103 - DPR RI

Transcription

103 - DPR RI
Edisi 103 TH. XLIII, 2013
PENGAWAS UMUM:
Pimpinan DPR-RI
PENANGGUNG JAWAB/
KETUA PENGARAH:
Dr. Winantuningtyastiti, M. Si
(Sekretaris Jenderal DPR-RI)
WAKIL KETUA PENGARAH:
Achmad Djuned SH, M.Hum
(Wakil Sekretaris Jenderal DPR-RI)
PIMPINAN PELAKSANA:
Drs. Djaka Dwi Winarko, M. Si.
PIMPINAN REDAKSI:
Dadang Prayitna, S.IP. M.H.
(Kabag Pemberitaan)
WK. PIMPINAN REDAKSI:
Dra. Tri Hastuti (Kasubag Penerbitan),
Mediantoro, SE (Kasubag Pemberitaan)
REDAKTUR:
Sugeng Irianto, S.Sos
M. Ibnur Khalid
Iwan Armanias
SEKRETARIS REDAKSI:
Suciati, S.Sos
ANGGOTA REDAKSI:
Nita Juwita, S.Sos
Supriyanto
Agung Sulistiono, SH
PENANGGUNGJAWAB FOTO:
Eka Hindra
FOTOGRAFER:
Rizka Arinindya
SEKRETARIAT REDAKSI:
I Ketut Sumerta, S. IP
Jainuri A. Imam S, S. A. P.
SIRKULASI:
Abdul Kodir, SH
ALAMAT REDAKSI/TATA USAHA:
BAGIAN PEMBERITAAN DPR-RI, Lt.II
Gedung Nusantara III DPR RI,
Jl. Jend. Gatot Soebroto-Senayan, Jakarta
Telp. (021) 5715348,5715586, 5715350
Fax. (021) 5715341,
e-mail: [email protected];
www.dpr.go.id/berita
2
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
Pengantar Redaksi
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia diwarnai beberapa
periode penting yang patut direnungkan kembali. Diawali
era kemerdekaan di bawah Presiden RI pertama Soekarno
berhasil meletakkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara, dilanjutkan Presiden Soeharto yang lebih dikenal
era orde barunya sebagai bapak pembangunan dan dilanjutkan ke era reformasi sejak Mei 1998. Era reformasi hingga
Mei 2013 ternyata telah berlangsung selama 15 tahun.
Parlementaria edisi 103 ini menurunkan laporan soal reformasi sebagai evaluasi benarkah tuntutan reformasi yang
muaranya adalah menciptakan masyarakat adil makmur
sudah pada posisi yang benar. Secara umum mesti diakui,
ada beberapa hal yang berhasil terutama keterbukaan dan
demokratisasi, namun pemberantasan KKN termasuk penegakan hukum dan HAM masih dipertanyakan.
Sebagai contoh, pemilukada langsung masih diwarnai
bentrokan antar pendukung, maraknya korupsi di semua
lini termasuk terlibatnya 293 kepala daerah dan harga kebutuhan pokok makin melambung. Intinya reformasi perlu
reaktualisasi, sehingga kemiskinan, pengangguran, pelanggaran hukum dan HAM sebagai penghambat tercapainya
masyarakat yang adil, makmur, aman dan sejahtera bisa
segera dicari jalan keluarnya.
Dalam rubrik pengawasan, disajikan mengenai Pokokpokok Pikiran DPR terhadap RAPBN 2014, di bidang pengawasan diturunkan laporan soal moratorium ijin pengelolaan
hutan dan Reviltalisasi KRL Ekonomi, sedangkan di bidang
legislasi dilaporkan soal Prospek pembahasan RUU MD 3
pasca keluarnya keputusan MK dan perkembanganpembahasan RUU Pertanahan.
Laporan kunjungan spesifik diturunkan laporan Kunjungan
Komisi VI ke stasiun KA Jabodetabek dan hasil kunjungan
Tim Pansus RUU Ormas ke Propinsi Kali­mantan Tengah.
Sementara liputan khusus disajikan mengenai kunjungan
Pimpin­an BKSAP ke Vietnam.
Tidak ketinggalan, Parlementaria senantiasa menurunkan
Kiat Sehat dalam rubrik khusus dengan menurunkan laporan Manfaat Air Kelapa. Dengan Kiat Sehat diharapkan para
anggota Dewan yang kegiatan sehari-hari sibuk dengan
rapat yang menguras tenaga dan pikiran bisa terus terjaga
kesehatannya. ( mp)
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
3
Dapatkan di:
Loby Gedung Nusantara 1 DPR RI
Loby Gedung Nusantara 2 DPR RI
Loby Gedung Nusantara 3 DPR RI
Loby Gedung Setjen DPR RI
Ruang Loby Ketua
Ruang Loby Wakil Ketua
Ruang Yankes
Terminal 1 dan 2
Bandara Soekarno Hatta
Semua Majalah dan Buletin Parlementaria dibagikan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun.
Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi Bagian Sirkulasi Majalah dan Buletin Parlementaria di
Bagian Pemberitaan DPR RI, Lt.II Gedung Nusantara III DPR RI, Jl. Jend. Gatot Soebroto-Senayan, Jakarta,
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII,
2013
4 Telp.
(021) 5715348,5715586,
5715350
Fax. (021) 5715341, e-mail: [email protected].
LAPORAN UTAMA
| 17
Proses Konsolidasi dan
Pendewasaan
Partai Belum Berjalan Baik
Tidak terasa reformasi
seba­gai titik balik da­ri
era orde baru ke or­de
kebebasan te­lah ber­
langsung 15 tahun.
Se­ba­gian berpendapat
re­for­masi gagal, lantar­
an peng­hapusan KKN
salah satu tuntutannya kini malah semakin
meluas. Namun ada juga yang berpandangan,
meski belum sepenuhnya berhasil reformasi telah
meletakkan tonggak bersejarah bagi kebebasan
dan demokratisasi.
PROFIL Agus Hermanto
| 56
Bidang politiklah yang bisa menjadi perahu bagi
Agus dalam mengantarkannya menuju posisi
puncak pengambil keputusan sebuah negara.
Ketika masa reformasi terjadi, seiring dengan itu
organisasi massa dan partai politik pun banyak
bermunculan. Hal tersebut ikut menjadi angin
surga bagi Agus. Pasalnya ia
dapat leluasa memilih partai
politik yang diyakini sesuai
dengan visi dan misinya
selama ini. Lebih lanjut
melalui partai itu ia akan
berlayar di kehidupan
berbangsa.
PENGAWASAN
PESAN PIMPINAN
Desentralisasi dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam di Daerah
PROLOG
11
LAPORAN UTAMA
17
Reformasi yang Penuh Kompromi
Proses Konsolidasi dan Pendewasaan
Partai Belum Berjalan Baik
SUMBANG SARAN
34
PENGAWASAN
36
Paradoks Reformasi
Moratorium Hutan
Langkah Awal Lindungi
Hutan Indonesia
Perubahan Pelayanan PT KAI
Suatu Keniscayaan
ANGGARAN
APBN 2014 Diharapkan Semakin Perkokoh
Stabilitas Ekonomi Nasional
LEGISLASI
DPD Dinilai Berlebihan
Terjemahkan Keputusan MK
DPR Minta Presiden Segera Terbitkan
Ampres RUU Pertanahan
Pemerintah Indonesia akhirnya memperpanjang
kebijakan moratorium hutan hingga dua tahun
ke depan seiring diterbitkannya
Instruksi Presiden No.6 tahun
2013 tentang Penundaan
Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola
Hutan Alam Primer
dan Lahan Gambut.
39
41
45
49
FOTO BERITA
52
KIAT SEHAT
54
Rahasia Dibalik Buah dan Air Kelapa
PROFIL
56
KUNJUNGAN KERJA DPR
61
SOROTAN
67
Agus Hermanto
Melenggang Ke Senayan Berkat Rasa Pede
| 36
Moratorium Hutan Langkah Awal
Lindungi Hutan Indonesia
8
Optimalisasi Dukungan
Keahlian Legislasi Bagi Dewan
LIPUTAN KHUSUS
70
SELEBRITIS
72
PERNIK
75
Delegasi DPR Hadiri Sidang ke-5
AIPA Caucus
NIDJI Bangga Bisa Show di ‘Rumah Rakyat’
Meriahnya Satu Nusa Satu Suara
POJOK PARLE
Ancam Pindah Markas
78
ASPIRASI
Permohonan Perlindungan Hukum Atas
Kriminalisasi Kepada Warga Sutorejo
dijadikan sebagai bagian dari lahan
fasilitas umum berupa jalur hijau
sehingga warga tidak menyetujui
adanya rencana peralihan fungsi
menjadi bangunan rumah. Pelapor
menduga telah terjadi rekayasa dalam
perubahan site plan tersebut.
Surat dari Asmoeni,SH atas nama
Forum Warga Peduli Taman Perumahan
Sutorejo Indah, yang ditujukan kepada
Komisi III DPR RI, perihal permohonan
perlindungan hukum atas kriminalisasi
yang dilakukan oleh Developer PT
Wisma Karya Bhakti ( PT WKB ) Surabaya
kepada warga Sutorejo.
Masalah ini telah dilaporkan ke
Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya,
dan diar ahk an m e lap o r ke p a da
Kepolisian Sektor Mulyorejo Surabaya.
Namun laporan ini justru ditelantarkan,
sedangkan laporan rekayasa yang
disampaikan pihak developer PT WKB
yang ditindaklanjuti dengan penetapan
beberapa warga sebagai tersangka.
Masalah berawal dari kedatangan
sekelompok orang yang dipimpin
oleh Sdr Totok Dwi Hartono,SH, ke
pemukiman pelapor dkk pada tanggal
5 Oktober 2012 dengan membawa
material bangunan yang akan digunakan
untuk membangun rumah terkait
kepentingan developer PT WKB pada
lahan jalur hijau di komplek perumahan
tersebut.
Pelapor merasa adanya ketidakadilan
atas intimidasi yang dilakukan oleh
penegak hukum Kepolisian terhadap
warga dimana Kepolisian lebih memihak
Menurut pelapor, lahan tsb sejak
semula oleh developer PT WKB akan
kepada PT WKB. Atas permasalahan
tersebut, pelapor mohon perlindungan
agar penyidik Polrestabes Surabaya
menghentikan proses penyidikan
maupun pemanggilan kepada warga
hingga sengketa hak atas tanah taman/
jalur hijau tersebut dapat diselesaikan
terlebih dahulu antara warga dengan
Pemkot Surabaya dan PT WKB.
Pihak Kepolisian harus melakukan
tindakan tegas kepada para penyidik
yang tidak obyektif menangani perkara
ini dan mengharapkan Komnas HAM
dan Kepolisian sesuai kewenangannya
perlu mengambil langkah-langkah yang
tepat dan cepat untuk melindungi hak
warga dari ancaman pihak Kepolisian
maupun PT WKB.
Berbagai Pengaduan Singkat
Permohonan Diberikan
Lahan APL
Dibuka Kembali
Restrukturisasi Kredit
Identifikasi Pajak CV
Harum Manis
Permohonan lahan APL di Gampang
Salah Sirong dapat kami gunakan
untuk lahan perkebunan PIR dan tidak
dijadikan hutan produksi.
Permohonan dibukanya kembali
Restrukturisasi kredit yang dibuat pada
tgl.16 Agustus 2010 antara Machfud
(Debitur) dan Bapak Pimpinan Cabang
BRI Lumajang
M o h o n u nt uk di in d e nt if ik asi
pajaknya Perusahaan CV. Harum Manis
& tindakan tegas demi penegakan
hukum
Surat dari perwakilan masyarakat
Gampong yang mengajukan
permohonan agar masyarakat Gampong
Salah Sirong Jaya, Kecamatan Jeumpa,
Kabupaten Bireuen diberikan lahan APL
yang terletak diantara kaki Glee Goh
dan Sungai Peusangan membujur dari
utara ke selatan berbatas dengan kaki
bukit Glee Goh dan Sungai Peusangan
dimana masing-masing kepala keluarga
mendapat bagian seluas 2 Ha dengan
Program Inti Rakyat dari PT. Perkebunan
Nusantara I (Persero).
6
PARLEMENTARIA
Surat permohonan pembukaan
kembali restrukturisasi kredit macet
pada Bank BRI Cabang Lumajang karena
telah dilakukan negosiasi/kesepakatan
antara Pimpinan Cabang BRI Lumajang
dengan Sdr. Machfud sebagai Debitur
pada tgl. 16 Agustus 2010.
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
Permohonan untuk memeriksa CV.
Harum Manis (Jl. Ikan Kakap, Teluk
Betung Selatan, Lampung) yang belum
terdaftar di Disnaker karena diduga
menghindari pajak progesif dan pajakpajak usaha lainnya.
Permohonan Penyelesaian Dan Mediasi Tripartit Mengenai
Status Kebun Plasma di Pasir Penyu Inhil Riau
Penyelesaian dan mediasi tripartit
antara masyarakat yang tergabung
dalam Koperasi Citra Usaha Mandiri,
perusahaan dan pemerintah terkait
alokasi minimal 20% (dua puluh
persen) dalam bentuk kemitraan
sehubungan dengan status areal Eks
HGU Perkebunan PT.TPP yang kondisi
saat ini tidak diperpanjang lagi oleh
Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia (BPN-RI).
Pelapor at as nama p er wakilan
masyarakat Kecamatan Pasir Penyu
dan Kecamatan Sungai Lala, Kabupaten
Indragiri Hulu, Provinsi Riau, memohon
penyelesaian dan mediasi tripartit
antara masyarakat yang tergabung
dalam Koperasi Citra Usaha Mandiri,
Perusahaan dan Pemerintah mengenai
status kebun plasma seluas 20%
yang merupakan bentuk kemitraan
sehubungan dengan status areal eks
HGU perkebunan PT Tunggal Perkasa
Plantation (PT TPP) seluas 10.244,40
hektar yang sudah tidak diperpanjang
lagi oleh BPN RI.
Bahwa atas permasalahan tersebut,
Wakil Bupati Indragiri Hulu telah
mengirimkan surat kepada Kepala
BPN RI memohon penjelasan atas
proses perpanjangan HGU No. 20 PT
Tunggal Perkasa Plantations yang telah
berakhir pada tanggal 31 Desember
2012, berdasarkan surat No. 89/ADM.
PUM/10 0/IV/2013 tanggal 8 April
2013.
S amp ai s aat ini P T T P P tet ap
melaksanakan aktivitasnya meskipun
H G U t e l a h b e r a k h i r, s e h i n g g a
menimbulkan konflik dengan
m as y ar ak at s e te m p at . P e l ap o r
memohon agar permasalahan
tersebut segera ditangani supaya tidak
berdampak negatif dan menimbulkan
korban jiwa seperti yang terjadi di
tempat lain.
Permohonan GIPSI mengenai Pertanggungjawaban
Pool Taksi Express, Kranggan Bekasi
Sur at d ar i Si dik s e l ak u Ket u a
Gabungan Ikatan Pengemudi Seluruh
Indonesia (GIPSI) yang ditujukan
kepada Pimpinan Komisi III DPR RI,
p erihal lap or an GIP SI mengenai
p er t anggung jawaban Po ol Tak si
E x p re ss di J al an R ay a H ank am,
Kranggan, Bekasi terkait laporan
kepada pihak Kepolisian berdasarkan
laporan No. LP/1536-G/K/2012/Resta
Bks Kota tanggal 31 Oktober 2012.
GIPSI sebagai Organisasi Profesi
yang terdiri dari para pengemudi
yang bertujuan untuk melindungi dan
memperjuangkan hak-hak mereka,
mengajukan keberatan dan meminta
per tanggungjawaban P T E xpress
Trasindo Utama (PT ETU) atas kejadian
y ang menimpa par a p engemudi
Pool Taksi Express Kranggan dalam
pemilihan Kepala Bagian Laka (laporan
kecelakaan) yang telah disetujui oleh
Kepala Pool Kranggan pada tanggal 31
Oktober 2012.
Bahwa dalam pemilihan tersebut
pihak yang kalah merasa tidak puas atas
perhitungan suara yang dimenangkan
oleh Calon Laka tertentu, sehingga
berakhir dengan bentrokan antar
pengemudi yang mengakibatkan
beberapa korban terluka dan dirawat
di rumah sakit. Pengemudi yang
terluka melaporkan kejadian tersebut
kepada Polsek Pondok Gede-Bekasi dan
sebagian diselesaikan secara damai
oleh Kepala Pool.
Kemudian laporan GIPSI kepada
PT ETU dan pihak Kepolisian tidak
ditindaklanjuti dengan baik oleh
perusahaan sehingga para korban
merasa tidak puas dan melanjutkan
laporan tersebut kepada GIPSI untuk
melakukan berbagai upaya dalam
rangka menuntut hak-haknya sebagai
pengemudi di perusahaan tersebut.
setiap pengemudi dipungut dana
laka sebesar Rp. 9.0 0 0 per hari
yang dipergunakan apabila terjadi
kecelakaan pada pengemudi, sehingga
terkumpul dana sebesar Rp. 1,6 miliar
lebih selama setahun. Namun dalam
kejadian tersebut para pengemudi yang
menjadi korban tidak memperoleh
kompensasi dari dana laka tersebut
sesuai dengan hak-haknya.
Pelapor memohon kepada Pejabat
Penegak Hukum agar memberikan
s a n k s i ke p a d a p e r u s a h a a n d a n
membantu menyelesaikan per­m a­
salahan tersebut, serta mem­b erikan
u a n g ko m p e n s a s i ke p a d a p a r a
pengemudi sebagai solusi penyelesaian
agar dapat meringankan keluarga
korban.
Pool taksi Express Kranggan
mempunyai + 500 pengemudi dan
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
7
PESAN PIMPINAN
DESENTRALISASI DAN PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM DI DAERAH
Oleh Dr. Marzuki Alie
Berbagai masalah seputar desentralisasi dan pengelolaan sumberdaya, khususnya sumberdaya alam, di
daerah, masih cukup mendominasi berbagai tema diskusi yang sering saya hadiri. Namun demikian, tematema seperti ini memang sangat penting untuk terus-menerus dielaborasi demi perbaikan sistem otonomi
daerah. Sebagaimana tema opini saya di majalah Parlementaria Edisi 100 TH.XLIII 2013, saya kembali
mengetengahkan tema tentang daerah.
Desentralisasi
Konsep desentralisasi di Indonesia,
awalnya semata-mata merupakan
“reaksi” atas praktik pembangunan
nasional Orde Baru yang sentralistik
dan sekedar sebagai tuntutan
yang harus diterapkan dengan
diimplementasikannya konsep
otonomi daerah secara luas.
Namun demikian, paradigma ini
mestinya sudah saatnya diubah,
bukan hanya sekedar reaksi atas
praktik pembangunan di era
Orde baru, namun lebih kuat dari
itu, yaitu untuk kesejahteraan
rakyat di daerah.
Paradigma yang berkembang
selama ini tentang desentralisasi
adalah: pertama, desentralisasi
itu selar as dengan prinsip
pemerintahan yang demokratis,
dengan adanya pengaturan
kewenangan yang seimbang
antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah,
kedua, mencegah terjadinya
pemusatan kekuasaan serta
mendorong demokratisasi di
tingkat lokal, ketiga, menciptakan
efisiensi pemerintahan, keempat,
kepentingan rak yat di daerahdaerah yang memiliki kekhususankekhususan ter tentu dapat
tertangani dengan lebih baik, dan
kelima, pembangunan berjalan lebih
baik dan terarah, karena dilakukan
lan gsun g o l eh s atuan - s atuan
pemerintahan di tingkat daerah.
8
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
Menguatkan paradigma tersebut,
filosofi desentralisasi yang juga
menjiwai setiap UU tentang daerah,
mulai dari UU No. 5 tahun 1974
tentang Pemerintahan Daerah (yang
berlaku di jaman Orba), kemudian
UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No. 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang telah beberapa kali
diubah, terakhir melalui lahirnya
UU No. 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas UU No. 32 Tahun
20 04 tentang Pemerintahan
Daerah, dan beberapa RUU lain
adalah, per tama, akan muncul
kemandirian yang digerakkan oleh
kreativitas dan inovasi daerah
dalam mengoptimalisasikan
berbagai potensi sumberdaya yang
ada, baik sumberdaya manusia
maupun sumberdaya alam,
untuk kepentingan kemajuan dan
kesejahteraan daerah. Kedua,
tata hubungan antara pusatdaerah diharapkan akan menjadi
lebih proporsional, harmonis
dan produktif dalam rangka
penguatan integrasi (persatuan
dan kesatuan) bangsa dan
pembangunan nasional.
Menggali makna desentralisasi
ini juga dapat kita lihat lebih
detail, jika kita membandingkan
pokok-pokok pikiran antara UU
No. 5 tahun 1974 dengan UU No.
22 tahun 1999, dan UU No. 32
tahun 2004. Perbedaan itu intinya
adalah tarik menarik pada sisi
terlalu desentralistis atau masih
sentralistis. Kalau UU tahun 1974
dianggap lebih sentralistis, UU
tahun 1999 sangat desentralistis
(karena euforia desentralisasi
di era reformasi), UU tahun
2004 kembali dibawa ke arah
lebih sentralistis. Hal ini terjadi
antara lain, akibat pelaksanaan
UU 1999 yang antara lain karena
kesiapan / kekurangsiapan daerah.
Bahkan, ketika UU No. 32 tahun
2004 yang direvisi melalui lahirnya
UU No. 12 Tahun 20 0 8, juga
dipandang masih belum cukup
memadai untuk merealisasikan
paradigma desentralisasi tersebut.
Perbandingan pokok-pokok pikiran
UU No. 5 tahun 1974
UU No. 22 tahun 1999
UU No. 32 tahun 2004
Filosofi pemerintahan
daerah
Fungsi utama
pemerintahan daerah
pembagian satuan
pemerintahan
keseragaman atau
uniformitas.
sebagai promotor
pembangunan
menggunakan pendekatan
tingkatan (level approach),
ada Daerah Tingkat I dan
Daerah Tingkat II.
keanekaragaman dalam kesatuan.
keanekaragaman dalam kesatuan,
(sama dengan UU No. 22 tahun 1999).
pemberi pelayanan masyarakat (sama
dengan UU No. 22 tahun 1999).
menggunakan pendekatan besaran
dan isi otonomi (size and content
approach), dengan menekankan pada
urusan yang berkeseimbangan dengan
azas eksternalitas, akuntabilitas dan
efisiensi.
azas
penyelenggaraan
pemerintah daerah
seimbang antara
desentralisasi, dekonsetrasi
dan tugas pembantuan
pada semua tingkatan.
pemberi pelayanan masyarakat.
menggunakan pendekatan besaran dan
isi otonomi (size and content approach),
ada daerah yang besar dan ada daerah
yang kecil berdasar kemandirian
masing-masing, ada daerah dengan isi
otonomi terbatas dan ada daerah yang
otonominya luas.
desentralisasi terbatas pada daerah
provinsi dan pada luas daerah
kabupaten/kota, dekonsentrasi terbatas
pada kebupaten/kota dan luas pada
provinsi, tugas pembantuan yang
seimbang pada semua tingkatan
pemerintahan sampai ke desa.
desentralisasi diatur berkesimbangan
antara daerah provinsi, kabupaten/
kota, desentralisasi terbatas pada
kabupaten/kota dan luas pada
provinsi, tugas pembantuan
berimbang pada semua tingkatan
pemerintahan.
Tabel Perbandingan pokok-pokok pikiran pada setiap UU.
pada setiap UU ini bisa dilihat di
tabel.
Merealisasi paradigma
desentralisasi ini terus dilakukan
seiring dengan berbagai masalah
di daerah. Sebab, desentraslisasi
yang dilakukan terhitung sejak
diberlakukannya UU No. 22
tahun 1999, masyarakat masih
merasa “tidak ada peningkatan
k e s e j a h t e r a a n ”. P e n g e l o l a a n
sumberdaya alam daerah juga
banyak terkendala. Namun demikian,
revisi UU ini tetap dilakukan oleh
DPR bersama Pemerintah, agar
m e n dap at s o lusi y an g te p at ,
yang mampu menjawab berbagai
permasalahan daerah. Bahkan saat
ini pun, DPR bersama Pemerintah
sedang melakukan revisi terhadap
UU tentang Pemerintahan Daerah
yang dipecah menjadi 3 (tiga) RUU
yaitu UU tentang Pemerintahan
Daerah, UU tentang Pilkada dan RUU
tentang Desa.
Mengenai RUU Pemerintahan
Derah ini, secara substansi,
sebenarnya terdapat 22 isu
strategis yang teridentifikasi dan
memerlukan pemikiran mendalam
untuk didiskusikan. Isu-isu ini antara
lain menyangkut pembentukan
d a e r ah oto n o m, p e m b a g i an
urusan pemerint ahan, daerah
berciri kepulauan, pemilihan kepala
daerah, peran gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat, perangkat
daerah, pembangunan daerah,
keuangan daerah, pembinaan
dan pengawasan daerah, dan
tindakan hukum terhadap aparatur
daerah. RUU Pemda hanya memuat
pengaturan-pengaturan secara
umum, sedangkan pengaturan
lebih lanjut secara rinci akan diatur
masing-masing dalam UU tentang
Pilkada dan UU tentang Desa.
Pengelolaan Sumberdaya Daerah
Membahas permasalahan
daerah, paling tidak ada 4 hal
pokok yang sampai saat ini masih
menjadi masalah. Pertama, apakah
di era otonomi daerah saat ini,
Peraturan Daerah (Perda) di bidang
pengelolaan sumberdaya alam
sudah memadai berdasarkan prinsip
p emb angunan b er kelanjut an?
Ke d u a, b a g a i m a n a k a h u p ay a
penguatan kelembagaan daerah di
bidang pengelolaan sumberdaya
alam di daerah? Ketiga, bagimanakah
penerapan dokumen pengelolaan
sumberdaya alam dalam proses
perijinan? Keempat, bagaimanakah
upaya peningkatan kualitas dan
kuantitas koordinasi dengan instansi
terkait dan stakeholders di daerah?
Per t ama, tent ang regulasi.
Sesuai UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah,
Keleluasaan otonomi mencakup pula
kewenangan yang utuh dan bulat
dalam penyelenggaraannya mulai
dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan
evaluasi, yang dijabarkan sesuai
PP No. 38 tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan.
Namun, pengalaman belakangan
ini menunjukkan bahwa kontrol,
baik dari rakyat maupun organisasi
non pemerintah di daerah terhadap
peraturan perundang-undangan
daer ah y an g mun cul seb agai
penjabaran UU diatasnya, sangat
lemah. Sehingga sangat mungkin,
peraturan-peraturan daerah ini
justru malah bertolak belakang dari
jiwa UU di atasnya tersebut.
Dengan demikian, untuk
penyusunan berbagai regulasi di
daerah, harus ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, seperti political
will Pemerintah Daerah; kapasitas
kelembagaan dan kebijakan
(Good Environment Governance);
adanya persepsi, sikap dan perilaku
egosentrisme/sektoral; keterlibatan
elemen masyarakat; eksploitasi SDA
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
9
PESAN PIMPINAN
tanpa diimbangi upaya konservasi;
dan lain-lain, sampai masalah le­
mah­nya penegakan hukum.
Kedua, penguatan kelembagaan.
Penguatan kelembagaan pengelo­
laan sumberdaya alam di daerah
masih cukup banyak kendala.
seperti: fragmentasi masyarakat
akibat menguatnya ego-sektoral,
inkonsistensi dalam pelaksanaan
kebijakan daerah sehingga
memunculkan disharmoni, political
will lemah dan sumberdaya manusia
lemah.
Namun demikian, penguatan
kelembagaan pengelolaan
sumberdaya alam, seharusnya di­
la­k uk an se c ar a kompreh ensif
dan terintegrasi serta mengarah
kepada berbagai perbaikan.
Paling tidak, ada 6 perbaikan dan
kemampuan yang harus dilakukan
dan dimiliki oleh daerah: pertama,
lembaga perwakilan yang mampu
menjalankan fungsi kontrol yang
efektif (effective representative
system); kedua, peradilan yang
bebas dari campur tangan
eksekutif, bersih (tidak korup),
dan profesional; ketiga, Aparatur
pemerintah (birokrasi) yang
professional dan memiliki integritas
yang kokoh; keempat, masyarakat
sipil yang kuat sehingga mampu
melaksanakan fungsi public control
(public watchdog) dan penekanan
(pressure); kelima, desentralisasi
dan lembaga perwakilan daerah
yang kuat serta didukung oleh
local civil society yang juga kuat
(democratic decentralization); dan
keenam, adanya mekanisme resolusi
konflik. Pada intinya, penguatan
kelembagaan pengelolaan
sumberdaya alam ini, minimal harus
melibatkan tiga sisi, yaitu kapasitas
kelembagaan dan kebijakan (good
environment governance), etika
dalam eksploitasi SDA (eco-bisnis),
dan kontrol masyarakat.
Ketiga, penerapan dokumen
dan proses perijinan. Proses
perijinan merupakan suatu tahapan
yang harus dilalui untuk keluarnya
ijin. Dalam proses perijinan ini
diperlukan beberapa dokumen yang
10
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
terkait: feasibility study; Peraturan
Perundangan yang berpihak
pada lingkungan hidup; jaminan
keadilan dan kepastian hukum bagi
penyelenggara kebijakan; ruang
aspirasi dan par tisipasi semua
pemangku kepentingan; dan jaminan
kepastian dan perlindungan hukum
bagi semua pelaku lingkungan dari
risiko yang mungkin terjadi akibat
kerusakan lingkungan.
Tahap ini sangat berkaitan dengan
AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan). Agar pelaksanaan
Amdal berjalan efektif dan dapat
mencapai sasaran yang diharapkan,
pengawasannya dikaitkan dengan
mekanisme perijinan. Peraturan
pemerintah tentang Amdal secara
jelas menegaskan bahwa Amdal
adalah salah satu syarat perijinan,
dimana para pengambil keputusan
wajib mempertimbangkan hasil
studi Amdal sebelum memberikan
ijin usaha/kegiatan.
Keempat, peningkatan koor­
dinasi kelembagaan. Koordinasi
yang harus dilakukan mencakup
koordinasi kelembagaan dalam
penyusunan peraturan perundangu n d a n g a n; ko o r d i n a s i d a l a m
pengelolaan SDA , termasuk
kebijakan operasional dan koordinasi
dalam penegakan hukum; dan
koordinasi kewenangan mengatur
dan mengurus pengelolaan SDA
oleh daerah.
Dalam mengelola SDA, koordinasi
antar depar temen/sek tor tidak
hanya menyangkut kesepakatan
dalam suatu kerja bersama yang
operasional sifatnya, tetapi juga
ko o rdinasi dalam p e mb uat an
peraturan. Dua hal ini memang tidak
serta merta menjamin terjadinya
sinkronisasi antar berbagai lembaga
yang memproduksi peraturan dan
kebijakan mengenai pengelolaan
SDA, tetapi secara normatif koor­
dinasi dalam penyusunan peraturan
perundangan diharapkan akan
menghasilkan peraturan perundangundangan yang sistematis dan tidak
tumpang tindih satu sama lain.
Dalam kaitannya dengan oto­
nomi daerah, UU No. 32 Tahun
20 04 belum mengatur soal
koordinasi ant ar depar temen/
sektor dalam rangka pengelolaan
SDA. Karenanya, diperlukan upaya
peningkatan kualitas dan kuantitas
koordinasi dengan instansi terkait
dan stakeholders di daerah.
Penutup
Akhirnya, saya ingin me ­
nyampaikan kesimpulan penutup,
bahwa: dinamika desentralisasi
sejak era-reformasi sampai seka­
rang menunjukkan bahwa filosofi
desentralisasi tidak mudah
diterapkan, utamanya melalui
peraturan perundang-undangan
sampai dengan implementasi dan
pengawasannya. Hal ini terlihat
dari berbagai kebijakan tentang
daerah yang terus mengalami
evaluasi, bahkan revisi UU. Dengan
demikian, proses desentralisasi ini
sesungguhnya belum selesai dan
masih perlu perbaikan.
Terkait dengan pengelolaan SDA
di daerah, masyarakat dan pihakpihak yang berkepentingan, harus
berprinsip pada pembangunan
berkelanjutan berwawasan ling­
kungan. Karena, pembangunan pa­
da dasarnya untuk kesejahteraan
masyarakat, maka aspirasi dari
masyarakat perlu didengar dan
p r o ­g r a m - p r o g r a m k e g i a t a n
p e m ­b a n g u n a n b e t u l - b e t u l
yang menyentuh kepentingan
masyarakat.
Salah satu kesepakatan yang
telah ditetapkan oleh DPR dan
Pemerintah adalah memecah UU
Pemerintahan Daerah kedalam 3
UU, yaitu UU tentang Pemerintahan
Daerah, UU tentang Desa dan UU
tentang Pilkada. Diharapkan melalui
p emec ahan UU Pemerint ahan
Daerah kedalam tiga undang-undang
tersebut akan memberikan ruang
pengaturan yang lebih rinci dan
komprehensif dari masing-masing
isu tersebut sehingga memberikan
kontribusi pada kelancaran jalannya
roda pemerintahan daerah secara
keseluruhan.*
PROLOG
Reformasi yang
Penuh Kompromi
G
edung Nusantara yang mulai dibangun tahun 1965 itu masih berdiri kukuh walaupun beragam
badai demokrasi dari berbagai era pernah berkecamuk disana. Parle menyaksikan kemegahannya
dari sudut yang paling pas, dari ruang kerja Ketua DPR RI Marzuki Alie di Nusantara III lantai 3.
Mata menyapu ke dua atap bundar dari beton, ada yang menyebut itu seperti cangkang kukuh
kura-kura yang melindungi apapun yang ada didalamnya. Di atap beton yang dicat hijau itu seakan-akan
masih terlihat bekas telapak kaki ribuan mahasiswa yang berhasil menduduki gedung simbol pergerakan
demokrasi bangsa ini. Mereka pada bulan Mei 1998 meneriakkan reformasi, dengan titik keringat, air mata
bahkan darah. Pemerintah Soeharto yang mendominasi selama 32 tahun akhirnya tumbang.
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
11
PROLOG
Ketika akhirnya bertemu dengan
yang punya ruangan untuk
kesempatan wawancara. Pertanyaan
pertama yang mengemuka adalah
apakah Marzuki Alie, Ketua DPR RI
merasakan aura yang sama ketika
menyaksikan atap gedung bundar
yang hanya selemparan batu dari
meja ruang kerjanya. “ Ya tentu,
saya kadang merasakannya juga,”
ungkapnya saat memulai wawancara
tentang evaluasi reformasi yang
tahun ini telah berjalan 15 tahun.
