kasus merpati dalam berita

Transcription

kasus merpati dalam berita
BAB V
KASUS MERPATI
DALAM BERITA
“Injustice never rules forever”
Seneca, filsuf Romawi yang hidup dalam penindasan Kaisar Nero
(4 BC – AD 65)
194
d
P
erkara sewa pesawat Merpati yang melibatkan Hotasi
Nababan ternyata cukup ramai diberitakan mediamassa. Sejak perkara ini diadukan segelintir orang
yang menamakan diri Solidaritas Pegawai Merpati (SPM)
ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Juni 2007,
hingga penegasan kejaksaan agung yang akan melimpahkan
perkara ini ke pengadilan, April 2012.
Yang menarik dari pemberitaan media selalu bersumber
dari Kajakgung. Potongan berita yang disampaikan tidak
memasukkan fakta bahwa Merpati sudah menggugat dan
memenangkan di Pengadilan Columbia AS. Demikian juga
fakta-fakta hukum lainnya. Berikut beberapa berita di media
online dan cetak yang dihimpun oleh tim penyusun buku
ini.
Selain itu, ditampilkan juga diskusi di grup milis “Simpati
Hotasi Nababan” tentang perkara hukum ini. Grup milis ini
digagas oleh Ikatan Alumni ITB.
195
HOTASI NABABAN
SOLIDARITAS PEGAWAI TUNTUT KPK
SEGERA USUT KORUPSI MERPATI
Arry Anggadha - detikNews
Senin, 04/06/2007 14:49 WIB
Jakarta- Pengusutan kasus yang menimpa PT Merpati
Airlines masih belum menunjukkan kejelasan. Solidaritas
Pegawai (SP) Merpati mendesak KPK segera mengusut kasus
yang diduga merugikan negara US$ 1 juta itu. “kami sudah
lama melaporkan kasus ini ke KPK, tapi hingga kini belum
jelas statusnya. Kami minta KPK segera menindaklanjuti
kasus kami,” kata Koordinator SP Merpati, I Wayan Suwarna,
di Gedung KPK, Jl. Veteran III, Jakarta, Senin (4/6/2007).
Wayan menjelaskan, pihaknya pun menyerahkan buktibukti baru tentang dugaan korupsi dalam kasus ini. “selama
ini kan KPK hanya menyatakan bahwa kasus Merpati itu
hanyalah kasus penipuan. Jadi kami serahkan bukti-bukti
kalau kasus ini adalah kasus korupsi,” jelas dia.
Menurut dia, tindak pidana korupsi itu terjadi ketika
Merpati menyerahkan transfer dana Hume Associates.
Tidak langsung ke TALG, sebagai penyewa 2 unit pesawat
ke Merpati. “Pembayaran yang dilakukan pihak manajemen
tidak sesuai dengan prosedur dengan membayar US$ 1 juta
ke Hume. Kenapa mereka tidak langsung membayarnya
ke TALG,” jelasnya. Saat bertemu dengan SP, lanjut dia,
KPK berjanji akan segera menyelidiki kasus ini. “Mereka
berjanji akan segera menaikkan status kasus ini menjadi
penyelidikan,” pungkasnya. Kasus ini terjadi sekitar 21
Desember, ketika Merpati menyewa 2 Boeing 737-400 dan
196
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
737-500. Merpati pun sudah mentransfer dana sebesar US$
1 juta untuk segera mendapatkan pesawat itu. (ary/asy)
DIREKSI MERPATI BOHONGI DPR
SOAL SEWA PESAWAT
www.kapanlagi.com,
Jumat, 8 Juni 2007 06:19:00
Kapanlagi.com - Sejumlah anggota Komisi V DPR
menduga, Direksi PT Merpati Nusantara Airlines
(Merpati) telah melakukan kebohongan publik karena
uang BUMN Penerbangan US$1 juta disetorkan ke pihak
lain, Hume Associates, sebelum diterima TALG. “Indikasi
itu (kebohongan publik) ada karena saat Rapat Dengan
Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi V DPR pada 14
Mei lalu, Hotasi melaporkan uang deposit tersebut langsung
diterima TALG,” kata anggota Komisi V DPR, Abdul Hakim
saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Thirstone Aircraft Leasing Group (TALG) adalah
perusa­
haan pembiayaan yang wanprestasi karena tidak
dapat menyerahkan dua pesawat (B737 400 dan 500)
pesanan Merpati pada 5 Januari 2007 dan 20 Maret 2007.
Pada­hal, Merpati, kata Hotasi saat hearing itu, telah
menyetorkan refundable security deposit (uang tanda jadi/
uang jaminan yang bersifat dapat dikembalikan) senilai satu
juta dolar AS kepada TALG pada 18 Desember 2006.
Sebelumnya, Koordinator Solidaritas Pegawai Merpati
(SPM), Wayan Suarna telah melaporkan hal itu ke Komisi
197
HOTASI NABABAN
Acara temu karyawan Merpati--Maju Untuk Merdeka, 2003.
Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diin­dikasikan ada
tindak pidana korupsi. “Transaksi itu jelas tidak wajar,” kata
Wayan. Hume Associates, menurut Wayan, adalah semacam
Law Firm dari TALG di Amerika Serikat. Menurut Hakim,
pihaknya kaget karena dalam rapat pemaparan itu, Hotasi
jelas-jelas sama sekali tak menyinggung soal transaksi “tak
wajar” itu. “Oleh karena itu, saya mendesak agar BPKP
(Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) segera
mengaudit Merpati terkait dengan transaksi itu,” katanya.
Jika hal itu benar adanya, lanjut Hakim dari FPKS ini,
berarti, Hotasi telah melakukan kebohongan publik di
depan parlemen dan jika ini benar, dia telah melanggar etika
198
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
dan integritasnya diragukan sebagai CEO sebuah BUMN
strategis. “Kita akan minta klarifikasi masalah ini secepatnya,”
katanya. Senada dengan Abdul Hakim, anggota Komisi V
DPR lainnya, Abdullah Azwar Anas juga kaget mendengar
laporan dari SPM itu. “Saya kaget. Saya juga masih ingat hal
itu tak disampaikan Hotasi saat hearing beberapa waktu lalu.
Ini bisa diindikasikan, Hotasi telah melakukan kebohongan
publik,” kata Anas.
Berdasarkan kejadian itu, Anas mempertanyakan
penye­lidikan kasus ini dihentikan untuk sementara oleh
Kejaksaan Agung dan Mabes POLRI. “Ini indikasi transaksi
tak wajar. Penyelidikan itu layak diteruskan. Ada aroma tak
sedap,” katanya. Bahkan, anggota Komisi V DPR lainnya
saat hearing tersebut, Abubakar Alhabsy, mengatakan, dalam
kasus itu, Merpati telah melakukan kecerobohan mendasar
karena Merpati tak gunakan pakem sewa-menyewa pesawat
secara profesional. “Lazimnya, maskapai cari pesawat itu
harus gunakan broker profesional, sementara TALG bukan
broker tetapi perusahaan pembiayaan,” kata Abubakar.
Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Perusahaan Merpati
Irvan Harijanto membantah penilaian bahwa transaksi
dengan TALG melalui Hume Associates tersebut adalah
tak wajar. “Hal itu sudah selazimnya terjadi pada transaksi
internasional. Justru harus lewat `law firm` tak bisa langsung
ke TALG. Ini berbeda dengan transaksi bisnis di Indonesia,”
kata Irvan. Jika di Indonesia, katanya, pembayaran langsung
ke penjual atau pemilik sebe­lumnya dan penasehat hukum
hanya mendampingi atau mengetahui saja.
Soal tudingan bahwa Hotasi saat hearing pada 14 Mei
199
HOTASI NABABAN
dengan Komisi V DPR tak jelaskan soal itu, Irvan juga
membantah. “Kan di sana tergantung pertanyaannya. Kalau
soal sewa pesawat, penjelasannya seputar TALG,” kata Irvan.
Padahal, kata Anas, hearing dimaksudkan agar Merpati
menjelaskan secara rinci dan detail sepu­tar transaksi US$1
juta dengan TALG yang diduga ber­masalah dan berpotensi
merugikan negara sekitar Rp9 miliar. (*/rsd)
KASUS PENGADAAN PESAWAT MERPATI
Kejagung: Kasus sewa pesawat Merpati rugikan negara
US$ 1 juta
Oleh Dea Chadiza Syafina – www.kontan.co.id, Kamis,
07 Juli 2011 | 22:40 WIB
JAKARTA. Kejaksaan Agung mensinyalir adanya
kerugian dalam proses penyewaan pesawat komersial MA60 yang dilakukan untuk PT Merpati Nusantara Airlines.
Kerugian tersebut, diindikasikan akibat tindak korupsi,
yang mengakibatkan kerugian keuangan negara hingga US$
1 juta atau setara dengan Rp 9 miliar.
Keterangan ini diungkapkan oleh Direktur Penyi­dikan
pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, M. Jasman
Pandjaitan, kepada sejumlah media pada Kamis (7/7) di
Gedung Bundar, Kejaksaan Agung. Jasman menyebut bahwa
tim penyelidik pada Jampidsus mengindikasikan kerugian
yang mencapai US$ 1 juta itu, ditemukan dalam rentang
waktu tahun 2007 hingga tahun 2011. “Kalau kerugian
negara sudah jelas ada US$ 1 juta. Tapi untuk adanya tindak
200
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
pidana atau belum, kami belum tahu. Karena harus mencari
perbuatan melawan hukumnya,” tutur Jasman kepada
sejumlah media di kantornya.
Lebih lanjut Jasman menyebut bahwa sebelumnya PT
Merpati Nusantara Airlines sepakat untuk melakukan
penyewaan terhadap dua unit pesawat, yang merupakan
langkah fit and proper test sebelum melakukan pembelian
atas pesawat MA-60 tersebut. Pesawat tersebut berasal
dari Amerika, dengan harga sewa sebesar US$ 500.000 per
unitnya, sehingga total harga sewa kedua pesawat itu adalah
US$ 1 juta. Perusahaan penerbangan pelat merah tersebut
kemudian membayar sewa kedua pesawat itu, dengan
catatan, pihak Merpati harus sudah menerima pesawat
tersebut pada 2007. Tapi ternyata, MA-60 itu belum juga
diterima oleh Merpati bahkan hingga tahun 2011. “Dari
laporan yang kami terima, sampai sekarang pesawat itu
belum pernah dikirim. Uangnya sudah dibayarkan, tapi
pesawat itu belum diperoleh,” imbuhnya.
Proses penyelidikan penyewaan dan pengadaan pesa­
wat ini, hingga kini masih berlanjut. Penyelidik pun
masih melakukan penyidikan, terkait dengan pertang­
gungj­awaban dan izin mengucurnya uang sejumlah US$
1 juta. Tim penyelidik juga tengah berupaya agar uang
sebesar US$ 1 juta itu, dapat dikembalikan kepada negara,
mengingat itu merupakan uang negara. “Ini masih dalam
tahap penyelidikan, mengenai ada atau tidaknya perbuatan
melawan hukum. Kerugian negara sudah ada, sekarang
bagaimana uang US$ 1 juta itu kembali,” tandasnya.
Senada dengan Jasman, Jaksa Agung Muda Tindak
Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto menjelaskan
201
HOTASI NABABAN
bahwa hingga kini pihaknya masih terus melakukan upaya
penyelidikan. Pihak Korps Adhyaksa masih menghimpun
seluruh informasi yang menyangkut proses penyewaan
maupun pengadaan pesawat yang mengalami kecelakaan di
Kaimana, Papua tersebut. “Iya, semua informasi yang kita
peroleh, kita tampung semua, supaya bahan penyelidikan
lebih lengkap,” ujarnya.
Selanjutnya Andhi menyebut bahwa pihaknya telah
meminta keterangan dari Direksi Merpati, terkait dengan
kasus ini. Namun Andhi enggan untuk merinci, siapa saja
Direksi Merpati lainnya yang telah diperiksa. Andhi pun
mengaku masih belum mendapatkan laporan, perihal
perhitungan kerugian keuangan negara dari Badan Peng­
awasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Belum ada
laporan (dari BPKP), masih berlanjut,” pungkasnya.
