INTERDENTAL Vol.8 No.2 - UNIVERSITAS MAHASARASWATI

Transcription

INTERDENTAL Vol.8 No.2 - UNIVERSITAS MAHASARASWATI
Pedodontic treatment triangle berperan dalam
proses keberhasilan perawatan gigi anak
Soesilo Soeparmin
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK
Dalam melakukan perawatan gigi dan mulut pada pasien anak-anak diperlukan
konsep ”Pedodontic Treatment Triangle”, kerjasama antar komponennya mutlak diperlukan.
Dalam konsep tersebut dokter gigi diharapkan dapat memahami dan menerapkan konsep
tersebut sebagai faktor yang menentukan keberhasilan pada perawatan gigi anak. Tujuan
dari penulisan ini ialah untuk mengetahui bagaimana penerapan konsep “Pedodontic
Treatment Triangle” sebagai faktor penentu keberhasilan perawatan gigi anak. Metode
yang digunakan adalah dengan menciptakan komunikasi efektif antar komponen pasien anak,
orangtuanya dan dokter gigi. Perawatan gigi dan mulut sejak dini pada anak penting untuk
pertumbuhan anak secara umum, usia anak dan faktor kepribadian orangtua juga berperan
dalam membangun komunikasi efektif dengan dokter gigi. Pada bermacam kondisi psikologis
anak konsep “Pedodontic Treatment Triangle” mutlak diperlukan agar perawatan yang
dilakukan berhasil.
Kata Kunci : Pedodontic Treatment Triangle, Keberhasilan Perawatan.
Korespondensi : Drg. Soesilo Soeparmin, SU. Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl.Kamboja 11A Denpasar, Telp.
(0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN
Perawatan kesehatan gigi anak secara dini sangat berguna bagi anak yang masih
dalam taraf tumbuh kembang. Kerusakan gigi merupakan masalah yang paling umum terjadi
pada anak-anak dibandingkan penyakit lainnya. Keberhasilan suatu perawatan dibidang
kesehatan gigi anak ditentukan oleh banyak hal antara lain adanya bimbingan orang tua
terhadap anak yang dipengaruhi oleh motivasi orang tua dalam berperilaku sehat, kerjasama
antara dokter gigi pasien anak dan orang tua juga berperan penting dalam keberhasilan
perawatan gigi anak oleh karena masih banyak para orang tua yang beranggapan bahwa
masalah penanganan kesehatan gigi dan mulut anak merupakan tanggung jawab dokter gigi
sehingga dianggap peran orang tua hanya sebatas pengantar ketempat praktik atau rumah
sakit tanpa ingin terlibat lebih jauh dalam edukasi kesehatan gigi anak. Peran serta orang tua
sangat diperlukan di dalam membimbing, memberikan perhatian, mengingatkan, dan
menyediakan fasilitas kepada anak agar dapat memelihara kebersihan gigi dan mulut.
Pengetahuan orang tua merupakan modal penting dalam membentuk prilaku yang
mendukung atau tidak mendukung perawatan gigi dan mulut pada anak. Dokter gigi juga
sebaiknya memahami betul bahwa pasien anak merupakan keseluruhan pribadi manusia yang
ingin diperlakukan seharusnya seperti ingin didengarkan, diperhatikan dan diperdulikan
dalam porsinya sebagai anak-anak yang berbeda dengan orang dewasa. 1,2
Prilaku merupakan suatu aktifitas manusia yang sangat mempengaruhi pola hidup
yang akan dijalaninya. Proses pembentukan perilaku yang diharapkan memerlukan waktu
serta kemampuan dari orangtua dalam mengajarkan anak. Rasa takut merupakan penyebab
1
utama perilaku nonkooperatif anak terhadap perawatan gigi, faktor penyebabnya bisa berasal
atau ditimbulkan dari anak itu sendiri, keluarga, maupun dokter gigi.1
Untuk dicapai keberhasilan dalam perawatan gigi maka hendaknya dokter gigi
terutama memahami konsep “Pedodontic Treatment Triangle”. Dengan latar belakang
tersebut maka tulisan ini bertujuan agar dokter gigi dapat memahami dan menerapkan konsep
tersebut sebagai faktor yang menentukan keberhasilan pada perawatan gigi anak.
Maka yang menjadi masalah bagaimanakah penerapan konsep “Pedodontic Treatment
Triangle” sebagai faktor penentu keberhasilan perawatan gigi anak dan mulai dari kapan dan
sampai kapan konsep tersebut dilakukan. Kajian pustaka ini bertujuan untuk menelaah
bagaimana penerapan konsep “Pedodontic Treatment Triangle” sebagai faktor penentu
keberhasilan perawatan gigi anak.
PEDODONTIC TREATMENT TRIANGLE
Komunikasi dokter gigi dengan pasien anak merupakan hubungan yang berlangsung
antara dokter gigi , pasien anak dan orang tua pasien selama proses pemeriksaan atau
pengobatan. Komunikasi sangatlah diperlukan terutama saat menangani pasien anak. Dalam
hal ini seorang dokter gigi harus terus meningkatkan profesionalismenya dengan terus
menganut konsep belajar sepanjang hayat.3
Kesehatan gigi dan mulut pada anak mempunyai peranan yang sangat penting karena
merupakan bagian integral dari seluruh kesehatan dan pertumbuhan. Karena itu komunikasi
yang efektif antara dokter gigi, anak dan orang tua pasien merupakan komponen yang penting
agar dapat menumbuhkan kepercayaan pasien. Hubungan yang efektif antar ketiganya dapat
mengurangi keraguan akan perawatan gigi pada anak. Bila dokter gigi tanggap pada respon
anak dan orang tua atas informasi yang disampaikannya maka anak dan orang tua akan lebih
terbuka dalam mendengar dan belajar. Pedodontic Treatment Triangle adalah gambaran
hubungan antar komponen dalam segitiga perawatan pedodontik dimana setiap komponen
saling berhubungan erat, posisi anak pada puncak segitiga dan posisi orang tua serta dokter
gigi pada masing-masing sudut kaki segitiga. Garis menunjukan komunikasi berjalan dua
arah antar masing komponen dan merupakan hubungan timbal balik.4,5,
Anak
`
Dokter gigi
Orangtua
(The Pedodontic Treatment Triangle given by Wright 1975)
Textbook of Community Dentistry, Fig.1.6
Pedodontic Treatment Triangle terdiri dari tiga komponen, yaitu: 1) Anak, perbedaan
umum antara perawatan pasien dewasa dan anak terletak pada teknik komunikasi. Teknik
komunikasi antara pasien anak dan dokter gigi dalam kasusnya merupakan hubungan satu
untuk dua, yang berarti anak menjadi fokus perhatian dokter gigi dan orang tua. Ini
digambarkan pada penempatan anak pada segitiga dimana anak menempati puncak dari
segitiga dan menjadi fokus dari perhatian dokter gigi dan orangtua. 6
Efek dari kematangan emosional pada tingkah laku anak dalam perawatan gigi adalah
semua anak melewati masa tingkatan tertentu dari perkembangan mental dan emosi.
Berdasarkan tingkatan usia ini tingkah laku anak dan psikologis anak yang terpola secara
terus-menerus menjadi berubah. Penting untuk mengidentifikasi tingkatan usia psikologis
2
sebagai panduan untuk mensukseskan perawatan gigi pada anak. skema tingkatan usia
membantu untuk menghubungkan level dari kematangan emosional dengan rentang usia anak
dalam perawatan gigi. Kematangan anak bisa dikelompokan mengikuti kronologis tingkatan
usia sebagai berikut ini: 1) Usia dua tahun : dalam usia ini kosakata dari anak bervariasi dari
15 sampai 1000 kata. Anak pada periode ini takut pada gerakan mendadak yang tidak
terduga. Pergerakan mendadak pada kursi gigi (dental chair) tanpa peringatan akan
menimbulkan rasa takut, cahaya yang terang juga terasa menakutkan bagi anak. Memisahkan
anak pada usia ini dari orang tuanya sangat sulit. Sebisa mungkin anak pada periode usia dua
tahun ditemani oleh orang tua atau pendamping selama berada di ruang perawatan. 2) Usia
tiga tahun : anak memiliki keinginan untuk berbicara dan mendengarkan, pada usia ini, sikap
kooperatif muncul dan dokter gigi bisa mulai menggunakan pendekatan positif dengan anak
tersebut . 3) Usia empat tahun : seorang anak usia empat tahun umumnya mendengarkan dan
tertarik untuk menjelaskan, jika tidak diatur dengan baik pada beberapa situasi anak usia
empat tahun bisa menjadi tidak patuh dan menentang. 4)Usia lima tahun : ini merupakan
periode dari penggabungan, dimana anak pada usia lima tahun senang melakukan aktifitas
berkelompok dan siap berpartisipasi didalamnya dan mereka juga memiliki sedikit rasa
khawatir bila terpisah dari orangtuanya saat melakukan perawatan gigi. 5) Usia enam sampai
duabelas tahun : biasanya anak pada usia ini bisa menangani ketakutan terhadap prosedur
perawatan gigi karena dokter gigi bisa menjelaskan apa yang akan dilakukan dan alasan
kenapa perawatan tersebut dilakukan.4,6
Posisi dokter gigi pada Pedodontic Treatment Triangle berada di sudut kiri bawah. Agar
dapat tercipta komunikasi antar personal oleh dokter gigi dengan pasien anak dan
orangtuanya, terdapat syarat yang harus dipenuhi yaitu: 1. Positiveness (sikap positif) dokter
gigi diharapkan mau menunjukan sikap positif pada pesan yang disampaikan oleh pasien
anak atau orangtuanya seperti keluhan, usulan, pendapat, pertanyaan. 2) Supportiveness (
sikap mendukung) ketika pasien atau orang tua pasien anak nampak ragu untuk memutuskan
sebuah pilihan tindakan, maka dokter gigi diharapkan memberikan dukungan agar keraguan
tersebut berkurang atau bahkan hilang. 3) Equality (keseimbangan antar pelaku komunikasi)
yang dimaksud dengan kesamaan atau kesetaraan adalah bahwa diantara dokter gigi , pasien,
dan orang tua pasien tidak boleh ada kedudukan yang sangat berbeda misalnya dokter yang
menguasai semua keadaan dan pasien yang tidak berdaya. 4) Openess (sikap dan keinginan
untuk terbuka) dokter gigi bila perlu juga mengatakan kesulitan yang dihadapinya saat
menangani masalah pasien. Dengan keterbukaan komunikasi ini maka akan terbangun
kepercayaan dari pasien anak dan orang tuanya.2,5
Anak-anak memiliki cara pendekatan tersendiri yang berbeda dengan orang dewasa
dan memiliki cara berkomunikasi yang berbeda juga.4
Kerjasama antar komponen Pedodontic Treatment Triangle yaitu: pasien anak, dokter
gigi dan orangtua mutlak diperlukan. Tingkah laku orangtua merupakan hal yang penting
antara hubungan interpersonal anak yang mempengaruhi respon tingkah laku anak tersebut
terhadap perawatan gigi. Pada berbagai motif dan situasi, orangtua mengambil sikap ekstrim
yang berbeda-beda terhadap anaknya, sikap itu antara lain : 1) Terlalu melindungi (
overprotection), sikap terlalu melindungi ditunjukan dengan terlalu mencampuri dan
mendominasi anak oleh orangtuanya. 2) Penolakan ( rejection), anak yang sedikit terabaikan
oleh orang tuanya merasa rendah diri, dilupakan, pesimis dan memiliki rasa percaya diri yang
rendah. Pada perawatan gigi anak seperti ini bisa menjadi tidak kooperatif, menyulitkan, dan
susah diatur. 3) Terlalu Cemas (overanxiety) sikap dari orangtua dengan perhatian yang
berlebihan dan tidak semestinya pada anak, hal ini selalu diiringi dengan sikap terlalu
memanjakan anak, terlalu melindungi, atau terlalu ikut campur. 4) Terlalu Mengidentifikasi
(overidentification), jika si anak tidak mau mengikuti keinginannya, orangtua anak tersebut
3
merasa dikecewakan. Umumnya tingkah laku anak tercermin dalam perasaan malu-malu,
mengucilkan diri sendiri, pesimis dan tidak percaya diri.7
Relasi antar tiga komponen Pedodontic Treatment Triangle dalam penanganan pasien
anak sangat berhubungan dengan interaksi ketiganya. Karena masing-masing komponen
saling berinteraksi dan memiliki posisi tertentu dalam Pedodontic Treatment Triangle . Anak
menjadi fokus dari dokter gigi dan dibantu oleh orang tua. Perawatan gigi anak akan
dipusatkan pada orientasi anak sebagai pasien dan orangtuanya, dokter gigi akan bertindak
untuk mengarahkan orangtua pada perawatan yang diindikasikan kepada anaknya.7,8
Kunjungan pertama untuk anak dan orangtuanya pergi kedokter gigi sering kali
hanyalah merupakan kunjungan perkenalan, yaitu memperkenalkan anak kepada dokter
giginya dan lingkungan klinik. Hal ini penting agar anak merasa familiar dengan suasana
praktek dokter gigi. Apabila anak merasa takut, tidak nyaman, atau tidak kooperatif, maka
mungkin perlu dilakukan penjadwalan ulang. Kesabaran dan ketenangan orang tua dan
komunikasi yang baik dengan anak sangatlah penting pada kunjungan ini. Kunjungan yang
singkat dan berkelanjutan ditujukan untuk membangun kepercayaan anak pada dokter gigi
dan lingkungan klinik, dan hal ini terbukti sangat berharga apabila anak nantinya
membutuhkan perawatan.7
PARAMETER KEBERHASILAN PERAWATAN GIGI ANAK
Perawatan kesehatan gigi anak secara dini sangat berguna bagi anak yang masih
dalam taraf tumbuh kembang. Penerapan instruksi pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut
anak sebaiknya telah dimulai sejak anak masih dalam kandungan. Untuk membantu pasienpasien seperti di atas, dokter gigi harus melibatkan orang tua (atau pengasuh) yang harus
didorong untuk lebih kooperatif memerhatikan kesehatan gigi dan mulut anak.5
Keberhasilan dalam melakukan komunikasi efektif dengan konsep Pedodontic
Treatment Triangle dalam menentukan keberhasilan melakukan perawatan pada gigi anak
juga ditentukan oleh perubahan persepsi rasa takut anak yang berkembang seiring
pertumbuhannya. Persepsi rasa takut berubah seiring usia anak, ungkapan dan intensitas dari
ketakutan anak bervariasi oleh perasaan, keadaan fisik anak dan usia. Perkembangan rasa
takut anak pada perawatan gigi dan mulut yang dijabarkan sesuai tingkatan usia ialah sebagai
berikut :1) Pada usia 2-3 tahun adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan anak pada
perawatan gigi dan mulut. 2)Pada usia 3-4 tahun anak merasa bahwa pergi ke dokter gigi
merupakan ancaman dari orangtua. Ini membuat peran orangtua menjadi lebih dominan
dalam mendampingi anak selama ada di ruang perawatan. 3) Pada usia 4-6 usia empat sampai
enam tahun rasa takut tersebut secara berangsur-angsur berkurang bila perawatan gigi tidak
menumbulkan rasa sakit atau kegaduhan yang ditimbulkan alat-alat kedokteran gigi. 3)Pada
usia 7 tahun anak bisa mempertimbangkan dan menyampaikan pada dokter gigi saat muncul
rasa sakit dengan gerak isyarat atau bahasa non verbal.4) Pada usia 8-14 tahun anak belajar
untuk mentoleransi situasi tidak menyenangkan dan memiliki keinginan untuk menjadi pasien
yang patuh. 5) Pada anak remaja dorongan dari dokter gigi dan orangtua menambah motivasi
anak untuk merawat giginya. Anak akan merasa tidak percaya diri bila estetika giginya
kurang baik.4,5,6
Parameter bahwa perawatan gigi dan mulut pada anak telah berhasil dilakukan antara
lain: anak tidak mengalami keluhan fisik setelah perawatan, perawatan yang diberikan efektif
dan tepat, anak memahami cara merawat gigi dan pencegahan dari penyakit serta kerusakan
pada gigi, anak tidak merasa takut pada perawatan gigi, menjadi pasien yang kooperatif dan
dapat diajak bekerjasama, secara umum keadaan gigi geligi anak menjadi sehat, gigi terawat,
jaringan lunak sehat.