Ia kemudian mengungkapkan
kegelisahannya pada perjalanan
reformasi yang menurutnya belum
padu padan antara konstitusi dengan
landasan dasarnya Pancasila. Banyak
suara yang kemudian menyebut
reformasi ini sudah kebablasan,
terlalu maju meninggalkan anak
bangsa yang menjadi asing dengan
negara tumpah darahnya.
“Ada masalah mendasar pada
reformasi demokrasi bangsa ini
khususnya sistem one man one vote.
Kalau kita merujuk kembali pada
Pancasila disitu ada kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dal am p e r mus y aw ar at an dan
perwakilan. Ada unsur musyawarah,
ada unsur perwakilan
ini yang harusnya
kita dudukkan
apalagi terkait
d e n g a n
otonomi
y a n g
m e m p e r s e p s i k an s e o l ah - o l ah
kita ini seper ti negara federal
dimana daerah-daerah itu seperti
kerajaan-kerajaan yang lepas dari
pemerintahan pusat,” tandasnya.
Ia kemudian menampik anggapan
reformasi yang telah digerakkan
para ak tivis dan mahasiswa
berjalan lamban. Untuk sebuah
bangsa, baginya 15 tahun adalah
waktu yang belum terlalu lama,
seraya membadingkan perjalanan
demokrasi bangsa Amerika yang
berusia ratusan tahun. Ia juga
mengungkap catatan sejumlah pihak
yang menyebut warna demokrasi
Indonesia saat ini sudah ke AmerikaAmerikaan. Untuk itu diperlukan
kearifan segenap komponen bangsa
terus menggali format demokrasi
yang paling tepat bagi bangsa ini.
“Jadi 15 tahun belum cukup
masih perlu waktu untuk
menkonsolidasikan demokrasi
menurut nilai-nilai yang kita miliki.
Nggak mungkin kita mengikuti
demokrasi ala Amerika, kita perlu
sesuaikan dengan nilai-nilai yang
kita miliki. Masyarakat kita itu guyub
lebih suka musyarawarah, ini perlu
kita perhatikan dan seharusnya kita
perlu pahami itu,” lanjutnya.
Hal Senada juga disampaikan
tokoh, pelaku dan korban reformasi
1998 Desmond J. Mahesa yang
terpilih menjadi anggota DPR periode
2009-2014. Bangsa ini perlu melihat
kemungkinan adanya sistem politik
yang lebih baik selain demokrasi
u nt u k a g e n d a m e n i n g k at k a n
per tumbuhan ekonomi di satu
sisi dan di sisi lain, pada saat yang
sama menyejahterakan rakyat dan
menegakkan hak-hak warga negara.
“Varian sistem politik Jepang, Korea
Selatan dan Cina menunjukkan
potensi untuk itu,” katanya dalam
kesepatan wawancara di ruang
kerjanya beberapa waktu lalu.
Membaca reformasi
yang telah berjalan
15 t a h u n ,
setidak bisa
dilihat dari 4
12
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
permasalahan mendasar yang
diteriakkan para pejuang reformasi
yaitu masalah pemerataan ekonomi,
kebebasan pers, penegakan hukum
dan ham serta pemberantasan
korupsi. Desmond yang pernah
diculik oleh ‘Tim Mawar’ Kopassus
melihat ada ironi yang kembali melilit
anak bangsa. Persoalan keadilan
dan kesejahteraan yang menjadi
tuntutan utama saat menggulingkan
pemerintahan Soeharto, hari ini
mulai kembali mengemuka.
“Reformasi ini maunya siapa,
maunya aktifis dulu kan enggak.
Reformasi ini adalah bentuk kom­
promi yang digulirkan orang orang yang mengaku pakar, kayak
Amin Rais dan lain-lain, dia yang
menamakan reformasi. Tidak seperti
kami yang ada di lapangan, bangsa
ini perlu revolusi dan bagi kami
revolusi ini tidak di jalan yang benar.
Sekarang reformasi yang menurut
mereka benar, benarnya mana?
Dari awal semuanya sudah penuh
kompromi,” jelasnya lantang.
Ia memaparkan sejak reformasi
Mei 1998 hingga tahun 2013 ini
, Indonesia dapat disebut masih
berada di masa transisi politik, dari
otoritarian menuju demokrasi.
M asih b any ak p er mas alahan permasalahan masa transisi yang
belum selesai hingga kini, seperti
pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) berat di masa lalu, belum
munculnya kelas oligark (pengusaha
besar) baru yang menggantikan
para oligark Orde Baru, belum
tergususrnya para neoliberal binaan
Orde Baru dan birokrasi pemerintah,
seperti Kementerian Keuangan dan
Bappenas, dan lain-lain. Masalahmasalah ini bukan saja menyebabkan
distribusi keadilan dalam bidang
hukum HAM terhambat tetapi
juga keadilan ekonomi tetap sulit
diwujudkan, bahkan Indonesia
kerap berada dalam ancaman krisis
ekonomi yang berbahaya.
Dilihat dari dua kaki demokrasi
yang disebut R. William Liddle yaitu
civil rights atau civil liberties dan
parlementarisme, maka demokrasi
Indonesia sudah berjalan pada track
yang benar. Namun dilihat dari civic
culture yang kerap disebut Nurcholis
Madjid dan J. Kristiadi dengan
soul, jiwanya demokrasi maka
demokrasi yang berkembang
masih bersifat prosedural,
belum terlembagakan
sisi substansinya. Lebih dari itu arah
kehidupan kenegaraan kita kerap
kali terasa dan terlihat tidak disadari
oleh para pejabat tingi negara
yang tampak lebih condong pada
kepentingan pribadi, kelompok
dan partainya. Jadi, sinyalemen
bahwa Indonesia negara gagal jelas
mempunyai rujukan filosofisnya di
dalam demokrasi dan kepemimpinan
nasional.
Politik kompromi yang sudah
muncul sejak awal, pada akhirnya
semakin membuat bangsa menjauh
dari tujuan. Sebagai pelaku yang
terlibat dalam proses reformasi
yang kemudian mendapat ke ­
sem­p at an terjun langsung ke
da­l am sistem negara ia telah
men­c oba menyuarakan sesuai
kewenangannya sebagai wakil
rakyat. Ia merasakan terlalu banyak
orang pintar yang terus mencoba
b erkompromi y ang semuany a
direkamnya dengan baik. Timbunan
kegelisahannya itu dituangkan
dalam 2 serial buku yang sudah
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
13
PROLOG
beredar di tengah publik.
“Saya telah banyak mencoba di DPR
mengikuti gaya mereka, ternyata
tidak memuaskan juga bagi saya
pribadi dan kegelisahan itu akhirnya
saya tuangkan dalam buku tentang
DPR of fside, Presiden of fside.
Kenapa? karena Presiden banyak
melanggar hukum, melanggar
janji-janji, tukang bohong. Kenapa
saya menulis DPR offside karena
lembaga ini tidak melakukan hal-hal
yang telah digariskan UU, misalkan
dalam melakukan fungsi anggaran,
pengawasan, legislasi. Jelas ini
adalah statement politik, dimana
Desmond berada saat ini, pasti
tidak puas dengan Presiden, dengan
DPR,” papar anggota parlemen yang
terpilih mewakili dapil Kalimantan
Selatan ini .
Anak kandung reformasi KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi)
yang mendapat tugas mulia
14
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
memberangus korupsi dinegeri
ini belum bekerja dengan agenda
(baca:blueprint) yang jelas. Komisi
anti rasuah ini belum menyentuh
sumber utama kebocoran uang
negara. “KPK ini menurut saya
sedang lucu-lucuan saja sebenarnya.
Hari ini menangkap hakim besok
ada lagi, tangkap tangan petugas
pajak nanti ada lagi, hari ini bupati
besok ada lagi, tidak ada efek jera.
Ini ada apa sebenarnya apa mereka
cari popularitas saja, terus 5 tahun
selesai. Seharusnya KPK mengejar
sumber pendapatan negara yang
penting seperti pertambangan, Bea
cukai. Kita jadi bertanya blue print
KPK-nya mana?” tandasnya
Namun kompromi yang terjadi
dari segi regulasi dan kebijakan
pemerintah malah menggiring pers
ke dalam cengkeraman penguasa
yang lain, para pengusaha dengan
jaringan bisnis mereka. “Saya selalu
bilang ke teman-teman wartawan,
kalian itu pejuang atau bukan?
Media kalian sekarang dikuasai
industri, bagaimana bisa leluasa
berjuang untuk kepentingan yang
lebih besar kalau urusan gaji kalian
saja diperlakukan tidak adil,” ungkap
mantan aktivis yang termasuk rajin
menulis ini.
Bagaimana dengan kebebasan
pers? Perkembangan media baik
cetak maupun elektronik di tanah air
memang sangat pesat. Kungkungan
kekuasaan yang berhasil diterabas
telah melahirkan ragam media,
bagaikan cendawan di musim hujan.
DPR RI periode 2004-2009 telah
membentuk Panitia Khusus (Pansus)
Penghilangan Orang Secara Paksa
1997 dan 1998. Sejarah mencatat
di era itu ada pergerakan 11 orang
prajurit Kopassus yang kemudian
dikenal sebagai Tim Mawar yang
Rekomendasi DPR yang
Diabaikan
menculik 23 mahasiswa dan aktivis.
Mereka mengaku malakukan
aksinya demi hati nurani, negara
dan bangsa. Sepuluh aktivis yang
diculik telah dibebaskan, tetapi 13
lainnya sampai sekarang tidak jelas
rimbanya. Pada tahun 1999 majelis
hakim Mahkamah Militer Tinggi II
Jakarta menjatuhkan vonis kepada
para pelaku dan menyatakan mereka
telah merampas kemerdekaan orang
lain tanpa hak.
Pansus Orang Hilang DPR
kemudian berhasil mengambil
keputusan penting menyikapi belum
kembalinya 13 aktivis itu. Ada 4
rekomendasi yang seharusnya dapat
dilaksanakan pemerintah (lihat
kotak). Namun nyatanya sampai
hari ini rekomendasi tersebut masih
diabaikan. “Persoalan hari ini adalah
respon DPR sudah cukup dalam
politik HAM kasus reformasi itu.
Masalahnya diperhatikan presiden
tidak? Ada empat rekomendasi salah
satunya segera mencari korban yang
hilang dalam era reformasi itu. Nah
kita lihat pemerintah melakukan
p enc arian tidak , memb erikan
kompensasi dan rehabilitasi tidak,”
papar Desmond.
Seharusnya pemerintah
menunjukkan perannya dalam
melindungi warga negaranya.
Langkah lain yang bisa menunjukkan
itikad baik adalah segera meratifikasi
deklarasi PBB tahun 1992 tentang
Perlindungan Semua Orang dari
Tindakan Penghilangan Paksa.
“Kalau negara ini sehat Presiden
SBY-nya sehat cari dulu dimana
Yan Apri, Sonny, Suyat, Widji Tukul,
dan lain-lain. Mereka itu dimana,
dibunuh siapa, kuburannya dimana,
inikan harapan keluarga korban dan
masyarakat, baru bisa dikatakan
ada fungsi dan peran negara telah
maksimal,” lanjutnya.
Dalam satu kesempatan Anggota
Dewan Penasehat Presiden SBY,
Bidang Hukum dan HAM, Albert
Hasibuan pernah mengatakan
pemerintah sedang mempersiapkan
Pengadilan HAM yang diperkirakan
akan terlaksana sebelum
pemerintahan berakhir 2014 nanti.
Menko Polhukam Djoko Suyanto
didapuk untuk menyiapkan segala
persiapan bersama menteri terkait
lainnya. “Aturan lengkapnya nanti
akan keluar dalam bentuk Keputusan
Presiden,” imbuhnya.
S e m e nt ar a it u O m b us dm an
RI menyikapi pengaduan publik
dengan menet apkan Presiden
telah melakukan maladministrasi
atas kasus penghilangan orang
secara paksa. Presiden dinilai belum
memberikan klarifikasi atas belum
terlaksananya empat rekomendasi
dari Panitia Khusus Penghilangan
Orang Secara Paksa DPR.
Anggota Komisi III dari FPDIP
Eva Kusuma Sundari meragukan
keseriusan pemerintah menuntaskan
permasalan ini apalagi seperti yang
diungkap Albert, pembentukan
pengadilan HAM ad hoc itu pada
akhir masa jabatan Presiden SBY.
“Apalagi kalau dia menentukan
timing di ujung masa kerja, itu
seperti lepas tangan, orang Jawa
bilang colong playu, udah kelamaan
baru dikerjakan seperti cari aman,
karena dibuat pada saat akhir
pemerintahan,” paparnya.
Rekomendasi DPR itu menurutnya
sudah sejak periode lalu dan sejauh
ini pemerintah tidak melakukan
apa-apa. Kalau pada akhir masa
jabatan ada resiko dan dia tidak
mau bertanggung jawab karena
sudah pemilu. Presiden yang terpilih
nantinya harus berfikir kalau dia
mewarisi sesuatu sebagai limpahan
tanggung jawab dari pendahulunya.
Walaupun kecewa Eva menyatakan
akan tetap mendukung apabila
pengadilan HAM ad hoc itu
terbentuk.
“Saya kecewa tapi mendukung
kalau itu dilaksanakan pemerintah.
S e h ar u s ny a p e m e r i nt ah j u g a
meratifikasi Statuta Roma sebagai
b e n t u k ke s u n g g u h a n b a h w a
kejahatan HAM seperti masa lalu
tidak boleh terjadi lagi di republik ini.
Tidak perlu risau karena penerapan
Statuta Roma berlaku ke depan tidak
berlaku surut pada kasus-kasus masa
lalu,” demikian Eva.
Mungkinkah Reformasi Jilid 2
Sejumlah seminar dan diskusi
yang digelar seiring peringatan
15 tahun reformasi. Banyak pihak
menyuarakan perlunya reformasi
gelombang kedua. Salah satu
yang mengemuka adalah Ketua
Umum Partai Amanat Nasional
yang juga Menko Perekonomian,
Hatta Rajasa. Dalam perjalanan
15 tahun itu menurutnya telah
banyak perubahan yang dicapai,
mulai dari perubahan sistem politik
hingga perubahan pembangunan.
Namun, patut diakui pula masih
banyak kelemahan - kelemahan
yang perlu diperbaiki, salah satunya
pemerataan pembangunan dan
kesejahteraan.
Reformasi gelombang kedua,
lanjut pemimpin partai yang lahir
di era reformasi ini harus mampu
memperbaiki etika politik, yakni
oligarki politik oleh para pemilik
modal. Ia mengkhawatirkan
reformasi telah dicaplok tirani
pemilik modal yang mengakibatkan
terinvasinya demokrasi. Salah satu
fak t anya adalah mewabahnya
politik uang dan modal politik
yang begitu besar dalam setiap
kali penyelenggaraan pemilu dan
pilkada. Etika politik yang sempit
inilah yang terus melanggengkan
praktek KKN dalam dunia politik di
tanah air.
“Demokrasi kita bukan hanya
sekedar cara untuk mencapai
kekuasaan, tapi juga tata cara
untuk mencapai kesejahteraan
dan keadilan. Kita harus lancarkan
reformasi jilid kedua, yaitu politik
untuk kesejahteraaan, budaya
untuk kesejahteraan, semuanya
kit a ar ahkan untuk wujudkan
kesejahteraan seluruh elemen
bangsa. Kita tidak boleh beralih
pada tirani pemilik modal yang
mengakibatkan terinvasinya
demokrasi oleh para pemilik modal,”
ujar Hatta.
Bagi Desmond, berkaca pada
situasi 1998 sulit bagi bangsa ini
untuk dapat melahirkan kembali
reformasi jilid II. Pada era itu
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
15
apalagi revolusi selanjutnya. Satusatunya yang bisa diharapkan untuk
perubahan Indonesia kedepan adalah
pelaksanaan Pemilu 2014. Rakyat
harus diajak untuk belajar membaca
kondisi bangsa saat ini dan kemudian
berdasarkan permasalahan itu
rakyat memutuskan partai terbaik,
dan presiden paling sesuai untuk
memimpin perjalanan bangsa 5
tahun ke depan.
“ Pemilu 2014, kita serahkan
kepada rakyat pilihlah partai yang
memang berpihak kepada rakyat,
kalau tidak jangan dipilih. Kemudian
tokoh yang memang layak dipilih,
dalam rangka membawa perubahan
itu,” kata wakil rakyat yang pada
pemilu nanti bertarung di daerah
pemilihan Banten.
menurutnya terlalu banyak pihak
yang memimpikan era Soeharto
harus segera berakhir bahkan
termasuk kalangan tentara. “Atmosfir
untuk terwujudnya revolusi jilid
kedua itu sekarang tidak ada. Tidak
banyak yang mencatat dulu kita fikir
reformasi ini kehebatan mahasiswa,
saya fikir tidak. Karena pada saat itu
banyak yang bermimpi Soeharto
sudah tua, siapa yang menggantikan.
Akhirnya kejadianlah, bagi saya
demo sebesar apapun, mahasiswa
sebanyak apapun di DPR kalau
tentara, pimpinannya tidak mimpi
untuk terlibat dalam kekuasaan baru
tidak akan terjadi penggulingan
Soeharto, ini kita juga harus jujur,”
tandasnya.
Apalagi mencermati kondisi
demokrasi bangsa semakin
mengedepankan kompromi, sulit
untuk mengharapkan reformasi
Eva Kusuma Sundari menguatkan
hal itu. Rakyat diminta cerdas dan
jangan terjebak kepentingan sesaat,
menerima sogokan beberapa rupiah
untuk satu suara yang bisa jadi
menentukan. Rak yat kemudian
terlibat dalam melahirkan koruptor
baru, wakil-wakil mereka yang
menjelma menjadi drakula anggaran
yang menghisap habis APBN yang
seharusnya untuk kepentingan
rakyat banyak. “Rakyat harus cerdas
menghadapi pemilu, masyarakat
perlu mendorong calon pemimpin
yang memiliki sikap yang tegas
dalam meningkatkan kesejahteraan
rakyat, penegakan hukum dan
ham,” tegasnya. (iky)
Rekomendasi DPR RI Terkait Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998
Merekomendasikan presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc;
Merekomendasikan presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera
melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang;
Merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga
korban yang hilang;
Merekomendasikan pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai
bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.
16
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
LAPORAN UTAMA
Wakil Ketua DPR Pramono Anung:
Proses Konsolidasi dan Pendewasaan
Partai Belum Berjalan Baik
Tidak terasa reformasi sebagai titik balik dari era orde baru ke orde kebebasan telah berlangsung 15
tahun. Sebagian berpendapat reformasi gagal, lantaran penghapusan KKN salah satu tuntutannya kini
malah semakin meluas. Namun ada juga yang berpandangan, meski belum sepenuhnya berhasil reformasi
telah meletakkan tonggak bersejarah bagi kebebasan dan demokratisasi. Berikut petikan pandangan Wakil
Ketua DPR Pramono Anung yang juga salah seorang pelaku reformasi.
Pandangan anda setelah 15
tahun reformasi?
Reformasi yang dicetuskan
mahasiswa 15 tahun lalu mencakup
beberapa tuntutan, diantaranya
Adili Soeharto dan kroni-kroninya,
Laksanakan amandemen UUD 45,
Penghapusan Dwi Fungsi ABRI,
P e l ak s an aan oto n o mi da e r ah
yang seluas-luasnya, dan Ciptakan
pemerintahan yang bersih dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
sebagian sudah dilakukan.
Khusus penghapusan KKN,
kelihatanya sekarang lebih banyak,
lebih terbuka sebab semua kalangan
yang melakukan penyelewengan
keuangan negara tersebut bisa
terungkap secara luas melalui
media masa maupun media sosial. PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
17
Di era orde baru bukannya tidak ada
korupsi. Korupsi juga terjadi, hanya
saja tidak bisa diungkap secara luas
seperti sekarang sebab yang lalu
sistemnya sangat tertutup. Secara
umum demokrasi sudah berjalan
dengan sangat baik dan yang paling
dirasakan adalah kebebasan pers.
Mestinya parpol di era reformasi
menjadi agen perubahan,
komentar anda?
Sistem yang ada sekarang ini
masih sangat mahal, bahkan saya
mempredisksi pada pemilu 2014
ini biaya politik akan lebih mahal
dibanding pemilu 2009 karena
rent ang wak tu y ang p anjang
dimana proses sosialisasi itu hampir
setahun. Kemudian juga sistemnya
proporsional terbuka dan ini akan
mengakibatkan bany ak or ang
berduit masuk kembali ke DPR , tidak lagi bicara semata-mata kualitas,
tetapi apapun termasuk masyarakat
paham pemilu itu tidak murah
karena harus membayar ongkos
politik yang semakin tinggi.
Partisipasi masyarakat pemilih
kaitannya dengan tingkat
pendidikan?
Saya memang menyadari bahwa
heterogenitas tingkat pendidikan
kita masih beranekaragam. Kalau
di Amerika Serikat pemilihnya
relatif homogen. Di masyarakat
kita ini masih ada orang yang
kehidupannya susah sekali dimana
kalau ada tawaran uang Rp 50-Rp
100 ribu bisa mengubah pikiran
untuk memilih. Tapi ada juga yang
kelas menengah yang memilih itu
berdasarkan nurani dan pikiran yang
jernih. Itu sebagai salah satu faktor.
Untuk mengurangi itu seperti
saya katakan di awal tadi, bahwa harus ada perubahan harus ada
perbaikan harus ada punishment
kepada siapapun yang melakukan
pelanggaran terhadap UU Pemilu.
Kalau sekarang ini nggak, terjadi
politik uang di pilkada, itu nggak
s a n k s i n y a s a m p a i k e m u d i a n dibatalkan pencalonannya. Paling
banter dilakukan pengulangan
18
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
pemungutan suara di beberapa
TPS yang secara signifikan tidak
mempengaruhi suara. Dan tidak
menimbulkan efek jera kepada
siapapun.
Kalau memang ini terus dibiarkan,
maka ke depan semakin banyak
tokoh yang terpilih lu lagi lu lagi,
karena banyak duit, orang publik
figure. Kasihan orang-orang muda
yang dari kecil ingin jadi aktivis, ingin
jadi politisi tapi tidak kesampaian.
Masuknya aktivis seharusnya
menjadi agen perubahan, setelah
di DPR atau pemerintahan malah
tersangkut korupsi?
Memang ujung tombak dari
demokrasi itu partai politik. Saya
harus mengatakan secara jujur
bahwa proses konsolidasi dan
proses pendewasaan dalam partai
itu b elum semuanya b erjalan
dengan baik. Hal ini ditandai ketika proses rekrutmen untuk calon
anggota legislatif maupun pimpinan
di lembaga eksekutif baik walikota,
bupati at au gub enur, dimana
beberapa partai masih membuka
ruang bagi orang luar untuk masuk,
walaupun beberapa partai sudah
berani mengajukan calon sendiri,
termasuk PDI Perjuangan. Bahkan
dalam pemilu legislatif ada partai
yang secara terbuka mengumumkan
kepada publik merekrut masyarakat
menjadi caleg, ini menunjukkan
bahwa proses kaderisasinya belum
berjalan dengan baik.
K a l a u p r o s e s k a d e r i s a s i ny a
berjalan dengan baik maka dengan
sendirinya kader-kader terbaiklah
yang dimilki partai itu sudah cukup
banyak. Kenyataannya nggak, ada
Kalau proses kaderisasinya
berjalan dengan baik maka
dengan sendirinya kaderkader terbaiklah yang dimilki
partai itu sudah cukup
banyak.
partai merekrut dari luar malah
mungkin belum membaca AD/ART
partai, belum tahu mars partai dan
sebagainya.
Kembali pada pertanyaan tadi,
apa yang harus dilakukan oleh
parpol ke depan dalam system
yang seperti ini, maka tuntutan
masyarakat ke depan harus bisa
dielaborasi oleh partai politik. Diakui
masyarakat mengalami euforia ,
namun hanya sebentar, setelah itu
pasti masyarakat akan memilih yang
betul-betul berdasarkan keyakinan
mereka. Kalau sekarang ini saya
melihat masih ada euforia, mungkin
memilih wajah yang ganteng, cantik,
artis atau orang yang memberi
uang.
Tetapi ketika ketidakpuasan itu
muncul, lantaran tokoh yang dipilih
ternyata tidak bisa memperjuangkan
harapan dan keinginan mereka
maka masyarakat akan memilih
o r an g b e rdas ar k an ap a y an g
menjadi keinginannya masyarakat
sendiri. Jakarta dengan Gubernur
Jokowi sebagai contoh kasus,
kemudian beberapa daerah lain
yang kebetulan dimenangkan oleh
kader PDI Perjuangan seperti Jawa
Tengah dengan kemenangan Ganjar
Pranowo. Masyarakat itu ternyata
punya pilihan, nggak selalu memilih
yang uangnya banyak, tidak selalu
memilih calon yang didukung
banyak partai, tetapi masyarakat memilih orang yang diharapkan bisa
memenuhi harapannya.
Mau tidak mau kunci keberhasilan
partai ke depan kalau mereka sudah
mempunyai kaderisasi yang cukup
baik, sebab bagi partai yang tidak
melakukan kaderisasi maka akan
ditinggalkan pemilihnya. Apalagi
kalau merekrut hanya menjelang
pemilu, yang direkrut publik figure,
instan atau sesaat- ya begitulah,
mereka tidak mau kerja politik
sebelumnya, maka semakin lama
masyarakat juga tidak bisa lagi
disodorkan tokoh instan seperti
itu.
Saya melihat kuncinya adalah,
k a l au p ar t a i b i s a m e l a k u k a n
kaderisasi maka ini menjadi baik
bagi masyarakat untuk menentukan
pilihannya sebab sekaligus
partai tersebut menjalani proses
pendewasaan.
Benarkah reformasi bidang hukum
gagal karena tajam kebawah
tumpul ke atas?
Saya termasuk yang tidak setuju,
karena kenyataannya sekarang
hamp ir t i dak a da y an g t i dak
tersentuh hukum, apakah menteri,
ketua umum partai, anggota DPR,
dirjen, gubernur, walikota, bupati
semuanya, sehingga sudah tidak
ada lagi perdebatan mengenai
diskriminasi. Dan orang mengatakan
bahwa orang yang terkena persoalan
hukum itu harus ada ekskusnya,
harus ada justifikasinya.
Tapi kalau saya melihat, sejak
keberadaan KPK tahun 2002-2003,
perkembangan dari waktu ke waktu
menuju ke hal yang lebih baik.
Walaupun belum mengurangi secara
kualitas terhadap proses penurunan
korupsi, tetapi dengan makin banyak
kasus-kasus diungkap, ditangkap
dan disampaikan ke publik ,
menurut saya ini adalah positif
bagi perkembangan demokrasi,
perkembangan pemberantasan
korupsi dan law enforcement serta
penegakan hukum di negeri ini.
Saya melihat sekarang ini jauh lebih
baik.
Ak tivis yang menggelorakan
reformasi bisakah memberi warna
baru DPR?
Paling tidak begini, orang yang
berlatar belakang aktivis pasti ada
self control, ada self defence yang
dimiliki masing - masing orang
karena mereka apapun punya ikatan
dengan masa lalunya ketika menjadi
aktivis. Kalau melihat sekarang ini,
yang menonjol dari anak-anak
muda ini rata-rata dari aktivis,
termasuk beberapa publik figur
yang kemudian menonjol seperti
Nurul Arifin, Rieke Diah Pitaloka,
Dedi Gumelar (Miing) dan Tantowi
Yahya- mereka latar belakangnya
juga aktivis.
Sehingga kalau saya katakan
banyaknya aktivis yang masuk ke
lembaga ini, lebih baik. Harusnya
lembaga ini diisi lebih banyak
orang yang berlatar belakang atau
track record aktivis, bisa aktivis
kemahasiswaan, keagamaan, bisa
organisasi lain, yang jelas makin
banyak aktivis yang masuk, akan
makin baik.
Capaian bidang ekonomi di era
reformasi?
Sejak reformasi dan demokratisasi
ada hal prinsip yang terjadi. Kalau
dulu ada gonjang-ganjing politik
s e l a l u b e r d a m p a k ke b i d a n g
ekonomi, indek s harga saham
jatuh, orang takut berusaha dan
macam-macam. Kalau sekarang ini
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
19
ada struggle politik, ekonominya
berjalan biasa saja. Bahkan sekarang
ini indeks kita menembus angka
5200, itu merupakan rekor yang
cukup luar biasa. Secara makro
ekonomi kita harus akui sudah
mengalami banyak perbaikan.
Masalahnya ada di mikro,
dimana orang-orang yang karena
ada kebijakan ekonomi harusnya
yang dibawah ini terangkat. Yang
dibawah ini disparitasnya makin
tinggi, sekarang ini orang yang kaya
makin kaya banget dengan sistem di
republik ini, sementara orang yang
tidak mampu itu belum tertolong
sistem yang ada.
jenjang karir itu berdasarkan kapasitas
kapabilitas seseorang, tetapi teru­
tama di tubuh pemerintahan ini
masih ada unsur like and dislike
yang terjadi. Menurut saya itu yang
harus dihilangkan. Kalau kemudian
ada gelombang reformasi jilid II,
untuk apa. Menurut saya hanya
akan menambah kegaduhan yang
tidak akan menimbulkan hal yang
Banyaknya kepala daerah yang
tersangkut kasus hukum?
produktif dan efektif bagi bangsa
ini. makin mahal. Maka dalam konteks
ini harus ada perumusan kembali
demokrasi kita di bidang pilkada
ini.
Mereka tersangkut kasus hukum
karena proses pemilukadanya yang
mahal, sehingga mereka harus
mengembalikan uang yang dipinjam
dari pihak ketiga atau dia harus
nabung untuk maju lagi periode
kedua. Ini menimbulkan biaya yang
Mereka hanya akan ditolong
kalau kemudian kalau mau
pemilu ada BLSM, BLT ada raskin.
Bukan menolak itu, namun yang
dipertanyakan kenapa mengadakan
program itu tidak setiap waktu, tidak
mepet karena mau pemilu ,mau naik
BBM. Jadi sistemnya itu belum bisa
memperkecil disparitas antara orang
kaya dengan orang miskin.
Terus terang kelas menengah
makin besar dengan pertumbuhan
rata-rata 6,3% ini membuat kelas
menengah besar tapi yang dibawah
yang sekian persen dan masuk
kelompok miskin ini dari situ hanya
stagnan, tidak terangkat ke atas.
Sementara yang disini mungkin
yang menengah sudah keatas, tapi
yang dibawah tetap saja disitu.
Nah ini yang menjadi persoalan
pembangunan ekonomi kita.
Tentang wacana Reformasi Jilid
II?
Saya tidak melihat hal itu sebagai
hal yang urgen untuk mencuatkan
reformasi jilid II karena spirit gerakan
reformasi menurut saya sudah
tertuangkan dalam banyak aspek.
Bahwa masih ada kekurangannya,
saya termasuk bersuara keras
terhadap kekurangan itu, terutama
dalam penegakan hukum termasuk
masih adanya nepotisme.
Kemudian orang belum melihat,
20
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
Kita sudah era bebas, mau ngapain
saja kita kan dijamin oleh konstitusi.
Bahkan orang perorang mau krirtik
Presiden dari kelas apapun sekarang
boleh-boleh saja, lalu buat apa kalau
ada gelombang reformasi kedua
kalau demokrasinya sudah ada,
orang boleh berbeda pendapat,
boleh berbeda sikap selama masih
dalam koridor hukum. Yang saya
gembira kalau kita lihat sekarang
ini orang itu lebih menyelesaikan
semua persoalan dengan hukum.
Misalnya ada dispute terhadap
keputusan KPU soal penetapan
partai-partai. Sekarang kan nggak
ada lagi aksi kekerasan yang menolak
dengan anarkis dengan turun ke
jalan, tetapi menyelesaikannya
dengan mekanisme hukum,
melakukan gugatan ke PTUN dan
upaya hukum lainnya. Ini saya kira
bagus bagi kehidupan demokrasi.
Sesuai data, jumlah kepala daerah
yang tersangkut kasus hukum
bertambah 62 orang pada akhir
tahun 2012 menjadi 235 orang, dan
bertambah lagi menjadi 293 hingga
akhir Mei 2013.
Harus ada perumusan kembali
dalam pemilu kada ini yang lebih
murah. Dulu, saya termasuk orang
yang menolak atau keberatan
dengan wacana agar Gubenur
dikembalikan pemilihannya oleh
DPRD. Namun salah satu upaya agar
pemilihan Gubernur lebih murah
kembali dipilih oleh DPRD.
Sedangkan untuk p emilihan
bupati/walikota, karena otonominya
ada di kabupaten/ kotamadya, maka
untuk pemilihan Bupati/Walikota
tetap dipilih oleh rakyat melalui
pemilukada langsung. (mh, iky,mp)
DEMOKRASI KITA TANPA RUH
Usia reformasi sudah 15 tahun. Tidak tampak perubahan yang radikal. Yang terjadi hanya
perubahan figur tanpa disertai perubahan nilai. Transisi politik gagal. Reformasi pun
gagal. Yang mengerikan lagi, panggung politik nasional dikuasai kartel oligarki. Ada
sekelompok pemodal yang bergerak di belakang layar, menjadi mafia politik, ekonomi,
dan hukum. Inilah sedikit cuplikan perbincangan bersama tokoh muda yang juga
pengamat politik Boni Hargens.
Parlementaria berhasil menemui­
nya di suatu acara di Jakarta akhir
Mei lalu. Kepada Muhammad Husen,
Mastur Prantono, dan fotografer Nae­
furoji, ia mengungkapkan ba­nyak
hal tentang perjalanan reformasi di
Tanah Air. Berikut penuturannya:
Lima belas tahun
reformasi sudah
berjalan. Banyak
kalangan kecewa
d e n g a n
c a p a i a n
yang ada.
Bagaimana Anda menilainya?
Reformasi ini gagal. Dari aspek
waktu, transisi politik yang kita
sebut sebagai reformasi itu selalu
mengandaikan waktunya singkat.
Kita sudah 15 tahun, apa yang kita
dapat. Terserah apapun jawaban
kita, toh sentimen publik menyebut
gagal dan faktanya memang gagal.
Hal mana kita gagal, dalam hal
substansi demokrasi. Kalau pada
aspek prosedur kita sudah berhasil
dengan institusionalisasi yang
memadai.
Muncul begitu
b any ak l e mb a ga
independen yang
mendorong
terciptanya
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
21
pemerintahan yang bersih dan tata
pemerintahan yang baik. Kita punya
KPK, BPK, Ombudsman, punya pers
yang merdeka, masyarakat juga
sudah bebas berserikat. Tetapi,
kalau bicara substansinya, persoalan
kemiskinan, pengangguran,
ketidakadilan, ini memang masih
sangat tinggi. Dan ini mencerminkan
pada aspek substansi, kita gagal.
