Pergeseran_representasi (10).indd

Transcription

Pergeseran_representasi (10).indd
SERI AGAMA DAN KONFLIK 2
AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI:
Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia
ii AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
SERI AGAMA DAN KONFLIK 2
Agama dan Pergeseran Representasi:
Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia
TIM PENULIS
Supervisor: Yenny Zannuba Wahid
Prolog: Ahmad Suaedy
Epilog: Rumadi
Anggota : Abidin Wakano
Ahmad Zainul Hamdi
Dindin A Gazali
Erna Kasypiah
Gazalirrahman
Gusti Marhusin
M. Subhi Azhari
Nur Khalik Ridwan
Syamsurijal Ad’han
Tedi Kholiludin
Yusuf Tantowi
iv AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Agama dan Pergeseran Representasi:
Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia
©Wahid Institute, 2009
Hak terbitan pada The WAHID Institute
Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh
maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara
apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit
Ukuran
Hal
Cetakan I
: 15 X 21 cm
: 476 + xii hal
: Oktober 2009
Tim Penulis
Supervisor :
Prolog
:
Epilog
:
Anggota :
Yenny Zannuba Wahid
Ahmad Suaedy
Rumadi
Abidin Wakano
Ahmad Zainul Hamdi
Dindin A Gazali
Erna Kasypiah
Gazalirrahman
Gusti Marhusin
M. Subhi Azhari
Nur Khalik Ridwan
Syamsurijal Ad’han
Tedi Kholiludin
Yusuf Tantowi
Editor
: Alamsyah M. Dja’far
Perwajahan : Muhammad “Amax” Isnaini
The WAHID Istitute
Jl. Taman Amir Hamzah No. 8, Jakarta 10320, Indonesia
Phone: +62 21-3928233, 3145671 Fax. +62 21-3928250
www.wahidinstitute.org; [email protected]
Pengantar Redaksi
D
alam kurun antara Juli 2008 hingga Juni 2009, berbagai peristiwa keagamaan di Indonesia telah menjadi
objek monitoring dan advokasi oleh sebuah jaringan
nasional bernama “Jaringan Monitoring dan Advokasi Pluralisme di Indonesia”. Jaringan ini terdiri dari sekelompok organisasi masyarakat sipil yang diikat oleh kesamaan keprihatinan
terhadap semakin berkurangnya sikap toleran masyarakat seiring semakin menguatnya sikap eksklusif dan fanatisme kelompok keagamaan menghadapi perbedaan. Keprihatinan ini pula
yang mendorong mereka untuk mendalami beberapa kasus
yang dipilih mewakili kompleksitas persoalan kemasyarakatan
di Indonesia: mulai dari soal hubungan antaragama, konflik
antaretnis dan agama, konflik internal agama hingga hubungan
agama dan negara. Berbagai persoalan terpilih inilah yang kemudian diperdalam melalui riset dan menghasilkan himpunan
tulisan dalam buku ini.
The Wahid Institute (WI) melihat bahwa berbagai persoalan yang diangkat dalam buku yang diberi judul “Agama
dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia” ini sangat penting, tidak hanya karena berkaitan dengan
wilayah kajian dan advokasi lembaga ini, tetapi juga karena WI
menganggap bahwa berbagai perubahan yang terjadi di
masyarakat harus direkam secara terus-menerus. Dengan
vi AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
adanya rekam jejak berbagai persoalan di masyarakat tersebut,
upaya-upaya mencari jalan keluar dari siapapun tentu akan
semakin mudah. Karena itu, WI berupaya semampunya agar
hasil riset ini dapat diterbitkan menjadi sebuah buku yang bisa
dibaca sebanyak mungkin orang. Laiknya karya intelektual, WI
berharap buku ini akan memperkaya khazanah intelektual, menambah bahan rujukan bagi siapapun yang mengkaji masalahmasalah sosial keagamaan, dan juga menstimulus penelitianpenelitian lebih lanjut.
Tidak lupa, WI menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak sehingga buku ini dapat
diterbitkan; kepada para peneliti yang meluangkan waktu dan
kesungguhan demi hasil karya yang dapat dipertanggungjawabkan; kepada para narasumber yang telah menyampaikan pendapat-pendapat mereka secara jujur; kepada seluruh awak program Pemantauan dan Advokasi Pluralisme, kepada The Asia
Foundation dan berbagai pihak yang tidak bisa kami sebutkan
satu persatu. Kepercayaan dan kerjasama adalah dua kata kunci
sehingga buku ini hadir ke hadapan para pembaca. Akhir kata,
kami ucapkan Selamat Membaca.
Jakarta, Juli 2009
Daftar Isi
Pengantar Redaksi ~ v
Daftar Isi ~ vii
Daftar Singkatan ~ ix
Prolog
Agama, Moving People, Shifting Representations dalam transisi
Indonesia: Sebuah Pengantar ~ 1
Mengurai Konflik Sunnah VS Bidah di Pulau Seribu Masjid
Yusuf Tantowi ~ 15
Tragedi Kabel Mik:
Sepenggal Kisah Perseteruan Islam Pribumi
dan Islam Puritan di Klepu Ponorogo
Ahmad Zainul Hamdi ~ 65
Menyingkap Tabir Kasus Penyerangan Naqsabandiyah
di Bulukumba
Syamsurijal Ad’han ~ 129
Yang Sesat, yang Berkembang Pesat:
Identitas Gereja Mormon dalam Ruang Publik Semarang
Tedi Kholiludin ~ 169
viii AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Koflik Kelenteng Poncowinatan: Membaca Kisruh Kelenteng
Tertua di Daerah Istimewa Yogyakarta
Nur Khalik Ridwan ~ 225
Reintegrasi Pasca-Konflik Etnis di Palangkaraya:
Studi Reintegrasi Etnis Madura dan Dayak
Gazalirrahman ~ 287
Yang Ilahiyah di Tanah Bumbu: Problem Penerapan
Manajemen Ilahiyah
Erna Kasypiah dan Gusti Marhusin ~ 313
Dampak Konflik Maluku:
Studi Konflik dan Kekisruhan pada Pengungsi Iha,
Kayu Tiga dan, Seriholo
Abidin Wakano ~ 335
Berebut Kue FKUB:
FKUB Kota Depok dan Kabupaten Bandung Pasca PBM
M Subhi Azhari dan Dindin A Gazali ~ 359
Epilog :
Pandemi Ideologi Puritanisme Agama ~ 403
Bibliografi ~ 431
Indeks ~ 447
Daftar Singkatan
AGAP
ALUMI
AMB
AMPI
APBD
Bakorpin
BCB
BP3
BPDM
CPNS
CU
DAP
DDII
DI/TII
DKBPM
DPRD
ESQ
FAP
FGD
FKSPP
FKUB
FPI
FUI
FUUI
G30S
GAM
GAPAS
: Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan
: Aliansi Umat Islam Indonesia
: Aliansi Muslim Bulukumba
: Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
: Badan Koordinasi Panti Asuhan Indonesia
: Benda Cagar Budaya
: Balai Pelestarian dan pemeliharaan Purbakala
: Bank Pembangunan Daerah Maluku
: Calon Pegawai Negeri Sipil
: Credit Union
: Divisi Anti-Pemurtadan
: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
: Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
: Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat
: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
: Emotional Spiritual Quotient
: Front Anti Pemurtadan
: Focus Group Discussion
: Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Pondok Pesantren
Lombok Barat
: Forum Kerukunan Umat Beragama
: Front Pembela Islam
: Forum Umat Islam
: Forum Ulama Ummat Islam
: Gerakan 30 September
: Gerakan Anti Maksiat
: Gerakan Anti-Pemurtadan dan Aliran Sesat
x AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
GARIS
Gempar
GKI
GMIM
GPdI
GSJA
GUII
HISAB
HMI
HPH
HTI
ICMI
IKAMA
IMB
IMM
JAI
JHS
KAHMI
KLI
KMNU
KNPI
KORPRI
KPPSI
KSP
KTP
LAPAR
LAZIS
LDP
LDS
LDS
LK3
LMMDKT
LP2KS
LSM
LWP2
MA
MAJT
: Gerakan Reformasi Islam
: Gerakan Masyarakat Peduli Cagar
: Gereja Kristen Indonesia
: Gereja Masehi Injili di Minahasa
: Gereja Pantekosta di Indonesia
: Gereja Sidang Jemaat Allah
: Gerakan Umat Islam Indonesia
: Himpunan Santri Bersatu
: Himpunan Mahasiswa Islam
: Hak Pengelolaan Hutan
: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
: Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
: Ikatan Keluarga Madura
: Izin Mendirikan Bangunan
: Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
: Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
: Jogja Heritage Society
: Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Islam
: Komando Laskar Islam
: Kaum Muda Nahdlatul Ulama
: Komite Nasional Pemuda Indonesia
: Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia
: Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam
: Koperasi Simpan Pinjam
: Kartu Tanda Penduduk
: Lembaga Advokasi dan pendidikan Anak Rakyat
: Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah
: Lembaga Dayak Panarung
: Lembaga Dakwah Salafiah
: The Church of Jesus Christ of Latter-Day Saints
: Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan Banjarmasin
: Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah
: Lembaga Pernikahan dan Pembinaan Keluarga Sakinah
: Lembaga Swadaya Masyarakat
: Lembaga Waqaf, Perencanaan dan Pembangunan
: Madrasah Aliyah
: Masjid Agung Jawa Tengah
AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA xi
MDI
MDU
MI
MI
MMI
MS-GKE
MTs
NRMs
NTT
NU
OSZA
P4
PBM
PGIS
PGKS
PGPI
PITI
PKI
PNI
PP
PPN
PPNS
PPP
PPSI
PRT
RT
RW
SARA
SKB
SMP
SOKSI
SPG
TK
TNI
UGM
UNHAS
UNM
: Majelis Dakwah Indonesia
: Majelis Dakwah Umat
: Madrasah Ibtidaiyah
: Manajemen Ilahiyah
: Majelis Mujahidin Indonesia
: Majelis Sinode Gereja Kalimantan Evangelis
: Madrasah Tsanawiyah
: New Religious Movements
: Nusa Tenggara Timur
: Nahdlatul Ulama
: Orang-orang Suci Zaman Akhir
: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
: Peraturan Bersama Menteri
: Persekutuan Gereje-gejera Indonesia Setempat
: Persekutuan Gereja Kota Semarang
: Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia
: Perkumpulan Islam Tionghoa Indonesia
: Partai Komunis Indonesia
: Partai Nasional Indonesia
: Pemuda Pancasila
: Petugas Pencatat Nikah
: Penyidik Pegawai Negeri Sipil
: Partai Persatuan Pembangunan
: Pemuda Penegak Syaraiat Islam
: The People’s Republic of Thionghoa
: Rukun Tetangga
: Rukun Warga
: Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan
: Surat Keputusan Bersama
: Sekolah Menengah Pertama
: Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia
: Sekolah Pendidikan Guru
: Taman Kanak-Kanak
: Tentara Nasional Indonesia
: Universitas Gadjah Mada
: Universitas Hasanuddin
: Universitas Negeri Maluku
xii AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
UNPATTI : Universitas Pattimura
UUD
: Undang Undang Dasar
YPPN
: Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Nasional
Prolog:
Agama dan Pergeseran Representasi:
Konflik dan Rekonsiliasi dalam
Transisi Indonesia
AHMAD SUAEDY
T
ransisi demokratisasi Indonesia sejak tumbangnya diktator Soeharto 10 tahun lalu searah dengan perubahanperubahan di belahan dunia lain mengiringi globalisasi
dan demokratisasi. Berbagai isu penting tentang perubahan sosial
menyusuli transisi tersebut.
Di satu sisi ada proses demokratisasi dan desentralisasi
yang memberikan hak lebih luas kepada semua orang atau warga negara dan kelompok yang semula hidup di bawah otoritarianisme. Namun di sisi lain terbangun sebuah solidaritas baru baik
yang berbentuk komunitas semacam nasionalisme, subnasional
maupun komunalisme baru, yang justru memperoleh momentum
menuntut kebebasan berekspresi dan berkumpul bagi suatu aspirasi dan representasi tertentu.
Pada fenomena terakhir ini, tidak jarang secara intensif mengundang ketegangan antarkelompok, bahkan konflik, kekerasan
2 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
ataupun perang. Di beberapa bagian bekas negara Uni Soviet1
dan Yugoslavia2 yang terkenal dengan kawasan Balkan, kekerasan
akibat klaim atas wilayah dan sumberdaya muncul akibat tuntutan
berbagai kelompok tradisional atas dasar kesamaan budaya atau
etnis dan agama yang telah menempati sebuah kawasan sejak
lama di bawah kontrol otoritarianisme ketika itu.
Dengan kata lain, sebuah klaim historis atas tanah atau kawasan yang mendasarkan pada kesamaan etnis atau agama mampu
membangun identitas politik baru di bawah identitas nasionalisme
lama nation state yang mendorong terjadinya apa yang oleh Hank
Johnston, misalnya, disebut nationalist movements.3 Suatu gerakan
yang menuntut kemandirian atau merdeka karena klaim historis
atas tanah atau kawasan yang mendasarkan pada kesamaan budaya
atau etnis dan agama dan atau kedua-duanya.4
Lihat, misalnya, Manuel Castells, The Power of Identity, (Oxford: Blackwell 1997).
2
Lihat misalnya, Ranata Saled, “The Crisis of Identity and the Struggle
for New Hegemony in the Former Yugoslavia,” dalam Ernesto Laclau (ed.)
The Making of Identities, (London: Verso 1994), h. 205-232.
3
Lihat misalnya Hank Johnston, “New Social Movements and Old
Regional Nationalisms,” dalam Enrique Larana et. al. (ed.) New Social Movements from Ideology to Identity, (Philadelphia: Temple University Press, 1994),
h. 267-285. Dalam uraian tersebut ditunjukkan pergerakan ciri-ciri gerakan,
misalnya, dari gerakan sosial (social movements) dan gerakan sosial baru
(new social movements) yang bertumpu pada kepentingan bersama di dalam
suatu negara nasional ke gerakan nasionalis yang menuntut negara sendiri
berdasarkan klaim-kalimnya tersebut.
4
Klaim dan usaha ini, misalnya, terjadi pada beberapa negara baru di
bagian timur bekas Negara Uni soviet yang mengklaim tanah itu pernah dikuasai oleh kerajaan dengan agama atau budaya tertentu, semisal Islam, dan
dihuni oleh sebagian besar budaya atau etnis dan agama yang sama, yang
kemudian memisahkan diri dari negara induk atau memperoleh otonomi
khusus atau merdeka. Lihat misalnya, Manuel Castells The Power of Identity,
(Oxford: Blackwell 1997), khususnya h. 33-42. Hal yang paralel terjadi
di beberapa negara tetangga Indonesia, seperti penduduk Thailand Selatan
1
AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 3
Di awal reformasi Indonesia, kita melihat hubungan yang
cukup menegangkan di beberapa wilayah, untuk menyebut
sebagian saja, seperti Aceh, Papua, Maluku Utara, dan Timor
Timur. Untuk yang terakhir ini bahkan berhasil memisahkan diri
dari Indonesia di bawah pemerintahan B.J. Habibie. Frekuensi
perjalanan Gus Dur –sapaan akrab Abdurrahman Wahid— yang
begitu tinggi ke luar negeri saat menjadi presiden diklaim bertujuan terutama untuk meredakan gejolak ini dan meyakinkan pihak
luar tentang kesatuan wilayah Indonesia melalui jalan diplomasi.5
Di dalam negeri Gus Dur juga melakukan berbagai pendekatan
persuasif yang berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang
lebih bersifat represif terhadap kelompok-kelompok tersebut,
terutama Aceh dan Papua.
dan Filipina Selatan yang sampai sekarang masih berjuang untuk menuntut
merdeka atau otonomi. Lihat misalnya , W.K. Che Man, Muslim Separatism
the Moros of Southern Philipines and the Malays of Southern Thailand, (Manila:
Ateneo de Manila University Press, 1990).
5
Menurut analisa Van Klinken, tingginya frekuensi kekerasan dan perang
saudara di era pemerintahan Gus Dur antara lain disebabkan karena Gus
Dur terlalu berani memotong jaringan ekonomi kelompok mapan Orde
Baru dan juga para jenderal militer. Gus Dur juga dianggap terlalu berani
melakukan penataan organisasi militer yang berkonsekuensi terobrak-abriknya kepentingan status quo Orde Baru dan para jenderal militer tersebut.
Mereka kemudian memfasilitasi Megawati memaksa Gus Dur mundur untuk
membangun kembali jalinan ekonomi aktor-aktor Orde Baru dan para
jenderal tersebut. Setelah Megawati naik, kerusuhan, kekerasan dan perang
saudara pun mulai mereda, dan era SBY melanjutkan kemapanan kembali
jaringan status quo Orde Baru bersama kepentingan ekonomi para bekas
jenderal dan jenderal tersebut. Karena itu, dalam konteks inilah seharusnya
stabilitas politik dan ekonomi era SBY dipahami, yaitu karena kembalinya
penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik para aktor Orde Baru dan
para jenderal tersebut, termasuk SBY. Lihat Gerry Vna Klinken, Perang Kota
Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, (Jakarta, KTLV-Obor,
2007).
4 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Di samping itu, fenomena lain akibat dari perubahan dan
pergeseran tersebut juga muncul fenomena, apa yang oleh Key
Deaux dan Shaun Wiley, umpamanya, disebut moving people dan
shifting representations.6 Yaitu perpindahan orang atau sekelompok
orang dari satu tempat ke tempat lain, di dalam negeri maupun
antarnegara, baik untuk waktu yang bersifat permanen maupun
sementara demi berbagai tujuan, pendidikan, pekerjaan dan turisme, yang bukan tidak mungkin berpengaruh terhadap komposisi populasi penduduk di sebuah wilayah. Karena perubahanperubahan komposisi populasi itu kemudian mampu mengubah
representasi dari masing-masing kelompok. Dari sana kemudian
menimbulkan kegoncangan politik karena menyodok kesadaran
akan primordialitas dalam representasi berhadapan dengan kelompok lain (the others). Hal ini juga tidak pelak dapat memicu
ketegangan dan bahkan kekerasan seperti pengalaman di negara
kita apa yang terjadi di Kalimantan Barat, Maluku atau Ambon
dan Poso di Sulawesi Tengah di masa lalu, yang bekas-bekas masalahnya masih tersisa hingga kini.7
Moving people dan shifting representations yang mampu mengubah komposisi populasi tidak selalu bersifat kuantitaif. Namun juga bisa berupa kualitatif dan bahkan simbolis8 semisal
masuknya paham baru, khususnya yang bersifat keagamaan,9
Lihat Key Deaux and ShaunWiley “Moving People and Shifting Representations: Making Immigrant Identities” dalam Gail Moloney and Iain Walker
(ed.) Social Representations and Identity: Content, Process and Power (New York:
Palgrave Macmillan 2007), h. 9-30.
7
Lihat Van Klinken, Perang Kota Kecil.
8
Lihat Kathryn Woodward (ed.), Identity and Difference, (London: SAGE
Publications Ltd. 1997), khususnya h. 2-3.
9
Masuknya paham-paham baru keagamaan berbeda dengan pahampaham lain semisal teori sosial politik dan ekonomi atau temuan-temuan
yang bersifat ilmiah atau teknologi. Paham baru keagamaan biasanya akan
mengundang reaksi lebih ekspresif dan keras karena ia menyodok relung ke6
AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 5
yang tidak jarang ditumpangi berbagai kepentingan, baik kepentingan penyebaran doktrin tertentu dari paham baru itu sendiri
maupun kepentingan politik dan ekonomi. Seluruh dimensi globalisasi dan demokratisasi dan ikutannya termasuk kemajuan
teknologi dan teknologi informasi khususnya, telah memberikan
kesempatan yang sama bagi semua pandangan dan paham untuk
ikut dalam moving people dan shifting representations itu. Karena
itu, fenomena yang disebut terakhir ini, yaitu masuknya paham
keagamaan baru, tidak bisa diabaikan dari pengamatan dan
antisipasi tentang kecenderungan dan pola-pola perubahan tersebut dan implikasinya dalam konteks penguatan demokratisasi dan
penegakan keadilan, misalnya.
Berbagai fenomena ikutan globalisasi dan demokratisasi
sejauh menyangkut kehidupan keberagamaan tersebut –implikasi
lain seperti akumulasi penguasaan modal, kerusakan lingkungan
hidup, perebutan kekuasaan dan ketidakadilan ekonomi, umpamanya, berada di luar cakupan pembahasan dan riset buku ini—
bisa berjalan sendiri-sendiri tetapi lebih sering saling berkelindan
satu dengan lainnya. Klaim historis atas tanah atau kawasan dan
perubahan komposisi populasi dalam suatu wilayah juga sering
mengaitkan diri dengan identitas etnis atau budaya dan juga agama. Demikian juga untuk memperkuat identitas budaya atau
etnis dan agama seringkali diperlukan argumen historis klaim
atas tanah atau kawasan dan penekanan jumlah dalam komposisi
populasi, baik yang baru maupun yang lama.
Dari semua fenomena di atas bisa dikatakan bahwa, pada
akhirnya akan berujung pada identitas politik yang mendasarkan
primordialitas, apakah itu budaya dan agama atau etnis. Ia
hidupan dan keyakinan masyarakat dan juga struktur sosial budaya dan juga
politik yang mapan. Fenomena masuknya paham-paham baru yang ekslusif
dalam kumpulan riset ini dirasakan dan dirisaukan oleh semua agama di Indonesia kini.
6 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
akan menuntut adanya identifikasi diri (self identification), yaitu
ciri-ciri utama atas diri dan kelompoknya yang ekslusif untuk
membedakan dengan atau ciri-ciri ekslusif dari orang atau
kelompok lain (difference),10 untuk kemudian ditarik garis pemisah
(demarcation) yang tegas.
Identifikasi diri atau kelompok dan pembedaan dengan
orang atau kelompok lain secara eksklusif akan bisa menyeret
ketegangan dan permusuhan atau bahkan kekerasan jika hal itu
berkaitan dengan kepentingan atau penguasaan resources tertentu.
Jangan dikira bahwa yang dimaksud dengan kepentingan dan
penguasaan resources di sini selalu bersifat material dan besar, melainkan sebaliknya hal itu bisa jadi sesuatu yang sangat “spiritual”
dan simbolis dan tak seberapa berharga. Semisal masalah penguasaan keseragaman praktik ritual keagaman tertentu yang
menjadi ciri khas kelompok tertentu dan untuk membedakan
dengan kelompok lain, sampai penguasaan tempat ibadah yang
sejauh ini dianggap sakral hanya oleh kelompok tertentu, hingga
suatu usaha sungguh-sungguh (jihad) untuk mempertahankan
kekuasaan dan penguasaan ekonomi dalam artinya yang wadag,
bisa terjadi.
Tentu motivasi tersebut bisa dibungkus dengan berbagai
alasan dan argumentasi, dan bukan tidak mungkin dengan menggunakan sesuatu yang dari luar tampak spiritual, termasuk alasan
keagamaan, seperti tuduhan sesat dan klaim jalan lurus, antara
klaim legal dan tuduhan illegal, dan seterusnya. Dalam kumpulan
tulisan ini akan ditemukan alasan-alasan spiritual untuk meraih
yang material, dan alasan material untuk meraih yang seolaholah spiritual. Hal itu belum termasuk jika paham-paham baru
keagamaan ini ditumpangi dengan pesan ideologi yang sudah
dari sono-nya eksklusif dan agresif. Wahabisme dan Salafisme11,
10
11
Lihat Kathryn Woodward (ed.), Identity and Difference.
Untuk ciri-ciri Wahabisme dan Salafisme lihat Khaled Abou El Fadl,
AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 7
misalnya, di samping membawa pesan-pesan seperti itu juga
ditopang oleh “kantong tebal” yang tidak mudah dideteksi. Di
kawasan Balkan, kombinasi itu —yang membantu terjadinya
kekerasan dan bentrokan antarkelompok di sana, bisa dideteksi
sampai pada angka-angka.12 Sedangkan di Indonesia sangat tidak
mudah untuk melakukan hal yang sama, paling banter hasil dari
cerita-cerita pihak yang menerima langsung atau mereka yang
mengetahui lalu lintas kombinasi tersebut.13 Pergulatan paham
agama atau budaya baru itu tentu tidak hanya terjadi di dalam
Islam, gerakan eksklusif-fundamentalis juga menghinggapi agama
Kristen, Protestan dan Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu,
serta lainnya.14
Keseluruhan cerita di atas tentu saja baru sesisi. Ceritacerita positif juga akan ditemukan di dalam buku ini, misalnya
tentang rekonsiliasi dan jalan hukum untuk menyelesaikan
sengketa yang bersifat keagamaan atau rumah ibadah yang diperebutkan antarkelompok. Harus diakui pula terkadang ditemukan cerita yang mengundang senyum namun serasa pedih nan
perih sebagai anggota warga bangsa Indonesia. Misalnya, ketika
sengketa perebutan tempat ibadah ditentukan dengan cara voting
Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, (Jakarta: Serambi 2005), khususnya
h. 61-138. Sedangkan untuk pengaruh radikalisme Islam di Indonesia lihat
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta, Teraju, 2002). Juga Jamhari and Jajang Jahroni (ed.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali 2004).
12
Stephen Sulaiman Schwartz, Two Face of Islam: Saudi Fundamentalism and
Its Role in Terrorism, (New York: Division of Random House 2003), khususnya
Bab 7, h. 181-225.
13
Lihat Ahdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: the Wahid Institute-The Maarif Institute-Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, 2009), khususnya Bab 4, h. 171-220.
14
Lihat, misalnya, Manuel Castells The Power of Identity, (Oxford: Blackwell 1997), khususnya h. 13-27.
8 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
—salah satu prosedur demokrasi yang sangat sah layaknya di
gedung parlemen namun membuat sesak pada praktiknya di
dalam masyarakat keagamaan— yang berimplikasi pada kelompok yang kalah harus membangun sendiri tempat ibadah yang
baru tidak jauh dari tempat ibadah yang diperebutkan. Sedangkan
kelompok yang kalah itu sesungguhnya juga berjasa membangun
ibadah itu.
Meski demikian, dua sisi ini penting untuk dieksplorasi
dan tampak pada tulisan-tulisan di buku ini. Beberapa teoretikus
tentang identity semisal Manuel Castells15 dan M. Hakan Yavus,16
misalnya, mencurigai ketegangan dan tarik menarik akibat dari
identitas politik itu sendiri sesungguhnya boleh jadi bersifat
social constructive. Untuk lebih singkatnya, bisa diartikan bahwa
hal itu hanya ada di dalam angan-angan. Realitas sesunggunnya
harus ditelusuri di tempat lain, umpamanya ketidakadilan dan
kesenjangan akibat globalisasi atau warisan yang terjadi pada
era otoritarianisme sebelumnya atau bahkan demokratsiasi yang
hanya memapankan kesenjangan atau oligarki.Yaitu, penguasaan
politik dan ekonomi hanya di beberapa orang saja.
Amy Gutmann juga tampak menguatkan pendapat seperti
di atas, bahwa identitas politik yang mendasarkan pada agama
dan budaya yang ekslusif sekalipun tidak selalu bertentangan
dengan demokrasi. Agama dan budaya sebagai sebuah identitas
menuntut dihormatinya individu dalam suatu kelompok atau
sistem sosial, sementara demokrasi justeru bertumpu pada dihormatinya hak-hak individu tersebut. Jadinya dua hal itu bisa
seiring belaka, selama ada suatu aturan dan prosedur dan hukum
yang mengaturnya.17
Manuel Castells, The Power of Identity, h. 12-32.
M. Hasan Yavus, Islamic Political Identity in Turkey, (New York: Oxford
University Press 2003), khususnya h. 20-35.
17
Amy Gutmann, Identity in Democracy, (New Jersey: Princeton University Press 2003), h. 168-191.
15
16
AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 9
Sejalan dengan Gutmann, Appleby melihat tidak mungkinnya sebuah agama bersifat monolitik dan mempertahankan tafsir
tunggal melainkan selalu akan bersifat plural dan mengundang
sengketa. Dan lagi pula, katanya, ide-ide atau penafsiran itu
juga tidak mugkin akan hanya datang dari kalangan agamawan,
melainkan akan datang juga dari kalangan politisi dan para aktivis,
mulai dari hak-hak asasi manusia, kesetaraan perempuan sampai
tuntutan keadilan ekonomi serta indigenous people dan seterusnya.
Maka, pada saat itulah, kata Appleby, agama akan memberikan
sumbangannya pada perdamaian dan rekonsiliasi.18 Dengan kata
lain, pluralitas menjadi penting selama dalam kerangka dialog
dan hukum yang ditaati bersama.
Dengan demikian, keseluruhan tulisan di dalam buku ini
kurang lebih hendak melihat kecenderungan dan pola perubahan
yang terjadi di dalam agama menyaingi demokratrisasi yang
searah belaka dengan perubahan di tingkat lebih makro, yaitu
globalisasi. Siapa tahu kecenderungan itu bisa membantu mencari penyelesaian berbagai persoalan yang muncul. Namun juga,
dari kasus-kasus yang ditulis ini, tampak pola-pola yang bisa
diindentifikasi, apakah untuk diikuti dan dikukuhkan karena
bisa memperkuat demokratisasi dan keadilan atau pun untuk dihindari dan dihentikan jika memang akan melahirkan problem
yang lebih besar.
***
Meskipun tidak bisa disebut representatif karena luasnya
wilayah Indonesia, setidaknya kumpulan ini sejauh mungkin
mewakili berbagai dinamika dan perubahan di Indonesia, baik
R. Scott Appleby, 2000, The Ambivalence of the sacred, Religion,Violence, and Reconciliation, (New York, Rowman & Littlefield Publishers Inc),
khususnya h. 281-307.
18
10 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
dari segi wilayah maupun masalah-masalah yang muncul. Dari
sudut wilayah, misalnya, untuk Jawa terdapat tulisan dari Jawa
Timur, Jawa Tengah,Yogyakarta, dan Jawa Barat. Untuk luar Jawa
terdapat tulisan dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah,
Sulawesi Selatan, Maluku atau Ambon, serta NTB atau Lombok.
Dari sudut berbagai masalah yang muncul, dari pengamatan
sekilas atas fenomena pergeseran dan perubahan yang terjadi
tersebut —setidaknya sudut pandang yang dipilih oleh masingmasing tulisan di dalam kumpulan ini— tampak ada gradasi dan
pergerakan atau perubahan kecenderungan ke arah penyelesaian
masalah di satu sisi namun juga muncul pula masalah baru di sisi
lain. Tulisan dari Kalimantan Tengah dan Maluku atau Ambon,
melihat upaya penyelesaian warisan kekerasan di masa lalu yang
bisa dikategorikan sebagai implikasi langsung dari moving people
dan shifting representations. Yaitu upaya penyelesaian masalah
pengungsi akibat kekerasan dan perang, baik penyelesaian secara
ekonomi maupun sosial semisal rekonsiliasi dan penempatan
kembali (resettlement) ke tempat tinggal semula atau tempat lainnya yang permanen.
Namun dari pengalaman dua wilayah tersebut, penyelesaian
atas pascakonflik dan transformasi konflik memberi pesan kuat
bahwa usaha itu sulit untuk mencapai suatu penyelesaian yang
hakiki tanpa mengikutkan peran kearifan lokal (local wisdom) jika
usaha itu tidak ingin berhenti di tengah jalan dan menjadi pontesi
konflik lain yang lebih bervariasi. Dalam pengalaman di Maluku,
kearifan lokal bukan saja bisa mengikatkan para anggota atau di
kalangan korban secara lintas agama dan etnis yang semula justru
tampak menjadi akar konflik, melainkan ia bisa memperkokoh dan
kembalinya realitas yang lebih adil setelah sebelumnya dikoyak
otoritarianisme berkedok modernisasi di era Orde Baru.
Tulisan dari Yogyakarta dan Kalimantan Selatan menunjukkan munculnya masalah baru yang mungkin tidak diduga se-
AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 11
belumnya.Yaitu, di Kalimantan Selatan, seorang pemimpin politik yang baru terpilih di Kabupaten Tanah Bumbu mengintrodusir
sebuah konsep yang diimaginasikan sebagai model tata kelola
pemerintahan yang mendasarkan pada komitmen moral keagamaan dalam artinya yang simbolik dan mungkin artifisial,
yaitu “Manajemen Ilahiyah (MI)”. Oleh penciptanya, tata kelola
semacam ini dianggap bisa lebih transparan dan amanah dan
mungkin lebih adil dalam mengelola pemerintahan ketimbang
sebelumnya. Maka, untuk menghindari judgment (penilaian sepihak) terlalu dini, baik atau buruk, berhasil atau tidak berhasil,
sebuah percobaan perlu ditempatkan ke dalam seluruh masalah
dan konteks yang melingkupinya. Di sini akan dilihat bagaimana
hakikat dari konsep itu, bagaimana respon dari masyarakat dan
apa implikasinya bagi perbaikan dan sumbangannya bagi proses
demokratisasi. Atau sebaiknya, benarkah introdusir seper ti itu
suatu yang ideal atau sebaliknya pengenalan sebuah sistem otoritarianisme baru belaka. Salah satu kritik tajam dari masyarakat
dan juga dari kalangan birokrat adalah inefisiensi dan penggunaan
agama sebagai legitimasi keberadaan individu bupati itu sendiri.
Di Yogyakarta, muncul perebutan aset keagamaan yaitu
tempat ibadah karena justru dipicu oleh keterbukaan dan hak-hak
yang diberikan negara terhadap sebuah kelompok agama. Di masa
Orde Baru “agama” Konghucu dilarang karena alasan politik dan
pengikutnya disaran(paksa)kan untuk bergabung dengan agama
lain, Buddha. Namun ketika dibuka kran oleh pemerintahan Gus
Dur dimana Konghucu diakui sebagai agama “resmi”, aset-aset keagamannnya sudah keburu diklaim oleh agama di mana mereka
bergabung. Apalagi kemudian ditimpali oleh suatu kebijakan
pemerintah tentang perlindungan terhadap warisan purbakala
atas tempat ibadah tersebut. Apa pun motifnya, masalah itu
memunculkan sengketa antarkelompok di dalam agama-agama
itu, tentang eksistensi dan kepemilikan tempat ibadah tersebut.
12 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Ini sisi lain implikasi dari keterbukaan yang boleh jadi tidak
diduga sebelumnya.
Fenomena lain adalah masuknya paham baru di masyarakat,
dari luar negeri. Tulisan dari Semarang, Jawa Timur, Lombok
dan Sulawesi Selatan menunjukkan pola moving people dan shifting representations tentang masuknya paham baru keagamaan.
Bagaimana perilaku mereka menawarkan paham baru tersebut,
respons masyarakat dan penyelesaian masalah baru yang muncul.
Tidak ada pola baku dalam berbagai kasus tersebut, namun hal
itu tampak menuntut perhatian dari banyak pihak, khususnya
para pemuka agama dan pemerintah agar penyelesaian itu justru
tidak menyimpan ketidakpuasan di bawah sadar yang laten.
Di Semarang sebuah aliran minoritas, kehadirannya yang
baru mengganggu pemeluk sesama agama yang juga minoritas
dalam konteks populasi agama di Indonesia, yaitu Protestan.
Aliran ini dianggap menyimpang dari aliran mainstream Protestan
sehingga kehadirannya dipersoalkan. Di Lombok dan Sulawesi
Selatan aliran Islam baru juga dipersoalkan oleh mainstream
Islam yang mapan. Namun mereka dengan ideologi yang agresif
dari sono-nya tampaknya hendak memaksakan menggantikan
paham lama, baik dengan cara persuasif dan bahkan dengan cara
kekerasan.
Dari berbagai cara penyelesaian tersebut, misalnya, ada
sejumlah kejanggalan jika diukur dari tradisi yang dimiliki masyarakat sendiri dan juga mungkin dari sudut demokrasi, misalnya.
Perebutan tempat ibadah antara paham lama dan paham baru
dengan cara voting, misalnya (kasus Lombok) sungguh-sungguh
memunculkan kejanggalan, mengingat hal itu berbuntut konsekuensi yang kalah —kebetulan menimpa kelompok paham baru
itu— harus membangun tempat ibadah baru yang tidak jauh
dari tempat yang diperebutkan itu. Adakah ini penyelesaian cukup bijaksana dan pola seperti inikah seharusnya? Boleh jadi
AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 13
penyelesaian seperti ini, meskipun tampak mengikuti pola
demokrasi karena dengan voting, potensial menyimpan ketidakpuasan yang laten.
Tulisan dari Jawa Barat hendak melihat sejauh mana implikasi dan implementasi suatu kebijakan pemerintah yang bersifat
nasional untuk membangun kerukunan beragama di Indonesia,
yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri (PBM) No. 9 dan 8 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Usaha pemerintah
itu memang harus dihargai tetapi harus tetap dilihat akibatakibat yang ditimbulkannya, dari kerawanan penggunaan dana
APBD yang disahkan oleh PBM itu, lagi-lagi representasi dalam
kelembagaan yang dibentuk yaitu FKUB (Forum Kerukunan
Umat Beragama), hingga campur tangan yang terlalu jauh dari
pemerintah, serta tiadanya evaluasi dan kontrol berhasil dan
gagalnya program tersebut.
Dari keseluruhan uraian di dalam kumpulan tulisan tersebut, tidak bisa diabaikan usaha-usaha yang dilakukan baik oleh
pemerintah, masyarakat dan agamawan untuk ikut partisipasi
dalam berbagai penyelesaian masalah, namun keberhasilan dan
implikasinya bagi penguatan demokrasi dan keadilan masih harus
diikuti kelanjutannya. Secara ilmiah, deskripsi atas berbagai
usaha itu mungkin bisa memberikan sumbangan bagi suatu perkembangan ilmu pengetahuan dan dunia akademik umumnya,
misalnya, jika itu tidak dianggap berlebihan. Namun, ia juga bisa
menjadi pelajaran bersama bagi dunia aktivis, dimana sebuah gerakan dituntut untuk berangkat dari data yang memadai.
***
Rumbut Atas, 12 Mei 2009.
14 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Mengurai Konflik Sunnah VS Bidah
di Pulau Seribu Masjid1
YUSUF TANTOWI
A. Sejarah Islam Lombok
Sejarah Islam Lombok tidak jauh berbeda dengan sejarah
Islam Nusantara. Sebelum Islam menjadi agama mayoritas di
Lombok, masyarakatnya terlebih dahulu menganut keyakinan
Hindu-Buddha Majapahit. Orang Sasak Boda yang sekarang
masih banyak menetap di daerah-daerah pegunungan mengaku
masih mengikuti kepercayaan leluhurnya. Mereka menegaskan
sebagai keturunan langsung kerajaan Majapahit. Untuk itu sebagian mereka bahkan menganggap agamanya sebagai agama
Majapahit. Belakangan oleh pemerintah, orang Sasak Boda dicatat resmi sebagai pemeluk Buddha.
Bukti yang mendukung secara eksplisit diungkapkan dalam kitab hukum Negarakertagama yang menjelaskan penaklukan Lombok oleh pasukan tentara Majapahit. Di tambah lagi
keningratan Sasak hingga kini selalu merujuk leluhur mereka
pada Majapahit. Maka berbagai gelar dan dewa-dewa Boda dengan jelas merupakan warisan Hindu-Jawa.
1
Penelitian ini berlangsung sejak September 2008-Februari 2009
16 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Berdasarkan mitologi lokal yang dicatat dalam berbagai
babad atau sejarah yang ditulis di pohon palma, bahwa Sunan
Giri dikatakan sebagai yang bertanggung jawab menyebarkan
Islam di seluruh Nusantara termasuk memperkenalkan Islam
di Lombok tahun 1545. Dikisahkan, misi kedatangan Sunan
Giri baru berhasil pada kedatangannya yang kedua. Mengacu
dari sana, Islam masuk ke Lombok sekitar abad 16 M atau 17
M. Ini diperkuat dengan runtuhnya kerajaan Majapahit pada
abad 17 M dan kemudian digantikan dengan kekuasaan
kerajaan-kerajaan kecil muslim yang mengikat perdagangan
hingga ke pesisir utara Lombok.
Para peneliti beranggapan, tipe keislaman yang dipraktikkan di Sasak adalah campuran antara kepercayaan Aostronesia
dengan Islam. Banyak para sarjana berpendapat, konversi agama leluhur menjadi Islam bisa diterima karena dianggap cocok
dan dinilai tidak mengancam struktur sosial serta kepercayaankepercayaan yang ada. Namun kebanyakan dari anggapan itu
berasal dari studi-studi yang mendalami tentang Wetu Telu –
sebuah tipe Islam sinkretis di bagian Lombok Utara. Belanda
lah yang mulai mengkaji secara sistematis terhadap Wetu Telu
selama kekuasaan kolonialnya dan menganggap Wetu Telu merupakan campuran antara kepercayaan-kepercayaan animisme,
Hindu dan Islam.
Tumbuh kembang Islam di Lombok ini tidak bisa juga
dilepaskan dari periode penguasaan raja-raja Bali terhadap
Lombok. Kolonialisasi Bali terhadap Lombok berlangsung cukup lama sejak 1740-1894. Penguasaan itu berakhir ketika Belanda menguasai Lombok sebelum 1894. Pengaruh orangorang Bali bisa dilihat dalam sinkretisme Wetu Telu–yang
praktik dan sistem kulturalnya nampak menyerupai praktikpraktik dan kosmologi orang Bali. Namun hal ini bisa
diperdebatkan karena pengaruh itu bisa jadi memang berasal
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 17
dari pengaruh Majapahit atau perpaduan keduanya.2 Pengaruh
ini bisa terasa bisa di Lombok Barat dan Kota Mataram. Pada
dua tempat ini jejak-jejak penguasaan Bali sangat jelas sampai
hari ini. Selain penganut yang cukup besar, banyak berdiri
sejumlah pura, khususnya di Kecamatan Cakranegara (Kota
Mataram) dan Desa Lingsar, Narmada (Lombok Barat). Di
wilayah Lingsar ini, memang akulturasi Islam-Hindu sangat
terasa, khususnya pada perayaan hari-hari besar agama. Di
tempat ini misalnya tiap tahun dirayakan perayaan Perang
Topat3 yang diikuti oleh dua komunitas baik Islam maupun
Hindu.
Dalam perkembangan selanjutnya, Islam di Lombok tidak
bisa dilepaskan dari kiprah Nahdlatul Wathan (NW). NW
didirikan oleh ulama karismatik Maulana Syekh TGH. Zainudin
Abdul Majid. Pada tahun 1919, ketika berusia 17 tahun, Zainudin pergi ke tanah suci Mekah bersama ayahnya untuk belajar ilmu agama di Ash-Shaulatiyah Mekah. Setelah kembali
ke Lombok, sambil berdakwah menyebarkan ilmu yang didapat
di Mekah, Zainudin juga bergabung dalam perjuangan pembebasan terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Tahun 1934, ia
berhasil membuka pesantren pertamanya di Pancor, Selong
Lombok Timur.4 Dari Pancor inilah Zainudin kemudian mengembangkan dakwahnya sampai ke desa-desa hingga mampu
mendirikan ratusan lembaga pendidikan dari tingkat Madrasah
John Ryan Bartholomew, Alip Lam Mim, Kearifan Mayarakat Sasak (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 93-102. Lihat penjelesannya pada
bab 3 “Sejarah Islam Lombok”.
3
Perang Topat biasanya diadakan satu minggu setelah hari raya Idul Fitri.
Perang ini sebagai ungkapan suka cita telah mampu menunaikan ibadah puasa
selama 30 hari lamanya. Perang Topat (dalam bahasa Indonesia, topat berarti
ketupat). Lebaran ini juga biasa disebut sebagai Lebaran Topat.
4
Letak Pancor hanya berjarak setengah kilometer dari Kota Selong, pusat
pemerintahan Kabupaten Lombok Timur.
2
18 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah
(MA) sampai perguruan tinggi.
Model keberagamaan NW tidak jauh berbeda dengan
NU. Sebagaimana NU, NW juga penganut fanatik mazhab
Imam Syafii. Begitu juga tradisi-tradisi yang lain seperti zikir,
talkin, kunut, salawat dan lain sebagainya. Walau begitu, NW
juga menciptakan inovasi-inovasi keberagamaan bagi pengikutnya seperti membaca Khizib yang dibaca setiap malam Jumat
sebagaimana pengikut NU membaca Barzanji. Jadi hampir tidak ada perbedaan antara tradisi keagamaan NU dengan NWyang membedakan hanya nama dan sebutan saja. Namun kalau
berpaling ke sejarah terdahulu, sebelum menjadi NU namanya
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa). Maulana Syekh pun
pernah menjadi anggota konstituen Partai Masyumi, sementara
sejarah mencatat ketua penasihat (Rais Aam) pertama Masyumi
adalah KH. Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar dan pendiri
NU. Setelah NU menjadi partai, TGKH Zainuddin Abdul
Madjid keluar dari Masyumi kemudian fokus terhadap pengembangan dakwah.
Dibantu beberapa tuan guru, bersama murid-muridnya
Zainudin semakin massif mengembangkan dakwahnya. Misinya,
selain membebaskan masyarakat Lombok dari perbuatan jahiliyah (kebodohan), juga menghadang masuknya Hindu dari
sebelah barat (Bali) dan Kristen dari sebelah timur (Nusa
Tenggara Timur). Bersama dengan itu beberapa tuan guru NU
di Lombok tetap melakukan hubungan dengan kiai-kiai di pulau Jawa dan ulama-ulama Sunni yang ada di Mekah. Tantangan NU dan NW ketika itu bukan hanya membebaskan masyarakat dari sinkretisme–buah dari percampuran budaya Hindu
dengan Islam seperti diyakini dan dianut pengikut Wetu Telu.
Mereka juga berhadapan dengan kolonialisme Belanda dan
Jepang. Di sinilah NU dan NW yang dimotori para tuan guru
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 19
kemudian berdialektika dengan tradisi yang ditinggalkan
kolonial Bali, Belanda, dan Jepang hingga melahirkan corak
keislaman orang Sasak.
Tidak itu saja, NU dan NW kembali harus berhadapan
dengan ajaran Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912. Muhammadiyah terinspirasi dari
gerakan Wahabi yang menguasai Arab Saudi pertengahan abad
19 M. Gerakan Wahabi bertujuan untuk memurnikan ajaran
Islam dari perbuatan syirik dan bidah5.
Dalam catatan John Ryan Bartholomew dalam bukunya,
Alip Lam Mim, Kearifan Mayarakat Sasak menjelaskan, Muhammadiyah dibawa Haji Madjid pada tahun 1960. Ia berkenalan
dengan Muhammadiyah setelah belajar dari Universitas Gajah
Mada (UGM) Yogyakarta. Tahun 1971, sepulang dari menempuh pendidikan ia kemudian menetap di Ampenan sambil bekerja sebagai pedagang beras. Sejak itu ia menyebarkan ajaran
Muhammadiyah dengan mengubah musala dekat rumahnya
menjadi masjid. Sejak itu tradisi-tradisi NU dan NW kembali
berhadapan dengan ajaran Muhammadiyah yang ingin membebaskan masyarakat dari perbuatan syirik, bidah, khurafat
atau lebih dikenal dengan TBC (tahayyul, bid’ah dan khurafat).
H. Madjid pernah menjadi anggota DPRD Propinsi tahun
1974-1978.
Beberapa tradisi NU-NW yang dikritik Muhammadiyah
di antaranya tradisi begawe (pesta), Maulid Nabi besar-besaran,
ziarah kubur, ziarah ke tuan guru atau ulama. Bagi Muhammadiyah tradisi bagawe itu tindakan pemborosan yang sudah tidak
sesuai dengan perkembangan zaman. Biaya pesta yang mengLihat “Sejarah Organisasi NW di Lombok” dalam bab “Skisme Islam
Tradisionalis dan Modernis Nahdlatul Wathan versus Muhammadiyah,” dalam
John Ryan Bartholomew, Alip Lam Mim, Kearifan Mayarakat Sasak, h.
131-134
5
20 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
habiskan dana sampai jutaan rupiah itu akan lebih bermanfaat
kalau dijadikan untuk membiayai pendidikan anak-anaknya bukan untuk membiayai orang kampung makan. Bagi orang NW
pesta itu justru kesempatan yang sangat tepat untuk bersilaturrahmi, saling mengunjungi. Tanpa itu belum tentu anggota
keluarga bisa saling mengunjungi.
Selaku ormas yang dianggap mengajak pengikutnya berpikir modernis, doktrin-doktrin Muhammadiyah ingin mengajak masyarakat agar beragama secara rasional. Kata lainnya, tidak taklid buta. Demikianlah kehadiran Muhammadiyah ikut
mewarnai corak keislaman masyarakat Lombok. Walau mampu
mendirikan lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak sampai
perguruan tinggi, panti asuhan dan lembaga-lembaga usaha,
pengikut Muhammadiyah di Lombok tidak sebesar NU atau
NW.
Dengan masuknya Muhammadiyah di Lombok berarti
ajaran Wahabi sebenarnya sudah diperkenalkan kepada masyarakat. Dengan demikian, doktrin Wahabi bukan hal baru bagi
masyarakat. Apa lagi misi keagamaan yang dibawa oleh Muhammadiyah tidak berbeda dengan Wahabi. Lalu, mungkinkah
nasib Wahabi akan sama dengan Muhammadiyah? Mampukah
ajaran Wahabi berdialektika dengan tradisi keagamaan masyarakat setempat sehingga ia mampu bertahan? Atau mungkin
kehadiran Wahabi ini akan mematikan tradisi keagamaan masyarakat Lombok yang dibalut oleh model keagamaan NW dan
NU ? Maka sejarahlah yang akan menjelaskan.
B. Sejarah Salafi-Wahabi
Salafi dan Wahabi, dua istilah yang berbeda. Salafi berasal
dari kata salaf berarti pendahulu. Dalam konteks Islam, pendahulu itu merujuk pada periode Nabi, Sahabat dan Tabiin.
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 21
Jadi Salafi dapat dimaknai sebagai seseorang yang mengikuti
kaum Salafi dan istilah ini punya makna yang fleksibel dan lentur yang melambangkan autentitas dan keabsahan. Salafisme
menyeru untuk kembali pada konsep dasar dan fundamental
dalam Islam; bahwa umat Islam harus mengikuti jejak Nabi
Muhammad dan para Sahabatnya yang mendapatkan petunjuk
(al-salaf al-shalih) dan generasi awal yang saleh.
Salafi didirikan pada akhir abad ke-19 oleh kalangan reformis muslim seperti Muhammad Abduh (W.1323 H/1905
M), Jamal al-Din al-Afgani (W.1314 H/1897 M), Muhammad
Rasyid Ridha (W.1354 H/1935 M), Muhammad al-Syawkani
(W.1250 H/1834 M) dan Jalal al-Shan’ani (W.1225/1810
M). Sebagian bahkan mengalamatkan asal usul keyakinan Salafime ini kepada Ibnu Taymiyyah (W.728 H/1328 M) dan
muridnya yang bernama Ibn Qayyim al-Jawziyyah (W.751
H/1350 M). Secara metodologis dan subtansinya, Salafisme
nyaris identik dengan Wahabi kecuali dalam hal bahwa Salafi
lebih toleran terhadap keberagaman dan perbedaan pendapat6.
Dalam banyak hal, Salafi sebenarnya tak bisa ditolak. Sebagian karena janji epistemologi salafisme yang menawarkan
pandangan dunia yang sulit ditolak dan ditentang. Para pendiri
Salafime menegaskan bahwa dalam menghadapi semua persoalan, umat Islam seharusnya kembali kepada sumber tekstual
asli yaitu al-Quran dan Sunnah Nabi. Dalam melakukannya,
umat Islam harus menginterpretasikan sumber-sumber asli itu
berdasarkan kebutuhan dan tuntutan modern tanpa terikat
secara mutlak terhadap model penafsiran generasi-generasi
awal Islam.
Meski tidak serta-merta antiintelektual tapi sebagaimana
Wahabisme, kaum Salafi cenderung tidak tertarik pada sejarah.
Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta:
Serambi, 2005), hal 93
6
22 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Dengan menekankan asumsi “zaman keemasan” dalam Islam,
para pengikut Salafisme mengidealisasikan zaman Nabi dan
Sahabat. Akibatnya ia menolak atau tidak tertarik pada warisan
sejarah Islam yang lebih besar. Namun dalam pandangan Salafi,
setiap orang dinilai memiliki kualifikasi untuk kembali pada
sumber asli dalam Islam dan berbiacara atas nama Tuhan. Dari
logikanya mereka berpendapat, setiap orang awam dapat membaca al-Quran dan kitab-kitab yang memuat Hadis, perkataan
sahabat dan membuat penilaian hukum. Ekstrimnya, setiap
individu muslim dapat membuat versi hukum Islam sendiri.
Berbeda dengan Wahabi, Salafi tidak secara aktif memusuhi tradisi hukum atau praktik beragam mazhab pemikiran
Islam yang saling berebut pengaruh. Seakan-akan ia memandang tradisi hukum Islam lebih bersifat opsional yang tidak
mesti dibuang. Salafi tidak menentang sufisme dan mistisisme.
Bahkan banyak pendukung Salafi berkeinginan kuat untuk membuang belenggu tradisi dan terlibat dalam memikirkan solusi
bagi umat Islam dalam perspektif modern. Sejauh menyangkut
hukum Islam, kebanyakan para ilmuan Salafi adalah orang yang
suka memadukan sejumlah pendapat. Mereka juga cenderung
terlibat dalam praktik yang dikenal dengan istilah talfiq, usaha
memadukan beragam opini dari masa lalu demi memunculkan
pendekatan baru terhadap problem-problem keumatan yang
muncul.7
Istilah Wahabi berasal dari nama pendiri aliran ini pada
abad ke-18 yaitu Muhammad bin Abdul Wahab. Lahir pada
tahun 1115 H di Uyainah, Saudi Arabia dan Wafat pada 1206
H/1792 M. Gagasan utama Abdul Wahab adalah bahwa umat
Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari ajaran Islam yang lurus. Hanya dengan kembali ke satu-satunya
agama yang benar, mereka akan diterima dan mendapat ridha
7
Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam, h. 95.
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 23
Allah. Abdul Wahab sangat berambisi membebaskan Islam dari
semua perusak yang diyakini telah menggerogoti agama Islam,
di antaranya tasawuf, doktrin perantara (tawassul), rasionalisme,
ajaran Syiah dan praktik-praktik lain yang dinilai sebagai inovasi bidah8.
Setelah berjuang selama hampir lima puluh tahun menyebarkan pahamnya melalui dakwah dan jihad, akhirnya Muhammad bin Abdul Wahab meninggal pada Senin Dzulkaidah
1206 H di kota Dariyyah dalam usia 92 tahun.9 Maka lazimnya
setiap paham yang berkembang luas di tengah masyarakat, nama pendirinya sering dilekatkan sebagai nama sekte atau aliran
tertentu. Tujuannya tentu agar mudah diingat. Begitu juga dengan Wahabi. Nama aliran atau pengikut Abdul Wahab
disebut kaum Wahabi.
Meski begitu, sebagian sarjana Islam berpendapat, golongan Salafi bukan hanya ditujukan kepada aliran Wahabi semata.
Aliran-aliran lain dalam Islam sebenarnya juga tergolong sebagai golongan Salaf, asalkan mereka percaya, mengakui dan
mengagumi para ulama terdahulu sebagai umat terbaik dalam
Islam. Namun karena golongan ini tidak menganut doktrindoktrin yang diajarkan Muhammad bin Abdul Wahab, maka
kelompok ini tidak disebut Wahabi, meski mereka sama-sama
mengacu kepada al-Quran dan Sunah Nabi.
Awalnya, Abdul Wahab berguru pada ayahnya Abdul
Wahab Qadhi dan pamannya Ibrahim bin Sulaiman.10 Setelah
itu ia berguru kepada Abdullah bin Salim Al-Bashry (Mekah),
Shibghatullah Al-Haidary (Baghdad), Muhammad Al-Majmui
(Bashrah). Di Madinah ia berguru kepada al-Muhadits Abdullah
Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam, h. 61.
Lihat “Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Mujaddid Abad Ke-12
Hijriyyah,” majalah Al-Furqon, edisi 8 tahun IV h. 47
10
“Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab,” majalah Al-Furqon, h. 47.
8
9
24 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
bin Ibrahim bin Saif dan Muhammad Hayat As-Sindy, penulis
kitab Hasyiyah Shahih Bukhary. Hayat as-Sindy seorang yang sangat benci bidah, syirik dan ta’ashsub kepada mazhab
tertentu.
Puas berkelana menimba ilmu dari banyak guru, Muhammad bin Abdul Wahab kembali ke negerinya Uyainah dengan
program utama melakukan pemurnian tauhid. Dengan dukungan raja waktu itu, Utsman bin Muhammad bin Muammar, ia
mulai menghancurkan kubah-kubah kuburan dan tempat-tempat yang dianggap dapat mengundang perbuatan syirik.
Lantaran ajarannya yang keras dan ekstrim, gerakannya
ditentang masyarakat Badui dan meminta penguasa Uyainah,
Utsman bin Muhammad bin Muammar mengusir Muhammad
bin Abdul wahab. Dari Uyainah ia pindah ke Dariyyah dan
meminta perlindungan penguasa wilayah tersebut, Muhammad
bin Suud (sumber-sumber lain menulis Muhammad bin
Sa’ud).11 Di sini ia diterima dengan baik, bahkan Muhammad
bin Suud berjanji akan melindunginya. Ia kemudian melebarkan
dakwahnya ke negeri sekitar Dariyyah seperti Riyadh, Kharaj,
Qashim, Mekah, Madinah, Mesir, Syam, Irak, India, Yaman
dan negara-negara lain. Dalam menyebarkan, Abdul Wahab
tidak segan-segan menggunakan pedang dan menyebarkan konsep jihad yang didukung langsung oleh Raja Muhammad bin
Suud, yang kemudian dikenal sebagai pendiri kerajaan Arab
Saudi (Saudi Arabia).
Beberapa karya Abdul Wahab, diantaranya Kitabut Tauhid,
Kasyfu Syubuhat, Usulul Iman, Fadhâil al-Islam, Fadhâil al-Quran,
Mukhtashar Sirah, Majmu` al-Hadist `ala Abwâb al-Fiqh, Mukhtashar al-Inshaf, Mukhtashor Shawâ’iq, Mukhtashar Fath al-Bâry
dan Mukhtashar Zâd al-Ma`ad. 12
11
12
“Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab,” majalah Al-Furqon, h. 48.
“Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab,” majalah Al-Furqon, h. 48.
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 25
C. Salafi Indonesia
Dalam Agama Borjuis-Kritik Atas Nalar Islam Murni, Nur
Khalik Ridwan menyebut, penyebaran ideologi Salafi di Indonesia dimulai sejak munculnya gerakan Padri di Sumatera
Barat, Muhammadiyah di Yogyakarta dan Persis.13 Ketiga gerakan itu, sama-sama berambisi melakukan pemurnian terhadap
akidah umat Islam Indonesia yang dianggap sudah tercemar
perbuatan-perbuatan syirik, bidah dan sesat.
Pertama, para pendiri gerakan Padri menyebarkan gagasan
pemurnian setelah mereka berkenalan dengan khazanah Wahabi
ketika menunaikan ibadah haji di Mekah. Di bawah pimpinan
Tuanku Nan Renceh yang juga pemimpin Dewan Harimau
Nan Selapan berobsesi membawa pembaharuan Wahabi lalu
memperkenalkan mazhab Hanbali kepada masyarakat Sumatera.
Dewan Harimau Nan Selapan inilah yang kemudian melahirkan
gerakan Padri yang digerakkan oleh haji-haji yang baru pulang
dari Mekah, di antaranya Haji Miskin, H. Piabang dan Tuanku
Imam Bonjol.14
Sekitar tahun 1803-1820 (abad ke-18) perang Padri terjadi. Saat itu terjadi interaksi dengan Mekah (abad ke-17). Sementara gerakan Wahabi sudah muncul antara 1707-1787 M.
Tahun 1925 Wahabi mulai berkolaborasi dengan penguasa
Sa’ud di Mekah. Itu berarti interaksi mereka dengan Wahabi
sudah terbangun sebelumnya15.
Kedua, menurut Deliar Noer, penggagas Muhammadiyah
KH. Achmad Dahlan pergi ke Mekah dua kali. Tahun 1890
Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis, Kritik Atas Nalar Islam Murni (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004) hal. 49
14
Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis, h. 50. Hal serupa juga disinggung
Burhanuddin Daya dalam Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam; Kasus Sumatera
Thawalib, (Yogyakata, Tiara Wacana,1995).
15
Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis, h. 50.
13
26 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
belajar kepada Syekh Ahmad Khatib yang merupakan salah
seorang pengikut Imam Syafii tapi telah terilhami oleh pembaharuan-pembaharuan Wahabi. Di sana Dahlan belajar selama
satu tahun. Tahun 1903 Dahlan kembali ke Mekah untuk menetap selama tiga tahun. Sejak kepulangannya yang pertama
Dahlan sebenarnya telah menghayati cita-cita pembaharuan ala
Wahabi lalu mencoba menerapkannya di lingkungan Kauman
Yogyakarta.
Hal ini diperkuat dengan ketertarikan Dahlan membaca
al-Urwah al-Wustqa dan Al-Manar yang memuat gagasan-gagasan
pembaharuan Abduh. Majalah ini juga yang menjadi bahan
bacaan Jamiat Khair yang nota benenya Dahlan tercatat sebagai
anggotanya. Selain itu menurut Deliar Noer, Dahlan sampai
berlangganan majalah itu yang dikirim secara rahasia ketanah
air. Tidak itu saja, salah seorang guru Jamiat Khair dari Azhar
merupakan murid Abduh yakni Syekh Muhammad Nur. Dengan demikian, jelas sekali Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah telah berkenalan dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan Abduh dan Rasyid Ridha dari majalah-majalah tersebut.
Dalam perkembangan berikutnya di Sumatera, generasi
kedua Padri (setelah H. Miskin, Piabang) seperti H. Rasul,
Abdullah Ahmad dan lain sebagainya memperkuat Muhammadiyah di Sumatera. Sebagaimana dicatat Burhanudin Daya, generasi Padri kedua inilah yang kemudian mendirikan Sumatera
Thawalib. Lalu orang-orang Sumatera Thawalib lah yang banyak menyokong berdirinya Muhammadiyah di Sumatera. Di
antara orang penting Thawalib yang memasuki Muhammadiyah
adalah AR Sutan Mansur. Tapi sebelumnya ada lagi H. Rasul
yang berhasil menyebarkan Muhammadiyah secara massif.
Dialah yang mengampanyekan Muhammadiyah kepada muridmuridnya di Jembatan Surau Besi, tempat Thawalib yang disegani. Tahun 1925, H. Rasul mendorong perkumpulan Sendi
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 27
Aman yang dikelola oleh orang-orang Thawalib diubah menjadi
Muhammadiyah. Inilah yang kemudian menjadi cabang pertama
Muhammadiyah di luar Jawa.16
Ketiga, Persis lahir setelah Muhammadiyah berdiri. Persis
juga banyak merujuk pembaharuan-pembaharuan yang berkaitan dengan gerakan Rasyid Ridha. Menurut Deliar Noer, yang
mempengaruhi ideologi Persis juga datang dari al-Manar, alIman dan al-Munir. Di Singapura tempat Ahmad Hasan (pendiri
Persis) dibesarkan, diketahui sudah muncul gerakan-gerakan
pemurnian melawan kalangan tua tanah Melayu. Ditambah dengan pengaruh jurnal-jurnal yang dibaca Hasan akhirnya pergi
ke Melayu dan akhirnya menjadi ideolog Persis terkemuka.
Jadi semakin jelas bahwa gerakan pemurnian yang terjadi
di Indonesia juga dipengaruhi oleh ajaran Salafi abad ke-18
yang digerakkan Muhammad bin Abdul Wahab yang memiliki
sambungan dengan Ibn Taymiyyah dan pembaharuan dunia
Islam yang digerakkan Rasyid Ridha di abad ke-20.17
D. Sejarah Salafi Lombok
Penyebaran Salafi di Pulau Lombok dimulai dari kabupaten Lombok Timur sekitar tahun 1990. Ajaran Salafi dibawa
oleh almarhum TGH. Husni Abdul Manan, putra seorang tuan
guru NU kelahiran Bagek Nyaka, Desa Kembang Kerang, Kecamatan Aikmel. Besarnya pengaruh almarhum ayahnya menyebabkan TGH. Husni dalam waktu yang tidak relatif lama
Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis, h. 50-52. Data di atas dikutip dari
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta : LP3ES,
1996), h. 39 dan 85. Diambil juga dari Burhanudin Daya, Gerakan Pembaharuan
Pemikiran Islam : Kasus Sumatera Thawalib (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1995).
17
Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis, h. 54
16
28 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
mendapatkan pengikut cukup banyak. Tak heran tahun 1995,
pengikutnya hampir tersebar di semua desa di Lombok
Timur.
TGH. Husni Abdul Manan menempuh pendidikan di
Madrasah Al-Falah, Mekah. Setelah itu melanjutkan studinya
ke Universitas Azhar, Kairo–Mesir (1988). Selesai di Mesir ia
diminta kembali mengajar Ilmu Balaghah di Madrasah AlFalah. Ketika masih di Mekah, bapaknya TGH. Abdul Manan
meninggal dunia (sekitar 1985). Tahun 1990 TGH. Husni pulang ke Indonesia. Tahun 2005, ia meninggal dunia di Mekah
ketika melaksanakan umrah.
Di Lombok Tengah, penyebaran Salafi dirintis oleh H.
Idris di Desa Durian, Kecamatan Janapria Lombok Tengah.
Perkenalannya dengan ajaran Salafi bermula ketika membantu
kenalannya yang keturunan Arab dan tinggal di Ampenan Kota
Mataram. Pria keturunan Arab inilah yang memiliki jaringan
penyandang dana pembangunan masjid berasal dari Kuwait,
Arab Saudi. Setelah pria keturunan Arab itu meninggal dunia,
H. Idris mengambil alih jaringan itu lalu bertindak sebagai distributor dana pembangunan masjid dan bantuan-bantuan lain
yang berasal dari Arab Saudi. Kini H. Idris membangun yayasan pendidikan sendiri bernama Yayasan Idrisiyah.
Di kota Mataram ajaran Wahabi disebarkan Ustadz Ibnu
Hizam, pimpinan masjid Abu Hurairah, Lawata Gomong
Lama, Mataram. Tempat ini juga dijadikan sebagai tempat belajar khusus atau Madrasah Aliyah (MA) bebas biaya alias gratis. Siswa-siswa sebagian besar berasal dari luar Lombok seperti Sumbawa, Bima, Dompu bahkan sebagian berasal dari
Jawa. Sekolah ini dianggap sebagai sekolah Islam terpadu. Penyebaran Salafi di kota Mataram bukan hanya berpusat di
Lawata, Gomong, tapi juga di Islamic Centre, sebuah masjid
besar di pusat perdagangan Cakranegara. Di tempat ini dai-dai
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 29
Salafi dari berbagai daerah bertemu dengan jemaah Salafi yang
berasal dari berbagai kabupaten di Lombok dan Sumbawa.
Selain itu Salafi juga menyebar di kampung Pejarakan. Ia
dibawa oleh H. Said, seorang pensiunan guru SD.
Di Lombok Barat, Salafi tersebar di beberapa tempat seperti Kediri, Gunung Sari, Gerung dan Sekotong. Di Kediri
dibawa Ust.H Mufti Ali dan di Mesanggok, Gapuk, Gerung
diperkenalkan oleh Mukti Nasihat. Tokoh utama penyabaran
Salafi di Lombok Barat juga Ust. H Mukti yang kini sedang
merintis salah satu pondok pesantren Salafi di desa Kediri.
Ust. H. Mukti merupakan adik kandung TGH. Shafwan Hakim, pimpinan Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri yang
juga menjabat sebagai ketua MUI dan ketua Forum Komunikasi
dan Silaturrahmi Pondok Pesantren (FKSPP) Lombok Barat.
Kini Nurul Hakim berafiliasi ke Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) di Lombok. Lebih detailnya pembawa dan model gerakan Salafi dimasing-masing kabupaten dijelaskan berikut ini.
1. Salafi Lombok Timur
Sebagaimana diuraikan di atas, Salafi Lombok Timur
pertama kali dikembangkan TGH. Husni Abdul Manan
(Alm) sekitar tahun 1990. Ia putra pertama dari almarhum
TGH. Abdul Manan (meninggal 1985), seorang tuan guru
karismatik dan tokoh NU Lombok Timur. Ia juga pendiri
Pondok Pesantren Jamaludin, Bagek Nyaka Desa Kembang
Kerang Kecamatan Aikmel Lombok Timur.18 Ia memiliki
lima istri dan Sembilan anak. Dari urutan yang paling tua:
TGH. Husni, TGH. Lutfi, TGH. Manar, H.Suharni, Lc,
H.Tarfi, Ust. Mahrar, Zamharir, Zamjabil dan Zamjamil.
18
Wawancara dengan Ust.H.Hamzin, Dasan Bagek-Aikmel.
30 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Selain membuka pengajian di pondoknya, TGH.
Abdul Manan juga membuka sekolah dari jenjang Madrasah
Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Marasah
Aliyah (MA). Beberapa madrasah peninggalannya terdapat
di desa Bagek Nyaka, Aikmel, Gapuk, Kembang Kerang
Lauk, dan Lekong Putek. Sebagai tuan guru berpengaruh
ia rutin diundang mengisi pengajian di berbagai kampung
di Lombok Timur. TGH. Abdul Manan memiliki tiga putra, yaitu TGH. Husni Abdul Manan, TGH. Lutfi Abdul
Manan (Juli 2008 meninggal dunia) dan TGH. Manar Abdul Manan. Dari ketiga putranya, hanya TGH. Lutfi yang
tidak pernah belajar di Mekah. TGH. Lutfi belajar agama
dari bapaknya.
Setelah pulang sekolah dari al-Azhar, TGH. Husni
Abdul Manan diminta memimpin madrasah-madrasah yang
berada di bawah naungan Yayasan Jamaludin Bagek Nyaka.
Sejak itu ia mulai menjajakan ajarannya Salafi secara massif
kepada masyarakat di Lombok Timur.19 Bermodal pengaruh
yang ditinggalkan bapaknya, ia dengan mudah diterima
oleh masyarakat Lombok Timur. Apalagi penguasaan tafsir
al-Quran dan Hadisnya dinilai cukup bagus. Dengan demikian secara perlahan pengikut bapaknya berpindah kepadanya, meski ajaran yang dibawa berbeda.
Setelah hampir semua desa di Lombok Timur menerima ajarannya, ia mulai melebarkan pengaruh hingga ke
Lombok Tengah, Lombok Barat dan Mataram. Strategi
TGH. Husni Abdul Manan baru mulai menyebarkan pahamnya secara
terang-terangan tak lama setelah orang tuanya meninggal –serupa dengan
pemimpin Wahabi, Muhammad Ibn Abdul Wahab, yang menyebar pahamnya
setelah orang tuanya meninggal. Pengalaman ini juga terjadi pada H. Mukti
Nasehat, Mesangggok, Lobar. Bapak H. Mukti Nasehat adalah pengikut
tarekat.
19
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 31
yang dipakai mendekati dan bersilaturrahmi dengan para
tuan guru yang menjadi pemimpin di setiap desa. Pendekatan ini sebagian berhasil, sebagian tidak. Bila TGH. Husni memperkenalkan ajaran Wahabi, TGH. Lutfi justru setia
meneruskan ajaran ala NU yang diajarkan almarhum bapaknya. Adapun TGH. Manar, meski tidak sekeras paham
TGH. Husni, pemahaman keagamaannya lebih dekat dengan ajaran sang kakak.
Setelah TGH. Husni meninggal terjadi perpecahan di
tubuh Salafi Lombok Timur. Selain karena sudah tidak ada
lagi tokoh karismatik yang bisa didengar, penyebab lain juga karena perebutan sumber sumbangan. Semasa H. Husni
masih hidup, semua bentuk bantuan yang berasal dari Kuwait dan Arab Saudi berada dalam koordinasinya. Tapi,
setelah TGH. Husni meninggal jemaah pengikutnya yang
memiliki sekolah, yayasan, atau majelis taklim memasukkan
proposal sendiri-sendiri sehingga persaingan dalam mendapatkan bantuan tak dapat dihindari.
Begitu juga terjadi perebutan pengaruh dalam tubuh
Salafi Lombok Timur untuk menjadi pemimpin :
a. Jamaludin Al-Manar (TGH. Abdul Manar, Lc)
b. Jamaludin Al-Manan (TGH. Lutfi Abdul Manan-alm)
c. Yayasan As-Sunnah (Ust. H.Abdullah-putra TGH.
Husni)
d. Lembaga Dakwah Salafiah (LDS) pimpinan Ismail Hadi
(alumni Ponpes Modern Gontor)
e. Daarul Falah (LDATA) pimpinan TGH.Safwan berpusat
di Dasan Lian
f. As-Sunnah Salafiah, Suralaga pimpinan H.Husnul Munip
(alumni LIPIA)
32 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Gerakan Salafi di Indonesia dibiayai Yayasan Ihya’
Ultawas yang berpusat di London, Inggris, sedangkan untuk daerah Asia Tenggara koordinasinya berpusat di Kuwait. Yayasan ini memberikan bantuan kepada masjidmasjid dan koperasi. Ada banyak masjid di Lombok Timur
yang telah diberi bantuan di antaranya gedung markas Salafi Bagek Nyaka, Cepak Lauk, Dasan Bagek, Kembang Kerang, Keroya, Lenek, Tembeng, Lendang Nangka, Suralaga,
Dasan Lekong, Bebidas dan masih banyak yang lain.20
Awalnya hampir semua desa yang dimasuki ajaran Salafi memunculkan dinamika dan persinggungan antara doktrin Salafi dengan doktrin keislaman khas masyarakat
setempat. Kedua doktrin keislaman ini bersaing dan berusaha mematahkan argumentasi masing-masing. Apalagi para
pengikut Salafi ditengarai sangat bersemangat “meluruskan”
keyakinan keagamaan masyarakat setempat yang diklaim
penuh dengan perbuatan bidah.
Masing-masing kelompok terlihat bersemangat
menggali dan mengkaji keyakinan keagamaannya masingmasing. Bukan hanya untuk memantapkan keyakinan keislaman mereka tapi juga sebagai bekal mematahkan argumentasi lawannya. Biasanya perdebatan ini bukan hanya
terjadi antara tuan guru yang berbeda paham tapi juga melibatkan pengikut mereka yang paling bawah. Dampak
positif dari fenomena ini, terjadi gairah keagamaan yang
luar biasa di setiap kampung. Setiap hari pengajian diadakan di kampung-kampung yang berbeda.
Untuk membedakan pengikut masing-masing, muncul
dua istilah yang berbeda. Pertama disebut kelompok Sunnah, singkatan dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sebuah
Wawancara dengan Ust. H Hamzin/Ust.H Makki dan Ust. Pihirudin,
dua orang pengikut Salafi Lombok Timur
20
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 33
kelompok yang dijanjikan akan masuk surga oleh Nabi
Muhammad. Kedua kelompok bidah, artinya kelompok
yang ada di luar Salafi atau bukan pengikut Salafi. Istilah ini
semakin mempertegas perbedaan keyakinan masing-masing.
Sebenarnya, istilah Sunnah-Bidah pertama kali dipopulerkan oleh pengikut Salafi untuk membedakan kelompoknya yang sungguh-sungguh menjalankan Islam secara
“murni” sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kelompok bidah dianggap telah mencampur aduk
ajaran Islam dengan berbagai tradisi keislaman yang tidak
pernah dipraktikkan Nabi.
Hadis Nabi yang sering dijadikan dalil untuk menyerang kelompok bidah, “Kullu bid`atin dhalâlah, wakullu dhalâlatin fi an-Nâr” (Setiap perbutan bidah itu ditolak [sesat].
Dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka). Hadis ini
begitu populer di masyarakat. Hampir semua orang hafal
dan mengerti makna Hadis ini. Dari anak kecil hingga
orang dewasa.
Penggunaan Hadis ini secara berulang-ulang agaknya
tidak membuat kelompok lain simpatik. Yang muncul justru kecurigaan dan kekesalan karena cara beragama mereka
disalahkan terus menerus. Menurut kelompok di luar Salafi, tradisi dan keyakinan keislaman yang mereka anut selama ini sudah berlangsung secara terun temurun. Mereka
juga memiliki tafsir yang berbeda tentang bidah. Ada bidah
positif, ada juga yang negatif.
Karena pertentangan yang semakin tajam, “dinamika”
keagamaan tidak produktif lagi. Dari sini gesekan-gesekan
mulai muncul. Masing-masing pihak berusaha memonopoli
penggunaan masjid. Kompromi pun tidak bisa berjalan
baik. Akibatnya bentrokan keyakinan dan kepentingan ditengah masyarakat tidak dapat dihindari. Untuk wilayah
34 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur, konflik
Salafi dengan masyarakat NU, NW atau Makrakit Taklimat
hampir terjadi di semua kampung sejak 1995. Misalnya,
desa Bagek Nyaka, Kalijaga, Kembang Kerang, Dasan Lian,
Toya, Batu Belek, Keroya, Pungkang, Lenek dan masih
banyak desa lain di luar Kecamatan Aikmel.
Di Desa Bagek, Aikmel, tempat lahir dan tinggal penulis, sekitar tahun 2000-an terjadi bentrok fisik di dalam
masjid antara jemaah Salafi dengan warga. Penulis masih
ingat ketika itu malam Jumat. Di kampung penulis, setiap
malam Jumat setelah salat Magrib ada tradisi membaca
Barzanji hingga salat Isya tiba. Tiba-tiba malam itu mik
yang biasa dipakai disembunyikan seseorang yang diduga
berasal dari kelompok Salafi. Listrik masjid juga dimatikan.
Mengetahui itu masyarakat tidak terima, lalu mencari
jemaah Salafi yang dianggap sengaja melakukan sabotese
tersebut. Akhirnya malam itu, bentrok fisik tidak dapat
dihindari, beruntung bentrokan tidak mengakibatkan
jatuhnya korban.
Bentrokan ini bisa dianggap sebagai puncak perbedaan
dan pertentangan paham yang mengklaim diri sebagai kelompok Sunnah (Wahabi) dan kelompok Bidah (masyarakat
non-Wahabi). Setelah insiden itu, kedua kelompok kemudian duduk bersama mencari jalan keluar agar kejadian itu
tidak terulang, apalagi saat itu mereka sedang membangun
masjid. Dampak dari insiden ini pembangunan masjid terhenti. Pada pertemuan tersebut disepakati supaya dilakukan
pergantian para petugas masjid seperti muazin, imam, dan
khatib. Penggunaan masjid untuk menggelar pengajian juga
digilir antarkedua kelompok ini. Beberapa waktu kesepakatan itu berjalan. Namun dalam perjalanannya, gesekan-gesekan antarwarga terus terjadi. Ada keluarga yang tidak
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 35
saling berkunjung karena perbedaan paham ini. Kelompok
Sunnah hanya berinteraksi dengan kelompoknya sendiri,
begitu juga kelompok Bidah. Polarisasi antara Sunnah-Bidah
lama-lama semakin mengental di tengah masyarakat.
Setelah dialog dan musyawarah dilakukan beberapa
kali, muncul ide membagi masjid menjadi dua. Setengah
untuk Sunnah, setengahnya lagi untuk kelompok Bidah.
Pembagian ini bertujuan agar tidak terjadi dominasi penguasaan masjid. Dalam musyawarah dan pertemuan yang
dihadiri dua kelompok tersebut, tampak muncul sikap di
mana mereka merasa sama-sama berjasa membangun masjid
desa tersebut. Muncul ide melakukan voting dengan suara
terbanyak untuk menentukan pembagian masjid yang sedang di bangun tersebut. Dari hasil voting terungkap kelompok pendukung Sunnah (Wahabi) berjumlah 300 kepala
keluarga (KK), sedangkan Bidah 800 kepala keluarga.
Karena kalah jumlah, kelompok Sunnah hanya mendapat
bagian lima meter dari bangunan masjid. Mereka kemudian
membangun masjid baru yang berada di pinggir desa. Dana
pembangunan berasal dari iuran warga dan sumbangan dari
Kuwait, Arab Saudi.
Membangun masjid di pinggir desa karena minim dukungan oleh kelompok Wahabi seperti peristiwa di atas
sering terjadi di kampung-kampung yang mereka masuki.
Bagi masyarakat Aikmel dan Lombok Timur secara umum,
pendirian masjid selalu berada di tengah kampung. Kalaupun berada di pinggir jalan, pasti letaknya di tengah-tengah
rumah penduduk. Jadi Kalau sekarang banyak masjid baru
yang berada di pinggir jalan dan berjauhan dari rumah penduduk dapat dipastikan bahwa masjid itu dibangun oleh
jemaah Wahabi.
36 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Bulan Agustus 2006, masjid Wahabi yang sedang dibangun di desa Masbagek, Lombok Timur, dirusak dan
dibakar warga. Meski letak masjid itu agak berjauhan dari
perkampungan warga, aksi itu terulang sampai dua kali.
Beruntung aksi brutal warga tidak sampai merusak rumah
pengikut Wahabi karena dicegah aparat dari Polsek
Masbagek. Sejak aksi anarkis itu, hingga kini pembangunan
masjid tidak berani diteruskan para pengikut Wahabi Masbagek. Sebagaimana desa-desa lain, aksi warga itu sebagai
puncak kemarahan warga terhadap ajaran yang dinilai bertentangan dengan paham dominan masyarakat Masbagek.
Menurut Ust.Tanwir, salah seorang pengurus NU Cabang Lombok Timur yang juga cucu salah satu penggerak
NU di Lombok Timur almarhum TGH. Sakaki, perusakan
itu merupakan akumulasi kemarahan warga.21 Suatu malam
ketika Ust. Tanwir mengadakan pengajian di Masjid besar
Masbagek, seorang anggota Wahabi melakukan interupsi
kepadanya karena dianggap berbeda dengan pahamnya. Pria
itu bahkan meminta Ust. Tanwir mencari sebuah ayat
dalam al-Quran. Bagi jemaah yang mengikuti pengajian,
tindakan itu dianggap tidak sopan bahkan ada kesan ingin
menguji kemampuan tafsir al-Quran Ust. Tanwir. Tidak
cukup, salah seorang pengikut Wahabi itu menantang Ust.
Tanwir untuk berdebat dalam menafsirkan al-Quran.
Desa Masbagek salah satu basis NU di Lombok
Timur. Masbagek bahkan pernah memiliki beberapa tuan
guru karismatik yang menjadi penggerak NU di awal-awal
penyebarannya di Lombok Timur. Tahun 1965, TGH. Sakaki pernah memimpin ratusan anggota GP. Ansor Lombok Timur untuk melakukan pengganyangan anggota PKI.
21
Wawancara Ust.Tanwir di rumahnya di Masbagek Barat
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 37
Korbannya bukan hanya anggota PKI yang berasal dari
warga pribumi tapi juga para pedagang Cina yang menetap
di sekitar Kelayu, Pancor, Mabagek, Aikmel, dan Poghading. Mereka kemudian dimakamkan secara massal di beberapa tempat di Lombok Timur. Salah satu tempat pemakaman massal itu berada di areal Pesanggrahan, Aikmel.
Tahun itu menjadi tahun pembersihan anggota PKI dan etnis Cina di Lombok Timur. Akibatnya, hingga kini tidak
ada seorang warga keturunan Cina pun berdagang di Lombok Timur sebagaimana di Ampenan dan Cakranegara.
2. Salafi Lombok Tengah
Belum banyak data yang berhasil digali mengenai
penyebaran Salafi di Lombok Tengah. Selain karena pergaulan serta pergulatan mereka yang agak tertutup, sampai
hari ini memang belum banyak muncul pertentangan dari
warga setempat. Sedikit informasi yang didapat di Lombok
Tengah pun sebenarnya ajaran Salafi juga sudah mulai menyebar, tepatnya Dusun Paok Dandak, Kecamatan Janapria.
Tokohnya bernama H. Idris yang menyebarkan paham
tersebut melalui Yayasan Al-Idrisiyah.
TGH. Ahmad Jamiludin, pimpinan Yayasan Pendidikan Sirojul Huda, Paok Dandak, Janaperia menuturkan.22
Sosok H. Idris ini mulai dikenal masyarakat di beberapa
daerah di wilayah Lombok setelah sering memberi bantuan
pembangunan masjid dan musala kepada masyarakat. Caranya pria yang memiliki latar belakang pendidikan hingga
SD ini mendatangi masjid atau musala yang sedang mengalami kerusakan atau masjid yang masih dalam tahap pembangunan lalu memotretnya. Gambarnya lalu dikirim ke
donaturnya yang berasal dari Kuwait, Arab Saudi. Bermo22
Wawancara TGH. Ahmad Jamiludin di rumahnya, 2 Maret 2009
38 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
dalkan beberapa lembar foto dan sedikit keterangan, ia
biasa memberikan masyarakat bantuan untuk pembangunan
masjid atau musala.
Selain itu pada bulan-bulan tertentu, khususnya bulan
Ramadhan, H. Idris sering membagi-bagikan kurma, kain
dan hewan kurban secara cuma-cuma kepada masyarakat.
Tak heran, sebagian masyarakat mengenalnya sebagai pria
pemurah dan dermawan. Sebagian mereka tidak sedikit
yang kemudian menjadi pengikutnya. Sekarang ini pengikut
H. Idris datang dari berbagai daerah di NTB, termasuk
Sumbawa, Bima dan Dompu.
Perkenalan H. Idris dengan sang donatur dari Kuwait
berawal dari perkenalannya dengan seorang pria keturunan
Arab yang tinggal di Ampenan, Kota Mataram.23 Pria inilah
yang memiliki jaringan langsung dengan donatur dari
Kuwait yang rajin memberi bantuan pembangunan masjid
di beberapa daerah di NTB. Pada pria keturunan Arab
inilah H. Idris pernah bekerja. Namun setelah pria keturunan Arab itu meninggal dunia, jaringan itu dipegang langsung H. Idris yang kemudian terlibat langsung dalam menyalurkan bantuan. Kompensasi dari bantuan tersebut
adalah ajaran Wahabi harus disebarkan luas ke tengah masyarakat Lombok yang dikenal masih taat pada tuan guru,
masih senang berobat ke dukun, berziarah ke kubur, dan
Ampenan kota pelabuhan pertama di Lombok yang dibangun sejak
masa penjajahan Belanda. Sebagaimana pelabuhan pada zaman dulu, Ampenan
juga dihuni masyarakat dari etnis Cina dan Arab yang menggantungkan
hidupnya sebagai pedagang. Mereka sudah menetap puluhan tahun lamanya.
Kedua etnis inilah yang kini menguasai sebagian besar toko yang ada di
Ampenan. Kami belum bisa melacak, nama dan latar belakang pria dari
Ampenan tersebut.
23
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 39
melakukan perbuatan-perbuatan yang dianggap berbau
syirik dan bidah.
Layaknya ajaran Wahabi atau Salafi, ajaran yang disebarkan H. Idris banyak mengkritik, menyinggung dan
menyalahkan ajaran tuan guru yang telah mengakar bertahun-tahun di tengah masyarakat. Ia menolak talkin, Lailatul
Ijtimak, tahlilan, zikir dan lain sebagainya. Oleh sebab itu
penyebaran ajarannya mulai meresahkan beberapa tuan
guru di Janaperia. Apalagi sekitar 500 meter di sebelah
barat rumahnya, telah berdiri lama lembaga pendidikan
yang kental dengan tradisi-tradisi keagamaan Nahdlatul
Ulama (NU), yaitu Yayasan Pendidikan Sirojul Huda pimpinan TGH. Ahmad Jamiludin. Gesekan-gesekan dan perbedaan paham mulai muncul, apalagi pengajian-pengajian
yang dilakukan H. Idris menggunakan pengeras suara.
Pada akhir Desember 2008 lalu misalnya, seorang
santri H. Idris ditangkap warga di sekitar kompleks pendidikan Sirajul Huda karena kedapatan midang (mengunjungi
pacar) salah seorang anak TGH. Jamiludin sekitar pukul
24.00 WITA. Jumlah sebenarnya dua orang, namun satu
orang berhasil meloloskan diri. Bagi warga Paok Dandak,
batas midang malam hari hanya sampai 21.30 WITA. Bila
ada pemuda kedapatan midang melebihi batas tersebut bisa
langsung dikawinkan. Itu sudah menjadi awiq-awiq (aturan
desa) tidak tertulis di dusun tersebut.
Mengetahui kejadian tersebut, pagi harinya warga
berkumpul. Sebagian warga marah lalu mendatangi rumah
H. Idris. Warga menuntut agar anak yang midang itu dipulangkan ke kampung di Sumbawa. Namun di rumahnya
H. Idris tidak ditemukan, begitu juga anak tersebut. Merasa tuntutannya tidak didengar, warga secara tiba-tiba
melempar dan melakukan pelemparan dan perusakan dua
ruang belajar di rumah H. Idris. “Kalau jadi tempat me-
40 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
sum, bubarkan saja,” teriak beberapa warga. Puas melakukan pelemparan, warga membubarkan diri.
Di luar perbedaan paham antara H. Idris dengan masyarakat sekitar, TGH. Ahmad Jamiludin merasa pernah
dibohongi H. Idris. Tahun 2000 silam H. Idris pernah
mendatangi TGH. Ahmad Jamiluddin di rumahnya untuk
meminjam akte notaris, nama pengurus dan profil Yayasan
Pendidikan Sirojul Huda untuk mendapatkan bantuan. Saat
itu Yayasan Idrisiyah belum berdiri. Iktikad baiknya pun
dipenuhi karena Yayasan Pendidikan Sirojul Huda memang
sangat membutuhkan dana untuk memperbaiki beberapa
gedung belajar Madrasah Tsanawiyah (MTS) yang sudah
mulai rusak. Selang beberapa lama H. Idris kembali datang
ke rumah TGH. Jamiluddin yang mengatakan bahwa dana
bantuan itu sudah cair. Cuma dia mengaku bahwa proposalnya yang diterima adalah Yayasan Idrisiyah yang baru
saja ia dirikan.
Sejak itu masyarakat mulai tidak suka dengan H.
Idris. Hal ini misalnya bisa dilihat dari pengikutnya yang
berasal dari luar, termasuk dari pulau Sumbawa. Masyarakat di sana sebagian besar memasukkan anaknya di Yayasan Pendidikan Sirojul Huda. Kelebihannya di sini mereka
diajarkan juga kitab-kitab kuning yang lazim diajarkan di
banyak pesantren di Lombok.
Konflik kekerasan antara pengikut Wahabi dengan
masyarakat NU/NW di Lombok Tengah di kemudian hari
sangat berpeluang terjadi. Hal ini diperkuat dengan semakin gencarnya dai-dai Wahabi yang berasal dari Jawa untuk
menyebarkan paham di tengah masyarakat Lombok yang
dianggap masih sangat patuh kepada tuan guru. Apalagi di
daerah ini juga terdapat beberapa kelompok paramiliter
yang sering terlibat dalam aksi pemburuan hingga pembu-
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 41
nuhan maling. Di Loteng terdapat Ampibi, Ababil, Elang
Merah, Hizbullah (NW-Anjani), Yatofa, Buru Jejak dan
Rajawali. Kelompok paramiliter ini terkenal sangat keras
terhadap para pencuri. Selain menangkap mereka juga
menyeret pencuri keliling kampung sebelum kemudian
membunuhnya. Kelompok paramiliter ini tidak percaya
dengan penegakan hukum yang dilakukan polisi. Polisi pun
tidak berani menindak atau menangkap anggota ini yang terlibat membunuh pencuri.
Munculnya kejadian-kejadian yang secara tiba-tiba
seperti kasus santri H. Idris tadi bisa memunculkan problem yang lebih besar dikemudian hari. Apalagi pendirian
kelompok paramiliter ini juga digagas para tuan guru lokal
yang masih memegang tradisi NW atau NU. Maka jika
tidak segera digagas dialog perbedaan dapat melahirkan
tindakan anarkis seperti yang menimpa jemaah Salafi di
Lombok Timur, Lombok Barat, dan Kota Mataram.
3. Salafi Kota Mataram
Di kota Mataram terdapat dua pusat penyebaran
Salafi. Pertama, Islamic Centre Abu Hurairah, Lawata, Gomong Lama. Pimpinannya bernama Ust. Ibnu Hizam, salah
seorang distributor dana-dana pembangunan Wahabi. Bangunan berlantai dua ini meniru gaya arsitektur Timur Tengah. Lantai satu dipergunakan salat dan kajian, sedangkan
lantai dua dijadikan tempat belajar yang disebut Lembaga
Pendidikan Islam Terpadu Abu Hurairah. Biaya belajar di
tempat ini digratiskan. Kedua, masjid Islamic Centre, Cakranegara. Masjid ini sering dijadikan sebagai tempat pengajian
pengikut Salafi dari berbagai daerah di NTB. Di tempat ini
juga sering didatangi oleh dai-dai Salafi dari Jawa bahkan
dari Arab Saudi. Abu Bakar Baasyir juga pernah mendatangi
42 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
masjid ini ketika melakukan kunjungan ke beberapa tempat
di Lombok beberapa waktu lalu.
Sebagaimana daerah-daerah lain, Salafi di Kota Mataram pernah mengalami tindakan kekerasan di kampung
Pejarakan Kelurahan Pejarakan Kecamatan Ampenan.
Kejadiannya terjadi Selasa, 4 Juli 2007 sekitar pukul 23.00
WITA. Rumah H. Said dilempar dan dirusak warga setempat. Taman Kanak-Kanak (TK) Bani Saleh yang ia dirikan
juga ikut dirusak warga. Pemicunya H.Said dalam berbagai
pengajiannya sering menyalahkan tradisi keagamaan masyarakat setempat. Ketika ditemui bersama anaknya, H. Said
mengatakan kejadiannya bermula ketika ia mengadakan
pengajian di rumahnya yang bersebelahan dengan masjid.
Seperti biasanya, pengajian itu diadakan setelah salat Isya
berjamaah. Diikuti oleh anggota keluarga, malam itu dua
orang jemaah Salafi yang berasal dari Gegutu, Kecamatan
Narmada, Lombok Barat, juga hadir.
Begitu pengajian selesai, dua orang Salafi dari Gegutu
pulang. Ketika sampai jalan, mereka dicegat oleh beberapa
warga. Mendapat informasi jamaahnya dicegat oleh beberapa warga, dua orang jemaah Salafi yang masih berada di
rumah H. Said kemudian menyusul melihat tamunya di
tahan warga. Ketika itu terjadi perang mulut antara warga
Salafi dengan warga Pejarakan. Akibat perang mulut yang
semakin panas, kemudian sempat terjadi saling pukul.
Mengetahui kejadian itu sebagian warga kemudian berhamburan keluar. Bahkan salah seorang warga memukul tiang
telepon umum yang berada di pinggir jalan sebagai isyarat
agar warga semua keluar. Beberapa warga yang emosi sempat melempar genteng dan kaca rumah H. Said serta TK
Bani Saleh.
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 43
Beruntung aparat dari Polsek Ampenan segera datang
mengamankan tempat kejadian. Untuk menghindari amuk
massa, Sembilan warga Salafi termasuk H. Said diamankan
di kantor Polsek Ampenan. Disusul anaknya yang menjadi
guru di SMP 2 Mataram. Jadi jumlah warga Salafi yang diamankan total sepuluh orang. Paginya warga Salafi yang
diamankan di Polsek Ampenan dibebaskan. Kamis, 7 Juli
2009, Camat, dan aparat kelurahan bersama Kapolsek Ampenan memfasilitasi pertemuan antara warga Salafi dan
warga yang dihelat di kantor Kelurahan Pejarakan. Dalam
pertemuan itu, warga non-Salafi membuat awiq-awiq desa
(aturan desa) yang harus diikuti oleh jemaah Salafi. Jika
dilanggar, maka H. Said harus keluar dari kampung Pejarakan. Bunyi awiq-awiq itu pertama, warga Salafi tidak boleh
lagi mengadakan pengajian di kampung Pejarakan. Kedua,
warga Salafi tidak boleh mengundang warga Salafi yang
berasal dari luar kampung untuk melakukan pengajian.
Ketiga, Bila ada warga Salafi yang meninggal, maka tidak
boleh dimakamkan di kuburan umum warga Pejarakan.
Menurut Ramli, salah seorang tokoh pemuda Pejarakan menuturkan, H. Said menyebarkan ajaran Salafi di
kampungnya sekitar dua tahun. Itupun setelah dia pensiun
menjadi guru SD. Jumlah pengikutnya sekitar 25 orang
termasuk anggota keluarganya. Dulunya H. Said tokoh masyarakat yang sangat didengar masyarakat sekitar. Namun
setelah mengajarkan ajaran Salafi, warga kemudian berpaling. Lebih-lebih dalam pengajian yang diadakan di rumahnya, H.Said sering mengritik bahkan menganggap sesat
keyakinan warga. Tradisi zikir, salawatan, maulid Nabi,
talkin dan tradisi lainnya disalahkan H.Said. Sejak mengetahui H. Said berpaham Salafi, beberapa warga yang mema-
44 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
sukkan anaknya di TK Bani Saleh dipindahkan. TK itu kini
tidak memiliki peserta didik.
Selain itu terungkap juga beberapa minggu sebelumnya, berlangsung pemilihan Kepala Lingkungan Pejarakan.
Dalam pemilihan itu terpilih secara aklamasi H. Wildan
yang berprofesi sebagai kontraktor bangunan. Ia ditunjuk
secara langsung karena menurut warga H. Wildan dianggap
paling mampu dan pantas menjadi kepala lingkungan. Ketika itu putra H. Said yang bekerja di Newmont Nusa
Tenggara (NNT) Sumbawa juga mencalonkan diri sebagai
kepala lingkungan. Tapi karena warga yang mengusulkan
namanya sangat sedikit, niatnya tersebut dibatalkan.24
Agaknya kasus penyerangan jemaah Salafi di Pejarakan
ini tidak murni disebabkan perbedaan paham antara warga
dengan H. Said. Ada kemungkinan masih terkait dengan
momen pemilihan kepala lingkungan tersebut. Sebab, menurut salah seorang warga, sebelum melakukan penyerangan beberapa pemuda berkumpul di rumah H.Wildan.
Bisa juga ada masalah-masalah pribadi antara keluarga H.
Said dengan H.Wildan yang pernah terjadi sebelumnya.
Apalagi keduanya pernah ditokohkan masyarakat. Pada saat
kejadian juga, Pejarakan baru mengalami pemekaran dari
lingkugan induk yaitu lingkungan Pejeruk Ampenan.
4. Salafi Lombok Barat (Kasus Mesanggok)
Dusun Mesanggok, Desa Gapuk, Kecamatan Gerung
hanya berjarak setengah kilometer dari pusat kota pemerintahan Lombok Barat: Gerung. Letaknya persis di sebelah
barat kantor bupati. Dari pelabuhan Lembar, pintu masuk
menuju pulau Lombok melalui darat hanya berjarak dua
24
Wawancara H. Said dan kliping Lombok Post, Rabu (4/7/2007)
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 45
kilometer. Mata pencaharian penduduknya sebagian besar
petani, kusir, pedagang dan PNS.
Tradisi keagamaan masyarakat Mesanggok umumnya
menganut paham keagamaan ala Nahdlatul Ulama (NU).
TGH. Khotibul Umam mengungkapkan, masyarakat dusun
Mesanggok masih kuat memegang ajaran Ahlussunnah Waljamaah sebagaimana telah diajarkan secara turun temurun
oleh para tuan guru terdahulu. Dalam wawancara itu juga
terungkap betapa warga Mesanggok rupanya sudah lama
mengamalkan ajaran-ajaran tarekat. Ini misalnya dapat kita
lacak dari kecendrungan ajaran almarhum TGH.Muhammad
Arif (meninggal 1946) yang dianggap sebagai sesepuh warga Mesanggok.
TGH. Muhammad Arif yang dianggap sebagai peletak
ilmu tarekat di dusun tersebut. Dia juga dikenal sebagai
tuan guru mursyid yang kemudian banyak melahirkan tuan
guru di antaranya TGH. Muaz (Sekotong), TGH. Mustafa,
TGH. Ridwan (Bela Tepong), TGH.Sidik, TGH. Karim
pendiri Ponpes Nurul Hakim, Kediri.25
Beberapa tradisi keagamaan yang masih dipertahankan
hingga kini di antarnya srakalan (membaca Barzanji pada
malam Jumat sebelum salat Isya), berzikir dengan suara
besar (jahar) usai salat lima waktu, membaca talkin bagi
orang yang meninggal dunia, memperingati maulid Nabi
Muhammad SAW, kunut, begawe (pesta, bahasa Sasak) dan
lain sebagainya. Selain itu amalan-amalan pengikut terakat
seperti pembacaan Dalail al-Khairat (Bukti-bukti Kebaikan)
–masyarakat Mesanggok biasa menyebutnya Dalail—yang
dibaca setiap waktu oleh warga Mesanggok.
TGH. Shafwan Hakim, pimpinan Pondok Pesantren Nurul Hakim,
Kediri sekaligus Ketua MUI dan ketua Forum Silaturrahmi Pondok Pesantren
(FKSPP) NTB.
25
46 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Dari dulu hingga sekarang sebagian besar masyarakat
Mesanggok mengaji ke Pondok Pesantren Daarul Falah,
Pagutan, Kota Mataram. Pondok itu didirikan almarhum
TGH. Abhar. Selain sebagai pondok pesantern NU, Daarul
Falah juga dikenal sebagai pusat penyebaran ilmu tarekat
di Lombok. Dengan demikian TGH. Abhar dikenal sebagai
salah seorang mursyid yang memiliki banyak pengikut hingga pelosok-pelosok desa. Kini pondoknya dipimpin oleh
putranya, TGH. Mustiadi Abhar, yang kini menjadi Rais
Syuriah NU Kota Mataram. TGH. Mustiadi sempat pula
menjabat Ketua KPU Kota Mataram periode 2004-2008.
Adapun TGH. Mustafa mempunyai putra TGH. Hatabullah, ayahanda TGH. Khotibul Umam. Belakangan beberapa tuan guru juga sering diundang mengisi pengajian di
masjid Mesanggok di antaranya TGH. Muzhar (Pimpinan
Ponpes Daarun Nadwah Desa Ketujur, setengah kilometer
dari arah utara Mesanggok), TGH. Udin,26 TGH. Masud,
TGH. Muhajirin dan TGH. Hazbullah Munir.
Mei 2008 silam, H. Mukti Nasihat mulai membuka
pengajian di rumahnya yang mengajarkan aliran Salafi (Wahabi). Letak rumah H.Mukti berada di samping masjid
Daarud Dakwah, Mesanggok. Ia juga memiliki heler (mesin
penggiling) padi dan jagung serta sebuah rumah di pinggir
sebelah timur dusun. Mula-mula ia mengadakan pengajian
di rumahnya yang diikuti anggota keluarga dan para pekerjanya. Ketika pengikut Salafi di dusun Kebon Kongok, Lembar ditolak warga maka H. Mukti Nasihat bersama H.
Musfihad kemudian menjadikan rumahnya sebagai tempat
pengajian.
26
Dosen dan mantan Dekan Fakultas Dakwah IAIN Mataram
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 47
Sejak itu H. Mukti mulai mengkritik bahkan mencela
keyakinan keagamaan masyarakat setempat. Beberapa tradisi
seperti zikir, talkin dan pembacaan Dalail al-Khairat yang
sudah bertahun-tahun dibaca oleh masyarakat dianggap bidah dan sesat. Tidak itu saja, ia juga dianggap terlalu banyak
tingkah oleh warga. Ia misalnya pernah menyalahkan cara
berjumat warga yang tidak sesuai dengan cara pemerintah.
Menurut penuturan seorang warga, ia bahkan pernah menantang TGH. Mustiadi Abhar untuk berdebat masalah
agama.
Sebelum menganut ajaran Salafi, H. Mukti Nasihat
juga pernah menekuni ilmu agama di Ponpes Daarul Falah,
Pagutan. Sepulang dari Pagutan, ia pun sempat menjadi
khatib salat Jumat dan memberikan pengajian kepada masyarakat. Tak lama setaelah itu ia pergi ke Riyadh, Arab
Saudi, untuk bekerja sebagai TKI. Tahun 1985 ia pulang
ke kampung halamannya. Di rumah ia terlibat perselisihan
dengan beberapa warga di kampungnya. Akibatnya ia meninggalkan kampungnya lalu tinggal di dusun Batu Bulek,
sekitar satu kilometer dari Mesanggok. Tidak beberapa ia
kembali ke rumahnya semula.
Setelah itu muncul ide dari bapaknya untuk mewakafkan 2,5 hektar tanah kepada masjid. Oleh warga tanah
wakaf itu kemudian dibuatkan sertifikat resmi untuk menghindari perselisihan di kemudian hari. Setelah itu masyarakat sepakat menjadikannya sebagai perpustakaan masjid
yang diberi nama Nur Muhammad. Belakangan tanpa sepengetahuan warga tanah wakaf itu dibuatkan sertifikat hak
milik oleh H. Mukti. Di rumah itulah H. Mukti mengajarkan ajaran Salafi kepada keluarga, pekerjanya dan pengikutnya yang berasal dari Kebon Kongok, Sekotong Timur
Kec.Lembar. Inilah yang menjadi pemicu sehingga aksi anarkis berualang kali menimpa pengikut Salafi di Mesanggok.
48 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
E. Kronologi Kejadian
Rabu, 14 Mei 2008
• Jam 22.00 WITA, rumah H. Musfihad di Dusun Mesanggok, Desa Gapuk Kecamatan Gerung, yang dijadikan
tempat pengajian Salafi dilempar warga. Ketika itu H.
Musfihad sedang mengajarkan tafsir al-Quran kepada 26
orang pengikutnya. Para pengikutnya itu berasal dari Dusun
Kebon Talo, Desa Sekotong Timur, Kecamatan Lembar
Lombok Barat. Warga tidak terima kampungnya dijadikan
tempat mengajarkan ajaran Salafi yang dianggap suka
menyalahkan keyakinan keagamaan mereka. Mendapat
laporan, Kapolsek Gerung AKP. H. Ahmad, SH langsung
menurunkan 90 personil untuk mengamankan TKP. Guna
menghindari tindakan anarkis warga, malam itu polisi
langsung mengamankan H. Musfihad bersama 26 jemaah
pengajiannya ke Polres Lobar. Esok harinya ke 26 jemaah
pengajian itu dilepas, sedangkan H. Musfihad dipertemukan
dengan warga untuk berdialog. Hadir dalam pertemuan
tersebut tokoh-tokoh masyarakat dan penghulu. Dalam pertemuan itu disepakati agar H. Musfihad menghentikan
pengajiannya dan Kapolsek meminta agar H. Musfihad memaafkan tindakan warga tersebut.27
Sabtu, 17 Mei 2008
• Dialog antara warga dengan jemaah Salafi diwakili H.
Muspihad dan dua orang putri H. Mukti di masjid Daarud
Dakwah, Mesanggok. Hadir pada dialog tersebut Kapolsek
Gerung AKP. H. Ahmad, Kakandepag Gerung, H. Muslim,
Camat Gerung, L.Ardipati, ketua MUI Lobar, TGH.
27
Suara NTB, Kamis (15/5) 2008
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 49
Shafwan Hakim. Dialog difasilitasi Kepala Desa (Kades)
Gapuk, Zulhaini dan Kapala Dusun (Kadus) Mesanggok,
H.Islahudin. Dalam pertemuan itu warga tetap bersikeras
agar H. Mukti dikeluarkan dari kampung karena tindakannya sudah sering meresahkan masyarakat. Hal itu juga
sudah menjadi keputusan musyawarah warga yang diwakili
60 orang. Dalam berita acara musyawarah yang dilakukan
Rabu (14/5) tertuang kesepakatan warga agar H. Mukti dikeluarkan dari dusun Mesanggok dan melarang ajaran
apapun masuk di dusun tersebut yang bertentangan dengan
tradisi dan adat istiadat masyarakat setempat. Karena mengalami deadlock, dialog akan dilanjutkan di kantor camat
Gerung.28
Kamis, 19 Februari 2009
• Pukul 22.00 WITA rumah H. Mukti Nasihat kembali
dilempar warga ketika sedang melakukan pengajian tafsir
al-Quran di rumahnya. Pelemparan kembali dilakukan
warga karena tidak suka dengan aktivitas H. Mukti yang
tidak mau berhenti mengajarkan ajaran Salafi kepada jamaahnya. Mendapat laporan, malam itu juga Kapolsek Gerung
AKP. Ahmad, SH., menerjunkan pasukannya untuk mengamankan lokasi. Malam itu juga polisi kembali mengamankan H. Mukti bersama keluarganya ke kantor Polsek Gerung, namun paginya dia diperbolehkan pulang kembali.29
Sabtu, 21 Februari 2009
• Pukul 17.05 WITA rumah H. Mukti Nasihat yang bersebelahan dengan masjid Daarud Dakwah kembali dilempar dan
28
29
Lombok Post, Senin (19/5) 2008
Suara NTB, Sabtu, (21/2) 2009
50 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
dirusak warga. Dalam aksi ini lima rumah warga Salafi
rusak parah. Seperti semula warga marah karena H. Mukti
tidak mau berhenti menyebarkan ajarannya. Kali ini pemicu
aksi brutal warga itu dipicu oleh sikap H. Mukti yang tidak
bersedia datang pada dialog yang diadakan di kantor Polsek
Gerung. Apalagi beredar fotokopian majalah Furqon yang
disebarkan oleh H. Mukti yang isinya menyalahkan tradisi
keagamaan mayarakat setempat. Tindakan anarkis warga
terhenti setelah aparat keamanan dari Polres Lobar turun
dengan senjata lengkap yang dipimpin Kasat Reskrim AKP.
Indra Lutrianto, SH, M.Si.30
Senin, 23 Februari 2009
• Pagi sekitar pukul 08.00 WITA, ratusan warga Mesanggok,
laki-perempuan dan anak-anak mendatangi Polres Lobar.
Kedatangan warga bertujuan untuk membebaskan dua orang
warga yang ditangkap. Sebelum sampai Polres, kedatangan
warga berhasil dihalau aparat keamanan. Namun karena
terdesak, warga akhirnya melempari polisi dengan batu dan
kayu. Aksi pelemparan itu kemudian memancing polisi untuk bertindak keras. Dalam keadaan kacau itu, polisi kembali menangkap tiga orang warga yang dianggap provokator.
Selanjutnya polisi yang dipimpin Kapolres Lobar, AKBP
Agus Supriyanto, SIK., kembali mengumpulkan tokoh
masyarakat untuk berdialog. Meski begitu Kapolres tetap
pada pendiriannya untuk melakukan pemeriksaan terhadap
warga yang ditangkap. Karena dialog dianggap tidak
memuaskan, emosi warga kembali berhadap-hadapan dengan
aparat yang bersenjata. Selang beberapa saat warga dipaksa
kembali pulang namun rumah H. Mukti kembali menjadi
30
Suara NTB, Senin (23/2) 2009
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 51
sasaran kemarahan warga. Padahal di sana aparat keamanan
masih berjaga-jaga. Malamnya, setelah bermusyawarah dan
adanya jaminan, kelima warga yang ditahan akhirnya
dilepaskan.31
Kamis, 26 Februari 2009
• Kapolres Lobar, AKBP Agus Supriyanto, mengundang warga Mesanggok dan tokoh Salafi berdialog. Tempatnya di
kantor Mapolres Lombok Barat. Hadir pada pertemuan itu
Ketua MUI Lobar, TGH. Shafwan Hakim, Asisten I Pemkab Lobar, Ir. H. Rahmat Agus Hidayat, Kepala Bakesbanglinmas, Kakandepag Lobar dan Camat Gerung. Warga Mesanggok diwakili H. Mahyadin, sementara dari Salafi
diwakili H. Mukti Nasihat. Pada dialog mediasi itu H.
Mahyadin menuding H. Mukti sengaja menyebarkan fotokopi majalah Furqon yang berisi ajaran-ajaran Salafi. Pada
pertemuan itu warga tetap pada pendiriannya agar H. Mukti menghentikan penyebaran ajaran Salafi di Mesanggok.
Selain itu dia juga harus keluar dari kampung tersebut
sebagaimana bunyi 10 butir isi awiq-awiq yang dibuat warga.
“H. Mukti tidak boleh kembali ke kampung. Tapi untuk
anak-anak dan istrinya masih boleh pulang namun kami
juga tidak bisa menjamin keamanan mereka,” seperti ditirukan H. Mahyadin.32 Hingga kini masih terdapat sembilan
orang keluarga H. Mukti yang mengungsi di musala kantor
Polres, Lobar.
Jadi akumulasi sikap kontroversial, ditambah ajarannya
yang dianggap berbeda oleh warga, merupakan pemicu tin31
32
Suara NTB, Selasa (24/2) 2009
Suara NTB dan Lombok Post (Jumat 27/2) 2009
52 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
dakan perusakan sampai pengusiran warga kepada H. Mukti
Nasihat. Tindakan perusakan terhadap rumah H. Mukti bahkan
terjadi berkali-kali. Dan kasus ini agaknya tidak murni karena
perbedaan paham semata, tapi karena juga sikap kontroversial
H. Mukti.
Pada kasus ini, awiq-awiq masih dipegang kuat warga untuk menyelasaikan berbagai masalah. Cara ini cukup efektif
asal kedua belah pihak menaati awiq-awiq yang dibuat, meski
dominasi kelompok mayoritas masih menentukan menangkalahnya dialog.
Ketika dusun Mesanggok tengah memanas karena kasus
ini, Kapolres Lobar AKBP. Agus Supriyanto, S.Ik., melakukan
mutasi beberapa Kapolsek dan Kasat di wilayah Polres Lobar.
Salah satu Kapolsek yang diganti yaitu Kapolsek Gerung AKP.
H. Ahmad, SH., dipindah tugaskan menjadi kapolsek Tanjung,
Kabupaten Lombok Utara (KLU). Ia lalu diganti AKP. Eko
Supriyadi. Sertijab dilaksanakan Kamis (26/2/2009). Dalam
sambutannya Kapolres menekankan tugas Kapolsek dan Kasat
untuk melaksanakan Undang-undang No.2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara RI pasal 2 yang menyatakan fungsi
dari kepolisian sebagai pemelihara keamanan, ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. “Kalau Kapolsek dan Kasat tidak
mampu melaksanakan kotrak kerja tersebut, maka itu artinya
siap dicopot atau digeser,” tegasnya dalam upacara sertijab.33
F. Perbedaan Wahabi (Salafi) dengan Masyarakat
Terdapat banyak perbedaan antara jemaah Wahabi dengan
non-Wahabi. Baik perbedaan dari pola dakwah, doktrin keaga33
Suara NTB, Jumat (27-2) 2009
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 53
maan, cara dan praktik peribadatan sehari-hari. Belakangan
akumulasi perbedaan itulah yang kemudian banyak melahirkan
kecurigaan, kecemburuan bahkan ketegangan antara berbagai
kelompok.
Akumulasi perbedaan yang berlangsung sekian lama mampu menghilangkan bahkan menghancurkan ikatan kekeluargaan
dan kultural yang ada. Padahal selaku masyarakat yang tinggal
dalam satu lingkungan, satu kampung tentu di antara mereka
saling memiliki ikatan kekeluargaan. Lebih dari itu, jikapun
tidak memiliki ikatan kekeluargaan, masih ada ikatan kultural
sebagai warga yang sama-sama lahir, besar dan menetap dalam
satu kampung yang sama.
Namun dalam masalah ini, ikatan kekeluargaan dan kultural tiba-tiba seperti menghilang. Yang muncul justru perbedaan yang menimbulkan sikap permusuhan dan perusakan.
Untuk itu perlu dikaji, apakah pola dakwah, doktrin keagamaan, praktik peribadatan dan pola hubungan antar kedua kelompok ini telah mempercepat lahirnya permusuhan? Mungkin ada
faktor-faktor lain seperti perebutan pengaruh, politik dan
ekonomi.
Kalau diperhatikan pengajian (dakwah) jemaah Salafi,
awalnya berlangsung di rumah dainya. Biasanya diikuti oleh
anggota keluarga. Namun secara perlahan seiring bertambahnya
pengikut, mereka mulai memanfaatkan masjid sebagai tempat
pengajian. Dengan begitu sudah tentu menggunakan pengeras
suara. Pengeras suarapun kadang sengaja diarahkan kekampung
yang bukan pengikut Wahabi. Seringkali pengajiannya juga
mengkritik dan menyinggung paham masyarakat yang berbeda
dengan pemahaman mereka. Penggunaan pengeras suara ini
sering kali menimbulkan masalah walau sebelum masuknya
ajaran Salafi hal ini tidak pernah terjadi. Menyikapi hal itu,
Pemda Lombok Timur pun pernah mengeluarkan instruksi
54 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
yang berisi pengaturan atau pembatasan penggunaan pengeras
suara, khususnya di malam hari.