PEMBAHASAN
4
Perawatan gigi dan mulut pada anak tidak mungkin dapat dilakukan bila anak tidak
dapat berperilaku kooperatif. Karena dalam perawatan gigi diperlukan kerjasama dari anak
dalam mencapai keberhasilan perawatan. Pendekatan dilakukan melalui tindakan
mendengarkan dan berkomunikasi secara empatik dan efektif dengan anak dan orangtuanya
dalam penerapan Pedodontic Treatment Triangle.2
Pasien anak dan orangtuanya datang dengan keluhan dan berbagai macam alasan
sehingga menjalin komunikasi antara dokter gigi, anak dan orangtua mutlak diperlukan.
Penerapan konsep Pedodontic Treatment Triangle saat menangani pasien anak-anak sangat
menentukan keberhasilan perawatan. Karena melalui konsep tersebut akan tercipta
komunikasi efektif antar komponennya dalam mencapai tujuan dari perawatan gigi pada
anak. Komunikasi antar komponen Pedodontic Treatment Triangle dapat dikatakan efektif
apabila dapat menghasilkan pemahaman anak dan orangtua terhadap kesehatan giginya.2
Pengetahuan dokter gigi tentang rasa takut anak pada kelompok usia tertentu akan
sangat berguna saat pengaplikasian dalam perawatan gigi anak. Pada usia bayi sampai dengan
18 tahun diperlukan komunikasi dan kerjasama dari dokter gigi dengan anak dan orang tua
dalam perawatan gigi anak. Konsep Pedodontik Treatment Triangle diaplikasikan dalam
tingkat usia ini, karena anak masih tergantung dengan orangtuanya dan belum sepenuhnya
mengerti tentang perawatan gigi.5
SIMPULAN
Perawatan gigi dan mulut sejak dini pada anak penting untuk pertumbuhan anak
secara umum, usia anak dan faktor kepribadian orangtua juga berperan dalam membangun
komunikasi efektif dengan dokter gigi. Pada bermacam kondisi psikologis anak konsep
Pedodontic Treatment Triangle mutlak diperlukan agar perawatan yang dilakukan berhasil.
Pelaksaan konsep Pedodontic Treatment Triangle akan berhasil dengan baik bila masingmasing komponen dapat saling bekerjasama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Riyanti E. Pengenalan dan perawatan gigi anak sejak dini. Jakarta: Seminar Sehari
Kesehatan-Psikologi Anak; Mei 29, 2005.
2. Rusmana A. Komunikasi. April 3, 2006. Available from: http//www.dentalcare.com.
Accessed Agustus 20, 2009.
3. Erawati S. Polemik pelayanan dokter gigi. Juni 2, 2008. Available from:
http//www.waspada.co.id/index.php?options=com_content&task=view&id=20516&It
emid=44. Accessed Agustus 19, 2009.
4. Chandra S. Textbook of community dentistry. 2 nd ed. Delhi: Lordson Publisher (P)
Ltd.; 2007. p. 78-95.
5. Muthu MS, Sivakumar N. Pediatric dentistry principles & practice. 1st ed. Elsevier
India Pvt. Limited; 2009. p. 2-6.
6. Rao A. Principles and practice of pedodontics. 2nd. New Delhi: Jaypee Brother (P)
Ltd.; 2008. p. 5-11.
7. Freemeta N. Januari 8, 2009. Edukasi gigi sejak dini. Homepage of Jurnal Bogor.
Available from: http//www.jurnalbogor.com/?p=8217. Accessed Agustus 19, 2009.
8. Tilakraj TN. Essentials of pedodontics. 1 st ed New Delhi: Jaypee Brother (P) Ltd.;
2003. p. 12-37.
5
Mini-screw implant sebagai penjangkar dalam perawatan ortodontik
Wiwekowati
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT
Orthodontic treatment is always associated with control anchorage.
Choosing right anchorage device and maximum anchorage control will be the key
of success in orthodontic treatment. Mini-screw implant based anchorage was
introduced as an alternative device to replace intra-oral and extra-oral based
anchorage. Mini-screw implant has small titanium-made body and capable of
producing maximum anchorage. Mini-screw implant can be placed at various of
mouth chamber sites, such as median hard palate and buccal labial alveolar bone
site and also can be used as an anchorage for various type of orthodontics
problems.
Keywords : mini-screw implant, anchorage, orthodontic treatment
Korespondensi : Drg. Wiwekowati, M.Kes. Bagian Orthodonsia Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl.Kamboja 11A Denpasar,
Telp. (0361) 7424079, 7642701, Fax. (0361) 261278
PENDAHULUAN
Saat melakukan perawatan ortodontik, kehilangan penjangkaran saat
menarik gigi sering terjadi. Apabila kehilangan penjangkaran yang terjadi tidak
terdeteksi, maka dapat mengakibatkan perpanjangan masa perawatan atau
terjadinya masalah maloklusi yang baru. Kehilangan penjangkaran biasanya
terjadi saat perawatan dengan menggunakan penjangkar intraoral 1,2. Penjangkaran
ekstraoral sering digunakan untuk mendukung penjangkaran intraoral untuk
mendapatkan penjangkaran yang maksimum. Tetapi, penjangkaran ekstraoral
memiliki kelemahan seperti penggunaan yang lama, mengganggu penampilan dan
menimbulkan luka pada sudut mulut menyebabkan alat ekstraoral kurang diminati
oleh pasien 2,3,4.
Penjangkaran berbasis mini-screw implant diperkenalkan pertama kali oleh
Kanomi pada tahun 1997. Penjangkaran berbasis mini-screw implant
diperkenalkan sebagai alternatif penjangkaran intraoral dan ekstraoral.
Penjangkaran berbasis mini-screw implant mampu menghasilkan kekuatan
penjangkaran maksimal lebih baik dibandingkan penjangkaran ekstraoral dan
tidak mengganggu penampilan 5.
MINI-SCREW IMPLANT
Mini-screw implant adalah implan yang khusus digunakan untuk
kepentingan penjangkaran ortodontik. Mini-screw implant berbentuk seperti
sekerup, dengan ukuran panjang antara 4 – 11 mm dan diameter kurang dari 2.5
1
mm 5. Mini-screw implant berbahan dasar titanium atau titanium campuran.
Dengan ukuran yang kecil, kemudahan pemasangan dan pelepasan serta dapat
dipasang diberbagai tempat di dalam rongga mulut menjadi keuntungan utama.
Mini-screw implant mempunyai 3 bagian utama yaitu kepala, pasak dan
ulir. Kepala mini-screw implant memiliki berbagai variasi bentuk seperti bentuk
braket, memiliki lubang atau berbentuk bola 5. Ulir yang mengelilingi pasak
berguna untuk memperluas permukaan yang bersentuhan dengan tulang alveolar
sehingga meningkatkan stabilitas implan.
A
B
C
D
E
Gambar 1. Bagian mini-screw implant. A) bagian kepala; B) diameter luar implan;
C) pasak; D) diameter dalam implan; E) bagian ulir 5
Gambar 2. Berbagai jenis mini-screw implant dengan variasi ukuran dan bentuk
kepala 5
INDIKASI PEMASANGAN
Indikasi pemasangan mini-screw implant yaitu 6,7 :
2
1. Pasien yang kehilangan banyak gigi, terutama gigi posterior
2. Kasus saat kekuatan komponen aktif yang akan menghasilkan efek
samping ketika menarik atau mendorong gigi
3. Pasien yang memerlukan pergerakan gigi yang tidak simetris pada
semua bidang
4. Alternatif operasi ortognatik bagi pasien tertentu
3
DAERAH PENANAMAN MINISCREW IMPLANT
Mini-screw implant dapat ditanam di berbagai tempat dalam rongga mulut,
dengan beberapa faktor yang menjadi syarat yaitu 5 : 1) Struktur anatomi daerah
yang ditanam; 2) kualitas tulang alveolar yang menjadi tempat penanaman; 3)
ketebalan ginggiva; 4) faktor kenyamanan pasien. Ketebalan tulang dan struktur
anatomi dapat dilihat dengan foto panoramik.
Mini-screw implant dapat ditanam di rahang atas maupun rahang bawah
tergantung keperluan dan kasus yang ditangani. Daerah penanaman di rahang atas
biasanya di daerah bukal, labial rahang atas, daerah palatal dan tuber maksila.
Daerah penanaman yang paling disarankan untuk penanaman di rahang atas yaitu
daerah palatal bagian median karena ketebalan tulang yang mencukupi dan tidak
banyak pembuluih darah dan saraf. Akan tetapi, daerah palatal kurang disarankan
untuk anak-anak maupun dewasa muda dibawah 20 tahun karena garis tengah
palatal belum menutup sempurna 5.
Gambar 3. Pemasangan mini-screw implant pada daerah palatal 6,7
Daerah rahang bawah merupakan daerah yang aman untuk menanam miniscrew implant. Selain tidak memiliki pembuluh darah yang banyak, ketebalan
tulang alveolar juga medukung. Dearah yang menjadi penanaman mini-screw
implant yaitu bagian bukal, labial rahang bawah dan retromolar pad 5.
Gambar 4. Penanaman mini-screw implant pada daerah retromolar pad 5
4
INSTRUMEN PENANAMAN
Instrumen penanaman dibagi dua jenis yaitu instrumen manual dan
instrumen bermotor. Instrumen manual biasa disebut instrumen tangan merupakan
alat dasar penanaman. Berbentuk menyerupai obeng dan hanya bisa menjangkau
daerah yang terlihat seperti bukal dan labial. Instrumen bermotor berbentuk
menyerupai hand-piece. Instrumen ini memiliki sudut sehingga memudahkan
pemasangan di daerah yang sulit seperti retromolar pad dan palatal. Penggunaan
instrumen bermotor harus berhati-hati dengan kecepatan yang rendah dan tanpa
tekanan yang berlebihan untuk mencegah kerusakan tulang alveolar 5.
Gambar 5. Instrumen manual dan instrumen bermotor 5
Gambar 6. Instrumen penanaman lengkap 5
5
PROSEDUR PENANAMAN
Prosedur penanaman mini-screw implant secara umum yaitu 5: 1)
Menentukan daerah penanaman; 2) Foto panoramik; 3) Memasuki daerah insersi;
4) Sterilisasi daerah insersi; 5) Anastesi lokal; 6) Pemberian tanda pada daerah
yang akan dibur; 7) Penentuan sudut penanaman; 8) Pembuatan jalur insersi; 9)
Menembus jaringan lunak; 10) menembus tulang alveolar.
Sterilisasi daerah insersi dilakukan dengan berkumur menggunakan
chlorheksidin. Anastesi lokal menggunakan lidocaine 2 % dengan ephineprine 1 :
50000 dan diinjeksikan seperempat bagian ampul ke setiap daerah insersi.
Pengeburan dilakukan dengan sudut 450 ke arah oklusal dan kecepatan perputaran
bur tidak boleh melebihi 30 rpm 6,7.