Demokrasi pada 15 tahun reformasi
politik, tidak berjalan dengan baik.
Perubahan pada 1998 itu, tidak
disertai dengan perubahan nilai.
Perubahan yang terjadi adalah
perubahan figur. Pada pemilu 1999
dan 2004 sama. Mereka yang maju
dalam pemilu adalah orang-orang
yang besar di era Orde Baru. Maka
perubahan politik itu hanya terjadi
di permukaan, di level substansinya
tidak ada perubahan nilai. Padahal,
kalau bicara reformasi maka bicara
soal pergeseran nilai dari nilai lama
ke nilai baru.
Karena nilai-nilai baru dibentuk
dalam format baru, maka disebut
refo r masi at au p e mb e ntuk an
kembali. Nah, di kita enggak.
Pelakunya sama dengan karakter
sama. Dibentuk di kultur yang lama,
kemudian kita bicara nilai baru atau
sebuah sistem yang baru. Jadi,
memang bisa dikatakan demokrasi
1998 demokrasi tanpa ruh, karena
ruh yang mati 1998 itu, sekarang
mati juga karena pelakunya orang
lama. Kalau mau bicara yang
serius tentang masa depan, maka
b i c ar a ke p e mimp inan. B uk an
hanya kepemimpinan, tetapi juga
karakter kepemimpinan, kualitas
kepemimpinan, dan nilai -nilai
kepemimpinan.
Law enforcement menjadi ti­
tik lemah yang disorot publik.
Pandangan Anda?
Saya bilang tadi bahwa hanya
pembangunan institusi saja
yang berhasil, tapi tidak disertai
pembangunan nilai. Maka, dalam
segala aspek termasuk aspek hukum
pasti gagal. Yang terjadi dalam
penegakan hukum, sebetulnya ada
begitu banyak tangan besar dan kuat
22
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
Saya bilang tadi bahwa
hanya pembangunan
institusi saja yang
berhasil, tapi tidak
disertai pembangunan nilai.
Maka, dalam segala
aspek termasuk aspek
hukum pasti gagal.
di belakang layar, yang tidak pernah
tersentuh. Contoh kalau bicara soal
kasus Hartarti Murdaya, sebetulnya
tidak bicara hanya satu perempuan
yang bernama Hartati, itu bicara
satu kelompok kepentingan, di
mana banyak tangan terlibat dan
ada jaringan yang sudah dibangun
sekian tahun.
Nah, kemudian kita bicara Hartarti
di ranah DPR-nya siapa, orang Hartati
yang di kepolisian siapa, di kejaksaan
siapa, dan di partai siapa. Begitu
Hartati disentuh, seluruh jaringan ini
juga tersentuh. Pembelaan terhadap
Hartati, pembelaan yang sistemik.
Artinya, di situ terjadi pembusukan
hukum. Proses pembusukan
terhadap hukum itu berjalan.
Kenapa misalnya ada tersangka
yang sampai sekarang tidak bisa
dipenjara. Sebetulnya, ini pekerjaan
orang-orang kuat yang berada di
belakang layar yang selalu mengatur
proses hukum kita. Inilah para mafia
hukum. Negara ini, memang, sudah
diatur oleh sejumlah tangan orangorang kuat yang menguasai ranah
hukum, politik, dan ekonomi.
Kalau mau dibawa ke paradigma
lain, inilah yang sebetulnya kita
namai sebagai kartel oligarkis.
Oligarki masa lalu yang kemudian
berubah bentuk tidak lagi menjadi
oligarki, dia menjadi kartel. Kalau
oligarki hanya sekelompok orang
kaya yang memiliki kapital kuat dan
bisa juga mengatur politik. Nah,
orang-orang ini mempertahankan
kekayaan mereka. Setelah 1998,
orang-orang kaya ini kemudian
masuk ke kartel politik. Sebagian
m e nja di ketua umum p ar t ai,
sebagian menjadi penentu
keputusan partai, dan seterusnya.
Lalu, mereka membuat kesepakatan
di belakang layar untuk menguasai
politik.
Di situ nanti kita bicara koalisikoalisi yang tidak b erb entuk ,
tidak berdasarkan ideologi. Ada
koalisi yang dibangun dengan
mengejutkan, tidak ada pondasi
ideologisnya. Nah, itu sebetulnya
kerja dari kartel. Mereka berupaya
untuk mengelompokkan seluruh
kekuatan politiknya supaya bisa
dikontrol. Kelompok ini kemudian
yang mengatur proses hukum,
mengatur proses ekonomi, dan
politik. Sehingga begitu ada proses
hukum yang terkait dengan si A dari
grup kartel ini, maka ada orangorang di berbagai institusi yang
membela, di parlemen, partai,
pemerintahan, di ranah hukum juga
ada.
Lalu bagaimana menyikapi hal
ini?
Kita tidak punya mekanisme
mengontrol, tidak punya mekanisme
menghakimi pelaku politik itu secara
langsung. Satu-satunya momen
adalah pemilu. Pada saat pemilu kita
bisa menentukan memilih si A, partai
A, B, dan seterusnya. Dalam situasi
seperti ini muncul satu persoalan
yang menghambat kebebasan
kita, yaitu ketika bicara kandidat,
kandidatnya diajukan partai. Kalau
partai mengajukan para bandit kita
tidak bisa menolak.
Meski pemilu adalah kesempatan
memilih bagi rak yat untuk
menentukan proses politik, tetap
saja kebebasan itu terbelenggu
oleh otoritas partai, oleh oligarki
partai politik. Maka menurut saya,
solusi untuk mengatasi hal ini tidak
bisa dilakukan dalam waktu singkat,
perlu proses yang panjang. Di situ
bicara soal kekuatan civil society.
Kita harus melakukan konsolidasi,
membangun sebuah iklim demokrasi
baru.
Misalnya, kita mengharapkan pers
yang kritis juga kelas menengah
yang kritis, yang bisa melakukan
pencerdasan terhadap masyarakat
dengan informasi yang akurat.
Mencerdasakan melalui analisaanalisa. Dengan begitu, masyarakat
jadi cerdas sehingga menjadi
subyek yang betul-betul sadar,
bisa menentukan siapa yang jadi
presiden. Bisa menilai, oh Prabowo
begini, oh Megawati begini, SBY
begini, sehingga kita punya ruang
untuk berubah.
Fak tanya selama 15 tahun
reformasi, kita seper ti tidak
punya waktu untuk mendidik
masyarakat. Padahal, 15 tahun
bukan waktu yang singkat?
Persoalannya masyarakat, kan,
subyek tif. Sekarang kesalahan
siapa? Menurut saya kesalahan kelas
menengah. Kelas menengah tidak
pernah punya kesadaran ideologis
untuk membangun masyarakat.
Yang terjadi kelas menengah hanya
ingin mengejar kepentinganannya,
meningkatkan kelas sosialnya.
Jadi, tidak ada oreientasi ke bawah.
Looking down tidak ada.
Sekarang siapa kelas menengah
dalam konteks ini. Kalau bicara
parpol, elit-elit parpol rata-rata
isunya tidak ke bawah, isunya ke atas
dan rakyat dipakai sebagai simbol
untuk melegitimasi isu mereka.
Kemudian media masa, sebagian
besar mengarah ke industrialisasi
sehingga kecerdasan publik tidak
jalan. Tapi, fungsi pasarnya jalan.
Orang cari iklan, kejar oplah dan
segala macam, tidak lagi orientasinya
pada pencerdasan politik. Memang
ini dilema.
Media massa harus menjadi
industri ketika punya kebutuhan
modal, butuh untung. Di sisi lain
memang ada tanggungjawab sosial
kepada masyarakat. Sekarang siapa
yang harus mendamaikan dua
kepentingan ini. Ini pertanyaannya.
Di sini sebetulnya dibutuhkan
me dia ide olo gis, me dia y ang
kritis, media yang secara ideologi
konstan, sehingga apapun situasi
pasar akan tetap memegang nilai
pencerdasan politik parpol pun tidak
punya orientasi untuk membangun
masyarakat, tapi untuk membangun
kekuasaan.
Ini dua ranah yang sangat berbeda.
Merebut kekuasaan orientasinya
ver tikal. Kalau membangun
masyarakat orietasinya horizontal
dan ke bawah. Bagaimana kita
mendesak agen-agen politik seperti
ini untuk membangun masyarakat.
Ini menjadi pertanyaan retoris karena
tidak pernah punya mekanisme
untuk memaksa mereka melakukan
itu. Sekali lagi yang menghakimi
mereka adalah opini publik.
Ada wacana menggelorakan
reformasi jilid II. Bagaimana
menurut Anda?
Sebetulnya saya enggak setuju
dengan istilah reformasi jilid II.
Sekali lagi secara teoritis namanya
transisi politik selalu bersifat jangka
pendek. Maka, tidak boleh lama. Ini
15 tahun sudah kelamaan. Kalau
sekarang jilid II makin rumit. Tapi,
okelah kita terima terminologi ini
sebagai upaya untuk mendefinisikan
sebuah keadaan bahwa setelah 15
tahun gagal, kita harus ke keadaan
baru yang lebih baik.
Sekarang apa yang harus kita
bangun di sana. Bagaimana mengisi
ruang demokrasi ini dengan ruh
demokrasi, nilai-nilai yang benar,
nilai keadilan, kesejahter aan,
kesetaraan. Coba sekarang kita
lihat, presiden kita mendapat
p e n ghargaan s o al ke b e b as an
beragama. Ini kan sebuah paradoks
yang luar biasa menggelikan, karena
di sini punya persoalan kebebasan
agama yang sangat serius. Sebagian
orang tidak bisa beribadah dengan
baik.
Ada orang yang dibunuh karena lain
keyakinan. Ini kita bicara hak asasi,
Di mana keberadaan pemerintah, di
mana posisi polisi pada saat ini. Lalu,
dalam keadaaan seperti ini presiden
diberi penghargaan. Ironi yang
sangat menggelikan dan sangat
menjijikkan. Sekarang proses seperti
ini yang harus kita nilai. Orang di
luar sana mengatakan demokrasi
Anda berhasil. Kita sebetulnya
sudah dimanipulasi secara sistemik
oleh kekuatan luar.
Coba kita lihat penilaian Freedom
House Institute di Washington yang
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
23
menilai kemajuan demokrasi di
seluruh dunia. Indonesia sejak 2006
nilainya bagus, rata-rata selalu 2,5.
Itu artinya, kita demokratis penuh.
Buat saya, ini agak aneh karena
faktanya ada persoalan kemiskinan,
pengangguran, penistaan
agama, dan kita punya persoalan
kriminalit as, dan sebagainy a.
Bagaimana bisa dikatakan sebagai
negara demokrasi, korupsi politiknya
luar biasa.
Menurut saya ada skenario global
juga yang mencoba mengangkat
dan mengelus-elus kita. karena
Indonesia memang pasar yang
sangat potensial. Tapi faktanya,
demokrasi gagal dan transisi politik
juga gagal. Kalau bicara reformasi
j i l i d I I , k i t a b i c ar a p e r t am a,
mengganti figur-figur elit politik
lama. Potong generasi. Kedua, kita
bicara soal mengisi ruang demokrasi
dengan nilai-nilai baru.
Ketika kita bicara KPK, benar-benar
sebagai institusi independen yang
tugasnya menciptakan the clean
government. Independen terhadap
parpol, independen terhadap elit
24
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
tertentu, independen terhadap
presiden, dan independen terhadap
DPR. Tidak ada istilah politisasi
terhadap KPK. Karena itu kasus
apapun harus diungkap tuntas.
Sekarang KPK ini seperti membuat
drama Century. Diangkat booming
lalu hilang tidak ada orang yang
ditangkap. Pemberantasan korupsi
kemudian menjadi drama untuk
berita politik, sensasi, dan seterusnya,
bukan untuk pembangunan kolektif,
pembangunan negara. Ini salah satu
bukti kegagalan reformasi.
Pemberantasan korupsi
kemudian menjadi drama
untuk berita politik, sensasi,
dan seterusnya, bukan untuk
pembangunan kolektif,
pembangunan negara. Ini
salah satu bukti kegagalan
reformasi.
KPK dan MK lahir berkat refor­
masi. Tetapi sejauh ini tetap saja
belum ada perubahan berarti?
S ay a s e l al u m e l i h at b ahw a
satu-satunya sebab dari seluruh
sistem ini adalah kartel oligarki.
Jadi sekelompok orang kaya yang
mengambil peran jadi mafia di
balik layar, mafia ekonomi, mafia
politik, dan mafia hukum. Harus
kita ingat hanya segelintir tangan
yang mengatur negara ini dan me­
reka adalah orang-orang yang punya
kewenangan, otoritas, dan punya
kapital untuk mendanai siapa pun
yang jadi presiden dalam pemilu.
Dan mereka orang-orang yang
bisa mengatur pasal-pasal dalam
seluruh proses legislasi di parlemen.
Mereka adalah orang-orang kuat,
maka menurut saya demokrasi
diatur bos yang punya power di
bidang ekonomi, sosial, dan politik.
Bagaimana kita bisa memahami
dan melihat perilaku figur-figur ini.
Memang sumir karena mereka ada
di balik layar. Tapi, kelihatan dari
pola kegiatan politiknya.
Misalnya, dari penentuan
20% presidential threshold. Itu,
kan, sebenarnya kehendak kartel.
Sebab semakin tinggi threshold
semakin sedikit orang yang jadi
kandidat presiden.
Semakin sedikit kandidat, semakin
efek tif p endanaan politiknya,
sehingga dana bisa dibagi rata. Dan
para calon presiden pasti pilihan
mereka. Begitu terpilih, mereka
mengatur. Presiden mengatur siapa
yang jadi dirut Pertamina, menjadi
komisaris ini-itu, dan sebagainya.
Kita kemarin bicara Petral. Itu
memang tujuannya merampok
minyak kita dan di situ berkumpul
mafia dari parpol. Bukan cerita
bohong, semua orang di Petral
itu wakil -wakil parpol. Ketika
bic ar a bub arin Petr al, semua
orang menelepon, semua wakil
partai menelepon soal jatahnya
masing-masing. Ini perampokan
sistemik. Yang bisa mengubah
adalah rakyat sendiri. Pemilu adalah
momentum tertinggi dimana kita
bisa menentukan siapa yang jadi
presiden.
Namun berharap banyak pada
pemilu saat ini nampaknya masih
sulit?
Ya, karena mayoritas pemilih
kita masih pemilih parokial dengan
kadar informasi politik yang rendah.
Terus juga gampang dimobilisasi
dan digiring, serta diintimidasi.
Dan di situlah ruang dimana pemilu
dianggap tidak begitu penting.
Tapi, sekali lagi pesimisme ini kita
pinggirkan. Mari kita pikirkan hal
yang ideal bahwa rakyat ini bisa
membuat pemilu suk ses. Kita
abaikan seluruh faktor mobilisasi dan
intimidasi. Kita ciptakan masyarakat
pemilih yang kuat, mandiri, dan
punya keberanian.
Soal potong generasi, konkritnya
seperti apa?
Potong generasi itu sebetulnya
secara natural, melalui regenerasi
politik dalam tubuh par tai.
Bagaimana ketua umumnya digeser
oleh or ang baru. Seb enarnya
Demokrat sudah mulai dengan
Anas Urbaningrum sebagai Ketua
Umum yang orang muda. Ini orang
muda yang secara usia muda. Tapi,
karakter berpikir, cara berpolitik,
nilai-nilai politiknya lama, karena
dibentuk dengan sistem yang lama
dan dididik dalam sebuah kultur
lama. Dia menjadi pimpinan partai,
dia mengulang prak tik-prak tik
lama. Tapi, kalau kita bicara soal
kepemimpinan muda, kita bicara
regenerasi nilai dan figur sekaligus.
Yang terjadi regenerasi selama ini
hanya figur, nilainya enggak. Di
sinilah salah satu sumber kemacetan
dalam proses transisi.
Terhadap DPR sendiri setelah 15
tahun reformasi, apa yang Anda
lihat?
D P R t i dak p e r nah b e r ub ah.
Kemarin ribut soal absensi. Soal
kehadiran harus dikaji dalam dua
aspek. Pertama, kehadiran teknis.
Ke dua, ke ha dir an sub s t ansif.
Kehadiran teknis buat saya
enggak penting. Kalau kehadiran
substansif, pertanyaannya adalah
DPR pernahkah hadir buat rakyat?
Enggak pernah hadir. Bicara legislasi,
tidak ada legislasi yang bermutu
untuk kehidupan rakyat.
Semua legislasi yang dihasilkan
untuk kepentingan politik. Banyak
yang hadir tanda tangan, bengong,
dan tidur. DPR enggak hadir untuk
rakyat. Maka kalau bicara reformasi
jilid II, kita bicara DPR yang kritis,
yang hadir untuk rakyat, bukan
sekadar fisik dan tanda tangan.
DPR yang hadir di setiap persoalan
dan menjawab setiap persoalan.
Makanya, parpol harus merekrut
orang-orang yang benar.
Kontrol media kepada mereka
harus kuat. Seluruh gerak anggota
DPR harus dikontrol. Kalau perlu
di ruang sidang di -shoot lalu
dipublikasikan. Kalau lebih banyak
keluar ketemu selingkuhannya juga
kita shoot, lalu dibuka ke publik. Ini
proses-proses pembelajaran sosial
yang memang berjalan secara
natural.
Sekitar 90,5% wajah lama maju
lagi sebagai caleg. Pendapat
Anda?
K it a p er nah buat rilis y ang
mencerminkan karakter DPR 2015.
Kenapa, karena 90,5% wajah lama.
Peluang untuk menang juga 90%,
karena sudah menguasai jaringan
politik yang ada. Menguasai sumber
daya seperti uang. Peluang untuk
menang jauh lebih besar ketimbang
orang-orang baru. Karena itu, 2015
akan diisi orang-orang lama juga.
Kalau diisi orang lama karakternya
pasti akan sama juga. Maka tidak
akan ada perubahan.
Kini banyak aktivis mencalonkan
diri menjadi anggota DPR pada
Pemilu 2014. Apakah mereka
mampu merubah wajah DPR?
Aktivis yang masuk adalah orang
yang mengikuti sistem lama dan
mengamini keadaan itu. Kalau
enggak mengamini situasi itu,
enggak mungkin jadi caleg. Jadi,
saya enggak bisa berharap banyak.
Saya enggak percaya pada aktivis
yang masuk parlemen. Kawan saya
Budiman Sujatmiko sudah terbukti.
Pius Lustrilanang apa? Ini menjadi
dilema kita. Kalau para aktivis
masuk ke parlemen terus berubah
keadaan? Tidak, ini semua persoalan
sistemik.
Menurut saya, hari ini Anda masuk
parpol, hari ini masuk ke parlemen,
Anda pasti rusak karena sistemnya
tidak siap. Makanya saya enggak
pernah masuk ke parpol. Masalahnya
keadaan sistem itu tidak siap untuk
membuat figur-figur yang benar itu
tetap benar dalam sistem. Orang
benar, masuk ke sistem itu menjadi
rusak. Maka saya enggak percaya
masuknya aktivis ke parlemen,
enggak akan ada perubahan. Dalam
bahasa awam, mati saja dulu elit-elit
yang sudah tua, baru kita bicara soal
perubahan. (mh, mp)
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
25
LAPORAN UTAMA
Sutiyoso, Ketua PKPI
Politik Masih Diterjemahkan
Merebut Kekuasaan
Sentralistik pergi, desentralistik datang. Inilah yang terjadi pada era reformasi di Tanah Air. Kewenangan
politik dan kekuasaan banyak diturunkan hingga ke pemerintah tingkat kabupaten/kota. Era otoritarianisme
jadi masa lalu dan demokrasi berkibar luas mewarnai panggung politik nasional. Muncullah wajah para
politisi baru seiring reformasi yang bergulir.
I
nilah cuplikan perbincangan eksklusif Parlementaria
dengan Ketua Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia (PKPI) Sutiyoso di DPP PKPI, akhir Mei
lalu. Kepada Muhammad Husen dari Parlementaria,
Sutiyoso memaparkan banyak hal yang harus dilakukan
menanggapi 15 tahun jalannya reformasi di Indonesia.
Dari mulai politik, hukum, ekonomi, hingga ideologi jadi
perbincangan menarik. Visinya bagaimana membangun
Indonesia ke depan dan menciptakan kemandirian
bangsa mengemuka dengan jelas.
Sebagai mantan gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso
merasakan betul buah reformasi. Hanya Provinsi DKI
yang menerima desentralisasi alias otonomi daerah
(Otda). Di daerah lain, Otda turun ke kabupaten/kota.
Saat memimpin Jakarta, Sutiyoso membenahi Ibu Kota
dengan semangat reformasi, mengikuti arus perubahan
26
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
yang terjadi waktu itu. Namun, faktanya otonomi masih
setengah hati.
B a n y a k ke w e n a n g a n p e m e r i n t a h p u s a t d i
departemen-departemen tidak sepenuhnya diberikan
kepada Pemprov DKI. Padahal, reformasi sudah bergulir.
Contohnya, kewenangan mengelola pelabuhan masih
diambil pemerintah pusat. Harusnya sudah berada di
tangan gubernur DKI. “Kenapa enggan menurunkan
kewenangan? Macam-macam alasannya. Kalau menurut
saya latar belakangnya uang,” ungkap Sutiyoso.
Sebagai pemimpin partai, ia coba mencermati
perkembangan mutakhir reformasi di Tanah Air dengan
visinya. Partai yang dipimpinya merupakan gabungan
partai-partai kecil di luar parlemen. Pada Pemilu
2014, PKPI telah diakui menjadi salah satu peserta
Pemilu. Para calegnya pun diminta
menandatangani kontrak dengan
konstituennya masing-masing, agar
menjadi wakil rakyat yang betulbetul terpercaya dan pantas duduk
di Senayan.
Politik dan Hukum
Gaya kepemimpinan Orde Baru,
memang, otoriter. Memasuki era
reformasi, gaya kepemimpinan
menjadi egaliter. Kebebasan luar
biasa diberikan oleh negara kepada
warganya. Pers, ormas, parpol,
tumbuh berkembang menemukan
kebebasannya. Di tengah kebebasan
itu, ada pula yang kebablasan. Bang
Yos, begitu ia akrab disapa, pernah
menjadi korban kebebasan pers di
era reformasi.
Bogor, malah dijarah dan dibakar.
Yang mimpin justru LSM lingkungan
hidup. Aneh bin ajaib. Aparat juga
tidak berdaya.”
D emokr asi y ang kebablas an
membuat penegakan hukum juga
menjadi lemah. Ironisnya lagi,
pada usia 15 tahun reformasi ini,
korupsi menggeliat. Departemendepar temen dikorup oleh para
politisi. Cuma Kementerian PU saja,
kata Sutiyoso, yang belum diketahui,
menjadi anggot a DPR mereka
kaget mendapat fasilitas mewah
dari negara. Kemudian mulailah
mereka tergoda ingin memenuhi
kebutuhannya dengan membeli
mobil untuk dirinya, untuk isterinya,
dan anak-anaknya. Kebutuhan
hidupnya mulai meningkat. Dan
gaji yang legal tidak lagi mencukupi
kebutuhannya. Akhirnya, mencari
yang tidak halal sekaligus untuk
mengembalikan modal politiknya
selama kampanye Pemilu lalu.
Ia pernah digosipkan dekat dengan
selebritas dan memberi rumah di
Sentul. Padahal, tak ada bukti apa
pun untuk itu. “Pers seperti itu kalau
ditanggapi akan menjadi-jadi,”
tandas Sutiyoso. Inilah pentingnya
merenungkan kembali semangat
refo r masi. D i b i dan g p o lit ik ,
demokrasi masih diterjemahkan
terlalu sederhana: berbuat apa pun
boleh. Ini karena tingkat pendidikan
mayoritas masyarakat Indonesia
masih rendah.
“Demokrasi yang sudah ratusan
tahun umurnya hanya di Amerika.
Hukum itu ditegakkan luar biasa
dan konsisten. Sehingga orang pun
takut melawan hukum. Sebaliknya,
di negara kita, demokrasi
diterjemahkan apa pun boleh. Suka
kebablasan. Itu karena hukum tidak
ditegakkan. Daya pikir masyarakat
kita belum seperti di Amerika yang
educated,” papar Sutiyoso.
Repotnya, pada masyarakat yang
tidak terdidik, kerap menanggapi
sesuatu dengan tidak rasional.
“Bisa saya katakan, di Indonesia
apa pun boleh asal dilakukan
secara berjamaah. Ramai-ramai
menjarah rumah orang - orang
Tionghoa. Mereka, kan, masyarakat
kita. Sampai investasi pengolahan
sampah yang modern yang kita tiru
dari negara-negara maju di Bojong,
jadi lahan jarahan parpol mana.
“Sistem setengah hati menjadikan
duit pemerintah jadi jarahan parpolparpol. Inilah yang dilakukan para
politisi Senayan,” tutur Sutiyoso.
M e nur ut Sut i yo s o, di m as a
reformasi ini, banyak lahir
politisi kagetan. Setelah terpilih
Kasus korupsi yang membelit para
politisi Senayan memperlihatkan
keterkaitannya dengan fakta di atas.
Belum lagi korupsi yang dilakukan
para penyelenggara negara di
eksekutif maupun yudikatif yang
juga marak. “Pemberantasan korupsi
persoalannya pada keteladanan.
Peluang korupsi harus kita cegah
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
27
LAPORAN UTAMA
sedini mungkin. Ada tindakantindakan preventif, tetapi yang
refresif juga tetap dijalankan,” jelas
Sutiyoso.
Nah, berbanding lurus dengan
reformasi politik, reformasi hukum
juga perlu dilakukan secara massif.
Kapolri dan Jaksa Agung bila tidak
cakap memimpin penegakan hukum
segera dicopot. Hukum jangan
tumpul ke atas, tajam ke bawah.
“Pemimpin harus tega dalam halhal seperti itu. Jangan ada ewuh
pakewuh, tidak bagus,” katanya.
Paradigma berpolitik sejak
refor masi seakan -akan hany a
bagaimana merebut kekuasaan
di legislatif dan eksekutif. Setelah
duduk menjadi penguasa, yang
dipik ir k an hany a dir iny a dan
kelompoknya (partai). “Jadi, mindset
inilah yang harus dirubah. Berpolitik
bukan seperti itu. Berpolitik itu mulia.
Kita duduk dipilih oleh masyarakat.
Setelah duduk itu, konstituen yang
harus dipikirkan,” kilah Sutiyoso.
Pada usia 15 tahun reformasi,
lanjut mantan Pangdam Jaya ini,
kepercayaan kepada Parpol sudah
di titik nadir. “Ini sangat merugikan
demokrasi. Pemilu belum bisa
dikat akan berhasil. Dikat akan
berhasil, bila partisipasi masyarakat
sangat besar.” Inilah fakta yang
terjadi terakhir di bidang politik.
Ideologi
Di bidang ideologi, papar
Sutiyoso, bangsa ini juga nyaris
kehilangan arah. Di era reformasi
ini kita perlu kembali merefleksikan
Pancasila sebagai way of life. Lima
sila tidak bisa dipisah-pisahkan. Sila
pertama, toleransi terhadap agama
itu harus dijunjung tinggi. Yang
terjadi sekarang malah tidak ada.
Sila kedua, pelanggaran HAM masih
kerap terjadi. Termasuk pelanggaran
HAM terhadap para buruh.
Masuk dalam kontek s ini,
kebijakan out sourcing yang
harusnya sudah tak ada lagi di
dunia ketenagakerjaan. Itu tidak
manusiawi. Kebijakan perusahaan28
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
perusahaan nasional merekrut
pekerja outsourcing, karena bisa
dibayar murah dan menghasilkan
keuntungan besar. Padahal, di luar
negeri pegawainya dibayar mahal
dan tetap menghasilkan keuntungan
besar. “Outsourcing sudah tidak
zamannya lagi,” kata Sutiyoso.
Sila ketiga, bangsa ini masih
enggan bersatu, karena keadilan
belum tampak. Bila keadilan belum
hadir, biasanya manusia mencari
jalan sendiri-sendiri. Akhirnya,
terjadilah dominasi hukum rimba.
Siapa yang kuat dia yang berkuasa.
“Artinya, selama 15 tahun terakhir
ini, belum terlihat Pancasila menjadi
way of life. Sekar ang s angat
individualis. Itu bukan budaya
yang mau kita kembangkan,” tegas
Sutiyoso.
Sila keempat, pemilihan kepala
daerah mestinya bisa dipilih kembali
o l e h D P R D. Itulah d e m o k r asi
P anc asila. M emilih p emimpin
sebaiknya tidak lewat poting. “Poting
bukan ditabukan. Poting adalah jalan
terakhir, karena musyawarah adalah
jalan kita.” Sila kelima, di sini yang
kita sorot adalah keadilan ekonomi
dan akses kesehatan bagi warga.
Yang kaya bisa berobat ke Singapura
dan Australia. Yang miskin berobat
ke puskesmas saja masih susah.
Menurut Sutiyoso, Pancasila belum
dijalankan dengan baik. Pascareformasi kita justru meninggalkan
Pancasila. Itu semua lantaran kita
alergi dengan P4. P4 itu, wahana
untuk menyosialisasikan Pancasila.
“Kalau tidak setuju dengan P4, mari
kita ganti metodenya,” kilahnya.
Akibat meninggalkan ideologi itu,
kehidupan masyarakat mengarah
ke kehidupan yang materialistis. Itu
kehidupan di negara liberal. Dan
bukan itu yang kita kembangkan.
Ekonomi
Pengelolaan sumber daya alam
(SDA) kita harus dikembalikan ke
UUD Pasal 33. Bumi dan kekayaan
yang ada di dalamnya dikuasai
negara untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rak yat. “Apakah
pelaksanaanya seperti itu? Ternyata
dikuasai asing. Kontraknya gilagilaan 30 tahun atau 50 tahun.”
Selama itu kekayaan alam kita
disedot habis-habisan lalu dibawa
ke luar negeri.”
Kita tidak tahu apa saja kandungan
yang ada di dalam perut bumi
Indonesia. Kontraknya menggali
emas. Lalu, bila ada platinum yang
lebih mahal di dalamnya, kita
tak pernah tahu. “Apakah sudah
wajar pembagian keuntungannya?
Jawabnya pasti belum. Minyak dan
komponen komunikasi juga dikuasai
asing semua. Inilah yang harus kita
luruskan kembali.”
Aturan kontrak bisa kita atur
kembali, lanjut Sutiyoso menyikapi
ketidakadilan di bidang pengelolaan
s u m b e r d ay a a l a m n a s i o n a l .
Menurut Sutiyoso, dalam kontrak
pengelolaan SDA selalu ada klausul
y an g m eny at ak an, bila s alah
satu pihak dirugikan, maka bisa
dinegosiasikan lagi. “Kenapa kita
tidak mau negosiasi lagi? Ini kan
permainan intelijen.”
Sutiyoso lalu memberi contoh
ketika dirinya memimpin Jakarta.
Ada 2 perusahaan asing yang
mengelola air bersih di Jakarta.
MoU-nya sudah ditandatangani
sejak zaman Gubernur Suryadi yang
digantikannya. Di wilayah barat
Jakarta, pengelolaan air bersih
diserahkan ke perusahaan milik
Inggris. Sedangkan di timur dikelola
Prancis. Sutiyoso lalu ingin melihat
kontraknya kembali, apakah ada
yang merugikan.
“Ternyata ada 10 poin yang tidak
fair. Saya datang ke London, ke
markas perusahaan air itu. Saya
berangkat dari Jakarta dengan tim.
Saya katakan, ini Anda mengakali
saya. Saya minta rubah. Kenaikan
tarif air yang per kwartal itu, tidak
saya naikkan. Jadi, saya meyakini
kontrak Freeport itu juga tetap
bisa dikoreksi. Persoalanya karena
tidak ada political will saja,”
ungkap Sutiyoso, tegas. Intinya,
kebijakan pokok ekonomi itu harus
menguntungkan masyarakat. (mh)
LAPORAN UTAMA
Membicarakan kembali gerakan reformasi tidak bisa lepas ingatan kita pada peristiwa yang sangat
bersejarah dimana ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR-RI Senayan, Jakarta pada 19 Mei 1998.
Peristiwa ini bisa disebut sebagai puncak gerakan reformasi yang didengungkan untuk menggulingkan
Presiden Soeharto.
T
erbukti, begitu Presiden Soeharto menyatakan berhenti pada tanggal 21 Mei 1998, ribuan mahasiswa yang
tengah menggelar demo di DPR langsung menceburkan diri ke dalam kolam air mancur yang terletak di
halaman Gedung DPR sebagai tanda syukur bahwa salah satu tuntutannya berhasil. Untuk mengenang
kembali gerakan reformasi tersebut berikut kronologis kejadian pada Mei 1998.
Kronologi gerakan reformasi 1998:
Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 memilih
Soeharto dan B.J. Habibie sebagai Presiden dan
Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003,
dilanjutkan pembentukan dan pelantikan Kabinet
Pembangunan VII.
19
Mei 1998
Pada saat yang bersamaan, ti­dak kurang
dari satu juta manusia ber­kum­pul di alunalun utara Kera­t on Yogyakarta untuk
meng­h adiri pisowanan agung, guna
mendengarkan maklumat dari Sri Sultan
Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam
VII.
Mei 1998. Para mahasiswa dari berbagai daerah
mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi
keprihatinan yang menuntut penurunan harga
barang-barang kebutuhan pokok (sembako),
penghapusan KKN, dan mundurnya Soeharto dari
kursi kepresidenan.
12
Mei 1998
13-14
Mei 1998
Terjadi unjuk rasa mahasiswa
Universitas Trisakti Jakarta telah
terjadi bentrokan dengan aparat
keamanan yang menyebabkan
empat orang mahasiswa (Elang Mulia
Lesmana, Hery Hartanto, Hafidhin
A. Royan, dan Hendriawan Sie)
tertembak hingga tewas dan puluhan
mahasiswa lainnya mengalami lukaluka. Kematian empat mahasiswa
tersebut mengobarkan semangat para
mahasiswa dan kalangan kampus
untuk menggelar demonstrasi secara
besar-besaran.
Di Jakarta dan sekitarnya terjadi
kerusuhan massal dan penjarahan
s e h i n g g a ke g i a t a n m a s y a r a k a t
m en galami kelump uhan. D alam
peristiwa itu, puluhan toko dibakar dan
isinya dijarah, bahkan ratusan orang
mati terbakar.
Para mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil
menduduki gedung MPR/DPR.
Tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai
pimpinan MPR /DPR mengeluarkan
pernyataan berisi ‘anjuran’ agar Presiden
Soeharto mengundurkan diri.
