penghapustagihan yang telah disetujui DPR
tersebut kepada Presiden. Bila Presiden tidak memberikan persetujuan
penghapusbukuan/penghapustagihan,
Menteri
Keuangan
menyampaikan usul penghapusan yang tidak disetujui tersebut kepada
Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk dikembalikan
kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
h. Bila
Presiden
menyetujui
dan
menetapkan
penghapusbukuan/penghapustagihan, penetapan tersebut disampaikan
oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara atas nama Menteri
Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul.
Selain itu, penetapan penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut
juga diberitahukan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara
kepada Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah
DJPLN.
Penghapusbukuan/Penghapustagihan Piutang Instansi Pemerintah
Daerah
322
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
Prosedur
yang
harus
ditempuh
dalam
penghapusbukuan/penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Daerah
adalah:
1. Usul penghapusbukuan diajukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
yang berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurangkurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang; dan
b. Surat Pertimbangan Penghapusan Secara Bersyarat dari Kepala Kantor
Wilayah DJPLN.
2. Usul penghapustagihan diajukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
yang berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurangkurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang;
b. Surat Penetapan Penghapusan Secara Bersyarat atas Piutang Daerah
yang diusulkan untuk dihapustagihkan; dan
c. Surat Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak dari Kepala Kantor
Wilayah DJPLN.
Usul penghapustagihan tersebut dilakukan setelah lewat waktu 2 (dua)
tahun sejak penetapan penghapusbukuan.
3. Pertimbangan penghapusan secara bersyarat dari Kepala Kantor Wilayah
DJPLN diperoleh berdasarkan permintaan tertulis dari Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah yang berpiutang yang dilampiri dengan dokumen
sekurang-kurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang; dan
b. Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN.
Bila piutang negara tersebut berupa Tuntutan Ganti Rugi, usul
penghapusbukuan dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang dan Surat Pernyataan PSBDT
dari PUPN; dan
b. surat rekomendasi penghapusan secara bersyarat dari Badan Pemeriksa
Keuangan.
4. Pertimbangan penghapusan secara mutlak dari Kepala Kantor Wilayah
DJPLN diperoleh berdasarkan permintaan tertulis dari Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah yang berpiutang yang dilampiri dengan dokumen
sekurang-kurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang;
Pengurusan Piutang Negara
323
b. Surat Penetapan Penghapusan Secara Bersyarat atas Piutang Daerah
yang diusulkan untuk dihapustagihkan; dan
c. surat keterangan dari Aparat/Pejabat yang berwenang menyatakan
bahwa Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk
menyelesaikan sisa kewajibannya.
5. Tindak lanjut permintaan pertimbangan penghapusan piutang yang
diajukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang adalah
sebagai berikut:
a. Kepala Kantor Wilayah DJPLN melakukan penelitian kelengkapan
persyaratan dan kebenarannya.
b. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan
persyaratan tidak terpenuhi dan/atau tidak dapat dibuktikan
kebenarannya, maka pertimbangan penghapusan piutang tidak dapat
diberikan.
Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diperoleh
kesimpulan hasil penelitian, Kepala Kanwil DJPLN menyampaikan
Penolakan
Pemberian
Pertimbangan
Penghapusan
Secara
Bersyarat/Secara Mutlak atas Piutang Daerah kepada Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah yang meminta pertimbangan.
c. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan
persyaratan terpenuhi dan/atau dapat dibuktikan kebenarannya, maka
pertimbangan penghapusan piutang dapat diberikan.
Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diperoleh
kesimpulan hasil penelitian, Kepala Kanwil DJPLN menyampaikan
Pemberian Pertimbangan Penghapusan Secara Bersyarat/Secara
Mutlak atas Piutang Daerah kepada Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah yang meminta pertimbangan.
6. Setelah dokumen lengkap, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
mengajukan permohonan penghapusbukuan/penghapustagihan atas
Piutang Daerah dengan nilai:
a. sampai dengan Rp.5.000.000.000,00 per Penanggung Hutang kepada
Gubernur/ Bupati/Walikota;
b. lebih dari Rp.5.000.000.000,00 per Penanggung Hutang kepada
Gubernur/ Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rayat Daerah masing-masing.
7. Setelah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, atau oleh
Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rayat
Daerah, penetapan penghapusbukuan/ penghapustagihan diberitahukan
324
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang mengajukan usul kepada Kepala
Kantor Wilayah DJPLN.
Penetapan penghapusan tersebut di atas, disampaikan Kepala Kantor
Wilayah DJPLN kepada Kepala KP2LN dalam waktu paling lama 7
(tujuh) hari sejak diterima Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
Persyaratan Penghapustagihan Piutang Perusahaan
Negara (BUMN)/Perusahaan Daerah (BUMD)
Persyaratan
(BUMN)
Penghapustagihan
Piutang
Perusahaan
Negara
Terdapat beberapa persyaratan agar suatu piutang Perusahaan Negara
(BUMN) dapat dihapustagihkan. Persyaratan tersebut akan diuraikan berikut
ini.
1. Piutang yang akan dihapustagihkan telah diserahkan pengurusannya
kepada PUPN sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun
1960 tentang PUPN berikut aturan pelaksanaannya.
2. Penghapustagihan piutang dilakukan sesuai dengan:
a. Anggaran Dasar masing-masing BUMN; dan
b. sistem akuntansi dan peraturan yang berlaku bagi BUMN yang
bersangkutan.
3. Penghapustagihan piutang hanya dapat dilaksanakan bila:
a. piutang telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31 Desember
2002; dan
b. telah ada persetujuan dan/atau penetapan nilai limit piutang yang akan
dihapustagihkan dari:
♦ Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMN berbentuk
Persero; atau
♦ Pejabat yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili Pemerintah
selaku pemilik modal Negara, bila BUMN tidak berbentuk Persero.
4. Terdapat 2 skema penghapustagihan piutang BUMN, yaitu:
a. penghapustagihan piutang yang telah dinyatakan sebagai PSBDT oleh
PUPN, dengan ketentuan yang dapat dihapuskan oleh Menteri
Keuangan adalah piutang pokok, bunga, denda, dan/atau ongkosongkos; atau
Pengurusan Piutang Negara
325
b. penghapustagihan piutang yang pengurusannya telah ditarik kembali
dari PUPN dan Penanggung Utang telah selesai melaksanakan program
restrukturisasi/penyelesaian hutang yang ditetapkan oleh BUMN yang
bersangkutan, namun masih terdapat sisa hutang sebesar jumlah yang
akan diusulkan untuk dihapustagih. Program restrukturisasi tersebut
harus menghasilkan tingkat pengembalian (recovery rate) sebesar:
♦ 50% (lima puluh per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal
pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN terdapat
jaminan kebendaan; atau
♦ 15% (lima belas per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal
pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN tidak
terdapat jaminan kebendaan.
Jaminan kebendaan tersebut di atas adalah jaminan dengan benda
berwujud dan tidak berwujud baik diikat secara sempurna maupun
tidak diikat secara sempurna. Sedangkan sisa piutang pokok
sebagaimana dimaksud di atas adalah nilai piutang pokok pada saat
pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN. Penarikan kembali
pengurusan piutang dari PUPN tersebut dapat dilakukan paling cepat
setelah:
1) dilakukan pemanggilan kepada Penanggung Hutang dan dibuat
Berita Acara Tanya Jawab oleh Kantor Pelayanan; atau
2) diterbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara oleh PUPN.
Dengan skema ini, yang berwenang menetapkan penghapustagihan
piutang adalah:
1) Menteri Keuangan untuk penghapustagihan piutang pokok; dan
2) BUMN yang bersangkutan untuk penghapustagihan piutang bunga,
denda, dan/atau ongkos-ongkos.
5. Usul penghapustagihan piutang tersebut diajukan oleh BUMD atas piutang
yang:
a. dibiayai dan resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh
Instansi Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau
b. dijamin oleh Penjamin Kredit
dilakukan setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia, Instansi
Pemerintah Pusat/Daerah, pihak-pihak yang menanggung risiko, dan/atau
perusahaan penjamin kredit.
326
Persyaratan
(BUMD)
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
Penghapustagihan
Piutang
Perusahaan
Daerah
Persyaratan agar suatu piutang Perusahaan Daerah (BUMD) dapat
dihapustagihkan adalah sebagaimana uraian berikut ini.
1. Piutang yang akan dihapustagihkan telah diserahkan pengurusannya
kepada PUPN sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun
1960 tentang PUPN berikut aturan pelaksanaannya.
2. Penghapustagihan piutang dilakukan sesuai dengan:
a. Anggaran Dasar masing-masing BUMD; dan
b. sistem akuntansi dan peraturan yang berlaku bagi BUMD yang
bersangkutan.
3. Penghapustagihan piutang hanya dapat dilaksanakan bila:
a. piutang telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31 Desember
2002; dan
b. telah ada persetujuan dan/atau penetapan nilai limit piutang yang akan
dihapustagihkan dari:
§ Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMD berbentuk
Persero; atau
§ Pejabat yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili Pemerintah
Daerah selaku pemilik modal Daerah, bila BUMD tidak berbentuk
Persero.
4. Terdapat 2 skema penghapustagihan piutang BUMD, yaitu:
a. penghapustagihan piutang yang telah dinyatakan sebagai PSBDT oleh
PUPN, dengan ketentuan yang dapat dihapuskan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota adalah piutang pokok, bunga, denda,
dan/atau ongkos-ongkos; atau
b. penghapustagihan piutang yang pengurusannya telah ditarik kembali
dari PUPN dan Penanggung Hutang telah selesai melaksanakan
program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang ditetapkan oleh
BUMD yang bersangkutan, namun masih terdapat sisa hutang sebesar
jumlah yang akan diusulkan untuk dihapustagih. Program
restrukturisasi tersebut harus menghasilkan tingkat pengembalian
(recovery rate) sebesar:
1) 50% (lima puluh per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal
pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN terdapat
jaminan kebendaan; atau
Pengurusan Piutang Negara
327
2) 15% (lima belas per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal
pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN tidak
terdapat jaminan kebendaan.