Selain itu, jemaah Salafi yang berasal dari kampung-kampung tetangga mulai mengikuti pengajian secara rombongan
dengan berjalan kaki, mengendarai mobil umum, truk, atau
menggunakan sepeda motor. Hal ini juga sering kali menimbulkan persoalan bagi warga setempat yang masjid atau kampungnya dijadikan sebagai tempat pengajian. Sebagian masyarakat biasanya agak sensitif jika kampungnya terus didatangi
banyak orang yang berbeda dengan mereka. Problem-problem
ini sering menjadi penyulut pertama konflik fisik antara jemaah
Wahabi dengan masyarakat setempat.
Hal ini misalnya pernah terjadi di desa Pejarakan, Ampenan, Mataram, Sesela, Gunung Sari, Lombok Barat, Masbagek,
Lombok Timur. Isi pengajian yang selalu ingin meluruskan juga
sering menjadi pemicu munculnya konflik fisik antara warga.
Secara fisik yang membedakan jemaah Salafi dengan non
Salafi di antaranya pengikut Salafi laki-laki memelihara jenggot,
celana atau kain setengah betis. Sebagian keningnya hitam seperti bekas sujud. Menggunakan pakaian ala Arab (baju gamis)
dan berpeci putih. Bagi masyarakat Sasak, menggunakan peci
putih dan serban putih haji dianggap sangat sakral. Orang Sasak baru berhak menggunakan topi putih dan serban bila dia
sudah mampu melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Jadi maka
menggunakan peci putih dan serban dianggap sangat tidak etis
dan melecehkan status sosial orang yang sudah berhaji.
Kegemaran pengikut Salafi memakai peci putih dan serban ketika salat dan mengikuti pengajian dianggap melecehkan
status haji yang disandang masyarakat Sasak secara umum. Di
hadapan orang Sasak, orang yang sudah berhaji memiliki status
sosial yang lebih tinggi dan terhormat dibandingkan orang
yang belum berhaji. Seseorang yang dianggap memiliki penge-
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 55
tahuan agama, bisa membaca kitab kuning, mamahami alQuran dan Hadis biasanya dipanggil ustadz. Statusnya akan
berubah dan ia akan dipanggil seorang tuan guru bila dia sudah melaksanakan haji. Itulah yang menyebabkan orang Sasak
berlomba-lomba melaksanakan rukun Islam kelima itu meski
mereka harus menjual sawah dan kebun mereka.
Sementara jemaah perempuan jemaah Salafi biasanya
menggunakan jilbab hitam ukuran besar sampai menutup setengah tubuh dan tidak dibuka meski mereka sedang bekerja.
Mukenanya pun terbuat dari kain hitam, berbeda dengan mukena kaum perempuan mayoritas yang menggunakan kain putih. Di Lombok Timur baju persatuannya, terutama yang perempuan menggunakan kain warna kuning muda. Sebagian
gadis-gadisnya menggunakan cadar, kaus tangan dan kaki. Jika
ada anggota mereka yang meninggal, hanya orang laki-laki
yang pergi ke kuburan, perempuan tidak diperbolehkan. Alasannya, sebagian perempuan itu suka menangis sampai meratap
di atas kubur keluarganya yang meninggal. Selain itu, perempuan yang sedang haid (datang bulan) tidak diperbolehkan ke
kuburan atau ke masjid.
Sementara tradisi orang Sasak, mengantar jenazah sampai
ke kubur, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa dianggap
akan mendapatkan pahala. Apalagi bagi keluarga yang anggota
keluarganya meninggal dunia. Mengantar jenazah keluarganya
sampai peristiharatan terakhir dianggap sebagai bentuk ketaatan
dan kecintaan terhadap keluarga. Jika ada anggota keluarga
yang tidak mau mengantar keluarganya sampai kubur maka ia
dianggap sebagai anggota keluarga yang tidak berbakti, tidak
saleh dan ia bisa dicemooh masyarakat.
Doktrin kembali ke al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad
juga telah menjadi idiom utama jemaah Wahabi. Dari sini dalam pengajian-pengajiannya kemudian sering melontarkan
terhadap perbuatan atau praktik-praktik keagamaan yang diang-
56 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
gap tidak Qurani serta tidak pernah dilakukan Nabi Muhammad. Pola penyampaian yang tegas dan keras seringkali memancing ketersinggungan masyarakat yang merasa memiliki
keyakinan berbeda dengan mereka.
Doktrin keyakinan keagamaan yang tekstual tidak memberikan peluang untuk menginterpretasikan ayat dan Hadis secara kontekstual. Apalagi bila bersentuhan dengan budaya dan
kearifan masyarakat setempat yang dianggap jauh dari budaya
islami. Dampak dari doktrin keagamaan yang literalis ini
kemudian menjadikan pengikutnya bersikap ekslusif, tidak mau
bergaul dengan masyarakat. Pada hal banyak media-media
kultural untuk bertemu dan berkumpul dengan masyarakat.
Tidak harmonisnya hubungan antara jemaah Salafi dengan
masyarakat tidak bisa dipungkiri dapat melahirkan konflik.
Biasanya langkah pertama yang dilakukan jemaah Salafi dalam
menyebarkan pahamnya dengan mengambil alih penguasaan
masjid. Bila tidak bisa maka tidak ada pilihan lain selain membangun masjid sendiri yang bisa dipergunakan sesuai dengan
paham mereka. Proses penguasaan masjid utama kampung pun
tidak mudah, bahkan seringkali mendapatkan perlawanan yang
keras dari masyarakat.
Lebih rinci berikut perbedaan pandangan dan ritual
keagamaan Wahabi dan kelompok non-Wahabi:
No
Wahabi
1 Tidak merayakan Maulid Nabi
2 Tidak membaca talkin terhadap
orang meninggal dunia
3 Setelah memakamkan orang
meninggal dilanjutkan dengan
takziah lalu berdoa dengan cara
berdiri menghadap arah kiblat
4 Tak melakukan zikir setelah
melakukan salat lima waktu
Non-Wahabi
Merayakan Maulid Nabi
Membaca talkin
Setelah memakamkan orang yang
meninggal dilanjutkan dengan takziah lalu dilanjutkan zikir dan berdoa
dengan cara duduk di atas kubur.
Usai salat lima waktu dilanjutkan
dengan membaca zikir dengan suara
nyaring (jahar)
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 57
5
6
7
KeƟka Tahiyat Awal dan Akhir, jari
telunjuk digerak-gerakkan
Tidak membaca kunut Subuh
Azan sebanyak Ɵga kali. Azan
pertama dimulai sekitar jam
Ɵga pagi, bertujuan untuk
membangunkan warga untuk salat
tahajud
8
Jari telunjuk diam
Membaca kunut
Azan seperƟ mayoritas muslim di
Indonesia. Di awal-awal kelompok
Salafi mentradisikan azan Subuh Ɵga
kali ini, banyak warga non-Salafi yang
mengira waktu salat Subuh sudah
mulai.
Dalam salat bacaan bismillah dibaca
sekali
9 Menolak tradisi hajatan bagi
keluarga yang meninggal
10 Tidak membaca salawat Nabi seƟap
akan melaksanakan salat
11 Tidak membaca zikir selama
sembilan hari bagi orang yang
meninggal
Membaca bismillah berulang-ulang
12 Melarang ziarah kubur, terutama
bagi perempuan
Menganjurkan ziarah kubur untuk
mendoakan keluarga yang sudah meninggal dan supaya mengingat maƟ
Membaca Barzanji (NU), Khizib (NW)
seƟap malam Jumat termasuk bagi
jemaah haji
Perempuannya menggunakan jilbab
biasa
13 Membaca Barzanji dianggap bidah
14 Perempuannya mengenakan jilbab
besar dengan kain hitam, sebagian
bercadar, kaus tangan, dan kaus kaki
15 Salat dengan menggunakan kain
(mukena) hitam seperƟ perempuanperempuan di negara-negara Arab
16 Kaum laki-lakinya sangat dianjurkan
memelihara jenggot, berkain, atau
menjaga batas celana di tengahtengah beƟs
17 Kaum perempuannya Ɵdak
diperbolehkan ke kubur
Mengadakan hajatan dengan tujuan
bersedakah semampunya
Menganjurkan membaca salawat
Melakukan zikir sembilan hari
Salat dengan mukena berwarna
puƟh
Memelihara jenggot dan kain di atas
mata kaki hukumnya sunah
Dianjurkan semua anggota keluarga
ke kubur, kecuali yang sedang datang
bulan. Tujuannya agar mereka
mengigat maƟ
18 Kaum laki-lakinya sangat suka
Orang yang belum melaksanakan
menggunakan kain gamis, peci puƟh haji Ɵdak eƟs menggunakan kopiah
dan serban
atau peci puƟh termasuk serban. Jika
memakai itu dianggap pelecehan.
Yang belum berhaji dalam salat
mereka menggunakan kopiah hitam
seperƟ dipakai mayoritas muslim
Indonesia.
58 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Peta Konflik Wahabi di Lombok
•
•
•
•
•
•
Isu utama
(situasi yang membuat pihak
Kapan & Berapa Kali Terjadi
tertentu Ɵdak puas, tertekan dan
menderita )
Ponpes Ubay bin Ka’ab di Sesela Gunung • Eksklusif
Sari, milik tokoh Salafi dirusak massa (No• Paham yang radikal dan keras
pember 2005).
termasuk dalam menafsirkan
Madrasah Ihya As-Sunnah, Sekotong,
teks-teks al-Quran dan Hadis
Lombok Barat dirusak dan dihancurkan
Nabi
(Maret 2006).
• Mudah mengklaim masyarakat
Pengajian Jamaah Salafi dibubarkan
sebagai pelaku bidah, sesat,
paksa warga Beroro, Jembatan Kembar,
syirik dll
Gerung (Juni 2006).
• Suka menyalahkan tradisi
Masjid Salafi yang sedang dibangun
keberagaman budaya
dirusak dan dibakar warga Masbagek,
masyarakat setempat yang
Lombok Timur (Agustus 2006).
sudah berkembang turun
temurun.
Di Mataram, rumah dan TPA tokoh Salafi
•
Ancaman dan saingan
H. Said dilempari batu oleh warga. Ia
bagi karismaƟk tuan guru.
juga sempat diusir warga dari kampungBeberapa kali mereka
nya Pejarakan, Kecamatan Ampenan
menantang sebagian tuan
Kota Mataram. (Juli 2007).
guru untuk berdebat
Di Dusun Masanggok, Desa Gapuk Kecamatan Gerung, Pengajian Salafi dilempari
batu dan dibubarkan warga. Tokohnya
diusir dari kampung, termasuk ke-26
jemaahnya yang malam itu mengikuƟ
pengajian (14 Mei 2008).
• Dialog antara tokoh Salafi dengan warga,
difasilitasi Kapolsek Gerung AKP. H. Ahmad, Kakandepag Gerung, H. Muslim,
Camat Gerung, L.ArdipaƟ, Ketua MUI Lobar, TGH. Shafwan Hakim. Dialog difasilitasi Kepala Desa (Kades) Gapuk, Zulhaini
dan Kapala Dusun (Kadus) Mesanggok,
H. Islahudin. Dialog yang bertempat di
masjid setempat Ɵdak melahirkan kesepakatan damai. (Sabtu, 17 Mei 2008)
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 59
• Pukul 22.00 WITA rumah H. MukƟ Nasihat kembali dilempari batu oleh warga
keƟka tengah melakukan pengajian tafsir
al-Quran. Aksi itu kembali dilakukan karena H. MukƟ dianggap Ɵdak berhenƟ
mengajarkan ajaran Salafi di kampung tersebut. (Kamis, 19 Februari 2009)
• Pukul 17.05 WITA rumah H. MukƟ Nasihat yang bersebelahan dengan masjid
Daarud Dakwah kembali dilempar dan
dirusak warga. Lima buah rumah warga
Salafi rusak parah. Warga kembali marah
karena H. MukƟ Ɵdak mau berdialog yang
diadakan di kantor Polsek Gerung. Apalagi
beredar foto kopian majalah Al-Furqon
yang disebarkan H. MukƟ yang isinya menyalahkan tradisi keagamaan mayarakat
setempat. (Sabtu, 21 Februari 2009)
• Ratusan warga Mesanggok bentrok dengan anggota kepolisian Polres Lobar
yang menuntut agar dua orang warga
yang ditangkap polisi dibebaskan. Dalam
aksi itu Ɵga orang warga kembali ditangkap karena dianggap sebagai provokator.
Tidak ada korban jiwa dalam perisƟwa
itu. Warga membubarkan diri setelah Kapolres berdialog dengan tuan guru serta
tokoh masyarakat Mesanggok. (Senin, 23
Februari 2009)
• Kapolres Lobar, AKBP Agus Supriyanto
mengundang warga Mesanggok dan tokoh Salafi berdialog, bertempat di kantor Mapolres Lombok Barat. Hadir pada
pertemuan itu Ketua MUI Lobar, TGH.
Shafwan Hakim, Asisten I Pemkab Lobar,
Ir.H.Rahmat Agus Hidayat, Kepala Bakesbanglinmas, Kakandepag Lobar dan Camat Gerung. Pada dialog itu warga tetap
minta H. MukƟ harus dikeluarkan dari
kampung dan Ɵdak boleh masuk paham
baru menyebar dikampung tersebut yang
dapat meresahkan masyarakat. (Kamis,
26 Februari 2009).
60 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
G. Kesimpulan
Meski pola gerakan Wahabi di Lombok sama, terdapat
perbedaan antara konteks konflik Salafi dengan warga yang
terjadi di Lombok Timur dengan di Lombok Tengah, Kota
Mataram dan Lombok Barat. Di Lombok Timur perbedaan
doktrin keagamaan antara Salafi dengan masyarakat ternyata
tidak langsung melahirkan penolakan, apalagi tindakan anarkis.
Sebaliknya malah terjadi dialektika paham keagamaan yang
cukup menarik dalam waktu yang cukup lama antara pengikut
Wahabi dengan non-Wahabi.
Bila dicermati tokoh yang menyebarkan Salafi adalah
putra tuan guru karismatik. Begitu juga dengan pihak yang tidak sependapat dengan Salafi memiliki hubungan kekeluargaan.
Dengan demikian terjadi dialektika atau masing-masing pihak
mempertahankan argumentasi paham masing-masing. Di sinilah
perbedaan mazhab masing-masing pengikut diuji. Akibatnya
dalam waktu yang cukup lama tidak pernah muncul tindakan
anarkis yang menimpa masing-masing pengikut. Perbedaan
paham justru diselesaikan dengan pembagian jadwal petugas
salat atau pengajian. Bila cara itu tidak bisa, salah satu pihak
(khususnya Salafi) mendirikan masjid sendiri. Kalaupun peristiwa itu terjadi di Masabagek, peristiwanya terjadi belakangan.
Padahal Wahabi sudah lama masuk di Masbagek. Selain itu
ikatan kekeluargaan masih mampu mengikat mereka.
Di Lombok Tengah, Mataram dan Lombok Barat, para
penyebar ajaran Wahabi sebagian berasal dari luar yang tidak
memiliki garis keturunan atau hubungan kekeluargaan dengan
tuan guru atau tokoh karismatik di tempat itu. Di samping
memang mereka tidak mengerti banyak tradisi masyarakat
setempat. Akibatnya tidak terjadi dialektika keagamaan sebagaimana di Lombok Timur. Sebaliknya, tindakan anarkis justru
terjadi berulang-ulang padahal Wahabi tidak begitu lama ma-
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 61
suk dikampung tersebut. Selain itu, sikap-sikap tokoh Wahabi
yang dianggap oleh masyarakat kontroversial dan selalu ingin
berbeda dengan masyarakat. Dan tidak ketinggalan juga masalah-masalah pribadi di masa lalu juga ikut memicu aksi kekerasan. Jadi, konflik terjadi bukan saja dipicu perbedaan keyakinan keagamaan. Ada faktor lain di luar itu.
Media massa juga terkesan sangat tendensius memberitakan masalah tersebut, terutama dari sisi sesatnya paham Wahabi. Padahal semua tokoh yang tidak setuju dengan paham
Salafi tidak pernah memvonis Salafi-Wahabi sebagai aliran
sesat. Media masih sangat lemah dalam melakukan penggalian
dan verifikasi data. Di sini media ikut berperan dan terus
memproduksi istilah-istilah sesat padahal konteks masalahnya
tidak demikian. Media terlalu provokatif dalam menggunakan
istilah sesat.
Konflik Salafi dengan masyarakat akan terus terjadi selama pola dakwah Salafi tidak kooperatif terhadap budaya masyarakat setempat. Pola dakwah yang terlalu agresif ini, dan
mengangap usaha memperbaiki paham keagamaan masyarakat
serta tujuan menarik anggota sebanyak-banyaknya juga memicu
konflik. Masyarakat juga belum terbuka alias belum akrab
dengan perbedaan yang datang dari luar. Peran tuan guru, tokoh masyarakat termasuk pemerintah untuk menjelaskan kepada umat agar tidak menyikapi perbedaan dengan tindak
kekerasan tentu menjadi penting di sini.
Guna mencegah terulangnya konflik serupa ada beberapa
hal yang perlu dilakukan:
1. Aparat (pemerintah). Selama ini fungsi aparat dari tingkat
desa sampai daerah terkesan membiarkan terjadinya konflik. Ini dibuktikan dari beberapa fakta di lapangan di mana
aparat selalu tidak tanggap dan siaga. Karena itu perlu ada
koordinasi dan kerjasama antara para tuan guru, tokoh
62 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
agama, masyarakat, dengan aparat kepolisian. Mereka bisa
melakukan sosialisasi, penanganan, dan tindakan preventif
terhadap potensi konflik yang bakal terjadi. Aparat
kepolisian perlu lebih mendalami persoalan ketika bertindak, bukan saja melaksanakan proses penegakan hukum
semata tapi juga mempertimbangkan aspek-aspek budaya
dan tradisi kultural masyarakat. Di sini pentingnya aparat
berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempat dalam
melakukan proses pengamanan.
2. Tokoh agama dan masyarakat. Tokoh agama terkesan memprovokasi dan ikut terprovokasi terhadap isu-isu agama
yang muncul. Dengan demikian, ke depan diharapkan ada
kesadaran atau pemahaman dari tokoh agama terhadap pluralisme keyakinan agama. Selanjutnya, perlu ada intervensi
dan internalisasi yang dilakukan oleh pemerintah atau
NGO dalam rangka memberikan pemahaman tentang pluralisme keyakinan keagamaan. Selama ini tuan guru tampak
resisten terhadap pluralisme yang dianggap berasal dari
Barat dan bertentangan dengan agama Islam.
Yang pasti, massifnya gerakan Salafi sampai ke kampungkampung di Lombok telah merubah struktur hubungan antarmasyarakat. Hadirnya Salafi juga berperan mewarnai Islam
Lombok di masa mendatang. Sudah tentu, hadirnya Salafi
membawa tantangan bahkan ancaman baru bagi organisasi-organisasi Islam seperti NU dan NW yang memiliki pengikut terbesar di daerah ini. Tokoh-tokoh NU dan NW Ormas ini
harus segera bertindak dan berpikir ulang jika tidak ingin jemaahnya direbut Salafi. Tanda-tanda sangat jelas, beberapa tokoh
masyarakat mulai reaksioner menanggapi hadirnya Salafi di
kampung mereka.
MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 63
Tokoh masyarakat sebaiknya bertindak dengan cara-cara
persuasif agar tidak menimbulkan konflik yang lebih besar.
Masyarakat perlu ingatkan bahwa perbedaan mazhab dalam
Islam bukan saja realitas zaman yang tidak bisa dihindari tapi
juga merupakan sunnatullah. Tokoh masyarakat mesti menjadi
penengah bukan malah memprovokasi warga untuk bertindak
anarkis. Tindakan anarkis hanya akan semakin menciptakan
masalah baru dan lebih kompleks ditengah kemiskinan, kesehatan dan pendidikan yang lemah.
64 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Tragedi Kabel Mik:
Sepenggal Kisah Perseteruan Islam
Pribumi dan Islam Puritan
di Klepu Ponorogo
AHMAD ZAINUL HAMDI
Bermula Dari…
Masjid lama itu dibangun di atas wakaf tanah bapak saya, untuk
ibadah anak cucu, tetangga kanan-kiri, dan untuk menyatukan
umat Islam semua. Semuanya sudah berjalan baik selama ini.
Kemudian, masjidnya sudah membutuhkan untuk direhab. Sudah
dibentuk panitia, tarikan 100.000, beli kayu, batu juga sudah
ada. Tidak lama kemudian, Pak Munawar bikin masalah. Saya
ini sebetulnya sesepuhnya sini. Saya yang babat Islam di sini.
Saya pujian. Pak Munawar kemudian memutus kabel mik sehingga mati. Saya tidak tahu apa maksud Pak Munawar. (Mbah
Yoto, 65 tahun)
A. Pengantar
Mbah Yoto adalah salah seorang pelaku utama dalam kisah yang hendak diceritakan di sini. Apa yang diungkap tersebut mengingatkan kita bahwa peran agama di masyarakat
semata-mata sebagai suatu konstruksi yang integratif, jelas
sebuah penjelasan yang mengingkari fakta. Kenyataan sosial
menunjukkan, ada begitu banyak konflik sosial yang dipicu
66 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
oleh agama. Meskipun dengan menggunakan perspektif Durkheim bahwa agama berperan sebagai perekat sosial yang mengikat individu-individu dalam sebuah sistem sosial,1 tetap saja
tidak bisa menghilangkan potensi konflik sosial berbasis agama.
Hal ini terjadi karena fungsi integratif agama selalu diiringi
dengan penumbuhan perasaan “insider” dan “outsider”, perasaan
“kita” dan “mereka”.2 Hal demikian berpotensi menciptakan
disintegrasi sosial.
Solidaritas yang ditumbuhkan agama adalah solidaritas
eksklusif (ingroup solidarity) di mana solidaritas ini diperhadapkan dengan kelompok lain sebagai outsider. Hal ini terjadi sekalipun kedua kelompok agama ini hidup dalam satu masyarakat. Sentimen insider-outsider akan semakin kuat jika sebuah
kelompok agama meyakini ajaran kelompoknya sebagai kebenaran absolut. Jika dikatakan agama memiliki kekuatan menyatukan masyarakat, maka kebenaran yang sama juga bisa diberikan kepada pernyataan bahwa agama juga merupakan kekuatan
yang memecah masyarakat. Setidaknya, inilah yang secara tersirat tergambar dalam peringatan Haafkens bahwa salah satu
bahaya besar bagi masa depan dunia adalah “...polarisasi masyarakat menurut garis-garis keagamaan”.3
Fakta penggunaan cap bidah juga bisa dijelaskan dengan
skema pemikiran ini. Komunitas keagamaan yang meyakini
bahwa ajaran yang dianutnya merupakan kebenaran absolut
Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, trans. J.W.
Swain (London: Allen & Unwin, 1976).
2
Ian Marsh, et.al., Sociology, Making Sense of Society (Harlow: Prentice
Hall, 2000), h. 642.
3
Dikutip dari Daniel L. Smith-Christopher, “Pendahuluan,” dalam Daniel
L. Smith-Christopher (ed.), Lebih Tajam Dari Pedang, Refleksi Agama-Agama
tentang Paradoks Kekerasan, ter. A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius,
2005), h. 17.
1
TRAGEDI KABEL MIK 67
akan memandang individu atau kelompok keagamaan lain yang
berbeda sebagai pelaku bidah. Insider dan outsider tidak hanya
berupa pembagian kelompok objektif, tapi juga memuat nilainilai etis-eskatologis: insider berhubungan dengan nilai baik,
benar, dan selamat; sementara outsider identik dengan nilai
yang jelek, salah (bidah) dan sesat.
Perasaan bahwa keyakinan kelompoknya adalah satu-satunya yang legitimate hanya menunggu satu langkah saja untuk
berkonflik dengan outsider.4 Bagaimanapun juga, kelompok agama dan pandangan absolut dalam memandang dirinya dalam
hubungannya dengan kelompok keagamaan yang lain membutuhkan konteks sosial-politik tertentu untuk meletus menjadi
konflik terbuka.
“Tragedi kabel mik” yang hendak diungkap di sini adalah
contoh, bagaimana kebenaran absolut yang diyakini suatu kelompok melahirkan penilaian bahwa kelompok lain adalah
pelaku bidah. Konflik ini terjadi antara muslim lokal (penggemar tahlil, selawatan, selamatan, dan berbagai ritus populer
lainnya) dengan kelompok muslim puritan, dalam hal ini DDII
(Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), yang menganggap ritusritus tersebut sebagai bidah (heretik). Penilaian ini berlanjut
pada anggapan, ritus-ritus muslim lokal harus dibersihkan dari
bidah.
B. Sekilas tentang Klepu
Klepu, Kecamatan Sooko, Ponorogo, adalah sebuah desa
yang secara geografis terletak di ujung timur Kabupaten PonoM.C. Ricklefs, “Perubahan Agama dan Perubahan Sosial,” dalam Ahmad
Salehuddin, Satu Dusun Tiga Masjid, Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama
(Yogyakarta: Pilar Media, 2007).
4
68 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
rogo. Jarak Klepu dari ibukota Kecamatan Sooko 1,5 km, sedangkan jarak dari ibukota Kabupaten Ponorogo 27 km.
Jumlah keseluruhan penduduk Klepu 2721 jiwa, yang sebagian
besar bekerja sebagai petani.
Lahan pertanian yang ada 67,540 ha² berupa sawah setengah teknis dan 39,600 ha² sawah tadah hujan. Dari keseluruhan lahan tersebut, 22 ha² di antaranya merupakan tanah
kas desa yang digarap oleh kepala desa dan perangkatnya. Jika
dilihat dari proporsi ini maka lahan pertanian sesungguhnya
sangat terbatas. Oleh karena itu, sebagian besar bukit yang
awalnya adalah hutan yang ditumbuhi kayu alam kini dibuka
oleh penduduk desa dan berubah fungsi menjadi lahan pertanian, baik berupa tegalan atau ladang.
Desa Klepu terdiri dari empat dusun: Jogorejo, Klepu,
Sambi, dan Ngapak. Dari empat dusun tersebut, Klepu terbagi
manjadi 10 RW dan 22 RT. Akan tetapi, tata pemerintahah
formal ini lebih banyak hanya digunakan dalam urusan resmi.
Dalam sebuah hubungan yang lebih akrab sehari-hari, dusundusun ini tersusun dari kelompok-kelompok pemukiman kecil
yang biasanya disebut lingkungan. Sekalipun orang juga bisa
menunjukkan alamat seseorang dengan menggunakan alamat
formal, misalnya dengan menunjukkan RT-nya, namun dalam
kehidupan sehari-hari, keberadaan seseorang akan ditunjuk berdasarkan lingkungan atau kelompok pemukiman ini.
Dusun Klepu terdiri dari lingkungan Klepu, Sulingan,
Pondok, Wates, dan Lurung Kebo. Dusun Sambi memiliki
tiga lingkungan yakni Sambi, Ngelo, dan Dawuhan. Dusun
Ngapak terdiri atas tiga lingkungan: Tanjung, Ngapak, dan
Ledok. Sementara Dusun Jogorejo memiliki lingkungan paling
banyak, yaitu Genengan, Kilatan, Sentul, Kampung, Bendo,
Dayahan, Waren, Mendung, dan Kuniran (atas dan bawah).
Lingkungan-lingkungan ini kemudian digabung menjadi satu
TRAGEDI KABEL MIK 69
pedukuhan diberi nama yang biasanya mengambil nama lingkungan yang paling besar. Keempat pedukuhan tersebut kemudian menjadi satu desa yang disebut desa Klepu karena dulu
pusat pemerintahan desa ada di Klepu. Sekarang pusat pemerintahan desa ada di Jogorejo, di mana balai desa berada.
1. Islam Klepu, Islam Natbiti
Dengan melihat sejarah masuknya Katolik ke Klepu
pada tahun 1968, orang akan dengan mudah menyangka
bahwa Islam lebih dulu berkembang di Klepu. Segera terbayang, kehidupan keagamaan Islam lebih dulu tertata baru
kemudian diikuti penataan kehidupan keagamaan Katolik.
Kenyataan di lapangan sebaliknya. Islam di Klepu datang
belakangan dibanding dengan Katolik. Bahkan bisa
dikatakan, menggeliatnya kehidupan keberagamaan Islam di
Klepu adalah sebuah respon dari rasa cemburu umat Islam
melihat kehidupan umat Katolik yang tertata dan semarak.
Woodward berteori bahwa abangan adalah Islam Jawa
yang secara teologis tetap absah untuk diakui sebagai salah
satu varian dalam keragaman Islam itu sendiri.5 Pandangan
ini bisa dibenarkan jika kita melihat percampuran harmoni
antara keislaman dan kejawaan yang memang secara umum
menjadi karakter Islam Jawa yang akulturatif. Akan tetapi,
pandangan ini tetap tidak bisa menafikan varian abangan
sebagaimana yang digambarkan Geertz, di mana seseorang
me(di)nyatakan sebagai muslim tapi sama sekali tidak
peduli dengan Islam karena keyakinan dan perilakunya
dipandu oleh ajaran kejawen. Sekalipun mungkin kejawen
itu adalah paduan dari sekian unsur, di mana Islam adalah
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan,
terj. Hairus Salim HS. (Yogyakarta: LKiS, 2004).
5
70 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
salah satu unsur utamanya, namun kejawen bagi kalangan
ini telah menjadi entitas sendiri yang tidak membutuhkan
pemahaman tentang detail-detail unsur penyusunnya.6
Apalagi, kejawaan dan keislaman itu baru sungguh-sungguh
menjadi sebuah kesadaran setelah terjadi proses santrinisasi
yang merupakan efek kebijakan politik Orde Baru.7
Muslim Klepu hingga tahun 1965 adalah abangan sebagaimana yang digambarkan Geetrz. Hal ini ditunjukkan
dalam pernyataan sejumlah generasi pertama pemeluk Katolik, yang awalnya muslim. Jika terdapat pertanyaan mengapa mereka pindah ke Katolik, akan segera terdengar
sebuah jawaban yang sama sekali tidak mengesankan adanya
halangan teologis apapun dari agama yang mereka peluk sebelumnya. Pertanyaan tentang mengapa pindah ke Katolik
ini tetap penting untuk dilontarkan sekalipun sudah diketahui tentang konteks politik yang melatarbelakanginya.
Hal yang ingin diketahui dari pertanyaan tersebut
adalah seberapa dalam mereka terikat dengan Islam. Jika
mereka betul-betul memeluk Islam dengan kesadaran sebagai sebuah agama, terlepas mereka mempraktikkan ajaran-ajarannya atau tidak, maka ketika ada tekanan politik
untuk konsisten dengan agama yang dipeluknya, mereka
akan lebih mudah untuk menjadi seorang santri dadakan
meski hanya untuk sementara, daripada konversi ke agama
lain. Tapi, mereka justru pindah Katolik, padahal mereka
tetap harus belajar ajaran dan praktik peribadatan Katolik
sebagai agama baru mereka.
Clifford Geertz, The Religion of Java, (Chicago and London: University
of Chicago Press, 1960).
7
Moeslim Abdurrahman, “Ber-Islam Secara Kultural,” dalam Moeslim
Abdurrahman (ed.), Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural (Jakarta: Ideo
Press & Maarif Institute, 2003), h. x.
6
TRAGEDI KABEL MIK 71
Hampir semua informan menyatakan bahwa alasan
konversi ke Katolik adalah karena tekanan politik dan kemudahan menjalankan Katolik daripada Islam, sebuah alasan
yang masuk akal. Namun sebegitu mudahnya mereka berpindah agama juga menunjukkan adanya sesuatu yang lebih
prinsipil, yaitu pembenaran gambaran Geertz bahwa Islam
bagi kalangan ini hanya sebuah kulit luar yang tidak memengaruhi apapun dalam orientasi kesadaran dan hidupnya.
Mbah Selan, salah seorang sesepuh desa yang konversi
ke Katolik pada 1968, misalnya, ketika ditanya mengapa
tidak melaksanakan Islam daripada pindah Katolik, menyatakan, orang-orang Klepu dulu, kalau wayang begitu seperti wayang krucil, Islamnya Islam marmoyo (Islam dagelan
atau Islam tidak serius —pen.). “Pokoknya sudah sunat dengan sendirinya dianggap beragama Islam. Di KTP memang tertulis Islam, tapi itu hanya ngaku Islam saja. Buktinya kalau ada penganten disuruh syahadat, dia bisanya
hanya mengikuti syahadat Pak Naib. Jadi pengertian Islam
itu tidak punya. Aslinya orang kejawen semua. Orang-orang
Katolik di sini dulu juga Islam, ada yang bisa syahadat dan
ada yang tidak. Yang banyak ya Islam abangan”.8
Pernyataan di atas memberi gambaran yang sangat jelas tentang kondisi keberagamaan di Klepu. Bisa dipastikan
bahwa sebelum konversi ke Katolik secara besar-besaran
pada tahun 1968, warga Klepu tercatat seratus persen beragama Islam.9 Akan tetapi apa yang disebut seratus persen
Islam itu jumlah terbesarnya adalah Islam marmoyo. Islam
sebagaimana diungkapkan Selan, yang menganggap bahwa
seseorang yang telah sunat (khitan) dianggap secara otoWawancara dengan Mbah Selan, 14 Februari 2008.
Saat ini, agama yang dipeluk oleh masyarakat Klepu hanyalah Islam,
Katolik, dan satu keluarga memeluk Kristen.
8
9
72 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
matis beragama Islam. Namun tata cara penyembahan
Tuhan, tetap sebagai pengikut kejawen yang tulen. Sementara sebagian lain yang sungguh-sungguh menghayati Islam
sebagai agama hanyalah sekelompok kecil. Apalagi yang
meyakini dan menjalankannya secara konsisten, tentu lebih
sedikit lagi. Di antara yang sedikit itu, nama Mustakim
(jabatannya adalah ketua takmir masjid desa) dan Salam
Muhayat (satu-satunya haji di Desa Klepu) adalah dua nama
yang disebut oleh hampir setiap orang tua sebagai muslim
yang sesungguhnya.
Kenyataan bahwa apa yang disebut sebagai muslim
tidak lebih hanya kulit luar yang berbentuk catatan administratif dalam KTP, juga muncul dalam pengakuan Salam
Muhayat dan Mustakim, dua tokoh Islam lokal. Mustakim
menyatakan, ”saya dulu dengan Pak Salam salatnya itu
bersembunyi karena malu jadi tontonan. Pada saat itu, di
bulan puasa orang-orang sini hanya selametan megengan
(malam hari pertama bulan Ramadhan).”10 Hal senada juga
diungkapkan Salam yang mengatakan saat masih bujangan,
melakukan salat itu jadi tontonan. Sebelum tahun 1965,
kebanyakan warga tidak tahu Islam sama sekali. Islam baru
menyebar setelah kasus PKI, baru banyak yang masuk
Islam.11
Apa yang disebut Selan dengan Islam marmoyo, atau
yang banyak kalangan menyebutnya dengan istilah Islam
KTP adalah muslim nominal sebagaimana yang dikonsepsi
Geertz dengan istilah abangan-nya. Orang seperti Mustakim
punya istilahnya sendiri untuk menggambarkan orang-orang
Islam Klepu pada saat itu, Islam natbiti, yaitu Islam sunatrabi-mati (khitan, menikah dan meninggal). Dalam arti
10
11
Wawancara dengan Mustakim, 14 Februari 2008.
Wawancara dengan Salam Muhayat, 14 Februari 2008.
TRAGEDI KABEL MIK 73
bahwa mereka melakukan sunat (khitan), ketika menikah
mereka diajari melafalkan syahadat, dan ketika meninggal
dimakamkan menurut tata cara Islam. Keislaman mereka
sesungguhnya hanya ditandai oleh tiga upacara peralihan
tersebut. Di luar itu mereka sepenuhnya adalah orangorang Jawa yang lapisan terdalam batinnya dipahat dengan
ajaran-ajaran kejawen.
2. Santri Ngapak, Cikal-Bakal Islam Klepu
Masjid pertama Desa Klepu adalah masjid yang berada di Lingkungan Ledok, Dusun Ngapak, Klepu. Sekalipun
saat ini, sama sekali tidak terlihat sebagai sisa-sisa bangunan
lama, namun orang-orang Klepu masih menyebut Masjid
Ngapak ini dengan istilah masjid lama. Masjid itu kini bernama Masjid Darussalam, dan merupakan masjid
Muhammadiyah.12
Keberadaan Masjid Ngapak ini menandai sejarah awal
perkembangan Islam di Klepu. Kisah orang-orang setempat
menyatakan bahwa di Ngapak, terutama di Lingkungan
Ledok, di mana masjid lama berdiri, merupakan lingkungan
santri. Tidak harus dipahami bahwa komunitas santri ini
membentuk sebuah komunitas tertutup. Pengakuan kesantrian lingkungan ini semata-mata didasarkan pada adanya
salah seorang kiai, Kiai Kurdi,13 yang bisa menjadi imam
salat dan mengajar mengaji al-Quran serta bisa memimpin
tahlil. Kalau ada orang yang meninggal dunia dan keluargaMasjid tua Ngapak ini dibongkar tahun 1985 dan kemudian menjadi
asjid Muhammadiyah Darussalam.
13
Kiai Kurdi merupakan mertua dari Salam Muhayat. Kurdi ini kemudian
diangkat menjadi modin desa. Sementara Salam Muhayat adalah salah satu
tokoh Islam Klepu saat ini. Dia dan istrinya adalah satu-satunya keluarga haji
di desa Klepu.
12
74 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
nya meminta untuk membacakan bacaan tahlil, mereka akan
mengundang orang-orang dari jemaah Masjid Ngapak ini.
Orang-orang yang mau menjalankan salat dan mengaji
ini masih sangat kecil. Hanya ada beberapa anak muda
yang belajar mengaji ke sini, di antaranya adalah Mustakim,
Salam, dan Yoto. Bagi anak-anak yang mau sungguh-sungguh bisa mengaji al-Quran, mereka akan segera pindah ke
tempat lain,14 Desa Sombro, dekat kecamatan Sooko. Pelajaran mengaji di Masjid Ngapak hanya menghasilkan kemampuan hafalan surat pendek, bukan kemampuan membaca al-Quran.
Sebagaimana dituturkan Mustakim,15 cikal bakal kehidupan Islam di Klepu adalah Dusun Ngapak, dimana telah berdiri masjid tua, diyakini sebagai masjid lama yang
sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Ketika pertama
kali didirikan, lokasinya masih berada di tengah hutan.
Perkiraan ini didasarkan pada ingatan sosial tentang babad
Klepu, kemunculan Dusun Ngapak adalah yang paling
akhir, yaitu dilakukan dengan cara membuka hutan. Hal
yang masih banyak diingat orang, peristiwa pemberhentian
Kamituwo Sambi dari jabatannya sebagai kepala desa
Klepu, karena membuka hutan untuk dusun Ngapak tanpa
izin pemerintah Belanda.
Pembangunan masjid ini dilakukan sembilan orang
yang semuanya pendatang dari luar Desa Klepu. Pemimpin
mereka waktu itu adalah Kiai Sulaiman. Kiai Sulaiman memiliki seorang menantu bernama Kurdi. Sepeninggal Kiai
Sulaiman, Kurdi meneruskan misi ayah mertuanya untuk
mengembangkan Islam di Klepu. Komunitas muslim awal
ini bisa dikatakan mengalami stagnasi dalam membangun
14
15
Nama yang biasa disebut adalah Sombro dan Kalimangu.
Wawancara Mustakim, 26 Februari 2008.
TRAGEDI KABEL MIK 75
umat, bila tidak bisa dikatakan gagal. Sampai bertahun-tahun, sampai di kepemimipinan Kiai Kurdi, orang yang
aktif menjalankan salat hanya sekitar 5 orang. Sehingga
mereka belum bisa melaksanakan salat Jumat sendiri. Mereka biasanya menjalankan salat Jumat ke Kalimangu. Di
samping itu, komunitas kecil ini juga bisa dibilang illiterate.
Pengajaran al-Quran dilakukan hanya untuk menghafal sehingga tidak bisa menjadikan orang mampu membaca
al-Quran.
Saat ini, masjid yang paling hidup, jika dilihat dari
rutinitas salat jemaah lima waktu, justru adalah masjid di
lingkungan Klepu. Hal ini teramati ketika penulis ikut
berjemaah di Masjid Klepu. Jemaah salat maghrib di Masjid
Klepu waktu itu diikuti sepuluh orang laki-laki di bagian
depan, dan empat perempuan di bagian belakang yang disekat dinding triplek tidak permanen setinggi dua meter.
Jemaah ini tetap bertahan sampai Isya. Orang-orang yang
mengikuti salat berjemaah saat itu adalah jemaah rutin salat
lima waktu. Masjid itu memang selalu melaksanakan jemaah salat lima waktu secara rutin. Hanya saja, pada siang
hari pesertanya lebih sedikit karena sebagian di antaranya
masih bekerja.16
Tahun 60-an, komunitas Islam di Ngapak ikut Partai
NU. Persaingan antar partai politik agaknya juga menjadi
salah satu faktor penghambat perkembangan Islam di Klepu
pada awalnya. Kepala Dusun Ngapak saat itu sering tidak
berkenan bila komunitas muslim melakukan pertemuan
untuk mengaji, Hal ini terjadi karena kepala Dusun adalah
pengikut PNI. Sementara, sebagian pamong-pamong desa
berafiliasi pada PKI. Kesaksian Mustakim memberi gambaran masalah ini saat menyatakan bahwa pada saat itu dia
16
Observasi pada 26 Februari 2008.
76 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
dan kawan-kawannya diajak Kiai Kurdi membaca salawat
Nariyah agar tidak dimusuhi oleh Kamituwo Ngapak dan
aparat desa lain. Situasi seperti inilah yang membuat sedikitnya jumlah orang yang mau melaksanakan salat secara
terbuka.
Beriringan dengan geger politik tahun 1965, mulai
banyak orang Islam yang datang ke Masjid Ngapak. Jelas
ini adalah sebuah tindakan politik untuk menyelamatkan
diri dari kemungkinan dituduh sebagai pengikut PKI. Kemungkinan munculnya tuduhan tersebut sangat besar karena memang sebagian besar warga Klepu adalah pengikut
PKI. Pergi ke masjid adalah sebuah pilihan politik untuk
selamat, menjadi Islam yang taat adalah deklarasi diri tentang keterputusan seseorang dengan PKI baik sebagai anggota maupun simpatisannya. Perilaku ini sama maknanya
dengan tindakan orang PKI yang kemudian berbondongbondong mendaftar menjadi anggota PNI. Tidak mengherankan jika kemudian kesemarakan masjid hanyalah fenomena sesaat. Setelah situasi politik menjadi aman, mereka
kembali ke posisi semula karena pada dasarnya mereka adalah kaum abangan. Keislaman mereka adalah keislaman
yang didata pihak luar karena mereka sunat (khitan), menikah, dan kemungkinan akan mati dengan tata cara Islam.
Inilah yang disebut oleh Mustakim dengan ngiyup wayang
udan, artinya orang-orang datang ke masjid untuk menunggu situasi politik kembali aman dan memungkinkan mereka
kembali ke posisi awal. Seperti penonton wayang yang mencari naungan sesaat karena turun hujan untuk kembali ke
posisi semula ketika hujan reda.17
17
Wawancara dengan Mustakim, 14 Februari 2008.
TRAGEDI KABEL MIK 77
Untuk melihat perkembangan Islam di Klepu pasca1965, kisah hidup Mustakim, salah seorang tokoh Islam
Klepu bisa jadi jendela. Seiring dengan maraknya orangorang pergi ke masjid untuk belajar salat, Mustakim dan
Salam Muhayat serasa menemukan momentum untuk mengembangkan Islam di Klepu.18 Mereka berdua kemudian
mengadakan pengajian rutin yang fokus pada pembelajaran
salat, mengaji, dan pengetahuan-pengetahuan dasar Islam
yang lain. Bisa dikatakan baru saat itulah salat menjadi aktivitas muslim Klepu. Sebelumnya, salat baru menjadi “pekerjaan” segelintir orang santri yang sudah mengaji, bahkan
salat merupakan barang aneh yang akan menjadi tontotan
banyak orang ketika itu dilakukan.
Pengajian Islam awal ini, terjadi dalam situasi politik
yang membuat orang menjadi gugup dan bingung dalam
bersikap, akibat peristiwa G30S. Pada situasi seperti ini
Mustakim “terpaksa” pindah ke Ngadirojo, desa tetangga
Klepu, karena menikah dengan seorang perempuan di Ngadirojo. Sementara, Salam Muhayat melanjutkan sekolah
SPG (Sekolah Pendidikan Guru) di Ponorogo. Ini tentu
saja sangat mengganggu pengajian rintisan yang baru saja
didirikan oleh dua orang ini.
Sementara itu, perkembangan Katolik semakin semarak di bawah kepemimpinan langsung Lurah Soemakoen,
kepala desa yang sangat berwibawa di mata setiap warga
Klepu. Soemakoen menggerakkan gotong royong semua
orang tanpa melihat agamanya. Dengan gotong royong ini,
Tentu saja di Klepu bukan hanya Mustakim dan Salam Muhayat yang
mengambil peran dalam mengembangkan pelajaran Islam pada orang-orang
Klepu. Orang-orang yang bisa mengaji dan masuk dalam kategori santri
melakukan hal serupa di lingkungan masing-masing, misalnya, Mbah Yoto
di Lingkungan Dusun Sambi.
18
78 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
jalan-jalan desa diperbaiki, gereja dan masjid/langgar dibangun bersama-sama. Tapi, jelas kenyataan di lapangan kehidupan agama Katolik jauh lebih tertata dan semarak dibanding Islam. Karena Katolik memiliki pimpinan-pimpinan
yang mumpuni, serta dukungan dari pihak Katolik luar
yang sangat kuat. Sedang perkembangan Islam selalu tertatih-tatih dengan kekuatan kakinya sendiri. Situasi inilah
yang membuat tokoh-tokoh Islam (terutama kaum pendatang) memandang gotong royong membangun rumah perlu
dilanjutkan. Mereka menginginkan agar setiap pemeluk
agama menyemarakkan agamanya sendiri-sendiri. Sebuah
pandangan yang berimplikasi pada ketegangan antara Islam
dan Katolik, walaupun ketegangan ini masih tersembunyi
dan diam-diam.
Jika pasca-1965, kehidupan Islam di Klepu mendapatkan momentum untuk bangkit dan berkembang, situasi
tersebut lambat-laun berbalik arah. Hal ini terkait dengan
kebijakan politik Orde Baru yang menjadikan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi sebagai kata kunci dalam
proses bernegara. Soeharto menjadikan ”pembangunan” sebagai jimat untuk menopang kekuasaannya. Pada Pemilu
1971, Pemilu pertama dilaksanakan, Golkar, mesin politik
pemerintah, meneriakkan slogan, “Politik, No; Pembangunan, Yes”.19
Orde Baru berkeras bahwa Golkar bukanlah partai politik sekalipun ia
ikut pemilu. Ini menunjukkan ambiguitas Orde Baru terhadap partai politik.
Di satu sisi, mereka tidak respek terhadap partai politik karena dianggap sebagai penyebab instabilitas politik dan ambruknya ekonomi di era Orde Lama,
tapi di sisi lain, mereka tidak bisa meninggalkan partai politik karena itu merupakan satu-satunya sarana dalam sebuah negara demokrasi untuk merebut
kekuasaan, kecuali kalau Orde Baru hendak secara terang-terangan menjadi
negara dengan sistem satu partai, seperti yang terjadi di negara-negara komu19
TRAGEDI KABEL MIK 79
Suasana politik Orde Baru juga sangat terasa di Klepu.
Soemakoen yang pada awalnya PNI kemudian beralih ke
Golkar. Dia sendiri mendapat julukan “bapak pembangunan
desa”. Posisi ini tentu saja sangat menguntungkan bagi perkembangan Katolik di Klepu, karena faktanya Soemakoen
adalah tokoh utamanya. Sementara, Islam mendapat
halangan politik yang cukup serius. Tokoh tua Islam, Mbah
Kurdi, yang pada awalnya menjabat sebagai modin desa
diberhentikan karena pada Pemilu 1971 dianggap sebagai
simpatisan PPP. Satu-satunya modin yang tersisa adalah
Sukidi yang merupakan menantu Carik Poedji Soekartono,
saudara ipar Soemakoen karena istri Poedji Soekartono
saudara perempuan Soemakoen.
Saat-saat seperti itu, umat Islam Klepu semakin merasa tidak bebas dalam menjalankan agamanya karena takut
terhadap konsekuensi politik jika sampai distigmatisasi sebagai pengikut PPP. Bahkan saat itu, tidak ada suara azan
yang dikumandangkan dengan pengeras suara, tidak ada lagi
yang berani mengaji. Setiap kali ada upaya mengadakan
acara keislaman, kaum muslim Klepu selalu dicekam rasa
was-was dan ketakutan tentang dampak negatif yang akan
mereka terima dari rezim kekuasaan. Sampai saat itu, hanya
ada satu masjid di Klepu, yaitu masjid tua di Ngapak.
Orang yang aktif dalam menjalankan ritus keislaman
selalu dianggap memiliki kaitan dan merupakan pengikut
PPP. Distigma PPP berarti menjadi musuh perangkat desa,
karena saat itu perangkat desa merupakan salah satu mesin
pengeruk suara untuk Golkar. Tidak mengherankan jika
Golkar dan Katolik di Klepu adalah sebuah identitas yang
aman. Sementara, PPP dan Islam adalah identitas yang senis. Lihat Leo Suryadinata, Military Ascendancy and Political Culture: A Study of
Indonesia’s Golkar (Athens: Ohio University, 1989), h. 5.
80 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
lalu dalam bahaya. Betapa mudahnya orang distigma PPP
yang berarti keberadaannya terasa selalu menjadi sorotan
dan selalu dalam situasi ketakutan dan was-was. Orang tua
yang memasukkan anaknya ke madrasah akan dengan sendirinya dianggap mau mencetak kader PPP. Karena situasi
seperti ini maka masjid menjadi sepi.
Di sisi lain, Soemakoen sebagai “Bapak Pembangunan
Desa” menekankan pentingnya hidup rukun dan gotong
royong. Sebagaimana telah disinggung di atas gotong royong ini juga terjadi dalam pendirian rumah ibadah. Sementara, aplikasi konsep rukun termasuk dalam hal perawatan
jenazah. Pada prinsipnya, rukun dan gotong royong dijalankan sampai pada masalah-masalah keagamaan. Praktik ini
terus dilaksanakan dengan baik sampai masuknya para dai
dari DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) yang
menganggap semua itu bertentangan dengan ajaran Islam.
3. Masuknya DDII dan Perkembangan Islam
Deskripsi tentang masuknya organisasi DDII ini penting untuk diungkap, karena justru dari momentum inilah
umat Islam Klepu mulai bangkit melakukan kegiatan-kegiatan keislaman. Kehadiran DDII menandai mulainya muslim
Klepu menemukan identitas yang berbeda dari orang
Katolik. Kalau sebelumnya, menjadi orang Klepu adalah
kesadaran utama, sejak saat itu orang mulai memasukkan
unsur agama ke dalam identitas dirinya.
Dimulai pada awal tahun 1970-an, Mustakim kembali
ke Klepu dan merintis kembali pengajian yang pernah didirikan sebelumnya. Mustakim tentu saja merasa sendirian
dalam berjuang membangun Islam di Klepu. Dia mencurahkan kegundahannya ini kepada siapa saja yang mungkin
dapat membantunya. Tentu saja perasaan ini tidak hanya
TRAGEDI KABEL MIK 81
dimiliki Mustakim, tapi siapa saja yang berniat hendak
membangkitkan kehidupan Islam di Klepu. Sampailah kegalauan tokoh-tokoh Islam Klepu ini ke telinga salah seorang staf KUA Sooko yang bernama Ridhoni Sholeh. Dari
Sholeh, informasi kemudian sampai ke telinga Bonandir,
seorang anggota DPR yang berasal dari Desa Kutu, Jetis,
Ponorogo. Informasi terus bergulir sampai mendapat perhatian serius dari Kasiman, Ketua Muhammadiyah Jetis dan
Pengurus DDII Ponorogo. Setelah itu, Klepu mendapat
perhatian serius dari DDII. Tokoh-tokoh DDII sendiri
akhirnya mengadakan pertemuan di rumah Soiman Lukmanul Hakim,20 di Desa Kutu Kulon, Jetis, Ponorogo.
Mustakim dalam kapasitasnya sebagai tokoh Islam Klepu
disertakan dalam pertemuan tersebut. Dalam pertemuan
tersebut, hadir perwakilan DDII Pusat, Suhud, yang sebetulnya berasal dari Jetis. Dari pertemuan itu dihasilkan
kesimpulan untuk mendatangkan seorang dai yang akan
membantu Mustakim, seorang dai DDII bernama Husnul
Akib. Kedatangan Husnul Akib ini terjadi pada akhir tahun
1979.
Kehadiran dai dari DDII tentu saja mengundang kecurigaan aparat desa. Mustakim menuturkan, dia langsung
dipanggil Soemakoen untuk dimintai klarifikasi tentang keberadaan Husnul Akib. Pada akhirnya, Soemakoen bisa
memahami setelah dijelaskan bahwa Husnul Akib menja-
Soiman Lukmanul Hakim adalah kiai ketiga Pondok Modern Gontor,
menempati trahnya Kiai Fanani. Kepemimpinan Gontor dikenal dengan
Trimurti yang terdiri atas Zarkasyi, Sahal dan Fanani. Dari tiga orang ini,
hanya Fanani yang tidak memiliki putra. Untuk melestarikan Trimurti maka
generasi kedua ini kemudian mengangkat Soiman. Sampai sekarang kiai ketiga
yang melengkapi Trimurti selalu datang dari luar keluarga Gontor.
20
82 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
lankan tugas dari DDII dan direkomendasikan Depag.21
Husnul Akib kemudian bertempat tinggal di rumah Modin
Sukidi, di Dusun Jogorejo, Klepu. Ketika DDII membantu
dana pembangunan Masjid Sambi, Soemakoen agaknya kurang berkenan, karena bantuan tersebut tidak melalui pintu
resmi aparat Desa Klepu.22
Memang, sejak awal kedatangannya, Husnul Akib
memfokuskan untuk membangun masjid, baik melakukan
rehabilitasi maupun membuat masjid baru, dan mengembangkan pendidikan Islam. Selama dua tahun bertugas di
Klepu, Husnul Akib berhasil mendirikan Masjid Baitul
Mukminin di Sambi. Masjid yang dibangun tahun 1980
tersebut terletak di atas tanah wakaf Sulnomo (Mbah
Sulni), Sambi. Tahun 1983, TK ini diresmikan oleh Mahmud Suyuti, Kepala Depag Ponorogo saat itu dan diberinama TK Perwanida yang berada di bawah Dharma Wanita
unit Departemen Agama. Sejak adanya TK Perwanida inilah mulai terjadi pemilahan pendidikan prasekolah bagi
anak-anak Klepu yang sebelumnya menyatu di TK Katolik
Pancasila.
Akib kemudian digantikan oleh Muhyidin yang hanya
bertugas sekitar tiga bulan. Setelah Muhyidin kemudian disusul oleh Muhadi yang bertugas sekitar satu tahun.
Namun cerita baru muncul sejak 1983 ketika dai DDII
Penjelasan Mustakim ini membuat Akib dipahami sebagai orang Depag.
Paling tidak, antara DDII dan Depag memiliki hubungan struktural dan
fungsional secara langsung terkait dengan keberadaan dai DDII di Klepu.
Kemugkinan inilah yang membuat Soemakoen bisa menerima kedatangan
Husnul Akib di Klepu. Pemahaman bahwa DDII dan Depag memiliki
hubungan masih banyak ditemui di masyarakat Klepu hingga saat ini.
(Wawancara dengan Mustakim, 26 Februari 2008).
22
Wawancara dengan Sukidi, 20 Maret 2008.
21
TRAGEDI KABEL MIK 83
yang bertugas di Klepu adalah Munawar. Sebagaimana pendahulunya, Munawar pada awalnya bertempat tinggal di
rumah Modin Sukidi. Selama sekitar satu tahun dia tinggal
di rumah Sukidi kemudian pindah ke Klepu, di rumah
Suraji. Setelah beberapa bulan di Klepu, dia pindah ke
Sambi menempati salah satu ruangan TK yang dibangun
Pesantren Gontor khusus untuk tempat tinggal dai
DDII.23
Kisah pendirian masjid dan TK ini menjadi cikal
bakal berubahnya relasi antara kelompok keagamaan kaum
muslim Klepu. Sukidi mengisahkan, Mbah Sulni mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid dan TK, tidak ke
DDII tapi ke nazir desa. Hal ini bertujuan agar masjid dan
TK tersebut menjadi tempat beribadah dan mendidik anak
cucu dan warga lingkungan, dengan tidak membedabedakan golongan atau organisasinya. Menurutnya, orangorang yang tercatat sebagai nazir adalah Sukidi, Pak Suro,
Kateni, dan Seni (almarhum), dan Mustakim.24
Informasi Sukidi tersebut berbeda dengan dokumen
resmi desa. Dalam buku wakaf yang baru ditulis tahun
1990 oleh Poedji Soekartono dinyatakan, Soelnomo mewakafkan tanahnya seluas 400m² untuk masjid dan TK dengan
nazir atau penerima wakaf yaitu Sukidi, Yoto, dan Partomo
—dua nama terakhir adalah anak Mbah Sulni sendiri.25 Kekacauan dokumen juga diakui Sukidi ketika dia menyatakan, nama nazir yang tercantum di buku wakaf desa
tidak sama dengan sertifikat. Dalam sertifikat tanah wakaf
Masjid Sambi nama yang tercantum sebagai nazir adalah
lima orang: Sukidi, Kateni, Soro, Seni dan Mustakim.
Wawancara dengan Sukidi, 20 Maret 2008.
Wawancara dengan Sukidi, 20 Maret 2008.
25
Buku Wakaf Desa Klepu Ketjamatan Sooko Kabupaten Ponorogo.
23
24
84 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Pada awalnya, Munawar mengikuti kebijakan dakwah
pendahulunya yang menyesuaikan dengan corak Keislaman
warga Klepu. Dalam kesempatan berbicara dengan banyak
orang, Munawar selalu menyatakan bahwa kalau seseorang
ingin bisa bergaul dengan kambing, maka ia harus bisa berbunyi embek, sehingga pada awalnya, dia mau mengikuti
tahlil dan kenduren. Akan tetapi pada akhirnya, Munawar
secara tegas melarang selametan, tahlil, pujian, dan sebagainya, yang selama ini menjadi tradisi keagamaan Islam di
Klepu.
Tahun 1983, Pondok Pesantren Gontor juga mulai
masuk ke Klepu. Masuknya Gontor secara intensif di Klepu diawali kabar adanya kristenisasi di Klepu. Beberapa
waktu kemudian Syukri Zarkasyi, pimpinan Pesantren Gontor, berkunjung ke Klepu, tepatnya ke rumah Mustakim.
Dari sanalah Gontor dan DDII saling bahu-membahu dalam
memperjuangkan kehidupan Islam di Klepu. Sering terjadi
pertemuan antara tokoh DDII, tokoh-tokoh Islam Klepu
dan Syukri Zarkasyi di Pondok Pesantren Darussalam
Gontor. Hasil dari salah satu pertemuan ini adalah gagasan
membentuk takmir masjid tingkat desa yang terdiri atas
takmir masjid-takmir masjid yang tersebar di beberapa
dusun di Klepu. Ini dilakukan untuk memudahkan koordinasi dan kepentingan menjaga agar masjid-masjid tidak dikooptasi Golkar melalui MDI (Majelis Dakwah
Indonesia)-nya.26
Perlu diketahui, sebelumnya sudah ada embrio takmir
masjid desa. Keberadaan takmir masjid pada awalnya ini
belum terorganisisr secara rapi. Semuanya masih berjalan
secara alami dan tidak terikat dalam organisasi yang ketat.
MDI dibentuk oleh Dewan Pengurus Pusat Golkar pada pertengahan
tahun 1978.
26
TRAGEDI KABEL MIK 85
Setelah diketahui KUA Kecamatan Sooko, takmir ini hendak dimasukkan ke dalam organ Golkar, MDI. Namun
banyak kalangan yang tidak setuju. Akhirnya, atas saran
dari Kiai Syukri Gontor, organiasi ini kemudian diformalkan dan dinamakan Takmir Masjid Desa Klepu dan
ketuanya adalah Mustakim. Lembaga ini berfungsi sebagai
koordinator dari ketua-ketua masjid atau musala dari berbagai kelompok. Sejak itu, resmi berdiri takmir masjid
desa yang keberadaannya diakui aparat desa sampai sekarang. Pertemuan takmir masjid desa biasanya dilakukan di
masjid lingkungan Badut, Jogorejo, karena lokasinya ada di
tengah-tengah desa.
Satu tahun kemudian Gontor menambah gedung TK
dengan membangun dua buah ruangan lagi. Satu ruangan
untuk TK sehingga TK sekarang punya dua ruangan dan
satu ruangan untuk rumah dai DDII, di mana penghuni
pertamanya adalah Munawar.
Di samping DDII, Gontor juga memegang peran
penting dalam perkembangan Islam di Klepu. Meningkatnya
aktivitas takmir masjid desa karena mendapatkan saransaran dari Gontor. Hubungan Gontor dengan Klepu tertata
baik sampai ketika terjadi konflik antara DDII dan
Gontor.
Kerenggangan ini bermula dari sakitnya Munawar.
Suatu ketika, Munawar sakit mata parah. Dia dibawa ke
Gontor dan pengobatannya dibantu Gontor. Untuk memudahkan pengobatan, selama menjalani pengobatan dia tinggal di Gontor. Niat baik Gontor ini disalahpahami DDII
dengan mengirim surat ke Gontor bahwa pihak Gontor
tidak berhak memindah Munawar. Surat itu membuat Kiai
Syukri Zarkasyi tersinggung dan kemudian memutuskan
untuk tidak lagi berurusan dengan Klepu. Pada saat yang
86 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
sama, salah seorang anak Klepu yang menjadi santri di
Gontor mengecewakan Syukri Zarkasyi. Adalah Karsi, anak
muda Sambi yang menjadi santri di Gontor, membuat marah Syukri karena setelah tamat langsung menikah, sehingga tidak sempat mengabdi sebagai kewajiban yang ditetapkan oleh Gontor bagi para alumninya.
Seluruh jaring-jaring kekuatan dakwah Islam yang beroperasi di Klepu ini akhirnya membawa sesuatu yang berbeda pada cara pandang tokoh-tokoh Islam Klepu. Sebagaimana dinyatakan Mustakim, “Dari situlah saya mulai
mendapatkan banyak wawasan.”27 Apa yang disebut dengan
“wawasan” adalah cara beragama yang dibawa DDII dan
Gontor dalam melihat umat Katolik dan hubungan IslamKatolik di Klepu. Dai DDII mulai menginformasikan,
dengan kapasitas dan sudut pandangnya sendiri tentang berita-berita dari luar negeri terkait dengan isu Islam-Kristen.
Misalnya, menurut Mustakim, dia mendapatkan informasi
dari orang-orang DDII, bahwa bantuan-bantuan kemanusian
yang selama ini dikenal sebagai sumbangan orang Katolik
sesungguhnya berasal dari PBB di mana 80% total dana itu
berasal dari Arab Saudi. Mulailah muncul kebencian terhadap Katolik yang dianggap curang karena sesungguhnya
uang yang diperbantukan kepada umat Islam adalah uang
milik umat Islam sendiri. Isu kristenisasi samar-samar mulai menjadi kesadaran tokoh-tokoh Islam di Klepu. Masalah
“kristenisasi” di Klepu, kata dai DDII juga sudah menjadi
berita di luar negeri. Berdasarkan informasi itu, Mustakim
menceritakan tentang kabar yang didengarnya dari orang
DDII, yaitu sebuah reportase Fokus London yang mengangkat
masalah kristenisasi di Klepu. Hal inilah yang kemudian
27
Wawancara dengan Mustakim, 26 Februari 2008.
TRAGEDI KABEL MIK 87
semakin mengentalkan identitas antar kelompok agama
dalam sikap saling waspada dan curiga.
Mulailah ada kecurigaan dari beberapa umat Islam
terhadap proyek-proyek kemanusiaan yang digagas Katolik.
Misalnya, Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang selama ini
berjalan baik mulai menjadi sasaran kecurigaan. Sekalipun
KSP terbuka untuk umum dan diakui memberi manfaat,
namun ia tetap milik Katolik yang harus dicurigai. Ketika
tersiar kabar kemacetan KSP karena ketidakjujuran para
anggotanya, hal itu menjadi sebuah kabar gembira di
kalangan tokoh Islam. Banyak para tokoh Islam menaruh
kecurigaan KSP sebagai bagian dari upaya kistenisasi masyarakat Klepu.28
Kecurigaan ini bergandengan dengan isu kristenisasi
yang pada awalnya terinjeksi dari pihak luar (baca, dai
DDII). Pengetahuan awal ini, kemudian menjadi modal
untuk menganalisis setiap hal yang melibatkan umat Katolik
di Klepu, yang pada akhirnya tertuju pada kecurigaan terhadap aktivitas umat Katolik. Dari sini tampak, DDII
memberi pengaruh yang signifikan di Klepu. Pengaruh
DDII dan Gontor bisa dilihat dalam cerita aktivitas dakwah
Islam Suwito (45 tahun) di Klepu. Suwito adalah salah seorang tokoh Islam penting di Klepu dan guru agama Islam
SDN Klepu II. Lelaki kelahiran Caruban, Madiun, ini merupakan penduduk pendatang di Klepu yang baru masuk
Klepu pada 1985. Saat ini dia menjadi ketua NU Ranting
Klepu dan Ketua II MWC NU Sooko.
Umat Islam Klepu kini memiliki KSP sendiri yang bernama Sartika
(Sarana Berbakti Kepada Allah), yang terdiri dari dua unit: Unit Sambi dan
Klepu. Dua orang koordinatornya, Suwito dan Salam Muhayat. KSP ini
berdiri sejak tahun 1990-an.
28
88 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Awal kehadirannya di Klepu, bisa dikatakan membawa
mandat langsung dari Kiai Syukri Zarkasyi Gontor.
Hubungannya dengan Kiai Syukri berawal ketika dia nyantri
di Al-Islam Joresan (desa sebelah timur Gontor). Dari sini
dia memiliki hubungan dekat dengan mertua Syukri yang
memang berasal dari Joresan. Hubungan baik ini tetap terjaga hingga dia melanjutkan ke IAIN Sunan Ampel di Kota
Ponorogo. Selama waktu itu ia tetap bertempat tinggal di Joresan, tepatnya di samping rumah mertua Syukri Zarkasyi.
Selepas menamatkan kuliahnya di IAIN, dia mengikuti
tes guru agama dan lulus. Syukri mendengar dan menawarinya untuk bertugas di SDN Klepu, sekaligus membantu DDII dalam melakukan dakwah Islam di sana. Suwito
menerima tawaran tersebut, asal masih tetap bisa menjadi
PNS di dalam wilayah Ponorogo. Pada akhirnya Suwito
mendapatkan tugas di Klepu. Ketika dia berangkat ke Klepu, Suwito membawa surat dari Kiai Syukri untuk diberikan ke Mustakim dan Munawar. Jadi, sejak awal Suwito
datang ke Klepu tidak semata-mata menunaikan tugas
sebagai PNS, tapi sudah berniat untuk membantu DDII
dalam menjalankan dakwah Islam di Klepu.
Ketika pertama kali datang ke Klepu, dia masih seorang bujangan. Lima bulan bertugas di Klepu, Kiai Syukri
berinisiatif menikahkannya dengan perempuan lokal. Ini
terkait dengan harapan Kiai Syukri agar Suwito betul-betul
menjadi penduduk Klepu sehingga dia tidak lagi berdakwah
Islam sebagai orang luar. Mulai dari perencanaan, pembiayaan, sampai acara resepsi, Gontor-lah yang mengatur semuanya. Resepsi pernikahan Suwito betul-betul digunakan Gontor untuk media dakwah. Keberadaan Suwito di Klepu
semakin memudahkan jangkauan Gontor ke dalam dinamika
kehidupan Islam di Klepu.
TRAGEDI KABEL MIK 89
Di Klepu sendiri, Suwito menjalin hubungan yang
sangat dekat dengan Munawar. Kemana saja Munawar pergi,
Suwito selalu ada di sampingnya. Suwito diajak ke kantor
DDII Ponorogo dan DDII Jawa Timur, dan juga untuk berkoordinasi dengan Gontor, misalnya untuk bertemu dengan
Kiai Syukri atau Kiai Soiman. Di samping karena amanat
Gontor, kedekatan Suwito dan Munawar juga karena alasan
teknis, Munawar tidak bisa naik sepeda motor sehingga kemana saja Munawar pergi pasti diantar Suwito.
Dari sini terlihat bahwa sejak 1980-an, DDII dan Gontor telah berperan penting dalam dakwah Islam di Klepu.
Bisa dikatakan, tak ada satupun keputusan penting tentang
dakwah Islam di Klepu yang luput dari peran Gontor.
Kegiatan apapun yang lakukan Suwito dan kawan-kawannya
selalu dipantau Kiai Syukri Zarkasyi. Bahkan satu saat Kiai
Syukri memberi saran kepada Suwito untuk memudahkan
dakwah Islam, dengan memisahkan orang Islam dari aktivitas
umat Katolik. “Ciptakan konflik, setelah konflik, kamu harus
betul-betul membantu umat Islam,” kata Syukri sebagaimana
yang dituturkan Suwito. Hal itu terjadi pada awal-awal penyelesaian pembangunan tempat suci umat Katolik, Sendang
Waluyo Jatiningsih Gua Maria Fatima di Klepu. Bisa
dikatakan bahwa terdapat koordinasi yang erat antara tokoh
Islam lokal, baik asli Klepu maupun pendatang, dengan
DDII dan Gontor, dalam membahas strategi dakwah.
Kombinasi strategi dakwah yang dilakukan Suwito
dengan dibantu langsung Gontor dan DDII menciptakan
hubungan yang cukup tegang antara penganut Islam-Katolik
di Klepu. Kerukunan yang ada selama ini dianggap sebagai
strategi umat Katolik untuk mengaburkan akidah umat
Islam.29 Suwito dan para pendakwah lainnya mulai mem29
Wawancara dengan Suwito, 26 Februari 2008.
90 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
perkenalkan kepada orang Islam tentang perbedaan-perbedaan antara Islam dengan Katolik. Cara lain yang digunakan untuk memisahkan hubungan antara muslim dan umat
Katolik adalah upaya untuk menginformasikan bahwa masing-masing umat beragama bertanggung jawab untuk membangun rumah ibadah masing-masing. Pandangan ini jelas
secara langsung menantang kebijakan gotong royong dan
kerukunan yang sangat ditekankan Soemakoen. Pandangan
yang menjadikan soal pendirian dan perawatan rumah ibadah sebagai tanggungjawab masing-masing kelompok agama
jelas adalah tindakan yang memantik konflik. Apalagi strategi pemisahan juga dilakukan dalam masalah di luar persoalan agama.
Strategi ini terjadi pada tahun 1988 pada saat pemilihan kepala desa Klepu antara Kuswandi (Katolik)30 dengan
Suyatno (Islam) untuk mengganti posisi Soemakoen yang
meninggal dunia. Kiai Syukri Zarkasyi memberi perhatian
penuh dan menghendaki agar calon dari umat Islam bisa
menang. Kalkulasi di lapangan menunjukkan kecil kemungkinan Suyatno menang karena memang kualitas individu
Kuswandi lebih baik dan lebih bisa diterima masyarakat.
Pada akhirnya Kuswandi-lah yang menang dalam pemilihan
dan menggantikan posisi ayahnya menjadi kepala Desa
Klepu. Momentum ini merupakan pemilihan kepala desa
pertama di mana isu perbedaan Islam-Katolik menjadi salah
satu isu penting di dalamnya. Warga Klepu digiring memilih calon sesuai dengan kesamaan agamanya. Hal ini
diakui Suwito yang saat itu menjadi tim sukses Suyatno.
Kuswandi adalah putra Soemakoen yang sebelumnya bekerja di PUK
Ponorogo.
30
TRAGEDI KABEL MIK 91
C. “Mari Kita Berpisah”: Kisah Sebuah Kursi di
Tengah Jalan
Di atas sudah disinggung munculnya ketegangan seputar
pembangunan Sendang Waluyo Jatiningsih Gua Maria Fatima
Klepu. Kisah ini merupakan salah satu cerita yang sering didengar orang dalam relasi Islam-Katolik di Klepu. Ketegangan
ini terkait dengan “tidak rela”-nya tokoh-tokoh Islam, terutama
DDII dan juga termasuk Suwito, melihat banyaknya orang
Islam yang bekerja dalam membangun Sendang. Sikap “orangorang DDII” banyak mendapat respon negatif, baik dari umat
Katolik maupun Islam. Bagi kalangan Katolik, sikap seperti itu
hanya memecah belah warga Klepu. Sedang bagi umat Islam,
sikap itu tidak bertanggung jawab karena mereka bekerja di
Sendang sebagai pekerja upahan yang bekerja memberi nafkah
anak istri.
Pada saat pembangunan Sendang sudah selesai, banyak
orang mulai datang berziarah. Suatu hari ada kursi kayu panjang yang melintang di jalan Dusun Sambi yang merupakan
jalan utama ke Sendang. Galih, seorang sopir pastor, mengatakan kepada orang-orang Katolik bahwa putra Mbah Soelnomo atau Mbah Sulni Sambi menaruh kursi di tengah jalan
untuk menghalangi orang-orang Katolik yang mau berziarah
ke Sendang. Akhirnya, muncullah kecurigaan umat Katolik
kepada umat Islam. Selain itu keluarga Mbah Sulni, salah satu
tokoh muslim, merasa dilecehkan dan marah karena merasa
tidak tahu apa-apa tetapi dituduh sebagai pelakunya. Isu semakin membesar dan ketegangan semakin menjadi-jadi.
Beberapa saat kemudian dikumpulkanlah tokoh-tokoh
Katolik dan Islam di rumah Sugito, kamituwo Klepu. Tokoh
Katolik yang hadir antara lain: Kuswandi, Pirnadi (menantu
Soemakoen yang menjadi kepala SDN I Klepu), Edi Sudarman
(menantu Soemakoen), Sutarno (menantu Soemakoen), Sunar-
92 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
yo, Sirun, Sugito (kamituo Klepu), Sugianto (katekis). Tokohtokoh Islam yang hadir antara lain: Suwito, Mustakim, Salam
Muhayat, dan Pandi.
Tapi, pertemuan itu tidak semata-mata dilakukan untuk
kasus ”kursi di jalan”, tetapi juga untuk membicarakan hubungan Islam dan Katolik di Klepu secara umum. Sehingga, dalam
pertemuan itu yang mengemuka justru bukan tentang kursi,
tapi masalah pembangunan tempat ibadah, yang dirasa mulai
tidak menjunjung nilai ”guyub-rukun” seperti sebelumnya karena umat Islam mulai menghendaki membangun tempat ibadah sendiri-sendiri.
Tokoh-tokoh Katolik menyatakan, Klepu sudah terkena
pengaruh luar sehingga tradisi ”guyub-rukun” di masa lalu hilang karena dipecah belah oleh para pendatang. Di Klepu
awalnya semua orang rukun, masalah agama diselesaikan secara
bersama-sama, sekarang hancur karena adanya pendatang. Itulah inti pendapat dari pihak Katolik. Mereka kemudian
menawarkan untuk kembali ke masa lalu, ke kerukunan yang
lebih baik, dan tidak terpengaruh pengaruh dari luar yang
tidak bertanggung-jawab.
Tentu saja pertemuan itu adalah momentum penting
yang tidak boleh disia-siakan oleh orang seperti Suwito. Tidak
mungkin baginya menerima ajakan tokoh-tokoh Katolik karena
menurutnya apa yang terjadi selama ini adalah pengaburan
akidah umat Islam. Pemisahan Islam-Katolik adalah sesuatu
yang dikehendakinya dan sedang diperjuangkannya bersama
dengan tokoh DDII dalam rangka untuk membangkitkan umat
Islam Klepu. Suwito mengisahkan, dalam suatu pertemuan dia
bertanya apakah Klepu mengikuti tradisi yang belum tentu
benarnya ataukah pedoman yang dikeluarkan pemerintah? Padahal Klepu adalah desa percontohan pelaksanaan P4. Kalau
yang diikuti pedoman pemerintah, maka tradisi yang selama
ini berjalan tidak benar berdasarkan buku P4.
TRAGEDI KABEL MIK 93
Ketika Suwito melontarkan pertanyaan tersebut, semua
tokoh Katolik terdiam karena mungkin belum membaca.
Suwito menyarankan agar mereka membaca dulu, karena sebelumnya dia sudah melacak orang yang pegang buku itu. Buku itu berada di tangan Modin Sukidi. Setelah buku diambil
dari Sukidi dan membaca, Suwito semakin merasa benar.31
Suwito memang telah mempersiapkan segalanya untuk
berargumentasi tentang perlunya memisah Katolik-Islam dalam
hal pembangunan rumah ibadah. Argumentasinya tampak tidak
bisa dibantah karena alasan yang dipakai justru berada tepat di
pusat kekuasaan pemerintah desa, soal aturan pemerintah (P4).
Suwito mempertanyakan kebenaran tradisi gotong-royong yang
selama ini dijalankan di Klepu dalam membangun dan menjaga
rumah Ibadah. Hal ini senada dengan keinginan tokoh-tokoh
Islam untuk berpisah dalam pembangunan rumah ibadah. Argumentasi ini didasari oleh buku Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). Suwito kemudian menegaskan bahwa berdasarkan Pedoman P4, sikap umat Islamlah yang benar
sebagaimana yang tertera di dalam buku tersebut.32
Gagasan memisahkan pembangunan tempat ibadah ini
betul-betul disosialisasikan secara intensif. Sosialisasi membawa
hasil pemisahan antara Islam dan Katolik mulai kelihatan terbuka. Banyak umat Islam yang mengikuti gagasan pemisahan
dengan dalih bahwa tradisi selama ini yang dilakukannya tidak
baik. Yang benar adalah masing-masing pemeluk agama menyemarakkan agamanya masing-masing. Jika buku pedoman P4
menjadi alat berargumentasi dengan pihak Katolik, maka di
Wawancara dengan Suwito, 26 Februari 2008.
Suwito masih ingat halaman dan poin yang diacunya dalam berargumentasi, yaitu halaman 7 dan poin 25. Ini menunjukkan bahwa memang
dia sudah mempersiapkan segalanya untuk menjustifikasi sikap keagamaannya.
31
32
94 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
internal umat Islam terminologi keagamaan lebih banyak
digunakan untuk memengaruhi umat Islam.
Rukun dan gotong-royong untuk membangun rumah ibadah akhirnya menghilang perlahan-lahan. DDII-lah yang banyak
diakui masyarakat sebagai penyebar gagasan bahwa membangun
rumah ibadah itu hanya dilakukan oleh pemeluk agama masing-masing. Suyatno, salah seorang tokoh Muhammadiyah
lingkungan Kuniran Atas menuturkan, kedatangan DDII mengajarkan agar orang tahu dan membedakan mana yang bisa dikerjakan bersama dan mana yang khusus oleh umat beragama.33
Tidak ketinggalan, masalah merawat mayat dan doa terhadap orang mati juga menjadi sasaran dakwah pemisahan. Sebelumnya, siapapun yang meninggal dunia akan didoakan bersama, baik oleh umat Katolik maupun muslim sesuai dengan
tata cara doa masing-masing. Namun pada akhirnya tokoh-tokoh Islam, dengan pengaruh kuat DDII, bersikeras bahwa doa
hanya akan dilakukan sesuai dengan agama yang dipeluk si
mayat pada saat hidupnya. Hal ini melahirkan kesepakatan
bahwa kalau ada orang Islam meninggal dunia, maka yang mengurus jenazahnya adalah orang Islam, sedang orang Katolik
yang menggali kuburannya, begitu juga sebaliknya.
DDII juga menyebarkan fatwa tentang haram hukumnya
bagi umat Islam memberi ucapan dan mendatangi pesta peringatan Natal. Yang disebut dengan pesta peringatan Natal
adalah sebuah tradisi untuk saling berkunjung ke rumah umat
Katolik pada saat hari besar Natal sebagaimana tradisi yang
terjadi pada saat Idul Fitri. Tradisi saling mengunjungi ini sudah berjalan lama, tapi oleh DDII hal ini tidak diperbolehkan
karena dianggap merusak akidah Islam.
33
Wawancara dengan Suyatno, 8 Maret 2008.
TRAGEDI KABEL MIK 95
Aktivis DDII juga mulai ikut terlibat mendampingi
persoalan yang dihadapi masyarakat untuk lebih menarik
simpati. Misalnya, Suwito mendampingi orang yang mau
menikah, baik untuk mempermudah proses administrasi
maupun untuk menekan biaya perkawinan yang selama ini
dirasa memberatkan. Begitu juga dengan pengurusan akta
kelahiran, Suwito membantu dengan biaya yang sangat rendah.
Bantuan-bantuan ini diumumkan pada acara tahlilan atau
yasinan. Dari situ mulai mendapatkan simpati dari masyarakat.
Suwito mengisahkan bahwa hampir setiap orang yang mau
menikah datang ke rumahnya dan hampir setiap bulan dia
membantu mengurus akta kelahiran rata-rata dua puluh
orang.
Aktivitas Suwito ini membuatnya menjadi orang yang menonjol. Dia disanjung oleh orang yang ditolong, tapi tidak jarang dia terlibat dalam konflik yang membuatnya banyak dicaci
sebagai pendatang yang merusak kerukunan orang Klepu.
Misalnya, dia sempat berkonflik dengan Lurah Kuswandi karena
mendampingi seseorang yang mau menikah. Usaha ini dihalangi
Kuswandi karena memang usia si pengantin belum mencukupi.
Sekalipun keberadaan Suwito sekarang sudah banyak diterima
masyarakat karena cara dakwahnya yang semakin bijaksana, tapi
sejak dia berpisah dari DDII banyak kalangan masih menyebut
Munawar dan Suwito sebagai para pendatang yang merusak
kerukunan hidup orang Klepu. Penilaian seperti ini biasanya
dipakai untuk membandingkan dengan penduduk asli Klepu
yang tetap guyub-rukun tanpa membedakan agama.
Ketika orang-orang Klepu membuat pembedaan antara
muslim asli Klepu dan pendatang, mereka tidak sedang membuat penilaian kosong. Orang seperti Mustakim tetap bisa diterima oleh semua pihak karena sikapnya yang tetap ingin
menjaga kebersamaan. Sedekat apapun dia dengan DDII dan
96 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Gontor, dia tetaplah orang Klepu yang hidup dengan hati Klepu. Keharmonisan warga Klepu tetaplah menjadi pertimbangan
untuk dijaga.34
D. Semarak Islam
Saat ini kehidupan Islam di Klepu semakin bergairah. Di
sana ada Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Klepu. Dari beberapa TPA yang pernah dirintis yang sampai saat ini masih
berjalan dengan baik adalah TPA pimpinan Suwito. TPA ini
didirikan sejak tahun 1993. Tempatnya di SDN Klepu II yang
terletak di Dusun Sambi. Jadi bisa dikatakan yang menjadi
siswa TPA ini adalah murid-murid SD Sambi yang beragama
Islam. Dalam pengelolaannya, TPA ini seperti kegiatan ekstrakurikuler agama Islam bagi siswa muslim. Siswa-siswa muslim
setelah usai jam sekolah akan salat Zuhur bersama kemudian
masuk TPA sampai pukul empat sore.
Terlepas dari banyaknya orang yang tidak taat menjalankan salat lima waktu, jika kita menengok lebih jauh ke kehidupan orang tua di Klepu, kita akan menemukan tanda kuat
tentang keberadaan Islam. Tahlil rutin setiap malam Jumat
adalah tradisi yang secara umum dilaksanakan warga Klepu
yang beragama Islam. Hampir setiap lingkungan, memiliki kegiatan tahlil rutin setiap malam Jumat. Dari forum tahlilan
inilah, dakwah untuk mengajak umat Islam mengamalkan ajaran agamanya dilakukan. Di samping itu, tahlilan adalah media
yang cukup efektif yang digunakan untuk membangun solidaritas umat Islam di Klepu.
Pertanyaannya, siapa dan kelompok mana yang mentradisikan tahlilan di Klepu? Ini penting di lacak karena hampir
34
Wawancara dengan Mustakim, 26 Februari 2008.
TRAGEDI KABEL MIK 97
tidak mungkin DDII yang melakukannya karena posisi mereka
jelas membidahkan tahlilan? Namun faktanya tahlilan justru
menjadi kegiatan massif bagi umat Islam Klepu. Pertanyaan ini
penting untuk dijawab karena akan terdapat kesimpulan awal
bahwa kedatangan DDII melalui para dainya, sama sekali tidak
menghilangkan peran tokoh Islam lokal Klepu yang justru dari
segi tradisi dan ritualnya adalah orang-orang NU.35
Kedatangan dai DDII memang membangkitkan semangat
keislaman. Namun yang harus digarisbawahi, petugas DDII
yang pertama kali bekerja di Klepu, Husnul Akib, justru dengan arif tidak menyinggung masalah khilafiyah dan persoalan
sensitif yang biasanya memancing perdebatan antar umat Islam
sendiri. Praktik tahlilan dan selametan, tidak disalahkan, bahkan ditradisikan. Masalah khilafiyah baru muncul ketika terjadi
pergantian dai DDII kepada Munawar. Itu pun terjadi pada
dua tahun terakhir keberadaaan Munawar di Klepu, sebelum
Munawar meniggalkan Klepu pada tahun 2007 karena masalah
yang cukup pelik terkait perubahan pola dakwah DDII yang
mulai menyerang tradisi-tradisi keislaman lokal.
Di samping itu, sesungguhnya yang selama ini bekerja di
lapangan dalam proses pengembangan Islam di Klepu tetaplah
tokoh-tokoh lokal yang secara kultural merupakan NU, seperti
Mustakim, Salam Muhayat, dan Suwito. Suwito memang pendatang, namun menikah dengan perempuan Klepu. Peran tokoh-tokoh lokal dalam pengembangan Islam di Klepu, bisa
dilihat dari cerita Suwito tentang komunitas muslim Lingkungan Kuniran Atas yang kini menegaskan identitasnya sebagai pengikut Muhammadiyah. Menurut Suwito, awalnya warga
Kuniran Atas tidak menjadi anggota Muhammadiyah. Kuniran
Atas dulu adalah wilayah binaannya bersama Mustakim dan
Dua tokoh Islam lokal: Mustakim dan Salam Muhayat, secara eksplisit
menyatakan sebagai orang NU.
35
98 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Salam. Selama beberapa tahun dia membina di sana. Setiap
malam Jumat untuk bapak-bapak, dan hari Ahad sore untuk
ibu-ibu mereka mengajari salat, tahlil sehingga menjadi tradisi.
Warga kemudian membuat musala.36
Pengakuan Suwito dibenarkan warga Kuniran Atas. Mereka mengakui, masyarakat muslim Kuniran mengawali keislaman dari komunitas tahlilan. Dari mengikuti tahlil itulah,
perlahan-lahan mulai melaksanakan salat dan ibadah lainnya.37
Jadi, semaraknya tahlilan menjadi salah satu kegiatan rutin
yang paling massif bagi umat Islam Klepu. Semaraknya kehidupan Islam di Klepu memang terjadi semenjak datangnya suntikan dai DDII, tetapi tahlilan sebagai tradisi populer Islam
adalah kreasi mandiri tokoh-tokoh NU setempat.
Saat ini Islam di Klepu mulai beragam dan terbagi ke
dalam berbagai afiliasi ormas Islam, namun tahlilan tetap menjadi kegiatan utama hampir keseluruhan umat Islam Klepu.
Sebagaimana yang terlihat pada komunitas Muhammadiyah di
Kuniran Atas, di mana mereka tetap melakukan tahlilan setiap
malam Jumat untuk kaum laki-laki dan malam Minggu untuk
perempuan. Para tokoh Muhammadiyah setempat sangat menyadari bahwa tahlilan rutin adalah sarana dakwah yang baik
dalam membangun solidaritas bersama. Kelompok terbesar
umat Islam Klepu, adalah mereka yang masih melakukan tahlilan dan selametan, meskipun tidak mesti mengaku berafiliasi
ke NU. Tidak mengherankan jika tokoh Islam seperti Mustakim menilai bahwa secara tradisi umat Islam Klepu secara
umum adalah NU dari sisi tradisi, sekalipun sangat jarang
menggunakan nama NU.38
Wawancara dengan Suwito, 26 Februari 2008.
Wawancara dengan Suyatno, 13 Februari 2008.
38
Wawancara dengan Mustakim, 26 Februari 2008.
36
37
TRAGEDI KABEL MIK 99
Saat ini di Klepu terdapat 14 tempat ibadah (masjid/
musala).39 Dari keempat belas masjid atau musala ini, yang
bisa dianggap betul-betul berfungsi sebagai tempat berjemaah
bagi kaum muslim di sekitarnya hanya beberapa masjid dan
musala, antara lain: Al-Hidayah, Baitul Mukminin, Darussalam
Sambi, Darussalam Ngapak, At-Taqwa, Baiturrahman, Hasyim
Asy’ari, dan Al-Ikhlas. Sementara, yang bisa dianggap tidak
difungsikan adalah Baitul Arsy dan At-Taqwa Bulu, karena tidak ada tokoh lokal yang bisa menggerakkan masyarakat yang
beragama di lingkungan untuk memfungsikannya.
E. Takmir Masjid Desa: Kontestasi
DDII-Muhammadiyah-NU
Orang-orang Klepu mencatat, sebelumnya Munawar
DDII tidak memiliki catatan berkonflik dengan penduduk setempat. Bahkan, Munawar sendiri di awal kedatangannya tidak
menunjukkan kekakuannya sebagai seorang muslim puritan.
Karena itu, konfliknya dengan Mbah Yoto di Masjid Baitul
Mukminin Dusun Sambi itu mengagetkan.
Berturut-turut terdapat di Dusun Klepu sebanyak dua buah (An-Nur
di Lingkungan Sulingan dan Al-Hidayah di Lingkungan Klepu); enam masjid/
musala di Dusun Sambi (Baitul Mukminin di Lingkungan Sambi, Masjid
Darussalam di Lingkungan Sambi, At-Taqwa di Lingkungan Bulu, Sabilussalam
di wilayah perbatasan Sambi dengan Bedoho, Al-Furqon di dekat Lingkungan
Genengan, Jogorejo, Hasyim Asy’ari di Timur SDN Klepu II); empat di
dusun Jogorejo (Baiturrahman di barat gereja, musala Badut di selatan SDN
Klepu I, Al-Ikhlas di Lingkungan Kuniran Atas, musala Kuniran Bawah); dua
di dusun Ngapak (Masjid Darussalam yang merupakan masjid tua di
Lingkungan Ledok dan Baitul Arasy yang merupakan musala paling baru
berada di wilayah Ngapak timur).
39
100 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Akan tetapi, konflik tersebut sebetulnya sudah bisa diduga sejak awal kedatangan Munawar. Suwito berkisah, jauh sebelum konflik terbuka di Sambi, Munawar pernah melarang
pujian dan menabuh beduk ketika menjelang azan. Karena
menjadi teman dekat, Suwito mengingatkan bahwa belum waktunya melakukan hal itu karena Islam masyarakat Klepu masih
tergolong awam. Saat itu bisa diredam. Masyarakat Sambi berjalan apa adanya, sebelum akhirnya pecah konflik.40
Pada saat konflik inilah sesungguhnya eksistensi takmir
masjid desa diuji. Sebagai lembaga tertinggi umat Islam Klepu,
takmir masjid desa dituntut untuk menyelesaikan masalah.
Akan tetapi, terbukti di lapangan bahwa urusan umat Islam
Klepu tidak lagi berada di tangan orang Klepu. Keberadaan
DDII di Klepu dengan sendirinya sebetulnya telah
menghubungkan urusan muslim Klepu dengan pihak luar.
Konflik DDII tidak lagi bisa diselesaikan oleh takmir masjid
desa karena garis komando DDII bukan di tangan ketua takmir
masjid desa, tapi berada di struktur organisasi miliknya sendiri
yang komandannya berada di luar Desa Klepu.
Dengan logika yang sama, takmir masjid sebetulnya juga
sudah kehilangan dua anggota, yaitu Masjid Darussalam Ngapak dan al-Ikhlas Kuniran Atas yang sudah menjadi Muhammadiyah. Sebelumnya, semua takmir masjid/musala di masingmasing lingkungan adalah anggota dari takmir masjid desa.
Takmir masjid desa menjadi lembaga Islam tertinggi yang suaranya adalah komando bagi seluruh anggotanya. Ketika Ngapak
dan Kuniran Atas menjadi Muhammadiyah, maka komando
sebetulnya mulai berpindah. Takmir masjid desa tidak lagi bisa
mengomandoi Ngapak dan Kuniran Atas, karena komando
untuk kedua lingkungan Muhammadiyah tersebut berada di
pengurus Muhammadiyah.
40
Wawancara dengan Suwito, 20 Maret 2008.
TRAGEDI KABEL MIK 101
Mengerasnya DDII dan berdirinya Muhammadiyah menyadarkan Suwito yang pada dasarnya adalah NU untuk mengikat orang-orang yang amaliyahnya NU sebagai kelompok mayoritas untuk diikat ke dalam organisasi NU. Akhirnya, di awal
tahun 2000, NU sebagai organisasi secara resmi berdiri di Klepu yang langsung diketuai Suwito. Jadilah umat Islam Klepu
sekarang terbagi menjadi dua: NU dan Muhammadiyah.
Orang-orang yang terpengaruh DDII, biasanya lebih dekat ke
Muhammadiyah.
Memang, keterpecahan umat Islam Klepu mulai melahirkan isu-isu khilafiyah. Misalnya, komunitas muslim Ngapak
sudah mulai melakukan salat Id sendiri karena mendapat jatah
khatib dari Muhammadiyah. Kuniran Atas ketika sudah jadi
Muhammadiyah juga mulai tidak mau bergabung ke takmir
masjid desa. DDII juga mengadakan salat Id sendiri. Perpecahan semakin terlihat ketika terjadi perselisihan antarormas
Islam tentang kapan Idul Fitri. Mereka akan mengikuti komando ormas masing-masing. Takmir masjid desa semakin terasa ditinggalkan anggota-anggotanya.41
Kemacetan takmir masjid desa semakin jelas terlihat ketika pengurus terpilih tidak sempat merampungkan menyusun
kepengurusan lengkap. Konflik di Sambi, tidak lagi terikatnya
Kuniran Atas dan Ngapak, serta berdirinya NU, membuat
takmir masjid desa terbengkalai. Akhirnya sekarang, pengurus
takmir masjid yang tersusun tahun 2003/2004 hanya terdiri
dari: Ketua I Mustakim, Ketua II Suwito, Ketua III Kateni,
Sekretaris I Karsi, Sekretaris II Sakri, Bendahara I Sarnun, dan
Bendahara II Suyadi. Berkali-kali pertemuan tapi tidak selesai
karena terkena imbas konflik antara DDII (Munawar) dengan
NU (Mbah Yoto) di Sambi.
41
Wawancara Suwito, 26 Februari 2008.
102 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
F. Bertemu Untuk Berpisah: Kisah Dari Sebuah
Pertemuan
Sekitar pukul empat sore, setelah orang-orang itu melakukan salat Asar, mereka berkumpul di salah satu ruangan
gedung TK Perwanida yang terletak di samping depan Masjid
Baitul Mukminin Dusun Sambi, Klepu, yang tinggal puingpuing karena baru dirobohkan. Mereka adalah pengurus DDII
Cabang Ponorogo, seorang muslim lokal yang bertugas sebagai
dai DDII di Desa Klepu, Ketua NU Ranting Desa Klepu, para
ahli waris almarhum Sulnomo atau yang biasa dipanggil Mbah
Sulni (orang yang mewakafkan tanah yang di atasnya dibangun
Masjid Baitul Mukminin dan TK Perwanida), dan beberapa
orang yang terkait dengan masalah yang hendak dibicarakan
dalam pertemuan tersebut.
Pertemuan yang diselenggarakan pada Rabu, 12 Maret
2008, itu adalah pertemuan untuk membahas sengketa pembangunan Masjid Baitul Mukminin antara DDII dengan NU.
Masjid tersebut berdiri di atas tanah wakaf Mbah Sulni, di
mana sengketa ini melibatkan ahli waris Mbah Sulni sebagai
wakif (pemberi wakaf) yang bisa disebut sebagai orang-orang
NU. Pihak DDII merobohkan Masjid Baitul Mukminin karena
mendapatkan bantuan dana pembangunan masjid dari DDII.
Sementara, jemaah NU yang dimotori ahli waris wakif menghalangi pembangunan tersebut. Hal itu dianggap upaya menjadikan Masjid Baitul Mukminin menjadi milik DDII. Anggapan
ini terkait dengan konflik kedua kelompok tersebut sebelumnya. Di samping itu, bantuan DDII tersebut disertai dengan
persyaratan berupa larangan terhadap praktik-praktik peribadatan yang selama ini bisa dikatakan sebagai properti tradisi
keagamaan warga NU.
Sengketa ini sebetulnya puncak dari perpecahan yang
sudah berlarut-larut antara DDII dan NU. Itu bermula dari
TRAGEDI KABEL MIK 103
perbedaan paham keislaman antara DDII dan NU. Perpecahan
yang berlarut-larut tersebut tidak pernah menemukan solusinya
sampai akhirnya tiba waktu renovasi masjid. Karsi, penduduk
Sambi yang sekarang secara resmi menjadi dai DDII di Desa
Klepu, bertugas sebagai moderator dalam pertemuan tersebut.
Dia sejak awal berusaha mempersuasi setiap orang untuk menjaga persatuan umat Islam di Desa Klepu. Dia berharap agar
setiap usulan hendaknya dilahirkan dari pertimbangkan yang
bijaksana dan dinyatakan dengan bahasa yang bijaksana pula.
Juwaini, pengasuh Pesantren Darul Fikri yang menjadi
juru bicara utama rombongan DDII menyatakan, jika sampai
hari itu kedua belah pihak tidak menemukan kata sepakat
rencana pembangunan masjid maka bantuan dari DDII akan
dicabut. Dinyatakan pula bahwa sebetulnya dana bantuan
tersebut tidak langsung datang dari DDII, tapi dari donatur
yang disalurkan melalui DDII. Ini kelihatannya penting untuk
dijelaskan sebagai bentuk penegasan akan netralitas DDII.
Dalam arti syarat untuk tidak boleh melakukan amalan-amalan
yang dianggap bidah, misalnya, pujian setelah azan, menabuh
beduk, wiridan dengan suara keras bukanlah berasal dari DDII
sendiri, melainkan dari para donatur.
Suwito kemudian menimpali penjelasan tersebut dengan
menyatakan bahwa memang orang-orang Sambi minta bantuan
ketika hendak membangun Masjid Baitul Mukminin. Sekalipun
demikian, mereka juga tetap mengeluarkan biaya sendiri berdasarkan kemampuannya, misalnya, iuran Rp 100.000 per
orang, mengumpulkan kayu dan batu kali. Karena dihitung
masih belum mencukupi untuk menyelesaikan pembangunan
masjid, maka mereka minta bantuan ke pihak lain.
Terkait dengan persyaratan dari pihak donatur sebagaimana yang dinyatakan Juwaini tersebut, Suwito menyatakan
bahwa hendaknya persatuanlah yang harus dijaga. Jika sebuah
104 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
bantuan justru menjadikan perpecahan, maka sebaiknya tidak
usah diterima. Lebih baik umat Islam Sambi membangun masjid dengan modal sendiri. Jika belum cukup mereka bisa mencari bantuan asal tidak mengikat. Yang penting adalah masjid
bisa dimanfaatkan bersama tanpa menghalangi sebagian kelompok untuk beribadah sesuai dengan keyakinan ajarannya. Misalnya, ketika imamnya DDII, imamnya tidak wiridan, tapi tidak
harus menghalangi orang lain yang wiridan. Begitu sebaliknya.
Tentang pujian setelah azan, Suwito mengatakan bahwa sekarang ini hampir semua masjid NU di Klepu tidak ada yang
melakukan puji-pujian sehingga masalah itu tidak relevan dibicarakan panjang lebar. Yang penting adalah saling menghormati dan menghargai sehingga bisa tercipta suasana guyubrukun seperti semula.
Istilah “rukun” memang menjadi istilah yang sering disebut dalam pertemuan tersebut. Terkait dengan rukun itulah
Suwito mengingatkan bahwa sebagian besar orang-orang yang
bersengketa ini terhubung dalam sebuah jalinan kekerabatan.
Mereka harus dijaga kesatuannya daripada mengutamakan bantuan dari luar tapi berakibat pada perpecahan. “Kalau mereka
punya masalah, apakah mereka akan lari ke DDII Ponorogo?
Tentu mereka akan minta bantuan ke saudaranya sendiri yang
hidup berdampingan dengannya,” jelas Suwito.
Menanggapi penjelasan panjang lebar tersebut, Juwaini
menyatakan bahwa kalau memang bantuan ini tidak diterima,
maka bantuan ini akan ditarik kembali karena bantuan ini memang bersyarat. Sekali lagi dia menyatakan, persyaratan tersebut tidak datang dari DDII. Tidak bisa dipungkiri bahwa sekalipun tidak terdengar suara-suara bentakan, namun aura
ketegangan jelas sekali dirasakan semua orang. Suwito menilai
bahwa penjelasan pihak DDII tersebut tidak konsisten. Dia
mempertanyakan, jika DDII tidak memiliki aturan tertentu
TRAGEDI KABEL MIK 105
dalam masalah peribadatan, mengapa orang-orang DDII, termasuk Munawar, seorang dai DDII yang secara langsung menjadi penyebab sengketa muslim Sambi, justru sangat getol
menekankan persyaratan tersebut yang berakibat pada konflik
dan keterpecahan umat muslim Sambi hingga saat ini. Jika
DDII tidak bertanggung jawab atas persyaratan tersebut, lalu
apakah Munawar bertindak tidak mewakili DDII?
Suwito mengingatkan, yang menyulut sengketa adalah
DDII. Suwito mengingatkan, Pak Wo (sebutan untuk kepala
dusun) Sambi sudah berkali-kali melakukan pendekatan kepada
Munawar ketika konflik masih di tahap awal dengan tujuan
agar jemaah Masjid Baitul Mukminin tetap bersatu seperti
semula, tapi sama sekali tidak dihiraukan Munawar.
Peserta pertemuan yang memang sejak awal sudah terbelah menjadi dua sampai di penghujung pertemuan juga tetap
menunjukkan posisinya masing-masing. Orang-orang yang sejak
awal memang kontra-DDII menyepakati untuk membangun
masjid dengan biaya sendiri dan kembali bersatu seperti sebelum ada konflik. Masalah perbedaan paham antarkelompok
biarlah itu dibicarakan di kelompok masing-masing, sedang di
masjid semua orang menjadi satu.
Sementara, pihak DDII berkesimpulan bahwa keputusan
terbaik memang harus berpisah. Keputusan yang diambil DDII
ini bisa dipahami karena memang dana bantuan yang dibawanya memiliki persyaratan tertentu yang tidak mungkin dijalankan jika masjid itu digunakan bersama karena di dalamnya
akan ada praktik-praktik peribadatan yang bertentangan dengan
persyaratan tersebut.
Dalam pertemuan tersebut, pihak DDII juga terkesan
menuduh bahwa ahli waris wakif ingin mengambil kembali tanah wakaf Mbah Sulni. Suwito, yang secara spontan menjadi
juru bicara orang-orang yang kontra-DDII yang sebagian besar
106 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
adalah ahli waris wakif, terlihat kesal dengan pernyataan pihak
DDII.42 Dengan suara yang agak meninggi, dia menjelaskan
bahwa konflik Sambi bukan tentang ahli waris meminta kembali tanah wakaf, tapi tentang penggunaan tanah wakaf yang
tidak sesuai dengan keinginan wakif.
Akhirnya, Andi Suwito, salah seorang peserta pertemuan
dari pihak DDII menyatakan, jika jemaah lain tidak bisa diajak
kompromi, maka DDII akan pindah. Bukan keputusan pindah
ini yang dijengkelkan oleh orang-orang non-DDII yang ada di
Sambi, tapi sikap orang-orang DDII yang selalu menyalahkan
pihak lain sebagai pihak yang tidak mau berkompromi itulah
yang terasa menyakitkan. Padahal, sejak tadi orang-orang nonDDII ingin kembali rukun seperti semula, tapi justru DDII-lah
yang tidak mau membangun hubungan agar kembali baik
seperti sedia kala.
Tapi memang keputusan untuk pindah atau tidak sangat
tergantung pada pihak DDII karena merekalah yang membawa
dana bantuan. Pihak DDII membuat keputusan: pindah. Juwaini kemudian bertanya, “Jika pindah, apakah sudah ada tanahnya?” Terlihat sekali bahwa pertanyaan tersebut tidak memerlukan jawaban karena si penanya sudah tahu bahwa
Penilaian pihak DDII bahwa ahli waris wakif meminta tanah wakaf
kembali sudah saya perbincangkan beberapa hari sebelum pertemuan tersebut
saat saya menemui Karsi. Dia menyatakan bahwa pembangunan masjid lama
terpaksa dihentikan karena dilarang keluarga wakif. Menurut Karsi, ahli waris
ingin meminta kembali tanah wakaf tersebut karena dulu tanah itu diwakafkan
untuk ahli waris. Penjelasan Karsi ini jelas tidak sesuai dengan keinginan
Mbah Yoto sebagai ahli waris yang paling menentang pembangunan masjid
lama oleh DDII. Dia sama sekali tidak meminta tanah wakaf kembali, yang
dia inginkan adalah agar masjid tersebut difungsikan seperti semula, di mana
pujian, tahlilan, menabuh beduk, barzanji, dan sebagainya boleh dilaksanakan.
(Wawancara dengan Karsi dan Mbah Yoto secara terpisah, 9 Maret 2008).
42
TRAGEDI KABEL MIK 107
jawabannya adalah sudah tersedia tanah.43 Tanah yang disediakan untuk membangun masjid baru dari dana bantuan bersyarat yang disalurkan melalui DDII tersebut terletak di dekat
rumah Andi Suwito.
Juwaini kemudian menegaskan bahwa kalau memang
tanah sudah ada, maka pembangunan harus segera dikerjakan
karena jangka waktu yang ditentukan oleh donatur sudah terlambat tujuh belas hari. Donatur menghendaki agar dalam tiga
bulan, pembangunan masjid harus sudah selesai. Karena sudah
terlambat tujuh belas hari, maka waktu yang tersisa tinggal
dua bulan dua belas hari. Oleh karena itu, maka orang-orang
harus bekerja siang-malam sehingga selesai tepat waktu.44
Beberapa hari sebelum pertemuan, saya mendapat informasi dari Karsi
bahwa pihak DDII sudah menyiapkan tanah untuk membangun masjid baru
jika tidak ada solusi seperti yang mereka harapkan. (Wawancara dengan
Karsi, 9 Maret 2008). Informasi ini dibenarkan Suwito. Dua hari sebelum
pertemuan, rencana DDII untuk pindah ke lokasi baru itu sudah clear. Pertemuan hari Rabu itu hanya untuk memperjelas sikap ahli waris dan/atau
orang-orang non-DDII. Jadi, sebelumnya sudah ada keputusan untuk pindah
tempat. Informasi ini didapatkan Suwito dari salah seorang kawannya di
Sambi, Sarnun, yang mencuri dengar pembicaraan antara Karsi dengan pengurus DDII Ponorogo melalui telepon. Dalam pembicaraan tersebut,
tampaknya pengurus DDII Ponorogo mempertanyakan dukungan dari Kepala
KUA Sooko dan Kepala Dusun Sambi yang kemudian dijawab oleh Karsi
bahwa yang pertama tidak mendukung, sedang yang terakhir bisa dikatakan
sudah pro-DDII. (Wawancara dengan Suwito, 20 Maret 2008).
44
Saya sendiri tidak mengikuti pertemuan tersebut, tapi beberapa hari
sebelumnya saya sudah mendengar rencana pertemuan itu dari Karsi. Seluruh
rangkaian cerita di atas saya dasarkan pada hasil wawancara saya dengan Suwito yang terlibat langsung dalam pertemuan tersebut. (Wawancara dengan
Suwito, 20 Maret 2008).
43
108 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
G. Bantuan DDII dan Lugunya Muslim Klepu
Berdasarkan penuturan Modin Sukidi,45 kisah konflik
Sambi bermula dari bantuan dana DDII untuk pembangunan
masjid di Klepu. Dengan uang yang dimiliki, DDII mencari
orang yang mau mewakafkan tanahnya untuk membangun
masjid. Dari sinilah lahir Masjid Baitul Mukminin Sambi di
atas tanah wakaf Sulnomo atau yang biasa dipanggil Mbah
Sulni. Mbah Sulni menyerahkan tanahnya ke Sukidi sebagai
nazir desa. Setelah tanah tersebut resmi diwakafkan untuk pembangunan masjid, DDII dengan bantuan penduduk lokal kemudian membangun masjid yang diberi nama Baitul Mukminin.
Pada awalnya, tidak ada masalah sama sekali dengan
orang-orang yang berjemaah di masjid tersebut. Orang-orang
tidak mempermasalahkan tentang aliran-aliran dalam Islam.
Yang menjadi kesadaran umum adalah bahwa mereka beragama
Islam. Secara umum, bagi kebanyakan orang Klepu sendiri,
keislaman tidak menjadi basis identitas seseorang dalam menandai dirinya dalam kaitannya dengan orang atau kelompok
lain. Keberislaman bisa dikatakan sama sekali tidak memiliki
konsekuensi sosial apapun. Sementara, orang-orang muslim
Klepu yang masuk dalam kategoi santri—paling tidak ditandai
dengan kerajinan mengerjakan salat lima waktu—tidak mengidentifikasi dirinya berdasarkan afiliasinya pada ormas keislaman
tertentu, misalnya, NU, Muhammadiyah, atau ormas yang
lain. Bahkan, orang seperti Mustakim, Ketua Takmir Masjid
Desa Klepu, bisa dianggap sebagai kiai desa, yang pernah aktif
di Gerakan Pemuda Anshor pada masa Orde Lama,46 juga
lebih menekankan keislaman tanpa embel-embel apapun.
Wawancara dengan Sukidi, 20 Maret 2008.
Dia menyebut dirinya ahl al-sunnah wa al-jama’ah, maksudnya, dia
melakukan amal ibadah seperti yang dilakukan orang-orang NU.
45
46
TRAGEDI KABEL MIK 109
Oleh karena itu, ketika DDII masuk ke Desa Klepu, tidak pernah menemui persoalan tentang perbedaan-perbedaan
ajaran. Masyarakat muslim Klepu menyambut masuknya DDII
sebagai bagian dari saudara muslim yang hendak membantu
peningkatan mutu kehidupan keberagamaan Islam di situ. Tidak ada orang yang mempertanyakan corak keislaman DDII
karena itu tidak masuk dalam imajinasi keberIslaman mereka.
Bagi kebanyakan muslim Klepu, Islam adalah seperti yang
mereka praktikkan selama ini. Bahwa tahlilan, wiridan, pujian,
menabuh beduk, dan sebagainya adalah bagian dari praktik
keislaman yang absah. Kalaupun mereka jarang pujian, misalnya, bukan karena itu semua haram atau bidah, tapi karena
sedang tidak ingin mengerjakan saja. Bagi sebagian kecil orang
yang mengetahui adanya perbedaan antara NU dan DDII, maka perbedaan itu akan dikesampingkan karena yang paling
penting adalah membangun kehidupan keislaman di Klepu
untuk mengimbangi Katolik. Keharmonisan ini tetap terjaga
karena dai-dai DDII juga tidak mengajarkan Islam yang berbeda dari yang selama ini dipraktikkan. Kalaupun mereka mengajarkan sesuatu yang berbeda, itu dilakukan tanpa ada celaan yang menimbulkan ketidaksukaan orang lain.47 Keadaan
Hampir semua masjid atau musala di Klepu tidak mengumandangkan
pujian setelah azan, tidak melakukan wiridan dengan suara keras setelah salat
berjemaah, tidak menabuh beduk, azan sekali pada saat salat Jumat, dan
berbagai hal yang biasanya menjadi identitas dari masjid kaum puritanis.
Mengingat bahwa DDII adalah kalangan awal yang secara serius melakukan
misi dakwah Islam di Klepu, maka bisa diduga kuat bahwa ini adalah pengaruh
dari DDII yang merupakan salah satu organisasi Islam dengan corak keislaman
puritanis. Sekalipun demikian, praktik-praktik ini tidak kemudian menjadikan
masjid tersebut berubah identitasnya menjadi masjid DDII. Jemaah masjid
tersebut menjalankan hal-hal itu tidak dengan kesadaran aliran, tapi sekedar
menjalankan begitu saja. Kalau mereka menemukan perbedaan, itu tidak
akan menjadi persoalan yang terlalu dipikirkan. Hanya kalangan santrilah
47
110 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
terus berjalan seperti itu sampai datanglah tragedi itu. Tragedi
yang melibatkan antara Munawar sebagai dai DDII dan Mbah
Yoto, muslim lokal.
H. Munawar dan “Tragedi Kabel Mik”
Sosok Munawar perlu untuk diungkap karena dialah yang
menjadi penyebab langsung dari konflik umat Islam Sambi
terpecah. Laporan lisan penduduk setempat menyatakan, dia
berasal dari Paciran, Lamongan, sebuah wilayah yang bisa dikatakan sebagai basis Muhammadiyah di Jawa Timur. Sangat
mungkin, Munawar lebih dekat kepada Muhammadiyah.
Seperti para dai DDII sebelumnya, pada awal kedatangannya, Munawar bertempat di rumah Modin Sukidi. Dia hanya
satu tahun tinggal bersama Sukidi, untuk selanjutnya dia pindah ke Dusun Klepu, tepatnya di rumah Bayan Suraji. Bayan
Suraji adalah saudara ipar Suwito, ketua ranting NU Desa Klepu. Cerita lisan beberapa orang mengisahkan bahwa Munawar
tidak cukup memiliki kemampuan untuk membangun relasi
kemasyarakatan secara baik dengan orang-orang di dekatnya.
Bahwa adalah sebuah standar tatakrama desa bagi seseorang yang tinggal di rumah orang lain, dia akan sesekali
“membantu” pekerjaan tuan rumah. Kata “membantu” di sini
tidak mesti dalam pengertian yang sesungguhnya, tapi sekedar
menunjukkan sikap bahwa orang tersebut menjadi bagian dari
keluarga tuan rumah, di mana dia juga merasa bertanggung
jawab atas hal-hal yang sedang dikerjakan tuan rumah. Agaknya, Munawar tidak cukup memiliki sensitivitas dalam masalah
ini sehingga pergaulannya dengan tuan rumah yang ditempati
yang akan memikirkan itu semua. Para jemaah ini adalah orang-orang biasa
yang sudah untung mau menjalankan ibadah salat.
TRAGEDI KABEL MIK 111
agak tidak baik. Ketika dia pindah ke Dusun Klepu dan bertempat di rumah Suraji, kisah yang sama juga terjadi.
Pada awalnya orang-orang Dusun Klepu berharap, keberadaan Munawar akan membantu Islam di Dusun Klepu. Akan
tetapi, dia tidak cukup bisa menarik simpati orang-orang di
situ. Akhirnya, dia pindah ke Dusun Sambi dan bertempat
tinggal di salah satu ruangan gedung TK Perwanida, ruangan
yang dibangun oleh Pesantren Gontor yang memang diperuntukkan bagi dai-dai DDII yang datang dari luar.
Waktu di Sambi inilah bisa dikatakan Munawar memiliki
“wilayah dakwah” yang jelas. Keberadaan Munawar di Sambi
terlihat seperti seorang kiai yang langsung mengampu masjid
yang dibangun organisasinya sendiri. Dai yang baru mengawali
tugasnya ini mewarisi kebijaksanaan para pendahulunya, yaitu
tidak membawa aliran Islam tertentu. Dalam arti bahwa dia
tidak melarang praktik-praktik keislaman yang sudah dijalankan
oleh masyarakat muslim Sambi seperti pujian, menabuh beduk
atau membaca barzanji, sekalipun hal-hal tersebut tidak selalu
dikerjakan. Bahkan, Munawar juga mengikuti kegiatan tahlilan
rutin.