KEJAKSAAN GELAR PERKARA KASUS
PT MERPATI
www.vivanews.com,
Rabu, 3 Agustus 2011, 13:33 WIB
VIVAnews­—Kejaksaan Agung akan melakukan
gelar perkara kasus dugaan korupsi penyewaan pesawat
B-737 oleh PT Merpati Nusantara Airlines. Gelar perkara
dilakukan sebelum penetapan tersangka kasus dugaan
korupsi senilai Rp9 miliar ini. “Hasil penyelidikan yang
dilakukan oleh JAM Pidsus nanti sebelum menentukan
tersangkanya siapa, diharapkan dapat diekspos terlebih
dahulu,” kata Wakil Jaksa Agung Darmono di Jakarta, Rabu,
202
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
3 Agustus 2011. Darmono mengatakan perkara PT Merpati
Nusantara Airlines ini masih dalam tahap penyelidikan.
“Nanti seterusnya akan kami informasikan, sebagai bentuk
tranparasi kami terhadap masyarakat,” kata Darmono.
Darmono tidak mengungkapkan kapan gelar perkara
akan dilakukan. Dia juga tak mau mengatakan siapa tersangka
yang sudah dibidik oleh kejaksaan terkait kasus ini. “Nanti
akan kami informasikan berdasarkan hasil penyelidikan
secara menyeluruh. Siapa yang paling bertanggung jawab
secara pidana, akan djadikan tersangka,” kata dia. Dia juga
menolak menyebutkan siapa saja yang akan diperiksa terkait
kasus ini. Alasannya, pemanggilan itu terlalu teknis untuk
diungkapkan ke publik. “Kalau pemanggilan orang dan
sebagainya tidak etis untuk diinformasikan. Siapa yang akan
diperiksa, siapa yang jadi tersangka, tidak boleh,” katanya.
Kasus ini berawal pada tahun 2006, saat Direksi PT
Merpati Nusantara Airlines menyewa dua pesawat Boeing
737 dari perusahaan TALG di Amerika Serikat. Biaya sewa
untuk masing-masing pesawat seharga US$ 500 ribu. Uang
sebesar US$1 juta sudah dibayarkan ke rekening Hume &
Associates melalui transfer Bank Mandiri. Namun, hingga
kini pesawat tersebut belum pernah diterima PT Merpati
Nusantara Airlines.
Tim Jaksa Penyidik kemudian mengendus adanya
indikasi tindak pidana korupsi sebesar satu juta dolar AS
dalam kasus tersebut, sehingga meningkatkan status kasus
tersebut dari penyelidikan ke penyidikan. Kejaksaan sendiri
telah memeriksa mantan Dirut Merpati Cucuk Suryosuprojo
dan Hotasi Nababan sebagai saksi. Selain itu, kejaksaan juga
203
HOTASI NABABAN
telah memeriksa Presiden Direktur Merpati, Sardjono Jhoni,
sebagai saksi.
Kasus ini mencuat setelah Federasi Serikat Pekerja
BUMN Bersatu melaporkan adanya dugaan praktek peng­
g­e­lembungan harga pesawat Merpati tersebut ke Komisi
Pemberantasan Korupsi. Selain kasus penyewaan pesawat,
Kejaksaan juga menangani dugaan penggelembungan harga
pembelian pesawat MA60 di PT Merpati. Namun, belum
diketahui sejauh mana perkembangan kasus ini. (kd)
DUA BEKAS BOS MERPATI JADI
TERSANGKA KORUPSI
Penetapan tersangka dilakukan pada
Selasa 16 Agustus 2011.
www.vivanews.com,
Kamis, 18 Agustus 2011, 09:03 WIB
VIVAnews -Dua bekas petinggi PT Merpati Nusantara
Airlines ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung
terkait dugaan korupsi sewa pesawat Boeing 737-400 dan
737-500 dari perusahaan TALG di Amerika Serikat. Mereka
adalah Hotasi Nababan dan Guntur Aradea. “Ditetapkan
per 16 Agustus 2011 kemarin,” kata Juru Bicara Kejaksaan
Agung, Noor Rachmad saat dihubungi VIVAnews.com, 18
Agustus 2011. Hotasi Nababan adalah bekas direktur utama
Merpati. Sedangkan Guntur Aradea adalah bekas direktur
keuangan Merpati.
Kasus ini berawal pada tahun 2006, saat Direksi PT
204
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Hotasi Nababan menyapa penumpang Merpati di Bandara Soekarno Hatta.
Merpati Nusantara Airlines menyewa dua pesawat Boeing
737 dari perusahaan TALG di Amerika Serikat. Biaya sewa
untuk masing-masing pesawat seharga US$500 ribu. Uang
sebesar US$1 juta sudah dibayarkan ke rekening Hume &
Associates melalui transfer Bank Mandiri. Namun, hingga
kini pesawat tersebut belum pernah diterima PT Merpati
Nusantara Airlines.
Tim Jaksa Penyidik kemudian mengendus adanya
indikasi tindak pidana korupsi sebesar satu juta dolar AS
dalam kasus tersebut, sehingga meningkatkan status kasus
tersebut dari penyelidikan ke penyidikan. Kejaksaan sendiri
telah memeriksa mantan Dirut Merpati Cucuk Suryosuprojo
dan Hotasi Nababan sebagai saksi. Selain itu, kejaksaan juga
205
HOTASI NABABAN
telah memeriksa Presiden Direktur Merpati, Sardjono Jhoni,
sebagai saksi.
Kasus ini mencuat setelah Federasi Serikat Pekerja
BUMN Bersatu melaporkan adanya dugaan praktek peng­
gelembungan harga pesawat Merpati tersebut ke Komisi
Pemberantasan Korupsi. Selain kasus penyewaan pesawat,
Kejaksaan juga menangani dugaan penggelembungan harga
pembelian pesawat MA60 di PT Merpati. Namun, belum
diketahui sejauh mana perkembangan kasus ini. (Eko Huda
S, Nila Chrisna Yulika)
KUBU MANTAN BOS MERPATI:
Ini Kasus Perdata
www.vivanews.com,
Jum’at, 19 Agustus 2011, 12:19 WIB
VIVAnews—Kejaksaan Agung telah menetapkan
mantan bos PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi
Nababan sebagai tersangka. Dia diduga telah melakukan
tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar 1
juta dolar atas penyewaan pesawat tipe Boeing 737-400 dan
737-500 oleh perusahaan TALG USA. Hotasi tak sendiri,
Guntur Aradea, mantan direktur keuangan Merpati, juga
dinyatakan terlibat.
Kejaksaan Agung mengaku telah memiliki cukup bukti
untuk memidanakan keduanya. Namun, Kuasa Hukum eks
Dirut Merpati, Lawrance mengatakan bahwa Kejaksaan
Agung telah memaksakan diri untuk memidanakan
206
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
kasus perdata. “Sebab itu murni perdata,” kata Lawrance
TP Siburian saat dihubungi VIVAnews.com, Jumat 19
Agustus 2011. Selain itu, kata Lawrance kasus ini bukanlah
perbuatan tindak pidana korupsi. Hal ini karena kasus ini
tak memenuhi tiga unsur yang diperlukan untuk menjerat
seseorang dalam tindak pidana korupsi. Ketiga syarat itu
adalah adanya perbuatan melawan hukum, adanya kerugian
negara dan ada yang menguntungkan diri sendiri, orang lain
atau koorporasi. “Ketiga hal tersebut harus terpenuhi, tidak
bisa hanya satu saja. Kalau dia bilang ada kerugian negara,
dimana kerugian negaranya,” kata dia.
Lawrance menceritakan, dalam perjanjian penyewaan
pesawat boeing 737-400 dan 737-500 antara Merpati dan
TALG disebutkan bahwa dari masing-masingnya pesawat
harus menaruh security deposite sebesar USD 500.000.
Uang Itu disimpan di Hume & Associates. Kantor penga­
cara yang ditunjuk oleh TALG untuk menyimpan uang itu.
Oleh karena itu, Merpati mentransfer uang sebesar 1 Juta
USD ke rekening Hume & Associates melalui Bank Mandiri.
Uang itu disimpan hingga Merpati mendapatkan pesawat
tersebut.
Itu berarti, kata Lawrance uang itu harus dikembalikan
setelah masa akhir penyewaan. Berbeda dengan uang cicilan
atau uang muka. “Jadi perjanjian itu, kalau pesawat nggak
ada, uang ini harus dikembalikan,” ungkap Lawrance.
Ternyata, TALG tak mengirim pesa­watnya padahal dalam
perjanjian pesawat itu sampai ke Indonesia pada Januari
untuk Boeing 737-500 dan Maret untuk Boeing 737-400.
TALG dinilai wan prestasi. Tak ada pesawat yang datang,
207
HOTASI NABABAN
tapi uangnya tidak dikembalikan. Karena itu, Lawrance
mengatakan Merpati menggugat di pengadilan distrik
Washington DC. Kemudian pengadilan distrik Washington
DC memutus perkara ini dan menyatakan bahwa TALG
telah melakukan wanprestasi dan karena itu dia diwajibkan
mengembalikan uang security deposite Merpati sebesar
US$1 juta beserta bunganya.
Namun Hume & Associates tak mau mengembalikan
uang itu kepada Merpati dengan alasan belum menda­patkan
ijin dari TALG. “Nah ketika putusan ini kami eksekusi, yang
bersangkutan mengajukan kepailitan di Chicago dan kami
intervensi di dalam permohonan ke pailitan itu,” kata dia.
Namun pengadilan kepailitan Chicago memutuskan untuk
menolak permohonan TALG untuk mengesampingkan
putusan Washington DC. Artinya, kata Lawrance, TALG
tetap harus mengem­balikan uang Merpati sebesar US$1 juta
sebagaimana putusan distrik Washington DC. “Setelah ada
putusan itu, kami kejar eksekusinya. Mereka sudah bayar
1 kali sebesar USD 4.793. Dengan itu, artinya ini murni
perdata utang piutang,” kata dia.
Namun, kata Lawrance pembayaran itu tak dilan­jutkan
karena kuasa untuk menagih pembayaran itu dicabut oleh
direksi yang baru. “Kalau dicabut, berati kita tidak bisa kejar
eksekusi lagi dong,” tuturnya. Alasan dicabut itu, karena
biaya pengacaranya terlalu tinggi. Semua rangkaian ini, kata
Lawrance adalah rangkaian peristiwa perdata apalagi sudah
ada pembayaran. “Berarti murni perdata, kenapa dibawa ke
pidana, ada apa sih di Kejaksaan Agung,” kata dia.
Lawrance juga mengatakan, pihaknya telah berusaha
208
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
memberikan data-data hasil pengadilan di Wasington DC,
Namun penyidik Kejaksaan Agung menolak. “Padahal
putusan pengadilan itu akta otentik dan akta otentik itu
adalah alat bukti menurut KUHP. Penyidik tidak boleh
mengesampingkan fakta otentik berupa putusan pengadilan
ini,” tambahnya. Kemudian kata Lawrance, Mabes Kepolisian
RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi mengatakan bahwa
kasus ini tidak ditingkatkan ke penyidikan karena ranah
perdata. “Tapi kenapa Kejaksaan tetap menyatakan ini
perbuatan korupsi. Kalau menurut saya ini sebuah rekayasa
yang luar biasa,” kata dia.
Selain itu, kata Lawrance hasil audit Badan Pemeriksa
Keuangan pada 2007 menyatakan adanya potensi keru­gian
negara. “Ini baru potensi, bukan kerugian negara,” kata
dia. Lagi-lagi, bukti dari audit BPK ini tak digubris oleh
Kejaksaan Agung. Jika kasus ini tetap dibawa ke ranah pidana
korupsi, kata Lawrance maka, pihaknya akan mengajukan
gugatan kepada Kejaksaan Agung dan penyidiknya dengan
menggunakan Undang-Undang Kejaksaan dan UndangUndang Kepegawaian. “Bagaimana sih sebenarnya kerja
mereka?” kata dia. (umi)
KASUS SEWA MERPATI
Hotasi Nababan: Ini Risiko Bisnis
www.kompas.com
Jumat, 19 Agustus 2011 | 13:02 WIB
M Fajar Marta | Marcus Suprihadi
209
HOTASI NABABAN
JAKARTA, KOMPAS.com Tersangka kasus penye­
waan pesawat Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan
meminta Kejaksaan Agung tidak mengkesampingkan
fakta hukum yang terkait dengan perkara ini, terutama
putusan pengadilan Distrik Washington DC, Amerika
Serikat. “Pengadilan Distrik Washington menerima
gugatan Merpati dan mewajibkan TALG sebagai penye­wa
pesawat mengembalikan uang milik Merpati. Upaya kami
menggugat TALG menunjukkan tidak ada kongkalikong
antara Merpati dan TALG. Ini murni persoalan wanprestasi.