20
Presiden Soeharto mengundang tokohtokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat
untuk dimintai pertimbangan dalam rangka
membentuk Dewan Reformasi yang akan
diketuai oleh Presiden Soeharto.
21
Pukul 10.00 di Istana Negara, Presiden
Soehar to menyatakan berhenti /
meletakkan jabatannya sebagai Presiden
RI di hadapan Ketua dan beberapa
anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan
pasal 8 UUD 1945, kemudian Soeharto
menyerahkan jabatannya kepada Wakil
Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden RI.
Pada waktu itu juga B.J. Habibie dilantik
menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.
Mei 1998
Mei 1998
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
29
Mohammad Najib Bangun, Ketua BEM UNDIP Semarang
Reformasi Ini Gagal
Saya kira bukan
hanya mahasiswa,
seluruh rakyat
Indonesia berharap
agar dari masa ke
masa kita melakukan
sebuah perubahan.
Dan perubahan itu
ke arah yang lebih
baik lagi. Semangat
reformasi yang
dulu ada, saya kira
semangat perubahan
ke arah kebaikan.
Tapi, toh, kita lihat
hari ini, terny at a
perbaikan itu tak
kunjung datang di negeri ini. Artinya, semangat yang
ada dulu itu menjadi sia-sia. Apakah ada kemajuan
signifikan pada perbaikan bangsa? Tidak.
Inilah kenapa kita mengatakan bahwa reformasi ini
gagal. Kalau saya mau mengaitkan ke KPK, kita lihat KPK
ini dibuat untuk memberantas korupsi. Tapi, sekarang
ngurusin Century saja enggak kelar-kelar. Dipanggil juga
tidak kooperatif. Kan, jadi ragu kita. Apakah benar ini
niatnya mau memberantas korupsi. Kadang yang kita
lihat hanya kemasan manis saja atau perubahah nama,
tapi tidak ada perubahan signifikan. (mh)
Ibnu Rusd, Ketua BEM STEI SEBI Jakarta
Ada Politik “Skizofrenia”
Melihat demokrasi ke
depan, saya menyorot
dari 2 hal: pertama,
kita bisa spesifikkan
masalah KPK. KPK yang
diharapkan progresif
memberantas korupsi
di era reformasi ini,
ternyata justru jadi
pengkhianat reformasi.
Dengan kinerjanya,
jargon-jargonnya yang
independen, pro rakyat
dalam memberantas
30
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
korupsi, sampai sekarang justru masyarakat melihatnya
dengan sebelah mata. KPK dianggap remeh.
Kedua, untuk dunia politik, saya rasa ada politik
“skizofrenia” yang semakin mengakar, bahkan menjadijadi. Politik hanya untuk mengedepankan kepentingan
golongan. Hingga akhirnya tidak ada musyawarah
kebersamaan yang benar-benar pro rakyat. Dan mereka
tahu ini salah.(mh)
Mushlab, Ketua BEM PNJ Jakarta
Tuntaskan Kasus Century
Reformasi belum
menghasilkan perubahan
yang signifikan untuk
bangsa ini. Setelah
reformasi, muncul
lembaga-lembaga baru
seperti KPK. Dari kinerja
dan fungsinya, KPK
sangat tidak maksimal
dan tidak sesuai dengan
yang kita harapkan dalam
memberantas korupsi.
Yang kami inginkan dari
15 tahun reformasi ini, segera tuntaskan kasus Century
dan kita kembalikan semangat kebersamaan. (mh))
Whan, BEM IPB Bogor
Jalankan 6 Visi
Reformasi
Ya n g h a r u s d i l i h a t
dari reformasi ini adalah
semangatnya terlebih
dulu. Semangat y ang
dibawa abang-abang
k am i d i t ah u n 19 9 8 .
Enam visi reformasi
ternyata tidak merubah
negara ini dengan cukup
signifikan. Enam visi ini
semua keluar jalur. Salah
satunya pemberantasan
korupsi. Sampai saat ini
kita melihat hanya membuahkan lembaga superbody
bernama KPK dengan fungsi yang diharapkan begitu
besar, nyatanya kecil.
Lembaga hasil reformasi tersebut sampai saat ini
nangani kasus Century enggak beres-beres. kasus
lainnya seperti BLBI juga belum terungkap. Supremasi
hukum saat ini tetap tumpul bagi penguasa dan tajam
bagi masyarakat kecil. Bagaimana mungkin anak kecil
mencuri sandal dihukum, korupsi dihukum ringan.
Kami juga sangat menyayangkan nyawa abang-abang
kami dalam tragedi Semanggi dan trisakti. Kalau mau
merubah bangsa ini, jalankan 6 visi reformasi. (mh)
Sarbini,
Pelaku Gerakan Reformasi/Mantan Ketua Senat UNTAG Jakarta
Reformasi Bukan Gagal,
Tapi Salah Urus
Saya salah satu bagian
dari mahasiswa penggerak
reformasi, tidak mengira
akan secepat itu gerakan ini
mewabah hampir ke seluruh
pelosok negeri. Isu KKN dan
turunkan Suharto terdengar
membahana pada setiap aksi
demontrasi. Tidak terbersit
di pikiran kawan - kawan
mahasiswa waktu itu akan
mendapat pujian setelah
berhasil menumbangkan
rezim Suharto. Pascareformasi,
kami juga tak mengira akan mendapat cemoohan,
karena reformasi dianggap gagal akibat mahasiswa.
Bahkan ada yang mengatakan, kondisi saat ini lebih
buruk daripada era rezim Suharto.
Saat bergerak mahasiswa tidak pernah membawa
tema reformasi. Yang santer terdengar justru revolusi.
Kami juga tidak tahu, dari mana dan siapa yang
“menyusupkan” kata reformasi ke gerakan mahasiswa
waktu itu. Terlepas dari mana munculnya, mahasiswa
hanya merasakan adanya represifitas kekuasaan masuk
ke kampus-kampus. Kampus yang memiliki kebebasan
mimbar dan berpendapat sesuai kapasitas keilmuannya,
justru dibungkam oleh birokrat kampus sendiri dengan
alasan “menjaga stabilitas”.
Mahasiswa tentu tidak diam. Dihambat di kampus,
mereka melakukan gerakan kritis dengan berdiskusi
lintas kampus dan saling bertukar informasi tentang
kondisi mutakhir negeri ini. Kelompok diskusi kritis
menjamur dan konsolidasi mahasiswa terbangun di
kota-kota besar. Benih-benih perlawanan mulai tumbuh,
kelompok-kelompok kritis bermunculan, dan bahkan
ada gerakan oposisi terhadap pemerintah.
Tahun 1997, krisis ekonomi global tiba pula di Indonesia
dan menghempas semua pondasi ekonomi kita. Harga
dollar melangit dan sembilan bahan pokok melejit.
Hampir semua keluarga mahasiswa yang sebagian besar
kelas menengah ke bawah, kena dampaknya dari krisis
ekonomi itu. Kami sampai pada titik kesimpulan bahwa
rapuhnya bangunan ekonomi disebabkan menjamurnya
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Penguasa hanya membangun fisik dengan fondasi
otoritarian dan KKN. Ujung sumber masalahnya
teridentifikasi, yaitu kekuasaan yang terlalu lama dan
tersentralistis. Maka gerakan anti-KKN dan melawan
kekuasaan yang otoriter semakin masif. Isu KKN dan
jatuhkan rezim Orba adalah isu yang paling populis bagi
rakyat. KKN harus dibasmi, Suharto sebagai presiden
harus turun, kekuasaan harus dibatasi, dan sentralitas
kekuasaan juga harus dikurangi.
Ketika Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, bermunculan
media massa dan partai politik baru. Para elit mulai
berebut kekuasaan dan bagi-bagi kue reformasi. Di
mana mahasiswa? Mereka pulang ke kampus masingmasing untuk melanjutkan kuliah. Hanya sebagian kecil
saja yang tetap protes di jalan, karena penguasa baru
tetap menjadi bagian dari Suharto dan kaki tangannya.
Gerakan mahasiswa perlahan tapi pasti menurun
intensitasnya dan digantikan oleh para elit yang
mengaku reformis yang sebagian besar mendirikan
partai politik.
Gerakan mahasiswa akhirnya diambil oleh kekuatan
partai politik dan mahasiswa tetap di luar. Kekuasaan
terus berganti, namun kondisi tidak semakin baik, bahkan
mungkin memburuk. Ketika kondisi negara memburuk,
mengapa para mahasiswa pelaku gerakan reformasi ‘98
yang disalahkan? Bukankah mereka kembali ke kampus
dan tidak masuk bagian dari kekuasaan? Kalau kita
melihat perspektif reformasi dalam konteks kekuasaan,
mungkin ada benarnya dinilai gagal. Karena penguasa
yang lahir di ere reformasi tidak menghasilkan sesuatu
yang membuat Indonesia semakin baik.
Para elit politik tidak mampu menyusun formasi
baru dalam kekuasaan yang membawa Indonesia pada
cita-cita yang diharapkan oleh rakyat dan gerakan
mahasiswa. Yang terlihat malah perebutan kekuasaan
mengatasnamakan reformasi. Korupsi bukan saja di
bawah meja tapi sudah di atas meja, bahkan di tempat
dan di kantor penegak hukum. Kolusi sudah menjadi
tontonan yang kasat mata. Bahkan, mereka masih
bisa tersenyum dan tertawa ketika menggunakan baju
kebesaran “Tahanan KPK”.
Nepotisme sudah merambah dari hulu sampai hilir.
Dua pertiga pejabat publik, baik di eksekutif, legislatif,
dan yudikatif terjerat kasus KKN yang akhirnya menjadi
urusan KPK. Sebaliknya, kalau kita melihat reformasi
dalam konteks gerakan, justru berhasil. Itu dibuktikan
dengan jatuhnya rezim otoritarian ORBA, menjamurnya
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
31
LAPORAN UTAMA
media massa baru yang ketika ORBA dihantui
pembredelan, bermunculan partai-partai politik yang
ketika ORBA diharamkan, kebebasan berpendapat
menemukan tempatnya yang di masa ORBA dibungkam,
dan masih banyak contoh lain yang di masa ORBA tabu
dan haram saat ini bebas dilakukan.
Jadi, kalau reformasi dianggap gagal di tangan elit
masa kini, ada benarnya. Namun, bila reformasi gagal
karena mahasiswa, itu menjadi pertanyaan besar. Ingat,
mayoritas penggerak reformasi masih di luar dan belum
mengambil alih peran kekuasaan. Zaman Suharto
buruk, lalu saat ini dianggap lebih buruk, bukan berarti
kita harus kembali ke era Suharto. Kami tidak mau era
Suharto kembali terulang. Namun, kami juga tidak mau
hari ini lebih buruk. Reformasi bukan gagal, tapi masih
salah urus dan salah orang. (mh)
Ubedilah Badrun
Pelaku Gerakan Reformasi/Mantan Ketua Senat IKIP (UNJ)
Jakarta
Aktivis ’98 Tidak
Diapresiasi
Mimpi besar gerakan
‘98 sesungguhnya adalah
mengembalikan jalannya
negara pada track
yang sebenarnya, agar
Indonesia menjadi negara
yang tidak korup, tidak
diktator, tidak militeristik.
Tetapi menjadi negara
yang berdaulat secara
politik melalui demokrasi
khas Indonesia. Berdaulat
secara ekonomi melalui
implementasi sistem
ekonomi berdasar
pasal 33 UUD 1945. Berdaulat di bidang kebudayaan
melalui desain kebudayaan nasional dengan instrumen
lembaga pendidikan yang mencerdaskan dan mampu
membangun peradaban bangsa.
Tuntutan pemberhentian Presiden Soehar to,
pemberantasan KKN, mengadili pelanggaran HAM,
pencabutan dwi fungsi ABRI, dan demokratisasi adalah
agenda populer gerakan ‘98 saat itu sebagai agenda
jangka pendek. Ketika rezim Soeharto jatuh, para
aktivis 98 kembali ke kampus dan setelah lulus kuliah
mereka menjalani profesinya masing masing, ada
yang berprofesi sebagai peneliti, bekerja di perbankan,
menjadi pebisnis, akademisi, advokat, jurnalis, bergerak
di LSM dan ada sedikit yang mencoba masuk arena
32
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
politik.
Hampir dipastikan selama 15 tahun pasca-jatuhnya
Soeharto sampai hari ini tidak ada satupun aktivis 98
yang menduduki posisi strategis negara. Aktivis 98 tidak
diapresiasi oleh elit politik baru. Oleh karenanya pascajatuhnya Soeharto tidak ada pengawalan langsung oleh
aktivis yang masuk dalam struktur kekuasaan. Sepanjang
15 tahun terakhir ini, jalannya negara dikuasai elit politik
baru yang cenderung mengkhianati agenda gerakan
‘98. Elit politik baru lebih asyik bermesraan dengan
“gedung putih” dibanding rakyatnya sendiri.
Tidak ada kegagalan dari gerakan ’98, karena gerakan
‘98 sesungguhnya telah berhasil meletakkan fondasi
perubahan memasuki episode ke-5 setelah 1908,
1928, 1945, dan 1966. Gerakan ‘98 telah berhasil
menghentikan rezim korup dan diktator. Tetapi yang
membuat jalannya negara keliru setelah ‘98 adalah elit
politik baru yang tidak berpegang teguh pada agenda
substansi gerakan ‘98. Gerakan 98 dikhianati elit politik
baru selama 15 tahun.
Fakta keterkaitan masyarakat dengan kekuasaan
sepanjang 15 tahun juga diwarnai perilaku korup, baik
dari sisi masyarakat maupun dari sisi elit politiknya.
Misalnya, mencermati sejumlah kasus Pemilukada
sejak 2007, hampir seluruhnya melakukan politik
transaksional dengan masyarakat. Yang terjadi bukan
politik relasional yang menumbuhkan relasi yang sehat
dalam membangun demokrasi.
Manifestasi yang paling mencolok dari korupsi politik
pada saat pemilu adalah menyuap pemilih secara
langsung. Praktik korupsi bisa terjadi pada dua sisi. Sisi
pertama, antara partai politik dan kandidat dengan
penyumbang, sedangkan sisi kedua, partai politik dan
kandidat dengan penyelenggara pemilihan dan pemilih.
Praktik politik yang berbiaya mahal dan korup tersebut
juga menghasilkan pemimpin yang justru seringkali
keberadaanya seperti ketua sebuah gerombolan, bukan
seorang pemimpin tetapi seperti ketua kelompok atau
gank.
Sementara secara ekonomi-politik sepanjang
rezim baru pasca-1998 sampai saat ini Indonesia
terus mengalami peningkatan jumlah utang yang
memprihatinkan. Sampai saat ini Indonesia dililit utang
hingga Rp 2.200 triliun atau 251,200 juta dollar Amerika
Serikat. Tren peningkatan utang swasta memiliki risiko
pembalikan yang dapat memicu instabilitas ekonomi
Indonesia. Bunga utang dan cicilan utang pokok yang
harus ditanggung oleh pemerintah dan swasta men­
capai 169,118 juta dollar AS atau sekitar Rp 1.620 trilun
lebih.
Secara ekonomi-politik Republik ini juga dikuasai
asing. Pihak asing menguasai sektor ekonomi kita
antara 50,6% sampai 75%, seperti perbankan hingga
pertambangan dan gas. Dalam situasi politik ekonomi
yang sangat bergantung pada pihak asing itu, kondisi
perilaku birokrasi kita juga korup. Pada 4 oktober 2011
lalu dalam laporan ikhtisar hasil pemeriksaan BPK yang
disampaikan pada sidang paripurna DPR, ditemukan
bahwa sejak tahun 2003 hingga semester I 2011 terjadi
305 dugaan kasus tindak pidana korupsi.
Total kerugian negara dalam 305 kasus tersebut
mencapai lebih dari Rp 33 triliun. Survey Transparency
International yang disebarkan kembali Transparency
Indonesia, Kamis (1/12/2011) mengukur tingkat korupsi
dari 183 negara dengan rentang indeks antara 0 sampai
dengan 10, di mana 0 berarti sangat korup, dan 10
sangat bersih dari korupsi. Tahun 2011 skor Indonesia
dalam CPI adalah 3.0. Skor yang menggambarkan
tingginya tingkat korupsi di Indonesia.
Baru-baru ini BPK juga menemukan penyelewengan
anggaran perjalanan dinas sebesar 30-40 persen dari
biaya perjalanan dinas Rp 18 triliun selama setahun. Ini
merupakan indikasi perampokan uang rakyat. BPK juga
menemukan kerugian negara Rp 13,25 Triliun di sektor
pertambangan (Managementdaily.co.id, 3 April 2012).
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan mengindikasikan
bahwa perampokan uang rakyat terjadi merata di
semua instansi pemerintah.
Dari segi penegakan hukum dalam kasus-kasus besar
korupsi juga tak kunjung usai. Skandal besar mega
korupsi BLBI yang rugikan negara. Negara sampai saat
ini masih membayar bunga subsidi BLBI sekitar Rp 60
triliun per tahun, bahkan akan berlangsung sampai 20
tahun mendatang. Kasusnya tak kunjung usai. Skandal
besar lainya bailout Bank Century juga tak kunjung jelas
juntrungannya yang menggarong uang negara hingga
Rp 6,7 triliyun sampai saat ini tidak jelas siapa aktor di
balik kejahatan kerah putih ini.
Dengan data-data di atas secara umum rezim
sepanjang 15 tahun terakhir ini tidak memihak pada
kepentingan nasional. Sebenarnya solusinya sederhana,
yakni secara ekonomi harus melakukan penghematan
nasional, penegakan pemungutan pajak, penghentian
illegal loging dan ilegal transaksi minyak di laut lepas.
Dari segi hukum penegakan hukum dan pemberantasan
korupsi harus dilakukan tidak tebang pilih seperti saat
ini.
Bahkan perlu juga diusulkan untuk hukuman mati
bagi para koruptor kelas kakap. Secara poitik perlu
kembali pada model demokrasi khas Indonesia yang
tidak berbiaya mahal tetapi berkualitas, memadukan
perspektif politik modern dan politik asli Indonesia.
Sektor sektor yang dikuasai asing harus segera
diperbaharui dengan renegosiasi yang menguntungkan
kepentingan nasional dan dengan demikian menjalankan
pasal 33 UUD 1945 secara konsisten.
Sejumlah solusi di atas tidak mungkin terwujud jika
Republik ini pemimpinnya tidak memiliki integritas, tidak
berpihak pada kepentingan nasional dan dikendalikan
oleh kepentingan asing. Republik ini merindukan
pemimpin yang berpihak pada kepentingan nasional.
(mh)
Para aktifis mahasiswa di tahun
1998 saat memberi keterangan
pers di gedung DPR RI.
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
33
SUMBANG SARAN
Usman Hamid
Apa yang bisa kita petik
sebagai pelajaran dari 15
tahun reformasi? Apakah
tuntutan-tuntutan politik
reformasi terwujud?
R e f o r m a s i 19 9 8 m e m b a w a
negara Indonesia memiliki sistem
multi partai, bahkan kini 13 partaipolitik berkompetisi bagi Pemilu
2014. Presiden dipilih langsung.
Sejak 2005, kepala daerah dipilih
langsung. Hampir seluruh pejabat
publik dipilih. Terjadi sirkulasi eliteelite. Kelembagaan pelengkap
n e g ar a j u g a a d a, d ar i m u l a i
Mahkamah Konstitusi, komisikomisi independen pemberantasan
korupsi, penegakan HAM, sampai
p e n gaw as an p e m e r int ah dan
peradilan.
Ini adalah kemajuan. Saat Orde
Baru, tak ada kontestasi, sirkulasi
dalam kompetisi yang sehat. Partai
hanya dua--berbasis nasionalis
dan islam--lalu golongan karya-berbasis birokrasi dan militer yang
selalu dimenangkan penguasa.
Anggota DPR bisa direcall. Presiden
34
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
bisa berkuasa seumur hidup, kontrol
yudikatif dan keseimbangan legislatif
hanya stempel dan alat. Tak ada
kebebasan akademik, kebebasan
berekspresi. Kebebasan berserikat
dan berorganisasi dikendalikan satu
wadah. Ekonomi berpusat ke tangan
Suharto, keluarga dan kroni-kroni
bisnis. Memasuki akhir dasawarsa
ketiga politik kekuasaannya, rupiah
anjlok , rak yat antri sembako,
menteri-menteri mundur. Ketidak­
adilan sosial meletus dalam letupanletupan kerusuhan 13-14 Mei 1998.
Sepekan setelahnya, Suharto jatuh.
Nah, memasuki satu setengah
dasawarsa paska momen bersejarah
reformasi, ukuran-ukuran di atas tak
lagi cukup dijadikan dasar analisis. Itu
semua memang syarat demokrasi,
tapi bertahun lalu, sejak era Gus Dur,
telah ada. Sekarang, apakah setelah
ada syarat itu lalu tujuan demokrasi
tercapai? Atau apakah berarti lalu
tuntutan-tuntutan pro-reformasi
1998 telah terwujud?
Jadi, begitu syarat-syarat terpe­
nuhi, seharusnya kita beran­jak ke
analisis empirik lebih lanjut. Ini
diperlukan untuk menilai sejauh­
mana tiga tujuan utama demokrasi
ideal dicapai: 1) kebebasan sipil
dan politik; 2) kedaulatan popular,
kontrol at as kebijakan publik
dan pejabat yang berwenang; 3)
kesetaraan politik--demikian juga
pemerintahan yang baik seperti
transparansi, legalitas dan aturan
yang bertanggung jawab.
Demokrasi yang berkualitas adalah
demokrasi yang menyediakan bagi
warga negaranya suatu derajat
kebebasan, kesetaraan politik
dan kontrol popular yang tinggi
atas kebijakan publik, dan para
p emb entuk kebijakan melalui
institusi-institusi yang sah dan
berfungsi menjalankan hukum.
Mari kita telaah sekilas. Berbagai
up ay a m erehabilit asi mant an
tahanan politik Partai Komunis
Indonesia (PK I), at au mant an
Menteri Kabinet Dwikora menjelang
jatuhnya Soekarno, atau siapa pun
termasuk eks TNI AU yang dipenjara
karena tuduhan terlibat peristiwa
1 Oktober 1965, telah gagal. Di
titik ini, tak ada upaya berarti dari
parlemen. Langkah awal pernah
dilakukan ketika pimpinan DPR RI
pada 2003 mengirimkan surat ke
Mahkamah Agung dan dilanjutkan
ke Presiden untuk merehabilitasi
eks tahanan politik 1965/1966.
Dasar untuk rehabilitasi jelas, Pasal
14 ayat (1) UUD 1945. Hasilnya?
Nihil. Kebebasan politik itu belum
dipulihkan. Masih ada perlakuan
yang menempatkan mereka tidak
setara sebagai warga.
Di sisi lain, ada sejumlah warga
–pemuda-- mendirikan partai politik
dengan ideologi politik kiri berkalikali mendapat halangan berat, dari
mulai pemenjaraan oleh penguasa,
sampai persyaratan administrasi
dan pelarangan-pelarangan
mereka untuk berkegiatan politik.
Kenyataan ini bisa terjadi karena
reformasi tidak berhasil dalam hal,
salah satunya, menghapuskan
Ketetapan MPR mengenai larangan
menyebarkan ajaran-ajaran
marxisme-leninisme terkait masa
lalu sejarah kekerasan politik
kolosal: Partai Komunis Indonesia
(PKI) dibubarkan dan anggotanya
diburu tanpa perikemanusiaan. Jadi,
kebebasan politik ada, tapi diberikan
kekecualian tertentu. Begitu pula
dengan kebebasan untuk beragama
dan memilih agama dan kepercayaan
sesuai keyakinan masing-masing.
Hampir sepuluh tahun terakhir
pemerintahan SBY, tiap tahun kita
membaca laporan Setara Institute
dan The Wahid Institute yang
menunjukkan kebijakan diskriminatif
berbasis aliran-agama, pernyataan
maupun pejabat yang tidak netral
dalam memperlakukan dan melayani
warganya, sampai kekerasan massa
yang berakibat kematian, lukaluka, dan kehilangan harta benda.
SBY menyerahkan masalah ini ke
pemerintah daerah. Benarkah?
Bukankah urusan memeluk agama
dan keyakinan itu urusan hak
kons titusional dan kewajiban
pemerintah pusat? Nyaris tidak ada
pembelaan terbuka dari pemimpin
nasional. Ada pemimpin formal, tapi
bukan negarawan. Warga Syiah dan
Ahmadiyah ialah warga Indonesia.
Mereka dituduh menganut ajaran di
luar ajaran yang diakui oleh pejabat
pemerintah sektarian dan organisasi
keagamaan ortodoks, lalu seakan
boleh dibunuh. Inilah yang pernah
terjadi di wilayah Jawa Barat, dari
Parung, Cikeuting, dan Cikeusik
hingga Sampang, Jawa Timur dan
Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Di Papua, nyaris tidak berlaku
demokrasi. Reformasi membawa
angin harapan, kebebasan dan
perubahan kepada Papua hanya
pada era pemerintahan KH. Abdur­
rah­man Wahid. Tetapi setelah itu,
benar-benar mengalami sikap-sikap
yang tidak adil dari pemerintah
yang konservatif dan nasionalischauvinistik; integritas politik
teritorial diletakkan di atas nilai
kemanusiaan; berpikir tentang
identitas tunggal dirinya, dan di luar
“identitas kebangsaan” versi mereka,
dianggap “musuh,” harus ditiadakan
dengan jalan paksa dan kekerasan.
Kini ada puluhan tahanan politik
(prisoners of conscience) Papua,
termasuk seorang PNS Filep Karma.
Demokrasi mana pun, melarang
pemenjaraan politik atas warga
y an g m e ny amp aik an as p ir asi
yang damai. Pada 1959 dan 1961,
Soekarno memberi amnesti politik
dan abolisi kepada pemberontak
di wilayah-wilayah; Aceh pimpinan
Daud Beureuh, Sulawesi Selatan
pimpinan Kahar Muzakar, bahkan
dan juga pemberontak PRRI dan
Permesta di Sumatera, hingga
pemberontak di Maluku, Irian Barat,
Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan
dan Kartosuwirjo di Jawa Barat.
Jadi, tidak ada alasan bagi Presiden
untuk menolak amnesti dan abolisi.
DPR juga dapat ambil untuk memberi
pertimbangan seperti ditegaskan
Pasal 14 Undang-Undang Dasar
1945 (Amandemen Pertama). Dari
seluruh anggota DPR/MPR sekarang,
tak ada yang memperjuangkan
gagasan politik rehabilitasi. Jika pun
ada, bisa dihitung jari. Kenapa ini
bisa terjadi? Apakah lebih dari lima
ratus orang wakil rakyat ini tak tahu
masalah ini?
Saya percaya, mereka tahu. Masa­
lahnya, pengambilan keputusan
parlemen kita hari ini hanya di­
tentukan oleh segelintir elite. Ibarat
telur ayam, hanya kuningnya yang
menentukan. Inilah problem besar
satu setengah dasawarsa reformasi:
oligarki dan melahirkan paradoks.
Kedaulatan suara rakyat, dire­
presentasi oleh kekuatan partai
politik. Dari kekuatan partai yang
banyak, dibatasi pada electoral
treshold, dari kekuatan sepuluh
partai direduksi ke dalam sekretariat
gabungan. Lebih sempit lagi;
keputusan akhir di tangan elite
tertentu. Belum lagi “deal-deal ”
di balik layar. Sektor kehidupan
politik kita didominasi segelintir
elite politisi pebisnis dan pebinis
politisi yang sibuk membesarkan
pundi partai, jaringan bisnis dan
mempertahankan kursi-kursi.
Apa dulu tidak ada oligarki?
Oligarki dulu jinak di bawah
kepenguasaan terpusat
Cendana. Kini jadi liar di
bawah sistem demokrasi
elektoral.
Di negara-negara yang pernah
mengalami transisi, demokrasi
yang dikendalikan oligarki bukan
tidak pernah terjadi. Umumnya
kekuatan oligarki terus mengalami
pelunakan karena kuatnya tekanan
publik, gerakan sosial, dan aktivisme
asosiasi-asosiasi warga-negara
yang aktif dan partisipatoris. Ini
yang seharusnya menjadi arah
baru demokrasi. Harapan masih
besar. Rak yat Indonesia telah
semakin kritis dan ambil bagian
dalam mengintervensi kebijakan
publik. Lihat saja berbagai feno­
mena resisten sosial petani mem­
pertahankan tanah, buruh semakin
besar mengerahkan massa untuk
upah lebih baik, dan anak-anak muda
kini bersuara lewat sarana media
sosial digital. Di titik ini, kita hanya
perlu menjahitnya, tak terkecuali
anggota-anggota parlemen yang
masih mendengar suara hati.*
Usman Hamid, Ketua Badan Pengurus
KontraS, pendiri Public Virtue Institute
(PVI) dan Change.org
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
35
PENGAWASAN
MORATORIUM HUTAN
LANGKAH AWAL LINDUNGI
HUTAN INDONESIA
Pemerintah Indonesia akhirnya memperpanjang kebijakan moratorium hutan hingga dua tahun ke depan
seiring diterbitkannya Instruksi Presiden No.6 tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
P
erpanjangan kebijakan
moratorium hutan,
merupakan salah satu
bentuk langkah pemerintah untuk
mencegah kerusakan hutan di
berbagai daerah. Kita akui bahwa
kerusakan hutan di Indonesia bukan
hanya terjadi karena deforestasi
tetapi juga oleh praktik pencurian
kayu.
Saat ini diperkirakan lebih dari
51 juta m 3 kayu bulat per tahun
dihasilkan dari kegiatan pencurian
kayu. Pencurian kayu di Indonesia
terjadi di berbagai lokasi hutan,
terutama di lokasi bekas areal
tebangan (logged-over area) Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) yang
sudah ter sedia jaringan jalan
angkut an kayu (logging road
network).
Potensi kayu komersial di lokasi
bekas tebangan HPH (diameter 30
cm up) diperkirakan rata-rata kurang
dari 40 m3 per hektar. Total kerugian
ekonomi akibat praktik pencurian
kayu di Indonesia diperkirakan oleh
36
PARLEMENTARIA
Kementerian Kehutanan mencapai
Rp. 30 triliun per tahun. Perkiraan
lainnya bahkan menyebutkan nilai
kerugiannya mencapai setara 4
milyar USD per tahun.
Selain itu, lahirnya moratorium
hutan melalui Instruksi Presiden
N o m o r 10 Ta h u n 2 011 j u g a
merupakan jawaban pemerintah
atas tuntutan berbagai pihak untuk
menurunkan emisi karbon hingga
26% pada tahun 2020 mendatang
sebagai upaya penyelamatan dunia
dari pemanasan global.
Inpres No.10 Tahun 2011 tentang
Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan
Alam Primer dan Lahan Gambut
yang dilampiri dengan Peta Indikatif
Penundaan Izin Baru (PIPIB) telah
mengidentifikasikan luas Lahan
Hutan Primer dan Lahan Gambut
seluas 45,51 Juta hektar yang
terdiri dari 41,02 Juta hektar Hutan
Primer dan 4,49 juta hektar Lahan
Gambut.
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
Moratorium hutan yang ditetapkan
pada 20 Mei 2011 telah berakhir
sejak 20 Mei 2013. Kemudian pada
tanggal 13 Mei 2013, Pemerintah
akhirnya memperpanjang kebijakan
moratorium hutan hingga dua tahun
ke depan seiring diterbitkannya
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun
2013 Penundaan Pemberian Izin
Baru dan Penyempurnaan Tata
Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan
Gambut.
“ M or atorium ini mer upakan
bentuk komitmen politik Indonesia
terhadap dunia bahwa kita harus
menjaga ekosistem dan lingkungan
dalam melestarikan hutan,”ujar
Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman
Subagyo kepada Parlementaria, di
DPR RI.
Menurutnya, kerusakan hutan juga
banyak terjadi karena banyaknya
tumpang tindih beberapa peraturan
perundang-undangan dan akibat
penerapan otonomi daerah yang
serampangan.
Terdapat beberapa UU yang
saling overlapping (tumpang tindih)
diantaranya UU Lingkungan Hidup
yang mengatur masalah hutan,
UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, UU No. 26
tahun 2007 tentang Tata Ruang,
UU No. 41 tahun 1999 Tentang
Kehutanan dan UU Agraria. “Konsekuensi penerapan otonomi
daerah bahwa masing–masing
daerah mempunyai kebijakan dan
kewenangan untuk menetapkan,
menentukan, mengelola yang
namanya sumber daya alam
termasuk kawasan hutan,” tam­
bahnya.
Dia menambahkan, UU tersebut
merupakan hasil produk awal
reformasi dimana sebagian diketok
secara terburu-buru sehingga banyak
muatan yang tidak diharapkan. “Ini
jelas sekali bahwa didalam konstitusi
negara kita itu, bahwa sumber
daya alam itu dikuasai negara dan
dikelola sebesar – besarnya untuk
kemakmuran rakyat,” ujarnya.
Terkait Hak Pengusahaan Hutan
(HPH),ujar Firman, harus memiliki
dampak positif bagi negara dan
memiliki dampak bagi ekosistem
sekitarnya. “ Semua harus ter­
integrasi, jadi kalau adanya HPH
hanya menguntungkan dari
aspek ekonominya saja, untuk
kepentingan pengusaha itu sendiri
sement ar a tidak memb er ikan
kontribusi anggaran untuk apa
kita per tahankan,”tambahnya.
Sementara bila memiliki manfaat
bagi masyarakat adat atau
masyarakat desa sekitar hutan
tentunya kita dukung.
Dia mengatakan, DPR prinsipnya
sepakat dengan kebijakan mora­
torium hutan selama masih ada
nilai positifnya terhadap pelestarian
ekosistem dan kawasan hutan
Indonesia. “Kita juga minta jangan
sampai mengganggu aspek
dalam masalah pembangunan
perekonomian karena didalam
UU No. 41 tahun 1999 tentang
kehutanan bahwa kehutanan dapat
dikelola secara multi fungsi yaitu
fungsi ekonomi, sosial dan ekologi,”
terangnya.
Dia mengingatkan, jangan sampai
mor atorium dilakukan karena
adanya desakan dari pihak asing
atau karena disepakatinya LOI
Indonesia-Norwegia. “Indonesia
merupakan NKRI yang berdaulat,
tidak bisa diintervensi oleh kebijakan
dari negara lain,” jelasnya.
Firman menegaskan, dirinya
menolak kesepakatan LOI IndonesiaNor wegia. Pasalnya, banyak
embel-embel dengan pemberian
uang sebesar 1 Miliar dollar bila
melakukan kesepakatan tersebut.