Jaminan kebendaan tersebut di atas adalah jaminan dengan benda
berwujud dan tidak berwujud baik diikat secara sempurna maupun
tidak diikat secara sempurna. Sedangkan sisa piutang pokok
sebagaimana dimaksud di atas adalah nilai piutang pokok pada saat
pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN. Penarikan kembali
pengurusan piutang dari PUPN tersebut dapat dilakukan paling cepat
setelah:
1) dilakukan pemanggilan kepada Penanggung Hutang dan dibuat
Berita Acara Tanya Jawab oleh Kantor Pelayanan; atau
2) diterbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara oleh PUPN.
Dengan skema ini, yang berwenang menetapkan penghapustagihan
piutang adalah:
1) Gubernur/Bupati/Walikota untuk penghapustagihan piutang pokok;
dan
2) BUMD yang bersangkutan untuk penghapustagihan piutang bunga,
denda, dan/atau ongkos-ongkos.
5. Usul penghapustagihan piutang tersebut diajukan oleh BUMD atas piutang
yang:
a. dibiayai dan resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh
Instansi Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau
b. dijamin oleh Penjamin Kredit
dilakukan setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia, Instansi
Pemerintah Pusat/ Daerah, pihak-pihak yang menanggung risiko, dan/atau
perusahaan penjamin kredit.
Proses Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara
(BUMN)/Perusahaan Daerah (BUMD)
Proses Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN)
1. Direksi BUMN dapat mengusulkan penghapustagihan piutang dengan nilai
penghapusan sampai dengan Rp10.000.000.000,00 per Penanggung
Hutang kepada Menteri Keuangan, melalui Direktur Jenderal Piutang dan
Lelang Negara.
328
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
2. Usul penghapustagihan tersebut disampaikan secara tertulis dan dilampiri
dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang;
b. surat keputusan/berita acara/surat pernyataan dari Pejabat yang
berwenang dan/atau dokumen lain yang membuktikan bahwa piutang
telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2002;
c. bukti bahwa BUMN telah memperoleh persetujuan dan/atau penetapan
limit piutang yang akan dihapuskan secara mutlak dari:
1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMN berbentuk
perseroan; atau
2) Menteri yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili
pemerintah selaku pemilik modal negara, bila BUMN berbentuk
Perusahaan Umum; dan
d. bila pengurusan piutang yang akan dihapustagihkan:
1) telah optimal diurus oleh PUPN, usul penghapustagihan dilampiri
dengan Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN; atau
2) telah ditarik dari PUPN dan Penanggung Hutang telah selesai
melaksanakan program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang
diberikan oleh BUMN, usul penghapustagihan dilampiri:
§ bukti bahwa PUPN Cabang telah menyetujui usul penarikan dan
menyatakan bahwa pengurusan piutang oleh PUPN Cabang telah
selesai;
§ informasi tentang program restrukturisasi/penyelesaian kredit
yang ditetapkan oleh BUMN; dan
§ data pembayaran yang membuktikan bahwa Penanggung Hutang
telah menyelesaikan program restrukturisasi/penyelesaian kredit
yang ditetapkan oleh BUMN.
3. Usul penghapustagihan piutang BUMN yang dibiayai dan resikonya
ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh Instansi Pemerintah
Pusat/Daerah; dan/atau dijamin oleh Penjamin Kredit, dilampiri dengan
dokumen sekurang-kurangnya:
a. dokumen sebagaimana yang diuraikan pada angka 2 di atas; dan
b. surat persetujuan penghapusan dari Bank Indonesia, Instansi
Pemerintah Pusat/Daerah, dan/atau perusahaan penjamin kredit.
4. Usul penghapustagihan piutang yang diajukan Direksi BUMN
ditindaklanjuti Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara dengan
Pengurusan Piutang Negara
329
melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran persyaratan yang
diajukan.
5. Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan tidak
terpenuhi dan/atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, usul
penghapustagihan tidak dapat diterima, dan Direktur Jenderal Piutang dan
Lelang Negara mengembalikan usul tersebut kepada Direksi BUMN yang
mengajukan usul.
6. Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan telah
terpenuhi dan dapat dibuktikan kebenarannya, usul penghapustagihan
dapat diterima, dan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara
menyampaikan hasil penelitian kepada Menteri Keuangan dengan disertai
pendapat.
7. Setelah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, penetapan penghapusan
Piutang Perusahaan Negara disampaikan oleh Direktur Jenderal kepada
Direksi BUMN yang mengajukan usul. Penetapan tersebut juga
diberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor
Wilayah DJPLN.
Proses Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMD)
1. Direksi BUMD dapat mengusulkan penghapustagihan piutang dengan nilai
penghapusan sampai dengan Rp5.000.000.000,00 per Penanggung Hutang
kepada Gubernur/Bupati/ Walikota, dengan tembusan kepada Kepala
Kantor Wilayah DJPLN.
2. Usul penghapustagihan tersebut disampaikan secara tertulis dan dilampiri
dengan dokumen sekurang-kurangnya:
a. daftar nominatif Penanggung Hutang; dan
b. Surat Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak atas Piutang
Perusahaan Daerah dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN.
3. Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak atas Piutang Perusahaan
Daerah dapat diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah DJPLN dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. didasarkan pada permintaan tertulis dari Direksi BUMD, yang
dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
§ daftar nominatif Penanggung Hutang;
§ surat keputusan/berita acara/surat pernyataan dari Pejabat yang
berwenang dan/atau dokumen lain yang membuktikan bahwa piutang
telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2002;
330
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
§ bukti bahwa BUMD telah memperoleh persetujuan dan/atau penetapan
limit piutang yang akan dihapustagihkan dari:
ü Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMD berbentuk
perseroan; atau
ü Pejabat yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili
pemerintah selaku pemilik modal negara, bila BUMD tidak
berbentuk perseroan; dan
b. bila pengurusan piutang yang akan dihapustagihkan:
§ telah optimal diurus oleh PUPN, permintaan pertimbangan dilampiri
dengan Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN; atau
§ telah ditarik dari PUPN dan Penanggung Hutang telah selesai
melaksanakan program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang
diberikan oleh BUMD, permintaan pertimbangan dilampiri:
ü bukti bahwa PUPN Cabang telah menyetujui usul penarikan
dan menyatakan bahwa pengurusan piutang oleh PUPN Cabang
telah selesai;
ü informasi tentang program restrukturisasi/penyelesaian kredit
yang ditetapkan oleh BUMD; dan
ü data pembayaran yang membuktikan bahwa Penanggung
Hutang
telah
menyelesaikan
program
restrukturisasi/penyelesaian kredit yang ditetapkan oleh
BUMD.
c. permintaan pertimbangan penghapustagihan piutang BUMD yang
dibiayai dan resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh
Instansi Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau dijamin oleh Penjamin
Kredit, dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya:
§ dokumen sebagaimana yang diuraikan pada angka 3 di atas; dan
§ surat persetujuan penghapusan dari Bank Indonesia, Instansi
Pemerintah Pusat/ Daerah, dan/atau perusahaan penjamin kredit; dan
d. Permintaan pertimbangan penghapustagihan piutang yang diajukan
Direksi BUMD ditindaklanjuti Kepala Kantor Wilayah DJPLN dengan
melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran persyaratan
yang diajukan.
4. Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan tidak
terpenuhi dan/atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, permintaan
pertimbangan tidak dapat diterima, dan Kepala Kantor Wilayah DJPLN
Pengurusan Piutang Negara
331
mengembalikan usul tersebut kepada Direksi BUMD yang mengajukan
permintaan petimbangan.
5. Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan telah
terpenuhi dan dapat dibuktikan kebenarannya, permintaan pertimbangan
dapat diterima, dan Kepala Kantor Wilayah DJPLN menyampaikan
Penolakan Pemberian Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak Atas
Piutang Perusahaan Daerah kepada Direksi BUMD yang mengajukan
permintaan petimbangan.
6. Setelah
ditetapkan
oleh
Gubernur/Bupati/Walikota,
penetapan
penghapustagihan piutang BUMD diberitahukan Direksi BUMD yang
mengajukan usul penghapustagihan kepada Kepala Kantor Wilayah
DJPLN, yang kemudian juga memberitahukan penetapan tersebut kepada
Kepala Kantor Pelayanan.
Rangkuman
Perikatan/perjanjian hutang piutang antara Negara dan Penanggung
Hutang dapat hapus bila Penanggung Hutang melakukan pembayaran
pelunasan hutangnya, bila Negara membebaskan Penanggung Hutang dari
kewajiban untuk melunasi hutangnya, bila umur piutang telah lewat waktu
(daluwarsa), atau karena sebab lain yang diijinkan berdasarkan Pasal 1381
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Melalui penghapusan piutang negara
yang dilakukan secara sepihak oleh negara selaku pemilik piutang, kewajiban
Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya menjadi habis/hapus.
Dalam hal ini, penghapusan piutang negara merupakan pembebasan hutang
Penanggung Hutang.
Dengan hapusnya kewajiban Penanggung Hutang, maka hapus juga
perikatan/perjanjian hutang piutang antara negara dan Penanggung Hutang.
Oleh karena itu, penghapusan piutang negara dapat dikatakan sebagai
penghapusan perikatan/perjanjian karena pembebasan hutang.
Terdapat 2 jenis penghapusan piutang negara yaitu pertama,
penghapusbukuan piutang dengan tidak menghilangkan hak tagih, yang
dilakukan hanya dalam administrasi pembukuan saja, yaitu dengan
memindahkan pencatatan dari pembukuan utama (misalnya neraca) ke
pembukuan khusus piutang yang telah dihapusbukukan. Kedua,
penghapustagihan piutang negara dengan menghilangkan hak tagih. Kedua
jenis penghapusan tersebut
dilakukan secara berurutan,
yaitu
332
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
penghapustagihan piutang negara dilakukan hanya apabila piutang dimaksud
telah dihapusbukukan terlebih dahulu.
Ketentuan yang secara spesifik mengatur tentang penghapusan piutang
negara pertama kali dirumuskan dalam Undang-undang Perbendaharaan
Indonesia (Indonesische Comptabiliteitswet / ICW) S. 1864 – 106 Pasal 19
yang mengatur bahwa Pemerintah dapat memberikan pembebasan penagihan
(atau dengan kata lain, menghapuskan piutang negara) dengan ketentuan:
1. Pemerintah telah mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan
atas pembebasan tersebut; dan
2. pembebasan penagihan dengan jumlah melebihi f.10.000,00 ditetapkan
dengan undang-undang.