Dan bagi Merpati ini merupakan risiko bisnis,” kata Hotasi,
Kamis (18/8/2011) di Jakarta.
Kasus ini bermula saat Merpati berencana menyewa
dua pesawat Boeing 737 dari Thirstone Aircraft Leasing
Group (TALG) senilai satu juta dollar AS pada 2006.
Sesuai perjanjian, dua pesawat seharusnya diserahkan ke
Merpati pada awal 2007. Namun ternyata pesawat tidak
diserahkan, sementara uang sewa sebesar satu juta dollar AS
sudah dibayar Merpati. Karena merasa dirugikan, Merpati
menggugat TALG di Pengadilan Distrik Washington DC
yang kemudian memenangkan Merpati dan mewajibkan
TALG mengembalikan uang Merpati sebesar satu juta
dollar AS. Menurut Hotasi, fakta hukum berupa putusan
pengadilan Distrik Washington sangat penting karena itu
menunjukkan tidak ada upaya melawan hukum maupun
kerugian negara dalam kasus Merpati. “Jadi perkara ini
tidak seharusnya dipidanakan. Polisi dan KPK sebelumnya
juga menyatakan kasus ini murni perdata,” kata Hotasi.
Sementara itu, Lawrence TP Siburian, penasihat hukum
210
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Hotasi mendesak Kejaksaan Agung melakukan gelar
perkara terhadap kasus penyewaan pesawat oleh PT Merpati
Nusantara Airlines. Hal itu diperlukan untuk menguji
apakah kasus tersebut masuk ranah perdata atau pidana.
Lawrence juga menyangkal ada upaya melawan hukum
yang dilakukan Hotasi dan jajaran manajemen lainnya.
Berdasarkan anggaran dasar perusahaan, sewa operasional
pesawat tidak perlu meminta persetujuan pemegang
saham. “Izin pemegang saham baru diperlukan kalau kita
ingin membeli pesawat. Nah ini kan menyewa, jadi tidak
diperlukan izin,” kata Lawrence.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor
Rachmad sebelumnya mengatakan, tim penyidik Keja­gung
telah menetapkan mantan Direktur Utama Merpati Hotasi
Nababan dan mantan Direktur Keuangan Merpati GA
sebagai tersangka. Tim penyidik Kejagung menilai terdapat
indikasi pidana korupsi dalam perkara penyewaan pesawat
Merpati. Pasalnya, ditemukan bukti adanya upaya melawan
hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, serta merugikan keuangan negara.
KORUPSI PENYEWAAN PESAWAT
Jadi Tersangka, Eks Dirut Merpati Sebut
Ada Dimensi Lain dalam Kasusnya
www.detik.com/M. Rizki Maulana,
Senin, 22/08/2011 18:22 WIB
Dua orang eks anggota Direksi PT Merpati Nusantara
211
HOTASI NABABAN
Airlines (MNA) menjadi tersangka dalam kasus dugaan
korupsi. Salah satu tersangka, Hotasi Nababan, pejabat
Direktur Utama (Dirut) MNA tahun 2002-2007, menyatakan
kekecewaan atas statusnya saat ini. Menurutnya, kebijakan
yang telah diambilnya sudah dikriminalisasi, dan hal ini bisa
saja terjadi pada Direksi BUMN lain.
“Saya melihat ada dimensi lain dari kasus ini. Ini
terbukti bahwa kebijakan yang diambil oleh Dewan Direksi
PT MNA bisa saja dikriminalisasikan, dan tidak menutup
kemungkinan direksi BUMN lain, tidak hanya Merpati,
bisa terkena masalah yang sama. Jadi hati-hati, kebijakan
bisa dikriminalisasi,” ujar Hotasi Nababan dalam jumpa
pers yang digelar di FPOD no 9, FX, Jakarta Selatan, Senin
(22/8/2011). Lebih jauh Hotasi menegaskan, keputusan
yang ia ambil adalah kegiatan korporasi, bukan individu.
“Ini murni kegiatan korporasi untuk perusahaan bukan
keputusan individu,”
Hotasi juga menunjukkan kekecewaannya terhadap
institusi Kejaksaan Agung (Kejagung) yang dianggapnya
tidak konsisten dalam melaksanakan keputusan. Menu­
rutnya, sebelumnya pada 2007 Kejagung telah melakukan
pemeriksaan dan tidak menemukan adanya perbuatan
melawan hukum. “Saya sangat kecewa sekali, kenapa lem­
baga yang sama tidak mau mengacu pada file-file lama.
File-file lama itu seharusnya kan bisa menjadi acuan
dalam mengambil keputusan. Jika lembaga hukumnya saja
inkonsisten, gimana rakyat mau taat hukum,” terangnya.
Sementara itu, penasihat hukum Hotasi Nababan sebe­
lumnya menyatakan keberatan atas penetapan tersangka
212
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
kliennya. Kejagung justru dinilai memaksakan diri
dengan mempidanakan kasus perdata. “Kejagung terlalu
memaksakan diri untuk mempidanakan kasus perdata,
sebab itu murni perdata,” ujar penasihat hukum eks Dirut
Merpati Hotasi Nababan, Lawrens TP Siburian, beberapa
waktu lalu.
Lawrens menegaskan, kasus penyewaan pesawat ini
seharusnya masuk ranah perdata. Sebab, yang terjadi adalah
wanprestasi dalam penyewaan dua pesawat tipe Boeing 737400 dan 737-500 oleh perusahaan TALG USA, bukannya
kerugian negara. “Kalau dibilang ada kerugian negara,
dimana kerugian negaranya. Itu kan belum kerugian negara,
karena itu kan leasing, sewa pesawat Boeing 737-400 dan
737-500. Itu dari masing-masingnya Merpati harus menaruh
security deposit sebesar US$ 500 ribu dan perjanjiannya
itu security deposit, bukan uang muka, artinya itu harus
dikembalikan setelah masa akhir penyewaan, berbeda
dengan uang cicilan atau uang muka. Jadi perjanjian itu,
kalau pesawat tidak ada, uang ini harus dikembalikan. Nah
ternyata, dia itu, TALG wanprestasi. Pesawatnya tidak ada,
tapi uangnya tidak dikembalikan sama dia,” jelasnya.
Kasus ini terjadi pada 2006 ketika Direksi PT MNA
memutuskan menyewa dua pesawat Boeing 737 dari
perusahaan TALG di AS, senilai US$ 500 ribu untuk setiap
pesawat. Uang sewa sebesar US$ 1 juta telah ditransfer ke
rekening Hume Associates, lawyer yang ditunjuk TALG,
melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat ter­
sebut, tak kunjung diterima PT MNA. Diduga ada penyim­
pangan dalam proses penyewaannya. Kejagung mela­kukan
213
HOTASI NABABAN
penyelidikan dan memeriksa sejumlah man­
tan anggota
Direksi PT MNA. Mereka adalah Hotasi Naba­ban (Dirut
MNA 2002-2007), Cucuk Suryo Suprojo (pelaksana tugas
Dirut MNA 2008) dan Sardjono Jhoni Tjitrokusumo
(Presdir MNA 2010).
Selain Hotasi, ada eks Direktur Keuangan PT MNA
berinisial GA yang juga ditetapkan sebagai tersangka dalam
kasus ini. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak
Jampidsus Kejagung pada 16 Agustus lalu. (nvc/nvc)
KEJAGUNG CEKAL
MANTAN DIRUT MERPATI
www.kompas.com, Selasa,
13 September 2011 | 08:38 WIB
M Fajar Marta | Robert Adhi Ksp
JAKARTA, KOMPAS.com—Tersangka kasus ko­rupsi
penyewaan pesawat PT Merpati Nusantara Air­lines, Hotasi
Nababan, meminta agar Kejaksaan Agung berlaku adil dan
mempertimbangkan seluruh fakta hukum yang ada.
”Saya yakin mayoritas jaksa profesional yang memi­
liki hati nurani menilai bahwa kasus ini perdata murni.
Karena itu, kami memohon kesempatan untuk memberi
penjelasan kepada semua tim penyidik karena pemeriksaan
sebelumnya hanya satu kali dan tidak dalam,” kata Hotasi,
Selasa (13/9/2011), di Jakarta, menanggapi langkah cegah
tangkal yang dikeluarkan kejaksaan terhadap dirinya.
Kejaksaan Agung mencegah Hotasi Nababan, ter­sangka
214
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
kasus korupsi penyewaan pesawat PT Merpati Nusantara
Airlines, pergi ke luar negeri hingga enam bulan ke
depan. Pencegahan dilakukan untuk memudahkan proses
penyidikan. ”Jamintel sudah menandatangani surat cekal
atas nama tersangka HN,” kata Kepala Pusat Penerangan
Hukum Kejagung Noor Rachmad. Sesuai surat cekal
bernomor 233/D/DSP.3/09/2011 tanggal 12 September
2011 tersebut, Hotasi dicegah selama enam bulan. Menurut
Noor, pencekalan dilakukan untuk memudahkan proses
penyidikan. ”Agar proses penyi­dikan tidak terhambat,” kata
Noor. Kejagung sejauh ini telah menetapkan dua tersangka
dalam kasus Merpati, yakni mantan Dirut Merpati Hotasi
Nababan dan mantan Direktur Keuangan Merpati Guntur
Aradea. Kejagung baru mencekal Hotasi, sementara Guntur
belum.
Kasus ini bermula saat Merpati tahun 2006 berencana
menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirstone Aircraft
Leasing Group (TALG), perusahaan Amerika Serikat, senilai
1 juta dollar AS. Saat itu Dirut Merpati dijabat oleh Hotasi
Nababan dan Direktur Keuangan oleh Guntur Aradea.
Sesuai kontrak, TALG akan menyerahkan dua pesawat
tersebut kepada Merpati pada awal 2007.
Namun, ternyata pesawat tidak juga dikirim, semen­
tara uang sewa sudah dibayar oleh Merpati. Tim penyidik
Kejagung menilai terdapat indikasi pidana korupsi dalam
perkara ini. Pasalnya, ditemukan bukti adanya upaya
melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, serta merugikan keuangan negara.
Penyidik menemukan fakta penyewaan pesawat dilakukan
215
HOTASI NABABAN
tanpa meminta persetujuan pemegang saham. Selain itu,
manajemen Merpati yang lama dinilai kurang prudent karena
tim penyidik menemukan bukti bahwa pesawat yang akan
disewa Merpati ternyata telah disewakan terlebih dahulu ke
pihak lain.
Hotasi mengatakan, perkara ini seharusnya digolong­
kan sebagai perkara perdata, yakni wanprestasi oleh
TALG yang tidak mampu memenuhi kontrak penyerahan
pesawat kepada Merpati. Pihak Merpati pun, kata Hotasi,
sudah mengajukan gugatan hukum kepada pihak TALG
melalui Pengadilan Distrik Washington DC Amerika
Serikat. Hasilnya, Merpati dimenangkan dan TALG wajib
mengembalikan uang milik Merpati. Sejauh ini TALG baru
membayar ganti rugi sebesar 4.794 dollar AS. MANTAN DIRUT MERPATI MINTA PENCEKALAN
DICABUT
Hotasi Nababan dilarang bepergian ke luar negeri
selama 6 bulan.
www.vivanews.com
Kamis, 15 September 2011, 19:13 WIB
VIVAnews - Kejaksaan Agung saat ini sudah mencegah
mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines,
Hotasi Nababan, ke luar negeri terkait penyidikan kasus
korupsi. Namun, Hotasi meminta agar kejaksaan mencabut
cegah tersebut. “Kami akan mengajukan permohonan,
karena yang bersangkutan dengan jabatan yang sekarang
216
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
ini mengharuskan dia sering bepergian ke luar negeri,” kata
pengacara Hotasi, Kamaru, saat dihubungi VIVAnews.com,
Kamis 15 September 2011.
Menurut Kamaru, saat ini Hotasi bekerja pada sebuah
perusahaan penerbangan asing, sehingga kliennya harus
bolak-balik luar negeri untuk mengurus pekerjaannya. Pihak
pengacara dan keluarga, lanjut Kamaru, siap menjamin
Hotasi tetap kooperatif dengan kejaksaan dan tidak melarikan
diri. “Kami siap memberikan jaminan, jika sewaktu-waktu
diperlukan, maka dia akan datang ke kejaksaan,” ujarnya.
Seperti diketahui, kejaksaan sudah mencegah Hotasi untuk
jangka waktu enam bulan. Pencegahan dilakukan terkait
status Hotasi yang sudah ditetapkan sebagai tersangka
tindak pidana korupsi sewa pesawat Boeing 737 TALG USA.