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
37
“Bagi saya tidak ada manfaatnya,
karena itu LOI harus disikapi sebagai
kerjasama biasa. Kalau memang
tidak bisa membawa azas manfaat
bagi masyarakat Indonesia buat
apa, apalagi bila mengintervensi
kebijakan negara lain,” ujarnya.
Dia menilai, pelaksanaan mora­
torium sudah berjalan selama
dua tahun, namun selama ini
pelaksanaannya belum mencapai
target yang diharapkan. “Perbaikan
manajemen dan t at a kelola
kehutanan, hingga tersusunnya satu
peta bersama yang memuat semua
izin peruntukan dan pengelolaan
at as k aw as a n h u t a n , h i n g g a
penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah sebagai bentuk perencanaan
pembangunan dari tingkat nasional
hingga lokal sampai saat ini masih
belum terwujud,” tambahnya.
DPR, lanjutnya, terus mengejar
ko m i t m e n p e m e r i nt a h u nt u k
segera membuat peta nasional
terkait tata ruang wilayah hutan.
“Peta nasionalkan sampai sekarang
b elum ada, karena kit a tidak
mempunyai peta dasar nasional kita
untuk menentukan kebijakan yang
dikaitan pemanfaatan kawasan
hutan,” ujarnya.
Firman menduga terkait peta
nasional kawasan hutan ini sengaja
dibikin grey area (wilayah abuabu) oleh pemerintah. “Karena
itu DPR telah mengundang empat
konsultan, namun ternyata jika
ditanya terkait detail peta kehutanan
secara etika mereka tidak boleh
menjelaskannya,” katanya.
Patut diketahui, pada tanggal 26
Mei 2010, Pemerintah Indonesia dan
Kerajaan Norwegia menandatangani
letter of intent (LOI) atau kesepakatan
untuk melakukan sesuatu terkait
Pengurangan Emisi Gas Carbon
Rumah Kaca dari Deforestrasi dan
Degradasi Hutan. Penandatanganan
dilakukan Menteri Luar Negeri
Indonesia Marty Natalegawa dan
Menteri Lingkungan Hidup Norwegia
Erik Solhein.
Penandatanganan perjanjian
itu disaksikan dua kepala
p emerint ahan, yaitu
Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono
dan Perdana M en ­
teri Norwegia
Jens Stoltenberg.
Penandatanganan
dilakukan di Gedung
G o v e r n m e nt Gu e s t
House di Oslo,
Norwegia
Dengan LOI tersebut, Indonesia
akan mendapatkan hibah 1 miliar
dollar A m er ik a S er ik at untuk
melakukan pengurangan emisi dari
deforestrasi dan degradasi hutan
(Reduction of Emmisions from
Deforestration and Degradation/
REDD+) di Indonesia.
Tata Ruang amburadul
Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(R T R W ) di In don esia s aat ini
masih tidak jelas, bahkan kerap
bertentangan dengan UU yang
ada. Selama berada di DPR, Firman
mengaku baru dua daerah yaitu
Gorontalo dan Sumbar yang sudah
disetujui RTRW Provinsi tersebut.
“Seringkali ketika kita sampaikan
pemerintah agar melakukan
harmonisasi terhadap UU yang
overlapping namun sampai
sejauh ini belum ada respon dari
pemerintah,” ujarnya.
Menurutnya, banyak persoalan
di Indonesia seperti misalnya saja
Kalimantan Tengah, memiliki kantor
Polda yang berada di kawasan
hutan, begitu juga di Kalimantan
Selatan, dimana Airportnya berada
dikawasan hutan.
Oleh karena itu, lanjut Firman,
selama rencana tata ruang itu
belum clear maka sulit memetakan
kawasan hutan. “ Karena kalau
semua itu masuk kawasan hutan
artinya tidak boleh di apa–apakan
kecuali diajukan melalui pemerintah,
ketika itu bersinggungan dengan
konser vasi hutan, maka hutan
l i n d u n g i t u h a r u s m e n d a p at
persetujuan DPR,” ujarnya.
Dia menilai rencana tata ruang
prinsipnya memiliki tujuan yang
bagus namun harus dibarengi
dengan pemetaan wilayah. “Kita
harus tahu bahwa wilayah mana
saja yang boleh dipakai dan harus
dilestarikan hutannya dan mana
yang di pakai untuk area lain,”
terangnya. (as/si)
38
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
PENGAWASAN
DPR menyambut baik adanya perubahan pelayanan kereta Ekonomi menjadi AC Ekonomi,
namun diharapkan perbaikan pelayanan itu tidak membebani masyarakat tetapi semata-mata
untuk perbaikan dunia perkeretaapian di Indonesia.
Seper ti kita ketahui, P T K AI
menargetkan seluruh kereta api
ekonomi yang tidak berpendingin
udara (AC), baik kereta api listrik
mau pun kereta api jarak jauh akan
segera diganti menjadi kereta api
AC. Bahkan, kebijakan tersebut
sudah dilaksanakan perlahan-lahan
sejak tahun lalu dan ditargetkan
selesai pada Juli 2013.
Tentuny a dengan p erbaikan
pelayanan itu, akan menaikkan
harga tiket kereta api
yang berlaku
saat ini. Hal
itulah,
yang
tidak
diinginkan oleh para wakil rakyat,
Ko misi V D P R int iny a s an gat
mendukung renc ana ter sebut
namun tanpa membebani rakyat
kecil.
Dia menambahkan, DPR ingin
adanya peningkatan layanan bagi PT
KAI, tetapi kalau ada kosekuensinya
perlu disubsidi untuk peralihan
ekonomi menjadi ekonomi non AC.
“Terobosan itu akan membantu
meningkatkan pelayanan PT KAI
kepada masyarakat namun harus
memikirkan para penumpang kereta
ekonomi yang tidak mampu,”ujar
Ketua Komisi V DPR Laurens Bahang
Dama.
S e m e nt ar a A n g g ot a Ko m i s i
V DPR Far y Djemi Francis dari
Gerindra mengatakan, PT KAI sudah
semakin membaik kinerjanya.
Karena itu, lanjutnya, kita semua
mengharapkan seluruh pelayanan
semakin meningkat.
Menurut L aurens, kebijakan
tersebut berpotensi menyingkirkan
para pengguna kereta api tidak
mampu. Oleh sebab itu, harus
dicari rumusan paling tepat agar
penumpang tidak mampu tersebut
tetap dapat berkendara dengan
menggunakan kereta api.
“Kereta api sekarang lebih baik
kinerjanya, kita tidak hanya bicara
gerbong tetapi bicara keseluruhan
p elay anan di Per keret aapian,
yang penting adanya PSO bagi
Perkeretaapian,” ujarnya.
Menurutnya, DPR sepakat
perubahan ekonomi menjadi ac
ekonomi jangan sampai membebani
masyarakat kecil karena itu perlu
adanya subsidi terkait perubahan
harga tersebut. “ Memang ada
selisih margin yang dihitung itu
nanti yang akan kita berikan Public
Service Obligation (PSO) bagi PT
KAI,”jelasnya.
Dia menambahkan, pemerintah
har us m e mb e r ik an p e r hat ian
khusus bagi kereta api, karena itu
kita sedang membenahi sistem
penganggaran bagi Kereta api.
“Memang kondisinya jomplang
Anggota Komisi V DPR Fary
Djemi Francis.
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
39
Banyak penumpang KA. Ekonomi yang mengabaikan keselamatannya.
dibandingkan Direktorat lainnya,
seperti itu kondisinya,” jelas anggota
Banggar dari Komisi V DPR ini
memperbaiki rel yang ada menjadi
double track, dimana seharusnya
dibangun sejak dulu,” katanya.
Terkait p emotongan alokasi
anggaran, Lanjut Fary, Pemotongan
diharapkan tidak mengganggu
outcome dari Kementerian yang
ada. “Jangan sampai pemotongan
anggaran itu beresiko khususnya
anggaran yang sudah berjalan,”
tambahnya.
Selain itu, dirinya mendukung
pembenahan di berbagai stasiun.
Karena melalui cara ini diharapkan
konsumen kereta api semakin
ny aman dalam menggunakan
angkutan jasa kereta api. “Selain
itu adanya penataan pedagang
juga harus dilakukan dan jangan
sampai merugikan kedua belah
pihak, karena itu harus dicarikan
jalan keluar yang menguntungkan,”
paparnya.
Dirinya mengakui saat ini
perhatian pemerintah bagi PT KAI
masih minim padahal, DPR terus
mendorong peningkatan anggaran
bagi Kereta Api. “Kita sudah terus
mendorong-dorong anggaran ini
bahkan sekarang sudah sampai Rp.
9.3 Triliun,” jelasnya.
Hal senada disampaikan oleh
Anggota DPR Yoseph Umar Hadi
(PDIP), dia mengatakan, kinerja PT
KAI semakin meningkat di berbagai
sektor. Karena itu untuk mendorong
ini perlu adanya perbaikan dari
sisi pelayanan. “PT KAI juga harus
40
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
Menurut Yoseph, keret a api
ekonomi AC sangat tergantung dari
listrik dan BBM, pasalnya, saat ini PT
KAI selalu membeli listrik dengan
tarif industri. “Karena itu, hitunghitungan kalau ekonomi perlu
disubsidi,” tambahnya.
Sarana dan prasarana, lanjutnya,
harus dirombak seperti misaknya
saja Gerbong kereta yang tidak
layak jalan wajib dikandangkan.
“Memang dahulu kondisinya sangat
memprihatinkan bahkan anggaran
untuk transportasi darat dulu hanya
Rp. 300 Miliar namun sekarang
mencapai Triliunan,” jelasnya.
B e r d as ar k an t r e n an g k u t an
KRL terdapat tren peningkatan
perubahan penumpang. Data mereka
menunjukkan, penumpang KRL non
AC semakin menurun tiap tahunnya.
Pada 2009, jumlah penumpang KRL
non AC berjumlah 86,6 juta. Pada
2010 angka turun menjadi 69,3 juta.
Pada 2011 kembali turun menjadi
56 juta dan pada 2012 menjadi 46,5
juta. Sebaliknya, jumlah penumpang
KRL AC malah semakin meningkat.
Pada 2009, jumlah penumpang
KRL AC berjumlah 43,9 juta, pada
2010 meningkat menjadi 54,5 juta,
pada 2011 kembali naik jadi 65 juta,
dan pada 2012 kembali meningkat
menjadi 87,5 juta penumpang.
Tren penumpang KRL tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat
semakin menyenangi penggunaan
moda transportasi KRL AC dari pada
KRL non AC. (si)
ANGGARAN
APBN 2014 Diharapkan
Semakin Perkokoh Stabilitas
Ekonomi Nasional
Kebijakan APBN 2014 diharapkan bisa memberi
ruang gerak kebijakan pagu pemerintahan baru
yang akan terpilih pada tahun depan. Hal ini untuk
mengimplementasikan visi, misi dan strategi
dalam membangun bangsa. Sehingga, APBN
tahun 2014 nanti, dapat semakin memperkokoh
stabilitas perekonomian nasional yang kondusif
bagi pertumbuhan dan pemerataan keadilan,
penciptaan lapangan kerja, dan menopang
pembangunan berkesinambungan.
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
41
“Sebagai instrumen kebijakan
ekonomi nasional, APBN 2014
nanti harus lebih berkualitas, dan
memberikan manfaat secara nyata
dan langsung terhadap peningkatan
kesejahteraan rakyat,” pesan Ketua
DPR Mar zuki Alie sehubungan
pembicaraan pendahuluan RAPBN
2014.
Dalam Rapat Paripurna Kamis, 20
Mei 2013, Wakil Ketua DPR Sohibul
Iman menyatakan bahwa Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono secara
resmi telah mengajukan pokokpokok pembicaraan RAPBN 2014.
Selanjutnya pada Jumat, 17 Mei DPR
menyetujui secara aklamasi untuk
meneruskan surat tersebut untuk
diproses oleh Badan Musyawarah
DPR.
Ketika menyampaikan pokokpokok pembicaraan RAPBN 2014,
Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional (PPN)/Kepala Bappenas
Armida Alisjahbana menjelaskan
diantaranya terkait dengan kerangka
ekonomi makro dan pokok-pokok
kebijakan fiskal tahun 2014.
“Sektor industri akan bergerak
untuk memenuhi permintaan dunia.
Disamping itu, permintaan domestik
juga dip erkir akan meningkat,
didukung oleh meningkatnya da­
ya beli masyarakat dan adanya
pe­n yelenggaraan pemilu,” kata
Armida.
membatasi daya dukung APBN untuk
mendanai kegiatan infrastruktur
yang sangat dibutuhkan dalam
mendorong kapasitas produksi dan
pertumbuhan ekonomi ke depan.
“Dengan memperhatikan beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi
terjadinya inflasi dan kebijakan
fiskal, moneter dan sektor riil dalam
pengendalian inflasi, maka tahun
2014 inflasi diperkirakan bergerak
di sekitar rentang sasaran 4,5 plus
minus 1 persen,” jelas Armida.
Ter k ait d en gan nilai tuk ar
rupiah terhadap dolar AS di tahun
2014, Armida menilai masih akan
dipengaruhi oleh bauran beberapa
faktor yang berasal dari dalam dan
luar negeri. Peningkatan impor,
khususnya impor bahan baku,
barang modal serta komoditas
energi dalam rangka mendukung
aktifitas ekonomi dan investasi
nasional merupakan salah satu
faktor pendorong depresiasi nilai
tukar.
Di samping itu, risiko pelemahan
juga akan dipengaruhi skenario
p ilih an ke b ijak an h ar ga B B M
Armida memperkirakan, perekono­
mi­an nasional 2014 mampu tum­
buh lebih baik dibanding 2013.
Per­eko­no­mian global diperkirakan
akan kembali membaik dan volume
perdagangan dunia juga meningkat.
Meningkatkanya permintaan dunia
juga akan mempengaruhi aktifitas
perekonomian nasional, terutama
dari sisi ekspor-impor.
Namun, Armida menyatakan salah
satu permasalahan yang dihadapi
pemerintah saat ini adalah beban
subsidi energi yang semakin tinggi,
seiring peningkatan konsumsi BBM
oleh masyarakat. Peningkatan
subsidi B B M m enjadi sumb er
tekanan bagi ruang gerak fiskal, dan
42
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
dalam negeri yang juga akan
mempengaruhi besaran BBM untuk
memenuhi kebutuhan BBM dalam
negeri. Sehingga, berdasarkan
perkembangan beberapa faktor
tersebut, pergerakan rata-rata
nilai tukar rupiah terhadap dolar
AS tahun 2014 diperkirakan akan
bergerak relatif stabil pada kisaran
Rp 9.600-9.800 per dolar AS.
Pada tahun 2014, Pemerintah
memperkirakan akan ada
peningkatan lifting, baik dari minyak
maupun gas bumi, sehingga lifting
minyak dan gas bumi diperkirakan
mencapai sekitar 2.140-2.255 ribu
barel atau setara minyak per hari di
tahun 2014, yang terdiri dari lifting
minyak bumi sekitar 900-930 ribu
barel perhari dan gas bumi sekitar
1.240-1.325 ribu barel setara minyak
perhari.
Realistis akan Lifting Minyak
Pada rapat paripurna Kamis 23 Mei
2013, fraksi-fraksi menyampaikan
pandangan at as keterangan
pemerintah.
Dalam pandangannya, F- PKB
yakin target pertumbuhan ekonomi
yang berada pada angka 6,4-6,9%
sangat mungkin dicapai. Hal ini
dengan didukung oleh tingginya
laju konsumsi rumah tangga dan
investasi, serta membaiknya per­
ekonomian global.
“Berikutnya terkait dengan kebi­
jakan belanja negara di tahun 2014
yang diperkirakan sebesar 16-19
persen dari Produk Domestik Bruto
(PDB) harus diarahkan pada prioritas
pembangunan yang mendorong
kepada peningkatan kesejahteraan
rakyat,” papar Chusnunia.
Sementara itu, F-PG meminta
pemerintah untuk lebih realistis
terkait dengan target lifting minyak
di tahun 2014 untuk menjaga
kredibilitas APBN 2014. APBN tahun
depan menargetkan lifting minyak
sebesar 900 ribu barrel per hari, tapi
realitasnya hanya sampai 840 ribu
barrel per hari. Melesatnya target
lifting dan meningkatnya harga
minyak dunia, sehingga memberi
tekanan pada APBN 2013.
Peningkatkan belanja modal
dan invest asi, terut ama pada
sek ­t or per tanian dan industri
p engolahan nasional menjadi
fokus F-PKS. Dalam paparannya,
ANGGARAN
Sebagai pemberi pandangan
yang terakhir, F-PPP mengingatkan
struktur anggaran yang minim akan
sumber pendapatan negara, dan
makin beratnya hutang, sehingga
menyebabkan Indonesia terjebak
semakin ke dalam anggaran defisit.
F-PPP menyarankan agar pemerintah
berbenah dan menyusun anggaran
untuk masa mendatang.
Optimis Terpenuhi
Eck y Awal Muharram mewakili
F-PKS meminta pemerintah untuk
lebih serius dalam memperbaiki
kinerja konsumsi pemerintah,
meningkatkan daya saing dan
investasi, membangun industri
nasional, memperbaiki kinerja
sektor tradable, dan memperbaiki
kualitas pertumbuhan.
F-PDIP menyoroti ketimpangan
ekonomi yang terjadi di masyarakat,
sehingga memunculkan rasa
ketidakadilan. Sementara itu, F-PD
berharap mengenai kebijakan
belanja pemerintah pada tahun
2014 harus mampu menstimulasi
p e r e ko n o m i a n d e n g a n t e t a p
mengendalikan defisit yang aman
dan kesinambungan fiskal.
cukup tinggi, serta subsidi yang
kurang tepat, yang dikhawatirkan
berkurangnya kemampuan fiskal
untuk memberikan dampak stimulus
yang lebih kuat pada perekonomian
nasional.
Salah satu hal yang mengemuka
terkait dengan lifting minyak, fraksifraksi DPR meminta pemerintah
untuk lebih realistis terkait dengan
target lif ting minyak di tahun
2014 untuk menjaga kredibilitas
APBN 2014. APBN tahun depan
menargetkan lifting minyak sebesar
900 ribu barel/ hari, tapi realitasnya
hanya sampai 840 ribu barel/ hari.
Melesatnya t arget lif ting dan
meningkatnya harga minyak dunia,
sehingga memberi tekanan pada
APBN 2013.
Terkait dengan ekspor bahan men­
tah, menjadi sorotan F-PAN. F-PAN
meminta agar sebisa mungkin bahan
mentah diolah dahulu di dalam
negeri, termasuk pengolahan bahan
tambang, dan sebesar-besarnya
menggunakan sumber daya lokal.
M enanggapi hal itu, Chatib
menyatakan bahwa target asumsi
lifting migas yang diajukan oleh
pemerintah merupakan kebijakan
integral untuk menjaga ketahanan
energi nasional dan pengelolaan
sumber daya alam, dalam rangka
Sedangkan, F-Gerindra menekan­
kan pada pemberian subsidi, baik
energi maupun non energi kepada
masyarakat merupakan tugas negara,
sehingga kurang tepat jika dijadikan
alat komoditas politik. F-Gerindra
juga menyarankan agar pemerintah
membangun infrastruktur distribusi
gas karena ketersediaan gas yang
cukup melimpah, sehingga bisa
segera dilaksanakan konversi dari
penggunaan premium ke gas.
Dalam paparannya, F-Hanura
meng­i ngatkan pemerintah agar
selalu waspada terhadap tekanan
yang timbul dari belanja APBN yang
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
43
mendukung pertumbuhan pereko­
no­mian nasional. Penentuan asumsi
tersebut telah memperhitungkan
tingkat produksi saat ini, rencana
p engembangan lapangan dan
potensi produksi lapangan baru
untuk memacu kinerja Kontraktor
Kontrak Kerja Sama (KKKS).
“Realisasi lifting minyak sampai
dengan akhir April 2013 memang
baru mencapai 832 ribu barel/
hari. Sebagai sumber daya alam
yang tidak terbarukan, produksi
minyak Indonesia telah memasuki
periode penurunan masa produksi.
Laju penurunan produksi minyak
diharapkan dapat tergantikan
oleh produksi lapangan baru, dan
diperkirakan bisa mencapai produksi
satu juta barel/ hari di tahun 2015.
Sehingga, pemerintah optimis
produksi minyak mentah siap jual
Indonesia dapat mencapai 900-930
ribu barel/ hari di tahun 2014,” papar
Chatib.
Selain itu, pemerintah berjanji
44
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
akan terus melakukan langkahlangkah menyediakan stimulus
fiskal secara terukur dengan tetap
menjaga kesinambungan fiskal
selama tahun 2014 mendatang.
“Kebijakan yang akan diambil
pemerintah, antara lain melakukan
penguatan daya tahan dan flek­
sibilitas APBN, agar responsif dan
antisipatif dalam menghadapi
ketidakpastian perekonomian global.
Penguatan perekonomian domestik,
dan peningkatan efisiensi serta
kehati-hatian dalam pengelolaan
APBN,” papar Chatib.
Tema RKP tahun 2014, tambah
Chatib, adalah memperkuat
pertumbuhan ekonomi yang inklusif
dan berkualitas, serta berkelanjutan
melalui pelaksanaan kebijakan fiskal
yang sehat dan efektif.
“Substansi dari tema RKP tersebut
adalah memberikan penekanan
perlunya mendorong pengeloaan
fiskal yang sehat dan efektif dalam
rangka mendukung terwujudnya
pertumbuhan ekonomi yang inklusif,
berkualitas dan berkelanjutan,”
yakin mantan Kepala BKPM ini. (sf)
LEGISLASI
DPD Dinilai Berlebihan
Terjemahkan Keputusan MK
Pada 27 Maret 2013 lalu, dalam sidang uji
materi Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan
permohonan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
terhadap UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) serta UU Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU P3). Khususnya, pasalpasal soal lembaga yang berwenang mengajukan
sekaligus membahas suatu Rancangan UndangUndang (RUU).
L
ima kewenangan yang digu­
gat DPD, yaitu : DPD diberi­
kan kewenang­a n dalam
mengajukan suatu RUU, DPD ikut
dalam pembahasan suatu RUU, RUU
Usul DPD tetap menjadi RUU Usul
DPD walaupun telah dibahas di Ba­
dan Legislasi DPR RI, dan DPD ikut
memberikan keputus­an, serta ket­
erlibatan DPD dalam penyusunan
Program Legislasi Nasional (Proleg­
nas).
Dalam amar putusannya, MK
meng­a ng­g ap UU MD3 dan UU
P3 mere­d uksi atau mengurangi
kewenangan DPD soal kewenangan
mengajukan RUU sebagaimana
yang ditentukan UUD 1945. Dengan
demikian, dua undang-undang itu
harus dinyatakan inkonstitusional.
’’Mengabulkan per­mohonan untuk
sebagian,’’ kata Ketua MK, Mahfud
M.D. saat membacakan putusan di
gedung MK.
Dalil kewenangan konstitusional
DPD tent ang p engajuan RUU,
menurut MK, kata ”dapat” dalam
pasal 22D ayat (1) UUD 1945
merupakan pilihan subjektif DPD
”untuk mengajukan” atau ”tidak
mengajukan” RUU yang berkaitan
d e n g an oto n o mi d a e r ah d an
hubungan pusat-daerah. Selain itu,
soal pemekaran daerah, pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber
daya ekonomi lainnya serta yang
berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah sesuai
dengan pilihan dan kepentingan
DPD.
”Mahkamah menilai menempatkan
RUU dari DPD sebagai RUU usul
D P D, ke mu dian dib ahas o l e h
Badan Legislasi DPR dan menjadi
RUU dari DPR adalah ketentuan
yang mereduksi kewenangan DPD
untuk mengajukan RUU yang telah
ditentukan dalam pasal 22D ayat (1)
UUD 1945,” terang Akil.
Atas putusan MK itu, kewenangan
DPD untuk membahas RUU telah
diatur dengan tegas dalam pasal
22D ayat (2) UUD 1945. Penggunaan
frasa ”ikut membahas” dalam pasal
22D ayat (2) UUD 1945 disebabkan
pasal 20 ayat (2) UUD 1945 telah
menentukan secara tegas bahwa
setiap RUU dibahas oleh DPR
dan presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.
Hakim MK M. Akil Mochtar meng­
ata­k an bahwa kata ”dapat ” bisa
dimaknai juga sebagai hak dan
kewenangan sehingga sama dengan
hak dan kewenangan konstitusional
presiden dalam pasal 5 ayat (1)
UUD 1945. Dengan demikian, DPD
mempunyai posisi dan kedudukan
yang sama dengan DPR dan presiden
d a l a m h a l m e n g a j u k a n R U U.
Menurut Akil, pembahasan
RUU harus melibatkan DPD sejak
dimulai di tingkat I oleh komisi
atau panitia khusus DPR. Yaitu,
sejak menyampaikan pengantar
musyawarah, mengajukan, dan
membahas daf tar inventaris
masalah (DIM) serta menyampaikan
pendapat mini sebagai tahap akhir
dalam pembahasan di tingkat I.
Selanjutnya, DPD menyampaikan
pendapat pada pembahasan
tingkat II dalam rapat paripurna
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
45
LEGISLASI
DPR sampai dengan sebelum tahap
persetujuan. ’’DPD juga ikut serta
dalam penyusunan prolegnas,’’ jelas
Akil.
Secara terpisah, Ketua DPD Irman
Gusman meny ambut gembir a
putus an MK y ang menambah
taji DPD. Menurut dia, putusan
MK itu telah menorehkan sejarah
baru dalam sistem keparlemenan
Indonesia. Saat ini, hanya ketok
palu terhadap UU yang belum
dimiliki DPD. Dia menjelaskan, jika sebelumnya
RUU yang diajukan DPD kepada
DPR masuk ke badan legislasi dan
berganti baju menjadi milik DPR, kini
karena DPD ikut pembahasan hingga
tahap akhir, RUU yang diajukan DPD
tersebut tetap menjadi RUU milik
DPD.
Anggota Badan Legislasi DPR
RI (Baleg), Azhar Romli, menilai
bahwa DPD sudah berlebihan
menterjemahkan Keputusan MK.
“Kami mendapat surat dari DPD
y an g isiny a m e nte r j e m ahk an
tentang posisinya setelah Keputusan
MK. Boleh kita katakan disini bahwa
DPD sudah terlalu berlebihan,
sudah jauh melangkah,” kata Azhar
Romli saat Rapat Pleno Baleg yang
membahas Tindak Lanjut Keputusan
MK, di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu
(11/6)
Azhar mengingatkan bahwa yang
menjadi landasan kita adalah UUD
1945, dimana disebutkan bahwa
UU itu dibentuk oleh DPR dan
dibahas bersama pemerintah, serta
mendapat persetujuan bersama, itu
kalimat hierarkinya.
Sementara kita melihat Keputus­
an MK tentang masalah ini, bahwa
intinya adalah DPD itu boleh ikut
membahas tapi tidak menyetujui.
Dijelaskan Azhar Romli, bahwa
pada saat pembahasan UU MD3
dulu, p er mint aan D P D su dah
direspon DPR, yaitu DPD boleh ikut
mengajukan suatu RUU.
46
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
Dan prakteknya sendiri sudah
berjalan, seperti di Komisi II DPR
ketika membahas UU Otonomi
Daerah dan terutama UU yang lainlain di Komisi V yaitu UU Perkapalan
dan Pelabuhan, DPD kita undang
dan memberikan masukan dan
sudah ikut membahas. Apalagi
apabila dalam satu UU itu sudah
ada pendapat mini akhir, DPD
sudah menyampaikan pendapat
bahkan sudah masuk seolah-seolah
mengambil keputusan.
“Kalau paripurna itu sebenarnya
m engambil keputus an se c ar a
komprehensif, jadi apalagi yang mau
dituntut, DPD hadir memberikan
keputus an didalam paripur na
ini sudah jauh menyimpang dari
semangat UUD 1945,” jelas politisi
Partai Golkar ini.
Azhar mengingatkan kehadiran
lembaga DPD historinya adalah
dalam rangka mewakili kelompok
dan golongan yang dulu ada pada
MPR, dimana diambil dari tiap daerah
sama. Tidak bisa DPD disamakan
dengan DPR.
Seharusnya DPD lebih kepada
persoalan daerah yang diwakilinya,
tapi ini sudah lebih jauh kalau kita
mau berdebat hal ini.
Isi surat DPD, antara lain pem­
bahasan suatu RUU dibahas
secara Tripar ti dimana seolaholah keterwakilan DPR itu harus
mewakili lembaganya bukan
melalui kepanjangan tangan alat
kelengkapan dewan.
Kemudian, D PD ikuti dalam
pengambilan keputusan di Rapat
P ar ip ur n a D P R R I , s e r t a D P D
dapat menganulir UU yang sudah
d i p u t u s k a n D P R m e ny a n g k u t
wewenang DPD jika DPD tidak
dilibatkan dalam pembahasannya.
MK Melanggar Konstitusi
Sementara Anggota Baleg
dari F-PKS, Bukhori menyatakan
MK dalam perspek tif sedikit
keblabasan. Bukhori menjelaskan,
meskipun MK itu diamanati oleh
UUD untuk mengawal terhadap
UU, yang menjadi persoalannya
adalah bagaimana menjaga tingkat
subyektivitas daripada para hakim
MK itu sendiri.
Dijelaskan Bukhori, dulu pada
saat merumuskan satu perubahan
terhadap UU MK, pada waktu itu ada
beberapa fraksi mengusulkan perlu
adanya satu kewenangan yang jelas
dari MK. Pada saat itu, DPR ingin
memposisikannya, karena hakim
konstitusi yang berjumlah sembilan
orang itu baik secara kelembagaan
maupun secara kuantifikasi tentunya
tidak akan sama.
“Ternyata tingkat subyektivitas para
hakim itu tidak mampu dirumuskan.
Waktu itu kita coba rumuskan dalam
bentuk putusan -putusan yang
terbatas, artinya hakim tidak boleh
melampaui terhadap permintaan
apa yang dilakukan pemohon dalam
konteks yudicial review tetapi itupun
akhirnya kemudian dibatalkan oleh
MK itu sendiri”, jelas Bukhori.
Sehingga, kata Bukhori, yang
terjadi saat ini adalah salah satu
akibatnya. Bukhori ingat betul
bagaimana Hakim MK, Hamdan
Zoelva memberikan penjelasan pada
saat rapat konsultasi dengan MK
beberapa hari lalu. Dimana Hamdan
membuka sedikit tabir, dimana
menurut Bukhori MK menggunakan
logika yang dipakainya adalah
meng-equalkan atau menyamakan
antara DPR dengan DPD.
Padahal kita semua tahu bahwa
lembaga MK mestinya adalah
negatif legislator, sedangkan di DPR
adalah positif legislator. Artinya DPR
yang membentuk UU, dan MK yang
mencoret UU yang bertentangan,
papar Bukhori. “Mestinya seperti
itu. Tidak kemudian mencoret
lalu membuat. Ini kadangkadang melakukan dua hal yang
bermasalah,” ujarnya.
Jadi sekali dan dirinya ingat
betul bahwa memang frame yang
dipakai MK dalam memutuskan uji
materi UU MD3 itu adalah mengequalkan atau menyamakan, karena
suasana menstarakan antara DPD
dengan DPR jika harus melalui
mekanisme amandmen UU itu
tidak memungkinkan. Satu-satunya
melalui MK itulah.
“Oleh karena itu, saya sepakat
dengan Ketua B ale g, bahwa
meskipun itu putusannya putusan
MK maka tentunya kita semua harus
tunduk pada UUD 1945. Jadi kalau
putusan-putusan yang berakibat
bertentangan dengan UUD, tidak
boleh diimplementasikan,” tegas
Bukhori.
Oleh karena itu, dirinya ingin
bertanya, apa konsekuensi ketika
putusan-putusan MK itu tidak
segera DPR lakukan revisi terhadap
UU terkait?.
J aw ab anny a a d al ah ket ik a
keputusan MK itu tidak segera
dilakukan satu perubahan terhadap
UU terkait itu, maka keputusan
itu belum bisa dijalankan, tegas
Bukhori.
Ditegaskan Bukhori, Keputusan MK
tidak bisa bersifat eksekusiable, tidak
bisa dieksekusi. “Dia merupakan
suatu barang yang sebenarnya masih
ada di langit, untuk bisa sampai
bumi ya harus kemudian dituangkan
diformulasikan ke dalam RUU ini
menurut aliran pembentukan UU
kita,” terangnya.
Oleh karena itu, dirinya meman­
dang, DPR tidak serta merta dengan
adanya keputusan itu seperti orang
yang kehilangan arah, semua RUU
kemudian DPR ubah. Menurutnya
DPR tidak perlu tergesa-gesa, tetap
saja harus dimasukan kedalam
mekanisme yang ada selama ini
yaitu melalui mekanisme program
legislasi nasional.
“Apakah nanti di awal 2014 nanti
kita akan melakukan perubahan
prolegnas atau kemudian sesegera
mungkin lalu kita harus melakukan
perubahan terhadap prolegnas?
Saya berpandangan itu belum
menjadi suatu hajat yang sangat
mendesak apalagi masih ada hajathajat yang lain misalnya yang harus
diselesaikan dan lebih mendesak”,
imbuhnya.
Oleh karena itu yang perlu disele­
saikan, menurutny adalah RUU
yang ada didalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) saja, seperti
RUU MD3 yang memang sedang
dibahas Baleg. Adapun RUU yang
lain atau UU yang lain, menurutnya
tidak kemudiakan digesa-gesakan
karena situasinya sendiri tidak
kondusif, apalagi misalnya putusan
MK itu didalam kesimpulan tidak
ter tulis antara konsultasi DPR
dengan MK.
“Pada akhirnya pun ketua MK
menyatakan “silakan diatur di DPR”.
Ar tinya sebenarnya serangan serangan yang dilakukan dari
pimpinan fraksi cukup membuat MK
agak lumayan pula, putusan yang
dianggap melanggar konstitusi,”
tandasnya.
Baleg Diminta Tegas Terhadap
Usulan Yang Bukan Bidang DPD
Sedangkan Irmadi Lubis, meminta
Baleg ersikap tegas terhadap usulanusulan yang memang bukan bidang
Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Artinya dalam hal ini Pimpinan
Baleg harus tegas menyikapinya,
tidak boleh ada toleransi.
“Karena pada masa lalu pernah
sedikit, karena rasa toleransi DPD
mengajukan RUU Protokol dan
Keuangan Pejabat Negara. Kita harus
tegas, yang mana bidang yang telah
ditentukan oleh konstitusi,” kata
politisi F-PDIP DPR RI ini.
Konstitusi sendiri hanya mem­
berikan tiga wewenang saja untuk
DPD, y aitu ikut memb erikan
pertimbangan APBN, ikut membahas
UU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, perimbangan keuangan
daerah, dan sumber daya alam.