Saat ini, Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indonesische
Comptabiliteitswet /ICW) S. 1864 – 106 tersebut sudah tidak berlaku lagi dan
digantikan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, yang juga mengatur tentang penghapusan piutang
negara (vide Pasal 37 ayat (1)). Aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 37 ayat
(1) tersebut dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005
tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
Namun demikian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara tidak secara eksplisit mengatur penghapusan piutang
BUMN/BUMD. Hal tersebut disebabkan oleh pengertian piutang
negara/daerah yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut terbatas hanya
pada pengertian piutang Instansi Pemerintah, baik pusat maupun daerah, saja,
dan tidak mencakup pengertian piutang badan-badan usaha yang seluruh atau
sebagian modalnya dimiliki negara atau daerah.
Pengertian tersebut berbeda dengan pengertian piutang negara dalam
Pasal 8 (dan penjelasannya) Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960
tentang PUPN yang tidak membedakan piutang negara dan piutang daerah,
sehingga semua piutang yang diurus oleh PUPN didefinisikan sebagai piutang
negara. Selain itu, pengertian piutang negara dalam Undang-undang Nomor 49
Prp. Tahun 1960 juga mencakup pengertian piutang badan-badan yang
umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik
negara/daerah (BUMN/BUMD).
Agar BUMN/BUMD dapat menghapustagihkan piutangnya yang telah
diurus secara optimal, maka kepada Menteri Keuangan atau kepada
Gubernur/Bupati/Walikota selaku Wakil Pemerintah dalam kepemilikan
kekayaan negara/daerah yang dipisahkan, perlu diberikan kewenangan untuk
membuat
pengaturan
tentang
penghapustagihan
piutang-piutang
BUMN/BUMD. Pemberian kewenangan tersebut didasarkan pada Peraturan
333
Pengurusan Piutang Negara
Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah, yang merupakan pengaturan lebih lanjut atas Pasal 37 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang ketentuan penghapusan piutang
negara/daerah.
Untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005
tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah telah disusun Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan
Usul, Penelitian, Dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan
Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. Kedua peraturan tesebut berisi
pengaturan tentang kewenangan, persyaratan, dan proses penghapusan
(penghapusbukuan dan penghapustagihan) piutang Instansi Pemerintah Pusat,
Instansi Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD.
- o0o -
Latihan
Untuk mengingatkan kembali yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di
bawah ini!
1. Jelaskan secara singkat, mengapa negara sebagai pemilik piutang dapat
menghapuskan kewajiban Penanggung Hutang?
2. Jelaskan secara singkat, dasar hukum penghapusan piutang negara yang
saat ini berlaku!
3. Jelaskan secara singkat pengertian penghapusan piutang secara bersyarat
dan pengertian penghapusan piutang secara mutlak! Apa beda kedua
pengertian tersebut?
4. Apa beda pengertian piutang negara pada Undang-undang Nomor 1 ahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara dan pengertian pada Undang-undang
Nomor 49 Prp. Tahun 1960?
5. Jelaskan dasar pemikiran diberikannya kewenangan kepada Menteri
Keuangan untuk membuat pengaturan tentang penghapustagihan
(penghapusan secara mutlak) piutang BUMN!
334
Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara
6. Jelaskan dasar pemikiran diberikannya kewenangan kepada Menteri
Keuangan untuk membuat pengaturan tentang penghapustagihan
(penghapusan secara mutlak) piutang BUMD!
7. Jelaskan persyaratan penghapusbukuan (penghapusan secara bersyarat)
dan penghapustagihan (penghapusan secara mutlak) piutang Instansi
Pemerintah Pusat! Jelaskan juga proses pelaksanaan masing-masing
penghapusan tersebut!
8. Jelaskan persyaratan penghapusbukuan (penghapusan secara bersyarat)
dan penghapustagihan (penghapusan secara mutlak) piutang Instansi
Pemerintah Daerah! Jelaskan juga proses pelaksanaan masing-masing
penghapusan tersebut!
9. Jelaskan persyaratan penghapusbukuan (penghapusan secara bersyarat)
dan penghapustagihan (penghapusan secara mutlak) piutang BUMN!
Jelaskan juga proses pelaksanaan masing-masing penghapusan tersebut!
10. Jelaskan persyaratan penghapusbukuan (penghapusan secara bersyarat)
dan penghapustagihan (penghapusan secara mutlak) piutang BUMD!
Jelaskan juga proses pelaksanaan masing-masing penghapusan tersebut!
- o0o -
BAB 13
BIAYA ADMINISTRASI
PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari Bab ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan
memahami pengertian biaya yang dipungut PUPN dalam pengurusan piutang negara,
yang berupa Biaya Pengurusan Piutang Negara. Materi yang akan diuraikan dalam
bab ini adalah perkembangan pemungutan Biaya Adminstrasi Pengurusan Piutang
Negara, besaran dan cara memungutnya, dan keterkaitan Biad PPN dengan
Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pendahuluan
338
Bab 13 : Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara
Berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, PUPN
bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan, sehingga dapat dikatakan bahwa
PUPN merupakan institusi yang melaksanakan tugas-tugas pemerintah,
khususnya di bidang pengelolaan keuangan negara. Namun demikian, pada
periode awal berdirinya, PUPN dapat dikatakan sebagai suatu organisasi tetapi
bersifat swadana, atau yang mencari dana sendiri. Hal tersebut terjadi, karena
Anggaran Belanja Negara tidak membiayai aktifitas PUPN.
Ketentuan tentang pembiayaan pelaksanaan tugas PUPN sebagai
institusi yang bersifat swadana diatur dalam Peraturan Menteri Urusan
Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan Nomor BUM.18-77-30/II Tahun
1962 tentang Pembiayaan Panitia Urusan Piutang Negara. Berdasarkan
ketentuan tersebut, hal-hal yang dapat dibiayai adalah:
1. tunjangan bulanan dan uang sidang anggota PUPN;
2. tunjangan pekerjaan pegawai-pegawai Staf Administrasi PUPN;
3. biaya administrasi kantor, seperti biaya sewa gedung, alat tulis menulis,
biaya telepon, listrik, air, uang lembur, biaya perjalanan, dan sebagainya;
4. uang jasa kepada anggota PUPN, pegawai Staf Administrasi PUPN, dan
pihak lain yang giat membantu penyelesaian pekerjaan PUPN.
Karena bersifat swadana, dan dalam rangka menyediakan dana
pembiayaan aktifitas organisasi, maka PUPN perlu mencari sumber dana
pembiayaan tersebut. Sumber yang paling mungkin didapatkan oleh PUPN
adalah pemungutan biaya administrasi kepada pihak-pihak yang menggunakan
pelayanan yang diberikan institusi. Agar dapat dipertanggungjawabkan secara
legal, maka pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad
PPN) oleh PUPN tersebut diatur dalam keputusan menteri yang berwenang.
Dalam perjalanannya, saat ini seluruh kegiatan pengurusan piutang
negara oleh PUPN/ DJPLN, dibiayai oleh Aanggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Pembiayaan oleh APBN tersebut tidak hanya pada kegiatan
yang langsung terkait dengan pelaksanaan pengurusan piutang negara, seperti
biaya pemanggilan Penanggung Hutang, penyampaian Surat Paksa,
pelaksanaan sita, dan sebagainya. Pembiayaan oleh APBN dimaksud juga
dilakukan pada hal-hal yang terkait dengan administrasi kantor dan penggajian
baik kepada anggota PUPN maupun kepada pegawai DJPLN.
Walaupun telah dibiayai oleh APBN, saat ini PUPN tetap melakukan
pemungutan Biad PPN kepada Penanggung Hutang. Pemungutan. Biad PPN
tersebut dimaksudkan sebagai hak pemerintah yang dapat diterima atas
kegiatan pelayanan yang diberikannya.
Pengurusan Piutang Negara
339
Perkembangan pemungutan Biad PPN, Penerimaan Negara Bukan
Pajak, serta besaran tarif dan cara pemungutan Biad PPN akan dijelaskan pada
uraian berikut.
Perkembangan Pemungutan Biaya Administrasi
Pengurusan Piutang Negara
Pengaturan tentang pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan
Piutang Negara (Biad PPN) pertama kali dilakukan melalui Keputusan
Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan Nomor BUM.1877-18/II Tahun 1962 tentang Peraturan Pelaksanaan Panitia Urusan Piutang
Negara. Di dalam Pasal 2 ayat 2 keputusan tersebut telah diatur bahwa dari
setiap piutang negara yang diurus PUPN akan dipungut Biad PPN sebesar 3%
dari jumlah piutang tersebut. Rincian pemungutan Biad PPN tersebut adalah
sebagai berikut:
1. 2½% dibebankan kepada Penanggung Hutang; dan
2. ½% dibebankan kepada Penyerah Piutang.
Dalam perkembangannya, ketentuan tentang pemungutan Biad PPN
tersebut, mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan pertama dilakukan
melalui Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan
Nomor BPN.II/18-14-22 Tahun 1964. Berdasarkan keputusan tersebut, Biad
PPN yang dipungut atas setiap piutang negara yang diselesaikan PUPN,
dinaikkan menjadi sebesar 6% dari jumlah piutang dan dibebankan kepada
Penanggung Hutang. Ketentuan baru tersebut membawa perbedaan yang
signifikan dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya tentang pemungutan
Biad PPN. Perbedaan dan alasan terjadinya perbedaan tersebut akan diuraikan
berikut ini.
1. Ketentuan baru mengatur bahwa tarif Biad PPN yang dipungut adalah
sebesar 6%, sedangkan ketentuan lama mengatur sebesar 3%.
Peningkatan tarif Biad PPN tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa
dengan tarif Biad PPN sebesar 3%, hasil yang diperoleh PUPN sebagai
institusi swadana tidak dapat menutupi biaya yang dikeluarkan oleh PUPN
dalam melaksanakan tugasnya. Untuk dapat memperoleh keseimbangan
penerimaan dan pengeluaran PUPN, maka perlu meningkatkan tarif Biad
PPN.
340
Bab 13 : Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara
2. Ketentuan baru membebankan Biad PPN hanya kepada Penanggung
Hutang, sedangkan ketentuan lama membebankan kepada Penanggung
Hutang dan kepada Penyerah Piutang.