Gambar 7. Langkah penanaman mini-screw implant. a) Anastesi lokal b) dan c)
Penandaan daerah vertikal d) Hasil penandaan daerah insersi e) Memulai insersi f)
Mini-screw implant menembus ginggiva g) Mini-screw implant menembus tulang
alveolar h) Hasil penanaman 5
6
PENYEBAB KEGAGALAN PENANAMAN MINI-SCREW IMPLANT
Ada beberapa jenis kegagalan yang dikemukakan berdasarkan pengalaman
dari berbagai dokter gigi. Kegagalan itu berupa kegagalan yang terkait dengan
implan dan kegagalan terkait dengan dokter gigi 3. Kegagalan yang disebabkan
oleh masalah implan berupa fraktur atau patahnya implan. Pemilihan implan yang
tidak sesuai dengan kekuatan yang akan diaplikasikan akan menyebabkan
terjadinya patahan atau kualitas implan yang dipilih kurang baik. Patahan
ditemukan pada daerah leher dan juga ujung implan. Pemecahan dari masalah ini
adalah dengan menggunakan implan yang memiliki leher yang kuat dengan
diameter yang sesuai dengan kualitas tulang 5.
Gambar 8. Fraktur pada ujung mini-screw implant
Masalah yang disebabkan oleh kesalahan dokter gigi berupa terlepasnya
implan setelah dipasang karena kesalahan pemasangan atau ketidaktelitian dokter
gigi dalam melihat hasil foto radiografis dan adanya fraktur pada ujung implan
yang disebabkan terlalu kerasnya pemutaran. Masalah terlepasnya implan dapat
terjadi secara langsung dan biasanya terjadi saat fase penyembuhan jaringan lunak
5
. Keseriusan, kehati-hatian dan bekerja sesuai prosedur akan mengurangi resiko
yang akan terjadi.
Gambar 9. Keadaan tulang alveolar yang tidak baik yang digunakan sebagai
tempat menanam mini-screw implant
7
DISKUSI
Kebutuhan akan penjangkaran maksimal telah mendorong para ahli dalam
bidang kedokteran gigi untuk menemukan penjangkar terbaik untuk perawatan
ortodontik. Mini-screw implant merupakan jenis implan yang penggunaannya
secara khusus adalah sebagai penjangkar ortodontik. Mini-screw implant pertama
kali dibuat sebagai penjangkaran alternatif pengganti penjangkaran intra dan
ekstraoral. Hal ini disebabkan penjangkaran yang ada belum mampu
menghasilkan kekuatan penjangkaran yang maksimal, terjadi kehilangan
penjangkaran serta menimbulkan ketidaknyamanan 4,7. Dalam pemasangan implan,
struktur anatomi, ketebalan tulang alveolar dan jaringan penyangga sekitarnya
sangat penting diperhatikan. Semua ini akan menentukan ukuran implan yang
akan digunakan dan kedalaman penanaman 5. Selain itu letak pembuluh darah,
saraf, kanalis mandibula dan sinus harus diperhatikan agar tidak terjadi perforasi
atau terjadi luka akibat tertembus implan.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Poggio et al (2006) dapat ditentukan
daerah yang aman untuk dilakukan pemasangan miniscrew implan di daerah
maksila dan mandibula, sebagai berikut : daerah penanaman yang aman di
maksila yaitu, 1) Pada sisi palatal, daerah inter-radikular antara molar satu dengan
premolar kedua maksila, 2 sampai 8 mm dari alveolar crest dan antara molar satu
dengan molar kedua maksila, 2 sampai 5 mm dari alveolar crest; 2) Pada sisi
bukal dan palatal antara premolar satu dengan premolar dua dan antara premolar
satu dengan kaninus; 3) Pada sisi bukal, daerah inter-radikular antara molar satu
dan premolar kedua; 4) Pada maksila, semakin anterior dan semakin apikal,
semakin aman untuk lokasi penanaman. Sedangkan daerah penanaman yang aman
di mandibula yaitu daerah inter-radikular antara molar pertama dengan molar
kedua, premolar pertama dengan premolar kedua, molar pertama dengan premolar
kedua pada 11 mm dari alveolar crest dan premolar pertama dengan kaninus pada
pada 11 mm dari alveolar crest
Dari data-data yang dikumpulkan oleh Melsen (2005) dan Fortini (2004)
dapat disimpulkan beberapa indikasi dari penggunaan miniscrew implan yaitu :
(1) digunakan untuk pasien yang kehilangan banyak gigi posterior sehingga tidak
bisa memasang alat intraoral, (2) kasus dimana kekuatan dari komponen aktif
akan menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan, (3) pasien yang
memerlukan pergerakan gigi yang tidak simetris pada semua bidang, (4) alternatif
operasi ortognatik bagi beberapa pasien tertentu. Selain pasien dengan kelainan
diatas, miniscrew implan juga digunakan untuk semua kasus yang memerlukan
penjangkaran maksimal.
KESIMPULAN
Dari data yang telah dikumpulkan maka didapatkan sebuah kesimpulan
yaitu, mini-screw implant mampu menghasilkan kekuatan penjangkaran yang
maksimal dan dapat digunakan untuk berbagai macam kasus. Tetapi, penanaman
mini-screw implant memerlukan persetujuan dari pasien dan tidak perlu
menggunakan mini-screw implant untuk menangani semua kasus apabila kasus
8
tersebut masih mampu ditangani dengan alat ekstraoral sebagai penjangkar. Hal
ini dilakukan karena tidak semua pasien mau melakukan penanaman mini-screw
implant dan untuk memangkas harga.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jankauskas G, Labanauskaite B, Vasiliauskas A, Haffar N. Implants for
orthodontic anchorage. Meta-analysis, Stomatologija, Baltic Dental and
Maxillofacial Journa 2005; 7(4):128-132.
2. Terada K, Chen F, Hanada K, Saito I. Anchorage effect of osseointegrated
vs nonosseointegrated palatal implants. Angle Orthodontist 2006; 76(4):
660-665.
3. Morais L, Serra GG, Muller CA, Andrade LR, Palermo EFA, Elias CN,
Meyers Marc. Titanium alloy mini-implants for orthodontic anchorage:
immediate loading and metal ion release. [Homepage of Elsevier] 2007.
Available from: http://sciencedirect.com/locate/3/331-339.
4. Tinsley D, O’Dwyer JJ, Benson PE, Doyle PT dan Sandler J. Orhodontics
palatal implants: clinical technique. Journal of Orthodontics 2004;31: 3-8.
5. Park In-Kwon, Paik Cheol-Ho, Woo Youngjoo, Kim Tae-Woo.
Orthodontics miniscrew implants: clinical applications. United Kingdom:
Mosby; 2009. p.8-10, 22-32, 34-57.
6. Fortini A, Cacciafesta V, Sfondrini MF, Cambi S, Lipoli M. Clinical
applications and efficiency of miniscrews for extradental anchorage.
Orthodontics 2004; 1(2):1-12.
7. Melsen B. Mini-implant: where are we ?. JCO [Homepage of JCO, Inc.]
2005. Available from: http://www.jco-online.com/journal/XXXIX/9/539547.
9
Pemakaian pelindung mulut jenis Custom Made menimbulkan keluhan subjektif lebih
rendah daripada jenis Boil and Bite
Ria Koesoemawati
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT
Function of mouthguard will be optimal if that comfort and not cause subjective
complaints on arch for the used. Although in using the boil and bite mouthguard it is unstable
and uncomfortable one, but it was still commonly used by athletes. Meanwhile the custom made
mouthguard actually more fit to the mouth. The aim of this study is to find out the different of the
subjective complaints between custom made and boil and bite mouthguards. Treatment by
subject in two periods of cross overly design was applied in this experimental study. Twelve of
volunteers of boxers were involved in this study and they were divided into two groups. In the
first period (2 days) the group I used custom made and the group II used boil and bite. The
second two days were a washing out period. In the second period (2 days) the use of mouthguard
were cross overly. Wilcoxon signed rank test (α = 0,05) was used in analyzing the mean different
of data early and after using mouthguard. The result show that the use of custom made and boil
and bite mouthguard have comparison mean value are 15.33 ± 0.65 and 22.25 ± 1.85
respectively and significantly different (p<0,05). It is concluded that the use of custom made
mouthguard lesser subjective complaints than boil and bite.
Keyword : custom made mouthguard, boil and bite mouthguard, subjective complaints.
Korespondensi : Drg. Ria Koesoemawati, M.FOr. Bagian Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasarawati Denpasar, Jl Kamboja 11A Denpasar, Telp (0361) 7424079, 7462701, Fax
261278.
PENDAHULUAN
Alat-alat pelindung dibuat untuk menghindari atau mengurangi risiko terjadinya cedera.
Pelindung mulut merupakan salah satu alat pelindung terhadap cedera orofasial.21 Alat ini telah
teruji efektif mengurangi insiden terjadinya cedera orofasial, telah dilaporkan bahwa sejak tahun
1962 ketika pelindung mulut menjadi syarat mutlak harus digunakan selama pelatihan dan
kompetisi sepakbola di Akademi dan Sekolah tinggi, hasilnya cedera orofasial turun dari 50%
menjadi 5%.15
Terdapat tiga jenis pelindung mulut. Stock mouthguard adalah jenis yang sudah tidak
direkomendasikan lagi oleh para dokter gigi olahraga. Alat ini langsung digunakan begitu dibuka
dari kemasannya tanpa ada penyesuaian terlebih dahulu. Mouth-formed mouthguard merupakan
jenis kedua. Ada dua jenis dari pelindung ini yaitu shell-liner dan boil and bite. Retensi dari jenis
ini didapatkan dari penyesuaian langsung pada geligi dan rahang pemakainya. Sedangkan jenis
ketiga adalah Custom made mouthguard, yang dibuat oleh dokter gigi dengan cara mencetak
rahang atas (umumnya) dari pemakainya. Hasilnya sesuai dengan ukuran geligi dan rahang
pemakainya, sehingga retensi menjadi optimal.7,13,15,18,21
Pelindung mulut boil and bite paling umum digunakan oleh atlet, tersedia dan mudah
didapat di toko-toko alat olahraga serta harganyapun relatif murah. Penyesuaian terhadap geligi
dan rahang dapat dilakukan sendiri oleh sipemakai akibatnya menjadi tidak maksimal dan
menyebabkan mudah lepas. Hal ini yang menimbulkan banyak keluhan apabila dipakai sehingga
menyebabkan tidak nyaman dipakai dan akibatnya menjadi tidak dipakai. Sedangkan pelindung
mulut custom made belum banyak dipakai atlet.
Hanya sekitar 10% atlet menggunakan pelindung mulut custom made, 90% lebih
menggunakan boil and bite.15 Pelindung mulut boil and bite banyak memberikan keluhan dan
tidak nyaman dipakai sedangkan custom made secara teoritis lebih nyaman karena sesuai ukuran
tetapi mengapa tidak banyak digunakan para atlet ? Hal ini harus dicari penyebabnya sehingga
perlu diteliti, untuk mengetahui perbedaan keluhan subjektif akibat pemakaian pelindung mulut
boil and bite maupun custom made. Penelitian ini juga dimaksudkan sebagai informasi kepada
pemakai pelindung mulut agar bisa memilih jenis yang lebih sedikit atau rendah memberikan
keluhan subjektif agar fungsi proteksi alat pelindung menjadi optimal.
Pelindung Mulut
Pelindung mulut merupakan alat pelindung yang digunakan di dalam rongga mulut
dengan tujuan mengurangi kemungkinan dan keparahan dari cedera orofasial yang diakibatkan
oleh aktivitas olahraga.21 Fungsi pelindung mulut bekerja sebagai peredam terhadap hantaman
atau benturan.4,9,11,20 Sedangkan manfaatnya dapat mencegah cedera seperti terjadinya laserasi
pada pipi dan bibir dari bentuk tepi gigi-gigi rahang atas, fraktur tulang wajah terutama rahang
bawah, cedera permanen pada sendi rahang, fraktur gigi terutama geligi anterior, lepasnya gigi
dari soketnya, gegar otak akibat kekuatan hantaman kuat pada rahang bawah, perdarahan
cerebral dan terjadinya laserasi pada bibir dan pipi dikarenakan memakai alat meratakan gigi saat
kena hantaman.15,18,21
Ada tiga jenis pelindung mulut, yang pertama jenis stock. Tersedia dalam tiga ukuran
(small, medium dan large). Cara penggunaan langsung dipakai tanpa ada tindakan apapun
sebelumnya. Kerugiannya adalah ukurannya tertentu, ketepatannya kurang, bicara dan
pernafasan terhambat, rahang perlu ditutup untuk memegang alat pelindung, tidak nyaman
sehingga atlet tidak mau memakai.15
Jenis kedua adalah mouth-formed dimana terdapat dua tipe yaitu shell-liner dan boil and
bite. Shell diisi akrilik atau rubber, kemudian ditempatkan di dalam mulut agar mengikuti bentuk
gigi dan dibiarkan sampai mengeras.15 Sedangkan Boil and bite yang bahannya dari termoplastik
direndam dalam air panas, kemudian dibentuk di dalam mulut dengan menggunakan jari, lidah
dan tekanan gigit. Tersedia dalam ukuran tertentu, sering tidak pas, kurang memberikan
perluasan yang tepat sehingga atlet sering memotong bagian belakang. Akibatnya dapat
mengurangi fungsi perlindungan yang tepat, kesempatan timbulnya cedera meningkat terutama
gegar otak. Cedera seperti ini dapat menyebabkan efek yang abadi.13,15 Pelindung mulut mouthformed yang digunakan pada penelitian ini adalah tipe boil and bite, karena jenis ini yang banyak
digunakan atlet tinju dan karate di denpasar.
Jenis ketiga adalah custom made, dibuat oleh dokter gigi dan merupakan jenis yang
paling memuaskan karena memberikan proteksi maksimal.4,13 Dibuat dengan cara mencetak
rahang atas (umumnya) oleh dokter gigi, menjadi model gips. Di atas model gips diletakkan
bahan termoplastik selanjutnya di pres/tekan dengan alat. Proses pembuatan ada dua cara yaitu
vacuum dan pressure-laminated. Prinsip pembuatan sama hanya bila dengan pressure-laminated
bisa dibuat lebih dari satu lapis bahan termoplastik, proses penyatuan bahan secara kimia, di
bawah panas dan tekanan yang tinggi.13 Pelindung mulut custom-made yang digunakan pada
penelitian ini jenis pressure-laminated dengan dua lapis bahan dengan mesin Biostar buatan
Jerman.