Dan ketiga, adalah hal yang sama
sekali tidak dilakukan DPD, yaitu
mengawasi pelaksanaan APBN di
daerah, papar Irmadi.
“Waktu kita melakukan aman­
demen dulu, itulah fungsi itulah
yang paling penting. Mereka ada di
daerah bukan di Jakarta, itu yang
tidak mereka lakukan. Karena saya
ikut pada saat amandemen itu,”
jelasnya.
Irmadi memaklumi bahwa Keputus­
an MK sudah final. Ikut membahas
dalam pembahasan tingkat pertama
dalam pembentukan UU, ok DPD
ikut. Tapi pada saat pengambilan
keputusan, DPD tidak ikut.
Pembahasan tingkat dua, me­nu­­
r­ut­­nya, DPD boleh ikut dan dalam
sidang paripurna DPR pun demikian,
tapi untuk mengambil keputusan
DPD tidak berhak.
“ Selama ini UU hasil Inisiatif DPD
tidak diakui sebagai UU Usul DPD,
usulan DPD menjadi lebur menjadi
usul DPR. Setelah keputusan MK, UU
Usulan DPD menjadi tetap RUU Usul
Inisiatif DPD,” terang Irmadi.
Tidak Untuk Basa Basi.
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
47
LEGISLASI
digariskan oleh konstitusi,
saya kira DPD juga tidak
mau melakukan itu. Artinya
perjuangan DPD juga bukan
perjuangan yang membabi
buta,” tukasnya.
Berbeda dengan Anggota Baleg
lainnya, Hendrawan Supratikno,
menyatakan keputusan MK
sebetulnya, spiritnya searah
dan sejalan dengan apa yang
berkembang dalam pembahasan
Amandemen UU MD3 di Baleg.
“Jadi dalam rapat-rapat Baleg
itu, kami juga menyampaikan pan­
dangan agar peran DPD tidak hanya
peran yang sifatnya ornamental,
marjinalis, atau peran pinggiran
yang menimbulkan kesan dan juga
konsekuensi seakan -akan DPD
sekedar hanya pajangan. Pelibatan
DPD hanya bentuk basa-basi, kepurapuraan hubungan antar lembaga.
Tidak seperti itu”, kata Hendrawan
kepada Parlementaria.
Menurutnya, pada saat menyam­
paikan pandangan di Baleg, Fraksi
PDI Perjuangan dan Baleg secara
umum bersedia untuk memberi
porsi peran yang lebih proporsional
untuk DPD. Sehingga, kata dia,
keputusan MK sejalan dengan spirit
pembahasan di Baleg.
Tapi, kata Hendrawan, ketika spirit
diterjemahkan menjadi normanorma yang mengikat harus betulbetul dicermati agar peran DPD
betul-betul proporsional sesuai
dengan struktur dan pembagian
peran kelembagaan antar lembaga
negara.
“Saya kira DPD juga tidak me­
nun­t ut melebihi dari apa yang
48
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
Dirinya merasa senang,
jika ada teman-teman dari
DPD yang ingin membahas
lebih serius suatu UndangUndang, apalagi DPR
nantinya dibantu dengan
suntikan pemikiranpemikiran yang bagus dari
DPD. Merupakan suatu
komp l es t asi ter s en dir i,
kerajinan orang DPD dan
kerajinan orang DPR bisa diukur,
mana yang lebih rajin.
“Jadi keputusan MK terhadap
gugatan DPD , sejalan, karena
kami ingin jangan ada kesan dan
konsekuensi DPD hanya dilibatkan
untuk basa-basi kelembagaan saja”,
ujarnya.
Ia menyatakan dalam pembahasan
suatu Undang- Undang di DPR,
menampung masukan-masukan dari
berbagai pihak, teknis keterlibatan
DPD sendiri akan dibicarakan secara
proporsional dan lebih spesifik oleh
Baleg.
Tapi masukan DPD dalam pem­
bahasan suatu Undang-Undang,
kata Hendrawan, tidak sama seperti
masukan dari elemen masyarakat.
DPD tidak bisa disamakan dengan
masyarakat. DPD mewakili arus
besar kepentingan yang harus
ditampung juga.
“Tapi saya kira nanti kita akan
mem­b uat suatu langkah at au
kesepakatan, dan konsekuensi
keputusan MK akan dijabarkan dalam
peraturan bersama,” terangnya.
Hendrawan mengakui, memang
muncul wacana di Baleg, bahwa
nanti dalam tingkat Panitia Kerja
ada satu kelompok teman-teman
dari anggota DPD. Tapi sekali lagi,
pembicaraan yang lebih spesifik
akan ditindak lanjuti. Karena
menurutnya juga jangan sampai
pemberian peran itu menabrak
peran DPR, bahwa kewenangan
membentuk Undang-Undang itu
ada di DPR.
D a l a m U U D 19 4 5 s e n d i r i ,
m e n u r u t n y a d i n y at a k a n D P D
berwenang membahas. “ Tetapi
memutuskan dengan membahas
itukan ada bedanya. Membahas
itu artinya pada level perdebatan,
argumentasi, pada level untuk
mengusulkan pasal dan seterusnya,
tetapi keputusan disitu sudah jelas
sekali adalah DPR,” tegasnya.
H e n d r a w a n s e t u ­j u , b a h w a
dalam pembahasan posisi DPD
setara dengan DPR dan Presiden,
seperti keputusan MK, bahwa
DPD memiliki kesetaraan dengan
pemerintah dan DPR dalam hal
pembahasan UU. Tetapi konstitusi
juga menyatakan dengan tegas
bahwa hak membentuk UU hanya
pada DPR dan Presiden.
Kalau MK membuat rancu antara
membahas dengan memutuskan,
itu inkonstitusional, tapi dirinya
yakin MK sudah melakukan
deleberasi, membuat pertimbanganp er timbangan y ang sek s ama.
Sembilan hakim di MK menjadi
pengawal konstitusi. Dia tidak yakin
hakim di MK merancukan anatar hak
membahas dan hak memutuskan.
“Mengajukan dan Membahas,
it ’s ok, nanti akan dibicarakan.
Pembahasan kan penting sekali, hasil
akhir adalah produk pembahasan,
keputusan produk dari pembahasan,
kalau sudah terlibat dalam
pembahasan kan sebenarnya sudah
sangat mempengaruhi produk akhir
seperti apa yang diinginkan”, papar
Anggota Komisi VI DPR RI ini.
“ Te t a p i ko n s t i t u s i m e m a n g
menegaskan, bahwa kewenangan
untuk memutuskan di DPR. Seluruh
fraksi saya rasa setuju, mereka tidak
akan ada yang menentang hasil
keputusan MK. Tidak perlu ada
kekhawatiran DPR sedang dikebiri
atau dilucuti kewenangannya tidak
seperti itu,” tambahnya lagi. (sc)
LEGISLASI
Anggota Komisi
II DPR Gamari
Sutrisno.
DPR Minta Presiden
Segera Terbitkan Ampres
RUU Pertanahan
DPR meminta agar pemerintah segera menerbitkan Amanat Presiden (Ampres)
yang menugaskan menteri sebagai wakil pemerintah untuk membahas Rancangan
Undang-Undang (RUU) Pertanahan di DPR. Sebab, DPR mentargetkan RUU
Pertanahan bisa diselesaikan pada masa sidang tahun ini.
“R
UU Pertanahan sudah dikirim
ke Presiden. DPR berharap
Presiden segera kirim surat ke
DPR menunjuk menterinya untuk segera
membahas RUU ini,” kata anggota Komisi II
DPR Gamari Sutrisno kepada Parlementaria,
baru-baru ini di Gedung DPR, Jakarta.
Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) itu menilai jika nantinya ampres
sudah keluar, menurut dia RUU Pertanahan
cukup dibahas di tingkat komisi dalam
bentuk Panitia Kerja (Panja). “Saya dengar
ini (RUU Pertanahan-red) mau dipansuskan.
Saya pikir cukup di bahas di Komisi II saja,
tidak perlu dipansuskan. Artinya kalau bisa
diselesaikan di tingkat Panja, buat apa
dipansuskan,” ujarnya.
Dari pengalaman-pengalaman yang
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
49
ada dalam membahas RUU, Ga­
mari mengatakan pembahasan
RUU di tingkat Panja lebih cepat
ketimbang di tingkat Pansus (Panitia
Khusus). “Toh Panja juga terdiri
dari fraksi-fraksi di DPR. Bahkan
setiap pengambilan keputusan
di Panja juga harus berkonsultasi
dengan fraksinya,” kata Gamari
menjelaskan.
Ia beranggapan kehadiran UU
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR
Agun Gunanjar Sudarsa juga optimis
RUU Pertanahan mampu mendorong
reformasi agraria. Apalagi semangat
reformasi agraria sudah menjadi
amanat dalam UUD 1945 yang
mengamanahkan untuk mengelola
Sumber Dalam Alam (SDA) untuk
kemakmuran rakyat yang kemudian
diperkuat dengan diterbitkannya UU
Pokok Agraria 1960 dan Tap MPR/
XI/2001.
h ar ap an ko nf l i k a g r ar i a b i s a
terselesaikan secara komprehensif
termasuk sengketa pertanahan yang
masih banyak terjadi dari Sabang
sampai Merauke yang sampai hari
ini belum kunjung usai.
“ Ternyata ketidakselesaian itu
akibat arogansi dari UU yang
bersifat sektoral, sehingga kadangkadang Gubernur dan Bupati tidak
bisa berbuat apa-apa, ditambah
Badan Pertanahan Nasional (BPN)
juga sudah lepas tidak lagi dalam
jangkauan kepala-kepala daerah,”
ujarnya.
“RUU Pertanahan
ini diharapkan bisa
menyelesaikan konflik
agraria, sengketa
pertanahan, diseluruh
Indonesia yang sampai
hari ini banyak tidak
terselesaikan,” kata Ketua
Komisi II DPR Agun Gunanjar
Sudarsa.
Pertanahan nantinya bisa menjadi
solusi bagi b erbagai masalah
pertanahan di Indonesia. Di samping
itu, UU Pertanahan ini juga akan
menjadi pelengkap Undang Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok
Agraria (UU PA). “UU Pertanahan
itu tidak akan menyimpang dari
UU PA, justru kehadirannya untuk
melengkapi dan menyempurnakan.
Ar tinya UU Per tanahan itu lex
specialis yang mengatur soal
pertanahan,” katanya.
50
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
“RUU Pertanahan ini diharapkan
bisa menyelesaikan konflik agraria,
sengketa pertanahan, diseluruh
Indonesia yang sampai hari ini
banyak tidak terselesaikan,” kata
Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar
Sudarsa di Gedung DPR, Jakarta,
beberapa waktu lalu.
Politisi dari Par tai Golkar itu
m e mas t ik an b ahw a Ko misi I I
DPR bertekad untuk secepatnya
menyelesaikan RUU ini dengan
Sebagai bukti keseriusan Komisi II
DPR dalam merampungkan RUU ini
pihaknya mengaku bahwa Komisi II
DPR bekerja tanpa mengenal waktu
dengan harapan agar RUU ini segera
rampung. “Komisi di DPR yang paling
luar biasa adalah Komisi II DPR, tiada
hari tanpa aktifitas, hari Jumat dan
Sabtu pun kami tetap bekerja tanpa
lelah, kami mengapresiasi untuk
seluruh anggota Komisi II DPR atas
kinerjanya dalam pembahasan RUU
ini,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Panitia
Kerja (Panja) RUU Per tanahan,
Abdul Hakam Naja mengatakan
RUU tentang pertanahan ini me­
ru­p akan RUU inisiatif DPR yang
sudah dirumuskan sejak tahun
2012. “RUU ini bila sudah menjadi
undang-undang bertujuan
untuk menggantikan sekaligus
memperbarui UU Pokok Agraria
No 50 tahun 1960 yang sudah
tidak relevan lagi untuk mengatasi
masalah per tanahan di zaman
sekarang,” kata Hakam Naja.
Hakam Naja mengatakan, RUU
Pertanahan merupakan sebuah
peraturan teknis. Namun, tidak
banyak kepentingan politik di
situ. “ Maka, pembahasan RUU
Pertanahan tersebut juga bisa lebih
cepat dibandingkan yang lain,”
ujarnya.
Menurut dia, dalam RUU Per­
tanahan akan dibahas dan diatur
cara penanganan terhadap seng­
keta tanah yang terjadi antara
masyarakat, badan usaha, instansi
pemerintahan, dan negara. “Dengan
maraknya konflik dan persengketaan
tanah di beberapa daerah, baik
antara masyarakat dengan
perkebunan, pertambangan, atau
lembaga tertentu maka diperlukan
undang-undang pertanahan sebagai
solusi untuk hal-hal seperti itu,”
katanya.
Selanjutnya, dia mengatakan
UU Pertanahan itu nantinya dapat
menjadi penghubung antara
undang-undang sek toral yang
terkait dengan pertanahan, seperti
undang-undang tentang pertanian,
kehutanan, pertambangan, dan
tanah untuk pembangunan jalan.
“Dalam hal ini UU Pertanahan
berfungsi menjembatani antara
undang-undang sek toral yang
satu dengan yang lain, tentunya
yang berhubungan dengan soal
pertanahan,” katanya.
Politisi dari Partai Amanat Nasional
(PAN) menambahkan, dalam RUU
Pertanahan yang sedang dirumuskan
itu, Komisi II DPR juga akan mengatur
mengenai jumlah luas tanah yang
akan diberikan dalam Hak Guna
Usaha suatu perusahaan dan posisi
masyarakat dalam hal itu.
“Ini sedang kami coba rumuskan
dalam pembahasan RUU Pertanahan
sehingga nanti ada kejelasan regulasi
tentang HGU, dan pengaturan
nanti tidak cukup hanya dengan SK
menteri,” jelasnya.
“Karena bila hanya dengan SK
menteri, peraturan bisa menjadi
sangat fleksibel. Kalau seorang
menter i bis a mengub ah H GU
hingga sebuah perusahaan dapat
menguasai ratusan ribu hektar
tanah, ini kan melanggar prinsip
keadilan,” lanjutnya.
Selain itu, dia menyampaikan
UU Per tanahan juga terkait
dengan pemanfaatan tanah bagi
kesejahteraan rakyat, dimana tanahtanah yang terlantar dan tidak
dimanfaatkan akan dapat diambil alih
oleh negara untuk diredistribusikan
kepada masyarakat, khususnya
bagi para petani dan orang-orang
yang tidak mempunyai tanah untuk
mendirikan tempat tinggal.
Namun, dia mengatakan tanah
yang diberikan oleh negara
kepada masyarakat tersebut tidak
dapat dipindah tangan ataupun
diperjualbelikan kembali. “Dalam
UU Pertanahan akan kami upayakan
p et ani dan mas y ar akat dapat
mengoptimalkan p enggunaan
tanah. Jadi, masyarakat tidak lagi
memiliki tanah pemberian negara
itu hanya untuk diperjualbelikan lagi
atau disewakan,” kata Hakam Naja.
Sampai saat ini, Komisi II DPR
kata Hakam Naja masih menunggu
siapa yang akan menjadi wakil
pemerintah dalam pembahasan
RUU Pertanahan. “RUU Pertanahan
sudah disahkan sebagai RUU usul
inisiatif DPR pada penutupan masa
sidang lalu. Secara adminstratif
langsung dikirim kepada Presiden,
dan Presiden akan membalas surat
untuk mengutus wakil-wakil dari
pemerintah, biasanya kementerian
terkait,” kata Hakam Naja.
Hakam mengatakan, RUU Per­
tanahan sudah digodok oleh Komisi
II DPR sejak setahun lalu. Dalam
masa penggodokan itu, Komisi
II DPR mengundang sejumlah
pakar antara lain Kurnia Warman
(Universitas Andalas) dan Arie
Sukanti Hutagalung (Universitas
Indonesia). Komisi II juga sudah
meminta masukan dari LSM dan
aktivis. “Draf itu sudah dibongkar
sampai lima kali,” ujarnya.
RUU ini terdiri dari 15 Bab dan 100
Pasal. Isi Bab RUU ini, di antaranya
soal hubungan negara dengan
masyarakat menyangkut tanah,
hukum adat, pendaftaran tanah,
dan perolehan tanah. (nt)
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
51
FOTO BERITA
Reporter Baru.
Anggota Komisi III Bambang Soesatyo saat
membantu memegang mikropon peliput
dari salah satu TV swasta nasional, yang
mewawancarai Antasari Azhar. Foto:Rizka/Parle.
52
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
FOTO BERITA
Panas di dalam Panas di luar.
Tidak hanya di dalam ruang rapat Paripurna DPR
yang dihujani interupsi, di luar gedung ribuan
mahasiswa dan elemen masyarakat mulai aksi bakarbakar Tolak Kenaikan BBM ! Foto: Eka Hindra/Parle.
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
53
KIAT SEHAT
Rahasia Dibalik
Buah dan Air Kelapa
Indonesia sering dijuluki sebagai “Negeri Nyiur Melambai” bukan omong kosong. Hampir di semua tempat baik pantai
maupun daratan negara beriklim tropis ini banyak ditemukan pohon-pohon Kelapa atau yang memiliki nama botani Cocos
nucifera, L. Pohon-pohon Kelapa yang tinggi itu ketika dihembus angin daun-daunnya bergerak seolah-olah melambailambai. Bahkan, sebagai simbol dan kebanggaan bangsa ini pohon Kelapa ditanam di depan Gedung”Caping” Parlemen
Senayan, Jakarta.
Pohon Kelapa memiliki banyak
manfaat, mulai dari akar, batang
kayu, bunga, buah, pelepah daun
muda (janur), dan daun-daunnya
semua berguna. Di pedesaan buah
Kelapa seringkali dibuat kopra
sebagai bahan baku minyak Kelapa.
Tahukan Anda, buah dan air Kelapa
memiliki manfaat dan khasiat untuk
kesehatan tubuh.
Dari beberapa literature diperoleh
data analisa nilai nutrisi daging
54
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
buah kelapa yang berumur 8 bulan
mempunyai kandungan, sebagai
berikut : kadar air 90,59 %, kalori
437 kkal/100 g, protein 10,67 %,
minyak 26,67 %, total karbohidrat
38,45 %, gula sebagai glukosa 24,92
%, pati 13,53 %, dan serat kasar 3,98
%.
Data lain menunjukkan, air kelapa
muda (7 – 8 bulan) mengandung
protein 0,13 g, minyak 0,12 g,
karbohidrat 4,11g, mineral Ca
20 mg, Fe 0,5 mg, vitamin asam
askorbat 2,2 – 3,7 mg dan air 95,01/
100 g. Protein kelapa, dibandingkan
dengan kacang-kacangan, lebih baik
dalam hal asam amino isoleusin,
leusin, lisin, threonin dan valin.
Sedang kandungan mineral utama
yang terdapat dalam daging buah
kelapa, antara lain Cu (3,2), Fe (17
ppm), P (2.4 ppm), S (4,4 ppm),
ser ta kandungan vitamin pada
buah meliputi Vitamin C (10 ppm),
Vitamin B(15 IU), dan Vitamin E (2
ppm).
Meskipun waktu itu belum ada
data research nenek moyang bangsa
Indonesia telah memanfaatkan
buah dan air kelapa terlebih dahulu
untuk keperluan kesehatan. Sampai
saat ini, sebagian masyarakat masih
memanfaatkan khasiatnya untuk
berbagai penyembuhan penyakit
seperti demam, cacar, campak, usus,
diare, kolera, muntah-muntah, dsb.
Melimpah hasil buah kelapa dan
banyaknya kandungan zat gizi yang
kaya khasiat tersebut menjadikan
air kelapa juga menjadi berkah
bagi sebagian masyarakat untuk
berdagang minuman segar alami.
Kelapa muda telah menjadi minuman
favorit banyak orang, terutama
untuk dinikmati pada saat cuaca
terik karena dapat menghilangkan
rasa dahaga. Kandungan nutrisi
air kelapa muda yang kaya akan
kalori terutama dari karbohidrat
merupakan elektrolit alami yang
berfungsi untuk menggantikan
ion atau cairan tubuh yang hilang
secara cepat.
Bagi mereka yang mengutamakan
sifat hygenis maka minuman kelapa
muda yang dijual di pinggir jalan
raya memang cukup sulit untuk
dijamin kebersihannya. Namun di
sejumlah pasar swalayan sekarang
dapat ditemukan produk minuman
air kelapa yang telah dikemas
menjadi sebuah minuman isotonik.
Pemanfaatan potensi dan khasiat
air Kelapa yang memiliki kandungan
unsur mineral dan glukosa cukup
baik tersebut karena pertimbangan
ilmiah memiliki keseimbangan
elektrolit sehingga berguna untuk
kesehatan tubuh.
Menurut para ahli, air kelapa muda
yang banyak mengandung elektrolit
sangat baik untuk keperluan ginjal
manusia. Dengan minum segelas
air kelapa muda yang sifatnya
alami, kerja ginjal untuk menyaring
berbagai zat berbahaya (racun) yang
masuk ke dalam tubuh menjadi
dipermudah. Ini dapat dibandingkan
dengan, misalkan minuman
kemasan pabrik lainnya, maka ginjal
harus bekerja ekstra keras.
Bagi seseorang yang sedang
mengalami keracunan akan
sangat bijaksana untuk diberikan
per tolongan per tama dengan
memberi minum air kelapa muda,
terutama Klopo Ijo atau Kelapa Hijau
akan sangat membantu menetralisir
racun-racun yang sudah masuk ke
dalam tubuh.
Buah kelapa hijau adalah salah
satu jenis buah tanaman kelapa
yang tidak mesti berwarna kulitnya
hijau tetapi ciri khasnya serat
permukaan dalam kulitnya jika di
potong berwarna kemerahan dan
sering disebut sebagai kelapa obat.
Dibanding kelapa muda biasa Kelapa
Hijau berbeda lebih mahal sedikit
dan pada umumnya kelapahijau
dagingnya tipis sehingga hanya
diambil airnya. Kelapa hijau telah
turun-temurun dipercaya berkhasiat
untuk mengatasi berbagai macam
penyakit dan sebagai antipiretik,
diuretik, hemostatik, dan laksatif.
Manfaat lain dari air buah Cocos
nucifera, L. yang mengandung
banyak serat ini adalah sebagai
pelancar sistem pencernaan, dan
untuk membantu membersihkan
saluran kemih yang kotor sehingga
air seni menjadi lebih lancar. Sudah
banyak bukti air kelapa muda,
khususnya Kelapa Hijau mampu
menyembuhkan dehidrasi dan
mengembalikan cairan tubuh secara
alami dengan proses cepat.
Untuk kebaikan tubuh, cobalah
minum air kelapa hijau minimal
seminggu sekali dan r as akan
perubahan dalam hidup dan
ke s e h at an A n da s e l anjut ny a.
Dengan minum air Kelapa Hijau
ataupun air kelapa muda reaksi
tubuh akan menjadi lebih tenang
dan mampu membuat tubuh merasa
lebih segar.
Semoga tulisan ini bermanfaat
dan salam sehat selalu. (t t /dar i
berbagai sumber).
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
55
Agus Hermanto
Melenggang Ke
Senayan Berkat
Rasa Pede
Adalah sepasang suami istri, Sujud Pujoutomo dan Hj Musinah yang
hidup di sebuah desa kecil, Klepu namanya. Desa Klepu berada di
Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Meski
merupakan kehamilannya yang ke sepuluh, namun hal itu tak
mengurangi rasa syukur Musinah atas kepercayaan Sang Khalik
yang kembali menitipkan buah hati kepadanya. Tak ayal setiap hari
bibir Musinah tak henti-hentinya menggumamkan shalawat untuk
keselamatan dan keberkahan si jabang bayi yang tengah dikandungnya.
56
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
PROFIL
S
etelah menunggu selama
sembilan bulan sepuluh
hari, akhirnya bertepatan
dengan Peringatan Hari Kebangkitan
Nasional, 20 Mei 1956 sang jabang
bayi yang dikandung Musinah pun
lahir ke dunia. Dibarengi dengan
teriak tangis sang jabang bayi,
lantunan Adzan dan Takbir pun
dikumandangkan Sujud ke telinga
kanan dan kiri putra mungilnya.
Kebahagiaan yang tak terkira
tampak di raut wajah Sujud dan
Musinah, mengingat harapannya
atas jenis kelamin dan kondisi sang
jabang bayi ter wujud. Maklum
dari kesembilan anak-anaknya
sebelumnya, komposisi anak lakilaki lebih sedikit dibanding anak
perempuan yang jumlahnya 6
orang. Agus Hermanto, begitulah
nama yang kemudian disandangkan
kepada sang buah hati.
Musinah sempat berharap bahwa
itu kali terakhirnya melahirkan sang
jabang bayi, namun Allah SW T
berkehendak lain. Selang beberapa
tahun kelahiran Agus, Musinah
kembali melahirkan anaknya yang
kesebelas.
Masa Kecil
Dikisahkan Agus kepada Parle
di ruang Pimpinan Komisi X DPR
RI, Gedung Nusantara I Senayan
Jakar ta, ia mungkin agak sulit
menggambarkan apakah masa
kecilnya bisa dikatakan sangat
bahagia atau menderita,karena yang
ia ingat kehidupannya kala itu tak
berbeda jauh dari teman-temannya.
Jika kebahagiaan yang dimaksud
dilihat dar i uk ur an e ko n o mi,
sudah pasti ia bukan berasal dari
keluarga bahagia, ayahnya hanya
seorang guru yang menjelang masa
pensiunnya menjabat sebagai kepala
sekolah. Bisa dipastikan gaji pegawai
negeri dengan sebelas anak saat
itu dirasa belum bisa mencukupi
seluruh kebutuhan mereka. Singkat
cerita, Agus merasa masa kecilnya
cukup prihatin.
Kendati demikian, batin Agus
tidak pernah merasa kekurangan.
Ia merasa bahagia karena memiliki
ayah dan ibu yang sangat perhatian
pada keluarga dan anak-anak. Setiap
pagi ia dibangunkan, di suruh mandi,
diingatkan sholat subuh, sarapan
hingga diantar ke sekolah. Dan
ketika malam tiba Agus dan sepuluh
saudara kandungnya diingatkan
supaya tak lupa pergi mengaji
di surau yang berjarak hanya
selemparan batu dari rumahnya.
Rutinitas seper ti itulah
yang membuat Agus
bahagia,hanya keluarga
yang harmonislah yang
bisa melakukan semua itu.
Sebaliknya keluarga yang
tidak harmonis akan lebih
memilih membiarkan
anak-anaknya mencari
jalan masing-masing.
Jika dilihat dari hal
itu, Agus merasa
saat itu ia
adalah anak
yang paling
bahagia.
Penghayatan keagamaan menjadi
Pendidikan dasar yang diberikan
orangtua pada Agus dan kesepuluh
saudaranya. Karena bagi ayah
Agus, agama menjadi dasar dari
segala ilmu dunia dan akhirat. Oleh
karena itulah hingga kini Agus selalu
menerapkan hal tersebut pada
keempat anak-anaknya.
Berkulit gelap, rambut lurus
dengan tubuh tak seberapa tinggi
membuat penampilan Agus biasabiasa saja. Namun yang membuat
Agus berbeda dari teman-temannya
adalah ker amahan agus yang
sangat tampak dari raut wajahnya.
Ditambah dengan penampilannya
selalu bersih setiap kali ia berangkat
ke sekolah membuat Agus tampak
berbeda di mata teman dan gurugurunya. Hal itulah yang membuat
Agus tampil pede di tengah temantemannya, meski usianya tergolong
paling muda saat itu. Dari berpuluh-puluh teman SD
nya hanya beberapa orang yang
melanjutkan sekolah ke SMP.
Faktor ekonomi menjadi kambing
hitam alasan mereka. Namun hal
itu tak berlaku bagi keluarga Agus.
Bahkan sang ayah bertekad bahwa
kesebelas anak-anaknya tidak boleh
berpendidikan dibawah dirinya
yang ketika itu hanya lulusan SMA.
Melihat perekonomian keluarga
yang tidak terlalu berkecukupan,
Agus dan ketiga saudara laki-lakinya
sempat berjanji bahwa jika mereka
ingin kuliah maka itu bukan menjadi
kewajiban kedua orang tua mereka.
“Dengan kata lain, kewajiban
orangtua kami hanya membiayai
kami hingga SMA saja, jika kami
ingin kuliah, maka itu harus dengan
biaya kami sendiri,”ujar Agus
menceritakan pengalamannya.
Meski sempat membuat kecil
hatinya, namun kenyataan itu tak
menyurutkan keinginan Agus untuk
menjadi seorang tukang insinyur
jika mengambil istilah yang sempat
dilontarkan almarhum Benyamin
Sueb dalam sinetron Betawi
yang cukup fenomenal, Si
Doel Anak sekolahan. PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
57
Memasuki masa SMP Agus
harus menempuh perjalanan 2,5
KM menuju sekolahnya, karena
memang konon desa tempat tinggal
Agus yang tergolong terpencil. Dan
ketika SMA Agus harus menempuh
perjalanan lebih jauh lagi, 9,5
km, sebuah sekolah di ibukota
Kabupaten, tepatnya di Ungaran.
Dikisahkannya, Lulus SMA usia
Agus masih 17 tahun, usia yang
tergolong muda saat itu dibanding
teman-temanya, namun diakuinya
hal itu bukan karena dirinya pandai
atau pintar, melainkan usianya yang
masih dini ketika masuk Sekolah
Dasar, 4,5 tahun.
Karir dan Politik
Lulus SMA, Agus memutar otak
untuk tetap bisa mewujudkan
cita-citanya itu. Antara pede dan
nekad, tahun 1974 ia memutuskan
untuk hijrah ke ibukota mengikuti
jejak s an g kak ak . Untun gny a
didikan orangtua membuat Agus
dan saudara-saudaranya kompak,
sehingga setibanya di Jakarta, sang
kakak langsung menawarkan pilihan
ke Agus untuk memilih kampus
yang sesuai dengan keinginanya.
Dipilihlah ST TN (sekolah tinggi
teknologi nasional) yang sekarang
ISTN sebagai tempat Agus menimba
ilmunya. “Tapi ketika itu, kakak saya berpe­
san hanya mampu membiayai kuli­ah
saya di tahun pertama saja. Selebih­
nya kamu harus cari sendiri Gus,
kata kakak saya,”kisah adik kandung
Hadi Utomo, Ketua Umum Partai
Demokrat Periode 2005-2010 ini.
Ucapan sang kakak tak membuat
khawatir Agus. Lagi-lagi dengan
kepedean dalam dirinya Agus yakin
bahwa ia akan segera mendapat
p ekerjaan seb elum memasuki
tahun ke dua perkuliahannya.
Dengan diiringi doa, Agus tak
p er lu menunggu wak tu lama
untuk bekerja. Ia diterima menjadi
pelaksana di salah satu perusahaan
kontraktor, PT Hindya Taruna Jaya.
Tak mengurangi rasa syukurnya
bisa membiayai kebutuhan hidupnya
58
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
sendiri, dua tahun sebagai pelaksana
di perusahaan tersebut, Agus
pindah ke perusahaan lainnya, PT
Astra Graphia yang dikenal dengan
produk mesin fotocopy nya. Disini
Agus tidak hanya mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya saja, namun
lebih dari itu pundi-pundi rupiah pun
dapat dikumpulkan Agus. Hingga
kemudian Agus memberanikan
diri untuk hidup mandiri dengan
meninggalkan rumah sang kakak,
dan pindah di rumah kontrakan
yang tak berapa luasnya.
Lima tahun bekerja sebagai teknisi
lapangan di perusahaan yang
lumayan besar itu tak membuat
Agus mer as a puas dir i, Agus
kemudian “loncat” ke perusahaan
lainnya sebagai Asisten Menejer.
Ternyata di perusahaan ini pun Agus
tak bertahan berapa lama, hingga
kemudian ia kembali pindah ke
perusahaan swasta lainnya. Sambil
berpindah-pindah kantor, tak lupa
Agus terus mengumpulkan pundipundi rupiah, hingga akhirnya ia
memiliki ide untuk membuka usaha
foto copy dan menjadi direktur
utamanya (hingga sekarang
perusahaan itu masih ada).Tak
hanya memiliki usaha sendiri, ketika
itu Agus pun membeli rumah sendiri
di kawasan Rawamangun, Jakarta
Timur.
Puas malang melintang di
perusahaan swasta, Agus merasa
bahwa sudah saatnya ia mengabdi
kepada Negara secara langsung alias
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Saat itu menurut Agus kesejahteraan
untuk PNS sudah jauh lebih baik
dibanding ketika jaman ayahnya
bekerja. Agus bersyukur bahwa Allah
SWT selalu membuka jalan baginya.
Berbekal pengalamannya bekerja di
perusahaan swasta hingga akhirnya
membuka perusahaan sendiri,
tahun 1989 Agus didapuk jabatan
sebagai Kepala Sub Bidang Prasarana
Perlindungan Konsumemn pada
Puslitbang PDN-BPPIP Departemen
Perindustrian dan Perdagangan.
“Lima belas tahun sebagai PNS
membuat saya berpikir bahwa
jika menjadi PNS itu berarti saya
berjalan di jalur lambat, karena
k a l a u ke n c a n g - ke n c a n g b i s a
nabrak,”ungkap Agus berfilosof.
Kurang lebih kalimat Agus itu
bermakna jika mengikuti perjalanan
karirnya sebagai PNS, Agus tidak
akan pernah bisa sampai ke posisi
puncak seperti Menteri. Padahal
sebagai seorang pemuda, Agus
memiliki cita-cita setinggi langit.
Dengan begitu, tak ada jalan lain
bagi Agus untuk meraih cita-citanya
selain lewat jalur politik.
Bidang p olitik lah y ang bis a
men­j adi perahu bagi Agus dalam
mengantarkannya menuju posisi
puncak pengambil keputusan sebuah
negara. Ketika masa reformasi
terjadi, seiring dengan itu organisasi
massa dan partai politik pun banyak
bermunculan. Hal tersebut ikut
menjadi angin surga bagi Agus.
Pasalnya ia dapat leluasa memilih
partai politik yang diyakini sesuai
dengan visi dan misinya selama ini.
Lebih lanjut melalui partai itu ia akan
berlayar di kehidupan berbangsa.
Ketika itu Partai Demokrat menjadi
partai anyar yang memungkinkan
“pemain baru” seperti Agus untuk
bisa ikut mendayung didalamnya.
Ketika memilih berkiprah di dunia
Politik, secara otomatis Agus harus
keluar dari karirnya sebagai PNS.
Sebuah keputusan sulit untuk Agus,
dimana ketika itu Agus pun masih
menduduki jajaran pengurus KORPRI.