Sekalipun demikian, bukan berarti tidak ada sikap-sikap
Munawar yang potensial untuk menciptakan konflik sosial berdasarkan perbedaan paham. Di samping karena sifatnya yang
kurang bisa bergaul berdasarkan tatakrama masyarakat Desa
Klepu, lama kelamaan dia memperlihatkan secara terangterangan ketidaksukaannya terhadap berbagai praktik yang dianggapnya bidah. Dia tidak mau lagi ikut tahlilan, kundangan
atau selametan. Beberapa kali ketika mendatangi kundangan,
dia tidak mau makan dan tidak mau membawa pulang berkat,
makanan yang disiapkan tuan rumah. Perilaku ini jelas menyinggung yang punya hajat dan mulai menciptakan keretakan
112 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
antara dirinya dengan orang-orang lain48 Seiring dengan semakin terbukanya sikap Munawar, dia mulai menerapkan aturan
tentang apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan di Masjid
Baitul Mukminin. Sikap Munawar ini jelas menciptakan bibit
konflik di antara muslim Sambi, terutama yang berjemaah di
Masjid Baitul Mukminin.49
Mengerasnya sikap Munawar itu terjadi sekitar lima tahun yang lalu, yaitu pada saat jemaah bersepakat untuk merenovasi masjid. Kepanitiaan sudah dibentuk dan masyarakat
iuran Rp 100.000 serta mengumpulkan batu kali dan kayu.
Tapi, rencana renovasi masjid akhirnya tidak kesampaian karena ada insiden antara Munawar dan Mbah Yoto yang menyebabkan perpecahan. Sebagian orang memisahkan diri dari masjid lama dan mendirikan masjid baru, Darussalam. Orang- orang
yang mendirikan masjid baru ini dipimpin oleh Mbah Yoto,
salah seorang putra Mbah Sulni.
Sebagaimana yang diceritakan Mbah Yoto bahwa insiden
tersebut adalah sebagai berikut: Suatu hari, dia mengalunkan
pujian setelah azan sambil menunggu para jemaah salat berkumpul. Tiba-tiba, kabel mik dicabut Munawar sehingga suara
Mbah Yoto yang sedang pujian tidak masuk ke dalam loud
speaker. Tindakan Munawar ini jelas menyakitkan tidak hanya
kepada Mbah Yoto pribadi, tapi juga orang-orang yang melihat
kejadian itu. Tindakan Munawar tersebut dinilai sangat tidak
sopan dan mencederai tatakrama kehidupan bermasyarakat.50
Mbah Yoto dan orang-orang lain yang marah kemudian
menunjukkan sikap penentangan terbuka kepada Munawar.
Wawancara dengan Agung Santoso, Kepala Desa Klepu, 12 Februari
2008.
49
Sebelum terjadi perpecahan, di Dusun Sambi ada sebuah masjid dan
tiga musala: Baitul Mukminin, At-Taqwa, Sabilussalam, dan Al-Furqon.
50
Wawancara dengan Mbah Yoto, 9 Maret 2008.
48
TRAGEDI KABEL MIK 113
Mereka kemudian keluar dan salat jemaah di rumah almarhum
Mbah Sulni. Berdasarkan cerita orang-orang yang tahu peristiwa tersebut, situasi saat itu sangat ramai dan tegang. Orangorang secara terbuka mengeluarkan perasaan ketidaksukaan terhadap Munawar, tidak hanya tindakan Munawar terhadap Mbah
Yoto tapi juga terhadap sikap-sikap Munawar selama ini.
Peristiwa pemutusan kabel mik yang membangkitkan kemarahan orang-orang Sambi tersebut sebetulnya hanyalah sebuah triger untuk meletupkan perasaan orang-orang terhadap
Munawar. Sikap ketidaksenangan Munawar secara terbuka dan
larangannya pada pujian, menabuh beduk, tahlilan, kundangan,
barzanji, dan lain sebagainya telah memunculkan resistensi
umat muslim Sambi sekalipun resistensi tersebut selama ini
hanya dipendam dalam hati.
Salah satu cerita Mbah Kasno berikut dapat mewakili
bentuk resistensi ini, “Suatu saat saya menabuh beduk. Saya
mau dipukul Pak Munawar dengan penabuh beduk yang baru
saya pakai. Saya diam saja, tapi saya niati dalam hati, kalau
saya jadi dipukul, saya sebisanya akan membalas. Tapi, saya
tidak jadi dipukul.”51
Perasaan di hati Mbah Kasno ini adalah gambaran umum
dari orang-orang Sambi yang merasa kesal terhadap perilaku
dakwah Munawar. Menabuh beduk adalah hal yang biasa saja
dilakukan, terutama pada saat bulan Ramadhan. Oleh karena
itu, bisa diduga bahwa perasaan kecewa itu mengendap di hati
banyak orang sekian lama. Perasaan itu seakan tinggal mencari
momentum untuk diledakkan. Dan, momentum itu datang
ketika Munawar dianggap melecehkan Mbah Yoto, orang lokal
yang mereka hormati.
Ada dua orang yang bernama Kasno. Dalam tulisan ini, Kasno muda
ditulis dengan nama Pak Kasno, sedang Kasno tua ditulis dengan nama Mbah
Kasno. Pengakuan di atas datang dari Kasno tua. (Wawancara pada 9 Maret
2008).
51
114 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Ketersinggungan orang-orang atas tindakan Munawar bisa
dipahami karena Mbah Yoto adalah putra Mbah Sulni (wakif)
yang selama ini dituakan. Dia bisa dikatakan penduduk asli
Sambi yang menjadi panutan. Dialah yang babad Islam di Sambi. Dialah yang mengajari salat orang-orang Sambi pascaperistiwa G30S di saat suasana politik mengharuskan orang-orang
yang mengaku muslim berperilaku berdasarkan standar santri,
yang itu berarti harus, minimal, menjalankan salat lima waktu.
Mbah Yoto dan beberapa orang didikannya adalah cikal-bakal
muslim santri di Sambi. Dia menjadi imam salat dan memimpin kegiatan tahlil di lingkungannya. Ketika Munawar sudah
bertugas di Sambi, Mbah Yoto masih menjadi imam salat, terutama kalau Munawar sedang tidak ada di tempat. Tidak
mengherankan jika tindakan kasar Munawar tadi membuat banyak orang yang mengetahui secara langsung maupun mendengar peristiwa itu menjadi marah.
Orang-orang seakan mulai tersadar akan perbedaan antara
dirinya dengan Munawar. Mereka mempertanyakan apakah
Munawar orang NU ataukah Muhammadiyah. Isu NU-Muhammadiyah ini jelas menjadi bagian dari isu Sambi. Bagi orang
Sambi, ketidakmauan seseorang terhadap tahlil, barzanji, menabuh beduk, wiridan keras habis salat, selametan, dan sebagainya adalah orang Muhammadiyah karena itulah ciri-ciri keMuhammadiyahan yang mereka tahu. Muhammadiyah di sini
tidak harus dimengerti sebagai organisasi, namun identitas budaya. Sebagaimana ke-NU-an bagi mereka tidak selalu bermakna organisasi, tapi identitas kultural. Penentangan terhadap
Munawar terlihat semakin berani dengan mulai terdengarnya
suara-suara yang menghendaki Munawar untuk keluar dari
Desa Klepu, khususnya, Dusun Sambi.52
52
Wawancara dengan Karsi, 9 Maret 2008.
TRAGEDI KABEL MIK 115
Perlu dinyatakan, sekalipun pada saat peristiwa tersebut
terjadi, hampir semua jemaah Masjid Baitul Mukminin menentang Munawar, namun lambat laun sebagian dari mereka kembali salat di masjid lama yang masih diimami Munawar. Akan
tetapi, jemaah yang kembali salat di masjid lama tidak otomatis mengikuti DDII.
Ada banyak alasan mengapa mereka tetap salat di masjid
lama. Salah satunya adalah tidak ingin menerlantarkan tanah
wakaf Mbah Sulni yang memang untuk masjid. Alasan ini terutama dikemukakan oleh sebagian ahli waris Mbah Sulni yang
tidak mengikuti Mbah Yoto. Alasan melestarikan tanah wakaf
keluarga di atas berkelindan dengan alasan lain, yaitu keluar
berarti kalah.
Sebagian besar yang kembali beralasan karena memang
itu adalah masjidnya di mana mereka biasa menjalankan salat.
“Kalau tidak di situ, kemana lagi harus salat,” tampaknya menjadi alasan sebagian besar jemaah yang kembali. Sebagian besar
mereka tetap tahlilan dan melakukan selametan. Kelompok ini
sangat berkehendak untuk tetap bersatu seperti yang sudah ada
selama ini. Kelompok ini terkesan mengalah asalkan tetap terjaga kerukunan bersama.
Apapun alasan yang berkembang, fakta di lapangan adalah
bahwa umat muslim Sambi telah terpecah. Kelompok yang
keluar akhirnya membangun masjid sendiri, Masjid Darussalam,
yang terletak di atas tanah Kasno, seberang jalan depan rumah
Mbah Yoto, yang berjarak sekitar 200 meter dari masjid lama.
Jemaah yang dulu bersatu kini semakin tegas terbelah menjadi
dua dengan menempati masjid sendiri-sendiri. Jemaah masjid
lama dipimpin oleh Karsi dan Sutrisno, dua orang lokal yang
menjadi penerus Munawar.53 Yang berjemaah di masjid lama
Menurut pengakuan Karsi, yang bisa disebut sebagai penerus DDII
adalah dia dan Sutrisno. Sutrisno sebetulnya tidak langsung menjadi dai DDII,
53
116 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
ada sekitar 10 orang. Jemaah masjid baru yang berjumlah sekitar enam orang diketuai Mbah Yoto.54
Kenyataan seperti ini akhirnya membentuk solidaritas
kelompok masing-masing (ingroup solidarity). Jemaah masjid
baru menilai kelompok yang kembali sebagai orang-orang
DDII, minimal tidak konsisten dengan sikap awal. Sementara
kelompok yang kembali, sekalipun pada awalnya apatis dengan
masalah ajaran, pada akhirnya mereka merasa perlu untuk mendefinisikan identitas dirinya dalam berhadapan dengan kelompok Mbah Yoto. Kebutuhan akan identitas inilah yang kemudian lambat laun di antara mereka ada yang mengikuti ajaran
DDII.
Kisah Katemin barangkali bisa menjadi ilustrasi yang tepat. Dia adalah muslim awam sebagaimana kebanyakan muslim
Sambi yang tidak sungguh-sungguh tahu seluk-beluk perbedaan
ajaran. Pada saat peristiwa “tragedi kabel mik”, dia membela
Mbah Yoto dan memaki-maki Munawar. Lambat-laun dia kembali berjemaah di masjid lama, bahkan sekarang bisa dikatakan
menjadi pengikut dan pembela DDII. Orang ini jelas menjadi
tapi dia adalah dai dari BDI (Badan Dakwah Islam) Pertamina. Tapi keduanya
memiliki kerjasama. Pengangkatan Sutrisno yang dilakuukan dua tahun lalu
justru karena Munawar mau dipindah tugas keluar Klepu. Sehingga pengangkatan Sutrisno dilakukan untuk menjadi partner Karsi yang sudah resmi
mendampingi Munawar sejak tahun 1990-an dalam menjalan misi dakwah
yang sudah dilakukan oleh DDII selama ini. (Wawancara dengan Karsi, 9
Maret 2008). Karsi adalah seorang bapak muda lulusan Pondok Modern
Gontor, sedang Sutrisno adalah seorang pemuda lulusan Pesantren Maskumambang Gresik.
54
Jumlah ini tidak menunjukkan bahwa saat ini yang menentang DDII
lebih kecil daripada yang mendukung atau yang apatis karena kelompok
kontra DDII pascakonflik tidak tergabung menjadi satu jemaah karena ada
sebagian kelompok yang dipimpin Sakri dan membentuk jemaah sendiri
sekalipun tidak membangun masjid sendiri.
TRAGEDI KABEL MIK 117
olok-olok kelompok Mbah Yoto. Terhadap olokan tersebut,
dia berkilah bahwa setelah dijelaskan Munawar dia akhirnya
tahu mana ajaran Islam yang benar dan mana yang salah.
Kisah Katemin di atas jelas mengindikasikan bahwa muslim Sambi yang berada dalam kubu-kubu yang berbeda membutuhkan identitas untuk menguatkan solidaritas kelompoknya
masing-masing. Kebutuhan akan identitas dalam rangka penguatan solidaritas kelompok inilah yang membuat orang-orang
yang berjemaah di masjid lama, sekalipun tidak semua dan
dalam level yang yang berbeda-beda, mulai mengikuti aturan
DDII. Bahkan, dalam beberapa hal, sudah ada yang betul-betul
pengikut DDII. Orang-orang ini biasanya sudah tidak mau ikut
tahlilan dan selametan. Kalaupun mereka selametan, mereka
menyebutnya dengan istilah sedekah dan tidak lagi dilakukan
seperti tata cara selametan pada umumnya dengan mengundang orang lain ke rumah si punya hajat, namun mengirim
makanan ke tetangga-tetangga sebelah. Ada juga yang tetap
mengundang, tapi tidak di-ujub-kan.55 Ada juga yang sudah
sama sekali tidak selametan. Ada juga yang tidak aktif ke masjid, tapi sudah tidak ikut tahlil.
Di pihak lain, Mbah Yoto dan kawan-kawan yang pada
awalnya tidak peduli dengan identitas ke-NU-annya, akhirnya
menyadari bahwa mereka adalah warga NU. Permusuhan terbuka yang diperlihatkan oleh Munawar terhadap praktik-prakPartomo sendiri menyatakan bahwa dirinya tetap melakukan tahlilan/
yasinan. Tapi kalau selametan, dia sudah mengubah ungkapan ujub. Menurutnya, tatacara ujub menurut orang kuno, kalau diteliti, memang sudah tidak
sesuai dengan ajaran Islam karena mereka mempersembahkan selametan
sampai ke danyang-danyang. Misalnya, ambeng dan ayam panggang, diujubkan
untuk “nyaosi dahar njeng nabi sak putro garwo, sak sokabate, abubakar, umar
usman lan ali”. Semua ini “diparingi dahar”. Kalau dipikir, itu adalah salah.
(Wawancara dengan Partomo, 8 Maret 2008).
55
118 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
tik peribadatan yang mereka lakukan, akhirnya membuatnya
mempertanyakan identitas dirinya berdasarkan perbedaan praktik peribadatan tersebut.
Di antara dua kelompok ini, ada orang-orang yang tidak
mempertegas identitasnya. Orang-orang tanpa identitas ini jelas menjadi target serangan kiri-kanan. Apalagi saat ini, ketika
kedua belah pihak sedang bersengketa masalah status Masjid
Baitul Mukminin.56 Kesulitan seseorang untuk menempatkan
dirinya di posisi netral bisa dimaklumi karena setiap orang,
suka atau tidak, akan dilibatkan ke dalam peta konflik. Tidak
mengherankan jika orang seperti Partomo yang menjabat sebagai kepala dusun pun merasa terjepit karena tuduhan keduabelah pihak. “Saya sendiri disudutkan dari dua belah pihak
sehingga saya kesulitan menempatkan posisi,” gerutunya.57
Perlu dijelaskan bahwa sekalipun Mbah Yoto, dkk. sudah membangun
masjid sendiri, namun status masjid lama tidak dengan sendirinya dimiliki
oleh DDII karena kelompok yang keluar tetap tidak merelakan masjid tersebut
berstatus masjid DDII. Karena situasi inilah, maka ketika jemaah masjid lama
merobohkan dan hendak membangunnya dengan dana “bantuan” DDII, niat
ini dilawan oleh jemaah masjid baru karena mereka masih merasa memiliki
masjid itu. Beberapa hari sebelum pertemuan Rabu, 12 Maret 2008 tersebut,
sebagaimana yang dikisahkan di atas, hampir terjadi gegeran antarkedua belah
pihak.
57
Sekalipun Partomo berusaha menjaga posisi netralnya, namun dia lebih
bisa diterima di jemaah masjid lama karena letak masjid lama tepat berada
di belakang rumahnya, dan dia selama ini juga tetap berjemaah di masjid lama
sekalipun dengan alasan ingin tetap melestarikan wakaf Mbah Sulni yang
merupakan mertuanya. Ketika terjadi konflik pembangunan masjid saat ini,
dia sangat terjepit. Sebagai salah seorang jemaah, dia tidak mungkin menolak
permintaan bantuan kayu oleh panitia pembangunan. Hal ini membuat jemaah
masjid baru menuduhnya sebagai orang yang memelopori pembangunan
masjid karena menurut mereka, tanpa Partomo, jemaah yang lain tidak
mungkin berani merobohkan masjid. Mereka meminta Partomo selaku kepala
dusun untuk menghentikan pembangunan masjid, tapi dia tidak bisa bertindak
56
TRAGEDI KABEL MIK 119
Partomo mengatakan, ia telah berusaha untuk menyatukan kembali, sampai mendatangai DDII Surabaya, namun tidak
berhasil sehingga mereka jalan sendiri-sendiri.58 Hal tersebut
menggambarkan bagaimana konflik di sebuah masjid kecil,
sama sekali tidak megah, di suatu dusun yang untuk sampai
ke sana dibutuhkan waktu sekitar satu jam dari pusat kota Ponorogo, ternyata sampai melibatkan orang-orang di Surabaya.
Di Ponorogo sendiri, konflik Sambi ini telah melibatkan
Depag, MUI, NU, dan DDII. Muspika Sooko juga harus
terlibat dalam masalah ini.
Setelah peristiwa “tragedi kabel mik” di atas, Beberapa
tokoh Islam Klepu mengadakan pendekatan ke Munawar.
“Saya katakan pada DDII, kalau kamu membolehkan orang
tahlil di sini, tidak mesti setahun ada yang tahlil di sini,
mengapa tidak boleh,” jelas Partomo yang kemudian ditimpali
oleh Pamuji, “Itulah yang membuat emosi”.59
Setelah pendekatan secara kekeluargaan tidak berhasil,
mereka mengadu ke DDII Ponorogo yang intinya adalah mempertanyakan tentang dakwah Munawar yang menyentuh masalah khilafiyah dan meminta DDII agar tidak menempatkan
Munawar di Klepu. Jawaban pihak DDII Ponorogo saat itu
sangat simpatik sehingga perwakilan pulang dengan optimisme
yang menggebu-gebu. Mereka yakin Munawar akan segera dipindah dan keadaan akan kembali seperti semula. Akan tetapi,
keyakinan itu segera berubah menjadi kekecewaan karena
Munawar sendiri memberi laporan kepada DDII berdasarkan
versinya dan DDII kini justru mendukung Munawar untuk
melanjutkan misi dakwahnya di Desa Klepu, khususnya di
apapun, baik melarang maupun menyuruh. Yang bisa dilakukannya hanya
diam. (Wawancara dengan Partomo, 8 Maret 2008).
58
Wawancara dengan Partomo, 8 maret 2008.
59
Wawancara dengan Partomo dan Pamuji, 8 Maret 2008.
120 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Masjid Baitul Mukminin Sambi. Upaya memindah Munawar
gagal total dan dimulailah kisah konflik terbuka yang semakin
lama semakin beridentitas: Konflik NU-DDII.
Menurut pengakuan Lurah Agung, beberapa hari setelah
pengaduan muslim Sambi ke DDII, dia mendapat undangan
dari kecamatan Sooko untuk menyelesaikan kasus Munawar.
Termasuk orang yang diundang ke kecamatan adalah Partomo
(Kepala Dusun Sambi), Suwito (Ketua NU Ranting Desa
Klepu), Mustakim (Ketua Takmir Majid Desa Klepu), dan
Sakri (salah seorang tokoh warga NU Sambi). Orang-orang ini
memang sejak awal terlibat dalam upaya pemindahan Munawar
dari Klepu.
Ada cerita tertentu di balik pertemuan di kecamatan tersebut. Setelah orang-orang Sambi mengadu ke DDII Ponorogo
untuk memindah Munawar, Istiqom, Kepala KUA Sooko yang
sekaligus sekretaris DDII Ponorogo, membuat surat ke beberapa instansi. Surat itu berisi keterangan bahwa Munawar diusir oleh orang-orang yang namanya tertera dalam surat tersebut. Orang-orang itu adalah Partomo, Suwito, Sakri, dan
Mustakim. Surat tersebut dikirim ke Cabang Dinas Pendidikan
Ponorogo karena Suwito dan Sakri adalah guru negeri, ditujukan ke kelurahan dan kecamatan karena Partomo adalah
kepala dusun, dan ke Depag karena Mustakim adalah Petugas
Pencatat Nikah (PPN). Rupanya hanya Depag yang sungguhsungguh merespon surat tersebut. Depag memanggil Mustakim
untuk mengklarifikasi isi surat tersebut.
Pada awalnya, keterlibatan Mustakim dan Suwito lebih
dikarenakan mereka adalah pengurus takmir masjid desa. Mustakim menjadi ketua umum, sedangkan Suwito menjabat ketua
satu. Takmir masjid desa berusaha menyelesaikan konflik Sambi melalui cara yang dianggap prosedural. Yaitu, karena ini
masalahnya DDII, maka persoalan dikembalikan ke DDII biar
TRAGEDI KABEL MIK 121
mereka yang menyelesaikan. Upaya ini ternyata menemui
kegagalan.
Imbas dari kegagalan ini adalah macetnya takmir masjid
desa sebagai sebuah organisasi Islam tertinggi tingkat desa.
Takmir masjid desa yang semula efektif menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi muslim Klepu, kini tidak lagi fungsional karena masing-masing unsur memiliki garis komandonya
sendiri-sendiri.
Dalam pertemuan di kecamatan tersebut dijelaskan bahwa
ada surat dari Depag Ponorogo yang berisi rekomendasi untuk
menyelesaikan kasus Munawar. Pertemuan ini sendiri gagal
menyelesaikan kasus Munawar. Depag kemudian langsung berusaha mencari jalan keluar dengan melibatkan MUI, NU,
DDII, dan tokoh tokoh Islam Klepu, tapi tetap menemui jalan
buntu. Munawar bersikeras bahwa tugasnya datang dari DDII
sehingga hanya DDII-lah yang menentukan kapan selesai
tugasnya.
Pernah juga difasilitasi oleh Kiai Maksum (pengasuh Pesantren Arrisalah Ponorogo) untuk mempertemukan kedua
belah pihak yang bertikai dengan DDII Wilayah di Surabaya.
Di pertemuan tersebut, pihak DDII wilayah berjanji akan datang ke Ponorogo untuk berembuk secara baik-baik guna mencari solusi agar umat muslim Sambi bisa seperti semula. Akan
tetapi, tidak ada tindakan apapun untuk menyelesaikan konflik
Sambi. Janji akan diadakan pertemuan lagi di Surabaya untuk
membahas masalah yang sama juga tidak terealisasi. Tidak ada
penyelesaian apapun sampai akhirnya umat muslim Sambi betul-betul terpisah menjadi dua kubu yang menempati masjidnya sendiri-sendiri.60
60
Wawancara dengan Suwito, 20 Maret 2008.
122 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Munawar sendiri kemudian tidak lagi melanjutkan dakwahnya di Klepu sejak tahun 2007. Hampir semua orang tidak
tahu pasti tentang keberadaan Munawar sekarang, apakah dia
sudah pindah tugas ataukah hanya pergi sesaat. Ketidakpastian
ini karena selama tinggal di Desa Klepu, dia tercatat sebagai
penduduk Desa Klepu, tapi ketika keluar, dia tidak meminta
surat pindah.61
Perginya Munawar tidak berarti konflik sudah selesai.
muslim Sambi sudah terbagi menjadi dua kubu. Status tanah
wakaf Mbah Sulni tetap diperebutkan. Tidak ada kejelasan status tanah sampai ketika jemaah majid lama yang dikomandoi
oleh Karsi, dai DDII pengganti Munawar, merobohkan masjid
tersebut karena mendapatkan dana bantuan dari DDII. Perobohan masjid ini jelas mendapat reaksi yang keras dari orangorang yang selama ini kontra-DDII. Suasana yang sudah sekian
lama cooling down kini memanas kembali. Dan seperti
mengulang kisah sebelumnya, masalah ini tidak cukup sampai
di Dusun Sambi, tapi menyeret berbagai pihak di Ponorogo.
MUI, DDII, dan NU perlu mengadakan pertemuan untuk
mencari solusi terbaik.
Hari Selasa, 11 Maret 2008, sekitar pukul 14.00 WIB,
ada pertemuan di kantor DDII yang melibatkan DDII, NU
(KH. Muhatim Hasan), dan MUI (KH Anshor M. Rusydi).
Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk membentuk tim
independen yang akan mencari fakta di lapangan. Akan tetapi,
besoknya, Rabu, 12 Maret 2008, orang-orang DDII langsung
memutuskan untuk datang ke Sambi dan menyelesaikan masalah sebagaimana yang digambarkan di atas. Ahli waris wakif
sudah menunggu sejak pukul 10.00 WIB karena dikatakan
kepada mereka bahwa pengurus DDII Ponorogo akan datang
61
Penjelasan dari Kepala Desa Klepu, wawancara pada 13 Februari 2008.
TRAGEDI KABEL MIK 123
di waktu tersebut. Suwito sendiri baru datang pukul 12.30
WIB karena dia baru diundang oleh Karsi pagi hari sebelum
pertemuan tersebut dan dikatakan bahwa pertemuan akan
dilaksanakan pukul 12.30 WIB. Rombongan DDII Ponorogo
yang terdiri atas Hisyam, Wayan, dan Kiai Juwaini baru hadir
di lokasi sekitar pukul 15.15 WIB. Setelah salat Asar, pertemuan baru dimulai.62
I.
Catatan Penutup
Partomo sering berpikir sendiri. Sambil melakukan apa
saja, ia selalu berupaya cari solusi. Dia pernah dikasih tahu
seorang kiai bahwa segala macam kesulitan yang tidak bisa diputuskan dengan akal, hendaknya dikembalikan ke Allah, alQuran. Tapi dia juga berpikir, bagaimana caranya kembali ke
al-Quran.63 Cara berpikir orang seperti Partomo menunjukkan
ciri khas masyarakat tradisional di mana konflik sosial bisa diselesaikan dengan merujuk pada nilai-nilai bersama sebagai
basis integrasi sosial. Agama dipahami Partomo sebagai instrumen darimana nilai-nilai bersama tersebut berasal.
Hal yang tidak disadari Partomo adalah, dia harus mengarungi jaring-jaring hermenutis ketika ingin kembali kepada
al-Quran atau Hadis. Akan menjadi naif bagi seseorang untuk
memperlakukan agama sebagai entitas telanjang yang bisa berbunyi sendiri. Sejauh agama dijadikan sebagai rujukan untuk
menyelesaikan masalah, maka wujud agama itu ada pada kitab
suci. Berbicara tentang kitab suci, maka ia tidak berbicara
dengan dirinya sendiri. Kitab suci selalu berbicara dari sudut
pandang pembacanya.
62
63
Wawancara dengan Suwito, 20 Maret 2008.
Wawancara dengan Partomo, 8 Maret 2008.
124 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Inilah problem hermeneutis yang tidak dipahami oleh
Partomo sehingga dia terus bertanya-tanya mengapa nasihat
agung “kembali kepada Allah (al-Quran dan Hadis)” tidak bisa
diterapkan di lapangan. Suara kitab suci selalu sesuai dengan
suara orang yang membacanya. Al-Quran menyediakan dirinya
untuk menjadi pembela DDII atau NU, tergantung pada kepentingan yang menjadi stand point seorang reader. Makna kitab
suci selalu dibangun atas dasar pemaknaan reader atas teks.
Berbagai asumsi awal, sudut pandang, estimasi, dan kepentingan pembaca akan menentukan maknanya. Makna teks dilahirkan dari fusi antara the horizon of reader dan the horizon of
text. Sehingga, interpretasi tidak semata-mata mereproduksi
makna, tapi juga memproduksi makna. Dalam proses inilah
makna dimunculkan.64
Tidak harus terjebak ke dalam perspektif Marxian yang
memandang agama semata-mata epifenomenon dari kepentingan kelas penguasa (borjuis),65 tapi yang perlu disadari adalah
bahwa setiap kelompok memiliki kepentingannya sendiri-sendiri, baik kelas penguasa maupun kelas tertindas, dalam memaknai agama. Oleh karena itu, maka menurut Weber, tidak
mungkin untuk mendefinisikan agama sejak awal.66 Menjadi
tidak penting untuk mendefinisikan esensi agama karena yang
lebih penting adalah memahami fungsi agama dalam kehidupan
manusia. Ini berarti tidak mungkin melepaskan agama dari
kepentingan riil manusia dalam menjalani kehidupannya.
Berbicara tentang kepentingan kelompok, kita akan melangkah kepada pembicaraan tentang konflik sosial berbasis
Hans Georg Gadamer, Truth and Methode (London: Sheed and Ward,
1975), h. 264.
65
Lihat Karl Marx & Frederich Engels, Collected Works, vol. 3 (London:
Lawrence & Wishart, 1976).
66
Max Weber, The Sociology of Religion (Boston, MA: Beacon, 1963), h. 1.
64
TRAGEDI KABEL MIK 125
agama. Yang tidak disadari Partomo adalah bahwa agama juga
bisa menjadi sumber disintegrasi sosial. Ketika agama sudah
mewujud menjadi sebuah lembaga (organized religion), maka
agama justru akan menjadi sumber disintegrasi sosial. Setiap
kelompok agama akan memperkuat solidaritas internalnya sambil terus berusaha untuk memperluas cakupan keanggotaannya.
Ini bisa terjadi antaragama yang berbeda maupun internalagama yang sama.
Adanya kelompok yang berbeda tidak selalu mengandaikan terjadinya konflik. Konflik terjadi apabila kelompok yang
berbeda tersebut sedang berebut untuk menguasai sesuatu.
“Sesuatu” di sini bisa berupa legitimasi kepemimpinan dalam
sebuah kelompok. Legitimasi kepemimpinan ini terkait dengan
nilai-nilai. Jika nilai-nilai suatu kelompok menjadi ideologi atau
nilai yang dijadikan sumber rujukan oleh komunitas, maka kelompok tersebut (atau tokohnya) dengan sendirinya akan menjadi pemimpinan moral komunitas tersebut. Kepemimpinan
kelompok tersebut atas komunitas akan semakin kokoh.67 “Sesuatu” juga bisa berupa barang material yang kepemilikannya
sedang diperebutkan.
Alasan konflik tersebut bisa hadir sebagian atau semuanya. Studi Peter M. Blau68 menyatakan bahwa skala konflik
tergantung pada banyak tidaknya faktor yang bertentang di
antara kelompok-kelompok konflik. Konflik akan terjadi sangat
intens dan akut apabila semua unsur yang membedakan antar
kelompok tersebut hadir pada saat yang bersamaan.
Yang perlu ditambahkan di sini adalah bahwa konflik
akan intens dan akut apabila dia dimasuki oleh orang dari luar
masyarakat di mana konflik ini terjadi. Orang luar memiliki
Max Weber, The Sociology of Religion, h. 216.
Peter M. Blau, Inequality and Heteroganity: A Primitive Theory of Social
Structure (New York: The Free Press, 1977).
67
68
126 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
kepentingannya sendiri yang tidak mesti sesuai dengan kepentingan masyarakat. Kehadiran orang luar akan terus menyuntikkan kepentingan berdasarkan kelompoknya yang ini berarti
semakin memperdalam konflik. Ini berarti mempersulit upaya
damai. Kehadiran orang luar menyeret konflik dalam sebuah
masyarakat melampaui kepentingan di luar masyarakat yang
bersangkutan. Jika masyarakat berkepentingan menjaga integritas bersama, maka kepentingan orang luar adalah mendukung
kelompoknya.
Masyarakat Dusun Sambi sekalipun sudah terbagi ke dalam dua kelompok keagamaan, masih memungkinkan untuk
menyelesaikan perselisihan dengan merujuk pada sentimen
integrasi sosial karena bagaimanapun juga masyarakat Sambi
tetaplah sebuah masyarakat rural. Akan tetapi, ketika sudah
kemasukan unsur luar, merujuk pada kepentingan bersama
masyarakat secara eksklusif hampir tidak mungkin lagi bisa
dilakukan karena ini tidak semata-mata menyangkut kepentingan masyarakat Sambi, namun kepentingan kelompok yang
bertikai yang jaringannya berada di luar batas-batas geografis
dan nilai-nilai normatif masyarakat Sambi.
Di samping itu, konflik keagamaan akan terjadi jika mereka langsung terlibat dalam perebutan simbol keagamaan material yang sama. Di sini, dua kelompok keagamaan memiliki
kepentingan untuk menguasai simbol keagamaan yang sama
sehingga mereka berhadapan secara langsung. Ini dapat menjelaskan mengapa umat Katolik dan umat Islam Klepu tidak
terlibat dalam konflik terbuka, begitu juga mengapa DDII Dusun Sambi tidak berkonflik dengan NU Dusun Jogorejo. Hal
ini karena keduanya tidak berhadapan untuk memperebutkan
simbol-simbol keagamaan secara langsung.
TRAGEDI KABEL MIK 127
Mengandaikan masyarakat Sambi sebagai masyarakat urban
jelas sebuah kesalahan, tapi mempersepsi masyarakat Sambi
sebagai simple society yang terintegrasi dalam kesatuan yang
mantap juga tidak benar.69 Kehadiran DDII telah meletakkan
Sambi menjadi bagian dari jaringan organisasi yang lebih besar.
Memang, sampai sebelum tragedi kabel mik terjadi, keretakan
tidak muncul secara jelas, tapi ini hanya soal waktu. Begitu
perbedaan diangkat ke permukaan dengan semangat ingroupoutgroup, jadilah muslim Sambi tidak lagi satu komunitas
keagamaan.
Masyarakat Musim Sambi mulai menghadapi diferensiasi
sosial berdasarkan keyakinan keagamaan. Kohesi sosial tidak
bisa lagi diasalkan pada conscience collective (kesadaran bersama)
dan berbagi simbol dan ritual keagamaan bersama. Mungkin
masih ada conscience collective, namun ia semakin lemah dan tidak
memiliki daya paksa seperti sebelumnya. “Common beliefs and
rituals now appear to be residual and ineffective,” jelas Turner70
Dalam masyarakat seperti ini, penyelesain konflik tidak
cukup hanya dengan merujuk pada nilai-nilai normatif bersama
karena kenyataannya mereka sudah menjadi kelompok-kelompok dengan basis normatif sendiri-sendiri. Mungkin konflik
skala kecil masih bisa diselesaikan dengan merujuk pada sentimen kebersamaan sebagai sebuah masyarakat. Tetapi, kalau
konflik sudah terbuka dan melibatkan aktor-aktor dan lembagalembaga di luar masyarakat tersebut, maka konflik harus diselesaikan berdasarkan hukum positif. Konflik sosial harus diseleTeori Durkheim tentang dua jenis solidaritas—mekanis dan organis—
yang mengarakteriasi dua jenis masyarakat—rural/simple society dan urban
society—sudah menjadi teori klasik. Lihat Emile Durkheim, The Division of
Labour in Society (New York, 1964).
70
Bryan S. Turner, Religion and Social Theory (London: SAGE Publications,
1991), h. 49.
69
128 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
saikan berdasarkan aturan bersama yang mengikat (legal
restraint).
Penyelesaian konflik Masjid Baitul Mukminin antara DDII
dan NU harus merujuk pada dokumen hukum tentang status
wakaf awal. Semua orang harus tunduk pada hukum tanpa
memedulikan keyakinan. Keputusan hukum itulah yang harus
ditaati oleh semua pihak. Fungsi Kepala dusun salah satunya
adalah mengawasi ditaatinya keputusan oleh pihak-pihak yang
berkonflik.
Bisa dimaklumi jika orang seperti Partomo gamang untuk
melangkah. Di satu sisi, dia mengakui bahwa jalan efektif adalah jalur hukum, tapi di sisi lain, dia tetap menghendaki untuk
menyelesaikan dengan merujuk pada sentimen kebersamaan
sebagai satu komunitas.71 Kegamangan ini menunjukkan bahwa
masyarakat Sambi di satu sisi adalah masyarakat desa, sedang
di sisi lain, ia sudah terhubungkan dengan kehidupan kota
yang terdiferenasi sedemikian rupa. Dalam masyarakat seperti
ini, konflik kecil dan berlingkup masyarakat itu sendiri mungkin masih bisa diselesaikan dengan merujuk pada common
values, namun kalau sudah terbuka dan melibatkan aktor luar,
maka penyelesaian berdasarkan hukum adalah jawabannya.[]
71
Wawancara dengan Partomo, 8 Maret 2008.
Menyingkap Tabir
Kasus Penyerangan
Tarekat Naqsabandiyah
di Bulukumba
SAMSURIJHAL AD’HAN
A. Pendahuluan
Di benak pemeluknya, agama adalah rahmat bagi seluruh
umat manusia, bahkan untuk alam semesta. Agama dianggap
sebentuk pelembagaan nilai-nilai dan norma untuk menciptakan
aturan agar umat manusia dalam hidupnya bisa damai.1 Namun
dalam realitasnya bisa lain sama sekali. Di tubuh Islam sendiri
sering terjadi konflik di antara kelompok-kelompok Islam
sendiri.2
Al-Ashmawy menyatakan, selain mentauhidkan Tuhan, semua agama
pada esensisnya juga merupakan pelembagaan nilai-nilai kebaikan, rahmat
dan kedamaian. Lihat Mohammad Said al-Ashmamy (terj), Jihad Melawan
Islam Ekstrem (Jakarta: Desantara, 2002), h. 84. Untuk konteks Islam, hal ini
dijabarkan lebih detil oleh salah seorang ahli fikih Timur Tengah dari daerah
Magrib, Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H). Menurutnya, anna wudli’a asysyarâ`i innamâ li mashâlih al-`ibâdi fi al-`âjil wa al-âjil (Syariat adalah kemaslahatan hamba (manusia) baik di dunia maupun di akhirat). Lihat Abu Ishaq
Ibrahim Ibn Musa al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari`ah (Beirut: Dar
al-Ma’rifah; t.t), Vol-II, h. 6.
2
Lihat Abd. Moqsith Ghazali, “Nestapa Konflik Internal Umat Islam,”
www.islamlib.com, 14 Maret 2006.
1
130 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Dengan meminjam temuan dari Ted Gurr,3 tampaknya
konflik dalam tubuh Islam ditimbulkan oleh banyak faktor. Di
antaranya sama dengan pemicu konflik lain seperti konflik etnis. Salah satu faktor yang disebut Ted Gurr itu adalah proses
transisi demokrasi. Negara-negara yang sedang dalam fase ini
rentan mengalami konflik kekerasan. Penguatan civil society
dalam konteks ini kadang dimaknai masyarakat sebagai kekuatan
untuk mengontrol dan mengawasi yang lain. Dalam internal
Islam kelompok mainstream kadang berfungsi menjadi pengontrol terhadap kelompok Islam lainnya. Kelompok mainstream ini melakukan pembatasan-pembatasan dan pengekangan
terhadap kelompok lain yang minoritas.
Penyebab lain yang bisa memicu konflik dan kekerasan
adalah kebijakan negara yang diskriminatif. Ini salah satu persoalan cukup krusial. Peraturan negara membuat sesuatu yang
diskriminatif menjadi legal dan pada akhirnya mendorong masyarakat lainnya melakukan tindakan tertentu terhadap kelompok yang dinyatakan negara sebagai kelompok yang tidak sah
itu. Dalam konteks ini, fatwa-fatwa ulama bisa dimasukan dalam kategori ini. Meski tidak otomatis merepresentasikan negara tapi fatwa-fatwa mereka belakangan sering dianggap sebagai bagian dari pernyataan negara, khususnya bila fatwa itu
keluar dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam beberapa
kasus kekerasan agama tidak dapat dipungkiri kebijakan negara
semacam ini telah mendorong lahirnya konflik dan kekerasan.
Penyebab lain yang tidak bisa disepelekan adalah kepentingan politik dan ekonomi. Hal ini bisa berkaitan dengan kepentingan penguasa ataupun kelompok-kelompok tertentu.
Kelompok-kelompok itu berebut ekonomi dan kekuasaan dengan mengatasnamakan agama sehingga memicu konflik.
Dikutip dalam Jack Snyder, From Voting to Violence: Democratization and
Nationalist Conflict (New York: WW Norton and Company, 2000), h.20.
3
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 131
Dengan mengikuti berbagai faktor yang ditunjuk Gurr
dalam penyebab konflik, tulisan ini akan coba melihat latar
belakang dan aktor-aktor yang terlibat dalam kasus kekerasan
terhadap Naqsabandiyah di Bulukumba, tepatnya di Bontobahari, desa Sapo Lohe, Tanah Beru yang meledak pada
Nopember 2007
B. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dalam metode ini peneliti mengandalkan sumber data dari tangan pertama dan berpartisipasi langsung dalam kehidupan sehari-hari
sebagai observer. Penelitian dilakukan selama dua bulan. Satu
bulan di antaranya digunakan untuk mencari data yang dilakukan dengan mengumpulkan beberapa dokumen terkait, selain
wawancara mendalam ke sejumlah tokoh terpilih yang mewakili Tarekat Naqsabandiyah, pemerintah, agamawan, tokoh
masyarakat lokal, dan kelompok-kelompok Islam. Selain itu
melakukan rekaman peristiwa dalam bentuk catatan lapangan
harian yang dibuat peneliti untuk menafsirkan tindakan-tindakan sosial dari subyek yang diteliti. Terakhir pengumpulan
data juga dilakukan dengan cara FGD (focus group discussion)
yang menghadirkan beberapa kelompok keagamaan beserta
aliran tarekat yang ada di Sulsel.
Lebih lanjut harus diakui bahwa penelitian mengenai Naqsabandiyah, tentu saja bukanlah yang pertama. Sebelumnya
banyak penelitian dengan tema serupa. Salah satunya penelitian
yang dilakukan Martin van Bruinessen yang menulis tentang
sejarah pergulatan tarekat ini. Demikian halnya dengan tema
konflik agama mengingat konflik agama di Indonesia memang
cukup sering terjadi.
132 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Meski demikian penelitian Naqsabandiyah di Bulukumba
ini tetap signifikan karena memotret kasus yang lebih mikro.
Tidak sekedar menggambarkan keberadaan Naqsabandiyah di
Bulukumba, penelitian ini juga berupaya mendeskripsikan bagaimana kecenderungan adanya kekerasan kelompok tertentu
terhadap kelompok minoritas di tubuh Islam. Penelitian ini
juga berupaya memetakan aktor-aktor yang bermain dan berkepentingan dalam kasus kekerasan, khususnya kekerasan yang
terjadi dengan Tarekat Naqsabandiyah ini.
Pemetaan ini penting sebab dengan demikian kita bisa
memahami akar-akar kekerasan yang terjadi di internal Islam,
khususnya di wilayah Sulsel. Penelitian ini pada akhirnya membuktikan bahwa peran-peran organisasi agama bercorak fundamentalis dengan ideologi Wahabi, nampak cukup berpengaruh dalam tindak kekerasan itu. Jadi tidak hanya negara
dengan kebijakannya yang diskriminatif, atau fatwa MUI yang
juga diskriminatif, yang dapat memicu kekerasan, melainkan
kelompok tertentu dalam Islam juga bisa menjadi pendorong
lahirnya kekerasan tersebut.
C. Bontobahari, Tanah Beru: Tanah Para Panrita
Kecamatan Bontobahari terletak di daerah timur Bulukumba. Kira-kira berjarak 20 kilometer dari ibukota kabupaten. Perjalanan ke sana dapat ditempuh selama 30 menit dari
ibukota kabupaten. Berkunjung ke daerah ini cukup menyenangkan. Di sepanjang jalan kita bisa menyaksikan tambak dan
sawah-sawah yang menghijau silih berganti. Meski letaknya di
dataran rendah dan merupakan daerah pantai namun Tanah
Beru, Bontobahari, ini jauh dari kesan gersang sebagaimana
daerah lain yang berada di pinggir pantai. Di sekeliling tambak
nampak tumbuh-tumbuhan yang menghijau. Sedikit ke arah
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 133
selatan kita akan mendapatkan perkebunan cokelat dari para
petani di daerah ini. Daerah yang luasnya sekitar 108,60 kilometer persegi ini memang tidak hanya dikenal sebagai daerah
nelayan, tapi juga daerah pertanian. Profesi masyarakatnya tidak
hanya menjadi nelayan tapi juga ada yang menjadi petani.4
Namun, meski daerah ini berpenduduk 22. 531 jiwa berprofesi sebagai petani dan nelayan,5 namun yang terkenal
keluar, bahkan sampai ke mancanegara adalah keahlian penduduknya sebagai pembuat perahu pinisi. Karena keahlian inilah
Bulukumba kemudian dikenal sebagai Butta Panrita Lopi (tanah
tempat para ahli pembuat perahu). Di pinggir jalan di daerah
ini, di sisi pantai nampak perahu-perahu pinisi itu yang sedang
dalam proses pembuatan. Membuat perahu semacam ini, tentu
saja membutuhkan keahlian yang luar biasa. Bayangkan perahunya dibuat dari kayu, biasa disebut dengan na’nasa, yang
sudah dirancang sedemikian rupa untuk tahan berlayar dalam
waktu lama. Beberapa di antaranya bahkan sampai ke luar negeri. Salah satunya adalah Amanna Gappa, yang berlayar sampai ke Madagaskar.
Meski daerah Tanah Beru, Bontobahari, ini memiliki daerah pertanian namun budaya yang dominan adalah budaya bahari. Budaya bahari inilah yang mewarnai kehidupan sehari-hari
masyarakatnya. Ini misalnya terlihat dari karakter dasar penduduk yang tidak mudah dikuasai dan tidak mengenal sistem
Lihat “Bulukumba dalam Angka 2003”, Badan Pusat Statistik, Bulukumba,
2003, h.3.
5
Penduduk di daerah ini pada tahun 2003 berdasarkan jenis kelamin,
laki-laki 10.184 jiwa dan perempuan 12.347 jiwa. Laju pertumbuhannya
menempati urutan ketiga di Bulukumba setelah Ujungbulu dan Kindang.
Terjadi peningkatan jumlah penduduk tiap tahunnya. Pada tahun 2000 jumlahnya 21.195 jiwa, tahun 2001 menjadi 21.354 jiwa, tahun 2002 sebanyak
21.538 jiwa dan pada tahun 2003 sekitar 22.531 lihat “Bulukumba dalam
Angka 2003”, h. 42-43.
4
134 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
hirarki yang ketat. Kesetaraan nampak menjadi bagian dalam
kehidupan sehari-hari. Meski strata Karaeng, Andi, Etta (sebutan untuk kalangan bangsawan Bugis-Makasar) dan kalangan
biasa tetap ada, namun dalam pergaulan sehari-hari hal itu tidak berlaku ketat. Bahkan ditengarai gelar-gelar kebangsawanan di daerah ini baru muncul setelah proses interaksi dengan masyarakat di daerah Bugis-Makasar lainnya.
Kebudayaan bahari nampak pula mewarnai dalam kehidupan ritual masyarakat ini. Dimana ritual didasarkan dalam
kaitan masyarakat ini dengan laut, bukan dengan tanah seperti
pada masyarakat kontinental yang lain. Kalau pada masyarakat
kontinental, dikenal ritual yang berkaitan dengan penanaman
padi, misalnya Mappalili (ritual sebelum turun ke sawah),
Mapatinro Benne (ritual sebelum benih padi disebar) dan Mappadendang (acara rital setelah panen padi), maka pada masyarakat Bontobahari ini ritual dikaitkan dengan proses pembuatan
perahu pinisi. Mulai dari perahu ini dibuat, selesai buatatan
hingga siap untuk dilepas berlayar ke lautan.
Tak ada penjelasan memadai yang saya temukan mengenai ritual masyarakat Bontobahari berkaitan dengan laut ini.
Namun yang pasti mereka sangat akarab dengan ritual yang
berkaitan dengan tradisi lokal dan berbau mistik.
D. Proses Islamisasi: Penuh dengan Nuansa Tasawuf
Apalagi bila merujuk pada penyebaran Islam awal di sekitar Bontobahari ini, nuansa mistik, tarekat dan tasawuf sangat
kental mewarnai proses penyebaran itu. Di Bontotiro misalnya, daerah tetangga Bontobahari. Islam yang disebarkan oleh
Datuk ri Tiro menggunakan metode tasawuf. Metode ini dipilih Datuk ri Tiro karena ia memang memiliki kapasitas dalam pendekatan tersebut. Di samping itu Datuk ri Tiro juga
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 135
paham bahwa daerah yang menjadi sasaran dakwahnya adalah
daerah di mana masyarakatnya kental dengan nuansa ilmu kebatinan dan mistik.
Untuk lebih jelasnya tentang proses islamisasi di daerah
ini maka perlu diuraikan lebih detail sejarah awal islamisasi di
daerah Tiro, Kajang, Ara lalu masuk ke daerah Bontobahari.
Ketiga daerah ini pada awalnya satu kesatuan, yaitu berada di bawah naungan Kerajaan Tiro. Adapun daerah pertama
yang didatangi Khatib Bungsu (kemudian lebih dikenal dengan
Datuk ri Tiro) adalah kerajaan Tiro. Di sanalah pertama-tama
pusat pengembangan Islam, khususnya di tempat yang bernama
Hila-Hila. Dari sini kemudian proses pengembangan dakwah
yang dilakukan Datuk ri Tiro melebar ke beberapa daerah,
misalnya pengembangan pertama adalah Cabogo, lalu ke bagian
selatan ke Kampung Kalumpang, masih dalam wilayah Tiro.
Setelah itu semakin berkembang bahkan sudah menjangkau
keluar daerah misalnya daerah Bantaeng dan meyeberang ke
Tanah Doang (Selayar). Pengembang berikutnya adalah guru
Langkasa, sesorang yang dalam cerita masyarakat dianggap sebagai murid dari Datuk ri Tiro. Guru Langkasa ini mempunyai
dua anak yang sekaligus juga menjadi pengembang ajaran Islam
yaitu Sulaiman dan Hasan Tunggal.
Dalam versi Mattulada, kedatangan Islam di daerah Gowa, direspon oleh Amma Toa. Saat itu Amma Toa beserta
pembantunya mengadakan rapat membicarakan kedatangan agama baru ini. Hasil rapat itu memutuskan mengutus beberapa
orang untuk mempelajari Islam, yaitu Janggo Toa, ke Luwu
belajar pada Datuk Patimang di sana ia belajar bersyahadat, tata cara peyembelihan hewan, sedekah dan khitan. Janggo to
Jarra ke Wajo belajar di sana untuk melengkapi pengetahuan
tentang Islam dan juga belajar mengenai rukun Islam. Sementara Tu Asara Daeng Mallipa dikirim ke Gowa. Di antara
136 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
ketiganya hanya ajaran yang diterima Janggo Toa dari Datuk
Patimang yang diterima Amma Toa. Sedangkan ajaran yang
diterima dari Janggo to Jarra dan Tu Asara Daeng Mallipa ditolaknya karena dianggap merusak kesakralan ajaran yang ada
di tanah Toa Kajang. Pendapat ini justru memperlihatkan bahwa masuknya Islam di Bulukumba justru bukan dibawa oleh
Datuk ri Tiro, tapi orang lokal sendiri yang belajar keluar.6
Versi lain dari A.A. Cence, The Patuntungs in the Mountains of Kajang menyebut, bahwa masyarakat Kajang telah bersentuhan dengan ajaran Islam Karaeng Matoa yang biasa disebut juga dengan Janggo Toa Kajang ketika ia diutus ke
Bulo-Bulo untuk mempelajari Islam. Ajaran yang didapatkannya
adalah sikkiri, kalatting, sembajang dan takkang jeko (tongkat
yang dipakai ketika khutbah). Ketika Janggo Toa Kajang telah
memeluk Islam dan menerima beberapa ajaran agama ini ia
tetap masih terus makan babi, maka dianggap bahwa ini adalah
bentuk ketidaksempurnaannya ajaran Islam yang diterima oleh
Janggo Toa. Akhirnya posisi Janggo Toa Kajang ini digantikan
guru Patuntung dalam memimpin upacara ritual potong rambut seorang anak yang diadakan oleh Karaeng Kajang.
A.A Cence juga menceritakan bahwa di masa-masa awal
kedatangan agama Islam, terjadi perbincangan antara Ada’
Limayya dengan Amma Toa yang saat itu dijabat Bohe Kato.
Hasil pembicaraan itu Bohe Kato mengirim tiga utusan dari
Lembang untuk belajar Islam di Gowa, mereka adalah To
Asara, Tomi’di dan Tonasiba. Di daerah Gowa, tepatnya di
Bonto Langkasa mereka mendapatkan ajaran Islam yang berkaitan dengan Puasa, kallong karambu (tata cara pemotongan
kerbau), kalatting (talking), nikah, sambajang (sembahyang),
”Mattulada” dalam majalah Bingkisan, Ujungpandang Yayasan Kebudayaan
Sul-sel, 1977, h. 21; juga dalam Dr.Samiang Katu, Pasang ri Kajang: Akomodasi
Islam dengan Budaya lokal Sul-sel, (Makasar: PPIM;2000), h. 28
6
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 137
sikkiri (zikir), Korang (al-Quran), katuba (khutbah), poke pangka
(tombak bercabang), sakka pittara (zakat fitrah).7
Setelah kedatangan ketiga utusan ini membawa ajaran
Islam, diceritakan bahwa Amma Toa, saat itu bernama Bohe
Kato, kemudian memeluk agama Islam. Setelah itu dia digelari
dengan Bohe Sallang. Pada saat itu masyarakat Tanah Toa merasa bahwa Islam sudah diterima di daerahnya. Mereka pun
menerima agama ini.
Di masyarakat sendiri ada cerita tentang awal mula islamisasi di Bulukumba yang dimulai dari Kajang. Syahdan, kedatangan Datuk ri Tiro diketahui Amma Toa. Amma Toa juga
mengetahui bahwa Datuk ri Tiro ini datang membawa ajaran
baru. Selain itu Datuk ri Tiro juga diketahui memiliki ilmu
yang tinggi. Lalu diundanglah Datuk ri Tiro untuk mengetahui
maksud dan tujuan serta ajaran apa yang dibawanya. Akhirnya
terjadilah dialog yang menarik antara keduanya. Dialog itu
seputar hakikat ketuhanan dan hakikat diri manusia. Dalam
dialog yang sifatnya saling menjajal kedalaman pengetahuan itu
diceritakan berakhir imbang. Pertarungan lalu dilanjutkan
untuk menjajal kesaktian masing-masing. Datuk ri Tiro lalu
menyusun telur sampai tingginya melewati puncak rumah.
Namun Amma Toa sendiri menunjukkan kesaktiannya dengan
mengambil telur itu mulai dari tengah, dan telur itu tetap tersusun, tidak ada yang jatuh. Pertarungan lalu dilanjutkan
mereka berdua melompat ke pelepah pohon kelapa, dan Datuk
ri Tiro berdiri di atas pelepah itu, sedangkan Amma Toa berdiri di bawahnya dengan kepala menghadap ke tanah. Setelah
pertarungan ini, mereka lalu beristirahat di bawah pohon kelapa tersebut. Dan Amma Toa bertanya kepada Datuk ri Tiro
apakah ia ingin minum air kelapa. Datuk ri Tiro mengiyakan,
7
h. 2
A.A.Cence, The Patuntungs in the Mountains of Kajang, (Makasar: 1931),
138 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
lalu Amma Toa tanpa memanjat berhasil mendapatkan beberapa butir pohon kelapa, dia hanya menunjuk buah kelapa di
pohonnya dan kelapa itu jatuh ke tanah. Datuk ri Tiro tersenyum, lalu berkata: “kenapa-susah-susah menjatuhkan kelapanya
ke tanah”. Datuk ri Tiro lalu berdiri dan melambaikan tangannya kearah pohon kelapa. Pohon itu tiba-tiba merunduk, lalu
dengan gampang Datuk ri Tiro memetik buah kelapa tersebut.8
Di daerah Ara, yang dulu pernah berada di bawah naungan Tiro, tepatnya sebelah selatan dari daerah Bontobahari,
juga dikenal bercorak Islam bernuansa tasawuf dan mistik.
Sekitar tahun 1950 di daerah tersebut terdapat tokoh bernama
Bakka Tera. Tokoh yang konon menantu Karaeng Mamampang
ini adalah tokoh yang dikenal sebagai waliyullah dengan berbagai ajaran sufistiknya. Tokoh ini dihormati, kuburannya selalu dikunjungi banyak orang.
Di Tanah Beru, Bontobahari, sendiri pada tahun 19501970, masyarakat amat mengenal Syekh Yusuf, bahkan terkesan
memujanya. To Kambang, salah seorang ahli spritual yang ada
di daerah itu menjadi penghubung masyarakat dengan Syekh
Yusuf. Dia merasa sering didatangi Syekh Yusuf dalam
tidurnya.
Bila masyarakat daerah ini memuja Syekh Yusuf, berarti
di daerah inipun kental dengan tarekat, khususnya tarekat
khalwatiyah yang dikembangkan Syekh Yusuf atau ajaran Insan
Kamil yang juga dikembangkan para muridnya.
Memang proses puritanisasi Islam juga gencar dilakukan
ke daerah ini sejak dulu kala. Pada abad ke-19 dengan terbukanya jaringan pelayaran di dunia. Akses orang-orang Bugis-Makasar untuk bersentuhan langsung dengan tempat kelahiran
8
Wawancara Galla Puto di Kajang, 28 September 2004
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 139
Nabi Muhammad menjadi terbuka. Pada masa itu dikenal
ulama besar bernama Akhmad Khatib yang menjadi Imam besar di Masjidil Haram. Ulama ini dikenal sebagai penganjur
pembaharuan Islam yang juga dikembangkan para muridnya di
Indonesia. Misalnya praktik ajaran pemurnian Islam yang Muhammad Djamil Jambek dan Ahmad Dahlan, dua muridnya.
Arus pembaruan Islam tersebut juga sampai ke Ara, Tanah
Beru dan sekitarnya dibawa oleh seorang pandai emas bernama
Panre Abeng. Terjadi sekitar tahun 1890. Setelah menikahi
perempuan bangsawan setempat, Panre Abeng mulai melancarkan misi puritanisasinya. Dia mulai melancarkan serangan terhadap praktik-praktik yang dianggapnya berbau animisme. Proses
puritanisasi ini dilanjutkan anaknya, Gama Daeng Samana, sejak
1915 hingga 1954. Ia membenci pemujaan terhadap Karaeng
Mamampang. Gama ini dikenal pula loyal terhadap Belanda.
Meski melakukan proses pemurnian Islam, baik Panre
Abeng maupun Gama Daeng Samana sebenarnya tidak seratus
persen meninggalkan keyakinan-keyakinan mistik dan tasawuf.
Buktinya meski ia membenci pemujaan terhadap Karaeng Mamampang, namun tetap melakukan pemujaan terhadap Bakka
Tera yang dianggap keturunan Karaeng Mamampang. Ini karena pandangan bahwa pemurnian Islam sebagaimana yang
dilakukan di Aceh misalnya, tidak akan bisa berhasil diterapkan
di Ara, Tanah Beru dan sekitarnya di mana budaya sosial keagamaan masyarakat sangat kental dengan nuasa semacam itu.
Hal itu terbukti. Saat kelompok DI/TII datang ke daerah
ini dengan membawa misi pemurnian agamanya, toh gerakan
inipun tak mampu menghapus tuntas kepercayaan masyarakat
lokal di Tanah Beru, termasuk tata cara keberagamannya. Sampai saat ini di Tanah Beru masih ada orang-orang yang dianggap mampu menjadi penghubung dengan Syekh Yusuf.
140 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Saat ini penduduk Tanah Beru, Bontobahari, yang memeluk Islam sebanyak 21.155. Lainnya, Kristen Protestan tiga
orang, Katolik tiga orang, dan seorang Buddha serta seorang
dengan kategori selain itu.9 Mayoritas pemeluk Islam ini adalah
masyarakat yang tetap percaya dengan ilmu-ilmu kebatinan,
meski pola keberislaman di daerah ini sudah mulai banyak
berubah.
Maka ketika tahun 2005 mulai Tarekat Naqsabandiyah
muncul, banyak masyarakat Tanah Beru yang tertarik. Mereka
merasa nalar keagamaan yang dikembangkan tarekat itu dekat
dengan pemahaman keislaman yang selama ini sudah dipraktikkan. Sejak 2005-2007, tarekat ini banyak diikuti masyarakat
setempat. A. Putra Wangsa, seorang pengikut tarekat ini menyatakan, ada 93 orang yang sudah terdaftar menjadi jemaah
Naqsabandiyah. Itu tidak termasuk yang belum terdaftar. Di
Bontotiro, daerah tetangga, ada sekitar 126 orang tercatat sebagai pengikut tarekat ini.10
Perkembangan jumlah jemaah tarekat relatif pesat dibanding dengan organisasi Islam lainnya. Kemunculan tarekat ini
dan antusisme masyarakat menunjukkan seperti apa sesungguhnya nalar keislaman yang umum masyarakat di Tanah BeruBontobahari, mengingat sejarah islamisasi di wilayah ini kental
bernuansa tasawuf. Bahkan bisa kita katakan nalar keislaman
yang membentuk masyarakat di daerah ini adalah nalar Islam
tasawuf dan tarekat.
A.A.Cence, The Patuntungs, h. 105
Penjelasan ini sama dengan yang disampaikan pihak Kapolsek Bontobahari, meskipun salah satu anggota dari kepolisian ini tampak ragu dengan
data tersebut. Wawancara Salah satu anggota kepolisian Resort Bontobahari
(tidak mau disebutkan namanya), dilakukan pada 25 Januari 2009. Wawancara
dengan Putra Wangsa, pada 30 Januari 2009.
9
10
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 141
E. Naqsabandiyah di Bulukumba
Tarekat Naqsabandiyah ini didirikan oleh Syekh Muhammad Ibn Muhammad Baha’uddin al-Uwisi al-Bukhari anNaqsabandiyah berdasarkan tradisi al-Khurasani yang dipelopori
oleh al-Bisthami. Tarekat ini kemudian mengambil nama Naqsabandiyah, mengambil nama tempat tinggal Syekh Baha’uddin,
yaitu Naqsabandi. Pendapat lain mengungkapkan, kata Naqsabandiyah ini berarti bekas. Kata ini digunakan menunjuk pada
pendiri tarekat ini yang dianggap sekujur tubuhnya berbekas
kalimat Allah.11 Selain praktik ibadah sehari-hari, ajaran tarekat
ini juga mementingkan zikir kepada Allah SWT. Zikir yang
dilakukan oleh pengikut tarekat ini lebih banyak dalam bentuk
zikir dalam hati (dzikir bi al-qalbu).12
Di Indonesia sendiri Tarekat Naqsabandiyah dikenal dengan baik oleh kalangan ahli tarekat. Tarekat ini terdiri dari
dua aliran, yaitu Naqsabandiyah-Khalidiyah dan Madzariyah.
Dalam perkembangan Naqsabandiyah-Madzariyah, sosok Kadirun Yahya tidak bisa diabaikan begitu saja. Selain menjadi
perhatian para peneliti, di tangannya pula tarekat ini disesatkan
kelompok tertentu di tubuh umat Islam. Tarekat Naqsabandiyah di Bulukumba yang menjadi fokus penelitian kita ini
secara geneologis merujuk ke Kadirun Yahya ini.13
Kadirun Yahya ini memang berasal dari keturunan ahli
tarekat. Kakeknya dari pihak Bapak adalah Syekh Yahya dan
dari Syekh Abdul Mannan dari pihak ibu. Keduanya ahli tarekat yang makamnya juga banyak dikunjungi. Setamat dari pendidikan umum di sekolah Belanda tahun 1943, tidak lama
Wawancara dengan Mardianto, salah seorang jemaah Tarekat Naqsabandiyah Bulukumba, 24 Januari 2009
12
”Kadirun Yahya, Mutiara al-Quran” dalam Capita Selecta tentang Agama
Metafisika dan Ilmu Eksakta (Jakarta: LIPTI, 1405 H)
13
Wawancara dengan Mardianto, 24 Januari 2009
11
142 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
setelah pulang ke Sumatera, beliau langsung mendalami ilmuilmu tarekat, khususnya Naqsabandiyah. Kadirun Yahya belajar
pada Syekh Syahbuddin Aek Limbung dari Sayur Matinggi
(Tapanuli Selatan) mengenai dasar-dasar tarekat. Pada tahun
1947, Kadirun menikah dengan putri Syekh Haji Jalaluddin.
Melalui mertuanya yang tinggal di Bukit Tinggi yang merupakan tempat pertemuan syekh-syekh tarekat, Kadirun akhirnya
berkenalan dengan Syekh yang kelak menjadi guru utamanya:
Syekh Muhammad Hasyim Buayan.14
Dalam waktu singkat Syekh Hasyim mengangkat Kadirun
menjadi Khalifah pada 1950 dan dua tahun berikutnya menyatakan sebagai Syekh sepenuhnya dengan gelar “Sidi Syekh”.15
Kelak di kemudian hari Kadirun Yahya yang punya gelar
akademik cukup panjang Prof. DR. Haji Sidi Syekh Kadirun
Yahya M.Sc, menjado tokoh Naqsyabandiyah yang mempunyai
banyak murid di beberapa wilayah Nusantara. Berbekal ijazah
dari Syekh Ali Ridia seperti diakuinya, ia mengembangkan
Naqsbandiyah ini melalui kajian ilmu-ilmu fisika dan kimia
bahkan metafisika dari al-Quran. Beliau telah mendirikan
Universitas Panca Budi di Medan, dengan salah satu jurusannya dinamai jurusan Kerohanian dan Metafisika.16
Sekitar Abad ke-17 atau abad ke-18 Tarekat Naqsabandiyah ini juga berkembang di Sulsel. Syekh Yusuf Al-Makasary
adalah salah satu tokoh sufi Sulsel yang dianggap memahami
tarekat ini. Syekh Yusuf langsung belajar pada salah satu tokoh
tarekat ini, yakni Muh bin Abdul Baqi al-Mizjaji. Namun
Syekh Yusuf dianggap tidak mengajarkan tarekat ini secara
murni lagi. Sebab, yang dia ajarkan adalah tarekat KhalwatiMartin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1996), h. l48.
15
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah, h. 151
16
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah, h. 148
14
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 143
yah, yang dalam beberapa hal digabungkan dengan Tarekat
Naqsabandiyah dan Qadariyah. Dia kemudian mengamanahkan
kepada muridnya Basyir al-Dharir yang ada di Rappang untuk
mengajarkan Tarekat Naqsabandiyah.17
Di kabupaten Bulukumba sendiri tarekat ini mulai muncul sekitar tahun 1994-1995. Saat itu dai Naqsabandiyah yang
mengajarkan tarekat ini adalah Ustadz Ridwan. Pada awalnya
masuknya taraket ini di Bulukumba masih dalam bentuk kelompok-kelompok pengajian atau zikir yang digelar dari rumah
ke rumah. Saat itu belum didirikan masjid yang khusus untuk
pengikut tarekat tersebut agar lebih khusyuk berzikir. Sejak
awal kehadirannya banyak masyarakat yang tertarik. Mereka
yang bergabung datang dari berbagai kalangan, pegawai, pejabat pemerintah, pedagang, termasuk dari kalangan petani dan
nelayan.
Jika Khalwatiyah yang berkembang lebih dulu dari desadesa, maka sebaliknya tarekat ini berkembang mulai dari wilayah perkotaan, yaitu BTN I. Di tempat ini Tarekat Naqsabandiyah dipusatkan di Musala Iftiqarul Amin. Di tempat itulah
tarekat ini dikembangkan hingga ke beberapa daerah lain
seperti Cilibbo, Karubbe, Bontobulaeng dan Lembang. Di kecamatan-kecamatan bahkan sampai pada tingkat desa, tarekat
ini juga diterima dengan baik masyarakat. Mardianto menegaskan, kedatangan Tarekat Naqsabandiyah di Bulukumba relatif
tidak ada penolakan. Kalangan organisasi keagamaan yang ada
saat itu seperti NU dan Muhammadiyah tidak mempersoalkan
keberadaan tarekat ini. Seperti halnya Tarekat Khalwatiyah
Samman yang diterima baik, demikian halnya Naqsabandiyah.
Banyaknya masyarakat yang tertarik masuk ke tarekat ini
menurut Mardianto salah satunya karena tarekat ini mengajarAzyumardi Asra, Jaringan Ulama, (Jakarta: Prenada Mulia, 2005) CetII, h. 271
17
144 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
kan bagaimana memahami agama tidak sekedar luarnya saja
(eksoteris), tapi menukik sampai ke sisi batin (esoteris) dengan
pendekatan ilmu-ilmu alam (fisika). Hal ini jarang ditemukan
dalam organisasi keagamaan lain yang berkembang di Bulukumba. Di samping itu, kegersangan spiritual memang melanda
banyak kalangan saat ini, khususnya masyarakat kota yang
disibukkan dengan berbagai aktivitas duniawi.18
Sekali lagi, perkembangan relatif pesat Tarekat Naqsabandiyah ini agaknya bukanlah hal aneh. Seperti diuraikan sebelumnya, akar sejarah yang cukup kuat perkembangan tarekat
di wilayah tersebut adalah salah satu faktor keberhasilannya.
F. Munculnya Kelompok Islam Puritan
Sejak tahun 2000, sejak kelompok-kelompok tertentu
yang sering melakukan tindakan hukum sendiri terhadap
orang-orang yang melakukan kriminalitas, corak pemahaman
keagamaan di daerah ini mulai beralih dari corak keberislaman
seperti yang digambarkan di atas, menjadi model keberislaman
yang lebih mengarah pada syariat Islam yang formalistik.
Pada tahun 2002 Pemda Bulukumba mulai membuat perda yang disebutnya “Perda Syariat Islam”, diantaranya: Pertama,
Perda Nomor 03 Tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan,
Penertiban dan Penjualan Minuman Keras. Kedua, Perda
Nomor 02 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi,
Infaq dan Shadaqah. Ketiga, Perda Nomor 05 Tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah. Keempat, Perda Nomor
06 Tahun 2003 tentang Pandai Baca-Tulis al-Quran bagi Siswa
dan Calon Pengantin. Selain keempat perda SI tersebut, ada
salah satu desa, yaitu desa Padang yang menjadi desa percontohan syariat Islam, mengeluarkan dan memberlakukan peratur18
Wawancara dengan Mardianto, 24 Januari 2009
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 145
an desa (Perdes) Nomor 05 tahun 2006 tentang Pemberlakuan
Hukum Cambuk.
Kemunculan perda-perda ini oleh sementara kalangan
dianggap sebagai bagian dari keinginan masyarakat Bulukumba
untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah. Perda ini
muncul oleh inisiatif masyarakat Bulukumba melalui tokohtokoh agama. Drs Tjamiruddin menceritakan, pada 2002 dia
pernah menghadap Bupati Bulukumba Patabai Pabokori untuk
menjelaskan bahwa crash program keagamaan ini penting dilegislasikan. Bupati saat itu langsung setuju dan menyerahkan ke
Tjamiruddin bersama tokoh-tokoh agama dan masyarakat untuk menggarap drafnya. Tjamiruddin lalu berkonsultasi dengan
bagian hukum di pemda dan didiskusikan dengan tokoh-tokoh
agama. Saat itu yang pertama-tama diusulkan adalah dibuatkannya perda minuman keras. Lalu lahirlah Perda Nomor 03 tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Keras. Perda ini pada intinya bukan melarang
secara total penjualan minuman keras, hanya membatasi peredaran dan pemakaiannya.19
Menurut Tjamiruddin, perda-perda ini lahir bukan karena
dorongan pihak luar seperti KPPSI atau Wahdah Islamiyah dan
beberapa organisasi keagamaan lainnya yang berasal dari luar
Bulukumba. Itu dianggap murni dari masyarakat. 20
Meski beberapa tokoh agama seperti Tjamiruddin yang
juga ketua tanfdziah NU ini menyatakan kemunculan perdaperda ini bukan karena dorongan dari luar, namun jelas kelompok seperti KPPSI memiliki peran cukup besar. Mereka di tetapkan menjadi penasihat atau penggagas pelaksanaan syariat
Hal ini dijelaskan baik oleh Tjamiruddin maupun A. Mahrus Andis,
staf di Pemda (sekarang pejabat Sekretaris Daerah). Wawancara dengan
Tjamiruddin & A. Mahrus Andis, dilakukan pada 11 Desembar 2008
20
Wawancara dengan Tjamiruddin & A. Mahrus Andis, 11 Desembar
2008.
19
146 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Islam di Bulukumba oleh Bupati Bulukumba. Bahkan Bupati
saat itu memberikan tempat atau sekretariat bagi kelompokkelompok ini.
Sejak saat itu secara jelas pemahaman dan praktik keberagamaan masyarakat mulai berubah. KPPSI bersama dengan beberapa kelompok dan organisasi Islam puritan lainnya, di antaranya yang beraliran Wahabi, mulai memperkuat jaringan
mereka. Jika sebelumnya yang lebih populer adalah NU,
Muhammadiyah, Darul Istiqamah serta Khalwatiah atau kelompok tarekat lain, maka saat itu yang mulai naik daun adalah
kelompok-kelompok seperti Hizbut Tahrir, Hidayatullah, Jemaah
Tabligh, Wahdah Islamiyah dan kelompok Jundullah. Kelompok
terakhir adalah salah satu organisasi pemuda KPPSI, yang kemudian hari berubah menjadi Pemuda Pengawal Penegak Syariat
Islam. Kelompok-kelompok ini bukan hanya aktif dengan pendidikan dan dakwah, tapi juga aktif mengembangkan organisasi
dengan mendirikan organisasi-organisasi sayap. Yang terbentuk
di antaranya Aliansi Muslim Bulukumba (AMB).
Bila sebelumnya yang dikenal puritan dan formalis-literalis hanyalah kelompok Darul Istiqamah, maka saat itu bertambah dengan munculnya kelompok semacam Hidayatullah,
Wahdah Islamiyah, Hizbut Tahrir dan Pemuda Penegak
Syaraiat Islam.
Darul Istiqamah sendiri telah muncul di Bulukumba sejak
akhir tahun 80-an. Ini ditandai dengan berdirinya pesantren
Istiqamah di Tacorong, Bulukumba, termasuk kehadiran para
jemaahnya di desa Anrihua, Kecamatan Kindang (dulu Gangking), khususnya di daerah Pa’bam-Baeng. Saat ini Pesantren
dan jemaahnya tetap eksis di Bulukumba, namun kurang berkembang.21
Wawancara Maddi, seorang jemaah Darul Istiqamah di Anrihua, 27
Desember 2008
21
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 147
Hidayatullah dan Hizbut Tahrir adalah organisasi yang
baru muncul. Keberadaannya baru dikenal khalayak sekitar tahun 2003. Organisasi ini sendiri belum memiliki sekeretariat
yang jelas di Kabupaten Bulukumba, hanya saja orang-orangnya
biasanya berafiliasi dengan kelompok fundamentalis lain dalam
melakukan dakwah atau gerakan-gerakan keagamaan tertentu.22
Adapun Pemuda Penegak Syariat Islam adalah milisi bentukan KPPSI. Sebelumnya bernama Jundullah, tapi kemudian
berubah menjadi Pemuda Penegak Syariat Islam. Selama proses
pemberlakuan perda syariat Islam di Bulukumba, kelompok ini
merupakan kelompok yang getol mengawasi konsistensi masyarakat menjalankan perda-perda tersebut.23
Darul Istiqamah sendiri sebelum kedatangan kelompok
dan organisasi yang lain tadi, meski telah mendirikan tiga pondok pesantren di daerah ini, namun tidak berhasil memengaruhi pemahaman dan model keberagamaan masyarakat di
Kabupaten ini. Namun saat ini kemunculan kelompokkelompok dan organisasi keagamaan seperti disebutkan di atas,
perlahan tapi pasti berhasil memengaruhi pemahaman dan
praktik keberagamaan masyarakat di beberapa daerah di Kabupaten Bulukumba. Selain bermain di level kultural, kelompok
ini juga menggarap level struktural. Di tingkat kultural,
mereka berusaha menguasai masjid-masjid dan struktur keagamaan masyarakat di desa. Mereka juga berupaya membentuk
kelompok dan organisasi kegamaan di kecamatan sampai ke
desa. KPPSI ataupun Wahdah Islamiyah misalnya memiliki
jaringan bahkan organisasi sampai di tingkat kecamatan.
Di level struktural, mereka berupaya memengaruhi kebijakan, atau ikut andil dalam menjaga pelaksanaan perda-perda
Wawancara Saleh, aktivis pemberdayaan masyarakat di Bulukumba,
18 Desember 2008
23
Wawancara Saleh
22
148 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
bernuansa syariat Islam. Mereka juga bersinergi dengan Pemda, khususnya di masa Patabai Pabokori dalam menyukseskan
pelaksanaan perda bernuansa syariat Islam di desa-desa
muslim.
G. Aksi Kekerasan Terhadap Kelompok Tidak Sehaluan
Proses puritanisasi Islam yang dilakukan kelompok ini
tidak hanya memanfaatkan dakwah dan pendidikan, tapi tak
tak jarang dengan melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok Islam lain yang dianggap tidak sehaluan. Awal tahun
2006, jemaah Ahmadiyah mereka datangi. Kelompok yang terdiri dari Aliansi Muslim Bulukumba, Pemuda Pengawal Penegak Syariat Islam dan lainnya mendatangi masjid yang ditempati komunitas Ahmadiyah selama ini. Letaknya di ujung
Loe.24
Proses ini berlangsung beberapa kali. Sampai akhirnya
pada Maret 2006, mereka melakukan penyegelan terhadap
masjid Ahmadiyah di Ujung Loe dan mengusir Dai Ahmadiyah
keluar dari Bulukumba.
Pada tahun 2006 juga, Lembaga Advokasi dan Pendidikan
Anak Rakyat (disingkat LAPAR) karena mengembangkan pluralisme di Bulukumba serta mengkritisi keberadaan perda-perda
“syariat“ juga sempat didatangi kelompok ini. Mereka mengancam dan mengintimidasi para aktivis LAPAR. Mereka meminta
LAPAR menghentikan segala aktivitasnya di Bulukumba dan
menyuruh orang-orangnya meninggalkan daerah tersebut.
Pada tahun 2006, di masyarakat juga muncul isu jika kelompok-kelompok ini akan melakukan pembersihan terhadap
24
2006
Wawancara Saiful Uyun, seorang dai Ahmadiyah di Sulsel, 24 April
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 149
kelompok-kelompok Islam yang dianggap menyempal, termasuk terhadap komunitas lokal yang ada di Bulukumba.25
Bukan hanya kelompok keagamaan yang biasa diintimidasi. Kelompok minoritas seperti kalangan waria juga tidak luput
dari intimidasi mereka. April 2007, para waria diancam akan
ditindak secara keras kalau tetap melaksanakan aktivitas. Alasan
mereka, daerah tersebut adalah daerah penegakan syariat Islam. Sikap ini tentu membuat kecewa kalangan waria di Bulukumba. Itu tercermin dari pernyataan Iqbal Manna, ketua
waria di daerah ini :
“Dengan cara-cara mereka seperti itu saya sesungguhnya sangat
kecewa. Masak mereka mau adu fisik. Kok, Islam bisa seperti
ini, penuh kekerasan dan ancaman. Padahal kami juga manusia.
Kalau ada kelainan pada kami, bukan karena kami ingin begitu.
Jadi, seharusnya kami dibimbing bukan diancam-ancam. Untung
saja saya pernah belajar Islam, dan saya tahu Islam itu agama
kasih sayang dan kedamaian. Apa yang ditunjukan oleh mereka
bukanlah representasi Islam.26
H. Tentang Wahdah Islamiyah
Dengan beberapa penjelasan di atas, tampak adanya peran, baik langsung maupun tidak, dari organisasi-organsiasi
puritan yang memicu konflik, atau tepatnya kekerasan terhadap
golongan lain. Karenanya, penting dikemukakan di sini mengenai keberadaan organisasi-organisasi tersebut. Kecenderungan
ini tampaknya muncul dalam kasus kekerasan terhadap Naqsabandiyah.
Wawancara dengan Udin, aktivis mahasiswa, 22 Desember 2008
Wawancara Iqbal Manna, ketua waria Bulukumba, di Bulukumba, 25
Mei 2007
25
26
150 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Di antara beberapa organisasi Islam puritan yang disebutkan di atas, sebuah organisasi patut mendapat perhatian dalam
konteks ini. Itu tidak dimaksudkan menafikan peran kelompok
lain, tidak juga bermaksud menuduh organisasi ini terlibat
langsung maupun tidak dalam penyerangan Naqsabandiyah atau
kekerasan terhadap kelompok lain.27 Beberapa alasannya antara
lain: pertama, nama organisasi ini paling sering disebut oleh jemaah Naqsabandiyah, ketika berbicara mengenai penyerangan
terhadap mereka. Mereka memang tidak menyebut, organisasi
ini terlibat apalagi mendalangi, tapi menyatakan orang-orangnya atau kader organisasi ini yang dianggap paling getol menolak dan terkesan menprovokasi masyarakat untuk menolak
keberadaan Naqsabandiyah di Tanah Beru. Kedua, organisasi
inilah yang sampai saat ini masih aktif di Bulukumba, bahkan
jaringannya semakin kuat hingga ke daerah-daerah. Sementara
yang lainnya mulai melemah. Bahkan Aliansi Muslim Bulukumba (AMB) sudah bubar. Ketiga, organisasi ini adalah organisasi yang cukup besar di Sulsel. Memiliki jaringan di berbagai
daerah di Sulsel, bahkan juga ke daerah-daerah lainnya di luar
Sulsel.
Organisasi dan pesantren yang dimaksud adalah Wahdah
Islamiyah.
1. Latar Belakang Organisasi
Awalnya lembaga yang dibentuknya bernama Fathul
Muin, diambil dari nama seorang tokoh Muhammadiyah
yang mereka segani. Sosok Muin dinilai tegas dalam bersikap misalnya sikapnya menolak Porkas. Pada awalnya
Secara tegas dinyatakan ketua Wahdah Bulukumba, mereka tidak pernah
ikut dalam penggerebekan yang dilakukan organisasi lain di Bulukumba.
Wawancara Jusman, S.Pd., Ketua Wahdah Islamiyah Bulukumba, 15 Februari
2009
27
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 151
kelompok ini kelompok diskusi di masjid-masjid kampus.
Mereka berasal dari kalangan aktivis muda Muhammadiyah
yang tergabung dalam remaja masjid Takmirul Masjid.
Mereka dikenal memiliki pemahaman eksklusif dan kurang
bisa berkompromi dalam agama. Karena Muhmmadiyah
selama ini dinilai terlalu kompromistis, mereka akhirnya
memutuskan mendirikan lembaga pendidikan sendiri.28
Lambat laun lembaga ini berkembang dan akhirnya
membentuk lembaga pendidikan berupa pesantren. Dari
lembaga pendidikan ini Wahdah berubah status menjadi
organisasi masyarakat (ormas) per 14 April 2002. Adapun
Legalitas formal ormas ini adalah
1. Surat Keterangan Terdaftar pada Kantor Kesatuan Bangsa Kota Makasar No. 220/1092-1/KKB/2002 tanggal
26 Agustus 2002.
2. Surat Keterangan Terdaftar pada Badan Kesatuan
Bangsa Propinsi Sulsel No. 220/3709-1/BKS-SS
3. Surat Tanda Terima Keberadaan Organisasi pada Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik Ditjen Kesatuan
Bangsa Depdagri di Jakarta No. 148/D.1/IX/2002.29
Pada awalnya kantor pusat Wahdah Islamiyah beralamat di Jalan Abd. Dg Sirrua No. 60. Namun tahun 20072008, pindah ke Jalan Antang Raya No.48 Makasar.30
Ada dua tujuan organisasi ini didirikan. Pertama, mewujudkan dan membina masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah berdasarkan al-Quran dan Sunah sesuai
Wawancara Qasim Saguni, Sekjen Wahdah Islamiyah, 26 Mei 2008.
“Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” Departemen Informasi dan
Komunikasi PP Wahdah Islamiyah, 2004, edisi I, h. 2.
30
Wawancara dengan Ustadz Ikhwan, Ketua Wahdah Islamiyah, 22
Desember 2008
28
29
152 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
dengan pemahaman Salaf Ash-Shalih (manhaj) ahlusunnah wal
jama`ah. Kedua, menegakkan tauhid dan menghidupkan
Sunah serta memupuk ukhuwah islamiyah untuk terwujudnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang diridai Allah.31
Dalam “Selayang Pandang Wahdah Islamiyah” disebutkan pula misi organisasi, di antaranya: untuk menanamkan
dan menyebarkan akidah islamiyah yang sahih kepada umat
Islam berdasarkan al-Quran dan Sunah sesuai pemahaman
salafus shalih; menegakkan syiar Islam dan menyebarkan
pemahaman Islam yang benar, membangun persatuan umat
dan ukhuwah islamiyah yang dilandasi semangat ta’awun
(kerjasama) dan tanashuh (saling menasihati), mewujudkan
institusi pendidikan dan ekonomi yang islami dan berkualitas dan membentuk generasi Islam yang rabbani dan menjadi pelopor dalam berbagai bidang kehidupan.32
Saat ini Wahdah tidak hanya memiliki lembaga pendidikan seperti pesantren, tapi juga perguruan tinggi, termasuk lembaga kesehatan. Guru-guru yang mengajar di pesantren dan perguruan tinggi Wahdah kebanyakan alumnus
Mekah dan Madinah.
Wahdah memiliki 25 cabang di seluruh Indonesia dan
22 cabang binaan. Dua puluh lima cabangnya itu antara
lain terdapat di Sidrap, Sinjai, Bulukumba, Bone, Pinrang,
Takalar, Enrekang, Gowa, Jeneponto, Makasar, Luwu
Utara, Soppeng, Palpo, Luwu, Polman, Gorontalo, Palu,
Kendari, Toli-toli, Muna, Kolaka, Tarakan, Ternate, Bandung dan DKI Jakarta.
“Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” Departemen Informasi dan
Komunikasi PP Wahdah Islamiyah, 2004, edisi II, h. 1
32
”Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” h. 1
31
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 153
Sedangkan 22 cabang binaannya terdapat di Banda
Aceh, Samarinda, Bantaeng, Jayapura, Parigi, Pekan Baru,
Pontianak, Sengkang, Selayar, Luwu Timur, Yogyakarta,
Mamuju, Topoyo, Tator, Barru, Pare-pare, Unaha, Bima,
Marauke, Luwuk Banggae, Maros dan Balikpapan.33
Di Kabupaten Bulukumba Wahdah sudah ada sejak
1997. Ketika itu dipimpin Herman Hasyim, dibantu Jusman. Aktivitas Wahdah saat itu masih sebatas pengajian dari
rumah ke rumah. Struktur organisasinya belum begitu jelas.
Baru tahun 2000, secara formal Wahdah dideklarasikan.
Saat ini Wahdah sudah memiliki pesantren di Lae-Lae
Bulukumba dan sejumlah masjid binaan. Aktivitas Wahdah
di Bulukumba boleh dibilang cukup berkembang. Tiap
Minggu mereka menggelar pengajian. Bahkan juga menjadualkan pengajian di rumah-rumah pejabat atau di instansi-instansi pemerintahan. Mereka juga menggelar tablig
akbar setiap bulannya dengan menghadirkan pembicara dari
Pengurus Pusat Wahdah Islamiyah. Acara tabligh itu biasanya dihadiri cukup banyak orang.34 Di Kabupaten Bulukumba ini mereka malah telah membangun jaringan hingga ke
tingkat kecamatan dan desa. Salah satunya jaringan yang
ada di Tanah Beru Bontobahari. Selain aktivitas di atas,
Wahdah juga menangani khutbah, menyiapkan materi-materinya dan majlis taklim di beberapa masjid di Bulukumba, khususnya yang ada di kota.
2. Departemen dan Jaringan Wahdah
Dalam struktur Wahdah, organisasi lembaga ini dibagi
beberapa bidang dengan beberapa departemen dan lem33
34
”Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” h.3
Wawancara Ustadz Jusman, 15 Februari 2009
154 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
baga. Bidang I antara lain terdapat Departemen Dakwah
dan Kaderisasi, Departemen Informasi dan Komunikasi dan
Lembaga Pernikahan dan Pembinaan Keluarga Sakinah
(LP2KS). Bidang II Departemen Pendidikan, Ma’had Aly
al -Wahdah, Ma’had Tahfidzul Qur’an, Pondok Pesantren
Salafiyah. Bidang III Departemen Kesehatan dan Lingkungan
Hidup, Departemen Pengembangan Usaha dan Lembaga
Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (LAZIS). Bidang IV
Departeme Sosial, Departemen Litbang dan Pengembangan
Sumber Daya manusia dan Lembaga Waqaf, Perencanaan
dan Pembangunan (LWP2). Selain itu, juga terdapat Biro
Administrasi Umum, Kerumahtanggaan, Humas dan
Hukum & Advokasi. Wahdah juga memiliki Lembaga Muslimah yang diperuntungkan khusus untuk kalangan perempuan di Wahdah. Di lembaga tersebut terdapat empat
unit: Unit Dakwah, Kaderisasi, Sosial dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia35.
Hampir semua departemen dari Wahdah Islamiyah ini
aktif. Departemen Dakwah dan Kaderisasi, termasuk Departemen yang paling aktif. Untuk Bidang Dakwah misalnya, Wahdah menangani khutbah Jumat di beberapa masjid. Di Makasar ada 26 Masjid yang khutbahnya ditangani
Wahdah. Selain itu mereka juga menangani khutbah untuk
periode dua kali sebulan, yaitu sebanyak 37 masjid; menangani majelis taklim syar’i, majelis taklim, majelis tarbiyah,
dan penanganan dakwah kampus. Untuk majelis tarbiyah
sendiri merupakan proses kaderisasi yang dilakukan berjenjang. Tercatat terdapat sekitar 135 majelis tarbiyah yang
saat ini dikelola. Majelis tarbiyah tingkat pemula 92 buah,
26 buah tingkat lanjutan dan 17 buah tingkat pembina.
35
“Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” h.2
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 155
Adapun penanganan dakwah kampus juga dilakukan di
hampir semua perguruan tinggi di Makasar dan beberapa
tempat lainnya. Di antaranya di UNM, UNHAS, UIN
Alauddin, STIK Tamalate, Politeknik Ujungpandang,
STAIN Bone, STAIN Gorontalo, UNHALU Kendari,
UNTAD (Palu), serta Universitas Khairus Shaleh dan Universitas Nuku di Ternate.36
Seperti kaderisasi, bidang pendidikan juga relatif gencar. Wahdah menangani lembaga pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi, termasuk Pesantren Tahfidzul Qur’an
dan Pesantren Tadribut Du’at. Pendidikan Wahdah ini tidak hanya berkembang di Makasar, tapi juga di daerah-daerah lain seperti Bulukumba, Sidrap, Bantaeng, atau
Palopo.
Pesantren Wahdah mulanya tidak menerima kurikulum dan ijazah dari pemerintah, baik Depag maupun Depdikbud. Namun belakangan, di tengah berbagai tekanan
akhirnya pesantren menerima kurikulum Depag, meskipun
yang dominan tetap kurikulum ala mereka sendiri yang
berkiblat ke pola pendidikan di Mekah dan Madinah. Organiassi ini juga memiliki Sekolah Tinggi Ilmu bahasa Arab
(STIBA) dengan mata kuliah al-Quran, Tafsir, Hadis Ahkam, Hadis Kutub Sittah, Tauhid, Fikih, Ushul Fikih,
Qawaid Fiqhiyah, Faraidh, Siyasah Syar’iyah, Peradilan Islam, Tarikh Islam, Nahwu Sharaf, Sastra Arab, Balaghah,
Metode Penelitian, Ushul Tarbiyah, Tarbiyah Islamiyah,
Psikologi Pendidikan, Metodologi Pengajaran. Referensi
kitab atau buku-buku rujukan untuk mata kuliah tersebut
tidak pasti. Dalam satu mata kuliah kadang bisa menggunakan banyak referensi. STIBA sekarang ini memilki 33
36
“Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” h. 24
156 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
orang dosen, 22 orang di antaranya alumni Timur Tengah,
dengan 350 mahasiswa dari berbagai pelosok Nusantara
yang statusnya mondok di asrama yang disediakan.37
Untuk Departemen Kesehatan dan Lingkungan Hidup,
Wahdah sudah memiliki rumah sakit bersalin, tempat dokter praktik, apotek, dan tempat praktik rukyah. Biaya yang
dipungut relatif terjangkau kalangan masyarakat bawah.
Sementara Departemen Lingkungan Hidup sekarang
ini mereka telah melakukan kerjasama dengan Departemen
Lingkungan Hidup dan pemda setempat di antaranya dengan melakukan pengajian-pengajian yang dikaitkan dengan
tema lingkungan.
Dalam melakukan berbagai aktivitas, Wahdah menjalin dan membangun jaringan dengan berbagai pihak. Di
antarnya pemerintah daerah, kepolisian, sekolah-sekolah
negeri (SMP dan SMA), stasiun radio, dan media cetak.
Organisasi ini tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu
atau organisasi tertentu. Hal ini bahkan dinyatakan secara
jelas dalam peraturan organisasinya. Meski demikian, Wahdah memberi kelonggaran secara individu kepada pengurusnya untuk berafiliasi dengan partai politik ataupun organisasi tertentu.38
Wahdah memiliki jaringan hingga ke luar negeri. Menurut penjelasan Qasim Saguni, Sekjen Pengurus Pusat
Wahdah, kekuatan jaringan luar negeri itu dapat terwujud
berkat jaringan Ustadz Zaitun yang memang memiliki relasi cukup baik dengan kalangan luar. Mereka memiliki jaringan dengan Haramain dan IRO. Saat ini bahkan Wahdah
tengah membangun hubungan dengan pemerintah Saudi,
untuk mendirikan perguruan tinggi di Sulsel. Perguruan
37
38
“Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” h. 25-33
“Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” h. 10-18
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 157
Tinggi itu rencananya bernama Imam Ibnu Saud. Pemda
Sulsel sendiri menerima baik rencana Wahdah ini, bahkan
siap untuk menyediakan tanah.39
3. Sumber dana
Pendanaan Wahdah ditopang dari beberapa unit
usaha. Di antaranya rumah sakit bersalin, apotek, dan koperasi, dokter praktik dan pengobatan lewat sistem rukyah,
penerbitan serta toko buku. Rumah sakit bersalinnya berdiri di Jalan Abd Dg Sirua. Dibanding dengan rumah sakit
lain, meski tetap membebankan biaya kepada para pasien,
rumah sakit bersalin ini tetap tergolong murah.
Apotek Wahdah menjual berbagai obat-obatan, khususnya obat yang dikembangkan sendiri berupa obat-obatan
dari ramuan daun-daunan dan jamu. Wahdah juga membuka praktik pengobatan ruqyah dan bekam. Praktik ini dibuka setiap hari dari jam 10.00 WITA hingga 21.00 WITA
dengan tarif per pasien Rp. 50.000. Tak hanya itu, di
tempat ini juga dijual kaset-kaset ruqyah, yang biasa dibeli
oleh pasien untuk melakukan ruqyah dengan perantara
kaset.
Selain dari unit usaha, Wahdah sering mendapat hibah
dari Timur Tengah, yaitu dari Yayasan Haramain dan IRO.
Dari kedua organisasi ini Wahdah Islamiyah mendapatkan
bantuan untuk mendirikan perguruan tinggi STIBA juga
rumah sakit bersalin dan beberapa masjid di Makasar dan
beberapa daerah lainnya. Bantuan dari IRO dan Yayasan
Haramain ini pernah diputuskan pemerintah, setelah terjadinya pengeboman di mall Ratu Indah. Menurut Qasim
39
Wawancara Qasim Saguni, 26 Mei 2005
158 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Saguni, ada beberapa alumni dari Wahdah dicurigai terlibat, meski pada akhirnya tidak terbukti sama sekali.40
4. Jaringan Alumni
Alumni-alumni dari Wahdah Islamiyah saat ini banyak
yang melanjutkan sekolah ke Timur Tengah. Beberapa di
antaranya menjadi pembina sekolah Islam di luar negeri
seperti Ustadz Zaitun, salah seorang pendiri Wahdah Islamiyah, yang menjadi pembina sekolah Islam di Jepang. Sebagian alumni ini adapula yang begabung dalam KPPSI
(Komite persiapan Penegakan Syariat Islam)
5. Pemahaman Keagamaan
Selama ini Wahdah mengklaim dirinya sebagai kelompok ahlusunnah wal Jama`ah dan pengikut para salafus
shalih. Dalam satu wawancara dengan Time, Ustadz Ikhwan, Lc, salah seorang Ketua Wahdah, secara diplomatis
tidak mau menyatakan bahwa Wahdah Islamiyah pengikut
Wahabi. Saat itu dia menyatakan bahwa apa yang kita maksudkan dengan Wahabi menurutnya berasal dari nama
orang Abdul Wahab. Wahdah sendiri tidak mengikutinya,
tapi yang pasti Wahdah hanya mengikuti para salafus
as-shalih.41
Hanya saja bila melihat rujukan kitab-kitab acuannya,
Wahdah sangat dekat dengan ideologi Wahabi. Mereka pengagum tokoh-tokoh dari kalangan Wahabi seperti Abdullah bin Baaz. Kisah dan sepak terjang Abdullah bin Baaz
pernah dimuat al-Bashirah dengan tajuk “Lautan Ilmu itu
Bernama Abdullah bin Baaz”.42
Wawancara Qasim Saguni
Wawancara berlangsung Juni 2007 di Café Phoenam Makasar.
42
Al-Bashirah 05 Tahun II, 2007
40
41
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 159
Bila dilihat dari geneologinya, Wahdah ini didirikan
oleh kalangan yang semula para aktivis Muhammadiyah,
namun gerah dengan sikap ormas tersebut yang nilai lemah
melawan praktik dan kebudayaan lokal yang berkembang
di Sulsel. Dengan demikian bisa dikatakan, Wahdah didirikan oleh orang-orang yang secara tegas hendak menjalankan
ideologi modernisme dan wahabisme Muhammadiyah yang
dianggap mulai melemah.43
Pada perkembangannya saat ini, Wahdah memang dalam berbagai dakwahnya senantiasa memepersoalkan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan komunitas lokal. Bahkan
bukan hanya pada komunitas lokal, pada penganut tarekat
dan pencinta tasawuf juga mereka cenderung tidak setuju.
Di Bulukumba, seperti dikemukakan Mardianto, Wahdah pernah menggelar seminar dan dialog mengenai tasawuf. Pada seminar yang menghadirkan Ustadz Ikhwan dari
Wahdah dan Mardianto dari Naqsabandiyah, kalangan Wahdah menyerang penganut tasawuf dengan sengit. Mardianto
sendiri diminta bertobat.44
Dengan begitu bisa digarisbawahi bahwa Wahdah pada dasarnya mengembangkan Islam, terutama di Bulukumba, dengan sikap yang vis a vis dengan kebudayaan lokal,
termasuk terhadap penganut tarekat dan tasawuf.
I.
Penyerangan Terhadap Tarekat Naqsabandiyah
Sejak tahun 1994-1995 itu, penerimaan terhadap tarekat
ini oleh masyarakat Bulukumba sangat baik. Tidak ada reaksi
maupun usaha penentangan terhadap keberadaan tarekat tersebut. Keadaan semacam itu berlangsung hingga tahun 2000-an.
43
44
Wawancara Qasim Saguni, 26 Mei 2005
Wawancara Mardianto, 25 Januari 2009
160 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Tepatnya 20 Nopember 2007, peristiwa penyerangan itupun terjadi. Tarekat Naqsabandiyah yang melaksanakan kegiatannya di desa Sapolohe Tanah Beru, Kecamatan Bontobahari,
diserang sekelompok orang yang mengatas namakan warga
Tanah Beru, wilayah yang termasuk ”zona syariat”.
Peristiwanya sendiri terjadi pukul 21.00 WITA. Beberapa
media menyebut terjadi pukul 22.30 WITA seperti diberitakan
Fajar (21/11/07). Sekitar 300-an orang mendatangi sebuah
tempat yang selama ini dikenal lokasi komunitas Naqsabandiyah
menggelar ritual zikir.
Tak diketahui pasti dari mana datangnya orang-orang
tersebut, tiba-tiba saja sudah menyemut dan berdatangan dari
beberapa arah menuju lokasi. Rata-rata mereka membawa pentungan dan batu. Wajah mereka rata-rata ditutupi dengan cadar atau kain sarung. Beberapa orang nampak berambut panjang (gondrong). Mereka membawa pentungan dan bebatuan.
Sampai di lokasi penyerang memutus aliran listrik. Keadaan
pun gelap. Beberapa jemaah Naqsabandiayah yang masih ada
di lokasi tak bisa mengenali situasi. Saat itu sekitar tujuh
orang masih di dalam gedung, sedang lainnya sudah lebih dulu
pulang karena waktu itu acara zikir memang usai. Dai atau
guru Naqsabandiyah untuk daerah ini, Muh Ridwan sempat
tersandung dan terjatuh karena tak bisa melihat apa-apa. Keningnya berdarah. Sementara massa di luar mulai melempari
bangunan. Beberapa di antaranya menggunakan pentungan untuk merusak bangunan tersebut.45
Menurut pihak kepolisian, pada saat penyerangan orangorang yang datang menutupi wajah mereka dengan kain sehingga tidak jelas siapa sesungguhnya mereka. Di samping itu
ada beberapa di antara mereka yang berambut gondrong, pada45
Keterangan pihak kepolisian Kecamatan Botobahari, 5 Desember 2007.
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 161
hal di daerah tersebut jarang orang yang berambut gondrong.
Kesimpulan kepolisian Bontobahari, massa yang datang menyerang bukan hanya dari Tanah Beru dan sekitarnya, tapi kemungkinan dari luar wilayah.46 Salah satu warga yang ditemui
juga menyatakan, mereka dipanggil mendadak untuk melakukan penyerangan terhadap kelompok Naqsabandiyah.47 Bila demikian berarti penyerangan ini bukan spontan dari masyarakat
Tanah Beru, tapi di desain, dan kemungkinannya penyerang
memiliki jaringan kuat dengan kecamatan lain di Bulukumba.
Jemaah Naqsabandiyah yang ada di lokasi waktu itu tidak
bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa diam menyaksikan
bangunan yang selama ini mereka tempati beribadah dihancurkan. Untung saja massa saat itu tidak menyerang ke arah
jemaah Naqsabandiyah sehingga tidak ada korban dari jemaah
ini. Namun kerugian materil diperkirakan hingga 20 jutaan
rupiah.
Tidak berapa lama kemudian kepolisian dari Polsek Bontobahari ditambah personil Polres Bulukumba datang. Mereka
segera mengevakuasi jemaah Naqsabandiyah yang ada di sekitar
lokasi. Jemaah ini dibawa ke kantor Polsek Bontobahari. Bahkan selanjutnya beberapa orang dari jemaah ini malah “diamankan” ke Polres untuk dimintai keterangan.
Soal perusakan bangunan, tak ada tindakan berarti dari kepolisian untuk mencegah kerusakan lebih jauh. Kecuali berusaha
menenangkan massa. Salah seorang polisi menjelaskan, pihaknya
tidak bisa berbuat banyak karena jumlah massa jauh lebih banyak.
Salah-salah menurutnya polisi juga bisa diserang.48
Keterangan pihak kepolisian Kecamatan Botobahari, 5 Desember 2007
Keterangan salah seorang warga Tanah Beru yang tidak mau disebut
namanya, 5 Desember 2007
48
Keterangan salah polisi dari Kapolsek Bontobahari, tidak mau disebut,
5 Desember 2007
46
47
162 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
1. Kenapa Warga Tanah Beru Menyerang
Naqsabandiyah?
Peristiwa penyerangan Naqsabandiyah di daerah Tanah
Beru ini jauh hari sudah di prediksi Mardianto, pimpinan
Naqsabandiyah Bulukumba yang juga dosen STAI Al-Gazali.
Pimpinan Naqsabandiyah kemudian memperingatkan agar,
Naqsabandiyah di Tanah Beru untuk sementara menghentikan aktivitasnya.
Mardianto memprediksi demikian karena dia mendapatkan informasi mengenai pandangan masyarakat Tanah
Beru terhadap Naqsabandiyah yang intinya melihat negatif
kehadiran kelompok tarekat ini. Di masyarakat Tanah Beru
beredar informasi bahwa Naqsabandiyah ini sesat, setiap
merekrut anggota harus bayar, jemaah Naqsabandiyah sudah tidak mau ikut salat Jumat, tidak mau lagi naik haji
dan proses perekrutan anggotanya dimulai dengan satu proses yang aneh. Orang yang mau masuk Naqsabandiyah,
menurut informasi tersebut, harus terlebih dahulu masuk
ke kamar tertentu secara berpasangan dan berlainan jenis.
Di kamar itu mereka telanjang. Yang bisa bertahan dan
tidak melakukan apa-apa hingga pagi maka merekalah yang
dinyatakan resmi menjadi jemaah Naqsabandiyah.49
Inilah alasan mengapa warga Tanah Beru melakukan
penyerangan. Bagi Mardianto informasi tersebut jelas keliru. Apa yang diasumsikan masyarakat tentang Naqsabandiyah berbeda 180 derajat dari kenyataannya.
2. Siapa yang mengedarkan informasi keliru tersebut?
Beberapa informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa informasi semacam itu justru muncul dari kalangan
49
Wawancara Mardianto, 25 Januari 2009
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 163
jemaah Naqsabandiyah sendiri. Mereka yang bicara bahwa
lebih nikmat berzikir ala Naqsabandiyah daripada naik haji
atau tidak usah salat Jumat bila sudah ikut Naqsabandiyah.
Betulkah demikian? Menurut Mardianto, memang ada
jemaah mereka yang menjelaskan Naqsabandiyah kurang
tepat. Namun menurutnya tidak sejauh seperti yang beredar tadi. Masalahnya lebih disebabkan upaya penolakan
terhadap tarekat dan tasawuf oleh beberapa kelompok di
masyarakat yang kemudian mengatasnamakan warga Tanah
Beru secara keseluruhan. Terbukti setelah MUI Bulukumba
lewat ketuanya Kiai Mahdi mengeluarkan pernyataan bahwa
Naqsabandiyah tidak sesat dan merupakan tarekat muktabarah di Indonesia, kelompok yang mengatasnamakan masyarakat Bontobahari masih menolaknya.50
A. Putra Wangsa, salah satu jemaah Naqsabadiyah di
Tanah Beru juga menolak keras isu yang berkembang di
masyarakat. Menurutnya tidak ada warga Naqsabandiyah
yang menyatakan bahwa tidak usah ikut salat Jumat atau
tidak mau naik haji. Yang sering muncul adalah pandangan
dari jemaah Naqsabandiyah yang sudah haji, bahwa seandainya mereka sudah paham cara berzikir ala Naqsabandiyah,
kemudian naik haji, tentu mereka bisa melakukan amalan
zikir itu di tanah suci Mekah. Putra Wangsa menganggap
isu-isu yang berkembang itu adalah semacam stigma yang
diarahkan pada Tarekat Naqsabandiyah oleh kelompok-kelompok tertentu yang tidak menyukai tarekat ini.51
Alasan penolakan ini akhirnya terungkap ketika terjadi
dialog antara pemerintah, tokoh masyarakat, pihak Naqsabandiyah dan beberapa organisasi Islam pada 23 Nopember
Wawancara Mardianto, 25 Januari 2009
Wawancara dengan Putra Wangsa, salah seorang jemaah Tarekat
Naqsabandiyah
50
51
164 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
2007, tiga hari setelah penyerangan. Saat itu pihak Naqsabandiyah yang diwakili Ir Yusran Yusuf dan Drs Mardianto
membantah semua asumsi tentang mereka yang beredar di
masyarakat dan menjelaskan apa sesungguhnya Naqsabandiyah itu. Namun beberapa masyarakat tetap menolak. Saat
itu diwakili oleh orang-orang yang berasal dari jaringan
Wahdah Islamiyah menyatakan tidak bisa menerima Naqsabandiyah, karena masyarakat di daerah itu belum siap memahami tarekat dan tasawuf. Salah satu dari orang Wahdah
Islamiyah, nampak paling ngotot hari itu menolak keberadaan Naqsabandiyah. Alasannya bagi masyarakat Tanah Beru
yang perlu lebih dikembangkan adalah menjalankan syariatnya saja dulu secara formal. Mempelajari tasawuf malah
akan membuat kacau.52
Pascapertemuan salah satu pengurusnya di daerah Tanah Beru yang bernama Mansur pernah berdebat sengit
dengan Mardianto. Saat itu menurut keterangan dari Mardianto, setelah pertemuan Tanah Beru dia berusaha menemui Mansur di tempat kerjanya di kantor pos Bulukumba.
Mardianto lalu menanyakan kenapa Mansur yang hadir saat
rapat pada 23 Nopember 2007 nampaknya sangat ngotot
menolak keberadaan Naqsabandiyah di daerah Tanah Beru.
Saat itu Mansur menyatakan bahwa tasawuf atau tarekat
itu bukan ajaran Rasulullah, dan menurutnya ia punya kitab yang menjelaskan itu. Mardianto saat itu meminta dibawakan kitabnya dan siap melayani Mansur berdiskusi
lebih jauh di rumahnya. Namun sampai saat ini menurut
Mardianto, Mansur belum pernah datang.53
Wawancara dengan Mardianto, jemaah Tarekat Naqsabandiyah, 24
Januari 2009 dan Lina, warga Tanah Beru, 25 Januari 2009
53
Wawancara Mardianto, 25 Januari 2009
52
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 165
Mardianto menganggap penolakan kalangan Wahdah
terhadap tarekat dan tasawuf karena mereka tidak tahu
tentang tasawuf. “Mereka hanya berada di luar dan tidak
tahu isinya, tapi berani menyalahkan”. Makanya menurut
Mardianto setelah pertemuan di Bontobahari dia menemui
salah satu pengurus Wahdah yang bernama Muktar. Dia
mengajaknya berdiskusi, khususnya soal Hadis yang diangkat Muktar yang menyatakan Nabi melihat orang-orang
yang bertarekat itu sesat. Namun Muktar menolak berdiskusi. Akhirnya Mardianto menyimpulkan, penolakan itu
bukan lagi semata-mata karena perbedaan nilai dan pandangan tapi berkaitan dengan soal kuasa. “Mungkin karena
mereka melihat perkembangan Naqsabandiyah yang cukup
pesat di Bulukumba mengganggu eksistensi mereka,” ujarnya. “Buktinya mereka diajak diskusi juga tidak mau,”
lanjutnya.54
Celakanya, penolakan dari beberapa kelompok masyarakat itu justru didukung pemerintah setempat. Baik lurah
maupun camat sama-sama menegaskan, jika masyarakat
masih sulit menerima aliran Naqsabandiyah. Karena itu
mereka tidak bisa memberi izin. A. Mattalatta, Camat Bontobahari menyatakan bahwa pemerintah harus memenuhi
tuntutan masyarakat yang mainstrem di Bontobahari. Karena
mayoritas masyarakat belum bisa menerima, maka pemerintah juga tidak bisa memberi izin. Bahkan Camat Tanah
Beru yang ditemui terpisah ini menjelaskan bahwa selama
ini pihak pemerintah belum pernah memberikan izin
mendirikan tempat ibadah bagi Naqsabandiyah. Izin yang
diberikan adalah izin mendirikan gudang di desa Sapolohe.
Gudang itu ternyata dijadikan tempat ibadah bagi Naqsaban54
Wawancara Mardianto 25 Januari 2009
166 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
diyah. Ketika ditanya kepada Camat Bontobahari ini kenapa
tidak diberikan izin, menurutnya jemaah Naqsabandiyah ini
berbaur saja ibadahnya dengan masyarakat umum. Di
Bontobahari ini menurutnya banyak masjid dan musala,
kenapa mereka tidak bergabung saja beribadah di masjid
dan musala yang ada.55
Pandangan camat ini, tentu saja dibantah tegas pihak
Naqsabandiyah. Menurut Mardianto, jemaah Naqsabandiyah
bukan tidak mau berbaur dengan masyarakat dalam menjalankan ibadah, karena salat lima waktu jemaah Naqsabandiyah berbaur melaksanakan salat dengan masyarakat di
masjid-masjid kampung. Namun memang ada jadwal bagi
mereka untuk melakukan zikir. Karena zikir mereka lebih
cenderung dilakukan dengan kalbu, maka paling cocok
dilakukan di tempat yang agak sunyi. Karena itu biasanya
ada tempat tertentu yang mereka siapkan untuk menyepi
atau uzlah.56
Pihak kapolsek juga dengan tegas menyatakan tidak
bisa memberi jaminan perlindungan terhadap kelompok
Naqsabandiyah bila masih tetap menjalankan aktivitasnya di
Tanah Beru, Bontobahari. Pernyataan Kapolsek setempat
ini, tentu saja membuat jemaah Naqsabandiyah merasa tidak mendapat perlindungan dari aparat57. Padahal negara
dengan segenap aparatnya wajib melindungi kebebasan satu
golongan untuk melakukan ibadah menurut kepercayaannya.
Apalagi keberadaan Naqsabandiyah ini jelas sudah dinyatakan pihak MUI sebagai tarekat muktabarah.58
Wawancara A. Mattalatta, Camat Bontobahari, 25 Januari 2009
Wawancara Mardianto, 25 Januari 2009
57
Wawancara Mardianto, 25 Januari 2009
58
Wawancara dengan Kiai Mahdi (Ketua MUI Bulukumba), tanggal 6
Desember 2007
55
56
MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 167
Dari beberapa alasan di atas, ada satu kesimpulan sederhana yang bisa ditarik, penyerangan Naqsabandiyah ini
terjadi karena masyarakat Tanah Beru atau Bontobahari
tidak mau menerima tarekat ataupun tasawuf. Jika itu
alasannya, maka jelas sekali aneh dan bertolak belakang
dengan kultur masyarakat dengan sejarah Islam awal di
wilayah ini. Bukankah daerah Tanah Beru terkenal sebagai
tempat masyarakat Islam yang berbaur dengan kultur setempat?59 Seperti dijelaskan sebelumnya Tanah Beru ini dikenal sebagai tempat pembuatan perahu pinisi yang sejak
awal pengerjaan hingga melepasnya ke pantai disertai dengan ritual-ritual khas lokal. Corak Islam pertama yang
masuk juga lebih bernuansa tasawuf ketimbang syariat. Deskripsi di atas menunjukkan adanya peran organisasi tertentu
yang di dukung oleh pemerintah setempat yang berperan
besar dalam proses peneolakan terhadap Naqsabandiyah
ini.
J. Penutup
Kasus penyerangan Naqsabandiyah di Bulukumba ini menunjukkan betapa keragaman masih menjadi sesuatu yang aneh
di negeri ini. Disamping itu ada beberapa hal yang perlu kita
perhatikan dari kasus ini :
• Kemunculan beberapa organisasi dan kelompok Islam tertentu di Bulukumba telah merubah pola pemahaman dan
Istilah Islam kultural disini saya gunakan bukan dalam pengertian sebaliknya dari Islam struktural. Tapi yang saya maksudkan adalah pengamalan
Islam yang hybrid. Mendialogkan antara kepercayaan lokal dan tradisi dengan
ajaran Islam. Saya juga tidak menggunakan istilah Islam abangan dalam pengertian Gertz. Klasifikasi ini belum pas untuk komunitas Islam di Bulukumba.
59
168 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
praktik keagamaan masyarakat. Di samping itu kemunculan
organisasi dan kelompok Islam baru ini telah menguatkan
purifikasi Islam dan mendorong sikap eksklusifitas dalam
beragama sehingga semakin kurang penghargaan terhadap
perbedaan.
• Dalam kasus penyerangan Naqsabandiyah ini pemerintah
setempat cenderung membiarkan dan tidak memberikan
perlindungan semestinya. Bahkan menurut penjelasan Mardianto, lurah dan camatnya ikut aktif mendorong penolakan
terhadap Naqsabandiyah
• Nampaknya penyerangan terhadap Naqsabandiyah ini ditengarai karena masyarakat tidak setuju dengan paham-paham
tarekat dan tasawuf. Pandangan ini tampaknya akibat pengaruh dari beberapa organisasi puritan berhaluan Wahabi. Sebab, sebelumnya masyarakat Tanah Beru atau Bulukumba
pada umumnya adalah masyarakat yang dekat dengan tradisi
tasawuf dan tarekat. []
Yang Sesat Yang Berkembang Pesat:
Identitas Gereja Mormon dalam
Ruang Publik Semarang1
TEDI KHOLILUDIN
We Believe the Bible to be the word of God as far as it is
translated correctly; we also believe the Book of Mormon to
be the word of God. (Pasal 8 dari The Articles of Faith)
We Believe in the gathering of Israel and in the restoration of
the Ten Tribes; that Zion (the New Yerusalem) will be built
upon the American continent; that Christ will reign personally
upon the earth; and the earth will be renewed and receive its
paradisiacal glory (Pasal 10 dari The Articles of Faith).2
Penulis ingin mengucapkan terima kasih atas kerjasama para informan
yang telah memungkinkan penelitian singkat ini bisa terlaksana. Kepada Prof
John A. Titaley, Presiden Gereja Mormon Cabang Semarang dan informan
lainnya.