Keluhan Subjektif
Masukan ke dalam sistem saraf dapat timbul karena adanya reseptor sensorik yang akan
mengenali bermacam-macam rangsangan sensorik misalnya raba, tekan, getar, suhu, nyeri dan
cahaya. Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit hampir tidak pernah terangsang oleh perabaan
yang biasa atau rangsang tekan, namun akan sangat aktif terhadap rangsang rasa hebat yang
dapat merusak jaringan.5,8
Kehadiran benda asing (pelindung mulut) dalam rongga mulut akan menimbulkan
rangsangan yang berlebihan pada sistem sensorimotor. Baik pada propioreseptor maupun
ekteroseptor, yang dapat dipengaruhi oleh besar, bentuk, posisi dan tekanan yang berasal dari
pelindung mulut.21
Pelindung mulut rahang atas dipasang dan dibiarkan beberapa waktu, untuk menentukan
apakah ada keluhan. Penggunaan pelindung mulut dapat menimbulkan tekanan-tekanan pada
bagian tertentu, yaitu jaringan di rongga mulut yang kontak dengan pelindung mulut. Tekanan
yang terus-menerus dapat menyebabkan iritasi dan rasa sakit pada jaringan lunak.6
Respon jaringan terhadap penggunaan pelindung mulut sifatnya individual. Bila toleransi
jaringan mukosa dilampaui, kerusakan dan perdangan akan terjadi, akibatnya pelindung mulut
tidak dapat dipakai. Pada rahang atas yang sering mengalami iritasi adalah daerah tuberositas
maxillaris, vestibulum buccalis dan labialis akibat sayap yang terlalu panjang dari pelindung
mulut.2,6,21
Oleh karena itu, pada penelitian ini, keluhan subjektif yang diukur adalah timbulnya
derajat rasa tekan, mulai dari yang ringan yaitu tidak menekan, agak menekan, menekan dan
sangat menekan.
WAKTU
Keluhan yang sifatnya subjektif dapat timbul segera atau setelah beberapa waktu sejak
adanya rangsang sensoris. Waktu atau lamanya pemakaian pelindung mulut, selain frekuensi dan
intensitas merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan derajat/degradasi perasaan, dalam
hal ini adalah degradasi rasa tekan.
Pada penelitian ini, pelindung mulut digunakan subjek pada rahang atas, dalam posisi
oklusi sentrik dan mulut tertutup selama dua jam. Dilakukan untuk mengetahui adanya keluhan
yang timbul yaitu rasa tekan pada daerah tuberositas, vestibulum buccalis dan labialis, gusi
bukal, labial serta palatal, mukosa pipi juga bibir kemudian gigi.
Pengukuran dilakukan dengan pengisian kuesioner, saat pertama dipakai dan sesudah
perlakuan tentang adanya rasa tekan yang dirasakan. Penilaian terhadap keluhan subjektif pada
rahang atas, dilakukan dengan semakin rendah nilai keluhan subjektif pada rahang atas,
dilakukan dengan semakin rendah nilai keluhan subjektif berarti semakin sedikit keluhan
subjektif yang dirasakan subjek.
Replikasi perlakuan pemakaian pelindung mulut dilakukan satu hari berikutnya. Ini
karena pelindung mulut yang dipakai selama dua jam dalam sehari diperkirakan tidak sampai
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan, hanya adanya rasa sentuh dan rasa tekan pada
jaringan. Washing out dilakukan selama dua hari, karena untuk menghilangkan efek residu.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di sasana tinju Mirah Silver dan Setiabudi Denpasar selama satu
minggu. Penentuan sampel dengan metode Acak Sederhana (Simple Random Sampling). Jumlah
sampel didasarkan atas hasil penelitian pendahuluan dan dengan rumus Colton3 didapat 12.
Kriteria inklusi adalah petinju laki-laki, umur 20-25 tahun,tinggi badan 150-170 cm, kebugaran
fisik minimal baik dan pengalaman memakai pelindung mulut 2-6 tahun.
Rancangan penelitian adalah penelitian eksperimental dengan rancangan silang (TwoPeriod Cross Over Design ) 1,6,17,. Sampel yang terpilih langsung dikelompokkan (random
alokasi) menjadi dua kelompok. Kelompok I mendapat perlakuan memakai pelindung mulut Boil
and Bite terlebih dahulu lalu perlakuan memakai Custom Made (kelompok kontrol). Sedang
kelompok II mendapat perlakuan memakai pelindung mulut Custom Made terlebih dahulu lalu
perlakuan memakai Boil and Bite (kelompok perlakuan). Dilakukan selama dua kali dalam dua
hari berturut-turut dan dilakukan washing out selama dua hari sebelum dilakukan perlakuan
berikutnya. Pengukuran dengan menggunakan kuesioner (rasa tekan), rahang atas kiri dan kanan
yang dimodifikasi dari Nordic Body Map dengan skala Likert 1-4.
Prosedur penelitian adalah sehari sebelum penelitian, pelindung boil and bite disesuaikan
pada mulut subjek dan diukur antropometriknya, sedangkan pelindung custom made dicobakan
dan diukur juga antropometriknya. Pada hari saat penelitian, sebelum dimulai dilakukan
pemeriksaan fisik rongga mulut selanjutnya subjek diminta memakai pelindung mulutnya pada
rahang atas dalam keadaan oklusi sentrik dan mulut tertutup selama dua jam. Segera setelah itu,
kuesioner keluhan subjektif diisi. Lima menit menjelang dua jam berakhir, subjek mengisi
kuesioner keluhan subjektif lagi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik rongga mulut kembali.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik subjek diuji dengan Uji One-Sample K-S menunjukkan data berdistribusi
normal. Homogenitas diuji dengan Levene’ test, data tidak berbeda bermakna (p>0,05) sehingga
homogen baik pada umur, jenis kelamin, kebugaran fisik dan pengalaman memakai.
Analisis kemaknaan pada penelitian ini dilakukan secara bertahap yang meliputi analisis
efek periode, efek residu, uji komparabilitas berupa uji awal dan uji beda perlakuan. Analisis
efek periode diuji dengan U Mann-Whitney, (tabel 1).
Tabel 1. Efek Periode Keluhan Subjekti Pemakaian Pelindung Mulut
Kelompok
Subjek
Rerata Selisih
Beda Keluhan
Subjektif
SB
Z
P
-1,696
0,090
n=6
Klp I
(BB-CM)
Klp II
(CM-BB)
14,25
1,54
12,50
1,38
SB = Simpang Baku; n = Jumlah Sampel
Hasil menunjukkan tidak berbeda bermakna (p>0,05), berarti bahwa periode dalam
penelitian tidak berpengaruh terhadap keluhan subjektif subjek, baik pada periode pertama dan
kedua. Analisis efek residu diuji dengan U Mann-Whitney, (tabel 2).
Tabel 2. Efek Residu Keluhan Subjektif Pemakaian
Kelompok
Subjek
Rerata Jumlah
Beda Keluhan
SB
Z
p
Pelindung Mulut
Subjektif
n=6
Klp I
(BB – CM)
Klp II
(CM – BB)
0,9
5
-1,71
0,4
2
-2,25
0,969
0,332
SB = Simpang Baku; n = Jumlah Sampel
Hasil menunjukkan tidak berbeda bermakna (p>0,05), berarti bahwa tidak ada pengaruh
sisa perlakuan periode pertama terhadap perlakuan di periode berikutnya. Analisis statistik uji
komparabilitas Uji Awal dengan Wilcoxon Signed Rank Test, (tabel 3).
Tabel 3. Uji Awal Keluhan Subjektif Pemakaian Pelindung Mulut antar Perlakuan
Kelompok
Rerata
SB
Z
p
-3,071
0,002
n = 12
Klp kontrol
(Boil and Bite)
Klp perlakuan
(Custom Made)
17,54
1,34
24,00
0,00
SB = Simpang Baku; n = Jumlah Sampel
Hasil menunjukkan signifikan berbeda (p<0,05), berarti pada saat awal perlakuan dengan
perlakuan berbeda nilai keluhan subjektifnya juga berbeda. Terlihat bahwa pemakaian pelindung
mulut custom made memberikan keluhan subjektif lebih tinggi di awal perlakuan. Sedangkan
analisis statistik uji komparabilitas Uji Beda dengan Wilcoxon Signed Rank Test, (tabel 4).
Tabel 4. Keluhan Subjektif Pemakaian Pelindung Mulut antar Perlakuan
Kelompok
Rerata
SB
Z
p
-3,065
0,002
n = 12
Klp kontrol
(Boil and Bite)
Klp perlakuan
(Custom Made)
22,25
1,85
15,33
0,65
SB = Simpang Baku; n = Jumlah Sampel
Hasil menunjukkan signifikan berbeda (p<0,05), berarti terdapat perbedaan keluhan
subjektif antara pemakaian pelindung mulut custom made dengan boil and bite. Tampak rerata
keluhan subjektif pemakaian custom made lebih rendah berarti memberikan keluhan subjektif
lebih sedikit dari boil and bite.
PEMBAHASAN
Dari hasil analisis karakteristik subjek yang berdistribusi normal dan bersifat homogen,
juga karena rancangan desain penelitian ini adalah rancangan silang sama subjek, berarti faktor
internal subjek dapat diminimalisir. Dengan demikian hasil akhir dari penelitian ini tidak
dipengaruhi oleh faktor karakteristik subjek, tetapi akibat adanya perbedaan perlakuan yang
diberikan.
Hasil analisis efek periode yang tidak berbeda bermakna membuktikan bahwa
kemungkinan untuk terjadinya efek periode tidak terjadi. Ini berarti respon sampel terhadap
perlakuan yaitu timbulnya keluhan subjektif, tetap tidak berubah baik pada periode I dan II.
Analisis kemaknaan efek residu yang tidak berbeda bermakna membuktikan tidak terjadi
efek residu. Ini berarti bahwa tidak ada pengaruh dari perlakuan pemakaian boil and bite pada
periode satu terhadap perlakuan pemakaian custom made pada periode dua, begitu juga
sebaliknya.
Analisis kemaknaan hasil uji awal menunjukkan signifikan berbeda (p<0,05). Terlihat
bahwa pemakaian pelindung mulut custom made memberikan keluhan subjektif yang lebih
tinggi di awal perlakuan. Kehadiran pelindung mulut akan menimbulkan rangsangan berlebihan
pada sistem sensorimotor. Hal ini dapat dipengaruhi oleh besar, bentuk, posisi dan tekanan yang
berasal dari pelindung mulut.21 Sesuai dengan pendapat tersebut, karena proses pembuatan
pelindung mulut custom made menggunakan teknis panas dan tekanan tinggi, maka hasilnya
akan menempel tepat di seluruh permukaan jaringan yang ditutupinya. Subjek merasakannya
seperti agak ketekan pada daerah tersebut. Jadi pada awal memakai pelindung mulut custom
made ini, wajar bila subjek merasakan seperti itu. Hal ini menyebabkan skor lebih tinggi
terhadap rasa tekan di awal perlakuan, dibanding pemakaian pelindung mulut boil and bite.
Pemakaian pelindung mulut boil and bite, pada awal perlakuan menimbulkan respon
yang sebaliknya. Ini juga disebabkan karena proses penyesuaiannya yang tidak bisa
menghasilkan pelindung mulut tepat sesuai dengan bentuk anatomi dari jaringan gigi dan rahang
pemakainya. Akibatnya akan terjadi penekanan-penekanan pada jaringan di sekitarnya, tetapi
tidak merata.
Analisis kemaknaan uji beda perlakuan menunjukkan hasil berbeda bermakna (p>0.05)
pada kedua perlakuan dengan rerata keluhan subjektif pemakaian custom made lebih rendah atau
lebih sedikit dari boil and bite. Pada akhir pemakaian pelindung mulut custom made, nilai
keluhan subjektif berkurang. Adaptasi merupakan sifat khusus dari semua reseptor sensoris.8
Badan pacini merupakan reseptor kulit yang mendeteksi adanya tekanan dan getaran. Reseptor
ini termasuk reseptor yang cepat beradaptasi.19 Ketika tekanan pertama kali datang, reseptor
mula-mula akan berespon terhadap kecepatan impuls yang tinggi, tetapi ketika rangsangan
berlanjut secara progresif respon akan berkurang sampai tidak berespon sama sekali.8 Penjelasan
ini juga dapat menggambarkan keadaan yang sama dari pemakaian pelindung mulut custom
made. Hal ini hanya dapat terjadi bila pelindung tersebut tidak memberikan intensitas rangsang
tekan terus menerus yang tinggi. Pelindung mulut ini karena bentuknya sesuai dengan jaringan
yang ditutupinya, maka intensitas rangsang tekannya ringan.
Berbeda dengan pemakaian pelindung mulut boil and bite, yang di awal memberikan
keluhan tidak tinggi tetapi di akhir pemakaian keluhan yang terjadi meningkat. Akibat proses
dari penyesuaian pelindung boil and bite, menyebabkan timbul tekanan-tekanan pada bagianbagian tertentu terhadap jaringan di rongga mulut yang kontak dengannya. Karena intensitas
rangsang tekan tinggi, tekanan yang terus menerus dapat menyebabkan gradasi rasa tekan
meningkat. Ini didukung pendapat yang mengatakan bahwa tekanan yang terus menerus dapat
menyebabkan iritasi dan rasa sakit pada jaringan lunak.6
Hal di atas dapat dilihat pada gambar berikut ini yang menggambarkan bagaimana
perbandingan pemakaian kedua pelindung pada saat awal dan akhir perlakuan. Tampak
pemakaian pelindung mulut custom made di awal perlakuan lebih tinggi, tetapi kemudian
menurun di akhir perlakuan. Sebaliknya pemakaian pelindung mulut boil and bite di awal
perlakuan lebih rendah, tetapi kemudian meningkat di akhir perlakuan.