Namun setelah menjalani sholat
Istikharah berulang kali, keyakinan
Agus untuk masuk ke dalam jajaran
pengurus Partai Demokrat semakin
bulat. “Terlebih lagi ketika itu saya lihat
tokoh Partai tersebut dinakhodai
SBY yang saya nilai memiliki jiwa
Agus menjadi Caleg untuk Dapil
Karawang. Untung saja ketika itu
ia masuk di nomor urut pertama
sehingga dapat diduga Agus pun
dapat dengan mudah melenggang
ke S enay an menjadi anggot a
dewan.
Menjadi Anggota dewan di tahun
2004 merupakan pengalaman yang
baru bagi Agus. Meski demikian,
A g u s m e n d a p at ke p e r c ay a a n
sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat
sekaligus sebagai Wakil Ketua Komisi
VI DPR RI periode 2004-2009.
“Saat itu saya meminta kepada
Dewan Pengurus lainnya, jika saya
berhasil melenggang ke Senayan,
saya minta diposisikan di Komisi VI
yang bermitra dengan Kementerian
Perindustrian dan Perdagangan.
Mengingat pengalaman saya di
b e­b er ap a p er us ahaan s w as t a
untuk kedua kalinya.
Kali ini Agus menduduki Komisi
X dan ia didapuk sebagai Ketua
Komisi. Bertepatan dengan itu di
tahun 2010 hingga saat ini Agus
juga mengetuai sebagai Ketua
Komisi Pemenangan Pemilu Partai
Demokrat sekaligus menduduki
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat.
Meski selalu merasa pede dalam
meniti karir namun Agus menampik
jika ia menargetkan untuk menjadi RI
1 alias Presiden untuk kedepannya.
“Untuk kali ini saya tidak pede, saya
juga mengukur diri saya, kalau orang
Jawa bilang kalau mau memakai baju
jangan yang kegedean, begitupun
dengan target karir saya, jabatan
atau predikat Presiden menurut
saya terlalu besar atau terlalu tinggi
untuk diri saya,”ujar Agus.
Menikah dan Mendidik Anak
P e r g au l an r e m aj a m as a i t u
berbeda dengan sekarang.
Apalagi bagi Agus. Ia tidak ingin
mengecewakan wanita, karena
ibu dan saudara-saudaranya lebih
banyak wanita. Karena itulah Agus
sempat bertekad bahwa ia akan
menikah jika sudah mapan dalam
kehidupan perekonomian. Dan
ketika jabatan asisten menejer sudah
diraihnya, sang ayah mengingatkan
Agus untuk segera melangsungkan
pernikahan.
negarawan, sehingga saya merasa
yakin bahwa partai ini akan menjadi
partai besar,” ingat Agus.
Di Partai Demokrat Agus langsung
menduduki jajaran Dewan
Pengurus Pusat, ia mengetuai
Bidang Hubungan Luar Negeri dan
Antar Lembaga. Sejalan dengan
itu, nama Agus pun masuk dalam
daftar Caleg di tahun 2004. Namun
sebagai pendatang baru, Agus tidak
bisa memilih Daerah pemilihan
(Dapil) yang sesuai dengan dirinya.
dan menjadi PNS di lingkungan
Deperindag,”aku Agus. Dalam pemilu selanjutnya Agus
kembali “bertarung” dalam kancah
politik untuk tetap menduduki kursi
Parlemen. Kali ini Agus diberikan
kesempatan memilih Dapil yang
diinginkannya. Tak ada pilihan
terbaik bagi Agus selain menjadikan
Kota Kelahirannya Semarang untuk
menjadi Dapilnya. Lagi-lagi dewi
for tuna menghampiri Agus, ia
kembali melenggang ke Senayan
Ketika itu tak banyak wanita yang
‘dilirik ’ Agus. Orangtuanya pun
membebaskan kesebelas anakanaknya, tentu saja termasuk Agus
untuk memilih pasangan hidupnya
masing-masing. Masih diingat Agus,
sang ibu sempat berpesan, bahwa
dari sang ibu membebaskan anakanaknya memilih pasangan hidupnya
yang seiman dan seakidah.
“Tapi ada kata terakhir ibu saya,
kalau bisa yang mengerti bahasa
Jawa,” kata Agus sambil tersenyum
simpul.
Nah, kalimat terakhir itulah yang
sepertinya menjadi pesan singkat
namun penuh arti. Dengan kata
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
59
lain, Sang Ibu berharap agar Agus
mendapat istri seorang gadis jawa.
Jodoh datang disaat yang
tak terduga. Suatu saat, ketika
Agus mengunjun gi temanny a
di Semarang, disaat bersamaan
adik teman Agus itu membawa
temannya juga bernama Ishta
Saraswati. Entah kenapa saat meli­
hat Ishta yang seorang
gadis Solo, Agus merasa
ada get ar an - get ar an
yang belum pernah
ia r as a seb elumny a.
“A p a mun gk in ini
yang dinamakan
cint a,”gumam Agus
dalam hati ketika itu.
Gayung bersambut,
Ishta pun merasakan
hal yang tak berbeda
jauh dengan apa yang
dirasakan Agus. Singkat
cerita, kedua insan ini
pun mendeklarasikan
diri sebagai sepasang
kekasih. Diakui Agus, saat
itu sebenarnya ia ingin
segera meminang Ishta. Namun
pertimbangan usia Ishta yang saat
itu masih berusia 20 tahun, yang
dirasa Agus masih cukup muda untuk
membina rumahtangga. Terlebih
lagi Ishta juga belum lulus kuliah.
Dan ketika usia pendekatan mereka
satu tahun, dimana usia Ishta juga
memasuki usia 21 tahun, perbedaan
usia keduanya yang terpaut tujuh
tahun tak menghalangi niat mereka
untuk membangun rumah tangga
sakinah mawaddah warrahmah.
“Kebetulan saat itu orangtua
Ishta sudah pindak ke Jakarta, jadi
kami tak berapa lama menjalani
hubungan jarak jauh,”kata Agus.
Tepat tanggal 8 Januari 1984
keduanya mengikrarkan diri menjadi
sepasang suami istri. Setahun kemudian
Ishta melahirkan anak pertama
mereka, 9 April 1985 yang kemudian
diberi nama Lintang Pramesti. Disusul
dua tahun berikutnya, anak kedua
mereka Laser Narindro lahir. Dan pada
8 Januari 1992 anak ketiga mereka
60
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
Rekha Mahendraswari lahir, disusul
pada 18 April 1997 anak dipercaya
untuk memiliki anak keempatnya
Rheinanda Kaniaswari.
Dalam hal pendidikan kepada
anak-anaknya, sudah pasti Agus
mengadopsi ajaran sang orangtua
yaitu dengan pendidikan agama
sebagai pendidikan dasar. Namun
karena mereka hidup di jaman
yang berbeda dengan dirinya
ketika kecil, maka pendidikan
agama yang diajarkan kepada
anak-anaknya pun berbeda, Agus
tak meminta sang anak untuk
mengaji di surau. Melainkan cukup
dengan menekankan untuk tidak
meninggalkan sholat lima waktu
dan mengaji di dalam rumah sendiri.
Dengan memberikan contoh nyata
seperti itu menurut Agus akan lebih
bisa diterima oleh anak-anaknya.
Selain itu Agus juga mengajarkan
kepada anak-anaknya untuk hidup
sederhana dan tidak boros. Ia bahkan
ikut melibatkan anak-anaknya
ke dalam usaha foto copy dan
percetakan yang telah dirintisnya
sejak lama. Hal itu dimaksudkan agar
keempat anak-anak mereka bisa
merasakan sulitnya mencari uang,
hingga mereka kemudian dapat
menghargai rejeki yang diberikan
Sang Khalik pada dirinya.
“Saya juga mengajarkan anak-
anak untuk hidup mandiri. Jika
mereka ingin keluar atau hidup
jauh dari orangtuanya, maka kami
persilahkan, kebetulan setelah
masuk sebagai PNS saya membeli
rumah di bilangan Condet, Jakarta
Timur. Sementara rumah yang di
Rawamangun saya peruntukan
bagi anak-anak kami yang ingin
mencoba hidup mandiri jauh dari
orangtuanya,” paparnya.
Tak berbeda dengan
orangtua lainnya agus
berharap agar keempat
anaknya mengikuti
jejaknya berkiprah di
dunia politik. Namun
keinginan tersebut tidak
lantas diamini sang buah
hati. Anak pertama Agus,
Lintang Pramesti memilih
mengambil kuliah
fakultas kedokteran gigi
di Universitas Moestopo
( B e r a g a m a). N a m u n
setelah gelar dok ter
gigi diraihnya muncul
keinginan dalam diri
Lintang untuk mengikuti
jejak sang ayah.
“Anak pertama saya awalnya dia
belum berani masuk dunia politik,
namun lama kelamaan sambil
mempelajari dari ayahnya dan juga
dari lingkungan akhirnya Lintang
membulatkan tekadnya untuk
masuk dalam dunia politik. Untuk
2014 mendatang anak saya masuk
dalam DCS di Dapil Jabar VI,”papar
Agus.
Kini bersama-sama dengan sang
anak, Agus bergotong royong untuk
kembali mengibarkan bendera parpol
yang telah membesarkan namanya
hingga saat ini. Bahkan ketika ia
sudah menggapai Kursi Wakil Ketua
Umum Partainya sekaligus sebagai
Ketua Komisi X DPR RI namun iitu tak
berarti Agus dapat duduk tenang di
menara gading. Lebih dari itu, lewat
panggung politik lah Agus dapat
berbuat,berkarya, membangun dan
membesarkan bangsa ini. (Ayu)
KUNJUNGAN KERJA
Melihat dari Dekat
Revitalisasi Stasiun
Kumuh dan tak tertib jadi pemandangan keseharian di stasiun-stasiun Jabodetabek. Yang beli tiket
dan yang tidak memiliki tiket tumpah ruah masuk gerbong kereta. Panas, sumpek, dan berdesakan
menjadi perjuangan tersendiri menggunakan moda transportasi kereta ekonomi sepanjang jalur
Jabodetabek. Belum lagi kriminalitas dan pelecehan seksual yang sering terjadi di atas gerbong,
jadi keluhan lain para penumpang.
S
atu lagi persoalan yang tak kalah
pentingnya adalah menertibkan para
pedagang dan usaha ritel di stasiunstasiun Jabodetabek. Penataan para peda­
gang ini juga menjadi PR besar PT KAI yang
diberi wewenang untuk membenahi wajah
stasiun. Ketika para pedagang kecil ditertib­
kan oleh PT. KAI, mereka mengadu ke Komisi
VI DPR RI untuk minta penyelesaian pada 13
Mei lalu.
Karena ada pengaduan dari para pedagang
itu, Komisi VI DPR RI langsung bergerak
cepat merespon apa yang terjadi dengan
para pedagang kecil si stasiun-stasiun
Ketua Komisi VI
Airlangga Hartarto
saat menemui
pedagang kaki lima
di stasiun Cawang.
Jabodetabek. Rabu, 15 Mei lalu, Komisi
VI melakukan kunjungan lapangan ke
beberapa stasiun di wilayah Jabodetabek.
Kunjungan ini untuk melihat dari dekat
revitalisasi stasiun-stasiun di sepanjang jalur
Jabodetabek.
Siang itu, rombongan Komisi VI yang
dipimpin Ketua Komis VI Airlangga Hartarto
berangkat dari Stasiun Gambir dengan
gerbong khusus untuk menyisir setiap
stasiun sepanjang jalur Jabodetabek. Di
dalam gerbong khusus itu, rombongan
Komisi VI mendapat penjelasan detail
sepanjang perjalanan. Setelah mendapat
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
61
penjelasan, rombongan turun ke
beberapa stasiun. Dan stasiun yang
pertama dikunjungi adalah Stasiun
Cawang.
Pro gr am revit alis asi s t asiun
sedang digalakkan PT. KAI. Terlihat
saat berada di Stasiun Cawang,
pembangunan infrastruktur sedang
berlangsung. Pedagang sedikit
lebih tertib. Para anggota Komisi VI
langsung menghampiri para calon
penumpang dan pedagang. Bagi
para calon penumpang mungkin
lebih nyaman dengan kondisi yang
ada sekarang. Stasiun jadi terlihat
lebih bersih dan nyaman.
H any a p ar a p e dagan g ke cil
yang tak puas dengan kondisi ini,
karena mereka harus menyingkir
ke l u a r s t a s i u n . M e r e k a t a k
bisa lagi menjajakan dagangan
dengan leluasa. Keluhan para
pedagang disampaikan langsung
kepada anggota Komisi VI yang
menghampiri. Para pedagang kecil
itu melihat ada diskriminasi yang
terjadi. Betapa tidak, para pengusaha
ritel seperti Indomart, Alfamart, dan
rumah makan siap saji tak tersentuh
oleh penggusuran, karena punya
modal besar.
Afandi, p edagang gorengan
di Stasiun Cawang menjelaskan
kepada para anggota Komisi VI yang
menghampiri. Ia selalu membayar
sewa tempat Rp 10 ribu per minggu
kepada pemilik lahan. Tempat
berdagangnya persis di pinggir luar
stasiun dan dibatasi pagar besi.
Sebagai warga asli di Cawang, ia
sudah berdagang sejak rel keretanya
masih tunggal, belum seramai
seperti sekarang.
Di Stasiun Cawang sedikit ada
temuan dari Wakil Ketua Komisi VI
Erik Satrya Wardhana yang sudah
berada di Cawang lebih dulu. Ia
mengamati bangunan-bangunan di
sekitar Stasiun Cawang. Ternyata,
ungkapnya, ada apartemen yang
dibangun di atas lahan PT. K AI.
Padahal, lahan di sekitar stasiun
milik PT. KAI harus bersih. Mengapa
ada apartemen di sana? Ini menjadi
temuan yang perlu diklarifikasi.
62
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
Setelah mengorek banyak
keterangan di Stasiun Cawang,
rombongan kembali menyisir ke
stasiun lainya. Sepanjang jalan,
mat a para anggot a Komisi V I
terus mengamati ke luar gerbong.
Akhirnya, gerbong diarahkan ke
Stasiun Cilebut Bogor. Satu per satu
para anggota Komisi VI itu turun
diikuti petugas PT. KAI dan para
wartawan. Para pedagang, calon
penumpang, dan infrastruktur yang
sedang dibangun, didekati untuk
dicermati sejauh mana perubahan
yang terjadi.
Para calon penumpang yang
sedang menunggu kedatangan
kereta sontak memperhatikan para
anggota Komisi VI tersebut. Stasiun
Cilebut juga tampak bersih dan
agak sepi waktu itu. Usai singgah
di Cilebut, rombong meluncur
kembali menuju ujung stasiun
Jabodetabek, yaitu di Stasiun Bogor.
Rombongan kembali turun dan
langsung meninjau pembangunan
infrastruktur stasiun.
PT. K AI tampak sedang sibuk
merevitalisasi stasiun. Infrastruktur
sedang giat dibangun, seper ti
gerbang masuk pembelian tiket.
Pada Juni 2013 ini, PT. KAI sudah
m e m b e r l a k u k a n E -T i c k e t i n g.
Dengan sistem ini, pembelian tiket
hanya untuk satu perjalanan. Dan
penumpang yang tidak memiliki
tiket tidak bisa masuk stasiun,
karena ada gerbang masuk yang
dijaga ketat.
M e l i h at f a k t a d i l a p a n g a n ,
Komisi VI, lanjut Airlangga, segera
mencarikan solusi untuk para
pedagang kecil. Lokasinya mungkin
bisa menempati lahan milik PT. KAI,
Dephub, Pemprov DKI Jakarata, atau
milik Kabupaten/Kota Bogor. Lahan
PT. KAI tidak boleh diklaim oleh
siapa pun.
S e muany a h ar us s te r il dar i
berbagai kepentingan termasuk
para preman yang kerap mengutip
retribusi ilegal atas tempat usaha
dan lahan. “Oknum-oknum preman
mesti dibersihkan. Kita dukung
IKM-nya bukan premannya. Kita
tidak dukung preman yang menjual
konsesi di dalam wilayah PJKA,”
tandas Airlangga.
Apresiasi yang sama disampaikan
pula oleh Anggota Komisi VI dari
Fraksi Demokrat Ida Ria Simamora.
Menurutnya, revitaslisasi yang
dilakukan PT. KAI atas sejumlah
s t asiun di Jab o det ab ek telah
berdampak positif bagi masyarakat.
“Ini usaha yang kita apresiasi pada
PT. K AI. Kereta api benar-benar
transportasi yang diminati,” puji
Ida saat dimintai komentarnya di
Stasiun Bogor pada pertengahan
Mei lalu (15/5).
Apresiasi Terhadap Revitalisasi
Setelah meninjau dan menyisir
jalur kereta Jabodetabek, apresiasi
mengalir dari para anggota Komisi VI
atas kerja keras PT. KAI merevitalisasi
stasiun. Ketua Komisi VI Airlangga
Har tar to (F- PG) yang dimintai
komentarnya di Stasiun Bogor, 15
Mei lalu, mengatakan bahwa Komisi
VI mendukung revitasliasi yang
dilakukan PT. KAI.
“Komisi VI mendukung revitalisasi
stasiun KA. Tetapi, di lain pihak kita
juga menginginkan agar para UKM
(usaha kecil menengah) dan IKM
(industri kecil menengah) diberi
kesempatan usaha yang layak.
Dalam kunjungan ada beberapa
lokasi Indomaret. Ada perbedaan
treatment terhadap UKM kecil dan
UKM modern seperti usaha ritel,”
ungkap Airlangga.
Para pedagang kecil tampak
tidak mendapat tempat berdagang.
Akibat dari revitalisasi ini, belum
jelas benar ke mana para pedagang
tersebut akan ditempatkan. Para
pedagang kecil itu, memang, sempat
mengeluhkan kepada para anggota
Komisi VI. Mereka semakin terdesak
ke pinggiran areal stasiun.
“Tadi kita berhenti di beberapa
stasiun. Kelihatan tidak ada lokasi
yang tersedia untuk mereka. Kami
akan panggil pemilik lokasi sekitar,
apakah dimiliki pemerintah daerah
atau perhubungan, untuk memberi
kesempatan kepada para pedagang
memperoleh tempat relokasi usaha,”
ucap Airlangga.
Indonesia harus membenahi
moda transportasi ini dan bersaing
dengan negara-nagara lain. Seperti
di Jepang, lanjut Ida, transportasi
massalnya diberi perhatian khusus
oleh pemerintah. Dan kita pun
harus memberi perhatian yang
cukup. Namun, ketika revitalisasi
stasiun dilakukan ada masalah klasik
yang selalu menghampiri, yaitu
penataan para pedagang kecil di
areal stasiun.
Masyarakat pengguna jasa kereta
api tentu ingin nyaman ketika
masuk stasiun dan naik kereta. Di
sisi lain, pedagang kecil juga ingin
diperhatikan. Jadi, harus ada winwin solution untuk semua pihak.
“Kita sangat mendukung. Ini langkah
yang baik. PT KAI sudah maju sekali.
Nanti juga ada monorel,” tutur Ida.
(mh)
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
63
KUNJUNGAN KERJA
Tidak Ada Arogansi Negara
Dalam RUU Ormas
Civitas Akademika
Universitas
Tanjung Pura
memberikan
masukan kepada
Tim Kunker Panja
RUU Ormas.
Pertemuan Tim Panja RUU Ormas dengan mahasiswa dan akademisi yang berlangsung di Gedung
Rektorat Universitas Tanjung Pura itu mendadak hening, semua terfokus mendengarkan pertanyaan
keras dari salah seorang peserta Ahmad Maulana, mahasiswa FISIP. “Kenapa bahan RUU Ormas
datang terlambat, bahkan 15 menit sebelum acara pada saat kita menandatangani absensi
kehadiran. Bagaimana menyampaikan pendapat kalau kita belum baca naskah, jadi lucu kalau
diminta pendapat,” katanya bersemangat. Hening beberapa saat. Dari pojok sebelah sana, ada
yang nyeletuk. “Wah, kok seperti protes anggota dewan ya.”
B
egitulah suasana pertemuan yang
merupakan bagian dari Kunjungan
Kerja Panja RUU Ormas ke Provinsi
Kalimantan Barat, Rabu (5/6). Kegiatan
yang dipimpin Ketua Panja Rahadi Zakaria
sejatinya bertujuan mendapat masukan
dan gambaran tentang evaluasi terhadap
pelak sanaan UU no. 8/1985 tent ang
64
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
Ormas yang telah berjalan selama ini, baik
kelemahan, hambatan dan tantangan yang
terdapat di Provinsi Kalbar. Tim Kunker
juga ingin melakukan sosialisasi dan uji
publik terhadap RUU Ormas, mendapatkan
masukan terkait pokok-pokok substansi yang
perlu diperbaiki dan disempurnakan dari RUU
tentang Ormas yang telah diselesaikan DPR
bersama pemerintah.
“Pertemuan berlangsung dinamis
dan kritis. Kalau sekarang diekspos
seolah-olah kelompok cendekiawan
dan mahasiswa menolak RUU
Ormas sebetulnya tidak. Kelompok
intelektual ini memang kritis ter­
masuk mengkaji dugaan arogansi
Untan akan menjadi perhatian Panja,
kita akan melakukan penyesuaian
sebelum kembali menyampaikan
perkembangan terakhir ke paripurna
pada akhir masa sidang ini,” tambah­
nya.
Dalam diskusi yang melibatkan
Fakultas Hukum dan FISIP dan
Pansus RUU Ormas DPR
terus berupaya memperoleh
masukan terkait pokokpokok substansi yang
perlu diperbaiki dan
disempurnakan dari hasil
pembahasan bersama
pemerintah.
Sementara itu Cyntia, maha­
sis ­w a Fakult as Hukum Unt an
mempertanyakan kemungkinan
tumpang tindihnya pengaturan
dalam RUU Ormas dengan RUU
Yayasan. Menurutnya Yayasan sama
saja dengan ormas yang didirikan
oleh masyarakat hanya saja memiliki
badan hukum yang jelas.
negara dalam pasal-pasalnya,” kata
Muslim, anggota Tim Kunjungan
Ke r j a P anj a R U U O r m as u s ai
pertemuan di Gedung Rektorat
Untan, Pontianak, Kalbar, belum
lama ini.
Ketua Panja RUU Ormas Rahadi
Zakaria mengatakan tujuan kunjung­
an untuk melakukan uji publik
sejumlah isu yang telah disepakati
pemerintah dan DPR. Di provinsi
yang terkenal dengan sebutan Bumi
Khatulistiwa ini tim melangsungkan
pertemuan dengan jajaran Muspida,
p e n g u r u s o r ­m a s s e t e m p a t ,
mahasiswa dan akademisi. Politisi
FPDIP ini menyebut langkah ini
sebagai upaya untuk menghasilkan
UU yang implementatif dan
berkualitas.
“Seluruh hasil pertemuan baik di
Kantor Gubernur maupun di kampus
dipandu Pembantu Rektor IV Untan,
mengemuka sejumlah pandangan.
Zufri Bestari dosen Fakultas Hukum
yang mengaku mencermati proses
p e m b a h as a n R U U
Ormas lewat media.
Setelah mempelajari
naskah terakhir yang
diterimanya dari
Setjen DPR, ia menilai
RUU tidak sep er ti
yang dikhawarirkan
sejumlah pihak.
“ R U U O r m as i n i
sudah sering diba­
has di televisi, saya
sudah baca nas­k ah­
nya dan mencari
ada tidak arogansi
negara didalamnya seperti yang
dip er soalkan Muhammadiyah,
ternyata saya tidak menemukan
itu,” paparnya.
“Bagaimana menjaga harmonisasi
antara RUU Ormas dan Yayasan.
Saya melihat beberapa pasal multi
tafsir, apabila terjadi sengketa
hukum kita harus tunduk kepada
UU yang mana? Ini perlu diperjelas
oleh Panja DPR,” papar mahasiswi
yang mengaku mempelajari naskah
RUU dengan mendownloadnya dari
jaringan internet.
Kontan, pengakuan Cintya men­
dapat apresiasi dari sejumlah Tim
Kunker. “ Ternyata kalau punya
inisiatif bisa ya mendapatkan
naskahnya,” papar Paula Sinjal
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
65
anggota Panja dari FPD. Khusus soal
naskah RUU Ormas, pihak sekretariat
pansus menyampaikan konfirmasi
telah dikirim via paket pos dan
dinyatakan telah sampai tujuan
sejak seminggu lalu. Kalau ternyata
terlambat didistribusi ke peserta itu
masalah lain, jelas Nurani Bodroini,
Kepala Sekretariat Pansus.
Siap Bertemu Tokoh
Pansus RUU Ormas DPR terus
berupaya memperoleh masukan
terkait pokok-pokok substansi yang
perlu diperbaiki dan disempurnakan
dari hasil pembahasan bersama
pemerintah. Untuk menghasilkan
pro­d uk legislasi yang berkualitas
Pansus proaktif mendatangi sejum­
lah pihak seperti pemerintahan dan
ormas di daerah, akademisi di kam­
pus termasuk para tokoh yang se­
lama ini menyuarakan penolak­an.
“Kita tadi rapat dengan Muspida
Provinsi Kalbar, Ormas setempat,
akademisi Untan dan pada saatnya
kita perlu sowan kepada sejumlah
tokoh, ter masuk P ak D ien di
Muhammadi y ah. M enjelaskan
66
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
perkembangan, mudah-mudahan
beliau dapat memahami telah ter­
jadi perubahan signifikan dalam
pembahasan bersama pemerintah,”
kata Deding Ishak, Wakil Ketua Panja
Ormas DPR.
Ia menambahkan sejumlah
aspirasi ormas keagamaan telah
diakomodir oleh Pansus diantaranya
te nt an g as as, y an g m e mb e r i
peluang untuk tidak lagi menjadikan
Pancasila sebagai asas tunggal. Soal
pengaturan penerimaan sumber
keuangan ormas, disepakati tidak
diatur di RUU Ormas. Putusan ini
memperhatikan masukan ormas
keagamaan yang mengkhawatirkan
sumbangan atas nama ‘hamba Allah’
dapat dikriminalisasi.
“Kemajuan lain ormas yang ter­
daftar pada stablat atau peraturan
era penjajah Belanda dinyatakan
te­t ap berlaku, ormas seperti Mu­
hammadiyah tidak perlu mendaftar
lagi. Jadi apalagi, semua masukan
sudah kita akomodir,” papar Deding
yang juga putra ulama kharismatis
Jawa Barat alm. KH Totoh Abdul
Fatah. Ia berharap pada akhir masa
sidang kali ini, Juli yang akan datang,
RUU Ormas sudah dapat disahkan
dalam rapat paripurna.
Sementara itu dalam diskusi de­
ngan akademisi Untan, Mar­t ono
Pembantu Dekan I, FKIP meng­
khawatirkan fenomena munculnya
ormas instant. “Banyak ormas kaget­
an di daerah muncul menjelang
pilkada, pileg, dan sebagainya bah­
kan ada yang dibentuk anggota
DPR. Ini ormas instant setelah acara
selesai bubar tak jelas. Bagaimana
memonitor ormas seperti ini, kalau
terjadi kekacauan, anarkis, gimana
penyelesaiannya? Kita memang
perlu peraturan untuk kasus seperti
ini,” pungkas dia.
Wakil Gubernur Christiandy Sanja­
ya menyampaikan penghargaan atas
dipilihnya Provinsi Kalbar sebagai
tempat sosialisasi. “Terima kasih
telah memilih Kalbar, disini memang
terdapat banyak ormas terutama
yang bercirikan budaya dan agama.
Mereka sangat tepat mengkritisi
RUU yang menjadi perhatian banyak
pihak di tanah air,” paparnya. (iky)
SOROTAN
Deputi Bidang Perundang-Undangan
Optimalisasi Dukungan
Keahlian Legislasi Bagi Dewan
Sekretariat Jenderal DPR RI sebagai salah satu unsur penunjang
Dewan, memiliki tugas yang tidak kalah beratnya dengan DPR
RI. Sebut saja, Deputi Perundang-undangan yang memberikan
dukungan bagi kinerja DPR RI.
Semenjak amandeman UUD 1945,
fungsi DPR RI dibidang anggaran,
legislasi maupun pengawasan
semakin besar dibandingkan era
Orde Baru (Orba) yang dianggap
hanya
stempel
pemerintah saja.
Bahkan secara
j e l a s
dikukuhkan pada Pasal 20 ayat
1 bahwa DPR RI itu memegang
kekuasaan membentuk Undangundang.
Menurut Deputi Bidang Perundangundangan Johnson Rajagukguk,
Deputi perundang-perundangan
memiliki tugas dalam memberikan
dukungan dibidang legislasi baik
adminis tr at if, tek nis maup un
keahlian. “Dari sistem pendukungan
tentu DPR perlu didukung khususnya
dibidang legislasi, karena itulah
dibentuk satu kedeputian yaitu
deputi perundang–undangan yang
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
67
memberikan dukungan dibidang
legislasi, dimulai dari perencanaan
dan penyusunan RUU, perencanaan
itu adalah program legislasi dan
kemudian juga penyusunan RUU,
terdapat beberapa hal. Yang pertama
penyusunan naskah akademis, yang
kedua penyusunan draft awal RUU,
yang ketiga juga berkaitan dengan
pembahasan RUU,” jelasnya kepada
Parlementaria.
Johnson mengatakan, Setjen
DPR RI akan terus mendorong dan
memprioritaskan tugas dibidang
keahlian, ar tinya berusaha
mendukung legislasi mulai dari
perencanaan penyusunan dan
penetapan Prolegnas yang dilakukan
oleh badan legislasi.
“Jadi kita menyusun konsep ko n­s e p p ro gr am l e gisl asi itu
dan kemudian penyusunan RUU
Terdapat dua biro khusus yaitu Biro PUU bidang
Polhukamkesra dan Biro bidang Perancangan Ekonomi
Keuangan Industri dan Perdagangan (Ekuindag).
“Tetapi ada satu biro yang juga sebenarnya memiliki
dukungan yang tidak kalah dari biro perancangan
yaitu biro hukum dan pemantauan pelaksanaan UU,
tugas Biro hukum dan Panlak UU yaitu memberikan
keterangan di Mahkamah Konstitusi manakala ada
gugatan di MK terkait dengan yudisial UU,” terangnya.
termasuk kelengkapannya ya­i tu
naskah akademis dan yang ketiga
pembahasan RUU jadi disitulah
tugas pokoknya,” tambahnya.
Terdapat dua biro khusus yaitu
Biro PUU bidang Polhukamkesra
dan Biro bidang Perancangan
Ekonomi Keuangan Industri
dan Perdagangan
(Ekuindag). “ Tetapi
ada satu biro yang
juga sebenarnya
m e m i l i k i
dukungan
yang tidak
k a l a h
dari biro
perancangan yaitu biro hukum
dan pemantauan pelaksanaan UU,
tugas Biro hukum dan Panlak UU
yaitu memberikan keterangan di
Mahkamah Konstitusi manakala
ada gugatan di MK terkait dengan
yudisial UU,” terangnya.
Tenaga Perancang UU Minim
Volume p ekerjaan tenaga
perancang UU yang padat dan
kebutuhan dalam mendukung
kinerja DPR yang besar membuat
Deputi Bidang PerundangPerundangan mulai keteteran,
bahkan dengan dukungan 26 orang
Perancang UU dari berbagai disiplin
ilmu dirasa masih kurang dalam
mengoptimalisasi fungsi legislasi.
“Kita berharap ada penambahan
tenaga perancang UU, minimal kita
memiliki 75 orang perancang UU
guna menunjang kegiatan dewan
dari sisi legislasi,” ujarnya.
Menurutnya, RUU inisiatif
DPR sudah cukup banyak
karena itu kita semua
m e n ghar ap k an
p a r a
68
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
SOROTAN
P e r an c an g U U d ap at b e ke r j a
m ak s i m al d an o pt i m al. “ K i t a
mengharapkan tahun mendatang
sudah dapat memilik i tenaga
perancang UU yang memadai,”
harapnya.
Kedepan, lanjutnya, Deputi Bidang
Perundang-undangan akan terus
mengoptimalkan kerjasama dengan
para peneliti dalam fungsi legislasi.
“Kita juga telah melibatkan para
peneliti, tenaga ahli yang ada di
komisi, yang ada badan legislasi kita
libatkan semua dalam mendorong
produk legislasi,” tambahnya.
Guna meningkatkan keahlian para
perancang UU, Deputi Perundangundangan, terangnya, juga akan
terus memberikan pelatihan dan
pendidikan bagi para perancang
Undang - Undang. “ S etjen D PR
mengharapkan munculnya suatu
rancangan UU yang memiliki kualitas
yang bagus dan dapat dijadikan
rujukan dan kita terus melakukan
peningkatan wawasan seper ti
pendidikan teknis perancangan UU,
dengan mengundang para pakar,
maupun pejabat yang terlibat guna
mendapatkan point pemikiran –
pemikiran atau yusdisial yang tekait
UU tersebut,” jelasnya.
Ide Law Center
Dia menilai, gagasan pembentukan
law center sangat bagus dan layak
diperjuangkan. Dirinya mengakui,
ide seper ti itu memang sudah
tercetus lama namun s amp ai
sekarang masih belum terwujud
karena belum adanya kesepahaman
terkait gagasan itu.
“Pertanyaannya adalah apakah
yang dimaksudkan ide ini berada
diluar kedewanan, jika kit a
analogikan di AS, kalau disana
memang ada pakar – pakar yang
khusus merancang UU, dan mereka
pada umumnya adalah praktisi, dari
para pengacara sebelumnya lalu
mereka terjun ke dunia parlemen
menjadi perancang undang –
undang,” tambahnya.
Menurutnya, ide tersebut telah
digulirkan dalam UU No. 27 tahun
2009 dengan pembentukan Badan
Fungsional Keahllian (BFK). “Ide itu
memang dapat direalisasikan, yang
agak sulit mendatangkan para ahli
profesor tersebut,” terangnya.
Yang utama, lanjut Johnson,
tidak hanya gelar akademik semata
tetapi para ahli tersebut juga
harus memiliki pengalaman dalam
merancang suatu UU. “ Karena
memang tidak semua sarjana hukum
bisa merancang UU, tetapi orang
yang merancang itu orang yang
memiliki penguasaan hukum dan
juga memiliki penguasaan tentang
teknik perundang-undangannya,”
katanya.
Dia menambahkan, lembaga
semacam law center tersebut
bentuknya seperti apa jika memang
sebagai lembaga sistem pendukung
tentunya sama seperti sekarang
yaitu berada di Deputi Perundangundangan.
“ Tinggal terakhir bagaimana
mempolakan kerja deputi itu dengan
dukungan tenaga-tenaga ahli tadi.
Tetapi kalau itu berada di Dewan
sekarang ada badan legislasi, apakah
itu yang kita maksud sebagai pusat
rancangan undang-undang, padahal
dewan itu tidak merancang, dia
hanya memutuskan,” tandasnya.
Guna menghadapi Reformasi
Birok r asi, D eputi Bidang Per­
undang-undangan berjanji
akan menata seluruh peraturan
perundang-undangan di Setjen
DPR RI. Artinya terus melakukan
penataan sistem legislasi serta
melakukan pembenahan personil
secara bertahap. “Seluruh personil
di Deputi PUU harus betul-betul
dipastikan mendorong Reformasi
Birokrasi di lingkungan Setjen DPR
RI,” terangnya.
Yang kedua, lanjutnya, selain
sistem penataan legislasi, dirinya
juga mendorong p eningkat an
kualitas SDM di lingkungan Deputi
Perundang-undangan. “Kedepan
kita mengharapkan semakin
terspesialisasi para Perancang
UU tersebut, dengan jumlah 50
orang paling tidak bisa membagi
spesialisasi berdasarkan pola komisi
atau berdasarkan kementerian itu
nanti,” ujarnya.
Yang kita dorong, tambah Johnson,
yaitu peningkatan penguasaan
atau kapabiltas para perancang
sehingga dapat meningkatkan pola
pembinaan. “Jadi reformasinya ke
arah spesialisasi, birokrasinya ke
arah kapabilitas. Sehingga kita nanti
bisa mendukung kegiatan bidang
legislasi, termasuk bekerjasama
dengan pemerintah,” ujarnya. (si/as)
Dorongan Reformasi Birokrasi
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
69
LIPUTAN KHUSUS
Delegasi DPR Hadiri
Sidang ke-5 AIPA Caucus
Delegasi DPR RI dipimpin Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Sidarto
Danusubroto menghadiri Sidang ke-5 ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) Caucus
yang berlangsung pada 11 sampai dengan 14 Mei 2013, di Da Lat, Vietnam.
AIPA Caucus merupakan forum untuk memonitor
implementasi rekomendasi-rekomendasi yang telah
dihasilkan Sidang Umum AIPA. AIPA Caucus juga
dimandatkan untuk mendorong harmonisasi legislasi
terkait isu-isu yang menjadi perhatian bersama di
kawasan, yang dapat mendukung pembangunan
Komunitas ASEAN 2015.
Pertemuan yang dihadiri seluruh anggota AIPA, kecuali
Filipina, dan juga dihadiri Sekretaris Jenderal ASEAN,
sebagai Guest of the Host, dan perwakilan Sekretariat
AIPA ini, membahas the Status of Implementation
of the 33rd AIPA General Assembly (GA) Resolutions,
Green Growth dan Poverty Reduction for Sustainable
Development.
Delegasi DPR RI yang turut hadir pada pertemuan
tersebut, yaitu Ida Ria Simamora (F-PD) dan Alexander
Edwin Kawilarang (F-PG).
Menurut Sidarto Danusubroto, tujuan pengiriman
Delegasi DPR RI ke Sidang ke-5 AIPA Caucus, yaitu
untuk memberikan dukungan terhadap upaya-upaya
harmonisasi legislasi di Negara-negara ASEAN,
70
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
mendukung visi negara-negara anggota AIPA dalam
menerapkan pertumbuhan hijau untuk pembangunan
berkelanjutan, dan berpartipasi dalam forum AIPA
untuk bertukar pandangan dan pengalaman dalam
menghadapi masalah pengentasan kemiskinan.
Adapun misi Delegasi DPR RI mengikuti sidang
tersebut, kata Sudarto Danusubroto, untuk ikut
mengidentifikasi legislasi yang akan diharmonisasi serta
mekanisme untuk memastikan implementasi efektif dari
resolusi-resolusi Sidang Umum AIPA dan sebagai wujud
komitmen DPR RI untuk ikut berpartisipasi mendorong
percepatan pencapaian MDG di tahun-tahun yang
tersisa terutama kaitannya dengan pengentasan
kemiskinan dan pertumbuhan hijau.
P ada p er temuan ter sebut , D el e gasi D P R R I
menyampaikan berbagai upaya yang telah dilakukan
oleh Parlemen dan Pemerintah Indonesia dalam
menindaklanjuti keduabelas resolusi yang dihasilkan
Sidang Umum ke-33 AIPA, baik di bidang politik,
ekonomi, sosial maupun pengarusutamaan gender.
Delegasi DPR RI menekankan bahwa sinergi yang
baik diantara badan legislatif dan eksekutif memiliki
peran penting dalam mendorong implementasi
resolusi-resolusi tersebut sekaligus mendukung proses
pembentukan Komunitas ASEAN 2015 yang terintegrasi,
maju dan damai.
Selain itu, Delegasi DPR RI juga menyampaikan
komitmen Indonesia dalam mendorong Sustainable
Development, baik dalam bentuk legislasi maupun
kebijakan, antara lain telah melakukan reformasi
kebijakan, menyusun strategi pembangunan jangka
panjang (2005-2025), mengurangi tingkat emisi gas
dan menyusun Climate Change Sectoral Roadmap. Dan
Indonesia telah berpartisipasi pula secara aktif dalam
berbagai mekanisme kerja sama bilateral, regional dan
multilateral.
Dalam pertemuan yang dihadiri Sekretaris Jenderal
ASEAN, sebagai Guest of the Host, dan perwakilan
Sekretariat AIPA, Delegasi DPR RI juga menyampaikan
berbagai peraturan perundang - undangan dan
kebijakan Indonesia dalam mendorong pengentasan
kemiskinan dan pembangunan yang berkelanjutan,
antara lain memfokuskan upaya pada penanganan akar
masalah kemiskinan, seperti pendidikan, kesehatan,
dan lapangan pekerjaan. Indonesia juga menekankan
tentang pentingnya mendorong perkembangan Small
and Medium Enterprises (SMEs) yang telah menjadi
tulang punggung kegiatan ekonomi di ASEAN.
Isu yang sempat menjadi perdebatan diantara para
ne­gara peserta 5th AIPA Caucus adalah mengenai usulan
Vietnam untuk membentuk ASEAN Green Growth
Centre.
Sebagian peserta mempertanyakan apakah Centre
tersebut akan berada di bawah mekanisme AIPA atau
ASEAN, bagaimana mekanisme pembentukan dan
operasionalisasinya ke depan, apakah inisiatif serupa
juga ada dalam mekanisme kerja sama ASEAN, serta
apakah pembentukan Centre tersebut berada di bawah
penanganan parlemen.
Atas usulan Indonesia, perwakilan ASEAN Secretariat
menjelaskan bahwa sejauh ini belum ada mekanisme
khusus dalam kerangka ASEAN mengenai isu Green
Growth. Menurut perwakilan ASEAN Secretariat,
pembentukan Centre semacam itu harus jelas Term of
Reference-nya khususnya mengenai pendanaan dan
memerlukan proses.
Pertemuan menyepakati untuk meminta informasi
lebih detail dari Vietnam serta membahasnya lebih
lanjut pada Sidang Umum AIPA berikutnya. Keputusan
ini cukup baik, karena inisiatif ini kiranya memang
perlu dicermati secara seksama untuk menghindari
pembentukan mekanisme baru yang belum bisa
dipastikan urgensi dan manfaatnya. Kiranya perlu
dihindari bahwa inisiatif tersebut hanya akan berujung
pada pembentukan suatu institusi (Centre) yang belum
tentu efektif dalam operasionalisasinya.
Pertemuan diakhiri dengan mengadopsi Report of
the 5th AIPA Caucus yang ditandatangani oleh seluruh
ketua delegasi. Brunei Darussalam akan menjadi Chair
pertemuan ke-6 AIPA Caucus. (sc)
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
71
M
Aksi panggung NIDJI di acara Satu Nusa
Satu Suara, gedung DPR RI.
uda, energik, ramah dan piawai bermusik, itulah
yang tergambar dari sosok para personil grup
band NIDJI. Ditemui sesaat sebelum berlang­
sungnya pagelaran Satu Nusa Satu Suara, Giring sang voka­
lis mengung­kapkan perasaannya da­pat bernyanyi secara
langsung di gedung DPR RI, Senayan Jakarta pada 20 Mei
lalu.
“Ini merupakan pengalaman per­t ama kami masuk dan
menyanyi tepat di gedung bundar, gedung DPR RI yang
merupakan ‘rumah rakyat’. Exiceted dan bangga rasanya,”aku
pria berambut kribo ini.
Nidji
Ya, perasaan Giring yang tidak berbeda jauh dengan
perasaan Ariel, Rama, Andro, Adrie, dan Randy ini memang
tidak berlebihan, mengingat dalam sejarah gedung rakyat
itu pula kali pertamanya sebuah grup band tampil dan
perform secara langsung di depan anak tangga gedung
bundar, diiringi gemericik air mancur yang berada tepat di
depan panggung.
Meski pengalaman pertama, namun diakui Giring dan
teman-temannya, tidak ada persiapan atau ritual khusus
yang mereka lakukan sebelum tampil di gedung yang sangat
bersejarah untuk bangsa kita ini. “Yang kami persiapkan
hanya lagu-lagu yang diantaranya kami akan menyanyikan
lagu perjuangan selain tentunya lagu-lagu kami. Mengingat
kali ini bertepatan dengan hari kebangkitan nasional,” ujar
Giring.
Kekaguman Nidji terhadap gedung rakyat ini bukan hanya
karena keunikan gedung bersejarah ini saja, melainkan
juga kepada perancang atau arsiteknya, dan lebih dari itu
sang proklamator Bung Karno lah yang diketahui sebagai
penggagas atau pencetus ide tak kalah membuat kagum
NIDJI.
Berbicara tentang gedung yang menjadi rumah rakyat
ini, Nidji menganggap bahwa di era sekaranglah gedung ini
72
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
benar-benar menjadi rumah rakyat.
Sementara sebelum era reformasi,
gedung DPR RI hanya menjadi
sebuah simbol.
“Namanya rumah rakyat, sudah
selayaknyalah rakyat mengadukan
nasibnya ke para pemimpin di
gedung ini,” jelas Giring.
para pekerja seni adalah ketika
hasil kar ya mereka mendapat
penghargaan. Penghargaan yang
standar dilakukan adalah dengan
perlindungan hak cipta bagi karya
mereka. Konkretnya, para pekerja
seni saat ini sudah hampir putus asa
dengan adanya pembajakan atas
ini dirinya merasa belum mampu
untuk menjadi wakil rakyat yang
dinilainya memiliki tugas yang tidak
mudah.
karya-karya seni mereka, seperti
lagu dan musik yang paling banyak
mengalami pembajakan.
harus dengan porsi kami menjadi
pemusik,” aku pria kelahiran Jakarta
14 Juli 1983 ini kepada parle.
Menurut R ama hal ter sebut
jelas-jelas merugikan mereka se­
ba­g ai pekerja seni. Belum lagi
ketidak tersediaan museum untuk
mengenang hasil karya para pekerja
seni yang sudah mengabdikan dirinya
di bidang seni, yang notabene juga
telah mengharumkan nama bangsa
lewat karya-karyanya.
Syuting Bareng Pemain Man­
chester United
“ Semua sudah ada por sinya
masing-masing, mungkin untuk saat
ini saya dan teman-teman masih
Meski demikian, ditambahkan
sang keyboardist, Randy, banyaknya
rakyat yang berdemo menyalurkan
aspirasi dan nasibnya ke gedung ini
menjadi sebuah pertanda bahwa
masih banyak ketidakadilan dan
ketidaklurusan yang dirasakan
masyarakat, tugas anggota dewan­
lah sebagai wakil rakyat yang harus
memperbaiki semua itu.
“Dengan kata lain, kalau masih
banyak yang demo di gedung
DPR ini berarti masih banyak “PR”
yang harus diperbaiki oleh para
anggota dewan. Baik itu kinerja
dari pemerintah, maupun kinerja
dari anggota dewan itu sendiri yang
juga harus terus diperbaiki atau
ditingkatkan,” papar Randy.
Sement ar a itu, menanggapi
banyaknya selebriti yang berasal
dari kalangan artis yang masuk
menjadi anggota dewan, Ariel
sang gitaris mengatakan hal itu
bukan sesuatu yang istimewa atau
luar biasa. Dikatakannya, profesi
ataupun jabatan sebelumnya ketika
orang itu masuk menjadi anggota
dewan maka, ia harus melepaskan
profesi, jabatan atau warna bendera
lamanya.
“Yang sekarang menjadi perta­
nyaan bukan kepada latar be­la­kang
orang tersebut sebelum­nya, namun
setelah itu apa yang bisa ia lakukan.
Maksudnya yang dilihat masyarakat
adalah ketika orang tersebut sudah
duduk di kursi dewan, bisakah ia
menyuarakan aspirasi masyarakat.
Jika ia sebelum­nya seorang artis,
bisakah ia membuat kebijakan yang
berpihak pada artis,” ujar Ariel.
Ditambahkan Rama, sang gitar­
is, salah satu kebijakan yang
sangat diperlukan bagi artis atau
“Kalau seharusnya dengan karya
kami tersebut, kami mendapat
royalty lebih, namun karena adanya
pembajakan lagu kami mendapat
royalty yang tidak semestinya,” jelas
Rama sambil berharap ke depannya
para wakil rakyat bisa membenahi
semua itu.
Berbicara tentang kiprah
Nidji di blantika musik tanah air
tidak terlepas dari pertemanan
sekelompok anak muda Jakarta,
Giring, Ariel, Rama, Andro dan Adrie
yang memiliki kesamaan minat
di bidang musik. Di tahun 2002
mereka sepakat membentuk sebuah
band. Tiga tahun kemudian, Giring
memperkenalkan salah seorang
sahabatnya yang dikenalkan handal
dalam memaikan tuts-tuts keyboard,
Randy. Dengan diamini oleh personil
lainnya, masuklah Randy untuk
menempati posisi keyboardis.
Saat ditanya ketertarikan para
personil Nidji dengan dunia politik,
Giring mengaku bahwa hingga saat
ini tidak kurang tiga partai yang ingin
meminangnya menjadi caleg (calon
legislatif). Namun Giring mengaku
belum tertarik untuk terjun ke dunia
politik. Giring berkilah bahwa saat
Setelah lengkap menempati
p osisi masin g - masin g, Gir in g
Ganesha sebagai vokalis, Andi Ariel
Harsya sebagai gitaris, Muhammad
Ramadista Akbar memegang gitar
ritme,Muhammad Andro Regantoro
sebagai basis,Muhammad Adri
Prakasa dan Randy Danista masingPARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
73
dipercaya menyanyikan Lagu Liberty
Victory yang menjadi theme song
untuk penggila Manchester United
di seluruh Asia sekaligus sebagai
soundtrack produk makanan yang
jadi sponsor resmi klub bola asal
Inggris ini.
Agustus 2012 lalu NIDJI berke­
s e m ­p at a n m e n g u n j u n g i kot a
Manchester, Inggris untuk syuting
video klip plus pembuatan iklan
produk makanan bareng enam
pemain The Red Devil’s seperti
Wayne Rooney, Antonio Valencia,
David De Gea, Federico Macheda,
Javier ‘Chicharito’ Hernandez dan
Shinji Kagawa.
masing memegang posisi sebagai
drummer dan keyboardis, mereka
lantas sepakat menamakan grup
bandnya dengan nama NIDJI.
NIDJI berasal dari bahasa
jepang Niji yang berarti pelangi.
Keberagaman warna dan corak para
personil nya lah yang digambarkan
seperti warna pelangi. Debut Nidji
sebagai grup band profesional
diawali pada tahun 2006 dengan
keluarnya album perdana mereka
yang bertitel “Breakthru” dengan
lagu andalannya “Sudah” dan
“Hapus Aku”. Tak dinyana album
perdana mereka yang terjual hingga
540 ribu copy itu mengantar NIDJI
menjadi salah satu band papan atas
Indonesia.
Tidak dipungkiri, kombinasi musik
yang easy listening, style para
personil yang up to date plus Gaya
panggung sang vokalis yang unik
dengan cirri khas bak tangan sedang
“memas ang b ohlam ”membuat
nama NIDJI semakin melambung.
Tak ayal, dua penghargaan sebagai
Artis Pendatang Terbaik dan Grup/
duo Terbaik di ajang MTV Indonesia
Award 2006 pun dikantonginya.
Seiring dengan kepopulerannya,
para penggemar fanatik NIDJI yang
dinamai Nidjiholic pun semakin
74
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
bertambah. Tahun berikutnya, Nidji
merilis ulang album “Breakthru”
kali ini dengan versi bahasa Inggris.
Bahkan konon, lagu “ Heaven”
dan “Shadow” yang ada di album
tersebut sempat dijadikan sebagai
background musik serial “Heroes”
yang kala itu tengah digandrungi di
kawasan Asia Tenggara.
Tak ingin menyia-nyiakan wak­
tu, satu tahun kemudian NIDJI
merilis album kedua bertajuk “Top
Up” dengan lagu hits berjudul
“Biarlah”,”Arti Sahabat” ,”Akhir Cerita
Abadi” dan lagu Jangan Lupakan
yang kemudian dijadikan original
soundtrack sinetron “ Namaku
Mentari” yang dibintangi oleh artis
Rachel Amanda.
Tahun 2008 NIDJI dipercaya men­
cip­t akan sekaligus membawakan
original soundtrack film adaptasi
Novel karangan Andrea Hirata yang
saat itu tengah digandrungi, Laskar
Pelangi. Seolah tak ingin berhenti
berkarya, Tahun berikutnya NIDJI
merilis single b erjudul “ Sang
Mantan” yang disusul album ketiga
bertitle “Lets Play”.
Memasuki satu dekade kiprah
mereka di blantika music, 2012 lalu
NIDJI menorehkan sejarah baru
bagi perjalanan karir mereka. NIDJI
Mengingat saat-saat menjalani
syuting bareng Rooney, Kagawa dan
Valencia dengan latar green screen
menjadi pengalaman yang tidak
akan terlupakan bagi NIDJI. Belum
lagi, ketika pengambilan gambar
dilakukan di terowongan stadion
MU, Old Trafford, Inggris dengan
format full band yang kesemuanya
berkaos MU.
“Selama syuting, keenam pemain
MU sangat open. Bahkan Rooney
katanya belum pernah syuting
video klip. Jadi bisa dibilang kami
band pertama yang berkolaborasi
bareng bintang MU. Selain itu, Kami
juga merupakan band pertama yang
syuting di terowongan stadion MU,
Old Trafford, Inggris,” kisah Giring.
Perjalanan Nidji ke Inggris ini tak
dapat dipungkiri menjadi loncatan
besar bagi karir mereka. Membawa
misi kampanye Liberty Victory pada
bulan November, NIDJI kembali
menggelar tur konser di Australia.
“Yang jelas perjalanan beberapa
waktu lalu itu semakin melebarkan
kesempatan kita untuk networking
ke internasional dan semoga ke
depannya bisa go international,”jelas
Rama yang berharap single terbaru
NIDJI yang bertitle Di atas Awan
yang merupakan soundtrack Film 5
cm itu dapat diterima oleh Nidjiholic
sekaligus oleh pencinta musik tanah
air. (Ayu)
PERNIK
Meriahnya Satu Nusa Satu Suara
Memperingati Hari Kebangkitan Nasional dan 15 Tahun Reformasi Indonesia
Ketua DPR Marzuki Alie menuliskan
aspirasi di tembok demokrasi tentang
Hari Kebangkitan Nasional.
Indahnya bercinta saat muda… Indahnya bercinta di dunia… Indahnya bercinta sampai tua... Cinta masa muda… Cinta paling indah… Oh… jiwa muda…
Jangan sampai mudah menyerah… Semua demi cinta…
Hai jiwa muda pertahankan cinta…
I
tulah salah satu penggalan lirik
lagu Indahnya Cinta yang dib­
awakan oleh Nidji ketika mem­
buka acara Satu Nusa Satu Suara
di Tangga Halaman Depan Gedung
Nusantara, DPR. Acara hasil kerjasa­
ma antara DPR dengan Metro TV
ini disiarkan live pada Senin (20/5)
malam lalu. Lagu pembuka dari Nidji
berhasil membakar suasana. Vokalis
Nidji, Giring, membawakan lagu
dengan penuh semangat, sehingga
penonton pun turut bernyanyi.
Acara dipandu secara apik oleh
host Aviana Malik dan Rory Asyari,
dengan pengisi acara band Nidji,
Denny Darko (Pelukis Pasir), Mo
Siddiq (Stand Up Comedy Indonesia),
dan Queen Percusion. Ratusan
penonton pun hadir memenuhi
pelataran panggung.
Acara ini diselenggarakan da­lam
rangka memperingati hari Kebang­
kitan Nasional dan peringatan 15
tahun Reformasi. Tampak hadir
di acara ini, Pimpinan DPR dan
perwakilan partai politik. Pimpinan
DPR yang hadir diantaranya Ketua
DPR Marzuki Alie, Wakil Ketua
Pri­y o Budi Santoso, Wakil Ketua
Taufik Kurniawan, dan Wakil Ketua
Sohibul Iman. Sedangkan, Wakil
Ketua Pramono Anung tidak dapat
menghadiri acara dikarenakan ada
tugas lain.
Walaupun langit tampak sedikit
mendung, tak menyurutkan niat
penonton untuk mendatangi aca­
ra. Usai Nidji membawakan lagu
pertama, penonton bertepuk tang­
an dengan meriah. Penampilan
band yang digawangi Giring, Ariel,
Rama, Adrie, Andro dan Randy ini
berhasil menarik penonton untuk
merapat mendekati panggung. Host
membuka acara dan dilanjutkan
dengan pemutaran video yang berisi
tentang rekam jejak peran pemuda
Indonesia sejak jaman penjajahan
hingga saat ini.
B e r l a n j u t ke s e g m e n a c ar a
berikutnya. Penonton dibawa oleh
Rory untuk melihat spot atau tembok
demokrasi. Dalam penjelasannya,
Rory menyatakan bahwa di spot
ini, masyarakat dapat menuliskan
aspirasi, kritik, saran maupun ha­
rap­an untuk pemimpin bangsa di
masa mendatang. Termasuk yang
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
75
berkaitan dengan hari Kebangkitan
Nasional.
Didepan tembok demokrasi,
sudah berdiri Ketua DPR Marzuki
Alie dan tokoh intelektual muda
Anies Baswedan. Di spot itu, Marzuki
menuliskan:
Negara membutuhkan pemudapemudi yang mampu, mau dan
siap menjaga mar t ab at dan
kejayaan bangsa. Wahai pemudapemudi Indonesia, bangun dan
bangkitlah. Anda mampu untuk
melakukannya sekarang, saat ini
juga.
“Dalam pandangan saya, ada 2
kriteria pemuda. Yang pertama
adalah pemuda yang terus mela­
kukan kegiatan positif, sesuai
dengan kapasitas dan umur mereka.
Melakukan kegiatan positif terus
menerus. Tapi di sisi lain, ada juga
pemuda yang berpikiran pragmatis
atau instan. Ingin mendapatkan
dengan cara yang cepat, dan ini
yang sangat memprihatinkan kita.
Kita mendorong pemuda yang bisa
menginspirasi pemuda lainnya,
untuk bangun dan bangkit,” tegas
Marzuki ketika diwawancara Rory.
Dalam kesempatan yang sama,
Anis juga menuliskan: “Republik
ini m e m e r luk an o r an g - o r an g
yang masuk wilayah politik untuk
melunasi seluruh janji kemerdekaan,
semoga pemilu 2014 akan membuka
jalan bagi mereka untuk hadir dan
76
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
melunasinya”.
Ketika disinggung mengenai
presiden yang ideal untuk masa
depan, Marzuki menegaskan kriteria
presiden yang akan datang adalah
orang yang betul-betul mempunyai
komitmen untuk rakyat. Komitmen
sebagaimana apa yang telah dikata­
kannya kepada rakyat.
Sedangkan Anies berpendapat
bahwa saat ini Indonesia memer­
lukan presiden yang bisa mengge­
rakkan semua orang bisa terlibat
dan semua orang mau turun tangan
dalam memajukan bangsa dan
negara. Selain itu, tambah Anies,
tegas dalam memberantas korupsi
juga menjadi kriteria presiden yang
ideal.
M eningkat ke se gmen b eri ­
kut­n ya, perwakilan partai po­l i­
tik dipersilahkan untuk mempre­
sentasikan pesan partai mereka
kepada masyarakat melalui sebuah
benda. Ada berbagai benda yang
dibawa, mulai dari bambu run­
c i n g , k a l e n g ke r u p u k , p a d i ,
hand­p hone, bola, hingga hati.
Walapun perwakilan parpol bisa
menyampaikan pesannya, namun
dibatasi untuk tidak berkampanye.
Malam semakin larut, namun
suasana masih terlihat ramai. Nidji
kembali menghentak panggung de­
ngan lagu Tanah Air, dengan medley
Diatas Awan. Giring mengajak
penonton berdiri dan menyanyikan
lagu Tanah Air bersama-sama.
Dibawakan secara akustik, Nidji dan
penonton menyanyikan lagu ciptaan
Ibu Sud ini secara khidmat.
Dalam acara ini juga ada aspirasi
dari mahasiswa Sekolah Tinggi
Komunikasi Pembangunan, Medan,
Sumatera Utara yang menegaskan
bahwa pemuda-pemudi jangan
sampai golput dalam p emilu.
Di Medan, dilaksanakan nonton
bersama acara ini.
“Masyarakat dan kalangan maha­
siswa pasti menginginkan yang
terbaik untuk masa depan bangsa
ini. Semoga Indonesia kedepannya
memiliki pemimpin yang berkualitas.
Pemimpin sekarang banyak janjijanji, tapi itu tidak kami butuhkan.
Kami hanya butuh pembuktiannya,”
tegas salah satu perwakilan maha­
siswa dari Medan.
Selain itu, tambah perwakilan,
akhir-akhir ini banyak masyarakat
yang memilih golput dikarenakan
ulah pemimpin itu sendiri yang
berkuasa saat ini. Alasan masya­
rakat memilih golput, karena me­
re­k a tidak mempunyai kriteria
pemim­p in yang sesuai. Sehingga
dihar apkan p emimpin bangsa
kedepannya semakin berkualitas
dan lebih menunjukkan bagaimana
sebenarnya pemerintah, dan ber­
tanggung jawab kepada janjijanjinya.
Kembali ke pelataran DPR, sudah
berdiri di panggung, Ketua DPR
Marzuki Alie didampingi Wakil
Ketua Priyo Budi Santoso, Wakil
Ketua Taufik Kurniawan, dan Wakil
Ketua Sohibul Iman. Ror y dan
Aviana mewancarai terkait dengan
dinamika yang terjadi di DPR dan 15
tahun reformasi di lingkungan DPR.
Rory mempertanyakan Rancangan
Undang-undang Pemilihan Presiden
(RUU Pilpres) yang belum selesai.
Menanggapi hal itu, Marzuki menya­
takan bahwa UU yang sudah dibuat
itu harus memiliki jangka masa yang
panjang.
“Seharusnya membuat UU itu
bukan untuk satu periode DPR. UU
itu seharusnya bernuansa jangka
panjang. Tapi inilah reformasi Indo­
ne­sia yang belum menemukan ben­
tuknya, sehingga tiap pemilu yang
diadakan lima tahun sekali, terpaksa
kita harus revisi UU,” jelas Marzuki.
pemerintah. Ia menilai pemerintah
lamban satu langkah di belakang
DPR, termasuk dalam penyusunan
RUU Pilpres ini. Namun ia yakin,
DPR berani mengambil keputusan
untuk merombak satu hal yang
baru terkait dengan RUU Pilpres ini,
termasuk perombakan dari politik
dan hukum.
Per tanyaan terkait dengan
berbagai demonstrasi yang ditujukan
kepada DPR, Taufik menyatakan ini
sebagai aspirasi masyarakat dan
bagian dari reformasi. Sehingga DPR
harus merespon semuanya demi
kepentingan masyarakat.
seluruh anggot a D PR , s angat
berterima kasih terhadap seluruh
reaksi yang diberikan masyarakat
terkait masalah ini. Pertama, kami
akan mensikapi itu secara positif.
Itu sebagai trigger buat kami.
Yang kedua, sebagai upaya kami
dari dalam, pimpinan sepakat, kita
harus menegakkan kode etik yang
berlaku di DPR, yang sebagaimana
kita tahu sudah semakin membaik,”
jelas Sohibul.
“Segala sesuatu yang berkaitan
dengan aspirasi masyarakat, atau
apapun keinginan masyarakat,
s e m u a ny a h ar u s k i t a r e s p o n
dalam rangka untuk kepentingan
Selain itu, ia tidak terusik dengan
anggapan yang meminta badan
anggaran untuk dibubarkan. Ia
menyatakan bahwa ini persoalan
bangsa yang akan menjadi diskusi
pimpinan DPR. Ia bertekad untuk
membuat banggar kedepannya jauh
lebih baik, bukan sekedar budget
allocation, namun juga kepada
budget policy.
masyarakat. Terkait dengan pemi­lu
2014 yang akan datang, ini merupa­
kan hal penting, karena kita sudah
merasakan 15 tahun reformasi ini
kita rasakan. Sehingga tonggak
momentum 2014 adalah bagaimana
reformasi itu bermanfaat bagi
masyarakat,” ujar Taufik.
Acara berlangsung dengan meriah.
Penampilan Stand Up Comedy
dari Mo Siddiq berhasil membuat
penonton ter t awa terpingkal pingkal. Lukisan pasir dari Denny
Darko juga telah memukau penonton
untuk tak berkedip melihat tarian
tangan Denny di atas pasir.
Sebagai Wakil Ketua yang me­
nangani bidang ekonomi dan
keuangan, Sohibul menyatakan
ter ima k asih ter hadap reak si
masya­r akat terkait dengan Badan
Anggaran. Untuk menindak mafia
anggaran, ia berjanji akan member­
lakukan kode etik yang berlaku di
DPR.
Acara ditutup dengan penampilan
Nidji membawakan lagu Biarlah
dari album Top Up. Kembali Giring
berinteraksi dengan penonton
dan meneriakkan: Siapapun yang
menang di Pemilu, bisa membawa
perubahan untuk Indonesia. Penon­
ton semakin merapat ke panggung,
dan bernyanyi bersama dengan
band asal Jakarta ini. (sf)
Politisi Demokrat ini menilai, RUU
yang sedang disusun ini lebih banyak
memiliki kepentingan kelompok
daripada kepentingan bangsa dan
negara. Untuk itu, terkait dengan RUU
Pilpres ini masih terjadi dinamika di
dalamnya, ada yang menginginkan
perubahan, ada pula yang tetap
ingin mempertahankannya.
Pertanyaan serupa juga diajukan
kepada Priyo. Ia melihat bahwa
RUU Pilpres hanya sebagian kecil
dari sekian reformasi yang ingin
dilakukan di Indonesia. DPR memiliki
kepentingan untuk memberikan
langkah progresif dari berbagai
segi.
“Dari segi politik kita perlu reborn.
Dari segi hukum perlu kita ubah,
dari segi ekonomi dan demikian segi
sosial dan lainnya. Khusus untuk
politik, kita telah bentuk sebuah
tim khusus untuk merancang itu,
termasuk masalah RUU Pilpres,
pemilu legislatif dan tata aturan
reformasi akan kita terjemahkan
dari sini,” jelas Priyo.
Namun, Priyo menyayangkan
langkah yang sudah dijalankan oleh
DPR kadangkala terganjal oleh sikap
“Kami, pimpinan DPR beserta
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
77
POJOK PARLE
ANCAM PINDAH MARKAS
Delegasi
Aliansi Waria
Anti Korupsi
(AWAK)
diterima
Timwas
Century DPR.
Semangat bangsa ini untuk memberantas korupsi ternyata tidak pernah surut.
Namun di sisi lain, perbuatan melawan hukum dengan merampok uang negara juga
terus meningkat. Bahkan untuk memerangi rasuah ini dibentuk lembaga khusus yang
bersifat ad hoc yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dukungan kepada lembaga ini juga terus
bertambah sebab inilah institusi yang
paling bisa diharapkan untuk memberantas
korupsi di Indonesia. Saking tingginya
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
ini, maka masyarakatpun menggantungkan
harapannya kepada KPK sehingga janji
yang ditebar oleh Pimpinannya akan segera
ditagih masyarakat.
Kalangan mahasiswa, aktivis dan penggiat
anti korupsi akan senantiasa mengamati
78
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
sepak terjang KPK. Namun dalam rapat
Timwas Century baru-baru ini di DPR, selain
kalangan mahasiswa ada kelompok lain yang
amat peduli dengan pemberantasan korupsi
yang ditangani KPK.
Dalam rapat Timwas yang dipimpin Wakil
Ketua DPR Sohibul Iman baru-baru ini yang
sebenarnya agendanya dengan KPK namun
mangkir kedua kalinya, akhirnya rapat
Timwas menerima aspirasi dua kelompok
BEM Seluruh Indonesia dan Aliansi Waria .
Kesempatan pertama kepada Delegasi BEM Seluruh
Indonesia untuk menyampaikan aspirasinya. Intinya
penuntasan kasus Century yang hampir tiga tahun
belum ada tanda-tanda penyelesaiannya, padahal janji
Abraham Samad kalau setahun tak bisa selesaikan maka akan pulang kampung ke Makassar.
“Rapat di DPR mangkir, maka kalau perlu DPR tegas
bisa memaksa hadir. Kalau tak bisa mari kita kumpulkan
dana beliin tiket supaya Abraham Samad kembali ke
Makassar,” teriaknya berapi-api penuh semangat.
menduduki Gedung KPK sebagai markas baru waria
pindah dari Taman Lawang,” ujarnya yang disambut
tawa dan sorak panjang anggota Timwas dan wartawan
serta hadirin dalam ruang Rapat Gedung Nusantara
tersebut.
“Ini luar biasa, ternyata aspirasi yang disampaikan
kaum waria ini sama dengan yang disampaikan temanteman BEM,” tutup Sohibul Iman sembari tersenyum.
(mp)
Giliran Aliansi Waria Anti Korupsi (AWAK) melalui
jubirnya Davina, selain membacakan pernyataan
sikap menolak kleptokrasi Indonesia dan kembalikan
demokrasi Indonesia, juga mendesak KPK segera
tuntaskan Skandal Bank Century sebelum SBY lengser
pada tahun 2014 mendatang.
Davina mempertanyakan, kenapa KPK tidak datang
memenuhi panggilan Timwas Century DPR, sembari
mengancam “Jika KPK tidak datang maka kami siap
“Jika KPK tidak datang
maka kami siap menduduki
Gedung KPK sebagai
markas baru waria pindah
dari Taman Lawang.”
PARLEMENTARIA
EDISI 103 TH. XLIII, 2013
79