2
Articles of Faith itu semacam kredo atau syahadat bagi penganut Mormon.
Isinya ada 13 pasal. Secara sepintas tidak ada yang berbeda dengan ajaran
Kekristenan mainline. Dua pasal itulah yang mungkin sedikit memberi warna
pada identitas gereja ini.
1
170 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
A. Latar Belakang
Gereja Sesat! Gereja Setan! Begitulah kelompok Mormon
biasa mendapat cibiran.3 Identifikasi sebagai penganut ”sekte
sesat” tentu bukanlah sesuatu yang mengenakkan. Begitu juga
yang dirasakan penganut Mormon. Meski terus bergumul dengan penyesatan, tetapi lambat laun gereja ini mengalami banyak perubahan signifikan.
Sebelum masa reformasi, bersama Saksi Yehova, Mormon
adalah bagian dari sekte kekristenan yang tidak diakui keberadaannya.4 Untuk kasus Mormon, barangkali lebih tepat dikatakan bahwa mereka diberi ruang yang sangat terbatas. Pembatasan terhadap kelompok keagamaan kecil, saat itu mendapat
sorotan luar biasa, termasuk dari dunia internasional. Dalam
laporan tahun 2000 tentang kebebasan beragama di Indonesia
yang dikeluarkan Department of State, Amerika Serikat
disebutkan:
…Moreover, a 1976 decision by the Attorney General,
reinforced by a separate decision by the same office in
1978, banned Yehovah’s Witnesses from practicing their
faith. Yehovah’s Witnesses claim that significant abuse,
including detention and torture, lasted until 1997. Although
government hostility toward Yehovah’s Witnesses has
subsided, open practice of the faith remains banned, and
Pengalaman terpinggirkan ini hampir merupakan bagian dari perjalanan
hidup jemaat Mormon yang menjadi informan dalam penelitian ini. Cerita
ini dituturkan kepada penulis oleh Mardiyono dan Restya Budi.
4
Sejauh ini informasi mengenai kebijakan pemerintah yang secara eksplisit
menyesatkan atau membatasi Mormon memang belum pernah ada. Berbeda
dengan Mormon, pelarangan terhadap Saksi-saksi Yehova sangat tegas dilakukan pemerintah. Hal itu termaktub dalam Surat Keputusan Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor Kep-129/JA/12/1976 tentang Pelarangan terhadap Ajaran/Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab/Saksi-saksi Yehova.
3
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 171
members report that they continue to experience difficulty
registering marriages, enrolling children in school, and in
other civil matters. … In addition ”mainstream” Christian
leaders have influenced government policy against ”fundamentalist” Christians. Non-Trinitarians (Yehovah’s Witnesses)
have faced government bans that they claim were instigated
by Trinitarian Christians.5
Saat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden (1999-2001), pelarangan terhadap aktivitas kelompok
keagamaan minoritas seperi halnya Saksi-Saksi Yehova dicabut.6
Jemaat gereja Mormon mendapat imbas dari sikap demokratis
dan pluralis Gus Dur. Keleluasaan untuk melakukan misi menjadi kembali terbuka. Yang paling mencolok adalah ketika Gus
Dur secara resmi mengundang Presiden Mormon saat itu, Gordon B. Hinckley ke Indonesia.
Meski demikian, Mormon tetaplah sekte sempalan yang
harus menelan pil pahit karena berbeda pemahaman dengan
Kristen arus utama. Resiko tersebut memang tidak dialami seperti halnya Ahmadiyah dengan kekerasan fisiknya serta pembatasan oleh negara. Warga Mormon, terutama adalah berhadapan dengan ”kekerasan kultural” berupa pandangan sinis
masyarakat dan bahkan penolakan terhadap kegiatan misi mereka di beberapa tempat.
Pada tahun 2006, di Manado sempat muncul perdebatan
mengenai kegiatan misi Mormon. Tantangan itu muncul dari
Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor U.S. Department of
State, Annual Report on International Religious Freedom: Indonesia, September
5, 2000.
6
SK Nomor 255 tahun 2001 tertanggal 1 Juni 2001. SK itu mencabut
Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Kep-129/
JA/12/1976 tentang Pelarangan terhadap Ajaran/Perkumpulan Siswa-siswa
Alkitab/Saksi-saksi Yehova.
5
172 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
PGPI (Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia) yang
tidak memberikan rekomendasi kepada gereja Mormon.7
Alasan yang diberikan PGPI yang membawahi 27 denominasi
dan dua ribu gereja lokal ini, Mormon bukanlah gereja, melainkan hanya kumpulan sekelompok orang.8
Ketua Umum PGPI Pdt Dr Lefrandt Lapian MA yang
juga Wakil Ketua Majelis Daerah Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) mengatakan, selama ini yang diungkap kelompok
Mormon adalah persamaannya dengan Umat Kristen, sementara perbedaan yang mencolok seperti Alkitab dengan versi
King James, Kitab Mormon, Kitab-kitab Perjanjian dan Kitab
Permata yang Berharga tidak disampaikan. “Padahal dalam ajaran Kristen hanya satu Alkitab yang dipegang. Sementara
Mormon ini ada empat,” ungkapnya.9
Bukan hanya itu, dalam ajaran Mormon dijelaskan Lapian, mengenal banyak Allah dan menolak Tritunggal Kekristenan yang Am.10 Pernyataan penolakan pemberian rekomendasi ini, kata Lapian sudah melewati kajian yang matang.11 Hal
ini membuktikan bahwa gereja dalam menyikapi munculnya
paham atau ajaran yang menyimpang perlu melakukan pencegahan sebagai upaya untuk menghambat lajunya kesesatan
masuk di daerah ini.12
Ditambahkannya, Kekristenan adalah percaya pada Tuhan
yang Maha Esa, bukan banyak Allah dan percaya akan karya
keselamatan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Tidak ditamhttp://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006/mei_31/hl003.html.
Diakses pada tanggal 19 Jan 2009.
8
http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006.
9
http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006.
10
http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006.
11
http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006.
12
http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006.
7
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 173
bah-tambah lagi dengan Joseph Smith. “Kristen yang sejati
adalah berasaskan Alkitab sebagai satu kebenaran. Artinya, Alkitab tidak dapat diubah atau ditambah-tambahi, apalagi disetarakan dengan buku lainnya atau ada kanon lain,” tegasnya.
Sementara Pendeta Lucky Rumopa Wasek PKB Sinode
Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) mengatakan kalau
setiap warga negara diberi kebebasan untuk mencari Tuhan
yang dilindungi dalam undang-undang negara. Sehingga Mormon telah diakui dan mempunyai badan hukum.13
Hanya saja dia menegaskan agar Mormon jangan diterima
di bawah Bimas Kristen mengingat aliran Mormon memiliki
kitab sendiri dan nabi sendiri dalam menemukan Allah. “Karena itulah perlu ada kajian lagi antara tokoh agama Kristen bersama Depag agar aliran Mormon dapat diterima,” tambahnya.
Pihaknya bukan mengatakan aliran Mormon tersebut sesat, namun perlu ada ketegasan bahwa yang diakui hanya Alkitab yang terdiri dari Kitab Perjanjian lama dan Perjanjian Baru. “Apabila Depag dalam hal ini Bimas Kristen tidak ada
standar yang digunakan maka saya kira Depag justru yang sesat,” tegas Pdt Rumopa.14
Meski ada hambatan yang dihadapi dalam pengembangan
kehidupan keagamaannya, secara lambat tapi pasti Mormon
mengepakkan sayapnya dengan meluncurkan situs www.yesuskristus.or.id. Maksudnya tentu sudah sangat jelas, memberikan
informasi tentang dasar-dasar iman, sejarah perkembangan dan
informasi lain terkait kegiatan mereka di Indonesia.
Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Departemen Agama, Jason Lase mengatakan
http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006/sep_18/lkMim001.
html. Diakses pada tanggal 19 Jan 2009.
14
http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006/sep_18/lkMim001.
html
13
174 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
bahwa melalui teknologi internet, pertukaran informasi dapat
berjalan dengan sangat cepat, dan disitulah umat beriman dapat memakai teknologi untuk membuat jejaring dan mengomunikasikan pesan-pesan ilahi kepada manusia yang terhubung
dan memiliki akses dengan teknologi tersebut. Atas dasar itulah ia menyambut dengan senang hati peluncuran situs/website
resmi Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman
Akhir (OSZA, selanjutnya disebut Mormon).15
Dinamika serta pergulatan keagamaan gereja Mormon di
Indonesia, sangat menarik dicermati. Yang utama barangkali
terkait dengan cara mereka mempertahankan diri dari kepungan mainline churches serta negara yang tercermin melalui kebijakan-kebijakannya. Dengan begitu, maka kita bisa mengidentifikasi cara serta strategi mereka untuk memperteguh
identitasnya.
Jemaat gereja Mormon di Kota Semarang dipilih sebagai
objek penelitian. Pilihan ini dimaksudkan sekedar untuk melokalisir wilayah penelitian. Dengan merujuk pada komentar
yang dimunculkan oleh jemaat di objek penelitian, maka upaya
untuk mengidentifikasi identitas gereja Mormon sudah bisa
dilakukan.
B. Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini
berusaha untuk mencari jawaban atas beberapa pertanyaan berikut. Pertama, bagaimana dinamika kehidupan keagamaan gereja
Mormon di Indonesia. Kedua, apa tantangan yang dihadapi
oleh komunitas ini. Ketiga, dalam konteks yang spesifik, peSambutan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Departemen
Agama RI pada acara peluncuran situs/website gereja Yesus Kristus Dari
Orang-orang Suci Zaman Akhir pada tanggal 17 Agustus 2005.
15
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 175
nelitian ini berusaha untuk mengambil saripati dari pengalaman
bergereja Jemaat Mormon di Semarang kaitannya dengan usaha
mereka membentuk identitasnya. Penelitian ini dilaksanakan
pada Agustus 2008-Maret 2009 dengan mengambil sampel
jemaat gereja Mormon di Jl. A Yani 30 Semarang.
C. Perspektif Pembacaan: Teori Identitas
Untuk membaca dinamika kehidupan warga Mormon,
maka penelitian ini akan menggunakan perspektif identitas atau
the theory of identity. Identitas yang digambarkan secara teoritis
ini dihadirkan sebagai jembatan untuk memahami apa yang
menjadi petanda bagi eksistensi kelompok Mormon di Semarang ini. Dengan menyandarkan pada teori identitas, maka kelompok Mormon akan diidentifikasi sebagai gerakan yang bercirikan identitas apa. Itulah signifikansi pembahasan tentang
identitas sebagai kerangka teoritik dalam bagian ini.
Identitas tidaklah berlaku tetap, mapan, apalagi tertakdirkan, melainkan dibentuk dengan kesadaran melalui suatu proses sosial. Identitas merupakan suatu kondisi yang selalu dalam
proses, karena kebudayaan disepakati sebagai situs perjuangan
ideologi tempat kelompok-kelompok terbawahkan melawan
wacana kelompok dominan, sementara kelompok dominan harus menegosiasi wacana perlawanan kelompok terbawahkan
ini, agar wacananya tetap dominan.
Perspektif tentang identitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengacu pada kategorisasi Manuel Castell dalam The Power of Identity. Tetapi sebagai pembanding, perlu digambarkan di sini mengenai identitas dalam pandangan lain.
Charles Taylor misalnya menempatkan pembahasan identitas ini dalam konteks diskursus multikulturalisme. Ia menggambarkan fenomena kemajemukan dalam apa yang ia sebut
176 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
sebagai the politics of recognitions atau politik pengakuan. Tesis
utama dari konsep ini adalah bahwa identitas manusia sebagian
dibentuk oleh pengakuan atau tidak adanya pengakuan, dan
person atau grup masyarakat dapat merasakan penderitaan dan
penyimpangan jika masyarakat di seputarnya bercermin kembali padanya untuk membatasi, merendahkan diri atau gambaran yang hina mengenai diri mereka.16
Teoritikus lain yang mengemukakan gagasan tentang identitas adalah Sheldon Stryker. Seperti dikutip Jonatan H. Turner, Stryker mencari hubungan antara identitas dengan self.17
Gagasan tentang identitas menjadi jalan utama untuk merekonseptualisasi self. Dalam term umum, self dilihat sebagai seperangkat identitas yang merespon situasi khusus. Self dengan
demikian dikonstruksi melalui sejumlah identitas.
Identitas dapat berfungsi sebagai filter dari pandangan
dan interpretasi seseorang terhadap orang lain. Identitas, dengan demikian, menurut Stryker adalah critical link antara
struktur individu dan sosial karena identitas menunjukan bahwa masyarakat membuat dirinya sendiri dalam kaitannya dengan struktur sosial dan peran yang mereka mainkan melalui
kebenaran di tempat tersebut.18
Paparan terakhir tentang kerangka teoritik dari identitas
didedah oleh Manuel Castell.19 Castell menyebut bahwa identitas adalah sumber makna dan pengalaman manusia. Kita tidak bisa mengenal orang lain tanpa nama, tanpa bahasa atau
Charles Taylor, Multiculturalism: Examining The Politics of Recognition,
(Princeton: Princeton University Press, 2004), h. 25.
17
Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory, (California:
Wadsworth Publishing Company 1998), h. 374.
18
Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory.
19
Manuel Castell, The Power of Identity, (Malden: Blackwell, 2004), h. 8.
16
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 177
budaya dalam mana kita bisa membuat pembedaan antara diri
sendiri dan pihak lain, kita dan mereka.
Pemahaman diri sendiri (self knowledge) selalu merupakan
konstruksi betapapun orang menganggap bahwa itu suatu penemuan, tak pernah sama sekali dipisahkan dari klaim untuk
dikenal dalam cara spesifik oleh pihak lain.
Identitas, sebagaimana ia merujuk kepada aktor-aktor sosial, dipahami sebagai proses konstruksi makna atas dasar suatu
atribut budaya atau seperangkat atribut kultural, yang diberi
prioritas dibandingkan dengan sumber makna yang lainnya.
Karena konstruksi sosial dari identitas selalu terjadi dalam
suatu konteks yang ditandai oleh hubungan-hubungan kekuasaan, maka ada tiga bentuk dan asal usul dari pembangunan
identitas. Pertama, legitimizing identity. Identitas ini berarti bahwa ia diperkenalkan/dipaksakan oleh institusi dominan dari
masyarakat untuk memperpanjang/memperluas serta merasionalisasi dominasi mereka atas aktor sosial. Setiap tipe menuju
proses pembanganan identitas memiliki dampak yang berbeda
dalam masyarakat.
Identitas legitimasi umumnya memiliki makna yang sama
dengan masyarakat sipil, sekumpulan organisasi dan institusi,
beberapa seri dari pembangunan dan aktor organisasi sosial,
yang produktif, walaupun terkadang dalam keadaan kolektif,
identitas yang dirasionalisasikan menjadi sumber dari dominasi
struktural. Masyarakat sipil pada umumnya menganjurkan sebuah nada positif dalam perubahan masyarakat.
Memang dalam konsepnya, masyarakat sosial dibentuk
dari sekumpulan aparatur seperti gereja, koperasi, partai, persekutuan, asosiasi umum dan lain sebagainya. Sekumpulan
aparatur tersebut di satu pihak merupakan satu kesatuan tersendiri, tetapi di lain pihak merupakan akar dalam masyarakat.
Justru di sinilah terdapat dualisme karakter masyarakat sipil
178 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
yang memiliki hak dalam perubahan politik yang dimungkinkan
oleh perampasan kekuasaan tanpa pemberian sebuah pemerintahan dan penyerangan keras. Penaklukan kekuasaan oleh
keterpaksaan perubahan (mengatakan pemaksaan kemasyarakatan, dalam pemikiran Gramsci) saat ini dalam masyarakat
sipil memungkinkan itu menjadi tepat karena kesinambungan
antara institusi masyarakat sipil dan kekuatan aparatur dalam
negara, pengorganisasian yang memiliki persamaan identitas.
Kedua, resistance identity. Identitas jenis ini dimunculkan
oleh aktor yang ada dalam posisi/kondisi yang tertindas atau
dicap rendah oleh logika dominasi. Karena itu mereka berusaha untuk membangun kekuatan penolakan dan survival atas
dasar prinsip yang berbeda atau bertentangan dengan yang dipaksakan oleh masyarakat. Identitas ini dibangun atas dasar
bentuk perlawanan kolektif terhadap bentuk kebijaksanaan
yang memberikan sebuah tekanan yang tidak dapat ditahan.
Dasar dari pembentukan identitas ini juga dibentuk oleh
sejarah. Contohnya, nasionalisme seringkali hadir karena perasaan teraleniasi atau di lain pihak hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, dalam bidang ekonomi dan
sosial.
Ketiga, project identity. Identitas ini muncul bila aktor-aktor sosial, atas dasar materi kultural yang tersedia bagi mereka, membangun identitas baru yang meredefinisi posisi mereka
dalam masyarakat. Dengan cara itu mereka berusaha mentransformasi seluruh stuktur masyarakat/sosial. Contohnya: masyarakat post-patriarkal, gender, atau suatu rekonsiliasi antarpemeluk agama sebagai hasil perubahan dari pemahaman tidak
adanya Tuhan, antikomunitas, masyarakat materialistis, yang
di lain pihak semua itu tidak mampu menyelesaikan kebutuhan
manusia dan gambaran tentang Allah. Identitas proyek ini lahir
berdasarkan konteks historis.
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 179
Perspektif Castellian inilah yang akan menjadi parameter
kerangka konseptual. Apakah identitas kelompok ini berwujud,
legitimasi, perlawanan ataukah identitas proyek.
D. Joseph Smith dan Pemulihan Gereja Yesus Kristus:
Beberapa Doktrin Kunci
Nama resmi gereja Mormon di Indonesia adalah Gereja
Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir atau yang
seringkali disingkat menjadi OSZA. Dalam bahasa Inggris nama
gereja ini adalah The Church of Jesus Christ of Latter-Day Saints dan disingkat LDS. Nama ”Mormon” yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan Kitab Suci mereka yang
kedua di samping Alkitab, yaitu Kitab Mormon (The Book of
Mormon).
Mormon adalah salah satu kelompok yang sangat cepat
berkembang pada abad ke-20 dan ke-21 ini. Pengaruh mereka
sangat terasa di AS, khususnya dalam politik pemerintahan negara ini. Saat ini ada lima senator AS yang berlatar belakang
Mormon, yaitu Orrin Hatch dan Bob Bennett (Utah, R),
Mike Crapo (Idaho, R), Harry Reid (Nevada, D), dan Gordon
Smith (Oregon, R). Keputusan-keputusan yang mereka ambil
dengan sendirinya sangat dipengaruhi oleh konstituensi mereka
dan iman mereka.
Dunia pendidikan dan kebudayaan Amerika Serikat juga
cukup banyak dipengaruhi oleh orang-orang Mormon, misalnya
Stephen Covey yang terkenal dengan bukunya 7 Habits of
Highly Effective People dan keluarga Osmond yang terkenal
melalui Donny Osmond dan Mary Osmond. Paduan suara
Mormon Tabernacle dapat dikatakan sebagai salah satu paduan
suara terbaik di dunia dan banyak sekali pengagumnya.
180 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Doktrin kunci yang menjadi identitas gereja Mormon
sebenarnya cukup banyak. Selain Kitab Mormon,20 konsep kenabian (Joseph Smith) dan pemulihan gereja Yesus Kristus dari
masa kemurtadan adalah dua ajaran yang cukup krusial dalam
tradisi gereja Mormon. Seperti halnya kekristenan pada umumnya, ajaran Mormon juga memahami bahwa Yesus Kristus
adalah pusat dari segala yang dilakukan manusia. Di gereja
Mormon, Yesus Kristus dan korban tebusan adalah pusatnya.
Selain itu fokus dari ajaran gereja Mormon juga berkisar dalam
masalah keluarga. Bagi mereka, keluarga merupakan tempat
yang paling kudus di atas bumi ini. Hubungan keluarga bukan
saja sesuatu yang kebetulan atau berlangsung dalam waktu
sebentar. Setelah kehidupan ini, keluarga tidak menjadi teman
yang akrab di surga saja, tetapi kita tetap sebagai unit keluarga, seperti halnya kehidupan dunia.
Dalam sebuah pernyataannya, Presiden Gordon B. Hinckley mengatakan kalau keluarga ditetapkan oleh Allah. Pernikahan antara pria dan wanita adalah mutlak bagi rencana
kekal-Nya.21 Anak-anak berhak dilahirkan dalam ikatan perkawinan dan untuk dibesarkan oleh seorang ayah dan seorang
Kitab Mormon merupakan kumpulan dari 15 tulisan yakni I Nefi, II
Nefi, Yakub, Enos, Yarom, Omni, Sabda Mormon, Mosia, Alma, Helaman,
III Nefi, IV Nefi, Mormon, Eter dan Moroni. Kitab ini memiliki beberapa
tema utama antara lain, bermukimnya orang Ibrani di benua Amerika sebelum
era kekristenan, pertobatan, Amerika sebagai tanah terjanji dan wawasan
milenial dalam kaitannya dengan pembangunan Sioan di Amerika. Selain
membaca Kitab Mormon ada edisi pembaca yang menerangkan tentang isi
Kitab Mormon yang digambarkan secara naratif. Temukan dalam Joseph
Smith Jr, Mormon’s Book: A Reader’s Edition of The Book of Mormon, (Utah,
2005).
21
Gordon B. Hinckley, “Keluarga: Pernyataan Kepada Dunia”, Pesan
pada pertemuan Lembaga Pertolongan Umum di Salt Lake City, Utah, 23
September 1995.
20
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 181
ibu yang menghormati perjanjian pernikahan dengan kesetiaan
mutlak. Lanjut Hinckley, pecahnya keluarga akan mendatangkan bencana kepada perseorangan, masyarakat dan bangsa,
bencana yang dinubuatkan oleh para nabi zaman dahulu dan
zaman modern.22
Tentang kenabian, saat ini gereja Mormon dipimpin oleh
Nabi Thomas S. Monson sejak Januari 2008 setelah Gordon
B. Hinckley meninggal. Yang luar biasa, dalam gereja Mormon
meski seorang nabi meninggal, gereja ini tidak berhenti sama
sekali.23 Gereja ini berlangsung karena selalu ada lagi nabi
yang dipanggil oleh Allah sebagai kasih-Nya. Jadi untuk mengerti kenapa Thomas S. Monson menjadi seorang nabi, karena dia tidak memanggil dirinya sebagai nabi. Tetapi dia dipanggil melalui wahyu untuk menjadi nabi.
Kalau ada nabi di atas bumi, berarti sekarang disebut sebagai masa kelegaan. Dan pada masa kelegaan di zaman akhir
ini, Joseph Smith merupakan nabi yang pertama. Tetapi dia
adalah nabi yang sama seperti Musa, Nuh dan juga Adam.
Dan itu seperti yang bisa dibaca di Amos 3:7 ”Sungguh, Tuhan Allah tidak berbuat sesuatu tanpa menyatakan keputusanNya kepada hamba-hamba-Nya, para nabi”.
Yang dipahami adalah bahwa Allah akan memimpin anakNya di atas bumi ini, Dia mengasihi setiap saat melalui seorang nabi. Manusia tidak dapat berjalan dengan Dia di atas
bumi ini sendiri. Manusia harus berjalan dengan iman. Dia tidak akan meninggalkan manusia berjalan sendiri. Dia akan
meninggalkan umat manusia dengan seorang wakil, puteraNya, Yesus Kristus. Proses itu telah dimulai sejak dari Adam.
Dalam perjalanan tersebut, Adam tidak memanggil dirinya tetapi Ia dipanggil oleh Allah dan diberi kuasa imamat.
22
23
Gordon B. Hinckley, “Keluarga: Pernyataan Kepada Dunia”.
Wawancara Elder Andresen, Agustus 2008.
182 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Kuasa imamat adalah kuasa untuk bertindak dalam nama
Allah. Dan itu diberikan hanya kepada pria yang layak. Kuasa
imamat itu adalah kuasa untuk melakukan tata cara Injil seperti pembaptisan, memberitahukan karunia Roh Kudus dan
untuk mengajar asas-asas Injil. Kalau ada nabi, berarti ada wahyu yang hidup dan kuasa untuk melaksanakan itu. Dengan begitu, kelayakan gereja bisa dilindungi, serta perintah bisa
diberitahukan. Manusia bisa memakai hak pilih mereka yang
datang dari Bapak Surgawi dan ia tidak akan memaksa manusia. Kadang-kadang manusia menolak para nabi. Sewaktu mereka menolak nabi, Allah menarik kuasanya dari bumi. Untuk
masa dimana nabi atau kuasa itu tidak ada, di situlah disebut
sebagai masa kemurtadan.
Tetapi Allah mengasihi manusia. Dia akan memberi tangan-Nya kepada manusia. Dia akan memberi manusia para
nabi. Jadi, setelah manusia jatuh pada masa kemurtadan, Allah
memanggil nabi untuk memulihkan segalanya, seperti Nuh. Ia
dipanggil untuk memulihkan segalanya. Dia diberi kuasa yang
sama. Lalu manusia menolak Nuh jatuh pada masa kemurtadan. Tetapi Allah kemudian memanggil Abraham, Musa untuk
memulihkan lagi.
Seorang nabi, yang paling penting adalah karena dipanggil
Allah. Dia harus layak, rendah hati, penuh kasih, memiliki sifat seperti Kristus dan itu tidak berbeda dari kita semua. Sebenarnya, kapasitas itu bisa dimiliki siapa saja dan tidak berbeda
dari manusia lainnya. Para nabi datang dari latar belakang bermacam-macam, bisa petani, dokter, ahli hukum, guru sekolah
dan siapapun. Mereka dipanggil Allah dengan wewenang dan
kuasa lebih tinggi.
Sampai akhirnya, Allah mengirim puteranya sendiri Yesus
Kristus. Di sini, Yesus Kristus mendirikan gereja dan memiliki
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 183
12 rasul.24 Rasul-rasul itu juga diberikan kuasa imamat. Sama
seperti yang diberikan kepada Nuh, Musa, Abraham dan lainnya. Kelompok Mormon percaya bahwa Yesus Kristus menebus dosa umat manusia, disalibkan. Setelah itu, Yesus Kristus
naik ke surga dan para rasul yang masih ada di bumi itu melakukan semua keimamatan, upacara kudus seperti sakramen dan
pembaptisan. Saat Yesus Kristus naik ke surga, masa kemurtadan belum berlangsung, karena murid-murid Yesus Kristus
masih ada. Tetapi lama kelamaan, ajaran rasul itu ditolak, dan
saat itu imamat ditarik dari bumi dan berlangsunglah masa
kemurtadan.
Elder Andressen mengibaratkan kalau kehidupan gereja
itu bagaikan kursi.25 Kursi itu seperti gereja Yesus Kristus dengan ajaran dan wewenang yang sempurna. Mungkin keanggotaannya yang tidak sempurna. Ia bisa berdiri karena ada kuasa wewenang imamat melalui nabi. Tetapi kalau kakinya
diambil, kursi itu jatuh. Dengan kejatuhan kebenaran ini, banyak ajaran yang muncul. Dulu para rasul Kristus yang mengajarkan kepada manusia. Mereka menjaga ajaran Kristus. Mereka menerima wahyu bisa dan mengajar dari tulisan suci.
Tetapi ketika mereka tidak ada, manusia mencoba dan berusaha untuk menjalankan Injil Yesus Kristus sebaik-baiknya,
tetapi tanpa ada kuasa dari Allah Bapak.
Manusia berusaha membangun gereja Yesus Kristus, tetapi tanpa izin dari Dia. Yang terjadi kemudian, muncullah banyak ajaran yang diubah. Misalnya pembaptisan, dulu dicelupkan sekarang sudah bermacam-macam seperti dipercik. Padahal
ajarannya jelas seperti yang diungkapkan dalam Efesus 4:5 ”ke-
24
25
Wawancara Elder Supriyanto, Agustus 2008.
Wawancara Elder Andressen, 24 Agustus 2008.
184 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
tika ada satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan”. Kristus ada
satu, imannya, gerejanya, injilnya hanya ada satu.26
Ketika berbicara mengenai Injil, maka yang dimaksud
bukanlah kitab-kitab Injil, tetapi Injil yang merupakan ajaranajaran Yesus Kristus. Jadi hanya ada satu, gereja Yesus Kristus
pada zaman dahulu dan satu baptisan. Dengan berubahnya
waktu, banyak sekali muncul gereja. Saat gereja dibangun dan
ada orang yang tidak menyukai ajarannya, lalu banyak di antaranya yang keluar dan membangun gereja sendiri.
Kemurtadan ini sebenarnya juga diramalkan dalam Alkitab di Amos 8: 11-12. ”Sesungguhnya waktu akan datang”,
demikianlah firman Tuhan Allah, ”Aku akan mengirimkan
kelaparan ke negeri ini, bukan kelaparan akan makanan dan
bukan kehausan akan air, melainkan akan mendengarkan firman Tuhan. Mereka akan mengembara dari laut ke laut dan
menjelajah dari utara ke timur untuk mencari firman Tuhan,
tetapi tidak mendapatnya”.
Manusia tidak bisa mendapatkanya, kecuali diberikan
Allah. Seperti sebuah lilin, ia harus diberi api dari lilin yang
sudah ada apinya. Jadi orang tidak bisa memperoleh imamat
yang dibutuhkannya, sendiri. Tidak bisa juga dari pembelajaran
yang tinggi. Seperti kepandaian Alkitab, itu harus diberikan
dari aturan Tuhan. Allah memberi itu kepada Yesus Kristus
dan Yesus Kristus memberikan kepada rasul-Nya. Dan para
rasul tidak memberikan itu kepada siapapun pada zaman
dahulu. Tetapi kemurtadan besar ini, mempersiapkan manusia
dan dunia, untuk sebuah pemulihan sekali lagi untuk zaman
akhir. Setelah itu, kemurtadan itu tidak akan terjadi lagi.
Dalam doktrin gereja Mormon, Joseph Smith-lah yang
memegang kunci kenabian itu. Jika dibandingkan, tiga dari
26
Wawancara Elder Andressen, 24 Agustus 2008.
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 185
agama besar dunia, Yahudi, Kristen dan Islam, memulai risalat
kewahyuannya dengan keajaiban-keajaiban, perjalanan Israel
dari Mesir, kebangkitan Yesus Kristus dan penerimaan wahyu
oleh Muhammad.27 Seperti halnya Kekristenan, Mormon mendasarkan imannya pada keajaiban-keajaiban yang ada dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tetapi kemudian mereka
meyakini bahwa Tuhan juga berkarya melalui nabi-Nya pada
abad 19.28
Smith dilahirkan pada 1805 di Sharon, Vermont. Dia
tinggal di New York dalam sebuah keluarga sangat religius,
ada yang ikut di Metodis, dan gereja lainnya. mereka sering
membaca Alkitab bersama, berdoa dan lainnya. Pada usia 14
tahun, Smith khawatir akan ketenteraman jiwanya. Dia melihat
ada banyak gereja, masuk ke satu gereja, ada yang kurang cocok dengan hatinya, lalu masuk lagi ke gereja yang lain.29 Di
gereja tersebut ia menemukan kutipan ayat yang sama tetapi
dengan penafsiran yang jauh berbeda. Yang bisa menghancurkan keyakinan tentang gereja mana yang benar di atas bumi
ini. Ia mempelajari tentang satu Tuhan, satu iman dan satu
baptisan, tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan
atas firman itu.
Pada suatu hari ia membaca Yakobus 1:5 ”Tetapi apabila
di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, yang memberikan kepada semua
orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit, maka hal itu akan diberikan kepadanya. Kalau membaca
itu dalam kebingungan, maka pasti akan melakukannya”.
Claudia L. Bushman, Contemporary Mormonism: Latter Day Saints in Modern
America, (West Port, Connecticut: Praeger, 2006), h. 13.
28
Claudia L. Bushman, Contemporary Mormonism.
29
“Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir”, Kesaksian
Nabi Joseph Smith, (Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir,
1998), h. 1.
27
186 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Joseph Smith membaca ayat itu dan memutuskan untuk
bertanya kepada Tuhan. Pada suatu hari di musim semi 1820
dia pergi ke sebuah hutan kecil di dekat rumahnya. Dan untuk
kali pertama dalam kehidupan, ia berlutut dan dengan suara,
lalu bertanya pada Allah Bapak, “gereja mana yang benar?”
Sewaktu Smith mulai berdoa, ia mengalami sesuatu yang luar
biasa yang indah yang disebut hikmat. Joseph Smith melihat
Bapak Surgawi dan Yesus Kristus dan ia mengatakan pengalamannya, “Aku melihat tepat di atas kepalaku, suatu tiang cahaya yang lebih terang dari pada sinar matahari, yang perlahanlahan turun sampai mengenai diriku. Ketika cahaya itu
berhenti di atas diriku, aku melihat dua orang yang terang dan
kemuliaanNya tidak dapat dilukiskan, yang berdiri di atas diriku di udara. Salah seorang dari Mereka berkata kepadaku, dengan memanggil namaku dan mengatakan sambil menunjuk
kepada yang lain: Inilah Putra-Ku yang Kukasihi. Dengarkanlah
Dia!’ (Joseph Smith, 16-17)
Yesus Kristus berbicara kepada Joseph Smith ketika ia
bertanya gereja mana yang harus ia ikuti. Dan Yesus memberitahu Joseph Smith untuk tidak bergabung dengan gereja
manapun, karena “semua sekte itu salah” dan “mereka menghampiri Aku dengan bibir mereka, namun hati mereka jauh
daripada-Ku, mereka mengajarkan untuk ajaran agama peraturan manusia, yang terselubung keilahian: namun mereka
menyangkal kuasa ilahi itu” (Joseph Smith, 2: 19).30
Pada tahun 1829, Smith menerima wewenang imamat
yang sama yang telah Yesus Kristus berikan kepada para rasulnya. Yohanes Pembaptis, yang membaptiskan Yesus Kristus,
menampakkan diri kepada Joseph Smith dan menganugerahkan
“Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir”, Pemulihan
Injil Yesus Kristus, (Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir,
1998), h. 11.
30
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 187
kepadanya imamat Harun31 atau imamat yang lebih rendah.
Petrus, Yakobus dan Yohanes kemudian menampakan diri dan
menganugerahkan kepadanya Imamat Melkisedek32 atau imamat
yang lebih tinggi. Jadi garis keimamatan itu jelas.
Setelah menerima wewenang imamat, Joseph Smith diberikan petunjuk untuk mengorganisasi kembali gereja Yesus
Kristus di bumi. Melalui dia, Yesus Kristus sekali lagi memanggil Dua Belas Rasul. Sama seperti Yesus Kristus yang
memimpin para rasulnya melalui wahyu setelah KebangkitanNya, Dia terus mengarahkan gereja saat ini melalui para nabi
dan rasul yang hidup.
Presiden gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci
Zaman Akhir adalah nabi yang dipilih Allah saat ini. Dia, para
penasihatnya dan dua belas rasul memegang wewenang imamat
yang dipegang para nabi dan rasul dari zaman sebelumnya.
Para pria ini adalah para nabi, pelihat dan pewahyu. Dalam
Effesus 2:19-20 dijelaskan mengenai dasar bahwa para rasul
dan nabi untuk memulihkan gereja. Smith dan rasulnya diberikan kuasa imamat yang sama. Hanya saja Smith yang memegang kuncinya dan para rasul yang melanjutkan kuasa imamat
itu.
Imamat Harun adalah Imamat yang lebih rendah. Imamat ini meliputi
wewenang untuk membaptiskan dan disebutkan menurut nama Harun dalam
Alkitab Perjanjian Lama.
32
Imamat Melkisedek adalah imamat yang lebih tinggi atau lebih besar.
Imamat ini disebut menurut nama Melkisedek dalam Alkitab Perjanjian Lama,
yang adalah seorang imam besar dan raja yang saleh.
31
188 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
E. Mormon di Indonesia: Sejarah Singkat
33
Gereja Mormon pertama kali dikenal sebagai sebuah yayasan di Indonesia pada 1969, tetapi Misi Indonesia Jakarta
belum secara resmi dibentuk sampai tahun 1975.34 Dalam
rujukan lain disebutkan kalau gereja Mormon masuk ke Indonesia melalui enam misionarisnya pada tanggal 5 Januari
1970.35 Mereka kemudian berhasil membaptis petobat pertama
pada tangggal 29 Maret 1970.36 Izin resmi yang didapatkan
sebagai organisasi keagamaan resmi di Indonesia pada 11
Agustus 1970.
Dari tahun 1980 sampai 2001 misi tersebut hanya didukung oleh misionaris setempat dan pasangan senior misionaris
asing bidang kemanusiaan yang melayani di bawah organisasi
LDS Charities. Pada tahun 1987 gereja menerima pengakuan
resmi dari pemerintah Indonesia sebagai sebuah kesatuan gereja
yang terpisah dari yayasan yang sebelumnya dibentuk. Pada
bulan Januari tahun 2000 Presiden Gereja, Gordon B. Hinckley, mengunjungi Indonesia atas undangan Presiden Abdurrahman Wahid. Tahun berikutnya misionaris asing diizinkan
kembali melayani di negara Indonesia bersama para misionaris
setempat.
Saat ini Misi Indonesia Jakarta terdiri dari 23 cabang di
bawah tiga distrik. Sebagian besar cabang-cabang ini berada di
pulau Jawa, dengan satu cabang di kota Medan, Sumatra dan
Data mengenai sejarah perkembangan Mormon di Indonesia memang
sangat terbatas. Beberapa di antara bagian dari perjalanan Mormon di Indonesia yang dipaparkan dalam bagian ini dikutip dari situs www.yesuskristus.
or.id.
34
www.yesuskristus.or.id.
35
Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2008), Cet ke 8, h. 343.
36
Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran, h. 344.
33
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 189
satu cabang lagi di kota Manado di Sulawesi. Para misionaris
melayani di semua cabang. Juga, ada tujuh pasang misionaris
senior yang ditugaskan untuk membantu proyek-proyek kemanusiaan serta program pelayanan lainnya melalui “LDS Charities”, membantu di kantor misi, dan memberi dukungan pada
cabang-cabang setempat.
Sejak Juli 2007 sampai sekarang, Presiden Ross H. dan
Sister B. Heidi Marchant dari Wilayah Holiday Salt Lake City
memimpin sebagai Presiden Misi.37 Sebelum panggilannya sebagai Presiden Misi, Presiden Marchant telah bekerja selama
32 tahun untuk Farmers Insurance dalam menangani klaim-klaim kematian dan luka serius yang diakibatkan karena kecelakaan berkendaraan. Ia juga telah bekerja sebagai seorang pelobi bagi Badan Pembuat Undang-Undang Utah (Utah Legislature)
dan Departemen Asuransi di negara bagian Utah.38 Sebagai seorang pemuda, ia menerima panggilan misinya ke Misi Singapura tetapi tidak lama setelah itu nama misinya diubah menjadi
Misi Asia Tenggara.
Setelah melayani beberapa bulan di Singapura, dia dikirim
untuk melayani di Indonesia. Penatua Ezra Taft Benson telah
mendedikasikan Indonesia bagi pekerjaan misi beberapa bulan
sebelumnya. Presiden Marchant tiba di Indonesia pada 1970
dan melayani di kota Jakarta, Bandung, dan Bogor. Pengalamannya di gereja mencakup sebagai sekretaris cabang, penasihat dalam keuskupan, juru tulis cabang, guru pratama, dan
presiden misi wilayah. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Salt
Lake City, Utah, dan lulus dari University of Utah pada jurusan keuangan. Ia bertemu Sister Marchant di sebuah pernikahan dan sepuluh bulan kemudian mereka menikah di Bait Suci
Profil mengenai presiden misi bisa dilihat juga di majalah terbitan Gereja
Mormon, Liahona. Baca Liahona, Edisi Oktober 2007, h. 11-13.
38
Liahona, Edisi Oktober 2007, h. 11-13.
37
190 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Salt Lake. Mereka adalah orang tua dari delapan anak – empat
putra dan empat putri. Semua putra dan seorang putri mereka
telah melayani misi penuh-waktu – semuanya melayani di misi
yang berbahasa Spanyol. Mereka memiliki sembilan cucu.
Sister Marchant juga dilahirkan di Salt Lake City, Utah,
menghadiri University of Utah dan lulus dengan gelar di bidang Medical Technology, serta pernah melayani sebagai pekerja sejarah keluarga, sekretaris Lembaga Pertolongan wilayah, presiden Pratama lingkungan, penasihat dalam presidensi
Lembaga Pertolongan, dan pemimpin pelayanan kasih Lembaga
Pertolongan. Setelah anak-anak mereka lahir, Sister Marchant
bekerja satu malam setiap minggu pada bank darah di RS.
LDS, tetapi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
membesarkan anak-anak mereka dan menciptakan suasana yang
baik di dalam keluarga mereka.
Dari Juli 2004 hingga Juni 2007, presiden misi yang
memimpin adalah Presiden Dean C. Jensen. Ia dan istrinya,
Margaret Jean Jensen, adalah anggota Wilayah Mesa Arizona
Salt River. Sebelum panggilan mereka sebagai presiden misi
dan istri, mereka telah melayani bersama di Jakarta, Indonesia;
Oaxaca, Mexico; dan Jameson, Missouri. Sewaktu muda, Presiden Jensen melayani sebagai misionaris di Misi Northern
Indian. Pengalaman di gereja dari Presiden Jensen termasuk
sebagai juru tulis wilayah, sekretaris pelaksana wilayah, presiden remaja putra wilayah, anggota dewan tinggi, uskup dan
pembina pramuka. Ia lulus dengan gelar BS di Business
Administration dari Universitas Nevada, Las Vegas dan menjalankan perusahaan konstruksi pribadinya selama 30 tahun membangun rumah-rumah tinggal, gedung-gedung komersial/
industri dan restoran-restoran. Ia dilahirkan 14 Juli 1946 di
Boise, Idaho dengan orang tua Weldon Tolman dan Roma
Condie Jensen. Ia dan Sister Jensen dinikahkan di Bait Suci
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 191
Mesa pada tahun 1967. Mereka adalah orang tua dari tujuh
anak dan memiliki 13 cucu.
Selain pelayanan mereka sebagai misionaris, Sister Jensen
pernah melayani sebagai penasihat di presidensi Remaja Putri
wilayah, misionaris wilayah, presiden Lembaga Pertolongan
lingkungan, presiden Remaja Putri dan guru Ajaran Injil.
Sister Jensen dilahirkan di Safford, Arizona dengan orang tua
Grover Lamro dan Margaret Elaine Russell Hoopes.
Berbeda halnya dengan perkembangan di Amerika, gereja
Mormon di Indonesia terganjal pelbagai macam kebijakan
pemerintah, terutama pada masa orde baru. Tiga regulasi negara yang cukup membuat gerak misionaris gereja Mormon
menjadi sangat terbatas adalah Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 70 tahun 1978 tentang Pedoman
Penyiaran Agama, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 77 tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia dan Keputusan Bersama
Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor 1 Tahun
1979 tentang tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia.39
Terlepas dari pelbagai kebijakan yang agak mempersempit ruang gerek para misionaris (asing), gereja Mormon di
Indonesia masih terus berkarya nyata dalam wilayah sosial.
Salah satunya adalah pemberian bantuan untuk korban lumpur
Lapindo Sidoarjo pada 19 Mei 2007. Bahkan dalam kesempatan
itu mereka tidak canggung untuk bekerjasama dengan pihak
lain dari komunitas lintas agama. Dalam upaya untuk membantu korban lumpur Lapindo gereja Mormon bekerja sama
dengan pengurus Nahdlatul Ulama setempat.40 Kepedulian
Weinata Sairin, Himpunan Peraturan di Bidang Keagamaan, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996), h. 50-68.
40
Liahona, Edisi Oktober 2007, h. 14.
39
192 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
terhadap korban bencana alam mereka tunjukan juga saat
terjadi tragedi tsunami di Aceh tahun 2004. Melalui program
Islamic Relief dan Adventist Development and Relief Agency mereka
membangun sekolah, melatih guru mengembangkan kurikulum
dan lainnya.41
F. Gereja Mormon dalam Kosmologi Semarang
Di Semarang yang termasuk Distrik Surakarta, gereja
Mormon berdiri tegak di tengah pusat keramaian. Tepatnya di
Jalan A. Yani 30 Semarang, persis di kawasan Simpang Lima
yang menjadi jantung hilir mudik masyarakat Kota Semarang
dan sekitarnya. Menarik untuk mencermati fenomena aliran
ini, karena banyak yang mengatakan bahwa sekte ini sudah
bukan lagi Kristen, meski di saat yang sama mereka percaya
pada Yesus.
Perkembangan Mormon di Indonesia, bisa dikatakan tidaklah sepesat di Amerika atau negara-negara dengan tingkat
kebebasan sipil yang tinggi seperti Eropa. Elder Andressen
salah seorang missionaris yang bertugas di Semarang (hingga
2008) menuturkan bahwa itu terjadi, salah satunya karena banyak aturan yang berpretensi membatasi gerak para misionaris.42 Itu disebabkan salah satunya dalam peraturan tentang
pembatasan bantuan keagamaan dari luar negeri.
Tak hanya karena banyaknya peraturan, gereja Mormon
menjadi terjepit karena mereka memiliki problem dalam internal kekristenan. Gereja Mormon seringkali dianggap sebagai
“gereja sesat gereja setan” atau sebutan miring lainnya. Kekristenan mainstream, yang tidak memahami secara mendalam
41
42
Lihaona, Edisi Juli 2006, h. 2.
Wawancara Elder Andressen, tanggal 20 Agustus 2008.
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 193
kelompok ini, menisbatkan pada perilaku segelintir penganut
Mormon ekstrem yang masih mempraktikan poligami. Pengalaman itu juga dirasakan oleh jemaat gereja Mormon
Semarang.43
Sebelum mencermati identitas Gereja Mormon, penting
untuk memahami bagaimana formasi simbol-simbol keagamaan
di Kota Semarang. Kota ini menanggung dua beban administratif sekaligus, sebagai kota dan ibukota provinsi Jawa Tengah. Imbasnya, Semarang menjadi pusat kekuasaan, ekonomi,
sekaligus tempat dimana “simbol-simbol keagamaan” yang cukup megah terkonsentrasi di “kota banjir” ini.
Di daerah Jalan Gajah Raya berdiri Masjid Agung Jawa
Tengah (MAJT) yang baru saja diresmikan Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono pada 2006 lalu. Di kawasan Simpang Lima Masjid Baiturrahman berdiri tegak. Namun, di antara
sekian masjid, yang memiliki nilai historis lebih, tentu adalah
masjid Kauman di daerah Pasar Johar. Bukti sahih umur dari
masjid Kauman ini yang sudah sangat tua (sekitar tiga abad)
yaitu adanya prasasti di gerbang masuk masjid bertuliskan
bahasa Belanda. Terdapat tulisan yang menjelaskan masjid itu
dibangun pada pada 1750 atau abad 18-an. Prasasti itu sendiri
diukir di atas batu yang kemudian disatukan (ditanam) di
tembok gerbang masjid, tulisannya pun masih sangat jelas terbaca walaupun sudah usang dimakan usia.
Selain kelompok Islam arus utama, kelompok minoritas
juga cukup mendapat ruang di sini. Meski tidak masif, kelompok Syiah dan jemaat Ahmadiyah misalnya, masih terbilang
eksis. Tanggal 9 Februari 2006, sekitar dua ribu orang jemaah
Syiah berkumpul di Balai Sindoro Kompleks PRPP Tawangmas
43
2008.
Wawancara Mardiyono, Presiden Cabang Semarang, 20 Agustus
194 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Semarang.44 Jemaah tersebut ternyata sedang memperingati
Tragedi Karbala yakni hari dimana terbunuhnya Sayidina
Husain, cucunda Rasulullah. Jumlah tersebut tentu cukup besar untuk hitungan sebuah mazhab yang hampir-hampir tidak
pernah terdengar kabar beritanya. Fenomena tersebut semakin
memperkokoh bahwa kaum Syiah memang eksis dan bukan
tidak mungkin memberikan kontribusi yang tidak sedikit
terhadap perkembangan agama Islam di Nusantara.
Peringatan yang sama dilakukan oleh Komunitas Syiah
Semarang dan sekitarnya pada tahun 2009. Peringatan Assyura
itu digelar Yayasan Nuruts Tsaqolain di Convention Hall Masjid Agung Jawa Tengah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan tersebut dihadiri warga Syiah dari berbagai kota di
Jawa Tengah, seperti Semarang, Jepara, Pekalongan, Salatiga,
Cilacap, dan Surakarta.45
Kelompok Islam minoritas lainnya, Jemaat Ahmadiyah
Semarang, hingga saat ini masih menjalankan aktivitas keagamaannya. Meski pemerintah berusaha membatasi gerak Jemaat
Ahmadiyyah, salah satunya melalui Surat Keputusan Bersama
Menteri Agama No 3 tahun 2008, Jaksa Agung Nomor Kep033/A/JA/6/2006, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah
kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, tetapi toh
hal tersebut tidak membuat mereka menghentikan aktifitasnya.
Tentu bukan berarti mereka membangkang negara, tetapi karena aktifitasnya sebatas ibadah salat lima waktu.
Berbeda halnya dengan kehidupan Jemaat Ahmadiyah di
kota lain seperti Lombok, Kuningan, Majalengka dan Tasikmalaya, mereka hidup di Kota Semarang tanpa disertai dengan
44
45
Suara Merdeka, 11 Februari 2006.
Suara Merdeka, 10 Januari 2008
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 195
kekhawatiran akan timbulnya sikap yang tidak mengenakkan
dari masyarakat. Setelah dikeluarkannya SKB (Juni 2008 hingga
Februari 2009), tercatat ada dua kasus yang terkait dengan
resistensi terhadap Jemaat Ahmadiyyah. Yang pertama adalah
aksi menolak kehadiran Ahmadiyah di Semarang yang dilakukan oleh tidak lebih sepuluhan masa yang menamakan dirinya
sebagai Aliansi Mahasiswa Islam (AMI) Semarang. Yang kedua
adalah pembubaran pengajian oleh pihak kepolisian dalam acara
Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Jawa Tengah dan Yogyakarta
pada bulan Januari 2009.
Dalam struktur pemerintahan gereja Katolik, Semarang
juga adalah ibukota warga gereja di wilayah Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Hal ini ditandai dengan berdirinya Keuskupan
Agung Semarang di kawasan Tugu Muda. Saat ini, Keuskupan
Agung dipimpin oleh RM.Ignatius Soeharjo. Sejak lama, gereja
Katolik memiliki perhatian yang luar biasa dalam mengembangkan dimensi sosialnya. Upaya itu ditunjukkan misalnya dengan
membangun institusi sosial seperti Yayasan Sosial Soegijapranoto (YSS) dan pendidikan.
Tetapi usia Keuskupan sesungguhnya masih sangat belia.
Tahun 2008 Keuskupan Semarang baru berumur 80 tahun.
Dalam tilikan sejarah, gereja Katolik yang paling banyak memiliki kandungan makna tak lain adalah gereja Katolik Gedangan. Konon, itulah gereja yang dibangun kali pertama oleh
Van Lith saat melaksanakan misinya di Semarang. Usianya
sudah mencapai 200 tahun lebih.
Dari kawasan Pecinan muncul kelegaan ketika Gus Dur
mengembalikan hak warga Khonghucu untuk beribadat dan
mengekspresikan keyakinannya pada tahun 2000. Warga
Khonghucu terlihat bergairah ”memerahkan” Indonesia, tak
terkecuali Semarang. Kelenteng Tay Kak Sie dan Sam Poo
Kong adalah dua simbol eksistensi masyarakat Khonghucu dan
196 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Tionghoa pada umumnya. Komunitas pecinan Semarang merupakan warga terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan
Surabaya. Tak heran, jika kelompok ini memainkan peran
yang cukup signifikan.
Soliditas kelompok Pecinan, terlihat dalam berbagai
organisasi atau perkumpulan sosial yang di dalamnya melibatkan etnis Tionghoa. Diantaranya adalah Perkumpulan Rasa
Dharma dan Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata
(Kopi Semawis). Tak hanya itu, warga Tionghoa yang beragama Islam juga aktif terlibat dalam Perkumpulan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Walau didasarkan atas semangat etnosentrisme Tionghoa, tetapi dalam perjalanannya, yayasan sosial
masyarakat pecinan itu membuka lebar-lebar pintu bagi kalangan non-Tionghoa untuk terlibat di dalamnya.
Bagi kalangan umat Buddha Semarang, Vihara Watu
Gong yang beraliran Theravada dan Vihara di Marina yang
beraliran Mahayana berperan cukup penting. Vihara ikut dalam
kegiatan lintas agama seperti membagikan sembako pada Idul
Fitri kemarin. Sementara pura Girinatha barangkali menjadi
saksi simbolik bagi eksistensi agama Hindu di Semarang. Selain
itu, tidak bisa dilupakan bahwa eksistensi kelompok Kejawen
di Semarang juga sangat kuat. Penganut aliran kepercayaan ini
tersebar di berbagai organisasi seperti Sumarah, Sapta Dharma,
Pangestu dan lainnya. Belum lagi jika ditambah dengan penganut aliran kepercayaan yang tidak memiliki organisasi resmi.
Sementara, kekristenan di Semarang menjamur dan terdiri dari banyak gereja dari denominasi yang beragam. Sudah
tak terhitung berapa banyak denominasi yang berkembang di
Semarang. Belum ada data resmi yang menunjukkan tentang
jumlah denominasi ini. Tetapi, menurut perkiraan, ada sekitar
100-an denominasi yang menyebar di seluruh penjuru
Semarang.
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 197
Dari sisi bangunan, gereja dengan kandungan nilai kesejarahan cukup tinggi adalah Gereja Protestan di Indonesia
Bagian Barat (GPIB) atau gereja Blenduk yang terletak di kawasan Kota Lama. Sebagai gereja warisan Belanda, sama halnya dengan gereja-gereja GPIB umumnya, Gereja Blenduk ini
memiliki keunggulan dan keunikan dari sisi arsitekturnya.
Sejauh pengamatan di lapangan, denominasi itu menyebar
mulai dari gereja-gereja beraliran Calvinis seperti GPIB, Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Kristen Jawa (GKJ),
aliran Pentakosta, Gereja Isa Almasih (GIA), Gereja Bethel
Indonesia (GBI), aliran Mennonite, Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI), Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ). Gereja yang
berbasis kesukuan seperti Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) yang beraliran Lutheran juga berdiri tegak di Semarang. Selain gereja mainstream, hadir pula “free church” seperti
Bala Keselamatan (Salvation Army) dengan Rumah Sakit
William Boothnya, kelompok Unitarian serta Saksi Yehova.
Gerak dan perkembangan Saksi Yehova di Jawa Tengah
juga menarik untuk dicermati. Hingga sekarang (awal 2009),
mereka telah memiliki tiga Balai Kerajaan. Masing-masing berada di Ungaran, yang baru saja diresmikan pada 29 Desember
2008, Jalan Dr Suratmo Semarang dan Jalan Cempedak Semarang, yang sudah diresmikan penggunaannya awal 2008.46
Sementara gereja Mormon, dilihat dari perspektif ruang
keagamaan Kota Semarang, berada dalam wilayah yang cukup
menguntungkan. Meski “hanya” dihadiri oleh kurang dari 100
Jemaat dalam setiap kebaktian, gereja ini cukup bisa bersaing
dibanding gereja-gereja lainnya, paling tidak untuk urusan
tampilan fisik. Gereja Mormon atau gereja Yesus Kristus dari
Orang Suci Zaman Akhir menempati ruang yang cukup
46
Suara Merdeka, 30 Desember 2008.
198 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
strategis, karena berada persis di jantung Semarang, tepatnya
di kawasan Simpang Lima.
Posisi gereja di tengah kota Semarang itu terkait dengan
perkembangan gereja Mormon yang pada umumnya selalu berkembang dari tengah kota. Meski begitu, jemaat gereja
Mormon kebanyakan berasal dari daerah pinggiran. Daerah
sekitar gereja malah tidak ada yang menjadi jemaat. Konsep
pembangunan gereja ini selalu mengacu kepada pembangunan
gereja pusat di Amerika Serikat. Bahkan arsiteknya pun dari
Amerika.
Gereja Mormon masuk ke Semarang sekitar tahun 1970an.47 Sebelum menetap secara permanen di Jalan A. Yani 30,
gereja ini berpindah dua kali yakni daerah Pekunden dan Jalan
Lontar.48 Presiden Cabang Semarang, Mardiyono mengatakan
kalau ia sendiri datang ke Semarang itu tahun 1991 setelah
sebelumnya bergereja di Surabaya.49 Saat kali pertama bergereja di Semarang, bangunan gereja masih biasa, tidak bagus
seperti sekarang ini. Semua pengurus di gereja Mormon tidak
dibayar. Mereka menjalankan kepengurusan selama lima tahun.
Kalau dirasa masih sanggup atau dipilih lagi. Semua pemimpin
dari cabang, penasihat I dan I, sekretaris pelaksana cabang dan
juru tulis keuangan cabang, bekerja bersama untuk melakukan
pelayanan yang dilakukan semuanya pada hari minggu.
47
Wawancara Presiden Cabang Semarang, Mardiyono, 2 Februari
2009.
48
Wawancara Restya Budi, Anggota Dewan Distrik Surakarta, 24 Februari
2009.
49
Mardiyono mengisahkan kalau ia bergereja sejak tahun 1982 di Surabaya
saat masih SMA. Pemahaman tentang gereja Mormon ia dapatkan dari para
misionaris. Keputusannya itu didasarkan atas pemahaman doktrinernya bahwa
gereja ini dibangun didasarkan atas iman. Siap untuk tidak dibayar dan mau
melayani.
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 199
Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik
(BPS) Jawa Tengah tahun 2000, penduduk di Kota Semarang
yang memeluk Kristen sebanyak 91.934 dari total 1.348.803
atau kurang lebih 7%.50 Jika diprosentase, jumlah penganut
gereja Mormon Semarang saat ini katakanlah 200-an orang,
itu berarti sekitar 0,2% dari keseluruhan penganut Kristen.
Meski begitu perlu diingat bahwa mereka baru menginjakkan
kaki di Kota Lumpia ini baru pada tahun 1972. Bukan tidak
mungkin jumlah mereka akan terus mengalami peningkatan
yang signifikan.
G. Bergelut dengan Penyesatan: Testimoni Jemaat
Penyesatan terhadap gereja Mormon itu pada umumnya
disebabkan oleh salah pengertian terhadap beberapa ajarannya.
Salah satunya adalah soal poligami. Meski saat ini, poligami
sudah dilarang dalam lingkungan gereja Mormon, tetapi
praktik tersebut masih dilakukan oleh Fundamentalist LDS
(FLDS) di Amerika. FLDS adalah sekte yang menyempal dari
Mormon arus utama pada tahun 1930.
Yang paling santer adalah kabar dari Warren Jeffs, salah
seorang penerus wangsa FLDS, april 2008 lalu. Jeffs saat itu
sedang menjalani hukuman karena aktivitas poligaminya. Keluarga Warren Jeffs adalah trah pemimpin komunitas yang memilih untuk menyempal itu. Warren Jeffs mengambil alih
pimpinan sekte pembelot itu pada 2002, setelah ayahnya yang
berusia 98 tahun, Rulon Jeffs, meninggal. Begitu ia naik posisi, pada saat itu juga semua janda ayahnya dijadikan istri oleh
Badan Pusat Statistik, Penduduk Berdasarkan Agama Jenis Kelamin dan
Kabupaten/Kota, tahun 2000.
50
200 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Jeffs muda. Menurut BBCNews, pria berusia 52 tahun itu
mengklaim punya 70 istri dan 65 anak.51
Pada 7 April 2008, Petugas kesejahteraan anak-anak
menggerebek rumah Jeffs dan membebaskan lebih dari 400
anak. Operasi seharian penuh itu mengubek-ubek kompleks
gedung yang dibangun oleh pemimpin poligami Warren Jeffs
yang kini meringkuk di penjara. Operasi itu dilancarkan menyusul pengaduan seorang gadis 16 tahun yang mengaku korban pelecehan. Gadis itu juga melaporkan banyak gadis usia
14-15 tahun yang dipaksa kawin dengan orang dewasa.52 Sebanyak 133 perempuan dengan gaun selutut jahitan sendiri dan
rambut dikepang meninggalkan Ranch Rindu Sion atas kehendak sendiri bersama anak-anak mereka.53
Para anggota FLDS berkeyakinan, untuk bisa mendapat
tiket ke surga, seorang pria harus menikahi sedikitnya tiga perempuan. Bilangan lebih dari tiga tak terhingga. Sedangkan
kesempatan bagi perempuan untuk masuk surga tergantung
sejauhmana tingkat ketaatannya pada sang suami.
Padahal, poligami adalah perbuatan ilegal di Amerika Serikat. Meski poligami itu ilegal, selama ini polisi tak bisa leluasa bertindak tegas. Ini berdasarkan pengalaman kepolisian
Amerika Serikat ketika pada 1993 mengepung komunitas sekte
Cabang Davidian di Waco, Texas, yang menyebabkan sekitar
80 orang tewas. Ketika markasnya mulai dikepung aparat, mereka memilih bunuh diri bersama. Polisi pun akhirnya hanya
mendapati mayat-mayat yang bergelimpangan.54
Selain karena ada sebagian sekte fundamentalis Mormon
yang mempraktikkan poligami pencitraan negatif terhadap
Gatra, Nomor 23, 17 April 2008.
Kompas, 8 April 2008.
53
Kompas, 8 April 2008.
54
Gatra, Nomor 23, 17 April 2008.
51
52
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 201
Mormon terus berlangsung karena memang gereja tersebut
memiliki perbedaan mendasar dalam konsep-konsep kunci dalam kekristenan. Inilah yang kemudian menjadi titik konflik
antara Mormon dan denominasi lainnya. Sulitnya lagi hal itu
kurang bisa dicairkan karena truth claim dari masing-masing pihak masih dipegang kuat.
Gambaran itu dijelaskan Presiden Cabang Semarang, Mardiyono. Pandangan masyarakat pada umumnya, pasti akan melihat bahwa pemimpin gereja mempunyai taraf hidup yang
menjanjikan. Jadi mereka kaget saat dia mengatakan kalau ia
adalah pemimpin gereja dengan pakaian seperti halnya orang
yang bekerja sebagai pemotong rumput.55 Ia kemudian menjelaskan bahwa prinsip dari gereja ini adalah pelayanan. Dalam
wilayah itulah banyak orang yang tidak memahami bagaimana
gereja itu memiliki prinsip.
Sementara, yang terkait dengan penyesatan, Mardiyo
menjelaskan tentang beberapa ajaran gereja Mormon yang pahamnya tidak sama dengan gereja pada umumnya.56 Pertama,
tidak ada ajaran trinitas atau tritunggal. Semuanya berdiri sendiri. Yesus sendiri, Allah Bapak sendiri dan Roh Kudus itu
sendiri. Mereka adalah pribadi yang berbeda tetapi memiliki
satu tujuan yaitu menyelamatkan umat manusia.
Kedua, Kitab Mormon. Mereka mendasarkannya pada
Kitab Wahyu (“jangan menambahi dan mengurangi kitab wahyu yang terakhir”). Dalam pemahaman gereja Mormon, yang
dimaksud menambahi dan mengurangi itu adalah apa yang
dilihat Yohannes di Pulau Padmos tentang ramalan akhir zaman itulah yang dimaksudkan mengurangi dan menambahi.
55
Wawancara Presiden Cabang Semarang, Mardiyono, 2 Februari
2009.
56
2009.
Wawancara Presiden Cabang Semarang, Mardiyono, 2 Februari
202 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Dalam pengertian gereja Mormon, pemahamannya tidak demikian. Karena kalau merujuk pada Perjanjian Baru, di Kitab
Ulangan Perjanjian Lama, kata menambahi dan mengurangi itu
juga ada. Tetapi itu konteksnya Musa bukan masa yang akan
datang. Itu yang membuat orang lain menganggap ajaran ini
sesat.
Tentang menambahi dan mengurangi ayat dalam Alkitab,
Gilbert Lumoindong menganggap bahwa itulah sebenarnya ciri
dasar dari ajaran sesat. Menurutnya ada tiga ciri dasar dari
ajaran sesat. Pertama, sama sekali sesat (bandingkan dengan
Galatia 1: 6-10). Karena pengajaran yang benar bukan mencari
kesenangan manusiawi. Kedua, menambahi ayat. Ketiga, mengurangkan ayat.57
Ketiga, kenabian Joseph Smith. Soal konsep kenabian itu
sebenarnya banyak yang tidak memahami. Menurut Mardiyono,
mereka kebanyakan memahami konsep tersebut sesuai dengan
apa yang dikatakan Pendeta, tidak memahaminya sendiri.58 Pemahaman inilah yang kerap disalahartikan.
Perihal kenabian Joseph Smith, memang tidak bisa dipungkiri menjadi titik tengkar antar Mormon dan Kekristenan
arus utama. Dalam bukunya ”Menang Atas Ajaran Sesat”, Lumoindong mengatakan ”...Satu-satunya dasar batu karang bukan karena ada seorang nabi yang pintar, yang bisa berbuat
sesuatu, melainkan karena ada nama di atas segala nama dan
itu adalah Yesus Kristus Tuhan. Nah, ajaran inilah yang ingin
disesatkan oleh Iblis. Ajaran-ajaran seperti Mormon, Christian
Science menampilkan nabi-nabi baru dengan kekuatannya
masing-masing”.59
Gilbert Lumoindong, Menang Atas Ajaran Sesat, (Yogyakarta: ANDI,
2000), 34-38.
58
Wawancara Mardiyono.
59
Gilbert Lumoindong, Menang Atas Ajaran Sesat, h. 78.
57
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 203
Pengalaman Mardiyono tentang penyesatan itu dirasakan
saat ada siswa SMA Masehi Tanah Mas Semarang menulis
karya tulis tentang Mormon. Siswa tersebut lalu bertanya, apakah Sakramen di gereja Mormon menggunakan darah bayi.
Lalu Mardiyono bertanya kembali, kamu tahu dari mana? Dari
pendeta.60 Lalu ada juga yang menuduh sakramen kami dilakukan dengan free sex karena banyak kamar.
Pengalaman tentang penyesatan atau perlakuan kurang
baik juga pernah dirasakan oleh Budi, Penasehat gereja Mormon Distrik Surakarta. Puterinya yang bersekolah di SMU N
1 Semarang, suatu ketika mengadakan retret yang diselenggarakan sekolahnya. Ketika guru agama mengetahui bahwa Puteri
Budi ini jemaat gereja Mormon, ia kemudian memanggilnya.
Saat itu juga ia berdoa agar si anak tersebut kembali kepada
ajaran yang benar dan diselamatkan dari dogma yang sesat.61
Mardiyono kemudian melanjutkan soal peminggiran atau
pembatasan yang ia alami. Satu waktu ia pernah diundang ke
PGKS (Persekutuan Gereja Kota Semarang). Sejak awal ia merasakan ada gelagat yang kurang mengenakkan dirinya. Ketika
rehat dan makan, ia kemudian ditanya salah seorang peserta
pertemuan tersebut, ”di mana gerejanya”. Mardiyono kemudian menjawab gereja A.Yani 30 (alamat gereja Mormon di
Semarang). Dari raut mukanya, Mardiyono melihat ada perasaaan yang tidak senang dan sepertinya tidak mau membahas
lebih lanjut.
Dalam pergaulan di kampungnya, Mardiyono sebenarnya
tidak memiliki masalah krusial dengan jemaat Kristen lainnya.
Ia biasa diundang untuk mengikuti persekutuan oleh Jemaat
Kristen dari gereja lain. Jemaat-jemaat itu biasanya melihat
Gilbert Lumoindong, Menang Atas Ajaran Sesat, h. 78.
Wawancara Budi Utomo, Penasehat Distrik Surakarta, Agustus
2008.
60
61
204 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
bahwa semua gereja itu sama saja. Tetapi justru ketika Pendetanya datang lalu mereka meminta saya berkenalan, dan ketika
mereka tahu bahwa ia dari gereja Mormon, besoknya ia tidak
diundang lagi.
Meski ada pembatasan, tetapi persoalan mengenai eksistensi gereja Mormon itu dilihatnya bukan sebuah masalah yang
krusial. Dalam pergaulan di masyarakat dimana ia menetap,
masalah tidak terlalu banyak muncul, apalagi hingga taraf eksklusi. Masyarakat hanya melihat bahwa ia memiliki ajaran berbeda dengan yang lain, karena tidak minum teh dan kopi.
Justru dengan begitulah ia memiliki kesempatan untuk menjelaskan secara bijak kepada masyarakat.
Dalam praktiknya, meski ada yang belum bisa menerima
kehadiran gereja Mormon, banyak juga yang sudah mau memahaminya, bahkan mempelajari ajarannya. Biasanya yang bisa
menerima itu adalah mahasiswa teologi, kemudian level yang
paling bawah, yakni jemaat biasa yang tingkat pengetahuannya
tidak terlalu tinggi, tentang ajaran gereja. Karena masyarakat
itu biasanya melihat kalau semua gereja itu sama.
Pengalaman lain ihwal pandangan miring atau peminggiran dialami Restya Budi, anggota Dewan Distrik Surakarta.62
Dia menceritakan saat menjadi misionari. Ia menuturkan kalau
pengalaman itu mengharuskannya mengenal banyak orang. Dan
tentunya perkenalan tersebut membuat ia mesti berkomunikasi
dengan mereka.
Perlu diketahui bahwa misionaris gereja Mormon selalu
mengenakan name tag di saku bajunya. Jadi jelas identitasnya.
Suatu waktu Budi bercerita tentang banyak hal (bukan urusan
agama) dengan tetangganya. Dan pembicaraan itu berjalan dengan sangat lancar. Tetapi kemudian banyak orang di sekitarWawancara Restya Budi, Anggota Dewan Distrik Surakarta, 24 Februari
2009.
62
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 205
nya yang menganggap ia menjual agama. Tanpa disangka, di
luar rumah, ternyata sudah banyak orang yang kemudian datang dan membawa pentungan. Tetapi, tak satupun dari mereka yang berani masuk. Ia sendiri tidak mengetahui ada kerumunan massa.
Lalu ketua RT datang dan mengatakan bahwa ia tidak
boleh menyebarkan agama. Budi kemudian menjelaskan kalau
yang dilakukan hanya sebatas ngobrol biasa dan bukan menyebarkan agama. Ketua RT setempat kemudian mengatakan, saya
mengerti, tetapi anggapan masyarakat melihat anda menyebarkan agama. “Kemudian saya meminta maaf, lalu pergi dari
tempat itu. Saya mengatakan kalau saya bertindak jelek, maka
gereja saya juga jelek, orang tua saya juga” terangnya.63 Kejadian itu berlangsung tahun 1989 waktu dia bertugas di
Malang.
Pengalaman lain yang dia rasakan adalah pada saat ia masih menjadi misionaris yunior di Jakarta sekitar tahun 19861987. Waktu itu ia sempat ditertawakan di dalam Bus. Ternyata mereka menertawakan karena sepertinya, Budi dan
rekannya adalah misionaris Kristen. Dan itu bisa dibaca di
name tag-nya.
Meski bukan gereja dengan infrastruktur lengkap dan
megah, tetapi ada banyak hal yang membuat mereka nyaman
bergereja. Salah satunya adalah ajaran yang menekankan pada
sikap kemandirian. Mardiyono, meski presiden cabang tetapi
ia tidak mendapatkan gaji dari gereja. Sebagai bagian dari komunitas gereja, ia bisa menerima itu, karena memang diajarkan untuk mandiri. Dalam pengalamannya bergereja Mardiyono mencoba membentuk apa yang disebut Gudang Uskup.
Isinya adalah sumbangan dari warga gereja.
63
Wawancara Restya Budi.
206 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Selain masalah kemandirian, gereja ini juga berbeda
dalam soal pelayanan. Seperti yang telah digambarkan, bahwa
semua pemimpin tidak dibayar. Pada hari biasa, gereja akan
terlihat sangat sepi, karena semuanya bekerja. Persoalan diselesaikan pada hari minggu, dari keuangan hingga masalah administrasi lainnya. Itulah yang menjadi perbedaan. Bagi anggota
gereja yang baru, hal ini akan menjadi masalah. Tetapi itu harus dilakukan karena sifat dari gereja ini adalah pemanggilan.
Dilihat dari status sosial-ekonomi, jemaat gereja Mormon
Semarang kebanyakan adalah golongan menengah ke bawah.
Ini bisa dilihat misalnya dari jemaat yang memiliki mobil. Dari
90 anggota aktif itu (baca: kehadiran pada setiap kebaktian),
hanya empat yang punya mobil. Secara kuantitas, di gereja
Mormon Semarang selalu ada penambahan jemaat gereja. Tercatat tahun 2008 ada 289 anggota jemaat di gereja Mormon.
Angka itu terhitung sebagai peningkatan, karena pada tahun
2007 hanya ada 254 jemaat.
Di Indonesia perkembangan gereja Mormon bisa dikatakan tidak sepesat Amerika, mengingat ada benturan dengan
faktor ekonomi dan budaya. Menurut Mardiyono, mengapa
gereja ini tidak dibuat seperti halnya Katolik yang melebur
dengan budaya setempat, yang kemudian menjadikan Katolik
mengakar. Ia belajar banyak dari perkembangan Islam di Indonesia, dimana para wali berdialektika dengan budaya lokal.
Seperti Nahdlatul Ulama yang mengambil banyak dimensi
budaya Hindu seperti kemenyan, tasbih, peringatan kematian
100 hari.64 Ia kemudian berpikir bahwa Mormon juga harus
menjadi demikian. Tetapi karena ini sudah menjadi doktrin
yang sudah memiliki kiblat, maka hal itu akan sangat sulit direalisasikan. Tetapi bahwa keinginan untuk beradaptasi itu
64
Wawancara Mardiyono.
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 207
tetaplah ada, meski kemudian ada batasan dari aturan yang
telah ditetapkan.
H. Mormon dan Pergulatan Membangun Identitas
Jika dilihat secara umum, pada dasarnya pergulatan keagamaan sekte Mormon tidaklah jauh berbeda antara satu wilayah
dengan wilayah lainnya. Sejauh pengetahuan penulis dan hasil
dari perbincangan dengan presiden wilayah Semarang dan beberapa jemaatnya, hampir semua identitas sosial yang melekat
pada kelompok Mormon pada umumnya, juga ada pada jemaat
Mormon di Semarang. Untuk menjaga konsistensi bahasan,
analisis terhadap identitas kelompok Mormon pada akhirnya
tetap akan dipotret oleh tiga perspektif identitas tawaran
Castell.
Namun sebelum sampai pada kesimpulan tentang identitas apa yang dibangun Mormon, maka proses menganyam serpihan identitas oleh founding fathers gereja ini penting untuk
dipaparkan. Di sini, peran Joseph Smith sebagai figur sentral
dalam gereja Mormon sudah pasti menjadi sangat vital.65 Meski begitu, perkembangan gereja ini bukannya tanpa hambatan.
Sebagaimana lazimnya ajaran baru, penyesatan dan pengucilan
sudah pasti dialami. Dalam hal penyesatan, tentu Mormon
juga melewati masa-masa tersebut.66
Setiap aliran keagamaan, pasti memiliki tokoh sentral yang menjadi
panutan umatnya. Dalam kekristenan, Marthin Luther adalah dewa bagi
kelompok Lutheran, Calvinis memiliki John Calvin sebagai rujukan utama,
Menno Simons adalah ruh dari gerakan Mennonite, Metodis memiliki Wesley
bersaudara, Pentakostal oleh Charles Parham dan William Seymour, dan
seterusnya.
66
Wawancara John A. Titaley Guru Besar Ilmu Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga, 10 Februari 2009.
65
208 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Joseph Smith dan pengikut-pengikutnya mengalami penganiayaan karena keyakinan mereka. Karena itu mereka menyingkir ke Ohio, lalu ke Missouri dan kemudian ke Illinois.
Di Nauvoo, Illinois, Smith dibunuh di penjara pada tahun
1844. Smith diakui oleh anggota-anggotanya sebagai seorang
martir. Ia kemudian digantikan Brigham Young67, yang memimpin jemaatnya untuk mengundurkan diri lebih jauh lagi ke
barat hingga akhirnya mereka tiba di Salt Lake City, Utah
yang pada saat itu masih merupakan daerah yang gersang.
Setibanya di sana Young berkata kepada para pengikutnya, “inilah tempat yang telah diberikan Allah kepada kita.”
Young merasa yakin bahwa di tempat yang gersang itu mereka
tidak akan dikejar-kejar lagi.68 Sejak itu, gereja Mormon berpusat di Salt Lake City, Utah. Para pemimpin gereja ini disebut “presiden,” yang juga merupakan “nabi, pelihat, dan pewahyu,” yang membimbing para anggota gereja Mormon,
seperti halnya juga Joseph Smith, melalui wahyu dan pimpinan
dari Allah.
Saat ini gereja Mormon berkembang sangat pesat di seluruh dunia. Salah satu penyebabnya ialah karena setiap orang
Mormon dengan sukarela dan penuh iman bersedia melayani
gereja mereka selama dua tahun dalam masa hidup mereka
sebagai misionaris dan juga sebagai para pelayan di gereja.
Mereka dengan sukarela bersedia diutus kemanapun juga di
segala penjuru dunia untuk menyebarkan ajaran-ajaran Mormon. Kehidupan mereka juga tampaknya sangat terpuji: meNama Young kemudian diabadikan sebagai label perguruan tinggi milik
gereja Mormon di Utah, yakni Brigham Young University. Universitas inilah
yang oleh Claudia L. Bushman disebut sebagai salah satu the public faces of
Mormonism. Lihat dalam Claudia L. Bushman, op.cit., h. 140.
68
Maxine Hanks dan Jean Kinney Williams, Mormon Faith in America,
(New York: Fact of File, 2003), h. 37.
67
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 209
reka diwajibkan untuk menjauhkan diri dari alkohol dan segala
jenis minuman keras lainnya, rokok dan bahkan juga kopi dan
teh. Mereka dihimbau membayar persepuluhan dan persembahan uang lainnya sesuai dengan perintah Allah demi kepentingan pembangunan gereja juga kepentingan kemanusiaan
lainnya. Mereka dihimbau untuk taat sepenuhnya kepada pemimpin-pemimpin mereka karena mereka percaya bahwa para
pemimpin mereka adalah orang-orang yang dipilih Allah.
Jika di Amerika masa-masa kelam itu sudah terlewati,
maka di Indonesia pergulatan warga gereja Mormon Semarang
dengan pencitraan negatif masih berlangsung, meski dalam level yang masih sangat halus. Dalam pengertian, pandangan
tidak nyaman terhadap eksistensi gereja Mormon tidak diluapkan dalam ekspresi yang sarkastis atau anarkis sehingga harus
memakan korban.
Dari data yang didapat hanya ada satu kali ancaman yang
sepertinya akan mengarah pada tindakan anarkis yang dialami
oleh gereja Mormon di Semarang seperti yang tertera dalam
Laporan Amerika Serikat Tentang Pelaksanaan Hak Asasi
Manusia di Indonesia Tahun 1997 Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat yang dikeluarkan oleh Biro Demokrasi, Hak
Asasi, dan Perburuhan pada 30 Januari 1998. Di halaman 36
laporan tersebut tertulis, “…Dalam laporan Selama bulan Februari, bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, banyak gereja
di seluruh negeri kabarnya mendapat ancaman lewat telepon
dan fax tentang akan adanya penghancuran di tanggal-tanggal
tertentu. Meskipun terjadi pembakaran dan penyerangan gereja
selama bulan itu, ancaman serangan luas itu tidak menjadi kenyataan. Akan tetapi ancaman itu menimbulkan rasa takut di
kalangan umat Kristen. Sumber-sumber di Medan melaporkan
bahwa penduduk setempat, dalam salah satu kasus, dengan
meminta bantuan tentara, menjaga gereja-gereja dalam masa-
210 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
masa itu. Sebuah gereja Katolik di Bandung, sebuah gereja
Mormon di Semarang, dan beberapa gereja di Jakarta, mendapat
ancaman”.69
Secara sosiologis, ketegangan antara gerakan keagamaan
baru dan sistem sosial keagamaan yang telah mapan, bukanlah
barang baru. Cerita mengenai relasi antara ekspresi keberagamaan dan keteraturan sosial, heresi dan ortodoksi ada sepanjang sejarah manusia. Identitas Mormon sebagai gereja sesat,
karenanya bisa dipahami sebagai bagian dari ekspresi ketegangan itu. Kekristenan awal mulanya diwarnai konflik yang berakhir dengan eksekusi Yesus oleh penguasa Roma setelah ia
melakukan protes atas ketidakadilan.70
Kalau dianalisis, bangunan identitas Mormon, sama halnya perkembangan sekte-sekte keagamaan, menjadi sesuatu
yang sangat menarik. Apalagi jika dikaitkan dengan kebebasan
menafsirkan Alkitab yang sangat terbuka dalam kekristenan.71
Menurut John Titaley, Guru Besar Ilmu Teologi Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga, kemunculan-kemunculan sekte
dalam kekristenan itu, secara teologis, bisa jadi karena tawaran
janji tentang imbalan surgawi yang mendapatkan porsi luar
biasa dalam teologi sekte-sekte tersebut.72 Di saat yang sama
ada banyak orang yang membutuhkan spiritualitas dengan
bentuk seperti itu.
Laporan Amerika Serikat Tentang Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di
Indonesia Tahun 1997 Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang dikeluarkan oleh Biro Demokrasi, Hak Asasi, dan Perburuhan pada 30 Januari
1998. Cetak miring ditambahkan.
70
Obery M. Hendricks Jr, The Politics of Jesus: Rediscovering the True
Revolutionary Nature of Jesus’ Teachings and How They Have Been Corrupted,
(USA: Doubleday, 2006), 50-61.
71
Perhatikan semangat reformasi yang mengusung spirit Sola Fide, Sola
Gratia dan Sola Scriptura.
72
Wawancara John A. Titaley.
69
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 211
Dengan begitu, maka tidak mengherankan jika pemahaman terhadap Alkitab Mormon berbeda dengan yang lain. Kehadiran sekte-sekte seperti Mormon dalam kekristenan itu dimungkinkan karena interpretasi terhadap Alkitab yang
sedemikian bebas dalam Kristen. Makanya, gereja Katolik
pernah tidak mau menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa lain
hanya Latin. Sikap demikian dimaksudkan untuk meminimalisir
perbedaan penafsiran terhadap Alkitab. Alkitab itu sendiri,
kata Titaley diterjemahkan pada tahun 1950an.73 Praktik seperti itu, tidak berlaku di Protestan. Karena ada terjemahan
Alkitab ke dalam bahasa berbeda, maka membuka interpretasi
yang berlainan. Pada sisi lain, siapa yang punya otoritas untuk
mengatakan bahwa interpretasi itu salah atau benar, juga tidak
ada dalam tradisi gereja Protestan.
Jadi pada awalnya sekte-sekte itu berkembang, secara
teologis, karena ada perbedaan interpretasi terhadap Alkitab.
Pada bagian berikutnya, interpretasi yang berbeda itu ditambah
dengan pengalaman istimewa lalu membentuk keyakinan bahwa interpretasi keagamaannya itu benar. Dari situlah kemudian
kelompok-kelompok sempalan itu mengembangkan keyakinannya. Dan ketika ada yang membuat gereja atau kelompok baru, sekali lagi, tidak ada yang berhak melarang.
Titaley menuturkan bahwa konteks kemunculan sekte
dalam Kekristenan itu sebagian besar adalah Eropa. Masalah
yang dihadapi di Eropa, ketika interpretasi bebas itu berkembang, tentangan datang dari gereja. Mereka yang punya pemahaman berbeda ini kemudian lari ke tempat yang bebas untuk
mengembangkan interpretasi. Amerika adalah tempat yang tepat untuk mengembangkan interpretasi yang berbeda tersebut.
Jadi lokus awal perkembangan itu sebenarnya adalah Eropa.
73
Wawancara John A. Titaley.
212 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Di saat yang sama, Amerika saat itu adalah wilayah yang
ditemukan dan disebut sebagai “Benua Baru” (ini berhubungan
dengan yang disebut Robert N. Bellah sebagai Israel Baru).
Mereka ditindas Eropa dan tidak dapat mengembangkan rasa
keagamaannya lalu mereka menyebut Amerika sebagai the new
world alias Dunia Baru. Di situ tidak ada institusi yang melarang aktivitas keagamaan apapun selama tidak melanggar
hukum positif. Di Amerika pengembangan religious freedom
berjalan lancar. Tak hanya Mormon, Satanic Church pun eksis.
Keyakinan akan Amerika sebagai tanah yang dijanjikan itu
tercermin dalam pasal 10 dari artikel keyakinan.74
Terhadap relasinya dengan negara, ada pandangan menarik dari gereja Mormon terhadap konstitusi Amerika, seperti
yang dikutip oleh W. Cole Durham dan Nathan B. Oman dalam ”A Century of Mormon Theory and Practice in ChurchState Relations: Constancy Amidst Change”. Pandangan itu
sesungguhnya terkait dengan ide mengenai otonomi beragama.
Gereja Mormon percaya bahwa “the U.S. Constitution was
divinely inspired, and that among other things, its commitment to
freedom of religion helped establish a society where restoration of the
original Church of Jesus Christ could occur without undue state and
social interference”.75 Pindahnya Smith ke Utah dari New York
adalah sebagai salah satu cara untuk memperoleh religious
autonomy yang sesungguhnya.
Mormon memang pernah ditolak di New York yang menyebabkan mereka pindah ke Utah. Dan sistem negara bagian
di Amerika, memungkinkan Utah disulap menjadi negara deLihat bagian pembukaan dari tulisan ini.
W. Cole Durham dan Nathan B. Oman dalam ”A Century of Mormon
Theory and Practice in Church-State Relations: Constancy Amidst Change”,
Working Paper Series, Last Revised, 16 September 2008, SSRN: http://ssrn.
com/abstract=942567.
74
75
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 213
ngan corak Mormon yang kuat. Prestasi lain yang dicapai
gereja Mormon adalah upaya mempertahankan in group-nya
yang kuat. Upaya itu mutlak diperlukan karena mereka harus
eksis berhadapan dengan mainline churches. Identitas sebagai
kelompok dengan jalinan persaudaraan yang kuat harus terus
menerus dipertahankan ditambah dengan pengembangan etos
kerja yang istimewa. Hasil yang diraih adalah warga gereja dengan prestasi yang hebat sampai sekarang. Karena mereka
melakukan itu sebagai panggilan.
Mormon, kata Titaley, memang benar-benar ”American
Religion”.76 Mormon menyebut mereka gereja tetapi pengakuan
terhadap The Book of Mormon, menjadikannya sesuatu yang ”berbeda”. Dan bagi Titaley, mereka bisa saja mengatakan kalau
Mormon itu juga wahyu, karena Alkitab membuka penafsiran
atas hal tersebut.77 Mormon dianggap “Americanism” itu karena
mereka sangat indigenous, entah ada hubungannnya dengan
Indian atau tidak.78
Meski Mormon datang ke Indonesia dengan membawa
budaya Amerika, bukan tidak mungkin gereja ini pada akhirWawancara John A. Titaley. Meski begitu, kalangan Mormon sendiri
agak kurang setuju jika Mormon dikatakan sebagai “American Religion” dalam
pengertian sempit. Elder Andressen mengatakan meski gereja ini dipulihkan
di Amerika, tetapi kurang betul kalau dikatakan bahwa gereja ini dikatakan
gereja Amerika. Amerika itu sebagai lokus di mana gereja itu dipulihkan saja.
Karena pada zaman 1820-an, Amerika adalah wilayah di mana kebebasan
untuk mengembangkan kebebasan beragama dan keadaan itu tidak ditemukan
di negara lain. Tanpa kebebasan beragama, bagaimana gereja Yesus Kristus
dipulihkan. Di situlah kebebasan bagi gereja Yesus Kristus untuk berkembang
dan memulihkan gereja dan Injil Yesus Kristus.
77
Lihat misalnya dalam Yehezkiel 37: 15-20. Papan Yehuda yang ada
dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai Alkitab. Sementara papan Efraim ditafsirkan sebagai Kitab Mormon.
78
Wawancara John A. Titaley
76
214 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
nya akan banyak diminati. Karena hal itu juga berlaku, dalam
beberapa bagian ajaran, dengan Islam misalnya. Dan itu terjadi
di Utah. Mormon benar-benar mengembangkan teknologi, karena etos kerja yang diembannya itu. Salah satu Presiden University of California Berkley itu dari Mormon.79 Jadi secara
sosiologis, in group feeling-nya itu yang membuat etos kerjanya
kuat.
Bagi kekristenan sendiri, kehadiran mereka adalah tantangan bahwa interpretasi mereka memengaruhi pola hidupnya.
Apalagi jika mereka bisa membuktikan dengan kesuksesankesuksesan yang bisa dianggap ancaman bagi mainline churches.
Sebab, dalam konteks Amerika, masalah yang utama adalah
uang. Kita jadi anggota gereja juga uang yang diutamakan.
Titaley bertutur bahwa teman istrinya bersama-sama orang
Mexico belajar di Community College akhirnya tertarik karena
etos kerjanya. Mereka berhasil membangun rumah. Dan sudah
pasti ada korelasi antara iman dan etos kerja.
Terkait dengan konteks Indonesia, faktor yang memungkinkan perkembangan Mormon adalah karena kemiskinan. Dan
dengan begitu mereka menanamkan etos kerja yang luar biasa
dan bisa membuat orang merasa seolah diberkati. Yang lain
karena memang agama-agama besar itu bukan agama asli,
sehingga mampu betul-betul mengakar. Meski begitu, bukan
berarti Mormon juga diterima karena ia akan mengakar. Kekristenan sampai sekarang tidak pernah mengakar, malah kepercayaan asli yang terus eksis.
Ketika Mormon mentransfer gereja Amerika lengkap dengan mentalitasnya, bukan berarti langsung menghasilkan benturan dan mereka tertolak. Pengalaman seperti itu juga terjadi
dengan Pentakosta. Karena kemiskinan bangsa Indonesia, de79
Wawancara John A. Titaley.
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 215
ngan pendekatan melalui disiplin dan etos kerja mereka mendapatkan kesempatan. Dan harus disadari pula kalau gereja
Mormon itu betul-betul diatur dari Utah.
Dalam tradisi beribadat gereja Mormon, tidak dikenal
adanya seorang pendeta. Jadi semuanya mendapat kedudukan
yang sama. Sehingga tidak ada pendidikan teologi khusus dalam tradisi mereka. Dengan begitu, maka pimpinan ibadat diserahkan kepada siapapun. Semua jemaat memiliki kesempatan
untuk khutbah, dan bisa jadi terkandung unsur demokratisnya
di sana, sehingga tidak perlu ada pendeta yang memberi
khutbah.
Dari sisi teknologi, perkembangan pesat ditunjukan oleh
gereja Mormon. “Mereka punya televisi, rumah sakit, universitas dan tidak pernah ketinggalan dalam teknologi dan informasi” tutur Titaley.80 Ia menceritakan pengalamannya bagaimana orang Mormon juga berbicara secara akademis tentang
agama.81 “Mereka pernah mengundang orang untuk berbicara
agama, lalu ada kritik terhadap definisi agamanya Emille Durkheim dan Clifford Geertz,” paparnya. Itu dikarenakan, dalam
pandangan kelompok Mormon, dalam agama ada juga kuasa
Bapak Surgawi.
Di tradisi kekristenan Indonesia, ada hal yang perlu diapresiasi meski ada interpretasi yang jauh dari mainstream seperti Mormon, yakni tidak adanya penyesatan yang dikeluarkan oleh lembaga agama. Ini harus disadari, karena mainline
churches juga belum tentu betul melakukan interpretasi. Meski
sejarah juga pernah melakukan pemberangusan terhadap sekte
dalam kekristenan dan Mormon juga mengalami masa pahit.
80
81
ini.
Wawancara John A. Titaley.
Kehadiran Brigham Young University bisa dipahami dalam konteks
216 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Di Indonesia Mormon mengalami persoalan yang cukup
pelik dengan pemerintah.82 Dengan gereja lain sebenarnya
tidak terlalu menonjol. Kalau secara kultur, penyesatan itu
mungkin ada, tetapi Mormon ada di antara orang banyak. Sehingga tidak terlalu jelas identifikasinya dan bagaimana memverifikasi kebenaran doktrinnya. Meski Mormon memiliki
doktrin yang sangat berbeda dengan pemahaman arus utama
seperti tidak adanya konsep Trinitas, maka tidak ada yang bisa
mengatakan bahwa penolakan itu sesuatu yang salah. “Kecuali
jika Tuhan mengatakan ini pakemnya,” kata Titaley. Karena
menurutnya, itu merupakan konsekuensi dari mempelajari
Alkitab.
Alkitab Kristen itu kumpulan tulisan yang berbeda-beda,
sehingga interpretasinya juga beda-beda. Karena Alkitab membuka peluang untuk menafsirkan macam-macam. Termasuk
dalam hal yang fundamen sekalipun. Konsep Trinitas misalnya.
Itu berkembang abad ke-3 dan 4. Abad pertama interpretasi
itu tidak ada. Itu terjadi karena interpretasi Injil Yohanes. Interpretasi itu datang dari pantheisme dan hellenisme. Ada banyak dewa meski yang banyak itu datang dari satu hakikat.
Artinya itu produk budaya dan sangat helenistik, serta tidak
ada di Yahudi yang monoteistik.
Di sinilah pentingnya memahami Alkitab sebagai satu tulisan yang terkait dengan kondisi sosial dan budaya tertentu,
Tiga regulasi negara yang cukup membuat gerak misionaris gereja
Mormon menjadi sangat terbatas adalah Surat Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran
Agama, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 77 tahun
1978 tentang Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia
dan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor
1 Tahun 1979 tentang tatacara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan
luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia.
82
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 217
yang pada gilirannya, kebebasan mengembangkan pemikiran
keagamaan dengan mengaitkannya terhadap realitas sosial, menjadi praktik yang mesti dilakukan. Kekristenan harus selalu
mengkampanyekan kebebasan berpikir itu.
Kalau kekristenan di Indonesia masih mempraktikan seperti dalam kasus Ioanes Rakhmat, maka pemikiran keagamaan
akan macet.83 Pemikiran kreatif dipasung dan tidak dibiarkan
berkembang. Artinya lembaga keagamaan manapun berpotensi
akan merasa menjadi yang paling otoritatif. Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) tidak seharusnya melakukan kutukan atau penyesatan terhadap ajaran-ajaran yang menyempal.
Dalam kasus Pendeta Sibuea dengan Sekte Kiamatnya, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) juga tidak bisa mengatakan sesat.84 Yang paling bisa dilakukan adalah adanya interpretasi yang berbeda. Ini sebenarnya sikap bijak dalam melihat
persoalan, meski bukan tidak mungkin jika lembaga ini punya
potensi untuk menjadi otoriter.
PGI hanya akan menjadi otoriter terhadap anggotanya
saja. Meski begitu juga kewenangan yang dibuat tidak mesti
dipatuhi oleh anggota-anggota PGI. Karena kesepakatan yang
dibuat itu bukan kebenaran. Dalam suatu gereja ada badan
yang punya otoritas, tetapi dalam PGI badan itu tidak ada.
Perkembangan ke depan, sekte-sekte yang ada di Indonesia bukan mustahil akan terus berkembang. Dengan catatan
bahwa ada keterbukaan dan toleransi masyarakat. Fenomena
itu sesungguhnya adalah pelajaran, terutama bagi mainline
Ioanes Rakhmat mendapatkan surat penggembalaan terkait dengan artikelnya di harian Kompas yang mengamini penemuan makam Yesus di Talpiot.
Simak dua tulisan Ioanes Rakhmat, “Kontroversi Temuan Makam Keluarga
Yesus”, Kompas, 5 April 2007 dan “Penulisan Sejarah dan Penelitian Makam
Keluarga Yesus”, 31 Mei 2007.
84
Wawancara Titaley.
83
218 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
churches bahwa dibanding gereja-gereja baru itu mereka tidak
bisa memberikan apa-apa kepada jemaat. Bahwa mereka itu
anggotanya banyak, tetapi toh tidak bisa membuat perubahan
secara signifikan bagi jemaat. Itu artinya gereja arus utama tidak mampu memberikan apa yang mereka butuhkan. Mereka
memerlukan spiritualitas di satu sisi, dan di sisi lain gereja
arus utama tidak memiliki itu.
Di saat yang sama gereja-gereja baru itu sangat mengeksploitasi rasa takut. Mereka membangun doktrin dengan menciptakan politik ketakutan kalau Tuhan marah, neraka dan
lainnya. Mengapa mereka menjadi begitu yakin dengan ajaran
sekte-sekte itu, karena saat membaca Perjanjian Baru itu ada
mukjizat mereka mengaitkannya dengan itu. Anggota sektesekte itu merasa nyaman dengan model beragama seperti
demikian.
Pada prosesnya, interpretasi manusia terhadap Alkitab,
sangat tergantung dengan ketinggian peradaban yang kita miliki. Dari Kristen, karena Alkitabnya tidak fokus. Lalu ditambah tidak ada otoritas yang bisa memverifikasi. Ke depan, Kekristenan akan sangat dihiasi dengan fenomena kemunculan
sekte-sekte. Karena tidak ada otoritas tunggal. Dan beban
yang ditanggung oleh Kekristenan adalah bagaimana menghadapi fenomena pluralitas keyakinan itu secara bijak.
Titaley menuturkan bahwa doktrin iman dalam ajaran
Mormon itu, secara sosiologis bisa dikatakan seperti keyakinan
yang dibuat. Mereka menganggap itu sebagai keyakinan yang
benar dan dengan keyakinan itu mereka menjadi diselamatkan
karena tidak ragu dengan keyakinan tersebut. Dan dengan begitu, mereka bisa meyakinkan orang lain untuk mempercayai
keyakinannya.
Sayangnya, ada hipotesis kalau gereja Mormon sepertinya
akan sangat sulit mengakar dengan keindonesiaan. Karena me-
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 219
reka tidak bisa memisahkan diri dengan asal muasalnya (baca:
Amerika). Dan ini sebenarnya pengalaman yang juga dirasakan
oleh Islam serta Kristen. Mereka akan banyak bertentangan
dengan akar kebudayaan bangsa Indonesia.
Terlepas dari itu, Rodney Stark, sosiolog agama kenamaan dalam The Rise of Mormonism, memprediksikan jumlah penganut Mormon dengan menggunakan perkiraan maksimal dan
minimal. Menurut Stark, jumlah pemeluk Mormon pada tahun
2000 sudah mencapai 10.435.551 dengan perkiraan tinggi
(rata-rata perkembangan 50%) dan 7.837.208 jika menggunakan perkiraan rendah (rata-rata perkembangan 30%). Stark
kemudian memprediksi, kalau jumlah itu akan semakin bertambah seiring dengan perkembangan dan sikap hidup anggota
Mormon memiliki etos kerja tinggi. Pada tahun 2080 (dengan
perkiraan tinggi) penganut Mormon akan mencapai
267.452.000 dan 63.939.000 dengan perkiraan rendah.85
Stark menuturkan bahwa sekularisasi dan modernisasi
menjadi salah satu faktor mengapa Mormon begitu leluasa berkembang. Stark menuturkan “faith in these secularization theses
is sadly misplaced but also that contrary to prevailing views, modernization and secularization stimulate Mormon growth”.86 Selain itu
perkembangan gereja Mormon yang pesat di Amerika juga
diakibatkan oleh beberapa faktor doktrinal yang kemudian berkembang menjadi kekuatan yang menjangkar. Pertama, konservasi modal kultural.87 Keberhasilan gerakan keagamaan baru,
kata Stark salah satunya diakibatkan oleh keberhasilan menjaga
kesinambungan budaya yang dipadukan dengan iman konvensional. Kedua, kekuatan gerakan keagamaan juga dipengaruhi
Rodney Stark, The Rise of Mormonism, (New York: Columbia University
Press, 2005), h. 145, table 7.3.
86
Rodney Stark, The Rise of Mormonism, h. 112
87
Rodney Stark, The Rise of Mormonism, h. 115.
85
220 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
oleh doktrinnya yang non-empirik.88 Ini bisa dilihat dari beberapa doktrin Mormon yang hampir kesemuanya ada dalam
non-empirik. Ketiga, mormonisme berkembang karena ia
menjaga perilaku, atau lebih tepatnya mereka menjaga etika
dan moralitas.89
Seperti halnya gerakan keagamaan baru (New Religious
Movements/NRMs) lainnya, identitas gereja Mormon terbangun
dari upaya melakukan perlawanan terhadap tafsiran mainstream
mengenai sejarah bangsa Ibrani. Dalam bahasanya Lester Kurtz
NRMs, tend to attract primarily people who perceive themselves as
marginal or opposed to the dominant society and its value system.90
Konsekuensinya, ketegangan-ketegangan antara Mormon dan
masyarakat yang lebih luas tidak bisa dihindarkan. Dalam konteks inilah maka konstruksi dasar tentang NRMs, termasuk
Mormon di dalamnya, membangun identitas yang oleh Castell
disebut sebagai identitas perlawanan.
Bentuk perlawanan yang dibangun oleh komunitas ini,
secara nyata tampak pada terbangunnya kehidupan yang otonom dari gereja. Dalam artian bahwa jemaat gereja Mormon
dan juga pengurusnya tidak hidup dari gereja. Gambaran
tentang pola kehidupan jemaat gereja Mormon di Semarang
seperti ditunjukkan di atas, merupakan fakta bahwa benarbenar ada pemisahan secara tegas antara kehidupan keseharian
dan kehidupan bergereja. Tidak ada dana dari gereja yang dikeluarkan untuk menggaji pengurus atau penasehat. Gereja
menjadi sentrum dari kegiatan spiritual. Di luar itu mereka
Rodney Stark, The Rise of Mormonism, h. 119.
Rodney Stark, The Rise of Mormonism, h. 130-131.
90
Lester Kurtz, Gods in the Global Village: The World’s Religions in
Sociological Perspective, (Thousand Oaks, Calif: Pine Forge Press, 1995),
191-192.
88
89
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 221
bekerja pada hari-hari biasa, untuk bisa menderma pada
gereja.
I.
Kesimpulan
Dilihat dari pergulatan Mormon di Indonesia, tergambar
bahwa masalah utama yang pernah mendera mereka adalah
negara melalui regulasi-regulasinya. Di lain pihak, kekristenan
juga masih belum bisa menerima sepenuhnya kehadiran mereka. Tentu saja persoalan ada dalam relativitas kebenaran
doktriner yang mereka anut. Tegasnya, intisari dari survei
singkat terhadap gereja Mormon di Semarang ini menghasilkan
beberapa catatan pokok
Pertama, perkembangan kelompok-kelompok keagamaan
baru dalam lingkungan agama-agama besar menjadi sebuah fakta
yang tidak bisa terhindarkan. Perkembangan Mormon karenanya
bisa dilihat dari perspektif ini. Yang menjadi persoalan adalah
bagaimana menyikapi aliran-aliran tersebut secara bijak. Inilah
yang terlihat dalam kasus Mormon. Betapapun Mormon memiliki penafsiran yang cukup berbeda tajam dengan mainline
churches, sejauh yang penulis temukan di lapangan, tidak ada
tindakan anarkistis terhadap penganut kelompok ini. Kondisi
semacam ini penting untuk digarisbawahi.
Kedua, dalam dinamika kehidupan keagamaan di Indonesia, tantangan yang dihadapi kelompok-kelompok keagamaan
baru seperti halnya Mormon sungguh tidak ringan. Melihat
pergolakan kehidupan keagamaan yang telah berlangsung sejak
1960-1970-an di Indonesia, tantangan yang dihadapi oleh gereja Mormon sesungguhnya berakar pada empat pokok persoalan. Pertama, bagaimana mereka berelasi dengan negara. Kedua, bagaimana strategi yang mesti ditancapkan dan dibangun
untuk bisa hidup akur dengan denominasi yang lain. Ketiga,
222 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
melanjutkan karya nyata seperti yang telah mereka lakukan
melakui LDS Charitiesnya. Keempat, bagaimana mereka berkompromi dengan kondisi sosial dan budaya masyararakat
Indonesia.
Ketiga, identitas yang tersembul ke permukaan berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa jemaat di Semarang, menyiratkan satu bentuk resistance identity. Tentunya
resisten di sini penting untuk digarisbawahi. Ia tidak hadir
dalam sebuah unjuk kekuatan armada perang. Gereja Mormon
yang antikekerasan tentunya tidak hendak menyuruh jemaatnya
untuk bersama-sama mengacungkan senjata. Jauh dari itu,
mereka menunjukkan semangat kerja yang tinggi dan memperkuat bangunan keluarga sebagai jalan untuk melawan stigma
negatif yang kerap dialamatkan padanya. Untuk mempertegas
kebenaran doktrinnya mereka menjadikan ranah sosial sebagai
wujud nyata pekabaran Injil. Gudang Uskup, seperti yang pernah dilakukan gereja Mormon Semarang adalah salah satu bukti nyata. Di samping itu, identitas sebagai jemaat yang memegang teguh prinsip-prinsip etika dan moralitas terus dipelihara.
Melalui keteguhan menjalankan hukum kemurnian akhlak
mereka membangun perlawanan atas tuduhan miring yang kerap dialamatkan terhadap mereka.
Keempat, masa depan kelompok-kelompok keagamaan di
luar mainstream seperti halnya Mormon, sepertinya masih akan
sangat bergantung pada dua hal, negara serta aparatusnya dan
masyarakat sipilnya. Di Semarang, gereja Mormon masih aman
di level struktur, tetapi sangat rawan di level kultur. Meski
tidak dominan, pandangan miring terhadap eksistensinya, tetaplah berkembang. Yang menarik untuk dicermati, akhir-akhir
ini gereja Mormon di Semarang mulai merangkul negara dengan menggarap isu bersama di antara keduanya. Salah satunya
adalah soal penguatan keluarga yang diprakarsai oleh LDS
YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 223
Charities dengan Departemen Sosial. Ini dilaksanakan pada 21
Februari 2009. Bukan mustahil, lambat laun stigma ”sesat”
akan semakin berkurang seiring dengan kesadaran mereka untuk mengepakan sayap di ranah sosial. Tentu saja kiprah nyata
ini akan semakin membuka ruang kompetisi yang luas kepada
kelompok-kelompok keagamaan untuk mentransformasikan
ajarannya.
224 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Konflik Kelenteng Poncowinatan:
Membaca Kisruh Kelenteng Tertua
Yogyakarta
NUR KHALIK RIDWAN
A. Awal Kasus
Bangunan Kelenteng Poncowinatan di Jalan Kranggan
Yogyakarta itu tampak khas dan indah dipandang. Kelenteng
ini menjadi tempat peribadatan Tri Dharma: Konghucu, Buddha, dan Tao. Sejauh ini Kelenteng Poncowinatan tidak tampak menunjukkan gejala konflik berarti hingga peristiwa pada
26 Februari 2008 itu terjadi. Sekitar 50-an orang dengan
mengatasnamakan Gerakan Masyarakat Peduli Cagar (Gempar)
Budaya menggelar unjuk rasa. Aksi ini buntut dari kekesalan
massa yang menilai bangunan sekitar kelenteng sebagai bangunan cagar budaya sengaja dirusak dan dirobohkan.1
Aksi yang berlangsung sejak pukul 10.30 WIB ini diikuti
berbagai elemen, antara lain: Yayasan Bhakti Loka, Kaum Muda Nahdlatul Ulama, Jogja Heritage Society (JHS), dan bebe“Kelenteng Bukan Barang Jarahan”, Radar Jogja, 27 Februari 2008. Lihat
juga “Mahasiswa Tolak Pengrusakan Cagar Budaya”, Cyber News, 26 Februari
2008 pukul 16:45 WIB
1
226 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
rapa elemen lain. Unjuk rasa ini tidak hanya menarik perhatian
aparat polisi dan TNI, tetapi juga para pedagang Pasar Kranggan. Mereka menyaksikan unjuk rasa dari luar pagar.2
Para demonstran membawa spanduk dan beberapa poster, di antaranya: “Lawan Kesewenangan Dinas Perizinan”,
“Pemkot Biang Kerok Penjarahan”, “Cabut IMBB Pemkot
Yogya dan Kelenteng Bukan Barang Jarahan”. Dalam aksi ini,
pengunjuk rasa menuntut Yayasan Pendidikan Pengajaran
Nasional Budya Wacana (YPPN-BW) menghentikan pembangunan gedung sekolah di kelenteng setinggi tiga lantai itu.
Pembangunan gedung sekolah ini telah merusak bangunan
kelenteng yang awalnya diperuntukkan buat kelompok
Tionghoa pada zaman penjajahan.3
Satu hari setelah unjuk rasa itu, terjadi perang pernyataan
di media massa antara kelompok yang mewakili Tim Pelestari
Kelenteng dan Budya Wacana. Salah seorang warga keturunan
Tionghoa yang juga anggota Tim Pelestari Kelenteng (TPK)
Siput Lokasari mengungkapkan kepada media bahwa bangunan
kelenteng merupakan bangunan milik Keraton Yogya dan bangunan yang berpotensi sebagai cagar budaya. Ia salah seorang
yang mendukung unjuk rasa. Bangunan ini menurut Siput
bahkan telah diubah bentuknya dari aslinya sehingga merusak
cagar budaya.4
Kelompok Budya Wacana yang diwakili Ketua Yayasan
Pendidikan Budya Wacana (YPBW) Gideon Hartono, pada 4
Maret 2008 membuka suara terhadap pihak-pihak yang mempersoalkan pembangunan gedung di kawasan Kelenteng Poncowinatan. Gideon menggelar jumpa pers setelah sebelumnya
Radar Jogja, 27 Februari 2008.
Pernyataan Sikap Gempar Budaya, 26 Februari 2008.
4
“Nasib Kelenteng Poncowinatan Setelah Kasus Perusakan”, Radar Jogja,
28 dan 29 Februari 2008.
2
3
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 227
berdialog dengan Komisi III DPRD Kota Yogya. Dalam keterangan kepada wartawan Gideon menyebutkan, “tidak benar
bila kami dianggap merusak cagar budaya di kawasan Kelenteng Poncowinatan”. Saat itu Gideon didampingi penasihat hukumnya, Oncan Poerba SH., Susie Fitri SH., MM., Rudolf
Ferdinand PS., SH., dan Willyam Hendry S SH.5
Gideon mengatakan, bangunan yang dimaksud bukan merupakan benda cagar budaya (BCB). Bangunan sisi barat kelenteng yang dipersoalkan Yayasan Bhakti Loka itu hanyalah bangunan biasa seperti rumah-rumah lain. Menurutnya,
Kelenteng Poncowinatan sendiri belum berstatus cagar budaya,
tetapi hanya berpotensi sebagai benda cagar budaya.
Kasus ini terus berjalan sampai dibawa ke pengadilan,
bahkan menjadi isu yang terus menerus sepanjang tahun 20072008. Masyarakat Yogyakarta dan publik memerhatikan kasus
ini sejak peristiwa demonstrasi itu. Wartawan kemudian banyak pula yang memberitakan seputar kontroversi dan konflik
Kelenteng Poncowinatan ini berberapa kali. Bahkan setiap ada
perkembangan dari konflik ini selalu diliput media lokal Yogyakarta. Sebelum ada demonstrasi itu, publik hanya tahu bahwa Kelenteng Poncowinatan itu indah, khas, dan telah berusia
lama. Adanya konflik itu, telah menjelaskan adanya sesuatu di
Kelenteng Poncowinatan.
B. Sekilas Kelenteng Poncowinatan
Berdasarkan latar di atas, tulisan ini sesungguhnya hendak
mengetahui: pertama, apakah ia berkaitan dengan konflik agama
atau faktor lain, misalnya perebutan aset bangunan yang mema“Bantah Merusak Cagar Budaya, Gideon: Itu Bangunan Biasa”, Radar
Jogja, 4 Maret 2008
5
228 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
kai simbol kelenteng (agama) sebagai arena perebutan? Kedua,
jika ini berkaitan dengan konflik agama, lantas apa yang menjadi titik masalahnya, begitupun sebaliknya jika konflik terkait
faktor lain? Ketiga, bagaimana pula upaya-upaya penyelesaian
yang sebaiknya dilzakukan?
Hanya, untuk melihat setting Kelenteng Poncowinatan
tulisan ini perlu menjelaskan pula sejarah berdirinya kelenteng
ini dan hubungannya dengan kalangan Tionghoa di Yogyakarta.
Setting ini perlu dikemukakan untuk memberi gambaran lebih
utuh terkait eksistensi kalangan Tionghoa yang tengah bertikai
dalam konflik Kelenteng Poncowinatan.
Menurut Wikipedia, tidak ada catatan resmi kapan istilah
“kelenteng” ini muncul. Yang pasti istilah tersebut hanya terdapat di Indonesia. Karenanya dapat dipastikan kata ini muncul
hanya dari Indonesia. Sampai saat ini, yang lebih dipercaya
sebagai asal mula kata “kelenteng” adalah bunyi teng-teng-teng
dari lonceng dalam kelenteng sebagai bagian ritual ibadah. Kelenteng juga disebut sebagai bio yang merupakan dialek Hokkian dari karakter miao. Ini adalah sebutan umum bagi kelenteng di Tionghoa.
Pada mulanya miao adalah tempat penghormatan pada leluhur ci (rumah abu). Pada awalnya masing-masing marga
membuat ci untuk menghormati para leluhur mereka sebagai
rumah abu. Para dewa-dewi yang dihormati berasal dari suatu
marga tertentu yang pada awalnya dihormati oleh marga, famili, dan klan mereka. Dari perjalanan, timbullah penghormatan kepada para dewa-dewi yang kemudian dibuatkan ruangan
khusus, yang sekarang dikenal sebagai miao yang dapat dihormati berbagai macam marga dan suku. Saat ini, di bagian
samping atau belakang miao masih ditemukan ruangan yang dikhususkan untuk abu yang dihormati para sanak keluarga,
marga, atau klan masing-masing. Ditemukan pula dalam
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 229
bangunan miao tempat khusus untuk mempelajari ajaran-ajaran
atau agama leluhur seperti ajaran-ajaran Konghucu Lao Tze,
atau ajaran Buddha.
Wikipedia masih menyebut jika miao atau kelenteng (Jawa)
selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para suci
(dewa/dewi), dan mempelajari berbagai ajaran, juga menjadi
tempat damai bagi semua golongan tanpa memandang suku
atau agama mereka. Saat ini miao (kelenteng) bukan lagi milik
marga, suku, agama, atau organisasi tertentu, melainkan tempat umum yang bisa digunakan bersama.
Berdasarkan fungsinya, kelenteng bisa digunakan sebagai
tempat ibadah, simbol relasi sosial masyarakat, bisa juga berfungsi politis. Berdasarkan pemiliknya, kelenteng bisa dimiliki
kekaisaran (pejabat), masyarakat, atau pribadi. Berdasarkan
umat, kelenteng dapat digunakan kalangan Konghucu, Tao, atau
Buddha. Berkaitan dengan ini, bahkan banyak yang tidak mengerti perbedaan antara kelenteng dan vihara. Kelenteng dan
vihara pada dasarnya berbeda dari sisi arsitektur, umat, dan
fungsinya. Kelenteng umumnya berasitektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat, selain juga berfungsi spiritual. Vihara berarsitektur lokal dan biasanya mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, vihara juga ada
yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada vihara
Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tionghoa.
Perbedaan antara kelenteng dan vihara kemudian menjadi
rancu karena peristiwa G30S tahun 1965. Imbas peristiwa ini
adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa oleh Orde Baru, termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa. Kelenteng yang ada
pada masa itu terancam ditutup paksa. Banyak kelenteng yang
kemudian mengadopsi nama Sanksekerta atau Pali, termasuk
mengubah nama menjadi vihara dan mencatatkan surat izin
dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan.
230 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Setelah rezim Soeharto diturunkan gerakan reformasi,
banyak vihara yang kemudian mengganti nama kembali ke
nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai kelenteng daripada vihara.6
1. Petionghoan di Yogyakarta dan Kelenteng
Poncowinatan
Kelenteng Poncowinatan terletak di kampung Kranggan, sebuah kampung yang menjadi salah satu basis perkampungan Tionghoa masa lalu. Kampung Kranggan, meminjam
istilah Yunanto Wiji Utomo,7 berada di jobo beteng (luar
benteng keraton), di samping ada kampung yang ada di
jeron beteng (dalam beteng kraton). Kampung-kampung di
Yogyakarta sendiri proses penamaannya hampir seragam.
Kampung di wilayah jeron beteng umumnya dinamai
berdasarkan keahlian abdi dalemnya. Sebab kampung-kampung itu dulunya merupakan tempat tinggal abdi dalem
yang sehari-hari menangani urusan rumah tangga keraton.