“Sudah ada permintaan dari Pidsus (Pidana Khusus),
sedang kita proses,” kata Jaksa Agung Muda Intelijen,
Edwin P Situmorang, di Jakarta, Jumat 9 September 2011.
Sedang­kan tersangka lainnya Guntur Aradea selaku Direktur
Keuangan PT Merpati Nusantara Airlines, Kejaksaan Agung
belum mencekal. “Guntur belum,” kata Edwin.
Jadi Tersangka
Sebelumnya, dua bekas petinggi PT Merpati Nusantara
Airlines ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan
Agung terkait dugaan korupsi sewa pesawat Boeing 737400 dan 737-500 dari perusahaan TALG di Amerika Serikat.
Kasus ini berawal pada tahun 2006, saat Direksi PT Merpati
Nusantara Airlines menyewa dua pesawat Boeing 737 dari
217
HOTASI NABABAN
perusahaan TALG di Amerika Serikat. Biaya sewa untuk
masing-masing pesawat seharga US$500 ribu.
Uang sebesar US$1 juta sudah dibayarkan ke rekening
Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri. Namun,
hingga kini pesawat tersebut belum pernah diterima PT
Merpati Nusantara Airlines. Tim Jaksa Penyidik kemudian
mengendus adanya indikasi tindak pidana korupsi
sebesar satu juta dolar AS dalam kasus tersebut, sehingga
meningkatkan status kasus tersebut dari penyelidikan ke
penyidikan.
Kejaksaan sendiri telah memeriksa mantan Dirut Mer­
pati Cucuk Suryosuprojo dan Hotasi Nababan sebagai saksi.
Selain itu, kejaksaan juga telah memeriksa Presiden Direktur
Merpati, Sardjono Jhoni, sebagai saksi. Kasus ini mencuat
setelah Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu melaporkan
adanya dugaan praktek penggelembungan harga pesawat
Merpati tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
KASUS MERPATI
Hotasi Nababan Akan Diperiksa Kembali
www.kompas.com
Rabu, 21 September 2011 | 17:44 WIB
M Fajar Marta | Agus Mulyadi
JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung akan
kembali memeriksa mantan Dirut PT Merpati Nusantara
Airlines, Hotasi Nababan, yang menjadi tersangka dalam
kasus penyewaan pesawat Merpati. Pemeriksaan renca­
218
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
nanya dilakukan Jumat (23/9/2011).
Demikian diungkapkan Kepala Pusat Penerangan
Hukum Kejagung Noor Rachmad Rabu (21/9/2011) di
Jakarta. Selain Hotasi, tim penyidik Kejagung juga akan
memeriksa tersangka lainnya dalam kasus ini yakni mantan
Direktur Keuangan Merpati Guntur Aradea. Sejauh ini,
Hotasi baru menjalani pemeriksaan satu kali dengan status
sebagai saksi. Dengan demikian, pemeriksaan pada Jumat
mendatang merupakan pemeriksaan perdana dirinya
sebagai tersangka.
Kejagung sebelumnya juga telah mencekal Hotasi.
Pencekalan dilakukan untuk memudahkan proses penyi­
dikan. Kasus ini bermula saat Merpati pada 2006 beren­cana
menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirstone Aircraft
Leasing Group (TALG), perusahaan Amerika Serikat, senilai
satu juta dollar AS. Saat itu, Dirut Merpati dijabat Hotasi
Nababan dan direktur keuangan oleh Guntur Aradea.
Sesuai dengan kontrak, TALG akan menyerahkan
dua pesawat tersebut kepada Merpati pada awal 2007.
Namun ternyata pesawat tidak juga dikirim, sementara
uang sewa sudah dibayar oleh Merpati. Tim penyidik
Kejagung menilai, terdapat indikasi pidana korupsi dalam
perkara ini. Ditemukan bukti adanya upaya melawan
hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, serta merugikan keuangan negara. Penyidik
menemukan fakta penyewaan pesawat dilakukan tanpa
meminta persetujuan pemegang saham.
Selain itu, manajemen Merpati yang lama dinilai kurang
prudent karena tim penyidik menemukan bukti bahwa
219
HOTASI NABABAN
pesawat yang akan disewa Merpati ternyata telah disewakan
terlebih dahulu ke pihak lain. Hotasi mengatakan, perkara
ini seharusnya digolongkan sebagai perkara perdata yakni
wanprestasi oleh TALG yang tidak mampu memenuhi
kontrak penyerahan pesawat kepada Merpati.Pihak Merpati
pun, kata Hotasi, sudah mengajukan gugatan hukum kepada
pihak TALG melalui Pengadilan Distrik Washington DC
Amerika Serikat. Hasilnya, Merpati dimenangkan dan
TALG wajib mengembalikan uang milik Merpati. Sejauh
ini, TALG baru membayar ganti rugi sebesar US $ 4.794.
PENDUKUNG HOTASI DATANGI
KEJAKSAAN AGUNG
www.tempo.co
Jumat, 23 September 2011 | 15:39 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga, teman kuliah, dan
anak buah bekas Direktur Utama PT Merpati Nusantara
Airlines, Hotasi Nababan, mendatangi Kejaksaan Agung.
Mereka ingin menyaksikan pemeriksaan Hotasi sebagai
tersangka. “Mereka mau melihat pemeriksaan, tapi saya
bilang menunggu saja,” kata Sukarto, bagian Keamanan
Dalam (Kamdal) yang berjaga di gedung Bundar Kejagung,
Jumat, 23 September.
Mereka yang berjumlah sekitar 15 orang hanya duduk
di ruang tunggu gedung Bundar. Mereka datang dengan
mengendarai sejumlah mobil pribadi. Salah seorang di
antaranya mengaku berasal dari Kampus Institut Teknologi
220
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Bandung. “Saya memang teman kuliah beliau,” kata pria
tersebut tanpa mau menyebutkan identitasnya.
Hotasi terseret dalam kasus penyewaan Merpati ber­
sama bekas Direktur Keuangan, Guntur Aradea. Keduanya
diduga terlibat kebijakan PT Merpati menyewa dua pesawat
dari Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) pada 19
Desember 2006. Kebijakan itu belakangan dinilai merugikan
negara. Kerugian itu berawal saat Merpati menempatkan
duit US$ 1 juta setara dengan Rp 9 miliar ke perusahaan
penyewaan asal Amerika itu sebagai biaya sewa pesawat.
Namun hingga tenggat waktu yang disepakati, yakni Januari
2007, pesawat yang dipesan tak kunjung datang. Duit
Merpati juga lenyap.
Pengacara Hotasi, Lawrenca Siburian, membantah diri­
nya sengaja menghadirkan mereka di Kejagung. Ia berdalih
tidak tahu-menahu tentang kehadiran mere­ka. “Saya tidak
tahu,” katanya singkat. Hal senada juga diungkapkan Imam
Turidi, juru bicara Merpati. Menurutnya, kedatangan para
pegawai itu tanpa sepe­
ngetahuan manajemen maskapai
pelat merah tersebut. “Kami juga baru tahu infonya dari
Anda,” ujar dia.
KASUS SEWA MERPATI
Hotasi: Sewa Merpati Sudah Sesuai Prosedur
www.pelitaonline.com
Jumat, 23 September 2011
Jakarta, PelitaOnline—Kejaksaan Agung (Keja­
gung),
221
HOTASI NABABAN
Jumat (23/9), memeriksa mantan Direktur Utama PT
Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan sebagai
tersangka dalam kasus penyewaan dua pesawat yang di­
duga merugikan negara US$ 1 juta. Hotasi dalam peme­
riksaan perdananya ini tiba di Gedung Bundar Kejagung
sekitar pukul 10.45 WIB menggunakan Kijang Inova
Hitam. Ia menuturkan bahwa kedatangannya hari ini
untuk menjelaskan kasus yang tengah menjeratnya secara
menyeluruh. “Dipaparkan kembali semua,” ujarnya. Dia bersikeras bahwa perjanjian sewa pesawat ter­
sebut sudah sesuai prosedur, kalaupun ada masalah ia
menilai hal itu merupakan resiko bisnis. “Semua sudah
memenuhi prosedur,” katanya. Sebelumnya, penyidik
pidsus Kejagung menetapkan dua orang mantan pejabat
PT Merpati Nusantara Airlines menjadi tersangka. Mereka
adalah mantan Dirut Merpati Hotasi Nababan dan mantan
Direktur Keuangan Guntur Aradea. Mereka terkait dugaan
kasus korupsi penyewaan dua pesawat Boeing 737-400
dan 737-500 milik Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc
(TALG) oleh PT Merpati Nusantara Airlines. HOTASI DIPATUK MERPATI
Majalah Tempo, Edisi 19-25 September 2011
Kejaksaan Agung kini mencekal Hotasi Nababan setelah
bekas Direktur Utama PT Merpati itu jadi tersangka. Buntut
dari sewa pesawat lima tahun silam.
Telepon seluler milik bekas Direktur Utama Merpati
222
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Nusantara Air Lines Hotasi Nababan berdering berkalikali. Beberapa pesan pendek masuk serempak ke telepon
itu. Pengirimnya jurnalis dari berbagai media. Mereka
menanyakan hal yang sama : Sikap Hotasi menghadapi
pencekalan yang ditetapkan Kejaksaan Agung. Dahi Hotasi
pun berkerut, ia sama sekali tak tahu pencekalan itu.
Kendati demikian, ia tetap melayani pertanyaan wartawan.
“Yang saya tahu, saya sudah tersangka. Itu saja, ujarnya
kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Ia kemudian tahu perihal
pencekalan itu setelah mengethaui running text di televisi
Senin pekan lalu, Kejaksaan Agung mencekal Hotasi.
Sebelumnya, pada 16 Agustus silam. Kejaksaan sudah meng­
umumkan Hotasi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi
penyewaan dua pesawat jet Boeing seri B 737-500 dan B
737-400 pada 2006. Selain Hotasi, Guntur Aradea, Direktur
Keuangan Merpati di masa Hotasi, ikut jadi tersangka.
Hotasi pertama kali diperiksa Kejaksaan pada 4 Juli silam.
Saat itu ia diperiksa penyidik tanpa didampingi pengacara.
“saya di periksa sekali, langsung jadi tersangka”, katanya.
Kejaksaan menuduh kedua tersangka itu telah membuat
rugi Negara lantaran memesan pesawat yang tak kunjung
datang. Penyidik kejaksaan menilai ada indikasi tindak
pidana korupsi dalam kasus tersebut lantaran tidak
kembalinya uang secutity deposit US$ 1 juta (sekitar Rp 9
milyar pada kurs 2006) yang disetorkan Merpati. Kejaksaan
sudah memeriksa bekas direktur Merpati lainya, Cucuk
Suryosuprojo, sebagai saksi. Presiden Direktur Merpati yang
sekarang, Sardjono Jhoni, juga sudah didengar kesaksianya.
Kasus ini mencuat setelah Federasi Serikat Pekerja BUMN
223
HOTASI NABABAN
bersatu melaporkan soal itu ke berbagai instansi penegak
Hukum, termasuk kejaksaan.
Hotasi menegaskan, ia tak akan berkelit dari kasus ini.
Ia sendiri meminta kejaksaan mencabut pencekalan atas
dirinya. “Saya masih ada tanggung jawab pekerjaan yang
mengharuskan saya pergi keluar negeri,“ katanya. Pencekalan
itu memang membuat Hotasi tak bisa meninggalkan
Indonesia, sedikitnya sampai enam bulan kedepan.
Perkara yang membelit Hotasi bermula ketika jajaran
direksi Merpati pada 2006 memutuskan melakukan
penga­­
daan pesawat itu mereka mengumumkan di situs
perusahaan. Pada Desember 2006, perusahaan Amerika,
Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), melakukan
penawaran. Perusahaan penyewaan pesawat komersial ini
baru berdiri pada 2004.
Sebelum menerima pinangan TALG, Merpati mene­
lisik perusahaan yang baru dua tahun itu. Pemiliknya Alan
Messnerk, sosok yang dinilai kredibel di dunia aviasi.
Merpati pun menerima tawaran TALG. Pada 18 desember
2006, kesepakatan sewa pesawat ini diteken. Disana
ditetapkan, harga sewa pesawat US$ 150 ribu perbulan
yang harus dibayar di muka setiap bulannya. Merpati akan
menyewa dua pesawat itu selama 60 bulan.