Dibebaskannya Penyerah Piutang dari pengenaan Biad PPN didasarkan
pada pemikiran bahwa di satu sisi, Biad PPN merupakan biaya penagihan
hutang kepada negara. Di sisi lain, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
dalam hubungan antara kreditor dan debitor, biaya penagihan tersebut
sepenuhnya dibebankan kepada debitor/Penanggung Hutang. Oleh karena
itu, Penyerah Piutang tidak perlu lagi dikenakan Biad PPN.
3. Ketentuan baru mengatur bahwa pemungutan Biad PPN dilakukan atas
piutang negara yang berhasil diselesaikan PUPN, yaitu atas setiap
pembayaran yang dilakukan dalam rangka penyelesaian kewajiban
Penanggung Hutang, PUPN memungut Biad PPN sebesar 6%, sehingga
PUPN tidak harus menunggu pelunasan hutang Penanggung Hutang
terlebih dulu sebelum memungut Biad PPN. Ketentuan lama tidak
mengatur dengan jelas cara pemungutan Biad PPN tersebut.
Perubahan kedua atas ketentuan yang terkait dengan pemungutan Biad
PPN dilakukan melalui Keputusan Menteri Iuran Negara Nomor Bpd. 1-1-30
tanggal 9 Maret 1966. Ketentuan dimaksud mengatur kenaikan tarif Biad PPN
dari 6% menjadi sebesar 10%. Selain itu, karena materi Keputusan Menteri
tersebut sangat singkat, maka keputusaan tersebut tidak secara spesifik
mengatur ketentuan tentang pihak-pihak yang dibebankan Biad PPN dan cara
pemungutannya.
Kedua hal yang tidak secara spesifik diatur dalam keputusan Menteri
tersebut di atas terjawab berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Keputusan
Ketua PUPN Nomor 122/PUPN/Birad/1967 tentang Peraturan Tata Kerja
Panitia Urusan Piutang Negara, yaitu:
1. Biad PUPN sebesar 10% dibebankan kepada Penanggung Hutang; dan
2. dipungut atas setiap pembayaran yang terjadi dalam rangka penyelesaian
kewajiban Penanggung Hutang.
Pengaturan terakhir tentang besaran tarif Biad PPN dan pihak yang
dibebankan untuk membayarnya tetap dipertahankan sampai dengan saat ini.
Namun demikian, di dalam beberapa Keputusan Menteri Keuangan yang
terkait dengan pengurusan Piutang Negara yang terakhir diberlakukan,
terdapat sedikit perubahan besaran tarif dan cara pemungutan Biad.
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Pengurusan Piutang Negara
341
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) memuat ketentuan tentang jenis-jenis dan tarif
penerimaan negara bukan pajak serta pengelolaan dan pemeriksaannya. Dalam
Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut, telah diatur bahwa jenis penerimaan
yang termasuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah:
1. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah;
2. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
3. penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan;
4. penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah;
5. penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari
pengenaan denda administrasi;
6. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; dan
7. penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri.
Bila dikaitkan dengan ketentuan yang termuat dalam undang-undang
tentang PNBP tersebut di atas, maka Biad PPN yang dipungut PUPN/DJPLN
dalam melakukan pengurusan piutang negara merupakan penerimaan negara
bukan pajak. Hal ini disebabkan oleh kenyataan, bahwa kegiatan yang
dilakukan oleh PUPN/DJPLN merupakan pelayanan yang diberikan kepada
Penanggung Hutang dalam menyelesaikan kewajibannya. Mengingat
PUPN/DJPLN merupakan institusi Pemerintah, maka pelayanan
PUPN/DJPLN tersebut merupakan bagian dari pelayanan yang diberikan oleh
Pemerintah kepada masyarakat. Dengan demikian, Biad PPN merupakan
penerimaan pemerintah dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakannya, sesuai
dengan jenis PNBP yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor
20 Tahun 1997.
Ketentuan yang melegalisasi penerimaan Biad PPN sebagai PNBP
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Keuangan.
Pasal 4 ayat (5) ketentuan tersebut mengatur bahwa salah satu jenis PNBP
yang berlaku pada DJPLN adalah penerimaan Biad PPN.
Dengan berlandaskan pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tersebut di atas, PUPN/DJPLN
tetap dapat memungut Biad PPN dari para Penanggung Hutang meskipun
seluruh kegiatan institusi tersebut telah dibiayai oleh APBN. Penerimaan Biad
PPN tersebut, oleh DJPLN tidak digunakan untuk membiayai aktifitas
PUPN/DJPLN, tetapi disetorkan ke kas negara.
342
Bab 13 : Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara
Tarif Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara
Pasal 4 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada
Departemen Keuangan mengatur ketentuan tentang tarif Biad PPN. Tarif
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan Biad PPN untuk pelunasan hutang yang dilakukan sebelum
Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) diterbitkan adalah
sebesar 0% (nol persen) per Berkas Kasus Piutang Negara.
Ketentuan ini dirumuskan berdasarkan pemikiran bahwa sebelum SP3N
diterbitkan PUPN, berarti penyerahan pengurusan piutang negara kepada
PUPN belum efektif terjadi. Karena penyerahan pengurusan belum efektif
terjadi, maka PUPN belum melakukan pengurusan piutang tersebut. Bila
belum melakukan kegiatan pengurusan, maka sudah pada tempatnya bila
PUPN/DJPLN tidak memungut Biad PPN bila Penanggung Hutang
melunasi hutangnya pada periode waktu tersebut.
2. Penerimaan Biad PPN untuk pelunasan hutang yang dilakukan dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal SP3N diterbitkan adalah sebesar
1% (satu persen) dari jumlah yang wajib dilunasi per Berkas Kasus
Piutang Negara.
Ketentuan ini dirumuskan berdasarkan pemikiran bahwa sesudah SP3N
diterbitkan PUPN, berarti penyerahan pengurusan piutang negara kepada
PUPN telah efektif terjadi. Oleh karena itu, setelah terbitnya SP3N, PUPN
telah melakukan pengurusan piutang tersebut. Bila telah melakukan
kegiatan pengurusan, maka sudah pada tempatnya bila PUPN/DJPLN
memungut Biad PPN kepada Penanggung Hutang yang melunasi
hutangnya setelah SP3N terbit.
Namun demikian, sebagai insentif kepada Penanggung Hutang untuk mau
melunasi hutangnya paling lambat 3 bulan sejak SP3N terbit, Biad PPN
yang dikenakan hanyalah sebesar 1% dari jumlah hutang yang dilunasi.
3. Penerimaan Biad PPN untuk pelunasan hutang yang dilakukan dalam
jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sejak SP3N diterbitkan adalah
sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah hutang yang wajib dilunasi per
Berkas Kasus Piutang Negara.
Salah satu pertimbangan ditetapkannya tarif Biad PPN sebesar 10% adalah
perimbangan biaya yang dikeluarkan negara dalam melakukan pengurusan
Pengurusan Piutang Negara
343
piutang negara dan penerimaan yang diperoleh dari pemungutan Biad
PPN.
4. Penerimaan Biad PPN untuk penarikan Pengurusan Piutang Negara
ditetapkan sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari sisa hutang yang wajib
diselesaikan per Berkas Kasus Piutang Negara.
Ketentuan ini dirumuskan berdasarkan pemikiran bahwa penarikan
pengurusan piutang negara bagi PUPN hanyalah penyelesaian pengurusan
secara administratif saja dan bukan penyelesaian yang tuntas dalam bentuk
pelunasan hutang. Oleh karena itu, maka sesudah pada tempatnya bila
PUPN/DJPLN hanya memungut Biad PPN sebesar 2,5% kepada
Penanggung Hutang yang pengurusan hutangnya ditarik kembali oleh
Penyerah Piutang dari PUPN.
Cara Pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan
Piutang Negara
Biad PUPN dipungut atas setiap pembayaran yang terjadi. Pembayaran
tersebut dapat terjadi karena pembayaran angsuran/pelunasan, penebusan
barang jaminan milik Penjamin Hutang, penjualan barang jaminan milik
Penanggung Hutang tidak melalui lelang, dan/atau pelelangan barang jaminan.
Perhitungan Biad PPN atas setiap pembayaran tersebut dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
1. pembayaran yang dilakukan Penanggung Hutang, tanpa ada pelunasan
dalam jangka waktu 3 bulan setelah SP3N terbit:
a. Hak Penyerah Piutang = 10/11 X nilai pembayaran
b. Biad PPN
= 1/11 X nilai pembayaran
2. pelunasan yang dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah SP3N
terbit:
a. Hak Penyerah Piutang = jumlah sisa hutang
b. Biad PPN
= 10% X jumlah sisa hutang yang dilunasi
(sebagai tambahan pembayaran di luar
jumlah sisa hutang yang menjadi hak
Penyerah Piutang)
3. pelunasan yang dilakukan setelah lewat waktu 3 bulan sejak SP3N terbit:
a. Hak Penyerah Piutang = jumlah sisa hutang
344
Bab 13 : Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara
b. Biad PPN
= 10% X jumlah sisa hutang yang dilunasi
(sebagai tambahan pembayaran di luar
jumlah sisa hutang yang menjadi hak
Penyerah Piutang)
4. penebusan barang jaminan milik Penjamin Hutang:
a. Hak Penyerah Piutang = nilai penebusan
b. Biad PPN
= 10% X nilai penebusan (sebagai tambahan
pembayaran di luar nilai penebusan)
5. penjualan barang jaminan milik Penanggung Hutang tidak melalui lelang:
a. Hak Penyerah Piutang = 10/11 X nilai penjualan tidak melalui lelang
b. Biad PPN
= 1/11 X nilai penjualan tidak melalui lelang
6. penjualan barang jaminan melalui lelang:
a. Hak Penyerah Piutang = 10/11 X Hasil Bersih Lelang
b. Biad PPN
= 1/11 X Hasil Bersih Lelang
Bila dicermati, ketentuan Pasal 4 ayat (5) Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2004 membebankan Biad PPN tidak semata-mata kepada
Penanggung Hutang, tetapi membebankannya kepada Penanggung Hutang per
Berkas Kasus Pengurusan Piutang Negara (BKPN)1. Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa terdapat kemungkinan adanya satu Penanggung Hutang yang
harus menyelesaikan beberapa hutang yang berbeda dan tidak saling terkait
satu sama lainnya. Hutang tersebut dapat berasal dari satu Penyerah Piutang
maupun berasal dari beberapa Penyerah Piutang yang berbeda. Pengurusan
beberapa piutang atas nama Penanggung Hutang yang sama, meskipun harus
dilakukan secara simultan agar diperoleh hasil yang optimal untuk semua
kasus, namun perhitungan penyelesaiannya harus dilakukan secara terpisah.