Berjalan ke timur dari alun-alun utara dan berbelok ke
kanan memasuki Plengkung Wijilan, ada kampung Mantrigawen, Gamelan, Namburan, dan Siliran. Bila berjalan
sampai ke alun-alun kidul, akan ditemui kampung Nagan
dan Patehan.
Seiring perkembangan dan makin pluralnya penduduk
kota Yogyakarta, sejak tahun 1900-an bermunculan pula
kampung-kampung lain di jobo beteng. Umumnya, kampung-kampung terbagi berdasarkan etnis sehingga dinamai
berdasarkan etnis dominan. Beberapa kampung yang bisa
“Kelenteng”, dalam “http://id.wikipedia.org/wiki/Kelenteng.
Yunanto Wiji Utomo, “Toponim Yogyakarta, Menilik Sejarah Penamaan
Kampung dan Pecinan Jogjakarta, Kawasan Dagang Bersejarah”, dalam www.
yogyes.com.
6
7
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 231
dikunjungi antara lain Kranggan, Petionghoan, Sayidan,
Menduran, Loji Kecil, Kotabaru, dan Sagan. Selain tempat
tinggal, kampung-kampung itu berfungsi sebagai pusat
aktivitas ekonomi. Kranggan, kampung di mana kawasan
Kelenteng Poncowinatan berdiri merupakan kampung tua
yang banyak didiami komunitas Tionghoa.
Sebuah tulisan yang dilansir Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Yogyakarta berjudul “DIY Masa Kolonial”,8 terang-terangan menunjukkan hubungan antara Petionghoan,
Kelenteng Poncowinatan dan kalangan Tionghoa. Dalam
tulisan itu disebutkan, Petionghoan berarti tempat tinggal
orang-orang Tionghoa. Di Yogyakarta keberadaan mereka
terpusat di kawasan antara Kepatihan dan pasar Beringharjo, tepatnya di Ketandan, sepanjang Malioboro, Beskalan, dan Pajeksan. Dengan terpusatnya pemukiman Tionghoa mempermudah pihak kesultanan untuk melindungi
sekaligus mengawasi keberadaan orang-orang Tionghoa,
agar pemberontakan seperti geger Petionghoan pada masa
Kartasura tidak terulang. Lagi pula pada tahun 1900 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang mengharuskan orang Tionghoa untuk bertempat tinggal di
daerah tertentu di kota. Sistem distrik khusus tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan.
Perkembangan kawasan sekitar keraton, terutama
kawasan sepanjang Keraton-Tugu, cepat menjadi ramai dan
pusat ekonomi. Pemukiman Tionghoa kemudian juga menempati kedua tepi poros tersebut. Proses interaksi potensi
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY, “DIY Masa Kolonial”, dalam
www.tasteofjogja.com (situs resmi Dinas kebudayaan dan Pariwisata Yogyakarta).
Uraian tentang hubungan Kelenteng Poncowinatan dan perkampungan
Tionghoa (pecinan) ini, selanjutnya merujuk tulisan dari Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata ini tanpa lagi menyebutkan sumbernya.
8
232 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
ekonomis eksternal ke belahan Jawa Tengah bagian utara
(Magelang dan Semarang), mendorong pula perluasan pemukiman Tionghoa ke kawasan utara Yogyakarta yang dianggap potensial untuk pengembangan usaha dagang.
Perluasan prasarana transportasi ekonomi dengan dibukanya hubungan kereta api Yogyakarta-Semarang pada
1872 mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi di
kawasan tersebut, yakni kawasan Kranggan dan sekitarnya.
Pada peta tahun 1903, di sekitar Pasar Kranggan terdapat
keterangan adanya perkampungan baru masyarakat Tionghoa. Seiring dengan perkembangan zaman, jika dibandingkan dengan kawasan Ketandan, warna arsitektur Tionghoa
pada rumah-rumah di kawasan Kranggan tidak lagi dominan. Unsur arsitektur modern (awal abad XX) tampak semakin banyak digunakan. Meskipun demikian, altar pemujaan bagi leluhur tetap dipertahankan di rumah-rumah itu.
Selain arsitektur bangunan tempat tinggal yang khas,
pemukiman Tionghoa juga ditandai oleh bangunan peribadatan yang biasa disebut kelenteng. Peninggalan kelenteng
yang berkaitan dengan pemukiman Tionghoa di Kota Yogyakarta masa lalu adalah Vihara Buddha Prabha dan Tempat
Ibadah Tri Dharma (TITD) Kwan Tee Kiong atau yang sekarang disebut dengan Kelenteng Poncowinatan.
2. Vihara Buddha Prabha
Vihara ini terletak di Jalan Gondomanan, sekarang
Jalan Brigjen Katamso, No. 3 Yogyakarta. Menurut catatan
pengurus kelenteng, bangunan tersebut didirikan pada 15
Agustus 1900. Tanah tempat berdiri Vihara Buddha Prabha
merupakan hibah dari keraton Yogyakarta pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VII dan sudah
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 233
diberikan pada tahun 1845. Adapun peruntukkannya memang sebagai tempat pemujaan bagi warga Tionghoa.
Semula Vihara Buddha Prabha bernama Hok Tik Bio,
tempat kebaktian bagi Hok Tik Cing Sin atau Dewa Bumi.
Meskipun demikian, di kelenteng ini juga terdapat altar
pemujaan bagi penganut agama Buddha dan Konghucu. Di
era Orde Baru, nama Hok Tik Bio diganti menjadi Vihara
Buddha Prabha. Saat itu di Indonesia hanya enam agama
saja yang diakui, maka di vihara tersebut unsur Buddha lebih ditonjolkan.
Vihara Buddha Prabha menghadap ke arah barat
dengan luas bangunan 1150 m2 yang dikitari halaman luas.
Denah bangunannya persegi panjang, terdiri atas ruang
utama di tengah, utara, selatan, dan belakang. Sedang di
tengah bangunan ada pelataran terbuka. Ciri utama arsitektur kelenteng berupa atap tipe Ngang Shan, dengan bubungan yang kedua ujungnya melengkung ke atas. Atapnya
dihiasi patung naga yang saling berhadapan dengan ekor
tegak. Di tengah dua patung naga terdapat bola api yang
merupakan simbol mutiara bulan. Dalam tradisi Tionghoa
naga melambangkan perlindungan dan kekuasaan, sedang
mutiara bulan adalah lambang kesucian.
3. Kwan Tee Kiong.
Tempat Ibadah Tri Dharma Kwan Tee Kiong terletak
di Jalan Poncowinatan 11 Yogyakarta. Didirikan tahun
1883 atas inisiatif masyarakat Tionghoa di Yogyakarta, kelenteng ini mendapat bantuan dari Sri Sultan Hamengkubuwana VII berupa tanah untuk tempat bangunan tersebut.
Kwan Tee Kiong menghadap ke arah selatan. Denah bangunan berbentuk persegi panjang dengan luas kurang
lebih 1500 m2. Kwan Tee Kiong terdiri atas bangunan
utama dengan beberapa sayap.
234 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Pada ruang pemujaan utama terdapat altar pemujaan,
beduk, dan lonceng. Altar pemujaan itu diperuntukkan bagi
Kwan Tee Koen, Kong Ce Cu Ong, dan Tien Song Su Bo
yang merupakan tokoh-tokoh dalam Taoisme. Di sisi timur
ruang pemujaan utama tersedia ruang pemujaan kepada
Fuk Tek Cen Sen. Bangunan di sisi utara yang merupakan
bangunan bertingkat, digunakan sebagai ruang pemujaan
kepada Dhyani Bodhisatva Avalokitesvara yang ditampilkan
sebagai Dewi Kwan Im di ruang tengah. Sisi kanan ruang
pemujaan untuk Buddha Gautama, sisi kiri untuk Dhyani
Bodhisatva Manjusri. Di sebelah kiri ruang pemujaan untuk
Dhyani Bodhisatva Manjusri, terdapat ruang pemujaan
untuk U Tien Sien Nie dan Kong Hu Cu. Ruang sebelah
baratnya untuk Tie Cong Ong Poo Sat dan Chuing Sen
Tien.
Selain kekhasan bangunan kelenteng, Yogyakarta juga
menyimpan peninggalan-peninggalan komunitas Tionghoa.
Di antaranya makam Tan Jing Sin, sebuah makam kapiten
Tionghoa yang dianggap njawani, Regocolo, pemakaman
warga Tionghoa lain di Sagan (yang sudah dibongkar untuk
pembangunan UGM), Cokrodiningratan, sekitar Gunung
Boko Prambanan, dan sekitar Gunung Sempu, Kasihan,
Bantul. Pemakaman Tionghoa di daerah Cokrodiningratan
hanya tersisa sebagian dengan kondisi tidak terawat. Hingga
saat ini yang masih difungsikan adalah makam di daerah
Boko, Prambanan, Sleman, dan Gunung Sempu, Kasihan,
Bantul.
C. Yang Terlibat Konflik
Konflik seputar Kelenteng Poncowinatan pada awalnya
melibatkan dua kelompok, yaitu Yayasan Bhakti Loka dan
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 235
YPPN Budya Wacana. Bhakti Loka merupakan yayasan yang
didirikan untuk memelihara dan melestarikan Kelenteng Poncowinatan sebagai Tri Dharma, tempat pemujaan kalangan Konghucu, Buddha, dan Tao. Ketika konflik berjalan dan bangunan
dibongkar, Bhakti Loka membentuk Tim 7 yang diketuai Siput
Lokasari, dengan anggota Dery Sadana (Ketua Umum Yayasan
Bhakti Loka), Ariyanto Tirtowinoto (Ketua I Yayasan), Fantoni
Gutama (Ketua II Yayasan), ditambah Hari Purnomo, Bimo
Yuwono, dan Iman Teguh KS.9
Sedangkan YPPN Budya Wacana yang mengelola sekolah
di sisi utara area bangunan Kelenteng Poncowinatan. Sejarah
kelahiran YPPN tidak bisa dilepaskan dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) Ngupasan, GKI tertua di Yogyakarta yang berdiri pada 3 Juni 1934. GKI inilah yang menjadi cikal bakal
berdirinya tiga GKI lain, yakni GKI Wongsodirjan (31 Oktober 1991), GKI Gondomanan (22 Nopember 1996) dan GKI
Gejayan (3 Maret 2000). Pdt. Iskak Gunawan yang datang
tahun 1959 mulai menginisiasi pertemuan dengan sekolahsekolah Kristen yang dulu dirintis Guru Injil Go Tiang Lioe.
Dari kegiatan ini pada 6 April 1959 akhirnya berdiri YPPN,
kemudian berubah menjadi YPPN Budya Wacana sejak 17
Oktober 1970.10
Juru bicara dalam konflik soal Kelenteng Poncowinatan
dari YPPN Budya Wacana diwakili Gideon Hartono dan pengacaranya, Oncan Purba dan kawan-kawan. Dalam kelanjutannya, konflik tidak hanya melibatkan dua kelompok tersebut,
tapi juga Dinas Perizinan Pemkot Yogyakarta, Balai Pelestarian
“Liputan Khusus: Dari Konflik Budya Wacana-Kelenteng Poncowinatan,
Meretas Perdamaian di Tanah Magersari,” dalam http://www.kr.co.id/web/
detail.php?sid=155331&actmenu=46.
10
“Profil sekolah Budya Wacana,” dalam http://www.budyawacana.com/
media.php?module=profil
9
236 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta, Dinas Ketertiban
(Dintib), sampai Dirjen Sejarah dan Purbakala di Jakarta.
Sejauh mana keterlibatan kelompok-kelompok ini, dapat dilihat
dalam kronologi konflik di bawah ini.11
D. Kronologi Konflik
Kasus Kelenteng Poncowinatan muncul bermula dari
sebuah laporan Yayasan Bhakti Loka dan Siput Lokasari (seorang warga Kranggan) ke BP3. Kemudian BP3 menggali data
dan bertemu dengan berbagai pihak, di antaranya Dinas
Perizinan, Yayasan Budya Wacana, dan Yayasan Bhakti Loka.
Meskipun BP3 telah mengeluarkan rekomendasi dari hasil
kajiannya, tetapi kasus Kelenteng Poncowinatan belum selesai,
bahkan sampai dimejahijaukan.
Kronologi ini disusun berdasarkan kajian dari BP312 tertanggal Nopember 2008 (sampai kronologi Nopember 2007);
surat-surat dari berbagai institusi yang dianggap berhubungan,
berita dari koran-koran di Yogyakarta, situs internet (baik dari
kelenteng Poncowinatan maupun dari Bantahan YPPN Budya
Wacana), dan lain-lain yang dianggap perlu. Kronologi konflik
selanjutnya dapat dibaca di bawah ini:
Ketika tulisan ini dibuat, kasus ini telah dibawa ke Pengadilan Tata
Usaha Negara, di mana Bhakti Loka menggugat Dinas Perizinan Pemkot
Yogyakarta, dan telah memasuki beberapa kali sidang.
12 Laporan Penyelesaian Kasus Pengaduan Yayasan Bhakti Loka Selaku
Pengelola Kompleks Kelenteng Poncowinatan terhadap Pembongkaran
Gedung Sekolah dalam Kompleks Kelenteng Poncowinatan oleh Yayasan
Budya Wacana, BP3, 2008.
11
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 237
14 September 2007
Siput Lokasari selaku warga Kranggan yang beralamat di
Jalan Kranggan No. 22 mengirimkan surat kepada BP3
DIY, tentang kejadian pembongkaran sebagian bangunan
yang masuk area Kelenteng Poncowinatan. Yayasan
Bhakti Loka juga melaporkan YPPN Budya Wacana telah
membongkar sekolah Budya Wacana yang masuk di area
Kelenteng Poncowinatan. Surat ini juga dilengkapi surat
bukti magersari serta foto-foto dan denah kompleks kelenteng di masa lalu.
17 September 2007
BP3 Yogyakarta mengirimkan surat kepada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk mengklarifikasi adanya izin
yang diberikan kepada YPPN Budya Wacana mengingat
bangunan tersebut adalah bagian dari bangunan cagar budaya Kelenteng Poncowinatan. Berdasarkan surat BP3,
Dinas Perizinan Kota meminta Budya Wacana untuk
mengajukan rekomendasi IMBB (Izin Mendirikan Bangun
Bangunan) ke BP3. Dalam surat yang ditandatangani Plt
Kepala BP3, Dra. Herni Pramastuti itu disebutkan,
“bangunan yang dibongkar merupakan bangunan fasilitas
kelenteng yang termasuk cagar budaya.”13
20 September 2007
Terjadi rapat antara BP3 dengan Dinas Perizinan yang
hasilnya menyatakan, meskipun Dinas Perizinan telah
mengeluarkan IMBB, namun karena terjadi kasus dan
tidak sesuai dengan perencanaan awal maka IMBB perlu
diperbarui sesuai dengan kesepakatan warga dan pihak
YPPN. Dinas Perizinan kemudian menunggu rekomendasi
yang dikeluarkan BP3 Yogyakarta terkait pengembangan
sekolah Budya Wacana.
Surat BP3 kepada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, No. 2166
N2/BP3/DKP/2007.
13
238 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
22 September 2007
Terjadi rapat antara BP3 dan YPPN Budya Wacana yang
kesimpulannya, pertama, Budya Wacana keberatan bila
harus mengulang proses perizinan sejak awal, karena
IMBB sudah turun; kedua, perlu dilakukan pembicaraan
dengan pihak Bhakti Loka sebagai pengurus Kelenteng
Poncowinatan.
24 September 2007
YPPN mengajukan surat kepada BP3 Yogyakarta No.
72/YPPN-BW/eks/2007 tentang permohonan
rekomendasi. Karena ada surat dari Yayasan Bhakti Loka
dan Yayasan Budya Wacana, kemudian BP3 segera
melakukan kajian dan mengumpulkan data di lapangan
serta keterangan dari kedua belah pihak guna mencari jalan keluar, karena sangat terkait dengan pelestarian benda
cagar budaya.
29 September 2007
Terjadi rapat antara BP3 dengan Bhakti Loka. Agendanya
penyampaian secara resmi deri pihak Bhakti Loka bahwa
telah terjadi perusakan bangunan dalam kompleks
Kelenteng Poncowinatan yang merupakan benda cagar
budaya. Bhakti Loka mendesak agar bangunan yang telah
dirusak itu dibangun kembali seperti semula, karena ada
keterkaitan secara moril dengan para leluhur yang telah
mewariskan bangunan tersebut. Pihak Bhakti Loka juga
melampirkan dokumen dan beberapa foto lama yang
menguatkan jika sekolah Budya Wacana yang telah
dibongkar merupakan bangunan lama bekas sekolah Tiong
Hoa Hak Tong yang merupakan bagian dari Kelenteng
Poncowinatan.
12 Oktober 2007
Terjadi rapat antara BP3 dengan YPPN yang berisi penjelasan kepada pihak Budya Wacana bahwa berdasarkan
kajian data faktual di lapangan maupun data historis, ba-
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 239
ngunan tersebut memenuhi kritera cagar budaya yang
berkait dengan eksistensi sejarah pendidikan khusus untuk
etnis Tionghoa dari dulu sampai sekarang. Terkait itu,
pihak Budya Wacana diminta mengembalikan bangunan
seperti setting aslinya di mana sekolah tersebut merupakan
satu kesatuan dengan kelenteng. Sedangkan untuk
pengembangan dapat dilakukan pada bangunan sisi utara
yang membujur arah barat-timur. Pihak Budya Wacana
sendiri belum dapat menerima rekomendasi pihak BP3
Yogyakarta itu.
Nopember 2007
BP3 menyelesaikan narasi tentang mulai munculnya kasus
Kelenteng Poncowinatan, yang prosesnya berjalan sejak
14 September 2007. Akhir dari seluruh kajiannya, BP3
membuat rekomendasi berisi: pertama, Yayasan Budya
Wacana harus mengembalikan bangunan seperti aslinya,
yaitu bangunan sisi barat dan bangunan loteng yang
menghadap selatan serta bangunan sisi timur yang menghadap barat; untuk pengembangan sekolah Budya Wacana
harus mengacu pada setting aslinya, di mana sekolah
tersebut merupakan satu kesatuan dengan kelenteng.
Dengan demikian akses antara kelenteng dan sekolah hanya boleh dibatasi pagar yang transparan seperti besi,
bukan tembok; kedua, berdasarkan tingkat asli bangunan
sebelum dilakukan pembongkaran, yang banyak mengalami perubahan terdapat di bagian utara. Untuk itu pembangunan bisa dilakukan pada sisi utara membujur dari
barat ke timur; ketiga, pembangunan sekolah yang akan
dilakukan Budya Wacana pun harus mengacu setting awal
Kelenteng Poncowinatan. Dengan begitu kegiatan ini
harus melibatkan Yayasan Bhakti Loka selaku pengelola
kelenteng. Yayasan Budaya Wacana menolak rekomendasi
ini. Meski begitu, BP3 beranggapan penolakan YPPN
tidak akan mengubah keputusan yang telah ada, dan BP3
Yogyakarta tetap mempertahankan rekomendasi yang telah dibuat berdasarkan pengkajian data-data yang akurat.
240 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Penolakan tersebut dipandang lebih sebagai upaya mempertahankan kepentingan YPPN dan tidak memperhatikan
pelestarian bangunan-bangunan bersejarah di Yogyakarta.14
10 Desember 2007
Kecamatan Jetis lewat Camat Jetis Sisruwardi SH mengundang Siput Lokasari di aula kecamatan untuk mengoordinasikan masalah pembangunan gedung Yayasan Budya
Wacana.
14 Desember 2007
Direktur Peninggalan Purbakala, Drs. Soeroso, M.Hum.,
membuat surat kepada Kepala BP3 Yogyakarta, yang
isinya mendukung apa yang telah direkomendasikan kepala BP3 dalam menangani bangunan kompleks kelenteng
Poncowinatan. Ini berati ia mendukung jika Budya Wacana mengembalikan bangunan dalam keadaan aslinya. Begitupun dengan pandangan bahwa sekolah tersebut satu
kesatuan dengan kelenteng yang berarti menegaskan jika
akses antara kelenteng dengan sekolah hanya boleh dibatasi dengan pagar yang transparan seperti besi, bukan tembok. Jika kasus ini tidak bisa diselesaikan dengan baik,
pihak Peninggalan Purbakala mnyarankan untuk mempuh
jalur sesuai ketentuan yang berlaku.
23 Januari 2008
Kepala BP3 Yogyakarta mengirim surat kepada Pengurus
YPPN berisi beberapa hal. Pertama, BP3, sesuai rekomendasi Dirjen Purbakala, mengundang Budya Wacana tapi
tidak diindahkan. Kedua, pada 28 Desember 2007 BP3
Seluruh narasi pada 14 September 2007 - Nopember 2007, merujuk
pada dokumen Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta,
Laporan Penyelesaian Kasus Pengaduan Yayasan Bhakti Loka Selaku Pengelola
Kompleks Kelenteng Poncowinatan terhadap Pembongkaran Gedung Sekolah dalam
Kompleks Kelenteng Poncowinatan oleh Yayasan Budya Wacana, Nopember
2008.
14
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 241
telah mengecek lokasi dan diketahui jika proses pembangunannya tidak mengindahkan rekomendasi BP3. Ketiga,
dengan tidak diindahkannya hal tersebut, BP3 akan melakukan proses penyidikan.
30 Januari 2008
Kepala Dinas Ketertiban mengeluarkan surat berisi desakan penghentian proses pembangunan kepada Ketua YPPN. Berdasarkan surat BP3 tertanggal 23 Januari 2008,
pembangunan gedung fisik tersebut seharusnya dilakukan
disesuaikan dengan IMBB seperti surat dari Dinas Perizinan Kota, dan disesuaikan dengan rekomendasi Dirjen
Sejarah dan Purbakala Depbudpar RI yang ditujukan
kepada Kepala BP3 Yogyakarta. Surat ini ditandatangani
kepala Dintib, Priyono Raharjo, CN.
5 Februari 2008
Dinas Ketertiban Pemkot Yogyakarta mengeluarkan surat
kepada YPPN Budya Wacana yang ditandatangani Drs.
Wahyu Widayat, Mac. MM. Isinya justru mencabut surat
sebelumnya. Pihak Dinas Ketertiban menyatakan setelah
mereka melakukan koordinasi dengan instansi terkait,
disimpulkan bahwa IMBB yang dikirim YPPN masih tetap
berlaku. “Bahwa berdasarkan informasi dari instansi terkait, ternyata saudara dalam melakukan kegiatan pembangunan telah sesuai dengan IMBB yang telah diterbitkan oleh
Dinas Perizinan Kota, sehingga tidak ada alasan untuk
menghentikan kegiatan; dan bahwa hal-hal yang berkaitan
dengan bangunan cagar budaya merupakan kewenangan
BP3, dan dengan ini kami mencabut surat kami dan kami
nyatakan tidak berlaku lagi,” demikian isi surat.
11 Februari 2008,
Seorang warga Kemetiran Kidul No.89 bernama Sadana
Mulyono melaporkan Gideon Hartono (YPPN Budya
Wacana) dan Stevanus Wijaya ke Polda DIY berupa
laporan “Perusakan gedung sekolah terjadi pada bulan
242 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Maret 2007, di Jl. Kranggan No. 11 Jetis Yogyakarta dengan kerugian tidak ternilai”. Laporan ini diterima Adi
Pontjonoegroho berpangkat Kompol, Kepala Siaga Operasi Regu Polda DIY.
27 Februari 2008
Setelah upaya-upaya berbagai institusi seperti tampak
dalam kronologi sebelumnya belum juga membuat kasus
ini selesai, 50-an orang yang membawa bendera Gerakan
Masyarakat Peduli Cagar Budaya (Gempar) menggelar
unjuk rasa di halaman Kelenteng Poncowinatan. Aksi
yang berlangsung sejak pukul 10.30 WIB ini diikuti berbagai elemen, di antaranya Yayasan Bhakti Loka, Kaum
Muda Nahdlatul Ulama, Jogja Heritage Society (JHS),
dan lain-lain. Para demonstran membawa spanduk dan
beberapa poster. Antara lain bertuliskan “Lawan kesewenangan Dinas Perizinan”, “Pemkot Biang Kerok Penjarahan”, “Cabut IMBB Pemkot Yogya,” dan “Kelenteng Bukan
Barang Jarahan”.
Dalam aksi ini, pengunjuk rasa dalam pernyatannya menuntut Budya Wacana menghentikan proses pembangunan
sekolah yang dianggap secara hukum dan prosedur belum
mendapatkan kekuatan legalitas. Mereka juga menuntut
pemerintah dan lembaga-lembaga terkait segera menindak
para pelaku perusakan Kelenteng Poncowinatan sebagai
kawasan cagar budaya, termasuk mengembalikan kawasan
cagar budaya Kelenteng Poncowinatan yang telah dirusak
sebagaimana mestinya.15
Anggota Tim Pelestari Kelenteng (TPK) Siput Lokasari
yang mendukung aksi tersebut mengungkapkan, bangunan
kelenteng merupakan bangunan milik Keraton Yogya.
Pernyataan ini dibenarkan Bimo, anggota TPK. Bangunan
Pernyataan Sikap Gerakan Masyarakat Peduli Cagar Budaya (Gempar
Budaya), 26 Februari 2008.
15
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 243
yang telah dibongkar itu didirikan tahun 1897 semasa kepemimpinan Raja Keraton Sultan HB VII. Namun, baru
digunakan tahun 1907. Hingga akhirnya mulai tahun
1970 sampai sekarang, bangunan tersebut di bawah pengelolaan Yayasan Budya Wacana. “Seharusnya bangunan
itu dipertahankan, bukan dibongkar,” katanya menyesalkan. Siput saat itu mengungkapkan adanya keterlibatan
oknum pegawai Dinas Perizinan Kota Yogya. Namanya
berinisial “S”. Pegawai ini yang telah menghidupkan kembali IMBB yang sudah kadaluwarsa.16
29 Februari 2008
Terjadi perang kata-kata antara Bhakti Loka dan YPPB
Budya Wacana. Siput Lokasari mengungkapkan ke media
massa. “Di bangunan itu kan sudah ada police line,
seharusnya kegiatan dihentikan. Saya tidak ingin menyebut
nama. Tapi, orang ini yang merusak cagar budaya. Orang
ini bekerjasama dengan pegawai di Dinas Perizinan Kota
Yogya.” Sisi barat kelenteng memang sedang dibangun
berlantai tiga, akan digunakan sebagai sarana pendidikan
bagi siswa sekolah dasar, TK dan playgroup di bawah
pengelolaan YPPN Budya Wacana.
Upaya menghentikan pembangunan itu, bahkan dilakukan
dengan cara mengadu ke Walikota Yogyakarta Herry Zudianto dan Wakil Wali Kota Haryadi Suyuti lewat
telepon. Kepada Herry dan Haryadi, Yayasan Bhakti Loka
menyampaikan alasan dan argumennya tentang
mendesaknya penghentian proses pembangunan. Beberapa
argumentasi antara lain dikemukakan antara lain pengajuan IMBB pada 16 Januari 2007 tidak memenuhi persyaratan, dalam desain gambar tidak disertai tanda tangan
warga, pada rapat koordinasi pada 20 September 2007
“Kelenteng Bukan Barang Jarahan”, Radar Jogja, 27 Februari
2008.“Mahasiswa Tolak Pengrusakan Cagar Budaya”, CyberNews, 26, Februari
2008.
16
244 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
juga dinyatakan IMBB perlu diperbaharui, dan terakhir
Dinas Perizinan menunggu rekomendasi BP3 sebelum
mengeluarkan IMBB. Siput mengemukakan: “Lho tanggal
5 Desember 2007, tiba-tiba Pak Sutarto (pegawai Dinas
Perizinan --pen) mengabaikan proses pembaharuan IMBB
yang sedang berjalan dan mengizinkan YPPN Budaya
Wacana untuk mulai membangun. Sudah jelas ini
permainan bukan? Budya Wacana membangun tanpa
IMMB?”
Selain itu, Direktur Peninggalan Purbakala Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Sejarah dan Purbakala,
Drs Soeroso M. Hum., juga meminta Budya Wacana mengembalikan bangunan seperti aslinya. Siput dalam SMS
itu lantas mengingatkan agar Pemkot tidak dibodohi dan
dijadikan bemper orang-orang yang merusak budaya
bangsa.17
3 Maret 2008
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Sejarah
dan Purbakala, menerbitkan surat kedua yang ditujukan
kepada BP3 Yogyakarta yang isinya sangat mendasar.
Setelah mempelajari gambar denah rencana baru versi
panitia pembangunan YPPN Budya Wacana di Jalan
Kranggan 11 Yogyakarta, Departemen Kebudayaan pada
prinsipnya menyetujui usulan tersebut. Berdasarkan hasil
penelitian BP3 di Yogyakarta sebelumnya dan pemantauan
di lapangan, Departemen Kebudayaan menyimpulkan bahwa bangunan yang dirobohkan adalah bangunan baru yang
telah direnovasi tahun 1970-an dan tahun 2003. Departemen ini berkesimpulan, bangunan tersebut bukanlah
bangunan cagar budaya dan belum ada penetapannya sebagai benda cagar budaya. Departemen Kebudayaan juga
berharap, dengan diterbitkannya surat itu polemik tentang
“Nasib Kelenteng Poncowinatan Setelah Kasus Perusakan”, Radar Jogja,
Jumat, 29 Februari 2008
17
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 245
pembangunan gedung sekolah YPPN dianggap telah
selesai, dan kepada semua pihak diminta menghormati
keputusan tersebut.18 Surat ini membalik kesimpulan BP3
yang telah dikemukakan di muka.
4 Maret 2008
Ketua YPPN Gideon Hartono akhirnya buka suara terhadap pihak-pihak yang mempersoalkan pembangunan
gedung. Gideon menggelar jumpa pers setelah sebelumnya berdialog dengan Komisi III DPRD Kota Yogyakarta.
Dalam keterangan kepada wartawan, Gideon yang didampingi penasihat hukumnya Oncan Poerba SH, Susie
Fitri SH, MM, Rudolf Ferdinand PS, SH., dan Willyam
Hendry S SH., menegaskan jika anggapan merusak cagar
buadaya di kawasan Kelenteng Poncowinatan tidak
benar.
Gideon mengatakan, bangunan dimaksud bukan benda
cagar budaya (BCB). Bangunan sisi barat kelenteng yang
dipersoalkan Yayasan Bhakti Loka itu hanyalah bangunan
biasa seperti rumah-rumah lain. Kelenteng Poncowinatan
sendiri belum berstatus cagar budaya. Berdasarkan surat
resmi yang dikeluarkan pemerintah, kelenteng yang terletak di utara Pasar Kranggan itu baru dinyatakan sebagai
“potensi benda cagar budaya”.
Alasan Gideon, tanah seluas 1.900 m2 yang dibangun
persilnya terpisah dari kelenteng. Bangunan itu juga telah
mengantongi Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB)
resmi dan sah yang diterbitkan Pemkot Yogya. Sementara
itu pihak Keraton Yogya melalui KGPH Hadiwinoto telah
memberi izin tanah untuk dibangun. Karena bangunan
rusak berat setelah digoyang gempa 27 Mei 2006, dan
keberadaannya itu dinilai penting bagi upaya pencerdasan
Surat Dirjen Sejarah dan Purbakala, Drs. Soeroso M.Hum., kepada
BP3 Yogyakarta, No. 242/DIT.PP/SP/3.III/2008.
18
246 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
masyarakat melalui pendidikan, yayasan yang dipimpinnya
memutuskan membangun kembali meski rencana tersebut
belum berjalan mulus. Pembangunan tersebut bahkan
sempat macet. Saat dimulai lagi, menurut pengakuan
Gideon harga bangunan melonjak. Setelah ada dana talangan, pembangunan kembali dilanjutkan.19
5 Maret 2008
Asisten Bidang Pembangunan Pemkot Yogyakarta Muhammad Sarjono SH mengatakan pemkot telah mendapat
informasi resmi dari pemerintah pusat. Informasi itu
terkait dengan status bangunan di kompleks Kelenteng
Poncowinatan yang dikelola Yayasan Pendidikan Budya
Wacana (YPBW). Pemerintah memutuskan bangunan tersebut bukan termasuk benda cagar budaya (BCB).20 “Ini
informasi yang barusan saya terima dari Jakarta. Saat ini
saya sedang menunggu surat resminya,” kata Sarjono kepada para wartawan di Yogyakarta. Oleh karena itu,
Sarjono berharap keputusan itu dapat mengakhiri polemik
dan pro-kontra terhadap status bangunan di barat
kelenteng yang dikelola Yayasan Bhakti Loka.
Terpisah, pengurus Yayasan Bhakti Loka Siput Lokasari
mengaku telah menyerahkan bukti baru kepada Polda
DIY. Bukti itu berupa dokumen palsu. “Saya tidak perlu
menyebutkan siapa yang memalsukan dokumen,” katanya.
Dokumen itu diperoleh dari pegawai Dinas Perizinan
Kota Yogyakarta. Sementara itu, Tim Penasihat Hukum
YPPN Budya Wacana bakal memperkarakan pihak-pihak
yang telah merugikan yayasan. Pernyataan ini disampaikan
“Bantah Merusak Cagar Budaya, Gedeon: Itu Bangunan Biasa”, Radar
Jogja, 4 Maret 2008, dan “Terkait Tuduhan Pembongkaran Cagar Budaya,
Gedung Sekolah Budya Wacana Bukan Cagar Budaya”, Kedaulatan Rakyat, 4
Maret 2008.
20
Kemungkinan besar yang dimaksud di sini adalah surat kedua dari Dirjen
Sejarah dan Purbakala tertanggal 3 Maret 2007.
19
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 247
Oncan Poerba SH., Susie Fitri SH., MM., Rudolf Ferdinand PS., SH., dan Willyam Hendry S. SH., selaku pengacara YPPN Budya Wacana.21
18 Maret 2008
Anggota Tim Pelestari Kelenteng yang juga pengurus
Yayasan Bhakti Loka, Siput Lokasari, justru disomasi Pemkot Yogya. Asisten Bidang Pembangunan Pemkot Yogya
Muhammad Sarjono menjelaskan. “Kami sudah menerima
tanggapan atas somasi dari Saudara Siput. Tapi, terus
terang jawabannya belum memuaskan.” Oleh karena itu,
Sarjono yang waktu itu didampingi Kepala Bagian Hukum
Basuki berencana melayangkan somasi kedua. Hanya,
kapan somasi itu bakal dikirimkan, Sarjono maupun
Basuki belum dapat memastikan. Alasannya, Pemkot baru
akan membahas tanggapan Siput.
Tanggapan atas somasi pertama Pemkot ini ditandatangani
Siput tanggal 10 Maret 2008. Dalam selembar surat yang
kini berada di Bagian Hukum, Siput antara lain menyampaikan permintaan maaf kepada Pemkot. Siput sendiri
tampak rileks. “Monggo-monggo saja. Itu hak Pemkot,”
katanya. Hanya, dia mengaku tidak mengerti mengapa
Pemkot getol sekali mensomasi dirinya. Apalagi Pemkot
akan melayangkan somasi kedua. “Apa yang mau disomasi. Saya ora dong sik disomasi? Saya nggak ngerti. Somasinya apa?” katanya sembari menjelaskan dirinya telah
menjawab somasi pertama.
Siput berpendapat, Pemkot seharusnya mensomasi orang
yang membohongi dan membuat dokumen palsu. “Masak
ada dokumen palsu Pemkot justru mendiamkan dan
malah mensomasi orang lain?” katanya. Siput mengatakan,
Pemkot seharusnya memanggilnya untuk klarifikasi. Dia
“Pemkot Dapat Kepastian dari Pusat: Kelenteng Poncowinatan Bukan
Cagar Budaya”, Radar Jogja, 5 Maret 2008.
21
248 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
mengatakan siap dan akan memenuhi undangan bila
diperlukan Pemkot. Siput mengatakan, “panggil saya kan
bisa. Tanya saya dong? Kan gampang. Gitu saja kok
repot?”22
15 April 2008
Komisi II DPRD Kota Yogyakarta meminta proses pembangunan gedung Budya Wacana yang berada di Kranggan untuk sementara dihentikan dulu sebelum permasalahan terkait selesai. Selain itu, Dewan juga meminta
Dinas Perizinan untuk mensosialisasikan rekomendasi
tersebut kepada pihak-pihak terkait. Sekretaris Komisi II
DPRD Kota Yogyakarta, Henry Kuncoroyekti SH, usai
koordinasi dengan Dinas Perizinan dan Dinas Ketertiban,
di Gedung DPRD Kota Yogyakarta, Senin (14/4/2008)
mengungkapkan hal itu. Rapat yang dipimpin Ketua Komisi II DPRD Kota Yogyakarta, Sinarbiyat Nujanat diikuti
sejumlah anggota komisi, Kepala Dinas Perizinan dan
Dinas Ketertiban. Henry mengatakan, “sambil menunggu
penyelesaian masalahnya kami merekomendasikan agar
proses pembangunan gedung BW (Budya Wacana) dihentikan dulu.”
Terhadap rekomendasi ini, Dinas Perizinan Kota Yogyakarta segera mendiskusikan dengan Asisten Pembangunan
Kota Yogyakarta. Dinas Perizinan juga meminta waktu
seminggu untuk mempelajari sejumlah bukti baru yang
muncul. “Kami masih menunggu keputusan dari Dinas
Perizinan. Prinsipnya sebelum masalah di Budya Wacana
selesai pembangunannya dihentikan dulu,” ungkap anggota
Fraksi PDI Perjuangan ini. Dewan juga meminta dinas
untuk menyampaikan rekomendasi dari dewan kepada
pihak-pihak terkait.23
“Pemkot Ancam Somasi Kedua”, Radar Jogja, 18 Maret
“Dewan Minta Pembangunan BW Dihentikan”, Kedaulatan Rakyat, 15
April 2008.
22
23
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 249
21 April 2008
Ketua YPPN Budya Wacana, Gideon Hartono berstatus
sebagai saksi dalam kasus konflik Kelenteng Poncowinatan
di Polda DIY. Hal itu diungkapkan penasihat hukum Gideon Hartono, Oncan Poerba SH., dan Susie Fitri SH.,
Sabtu (19/4/2008). Diakui, kasus tersebut telah memasuki ranah hukum, oleh karena itu para pihak diharapkan
menghormati proses hukum dengan tidak membuat opini
di luar.
Oncan mengemukakan kembali alasan perlunya pembangunan diteruskan. Alasannya, pertama, pihaknya telah
memenuhi semua syarat-syarat hukum dibuktikan dengan
adanya perizinan mengenai Amdal lalu lintas dan sesuai
dengan surat Departemen Kebudayaan Pariwisata Dirjen
Sejarah dan Purbakala yang menyatakan bangunan yang
dibongkar oleh YPPN Budya Wacana bukan merupakan
benda cagar budaya. Kedua, tanah yang terletak di atas
bangunan pendidikan yang dibangun yayasan tersebut
dianggap tanah pinjam-pakai milik keraton sesuai dengan
surat perjanjian No. 15/HT/K.P.K/2004 tertanggal 24
Mei 2004, sehingga jelas bangunan gedung yang selama
ini dikelola YPPN Budya Wacana tidak ada hubungannya
dengan Kelenteng Poncowinatan. Susie Fitri menambahkan alasan. Karena sebagian besar rusak akibat gempa
beberapa waktu lalu, renovasi itu diperlukan agar para siswa
merasa nyaman dalam mengikuti proses belajar mengajar.24
28 April 2008
Siput Lokasari kembali mengemukakan bahwa proses
pembangunan SMA Budya Wacana di sebelah barat
Kelenteng Poncowinatan, Yogyakarta, tak cukup dihentikan sementara. Tapi pemerintah daerah setempat harus
mencabut izin bangunan baru berlantai tiga di atas
“Dilaporkan Merusak Cagar Budaya, Gideon Masih Berstatus Saksi”,
Kedaulatan Rakyat, 21 April 2008.
24
250 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
bangunan bersejarah itu, yang dibongkar pengelola YPPN
Budya Wacana. Siput menjelaskan, “Yayasan Pendidikan
Budya Wacana harus membongkar bangunan (baru) dan
mengembalikannya seperti aslinya.”
Siput mengemukakan bahwa tanah dan gedung yang diruntuhkan itu tak terpisahkan dari kelenteng. Dalam konsep kelenteng, selain bangunan kelenteng, ada sekolah
dan tempat kegiatan kebudayaan. Bangunan sekolah Ting
Hoa Hak Tong didirikan pada 1907. Sekolah pertama di
Yogyakarta ini adalah bangunan arsitektur Tionghoa dengan atap melengkung seluas 1.400 meter persegi.
Sekolah itu ditutup pada 1938. Tapi berdiri lagi dan beberapa kali berganti nama, salah satunya menjadi YPPN
tahun 1958. YPPN berubah menjadi Yayasan Pendidikan
Budya Wacana pada 1970, yang meminjam bangunan
milik kelenteng. Menurut Siput, sekitar 1982, Budya
Wacana menambah bangunan baru, tapi roboh karena
gempa pada 2006. Sedangkan bangunan lama masih
berdiri untuk kegiatan SMA Budya Wacana.
Bangunan lama milik kelenteng itu malah dirobohkan dan
di atasnya didirikan bangunan baru untuk SMA Budya
Wacana. Pembangunan SMA ini dimulai pada Februari
2007 setelah mengantongi izin dari pemerintah kota Yogyakarta. “Kami berusaha mencegah, tapi bangunan terlanjur dirobohkan alat berat,” kata Siput.25
29 April 2008
Siput Lokasari malah dilaporkan Pemkot ke Poltabes
Yogyakarta. Siput sendiri menanggapi santai menyusul
dilaporkannya dirinya ke Poltabes Yogya oleh Pemkot
Yogya. Hanya saja, Siput mengungkapkan keheranannya
“Bangunan SMA Budya Wacana Harus Dibongkar”, Koran Tempo, 28
April 2008.
25
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 251
dengan sikap Pemkot. “Saya heran dan tidak mengerti,
mengapa Pemkot melaporkan saya”. Siput heran karena
merasa belum pernah mencemarkan nama baik siapa pun.
Ia juga menyatakan tidak pernah menyebarluaskan apapun
yang dituduhkan Pemkot.
Pengusaha restoran ini mengaku sebenarnya hanya bermaksud memberi masukan kepada Walikota Herry
Zudianto. Ia membeberkan, seseorang yang tidak disebut
namanya dalam dokumen pengajuan IMBB memberi keterangan palsu hingga terbit IMBB. Siput menyebut orang
itu berinisial GD. Dengan IMBB tersebut, GD membongkar kelenteng bagian barat yang bukan miliknya.
Lucunya lagi, lanjut dia, GD yang jelas-jelas melanggar
dan membohongi Pemkot tidak diberi sanksi. ”Eh, saya
malah difitnah dan dilaporkan ke polisi. Ini ada apa toh?”
Kepala Bagian Hukum Pemkot Yogya Basuki SH menegaskan, pernyataan Siput dianggap telah mencemarkan
pihak lain. Pihak yang dimaksud adalah Pemkot, Dinas
Perizinan dan Sutarto. Menyikapi pencemaran nama baik
tersebut, Pemkot sebenarnya telah melayangkan somasi
kepada Siput. Namun, somasi tersebut tidak ditanggapi.
”Apa boleh buat, jalan terakhirnya kita laporkan ke pihak
berwajib,” kata Basuki.
Laporan secara tertulis telah disampaikan Pemkot ke Poltabes tanggal 24 April lalu. Surat pengaduan bernomor
STB/165/IV/2008/SPK. Pemkot telah menyerahkan sepenuhnya kepada polisi untuk menyelesaikan kasus hukum
dengan Siput. Menanggapi langkah Pemkot ke polisi, Siput menyarankan kepada yang sedang berkuasa jangan
seperti anak kecil yang sensitif dan arogan. ’’Masak masyarakatnya sendiri kok dilaporkan ke polisi hanya garagara memberi masukan. Contohlah Pak Wali yang selalu
terbuka untuk masukan,” tutur Siput.26
26
“Siput Heran Dilaporkan Polisi,” Radar Jogja, 29 April 2009.
252 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
22 Juli 2008
Pihak Bhakti Loka membuat pengumuman tentang
Kelenteng Poncowinatan di koran, berdasarkan Penetapan
Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 30/Pdt/P/1995/P.N.
Yk. Tgl. 30-5-1995; dan dokumen Badan Pertanahan
Nasional Yogyakarta, Peta Jetis 3.lb. 22 Yogyakarta,
maka Bhakti Loka mengumumkan:
Tanah di Jl. Poncowinatan yang di atasnya berdiri bangunan-bangunan yang saat ini dimanfaatkan sebagai
Sekolah Bhinneka Tunggal Ika (bagian timur), tempat
ibadah (bagian tengah), Sekolah Budya Wacana (bagian
barat) merupakan satu kesatuan Tanah Negara yang tercatat di Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta sebagai
China Temple (kelenteng);
Kebohongan Publik yang disebarluaskan oknum YPPN
Budya Wacana (YPPN BW) bahwa gedung bagian barat
kelenteng adalah “Milik” BW merupakan tindak penistaan
terhadap Agama Kristen yang menjunjung tinggi kejujuran
dan merupakan asas inti dunia pendidikan termasuk
YPPN BW. Sangat disayangkan bahwa dunia dan lembaga
pendidikan telah dinodai dengan tindak kriminal serta
diperalat dalam upaya rekayasa penyerobotan tanah dan
gedung milik kelenteng oleh dusta segelintir oknum
“pendidik” dengan kedok “umat Kristiani”;
Pengrusakan Bagian Barat ChinaTemple oleh Oknum
YPPN BW (GH), saat ini sedang dalam penanganan Polda DIY;
Penggalangan dana sebagai upaya pengembalian modal
pembangunan Sekolah Budya Wacana yang masih dalam
sengketa oleh oknum-oknum YPPN BW merupakan tindakan yang menyesatkan dan tidak bertanggung
jawab;
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 253
Masyarakat dihimbau untuk tidak melayani upaya
penggalangan dana yang menyesatkan tersebut, agar
tidak dirugikan di kemudian hari.27
28 Juli 2008
Pihak YPPN Budya Wacana membuat bantahan lewat
pengacarannya, Oncan Poerba dkk, berkaitan dengan
pengumuman Bhakti Loka yang dimuat di Kedaulatan
Rakyat tanggal 22 Juli 2008 itu. Bantahan ini menyebutkan bahwa pengumuman itu menyesatkan, menghasut dan
mengelabui masyarakat. Atas dasar itu dikemukakan
bahwa:
•
Penetapan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.30/
Pdt/P/1995/PN.YK tanggal 30-5-1995 berisi
keterangan bahwa tanah persil yang sekarang
ditempati YPPN Budya Wacana telah dikembalikan
ke negara, dan YPPN adalah satu-satunya pihak yang
berhak mengajukan permohonan hak. Dan selanjutnya
karena tanah tersebut adalah tanah magersari keraton
maka YPPN Budya Wacana memperoleh hak pinjam
pakai, berdasarkan perjanjian pinjam pakai tanah milik
sri Sultan HB Keraton Yogyakarta No.15/HT/
KPK/2004 tanggal 24 Mei 2004. Sedangkan bagian
timur Budya Wacana, yaitu Kelenteng Poncowinatan
dan Sekolah Bhineka Tunggal Ika, masing-masing
memperoleh hak pinjam-pakai (magersari) tidak terkait
dengan tanah dengan bangunan YPPN Budya Wacana.
Demikian pula dokumen BPN Yogyakarta, peta jetis
3 Lb.22 Yogyakarta hanyalah peta yang tidak
menunjukkan tentang kepemilikan hak dan tanah
tersebut sebagai satu kesatuan hak China Temple. Oleh
Karena itu, Yayasan Bhakti Loka dan maupun China
“Pengumuman”, Kedaulatan Rakyat, 22 Juli 2008. Lihat juga situs www.
kelentengponcowinatanjogja.com.
27
254 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
•
•
•
Temple tidak memiliki hak dan kepentingan hukum
atas tanah YPPN Budya Wacana Yogyakarta;
Lebih lanjut dalam penetapan PN Yogyakarta tersebut
menyebutkan, pada 1958 Badan Pengurus Pendidikan
Chunghwa tidak diizinkan melanjutkan usahanya
sebagai sekolah partikulir asing/Tionghoa atas surat
Penguasa Perang Daerah TTIV tertanggal 14 Juni
1958 Nomor: B.PPD/006663/6/1958 berdasarkan
Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/032/
Peperpu/1958 Jo. UU No. 50 Prp tahun 1960. Oleh
karena itu, sejak itu pula, pengurus sekolah Tionghoa
(Chunghwa) tidak aktif lagi dan bahkan sejak peristiwa G30S/PKI (surat bantahannya menyebutkan dengan disertai kata PKI) tahun 1965, sekolah Chunghwa tersebut telah dilarang;
Dengan demikian, tidak ada satu bukti pun yang dapat menyatakan bahwa tanah dan bangunan tersebut
milik China Temple, karena itu Yayasan Bhakti Loka
tidak memiliki hubungan dan kepentingan hukum terhadap bangunan dan tanah YPPN Budya Wacana,
bahkan hal ini pun telah ditegaskan oleh penetapan
PN Yogyakarta No.30.Pdt/P/1995/PN.YK. tanggal
30 Mei 1995, di mana dalam pertimbangannya bahwa
sejak tahun 1958, Badan Pengurus Pendidikan Chunghwa telah menyerahkan sepenuhnya kepengurusan sekolah kepada perkumpulan sekolah Kristen saat itu.
Dan lebih lanjut pengelolaannya kepada Yayasan Pendidikan Pengajaran Nasional yang menjadi cikal bakal
YPPN Budya Wacana.
Bahwa sejak dari awal hingga sekarang keberadaan
YPPN Budya Wacana adalah sebagai lembaga pendidikan yang sah dan telah memberikan pengabdiannya
kepada negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
sesuai dengan pasal 31 UUD 45. Demikianlah sejak
awal, gedung sekolah Budya Wacana bukan termasuk
benda cagar budaya, dan lokasinya pun terpisah dari
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 255
•
•
•
Kelenteng Poncowinatan, berdasarkan surat dari Departemen Kebudayaaan dan Pariwisata Dirjen Sejarah
dan Purbakala No. 242/DIT.PP/SP/3.III.2008.
Bahwa sekolah Budya Wacana merupakan sekolah
swasta yang pengelolaan dan siswa-siswinya terdiri
dari berbagai macam etnis, suku, dan agama. Oleh
karena itu, dihimbau kepada seluruh warga Tionghoa
dan warga beragama Kristen, agar tidak terpengaruh
oleh provokasi dan pemberitaan yang menyesatkan,
menghasut, pembohongan publik, menciptakan isu-isu
yang berbau SARA, dan upaya mengadu domba
antara kelompok tertentu dengan kelompok agama
yang dapat mengganggu kerukunan antarumat beragama dan mengganggu stabilitas keamanan warga Yogyakarta yang berhati nyaman dengan memberikan
informasi yang tidak benar di luar ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Bahwa pada saat terjadinya gempa di Yogyakarta 27
Mei 2006 yang lalu, gedung sekolah Budya Wacana
mengalami kerusakan berat, serta menggangu keselamatan dan keamanan para siswa dan guru, maka
YPPN Budya Wacana dengan iktikad baik merenovasi
dan memperbaiki sekolah Budya Wacana tersebut.
Dan untuk melaksanaknnya, Budya Wacana telah
memperoleh izin IMBB, Amdal, lalu lintas dan lain
sebagainya dari instansi pemerintah yang berwenang
sebagaimana prosedur yang berlaku.
Bahwa kepada pihak-pihak yang telah melakukan pencemaran nama baik, menyebarkan berita bohong dan
menghasut masyarakat, telah dilaporkan kepada kepolisian sebagai tindak pidana pencemaran nama baik,
fitnah, dan memberikan keterangan yang tidak benar
sebagaimana dalam laporan polisi No.Pol.LP/161/
IV/2008/Siaga tanggal 24 April 2008, yang sampai
sekarang masih dalam penanganan, pemeriksaan, dan
penyidikan Polda DIY.
256 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
•
•
•
•
Sedangkan laporan oknum tertentu dari Yayasan Bhakti Loka terhadap klien kami berdasarkan hasil penyidikan tidak memenuhi unsur-unsur pidana seperti
dituduhkan, karena klien kami tidak terbukti merusak
bangunan dan benda cagar budaya. Dan lagi pula,
Yayasan Bhakti Loka bukanlah sebagai pemilik dan
tidak memiliki kepentingan hukum terhadap tanah
dan bangunan Budya Wacana di Jalan Poncowinatan.
Demikian pula menyangkut penggalangan dana yang
dilakukan Sekolah Budya Wacana, hal tersebut adalah
urusan internal pihak YPPN Budya Wacana dan bukan urusan dari Yayasan Bhakti Loka sehingga dihimbau kepada seluruh masyarakat luas, maupun para
alumni dan para simpatisan agar tidak ragu dan diharapkan partisipasinya dalam memberikan sumbangan
kepada YPPN Budya Wacana, yang tujuannya demi
kepentingan pendidikan yang telah berjalan sebagaimana yang kita harapkan bersama.
Dan oleh karena itu, kepada pihak-pihak tertentu dan
Yayasan Bhakti Loka, kami peringatkan agar menghentikan untuk tidak melakukan agitasi, serta propaganda
yang menyesatkan, menyampaikan pembohongan publik, serta bermaksud untuk menyudutkan klien kami,
tanpa dasar dan tanpa didukung pada kebenaran yang
dapat merugikan klien kami. Jika hal itu terjadi,
maka kami sebagai tim kuasa hukum Budya Wacana,
tidak segan-segan melakukan tuntutan hukum, baik
secara pidana maupun perdata.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, kami mengharapkan kepada masyarakat luas, khususnya warga
Tionghoa dan warga Kristen di DIY tidak terpengaruh
oleh propaganda dan agitasi yang dilakukan oknum
tertentu, termasuk atas pengumuman Kelenteng Poncowinatan dari Yayasan Bhakti Loka, karena keberadaan tanah, gedung, dan pendidikan YPPN Budya Waca-
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 257
na telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana menurut
prosedur hukum dan undang-undang.28
22 September 2008
Pihak Yayasan Bhakti Loka, kembali membuat pengumuman yang menyanggah bantahan YPPN Budya Wacana dengan menjelaskan sejarah Kelenteng Poncowinatan. Menurut Bhakti Loka, sejarah Kelenteng Poncowinatan dapat
disebutkan sebagai berikut:
• Sekitar tahun 1860-an kawasan utara Tugu Yogyakarta
ditetapkan Kesultanan Ngayogyakarta sebagai kawasan
penduduk Tionghoa (de Chinese Bevolking). Khusus untuk tempat aktivitas umum diberilah sebidang tanah
“triman” sekitar 6,200 m2 di Jalan Poncowinatan yang
pada tahun 1881 berdiri bangunan pertama Kauw
Lang Teng (kemudian mengalami perubahan fonetik
dan lebih dikenal sebagai kelenteng, yang berarti:
tempat mendidik orang), Zhen Ling Gong yang
dikenal sebagai “kawasan Kelenteng Poncowinatan”
dan sejak tahun 1923 hingga hari ini tercatat sebagai
Tionghoa Temple di BPN Yogyakarta. Ini merupakan
fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun
juga;
• Tahun 1907 di kawasan Kelenteng Poncowinatan
“bagian Koelon” dibangun sekolah modern pertama
di Yogyakarta bernama Tiong Hoa Hak Tong
(THHT) dikelola oleh Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Untuk pertama kali aset milik kelenteng dipinjamkan kepada Lembaga Pendidikan Independen Eksternal kelenteng.
• Tahun 1940 THHT berhenti menggunakan aset gedung kelenteng karena tidak mampu bersaing terhadap Holland Chinesche School (HCS) sekolah yang
Oencan Poerba dkk., “Bantahan Pengumuman tentang Kelenteng
Poncowinatan”, dimuat dalam www.budyawacana.com, 28 Juli 2008.
28
258 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
sengaja didirikan pemerintah Hindia Belanda untuk
mematikan THHT yang kehadirannya dianggap telah
membangkitkan rasa nasionalisme di Tanah Air. Oleh
THHK, gedung dikembalikan kepada kelenteng, dan
menjadi asrama para hamba kelenteng.
• Masuknya tentara pendudukan Jepang ke bumi Nusantara telah menutup semua sekolah Belanda. Sebaliknya
mengizinkan sekolah Tionghoa untuk hidup kembali.
Aset kelenteng untuk kedua kalinya dipinjamkan kepada Sekolah Rakyat Tionghoa Pertama Yogyakarta (Ri
Re Zhong Hua Di Yi Xiao Xie, disingkat Di Yi Xiao)
dikelola Yayasan Pendidikan Chunghwa Yogyakarta
yang masih berstatus asing.
• Tahun 1949 lahirnya The People’s Republic of Tionghoa
(PRC) di Tiongkok mengakhiri perang saudaranya
dengan ROC yang pemerintahannya tergusur ke pulau Taiwan. Setelah tahun 1951 Pemerintah RI mengakui pemerintah PRC dan memutuskan hubungan diplomatik dengan ROC, makin banyak orang Tionghoa
perantauan yang berorientasi ke PRC dan Di Yi Xiao
yang tetap berorientasi ke ROC, membuat semakin
sedikit murid yang diterimanya. Menyadari situasi
yang makin sulit ini, pada 1956 pimpinan Di Yi Xiao
meminjamkan gedung sekolah kepada Sekolah Rakyat
Nasional di bawah pengelolaan YPPN di siang hari
untuk persiapan nasionalisasi. Tahun 1958 pengurus
Di Yi Xiao menerima tawaran pemerintah RI. Kepada
sekolah asing yang tidak mempunyai hubungan
diplomatik dengan RI, dianjurkan untuk dijadikan sekolah nasional. Maka hak pengelolaan sekolah diserahkan kepada YPPN yang merupakan cikal bakal
YPPN Budya Wacana.
• Rentetan sejarah di atas secara gamblang menunjukkan bahwa “Pendatang YPPN” yang kemudian berubah menjadi YPPN-BW tidak pernah punya hak
kepemilikan atas secuil tanah pun di Jalan Poncowina-
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 259
tan yang sejak tahun 1860-an telah dianugerahkan kepada masyarakatan Tionghoa dan diwujudkan dalam
bentuk bangunan kelenteng, yang hingga saat ini masih tercatat di BPN-YK sebagai Tionghoa Temple. Bantahan YPPN-BW justru menelanjangi diri sendiri dengan upaya jahatnya menerobos celah-celah hukum
melakukan penyerobotan tanah dan gedung milik
Kelenteng Poncowinatan (Tionghoa Temple);
• Kami penganut ajaran Confusius paham ada tiga jalan
menyelesaikan masalah yaitu: Qing (rasa tepo seliro,
baca: Ceng), Li (akal sehat, baca: Li) dan Fa (hukum,
baca: Hwat), namun penganut ajaran Konfusius hanya
menempuh jalan Ceng-Li, tidak menempuh jalan
Hwat. Karena Ceng-Li adalah seratus persen karunia
Tuhan yang sempurna. Hanya binatang yang tidak
bisa menyelesaikan masalah dengan Ceng-Li. Sedangkan
Hwat yang sepenuhnya hasil karya manusia pasti ada
kekurangannya yang bisa diplintar-plintir menjadi alat
pembela kekuasaan dan selalu ada tikus dan bandit
hukum yang memanfaatkan celah-celah hukum yang
ada. Sebagai contoh ada cukup bukti di tangan kami
bahwa hingga dua tahun lamanya memohon IMBB tak
kunjung selesai hanya karena tidak ditandatangani
oleh tetangga, tetapi dalam penjelasan kepada Komisi
2 DPRD pejabat Dinas Perizinan dengan entengnya
mengatakan tanda tangan tetangga tidak menjadi
syarat mutlak untuk pemberian IMBB! Sehingga tanda-tangan dimanipulasikan oleh GH (Oknum YPPNBW) atas permohonan IMBB juga tidak menjadikan
kasus yang harus diusut. Inilah bukti nyata betapa
hukum menjadi bulan-bulanan di tangan pejabat yang
korup! Dengan menjabarkan fakta sejarah kami mengajak seluruh khalayak ramai untuk mengkaji “kebenaran” dengan rasa tepo seliro dan akal sehat. Suatu
keanehan, bagaimana mungkin “pendatang” yang hanya “dipinjami” gedung oleh sebuah yayasan yang bu-
260 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
kan pemilik aset akhirnya bisa menjadi “pemilik” gedung? Jika tidak dilakukan dengan persekongkolan
penuh tipu muslihat dan rekayasa hukum;
• Bantahan mengutip pengakuan GH: gedung sekolah
milik Kelenteng Poncowinatan telah “diberikan” oleh
Pengurus Yayasan Chung Hwa, Bapak Ong Tiong
Tjoei (OTT) kepada YPPN? Bagaimana mungkin
gedung yang dibangun jauh sebelum OTT lahir dan
tidak pernah dimiliki OTT bisa diberikan kepada YPPN? Pengakuan di depan Notaris Soeryanto Partaningrat oleh sesepuh YPPN, Lie Djiang Seng dan Pik
Djoe Siong dengan akta No. 94 tertanggal 17 Desember 1990, yang menyatakan gedung sekolah tidak
pernah dialihkan kepemilikannya tidak berani diungkapkan dalam bantahan. Kerakusan oknum Pengurus
YPPN generasi setelah era Lie Djiang Seng dan Pik
Djoe Siong untuk menyerobot gedung sekolah milik
kelenteng semakin tampak jelas setelah wafatnya
OTT: memanfaatkan situasi pemusnahan seluruh budaya yang berbau “ketionghoaan” termasuk kelenteng
pada era rezim Orde Baru, oknum pengurus YPPN
saat itu (JH) tidak segan-segan mengarang cerita yang
sangat keji dengan pengakuan palsu kepada Pengadilan
Negeri Yogya bahwa gedung sekolah tersebut milik
Yayasan Chung Hwa berstatus asing yang dikuasai
oleh Peperpu setelah G-30-S, sehingga tanah tersebut
adalah tanah milik negara dan YPPN-BW berhak mengajukan kepemilikan atas tanah tersebut. Padahal dari pemanfaatan gedung sekolah sejak 1958 sudah dimanfaatkan oleh YPPN sendiri yang berstatus
nasional, bisa diputar-balikkan berstatus asing, hanya
karena kerakusan menyerobot milik orang lain! Suatu
tindak perampokan di saat orang mengalami kebakaran rumah;
• Bantahan menyebutkan gedung sekolah telah roboh
akibat gempa tahun 2006, merupakan “kebohongan
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 261
publik” dengan keberanian yang fantastis! Kontraktor
bangunan yang melakukan renovasi sebelum dirobohkannya gedung utama dan narasumber yang ditemui
tim investigasi BP3 dan kami dari Panitia Peringatan
100 tahun THHT semuanya menjadi saksi hidup yang
melihat dengan mata kepala sendiri bahwa gedung
Kelenteng Poncowinatan bagian barat (yang dipakai
BW) yang dibangun pada tahun 1907, seperti halnya
gedung Kelenteng Poncowinatan bagian tengah, sama
sekali tidak mengalami kerusakan berarti;
• Serangkaian tindak perusakan bangunan kelenteng,
penggelapan bongkaran gedung bangunan kelenteng
(yang dilakukan oknum GH, saat ini kasusnya
sedang dalam penanganan POLDA DIY), kebohongan, persekongkolan jahat dan pemutarbalikan fakta sejarah yang hanya bisa dilakukan oleh bandit kriminil, sulit dipercaya ini semua dilakukan oleh
segelintir orang berkedok “umat Kristiani” yang telah
menyusup ke dalam lembaga pendidikan bernaung di
bawah agama Kristen yang menjunjung tinggi kejujuran!
Bagaimana mungkin bandit-bandit demikian bisa melahirkan generasi yang bermoral Cinta Kasih Kristiani?
Oleh karenanya, kami menghimbau umat Kristiani
yang kami yakini memiliki rasa Ceng-Li yang baik
untuk mengutuk tindakan yang tidak sejalan
dengan moralitas Kristiani. Kepada orang tua
dan wali murid agar tidak menyekolahkan
anaknya ke sekolah yang dipimpin oleh sebuah yayasan yang saat ini didominasi oleh oknum tidak bermoral;
• Kami mendoakan agar oknum-oknum GH cs perusak
Kelenteng Poncowinatan dapat segera sadar dan mengembalikan bangunan Kelenteng Poncowinatan seperti sediakala.29
“Pengumuman II”, Kedaulatan Rakyat, 22 September 2008. Lihat juga
dalam www.kelentengponcowinatanjogja.com.
29
262 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
14 Nopember 2008
Sengketa Yayasan Bhakti Loka selaku pengelola Kelenteng
Poncowinatan dengan Dinas Perizinan Pemkot Yogyakarta
disidangkan. Bhakti Loka menggugat ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta karena pemkot telah
menerbitkan Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB)
sekolah Budya Wacana di atas tanah yang dikuasai kelenteng.
Sidang Perkara Tata Usaha Negara (PTUN) antara pihak
Yayasan Bhakti Loka melawan Dinas Perizinan Kota
Yogyakarta digelar di kantor PTUN Yogyakarta di Jalan
Janti, Kamis (13/11/2008). Sidang yang diketuai Ratna
Harmani SH., berlangsung singkat dan dihadiri di antaranya beberapa pengurus Yayasan Bhakti Loka, didampingi kuasa hukum Moelyadi SH. Sedang pihak tergugat
diwakili Kepala Bagian Hukum Pemkot Yogyakarta,
Basuki SH. Dalam eksepsinya, Moelyadi menyatakan
pihaknya menolak dalil-dalil dan bantahan tergugat. Pihaknya meminta majelis hakim mengabulkan gugatan
penggugat dan menghukum tergugat untuk membayar
biaya yang timbul dalam perkara tersebut.
Sidang berlangsung singkat tidak lebih dari lima menit
dengan agenda mendengarkan jawaban penggugat atas
eksepsi yang diberikan oleh tergugat. Seusai menyerahkan
berkas eksepsinya, majelis hakim menutup sidang dan
akan mempelajari berkas perkaranya kembali.30
25 Nopember 2008
Pemkot Yogyakarta yang dinilai tidak peduli dengan
bangunan cagar budaya telah mendorong Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Kota Yogyakarta mengadukan
“Pengurus Kelenteng Poncowinatan Gugat Dinas Perizinan Pemkot
Yogyakarta”, berita media massa belum terlacak tanggal dan nama media
yang memuat.
30
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 263
Pemerintah Kota Yogyakarta ke Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata, organisasi pendidikan, serta Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Pemkot Yogyakarta dinilai tidak peduli terhadap bangunan cagar budaya, salah satu kasusnya adalah pemberian izin terhadap
pembongkaran bangunan sisi barat Kelenteng Poncowinatan.
Salah satu alasannya karena pemkot memberikan izin pembongkaran bangunan sisi barat Kelenteng Poncowinatan
untuk pembangunan SMA Budya Wacana. Sekretaris
Komisi II DPRD Kota Yogyakarta, Henry Kuncoroyekti,
Selasa (25/11/2008) mengatakan, pekan lalu pihaknya
meminta sikap pemerintah pusat melalui Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata serta UNESCO untuk mengambil tindakan konkret terkait kebijakan Pemkot Yogyakarta yang memberikan izin membangun gedung sekolah tersebut.
Pengaduan komisi II DPRD Kota Yogyakarta itu sebagai
tindak lanjut dari kesepakatan sebelumnya bahwa Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) telah sepakat kalau sisi barat
bangunan Kelenteng Poncowinatan dikembalikan seperti
semula. Tapi oleh Dirjen Sejarah dan Purbakala ini dianulir, dengan menerbitkan surat yang menggap bangunan
yang dirobohkan sebagai bangunan baru, sehingga tidak
apa-apa.
Henry mengungkapkan dari pertemuan tersebut, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berjanji akan mengirimkan surat kepada pihak-pihak terkait agar segera mengembalikan bangunan Kelenteng Poncowinatan seperti
semula. Dari hasil pertemuan dengan UNESCO, pihak
Pemkot Yogyakarta diimbau untuk peduli dengan bangunan-bangunan bersejarah. UNESCO juga mengemukakan
keprihatinannya terhadap kota Yogyakarta terkait kebera-
264 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
daan kawasan Kota Gede yang rusak akibat gempa bumi
27 Mei 2006 dan sampai sekarang belum didukung maksimal oleh Pemkot Yogyakarta.31
28 Nopember 2008
Setelah komisi II DPRD Kota Yogyakarta mengadukan
Pemerintah Kota Yogyakarta ke UNESCO, pengelola
Kelenteng Poncowinatan yang dibongkar mengancam
akan mengadukan Pemkot Yogya ke UNESCO. Langkah
tersebut dinilai sangat layak karena lembaga tersebut juga
membawahi kecagarbudayaan. “Jika pemerintah kota tidak
mencabut izin pembongkaran, maka kami juga akan
mengadukan hal tersebut ke UNESCO dari sisi hukum
untuk mendukung data, dari sisi budaya sudah diadukan
oleh DPRD,” kata Mulyadi, pengacara Yayasan Bhakti
Loka, Jumat (28/11/2008).
Sementara Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota
Yogyakarta, Basuki Hari S, tetap ngotot menyebutkan
keberadaan Kelenteng Poncowinatan belum ada dokumen
yang menetapkan sebagai benda cagar budaya. Hal
tersebut, didasarkan pada Surat Dinas Kebudayaan
Provinsi DIY Nomor 432/996 perihal data benda cagar
budaya dan kawasan cagar budaya. Aturan ini dipertegas
dengan Surat Depbudpar Nomor 242/DIT.PP/SP/3.
III/2008. Selain dua regulasi tersebut, dasar penerbitan
IMBB oleh Pemerintah Kota juga berdasarkan hasil
penelitian BP3 dan pemantauan di lapangan. Dalam
argumennya, bangunan yang dirobohkan adalah bangunan
“Dukung Pembongkaran Bangunan Cagar Budaya: Pemkot Yogyakarta
Dilaporkan ke UNESCO,” dalam www.vhrmedia.com, 27 Nopember 2008.
Juga dimuat dalam http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/news/artikel.php?aid=31498 dengan judul yang sama. Bisa dilihat pula dalam “Pemerintah
Kota Yogyakarta Diadukan ke UNESCO,” Koran Tempo, 26 Nopember 2008,
dan “Pemkot Yogyakarta Diadukan ke UNESCO,” Media Indonesia, 25 Nopember 2008.
31
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 265
baru yang telah direnovasi 1970 dan 2003. “Kalau seperti
itu berarti bukan termasuk cagar budaya,” kata Basuki.
Namun, pengacara pengelola kelenteng tetap menyatakan,
Kelenteng Poncowinatan termasuk bangunan cagar budaya. Pihak penggugat berpegangan pada surat yang diterbitkan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta
pada 20 Nopember 2007 yang menyatakan izin mendirikan bangunan menunggu rekomendasi Direktur Peninggalan Purbakala. Lalu surat tersebut didukung penegasan
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada 14 Desember 2007.32
Berdasarkan kronologi yang telah dikemukakan di atas,
dengan sendirinya terlihat, kasus ini bukan hanya menjadi
kasus lokal, tetapi juga sudah berkembang menjadi berskala
nasional dan internasional, dengan keterlibatan Dirjen Sejarah
dan Purbakala, juga laporan DPRD kota ke Unesco. Kronologi
juga menunjukkan betapa banyaknya pihak yang terlibat dan
memainkan peran dalam kasus ini, di luar Yayasan Bhakti
Loka dan YPPB Budya Wacana.
E. Pembacaan atas Konflik yang Terjadi
1. Konflik Kelenteng Poncowinatan dan Soal Konflik
Agama
Pembacaan terhadap konflik ini, pertama akan dilihat
kaitannya dengan aspek keagamaan. Apakah konflik ini merupakan konflik berbasis agama atau tidak? Seorang responden Konghucu yang mengurus Kelenteng Poncowinatan
32
“Diadukan Ke UNESCO,” Tempo Interaktif, 28 Nopember 2008.
266 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
bernama Koh Margo menceritakan. Konflik ini tidak ada
kaitannya dengan diakuinya Konghucu sebagai agama yang
sah di masa Presiden Abdurrahman Wahid sampai sekarang. Kelenteng Poncowinatan yang merupakan tempat
peribadatan Buddha, Tao, dan Konghucu, tetap berlangsung
menjadi tempat peribadatan meskipun Konghucu belum
diakui.
Koh Margo menjelaskan. “Sehingga permasalahan ini
jelas tidak ada kaitannya dengan diakuinya Khonghucu sebagai agama di Indonesia, namun murni permasalahan bangunan kelenteng sebagai tempat peribadatan dan sekaligus
menjadi bangunan cagar budaya …juga jadi tempat peribadatan untuk semua orang, setiap orang dari latar belakang
budaya, agama apapun boleh beraktivitas (ibadah-doa) di
tempat ini, sehingga sebenarnya kelenteng tidak bisa diasosiasikan secara eksklusif pada satu kepercayaan saja
(Khonghucu misalnya).”33 Koh Margo bahkan menyayangkan kalau konflik ini dibawa kepada konflik agama.
Pernyataan dari beberapa responden yang diwawancarai, termasuk dari kalangan KMNU, juga tidak mengaitkan
kasus ini dengan konflik agama. Menurut Fakih, salah
seorang anggota KMNU, konflik ini lebih sebagai konflik
soal bangunan yang dirobohkan, pembangunan sekolah
YPPN BW dan yang berkaitan dengan benda cagar budaya.
Lebih khusus lagi, konflik ini berkaitan dengan persoalan
perusakan benda cagar budaya.34
Agus B, salah seorang yang juga ikut aksi Gempar
Budaya di Kelenteng Poncowinatan, juga mengingatkan
bahwa kasus ini jangan dikaitkan dengan konflik agama,
Wawancara dengan Koh Margo di Yogyakarta, tanggal 29 Desember
2008.
34
Wawancara dengan Fakih di Yogyakarta, 5 Januari 2009.
33
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 267
karena ini murni masalah penguasaan tanah, dan penafsiran
apakah bangunan tersebut benda cagar budaya atau bukan.
Kasus ini harus diarahkan untuk diselesaikan dengan melihat sejarah kelenteng dan bukti-bukti formalnya. Untuk
itu Agus melihat kasus ini sebaiknya diselesaikan di
pengadilan.”35
Pernyataan Koh Margo dan responden lain yang dikutip ini mewakili bagaimana konflik ini mesti dilihat, yaitu
berkaitan dengan sengketa bangunan yang dirobohkan, cagar budaya, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu. Ini
juga bisa dilihat berdasarkan deskripsi kronologi konflik
yang terjadi sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.
Konflik tersebut sebenarnya tidak berkaitan dengan konflik
berbasis agama, meskipun yang dipermasalahkan terkait
konflik Kelenteng Poncowinatan dan yang terlibat di dalamnya adalah dua kelompok dengan afiliasi agama yang berbeda. Bhakti Loka mengurus, menjaga, dan memperbaiki
kelenteng yang menjadi peribadatan Buddha, Tao dan
Konghucu. Sementara Budya Wacana merupakan hasil dari
jerih payah kalangan Kristen di Yogyakarta, khususnya
GKI.
Meski begitu harus diakui bahwa konflik ini bisa
muncul, tidak lepas dengan pengakuan Konghucu sebagai
agama resmi. Kalangan Konghucu yang dulu tidak bisa
muncul dan tidak memiliki kekuatan kembali bisa menunjukkan eksistensinya. Seandainya Konghucu tidak dipetieskan Orde Baru dulu dan bisa menunjukkan eksistensinya
sejak lama, kemungkinan konflik ini akan bisa diselesaikan
sejak dini. Dengan begitu Konghucu bisa menggunakan
35
Wawancara dengan Agus B, di Yogyakarta, 3 Januari 2009.
268 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Kelenteng Poncowinatan dan melestarikannya sehingga bisa
mengantisipasi kemungkinan konflik.
Kasus Kelenteng Poncowinatan ini bisa menjadi salah
satu bukti bahwa kelompok agama yang tidak diakui. Padahal dia memiliki hak hidup dan memiliki aset-aset sosial,
ekonomi, dan sejenisnya yang bisa terbengkalai, dan kemudian menjadi salah satu arena konflik bagi kelompok-kelompok yang berkepentingan. Ini bisa dipahami karena ketika mereka dihancurkan hak-haknya dan tidak memiliki
hak hidup, aset-asetnya bisa menjadi arena konflik bagi kelompok-kelompok yang berkepentingan itu. Walhasil, konflik kelompok agama dan rumah ibadah juga disebabkan
oleh negara yang tidak memberi hak kebebasan secara
penuh.
2. Perbedaan Melihat Status Sebagai Benda Cagar
Budaya
Kelompok Bhakti Loka melihat Kelenteng Poncowinatan dan areanya merupakan bagian dari benda cagar budaya yang perlu dilindungi. Siput Lokasari yang mewakili
Bhakti Loka berkali-kali mengemukakan ke media massa
bahwa kelenteng dan areanya adalah benda cagar budaya
“Kawasan Kelenteng Poncowinatan tidak seharusnya dibongkar dan didirikan bangunan baru karena tempat itu merupakan benda cagar budaya (BCB). Meski belum ada putusan resmi Dirjen BP3, berdasarkan UU No.5 Tahun 1995
tertulis bangunan yang berumur lebih dari 50 tahun masuk
dalam kriteria BCB dan harus dipelihara.”36
“Pengurus Kelenteng Poncowinatan Gugat Dinas Perizinan Pemkot
Yogyakarta”. Berita media massa, sumber belum terlacak.
36
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 269
Para demonstran yang berdemonstrasi pada 26 Februari 2008 juga menyebutkan salah satunya kawasan di
area Kelenteng Poncowinatan sebagai kawasan cagar budaya
(tuntutan 2 dan 3), dan karenanya para demonstran menuntut agar bangunan itu dikembalikan sebagai kawasan cagar
budaya.37
Selain tuntutan, dalam pernyataan sikap Gempar Budaya ternyata BP3 Yogyakarta pada 17 September 2007,
juga menyatakan: “Hal ini mengingat bangunan yang dibongkar merupakan bangunan fasilitas kelenteng yang termasuk benda cagar budaya.”38 Kajian yang dilakukan BP3
dan rapat dengan Budya Wacana di antaranya disebutkan:
“Penjelasan kepada pihak YPPN Budya Wacana bahwa berdasarkan data faktual di lapangan maupun data historis,
bangunan sekolahan tersebut merpakan bangunan yang memenuhi kriteria sebagai cagar budaya yang terkait dengan
eksistensi sejarah pendidikan khusus untuk etnis Tionghoa
dari dulu hingga sekarang.”39
Sebaliknya, kalangan Budya Wacana melihat bangunan
yang dirobohkan bukan kawasan cagar budaya. Gideon mengatakan, bangunan yang dimaksud bukan merupakan
benda cagar budaya (BCB). Bangunan sisi barat kelenteng
yang dipersoalkan Yayasan Bhakti Loka itu hanyalah
bangunan biasa seperti rumah-rumah lain. Kelenteng Poncowinatan sendiri belum berstatus cagar budaya.40
Pernyataan sikap Gempar Budaya, 26 Februari 2008.
Surat BP3 kepada Dinas Perizinan Pemkot Yogya, No. 2116.
N2/BP3/DKP/2007.
39
BP3, Laporan Penyelesaian kasus Pengaduan yayasan Bhakti Loka Selaku
Pengelola Kompleks Kelenteng Poncowinatan terhadap Pembongkaran
Gedung Sekolah dalam kompleks Kelenteng Poncowinatan oleh Yayasan
Budya Wacana, 2008.
40
“Bantah Merusak Cagar Budaya, Gedeon: Itu Bangunan Biasa”, Radar
37
38
270 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Selain yang dikemukakan Gideon, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Sejarah dan Purbakala menerbitkan surat kedua yang berbeda dengan surat pertama
kepada BP3 Yogyakarta yang isinya juga menyebut bahwa
bangunan yang dirobohkan adalah bangunan baru yang direnovasi tahun 1970-an dan 2003. Karena itu disimpulkan,
bangunan tersebut bukanlah bangunan cagar budaya dan
belum ada penetapan sebagai benda cagar budaya. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Sejarah dan
Purbakala kemudian berharap dengan diterbitkannya surat
ini polemik mengenai pembangunan gedung sekolah YPPN
Budya Wacana dianggap selesai dan kepada semua pihak
diharapkan dapat menghormati keputusan ini.41
Dengan begitu sangat jelas sekali terjadi perbedaan
mendasar dari kedua belah pihak. Satu sisi Bhakti Loka
menyebutkan bangunan yang disengketakan dianggap masih
satu kawasan dengan Kelenteng Poncowinatan sebagai
benda cagar budaya. Di sisi lain Budya Wacana menganggap bangunan yang dirobohkan bukan benda cagar budaya
dan bukan bagian dari Kelenteng Poncowinatan. Keduanya
mengungkapkan ungkapan-ungkapan yang belum memiliki
kekuatan hukum mengikat, karena masih sebatas diungkap
di media massa.
Jogja, 4 Maret 2008, dan “Terkait Tuduhan Pembongkaran Cagar Budaya,
Gedung Sekolah Budya Wacana Bukan Cagar Budaya,” Kedaulatan Rakyat, 4
Maret 2008.
41
Surat Dirjen Sejarah dan Purbakala, Drs. Soeroso, M Hum, kepada
BP3 Yogyakarta, No. 242/DIT.PP/SP/3.III/2008.
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 271
3. Perbedaan Melihat Dampak Gempa 2006 terhadap
Kelenteng
Di samping terjadi perbedaan apakah kelenteng dan
kawasan yang masuk di dalamnya berstatus sebagai benda
cagar budaya atau bukan, perbedaan juga timbul dalam
melihat dampak gempa dahsyat di Yogyakarta pada 27 Mei
2006 terhadap bangunan di kawasan Kelenteng Poncowinatan. Perbedaan ini bisa dilihat dari opini dan pandangan
yang selama ini dikemukakan kelompok-kelompok yang
berkonflik.
YPPN Budya Wacana misalnya melihat, “pada saat
terjadinya gempa di Yogyakarta 27 Mei 2006 yang lalu,
gedung sekolah Budya Wacana mengalami kerusakan berat,
serta mengganggu keselamatan dan keamanan para siswa
dan guru, maka YPPN Budya Wacana dengan iktikad baik
merenovasi dan memperbaiki sekolah Budya Wacana tersebut. Dan untuk melaksanaknnya, Budya Wacana telah
memperoleh izin IMBB, Amdal, lalu lintas, dan lain sebagainya dari instansi pemerintah yang berwenang sebagaimana prosedur yang berlaku.”42 Dengan sendirinya, menurut YPPN Budya Wacana, gedung sekolah milik Budya
Wacana lah yang saat gempa mengalami kerusakan berat,
dan karenanya direnovasi.
Sedangkan kelompok Bhakti Loka melihat, kerusakan
justru terjadi pada bangunan yang dipakai Budya Wacana
di lingkungan Kelenteng Poncowinatan dengan mengatakan,
“bantahan menyebutkan gedung sekolah telah roboh akibat
gempa tahun 2006 merupakan ‘kebohongan publik’ dengan
keberanian yang fantastis! Kontraktor bangunan yang mela“Bantahan Pengumuman tentang Kelenteng Poncowinatan,” www.
budyawacana.com, 28 Juli 2008
42
272 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
kukan renovasi sebelum dirobohkannya gedung utama dan
narasumber yang ditemui tim investigasi BP3, dan kami
dari Panitia Peringatan 100 tahun THHT semuanya menjadi saksi hidup yang melihat dengan mata kepala sendiri
bahwa gedung Kelenteng Poncowinatan bagian barat (yang
dipakai Budya Wacana), yang dibangun pada 1907 seperti
halnya gedung Kelenteng Poncowinatan bagian tengah,
sama sekali tidak mengalami kerusakan berarti”. Dengan
sendirinya gedung yang dirobohkan menurut versi BW adalah bagian dari kelenteng di sisi barat, tidak ikut roboh
atau tidak mengalami kerusakan berarti.
Kajian BP3 Yogyakarta juga menyebutkan dan menyimpulkan, “sebelum dibongkar total, bangunan lama sebenarnya masih asli, namun turut dirobohkan. Terbukti
pada bekas bongkaran, karena pada sisi barat masih terlihat
adanya struktur bata lama yang berbeda dengan bata sekarang karena ukurannya jauh lebih besar.” Kajian BP3 ini
juga mendasarkan pada wawancara dengan bekas murid
sekolah Tionghoa lama bernama Tjeng Tjoen (75 tahun)
yang menyebutkan, “dalam rangka pengembangan, narasumber sangat menyayangkan tindakan YPPN Budya Wacana
yang merobohkan seluruh bangunan yang masih asli,
mengingat bangunan tersebut masih bagus kondisinya”.43
Tentu saja di sini terdapat dua penafsiran berbeda.
YPPN Budya Wacana menyebut kerusakan di bangunan
sekolah akibat gempa sangat membahayakan keselamatan
murid dan guru sehingga perlu direnovasi dan dirobohkan.
Sementara kalangan Bhakti Loka melihat dampak gempa
BP3, Laporan Penyelesaian kasus Pengaduan yayasan Bhakti Loka Selaku
Pengelola Kompleks Kelenteng Poncowinatan terhadap Pembongkaran
Gedung Sekolah dalam kompleks Kelenteng Poncowinatan oleh Yayasan
Budya Wacana, 2008, h. 4 dan 5.
43
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 273
tidak cukup berarti atas bangunan di sisi barat yang digunakan YPPN Budya Wacana dan bangunan itu dibangun
tahun 1907. Ini menunjukkan perbedaan yang sangat diametral dan saling bertolak belakang. Pernyataan-pernyataan
keduanya dalam hal ini juga hanya sebatas pernyataan wacana, sehingga harus dikatakan “belum memiliki kekuatan
hukum mengikat”.
4. Perbedaan Melihat Status Tanah Magersari
Konflik Kelenteng Poncowinatan ini juga di dalamnya
mengandung perbedaan dalam melihat status hak tanah
yang di atasnya dibangun sekolah Budya Wacana. Satu
pihak melihat, bangunan yang dirobohkan adalah hak YPPN
Budya Wacana, sedang pihak lain melihat bangunan tersebut masih dalam area Kelenteng Poncowinatan yang selama
ini dikelola dan dipelihara Yayasan Bhakti Loka.
YPPN Budya Wacana melihat, “dengan demikian, tidak ada satu bukti pun yang dapat menyatakan bahwa tanah dan bangunan tersebut milik China temple, karena itu
Yayasan Bhakti Loka tidak memiliki hubungan dan kepentingan hukum terhadap bangunan dan tanah YPPN Budya
Wacana. Bahkan hal ini pun telah ditegaskan oleh penetapan PN Yogyakarta No.30.Pdt/P/1995/PN.YK. tertanggal 30 Mei 1995, di mana dalam pertimbangannya bahwa
sejak tahun 1958 Badan Pengurus Pendidikan Chunghwa
telah menyerahkan sepenuhnya kepengurusan sekolah kepada perkumpulan sekolah Kristen saat itu. Dan lebih lanjut pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan Pendidikan
Pengajaran Nasional yang menjadi cikal bakal YPPN Budya
Wacana”.44 Dalam kata-kata lanjutannya disebutkan, “dan
“Bantahan Pengumuman tentang Kelenteng Poncowinatan,” www.
budyawacana.com, 28 Juli 2008.
44
274 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
lagi pula, Yayasan Bhakti Loka bukanlah sebagai pemilik
dan tidak memiliki kepentingan hukum terhadap tanah dan
bangunan Budya Wacana di Jalan Poncowinatan.”45
Kelompok Budya Wacana juga menambahkan alasannya dengan menyebutkan, pembangunan telah memperoleh
izin dari kraton dan Dinas Perizinan, karena tanah itu sebenarnya adalah tanah magersari. Gideon pun sempat menyampaikan kronologis proses perizinan yang ditempuh
Yayasan. Pihaknya telah bertemu KGPH Hadiwinoto dan
telah mendapatkan rekomendasi dari keraton untuk mendirikan dan membangun bangunan yang roboh. Sementara
pada 16 Januari 2007 lalu, YPPN Budya Wacana pun telah
mengantongi IMBB dari dinas perizinan.46
Sedangkan kalangan Bhakti Loka melihat sebaliknya.
Mereka membantah apa yang dikemukakan YPPN dengan
menyebutkan, “tanah di Jalan Poncowinatan yang di atasnya berdiri bangunan-bangunan yang saat ini dimanfaatkan
sebagai Sekolah Bhinneka Tunggal Ika (bagian timur), tempat ibadah (bagian tengah), Sekolah Budya Wacana (bagian
barat) merupakan satu kesatuan tanah negara yang tercatat
di Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta sebagai China
temple (kelenteng).”47 Kalangan Bhakti Loka berargumentasi
dengan memaparkan sejarah bagaimana YPPN bisa ada di
kelenteng yang pada awalnya hanya dipinjami untuk mengelolanya (lihat bantahan Bhakti Loka dalam kronologi), dan
juga berdasarkan Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta,
“Bantahan…,” www.budyawacana.com, 28 Juli 2008
Radar Jogja, 4 Maret 2008, dengan judul berita “Ketua Yayasan Budya
Wacana, Gedung itu Bukan Cagar Budaya.”
47
Kedaulatan Rakyat, 22 Juli 2008, dengan judul “Pengumuman Masalah
Kelenteng Poncowinatan.”
45
46
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 275
Peta Jetis 3.lb.22 Yogyakarta di mana area bangunan yang
dirobohkan masih satu kesatuan dengan kelenteng.48
Berbeda dengan Yayasan Bhakti Loka, kalangan Budya
Wacana melihat sebagaimana tampak dalam kronologi yang
diungkapkan. “Penetapan PN Yogyakarta No.30/Pdt/
P/1995/PN.YK tanggal 30-5-1995, berisi penjelasan bahwa tanah persil yang sekarang ditempati YPPN Budya Wacana telah dikembalikan ke negara, dan YPPN adalah satusatunya pihak yang berhak mengajukan permohonan hak.
Dan selanjutnya karena tanah tersebut adalah tanah magersari keraton, maka YPPN Budya Wacana memperoleh hak
pinjam-pakai berdasarkan perjanjian Pinjam-Pakai Tanah
Milik Sri Sultan HB dan Keraton Yogya No.15/HT/
KPK/2004 tanggal 24 Mei 2004. Sedangkan bagian timur
Budya Wacana, yaitu Kelenteng Poncowinatan dan Sekolah
Bhineka Tunggal Ika, masing-masing memperoleh hak pinjam pakai (magersari) tidak terkait dengan tanah dengan
bangunan YPPN Budya Wacana. Demikian pula dokumen
BPN Yogyakarta. Peta jetis 3 Lb.22 Yogyakarta, hanyalah
peta yang tidak menunjukkan tentang kepemilikan hak dan
tanah tersebut sebagai satu kesatuan hak China temple. Oleh
Karena itu, Yayasan Bhakti Loka dan maupun China temple
(Kelenteng) tidak memiliki hak dan kepentingan hukum
atas tanah YPPN Budya Wacana Yogyakarta”.49
Di sini terjadi perbedaan mendasar. Satu pihak melihat bahwa tanah itu merupakan magersari keraton dan karena dulu sudah dikembalikan ke negara. YPPN sendiri
merasa sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengajukan
permohonan hak. Dan selanjutnya karena tanah tersebut
adalah tanah magersari keraton maka YPPN Budya Wacana
48
49
“Pengumuman...,” Kedaulatan Rakyat, 22 Juli 2008.
“Bantahan...,” www.budyawacana.com, 28 Juli 2008
276 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
memperoleh hak pinjam-pakai berdasarkan Perjanjian Pinjam Pakai Tanah Milik Sri Sultan HB dan Kraton Yogya
No.15/HT/KPK/2004 tanggal 24 Mei 2004. Di sisi lain,
Bhakti Loka tetap menganggap tanah di mana bangunan
yang dirobohkan adalah masuk area kelenteng yang merupakan pemberian Sri Sultan VII kepada kalangan Tionghoa.
Ini juga menunjukkan pernyataan-pernyataan yang satu
sama lain saling bertolak belakang.
5. Ketidaksinkronan Kebijakan Institusi Pemerintah
Bukan hanya terjadi perbedaan sesama kelompok bertikai, di kalangan instansi pemerintah sendiri juga terjadi
inkonsistensi kebijakan, tidak seragam dan terkesan tidak
terkoordinasi. Ketidaksinkronan ini tampak ketika instansi
pemerintah terkait memakai rujukan, argumentasi, dan kebijakan berbeda. Beberapa ketidaksinkronan itu bisa dilihat
di bawah ini:
• BP3 dalam kajiannya menyebutkan dan menyimpulkan,
yang salah satunya berbunyi, “berdasarkan kajian faktual
data lapangan maupun data historis bangunan, sekolahan
tersebut merupakan bangunan yang memenuhi kriteria
sebagai cagar budaya yang terkait dengan eksistensi sejarah pendidikan khusus kalangan Tionghoa dari dulu
hingga sekarang”.50 Di bagian lain BP3 juga menyebutkan, “berdasarkan data-data di lapangan berdasarkan
pondasi yang ada dapat diketahui bahwa bangunan yang
menjadi sekolah Budya Wacana sudah tidak seperti aslinya (Letter L), namun ada penambahan bangunan di
sisi selatan yang menutup akses dari kelenteng. Bangu50
BP3, Laporan Penyelesaian kasus Pengaduan…, h. 6.
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 277
nan baru yang dibangun sekitar tahun 1980-an telah
mengubah setting asli kelenteng dengan fasilitas pendukungnya. Sebelum dibongkar total, sebenarnya bangunan lama masih asli namun turut dirobohkan”. Pandangan BP3 menunjukkan dua hal: menyebut bangunan
kelenteng dan areanya sebagai benda cagar budaya, termasuk terhadap bangunan yang dirobohkan di sisi barat, dan bangunan yang dirobohkan masih satu kawasan
dengan Kelenteng Poncowinatan.
• Dinas Perizinan Kota Yogyakarta mengeluarkan rekomendasi yang ditandatangani Drs. MK Pontjosiwi bernomor 0611.01/2007 atas denah yang akan di bangun
lantai 1, 2, dan 3 yang diajukan Budya Wacana. Kelanjutannya, Budya Wacana merasa telah memperoleh izin
IMBB, Amdal, lalu lintas, dan lain sebagainya dari instansi pemerintah yang berwenang sebagaimana prosedur
yang berlaku.
• Dinas Ketertiban mengeluarkan dua keputusan: pertama,
dalam surat No. 640/261 yang sifatnya “segera”, agar
YPPN Budya Wacana menghentikan proses pembangunan berdasarkan surat BP3 pada 23 Januari 2008 agar
fisik bangunan yang yang saat ini sedang dikerjakan disesuaikan dengan IMBB yang diterbitkan Dinas Perizinan Kota dan disesuaikan dengan rekomendasi Dirjen
Sejarah dan Purbakala Depbudpar RI yang ditujukan
kepada Kepala BP3 Yogyakarta. Surat ini ditandatangani
kepala Dintip Priyono Raharjo, CN. Kedua, Dintip mengeluarkan surat No. 640/297 yang di antaranya menyebutkan pencabutan surat pertama: “bahwa berdasarkan informasi dari instansi terkait, ternyata Saudara
di dalam melakukan kegiatan membangun sudah sesuai
dengan IMBB yang telah diterbitkan oleh Dinas Per-
278 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
izinan Kota Yogyakarta, sehingga tidak ada alasan untuk
menghentikan kegiatan.”
• Dirjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata di Jakarta mengeluarkan dua surat yang
saling bertentangan: pertama, tanggal 14 Desember menyebutkan mendukung apa yang telah direkomendasikan
BP3, yaitu agar YPPN Budya Wacana mengembalikan
bangunan seperti aslinya, dan pengembangan sekolah
Budya Wacana hanya boleh dibatasi dengan pagar transparan seperti pagar besi dan bukan tembok. Padahal
BP3 menyebut bangunan yang dirobohkan masih satu
kesatuan dengan kelenteng sebagai cagar budaya, dan
akan melakukan proses penyidikan bila tidak diindahkan. Kedua, surat tanggal 3 Maret 2008 berisi kesimpulan bahwa bangunan yang dirobohkan adalah bangunan baru yang telah direnovasi tahun 1970-an dan tahun
2003, karena itu Dirjen Sejarah dan Purbakala berkesimpulan bangunan tersebut bukanlah bangunan cagar
budaya dan belum ada penetapannya sebagai benda
cagar budaya, dan semua pihak diharapkan bisa memahami keputusan ini.
Dengan penjelasan di atas, tampak sekali berbagai
kebijakan institusi pemerintah terkait tidak sinkron dan
saling bertentangan. BP3 menyebut bangunan yang dirobohkan termasuk bangunan cagar budaya; Dintip pertama
memerintahkan untuk dihentikan pembangunan, tetapi kedua mencabut keputusan pertama; Dirjen Sejarah dan Purbakala pertama mendukung BP3, tetapi kemudian mengeluarkan surat pamungkas bahwa bangunan yang dirobohkan
(dan yang dibangun Budya Wacana) bukan merupakan cagar budaya, Pemkot Dinas perizinan sendiri mengeluarkan
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 279
IMBB untuk pembangunan gedung sekolah Budya wacana.
Di sini memang tampak aroma simpang siur yang menandakan ada ketidaksinkronan satu dengan lainnya.
6. UU Cagar Budaya, Kelenteng Poncowinatan, dan
Konflik yang Melebar
Karena konflik Kelenteng Poncowinatan ini terkait
isu benda cagar budaya, dengan sendirinya penting menghubungkan konflik ini dengan undang-undang terkait. Rujukan tentang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Berhubungan dengan benda cagar budaya ini juga dikenal istilah situs. Keduanya didefiniskan UU ini dengan:
pertama, benda cagar budaya adalah “benda buatan manusia,
bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap
mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
dan kebudayaan; benda alam yang dianggap mempunyai
nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan”. Kedua, situs didefinisikan dengan “lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya
termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya”.51
Penguasaan benda cagar budaya disebutkan UU ini
dikuasai oleh negara, tetapi juga boleh dikuasai oleh orang
Indonesia tertentu. UU ini menyebutkan semua benda cagar budaya dikuasai oleh negara meliputi benda cagar bu51
UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, pasal 1.
280 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
daya yang terdapat di wilayah hukum Republik Indonesia.52
Meski begitu, disebutkan pula bahwa benda cagar budaya
tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang
dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang
ini.53 Nah, dalam konteks benda cagar budaya yang dimiliki
oleh orang Indonesia ini memiliki syarat-syarat di antaranya
dimiliki atau dikuasai secara turun-temurun atau merupakan
warisan, jumlah untuk setiap jenisnya cukup banyak dan
sebagian telah dimiliki oleh negara.
Yang sangat penting, berkaitan dengan pengalihan hak
benda cagar budaya disebutkan, pengalihan pemilikan atas
benda cagar budaya tertentu yang dimiliki warga negara
Indonesia secara turun-temurun atau karena pewarisan
hanya dapat dilakukan kepada negara, dan ini dapat disertai
pemberian imbalan yang wajar;54 dan setiap pemilikan,
pengalihan hak, dan pemindahan tempat benda cagar budaya tertentu maka wajib didaftarkan. Dalam konteks ini,
pemeliharaan bila terjadi perusakan disebutkan bahwa
setiap orang yang benda cagar budayanya hilang dan/atau
rusak wajib melaporkan peristiwa tersebut kepada pemerintah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari sejak diketahui hilang atau rusaknya benda cagar
budaya tersebut.55
Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jogjakarta,
perlindungan benda cagar budaya secara teknis adalah usaha penyelamatan dan pengamanan yang dilakukan sebagai
upaya untuk mencegah dari kerusakan karena faktor alam
UU No. 5 Tahun 1992, pasal 4.
UU No. 5 Tahun 1992, pasal 6.
54
UU No. 5 Tahun 1992, pasal 7.
55
UU No. 5 Tahun 1992, pasal 9.
52
53
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 281
dan akibat ulah manusia; beralihnya kepemilikan dan penguasaan kepada orang yang tidak berhak; dan berubahnya
keaslian dan nilai sejarahnya. Upaya perlindungan terhadap
benda cagar budaya itu dapat dilakukan dengan: pemasangan papan petunjuk, larangan, ajakan, apresiasi, dan keterangan; pembentukan petugas keamanan, PPNS (Penyidik
Pegawai Negeri Sipil), tindakan pelaporan tindak pidana;
dan penyelidikan/penyidikan terhadap kasus-kasus tindak
pidana.56
Dengan melihat ketentuan yang demikian, sebenarnya,
syarat bisa dikategorikan sebagai benda cagar budaya sudah
jelas: berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurangkurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan; benda alam yang dianggap mempunyai nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Berkaitan dengan Kelenteng Poncowinatan dan area
bangunan yang masuk satu kesatuan dengannya itu, tentu
sudah berumur 50 tahun, dan sukar untuk tidak mengatakan mewakili gaya yang khas, memiliki nilai sejarah dan
dianggap penting, terutama oleh etnis Tionghoa karena
menyangkut sejarah mereka. Dalam hal ini, penulis mengacu pada apa yang disebutkan Dinas Kebudayan dan Pariwisata Yogyakarta saja, dalam tulisan “Peninggalan Masa
Kolonial”57 menyebutkan, Kelenteng Poncowinatan masuk
dalam kategori peninggalan sejarah yang khas. Terus
kemudian BP3 sendiri mengkategorikan berdasarkan kaDinas Kebudayaan dan Pariwisata Yogyakarta, “Pengelolaan Benda
Cagar Budaya,” dalam www.tasteofjogja.com.
57
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jogjakarta, “Peninggalan Masa
Kolonial,” dalam www.tasteofjogja.com.
56
282 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
jiannya bahwa area yang dibangun di sisi barat yang kemudian menjadi masalah itu, masuk satu kesatuan dengan Kelenteng Poncowinatan sebagai benda cagar budaya.58
Kalau merujuk pada sejarahnya saja, tahun 1881 berdiri bangunan pertama Kauw Lang Teng ‘Zhen Ling Gong’
yang dikenal sebagai ‘Kawasan Kelenteng Poncowinatan’,
dan sejak tahun 1923 tercatat sebagai Tionghoa Temple di
BPN-Yogyakarta. Sementara tahun 1907, di Kawasan Kelenteng Poncowinatan ‘Bagian Koelon’ dibangun sekolah
modern pertama di Yogyakarta bernama ‘Tiong Hoa Hak
Tong’ (THHT) dikelola oleh ‘Tiong Hoa Hwee Koan’
(THHK), dan ini yang sebagiannya kemudian menjadi tempat Sekolah Budya Wacana, lalu berujung sengketa.
Konflik ini memang tidak hanya berhenti pada isu
umur dan nilai sejarah, bahkan bertambah dengan adanya
isu dampak gempa bumi beberapa tahun lalu. Beragam isu
inilah yang menjadikan area konflik melebar seperti soal
tanah yang ditempati Budya Wacana dianggap tanah dan
hak mereka, karena telah memperoleh izin dari kraton
(bahkan kemudian memperoleh IMBB) sebagai tanah
magersari. Budya Wacana juga merasa sebagai satu-satunya
pihak yang berhak mengajukan hak kepada keraton. Sementara Bhakti Loka tetap menganggap bangunan sekolah
Budya Wacana yang disengketakan itu ada di atas tanah
dan bangunan asli yang masuk sebagai satu kesatuan dengan
Kelenteng Poncowinatan. Bhakti Loka kemudian menganggap ada perusakan benda cagar budaya karena bangunan
asli yang jadi tempat sekolah Budya Wacana di sisi barat
kelenteng, masih berdiri dan dirobohkan semua oleh Budya
Wacana. Sementara Budya Wacana menganggap mereka
58
Lihat kembali BP3, Laporan Penyelesaian Kasus Pengaduan …, hlm. 6.
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 283
berhak melakukan renovasi dengan alasan demi membuat
nyaman proses belajar mengajar karena ada lampu hijau
dari Dinas Perizinan.
Konflik yang sudah sangat melebar ini menunjukkan
rumitnya upaya penyelesaian konflik. Terdapat dua yayasan
yang bertikai, termasuk sejumlah kebijakan institusi pemerintah yang saling bertolak belakang. Upaya-upaya penyelesaian ini sebenarnya sudah dilakukan seperti oleh BP3
dengan jalan mempertemukan beberapa kelompok atau
bertemu dengan kedua kelompok. Tetapi karena rekomendasi BP3 menyudutkan Budya Wacana, bahkan salah satu
suratnya berbunyi “bila tidak diindahkan akan disidik”,
kemudian Pemkot juga mensomasi Siput Lokasari dari
Bhakti Loka, dan kemudian terbit surat dari Dirjen Sejarah
dan Purbakala yang berisi pamungkas bahwa bangunan
yang dirobohkan bukan sebagai benda cagar budaya, sangat
jelas memperumit penyelesaian, kecuali keputusan Dirjen
Sejarah dan Purbakala di Jakarta itu dianggap final.
Kalau keputusan Dirjen Sejarah dan Purbakala di Jakarta itu dianggap final, lantas atas dasar apa keputusan itu
dianggap mengikat? Bagaimana pula dengan keputusan dan
kajian BP3, dan kesimpangsiuran Dintip yang menerbitkan
dua surat yang meralat surat pertama? Mengapa Komisi II
DPRD Kota mengadukan Pemkot ke Unesco? Dan karenanya kasus ini akan terus menjadi persoalan bila tidak ada
penyelesaian yang pasti, berkekuatan hukum yang tetap.
Beberapa kelompok sipil yang mencoba masuk untuk
mendamaikan, juga tampaknya tidak terdengar lagi —meski terdapat beberapa kelompok yang sebenarnya ingin masuk dan berusaha mendamaikan.59 Dengan melihat peta
59
Kelompok sipil yang terlibat sejak awal adalah Gempar Budaya.
284 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
konflik yang sudah melebar ini agaknya usaha-usaha yang
akan dilakukan para kelompok pendamai dari kalangan sipil
akan mengalami kesulitan. Apalagi kalau kelompok sipil
yang mencoba mendamaikan misalnya, sudah dianggap
berpihak atau terlihat berpihak. Satu-satunya jalan penyelesaian memang harus diselesaikan lewat jalur hukum
dengan keputusan yang tetap.
F. Kesimpulan
Tanah Kelenteng Poncowinatan dan kawasan yang masuk
di dalamnya merupakan pemberian Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Luasnya kurang lebih 1500 m2. Sedang bangunannya sendiri didirikan sejak 1883 atas inisiatif masyarakat
Tionghoa yang tinggal di Yogyakarta. Konflik Kelenteng Poncowinatan bermula dari dirobohkannya bangunan gedung sisi
barat oleh YPPN Budya Wacana setelah gempa pada 27 Mei
2006. Alasan YPPN bisa mengganggu keselamatan para siswa
dan guru. Bangunan sisi barat itu dulu menjadi tempat sekolah
Tionghoa di zaman penjajahan.
Kelompok ini mencuat setelah aksi di depan Kelenteng Poncowinatan. Di
samping itu Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (Aji Damai). Dalam sebuah
rapat di GMKI, mereka juga sempat membicarakan kasus Kelenteng
Poncowinatan bersamaan dengan pembicaraan kasus GPdI Sleman dan
kekerasan yang menimpa Sapto Dharmo oleh FPI Yogayakarta. Namun hingga
kini isu tersebut belum dibicarakan lagi. Selain Gempar dan Aji Damai,
kelompok lainnya adalah FPUB. Penulis sempat mendengar, kelompok ini
juga terlibat untuk turut menyelesaikan kasus tersebut, tapi belakangan kabar
itu tidak terdengar lagi. Penulis beranggapan, karena kasus ini sudah begitu
melebar dan konfliknya semakin dalam, maka penyelesaian melalui
musyawarah akan mengalami kebuntuan. Dan penyelesaian melalui pengadilan
--meski dipastikan akan memakan waktu lama, tenaga, biaya dan meninggalkan
luka konflik-- memang masih menjadi satu-satunya cara memberikan status
hukum yang tetap dan mengikat atas persoalan yang disengketakan ini.
KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 285
Bangunan tersebut rencananya akan dibangun tiga lantai.
Pembangunannya sendiri telah memperoleh IMBB (Izin mendirikan Bangun Bangunan) dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Namun kelanjutan pembangunan sekolah tersebut seprti
diketahui tidak mulus, karena ada laporan dari Yayasan Bhakti
Loka ke BP3 yang menjelaskan tentang perusakan benda cagar
budaya, tetapi oleh oleh Budya Wacana dianggap sebagai tuduhan menyesatkan.
Konflik berlanjut semakin rumit ketika pihak-pihak terlibat menunjukkan bukti-bukti ke publik, melakukan perang
wacana, sementara kebijakan dan pandangan sejumlah institusi
pemerintah tampak tidak sinkron. Terdapat argumentasiargumentasi yang mendukung Bhakti Loka, ada pula yang oleh
Budya Wacana dianggap mendukung mereka. Sebagian menguntungkan, sebagian lagi merugikan kedua belah pihak.
Dalam konflik ini juga muncul sejumlah perbedaan penafsiran seperti apakah bangunan yang dirobohkan itu benda cagar
budaya atau bukan, dampak gempa terhadap bangunan sisi barat kelenteng yang ditempati Budya Wacana, dan status tanah
magersari keraton.
Setelah memperhatikan kronologi, peta konflik, dan perbedaan sejumlah pandangan, penulis menyimpulkan beberapa
hal:
• Konflik Kelenteng Poncowinatan tidak berkaitan dengan
konflik berbasis agama. Konflik ini berkaitan dengan isu
benda cagar budaya, pembangunan sekolah Budya Wacana,
dan lain-lain. Meski begitu, konflik ini tidak bisa juga dilepaskan sama sekali dari isu agama mengingat fakta, di masa
Orde Baru (negara) Konghucu tidak diakui sebagai “agama
resmi”, sehingga aset-asetnya menjadi arena konflik bagi
kelompok-kelompok yang berkepentingan tanpa bisa
mengantisipasi sejak dini. Andai Konghucu diakui hak-hak
286 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
hidupnya sejak dini, dan seharusnya begitu, maka mereka
bisa memelihara dan mengembangkan aset-aset yang mereka miliki tanpa meninggalkan ruang yang terlalu lebar dan
memungkinkan aset-asetnya menjadi arena konflik. Kasus
ini membuktikan, negara yang memasung kebebasan hak
hidup kelompok agama justru akan memunculkan konflik
di kemudian hari, termasuk menyangkut aset-aset yang
dimiliki;
• Konflik ini agaknya sulit diselesaikan melalui jalan musyawarah dengan beberapa. Pertama, perang kata keras di media
massa, saling ancam dan saling lapor ke kepolisian sudah
terjadi begitu tajam. Kedua, dalil dan argumentasi masingmasing pihak saling bertentangan. Ketiga, konflik juga melibatkan institusi kekuasaan di wilayah Kota Yogyakarta dan
menunjukkan kebijakan yang saling bertentangan.
• Konflik ini lebih baik diselesaikan lewat jalur hukum yang
memiliki kekuatan hukum tetap dan hasilnya semestinya
bisa dihormati masing-masing pihak yang bertikai, termasuk
bagi institusi-institusi pemerintah yang dianggap tidak tepat
dalam menetapkan keputusan hukum yang sudah memiliki
kekuatan hukum tetap dan mengikat.
Berdasarkan kesimpulan itu, tentu saja jalan penyelesaian
melalui jalur hukum, dan sekarang ini memang tengah berjalan, hasilnya bisa diterima masing pihak-pihak bertikai. Proses
hukum yang berlangsung itu terjadi antara Pemkot Dinas Perizinan dengan Bhakti Loka di PTUN Yogyakarta.
Reintegrasi Pasca-Konflik Etnis
di Palangkaraya : Studi Reintegrasi
Etnis Madura dan Dayak
GAZALIRRAHMAN
A. Pengantar
Delapan tahun sudah konflik etnis di Kalimantan Tengah
berlalu. Konflik ini telah merenggut ribuan nyawa, hilangnya
harta dan terusirnya ratusan ribu warga etnis Madura dari tempat tinggal mereka.1 Pecahnya konflik yang disulut kasus kriminal di Kereng Pangi Sampit ini merupakan klimaks dari
konflik sejak interaksi etnis Madura ke Kalimantan Tengah
pertama kali berlangsung.2
Agar terbangun perdamaian dan terjadi interaksi yang
baik antar dua etnis ini, pascakonflik telah dilakukan berbagai
upaya rekonsiliasi oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.3 Tujuannya adalah terjadinya reintegrasi di mana etnis
“Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan”, Asia Report
N°19 International Crisis Group 27 Juni 2001, http:www.crisisgroup.org.
2
M. Shohibul Hidayah, “Kasus: Membangun Pondasi Resolusi Konflik
Dayak-Madura, di Kalimantan”, dalam http://www.ireyogya.org/F16_kasus.
htm.
3
“Mengatasi Kekerasan (Damai dan Adil),” Notulensi Seminar Lokakarya
hasil kerjasama Majelis Sinode GKE dengan Cairos Canada dan Pemerintah
1
288 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Madura bisa kembali ke Kalimantan Tengah dan etnis Dayak
menerima mereka dengan baik. Etnis Madura juga bisa mendapatkan kembali aset mereka seperti rumah atau tanah dan bisa
berinteraksi secara baik dengan penduduk setempat.4
Penelitian ini hendak menggambarkan proses reintegrasi
etnis Madura ke Kalimantan Tengah khususnya di Palangkaraya. Fokus pembahasannya menggali proses reintegrasi etnis
Madura di mata etnis Dayak, suasana psikologis etnis Dayak
atas kembalinya etnis Madura serta menggali berbagai upaya
agar proses perdamaian tetap terjaga. Pemilihan lokasi penelitian di Palangkaraya karena pertimbangan sebagai salah satu
daerah terjadinya konflik etnis, imbas konflik etnis di
Sampit.5
Sebagai ibukota provinsi sekarang ini Palangkaraya menjadi primadona Kalimantan Tengah, sehingga banyak orang
yang datang mengadu nasib ke kota ini. Apalagi pembangunan
infrastruktur terus dibenahi. Tidak terkecuali bagi etnis Madura yang memang sangat berkepentingan kembali ke Palangkaraya untuk mendapatkan aset berupa rumah dan tanah serta
toko yang telah mereka tinggalkan ketika konflik terjadi.
Sebagai perbandingan, akan disebutkan di sini beberapa
hasil penelitian lain yang berkaitan dengan konflik etnis Madura-Dayak. Sebagian besar penelitian yang ada dilakukan di
Sampit (Kabupaten Kotawaringin Timur), lokasi sumber
terjadinya konflik. Sedangkan yang mengambil lokasi di PalangKabupaten Kotawaringin Timur, Hotel Sampit 15 – 20 April 2002.
4
“Mengatasi Kekerasan (Damai dan Adil)”.
5
Lihat misalnya “Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan,”
dalam http:www.crisisgroup.org. Diakses 19 April 2009. Atau “Konflik antarEtnis Kalimantan (Mencegah Lebih Baik daripada Menindak),” http://www.
kompas.com/kompas-cetak/0104/12/daerah/konf30.htm. Diakses 19 April 2009.
“Dari Sanggau Ledo Hingga Sampit,” Kompas (Kamis,12/4/2001).
REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 289
karaya sangat minim ditemukan, setidaknya hanya dua penelitian yang berhasil penulis temukan. Adapun beberapa penelitian
yang berkaitan dengan konflik etnis Dayak-Madura yang mengambil lokasi Sampit di antaranya, penelitian untuk tesis yang
dilakukan Jhony Rusmanto, dosen Universitas Palangkaraya
dengan judul “Konflik Etnik Dayak-Madura di Kalimantan
Tengah (Studi Tentang Akar Konflik dari Perspektif Sosio
Kultural),” tahun 2004. Penelitian ini melihat masyarakat atas
dua etnis secara sosiologis-antropologis. Temuan dari penelitian
ini adalah, streotype yang dibangun itu bukan karena politis tapi
karena pengalaman interaksi, pengalaman yang menyakitkan.6
Penelitian lain dilakukan oleh Retno, Dosen Arsitektur
Universitas 17 Agustus Surabaya (Untag) berjudul “Mengelola
Ruang Etnis bagi Suatu Kota Berkelanjutan: Studi Kasus Masjid Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, Indonesia”. Dalam
penelitiannya itu, ia menerangkan faktor-faktor penyebab
terjadinya konflik antaretnis dan alternatif solusi dari kacamata
arsitektur. Keberadaan musala atau langgar di sekitar rumah
milik warga Madura di Sampit merupakan sebuah penanda bila
warga Madura tinggal di sekitar itu. “Memang masjid atau
musala bukan sasaran perusakan. Tapi karena sikap eksklusif
warga Madura di sana, menyebabkan rumah yang ada di dekat
masjid menjadi target amuk massa warga Dayak”. Dari peristiwa itu, ia menawarkan konsep pembentukan ruang ekslusif
pada pemukiman masyarakat plural di Sampit. Yang menjadi
pertanyaan besar Retno adalah, kalau persoalan tidak suka atau
bunuh-membunuh, kenapa harus merusak rumah, pasar dan
sebagian sekolah, sementara musala tidak. Dari sini, kata
Retno, bisa ditarik kesimpulan bahwa ruang eksklusif bisa
menjadi pemicu konflik. Apalagi, jika pemakainya hanya untuk
Wawancara dengan JR dan S (seorang warga etnis Dayak), Jumat 6
Februari 2009 di kediamannya di Palangkaraya
6
290 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
segelintir orang. Karena itu, untuk menghindari konflik harus
ada fasilitas yang sama.