Klausul lain yang disepakati, opsi yang mewajibkan pe­
nye­wa menyimpan security deposit US$ 1 juta. TALG sendiri
ogah dibayar dalam bentuk bank garansi atau escrow account.
Ini yang membuat Merpati membayar dengan uang cash.
Untuk menjaga terjadinya risiko, Merpati meminta duit
224
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
itu tidak langsung diserahkan ke TALG, tapi ke lembaga
independen sebagai penjaga deposit (custodian). TALG
menyetujui dan mengajukan Hume And Associates untuk
menjadi custodian. Setelah Merpati melakukan verifikasi
dan disimpulkan custodian ini tak fiktif, pada 20 Desember
2006 duit security deposit ini pun digelontorkan
Pada 5 Januari 207, pesawat Boeing pertama yang
dijanjikan ternyata tidak datang. Tak hanya ingkar janji,
TALG menyatakan ada perubahan harga. Melihat gelagat
itu, Merpati meminta pengembalian deposit. Permintaan
ini tidak pernah digubris. Kejadian berulang pada 20 Maret,
yang merupakan tenggat penyerahan pesawat Boeing yang
kedua. Alih-alih datang. TALG malah sulit dihubungi dan
belakangan raib.
Sejak itu, Merpati memperkarakan perusahaan Alan
Messner sekaligus custodian yang menyebabkan mela­
yangnya duit mereka ke Federal Court Washington, DC.
Upaya hukum Merpati ini juga didukung Kejaksaan Agung
yang saat itu diwakili jaksa Yoseph Suardi Sabda. “Putusan
pengadilan Washington memenangkan Merpati dan
meng­hukum TALG mengembalikan uang Deposit,“ kata
Yoseph. Pengembalian deposit akhirnya terealisasi. Hanya,
jumlahnya minim. Baru US$ 4.793. duit itu dikirim ke
rekening Merpati di Bank Mandiri.
Namun, apa pun hasilnya, kejaksaan tetap menilai
Direksi Merpati ceroboh. Menurut juru bicara Kejaksaan
Agung Noor Rahmad, tim penyidik Kejaksaan Agung
yakin, akibat perbuatan direksi Merpati itulah Negara kini
menderita kerugian. Karena perbuatan mereka mengarah
225
HOTASI NABABAN
Kunjungan ke Dapur Redaksi Detik.Com, 2007
ke korupsi, kata Noor, para direktur itu dijerat dengan pasal
korupsi. “itu temua dari hasil pemeriksaan yang panjang.”
Kata Noor.
Sampai kini sedikitnya sudah 20 orang yang dimintai
keterangan oleh Kejaksaan mengenai perkara ini. Kamis
pekan ini Kejaksaan akan kembali memeriksa Hotasi.
Menurut Noor, kejaksaan tidak sembarangan dalam mene­
lisik perkara ini. Setidaknya tim pemeriksa sudah melakukan
dua kali gelar perkara untuk kasus ini di depan para petinggi
Kejaksaan Agung.
Hotasi tetap berkukuh dirinya tidak melakukan kesa­­
lahan seperti dituduhkan Kejaksaan. Ia menyatakan yang
dilakukannya dalam proses sewa pesawat itu sudah melalui
semua prosedur. Tentang tidak adanya izin dari pemegang
226
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
saham, Hotasi menyatakan tidak bersalah. Pasalnya, dalam
anggaran dasar perusahaan, untuk menyewa pesawat, izin
pemegang saham tidak dibutuhkan. Adapun tentang tuduhan
telah berbuat ceroboh, ia menyatakan tak melakukannya
kare­
na yang dilakukan semua sesuai dengan prosedur,
yang menekankan kehati-hatian. Termasuk dengan cara
menyimpan duit Merpati di lembaga independen.
Pengacara Merpati, Lawrence T.P. Siburian, menga­takan
kasus sewa pesawat itu sebenarnya sudah lama selesai dan
tidak lagi dipermasalahkan. Buktinya, ujar Lawrence, ada
surat dari tiga lembaga penegak hokum yang menghentikan
penyelidikan ini. Ketiga surat itu adalah dari Direktorat III
tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri tertanggal
27 September 2007, dari Komisi Pemberantasan Korupsi,
dan Surat kepu­tusan penghentian sementara dari Kejaksan
Agung Muda Intelijen pada 22 Mei 2008. “ini sebenarnya
kasus perdata. Karena itu, kami mengharap penyidikan
kasus ini dihentikan,“ ujarnya.
Perkara Hotasi ini juga menyedot perhatian sejumlah
petinggi maskapai penerbangan. Inilah untuk pertama
kalinya seorang petinggi maskapai penerbangan nasional
dijadikan tersangka korupsi karena tindakannya meng­
upayakan pesawat untuk perusahaannya. Kepada Tempo,
Sekretaris jenderal Indonsia National Air Carriers Asso­
ciation (INACA) Tengku Burhanudin menyatakan yang
dilakukan oleh Merpati pada 2006 itu sebenarnya lumrah.
Menyimpan dana terlebih dulu sebagai security deposit
atau jaminan, ujar Tengku Burhanudin, memang biasa
disyaratkan perusahaan penyewaan pesawat.
227
HOTASI NABABAN
Menurut dia, banyak maskapai nasional melakukan
hal itu. “yang terpenting sebenarnya ada upaya proteksi
ter­
hadap kerugian apabila terjadi masalah dalam proses
transaksi,” katanya.
Soal masalah yang dihadapi Merpati, INACA menilai
yang dialami perusahaan penerbangan plat merah itu meru­
pakan resiko bisnis. Menurut Burhanudin, dari runtutan
kejadiannya, juga dengan keluarnya putusan peng­adilan di
Amerika Serikat, kasus Merpati ini sebenarnya masuk ranah
perdata, karena masalah utang-piutang.
Namun kejaksaan tetap keukeuh bahwa kasus sewa
peswat merupakan ranah kasus ranah korupsi. Tak hanya
dengan tanda-tanda menmgeluarkan surat pencekalan,
Wakil Jaksa Agung Darmono juga mengisyaratkan perkara
ini akan maju terus. “Kami optimis, kasus Merpati akan
selesai,” katanya.
KEJAKSAAN AGUNG PERIKSA
SOFYAN DJALIL
www.kompas.com,
Senin, 12 Maret 2012 | 20:40 WIB
Maria Natalia | I Made Asdhiana
JAKARTA, Kompas.com — Tim penyidik Tindak
Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Senin (12/3/2012) ini,
memeriksa mantan Menteri Negara (Menneg) Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) Sofyan Djalil. Ia diperiksa sebagai
saksi dalam kasus dugaan korupsi Merpati Nusantara dalam
228
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
penyewaan dua pesawat Boeing 737-400 dan 737-500. “Saya
jadi saksi ahli saja untuk kasus Merpati,” kata Sofyan di
Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin.
Sementara itu, menurut Kepala Pusat Penerangan
Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, Sofyan di­
min­
tai keterangan sebagai saksi yang meringankan atas
permintaan salah satu tersangka kasus tersebut, mantan
Direktur Utama PT MNA, Hotasi Nababan. “Kehadiran Pak
Sofyan Djalil di gedung Bundar pada hari ini dalam rangka
dimintai keterangan atau diperiksa sebagai saksi. Karena itu,
permintaan dari tersangka sebagai saksi yang meringankan
tentunya kita melakukan pemeriksaan,” tutur Adi.
Seperti yang diketahui, kasus ini berawal dari
perjanjian antara PT Merpati dan perusahaan penyewaan
pesawat Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG)
ditandatangani pada 19 Desember 2006. Dalam perjan­
jian itu, Merpati berencana menyewa dua pesawat dari
Thirdstone, yaitu Boeing 737 seri 400 dan 500. Saat itu, posisi
Menneg BUMN dipegang oleh Soegiharto. Berdasarkan
perjanjian itu, Merpati membayar Thirdstone 1 juta dollar
AS atau sekitar Rp 9 miliar sebagai jaminan. Pesawat yang
disewa tersebut tak kunjung dikirimkan kepada Merpati
sampai tenggat waktu yang disepakati, yaitu Januari 2007.
Sementara uang jaminan yang telah dibayarkan tidak bisa
ditarik kembali. Kejaksaan menduga, dalam tindakan
Merpati tersebut terdapat unsur tindak pidana korupsi.
Setelah kasus itu bergulir, Sofyan Djalil menjabat sebagai
Menneg BUMN dari 9 Mei 2007 hingga 22 Oktober 2009
menggantikan Soegiharto sehingga ia pun diminta sebagai
229
HOTASI NABABAN
saksi ahli dalam kasus itu. Dalam kasus tersebut, selain
Hotasi, Kejaksaan juga telah menetapkan dua tersangka
lainnya, yaitu General Manager Air Craft Procurement PT
Merpati Nusantara Airlines Tony Sudjiarto dan mantan
Direktur Keuangan PT MNA, Guntur Aradea.
KASUS HOTASI NABABAN DITINGKATKAN
KE PENUNTUTAN
Penulis : Fario Untung
www.mediaindonesia.com
Rabu, 18 April 2012 14:46 WIB
JAKARTA--MICOM Kejaksaan Agung (Kejagung) telah
meningkatkan dugaan kasus korupsi penyewaan pesawat
Boeing 737-400 dan 737-500 PT Merpati Nusantara Airlines
(PT MNA) milik perusahaan Thirdstone Aircraft Leasing
Group Inc (TALG) USA dengan tersangka Hotasi Nababan
ke tingkat penuntutan.
Informasi itu disampaikan oleh Direktur Penyidikan
pada Pidana Khusus, Arnold Angkouw ketika ditemui di
Jakarta, Rabu (18/4). Namun, Arnold belum mengetahui
sejak kapan kasus tersebut sudah ditingkatkan ke
penuntutan. “Merpati kan sudah, sudah ditingkatkan ke
penuntutan atas nama tersangka Hotasi Nababan,” ujar
Arnold ketika dikonfirmasi. Sementara itu, Arnold juga
menjelaskan jika dua tersangka lainnya yakni Direktur
keuangan PT MNA Guntur Aradea dan Mantan General
Manager (GM) Pengadaan pada PT MNA tahun 2006, Tony
230
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Sudjiarto. “Belum, baru Hotasi,” jelasnya.
Seperti yang diketahui, dalam penyewaan dua unit
pesawat Boeing ini, diduga negara dirugikan hingga US$1
juta. Menurut perjanjian, dua pesawat akan diserahkan
kepada Merpati pada 2007. Namun, hingga saat ini kedua
pesawat tidak kunjung diserahkan. Penyewaan pesawat juga
diduga diputuskan sejumlah direksi dalam Rencana Kerja
Anggaran Perusahaan tanpa sepengetahuan Menteri Negara
BUMN saat itu. (FA/X-12)
TERSANGKA MERASA TIDAK KONGKALIKONG
Harian Rakyat Merdeka, 28 April 2012
Kuasa hukum tersangka Hotasi Nababan, Lawrence TB
Siburian, mengatakan bahwa penetapan klienya sebagai
tersangka tidak tepat. Soalnya, menurut dia, kasus sewa
pesawat ini murni perkara perdata, bukan kasus pidana.
Lawrence menilai, perbuatan korupsi harus memiliki tiga
unsur. Yakni, melawan hukum, ada kerugian negara yang
menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi.”
Ketiga hal tesebut yang harus terpenuhi, tidak bisa jika jika
hanya satu,” katanya.
Sedangkan Hotasi meminta Kejaksaan Agung tidak
mengesampingkan fakta hukum perkara ini, terutama
putusan pengadilan Distrik Washington DC, Amerika
Serikat. Menurutnya, pengadilan Distrik Washington
menerima gugatan PT Merpati Nusantara Airlines (MNA)
dan mewajibkan Thirdstone Aircraft Leasing Group Inc.(
231
HOTASI NABABAN
TALG) mengembalikan uang milik Merpati. “Upaya kami
menggugat TALG menunujukkan tidak ada kongkalikong
antara Merpati dan TALG. Ini murni persoalan wanprestasi.
Bagi Merpati, ini merupakan risiko bisnis,” kata Hotasi.
Di tempat berbeda, Direktur Utama PT MNA, Sar­
djono Jhoni, menyatakan bahwa Merpati proaktif menye­
lesaikan persoalan tersebut. Sikap proaktif itu, menurutnya,,
ditunjukan dengan kedatangan dirinya dan sejumlah
pejabat Merpati ke Kejaksaan Agung. “Saya pernah datang
ke Kejagung untuk mendampingi Direktur Keuangan
dan Direktur Opersaional yang dimintai keterangan
jaksa. Kedatangan saya bukan dalam kapasitas dipanggil,
tapi diundang kejaksaan,” katanya, seraya membantah,
kedatangannya ke kejaksaan dalam kapasitas sebagai saksi.