Misalkan PT Mari Berhutang Terus memiliki 2 unit pabrik. Untuk
keperluan pabrik I PT Mari Berhutang Terus mendapatkan kredit dari salah 1
Bank BUMN yang ada (sebut saja PT Bank BUMN (Persero)) dengan pokok
kredit sebesar Rp.1.000.000.000,00 dan Pembebanan Hak Tanggungan sebesar
nilai yang sama. Kredit tersebut macet dan pengurusannya diserahkan PT.
Bank BUMN (Persero) kepada PUPN dengan total nilai penyerahan (total
hutang pokok, hutang bunga, denda, dan ongkos-ongkos) sebesar
Rp.1.200.000.000,00. Untuk keperluan pabrik II, PT Mari Berhutang Terus
mendapatkan kredit dari Bank yang sama, dengan pokok kredit sebesar
1
Di dalam administrasi pengurusan piutang negara, satu kasus kredit/piutang macet yang
diserahkan pengurusannya oleh Penyerah Piutang dibukukan sebagai satu Berkas Kasus
Piutang Negara (BKPN).
Pengurusan Piutang Negara
345
Rp.500.000.000,00 Pembebanan Hak Tanggungan sebesar nilai yang sama.
Kredit kedua tersebut juga macet dan pengurusannya diserahkan PT. Bank
BUMN (Persero) kepada PUPN dengan total nilai penyerahan (total hutang
pokok, hutang bunga, denda, dan ongkos-ongkos) sebesar Rp.650.000.000,00.
Oleh PUPN, penyerahan pengurusan tersebut tidak dibukukan menjadi 1
BKPN dengan nilai penyerahan Rp.1.850.000.000,00, walaupun kedua piutang
negara tersebut atas nama satu Penanggung Hutang dan berasal dari satu
Penyerah Piutang. Kedua berkas penyerahan tersebut oleh PUPN/DJPLN
dibukukan sebagai 2 BKPN.
Misalkan PUPN melakukan lelang pabrik I dengan hasil bersih lelang
(harga jual lelang yang tercapai setelah dikurangi bea lelang) yang diterima
PUPN adalah sebesar Rp.1.400.000.000,00. Atas hasil lelang tersebut, PUPN
menyerahkan Rp.1.200.000.000,00 kepada PT. Bank BUMN (Persero) sebagai
pelunasan hak Penyerah Piutang, dan mengirimkan Biad PPN ke Kas Negara
sebesar 10% dari Rp.1.200.000.000,00 (yaitu sebesar Rp.120.000.000,00).
Sisa hasil lelang tersebut (sebesar Rp.80.000.000,00) diperlakukan sebagai
berikut:
1. diserahkan seluruhnya kepada Pemegang Hak Tanggungan Kedua bila
Pabrik I yang dilelang tersebut dibebankan Hak Tanggungan Kedua
dengan nilai pembebanan di atas Rp.80.000.000,00; atau
2. oleh PUPN digunakan sebagai pembayaran hutang kedua milik
Penanggung Hutang, bila tidak terdapat pembebanan Hak Tanggungan
Kedua atas Pabrik I yang dilelang tersebut.
Bila ketentuan Biad PPN tidak diatur untuk dikenakan kepada
Penanggung Hutang per BKPN, maka hasil bersih lelang tersebut (sebesar
Rp.1.400.000.000,00) seluruhnya digunakan untuk menyelesaikan total
kewajiban Penanggung Hutang yang sebesar Rp.1.850.000.000,00. Sehingga
perhitungannya menjadi sebagai berikut:
1. Hak Penyerah Piutang = 10/11 X Rp.1.400.000.000,00
=
Rp.1.272.727.272,73
2. Biad PPN
= 1/11 X Rp.1.400.000.000,00
= Rp. 127.272.727,27
Kebijakan di atas akan menghadapi masalah apabila ternyata Pabrik I
yang dilelang tersebut dibebankan Hak Tanggungan Kedua oleh bank lain.
Bank lain tersebut, sebagai pemegang Hak Tanggungan Kedua mempunyai
hak atas hasil lelang Pabrik I tersebut setelah seluruh Pembebanan Pertama
dilunasi. Bila oleh PUPN hasil lelang tersebut digunakan juga untuk
346
Bab 13 : Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara
menyelesaikan BKPN nomor 2 yang tidak ada kaitan dengan Pabrik I yang
dilelang, Bank lain selaku Pemegang Hak Tanggung Kedua tentu akan
melakukan perlawan atas hal ini.
Rangkuman
Pada periode awal berdirinya, PUPN dapat dikatakan sebagai suatu
organisasi tetapi bersifat swadana, atau yang mencari dana sendiri. Hal
tersebut terjadi, karena Anggaran Belanja Negara tidak membiayai aktifitas
PUPN. Karena bersifat swadana, dan dalam rangka menyediakan dana
pembiayaan aktifitas organisasi, maka PUPN perlu mencari sumber dana
pembiayaan tersebut. Sumber yang paling mungkin didapatkan oleh PUPN
adalah pemungutan biaya administrasi kepada pihak-pihak yang menggunakan
pelayanan yang diberikan institusi. Agar dapat dipertanggungjawabkan secara
legal, maka pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad
PPN) oleh PUPN tersebut diatur dalam keputusan menteri yang berwenang.
Pengaturan tentang pemungutan Biad PPN dari waktu ke waktu selalu
berkembang. Pada pengaturan yang pertama kali ditetapkan, Biad dipungut
sebesar 3%, dengan rincian 2½% dibebankan kepada Penanggung Hutang dan
½% dibebankan kepada Penyerah Piutang. Pada pengaturan kedua, Biad
dipungut sebesar 6%, dan dibebankan seluruhnya kepada Penanggung. Pada
pengaturan ketiga, Biad dipungut sebesar 10%, dan dibebankan seluruhnya
kepada Penanggung. Saat ini, pengaturan tentang Biad ada pada Pasal 4 ayat
(5) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Keuangan.
- o0o -
Latihan
Untuk mengingatkan kembali yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di
bawah ini!
1. Mengapa diawal pendiriannya, PUPN memungut Biaya Administrasi
Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN)?
347
Pengurusan Piutang Negara
2. Mengapa saat ini PUPN masih memungut Biad PPN?
3. Apa dasar hukum pemungutan Biad PPN?
4. Bagaimana cara perhitungan Biad PPN berdasarkan PP Nomor 44 Tahun
2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Berlaku pada Departemen Keuangan?
5. Jelaskan mengapa perhitungan Biad PPN di dalam PP Nomor 44 Tahun
2003 didasarkan pada nilai hutang per Berkas Kasus Piutang Negara,
bukan per penanggung Hutang?
- o0o -
BAB 14
PENGURUSAN PIUTANG NEGARA
YANG SPESIFIK
Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari Bab ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan
memahami proses pengurusan piutang negara yang spesifik, yaitu proses yang
berbeda dari proses pengurusan piutang negara pada umumnya. Materi yang akan
diuraikan dalam bab ini adalah jenis pengurusan piutang negara yang spesifik,
persyaratan dan proses pengurusannya.
350
Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik
Pendahuluan
Pada bab-bab terdahulu, telah diuraikan bahwa proses pengurusan
piutang negara dimulai dari adanya penyerahan pengurusan piutang dari
Penyerah Piutang kepada PUPN. Pengurusan piutang negara tersebut, oleh
PUPN dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Penerbitan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N), yang
merupakan pintu hubungan antara Penyerah Piutang dan PUPN.
2. Pemanggilan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang.
3. Tanya jawab dan pembuatan Pernyataan Bersama (PB), yang merupakan
pintu hubungan antara Penanggung Hutang dan PUPN.
4. Penetapan Jumlah Piutang Negara, bila PB tidak dapat dibuat.
5. Penerbitan Surat Paksa, dan penyampaiannya.
6. Penerbitan Surat Perintah Sita, dan pelaksanaan sita.
7. Penerbitan Surat Perintah Penjualan barang sitaan.
8. Lelang Barang Jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang telah disita
PUPN.
9. Penerbitan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas (SPPNL), Surat
Pernyataan Piutang Negara Selesai (SPPNS), atau Piutang Negara
Sementara Belum Dapat diTagih (PSBDT), yang merupakan tanda
pengakhiran pengurusan piutang negara, baik selesai karena lunas maupun
selesai secara administrasi.
10. Di antara tahapan tersebut, sejak SP3N terbit, dapat juga dilakukan
pengurusan piutang negara lainnya, seperti: penebusan barang jaminan
hutang oleh Penjamin Hutang yang tidak menjamin penyelesaian seluruh
hutang Penanggung Hutang, penjualan tidak melalui lelang atas barang
jaminan milik Penanggung Hutang, dan Pencegahan bepergian ke luar
negeri kepada Penanggung Hutang yang memenuhi syarat untuk dicegah.
Namun demikian, terdapat beberapa jenis piutang negara yang
pengurusannya akan menghadapi hambatan bila dilakukan dengan tahapan
sebagaimana disebut di atas. Oleh karena itu, pengurusan atas jenis piutang
negara tersebut harus dilakukan dengan cara yang khusus (spesifik). Perlunya
tahap pengurusan yang spesifik tersebut disebabkan oleh:
1. karakteristik Penanggung Hutang yang harus menyelesaikan hutangnya
kepada negara, yang memerlukan adanya perlakukan khusus, seperti
Penanggung Hutang Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara; dan
Pengurusan Piutang Negara
351
2. ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan piutang,
Penanggung Hutang, dan/atau barang jaminan, yang memerlukan adanya
penyesuaian tahap pengurusan piutang negara, seperti ketentuan undangundang tentang kepailitan, undang-undang tentang hak tanggungan, dan
undang-undang tentang jaminan fidusia.
Masing-masing pengurusan piutang yang bersifat khusus tersebut
diuraikan berikut ini.
Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank
Tabungan Negara
Ketentuan tentang pengurusan piutang negara eks Kredit Perumahan
Bank Tabungan Negara (KP – BTN), yang dilakukan secara khusus, pertama
kali diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 340/KMK.01/2000
tentang Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
510/KMK.01/2000 tentang perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
340/KMK.01/2000 tentang Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan
Bank Tabungan Negara. Ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi dan
digantikan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 301/KMK.01/2002
tentang Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan
Negara.
Pengurusan piutang negara eks KP – BTN dilaksanakan secara khusus
dan tidak sama seperti pengurusan jenis piutang lainnya karena karakteristik
piutang tersebut pada dasarnya berbeda dengan jenis piutang lainnya. Namun
demikian, tidak semua piutang negara eks KP – BTN yang dapat diurus secara
khusus. Piutang eks KP – BTN yang dapat diurus secara khusus, tidak seperti
pengurusan piutang negara pada umumnya, hanya piutang dengan pokok
kredit paling banyak Rp.350.000.000,00 saja. Piutang eks KP – BTN dengan
pokok kredit lebih dari itu akan diurus PUPN dengan tahap pengurusan yang
berlaku umum.
Karakteristik utama piutang eks KP – BTN yang menyebabkan
pengurusannya oleh PUPN dilakukan secara khusus adalah:
1. Penanggungjawab hutang umumnya menempati barang jaminan satusatunya yang ada, yang berupa rumah.
2. Penanggungjawab hutang umumnya berpenghasilan menengah ke bawah.
352
Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik
3. Angsuran yang tertunggak, yang menyebabkan pengurusan piutang atas
nama Penanggung Hutang diserahkan kepada PUPN, umumnya
dibandingkan dengan pokok kredit belum begitu besar nilainya sehingga
kepada yang bersangkutan perlu diberi kesempatan untuk menyelesaikan
tunggakan angsurannya terlebih dahulu, sebelum diharuskan
menyelesaikan seluruh hutangnya.
Pengurusan piutang negara eks KP – BTN berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 301/KMK.01/2002 adalah sebagaimana yang
diuraikan di bawah ini.
1. Penyerahan pengurusan piutang eks KP – BTN oleh PT. BTN (Persero)
kepada PUPN. Penyerahan tersebut dilakukan sama seperti penyerahan
pengurusan piutang pada umumnya (sesuai Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara), kecuali
informasi tentang rincian jumlah hutang, yang terdiri dari 4 bagian, yaitu
saldo hutang, tunggakan angsuran, denda, dan biaya lain-lain.
2. Penerbitan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara oleh PUPN,
yang ketentuan tentang proses dan persyaratan penerbitannya sama dengan
ketentuan penerbitan SP3N pada umumnya (sesuai Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang
Negara).
3. Pemanggilan Penanggung Hutang, yang dilakukan sama dengan
pemanggilan Penanggung Hutang lainnya (sesuai Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang
Negara).
4. Bila Penanggung Hutang memenuhi panggilan atau datang atas kemauan
sendiri, Penanggung Hutang membuat Surat Pernyataan yang berisi:
a. pengakuan jumlah tunggakan, kesanggupan angsuran, denda, dan biaya
lain-lain;
b. pernyataan kesanggupan melunasi tunggakan angsuran, denda, dan
biaya lain-lain yang terhutang dalam waktu 3 bulan sejak SP3N terbit;
dan
c. cara pelunasannya.
5. Bila Penanggung Hutang melunasi hutangnya sesuai dengan Surat
Pernyataan yang ditandatanganinya, maka PUPN akan:
a. memungut Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN)
sebesar 1% dari tunggakan angsuran, denda, dan biaya lain-lain, bukan
dari total hutang yang masih harus diselesaikan Penanggung Hutang,
Pengurusan Piutang Negara
353
seperti cara pemungutan Biad PPN pada pengurusan piutang negara
pada umumnya; dan
b. mengembalikan pengurusan piutang negara kepada PT. BTN (Persero).
Piutang Negara ini, bila dalam perkembangan selanjutnya harus diserahkan
kembali kepada PUPN, tidak dapat lagi diurus dengan cara khusus.
Piutang tersebut harus diurus sesuai tahapan yang diatur dalam ketentuan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang
Pengurusan Piutang Negara.
6. Pernyataan Bersama dibuat oleh PUPN dan Penanggung Hutang bila:
a. Penanggung Hutang tidak bersedia membuat Surat Pernyataan;
b. Surat Pernyataan tidak dapat dibuat (misalnya Penanggung Hutang
tidak mampu menyelesaikan tunggakan anggsuran, denda, dan biayabiaya lainnya dalam waktu 3 bulan); atau
c. Penanggung Hutang tidak melunasi hutang sesuai Surat Pernyataan.
Muatan Pernyataan Bersama sama dengan muatan Pernyataan Bersama
dalam pengurusan piutang negara pada umumnya (sesuai dengan
ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002
tentang Pengurusan Piutang Negara).
7. Bila salah satu dari situasi sebagaimana dimaksud dalam butir 6.a, 6.b,
atau 6.c terjadi, dan Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat, maka PUPN
menerbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN).
Muatan Penetapan Jumlah Piutang Negara sama dengan muatan
Pernyataan Bersama pada pengurusan piutang negara pada umumnya
(sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002
tentang Pengurusan Piutang Negara).
8. Tahap pengurusan piutang negara selanjutnya yang dilakukan oleh PUPN
adalah sama dengan tahap pengurusan piutang negara pada umumnya
(sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara).
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa kekhususan pengurusan
piutang negara eks KP – BTN hanya terletak pada pemberian kesempatan
kepada Penanggung Hutang untuk terlebih dahulu menyelesaikan tunggakan
angsuran, denda, dan biaya-biaya lainnya, sebelum dipaksakan untuk
menyelesaikan seluruh hutangnya. Namun demikian, perlakukan khusus dalam
pengurusan piutang negara eks KP – BTN tidak tanpa batas. Batasan tersebut
adalah sebagai berikut:
354
Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik
1. pengurusan secara khusus tersebut hanya berlaku dalam jangka waktu 3
bulan sejak SP3N terbit. Bila Penanggung Hutang tidak dapat
menyelesaikan tunggakan eks KP – BTN angsuran, denda, dan biaya-biaya
lainnya, maka perlakukan khusus tersebut berakhir dan pengurusan piutang
negara atas nama Penanggung Hutang yang bersangkutan akan
dilaksanakan sesuai ketentuan umum;
2. piutang negara eks KP – BTN yang dapat diurus secara khusus hanyalah
piutang dengan pokok kredit paling banyak Rp.350.000.000,00; dan
3. perlakukan khusus terhadap piutang negara eks KP – BTN hanya satu kali
saja, sehingga Penanggung Hutang yang telah dikembalikan
pengurusannya kepada PT. BTN (Persero), dan pada suatu saat
pengurusannya diserahkan kembali ke PUPN, maka kepada Penanggung
Hutang tersebut tidak akan diberikan kesempatan kedua untuk
menyelesaikan tunggakan angsuran, denda, dan biaya-biaya lainnya.
Kepada yang bersangkutan akan dilaksanakan tahap pengurusan piutang
negara yang umum.
Pengurusan Piutang Negara Atas Penanggung Hutang
yang Dinyatakan Pailit atau Atas Barang Jaminan
Milik Pihak Ketiga yang Dinyatakan sebagai Boedel
Pailit
Pengurusan piutang negara secara khusus dilakukan terhadap piutang
negara dengan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang sedang
dalam proses kepailitan atau dinyatakan pailit. Perlakukan khusus tersebut
didasarkan pada Pasal 155 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara juncto Pasal 62
Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep25/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara, yang
mengatur bahwa bila Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sedang
dalam proses kepailitan atau dinyatakan pailit, pengurusan piutang negara
tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai kepailitan, yaitu Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut
Undang-undang Kepailitan).
Pada sub bab sebelum ini telah dijelaskan bahwa perlakuan khusus
yang diberikan PUPN atas pengurusan piutang negara eks KP – BTN adalah
355
Pengurusan Piutang Negara
berupa tahap pengurusan khusus. Berbeda dengan itu, perlakukan khusus yang
diberikan PUPN terkait dengan ketentuan kepailitan tidak berupa penyediaan
proses khusus, namun PUPN hanya mengikuti aturan main yang ditetapkan
oleh Undang-undang Kepailitan. Tujuannya adalah agar pengurusan piutang
negara tidak melanggar Undang-undang Kepailitan, dan di sisi lain, hak negara
(dalam hal ini hak Penyerah Piutang dan Kas Negara) tidak hilang karena
adanya perkara kepailitan yang terkait dengan Penanggung Hutang. Agar
tujuan tersebut senantiasa dapat tercapai, pegawai Kantor Pelayanan harus
dapat mempelajari dan mengerti materi Undang-undang Kepailitan tersebut.
Tim Penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan
DJPLN/PUPN di dalam sosialisasi hasil kerja Tim kepada internal DJPLN
sepanjang tahun 2005, telah menggambarkan proses kepailitan berdasarkan
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 sebagai berikut:
Gambar 14.1. Diagram Proses Kepailitan
DIAGRAM PROSES KEPAILITAN
Permohonan
Pailit
Putusan Pailit
Insolvensi
Pemberesan
PKPU
Perdamaian
Pencocokan/
Verifikasi
Tercapai
Homologasi
Kepailitan
berakhir
Tidak Tercapai
Putusan Pailit
Insolvensi
Pencocokan/
Verifikasi
Pemberesan
Ket: Masa stay berlaku paling lama 90 hari sejak putusan pailit.
Sumber: Materi Sosialisasi Buku Pedoman Pedoman Penanganan Perkara
di Lingkungan DJPLN/PUPN (2005)
Diagram tersebut perlu diketahui Kantor Pelayanan, agar pengurusan
piutang negara yang dilaksanakan yang terkait dengan Penanggung Hutang
yang dinyatakan pailit atau terkait dengan barang jaminan milik pihak ketiga
yang dijadikan boedel pailit, dapat disesuaikan dan tidak bertentangan dengan
setiap tahapan proses kepailitan yang perkaranya melibatkan debitor piutang
negara.