Penelitian yang berkaitan konflik etnis Dayak-Madura
dengan mengambil lokasi di Palangkaraya sejauh yang penulis
ketahui adalah penelitian yang dilakukan Taufik untuk tesis
pada Program Pascasarjana Studi Kependudukan UGM Yogyakarta dengan judul “Strategi Adaptasi Migran Banjar di Kota
Palangkaraya (Pasca-Konflik Dayak-Madura, Kalimantan
Tengah)”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kondisi sosial migran Banjar, strategi adaptasi, dan faktor-faktor yang
memengaruhi selama pascakonflik di Kota Palangkaraya. Hasil
penelitian menunjukkan: (1) pascakonflik telah timbul kesadaran etnis Banjar untuk merekonstruksi strategi adaptasi
terhadap penduduk asli dengan upaya penguatan interaksi sosial, keterlibatan kegiatan sosial dan pemanfaatan asosiasi suka
rela sebagai jaringan sosial hubungan antaretnis. Strategi adaptasi lebih didasarkan pada kepentingan-kepentingan ekonomi;
(2) dalam strategi adaptasi tersebut terdapat perbedaan antara
migran Banjar yang tinggal di Kelurahan Panarung dan Kelurahan Pahandut disebabkan oleh faktor umur, pekerjaan,
pendidikan, lama tinggal dan lokasi pemukiman. Strategi adaptasi di Panarung lebih baik daripada di Pahandut, tetapi strategi adaptasi dengan pemanfaatan Asosiasi sukarela di Pahandut
lebih baik daripada di Panarung; (3) tingkat kriminalitas, keterlibatan dalam dukungan politik dan kegiatan keislaman yang
semarak dilakukan etnis Banjar menimbulkan masalah-masalah
baru dalam hubungan antaretnis.
Penelitian-penelitian tentang konflik etnis Dayak-Madura
yang dipaparkan di atas belum ada yang spesifik menyentuh
pada proses reintegrasi etnis Madura, yaitu yang berusaha mengetahui bagaimana sikap, perilaku etnis Madura di Palangkaraya, juga respon etnis Dayak di sana terhadap proses reinteg-
REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 291
rasi ini. Karena itu penelitian tentang proses reintegrasi etnis
Madura ke Palangkaraya ini perlu dilakukan. Selain untuk
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang ilmu manajemen konflik berkaitan dengan rekonsiliasi, juga melakukan
evaluasi atas sikap penerimaan etnis Dayak yang pernah menolak kedatangan etnis Madura ke Kalimantan Tengah.7 Hasil
penelitian ini diharapkan pula menjadi bahan pertimbangan
dalam pembuatan kebijakan-kebijakan berkaitan dengan pembangunan dan pemberdayaan kedua etnis tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, yaitu menggali gambaran proses reintegrasi etnis Madura
di Palangkaraya dan gambaran psikologis etnis Dayak atas reintegrasi tersebut secara empirik. Gambaran ini diperoleh dengan teknik pengumpulan data berupa observasi lapangan yang
dilakukan di pasar, pelabuhan, tempat tinggal etnis Madura,
wawancara kepada warga Palangkaraya dengan mayoritas informan dari etnis Dayak (masyarakat, aktivis LSM, akademisi),
di antaranya juga terdapat dari etnis Jawa dan Banjar, serta
mengamati dan berinteraksi dengan etnis Madura. Penelitian
ini juga menggunakan data-data sekunder terkait dengan konflik etnis Kalimantan Tengah.8 Penelitian ini dilakukan pada
bulan Desember 2008-Februari 2009. Dimulai dengan melakukan studi pendahuluan pada Desember 2008, kemudian penyusunan laporan studi pendahuluan dan penentuan masalah
penelitian pada Januari 2009, dilanjutkan dengan pelaksanaan
kerja lapangan. Sedang analisis dan pelaporan dilakukan pada
Februari 2009.
“Kerusuhan Etnis Warga Kalteng Tetap Tolak Pemulangan Etnis Madura,
Palangkaraya,” Gatra.com, 6 Maret 2001 16:43. Diakses 19 April 2008.
8
Etnis Madura tidak ada yang menjadi informan dalam penelitian ini
karena terbatasnya waktu yang dimiliki dan belum terbangunnya akses peneliti
kepada warga Madura sehingga kesulitan untuk mencari informan.
7
292 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
B. Gambaran Kota Palangkaraya
Kota Palangkaraya merupakan pusat kota sekaligus ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Di sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Gunung Mas, sebelah timur Kabupaten
Gunung Mas dan Kabupaten Pulau Pisau, sebelah barat Kabupaten Katingan, sedangkan di selatan berbatasan dengan Kabupaten Pulau Pisau. Kota ini memiliki luas 2.678,51 km, terbagi atas lima kecamatan dan berpenduduk sebanyak 168.449
jiwa (data tahun 2003) dengan kepadatan 62,89 jiwa/km2.
Dari data profil Kota Palangkaraya, disebutkan etnis yang
ada di Kota Palangkaraya adalah etnis Dayak, Banjar, Bugis,
Tionghoa, Jawa, Bali dan Batak sedangkan etnis Madura tidak
disebutkan. Hal ini mungkin disebabkan karena etnis Madura
sudah keluar pada 2001 sehingga tidak menjadi bagian salah
satu etnis yang berdomisili di kota tersebut. Adapun bahasa
yang digunakan kebanyakan masyarakat: Dayak, Banjar, dan
Bahasa Indonesia. Adapun agama yang berkembang: Islam
Kristen, Hindu, Kaharingan, Buddha, Konghucu.
Mayoritas penduduk memilih berprofesi sebagai pedagang
atau pegawai negeri. Dari sekitar 60.000 penduduk yang bekerja, 32 persen menggeluti sektor perdagangan dan 24 persen menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Karena banyaknya
penduduk yang bekerja sebagai pegawai negeri, tak heran jika
bidang jasa menjadi kontributor utama kegiatan ekonomi kota
ini.
C. Peristiwa Konflik dan Penanganannya
Sebelum konflik Pebruari 2001 sebenarnya telah terjadi
konflik antara Dayak-Madura namun dalam skala kecil bahkan
konflik kedua etnis ini telah terjadi ketika interaksi antarmereka terbangun. Menurut catatan Lembaga Musyawarah Ma-
REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 293
syarakat Dayak Kalimantan Tengah (LMMDKT), sejak tahun
1970 telah terjadi konflik antara etnis Dayak-Madura kurang
lebih 100 kasus pembunuhan, penganiayaan, dan pemerkosaan.
Tapi sebagian besar proses hukum peristiwa konflik tidak
terselesaikan secara tuntas. Di Palangkaraya sebenarnya telah
terjadi kesepakatan antara dua etnis ini, yaitu dalam kasus
konflik Pelamboyan Bawah di mana warga Madura membantai
warga Dayak kemudian terjadi pembantaian sebaliknya sampai
kedua tokoh etnis ini bersepakat untuk tidak mengulangi
dengan mediasi LMMDKT. Kesepakatan ini dilakukan dengan
hukum adat dan tidak dibawa ke hukum positif. Tapi
kesepakatan dilanggar oleh etnis Madura sehingga terulang
konflik kedua etnis ini sampai akhirnya terjadi lagi konflik di
Sampit.9 Peristiwa-peristiwa konflik ini dapat dikatakan mendorong konflik tahun 2001.
Konflik tahun 2001 bermula dari pembunuhan seorang
putra tokoh informal Dayak bernama Sendung di Kereng
Pangi, pada 16 Desember 2000. Karena pembunuhan ini
warga Dayak menyerang Madura sambil mencari pembunuh
Sendung yang belum tertangkap. Sejak peristiwa itu, ketegangan meningkat antara warga Dayak dengan Madura, terutama
sejak meledaknya bom di salah satu rumah warga Madura di
Sampit. Warga Dayak beranggapan, warga Madura menyimpan
bom untuk persiapan perang. Kemudian peritiwa konflik
meledak pada 17 Februari 2001 ketika sejumlah orang (dicurigai warga Dayak) menyerang rumah warga Madura yang mengakibatkan enam warga Madura terbunuh. Pembunuh Sendung
diduga bersembunyi di rumah tersebut. Karena masalah itu,
warga Madura kemudian mencari kelompok penyerang di
Baamang, Sampit, berkeliling mencari warga Dayak yang
9
Wawancara dengan JR.
294 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
terlibat, dan sempat membakar sebuah rumah. Saat itu, warga
Madura mampu “menguasai” Sampit.10 Pascaperistiwa itu
konflik tidak terelakkan lagi, terutama setelah para “warrior”
Dayak dari pedesaan (pedalaman) masuk kota Sampit pada 19
Februari 2001. Pada 20 Februari 2001, sampit sepenuhnya
berada dalam kontrol warga Dayak dan pembantaian terhadap
Madura mulai berlangsung. Menghindari pengejaran etnis
Dayak, warga Madura kemudian mengungsi ke rumah Bupati.
Dengan inisiatif pemerintah setempat, demi menghindari
pembantaian lebih banyak, dilakukan pemindahan pengungsi
dari Sampit ke Surabaya dan Madura.11
Konflik ini diperkirakan telah mengakibatkan 419 orang
meninggal dunia, 93 orang luka-luka, 1.304 rumah beserta
250 kendaraan bermotor dirusak dan dibakar serta 88.164
orang mengungsi. Pertikaian yang terjadi di Kalimantan Tengah yang bermula di Kota Sampit Kabupaten Kotawaringin
Dalam wawancara dengan Majalah Tempo, 1 April 2001 Fridolin Ukur
menyebutkan. Setelah satu keluarga Matoya asal Madura dibunuh warga
Dayak karena dianggap menyembunyikan pembunuh Sendung, maka orang
Madura membalas kematian keluarga Matoya ini dengan membakar satu
keluarga warga Dayak sampai tewas pada 18 Februari 2001. Setelah itu
muncul spanduk-spanduk yang bertuliskan “Sampit Kota Sampang”,
menandakan dominasi orang Madura. Peristiwa ini memunculkan gelombang
pengungsian warga dayak lebih dari 5 ribu orang mengungsi ke Palangkaraya.
Muncul pengumuman Bupati Kotawaringin Timur melarang warga Dayak
keluar malam dengan membawa senjata, sementara orang Madura yang
berpawai dengan truk membawa senjata tidak dilucuti. Hal ini membuat
warga dayak lebih kecewa setelah aparat tidak bisa menangkap pembunuh
Sendung, yang kemudian memunculkan perasaan bahwa orang Dayak akan
dihabisi. Berita menyebar ke mana-mana dan terjadi pembalasan pada 20
Februari 2001 yang dilakukan orang-orang Dayak di Pedalaman. Mereka
berhasil menguasai Kota Sampit. Saat itulah terjadi pemenggalan kepala.
11
“Dari Sanggau Ledo Hingga Sampit,” Kompas, Kamis 12 April 2001.
Diakses 19 April 2009.
10
REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 295
Timur dengan cepat menyebar ke kota lainnya seperti di Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten
Kapuas. Untuk mencegah konflik tidak meluas ke daerah lain,
pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah telah melakukan serangkaian tindakan, antara lain mengirimkan
sejumlah pasukan pengamanan tambahan yang terdiri dari
Pasukan Brimob dan TNI di samping melakukan upaya-upaya
evakuasi terhadap para pengungsi. Dalam melakukan tugastugas pengamanan, telah terjadi beberapa insiden yang melibatkan anggota kesatuan Brimob dengan warga masyarakat di
sejumlah lokasi, khususnya peristiwa di Bundaran Besar Palangkaraya 8 Maret 2001 dan Peristiwa di KM 40-41 Sampit ke
Pangkalan Bun pada 6 April 2001.12
Atas konflik yang terjadi itu, beberapa upaya membangun
perdamaian dilakukan agar kedua etnis ini bisa menghentikan
konflik tersebut. Di antaranya melakukan pertemuan para gubernur di Jakarta, 20-22 Maret 2001. Pertemuan ini berhasil
mengeluarkan kesepakatan “Tekad Damai Anak Bangsa”,
dilanjutkan dengan Musyawarah Masyarakat Dayak 18-20 Mei
2001 di Sampit yang ditujukan untuk menggali aspirasi warga
Dayak, dan Kongres Rakyat Kotawaringin Timur, 4-7 Juni
2001 di Sampit. Hasil pertemuan terakhir ini adalah adanya
usulan perda tentang kependudukan yang mengatur kembalinya
orang Madura di Sampit. Dalam usulan perda itu, peran pemerintah daerah adalah menangani pengungsi baik dari warga
Madura maupun warga Dayak, melakukan identifikasi dan
inventarisasi harta benda miliki warga Madura sebagai bentuk
perlindungan pemerintah pada warga Madura yang telah
mengungsi.13
“Komnas HAM dalam Kasus Sampit,” Kamis, Tempo Interaktif, 17 Juni
2004, 15:42 WIB.
13
“Mengatasi Kekerasan (Damai dan Adil)”.
12
296 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Peran lembaga keagamaan dan tokoh-tokoh agama dalam
membangun perdamaian adalah dengan membangun kesadaran
akan akar konflik dan terbangunnya kesadaran akan pluralitas
etnis, budaya, dan agama. Salah satunya dilakukan Majelis Sinode Gereja Kalimantan Evangelis (MS-GKE) bekerjasama dengan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3Banjarmasin) dan para tokoh lintas agama yang pada 2002
melakukan rehabilitasi pascakonflik. Mereka berusaha melakukan penyadaran di beberapa daerah kabupaten di Kalimantan
Tengah (Kapuas, Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat),
mengajak para tokoh adat Damang, tokoh lintas agama, kaum
perempuan melakukan refleksi atas konflik etnis dan membangun kesadaran untuk kembali menjaga kelestarian hutan dan
meningkatkan ekonomi masyarakat.
D. Sebab-Sebab Konflik
Beragam pendapat dikemukakan terkait penyebab konflik
etnis Dayak-Madura di Sampit dan Kalimantan Tengah ini.
Menurut Dr Thamrin Amal Tomagola, sosiolog dari Universitas Indonesia, ada empat faktor utama akar konflik di Kalimantan. Pertama, terjadinya proses marginalisasi suku Dayak.
Pendidikan yang minim dan sedikitnya warga Dayak yang bisa
menikmati pendidikan mengakibatkan sedikitnya warga Dayak
yang duduk di pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah
lebih banyak dipegang warga pendatang. Kedua, penempatan
transmigran di pedalaman Kalimantan yang mengakibatkan
singgungan hutan. Hutan bagi masyarakat Dayak adalah tempat
tinggal dan hidup mereka. Ketika transmigran ditempatkan di
pedalaman Kalimantan, dan mereka melakukan penebangan
hutan, menyebabkan kehidupan masyarakat Dayak terganggu.
Sejak tahun 1995 para transmigran ditempatkan di pedalaman
Kalimantan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu
REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 297
menempatkan transmigran di pesisir. Para pendatang baru inilah yang dikenal keras dan pembuat masalah, tidak seperti
pendatang-pendatang sebelumnya. Selain soal transmigrasi, pemerintah juga telah memberikan keleluasaan bagi para pengusaha untuk membuka hutan melalui HPH.
Ketiga, masyarakat Dayak kehilangan pijakan. Terganggunya harmoni kehidupan masyarakat Dayak mengakibatkan mereka kehilangan pijakan. Kekuatan adat menjadi berkurang.
Kebijakan-kebijakan pemerintah telah menghilangkan atau
mengurangi identitas mereka sebagai masyarakat adat. Keempat,
hukum yang tidak dijalankan dengan baik mengakibatkan banyaknya tindak kekerasan dan kriminal yang dibiarkan. Proses
pembiaran ini berakibat pada lemahnya hukum di mata masyarakat sehingga masyarakat menggunakan caranya sendiri untuk
menyelesaikan berbagai persoalan, di antaranya dengan menggunakan kekerasan.14
Dari beberapa akar yang disebutkan di atas, menurut beberapa informan, penyebab konflik yang paling dirasakan etnis
Dayak adalah dari ketidakharmonisasn interaksi karena problem
sikap warga Madura. Persinggungan etnis Dayak dengan pendatang (Madura) telah terjadi sejak awal interaksi. Dalam banyak kasus, etnis Dayak mendapatkan pengalaman menyakitkan. Ketidakharmonisan interaksi yang sudah berada pada titik
kulminasi ini menyebabkan ketidakpuasan, kejengkelan, kemarahan akibat berbagai sebab yang amat kompleks, kemudian terakumulasi dalam kurun waktu yang lama dan sewaktu-waktu
bisa meledak.
“Mencari Solusi Permusuhan Panjang,” Asasi Elsam Newsletter Edisi
Maret-April 2001. Versi softcopy dapat diakses di www.elsam.or.id. Artikel
tersebut merupakan catatan dari kegiatan Dialog Kemanusiaan Masyarakat
Madura dan Dayak di Jakarta.
14
298 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
“Orang Dayak pada dasarnya baik terhadap pendatang. Umumnya mereka memberikan sebidang tanah kepada orang Madura,
sampai akhirnya kaum pendatang ini punya tanah sendiri.
Setelah menetap, orang Madura bukannya mencari tempat untuk
pindah malah mendatangkan sanak keluarga. Jumlah mereka
menjadi berlipat. Ketika orang Dayak minta tanah itu dikembalikan, orang Madura tidak mau. Orang-orang dari suku ini punya adat yang keras. Mereka tak segan mengancam dengan celurit jika marah, sehingga sering terjadi pembunuhan.”15
Selain benturan-benturan budaya, penyebab konflik juga
dipicu adanya perlakuan tidak adil pemerintah dan sistem yang
selama itu berjalan kepada masyarakat lokal, meskipun kadangkadang hanya merupakan kasus yang tidak berlaku umum.
Rasa ketidakadilan berkisar pada kesempatan berusaha, memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah, pembinaan aspek
budaya Dayak sebagai nilai-nilai luhur, perlakuan hukum dalam
bentrok antara penduduk asli dengan penduduk pendatang
(etnis Madura). Pada sektor ekonomi, etnis Madura sangat
mendominasi terutama di pelabuhan, terminal dan pasar, banyak etnis Madura bekerja sebagai pedagang dan buruh juga
menjadi pengusaha transportasi.
“Kerusuhan Dayak-Madura adalah bom waktu yang sudah ditanam sejak Orde Baru melaksanakan pembangunan yang sentralistis. Pembangunan yang hanya mencari keuntungan telah menguras kekayaan Kalimantan, tanpa memedulikan penduduk asli.
Coba bayangkan hampir 30 tahun pembangunan berjalan tanpa
mengikutsertakan penduduk asli.”16
Wawancara dengan Fridolin Ukur, dalam “Pembunuhan Seabad Lalu
Terulang”, Majalah Tempo, 1 April 2001.
16
“Fridolin Ukur: Pembunuhan Seabad Lalu Terulang,” Majalah Tempo,
1 April 2001.
15
REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 299
Keterbatasan pendidikan mengakibatkan kemiskinan dalam wawasan dan kemampuan menggunakan nalar, dan ketika
menghadapi suatu kompetisi hidup antarwarga yang kadang
demikian keras, masyarakat kurang bisa mengapresiasikan secara positif, tetapi yang muncul adalah kecemburuan sosial, solidaritas kesukuan yang sempit.
“Karakter orang Madura adalah etnis yang suka marah, suka
mencaci maki orang lain, kasar, suka mengambil (mencaplok)
tanah orang orang lain sebagian besar etnis Madura yang datang
ke Palangkaraya adalah freeman, kalau yang berdagang di pasar
suka mengambil sisa belanjaan pelanggan, misalnya kalau nilai
belanjaan Rp. 4.000,- kemudian pelanggan menyerahkan uang
senilai Rp. 5.000,- maka nilai belanjaan itu akan dijadikan Rp.
5.000,- tanpa ada penambahan kuantitas barang. Dalam hubungan sosial, etnis Madura dikenal sebagai etnis yang eksklusif hidupnya mengelompok tidak berbaur dengan etnis yang lain.
Walaupun ada di antara etnis ini tinggal terpisah biasanya mereka adalah kalangan yang memiliki pendidikan lebih baik.”17
E. Proses Reintegrasi
Reintegrasi pascakonflik sesungguhnya tercermin dari
keberhasilan membangun relasi positif antara pihak-pihak yang
pernah terlibat konflik. Relasi sosial positif itu melahirkan
keseimbangan dalam hubungan-hubungan sosial antarwarga dan
memperkuat ikatan-ikatan komunitas tanpa melihat latar belakang sosio-politik-kultural. Reintegrasi sosial juga harus membebaskan rakyat dari eksklusifitas kelompok yang membatasi
interaksi dan komunikasi sosial. Integrasi sosial sesungguhnya
adalah sebuah harmoni di mana perbedaan-perbedaan yang ada
Wawancara dengan JR dan S (warga beretnis Dayak) di rumahnya di
Palangkaraya, Jumat 6 Februari 2009.
17
300 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
bisa hidup bersama di dalamnya lebih sebagai sebuah dinamika
sosial yang memberi energi untuk maju, bukan sesuatu yang
menimbulkan benturan.
Akan menjadi sebuah ancaman besar di era transisi bila
masih ada kelompok-kelompok sosial bersikap eksklusif dengan
prinsip dasar masing-masing. Secara sosial, kelompok eksklusif
tidak bisa benar-benar lebur sebagai suatu komunitas bersama.
Gejala yang muncul adalah disharmoni di mana prinsip orang
kita dan orang lain masih memenuhi otak masing-masing. Reintegrasi yang gagal akan menyebabkan suasana kebatinan di antara mereka terus diracuni prasangka dan mungkin juga
kebencian-kebencian struktural. Bila transisi damai hendak dilewati dengan mulus, maka gejala disharmoni atau ketegangan
antar kelompok, harus dihilangkan. Kalau itu gagal juga, maka
program reintegrasi hanya akan menjadi angin surga, sementara
kepentingan kelompok di belakang layar terus mengintai.
Oleh karena itu dalam konteks reintegrasi etnis Madura
ke Palangkaraya akan dilihat dari aspek strategi kedatangan dan
penerimaan etnis Dayak dalam interaksi dengan mereka.
1. Strategi Kedatangan dan Interaksi Etnis Madura
Umumnya informan mengemukakan, proses kedatangan etnis Madura ke Palangkaraya terjadi secara alami.
Cara ini dituntut oleh masyarakat setempat dengan tujuan
menjaga rasa aman atas kedatangan etnis Madura karena
ukuran diterima atau tidaknya etnis Madura adalah sikapnya, bukan lama waktu tinggal di daerah ini. Menurut
informan, apa yang menjadi hasil kongres dan hasil kesepakatan dari pertemuan-pertemuan kepala daerah sebagai
rekonsiliasi hanya berpengaruh dan menjadi kepentingan di
tingkat elit, bukan kesepakatan masyarakat akar rumput.
REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 301
“Kesepakatan antarkepala daerah memang ada pengaruhnya
tapi hal itu bersifat bagi elit. Kalau masyarakat kebanyakan
di desa-desa dan entis Madura yang berpendidikan yang
rendah tidak memahami kesepakatan-kesepakatan itu. Bagi
mereka alamiah saja.”18
Proses secara alami etnis Madura kembali atau datang
ke Kalimantan Tengah dengan sendirinya. Mereka merasa
cukup aman, bisa diterima karena merasa bukan orang
yang membuat konflik. Beberapa KK (kepala Keluarga)
datang tanpa dimobilisasi secara sistematis oleh organisasi
seperti IKAMA (Ikatan Keluarga Madura), tapi mereka
berbaur dengan warga lain datang ke Palangkaraya dengan
keinginan sendiri. Tujuan kembalinya ke Palangkaraya ada
yang karena untuk menempati kembali rumah atau tanah
yang mereka tinggalkan. Ada juga yang hanya ingin menjual rumah dan tanah mereka.
Biasanya proses kembali ke tempat tinggal mereka
dengan mengirimkan utusan anggota keluarga ke rumah
Ketua RT (Rukun Tetangga) untuk menyampaikan keinginan menempati tanah atau rumah mereka kalau masih utuh.
Pihak RT akan mengundang para warga sekitar untuk membicarakan keinginan tersebut kemudian diputuskan dalam
rapat RT. Jika warga setuju, termasuk tetangga kiri-kanan,
maka mereka diperbolehkan kembali. Kalau di tingkat
warga tidak sepakat dan tidak menerima maka warga Madura tersebut tidak bisa kembali karena menurut masyarakat keluarga tersebut tidak baik, suka membuat keributan.
Mereka tidak akan dilayani termasuk menjual aset seperti
rumah atau tanah. Keluarga yang bisa diterima diharuskan
Wawancara dengan TS (etnis Jawa) di rumahnya di Palangkarya, Selasa,
3 Februari 2009.
18
302 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
memenuhi persyaratan, yaitu tidak membawa orang baru,
karena orang baru itu masih tidak diketahui karakternya
sehingga dikhawatirkan akan membuat masalah.
Sikap secara alami dengan melakukan seleksi terhadap
etnis yang datang bagi etnis Dayak bukanlah suatu arogansi
kelompok (etnis) tapi bagian dari manajemen konflik,
walaupun muncul kesan etnis Dayak dan masyarakat
setempat (lingkungan tempat tinggal Madura) memaksakan
kehendak dan memanfaatkan kekuasaan (kemenangan).
Mereka sepakat disebut etnis yang arogan kalau prinsip
yang dibangun adalah menolak sama sekali kedatangan etnis
Madura. Tapi kenyataannya prinsip etnis lokal ini adalah
menerima kembali etnis Madura kalau memang baik dan
tujuan proses seleksi itu adalah etnis Dayak tidak mau konflik etnis terulang lagi sehingga dengan cara itu mendapatkan rasa aman.
“Sikap kami itu bukan sesuatu yang arogansi. Tapi kalau
pengamanan maka hal itu harus dilakukan bagi siapapun
yang pernah mengalami konflik di mana saja, pasti ada
trauma sehinga perlu ada pengamanan-pengamanan, takut
akan terulang lagi. Jadi hal itu dilakukan karena ada trauma
dan pengamanan diri.”19
Etnis Madura yang sudah diterima dan menetap di
Palangkaraya kebanyakan bekerja pada sektor informal
seperti penjual pencok, pedagang sayur, buah-buahan dan
penjual ayam keliling, tukang becak, dan sopir angkot.
Mayoritas perempuan Madura bekerja sebagai penjual
pencok, pedagang sayur, buah-buah dan penjual ayam. Ada
yang memiliki kios di pasar, ada pula yang menjajakan ber19
Wawancara dengan S (Etnis Dayak).
REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 303
keliling. Sementara itu kaum laki-laki Madura bekerja sebagai tukang becak dan sopir angkot. Berikut adalah keterangan seorang informan perempuan:
“Rata-rata yang berjualan di Pasar Palangka adalah perempuan. Mungkin hal ini bagian dari strategi. Saya pernah
bertanya kepada bibi pencok yang berjualan di seberang rumah orang tuaku, ‘kenapa datang sendiri?’ Katanya biar
saya dulu mencari penghidupan. Nanti kalau sudah bagus
suasananya maka bapaknya menyusul, karena saat ini bapaknya masih belum berani.”20
Kehadiran perempuan lebih awal ini masih menjadi
pertanyaan di antara informan. Kemungkinan hal ini merupakan strategi karena perempuan dari etnis Madura ini dianggap lebih aman oleh etnis Dayak sehingga tidak ditolak
warga setempat.
“Mungkin kalau yang datang perempuan dianggap lemah
sehingga tidak diapa-apakan dan kebanyakan menurutnya
yang datang ke Kalteng adalah kawan-kawannya sesama
perempuan. Mungkin melihat kondisi baru kemudian mengajak anaknya dan seterusnya. Bagi orang Dayak, perempuan itu lebih merasa aman dibanding adanya orang Madura laki-laki.”21
Secara perlahan, keluarga yang sudah diterima akan
mengajak anggota keluarga yang lain untuk datang kembali
sehingga seluruh anggota keluarganya termasuk yang lakilaki bisa berkumpul.
Wawancara dengan Y (Etnis Dayak), Kamis 5 Pebruari 2009 di rumah
nya di Palangkaraya.
21
Wawancara dengan Y (etnis Dayak).
20
304 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Pemulangan secara alami dari kacamata sosiologis merupakan hal positif. Siapapun berhak untuk datang asal bisa
melakukan sosialisasi, menempatkan kehidupan dan memahami budaya setempat, seperti istilah orang Dayak, “di
mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Dengan proses
secara alami, maka interaksi akan dapat bertahan karena di
situ terjadi sikap saling menghargai terhadap nilai-nilai yang
ada di masyarakat.22
2. Penerimaan Etnis Dayak
Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya etnis
Dayak bisa menerima kedatangan etnis Madura kembali ke
Palangkaraya, apalagi sampai saat ini tidak ada reaksi penolakan terhadap etnis Madura. Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah (LMMDKT) pun menyerahkan sepenuhnya proses reintegrasi kepada mekanisme
yang dibuat masyarakat setempat. Penerimaan dan lahirnya
interaksi antaretnis, selain karena dilakukan secara alami
juga didasarkan pada perubahan yang lebih baik dari sikap
etnis Madura.
Umumnya informan mengemukakan, etnis Madura
banyak mengambil pelajaran dari konflik etnis yang terjadi
pada 2001. Sikap mereka tidak lagi kasar, tidak main bentak, bahasanya sudah halus dan tidak memaksa pembeli lagi
untuk membeli dagangannya, malah kalau menawarkan barang atau dagangan dengan bahasa yang memikat seperti,
“mau beli apa sayang?”.
Bahkan bukan hanya menerima kedatangan justru ada
di antara etnis Dayak dan masyarakat Palangkaraya mengWawancara dengan J (Etnis Dayak), Jumat, 6 Pebruari 2009 Jam 14.00
WIB di rumahnya di Kota Palangkaraya.
22
REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 305
harapkan kembalinya etnis Madura, karena sebelum terjadi
konflik sebagian etnis Madura berjualan sayur keliling sehingga sangat membantu ibu-ibu yang tidak bisa ke pasar.
Kalau tidak ada etnis Madura yang berjualan keliling maka
menyulitkan bagi ibu-ibu sehingga mereka harus berbelanja
ke pasar.
“Orang Madura yang datang ke Kalteng lebih berhati-hati
sikapnya belajar dari pengalaman masa lalu tidak sembarangan bersikap dengan orang walaupun karakter aslinya
tetap masih melekat. Mereka tidak sembarangan mengeluarkan celurit dan tidak sembarangan memaki-maki orang
lebih bisa mengontrol diri, hal ini menjadi pelajaran juga
bagi etnis yang lain agar tidak sembarangan.”23
Selain sikap dalam interaksi, kehidupan sosialnya pun
sudah terbangun dengan baik di mana etnis Madura tidak
lagi tinggal secara mengelompok dan eksklusif. Sudah tampak adanya pembauran antara etnis Madura dengan masyarakat lokal.
Penerimaan masyarakat Dayak terhadap etnis Madura
ini juga didorong kesadaran budaya dalam masyarakat Dayak yang terbuka terhadap orang luar. Sikap demokratis
dalam masyarakat Dayak sudah ada sejak dulu kala, yaitu
menerima perbedaan dan menerima orang lain. Prinsip
yang dibangun dalam “rumah betang” menjadi salah satu
filosofis untuk hidup bersama walaupun dalam perbedaan,
baik berbeda etnis maupun agama tetap saling menghargai.
Sikap menghargai ini juga diberikan kepada pendatang.
Bahasa Dayak dalam keluarga itu juga demokratis, egaliter.
Misal panggilan seorang cucu kepada kakeknya adalah hikau
23
Wawancara dengan S (etnis Dayak).
306 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
(kamu). Nama orang Dayak itu tidak selalu khas, bisa saja
seperti nama orang jawa; Riyanto, Rusmanto, Rohmanto,
seperti orang Batak: Lubis atau Tambunan. Jadi penerimaan
terhadap orang lain sudah ada sejak dulu. Kenapa banyak
orang Madura di Kalimantan, itu tanda bahwa orang Dayak
toleran.24
Namun di balik sikap penerimaan dari etnis Dayak
ini ternyata masih ada sebagian kecil dari warga Palangkaraya yang merasa terganggu, walaupun sudah terjadi perubahan sikap dari etnis Madura. Menurut informan, kondisi
psikologis sebagian etnis Dayak sekarang ini masih ada
yang merasa khawatir, tidak nyaman, ketakutan, bahkan
merasa terancam dengan kedatangan etnis Madura di Palangkaraya. Ini terjadi karena konflik tahun 2001 itu masih
terasa dalam ingatan sebagian etnis Dayak. Trauma ini
dirasakan sebagian besar etnis Dayak, yang sebelumnya
jarang berkonflik dengan etnis lain kecuali dengan Madura.
Sebagian warga etnis Dayak juga belum bisa menghilangkan
trauma masa lalu karena banyak di antara saudara-saudara
mereka tewas dan rumahnya dibakar etnis Madura. Ada
pula kekhawatiran yang muncul khususnya bagi mereka
yang ikut dalam pengusiran etnis Madura saat konflik
terjadi telah mengambil tanah orang Madura lalu menguasai sektor ekonomi seperti pasar, pelabuhan. Terutama
kelompok bisnis, pengusaha, atau pedagang pasar, mereka
agaknya tidak berharap etnis Madura kembali sebab beberapa aset orang Madura seperti tokoh telah mereka dikuasai, termasuk ada sebagian mereka yang memiliki utang
tanah dan utang uang dengan etnis Madura.
24
Wawancara dengan TS.
REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 307
Alasan lainnya, adanya ketakutan etnis Dayak karena
isu dan prasangka yang dibangun kalangan etnis Dayak sendiri. Misalnya ketakutan memakan makanan yang dijual etnis Madura karena bisa diberi racun. Hal ini digambarkan
oleh salah seorang informan:
“Dalam kegiatan Pasar Wadai di bulan Ramadhan, saya
pernah mengamati pedagang pencok, satu Madura dan satu
lagi Banjar. Ternyata yang lebih laku dari etnis Madura
karena enak, dan aku juga ikut beli di tempat itu. Yang
satu lagi tidak terlalu laku. Sambil ngantri aku mendengar
selentingan obrolan ibu-ibu yang antri katanya ‘hati-hatilah
kita siapa tahu ini ada racunnya.’”25
Ketakutan lain yang merupakan hasil prasangka yang
diciptakan kalangan etnis Dayak sendiri adalah penggunaan
air PDAM yang dikhawatirkan akan diberi racun oleh etnis
Madura. Berikut dikemukakan:
“Tetanggaku mengatakan, beruntunglah kita tidak memasang ledeng. Siapa tahu di ledeng itu dimasukan oleh Madura racun, maka matilah kita. Jadi kasihan dengan orang
Madura, walaupun hal itu ada guyonan tapi menimbulkan
perasaan takut juga di hati saya. Siapa tahu hal itu bisa
terjadi.”26
Terjadinya perubahan sikap yang positif dari etnis Madura yang datang ke Palangkaraya bahkan memunculkan
fenomena sebagian etnis Madura berusaha menyembunyikan
identitas mereka. Berbeda dengan etnis Dayak yang tamWawancara dengan Y (etnis Dayak).
Wawancara dengan I (etnis Dayak), Kamis, 05 Februari 2009 di
rumahnya di Kota Palangkaraya
25
26
308 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
paknya semakin menunjukkan sikap “keakuannya”. Kalau
dulu stereotype orang Dayak adalah malas, bodoh sehingga
malu mengaku sebagai etnis Dayak, namun sekarang sudah
muncul kebanggaan. Pada tataran birokrasi (pemerintahan),
adanya UU Otonomi Daerah memberi ruang tersendiri
bagi putra daerah berkiprah di pemerintahan.
F. Upaya Membangun Perdamaian
1. Pembenahan Internal Kedua Etnis
Salah satu upaya pembenahan yang harus dilakukan
etnis Madura adalah perubahan sikap lebih baik dari sebelumnya. Kalau ada permasalahan yang terjadi dalam interaksi sosial maka penyelesaiannya tidak langsung menggunakan cara-cara kekerasan. Tidak mengganggu eksistensi
masyarakat Dayak seperti melakukan penyerobotan tanah
dan warung yang dimiliki etnis Dayak. Peran warga etnis
Madura yang sudah kembali dan bekerja sebagai pedagang
baik di pasar maupun berkeliling, menjadi sopir angkot,
tukang becak, diharapkan memberikan citra positif.
Integrasi etnis Madura diharapkan juga bisa dilakukan
melalui organisasi seperti Ikatan Keluarga Madura
(IKAMA), namun dengan manajemen yang harus dikelola
baik dan dipimpin oleh orang yang baik dan berpikir ke
depan sehingga organisasi ini akhirnya menjadi alat menuju
perdamaian. IKAMA jangan sampai berperan, seperti yang
terjadi sebelumnya, menjadi alat untuk membela warga etnis Madura yang bersalah melakukan tindakan kriminal,
menyembunyikan pelaku sehingga bisa bebas dari jeratan
hukum. Hal ini yang akhirnya menyebabkan ketidakpuasan
REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 309
warga Dayak. Pandangan ini tampak dalam pernyataan
informan berikut:
“IKAMA pada masa lalu telah melakukan atau dipimpin
oleh orang yang keliru. Bukan IKAMA-nya yang salah, tapi
orang yang memimpin. Di mana saat itu yang memimpin
mempunyai ambisi-ambisi tertentu, seandainya dipimpin
oleh orang yang memiliki pikiran jangka panjang, berpikir
perdamaian maka ia tidak akan mengarahkan kepada hal-hal
yang menjerumuskan.“27
Perbaikan etnis Madura juga bisa dilakukan dengan
melakukan pendidikan multikulturalisme seperti yang pernah dilakukan salah satu perguruan tinggi di Palangkaraya,
walaupun masih bersifat elit sehingga ke depan harus dikembangkan hingga bisa menjangkau akar rumput.
Sementara itu pembenahan etnis Dayak dilakukan dimulai dengan pendidikan. Dengan pendidikan, mereka bisa
berkompetisi secara sehat dan bekerja lebih giat lagi. Dengan pendidikan etnis Dayak diharapkan bisa bersikap lebih
ramah dan tidak malu menyebut dirinya sebagai Dayak.
Sebab, kadang-kadang orang Dayak tidak percaya diri atas
ke-Dayak-annya. Ada perasaan minder, merasa identitasnya
itu memalukan karena anggapan orang Dayak yang tidak bisa bersaing. Pendidikan terhadap etnis Dayak juga membangun kesadaran akan nilai dan semangat multikulturalisme.
Pembenahan lain yang bisa dilakukan adalah dengan
pemberdayaan di bidang ekonomi dan politik seperti yang
pernah dilakukan Lembaga Dayak Panarung (LDP) Palangkaraya dengan membangun Serikat Petani Karet, mengembangkan lembaga ekonomi kerakyatan melalui Credit Uni27
Wawancara dengan S (etnis Dayak).
310 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
on (CU), pendidikan politik kepada kaum perempuan agar
memahami posisi sehingga terbangun kesetaraan gender.
Dengan cerdasnya masyarakat Dayak maka mereka sadar
untuk menghindari konflik.28
Salah satu keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan
terhadap etnis dayak adalah pengembangan ekonomi kerakyatan melalui Credit Union dengan nama CU Betang Asi,
lembaga keuangan yang diprakarsai LDP. Saat ini keanggotaannya sudah terbuka untuk umum karena, bukan hanya
etnis Dayak tapi semua etnis boleh menjadi anggota. Omset
lembaga ini sekarang kurang lebih Rp. 100 milyar.29
Dalam bidang pemberdayaan perempuan supaya
terlibat dalam pemantapan rekonsiliasi dan pemberdayaan
terhadap kedua etnis (Dayak-Madura), sejak tahun 2003
dibangun komunitas Dara Arum di Kalimantan Tengah.
Komunitas ini terus memantapkan upaya rekonsiliasi antara
etnis Dayak dan Madura melalui peran aktif perempuan.
Itu diwujudkan melalui kegiatan kaum perempuan kedua
etnis dalam kegiatan seperti arisan, pengajian, simpan pinjam, dan pelatihan baca tulis. Menurut Intan Ruwaidah:
“Hal yang dikedepankan dalam rekonsiliasi ini adalah bagaimana mempertemukan para perempuan dalam kegiatan
bernapas kerukunan, yang selanjutnya akan mendorong
harmonisasi hubungan antara kedua etnis dalam tataran lebih luas,” 30
Wawancara dengan M, 4 Pebruari 2009 di kantor Lembaga Dayak
Panurung (LDP) Kota Palangkaraya
29
Wawancara ES, 04 Mei 2009 di Kota Palangkaraya
30
“Perempuan Jalin Rekonsiliasi di Kalimantan Tengah,” Kompas, 10 Mei
2003. Intan Ruwaidah adalah Field Officer wilayah Kalteng Search for
Common Ground in Indonesia (SFCGI)
28
REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 311
Anggota Dara Arum di Sampit saat ini sekitar 100
orang. Adapun di Palangkaraya dan Kapuas masing-masing
sekitar 30 dan 70-an perempuan dari kedua etnis. Namun
seiring perjalanannya komunitas ini belum berkembang
maksimal karena munculnya perbedaan visi antaranggota di
internal etnis, selain karena masing-masing anggota memiliki kesibukan .31
2. Rekomendasi Membangun Perdamaian
Untuk membangun perdamaian dalam proses reintegrasi etnis Madura, bisa disimpulkan jika umumnya informan menghendaki: pertama, kedua etnis (Madura-Dayak)
lebih berhati-hati, menjaga sikap terutama pihak Madura
agar terus menjaga sikapnya menjadi lebih baik, lebih sopan, menghargai etnis Dayak dan ajakan agar kehidupan
etnis Madura tidak eksklusif atau mengelompok. Sementara
bagi etnis Dayak diharapkan mampu merubah sikap malas
dengan menjadi lebih rajin.
Kedua, penegakan hukum dan aturan, baik berkaitan
dengan kasus kriminal yang terjadi maupun proses penyelesaian masalah aset dan status tanah etnis Madura, yaitu
dengan mengembalikan status kepemilikan tanah kepada
yang berhak.
Ketiga, membuat peraturan daerah tentang kependudukan yang menjamin keberadaan setiap etnis di Palangka
Raya tidak hanya untuk satu etnis saja. Peraturan semacam
ini terjadi pada perda yang diberlakukan di Sampit yang
berakibat munculnya diskriminasi terhadap salah satu etnis.
Dalam perda tersebut, diatur tentang peran pemerintah
31
Wawancara dengan M dan I.
312 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
dengan lebih melakukan pengawasan kependudukan dengan
memfungsikan RT dan RW.
Keempat, ada wadah yang bisa menghimpun etnis Madura melakukan pembinaan. Namun wadah ini tidak digunakan —seperti sebelum konflik— untuk melindungi anggota etnis yang melakukan tindakan kriminal.
Kelima, mendorong agar etnis Dayak dan Madura
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi sehingga memiliki kesadaran hidup untuk maju dan menjalankan semangat
serta nilai-nilai multikulturalisme.
G. Penutup
Konflik etnis yang terjadi di Palangkaraya sebagai imbas
dari konflik di Sampit telah menyisakan trauma yang mendalam bagi kedua etnis. Proses reintegrasi secara alami merupakan satu model rekonsiliasi yang dituntut etnis Dayak dengan
tujuan mendapatkan rasa aman dan diharapkan tidak lagi terulang konflik di masa mendatang.
Kondisi damai yang sudah terbangun di Kota Palangkaraya seharusnya dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah dengan pengembangan aspek ekonomi dan penegakan hukum
agar terjadi peningkatan kesejahteraan dan terbangunnya kesadaran hukum serta penegakan hukum itu sendiri. Salah satu
poin yang harus ditegakkan pemerintah adalah kejelasan status
kepemilikan aset (tanah, rumah, toko, dan lain-lain) etnis Madura, agar tidak menjadi persoalan yang suatu saat bisa menimbulkan konflik etnis baru.
Yang Ilahiyah di Tanah Bumbu:
Problem Penerapan Manajemen Ilahiyah
ERNA KASYPIAH DAN GUSTI MARHUSIN
A. Pengantar
Kejatuhan Orde Baru (Orba) telah diikuti terbukanya
kran demokrasi sebagai buah reformasi. Sistem pemerintahan
sentralistik selama 32 tahun di bawah Orba yang membelenggu
kebebasan rakyat dan pemerintahan di daerah, berubah dengan
keterbukaan yang luas. Sistem pemerintahan yang lebih mengakomodir kepentingan daerah juga diberikan dengan munculnya
UU Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2004.
Otonomi daerah awalnya dianggap sebagai jawaban atas
ketimpangan hubungan pusat-daerah setelah runtuhnya diktator
Soeharto. Namun otonomi daerah menampilkan wajah ganda.
Di satu sisi menampakkan adanya upaya sunguh-sungguh pemerintah pusat yang menguntungkan lokal, khususnya dalam hal
prakarsa-prakarsa kebijakan pembangunan dan tata kelola pemerintahan, tapi di sisi lain juga memunculkan persoalan baru
seperti tuntutan pemekaran yang seringkali berujung konflik
horizontal. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat yang mestinya
314 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
menjadi semangat otonomi masih sebatas demi kesejahteraan
yang hanya dinikmati segelintir elite daerah. Selain itu sederet
persoalan lainnya dari proses otonomi tersebut hingga kini
masih menyisakan masalah dan urung tertuntaskan.
Pencarian bentuk ideal otonomi daerah ini bagi banyak
kalangan dipandang melenceng dan dikhawatirkan mengganggu
jalannya sistem demokrasi. Tren di daerah dalam bentuk pengelolaan pemerintahan melalui kebijakan bernuansa agama
atau formalisasi agama (sejenis peraturan bernuansa syariat
Islam) dianggap sebagian kalangan sebagai distorsi makna
otonomi.
Salah satu bentuknya penerapan Manajemen Ilahiyah (selanjutnya disebut MI) yang digagas Bupati Tanah Bumbu, dr.
HM. Zairullah Azhar, M. Sc. MI mulai dicanangkan tahun
2004 dan diklaim model ideal pendamping tata kelola birokrasi
dan pemerintahan di Indonesia. Tanah Bumbu pun lalu menjadi sorotan banyak kalangan dengan penerapan pelayanan model
MI ini.
Penerapan MI diklaim penggagasnya sebagai varian baru
sistem manajemen pemerintahan. Gagasan awal penerapan MI
ini merupakan hasil elaborasi dan kekaguman pencetusnya,
Zairullah, terhadap manajemen kepemimpinan Rasulullah dan
para Sahabat dalam membangun peradaban baru di kota Madinah yakni “masyarakat madani”. MI diyakini mampu menjawab
segala permasalahan di Tanah Bumbu yang dihuni masyarakat
multietnis.
Namun, seorang dosen FISIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Taufik Arbain mempertanyakan konsistensi
penerapan kebijakan ini. Tokoh yang dikenal vokal menyoal
kebijakan-kebijakan pemerintah di tingkat lokal ini menyoroti
izin Tempat Hiburan Malam (THM) di sebuah hotel di Tanah
Bumbu yang ditengarai menampilkan pertunjukan yang mele-
MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 315
wati batas norma agama dan meresahkan masyarakat. Dia melihat, fenomena ini mencerminkan paradoks dimana aparat pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
hanya sebatas memberi izin tetapi alpa melakukan pengawasan
atas penyalahgunaan izin tersebut. Menurut Taufik, para aparat
tersebut mestinya bisa memahami visi-misi Tanah Bumbu yang
telah menerapkan manajemen pemerintahan dengan pendekatan
MI. Di sini Taufik melihat, kasus THM yang membuat warga
marah dan penerapan MI di sisi lain terkesan bertolak belakang. Terlalu murah upaya MI jika harus dibayar dengan
lemahnya pengawasan THM oleh aparat dinas yang menciderai
nilai-nilai MI.1
Contoh kasus di atas hanya salah satu fakta yang terjadi
di Tanah Bumbu. Ditengarai terjadi penyimpangan perizinan
lainnya seperti Izin Kuasa Pertambangan yang mengabaikan
Amdal. Padahal nilai-nilai MI tentunya juga bersumber dari
al-Quran yang secara tegas menyinggung tentang kerusakan di
bumi dan lautan diakibatkan ulah tangan manusia termasuk
ulah si pemberi izin.2 Tulisan ini akan mencoba menelusuri
bagaimana konsep MI dan implikasinya bagi tata kelola
pemerintahan.
B. Kabupaten Tanah Bumbu
Tanah Bumbu adalah salah satu kabupaten termuda di
Kalimantan Selatan, hasil pemekaran dari Kabupaten Kotabaru.
Isu pemekaran Tanah Bumbu (Selatan) sebenarnya telah lama
berhembus sejak tahun 1959 dan dilontarkan panitia penuntut
(pantut) yang saat itu diketuai Drs. Ilham Djafrie. Karena
1
2
Taufik Arbain, “THM Tanbu”, Harian Mata Banua, 4 Nopember 2008
Taufik Arbain, “THM Tanbu”.
316 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Orde Baru menutup rapat kran pemekaran, usaha itupun gagal. Di era reformasi semangat pemekaran itupun kembali
muncul. Pada 27 Agustus 2000 kembali terbentuk pantut yang
dipimpin Drs. Burhansyah. Karena kinerjanya dinilai tidak
efektif, ketua kemudian digantikan H. Jayadi Hasan (Zairullah
juga memiliki peran besar dalam pantut ini). Melalui perjuangan alot, 16 April 2002 akhirnya pantut berhasil mendapatkan
Surat Persetujuan Pemekaran dari DPRD Kabupaten Kotabaru
(sebagai induk) yang tertuang melalui Keputusan DPRD Nomor 15 Tahun 2002. Tak berselang lama pantut juga mengantongi SK DPRD Provinsi Kalsel Nomor 10 Tahun 2002 tertanggal 7 Mei 2002 tentang Persetujuan Pembentukan
Kabupaten Tanah Bumbu. Pada 27 Januari 2003 Sidang Paripurna DPR memutuskan menyetujui terbentuknya Kabupaten
Tanah Bumbu yang tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun
2003, 25 Februari 2003 Presiden Megawati mensahkan pemekaran tersebut dan diundangkan Menteri Sekretaris Negara
Bambang Kesowo.3
Kabupaten Tanah Bumbu yang memiliki slogan “Bumi
Bersujud”, akronim dari bersih, syukur, jujur dan damai, ini
memiliki luas kurang lebih 5.006,96 km2 atau 13,56% dari
luas wilayah Kalimantan Selatan. Tanah Bumbu memiliki 10
Kecamatan terdiri dari 120 desa dan satu kelurahan dengan
jumlah penduduk 212.000 jiwa. Sebelumnya hanya terdapat
lima Kecamatan: Kecamatan Batulicin, Kusan Hilir, Kusan
Hulu, Sungai Loban, dan Satui.
Suyana, H.M. Zairullah Azhar Sang Gardu Epos; Penggagas Manajemen
Ilahiyah, (Yogyakarta: Adicita, 2008), h. 19-22
3
MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 317
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kecamatan
Batu Licin
Kusan Hilir
Kusan Hulu
Sungai Loban
Satui
Simpang Empat
Karang Bintang
Mantewe
Kuranji
Angsana
Luas Wilayah
227,5
301,69
1.609
358,41
876,58
301,23
118,02
1.011,31
110,42
151,54
Km2
Km2
Km2
Km2
Km2
Km2
Km2
Km2
Km2
Km2
Sumber: Bagian Tata Pemerintahan Kab. Tanah Bumbu
Kabupaten Tanah Bumbu terletak di ujung Tenggara,
berbatasan dengan Kabupaten Kotabaru di sebelah utara dan
timur, Laut Jawa sebelah selatan, Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut sebelah barat.
Dengan multipotensi dan multiprospek ini, Kabupaten
Tanah Bumbu merupakan pintu gerbang perekonomian Kalimantan Selatan yang sangat luar biasa untuk dikembangkan di
masa-masa mendatang. Selain kaya akan sumber daya alam,
letak wilayah ini sangat strategis, berada di antara beberapa
kabupaten, dan memiliki pemandangan alam yang eksotik.
Dari sisi geografis, Kabupaten Tanah Bumbu memiliki
kondisi alam yang berbeda, mulai dari dataran tinggi yang terdiri dari bukit dan pegunungan, dataran rendah sebagai lahan
pertanian serta wilayah pantai yang memiliki panorama alam
dan kekayaan laut yang potensial.
Selain infrastruktur yang memadai, dukungan keamanan
memungkinkan pula menjadi daerah yang aman dan kondusif.
Beberapa instansi vertikal juga telah berdiri di sini, termasuk
instalasi militer strategis yang memungkinkan pengamanan intensif terhadap wilayah ini secara menyeluruh.
318 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Dengan potensi tersebut, Tanah Bumbu merupakan tempat yang terbuka bagi para pendatang. Masyarakatnya yang heterogen, terdiri dari berbagai suku bangsa seperti Banjar,
Bugis, Jawa, Madura, Bali, Batak, NTB, Sunda, Ambon, Manado, Cina, Korea, India, dan Arab menjadikan Tanah Bumbu
bagaikan Indonesia mini.
Mayoritas agama yang dianut penduduk Tanah Bumbu
adalah Islam, di samping itu terdapat juga agama Hindu, Kristen, Katolik dan Buddha. Adapun jumlah sarana peribadatannya terdiri dari 202 masjid, 373 langgar/musala, tiga buah
gereja dan 42 buah pura.4
Tahun 2007 Pemkab Tanah Bumbu menetapkan Tahun
tersebut sebagai “Tahun Kebangkitan” dengan mengusung 11
isu strategis, yakni :
1. Desa Sejahtera Bersujud
2. Penuntasan Pengangguran & Kemiskinan
3. Penguatan Ekonomi Desa
4. Integritas Pribadi dan Kepemimpinan Ilahiyah
5. Pemberdayaan Perempuan di Desa
6. Gerakan Gemar Membaca dan Wakaf Buku Desa
7. Peningkatan dan Penguatan Kelembagaan Ekonomi
Kerakyatan
8. Sarjana Inisiator, Inovator, dan aktivator Pembangunan Desa
9. Peningkatan Kualitas Lingkungan
10. Gerakan Disiplin dan Tertib Administrasi
11. Gerakan Peduli Data dan Informasi.
Bagian Humas Kab Tanah Bumbu, Profil dan Pembagunan 4 Tahun Kabupaten, 2007, h. 12- 15.
4
MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 319
C. Beberapa Titik Pandang
Menurut Mujiburrahman, kajian-kajian yang mendalam
tentang kecenderungan formalisasi ajaran Islam berkaitan
dengan demokrasi dan pluralisme mengungkapkan kepada kita
apa saja kendala-kendala sekaligus peluang-peluang dari kemungkinan terbentuknya sebuah konsensus tentang isu publik
tertentu, khususnya yang berkaitan dengan agama, secara damai dan berkeadilan. Kemungkinan lahirnya konsensus mengenai isu publik tertentu di mana semua pihak dapat menerimanya dengan lapang dada bukanlah sesuatu yang mustahil.
Temuannya tentang ini adalah munculnya pandangan positif
dari sebagian tokoh masyarakat mengenai tersedianya ruang
publik yang bebas di mana baik para pendukung ataupun penolak gagasan formalisasi syariat Islam itu dapat mengemukakan
pandangan mereka secara terbuka.5
Ihsan Ali Fauzi dan Saiful Mujani berpendapat, menjadi
fenomena yang problematik ketika keyakinan dan nilai-nilai
keagamaan personal dibawa masuk ke dalam wilayah politik
yang bersifat publik. Meski demikian, setiap orang atau kelompok memang tak bisa dihindarkan untuk membawa serta berbagai keyakinan dan nilai yang ditumbuhkan dalam diri mereka
melalui nilai agama tertentu atau oleh ideologi non-agama ke
dalam arena pemerintahan atau politik.6
Tokoh lain yang turut menyoal hubungan agama dan negara terkait munculnya peraturan daerah bernuansa syariah
adalah Mukhtar Sarman. Ia menegaskan bahwa wilayah akidah
personal bukanlah otoritas pejabat publik, termasuk soal moraMujiburrahman, Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Cet. I, h. 60-61.
6
Ihsan Ali Fauzi dan Saiful Mujani (Ed.), Gerakan Kebebasan Sipil; Studi
Advokasi Kritis atas Perda Syari’ah (Jakarta: Nalar, 2009), h. 21.
5
320 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
litas dan akhlak mulia. Pejabat publik bisa memberikan prakondisi agar masyarakatnya bermoral baik tanpa perlu mengeluarkan aturan daerah bernuansa syariah. Bukankah moral baik di
antaranya dapat diukur dari tingkat kejujuran dan kemampuan
mengemban amanah? Mengapa pejabat publik tidak memberikan contoh sebagai pemimpin yang jujur dan amanah? Tugas pokok kepala daerah adalah menyejahterakan kehidupan
warga.7
D. Sosok Zairullah Azhar8
Zairullah Azhar lahir di Pagatan, 2 April 1954. Ayahnya
seorang polisi militer yang kemudian diangkat menjadi camat
di Pulau Sembilan Kabupaten Kotabaru, induk Kabupaten Tanah Bumbu sebelum menjadi kabupaten sendiri. Karena tugas
ayahnya yang jauh dari akses sekolah, Zairullah kecil mesti
rela berpisah dengan keluarga agar tetap bisa bersekolah. Di
bawah pengawasan neneknya, Zairullah menyelesaikan Sekolah
Rakyat (sekarang SD) dan SMP yang tamat tahun 1969. Setelah itu, anak kedua dari delapan bersaudara, ini merantau ke
Banjarmasin dan masuk ke SMA 2 Banjarmasin hingga lulus
tahun 1972. Cita-cita Zairullah yang ingin menjadi dokter mengandaskan kuliahnya yang telah berjalan selama 6 semester di
Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang, lalu pindah ke
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Solo, tamat
tahun 1980.
Selama sekolah rakyat hingga perguruan tinggi, Zairullah
memang senang berorganisasi. Semasa kuliah di Solo, dia menMukhtar Sarman, Mencari Kebenaran Menuai Kecaman; Dibalik Kontroversi
Perda Ramadhan (Banjarmasin: PK2PD dan LK-3, 2006), h. 9-11.
8
Suyana, H.M. Zairullah Azhar Sang Gardu Epos, h. 9-17
7
MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 321
jabat Sekretaris 1 Senat Mahasiswa, Ketua Dewan Mahasiswa
dan Ketua Senat Mahasiswa. Tahun 1978, dia terpilih menjadi
Ketua Presidium Ikatan Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran
se-Indonesia. Dalam organisasi ekstra kampus, Zairullah juga
aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) serta Persatuan Mahasiswa Kalimantan Selatan periode 1978-1980.
Sekembalinya ke Kalimantan Selatan Zairullah kembali
aktif berorganisasi di KNPI, Pemuda Pancasila, dan menjadi
Sekretaris I ICMI Kalsel (Ikatan Cendekiawan muslim Indonesia), Ketua Harian FORKI, Ketua Majelis Pemuda Daerah
dan Wakil Ketua KORPRI Kota Banjarmasin.
Dalam dunia politik Zairullah terpilih sebagai ketua DPD
Golkar Banjarmasin, Ketua Pemenangan Pemilu/Jurkam Golkar Tingkat II Banjarmasin (Pemilu 1987, 1992, 1997), Ketua
DPD Golkar Banjarmasin (1995-2000), Biro Olahraga DPD
AMPI Tingkat I Kalimantan Selatan (1985-1988). Setelah duduk sebagai Pejabat Bupati Tanah Bumbu (2003), ia juga
masih aktif sebagai penasihat KAHMI, Ketua Umum DPW
Pemuda Pancasila, Ketua Umum Depidar XIV SOKSI, Ketua
Umum Badan Koordinasi Panti Asuhan Indonesia (Bakorpin)
Kalimantan Selatan, dan Ketua Umum sekaligus penyandang
dana Yayasan Darul Azhar.
E. Konsep Manajemen Ilahiyah
Manajemen Ilahiyah (IMI) ini meskipun tidak menjadi
perda, oleh bupatinya diwajibkan untuk dilaksanakan segenap
aparat pemerintahan dari tingkat kabupaten sampai desa/
kelurahan. Misalnya, Zairullah mewajibkan para birokrat mengikuti pelatihan ESQ (Emotional Spiritual Quotient), mewajibkan
memakai seragam yang menutup aurat dan busana muslimah/
322 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
memakai jilbab bagi birokrat perempuan, aktif ke majlis
taklim, mewajibkan tadarus al-Quran setiap pagi dan salat
Zuhur berjemaah (sebelumnya juga pernah diberlakukan salat
Subuh berjaemaah).
Bukan itu saja, bupati aktif memprakarsai berbagai kegiatan keagamaan seperti majlis taklim dengan mendatangkan penceramah tingkat nasional dan lokal. Terkadang Bupati sendiri
yang menjadi penceramah dalam majlis taklim tersebut. Majlis
taklim yang diprakarsainya tidak hanya di Kabupaten Tanah
Bumbu tetapi sampai ke ibukota propinsi di Banjarmasin.
Bupati Zairullah Azhar juga sering memberi sumbangan
untuk pesantren-pesantren yang ada di Kalimantan Selatan,
memberi santunan pada anak yatim, janda tua dan jompo, melalui APBD yang diberikan setiap bulannya. Bahkan karena
perhatiannya pada anak yatim, rumah Bupati konon disebut
sebagai Istana Anak Yatim. Bupati Zairullah Azhar juga dianggap sangat menghormati ulama dan habaib karena membangun
asrama Muhibbin dalam rangka memberikan pelayanan bagi
ulama dan habaib.
Bupati juga menggelar “Pesantren Bersujud”. Ini diperuntukkan khusus bagi pegawai pemerintahan dengan menyisihkan satu jam perhari selama empat hari setiap minggunya untuk
memperdalam agama. Selasa tentang akhlak, Rabu tentang fikih,
Kamis tentang tauhid dan Sabtu tentang tafsir al-Quran.
Pengertian MI ditandai dengan sejauhmana seseorang telah menjalankan agamanya dengan benar. Orang yang telah
melaksanakan MI akan mengawali, menghadapi, dan mengakhiri aktivitasnya selalu membasahi bibirnya dengan doa. Pada
tahap awal penerapannya, MI dimulai dengan proses pada tataran ilahiyah berupa simbolisasi. Simbolisasi ilahiyah berwujud
pengamalan ritual keagamaan dan seragam islami.9
9
Suyana, H.M. Zairullah Azhar Sang Gardu Epos, h. 89-90.
MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 323
Bentuk ritual keagamaan sebagai realisasi simbolisasi ilahiyah dapat dilihat pada kegiatan khataman al-Quran, zikir,
salawat, tausiyah, sebelum aktivitas kerja, salat dhuha, salat
berjemaah, Pesantren Bersujud, majelis taklim rutin di malam
Jumat, gerakan salat Subuh berjemaah, safari Jumat dan safari
Ramadhan, gerakan wakaf, infak, sedekah dan zakat, tes integritas ilahiyah (tes pemahaman agama para CPNS dan calon
PTT, bagi yang muslim berupa tes kemampuan baca alQuran), acara pelantikan yang diadakan di masjid dan gedung
wakil rakyat berarsitektur ilahiyah.
Sementara wujud simbolisasi ilahiyah dalam seragam islami bisa dilihat dari model pakaian para aparatur pemkab Tanah Bumbu yang berbaju takwa, berpeci atau berkopiah haji.
Hal ini dimaksudkan agar proses pelembagaan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip MI mengalami proses pendalaman dan
internalisasi. Simbolisasi diterapkan untuk mendukung proses
esensialiasasi dimensi substantif dalam serangkaian proses
habituasi. Dua prinsip simbolis dan substantif inilah yang mendasari pengembangan dan penerapan MI (lihat Gambar 1.pola
pengembangan MI).10
Namun dari konsep-konsep di atas, efektivitas dan efisiensi penerapan MI sebagai program pendamping sistem manajemen pemerintahan dan birokrasi di Tanah Bumbu diragukan
banyak pihak. Rutinitas kegiatan-kegiatan MI dirasa mengganggu roda pelayanan masyarakat meski Pemkab telah menerapkan enam hari kerja dan memperpanjang jam kerja hingga
pukul lima sore. Kegiatan ritual MI di hari kerja selain Jumat
dan Sabtu biasanya hingga jam sembilan pagi, setelah itu baru
aparat memberikan pelayanan masyarakat. Sementara, di hari
Zairullah Azhar dan Syakrani, Kepemimpinan dan Manajemen Ilahiyah:
Refleksi dan Pengalaman dari Bumi Bersujud, Kabupaten Tanah Bumbu, (Yogyakarta: Eja Publisher, 2007), h. 20-21.
10
324 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Sabtu, kegiatan Pesantren Bersujud tak jarang berlangsung
hingga pukul 11 siang.
KEPEMIMPINAN &
MANAJEMEN
ILAHIYAH
SOSOK
PRIBADI
Spiritual-based: shiddiq,
amanah, fathanah, tabliq,
istiqamah
KOMITMEN
Cinta dan rindu kepada
Allah
VISI
‘IBARURRAHMAN
KAPASITAS
INSPIRING HIS/HERSELF
INSPIRING THE OTHERS
FOKUS
SEBAGAI PELAYAN
SEBAGAI HAMBA
Gambar 1. KERANGKA PIKIR PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN ILAHIYAH
Selain itu, penerapan MI sebenarnya telah memunculkan
kegelisahan aparatur daerah setempat. Mereka merasa bahwa
ada unsur keterpaksaan dalam melaksanakan kebijakan penerapan MI karena mengekang dan merampas hak-hak mereka
untuk berkumpul bersama keluarga atau kegitan lainnya. Keluhan ini khususnya tentang kewajiban mengikuti kegiatan
Lailatul Jumat yang berisi acara zikir, salawat dan taushiyah
yang menurut mereka terkadang berlangsung hingga larut
malam.11 Kenyataan ini juga diakui oleh Bupati dalam pernyataannya kepada Antara:
11
Wawancara dengan J di rumahnya, 14 Februari 2009
MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 325
“Kami seluruh jajaran menghaturkan permohonan maaf, jika
sistem yang diterapkan ini jadi beban bagi sebagian orang, tapi
itulah cara yang kami gunakan untuk mewujudkan sebuah sistem
sesuai dengan ajaran al-Quran dan Hadis, dengan harapan dapat
mengubah diri kita masing-masing ke arah yang lebih baik”.12
Beberapa catatan lain di lapangan masih terkait adanya
unsur pemaksaan dalam penerapan MI adalah kasus kewajiban
salat Subuh berjemaah.
“Dulu di awal-awal penerapan MI pernah diberlakukan wajib
salat Subuh berjemaah bagi semua PNS di Pemkab Tanah
Bumbu. Nah, yang kesulitan justru PNS/PTT perempuan sebab
di pagi hari harus keluar rumah untuk salat jemaah di masjid
ditambah lagi jika mereka mempunyai anak kecil (Balita), hal
itu terasa semakin memberatkan. Gara-gara pemberlakuan wajib
salat Subuh jemaah ini, ada kasus suami yang mau bercerai
dengan isterinya.”13
Persoalan-persoalan di atas yang kini mengemuka agaknya
sejalan dengan kegusaran kalangan mahasiswa yang menyangsikan kesungguhan Pemkab Tanah Bumbu dalam menjalankan
MI.14 Sederet pertanyaan terus menyeruak, akankah penerapan
MI ini bisa berjalan dengan baik lebih-lebih kebijakan MI ini
tampaknya sangat “bupati sentris”.
Apakah akan dilanjutkan ketika bupati berganti dan
mampu memenuhi harapan masyarakat berupa kesejahteraan
yang merata. Ataukah kebijakan ini untuk meningkatkan popularitas personal Bupati, meminjam istilah Taufik Arbain, poli“Manajemen Ilahiyah; Pola Pemerintahan Tanah Bumbu,” Antara News,
18 Juni 2008.
13
Wawancara dengan Y, 10 Pebruari 2009.
14
“Manajemen Ilahiyah; Pola Pemerintahan Tanah Bumbu,” Antara News,
18 Juni 2008.
12
326 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
tical marketing. Jawabannya bisa dilihat pada korelasi penerapan
MI dengan kebijakan-kebijakan yang lebih akomodatif-partisipatif dan kesungguhan menciptakan pemerintahan yang efektif
dan efesien.
Dalam penerapannya, MI juga menerapkan sanksi bagi
yang lalai mengikuti kegiatan-kegiatan MI. Misalnya, beberapa
kali tidak hadir tanpa alasan yang jelas, sanksinya menulis salawat sebanyak 1000 kali dengan tangan. Sanksi ini dianggap
bernilai ibadah karena secara tak langsung “memaksa” penerima
sanksi kembali kepada ajaran-ajaran agama. MI merupakan
replika utuh dan konsisten pribadi Rasulullah SAW sebagai the
living Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan.15
Eksperimen konseptual dan empirik MI tertuang dalam
14 isu, yakni: Ziarah Ilahiyah, Apresiasi Ilahiyah, Inovasi
Ilahiyah, Renungan Ilahiyah, Usaha/ikhtiar Ilahiyah, Loyalitas
Ilahiyah, Langkah/Strategi Ilahiyah, Aksi Sosial Ilahiyah, Hubungan/Interaksi Ilahiyah, Adaptasi Ilahiyah, Zona/Wisata
Ilahiyah, Humanisme Ilahiyah, Adab Ilahiyah dan Refleksi
Ilahiyah.16
F. Rakyat Bicara
Penerapan MI di Tanah Bumbu menarik perhatian banyak
kalangan. Bagi yang mendukung, kebijakan ini dianggap sebagai
jawaban ideal atas persoalan manajerial pemerintahan yang
dibalut nuansa spiritualitas agama untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat yang diidamkan, masyarakat madani.
Kebijakan penerapan MI yang saat ini sudah sangat terasa
Zairullah Azhar dan Syakrani, Kepemimpinan dan Manajemen Ilahiyah, h.43.
Zairullah Azhar dan Syakrani, Kepemimpinan Kepemimpinan dan Manajemen
Ilahiyah, h. 69.
15
16
MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 327
nuansa simboliknya lewat cara berpakaian para aparatur daerah
yang selalu mengenakan pakaian putih-putih berbaju koko dan
berpeci putih (kopiah haji) diasumsikan akan mampu menumbuhkan kesadaran spiritual (di antaranya nilai-nilai iman dan
ikhlas dalam bekerja) terhadap amanah sebagai pelayan masyarakat yang mereka emban.
Sementara, bagi kalangan yang tidak setuju (baca: mereka
yang lebih berpikir substantif ketimbang simbolik) melihat
bahwa MI mungkin saja secara konsepsional ideal tetapi harus
diwujudkan dalam praktik semisal pencapaian kesejahteraan
masyarakat, tata kelola pemerintahan yang bersih, efesiensi
dan efektivitas pemerintahan, penerapan prinsip-prinsip good
governance (partisipatif, akuntabel dan transparan) dan sebagainya dan tidak berhenti pada ritual semata.
Berbagai tanggapan masyarakat di bawah ini menunjukkan
bahwa penerapan MI tampaknya memang masih baru sebatas
pondasi tata kelola pemerintahan ritual dan belum pada penciptaan kesejahteraan.
Berikut ini beberapa komentar masyarakat seputar penerapan MI di Tanah Bumbu:
J (seorang PNS):
“Di mata masyarakat, penerapan MI memunculkan kesan yang
baik tetapi di mata para PNS di Tanbu, penerapan MI terasa sangat “memaksa”, bahkan dianggap merenggut hak para PNS
untuk menikmati waktu istirahat di luar jam kantor dan juga
hari Sabtu yang mestinya libur. Misalnya penerapan Lailatul
Jumat yang diwajibkan bagi semua PNS. Tiga kali tidak mengikuti kegiatan berakibat pencopotan jabatan oleh Bupati karena dianggap tidak melaksanakan komitmen Bupati dalam menerapkan MI.”17
17
Wawancara dengan J, 14 Pebruari 2009.
328 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Pandangan umum masyarakat soal MI, hal ini dianggap
politis. Saat ini ada sekitar 40-an orang pejabat yang ingin
mundur dari Tanah Bumbu karena tidak tahan dengan penerapan MI. Menurutnya lagi, masyarakat yang mau mengikuti
kegiatan-kegiatan rutin MI difasilitasi tepatnya mungkin dimobilisasi dengan mobil-mobil carteran yang disediakan Pemkab
Tanah Bumbu. Dana kegiatan pesantren Bersujud dan Lailatul
Jumat diambilkan dari APBD.18
Menurut pengakuan SH, pedagang di Pasar Ahad Batulicin, dirinya sama sekali tidak mengetahui tentang penerapan
MI di Kabupaten Tanah Bumbu. Baginya, kehidupan masyarakat Tanah Bumbu yang begitu beragam sangat sulit untuk menerapkan MI tersebut.
“Pergaulan anak mudanya aja masih bebas, bagaimana MI mau
berhasil diterapkan, apalagi masyarakat juga banyak yang tidak
tahu.”19
Tanggapan senada dilontarkan F, seorang warga masyarakat:
“Penerapan MI bukanlah sebuah gerakan kultural dari arus
bawah masyarakat akan tetapi MI adalah politik pencitraan yang
coba dibangun Zairullah. Karena MI bukan lahir dari sebuah gerakan kultural, maka pelaksanaannya masih elitis tanpa banyak
diketahui dan dipahami masyarakat umum”.20
Menurutnya lagi, kebijakan penerapan MI berlebihan sehingga mengorbankan dan mengabaikan waktu pelayanan bagi
masyarakat dalam pemerintahan yang harusnya lebih utama.
Wawancara dengan J, 14 Pebruari 2009.
Wawancara dengan SH, 14 Pebruari 2009.
20
Wawancara dengan F, 28 April 2009.
18
19
MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 329
Penerapan MI sangat politis dan “dipaksakan”, dan itu semua
hanyalah kulit luar untuk menutupi kebobrokan yang ada. Kesejahteraan yang didengung-dengungkan tidak berbanding lurus
dengan kenyataan di lapangan. Masih banyak infrastruktur
seperti jalan desa atau kecamatan yang belum terjamah pembangunan. Birokrat di dalam pemkab yang tidak sepakat dengan penerapan MI ada, tetapi tidak berani “berontak”.
“Konsep MI itu sangat ideal namun secara simpel kita harus
memandangnya dari sisi output (hasil nyata yang dicapai dari
penerapan MI), misalnya bagaimana tingkat keberhasilannya kalau dihubungkan dengan pengurangan korupsi. Padahal Anda bisa saja lihat temuan-temuan BPK atau wacana di koran tentang
jaksa yang kewalahan menangani korupsi di Tanah Bumbu.
Bagi saya, manajemen birokrasi yang normatif saja sebenarnya
sudah cukup membangun sistem pemerintahan yang baik asal
semuanya diawali dengan niat suci untuk menyejahterakan
masyarakat. Ini lebih substantif ketimbang memakai manajemen
ilahiyah yang masih sebatas simbol belaka.”
“Bagaimana mungkin penerapan MI berhasil selama kesejahteraan
rakyat tidak diurusi, kalau urusan perut saja belum beres bagaimana mungkin orang bisa beribadah dengan tenang. Lagian dalam beribadah kan tidak ada paksaan, ditambah lagi soal pendidikan SD-SMP yang hingga kini belum juga digratiskan. Padahal
hasil SDA di daerah ini besar sekali” 21
Penerapan MI bagi RS sangat mengganggu pelayanan publik sebab hampir setiap hari warga yang mau berurusan harus
menunggu jadwal kegiatan MI selesai dan untuk hal itu tak jarang masyarakat menunggu berjam-jam ini jelas mengabaikan
hak masyarakat atas pelayanan.
21
Wawancara dengan RS, salah seorang warga, 15 Pebruari 2009.
330 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
TM, salah seorang PNS beragama Kristen juga menceritakan. Penerapan MI di lingkungan Pemkab Tanah Bumbu
juga diikuti oleh pegawai nonmuslim (Kristen). Mereka juga
diberi porsi waktu yang sama dalam mengadakan kegiatan keagamaan (kebaktian setiap hari di kantor) sebagaimana juga
saudara yang muslim. Jumlah keseluruhan pegawai yang beragama Kristen awalnya sebanyak 20 orang. Satu orang kemudian
memeluk agama Islam (menikah dengan wanita muslimah) dan
pindah kerja ke Sekretariat Dewan.
Ditanya mengenai perbandingan kegiatan penerapan MI
dengan yang muslim, yang difasilitasi dengan mendatangkan
ustadz atau ulama, TM mengaku bahwa dalam kegiatan MI
untuk pegawai beragama Kristen tidak pernah mendatangkan
pendeta. Menurutnya, merekalah yang bergantian menjadi
pengkhutbah.22
Kegiatan MI menurut TM juga mempunyai efek positif
karena dalam agama Kristen penganutnya juga dituntun ke
jalan yang benar. Kegiatan MI pada setiap Selasa, Rabu, Kamis
dan Sabtu menurutnya paling tidak bisa menjadi rem atau sebagai pengingat. Meski begitu, dia juga mengakui walaupun MI
telah diterapkan, penyelewengan juga tetap ada dan itu kembali ke individu masing-masing. Selain itu, menurutnya, penerapan
MI juga memang mengurangi porsi pelayanan, meski waktu yang
ada singkat tetapi tinggal bagaimana memanfaatkannya.
Dia juga mengakui jika rasa keterpaksaan itu dirasakan
dalam pelaksanaan manajemen ini.
22
Wawancara dengan TM, 16 Pebruari 2009.
MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 331
G. MI : Harapan dan Realita
Penerapan MI di Kabupaten Tanah Bumbu seperti yang
digambarkan di atas sangat populer, tidak hanya di kalangan
masyarakat Tanah Bumbu tetapi juga bagi masyarakat di Kalimantan secara umum. Namun maksud populer di sini adalah
masyarakat hanya mengetahui MI luarnya saja, tidak sampai ke
substansi. Ketika masyarakat mendengar sebutan MI mereka
langsung beranggapan bahwa MI sangat bagus untuk diterapkan
karena aturan yang diterapkan bersumber langsung dari ilahi
atau Tuhan. Hal ini juga terus diperkuat oleh penjelasan
Zairullah Azhar, orang nomor satu di Tanah Bumbu sekaligus
pencetus MI. Dalam wawancara, ia mengatakan, “konsep MI
diambil dari nilai-nilai perjuangan Rasulullah yang menjadi
landasannya, yang muaranya adalah terwujudnya masyarakat
madani”.23
Konsep masyarakat madani yang dimaksud adalah masyarakat yang warganya menjunjung tinggi keadaban (civility),
pluralisme dan multikulturalisme, memiliki etos kewargaan
yang luhur, taat hukum (rule of law), egaliter, berkarakter dan
berkeadilan, selain taat menjalankan perintah Allah.24
Dengan konsep ini maka tidak ada alasan bagi umat yang
berbeda keyakinan (nonmuslim) untuk khawatir akan terganggu, karena toleransi yang berarti “kelapangan dada dalam arti
suka rukun kepada siapapun, membiarkan orang berpendapat
atau berpendirian lain, tidak mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan orang lain,”25 pasti akan terwujud di
Bumi Bersujud ini.
Wawancara dengan Zairullah Azhar, 14 Pebruari 2009.
M. Zairullah Azhar dan Syakrani, Kepemimpinan dan Manajemen Ilahiyah;
Refleksi dan Kepemimpinan dari Bumi Bersujud, (Pemda Kab. Tanah Bumbu, cet
I, 2007), h. 8.
25
Adi Gunawan, Kamus Cerdas Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kartika, 2003),
h. 527
23
24
332 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Penerapan konsep MI inilah yang membuat Tanah Bumbu
berbeda dengan kabupaten/kota lainnya di Kalimantan Selatan.
Nuansa religius simbolik sangat terasa saat pelantikan para pejabat di tempat-tempat ibadah seperti masjid/musala, adanya
persyaratan PNS/PTT yang harus bisa membaca al-Quran dan
kewajiban salat berjemaah, serta penggunaan busana muslim
putih-putih pada hari-hari tertentu bagi pegawai pemerintahan.
Namun, berbagai aktivitas pemerintah yang dipaparkan
di atas bagi sebagian orang dianggap telah merugikan masyarakat, karena terlalu banyak kegiatan ibadah rutin dan berjemaah, menyita banyak waktu yang harusnya diberikan untuk
melayani masyarakat. Selain itu kegiatan-kegiatan tersebut
menunjukkan seolah-olah masyarakat yang ada di sana hanya
lah umat Islam. Padahal di sana juga tinggal masyarakat memeluk agama Hindu, Buddha, Kristen dan lainnya. Di sini tidak terlihat bagaimana penerapan MI bagi mereka yang
nonmuslim.
Celah yang masih menyisakan pertanyaan adalah ketika
penerapan MI dihubungkan dengan sistem manajemen administrasi publik dan birokrasi yang normatif dan tersubordinasi
oleh kuatnya dominasi sistem MI. Menurut Taufik Arbain, ketika birokrasi begitu dominan dikontrol dan didominasi oleh
sistem MI, maka sistem yang berjalan itu sebanarnya sudah
tidak demokratis.26
Wacana yang berkembang di tengah masyarakat merupakan potret nyata tentang bagaimana sesungguhnya masyarakat
menanggapi, menyikapi dan merasakan pengaruh serta wujud
dari penerapan MI dalam pelbagai aspek kehidupan.
26
Wawancara dengan Taufik Arbain, 28 April 2009.
MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 333
H. Penutup
Pada tataran konseptual penerapan MI sangatlah ideal.
Tetapi, di tataran empirik dan aplikasinya masih memerlukan
kajian berkelanjutan terkait efektivitas pemerintahan yang tidak
mengabaikan hak-hak masyarakat dalam pelayanan dan tata
kelola pemerintahan yang betul-betul berpijak pada prinsip
clean government.
Wacana yang muncul di masyarakat soal paradoks-paradoks penerapan MI di lapangan adalah persoalan yang semestinya mendapat perhatian serius soal keberlangsungan pelaksanaan sistem yang diklaim sangat ideal tersebut dalam
mewujudkan Masyarakat madani. Jangan sampai kemudian
penerapan MI hanya menjadi sebuah menara gading dan urung
sempat menjawab dan merealisasikan harapan dan keinginan
masyarakat tentang sebuah daerah yang adil, makmur dengan
kesejahteraan yang merata. Masyarakat kini menanti-nanti harapan-harapan dan idealita yang dibangun oleh pemkab Tanah
Bumbu hingga sampai pada tujuan realisasi dari ekpektasi yang
terwacanakan tersebut.
334 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Dampak Konflik Maluku:
Studi Konflik dan Kekisruhan pada
Pengungsi Iha, Kayu Tiga dan, Seriholo
ABIDIN WAKANO
A. Pengantar
Pemukiman penduduk di Indonesia bagian timur (NTT,
Maluku, Papua) umumnya terpisah antara penduduk yang berbeda agama, yaitu komunitas Islam dan Kristen. Sebelum konflik Ambon dihuni masyarakat dari dua agama tersebut. Mereka dapat bekerjasama dalam berbagai hal, termasuk dalam
urusan-urusan keagamaan seperti mendirikan rumah ibadah.
Perbedaan agama tidak begitu mengganggu hubungan karena
ada ikatan kultural yang lebih kuat dan lebih lama dari masuknya kedua agama tersebut. Ikatan kultural seperti pela misalnya
sangat bermanfaat dalam menumbuhkan, menjaga dan meningkatkan rasa kesatuan dan persatuan.
Namun keadaan ini berubah total pascakonflik 1999, masyarakat tersegregasi seratus persen antara Islam dan Kristen.
Mereka menempati desa yang terpisah satu sama lain dan tidak
336 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
ada yang mau tinggal kembali di desa asalnya yang didiami
masyarakat berlainan agama, meskipun harta benda dan tanah
harus mereka tinggalkan. Hal ini tentu saja menjadi masalah
sekaligus rentan konflik. Terlebih, rekonsiliasi sebagai proses
penyelesaian konflik antara komunitas muslim dan Kristen
belum terwujud. Masih muncul suara saling menyalahkan di
antara mereka sebagai penyebab konflik. Faktor utama penyebab konflik sampai saat ini juga belum ditemukan dan disepakati kedua belah pihak, sehingga tidak mungkin ada kesediaan
dari kedua pihak untuk saling meminta maaf atau memaafkan.
Padahal ini menjadi salah satu elemen penting terciptanya
rekonsiliasi.
Penyelesaian konflik di Ambon dewasa ini nampaknya
baru terbatas pada penghentian konflik fisik, berkat upaya-upaya pemerintah dan karena kelelahan kedua pihak atas dampak
konflik. Para elitnya tidak mau berupaya memahami akar penyebab konflik secara bersama-sama, sehinga faktor dominan
penyebab konflik tidak pernah tampak. Kondisi sosial seperti
ini masih menyimpan bara yang sewaktu-waktu siap terbakar
kembali.
B. Tentang Maluku
Secara geografis luas keseluruhan Provinsi Maluku adalah
581.376 km², terdiri dari luas lautan 527.191 km² dan luas
daratan 54.185 km², hal ini berarti sekitar 90٪ wilayah Propinsi Maluku adalah lautan. Letak astronomis Provinsi Maluku
adalah 30-9˚ lintang selatan, 120˚-136˚ bujur timur, dibatasi
laut Seram di sebelah utara, laut Indonesia dan Arafura di sebelah selatan, pulau Papua di sebelah timur, serta laut dan
pulau Sulawesi di sebelah barat. Karena itu sebagai daerah kepulauan, Maluku memiliki wilayah yang sangat luas jika dilihat
DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 337
dari luas daratan dan lautan dari utara sampai ke selatan. Jumlah pulau di Maluku kurang lebih 1.412 buah, dua buah di
antaranya yang terbesar adalah Pulau Seram dan Pulau
Buru.1
Dari aspek budaya masyarakat Maluku memiliki kurang
lebih lima puluh kelompok suku bangsa dan sub-suku. Karena
itu termasuk dalam kategori the little traditions, yaitu adanya
keanekaragaman budaya yang cukup kaya. Hal tersebut dapat
dilihat pada begitu beragamnya bahasa atau dialek serta suku
dan sub-suku di Maluku. Berdasarkan hasil penelitian Summer
Institute of Linguistik (SIL) menyebutkan, bahasa di Maluku
kurang lebih terdiri dari 117 buah. Sedangkan suku dan subsuku bangsa lebih dari 100 yang mendiami pulau-pulau kecil
di kepulauan Maluku, yang terbentang dari utara sampai ke
selatan.2 Itulah sebabnya di samping ada identifikasi diri sebagai
suku bangsa di Maluku seperti orang Bugis, Makasar, Buton,
atau Jawa dan sebagainya, juga terdapat orang Ambon, orang
Seram, orang Kei, orang Buru, orang Lease dan lain-lain.3
Walaupun memiliki tingkat keragaman yang cukup besar seperti itu, tapi pada dasarnya secara kultural masyarakat Maluku
memiliki akar kebudayaan untuk dapat hidup dan menerima
Pemda Propinsi Maluku, Maluku Dalam Angka, 2003, (Ambon: BPS
Propinsi Maluku, 2003), h. 3-6
2
Taber, Mark, dkk. Atlas Bahasa Tanah Maluku, Badan Pengkajian
Masyarakat dan Pembangunan Universitas Pattimura dan Summer Institute
of Linguistic Ambon, 1996
3
Suku bangsa di Maluku seperti Etnis Buton, Bugis, Makasar, Jawa atau
etnis lain biasa disebut sebagai orang dagang atau pendatang, sedangkan etnis
yang dikategorikan adat sepert etnis Ambon, Seram, Lease, Tenggara, Buru
adalah etnis asli yang mendiami pulau-pulau di Maluku, yang umumnya punya
negeri serta bahasa tersendiri. Lihat: J. Ajawaila, Dinamika Budaya Orang
Maluku,: dalam Maluku Menyambut Masa Depan. (Ambon: Lembaga Kebudayaan
Daerah Maluku, 2005), h. 159
1
338 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
realitas kehidupan yang plural. Karena sejak semula masyarakat
Maluku berdasarkan pandangan kosmologinya telah hidup dan
menerima realitas yang monodualistik, yaitu siwa dan lima.
Pandangan monodualistik ini adalah nilai inti yang membentuk
kepribadian masyarakat Maluku—bahwa ada kelompok lima
dan kelompok siwa, yang selanjutnya kelompok lima menjadi
muslim dan kelompok siwa menjadi Kristen, tetapi hidup
saling menghargai dan saling membantu. Berdasarkan siwa lima
ini pulalah nilai-nilai kearifan lokal seperti pela, gandong, famili
bersumber.
Akar budaya orang Maluku yang bersifat monodualistik
ini dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa Melanesia, yang mendiami gugusan kepulauan yang terletak di sebelah barat Samudera Pasifik. Karena bangsa Melanesia adalah ras asli dari masyarakat awal yang mendiami kepulauan Maluku.4 Menurut
Saleh Putuhena, orang-orang Maluku sendiri menamakan diri
mereka dengan sebutan orang Alifuru yang mendiami pulaupulau besar di Maluku sebagai leluhurnya. Dalam oral tradition
orang-orang Maluku, sebelum leluhurnya tersebar ke pelbagai
pulau kecil di Maluku, orang-orang Melanesia itu mendiami
pulau-pulau besar tersebut. Pulau-pulau besar yang dimaksud
adalah pulau Seram, pulau Halmahera dan pulau Buru, sehingga di pulau-pulau ini juga terdapat suku-suku terasing yang
memiliki karakteristik yang mirip. Dari sini dapat dikatakan
bahwa Alifuru yang diklaim sebagai leluhur orang Maluku itu
tak lain adalah leluhur orang Maluku yang berasal dari Melanesia atau keturunan Melanesia.5
Sartono Kartodirdjo, Kebudayaan Pembangunan Dalam Perspektif Sejarah,
(Jakarta; GAMA Press, 1987), h. 155
5
Saleh Putuhena, “Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pemberdayaan
Kebudayaan Lokal di Maluku Tengah, Maluku Tenggara”, Makalah pada 14
Maret 2001, h. 3
4
DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 339
C. Masalah dan Pentingnya Penelitian
Ketika terjadi kerusuhan sosial 19 Januari 1999 kemudian
muncul lagi pada tahun 2003/2004, yang berlangsung begitu
lama dan kompleks serta memakan korban jiwa dan harta benda yang begitu banyak, persaudaraan sebagai orang Maluku
menjadi hancur. Manusia Maluku terpola menjadi orang Islam
dan Kristen, orang muslim di simbolkan dengan kelompok
putih dan orang Kristen dengan simbol merah, orang Islam
disebut “Acan” dan orang Kristen disebut dengan “Obeth”.6
Dalam situasi seperti ini terbentuklah segregasi sosial secara
total antara orang Islam dan orang Kristen yang membuat
interaksi dan komunikasi menjadi terputus, baik itu di kota
maupun di desa. Dampak dari segregasi tersebut adalah adanya
ribuan pengungsi yang kehilangan hak perdata dan hak adatnya
yang sampai sekarang belum tertangani secara tuntas, sehingga
menimbulkan permasalahan atau konflik baru dalam masyarakat, seperti yang terjadi pada negeri Iha, negeri Seriholo,
Ahuru, dan Kayu Tiga. Tiga negeri ini yang akan menjadi locus penelitian ini.
Permasalahannya adalah, mengapa kerusuhuan sosial di
Maluku sampai menimbulkan segregasi sosial di masyarakat?
Mengapa nilai-nilai kearifan lokal kurang fungsional peranannya
di dalam merawat tatanan persaudaraan dan perdamaian dalam
masyarakat? Apa dampak segregasi sosial terhadap para pengungsi di Maluku?
Riset ini menjadi penting dan menarik karena beberapa
faktor:
Acan adalah nama pendek dari Hasan yang beragama Islam dan Obeth
adalah nama pendek dari kata Robert dari Kristen yang dikutip dari salah
satu iklan perdamaian di TVRI pada masa konflik. Dalam perkembangan
selanjutnya panggilan ini digunakan untuk mempolarisasi orang Islam dan
Kristen di Maluku.
6
340 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
1. Masalah segregasi sosial di Maluku pasca-konflik, merupakan masalah yang sangat kompleks serta merupakan ancaman terhadap perdamaian dan persaudaraan masyarakat
Maluku ke depan. Karena itu perlu diungkap sejauh mana
dampak segregasi sosial pascakonflik dewasa ini terhadap
hubungan antaragama, khususnya dalam kasus pengungsi di
Maluku.
2. Sesungguhnya konflik dan segregasi sosial dewasa ini merupakan fenomena rusaknya modal sosial kultural masyarakat
Maluku. Tetapi dalam kondisi konflik, peranan nilai-nilai
kearifan lokal dalam proses rekonsiliasi dan recovery Maluku
pasca-konflik masih sangat signifikan. Untuk itu, penelitian
ini menjadi penting untuk mentransformasikan kearifan lokal sebagai modal sosial kultural untuk membangun Maluku yang berkeadaban.
3. Segregasi sosial dewasa ini telah merusak tatanan budaya,
serta hilangnya hak-hak sipil masyarakat—seperti hak-hak
adat dan perdata para pengungsi. Kondisi ini merupakan
sumber konflik terhadap muncul sejumlah konflik dewasa
ini maupun konflik-konflik ke depan. Karena itu, riset ini
menjadi menarik untuk mengungkap penyebabnya untuk
dicari solusinya
D. Kajian Riset Sebelumnya
Riset tentang dampak konflik bagi segregasi sosial pascakonflik di Maluku secara spesifik belum ada. Tetapi yang
bertalian dengan bentuk-bentuk kearifan lokal di Ambon, Maluku Tengah dan Maluku Tenggara, serta kedudukan dan revitalisasi kearifan lokal dalam membangun perdamaian di Maluku
pernah dilakukan oleh Hasbollah Toisuta serta Abubakar Kabakoran dkk dalam buku Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi
DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 341
Konflik di Kalimanatan Barat, Maluku dan Poso, (Jakarta: ICIP,
2007). Selain itu Aholiab Watloly dalam Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri, (Yogyakarta: Kanisius, 2005),
yang menulis tentang budaya, pembangunan serta tantangan
yang dihadapi pascakonflik memasuki Maluku Baru. Kemudian
Abidin Wakano serta Fahmi Salatalohy dkk, menulis tentang
Nasionalisme Kaum Pinggiran: Dari Maluku, Tentang Maluku Untuk
Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2004). Buku ini mencoba menganalisis pelbagai masalah yang menyebabkan konflik, dampak
konflik, budaya lokal, dan nasionalisme. Serta tulisan Abidin
Wakano tentang “Membangun Hidup Orang Basudara di Maluku Dalam Konteks Masyarakat Plural”, dalam Kemurahan Allah
yang Mengampuni; dalam rangka HUT ke-70 Pdt. Dr. Arnold
Nicolaas Radjawane, (Ambon: UKIM, 2008). Tulisan ini mencoba mentransformasikan modal sosial kultural masyarakat Maluku dalam rangka membangun perdamaian sejati di Maluku.
Sementara itu riset yang hasilnya menjadi sumber utama
tulisan ini sendiri dilaksanakan sejak 25 Februari-7 Maret
2009.
E. Modal Sosial Masyarakat Maluku
Dalam memori kolektif masyarakat Maluku, sesungguhnya
masyarakat asli Maluku yang mendiami gugusan kepulauan Maluku Tengah, leluhurnya berasal dari pulau Seram yang pernah
terkenal dengan sebutan Nusa Ina (Pulau Ibu). Menurut tradisi
lisan yang seringkali disampaikan dalam bentuk kapata (kisah
dalam bentuk nyanyian), pada suatu waktu kelompok-kelompok masyarakat yeng terbentuk secara geneologis, meninggalkan daerah asalnya untuk bermukim di daerah lain atau pulaupulau di sekitar pulau Seram. Sebab-sebab kepindahan serta
daerah mana mereka berasal sulit untuk dideskripsikan.
342 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Di tempat yang baru itu mereka hidup dalam kelompokkelompok keluarga yang kemudian terkenal dengan sebutan
lumatau (keluarga/famili) secara terpisah meskipun tidak berjauhan. Perkembangan selanjutnya beberapa lumatau yang berdekatan membentuk aman atau hena sebagai satuan pemukiman.
Sesuai dengan pandangan kosmologi mereka yang dualisme
serta mengikuti pola alune dan wemale; di tanah yang baru terbentuk semacam konfederasi yang disebut uli, untuk di Seram
disebut sebagai Pata. Terdapat dua macam uli, yaitu uli lima
dan uli siwa. Pada umumnya yang tergabung dalam uli lima
adalah kurang lebih lima aman dan pada umumnya menempati
daerah utara (atas) pulau dan uli siwa gabungannya sembilan
aman yang berada di bagian selatan (bawah) pulau. Pola seperti
ini juga terdapat di Maluku Utara dengan nama soa siu (gabungan sembilan soa) yang menempati daerah pesisir bawah,
sedangkan soa nyagimoi (gabungan sepuluh soa) mendiami daerah pedalaman.7 Sedangkan untuk Maluku Tenggara dikenal
dengan sebutan ur lim dan ur siu.8 Dalam perkembangan selanjutnya setelah masuknya Islam kelompok lima masuk Islam dan
satu abad kemudian kelompok kelompok siwa masuk Kristen.
Karena itu, negeri-negeri yang masuk kelompok patalima/
ulilima identik dengan, Islam dan negeri-negeri yang masuk
dalam kelompok patasiwa/ulisiwa identik dengan Kristen,
walaupun pada wilayah lima terdapat beberapa negeri yang
beragam Kristen Katolik, hal ini disebabkan oleh proses kristenisasi ketika Portugis datang yang dilakukan Fransis Xavier
(1506-1552) seorang misionaris dari ordo Jesuit Spanyol.9
Frassen, Ch. F. Van, Types of Sociopolitical Stucture in North Halmahera,
Majalah ilmu-Ilmu Sastera Indonesia, Jld. 8 No. 2 Nopember 1978/1979, h. 90
8
David Howes, Op.cit, h. 105
9
William, Bangert, S.J, Francis Xavier, dalam Encyclopedia Americana,
(New York: The Americana), h. 854
7
DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 343
Setelah Portugis meninggalkan Maluku pada tahun 1605,
kemudian orang-orang Katolik dikonversi ke dalam Protestan,
yang merupakan agama resmi VOC Belanda.
Patasiwa/ulisiwa dan patalima/ulilima sebagai pandangan
monodualistik ini adalah nilai inti yang membentuk kepribadian
masyarakat Maluku. Berdasarkan pandangan monodualistik sebagai nilai persatuan inilah dasar semua nilai-nilai kearifan lokal di Maluku. Adapun nilai-nilai kearifan lokal yang punya
nilai integrasi sosial yang sangat tinggi dan dikenal luas antara
lain
1. Pela
Salah satu bentuk kearifan lokal dikalangan masyarakat
Maluku, khususnya di Kabupaten Seram Bagian Barat yang
sudah sangat terkenal di Nusantara dan menjadi ikon kerukunan adalah pela. Nilai budaya yang terkemas dalam pela
ini sering menjadi rujukan masyarakat. Ketika orang berbicara tentang model kehidupan kebersamaan dan toleransi,
para pemimpin terus menunjukan tradisi pela-gandong sebagai model bertoleransi yang baik. Walaupun pada saat
konflik melanda Maluku ini beberapa tahun lalu identitas
budaya pela ini dipertanyakan, seakan kehilangan kohesifitasnya, tetapi budaya pela sampai saat ini tetap eksis
Masyarakat terkadang sering keliru dalam memaknai
konsepsi pela dan gandong dalam satu pengertian, padahal
pela-gandong adalah dua entitas budaya yang memiliki pengertian berbeda dalam perspektif sosio-antropologis. Pela
misalnya adalah terambil dari bahasa setempat pelau yang
berarti “saudara laki-laki”,10 dan secara terminologis diartiF.L. Cooley, Mimbar dan Tahta, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987),
h. 219.
10
344 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
kan sebagai ikatan persahabatan atau persaudaraan yang
dihubungkan di antara seluruh masyarakat pribumi dari dua
desa atau lebih ikatan tersebut telah ditetapkan sejak nenek
moyang mereka dalam keadaan yang khusus dan menyertakan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang ada di
dalamnya.
Seperti dijelaskan Cooley, akar histories pela ini berhubungan dengan tradisi kakehan yakni tradisi “perburuan
kepala” manusia yang ada pada masyarakat suku-suku di
Seram ketika itu, yang mungkin saja di antara kelompok
itu saling bermusuhan untuk mencari “kepala” dari masingmasing anggota suku musuh, kemudian mereka dalam kondisi tertentu bersepakat untuk mengikat janji untuk tidak
saling menyerang, sebaliknya harus saling melindungi. Ikatan perjanjian ini untuk kemudian memposisikan kedua belah pihak sebagai pela atau “saudara laki-laki”.
Dalam perkembangan selanjutnya pela terbagi menjadi
tiga jenis. Yang pertama disebut dengan pela tulen/pela darah. Pela jenis ini termasuk pela yang keras, larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban dari desa-desa yang terikat ke
dalam jenis pela ini dikuti dengan sangat ketat. Perjanjian
dalam pela jenis ini dilakukan dengan cara meminum darah
yang diambil dari jari-jari tangan para pemimpin dan dimasukkan ke dalan gelas, setelah ujung senjata mereka dicelupkan ke dalam gelas, yang dilakukan dalam sebuah upacara.
Dengan demikian hal tersebut dilakukan untuk menegaskan
semangat persaudaraan selama-lamanya. Sesama anggota
yang ber-pela dilarang untuk kawin-mawin, sebaliknya diwajibkan untuk sling membantu dan melindungi.
Kedua, pela tempat sirih. Jenis pela ini tergolong kedalam ketegori yang lunak. Pela ini tidak ditetapkan melalui sumpah, serta aturan yang berupa hak dan kewajiban
DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 345
di antara yang ber-pela tidak begitu ketat, namun kewajiban untuk saling membantu dan melindungi diterapkan juga
secara bersama.
Pesan dasar dari budaya pela, baik pela darah maupun
pela tempat sirih adalah deklarasi sebuah kesadaran kemanusiaan termasuk kesadaran kepelbagaian. Mereka yang diikat
dalam pela terikat dalam kewajiban untuk saling membantu
pekerjaan yang menjadi tanggung jawab masyarakat umum,
baik dalam bentuk material maupun moril.
Setiap negeri adat11 umumnya memiliki ikatan pela,
dan di antaranya terdapat ikatan pela negeri yang beragama
Islam dengan negeri yang beragama Kristen. Menurut penelitian Cooley, besar kemungkinan terbentuknya hubungan
pela ini sebelum masuknya agama ke Maluku.12 Contoh
hubungan pela antara Negeri Kamariang dengan Negeri
Sepa di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah.
2. Gandong
Berbeda dengan pela yang lahir berdasarkan ikatan
perjanjian persahabatan dan persaudaraan dua desa atau lebih. Gandong menyiratkan persahabatan yang terbentuk karena adanya kesadaran genealogis. Gandong berasal dari kata
kandung atau “gandung” yang menyiratkan persaudaraan
berdasarkan garis turunan. Dalam kehidupan masyarakat
awal ketika terbentuknya pemukiman-pemukiman pertama
di Maluku, seperti dikatakan M. Nur Tawainella, suatu
Negeri adalah desa. Dalam budaya Maluku negeri dipimpin seorang
raja yang dipilih secara turun temurun dari marga tertentu yang disebut marga “parintah” (marga perintah). Pada setiap negeri mempunyai marga perintah
yang berbeda-beda. Seorang raja selain memiliki kekusaan administratif juga
memiliki kekuasaan adat.
12
F.L. Cooley, Mimbar dan Tahta, h. 185.
11
346 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
komunitas dari satu gen (keluarga), biasanya terpencar untuk mencari tempat pemukiman baru yang layak sesuai sifat hidup masyarakat tradisional saat itu yang nomaden.
Pola penyebaran gen-gen itu ke beberapa uli/hena baru,
kemudian masyarakat berkembang dan terbentuklah aman
(negeri).13
Perkembangan selanjutnya kedua desa atau lebih yang
memiliki akar geneologis yang sama kemudian besepakat
untuk hidup selayaknya saudara kandung meskipun berbeda
agama. Mereka bersepakat saling melindungi dan membantu dalam ungkapan darah satu darah samua, hidup satu hidup
samua yang pengertian bebasnya adalah “darah kamu adalah
juga darahku dan darah kita semua, hidup kamu adalah
juga hidupku dan hidup kita semua”.
Bila pela hanya menyiratkan persahabatan antara dua
desa, maka gandong lebih luas cakupannya, karena karena
gandong bisa mencakup lebih dari dua negeri, contohnya
antara lain hubungan gandong negeri Latu, Huloy dengan
Aboru, Kariu, dan Boi.
Dalam tradisi masyarakat ber-gandong seperti juga
pela, dalam kerja-kerja negeri sering dilakukan secara bersama-sama yang dibantu oleh negeri lain yang terikat dalam pela atau gandong. Pandangan mereka merupakan suatu
kesalahan dan aib besar apabila hajatan sosial saudaranya
(seperti membangun gereja, masjid, baileo), tetapi mereka
tidak diikutkan untuk mengambil bagian dalam kegiatan
tersebut. Bahkan diyakini mempunyai kekuatan magis atau
pantangan sakral. Apabila melanggarnya akan disumpah dan
dilaknat oleh nenek moyang mereka.
13
2009.
Wawancara dengan M. Nur Tawainella di Negeri Tulehu, 8 Maret
DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 347
3. Famili
Selain pela dan gandong, di Maluku juga terdapat hubungan kekerabatan sosial yang disebut famili. Bila gandong
adalah hubungan persaudaraan berdasarkan genealogis sejak
pembentukan desa/aman, maka famili adalah hubungan
kekerabatan berdasarkan kesamaam marga/fam. Tradisi masyarakat Maluku menempatkan marga (lumah tau) sebagai
keluarga inti, jadi satu marga adalah satuan keluarga inti.
Dalam perspektif tersebut, marga/fam pada satu desa di
Maluku juga tersebar ke berbagai desa baik dalam bentuk
fam yang sama atau dengan sedikit perubahan fonemik pada
fam tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka adalah
satu keluarga inti. Jejaring konsep famili ini relatif luas di
Maluku, karena tidak hanya ada pada dua atau tiga desa
akan tetapi cukup luas. Famili misalnya, fam atau Marga
Wakano di Desa/Negeri Latu (Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat di Pulau Seram), atau Wakano di
Desa/Negeri Sepa dan Tamilou (Kabupaten Maluku di
Pulau Seram Selatan), terdapat juga di Desa/Negeri Ameth
(Kecamatan Saparua, Kabuapten Maluku Tengah di Pulau
Nusa Laut), atau Ely di Kawa, Taniwel Kabupaten Seram
bagian barat juga terdapat di Asilulu Kabupaten Maluku
Tengah, atau fam Putuhena di Iha Kabupaten Seram bagian
barat juga terdapat di Iha Mahu Kabupaten Maluku
Tengah.
Dalam tradisi kefamilian ini di Maluku, terdapat nilainilai kearifan yang mentradisi untuk saling mengunjungi di
setiap hari Natal atau Idul Fitri. Selain itu terdapat pula
pola hidup saling membantu dalam konteks hidup orang
basodara berdasar ke-famili-an. Pola ini agak berbeda dengan pela dan gandong, karena agak eksklusif karena hanya
satu marga sebagai satu keluarga inti.
348 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Berdasar pada nilai-nilai kearifan lokal inilah sejak dahulu Masyarakat Maluku mampu membangun persaudaraan
dan perdamaian sejati yang melampau sekat-sekat sosial-keagamaan. Bahkan ketika konflik SARA di Maluku pada tahun 1999-2004 yang begitu besar dengan jumlah korban
jiwa dan harta yang sangat banyak, peranan nilai-nilai
kearifan lokal ini sangat signifikan digunakan untuk upayaupaya rekonsiliasi dan recovery Maluku. Boleh dikatakan di
saat hampir semua pendekatan dilakukan, termasuk pendekatan militer gagal, justru peran nilai-nilai kearifan lokal
masih cukup efektif. Hal ini karena di dalam nilai-nilai kearifan-kearifan lokal tersebut terdapat spirit yang mengajarkan budaya damai, rukun, gotong royong, kasih sayang,
persaudaraan, kesetaraan, penghargaan dsb—sebagaimana
pesan profetik agama-agama yang meletakkan penghargaan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang sebagai
mission sacre-nya. Bahwasanya dengan nilai-nilai kearifan
lokal yang ada, masyarakat Maluku mampu membangun
solidaritas sosial yang melampaui sekat-sekat agama, etnik,
sub-etnik, idiologi, bahasa, dan golongan. Karena dengan
modal sosial-kultural seperti ini orang Maluku pernah membangun sebuah peradaban Maluku yang sangat damai dan
rukun dalam semangat orang basudara.
F. Temuan Riset
1. Pelanggaran Hak-hak Pengungsi Pasca-Konflik
Problem yang cukup serius saat konflik SARA di Maluku terutama pada tahun 1999-2001, yaitu warga muslim
dan Kristen sudah tersegregasi secara total dan sangat rentan untuk diprovokasi dan dimobilisir. Pasca konflik segregasi pemukiman warga muslim dan Kristen ini, baik di
DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 349
kota maupun desa telah menjadi masalah serius yang
hingga kini belum tertangani secara maksimal.
Salah satu masalah pascakonflik dari segregasi sosial
di Maluku adalah pengungsi. Hingga tahun 2009, untuk
keseluruhan pengungsi di Provinsi Maluku masih tersisa
12.080 Kepala Keluarga (KK), sedangkan untuk Kota Ambon tersisa 3.824 KK. (Data Aliansi Pengungsi Maluku
2009). Ditengarai terbengkalainya pengembalian pengungsi
ini karena tidak akuratnya data pengungsi dan masalah korupsi. Sebagai contoh yang terjadi pada pengungsi di Kayu
Tiga, pengungsi desa Iha di Liang dan pengungsi desa Seriholo sudah hampir 10 tahun para pengungsi ini tidak tertangani secara maksimal sehingga menyebabkan beberapa
hal.
Pertama, pengungsi di Kayu Tiga adalah pengungsi
jemaat gereja Betabara berjumlah 410 KK merupakan
pengungsi yang berasal dari desa Batu Merah kecamatan
Sirimau Kota Ambon, hingga saat ini 87 KK belum memiliki rumah. Anehnya bantuan untuk pengungsi yang tiaptiap KK sebesar 5 juta rupiah tidak dibayar oleh bank
BPDM (Bank Pembangunan Daerah Maluku) dengan alasan
uang sebesar 5 juta itu menjadi dasar bagi pengungsi mendapatkan kredit lunak dari BPDM. Area Kayu Tiga sendiri
merupakan tanah milik desa Soya yang dibeli pengungsi
dengan menggunakan uang kredit lunak dari bank BPDM.
Permasalahannya sekarang adalah pihak bank BPDM mengancam pengungsi di Kayu Tiga karena tidak mampu
membayar kredit lunak tersebut. Hal lain adalah tidak
terpenuhinya hak-hak dasar karena tinggal di tempat pengungsian yang tidak terpenuhi standar hidup layak. Menurut Piet Pattiwailapia, Koordinator Aliansi Pengungsi
Maluku, di beberapa lokasi pengungsi seperti Kayu Tiga,
350 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Ahuru, Wayyari, tidak ada pendidikan SD untuk anakanak pengungsi. Padahal sudah dibangun 6 buah SD pada
lokasi-lokasi pengungsian tersebut. Bangunan-bangunan SD
itu dibiarkan terbengkalai karena tidak ada guru dan
fasilitas, karena belum dibuka secara resmi. Akibatnya
anak-anak pengungsi tersebut harus pergi ke sekolah yang
cukup jauh dari tempat pengungsian mereka dengan
menggunakan angkot. Padahal kebanyakan orang tua mereka belum punya pekerjaan tetap. Akibatnya banyak di
antara anak-anak itu terpaksa berjalan kaki 2-4 km dan
sangat rawan kecelakaan di jalan.14
Kedua, hilangnya hak-hak perdata pengungsi. Di Kota
Ambon banyak tanah milik warga yang hilang, khususnya
tanah dan rumah milik pengungsi jemaat gereja Betabara
di desa Batu Merah (sekarang mengungsi di Kayu Tiga)
terpaksa dijual dengan harga sangat murah karena sertifikatnya hilang. Ada pula yang sama sekali tidak dapat dijual
atau dimiliki kembali karena sudah diklaim warga setempat
di negeri Batu Merah.
Ketiga, pengungsi desa Iha (desa adat muslim) di Pulau Saparua Kabupaten Maluku Tengah, dewasa ini menjadi pengungsi dan tinggal di dua lokasi yang berbeda,
sebagian tinggal di desa Liang Pulau Ambon, Kabupaten
Maluku Tengah, dan sebagian lagi di Desa Sepa (muslim)
di Pulau Seram Kabupaten Maluku Tengah. Menurut Rais
Haulussy, salah satu warga desa Iha, yang juga dosen
UNPATTI, pada salah satu bukit desa Iha telah dibuatkan
salib besar yang dibeton sebagai simbol kemenangan. Padahal desa Iha merupakan salah satu desa adat Islam yang
pernah menjadi pusat kerajaan Islam di Pulau Saparua.
14
Wawancara dengan Piet Patiwailapia di Desa Paso, 1 Maret 2009
DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 351
Pascakonflik lokasi pemukiman pengungsi di desa Liang
sudah mulai timbul persoalan perdata di mana sebagian
warga Liang sudah mulai mempertanyakan tanah milik
mereka yang sekarang menjadi lokasi pengungsian warga
Iha. Menurut mereka tanah itu sifatnya cuma pinjaman.
Padahal banyak warga Iha yang sudah membangun rumah
permanen, sementara untuk kembali ke negeri asal masih
trauma dan tidak ada jaminan keamanan.15
Keempat, kasus yang berbeda terjadi di negeri Seriholo di Kabupaten Seram Bagian Barat. Desa Seriholo
adalah salah satu negeri Kristen yang terbakar pada konflik
1999 di Maluku. Desa ini terbakar ketika terjadi penyerangan dari negeri Hualoy (negeri muslim) yang merupakan negeri tetangga di sebelah barat. Permasalahannya,
ketika proses pengembalian pengungsi negeri Seriholo,
terjadi konflik yang melibatkan negeri Latu yang juga
merupakan salah satu negeri tetangga berpenduduk muslim. Menurut Hendrik Seriholo, salah seorang tokoh
masyarakat negeri Seriholo, kekisruhan itu terjadi ketika
negeri Hualoy, memberi persyaratan bahwa negeri Seriholo boleh kembali, asalkan mereka mau mengakui negeri
Hualoy sebagai desa induk, dan negeri Seriholo hanyalah
dusun dari negeri Hualoy.16 Menurut Saefuddin Sapsuha,
salah seorang tokoh pemuda negeri Latu, pada saat konflik
ada yang beranggapan bahwa negeri Seriholo sudah menjadi ghanima (pampasan perang) karena kalah perang.
Padahal Seriholo adalah negeri adat yang memiliki tanah
adat atau hak-hak adat yang sama dengan negeri Hualoy.