Menurutnya, yang patut dipahami dalam kasus ini
adalah proses pengajuan penyewaan pesawat didasari
kebutuhan Merpati yang saat itu tidak punya uang. “Kami
butuh pesawat, tapi tidak punya uang, makanya diputuskan
untuk menyewa. Merpati selalu merujuk pada kebijakan
korporasi, bukan kebijakan perorangan. Karena itu, kami
mengikuti saja proses hukum yang berjalan, “ ucapnya.
Kasus sewa pesawat ini terjadi pada tahun 2006. Saat itu,
Direksi PT MNA menyewa dua pesawat Boeing 737 dari
TALG di Amerika Serikat, seharga 500 ribu dolar Amerika
Serikat untuk setiap pesawat.
Tapi, setelah dilakukan pembayaran sebesar satu juta
dolar AS, ke rekening lawyer yang dirujuk TALG, yakni
Hume & Associates, melalui transfer Bank Mandiri, hingga
kini pesawat tersebut belum pernah diterima Merpati.
232
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Lantaran itu, Kejaksaan agung mencium indikasi korupsi
sebesar satu juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 9
miliar dalam kasus tersebut. (JON/berbagai sumber).
YANG JADI TERSANGKA BELAKANGNYA MAU DI
ADILI DULUAN
Dua Bekas Bos Merpati Tidak Kunjung Disidang
Harian Rakyat Merdeka, Sabtu, 19 Mei 2012
Kejaksaan Agung baru bisa menyelesaikan satu berkas
tersangka kasus sewa pesawat fiktif Boeing 737-400 dan
7237-500 oleh PT Merpati Nusantara Airlines (MNA).
Berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P21) itu atas
nama tersangka Tony Sudjiarto, bekas General Manager Air
Craft Procurement PT MNA. “ Baru satu berkas yang sudah
P21, yakni untuk tersangka TS. Surat P21 nya telah keluar
sejak 10 Mei lalu, “ kata kepala Pusat Penerapan Hukum
Kejaksaan Agung, Adi Tegarisman, saat ditanya mengenai
perkembangan penanganan kasus ini pada Rabu (16/5).
Berarti, masih ada dua tersangka yang berkasnya
belum lengkap, yakni bekas Direktur Utama PT MNA
Hotasi Nababan dan berkas Direktur Keuangan PT MNA
Guntur Aradea. Padahal, Hotasi dan Guntur lebih dahuku
ditetapkan sebagai tersangka disbanding Tony. Hotasi dan
Guntur ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka
pada Agustus 2011. Empat bulan kemudian, barulah Tony
ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah
Penyidikan (Sprindik) Print 196/F.2/Fd.1/12/2011 tanggal
233
HOTASI NABABAN
22 Desember 2011. “Untuk TS, tinggal menunggu jadwal
persidangan. Sedangkan dua tersangka lainnya belum
rampung, masih dalam tahap penyidikan untuk melengkapi
berkas.”ujar Adi.
Mulai melakukan penyidikan sejak Agustus 2011,
Kejaksan Agung tidak melakukan upaya penahanan terhadap
para tersangka. “Memang tidak dilakukan penahanan, sebab
mereka kooperatif. Namun pencekalan telah dilakukan,”
alasan Adi. Bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau
ini pun belum bisa memastikan, kapan berkas dua tersangka
lainya akan P21. “Tentu kami lengkapi dulu. Penyidik terus
bekerja,” ujarnya.
Padahal, sebelumnya Direktur Penyidikan pada Jaksa
Agung Muda Pidana Khusus, Arnold Angkow, telah
menyampaikan berkas perkara atas nama tersangka Hotasi
Nababan sudah lengkap, dan sedang dibuatkan rencana
dakwaan (rendak) di Bagian Penuntutan pada Jaksa Agung
Muda Pidana Khusus. Tapi belakangan, malah berkas atas
nama tersangka Tony Sudjiarto yang dinyatakan lengkap
oleh Kapuspen Kejagung.
Menurut Arnold, proses selanjutnya terhadap Hotasi
berada pada Bidang Penuntutan. “Kapan dilimpahkan ke
pengadilan, silakan tanya kepada (Bidang) Penuntutan dan
Kapuspenkum,” ujarnya, di Gedung Bundar Kejaksaan
Agung, Jalan Sultan Hasanudin, Jakarta Selatan pada Rabu
malam, 18 April lalu. Arnold menambahkan, berkas dua
tersangka lain, yakni Guntur dan Tony masih dilengkapi.
“Tentu kami menginginkan berkas dua tersangka itu
secepatnya menyusul lengkap,” ujar bekas Kepala Kejaksaan
234
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Tinggi Sulawesi Utara ini.
Kasus ini bermula saat Direksi PT Merpati Nusantara
Airlines menyewa dua pesawat Boeing dari Thirdstone
Aircraft Leasing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat,
pada tahun 2006. Namun, sejak biaya sewa sebesar 500 ribu
dolar AS per pesawat dibayarkan ke rekening kantor lawyer
Hume And Associates melalui transfer Bank Mandiri, kedua
pesawat itu tidak pernah dikirim ke Indonesia. Akibatnya,
diduga terjadi kerugian Negara sebesar satu juta dolar AS
atau sekitar Rp 9 miliar pada salah satu Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) ini.
Terkait penyidikan kasus ini, bekas Direktur Utama
PT Merpati Nusantara Airlines lainnya, yakni Cucuk
Suryosuprojo, juga sudah diperiksa sebagai saksi pada 16
Agustus 2011. Sedangkan bekas Dirut PT MNA Sardjono
Jhoni dimintai keterangan sebagai saksi pada 25 Mei 2011.
(JON)
HAMPIR SATU TAHUN DI KEJAGUNG
Harian Rakyat Merdeka, Sabtu, 19 Mei 2012
Kasus sewa pesawat fiktif ini, sudah cukup lama ditangani
Kejaksaan Agung. Hampir satu tahun. Bekas Direktur Utama
PT Merpati Nusantara Airlines (MNA), Hotasi Nababan,
dan Direktur Keuangan MNA, Guntur Aradea, ditetapkan
Kejaksaan Agung sebagai tersangka pada Agustus 2011.
Sedangkan General Manager Air Craft Procurement PT
MNA Tony Sudjiarto ditetapkan sebagai tersangka pada 22
235
HOTASI NABABAN
Desembar 2011. Namun, hingga kemarin, para tersangka
itu belum dibawa Kejagung ke Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor).
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Andhi
Nirwanto, mengaku kasus korupsi sewa pesawat Boeing 737400 dan 737-500 ini masih dikembangkan anak buahnya.
Penyidik pidana khusus, menurut Andhi, masih mengorek
keterangan para saksi untuk mendalami perkara yang di
duga merugikan negara 1 juta dolar Amerika Serikat atau
sekitar Rp 9 miliar ini. Kejaksaan Agung, lanjutnya, juga
meminta keterangan ahli hukum pidana dan ahli pengadaan
barang dan jasa untuk mendalami perkara tersebut.
Kasus sewa pesawat ini terjadi pada tahun 2006. Saat itu,
Direksi PT MNA menyewa dua pesawat Boeing 737 dari
Thirstone Aircraft Leasing Group Inc (TALG) di Amerika
Serikat, seharga 500 ribu dolar AS untuk setiap pesawat.
Tapi, kata Andhi, setelah dilakukan pembayaran sebesar
satu juta dolar AS ke rekening lawyer yang ditunjuk TALG,
yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri,
hingga kini pesawat tersebut belum pernah diterima PT
Merpati Nusantara Airlines.
Kebijakan mengirim uang ke rekening lawyer itulah
yang membuat Merpati sulit menarik kembali duit jaminan
tersebut. Seharusnya, uang itu disimpan pada lembaga
pen­jamin resmi. Makanya, kejagung menyangka ada ke­
inginan sejumlah pihak untuk menyelewengkan dana itu.
Kemudian, status perkara ini ditingkatkan dari penyelidikan
ke penyidikan.
Tapi, tersangka Hotasi Nababan meminta Kejaksaan
236
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Agung tidak mengesampingkan putusan Pengadilan Distrik
Washington DC, Amerika Serikat, terkait pesawat yang
tak kunjung datang meski sudah dibayar. Menurutnya,
Pengadilan Distrik Washington menerima gugatan Merpati
dan mewajibkan TALG mengembalikan uang milik
Merpati. “Upaya kami menggugat TALG menunjukan tidak
ada kongkalikong. Ini murni persoalan wanprestasi. Bagi
Merpati, ini merupakan risiko bisnis,” katanya di Kejagung.
Kuasa hukum Hotasi, Lawrence TB Siburian, mengatakan
penetapan kliennya sebagai tersangka tidak tepat. Soalnya
menurut dia kasus sewa pesawat ini murni perkara perdata,
bukan pidana. Lawrence menilai, Kejaksaan Agung terlalu
memaksakan diri menetapkan korupsi harus memiliki tiga
unsur. Yakni melawan hukum, ada kerugian negara ynag
menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi.
“Ketiga hal tersebut harus terpenuhi, tidak bisa jika hanya
ada satu unsur, “ katanya. (JON)
237
HOTASI NABABAN
GRUP MILIS:
SIMPATI HOTASI NABABAN
Milis IA ITB, 22 Agustus 2011
Monday, August 22, 2011 15:54:58
Rekan-rekan, Siang ini saya hadir di acara Media briefing
Hotasi untuk memberikan dukungan. Terlampir adalah foto
Hotasi didampingi para pengacaranya pada saat media briefing.
Dari penjelasan tadi jelas sekali bahwa kasus ini adalah kasus
perdata, dimana Merpati melakukan perjanjian sewa pesawat
ke TALG, perusahaan Amerika. Ternyata perusahaan tersebut
wanprestasi, namun belum mengembalikan security deposit
yang telah dibayarkan oleh MNA. Pengembalian security
deposit tersebut masih diupayakan. Semoga Hotasi diberi
kekuatan untuk menghadapi cobaan ini, dan semoga dia
mendapatkan keadilan.
Salam hangat penuh semangat
BA
Pasti Hotasi kuat mbak, lihat aja penampilannya. Wong
sekolah di MIT aja kuat. Jadi dirut merpati juga kuat. Proses
hukum ini akan sangat bermanfaat utk ybs dan negeri ini,
238
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
khususnya utk para penegak hukum. Dengan landasan
kebenaran dan memperjuangkan keadilan, Hotasi pasti akan
lebih kuat.
RS®TA’82
Tambahan Mbak Betty, tuduhan tidak prudence dalam
mengambil keputusan menyewa pesawat dari TALG
dibuktikan oleh pengacaranya (yg mantan Jaksa juga) berupa
cek fisik pesawat. Hotasi tadi juga menyatakan bahwa bila kasus
Merpati ini dilanjutkan akan banyak direktur2 BUMN lain
yg akan kena. Karena ternyata kebijakan dapat dipidanakan.
Demikian tambahan singkat dari TKP...
LS TK85
Silakan lihat kronologis
#kronologismerpati
Dan ikuti terus :
FB : Simpati Hotasi
Twitter : SimpatiHotasi
Tks Arya M
lengkapnya
di
twitter:
Kita galang dukungan untuk hotasi nababan, pak hotasi
merupakan korban persekongkolan segelintir orang yang
rakus.
Gatot Siswanto
Hasil cek physiknya gimana mbak laras? Bisa infonya
lebih jelas, spesifik dan kalau bisa detail. Hasilnya berlembar239
HOTASI NABABAN
lembar paper Bang....sangat teknis sekali. Sebentar kalau Bang
Ot (Hotasi) sudah masuk ke milis ini, mungkin dia akan
menjelaskan panjang lebar.
Rgds, Laras TK85
Kalau mengacu pada info detik.com, kebijakan dalam
kasus ini merugikan negara satu juta dollar USA. Kalau negara
rugi berarti, yg rugi rakyat sepanjang dana itu digunakan utk
kepentingan rakyat. Kebijakan century malah dapat bintang.
Ramli
Selain Hotasi, ada eks Direktur Keuangan PT MNA
berinisial GA yang juga ditetapkan sebagai tersangka
dalam kasus ini. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka
oleh pihak Jampidsus Kejagung pada 16 Agustus lalu.