Gambar 1. Perubahan Nilai Keluhan Subjektif.
Penelitian yang dilakukan oleh Indah10 diketahui bahwa pemakaian helm AT lebih
banyak memberikan keluhan dibanding helm BH, karena ukuran helm AT lebih besar dari
ukuran kepala pemakainya. Sedangkan penelitian yang dilakukan Mulyati12 diketahui bahwa
pemakaian sepatu voli DF lebih banyak memberikan keluhan dibanding sepatu KDC, karena
desain sepatu DF dimensinya kurang sesuai dengan antropometrik kaki pemakainya. Penelitian
lain yaitu oleh Partha14 tentang pemakaian betel yang dimensinya kurang sesuai dengan
antropometrik tangan menimbulkan keluhan pada tangan pemakainya. Hasil-hasil penelitian
tersebut membuktikan bahwa pemakaian alat bila ukuran tidak sesuai dengan antropometrik
pemakainya akan banyak menimbulkan keluhan. Demikian halnya seperti yang terjadi dengan
pemakaian pelindung mulut boil and bite.
Dari hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pemakaian
pelindung mulut jenis custom made menimbulkan keluhan subjektif lebih rendah daripada
pelindung mulut boil and bite.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakta M. Uji klinik. Majalah Penyakit Dalam Mei 2000; 1(2):99-107.
2. Basker RM.,Davenport JC, Tomlin HR. Perawatan prostodontik bagi pasien tak bergigi.
Soebekti TS, Asril H (penterjemah). Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;1996. p.
9,23,24,54,240,245.
3. Colton T. Inference on means. In : Statistic in medicine. 1st ed. Boston: Little Brown and
Company;1974. p.142-5.
4. Epstein PD. Response to mouthguards are a must on local hardwood.1998. Available from:
http://www.miaa.net/mouthguardresponse.htm. Accessed April 7, 2004.
5. Ganong WF. Sensasi somatovisera. Dalam : Buku ajar fisiologi kedokteran. Wijayakusuma D,
Irawati D, Siagian M, Moeloek D, Pendit BU (penterjemah). Edisi 20. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2003. p.135-8.
6. Gunadi AG, Burhan LK, Suryatenggara G, Margo A, Setiabudi I. Pemasangan dan
pemeliharaan geligi tiruan sebagian lepasan. Dalam : Buku ajar ilmu geligi tiruan sebagian
lepasan. Jilid II. Jakarta: Penerbit Hipokrates; 1995. p. 405-6.
7. Gunner R. Do mouthguard prevent concussions?. 2004. Available from: http://www.canadian
sportstherapy.com/Do_mouth_guard_prevent.concussions.htm. Accessed July 30, 2004.
8. Guyton AC, Hall JE. Sensasi somatik : II. Sensasi nyeri, nyeri kepala dan sensasi suhu. Dalam
: Buku ajar fisiologi kedokteran. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A (penterjemah). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC;1997. p.761-6.
9. Hiller. Mouthguards. 1999. Available from: http//www.drhiller.com./Mouthguards.html.
Accessed Januari 23, 2004.
10. Indah LM. Pemakaian helm BH memberikan kenyamanan yang lebih tinggi dan keluhan
subjektif yang lebih rendah dibandingkan dengan helm AT (tesis). Denpasar: Universitas
Udayana; 2003.
11. Lanzi G. Sports injuries. 2000. Available from: http://espn.go.com./s/2000/0105/271531.html.
Accessed Juni 26, 2004.
12. Mulyati MI. Desain sepatu mempengaruhi keluhan subjektif pada kaki dan kemampuan loncat
tegak. (tesis). Denpasar: Universitas Udayana; 2002.
13. Padilla R. Overcoming objections : providing professionally made custom mouthguards.
2000. Available from: http//www. informed.es/seod/mouthguard.htm. Accessed Februari 16,
2004.
14. Partha CGI. Penggunaan betel modifikasi menurunkan beban kerja dan keluhan subjektif serta
meningkatkan produktivitas pembobok tembok pemasang pipa instalasi listrik. (tesis).
Denpasar: Universitas Udayana; 2002.
15. Peterson D. Mouthguards. 2004 Available from: http://www.dentalgentecare.com/
mouthguards1.htm. Accessed Juni 29, 2004.
16. Procock SJ. Crossover trials. In: Clinical trial : a practical approach. Brisbane: John Willey
& Sons; 1986. p.110-122.
17. Sastroasmoro S, Ismael S. Uji Klinis. Dalam : Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi
2. Jakarta: Sagung Seto; 2002. h. 147-9.
18. Scott J, Burke FJT, Watts DC. A review of dental injuries and the use of mouthguards in
contact team sports. Br. Dent. J. 1994;176:310-314.
19. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem. Pendit BU (penterjemah). Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. p. 96, 128-133.
20. Strazds P. Mouthguards. 1999. Available from: http//www.smasa.asn.au/fact_sheets/
fact_mouthguards.html. Accessed Juni 15, 2004.
21. Tala HML. Sport-related dental injuries. 1999. Available from: http://www.rxpinoy.com/
assets/rxFUM/012hazelt/. Accessed April 7, 2004.
22. Zarb GA, Bolender CL, Hickey JC, Carlsson GE. Buku ajar prostodonti untuk pasien tak
bergigi menurut Boucher. Mardjono D, Koesmaningati H (penterjemah). Edisi 10. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2002. p. 7,16,38,146.
Penggunaan teknik PCR pada deteksi gen gtf B/C karies gigi anak
Yetty Herdiyati Nonong*, Mieke Hemiawati Satari**
*Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak, **Bagian Oral Biologi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
ABCTRACT
The gtf B/C are recognized as important factor of dental caries, but not all cariogenic
bacteria contained the gtf B/C gen.The aim of the research is to determined the easy, cheap,
accurate and up to date the etiology of caries, the gtf B/C gen.The research was done by
laboratory experimental, samples consist 7 samples collected from children dental caries.The
result showed many caries bacteria contained gtf B/C gen : Lactobacillus Fermentum,
Lactobacillus Salivarius, Klebsiela Oxcytoca, Streptococcus Mutans, Streptoccocus
Constelatus, Streptococcus Bovis, Streptococcus Anginosus.The conckusion is the PCR
technic can detected of gtf B/C gen more easy in cariogenic bacteria.
Key Words: PCR, Gen gtf B/C, Caries.
Korespondensi: DR. Drg. Yetty Herdiyati, SpKGA (K). Bagian Ilmu Kedokteran Gigi
Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung.
PENDAHULUAN
PCR adalah singkatan dari Polymerase Chain Reaction. Teknik ini merupakan teknik
perbanyakan DNA secara in vitro yang memungkinkan adanya amplikasi antara dua region
DNA yang diketahui, hanya di dalam tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam
sel (in vitro). PCR merupakan suatu teknik yang memiliki beberapa keunggulan. Yaitu sangat
sensitif, karena dapat mengamplifikasi DNA yang jumlahnya tidak banyak. Selin itu,
memiliki spesifitas yang tinggi dan waktu yang diperlukan untuk melakukannya juga cukup
singkat (kurang dari 24 jam), serta sangat ideal untuk mengidentifikasi pathogen dengan
cepat dan akurat.
Dalam system kerjanya, PCR dilandasi oleh struktur DNA. Dalam keadaan nativenya,
DNA merupakan double helix, yang terdiri dari dua buah pita yang berpasangan antiparalel
satu dengan yang lain dan berikatan dengan ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terbentuk antara
basa-basa yang komplementer, yaitu antara basa Adenin (A) dengan Thymine (T) dan
Guanine (G) dengan Cytosin (C). Basa-basa ini terikat dengan molekul gula, deosiribosa, dan
setiap satu molekul gula berikatan dengan molekul gula melalui ikatan fosfat. Ada 3 tahap
utama di dalam setiap siklusnya, yaitu :
1. Denaturasi. Selama proses denaturasi, double stranded DNA akan membuka menjadi
single stranded DNA. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi
menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa komplemen. Pada tahap ini,
seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang
sebelumnya.
2. Annealing. Primer akan menuju daerah yang spesifik, dimana daerah tersebut memiliki
komplemen dengan primernya. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk.
Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan hydrogen tersebut akan
menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerasisasi
selanjutnya, misalnya pada 720C.
1
3. Reaksi Polimerasisasi (Extention). Umumnya, reaksi polimerasisasi atau perpanjangan
rantai ini, terjadi pada suhu 720C. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami
perpanjangan dengan dNTP yang komplemen pada sisi 3’nya. Jadi, seandainya ada 1 copy
gen sebelum siklus berlangsung, setelah satu siklus, akan menjadi 2 copy, sesudah 2 siklus
akan menjadi 4, sesudah 3 siklus akan menjadi 8 copy dan seterusnya. Sehingga diperoleh
amplifikasi DNA atara 106-109 kali (Wostorn et al, 1992, Retroningrum, 1997).
Pada penelitian ini telah dipilih bakteri yang berasal dari karies gigi anak untuk di
deteksi menggunakan PCR. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi gen gtf B/C pada
bakteri penyebab karies, dengan mengisolasi kromosom bakteri-bakteri yang berasal dari
karies gigi anak. Amplifikasi gen target dengan teknik PCR menggunakan kromosom sebagai
templat, dan produk PCR dideteksi dengan metode elektroforesis aganosa.
BAHAN DAN METODE
Bakteri Identifikasi S. Mutans
Sampel berupa bakteri dari 7 karies gigi anak terlebih dahulu dimurnikan untuk
mengetahui keberadaan S. mutans. Analisis dilakukan melalui uji pada media perbenihan
lempeng agar TYCSB, dan pewarnaan Gram. S. mutans akan tampak mempunyai
karakteristik yang khas baik pada media perbenihan maupun pada pengamatan morfologinya
di bawah mikroskop. Selain itu, analisis terhadap S. mutans juga dilakukan melalui uji
biokimia, dengan mengamati kepekaannya terhadap manitol, sorbitol, eskulin, arginin,
melibiose, dan rafinose. Serta identifikasi 16 srDNA. Untuk mengetahui apakah yang
diperoleh itu benar bakteri sekaligus meneliti ulang S. mutans yang telah di isolasi, setelah
amplifikasi gen 16s rDNA dilakukan sekuensing selanjutnya dilakukan homologi dengan
bakteri yang terdapat di gen Bank menggunakan program DNA Star.
Media dan Bahan Kimia
Blood agar plate, media cair TYCSB, buffer Tris-HC1 10 mM pH 7,6 EDTA 1 mM,
SDS 10%; larutan fenol: kloroform (1:1); natrium asetat 3 M; agarosa (Promega Corporation,
Madison, USA); TAE 50x (242 gr Tris base, 57,1 ml asam asetat glacial, 100 ml 0,5 M
EDTA pH 8 dalam 1 liter aquades); etidium bromida (10 mg/ml); loading buffer (0,25%
bromofenol biru 0,25% xylene cyanol F.F, 15% ficol).
Mutans primer gen rRNA 16 sr DNA
Reverse 5’GGTTC(G/C)TTGTTACGACTT3’
Forward 5’AGAGTTTGATC(A/C)TGGCTAC3’
Mutans primer gen gtf B/C
Reverse 5’ATCATATTGTCGCCATCATC3’
Forward 5’AGAGTTTCCGTCCCTTACTG3’.
Taq DNA polymerase (Pharmacia, Biotech, USA) 5 U/μl; buffer PCR 1x yang diencerkan
dari buffer PCR 10x (KCI 500 mM, Tris HCI 100 mM pH 8,3 pada temperature kamar,
MgC12 15 mM, gelatin 0,1% (b/v)); dNTP 200μM; aquabides steril dan minyak mineral.
Isolasi kromosom Streptococcus mutans. Bakteri dari kultur beku digoreskan pada
permukaan plat agar darah steril, dan diinkubasi pada suhu 370C selama satu malam. Koloni
Streptococus mutans diinokulasi dalam 1,5 ml media cair TYCSB dan diinkubasi selama 6
jam pada suhu 370 C tanpa pengocokan. Kultur kemudian dipindahkan ke dalam 15 ml
media cair TSB dan diinkubasi semalam pada supernatan, dan etanol absolut, lalu diinkubasi
pada suhu –200 C selama satu malam. Campuran disentrifugasi 6.000 rpm selama 10
menit. Endapan dicuci dengan 1 ml etanol 70%, disentrifugasi 6.000 rpm selama 10 menit,
endapan dikeringkan pada temperatur ruang, kemudian tambahkan 25 µl aquabides.
Larutan DNA 5 µl dielektroforesis pada agarosa 1% yang mengandung larutan etidium bromida
2
dan marker standar λ Hind III.
Persiapan gel agarosa. Agarosa 1% dan 1,5% dibuat dalam bufer 1x TAE, didinginkan
0
sampai suhu 60 C, kemudian ditambahkan 1 µl larutan etidium bromida (10 mg/ml), lalu
diaduk. Larutan agar dituangkan kedalam plat. Kemudian ditambahkan 10 µl sample DNA
dicampur dengan 2 µl loading buffer dimasukkan kedalam sumur. Marker DNA yang
ukurannya diketahui λ n film kecepatan tinggi.
Amplifikasi ge n 1 6 s r DN A dilakukan dengan kondisi larutan PCR sebaga i
berikut: denaturasi awal 940C selama 2 menit, denaturasi 940 C 1 menit, annealing 48 0C
selama 1 menit, Elongation 720C selama 1 menit, Pasca Elongation 720C selama 10 menit,
siklus amplikasi 30 siklus.
Amplifikasi gen gtf B/C dilakukan dengan kondisi larutan PCR primer sebagai berikut :
denaturasi awal 940C selama 2 menit, denaturasi 940 C 1 menit, annealing 500C selama 1
menit, Elongation 720C selama 1 menit, Pasca Elongation 720C selama 10 menit, siklus
amplikasi 35 siklus.
Produk PCR yang didapat dideteksi dengan elektroforesis agarosa. Pita-pita yang
terbentuk pada gel agarosa dideteksi menggunakan transiluminator ultra violet dan
selanjutnya difoto dengan film 3300 ASA.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Bakteri dengan Pendekatan 16s rDNA
Dalam menentukan ukuran produk PCR 16s rDNA digunakan marker DNA yaitu
pUC19 yang direstriksi dengan enzim restriksi HinfI (pUC19/HinfI). Hasil restriksi
memberikan pita DNA dengan ukuran 1419 pb. Produk amplifikasi fragmen 16s rDNA
berukuran 1400 sampai 1500an pb (Gambar 1).
1
2
3
4
5
6
7
8
1400-an pb
1419 pb
Gambar 1. Hasil amplifikasi gen 16s rDNA dengan
Panjang Pita 1400-an pb. Keterangan Produk PCR: 1. Penanda berat molekul pUCHinf I; 2.Isolat K1; 3. Isolat K2; 4. Isolat K3; 5. Isolat K4; 6. Isolat K5; 7. Isolat K6;
8. Isolat K7.
Hasil sekuensing menunjukkan bahwa bakteri yang berhasil diidentifikasi dari karies
gigi anak adalah Lactobacilus Fermentum, Lactobacilus Salivarius, Klebsiela Oxytoca,
Streptococcus Mutans, Streptococcus Constelatus, Streptococcus Bovis, Streptococcus
Anginosus.
Tabel 1. Hasil Identifikasi Bakteri dengan Pendekatan 16s rDNA
Kategori
No
Sampel
Nama Bakteri
sampel
1
K1
Karies
Lactobacillus fermentum
3
Homologi (%)
93%
2
3
4
5
6
7
K2
K3
K4
K5
K6
K7
Gigi
Lactobacillus Salivarius
Klebsiella oxytoca
Streptococcus mutans
Streptococcus constellatus
Streptococcus Bovis
Streptococcus anginosus
94 %
96%
97%
85%
96%
85%
Keterangan: Bakteri-bakteri yang teridentifikasi dihomologikan dengan data bakteri
yang ada pada Gen Bank, persentasi (%) menunjukkan tingkat homologinya.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1 di atas, teridentifikasi ke 7 sampel bakteri
yang tingkat homologinya antara 85% sampai 97%, berarti yang ditemukan benar-benar
bakteri.
Identifikasi Bakteri Kariogenik melalui Amplifikasi Fragmen Gen gtf B/C
Gen gtf S. mutans secara konstitutif akan mengekspresikan GTF yang dikode oleh gen
gtf. Gen gtf ini membentuk suatu operon yang terdiri dari gtf B/C yang masing-masing
operon S. mutans memiliki daerah yang conserve dan variabel dimana masing-masing enzim
GTF dikode oleh gen gtf B/C. Adanya daerah yang variabel tersebut mengharuskan adanya
kesesuaian primer yang dirancang dan digunakan. Gen yang berperan pada proses
pembentukan karies hanyalah gen gtf B/C. Sifat gen B adalah mengekspresikan glukan yang
tidak larut sedangkan gen gtf C mengekspresikan glukan larut dan tidak larut. Panjang gen gtf
B/C secara total berukuran sekitar 600 pb (Gambar 2).
1
7
2
3
4
5
6
8
1419 pb
517 pb
450-500 pb
Gambar 2. Amplifikasi Fragmen Gen gtf B/C dengan Panjang Pita Kurang dari 600 pb
Tabel 2. Hasil Amplifikasi Fragmen Gen gtf B/C
Panjang Pita
Kategori
Teramplifikasi
sampel
1
K1
Streptococcus mutans
600 pb
2
K2
Lactobacillus fermentum
700 pb
Rampan
3
K3
Klebsiella oxytoca
600 pb
karies
4
K4
Streptococcus anginosus
500 pb
5
K5
Streptococcus constellatus
700 pb
6
K6
Streptococcus Bovis
500 pb
7
K7
Streptococcus bovis
600 pb
Keterangan: Panjang pita yang teridentifikasi menunjuikkan gen gtf B/C teramplifikasi.
No
Sampel
16s rDNA
Keberhasilan untuk menentukan bahwa sampel tersebut adalah suatu bakteri
ditunjukkan dengan teramplifikasinya gen pengkode 16s rDNA menggunakan primer
universal yang akan mengenali semua bakteri. Dalam menentukan ukuran produk PCR 16s
4
rDNA digunakan marker DNA yaitu pUC 19 yang direstriksi dengan enzim restriksi Hinfl
(pUC 19/Hinfl). Hasil restriksi memberikan pita DNA dengan ukuran 1419 pb. Produk
amplifikasi fragmen 16s rDNA berukuran sekitar 1400 pb.
Produk PCR 16srDNA ini kemudian diambil untuk dilakukan sekuensing, pembacaan
hasil sekuensing digunakan DNA STAR ,dengan primer 16s rDNA . Setelah itu dilakukan
analisis homologi dengan data bakteri yang ada di Gen Bank hasil homologi ternyata
didapatkan bukan hanya S. mutans saja tetapi juga bakteri lain, yaitu Lactobacilus
Fermentum, Lactobacilus Salivarius, Klebsiela Oxytoca, Streptococcus Mutans,
Streptococcus Constelatus, Streptococcus Bovis, Streptococcus Anginosus, Streptococcus
Constelatus.
Hal ini diduga karena banyak bakteri rongga mulut yang telah resisten terhadap
basitrasin, hal ini sesuai dengan pendapat Ruoff4 yang juga menyatakan bahwa terdapat
beberapa bakteri rongga mulut telah menjadi resisten terhadap basitrasin sehingga sulit untuk
mengisolasi S. mutans, dengan demikian didapatkan tidak hanya koloni S. mutans saja, tetapi
juga koloni bakteri lain.
Meskipun demikian, yang penting dikemukakan adalah bahwa toleransi terhadap
asam merupakan ciri bakteri kariogenik pada gigi. Berdasarkan hasil penelitian, Lactobacilus
Fermentum, Lactobacilus Salivarius, Klebsiela Oxytoca, Streptococcus Mutans,
Streptococcus Constelatus, Streptococcus Bovis, Streptococcus Anginosus adalah bakteri
yang ditemukan dari gigi karies yang sudah tentu merupakan lingkungan cukup asam, maka
diduga bakteri-bakteri tersebut tahan terhadap asam. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa
keberadaan karies tidak identik dengan keberadaan S. mutans.
Pada penelitian ini didapat fragmen gen gtf B/C dengan panjang yang berbeda-beda
bagi setiap spesies bakteri, hal ini disebabkan karena gen gtf B/C ini memiliki selain daerah
yang ”conserve”. Gen ini pula memiliki daerah yang sangat bervariasi sehingga menurut
Yamashita5 bahwa untuk isolasi gen ini tidak memiliki primer yang spsesifik karena banyak
ditemukan daerah yang bervariasi yang disebabkan karena adanya penyisipan asam amino
pada daerah aktif gen gtf B/C. Bakteri yang memilki gen gtf B/C adalah bakteri yang
memiliki salah satu sifat kariogenik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bakteri yang
mampu mengekspresikan enzim glukosiltransferase dengan teramplifikasinya gen gtf B/C
pada beberapa bakteri hasil isolasi yang berasal dari karies gigi.
SIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknik PCR
memudahkan terdeteksinya gen gft B/C dibuktikan dengan amplifikasi gen 16s rDNA
diperoleh produk PCR dengan panjang pita 1400-an pb. Sedangkan, produk PCR dengan gen
gtf B/C diperoleh panjang pita kurang dari 600 pb. Ukuran panjang ini mendekati dengan
data yang ada pada gen Bank.
DAFTAR PUSTAKA
1. Retnoningrum DS. Penerapan polymerase chain reaction (pcr) untuk diagnosa penyakit
infeksi. Bandung: ITB Jurusan Farmasi FMIPA; 1997.
2. Watson JD, Gilman M, Witkowski J, Zaller M. Recombinant DNA. New York: WH
Freeman; 1992.
3. Satari MH. Fenomena molekuler hiperproduksi enzim betalaktamase pada staphilococcus
aureus resisten terhadap Ampisilin-Sulbaktam. (Disertasi). Bandung: Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran; 2002.
4. Ruoff KL. Streptococcus anginosus (“Streptococcus milleri”): the unrecognized pathogen.
J Clin Microbiol 1988; 1(1):102-10.
5
5. Yamashita Y, Bowen WH, Kuramitsu HK. Molecular analysis of a streptococcus mutans
strain exhibitmg polymorphism in the tandem gtf bang gtf BC genes. Infect Immun 1992;
60(4):1618-16.
6. Munson MA, Banerjee A, Watson TF, Wade WG. Molecular analysis of the microflora
associated with dental caries. J Clin Microbiol 2004: 3023-30.
7. Byun R, Nadkarni MA, Chhour KL, Martin FE. Quantitative analysis of diverse
lactobacillus species present in advanced dental caries. J Clin Microbiol 2004; 42(7):312831.
6
Perawatan dental pada anak dengan kelainan jantung
Willyanti Soewondo Syarif, Syarief Hidayat
Bagian Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
ABSTRACT
The aim of this this article is to recognize alternative treatment for Heart Diseases in
children.This patient is one of medically compromised patient oftenly become dentist patient.
Heart diseases consist of congenital Heart Diseases and Acquired heart diseases.
Dental Treatment Planning of this patient depend on mild and severity of diseases, the
treatment might be conventional in dental practice and hospital setting; interdisciplinary
approach with cardiolog, dental anesthetist and pediatric dentist, using farmacological
approach. The treatment suggestion to this patient are preventive dental diseases, due to the
diseases; giving antibiotic prophylactic, and technic avoiding endocarditis bacterialis due to
bacteriaemia.
Conclusion: treatment suggestios in managing patient with heart diseases is
preventive procedures, and interdicipllinary approach with other specialistic related due to
pharmacological approach.
Key Words: Congenital heart Diseases, acquired heart diseases, prophylactic antibiotic,
pharmacological approach.
Korespondensi: DR. Drg. Willyanti Soewondo Syarif, SpKGA (K). Bagian Ilmu
Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung.
PENDAHULUAN
Kelainan jantung pada anak yang umumnya terjadi adalah penyakit jantung bawaan
atau Congenital Heart Diseases /CHD. Congenital Heart Diseases adalah kelainan jantung
bawaan yang terjadi pada anak dan merupakan salah satu jenis medically compromised
patient yang sering datang ke praktek dokter gigi.1,2 .Salah satu peran dari dokter gigi anak
mengkoordinir penanganan anak dengan medically compromised. Sering digunakan istilah
medically compromised untuk mengingatkan klinisi bahwa anak-anak ini mempunyai kondisi
medis juga dapat mempengaruhi perawatan dental atau dapat juga disertai dengan tanda
dental/ oral yang spesifik1. Tujuan dari makalah ini adalah agar dokter gigi mengetahui/
mengenal cara penanganan anak dengan kelainan jantung bawaan.
TINJAUAN UMUM KELAINAN JANTUNG PADA ANAK
Penyakit kelainan jantung dibagi 2 kelompok besar yaitu penyakit jantung kongenital
(Congenital Heart Diseases/CHD) yang ada sebelum kelahiran dan penyakit jantung dapatan
yang terjadi setelah lahir. 1,2,3 Keparahannya bervariasi luas, 2/3 penderita menunjukkan gejala
pada tiga tahun pertama kehidupan.2,3
Congenital Heart Deseases (Chd)
CHD berhubungan dengan abnormalitas struktur jantung dan dapat menjadi salah satu
gejala dari sindrom atau abnormalitas kromosom. 70% pasien dengan sindrom down
mengalami CHD. CHD mengenai 8-10 kasus per 1000 anak lahir hidup dengan gender yang
seimbang. Mayoritas kasus menunjukkan bahwa tidak ada faktor genetik tertentu sebagai
penyebab, tetapi faktor yang berisiko tinggi untuk terjadinya penyakit jantung bawaan ini
diantaranya maternal rubela diabetes, alcoholism, konsumsi obat-obatan selama hamil seperti
1
phenitoin dan warfain. Keparahan penyakit tergantung dari hemodinamik lesi. Gangguan
aliran darah disebabkan oleh abnormalitas struktur atau defek obstruktif yang mengakibatkan
shunting aliran darah.1
Yang termasuk CHD adalah Ventricular septal defect, (VSD), Atrial septal defect
(ASD), Patent Ducus Arteriosus (PDA) dan tetralogy of fallot (TOF). VSD adalah defek
septum dalam dinding ventrikel yang paling banyak terjadi. Defek kecil biasanya tanpa gejala
dan diketahui saat pemeriksaan rutin. Defek besar dapat menyebabkan sesak nafas, kesulitan
makan dan buruknya pertmbuhan. 30%-50% defek kecil dapat menutup sendiri dan terjadi di
tahun pertama, sedangkan defek besar biasanya ditutup dengan pembedahan. ASD adalah
defek septum dekat foramen ovale, lebih sering pada orang dewasa. PDA merupakan
kegagalan penutupan duktus yang menghubungkan areteri pulmonalis dengan aorta, hal ini
sering terjadi pada bayi lahir dengan prematur. Tetralogy of fallot (TOF) meliputi kelainan
jantung bawaan tipe sianotik yang paling banyak terjadi dengan persentase 7 – 10% dari
seluruh Congenital Heart Defect (CHD), merupakan kasus yang cukup berat, karena terdiri
dari 4 defek yaitu Ventricular) septal defect, pulmonarhy stenosis, dextroposition aorta, right
ventricular hypertrophy. 1,2,3,4 TOF ini merupakan kelainan pertumbuhan jantung dimana
terjadi defek atau lubang dari infundibulum septum intraventrikular dan umumnya TOF
menyebabkan sianosis saat lahir dan saat bayi.
Berdasarkan manifestasi klinis, CHD terdiri dari 2 tipe yaitu tipe sianosis dan
asianosis. Tipe sianosis seperti pulmonary stenosis, tetralogy of fallot (TOF).3 Manifestasi
klinis tipe sianosis;sianosis sistemik, clubbing finger, dyspnea dan heart murmur. Adapun
prognosisnya tergantung dari berat ringannya malformasi. Pada tipe sianosis aliran adalah
right to leftt shunt. Tidak ada tanda oral spesifik pada pasien dengan CHD, manifestasi klinis
tergantung dari anomaly struktur yang diderita.4,5 Manifestasi oral dari CHD adalah sianosis
gusi dan stomatitis, glositis, defek email terutama pada gigi sulung, meningkatnya risiko
karies dan penyakit periodontal.1,2,5
Gambar 1. Sianosis Gusi pada CHD
Gb 2a. Sianosis Bibir pada pasien CHD2
Gb 2b. Clubbing finger2
Sianosis pada gusi dan Clubbing finger pada pasien dengan CHD tipe sianosis.2
Termasuk tipe asianosis adalah ASD, VSD, PDA, Aortic Stenosis, Pulmonary Stenosis. Tipe
asianosis aliran adalah left to right shunt dan mempunyai prognosis lebih baik dari tipe
2
sianosis. Manifestasi klinis tipe asianosis adalah dapat terjadi gagal jantung, respiratory
distress, heart murmur dan cardiomegaly.
ETIOLOGI
Etiologi belum diketahui jelas, diduga multifaktorial sebagai interaksi faktor genetic
dan lingkungan termasuk infeksi yang terjadi, dan adanya faktor teratogen saat trimester 1
kehamilan.1,2,3,4,5
CHD banyak berhubungan dengan sindrom seperti, atau menjadi salah satu gejala
sindrom seperti pada Sindrom Down, Hurler, Marfan, Turner, gangguan enzyme dan
osteogenesis imperfekta. Defek dapat ringan dan dapat juga berat seperti pada TOF dan defek
vascular.3,4
Tabel 1. menunjukkan prevalensi macam-macam penyakit CHD.2,
Ventricular Septal Defect
28
Atrial Septal Defect
10
Pulmonary stenosis
10
Patient Ductus Arteriosus(PDA)
10
Tetralogy of fallot
10
Aortic Stenosis
7
Coartated of thearto
5
Transposition of great arteriol
5
Diverse
15
Penyakit jantung dapatan antara lain, miokarditis, endokarditis bakterialis, dan
rheumatic fever/demam rematik. Penyakit jantung dapatanpun dapat berprognosis buruk.2,4
Demam Rematik
Demam rematik merupakan penyakit jantung dapatan yang dapat disebabkan infeksi
pernafasan oleh streptokokus hemolitikus grup A dan adanya faktor predisposisi untuk
terjadinya demam rematik. 3 Manifestasi klinis; dapat bersifat mayor dan minor. Mayor yaitu
meliputi adanya carditis, poliartritis, eritema marginatum, chorea. Minor yaitu fever,
poliarthralgia. Diagnosis ditentukan berdasarkan kultur Sterptokokus hemolitikus A Beta dan
adanya peningkatan jumlah antistreptolisisn O. Penyakit ini dapat merusak endokardium dan
mengenai bagian jantung lainnya bahkan organ lainnya. Pencegahan meliputi pemberian
antibiotic profilaksis pada saat awal fase akut.3
Endokarditis Bekterialis
Endokarditis bakterialis merupakan adanya infeksi dari dinding permukaan
endokardial, dapat terjadi karena adanya defek dari endokardial atau dapat juga disebabkan
oleh septicaemia.2,3,4,5 Mekanisme terjadinya endokarditis bakterialis tidak jelas tetapi diduga
berhubungan dengan endothelium, bakteri dan respon inang. Infeksi bermula dari kerusakan
permukaan endotel yang menyebabkan kerusakan local yang mengakibatkan terjadinya lesi
pada kardiak. Tanda Endokarditis bakterialis adalah demam,murmur jantung,kultur darah
positif .Komplikasi yang paling buruk adalah terjadinya gagal jantung.
Terdapat 2 tipe yaitu Acute Bacterial Endocarditis (ABE), Sub Acute Bacrerial
Endocarditis (SBE).Acute Bacterial Endocarditis ditandai dengan demam tinggi dan
disebabkan oleh stafilokokus aureus dan organism lainnya dengan patogenitas tinggi. Terapi
adalah dengan pemberian antibiotic secara intravena. Sub Acute bacterial endocarditis juga
ditandai dengan anorexi, penurunan berat badan malaise, demam tinggi. Penyebabnya adalah
streptokokus viridans dan organism lainnya dengan patogenitas rendah. Terapi adalah dengan
3
pemberian antibiotik secara intravena. Dekade sekarang klasifikasi akut dan sub akut bukan
hanya berdasarkan cepat tidaknya serangan tetapi berdasarkan mikroorganisme kausatif dan
katup yang terkena.4
Heart Murmur
Heart Murmur adalah suatu suara yang ada pada saat sistol atau diastol dapat bersifat
ringan ataupun berat dan patologis tergantung menurut saat durasi, dan intensitas.1,4
HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN SELAMA PERAWATAN DENTAL2,3
1. Pencegahan endokarditis bakterialis di rumah. Pertimbangan penting dalam
merencanakan perawatan gigi adalah mencegah penyakit gigi dan mulut. Pasien dengan
CHD termasuk ke dalam kelompok yang berisiko terkena karies terutama pada periode
gigi sulung. Drg harus membuat intruksi home care yang baik pada orang tua dan pasien
agar memelihara kesehatan gigi dan mulutnya dengan baik karena bakteriaemia dapat
terjadi/ diperberat oleh kebersihan mulut yang buruk. Demikian juga pada pemakaian
dental floss dan alat bantu kebersihan gigi harus hati-hati karena pemakaian dental floss,
semprot air bertekanan tinggi dapat berisiko bakteriemia.
2. Prosedur preventif. Yang penting dalam perawatan anak dengan CHD adalah
pencegahan penyakit gigi dan mulut yang meliputi pemberian fluor baik sistemik
ataupun lokal, penutupan fisur yang dalam, yang dilanjutkan dengan melibatkan
pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut di rumah (home care). Prosedur ini dapat
mencegah terjadinya endokarditis bakterialis.
3. Pencegahan Endokarditis bakterialis pada perawatan dental. Pencegahan
Endokarditis bakterialis meliputi pemberian profilaksis antibiotic pada prosedur dental
yang dapat mengakibatkan perdarahan mukosa, gusi/pulpa seperti ekstraksi, perawatan
pulpa. Sebaiknya perawatan gigi invasiv seperti ekstraksi, perawatan endodontik
dihindari karena dapat menyebabkan bakteriaemia bila tidak dilakukan dengan hati-hati.
Bila diperlukan sekali perawatan ekstraksi ataupun perawatan endodontic maka harus
dilakukan pemberian profilaksis antibiotik dan pasien sebaiknya kumur dengan mouth
wash.
4. Mouth Preparation. Mouth preparation penting dilakukan apabila akan dilakukan
pembedahan pada anak dengan CHD.
PENANGANAN DENTAL PASIEN DENGAN KELAINAN JANTUNG.1,2,3,4
Penanganan pasien dengan kelainan jantung harus dilakukan secara interdiciplinary
approach dengan dokter spesialis jantung anak/cardiologist anak dan spesialis lainnya seperti
anesthesis. Pemeriksaan dan konsultasi yang harus dilakukan adalah :
1. Riwayat medis meliputi riwayat kesehatan lampau dan saat sekarang, obat-obatan yang
dikonsumsi, riwayat opname.
2. Pemeriksaan oral dengan terapi komprehensif.
3. Profilaksis antibiotik. Hal ini dilakukan bila defek belum menutup dan pasien akan
dilakukan perawatan saluran akar gigi, ekstraksi dengan pendekatan konvensional.Hal ini
dapat dilakukan bila defek sudah ditutup atau menutup spontan, dengan sebelumnya selalu
berkonsultasi dengan cardiologist anak. Amoxicillin merupakan drug of choice antibiotik
untuk profilaksis antibiotic dalam pencegahan endokarditis bakterialis.4
4. Pada kasus rampan karies dengan kasus kelainan jantung berat (TOF) maka harus
dilakukan koordinasi perawatan dengan dokter spesialis lain yang terkait (cardiolog anak,
anesthetist, dokter gigi anak ) dan perawatan dental dilakukan dengan pendekatan
farmakologi taitu di bawah anestesi umum, karena perawatan dapat selesei dalam satu
sesi. Dalam hal ini dirujuk ke bagian Special Care Dentistry dan dirawat secara
4
5.
6.
7.
8.
interdisiplin. Selalu berkonsultasi dengan dokter jantung yang merawat, harus diingat
bahwa tipe sianosis merupakan kelompok yang berisiko saat akan dilakukan anestesi
umum.
Rencana perawatan pada pasien dengan kelainan jantung dibawah anestesi umum adalah:
premedikasi, profilaksis antibiotic, anesthesia, dan pertimbangan bedah.
CHD tipe sianosis tertentu berisiko untuk mengalami hipoksia, polisitemia, koagulasi
intravascular, disfungsi hati, oleh karena itu harus hati-hati agar meminimalisir bahaya.3
Merupakan kontra indikasi prosedur dental elektif pada pasien gangguan jantung tertentu
seperti infark myocardial, aritmia yang tidak terkontrol, dan congesti heart failure .
Perawatan dental dapat dilakukan baik dengan pendekatan konvensional/non farmakologi
maupun dengan pendekatan farmakologi tergantung berat ringannya kasus.
SIMPULAN
Perawatan dental pada anak dengan penyakit jantung diutamakan prosedur preventif,
penanganan bervariasi dari pendekatan konvensional sampai pendekatan farmakologi dan
dilakukan secara interdisiplin dengan dokter spesialis terkait lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cameron AC, Widmer RP. Handbook of pediatric dentistry. 2 nd ed. Sydney: Cv. Mosby;
2003. p. 234-84.
2. Welbury RP. Paediatric dentistry. 2 nd ed. New York: Oxford University Press; 2001. p.
369-90.
3. Sanger, Roger G, Casammassimo, Belanger, Stewart. Oral manifesstations of systemic
diseases. In: Stewart RE, Barber TK, Troutman KC, Wei SHY. Editors. Pediatric
dentistry, scientific foundation and clinical practice. ST.Louis: The C.V. Mosby Co.;
1982. p. 303-6.
4. Little James W, Falace Donald A, Miler Craig S, Rhodus Nelson L. Dental management
of medically compromised patient. 5nd. St.Louis, Boston, Sydney, Tokyo: Mosby; 1997. p.
103, 146-9.
5. Moller Palmi. Treatment of the handicapped child. In: Finn Sidney B. Clinical
pedodontics 4th ed. Philadelphia: WB. Saunders Company; 2003. p. 581-2.
5
Mekanisme produksi enzim betalaktamase bakteri gram positif dan gram negatif
Mieke Hemiawati Satari
Bagian Oral Biologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
ABSTRACT
Both Gram positive and negative bacteria produce betalactamase enzyme extracellularly.
This betalactamase enzyme production is different between Gram positive bacteria which is
inductive in nature and Gram negative bacteria which is constitutive. The production of
betalactamase enzyme in Gram positive bacteria is very slow with the synthesis peak reached
after 2-2.5 hours of the induction process. The product is then maintained in a certain phase, i.e.
stationary phase, for 1-3 hours. The production of betalactamase enzyme in these bacteria is
four time higher than the betalactamase enzyme produced by Gram negative bacteria that use
constitutive way of production. The betalactamase enzyme production through constitutive way
only reaches basal production. Genetically, this betalactamase enzyme production is mediated
by the the betalactamase enzyme forming genes that form an operon. These genes are coded both
in chromosomes and plasmids of Gram positive and negative bacteria. The betalactamase
enzyme forming genes in Gram positive bacteria include three genes, i.e. blaZ (structural
gene),blaI (repressor gene) and blaRI (regulator gene). These three genes have two promoters.
In Gram negative bacteria, ampG (transmitter gene), ampC (structural gene), amp R, ampD and
ampE (regulator protein). These genes form an operon with one promotor. These genes are the
ones that play a role in betalactamase enzyme formation.
Keywords: betalactamase enzyme, Gram positive bacteria, Gram negative bacteria
.
Korespondensi: DR. Drg. Mieke Hemiawati Satari, MS. Bagian Oral Biologi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung.
PENDAHULUAN
Enzim betalaktamase adalah suatu enzim yang dihasilkan secara ektraseluluer bakteri oleh
beberapa bakteri baik Gram positif maupun Gram negative. Enzim ini akan berdifusi disekitar sel
bakteri, sehingga akan menghambat kerja antibiotic yang jauh dari tempat infeksi. Enzim ini
memiliki kemampuan untuk menginaktivasi golongan antibiotik betalaktam yaitu dengan
memecahkan cincin betalaktam sehingga bakteri ini tidak dapat berikatan dengan reseptor pada
membrane bakteri sehingga bakteri ini akan tetap hidup.1
Secara genetik enzim ini dikode oleh gen yang terletak baik di kromosom maupun di
plasmid. Pada bakteri Gram positif enzim betalaktamase ini dihasilkan secara induksi, proses ini
berlangsung sangat lambat, sintesis betalaktamase mencapai puncaknya setelah 2-2,5jam setelah
induksi dan bertahan pada suatu fase tertentu yaitu stationer selam 1-3jam. Produksi enzim ini
mencapai empat kali lebih banyak dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh bakteri Gram
negatif yang bersifat konstitutif. Produksi enzim betalaktamase yang bersifat konstitutif hanya
menghasilkan produknya secara basal.2,3
Produksi enzim betalaktamase diatur oleh gen yang terdiri dari gen struktur yang
mengkode enzim betalakamase,gen regulator yang mengkode protein yang meregulasi produksi
enzim betalaktamase dan gen repressor yang menghentikan produksi enzim betalaktamase. 4,5
Pada beberapa bakteri seperti S.aureus, enzim betalaktamase yang dihasilkan tergantung dari
galur, kondisi dan kultur pertumbuhan. Ada kalanya enzim yang dihasilkan hanya 10%-60%
yang di sekresikan ke media sedang sebagian produk terikat pada membran luar dari bakteri
tersebut hingga sukar dipurifikasi, sedangkan enzim betalaktamase yang ada pada media akan
menghambat kerja antibiotik yang terdapat jauh dari tempat infeksi. Dalam kondisi optimal satu
molekul enzim ini akan menginaktifasi 100.000 molekul cincin betalaktam setiap menitnya.6,7,8
Enzim betalaktamase mempunyai kemampuan menghidrolisis penisilin G, aminopenisilin
seperti ampisilin,amoksilin dan karboksi penisilin, sedangkan untuk golongan isoksazolil seperti
oksasilin,kloksasilin dan nafsilin menjadi tidak efektif demikian pula terhadap cephalosporin.1,9
Peranan Gen Struktur, Gen Regulator dan Gen Represor pada Produksi Enzim Betalaktamase
Secara genetik, enzim betalaktamase pada bakteri Gram positif dikode oleh gen yang
berlokasi baik di kromosom maupun di plasmid. Gen yang berperan pada sintesis enzim
betalaktamase terdiri dari blaZ yang mengekspresikan enzim betalaktamase yang sebagian besar
disekresikan ke media ekstrasmeskipun sepertiganya melekat pada membran bakteri . Produksi
enzim betalaktamase pada bakteri Gram positif terjadi karena adanya proses induksi dari
antibiotik betalaktam sedangkan pada bakteri Gram negatif enzim betalaktamase yang dihasilkan
secara terus menerus tanpa adanya induksi dari antibiotik betalaktam.10
Selain blaZ ada beberapa gen yang akan meregulasi sintesis betalaktamase pada bakteri
Gram positif yang diwakili oleh S. aureus dalam hal ini setidaknya ada tiga gen yang terlibat
dalam pengaturan sintesis betalaktamase pada S. aureus yaitu 1) blaI - gen yang berfungsi
sebagai regulator yang mengatur transkripsi; 2) blaRI - gen yang diperlukan pada proses induksi
yang bertanggung jawab pada penghantaran sinyal; dan 3) bla R2: yang dapat mengatur
penekanan ekspresi gen betalaktamase dan berfungsi meningkatkan fungsi represor. Namun
menurut beberapa peneliti lokasi blaR2 di kromosom belum diketahui dengan pasti dan tidak
berkait dengan blaZ, blaRI dan blaI.11,12,13,14
Rowland dan Dyke15 telah berhasil melakukan sekuensing gen gen yang berperan pada
pembentukan enzim betalaktamase pada Tn 552 S. aureus yang mengandung tiga gen yaitu bla Z
, bla RI dan blaI. Ketiga gen ini memiliki dua promotor yaitu promotor yang dimiliki oleh blaZ
dan satu promotor bagi blaRI dan blaI. Ketiga gen ini memiliki spesifitas ekspresi enzim
betalaktamase yang bersifat induksi. Secara skematis gen represor blaI terletak pada ujung 5’
dari bla RI dan saling tumpang tindih.4 Data genetik menunjukan bahwa blaI memiliki fungsi
kontrol negatif yang mengatur proses transkripsi dari blaZ. BIaI ini merupakan suatu represor
yang berikatan dengan suatu operator yang terletak antara blaI dan blaZ, sedangkan blaRI
berfungsi untuk mentransmisikan sinyal tentang keberadaan suatu molekul betalaktam pada
permukaan membran luar ke komponen gen yang mengatur ekpresi betalaktamase. 5
Proses sintesis enzim betalaktamase pada bakteri Gram positif bersifat induktif, pertama
kali diketahui pada Bacillus licheniformis yang kemudian diasumsikan mempunyai persamaan
dengan yang terjadi pada S. aureus. Bennet dan Chopra5 menyatakan bahwa proses induksi
antibiotik betalaktam pada S. aureus diperkirakan sama dengan proses induksi antibiotik
betalaktam pada B. licheniformis dan E. coli
Pada bakteri Gram negatif mekanisme proses induksi enzim betalaktamase pada E. coli
terjadi bila senyawa betalaktam sebagai penginduksi berinteraksi dengan protein pengikat
penisilin (PBP) hingga mengakibatkan gangguan tahap akhir sintesis peptidoglikan. Induksi
menstimulasi AmpG (protein penghantar sinyal) sehingga terjadi peningkatan konsentrasi prazat
dinding sel dalam ruang periplasma. Akumulasi pra zat tersebut merupakan sinyal bagi terjadinya
proses transkripsi dari ampC (gen sruktur). Keadaan ini menimbulkan interaksi AmpG dengan
AmpR (protein regulator), sehingga AmpR berfungsi sebagai aktivator yang menstimulasi
ekspresi gen ampC yang mengkode betalaktamase. Dalam keadaan tidak terjadi induksi, maka
AmpD (protein regulator) berikatan dengan AmpE (protein regulator) dan mempertahankan
AmpR sebagai represor yang menghambat ekspresi AmpC, sehingga tidak menghasikan
betalaktamase. Bila fungsi AmpD terganggu karena mutasi pada gennya, maka akan
mengganggu keseimbangan AmpG dan AmpD yang mengakibatkan AmpR tetap sebagai
aktivator yang sifatnya permanen sehingga terjadi ekpresi kontitutif yang tinggi dari ampC.
Dengan demikian maka didapat suatu model yang sederhana sistim pengatur sintesis
betalaktamase pada S. aureus yang bersifat induksi yaitu antibiotik betalaktam berikatan dengan
BlaRI dan suatu sinyal akan ditransmisikan ke BIaI sehingga tidak lagi berikatan dengan
operator, maka terjadilah proses transkripsi dari bla Z.16
Mekanisme proses induksi pada umumnya bakteri Gram negatif dapat digambarkan pada
skema (gambar 1) dengan menganalisa proses induksi pada E. coli.
Gambar 1. Mekanisme 1: mekanisme induksi betalaktamase pada E. coli.5
BL (Betalaktamase), PBP(Protein Pengikat Penisilin), ampC (Gen struktur
betalaktamase), ampR (Gen yang berperan sebagai regulator), ampG (Gen
yang bertanggung jawab terhadap transmisi sinyal 0), ampD (Gen yang
meregulasi ekspresi betalaktamase pada proses transkripsi), ampE (Gen
yang berfungsi untuk meningkatkan repressor).
Tentang perbedaan antara proses induksi yang terjadi pada E. coli dengan S. aureus
dinyatakan oleh Smith dan Murray17 bahwa pada E. coli sinyal induksi baru ditransmisikan
karena adanya prazat yang terkumpul dalam ruang periplasmik, sedangkan yang terjadi pada S.
aureus yaitu rangsangan induksi senyawa betalaktam yang diterima reseptor pada membran luar
akan langsung ditranmisikan.
Pada S. aureus terdapat beberapa protein pengatur sistim induksi, yaitu: BlaI mempunyai
fungsi sama dengan AmpR yaitu sebagai regulator yang mengatur transkripsi. BlaRI mempunyai
fungsi sama dengan AmpG, protein ini diperlukan pada proses induksi, bertanggung jawab
sebagai penghantar signal. BlaR2 berfungsi sebagai AmpD yang menjebabkan penekanan
ekspresi gen betalaktamase dan juga berfungsi sebagai AmpE untuk meningkatkan represor. 18
Seorang peneliti, Kernodle13 memberikan suatu ilustrasi proses induksi betalaktam pada
S. aureus terhadap produksi enzim betalaktamase yang dikode oleh gen blaZ dan produksi
PBP2a hingga menyebabkan terjadinya metisilin resisten S.aureus (MRSA) yang dikode oleh
gen mecA. Pengaturan proses induksi betalaktamase diawali dengan pengikatan betalaktam
terhadap domain pada membran dari suatu PBP, kemudian ditransduksikan sebagai sinyal dikode
oleh blaRI yang mengarah pada degradasi represor blaI sehingga blaZ dapat ditranskripsi.
Mekanisme BlaRI dapat memberikan sinyal sehingga menimbulkan penurunan stimulasi
terhadap represor belum jelas. Namun ada beberapa pendapat bahwa degradasi terjadi pada
represor disebabkan adanya perubahan konformasi dari BlaRI sebagai akibat pengikatan oleh
betalaktam yang mengaktivasi suatu protease dalam domain yang diduga sebagai suatu ruang
periplasma (mekanisme 1). Alternatif lainya, gen bla R2 akan mengkode suatu protein yang
dapat menyebabkan terjadinya inaktivasi represor dimana kompleks BlaRI dapat mengaktivasi
hingga terjadi induksi (mekanisme 2).
PBP2a dengan afinitas rendah terhadap antibiotik betalaktam yang dikode oleh mecA
diproduksi sesuai dengan mekanisme produksi enzim betalaktamase. Hal ini dapat terjadi karena
terdapat homologi antara mecI dan blaI, mecRI dan blaRI, dan promotor dari blaZ dan mec A.
Homologi ini cukup kuat sehingga blaI dapat berfungsi sebagai represor dalam keadaan induksi
normal maupun menghasilkan sejumlah PBP 2a secara konstitutif karena kerusakan mecI. Mutasi
pada gen regulator (blaI dan mecI) dapat menimbulkan beberapa mutan yang nantinya akan
mempengaruhi sistim regulasi dari yang bersifat indukif menjadi konstitutif. Mekanisme regulasi
induksi betalaktam dapat dilukiskan dengan diagram sebagai berikut:
Gambar 2. Mekanisme 2: ekanisme regulasi induksi betalaktam S.aureus.13
blaZ (gen struktur enzim betalaktamse), blaRI (gen yang mengatur
transmisi sinyal), blaR2 (gen yang menginaktivasi repressor), blaI (gen
yang menekan proses transkripsi blaZ), mecA (gen struktur PBP2a), mecRl
(gen anti repressor), mecl (gen repressor)
SIMPULAN
Enzim betalaktamase adalah suatu enzim yang diproduksi secara ekstraselluler baik oleh
bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Enzim ini berfungsi untuk menginaktivasi antibiotic
betalaktam dengan memecah cincin betalaktam, sehingga antibiotic ini tidak dapat berikatan
dengan reseptor paoada bakteri. Produksi enzim betalaktamase pada Gram positif bersifat
induksi yaitu bakteri tersebut akan menghasilkan enzim betalaktamase bila adanya induksi dari
antibiotik betalaktam , sedangkan pada Gram negatif produksinya bersifat konstitutif yaitu enzim
ini terus menerus diproduksi pada kadar basal.
Produksi enzim ini diregulasi oleh gen yang berperan sebagai regulator, repressor dan
gen struktur. Mekanisme produksi enzim betalaktamase ini memiliki kemiripan dengan
mekanisme produksi gen mecA yang menyebabkan terjadinya MRSA
DAFTAR PUSTAKA
1. Lamont JR, Burne RA, Lantz MS, Leblanc DJ. Oral microbiology and immunology.
Washington DC: ASM Press; 2006. p. 380-5.
2. Koboyashi M, Zhu Y, Nichols N, Lampen O. A second regulatory encoding a penicillin
binding protein reguired for induction of betalactamase. J of Bacteriology Sep, 1987;169(9):
3873-76.
3. Dyke KGH. Betalactamase of Staphylococcus aureus. In: Hamilton JMT, Miller eds.
Betalactamses. Oxford University Press; 1986. p. 291-307.
4. Smith MC, Murray BE. Sequence analysis of betalactamase repressor fro S aureus and
hybridization studies with two beta-lactamase producing of Enterococcus faecalis.
J.Antimcrobial Agents and Chemotherapy. Oct, 1992; 12(9): 2265-9.
5. Bennet PN, Chopra J. Moleculer basis of betalactamase induction in bacteria. J.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Sept, 1993; 13(6) :153-8.
6. Istiantoro YH. Farmakokinetik inhibitor betalaktamase. Simposium perkembangan baru
dalam menanggulangi resistensi bakteri; 1998. p. 1-4.
7. James CE, Mahendran KR, Molitor A, Bolla JM,Besonov AN, Winterhalter M, Pagges JM.
How betalactam enter bacteria. Fatourou (editor). Porthmouth United Kindom; May, 2009.
8. Tenover FC. Mechanisms of antibacterial resistance in bacteria . The American Journal of
Medicine 2006; 119(6A): S3-S10.
9. Brook I. The role of betalactamase producing bacteria in mixed infections. BMC infectious
diseases. Washington DC: BioMed Central Georgetown University School of Medicine;
October, 2009.
10. Leung SFF, Rives JT, Jorgensen. Modeling back bone with Ala-Ala and Ala-Ala-peptides .
Bio Med Chem Lett; Feb, 2009;19(4):1236-9
11. Murray BE . Betalactamase producing Gram positif. J. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy, April 2002 ; 873-9.
13. Kernodle DJ. Mechanism of resistance to betalactam antibiotic in gram positive. American
Society for Microbiology; 2002. p. 609-23.
14. Dyke KGH,Cole M. Inhibition of betalactamase. J Antimicobial Agent and Chemotherapy
March, 2000; 9(5): 289-99.
15. Rowland SJ, Dyke KGH. In 552 a novel transposable element from S. aureus. J Molecul
Microbiologi 1999;4:961-75.
16. Gregory PD, Lewis RA, Dyke KGH, Curnock SP. Studies of represor betalactamase
synthesis of S. aureus. Moleculer Microbiology 1997; 24(5):1025-37.
17. Smith MC, Murray BE. Sequence analysis of betalactamase repressor from S aureus and
hybridization studies with two betalactamase producing E. faecalis. J. Antimicrobial Agent
and Chemotherapy 2000;12(9):2265-9.
18. Hamilton JMT. Betalactamase. Oxford: Published by Oxford University Press. p. 1-23.