Lebih lanjut kata Saefuddin, masalah antara negeri Hualoy
15
16
2009
Wawancara dengan Rais Haulussy di Negeri Liang, 6 Maret 2009
Wawancaradengan Hendrik Seriholo di Negeri Seriholo 29 Februari
352 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
dan Seriholo pada 26 Nopember 2008 itu juga menimbulkan konflik antara negeri Latu (Islam) dengan negeri
Hulaoy (Islam). Pada rencana pemulangan pengungsi
negeri Seriholo yang semestinya dihadiri Gubernur Maluku, Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat, Pangdam,
Kepala Polda, yang saat itu sudah dalam perjalanan untuk
mengikuti prosesi adat pemulangan pengungsi Seriholo di
negeri Hualoy, akhirnya gagal hadir. Demikian juga
prosesi upacara adat pemulangan pengungsi Seriholo pun
tidak jadi dilaksanakan. Penyebabnya adalah terjadi pemblokiran jalan oleh warga negeri Latu, salah satu negeri
tetangga sebelah barat dari negeri Hualoy dan negeri
Seriholo. Pemblokiran jalan di jalan utama Trans-Seram
itu berjalan selama dua hari dan menyebabkan lalu lintas
di jalur itu lumpuh total. Aksi pemblokiran jalan ini
dilakukan sebagai protes, karena proses pemulangan
pengungsi seperti ini dianggap mendistorsikan hak-hak adat
negeri Seriholo dan Latu.17 Karena di samping pengembalian negeri Seriholo dengan syarat mengakui negeri
Hualoy sebagai negeri induk, negeri Hualoy juga mengklaim diri sebagai negeri adat tertua (Ina Ama) di wilayah
ini. Klaim seperti ini menurut masyarakat negeri Latu
merupakan suatu pengingkaran terhadap fakta sejarah—
dan hal ini secara otomatis merupakan delegitimasi
terhadap negeri Latu yang lebih adat dan lebih tua dari
negeri Hualoy--jadi pemblokiran jalan merupakan gerakan
perlawanan terhadap upaya pengembalian pengungsi dan
perdamaian yang dianggap bias.18 Padahal dalam hukum
positif dan standar HAM—Seriholo harus kembali meWawancara dengan Saefudiin Sapsuha di Negeri Latu, 3 Maret 2009
Wawancara dengan Muhammad Nasir Wakano, di Negeri Latu, 3
Maret 2009
17
18
DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 353
miliki dan menghuni daerahnya tanpa persyaratan apapun.
Pada kejadian itu sebuah mobil rusak, dua buah motor
milik warga Latu rusak berat, dan empat orang warga
Latu luka berat, salah satunya adalah anak usia dua tahun
dilempar oleh warga Hualoy ketika melintasi desa Hualoy
menuju Kota Masohi (Harian Ameks, 18 Nopember
2008).
2. Perusakan Modal Sosial Kultural Masyarakat
Berbagai bentuk pengabaian hak-hak para pengungsi
di Negeri Kayu Tiga, Negeri Iha maupun Negeri Seriholo
tidak hanya telah menimbulkan hilangnya hak-hak perdata
para pengungsi di sana, tetapi lebih jauh lagi merusak modal sosial kultural masyarakat Maluku secara keseluruhan.
Memang, proses pelemahan nilai-nilai kearifan-kearifan lokal dalam budaya Maluku telah berlangsung jauh sebelum konflik terjadi. Penyebabnya antara lain nilai-nilai
kearifan lokal seperti pela, gandong, dan larvul ngabal19
mengalami penghilangan spirit dan penghancuran oleh
kekuasaan Orde Baru yang ditandai dengan penyeragaman
bentuk desa di seluruh Indonesia melalui UU No. 5 tahun
1979. Proyek desaisasi ini turut menghancurkan negeri
adat di Maluku, padahal nilai-nilai kearifan lokal seperti
pela, gandong dan larvul ngabal selama ini eksis bukan pada
desa atau lurah, tetapi pada negeri yang sebelumnya dikenal dengan aman, hena, uli/uru20. Pada kategori-kategori
Larvul ngabal adalah hukum adat di Maluku Tenggara (Kei) yang berisi
nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan yang mengikat atau mengatur
kehidupan masyarakat
20
Hena, uku, aman adalah bentuk desa dalam budaya Maluku sebelum
berubah menjadi negeri.
19
354 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
seperti inilah pela, gandong dan larvul ngabal menemukan
spirit dan konteksnya.
Ketika konflik terjadi dan menyisakan problem sosial
seperti para pengungsi, pelemahan modal sosial masyarakat
Maluku semakin terasa dampaknya menghambat integrasi
pasca konflik. Hal ini diperparah munculnya tantangan
dari luar seperti neoliberalisme dan kapitalisme yang ditandai dengan cara berfikir strukturalis dan pragmatis membuat relasi-relasi sosial yang bersifat kolegial terpinggirkan
dan yang dominan adalah hubungan-hubungan yang lebih
bersifat mekanistik. Berbagai pelanggaran hak perdata para
pengungsi misalnya adalah akibat langsung dari cara pandang dan hubungan mekanik tersebut, dimana empati terhadap para pengungsi yang juga adalah korban kerusuhan
semakin menipis.
Berkembangnya politik identitas, juga salah satu penghambat reintegrasi. Secara sosial politik jumlah Islam dan
Kristen di Maluku yang hampir berimbang akibat adanya
imigrasi secara besar-besaran dari Sulawesi, Jawa dan Sumatera yang membuat jumlah komunitas muslim makin
bertambah —serta adanya stigma-kolektif masa lalu, sejak
masa penjajah hingga konflik 1999, membuat relasi politik
kedua komunitas agama ini berada dalam vis-à-vis yang
sangat tajam. Karena itu isu agama selalu digunakan dalam
setiap prosesi politik di Maluku. Dewasa ini posisi para
kepala badan dan dinas di Provinsi Maluku sedang menunggu perbandingan jumlah antara pejabat Islam dan
Kristen yang akan menduduki jabatan-jabatan tersebut
(Harian Ameks 2 Ferbruari 2009). Ketegangan seperti ini
sebenarnya sudah lama ada dalam relasi politik Islam dan
Kristen di Maluku, baik yang terjadi di eksekutif (khususnya di Pemda Provinsi Maluku dan Pemda Kota Ambon)
DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 355
dan legislatif (DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota)
maupun di Kampus Universitas Pattimura yang dianggap
selalu didominasi oleh komunitas Kristen), di mana
masalah ini merupakan salah satu sumber konflik Maluku
tahun 1999. Dalam kenyataan seperti ini turut merusak
modal sosial kultural masyarakat Maluku.
G. Kesimpulan
Masalah-masalah di atas merupakan akumulasi dari sejumlah persoalan sebagai berkut:
a. Pola penanganan konflik yang dilakukan pemerintah saat
itu sangat bersifat top down dan militeristik. Kemudian pemerintah tidak punya sistem proteksi terhadap rakyat pada
saat konflik, akibatnya banyak hak-hak sipil maupun perdata yang terabaikan.
b. Pola penanganan konflik sampai pada recovery Maluku pasca
konflik kurang memperhatikan kondisi antropologis masyarakat serta modal sosial kultural, sehingga banyak kebijakan
yang dilakukan justru menimbulkan persoalan baru, misalnya masalah relokasi pengungsi yang menimbulkan segregasi
total, serta kehilangan hak-hak perdata dan hak adat.
c. Dalam kasus pengungsi, jika tidak ditangani secara serius—menimbulkan rasa cemburu, dendam, rasa tidak
puas, hilangnya rasa percaya, hal ini menjadi bom waktu
yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan konflik, seperti
beberapa konflik terakhir di Maluku.
d. Tak dapat dinafikan bahwa segregasi pemukiman muslim dan
Kristen di Maluku sudah ada sejak dulu—dimana setiap
negeri atau ohoi di Maluku tidak ada asimilasi agama, sehingga muncul istilah Negeri Islam atau Negeri Kristen
(Negeri Salam dan Negeri Sarane). Tapi kondisi sebelum
356 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
konflik, walaupun ada masalah, tetap dapat diterima dengan
baik, sebagai suatu model kerukunan umat beragama, bahkan
dalam relasi antar Negeri Salam dan Negeri Sarane ini secara
kultural terdapat ikatan-ikatan persaudaraan yang begitu
kuat—seperti pela, gandong dan larvul ngabal—yang berikutnya menjadi modal sosial-kultural dalam kehidupan bersama
di Maluku. Pada saat konflik, ikatan-ikatan kultural seperti
ini justru sangat efektif digunakan dalam membangun
perdamaian di Maluku. Hal ini berbeda dengan kondisi sosial
pascakonflik ini, selain segregasi sekarang bukan saja terjadi
di negeri-negeri, tapi juga di kota, segregasi sosial dewasa
ini juga menyimpan stigma kolektif yang amat dalam. Selain
itu komunikasi dan interaksi secara informal menjadi sangat
minim. Dalam segregasi tersebut politisasi agama dan
mobilisasi cepat sekali menimbulkan konflik.
e. Pascakonflik di Maluku muncul kesadaran untuk kembali
menguatkan gerakan fundamentalisme agama—dengan mengonsolidasi masjid dan gereja sebagai pusat dakwah/misi.
Kasus ini begitu kuat terjadi di Islam, yaitu eks laskar
jihad dari luar Maluku yang sudah menetap di Maluku,
karena perkawinan atau bisnis—dengan latar belakang
Salafi yang didukung oleh pesantren-pesantren berlatar
belakang Wahabi yang baru dibangun, melakukan purifikasi
secara massif. Pola dakwah yang dilakukan dengan
menguasai masjid-masjid dan perkawinan. Untuk masjidmasjid di kota Ambon milik NU dan Muhammadiyah
mayoritas telah dikuasai, termasuk masjid-masjid kampus.
Pela, gandong, larvul ngabal yang selama ini menjadi modal
sosial-kultural bagi kehidupan bersama (ikatan hidup orang
basudara) dihancurkan oleh identitas “ukhuwah islamiyah”
dengan dalih pela, gandong, larvul ngabal hanyalah persaudaraan budaya—tidak berlandaskan iman Islam, untuk itu
DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 357
tidak bisa menjadi ikatan persaudaraan untuk dunia dan
akhirat. Sedangkan “ukhuwah islamiyah”, adalah persaudaraan
berlandaskan iman Islam yang dapat menyelamatkan
persaudaraan di dunia dan akhirat.
f. Tidak ada penegakan hukum. Karena tidak ada penegakan
hukum paskakonflik, sehingga yang muncul dalam memori
kolektif masyarakat Maluku perasaan saling tidak percaya
dan saling klaim sebagai korban atau yang benar dalam
konflik. Meskipun masyarakat makin sadar tentang pentingnya membangun perdamaian dan hidup bersama dalam
keadaan damai, tapi kondisi yang ada masih menyisakan
stigma kolektif serta stereotif yang membuat posisi Islam
dan Kristen berada dalam posisi yang vis-à-vis. Karena itu
pula hak-hak pengungsi banyak yang hilang.
g. Tidak ada perlindungan terhadap hak-hak pengungsi, khususnya hak perdata dan hak adat.
h. Pengungsi dijadikan proyek yang dieksploitasi dan sarat
korupsi sebagaimana kasus kredit lunak pengungsi Kayu
Tiga di bank BPDM.
H. Rekomendasi
Masalah-masalah yang dihadapi oleh para pengungsi di
atas jika tidak ditangani secara baik, akan menimbulkan masalah-masalah baru dalam kehidupan masyarakat, khususnya para
pengungsi serta makin mempertajam ruang segregasi dan stigma kolektif. Untuk itu, penanganan pengungsi secara serius
menjadi suatu kemestian dengan memperhatikan dan melakukan beberapa hal:
a. Melakukan pendataan ulang pengungsi yang ada sekarang
secara profesional agar data pengungsi tidak tumpang tin-
358 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
dih, karena pendataan pengungsi selama ini tumpang tindih
atau tidak valid.
b. Membangun sistem perlindungan serta perlu adanya advokasi terhadap hak-hak pengungsi, khususnya hak perdata
dan hak adat.
c. Perlu adanya reintegrasi sosial dalam masyarakat, melalui
pengembalian pengungsi ke tempat semula serta adanya
kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan secara bersama-sama. Dalam hal ini perlu dibangun ruang-ruang perjumpaan
sosial, ekonomi dan budaya.
d. Revitalisasi dan transformasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai kekuatan integrasi sosial.
Berebut Kue FKUB:
FKUB Kota Depok dan Kabupaten
Bandung Pasca PBM
M SUBHI AZHARI & DINDIN A GAZALI
A. Pendahuluan
Maraknya konflik tempat ibadah yang memuncak di tahun 2005 menjadi isu yang fenomenal hingga menyulut polemik dan reaksi beragam dari berbagai pihak. Satu pihak menyatakan, maraknya penutupan gereja tersebut tidak akan
terjadi jika gereja mematuhi aturan yang sudah ditentukan. Di
lain pihak menyatakan aturan tersebut sangat sulit untuk dilaksanakan. Sementara kebutuhan akan ibadah dan sarananya tidak
bisa ditunda-tunda dan termasuk hak kebebasan beragama setiap warga yang dijamin konstitusi negara. Untuk itu tidak ada
pilihan lain kecuali ibadah itu tetap dijalankan meskipun sarananya tidak memilik perizinan yang diharuskan. Konflik tempat
ibadah ini mampu memicu ketegangan sosial di antara kelompok agama, terutama Islam dan Kristen.
Untuk itulah akhirnya pada 21 Maret 2006 pemerintah
mengambil langkah untuk menerbitkan Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8
360 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Tahun 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah (selanjutnya disingkat
PBM).
Langkah pemerintah menerbitkan PBM ini dimaksudkan
untuk menggantikan peraturan lama yang terkait dengan ketentuan pendirian rumah ibadah yang dianggap menyulitkan tersebut, yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969
tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan
dan Ibadah Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya (selanjutnya disingkat SKB).
PBM ini dianggap lebih baik ketimbang SKB, karena aturan-aturan dalam PBM lebih rinci sehingga tidak menghindari
multitafsir seperti terjadi pada SKB. Aturan baru ini juga disusun berdasarkan berbagai pengalaman penerapan SKB sebelumnya, sehingga diharapkan kekurangan-kekurangan yang ada
sebelumnya bisa diperbaiki. Meski begitu, masih banyak kalangan, terutama pihak Kristen, merasa dalam beberapa ketentuan
PBM merugikan pihaknya. Tiga hal yang menjadi poin penting
dari PBM ini adalah pertama, ditegaskannya tugas dan kewajiban kepala daerah atas pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Kedua, untuk pemeliharaan kerukunan ini, PBM juga mengamanatkan pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) sebagai forum yang memiliki peran strategis dalam
hal membangun kerukunan umat beragama. Peran tersebut diimplementasikan dalam bentuk melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; menampung aspirasi ormas
keagamaan dan aspirasi masyarakat; menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 361
sebagai bahan kebijakan kepala daerah; melakukan sosialisasi
peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan
pemberdayaan masyarakat; dan khusus FKUB kabupaten/kota
memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian
rumah ibadah. Ketiga, PBM mengatur secara cukup rinci
tentang prosedur pendirian tempat ibadah.
Pertama, terkait dengan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dalam memelihara kerukunan umat beragama misalnya, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 bahwa tanggungjawab tersebut tidak hanya dipikul pemerintah melainkan juga
melibatkan umat beragama sendiri. Kerjasama antarkeduanya
ditujukan agar umat beragama tidak hanya menjadi objek melainkan sebagai subjek dalam memelihara kerukunan.1 Namun
dalam kaitan kerjasama ini, BAB III (pasal 3 – pasal 7) hanya
menjabarkan tentang tugas dan kewajiban pemerintah mulai
dari provinsi hingga desa. Namun bagaimana kerjasama antara
pemerintah dan umat beragama itu dilakukan, tidak dijelaskan
secara terperinci.
Kedua, dalam hal pembentukan dan pembinaan FKUB,
pasal 8 menyatakan bahwa FKUB dibentuk oleh masyarakat
sendiri dan difasilitasi pemerintah. Pasal ini juga menyatakan
bahwa hubungan FKUB dengan pemerintah bersifat konsultatif.
Pasal 9 menyatakan bahwa tugas pokok FKUB adalah melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat, menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dan melakukan
sosialisasi peraturan perundang-undangan. Khusus untuk FKUB
kabupaten/kota ditambah satu tugas lagi yakni memberi rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah.
1
Sambutan Menteri Agama, Jakarta, 17 April 2006
362 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Satu hal yang dapat memunculkan pertanyaan tentang
independensi FKUB, meskipun forum ini ditegaskan sebagai
lembaga murni masyarakat adalah keberadaan Dewan Penasehat
FKUB baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota (Pasal
11). Ketentuan tersebut menyatakan bahwa Dewan Penasehat
FKUB terdiri dari Ketua (Wakil Gubernur/Wakil Bupati/
Wakil Walikota), Wakil Ketua (Kakanwil/Kakan Depag), Sekretaris (Kepala Badan Kesbangpol Propinsi/Kabupaten/Kota),
dan Anggota (pimpinan instansi terkait). Pertanyaan soal independensi muncul karena tugas Dewan Penasehat ini (Pasal 11
ayat 2) sangat umum. Tugas tersebut adalah membantu kepala
daerah dalam perumusan kebijakan pemeliharaan kerukunan
umat beragama serta memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah dan hubungan antarsesama instansi
pemerintah.
Ketiga, menyangkut prosedur pendirian tempat ibadah,
dalam pasal 14 disebutkan: ayat (1) pendirian rumah ibadah
harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Ayat (2) selain memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendirian rumah ibadat
harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama
dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling
sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat
setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan
oleh lurah/kepala desa; c. rekomendasi tertulis Kepala Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota; d. rekomendasi tertulis
FKUB Kabupaten/Kota. Ayat (3) dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan
persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah
ibadah.
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 363
Pertanyaan yang muncul tentu saja adalah darimana diperoleh angka 90 dan 60 di atas? Karena dalam kenyataannya,
angka 90 pengguna dan 60 orang yang mendukung berdirinya
tempat ibadah justru mempersulit hak umat beragama memperoleh tempat ibadah yang mereka butuhkan. Angka 90 diperoleh dari musyawarah majelis-majelis agama dengan pemerintah, angka ini dianggap mewakili kearifan lokal di Tanah
Air. Menteri Agama menjelaskan:
“Angka ini diperoleh setelah mempelajari kearifan lokal di Tanah
Air. Sebagaimana diketahui sejumlah gubernur telah melakukan
pengaturan tentang hal ini. Di Provinsi Riau, diatur jumlah
syarat minimal 40 KK, di Sulawesi Tenggara diatur jumlah syarat minimal 50 KK dan di Bali diatur jumlah syarat minimal
100 KK.”2
Pernyataan Menteri Agama ini secara tidak langsung menyatakan bahwa angka 90 orang (bukan KK) adalah angka
kompromistis (kearifan lokal), di mana kalau dibandingkan
dengan beberapa daerah tersebut di atas yang mensyaratkan
jumlah KK, maka 90 orang kalau dibagi dengan jumlah KK,
paling banyak hanya 40 KK. Yang yang perlu digarisbawahi
bahwa angka 90 orang dalam peraturan ini menjadi peraturan
yang berlaku di seluruh wilayah di Indonesia, tanpa melihat
kearifan lokal yang dimaksud oleh Menteri Agama di atas.
Sementara syarat dukungan 60 orang, Menteri Agama
menjelaskan:
“Terkait dengan dukungan masyarakat setempat minimal 60
orang, dapat kami jelaskan bahwa angka itu sebenarnya tidak
mutlak, karena pada bagian berikutnya diketahui bahwa apabila
dukungan masyarakat setempat yaitu 60 orang tidak terpenuhi
sedangkan calon pengguna rumah ibadah sudah memenuhi ke2
Sambutan Menteri Agama, Jakarta, 17 April 2006
364 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
perluan nyata dan sungguh-sungguh, maka pemerintah daerah
memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.”3
Ini berarti bahwa umat beragama yang dinilai telah memenuhi keperluan nyata dan sungguh-sungguh untuk mempunyai tempat ibadah, tidak akan ditolak oleh pemerintah untuk
mendirikan rumah ibadah. Hanya saja, lokasinya dipindahkan
ke lokasi yang lebih mendapat dukungan masyarakat setempat.
Dan dalam hal ini, pemerintah berkewajiban memfasilitasi,
meskipun maksud memfasilitasi di sini tidak begitu jelas.
Namun begitu, catatan lain dari PBM ini misalnya pasal
16 ayat (2). Pasal ini bisa memberikan jaminan bahwa pengajuan izin mendirikan rumah ibadah tidak akan berlarut-larut.
Ini biasanya terjadi ketika hendak mengajukan izin gereja. Pasal
ini berbunyi: “bupati/walikota memberikan keputusan paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian
rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Fakta hukum di atas, menggambarkan masih adanya potensi munculnya masalah dalam penerapan PBM di lapangan.
Apakah itu berkaitan dengan peran pemerintah, peran FKUB
dan peran masyarakat. Bahkan fakta menunjukkan, setelah
PBM, masih banyak terjadi konflik rumah ibadah dan hingga
kini belum terselesaikan. Dengan alasan-alasan tersebut penelitian ini menjadi penting dilakukan.
B. Masalah yang Diteliti
Penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimana dinamika internal yang terjadi di dalam
FKUB, terkait dengan penentuan anggota, penyusunan
3
Sambutan Menteri Agama, Jakarta, 17 April 2006
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 365
dan realisasi program dan bagaimana respon lembaga
ini terhadap konflik rumah ibadah yang terjadi? Apa
yang mereka lakukan dalam menyelesaikan masalah
rumah ibadah?
2. Bagaimana dukungan pemerintah daerah terhadap
FKUB? Dalam hal apa saja fasilitasi pemerintah daerah
diberikan?
3. Lalu bagaimana FKUB memposisikan dirinya berhadapan
dengan pemerintah daerah, sejauhmana mereka mampu
menegaskan independensi sebagai forum masyarakat sipil? Apakah FKUB mampu melepaskan diri dari tarikan
kepentingan kekuasaan daerah?
C. Fokus yang Diteliti
Penelitian ini akan difokuskan pada kajian tentang dua
FKUB yakni di Kabupaten Bandung (selanjutnya FKUB Kab.
Bandung) dan Kota Depok (selanjutnya FKUB Depok). Keduanya adalah dua forum kerukunan yang penting untuk dibaca
baik dari sudut kelembagaannya maupun pengelolaan kerukunan yang menjadi tugas dan tanggungjawab mereka. Kedua
forum ini memang tidak bisa mewakili gambaran FKUB secara
keseluruhan, namun keduanya dapat mewakili diri mereka masing-masing sebagai sebuah perbandingan satu sama lain untuk
mengetahui sejauhmana mereka memahami peran dan tugas
yang diberikan PBM.
D. Peta Kehidupan Keagamaan Jawa Barat
Sebagaimana dirumuskan dalam PBM, yang disebut kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama
umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian,
366 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan
ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ini artinya
membangun kerukunan adalah membangun toleransi, saling
pengertian, saling menghormati dan seterusnya.
Berbagai data menunjukkan bahwa angka kasus-kasus
keagamaan di wilayah Jawa Barat menempati angka paling tinggi. Ini sekaligus menempatkan Jawa Barat sebagai wilayah yang
memiliki tingkat toleransi yang rendah sekaligus menyimpan
potensi konflik yang sangat tinggi. Data kasus konflik rumah
ibadah misalnya, catatan tahun 2004-2007 menunjukkan yang
paling sering terjadi. Hal ini bisa dimaklumi karena menyangkut konflik yang melibatkan rumah ibadah di Jawa Barat ini
memiliki sejarah yang panjang. Masyarakat seakan-akan sensitif
sekali jika menyangkut rumah ibadah.4
Kerusuhan Tasikmalaya pada 26-27 Desember 1996 misalnya yang mengakibatkan 15 gereja dirusak dan dibakar, seorang jemaat Gereja Kristen Indonesia tewas terpanggang api,
seorang jemaat Gereja Bethel Indonesia tewas terkena serangan
jantung karena hiruk-pikuk kerusuhan, dan kota Tasikmalaya
yang luluh lantak. Kerusuhan ini menunjukkan bahwa begitu
mudahnya massa digiring untuk merusak sarana peribadatan,
padahal persoalan awalnya bukan menyangkut rumah ibadah.
Tragedi Tasikmalaya ini memang sudah berlalu belasan
tahun, namun wajah konflik rumah ibadah di Jawa Barat tetap
saja tidak beranjak jauh. Meskipun skala konflik yang muncul
tidak begitu meluas dan besar, namun intensitasnya setiap taLihat laporan kasus-kasus tempat ibadah yang dikeluarkan Bidang
Diakonia Persekutuan Gereja-gereja se-Indonesia (PGI) tahun 2007 dan
2009.
4
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 367
hun masih turun naik. Selain konflik tempat ibadah, Jawa Barat juga banyak diwarnai kasus-kasus kekerasan terhadap
kelompok-kelompok internal agama tertentu seperti terhadap
Ahmadiyah, ajaran Ishak Suhendra, Ahmad Sayuti, AKI, HDH
dan lain-lain.5
Secara demografis, penduduk Jawa Barat yang mencapai
41 juta jiwa termasuk dalam entitas masyarakat yang sangat
beragam baik dari segi etnis maupun agama. Sebagian besar
masyarakatnya berasal dari etnis Sunda, namun tidak sedikit
juga berasal dari Jawa, Batak, Madura, Minagkabau dan Palembang. Sementara mayoritas penduduknya (96,51%) beragama
Islam, (1,24%) Protestan, (0,70%) Katolik, (0,24%) Buddha
dan (0,10%) Hindu. Dari jumlah umat Islam, beberapa kelompok minoritas Islam juga terdapat di Jawa Barat seperti Ahmadiyah, Syiah, Wahidiyah. Dari pemeluk Kristen terdapat sekte
Saksi Yehova. Terdapat pula komunitas yang menganut kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan dan Dayak Losarang.
Dari sisi organisasi kemasyarakatan keagamaan, terdapat
organisasi-organisasi seperti Persatuan Islam (Persis), Mathlaul
Anwar (MA), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Syarikat Islam (SI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada
awal hingga pertengahan era reformasi, muncul ormas-ormas
keagamaan baru seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI),
Aliansi Umat Islam Indonesia (Alumi), Gerakan Reformasi
Islam (Garis), Forum Umat Islam (FUI), Gerakan Umat Islam
Indonesia (GUII), Himpunan Santri Bersatu (Hisab), Aliansi
Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP), Gerakan Anti Pemurtadan
dan Aliran Sesat (GAPAS), Front Anti Pemurtadan (FAP),
Komando Laskar Islam (KLI), Majelis Dakwah Umat (MDU),
Lebih lengkap lihat Laporan the Wahid Institute, “Menapaki Bangsa
yang Kian Retak”, Jakarta, the Wahid Institute, 2008.
5
368 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Garda Hasmi, Gerakan Anti Maksiat (GAM)6, Forum Ulama
Ummat Islam (FUUI) yang menaungi Divisi Anti-Pemurtadan
(DAP). Ormas-ormas baru ini banyak mewarnai konflikkonflik bernuansa keagamaan di Jawa Barat baik terkait rumah
ibadah maupun aliran yang dituduh sesat.
E. FKUB Kabupaten Bandung dan Kota Depok:
Proses Pembentukan
1. Minim Inisiatif Masyarakat
Pasal 8 ayat 2 menegaskan, pembentukan FKUB dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah
daerah. Pasal ini menandaskan bahwa peran aktif dan inisiasi pembentukan FKUB dalam hal ini diserahkan seutuhnya kepada masyarakat (baca: umat beragama). Peran
Pemerintah tidak lebih sebagai fasilitator saja. Fasilitasi dapat berarti penyediaan tempat rapat, akomodasi, atau juga
pembiayaan.7 Namun, kenyataan yang ada inisiatif pembentukan FKUB Kab. Bandung dan FKUB Depok tidak murni
datang dari masyarakat atau umat beragama di kedua daerah tersebut sebagaimana amanat PBM. FKUB Kab. Bandung misalnya terbentuk berawal dari inisiasi Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang
Linmas) Kabupaten Bandung pada awal 2007 yang mengundang elemen ormas keagamaan di Kab. Bandung8 seperti
Disarikan dari laporan PBHI Jawa Barat dalam laporannya berjudul “Efek
Horizontal atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Jawa Barat” yang
dipublikasikan di majalah SatuVisi Edisi 12, Nov-Des 2008, h. 25-26.
7
Akmal Salim, “FKUB dalam PBM”, http://klikfkub.wordpress.com/2009/03/.
Dipublikasi tanggal 27 Maret 2009.
8
Saat itu Kabupaten Bandung masih belum dimekarkan. Sejak 8 Januari
6
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 369
NU, Muhammadiyah, MUI, Mathlaul Anwar, Persatuan
Islam, Syarikat Islam, BKSG, PGIS, dan lain-lain untuk
mengajukan calon anggota FKUB Kab. Bandung. Setelah
inisiatif tersebut, Bupati Bandung mengundang ormasormas keagamaan tersebut menghadiri lokakarya pembentukan pengurus FKUB. Barulah dalam lokakarya yang
berlangsung pada 20 Desember 2006 itu, para tokoh agama mulai lebih banyak terlibat dalam pembahasan berbagai
hal menyangkut FKUB, dan pada tanggal 9 Januari 2007
Bupati Bandung melalui SK Bupati No. 220/Kep. 26-Kesbanglinmas/2007 melantik dan meresmikan berdirinya
FKUB Kab. Bandung Periode 2007-2010.9
Minimnya inisiatif dari umat beragama atau tokoh
agama dalam pembentukan FKUB juga terjadi di Kota Depok. Peran sentral pembentukan FKUB di Depok diambil
oleh Pemda Kota Depok yang mengundang para tokoh
berbagai agama dan ormas keagamaan yang ada di Depok
seperti NU, Muhammadiyah, PGIS, MUI, perwakilan Katolik, Hindu dan Buddha untuk menghadiri Musyawarah
Kota (Muskot) bulan Februari 2007. Pada Muskot inilah
kemudian ormas-ormas keagamaan yang diundang mulai
memperlihatkan perhatiannya dan merasa perlu membentuk
FKUB. Pada Muskot ini, wakil dari enam agama (Islam,
Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu)
menetapkan perwakilan masing-masing yang akan duduk di
FKUB Depok. Dari hasil Muskot inilah, pada tanggal 16
2008, kabupaten ini telah dimekarkan menjadi Kab. Bandung dan Kab.
Bandung Barat.
9
Dirangkum dari wawancara dengan Ketua FKUB Kab. Bandung, KH
Saifudin Kamil, Wakil Ketua FKUB Kab. Bandung Usep Dedi (05 Mei 2009),
anggota FKUB Kab. Bandung Yudi Wildan (04 Mei 2009) dan anggota FKUB
Kab. Bandung Maladi Dani (04 Mei 2009).
370 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Maret 2007, Walikota Depok melantik kepengurusan
FKUB Depok melalui SK Nomor: 821.29/16/Kpts./KESBANG dan LINMAS/Huk/2007.10
2. Kisruh Soal Representasi
Selain minimnya inisiatif masyarakat dalam proses
awal pembentukan FKUB baik di Kab. Bandung maupun
Depok, dinamika internal umat beragama sendiri ketika
pembentukannya juga kurang kondusif. Keadaan ini terkait
dengan pertanyaan: bagaimana para anggota dipilih? Berapa
komposisi masing-masing agama? Siapa saja yang berhak
duduk di dalamnya? Para perwakilan agama-agama tidak
memiliki pegangan yuridis yang seragam dan tegas mengenai berbagai persoalan tersebut karena PBM sendiri hanya
memberi batasan bahwa pembentukan FKUB dilakukan
melalui musyawarah (pasal 8) dan keanggotaan terdiri atas
pemuka-pemuka agama setempat (pasal 10). Di Depok
misalnya, Muskot berlangsung alot karena terjadi ketegangan di antara para pemuka agama. Perwakilan nonmuslim
Lodewijk Gultom mempertanyakan ormas Islam mana yang
akan merepresentasikan Islam di FKUB Depok, karena
salah satu ormas Islam yakni FPI juga ingin anggotanya
masuk.
“Penentuan itu alot, dan ternyata ormas-ormas Islam di
Depok mendesak FPI masuk jadi salah satu anggota. Rapat
juga alot karena mereka (Islam) ngotot hanya boleh seorang
untuk masing-masing agama di luar muslim.”11
Dirangkum dari wawancara dengan Ketua FKUB Depok Farid Hadjiri
(13 Mei 2009) dan anggota FKUB Depok Pdt. Lodewijk Gultom (09 Mei
2009).
11
Wawancara Pdt. Lodewijk Gultom, 09 Mei 2009.
10
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 371
Akhirnya musyawarah tersebut tetap memutuskan
anggota FPI masuk menjadi salah satu perwakilan umat
Islam di FKUB Depok, bahkan kemudian terpilih menjadi
sekretaris FKUB. Dari 17 anggota FKUB Depok, jumlah
perwakilan agama-agama menjadi Islam (11 orang), Protestan (dua orang), Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu
(masing-masing seorang).
Demikian halnya di FKUB Kab. Bandung, meskipun
tidak terjadi ketegangan seperti di Depok, perwakilan umat
Islam tetap saja berasal dari berbagai ormas keagamaan
yang ada di Kab. Bandung. Pemkab Bandung juga tidak
memiliki acuan yang jelas soal representasi umat Islam ini,
sehingga dari umat Islam diundang ormas-ormas yang cukup besar seperti MUI, NU, SI dan MA, sementara ormasormas keislaman lain seperti yang ada pada sub 3 tulisan
ini tidak diundang, padahal sebagian mereka juga memiliki
cabang di Kab. Bandung.
Tidak hanya representasi umat Islam, perwakilan dari
agama-agama lain juga tidak memiliki aturan hukum yang
jelas mengenai organisasi keagamaan apa yang akan mewakili masing-masing agama, meskipun pada umumnya tidak
terjadi perdebatan yang alot di antara mereka. Ketidakjelasan ini disebabkan belum adanya peraturan Gubernur Jawa
Barat tentang pedoman pembentukan FKUB di Jawa Barat
sebagaimana diamanatkan PBM (Pasal 12). Pasal ini
menyatakan:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai FKUB dan Dewan Penasehat
FKUB provinsi dan kabupaten /kota diatur dengan Peraturan
Gubernur”.
Di tingkat provinsi Jawa Barat memang ada Peraturan
Gubernur No. 7 tahun 2007 tentang FKUB di Jawa Barat.
372 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Peraturan ini hanya mengatur FKUB Provinsi, tidak mengatur representasi masing-masing agama di FKUB kabupaten/kota dan hanya mengulang klausul-klausul yang ada
dalam PBM. Tidak adanya peraturan Gubernur Jawa Barat
tentang FKUB ini mengakibatkan baik Bupati Bandung
maupun Walikota Depok hanya mengacu pada PBM dengan penafsiran kontekstual daerah masing-masing.
F. Problem-problem dalam Realisasi Program
1. Ke Dalam
FKUB adalah tempat dimusyawarahkannya berbagai
masalah keagamaan lokal dan dicarikan jalan keluarnya.12
Untuk mencapai tujuan tersebut tentu akan ditentukan
oleh sejauhmana visi kerukunan para anggotanya mampu
menjadikan sekat-sekat perbedaan yang ada sebagai jembatan untuk mencapai keputusan bersama yang adil. Adil di
sini berarti bahwa setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama, memiliki posisi yang setara, inilah sesungguhnya makna kerukunan.13 Namun yang terjadi, visi kerukunan di antara anggota FKUB belum seragam sehingga
berimplikasi pada proses pengambilan keputusan yang bias
terhadap mayoritas.
Di FKUB Depok, pola pengambilan keputusan selain
melalui musyawarah juga dengan menggunakan voting. Cara
pengambilan keputusan semacam ini pernah menjadi perdebatan di antara mereka karena menganggap tidak mencerminkan kerukunan. Lodewijk Gultom mengatakan:
12
13
Sambutan Menteri Agama, Jakarta, 17 April 2006.
Wawancara Pdt. Lodewijk Gultom, 09 Mei 2009.
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 373
“Di PBM itu rumusannya tidak mungkin voting. Karena
FKUB ini adalah forum kerukunan umat, yang kita bicarakan di sana kerukunan, kalau tidak bisa musyawarah akan
di pending. Sebab apa? Inilah makna kerukunan, harus ada
kesetaraan di situ. Nah saya lihat waktu dibikin juklak
juknis FKUB, mereka (Islam) memaksakan kalau tidak
dapat musyawarah kita ambil voting. Itu yang sudah mulai
tercederai lalu saya tidak ikut ambil bagian.”
Lodewijk tidak setuju dengan voting, karena bagaimana mungkin melakukan voting apabila jumlah perwakilan
masing-masing agama sangat tidak seimbang, Yang ada menurutnya adalah tirani mayoritas terhadap minoritas. Ia
sendiri mengaku tidak ikut ambil bagian dalam penetapan
voting tersebut, meskipun cara itu akhirnya disepakati.
Sistem voting ini hingga hari ini belum pernah digunakan,
karena selalu bisa diselesaikan dengan musyawarah. Namun
bagi Lodewijk, bukan tidak mungkin satu saat cara itu akan
dipakai manakala terjadi deadlock dalam musyawarah.
Lain halnya di FKUB Kab. Bandung. Maladi menceritakan, pola pengambilan keputusan di FKUB Kab. Bandung
cenderung sentralistik, karena hanya melibatkan beberapa
pengurus inti seperti ketua, wakil dan sekretaris. Ia mencontohkan, dalam hal penentuan tim survei lokasi tempat
ibadah yang mengajukan rekomendasi lebih banyak di tangan ketua, wakil dan sekretaris. Hal itu misalnya ia rasakan karena jarang sekali masuk tim survei ke lapangan.
“Ketika survei ke satu tempat ibadah Kristen, FKUB yang
dari Kristen tidak selalu dilibatkan. Pernah satu kali FKKI
menanyakan hal itu kepada anggota FKUB yang melakukan
survei, namun anggota-anggota FKUB yang turun survei
memberi alasan macam-macam.”14
Wawancara dengan Anggota FKUB Kab. Bandung Maladi Dani, 04
Mei 2009.
14
374 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Hal ini menurutnya sangat mengganggu hubungan
masing-masing anggota. Tidak hanya dirinya yang merasakan hal tersebut, Wakil Bupati sebagai Ketua Dewan Penasehat FKUB pernah juga menyuarakan masalah tersebut
dan meminta agar lebih banyak melibatkan anggota-anggota
yang lain, namun menurut Maladi tidak ada perubahan
yang berarti. Ia sendiri mengaku hanya sekali diajak survei,
waktu itu ke GII Taman Rahayu.
Masih adanya bias mayoritas ini disebabkan cara pandang sebagian anggota FKUB bahwa keberadaan mereka di
forum ini untuk mempertahankan akidah masing-masing.
Hal ini tentu tidak nyambung dengan tujuan FKUB untuk
membangun dan meningkatkan kualitas kebersamaan, membangun dan bertumbuh bersama..15 Selain itu, soal kerukunan juga masih jadi perdebatan internal. Di FKUB Depok,
sebagian menginginkan kerukunan itu adalah kesediaan
untuk saling mengakui dan saling menerima, sementara
yang lain tidak mau kerukunan itu disama-samakan karena
masing-masing agama punya prinsip sendiri-sendiri. Salah
seorang anggota misalnya mengatakan:
“Saya tidak suka misalnya kerukunan dipaksakan, misalnya
kegiatan doa bersama, apa harus begitu. Terus Natal bersama. Itu tidak usah. Kita kan punya aturan masingmasing.”16
Di internal FKUB Kab. Bandung juga mengalami hal
yang sama. Bahkan visi kerukunan di sini telah mengalami
penyempitan makna hanya menyangkut soal pendirian
rumah ibadah. Kerukunan bagi salah satu anggota telah
15
16
Pendapat Pdt. Lodewijk Gultom, 09 Mei 2009.
Wawancara dengan F. (13/05/2009).
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 375
tercipta manakala tidak ada yang mempermasalahkan keberadaan suatu rumah ibadah.17 Padahal menurut salah saorang
anggota lainnya, kerukunan seperti itu adalah kerukunan
semu, dimana karena satu tempat ibadah tidak ada yang
mempermasalahkan, seakan-akan masyarakat sudah rukun.
Menurutnya, ini menunjukkan bahwa masalah kerukunan
kurang dipahami oleh para anggota FKUB.
“Justru yang sering disinggung soal IMB saja. Jadi seolah
PBM ini hanya untuk IMB saja. Seperti halnya masjid yang
tidak ada izin. Karena dianggap tidak ada yang mempermasalahkan, maka seakan-akan rukun saja.”18
2. Keluar
Dalam PBM ditegaskan bahwa tugas FKUB meliputi
empat hal: pertama, tugas FKUB provinsi dan kabupaten/
kota adalah melakukan dialog dengan pemuka agama dan
tokoh masyarakat. Dialog dilakukan dalam berbagai bentuk,
baik berupa pertemuan formal seperti workshop, seminar;
ataupun berupa dialog informal seperti saat para anggota
FKUB berbaur berinteraksi dengan masyarakat. Kegiatan
dialog ini sejalan dengan tugas yang kedua, yakni menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat.
Berbagai aspirasi masyarakat dari hasil dialog itu kemudian
didiskusikan bersama anggota pengurus FKUB. Jika aspirasi
tersebut terkait dengan penyelesaian kasus tertentu, maka
FKUB dapat memberikan solusi atas permasalahan tersebut.
Jika aspirasi itu terkait dengan kebijakan pemerintah, maka
Wawancara anggota FKUB Kab. Bandung Yudi Wildan (04/05/
2009).
18
Wawancara dengan anggota FKUB Kab. Bandung Maladi Dani
(04/05/2009)
17
376 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
hal ini searah dengan tugas ketiga FKUB, yakni menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur atau
bupati/walikota. Tugas keempat adalah melakukan sosialisasi
peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang
keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. Tentu saja, yang pertama sekali adalah sosialisasi PBM No. 9 dan 8 tahun 2006
itu sendiri. Satu tugas lagi khusus untuk FKUB tingkat kabupaten/kota yakni memberikan rekomendasi tertulis atas
permohonan pendirian rumah ibadah.
Persoalan utama yang muncul dalam pelaksanaan tugas pokok ini baik di FKUB Kab. Bandung maupun Depok
adalah pemahaman sebagian besar anggota FKUB bahwa
tugas pokok FKUB adalah mengeluarkan rekomendasi pendirian rumah ibadah. Hal ini bukan berarti masalah kerukunan yang ada di wilayah tersebut hanya berkaitan dengan
pendirian rumah ibadah, tetapi juga masalah-masalah lain
seperti soal menguatnya radikalisme kelompok agama tertentu atau meluasnya problem sosial seperti kemiskinan
dan kebodohan yang dapat menjadi sumber utama sikap tidak toleran terhadap keyakinan orang lain. Dengan pemahaman seperti ini, seolah parameter keberhasilan tugas
FKUB Kab. Bandung adalah semakin banyaknya rekomendasi tempat ibadah yang dikeluarkan dan semakin berkurangnya tekanan terhadap keberadaan rumah ibadah.19
Atau seperti dikatakan Wakil Ketua FKUB Kab.
Bandung, Usep Dedi:
19
2009.
Wawancara Anggota FKUB Kab. Bandung Yudi Wildan, 04 Mei
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 377
“Nampaknya juknis (petunjuk teknis) FKUB dari (pemerintah) pusat sendiri dan saya melihat latar belakang dibentuknya FKUB kaarena banyak gangguan terhadap tempat
ibadah. Dan kalau kita lihat PBM, di situ banyak mengatur.
Sementara kami pengurus FKUB Kab. Bandung, acuannya
itu.”
Di FKUB Depok, pemahaman terhadap tugas FKUB
pun tidak jauh berbeda. Bahkan tolak ukur keberhasilan program FKUB Depok adalah seberapa banyak mereka mengeluarkan rekomendasi tempat ibadah. Farid menegaskan:
“Tugas pokok kita adalah membantu walikota dalam masalah kerukunan. Khususnya masalah-masalah memberikan
rekomendasi tentang tempat ibadah. (Jadi) kita melaksanakan tugas yang masuk saja, memberikan rekomendasi ya
sudah”.
Lalu, bagaimana dengan tugas yang lain seperti dialog, menampung aspirasi dan melakukan sosialisasi? Tugastugas ini memang dilaksanakan semuanya. Di Kab. Bandung
misalnya, dialog dan menampung aspirasi dilaksanakan
bersamaan hanya tiga kali, dari jumlah itu hanya sekali
yang diadakan FKUB, sisanya diadakan umat beragama
sendiri mengundang FKUB Kab. Bandung sebagai narasumber. Sementara menyalurkan aspirasi kepada Pemerintah
Kab. Bandung, dilaksanakan sekali sebulan. Namun selama
enam bulan terakhir (sejak September 2008) tidak lagi
dilaksanakan.20
Sementara di Depok sudah dilaksanakan dialog dan
menampung aspirasi di enam kecamatan yang ada di DeKesimpulan dari wawancara dengan anggota FKUB Kab. Bandung
Maladi Dani (04 Mei 2009) dan Yudi Wildan (04 Mei 2009).
20
378 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
pok, namun FKUB hanya sebagai narasumber, sementara
yang melaksanakan pemda sendiri.21
Tantangan eksternal lain adalah sikap sebagian masyarakat yang tidak mau tunduk pada aturan-aturan yang ada
dalam PBM. Hal ini menjadi kesulitan tersendiri bagi
FKUB, karena sesering apapun sosialisasi dilakukan, hasilnya tetap sama, penolakan. Lodewijk Gultom memberi
contoh. Ketika FKUB Depok melakukan sosialisasi PBM di
Cinere, FPI salah satu ormas keagamaan di sana tidak mau
menerima berbagai prosedur pendirian rumah ibadah yang
dimuat dalam PBM, mereka tetap menolak rumah ibadah
umat lain berdiri di sana dengan alasan apapun. Karena
menurut mereka itu adalah wilayah mereka.
“Saya bilang ke mereka, negara ini negara hukum, kalau
dibilang ini wilayah kami, rujukannya itu kepada bukti otentik
kepemilikan.”
Toh, bantahan tersebut tidak mau didengar. Kenyataan
ini menurut Lodewijk sangat menghambat dialog, karena ada
satu pihak yang menutup diri terhadap pilihan-pilihan solusi
dan hanya memaksakan kehendak mereka.
G. Netralitas dan Independensi FKUB
1. Respon terhadap Konflik Rumah Ibadah Pencabutan
IMB HKBP Cinere
Pada 27 Maret 2009 lalu, Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor
645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tentang Pencabutan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) Tempat Ibadah dan Gedung
Serbaguna atas nama HKBP Pangkalan Jati di Jalan Puri
21
Wawancara dengan Ketua FKUB Depok Farid Hadjiri, 13 Mei 2009.
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 379
Pesanggrahan IV Kav. NT-24 Kelurahan Cinere, Limo,
Depok (HKBP Cinere). IMB yang dicabut ini adalah IMB
yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Bogor dengan
Nomor 453.2/229/TKB/1998 tanggal 13 Juni 1998.
Alasan walikota mencabut IMB HKBP Cinere sebagaimana tertuang dalam SK tersebut antara lain: bahwa sejak
keluarnya IMB hingga saat ini, pembangunan gereja dan
gedung serbaguna tidak dapat terealisasi karena adanya
penolakan dari masyarakat sekitar lokasi yang tergabung
dalam Forum Solidaritas Umat muslim Cinere, Pondok
Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Meruyung, Gandul, Limo
yang ditandai dengan terjadinya beberapa kali konflik di lapangan pada saat pembangunan dilaksanakan. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, Pemda Depok pada 8
Juli 2000 pernah mengeluarkan surat penghentian kegiatan
pembangunan sementara kepada panitia pembangunan, namun tidak diindahkan pihak panitia. Fakta ini yang menurut walikota telah menyulut penolakan dari Forum Umat
muslim di atas dengan mengirim surat penolakan kepada
walikota pada 19 Februari 2009.
Sebagai kepala daerah yang diamanatkan Undang
Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
Nur Mahmudi merasa berkewajiban menjaga ketenteraman
dan ketertiban masyarakat. Karena itu, untuk menghindari
konflik di lapangan, berdasar pasal 27 undang-undang tersebut yang diubah menjadi UU No. 12/2008, Rekomendasi Kantor Departemen Agama Depok (9 Juni 2008) dan
Rekomendasi FKUB Depok (2 Juni 2008). Dan cara untuk
menjaga ketenteraman dan ketertiban tersebut adalah
dengan mencabut IMB HKBP Cinere.22
22
2009
Dirangkum dari SK Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail, 27 Maret
380 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Dengan keluarnya pencabutan ini, praktis HKBP
Cinere tidak memiliki landasan hukum untuk meneruskan
pembangunan gereja. Apalagi di dalam SK Walikota tersebut, tidak diberikan satu jalan keluar bagi persoalan yang
dihadapi HKBP Cinere.
HKBP Cinere (Pangkalan Jati) sendiri berdiri sejak
1978 dengan jumlah ruas (jemaat) sekitar 25 KK, mengadakan kebaktian Minggu di rumah salah satu ruas. Tiga bulan
kemudian sampai sekarang, ruas ini menumpang di gereja
Bahtera Allah Kompleks TNI AL Pangkalan Jati, Pondok
Labu. Seiring waktu, ruas ini terus berkambang dan per
Juni 2008 telah menjadi 281 KK (tidak kurang 1020 jiwa).
Dengan jumlah ruas yang sedemikian besar, pihak HKBP
merasa perlu memiliki gedung gereja sendiri berikut
fasilitas lain seperti gedung serba guna dan lainnya.
Karena itu, pada 30 Juni 1980, HKBP Cinere atas
nama HKBP Distrik VIII Jawa Kalimantan membeli tanah
seluas 5000 m2 kepada PT Urecon Utama. Pada 31
Agustus 1992 tanah tersebut dikukuhkan peruntukannya
untuk gereja. Setelah Panitia Pembangunan Gereja (PPG)
HKBP Pangkalan Jati memperoleh tanah untuk bangunan
gereja, maka dimulailah usaha-usaha pengurusan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) gereja kepada Pemda Tingkat
II Bogor. Karena gereja yang akan dibangun terletak di
lokasi PT. Bukit Cinere Indah, maka permohonan IMB
kepada Pemda Tingkat II Bogor diajukan melalui PT. Bukit
Cinere Indah. Permohonan IMB selalu dikembalikan,
karena ada persyaratan yang harus dilengkapi, antara lain
harus ada persyaratan dari warga masyarakat setempat. Seharusnya persetujuan warga itu tidak perlu karena gereja
yang akan dibangun terletak di lokasi Pengembang (developer) dan tanahnya pun masih kosong, serta bangunan di
sekitarnya belum ada.
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 381
Setelah kurang lebih 10 (sepuluh) tahun, yakni pada
tanggal 13 Juni 1998 Pemda Tingkat II Bogor mengeluarkan IMB No.453.2/229.TKB/1998, tentang Izin Mendirikan Bangunan Tempat Ibadah dan Gedung Serba Guna.
Bahwa IMB tersebut dikeluarkan Pemda Tingkat II Bogor
setelah mempertimbangkan semua persyaratan administrasi
yang diperlukan termasuk surat pernyataan persetujuan
warga masyarakat setempat, selain itu sebelum IMB dikeluarkan lokasi tanah gereja pun ditinjau dua kali oleh
sebuah tim dari dinas/kantor terkait di lingkungan Pemda
Tingkat II Bogor, yakni pada 18 Januari 1982 dan 17 April
1996.23 Dan sejak 24 Oktober 1998, dimulailah pembangunan gereja.
Pada Mei 1999, sekelompok masyarakat melakukan
aksi protes penghentian pengerjaan pembangunan sambil
menggelar spanduk, menuntut pemda setempat membatalkan IMB.24 Karena situasi memanas maka Walikota Depok
pada saat itu, Badrul Kamal, memutuskan untuk menghentikan sementara pembangunan gereja. Penundaan tersebut berjalan terus-menerus tanpa adanya penyelesaian yang
jelas. Oleh karena itu, pada Oktober 2007 pihak Panitia
Pembangunan Gereja berupaya untuk melanjutkan pembangunan gereja.25
Pada 21 Oktober 2007, PPG dibentuk kembali untuk
meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat, tokoh agama
dan ormas keagamaan setempat, termasuk kepada FKUB
Depok ketika mengadakan sosialisasi PBM di sana pada 15
23
24
“Riwayat Berdirinya Gereja”, http://hkbpcinere.tripod.com/
Dirangkum dari Proposal Pembangunan Gereja HKBP Cinere, Juli
2008
25
“Umat Kristiani Diminta Memahami Pencabutan Izin Gereja HKBP”,
http://kompas.com, Rabu, 29 April 2009.
382 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Januari 2008. Bahkan setelah itu, Camat Limo menegaskan
bahwa IMB HKBP sah dan tetap berlaku. Karena itu,
pembangunan kemudian dilanjutkan. Namun pada 28 Januari 2009, Lurah Cinere memerintahkan penghentian proses
pembangunan karena adanya protes dari masyarakat Limo,
dan pembangunan pun dihentikan untuk kedua kalinya.
Akan halnya upaya sebelumnya, PPG kembali melakukan sosialisasi, meminta dukungan tokoh agama dan
berkonsultasi dengan FKUB Depok. Pada bulan Juli 2008,
proses pembangunan gereja dilanjutkan.26 Namun pada 12
Oktober 2008, sekitar 50 warga mendatangi tempat pembangunan gereja dan menyerang 24 buruh bangunan. Para
buruh itu tengah beristirahat di mess buruh bangunan yang
disediakan di lokasi gereja. Para buruh berlari menyelamatkan diri dengan meninggalkan lokasi gereja. Penyerangan
baru berhenti saat anggota Polsek Cinere datang mengamankan lokasi.27 Selain peristiwa tersebut pada 26 Oktober 2008 sekitar seribu lebih warga Villa Mutiara Cinere,
dan Kecamatan Limo, melakukan istighasah dalam rangka
menolak pembangunan gereja. Menurut Budi, salah seorang
panitia, penolakan terjadi karena proses pembangunan gereja itu dianggap kurang jujur, tanda tangan 90 jemaat dan
60 warga, yang menyetujui kehadiran gereja tersebut, tidak
benar alias palsu.28 Selain itu, nama warga yang tercantum
dalam izin lingkungan yang diberikan pihak panitia pembangunan gereja untuk mendapatkan IMB sebagian besar
ilegal atau palsu.29
Proposal Pembangunan Gereja HKBP Cinere, Juli 2008
“Warga Serang Pembangunan Gereja HKBP Cinere”, Sinar Harapan,
Senin, 13 Oktober 2008
28
“Istighosah Tolak Gereja”, www.reformata.com, 27 Oktober 2008
29
“Nama Warga Dicatut, Gereja HKBP Diminta Tutup”, http://dakta.com,
26
27
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 383
Berbagai kejadian di atas dijadikan alasan oleh Nur
Mahmudi untuk mencabut IMB Gereja HKBP Cinere.
Menurutnya, HKBP Cinere tidak memiliki izin lingkungan,
bahkan ditolak dan selalu menimbulkan konflik di lapangan.30 Apa yang dikatakan Nur Mahmudi ini dibantah Ketua
PPG HKBP Cinere dan menganggapnya mengada-ada. Selain itu tindakan pencabutan IMB tersebut ia anggap tidak
sesuai prosedur karena tidak transparan dan sewenang-wenang. Pasalnya, beberapa kali (14 Januari 2008, 4 Agustus
2009 dan 2 Febuari 2009 dan upaya yang terakhir tanggal
24 Maret 2009) pihak HKBP telah mengajukan surat kepada walikota untuk berdialog namun tidak ditanggapi.31
Berangkat dari ketidakpuasan ini, HKBP Cinere menempuh
jalur hukum, dan pada 6 Mei 2009, melayangkan gugatan
terhadap Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail ke Pangadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Bandung.32
Dalam kasus pencabutan IMB Gereja HKBP Cinere,
pihak yang paling dominan perannya dalam kasus ini adalah
Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail. Nur Mahmudi
mengeluarkan SK pencabutan pada 27 Maret 2009 dengan
mencantumkan alasan-alasan sebagaimana dijelaskan di atas.
Dalam satu kesempatan ia menyatakan bahwa izin gereja
HKBP Cinere bermasalah dan tidak valid33, sama seperti
yang disuarakan oleh warga Cinere, yang tergabung dalam
Selasa, 28 Oktober 2008.
30
“IMB Gereja HKBP Cinere Tetap Dicabut”, Republika Newsroom, Senin,
04 Mei 2009
31
“Wali Kota Depok Cabut IMB Gereja”, Republika Newsroom, 30 April
2009
32
“HKBP Gugat Wali Kota Depok”, Koran Tempo, Kamis, 7 Mei 2009
33
“IMB Gereja HKBP Depok Dicabut”, www.kompas.com, Rabu, 29 april
2009
384 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Forum Masyarakat muslim se-Depok yang mensinyalir
nama-nama warga yang mendukung pembangunan gereja
fiktif. Koordinator warga muslim, Dodi KH misalnya
mengatakan:
‘’Dari nama-nama yang tercantum dalam izin lingkungan
paling hanya segelintir orang yang benar-benar warga dekat
lingkungan pembangunan gereja. Sementara itu, sisanya
adalah data warga yang tidak jelas alamatnya.”34
Klaim warga muslim ini nampaknya sejalan dengan
pandangan Nur Mahmudi sendiri yang menganggap IMB
HKBP Cinere bermasalah. Ia juga mengklaim proses pencabutan dilakukan dengan sangat hati-hati. Misalnya sebelum pencabutan, ia berkonsultasi terlebih dahulu dengan
Bupati Bogor Rahmat Yasin dan Pakem setempat.35
Apa sesungguhnya maksud Nur Mahmudi menyatakan
IMB HKBP Cinere bermasalah? Apakah terkait dengan substansi IMB atau pencatutan nama-nama warga yang tidak
valid atau berkaitan dengan hal lain, Nur Mahmudi tidak
menjelaskan lebih jauh. Apabila terkait yang pertama, salah
satu pasal dalam IMB yang dikeluarkan Pemkab Bogor
pada 13 Juni 1998 dinyatakan: apabila dalam waktu 6 bulan surat izin dikeluarkan tidak ada kegiatan pembangunan,
maka IMB tersebut tidak berlaku lagi. Namun jika menghitung rentang waktu keluarnya IMB (13 Juni) dengan
pembangunan dimulai (24 Oktober 1998), maka IMB tersebut tidak bermasalah.
34
“Nama Warga Di Catut, Gereja HKBP Di Minta Tutup”, http://dakta.
com, Selasa, 28 Oktober 2008)
35
“Umat Kristiani Dminta Memahami Pencabutan Izin Gereja HKBP”,
www.kompas.com, Rabu, 29 april 2009.
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 385
Namun, jika terkait dengan klaim pencatutan namanama warga, maka Nur Mahmudi hanya berdasar pada
pandangan satu pihak yakni umat muslim yang keberatan.
Sementara dari pihak HKBP, tidak dipertimbangkan. Salah
seorang anggota DPRD Kota Depok Ritandiono juga mempermasalahkan SK Walikota tanpa mempertimbangkan pandangan pihak HKBP sendiri. Mencabut IMB dengan alasan
sepihak adalah tindakan yang sangat ceroboh, bahkan mengganggu kerukunan umat beragama di Indonesia.36
Persekutuan Gereja-Gereja se-Indonesia Setempat
(PGIS) Depok menyimpulkan bahwa alasan utama Nurmahmudi mencabut IMB adalah desakan sepihak umat muslim
Cinere dan bukan karena alasan hukum yang jelas. Dengan
tindakannya tersebut, PGIS menilai Nur Mahmudi telah
melanggar prosedur yang ditetapkan dalam PBM.37 Dalam
surat PGIS yang ditujukan kepada Nur Mahmudi
dikatakan:
“Jika mengacu kepada Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Dalam Negeri Tahun 2006 dalam ketentuan pasal 21,
maka sebelum terjadinya pencabutan IMB dan apabila
dianggap ada perselisihan seharusnya dilakukan terlebih
dulu musyawarah baik dengan masyarakat setempat maupun
bersama walikota maupun instansi terkait.”
Dalam PBM, ada kewajiban bagi pemda untuk memfasilitasi umat beragama untuk memperoleh tempat ibadah
apabila mendapat penolakan seperti yang dialami HKBP
Cinere. Maksud dari memfasilitasi ini adalah relokasi dan
“Cabut IMB HKBP, Nur Mahmudi Menuai Kritik”, Media Indonesia, 4
Mei 2009
37
“Diprotes, Pencabutan IMB HKBP Cinere Alasan Pemkot Tidak Logis”,
Suara Pembaruan, 28 April 2009.
36
386 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
jaminan perizinan dari pihak pemda di lokasi yang baru.
Namun, hal ini dipahami berbeda oleh walikota. Nur Mahmudi mempersilakan agar pihak gereja HKBP merelokasi
tempatnya asal memenuhi persyaratan yang berlaku.38 Ini
berarti pihak HKBP harus mengurus perizinan mulai dari
awal, yang mana tidak ada jaminan tidak ditolak kembali.
Lalu bagaimana sikap FKUB Depok sendiri terhadap
keluarnya SK Walikota tersebut? Ada dua sikap yang berkembang. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa tindakan pencabutan IMB adalah bentuk sikap arogan pemerintah menggunakan kekuasaan. Mencabut izin tidak
semudah yang dibayangkan, karena ada aturannya. Namun
hal itu tidak dipenuhi oleh Nur Mahmudi.39 Sementara
pendapat kedua menyatakan bahwa tindakan walikota mencabut IMB sudah berjalan pada trek yang benar, artinya
secara prosedur pencabutan tersebut sudah sesuai dengan
aturan. Misalnya sudah mempertimbangkan masukan (rekomendasi) dari Kantor Departemen Agama Depok dan
FKUB. Selain itu, menurut pendapat ini, walikota juga
mengakomodir aspirasi umat Islam yang menolak keberadaan gereja.40
Pada 2 Juni 2008 lalu, FKUB Depok mengeluarkan
rekomendasi permohonan IMB Gereja HKBP Cinere.
Dalam surat rekomendasi ini, FKUB menyebut soal adanya
penolakan dari umat muslim Cinere, lalu surat penghentian
sementara pembangunan dari Walikota Depok terdahulu,
kemudian hasil investigasi FKUB ke lokasi dan hasil rapat
pleno khusus FKUB. Memperhatikan berbagai hal tersebut,
“IMB Gereja HKBP Cinere Tetap Dicabut”, Republika Newsroom, Senin,
04 Mei 2009.
39
Wawancara Pdt. Lodewijk Gultom, 09 Mei 2009.
40
Wawancara dengan Ketua FKUB Depok Farid Hadjiri, 13 Mei 2009
38
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 387
FKUB meminta Walikota Depok untuk melakukan pendekatan kepada pihak-pihak terkait dengan semangat kekeluargaan. Di sini tidak ada satupun yang merekomendasikan
agar walikota segera menerbitan IMB.
Menurut Lodewijk Gultom, rekomendasi ini memang
bersifat netral dan tidak ada kaitannya dengan IMB, apalagi
meminta mencabut IMB. Namun bagi Farid Hadjiri, rekomendasi ini memang menyerahkan solusi penyelesaian
kasus HKBP Cinere di tangan Walikota sampai final. Apapun hasilnya, FKUB tidak lagi berwenang melakukan intervensi. Namun bagi Lodewijk, pemahaman terakhir ini
justru tidak mencerminkan tujuan FKUB membangun kerukunan. Lodewijk mengatakan:
“Karena kita di FKUB adalah forum membangun kerukunan, jadi kalau ada yang tidak rukun akibat perbuatan
kita, berarti kita gagal. Seharusnya produk FKUB itu
mendorong kepada proses terjadinya kerukunan.”
Dua pendapat ini nampaknya bermuara dari ketidaktegasan rekomendasi FKUB Depok sendiri yang mengakibatkan munculnya berbagai penafsiran dari dalam. Satu
pendapat menganggap tugas FKUB hanya sebatas member
rekomendasi, sementara yang lain menganggap FKUB harus
punya tanggungjawab terhadap implikasi rekomendasi yang
dikeluarkan.
2. Penolakan Gereja-gereja di Kab. Bandung
Setelah terbitnya PBM, di Kabupaten Bandung telah
terjadi sejumlah kasus penyerangan dan penolakan tempat
ibadah, khususnya gereja. Dalam tulisan ini akan diungkap
beberapa kasus yang memiliki pola kasus hampir mirip.
388 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Beberapa kasus tersebut adalah: kasus desakan penutupan
Gereja Bethel Pentakosta Indonesia (GBPI) Pesawahan,
Dayeuhkolot, kasus pembubaran paksa jemaat Geraja
Bethel Indonesia (GBI) Majalaya dan kasus perusakan dan
penganiayaan terhadap rumah Pendeta Robby Eliza yang
digunakan sebagai tempat ibadah oleh Gereja Sidang Jemaat
Allah (GSJA) di Perumahan Umum Gading Tutuka Cingcin, Ketapang.
Kasus pertama yang menimpa GBPI Dayeuhkolot
yang berlokasi di Jalan Cibiuk Kapling No. 2 Desa Pesawahan terjadi pada Minggu 11 Januari 2009. Kasus ini bermula dari kedatangan massa dari Divisi Anti Pemurtadan
(DAP) Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) yang berjumlah 200 orang. Mereka melakukan demonstrasi dan mendesak GBPI Dayeuhkolot segera ditutup. Tidak hanya itu,
Pihak Gereja juga dipaksa menandatangani surat berisi
penutupan gereja yang akan dilakukan dalam waktu 7X24
Jam. Turut hadir dalam kejadian tersebut Muspika dan
aparat keamanan yang ikut menyaksikan serta melakukan
pengamanan. Guna mencari pemecahan dari kasus tersebut,
telah diadakan rapat yang bertempat di kantor Kecamatan
Dayeuhkolot Kab. Bandung pada 12 Januari 2009, pukul
14.00.41
Desakan penutupan tempat ibadah ini dilakukan DAP
karena gereja yang dipimpin Pdt. Ev. Jamanarik Nainggolan
ini dianggap tidak memiliki izin legal serta dugaan penggunaan rumah tinggal sebagai tempat ibadah. Selain dugaan
tersebut, gereja yang mulai kegiatan pada tahun 1990 ini
diduga melakukan pemurtadan terhadap warga di Cibiuk.
41
http://fkki-jabar.blogspot.com, Rabu, 21 Januari 2009.
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 389
Karena itu warga mendesak agar pemerintah menertibkan
gereja tersebut.42
Kasus kedua, pembubaran paksa jemaat Geraja Bethel
Indonesia (GBI) Majalaya terjadi pada 11 Februari 2007.
Penyerbuan gereja yang berlokasi di Kampung Waruspangka, Desa Padawulan, Kecamatan Majalaya ini dilakukan
oleh 50 orang juga dari DAP FUUI. Mereka mempersoalkan pemanfaatan rumah untuk tempat ibadah. Ketika penyerbuan berlangsung, puluhan anggota jemaat dari GBI
tersebut sedang beribadah. Menurut pimpinan jemaat GBI,
Alner Mbaloto, warga memprotes dan menganggap kegiatan GBI melanggar PBM tentang syarat pendirian tempat
ibadah itu. Bagi Alner, hal ini terpaksa dilakukan karena
izin membangun tempat ibadah tak kunjung diberikan, baik
oleh pemerintah maupun persetujuan warga setempat.
Kepala Kepolisian Sektor Majalaya Ajun Komisaris
Irfan Nugraha menjelaskan, kegiatan peribadatan di rumah
itu sudah berlangsung lama. Awalnya warga sekitar mengizinkan, tapi belakangan pengurus RW dan Dewan Keluarga Masjid (DKM) setempat berkeberatan. Irfan menambahkan, Koordinator DAP Suryana Nur Fatwa mengatakan
jika kelompoknya hanya ingin menegakkan aturan berdasarkan Peraturan Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 bahwa pendirian rumah ibadah minimal memiliki 90 anggota jemaat dari
warga setempat. Namun nyatannya rumah ibadah itu hanya
dipakai oleh tiga keluarga, sehingga mendorong penyerbuan tersebut.43
Kasus ketiga terjadi pada 15 Juni 2007 yakni penyerbuan, perusakan dan penganiayaan terhadap rumah Pendeta
http://antipemurtadan.wordpress.com, 14 Februari, 2009.
“Menata Dakwah Islam yang Toleran”, http://www.cmm.or.id, 7-Maret
2007.
42
43
390 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Robby Eliza yang digunakan sebagai tempat ibadah di
Kompleks Gading Tutuka I Blok F1 No. 12 A, Desa Cingcin, Kecamatan Ketapang. Robby Eliza, pimpinan Gereja
Sidang Jemaat Allah (GSJA) tersebut, mengatakan bahwa
ada sekitar 100 umat non-Kristen yang menyerang tempat
mereka tatkala ibadah Minggu sedang berlangsung. Menurut keterangannya, istrinya sendiri mengalami pemukulan,
sementara empat mosaik kaca bergambar Yesus telah hancur. Penyerbuan ini dilakukan oleh Badan Anti Pemurtadan
(BAP).
Menurut Eliza, gereja yang dikelolanya sangat kecil
dan hanya terdiri dari kongregasi 20 orang dewasa, 40 remaja dan anak-anak. Gereja terdekat ada di kota yang terlalu jauh letaknya, sementara umat di sana perlu tempat
untuk beribadah.
Penyelesaian kasus tersebut melalui musyawarah dilakukan di kantor Kecamatan Ketapang pada 14 Juni namun
menemui jalan buntu. Bahkan, mereka yang menolak mendesak dan menekan agar Eliza menandatangani kesepakatan
yang intinya menghentikan kegiatan keagamaan selama belum mempunyai izin. Namun Eliza tidak mau menandatangani kesepakatan tersebut. Dan dia lebih meminta penyelesaian ditangani oleh Pemkab Bandung, dalam hal ini
Bupati Bandung. Dan penyelesaian ini diselesaikan secara
hukum.
Ketiga kasus tersebut muncul dari masalah izin yang
tidak dimiliki ketiga gereja yang menjadi korban yang menjadi alasan organisasi-orgsnisasi seperti DAP maupun BAP
melakukan aksi penyerangan. Seorang anggota DAP misalnya mengatakan:
“Kalau mereka mengantongi izin resmi, kami tidak masalah.
Seluruh gereja yang resmi tidak kami persoalkan. Yang
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 391
kami persoalkan adalah rumah yang dijadikan gereja. Karena kami anggap itu gereja illegal.”44
Bagaimana sikap FKUB Kab. Bandung sendiri, apakah
mereka juga punya sikap yang sama dengan DAP? FKUB
Kab. Bandung melihat bahwa munculnya penolakan terhadap keberadaan rumah ibadah di Kabupaten Bandung disebabkan adanya kelompok di masyarakat yang melihat rumah ibadah bersangkutan tidak memenuhi persyaratan
mendirikan rumah ibadah. Bagi FKUB, sikap sebagian
masyarakat ini sah-sah saja karena mereka punya alasan
yang kuat, seperti penggunaan rumah tinggal sebagi tempat
ibadah.
“Walaupun alasannya macem-macem, misalnya arisan, tetapi
dengan nyanyi-nyanyi sehingga tetangga-tetangga juga kaget.
Itu yang jadi permasalahan.”
Penyebab lain menurut FKUB adalah tradisi agama
khususnya Kristen Protestan yang sangat aktif mendirikan
rumah ibadah baru meskipun sudah ada gereja di lokasi
yang sama. Di Kabupaten Bandung, banyak kasus penutupan gereja Kristen Protestan karena pihak yang menutup
melihat sudah ada gereja Kristen Protestan di tempat
tersebut. 45
Dan penyebab yang paling mendasar adalah ketidaksiapan sebagian masyarakat menerima keyakinan berbeda
hadir di lingkungan mereka. “Jangankan beda agama, masih
44
“Rumah Jadi Tempat Ibadah Dibubarkan Paksa di Bandung”, www.detik.
com, Minggu, 11/02/2007.
45
Wawancara Yudi Wildan, anggota FKUB Kab. Bandung 4 Mei 2009
392 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
satu agama beda ormas saja kadang masih ada sedikit ganjalan” kata Usep Dedi, Wakil Ketua FKUB Kab. Bandung.
Menyikapi problem tersebut, FKUB Kab. Bandung
sendiri melihat aturan harus menjadi pegangan semua pihak
termasuk mereka yang tidak setuju terhadap satu rumah
ibadah. FKUB Kab. Bandung melihat umat Kristen yang
sering menjadi korban juga harus dilindungi karena hak-hak
mereka dijamiin undang-undang. Termasuk dalam memberikan rekomendasi kepada rumah ibadah yang ingin mengajukan IMB, FKUB Kab. Bandung berpegang pada aturan.
Apabila ada persyaratan yang tidak terpenuhi, FKUB tidak
akan mengeluarkan rekomendasi.
Pada kenyataannya, FKUB Kab. Bandung tidak selalu
berpegang pada aturan yang ada dalam PBM, karena lembaga ini juga kerap tidak mengeluarkan rekomendasi meskipun berbagai persyaratan sudah terpenuhi, seperti yang
dialami Gereja Bethel Tabernakel di Taman Kopo Indah 2
Margahayu. FKUB Kab. Bandung tidak mengeluarkan rekomendasi untuk gereja ini karena MUI dan Muspika setempat menolak izin gereja. Alasan FKUB, mereka tidak ingin
ketika mengeluarkan rekomendasi menjadi masalah di
kemudian hari. Usep Dedi mengatakan:
“Saran kami agar mereka sabar dulu daripada rekomendasi
keluar malah ibadah mereka terganggu. Sebab yang
membuat kami bingung, masyarakat mempersilahkan umat
ini beribadah tidak usah izin. Alasan mereka, selama ini
mereka kan tidak pernah diganggu, tapi kalau keluar surat
izin baru akan diganggu.”
Pernyataan Usep ini menunjukkan bahwa FKUB Kab.
Bandung tidak selalu perpegang pada aturan yang ada, pendapat tokoh-tokoh seperti MUI juga dipertimbangkan guna
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 393
memutuskan mengeluarkan atau tidak rekomendasi rumah
ibadah, seperti yang dialami GBT Margahayu di atas.
3. FKUB di Hadapan Pemerintah Daerah
Salah satu isu penting berkaitan dengan posisi FKUB
berhadapan dengan pemerintah daerah adalah soal peran
fasilitator pemerintah daerah terhadap FKUB. Sebagaimana
diatur dalam PBM, hubungan FKUB dengan pemda bersifat
konsultatif (pasal 8 ayat 3). Ketentuan ini jelas berarti bahwa FKUB bukan alat pemerintah dan sepenuhnya independen dari intervensi pemerintah. Peran pemerintah dalam
FKUB adalah sebagai fasilitator dalam hal anggaran dan
kelengkapan organisasi. Namun salah satu peran pemerintah dalam FKUB sebagaimana diatur PBM adalah sebagai
Dewan Penasehat guna melakukan pemberdayaan FKUB.
Tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan peran
pemberdayaan ini. Namun dalam Rapat Koordinasi Nasional FKUB Se-Indonesia yang dilaksanakan di Bandung, 6-8
Agustus 2008 lalu dijelaskan, sebelas hubungan kerja FKUB
dengan Dewan Penasehat. Beberapa yang menurut kami
dimaknai sebagai peran pemberdayaan antara lain:
1. FKUB dapat meminta bantuan Dewan Penasehat apabila
mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan bulat
melalui proses musyawarah mufakat.
2. Dewan Penasehat dapat mendorong terwujudnya keterpaduan di kalangan anggota FKUB sehingga diharapkan
dapat terciptanya harmonisasi di kalangan anggotanya.
3. Dewan Penasehat, diminta atau tidak diminta, dapat
mengundang FKUB membahas suatu persoalan aktual
di masyarakat yang dipandang dapat mengganggu kerukunan umat beragama.
394 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
4. FKUB dapat mengundang Dewan Penasehat untuk
membahas berbagai aspirasi umat beragama yang ditampung dan disalurkan oleh FKUB antara lain yang berkenaan dengan kebutuhan pelaksanaan peringatan keagamaan bagi dua atau lebih agama yang bersamaan
waktunya.46
Poin-poin tersebut belum banyak yang terealisir karena baru dihasilkan beberapa bulan yang lalu. Dan pola
hubungan FKUB baik di Kab. Bandung maupun Depok selama ini lebih banyak mengacu pada pendekatan masingmasing daerah.
Yang sudah berjalan, pemerintah daerah yang diwakili
Dewan Penasehat membuat agenda pertemuan berkala
antara FKUB dan Dewan Peasehat. Di Depok, hal itu
dilakukan setiap hari Sabtu bertempat di kantor Kesbang
Linmas atau di Kantor Walikota. Namun dalam praktiknya
pertemuan tersebut baru diadakan apabila ada hal yang dianggap penting.47 Sementara di Kab. Bandung rapat dengan
pemerintah (Kesbang Linmas dan Depag) diadakan sekali
sebulan. Namun semenjak Nopember 2008 sudah tidak
pernah lagi diadakan.48
Dalam hal fasilitasi anggaran, baik FKUB Depok
maupun FKUB Kab. Bandung merasa dukungan dari Pemerintah Daerah sangat minim. Mereka melihat, seharusnya
pemda konsisten dengan PBM yang telah mengamanatkan
pemberdayaan FKUB di setiap daerah harus didukung sepenuhnya termasuk mengalokasikan anggaran melalui APBD.
http://klikfkub.wordpress.com/2009/03/, 31 Maret 2009.
Wawancara Pdt. Lodewijk Gultom, 09 Mei 2009.
48
Wawancara dengan Anggota FKUB Kab. Bandung Maladi Dani, 04
Mei 2009.
46
47
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 395
Seperti yang dikeluhkan para anggota FKUB Kab. Bandung,
hingga saat ini FKUB Kab. Bandung belum memiliki kantor sendiri dan harus menumpang di kantor Kesbang Linmas. Begitu juga dalam hal anggaran operasional termasuk
untuk realisasi program, dukungan dana dari pemda tidak
jelas.
“Sebagaimana kebiasaan forum, nampaknya tidak ada juklak
(petunjuk pelaksanaan), juknis (petunjuk teknis) dari atas
bahwa uang harus diberikan segini-segini, itu tidak ada.
Anggarannya tidak jelas. Karena itu kita sampaikan hal itu
yang membuat gerakan kami tidak bisa sistematis.”49
Meskipun tidak separah yang dialami FKUB Kab. Bandung, di Depok dukungan pemda juga belum maksimal.
Meskipun Ketua FKUB Depok mengakui bahwa sudah ada
dukungan dana, namun tidak didasari satu struktur anggaran yang baku, sebagaimana yang dilakukan Pemda Depok
terhadap program-program pemda sendiri. Yang selama ini
berjalan, Pemda Depok akan menurunkan anggaran apabila
FKUB sendiri mengajukan usulan, tidak ada langkah proaktif dari pemda untuk membuat pos anggaran FKUB ketika menyusun APBD. Pendekatan pemda seperti ini yang
juga diterapkan kepada ormas-ormas keagamaan yang mengajukan anggaran ke pemda.
Kenyataan di atas memunculkan pertanyaan dari
FKUB sendiri bahwa yang dimaksud memfasilitasi itu sesungguhnya apa? Apakah dukungan anggaran sepenuhnya,
termasuk menyediakan kantor, menyediakan staf, gaji
bulanan, biaya operasional dan lain-lain atau seperti apa?
Wawancara dengan Wakil Ketua FKUB Kab. Bandung Usep Dedi, 05
Mei 2009.
49
396 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Apabila pertanyaan ini dihadapkan kepada pemerintah khususnya Departemen Agama, mantan Kepala Badan Litbang
Depag Atho Mudzhar menegaskan bahwa seluruh anggaran
FKUB yang masuk dalam anggaran pemeliharaan kerukunan
umat beragama diambilkan dari APBN maupun APBD.50
Jadi tidak ada alasan bagi pemda untuk tindak mengalokasikan anggaran FKUB dalam APBD setiap tahunnya.
Isu lain terkait hubungan FKUB dengan pemerintah
daerah adalah menyangkut independensi forum ini dari
intervensi dan kooptasi pemda terkait rumah ibadah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pelaksanaan PBM di daerah
lebih banyak ditentukan oleh penafsiran kepala daerah,
karena itu kebijakan antara satu daerah dengan daerah lainnya tidak seragam, termasuk dalam masalah rumah ibadah.
Di Kota Depok, walikota menerbitkan SK pencabutan IMB
HKBP Cinere dengan tujuan menjaga kerukunan umat
beragama di Kota Depok sebagaimana diamanatkan PBM.
Dengan SK ini, walikota menilai tindakannya tersebut sebagai implementasi tugas-tugas kepala daerah yang diatur
dalam PBM.
Sementara di Kab. Bandung, Pemda telah memiliki
sejumlah kebijakan yang mengatur soal rumah ibadah ini.
Pada tahun 2004, Bupati Bandung mengeluarkan surat yang
dikirimkan kepada seluruh pimpinan gereja di wilayah
Kabupaten Bandung No. 452.21/1829/ Kesbang tanggal
3 September 2004 perihal larangan penggunaan rumah tinggal sebagai rumah peribadatan. Sebelumnya Bupati Bandung Obar Sobarna juga mengeluarkan Surat Edaran No.
4522/1949/Sosial/2001 tentang larangan penggunaan ruHal tersebut dikatakan Atho Mudzhar dalam rapat kerja dengan Panitia
Adhoc III DPD, di gedung DPR Senayan Jakarta, Senin 27 Februari 2006.
http://www.ob.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=342, 9 Maret 2006
50
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 397
mah tinggal untuk tempat peribadatan. Setahun sebelumnya
keluar Perda No 24/2000 tentang IMB yang melarang
pengalihfungsian rumah tinggal sebagai tempat ibadah. Menurut perda tersebut setiap pengalihfungsian rumah tinggal
akan dijerat pidana kurungan enam bulan, atau denda Rp
5 juta. Aturan-aturan ini memang keluar sebelum PBM diterbitkan dan masih menggunakan Perber 2 Menteri tahun
1969. Namun hingga saat ini, berbagai aturan tersebut
tidak pernah dicabut dan masih dijadikan kebijakan resmi
Pemkab Bandung.
Dengan adanya berbagai aturan daerah tersebut,
FKUB mempunyai tugas melakukan sosialisasi terhadap
aturan-aturan terkait kerukunan umat beragama. Dalam
konteks ini, FKUB juga memiliki hak untuk menilai apakah
aturan-aturan tersebut berdampak terhadap peningkatan
kerukunan atau justru sebaliknya. Dalam konteks SK pencabutan IMB HKBP Cinere oleh Walikota Depok, FKUB
Depok justru tidak memiliki sikap yang tegas, salah satu
pendapat anggota forum ini justru menilai langkah yang
diambil Walikota Depok (mengeluarkan SK) sudah pada
trek yang benar.
Sementara di Kab. Bandung, FKUB juga tidak memiliki sikap yang jelas terhadap berbagai aturan tentang rumah ibadah yang ada, FKUB sendiri masih bergulat dengan
persoalan administrasi internal, karena dukungan Pemkab
Bandung sangat kurang. Karena itu, FKUB tidak pernah
melakukan penyikapan terhadap berbagai aturan yang ada
di kabupaten ini terkait rumah ibadah. Bahkan ketika
Pemkab Bandung menutup 8 gereja di Rancaekek pada 6
Januari 2006 lalu, Bupati Obar Sobarna (saat ini masih
menjabat bupati untuk periode kedua) mengatakan:
398 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
“Setiap rumah tinggal tidak boleh dijadikan tempat peribadatan. Menurutnya, izin peruntukan rumah tinggal tidak
boleh disalahgunakan menjadi tempat beribadah. Bagi warga
yang ingin mendirikan tempat peribadatan diminta
mengikuti prosedur yang berlaku.”51
Pernyataan ini adalah sikap resmi Pemkab Bandung
hingga kini, sikap yang digunakan sebagai dalih oleh kelompok-kelompok yang melakukan penyerangan dengan
terhadap sejumlah rumah ibadah, seperti DAP. FKUB Kab.
Bandung tidak mempunyai sikap yang pasti mengenai cara
pengelolaan konflik rumah ibadah seperti ini.
H. Analisis Temuan:
Beberapa analisis yang bisa diambil dari temuan-temuan
di atas adalah:
1. PBM 2 Menteri No. 8 dan 9 tahun 2006 adalah aturan
yang memberi tanggungjawab yang lebih besar kepada masyarakat untuk mengelola dan memelihara kerukunan umat
beragama, termasuk dengan pembentukan FKUB hingga di
tingkat kabupaten. Hal ini adalah satu upaya yang baik
untuk memperkecil peran negara dan memperbesar peran
masyarakat dalam persoalan yang seharusnya menjadi urusan masyarakat. Di samping itu, PBM ini juga memberi
jaminan bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak
mereka memiliki rumah ibadah. Namun demikian, implementasi PBM di lapangan tidak seideal yang tertuang dalam
pasal-pasalnya. Soal pembentukan FKUB misalnya, selain
“Pemkab Bandung Tutup Delapan Gereja,” Sinar Harapan, Senin, 9
Januari 2006.
51
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 399
masih dominan peran pemerintah dan minimnya peran masyarakat, sering terjadi kisruh mengenai representasi dan
jumlah perwakilan masing-masing agama yang akan duduk
di dalam forum ini. Hal ini di satu sisi disebabkan masih
adanya anggapan bahwa yang duduk di FKUB adalah membawa kepentingan agama, di sisi lain karena FKUB bisa
menjadi akses terhadap pemerintah daerah.
2. Kenyataan ini menunjukkan bahwa FKUB belum bisa dianggap sebagai forum membangun kerukunan. Forum ini lebih
tepat dilihat sebagai eksperimen pemerintah untuk memutus rantai birokrasi (debirokratisasi) kerukunan yang selama
ini diprotes banyak kalangan. Kenyataan tersebut mengakibatkan para anggota yang duduk di dalamnya juga tidak
memiliki kriteria yang jelas termasuk soal pandangan mereka terhadap kerukunan dan perbedaan. Bagaimana forum
ini akan membangun kerukunan dalam arti semua orang
menghargai hak kebebasan beragama sebagaimana dijamin
UUD 1945 apabila di internal FKUB sendiri masih berdebat soal arti kerukunan itu sendiri.
3. Dengan posisi FKUB yang demikian, maka tidak mengherankan apabila kebutuhan terhadap forum ini tidak benarbenar datang dari masyarakat sendiri, melainkan lebih banyak
dari pemerintah. FKUB bukanlah kebutuhan asli masyarakat
karena mereka membutuhkan sebuah wadah bersama guna
menyelesaikan problem yang mereka hadapi. Dari temuan
tentang proses berdirinya FKUB, menunjukkan bahwa forum
ini adalah kebutuhan pemerintah, selain untuk menjembatani
problem rumah ibadah yang selama ini ditangani langsung
pemerintah, ada kepentingan dari pemerintah untuk mencari
perlindungan dari masyarakat sendiri apabila tidak menerbitkan izin satu rumah ibadah. Selain itu dalam hal program,
FKUB juga tidak bisa lepas dari pemerintah sebagai penyo-
400 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
kong anggaran operasional maupun program. Dengan demikian, FKUB lebih banyak menunggu daripada menciptakan
program secara mandiri. Hal ini juga tidak lepas dari sikap
pemerintah yang “setengah hati” mendukung program-program FKUB, pemerintah sendiri tidak konsisten menjalankan
PBM yang mengamanatkan FKUB didukung sepenuhnya oleh
APBN dan APBD. Ini mengakibatkan FKUB cenderung dikooptasi birokrasi, tidak independen, tidak efektif, bahkan
terkesan pembentukan forum ini hanya untuk memenuhi
kewajiban PBM.
4. Salah satu tujuan diterbitkannya PBM 2 Menteri Tahun
2006 adalah sebagai acuan yuridis bagi pemerintah maupun
FKUB dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tempat
ibadah di lapangan secara adil. Dalam praktiknya, muncul
kelompok-kelompok yang menolak pendirian rumah ibadah, bahkan tidak jarang menggunakan cara-cara kekerasan
seperti pemaksaan dan penganiayaan. FKUB yang seharusnya berdiri netral justru lebih berpihak kepada mereka
yang menolak. Kasus terbitnya surat pencabutan IMB
HKBP Cinere oleh Walikota Depok dimana FKUB seakan
membenarkan tindakan Walikota Depok dengan menyerahkan solusi final masalah tersebut kepada pihak walikota. Ini
menunjukkan bahwa netralitas FKUB masih dipertanyakan
sekaligus membuktikan bahwa mereka tidak memahami
secara utuh PBM 2 Menteri tersebut.
5. Dalam masalah pendirian rumah ibadah, peran FKUB Kabupaten cukup sentral karena rekomendasi yang dia keluarkan sangat menentukan izin rumah ibadah keluar atau
tidak. Pemerintah daerah tidak akan memproses izin rumah
ibadah tanpa ada rekomendasi dari FKUB. Namun dalam
praktiknya, rekomendasi FKUB juga tidak begitu saja
dikeluarkan. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi
BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 401
pihak rumah ibadah seperti jumlah umat 90 orang dan
jumlah orang yang mendukung 60 orang. Selain itu, persyaratan tersebut tidak cukup dengan bukti-bukti tandatangan dan KTP, pihak FKUB sendiri harus melakukan
survei ke lapangan untuk melakukan verifikasi data dan
menanyakan masyarakat sekitar calon rumah ibadah soal
persetujuan mereka. Dalam kegiatan ini, FKUB sering
mendapatkan pengurus RT, RW atau warga sekitar yang
tidak setuju rumah ibadah berdiri. Atau seperti kasus GBT
Margahayu, ada anggota MUI dan Muspika setempat yang
menolak, padahal berbagai persyaratan sudah terpenuhi.
Penolakan-penolakan yang muncul di luar persyaratan yang
sudah terpenuhi ini justru yang kerap membuat FKUB
kabupaten urung mengeluarkan rekomendasi. Dengan
berbagai persyaratan pendirian rumah ibadah yang sudah
diatur dalam PBM, ditambah berbagai pertimbangan
dilapangan, sangat membuka kemungkinan –bahkan sudah
terjadi di beberapa tempat—FKUB tidak mengeluarkan
rekomendasi dengan alasan sepihak. Meskipun ada aturan
di mana pemerintah berkewajiban memfasilitasi pengadaan
rumah ibadah di tempat lain, namun aturan ini ditafsirkan
bermacam-macam oleh pihak Pemda. Dalam posisi ini
FKUB tidak bisa mengintervensi keputusan Pemda. Dan
ini menunjukkan bahwa keberadaan FKUB sesungguhnya
tidak memudahkan pendirian rumah ibadah tetapi cenderung menghambat dan mempersulit.
I.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari temuan-temuan riset ini dapat disimpulkan bahwa
FKUB memang masih dalam tahap menemukan bentuknya,
mskipun sudah ada arah yang ingin dituju yakni memperbesar
402 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
peran masyarakat. Terbitnya PBM sebagai acuan masih
mengandung banyak kelemahan dan tidak member kepastian
hukum sehingga memunculkan multitafsir, termasuk oleh
FKUB di setiap daerah. Kasus dua FKUB (Depok dan Kabupaten Bandung) ini memperlihatkan pemahaman para anggota
FKUB terhadap tugas pokok mereka dan bagaimana diimplementasikan di lapangan tidak sama. Karena itu, diperlukan peninjauan ulang terhadap PBM dalam beberapa aspek yang
menjadi problem dalam penelitian ini.
Epilog:
Pandemi Ideologi Puritanisme
Agama1
RUMADI
B
EBERAPA waktu lalu, the Wahid Institute meluncurkan buku berjudul Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional ke Indonesia (16/5/09). Buku yang
berisi laporan riset tentang munculnya “gerakan Islam baru”
yang mengancam keberadaan “gerakan Islam lama” ini menimbulkan sejumlah kontroversi, baik menyangkut substansi maupun isu ancaman pemasaran. Ada yang mengatakan, buku ini
berisi fitnah, mengadu domba umat Islam dan sebagainya. Ada
juga yang mencoba memahami bahwa buku ini memang tidak
untuk tujuan akademik, tapi lebih sebagai advokasi, sehingga
aspek-aspek akademik tidak menjadi perhatian utama. Komentar-komentar tersebut tentu tidak seluruhnya salah, namun
yang jelas buku ini mampu menunjukkan satu episode penting
Beberapa bagian dari tulisan ini terdapat dalam Rumadi, Renungan Santri,
Dari Jihad hingga Kritik Wacana Agama, (Jakarta: Erlangga, 2007)
1
404 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
dari perkembangan Islam di Indonesia, terutama semakin menguatnya gerakan kaum puritan Islam.
Di luar buku ini, sebenarnya banyak yang sudah melakukan riset persoalan semakin merangseknya ideologi keagamaan
puritan ke publik. Namun, buku ini mempunyai tempat tersendiri sehingga di tengah kontroversi itu banyak sekali orang
yang ingin membaca buku itu, meski versi PDF-nya bisa didownload secara gratis lewat internet. Dengan gaya penulisan
yang begitu vulgar, buku ini memberi warning yang cukup
kuat tentang bahaya gerakan Wahabi.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, dalam jagat politik
nasional ketika itu diramaikan dengan isu Wahabi. Hidayat
Nurwahid, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
dan Ketua MPR 2004-2009, isunya diajukan PKS menjadi
calon wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dalam Pilpres 2009. Kabar ini beredar luas dan menimbulkan reaksi dimana-mana. Bahkan, Ketua Umum PBNU,
Hasyim Muzadi, kabarnya mengirim surat khusus kepada Presiden SBY untuk menyatakan ketidaksetujuannya meskipun
kabar ini kemudian dibantah. SBY sendiri kabarnya mencari
informasi kebenaran hal ini, karena Hidayat Nurwahid memang
salah satu cawapres yang cukup kuat ketika itu. Memang, SBY
akhirnya tidak memilih Nurwahid, meskipun hal itu tidak
sepenuhnya bisa dikatakan karena isu Wahabi. Hidayat sendiri
merasa difitnah dengan isu Wahabi itu.2
Selama ini PKS memang menjadi salah satu sasaran isu
wahabisme, karena asal usul gerakannya yang lekat dengan
Wahabi.3 PKS berulangkali membuat bantahan bahwa mereka
Lihat “Hidayat merasa Difitnah Wahabi dan Anti NKRI”, http://www.
nu.or.id/page.php 30 April 2009.
3
Lihat Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, Eskpansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia, (Jakarta: the Wahid Institute, 2009), terutama Bab
II dan IV.
2
EPILOG 405
bukan Wahabi dan Hidayat Nurwahid bukanlah pengikut Wahabi. Jelasnya, PKS tidak suka kalau mereka diidentifikasi
sebagai Wahabi. Apa yang bisa kita maknai dari itu? Karakter
keberagamaan Wahabi ternyata tidak disukai kebanyakan
masyarakat kita. Bahkan, PKS yang latar belakang historisnya
sangat dekat dengan Wahabi sekali pun, tidak mau dikatakan
sebagai Wahabi. Namun demikian, tidak terlalu penting,
apakah kelompok itu menyebut dirinya sebagai Wahabi maupun tidak, yang jelas ideologi wahabisme kini seperti pandemi
yang sedang menggerogoti masyarakat. Dalam pertarungan
politik, isu Wahabi sama persis dengan isu neoliberalisme. Cawapres Boediono yang disudutkan dengan tuduhan sebagai
pengikut aliran neoliberalisme, menolak dan menganggap hal
itu sebagai fitnah.
Karakteristik Puritanisme Agama
Salah satu karakter penting dari wahabisme adalah puritanisme. Memang, isu puritanisme bukan tipikal Islam semata.
Hampir semua agama mempunyai sejarah dengan kelompok
puritan. Banyak kalangan berpandangan, puritanisme4 agamaDalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “puritan” diartikan sebagai
1. orang yang hidup saleh dan menganggap kesenangan dan kemewahan
sebagai dosa; 2. anggota mazhab protestan yang pernah berkembang pada
abad ke-16 dan 17 di Inggris yang berpendirian bahwa kemewahan dan
kesenangan adalah dosa. Sedang “puritanisme” berarti paham dan tingkah
laku yang didasarkan pada ajaran kaum puritan. Lihat, Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 910.
Makna ini agaknya kurang selaras dengan maksud dalam pembahasan ini.
Dalam tesaurus Bahasa Indonesia, kata “purifikasi” diartikan sebagai 1.
pembersihan, penjernihan, penyaringan; 2. pemurnian penyucian. Lihat Eko
Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 495.
4
406 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
agama merupakan bagian perkembangan modernitas. Puritanisme agama dipandang sebagai salah satu bentuk respon kalangan
agama terhadap perkembangan modernitas yang pernah diramalkan akan semakin meminggirkan peran agama. Agama
akan runtuh seiring dengan proses modernisasi. Agama dipandang tidak mempunyai masa depan dalam kehidupan modern.5
Modernitas yang berwajah garang terhadap agama, ditanggapi
kalangan agamawan dengan berdiri menantang sambil membuka lembar demi lembar kitab suci untuk menegaskan bahwa
Tuhan ada di pihaknya. Memang, dalam perkembangannya puritanisme agama memang terkait dengan modernitas. Namun,
ide tentang puritanisme itu sendiri pada awalnya tidak selalu
terkait langsung dengan sesuatu yang berasal dari luar dirinya,
seperti pergumulan dengan ide modernitas, tapi juga bisa
berasal dari dalam dirinya sendiri. Pergumulan internal agamaagama sangat memungkinkan untuk membuka ruang terjadinya
puritifikasi.
Para sosiolog abad ke-19 awal abad ke-20 meramalkan hal ini. Bahkan,
Peter L Berger pada awalnya termasuk sosiolog yang mengadvokasi teori
modernisasi yang sinis terhadap agama. Hingga tahun 1970-an cara pandang
demikian begitu kuat dalam teori sosiologi. Tapi, belakangan mulai direvisi.
Modernisasi ternyata tidak sepenuhnya mampu “menundukkan” agama.
Agama bahkan kadang tampil menjadi kekuatan yang menantang modernisasi,
meskipun di pihak lain ada upaya untuk memparalelkan agama dan
modernisasi. Peter L Berger belakangan merevisi pandangan-pandangannya
soal agama dan modernisasi, setelah dia menyaksikan kenyataan agama justru
semakin tampil ke ruang publik, tidak seperti yang dibayangkan modernisasi
yang berusaha mengandangkan agama ke ruang privat. Muncullah istilah
“agama publik” seperti dielaborasi secara tajam oleh Jose Casanova, Public
Religion in the Modern World, (Chicago: The University og Chicago Press,
1994). Baca juga, Peter L Berger, Kabar Angin dari Langit, Makna Teologi dalam
Masyarakat Modern, (Jakarta: LP3ES, 1991).
5
EPILOG 407
Barangkali sudah menjadi nature dari perkembangan agama-agama. Di satu sisi ada kelompok yang berupaya untuk
mengadaptasi agama dalam menghadapi gelombang perubahan,
di pihak lain ada kelompok yang berupaya untuk mempertahankan identitas asli dan menolak segala bentuk pengaruh yang
bisa merusak autentisitas agama itu. Memang, rumusan teoritiknya tidak sesederhana itu, namun bila dicermati secara seksama, semua pergumulan itu berujung pada dua poros di
atas.
Para peneliti persoalan ini sering membuat dikotomi
untuk menandai dan menyebut dua kecenderungan di atas.
Kelompok pertama sering disebut sebagai kelompok progresif,
modernis, reformis bahkan liberal. Sedang kelompok kedua
disering disebut sebagai kelompok fundamentalis, militan,
ekstrimis, radikal, fanatik, puritan dan sebagainya.6 Istilah-istilah tersebut sekarang sering digunakan secara bergantian dengan makna yang sudah tumpang tindih. Namun demikian,
penulis tidak sepenuhnya bisa menghindarkan diri dari tumpang tindih tersebut.
Istilah puritanisme misalnya, sering disejajarkan dengan
fundamentalisme, ekstrimisme, fanatisme dan seterusnya meskipun istilah-istilah tersebut mempunyai tekanan makna yang
berbeda. Terlepas dari itu, penulis memilih istilah puritanisme
untuk menunjuk pada kelompok agama yang berupaya untuk
melakukan pemurnian atas agamanya. Asumsi dasarnya, agama
yang dia peluk tidak lagi berada dalam bentuk yang sebenarnya
karena adanya pencampuran dan pengaruh teologi dan praktik
dari luar. Khaled Aboe el-Fadl lebih suka menggunakan istilah
puritan karena ciri menonjol kelompok ini yang menganut
paham absolutisme dan tak kenal kompromi. Dalam banyak
Lihat Khaled Aboe el-Fadl, The Great Theft, Wrestling Islam from the
Extremist, (San Fransisco: Harper San Fransisco, 2005), h. 16-19.
6
408 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
hal, orientasi kelompok ini cenderung menjadi puritan, dalam
arti ia tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang yang
berkompetisi dan memandang pluralitas sebagai bentuk
kontaminasi atas kebenaran sejati agamanya.7
Dalam kaitan ini, puritanisme berbeda dengan fundamentalisme, bahkan istilah yang terakhir ini cukup problematis bila
dikaitkan dengan Islam dan diperlawankan dengan kelompok
progresif atau liberal. Mengapa? Semua kelompok aliran dalam
Islam berkomitmen untuk menjalankan ajaran Islam secara fundamental. Bahkan, gerakan paling liberal sekali pun akan menegaskan bahwa cita-cita pendirian mereka adalah untuk
merepresentasi ajaran-ajaran iman secara otentik. Problemnya,
dalam konteks masyarakat Barat, istilah fundamentalis digunakan untuk menggambarkan kelompok-kelompok ekstrim dalam
Kristen yang bersikeras menggunakan makna literal kitab suci.
Mereka beranggapan, pemahaman teks suci yang semakin literal maka akan semakin mendekati kebenaran. Semakin jauh
dari makna literal, maka semakin jauh dari kebenaran.
Dengan demikian, kata kunci penting dalam ideologi puritanisme adalah autentisitas dan originalitas, atau lebih tepatnya
klaim atas autentisitas itu. Mengapa? Semua umat beragama
selalu menyebut keyakinannya sebagai “keyakinan sah” yang
berasal dari Tuhan, sehingga bisa disebut sebagai keyakinan
yang otentik. Namun problemnya, sebagian kalangan, baik dalam satu agama maupun antar agama, selalu ada cara pandang
bahwa keyakinan yang berbeda dengan dirinya dianggap sebagai
bentuk keyakinan yang palsu karena berbagai sebab.
Sampai di sini bisa dipahami, konsep keautentikan hampir
ada dalam semua agama dan aliran-alirannya. Dalam pengertian
yang paling umum, keautentikan bisa dimaknai upaya untuk
7
Khaled Aboe el-Fadl, The Great Theft, h. 18.
EPILOG 409
menjadi diri sendiri, bukan menjadi orang lain. Tidak perlu
menuruti dan mengikuti petunjuk dari luar, tapi cukup dibimbing dengan sesuatu yang ada dalam dirinya.8 Jika pengertian
ini dikaitkan dengan agama, maka muncul pemahaman bahwa
beragama yang autentik adalah beragama yang tunduk pada
makna awal agama itu. Dalam makna awal itulah keautentikan
bersemayam. Karenanya, upaya untuk menggoyahkan makna
awal harus ditentang karena hal itu bisa membahayakan autentisitas agama.
Dalam tradisi Barat (dan juga Islam), konsep keautentikan
memiliki karakteristik sebagai berikut: pertama, keautentikan
dimulai dengan pemahaman tentang diri sebagai sesuatu yang
unik, tidak memiliki sesuatu yang sama. Di sini ada kekhasan
eksistensial yang menjadi pembeda dengan yang lain. Kedua,
aktivitas manusia melahirkan keragaman kondisi-kondisi yang
melandasi individualitas manusia. Pemikiran autentik dalam
segala bentuknya menekankan bahwa umat manusia menciptakan sejarahnya yang berarti menciptakan diri sendiri. Hal yang
membentuk manusia bukan hanya apa yang mereka pikirkan
atau percayai, tapi juga apa yang mereka perbuat. Ketiga, pemikiran autentik sering melahirkan perlawanan terhadap kemodernan dan tradisi. Keempat, pemikiran autentik bisa berubah
menjadi individualisme radikal, subyektivisme kognitif dan
relativisme nilai.9
Dari ilustrasi di atas, ide tentang keautentikan ada dalam
hampir semua kelompok masyarakat. Keautentikan memang
tidak selalu terkait dengan agama, tapi juga bisa terkait dengan
politik, bahkan filsafat. Meski demikian, ide dasar dari keautentikan adalah keinginan untuk kembali pada yang “asli”,
karena dalam yang “asli” itu ada kebenaran. Hal-hal baru yang
8
9
Lihat Robert D Lee, Islam Autentik, (Bandung: Mizan, 2000), h. 11.
Lihat Robert D Lee, Islam Autentik, h. 27-30.
410 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
bercampur dengan yang asli tak lebih sebagai debu kotor yang
harus disingkirkan.
Dari sinilah gagasan tentang puritanisme bertemu dengan
istilah fundamentalisme. Dua istilah ini sebenarnya mempunyai
tekanan makna yang berbeda. Jika puritanisme lebih mempunyai orientasi ke dalam (inward looking) sehingga agenda-agenda
gerakan ini lebih pada upaya memperbaiki keyakinan keagamaan, sedang fundamentalisme lebih berorientasi ke luar (outward
looking) meski aspek-aspek ke dalam menjadi spirit gerakan
mereka.
Hampir semua agama mempunyai sejarah pergolakan seperti ini. Karena orientasinya ke dalam, gerakan purifikasi dalam agama-agama hampir selalu memunculkan konflik internal.
Kadang konflik itu sebatas saling menyalahkan dan menganggap pesaingnya bukan lagi sebagai penganut agama yang benar,
kadang-kadang konflik itu diikuti dengan tindak kekerasan.
Dalam konteks Kristen, puritanisme pada awalnya adalah
gerakan ‘pemberontakan’ di lingkungan gereja Inggris pada
akhir abad ke-16. Istilah ini, dalam sejarahnya, lebih menunjukkan sebuah gerakan ketimbang sekte dalam agama. Gerakan
ini muncul karena, setidaknya, dua hal: pertama, fenomena gereja yang berada di bahwa kontrol kerajaan Inggris dan kedua,
kenyataan bahwa gereja telah dikotori –versi kaum puritan—
dengan perilaku, hubungan dengan kaum pagan dan keharusankeharusan yang dikeluarkan oleh raja dan para pastor. Hal-hal
inilah yang menjadikan mereka terobsesi untuk memurnikan
(purify) kembali institusi gereja. Dua tokoh yang menjadi
rujukan kaum puritan adalah Jhon Calvin (Genewa) dan
Martin Luther (Jerman). Keduanya adalah tokoh Kristen Protestan. Meskipun gerakan ini lahir di Inggris, namun ia berkembang di Amerika, di daerah New England mengingat
nenek moyang gerakan ini menyeberang ke Amerika karena
melarikan diri dari pimpinan gereja dan raja Inggris.
EPILOG 411
Dalam perkembangannya, penggunaan kata puritan tidak
hanya untuk orang-orang yang dikeluarkan dari Church of
England dengan the Act of Uniformity-nya pada tahun 1662, namun juga orang-orang dari beberapa generasi setelah reformasi
di wilayah Inggris Raya dan Amerika Utara, yang berusaha
mereformasi dan memurnikan gereja serta memimpin orangorang kepada Alkitab, kehidupan yang saleh, mempertahankan
konsistensi doktrin tentang anugerah. Dengan demikian,
puritan adalah gerakan untuk memimpin kekristenan kembali
kepada Alkitab dan kehidupan yang kudus sebagai bukti dari
pertobatan yang sejati. Oleh sebab itu, berita utama kaum
puritan adalah seruan pertobatan.10
Ajaran-ajaran pokok puritanisme Kristen dapat diringkas
sebagai berikut: 1. kekuasaan mutlak Tuhan terhadap segala
urusan manusia; 2. setiap orang harus diperbaiki untuk berjuang melawan dosa dan melakukan perbuatan baik di hadapan
Tuhan; 3. kekaguman terhadap tokoh-tokoh kristen awal; 4.
peribadatan di gereja harus ditata ulang sesuai dengan apa
yang diperintahkan di dalam Bibel; 5. pemerintahan sekular
bertanggung jawab kepada Tuhan untuk merawat dan menghargai kebaikan dan menghukum para pendosa; 6. tekanan
untuk mempelajari Bibel secara otodidak dan melakukan pendidikan dan pencerahan terhadap umat agar mereka dapat
membaca Bibel secara mandiri; 7. syarat penguasaan bahasa
asli Bibel (Yunani, Ibrani dan Aramaic) buat para pastor.
Dari ilustrasi tersebut tampak adanya semangat kaum puritan untuk, pertama, mengembalikan ajaran dan peribadatan
Kristen ke dan sebagaimana dipraktikkan kaum Kristen awal.
Kedua, semangat dan kerja keras kaum puritan untuk mendidik
dan mencerahkan anggotanya agar berpengatahuan luas dan
10
Dr. Eddy Peter Purwanto, “Memikirkan Kembali Metode Penginjilan Kaum
Puritan”, dikhotbahkan di Philadelphia Baptist Fellowship, 16 April 2006.
412 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
berkeahlian tinggi. Oleh karena itu, tidak heran jika dua hal
yang berlawanan disematkan sebagai ciri kaum puritan Amerika. Di satu sisi mereka digambarkan sebagai tertutup dan
fundamentalis, tapi di pihak lain mereka digambarkan sebagai
sosok yang bekerja keras, egaliter dan suka belajar. Mereka,
oleh Alexis de Tocqueville disebut sebagai pendiri demokrasi
Amerika.
Dalam klaim kaum puritan, kehadiran mereka dituntut
karena tiga kebutuhan utama pada zaman itu, yaitu: (1) perlunya khutbah yang Alkitabiah dan pengajaran kebenaran; (2)
perlunya kesucian personal yang menekankan pekerjaan Roh
Kudus dalam iman dan kehidupan orang beriman; dan (3)
pembaharuan tatacara dan pemerintahan gereja menurut Alkitab. Oleh sebab itu, ungkapan “puritan evangelism” seringkali
dihubungkan dengan bagaimana kaum puritan memberitakan
firman Tuhan berhubungan dengan keselamatan orang-orang
berdosa dari dosa dan konsekuensinya.11
Dari gambaran tersebut jelas, dalam sejarah kekristenan
puritanisme pada awalnya merupakan hasil pergumulan internal. Namun dalam perkembangannya, puritanisme memberikan
respon keras terhadap perkembangan modernitas yang dianggap
mengancam nilai-nilai dasar keagamaan. Hal yang sama juga
bisa kita baca dari sejarah Islam. Ide puritanisme bisa dilacak
sejak masa-masa awal Islam dengan munculnya kelompok Khawarij. Khawarij adalah pengikut Ali bin Abi Talib yang
mengeluarkan diri dan membentuk kelompok sendiri karena
tidak setuju dengan kebijakannya yang menerima tawaran
damai (arbitrase) dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam perang Shiffin. Kelompok Khawarij memang lahir dari kekecewaan politik, namun dalam perkembangannya mereka mulai
Dr. Eddy Peter Purwanto, “Memikirkan Kembali Metode Penginjilan
Kaum Puritan”.
11
EPILOG 413
merumuskan paham teologi, terutama hukum bagi pelaku dosa
besar. Orang yang melakukan dosa besar dihukumi kafir dan
keluar dari agama Islam (murtad), dan karenanya mereka harus dibunuh. Pada perkembangan berikutnya, orang yang kafir
tidak hanya orang yang melakukan dosa besar saja, namun juga
orang yang tidak sepaham dengan Khawarij, orang yang tidak
mengkafirkan non-Khawarij, dan yang lebih ekstrim lagi
orang-orang Khawarij yang tidak hidup di wilayah mereka
(yang mereka sebut sebagai dâr al-Islâm) juga dianggap kafir
(yang mereka sebut sebagai dâr al-harb) dan karenanya harus
diperangi. Oleh karena itu, orang yang terlibat dalam peristiwa arbitrase, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan,
dan kedua delegasi, Amr bin As dan Abu Musa al-Asyari adalah kafir karena mereka dipandang telah melakukan dosa besar,
karena mereka tidak memberi keputusan dengan hukum Allah,
waman lam yahkum bimâ anzala Allâh faulâika hum al-kâfirûn
(QS. 5: 44). Dari ayat ini mereka mengambil semboyan lâ
hukma illâ lillâh (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Hukum
Allah yang mereka maksud adalah bunyi dan makna tekstual
yang ada dalam al-Quran.12
Kelompok Khawarij senantiasa memandang semua umat
Islam, kecuali kelompoknya, sebagai kaum kafir. Bahkan, Ali
bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan pun mereka
kategorikan sebagai kafir yang halal darahnya. Dua orang sahabat ini akhirnya meninggal dibunuh kelompok Khawarij ini.
Ide purifikasi Khawarij terletak pada pandangannya tentang
Kelompok ini pada gilirannya juga terpecah-pecah menjadi kelompokkelompok kecil yaitu: 1) golongan al-Muhakimah; 2) golongan al-Azariqah;
3) golongan al-Najdat; 4) al-Ajaridah; 5) al-Sufriah; 6) al-Ibâdiah. Lihat Ali
Mustafa al-Gurabi, Târîkh al-Firaq al-Islâmiyah wa Nasy`at ‘ilmu al-Kalâm ‘inda
al-Muslimîn, (Mesir: Maktabah wa Matba`ah Muhammad Ali Sabîh, 1959),
h. 277-282.
12
414 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
kebenaran yang terletak pada makna harfiyah dari al-Quran.
Semakin harfiyah maka orang akan semakin dekat dengan kebenaran. Semakin jauh dari hal-hal yang bersifat harfiyah, maka orang semakin jauh dari kebenaran.
Dalam perkembangan berikutnya, beberapa aspek dari
karakter Khawarij tersebut diwarisi oleh paham Wahabi. Sudah
tentu, Khawarij dan Wahabi mempunyai agenda, latar belakang dan model gerakan yang berbeda, namun antara keduanya terdapat semacam kontinuitas dan perubahan, terutama
menyangkut karakter gerakan yang cenderung menghalalkan
kekerasan untuk memperjuangkan pemahaman keagamaan yang
mereka anggap paling benar. Sebagaimana kelompok Wahabi
abad 19 yang mengancam kelompok bid’ah, Khawarij bahkan
membunuh Ali bin Abi Talib, yang tak lain menantu Rasulullah.
Sebagaimana kita tahu, ajaran Wahabi ini diperkenalkan
oleh Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1206 H/1792 M).
Gagasan utama Abdul Wahab yang kemudian menjadi karakter
utama gerakan Wahabi adalah asumsi bahwa umat Islam telah
melakukan kesalahan dan menyimpang dari jalan Islam yang
lurus. Penyimpangan itu tidak bisa benarkan kecuali harus
kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis secara benar. Dengan
semangat ini, Abdul Wahab hendak membersihkan Islam dari
paham dan praktik keberagamaan yang merusak dan menggerogoti Islam. Ideologi Abdul Wahab ternyata mendapat sambutan positif dari sebagian masyarakat Arab. Kesederhanaan,
ketegasan dan absolutisme pemikiran keagamaannya menjadi
daya tarik bagi suku-suku di gurun pasir, terutama di daerah
kelahirannya, Najd. Ketika itu, Najd merupakan wilayah Arabia yang paling tribal. Memang, ideologi Wahabi tidak berkembang luas, namun karena dukungan keluarga Raja Saud
yang berperang melawan Dinasti Utsmani Wahabi kemudian
mempunyai posisi penting.
EPILOG 415
Aliansi al-Saud-Wahabi sejak 1745 sampai 1818 dikenal
sebagai negara Saudi pertama berakhir ketika militer Mesir
dan Turki berhasil menghancurkan Kota Dariyah, Ibukota Kerajaan Saudi pertama. Penaklukan yang diikuti dengan pembantaian massal ini benar-benar membekas dalam memori kaum
Wahabi dan membakar semangat mereka dengan menjadikan
sebagai simbol penderitaan. Ideologi Wahabi dihidupkan lagi
pada awal abad 20 di bawah kepemimpinan Raja Abdul Azis
ibnu al-Saud (memerintah 1319-1373 H/1902-1953 H),
pendiri negara Saudi modern. Abdul Azis merupakan pengikut
teologi puritan kaum Wahabi dan menggabungkan dirinya
dengan suku-suku Najd. Inilah yang menjadi cikal bakal negara
Saudi Arabia. Pemberontakan Wahabi pertama di Semenanjung
Arabia pada abad ke-18 bertujuan menggulingkan kendali
Utsmani dan memperkuat jenis keislaman puritan Abdul
Wahab ke dunia Arab. Kamun Wahabi juga mengontrol
Mekah dan Madinah, karena dengan itu, mereka mendapatkan
kemenangan simbolik yang besar.
Meski pemberontakan pada akhir abad ke-18 digagalkan,
pemberontakan pada akhir abad ke-19 awal abad ke-20 melahirkan situasi yang sangat berbeda. Pada 1924, Wahabi berhasil menaklukkan Mekah, sehingga mereka memperoleh pajak
dan pendapatan dari jamaah haji. Keluarga Hasyimiyah yang
semula memegang gubernur atau Syarif Mekah, diusir dan
aturan Islam menurut visi Wahabi mulai ditegakkan. Perebutan
Kota Mekah terjadi pada 23 tahun gerakan Ibnu Saud. Ratusan
ribu orang dibunuh dan diciderai Wahabi fanatik, dan jutaan
orang melarikan diri.13 Tahun berikutnya, Ibn Saud dengan
topangan ideologi Wahabi menguasai Jedah dan Madinah. Ia
segera memerintahkan penghancuran pusara, makam dan
Lihat Stephen Sulaiman, Dua Wajah Islam: Moderatisme vs Fundamentalisme
dalam Wacana Global, (Jakarta: the Wahid Institute, 2007), h. 145.