Thank You
RS®TA’82
Justru disitu yg aku bingung mbak. Kok pengacara yg
mantan jaksa itu ngerti physik pesawat. Saya aja yg insinyur
jebolan itb gak ngerti. Hebat kan dia itu. Jadi pingin laga mulut
dengan ybs.
Thank You, RS®TA’82
Dimanapun kebijakan tidak perlu dipidanakan, terma­
suk kebijakan membayar jaminan simpanan kasus Century.
Kebijakan bisa dipidanakan jika kebijakan itu secara langsung
240
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
merugikan orang lain.
RM SI79
Dalam kasus ini yang merugikan adalah pihak yang ingkar
janji bukan pihak Merpati, kecuali ada temuan lain.
RM SI79
Pihak merpati harus bertanggungjawab dengan
kebijakannya itu. Kejar dong yg menilap itu. Masak ditilap
diam saja. Gak benar itu
RS®TA’82
Kan sudah menang secara hukum di pengadilan Amerika....
(Katanya)
RM SI79
Untuk dapat dikategorikan sebagai korupsi 3 syarat harus
terpenuhi, yaitu :
- negara dirugikan
- ada pelanggaran hukum
- ada pihak yang diuntungkan
Dalam kasus Hotasi, US 1 juta dollar statusnya
dalam pembukuan MNA sampai saat ini adalah piutang,
yang mestinya masih bisa dikejar untuk ditagih. MNA
memenangkan perkara perdata lawan TALG di pengadilan
distrik Washington DC. Pengadilan telah memerintahkan
TALG untuk mengembalikan Security Deposit tersebut. Secara
241
HOTASI NABABAN
hukum negara belum dirugikan.
Tidak ada proses yang dilanggar dalam proses menye­wa
pesawat ini, sehingga syarat adanya pelanggaran hukum tidak
terpenuhi.
Seharusnya kasus ini tidak memenuhi syarat untuk jadi
kasus korupsi. Yang juga penting Hotasi tidak dapat uang apaapa dari transaksi ini.
Salam hangat penuh semangat
BA
Betul mbak secara hukum negara belum dirugikan karena
memang menang di pengadilan. Yg dipermasalahkan sekarang
dana itu belum kembali dan ada kejelasan, jadi tetap negara
di rugikan secara materi dan ini yg jadi persoalan. May I miss
something !
RS®TA’82
Bang Ramli,
BUMN bisa saja punya piutang yang belum tertagih. Bisa
juga ujungnya piutang tersebut tidak bisa ditagih. Dalam
situasi inikan tidak serta merta CEO nya terus dijadikan
tersamgka korupsi. Hanya bila 3 syarat terpenuhi, maka CEO
nya bisa dijadikan tersangka.
Salam hangat penuh semangat
BA
Kalau dilihat dari sisi itu ada benarnya. Tetapi saya tetap
yakin bahwa kejaksaan agung (catat : jaksa agung) berani
242
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
mengangkat masalah usang ini dan menempatkan mantan2
direksinya sebagai tersangka tentu ada dasar hukumnya dan
pasti punya bukti hukum dan temuan2 baru. Namun demikian,
kita tunggu aja proses peradilannya. Jika memang tersangkanya
tdk bersalah, tentu mereka tdk berhak di jebloskan ke hotel
prodeo dan kita perlu kawal ini. Jika motifnya politis, ini bisa
di lawan dengan proses dan bukti2 hukum. Yg terjadi sekarang
ini adalah satu konsekwensi jadi pejabat, tiupan anginnya bisa
kencang sekali.
RS®TA’82
Btw, Apakah bisa diinvestigasi pihak2 yg ada dibelakang
deal tsb? Jangan2 pihak2 tsb sekarang menghilang dah risk ada
di pejabat struktural, terutama direksi.
Adi Irianto
“@SimpatiHotasi: 2. Merpati ketika mengeksekusi putusan,
TALG mgajukan kepailitan dirinya #kronolo­
gismerpati”.
Kelihatannya uangnya sdh gak ada, TALG berusaha
mempailitkan diri agar terhindar dari hutang. Kalau murni
sebagaimana apa adanya seperti yg diatas, menurut saya kasus
ini tdk ada kriminalnya.
Salam MDD I AR84
Tambahannya mbak Betti, makin tinggi posisi makin berat
tanggungjawabnya. Bahwa negara dirugikan adalah fakta.
Siapa yg harus dan paling bertanggungjawab! Sudah pasti
pejabat tertinggi sebagai decision makernya. Entah itu karena
243
HOTASI NABABAN
kesalahan dimananya, tetap harus ada yg bertanggungjawab
dan tentu mbak Betti pasti sudah lebih tau dan paham soal
itu. Seorang big bos terkesan kerjanya ringan dan enak, hanya
ngobrol2, ngerumpi, telp, bbm, sms, email, golf, ngopi2 dan
sejenisnya. Tetapi kesalahan apapun yg terjadi di lingkungan
kerjanya tetap dia yg harus paling bertanggungjawab. Begitu
itu yg saya mengerti mbak.
Ramli
Apakah setiap usaha yang
Pimpinannya harus dipidanakan ?
mengalami
kerugian
RM SI79
Mudah2an bro, itu yg kita harapkan karena kebetulan yg
jadi pesakitannya adalah sahabat kita sesama cap gajah. Biarlah
waktu dan proses hukum yg akan berbicara apa ujungnya
ini. Jaksa agung, kpk. Dan sejenisnya bukan dewa yg bisa
menjungkirbalikkan fakta2 hukum.
RS®TA’82
Menurutku, tergantung dari bagaimana proses kerugian
itu terjadi. Kalau yg dipidanakan lebih bodoh dari yg
mempidanakan ya resikolah.
RS®TA’82
Belum pernah ada hukuman bagi yg mempidanakan di
negeri ini. Polisi salah tangkap, atau jaksa salah menuntut sampai
244
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
hakim salah memutuskan tdk pernah dipenjarakan. Btw sesuai
informasi yg diterima, utk meng­­eksekusi dana hasil keputusan
pengadilanpun ter­nyata membutuhkan uang dgn memakai
lawyer. Nah, apakah nanti kalau susah juga mengeksekusi, ntar
dirut yg baru dihukum lagi krn telah mengeluarkan dana utk
mengeksekusi hasil putusan pengadilan. Krn dianggap telah
merugikan negara hehehe
Tks
Arya M
Bang Ramli,
Menjadi orang nomor satu memang suatu tanggung
jawab yang besar. Dan Anda betul, apa pun yang terjadi
dalam organisasi adalah tanggung jawab sang pemimpin.
Tetapi memimpin perusahaan lalu mengalami kerugian yang
diakibatkan oleh mitra kerja kita wan prestasi, mestinya
bentuk tanggung jawabnya bukan di pidanakan. Di pecat sih
boleh saja.
Salam hangat penuh semangat
BA
Ya deh mbak, aku menyerah. Sudah habis kamus soalnya.
Terimakasih untuk pencerahannya.
Ramli
245
H O TA S I N A B A B A N
Hotasi Nababan (paling kanan) bersama tim sepakbola Alumni ITB, 2001.
Bersama Alumni ITB Angkatan 1983 yang membentuk Yayasan Ganesha
G83 untuk program beasiswa, kewirausahawan, dan sosial lainnya.
Reuni Akbar 25 Tahun Angkatan ITB 1983, Desember 1988.
246
STIGMA “KORUPTOR”
Oleh Hotasi Nababan
S
EGERA setelah berita merebak tentang pene­tapan saya
sebagai “tersangka” korupsi, dukungan moril dari banyak
orang datang mengalir melalui berbagai media, khususnya
di jaringan alumni ITB dan kalangan profesional. Bahkan,
banyak pendapat orang di twitter yang saya tidak kenal
mempertanyakan dimana letak korupsinya perkara sewa
pesawat Merpati tersebut.
Saya menyadari bahwa berita korupsi memberi rating
tinggi bagi media. Rating tinggi tentu akan membawa
pemasukan. Setiap ada penetapan ter­sangka korupsi, banyak
sorotan media ke institusi yang mengumumkannya, termasuk
kali ini kantor penerangan Kejaksaan Agung. Mungkin kasus
ini sendiri, atau nama Merpati, atau nama saya cukup berarti
untuk ditaruh di running text di beberapa stasiun televisi.
Tentu saja citra saya terganggu bagi publik yang tidak
mengenal saya. Beberapa orang sering mendatangi saya
bertanya tentang kasus ini, tapi dengan sudut kecurigaan
bahwa saya mendapat bagian dari uang deposit itu. Sebagian
lagi menganggap bahwa kejaksaan pasti punya bukti kuat
bahwa saya merekayasa ini semua. Jika saya mendengar
omongan orang tersebut, maka saya akan membenarkan itu.
247
HOTASI NABABAN
Seperti halnya berita korupsi lain, pemberitaan tentang
kasus ini telah mem-vonis saya bersalah (guilty by opinion).
Inilah kekuatan media di jaman keterbukaan informasi
seperti ini. Proses hukum tidak terjadi di dalam ruangan
penyidikan, tetapi apa yang terjadi cepat menjalar dan diikuti
publik melalui media apa saja. Publik berhak menyimpulkan
apapun dari berita yang diterima. Di tengah kebencian luas
atas korupsi, publik ingin cepat menuju kesimpulan karena
tidak sabar akan proses mengurai suatu perkara.
Tidak heran saya mendapat pengalaman bahwa media
lebih tahu hasil pemeriksaan kami daripada kami sendiri.
Para penegak hukum ingin lebih dekat dengan media
untuk mengangkat pamor dan mengatur temperatur politik
pemberitaan. Media pun ingin selalu dekat dengan sumber
media. Eksklusifitas berita memberi nilai lebih. Setiap potong
informasi langsung ada di media on-line. Media harian
mengacu pada media on-line itu. Kecepatan berita seperti ini
sangat merugikan bagi pesakitan seperti saya.
Sadar bahwa media adalah elemen terpenting untuk
menyampaikan kebenaran, maka saya dan teman-teman
sepakat untuk melancarkan road-show ke beberapa media,
baik cetak dan elektronik, untuk menyampaikan fakta apa
adanya. Media dapat menjadi kekuatan yang menjamin
keadilan. Setelah semua fakta dipaparkan secara sistematis,
maka pertanyaan mereka sama, “mengapa kejaksaan
memaksakan perkara ini menjadi pidana?”
Selain itu, atas saran teman-teman di LSM, saya
248
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
Menerima ‘Best Marketing Executive Peugot Award 1997’.
mendatangi kantor ICW di Kalibata pada sore hari di
bulan September 2011. Mereka menyambut kami dengan
canggung, karena tidak pernah terjadi tersangka korupsi
datang melaporkan kasusnya. Kami datang bukan meminta
ICW membela saya, tapi agar ICW mau mempelajari kasus
ini secara mendalam dan melihat bahwa gerakan anti-korupsi
dapat disalahgunakan oleh penguasa (abuse of power).
Setelah mereka membaca dokumen yang kami bawa,
mereka pun tidak dapat menangkap unsur pidananya.
Namun, mereka tidak akan menyampaikan kesimpulan
apapun karena ICW bertujuan untuk memberantas korupsi,
249
HOTASI NABABAN
bukan untuk memberi advokasi bagi korban salah tuduh.
Kami memahami dan menghormati posisi mereka. Sebelum
pergi, saya mengisi formulir pengaduan publik kepada ICW.
Belakangan, pihak kejaksaan mengetahui keda­tangan saya
ke ICW. Saya mendengar rupanya mereka kecewa bahwa
saya mengadukan hal ini ke ICW. Saya tidak menduga reaksi
negatif ini. Setelah itu saya tidak meneruskan rencana saya
keliling mengunjungi LSM-LSM anti korupsi karena masih
ingin kooperatif dan tidak mengganggu jalannya penyidikan.
Selain itu, kejaksaan tidak suka adanya polemik kasus
ini di media. Penjelasan kami di majalah Tempo, Gatra,
dan konferensi pers di Agustus 2011 membuat kejaksaan
gusar. Kami dianggap menantang. Padahal kami memberi
tanggapan terhadap pernyataan kejaksaan yang berkali-kali
tentang adanya pidana korupsi sejak mengumumkan di bulan
Juni 2011.
Jika kami “diam” maka publik akan menganggap tuduhan
itu benar, walaupun penyelidikan belum dimulai. Jika kami
“bicara”, publik mendapat infor­masi sepadan dan dapat ikut
dalam bagian proses hukum ini. Dalam era keterbukaan
informasi, sema­kin banyak publik terlibat ke detil substansi
perkara, maka semakin baik pertimbangan publik yang
akhirnya dapat membantu penegak hukum membuat
keputusan yang adil.
Namun, kemudian tim penyidik menghimbau agar kami
tidak lagi ke media lagi. Jika kami tidak kooperatif, kejaksaan
masih memiliki hak subyektif untuk menahan saya. Akhirnya,
250
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
kami menghentikan semua komunikasi ke media dan LSM di
bulan Oktober 2011 hingga sekarang.
Persepsi publik atas suatu perkara sangat mem­pengaruhi
keputusan hukum. Perkara korupsi yang sudah di-expose
besar ke publik bisa menggiring publik percaya bahwa ada
sesuatu perbuatan tercela korupsi telah terjadi. Publik sudah
gelap mata bahwa hukum selama ini direkayasa untuk
kepentingan koruptor dengan uang dan kekuasaan. Tidak
ada tersangka korupsi yang tidak salah. Jika ada yang bebas,
berarti ada apa-apanya.
Akibatnya, begitu seseorang masuk ke labirin perkara
korupsi, sangat sulit untuk keluar. Persepsi publik telah
menjadi kunci gembok dari sebuah kamar gas yang disebut
“pembasmian koruptor”.
Apakah Kejaksaan berani mengeluarkan SP3 (Surat
Perintah Penghentian Penyidikan) apabila bukti pidana
belum cukup?
Apakah para Hakim berani membebaskan Terdak­
wa
apabila tidak terbukti?
Apakah para Hakim Agung di Mahkamah Agung berani
menolak kasasi atas putusan bebas di peng­adilan?
Jika jawaban semua pertanyaan itu “tidak”, kema­nakah
tertuduh korupsi seperti saya harus mencari keadilan lagi?
251
Presiden Timor Leste Xanana Gusmao memberi tanada terima kasih ke
Merpati, Oktober 2005.
252
PENUTUP
J
ALAN kehidupan seringkali tak terduga. Penuh kelokan,
bahkan tikungan tajam. Itulah yang dialami Hotasi
Nababan dalam perjalanan hidupnya hari-hari ini.
Integritas pribadi yang telah dijaga dan diperjuangkannya
selama puluhan tahun, sejak ia menjadi aktivis mahasiswa
ITB di tahun 1980-an, hari-hari ini sedang diuji sebuah
tikungan tajam bernama “tersangka perkara korupsi”.
Berikut ini beberapa kesimpulan yang bisa disampaikan
berkaitan dengan perkara yang membelit Hotasi Nababan
dan dua pimpinan Merpati lainnya:
• Buku ini memperlihatkan bagaimana sebuah kebijakan
yang diambil secara bisnis kemudian berujung pada
pemidanaan. Padahal proses yang ditempuh Hotasi
Naba­ban dan Direksi Merpati dalam melakukan sewa
pesawat sudah memenuhi prosedur yang ada, mulai dari
pema­sangan iklan pencarian pesawat di situs internet,
penan­
datanganan kesepakatan antara Merpati dan
TALG, hingga verifikasi kantor Hume and Associates
sebagai custodian, tempat penempatan refundable
security deposit (RSD) Merpati sebesar US$ 1 juta.
253
HOTASI NABABAN
• Bahkan, saat TALG ingkar janji tidak dapat menyediakan
pesawat yang diminta, Direksi Merpati juga telah ber­
upaya mengejar pengembalian dana deposit ter­
se­
but dengan menggugat TALG di pengadilan Distrik
Washington DC. Putusan pengadilan yang meme­
nangkan Merpati pada akhirnya mewajibkan pihak
TALG mengembalikan dana deposit Merpati meski
dengan cara menyicil.
• Para ahli hukum pidana, hukum perdata, tata kelola
korporasi, dan industri airlines sendiri secara panjang
lebar menjelaskan bahwa perkara ini tidak mengandung
unsur pidana, karena sudah mengikuti prosedur
perusahaan, sudah sesuai dengan kewenangannya,
hal yang lazim di bisnis penerbangan, dan merupakan
resiko bisnis.
• Banyak faktor yang terkait dengan pemidanaan perdata
ini. Mulai dari inkonsistensi peraturan perundangundangan yang terkait dengan kerugian negara, penaf­
siran perkara secara subyektif oleh Kejaksaan, hingga
dugaan upaya penyingkiran Hotasi Nababan dari kursi
Direktur Utama Merpati, banyak mewarnai kasus ini.
• Kejaksaan juga nampaknya amat memaksakan diri
untuk meneruskan tuntutan pada diri Hotasi dan dua
pimpinan Merpati lainnya. Ada kesan kejaksaan ingin
menjaga pencitraan dengan mengejar target statistik
perkara korupsi yang ditanganinya. Padahal, semua
data yang ada dan saksi yang dihadirkan menunjukkan
bahwa kasus ini merupakan wanprestasi yang dilakukan
254
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
oleh TALG. Bukti yang paling kuat adalah keputusan
pengadilan distrik Amerika Serikat yang memenangkan
Merpati dan mengharuskan TALG membayar uang
deposit yang telah disetorkan.
• Perkara ini sendiri telah dilaporkan berkali-kali ke semua
penegak hukum. Namun Bareskrim Mabes Polri, KPK,
dan Kejaksaan sendiri sebelumnya telah menyatakan
bahwa kasus ini tidak memenuhi unsur tindak pidana
korupsi. Pemidanaan yang dilakukan Kejaksaan kali ini
akan membuat kerancuan dan ketidakpastian dalam
penyelidikan suatu kasus korupsi.
• Jika perkara ini dibiarkan, maka akan menjadi preseden
buruk bagi para Direksi BUMN. Suatu keputusan bisnis
yang telah mengikuti prosedur dapat dipidanakan
sebagai perkara korupsi. Walaupun niat Direksi BUMN
itu bersih, dia bisa dituduh korupsi akibat keputusan
yang merugikan perusahaan. Kerugian perusahaan
dianggap kerugian negara. Akibatnya Direksi BUMN
akan cenderung bermain aman, tidak mau mengambil
resiko. Rekam jejak Hotasi menunjukkan bahwa sebaik
apapun yang dia lakukan akan sia-sia dengan adanya
ruang untuk mem-pidanakan suatu keputusan bisnis.
• Maka, melalui buku ini diharapkan agar terjadi per­
ubahan, terutama dalam sistem peradilan di Indonesia
agar tidak memidanakan sebuah keputusan bisnis, atau
perkara yang sebenarnya bersifat perdata.
d
255
INDEKS
Abdul Gani, 31
Abdullah Azwar Anas, 199
Abdurahman Wahid, 176
Abhy Widya, 101
Abubakar Alhabsy, 199
Abuse of power, vi, 167, 174
Adi Irianto, 243
Agum Gumelar, 28
Alan Messner, 3-5, 8, 11, 13-20,
25, 26, 38, 58, 59, 66, 74-76,
85-87, 225
Alida Lientje Tobing, 123
Ammarsyah, 127
Andi Hamzah, v, 64, 67, 69
Andi Saleh, 137
Anwar Adnan Saleh, 68
Arnold Angkouw, 39, 230
Arnold Purba, 127
Arry Anggadha, 196
Arya M, 239, 245
Baharuddin Lopa, vi, 174-176,
183
Bambang Bhakti, 37
Bambang Dwi Handoko, 15
Bambang Harymurti, vi, 150,
152
Bambang Parmanto, 126
Bara Hasibuan, 137, 138
Basrief Arief, 25
Betti S. Alisyahbana, vi, 121, 122,
133, 136, 238, 242-245
B. Maria Erna, 15
Charles Himawan, 163
Cucuk Suryoprojo, 37, 144
Dachamer Munthe, 14
Daniel Nickel, 14, 15, 22
Darmono, 202, 203, 228
Dawud Djatmiko, 167
256
Dea Chadiza Syafina, 200
Dian Arfiani Amir, 14
Hume and Associates, 10, 11, 23,
35, 253
East Dover, 33, 56, 57, 70, 72,
96, 99
Emir Satar, 28
Eqwin Ardjani, 137
Erman, v, 29, 30, 32, 64, 67, 88,
148
Erman Rajagukguk, v, 29, 30, 64,
67, 88, 148
I.B.R. Supancana, v, 32, 33, 64,
67, 95
I Made Asdhiana, 228
Indonesia National Air Carriers
Association (INACA), 33,
64, 65, 110, 227, 228
Indra Setiawan, 31
Irvan Harijanto, 199
Fajroel Rachman, 125, 127
Fardinan Kenedy, 186
Fario Untung, 230
Jack Welch, 131
Jaka Pujiyono, vi, 101, 129, 130,
157
Jasman Panjaitan, 179
John A. Heffern, 11
John M. Facciola, 15, 16, 18, 19
Jon C. Cooper, 11, 14-20, 23, 24,
26, 36, 37, 58, 59, 66, 74, 75,
84, 88
Jumhur Hidayat, 127
Juniver Girsang, 167, 171
Jusman Safeii Djamal, 192
Gatot Siswanto, 239
Guntur Aradea, 23, 38, 39, 101,
185, 204, 206, 215, 217, 219,
221-223, 230, 233, 235
Gus Dur, 176
Hafidin, 137
Handoyo Sudradjat, 21
Harifin A. Tumpa, 181, 182
Harry Pardjaman, 185
Hatta Radjasa, 122
Hatta Rajasa, 192
Hendriawan, 137
Heri Akhmadi, 126
Hotasi Nababan, passim
Hotlan Siagian, 101
Lawrence Siburian, 8, 35, 57
Lease of Aircraft Summary of
Term (LASOT), , vii, 9, 25,
30, 33, 57, 70, 71, 95, 98, 99
Lee Kuan Yew, 175
Lendo Novo, 127
Letjen Saiful Sulun,, 124
257
HOTASI NABABAN
Mahmudin Yasin, 28
Malkan Amin, 68
Maria Natalia, 228
Martiono Hadianto, 141
Merpati, passim
Muchtarudin Siregar, vi
Nana Supangat, 137
Nirwan Dewanto, 125
Philip Randolph, 1
Pramono Anung Wibowo, 124,
125
PT MNA, 12, 15-20, 27, 29, 30,
69-78, 84-89, 95, 102-110,
212-214, 229, 230, 232, 233,
235, 236, 240
Rachman Akil, 137
Rhenald Kasali, vi, 115
Richard J. Leon, 3, 4, 12, 13
Robby Johan, 141
Robert Strange, 19, 78, 83, 87
Rudini, 127
Rudy Setyopurnomo, vi, 152
SAE Nababan, 122, 123
Said Didu, vi, 64, 67, 68, 107
Sardjono Jhony Setiawan, xv,
185
Satjipto Rahardjo, 172, 173, 177,
178
security deposit, 3, 5, 9, 10, 13,
20, 23, 26, 27, 33, 35, 36, 58,
133, 197, 213, 224, 225, 227,
238, 253
Sita Supomo, 137
Socrates, 163, 164, 165
Soeharto, 175
Sofyan A. Djalil, v, 20, 26, 27,
29, 31, 64, 102, 144, 152,
228, 229
Solidaritas Pegawai Merpati, viii,
xv, 21, 37, 195, 197
Solidaritas Profesional untuk
Reformasi (SPU), 128, 137,
138
Sri Mulyani, 20, 149
Sri Sultan Hamengku Buwono
IX, 176
Steven Covey, 184
Sugiharto, 11, 12, 104
Sujiwo Tedjo, 125
Susilo Bambang Yudhoyono,
180, 191
Syahganda Nainggolan, 127
Tengku Burhanuddin, vi, 33, 64,
65, 110
Thirdstone Aircraft Leasing
Group (TALG), viii, xii, xiii,
xix, xx, 3, 5, 7-17, 20-25,
30, 32, 33, 35-38, 56-59, 66,
69-77, 85, 86, 95, 96, 99, 102,
258
JANGAN PIDANAKAN PERDATA
104, 108, 109, 133, 159, 187,
189, 196-200, 203-208, 210,
213, 215-222, 224, 225, 229,
230, 232, 235-239, 241-243,
253-255
T. Mulya Lubis, 173, 177
Tonny Sinay, 14
Tony Gozal, 175
Tony Sudjiarto, 39, 99, 185, 230,
233, 234, 235
Untung Udji Santoso, 14
Wahyu Hidayat, 140
Wayan Suarna, 197
W.F. Stutterheim, 188
Xanana Gusmao, 252
Yoseph Suardi Sabda, v, 15, 20,
23, 25, 66, 74, 77, 83, 84, 225
Yudiawan, vi, 64, 65, 112
259