Contoh tindakan yang dilakukan PUPN terkait dengan ketentuan
tentang kepailitan adalah sebagai berikut: Pasal 55 ayat (1) Undang-undang
Kepailitan memperbolehkan Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
356
Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik
tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, untuk
mengeksekusi haknya seolah-olah tidak ada kepailitan. Namun, berdasarkan
Pasal 56 ayat (1) telah diatur bahwa bila putusan pailit telah dibacakan,
maka hak eksekusi Kreditor tersebut ditangguhkan untuk jangka waktu paling
lama 90 hari sejak pembacaan putusan tersebut. Masa penangguhan tersebut
biasa dikenal sebagai masa “stay”.
Berdasarkan dua ketentuan tersebut, selama 90 hari sejak putusan pailit
dibacakan, PUPN tidak dapat melakukan eksekusi atas barang jaminan yang
diikat sempurna:
1. milik Penanggung Hutang yang dinyatakan pailit; atau
2. milik pihak ketiga (Penjamin Hutang, misalnya) yang dinyatakan sebagai
boedel pailit.
Setelah masa penangguhan berakhir, Berdasarkan Pasal 59 Undangundang Kepailitan telah diatur bahwa PUPN dapat melakukan eksekusi barang
jaminan yang diikat sempurna tersebut dalam jangka waktu paling lama 2
bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi.
Contoh lain tentang tindakan yang dilakukan PUPN terkait dengan
ketentuan tentang kepailitan adalah sebagai berikut: dalam pembahasan
rencana perdamaian, PUPN, sebagai kreditor separatis karena barang jaminan
yang ada telah diikat secara sempurna, tidak ikut mengeluarkan suara agar
kedudukan kreditor separatis tetap dipertahankan. Hal ini dilakukan dengan
memperhatikan Pasal 149 Undang-undang Kepailitan mengatur bahwa:
(1) Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya dan kreditor yang diistimewakan termasuk
kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh
mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali
apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi
kepentingan harta pailit sebelum diadakannya pemungutan suara tentang
rencana perdamaian tersebut.
(2) Dengan pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mereka
menjadi Kreditor konkuren juga dalam hal perdamaian tersebut tidak
diterima.
Pengurusan Piutang Negara dengan Barang Jaminan
yang Diikat Sempurna
Pengurusan Piutang Negara
357
Pengurusan piutang negara dilakukan sesuai proses sebagaimana yang
telah diuraikan pada sub bab pendahuluan. Bila PUPN menggunakan
pendekatan non eksekusi dalam pengurusan piutang negara, PUPN
memberikan kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk melakukan
penjualan tidak melalui lelang atas barang jaminan miliknya atau kesempatan
kepada Penjamin Hutang untuk menebus barang jaminan miliknya. Jika
barang jaminan tersebut diikat secara sempurna, maka penjualan tidak melalui
lelang atas barang jaminan milik Penanggung Hutang atau penebusan barang
jaminan milik Penjamin Hutang, dilakukan dengan memperhatikan nilai
pembebanan Hak Tanggungan atau nilai penjaminan Fidusia.
Bila PUPN, melalui pendekatan non eksekusi yang dilakukan, tidak
dapat membuat Penanggung Hutang melunasi hutangnya, maka PUPN akan
meningkatkan tahap pengurusan dengan menggunakan pendekatan eksekusi.
Berdasarkan prosedur pengurusan piutang negara, barang jaminan yang
merupakan sentral dalam pendekatan eksekusi tersebut, akan dilelang setelah
barang tersebut disita terlebih dahulu. Hasil lelang atas barang jaminan
tersebut digunakan sebagai bagian dalam penyelesaian hutang Penanggung
Hutang.
Pengurusan Piutang Negara dengan Barang Jaminan
yang Dibebani Hak Tanggungan
Ketentuan yang mengatur Hak Tanggungan adalah Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Bendabenda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut Undang-undang Hak
Tanggungan). Ketentuan di dalam undang-undang tersebut, yang berkaitan
dengan pengurusan piutang negara adalah ketentuan Pasal 1 angka 1 yang
berbunyi:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak
Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”
358
Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik
Ketentuan tersebut memberikan jaminan bagi PUPN untuk
mendapatkan hak mendahulu daripada hak kreditor lainnya atas hasil
penjualan barang jaminan piutang negara yang telah dibebankan Hak
Tanggungan secara sempurna1.
Selain itu, ketentuan di dalam undang-undang tersebut, yang juga
berkaitan dengan pengurusan piutang negara adalah ketentuan Pasal 20 yang
mengatur bahwa bila Penanggung Hutang cedera janji, objek Hak Tanggungan
dapat dilelang berdasarkan:
1. hak Pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual atas kekuasaan
sendiri (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6); atau
2. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan.
Atas ketentuan Pasal 20 tersebut, terdapat 2 pendapat yang saling
berseberangan satu sama lainnya.
1. Pendapat pertama.
Pasal 20 menjamin bahwa barang jaminan yang dibebankan Hak
Tanggungan, dan bila pembebanan tersebut sudah didaftarkan, dapat
langsung dilelang tanpa melalui proses penyitaan terlebih dahulu.
Kesimpulan tersebut dapat ditarik dari ketentuan Pasal 6 yang memberikan
hak kepada Pemegang Hak Tanggungan Atas Kekuasan Sendiri untuk
melelang barang jaminan yang telah dibebankan Hak Tanggungan.
Pihak-pihak yang setuju dengan pendapat pertama ini, menyarankan agar
pengurusan piutang negara setelah terbitnya SP3N, dapat segera
ditindaklanjuti dengan lelang barang jaminan yang telah diikat secara
sempurna (dibebankan Hak Tanggungan) tanpa melalui tahap penyitaan.
Keuntungan dari cara ini adalah percepatan hasil pengurusan piutang
negara.
2. Pendapat kedua.
Pendapat pihak-pihak yang tidak setuju pelaksanaan Undang-undang
tentang Hak Tanggungan dalam pengurusan piutang negara.
a. Rezim pengurusan piutang negara berdasarkan Undang-undang Nomor
49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN berbeda dengan rezim yang diatur
dalam Undang-undang tentang Hak Tanggungan, oleh karena itu,
kedua undang-undang tersebut tidak dapat saling melengkapi
(complement) di dalam pengurusan piutang negara. Bahkan pada suatu
tahapan tertentu kedua undang-undang tersebut bila dilaksanakan
1
Pembebanan Hak Tanggungan tersebut dinyatakan telah sempurna setelah didaftarkan ke
Kantor Pertanahan dan oleh Kantor Pertanahan telah diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan.
Pengurusan Piutang Negara
359
dalam pengurusan piutang negara akan menyebabkan proses
pengurusan yang terlihat seolah-olah tidak teratur.
Pihak-pihak yang setuju dengan pendapat kedua ini menyatakan bahwa
dalam pengurusan piutang negara, lelang barang jaminan hanya dapat
dilaksanakan setelah barang tersebut disita terlebih dahulu. Bila setelah
SP3N terbit, barang jaminan yang dibebankan Hak Tanggungan
dilelang tanpa disita terlebih dahulu, dan ternyata tidak laku terjual
maka pengurusan piutang negara akan dilaksanakan sesuai tahapan
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. tahun 1960.
Dalam proses tersebut, penyitaan barang jaminan akan dilakukan
sebelum lelang. Keganjilan akan terjadi ketika barang yang telah
pernah dilelang PUPN (berdasarkan Undang-undang tentang Hak
Tanggungan) kemudian disita oleh PUPN (yang sama) berdasarkan
Undang-undang No. 49 Prp. Tahun 1960, untuk selanjutnya dilelang
kembali. Keganjilan tersebut dapat dilihat dari urutan tahap pengurusan
lelang, sita, dan kemudian lelang kembali atas barang jaminan yang
diikat sempurna.
b. Ketentuan Pasal 26 Undang-undang tentang Hak Tanggungan
mengatur bahwa sebelum adanya ketentuan khusus tentang tatacara
eksekusi Hak Tanggungan, maka ketentuan tentang eksekusi hypotheek
berlaku juga bagi eksekusi Hak Tanggungan. Penjelasan Pasal 26 ini
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan peraturan mengenai
eksekusi hypotheek yang ada dalam pasal ini adalah ketentuanketentuan yang diatur dalam Pasal 224 Reglemen Indoneisa yang
diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941 –
44) dan Pasal 228 Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa
dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de
Gewesten Buiten Java en Madura, Staatsblad 1927 – 227).
Ketentuan-ketentuan yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 26
tersebut merupakan hukum acara yang tidak ditempuh oleh PUPN
dalam melaksanakan tugas pengurusan piutang negara. Berdasarkan
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 yang memberikan
kewenangan kepada PUPN untuk bertindak secara lex specilist.
Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas Pengurusan Piutang
Negara, kepada PUPN diberikan suatu kekuasaan khusus (Parate
Executie) dengan kewenangan untuk menerbitkan keputusan-keputusan
yang mempunyai kekuatan seperti keputusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti (in kracht van
gewijsde).
360
Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik
Pengurusan Piutang Negara dengan Barang Jaminan
yang Dibebani Jaminan Fidusia
Ketentuan yang mengatur tentang Jaminan Fidusia adalah UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut
Undang-undang tentang Jaminan Fidusia). Pasal 29 undang-undang tersebut
mengatur bahwa bila Penanggung Hutang atau Pemberi Fidusia cedera janji,
objek Jaminan Fidusia dapat dilelang berdasarkan:
1. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(2) oleh Penerima Fidusia;
2. penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
3. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Sama seperti ketentuan Pasal 20 Undang-undang tentang Hak
Tanggungan yang menuai perdebatan, ketentuan Pasal 29 Undang-undang
tentang Jaminan Fidusia tersebut, juga menuai dua pendapat yang saling
berseberangan bila ketentuan tersebut dikaitkan dengan pengurusan piutang
negara.
Selain itu, Pasal 27 Undang-undang tentang Jaminan Fidusia juga
harus diperhatikan oleh para petugas DJPLN/PUPN terutama dalam
melaksanakan penjualan barang jaminan Penanggung Hutang yang telah
dibebani Jaminan Fidusia. Pasal 27 tersebut yang berbunyi:
(1) Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap
kreditor lainnya.
(2) Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil
pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi Benda yang
menjadi objek jaminan Fidusia.
(3) Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus
karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi
Fidusia.
Pengurusan Piutang Negara
361
Ketentuan Pasal 27 tersebut mengatur bahwa hasil penjualan barang
jaminan yang dibebani dengan Jaminan Fidusia bukan oleh Penyerah Piutang,
terlebih dahulu harus digunakan untuk menyelesaikan hutang kepada pihak
lain tersebut. Apabila terdapat kelebihan hasil penjualan barang jaminan atas
nilai pembebanan Jaminan Fidusia, maka hasil tersebut dapat dibagi untuk
pelunasan hutang Penanggung Hutang kepada para kreditornya.
Di lain pihak, bila barang jaminan milik Penanggung Hutang tersebut
dibebani Jaminan Fidusia oleh Penyerah Piutang, dan barang jaminan tersebut
dijual oleh Penanggung Hutang atau oleh pihak lain, maka hasil penjualan
barang jaminan tersebut harus didahulukan untuk melunasi hutang kepada
Penyerah Piutang.
Rangkuman
Terdapat beberapa jenis piutang negara yang pengurusannya akan
menghadapi hambatan bila dilakukan dengan tahapan pengurusan sesuai
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 berikut aturan pelaksanaannya.
Oleh karena itu, pengurusan atas jenis piutang negara tersebut harus dilakukan
dengan cara yang khusus (spesifik). Perlunya tahap pengurusan yang spesifik
tersebut disebabkan oleh:
1. karakteristik Penanggung Hutang yang harus menyelesaikan hutangnya
kepada negara, yang memerlukan adanya perlakukan khusus, seperti
Penanggung Hutang Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara; dan
2. ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan piutang,
Penanggung Hutang, dan/atau barang jaminan, yang memerlukan adanya
penyesuaian tahap pengurusan piutang negara, seperti ketentuan undangundang tentang kepailitan dan undang-undang tentang hak tanggungan.
Pengurusan piutang negara eks KP – BTN dilaksanakan secara khusus
karena karakteristik piutang tersebut pada dasarnya berbeda dengan jenis
piutang lainnya. Piutang eks KP – BTN yang dapat diurus secara khusus hanya
piutang dengan pokok kredit paling banyak Rp.350.000.000,00 saja. Piutang
eks KP – BTN dengan pokok kredit lebih dari itu akan diurus PUPN dengan
tahap pengurusan yang berlaku umum.
Karakteristik piutang eks KP – BTN yang utama yang menyebabkan
pengurusannya oleh PUPN dilakukan secara khusus adalah:
362
Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik
1. Penanggungjawab hutang umumnya menempati barang jaminan satusatunya yang ada, yang berupa rumah.
2. Penanggungjawab hutang umumnya berpenghasilan menengah ke bawah.
3. Angsuran yang tertunggak, yang menyebabkan pengurusan piutang atas
nama Penanggung Hutang diserahkan kepada PUPN, umumnya
dibandingkan dengan pokok kredit belum begitu besar nilainya sehingga
kepada yang bersangkutan perlu diberi kesempatan untuk menyelesaikan
tunggakan angsurannya terlebih dahulu, sebelum diharuskan
menyelesaikan seluruh hutangnya.
Pengurusan piutang negara secara khusus dilakukan terhadap piutang
negara dengan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang sedang
dalam proses kepailitan atau dinyatakan pailit. Namun demikian, tidak seperti
perlakuan khusus yang diberikan PUPN bagi pengurusan piutang negara eks
KP – BTN berupa tahap pengurusan khusus, perlakukan khusus yang
diberikan PUPN terkait dengan ketentuan kepailitan tidak berupa penyediaan
proses khusus. PUPN hanya mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh
Undang-undang Kepailitan. Tujuannya adalah agar pengurusan piutang negara
tidak melanggar Undang-undang Kepailitan, dan di sisi lain, hak negara
(dalam hal ini hak Penyerah Piutang dan Kas Negara) tidak hilang karena
adanya perkara kepailitan yang terkait dengan Penanggung Hutang. Agar
tujuan tersebut senantiasa dapat tercapai, pegawai Kantor Pelayanan harus
dapat mempelajari dan mengerti materi Undang-undang Kepailitan tersebut.
Bila PUPN menggunakan pendekatan non eksekusi dalam pengurusan
piutang negara, PUPN memberikan kesempatan kepada Penanggung Hutang
untuk melakukan penjualan tidak melalui lelang atas barang jaminan miliknya
atau kesempatan kepada Penjamin Hutang untuk menebus barang jaminan
miliknya. Bila PUPN, melalui pendekatan non eksekusi yang dilakukan, tidak
dapat membuat Penanggung Hutang melunasi hutangnya, maka PUPN akan
meningkatkan tahap pengurusan dengan menggunakan pendekatan eksekusi.
Berdasarkan prosedur pengurusan piutang negara, barang jaminan akan
dilelang setelah barang tersebut disita terlebih dahulu. Hasil lelang atas barang
jaminan tersebut digunakan sebagai bagian dalam penyelesaian hutang
Penanggung Hutang.
Pasal 20 Undang-undang Hak Tanggungan mengatur bahwa bila
Penanggung Hutang cedera janji, objek Hak Tanggungan dapat dilelang
berdasarkan:
1. hak Pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual atas kekuasaan
sendiri (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6); atau
363
Pengurusan Piutang Negara
2. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan.
Atas ketentuan Pasal 20 tersebut, terdapat 2 pendapat yang saling
berseberangan satu sama lainnya, khususnya bila ketentuan tentang Hak
Tanggungan dikaitkan dalam tahapan pengurusan piutang negara.
Pasal 29 Undang-undang tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa
bila Penanggung Hutang atau Pemberi Fidusia cedera janji, objek Jaminan
Fidusia dapat dilelang berdasarkan:
1. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(2) oleh Penerima Fidusia;
2. penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
3. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Atas ketentuan Pasal 29 tersebut, terdapat 2 pendapat yang saling
berseberangan satu sama lainnya, khususnya bila ketentuan tentang Jaminan
Fidusia dikaitkan dalam tahapan pengurusan piutang negara.
- o0o -
Latihan
Untuk mengingatkan kembali yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di
bawah ini!
1. Jelaskan mengapa terdapat beberapa jenis piutang negara yang harus
dilakukan pengurusan secara khusus?
2. Jelaskan karakteristik utama piutang negara eks KP – BTN yang
menyebabkan PUPN melakukan tahap pengurusan secara khusus!
3. Jelaskan pengurusan secara khusus yang dilakukan PUPN dalam
melakukan pengurusan piutang eks KP – BTN!
364
Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik
4. Perlakukan khusus apa yang dilakukan PUPN dalam pengurusan piutang
negara dengan Penanggung Hutang yang dinyatakan pailit? Apa tujuan
perlakukan tersebut?
5. Jelaskan dua pendapat yang terbentuk berkenaan dengan keterkaitan
Undang-undang tentang Hak Tanggungan dengan Undang-undang
Pengurusan Piutang Negara!
- o0o -
DAFTAR PUSTAKA
Adolf Warouw. (1996). Pengurusan Piutang Negara Perbankan oleh
PUPN/BUPLN (Konsep, Realita, dan Terobosan-terobosan dalam
Penanganan Kredit Macet Bank-bank Pemerintah). Kertas kerja
pada Ceramah Umum di Kampus Prodip Keuangan/STAN. Jakarta.
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara. (1994). Gema Yustisia. Hasil
Diskusi Panel Pengurusan Piutang Negara II di Denpasar, Mahkamah
Agung RI, Badan Pertanahan Nasional, Bank-Bank Pemerintah, dan
BUPLN Departemen Keuangan. Jakarta.
________ (1996). Hasil Rumusan Mahkamah Agung dan BUPLN tentang
Penyelesaian Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, Hasil Diskusi
Panel Pengurusan Piutang Negara III di Medan. Jakarta.
J. Satrio. (1999). Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie, dan Percampuran
Hutang. Bandung: PT. Alumni.
Panitia Urusan Piutang Negara. (1976). Himpunan Peraturan tentang Panitia
Urusan Piutang Negara. Jakarta.
R. Subekti. (1980), Pokok-pokok Hukum Perdata, Bandung: PT Intermasa
________ (1996), Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Pradnya Paramita
R. Subekti & R. Tjitrosudibio. (2004). Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Samsul Chorib. (2004). Pengantar Kepiutanglelangan Negara. Modul untuk
Program Diploma Keuangan Negara pada Sekolah Tinggi Akuntasi
Negara. Jakarta.
Simoeh. (1991). Pengantar Ilmu Hukum. Modul untuk Program Diploma
Keuangan Negara pada Sekolah Tinggi Akuntasi Negara. Jakarta.
Sugijanto, Robert Gunardi H, dan Sonny Loho. (1995). Akuntansi
Pemerintahan dan Organisasi Non-Laba. Malang: Pusat
Pengembangan Akuntansi (PPA) Brawijaya.
Sutan Remy Sjahdeini. (2002). Hukum Kepailitan. Memahami
Faillissementscerordening Juncto Undang-undang No. 4 Tahun
1998. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Tim Penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan
DJPLN/PUPN. (2005). Pedoman Penanganan Perkara di
Lingkungan DJPLN/PUPN. Jakarta: DJPLN Depkeu.
366
Daftar Pustaka
.
. (2005). Materi Sosialisasi Buku Pedoman Penanganan Perkara di
Lingkungan DJPLN/PUPN. Materi Sosialisasi Internal DJPLN.
Jakarta: DJPLN Depkeu.
Thomas Suyatno et al. (1999). Dasar-dasar Perkreditan. Edisi Keempat.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Van Horne, James C. (1989) Fundamentals of Financial Management. Seventh
Edition. London: Prentice-Hall International.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil
amandemen I, II, III, dan IV.
Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1994 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Pajak.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Hutang.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan,
Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan
perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan
Jawatan (Perjan) kepada Menteri Negara BUMN.
367
Pengurusan Piutang Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada
Departemen Keuangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan
Piutang Negara/Daerah.
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum.
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara dan Badan Urusan Piutang Negara.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 340/KMK.01/2000 tentang Pengurusan
Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara (KP –
BTN).
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 510/KMK.01/2000 tentang Perubahan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 340/KMK.01/2000 tentang
Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan
Negara (KP – BTN).
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan
Piutang Negara.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Usul, Penelitian, dan Penetapan Penghapusan Piutang
Perusahaan Negara/Daerah dan Piutang Negara/ Daerah.
- o0o -