13
416 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
masjid-masjid yang dianggap menyimpang. Milisi Wahabi, yang
dinamai ikhwan, pertama-tama meratakan pemakaman Jannat
al-Baqi di Madinah yang oleh warga setempat dan jamaah haji
dianggap sebagai situs yang keramat. Di sana dimakamkan
putra Rasulullah, Ibrahim, yang meninggal ketika masih kanakkanak, serta Hasan, putra Ali bin Abi Talib yang juga cucu
Rasulullah. Dalam waktu singkat, mereka telah memusnahkan
beberapa kuburan besar, masjid dan situs-situs suci yang
masyhur, menghancurkan arsitektur Arabia. Hanya makam
Rasulullah yang masih utuh meskipun sebenarnya mereka juga
berusaha menghancurkan.14
Dengan demikian, puritanisme Wahabi lebih merupakan
orientasi teologis, bukan sebuah mazhab pemikiran yang tersusun rapi sehingga di dalamnya terdapat berbagai kecenderungan ideologis. Namun demikian, ada ciri konsisten pada
puritanisme, yaitu ideologi supremasi. Mereka selalu merasa
lebih unggul dan superior sebagai kompensasi dari atas
perasaan kalah, tak berdaya dan keterasingan. Sikap yang muncul adalah arogansi diri yang di dalamnya ada sikap selalu merasa benar ketika berhadapan dengan yang lain. Kata “yang
lain” di sini bisa berarti Barat, kaum ateis, kaum muslim yang
dianggap bid’ah atau perempuan.
Ideologi Wahabisme ini yang bisa bertahan hidup, bahkan
tersebar luas, dalam pandangan Khaled Aboe el-Fadl karena
ditopang empat hal. Pertama, dengan memberontak melawan
Dinasti Utsmani, Wahabi menyeru untuk mendukung ideologi
nasionalisme Arab yang muncul pada abad ke-18. Dengan menempatkan pemerintah muslim Utsmani sebagai kekuatan asing
yang berkuasa, Wahabi telah meletakkan benih-benih determinasi diri dan otonomi bangsa Arab. Kedua, Wahabisme
Lebih jauh lihat Stephen Sulaiman, Dua Wajah Islam, h. 145-179. Lihat
pula, Khaled Aboe el-Fadl, The Great Theft, h. 53-66.
14
EPILOG 417
mendorong kepada umat Islam untuk kembali pada apa yang
oleh Abdul Wahab disebut sebagai Islam yang asli dan murni.
Karena itu, Wahabisme menolak seluruh pengalaman historis
dan mendesak untuk kembali pada contoh generasi awal (alsalâf al-sâlih), yaitu generasi sahabat Nabi dan tabi’în. Dua
generasi inilah yang layak ditiru, dan masa setelah itu Islam
mulai diselewengkan. Ketiga, dengan memegang kendali atas
Mekah dan Madinah Arab Saudi dapat menanamkan pengaruh
yang luar biasa, baik dalam pengembangan budaya dan pemikiran Islam. Mekah dan Madinah merupakan simbol kesucian
umat Islam. Di situlah Islam diturunkan, sehingga apa yang
datang dari wilayah ini dipandang sebagai Islam yang otentik.
Keempat, hal yang paling penting untuk dicatat adalah adanya
sumber daya minyak di Arab Saudi yang luar biasa. Sumber
ini bisa menjadi dana segar bukan hanya bagi rakyat Saudi tapi
juga wilayah dan kelompok yang mau menjalankan agenda
Saudi Arabia. Khususnya sejak tahun 1975, dengan naiknya
harga minyak dunia, Arab Saudi begitu agresif mendukung
promosi pemikiran Wahabi ke seluruh dunia.15
Dari Puritanisme ke Fundamentalisme
Puritanisme bisa dikatakan sebagai salah satu varian dari
fundamentalisme. Namun, pada saat yang sama puritanisme
juga bisa menjadi “bahan baku” dari fundamentalisme. Artinya,
puritanisme merupakan ladang subur yang di atasnya bisa
tumbuh fundamentalisme dan radikalisme. Meskipun istilah
fundamentalisme pada awalnya banyak beredar di kalangan
Kristiani, namun hal yang sama juga mewabah dalam agama
yang lain.
15
Lihat Khaled Aboe el-Fadl, The Great Theft, h. 70-72.
418 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Dalam The Shorter Oxford English Dictionary dijelaskan,
fundamentalisme dimaknai sebagai kepatuhan yang keras
kepada ajaran ortodoks (dalam Kristen, kepatuhan kepada Injil
secara literal) yang menjadi dasar (fundamen) kepercayaan
Nasrani, dan menentang terhadap liberalisme dan modernisme.16 Dengan demikian, secara umum, fundamentalisme bisa
dimaknai sebagai paham untuk kembali kepada sesuatu yang
dipandang sebagai pokok, dasar, dan asas. Pokok, dasar, dan
asas itulah yang dianggap sebagai sesuatu “yang murni” dan
“yang benar”, sehingga perlu dipertahankan mati-matian dari
segala sesuatu yang bisa mengurangi “kemurnian” dan “kebenarannya”. Paham yang “murni” dan “pokok” tersebut hanya
bisa dicari dan ditemukan melalui makna literal teks suci.
Upaya mempertahankan “kebenaran” dan “kemurnian” tersebut,
oleh pendukungnya, dimaknai sebagai upaya untuk mempertahankan agama itu sendiri. Dengan keyakinan seperti ini,
maka pendukung kelompok ini meyakini bahwa perjuangan
mereka tidak akan sia-sia, karena perjuangan itu dimaknai
sebagai jihad (Islam) atau holy war (Kristen). Kalau toh kalah
dalam perjuangan di dunia, di akhirat mereka yakin akan mendapat jaminan kemuliaan di sisi Tuhan. Dari sinilah, kita
melihat bahwa fundamentalisme merupakan kelanjutan dari
paham puritan.
Sebagai istilah yang diproduksi dalam tradisi Barat, maka
istilah ini tidak cukup dikenal dalam tradisi Islam, meskipun
gejala dan perilaku yang kurang lebih sama dapat kita temukan
dalam tradisi dan sejarah muslim. Dalam Islam, fundamentalisme biasanya diterjemahkan dengan al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah
(fundamentalisme Islam), al-Salâfiyah (warisan leluhur), alSahwah al-Islâmiyyah (kebangkitan Islam), al-Ihyâ’ al-Islâmî
W. Little, H.W. Fowler dan J. Coulson, The Shorter Oxford English
Dictionary, (Oxford: Clar Endon Press, 1964), h. 762.
16
EPILOG 419
(kebangunan kembali Islam), al-Bâdil al-Islâmî (alternatif
Islam). Istilah-istilah tersebut, meski mempunyai spesifikasi
dan konteks maknanya masing-masing, namun secara umum
digunakan untuk menunjuk pada gejala intensifikasi Islam. Di
Barat pun gejala intensifikasi Islam tersebut tidak selalu disebut
fundamentalisme. Harus diakui, fundamentalisme sebagai istilah
sosiologis mempunyai cakupan yang begitu luas, sehingga bisa
diterapkan pada kondisi lain yang mempunyai pola dan kecenderungan tertentu. Tokoh tertentu menggunakan istilah
“ekstrimisme Islam” sebagaimana dilakukan Gilles Kepel,
“Islam radikal” sebagaimana Emmanual Sivan,17 dan yang lain
ada yang menggunakan istilah “integrisme”, “revivalisme”, atau
“Islamisme”.18 Sebutan-sebutan tersebut oleh kalangan tertentu
juga sering disebut sebagai fenomena “kebangkitan Islam” atau,
paling tidak, “intensifikasi Islam” dalam wajah yang baru.19
Emmanuel Sivan, Radical Islam, Medieval Theology and Modern Politics,
(New Haven and London: Yale University Press, 1990).
18
Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin, Fundamentalisme Islam dan Batas
Rasionalisme Modern, (Jakarta: Serambi, 2002), h. 41.
19
Istilah-istilah tersebut digunakan untuk menunjuk gejala “kebangkitan
Islam” yang diikuti dengan militansi dan fanatisme yang terkadang sangat
ekstrim. Dibanding yang lain, istilah “Islam radikal” yang paling sering
dipersamakan dengan “Islam fundamentalis”, meskipun keduanya sebenarnya
berbeda, setidaknya bila dilihat dari “awal” dan “akhir” dari gerakan itu.
Sebuah pemikiran dan gerakan radikal biasanya berangkat dari ketidakpuasan
atas kemapanan yang unquestionable, mendobrak status quo. Namun, gerakan
demikian tidak selalu berujung pada fundamentalisme, tapi pada saat yang
lain bisa berujung ke liberalisme. Gerakan teologi pembebasan di Amerika
Latin di kenal cukup radikal dalam mengkritisi tradisi teologi Kristen, tapi
gerakan ini tidak dipandang sebagai fundamentalisme, bahkan sebaliknya,
dilihat sebagai liberalisme dan pembebasan. Demikian juga dengan pemikir
Islam “kiri” yang dikenal sangat radikal dan kritis terhadap doktrin agamanya
sendiri, seperti Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, “Abid al-Jabiri, dan
seterusnya, tidak dipandang sebagai pemikiran fundamentalis, tapi sebagai
17
420 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Kata “fundamentalisme” bila dikaitkan dengan “Islam”,
hingga kini masih cukup problematis. Banyak kalangan Islam
yang menolak istilah tersebut, bukan saja karena fundamentalisme berasal dari tradisi Kristiani, namun lebih dari itu, cap
fundamentalis yang dialamatkan kepada (sebagian) umat Islam
dianggap sebagai konspirasi “Barat” untuk menyeret Islam ke
kubangan lumpur sejarah. Fundamentalisme kini bukan lagi
sekedar kategori sosiologis pemeluk agama (Islam), tapi di
dalamnya terdapat muatan ideologi yang menyiratkan kebencian, cemoohan, dan ejekan kepada (sebagian) umat Islam.
Istilah fundamentalisme Islam, menurut (sebagian) umat Islam,
sengaja diciptakan untuk menghadang kemajuan Islam yang
dianggap akan menjadi ancaman bagi Barat pascakeruntuhan
komunisme.20 Dalam masyarakat Barat, istilah fundamentalisme
Islam pasti dihubungkan dengan hal-hal negatif, picik, militan,
dan cenderung menafsirkan teks suci secara literal, sebagaimana yang mereka kenal dalam Kristen.
Kesan demikian mungkin tidak sepenuhnya salah, karena
sikap kurang senang terhadap Barat —terutama Amerika,
Kristen, dan Yahudi— mempunyai akar yang yang cukup dalam di lingkungan umat Islam dan Timur tengah pada umumnya. Pakar Timur Tengah Dr Daniel Pipes, lulusan Harvard
University, mengungkapkan bahwa kebencian ditanamkan
kepada Bangsa Yahudi dan Amerika di dalam otak dan pikiran
pemikiran liberal. Sedangkan fundamentalisme lebih banyak berangkat dari
literalisme dalam menafsir teks agama dan berakhir pada tindakan dengan
wawasan sempit yang terkadang yang menindas dan menyalahkan kelompok
lain.
20
Tulisan Todirun Dydo, Islam Fundamentalis dan Kegusaran Masyarakat
Barat, Percaturan Politik dan Ideologi Internasional, (Jakarta: Golden Terayon
Press, 1993) sangat jelas menunjukkan hal ini. Dydo menjelaskan munculnya
gerakan ekstrim dalam Islam yang melihat Barat, terutama AS, sebagai musuh
karena Barat telah memperlakukan Islam secara tidak adil.
EPILOG 421
seluruh generasi di Timur Tengah melalui berbagai medium
dan cara. Provokasi kebencian tersebut menancap begitu kuat
dalam benak dan hati sebagian besar masyarakat Timur Tengah, terutama yang simpatik dengan perjuangan rakyat Palestina melawan Israel (Yahudi). Disebutkan, bangsa Yahudi merupakan “setan kecil” dan Amerika adalah “setan besar”, yang
keduanya harus dimusnahkan dari muka bumi. Setiap orang
dicuci otaknya dan kebencian semacam itu ditransplantasikan
ke dalam hati, menutupi hati nurani yang sesungguhnya.21
Sebagai terma sosiologis, fundamentalisme pada dasarnya
merupakan istilah netral, bisa bermakna positif, dan pada saat
yang lain negatif. Fundamentalisme bermakna positif dalam
arti bahwa istilah itu menunjuk pada orang atau kelompok
yang teguh dengan pendirian atas apa yang diyakini sebagai
kebenaran. Sedangkan makna negatif terletak pada kesulitan
kelompok ini untuk melakukan akselerasi gagasan, melakukan
negosiasi dan resistensi dengan kelompok lain yang dianggap
sebagai lawan. Karena itu, kelompok fundamentalis sering
dilihat sebagai kelompok yang kaku dan tanpa kompromi, meskipun asumsi seperti ini tidak selamanya benar.
Istilah “fundamentalisme” muncul kali pertama dalam The
Shorter Oxford English Dictionary pada 1923, setelah terbit dua
belas risalah teologis yang berjudul: The Fundamentals: A
Testimony to Truth. Tulisan tersebut oleh para penerjemahnya
Suara Pembaruan, 9 September 2002. Kebencian yang mengakar dan
berdarah daging terhadap sesama itu yang menghancurkan peradaban bangsa
yang bersangkutan dan juga peradaban dunia. Kebencian itu jugalah yang
merupakan akar dari terorisme dan aksi teror yang dilakukan kaum ekstremis,
bukan urusan Israel-Palestina seperti yang digembar-gemborkan orang dalam
mencari pembenaran terorisme. Urusan Israel-Palestina bisa menjadi salah
satu symptom tetapi bukan akar masalah. Jika benih kebencian ditanamkan
sejak anak berusia dua tahun dan anak usia empat tahun bercita-cita jadi suicide
bomber, di mana tempat untuk peradaban, kasih dan toleransi?
21
422 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
dilaporkan memakai pendekatan scientific critical oleh ahli-ahli
teologi Protestan terhadap studi tentang Injil.22 Dalam kaitan
ini, Frederick M. Denny (1987), sebagaimana dikutip Riffat
Hassan menyatakan, istilah fundamentalisme muncul pada awal
abad ke-20 sebagai kerangka kerja kaum Protestan konservatif
di Amerika untuk menunjukkan ciri suatu doktrin yang berdasarkan Kitab Injil, yang meliputi lima poin (kelahiran Yesus
dari sang perawan, kebangkitan fisiknya, Kitab Injil yang tanpa
salah, penebusan dosa substitusional, dan kedatangan Kristus
yang kedua). Poin yang sejalan dengan kaum muslim hanyalah
yang menyangkut ketidaksalahan kitab suci Injil –tentu saja
dalam Islam adalah al-Quran.23
Baiklah, barangkali tidak terlalu penting untuk memperdebatkan soal istilah, namun yang lebih penting adalah substansi
yang ada dalam istilah itu. Atas dasar itu, yang penting untuk
ditangkap adalah pola-pola fundamentalisme, karena, sebagaimana dikatakan Martin E Marty dan R. Scott Appleby (1991)
dalam Fundamentalism Observed yang dikutip Karen Amstrong,
bahwa fundamentalisme memiliki pola-pola tertentu, sebagai
mekanisme pertahanan yang muncul sebagai reaksi atas krisis
yang mengancam.24 Harus diakui, kehadiran sistem demokrasi
Riffat Hassan, “Mempersoalkan Istilah Fundamentalisme Islam” dalam
Jurnal Ulumul Qur’an, Edisi Nomor 3 Volume IV Tahun 1993, h. 32.
23
Riffat Hassan, “Mempersoalkan Istilah Fundamentalisme Islam”, h.
33.
24
Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, h. xii. Atas dasar itu, kurang
tepat yang dikatakan Rifyal Ka’bah bahwa fundamentalisme (dan juga
modernisme) tidak dikenal dalam Islam hanya karena kata tersebut tidak
ditemukan padanannya dalam bahasa Arab, bahasa Indonesia, dan bahasa
umat Islam yang lain. Argumen semacam ini hanya berkutat pada pencarian
sinonim, dan belum masuk pada substansi yang sebenarnya. Rifyal Ka’bah,
“Modernisme dan Fundamentalisme Ditinjau dari Konteks Islam”, dalam
Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 3, Volume IV, Tahun 1993, h. 26
22
EPILOG 423
di Barat, lambat tapi pasti, mulai menggeser kekuasaan dominan yang sekian lama menguasai otoritas kehidupan masyarakat. Gereja yang berabad-abad menjadi satu-satunya pusat
orientasi kebenaran hampir dalam segala aspek kehidupan
masyarakat (Kristen), pada abad 19 mulai banyak digugat dan
dipertanyakan, terutama setelah banyak temuan-temuan ilmu
pengetahuan yang secara mendasar bertentangan dengan kekuasaan dogmatik gereja. Sebagai contoh, penerimaan teori evolusi yang begitu cepat, di dalam maupun di luar kalangan
biologi, dirasakan mengancam keyakinan Kitab Suci yang
menjadi dasar teologi Kristen. Teori Evolusi yang ditawarkan
kelompok baru untuk memahami Tuhan dan agama, meskipun
belum sepenuhnya mampu menggantikan kekuasaan gereja,
tetapi dalam batas tertentu berhasil membekukan nilai-nilai
kristiani. Kecenderungan baru ini juga berhasil mengenyampingkan sistem studi Bibel berdasarkan filsafat Aristoteles.25
Gerakan ini semakin berkembang setelah Perang Dunia
I. Bible Conference of Conservative Protestants (Konferensi Bibel
Protestan Konservatif) mengadakan beberapa kali sidang untuk
menentukan sikap atas kritikan kelompok baru atas Bibel.
Dalam sidang di Niagara 1895 dikeluarkan sikap mengenai
fundamentalisme yang dikenal dengan “The Five Point of
Fundamentalism”, yaitu: 1) kitab suci tak pernah salah kata demi
kata; 2) Ketuhanan Yesus; 3) Kelahiran Yesus dari Ibu Perawan; 4) Ketentuan baru dalam penebusan dosa; dan 5) Kebangkitan dan kelahiran Yesus secara fisik. Istilah “fundamentalisme” lebih populer lagi setelah dikeluarkan 12 risalah
berjudul “The Fundamentals” pada 1909, yang kemudian ditulis
oleh sejumlah tokoh Kristen Evangelik dan disebarkan ke
media seluruh dunia. Pada 1919 didirikan World Christian FunRifyal Ka’bah, “Modernisme dan Fundamentalisme Ditinjau dari
Konteks Islam”, h. 26.
25
424 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
damentals Association untuk mengokohkan keberadaan kaum
fundamentalis.
Abad itu merupakan saat-saat perjuangan sengit antara
ilmu dan teologi, bahkan antara ilmu dan agama (Kristen).
Karena gereja, Bibel, dan teologi tradisional Kristen dianggap
tidak mampu mengakomodir perkembangan ilmu pengetahuan,
maka muncul gerakan baru yang ingin memisahkan diri dari
ajaran teologi Kristen tradisional dengan melakukan kajian
kritis terhadap Bibel, baik dari segi sejarah maupun interpretasinya. Kondisi demikian, mau tak mau memunculkan
konflik yang tajam antara agama dan ilmu pengetahuan ilmiah.
Bagi kelompok baru ini, teologi yang benar adalah teologi
yang sejalan dengan fakta ilmiah, karenanya, pendekatan kritik
sejarah atas Bibel dianggap sebagai sesuatu yang niscaya.
Tajamnya perseteruan antara “kelompok baru” dengan
pendukung “ortodoksi gereja” tersebut memunculkan kepercayaan di kalangan fundamentalis bahwa pertarungan tersebut
bukan pertarungan politik biasa, tapi sebagai pertarungan
kosmis antara “kebaikan” dan “kejahatan”. Mereka sangat cemas
ancaman pemusnahan basis agama mereka, sehingga mereka
membentengi identitas dengan cara membentengi doktrin dan
praktik masa lampau (Islam, salafiyyûn) untuk memberi legitimasi historis atas keyakinannya.26 Atas dasar itu, kaidahkaidah kebudayaan seperti resistensi dan negosiasi tetap saja
terjadi dalam proses dialektika dua kelompok besar yang saling
merebut pengaruh untuk membenarkan “keyakinannya”
tersebut.
Dalam ketegangan dan proses dialektikanya, ada beberapa
ciri yang terdapat gerakan fundamentalis Kristen, yang dalam
batas tertentu juga relevan untuk melihat fundamentalisme
Islam. Ciri-ciri tersebut antara lain: 1) memberi penekanan
26
Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, h. xii.
EPILOG 425
pada interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama. Mereka
menolak pemahaman hermeneutik atas teks suci agama karena
pemahaman seperti ini dianggap akan menghilangkan kesucian
agama; 2) setiap gerakan fundamentalisme hampir selalu dapat
dihubungkan dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme dan militanisme. Oposisionalisme kaum fundamentalis
dalam berbagai agama mengambil bentuk perlawanan terhadap
ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama; 3)
fundamentalisme hampir selalu memberi penekanan kepada
pembersihan agama dari isme-isme modern seperti liberalisme,
modernisme, dan humanisme; 4) ada monopoli kebenaran atas
tafsir agama. Kaum fundamentalis biasanya cenderung
menganggap dirinya sebagai penafsir agama yang paling absah
dan paling benar, sehingga cenderung memandang sesat kepada
kelompok yang tidak “sealiran” dengan mereka; 5) menolak
terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis,
pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru
terhadap teks suci.27
Dari ilustrasi tersebut dapat kita lihat adanya semacam
interplay antara gerakan yang melakukan kritisisme atas Bibel
dan gerakan oposisi atas otoritas gereja dengan fundamentalisme. Bibel yang oleh kalangan fundamentalis dipandang sebagai teks yang sudah selesai, sakral, tidak boleh dikritik dan,
karenanya tertutup, dipandang berbeda secara radikal oleh
kelompok baru bahwa Bibel belum selesai, harus dikritik, dan
terbuka. Fundamentalis dalam pengertian yang sangat elemen-
Lihat Martin E Marty, “What is Fundamentalism? Theological
Prespective” dalam Hans Kung dan Jurgen Moltmann (eds.), Fundamentalism
as a Ecumanical Challenge, (London: SCM Press 1992), h. 3-13. Lihat pula
survei redaksi Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 3 Vol. IV, Tahun 1993 dengan
judul “Fundamentalisme Islam: Istilah yang dapat Menyesatkan”, h. 5-6.
27
426 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
ter dan berkaitan dengan teks suci agama ini, sebenarnya juga
bisa dialamatkan kepada paham yang terdapat semua agama.
Pada tingkat ini, gerakan fundamentalisme berimpit dengan gerakan puritan. Dalam konteks Islam, gerakan Wahabi
sebagaimana telah disinggung di atas sangat dekat dengan tipologi ini. Memang, dalam perkembangannya gerakan fundamentalisme kontemporer lebih banyak sebagai respon atas Barat
dan agenda modernisasi, meskipun tema-tema yang berkaitan
dengan inward oriented tetap menjadi concern dan pilihan ideologis mereka. Paling tidak ada dua masalah besar yang menjadi
perhatian kelompok ini. Pertama, mereka menolak sekularisme
masyarakat Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja
dari negara. Kesuksesan Barat melakukan sekularisasi yang terus merembes ke dalam Islam dianggap sebagai sesuatu yang
berbahaya, karena dapat mengancam Islam sebagai agama yang
tidak hanya mengurusi masalah ukhrawi, tapi juga duniawi.
Kedua, banyak umat Islam yang menginginkan agar masyarakat
mereka diperintah dengan menggunakan al-Quran dan syariat
Islam sebagai aturan hukum bernegara.28 Kemunduran umat
Islam di berbagai belahan dunia dalam mengelola pemerintahan, menurut kelompok ini, karena mereka tidak lagi menggunakan syariat Islam sebagai acuannya.
Kedua hal tersebut dianggap sebagai ancaman bagi umat
Islam akibat gerakan sekularisme Barat. Proses modernisasi yang
dilakukan Barat, terlepas dari kekurangannya, telah mampu mentransformasi masyarakatnya yang antara lain ditandai dengan
kemajuan sains dan teknologi. Kemajuan ini secara kualitatif
berbeda dengan kemajuan yang pernah dibawa Islam pada masa
sebelumnya. Kemajuan ini menjadikan umat Islam serba
canggung dalam merespon dan melihat doktrin agamanya. Di
28
Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, h. 54-55.
EPILOG 427
satu pihak mereka yakin akan kebenaran dan kememadaian
Islam, namun di pihak lain mereka menyaksikan sebuah perkembangan yang tidak sepenuhnya di dasarkan pada agama. Bahkan
kemajuan tersebut terjadi ketika agama semakin dijauhkan dari
kehidupan publik melalui proses sekularisasi. Hal tersebut
menimbulkan sikap resisten sebagian umat Islam dengan mengedepankan sikap apologetik, meskipun sebagian kecil mencoba
untuk memberi respon secara rasional dan proporsional dengan
tetap tidak kehilangan identitas keislamannya.
Sikap apologetik yang mendominasi umat Islam antara
lain ditunjukkan dengan mengemukakan kelebihan-kelebihan
Islam, baik pada aspek doktrinal maupun historisnya, sembari
mengagung-agungkan kejayaan masa lampau. Hal itu dikemukakan bukan sekedar untuk menjawab hegemoni politik Barat,
tetapi juga untuk menjawab tantangan intelektual Barat yang
mempersoalkan aspek-aspek tertentu dari ajaran Islam, seperti
menyangkut jihad, poligami, kedudukan wanita, perbudakan,
pidana Islam dan sebagainya. Sikap apologetik ini memang cenderung normatif dan idealistik seolah ingin menyelesaikan
semua persoalan kehidupan manusia yang sangat kompleks ini
dengan agama, tepatnya teks agama.29 Karenanya, sikap demikian cenderung mengabaikan realitas dan reaksioner, sehingga
sering dilihat secara pejoratif dan negatif.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Dari Fundamentalisme,
Moderatisme hingga Postmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. iv. Pada
perkembangannya, sikap tersebut dengan upaya mengafirmasi dirinya dengan
mengemukakan hal-hal yang “serba Islam” sebagai bentuk perlawanan atas
sistem Barat yang dianggap gagal mengangkat derajat kemanusiaan, seperti
dimunculkannya ekonomi Islam, bank Islam, islamisasi ilmu, pakaian Islam,
budaya Islam, dan seterusnya. Upaya menampilkan “serba Islam” tersebut
juga dapat dilihat sebagai mekanisme mempertahankan diri dari gempuran
Barat yang mendominasi hampir dalam semua segi kehidupan.
29
428 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Konteks Buku Ini
Dengan pemaparan di atas, penulis sekedar ingin memberi konteks dari keseluruhan tema yang dituangkan dalam
buku ini. Kumpulan tulisan dalam buku ini tidak bisa disebut
sekedar bunga rampai, mengumpulkan tulisan berserak untuk
disatukan dalam buku. Buku ini disusun dengan kesadaran penuh adanya perubahan-perubahan penting dalam masyarakat
yang kadang tak tampak hanya karena tidak di-blow up media.
Tidak menjadi bahan dialog di TV atau menjadi ulasan di
media cetak.
Seluruh isi buku ini berupaya merangkai perubahan-perubahan itu. Meskipun tampaknya peristiwanya kecil, seperti
soal rebutan tempat ibadah (kasus Ponorogo dan Yogyakarta),
ketegangan dalam sebuah kampung karena perbedaan aliran
keagamaan (kasus Bulukumba dan NTB), adanya kebijakan pemerintah daerah untuk menerapkan manajemen ilahiyah (kasus
Tanah Bumbu) dan beberapa isu yang lain menandai adanya
dinamika dalam masyarakat. Dengan menggunakan isu agama,
masyarakat kita terus bergerak dan berubah, meskipun menebak arah perubahan itu tidak selalu mudah. Namun yang jelas,
perubahan-perubahan yang membawa konflik lokal itu bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Di sana selalu ada keterkaitan
dengan negara dalam berbagai tingkatannya dan juga aspek
global. Pengalaman seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia,
tapi di banyak negara. Dalam pergumulan itu selalu ada tarik
menarik antara mempertahankan identitas religius dengan
perkembangan yang menuntut perubahan.30
Baca misalnya Gwilym Beckerlegge (ed), Colonialism, Modernity, and
Religious Identities,(Oxford: Oxford University Press, 2008), terutama tulisan
Ian Copland, “From Communitas to Communalism: Evolving Muslim
Loyalties in Princely North India”.
30
EPILOG 429
Nah, tarik menarik dan mengenali keterkaitan-keterkaitan
itulah yang harus kita miliki. Buku ini, meskipun belumsepenuhnya berhasil, telah mencoba untuk mengantarkan pembaca mengenali keterkaitan-keterkaitan itu.[]
430 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Bibliografi
Buku dan Jurnal
Abdurrahman, Moeslim, (ed.) (2003), Muhammadiyah Sebagai
Tenda Kultural, Jakarta: Ideo Press & Maarif Institute.
Al-Ashmawy, Mohammad Said (terj.) (2002), Jihad Melawan
Islam Ekstrem, Jakarta: Desantara.
Al-Ghurabi, Ali Mustafa (1959), Târîkh al-Firaq al-Islâmiyah wa
Nasyat ‘ilmu al-Kalâm ‘inda al-Muslimîn, Mesir: Maktabah
wa Matba`ah Muhammad Ali Shabîh.
Al-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa (t.t), Al-Muwafaqat fi
Ushul al-Syari ah, Vol-II, Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Appleby, R. Scott (2000), The Ambivalence of the Sacred, Religion, Violence, and Reconciliation, New York: Rowman &
Littlefield Publishers Inc.
Aritonang, Jan S. (2008), Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja, Cet. ke 8, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Azhar, Zairullah dan Syakrani (2007), Kepemimpinan dan Manajemen Ilahiyah: Refleksi dan Pengalaman dari Bumi Bersujud,
Kabupaten Tanah Bumbu, Yogyakarta: Eja Publisher.
Azra, Azyumardi (2005), Jaringan Ulama, Cet II, Jakarta: Prenada Mulia.
_____, (1996), Pergolakan Politik Islam, Dari Fundamentalisme,
Moderatisme hingga Postmodernisme, Jakarta: Paramadina.
Bartholomew, John Ryan (2001), Alip Lam Mim, Kearifan Mayarakat Sasak, Cet. ke-1, Yogyakarta: PT.Tiara Wacana.
432 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Baso, Ahmad (2002), Plesetan Lokalitas. Politik Pribumisasi Islam
Depok: Desantara.
Beckerlegge, Gwilym (2008) (ed), Colonialism, Modernity, and
Religious Identities, Oxford: Oxford University Press.
Berger, Peter L (1991), Kabar Angin dari Langit, Makna Teologi
dalam Masyarakat Modern, Jakarta: LP3ES.
Blau, Peter M. (1977), Inequality and Heteroganity: A Primitive
Theory of Social Structure, New York: The Free Press.
Bushman, Claudia L. (2006), Contemporary Mormonism: Latter
Day Saints in Modern America, West Port Connecticut:
Praeger.
Bruinessen, Martin van (1996), Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Penerbit Mizan: Bandung.
Casanova, Jose (1994), Public Religion in the Modern World,
Chicago: The University of Chicago Press.
Castell, Manuel (2004), The Power of Identity, Malden:
Blackwell.
Cence, A.A (1931), The Patuntungs in the Mountains of Kajang,
Makassar.
Che Man, W.K (1990), Muslim Separatism the Moros of Southern
Philipines and th Malays of Southern Thailand, Manila:
Ateneo de Manila University Press.
Cooley, FL (1987), Mimbar dan Tahta, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
De Jong, Chris G.F (1996), Ilalang Arenna, Jakarta: BPKGunung Mulia.
Departemen Infokom Wahdah Islamiyah (2004), Selayang Pandang Wahdah Islamiyah, Cet ke 1 & 2, Makassar: Departemen Infokom Wahdah Islamiyah, 2004).
Departemen Pendidikan Nasional (2005), Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
BIBLIOGRAFI 433
Durkheim, Emile (1964), The Division of Labour in Society,
New York: Routledge.
_____, (1976), The Elementary Forms of the Religious life, trans.
J.W. Swain, London: Allen & Unwin.
El Fadl, Khaled Abou (2005), Selamatkan Islam dari Muslim
Puritan, Jakarta: Serambi.
_____, (2005), The Great Theft, Wrestling Islam from the
Extremist, San Fransisco: Harper San Fransisco
Endarmoko, Eko (2006), Thesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta:
Gramedia.
Euben, Roxanne L (2002), Musuh dalam Cermin, Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern, Jakarta:
Serambi.
Fauzi, Ihsan Ali dan Saiful Mujani (Ed.) (2009), Gerakan Kebebasan Sipil; Studi Advokasi Kritis atas Perda Syari’ah, Jakarta: Nalar.
Gadamer, Hans Georg (1975), Truth and Methode, London:
Sheed and Ward.
Geertz, Clifford (1960), The Religion of Java, Chicago and
London: University of Chicago Press.
Giring (2004), Madura di Mata Dayak dari Konflik ke Rekonsiliasi, Yogyakarta: Galang Press.
Gutmann, Amy (2003), Identity in Democracy, New Jersey:
Princeton University Press.
Hanks, Maxine dan Jean Kinney Williams (2003), Mormon
Faith in America, New York: Fact of File.
Hayyi, Nukman (2001), Menolak Paham Wahabi, terjemahan
dari Ad Durarus-Saniyyah Fir-Raddi ‘Alal-Wahhabiyyah karya
Al-Alimul –Allamah As-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan,
September.
434 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Hendricks Jr, Obery M. (2006), The Politics of Jesus: Rediscovering the True Revolutionary Nature of Jesus’ Teachings and
How They Have Been Corrupted, USA: Doubleday.
Howes, David (1988), On The Odour of The Soul, BKI, Deel
Le Aflevering.
J. Z. Manusama (1977), Hikayat Tanah Hitu, Proefschijft:
Leiden, 1977
Jamhari dan Jajang Jahroni (2004) (ed.), Gerakan Salafi Radikal
di Indonesia, Jakarta: Rajawali.
Laraňa, Enrique et. al. (1994) (ed.), New Social Movements from
Ideology to Identity, Philadelphia: Temple University
Press
Kartodirdjo, Sartono (1987), Kebudayaan Pembangunan Dalam
Perspektif Sejarah, Jakarta: GAMA Press.
Katu, Samiang, (2000), Pasang Ri Kajang: Akomodasi Islam
dengan Budaya Lokal Sul-sel, Makassar: PPIM.
Klinken, Gerry Van (2007), Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: KTLV_Obor.
Koentjaraningrat (1985), Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta:
Aksara Baru.
Kung, Hans dan Jurgen Moltmann (1992) (eds.), Fundamentalism as a Ecumanical Challenge, London: Routledge
Kurtz, Lester (1995), Gods in the Global Village: The World’s
Religions in Sociological Perspective, Pine Forge Press.
Lee, Robert D (2000), Islam Autentik, Bandung: Mizan.
Marx, Karl & Frederich Engels (1976), Collected Works, Vol.
3, London: Lawrence & Wishart.
Yavus, M. Hasan (2003), Islamic Political Identity in Turkey,
New York: Oxford University Press.
Marsh, Ian, et.al. (2000), Sociology, Making Sense of Society,
Harlow: Prentice Hall.
BIBLIOGRAFI 435
Moloney, Gail and Ian Walker (ed.) (2007), Social Representations and Identity: Content, Process and Power, New York:
Palgrave Macmillan.
Mujiburrahman (2008), Mengindonesiakan Islam; Representasi dan
Ideologi, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Neil, T. Wildferd (1973), Twentieth Century Indonesia, New
York: Colombia University Press.
Salehuddin, Ahmad, Satu Dusun Tiga Masjid, Anomali Ideologisasi
Agama dalam Agama, Yogyakarta: Pilar Media.
Ridwan, Nur Kholik (2004), Agama Borjuis, Kritik Atas Nalar
Islam Murni Jogyakarta: Ar-Ruzz.
Rumadi (2007), Renungan Santri, Dari Jihad hingga Kritik
Wacana Agama, Jakarta: Erlangga.
Sairin, Weinata (1996), Himpunan Peraturan di Bidang
Keagamaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Laclau, Ernesto, (ed.), (1994) The Making of Identities, London:
Verso.
Sarman, Mukhtar (2006), Mencari Kebenaran Menuai Kecaman;
di Balik Kontroversi Perda Ramadhan, Banjarmasin: PK2PD
dan LK-3.
Schwartz, Stephen Sulaiman (2003), Two Faces of Islam: Saudi
Fundamentalism and Its Role in Terrorism, New York: Division of Random House.
Sivan, Emmanuel (1990), Radical Islam, Medieval Theology and
Modern Politics, New Haven and London: Yale University
Press
Smith Jr, Joseph (2005), Mormon’s Book: A Reader’s Edition of
The Book of Mormon, Utah.
Smith-Christopher, Daniel L, “Pendahuluan,” dalam Daniel L.
Smith-Christopher (ed.) (2005), Lebih Tajam Dari Pedang,
Refleksi Agama-Agama tentang Paradoks Kekerasan, terj. A.
Widyamartaya, Yogyakarta: Kanisius.
436 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Snyder, Jack (2000), From voting to violence: democratization and
nationalist conflict, New York: WW Norton and
Company.
Stark, Rodney (2005), The Rise of Mormonism, New York:
Columbia University Press.
Suryadinata, Leo (1989), Military Ascendancy and Political Culture:
A Study of Indonesia’s Golkar, Athens: Ohio University.
Sutton, Anderson R. (2002), Calling Back the Spirit, New
York: Oxford University Press.
Suyana, H.M., (2008), Zairullah Azhar Sang Gardu Epos; Penggagas Manajemen Ilahiyah, Yogyakarta: Adicita
-----, (2007), Potret Manajemen Ilahiyah, Yogyakarta: Adicita.
-----, (2006), Perjalanan Panjang Lahirnya Kabupaten Tanah
Bumbu, Yogyakarta: Adicita.
Taylor, Charles (2004), Multiculturalism: Examining The Politics
of Recognition, Princeton: Princeton University Press.
Todirun, Dydo (1993), Islam Fundamentalis dan Kegusaran Masyarakat Barat, Percaturan Politik dan Ideologi Internasional,
Jakarta: Golden Terayon Press.
Turner, Bryan S. (1991), Religion and Social Theory, London:
SAGE Publications.
Turner, Jonathan H. (1998), The Structure of Sociological
Theory, Wadsworth Publishing Company.
Usop, K.M.A.M. (1978), Pasang ri Kajang: Kajian Sistem Nilai
di “Benteng Hitam” Amma Toa, Ujungpandang: Pusat
Latihan Ilmu-Ilmu Sosial UNHAS
Little, H.W. Fowler dan J. Coulson (1964), The Shorter Oxford
English Dictionary, Oxford: Clar Endon Press
Wahid, Ahdurrahman (ed.) (2009), Ilusi Negara Islam: Ekspansi
Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: the
BIBLIOGRAFI 437
Wahid Institute-The Maarif Institute-Gerakan Bhinneka
Tunggal Ika.
Weber, Max (1963), The Sociology of Religion, Boston, MA:
Beacon.
Woodward, Kathryn (1997) (ed.), Identity and Difference, London: SAGE Publications Ltd. 1997.
Woodward, Mark R. (2004), Islam Jawa: Kesalehan Normatif
versus Kebatinan, (terj). Hairus Salim HS, Yogyakarta:
LKiS, 2004.
Yahya, Kadirun (1405 H), ”Mutiara al-Qur’an” dalam Capita
Selecta tentang Agama Metafisika dan Ilmu Eksakta,
Jakarta: LIPTI.
Yekti Maunati (2004), Identitas Dayak: Komidifikasi dan Politik
Kebudayaan, Yogyakarta:LKIS.
Zada, Khamami (2002), Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas
Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju
Paper, Laporan, Dokumen
Azhar, M. Zairullah (2007), “Syakrani, Kepemimpinan dan
Manajemen Ilahiyah: Refleksi dan Pengalaman dari Bumi
Bersujud Kab. Kalimantan Selatan,” Pemda Kab. Tanah
Bumbu.
-----, (2008), “Syakrani, Ziarah Ilahiyah Menuju Masyarakat
Madani,” Kalimantan Selatan: Setda Kab. Tanah
Bumbu.
Badan Pusat Statistik Bulukumba (2003), “Bulukumba dalam
Angka 2003”.
Bagian Kesra (2007), Kilas Balik Kegiatan Pesantren Bersujud di
Lingkungan Pemerintah Daerah Kab. Tanah Bumbu Tahun
2007, Kalimantan Selatan: Tanah Bumbu.
438 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Basyuni, Maftuh (2006), Sambutan Menteri Agama dalam Sosialisasi PBM, Jakarta.
Berita Acara Rapat/Musyawarah (2008).
BP3 (2008), “Laporan Penyelesaian kasus Pengaduan Yayasan
Bhakti Loka Selaku Pengelola Kompleks Klenteng Poncowinatan Terhadap Pembongkaran Gedung Sekolah dalam
Kompleks Kelenteng Poncowinatan,” Yogyakarta: Yayasan
Budya Wacana.
Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor U.S. Department of State (2000), “Annual Report on International
Religious Freedom: Indonesia”.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Departemen
Agama RI (2005), Sambutan pada Peluncuran Website
Gereja Yesus Kristus Dari Orang-orang Suci Zaman
Akhir.
Durham, W. Cole dan Nathan B. Oman (2006), ”A Century of
Mormon Theory and Practice in Church-State Relations:
Constancy Amidst Change”, Working Paper Series.
Ghazali Rahman, (2002), “Mengatasi Kekerasan (Damai dan
Adil),” Proceeding Semiloka, Hotel Sampit, Kalimantan
Tengah.
Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir
(1998), “Kesaksian Nabi Joseph Smith,” Gereja Yesus
Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir.
Hinckley, Gordon B. (1995), “Keluarga: Pernyataan Kepada
Dunia”, Pesan pada pertemuan Lembaga Pertolongan
Umum di Salt Lake City, Utah.
Humas Setda Kabupaten Tanah Bumbu (2007), Profil dan
Pembagunan 4 Tahun Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan
Selatan:Bagian Humas Tanah Bumbu.
BIBLIOGRAFI 439
PBHI (2008), “Efek Horizontal atas Kebebasan Beragama atau
Berkeyakinan di Jawa Barat”, laporan yang dipublikasikan
di Majalah SatuVisi Edisi XII, Jakarta: PBHI.
Pernyataan Sikap Gempar Budaya, 26 Februari 2008
Proposal Pembangunan Gereja HKBP Cinere, 12 Juli 2008
Eddy Peter Purwanto (2006), “Memikirkan Kembali Metode
Penginjilan Kaum Puritan”. Dikhotbahkan di Philadelphia
Baptist Fellowship, April 16th.
Saleh Putuhena (2001), “Beberapa Pokok Pikiran Tentang
Pemberdayaan Kebudayaan Lokal di Maluku Tengah,”
Makalah, Maluku Tenggara, 14 Maret 2001
Sadana Mulyono, Surat tanda bukti lapor No. Pol: STBL/54/
II/2008/SIAGA kepada Polda DIY.
Setara Institute (2008), “Berpihak dan Bertindak Intoleran:
Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia”, Laporan
Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia
2008, Jakarta.
SK Walikota Depok Nurmahmudi Ismail, 27 Maret 2009
Surat BP3 kepada Dinas Perizinan Kota Jogjakarta, No. 2166
N2/BP3/DKP/2007.
Surat BP3 kepada Dinas Perizinan Pemkot Jogja, No.2116.
N2/BP3/DKP/2007.
Surat Camat Jetis, No. 005/273 tentang Undangan Koordinasi
Rencana Pebangunan Gedung Yayasan Budya Wacana.
Surat Dirjen Sejarah dan Purbakala, Drs. Soeroso, M Hum,
kepada BP3 Yogyakarta, No. 242/DIT.PP/SP/3.
III/2008.
Surat dari Dirjen Sejarah dan Purbakala, Drs. Soeroso, M
Hum, kepada BP3 Jogjakarta, No. 242/DIT.PP/SP/3.
III/2008.
440 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Surat Dintib Pemkot Jogjakarta, No. 640/261 tentang
Penghentian Proses Pembangunan.
Surat Dintib Pemkot Jogjakarta, No. 640/297 tentang
Pencabutan Surat No. 640/261.
The Wahid Institute (2008), “Menapaki Bangsa yang Kian
Retak,” Laporan Tahunan The WAHID Institute 2008
Pluralisme Beragama/Berkeyakinan di Indonesia,
Jakarta.
Usop, Sidik R (2005), “Dinamika Politik Lokal Dalam Proses
Pemilihan Gubernur Propinsi Kalimantan Tenah”,
Salatiga: Lembaga Percik, Seminar Internasional Ke-6
UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Wahyudi K, Anwar, M (2002), “Misi dan Strategi Kabupaten
Kotawaringin timur dalam Penyelesaian Konflik Etnis,
Sampit”, Makalah Bupati Kota Waringin Timur.
Majalah, Koran, Bulletin:
Harian Fajar, Bulan Nopember 2007
Harian Kedaulatan Rakyat, 15 April 2008.
------, 21 April 2008.
------, 22 Juli 2008.
------, 22 September 2008.
------, 4 Maret 2008
Harian Kompas, 8 April 2008.
Harian Koran Tempo, 26 Nopember 2008.
------, 28 April 2008.
Harian Lombok Post, 55 Februari 2009
------, 27 Februari 2009
------, 19 Mei 2008
------, 4 Juli 2007
Harian Media Indonesia, 25 Nopember 2008.
BIBLIOGRAFI 441
Harian Radar Jogja, 4 Maret 2008.
------, 18 Maret 2008.
------, 27 Februari 2008.
------, 28 Februari 2008.
------, 29 April 2009.
------, 29 Februari 2008.
------, 29 Februari 2008.
------, 4 Maret 2008.
------, 4 Maret 2008.
------, 5 Maret 2008.
Harian Tribun, Bulan Nopember 2007
Harian Suara NTB, 11 Februari 2009
------, 15 Mei 2008
------, 21 Februari 2009
------, 23 Februari 2009
------, 27 Februari 2009
Harian Suara Merdeka, 10 Januari 2008
------, 11 Februari 2006
Harian Suara Pembaruan, 9 September 2002.
Jurnal Ulumul Qur’an (1993), Nomor 3, Volume IV.
Majalah Al-Bashirah, (Edisi 05 Tahun II Muharram 1429,
2007).
Majalah Al-Furqon, edisi 8 tahun IV Rabiul Awal 1426
Majalah Gatra, Nomor 23, 17 April 2008.
Majalah Liahona, Edisi Juli 2006
Majalah Liahona, Edisi Oktober 2007
Wawancara
Agus Budianto, (Yogyakarta), 07 Januari 2007.
Galla Puto, (Kajang), 28 September 2004
Hendrik Seriholo, (Seriholo), 29 Februari 2009
442 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Qasim Saguni (Pengurus Pusat Wahdah Islamiah), 26 Mei
2005
Ustas Ikhwan (Pengurus Pusat Wahdah Islamiyah), 12 Juni
2007
Budi Utomo, (Penasehat Distrik Surakarta), 02 Oktober
2008
Kepala Desa Klepu, 13 Februari 2008.
Suyatno (Klepu), 13 Februari 2008.
Mbah Selan (Klepu), 14 Februari 2008.
Mustakim (Klepu), 14 Februari 2008.
Salam Muhayat (Klepu), 14 Februari 2008.
Mustakim (Klepu), 26 Februari 2008.
Suwito (Klepu), 20 Februari 2008.
-----, 26 Februari 2008.
Sukidi (Klepu), 20 Maret 2008.
Koh Margo, (Yogyakarta), 04 Desember 2008.
Pamuji, 08 Maret 2008.
Partomo, 08 Maret 2008
Suyatno, 08 Maret 2008.
Elder Andressen, 24 Oktober 2008.
Elder Supriyanto, 24 Oktober 2008.
Karsi, 09 Maret 2008.
Mbah Yoto (Klepu), 09 Maret 2008.
A. Mahrus Andis, (Bulukumba), 11 Desember 2008
Tjamiruddin (Bulukumba), 11 Desember 2008.
Ust.H Hamzin, 11 Desember 2008
Agung Santoso (Klepu), 12 Februari 2008.
Ust.Pihirudin, 23 Desember 2008
Ust.Tanwir, 26 Desember 2008
Piet Patiwailapia, (Paso), 01 Maret 2009
Mardianto, (Bulukumba), 24 Januari 2009
A. Mattalatta (Bontobahari), 25 Januari 2009
BIBLIOGRAFI 443
Lina (Tanah Beru), 25 Januari 2009.
Putra Wangsa, 30 Januari 2009
Khoirul Anam, (Yogyakarta), 02 Januari 2009.
Mardiyono (Semarang), 20 Agustus 2008 02 Februari 2009.
J, 14 Februari 2009.
SH, 14 Februari 2009.
Zairullah Azhar, 14 Februari 2009
Jusman, S.Pd. (Bulukumba), 15 Februari 2009
RS, 15 Februari 2009.
TM, 16 Februari 2009.
Restya Budi, (Surakarta), 24 Februari 2009.
Muhammad Nasir Wakano, (Negeri Latu), 03 Maret 2009
Saefudiin Sapsuha, (Negeri Latu), 03 Maret 2009.
TGH. Khatibul Umam, 04 Februari 2009.
Yudi Wildan, (Bandung), 04 Mei 2009.
Taufik Arbain (Banjarmasin), 28 April 2009.
TGH. Jamiludin, 05 Januari 2009
KH Saifudin Kamil, (Bandung), 05 Mei 2009.
Usep Dedi, (Bandung), 05 Mei 2009.
Farid Hadjiri, (Depok), 13 Mei 2009.
Maladi Dani, (Bandung), 04 Mei 2009 & 06 Februari 2009.
Rais Haulussy di Negeri Liang, 06/03/2009
Kepala Desa Mesanggok, 08 Februari 2009.
M. Nur Tawainella, (Negeri Tulehu), 08/03/2009.
Ust. H.Said, 09 Januari 2009
Pdt. Lodewijk Gultom, (Depok), 09 Mei 2009.
Fakih, (Yogyakarta), 10 Januari 2009.
John A. Titaley (Salatiga), 10 Februari 2009.
Y, 10 Februari 2009.
444 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Website
http://antipemurtadan.wordpress.com
http://dakta.com
http://epaper.suarapembaruan.com/default.
aspx?iid=24721&startpage=page0000012
http://fkki-jabar.blogspot.com
http://hkbpcinere.tripod.com/.
http://hkbpcinere.wordpress.com/about/
http://jawaban.com
http://klikfkub.wordpress.com/2009/03/
http://klikfkub.wordpress.com/2009/03/.
http://kompas.com.
http://www. islamlib.com
http://www.antaranews.com
http://www.banua-raya.blogspot.com/2008/11/thm-tanbu.htmlhttp://www.budyawacana.com
http://www.budyawacana.com/media.php?module=profil
http://www.cmm.or.id
http://www.crisisgroup.org.
http://www.detik.com
http://www.elsam.or.id/txt/asasi/2001_0304/03.html.
http://www.gatra.com.
http://www.geocities.com/haiho1961/fridolin.html
http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006/mei_31/hl003.
html.
http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006/sep_18/
lkMim001.html.
http://www.ireyogya.org/F16_kasus.htm.
http://www.klentengponcowinatanjogja.com
http://www.kompas.com
http://www.kompas.com
BIBLIOGRAFI 445
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0104/12/daerah/konf30.
htm,
http://www.kompascybernews.com
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=155331&actmenu=46.
http://www.nu.or.id/page.php
http://www.ob.or.id/modules.
php?name=News&file=article&sid=342
http://www.pgi.or.id
http://www.puisi.net/index.
php?option=com_content&task=view&id=206&Itemid=46
http://www.reformata.com.
http://www.republika.co.id
http://www.salafy.or.id
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0810/13/jab03.htmlhttp://www.sinarharapan.co.id/nasional/2006/s0601.htmlhttp://www.tasteofjogja.com.
http://www.tasteofjogja.com.
http://www.tempointeraktif.com
http://www.tempointeraktif.com/hg/tata_kota/2009/05/06/
brk,20090506-174766,id.html
http://www.thejakartapost.com/.../religious-intolerance-gettingworse-says-report.html http://[email protected]:[email protected].
http://www.vhrmedia.com
http://www.wahidinstitute.org
http://www.wikipedia.org.i/Klenteng.
http://www.yesuskristus.or.id
http://www.yogyes.com.
http://zkarnain.tripod.com
446 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Indeks
A
A.A. Cence • 136
A. Putra Wangsa • 140, 163
abangan • 69, 70, 71, 72, 76, 167
Abduh • 21, 26
Abdullah Ahmad • 26
Abdullah bin Baaz • 158
Abdullah bin Salim Al-Bashry • 23
Abdul Wahab Qadhi • 23
Abdurrahman Wahid • 171, 188,
266, 404
Abraham • 182, 183
Abu Bakar Baasyir • 41
Abubakar Kabakoran • 340
Aceh • 139, 153, 192
Adam • 181
Adi Pontjonoegroho • 242
Agus B • 266, 267
Agus Supriyanto • 59
Ahmad Hasan • 27
Ahmadiyyah • 194, 195
Ahmad Sayuti • 367
Aholiab Watloly • 341
Ahuru • 339, 350
Aikmel • 27, 29, 30, 34, 35, 37
Akhmad Khatib • 139
AKI, HDH • 367
al-Bâdil al-Islâmî • 419
al-Bashirah • 158
al-Bisthami • 141
al-Ihyâ’ al-Islâmî • 418
Al-Islam Joresan • 88
al-Khurasani • 141
Al-Manar • 26, 31
al-Qur’an • 437
al-Sahwah al-Islâmiyyah • 418
al-salaf al-shalih • 21
al-Salâfiyah • 418
al-Urwah al-Wustqa • 26
al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah • 418
Alexis de Tocqueville • 412
Aliansi Pengungsi Maluku • 349
Ali bin Abi Talib • 412, 413, 414,
416
Alifuru • 338
Alkitab • 170, 171, 172, 173, 179,
184, 185, 187, 202, 210,
211, 213, 216, 218, 411,
412
Allah SWT • 141
Amanna Gappa • 133
Ambon • 318, 336, 337, 340, 341,
349, 350, 354, 356
American Religion • 213
Amerika Serikat • 170, 179, 198,
448 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
200, 209, 210
Amma Toa • 135, 136, 137, 138,
436
Ampenan • 58
Andi • 106, 107, 134
Andi Suwito • 106, 107
Aostronesia • 16
APBN • 396, 400
Appleby • 422, 431
Ara • 135, 138, 139
Arab • 19, 24, 28, 31, 35, 37, 38,
41, 47, 54, 57, 86, 155, 318,
414, 415, 416, 417, 422
Arab Saudi • 19, 24, 28, 31, 35, 37,
41, 47, 86, 417
Aramaic • 411
Aristoteles • 423
Ariyanto Tirtowinoto • 235
AR Sutan Mansur • 26
As-Sunnah Salafiah • 31
Atho Mudzhar • 396
B
Baamang • 293
Badan Pertanahan Nasional • 252,
274
Badrul Kamal • 381
Badui • 24
Bagek Nyaka • 27, 29, 30, 32, 34
Baghdad • 23
Bakka Tera • 138, 139
Bali • 16, 17, 18, 19, 292, 318, 363
Balikpapan • 153
Bambang Kesowo • 316
Banda Aceh • 153
Bandung • viii, 142, 152, 189, 210,
359, 365, 368, 369, 370,
371, 372, 373, 374, 375,
376, 377, 383, 387, 388,
390, 391, 392, 393, 394,
395, 396, 397, 398, 402,
409, 432, 434, 443
Bani Saleh • 42, 44
Banjar • 290, 291, 292, 307, 317,
318
Banjarmasin • x, 296, 314, 320,
321, 322, 435
Bantaeng • 135, 153
Bantul • 234
Bapak Surgawi • 182, 186, 215
Barat • 58, 59
Barru • 153
Barzanji • 18, 34, 45, 57
Bashrah • 23
Basuki • 247, 251, 262, 264, 265
Batak • 197, 292, 318, 367
Batu Merah • 349, 350
Bayan Suraji • 110
Belanda • 16, 17, 18, 19, 38, 74,
139, 141, 193, 197, 231,
258, 343
Beroro • 58
bid’ah • 19, 414, 416
Bima • 28, 38, 153
BKSG • 369
Bob Bennett • 179
Bodhisatva • 234
Bogor • 189, 379, 380, 381, 384
Bohe Kato • 136, 137
Bonandir • 81
Bone • 152, 155
Bontobulaeng • 143
BPK • 188, 191, 329, 431, 432, 435
INDEK 449
Buddha • 15, 196, 225, 229, 232,
233, 234, 235, 367, 369, 371
Budi • 142, 170, 198, 203, 204,
205, 382, 442, 443
Bugis • 134, 138, 292, 318, 337
Bulo-Bulo • 136
Bulukumba • vii, ix, 131, 132, 133,
136, 137, 141, 143, 144,
145, 146, 147, 148, 149,
150, 152, 153, 155, 159,
161, 162, 163, 164, 165,
166, 167, 168, 428, 437,
442, 443
Bupati Bandung • 369, 372, 390,
396
Burhanudin Daya • 26, 27
Buton • 337
Butta Panrita Lopi • 133
C
Cabang Davidian • 200
Cabogo • 135
Cakranegara • 17, 28, 37, 41
Calvinis • 197, 207
Carik Poedji Soekartono • 79
Charles Taylor • 175, 176
China temple • 253, 254, 273, 275
Chunghwa • 254, 273
Church of England • 411
Ci • 228
Cibiuk • 388
Cilibbo • 143
Cina • 37, 38, 318
Cinere • 378, 379, 380, 381, 382,
383, 384, 385, 386, 387,
396, 397, 400, 439
Cingcin • 388, 390
clean government • 333
Cokrodiningratan • 234
Confusius • 259
Cooley • 343, 344, 345, 432
CU Betang Asi • 310
D
Daarul Falah (LDATA) • 31
Daerah Istimewa • viii
dakwah • 18, 23, 52, 53, 61, 84,
86, 87, 88, 89, 94, 96, 97,
98, 109, 111, 113, 116, 119,
135, 146, 147, 148, 154,
155, 356
Dalail al-Khairat • 45, 47
Damang • 296
dan Purbakala • 236, 241, 244,
245, 246, 249, 255, 263,
265, 270, 277, 278, 283,
439
Dara Arum • 310, 311
Darul Istiqamah • 146, 147
Datuk Patimang • 135, 136
Datuk ri Tiro • 134, 135, 136, 137,
138
Dayak • viii, x, 287, 288, 289, 290,
291, 292, 293, 294, 295,
296, 297, 298, 300, 302,
303, 304, 305, 306, 307,
308, 309, 310, 311, 312,
367, 433, 437
Dayak Losarang • 367
Dean C. Jensen • 190
Deliar Noer • 25, 26, 27
Departemen Agama • 82, 173, 174,
450 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
362, 379, 386, 396, 438
Departemen Lingkungan Hidup •
156
Department of State • 170, 171,
438
Dery Sadana • 235
Desa Gapuk • 44, 48, 58
Desa Kutu • 81
desa Liang • 350, 351
Desa Sepa • 350
Desa Sombro • 74
Dewan Harimau Nan Selapan • 25
Dewan Penasehat FKUB • 362,
371, 374
Dewi Kwan Im • 234
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Jogjakarta • 280, 281
Dinas Ketertiban • 236, 241, 248,
277
Dinas Perizinan Pemkot Jogjakarta
• 262, 268
Dinasti Utsmani • 414, 416
Dirjen Sejarah • 236, 241, 244,
245, 246, 249, 255, 263,
265, 270, 277, 278, 283,
439
DKI Jakarta • 152
Dodi KH • 384
Dompu • 28, 38
DPD Golkar Banjarmasin • 321
dr. HM. Zairullah Azhar, M. Sc •
314
Dr Daniel Pipes • 420
Drs. Burhansyah • 316
Drs. Ilham Djafrie • 315
Drs. Soeroso, M.Hum • 240
Drs Tjamiruddin • 145
Dunia Baru • 212
Durkheim • 66, 127, 215, 433
Dusun Jogorejo • 68, 82, 126
Dusun Sambi • 68, 77, 91, 96, 99,
102, 107, 111, 112, 114,
120, 122, 126
E
Efesus • 183
Elder Andressen • 183, 184, 192,
213, 442
Emille Durkheim • 215
Emmanual Sivan • 419
Enrekang • 152
Eropa • 192, 211, 212
Etta • 134
F
Fahmi Salatalohy • 341
Famili • 347
Fantoni Gutama • 235
Farid Hadjiri • 370, 378, 386, 387,
443
Fathul Muin • 150
FKKI • 373
FKUB Depok • 365, 368, 369, 370,
371, 372, 374, 377, 378,
379, 381, 382, 386, 387,
394, 395, 397
FKUB Kab. Bandung • 365, 368,
369, 371, 373, 374, 375,
376, 377, 391, 392, 394,
395, 398
Fokus London • 86
Fraksi PDI Perjuangan • 248
Fransis Xavier • 342
INDEK 451
Frederick M. Denny • 422
Fundamentalist LDS • 199
G
Gandul • 379
Garda Hasmi • 368
Gautama • 234
Geertz • 69, 70, 71, 72, 215, 433
Gegutu • 42
Gejayan • 235
Geraja Bethel Indonesia (GBI) •
388, 389
Gereja Bethel Indonesia • 197, 366
Gereja Bethel Pentakosta Indonesia
(GBPI) • 388
Gereja Bethel Tabernakel • 392
Gereja Kristen Indonesia • x, 197,
235, 366
Gereja Sesat • 170
Gereja Yesus Kristus • 174, 179,
185, 186, 438
Gerung • 29, 44, 48, 49, 50, 51,
52, 58, 59
ghanima • 351
Gideon Hartono • 226, 235, 241,
245, 249
GII Taman Rahayu • 374
Gilbert Lumoindong • 202, 203
Gilles Kepel • 419
Golkar • 78, 79, 84, 85, 321, 436
Gomong Lama • 28, 41
Gondomanan • 232, 235
good governance • 327
Gordon B. Hinckley • 171, 180,
181, 188
Gordon Smith • 179
Gorontalo • 152, 155
Go Tiang Lioe • 235
Gowa • 135, 136, 152
Gunung Boko • 234
Gunung Sari • 29, 54, 58
Gunung Sempu • 234
Gus Dur • 171, 195
H
H.Husnul Munip • 31
H. Idris • 28, 37, 38, 39, 40, 41
H. Jayadi Hasan • 316
H. Mukti • 29, 30, 46, 47, 48, 49,
50, 50, 51, 52, 59
H. Musfihad • 46, 48
H. Piabang • 25
H. Rasul • 26
H. Said • 29, 42, 43, 44, 58
H.Wildan • 44
Haafkens • 66
Haji Madjid • 19
Haji Miskin • 25
Halmahera • 338, 342
Haramain • 156, 157
Harry Reid • 179
Harvard University • 420
Haryadi Suyuti • 243
Hasan • 27, 122, 135, 316, 339,
416, 434
Hasan Tunggal • 135
Hasyimiyah • 415
Hasyim Muzadi • 404
Hasyiyah Shahih Bukhary • 24
Hendrik Seriholo • 351, 441
Henry Kuncoroyekti SH • 248
Herman Hasyim • 153
452 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Herni Pramastuti • 237
Herry Zudianto • 243, 251
Hidayat Nurwahid • 404, 405
Hidayatullah • 146, 147
Hila-Hila • 135
Hindu • 15, 16, 17, 18, 196, 206,
292, 318, 332, 367, 369,
371
Hindu-Buddha • 15
Hindu-Jawa • 15
HKBP Cinere • 378, 379, 380,
381, 382, 383, 384, 385,
386, 387, 396, 397, 400,
439
HKBP Pangkalan Jati • 378, 380
Hokkian • 228
Hok Tik Bio • 233
Hok Tik Cing Sin • 233
Hualoy • 351, 352, 353
Hukum Cambuk • 145
Husnul Akib • 81, 82, 97
I
IAIN Sunan Ampel • 88
Ibn Qayyim al-Jawziyyah • 21
Ibn Taimiyyah • 27
Ibnu Saud • 157, 415
Ibnu Taymiyyah • 21
Ibrahim • 23, 24, 129, 416, 431
Ibrahim bin Sulaiman • 23
Ibrani • 180, 220, 411
Idul Fitri • 17, 94, 101, 196, 347
Iha • viii, 335, 339, 347, 349, 350,
351, 353
Ihsan Ali Fauzi • 319
Imamat Melkisedek • 187
Imam Syafii • 18, 26
Ina Ama • 352
India • 24, 318, 428
Indonesia • i, iii, iv, v, vii, ix, x, xi,
17, 25, 27, 28, 32, 57, 67,
79, 80, 84, 130, 139, 141,
142, 152, 163, 170, 171,
179, 191, 190, 189, 57, 173,
189, 25, 174, xi, 188, 194,
172, 171, 131, 25, 170, 192,
194, 195, 196, 197, 206,
209, 210, 213, 214, 215,
216, 217, 219, 221, 222,
228, 233, 235, 264, 266,
279, 280, 284, 287, 288,
289, 292, 296, 310, 314,
318, 321, 331, 335, 336,
341, 342, 353, 363, 366,
367, 385, 388, 389, 393,
403, 404, 405, 422, 428,
432, 433, 434, 435, 436,
437, 438, 439, 440
Inggris • 32, 179, 405, 410, 411
insider • 66, 67
integrisme • 419
Iqbal Manna • 149
Irak • 24
Irfan Nugraha • 389
IRO • 156, 157
Ir Yusran Yusuf • 164
Ishak Suhendra • 367
Iskak Gunawan • 235
Islam • vii, ix, x, xi, 15, 16, 17, 18,
19, 20, 21, 22, 23, 24, 25,
27, 28, 33, 41, 55, 62, 63,
65, 69, 70, 71, 72, 73, 74,
75, 76, 77, 78, 79, 80, 81,
INDEK 453
82, 84, 85, 86, 87, 88, 89,
90, 91, 92, 93, 94, 96, 97,
98, 100, 101, 103, 104, 108,
109, 110, 111, 114, 116,
117, 119, 121, 126, 129,
130, 131, 132, 134, 135,
136, 137, 138, 139, 140,
141, 144, 145, 146, 147,
148, 149, 150, 152, 155,
158, 159, 163, 167, 168,
185, 193, 194, 195, 196,
206, 214, 219, 292, 314,
318, 319, 321, 330, 332,
335, 339, 342, 345, 350,
352, 354, 355, 356, 357,
359, 367, 368, 369, 370,
371, 373, 386, 389, 403,
404, 405, 407, 408, 409,
412, 413, 414, 415, 416,
417, 418, 419, 420, 422,
423, 424, 425, 426, 427,
431, 432, 433, 434, 435,
436, 437
Islamic Centre Abu Hurairah • 41
Islam Nusantara • 15
Ismail Hadi • 31
J
Jalal al-Shan’ani • 21
Jalsah Salanah • 195
Jamal al-Din al-Afgani • 21
Jamiat Khair • 26
Janggo Toa • 135, 136
Janggo Toa Kajang • 136
Jannat al-Baqi • 416
Jason Lase • 173
Jawa • x, 15, 18, 27, 28, 40, 41,
69, 73, 89, 110, 188, 193,
194, 195, 197, 199, 229,
232, 291, 292, 317, 318,
337, 354, 365, 366, 367,
368, 371, 372, 380, 437,
439
Jawa Barat • 365, 366, 367, 368,
371, 372, 439
Jawa Tengah • x, 193, 194, 195,
197, 199, 232
Jawa Timur • 89, 110
Jayapura • 153
Jedah • 415
Jembatan Kembar • 58
Jembatan Surau Besi • 26
Jeneponto • 152
Jepang • 18, 19, 158, 258
Jetis • 81, 240, 242, 252, 275
Jhon Calvin • 410
Jhony Rusmanto • 289
jihad • 23, 24, 356, 418, 427
Jogorejo • 68, 69, 82, 85, 99, 126
John Ryan Bartholomew • 17, 19
Jonatan H. Turner • 176
Joseph Smith • 173, 179, 180, 181,
184, 185, 186, 187, 202,
207, 208, 438
Jundullah • 146, 147
Juwaini • 103, 104, 106, 107, 123
K
Kabupaten Bandung • viii, 359,
365, 368, 387, 391, 396,
402
Kabupaten Banjar • 317
454 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Kabupaten Gunung Mas • 292
Kabupaten Katingan • 292
Kabupaten Kotabaru • 315, 316,
317
Kabupaten Pulang Pisau • 292
Kabupaten Tanah Bumbu • 315,
316, 317, 318, 322, 323,
328, 331, 431, 436, 438
Kabupaten Tanah Laut • 317
Kadirun Yahya • 141, 142
Kairo • 28
Kajang • 135, 136, 137, 138, 432,
434, 436, 441
kakehan • 344
kalatting • 136
Kalimangu • 74, 75
Kalimantan Selatan • 315, 316,
317, 321, 322, 332, 437,
438
Kalimantan Tengah • x, 287, 288,
289, 290, 291, 292, 293,
294, 296, 301, 304, 310,
438
Kalumpang • 135
Kamituwo • 74, 76
Kampung Kranggan • 230
kapata • 341
Kapuas • 295, 296, 311
Karaeng • 134, 136, 138, 139
Karaeng Kajang • 136
Karaeng Mamampang • 138, 139
Karaeng Matoa • 136
Karen Armstrong • 426
Karsi • 86, 101, 103, 106, 107,
114, 115, 116, 122, 123, 442
Karubbe • 143
Kasiman • 81
Kasyfu Syubuhat • 24
Katemin • 116, 117
Katolik • 69, 70, 71, 77, 78, 79,
80, 82, 86, 87, 89, 90, 91,
92, 93, 94, 109, 126, 140,
195, 206, 210, 211, 318,
342, 343, 367, 369, 371
Kayu Tiga • viii, 335, 339, 349,
350, 353, 357
Kebon Kongok • 46, 47
Kecamatan Janapria • 28, 37
Kecamatan Sooko • 67, 68, 85
Kei • 337, 353
kejawen • 69, 70, 71, 72, 73
Kelenteng Tay Kak Sie • 195
Kelurahan Pahandut • 290
Kelurahan Panarung • 290
Kembang Kerang • 27, 29, 30, 32,
34
Kendari • 152, 155
kenduren • 84
Kepatihan • 231
Keraton • 226, 231, 242, 243
Kereng Pangi • 287, 293
Kesbang Linmas • 368, 394, 395
Kesultanan • 257
Ketapang • 388, 390
Keuskupan Agung Semarang • 195
KGPH Hadiwinoto • 245, 274
KH. Achmad Dahlan • 25
KH. Ahmad Dahlan • 19
Khalidiyah • 141, 454
KH. Hasyim Asy’ari • 18
KH. Muhatim Hasan • 122
Khaled Aboe el-Fadl • 407, 408,
416, 417
Khalwatiah • 146
INDEK 455
KH Anshor M. Rusydi • 122
Kharaj • 24
Khatib Bungsu • 135
Khawarij • 412, 413, 414
khilafiyah • 97, 101, 119
Khizib • 18, 57
khurafat • 19
King James • 172
Kitab-kitab Perjanjian • 172
Kitab Mormon • 172, 179, 180,
201, 213
Kitab Permata • 172
Kitabut Tauhid • 24
Klenteng Poncowinatan • 438
Klepu • vii, 65, 67, 68, 69, 70, 71,
72, 73, 74, 75, 76, 77, 78,
79, 80, 81, 82, 83, 84, 85,
86, 87, 88, 89, 90, 91, 92,
93, 95, 96, 97, 98, 99, 100,
101, 102, 103, 104, 108,
109, 110, 111, 112, 114,
116, 119, 120, 121, 122,
126, 442
Koh Margo • 266, 267, 442
Kolaka • 152
Korea • 318
Kota Depok • viii, 359, 365, 368,
369, 383, 385, 396
Kota Gede • 264
Kota Mataram • 17, 28, 38, 41, 42,
46, 60, 58
Kotawaringin Barat • 295, 296
Kotawaringin Timur • 288, 294,
295, 296
Kristen • x, 18, 71, 86, 140, 171,
172, 173, 174, 185, 192,
197, 199, 203, 205, 207,
209, 210, 211, 216, 218,
219, 235, 252, 254, 255,
256, 261, 267, 273, 292,
318, 330, 332, 335, 336,
338, 339, 342, 345, 348,
351, 354, 355, 357, 359,
360, 366, 367, 369, 373,
390, 391, 392, 408, 410,
411, 418, 419, 420, 423,
424, 438
Kristiani • 252, 261, 381, 384,
417, 420
Krukut • 379
KUA • 81, 85, 107, 120
Kuniran Atas • 94, 97, 98, 99, 100,
101
Kurdi • 73, 74, 75, 76, 79
Kuswandi • 90, 91, 95
Kuwait • 28, 31, 32, 35, 37, 38
Kwan Tee Kiong • 232, 233
L
Lailatul Ijtimak • 39
Langkasa • 135, 136
Lao Tze • 229
Lapian • 172
larvul ngabal • 353, 354, 356
Las Vegas • 190
Latu • 346, 347, 351, 352, 353,
443
LDS Charities • 188, 189, 222
Lease • 337
Ledok • 68, 73, 99
Lekong Putek • 30
Lembang • 136, 143
Lembar • 44, 46, 47, 48
456 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
lima • 23, 29, 35, 45, 50, 56, 75,
83, 96, 108, 112, 114, 152,
166, 179, 194, 198, 279,
281, 292, 337, 338, 342,
422
Limo • 379, 382
Lingsar • 17
Litbang Depag • 396
Lodewijk Gultom • 370, 372, 374,
378, 386, 387, 394, 443
Lombok • ix, 15, 16, 18, 19, 20,
27, 28, 29, 30, 31, 32, 17,
29, 32, 31, 34, 35, 36, 37,
38, 40, 41, 42, 44, 46, 48,
49, 51, 52, 53, 54, 55, 58,
59, 60, 62, 194, 440
Lombok Barat • ix, 17, 29, 30, 41,
42, 44, 48, 51, 54, 60, 58,
59
Lombok Timur • 17, 27, 28, 29,
30, 31, 32, 34, 60, 35, 36,
37, 41, 53, 54, 55, 58, 60
Lombok Utara • 16, 52
lumatau • 342
Lurah Soemakoen • 77
Luwu • 135, 152, 153
Luwuk Banggae • 153
Luwu Timur • 153
M
Madagaskar • 133
Madinah • 23, 24, 152, 155, 314,
415, 416, 417
Madrasah Al-Falah • 28
Madrasah Aliyah • 18, 28
Madrasah Ihya As-Sunnah • 58
Madrasah Tsanawiyah • xi, 18, 30,
40
Madura • viii, x, 287, 288, 289,
290, 291, 292, 293, 294,
295, 296, 297, 298, 299,
300, 301, 302, 303, 304,
305, 306, 307, 308, 309,
310, 311, 312, 318, 367,
433
Madzariah • 141
Magelang • 232
magersari • 253, 274, 275, 282,
285
Mahayana • 196, 229
Mahmud Suyuti • 82
Majalaya • 388, 389
Majapahit • 15, 16, 17
Majelis Ulama Indonesia (MUI) •
130, 367
Makassar • 432, 434
Maladi • 369, 373, 374, 375, 377,
394, 443
Maluku • viii, ix, xi, 335, 336, 337,
338, 339, 340, 341, 342,
343, 345, 347, 348, 349,
350, 351, 352, 353, 354,
355, 356, 357, 439
Maluku Tengah • 338, 340, 341,
345, 347, 350, 439
Maluku Tenggara • 338, 340, 342,
353
Maluku Utara • 342
Mamuju • 153
Manado • 171, 189, 318
Manajemen Ilahiyah • xi, 314, 316,
321, 323, 325, 331, 431, 436
Mansur • 26, 164
INDEK 457
Manuel Castell • 175, 176
Mapatinro Benne • 134
Mappadendang • 134
Mappalili • 134
Marauke • 153
Mardianto • 141, 143, 144, 159,
162, 163, 164, 165, 166,
442
Margahayu • 392, 393, 401
Margaret Jean Jensen • 190
Marina • 196
Maros • 153
Martin E Marty • 422, 425
Martin Luther • 410
Masjid Baitul Mukminin • 99
masjid Daarud Dakwah • 59
Masjid Darussalam • 100
masyarakat madani • 331
Masyumi • 18
Mataram • 58
Mattalatta • 165, 166, 442
Mattulada • 135, 136
Maulana Syekh TGH. Zainudin
Abdul Majid • 17
Maulid Nabi • 19, 56
mazhab • 18, 22, 24, 25, 60, 63,
194, 405, 416
mazhab Hanbali • 25
Mbah Kasno • 113
Mbah Selan • 71, 442
Mbah Sulni • 82, 83, 91, 102, 105,
108, 112, 113, 114, 115,
118, 122
Mbah Yoto • 65, 77, 99, 101, 106,
110, 112, 113, 114, 115,
116, 117, 118, 442
Medan • 142, 188, 209
Megawati • 316
Melanesia • 338
Melayu • 27
Menteri Agama • 191, 194, 216,
359, 360, 361, 363, 364,
372, 385, 438
Menteri Dalam Negeri • 194, 359,
360
Meruyung • 379
Mesir • 24, 28, 185, 413, 415, 431
miao • 228, 229
Mike Crapo • 179
Minagkabau • 367
Modin Sukidi • 82, 83, 93, 108,
110
Moelyadi SH • 262
Mormon • vii, 169, 170, 171, 172,
173, 174, 175, 179, 180,
181, 183, 184, 185, 188,
189, 191, 192, 193, 197,
198, 199, 200, 201, 202,
203, 204, 206, 207, 208,
209, 210, 211, 212, 213,
214, 215, 216, 218, 219,
220, 221, 222, 433, 435,
438
Mormon Tabernacle • 179
MPR • 404
Mu’awiyah bin Abu Sufyan • 412
Muhadi • 82
Muhammad Abduh • 21
Muhammad al-Syawkani • 21
Muhammad bin Abdul Wahab • 22,
23, 24, 27, 414
Muhammad bin Suud • 24
Muhammad Djamil Jambek • 139
Muhammad Hayat As-Sindy • 24
458 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Muhammadiyah • x, 19, 20, 25, 26,
27, 70, 73, 81, 94, 97, 98,
99, 100, 101, 108, 110, 114,
143, 146, 150, 159, 321,
356, 367, 369, 431
Muhammad Rasyid Ridha • 21
Muhammad Sarjono SH • 246
Muhibbin • 322
Muh Ridwan • 160
Mujiburrahman • 319, 435
Mukhtar Sarman • 319, 320
Muktar • 165
Mukti Nasihat • 59
Muna • 152
Munawar • 65, 83, 84, 85, 88, 89,
95, 97, 99, 100, 101, 105,
110, 111, 112, 113, 114,
115, 116, 117, 119, 120,
121, 122
Musa • 129, 181, 182, 183, 202,
413, 431
Muspika • 119, 388, 392, 401
Mustakim • 72, 74, 75, 76, 77, 80,
81, 82, 83, 84, 85, 86, 88,
92, 95, 96, 97, 98, 101, 108,
120, 442
Musyawarah Kota (Muskot) • 369
Narmada • 17, 42
Natbiti • 69
Negara Kesatuan Republik
Indonesia • 366
Negeri Kamariang • 345
Negeri Sepa • 345, 347
New England • 410
Newmont Nusa Tenggara (NNT)
• 44
New York • 125, 127, 130, 185,
208, 212, 219, 342, 431,
432, 433, 434, 435, 436
Ngadirojo • 77
Ngang Shan • 233
Ngapak • 68, 73, 74, 75, 76, 79,
99, 100, 101
Ngupasan • 235
NTB • 38, 41, 45, 48, 49, 50, 51,
52, 318, 428, 441
NTT • xi, 335
Nuh • 181, 182, 183
Nur Kholik Ridwan • 25, 27
Nurmahmudi Ismail • 439
Nusa Ina • 341
NW • 17, 18, 19, 20, 34, 40, 41,
57, 62
NW-Anjani • 41
N
O
Nabi • 58
Nabi Muhammad • 21, 33, 45, 55,
56, 139
Nahdlatul Ulama (NU) • 39, 45,
367
Nahdlatul Wathan • 17, 18, 19
Najd • 414, 415
Obar Sobarna • 396, 397
Obeth • 339
Oncan Poerba • 227, 245, 247,
249, 253
Orde Baru • 70, 78, 79, 229, 233,
260, 267, 298, 313, 353
Orrin Hatch • 179
INDEK 459
Osmond • 179
outsider • 66, 67
P
P4 • xi, 92, 93
Paciran • 110
Padawulan • 389
Padri • 25, 26
Pagatan • 320
Pak Munawar • 65, 113
Pak Wo • 105
Palangka Raya • viii, 290, 291, 292,
295, 299, 300, 301, 302,
304, 306, 307, 309, 311,
312
Palembang • 367
Pali • 229
Palpo • 152
Palu • 152, 155
Pancasila • xi, 82, 93, 321, 366
Pancor • 17, 37
Pangadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) • 383
Pangestu • 196
Pangkalan Jati • 378, 379, 380
Panre Abeng • 139
Paok Dandak • 37, 39
Papua • 335, 336
Pare-pare • 153
Parigi • 153
Partai Masyumi • 18
Partomo • 83, 117, 118, 119, 120,
123, 124, 125, 128, 442
Pasar Kranggan • 226, 245
Pasar Wadai • 307
Patabai Pabokori • 145, 148
Patuntung • 136
Pdt. Dr. Arnold Nicolaas
Radjawane • 341
Pdt. Ev. Jamanarik Nainggolan •
388
Pdt Dr Lefrandt Lapian MA • 172
Pecinan • 195, 196, 230
Pejarakan • 29, 42, 43, 44, 54, 58
Pekan Baru • 153
Pekunden • 198
Pela • 343, 344, 356
pela-gandong • 343
Pelamboyan Bawah • 293
pela tempat sirih • 344, 345
pela tulen • 344
pelau • 343
Pemerintah Daerah • 379, 393,
394, 437
Pemuda Pancasila • xi, 321
Penatua Ezra Taft Benson • 189
Pendeta Robby Eliza • 388, 389
Pendeta Sibuea • 217
Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) • 262
Pentakosta • xi, 172, 197, 214, 388
Perang Topat • 17
Peraturan Bersama Menteri • xi,
359, 385
Perda • 144, 145, 319, 320, 397,
433, 435
Perjanjian Baru • 173, 185, 202,
218
Perjanjian Lama • 185, 187
Persekutuan Gereja-Gereja seIndonesia Setempat • 385
Pesantren Arrisalah Ponorogo • 121
Pesantren Bersujud • 324, 437
460 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Pesantren Daarul Falah • 46
Pesantren Darul Fikri • 103
Pesantren Gontor • 83, 84, 111
Pesawahan, Dayeuhkolot • 388
Peter M. Blau • 125
Petrus • 187
Piet Pattiwailapia • 349
Pinrang • 152
POLDA DIY • 261
political marketing • 325
Polman • 152
Poltabes • 250, 251
Pondok Pesantren Jamaludin • 29
Pondok Pesantren Nurul Hakim
Kediri • 29
Ponorogo • vii, 65, 67, 68, 77, 81,
82, 83, 88, 89, 90, 102, 104,
107, 119, 120, 121, 122,
123, 428
Ponpes Ubay bin Ka’ab • 58
Pontianak • 153
Portugis • 342, 343
Poso • 341
Prambanan • 234
Presiden • 169, 171, 180, 187,
188, 189, 190, 193, 198,
201, 214, 316, 404
Presiden Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) • 404
Protestan • 140, 197, 211, 343,
367, 369, 371, 391, 410,
422, 423
Provinsi Riau • 363
PT. Bukit Cinere Indah • 380
PT Urecon Utama • 380
Pulau Buru • 337
Pulau Saparua • 350
Pulau Seram • 347, 350
Q
Qadariyah • 143, 460
Qashim • 24
Qasim Saguni • 151, 156, 157, 158,
159, 442
R
R. Scott Appleby • 422
Rais Aam • 18
Rais Haulussy • 350, 351, 443
Raja Abdul Azis ibnu al-Saud • 415
Raja Saud • 414
Ramadhan • 38, 72, 113, 209, 307,
320, 323, 435
Rancaekek • 397
Rasulullah • 164, 194, 314, 326,
414, 416
Rasulullah SAW • 326
Rasyid Ridha • 21, 26, 27
Ratna Harmani SH • 262
Retno • 289
revivalisme • 419
Ridhoni Sholeh • 81
Riffat Hassan • 422
Riyadh • 24, 47
Rm.Ignatius Soeharjo • 195
Robert N. Bellah • 212
Rodney Stark • 219, 220
Rulon Jeffs • 199
S
Sadana Mulyono • 241, 439
Saefuddin Sapsuha • 351
sahabat • 20, 22, 413, 417
INDEK 461
Saiful Mujani • 319, 433
salaf • 20, 21
Salafi • 20, 21, 22, 23, 28, 29, 30,
31, 32, 33, 34, 37, 39, 41,
42, 22, 28, 25, 27, 27, 29,
31, 29, 42, 43, 44, 46, 47,
48, 49, 50, 51, 52, 53, 54,
55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,
62, 356, 434
Salafisme • 21, 22
Salam Muhayat • 72, 73, 77, 87,
92, 97, 442
Saleh Putuhena • 338
Samarinda • 153
Sambi • 68, 74, 77, 82, 83, 86, 87,
91, 96, 99, 100, 101, 102,
103, 104, 105, 106, 107,
108, 110, 111, 112, 113,
114, 115, 116, 117, 119,
120, 121, 122, 126, 127,
128
Sampit • 287, 288, 289, 293, 294,
295, 296, 311, 312, 438,
440
Sam Poo Kong • 195
Sapo Lohe • 131
Sapolohe • 160, 165
Sapta Dharma • 196
Sasak • 15, 16, 17, 19, 45, 54, 55,
431
Sasak Boda • 15
Saudi • 19, 22, 24, 28, 31, 35, 37,
41, 47, 86, 156, 415, 417,
435
Saudi Arabia • 22, 24, 415, 417
Sayidina Husain • 194
SBY • 404
SDA • 329
SDN Klepu • 87, 88, 96, 99
Sekolah Bhineka Tunggal Ika • 253,
275
Sekolah Rakyat Nasional • 258
Sekotong • 29, 45, 47, 48, 58
Selayar • 135, 153
Selong • 17
Semarang • vii, xi, 169, 174, 175,
192, 193, 194, 195, 196,
197, 198, 199, 201, 203,
206, 207, 209, 210, 220,
221, 222, 232, 443
sembajang • 136
Sendang. Galih • 91
Sendang Waluyo Jatiningsih Gua
Maria Fatima • 89, 91
Sendi Aman • 26
Sendung • 293, 294
Sengkang • 153
Seriholo • viii, 335, 339, 349, 351,
352, 353, 441
Serikat Petani Karet • 309
Sheldon Stryker • 176
Shibghatullah Al-Haidary • 23
Shiffin • 412
Sidoarjo • 191
Sidrap • 152, 155
sikkiri • 136, 137
Simpang Lima • 192, 193, 198
Sinarbiyat Nujanat • 248
Singapura • 27, 189
Sinjai • 152
Siput Lokasari • 226, 235, 236,
237, 240, 242, 243, 246,
247, 249, 250, 268, 283
Sister Jensen • 190, 191
462 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
siwa • 338, 342
SKB • xi, 195, 360
SMA • 156, 198, 203, 249, 250,
263, 320
Soeharto • 78, 230, 313
Soiman Lukmanul Hakim • 81
Sooko • 67, 68, 74, 81, 83, 85, 87,
107, 119, 120
Soppeng • 152
Sri Sultan Hamengku Buwana • 233
Sri Sultan HB • 275, 276
STAI Al-Gazali • 162
STAIN Bone • 155
STAIN Gorontalo • 155
Stephen Covey • 179
STIK Tamalate • 155
sufisme • 22
Sugito • 91, 92
Suhud • 81
Sulawesi Tenggara • 363
Sulnomo • 82, 102, 108
Sulsel • 131, 132, 142, 148, 150,
151, 156, 157, 159
Sumatera Barat • 25
Sumatera Thawalib • 25, 26, 27
Sunan Giri • 16
Sunda • 318, 367
Sunda Wiwitan • 367
Suraji • 83, 110, 111
Surat Keputusan (SK) • 378
Suryana Nur Fatwa • 389
Susie Fitri • 227, 245, 247, 249
Sutrisno • 115, 116
Suwito • 87, 88, 89, 90, 91, 92,
93, 95, 96, 97, 98, 100, 101,
103, 104, 105, 106, 107,
110, 120, 121, 123, 442
Suyatno • 90, 94, 98, 442
Syam • 24
Syariat • x, 129, 144, 146, 147,
148, 158
Syarif Mekah • 415
Syarikat Islam (SI) • 367
Syekh Ahmad Khatib • 26
Syekh Muhammad Nur • 26
Syekh Yusuf • 138, 139, 142
syirik • 19, 24, 25, 39, 58
T
ta’ashsub • 24
tahlilan • 39, 95, 96, 97, 98, 106,
109, 111, 113, 115, 117
Taiwan • 258
Takalar • 152
takkang jeko • 136
talfiq • 22
Tanah Beru • 131, 132, 133, 138,
139, 140, 150, 153, 160,
161, 162, 163, 164, 165,
166, 167, 168, 443
Tanah Bumbu • 314, 315, 316, 317,
318, 320, 321, 322, 323,
325, 326, 327, 328, 329,
330, 331, 332, 333, 428,
431, 436, 437, 438
Tanah Doang • 135
Tan Jing Sin • 234
Tao • 225, 229, 235, 266, 267
Taoisme • 234
Tapanuli Selatan • 142
Tarakan • 152
Tasikmalaya • 194, 366
Tator • 153
INDEK 463
Taufik Arbain • 314, 315, 325, 332,
443
Ted Gurr • 130
Teori Evolusi • 423
Ternate • 152, 155
TGH. Abhar • 46
TGH. Ahmad Jamiludin • 37, 39,
40
TGH. Hatabullah • 46
TGH. Hazbullah Munir • 46
TGH. Husni • 27, 28, 29, 30, 31
TGH. Husni Abdul Manan • 27, 28,
29, 30
TGH. Karim • 45
TGH. Khotibul Umam • 45, 46
TGH. Manar • 29, 30, 31
TGH. Masud • 46
TGH. Muaz • 45
TGH. Muhajirin • 46
TGH. Muhammad Arif • 45
TGH. Mustafa • 45, 46
TGH. Mustiadi Abhar • 46, 47
TGH. Muzhar • 46
TGH. Ridwan • 45
TGH. Safwan • 31
TGH. Sakaki • 36
TGH. Shafwan Hakim • 29, 45, 48,
51, 58, 59
TGH. Udin • 46
Thamrin Amal Tomagola • 296
the living Qur’an • 326
Thionghoa • xi
Thomas S. Monson • 181
Tiong Hoa Hak Tong • 238, 257,
282
Tiro • 134, 135, 136, 137, 138
TK Katolik Pancasila • 82
TK Perwanida • 82, 102, 111
Toli-toli • 152
Topoyo • 153
Tri Dharma • 225, 232, 233, 235
Trinitas • 216
Tritunggal • 172
Tuanku Imam Bonjol • 25
Tuanku Nan Renceh • 25
Tu Asara • 135, 136
Tuhan • 22, 72, 129, 172, 173,
178, 181, 184, 185, 186,
202, 216, 218, 259, 331,
406, 408, 411, 412, 418,
422, 423, 424, 426
Tuhan Yesus • 172
Turki • 415
Turner • 127, 176, 436
U
UIN Alauddin • 155
Unaha • 153
Undang-Undang Dasar • 366
UNESCO • 263, 264, 265
UNHALU Kendari • 155
Unitarian • 197
Universitas Gajah Mada • 19
Universitas Indonesia • 296
Universitas Merdeka Malang • 320
Universitas Nevada • 190
Universitas Palangkaraya • 289
Universitas Panca Budi • 142
Universitas Sebelas Maret Solo •
320
University of California • 214
University of Utah • 189, 190
UNTAD (Palu) • 155
464 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Usep Dedi • 369, 376, 392, 395,
443
Ust.H Mufti Ali • 29
Ust. Ibnu Hizam • 41
Ust.Tanwir • 36, 442
Ustadz Ridwan • 143
Ustas Ikhwan • 442
Usulul Iman • 24
Utah • 179, 180, 189, 190, 208,
212, 214, 215, 435, 438
Utara • 16, 52, 152, 342, 411
UU Pemerintahan Daerah • 313
Uyainah • 22, 24
uzlah • 166
V
Van Lith • 195
Vermont • 185
vihara • 229, 230, 233
Vihara Buddha Prabha • 232, 233
Vihara Watu Gong • 196
Villa Mutiara Cinere • 382
VOC Belanda • 343
W
W. Cole Durham • 212
Wahabi • 19, 20, 21, 22, 23, 25,
26, 28, 30, 31, 34, 35, 36,
38, 39, 40, 41, 46, 52, 53,
54, 55, 56, 58, 60, 61, 132,
146, 158, 356, 404, 405,
414, 415, 416, 417, 426,
433
Wahabisme • 21, 416, 417
Wahdah Islamiyah • 145, 146, 147,
150, 151, 152, 153, 154,
155, 156, 157, 158, 164,
432, 442
Wahidiyah • 367
Wahyu Widayat, Mac • 241
Wajo • 135
Walikota Depok • 370, 372, 378,
379, 381, 383, 386, 387,
397, 400, 439
Warren Jeffs • 199, 200
Waruspangka • 389
wayang krucil • 71
Wayyari • 350
Weber • 124, 125, 437
Wetu Telu • 16, 18
Wikipedia • 228, 229
Wongsodirjan • 235
Woodward • 69, 437
Y
Yakobus • 185, 187
Yayasan Al-Idrisyiah • 37
Yayasan As-Sunnah • 31
Yayasan Bhakti Loka • 225, 227,
234, 235, 236, 237, 238,
239, 240, 242, 243, 245,
246, 247, 253, 254, 256,
257, 262, 264, 265, 269,
273, 274, 275, 285
Yayasan Darul Azhar • 321
Yayasan Nuruts Tsaqolain • 194
Yayasan Pendidikan Sirojul Huda •
37, 39, 40
Yesus Kristus • 174, 179, 180, 181,
182, 183, 184, 185, 186,
187, 197, 202, 213, 438
Yogyakarta • viii, 17, 19, 25, 26,
INDEK 465
27, 66, 67, 69, 153, 195,
202, 225, 227, 228, 230,
231, 232, 233, 234, 235,
236, 237, 238, 239, 240,
241, 242, 243, 244, 245,
246, 248, 250, 252, 253,
254, 255, 257, 258, 262,
263, 264, 265, 269, 270,
271, 272, 273, 274, 275,
277, 281, 282, 290, 316,
319, 341, 428, 431, 433,
435, 436, 437, 438
Yohanes Pembaptis • 186
Yohannes • 201
YPPN Budya Wacana • 235, 236,
237, 238, 241, 243, 244,
247, 249, 250, 253, 254,
255, 256, 257, 258, 270,
271, 272, 273, 274, 275,
277, 278, 284
Yunani • 411
Yunanto Wiji Utomo • 230
Z
Zainudin • 17, 18
Zhen Ling Gong’ • 257, 282
ziarah kubur • 19, 57
Zikir • 141
Zulhaini • 49, 58
466 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
TENTANG PENULIS 467
Tentang Penulis
A
BIDIN WAKANO lahir di Kairatu, 5 April 1973. Abidin Wakano
menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin
Makassar dan selesai pada tahun 1998. Setelah itu, ia melanjutkan
pendidikan S2 di perguruan tinggi yang sama. Selesai tahun 2000.
Dari sisi pengalaman organisasi, saat ini dosen IAIN Ambon dan Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) ini menjabat sebagai Direktur Lembaga Antar Iman Maluku (EL-AI-EM) sejak 2007. Ia juga
Wakil Tanfidz NU Wilayah Maluku 2007 sampai sekarang, Sekretaris
Umum KAHMI Wilayah Maluku dan MUI Wilayah Maluku dari 2008
sampai sekarang. Sebelumnya pernah aktif di Institut Dian/Interfidei
Yogyakarta (2002-2007), Forum Dialog Antarkita Sulawesi Selatan
(1999-2002) dan Ketua Badko HMI Sulawesi 1998-2000.
Sejumlah hasil karya yang dihasilkan oleh Abidin antara lain Nasionalisme Kaum Pinggiran: Dari Maluku, Tentang Maluku untuk Indonesia
(Yogyakarta: Komunitas Satusa dan LkiS Yogyakarta, 2005), editor
dan memberi kata pengantar buku MemahamiWajah Para Pembela Tuhan
(Yogyakarta: Dian/Interfidei 2003), Teologi Bencana (Makassar: Oase
Intim, 2005), editor buku Kurikulum Orang Basudara (Ambon: PTDUNP Maluku 2008), Kumpulan Khutbah-Khutbah Anti Korupsi (Jakarta
Menko Info RI, 2005) dll. Abidin juga menghasilkan beberapa riset
seperti “Hubungan Negeri Adat dan Kampung di Kabupaten Seram
Bagian Barat (SBB) Provinsi Maluku”, kerjasama Pusat Studi Sejarah
dan Budaya Maluku dan Pemda kabupaten SBB 2008, “Nilai-Nilai
kearifan Hidup Dalam Masyarakat Maluku (Sejarah dan Budaya Maluku),” sebagai bahan untuk menyusun materi pelajaran di Sekolah
468 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
(Mulok) di Provinsi Maluku 2009, “Studi Tentang Ketahanan Masyarakat dalam Konflik di Kota Masohi kabupaten Maluku Tengah”,
Lembaga Antar Iman (EL-AI-EM, 2008).
A
HMAD SUAEDY Lahir di Kebumen 6 Mei 1963. Setamat Madrasah
Aliyah Negeri (MAN) Kebumen tahun 1983 dan pesantren di Kemayan, Kediri, Jawa Timur serta Nampuadi dan Lirap, kebumen, Jawa
Tengah, ia melanjutkan studi S1 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Jurusan Tafsir Hadis dan tamat tahun 1990.
Tercatat menjadi pendiri Lembaga Kajian islam dan Sosial (LKiS)
Yogyakarta; peneliti di Interfidei, (Institute for Interfaith Dialogue in
Indonesia), Yogyakarta; Koordinator Program Islam dan Demokrasi
P3M Jakarta taun 1997-1999; Koordinator Program Penerbitan Institut Studi Arus Informasi (ISAI); Pengurus Pusat Lembaga Kajian
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (PP
Lakpesdam NU). Pada 2001-2003, Suaedy menjadi Program Officer
The Asia Foundation untuk Program Islam and Civil Society. Saat ini
menjadi Direktur Eksekutif the Wahid Institute.
Ia juga menjadi editor sejumlah buku di antaranya Dekonstruksi Syari’ah:
Wacana Kebebasan Sipil, Hak-hak Azasi Manusia dan Hukum Internasional
dalam Islam, karya Abdullahi Ahmed An-Na’im (Yogyakarta: LKiS
1994), Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, editor, Yogyakarta, LKiS
1999, Kiai dan Democracy (Jakarta: P3M, 2000); Politisasi Agama dan
Konflik Komunal, editor, (Jakarta: Wahid Institute 2007); dan menulis di sejumlah jurnal dan media massa nasional dan internasional.
Baru-baru ini mendapat Research Fellowship Asian Public Intellectual (API) dari Japan Foundation untuk riset di Thailand, Filipina, dan
Malaysia masing-masing untuk tiga bulan mulai Juli 2009. Tiga karya
terbarunya Perspektif Pesantren: Islam Indonesia, Gerakan Sosial Baru, Demokratisasi (Jakarta; Wahid Institute, 2009); Islam, Konstitusi, dan Hak
Asasi Manusia: Problematika Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta; Wahid Institute, 2009); Para Pembaru: Pemikiran dan
Gerakan Islam Asia Tenggara, editor, (Jakarta; Seamus, 2009).
TENTANG PENULIS 469
A
HMAD ZAINUL HAMDI lahir di Lamongan pada 18 Mei 1972.
Menyelesaikan pendidikan S1 di IAIN Sunan Ampel Malang (sekarang
UIN Malang) Fakultas Tarbiyah. Jenjang Magister diselesaikan di
IAIN Sunan Ampel Surabaya dalam bidang Pemikiran Islam dengan
tesis “Relasi Tuhan-Manusia dalam Filsafat Muhammad Iqbal”. Tesis
tersebut kemudian diterbitkan PT. Danarwijaya dengan judul “Tak
Bergeming di Bawah Tatapan Tuhan”. Selama satu tahun (2006-2007)
mendapat kesempatan untuk mengikuti program sandwhich di ANU
(The Australian National University) Canberra, Australia.
Bukunya Tujuh Filosof Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern, diterbitkan Pustaka Pesantren. Tulisannya berjudul “Menilai
Ulang Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Sebagai Blueprint Pengembangan Keilmuan UIN,” memenangkan juara I lomba penulisan artikel nasional CRCS UGM, dan diterbitkan Mizan dalam buku (antologi) Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi. Beberapa artikel
hasil penelitiannya diterbitkan di berbagai jurnal, antara lain Istiqra’,
Srinthil, Bhinneka, Desantara, dan Gerbang. Saat ini sedang melakukan
penelitian “Beragam Agama, Satu Jawa,” dan “Sexualitas ODHIV”.
D
INDIN ABDULLAH GHAZALI lahir di Bandung, 11 Maret 1977.
Menyelesaikan masa sekolah di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah
Al-Islam Ponorogo Jawa Timur tahun 1996. Melanjutkan kuliah di
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung jurusan Sastra
Arab dan mendapat gelar Sarjana Sastra (S.S) pada tahun 2006.
Semasa kuliah aktif di organisasi kemahasiswaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada tahun 1997 membentuk INCReS
(Institute for Culture and Religion Studies), dan pada tahun 2000
bersama-sama dengan tokoh-tokoh lintasagama Jawa Barat membentuk Jakatarub (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama). Di PWNU
Jabar aktif sebagai pengurus LTN-NU (Lajnah Ta’lif wan-Nasr) 20032008, dan pengurus Lakpesdam 2008-2013. Karya tulis Beyond the
symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, penerbit INCReS dan Rosda Karya 1999, sebagai salah satu penulis. Menulis juga
untuk penelitian-penelitian singkat diantaranya; tentang formalisasi
syariat Islam di Jabar, Strategi Gerakan Islam Lewat Penerbitan, dll.
470 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
E
RNA KASYPIAH lahir tanggal 26 Nopember 1977 di Kabupaten
Banjar Kalimantan Selatan. Semasa kuliah aktif di Senat Mahasiswa
IAIN Antasari dan HMI Cabang Banjarmasin. Setemat kualiah tahun
2001, ia menjadi guru agama di SMK Pertiwi Kalimantan Timur, dan
pada 2003 kembali ke kampung halamannya.
Sejak tahun 2003 itulah dia aktif dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan dengan menjadi pengurus di Lembaga Kajian Keislaman dan
Kemasyarakatan (LK3), sebuah NGO yang konsen pada isu-isu demokrasi, budaya dan pluralisme. Beberapa jabatan yang pernah di
pegangnya selama bergiat LK3 antara lain staf Program Advokasi
Berbasis Monitoring Partisipatif, staf Program Inisiatif Pembangunan Petani, Koordinator Divisi Pemberdayaan dan Advokasi. Pada
Kepengurusan periode 2007 -2010, ia dipercaya menjadi Direktur
Eksekutif LK3. Di samping itu, selama 2008-2009 dia juga dipercaya menjadi Deputi III di Lembaga Filantropi Borneo (MFB), sebuah
lembaga yang bergerak di bidang penggalangan dana sosial untuk isu
lingkungan, pendidikan dan kemiskinan, juga menjadi Dewan Daerah Walhi Kalsel periode 2008-2011. Adapun karyanya yang pernah
dimuat media lokal adalah “Melacak Visi Transformatif Tarekat Sammaniyyah di Kalimantan Selatan”, “Seleksi KPU dan Pasar Persaingan
Sempurna”, dan “Mencermati Tim Seleksi KPU Propinsi”.
G
AZALIRRAHMAN lahir di Rantau Kujang Kecamatan Jenamas,
Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, pada 5 Januari 1978.
Setelah menyelesaikan studi di Madrasah Aliyah Buntok (Barito
Selatan) dan pernah nyantri di Pondok Pesantren Ahlussunnah
Wal Jama’ah Buntok pada tahun 1992-1993, melanjutkan studi ke
IAIN Antasari Banjarmasin dan lulus pada tahun 2002. Kemudian
melanjutkan pendidikan ke program pascasarjana Magister Administrasi Publik Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin
pada tahun 2004. Semasa menjadi mahasiswa di IAIN Banjarmasin
aktif di Lembaga Dakwah Kampus IAIN Antasari, nyantri di Pondok
Pesantren NU Syekh KH. Abdul Qadir Hasan Gambut Kabupaten
Banjar (1996-1998), kemudian menjadi kader dakwah di Lembaga
Pendidikan Kader Dakwah Praktis (LPKDP) Banjarmasin pada tahun
TENTANG PENULIS 471
1998-2002, dan menjadi Koordinator Himpunan Kader Dakwah
Praktis (HKDP) LPKDP Banjarmasin mulai tahun 2003-2007.
Sejak tahun 2000 sampai 2007 aktif di Lembaga Kajian Keislaman dan
Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin, menangani berbagai program
pemberdayaan seperti Program Penyadaran HAM dan Demokrasi
Berbasis Jaringan Pesantren se-Kalimantan Selatan (2003-2004),
Program Pendidikan Lingkungan Hidup berbasis Guru Sekolah
Dasar di Kota Banjarmasin. Koordinator Program Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR-LK3) pada tahun 2007. Pada tahun
2001 – 2002 menjadi Koordinator Pemberdayaan Masyarakat dalam
dalam Program Penguatan dan Pemberdayaan Masyarakat Demokratis (P3MD) untuk Masyarakat Pinggiran Sungai, Masyarakat Padat
Perkotaan, Pedagang Kaki Lima dan Buruh di Yayasan Dalas Hangit
(Yadah) Banjarmasin. Pada tahun 2008 kembali ke Buntok dan mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Ma’arif Buntok Kabupaten Barito Selatan dan menjadi Direktur Lembaga Pendidikan dan
Kajian Dakwah Islam (LPKDI) Buntok.
G
USTI MARHUSIN Lahir di Desa Pingaran Kecamatan Astambul
Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, 15 Maret 1977. Mantan aktivis
PMII dan alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ini sekembalinya
ke kampung halaman aktif di dunia jurnalistik (2006-2008) sebagai
wartawan dan staf redaksi sebuah koran mingguan lokal, ISHLAH. Di
antara karya tulisnya juga pernah dimuat di surat kabar harian lokal
dan nasional serta riset ilmiah: “Bercermin pada Masa Lalu Ospek”,
“Rumahku Sekolahku”, “Pendekatan Logoterapi dalam Pengembangan Psikoterapi Islam (Telaah Pemikiran Viktor Emil Frankl)”, dan
tulisan-tulisan lainnya.
Sejak pertengahan 2008, dia bergelut dengan aktivitas sosial-kemasyarakatan sebagai pendamping masyarakat miskin sebagai bagian dari
program pemerintah yang bertujuan membuka kemudahan akses
pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat hingga sekarang. Saat ini,
ia juga dipercaya sebagai Ketua Lakpesdam NU (Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Kabupaten Banjar (2009-2014).
472 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
N
UR KHALIK RIDWAN Kelahiran Banyuwangi, 15 Maret 1974.
Nyantri di PP Darunnnajah Tanjungsari Banyuwangi. Melanjutkan
ke MANPK Jember, S1 di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN),
dan dropout dari Universitas Sanata Dharma. Sejak mahasiswa sudah
aktif di pers mahasiswa, terlibat dalam demo-demo tahun 1998, dan
ikut menandatangani pernyataan golput pada masa rezim Soeharto
bersama beberapa kawan di IAIN Sunan Kalijaga. Selama mahasiswa
juga aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Sekarang ini aktif menulis buku. Tidak kurang sepuluh buku yang
sudah ditulisnya, di antaranya Islam Borjuis, Pluralisme Borjuis, Agama
Borjuis, Tafsir al-Maun, Regenerasi NII, dan lain-lain. Sekarang sedang
menunggu terbitnya naskah buku yang sudah rampung berjudul Seri
Gerakan Wahabi (3 jilid) untuk kado Muktamar NU tahun depan.
R
UMADI lahir di Jepara (Jawa Tengah) 18 September 1970. Setelah
menamatkan Sekolah Dasar (1983) dan MTsN (1986) di Jepara,
melanjutkan ke PGAN Kudus. Tahun 1989 melanjutkan ke Fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang (1994). Tahun 1995-1997
menempuh S2 di IAIN Imam Bonjol Padang, dan menyelesaikan S3
(2006) di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pernah menjadi staf pengajar di STAIN Bengkulu (1997-2004) sebelum akhirnya pindah ke Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di Sela-sela mengajar, penulis menjadi peneliti
senior di the Wahid Institute (2005-sekarang); dan redaktur jurnal
Taswirul Afkar Lakpesdam NU (2000-sekarang).
Buku yang pernah diterbitkan antara lain Masyarakat Post-Teologi, (Jakarta: Gugus, 2002), bersama Marzuki Wahid menulis buku Fiqh Mazhab Negara, Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta:
LKIS, 2001), Renungan Santri: dari Jihad sampai Kritik Wacana Agama,
(Jakarta: Erlangga, 2007), Post-Tradisionalisme Islam,Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, (Cirebon: Fahmina, 2007). Di samping itu,
penulis juga menjadi kontributor dan editor sejumlah buku. Di samping menulis di sejumlah Jurnal ilmiah, tulisan-tulisan lepasnya juga
TENTANG PENULIS 473
sering menghiasa sejumlah media seperti Kompas, Suara Pembaruan,
Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Karya dan sebagainya.
S
YAMSURIJAL AD’HAN oleh teman-temannya kerap dipanggil
Ijhal. Lahir di Bulukumba, 17 November 1976. Menempuh
pendidikan Sekolah Dasar di Bulukumba (1983-1989). Melanjutkan
pendidikannya di Pondok Pesantren Madinah Makassar selama
enam tahun (1989-1995). Tahun 1995-2000, menempuh sarjana
S1 di Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar. Tahun 2007-2009
melanjutkan studi di pascasarjana Jurusan Antropologi UNHAS.
Selama mahasiswa aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII). Sejak tahun 1999-sekarang aktif di Lembaga Advokasi dan
Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Makassar. Tahun 2008-sekarang
aktif pula mengajar di Institut Kesenian Makassar (IKM). Saat ini juga
masuk dalam jajaran pengurus NU Cabang Makassar.
Karya-karya yang telah dihasilkan antara lain “Bissu Menggugat
Maskulinitas dan Femininitas,” (Jurnal Srinthil,2004), “Maudhu Lompoa; Ritual Kecintaan Terhadap Rasul,” (Gong, 2005), “Rethinking
Nasionalisme Pasca-Kolonial,” (Jurnal Resolusi, 2005), “Islam dan Patuntung di Tanah Toa Kajang; Pergulatan Tiada Akhir,” (2005), “Perda
Syariat Islam di Bulukumba,” (Jurnal Afkar, 2006) dan “Tak Seindah
Kabar dari Rupa; Nasib perempuan di Balik Tabir Syariat Islam di
Bulukumba,” (Jurnal perempuan, 2009) dll.
T
EDI KHOLILUDIN lahir di Lembah Gunung Ciremai Kuningan,
Jawa Barat pada 27 Juli 1981. Pada tahun 2001 masuk ke Jurusan
Politik dan Pidana Islam Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
Ditunjuk sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal Justisia pada 2004-2006.
Semasa mahasiswa aktif juga di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII). Tahun 2007 dengan sokongan penuh melalui beasiswa
“Religion and Society Scholarship” dari PT. Marimas Semarang,
melanjutkan studi di Program Pascasarjana Magister Sosiologi
Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Saat ini, aktif
di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) dan Pengurus Wilayah
474 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA
Lakpesdam Nahdlatul Ulama Jawa Tengah. Pernah menyumbang
tulisan untuk buku Runtuhnya Negara Tuhan (Semarang: INSIDE dan
PMII, 2005), Indahnya Kawin Sesama Jenis (Semarang: eLSA, 2005),
serta Dekonstruksi Islam Madzhab Ngaliyan (Semarang: Rasail, 2005),
Kuasa Negara atas Agama (2009). Bisa dihubungi via tedi_kh@yahoo.
com.
Y
USUF TANTAWI lahir di Aikmel, Lombok Timur 27 Juli 1980.
Bersentuhan dengan dunia NGO di Yayasan Humanies Studies (YHS)
Mataram. Tahun 2005 aktif juga di Nusatenggara Centre (NC).
Kini koordinator Divisi Islam dan Civil Society, Lembaga Studi
Kemanusiaan (LeNSA) NTB.
Pendidikan dasar sampai sekolah menengah atas diselesaikan di Lombok Timur. Saat menempuh SMP-SMA, nyantri di Pondok Pesantren
Al-Mujahidin, Bagek Nyaka, Aikmel, pimpinan TGH. Abdul Azim.
Setelah mengabdi selama satu tahun di pondok itu, lalu melanjutkan
pendidikan di Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Mataram. Adapun pengalaman organisasi di antaranya, Pimpinan
Umum (PU) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ro’yuna, Wakil Ketua
PW. IPNU NTB dan koordinator kelompok diskusi Lingkar Studi
Progresif (LSP) Mataram.
Pengalaman kerja di antaranya, Sekretaris Redaksi Koran Mataram,
Staf Program Advokasi Perda Syari’at Islam (YPKM, LeNSA, TIFA)
2005-2006, Korda Kota Mataram Program Membangun Kesetaraan,
Toleransi dan Perdamaian di Kalangan Pemimpin Agama dan Adat
Muda di Kota Mataram – PP. Lakpesdam NU 2007-2008, Peneliti
Indeks Kerja Demokrasi (IKD) Bappenas-UNDP 2008, Peneliti
Lembaga Survei Indonesia (LSI) Jakarta 2008, Kontributor SETARA
Institute 2008, Peneliti dan kontributor The Wahid Institute (WI) Jakarta 2008-sekarang.
Ia aktif menulis di sejumlah media massa lokal di antaranya “Islam Tapi
Mesra” (NTB Post), “Mewaspadai Islam Timur Tengah” (NTB Post), “Jihad Politik Tuan Guru” (Lombok Post), “Ayo Sekolah di Penjara” (Lombok
TENTANG PENULIS 475
Post), “Mencari Sekolah Ramah Anak” (Bali Post), “Mencari Gubernur
Pluralis” (Tabloid SiNERGI), “Memainkan Politik Pesantren” (Majalah RELIGI), “Khutbah Jum’at Sebuah Otokritik” (Buletin Al-Ikhtilaf),
“Acaman Serangga Kebebasan” (Majalah Syir’ah, Jakarta), “Potret
Buram Beragama Masyarakat NTB” (Buletin PLURAL). Penulis dan
editor buku Beragama di Negara Bukan-Bukan (Desember 2008).
M
UHAMMAD SUBHI AZHARI lahir di Lombok 30 April 1978
di sebuah desa bernama Sengkol. Mengenyam pendidikan dasar di
kampung halamannya mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (1990) dan
Madrasah Tsanawiyah (1993). Penulis juga menimba ilmu keislaman
klasik di sejumlah pesantren di Lombok. Setelah itu ia meneruskan
pendidikan di Madrasah Aliyah Program Khusus Mataram dan selesai
tahun 1996.
Perjalanan hidup telah membawanya merantau ke Jakarta dan
meneruskan studi di Fakultas Hukum dan Syariah UIN Syarief Hidayatullah Jakarta dan selesai tahun 2002. Semasa kuliah, pernah menjadi Sekretaris Cabang PMII Ciputat dan pengurus PB PMII. Setelah
menyelesaikan pendidikan S1-nya, sempat aktif di beberapa lembaga
Swadaya Masyarakat. Sejak tahun 2004 ia mulai terlibat di The Wahid
Institute (WI) dan menangani sejumlah program seperti penelitian,
advokasi dan penulisan buku. Beberapa buku yang telah dihasilkan
antara lain Kala Fatwa Jadi Penjara, editor dan penulis (2006), Politisasi
Agama dan Konflik Komunal, editor (2007), Ragam Ekspresi Islam Nusantara, editor dan penulis (2008) dan Islam, Konstitusi dan Hak Asasi
Manusia (2009). Selain itu, ia juga terlibat dalam pengelolaan buletin
bulanan Monthly Report on Religious Issues (MRoRI) dan Newsletter
Nawala yang diterbitkan WI.
476 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA