Pergeseran_representasi (10).indd
Transcription
Pergeseran_representasi (10).indd
SERI AGAMA DAN KONFLIK 2 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia ii AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA SERI AGAMA DAN KONFLIK 2 Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia TIM PENULIS Supervisor: Yenny Zannuba Wahid Prolog: Ahmad Suaedy Epilog: Rumadi Anggota : Abidin Wakano Ahmad Zainul Hamdi Dindin A Gazali Erna Kasypiah Gazalirrahman Gusti Marhusin M. Subhi Azhari Nur Khalik Ridwan Syamsurijal Ad’han Tedi Kholiludin Yusuf Tantowi iv AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia ©Wahid Institute, 2009 Hak terbitan pada The WAHID Institute Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit Ukuran Hal Cetakan I : 15 X 21 cm : 476 + xii hal : Oktober 2009 Tim Penulis Supervisor : Prolog : Epilog : Anggota : Yenny Zannuba Wahid Ahmad Suaedy Rumadi Abidin Wakano Ahmad Zainul Hamdi Dindin A Gazali Erna Kasypiah Gazalirrahman Gusti Marhusin M. Subhi Azhari Nur Khalik Ridwan Syamsurijal Ad’han Tedi Kholiludin Yusuf Tantowi Editor : Alamsyah M. Dja’far Perwajahan : Muhammad “Amax” Isnaini The WAHID Istitute Jl. Taman Amir Hamzah No. 8, Jakarta 10320, Indonesia Phone: +62 21-3928233, 3145671 Fax. +62 21-3928250 www.wahidinstitute.org; [email protected] Pengantar Redaksi D alam kurun antara Juli 2008 hingga Juni 2009, berbagai peristiwa keagamaan di Indonesia telah menjadi objek monitoring dan advokasi oleh sebuah jaringan nasional bernama “Jaringan Monitoring dan Advokasi Pluralisme di Indonesia”. Jaringan ini terdiri dari sekelompok organisasi masyarakat sipil yang diikat oleh kesamaan keprihatinan terhadap semakin berkurangnya sikap toleran masyarakat seiring semakin menguatnya sikap eksklusif dan fanatisme kelompok keagamaan menghadapi perbedaan. Keprihatinan ini pula yang mendorong mereka untuk mendalami beberapa kasus yang dipilih mewakili kompleksitas persoalan kemasyarakatan di Indonesia: mulai dari soal hubungan antaragama, konflik antaretnis dan agama, konflik internal agama hingga hubungan agama dan negara. Berbagai persoalan terpilih inilah yang kemudian diperdalam melalui riset dan menghasilkan himpunan tulisan dalam buku ini. The Wahid Institute (WI) melihat bahwa berbagai persoalan yang diangkat dalam buku yang diberi judul “Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia” ini sangat penting, tidak hanya karena berkaitan dengan wilayah kajian dan advokasi lembaga ini, tetapi juga karena WI menganggap bahwa berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat harus direkam secara terus-menerus. Dengan vi AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA adanya rekam jejak berbagai persoalan di masyarakat tersebut, upaya-upaya mencari jalan keluar dari siapapun tentu akan semakin mudah. Karena itu, WI berupaya semampunya agar hasil riset ini dapat diterbitkan menjadi sebuah buku yang bisa dibaca sebanyak mungkin orang. Laiknya karya intelektual, WI berharap buku ini akan memperkaya khazanah intelektual, menambah bahan rujukan bagi siapapun yang mengkaji masalahmasalah sosial keagamaan, dan juga menstimulus penelitianpenelitian lebih lanjut. Tidak lupa, WI menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak sehingga buku ini dapat diterbitkan; kepada para peneliti yang meluangkan waktu dan kesungguhan demi hasil karya yang dapat dipertanggungjawabkan; kepada para narasumber yang telah menyampaikan pendapat-pendapat mereka secara jujur; kepada seluruh awak program Pemantauan dan Advokasi Pluralisme, kepada The Asia Foundation dan berbagai pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. Kepercayaan dan kerjasama adalah dua kata kunci sehingga buku ini hadir ke hadapan para pembaca. Akhir kata, kami ucapkan Selamat Membaca. Jakarta, Juli 2009 Daftar Isi Pengantar Redaksi ~ v Daftar Isi ~ vii Daftar Singkatan ~ ix Prolog Agama, Moving People, Shifting Representations dalam transisi Indonesia: Sebuah Pengantar ~ 1 Mengurai Konflik Sunnah VS Bidah di Pulau Seribu Masjid Yusuf Tantowi ~ 15 Tragedi Kabel Mik: Sepenggal Kisah Perseteruan Islam Pribumi dan Islam Puritan di Klepu Ponorogo Ahmad Zainul Hamdi ~ 65 Menyingkap Tabir Kasus Penyerangan Naqsabandiyah di Bulukumba Syamsurijal Ad’han ~ 129 Yang Sesat, yang Berkembang Pesat: Identitas Gereja Mormon dalam Ruang Publik Semarang Tedi Kholiludin ~ 169 viii AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Koflik Kelenteng Poncowinatan: Membaca Kisruh Kelenteng Tertua di Daerah Istimewa Yogyakarta Nur Khalik Ridwan ~ 225 Reintegrasi Pasca-Konflik Etnis di Palangkaraya: Studi Reintegrasi Etnis Madura dan Dayak Gazalirrahman ~ 287 Yang Ilahiyah di Tanah Bumbu: Problem Penerapan Manajemen Ilahiyah Erna Kasypiah dan Gusti Marhusin ~ 313 Dampak Konflik Maluku: Studi Konflik dan Kekisruhan pada Pengungsi Iha, Kayu Tiga dan, Seriholo Abidin Wakano ~ 335 Berebut Kue FKUB: FKUB Kota Depok dan Kabupaten Bandung Pasca PBM M Subhi Azhari dan Dindin A Gazali ~ 359 Epilog : Pandemi Ideologi Puritanisme Agama ~ 403 Bibliografi ~ 431 Indeks ~ 447 Daftar Singkatan AGAP ALUMI AMB AMPI APBD Bakorpin BCB BP3 BPDM CPNS CU DAP DDII DI/TII DKBPM DPRD ESQ FAP FGD FKSPP FKUB FPI FUI FUUI G30S GAM GAPAS : Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan : Aliansi Umat Islam Indonesia : Aliansi Muslim Bulukumba : Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah : Badan Koordinasi Panti Asuhan Indonesia : Benda Cagar Budaya : Balai Pelestarian dan pemeliharaan Purbakala : Bank Pembangunan Daerah Maluku : Calon Pegawai Negeri Sipil : Credit Union : Divisi Anti-Pemurtadan : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia : Darul Islam/Tentara Islam Indonesia : Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Emotional Spiritual Quotient : Front Anti Pemurtadan : Focus Group Discussion : Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Pondok Pesantren Lombok Barat : Forum Kerukunan Umat Beragama : Front Pembela Islam : Forum Umat Islam : Forum Ulama Ummat Islam : Gerakan 30 September : Gerakan Anti Maksiat : Gerakan Anti-Pemurtadan dan Aliran Sesat x AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA GARIS Gempar GKI GMIM GPdI GSJA GUII HISAB HMI HPH HTI ICMI IKAMA IMB IMM JAI JHS KAHMI KLI KMNU KNPI KORPRI KPPSI KSP KTP LAPAR LAZIS LDP LDS LDS LK3 LMMDKT LP2KS LSM LWP2 MA MAJT : Gerakan Reformasi Islam : Gerakan Masyarakat Peduli Cagar : Gereja Kristen Indonesia : Gereja Masehi Injili di Minahasa : Gereja Pantekosta di Indonesia : Gereja Sidang Jemaat Allah : Gerakan Umat Islam Indonesia : Himpunan Santri Bersatu : Himpunan Mahasiswa Islam : Hak Pengelolaan Hutan : Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), : Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia : Ikatan Keluarga Madura : Izin Mendirikan Bangunan : Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah : Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) : Jogja Heritage Society : Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Islam : Komando Laskar Islam : Kaum Muda Nahdlatul Ulama : Komite Nasional Pemuda Indonesia : Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia : Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam : Koperasi Simpan Pinjam : Kartu Tanda Penduduk : Lembaga Advokasi dan pendidikan Anak Rakyat : Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah : Lembaga Dayak Panarung : Lembaga Dakwah Salafiah : The Church of Jesus Christ of Latter-Day Saints : Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan Banjarmasin : Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah : Lembaga Pernikahan dan Pembinaan Keluarga Sakinah : Lembaga Swadaya Masyarakat : Lembaga Waqaf, Perencanaan dan Pembangunan : Madrasah Aliyah : Masjid Agung Jawa Tengah AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA xi MDI MDU MI MI MMI MS-GKE MTs NRMs NTT NU OSZA P4 PBM PGIS PGKS PGPI PITI PKI PNI PP PPN PPNS PPP PPSI PRT RT RW SARA SKB SMP SOKSI SPG TK TNI UGM UNHAS UNM : Majelis Dakwah Indonesia : Majelis Dakwah Umat : Madrasah Ibtidaiyah : Manajemen Ilahiyah : Majelis Mujahidin Indonesia : Majelis Sinode Gereja Kalimantan Evangelis : Madrasah Tsanawiyah : New Religious Movements : Nusa Tenggara Timur : Nahdlatul Ulama : Orang-orang Suci Zaman Akhir : Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila : Peraturan Bersama Menteri : Persekutuan Gereje-gejera Indonesia Setempat : Persekutuan Gereja Kota Semarang : Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia : Perkumpulan Islam Tionghoa Indonesia : Partai Komunis Indonesia : Partai Nasional Indonesia : Pemuda Pancasila : Petugas Pencatat Nikah : Penyidik Pegawai Negeri Sipil : Partai Persatuan Pembangunan : Pemuda Penegak Syaraiat Islam : The People’s Republic of Thionghoa : Rukun Tetangga : Rukun Warga : Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan : Surat Keputusan Bersama : Sekolah Menengah Pertama : Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia : Sekolah Pendidikan Guru : Taman Kanak-Kanak : Tentara Nasional Indonesia : Universitas Gadjah Mada : Universitas Hasanuddin : Universitas Negeri Maluku xii AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA UNPATTI : Universitas Pattimura UUD : Undang Undang Dasar YPPN : Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Nasional Prolog: Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi dalam Transisi Indonesia AHMAD SUAEDY T ransisi demokratisasi Indonesia sejak tumbangnya diktator Soeharto 10 tahun lalu searah dengan perubahanperubahan di belahan dunia lain mengiringi globalisasi dan demokratisasi. Berbagai isu penting tentang perubahan sosial menyusuli transisi tersebut. Di satu sisi ada proses demokratisasi dan desentralisasi yang memberikan hak lebih luas kepada semua orang atau warga negara dan kelompok yang semula hidup di bawah otoritarianisme. Namun di sisi lain terbangun sebuah solidaritas baru baik yang berbentuk komunitas semacam nasionalisme, subnasional maupun komunalisme baru, yang justru memperoleh momentum menuntut kebebasan berekspresi dan berkumpul bagi suatu aspirasi dan representasi tertentu. Pada fenomena terakhir ini, tidak jarang secara intensif mengundang ketegangan antarkelompok, bahkan konflik, kekerasan 2 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA ataupun perang. Di beberapa bagian bekas negara Uni Soviet1 dan Yugoslavia2 yang terkenal dengan kawasan Balkan, kekerasan akibat klaim atas wilayah dan sumberdaya muncul akibat tuntutan berbagai kelompok tradisional atas dasar kesamaan budaya atau etnis dan agama yang telah menempati sebuah kawasan sejak lama di bawah kontrol otoritarianisme ketika itu. Dengan kata lain, sebuah klaim historis atas tanah atau kawasan yang mendasarkan pada kesamaan etnis atau agama mampu membangun identitas politik baru di bawah identitas nasionalisme lama nation state yang mendorong terjadinya apa yang oleh Hank Johnston, misalnya, disebut nationalist movements.3 Suatu gerakan yang menuntut kemandirian atau merdeka karena klaim historis atas tanah atau kawasan yang mendasarkan pada kesamaan budaya atau etnis dan agama dan atau kedua-duanya.4 Lihat, misalnya, Manuel Castells, The Power of Identity, (Oxford: Blackwell 1997). 2 Lihat misalnya, Ranata Saled, “The Crisis of Identity and the Struggle for New Hegemony in the Former Yugoslavia,” dalam Ernesto Laclau (ed.) The Making of Identities, (London: Verso 1994), h. 205-232. 3 Lihat misalnya Hank Johnston, “New Social Movements and Old Regional Nationalisms,” dalam Enrique Larana et. al. (ed.) New Social Movements from Ideology to Identity, (Philadelphia: Temple University Press, 1994), h. 267-285. Dalam uraian tersebut ditunjukkan pergerakan ciri-ciri gerakan, misalnya, dari gerakan sosial (social movements) dan gerakan sosial baru (new social movements) yang bertumpu pada kepentingan bersama di dalam suatu negara nasional ke gerakan nasionalis yang menuntut negara sendiri berdasarkan klaim-kalimnya tersebut. 4 Klaim dan usaha ini, misalnya, terjadi pada beberapa negara baru di bagian timur bekas Negara Uni soviet yang mengklaim tanah itu pernah dikuasai oleh kerajaan dengan agama atau budaya tertentu, semisal Islam, dan dihuni oleh sebagian besar budaya atau etnis dan agama yang sama, yang kemudian memisahkan diri dari negara induk atau memperoleh otonomi khusus atau merdeka. Lihat misalnya, Manuel Castells The Power of Identity, (Oxford: Blackwell 1997), khususnya h. 33-42. Hal yang paralel terjadi di beberapa negara tetangga Indonesia, seperti penduduk Thailand Selatan 1 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 3 Di awal reformasi Indonesia, kita melihat hubungan yang cukup menegangkan di beberapa wilayah, untuk menyebut sebagian saja, seperti Aceh, Papua, Maluku Utara, dan Timor Timur. Untuk yang terakhir ini bahkan berhasil memisahkan diri dari Indonesia di bawah pemerintahan B.J. Habibie. Frekuensi perjalanan Gus Dur –sapaan akrab Abdurrahman Wahid— yang begitu tinggi ke luar negeri saat menjadi presiden diklaim bertujuan terutama untuk meredakan gejolak ini dan meyakinkan pihak luar tentang kesatuan wilayah Indonesia melalui jalan diplomasi.5 Di dalam negeri Gus Dur juga melakukan berbagai pendekatan persuasif yang berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang lebih bersifat represif terhadap kelompok-kelompok tersebut, terutama Aceh dan Papua. dan Filipina Selatan yang sampai sekarang masih berjuang untuk menuntut merdeka atau otonomi. Lihat misalnya , W.K. Che Man, Muslim Separatism the Moros of Southern Philipines and the Malays of Southern Thailand, (Manila: Ateneo de Manila University Press, 1990). 5 Menurut analisa Van Klinken, tingginya frekuensi kekerasan dan perang saudara di era pemerintahan Gus Dur antara lain disebabkan karena Gus Dur terlalu berani memotong jaringan ekonomi kelompok mapan Orde Baru dan juga para jenderal militer. Gus Dur juga dianggap terlalu berani melakukan penataan organisasi militer yang berkonsekuensi terobrak-abriknya kepentingan status quo Orde Baru dan para jenderal militer tersebut. Mereka kemudian memfasilitasi Megawati memaksa Gus Dur mundur untuk membangun kembali jalinan ekonomi aktor-aktor Orde Baru dan para jenderal tersebut. Setelah Megawati naik, kerusuhan, kekerasan dan perang saudara pun mulai mereda, dan era SBY melanjutkan kemapanan kembali jaringan status quo Orde Baru bersama kepentingan ekonomi para bekas jenderal dan jenderal tersebut. Karena itu, dalam konteks inilah seharusnya stabilitas politik dan ekonomi era SBY dipahami, yaitu karena kembalinya penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik para aktor Orde Baru dan para jenderal tersebut, termasuk SBY. Lihat Gerry Vna Klinken, Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, (Jakarta, KTLV-Obor, 2007). 4 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Di samping itu, fenomena lain akibat dari perubahan dan pergeseran tersebut juga muncul fenomena, apa yang oleh Key Deaux dan Shaun Wiley, umpamanya, disebut moving people dan shifting representations.6 Yaitu perpindahan orang atau sekelompok orang dari satu tempat ke tempat lain, di dalam negeri maupun antarnegara, baik untuk waktu yang bersifat permanen maupun sementara demi berbagai tujuan, pendidikan, pekerjaan dan turisme, yang bukan tidak mungkin berpengaruh terhadap komposisi populasi penduduk di sebuah wilayah. Karena perubahanperubahan komposisi populasi itu kemudian mampu mengubah representasi dari masing-masing kelompok. Dari sana kemudian menimbulkan kegoncangan politik karena menyodok kesadaran akan primordialitas dalam representasi berhadapan dengan kelompok lain (the others). Hal ini juga tidak pelak dapat memicu ketegangan dan bahkan kekerasan seperti pengalaman di negara kita apa yang terjadi di Kalimantan Barat, Maluku atau Ambon dan Poso di Sulawesi Tengah di masa lalu, yang bekas-bekas masalahnya masih tersisa hingga kini.7 Moving people dan shifting representations yang mampu mengubah komposisi populasi tidak selalu bersifat kuantitaif. Namun juga bisa berupa kualitatif dan bahkan simbolis8 semisal masuknya paham baru, khususnya yang bersifat keagamaan,9 Lihat Key Deaux and ShaunWiley “Moving People and Shifting Representations: Making Immigrant Identities” dalam Gail Moloney and Iain Walker (ed.) Social Representations and Identity: Content, Process and Power (New York: Palgrave Macmillan 2007), h. 9-30. 7 Lihat Van Klinken, Perang Kota Kecil. 8 Lihat Kathryn Woodward (ed.), Identity and Difference, (London: SAGE Publications Ltd. 1997), khususnya h. 2-3. 9 Masuknya paham-paham baru keagamaan berbeda dengan pahampaham lain semisal teori sosial politik dan ekonomi atau temuan-temuan yang bersifat ilmiah atau teknologi. Paham baru keagamaan biasanya akan mengundang reaksi lebih ekspresif dan keras karena ia menyodok relung ke6 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 5 yang tidak jarang ditumpangi berbagai kepentingan, baik kepentingan penyebaran doktrin tertentu dari paham baru itu sendiri maupun kepentingan politik dan ekonomi. Seluruh dimensi globalisasi dan demokratisasi dan ikutannya termasuk kemajuan teknologi dan teknologi informasi khususnya, telah memberikan kesempatan yang sama bagi semua pandangan dan paham untuk ikut dalam moving people dan shifting representations itu. Karena itu, fenomena yang disebut terakhir ini, yaitu masuknya paham keagamaan baru, tidak bisa diabaikan dari pengamatan dan antisipasi tentang kecenderungan dan pola-pola perubahan tersebut dan implikasinya dalam konteks penguatan demokratisasi dan penegakan keadilan, misalnya. Berbagai fenomena ikutan globalisasi dan demokratisasi sejauh menyangkut kehidupan keberagamaan tersebut –implikasi lain seperti akumulasi penguasaan modal, kerusakan lingkungan hidup, perebutan kekuasaan dan ketidakadilan ekonomi, umpamanya, berada di luar cakupan pembahasan dan riset buku ini— bisa berjalan sendiri-sendiri tetapi lebih sering saling berkelindan satu dengan lainnya. Klaim historis atas tanah atau kawasan dan perubahan komposisi populasi dalam suatu wilayah juga sering mengaitkan diri dengan identitas etnis atau budaya dan juga agama. Demikian juga untuk memperkuat identitas budaya atau etnis dan agama seringkali diperlukan argumen historis klaim atas tanah atau kawasan dan penekanan jumlah dalam komposisi populasi, baik yang baru maupun yang lama. Dari semua fenomena di atas bisa dikatakan bahwa, pada akhirnya akan berujung pada identitas politik yang mendasarkan primordialitas, apakah itu budaya dan agama atau etnis. Ia hidupan dan keyakinan masyarakat dan juga struktur sosial budaya dan juga politik yang mapan. Fenomena masuknya paham-paham baru yang ekslusif dalam kumpulan riset ini dirasakan dan dirisaukan oleh semua agama di Indonesia kini. 6 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA akan menuntut adanya identifikasi diri (self identification), yaitu ciri-ciri utama atas diri dan kelompoknya yang ekslusif untuk membedakan dengan atau ciri-ciri ekslusif dari orang atau kelompok lain (difference),10 untuk kemudian ditarik garis pemisah (demarcation) yang tegas. Identifikasi diri atau kelompok dan pembedaan dengan orang atau kelompok lain secara eksklusif akan bisa menyeret ketegangan dan permusuhan atau bahkan kekerasan jika hal itu berkaitan dengan kepentingan atau penguasaan resources tertentu. Jangan dikira bahwa yang dimaksud dengan kepentingan dan penguasaan resources di sini selalu bersifat material dan besar, melainkan sebaliknya hal itu bisa jadi sesuatu yang sangat “spiritual” dan simbolis dan tak seberapa berharga. Semisal masalah penguasaan keseragaman praktik ritual keagaman tertentu yang menjadi ciri khas kelompok tertentu dan untuk membedakan dengan kelompok lain, sampai penguasaan tempat ibadah yang sejauh ini dianggap sakral hanya oleh kelompok tertentu, hingga suatu usaha sungguh-sungguh (jihad) untuk mempertahankan kekuasaan dan penguasaan ekonomi dalam artinya yang wadag, bisa terjadi. Tentu motivasi tersebut bisa dibungkus dengan berbagai alasan dan argumentasi, dan bukan tidak mungkin dengan menggunakan sesuatu yang dari luar tampak spiritual, termasuk alasan keagamaan, seperti tuduhan sesat dan klaim jalan lurus, antara klaim legal dan tuduhan illegal, dan seterusnya. Dalam kumpulan tulisan ini akan ditemukan alasan-alasan spiritual untuk meraih yang material, dan alasan material untuk meraih yang seolaholah spiritual. Hal itu belum termasuk jika paham-paham baru keagamaan ini ditumpangi dengan pesan ideologi yang sudah dari sono-nya eksklusif dan agresif. Wahabisme dan Salafisme11, 10 11 Lihat Kathryn Woodward (ed.), Identity and Difference. Untuk ciri-ciri Wahabisme dan Salafisme lihat Khaled Abou El Fadl, AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 7 misalnya, di samping membawa pesan-pesan seperti itu juga ditopang oleh “kantong tebal” yang tidak mudah dideteksi. Di kawasan Balkan, kombinasi itu —yang membantu terjadinya kekerasan dan bentrokan antarkelompok di sana, bisa dideteksi sampai pada angka-angka.12 Sedangkan di Indonesia sangat tidak mudah untuk melakukan hal yang sama, paling banter hasil dari cerita-cerita pihak yang menerima langsung atau mereka yang mengetahui lalu lintas kombinasi tersebut.13 Pergulatan paham agama atau budaya baru itu tentu tidak hanya terjadi di dalam Islam, gerakan eksklusif-fundamentalis juga menghinggapi agama Kristen, Protestan dan Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu, serta lainnya.14 Keseluruhan cerita di atas tentu saja baru sesisi. Ceritacerita positif juga akan ditemukan di dalam buku ini, misalnya tentang rekonsiliasi dan jalan hukum untuk menyelesaikan sengketa yang bersifat keagamaan atau rumah ibadah yang diperebutkan antarkelompok. Harus diakui pula terkadang ditemukan cerita yang mengundang senyum namun serasa pedih nan perih sebagai anggota warga bangsa Indonesia. Misalnya, ketika sengketa perebutan tempat ibadah ditentukan dengan cara voting Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, (Jakarta: Serambi 2005), khususnya h. 61-138. Sedangkan untuk pengaruh radikalisme Islam di Indonesia lihat Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta, Teraju, 2002). Juga Jamhari and Jajang Jahroni (ed.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, (Jakarta: Rajawali 2004). 12 Stephen Sulaiman Schwartz, Two Face of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in Terrorism, (New York: Division of Random House 2003), khususnya Bab 7, h. 181-225. 13 Lihat Ahdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: the Wahid Institute-The Maarif Institute-Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, 2009), khususnya Bab 4, h. 171-220. 14 Lihat, misalnya, Manuel Castells The Power of Identity, (Oxford: Blackwell 1997), khususnya h. 13-27. 8 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA —salah satu prosedur demokrasi yang sangat sah layaknya di gedung parlemen namun membuat sesak pada praktiknya di dalam masyarakat keagamaan— yang berimplikasi pada kelompok yang kalah harus membangun sendiri tempat ibadah yang baru tidak jauh dari tempat ibadah yang diperebutkan. Sedangkan kelompok yang kalah itu sesungguhnya juga berjasa membangun ibadah itu. Meski demikian, dua sisi ini penting untuk dieksplorasi dan tampak pada tulisan-tulisan di buku ini. Beberapa teoretikus tentang identity semisal Manuel Castells15 dan M. Hakan Yavus,16 misalnya, mencurigai ketegangan dan tarik menarik akibat dari identitas politik itu sendiri sesungguhnya boleh jadi bersifat social constructive. Untuk lebih singkatnya, bisa diartikan bahwa hal itu hanya ada di dalam angan-angan. Realitas sesunggunnya harus ditelusuri di tempat lain, umpamanya ketidakadilan dan kesenjangan akibat globalisasi atau warisan yang terjadi pada era otoritarianisme sebelumnya atau bahkan demokratsiasi yang hanya memapankan kesenjangan atau oligarki.Yaitu, penguasaan politik dan ekonomi hanya di beberapa orang saja. Amy Gutmann juga tampak menguatkan pendapat seperti di atas, bahwa identitas politik yang mendasarkan pada agama dan budaya yang ekslusif sekalipun tidak selalu bertentangan dengan demokrasi. Agama dan budaya sebagai sebuah identitas menuntut dihormatinya individu dalam suatu kelompok atau sistem sosial, sementara demokrasi justeru bertumpu pada dihormatinya hak-hak individu tersebut. Jadinya dua hal itu bisa seiring belaka, selama ada suatu aturan dan prosedur dan hukum yang mengaturnya.17 Manuel Castells, The Power of Identity, h. 12-32. M. Hasan Yavus, Islamic Political Identity in Turkey, (New York: Oxford University Press 2003), khususnya h. 20-35. 17 Amy Gutmann, Identity in Democracy, (New Jersey: Princeton University Press 2003), h. 168-191. 15 16 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 9 Sejalan dengan Gutmann, Appleby melihat tidak mungkinnya sebuah agama bersifat monolitik dan mempertahankan tafsir tunggal melainkan selalu akan bersifat plural dan mengundang sengketa. Dan lagi pula, katanya, ide-ide atau penafsiran itu juga tidak mugkin akan hanya datang dari kalangan agamawan, melainkan akan datang juga dari kalangan politisi dan para aktivis, mulai dari hak-hak asasi manusia, kesetaraan perempuan sampai tuntutan keadilan ekonomi serta indigenous people dan seterusnya. Maka, pada saat itulah, kata Appleby, agama akan memberikan sumbangannya pada perdamaian dan rekonsiliasi.18 Dengan kata lain, pluralitas menjadi penting selama dalam kerangka dialog dan hukum yang ditaati bersama. Dengan demikian, keseluruhan tulisan di dalam buku ini kurang lebih hendak melihat kecenderungan dan pola perubahan yang terjadi di dalam agama menyaingi demokratrisasi yang searah belaka dengan perubahan di tingkat lebih makro, yaitu globalisasi. Siapa tahu kecenderungan itu bisa membantu mencari penyelesaian berbagai persoalan yang muncul. Namun juga, dari kasus-kasus yang ditulis ini, tampak pola-pola yang bisa diindentifikasi, apakah untuk diikuti dan dikukuhkan karena bisa memperkuat demokratisasi dan keadilan atau pun untuk dihindari dan dihentikan jika memang akan melahirkan problem yang lebih besar. *** Meskipun tidak bisa disebut representatif karena luasnya wilayah Indonesia, setidaknya kumpulan ini sejauh mungkin mewakili berbagai dinamika dan perubahan di Indonesia, baik R. Scott Appleby, 2000, The Ambivalence of the sacred, Religion,Violence, and Reconciliation, (New York, Rowman & Littlefield Publishers Inc), khususnya h. 281-307. 18 10 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA dari segi wilayah maupun masalah-masalah yang muncul. Dari sudut wilayah, misalnya, untuk Jawa terdapat tulisan dari Jawa Timur, Jawa Tengah,Yogyakarta, dan Jawa Barat. Untuk luar Jawa terdapat tulisan dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku atau Ambon, serta NTB atau Lombok. Dari sudut berbagai masalah yang muncul, dari pengamatan sekilas atas fenomena pergeseran dan perubahan yang terjadi tersebut —setidaknya sudut pandang yang dipilih oleh masingmasing tulisan di dalam kumpulan ini— tampak ada gradasi dan pergerakan atau perubahan kecenderungan ke arah penyelesaian masalah di satu sisi namun juga muncul pula masalah baru di sisi lain. Tulisan dari Kalimantan Tengah dan Maluku atau Ambon, melihat upaya penyelesaian warisan kekerasan di masa lalu yang bisa dikategorikan sebagai implikasi langsung dari moving people dan shifting representations. Yaitu upaya penyelesaian masalah pengungsi akibat kekerasan dan perang, baik penyelesaian secara ekonomi maupun sosial semisal rekonsiliasi dan penempatan kembali (resettlement) ke tempat tinggal semula atau tempat lainnya yang permanen. Namun dari pengalaman dua wilayah tersebut, penyelesaian atas pascakonflik dan transformasi konflik memberi pesan kuat bahwa usaha itu sulit untuk mencapai suatu penyelesaian yang hakiki tanpa mengikutkan peran kearifan lokal (local wisdom) jika usaha itu tidak ingin berhenti di tengah jalan dan menjadi pontesi konflik lain yang lebih bervariasi. Dalam pengalaman di Maluku, kearifan lokal bukan saja bisa mengikatkan para anggota atau di kalangan korban secara lintas agama dan etnis yang semula justru tampak menjadi akar konflik, melainkan ia bisa memperkokoh dan kembalinya realitas yang lebih adil setelah sebelumnya dikoyak otoritarianisme berkedok modernisasi di era Orde Baru. Tulisan dari Yogyakarta dan Kalimantan Selatan menunjukkan munculnya masalah baru yang mungkin tidak diduga se- AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 11 belumnya.Yaitu, di Kalimantan Selatan, seorang pemimpin politik yang baru terpilih di Kabupaten Tanah Bumbu mengintrodusir sebuah konsep yang diimaginasikan sebagai model tata kelola pemerintahan yang mendasarkan pada komitmen moral keagamaan dalam artinya yang simbolik dan mungkin artifisial, yaitu “Manajemen Ilahiyah (MI)”. Oleh penciptanya, tata kelola semacam ini dianggap bisa lebih transparan dan amanah dan mungkin lebih adil dalam mengelola pemerintahan ketimbang sebelumnya. Maka, untuk menghindari judgment (penilaian sepihak) terlalu dini, baik atau buruk, berhasil atau tidak berhasil, sebuah percobaan perlu ditempatkan ke dalam seluruh masalah dan konteks yang melingkupinya. Di sini akan dilihat bagaimana hakikat dari konsep itu, bagaimana respon dari masyarakat dan apa implikasinya bagi perbaikan dan sumbangannya bagi proses demokratisasi. Atau sebaiknya, benarkah introdusir seper ti itu suatu yang ideal atau sebaliknya pengenalan sebuah sistem otoritarianisme baru belaka. Salah satu kritik tajam dari masyarakat dan juga dari kalangan birokrat adalah inefisiensi dan penggunaan agama sebagai legitimasi keberadaan individu bupati itu sendiri. Di Yogyakarta, muncul perebutan aset keagamaan yaitu tempat ibadah karena justru dipicu oleh keterbukaan dan hak-hak yang diberikan negara terhadap sebuah kelompok agama. Di masa Orde Baru “agama” Konghucu dilarang karena alasan politik dan pengikutnya disaran(paksa)kan untuk bergabung dengan agama lain, Buddha. Namun ketika dibuka kran oleh pemerintahan Gus Dur dimana Konghucu diakui sebagai agama “resmi”, aset-aset keagamannnya sudah keburu diklaim oleh agama di mana mereka bergabung. Apalagi kemudian ditimpali oleh suatu kebijakan pemerintah tentang perlindungan terhadap warisan purbakala atas tempat ibadah tersebut. Apa pun motifnya, masalah itu memunculkan sengketa antarkelompok di dalam agama-agama itu, tentang eksistensi dan kepemilikan tempat ibadah tersebut. 12 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Ini sisi lain implikasi dari keterbukaan yang boleh jadi tidak diduga sebelumnya. Fenomena lain adalah masuknya paham baru di masyarakat, dari luar negeri. Tulisan dari Semarang, Jawa Timur, Lombok dan Sulawesi Selatan menunjukkan pola moving people dan shifting representations tentang masuknya paham baru keagamaan. Bagaimana perilaku mereka menawarkan paham baru tersebut, respons masyarakat dan penyelesaian masalah baru yang muncul. Tidak ada pola baku dalam berbagai kasus tersebut, namun hal itu tampak menuntut perhatian dari banyak pihak, khususnya para pemuka agama dan pemerintah agar penyelesaian itu justru tidak menyimpan ketidakpuasan di bawah sadar yang laten. Di Semarang sebuah aliran minoritas, kehadirannya yang baru mengganggu pemeluk sesama agama yang juga minoritas dalam konteks populasi agama di Indonesia, yaitu Protestan. Aliran ini dianggap menyimpang dari aliran mainstream Protestan sehingga kehadirannya dipersoalkan. Di Lombok dan Sulawesi Selatan aliran Islam baru juga dipersoalkan oleh mainstream Islam yang mapan. Namun mereka dengan ideologi yang agresif dari sono-nya tampaknya hendak memaksakan menggantikan paham lama, baik dengan cara persuasif dan bahkan dengan cara kekerasan. Dari berbagai cara penyelesaian tersebut, misalnya, ada sejumlah kejanggalan jika diukur dari tradisi yang dimiliki masyarakat sendiri dan juga mungkin dari sudut demokrasi, misalnya. Perebutan tempat ibadah antara paham lama dan paham baru dengan cara voting, misalnya (kasus Lombok) sungguh-sungguh memunculkan kejanggalan, mengingat hal itu berbuntut konsekuensi yang kalah —kebetulan menimpa kelompok paham baru itu— harus membangun tempat ibadah baru yang tidak jauh dari tempat yang diperebutkan itu. Adakah ini penyelesaian cukup bijaksana dan pola seperti inikah seharusnya? Boleh jadi AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 13 penyelesaian seperti ini, meskipun tampak mengikuti pola demokrasi karena dengan voting, potensial menyimpan ketidakpuasan yang laten. Tulisan dari Jawa Barat hendak melihat sejauh mana implikasi dan implementasi suatu kebijakan pemerintah yang bersifat nasional untuk membangun kerukunan beragama di Indonesia, yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan 8 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Usaha pemerintah itu memang harus dihargai tetapi harus tetap dilihat akibatakibat yang ditimbulkannya, dari kerawanan penggunaan dana APBD yang disahkan oleh PBM itu, lagi-lagi representasi dalam kelembagaan yang dibentuk yaitu FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), hingga campur tangan yang terlalu jauh dari pemerintah, serta tiadanya evaluasi dan kontrol berhasil dan gagalnya program tersebut. Dari keseluruhan uraian di dalam kumpulan tulisan tersebut, tidak bisa diabaikan usaha-usaha yang dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat dan agamawan untuk ikut partisipasi dalam berbagai penyelesaian masalah, namun keberhasilan dan implikasinya bagi penguatan demokrasi dan keadilan masih harus diikuti kelanjutannya. Secara ilmiah, deskripsi atas berbagai usaha itu mungkin bisa memberikan sumbangan bagi suatu perkembangan ilmu pengetahuan dan dunia akademik umumnya, misalnya, jika itu tidak dianggap berlebihan. Namun, ia juga bisa menjadi pelajaran bersama bagi dunia aktivis, dimana sebuah gerakan dituntut untuk berangkat dari data yang memadai. *** Rumbut Atas, 12 Mei 2009. 14 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Mengurai Konflik Sunnah VS Bidah di Pulau Seribu Masjid1 YUSUF TANTOWI A. Sejarah Islam Lombok Sejarah Islam Lombok tidak jauh berbeda dengan sejarah Islam Nusantara. Sebelum Islam menjadi agama mayoritas di Lombok, masyarakatnya terlebih dahulu menganut keyakinan Hindu-Buddha Majapahit. Orang Sasak Boda yang sekarang masih banyak menetap di daerah-daerah pegunungan mengaku masih mengikuti kepercayaan leluhurnya. Mereka menegaskan sebagai keturunan langsung kerajaan Majapahit. Untuk itu sebagian mereka bahkan menganggap agamanya sebagai agama Majapahit. Belakangan oleh pemerintah, orang Sasak Boda dicatat resmi sebagai pemeluk Buddha. Bukti yang mendukung secara eksplisit diungkapkan dalam kitab hukum Negarakertagama yang menjelaskan penaklukan Lombok oleh pasukan tentara Majapahit. Di tambah lagi keningratan Sasak hingga kini selalu merujuk leluhur mereka pada Majapahit. Maka berbagai gelar dan dewa-dewa Boda dengan jelas merupakan warisan Hindu-Jawa. 1 Penelitian ini berlangsung sejak September 2008-Februari 2009 16 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Berdasarkan mitologi lokal yang dicatat dalam berbagai babad atau sejarah yang ditulis di pohon palma, bahwa Sunan Giri dikatakan sebagai yang bertanggung jawab menyebarkan Islam di seluruh Nusantara termasuk memperkenalkan Islam di Lombok tahun 1545. Dikisahkan, misi kedatangan Sunan Giri baru berhasil pada kedatangannya yang kedua. Mengacu dari sana, Islam masuk ke Lombok sekitar abad 16 M atau 17 M. Ini diperkuat dengan runtuhnya kerajaan Majapahit pada abad 17 M dan kemudian digantikan dengan kekuasaan kerajaan-kerajaan kecil muslim yang mengikat perdagangan hingga ke pesisir utara Lombok. Para peneliti beranggapan, tipe keislaman yang dipraktikkan di Sasak adalah campuran antara kepercayaan Aostronesia dengan Islam. Banyak para sarjana berpendapat, konversi agama leluhur menjadi Islam bisa diterima karena dianggap cocok dan dinilai tidak mengancam struktur sosial serta kepercayaankepercayaan yang ada. Namun kebanyakan dari anggapan itu berasal dari studi-studi yang mendalami tentang Wetu Telu – sebuah tipe Islam sinkretis di bagian Lombok Utara. Belanda lah yang mulai mengkaji secara sistematis terhadap Wetu Telu selama kekuasaan kolonialnya dan menganggap Wetu Telu merupakan campuran antara kepercayaan-kepercayaan animisme, Hindu dan Islam. Tumbuh kembang Islam di Lombok ini tidak bisa juga dilepaskan dari periode penguasaan raja-raja Bali terhadap Lombok. Kolonialisasi Bali terhadap Lombok berlangsung cukup lama sejak 1740-1894. Penguasaan itu berakhir ketika Belanda menguasai Lombok sebelum 1894. Pengaruh orangorang Bali bisa dilihat dalam sinkretisme Wetu Telu–yang praktik dan sistem kulturalnya nampak menyerupai praktikpraktik dan kosmologi orang Bali. Namun hal ini bisa diperdebatkan karena pengaruh itu bisa jadi memang berasal MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 17 dari pengaruh Majapahit atau perpaduan keduanya.2 Pengaruh ini bisa terasa bisa di Lombok Barat dan Kota Mataram. Pada dua tempat ini jejak-jejak penguasaan Bali sangat jelas sampai hari ini. Selain penganut yang cukup besar, banyak berdiri sejumlah pura, khususnya di Kecamatan Cakranegara (Kota Mataram) dan Desa Lingsar, Narmada (Lombok Barat). Di wilayah Lingsar ini, memang akulturasi Islam-Hindu sangat terasa, khususnya pada perayaan hari-hari besar agama. Di tempat ini misalnya tiap tahun dirayakan perayaan Perang Topat3 yang diikuti oleh dua komunitas baik Islam maupun Hindu. Dalam perkembangan selanjutnya, Islam di Lombok tidak bisa dilepaskan dari kiprah Nahdlatul Wathan (NW). NW didirikan oleh ulama karismatik Maulana Syekh TGH. Zainudin Abdul Majid. Pada tahun 1919, ketika berusia 17 tahun, Zainudin pergi ke tanah suci Mekah bersama ayahnya untuk belajar ilmu agama di Ash-Shaulatiyah Mekah. Setelah kembali ke Lombok, sambil berdakwah menyebarkan ilmu yang didapat di Mekah, Zainudin juga bergabung dalam perjuangan pembebasan terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Tahun 1934, ia berhasil membuka pesantren pertamanya di Pancor, Selong Lombok Timur.4 Dari Pancor inilah Zainudin kemudian mengembangkan dakwahnya sampai ke desa-desa hingga mampu mendirikan ratusan lembaga pendidikan dari tingkat Madrasah John Ryan Bartholomew, Alip Lam Mim, Kearifan Mayarakat Sasak (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 93-102. Lihat penjelesannya pada bab 3 “Sejarah Islam Lombok”. 3 Perang Topat biasanya diadakan satu minggu setelah hari raya Idul Fitri. Perang ini sebagai ungkapan suka cita telah mampu menunaikan ibadah puasa selama 30 hari lamanya. Perang Topat (dalam bahasa Indonesia, topat berarti ketupat). Lebaran ini juga biasa disebut sebagai Lebaran Topat. 4 Letak Pancor hanya berjarak setengah kilometer dari Kota Selong, pusat pemerintahan Kabupaten Lombok Timur. 2 18 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) sampai perguruan tinggi. Model keberagamaan NW tidak jauh berbeda dengan NU. Sebagaimana NU, NW juga penganut fanatik mazhab Imam Syafii. Begitu juga tradisi-tradisi yang lain seperti zikir, talkin, kunut, salawat dan lain sebagainya. Walau begitu, NW juga menciptakan inovasi-inovasi keberagamaan bagi pengikutnya seperti membaca Khizib yang dibaca setiap malam Jumat sebagaimana pengikut NU membaca Barzanji. Jadi hampir tidak ada perbedaan antara tradisi keagamaan NU dengan NWyang membedakan hanya nama dan sebutan saja. Namun kalau berpaling ke sejarah terdahulu, sebelum menjadi NU namanya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa). Maulana Syekh pun pernah menjadi anggota konstituen Partai Masyumi, sementara sejarah mencatat ketua penasihat (Rais Aam) pertama Masyumi adalah KH. Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar dan pendiri NU. Setelah NU menjadi partai, TGKH Zainuddin Abdul Madjid keluar dari Masyumi kemudian fokus terhadap pengembangan dakwah. Dibantu beberapa tuan guru, bersama murid-muridnya Zainudin semakin massif mengembangkan dakwahnya. Misinya, selain membebaskan masyarakat Lombok dari perbuatan jahiliyah (kebodohan), juga menghadang masuknya Hindu dari sebelah barat (Bali) dan Kristen dari sebelah timur (Nusa Tenggara Timur). Bersama dengan itu beberapa tuan guru NU di Lombok tetap melakukan hubungan dengan kiai-kiai di pulau Jawa dan ulama-ulama Sunni yang ada di Mekah. Tantangan NU dan NW ketika itu bukan hanya membebaskan masyarakat dari sinkretisme–buah dari percampuran budaya Hindu dengan Islam seperti diyakini dan dianut pengikut Wetu Telu. Mereka juga berhadapan dengan kolonialisme Belanda dan Jepang. Di sinilah NU dan NW yang dimotori para tuan guru MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 19 kemudian berdialektika dengan tradisi yang ditinggalkan kolonial Bali, Belanda, dan Jepang hingga melahirkan corak keislaman orang Sasak. Tidak itu saja, NU dan NW kembali harus berhadapan dengan ajaran Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912. Muhammadiyah terinspirasi dari gerakan Wahabi yang menguasai Arab Saudi pertengahan abad 19 M. Gerakan Wahabi bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam dari perbuatan syirik dan bidah5. Dalam catatan John Ryan Bartholomew dalam bukunya, Alip Lam Mim, Kearifan Mayarakat Sasak menjelaskan, Muhammadiyah dibawa Haji Madjid pada tahun 1960. Ia berkenalan dengan Muhammadiyah setelah belajar dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Tahun 1971, sepulang dari menempuh pendidikan ia kemudian menetap di Ampenan sambil bekerja sebagai pedagang beras. Sejak itu ia menyebarkan ajaran Muhammadiyah dengan mengubah musala dekat rumahnya menjadi masjid. Sejak itu tradisi-tradisi NU dan NW kembali berhadapan dengan ajaran Muhammadiyah yang ingin membebaskan masyarakat dari perbuatan syirik, bidah, khurafat atau lebih dikenal dengan TBC (tahayyul, bid’ah dan khurafat). H. Madjid pernah menjadi anggota DPRD Propinsi tahun 1974-1978. Beberapa tradisi NU-NW yang dikritik Muhammadiyah di antaranya tradisi begawe (pesta), Maulid Nabi besar-besaran, ziarah kubur, ziarah ke tuan guru atau ulama. Bagi Muhammadiyah tradisi bagawe itu tindakan pemborosan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Biaya pesta yang mengLihat “Sejarah Organisasi NW di Lombok” dalam bab “Skisme Islam Tradisionalis dan Modernis Nahdlatul Wathan versus Muhammadiyah,” dalam John Ryan Bartholomew, Alip Lam Mim, Kearifan Mayarakat Sasak, h. 131-134 5 20 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA habiskan dana sampai jutaan rupiah itu akan lebih bermanfaat kalau dijadikan untuk membiayai pendidikan anak-anaknya bukan untuk membiayai orang kampung makan. Bagi orang NW pesta itu justru kesempatan yang sangat tepat untuk bersilaturrahmi, saling mengunjungi. Tanpa itu belum tentu anggota keluarga bisa saling mengunjungi. Selaku ormas yang dianggap mengajak pengikutnya berpikir modernis, doktrin-doktrin Muhammadiyah ingin mengajak masyarakat agar beragama secara rasional. Kata lainnya, tidak taklid buta. Demikianlah kehadiran Muhammadiyah ikut mewarnai corak keislaman masyarakat Lombok. Walau mampu mendirikan lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, panti asuhan dan lembaga-lembaga usaha, pengikut Muhammadiyah di Lombok tidak sebesar NU atau NW. Dengan masuknya Muhammadiyah di Lombok berarti ajaran Wahabi sebenarnya sudah diperkenalkan kepada masyarakat. Dengan demikian, doktrin Wahabi bukan hal baru bagi masyarakat. Apa lagi misi keagamaan yang dibawa oleh Muhammadiyah tidak berbeda dengan Wahabi. Lalu, mungkinkah nasib Wahabi akan sama dengan Muhammadiyah? Mampukah ajaran Wahabi berdialektika dengan tradisi keagamaan masyarakat setempat sehingga ia mampu bertahan? Atau mungkin kehadiran Wahabi ini akan mematikan tradisi keagamaan masyarakat Lombok yang dibalut oleh model keagamaan NW dan NU ? Maka sejarahlah yang akan menjelaskan. B. Sejarah Salafi-Wahabi Salafi dan Wahabi, dua istilah yang berbeda. Salafi berasal dari kata salaf berarti pendahulu. Dalam konteks Islam, pendahulu itu merujuk pada periode Nabi, Sahabat dan Tabiin. MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 21 Jadi Salafi dapat dimaknai sebagai seseorang yang mengikuti kaum Salafi dan istilah ini punya makna yang fleksibel dan lentur yang melambangkan autentitas dan keabsahan. Salafisme menyeru untuk kembali pada konsep dasar dan fundamental dalam Islam; bahwa umat Islam harus mengikuti jejak Nabi Muhammad dan para Sahabatnya yang mendapatkan petunjuk (al-salaf al-shalih) dan generasi awal yang saleh. Salafi didirikan pada akhir abad ke-19 oleh kalangan reformis muslim seperti Muhammad Abduh (W.1323 H/1905 M), Jamal al-Din al-Afgani (W.1314 H/1897 M), Muhammad Rasyid Ridha (W.1354 H/1935 M), Muhammad al-Syawkani (W.1250 H/1834 M) dan Jalal al-Shan’ani (W.1225/1810 M). Sebagian bahkan mengalamatkan asal usul keyakinan Salafime ini kepada Ibnu Taymiyyah (W.728 H/1328 M) dan muridnya yang bernama Ibn Qayyim al-Jawziyyah (W.751 H/1350 M). Secara metodologis dan subtansinya, Salafisme nyaris identik dengan Wahabi kecuali dalam hal bahwa Salafi lebih toleran terhadap keberagaman dan perbedaan pendapat6. Dalam banyak hal, Salafi sebenarnya tak bisa ditolak. Sebagian karena janji epistemologi salafisme yang menawarkan pandangan dunia yang sulit ditolak dan ditentang. Para pendiri Salafime menegaskan bahwa dalam menghadapi semua persoalan, umat Islam seharusnya kembali kepada sumber tekstual asli yaitu al-Quran dan Sunnah Nabi. Dalam melakukannya, umat Islam harus menginterpretasikan sumber-sumber asli itu berdasarkan kebutuhan dan tuntutan modern tanpa terikat secara mutlak terhadap model penafsiran generasi-generasi awal Islam. Meski tidak serta-merta antiintelektual tapi sebagaimana Wahabisme, kaum Salafi cenderung tidak tertarik pada sejarah. Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2005), hal 93 6 22 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Dengan menekankan asumsi “zaman keemasan” dalam Islam, para pengikut Salafisme mengidealisasikan zaman Nabi dan Sahabat. Akibatnya ia menolak atau tidak tertarik pada warisan sejarah Islam yang lebih besar. Namun dalam pandangan Salafi, setiap orang dinilai memiliki kualifikasi untuk kembali pada sumber asli dalam Islam dan berbiacara atas nama Tuhan. Dari logikanya mereka berpendapat, setiap orang awam dapat membaca al-Quran dan kitab-kitab yang memuat Hadis, perkataan sahabat dan membuat penilaian hukum. Ekstrimnya, setiap individu muslim dapat membuat versi hukum Islam sendiri. Berbeda dengan Wahabi, Salafi tidak secara aktif memusuhi tradisi hukum atau praktik beragam mazhab pemikiran Islam yang saling berebut pengaruh. Seakan-akan ia memandang tradisi hukum Islam lebih bersifat opsional yang tidak mesti dibuang. Salafi tidak menentang sufisme dan mistisisme. Bahkan banyak pendukung Salafi berkeinginan kuat untuk membuang belenggu tradisi dan terlibat dalam memikirkan solusi bagi umat Islam dalam perspektif modern. Sejauh menyangkut hukum Islam, kebanyakan para ilmuan Salafi adalah orang yang suka memadukan sejumlah pendapat. Mereka juga cenderung terlibat dalam praktik yang dikenal dengan istilah talfiq, usaha memadukan beragam opini dari masa lalu demi memunculkan pendekatan baru terhadap problem-problem keumatan yang muncul.7 Istilah Wahabi berasal dari nama pendiri aliran ini pada abad ke-18 yaitu Muhammad bin Abdul Wahab. Lahir pada tahun 1115 H di Uyainah, Saudi Arabia dan Wafat pada 1206 H/1792 M. Gagasan utama Abdul Wahab adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari ajaran Islam yang lurus. Hanya dengan kembali ke satu-satunya agama yang benar, mereka akan diterima dan mendapat ridha 7 Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam, h. 95. MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 23 Allah. Abdul Wahab sangat berambisi membebaskan Islam dari semua perusak yang diyakini telah menggerogoti agama Islam, di antaranya tasawuf, doktrin perantara (tawassul), rasionalisme, ajaran Syiah dan praktik-praktik lain yang dinilai sebagai inovasi bidah8. Setelah berjuang selama hampir lima puluh tahun menyebarkan pahamnya melalui dakwah dan jihad, akhirnya Muhammad bin Abdul Wahab meninggal pada Senin Dzulkaidah 1206 H di kota Dariyyah dalam usia 92 tahun.9 Maka lazimnya setiap paham yang berkembang luas di tengah masyarakat, nama pendirinya sering dilekatkan sebagai nama sekte atau aliran tertentu. Tujuannya tentu agar mudah diingat. Begitu juga dengan Wahabi. Nama aliran atau pengikut Abdul Wahab disebut kaum Wahabi. Meski begitu, sebagian sarjana Islam berpendapat, golongan Salafi bukan hanya ditujukan kepada aliran Wahabi semata. Aliran-aliran lain dalam Islam sebenarnya juga tergolong sebagai golongan Salaf, asalkan mereka percaya, mengakui dan mengagumi para ulama terdahulu sebagai umat terbaik dalam Islam. Namun karena golongan ini tidak menganut doktrindoktrin yang diajarkan Muhammad bin Abdul Wahab, maka kelompok ini tidak disebut Wahabi, meski mereka sama-sama mengacu kepada al-Quran dan Sunah Nabi. Awalnya, Abdul Wahab berguru pada ayahnya Abdul Wahab Qadhi dan pamannya Ibrahim bin Sulaiman.10 Setelah itu ia berguru kepada Abdullah bin Salim Al-Bashry (Mekah), Shibghatullah Al-Haidary (Baghdad), Muhammad Al-Majmui (Bashrah). Di Madinah ia berguru kepada al-Muhadits Abdullah Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam, h. 61. Lihat “Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, Mujaddid Abad Ke-12 Hijriyyah,” majalah Al-Furqon, edisi 8 tahun IV h. 47 10 “Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab,” majalah Al-Furqon, h. 47. 8 9 24 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA bin Ibrahim bin Saif dan Muhammad Hayat As-Sindy, penulis kitab Hasyiyah Shahih Bukhary. Hayat as-Sindy seorang yang sangat benci bidah, syirik dan ta’ashsub kepada mazhab tertentu. Puas berkelana menimba ilmu dari banyak guru, Muhammad bin Abdul Wahab kembali ke negerinya Uyainah dengan program utama melakukan pemurnian tauhid. Dengan dukungan raja waktu itu, Utsman bin Muhammad bin Muammar, ia mulai menghancurkan kubah-kubah kuburan dan tempat-tempat yang dianggap dapat mengundang perbuatan syirik. Lantaran ajarannya yang keras dan ekstrim, gerakannya ditentang masyarakat Badui dan meminta penguasa Uyainah, Utsman bin Muhammad bin Muammar mengusir Muhammad bin Abdul wahab. Dari Uyainah ia pindah ke Dariyyah dan meminta perlindungan penguasa wilayah tersebut, Muhammad bin Suud (sumber-sumber lain menulis Muhammad bin Sa’ud).11 Di sini ia diterima dengan baik, bahkan Muhammad bin Suud berjanji akan melindunginya. Ia kemudian melebarkan dakwahnya ke negeri sekitar Dariyyah seperti Riyadh, Kharaj, Qashim, Mekah, Madinah, Mesir, Syam, Irak, India, Yaman dan negara-negara lain. Dalam menyebarkan, Abdul Wahab tidak segan-segan menggunakan pedang dan menyebarkan konsep jihad yang didukung langsung oleh Raja Muhammad bin Suud, yang kemudian dikenal sebagai pendiri kerajaan Arab Saudi (Saudi Arabia). Beberapa karya Abdul Wahab, diantaranya Kitabut Tauhid, Kasyfu Syubuhat, Usulul Iman, Fadhâil al-Islam, Fadhâil al-Quran, Mukhtashar Sirah, Majmu` al-Hadist `ala Abwâb al-Fiqh, Mukhtashar al-Inshaf, Mukhtashor Shawâ’iq, Mukhtashar Fath al-Bâry dan Mukhtashar Zâd al-Ma`ad. 12 11 12 “Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab,” majalah Al-Furqon, h. 48. “Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab,” majalah Al-Furqon, h. 48. MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 25 C. Salafi Indonesia Dalam Agama Borjuis-Kritik Atas Nalar Islam Murni, Nur Khalik Ridwan menyebut, penyebaran ideologi Salafi di Indonesia dimulai sejak munculnya gerakan Padri di Sumatera Barat, Muhammadiyah di Yogyakarta dan Persis.13 Ketiga gerakan itu, sama-sama berambisi melakukan pemurnian terhadap akidah umat Islam Indonesia yang dianggap sudah tercemar perbuatan-perbuatan syirik, bidah dan sesat. Pertama, para pendiri gerakan Padri menyebarkan gagasan pemurnian setelah mereka berkenalan dengan khazanah Wahabi ketika menunaikan ibadah haji di Mekah. Di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh yang juga pemimpin Dewan Harimau Nan Selapan berobsesi membawa pembaharuan Wahabi lalu memperkenalkan mazhab Hanbali kepada masyarakat Sumatera. Dewan Harimau Nan Selapan inilah yang kemudian melahirkan gerakan Padri yang digerakkan oleh haji-haji yang baru pulang dari Mekah, di antaranya Haji Miskin, H. Piabang dan Tuanku Imam Bonjol.14 Sekitar tahun 1803-1820 (abad ke-18) perang Padri terjadi. Saat itu terjadi interaksi dengan Mekah (abad ke-17). Sementara gerakan Wahabi sudah muncul antara 1707-1787 M. Tahun 1925 Wahabi mulai berkolaborasi dengan penguasa Sa’ud di Mekah. Itu berarti interaksi mereka dengan Wahabi sudah terbangun sebelumnya15. Kedua, menurut Deliar Noer, penggagas Muhammadiyah KH. Achmad Dahlan pergi ke Mekah dua kali. Tahun 1890 Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis, Kritik Atas Nalar Islam Murni (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004) hal. 49 14 Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis, h. 50. Hal serupa juga disinggung Burhanuddin Daya dalam Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam; Kasus Sumatera Thawalib, (Yogyakata, Tiara Wacana,1995). 15 Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis, h. 50. 13 26 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA belajar kepada Syekh Ahmad Khatib yang merupakan salah seorang pengikut Imam Syafii tapi telah terilhami oleh pembaharuan-pembaharuan Wahabi. Di sana Dahlan belajar selama satu tahun. Tahun 1903 Dahlan kembali ke Mekah untuk menetap selama tiga tahun. Sejak kepulangannya yang pertama Dahlan sebenarnya telah menghayati cita-cita pembaharuan ala Wahabi lalu mencoba menerapkannya di lingkungan Kauman Yogyakarta. Hal ini diperkuat dengan ketertarikan Dahlan membaca al-Urwah al-Wustqa dan Al-Manar yang memuat gagasan-gagasan pembaharuan Abduh. Majalah ini juga yang menjadi bahan bacaan Jamiat Khair yang nota benenya Dahlan tercatat sebagai anggotanya. Selain itu menurut Deliar Noer, Dahlan sampai berlangganan majalah itu yang dikirim secara rahasia ketanah air. Tidak itu saja, salah seorang guru Jamiat Khair dari Azhar merupakan murid Abduh yakni Syekh Muhammad Nur. Dengan demikian, jelas sekali Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah telah berkenalan dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan Abduh dan Rasyid Ridha dari majalah-majalah tersebut. Dalam perkembangan berikutnya di Sumatera, generasi kedua Padri (setelah H. Miskin, Piabang) seperti H. Rasul, Abdullah Ahmad dan lain sebagainya memperkuat Muhammadiyah di Sumatera. Sebagaimana dicatat Burhanudin Daya, generasi Padri kedua inilah yang kemudian mendirikan Sumatera Thawalib. Lalu orang-orang Sumatera Thawalib lah yang banyak menyokong berdirinya Muhammadiyah di Sumatera. Di antara orang penting Thawalib yang memasuki Muhammadiyah adalah AR Sutan Mansur. Tapi sebelumnya ada lagi H. Rasul yang berhasil menyebarkan Muhammadiyah secara massif. Dialah yang mengampanyekan Muhammadiyah kepada muridmuridnya di Jembatan Surau Besi, tempat Thawalib yang disegani. Tahun 1925, H. Rasul mendorong perkumpulan Sendi MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 27 Aman yang dikelola oleh orang-orang Thawalib diubah menjadi Muhammadiyah. Inilah yang kemudian menjadi cabang pertama Muhammadiyah di luar Jawa.16 Ketiga, Persis lahir setelah Muhammadiyah berdiri. Persis juga banyak merujuk pembaharuan-pembaharuan yang berkaitan dengan gerakan Rasyid Ridha. Menurut Deliar Noer, yang mempengaruhi ideologi Persis juga datang dari al-Manar, alIman dan al-Munir. Di Singapura tempat Ahmad Hasan (pendiri Persis) dibesarkan, diketahui sudah muncul gerakan-gerakan pemurnian melawan kalangan tua tanah Melayu. Ditambah dengan pengaruh jurnal-jurnal yang dibaca Hasan akhirnya pergi ke Melayu dan akhirnya menjadi ideolog Persis terkemuka. Jadi semakin jelas bahwa gerakan pemurnian yang terjadi di Indonesia juga dipengaruhi oleh ajaran Salafi abad ke-18 yang digerakkan Muhammad bin Abdul Wahab yang memiliki sambungan dengan Ibn Taymiyyah dan pembaharuan dunia Islam yang digerakkan Rasyid Ridha di abad ke-20.17 D. Sejarah Salafi Lombok Penyebaran Salafi di Pulau Lombok dimulai dari kabupaten Lombok Timur sekitar tahun 1990. Ajaran Salafi dibawa oleh almarhum TGH. Husni Abdul Manan, putra seorang tuan guru NU kelahiran Bagek Nyaka, Desa Kembang Kerang, Kecamatan Aikmel. Besarnya pengaruh almarhum ayahnya menyebabkan TGH. Husni dalam waktu yang tidak relatif lama Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis, h. 50-52. Data di atas dikutip dari Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta : LP3ES, 1996), h. 39 dan 85. Diambil juga dari Burhanudin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam : Kasus Sumatera Thawalib (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995). 17 Nur Khalik Ridwan, Agama Borjuis, h. 54 16 28 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA mendapatkan pengikut cukup banyak. Tak heran tahun 1995, pengikutnya hampir tersebar di semua desa di Lombok Timur. TGH. Husni Abdul Manan menempuh pendidikan di Madrasah Al-Falah, Mekah. Setelah itu melanjutkan studinya ke Universitas Azhar, Kairo–Mesir (1988). Selesai di Mesir ia diminta kembali mengajar Ilmu Balaghah di Madrasah AlFalah. Ketika masih di Mekah, bapaknya TGH. Abdul Manan meninggal dunia (sekitar 1985). Tahun 1990 TGH. Husni pulang ke Indonesia. Tahun 2005, ia meninggal dunia di Mekah ketika melaksanakan umrah. Di Lombok Tengah, penyebaran Salafi dirintis oleh H. Idris di Desa Durian, Kecamatan Janapria Lombok Tengah. Perkenalannya dengan ajaran Salafi bermula ketika membantu kenalannya yang keturunan Arab dan tinggal di Ampenan Kota Mataram. Pria keturunan Arab inilah yang memiliki jaringan penyandang dana pembangunan masjid berasal dari Kuwait, Arab Saudi. Setelah pria keturunan Arab itu meninggal dunia, H. Idris mengambil alih jaringan itu lalu bertindak sebagai distributor dana pembangunan masjid dan bantuan-bantuan lain yang berasal dari Arab Saudi. Kini H. Idris membangun yayasan pendidikan sendiri bernama Yayasan Idrisiyah. Di kota Mataram ajaran Wahabi disebarkan Ustadz Ibnu Hizam, pimpinan masjid Abu Hurairah, Lawata Gomong Lama, Mataram. Tempat ini juga dijadikan sebagai tempat belajar khusus atau Madrasah Aliyah (MA) bebas biaya alias gratis. Siswa-siswa sebagian besar berasal dari luar Lombok seperti Sumbawa, Bima, Dompu bahkan sebagian berasal dari Jawa. Sekolah ini dianggap sebagai sekolah Islam terpadu. Penyebaran Salafi di kota Mataram bukan hanya berpusat di Lawata, Gomong, tapi juga di Islamic Centre, sebuah masjid besar di pusat perdagangan Cakranegara. Di tempat ini dai-dai MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 29 Salafi dari berbagai daerah bertemu dengan jemaah Salafi yang berasal dari berbagai kabupaten di Lombok dan Sumbawa. Selain itu Salafi juga menyebar di kampung Pejarakan. Ia dibawa oleh H. Said, seorang pensiunan guru SD. Di Lombok Barat, Salafi tersebar di beberapa tempat seperti Kediri, Gunung Sari, Gerung dan Sekotong. Di Kediri dibawa Ust.H Mufti Ali dan di Mesanggok, Gapuk, Gerung diperkenalkan oleh Mukti Nasihat. Tokoh utama penyabaran Salafi di Lombok Barat juga Ust. H Mukti yang kini sedang merintis salah satu pondok pesantren Salafi di desa Kediri. Ust. H. Mukti merupakan adik kandung TGH. Shafwan Hakim, pimpinan Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri yang juga menjabat sebagai ketua MUI dan ketua Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Pondok Pesantren (FKSPP) Lombok Barat. Kini Nurul Hakim berafiliasi ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Lombok. Lebih detailnya pembawa dan model gerakan Salafi dimasing-masing kabupaten dijelaskan berikut ini. 1. Salafi Lombok Timur Sebagaimana diuraikan di atas, Salafi Lombok Timur pertama kali dikembangkan TGH. Husni Abdul Manan (Alm) sekitar tahun 1990. Ia putra pertama dari almarhum TGH. Abdul Manan (meninggal 1985), seorang tuan guru karismatik dan tokoh NU Lombok Timur. Ia juga pendiri Pondok Pesantren Jamaludin, Bagek Nyaka Desa Kembang Kerang Kecamatan Aikmel Lombok Timur.18 Ia memiliki lima istri dan Sembilan anak. Dari urutan yang paling tua: TGH. Husni, TGH. Lutfi, TGH. Manar, H.Suharni, Lc, H.Tarfi, Ust. Mahrar, Zamharir, Zamjabil dan Zamjamil. 18 Wawancara dengan Ust.H.Hamzin, Dasan Bagek-Aikmel. 30 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Selain membuka pengajian di pondoknya, TGH. Abdul Manan juga membuka sekolah dari jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Marasah Aliyah (MA). Beberapa madrasah peninggalannya terdapat di desa Bagek Nyaka, Aikmel, Gapuk, Kembang Kerang Lauk, dan Lekong Putek. Sebagai tuan guru berpengaruh ia rutin diundang mengisi pengajian di berbagai kampung di Lombok Timur. TGH. Abdul Manan memiliki tiga putra, yaitu TGH. Husni Abdul Manan, TGH. Lutfi Abdul Manan (Juli 2008 meninggal dunia) dan TGH. Manar Abdul Manan. Dari ketiga putranya, hanya TGH. Lutfi yang tidak pernah belajar di Mekah. TGH. Lutfi belajar agama dari bapaknya. Setelah pulang sekolah dari al-Azhar, TGH. Husni Abdul Manan diminta memimpin madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan Yayasan Jamaludin Bagek Nyaka. Sejak itu ia mulai menjajakan ajarannya Salafi secara massif kepada masyarakat di Lombok Timur.19 Bermodal pengaruh yang ditinggalkan bapaknya, ia dengan mudah diterima oleh masyarakat Lombok Timur. Apalagi penguasaan tafsir al-Quran dan Hadisnya dinilai cukup bagus. Dengan demikian secara perlahan pengikut bapaknya berpindah kepadanya, meski ajaran yang dibawa berbeda. Setelah hampir semua desa di Lombok Timur menerima ajarannya, ia mulai melebarkan pengaruh hingga ke Lombok Tengah, Lombok Barat dan Mataram. Strategi TGH. Husni Abdul Manan baru mulai menyebarkan pahamnya secara terang-terangan tak lama setelah orang tuanya meninggal –serupa dengan pemimpin Wahabi, Muhammad Ibn Abdul Wahab, yang menyebar pahamnya setelah orang tuanya meninggal. Pengalaman ini juga terjadi pada H. Mukti Nasehat, Mesangggok, Lobar. Bapak H. Mukti Nasehat adalah pengikut tarekat. 19 MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 31 yang dipakai mendekati dan bersilaturrahmi dengan para tuan guru yang menjadi pemimpin di setiap desa. Pendekatan ini sebagian berhasil, sebagian tidak. Bila TGH. Husni memperkenalkan ajaran Wahabi, TGH. Lutfi justru setia meneruskan ajaran ala NU yang diajarkan almarhum bapaknya. Adapun TGH. Manar, meski tidak sekeras paham TGH. Husni, pemahaman keagamaannya lebih dekat dengan ajaran sang kakak. Setelah TGH. Husni meninggal terjadi perpecahan di tubuh Salafi Lombok Timur. Selain karena sudah tidak ada lagi tokoh karismatik yang bisa didengar, penyebab lain juga karena perebutan sumber sumbangan. Semasa H. Husni masih hidup, semua bentuk bantuan yang berasal dari Kuwait dan Arab Saudi berada dalam koordinasinya. Tapi, setelah TGH. Husni meninggal jemaah pengikutnya yang memiliki sekolah, yayasan, atau majelis taklim memasukkan proposal sendiri-sendiri sehingga persaingan dalam mendapatkan bantuan tak dapat dihindari. Begitu juga terjadi perebutan pengaruh dalam tubuh Salafi Lombok Timur untuk menjadi pemimpin : a. Jamaludin Al-Manar (TGH. Abdul Manar, Lc) b. Jamaludin Al-Manan (TGH. Lutfi Abdul Manan-alm) c. Yayasan As-Sunnah (Ust. H.Abdullah-putra TGH. Husni) d. Lembaga Dakwah Salafiah (LDS) pimpinan Ismail Hadi (alumni Ponpes Modern Gontor) e. Daarul Falah (LDATA) pimpinan TGH.Safwan berpusat di Dasan Lian f. As-Sunnah Salafiah, Suralaga pimpinan H.Husnul Munip (alumni LIPIA) 32 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Gerakan Salafi di Indonesia dibiayai Yayasan Ihya’ Ultawas yang berpusat di London, Inggris, sedangkan untuk daerah Asia Tenggara koordinasinya berpusat di Kuwait. Yayasan ini memberikan bantuan kepada masjidmasjid dan koperasi. Ada banyak masjid di Lombok Timur yang telah diberi bantuan di antaranya gedung markas Salafi Bagek Nyaka, Cepak Lauk, Dasan Bagek, Kembang Kerang, Keroya, Lenek, Tembeng, Lendang Nangka, Suralaga, Dasan Lekong, Bebidas dan masih banyak yang lain.20 Awalnya hampir semua desa yang dimasuki ajaran Salafi memunculkan dinamika dan persinggungan antara doktrin Salafi dengan doktrin keislaman khas masyarakat setempat. Kedua doktrin keislaman ini bersaing dan berusaha mematahkan argumentasi masing-masing. Apalagi para pengikut Salafi ditengarai sangat bersemangat “meluruskan” keyakinan keagamaan masyarakat setempat yang diklaim penuh dengan perbuatan bidah. Masing-masing kelompok terlihat bersemangat menggali dan mengkaji keyakinan keagamaannya masingmasing. Bukan hanya untuk memantapkan keyakinan keislaman mereka tapi juga sebagai bekal mematahkan argumentasi lawannya. Biasanya perdebatan ini bukan hanya terjadi antara tuan guru yang berbeda paham tapi juga melibatkan pengikut mereka yang paling bawah. Dampak positif dari fenomena ini, terjadi gairah keagamaan yang luar biasa di setiap kampung. Setiap hari pengajian diadakan di kampung-kampung yang berbeda. Untuk membedakan pengikut masing-masing, muncul dua istilah yang berbeda. Pertama disebut kelompok Sunnah, singkatan dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah, sebuah Wawancara dengan Ust. H Hamzin/Ust.H Makki dan Ust. Pihirudin, dua orang pengikut Salafi Lombok Timur 20 MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 33 kelompok yang dijanjikan akan masuk surga oleh Nabi Muhammad. Kedua kelompok bidah, artinya kelompok yang ada di luar Salafi atau bukan pengikut Salafi. Istilah ini semakin mempertegas perbedaan keyakinan masing-masing. Sebenarnya, istilah Sunnah-Bidah pertama kali dipopulerkan oleh pengikut Salafi untuk membedakan kelompoknya yang sungguh-sungguh menjalankan Islam secara “murni” sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kelompok bidah dianggap telah mencampur aduk ajaran Islam dengan berbagai tradisi keislaman yang tidak pernah dipraktikkan Nabi. Hadis Nabi yang sering dijadikan dalil untuk menyerang kelompok bidah, “Kullu bid`atin dhalâlah, wakullu dhalâlatin fi an-Nâr” (Setiap perbutan bidah itu ditolak [sesat]. Dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka). Hadis ini begitu populer di masyarakat. Hampir semua orang hafal dan mengerti makna Hadis ini. Dari anak kecil hingga orang dewasa. Penggunaan Hadis ini secara berulang-ulang agaknya tidak membuat kelompok lain simpatik. Yang muncul justru kecurigaan dan kekesalan karena cara beragama mereka disalahkan terus menerus. Menurut kelompok di luar Salafi, tradisi dan keyakinan keislaman yang mereka anut selama ini sudah berlangsung secara terun temurun. Mereka juga memiliki tafsir yang berbeda tentang bidah. Ada bidah positif, ada juga yang negatif. Karena pertentangan yang semakin tajam, “dinamika” keagamaan tidak produktif lagi. Dari sini gesekan-gesekan mulai muncul. Masing-masing pihak berusaha memonopoli penggunaan masjid. Kompromi pun tidak bisa berjalan baik. Akibatnya bentrokan keyakinan dan kepentingan ditengah masyarakat tidak dapat dihindari. Untuk wilayah 34 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur, konflik Salafi dengan masyarakat NU, NW atau Makrakit Taklimat hampir terjadi di semua kampung sejak 1995. Misalnya, desa Bagek Nyaka, Kalijaga, Kembang Kerang, Dasan Lian, Toya, Batu Belek, Keroya, Pungkang, Lenek dan masih banyak desa lain di luar Kecamatan Aikmel. Di Desa Bagek, Aikmel, tempat lahir dan tinggal penulis, sekitar tahun 2000-an terjadi bentrok fisik di dalam masjid antara jemaah Salafi dengan warga. Penulis masih ingat ketika itu malam Jumat. Di kampung penulis, setiap malam Jumat setelah salat Magrib ada tradisi membaca Barzanji hingga salat Isya tiba. Tiba-tiba malam itu mik yang biasa dipakai disembunyikan seseorang yang diduga berasal dari kelompok Salafi. Listrik masjid juga dimatikan. Mengetahui itu masyarakat tidak terima, lalu mencari jemaah Salafi yang dianggap sengaja melakukan sabotese tersebut. Akhirnya malam itu, bentrok fisik tidak dapat dihindari, beruntung bentrokan tidak mengakibatkan jatuhnya korban. Bentrokan ini bisa dianggap sebagai puncak perbedaan dan pertentangan paham yang mengklaim diri sebagai kelompok Sunnah (Wahabi) dan kelompok Bidah (masyarakat non-Wahabi). Setelah insiden itu, kedua kelompok kemudian duduk bersama mencari jalan keluar agar kejadian itu tidak terulang, apalagi saat itu mereka sedang membangun masjid. Dampak dari insiden ini pembangunan masjid terhenti. Pada pertemuan tersebut disepakati supaya dilakukan pergantian para petugas masjid seperti muazin, imam, dan khatib. Penggunaan masjid untuk menggelar pengajian juga digilir antarkedua kelompok ini. Beberapa waktu kesepakatan itu berjalan. Namun dalam perjalanannya, gesekan-gesekan antarwarga terus terjadi. Ada keluarga yang tidak MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 35 saling berkunjung karena perbedaan paham ini. Kelompok Sunnah hanya berinteraksi dengan kelompoknya sendiri, begitu juga kelompok Bidah. Polarisasi antara Sunnah-Bidah lama-lama semakin mengental di tengah masyarakat. Setelah dialog dan musyawarah dilakukan beberapa kali, muncul ide membagi masjid menjadi dua. Setengah untuk Sunnah, setengahnya lagi untuk kelompok Bidah. Pembagian ini bertujuan agar tidak terjadi dominasi penguasaan masjid. Dalam musyawarah dan pertemuan yang dihadiri dua kelompok tersebut, tampak muncul sikap di mana mereka merasa sama-sama berjasa membangun masjid desa tersebut. Muncul ide melakukan voting dengan suara terbanyak untuk menentukan pembagian masjid yang sedang di bangun tersebut. Dari hasil voting terungkap kelompok pendukung Sunnah (Wahabi) berjumlah 300 kepala keluarga (KK), sedangkan Bidah 800 kepala keluarga. Karena kalah jumlah, kelompok Sunnah hanya mendapat bagian lima meter dari bangunan masjid. Mereka kemudian membangun masjid baru yang berada di pinggir desa. Dana pembangunan berasal dari iuran warga dan sumbangan dari Kuwait, Arab Saudi. Membangun masjid di pinggir desa karena minim dukungan oleh kelompok Wahabi seperti peristiwa di atas sering terjadi di kampung-kampung yang mereka masuki. Bagi masyarakat Aikmel dan Lombok Timur secara umum, pendirian masjid selalu berada di tengah kampung. Kalaupun berada di pinggir jalan, pasti letaknya di tengah-tengah rumah penduduk. Jadi Kalau sekarang banyak masjid baru yang berada di pinggir jalan dan berjauhan dari rumah penduduk dapat dipastikan bahwa masjid itu dibangun oleh jemaah Wahabi. 36 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Bulan Agustus 2006, masjid Wahabi yang sedang dibangun di desa Masbagek, Lombok Timur, dirusak dan dibakar warga. Meski letak masjid itu agak berjauhan dari perkampungan warga, aksi itu terulang sampai dua kali. Beruntung aksi brutal warga tidak sampai merusak rumah pengikut Wahabi karena dicegah aparat dari Polsek Masbagek. Sejak aksi anarkis itu, hingga kini pembangunan masjid tidak berani diteruskan para pengikut Wahabi Masbagek. Sebagaimana desa-desa lain, aksi warga itu sebagai puncak kemarahan warga terhadap ajaran yang dinilai bertentangan dengan paham dominan masyarakat Masbagek. Menurut Ust.Tanwir, salah seorang pengurus NU Cabang Lombok Timur yang juga cucu salah satu penggerak NU di Lombok Timur almarhum TGH. Sakaki, perusakan itu merupakan akumulasi kemarahan warga.21 Suatu malam ketika Ust. Tanwir mengadakan pengajian di Masjid besar Masbagek, seorang anggota Wahabi melakukan interupsi kepadanya karena dianggap berbeda dengan pahamnya. Pria itu bahkan meminta Ust. Tanwir mencari sebuah ayat dalam al-Quran. Bagi jemaah yang mengikuti pengajian, tindakan itu dianggap tidak sopan bahkan ada kesan ingin menguji kemampuan tafsir al-Quran Ust. Tanwir. Tidak cukup, salah seorang pengikut Wahabi itu menantang Ust. Tanwir untuk berdebat dalam menafsirkan al-Quran. Desa Masbagek salah satu basis NU di Lombok Timur. Masbagek bahkan pernah memiliki beberapa tuan guru karismatik yang menjadi penggerak NU di awal-awal penyebarannya di Lombok Timur. Tahun 1965, TGH. Sakaki pernah memimpin ratusan anggota GP. Ansor Lombok Timur untuk melakukan pengganyangan anggota PKI. 21 Wawancara Ust.Tanwir di rumahnya di Masbagek Barat MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 37 Korbannya bukan hanya anggota PKI yang berasal dari warga pribumi tapi juga para pedagang Cina yang menetap di sekitar Kelayu, Pancor, Mabagek, Aikmel, dan Poghading. Mereka kemudian dimakamkan secara massal di beberapa tempat di Lombok Timur. Salah satu tempat pemakaman massal itu berada di areal Pesanggrahan, Aikmel. Tahun itu menjadi tahun pembersihan anggota PKI dan etnis Cina di Lombok Timur. Akibatnya, hingga kini tidak ada seorang warga keturunan Cina pun berdagang di Lombok Timur sebagaimana di Ampenan dan Cakranegara. 2. Salafi Lombok Tengah Belum banyak data yang berhasil digali mengenai penyebaran Salafi di Lombok Tengah. Selain karena pergaulan serta pergulatan mereka yang agak tertutup, sampai hari ini memang belum banyak muncul pertentangan dari warga setempat. Sedikit informasi yang didapat di Lombok Tengah pun sebenarnya ajaran Salafi juga sudah mulai menyebar, tepatnya Dusun Paok Dandak, Kecamatan Janapria. Tokohnya bernama H. Idris yang menyebarkan paham tersebut melalui Yayasan Al-Idrisiyah. TGH. Ahmad Jamiludin, pimpinan Yayasan Pendidikan Sirojul Huda, Paok Dandak, Janaperia menuturkan.22 Sosok H. Idris ini mulai dikenal masyarakat di beberapa daerah di wilayah Lombok setelah sering memberi bantuan pembangunan masjid dan musala kepada masyarakat. Caranya pria yang memiliki latar belakang pendidikan hingga SD ini mendatangi masjid atau musala yang sedang mengalami kerusakan atau masjid yang masih dalam tahap pembangunan lalu memotretnya. Gambarnya lalu dikirim ke donaturnya yang berasal dari Kuwait, Arab Saudi. Bermo22 Wawancara TGH. Ahmad Jamiludin di rumahnya, 2 Maret 2009 38 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA dalkan beberapa lembar foto dan sedikit keterangan, ia biasa memberikan masyarakat bantuan untuk pembangunan masjid atau musala. Selain itu pada bulan-bulan tertentu, khususnya bulan Ramadhan, H. Idris sering membagi-bagikan kurma, kain dan hewan kurban secara cuma-cuma kepada masyarakat. Tak heran, sebagian masyarakat mengenalnya sebagai pria pemurah dan dermawan. Sebagian mereka tidak sedikit yang kemudian menjadi pengikutnya. Sekarang ini pengikut H. Idris datang dari berbagai daerah di NTB, termasuk Sumbawa, Bima dan Dompu. Perkenalan H. Idris dengan sang donatur dari Kuwait berawal dari perkenalannya dengan seorang pria keturunan Arab yang tinggal di Ampenan, Kota Mataram.23 Pria inilah yang memiliki jaringan langsung dengan donatur dari Kuwait yang rajin memberi bantuan pembangunan masjid di beberapa daerah di NTB. Pada pria keturunan Arab inilah H. Idris pernah bekerja. Namun setelah pria keturunan Arab itu meninggal dunia, jaringan itu dipegang langsung H. Idris yang kemudian terlibat langsung dalam menyalurkan bantuan. Kompensasi dari bantuan tersebut adalah ajaran Wahabi harus disebarkan luas ke tengah masyarakat Lombok yang dikenal masih taat pada tuan guru, masih senang berobat ke dukun, berziarah ke kubur, dan Ampenan kota pelabuhan pertama di Lombok yang dibangun sejak masa penjajahan Belanda. Sebagaimana pelabuhan pada zaman dulu, Ampenan juga dihuni masyarakat dari etnis Cina dan Arab yang menggantungkan hidupnya sebagai pedagang. Mereka sudah menetap puluhan tahun lamanya. Kedua etnis inilah yang kini menguasai sebagian besar toko yang ada di Ampenan. Kami belum bisa melacak, nama dan latar belakang pria dari Ampenan tersebut. 23 MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 39 melakukan perbuatan-perbuatan yang dianggap berbau syirik dan bidah. Layaknya ajaran Wahabi atau Salafi, ajaran yang disebarkan H. Idris banyak mengkritik, menyinggung dan menyalahkan ajaran tuan guru yang telah mengakar bertahun-tahun di tengah masyarakat. Ia menolak talkin, Lailatul Ijtimak, tahlilan, zikir dan lain sebagainya. Oleh sebab itu penyebaran ajarannya mulai meresahkan beberapa tuan guru di Janaperia. Apalagi sekitar 500 meter di sebelah barat rumahnya, telah berdiri lama lembaga pendidikan yang kental dengan tradisi-tradisi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU), yaitu Yayasan Pendidikan Sirojul Huda pimpinan TGH. Ahmad Jamiludin. Gesekan-gesekan dan perbedaan paham mulai muncul, apalagi pengajian-pengajian yang dilakukan H. Idris menggunakan pengeras suara. Pada akhir Desember 2008 lalu misalnya, seorang santri H. Idris ditangkap warga di sekitar kompleks pendidikan Sirajul Huda karena kedapatan midang (mengunjungi pacar) salah seorang anak TGH. Jamiludin sekitar pukul 24.00 WITA. Jumlah sebenarnya dua orang, namun satu orang berhasil meloloskan diri. Bagi warga Paok Dandak, batas midang malam hari hanya sampai 21.30 WITA. Bila ada pemuda kedapatan midang melebihi batas tersebut bisa langsung dikawinkan. Itu sudah menjadi awiq-awiq (aturan desa) tidak tertulis di dusun tersebut. Mengetahui kejadian tersebut, pagi harinya warga berkumpul. Sebagian warga marah lalu mendatangi rumah H. Idris. Warga menuntut agar anak yang midang itu dipulangkan ke kampung di Sumbawa. Namun di rumahnya H. Idris tidak ditemukan, begitu juga anak tersebut. Merasa tuntutannya tidak didengar, warga secara tiba-tiba melempar dan melakukan pelemparan dan perusakan dua ruang belajar di rumah H. Idris. “Kalau jadi tempat me- 40 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA sum, bubarkan saja,” teriak beberapa warga. Puas melakukan pelemparan, warga membubarkan diri. Di luar perbedaan paham antara H. Idris dengan masyarakat sekitar, TGH. Ahmad Jamiludin merasa pernah dibohongi H. Idris. Tahun 2000 silam H. Idris pernah mendatangi TGH. Ahmad Jamiluddin di rumahnya untuk meminjam akte notaris, nama pengurus dan profil Yayasan Pendidikan Sirojul Huda untuk mendapatkan bantuan. Saat itu Yayasan Idrisiyah belum berdiri. Iktikad baiknya pun dipenuhi karena Yayasan Pendidikan Sirojul Huda memang sangat membutuhkan dana untuk memperbaiki beberapa gedung belajar Madrasah Tsanawiyah (MTS) yang sudah mulai rusak. Selang beberapa lama H. Idris kembali datang ke rumah TGH. Jamiluddin yang mengatakan bahwa dana bantuan itu sudah cair. Cuma dia mengaku bahwa proposalnya yang diterima adalah Yayasan Idrisiyah yang baru saja ia dirikan. Sejak itu masyarakat mulai tidak suka dengan H. Idris. Hal ini misalnya bisa dilihat dari pengikutnya yang berasal dari luar, termasuk dari pulau Sumbawa. Masyarakat di sana sebagian besar memasukkan anaknya di Yayasan Pendidikan Sirojul Huda. Kelebihannya di sini mereka diajarkan juga kitab-kitab kuning yang lazim diajarkan di banyak pesantren di Lombok. Konflik kekerasan antara pengikut Wahabi dengan masyarakat NU/NW di Lombok Tengah di kemudian hari sangat berpeluang terjadi. Hal ini diperkuat dengan semakin gencarnya dai-dai Wahabi yang berasal dari Jawa untuk menyebarkan paham di tengah masyarakat Lombok yang dianggap masih sangat patuh kepada tuan guru. Apalagi di daerah ini juga terdapat beberapa kelompok paramiliter yang sering terlibat dalam aksi pemburuan hingga pembu- MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 41 nuhan maling. Di Loteng terdapat Ampibi, Ababil, Elang Merah, Hizbullah (NW-Anjani), Yatofa, Buru Jejak dan Rajawali. Kelompok paramiliter ini terkenal sangat keras terhadap para pencuri. Selain menangkap mereka juga menyeret pencuri keliling kampung sebelum kemudian membunuhnya. Kelompok paramiliter ini tidak percaya dengan penegakan hukum yang dilakukan polisi. Polisi pun tidak berani menindak atau menangkap anggota ini yang terlibat membunuh pencuri. Munculnya kejadian-kejadian yang secara tiba-tiba seperti kasus santri H. Idris tadi bisa memunculkan problem yang lebih besar dikemudian hari. Apalagi pendirian kelompok paramiliter ini juga digagas para tuan guru lokal yang masih memegang tradisi NW atau NU. Maka jika tidak segera digagas dialog perbedaan dapat melahirkan tindakan anarkis seperti yang menimpa jemaah Salafi di Lombok Timur, Lombok Barat, dan Kota Mataram. 3. Salafi Kota Mataram Di kota Mataram terdapat dua pusat penyebaran Salafi. Pertama, Islamic Centre Abu Hurairah, Lawata, Gomong Lama. Pimpinannya bernama Ust. Ibnu Hizam, salah seorang distributor dana-dana pembangunan Wahabi. Bangunan berlantai dua ini meniru gaya arsitektur Timur Tengah. Lantai satu dipergunakan salat dan kajian, sedangkan lantai dua dijadikan tempat belajar yang disebut Lembaga Pendidikan Islam Terpadu Abu Hurairah. Biaya belajar di tempat ini digratiskan. Kedua, masjid Islamic Centre, Cakranegara. Masjid ini sering dijadikan sebagai tempat pengajian pengikut Salafi dari berbagai daerah di NTB. Di tempat ini juga sering didatangi oleh dai-dai Salafi dari Jawa bahkan dari Arab Saudi. Abu Bakar Baasyir juga pernah mendatangi 42 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA masjid ini ketika melakukan kunjungan ke beberapa tempat di Lombok beberapa waktu lalu. Sebagaimana daerah-daerah lain, Salafi di Kota Mataram pernah mengalami tindakan kekerasan di kampung Pejarakan Kelurahan Pejarakan Kecamatan Ampenan. Kejadiannya terjadi Selasa, 4 Juli 2007 sekitar pukul 23.00 WITA. Rumah H. Said dilempar dan dirusak warga setempat. Taman Kanak-Kanak (TK) Bani Saleh yang ia dirikan juga ikut dirusak warga. Pemicunya H.Said dalam berbagai pengajiannya sering menyalahkan tradisi keagamaan masyarakat setempat. Ketika ditemui bersama anaknya, H. Said mengatakan kejadiannya bermula ketika ia mengadakan pengajian di rumahnya yang bersebelahan dengan masjid. Seperti biasanya, pengajian itu diadakan setelah salat Isya berjamaah. Diikuti oleh anggota keluarga, malam itu dua orang jemaah Salafi yang berasal dari Gegutu, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, juga hadir. Begitu pengajian selesai, dua orang Salafi dari Gegutu pulang. Ketika sampai jalan, mereka dicegat oleh beberapa warga. Mendapat informasi jamaahnya dicegat oleh beberapa warga, dua orang jemaah Salafi yang masih berada di rumah H. Said kemudian menyusul melihat tamunya di tahan warga. Ketika itu terjadi perang mulut antara warga Salafi dengan warga Pejarakan. Akibat perang mulut yang semakin panas, kemudian sempat terjadi saling pukul. Mengetahui kejadian itu sebagian warga kemudian berhamburan keluar. Bahkan salah seorang warga memukul tiang telepon umum yang berada di pinggir jalan sebagai isyarat agar warga semua keluar. Beberapa warga yang emosi sempat melempar genteng dan kaca rumah H. Said serta TK Bani Saleh. MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 43 Beruntung aparat dari Polsek Ampenan segera datang mengamankan tempat kejadian. Untuk menghindari amuk massa, Sembilan warga Salafi termasuk H. Said diamankan di kantor Polsek Ampenan. Disusul anaknya yang menjadi guru di SMP 2 Mataram. Jadi jumlah warga Salafi yang diamankan total sepuluh orang. Paginya warga Salafi yang diamankan di Polsek Ampenan dibebaskan. Kamis, 7 Juli 2009, Camat, dan aparat kelurahan bersama Kapolsek Ampenan memfasilitasi pertemuan antara warga Salafi dan warga yang dihelat di kantor Kelurahan Pejarakan. Dalam pertemuan itu, warga non-Salafi membuat awiq-awiq desa (aturan desa) yang harus diikuti oleh jemaah Salafi. Jika dilanggar, maka H. Said harus keluar dari kampung Pejarakan. Bunyi awiq-awiq itu pertama, warga Salafi tidak boleh lagi mengadakan pengajian di kampung Pejarakan. Kedua, warga Salafi tidak boleh mengundang warga Salafi yang berasal dari luar kampung untuk melakukan pengajian. Ketiga, Bila ada warga Salafi yang meninggal, maka tidak boleh dimakamkan di kuburan umum warga Pejarakan. Menurut Ramli, salah seorang tokoh pemuda Pejarakan menuturkan, H. Said menyebarkan ajaran Salafi di kampungnya sekitar dua tahun. Itupun setelah dia pensiun menjadi guru SD. Jumlah pengikutnya sekitar 25 orang termasuk anggota keluarganya. Dulunya H. Said tokoh masyarakat yang sangat didengar masyarakat sekitar. Namun setelah mengajarkan ajaran Salafi, warga kemudian berpaling. Lebih-lebih dalam pengajian yang diadakan di rumahnya, H.Said sering mengritik bahkan menganggap sesat keyakinan warga. Tradisi zikir, salawatan, maulid Nabi, talkin dan tradisi lainnya disalahkan H.Said. Sejak mengetahui H. Said berpaham Salafi, beberapa warga yang mema- 44 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA sukkan anaknya di TK Bani Saleh dipindahkan. TK itu kini tidak memiliki peserta didik. Selain itu terungkap juga beberapa minggu sebelumnya, berlangsung pemilihan Kepala Lingkungan Pejarakan. Dalam pemilihan itu terpilih secara aklamasi H. Wildan yang berprofesi sebagai kontraktor bangunan. Ia ditunjuk secara langsung karena menurut warga H. Wildan dianggap paling mampu dan pantas menjadi kepala lingkungan. Ketika itu putra H. Said yang bekerja di Newmont Nusa Tenggara (NNT) Sumbawa juga mencalonkan diri sebagai kepala lingkungan. Tapi karena warga yang mengusulkan namanya sangat sedikit, niatnya tersebut dibatalkan.24 Agaknya kasus penyerangan jemaah Salafi di Pejarakan ini tidak murni disebabkan perbedaan paham antara warga dengan H. Said. Ada kemungkinan masih terkait dengan momen pemilihan kepala lingkungan tersebut. Sebab, menurut salah seorang warga, sebelum melakukan penyerangan beberapa pemuda berkumpul di rumah H.Wildan. Bisa juga ada masalah-masalah pribadi antara keluarga H. Said dengan H.Wildan yang pernah terjadi sebelumnya. Apalagi keduanya pernah ditokohkan masyarakat. Pada saat kejadian juga, Pejarakan baru mengalami pemekaran dari lingkugan induk yaitu lingkungan Pejeruk Ampenan. 4. Salafi Lombok Barat (Kasus Mesanggok) Dusun Mesanggok, Desa Gapuk, Kecamatan Gerung hanya berjarak setengah kilometer dari pusat kota pemerintahan Lombok Barat: Gerung. Letaknya persis di sebelah barat kantor bupati. Dari pelabuhan Lembar, pintu masuk menuju pulau Lombok melalui darat hanya berjarak dua 24 Wawancara H. Said dan kliping Lombok Post, Rabu (4/7/2007) MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 45 kilometer. Mata pencaharian penduduknya sebagian besar petani, kusir, pedagang dan PNS. Tradisi keagamaan masyarakat Mesanggok umumnya menganut paham keagamaan ala Nahdlatul Ulama (NU). TGH. Khotibul Umam mengungkapkan, masyarakat dusun Mesanggok masih kuat memegang ajaran Ahlussunnah Waljamaah sebagaimana telah diajarkan secara turun temurun oleh para tuan guru terdahulu. Dalam wawancara itu juga terungkap betapa warga Mesanggok rupanya sudah lama mengamalkan ajaran-ajaran tarekat. Ini misalnya dapat kita lacak dari kecendrungan ajaran almarhum TGH.Muhammad Arif (meninggal 1946) yang dianggap sebagai sesepuh warga Mesanggok. TGH. Muhammad Arif yang dianggap sebagai peletak ilmu tarekat di dusun tersebut. Dia juga dikenal sebagai tuan guru mursyid yang kemudian banyak melahirkan tuan guru di antaranya TGH. Muaz (Sekotong), TGH. Mustafa, TGH. Ridwan (Bela Tepong), TGH.Sidik, TGH. Karim pendiri Ponpes Nurul Hakim, Kediri.25 Beberapa tradisi keagamaan yang masih dipertahankan hingga kini di antarnya srakalan (membaca Barzanji pada malam Jumat sebelum salat Isya), berzikir dengan suara besar (jahar) usai salat lima waktu, membaca talkin bagi orang yang meninggal dunia, memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, kunut, begawe (pesta, bahasa Sasak) dan lain sebagainya. Selain itu amalan-amalan pengikut terakat seperti pembacaan Dalail al-Khairat (Bukti-bukti Kebaikan) –masyarakat Mesanggok biasa menyebutnya Dalail—yang dibaca setiap waktu oleh warga Mesanggok. TGH. Shafwan Hakim, pimpinan Pondok Pesantren Nurul Hakim, Kediri sekaligus Ketua MUI dan ketua Forum Silaturrahmi Pondok Pesantren (FKSPP) NTB. 25 46 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Dari dulu hingga sekarang sebagian besar masyarakat Mesanggok mengaji ke Pondok Pesantren Daarul Falah, Pagutan, Kota Mataram. Pondok itu didirikan almarhum TGH. Abhar. Selain sebagai pondok pesantern NU, Daarul Falah juga dikenal sebagai pusat penyebaran ilmu tarekat di Lombok. Dengan demikian TGH. Abhar dikenal sebagai salah seorang mursyid yang memiliki banyak pengikut hingga pelosok-pelosok desa. Kini pondoknya dipimpin oleh putranya, TGH. Mustiadi Abhar, yang kini menjadi Rais Syuriah NU Kota Mataram. TGH. Mustiadi sempat pula menjabat Ketua KPU Kota Mataram periode 2004-2008. Adapun TGH. Mustafa mempunyai putra TGH. Hatabullah, ayahanda TGH. Khotibul Umam. Belakangan beberapa tuan guru juga sering diundang mengisi pengajian di masjid Mesanggok di antaranya TGH. Muzhar (Pimpinan Ponpes Daarun Nadwah Desa Ketujur, setengah kilometer dari arah utara Mesanggok), TGH. Udin,26 TGH. Masud, TGH. Muhajirin dan TGH. Hazbullah Munir. Mei 2008 silam, H. Mukti Nasihat mulai membuka pengajian di rumahnya yang mengajarkan aliran Salafi (Wahabi). Letak rumah H.Mukti berada di samping masjid Daarud Dakwah, Mesanggok. Ia juga memiliki heler (mesin penggiling) padi dan jagung serta sebuah rumah di pinggir sebelah timur dusun. Mula-mula ia mengadakan pengajian di rumahnya yang diikuti anggota keluarga dan para pekerjanya. Ketika pengikut Salafi di dusun Kebon Kongok, Lembar ditolak warga maka H. Mukti Nasihat bersama H. Musfihad kemudian menjadikan rumahnya sebagai tempat pengajian. 26 Dosen dan mantan Dekan Fakultas Dakwah IAIN Mataram MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 47 Sejak itu H. Mukti mulai mengkritik bahkan mencela keyakinan keagamaan masyarakat setempat. Beberapa tradisi seperti zikir, talkin dan pembacaan Dalail al-Khairat yang sudah bertahun-tahun dibaca oleh masyarakat dianggap bidah dan sesat. Tidak itu saja, ia juga dianggap terlalu banyak tingkah oleh warga. Ia misalnya pernah menyalahkan cara berjumat warga yang tidak sesuai dengan cara pemerintah. Menurut penuturan seorang warga, ia bahkan pernah menantang TGH. Mustiadi Abhar untuk berdebat masalah agama. Sebelum menganut ajaran Salafi, H. Mukti Nasihat juga pernah menekuni ilmu agama di Ponpes Daarul Falah, Pagutan. Sepulang dari Pagutan, ia pun sempat menjadi khatib salat Jumat dan memberikan pengajian kepada masyarakat. Tak lama setaelah itu ia pergi ke Riyadh, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai TKI. Tahun 1985 ia pulang ke kampung halamannya. Di rumah ia terlibat perselisihan dengan beberapa warga di kampungnya. Akibatnya ia meninggalkan kampungnya lalu tinggal di dusun Batu Bulek, sekitar satu kilometer dari Mesanggok. Tidak beberapa ia kembali ke rumahnya semula. Setelah itu muncul ide dari bapaknya untuk mewakafkan 2,5 hektar tanah kepada masjid. Oleh warga tanah wakaf itu kemudian dibuatkan sertifikat resmi untuk menghindari perselisihan di kemudian hari. Setelah itu masyarakat sepakat menjadikannya sebagai perpustakaan masjid yang diberi nama Nur Muhammad. Belakangan tanpa sepengetahuan warga tanah wakaf itu dibuatkan sertifikat hak milik oleh H. Mukti. Di rumah itulah H. Mukti mengajarkan ajaran Salafi kepada keluarga, pekerjanya dan pengikutnya yang berasal dari Kebon Kongok, Sekotong Timur Kec.Lembar. Inilah yang menjadi pemicu sehingga aksi anarkis berualang kali menimpa pengikut Salafi di Mesanggok. 48 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA E. Kronologi Kejadian Rabu, 14 Mei 2008 • Jam 22.00 WITA, rumah H. Musfihad di Dusun Mesanggok, Desa Gapuk Kecamatan Gerung, yang dijadikan tempat pengajian Salafi dilempar warga. Ketika itu H. Musfihad sedang mengajarkan tafsir al-Quran kepada 26 orang pengikutnya. Para pengikutnya itu berasal dari Dusun Kebon Talo, Desa Sekotong Timur, Kecamatan Lembar Lombok Barat. Warga tidak terima kampungnya dijadikan tempat mengajarkan ajaran Salafi yang dianggap suka menyalahkan keyakinan keagamaan mereka. Mendapat laporan, Kapolsek Gerung AKP. H. Ahmad, SH langsung menurunkan 90 personil untuk mengamankan TKP. Guna menghindari tindakan anarkis warga, malam itu polisi langsung mengamankan H. Musfihad bersama 26 jemaah pengajiannya ke Polres Lobar. Esok harinya ke 26 jemaah pengajian itu dilepas, sedangkan H. Musfihad dipertemukan dengan warga untuk berdialog. Hadir dalam pertemuan tersebut tokoh-tokoh masyarakat dan penghulu. Dalam pertemuan itu disepakati agar H. Musfihad menghentikan pengajiannya dan Kapolsek meminta agar H. Musfihad memaafkan tindakan warga tersebut.27 Sabtu, 17 Mei 2008 • Dialog antara warga dengan jemaah Salafi diwakili H. Muspihad dan dua orang putri H. Mukti di masjid Daarud Dakwah, Mesanggok. Hadir pada dialog tersebut Kapolsek Gerung AKP. H. Ahmad, Kakandepag Gerung, H. Muslim, Camat Gerung, L.Ardipati, ketua MUI Lobar, TGH. 27 Suara NTB, Kamis (15/5) 2008 MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 49 Shafwan Hakim. Dialog difasilitasi Kepala Desa (Kades) Gapuk, Zulhaini dan Kapala Dusun (Kadus) Mesanggok, H.Islahudin. Dalam pertemuan itu warga tetap bersikeras agar H. Mukti dikeluarkan dari kampung karena tindakannya sudah sering meresahkan masyarakat. Hal itu juga sudah menjadi keputusan musyawarah warga yang diwakili 60 orang. Dalam berita acara musyawarah yang dilakukan Rabu (14/5) tertuang kesepakatan warga agar H. Mukti dikeluarkan dari dusun Mesanggok dan melarang ajaran apapun masuk di dusun tersebut yang bertentangan dengan tradisi dan adat istiadat masyarakat setempat. Karena mengalami deadlock, dialog akan dilanjutkan di kantor camat Gerung.28 Kamis, 19 Februari 2009 • Pukul 22.00 WITA rumah H. Mukti Nasihat kembali dilempar warga ketika sedang melakukan pengajian tafsir al-Quran di rumahnya. Pelemparan kembali dilakukan warga karena tidak suka dengan aktivitas H. Mukti yang tidak mau berhenti mengajarkan ajaran Salafi kepada jamaahnya. Mendapat laporan, malam itu juga Kapolsek Gerung AKP. Ahmad, SH., menerjunkan pasukannya untuk mengamankan lokasi. Malam itu juga polisi kembali mengamankan H. Mukti bersama keluarganya ke kantor Polsek Gerung, namun paginya dia diperbolehkan pulang kembali.29 Sabtu, 21 Februari 2009 • Pukul 17.05 WITA rumah H. Mukti Nasihat yang bersebelahan dengan masjid Daarud Dakwah kembali dilempar dan 28 29 Lombok Post, Senin (19/5) 2008 Suara NTB, Sabtu, (21/2) 2009 50 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA dirusak warga. Dalam aksi ini lima rumah warga Salafi rusak parah. Seperti semula warga marah karena H. Mukti tidak mau berhenti menyebarkan ajarannya. Kali ini pemicu aksi brutal warga itu dipicu oleh sikap H. Mukti yang tidak bersedia datang pada dialog yang diadakan di kantor Polsek Gerung. Apalagi beredar fotokopian majalah Furqon yang disebarkan oleh H. Mukti yang isinya menyalahkan tradisi keagamaan mayarakat setempat. Tindakan anarkis warga terhenti setelah aparat keamanan dari Polres Lobar turun dengan senjata lengkap yang dipimpin Kasat Reskrim AKP. Indra Lutrianto, SH, M.Si.30 Senin, 23 Februari 2009 • Pagi sekitar pukul 08.00 WITA, ratusan warga Mesanggok, laki-perempuan dan anak-anak mendatangi Polres Lobar. Kedatangan warga bertujuan untuk membebaskan dua orang warga yang ditangkap. Sebelum sampai Polres, kedatangan warga berhasil dihalau aparat keamanan. Namun karena terdesak, warga akhirnya melempari polisi dengan batu dan kayu. Aksi pelemparan itu kemudian memancing polisi untuk bertindak keras. Dalam keadaan kacau itu, polisi kembali menangkap tiga orang warga yang dianggap provokator. Selanjutnya polisi yang dipimpin Kapolres Lobar, AKBP Agus Supriyanto, SIK., kembali mengumpulkan tokoh masyarakat untuk berdialog. Meski begitu Kapolres tetap pada pendiriannya untuk melakukan pemeriksaan terhadap warga yang ditangkap. Karena dialog dianggap tidak memuaskan, emosi warga kembali berhadap-hadapan dengan aparat yang bersenjata. Selang beberapa saat warga dipaksa kembali pulang namun rumah H. Mukti kembali menjadi 30 Suara NTB, Senin (23/2) 2009 MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 51 sasaran kemarahan warga. Padahal di sana aparat keamanan masih berjaga-jaga. Malamnya, setelah bermusyawarah dan adanya jaminan, kelima warga yang ditahan akhirnya dilepaskan.31 Kamis, 26 Februari 2009 • Kapolres Lobar, AKBP Agus Supriyanto, mengundang warga Mesanggok dan tokoh Salafi berdialog. Tempatnya di kantor Mapolres Lombok Barat. Hadir pada pertemuan itu Ketua MUI Lobar, TGH. Shafwan Hakim, Asisten I Pemkab Lobar, Ir. H. Rahmat Agus Hidayat, Kepala Bakesbanglinmas, Kakandepag Lobar dan Camat Gerung. Warga Mesanggok diwakili H. Mahyadin, sementara dari Salafi diwakili H. Mukti Nasihat. Pada dialog mediasi itu H. Mahyadin menuding H. Mukti sengaja menyebarkan fotokopi majalah Furqon yang berisi ajaran-ajaran Salafi. Pada pertemuan itu warga tetap pada pendiriannya agar H. Mukti menghentikan penyebaran ajaran Salafi di Mesanggok. Selain itu dia juga harus keluar dari kampung tersebut sebagaimana bunyi 10 butir isi awiq-awiq yang dibuat warga. “H. Mukti tidak boleh kembali ke kampung. Tapi untuk anak-anak dan istrinya masih boleh pulang namun kami juga tidak bisa menjamin keamanan mereka,” seperti ditirukan H. Mahyadin.32 Hingga kini masih terdapat sembilan orang keluarga H. Mukti yang mengungsi di musala kantor Polres, Lobar. Jadi akumulasi sikap kontroversial, ditambah ajarannya yang dianggap berbeda oleh warga, merupakan pemicu tin31 32 Suara NTB, Selasa (24/2) 2009 Suara NTB dan Lombok Post (Jumat 27/2) 2009 52 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA dakan perusakan sampai pengusiran warga kepada H. Mukti Nasihat. Tindakan perusakan terhadap rumah H. Mukti bahkan terjadi berkali-kali. Dan kasus ini agaknya tidak murni karena perbedaan paham semata, tapi karena juga sikap kontroversial H. Mukti. Pada kasus ini, awiq-awiq masih dipegang kuat warga untuk menyelasaikan berbagai masalah. Cara ini cukup efektif asal kedua belah pihak menaati awiq-awiq yang dibuat, meski dominasi kelompok mayoritas masih menentukan menangkalahnya dialog. Ketika dusun Mesanggok tengah memanas karena kasus ini, Kapolres Lobar AKBP. Agus Supriyanto, S.Ik., melakukan mutasi beberapa Kapolsek dan Kasat di wilayah Polres Lobar. Salah satu Kapolsek yang diganti yaitu Kapolsek Gerung AKP. H. Ahmad, SH., dipindah tugaskan menjadi kapolsek Tanjung, Kabupaten Lombok Utara (KLU). Ia lalu diganti AKP. Eko Supriyadi. Sertijab dilaksanakan Kamis (26/2/2009). Dalam sambutannya Kapolres menekankan tugas Kapolsek dan Kasat untuk melaksanakan Undang-undang No.2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara RI pasal 2 yang menyatakan fungsi dari kepolisian sebagai pemelihara keamanan, ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. “Kalau Kapolsek dan Kasat tidak mampu melaksanakan kotrak kerja tersebut, maka itu artinya siap dicopot atau digeser,” tegasnya dalam upacara sertijab.33 F. Perbedaan Wahabi (Salafi) dengan Masyarakat Terdapat banyak perbedaan antara jemaah Wahabi dengan non-Wahabi. Baik perbedaan dari pola dakwah, doktrin keaga33 Suara NTB, Jumat (27-2) 2009 MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 53 maan, cara dan praktik peribadatan sehari-hari. Belakangan akumulasi perbedaan itulah yang kemudian banyak melahirkan kecurigaan, kecemburuan bahkan ketegangan antara berbagai kelompok. Akumulasi perbedaan yang berlangsung sekian lama mampu menghilangkan bahkan menghancurkan ikatan kekeluargaan dan kultural yang ada. Padahal selaku masyarakat yang tinggal dalam satu lingkungan, satu kampung tentu di antara mereka saling memiliki ikatan kekeluargaan. Lebih dari itu, jikapun tidak memiliki ikatan kekeluargaan, masih ada ikatan kultural sebagai warga yang sama-sama lahir, besar dan menetap dalam satu kampung yang sama. Namun dalam masalah ini, ikatan kekeluargaan dan kultural tiba-tiba seperti menghilang. Yang muncul justru perbedaan yang menimbulkan sikap permusuhan dan perusakan. Untuk itu perlu dikaji, apakah pola dakwah, doktrin keagamaan, praktik peribadatan dan pola hubungan antar kedua kelompok ini telah mempercepat lahirnya permusuhan? Mungkin ada faktor-faktor lain seperti perebutan pengaruh, politik dan ekonomi. Kalau diperhatikan pengajian (dakwah) jemaah Salafi, awalnya berlangsung di rumah dainya. Biasanya diikuti oleh anggota keluarga. Namun secara perlahan seiring bertambahnya pengikut, mereka mulai memanfaatkan masjid sebagai tempat pengajian. Dengan begitu sudah tentu menggunakan pengeras suara. Pengeras suarapun kadang sengaja diarahkan kekampung yang bukan pengikut Wahabi. Seringkali pengajiannya juga mengkritik dan menyinggung paham masyarakat yang berbeda dengan pemahaman mereka. Penggunaan pengeras suara ini sering kali menimbulkan masalah walau sebelum masuknya ajaran Salafi hal ini tidak pernah terjadi. Menyikapi hal itu, Pemda Lombok Timur pun pernah mengeluarkan instruksi 54 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA yang berisi pengaturan atau pembatasan penggunaan pengeras suara, khususnya di malam hari. Selain itu, jemaah Salafi yang berasal dari kampung-kampung tetangga mulai mengikuti pengajian secara rombongan dengan berjalan kaki, mengendarai mobil umum, truk, atau menggunakan sepeda motor. Hal ini juga sering kali menimbulkan persoalan bagi warga setempat yang masjid atau kampungnya dijadikan sebagai tempat pengajian. Sebagian masyarakat biasanya agak sensitif jika kampungnya terus didatangi banyak orang yang berbeda dengan mereka. Problem-problem ini sering menjadi penyulut pertama konflik fisik antara jemaah Wahabi dengan masyarakat setempat. Hal ini misalnya pernah terjadi di desa Pejarakan, Ampenan, Mataram, Sesela, Gunung Sari, Lombok Barat, Masbagek, Lombok Timur. Isi pengajian yang selalu ingin meluruskan juga sering menjadi pemicu munculnya konflik fisik antara warga. Secara fisik yang membedakan jemaah Salafi dengan non Salafi di antaranya pengikut Salafi laki-laki memelihara jenggot, celana atau kain setengah betis. Sebagian keningnya hitam seperti bekas sujud. Menggunakan pakaian ala Arab (baju gamis) dan berpeci putih. Bagi masyarakat Sasak, menggunakan peci putih dan serban putih haji dianggap sangat sakral. Orang Sasak baru berhak menggunakan topi putih dan serban bila dia sudah mampu melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Jadi maka menggunakan peci putih dan serban dianggap sangat tidak etis dan melecehkan status sosial orang yang sudah berhaji. Kegemaran pengikut Salafi memakai peci putih dan serban ketika salat dan mengikuti pengajian dianggap melecehkan status haji yang disandang masyarakat Sasak secara umum. Di hadapan orang Sasak, orang yang sudah berhaji memiliki status sosial yang lebih tinggi dan terhormat dibandingkan orang yang belum berhaji. Seseorang yang dianggap memiliki penge- MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 55 tahuan agama, bisa membaca kitab kuning, mamahami alQuran dan Hadis biasanya dipanggil ustadz. Statusnya akan berubah dan ia akan dipanggil seorang tuan guru bila dia sudah melaksanakan haji. Itulah yang menyebabkan orang Sasak berlomba-lomba melaksanakan rukun Islam kelima itu meski mereka harus menjual sawah dan kebun mereka. Sementara jemaah perempuan jemaah Salafi biasanya menggunakan jilbab hitam ukuran besar sampai menutup setengah tubuh dan tidak dibuka meski mereka sedang bekerja. Mukenanya pun terbuat dari kain hitam, berbeda dengan mukena kaum perempuan mayoritas yang menggunakan kain putih. Di Lombok Timur baju persatuannya, terutama yang perempuan menggunakan kain warna kuning muda. Sebagian gadis-gadisnya menggunakan cadar, kaus tangan dan kaki. Jika ada anggota mereka yang meninggal, hanya orang laki-laki yang pergi ke kuburan, perempuan tidak diperbolehkan. Alasannya, sebagian perempuan itu suka menangis sampai meratap di atas kubur keluarganya yang meninggal. Selain itu, perempuan yang sedang haid (datang bulan) tidak diperbolehkan ke kuburan atau ke masjid. Sementara tradisi orang Sasak, mengantar jenazah sampai ke kubur, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa dianggap akan mendapatkan pahala. Apalagi bagi keluarga yang anggota keluarganya meninggal dunia. Mengantar jenazah keluarganya sampai peristiharatan terakhir dianggap sebagai bentuk ketaatan dan kecintaan terhadap keluarga. Jika ada anggota keluarga yang tidak mau mengantar keluarganya sampai kubur maka ia dianggap sebagai anggota keluarga yang tidak berbakti, tidak saleh dan ia bisa dicemooh masyarakat. Doktrin kembali ke al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad juga telah menjadi idiom utama jemaah Wahabi. Dari sini dalam pengajian-pengajiannya kemudian sering melontarkan terhadap perbuatan atau praktik-praktik keagamaan yang diang- 56 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA gap tidak Qurani serta tidak pernah dilakukan Nabi Muhammad. Pola penyampaian yang tegas dan keras seringkali memancing ketersinggungan masyarakat yang merasa memiliki keyakinan berbeda dengan mereka. Doktrin keyakinan keagamaan yang tekstual tidak memberikan peluang untuk menginterpretasikan ayat dan Hadis secara kontekstual. Apalagi bila bersentuhan dengan budaya dan kearifan masyarakat setempat yang dianggap jauh dari budaya islami. Dampak dari doktrin keagamaan yang literalis ini kemudian menjadikan pengikutnya bersikap ekslusif, tidak mau bergaul dengan masyarakat. Pada hal banyak media-media kultural untuk bertemu dan berkumpul dengan masyarakat. Tidak harmonisnya hubungan antara jemaah Salafi dengan masyarakat tidak bisa dipungkiri dapat melahirkan konflik. Biasanya langkah pertama yang dilakukan jemaah Salafi dalam menyebarkan pahamnya dengan mengambil alih penguasaan masjid. Bila tidak bisa maka tidak ada pilihan lain selain membangun masjid sendiri yang bisa dipergunakan sesuai dengan paham mereka. Proses penguasaan masjid utama kampung pun tidak mudah, bahkan seringkali mendapatkan perlawanan yang keras dari masyarakat. Lebih rinci berikut perbedaan pandangan dan ritual keagamaan Wahabi dan kelompok non-Wahabi: No Wahabi 1 Tidak merayakan Maulid Nabi 2 Tidak membaca talkin terhadap orang meninggal dunia 3 Setelah memakamkan orang meninggal dilanjutkan dengan takziah lalu berdoa dengan cara berdiri menghadap arah kiblat 4 Tak melakukan zikir setelah melakukan salat lima waktu Non-Wahabi Merayakan Maulid Nabi Membaca talkin Setelah memakamkan orang yang meninggal dilanjutkan dengan takziah lalu dilanjutkan zikir dan berdoa dengan cara duduk di atas kubur. Usai salat lima waktu dilanjutkan dengan membaca zikir dengan suara nyaring (jahar) MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 57 5 6 7 KeƟka Tahiyat Awal dan Akhir, jari telunjuk digerak-gerakkan Tidak membaca kunut Subuh Azan sebanyak Ɵga kali. Azan pertama dimulai sekitar jam Ɵga pagi, bertujuan untuk membangunkan warga untuk salat tahajud 8 Jari telunjuk diam Membaca kunut Azan seperƟ mayoritas muslim di Indonesia. Di awal-awal kelompok Salafi mentradisikan azan Subuh Ɵga kali ini, banyak warga non-Salafi yang mengira waktu salat Subuh sudah mulai. Dalam salat bacaan bismillah dibaca sekali 9 Menolak tradisi hajatan bagi keluarga yang meninggal 10 Tidak membaca salawat Nabi seƟap akan melaksanakan salat 11 Tidak membaca zikir selama sembilan hari bagi orang yang meninggal Membaca bismillah berulang-ulang 12 Melarang ziarah kubur, terutama bagi perempuan Menganjurkan ziarah kubur untuk mendoakan keluarga yang sudah meninggal dan supaya mengingat maƟ Membaca Barzanji (NU), Khizib (NW) seƟap malam Jumat termasuk bagi jemaah haji Perempuannya menggunakan jilbab biasa 13 Membaca Barzanji dianggap bidah 14 Perempuannya mengenakan jilbab besar dengan kain hitam, sebagian bercadar, kaus tangan, dan kaus kaki 15 Salat dengan menggunakan kain (mukena) hitam seperƟ perempuanperempuan di negara-negara Arab 16 Kaum laki-lakinya sangat dianjurkan memelihara jenggot, berkain, atau menjaga batas celana di tengahtengah beƟs 17 Kaum perempuannya Ɵdak diperbolehkan ke kubur Mengadakan hajatan dengan tujuan bersedakah semampunya Menganjurkan membaca salawat Melakukan zikir sembilan hari Salat dengan mukena berwarna puƟh Memelihara jenggot dan kain di atas mata kaki hukumnya sunah Dianjurkan semua anggota keluarga ke kubur, kecuali yang sedang datang bulan. Tujuannya agar mereka mengigat maƟ 18 Kaum laki-lakinya sangat suka Orang yang belum melaksanakan menggunakan kain gamis, peci puƟh haji Ɵdak eƟs menggunakan kopiah dan serban atau peci puƟh termasuk serban. Jika memakai itu dianggap pelecehan. Yang belum berhaji dalam salat mereka menggunakan kopiah hitam seperƟ dipakai mayoritas muslim Indonesia. 58 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Peta Konflik Wahabi di Lombok • • • • • • Isu utama (situasi yang membuat pihak Kapan & Berapa Kali Terjadi tertentu Ɵdak puas, tertekan dan menderita ) Ponpes Ubay bin Ka’ab di Sesela Gunung • Eksklusif Sari, milik tokoh Salafi dirusak massa (No• Paham yang radikal dan keras pember 2005). termasuk dalam menafsirkan Madrasah Ihya As-Sunnah, Sekotong, teks-teks al-Quran dan Hadis Lombok Barat dirusak dan dihancurkan Nabi (Maret 2006). • Mudah mengklaim masyarakat Pengajian Jamaah Salafi dibubarkan sebagai pelaku bidah, sesat, paksa warga Beroro, Jembatan Kembar, syirik dll Gerung (Juni 2006). • Suka menyalahkan tradisi Masjid Salafi yang sedang dibangun keberagaman budaya dirusak dan dibakar warga Masbagek, masyarakat setempat yang Lombok Timur (Agustus 2006). sudah berkembang turun temurun. Di Mataram, rumah dan TPA tokoh Salafi • Ancaman dan saingan H. Said dilempari batu oleh warga. Ia bagi karismaƟk tuan guru. juga sempat diusir warga dari kampungBeberapa kali mereka nya Pejarakan, Kecamatan Ampenan menantang sebagian tuan Kota Mataram. (Juli 2007). guru untuk berdebat Di Dusun Masanggok, Desa Gapuk Kecamatan Gerung, Pengajian Salafi dilempari batu dan dibubarkan warga. Tokohnya diusir dari kampung, termasuk ke-26 jemaahnya yang malam itu mengikuƟ pengajian (14 Mei 2008). • Dialog antara tokoh Salafi dengan warga, difasilitasi Kapolsek Gerung AKP. H. Ahmad, Kakandepag Gerung, H. Muslim, Camat Gerung, L.ArdipaƟ, Ketua MUI Lobar, TGH. Shafwan Hakim. Dialog difasilitasi Kepala Desa (Kades) Gapuk, Zulhaini dan Kapala Dusun (Kadus) Mesanggok, H. Islahudin. Dialog yang bertempat di masjid setempat Ɵdak melahirkan kesepakatan damai. (Sabtu, 17 Mei 2008) MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 59 • Pukul 22.00 WITA rumah H. MukƟ Nasihat kembali dilempari batu oleh warga keƟka tengah melakukan pengajian tafsir al-Quran. Aksi itu kembali dilakukan karena H. MukƟ dianggap Ɵdak berhenƟ mengajarkan ajaran Salafi di kampung tersebut. (Kamis, 19 Februari 2009) • Pukul 17.05 WITA rumah H. MukƟ Nasihat yang bersebelahan dengan masjid Daarud Dakwah kembali dilempar dan dirusak warga. Lima buah rumah warga Salafi rusak parah. Warga kembali marah karena H. MukƟ Ɵdak mau berdialog yang diadakan di kantor Polsek Gerung. Apalagi beredar foto kopian majalah Al-Furqon yang disebarkan H. MukƟ yang isinya menyalahkan tradisi keagamaan mayarakat setempat. (Sabtu, 21 Februari 2009) • Ratusan warga Mesanggok bentrok dengan anggota kepolisian Polres Lobar yang menuntut agar dua orang warga yang ditangkap polisi dibebaskan. Dalam aksi itu Ɵga orang warga kembali ditangkap karena dianggap sebagai provokator. Tidak ada korban jiwa dalam perisƟwa itu. Warga membubarkan diri setelah Kapolres berdialog dengan tuan guru serta tokoh masyarakat Mesanggok. (Senin, 23 Februari 2009) • Kapolres Lobar, AKBP Agus Supriyanto mengundang warga Mesanggok dan tokoh Salafi berdialog, bertempat di kantor Mapolres Lombok Barat. Hadir pada pertemuan itu Ketua MUI Lobar, TGH. Shafwan Hakim, Asisten I Pemkab Lobar, Ir.H.Rahmat Agus Hidayat, Kepala Bakesbanglinmas, Kakandepag Lobar dan Camat Gerung. Pada dialog itu warga tetap minta H. MukƟ harus dikeluarkan dari kampung dan Ɵdak boleh masuk paham baru menyebar dikampung tersebut yang dapat meresahkan masyarakat. (Kamis, 26 Februari 2009). 60 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA G. Kesimpulan Meski pola gerakan Wahabi di Lombok sama, terdapat perbedaan antara konteks konflik Salafi dengan warga yang terjadi di Lombok Timur dengan di Lombok Tengah, Kota Mataram dan Lombok Barat. Di Lombok Timur perbedaan doktrin keagamaan antara Salafi dengan masyarakat ternyata tidak langsung melahirkan penolakan, apalagi tindakan anarkis. Sebaliknya malah terjadi dialektika paham keagamaan yang cukup menarik dalam waktu yang cukup lama antara pengikut Wahabi dengan non-Wahabi. Bila dicermati tokoh yang menyebarkan Salafi adalah putra tuan guru karismatik. Begitu juga dengan pihak yang tidak sependapat dengan Salafi memiliki hubungan kekeluargaan. Dengan demikian terjadi dialektika atau masing-masing pihak mempertahankan argumentasi paham masing-masing. Di sinilah perbedaan mazhab masing-masing pengikut diuji. Akibatnya dalam waktu yang cukup lama tidak pernah muncul tindakan anarkis yang menimpa masing-masing pengikut. Perbedaan paham justru diselesaikan dengan pembagian jadwal petugas salat atau pengajian. Bila cara itu tidak bisa, salah satu pihak (khususnya Salafi) mendirikan masjid sendiri. Kalaupun peristiwa itu terjadi di Masabagek, peristiwanya terjadi belakangan. Padahal Wahabi sudah lama masuk di Masbagek. Selain itu ikatan kekeluargaan masih mampu mengikat mereka. Di Lombok Tengah, Mataram dan Lombok Barat, para penyebar ajaran Wahabi sebagian berasal dari luar yang tidak memiliki garis keturunan atau hubungan kekeluargaan dengan tuan guru atau tokoh karismatik di tempat itu. Di samping memang mereka tidak mengerti banyak tradisi masyarakat setempat. Akibatnya tidak terjadi dialektika keagamaan sebagaimana di Lombok Timur. Sebaliknya, tindakan anarkis justru terjadi berulang-ulang padahal Wahabi tidak begitu lama ma- MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 61 suk dikampung tersebut. Selain itu, sikap-sikap tokoh Wahabi yang dianggap oleh masyarakat kontroversial dan selalu ingin berbeda dengan masyarakat. Dan tidak ketinggalan juga masalah-masalah pribadi di masa lalu juga ikut memicu aksi kekerasan. Jadi, konflik terjadi bukan saja dipicu perbedaan keyakinan keagamaan. Ada faktor lain di luar itu. Media massa juga terkesan sangat tendensius memberitakan masalah tersebut, terutama dari sisi sesatnya paham Wahabi. Padahal semua tokoh yang tidak setuju dengan paham Salafi tidak pernah memvonis Salafi-Wahabi sebagai aliran sesat. Media masih sangat lemah dalam melakukan penggalian dan verifikasi data. Di sini media ikut berperan dan terus memproduksi istilah-istilah sesat padahal konteks masalahnya tidak demikian. Media terlalu provokatif dalam menggunakan istilah sesat. Konflik Salafi dengan masyarakat akan terus terjadi selama pola dakwah Salafi tidak kooperatif terhadap budaya masyarakat setempat. Pola dakwah yang terlalu agresif ini, dan mengangap usaha memperbaiki paham keagamaan masyarakat serta tujuan menarik anggota sebanyak-banyaknya juga memicu konflik. Masyarakat juga belum terbuka alias belum akrab dengan perbedaan yang datang dari luar. Peran tuan guru, tokoh masyarakat termasuk pemerintah untuk menjelaskan kepada umat agar tidak menyikapi perbedaan dengan tindak kekerasan tentu menjadi penting di sini. Guna mencegah terulangnya konflik serupa ada beberapa hal yang perlu dilakukan: 1. Aparat (pemerintah). Selama ini fungsi aparat dari tingkat desa sampai daerah terkesan membiarkan terjadinya konflik. Ini dibuktikan dari beberapa fakta di lapangan di mana aparat selalu tidak tanggap dan siaga. Karena itu perlu ada koordinasi dan kerjasama antara para tuan guru, tokoh 62 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA agama, masyarakat, dengan aparat kepolisian. Mereka bisa melakukan sosialisasi, penanganan, dan tindakan preventif terhadap potensi konflik yang bakal terjadi. Aparat kepolisian perlu lebih mendalami persoalan ketika bertindak, bukan saja melaksanakan proses penegakan hukum semata tapi juga mempertimbangkan aspek-aspek budaya dan tradisi kultural masyarakat. Di sini pentingnya aparat berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempat dalam melakukan proses pengamanan. 2. Tokoh agama dan masyarakat. Tokoh agama terkesan memprovokasi dan ikut terprovokasi terhadap isu-isu agama yang muncul. Dengan demikian, ke depan diharapkan ada kesadaran atau pemahaman dari tokoh agama terhadap pluralisme keyakinan agama. Selanjutnya, perlu ada intervensi dan internalisasi yang dilakukan oleh pemerintah atau NGO dalam rangka memberikan pemahaman tentang pluralisme keyakinan keagamaan. Selama ini tuan guru tampak resisten terhadap pluralisme yang dianggap berasal dari Barat dan bertentangan dengan agama Islam. Yang pasti, massifnya gerakan Salafi sampai ke kampungkampung di Lombok telah merubah struktur hubungan antarmasyarakat. Hadirnya Salafi juga berperan mewarnai Islam Lombok di masa mendatang. Sudah tentu, hadirnya Salafi membawa tantangan bahkan ancaman baru bagi organisasi-organisasi Islam seperti NU dan NW yang memiliki pengikut terbesar di daerah ini. Tokoh-tokoh NU dan NW Ormas ini harus segera bertindak dan berpikir ulang jika tidak ingin jemaahnya direbut Salafi. Tanda-tanda sangat jelas, beberapa tokoh masyarakat mulai reaksioner menanggapi hadirnya Salafi di kampung mereka. MENGURAI KONFLIK SUNNAH VS BIDAH DI PULAU SERIBU MASJID 63 Tokoh masyarakat sebaiknya bertindak dengan cara-cara persuasif agar tidak menimbulkan konflik yang lebih besar. Masyarakat perlu ingatkan bahwa perbedaan mazhab dalam Islam bukan saja realitas zaman yang tidak bisa dihindari tapi juga merupakan sunnatullah. Tokoh masyarakat mesti menjadi penengah bukan malah memprovokasi warga untuk bertindak anarkis. Tindakan anarkis hanya akan semakin menciptakan masalah baru dan lebih kompleks ditengah kemiskinan, kesehatan dan pendidikan yang lemah. 64 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Tragedi Kabel Mik: Sepenggal Kisah Perseteruan Islam Pribumi dan Islam Puritan di Klepu Ponorogo AHMAD ZAINUL HAMDI Bermula Dari… Masjid lama itu dibangun di atas wakaf tanah bapak saya, untuk ibadah anak cucu, tetangga kanan-kiri, dan untuk menyatukan umat Islam semua. Semuanya sudah berjalan baik selama ini. Kemudian, masjidnya sudah membutuhkan untuk direhab. Sudah dibentuk panitia, tarikan 100.000, beli kayu, batu juga sudah ada. Tidak lama kemudian, Pak Munawar bikin masalah. Saya ini sebetulnya sesepuhnya sini. Saya yang babat Islam di sini. Saya pujian. Pak Munawar kemudian memutus kabel mik sehingga mati. Saya tidak tahu apa maksud Pak Munawar. (Mbah Yoto, 65 tahun) A. Pengantar Mbah Yoto adalah salah seorang pelaku utama dalam kisah yang hendak diceritakan di sini. Apa yang diungkap tersebut mengingatkan kita bahwa peran agama di masyarakat semata-mata sebagai suatu konstruksi yang integratif, jelas sebuah penjelasan yang mengingkari fakta. Kenyataan sosial menunjukkan, ada begitu banyak konflik sosial yang dipicu 66 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA oleh agama. Meskipun dengan menggunakan perspektif Durkheim bahwa agama berperan sebagai perekat sosial yang mengikat individu-individu dalam sebuah sistem sosial,1 tetap saja tidak bisa menghilangkan potensi konflik sosial berbasis agama. Hal ini terjadi karena fungsi integratif agama selalu diiringi dengan penumbuhan perasaan “insider” dan “outsider”, perasaan “kita” dan “mereka”.2 Hal demikian berpotensi menciptakan disintegrasi sosial. Solidaritas yang ditumbuhkan agama adalah solidaritas eksklusif (ingroup solidarity) di mana solidaritas ini diperhadapkan dengan kelompok lain sebagai outsider. Hal ini terjadi sekalipun kedua kelompok agama ini hidup dalam satu masyarakat. Sentimen insider-outsider akan semakin kuat jika sebuah kelompok agama meyakini ajaran kelompoknya sebagai kebenaran absolut. Jika dikatakan agama memiliki kekuatan menyatukan masyarakat, maka kebenaran yang sama juga bisa diberikan kepada pernyataan bahwa agama juga merupakan kekuatan yang memecah masyarakat. Setidaknya, inilah yang secara tersirat tergambar dalam peringatan Haafkens bahwa salah satu bahaya besar bagi masa depan dunia adalah “...polarisasi masyarakat menurut garis-garis keagamaan”.3 Fakta penggunaan cap bidah juga bisa dijelaskan dengan skema pemikiran ini. Komunitas keagamaan yang meyakini bahwa ajaran yang dianutnya merupakan kebenaran absolut Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, trans. J.W. Swain (London: Allen & Unwin, 1976). 2 Ian Marsh, et.al., Sociology, Making Sense of Society (Harlow: Prentice Hall, 2000), h. 642. 3 Dikutip dari Daniel L. Smith-Christopher, “Pendahuluan,” dalam Daniel L. Smith-Christopher (ed.), Lebih Tajam Dari Pedang, Refleksi Agama-Agama tentang Paradoks Kekerasan, ter. A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 17. 1 TRAGEDI KABEL MIK 67 akan memandang individu atau kelompok keagamaan lain yang berbeda sebagai pelaku bidah. Insider dan outsider tidak hanya berupa pembagian kelompok objektif, tapi juga memuat nilainilai etis-eskatologis: insider berhubungan dengan nilai baik, benar, dan selamat; sementara outsider identik dengan nilai yang jelek, salah (bidah) dan sesat. Perasaan bahwa keyakinan kelompoknya adalah satu-satunya yang legitimate hanya menunggu satu langkah saja untuk berkonflik dengan outsider.4 Bagaimanapun juga, kelompok agama dan pandangan absolut dalam memandang dirinya dalam hubungannya dengan kelompok keagamaan yang lain membutuhkan konteks sosial-politik tertentu untuk meletus menjadi konflik terbuka. “Tragedi kabel mik” yang hendak diungkap di sini adalah contoh, bagaimana kebenaran absolut yang diyakini suatu kelompok melahirkan penilaian bahwa kelompok lain adalah pelaku bidah. Konflik ini terjadi antara muslim lokal (penggemar tahlil, selawatan, selamatan, dan berbagai ritus populer lainnya) dengan kelompok muslim puritan, dalam hal ini DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), yang menganggap ritusritus tersebut sebagai bidah (heretik). Penilaian ini berlanjut pada anggapan, ritus-ritus muslim lokal harus dibersihkan dari bidah. B. Sekilas tentang Klepu Klepu, Kecamatan Sooko, Ponorogo, adalah sebuah desa yang secara geografis terletak di ujung timur Kabupaten PonoM.C. Ricklefs, “Perubahan Agama dan Perubahan Sosial,” dalam Ahmad Salehuddin, Satu Dusun Tiga Masjid, Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama (Yogyakarta: Pilar Media, 2007). 4 68 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA rogo. Jarak Klepu dari ibukota Kecamatan Sooko 1,5 km, sedangkan jarak dari ibukota Kabupaten Ponorogo 27 km. Jumlah keseluruhan penduduk Klepu 2721 jiwa, yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Lahan pertanian yang ada 67,540 ha² berupa sawah setengah teknis dan 39,600 ha² sawah tadah hujan. Dari keseluruhan lahan tersebut, 22 ha² di antaranya merupakan tanah kas desa yang digarap oleh kepala desa dan perangkatnya. Jika dilihat dari proporsi ini maka lahan pertanian sesungguhnya sangat terbatas. Oleh karena itu, sebagian besar bukit yang awalnya adalah hutan yang ditumbuhi kayu alam kini dibuka oleh penduduk desa dan berubah fungsi menjadi lahan pertanian, baik berupa tegalan atau ladang. Desa Klepu terdiri dari empat dusun: Jogorejo, Klepu, Sambi, dan Ngapak. Dari empat dusun tersebut, Klepu terbagi manjadi 10 RW dan 22 RT. Akan tetapi, tata pemerintahah formal ini lebih banyak hanya digunakan dalam urusan resmi. Dalam sebuah hubungan yang lebih akrab sehari-hari, dusundusun ini tersusun dari kelompok-kelompok pemukiman kecil yang biasanya disebut lingkungan. Sekalipun orang juga bisa menunjukkan alamat seseorang dengan menggunakan alamat formal, misalnya dengan menunjukkan RT-nya, namun dalam kehidupan sehari-hari, keberadaan seseorang akan ditunjuk berdasarkan lingkungan atau kelompok pemukiman ini. Dusun Klepu terdiri dari lingkungan Klepu, Sulingan, Pondok, Wates, dan Lurung Kebo. Dusun Sambi memiliki tiga lingkungan yakni Sambi, Ngelo, dan Dawuhan. Dusun Ngapak terdiri atas tiga lingkungan: Tanjung, Ngapak, dan Ledok. Sementara Dusun Jogorejo memiliki lingkungan paling banyak, yaitu Genengan, Kilatan, Sentul, Kampung, Bendo, Dayahan, Waren, Mendung, dan Kuniran (atas dan bawah). Lingkungan-lingkungan ini kemudian digabung menjadi satu TRAGEDI KABEL MIK 69 pedukuhan diberi nama yang biasanya mengambil nama lingkungan yang paling besar. Keempat pedukuhan tersebut kemudian menjadi satu desa yang disebut desa Klepu karena dulu pusat pemerintahan desa ada di Klepu. Sekarang pusat pemerintahan desa ada di Jogorejo, di mana balai desa berada. 1. Islam Klepu, Islam Natbiti Dengan melihat sejarah masuknya Katolik ke Klepu pada tahun 1968, orang akan dengan mudah menyangka bahwa Islam lebih dulu berkembang di Klepu. Segera terbayang, kehidupan keagamaan Islam lebih dulu tertata baru kemudian diikuti penataan kehidupan keagamaan Katolik. Kenyataan di lapangan sebaliknya. Islam di Klepu datang belakangan dibanding dengan Katolik. Bahkan bisa dikatakan, menggeliatnya kehidupan keberagamaan Islam di Klepu adalah sebuah respon dari rasa cemburu umat Islam melihat kehidupan umat Katolik yang tertata dan semarak. Woodward berteori bahwa abangan adalah Islam Jawa yang secara teologis tetap absah untuk diakui sebagai salah satu varian dalam keragaman Islam itu sendiri.5 Pandangan ini bisa dibenarkan jika kita melihat percampuran harmoni antara keislaman dan kejawaan yang memang secara umum menjadi karakter Islam Jawa yang akulturatif. Akan tetapi, pandangan ini tetap tidak bisa menafikan varian abangan sebagaimana yang digambarkan Geertz, di mana seseorang me(di)nyatakan sebagai muslim tapi sama sekali tidak peduli dengan Islam karena keyakinan dan perilakunya dipandu oleh ajaran kejawen. Sekalipun mungkin kejawen itu adalah paduan dari sekian unsur, di mana Islam adalah Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS. (Yogyakarta: LKiS, 2004). 5 70 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA salah satu unsur utamanya, namun kejawen bagi kalangan ini telah menjadi entitas sendiri yang tidak membutuhkan pemahaman tentang detail-detail unsur penyusunnya.6 Apalagi, kejawaan dan keislaman itu baru sungguh-sungguh menjadi sebuah kesadaran setelah terjadi proses santrinisasi yang merupakan efek kebijakan politik Orde Baru.7 Muslim Klepu hingga tahun 1965 adalah abangan sebagaimana yang digambarkan Geetrz. Hal ini ditunjukkan dalam pernyataan sejumlah generasi pertama pemeluk Katolik, yang awalnya muslim. Jika terdapat pertanyaan mengapa mereka pindah ke Katolik, akan segera terdengar sebuah jawaban yang sama sekali tidak mengesankan adanya halangan teologis apapun dari agama yang mereka peluk sebelumnya. Pertanyaan tentang mengapa pindah ke Katolik ini tetap penting untuk dilontarkan sekalipun sudah diketahui tentang konteks politik yang melatarbelakanginya. Hal yang ingin diketahui dari pertanyaan tersebut adalah seberapa dalam mereka terikat dengan Islam. Jika mereka betul-betul memeluk Islam dengan kesadaran sebagai sebuah agama, terlepas mereka mempraktikkan ajaran-ajarannya atau tidak, maka ketika ada tekanan politik untuk konsisten dengan agama yang dipeluknya, mereka akan lebih mudah untuk menjadi seorang santri dadakan meski hanya untuk sementara, daripada konversi ke agama lain. Tapi, mereka justru pindah Katolik, padahal mereka tetap harus belajar ajaran dan praktik peribadatan Katolik sebagai agama baru mereka. Clifford Geertz, The Religion of Java, (Chicago and London: University of Chicago Press, 1960). 7 Moeslim Abdurrahman, “Ber-Islam Secara Kultural,” dalam Moeslim Abdurrahman (ed.), Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural (Jakarta: Ideo Press & Maarif Institute, 2003), h. x. 6 TRAGEDI KABEL MIK 71 Hampir semua informan menyatakan bahwa alasan konversi ke Katolik adalah karena tekanan politik dan kemudahan menjalankan Katolik daripada Islam, sebuah alasan yang masuk akal. Namun sebegitu mudahnya mereka berpindah agama juga menunjukkan adanya sesuatu yang lebih prinsipil, yaitu pembenaran gambaran Geertz bahwa Islam bagi kalangan ini hanya sebuah kulit luar yang tidak memengaruhi apapun dalam orientasi kesadaran dan hidupnya. Mbah Selan, salah seorang sesepuh desa yang konversi ke Katolik pada 1968, misalnya, ketika ditanya mengapa tidak melaksanakan Islam daripada pindah Katolik, menyatakan, orang-orang Klepu dulu, kalau wayang begitu seperti wayang krucil, Islamnya Islam marmoyo (Islam dagelan atau Islam tidak serius —pen.). “Pokoknya sudah sunat dengan sendirinya dianggap beragama Islam. Di KTP memang tertulis Islam, tapi itu hanya ngaku Islam saja. Buktinya kalau ada penganten disuruh syahadat, dia bisanya hanya mengikuti syahadat Pak Naib. Jadi pengertian Islam itu tidak punya. Aslinya orang kejawen semua. Orang-orang Katolik di sini dulu juga Islam, ada yang bisa syahadat dan ada yang tidak. Yang banyak ya Islam abangan”.8 Pernyataan di atas memberi gambaran yang sangat jelas tentang kondisi keberagamaan di Klepu. Bisa dipastikan bahwa sebelum konversi ke Katolik secara besar-besaran pada tahun 1968, warga Klepu tercatat seratus persen beragama Islam.9 Akan tetapi apa yang disebut seratus persen Islam itu jumlah terbesarnya adalah Islam marmoyo. Islam sebagaimana diungkapkan Selan, yang menganggap bahwa seseorang yang telah sunat (khitan) dianggap secara otoWawancara dengan Mbah Selan, 14 Februari 2008. Saat ini, agama yang dipeluk oleh masyarakat Klepu hanyalah Islam, Katolik, dan satu keluarga memeluk Kristen. 8 9 72 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA matis beragama Islam. Namun tata cara penyembahan Tuhan, tetap sebagai pengikut kejawen yang tulen. Sementara sebagian lain yang sungguh-sungguh menghayati Islam sebagai agama hanyalah sekelompok kecil. Apalagi yang meyakini dan menjalankannya secara konsisten, tentu lebih sedikit lagi. Di antara yang sedikit itu, nama Mustakim (jabatannya adalah ketua takmir masjid desa) dan Salam Muhayat (satu-satunya haji di Desa Klepu) adalah dua nama yang disebut oleh hampir setiap orang tua sebagai muslim yang sesungguhnya. Kenyataan bahwa apa yang disebut sebagai muslim tidak lebih hanya kulit luar yang berbentuk catatan administratif dalam KTP, juga muncul dalam pengakuan Salam Muhayat dan Mustakim, dua tokoh Islam lokal. Mustakim menyatakan, ”saya dulu dengan Pak Salam salatnya itu bersembunyi karena malu jadi tontonan. Pada saat itu, di bulan puasa orang-orang sini hanya selametan megengan (malam hari pertama bulan Ramadhan).”10 Hal senada juga diungkapkan Salam yang mengatakan saat masih bujangan, melakukan salat itu jadi tontonan. Sebelum tahun 1965, kebanyakan warga tidak tahu Islam sama sekali. Islam baru menyebar setelah kasus PKI, baru banyak yang masuk Islam.11 Apa yang disebut Selan dengan Islam marmoyo, atau yang banyak kalangan menyebutnya dengan istilah Islam KTP adalah muslim nominal sebagaimana yang dikonsepsi Geertz dengan istilah abangan-nya. Orang seperti Mustakim punya istilahnya sendiri untuk menggambarkan orang-orang Islam Klepu pada saat itu, Islam natbiti, yaitu Islam sunatrabi-mati (khitan, menikah dan meninggal). Dalam arti 10 11 Wawancara dengan Mustakim, 14 Februari 2008. Wawancara dengan Salam Muhayat, 14 Februari 2008. TRAGEDI KABEL MIK 73 bahwa mereka melakukan sunat (khitan), ketika menikah mereka diajari melafalkan syahadat, dan ketika meninggal dimakamkan menurut tata cara Islam. Keislaman mereka sesungguhnya hanya ditandai oleh tiga upacara peralihan tersebut. Di luar itu mereka sepenuhnya adalah orangorang Jawa yang lapisan terdalam batinnya dipahat dengan ajaran-ajaran kejawen. 2. Santri Ngapak, Cikal-Bakal Islam Klepu Masjid pertama Desa Klepu adalah masjid yang berada di Lingkungan Ledok, Dusun Ngapak, Klepu. Sekalipun saat ini, sama sekali tidak terlihat sebagai sisa-sisa bangunan lama, namun orang-orang Klepu masih menyebut Masjid Ngapak ini dengan istilah masjid lama. Masjid itu kini bernama Masjid Darussalam, dan merupakan masjid Muhammadiyah.12 Keberadaan Masjid Ngapak ini menandai sejarah awal perkembangan Islam di Klepu. Kisah orang-orang setempat menyatakan bahwa di Ngapak, terutama di Lingkungan Ledok, di mana masjid lama berdiri, merupakan lingkungan santri. Tidak harus dipahami bahwa komunitas santri ini membentuk sebuah komunitas tertutup. Pengakuan kesantrian lingkungan ini semata-mata didasarkan pada adanya salah seorang kiai, Kiai Kurdi,13 yang bisa menjadi imam salat dan mengajar mengaji al-Quran serta bisa memimpin tahlil. Kalau ada orang yang meninggal dunia dan keluargaMasjid tua Ngapak ini dibongkar tahun 1985 dan kemudian menjadi asjid Muhammadiyah Darussalam. 13 Kiai Kurdi merupakan mertua dari Salam Muhayat. Kurdi ini kemudian diangkat menjadi modin desa. Sementara Salam Muhayat adalah salah satu tokoh Islam Klepu saat ini. Dia dan istrinya adalah satu-satunya keluarga haji di desa Klepu. 12 74 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA nya meminta untuk membacakan bacaan tahlil, mereka akan mengundang orang-orang dari jemaah Masjid Ngapak ini. Orang-orang yang mau menjalankan salat dan mengaji ini masih sangat kecil. Hanya ada beberapa anak muda yang belajar mengaji ke sini, di antaranya adalah Mustakim, Salam, dan Yoto. Bagi anak-anak yang mau sungguh-sungguh bisa mengaji al-Quran, mereka akan segera pindah ke tempat lain,14 Desa Sombro, dekat kecamatan Sooko. Pelajaran mengaji di Masjid Ngapak hanya menghasilkan kemampuan hafalan surat pendek, bukan kemampuan membaca al-Quran. Sebagaimana dituturkan Mustakim,15 cikal bakal kehidupan Islam di Klepu adalah Dusun Ngapak, dimana telah berdiri masjid tua, diyakini sebagai masjid lama yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Ketika pertama kali didirikan, lokasinya masih berada di tengah hutan. Perkiraan ini didasarkan pada ingatan sosial tentang babad Klepu, kemunculan Dusun Ngapak adalah yang paling akhir, yaitu dilakukan dengan cara membuka hutan. Hal yang masih banyak diingat orang, peristiwa pemberhentian Kamituwo Sambi dari jabatannya sebagai kepala desa Klepu, karena membuka hutan untuk dusun Ngapak tanpa izin pemerintah Belanda. Pembangunan masjid ini dilakukan sembilan orang yang semuanya pendatang dari luar Desa Klepu. Pemimpin mereka waktu itu adalah Kiai Sulaiman. Kiai Sulaiman memiliki seorang menantu bernama Kurdi. Sepeninggal Kiai Sulaiman, Kurdi meneruskan misi ayah mertuanya untuk mengembangkan Islam di Klepu. Komunitas muslim awal ini bisa dikatakan mengalami stagnasi dalam membangun 14 15 Nama yang biasa disebut adalah Sombro dan Kalimangu. Wawancara Mustakim, 26 Februari 2008. TRAGEDI KABEL MIK 75 umat, bila tidak bisa dikatakan gagal. Sampai bertahun-tahun, sampai di kepemimipinan Kiai Kurdi, orang yang aktif menjalankan salat hanya sekitar 5 orang. Sehingga mereka belum bisa melaksanakan salat Jumat sendiri. Mereka biasanya menjalankan salat Jumat ke Kalimangu. Di samping itu, komunitas kecil ini juga bisa dibilang illiterate. Pengajaran al-Quran dilakukan hanya untuk menghafal sehingga tidak bisa menjadikan orang mampu membaca al-Quran. Saat ini, masjid yang paling hidup, jika dilihat dari rutinitas salat jemaah lima waktu, justru adalah masjid di lingkungan Klepu. Hal ini teramati ketika penulis ikut berjemaah di Masjid Klepu. Jemaah salat maghrib di Masjid Klepu waktu itu diikuti sepuluh orang laki-laki di bagian depan, dan empat perempuan di bagian belakang yang disekat dinding triplek tidak permanen setinggi dua meter. Jemaah ini tetap bertahan sampai Isya. Orang-orang yang mengikuti salat berjemaah saat itu adalah jemaah rutin salat lima waktu. Masjid itu memang selalu melaksanakan jemaah salat lima waktu secara rutin. Hanya saja, pada siang hari pesertanya lebih sedikit karena sebagian di antaranya masih bekerja.16 Tahun 60-an, komunitas Islam di Ngapak ikut Partai NU. Persaingan antar partai politik agaknya juga menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan Islam di Klepu pada awalnya. Kepala Dusun Ngapak saat itu sering tidak berkenan bila komunitas muslim melakukan pertemuan untuk mengaji, Hal ini terjadi karena kepala Dusun adalah pengikut PNI. Sementara, sebagian pamong-pamong desa berafiliasi pada PKI. Kesaksian Mustakim memberi gambaran masalah ini saat menyatakan bahwa pada saat itu dia 16 Observasi pada 26 Februari 2008. 76 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA dan kawan-kawannya diajak Kiai Kurdi membaca salawat Nariyah agar tidak dimusuhi oleh Kamituwo Ngapak dan aparat desa lain. Situasi seperti inilah yang membuat sedikitnya jumlah orang yang mau melaksanakan salat secara terbuka. Beriringan dengan geger politik tahun 1965, mulai banyak orang Islam yang datang ke Masjid Ngapak. Jelas ini adalah sebuah tindakan politik untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan dituduh sebagai pengikut PKI. Kemungkinan munculnya tuduhan tersebut sangat besar karena memang sebagian besar warga Klepu adalah pengikut PKI. Pergi ke masjid adalah sebuah pilihan politik untuk selamat, menjadi Islam yang taat adalah deklarasi diri tentang keterputusan seseorang dengan PKI baik sebagai anggota maupun simpatisannya. Perilaku ini sama maknanya dengan tindakan orang PKI yang kemudian berbondongbondong mendaftar menjadi anggota PNI. Tidak mengherankan jika kemudian kesemarakan masjid hanyalah fenomena sesaat. Setelah situasi politik menjadi aman, mereka kembali ke posisi semula karena pada dasarnya mereka adalah kaum abangan. Keislaman mereka adalah keislaman yang didata pihak luar karena mereka sunat (khitan), menikah, dan kemungkinan akan mati dengan tata cara Islam. Inilah yang disebut oleh Mustakim dengan ngiyup wayang udan, artinya orang-orang datang ke masjid untuk menunggu situasi politik kembali aman dan memungkinkan mereka kembali ke posisi awal. Seperti penonton wayang yang mencari naungan sesaat karena turun hujan untuk kembali ke posisi semula ketika hujan reda.17 17 Wawancara dengan Mustakim, 14 Februari 2008. TRAGEDI KABEL MIK 77 Untuk melihat perkembangan Islam di Klepu pasca1965, kisah hidup Mustakim, salah seorang tokoh Islam Klepu bisa jadi jendela. Seiring dengan maraknya orangorang pergi ke masjid untuk belajar salat, Mustakim dan Salam Muhayat serasa menemukan momentum untuk mengembangkan Islam di Klepu.18 Mereka berdua kemudian mengadakan pengajian rutin yang fokus pada pembelajaran salat, mengaji, dan pengetahuan-pengetahuan dasar Islam yang lain. Bisa dikatakan baru saat itulah salat menjadi aktivitas muslim Klepu. Sebelumnya, salat baru menjadi “pekerjaan” segelintir orang santri yang sudah mengaji, bahkan salat merupakan barang aneh yang akan menjadi tontotan banyak orang ketika itu dilakukan. Pengajian Islam awal ini, terjadi dalam situasi politik yang membuat orang menjadi gugup dan bingung dalam bersikap, akibat peristiwa G30S. Pada situasi seperti ini Mustakim “terpaksa” pindah ke Ngadirojo, desa tetangga Klepu, karena menikah dengan seorang perempuan di Ngadirojo. Sementara, Salam Muhayat melanjutkan sekolah SPG (Sekolah Pendidikan Guru) di Ponorogo. Ini tentu saja sangat mengganggu pengajian rintisan yang baru saja didirikan oleh dua orang ini. Sementara itu, perkembangan Katolik semakin semarak di bawah kepemimpinan langsung Lurah Soemakoen, kepala desa yang sangat berwibawa di mata setiap warga Klepu. Soemakoen menggerakkan gotong royong semua orang tanpa melihat agamanya. Dengan gotong royong ini, Tentu saja di Klepu bukan hanya Mustakim dan Salam Muhayat yang mengambil peran dalam mengembangkan pelajaran Islam pada orang-orang Klepu. Orang-orang yang bisa mengaji dan masuk dalam kategori santri melakukan hal serupa di lingkungan masing-masing, misalnya, Mbah Yoto di Lingkungan Dusun Sambi. 18 78 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA jalan-jalan desa diperbaiki, gereja dan masjid/langgar dibangun bersama-sama. Tapi, jelas kenyataan di lapangan kehidupan agama Katolik jauh lebih tertata dan semarak dibanding Islam. Karena Katolik memiliki pimpinan-pimpinan yang mumpuni, serta dukungan dari pihak Katolik luar yang sangat kuat. Sedang perkembangan Islam selalu tertatih-tatih dengan kekuatan kakinya sendiri. Situasi inilah yang membuat tokoh-tokoh Islam (terutama kaum pendatang) memandang gotong royong membangun rumah perlu dilanjutkan. Mereka menginginkan agar setiap pemeluk agama menyemarakkan agamanya sendiri-sendiri. Sebuah pandangan yang berimplikasi pada ketegangan antara Islam dan Katolik, walaupun ketegangan ini masih tersembunyi dan diam-diam. Jika pasca-1965, kehidupan Islam di Klepu mendapatkan momentum untuk bangkit dan berkembang, situasi tersebut lambat-laun berbalik arah. Hal ini terkait dengan kebijakan politik Orde Baru yang menjadikan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi sebagai kata kunci dalam proses bernegara. Soeharto menjadikan ”pembangunan” sebagai jimat untuk menopang kekuasaannya. Pada Pemilu 1971, Pemilu pertama dilaksanakan, Golkar, mesin politik pemerintah, meneriakkan slogan, “Politik, No; Pembangunan, Yes”.19 Orde Baru berkeras bahwa Golkar bukanlah partai politik sekalipun ia ikut pemilu. Ini menunjukkan ambiguitas Orde Baru terhadap partai politik. Di satu sisi, mereka tidak respek terhadap partai politik karena dianggap sebagai penyebab instabilitas politik dan ambruknya ekonomi di era Orde Lama, tapi di sisi lain, mereka tidak bisa meninggalkan partai politik karena itu merupakan satu-satunya sarana dalam sebuah negara demokrasi untuk merebut kekuasaan, kecuali kalau Orde Baru hendak secara terang-terangan menjadi negara dengan sistem satu partai, seperti yang terjadi di negara-negara komu19 TRAGEDI KABEL MIK 79 Suasana politik Orde Baru juga sangat terasa di Klepu. Soemakoen yang pada awalnya PNI kemudian beralih ke Golkar. Dia sendiri mendapat julukan “bapak pembangunan desa”. Posisi ini tentu saja sangat menguntungkan bagi perkembangan Katolik di Klepu, karena faktanya Soemakoen adalah tokoh utamanya. Sementara, Islam mendapat halangan politik yang cukup serius. Tokoh tua Islam, Mbah Kurdi, yang pada awalnya menjabat sebagai modin desa diberhentikan karena pada Pemilu 1971 dianggap sebagai simpatisan PPP. Satu-satunya modin yang tersisa adalah Sukidi yang merupakan menantu Carik Poedji Soekartono, saudara ipar Soemakoen karena istri Poedji Soekartono saudara perempuan Soemakoen. Saat-saat seperti itu, umat Islam Klepu semakin merasa tidak bebas dalam menjalankan agamanya karena takut terhadap konsekuensi politik jika sampai distigmatisasi sebagai pengikut PPP. Bahkan saat itu, tidak ada suara azan yang dikumandangkan dengan pengeras suara, tidak ada lagi yang berani mengaji. Setiap kali ada upaya mengadakan acara keislaman, kaum muslim Klepu selalu dicekam rasa was-was dan ketakutan tentang dampak negatif yang akan mereka terima dari rezim kekuasaan. Sampai saat itu, hanya ada satu masjid di Klepu, yaitu masjid tua di Ngapak. Orang yang aktif dalam menjalankan ritus keislaman selalu dianggap memiliki kaitan dan merupakan pengikut PPP. Distigma PPP berarti menjadi musuh perangkat desa, karena saat itu perangkat desa merupakan salah satu mesin pengeruk suara untuk Golkar. Tidak mengherankan jika Golkar dan Katolik di Klepu adalah sebuah identitas yang aman. Sementara, PPP dan Islam adalah identitas yang senis. Lihat Leo Suryadinata, Military Ascendancy and Political Culture: A Study of Indonesia’s Golkar (Athens: Ohio University, 1989), h. 5. 80 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA lalu dalam bahaya. Betapa mudahnya orang distigma PPP yang berarti keberadaannya terasa selalu menjadi sorotan dan selalu dalam situasi ketakutan dan was-was. Orang tua yang memasukkan anaknya ke madrasah akan dengan sendirinya dianggap mau mencetak kader PPP. Karena situasi seperti ini maka masjid menjadi sepi. Di sisi lain, Soemakoen sebagai “Bapak Pembangunan Desa” menekankan pentingnya hidup rukun dan gotong royong. Sebagaimana telah disinggung di atas gotong royong ini juga terjadi dalam pendirian rumah ibadah. Sementara, aplikasi konsep rukun termasuk dalam hal perawatan jenazah. Pada prinsipnya, rukun dan gotong royong dijalankan sampai pada masalah-masalah keagamaan. Praktik ini terus dilaksanakan dengan baik sampai masuknya para dai dari DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) yang menganggap semua itu bertentangan dengan ajaran Islam. 3. Masuknya DDII dan Perkembangan Islam Deskripsi tentang masuknya organisasi DDII ini penting untuk diungkap, karena justru dari momentum inilah umat Islam Klepu mulai bangkit melakukan kegiatan-kegiatan keislaman. Kehadiran DDII menandai mulainya muslim Klepu menemukan identitas yang berbeda dari orang Katolik. Kalau sebelumnya, menjadi orang Klepu adalah kesadaran utama, sejak saat itu orang mulai memasukkan unsur agama ke dalam identitas dirinya. Dimulai pada awal tahun 1970-an, Mustakim kembali ke Klepu dan merintis kembali pengajian yang pernah didirikan sebelumnya. Mustakim tentu saja merasa sendirian dalam berjuang membangun Islam di Klepu. Dia mencurahkan kegundahannya ini kepada siapa saja yang mungkin dapat membantunya. Tentu saja perasaan ini tidak hanya TRAGEDI KABEL MIK 81 dimiliki Mustakim, tapi siapa saja yang berniat hendak membangkitkan kehidupan Islam di Klepu. Sampailah kegalauan tokoh-tokoh Islam Klepu ini ke telinga salah seorang staf KUA Sooko yang bernama Ridhoni Sholeh. Dari Sholeh, informasi kemudian sampai ke telinga Bonandir, seorang anggota DPR yang berasal dari Desa Kutu, Jetis, Ponorogo. Informasi terus bergulir sampai mendapat perhatian serius dari Kasiman, Ketua Muhammadiyah Jetis dan Pengurus DDII Ponorogo. Setelah itu, Klepu mendapat perhatian serius dari DDII. Tokoh-tokoh DDII sendiri akhirnya mengadakan pertemuan di rumah Soiman Lukmanul Hakim,20 di Desa Kutu Kulon, Jetis, Ponorogo. Mustakim dalam kapasitasnya sebagai tokoh Islam Klepu disertakan dalam pertemuan tersebut. Dalam pertemuan tersebut, hadir perwakilan DDII Pusat, Suhud, yang sebetulnya berasal dari Jetis. Dari pertemuan itu dihasilkan kesimpulan untuk mendatangkan seorang dai yang akan membantu Mustakim, seorang dai DDII bernama Husnul Akib. Kedatangan Husnul Akib ini terjadi pada akhir tahun 1979. Kehadiran dai dari DDII tentu saja mengundang kecurigaan aparat desa. Mustakim menuturkan, dia langsung dipanggil Soemakoen untuk dimintai klarifikasi tentang keberadaan Husnul Akib. Pada akhirnya, Soemakoen bisa memahami setelah dijelaskan bahwa Husnul Akib menja- Soiman Lukmanul Hakim adalah kiai ketiga Pondok Modern Gontor, menempati trahnya Kiai Fanani. Kepemimpinan Gontor dikenal dengan Trimurti yang terdiri atas Zarkasyi, Sahal dan Fanani. Dari tiga orang ini, hanya Fanani yang tidak memiliki putra. Untuk melestarikan Trimurti maka generasi kedua ini kemudian mengangkat Soiman. Sampai sekarang kiai ketiga yang melengkapi Trimurti selalu datang dari luar keluarga Gontor. 20 82 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA lankan tugas dari DDII dan direkomendasikan Depag.21 Husnul Akib kemudian bertempat tinggal di rumah Modin Sukidi, di Dusun Jogorejo, Klepu. Ketika DDII membantu dana pembangunan Masjid Sambi, Soemakoen agaknya kurang berkenan, karena bantuan tersebut tidak melalui pintu resmi aparat Desa Klepu.22 Memang, sejak awal kedatangannya, Husnul Akib memfokuskan untuk membangun masjid, baik melakukan rehabilitasi maupun membuat masjid baru, dan mengembangkan pendidikan Islam. Selama dua tahun bertugas di Klepu, Husnul Akib berhasil mendirikan Masjid Baitul Mukminin di Sambi. Masjid yang dibangun tahun 1980 tersebut terletak di atas tanah wakaf Sulnomo (Mbah Sulni), Sambi. Tahun 1983, TK ini diresmikan oleh Mahmud Suyuti, Kepala Depag Ponorogo saat itu dan diberinama TK Perwanida yang berada di bawah Dharma Wanita unit Departemen Agama. Sejak adanya TK Perwanida inilah mulai terjadi pemilahan pendidikan prasekolah bagi anak-anak Klepu yang sebelumnya menyatu di TK Katolik Pancasila. Akib kemudian digantikan oleh Muhyidin yang hanya bertugas sekitar tiga bulan. Setelah Muhyidin kemudian disusul oleh Muhadi yang bertugas sekitar satu tahun. Namun cerita baru muncul sejak 1983 ketika dai DDII Penjelasan Mustakim ini membuat Akib dipahami sebagai orang Depag. Paling tidak, antara DDII dan Depag memiliki hubungan struktural dan fungsional secara langsung terkait dengan keberadaan dai DDII di Klepu. Kemugkinan inilah yang membuat Soemakoen bisa menerima kedatangan Husnul Akib di Klepu. Pemahaman bahwa DDII dan Depag memiliki hubungan masih banyak ditemui di masyarakat Klepu hingga saat ini. (Wawancara dengan Mustakim, 26 Februari 2008). 22 Wawancara dengan Sukidi, 20 Maret 2008. 21 TRAGEDI KABEL MIK 83 yang bertugas di Klepu adalah Munawar. Sebagaimana pendahulunya, Munawar pada awalnya bertempat tinggal di rumah Modin Sukidi. Selama sekitar satu tahun dia tinggal di rumah Sukidi kemudian pindah ke Klepu, di rumah Suraji. Setelah beberapa bulan di Klepu, dia pindah ke Sambi menempati salah satu ruangan TK yang dibangun Pesantren Gontor khusus untuk tempat tinggal dai DDII.23 Kisah pendirian masjid dan TK ini menjadi cikal bakal berubahnya relasi antara kelompok keagamaan kaum muslim Klepu. Sukidi mengisahkan, Mbah Sulni mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid dan TK, tidak ke DDII tapi ke nazir desa. Hal ini bertujuan agar masjid dan TK tersebut menjadi tempat beribadah dan mendidik anak cucu dan warga lingkungan, dengan tidak membedabedakan golongan atau organisasinya. Menurutnya, orangorang yang tercatat sebagai nazir adalah Sukidi, Pak Suro, Kateni, dan Seni (almarhum), dan Mustakim.24 Informasi Sukidi tersebut berbeda dengan dokumen resmi desa. Dalam buku wakaf yang baru ditulis tahun 1990 oleh Poedji Soekartono dinyatakan, Soelnomo mewakafkan tanahnya seluas 400m² untuk masjid dan TK dengan nazir atau penerima wakaf yaitu Sukidi, Yoto, dan Partomo —dua nama terakhir adalah anak Mbah Sulni sendiri.25 Kekacauan dokumen juga diakui Sukidi ketika dia menyatakan, nama nazir yang tercantum di buku wakaf desa tidak sama dengan sertifikat. Dalam sertifikat tanah wakaf Masjid Sambi nama yang tercantum sebagai nazir adalah lima orang: Sukidi, Kateni, Soro, Seni dan Mustakim. Wawancara dengan Sukidi, 20 Maret 2008. Wawancara dengan Sukidi, 20 Maret 2008. 25 Buku Wakaf Desa Klepu Ketjamatan Sooko Kabupaten Ponorogo. 23 24 84 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Pada awalnya, Munawar mengikuti kebijakan dakwah pendahulunya yang menyesuaikan dengan corak Keislaman warga Klepu. Dalam kesempatan berbicara dengan banyak orang, Munawar selalu menyatakan bahwa kalau seseorang ingin bisa bergaul dengan kambing, maka ia harus bisa berbunyi embek, sehingga pada awalnya, dia mau mengikuti tahlil dan kenduren. Akan tetapi pada akhirnya, Munawar secara tegas melarang selametan, tahlil, pujian, dan sebagainya, yang selama ini menjadi tradisi keagamaan Islam di Klepu. Tahun 1983, Pondok Pesantren Gontor juga mulai masuk ke Klepu. Masuknya Gontor secara intensif di Klepu diawali kabar adanya kristenisasi di Klepu. Beberapa waktu kemudian Syukri Zarkasyi, pimpinan Pesantren Gontor, berkunjung ke Klepu, tepatnya ke rumah Mustakim. Dari sanalah Gontor dan DDII saling bahu-membahu dalam memperjuangkan kehidupan Islam di Klepu. Sering terjadi pertemuan antara tokoh DDII, tokoh-tokoh Islam Klepu dan Syukri Zarkasyi di Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Hasil dari salah satu pertemuan ini adalah gagasan membentuk takmir masjid tingkat desa yang terdiri atas takmir masjid-takmir masjid yang tersebar di beberapa dusun di Klepu. Ini dilakukan untuk memudahkan koordinasi dan kepentingan menjaga agar masjid-masjid tidak dikooptasi Golkar melalui MDI (Majelis Dakwah Indonesia)-nya.26 Perlu diketahui, sebelumnya sudah ada embrio takmir masjid desa. Keberadaan takmir masjid pada awalnya ini belum terorganisisr secara rapi. Semuanya masih berjalan secara alami dan tidak terikat dalam organisasi yang ketat. MDI dibentuk oleh Dewan Pengurus Pusat Golkar pada pertengahan tahun 1978. 26 TRAGEDI KABEL MIK 85 Setelah diketahui KUA Kecamatan Sooko, takmir ini hendak dimasukkan ke dalam organ Golkar, MDI. Namun banyak kalangan yang tidak setuju. Akhirnya, atas saran dari Kiai Syukri Gontor, organiasi ini kemudian diformalkan dan dinamakan Takmir Masjid Desa Klepu dan ketuanya adalah Mustakim. Lembaga ini berfungsi sebagai koordinator dari ketua-ketua masjid atau musala dari berbagai kelompok. Sejak itu, resmi berdiri takmir masjid desa yang keberadaannya diakui aparat desa sampai sekarang. Pertemuan takmir masjid desa biasanya dilakukan di masjid lingkungan Badut, Jogorejo, karena lokasinya ada di tengah-tengah desa. Satu tahun kemudian Gontor menambah gedung TK dengan membangun dua buah ruangan lagi. Satu ruangan untuk TK sehingga TK sekarang punya dua ruangan dan satu ruangan untuk rumah dai DDII, di mana penghuni pertamanya adalah Munawar. Di samping DDII, Gontor juga memegang peran penting dalam perkembangan Islam di Klepu. Meningkatnya aktivitas takmir masjid desa karena mendapatkan saransaran dari Gontor. Hubungan Gontor dengan Klepu tertata baik sampai ketika terjadi konflik antara DDII dan Gontor. Kerenggangan ini bermula dari sakitnya Munawar. Suatu ketika, Munawar sakit mata parah. Dia dibawa ke Gontor dan pengobatannya dibantu Gontor. Untuk memudahkan pengobatan, selama menjalani pengobatan dia tinggal di Gontor. Niat baik Gontor ini disalahpahami DDII dengan mengirim surat ke Gontor bahwa pihak Gontor tidak berhak memindah Munawar. Surat itu membuat Kiai Syukri Zarkasyi tersinggung dan kemudian memutuskan untuk tidak lagi berurusan dengan Klepu. Pada saat yang 86 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA sama, salah seorang anak Klepu yang menjadi santri di Gontor mengecewakan Syukri Zarkasyi. Adalah Karsi, anak muda Sambi yang menjadi santri di Gontor, membuat marah Syukri karena setelah tamat langsung menikah, sehingga tidak sempat mengabdi sebagai kewajiban yang ditetapkan oleh Gontor bagi para alumninya. Seluruh jaring-jaring kekuatan dakwah Islam yang beroperasi di Klepu ini akhirnya membawa sesuatu yang berbeda pada cara pandang tokoh-tokoh Islam Klepu. Sebagaimana dinyatakan Mustakim, “Dari situlah saya mulai mendapatkan banyak wawasan.”27 Apa yang disebut dengan “wawasan” adalah cara beragama yang dibawa DDII dan Gontor dalam melihat umat Katolik dan hubungan IslamKatolik di Klepu. Dai DDII mulai menginformasikan, dengan kapasitas dan sudut pandangnya sendiri tentang berita-berita dari luar negeri terkait dengan isu Islam-Kristen. Misalnya, menurut Mustakim, dia mendapatkan informasi dari orang-orang DDII, bahwa bantuan-bantuan kemanusian yang selama ini dikenal sebagai sumbangan orang Katolik sesungguhnya berasal dari PBB di mana 80% total dana itu berasal dari Arab Saudi. Mulailah muncul kebencian terhadap Katolik yang dianggap curang karena sesungguhnya uang yang diperbantukan kepada umat Islam adalah uang milik umat Islam sendiri. Isu kristenisasi samar-samar mulai menjadi kesadaran tokoh-tokoh Islam di Klepu. Masalah “kristenisasi” di Klepu, kata dai DDII juga sudah menjadi berita di luar negeri. Berdasarkan informasi itu, Mustakim menceritakan tentang kabar yang didengarnya dari orang DDII, yaitu sebuah reportase Fokus London yang mengangkat masalah kristenisasi di Klepu. Hal inilah yang kemudian 27 Wawancara dengan Mustakim, 26 Februari 2008. TRAGEDI KABEL MIK 87 semakin mengentalkan identitas antar kelompok agama dalam sikap saling waspada dan curiga. Mulailah ada kecurigaan dari beberapa umat Islam terhadap proyek-proyek kemanusiaan yang digagas Katolik. Misalnya, Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang selama ini berjalan baik mulai menjadi sasaran kecurigaan. Sekalipun KSP terbuka untuk umum dan diakui memberi manfaat, namun ia tetap milik Katolik yang harus dicurigai. Ketika tersiar kabar kemacetan KSP karena ketidakjujuran para anggotanya, hal itu menjadi sebuah kabar gembira di kalangan tokoh Islam. Banyak para tokoh Islam menaruh kecurigaan KSP sebagai bagian dari upaya kistenisasi masyarakat Klepu.28 Kecurigaan ini bergandengan dengan isu kristenisasi yang pada awalnya terinjeksi dari pihak luar (baca, dai DDII). Pengetahuan awal ini, kemudian menjadi modal untuk menganalisis setiap hal yang melibatkan umat Katolik di Klepu, yang pada akhirnya tertuju pada kecurigaan terhadap aktivitas umat Katolik. Dari sini tampak, DDII memberi pengaruh yang signifikan di Klepu. Pengaruh DDII dan Gontor bisa dilihat dalam cerita aktivitas dakwah Islam Suwito (45 tahun) di Klepu. Suwito adalah salah seorang tokoh Islam penting di Klepu dan guru agama Islam SDN Klepu II. Lelaki kelahiran Caruban, Madiun, ini merupakan penduduk pendatang di Klepu yang baru masuk Klepu pada 1985. Saat ini dia menjadi ketua NU Ranting Klepu dan Ketua II MWC NU Sooko. Umat Islam Klepu kini memiliki KSP sendiri yang bernama Sartika (Sarana Berbakti Kepada Allah), yang terdiri dari dua unit: Unit Sambi dan Klepu. Dua orang koordinatornya, Suwito dan Salam Muhayat. KSP ini berdiri sejak tahun 1990-an. 28 88 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Awal kehadirannya di Klepu, bisa dikatakan membawa mandat langsung dari Kiai Syukri Zarkasyi Gontor. Hubungannya dengan Kiai Syukri berawal ketika dia nyantri di Al-Islam Joresan (desa sebelah timur Gontor). Dari sini dia memiliki hubungan dekat dengan mertua Syukri yang memang berasal dari Joresan. Hubungan baik ini tetap terjaga hingga dia melanjutkan ke IAIN Sunan Ampel di Kota Ponorogo. Selama waktu itu ia tetap bertempat tinggal di Joresan, tepatnya di samping rumah mertua Syukri Zarkasyi. Selepas menamatkan kuliahnya di IAIN, dia mengikuti tes guru agama dan lulus. Syukri mendengar dan menawarinya untuk bertugas di SDN Klepu, sekaligus membantu DDII dalam melakukan dakwah Islam di sana. Suwito menerima tawaran tersebut, asal masih tetap bisa menjadi PNS di dalam wilayah Ponorogo. Pada akhirnya Suwito mendapatkan tugas di Klepu. Ketika dia berangkat ke Klepu, Suwito membawa surat dari Kiai Syukri untuk diberikan ke Mustakim dan Munawar. Jadi, sejak awal Suwito datang ke Klepu tidak semata-mata menunaikan tugas sebagai PNS, tapi sudah berniat untuk membantu DDII dalam menjalankan dakwah Islam di Klepu. Ketika pertama kali datang ke Klepu, dia masih seorang bujangan. Lima bulan bertugas di Klepu, Kiai Syukri berinisiatif menikahkannya dengan perempuan lokal. Ini terkait dengan harapan Kiai Syukri agar Suwito betul-betul menjadi penduduk Klepu sehingga dia tidak lagi berdakwah Islam sebagai orang luar. Mulai dari perencanaan, pembiayaan, sampai acara resepsi, Gontor-lah yang mengatur semuanya. Resepsi pernikahan Suwito betul-betul digunakan Gontor untuk media dakwah. Keberadaan Suwito di Klepu semakin memudahkan jangkauan Gontor ke dalam dinamika kehidupan Islam di Klepu. TRAGEDI KABEL MIK 89 Di Klepu sendiri, Suwito menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Munawar. Kemana saja Munawar pergi, Suwito selalu ada di sampingnya. Suwito diajak ke kantor DDII Ponorogo dan DDII Jawa Timur, dan juga untuk berkoordinasi dengan Gontor, misalnya untuk bertemu dengan Kiai Syukri atau Kiai Soiman. Di samping karena amanat Gontor, kedekatan Suwito dan Munawar juga karena alasan teknis, Munawar tidak bisa naik sepeda motor sehingga kemana saja Munawar pergi pasti diantar Suwito. Dari sini terlihat bahwa sejak 1980-an, DDII dan Gontor telah berperan penting dalam dakwah Islam di Klepu. Bisa dikatakan, tak ada satupun keputusan penting tentang dakwah Islam di Klepu yang luput dari peran Gontor. Kegiatan apapun yang lakukan Suwito dan kawan-kawannya selalu dipantau Kiai Syukri Zarkasyi. Bahkan satu saat Kiai Syukri memberi saran kepada Suwito untuk memudahkan dakwah Islam, dengan memisahkan orang Islam dari aktivitas umat Katolik. “Ciptakan konflik, setelah konflik, kamu harus betul-betul membantu umat Islam,” kata Syukri sebagaimana yang dituturkan Suwito. Hal itu terjadi pada awal-awal penyelesaian pembangunan tempat suci umat Katolik, Sendang Waluyo Jatiningsih Gua Maria Fatima di Klepu. Bisa dikatakan bahwa terdapat koordinasi yang erat antara tokoh Islam lokal, baik asli Klepu maupun pendatang, dengan DDII dan Gontor, dalam membahas strategi dakwah. Kombinasi strategi dakwah yang dilakukan Suwito dengan dibantu langsung Gontor dan DDII menciptakan hubungan yang cukup tegang antara penganut Islam-Katolik di Klepu. Kerukunan yang ada selama ini dianggap sebagai strategi umat Katolik untuk mengaburkan akidah umat Islam.29 Suwito dan para pendakwah lainnya mulai mem29 Wawancara dengan Suwito, 26 Februari 2008. 90 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA perkenalkan kepada orang Islam tentang perbedaan-perbedaan antara Islam dengan Katolik. Cara lain yang digunakan untuk memisahkan hubungan antara muslim dan umat Katolik adalah upaya untuk menginformasikan bahwa masing-masing umat beragama bertanggung jawab untuk membangun rumah ibadah masing-masing. Pandangan ini jelas secara langsung menantang kebijakan gotong royong dan kerukunan yang sangat ditekankan Soemakoen. Pandangan yang menjadikan soal pendirian dan perawatan rumah ibadah sebagai tanggungjawab masing-masing kelompok agama jelas adalah tindakan yang memantik konflik. Apalagi strategi pemisahan juga dilakukan dalam masalah di luar persoalan agama. Strategi ini terjadi pada tahun 1988 pada saat pemilihan kepala desa Klepu antara Kuswandi (Katolik)30 dengan Suyatno (Islam) untuk mengganti posisi Soemakoen yang meninggal dunia. Kiai Syukri Zarkasyi memberi perhatian penuh dan menghendaki agar calon dari umat Islam bisa menang. Kalkulasi di lapangan menunjukkan kecil kemungkinan Suyatno menang karena memang kualitas individu Kuswandi lebih baik dan lebih bisa diterima masyarakat. Pada akhirnya Kuswandi-lah yang menang dalam pemilihan dan menggantikan posisi ayahnya menjadi kepala Desa Klepu. Momentum ini merupakan pemilihan kepala desa pertama di mana isu perbedaan Islam-Katolik menjadi salah satu isu penting di dalamnya. Warga Klepu digiring memilih calon sesuai dengan kesamaan agamanya. Hal ini diakui Suwito yang saat itu menjadi tim sukses Suyatno. Kuswandi adalah putra Soemakoen yang sebelumnya bekerja di PUK Ponorogo. 30 TRAGEDI KABEL MIK 91 C. “Mari Kita Berpisah”: Kisah Sebuah Kursi di Tengah Jalan Di atas sudah disinggung munculnya ketegangan seputar pembangunan Sendang Waluyo Jatiningsih Gua Maria Fatima Klepu. Kisah ini merupakan salah satu cerita yang sering didengar orang dalam relasi Islam-Katolik di Klepu. Ketegangan ini terkait dengan “tidak rela”-nya tokoh-tokoh Islam, terutama DDII dan juga termasuk Suwito, melihat banyaknya orang Islam yang bekerja dalam membangun Sendang. Sikap “orangorang DDII” banyak mendapat respon negatif, baik dari umat Katolik maupun Islam. Bagi kalangan Katolik, sikap seperti itu hanya memecah belah warga Klepu. Sedang bagi umat Islam, sikap itu tidak bertanggung jawab karena mereka bekerja di Sendang sebagai pekerja upahan yang bekerja memberi nafkah anak istri. Pada saat pembangunan Sendang sudah selesai, banyak orang mulai datang berziarah. Suatu hari ada kursi kayu panjang yang melintang di jalan Dusun Sambi yang merupakan jalan utama ke Sendang. Galih, seorang sopir pastor, mengatakan kepada orang-orang Katolik bahwa putra Mbah Soelnomo atau Mbah Sulni Sambi menaruh kursi di tengah jalan untuk menghalangi orang-orang Katolik yang mau berziarah ke Sendang. Akhirnya, muncullah kecurigaan umat Katolik kepada umat Islam. Selain itu keluarga Mbah Sulni, salah satu tokoh muslim, merasa dilecehkan dan marah karena merasa tidak tahu apa-apa tetapi dituduh sebagai pelakunya. Isu semakin membesar dan ketegangan semakin menjadi-jadi. Beberapa saat kemudian dikumpulkanlah tokoh-tokoh Katolik dan Islam di rumah Sugito, kamituwo Klepu. Tokoh Katolik yang hadir antara lain: Kuswandi, Pirnadi (menantu Soemakoen yang menjadi kepala SDN I Klepu), Edi Sudarman (menantu Soemakoen), Sutarno (menantu Soemakoen), Sunar- 92 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA yo, Sirun, Sugito (kamituo Klepu), Sugianto (katekis). Tokohtokoh Islam yang hadir antara lain: Suwito, Mustakim, Salam Muhayat, dan Pandi. Tapi, pertemuan itu tidak semata-mata dilakukan untuk kasus ”kursi di jalan”, tetapi juga untuk membicarakan hubungan Islam dan Katolik di Klepu secara umum. Sehingga, dalam pertemuan itu yang mengemuka justru bukan tentang kursi, tapi masalah pembangunan tempat ibadah, yang dirasa mulai tidak menjunjung nilai ”guyub-rukun” seperti sebelumnya karena umat Islam mulai menghendaki membangun tempat ibadah sendiri-sendiri. Tokoh-tokoh Katolik menyatakan, Klepu sudah terkena pengaruh luar sehingga tradisi ”guyub-rukun” di masa lalu hilang karena dipecah belah oleh para pendatang. Di Klepu awalnya semua orang rukun, masalah agama diselesaikan secara bersama-sama, sekarang hancur karena adanya pendatang. Itulah inti pendapat dari pihak Katolik. Mereka kemudian menawarkan untuk kembali ke masa lalu, ke kerukunan yang lebih baik, dan tidak terpengaruh pengaruh dari luar yang tidak bertanggung-jawab. Tentu saja pertemuan itu adalah momentum penting yang tidak boleh disia-siakan oleh orang seperti Suwito. Tidak mungkin baginya menerima ajakan tokoh-tokoh Katolik karena menurutnya apa yang terjadi selama ini adalah pengaburan akidah umat Islam. Pemisahan Islam-Katolik adalah sesuatu yang dikehendakinya dan sedang diperjuangkannya bersama dengan tokoh DDII dalam rangka untuk membangkitkan umat Islam Klepu. Suwito mengisahkan, dalam suatu pertemuan dia bertanya apakah Klepu mengikuti tradisi yang belum tentu benarnya ataukah pedoman yang dikeluarkan pemerintah? Padahal Klepu adalah desa percontohan pelaksanaan P4. Kalau yang diikuti pedoman pemerintah, maka tradisi yang selama ini berjalan tidak benar berdasarkan buku P4. TRAGEDI KABEL MIK 93 Ketika Suwito melontarkan pertanyaan tersebut, semua tokoh Katolik terdiam karena mungkin belum membaca. Suwito menyarankan agar mereka membaca dulu, karena sebelumnya dia sudah melacak orang yang pegang buku itu. Buku itu berada di tangan Modin Sukidi. Setelah buku diambil dari Sukidi dan membaca, Suwito semakin merasa benar.31 Suwito memang telah mempersiapkan segalanya untuk berargumentasi tentang perlunya memisah Katolik-Islam dalam hal pembangunan rumah ibadah. Argumentasinya tampak tidak bisa dibantah karena alasan yang dipakai justru berada tepat di pusat kekuasaan pemerintah desa, soal aturan pemerintah (P4). Suwito mempertanyakan kebenaran tradisi gotong-royong yang selama ini dijalankan di Klepu dalam membangun dan menjaga rumah Ibadah. Hal ini senada dengan keinginan tokoh-tokoh Islam untuk berpisah dalam pembangunan rumah ibadah. Argumentasi ini didasari oleh buku Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Suwito kemudian menegaskan bahwa berdasarkan Pedoman P4, sikap umat Islamlah yang benar sebagaimana yang tertera di dalam buku tersebut.32 Gagasan memisahkan pembangunan tempat ibadah ini betul-betul disosialisasikan secara intensif. Sosialisasi membawa hasil pemisahan antara Islam dan Katolik mulai kelihatan terbuka. Banyak umat Islam yang mengikuti gagasan pemisahan dengan dalih bahwa tradisi selama ini yang dilakukannya tidak baik. Yang benar adalah masing-masing pemeluk agama menyemarakkan agamanya masing-masing. Jika buku pedoman P4 menjadi alat berargumentasi dengan pihak Katolik, maka di Wawancara dengan Suwito, 26 Februari 2008. Suwito masih ingat halaman dan poin yang diacunya dalam berargumentasi, yaitu halaman 7 dan poin 25. Ini menunjukkan bahwa memang dia sudah mempersiapkan segalanya untuk menjustifikasi sikap keagamaannya. 31 32 94 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA internal umat Islam terminologi keagamaan lebih banyak digunakan untuk memengaruhi umat Islam. Rukun dan gotong-royong untuk membangun rumah ibadah akhirnya menghilang perlahan-lahan. DDII-lah yang banyak diakui masyarakat sebagai penyebar gagasan bahwa membangun rumah ibadah itu hanya dilakukan oleh pemeluk agama masing-masing. Suyatno, salah seorang tokoh Muhammadiyah lingkungan Kuniran Atas menuturkan, kedatangan DDII mengajarkan agar orang tahu dan membedakan mana yang bisa dikerjakan bersama dan mana yang khusus oleh umat beragama.33 Tidak ketinggalan, masalah merawat mayat dan doa terhadap orang mati juga menjadi sasaran dakwah pemisahan. Sebelumnya, siapapun yang meninggal dunia akan didoakan bersama, baik oleh umat Katolik maupun muslim sesuai dengan tata cara doa masing-masing. Namun pada akhirnya tokoh-tokoh Islam, dengan pengaruh kuat DDII, bersikeras bahwa doa hanya akan dilakukan sesuai dengan agama yang dipeluk si mayat pada saat hidupnya. Hal ini melahirkan kesepakatan bahwa kalau ada orang Islam meninggal dunia, maka yang mengurus jenazahnya adalah orang Islam, sedang orang Katolik yang menggali kuburannya, begitu juga sebaliknya. DDII juga menyebarkan fatwa tentang haram hukumnya bagi umat Islam memberi ucapan dan mendatangi pesta peringatan Natal. Yang disebut dengan pesta peringatan Natal adalah sebuah tradisi untuk saling berkunjung ke rumah umat Katolik pada saat hari besar Natal sebagaimana tradisi yang terjadi pada saat Idul Fitri. Tradisi saling mengunjungi ini sudah berjalan lama, tapi oleh DDII hal ini tidak diperbolehkan karena dianggap merusak akidah Islam. 33 Wawancara dengan Suyatno, 8 Maret 2008. TRAGEDI KABEL MIK 95 Aktivis DDII juga mulai ikut terlibat mendampingi persoalan yang dihadapi masyarakat untuk lebih menarik simpati. Misalnya, Suwito mendampingi orang yang mau menikah, baik untuk mempermudah proses administrasi maupun untuk menekan biaya perkawinan yang selama ini dirasa memberatkan. Begitu juga dengan pengurusan akta kelahiran, Suwito membantu dengan biaya yang sangat rendah. Bantuan-bantuan ini diumumkan pada acara tahlilan atau yasinan. Dari situ mulai mendapatkan simpati dari masyarakat. Suwito mengisahkan bahwa hampir setiap orang yang mau menikah datang ke rumahnya dan hampir setiap bulan dia membantu mengurus akta kelahiran rata-rata dua puluh orang. Aktivitas Suwito ini membuatnya menjadi orang yang menonjol. Dia disanjung oleh orang yang ditolong, tapi tidak jarang dia terlibat dalam konflik yang membuatnya banyak dicaci sebagai pendatang yang merusak kerukunan orang Klepu. Misalnya, dia sempat berkonflik dengan Lurah Kuswandi karena mendampingi seseorang yang mau menikah. Usaha ini dihalangi Kuswandi karena memang usia si pengantin belum mencukupi. Sekalipun keberadaan Suwito sekarang sudah banyak diterima masyarakat karena cara dakwahnya yang semakin bijaksana, tapi sejak dia berpisah dari DDII banyak kalangan masih menyebut Munawar dan Suwito sebagai para pendatang yang merusak kerukunan hidup orang Klepu. Penilaian seperti ini biasanya dipakai untuk membandingkan dengan penduduk asli Klepu yang tetap guyub-rukun tanpa membedakan agama. Ketika orang-orang Klepu membuat pembedaan antara muslim asli Klepu dan pendatang, mereka tidak sedang membuat penilaian kosong. Orang seperti Mustakim tetap bisa diterima oleh semua pihak karena sikapnya yang tetap ingin menjaga kebersamaan. Sedekat apapun dia dengan DDII dan 96 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Gontor, dia tetaplah orang Klepu yang hidup dengan hati Klepu. Keharmonisan warga Klepu tetaplah menjadi pertimbangan untuk dijaga.34 D. Semarak Islam Saat ini kehidupan Islam di Klepu semakin bergairah. Di sana ada Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Klepu. Dari beberapa TPA yang pernah dirintis yang sampai saat ini masih berjalan dengan baik adalah TPA pimpinan Suwito. TPA ini didirikan sejak tahun 1993. Tempatnya di SDN Klepu II yang terletak di Dusun Sambi. Jadi bisa dikatakan yang menjadi siswa TPA ini adalah murid-murid SD Sambi yang beragama Islam. Dalam pengelolaannya, TPA ini seperti kegiatan ekstrakurikuler agama Islam bagi siswa muslim. Siswa-siswa muslim setelah usai jam sekolah akan salat Zuhur bersama kemudian masuk TPA sampai pukul empat sore. Terlepas dari banyaknya orang yang tidak taat menjalankan salat lima waktu, jika kita menengok lebih jauh ke kehidupan orang tua di Klepu, kita akan menemukan tanda kuat tentang keberadaan Islam. Tahlil rutin setiap malam Jumat adalah tradisi yang secara umum dilaksanakan warga Klepu yang beragama Islam. Hampir setiap lingkungan, memiliki kegiatan tahlil rutin setiap malam Jumat. Dari forum tahlilan inilah, dakwah untuk mengajak umat Islam mengamalkan ajaran agamanya dilakukan. Di samping itu, tahlilan adalah media yang cukup efektif yang digunakan untuk membangun solidaritas umat Islam di Klepu. Pertanyaannya, siapa dan kelompok mana yang mentradisikan tahlilan di Klepu? Ini penting di lacak karena hampir 34 Wawancara dengan Mustakim, 26 Februari 2008. TRAGEDI KABEL MIK 97 tidak mungkin DDII yang melakukannya karena posisi mereka jelas membidahkan tahlilan? Namun faktanya tahlilan justru menjadi kegiatan massif bagi umat Islam Klepu. Pertanyaan ini penting untuk dijawab karena akan terdapat kesimpulan awal bahwa kedatangan DDII melalui para dainya, sama sekali tidak menghilangkan peran tokoh Islam lokal Klepu yang justru dari segi tradisi dan ritualnya adalah orang-orang NU.35 Kedatangan dai DDII memang membangkitkan semangat keislaman. Namun yang harus digarisbawahi, petugas DDII yang pertama kali bekerja di Klepu, Husnul Akib, justru dengan arif tidak menyinggung masalah khilafiyah dan persoalan sensitif yang biasanya memancing perdebatan antar umat Islam sendiri. Praktik tahlilan dan selametan, tidak disalahkan, bahkan ditradisikan. Masalah khilafiyah baru muncul ketika terjadi pergantian dai DDII kepada Munawar. Itu pun terjadi pada dua tahun terakhir keberadaaan Munawar di Klepu, sebelum Munawar meniggalkan Klepu pada tahun 2007 karena masalah yang cukup pelik terkait perubahan pola dakwah DDII yang mulai menyerang tradisi-tradisi keislaman lokal. Di samping itu, sesungguhnya yang selama ini bekerja di lapangan dalam proses pengembangan Islam di Klepu tetaplah tokoh-tokoh lokal yang secara kultural merupakan NU, seperti Mustakim, Salam Muhayat, dan Suwito. Suwito memang pendatang, namun menikah dengan perempuan Klepu. Peran tokoh-tokoh lokal dalam pengembangan Islam di Klepu, bisa dilihat dari cerita Suwito tentang komunitas muslim Lingkungan Kuniran Atas yang kini menegaskan identitasnya sebagai pengikut Muhammadiyah. Menurut Suwito, awalnya warga Kuniran Atas tidak menjadi anggota Muhammadiyah. Kuniran Atas dulu adalah wilayah binaannya bersama Mustakim dan Dua tokoh Islam lokal: Mustakim dan Salam Muhayat, secara eksplisit menyatakan sebagai orang NU. 35 98 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Salam. Selama beberapa tahun dia membina di sana. Setiap malam Jumat untuk bapak-bapak, dan hari Ahad sore untuk ibu-ibu mereka mengajari salat, tahlil sehingga menjadi tradisi. Warga kemudian membuat musala.36 Pengakuan Suwito dibenarkan warga Kuniran Atas. Mereka mengakui, masyarakat muslim Kuniran mengawali keislaman dari komunitas tahlilan. Dari mengikuti tahlil itulah, perlahan-lahan mulai melaksanakan salat dan ibadah lainnya.37 Jadi, semaraknya tahlilan menjadi salah satu kegiatan rutin yang paling massif bagi umat Islam Klepu. Semaraknya kehidupan Islam di Klepu memang terjadi semenjak datangnya suntikan dai DDII, tetapi tahlilan sebagai tradisi populer Islam adalah kreasi mandiri tokoh-tokoh NU setempat. Saat ini Islam di Klepu mulai beragam dan terbagi ke dalam berbagai afiliasi ormas Islam, namun tahlilan tetap menjadi kegiatan utama hampir keseluruhan umat Islam Klepu. Sebagaimana yang terlihat pada komunitas Muhammadiyah di Kuniran Atas, di mana mereka tetap melakukan tahlilan setiap malam Jumat untuk kaum laki-laki dan malam Minggu untuk perempuan. Para tokoh Muhammadiyah setempat sangat menyadari bahwa tahlilan rutin adalah sarana dakwah yang baik dalam membangun solidaritas bersama. Kelompok terbesar umat Islam Klepu, adalah mereka yang masih melakukan tahlilan dan selametan, meskipun tidak mesti mengaku berafiliasi ke NU. Tidak mengherankan jika tokoh Islam seperti Mustakim menilai bahwa secara tradisi umat Islam Klepu secara umum adalah NU dari sisi tradisi, sekalipun sangat jarang menggunakan nama NU.38 Wawancara dengan Suwito, 26 Februari 2008. Wawancara dengan Suyatno, 13 Februari 2008. 38 Wawancara dengan Mustakim, 26 Februari 2008. 36 37 TRAGEDI KABEL MIK 99 Saat ini di Klepu terdapat 14 tempat ibadah (masjid/ musala).39 Dari keempat belas masjid atau musala ini, yang bisa dianggap betul-betul berfungsi sebagai tempat berjemaah bagi kaum muslim di sekitarnya hanya beberapa masjid dan musala, antara lain: Al-Hidayah, Baitul Mukminin, Darussalam Sambi, Darussalam Ngapak, At-Taqwa, Baiturrahman, Hasyim Asy’ari, dan Al-Ikhlas. Sementara, yang bisa dianggap tidak difungsikan adalah Baitul Arsy dan At-Taqwa Bulu, karena tidak ada tokoh lokal yang bisa menggerakkan masyarakat yang beragama di lingkungan untuk memfungsikannya. E. Takmir Masjid Desa: Kontestasi DDII-Muhammadiyah-NU Orang-orang Klepu mencatat, sebelumnya Munawar DDII tidak memiliki catatan berkonflik dengan penduduk setempat. Bahkan, Munawar sendiri di awal kedatangannya tidak menunjukkan kekakuannya sebagai seorang muslim puritan. Karena itu, konfliknya dengan Mbah Yoto di Masjid Baitul Mukminin Dusun Sambi itu mengagetkan. Berturut-turut terdapat di Dusun Klepu sebanyak dua buah (An-Nur di Lingkungan Sulingan dan Al-Hidayah di Lingkungan Klepu); enam masjid/ musala di Dusun Sambi (Baitul Mukminin di Lingkungan Sambi, Masjid Darussalam di Lingkungan Sambi, At-Taqwa di Lingkungan Bulu, Sabilussalam di wilayah perbatasan Sambi dengan Bedoho, Al-Furqon di dekat Lingkungan Genengan, Jogorejo, Hasyim Asy’ari di Timur SDN Klepu II); empat di dusun Jogorejo (Baiturrahman di barat gereja, musala Badut di selatan SDN Klepu I, Al-Ikhlas di Lingkungan Kuniran Atas, musala Kuniran Bawah); dua di dusun Ngapak (Masjid Darussalam yang merupakan masjid tua di Lingkungan Ledok dan Baitul Arasy yang merupakan musala paling baru berada di wilayah Ngapak timur). 39 100 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Akan tetapi, konflik tersebut sebetulnya sudah bisa diduga sejak awal kedatangan Munawar. Suwito berkisah, jauh sebelum konflik terbuka di Sambi, Munawar pernah melarang pujian dan menabuh beduk ketika menjelang azan. Karena menjadi teman dekat, Suwito mengingatkan bahwa belum waktunya melakukan hal itu karena Islam masyarakat Klepu masih tergolong awam. Saat itu bisa diredam. Masyarakat Sambi berjalan apa adanya, sebelum akhirnya pecah konflik.40 Pada saat konflik inilah sesungguhnya eksistensi takmir masjid desa diuji. Sebagai lembaga tertinggi umat Islam Klepu, takmir masjid desa dituntut untuk menyelesaikan masalah. Akan tetapi, terbukti di lapangan bahwa urusan umat Islam Klepu tidak lagi berada di tangan orang Klepu. Keberadaan DDII di Klepu dengan sendirinya sebetulnya telah menghubungkan urusan muslim Klepu dengan pihak luar. Konflik DDII tidak lagi bisa diselesaikan oleh takmir masjid desa karena garis komando DDII bukan di tangan ketua takmir masjid desa, tapi berada di struktur organisasi miliknya sendiri yang komandannya berada di luar Desa Klepu. Dengan logika yang sama, takmir masjid sebetulnya juga sudah kehilangan dua anggota, yaitu Masjid Darussalam Ngapak dan al-Ikhlas Kuniran Atas yang sudah menjadi Muhammadiyah. Sebelumnya, semua takmir masjid/musala di masingmasing lingkungan adalah anggota dari takmir masjid desa. Takmir masjid desa menjadi lembaga Islam tertinggi yang suaranya adalah komando bagi seluruh anggotanya. Ketika Ngapak dan Kuniran Atas menjadi Muhammadiyah, maka komando sebetulnya mulai berpindah. Takmir masjid desa tidak lagi bisa mengomandoi Ngapak dan Kuniran Atas, karena komando untuk kedua lingkungan Muhammadiyah tersebut berada di pengurus Muhammadiyah. 40 Wawancara dengan Suwito, 20 Maret 2008. TRAGEDI KABEL MIK 101 Mengerasnya DDII dan berdirinya Muhammadiyah menyadarkan Suwito yang pada dasarnya adalah NU untuk mengikat orang-orang yang amaliyahnya NU sebagai kelompok mayoritas untuk diikat ke dalam organisasi NU. Akhirnya, di awal tahun 2000, NU sebagai organisasi secara resmi berdiri di Klepu yang langsung diketuai Suwito. Jadilah umat Islam Klepu sekarang terbagi menjadi dua: NU dan Muhammadiyah. Orang-orang yang terpengaruh DDII, biasanya lebih dekat ke Muhammadiyah. Memang, keterpecahan umat Islam Klepu mulai melahirkan isu-isu khilafiyah. Misalnya, komunitas muslim Ngapak sudah mulai melakukan salat Id sendiri karena mendapat jatah khatib dari Muhammadiyah. Kuniran Atas ketika sudah jadi Muhammadiyah juga mulai tidak mau bergabung ke takmir masjid desa. DDII juga mengadakan salat Id sendiri. Perpecahan semakin terlihat ketika terjadi perselisihan antarormas Islam tentang kapan Idul Fitri. Mereka akan mengikuti komando ormas masing-masing. Takmir masjid desa semakin terasa ditinggalkan anggota-anggotanya.41 Kemacetan takmir masjid desa semakin jelas terlihat ketika pengurus terpilih tidak sempat merampungkan menyusun kepengurusan lengkap. Konflik di Sambi, tidak lagi terikatnya Kuniran Atas dan Ngapak, serta berdirinya NU, membuat takmir masjid desa terbengkalai. Akhirnya sekarang, pengurus takmir masjid yang tersusun tahun 2003/2004 hanya terdiri dari: Ketua I Mustakim, Ketua II Suwito, Ketua III Kateni, Sekretaris I Karsi, Sekretaris II Sakri, Bendahara I Sarnun, dan Bendahara II Suyadi. Berkali-kali pertemuan tapi tidak selesai karena terkena imbas konflik antara DDII (Munawar) dengan NU (Mbah Yoto) di Sambi. 41 Wawancara Suwito, 26 Februari 2008. 102 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA F. Bertemu Untuk Berpisah: Kisah Dari Sebuah Pertemuan Sekitar pukul empat sore, setelah orang-orang itu melakukan salat Asar, mereka berkumpul di salah satu ruangan gedung TK Perwanida yang terletak di samping depan Masjid Baitul Mukminin Dusun Sambi, Klepu, yang tinggal puingpuing karena baru dirobohkan. Mereka adalah pengurus DDII Cabang Ponorogo, seorang muslim lokal yang bertugas sebagai dai DDII di Desa Klepu, Ketua NU Ranting Desa Klepu, para ahli waris almarhum Sulnomo atau yang biasa dipanggil Mbah Sulni (orang yang mewakafkan tanah yang di atasnya dibangun Masjid Baitul Mukminin dan TK Perwanida), dan beberapa orang yang terkait dengan masalah yang hendak dibicarakan dalam pertemuan tersebut. Pertemuan yang diselenggarakan pada Rabu, 12 Maret 2008, itu adalah pertemuan untuk membahas sengketa pembangunan Masjid Baitul Mukminin antara DDII dengan NU. Masjid tersebut berdiri di atas tanah wakaf Mbah Sulni, di mana sengketa ini melibatkan ahli waris Mbah Sulni sebagai wakif (pemberi wakaf) yang bisa disebut sebagai orang-orang NU. Pihak DDII merobohkan Masjid Baitul Mukminin karena mendapatkan bantuan dana pembangunan masjid dari DDII. Sementara, jemaah NU yang dimotori ahli waris wakif menghalangi pembangunan tersebut. Hal itu dianggap upaya menjadikan Masjid Baitul Mukminin menjadi milik DDII. Anggapan ini terkait dengan konflik kedua kelompok tersebut sebelumnya. Di samping itu, bantuan DDII tersebut disertai dengan persyaratan berupa larangan terhadap praktik-praktik peribadatan yang selama ini bisa dikatakan sebagai properti tradisi keagamaan warga NU. Sengketa ini sebetulnya puncak dari perpecahan yang sudah berlarut-larut antara DDII dan NU. Itu bermula dari TRAGEDI KABEL MIK 103 perbedaan paham keislaman antara DDII dan NU. Perpecahan yang berlarut-larut tersebut tidak pernah menemukan solusinya sampai akhirnya tiba waktu renovasi masjid. Karsi, penduduk Sambi yang sekarang secara resmi menjadi dai DDII di Desa Klepu, bertugas sebagai moderator dalam pertemuan tersebut. Dia sejak awal berusaha mempersuasi setiap orang untuk menjaga persatuan umat Islam di Desa Klepu. Dia berharap agar setiap usulan hendaknya dilahirkan dari pertimbangkan yang bijaksana dan dinyatakan dengan bahasa yang bijaksana pula. Juwaini, pengasuh Pesantren Darul Fikri yang menjadi juru bicara utama rombongan DDII menyatakan, jika sampai hari itu kedua belah pihak tidak menemukan kata sepakat rencana pembangunan masjid maka bantuan dari DDII akan dicabut. Dinyatakan pula bahwa sebetulnya dana bantuan tersebut tidak langsung datang dari DDII, tapi dari donatur yang disalurkan melalui DDII. Ini kelihatannya penting untuk dijelaskan sebagai bentuk penegasan akan netralitas DDII. Dalam arti syarat untuk tidak boleh melakukan amalan-amalan yang dianggap bidah, misalnya, pujian setelah azan, menabuh beduk, wiridan dengan suara keras bukanlah berasal dari DDII sendiri, melainkan dari para donatur. Suwito kemudian menimpali penjelasan tersebut dengan menyatakan bahwa memang orang-orang Sambi minta bantuan ketika hendak membangun Masjid Baitul Mukminin. Sekalipun demikian, mereka juga tetap mengeluarkan biaya sendiri berdasarkan kemampuannya, misalnya, iuran Rp 100.000 per orang, mengumpulkan kayu dan batu kali. Karena dihitung masih belum mencukupi untuk menyelesaikan pembangunan masjid, maka mereka minta bantuan ke pihak lain. Terkait dengan persyaratan dari pihak donatur sebagaimana yang dinyatakan Juwaini tersebut, Suwito menyatakan bahwa hendaknya persatuanlah yang harus dijaga. Jika sebuah 104 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA bantuan justru menjadikan perpecahan, maka sebaiknya tidak usah diterima. Lebih baik umat Islam Sambi membangun masjid dengan modal sendiri. Jika belum cukup mereka bisa mencari bantuan asal tidak mengikat. Yang penting adalah masjid bisa dimanfaatkan bersama tanpa menghalangi sebagian kelompok untuk beribadah sesuai dengan keyakinan ajarannya. Misalnya, ketika imamnya DDII, imamnya tidak wiridan, tapi tidak harus menghalangi orang lain yang wiridan. Begitu sebaliknya. Tentang pujian setelah azan, Suwito mengatakan bahwa sekarang ini hampir semua masjid NU di Klepu tidak ada yang melakukan puji-pujian sehingga masalah itu tidak relevan dibicarakan panjang lebar. Yang penting adalah saling menghormati dan menghargai sehingga bisa tercipta suasana guyubrukun seperti semula. Istilah “rukun” memang menjadi istilah yang sering disebut dalam pertemuan tersebut. Terkait dengan rukun itulah Suwito mengingatkan bahwa sebagian besar orang-orang yang bersengketa ini terhubung dalam sebuah jalinan kekerabatan. Mereka harus dijaga kesatuannya daripada mengutamakan bantuan dari luar tapi berakibat pada perpecahan. “Kalau mereka punya masalah, apakah mereka akan lari ke DDII Ponorogo? Tentu mereka akan minta bantuan ke saudaranya sendiri yang hidup berdampingan dengannya,” jelas Suwito. Menanggapi penjelasan panjang lebar tersebut, Juwaini menyatakan bahwa kalau memang bantuan ini tidak diterima, maka bantuan ini akan ditarik kembali karena bantuan ini memang bersyarat. Sekali lagi dia menyatakan, persyaratan tersebut tidak datang dari DDII. Tidak bisa dipungkiri bahwa sekalipun tidak terdengar suara-suara bentakan, namun aura ketegangan jelas sekali dirasakan semua orang. Suwito menilai bahwa penjelasan pihak DDII tersebut tidak konsisten. Dia mempertanyakan, jika DDII tidak memiliki aturan tertentu TRAGEDI KABEL MIK 105 dalam masalah peribadatan, mengapa orang-orang DDII, termasuk Munawar, seorang dai DDII yang secara langsung menjadi penyebab sengketa muslim Sambi, justru sangat getol menekankan persyaratan tersebut yang berakibat pada konflik dan keterpecahan umat muslim Sambi hingga saat ini. Jika DDII tidak bertanggung jawab atas persyaratan tersebut, lalu apakah Munawar bertindak tidak mewakili DDII? Suwito mengingatkan, yang menyulut sengketa adalah DDII. Suwito mengingatkan, Pak Wo (sebutan untuk kepala dusun) Sambi sudah berkali-kali melakukan pendekatan kepada Munawar ketika konflik masih di tahap awal dengan tujuan agar jemaah Masjid Baitul Mukminin tetap bersatu seperti semula, tapi sama sekali tidak dihiraukan Munawar. Peserta pertemuan yang memang sejak awal sudah terbelah menjadi dua sampai di penghujung pertemuan juga tetap menunjukkan posisinya masing-masing. Orang-orang yang sejak awal memang kontra-DDII menyepakati untuk membangun masjid dengan biaya sendiri dan kembali bersatu seperti sebelum ada konflik. Masalah perbedaan paham antarkelompok biarlah itu dibicarakan di kelompok masing-masing, sedang di masjid semua orang menjadi satu. Sementara, pihak DDII berkesimpulan bahwa keputusan terbaik memang harus berpisah. Keputusan yang diambil DDII ini bisa dipahami karena memang dana bantuan yang dibawanya memiliki persyaratan tertentu yang tidak mungkin dijalankan jika masjid itu digunakan bersama karena di dalamnya akan ada praktik-praktik peribadatan yang bertentangan dengan persyaratan tersebut. Dalam pertemuan tersebut, pihak DDII juga terkesan menuduh bahwa ahli waris wakif ingin mengambil kembali tanah wakaf Mbah Sulni. Suwito, yang secara spontan menjadi juru bicara orang-orang yang kontra-DDII yang sebagian besar 106 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA adalah ahli waris wakif, terlihat kesal dengan pernyataan pihak DDII.42 Dengan suara yang agak meninggi, dia menjelaskan bahwa konflik Sambi bukan tentang ahli waris meminta kembali tanah wakaf, tapi tentang penggunaan tanah wakaf yang tidak sesuai dengan keinginan wakif. Akhirnya, Andi Suwito, salah seorang peserta pertemuan dari pihak DDII menyatakan, jika jemaah lain tidak bisa diajak kompromi, maka DDII akan pindah. Bukan keputusan pindah ini yang dijengkelkan oleh orang-orang non-DDII yang ada di Sambi, tapi sikap orang-orang DDII yang selalu menyalahkan pihak lain sebagai pihak yang tidak mau berkompromi itulah yang terasa menyakitkan. Padahal, sejak tadi orang-orang nonDDII ingin kembali rukun seperti semula, tapi justru DDII-lah yang tidak mau membangun hubungan agar kembali baik seperti sedia kala. Tapi memang keputusan untuk pindah atau tidak sangat tergantung pada pihak DDII karena merekalah yang membawa dana bantuan. Pihak DDII membuat keputusan: pindah. Juwaini kemudian bertanya, “Jika pindah, apakah sudah ada tanahnya?” Terlihat sekali bahwa pertanyaan tersebut tidak memerlukan jawaban karena si penanya sudah tahu bahwa Penilaian pihak DDII bahwa ahli waris wakif meminta tanah wakaf kembali sudah saya perbincangkan beberapa hari sebelum pertemuan tersebut saat saya menemui Karsi. Dia menyatakan bahwa pembangunan masjid lama terpaksa dihentikan karena dilarang keluarga wakif. Menurut Karsi, ahli waris ingin meminta kembali tanah wakaf tersebut karena dulu tanah itu diwakafkan untuk ahli waris. Penjelasan Karsi ini jelas tidak sesuai dengan keinginan Mbah Yoto sebagai ahli waris yang paling menentang pembangunan masjid lama oleh DDII. Dia sama sekali tidak meminta tanah wakaf kembali, yang dia inginkan adalah agar masjid tersebut difungsikan seperti semula, di mana pujian, tahlilan, menabuh beduk, barzanji, dan sebagainya boleh dilaksanakan. (Wawancara dengan Karsi dan Mbah Yoto secara terpisah, 9 Maret 2008). 42 TRAGEDI KABEL MIK 107 jawabannya adalah sudah tersedia tanah.43 Tanah yang disediakan untuk membangun masjid baru dari dana bantuan bersyarat yang disalurkan melalui DDII tersebut terletak di dekat rumah Andi Suwito. Juwaini kemudian menegaskan bahwa kalau memang tanah sudah ada, maka pembangunan harus segera dikerjakan karena jangka waktu yang ditentukan oleh donatur sudah terlambat tujuh belas hari. Donatur menghendaki agar dalam tiga bulan, pembangunan masjid harus sudah selesai. Karena sudah terlambat tujuh belas hari, maka waktu yang tersisa tinggal dua bulan dua belas hari. Oleh karena itu, maka orang-orang harus bekerja siang-malam sehingga selesai tepat waktu.44 Beberapa hari sebelum pertemuan, saya mendapat informasi dari Karsi bahwa pihak DDII sudah menyiapkan tanah untuk membangun masjid baru jika tidak ada solusi seperti yang mereka harapkan. (Wawancara dengan Karsi, 9 Maret 2008). Informasi ini dibenarkan Suwito. Dua hari sebelum pertemuan, rencana DDII untuk pindah ke lokasi baru itu sudah clear. Pertemuan hari Rabu itu hanya untuk memperjelas sikap ahli waris dan/atau orang-orang non-DDII. Jadi, sebelumnya sudah ada keputusan untuk pindah tempat. Informasi ini didapatkan Suwito dari salah seorang kawannya di Sambi, Sarnun, yang mencuri dengar pembicaraan antara Karsi dengan pengurus DDII Ponorogo melalui telepon. Dalam pembicaraan tersebut, tampaknya pengurus DDII Ponorogo mempertanyakan dukungan dari Kepala KUA Sooko dan Kepala Dusun Sambi yang kemudian dijawab oleh Karsi bahwa yang pertama tidak mendukung, sedang yang terakhir bisa dikatakan sudah pro-DDII. (Wawancara dengan Suwito, 20 Maret 2008). 44 Saya sendiri tidak mengikuti pertemuan tersebut, tapi beberapa hari sebelumnya saya sudah mendengar rencana pertemuan itu dari Karsi. Seluruh rangkaian cerita di atas saya dasarkan pada hasil wawancara saya dengan Suwito yang terlibat langsung dalam pertemuan tersebut. (Wawancara dengan Suwito, 20 Maret 2008). 43 108 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA G. Bantuan DDII dan Lugunya Muslim Klepu Berdasarkan penuturan Modin Sukidi,45 kisah konflik Sambi bermula dari bantuan dana DDII untuk pembangunan masjid di Klepu. Dengan uang yang dimiliki, DDII mencari orang yang mau mewakafkan tanahnya untuk membangun masjid. Dari sinilah lahir Masjid Baitul Mukminin Sambi di atas tanah wakaf Sulnomo atau yang biasa dipanggil Mbah Sulni. Mbah Sulni menyerahkan tanahnya ke Sukidi sebagai nazir desa. Setelah tanah tersebut resmi diwakafkan untuk pembangunan masjid, DDII dengan bantuan penduduk lokal kemudian membangun masjid yang diberi nama Baitul Mukminin. Pada awalnya, tidak ada masalah sama sekali dengan orang-orang yang berjemaah di masjid tersebut. Orang-orang tidak mempermasalahkan tentang aliran-aliran dalam Islam. Yang menjadi kesadaran umum adalah bahwa mereka beragama Islam. Secara umum, bagi kebanyakan orang Klepu sendiri, keislaman tidak menjadi basis identitas seseorang dalam menandai dirinya dalam kaitannya dengan orang atau kelompok lain. Keberislaman bisa dikatakan sama sekali tidak memiliki konsekuensi sosial apapun. Sementara, orang-orang muslim Klepu yang masuk dalam kategoi santri—paling tidak ditandai dengan kerajinan mengerjakan salat lima waktu—tidak mengidentifikasi dirinya berdasarkan afiliasinya pada ormas keislaman tertentu, misalnya, NU, Muhammadiyah, atau ormas yang lain. Bahkan, orang seperti Mustakim, Ketua Takmir Masjid Desa Klepu, bisa dianggap sebagai kiai desa, yang pernah aktif di Gerakan Pemuda Anshor pada masa Orde Lama,46 juga lebih menekankan keislaman tanpa embel-embel apapun. Wawancara dengan Sukidi, 20 Maret 2008. Dia menyebut dirinya ahl al-sunnah wa al-jama’ah, maksudnya, dia melakukan amal ibadah seperti yang dilakukan orang-orang NU. 45 46 TRAGEDI KABEL MIK 109 Oleh karena itu, ketika DDII masuk ke Desa Klepu, tidak pernah menemui persoalan tentang perbedaan-perbedaan ajaran. Masyarakat muslim Klepu menyambut masuknya DDII sebagai bagian dari saudara muslim yang hendak membantu peningkatan mutu kehidupan keberagamaan Islam di situ. Tidak ada orang yang mempertanyakan corak keislaman DDII karena itu tidak masuk dalam imajinasi keberIslaman mereka. Bagi kebanyakan muslim Klepu, Islam adalah seperti yang mereka praktikkan selama ini. Bahwa tahlilan, wiridan, pujian, menabuh beduk, dan sebagainya adalah bagian dari praktik keislaman yang absah. Kalaupun mereka jarang pujian, misalnya, bukan karena itu semua haram atau bidah, tapi karena sedang tidak ingin mengerjakan saja. Bagi sebagian kecil orang yang mengetahui adanya perbedaan antara NU dan DDII, maka perbedaan itu akan dikesampingkan karena yang paling penting adalah membangun kehidupan keislaman di Klepu untuk mengimbangi Katolik. Keharmonisan ini tetap terjaga karena dai-dai DDII juga tidak mengajarkan Islam yang berbeda dari yang selama ini dipraktikkan. Kalaupun mereka mengajarkan sesuatu yang berbeda, itu dilakukan tanpa ada celaan yang menimbulkan ketidaksukaan orang lain.47 Keadaan Hampir semua masjid atau musala di Klepu tidak mengumandangkan pujian setelah azan, tidak melakukan wiridan dengan suara keras setelah salat berjemaah, tidak menabuh beduk, azan sekali pada saat salat Jumat, dan berbagai hal yang biasanya menjadi identitas dari masjid kaum puritanis. Mengingat bahwa DDII adalah kalangan awal yang secara serius melakukan misi dakwah Islam di Klepu, maka bisa diduga kuat bahwa ini adalah pengaruh dari DDII yang merupakan salah satu organisasi Islam dengan corak keislaman puritanis. Sekalipun demikian, praktik-praktik ini tidak kemudian menjadikan masjid tersebut berubah identitasnya menjadi masjid DDII. Jemaah masjid tersebut menjalankan hal-hal itu tidak dengan kesadaran aliran, tapi sekedar menjalankan begitu saja. Kalau mereka menemukan perbedaan, itu tidak akan menjadi persoalan yang terlalu dipikirkan. Hanya kalangan santrilah 47 110 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA terus berjalan seperti itu sampai datanglah tragedi itu. Tragedi yang melibatkan antara Munawar sebagai dai DDII dan Mbah Yoto, muslim lokal. H. Munawar dan “Tragedi Kabel Mik” Sosok Munawar perlu untuk diungkap karena dialah yang menjadi penyebab langsung dari konflik umat Islam Sambi terpecah. Laporan lisan penduduk setempat menyatakan, dia berasal dari Paciran, Lamongan, sebuah wilayah yang bisa dikatakan sebagai basis Muhammadiyah di Jawa Timur. Sangat mungkin, Munawar lebih dekat kepada Muhammadiyah. Seperti para dai DDII sebelumnya, pada awal kedatangannya, Munawar bertempat di rumah Modin Sukidi. Dia hanya satu tahun tinggal bersama Sukidi, untuk selanjutnya dia pindah ke Dusun Klepu, tepatnya di rumah Bayan Suraji. Bayan Suraji adalah saudara ipar Suwito, ketua ranting NU Desa Klepu. Cerita lisan beberapa orang mengisahkan bahwa Munawar tidak cukup memiliki kemampuan untuk membangun relasi kemasyarakatan secara baik dengan orang-orang di dekatnya. Bahwa adalah sebuah standar tatakrama desa bagi seseorang yang tinggal di rumah orang lain, dia akan sesekali “membantu” pekerjaan tuan rumah. Kata “membantu” di sini tidak mesti dalam pengertian yang sesungguhnya, tapi sekedar menunjukkan sikap bahwa orang tersebut menjadi bagian dari keluarga tuan rumah, di mana dia juga merasa bertanggung jawab atas hal-hal yang sedang dikerjakan tuan rumah. Agaknya, Munawar tidak cukup memiliki sensitivitas dalam masalah ini sehingga pergaulannya dengan tuan rumah yang ditempati yang akan memikirkan itu semua. Para jemaah ini adalah orang-orang biasa yang sudah untung mau menjalankan ibadah salat. TRAGEDI KABEL MIK 111 agak tidak baik. Ketika dia pindah ke Dusun Klepu dan bertempat di rumah Suraji, kisah yang sama juga terjadi. Pada awalnya orang-orang Dusun Klepu berharap, keberadaan Munawar akan membantu Islam di Dusun Klepu. Akan tetapi, dia tidak cukup bisa menarik simpati orang-orang di situ. Akhirnya, dia pindah ke Dusun Sambi dan bertempat tinggal di salah satu ruangan gedung TK Perwanida, ruangan yang dibangun oleh Pesantren Gontor yang memang diperuntukkan bagi dai-dai DDII yang datang dari luar. Waktu di Sambi inilah bisa dikatakan Munawar memiliki “wilayah dakwah” yang jelas. Keberadaan Munawar di Sambi terlihat seperti seorang kiai yang langsung mengampu masjid yang dibangun organisasinya sendiri. Dai yang baru mengawali tugasnya ini mewarisi kebijaksanaan para pendahulunya, yaitu tidak membawa aliran Islam tertentu. Dalam arti bahwa dia tidak melarang praktik-praktik keislaman yang sudah dijalankan oleh masyarakat muslim Sambi seperti pujian, menabuh beduk atau membaca barzanji, sekalipun hal-hal tersebut tidak selalu dikerjakan. Bahkan, Munawar juga mengikuti kegiatan tahlilan rutin. Sekalipun demikian, bukan berarti tidak ada sikap-sikap Munawar yang potensial untuk menciptakan konflik sosial berdasarkan perbedaan paham. Di samping karena sifatnya yang kurang bisa bergaul berdasarkan tatakrama masyarakat Desa Klepu, lama kelamaan dia memperlihatkan secara terangterangan ketidaksukaannya terhadap berbagai praktik yang dianggapnya bidah. Dia tidak mau lagi ikut tahlilan, kundangan atau selametan. Beberapa kali ketika mendatangi kundangan, dia tidak mau makan dan tidak mau membawa pulang berkat, makanan yang disiapkan tuan rumah. Perilaku ini jelas menyinggung yang punya hajat dan mulai menciptakan keretakan 112 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA antara dirinya dengan orang-orang lain48 Seiring dengan semakin terbukanya sikap Munawar, dia mulai menerapkan aturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan di Masjid Baitul Mukminin. Sikap Munawar ini jelas menciptakan bibit konflik di antara muslim Sambi, terutama yang berjemaah di Masjid Baitul Mukminin.49 Mengerasnya sikap Munawar itu terjadi sekitar lima tahun yang lalu, yaitu pada saat jemaah bersepakat untuk merenovasi masjid. Kepanitiaan sudah dibentuk dan masyarakat iuran Rp 100.000 serta mengumpulkan batu kali dan kayu. Tapi, rencana renovasi masjid akhirnya tidak kesampaian karena ada insiden antara Munawar dan Mbah Yoto yang menyebabkan perpecahan. Sebagian orang memisahkan diri dari masjid lama dan mendirikan masjid baru, Darussalam. Orang- orang yang mendirikan masjid baru ini dipimpin oleh Mbah Yoto, salah seorang putra Mbah Sulni. Sebagaimana yang diceritakan Mbah Yoto bahwa insiden tersebut adalah sebagai berikut: Suatu hari, dia mengalunkan pujian setelah azan sambil menunggu para jemaah salat berkumpul. Tiba-tiba, kabel mik dicabut Munawar sehingga suara Mbah Yoto yang sedang pujian tidak masuk ke dalam loud speaker. Tindakan Munawar ini jelas menyakitkan tidak hanya kepada Mbah Yoto pribadi, tapi juga orang-orang yang melihat kejadian itu. Tindakan Munawar tersebut dinilai sangat tidak sopan dan mencederai tatakrama kehidupan bermasyarakat.50 Mbah Yoto dan orang-orang lain yang marah kemudian menunjukkan sikap penentangan terbuka kepada Munawar. Wawancara dengan Agung Santoso, Kepala Desa Klepu, 12 Februari 2008. 49 Sebelum terjadi perpecahan, di Dusun Sambi ada sebuah masjid dan tiga musala: Baitul Mukminin, At-Taqwa, Sabilussalam, dan Al-Furqon. 50 Wawancara dengan Mbah Yoto, 9 Maret 2008. 48 TRAGEDI KABEL MIK 113 Mereka kemudian keluar dan salat jemaah di rumah almarhum Mbah Sulni. Berdasarkan cerita orang-orang yang tahu peristiwa tersebut, situasi saat itu sangat ramai dan tegang. Orangorang secara terbuka mengeluarkan perasaan ketidaksukaan terhadap Munawar, tidak hanya tindakan Munawar terhadap Mbah Yoto tapi juga terhadap sikap-sikap Munawar selama ini. Peristiwa pemutusan kabel mik yang membangkitkan kemarahan orang-orang Sambi tersebut sebetulnya hanyalah sebuah triger untuk meletupkan perasaan orang-orang terhadap Munawar. Sikap ketidaksenangan Munawar secara terbuka dan larangannya pada pujian, menabuh beduk, tahlilan, kundangan, barzanji, dan lain sebagainya telah memunculkan resistensi umat muslim Sambi sekalipun resistensi tersebut selama ini hanya dipendam dalam hati. Salah satu cerita Mbah Kasno berikut dapat mewakili bentuk resistensi ini, “Suatu saat saya menabuh beduk. Saya mau dipukul Pak Munawar dengan penabuh beduk yang baru saya pakai. Saya diam saja, tapi saya niati dalam hati, kalau saya jadi dipukul, saya sebisanya akan membalas. Tapi, saya tidak jadi dipukul.”51 Perasaan di hati Mbah Kasno ini adalah gambaran umum dari orang-orang Sambi yang merasa kesal terhadap perilaku dakwah Munawar. Menabuh beduk adalah hal yang biasa saja dilakukan, terutama pada saat bulan Ramadhan. Oleh karena itu, bisa diduga bahwa perasaan kecewa itu mengendap di hati banyak orang sekian lama. Perasaan itu seakan tinggal mencari momentum untuk diledakkan. Dan, momentum itu datang ketika Munawar dianggap melecehkan Mbah Yoto, orang lokal yang mereka hormati. Ada dua orang yang bernama Kasno. Dalam tulisan ini, Kasno muda ditulis dengan nama Pak Kasno, sedang Kasno tua ditulis dengan nama Mbah Kasno. Pengakuan di atas datang dari Kasno tua. (Wawancara pada 9 Maret 2008). 51 114 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Ketersinggungan orang-orang atas tindakan Munawar bisa dipahami karena Mbah Yoto adalah putra Mbah Sulni (wakif) yang selama ini dituakan. Dia bisa dikatakan penduduk asli Sambi yang menjadi panutan. Dialah yang babad Islam di Sambi. Dialah yang mengajari salat orang-orang Sambi pascaperistiwa G30S di saat suasana politik mengharuskan orang-orang yang mengaku muslim berperilaku berdasarkan standar santri, yang itu berarti harus, minimal, menjalankan salat lima waktu. Mbah Yoto dan beberapa orang didikannya adalah cikal-bakal muslim santri di Sambi. Dia menjadi imam salat dan memimpin kegiatan tahlil di lingkungannya. Ketika Munawar sudah bertugas di Sambi, Mbah Yoto masih menjadi imam salat, terutama kalau Munawar sedang tidak ada di tempat. Tidak mengherankan jika tindakan kasar Munawar tadi membuat banyak orang yang mengetahui secara langsung maupun mendengar peristiwa itu menjadi marah. Orang-orang seakan mulai tersadar akan perbedaan antara dirinya dengan Munawar. Mereka mempertanyakan apakah Munawar orang NU ataukah Muhammadiyah. Isu NU-Muhammadiyah ini jelas menjadi bagian dari isu Sambi. Bagi orang Sambi, ketidakmauan seseorang terhadap tahlil, barzanji, menabuh beduk, wiridan keras habis salat, selametan, dan sebagainya adalah orang Muhammadiyah karena itulah ciri-ciri keMuhammadiyahan yang mereka tahu. Muhammadiyah di sini tidak harus dimengerti sebagai organisasi, namun identitas budaya. Sebagaimana ke-NU-an bagi mereka tidak selalu bermakna organisasi, tapi identitas kultural. Penentangan terhadap Munawar terlihat semakin berani dengan mulai terdengarnya suara-suara yang menghendaki Munawar untuk keluar dari Desa Klepu, khususnya, Dusun Sambi.52 52 Wawancara dengan Karsi, 9 Maret 2008. TRAGEDI KABEL MIK 115 Perlu dinyatakan, sekalipun pada saat peristiwa tersebut terjadi, hampir semua jemaah Masjid Baitul Mukminin menentang Munawar, namun lambat laun sebagian dari mereka kembali salat di masjid lama yang masih diimami Munawar. Akan tetapi, jemaah yang kembali salat di masjid lama tidak otomatis mengikuti DDII. Ada banyak alasan mengapa mereka tetap salat di masjid lama. Salah satunya adalah tidak ingin menerlantarkan tanah wakaf Mbah Sulni yang memang untuk masjid. Alasan ini terutama dikemukakan oleh sebagian ahli waris Mbah Sulni yang tidak mengikuti Mbah Yoto. Alasan melestarikan tanah wakaf keluarga di atas berkelindan dengan alasan lain, yaitu keluar berarti kalah. Sebagian besar yang kembali beralasan karena memang itu adalah masjidnya di mana mereka biasa menjalankan salat. “Kalau tidak di situ, kemana lagi harus salat,” tampaknya menjadi alasan sebagian besar jemaah yang kembali. Sebagian besar mereka tetap tahlilan dan melakukan selametan. Kelompok ini sangat berkehendak untuk tetap bersatu seperti yang sudah ada selama ini. Kelompok ini terkesan mengalah asalkan tetap terjaga kerukunan bersama. Apapun alasan yang berkembang, fakta di lapangan adalah bahwa umat muslim Sambi telah terpecah. Kelompok yang keluar akhirnya membangun masjid sendiri, Masjid Darussalam, yang terletak di atas tanah Kasno, seberang jalan depan rumah Mbah Yoto, yang berjarak sekitar 200 meter dari masjid lama. Jemaah yang dulu bersatu kini semakin tegas terbelah menjadi dua dengan menempati masjid sendiri-sendiri. Jemaah masjid lama dipimpin oleh Karsi dan Sutrisno, dua orang lokal yang menjadi penerus Munawar.53 Yang berjemaah di masjid lama Menurut pengakuan Karsi, yang bisa disebut sebagai penerus DDII adalah dia dan Sutrisno. Sutrisno sebetulnya tidak langsung menjadi dai DDII, 53 116 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA ada sekitar 10 orang. Jemaah masjid baru yang berjumlah sekitar enam orang diketuai Mbah Yoto.54 Kenyataan seperti ini akhirnya membentuk solidaritas kelompok masing-masing (ingroup solidarity). Jemaah masjid baru menilai kelompok yang kembali sebagai orang-orang DDII, minimal tidak konsisten dengan sikap awal. Sementara kelompok yang kembali, sekalipun pada awalnya apatis dengan masalah ajaran, pada akhirnya mereka merasa perlu untuk mendefinisikan identitas dirinya dalam berhadapan dengan kelompok Mbah Yoto. Kebutuhan akan identitas inilah yang kemudian lambat laun di antara mereka ada yang mengikuti ajaran DDII. Kisah Katemin barangkali bisa menjadi ilustrasi yang tepat. Dia adalah muslim awam sebagaimana kebanyakan muslim Sambi yang tidak sungguh-sungguh tahu seluk-beluk perbedaan ajaran. Pada saat peristiwa “tragedi kabel mik”, dia membela Mbah Yoto dan memaki-maki Munawar. Lambat-laun dia kembali berjemaah di masjid lama, bahkan sekarang bisa dikatakan menjadi pengikut dan pembela DDII. Orang ini jelas menjadi tapi dia adalah dai dari BDI (Badan Dakwah Islam) Pertamina. Tapi keduanya memiliki kerjasama. Pengangkatan Sutrisno yang dilakuukan dua tahun lalu justru karena Munawar mau dipindah tugas keluar Klepu. Sehingga pengangkatan Sutrisno dilakukan untuk menjadi partner Karsi yang sudah resmi mendampingi Munawar sejak tahun 1990-an dalam menjalan misi dakwah yang sudah dilakukan oleh DDII selama ini. (Wawancara dengan Karsi, 9 Maret 2008). Karsi adalah seorang bapak muda lulusan Pondok Modern Gontor, sedang Sutrisno adalah seorang pemuda lulusan Pesantren Maskumambang Gresik. 54 Jumlah ini tidak menunjukkan bahwa saat ini yang menentang DDII lebih kecil daripada yang mendukung atau yang apatis karena kelompok kontra DDII pascakonflik tidak tergabung menjadi satu jemaah karena ada sebagian kelompok yang dipimpin Sakri dan membentuk jemaah sendiri sekalipun tidak membangun masjid sendiri. TRAGEDI KABEL MIK 117 olok-olok kelompok Mbah Yoto. Terhadap olokan tersebut, dia berkilah bahwa setelah dijelaskan Munawar dia akhirnya tahu mana ajaran Islam yang benar dan mana yang salah. Kisah Katemin di atas jelas mengindikasikan bahwa muslim Sambi yang berada dalam kubu-kubu yang berbeda membutuhkan identitas untuk menguatkan solidaritas kelompoknya masing-masing. Kebutuhan akan identitas dalam rangka penguatan solidaritas kelompok inilah yang membuat orang-orang yang berjemaah di masjid lama, sekalipun tidak semua dan dalam level yang yang berbeda-beda, mulai mengikuti aturan DDII. Bahkan, dalam beberapa hal, sudah ada yang betul-betul pengikut DDII. Orang-orang ini biasanya sudah tidak mau ikut tahlilan dan selametan. Kalaupun mereka selametan, mereka menyebutnya dengan istilah sedekah dan tidak lagi dilakukan seperti tata cara selametan pada umumnya dengan mengundang orang lain ke rumah si punya hajat, namun mengirim makanan ke tetangga-tetangga sebelah. Ada juga yang tetap mengundang, tapi tidak di-ujub-kan.55 Ada juga yang sudah sama sekali tidak selametan. Ada juga yang tidak aktif ke masjid, tapi sudah tidak ikut tahlil. Di pihak lain, Mbah Yoto dan kawan-kawan yang pada awalnya tidak peduli dengan identitas ke-NU-annya, akhirnya menyadari bahwa mereka adalah warga NU. Permusuhan terbuka yang diperlihatkan oleh Munawar terhadap praktik-prakPartomo sendiri menyatakan bahwa dirinya tetap melakukan tahlilan/ yasinan. Tapi kalau selametan, dia sudah mengubah ungkapan ujub. Menurutnya, tatacara ujub menurut orang kuno, kalau diteliti, memang sudah tidak sesuai dengan ajaran Islam karena mereka mempersembahkan selametan sampai ke danyang-danyang. Misalnya, ambeng dan ayam panggang, diujubkan untuk “nyaosi dahar njeng nabi sak putro garwo, sak sokabate, abubakar, umar usman lan ali”. Semua ini “diparingi dahar”. Kalau dipikir, itu adalah salah. (Wawancara dengan Partomo, 8 Maret 2008). 55 118 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA tik peribadatan yang mereka lakukan, akhirnya membuatnya mempertanyakan identitas dirinya berdasarkan perbedaan praktik peribadatan tersebut. Di antara dua kelompok ini, ada orang-orang yang tidak mempertegas identitasnya. Orang-orang tanpa identitas ini jelas menjadi target serangan kiri-kanan. Apalagi saat ini, ketika kedua belah pihak sedang bersengketa masalah status Masjid Baitul Mukminin.56 Kesulitan seseorang untuk menempatkan dirinya di posisi netral bisa dimaklumi karena setiap orang, suka atau tidak, akan dilibatkan ke dalam peta konflik. Tidak mengherankan jika orang seperti Partomo yang menjabat sebagai kepala dusun pun merasa terjepit karena tuduhan keduabelah pihak. “Saya sendiri disudutkan dari dua belah pihak sehingga saya kesulitan menempatkan posisi,” gerutunya.57 Perlu dijelaskan bahwa sekalipun Mbah Yoto, dkk. sudah membangun masjid sendiri, namun status masjid lama tidak dengan sendirinya dimiliki oleh DDII karena kelompok yang keluar tetap tidak merelakan masjid tersebut berstatus masjid DDII. Karena situasi inilah, maka ketika jemaah masjid lama merobohkan dan hendak membangunnya dengan dana “bantuan” DDII, niat ini dilawan oleh jemaah masjid baru karena mereka masih merasa memiliki masjid itu. Beberapa hari sebelum pertemuan Rabu, 12 Maret 2008 tersebut, sebagaimana yang dikisahkan di atas, hampir terjadi gegeran antarkedua belah pihak. 57 Sekalipun Partomo berusaha menjaga posisi netralnya, namun dia lebih bisa diterima di jemaah masjid lama karena letak masjid lama tepat berada di belakang rumahnya, dan dia selama ini juga tetap berjemaah di masjid lama sekalipun dengan alasan ingin tetap melestarikan wakaf Mbah Sulni yang merupakan mertuanya. Ketika terjadi konflik pembangunan masjid saat ini, dia sangat terjepit. Sebagai salah seorang jemaah, dia tidak mungkin menolak permintaan bantuan kayu oleh panitia pembangunan. Hal ini membuat jemaah masjid baru menuduhnya sebagai orang yang memelopori pembangunan masjid karena menurut mereka, tanpa Partomo, jemaah yang lain tidak mungkin berani merobohkan masjid. Mereka meminta Partomo selaku kepala dusun untuk menghentikan pembangunan masjid, tapi dia tidak bisa bertindak 56 TRAGEDI KABEL MIK 119 Partomo mengatakan, ia telah berusaha untuk menyatukan kembali, sampai mendatangai DDII Surabaya, namun tidak berhasil sehingga mereka jalan sendiri-sendiri.58 Hal tersebut menggambarkan bagaimana konflik di sebuah masjid kecil, sama sekali tidak megah, di suatu dusun yang untuk sampai ke sana dibutuhkan waktu sekitar satu jam dari pusat kota Ponorogo, ternyata sampai melibatkan orang-orang di Surabaya. Di Ponorogo sendiri, konflik Sambi ini telah melibatkan Depag, MUI, NU, dan DDII. Muspika Sooko juga harus terlibat dalam masalah ini. Setelah peristiwa “tragedi kabel mik” di atas, Beberapa tokoh Islam Klepu mengadakan pendekatan ke Munawar. “Saya katakan pada DDII, kalau kamu membolehkan orang tahlil di sini, tidak mesti setahun ada yang tahlil di sini, mengapa tidak boleh,” jelas Partomo yang kemudian ditimpali oleh Pamuji, “Itulah yang membuat emosi”.59 Setelah pendekatan secara kekeluargaan tidak berhasil, mereka mengadu ke DDII Ponorogo yang intinya adalah mempertanyakan tentang dakwah Munawar yang menyentuh masalah khilafiyah dan meminta DDII agar tidak menempatkan Munawar di Klepu. Jawaban pihak DDII Ponorogo saat itu sangat simpatik sehingga perwakilan pulang dengan optimisme yang menggebu-gebu. Mereka yakin Munawar akan segera dipindah dan keadaan akan kembali seperti semula. Akan tetapi, keyakinan itu segera berubah menjadi kekecewaan karena Munawar sendiri memberi laporan kepada DDII berdasarkan versinya dan DDII kini justru mendukung Munawar untuk melanjutkan misi dakwahnya di Desa Klepu, khususnya di apapun, baik melarang maupun menyuruh. Yang bisa dilakukannya hanya diam. (Wawancara dengan Partomo, 8 Maret 2008). 58 Wawancara dengan Partomo, 8 maret 2008. 59 Wawancara dengan Partomo dan Pamuji, 8 Maret 2008. 120 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Masjid Baitul Mukminin Sambi. Upaya memindah Munawar gagal total dan dimulailah kisah konflik terbuka yang semakin lama semakin beridentitas: Konflik NU-DDII. Menurut pengakuan Lurah Agung, beberapa hari setelah pengaduan muslim Sambi ke DDII, dia mendapat undangan dari kecamatan Sooko untuk menyelesaikan kasus Munawar. Termasuk orang yang diundang ke kecamatan adalah Partomo (Kepala Dusun Sambi), Suwito (Ketua NU Ranting Desa Klepu), Mustakim (Ketua Takmir Majid Desa Klepu), dan Sakri (salah seorang tokoh warga NU Sambi). Orang-orang ini memang sejak awal terlibat dalam upaya pemindahan Munawar dari Klepu. Ada cerita tertentu di balik pertemuan di kecamatan tersebut. Setelah orang-orang Sambi mengadu ke DDII Ponorogo untuk memindah Munawar, Istiqom, Kepala KUA Sooko yang sekaligus sekretaris DDII Ponorogo, membuat surat ke beberapa instansi. Surat itu berisi keterangan bahwa Munawar diusir oleh orang-orang yang namanya tertera dalam surat tersebut. Orang-orang itu adalah Partomo, Suwito, Sakri, dan Mustakim. Surat tersebut dikirim ke Cabang Dinas Pendidikan Ponorogo karena Suwito dan Sakri adalah guru negeri, ditujukan ke kelurahan dan kecamatan karena Partomo adalah kepala dusun, dan ke Depag karena Mustakim adalah Petugas Pencatat Nikah (PPN). Rupanya hanya Depag yang sungguhsungguh merespon surat tersebut. Depag memanggil Mustakim untuk mengklarifikasi isi surat tersebut. Pada awalnya, keterlibatan Mustakim dan Suwito lebih dikarenakan mereka adalah pengurus takmir masjid desa. Mustakim menjadi ketua umum, sedangkan Suwito menjabat ketua satu. Takmir masjid desa berusaha menyelesaikan konflik Sambi melalui cara yang dianggap prosedural. Yaitu, karena ini masalahnya DDII, maka persoalan dikembalikan ke DDII biar TRAGEDI KABEL MIK 121 mereka yang menyelesaikan. Upaya ini ternyata menemui kegagalan. Imbas dari kegagalan ini adalah macetnya takmir masjid desa sebagai sebuah organisasi Islam tertinggi tingkat desa. Takmir masjid desa yang semula efektif menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi muslim Klepu, kini tidak lagi fungsional karena masing-masing unsur memiliki garis komandonya sendiri-sendiri. Dalam pertemuan di kecamatan tersebut dijelaskan bahwa ada surat dari Depag Ponorogo yang berisi rekomendasi untuk menyelesaikan kasus Munawar. Pertemuan ini sendiri gagal menyelesaikan kasus Munawar. Depag kemudian langsung berusaha mencari jalan keluar dengan melibatkan MUI, NU, DDII, dan tokoh tokoh Islam Klepu, tapi tetap menemui jalan buntu. Munawar bersikeras bahwa tugasnya datang dari DDII sehingga hanya DDII-lah yang menentukan kapan selesai tugasnya. Pernah juga difasilitasi oleh Kiai Maksum (pengasuh Pesantren Arrisalah Ponorogo) untuk mempertemukan kedua belah pihak yang bertikai dengan DDII Wilayah di Surabaya. Di pertemuan tersebut, pihak DDII wilayah berjanji akan datang ke Ponorogo untuk berembuk secara baik-baik guna mencari solusi agar umat muslim Sambi bisa seperti semula. Akan tetapi, tidak ada tindakan apapun untuk menyelesaikan konflik Sambi. Janji akan diadakan pertemuan lagi di Surabaya untuk membahas masalah yang sama juga tidak terealisasi. Tidak ada penyelesaian apapun sampai akhirnya umat muslim Sambi betul-betul terpisah menjadi dua kubu yang menempati masjidnya sendiri-sendiri.60 60 Wawancara dengan Suwito, 20 Maret 2008. 122 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Munawar sendiri kemudian tidak lagi melanjutkan dakwahnya di Klepu sejak tahun 2007. Hampir semua orang tidak tahu pasti tentang keberadaan Munawar sekarang, apakah dia sudah pindah tugas ataukah hanya pergi sesaat. Ketidakpastian ini karena selama tinggal di Desa Klepu, dia tercatat sebagai penduduk Desa Klepu, tapi ketika keluar, dia tidak meminta surat pindah.61 Perginya Munawar tidak berarti konflik sudah selesai. muslim Sambi sudah terbagi menjadi dua kubu. Status tanah wakaf Mbah Sulni tetap diperebutkan. Tidak ada kejelasan status tanah sampai ketika jemaah majid lama yang dikomandoi oleh Karsi, dai DDII pengganti Munawar, merobohkan masjid tersebut karena mendapatkan dana bantuan dari DDII. Perobohan masjid ini jelas mendapat reaksi yang keras dari orangorang yang selama ini kontra-DDII. Suasana yang sudah sekian lama cooling down kini memanas kembali. Dan seperti mengulang kisah sebelumnya, masalah ini tidak cukup sampai di Dusun Sambi, tapi menyeret berbagai pihak di Ponorogo. MUI, DDII, dan NU perlu mengadakan pertemuan untuk mencari solusi terbaik. Hari Selasa, 11 Maret 2008, sekitar pukul 14.00 WIB, ada pertemuan di kantor DDII yang melibatkan DDII, NU (KH. Muhatim Hasan), dan MUI (KH Anshor M. Rusydi). Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk membentuk tim independen yang akan mencari fakta di lapangan. Akan tetapi, besoknya, Rabu, 12 Maret 2008, orang-orang DDII langsung memutuskan untuk datang ke Sambi dan menyelesaikan masalah sebagaimana yang digambarkan di atas. Ahli waris wakif sudah menunggu sejak pukul 10.00 WIB karena dikatakan kepada mereka bahwa pengurus DDII Ponorogo akan datang 61 Penjelasan dari Kepala Desa Klepu, wawancara pada 13 Februari 2008. TRAGEDI KABEL MIK 123 di waktu tersebut. Suwito sendiri baru datang pukul 12.30 WIB karena dia baru diundang oleh Karsi pagi hari sebelum pertemuan tersebut dan dikatakan bahwa pertemuan akan dilaksanakan pukul 12.30 WIB. Rombongan DDII Ponorogo yang terdiri atas Hisyam, Wayan, dan Kiai Juwaini baru hadir di lokasi sekitar pukul 15.15 WIB. Setelah salat Asar, pertemuan baru dimulai.62 I. Catatan Penutup Partomo sering berpikir sendiri. Sambil melakukan apa saja, ia selalu berupaya cari solusi. Dia pernah dikasih tahu seorang kiai bahwa segala macam kesulitan yang tidak bisa diputuskan dengan akal, hendaknya dikembalikan ke Allah, alQuran. Tapi dia juga berpikir, bagaimana caranya kembali ke al-Quran.63 Cara berpikir orang seperti Partomo menunjukkan ciri khas masyarakat tradisional di mana konflik sosial bisa diselesaikan dengan merujuk pada nilai-nilai bersama sebagai basis integrasi sosial. Agama dipahami Partomo sebagai instrumen darimana nilai-nilai bersama tersebut berasal. Hal yang tidak disadari Partomo adalah, dia harus mengarungi jaring-jaring hermenutis ketika ingin kembali kepada al-Quran atau Hadis. Akan menjadi naif bagi seseorang untuk memperlakukan agama sebagai entitas telanjang yang bisa berbunyi sendiri. Sejauh agama dijadikan sebagai rujukan untuk menyelesaikan masalah, maka wujud agama itu ada pada kitab suci. Berbicara tentang kitab suci, maka ia tidak berbicara dengan dirinya sendiri. Kitab suci selalu berbicara dari sudut pandang pembacanya. 62 63 Wawancara dengan Suwito, 20 Maret 2008. Wawancara dengan Partomo, 8 Maret 2008. 124 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Inilah problem hermeneutis yang tidak dipahami oleh Partomo sehingga dia terus bertanya-tanya mengapa nasihat agung “kembali kepada Allah (al-Quran dan Hadis)” tidak bisa diterapkan di lapangan. Suara kitab suci selalu sesuai dengan suara orang yang membacanya. Al-Quran menyediakan dirinya untuk menjadi pembela DDII atau NU, tergantung pada kepentingan yang menjadi stand point seorang reader. Makna kitab suci selalu dibangun atas dasar pemaknaan reader atas teks. Berbagai asumsi awal, sudut pandang, estimasi, dan kepentingan pembaca akan menentukan maknanya. Makna teks dilahirkan dari fusi antara the horizon of reader dan the horizon of text. Sehingga, interpretasi tidak semata-mata mereproduksi makna, tapi juga memproduksi makna. Dalam proses inilah makna dimunculkan.64 Tidak harus terjebak ke dalam perspektif Marxian yang memandang agama semata-mata epifenomenon dari kepentingan kelas penguasa (borjuis),65 tapi yang perlu disadari adalah bahwa setiap kelompok memiliki kepentingannya sendiri-sendiri, baik kelas penguasa maupun kelas tertindas, dalam memaknai agama. Oleh karena itu, maka menurut Weber, tidak mungkin untuk mendefinisikan agama sejak awal.66 Menjadi tidak penting untuk mendefinisikan esensi agama karena yang lebih penting adalah memahami fungsi agama dalam kehidupan manusia. Ini berarti tidak mungkin melepaskan agama dari kepentingan riil manusia dalam menjalani kehidupannya. Berbicara tentang kepentingan kelompok, kita akan melangkah kepada pembicaraan tentang konflik sosial berbasis Hans Georg Gadamer, Truth and Methode (London: Sheed and Ward, 1975), h. 264. 65 Lihat Karl Marx & Frederich Engels, Collected Works, vol. 3 (London: Lawrence & Wishart, 1976). 66 Max Weber, The Sociology of Religion (Boston, MA: Beacon, 1963), h. 1. 64 TRAGEDI KABEL MIK 125 agama. Yang tidak disadari Partomo adalah bahwa agama juga bisa menjadi sumber disintegrasi sosial. Ketika agama sudah mewujud menjadi sebuah lembaga (organized religion), maka agama justru akan menjadi sumber disintegrasi sosial. Setiap kelompok agama akan memperkuat solidaritas internalnya sambil terus berusaha untuk memperluas cakupan keanggotaannya. Ini bisa terjadi antaragama yang berbeda maupun internalagama yang sama. Adanya kelompok yang berbeda tidak selalu mengandaikan terjadinya konflik. Konflik terjadi apabila kelompok yang berbeda tersebut sedang berebut untuk menguasai sesuatu. “Sesuatu” di sini bisa berupa legitimasi kepemimpinan dalam sebuah kelompok. Legitimasi kepemimpinan ini terkait dengan nilai-nilai. Jika nilai-nilai suatu kelompok menjadi ideologi atau nilai yang dijadikan sumber rujukan oleh komunitas, maka kelompok tersebut (atau tokohnya) dengan sendirinya akan menjadi pemimpinan moral komunitas tersebut. Kepemimpinan kelompok tersebut atas komunitas akan semakin kokoh.67 “Sesuatu” juga bisa berupa barang material yang kepemilikannya sedang diperebutkan. Alasan konflik tersebut bisa hadir sebagian atau semuanya. Studi Peter M. Blau68 menyatakan bahwa skala konflik tergantung pada banyak tidaknya faktor yang bertentang di antara kelompok-kelompok konflik. Konflik akan terjadi sangat intens dan akut apabila semua unsur yang membedakan antar kelompok tersebut hadir pada saat yang bersamaan. Yang perlu ditambahkan di sini adalah bahwa konflik akan intens dan akut apabila dia dimasuki oleh orang dari luar masyarakat di mana konflik ini terjadi. Orang luar memiliki Max Weber, The Sociology of Religion, h. 216. Peter M. Blau, Inequality and Heteroganity: A Primitive Theory of Social Structure (New York: The Free Press, 1977). 67 68 126 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA kepentingannya sendiri yang tidak mesti sesuai dengan kepentingan masyarakat. Kehadiran orang luar akan terus menyuntikkan kepentingan berdasarkan kelompoknya yang ini berarti semakin memperdalam konflik. Ini berarti mempersulit upaya damai. Kehadiran orang luar menyeret konflik dalam sebuah masyarakat melampaui kepentingan di luar masyarakat yang bersangkutan. Jika masyarakat berkepentingan menjaga integritas bersama, maka kepentingan orang luar adalah mendukung kelompoknya. Masyarakat Dusun Sambi sekalipun sudah terbagi ke dalam dua kelompok keagamaan, masih memungkinkan untuk menyelesaikan perselisihan dengan merujuk pada sentimen integrasi sosial karena bagaimanapun juga masyarakat Sambi tetaplah sebuah masyarakat rural. Akan tetapi, ketika sudah kemasukan unsur luar, merujuk pada kepentingan bersama masyarakat secara eksklusif hampir tidak mungkin lagi bisa dilakukan karena ini tidak semata-mata menyangkut kepentingan masyarakat Sambi, namun kepentingan kelompok yang bertikai yang jaringannya berada di luar batas-batas geografis dan nilai-nilai normatif masyarakat Sambi. Di samping itu, konflik keagamaan akan terjadi jika mereka langsung terlibat dalam perebutan simbol keagamaan material yang sama. Di sini, dua kelompok keagamaan memiliki kepentingan untuk menguasai simbol keagamaan yang sama sehingga mereka berhadapan secara langsung. Ini dapat menjelaskan mengapa umat Katolik dan umat Islam Klepu tidak terlibat dalam konflik terbuka, begitu juga mengapa DDII Dusun Sambi tidak berkonflik dengan NU Dusun Jogorejo. Hal ini karena keduanya tidak berhadapan untuk memperebutkan simbol-simbol keagamaan secara langsung. TRAGEDI KABEL MIK 127 Mengandaikan masyarakat Sambi sebagai masyarakat urban jelas sebuah kesalahan, tapi mempersepsi masyarakat Sambi sebagai simple society yang terintegrasi dalam kesatuan yang mantap juga tidak benar.69 Kehadiran DDII telah meletakkan Sambi menjadi bagian dari jaringan organisasi yang lebih besar. Memang, sampai sebelum tragedi kabel mik terjadi, keretakan tidak muncul secara jelas, tapi ini hanya soal waktu. Begitu perbedaan diangkat ke permukaan dengan semangat ingroupoutgroup, jadilah muslim Sambi tidak lagi satu komunitas keagamaan. Masyarakat Musim Sambi mulai menghadapi diferensiasi sosial berdasarkan keyakinan keagamaan. Kohesi sosial tidak bisa lagi diasalkan pada conscience collective (kesadaran bersama) dan berbagi simbol dan ritual keagamaan bersama. Mungkin masih ada conscience collective, namun ia semakin lemah dan tidak memiliki daya paksa seperti sebelumnya. “Common beliefs and rituals now appear to be residual and ineffective,” jelas Turner70 Dalam masyarakat seperti ini, penyelesain konflik tidak cukup hanya dengan merujuk pada nilai-nilai normatif bersama karena kenyataannya mereka sudah menjadi kelompok-kelompok dengan basis normatif sendiri-sendiri. Mungkin konflik skala kecil masih bisa diselesaikan dengan merujuk pada sentimen kebersamaan sebagai sebuah masyarakat. Tetapi, kalau konflik sudah terbuka dan melibatkan aktor-aktor dan lembagalembaga di luar masyarakat tersebut, maka konflik harus diselesaikan berdasarkan hukum positif. Konflik sosial harus diseleTeori Durkheim tentang dua jenis solidaritas—mekanis dan organis— yang mengarakteriasi dua jenis masyarakat—rural/simple society dan urban society—sudah menjadi teori klasik. Lihat Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (New York, 1964). 70 Bryan S. Turner, Religion and Social Theory (London: SAGE Publications, 1991), h. 49. 69 128 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA saikan berdasarkan aturan bersama yang mengikat (legal restraint). Penyelesaian konflik Masjid Baitul Mukminin antara DDII dan NU harus merujuk pada dokumen hukum tentang status wakaf awal. Semua orang harus tunduk pada hukum tanpa memedulikan keyakinan. Keputusan hukum itulah yang harus ditaati oleh semua pihak. Fungsi Kepala dusun salah satunya adalah mengawasi ditaatinya keputusan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Bisa dimaklumi jika orang seperti Partomo gamang untuk melangkah. Di satu sisi, dia mengakui bahwa jalan efektif adalah jalur hukum, tapi di sisi lain, dia tetap menghendaki untuk menyelesaikan dengan merujuk pada sentimen kebersamaan sebagai satu komunitas.71 Kegamangan ini menunjukkan bahwa masyarakat Sambi di satu sisi adalah masyarakat desa, sedang di sisi lain, ia sudah terhubungkan dengan kehidupan kota yang terdiferenasi sedemikian rupa. Dalam masyarakat seperti ini, konflik kecil dan berlingkup masyarakat itu sendiri mungkin masih bisa diselesaikan dengan merujuk pada common values, namun kalau sudah terbuka dan melibatkan aktor luar, maka penyelesaian berdasarkan hukum adalah jawabannya.[] 71 Wawancara dengan Partomo, 8 Maret 2008. Menyingkap Tabir Kasus Penyerangan Tarekat Naqsabandiyah di Bulukumba SAMSURIJHAL AD’HAN A. Pendahuluan Di benak pemeluknya, agama adalah rahmat bagi seluruh umat manusia, bahkan untuk alam semesta. Agama dianggap sebentuk pelembagaan nilai-nilai dan norma untuk menciptakan aturan agar umat manusia dalam hidupnya bisa damai.1 Namun dalam realitasnya bisa lain sama sekali. Di tubuh Islam sendiri sering terjadi konflik di antara kelompok-kelompok Islam sendiri.2 Al-Ashmawy menyatakan, selain mentauhidkan Tuhan, semua agama pada esensisnya juga merupakan pelembagaan nilai-nilai kebaikan, rahmat dan kedamaian. Lihat Mohammad Said al-Ashmamy (terj), Jihad Melawan Islam Ekstrem (Jakarta: Desantara, 2002), h. 84. Untuk konteks Islam, hal ini dijabarkan lebih detil oleh salah seorang ahli fikih Timur Tengah dari daerah Magrib, Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H). Menurutnya, anna wudli’a asysyarâ`i innamâ li mashâlih al-`ibâdi fi al-`âjil wa al-âjil (Syariat adalah kemaslahatan hamba (manusia) baik di dunia maupun di akhirat). Lihat Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari`ah (Beirut: Dar al-Ma’rifah; t.t), Vol-II, h. 6. 2 Lihat Abd. Moqsith Ghazali, “Nestapa Konflik Internal Umat Islam,” www.islamlib.com, 14 Maret 2006. 1 130 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Dengan meminjam temuan dari Ted Gurr,3 tampaknya konflik dalam tubuh Islam ditimbulkan oleh banyak faktor. Di antaranya sama dengan pemicu konflik lain seperti konflik etnis. Salah satu faktor yang disebut Ted Gurr itu adalah proses transisi demokrasi. Negara-negara yang sedang dalam fase ini rentan mengalami konflik kekerasan. Penguatan civil society dalam konteks ini kadang dimaknai masyarakat sebagai kekuatan untuk mengontrol dan mengawasi yang lain. Dalam internal Islam kelompok mainstream kadang berfungsi menjadi pengontrol terhadap kelompok Islam lainnya. Kelompok mainstream ini melakukan pembatasan-pembatasan dan pengekangan terhadap kelompok lain yang minoritas. Penyebab lain yang bisa memicu konflik dan kekerasan adalah kebijakan negara yang diskriminatif. Ini salah satu persoalan cukup krusial. Peraturan negara membuat sesuatu yang diskriminatif menjadi legal dan pada akhirnya mendorong masyarakat lainnya melakukan tindakan tertentu terhadap kelompok yang dinyatakan negara sebagai kelompok yang tidak sah itu. Dalam konteks ini, fatwa-fatwa ulama bisa dimasukan dalam kategori ini. Meski tidak otomatis merepresentasikan negara tapi fatwa-fatwa mereka belakangan sering dianggap sebagai bagian dari pernyataan negara, khususnya bila fatwa itu keluar dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam beberapa kasus kekerasan agama tidak dapat dipungkiri kebijakan negara semacam ini telah mendorong lahirnya konflik dan kekerasan. Penyebab lain yang tidak bisa disepelekan adalah kepentingan politik dan ekonomi. Hal ini bisa berkaitan dengan kepentingan penguasa ataupun kelompok-kelompok tertentu. Kelompok-kelompok itu berebut ekonomi dan kekuasaan dengan mengatasnamakan agama sehingga memicu konflik. Dikutip dalam Jack Snyder, From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict (New York: WW Norton and Company, 2000), h.20. 3 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 131 Dengan mengikuti berbagai faktor yang ditunjuk Gurr dalam penyebab konflik, tulisan ini akan coba melihat latar belakang dan aktor-aktor yang terlibat dalam kasus kekerasan terhadap Naqsabandiyah di Bulukumba, tepatnya di Bontobahari, desa Sapo Lohe, Tanah Beru yang meledak pada Nopember 2007 B. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dalam metode ini peneliti mengandalkan sumber data dari tangan pertama dan berpartisipasi langsung dalam kehidupan sehari-hari sebagai observer. Penelitian dilakukan selama dua bulan. Satu bulan di antaranya digunakan untuk mencari data yang dilakukan dengan mengumpulkan beberapa dokumen terkait, selain wawancara mendalam ke sejumlah tokoh terpilih yang mewakili Tarekat Naqsabandiyah, pemerintah, agamawan, tokoh masyarakat lokal, dan kelompok-kelompok Islam. Selain itu melakukan rekaman peristiwa dalam bentuk catatan lapangan harian yang dibuat peneliti untuk menafsirkan tindakan-tindakan sosial dari subyek yang diteliti. Terakhir pengumpulan data juga dilakukan dengan cara FGD (focus group discussion) yang menghadirkan beberapa kelompok keagamaan beserta aliran tarekat yang ada di Sulsel. Lebih lanjut harus diakui bahwa penelitian mengenai Naqsabandiyah, tentu saja bukanlah yang pertama. Sebelumnya banyak penelitian dengan tema serupa. Salah satunya penelitian yang dilakukan Martin van Bruinessen yang menulis tentang sejarah pergulatan tarekat ini. Demikian halnya dengan tema konflik agama mengingat konflik agama di Indonesia memang cukup sering terjadi. 132 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Meski demikian penelitian Naqsabandiyah di Bulukumba ini tetap signifikan karena memotret kasus yang lebih mikro. Tidak sekedar menggambarkan keberadaan Naqsabandiyah di Bulukumba, penelitian ini juga berupaya mendeskripsikan bagaimana kecenderungan adanya kekerasan kelompok tertentu terhadap kelompok minoritas di tubuh Islam. Penelitian ini juga berupaya memetakan aktor-aktor yang bermain dan berkepentingan dalam kasus kekerasan, khususnya kekerasan yang terjadi dengan Tarekat Naqsabandiyah ini. Pemetaan ini penting sebab dengan demikian kita bisa memahami akar-akar kekerasan yang terjadi di internal Islam, khususnya di wilayah Sulsel. Penelitian ini pada akhirnya membuktikan bahwa peran-peran organisasi agama bercorak fundamentalis dengan ideologi Wahabi, nampak cukup berpengaruh dalam tindak kekerasan itu. Jadi tidak hanya negara dengan kebijakannya yang diskriminatif, atau fatwa MUI yang juga diskriminatif, yang dapat memicu kekerasan, melainkan kelompok tertentu dalam Islam juga bisa menjadi pendorong lahirnya kekerasan tersebut. C. Bontobahari, Tanah Beru: Tanah Para Panrita Kecamatan Bontobahari terletak di daerah timur Bulukumba. Kira-kira berjarak 20 kilometer dari ibukota kabupaten. Perjalanan ke sana dapat ditempuh selama 30 menit dari ibukota kabupaten. Berkunjung ke daerah ini cukup menyenangkan. Di sepanjang jalan kita bisa menyaksikan tambak dan sawah-sawah yang menghijau silih berganti. Meski letaknya di dataran rendah dan merupakan daerah pantai namun Tanah Beru, Bontobahari, ini jauh dari kesan gersang sebagaimana daerah lain yang berada di pinggir pantai. Di sekeliling tambak nampak tumbuh-tumbuhan yang menghijau. Sedikit ke arah MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 133 selatan kita akan mendapatkan perkebunan cokelat dari para petani di daerah ini. Daerah yang luasnya sekitar 108,60 kilometer persegi ini memang tidak hanya dikenal sebagai daerah nelayan, tapi juga daerah pertanian. Profesi masyarakatnya tidak hanya menjadi nelayan tapi juga ada yang menjadi petani.4 Namun, meski daerah ini berpenduduk 22. 531 jiwa berprofesi sebagai petani dan nelayan,5 namun yang terkenal keluar, bahkan sampai ke mancanegara adalah keahlian penduduknya sebagai pembuat perahu pinisi. Karena keahlian inilah Bulukumba kemudian dikenal sebagai Butta Panrita Lopi (tanah tempat para ahli pembuat perahu). Di pinggir jalan di daerah ini, di sisi pantai nampak perahu-perahu pinisi itu yang sedang dalam proses pembuatan. Membuat perahu semacam ini, tentu saja membutuhkan keahlian yang luar biasa. Bayangkan perahunya dibuat dari kayu, biasa disebut dengan na’nasa, yang sudah dirancang sedemikian rupa untuk tahan berlayar dalam waktu lama. Beberapa di antaranya bahkan sampai ke luar negeri. Salah satunya adalah Amanna Gappa, yang berlayar sampai ke Madagaskar. Meski daerah Tanah Beru, Bontobahari, ini memiliki daerah pertanian namun budaya yang dominan adalah budaya bahari. Budaya bahari inilah yang mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Ini misalnya terlihat dari karakter dasar penduduk yang tidak mudah dikuasai dan tidak mengenal sistem Lihat “Bulukumba dalam Angka 2003”, Badan Pusat Statistik, Bulukumba, 2003, h.3. 5 Penduduk di daerah ini pada tahun 2003 berdasarkan jenis kelamin, laki-laki 10.184 jiwa dan perempuan 12.347 jiwa. Laju pertumbuhannya menempati urutan ketiga di Bulukumba setelah Ujungbulu dan Kindang. Terjadi peningkatan jumlah penduduk tiap tahunnya. Pada tahun 2000 jumlahnya 21.195 jiwa, tahun 2001 menjadi 21.354 jiwa, tahun 2002 sebanyak 21.538 jiwa dan pada tahun 2003 sekitar 22.531 lihat “Bulukumba dalam Angka 2003”, h. 42-43. 4 134 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA hirarki yang ketat. Kesetaraan nampak menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Meski strata Karaeng, Andi, Etta (sebutan untuk kalangan bangsawan Bugis-Makasar) dan kalangan biasa tetap ada, namun dalam pergaulan sehari-hari hal itu tidak berlaku ketat. Bahkan ditengarai gelar-gelar kebangsawanan di daerah ini baru muncul setelah proses interaksi dengan masyarakat di daerah Bugis-Makasar lainnya. Kebudayaan bahari nampak pula mewarnai dalam kehidupan ritual masyarakat ini. Dimana ritual didasarkan dalam kaitan masyarakat ini dengan laut, bukan dengan tanah seperti pada masyarakat kontinental yang lain. Kalau pada masyarakat kontinental, dikenal ritual yang berkaitan dengan penanaman padi, misalnya Mappalili (ritual sebelum turun ke sawah), Mapatinro Benne (ritual sebelum benih padi disebar) dan Mappadendang (acara rital setelah panen padi), maka pada masyarakat Bontobahari ini ritual dikaitkan dengan proses pembuatan perahu pinisi. Mulai dari perahu ini dibuat, selesai buatatan hingga siap untuk dilepas berlayar ke lautan. Tak ada penjelasan memadai yang saya temukan mengenai ritual masyarakat Bontobahari berkaitan dengan laut ini. Namun yang pasti mereka sangat akarab dengan ritual yang berkaitan dengan tradisi lokal dan berbau mistik. D. Proses Islamisasi: Penuh dengan Nuansa Tasawuf Apalagi bila merujuk pada penyebaran Islam awal di sekitar Bontobahari ini, nuansa mistik, tarekat dan tasawuf sangat kental mewarnai proses penyebaran itu. Di Bontotiro misalnya, daerah tetangga Bontobahari. Islam yang disebarkan oleh Datuk ri Tiro menggunakan metode tasawuf. Metode ini dipilih Datuk ri Tiro karena ia memang memiliki kapasitas dalam pendekatan tersebut. Di samping itu Datuk ri Tiro juga MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 135 paham bahwa daerah yang menjadi sasaran dakwahnya adalah daerah di mana masyarakatnya kental dengan nuansa ilmu kebatinan dan mistik. Untuk lebih jelasnya tentang proses islamisasi di daerah ini maka perlu diuraikan lebih detail sejarah awal islamisasi di daerah Tiro, Kajang, Ara lalu masuk ke daerah Bontobahari. Ketiga daerah ini pada awalnya satu kesatuan, yaitu berada di bawah naungan Kerajaan Tiro. Adapun daerah pertama yang didatangi Khatib Bungsu (kemudian lebih dikenal dengan Datuk ri Tiro) adalah kerajaan Tiro. Di sanalah pertama-tama pusat pengembangan Islam, khususnya di tempat yang bernama Hila-Hila. Dari sini kemudian proses pengembangan dakwah yang dilakukan Datuk ri Tiro melebar ke beberapa daerah, misalnya pengembangan pertama adalah Cabogo, lalu ke bagian selatan ke Kampung Kalumpang, masih dalam wilayah Tiro. Setelah itu semakin berkembang bahkan sudah menjangkau keluar daerah misalnya daerah Bantaeng dan meyeberang ke Tanah Doang (Selayar). Pengembang berikutnya adalah guru Langkasa, sesorang yang dalam cerita masyarakat dianggap sebagai murid dari Datuk ri Tiro. Guru Langkasa ini mempunyai dua anak yang sekaligus juga menjadi pengembang ajaran Islam yaitu Sulaiman dan Hasan Tunggal. Dalam versi Mattulada, kedatangan Islam di daerah Gowa, direspon oleh Amma Toa. Saat itu Amma Toa beserta pembantunya mengadakan rapat membicarakan kedatangan agama baru ini. Hasil rapat itu memutuskan mengutus beberapa orang untuk mempelajari Islam, yaitu Janggo Toa, ke Luwu belajar pada Datuk Patimang di sana ia belajar bersyahadat, tata cara peyembelihan hewan, sedekah dan khitan. Janggo to Jarra ke Wajo belajar di sana untuk melengkapi pengetahuan tentang Islam dan juga belajar mengenai rukun Islam. Sementara Tu Asara Daeng Mallipa dikirim ke Gowa. Di antara 136 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA ketiganya hanya ajaran yang diterima Janggo Toa dari Datuk Patimang yang diterima Amma Toa. Sedangkan ajaran yang diterima dari Janggo to Jarra dan Tu Asara Daeng Mallipa ditolaknya karena dianggap merusak kesakralan ajaran yang ada di tanah Toa Kajang. Pendapat ini justru memperlihatkan bahwa masuknya Islam di Bulukumba justru bukan dibawa oleh Datuk ri Tiro, tapi orang lokal sendiri yang belajar keluar.6 Versi lain dari A.A. Cence, The Patuntungs in the Mountains of Kajang menyebut, bahwa masyarakat Kajang telah bersentuhan dengan ajaran Islam Karaeng Matoa yang biasa disebut juga dengan Janggo Toa Kajang ketika ia diutus ke Bulo-Bulo untuk mempelajari Islam. Ajaran yang didapatkannya adalah sikkiri, kalatting, sembajang dan takkang jeko (tongkat yang dipakai ketika khutbah). Ketika Janggo Toa Kajang telah memeluk Islam dan menerima beberapa ajaran agama ini ia tetap masih terus makan babi, maka dianggap bahwa ini adalah bentuk ketidaksempurnaannya ajaran Islam yang diterima oleh Janggo Toa. Akhirnya posisi Janggo Toa Kajang ini digantikan guru Patuntung dalam memimpin upacara ritual potong rambut seorang anak yang diadakan oleh Karaeng Kajang. A.A Cence juga menceritakan bahwa di masa-masa awal kedatangan agama Islam, terjadi perbincangan antara Ada’ Limayya dengan Amma Toa yang saat itu dijabat Bohe Kato. Hasil pembicaraan itu Bohe Kato mengirim tiga utusan dari Lembang untuk belajar Islam di Gowa, mereka adalah To Asara, Tomi’di dan Tonasiba. Di daerah Gowa, tepatnya di Bonto Langkasa mereka mendapatkan ajaran Islam yang berkaitan dengan Puasa, kallong karambu (tata cara pemotongan kerbau), kalatting (talking), nikah, sambajang (sembahyang), ”Mattulada” dalam majalah Bingkisan, Ujungpandang Yayasan Kebudayaan Sul-sel, 1977, h. 21; juga dalam Dr.Samiang Katu, Pasang ri Kajang: Akomodasi Islam dengan Budaya lokal Sul-sel, (Makasar: PPIM;2000), h. 28 6 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 137 sikkiri (zikir), Korang (al-Quran), katuba (khutbah), poke pangka (tombak bercabang), sakka pittara (zakat fitrah).7 Setelah kedatangan ketiga utusan ini membawa ajaran Islam, diceritakan bahwa Amma Toa, saat itu bernama Bohe Kato, kemudian memeluk agama Islam. Setelah itu dia digelari dengan Bohe Sallang. Pada saat itu masyarakat Tanah Toa merasa bahwa Islam sudah diterima di daerahnya. Mereka pun menerima agama ini. Di masyarakat sendiri ada cerita tentang awal mula islamisasi di Bulukumba yang dimulai dari Kajang. Syahdan, kedatangan Datuk ri Tiro diketahui Amma Toa. Amma Toa juga mengetahui bahwa Datuk ri Tiro ini datang membawa ajaran baru. Selain itu Datuk ri Tiro juga diketahui memiliki ilmu yang tinggi. Lalu diundanglah Datuk ri Tiro untuk mengetahui maksud dan tujuan serta ajaran apa yang dibawanya. Akhirnya terjadilah dialog yang menarik antara keduanya. Dialog itu seputar hakikat ketuhanan dan hakikat diri manusia. Dalam dialog yang sifatnya saling menjajal kedalaman pengetahuan itu diceritakan berakhir imbang. Pertarungan lalu dilanjutkan untuk menjajal kesaktian masing-masing. Datuk ri Tiro lalu menyusun telur sampai tingginya melewati puncak rumah. Namun Amma Toa sendiri menunjukkan kesaktiannya dengan mengambil telur itu mulai dari tengah, dan telur itu tetap tersusun, tidak ada yang jatuh. Pertarungan lalu dilanjutkan mereka berdua melompat ke pelepah pohon kelapa, dan Datuk ri Tiro berdiri di atas pelepah itu, sedangkan Amma Toa berdiri di bawahnya dengan kepala menghadap ke tanah. Setelah pertarungan ini, mereka lalu beristirahat di bawah pohon kelapa tersebut. Dan Amma Toa bertanya kepada Datuk ri Tiro apakah ia ingin minum air kelapa. Datuk ri Tiro mengiyakan, 7 h. 2 A.A.Cence, The Patuntungs in the Mountains of Kajang, (Makasar: 1931), 138 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA lalu Amma Toa tanpa memanjat berhasil mendapatkan beberapa butir pohon kelapa, dia hanya menunjuk buah kelapa di pohonnya dan kelapa itu jatuh ke tanah. Datuk ri Tiro tersenyum, lalu berkata: “kenapa-susah-susah menjatuhkan kelapanya ke tanah”. Datuk ri Tiro lalu berdiri dan melambaikan tangannya kearah pohon kelapa. Pohon itu tiba-tiba merunduk, lalu dengan gampang Datuk ri Tiro memetik buah kelapa tersebut.8 Di daerah Ara, yang dulu pernah berada di bawah naungan Tiro, tepatnya sebelah selatan dari daerah Bontobahari, juga dikenal bercorak Islam bernuansa tasawuf dan mistik. Sekitar tahun 1950 di daerah tersebut terdapat tokoh bernama Bakka Tera. Tokoh yang konon menantu Karaeng Mamampang ini adalah tokoh yang dikenal sebagai waliyullah dengan berbagai ajaran sufistiknya. Tokoh ini dihormati, kuburannya selalu dikunjungi banyak orang. Di Tanah Beru, Bontobahari, sendiri pada tahun 19501970, masyarakat amat mengenal Syekh Yusuf, bahkan terkesan memujanya. To Kambang, salah seorang ahli spritual yang ada di daerah itu menjadi penghubung masyarakat dengan Syekh Yusuf. Dia merasa sering didatangi Syekh Yusuf dalam tidurnya. Bila masyarakat daerah ini memuja Syekh Yusuf, berarti di daerah inipun kental dengan tarekat, khususnya tarekat khalwatiyah yang dikembangkan Syekh Yusuf atau ajaran Insan Kamil yang juga dikembangkan para muridnya. Memang proses puritanisasi Islam juga gencar dilakukan ke daerah ini sejak dulu kala. Pada abad ke-19 dengan terbukanya jaringan pelayaran di dunia. Akses orang-orang Bugis-Makasar untuk bersentuhan langsung dengan tempat kelahiran 8 Wawancara Galla Puto di Kajang, 28 September 2004 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 139 Nabi Muhammad menjadi terbuka. Pada masa itu dikenal ulama besar bernama Akhmad Khatib yang menjadi Imam besar di Masjidil Haram. Ulama ini dikenal sebagai penganjur pembaharuan Islam yang juga dikembangkan para muridnya di Indonesia. Misalnya praktik ajaran pemurnian Islam yang Muhammad Djamil Jambek dan Ahmad Dahlan, dua muridnya. Arus pembaruan Islam tersebut juga sampai ke Ara, Tanah Beru dan sekitarnya dibawa oleh seorang pandai emas bernama Panre Abeng. Terjadi sekitar tahun 1890. Setelah menikahi perempuan bangsawan setempat, Panre Abeng mulai melancarkan misi puritanisasinya. Dia mulai melancarkan serangan terhadap praktik-praktik yang dianggapnya berbau animisme. Proses puritanisasi ini dilanjutkan anaknya, Gama Daeng Samana, sejak 1915 hingga 1954. Ia membenci pemujaan terhadap Karaeng Mamampang. Gama ini dikenal pula loyal terhadap Belanda. Meski melakukan proses pemurnian Islam, baik Panre Abeng maupun Gama Daeng Samana sebenarnya tidak seratus persen meninggalkan keyakinan-keyakinan mistik dan tasawuf. Buktinya meski ia membenci pemujaan terhadap Karaeng Mamampang, namun tetap melakukan pemujaan terhadap Bakka Tera yang dianggap keturunan Karaeng Mamampang. Ini karena pandangan bahwa pemurnian Islam sebagaimana yang dilakukan di Aceh misalnya, tidak akan bisa berhasil diterapkan di Ara, Tanah Beru dan sekitarnya di mana budaya sosial keagamaan masyarakat sangat kental dengan nuasa semacam itu. Hal itu terbukti. Saat kelompok DI/TII datang ke daerah ini dengan membawa misi pemurnian agamanya, toh gerakan inipun tak mampu menghapus tuntas kepercayaan masyarakat lokal di Tanah Beru, termasuk tata cara keberagamannya. Sampai saat ini di Tanah Beru masih ada orang-orang yang dianggap mampu menjadi penghubung dengan Syekh Yusuf. 140 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Saat ini penduduk Tanah Beru, Bontobahari, yang memeluk Islam sebanyak 21.155. Lainnya, Kristen Protestan tiga orang, Katolik tiga orang, dan seorang Buddha serta seorang dengan kategori selain itu.9 Mayoritas pemeluk Islam ini adalah masyarakat yang tetap percaya dengan ilmu-ilmu kebatinan, meski pola keberislaman di daerah ini sudah mulai banyak berubah. Maka ketika tahun 2005 mulai Tarekat Naqsabandiyah muncul, banyak masyarakat Tanah Beru yang tertarik. Mereka merasa nalar keagamaan yang dikembangkan tarekat itu dekat dengan pemahaman keislaman yang selama ini sudah dipraktikkan. Sejak 2005-2007, tarekat ini banyak diikuti masyarakat setempat. A. Putra Wangsa, seorang pengikut tarekat ini menyatakan, ada 93 orang yang sudah terdaftar menjadi jemaah Naqsabandiyah. Itu tidak termasuk yang belum terdaftar. Di Bontotiro, daerah tetangga, ada sekitar 126 orang tercatat sebagai pengikut tarekat ini.10 Perkembangan jumlah jemaah tarekat relatif pesat dibanding dengan organisasi Islam lainnya. Kemunculan tarekat ini dan antusisme masyarakat menunjukkan seperti apa sesungguhnya nalar keislaman yang umum masyarakat di Tanah BeruBontobahari, mengingat sejarah islamisasi di wilayah ini kental bernuansa tasawuf. Bahkan bisa kita katakan nalar keislaman yang membentuk masyarakat di daerah ini adalah nalar Islam tasawuf dan tarekat. A.A.Cence, The Patuntungs, h. 105 Penjelasan ini sama dengan yang disampaikan pihak Kapolsek Bontobahari, meskipun salah satu anggota dari kepolisian ini tampak ragu dengan data tersebut. Wawancara Salah satu anggota kepolisian Resort Bontobahari (tidak mau disebutkan namanya), dilakukan pada 25 Januari 2009. Wawancara dengan Putra Wangsa, pada 30 Januari 2009. 9 10 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 141 E. Naqsabandiyah di Bulukumba Tarekat Naqsabandiyah ini didirikan oleh Syekh Muhammad Ibn Muhammad Baha’uddin al-Uwisi al-Bukhari anNaqsabandiyah berdasarkan tradisi al-Khurasani yang dipelopori oleh al-Bisthami. Tarekat ini kemudian mengambil nama Naqsabandiyah, mengambil nama tempat tinggal Syekh Baha’uddin, yaitu Naqsabandi. Pendapat lain mengungkapkan, kata Naqsabandiyah ini berarti bekas. Kata ini digunakan menunjuk pada pendiri tarekat ini yang dianggap sekujur tubuhnya berbekas kalimat Allah.11 Selain praktik ibadah sehari-hari, ajaran tarekat ini juga mementingkan zikir kepada Allah SWT. Zikir yang dilakukan oleh pengikut tarekat ini lebih banyak dalam bentuk zikir dalam hati (dzikir bi al-qalbu).12 Di Indonesia sendiri Tarekat Naqsabandiyah dikenal dengan baik oleh kalangan ahli tarekat. Tarekat ini terdiri dari dua aliran, yaitu Naqsabandiyah-Khalidiyah dan Madzariyah. Dalam perkembangan Naqsabandiyah-Madzariyah, sosok Kadirun Yahya tidak bisa diabaikan begitu saja. Selain menjadi perhatian para peneliti, di tangannya pula tarekat ini disesatkan kelompok tertentu di tubuh umat Islam. Tarekat Naqsabandiyah di Bulukumba yang menjadi fokus penelitian kita ini secara geneologis merujuk ke Kadirun Yahya ini.13 Kadirun Yahya ini memang berasal dari keturunan ahli tarekat. Kakeknya dari pihak Bapak adalah Syekh Yahya dan dari Syekh Abdul Mannan dari pihak ibu. Keduanya ahli tarekat yang makamnya juga banyak dikunjungi. Setamat dari pendidikan umum di sekolah Belanda tahun 1943, tidak lama Wawancara dengan Mardianto, salah seorang jemaah Tarekat Naqsabandiyah Bulukumba, 24 Januari 2009 12 ”Kadirun Yahya, Mutiara al-Quran” dalam Capita Selecta tentang Agama Metafisika dan Ilmu Eksakta (Jakarta: LIPTI, 1405 H) 13 Wawancara dengan Mardianto, 24 Januari 2009 11 142 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA setelah pulang ke Sumatera, beliau langsung mendalami ilmuilmu tarekat, khususnya Naqsabandiyah. Kadirun Yahya belajar pada Syekh Syahbuddin Aek Limbung dari Sayur Matinggi (Tapanuli Selatan) mengenai dasar-dasar tarekat. Pada tahun 1947, Kadirun menikah dengan putri Syekh Haji Jalaluddin. Melalui mertuanya yang tinggal di Bukit Tinggi yang merupakan tempat pertemuan syekh-syekh tarekat, Kadirun akhirnya berkenalan dengan Syekh yang kelak menjadi guru utamanya: Syekh Muhammad Hasyim Buayan.14 Dalam waktu singkat Syekh Hasyim mengangkat Kadirun menjadi Khalifah pada 1950 dan dua tahun berikutnya menyatakan sebagai Syekh sepenuhnya dengan gelar “Sidi Syekh”.15 Kelak di kemudian hari Kadirun Yahya yang punya gelar akademik cukup panjang Prof. DR. Haji Sidi Syekh Kadirun Yahya M.Sc, menjado tokoh Naqsyabandiyah yang mempunyai banyak murid di beberapa wilayah Nusantara. Berbekal ijazah dari Syekh Ali Ridia seperti diakuinya, ia mengembangkan Naqsbandiyah ini melalui kajian ilmu-ilmu fisika dan kimia bahkan metafisika dari al-Quran. Beliau telah mendirikan Universitas Panca Budi di Medan, dengan salah satu jurusannya dinamai jurusan Kerohanian dan Metafisika.16 Sekitar Abad ke-17 atau abad ke-18 Tarekat Naqsabandiyah ini juga berkembang di Sulsel. Syekh Yusuf Al-Makasary adalah salah satu tokoh sufi Sulsel yang dianggap memahami tarekat ini. Syekh Yusuf langsung belajar pada salah satu tokoh tarekat ini, yakni Muh bin Abdul Baqi al-Mizjaji. Namun Syekh Yusuf dianggap tidak mengajarkan tarekat ini secara murni lagi. Sebab, yang dia ajarkan adalah tarekat KhalwatiMartin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), h. l48. 15 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah, h. 151 16 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah, h. 148 14 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 143 yah, yang dalam beberapa hal digabungkan dengan Tarekat Naqsabandiyah dan Qadariyah. Dia kemudian mengamanahkan kepada muridnya Basyir al-Dharir yang ada di Rappang untuk mengajarkan Tarekat Naqsabandiyah.17 Di kabupaten Bulukumba sendiri tarekat ini mulai muncul sekitar tahun 1994-1995. Saat itu dai Naqsabandiyah yang mengajarkan tarekat ini adalah Ustadz Ridwan. Pada awalnya masuknya taraket ini di Bulukumba masih dalam bentuk kelompok-kelompok pengajian atau zikir yang digelar dari rumah ke rumah. Saat itu belum didirikan masjid yang khusus untuk pengikut tarekat tersebut agar lebih khusyuk berzikir. Sejak awal kehadirannya banyak masyarakat yang tertarik. Mereka yang bergabung datang dari berbagai kalangan, pegawai, pejabat pemerintah, pedagang, termasuk dari kalangan petani dan nelayan. Jika Khalwatiyah yang berkembang lebih dulu dari desadesa, maka sebaliknya tarekat ini berkembang mulai dari wilayah perkotaan, yaitu BTN I. Di tempat ini Tarekat Naqsabandiyah dipusatkan di Musala Iftiqarul Amin. Di tempat itulah tarekat ini dikembangkan hingga ke beberapa daerah lain seperti Cilibbo, Karubbe, Bontobulaeng dan Lembang. Di kecamatan-kecamatan bahkan sampai pada tingkat desa, tarekat ini juga diterima dengan baik masyarakat. Mardianto menegaskan, kedatangan Tarekat Naqsabandiyah di Bulukumba relatif tidak ada penolakan. Kalangan organisasi keagamaan yang ada saat itu seperti NU dan Muhammadiyah tidak mempersoalkan keberadaan tarekat ini. Seperti halnya Tarekat Khalwatiyah Samman yang diterima baik, demikian halnya Naqsabandiyah. Banyaknya masyarakat yang tertarik masuk ke tarekat ini menurut Mardianto salah satunya karena tarekat ini mengajarAzyumardi Asra, Jaringan Ulama, (Jakarta: Prenada Mulia, 2005) CetII, h. 271 17 144 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA kan bagaimana memahami agama tidak sekedar luarnya saja (eksoteris), tapi menukik sampai ke sisi batin (esoteris) dengan pendekatan ilmu-ilmu alam (fisika). Hal ini jarang ditemukan dalam organisasi keagamaan lain yang berkembang di Bulukumba. Di samping itu, kegersangan spiritual memang melanda banyak kalangan saat ini, khususnya masyarakat kota yang disibukkan dengan berbagai aktivitas duniawi.18 Sekali lagi, perkembangan relatif pesat Tarekat Naqsabandiyah ini agaknya bukanlah hal aneh. Seperti diuraikan sebelumnya, akar sejarah yang cukup kuat perkembangan tarekat di wilayah tersebut adalah salah satu faktor keberhasilannya. F. Munculnya Kelompok Islam Puritan Sejak tahun 2000, sejak kelompok-kelompok tertentu yang sering melakukan tindakan hukum sendiri terhadap orang-orang yang melakukan kriminalitas, corak pemahaman keagamaan di daerah ini mulai beralih dari corak keberislaman seperti yang digambarkan di atas, menjadi model keberislaman yang lebih mengarah pada syariat Islam yang formalistik. Pada tahun 2002 Pemda Bulukumba mulai membuat perda yang disebutnya “Perda Syariat Islam”, diantaranya: Pertama, Perda Nomor 03 Tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Keras. Kedua, Perda Nomor 02 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan Shadaqah. Ketiga, Perda Nomor 05 Tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah. Keempat, Perda Nomor 06 Tahun 2003 tentang Pandai Baca-Tulis al-Quran bagi Siswa dan Calon Pengantin. Selain keempat perda SI tersebut, ada salah satu desa, yaitu desa Padang yang menjadi desa percontohan syariat Islam, mengeluarkan dan memberlakukan peratur18 Wawancara dengan Mardianto, 24 Januari 2009 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 145 an desa (Perdes) Nomor 05 tahun 2006 tentang Pemberlakuan Hukum Cambuk. Kemunculan perda-perda ini oleh sementara kalangan dianggap sebagai bagian dari keinginan masyarakat Bulukumba untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah. Perda ini muncul oleh inisiatif masyarakat Bulukumba melalui tokohtokoh agama. Drs Tjamiruddin menceritakan, pada 2002 dia pernah menghadap Bupati Bulukumba Patabai Pabokori untuk menjelaskan bahwa crash program keagamaan ini penting dilegislasikan. Bupati saat itu langsung setuju dan menyerahkan ke Tjamiruddin bersama tokoh-tokoh agama dan masyarakat untuk menggarap drafnya. Tjamiruddin lalu berkonsultasi dengan bagian hukum di pemda dan didiskusikan dengan tokoh-tokoh agama. Saat itu yang pertama-tama diusulkan adalah dibuatkannya perda minuman keras. Lalu lahirlah Perda Nomor 03 tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Keras. Perda ini pada intinya bukan melarang secara total penjualan minuman keras, hanya membatasi peredaran dan pemakaiannya.19 Menurut Tjamiruddin, perda-perda ini lahir bukan karena dorongan pihak luar seperti KPPSI atau Wahdah Islamiyah dan beberapa organisasi keagamaan lainnya yang berasal dari luar Bulukumba. Itu dianggap murni dari masyarakat. 20 Meski beberapa tokoh agama seperti Tjamiruddin yang juga ketua tanfdziah NU ini menyatakan kemunculan perdaperda ini bukan karena dorongan dari luar, namun jelas kelompok seperti KPPSI memiliki peran cukup besar. Mereka di tetapkan menjadi penasihat atau penggagas pelaksanaan syariat Hal ini dijelaskan baik oleh Tjamiruddin maupun A. Mahrus Andis, staf di Pemda (sekarang pejabat Sekretaris Daerah). Wawancara dengan Tjamiruddin & A. Mahrus Andis, dilakukan pada 11 Desembar 2008 20 Wawancara dengan Tjamiruddin & A. Mahrus Andis, 11 Desembar 2008. 19 146 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Islam di Bulukumba oleh Bupati Bulukumba. Bahkan Bupati saat itu memberikan tempat atau sekretariat bagi kelompokkelompok ini. Sejak saat itu secara jelas pemahaman dan praktik keberagamaan masyarakat mulai berubah. KPPSI bersama dengan beberapa kelompok dan organisasi Islam puritan lainnya, di antaranya yang beraliran Wahabi, mulai memperkuat jaringan mereka. Jika sebelumnya yang lebih populer adalah NU, Muhammadiyah, Darul Istiqamah serta Khalwatiah atau kelompok tarekat lain, maka saat itu yang mulai naik daun adalah kelompok-kelompok seperti Hizbut Tahrir, Hidayatullah, Jemaah Tabligh, Wahdah Islamiyah dan kelompok Jundullah. Kelompok terakhir adalah salah satu organisasi pemuda KPPSI, yang kemudian hari berubah menjadi Pemuda Pengawal Penegak Syariat Islam. Kelompok-kelompok ini bukan hanya aktif dengan pendidikan dan dakwah, tapi juga aktif mengembangkan organisasi dengan mendirikan organisasi-organisasi sayap. Yang terbentuk di antaranya Aliansi Muslim Bulukumba (AMB). Bila sebelumnya yang dikenal puritan dan formalis-literalis hanyalah kelompok Darul Istiqamah, maka saat itu bertambah dengan munculnya kelompok semacam Hidayatullah, Wahdah Islamiyah, Hizbut Tahrir dan Pemuda Penegak Syaraiat Islam. Darul Istiqamah sendiri telah muncul di Bulukumba sejak akhir tahun 80-an. Ini ditandai dengan berdirinya pesantren Istiqamah di Tacorong, Bulukumba, termasuk kehadiran para jemaahnya di desa Anrihua, Kecamatan Kindang (dulu Gangking), khususnya di daerah Pa’bam-Baeng. Saat ini Pesantren dan jemaahnya tetap eksis di Bulukumba, namun kurang berkembang.21 Wawancara Maddi, seorang jemaah Darul Istiqamah di Anrihua, 27 Desember 2008 21 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 147 Hidayatullah dan Hizbut Tahrir adalah organisasi yang baru muncul. Keberadaannya baru dikenal khalayak sekitar tahun 2003. Organisasi ini sendiri belum memiliki sekeretariat yang jelas di Kabupaten Bulukumba, hanya saja orang-orangnya biasanya berafiliasi dengan kelompok fundamentalis lain dalam melakukan dakwah atau gerakan-gerakan keagamaan tertentu.22 Adapun Pemuda Penegak Syariat Islam adalah milisi bentukan KPPSI. Sebelumnya bernama Jundullah, tapi kemudian berubah menjadi Pemuda Penegak Syariat Islam. Selama proses pemberlakuan perda syariat Islam di Bulukumba, kelompok ini merupakan kelompok yang getol mengawasi konsistensi masyarakat menjalankan perda-perda tersebut.23 Darul Istiqamah sendiri sebelum kedatangan kelompok dan organisasi yang lain tadi, meski telah mendirikan tiga pondok pesantren di daerah ini, namun tidak berhasil memengaruhi pemahaman dan model keberagamaan masyarakat di Kabupaten ini. Namun saat ini kemunculan kelompokkelompok dan organisasi keagamaan seperti disebutkan di atas, perlahan tapi pasti berhasil memengaruhi pemahaman dan praktik keberagamaan masyarakat di beberapa daerah di Kabupaten Bulukumba. Selain bermain di level kultural, kelompok ini juga menggarap level struktural. Di tingkat kultural, mereka berusaha menguasai masjid-masjid dan struktur keagamaan masyarakat di desa. Mereka juga berupaya membentuk kelompok dan organisasi kegamaan di kecamatan sampai ke desa. KPPSI ataupun Wahdah Islamiyah misalnya memiliki jaringan bahkan organisasi sampai di tingkat kecamatan. Di level struktural, mereka berupaya memengaruhi kebijakan, atau ikut andil dalam menjaga pelaksanaan perda-perda Wawancara Saleh, aktivis pemberdayaan masyarakat di Bulukumba, 18 Desember 2008 23 Wawancara Saleh 22 148 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA bernuansa syariat Islam. Mereka juga bersinergi dengan Pemda, khususnya di masa Patabai Pabokori dalam menyukseskan pelaksanaan perda bernuansa syariat Islam di desa-desa muslim. G. Aksi Kekerasan Terhadap Kelompok Tidak Sehaluan Proses puritanisasi Islam yang dilakukan kelompok ini tidak hanya memanfaatkan dakwah dan pendidikan, tapi tak tak jarang dengan melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok Islam lain yang dianggap tidak sehaluan. Awal tahun 2006, jemaah Ahmadiyah mereka datangi. Kelompok yang terdiri dari Aliansi Muslim Bulukumba, Pemuda Pengawal Penegak Syariat Islam dan lainnya mendatangi masjid yang ditempati komunitas Ahmadiyah selama ini. Letaknya di ujung Loe.24 Proses ini berlangsung beberapa kali. Sampai akhirnya pada Maret 2006, mereka melakukan penyegelan terhadap masjid Ahmadiyah di Ujung Loe dan mengusir Dai Ahmadiyah keluar dari Bulukumba. Pada tahun 2006 juga, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (disingkat LAPAR) karena mengembangkan pluralisme di Bulukumba serta mengkritisi keberadaan perda-perda “syariat“ juga sempat didatangi kelompok ini. Mereka mengancam dan mengintimidasi para aktivis LAPAR. Mereka meminta LAPAR menghentikan segala aktivitasnya di Bulukumba dan menyuruh orang-orangnya meninggalkan daerah tersebut. Pada tahun 2006, di masyarakat juga muncul isu jika kelompok-kelompok ini akan melakukan pembersihan terhadap 24 2006 Wawancara Saiful Uyun, seorang dai Ahmadiyah di Sulsel, 24 April MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 149 kelompok-kelompok Islam yang dianggap menyempal, termasuk terhadap komunitas lokal yang ada di Bulukumba.25 Bukan hanya kelompok keagamaan yang biasa diintimidasi. Kelompok minoritas seperti kalangan waria juga tidak luput dari intimidasi mereka. April 2007, para waria diancam akan ditindak secara keras kalau tetap melaksanakan aktivitas. Alasan mereka, daerah tersebut adalah daerah penegakan syariat Islam. Sikap ini tentu membuat kecewa kalangan waria di Bulukumba. Itu tercermin dari pernyataan Iqbal Manna, ketua waria di daerah ini : “Dengan cara-cara mereka seperti itu saya sesungguhnya sangat kecewa. Masak mereka mau adu fisik. Kok, Islam bisa seperti ini, penuh kekerasan dan ancaman. Padahal kami juga manusia. Kalau ada kelainan pada kami, bukan karena kami ingin begitu. Jadi, seharusnya kami dibimbing bukan diancam-ancam. Untung saja saya pernah belajar Islam, dan saya tahu Islam itu agama kasih sayang dan kedamaian. Apa yang ditunjukan oleh mereka bukanlah representasi Islam.26 H. Tentang Wahdah Islamiyah Dengan beberapa penjelasan di atas, tampak adanya peran, baik langsung maupun tidak, dari organisasi-organsiasi puritan yang memicu konflik, atau tepatnya kekerasan terhadap golongan lain. Karenanya, penting dikemukakan di sini mengenai keberadaan organisasi-organisasi tersebut. Kecenderungan ini tampaknya muncul dalam kasus kekerasan terhadap Naqsabandiyah. Wawancara dengan Udin, aktivis mahasiswa, 22 Desember 2008 Wawancara Iqbal Manna, ketua waria Bulukumba, di Bulukumba, 25 Mei 2007 25 26 150 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Di antara beberapa organisasi Islam puritan yang disebutkan di atas, sebuah organisasi patut mendapat perhatian dalam konteks ini. Itu tidak dimaksudkan menafikan peran kelompok lain, tidak juga bermaksud menuduh organisasi ini terlibat langsung maupun tidak dalam penyerangan Naqsabandiyah atau kekerasan terhadap kelompok lain.27 Beberapa alasannya antara lain: pertama, nama organisasi ini paling sering disebut oleh jemaah Naqsabandiyah, ketika berbicara mengenai penyerangan terhadap mereka. Mereka memang tidak menyebut, organisasi ini terlibat apalagi mendalangi, tapi menyatakan orang-orangnya atau kader organisasi ini yang dianggap paling getol menolak dan terkesan menprovokasi masyarakat untuk menolak keberadaan Naqsabandiyah di Tanah Beru. Kedua, organisasi inilah yang sampai saat ini masih aktif di Bulukumba, bahkan jaringannya semakin kuat hingga ke daerah-daerah. Sementara yang lainnya mulai melemah. Bahkan Aliansi Muslim Bulukumba (AMB) sudah bubar. Ketiga, organisasi ini adalah organisasi yang cukup besar di Sulsel. Memiliki jaringan di berbagai daerah di Sulsel, bahkan juga ke daerah-daerah lainnya di luar Sulsel. Organisasi dan pesantren yang dimaksud adalah Wahdah Islamiyah. 1. Latar Belakang Organisasi Awalnya lembaga yang dibentuknya bernama Fathul Muin, diambil dari nama seorang tokoh Muhammadiyah yang mereka segani. Sosok Muin dinilai tegas dalam bersikap misalnya sikapnya menolak Porkas. Pada awalnya Secara tegas dinyatakan ketua Wahdah Bulukumba, mereka tidak pernah ikut dalam penggerebekan yang dilakukan organisasi lain di Bulukumba. Wawancara Jusman, S.Pd., Ketua Wahdah Islamiyah Bulukumba, 15 Februari 2009 27 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 151 kelompok ini kelompok diskusi di masjid-masjid kampus. Mereka berasal dari kalangan aktivis muda Muhammadiyah yang tergabung dalam remaja masjid Takmirul Masjid. Mereka dikenal memiliki pemahaman eksklusif dan kurang bisa berkompromi dalam agama. Karena Muhmmadiyah selama ini dinilai terlalu kompromistis, mereka akhirnya memutuskan mendirikan lembaga pendidikan sendiri.28 Lambat laun lembaga ini berkembang dan akhirnya membentuk lembaga pendidikan berupa pesantren. Dari lembaga pendidikan ini Wahdah berubah status menjadi organisasi masyarakat (ormas) per 14 April 2002. Adapun Legalitas formal ormas ini adalah 1. Surat Keterangan Terdaftar pada Kantor Kesatuan Bangsa Kota Makasar No. 220/1092-1/KKB/2002 tanggal 26 Agustus 2002. 2. Surat Keterangan Terdaftar pada Badan Kesatuan Bangsa Propinsi Sulsel No. 220/3709-1/BKS-SS 3. Surat Tanda Terima Keberadaan Organisasi pada Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik Ditjen Kesatuan Bangsa Depdagri di Jakarta No. 148/D.1/IX/2002.29 Pada awalnya kantor pusat Wahdah Islamiyah beralamat di Jalan Abd. Dg Sirrua No. 60. Namun tahun 20072008, pindah ke Jalan Antang Raya No.48 Makasar.30 Ada dua tujuan organisasi ini didirikan. Pertama, mewujudkan dan membina masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah berdasarkan al-Quran dan Sunah sesuai Wawancara Qasim Saguni, Sekjen Wahdah Islamiyah, 26 Mei 2008. “Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” Departemen Informasi dan Komunikasi PP Wahdah Islamiyah, 2004, edisi I, h. 2. 30 Wawancara dengan Ustadz Ikhwan, Ketua Wahdah Islamiyah, 22 Desember 2008 28 29 152 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA dengan pemahaman Salaf Ash-Shalih (manhaj) ahlusunnah wal jama`ah. Kedua, menegakkan tauhid dan menghidupkan Sunah serta memupuk ukhuwah islamiyah untuk terwujudnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diridai Allah.31 Dalam “Selayang Pandang Wahdah Islamiyah” disebutkan pula misi organisasi, di antaranya: untuk menanamkan dan menyebarkan akidah islamiyah yang sahih kepada umat Islam berdasarkan al-Quran dan Sunah sesuai pemahaman salafus shalih; menegakkan syiar Islam dan menyebarkan pemahaman Islam yang benar, membangun persatuan umat dan ukhuwah islamiyah yang dilandasi semangat ta’awun (kerjasama) dan tanashuh (saling menasihati), mewujudkan institusi pendidikan dan ekonomi yang islami dan berkualitas dan membentuk generasi Islam yang rabbani dan menjadi pelopor dalam berbagai bidang kehidupan.32 Saat ini Wahdah tidak hanya memiliki lembaga pendidikan seperti pesantren, tapi juga perguruan tinggi, termasuk lembaga kesehatan. Guru-guru yang mengajar di pesantren dan perguruan tinggi Wahdah kebanyakan alumnus Mekah dan Madinah. Wahdah memiliki 25 cabang di seluruh Indonesia dan 22 cabang binaan. Dua puluh lima cabangnya itu antara lain terdapat di Sidrap, Sinjai, Bulukumba, Bone, Pinrang, Takalar, Enrekang, Gowa, Jeneponto, Makasar, Luwu Utara, Soppeng, Palpo, Luwu, Polman, Gorontalo, Palu, Kendari, Toli-toli, Muna, Kolaka, Tarakan, Ternate, Bandung dan DKI Jakarta. “Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” Departemen Informasi dan Komunikasi PP Wahdah Islamiyah, 2004, edisi II, h. 1 32 ”Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” h. 1 31 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 153 Sedangkan 22 cabang binaannya terdapat di Banda Aceh, Samarinda, Bantaeng, Jayapura, Parigi, Pekan Baru, Pontianak, Sengkang, Selayar, Luwu Timur, Yogyakarta, Mamuju, Topoyo, Tator, Barru, Pare-pare, Unaha, Bima, Marauke, Luwuk Banggae, Maros dan Balikpapan.33 Di Kabupaten Bulukumba Wahdah sudah ada sejak 1997. Ketika itu dipimpin Herman Hasyim, dibantu Jusman. Aktivitas Wahdah saat itu masih sebatas pengajian dari rumah ke rumah. Struktur organisasinya belum begitu jelas. Baru tahun 2000, secara formal Wahdah dideklarasikan. Saat ini Wahdah sudah memiliki pesantren di Lae-Lae Bulukumba dan sejumlah masjid binaan. Aktivitas Wahdah di Bulukumba boleh dibilang cukup berkembang. Tiap Minggu mereka menggelar pengajian. Bahkan juga menjadualkan pengajian di rumah-rumah pejabat atau di instansi-instansi pemerintahan. Mereka juga menggelar tablig akbar setiap bulannya dengan menghadirkan pembicara dari Pengurus Pusat Wahdah Islamiyah. Acara tabligh itu biasanya dihadiri cukup banyak orang.34 Di Kabupaten Bulukumba ini mereka malah telah membangun jaringan hingga ke tingkat kecamatan dan desa. Salah satunya jaringan yang ada di Tanah Beru Bontobahari. Selain aktivitas di atas, Wahdah juga menangani khutbah, menyiapkan materi-materinya dan majlis taklim di beberapa masjid di Bulukumba, khususnya yang ada di kota. 2. Departemen dan Jaringan Wahdah Dalam struktur Wahdah, organisasi lembaga ini dibagi beberapa bidang dengan beberapa departemen dan lem33 34 ”Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” h.3 Wawancara Ustadz Jusman, 15 Februari 2009 154 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA baga. Bidang I antara lain terdapat Departemen Dakwah dan Kaderisasi, Departemen Informasi dan Komunikasi dan Lembaga Pernikahan dan Pembinaan Keluarga Sakinah (LP2KS). Bidang II Departemen Pendidikan, Ma’had Aly al -Wahdah, Ma’had Tahfidzul Qur’an, Pondok Pesantren Salafiyah. Bidang III Departemen Kesehatan dan Lingkungan Hidup, Departemen Pengembangan Usaha dan Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (LAZIS). Bidang IV Departeme Sosial, Departemen Litbang dan Pengembangan Sumber Daya manusia dan Lembaga Waqaf, Perencanaan dan Pembangunan (LWP2). Selain itu, juga terdapat Biro Administrasi Umum, Kerumahtanggaan, Humas dan Hukum & Advokasi. Wahdah juga memiliki Lembaga Muslimah yang diperuntungkan khusus untuk kalangan perempuan di Wahdah. Di lembaga tersebut terdapat empat unit: Unit Dakwah, Kaderisasi, Sosial dan Pengembangan Sumber Daya Manusia35. Hampir semua departemen dari Wahdah Islamiyah ini aktif. Departemen Dakwah dan Kaderisasi, termasuk Departemen yang paling aktif. Untuk Bidang Dakwah misalnya, Wahdah menangani khutbah Jumat di beberapa masjid. Di Makasar ada 26 Masjid yang khutbahnya ditangani Wahdah. Selain itu mereka juga menangani khutbah untuk periode dua kali sebulan, yaitu sebanyak 37 masjid; menangani majelis taklim syar’i, majelis taklim, majelis tarbiyah, dan penanganan dakwah kampus. Untuk majelis tarbiyah sendiri merupakan proses kaderisasi yang dilakukan berjenjang. Tercatat terdapat sekitar 135 majelis tarbiyah yang saat ini dikelola. Majelis tarbiyah tingkat pemula 92 buah, 26 buah tingkat lanjutan dan 17 buah tingkat pembina. 35 “Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” h.2 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 155 Adapun penanganan dakwah kampus juga dilakukan di hampir semua perguruan tinggi di Makasar dan beberapa tempat lainnya. Di antaranya di UNM, UNHAS, UIN Alauddin, STIK Tamalate, Politeknik Ujungpandang, STAIN Bone, STAIN Gorontalo, UNHALU Kendari, UNTAD (Palu), serta Universitas Khairus Shaleh dan Universitas Nuku di Ternate.36 Seperti kaderisasi, bidang pendidikan juga relatif gencar. Wahdah menangani lembaga pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi, termasuk Pesantren Tahfidzul Qur’an dan Pesantren Tadribut Du’at. Pendidikan Wahdah ini tidak hanya berkembang di Makasar, tapi juga di daerah-daerah lain seperti Bulukumba, Sidrap, Bantaeng, atau Palopo. Pesantren Wahdah mulanya tidak menerima kurikulum dan ijazah dari pemerintah, baik Depag maupun Depdikbud. Namun belakangan, di tengah berbagai tekanan akhirnya pesantren menerima kurikulum Depag, meskipun yang dominan tetap kurikulum ala mereka sendiri yang berkiblat ke pola pendidikan di Mekah dan Madinah. Organiassi ini juga memiliki Sekolah Tinggi Ilmu bahasa Arab (STIBA) dengan mata kuliah al-Quran, Tafsir, Hadis Ahkam, Hadis Kutub Sittah, Tauhid, Fikih, Ushul Fikih, Qawaid Fiqhiyah, Faraidh, Siyasah Syar’iyah, Peradilan Islam, Tarikh Islam, Nahwu Sharaf, Sastra Arab, Balaghah, Metode Penelitian, Ushul Tarbiyah, Tarbiyah Islamiyah, Psikologi Pendidikan, Metodologi Pengajaran. Referensi kitab atau buku-buku rujukan untuk mata kuliah tersebut tidak pasti. Dalam satu mata kuliah kadang bisa menggunakan banyak referensi. STIBA sekarang ini memilki 33 36 “Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” h. 24 156 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA orang dosen, 22 orang di antaranya alumni Timur Tengah, dengan 350 mahasiswa dari berbagai pelosok Nusantara yang statusnya mondok di asrama yang disediakan.37 Untuk Departemen Kesehatan dan Lingkungan Hidup, Wahdah sudah memiliki rumah sakit bersalin, tempat dokter praktik, apotek, dan tempat praktik rukyah. Biaya yang dipungut relatif terjangkau kalangan masyarakat bawah. Sementara Departemen Lingkungan Hidup sekarang ini mereka telah melakukan kerjasama dengan Departemen Lingkungan Hidup dan pemda setempat di antaranya dengan melakukan pengajian-pengajian yang dikaitkan dengan tema lingkungan. Dalam melakukan berbagai aktivitas, Wahdah menjalin dan membangun jaringan dengan berbagai pihak. Di antarnya pemerintah daerah, kepolisian, sekolah-sekolah negeri (SMP dan SMA), stasiun radio, dan media cetak. Organisasi ini tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu atau organisasi tertentu. Hal ini bahkan dinyatakan secara jelas dalam peraturan organisasinya. Meski demikian, Wahdah memberi kelonggaran secara individu kepada pengurusnya untuk berafiliasi dengan partai politik ataupun organisasi tertentu.38 Wahdah memiliki jaringan hingga ke luar negeri. Menurut penjelasan Qasim Saguni, Sekjen Pengurus Pusat Wahdah, kekuatan jaringan luar negeri itu dapat terwujud berkat jaringan Ustadz Zaitun yang memang memiliki relasi cukup baik dengan kalangan luar. Mereka memiliki jaringan dengan Haramain dan IRO. Saat ini bahkan Wahdah tengah membangun hubungan dengan pemerintah Saudi, untuk mendirikan perguruan tinggi di Sulsel. Perguruan 37 38 “Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” h. 25-33 “Selayang Pandang Wahdah Islamiyah,” h. 10-18 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 157 Tinggi itu rencananya bernama Imam Ibnu Saud. Pemda Sulsel sendiri menerima baik rencana Wahdah ini, bahkan siap untuk menyediakan tanah.39 3. Sumber dana Pendanaan Wahdah ditopang dari beberapa unit usaha. Di antaranya rumah sakit bersalin, apotek, dan koperasi, dokter praktik dan pengobatan lewat sistem rukyah, penerbitan serta toko buku. Rumah sakit bersalinnya berdiri di Jalan Abd Dg Sirua. Dibanding dengan rumah sakit lain, meski tetap membebankan biaya kepada para pasien, rumah sakit bersalin ini tetap tergolong murah. Apotek Wahdah menjual berbagai obat-obatan, khususnya obat yang dikembangkan sendiri berupa obat-obatan dari ramuan daun-daunan dan jamu. Wahdah juga membuka praktik pengobatan ruqyah dan bekam. Praktik ini dibuka setiap hari dari jam 10.00 WITA hingga 21.00 WITA dengan tarif per pasien Rp. 50.000. Tak hanya itu, di tempat ini juga dijual kaset-kaset ruqyah, yang biasa dibeli oleh pasien untuk melakukan ruqyah dengan perantara kaset. Selain dari unit usaha, Wahdah sering mendapat hibah dari Timur Tengah, yaitu dari Yayasan Haramain dan IRO. Dari kedua organisasi ini Wahdah Islamiyah mendapatkan bantuan untuk mendirikan perguruan tinggi STIBA juga rumah sakit bersalin dan beberapa masjid di Makasar dan beberapa daerah lainnya. Bantuan dari IRO dan Yayasan Haramain ini pernah diputuskan pemerintah, setelah terjadinya pengeboman di mall Ratu Indah. Menurut Qasim 39 Wawancara Qasim Saguni, 26 Mei 2005 158 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Saguni, ada beberapa alumni dari Wahdah dicurigai terlibat, meski pada akhirnya tidak terbukti sama sekali.40 4. Jaringan Alumni Alumni-alumni dari Wahdah Islamiyah saat ini banyak yang melanjutkan sekolah ke Timur Tengah. Beberapa di antaranya menjadi pembina sekolah Islam di luar negeri seperti Ustadz Zaitun, salah seorang pendiri Wahdah Islamiyah, yang menjadi pembina sekolah Islam di Jepang. Sebagian alumni ini adapula yang begabung dalam KPPSI (Komite persiapan Penegakan Syariat Islam) 5. Pemahaman Keagamaan Selama ini Wahdah mengklaim dirinya sebagai kelompok ahlusunnah wal Jama`ah dan pengikut para salafus shalih. Dalam satu wawancara dengan Time, Ustadz Ikhwan, Lc, salah seorang Ketua Wahdah, secara diplomatis tidak mau menyatakan bahwa Wahdah Islamiyah pengikut Wahabi. Saat itu dia menyatakan bahwa apa yang kita maksudkan dengan Wahabi menurutnya berasal dari nama orang Abdul Wahab. Wahdah sendiri tidak mengikutinya, tapi yang pasti Wahdah hanya mengikuti para salafus as-shalih.41 Hanya saja bila melihat rujukan kitab-kitab acuannya, Wahdah sangat dekat dengan ideologi Wahabi. Mereka pengagum tokoh-tokoh dari kalangan Wahabi seperti Abdullah bin Baaz. Kisah dan sepak terjang Abdullah bin Baaz pernah dimuat al-Bashirah dengan tajuk “Lautan Ilmu itu Bernama Abdullah bin Baaz”.42 Wawancara Qasim Saguni Wawancara berlangsung Juni 2007 di Café Phoenam Makasar. 42 Al-Bashirah 05 Tahun II, 2007 40 41 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 159 Bila dilihat dari geneologinya, Wahdah ini didirikan oleh kalangan yang semula para aktivis Muhammadiyah, namun gerah dengan sikap ormas tersebut yang nilai lemah melawan praktik dan kebudayaan lokal yang berkembang di Sulsel. Dengan demikian bisa dikatakan, Wahdah didirikan oleh orang-orang yang secara tegas hendak menjalankan ideologi modernisme dan wahabisme Muhammadiyah yang dianggap mulai melemah.43 Pada perkembangannya saat ini, Wahdah memang dalam berbagai dakwahnya senantiasa memepersoalkan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan komunitas lokal. Bahkan bukan hanya pada komunitas lokal, pada penganut tarekat dan pencinta tasawuf juga mereka cenderung tidak setuju. Di Bulukumba, seperti dikemukakan Mardianto, Wahdah pernah menggelar seminar dan dialog mengenai tasawuf. Pada seminar yang menghadirkan Ustadz Ikhwan dari Wahdah dan Mardianto dari Naqsabandiyah, kalangan Wahdah menyerang penganut tasawuf dengan sengit. Mardianto sendiri diminta bertobat.44 Dengan begitu bisa digarisbawahi bahwa Wahdah pada dasarnya mengembangkan Islam, terutama di Bulukumba, dengan sikap yang vis a vis dengan kebudayaan lokal, termasuk terhadap penganut tarekat dan tasawuf. I. Penyerangan Terhadap Tarekat Naqsabandiyah Sejak tahun 1994-1995 itu, penerimaan terhadap tarekat ini oleh masyarakat Bulukumba sangat baik. Tidak ada reaksi maupun usaha penentangan terhadap keberadaan tarekat tersebut. Keadaan semacam itu berlangsung hingga tahun 2000-an. 43 44 Wawancara Qasim Saguni, 26 Mei 2005 Wawancara Mardianto, 25 Januari 2009 160 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Tepatnya 20 Nopember 2007, peristiwa penyerangan itupun terjadi. Tarekat Naqsabandiyah yang melaksanakan kegiatannya di desa Sapolohe Tanah Beru, Kecamatan Bontobahari, diserang sekelompok orang yang mengatas namakan warga Tanah Beru, wilayah yang termasuk ”zona syariat”. Peristiwanya sendiri terjadi pukul 21.00 WITA. Beberapa media menyebut terjadi pukul 22.30 WITA seperti diberitakan Fajar (21/11/07). Sekitar 300-an orang mendatangi sebuah tempat yang selama ini dikenal lokasi komunitas Naqsabandiyah menggelar ritual zikir. Tak diketahui pasti dari mana datangnya orang-orang tersebut, tiba-tiba saja sudah menyemut dan berdatangan dari beberapa arah menuju lokasi. Rata-rata mereka membawa pentungan dan batu. Wajah mereka rata-rata ditutupi dengan cadar atau kain sarung. Beberapa orang nampak berambut panjang (gondrong). Mereka membawa pentungan dan bebatuan. Sampai di lokasi penyerang memutus aliran listrik. Keadaan pun gelap. Beberapa jemaah Naqsabandiayah yang masih ada di lokasi tak bisa mengenali situasi. Saat itu sekitar tujuh orang masih di dalam gedung, sedang lainnya sudah lebih dulu pulang karena waktu itu acara zikir memang usai. Dai atau guru Naqsabandiyah untuk daerah ini, Muh Ridwan sempat tersandung dan terjatuh karena tak bisa melihat apa-apa. Keningnya berdarah. Sementara massa di luar mulai melempari bangunan. Beberapa di antaranya menggunakan pentungan untuk merusak bangunan tersebut.45 Menurut pihak kepolisian, pada saat penyerangan orangorang yang datang menutupi wajah mereka dengan kain sehingga tidak jelas siapa sesungguhnya mereka. Di samping itu ada beberapa di antara mereka yang berambut gondrong, pada45 Keterangan pihak kepolisian Kecamatan Botobahari, 5 Desember 2007. MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 161 hal di daerah tersebut jarang orang yang berambut gondrong. Kesimpulan kepolisian Bontobahari, massa yang datang menyerang bukan hanya dari Tanah Beru dan sekitarnya, tapi kemungkinan dari luar wilayah.46 Salah satu warga yang ditemui juga menyatakan, mereka dipanggil mendadak untuk melakukan penyerangan terhadap kelompok Naqsabandiyah.47 Bila demikian berarti penyerangan ini bukan spontan dari masyarakat Tanah Beru, tapi di desain, dan kemungkinannya penyerang memiliki jaringan kuat dengan kecamatan lain di Bulukumba. Jemaah Naqsabandiyah yang ada di lokasi waktu itu tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa diam menyaksikan bangunan yang selama ini mereka tempati beribadah dihancurkan. Untung saja massa saat itu tidak menyerang ke arah jemaah Naqsabandiyah sehingga tidak ada korban dari jemaah ini. Namun kerugian materil diperkirakan hingga 20 jutaan rupiah. Tidak berapa lama kemudian kepolisian dari Polsek Bontobahari ditambah personil Polres Bulukumba datang. Mereka segera mengevakuasi jemaah Naqsabandiyah yang ada di sekitar lokasi. Jemaah ini dibawa ke kantor Polsek Bontobahari. Bahkan selanjutnya beberapa orang dari jemaah ini malah “diamankan” ke Polres untuk dimintai keterangan. Soal perusakan bangunan, tak ada tindakan berarti dari kepolisian untuk mencegah kerusakan lebih jauh. Kecuali berusaha menenangkan massa. Salah seorang polisi menjelaskan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena jumlah massa jauh lebih banyak. Salah-salah menurutnya polisi juga bisa diserang.48 Keterangan pihak kepolisian Kecamatan Botobahari, 5 Desember 2007 Keterangan salah seorang warga Tanah Beru yang tidak mau disebut namanya, 5 Desember 2007 48 Keterangan salah polisi dari Kapolsek Bontobahari, tidak mau disebut, 5 Desember 2007 46 47 162 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 1. Kenapa Warga Tanah Beru Menyerang Naqsabandiyah? Peristiwa penyerangan Naqsabandiyah di daerah Tanah Beru ini jauh hari sudah di prediksi Mardianto, pimpinan Naqsabandiyah Bulukumba yang juga dosen STAI Al-Gazali. Pimpinan Naqsabandiyah kemudian memperingatkan agar, Naqsabandiyah di Tanah Beru untuk sementara menghentikan aktivitasnya. Mardianto memprediksi demikian karena dia mendapatkan informasi mengenai pandangan masyarakat Tanah Beru terhadap Naqsabandiyah yang intinya melihat negatif kehadiran kelompok tarekat ini. Di masyarakat Tanah Beru beredar informasi bahwa Naqsabandiyah ini sesat, setiap merekrut anggota harus bayar, jemaah Naqsabandiyah sudah tidak mau ikut salat Jumat, tidak mau lagi naik haji dan proses perekrutan anggotanya dimulai dengan satu proses yang aneh. Orang yang mau masuk Naqsabandiyah, menurut informasi tersebut, harus terlebih dahulu masuk ke kamar tertentu secara berpasangan dan berlainan jenis. Di kamar itu mereka telanjang. Yang bisa bertahan dan tidak melakukan apa-apa hingga pagi maka merekalah yang dinyatakan resmi menjadi jemaah Naqsabandiyah.49 Inilah alasan mengapa warga Tanah Beru melakukan penyerangan. Bagi Mardianto informasi tersebut jelas keliru. Apa yang diasumsikan masyarakat tentang Naqsabandiyah berbeda 180 derajat dari kenyataannya. 2. Siapa yang mengedarkan informasi keliru tersebut? Beberapa informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa informasi semacam itu justru muncul dari kalangan 49 Wawancara Mardianto, 25 Januari 2009 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 163 jemaah Naqsabandiyah sendiri. Mereka yang bicara bahwa lebih nikmat berzikir ala Naqsabandiyah daripada naik haji atau tidak usah salat Jumat bila sudah ikut Naqsabandiyah. Betulkah demikian? Menurut Mardianto, memang ada jemaah mereka yang menjelaskan Naqsabandiyah kurang tepat. Namun menurutnya tidak sejauh seperti yang beredar tadi. Masalahnya lebih disebabkan upaya penolakan terhadap tarekat dan tasawuf oleh beberapa kelompok di masyarakat yang kemudian mengatasnamakan warga Tanah Beru secara keseluruhan. Terbukti setelah MUI Bulukumba lewat ketuanya Kiai Mahdi mengeluarkan pernyataan bahwa Naqsabandiyah tidak sesat dan merupakan tarekat muktabarah di Indonesia, kelompok yang mengatasnamakan masyarakat Bontobahari masih menolaknya.50 A. Putra Wangsa, salah satu jemaah Naqsabadiyah di Tanah Beru juga menolak keras isu yang berkembang di masyarakat. Menurutnya tidak ada warga Naqsabandiyah yang menyatakan bahwa tidak usah ikut salat Jumat atau tidak mau naik haji. Yang sering muncul adalah pandangan dari jemaah Naqsabandiyah yang sudah haji, bahwa seandainya mereka sudah paham cara berzikir ala Naqsabandiyah, kemudian naik haji, tentu mereka bisa melakukan amalan zikir itu di tanah suci Mekah. Putra Wangsa menganggap isu-isu yang berkembang itu adalah semacam stigma yang diarahkan pada Tarekat Naqsabandiyah oleh kelompok-kelompok tertentu yang tidak menyukai tarekat ini.51 Alasan penolakan ini akhirnya terungkap ketika terjadi dialog antara pemerintah, tokoh masyarakat, pihak Naqsabandiyah dan beberapa organisasi Islam pada 23 Nopember Wawancara Mardianto, 25 Januari 2009 Wawancara dengan Putra Wangsa, salah seorang jemaah Tarekat Naqsabandiyah 50 51 164 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 2007, tiga hari setelah penyerangan. Saat itu pihak Naqsabandiyah yang diwakili Ir Yusran Yusuf dan Drs Mardianto membantah semua asumsi tentang mereka yang beredar di masyarakat dan menjelaskan apa sesungguhnya Naqsabandiyah itu. Namun beberapa masyarakat tetap menolak. Saat itu diwakili oleh orang-orang yang berasal dari jaringan Wahdah Islamiyah menyatakan tidak bisa menerima Naqsabandiyah, karena masyarakat di daerah itu belum siap memahami tarekat dan tasawuf. Salah satu dari orang Wahdah Islamiyah, nampak paling ngotot hari itu menolak keberadaan Naqsabandiyah. Alasannya bagi masyarakat Tanah Beru yang perlu lebih dikembangkan adalah menjalankan syariatnya saja dulu secara formal. Mempelajari tasawuf malah akan membuat kacau.52 Pascapertemuan salah satu pengurusnya di daerah Tanah Beru yang bernama Mansur pernah berdebat sengit dengan Mardianto. Saat itu menurut keterangan dari Mardianto, setelah pertemuan Tanah Beru dia berusaha menemui Mansur di tempat kerjanya di kantor pos Bulukumba. Mardianto lalu menanyakan kenapa Mansur yang hadir saat rapat pada 23 Nopember 2007 nampaknya sangat ngotot menolak keberadaan Naqsabandiyah di daerah Tanah Beru. Saat itu Mansur menyatakan bahwa tasawuf atau tarekat itu bukan ajaran Rasulullah, dan menurutnya ia punya kitab yang menjelaskan itu. Mardianto saat itu meminta dibawakan kitabnya dan siap melayani Mansur berdiskusi lebih jauh di rumahnya. Namun sampai saat ini menurut Mardianto, Mansur belum pernah datang.53 Wawancara dengan Mardianto, jemaah Tarekat Naqsabandiyah, 24 Januari 2009 dan Lina, warga Tanah Beru, 25 Januari 2009 53 Wawancara Mardianto, 25 Januari 2009 52 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 165 Mardianto menganggap penolakan kalangan Wahdah terhadap tarekat dan tasawuf karena mereka tidak tahu tentang tasawuf. “Mereka hanya berada di luar dan tidak tahu isinya, tapi berani menyalahkan”. Makanya menurut Mardianto setelah pertemuan di Bontobahari dia menemui salah satu pengurus Wahdah yang bernama Muktar. Dia mengajaknya berdiskusi, khususnya soal Hadis yang diangkat Muktar yang menyatakan Nabi melihat orang-orang yang bertarekat itu sesat. Namun Muktar menolak berdiskusi. Akhirnya Mardianto menyimpulkan, penolakan itu bukan lagi semata-mata karena perbedaan nilai dan pandangan tapi berkaitan dengan soal kuasa. “Mungkin karena mereka melihat perkembangan Naqsabandiyah yang cukup pesat di Bulukumba mengganggu eksistensi mereka,” ujarnya. “Buktinya mereka diajak diskusi juga tidak mau,” lanjutnya.54 Celakanya, penolakan dari beberapa kelompok masyarakat itu justru didukung pemerintah setempat. Baik lurah maupun camat sama-sama menegaskan, jika masyarakat masih sulit menerima aliran Naqsabandiyah. Karena itu mereka tidak bisa memberi izin. A. Mattalatta, Camat Bontobahari menyatakan bahwa pemerintah harus memenuhi tuntutan masyarakat yang mainstrem di Bontobahari. Karena mayoritas masyarakat belum bisa menerima, maka pemerintah juga tidak bisa memberi izin. Bahkan Camat Tanah Beru yang ditemui terpisah ini menjelaskan bahwa selama ini pihak pemerintah belum pernah memberikan izin mendirikan tempat ibadah bagi Naqsabandiyah. Izin yang diberikan adalah izin mendirikan gudang di desa Sapolohe. Gudang itu ternyata dijadikan tempat ibadah bagi Naqsaban54 Wawancara Mardianto 25 Januari 2009 166 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA diyah. Ketika ditanya kepada Camat Bontobahari ini kenapa tidak diberikan izin, menurutnya jemaah Naqsabandiyah ini berbaur saja ibadahnya dengan masyarakat umum. Di Bontobahari ini menurutnya banyak masjid dan musala, kenapa mereka tidak bergabung saja beribadah di masjid dan musala yang ada.55 Pandangan camat ini, tentu saja dibantah tegas pihak Naqsabandiyah. Menurut Mardianto, jemaah Naqsabandiyah bukan tidak mau berbaur dengan masyarakat dalam menjalankan ibadah, karena salat lima waktu jemaah Naqsabandiyah berbaur melaksanakan salat dengan masyarakat di masjid-masjid kampung. Namun memang ada jadwal bagi mereka untuk melakukan zikir. Karena zikir mereka lebih cenderung dilakukan dengan kalbu, maka paling cocok dilakukan di tempat yang agak sunyi. Karena itu biasanya ada tempat tertentu yang mereka siapkan untuk menyepi atau uzlah.56 Pihak kapolsek juga dengan tegas menyatakan tidak bisa memberi jaminan perlindungan terhadap kelompok Naqsabandiyah bila masih tetap menjalankan aktivitasnya di Tanah Beru, Bontobahari. Pernyataan Kapolsek setempat ini, tentu saja membuat jemaah Naqsabandiyah merasa tidak mendapat perlindungan dari aparat57. Padahal negara dengan segenap aparatnya wajib melindungi kebebasan satu golongan untuk melakukan ibadah menurut kepercayaannya. Apalagi keberadaan Naqsabandiyah ini jelas sudah dinyatakan pihak MUI sebagai tarekat muktabarah.58 Wawancara A. Mattalatta, Camat Bontobahari, 25 Januari 2009 Wawancara Mardianto, 25 Januari 2009 57 Wawancara Mardianto, 25 Januari 2009 58 Wawancara dengan Kiai Mahdi (Ketua MUI Bulukumba), tanggal 6 Desember 2007 55 56 MENYINGKAP TABIR KASUS PENYERANGAN NAQSABANDIYAH DI BULUKUMBA 167 Dari beberapa alasan di atas, ada satu kesimpulan sederhana yang bisa ditarik, penyerangan Naqsabandiyah ini terjadi karena masyarakat Tanah Beru atau Bontobahari tidak mau menerima tarekat ataupun tasawuf. Jika itu alasannya, maka jelas sekali aneh dan bertolak belakang dengan kultur masyarakat dengan sejarah Islam awal di wilayah ini. Bukankah daerah Tanah Beru terkenal sebagai tempat masyarakat Islam yang berbaur dengan kultur setempat?59 Seperti dijelaskan sebelumnya Tanah Beru ini dikenal sebagai tempat pembuatan perahu pinisi yang sejak awal pengerjaan hingga melepasnya ke pantai disertai dengan ritual-ritual khas lokal. Corak Islam pertama yang masuk juga lebih bernuansa tasawuf ketimbang syariat. Deskripsi di atas menunjukkan adanya peran organisasi tertentu yang di dukung oleh pemerintah setempat yang berperan besar dalam proses peneolakan terhadap Naqsabandiyah ini. J. Penutup Kasus penyerangan Naqsabandiyah di Bulukumba ini menunjukkan betapa keragaman masih menjadi sesuatu yang aneh di negeri ini. Disamping itu ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dari kasus ini : • Kemunculan beberapa organisasi dan kelompok Islam tertentu di Bulukumba telah merubah pola pemahaman dan Istilah Islam kultural disini saya gunakan bukan dalam pengertian sebaliknya dari Islam struktural. Tapi yang saya maksudkan adalah pengamalan Islam yang hybrid. Mendialogkan antara kepercayaan lokal dan tradisi dengan ajaran Islam. Saya juga tidak menggunakan istilah Islam abangan dalam pengertian Gertz. Klasifikasi ini belum pas untuk komunitas Islam di Bulukumba. 59 168 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA praktik keagamaan masyarakat. Di samping itu kemunculan organisasi dan kelompok Islam baru ini telah menguatkan purifikasi Islam dan mendorong sikap eksklusifitas dalam beragama sehingga semakin kurang penghargaan terhadap perbedaan. • Dalam kasus penyerangan Naqsabandiyah ini pemerintah setempat cenderung membiarkan dan tidak memberikan perlindungan semestinya. Bahkan menurut penjelasan Mardianto, lurah dan camatnya ikut aktif mendorong penolakan terhadap Naqsabandiyah • Nampaknya penyerangan terhadap Naqsabandiyah ini ditengarai karena masyarakat tidak setuju dengan paham-paham tarekat dan tasawuf. Pandangan ini tampaknya akibat pengaruh dari beberapa organisasi puritan berhaluan Wahabi. Sebab, sebelumnya masyarakat Tanah Beru atau Bulukumba pada umumnya adalah masyarakat yang dekat dengan tradisi tasawuf dan tarekat. [] Yang Sesat Yang Berkembang Pesat: Identitas Gereja Mormon dalam Ruang Publik Semarang1 TEDI KHOLILUDIN We Believe the Bible to be the word of God as far as it is translated correctly; we also believe the Book of Mormon to be the word of God. (Pasal 8 dari The Articles of Faith) We Believe in the gathering of Israel and in the restoration of the Ten Tribes; that Zion (the New Yerusalem) will be built upon the American continent; that Christ will reign personally upon the earth; and the earth will be renewed and receive its paradisiacal glory (Pasal 10 dari The Articles of Faith).2 Penulis ingin mengucapkan terima kasih atas kerjasama para informan yang telah memungkinkan penelitian singkat ini bisa terlaksana. Kepada Prof John A. Titaley, Presiden Gereja Mormon Cabang Semarang dan informan lainnya. 2 Articles of Faith itu semacam kredo atau syahadat bagi penganut Mormon. Isinya ada 13 pasal. Secara sepintas tidak ada yang berbeda dengan ajaran Kekristenan mainline. Dua pasal itulah yang mungkin sedikit memberi warna pada identitas gereja ini. 1 170 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA A. Latar Belakang Gereja Sesat! Gereja Setan! Begitulah kelompok Mormon biasa mendapat cibiran.3 Identifikasi sebagai penganut ”sekte sesat” tentu bukanlah sesuatu yang mengenakkan. Begitu juga yang dirasakan penganut Mormon. Meski terus bergumul dengan penyesatan, tetapi lambat laun gereja ini mengalami banyak perubahan signifikan. Sebelum masa reformasi, bersama Saksi Yehova, Mormon adalah bagian dari sekte kekristenan yang tidak diakui keberadaannya.4 Untuk kasus Mormon, barangkali lebih tepat dikatakan bahwa mereka diberi ruang yang sangat terbatas. Pembatasan terhadap kelompok keagamaan kecil, saat itu mendapat sorotan luar biasa, termasuk dari dunia internasional. Dalam laporan tahun 2000 tentang kebebasan beragama di Indonesia yang dikeluarkan Department of State, Amerika Serikat disebutkan: …Moreover, a 1976 decision by the Attorney General, reinforced by a separate decision by the same office in 1978, banned Yehovah’s Witnesses from practicing their faith. Yehovah’s Witnesses claim that significant abuse, including detention and torture, lasted until 1997. Although government hostility toward Yehovah’s Witnesses has subsided, open practice of the faith remains banned, and Pengalaman terpinggirkan ini hampir merupakan bagian dari perjalanan hidup jemaat Mormon yang menjadi informan dalam penelitian ini. Cerita ini dituturkan kepada penulis oleh Mardiyono dan Restya Budi. 4 Sejauh ini informasi mengenai kebijakan pemerintah yang secara eksplisit menyesatkan atau membatasi Mormon memang belum pernah ada. Berbeda dengan Mormon, pelarangan terhadap Saksi-saksi Yehova sangat tegas dilakukan pemerintah. Hal itu termaktub dalam Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Kep-129/JA/12/1976 tentang Pelarangan terhadap Ajaran/Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab/Saksi-saksi Yehova. 3 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 171 members report that they continue to experience difficulty registering marriages, enrolling children in school, and in other civil matters. … In addition ”mainstream” Christian leaders have influenced government policy against ”fundamentalist” Christians. Non-Trinitarians (Yehovah’s Witnesses) have faced government bans that they claim were instigated by Trinitarian Christians.5 Saat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden (1999-2001), pelarangan terhadap aktivitas kelompok keagamaan minoritas seperi halnya Saksi-Saksi Yehova dicabut.6 Jemaat gereja Mormon mendapat imbas dari sikap demokratis dan pluralis Gus Dur. Keleluasaan untuk melakukan misi menjadi kembali terbuka. Yang paling mencolok adalah ketika Gus Dur secara resmi mengundang Presiden Mormon saat itu, Gordon B. Hinckley ke Indonesia. Meski demikian, Mormon tetaplah sekte sempalan yang harus menelan pil pahit karena berbeda pemahaman dengan Kristen arus utama. Resiko tersebut memang tidak dialami seperti halnya Ahmadiyah dengan kekerasan fisiknya serta pembatasan oleh negara. Warga Mormon, terutama adalah berhadapan dengan ”kekerasan kultural” berupa pandangan sinis masyarakat dan bahkan penolakan terhadap kegiatan misi mereka di beberapa tempat. Pada tahun 2006, di Manado sempat muncul perdebatan mengenai kegiatan misi Mormon. Tantangan itu muncul dari Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor U.S. Department of State, Annual Report on International Religious Freedom: Indonesia, September 5, 2000. 6 SK Nomor 255 tahun 2001 tertanggal 1 Juni 2001. SK itu mencabut Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Kep-129/ JA/12/1976 tentang Pelarangan terhadap Ajaran/Perkumpulan Siswa-siswa Alkitab/Saksi-saksi Yehova. 5 172 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA PGPI (Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia) yang tidak memberikan rekomendasi kepada gereja Mormon.7 Alasan yang diberikan PGPI yang membawahi 27 denominasi dan dua ribu gereja lokal ini, Mormon bukanlah gereja, melainkan hanya kumpulan sekelompok orang.8 Ketua Umum PGPI Pdt Dr Lefrandt Lapian MA yang juga Wakil Ketua Majelis Daerah Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) mengatakan, selama ini yang diungkap kelompok Mormon adalah persamaannya dengan Umat Kristen, sementara perbedaan yang mencolok seperti Alkitab dengan versi King James, Kitab Mormon, Kitab-kitab Perjanjian dan Kitab Permata yang Berharga tidak disampaikan. “Padahal dalam ajaran Kristen hanya satu Alkitab yang dipegang. Sementara Mormon ini ada empat,” ungkapnya.9 Bukan hanya itu, dalam ajaran Mormon dijelaskan Lapian, mengenal banyak Allah dan menolak Tritunggal Kekristenan yang Am.10 Pernyataan penolakan pemberian rekomendasi ini, kata Lapian sudah melewati kajian yang matang.11 Hal ini membuktikan bahwa gereja dalam menyikapi munculnya paham atau ajaran yang menyimpang perlu melakukan pencegahan sebagai upaya untuk menghambat lajunya kesesatan masuk di daerah ini.12 Ditambahkannya, Kekristenan adalah percaya pada Tuhan yang Maha Esa, bukan banyak Allah dan percaya akan karya keselamatan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Tidak ditamhttp://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006/mei_31/hl003.html. Diakses pada tanggal 19 Jan 2009. 8 http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006. 9 http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006. 10 http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006. 11 http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006. 12 http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006. 7 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 173 bah-tambah lagi dengan Joseph Smith. “Kristen yang sejati adalah berasaskan Alkitab sebagai satu kebenaran. Artinya, Alkitab tidak dapat diubah atau ditambah-tambahi, apalagi disetarakan dengan buku lainnya atau ada kanon lain,” tegasnya. Sementara Pendeta Lucky Rumopa Wasek PKB Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) mengatakan kalau setiap warga negara diberi kebebasan untuk mencari Tuhan yang dilindungi dalam undang-undang negara. Sehingga Mormon telah diakui dan mempunyai badan hukum.13 Hanya saja dia menegaskan agar Mormon jangan diterima di bawah Bimas Kristen mengingat aliran Mormon memiliki kitab sendiri dan nabi sendiri dalam menemukan Allah. “Karena itulah perlu ada kajian lagi antara tokoh agama Kristen bersama Depag agar aliran Mormon dapat diterima,” tambahnya. Pihaknya bukan mengatakan aliran Mormon tersebut sesat, namun perlu ada ketegasan bahwa yang diakui hanya Alkitab yang terdiri dari Kitab Perjanjian lama dan Perjanjian Baru. “Apabila Depag dalam hal ini Bimas Kristen tidak ada standar yang digunakan maka saya kira Depag justru yang sesat,” tegas Pdt Rumopa.14 Meski ada hambatan yang dihadapi dalam pengembangan kehidupan keagamaannya, secara lambat tapi pasti Mormon mengepakkan sayapnya dengan meluncurkan situs www.yesuskristus.or.id. Maksudnya tentu sudah sangat jelas, memberikan informasi tentang dasar-dasar iman, sejarah perkembangan dan informasi lain terkait kegiatan mereka di Indonesia. Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Departemen Agama, Jason Lase mengatakan http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006/sep_18/lkMim001. html. Diakses pada tanggal 19 Jan 2009. 14 http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006/sep_18/lkMim001. html 13 174 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA bahwa melalui teknologi internet, pertukaran informasi dapat berjalan dengan sangat cepat, dan disitulah umat beriman dapat memakai teknologi untuk membuat jejaring dan mengomunikasikan pesan-pesan ilahi kepada manusia yang terhubung dan memiliki akses dengan teknologi tersebut. Atas dasar itulah ia menyambut dengan senang hati peluncuran situs/website resmi Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir (OSZA, selanjutnya disebut Mormon).15 Dinamika serta pergulatan keagamaan gereja Mormon di Indonesia, sangat menarik dicermati. Yang utama barangkali terkait dengan cara mereka mempertahankan diri dari kepungan mainline churches serta negara yang tercermin melalui kebijakan-kebijakannya. Dengan begitu, maka kita bisa mengidentifikasi cara serta strategi mereka untuk memperteguh identitasnya. Jemaat gereja Mormon di Kota Semarang dipilih sebagai objek penelitian. Pilihan ini dimaksudkan sekedar untuk melokalisir wilayah penelitian. Dengan merujuk pada komentar yang dimunculkan oleh jemaat di objek penelitian, maka upaya untuk mengidentifikasi identitas gereja Mormon sudah bisa dilakukan. B. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini berusaha untuk mencari jawaban atas beberapa pertanyaan berikut. Pertama, bagaimana dinamika kehidupan keagamaan gereja Mormon di Indonesia. Kedua, apa tantangan yang dihadapi oleh komunitas ini. Ketiga, dalam konteks yang spesifik, peSambutan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Departemen Agama RI pada acara peluncuran situs/website gereja Yesus Kristus Dari Orang-orang Suci Zaman Akhir pada tanggal 17 Agustus 2005. 15 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 175 nelitian ini berusaha untuk mengambil saripati dari pengalaman bergereja Jemaat Mormon di Semarang kaitannya dengan usaha mereka membentuk identitasnya. Penelitian ini dilaksanakan pada Agustus 2008-Maret 2009 dengan mengambil sampel jemaat gereja Mormon di Jl. A Yani 30 Semarang. C. Perspektif Pembacaan: Teori Identitas Untuk membaca dinamika kehidupan warga Mormon, maka penelitian ini akan menggunakan perspektif identitas atau the theory of identity. Identitas yang digambarkan secara teoritis ini dihadirkan sebagai jembatan untuk memahami apa yang menjadi petanda bagi eksistensi kelompok Mormon di Semarang ini. Dengan menyandarkan pada teori identitas, maka kelompok Mormon akan diidentifikasi sebagai gerakan yang bercirikan identitas apa. Itulah signifikansi pembahasan tentang identitas sebagai kerangka teoritik dalam bagian ini. Identitas tidaklah berlaku tetap, mapan, apalagi tertakdirkan, melainkan dibentuk dengan kesadaran melalui suatu proses sosial. Identitas merupakan suatu kondisi yang selalu dalam proses, karena kebudayaan disepakati sebagai situs perjuangan ideologi tempat kelompok-kelompok terbawahkan melawan wacana kelompok dominan, sementara kelompok dominan harus menegosiasi wacana perlawanan kelompok terbawahkan ini, agar wacananya tetap dominan. Perspektif tentang identitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengacu pada kategorisasi Manuel Castell dalam The Power of Identity. Tetapi sebagai pembanding, perlu digambarkan di sini mengenai identitas dalam pandangan lain. Charles Taylor misalnya menempatkan pembahasan identitas ini dalam konteks diskursus multikulturalisme. Ia menggambarkan fenomena kemajemukan dalam apa yang ia sebut 176 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA sebagai the politics of recognitions atau politik pengakuan. Tesis utama dari konsep ini adalah bahwa identitas manusia sebagian dibentuk oleh pengakuan atau tidak adanya pengakuan, dan person atau grup masyarakat dapat merasakan penderitaan dan penyimpangan jika masyarakat di seputarnya bercermin kembali padanya untuk membatasi, merendahkan diri atau gambaran yang hina mengenai diri mereka.16 Teoritikus lain yang mengemukakan gagasan tentang identitas adalah Sheldon Stryker. Seperti dikutip Jonatan H. Turner, Stryker mencari hubungan antara identitas dengan self.17 Gagasan tentang identitas menjadi jalan utama untuk merekonseptualisasi self. Dalam term umum, self dilihat sebagai seperangkat identitas yang merespon situasi khusus. Self dengan demikian dikonstruksi melalui sejumlah identitas. Identitas dapat berfungsi sebagai filter dari pandangan dan interpretasi seseorang terhadap orang lain. Identitas, dengan demikian, menurut Stryker adalah critical link antara struktur individu dan sosial karena identitas menunjukan bahwa masyarakat membuat dirinya sendiri dalam kaitannya dengan struktur sosial dan peran yang mereka mainkan melalui kebenaran di tempat tersebut.18 Paparan terakhir tentang kerangka teoritik dari identitas didedah oleh Manuel Castell.19 Castell menyebut bahwa identitas adalah sumber makna dan pengalaman manusia. Kita tidak bisa mengenal orang lain tanpa nama, tanpa bahasa atau Charles Taylor, Multiculturalism: Examining The Politics of Recognition, (Princeton: Princeton University Press, 2004), h. 25. 17 Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory, (California: Wadsworth Publishing Company 1998), h. 374. 18 Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory. 19 Manuel Castell, The Power of Identity, (Malden: Blackwell, 2004), h. 8. 16 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 177 budaya dalam mana kita bisa membuat pembedaan antara diri sendiri dan pihak lain, kita dan mereka. Pemahaman diri sendiri (self knowledge) selalu merupakan konstruksi betapapun orang menganggap bahwa itu suatu penemuan, tak pernah sama sekali dipisahkan dari klaim untuk dikenal dalam cara spesifik oleh pihak lain. Identitas, sebagaimana ia merujuk kepada aktor-aktor sosial, dipahami sebagai proses konstruksi makna atas dasar suatu atribut budaya atau seperangkat atribut kultural, yang diberi prioritas dibandingkan dengan sumber makna yang lainnya. Karena konstruksi sosial dari identitas selalu terjadi dalam suatu konteks yang ditandai oleh hubungan-hubungan kekuasaan, maka ada tiga bentuk dan asal usul dari pembangunan identitas. Pertama, legitimizing identity. Identitas ini berarti bahwa ia diperkenalkan/dipaksakan oleh institusi dominan dari masyarakat untuk memperpanjang/memperluas serta merasionalisasi dominasi mereka atas aktor sosial. Setiap tipe menuju proses pembanganan identitas memiliki dampak yang berbeda dalam masyarakat. Identitas legitimasi umumnya memiliki makna yang sama dengan masyarakat sipil, sekumpulan organisasi dan institusi, beberapa seri dari pembangunan dan aktor organisasi sosial, yang produktif, walaupun terkadang dalam keadaan kolektif, identitas yang dirasionalisasikan menjadi sumber dari dominasi struktural. Masyarakat sipil pada umumnya menganjurkan sebuah nada positif dalam perubahan masyarakat. Memang dalam konsepnya, masyarakat sosial dibentuk dari sekumpulan aparatur seperti gereja, koperasi, partai, persekutuan, asosiasi umum dan lain sebagainya. Sekumpulan aparatur tersebut di satu pihak merupakan satu kesatuan tersendiri, tetapi di lain pihak merupakan akar dalam masyarakat. Justru di sinilah terdapat dualisme karakter masyarakat sipil 178 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA yang memiliki hak dalam perubahan politik yang dimungkinkan oleh perampasan kekuasaan tanpa pemberian sebuah pemerintahan dan penyerangan keras. Penaklukan kekuasaan oleh keterpaksaan perubahan (mengatakan pemaksaan kemasyarakatan, dalam pemikiran Gramsci) saat ini dalam masyarakat sipil memungkinkan itu menjadi tepat karena kesinambungan antara institusi masyarakat sipil dan kekuatan aparatur dalam negara, pengorganisasian yang memiliki persamaan identitas. Kedua, resistance identity. Identitas jenis ini dimunculkan oleh aktor yang ada dalam posisi/kondisi yang tertindas atau dicap rendah oleh logika dominasi. Karena itu mereka berusaha untuk membangun kekuatan penolakan dan survival atas dasar prinsip yang berbeda atau bertentangan dengan yang dipaksakan oleh masyarakat. Identitas ini dibangun atas dasar bentuk perlawanan kolektif terhadap bentuk kebijaksanaan yang memberikan sebuah tekanan yang tidak dapat ditahan. Dasar dari pembentukan identitas ini juga dibentuk oleh sejarah. Contohnya, nasionalisme seringkali hadir karena perasaan teraleniasi atau di lain pihak hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, dalam bidang ekonomi dan sosial. Ketiga, project identity. Identitas ini muncul bila aktor-aktor sosial, atas dasar materi kultural yang tersedia bagi mereka, membangun identitas baru yang meredefinisi posisi mereka dalam masyarakat. Dengan cara itu mereka berusaha mentransformasi seluruh stuktur masyarakat/sosial. Contohnya: masyarakat post-patriarkal, gender, atau suatu rekonsiliasi antarpemeluk agama sebagai hasil perubahan dari pemahaman tidak adanya Tuhan, antikomunitas, masyarakat materialistis, yang di lain pihak semua itu tidak mampu menyelesaikan kebutuhan manusia dan gambaran tentang Allah. Identitas proyek ini lahir berdasarkan konteks historis. YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 179 Perspektif Castellian inilah yang akan menjadi parameter kerangka konseptual. Apakah identitas kelompok ini berwujud, legitimasi, perlawanan ataukah identitas proyek. D. Joseph Smith dan Pemulihan Gereja Yesus Kristus: Beberapa Doktrin Kunci Nama resmi gereja Mormon di Indonesia adalah Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir atau yang seringkali disingkat menjadi OSZA. Dalam bahasa Inggris nama gereja ini adalah The Church of Jesus Christ of Latter-Day Saints dan disingkat LDS. Nama ”Mormon” yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan Kitab Suci mereka yang kedua di samping Alkitab, yaitu Kitab Mormon (The Book of Mormon). Mormon adalah salah satu kelompok yang sangat cepat berkembang pada abad ke-20 dan ke-21 ini. Pengaruh mereka sangat terasa di AS, khususnya dalam politik pemerintahan negara ini. Saat ini ada lima senator AS yang berlatar belakang Mormon, yaitu Orrin Hatch dan Bob Bennett (Utah, R), Mike Crapo (Idaho, R), Harry Reid (Nevada, D), dan Gordon Smith (Oregon, R). Keputusan-keputusan yang mereka ambil dengan sendirinya sangat dipengaruhi oleh konstituensi mereka dan iman mereka. Dunia pendidikan dan kebudayaan Amerika Serikat juga cukup banyak dipengaruhi oleh orang-orang Mormon, misalnya Stephen Covey yang terkenal dengan bukunya 7 Habits of Highly Effective People dan keluarga Osmond yang terkenal melalui Donny Osmond dan Mary Osmond. Paduan suara Mormon Tabernacle dapat dikatakan sebagai salah satu paduan suara terbaik di dunia dan banyak sekali pengagumnya. 180 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Doktrin kunci yang menjadi identitas gereja Mormon sebenarnya cukup banyak. Selain Kitab Mormon,20 konsep kenabian (Joseph Smith) dan pemulihan gereja Yesus Kristus dari masa kemurtadan adalah dua ajaran yang cukup krusial dalam tradisi gereja Mormon. Seperti halnya kekristenan pada umumnya, ajaran Mormon juga memahami bahwa Yesus Kristus adalah pusat dari segala yang dilakukan manusia. Di gereja Mormon, Yesus Kristus dan korban tebusan adalah pusatnya. Selain itu fokus dari ajaran gereja Mormon juga berkisar dalam masalah keluarga. Bagi mereka, keluarga merupakan tempat yang paling kudus di atas bumi ini. Hubungan keluarga bukan saja sesuatu yang kebetulan atau berlangsung dalam waktu sebentar. Setelah kehidupan ini, keluarga tidak menjadi teman yang akrab di surga saja, tetapi kita tetap sebagai unit keluarga, seperti halnya kehidupan dunia. Dalam sebuah pernyataannya, Presiden Gordon B. Hinckley mengatakan kalau keluarga ditetapkan oleh Allah. Pernikahan antara pria dan wanita adalah mutlak bagi rencana kekal-Nya.21 Anak-anak berhak dilahirkan dalam ikatan perkawinan dan untuk dibesarkan oleh seorang ayah dan seorang Kitab Mormon merupakan kumpulan dari 15 tulisan yakni I Nefi, II Nefi, Yakub, Enos, Yarom, Omni, Sabda Mormon, Mosia, Alma, Helaman, III Nefi, IV Nefi, Mormon, Eter dan Moroni. Kitab ini memiliki beberapa tema utama antara lain, bermukimnya orang Ibrani di benua Amerika sebelum era kekristenan, pertobatan, Amerika sebagai tanah terjanji dan wawasan milenial dalam kaitannya dengan pembangunan Sioan di Amerika. Selain membaca Kitab Mormon ada edisi pembaca yang menerangkan tentang isi Kitab Mormon yang digambarkan secara naratif. Temukan dalam Joseph Smith Jr, Mormon’s Book: A Reader’s Edition of The Book of Mormon, (Utah, 2005). 21 Gordon B. Hinckley, “Keluarga: Pernyataan Kepada Dunia”, Pesan pada pertemuan Lembaga Pertolongan Umum di Salt Lake City, Utah, 23 September 1995. 20 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 181 ibu yang menghormati perjanjian pernikahan dengan kesetiaan mutlak. Lanjut Hinckley, pecahnya keluarga akan mendatangkan bencana kepada perseorangan, masyarakat dan bangsa, bencana yang dinubuatkan oleh para nabi zaman dahulu dan zaman modern.22 Tentang kenabian, saat ini gereja Mormon dipimpin oleh Nabi Thomas S. Monson sejak Januari 2008 setelah Gordon B. Hinckley meninggal. Yang luar biasa, dalam gereja Mormon meski seorang nabi meninggal, gereja ini tidak berhenti sama sekali.23 Gereja ini berlangsung karena selalu ada lagi nabi yang dipanggil oleh Allah sebagai kasih-Nya. Jadi untuk mengerti kenapa Thomas S. Monson menjadi seorang nabi, karena dia tidak memanggil dirinya sebagai nabi. Tetapi dia dipanggil melalui wahyu untuk menjadi nabi. Kalau ada nabi di atas bumi, berarti sekarang disebut sebagai masa kelegaan. Dan pada masa kelegaan di zaman akhir ini, Joseph Smith merupakan nabi yang pertama. Tetapi dia adalah nabi yang sama seperti Musa, Nuh dan juga Adam. Dan itu seperti yang bisa dibaca di Amos 3:7 ”Sungguh, Tuhan Allah tidak berbuat sesuatu tanpa menyatakan keputusanNya kepada hamba-hamba-Nya, para nabi”. Yang dipahami adalah bahwa Allah akan memimpin anakNya di atas bumi ini, Dia mengasihi setiap saat melalui seorang nabi. Manusia tidak dapat berjalan dengan Dia di atas bumi ini sendiri. Manusia harus berjalan dengan iman. Dia tidak akan meninggalkan manusia berjalan sendiri. Dia akan meninggalkan umat manusia dengan seorang wakil, puteraNya, Yesus Kristus. Proses itu telah dimulai sejak dari Adam. Dalam perjalanan tersebut, Adam tidak memanggil dirinya tetapi Ia dipanggil oleh Allah dan diberi kuasa imamat. 22 23 Gordon B. Hinckley, “Keluarga: Pernyataan Kepada Dunia”. Wawancara Elder Andresen, Agustus 2008. 182 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Kuasa imamat adalah kuasa untuk bertindak dalam nama Allah. Dan itu diberikan hanya kepada pria yang layak. Kuasa imamat itu adalah kuasa untuk melakukan tata cara Injil seperti pembaptisan, memberitahukan karunia Roh Kudus dan untuk mengajar asas-asas Injil. Kalau ada nabi, berarti ada wahyu yang hidup dan kuasa untuk melaksanakan itu. Dengan begitu, kelayakan gereja bisa dilindungi, serta perintah bisa diberitahukan. Manusia bisa memakai hak pilih mereka yang datang dari Bapak Surgawi dan ia tidak akan memaksa manusia. Kadang-kadang manusia menolak para nabi. Sewaktu mereka menolak nabi, Allah menarik kuasanya dari bumi. Untuk masa dimana nabi atau kuasa itu tidak ada, di situlah disebut sebagai masa kemurtadan. Tetapi Allah mengasihi manusia. Dia akan memberi tangan-Nya kepada manusia. Dia akan memberi manusia para nabi. Jadi, setelah manusia jatuh pada masa kemurtadan, Allah memanggil nabi untuk memulihkan segalanya, seperti Nuh. Ia dipanggil untuk memulihkan segalanya. Dia diberi kuasa yang sama. Lalu manusia menolak Nuh jatuh pada masa kemurtadan. Tetapi Allah kemudian memanggil Abraham, Musa untuk memulihkan lagi. Seorang nabi, yang paling penting adalah karena dipanggil Allah. Dia harus layak, rendah hati, penuh kasih, memiliki sifat seperti Kristus dan itu tidak berbeda dari kita semua. Sebenarnya, kapasitas itu bisa dimiliki siapa saja dan tidak berbeda dari manusia lainnya. Para nabi datang dari latar belakang bermacam-macam, bisa petani, dokter, ahli hukum, guru sekolah dan siapapun. Mereka dipanggil Allah dengan wewenang dan kuasa lebih tinggi. Sampai akhirnya, Allah mengirim puteranya sendiri Yesus Kristus. Di sini, Yesus Kristus mendirikan gereja dan memiliki YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 183 12 rasul.24 Rasul-rasul itu juga diberikan kuasa imamat. Sama seperti yang diberikan kepada Nuh, Musa, Abraham dan lainnya. Kelompok Mormon percaya bahwa Yesus Kristus menebus dosa umat manusia, disalibkan. Setelah itu, Yesus Kristus naik ke surga dan para rasul yang masih ada di bumi itu melakukan semua keimamatan, upacara kudus seperti sakramen dan pembaptisan. Saat Yesus Kristus naik ke surga, masa kemurtadan belum berlangsung, karena murid-murid Yesus Kristus masih ada. Tetapi lama kelamaan, ajaran rasul itu ditolak, dan saat itu imamat ditarik dari bumi dan berlangsunglah masa kemurtadan. Elder Andressen mengibaratkan kalau kehidupan gereja itu bagaikan kursi.25 Kursi itu seperti gereja Yesus Kristus dengan ajaran dan wewenang yang sempurna. Mungkin keanggotaannya yang tidak sempurna. Ia bisa berdiri karena ada kuasa wewenang imamat melalui nabi. Tetapi kalau kakinya diambil, kursi itu jatuh. Dengan kejatuhan kebenaran ini, banyak ajaran yang muncul. Dulu para rasul Kristus yang mengajarkan kepada manusia. Mereka menjaga ajaran Kristus. Mereka menerima wahyu bisa dan mengajar dari tulisan suci. Tetapi ketika mereka tidak ada, manusia mencoba dan berusaha untuk menjalankan Injil Yesus Kristus sebaik-baiknya, tetapi tanpa ada kuasa dari Allah Bapak. Manusia berusaha membangun gereja Yesus Kristus, tetapi tanpa izin dari Dia. Yang terjadi kemudian, muncullah banyak ajaran yang diubah. Misalnya pembaptisan, dulu dicelupkan sekarang sudah bermacam-macam seperti dipercik. Padahal ajarannya jelas seperti yang diungkapkan dalam Efesus 4:5 ”ke- 24 25 Wawancara Elder Supriyanto, Agustus 2008. Wawancara Elder Andressen, 24 Agustus 2008. 184 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA tika ada satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan”. Kristus ada satu, imannya, gerejanya, injilnya hanya ada satu.26 Ketika berbicara mengenai Injil, maka yang dimaksud bukanlah kitab-kitab Injil, tetapi Injil yang merupakan ajaranajaran Yesus Kristus. Jadi hanya ada satu, gereja Yesus Kristus pada zaman dahulu dan satu baptisan. Dengan berubahnya waktu, banyak sekali muncul gereja. Saat gereja dibangun dan ada orang yang tidak menyukai ajarannya, lalu banyak di antaranya yang keluar dan membangun gereja sendiri. Kemurtadan ini sebenarnya juga diramalkan dalam Alkitab di Amos 8: 11-12. ”Sesungguhnya waktu akan datang”, demikianlah firman Tuhan Allah, ”Aku akan mengirimkan kelaparan ke negeri ini, bukan kelaparan akan makanan dan bukan kehausan akan air, melainkan akan mendengarkan firman Tuhan. Mereka akan mengembara dari laut ke laut dan menjelajah dari utara ke timur untuk mencari firman Tuhan, tetapi tidak mendapatnya”. Manusia tidak bisa mendapatkanya, kecuali diberikan Allah. Seperti sebuah lilin, ia harus diberi api dari lilin yang sudah ada apinya. Jadi orang tidak bisa memperoleh imamat yang dibutuhkannya, sendiri. Tidak bisa juga dari pembelajaran yang tinggi. Seperti kepandaian Alkitab, itu harus diberikan dari aturan Tuhan. Allah memberi itu kepada Yesus Kristus dan Yesus Kristus memberikan kepada rasul-Nya. Dan para rasul tidak memberikan itu kepada siapapun pada zaman dahulu. Tetapi kemurtadan besar ini, mempersiapkan manusia dan dunia, untuk sebuah pemulihan sekali lagi untuk zaman akhir. Setelah itu, kemurtadan itu tidak akan terjadi lagi. Dalam doktrin gereja Mormon, Joseph Smith-lah yang memegang kunci kenabian itu. Jika dibandingkan, tiga dari 26 Wawancara Elder Andressen, 24 Agustus 2008. YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 185 agama besar dunia, Yahudi, Kristen dan Islam, memulai risalat kewahyuannya dengan keajaiban-keajaiban, perjalanan Israel dari Mesir, kebangkitan Yesus Kristus dan penerimaan wahyu oleh Muhammad.27 Seperti halnya Kekristenan, Mormon mendasarkan imannya pada keajaiban-keajaiban yang ada dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tetapi kemudian mereka meyakini bahwa Tuhan juga berkarya melalui nabi-Nya pada abad 19.28 Smith dilahirkan pada 1805 di Sharon, Vermont. Dia tinggal di New York dalam sebuah keluarga sangat religius, ada yang ikut di Metodis, dan gereja lainnya. mereka sering membaca Alkitab bersama, berdoa dan lainnya. Pada usia 14 tahun, Smith khawatir akan ketenteraman jiwanya. Dia melihat ada banyak gereja, masuk ke satu gereja, ada yang kurang cocok dengan hatinya, lalu masuk lagi ke gereja yang lain.29 Di gereja tersebut ia menemukan kutipan ayat yang sama tetapi dengan penafsiran yang jauh berbeda. Yang bisa menghancurkan keyakinan tentang gereja mana yang benar di atas bumi ini. Ia mempelajari tentang satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan, tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan atas firman itu. Pada suatu hari ia membaca Yakobus 1:5 ”Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit, maka hal itu akan diberikan kepadanya. Kalau membaca itu dalam kebingungan, maka pasti akan melakukannya”. Claudia L. Bushman, Contemporary Mormonism: Latter Day Saints in Modern America, (West Port, Connecticut: Praeger, 2006), h. 13. 28 Claudia L. Bushman, Contemporary Mormonism. 29 “Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir”, Kesaksian Nabi Joseph Smith, (Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir, 1998), h. 1. 27 186 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Joseph Smith membaca ayat itu dan memutuskan untuk bertanya kepada Tuhan. Pada suatu hari di musim semi 1820 dia pergi ke sebuah hutan kecil di dekat rumahnya. Dan untuk kali pertama dalam kehidupan, ia berlutut dan dengan suara, lalu bertanya pada Allah Bapak, “gereja mana yang benar?” Sewaktu Smith mulai berdoa, ia mengalami sesuatu yang luar biasa yang indah yang disebut hikmat. Joseph Smith melihat Bapak Surgawi dan Yesus Kristus dan ia mengatakan pengalamannya, “Aku melihat tepat di atas kepalaku, suatu tiang cahaya yang lebih terang dari pada sinar matahari, yang perlahanlahan turun sampai mengenai diriku. Ketika cahaya itu berhenti di atas diriku, aku melihat dua orang yang terang dan kemuliaanNya tidak dapat dilukiskan, yang berdiri di atas diriku di udara. Salah seorang dari Mereka berkata kepadaku, dengan memanggil namaku dan mengatakan sambil menunjuk kepada yang lain: Inilah Putra-Ku yang Kukasihi. Dengarkanlah Dia!’ (Joseph Smith, 16-17) Yesus Kristus berbicara kepada Joseph Smith ketika ia bertanya gereja mana yang harus ia ikuti. Dan Yesus memberitahu Joseph Smith untuk tidak bergabung dengan gereja manapun, karena “semua sekte itu salah” dan “mereka menghampiri Aku dengan bibir mereka, namun hati mereka jauh daripada-Ku, mereka mengajarkan untuk ajaran agama peraturan manusia, yang terselubung keilahian: namun mereka menyangkal kuasa ilahi itu” (Joseph Smith, 2: 19).30 Pada tahun 1829, Smith menerima wewenang imamat yang sama yang telah Yesus Kristus berikan kepada para rasulnya. Yohanes Pembaptis, yang membaptiskan Yesus Kristus, menampakkan diri kepada Joseph Smith dan menganugerahkan “Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir”, Pemulihan Injil Yesus Kristus, (Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir, 1998), h. 11. 30 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 187 kepadanya imamat Harun31 atau imamat yang lebih rendah. Petrus, Yakobus dan Yohanes kemudian menampakan diri dan menganugerahkan kepadanya Imamat Melkisedek32 atau imamat yang lebih tinggi. Jadi garis keimamatan itu jelas. Setelah menerima wewenang imamat, Joseph Smith diberikan petunjuk untuk mengorganisasi kembali gereja Yesus Kristus di bumi. Melalui dia, Yesus Kristus sekali lagi memanggil Dua Belas Rasul. Sama seperti Yesus Kristus yang memimpin para rasulnya melalui wahyu setelah KebangkitanNya, Dia terus mengarahkan gereja saat ini melalui para nabi dan rasul yang hidup. Presiden gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir adalah nabi yang dipilih Allah saat ini. Dia, para penasihatnya dan dua belas rasul memegang wewenang imamat yang dipegang para nabi dan rasul dari zaman sebelumnya. Para pria ini adalah para nabi, pelihat dan pewahyu. Dalam Effesus 2:19-20 dijelaskan mengenai dasar bahwa para rasul dan nabi untuk memulihkan gereja. Smith dan rasulnya diberikan kuasa imamat yang sama. Hanya saja Smith yang memegang kuncinya dan para rasul yang melanjutkan kuasa imamat itu. Imamat Harun adalah Imamat yang lebih rendah. Imamat ini meliputi wewenang untuk membaptiskan dan disebutkan menurut nama Harun dalam Alkitab Perjanjian Lama. 32 Imamat Melkisedek adalah imamat yang lebih tinggi atau lebih besar. Imamat ini disebut menurut nama Melkisedek dalam Alkitab Perjanjian Lama, yang adalah seorang imam besar dan raja yang saleh. 31 188 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA E. Mormon di Indonesia: Sejarah Singkat 33 Gereja Mormon pertama kali dikenal sebagai sebuah yayasan di Indonesia pada 1969, tetapi Misi Indonesia Jakarta belum secara resmi dibentuk sampai tahun 1975.34 Dalam rujukan lain disebutkan kalau gereja Mormon masuk ke Indonesia melalui enam misionarisnya pada tanggal 5 Januari 1970.35 Mereka kemudian berhasil membaptis petobat pertama pada tangggal 29 Maret 1970.36 Izin resmi yang didapatkan sebagai organisasi keagamaan resmi di Indonesia pada 11 Agustus 1970. Dari tahun 1980 sampai 2001 misi tersebut hanya didukung oleh misionaris setempat dan pasangan senior misionaris asing bidang kemanusiaan yang melayani di bawah organisasi LDS Charities. Pada tahun 1987 gereja menerima pengakuan resmi dari pemerintah Indonesia sebagai sebuah kesatuan gereja yang terpisah dari yayasan yang sebelumnya dibentuk. Pada bulan Januari tahun 2000 Presiden Gereja, Gordon B. Hinckley, mengunjungi Indonesia atas undangan Presiden Abdurrahman Wahid. Tahun berikutnya misionaris asing diizinkan kembali melayani di negara Indonesia bersama para misionaris setempat. Saat ini Misi Indonesia Jakarta terdiri dari 23 cabang di bawah tiga distrik. Sebagian besar cabang-cabang ini berada di pulau Jawa, dengan satu cabang di kota Medan, Sumatra dan Data mengenai sejarah perkembangan Mormon di Indonesia memang sangat terbatas. Beberapa di antara bagian dari perjalanan Mormon di Indonesia yang dipaparkan dalam bagian ini dikutip dari situs www.yesuskristus. or.id. 34 www.yesuskristus.or.id. 35 Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), Cet ke 8, h. 343. 36 Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran, h. 344. 33 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 189 satu cabang lagi di kota Manado di Sulawesi. Para misionaris melayani di semua cabang. Juga, ada tujuh pasang misionaris senior yang ditugaskan untuk membantu proyek-proyek kemanusiaan serta program pelayanan lainnya melalui “LDS Charities”, membantu di kantor misi, dan memberi dukungan pada cabang-cabang setempat. Sejak Juli 2007 sampai sekarang, Presiden Ross H. dan Sister B. Heidi Marchant dari Wilayah Holiday Salt Lake City memimpin sebagai Presiden Misi.37 Sebelum panggilannya sebagai Presiden Misi, Presiden Marchant telah bekerja selama 32 tahun untuk Farmers Insurance dalam menangani klaim-klaim kematian dan luka serius yang diakibatkan karena kecelakaan berkendaraan. Ia juga telah bekerja sebagai seorang pelobi bagi Badan Pembuat Undang-Undang Utah (Utah Legislature) dan Departemen Asuransi di negara bagian Utah.38 Sebagai seorang pemuda, ia menerima panggilan misinya ke Misi Singapura tetapi tidak lama setelah itu nama misinya diubah menjadi Misi Asia Tenggara. Setelah melayani beberapa bulan di Singapura, dia dikirim untuk melayani di Indonesia. Penatua Ezra Taft Benson telah mendedikasikan Indonesia bagi pekerjaan misi beberapa bulan sebelumnya. Presiden Marchant tiba di Indonesia pada 1970 dan melayani di kota Jakarta, Bandung, dan Bogor. Pengalamannya di gereja mencakup sebagai sekretaris cabang, penasihat dalam keuskupan, juru tulis cabang, guru pratama, dan presiden misi wilayah. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Salt Lake City, Utah, dan lulus dari University of Utah pada jurusan keuangan. Ia bertemu Sister Marchant di sebuah pernikahan dan sepuluh bulan kemudian mereka menikah di Bait Suci Profil mengenai presiden misi bisa dilihat juga di majalah terbitan Gereja Mormon, Liahona. Baca Liahona, Edisi Oktober 2007, h. 11-13. 38 Liahona, Edisi Oktober 2007, h. 11-13. 37 190 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Salt Lake. Mereka adalah orang tua dari delapan anak – empat putra dan empat putri. Semua putra dan seorang putri mereka telah melayani misi penuh-waktu – semuanya melayani di misi yang berbahasa Spanyol. Mereka memiliki sembilan cucu. Sister Marchant juga dilahirkan di Salt Lake City, Utah, menghadiri University of Utah dan lulus dengan gelar di bidang Medical Technology, serta pernah melayani sebagai pekerja sejarah keluarga, sekretaris Lembaga Pertolongan wilayah, presiden Pratama lingkungan, penasihat dalam presidensi Lembaga Pertolongan, dan pemimpin pelayanan kasih Lembaga Pertolongan. Setelah anak-anak mereka lahir, Sister Marchant bekerja satu malam setiap minggu pada bank darah di RS. LDS, tetapi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membesarkan anak-anak mereka dan menciptakan suasana yang baik di dalam keluarga mereka. Dari Juli 2004 hingga Juni 2007, presiden misi yang memimpin adalah Presiden Dean C. Jensen. Ia dan istrinya, Margaret Jean Jensen, adalah anggota Wilayah Mesa Arizona Salt River. Sebelum panggilan mereka sebagai presiden misi dan istri, mereka telah melayani bersama di Jakarta, Indonesia; Oaxaca, Mexico; dan Jameson, Missouri. Sewaktu muda, Presiden Jensen melayani sebagai misionaris di Misi Northern Indian. Pengalaman di gereja dari Presiden Jensen termasuk sebagai juru tulis wilayah, sekretaris pelaksana wilayah, presiden remaja putra wilayah, anggota dewan tinggi, uskup dan pembina pramuka. Ia lulus dengan gelar BS di Business Administration dari Universitas Nevada, Las Vegas dan menjalankan perusahaan konstruksi pribadinya selama 30 tahun membangun rumah-rumah tinggal, gedung-gedung komersial/ industri dan restoran-restoran. Ia dilahirkan 14 Juli 1946 di Boise, Idaho dengan orang tua Weldon Tolman dan Roma Condie Jensen. Ia dan Sister Jensen dinikahkan di Bait Suci YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 191 Mesa pada tahun 1967. Mereka adalah orang tua dari tujuh anak dan memiliki 13 cucu. Selain pelayanan mereka sebagai misionaris, Sister Jensen pernah melayani sebagai penasihat di presidensi Remaja Putri wilayah, misionaris wilayah, presiden Lembaga Pertolongan lingkungan, presiden Remaja Putri dan guru Ajaran Injil. Sister Jensen dilahirkan di Safford, Arizona dengan orang tua Grover Lamro dan Margaret Elaine Russell Hoopes. Berbeda halnya dengan perkembangan di Amerika, gereja Mormon di Indonesia terganjal pelbagai macam kebijakan pemerintah, terutama pada masa orde baru. Tiga regulasi negara yang cukup membuat gerak misionaris gereja Mormon menjadi sangat terbatas adalah Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 77 tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia dan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia.39 Terlepas dari pelbagai kebijakan yang agak mempersempit ruang gerek para misionaris (asing), gereja Mormon di Indonesia masih terus berkarya nyata dalam wilayah sosial. Salah satunya adalah pemberian bantuan untuk korban lumpur Lapindo Sidoarjo pada 19 Mei 2007. Bahkan dalam kesempatan itu mereka tidak canggung untuk bekerjasama dengan pihak lain dari komunitas lintas agama. Dalam upaya untuk membantu korban lumpur Lapindo gereja Mormon bekerja sama dengan pengurus Nahdlatul Ulama setempat.40 Kepedulian Weinata Sairin, Himpunan Peraturan di Bidang Keagamaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), h. 50-68. 40 Liahona, Edisi Oktober 2007, h. 14. 39 192 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA terhadap korban bencana alam mereka tunjukan juga saat terjadi tragedi tsunami di Aceh tahun 2004. Melalui program Islamic Relief dan Adventist Development and Relief Agency mereka membangun sekolah, melatih guru mengembangkan kurikulum dan lainnya.41 F. Gereja Mormon dalam Kosmologi Semarang Di Semarang yang termasuk Distrik Surakarta, gereja Mormon berdiri tegak di tengah pusat keramaian. Tepatnya di Jalan A. Yani 30 Semarang, persis di kawasan Simpang Lima yang menjadi jantung hilir mudik masyarakat Kota Semarang dan sekitarnya. Menarik untuk mencermati fenomena aliran ini, karena banyak yang mengatakan bahwa sekte ini sudah bukan lagi Kristen, meski di saat yang sama mereka percaya pada Yesus. Perkembangan Mormon di Indonesia, bisa dikatakan tidaklah sepesat di Amerika atau negara-negara dengan tingkat kebebasan sipil yang tinggi seperti Eropa. Elder Andressen salah seorang missionaris yang bertugas di Semarang (hingga 2008) menuturkan bahwa itu terjadi, salah satunya karena banyak aturan yang berpretensi membatasi gerak para misionaris.42 Itu disebabkan salah satunya dalam peraturan tentang pembatasan bantuan keagamaan dari luar negeri. Tak hanya karena banyaknya peraturan, gereja Mormon menjadi terjepit karena mereka memiliki problem dalam internal kekristenan. Gereja Mormon seringkali dianggap sebagai “gereja sesat gereja setan” atau sebutan miring lainnya. Kekristenan mainstream, yang tidak memahami secara mendalam 41 42 Lihaona, Edisi Juli 2006, h. 2. Wawancara Elder Andressen, tanggal 20 Agustus 2008. YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 193 kelompok ini, menisbatkan pada perilaku segelintir penganut Mormon ekstrem yang masih mempraktikan poligami. Pengalaman itu juga dirasakan oleh jemaat gereja Mormon Semarang.43 Sebelum mencermati identitas Gereja Mormon, penting untuk memahami bagaimana formasi simbol-simbol keagamaan di Kota Semarang. Kota ini menanggung dua beban administratif sekaligus, sebagai kota dan ibukota provinsi Jawa Tengah. Imbasnya, Semarang menjadi pusat kekuasaan, ekonomi, sekaligus tempat dimana “simbol-simbol keagamaan” yang cukup megah terkonsentrasi di “kota banjir” ini. Di daerah Jalan Gajah Raya berdiri Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) yang baru saja diresmikan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 2006 lalu. Di kawasan Simpang Lima Masjid Baiturrahman berdiri tegak. Namun, di antara sekian masjid, yang memiliki nilai historis lebih, tentu adalah masjid Kauman di daerah Pasar Johar. Bukti sahih umur dari masjid Kauman ini yang sudah sangat tua (sekitar tiga abad) yaitu adanya prasasti di gerbang masuk masjid bertuliskan bahasa Belanda. Terdapat tulisan yang menjelaskan masjid itu dibangun pada pada 1750 atau abad 18-an. Prasasti itu sendiri diukir di atas batu yang kemudian disatukan (ditanam) di tembok gerbang masjid, tulisannya pun masih sangat jelas terbaca walaupun sudah usang dimakan usia. Selain kelompok Islam arus utama, kelompok minoritas juga cukup mendapat ruang di sini. Meski tidak masif, kelompok Syiah dan jemaat Ahmadiyah misalnya, masih terbilang eksis. Tanggal 9 Februari 2006, sekitar dua ribu orang jemaah Syiah berkumpul di Balai Sindoro Kompleks PRPP Tawangmas 43 2008. Wawancara Mardiyono, Presiden Cabang Semarang, 20 Agustus 194 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Semarang.44 Jemaah tersebut ternyata sedang memperingati Tragedi Karbala yakni hari dimana terbunuhnya Sayidina Husain, cucunda Rasulullah. Jumlah tersebut tentu cukup besar untuk hitungan sebuah mazhab yang hampir-hampir tidak pernah terdengar kabar beritanya. Fenomena tersebut semakin memperkokoh bahwa kaum Syiah memang eksis dan bukan tidak mungkin memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap perkembangan agama Islam di Nusantara. Peringatan yang sama dilakukan oleh Komunitas Syiah Semarang dan sekitarnya pada tahun 2009. Peringatan Assyura itu digelar Yayasan Nuruts Tsaqolain di Convention Hall Masjid Agung Jawa Tengah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan tersebut dihadiri warga Syiah dari berbagai kota di Jawa Tengah, seperti Semarang, Jepara, Pekalongan, Salatiga, Cilacap, dan Surakarta.45 Kelompok Islam minoritas lainnya, Jemaat Ahmadiyah Semarang, hingga saat ini masih menjalankan aktivitas keagamaannya. Meski pemerintah berusaha membatasi gerak Jemaat Ahmadiyyah, salah satunya melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Agama No 3 tahun 2008, Jaksa Agung Nomor Kep033/A/JA/6/2006, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, tetapi toh hal tersebut tidak membuat mereka menghentikan aktifitasnya. Tentu bukan berarti mereka membangkang negara, tetapi karena aktifitasnya sebatas ibadah salat lima waktu. Berbeda halnya dengan kehidupan Jemaat Ahmadiyah di kota lain seperti Lombok, Kuningan, Majalengka dan Tasikmalaya, mereka hidup di Kota Semarang tanpa disertai dengan 44 45 Suara Merdeka, 11 Februari 2006. Suara Merdeka, 10 Januari 2008 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 195 kekhawatiran akan timbulnya sikap yang tidak mengenakkan dari masyarakat. Setelah dikeluarkannya SKB (Juni 2008 hingga Februari 2009), tercatat ada dua kasus yang terkait dengan resistensi terhadap Jemaat Ahmadiyyah. Yang pertama adalah aksi menolak kehadiran Ahmadiyah di Semarang yang dilakukan oleh tidak lebih sepuluhan masa yang menamakan dirinya sebagai Aliansi Mahasiswa Islam (AMI) Semarang. Yang kedua adalah pembubaran pengajian oleh pihak kepolisian dalam acara Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Jawa Tengah dan Yogyakarta pada bulan Januari 2009. Dalam struktur pemerintahan gereja Katolik, Semarang juga adalah ibukota warga gereja di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Hal ini ditandai dengan berdirinya Keuskupan Agung Semarang di kawasan Tugu Muda. Saat ini, Keuskupan Agung dipimpin oleh RM.Ignatius Soeharjo. Sejak lama, gereja Katolik memiliki perhatian yang luar biasa dalam mengembangkan dimensi sosialnya. Upaya itu ditunjukkan misalnya dengan membangun institusi sosial seperti Yayasan Sosial Soegijapranoto (YSS) dan pendidikan. Tetapi usia Keuskupan sesungguhnya masih sangat belia. Tahun 2008 Keuskupan Semarang baru berumur 80 tahun. Dalam tilikan sejarah, gereja Katolik yang paling banyak memiliki kandungan makna tak lain adalah gereja Katolik Gedangan. Konon, itulah gereja yang dibangun kali pertama oleh Van Lith saat melaksanakan misinya di Semarang. Usianya sudah mencapai 200 tahun lebih. Dari kawasan Pecinan muncul kelegaan ketika Gus Dur mengembalikan hak warga Khonghucu untuk beribadat dan mengekspresikan keyakinannya pada tahun 2000. Warga Khonghucu terlihat bergairah ”memerahkan” Indonesia, tak terkecuali Semarang. Kelenteng Tay Kak Sie dan Sam Poo Kong adalah dua simbol eksistensi masyarakat Khonghucu dan 196 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Tionghoa pada umumnya. Komunitas pecinan Semarang merupakan warga terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Tak heran, jika kelompok ini memainkan peran yang cukup signifikan. Soliditas kelompok Pecinan, terlihat dalam berbagai organisasi atau perkumpulan sosial yang di dalamnya melibatkan etnis Tionghoa. Diantaranya adalah Perkumpulan Rasa Dharma dan Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis). Tak hanya itu, warga Tionghoa yang beragama Islam juga aktif terlibat dalam Perkumpulan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Walau didasarkan atas semangat etnosentrisme Tionghoa, tetapi dalam perjalanannya, yayasan sosial masyarakat pecinan itu membuka lebar-lebar pintu bagi kalangan non-Tionghoa untuk terlibat di dalamnya. Bagi kalangan umat Buddha Semarang, Vihara Watu Gong yang beraliran Theravada dan Vihara di Marina yang beraliran Mahayana berperan cukup penting. Vihara ikut dalam kegiatan lintas agama seperti membagikan sembako pada Idul Fitri kemarin. Sementara pura Girinatha barangkali menjadi saksi simbolik bagi eksistensi agama Hindu di Semarang. Selain itu, tidak bisa dilupakan bahwa eksistensi kelompok Kejawen di Semarang juga sangat kuat. Penganut aliran kepercayaan ini tersebar di berbagai organisasi seperti Sumarah, Sapta Dharma, Pangestu dan lainnya. Belum lagi jika ditambah dengan penganut aliran kepercayaan yang tidak memiliki organisasi resmi. Sementara, kekristenan di Semarang menjamur dan terdiri dari banyak gereja dari denominasi yang beragam. Sudah tak terhitung berapa banyak denominasi yang berkembang di Semarang. Belum ada data resmi yang menunjukkan tentang jumlah denominasi ini. Tetapi, menurut perkiraan, ada sekitar 100-an denominasi yang menyebar di seluruh penjuru Semarang. YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 197 Dari sisi bangunan, gereja dengan kandungan nilai kesejarahan cukup tinggi adalah Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) atau gereja Blenduk yang terletak di kawasan Kota Lama. Sebagai gereja warisan Belanda, sama halnya dengan gereja-gereja GPIB umumnya, Gereja Blenduk ini memiliki keunggulan dan keunikan dari sisi arsitekturnya. Sejauh pengamatan di lapangan, denominasi itu menyebar mulai dari gereja-gereja beraliran Calvinis seperti GPIB, Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Kristen Jawa (GKJ), aliran Pentakosta, Gereja Isa Almasih (GIA), Gereja Bethel Indonesia (GBI), aliran Mennonite, Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI), Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ). Gereja yang berbasis kesukuan seperti Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang beraliran Lutheran juga berdiri tegak di Semarang. Selain gereja mainstream, hadir pula “free church” seperti Bala Keselamatan (Salvation Army) dengan Rumah Sakit William Boothnya, kelompok Unitarian serta Saksi Yehova. Gerak dan perkembangan Saksi Yehova di Jawa Tengah juga menarik untuk dicermati. Hingga sekarang (awal 2009), mereka telah memiliki tiga Balai Kerajaan. Masing-masing berada di Ungaran, yang baru saja diresmikan pada 29 Desember 2008, Jalan Dr Suratmo Semarang dan Jalan Cempedak Semarang, yang sudah diresmikan penggunaannya awal 2008.46 Sementara gereja Mormon, dilihat dari perspektif ruang keagamaan Kota Semarang, berada dalam wilayah yang cukup menguntungkan. Meski “hanya” dihadiri oleh kurang dari 100 Jemaat dalam setiap kebaktian, gereja ini cukup bisa bersaing dibanding gereja-gereja lainnya, paling tidak untuk urusan tampilan fisik. Gereja Mormon atau gereja Yesus Kristus dari Orang Suci Zaman Akhir menempati ruang yang cukup 46 Suara Merdeka, 30 Desember 2008. 198 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA strategis, karena berada persis di jantung Semarang, tepatnya di kawasan Simpang Lima. Posisi gereja di tengah kota Semarang itu terkait dengan perkembangan gereja Mormon yang pada umumnya selalu berkembang dari tengah kota. Meski begitu, jemaat gereja Mormon kebanyakan berasal dari daerah pinggiran. Daerah sekitar gereja malah tidak ada yang menjadi jemaat. Konsep pembangunan gereja ini selalu mengacu kepada pembangunan gereja pusat di Amerika Serikat. Bahkan arsiteknya pun dari Amerika. Gereja Mormon masuk ke Semarang sekitar tahun 1970an.47 Sebelum menetap secara permanen di Jalan A. Yani 30, gereja ini berpindah dua kali yakni daerah Pekunden dan Jalan Lontar.48 Presiden Cabang Semarang, Mardiyono mengatakan kalau ia sendiri datang ke Semarang itu tahun 1991 setelah sebelumnya bergereja di Surabaya.49 Saat kali pertama bergereja di Semarang, bangunan gereja masih biasa, tidak bagus seperti sekarang ini. Semua pengurus di gereja Mormon tidak dibayar. Mereka menjalankan kepengurusan selama lima tahun. Kalau dirasa masih sanggup atau dipilih lagi. Semua pemimpin dari cabang, penasihat I dan I, sekretaris pelaksana cabang dan juru tulis keuangan cabang, bekerja bersama untuk melakukan pelayanan yang dilakukan semuanya pada hari minggu. 47 Wawancara Presiden Cabang Semarang, Mardiyono, 2 Februari 2009. 48 Wawancara Restya Budi, Anggota Dewan Distrik Surakarta, 24 Februari 2009. 49 Mardiyono mengisahkan kalau ia bergereja sejak tahun 1982 di Surabaya saat masih SMA. Pemahaman tentang gereja Mormon ia dapatkan dari para misionaris. Keputusannya itu didasarkan atas pemahaman doktrinernya bahwa gereja ini dibangun didasarkan atas iman. Siap untuk tidak dibayar dan mau melayani. YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 199 Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah tahun 2000, penduduk di Kota Semarang yang memeluk Kristen sebanyak 91.934 dari total 1.348.803 atau kurang lebih 7%.50 Jika diprosentase, jumlah penganut gereja Mormon Semarang saat ini katakanlah 200-an orang, itu berarti sekitar 0,2% dari keseluruhan penganut Kristen. Meski begitu perlu diingat bahwa mereka baru menginjakkan kaki di Kota Lumpia ini baru pada tahun 1972. Bukan tidak mungkin jumlah mereka akan terus mengalami peningkatan yang signifikan. G. Bergelut dengan Penyesatan: Testimoni Jemaat Penyesatan terhadap gereja Mormon itu pada umumnya disebabkan oleh salah pengertian terhadap beberapa ajarannya. Salah satunya adalah soal poligami. Meski saat ini, poligami sudah dilarang dalam lingkungan gereja Mormon, tetapi praktik tersebut masih dilakukan oleh Fundamentalist LDS (FLDS) di Amerika. FLDS adalah sekte yang menyempal dari Mormon arus utama pada tahun 1930. Yang paling santer adalah kabar dari Warren Jeffs, salah seorang penerus wangsa FLDS, april 2008 lalu. Jeffs saat itu sedang menjalani hukuman karena aktivitas poligaminya. Keluarga Warren Jeffs adalah trah pemimpin komunitas yang memilih untuk menyempal itu. Warren Jeffs mengambil alih pimpinan sekte pembelot itu pada 2002, setelah ayahnya yang berusia 98 tahun, Rulon Jeffs, meninggal. Begitu ia naik posisi, pada saat itu juga semua janda ayahnya dijadikan istri oleh Badan Pusat Statistik, Penduduk Berdasarkan Agama Jenis Kelamin dan Kabupaten/Kota, tahun 2000. 50 200 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Jeffs muda. Menurut BBCNews, pria berusia 52 tahun itu mengklaim punya 70 istri dan 65 anak.51 Pada 7 April 2008, Petugas kesejahteraan anak-anak menggerebek rumah Jeffs dan membebaskan lebih dari 400 anak. Operasi seharian penuh itu mengubek-ubek kompleks gedung yang dibangun oleh pemimpin poligami Warren Jeffs yang kini meringkuk di penjara. Operasi itu dilancarkan menyusul pengaduan seorang gadis 16 tahun yang mengaku korban pelecehan. Gadis itu juga melaporkan banyak gadis usia 14-15 tahun yang dipaksa kawin dengan orang dewasa.52 Sebanyak 133 perempuan dengan gaun selutut jahitan sendiri dan rambut dikepang meninggalkan Ranch Rindu Sion atas kehendak sendiri bersama anak-anak mereka.53 Para anggota FLDS berkeyakinan, untuk bisa mendapat tiket ke surga, seorang pria harus menikahi sedikitnya tiga perempuan. Bilangan lebih dari tiga tak terhingga. Sedangkan kesempatan bagi perempuan untuk masuk surga tergantung sejauhmana tingkat ketaatannya pada sang suami. Padahal, poligami adalah perbuatan ilegal di Amerika Serikat. Meski poligami itu ilegal, selama ini polisi tak bisa leluasa bertindak tegas. Ini berdasarkan pengalaman kepolisian Amerika Serikat ketika pada 1993 mengepung komunitas sekte Cabang Davidian di Waco, Texas, yang menyebabkan sekitar 80 orang tewas. Ketika markasnya mulai dikepung aparat, mereka memilih bunuh diri bersama. Polisi pun akhirnya hanya mendapati mayat-mayat yang bergelimpangan.54 Selain karena ada sebagian sekte fundamentalis Mormon yang mempraktikkan poligami pencitraan negatif terhadap Gatra, Nomor 23, 17 April 2008. Kompas, 8 April 2008. 53 Kompas, 8 April 2008. 54 Gatra, Nomor 23, 17 April 2008. 51 52 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 201 Mormon terus berlangsung karena memang gereja tersebut memiliki perbedaan mendasar dalam konsep-konsep kunci dalam kekristenan. Inilah yang kemudian menjadi titik konflik antara Mormon dan denominasi lainnya. Sulitnya lagi hal itu kurang bisa dicairkan karena truth claim dari masing-masing pihak masih dipegang kuat. Gambaran itu dijelaskan Presiden Cabang Semarang, Mardiyono. Pandangan masyarakat pada umumnya, pasti akan melihat bahwa pemimpin gereja mempunyai taraf hidup yang menjanjikan. Jadi mereka kaget saat dia mengatakan kalau ia adalah pemimpin gereja dengan pakaian seperti halnya orang yang bekerja sebagai pemotong rumput.55 Ia kemudian menjelaskan bahwa prinsip dari gereja ini adalah pelayanan. Dalam wilayah itulah banyak orang yang tidak memahami bagaimana gereja itu memiliki prinsip. Sementara, yang terkait dengan penyesatan, Mardiyo menjelaskan tentang beberapa ajaran gereja Mormon yang pahamnya tidak sama dengan gereja pada umumnya.56 Pertama, tidak ada ajaran trinitas atau tritunggal. Semuanya berdiri sendiri. Yesus sendiri, Allah Bapak sendiri dan Roh Kudus itu sendiri. Mereka adalah pribadi yang berbeda tetapi memiliki satu tujuan yaitu menyelamatkan umat manusia. Kedua, Kitab Mormon. Mereka mendasarkannya pada Kitab Wahyu (“jangan menambahi dan mengurangi kitab wahyu yang terakhir”). Dalam pemahaman gereja Mormon, yang dimaksud menambahi dan mengurangi itu adalah apa yang dilihat Yohannes di Pulau Padmos tentang ramalan akhir zaman itulah yang dimaksudkan mengurangi dan menambahi. 55 Wawancara Presiden Cabang Semarang, Mardiyono, 2 Februari 2009. 56 2009. Wawancara Presiden Cabang Semarang, Mardiyono, 2 Februari 202 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Dalam pengertian gereja Mormon, pemahamannya tidak demikian. Karena kalau merujuk pada Perjanjian Baru, di Kitab Ulangan Perjanjian Lama, kata menambahi dan mengurangi itu juga ada. Tetapi itu konteksnya Musa bukan masa yang akan datang. Itu yang membuat orang lain menganggap ajaran ini sesat. Tentang menambahi dan mengurangi ayat dalam Alkitab, Gilbert Lumoindong menganggap bahwa itulah sebenarnya ciri dasar dari ajaran sesat. Menurutnya ada tiga ciri dasar dari ajaran sesat. Pertama, sama sekali sesat (bandingkan dengan Galatia 1: 6-10). Karena pengajaran yang benar bukan mencari kesenangan manusiawi. Kedua, menambahi ayat. Ketiga, mengurangkan ayat.57 Ketiga, kenabian Joseph Smith. Soal konsep kenabian itu sebenarnya banyak yang tidak memahami. Menurut Mardiyono, mereka kebanyakan memahami konsep tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Pendeta, tidak memahaminya sendiri.58 Pemahaman inilah yang kerap disalahartikan. Perihal kenabian Joseph Smith, memang tidak bisa dipungkiri menjadi titik tengkar antar Mormon dan Kekristenan arus utama. Dalam bukunya ”Menang Atas Ajaran Sesat”, Lumoindong mengatakan ”...Satu-satunya dasar batu karang bukan karena ada seorang nabi yang pintar, yang bisa berbuat sesuatu, melainkan karena ada nama di atas segala nama dan itu adalah Yesus Kristus Tuhan. Nah, ajaran inilah yang ingin disesatkan oleh Iblis. Ajaran-ajaran seperti Mormon, Christian Science menampilkan nabi-nabi baru dengan kekuatannya masing-masing”.59 Gilbert Lumoindong, Menang Atas Ajaran Sesat, (Yogyakarta: ANDI, 2000), 34-38. 58 Wawancara Mardiyono. 59 Gilbert Lumoindong, Menang Atas Ajaran Sesat, h. 78. 57 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 203 Pengalaman Mardiyono tentang penyesatan itu dirasakan saat ada siswa SMA Masehi Tanah Mas Semarang menulis karya tulis tentang Mormon. Siswa tersebut lalu bertanya, apakah Sakramen di gereja Mormon menggunakan darah bayi. Lalu Mardiyono bertanya kembali, kamu tahu dari mana? Dari pendeta.60 Lalu ada juga yang menuduh sakramen kami dilakukan dengan free sex karena banyak kamar. Pengalaman tentang penyesatan atau perlakuan kurang baik juga pernah dirasakan oleh Budi, Penasehat gereja Mormon Distrik Surakarta. Puterinya yang bersekolah di SMU N 1 Semarang, suatu ketika mengadakan retret yang diselenggarakan sekolahnya. Ketika guru agama mengetahui bahwa Puteri Budi ini jemaat gereja Mormon, ia kemudian memanggilnya. Saat itu juga ia berdoa agar si anak tersebut kembali kepada ajaran yang benar dan diselamatkan dari dogma yang sesat.61 Mardiyono kemudian melanjutkan soal peminggiran atau pembatasan yang ia alami. Satu waktu ia pernah diundang ke PGKS (Persekutuan Gereja Kota Semarang). Sejak awal ia merasakan ada gelagat yang kurang mengenakkan dirinya. Ketika rehat dan makan, ia kemudian ditanya salah seorang peserta pertemuan tersebut, ”di mana gerejanya”. Mardiyono kemudian menjawab gereja A.Yani 30 (alamat gereja Mormon di Semarang). Dari raut mukanya, Mardiyono melihat ada perasaaan yang tidak senang dan sepertinya tidak mau membahas lebih lanjut. Dalam pergaulan di kampungnya, Mardiyono sebenarnya tidak memiliki masalah krusial dengan jemaat Kristen lainnya. Ia biasa diundang untuk mengikuti persekutuan oleh Jemaat Kristen dari gereja lain. Jemaat-jemaat itu biasanya melihat Gilbert Lumoindong, Menang Atas Ajaran Sesat, h. 78. Wawancara Budi Utomo, Penasehat Distrik Surakarta, Agustus 2008. 60 61 204 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA bahwa semua gereja itu sama saja. Tetapi justru ketika Pendetanya datang lalu mereka meminta saya berkenalan, dan ketika mereka tahu bahwa ia dari gereja Mormon, besoknya ia tidak diundang lagi. Meski ada pembatasan, tetapi persoalan mengenai eksistensi gereja Mormon itu dilihatnya bukan sebuah masalah yang krusial. Dalam pergaulan di masyarakat dimana ia menetap, masalah tidak terlalu banyak muncul, apalagi hingga taraf eksklusi. Masyarakat hanya melihat bahwa ia memiliki ajaran berbeda dengan yang lain, karena tidak minum teh dan kopi. Justru dengan begitulah ia memiliki kesempatan untuk menjelaskan secara bijak kepada masyarakat. Dalam praktiknya, meski ada yang belum bisa menerima kehadiran gereja Mormon, banyak juga yang sudah mau memahaminya, bahkan mempelajari ajarannya. Biasanya yang bisa menerima itu adalah mahasiswa teologi, kemudian level yang paling bawah, yakni jemaat biasa yang tingkat pengetahuannya tidak terlalu tinggi, tentang ajaran gereja. Karena masyarakat itu biasanya melihat kalau semua gereja itu sama. Pengalaman lain ihwal pandangan miring atau peminggiran dialami Restya Budi, anggota Dewan Distrik Surakarta.62 Dia menceritakan saat menjadi misionari. Ia menuturkan kalau pengalaman itu mengharuskannya mengenal banyak orang. Dan tentunya perkenalan tersebut membuat ia mesti berkomunikasi dengan mereka. Perlu diketahui bahwa misionaris gereja Mormon selalu mengenakan name tag di saku bajunya. Jadi jelas identitasnya. Suatu waktu Budi bercerita tentang banyak hal (bukan urusan agama) dengan tetangganya. Dan pembicaraan itu berjalan dengan sangat lancar. Tetapi kemudian banyak orang di sekitarWawancara Restya Budi, Anggota Dewan Distrik Surakarta, 24 Februari 2009. 62 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 205 nya yang menganggap ia menjual agama. Tanpa disangka, di luar rumah, ternyata sudah banyak orang yang kemudian datang dan membawa pentungan. Tetapi, tak satupun dari mereka yang berani masuk. Ia sendiri tidak mengetahui ada kerumunan massa. Lalu ketua RT datang dan mengatakan bahwa ia tidak boleh menyebarkan agama. Budi kemudian menjelaskan kalau yang dilakukan hanya sebatas ngobrol biasa dan bukan menyebarkan agama. Ketua RT setempat kemudian mengatakan, saya mengerti, tetapi anggapan masyarakat melihat anda menyebarkan agama. “Kemudian saya meminta maaf, lalu pergi dari tempat itu. Saya mengatakan kalau saya bertindak jelek, maka gereja saya juga jelek, orang tua saya juga” terangnya.63 Kejadian itu berlangsung tahun 1989 waktu dia bertugas di Malang. Pengalaman lain yang dia rasakan adalah pada saat ia masih menjadi misionaris yunior di Jakarta sekitar tahun 19861987. Waktu itu ia sempat ditertawakan di dalam Bus. Ternyata mereka menertawakan karena sepertinya, Budi dan rekannya adalah misionaris Kristen. Dan itu bisa dibaca di name tag-nya. Meski bukan gereja dengan infrastruktur lengkap dan megah, tetapi ada banyak hal yang membuat mereka nyaman bergereja. Salah satunya adalah ajaran yang menekankan pada sikap kemandirian. Mardiyono, meski presiden cabang tetapi ia tidak mendapatkan gaji dari gereja. Sebagai bagian dari komunitas gereja, ia bisa menerima itu, karena memang diajarkan untuk mandiri. Dalam pengalamannya bergereja Mardiyono mencoba membentuk apa yang disebut Gudang Uskup. Isinya adalah sumbangan dari warga gereja. 63 Wawancara Restya Budi. 206 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Selain masalah kemandirian, gereja ini juga berbeda dalam soal pelayanan. Seperti yang telah digambarkan, bahwa semua pemimpin tidak dibayar. Pada hari biasa, gereja akan terlihat sangat sepi, karena semuanya bekerja. Persoalan diselesaikan pada hari minggu, dari keuangan hingga masalah administrasi lainnya. Itulah yang menjadi perbedaan. Bagi anggota gereja yang baru, hal ini akan menjadi masalah. Tetapi itu harus dilakukan karena sifat dari gereja ini adalah pemanggilan. Dilihat dari status sosial-ekonomi, jemaat gereja Mormon Semarang kebanyakan adalah golongan menengah ke bawah. Ini bisa dilihat misalnya dari jemaat yang memiliki mobil. Dari 90 anggota aktif itu (baca: kehadiran pada setiap kebaktian), hanya empat yang punya mobil. Secara kuantitas, di gereja Mormon Semarang selalu ada penambahan jemaat gereja. Tercatat tahun 2008 ada 289 anggota jemaat di gereja Mormon. Angka itu terhitung sebagai peningkatan, karena pada tahun 2007 hanya ada 254 jemaat. Di Indonesia perkembangan gereja Mormon bisa dikatakan tidak sepesat Amerika, mengingat ada benturan dengan faktor ekonomi dan budaya. Menurut Mardiyono, mengapa gereja ini tidak dibuat seperti halnya Katolik yang melebur dengan budaya setempat, yang kemudian menjadikan Katolik mengakar. Ia belajar banyak dari perkembangan Islam di Indonesia, dimana para wali berdialektika dengan budaya lokal. Seperti Nahdlatul Ulama yang mengambil banyak dimensi budaya Hindu seperti kemenyan, tasbih, peringatan kematian 100 hari.64 Ia kemudian berpikir bahwa Mormon juga harus menjadi demikian. Tetapi karena ini sudah menjadi doktrin yang sudah memiliki kiblat, maka hal itu akan sangat sulit direalisasikan. Tetapi bahwa keinginan untuk beradaptasi itu 64 Wawancara Mardiyono. YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 207 tetaplah ada, meski kemudian ada batasan dari aturan yang telah ditetapkan. H. Mormon dan Pergulatan Membangun Identitas Jika dilihat secara umum, pada dasarnya pergulatan keagamaan sekte Mormon tidaklah jauh berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Sejauh pengetahuan penulis dan hasil dari perbincangan dengan presiden wilayah Semarang dan beberapa jemaatnya, hampir semua identitas sosial yang melekat pada kelompok Mormon pada umumnya, juga ada pada jemaat Mormon di Semarang. Untuk menjaga konsistensi bahasan, analisis terhadap identitas kelompok Mormon pada akhirnya tetap akan dipotret oleh tiga perspektif identitas tawaran Castell. Namun sebelum sampai pada kesimpulan tentang identitas apa yang dibangun Mormon, maka proses menganyam serpihan identitas oleh founding fathers gereja ini penting untuk dipaparkan. Di sini, peran Joseph Smith sebagai figur sentral dalam gereja Mormon sudah pasti menjadi sangat vital.65 Meski begitu, perkembangan gereja ini bukannya tanpa hambatan. Sebagaimana lazimnya ajaran baru, penyesatan dan pengucilan sudah pasti dialami. Dalam hal penyesatan, tentu Mormon juga melewati masa-masa tersebut.66 Setiap aliran keagamaan, pasti memiliki tokoh sentral yang menjadi panutan umatnya. Dalam kekristenan, Marthin Luther adalah dewa bagi kelompok Lutheran, Calvinis memiliki John Calvin sebagai rujukan utama, Menno Simons adalah ruh dari gerakan Mennonite, Metodis memiliki Wesley bersaudara, Pentakostal oleh Charles Parham dan William Seymour, dan seterusnya. 66 Wawancara John A. Titaley Guru Besar Ilmu Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 10 Februari 2009. 65 208 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Joseph Smith dan pengikut-pengikutnya mengalami penganiayaan karena keyakinan mereka. Karena itu mereka menyingkir ke Ohio, lalu ke Missouri dan kemudian ke Illinois. Di Nauvoo, Illinois, Smith dibunuh di penjara pada tahun 1844. Smith diakui oleh anggota-anggotanya sebagai seorang martir. Ia kemudian digantikan Brigham Young67, yang memimpin jemaatnya untuk mengundurkan diri lebih jauh lagi ke barat hingga akhirnya mereka tiba di Salt Lake City, Utah yang pada saat itu masih merupakan daerah yang gersang. Setibanya di sana Young berkata kepada para pengikutnya, “inilah tempat yang telah diberikan Allah kepada kita.” Young merasa yakin bahwa di tempat yang gersang itu mereka tidak akan dikejar-kejar lagi.68 Sejak itu, gereja Mormon berpusat di Salt Lake City, Utah. Para pemimpin gereja ini disebut “presiden,” yang juga merupakan “nabi, pelihat, dan pewahyu,” yang membimbing para anggota gereja Mormon, seperti halnya juga Joseph Smith, melalui wahyu dan pimpinan dari Allah. Saat ini gereja Mormon berkembang sangat pesat di seluruh dunia. Salah satu penyebabnya ialah karena setiap orang Mormon dengan sukarela dan penuh iman bersedia melayani gereja mereka selama dua tahun dalam masa hidup mereka sebagai misionaris dan juga sebagai para pelayan di gereja. Mereka dengan sukarela bersedia diutus kemanapun juga di segala penjuru dunia untuk menyebarkan ajaran-ajaran Mormon. Kehidupan mereka juga tampaknya sangat terpuji: meNama Young kemudian diabadikan sebagai label perguruan tinggi milik gereja Mormon di Utah, yakni Brigham Young University. Universitas inilah yang oleh Claudia L. Bushman disebut sebagai salah satu the public faces of Mormonism. Lihat dalam Claudia L. Bushman, op.cit., h. 140. 68 Maxine Hanks dan Jean Kinney Williams, Mormon Faith in America, (New York: Fact of File, 2003), h. 37. 67 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 209 reka diwajibkan untuk menjauhkan diri dari alkohol dan segala jenis minuman keras lainnya, rokok dan bahkan juga kopi dan teh. Mereka dihimbau membayar persepuluhan dan persembahan uang lainnya sesuai dengan perintah Allah demi kepentingan pembangunan gereja juga kepentingan kemanusiaan lainnya. Mereka dihimbau untuk taat sepenuhnya kepada pemimpin-pemimpin mereka karena mereka percaya bahwa para pemimpin mereka adalah orang-orang yang dipilih Allah. Jika di Amerika masa-masa kelam itu sudah terlewati, maka di Indonesia pergulatan warga gereja Mormon Semarang dengan pencitraan negatif masih berlangsung, meski dalam level yang masih sangat halus. Dalam pengertian, pandangan tidak nyaman terhadap eksistensi gereja Mormon tidak diluapkan dalam ekspresi yang sarkastis atau anarkis sehingga harus memakan korban. Dari data yang didapat hanya ada satu kali ancaman yang sepertinya akan mengarah pada tindakan anarkis yang dialami oleh gereja Mormon di Semarang seperti yang tertera dalam Laporan Amerika Serikat Tentang Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1997 Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang dikeluarkan oleh Biro Demokrasi, Hak Asasi, dan Perburuhan pada 30 Januari 1998. Di halaman 36 laporan tersebut tertulis, “…Dalam laporan Selama bulan Februari, bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, banyak gereja di seluruh negeri kabarnya mendapat ancaman lewat telepon dan fax tentang akan adanya penghancuran di tanggal-tanggal tertentu. Meskipun terjadi pembakaran dan penyerangan gereja selama bulan itu, ancaman serangan luas itu tidak menjadi kenyataan. Akan tetapi ancaman itu menimbulkan rasa takut di kalangan umat Kristen. Sumber-sumber di Medan melaporkan bahwa penduduk setempat, dalam salah satu kasus, dengan meminta bantuan tentara, menjaga gereja-gereja dalam masa- 210 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA masa itu. Sebuah gereja Katolik di Bandung, sebuah gereja Mormon di Semarang, dan beberapa gereja di Jakarta, mendapat ancaman”.69 Secara sosiologis, ketegangan antara gerakan keagamaan baru dan sistem sosial keagamaan yang telah mapan, bukanlah barang baru. Cerita mengenai relasi antara ekspresi keberagamaan dan keteraturan sosial, heresi dan ortodoksi ada sepanjang sejarah manusia. Identitas Mormon sebagai gereja sesat, karenanya bisa dipahami sebagai bagian dari ekspresi ketegangan itu. Kekristenan awal mulanya diwarnai konflik yang berakhir dengan eksekusi Yesus oleh penguasa Roma setelah ia melakukan protes atas ketidakadilan.70 Kalau dianalisis, bangunan identitas Mormon, sama halnya perkembangan sekte-sekte keagamaan, menjadi sesuatu yang sangat menarik. Apalagi jika dikaitkan dengan kebebasan menafsirkan Alkitab yang sangat terbuka dalam kekristenan.71 Menurut John Titaley, Guru Besar Ilmu Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, kemunculan-kemunculan sekte dalam kekristenan itu, secara teologis, bisa jadi karena tawaran janji tentang imbalan surgawi yang mendapatkan porsi luar biasa dalam teologi sekte-sekte tersebut.72 Di saat yang sama ada banyak orang yang membutuhkan spiritualitas dengan bentuk seperti itu. Laporan Amerika Serikat Tentang Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1997 Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang dikeluarkan oleh Biro Demokrasi, Hak Asasi, dan Perburuhan pada 30 Januari 1998. Cetak miring ditambahkan. 70 Obery M. Hendricks Jr, The Politics of Jesus: Rediscovering the True Revolutionary Nature of Jesus’ Teachings and How They Have Been Corrupted, (USA: Doubleday, 2006), 50-61. 71 Perhatikan semangat reformasi yang mengusung spirit Sola Fide, Sola Gratia dan Sola Scriptura. 72 Wawancara John A. Titaley. 69 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 211 Dengan begitu, maka tidak mengherankan jika pemahaman terhadap Alkitab Mormon berbeda dengan yang lain. Kehadiran sekte-sekte seperti Mormon dalam kekristenan itu dimungkinkan karena interpretasi terhadap Alkitab yang sedemikian bebas dalam Kristen. Makanya, gereja Katolik pernah tidak mau menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa lain hanya Latin. Sikap demikian dimaksudkan untuk meminimalisir perbedaan penafsiran terhadap Alkitab. Alkitab itu sendiri, kata Titaley diterjemahkan pada tahun 1950an.73 Praktik seperti itu, tidak berlaku di Protestan. Karena ada terjemahan Alkitab ke dalam bahasa berbeda, maka membuka interpretasi yang berlainan. Pada sisi lain, siapa yang punya otoritas untuk mengatakan bahwa interpretasi itu salah atau benar, juga tidak ada dalam tradisi gereja Protestan. Jadi pada awalnya sekte-sekte itu berkembang, secara teologis, karena ada perbedaan interpretasi terhadap Alkitab. Pada bagian berikutnya, interpretasi yang berbeda itu ditambah dengan pengalaman istimewa lalu membentuk keyakinan bahwa interpretasi keagamaannya itu benar. Dari situlah kemudian kelompok-kelompok sempalan itu mengembangkan keyakinannya. Dan ketika ada yang membuat gereja atau kelompok baru, sekali lagi, tidak ada yang berhak melarang. Titaley menuturkan bahwa konteks kemunculan sekte dalam Kekristenan itu sebagian besar adalah Eropa. Masalah yang dihadapi di Eropa, ketika interpretasi bebas itu berkembang, tentangan datang dari gereja. Mereka yang punya pemahaman berbeda ini kemudian lari ke tempat yang bebas untuk mengembangkan interpretasi. Amerika adalah tempat yang tepat untuk mengembangkan interpretasi yang berbeda tersebut. Jadi lokus awal perkembangan itu sebenarnya adalah Eropa. 73 Wawancara John A. Titaley. 212 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Di saat yang sama, Amerika saat itu adalah wilayah yang ditemukan dan disebut sebagai “Benua Baru” (ini berhubungan dengan yang disebut Robert N. Bellah sebagai Israel Baru). Mereka ditindas Eropa dan tidak dapat mengembangkan rasa keagamaannya lalu mereka menyebut Amerika sebagai the new world alias Dunia Baru. Di situ tidak ada institusi yang melarang aktivitas keagamaan apapun selama tidak melanggar hukum positif. Di Amerika pengembangan religious freedom berjalan lancar. Tak hanya Mormon, Satanic Church pun eksis. Keyakinan akan Amerika sebagai tanah yang dijanjikan itu tercermin dalam pasal 10 dari artikel keyakinan.74 Terhadap relasinya dengan negara, ada pandangan menarik dari gereja Mormon terhadap konstitusi Amerika, seperti yang dikutip oleh W. Cole Durham dan Nathan B. Oman dalam ”A Century of Mormon Theory and Practice in ChurchState Relations: Constancy Amidst Change”. Pandangan itu sesungguhnya terkait dengan ide mengenai otonomi beragama. Gereja Mormon percaya bahwa “the U.S. Constitution was divinely inspired, and that among other things, its commitment to freedom of religion helped establish a society where restoration of the original Church of Jesus Christ could occur without undue state and social interference”.75 Pindahnya Smith ke Utah dari New York adalah sebagai salah satu cara untuk memperoleh religious autonomy yang sesungguhnya. Mormon memang pernah ditolak di New York yang menyebabkan mereka pindah ke Utah. Dan sistem negara bagian di Amerika, memungkinkan Utah disulap menjadi negara deLihat bagian pembukaan dari tulisan ini. W. Cole Durham dan Nathan B. Oman dalam ”A Century of Mormon Theory and Practice in Church-State Relations: Constancy Amidst Change”, Working Paper Series, Last Revised, 16 September 2008, SSRN: http://ssrn. com/abstract=942567. 74 75 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 213 ngan corak Mormon yang kuat. Prestasi lain yang dicapai gereja Mormon adalah upaya mempertahankan in group-nya yang kuat. Upaya itu mutlak diperlukan karena mereka harus eksis berhadapan dengan mainline churches. Identitas sebagai kelompok dengan jalinan persaudaraan yang kuat harus terus menerus dipertahankan ditambah dengan pengembangan etos kerja yang istimewa. Hasil yang diraih adalah warga gereja dengan prestasi yang hebat sampai sekarang. Karena mereka melakukan itu sebagai panggilan. Mormon, kata Titaley, memang benar-benar ”American Religion”.76 Mormon menyebut mereka gereja tetapi pengakuan terhadap The Book of Mormon, menjadikannya sesuatu yang ”berbeda”. Dan bagi Titaley, mereka bisa saja mengatakan kalau Mormon itu juga wahyu, karena Alkitab membuka penafsiran atas hal tersebut.77 Mormon dianggap “Americanism” itu karena mereka sangat indigenous, entah ada hubungannnya dengan Indian atau tidak.78 Meski Mormon datang ke Indonesia dengan membawa budaya Amerika, bukan tidak mungkin gereja ini pada akhirWawancara John A. Titaley. Meski begitu, kalangan Mormon sendiri agak kurang setuju jika Mormon dikatakan sebagai “American Religion” dalam pengertian sempit. Elder Andressen mengatakan meski gereja ini dipulihkan di Amerika, tetapi kurang betul kalau dikatakan bahwa gereja ini dikatakan gereja Amerika. Amerika itu sebagai lokus di mana gereja itu dipulihkan saja. Karena pada zaman 1820-an, Amerika adalah wilayah di mana kebebasan untuk mengembangkan kebebasan beragama dan keadaan itu tidak ditemukan di negara lain. Tanpa kebebasan beragama, bagaimana gereja Yesus Kristus dipulihkan. Di situlah kebebasan bagi gereja Yesus Kristus untuk berkembang dan memulihkan gereja dan Injil Yesus Kristus. 77 Lihat misalnya dalam Yehezkiel 37: 15-20. Papan Yehuda yang ada dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai Alkitab. Sementara papan Efraim ditafsirkan sebagai Kitab Mormon. 78 Wawancara John A. Titaley 76 214 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA nya akan banyak diminati. Karena hal itu juga berlaku, dalam beberapa bagian ajaran, dengan Islam misalnya. Dan itu terjadi di Utah. Mormon benar-benar mengembangkan teknologi, karena etos kerja yang diembannya itu. Salah satu Presiden University of California Berkley itu dari Mormon.79 Jadi secara sosiologis, in group feeling-nya itu yang membuat etos kerjanya kuat. Bagi kekristenan sendiri, kehadiran mereka adalah tantangan bahwa interpretasi mereka memengaruhi pola hidupnya. Apalagi jika mereka bisa membuktikan dengan kesuksesankesuksesan yang bisa dianggap ancaman bagi mainline churches. Sebab, dalam konteks Amerika, masalah yang utama adalah uang. Kita jadi anggota gereja juga uang yang diutamakan. Titaley bertutur bahwa teman istrinya bersama-sama orang Mexico belajar di Community College akhirnya tertarik karena etos kerjanya. Mereka berhasil membangun rumah. Dan sudah pasti ada korelasi antara iman dan etos kerja. Terkait dengan konteks Indonesia, faktor yang memungkinkan perkembangan Mormon adalah karena kemiskinan. Dan dengan begitu mereka menanamkan etos kerja yang luar biasa dan bisa membuat orang merasa seolah diberkati. Yang lain karena memang agama-agama besar itu bukan agama asli, sehingga mampu betul-betul mengakar. Meski begitu, bukan berarti Mormon juga diterima karena ia akan mengakar. Kekristenan sampai sekarang tidak pernah mengakar, malah kepercayaan asli yang terus eksis. Ketika Mormon mentransfer gereja Amerika lengkap dengan mentalitasnya, bukan berarti langsung menghasilkan benturan dan mereka tertolak. Pengalaman seperti itu juga terjadi dengan Pentakosta. Karena kemiskinan bangsa Indonesia, de79 Wawancara John A. Titaley. YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 215 ngan pendekatan melalui disiplin dan etos kerja mereka mendapatkan kesempatan. Dan harus disadari pula kalau gereja Mormon itu betul-betul diatur dari Utah. Dalam tradisi beribadat gereja Mormon, tidak dikenal adanya seorang pendeta. Jadi semuanya mendapat kedudukan yang sama. Sehingga tidak ada pendidikan teologi khusus dalam tradisi mereka. Dengan begitu, maka pimpinan ibadat diserahkan kepada siapapun. Semua jemaat memiliki kesempatan untuk khutbah, dan bisa jadi terkandung unsur demokratisnya di sana, sehingga tidak perlu ada pendeta yang memberi khutbah. Dari sisi teknologi, perkembangan pesat ditunjukan oleh gereja Mormon. “Mereka punya televisi, rumah sakit, universitas dan tidak pernah ketinggalan dalam teknologi dan informasi” tutur Titaley.80 Ia menceritakan pengalamannya bagaimana orang Mormon juga berbicara secara akademis tentang agama.81 “Mereka pernah mengundang orang untuk berbicara agama, lalu ada kritik terhadap definisi agamanya Emille Durkheim dan Clifford Geertz,” paparnya. Itu dikarenakan, dalam pandangan kelompok Mormon, dalam agama ada juga kuasa Bapak Surgawi. Di tradisi kekristenan Indonesia, ada hal yang perlu diapresiasi meski ada interpretasi yang jauh dari mainstream seperti Mormon, yakni tidak adanya penyesatan yang dikeluarkan oleh lembaga agama. Ini harus disadari, karena mainline churches juga belum tentu betul melakukan interpretasi. Meski sejarah juga pernah melakukan pemberangusan terhadap sekte dalam kekristenan dan Mormon juga mengalami masa pahit. 80 81 ini. Wawancara John A. Titaley. Kehadiran Brigham Young University bisa dipahami dalam konteks 216 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Di Indonesia Mormon mengalami persoalan yang cukup pelik dengan pemerintah.82 Dengan gereja lain sebenarnya tidak terlalu menonjol. Kalau secara kultur, penyesatan itu mungkin ada, tetapi Mormon ada di antara orang banyak. Sehingga tidak terlalu jelas identifikasinya dan bagaimana memverifikasi kebenaran doktrinnya. Meski Mormon memiliki doktrin yang sangat berbeda dengan pemahaman arus utama seperti tidak adanya konsep Trinitas, maka tidak ada yang bisa mengatakan bahwa penolakan itu sesuatu yang salah. “Kecuali jika Tuhan mengatakan ini pakemnya,” kata Titaley. Karena menurutnya, itu merupakan konsekuensi dari mempelajari Alkitab. Alkitab Kristen itu kumpulan tulisan yang berbeda-beda, sehingga interpretasinya juga beda-beda. Karena Alkitab membuka peluang untuk menafsirkan macam-macam. Termasuk dalam hal yang fundamen sekalipun. Konsep Trinitas misalnya. Itu berkembang abad ke-3 dan 4. Abad pertama interpretasi itu tidak ada. Itu terjadi karena interpretasi Injil Yohanes. Interpretasi itu datang dari pantheisme dan hellenisme. Ada banyak dewa meski yang banyak itu datang dari satu hakikat. Artinya itu produk budaya dan sangat helenistik, serta tidak ada di Yahudi yang monoteistik. Di sinilah pentingnya memahami Alkitab sebagai satu tulisan yang terkait dengan kondisi sosial dan budaya tertentu, Tiga regulasi negara yang cukup membuat gerak misionaris gereja Mormon menjadi sangat terbatas adalah Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 77 tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia dan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang tatacara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia. 82 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 217 yang pada gilirannya, kebebasan mengembangkan pemikiran keagamaan dengan mengaitkannya terhadap realitas sosial, menjadi praktik yang mesti dilakukan. Kekristenan harus selalu mengkampanyekan kebebasan berpikir itu. Kalau kekristenan di Indonesia masih mempraktikan seperti dalam kasus Ioanes Rakhmat, maka pemikiran keagamaan akan macet.83 Pemikiran kreatif dipasung dan tidak dibiarkan berkembang. Artinya lembaga keagamaan manapun berpotensi akan merasa menjadi yang paling otoritatif. Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) tidak seharusnya melakukan kutukan atau penyesatan terhadap ajaran-ajaran yang menyempal. Dalam kasus Pendeta Sibuea dengan Sekte Kiamatnya, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) juga tidak bisa mengatakan sesat.84 Yang paling bisa dilakukan adalah adanya interpretasi yang berbeda. Ini sebenarnya sikap bijak dalam melihat persoalan, meski bukan tidak mungkin jika lembaga ini punya potensi untuk menjadi otoriter. PGI hanya akan menjadi otoriter terhadap anggotanya saja. Meski begitu juga kewenangan yang dibuat tidak mesti dipatuhi oleh anggota-anggota PGI. Karena kesepakatan yang dibuat itu bukan kebenaran. Dalam suatu gereja ada badan yang punya otoritas, tetapi dalam PGI badan itu tidak ada. Perkembangan ke depan, sekte-sekte yang ada di Indonesia bukan mustahil akan terus berkembang. Dengan catatan bahwa ada keterbukaan dan toleransi masyarakat. Fenomena itu sesungguhnya adalah pelajaran, terutama bagi mainline Ioanes Rakhmat mendapatkan surat penggembalaan terkait dengan artikelnya di harian Kompas yang mengamini penemuan makam Yesus di Talpiot. Simak dua tulisan Ioanes Rakhmat, “Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus”, Kompas, 5 April 2007 dan “Penulisan Sejarah dan Penelitian Makam Keluarga Yesus”, 31 Mei 2007. 84 Wawancara Titaley. 83 218 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA churches bahwa dibanding gereja-gereja baru itu mereka tidak bisa memberikan apa-apa kepada jemaat. Bahwa mereka itu anggotanya banyak, tetapi toh tidak bisa membuat perubahan secara signifikan bagi jemaat. Itu artinya gereja arus utama tidak mampu memberikan apa yang mereka butuhkan. Mereka memerlukan spiritualitas di satu sisi, dan di sisi lain gereja arus utama tidak memiliki itu. Di saat yang sama gereja-gereja baru itu sangat mengeksploitasi rasa takut. Mereka membangun doktrin dengan menciptakan politik ketakutan kalau Tuhan marah, neraka dan lainnya. Mengapa mereka menjadi begitu yakin dengan ajaran sekte-sekte itu, karena saat membaca Perjanjian Baru itu ada mukjizat mereka mengaitkannya dengan itu. Anggota sektesekte itu merasa nyaman dengan model beragama seperti demikian. Pada prosesnya, interpretasi manusia terhadap Alkitab, sangat tergantung dengan ketinggian peradaban yang kita miliki. Dari Kristen, karena Alkitabnya tidak fokus. Lalu ditambah tidak ada otoritas yang bisa memverifikasi. Ke depan, Kekristenan akan sangat dihiasi dengan fenomena kemunculan sekte-sekte. Karena tidak ada otoritas tunggal. Dan beban yang ditanggung oleh Kekristenan adalah bagaimana menghadapi fenomena pluralitas keyakinan itu secara bijak. Titaley menuturkan bahwa doktrin iman dalam ajaran Mormon itu, secara sosiologis bisa dikatakan seperti keyakinan yang dibuat. Mereka menganggap itu sebagai keyakinan yang benar dan dengan keyakinan itu mereka menjadi diselamatkan karena tidak ragu dengan keyakinan tersebut. Dan dengan begitu, mereka bisa meyakinkan orang lain untuk mempercayai keyakinannya. Sayangnya, ada hipotesis kalau gereja Mormon sepertinya akan sangat sulit mengakar dengan keindonesiaan. Karena me- YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 219 reka tidak bisa memisahkan diri dengan asal muasalnya (baca: Amerika). Dan ini sebenarnya pengalaman yang juga dirasakan oleh Islam serta Kristen. Mereka akan banyak bertentangan dengan akar kebudayaan bangsa Indonesia. Terlepas dari itu, Rodney Stark, sosiolog agama kenamaan dalam The Rise of Mormonism, memprediksikan jumlah penganut Mormon dengan menggunakan perkiraan maksimal dan minimal. Menurut Stark, jumlah pemeluk Mormon pada tahun 2000 sudah mencapai 10.435.551 dengan perkiraan tinggi (rata-rata perkembangan 50%) dan 7.837.208 jika menggunakan perkiraan rendah (rata-rata perkembangan 30%). Stark kemudian memprediksi, kalau jumlah itu akan semakin bertambah seiring dengan perkembangan dan sikap hidup anggota Mormon memiliki etos kerja tinggi. Pada tahun 2080 (dengan perkiraan tinggi) penganut Mormon akan mencapai 267.452.000 dan 63.939.000 dengan perkiraan rendah.85 Stark menuturkan bahwa sekularisasi dan modernisasi menjadi salah satu faktor mengapa Mormon begitu leluasa berkembang. Stark menuturkan “faith in these secularization theses is sadly misplaced but also that contrary to prevailing views, modernization and secularization stimulate Mormon growth”.86 Selain itu perkembangan gereja Mormon yang pesat di Amerika juga diakibatkan oleh beberapa faktor doktrinal yang kemudian berkembang menjadi kekuatan yang menjangkar. Pertama, konservasi modal kultural.87 Keberhasilan gerakan keagamaan baru, kata Stark salah satunya diakibatkan oleh keberhasilan menjaga kesinambungan budaya yang dipadukan dengan iman konvensional. Kedua, kekuatan gerakan keagamaan juga dipengaruhi Rodney Stark, The Rise of Mormonism, (New York: Columbia University Press, 2005), h. 145, table 7.3. 86 Rodney Stark, The Rise of Mormonism, h. 112 87 Rodney Stark, The Rise of Mormonism, h. 115. 85 220 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA oleh doktrinnya yang non-empirik.88 Ini bisa dilihat dari beberapa doktrin Mormon yang hampir kesemuanya ada dalam non-empirik. Ketiga, mormonisme berkembang karena ia menjaga perilaku, atau lebih tepatnya mereka menjaga etika dan moralitas.89 Seperti halnya gerakan keagamaan baru (New Religious Movements/NRMs) lainnya, identitas gereja Mormon terbangun dari upaya melakukan perlawanan terhadap tafsiran mainstream mengenai sejarah bangsa Ibrani. Dalam bahasanya Lester Kurtz NRMs, tend to attract primarily people who perceive themselves as marginal or opposed to the dominant society and its value system.90 Konsekuensinya, ketegangan-ketegangan antara Mormon dan masyarakat yang lebih luas tidak bisa dihindarkan. Dalam konteks inilah maka konstruksi dasar tentang NRMs, termasuk Mormon di dalamnya, membangun identitas yang oleh Castell disebut sebagai identitas perlawanan. Bentuk perlawanan yang dibangun oleh komunitas ini, secara nyata tampak pada terbangunnya kehidupan yang otonom dari gereja. Dalam artian bahwa jemaat gereja Mormon dan juga pengurusnya tidak hidup dari gereja. Gambaran tentang pola kehidupan jemaat gereja Mormon di Semarang seperti ditunjukkan di atas, merupakan fakta bahwa benarbenar ada pemisahan secara tegas antara kehidupan keseharian dan kehidupan bergereja. Tidak ada dana dari gereja yang dikeluarkan untuk menggaji pengurus atau penasehat. Gereja menjadi sentrum dari kegiatan spiritual. Di luar itu mereka Rodney Stark, The Rise of Mormonism, h. 119. Rodney Stark, The Rise of Mormonism, h. 130-131. 90 Lester Kurtz, Gods in the Global Village: The World’s Religions in Sociological Perspective, (Thousand Oaks, Calif: Pine Forge Press, 1995), 191-192. 88 89 YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 221 bekerja pada hari-hari biasa, untuk bisa menderma pada gereja. I. Kesimpulan Dilihat dari pergulatan Mormon di Indonesia, tergambar bahwa masalah utama yang pernah mendera mereka adalah negara melalui regulasi-regulasinya. Di lain pihak, kekristenan juga masih belum bisa menerima sepenuhnya kehadiran mereka. Tentu saja persoalan ada dalam relativitas kebenaran doktriner yang mereka anut. Tegasnya, intisari dari survei singkat terhadap gereja Mormon di Semarang ini menghasilkan beberapa catatan pokok Pertama, perkembangan kelompok-kelompok keagamaan baru dalam lingkungan agama-agama besar menjadi sebuah fakta yang tidak bisa terhindarkan. Perkembangan Mormon karenanya bisa dilihat dari perspektif ini. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menyikapi aliran-aliran tersebut secara bijak. Inilah yang terlihat dalam kasus Mormon. Betapapun Mormon memiliki penafsiran yang cukup berbeda tajam dengan mainline churches, sejauh yang penulis temukan di lapangan, tidak ada tindakan anarkistis terhadap penganut kelompok ini. Kondisi semacam ini penting untuk digarisbawahi. Kedua, dalam dinamika kehidupan keagamaan di Indonesia, tantangan yang dihadapi kelompok-kelompok keagamaan baru seperti halnya Mormon sungguh tidak ringan. Melihat pergolakan kehidupan keagamaan yang telah berlangsung sejak 1960-1970-an di Indonesia, tantangan yang dihadapi oleh gereja Mormon sesungguhnya berakar pada empat pokok persoalan. Pertama, bagaimana mereka berelasi dengan negara. Kedua, bagaimana strategi yang mesti ditancapkan dan dibangun untuk bisa hidup akur dengan denominasi yang lain. Ketiga, 222 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA melanjutkan karya nyata seperti yang telah mereka lakukan melakui LDS Charitiesnya. Keempat, bagaimana mereka berkompromi dengan kondisi sosial dan budaya masyararakat Indonesia. Ketiga, identitas yang tersembul ke permukaan berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa jemaat di Semarang, menyiratkan satu bentuk resistance identity. Tentunya resisten di sini penting untuk digarisbawahi. Ia tidak hadir dalam sebuah unjuk kekuatan armada perang. Gereja Mormon yang antikekerasan tentunya tidak hendak menyuruh jemaatnya untuk bersama-sama mengacungkan senjata. Jauh dari itu, mereka menunjukkan semangat kerja yang tinggi dan memperkuat bangunan keluarga sebagai jalan untuk melawan stigma negatif yang kerap dialamatkan padanya. Untuk mempertegas kebenaran doktrinnya mereka menjadikan ranah sosial sebagai wujud nyata pekabaran Injil. Gudang Uskup, seperti yang pernah dilakukan gereja Mormon Semarang adalah salah satu bukti nyata. Di samping itu, identitas sebagai jemaat yang memegang teguh prinsip-prinsip etika dan moralitas terus dipelihara. Melalui keteguhan menjalankan hukum kemurnian akhlak mereka membangun perlawanan atas tuduhan miring yang kerap dialamatkan terhadap mereka. Keempat, masa depan kelompok-kelompok keagamaan di luar mainstream seperti halnya Mormon, sepertinya masih akan sangat bergantung pada dua hal, negara serta aparatusnya dan masyarakat sipilnya. Di Semarang, gereja Mormon masih aman di level struktur, tetapi sangat rawan di level kultur. Meski tidak dominan, pandangan miring terhadap eksistensinya, tetaplah berkembang. Yang menarik untuk dicermati, akhir-akhir ini gereja Mormon di Semarang mulai merangkul negara dengan menggarap isu bersama di antara keduanya. Salah satunya adalah soal penguatan keluarga yang diprakarsai oleh LDS YANG SESAT,YANG BERKEMBANG 223 Charities dengan Departemen Sosial. Ini dilaksanakan pada 21 Februari 2009. Bukan mustahil, lambat laun stigma ”sesat” akan semakin berkurang seiring dengan kesadaran mereka untuk mengepakan sayap di ranah sosial. Tentu saja kiprah nyata ini akan semakin membuka ruang kompetisi yang luas kepada kelompok-kelompok keagamaan untuk mentransformasikan ajarannya. 224 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Konflik Kelenteng Poncowinatan: Membaca Kisruh Kelenteng Tertua Yogyakarta NUR KHALIK RIDWAN A. Awal Kasus Bangunan Kelenteng Poncowinatan di Jalan Kranggan Yogyakarta itu tampak khas dan indah dipandang. Kelenteng ini menjadi tempat peribadatan Tri Dharma: Konghucu, Buddha, dan Tao. Sejauh ini Kelenteng Poncowinatan tidak tampak menunjukkan gejala konflik berarti hingga peristiwa pada 26 Februari 2008 itu terjadi. Sekitar 50-an orang dengan mengatasnamakan Gerakan Masyarakat Peduli Cagar (Gempar) Budaya menggelar unjuk rasa. Aksi ini buntut dari kekesalan massa yang menilai bangunan sekitar kelenteng sebagai bangunan cagar budaya sengaja dirusak dan dirobohkan.1 Aksi yang berlangsung sejak pukul 10.30 WIB ini diikuti berbagai elemen, antara lain: Yayasan Bhakti Loka, Kaum Muda Nahdlatul Ulama, Jogja Heritage Society (JHS), dan bebe“Kelenteng Bukan Barang Jarahan”, Radar Jogja, 27 Februari 2008. Lihat juga “Mahasiswa Tolak Pengrusakan Cagar Budaya”, Cyber News, 26 Februari 2008 pukul 16:45 WIB 1 226 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA rapa elemen lain. Unjuk rasa ini tidak hanya menarik perhatian aparat polisi dan TNI, tetapi juga para pedagang Pasar Kranggan. Mereka menyaksikan unjuk rasa dari luar pagar.2 Para demonstran membawa spanduk dan beberapa poster, di antaranya: “Lawan Kesewenangan Dinas Perizinan”, “Pemkot Biang Kerok Penjarahan”, “Cabut IMBB Pemkot Yogya dan Kelenteng Bukan Barang Jarahan”. Dalam aksi ini, pengunjuk rasa menuntut Yayasan Pendidikan Pengajaran Nasional Budya Wacana (YPPN-BW) menghentikan pembangunan gedung sekolah di kelenteng setinggi tiga lantai itu. Pembangunan gedung sekolah ini telah merusak bangunan kelenteng yang awalnya diperuntukkan buat kelompok Tionghoa pada zaman penjajahan.3 Satu hari setelah unjuk rasa itu, terjadi perang pernyataan di media massa antara kelompok yang mewakili Tim Pelestari Kelenteng dan Budya Wacana. Salah seorang warga keturunan Tionghoa yang juga anggota Tim Pelestari Kelenteng (TPK) Siput Lokasari mengungkapkan kepada media bahwa bangunan kelenteng merupakan bangunan milik Keraton Yogya dan bangunan yang berpotensi sebagai cagar budaya. Ia salah seorang yang mendukung unjuk rasa. Bangunan ini menurut Siput bahkan telah diubah bentuknya dari aslinya sehingga merusak cagar budaya.4 Kelompok Budya Wacana yang diwakili Ketua Yayasan Pendidikan Budya Wacana (YPBW) Gideon Hartono, pada 4 Maret 2008 membuka suara terhadap pihak-pihak yang mempersoalkan pembangunan gedung di kawasan Kelenteng Poncowinatan. Gideon menggelar jumpa pers setelah sebelumnya Radar Jogja, 27 Februari 2008. Pernyataan Sikap Gempar Budaya, 26 Februari 2008. 4 “Nasib Kelenteng Poncowinatan Setelah Kasus Perusakan”, Radar Jogja, 28 dan 29 Februari 2008. 2 3 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 227 berdialog dengan Komisi III DPRD Kota Yogya. Dalam keterangan kepada wartawan Gideon menyebutkan, “tidak benar bila kami dianggap merusak cagar budaya di kawasan Kelenteng Poncowinatan”. Saat itu Gideon didampingi penasihat hukumnya, Oncan Poerba SH., Susie Fitri SH., MM., Rudolf Ferdinand PS., SH., dan Willyam Hendry S SH.5 Gideon mengatakan, bangunan yang dimaksud bukan merupakan benda cagar budaya (BCB). Bangunan sisi barat kelenteng yang dipersoalkan Yayasan Bhakti Loka itu hanyalah bangunan biasa seperti rumah-rumah lain. Menurutnya, Kelenteng Poncowinatan sendiri belum berstatus cagar budaya, tetapi hanya berpotensi sebagai benda cagar budaya. Kasus ini terus berjalan sampai dibawa ke pengadilan, bahkan menjadi isu yang terus menerus sepanjang tahun 20072008. Masyarakat Yogyakarta dan publik memerhatikan kasus ini sejak peristiwa demonstrasi itu. Wartawan kemudian banyak pula yang memberitakan seputar kontroversi dan konflik Kelenteng Poncowinatan ini berberapa kali. Bahkan setiap ada perkembangan dari konflik ini selalu diliput media lokal Yogyakarta. Sebelum ada demonstrasi itu, publik hanya tahu bahwa Kelenteng Poncowinatan itu indah, khas, dan telah berusia lama. Adanya konflik itu, telah menjelaskan adanya sesuatu di Kelenteng Poncowinatan. B. Sekilas Kelenteng Poncowinatan Berdasarkan latar di atas, tulisan ini sesungguhnya hendak mengetahui: pertama, apakah ia berkaitan dengan konflik agama atau faktor lain, misalnya perebutan aset bangunan yang mema“Bantah Merusak Cagar Budaya, Gideon: Itu Bangunan Biasa”, Radar Jogja, 4 Maret 2008 5 228 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA kai simbol kelenteng (agama) sebagai arena perebutan? Kedua, jika ini berkaitan dengan konflik agama, lantas apa yang menjadi titik masalahnya, begitupun sebaliknya jika konflik terkait faktor lain? Ketiga, bagaimana pula upaya-upaya penyelesaian yang sebaiknya dilzakukan? Hanya, untuk melihat setting Kelenteng Poncowinatan tulisan ini perlu menjelaskan pula sejarah berdirinya kelenteng ini dan hubungannya dengan kalangan Tionghoa di Yogyakarta. Setting ini perlu dikemukakan untuk memberi gambaran lebih utuh terkait eksistensi kalangan Tionghoa yang tengah bertikai dalam konflik Kelenteng Poncowinatan. Menurut Wikipedia, tidak ada catatan resmi kapan istilah “kelenteng” ini muncul. Yang pasti istilah tersebut hanya terdapat di Indonesia. Karenanya dapat dipastikan kata ini muncul hanya dari Indonesia. Sampai saat ini, yang lebih dipercaya sebagai asal mula kata “kelenteng” adalah bunyi teng-teng-teng dari lonceng dalam kelenteng sebagai bagian ritual ibadah. Kelenteng juga disebut sebagai bio yang merupakan dialek Hokkian dari karakter miao. Ini adalah sebutan umum bagi kelenteng di Tionghoa. Pada mulanya miao adalah tempat penghormatan pada leluhur ci (rumah abu). Pada awalnya masing-masing marga membuat ci untuk menghormati para leluhur mereka sebagai rumah abu. Para dewa-dewi yang dihormati berasal dari suatu marga tertentu yang pada awalnya dihormati oleh marga, famili, dan klan mereka. Dari perjalanan, timbullah penghormatan kepada para dewa-dewi yang kemudian dibuatkan ruangan khusus, yang sekarang dikenal sebagai miao yang dapat dihormati berbagai macam marga dan suku. Saat ini, di bagian samping atau belakang miao masih ditemukan ruangan yang dikhususkan untuk abu yang dihormati para sanak keluarga, marga, atau klan masing-masing. Ditemukan pula dalam KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 229 bangunan miao tempat khusus untuk mempelajari ajaran-ajaran atau agama leluhur seperti ajaran-ajaran Konghucu Lao Tze, atau ajaran Buddha. Wikipedia masih menyebut jika miao atau kelenteng (Jawa) selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para suci (dewa/dewi), dan mempelajari berbagai ajaran, juga menjadi tempat damai bagi semua golongan tanpa memandang suku atau agama mereka. Saat ini miao (kelenteng) bukan lagi milik marga, suku, agama, atau organisasi tertentu, melainkan tempat umum yang bisa digunakan bersama. Berdasarkan fungsinya, kelenteng bisa digunakan sebagai tempat ibadah, simbol relasi sosial masyarakat, bisa juga berfungsi politis. Berdasarkan pemiliknya, kelenteng bisa dimiliki kekaisaran (pejabat), masyarakat, atau pribadi. Berdasarkan umat, kelenteng dapat digunakan kalangan Konghucu, Tao, atau Buddha. Berkaitan dengan ini, bahkan banyak yang tidak mengerti perbedaan antara kelenteng dan vihara. Kelenteng dan vihara pada dasarnya berbeda dari sisi arsitektur, umat, dan fungsinya. Kelenteng umumnya berasitektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat, selain juga berfungsi spiritual. Vihara berarsitektur lokal dan biasanya mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, vihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada vihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tionghoa. Perbedaan antara kelenteng dan vihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa G30S tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa oleh Orde Baru, termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa. Kelenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup paksa. Banyak kelenteng yang kemudian mengadopsi nama Sanksekerta atau Pali, termasuk mengubah nama menjadi vihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan. 230 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Setelah rezim Soeharto diturunkan gerakan reformasi, banyak vihara yang kemudian mengganti nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai kelenteng daripada vihara.6 1. Petionghoan di Yogyakarta dan Kelenteng Poncowinatan Kelenteng Poncowinatan terletak di kampung Kranggan, sebuah kampung yang menjadi salah satu basis perkampungan Tionghoa masa lalu. Kampung Kranggan, meminjam istilah Yunanto Wiji Utomo,7 berada di jobo beteng (luar benteng keraton), di samping ada kampung yang ada di jeron beteng (dalam beteng kraton). Kampung-kampung di Yogyakarta sendiri proses penamaannya hampir seragam. Kampung di wilayah jeron beteng umumnya dinamai berdasarkan keahlian abdi dalemnya. Sebab kampung-kampung itu dulunya merupakan tempat tinggal abdi dalem yang sehari-hari menangani urusan rumah tangga keraton. Berjalan ke timur dari alun-alun utara dan berbelok ke kanan memasuki Plengkung Wijilan, ada kampung Mantrigawen, Gamelan, Namburan, dan Siliran. Bila berjalan sampai ke alun-alun kidul, akan ditemui kampung Nagan dan Patehan. Seiring perkembangan dan makin pluralnya penduduk kota Yogyakarta, sejak tahun 1900-an bermunculan pula kampung-kampung lain di jobo beteng. Umumnya, kampung-kampung terbagi berdasarkan etnis sehingga dinamai berdasarkan etnis dominan. Beberapa kampung yang bisa “Kelenteng”, dalam “http://id.wikipedia.org/wiki/Kelenteng. Yunanto Wiji Utomo, “Toponim Yogyakarta, Menilik Sejarah Penamaan Kampung dan Pecinan Jogjakarta, Kawasan Dagang Bersejarah”, dalam www. yogyes.com. 6 7 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 231 dikunjungi antara lain Kranggan, Petionghoan, Sayidan, Menduran, Loji Kecil, Kotabaru, dan Sagan. Selain tempat tinggal, kampung-kampung itu berfungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi. Kranggan, kampung di mana kawasan Kelenteng Poncowinatan berdiri merupakan kampung tua yang banyak didiami komunitas Tionghoa. Sebuah tulisan yang dilansir Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Yogyakarta berjudul “DIY Masa Kolonial”,8 terang-terangan menunjukkan hubungan antara Petionghoan, Kelenteng Poncowinatan dan kalangan Tionghoa. Dalam tulisan itu disebutkan, Petionghoan berarti tempat tinggal orang-orang Tionghoa. Di Yogyakarta keberadaan mereka terpusat di kawasan antara Kepatihan dan pasar Beringharjo, tepatnya di Ketandan, sepanjang Malioboro, Beskalan, dan Pajeksan. Dengan terpusatnya pemukiman Tionghoa mempermudah pihak kesultanan untuk melindungi sekaligus mengawasi keberadaan orang-orang Tionghoa, agar pemberontakan seperti geger Petionghoan pada masa Kartasura tidak terulang. Lagi pula pada tahun 1900 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang mengharuskan orang Tionghoa untuk bertempat tinggal di daerah tertentu di kota. Sistem distrik khusus tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan. Perkembangan kawasan sekitar keraton, terutama kawasan sepanjang Keraton-Tugu, cepat menjadi ramai dan pusat ekonomi. Pemukiman Tionghoa kemudian juga menempati kedua tepi poros tersebut. Proses interaksi potensi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DIY, “DIY Masa Kolonial”, dalam www.tasteofjogja.com (situs resmi Dinas kebudayaan dan Pariwisata Yogyakarta). Uraian tentang hubungan Kelenteng Poncowinatan dan perkampungan Tionghoa (pecinan) ini, selanjutnya merujuk tulisan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata ini tanpa lagi menyebutkan sumbernya. 8 232 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA ekonomis eksternal ke belahan Jawa Tengah bagian utara (Magelang dan Semarang), mendorong pula perluasan pemukiman Tionghoa ke kawasan utara Yogyakarta yang dianggap potensial untuk pengembangan usaha dagang. Perluasan prasarana transportasi ekonomi dengan dibukanya hubungan kereta api Yogyakarta-Semarang pada 1872 mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi di kawasan tersebut, yakni kawasan Kranggan dan sekitarnya. Pada peta tahun 1903, di sekitar Pasar Kranggan terdapat keterangan adanya perkampungan baru masyarakat Tionghoa. Seiring dengan perkembangan zaman, jika dibandingkan dengan kawasan Ketandan, warna arsitektur Tionghoa pada rumah-rumah di kawasan Kranggan tidak lagi dominan. Unsur arsitektur modern (awal abad XX) tampak semakin banyak digunakan. Meskipun demikian, altar pemujaan bagi leluhur tetap dipertahankan di rumah-rumah itu. Selain arsitektur bangunan tempat tinggal yang khas, pemukiman Tionghoa juga ditandai oleh bangunan peribadatan yang biasa disebut kelenteng. Peninggalan kelenteng yang berkaitan dengan pemukiman Tionghoa di Kota Yogyakarta masa lalu adalah Vihara Buddha Prabha dan Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Kwan Tee Kiong atau yang sekarang disebut dengan Kelenteng Poncowinatan. 2. Vihara Buddha Prabha Vihara ini terletak di Jalan Gondomanan, sekarang Jalan Brigjen Katamso, No. 3 Yogyakarta. Menurut catatan pengurus kelenteng, bangunan tersebut didirikan pada 15 Agustus 1900. Tanah tempat berdiri Vihara Buddha Prabha merupakan hibah dari keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VII dan sudah KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 233 diberikan pada tahun 1845. Adapun peruntukkannya memang sebagai tempat pemujaan bagi warga Tionghoa. Semula Vihara Buddha Prabha bernama Hok Tik Bio, tempat kebaktian bagi Hok Tik Cing Sin atau Dewa Bumi. Meskipun demikian, di kelenteng ini juga terdapat altar pemujaan bagi penganut agama Buddha dan Konghucu. Di era Orde Baru, nama Hok Tik Bio diganti menjadi Vihara Buddha Prabha. Saat itu di Indonesia hanya enam agama saja yang diakui, maka di vihara tersebut unsur Buddha lebih ditonjolkan. Vihara Buddha Prabha menghadap ke arah barat dengan luas bangunan 1150 m2 yang dikitari halaman luas. Denah bangunannya persegi panjang, terdiri atas ruang utama di tengah, utara, selatan, dan belakang. Sedang di tengah bangunan ada pelataran terbuka. Ciri utama arsitektur kelenteng berupa atap tipe Ngang Shan, dengan bubungan yang kedua ujungnya melengkung ke atas. Atapnya dihiasi patung naga yang saling berhadapan dengan ekor tegak. Di tengah dua patung naga terdapat bola api yang merupakan simbol mutiara bulan. Dalam tradisi Tionghoa naga melambangkan perlindungan dan kekuasaan, sedang mutiara bulan adalah lambang kesucian. 3. Kwan Tee Kiong. Tempat Ibadah Tri Dharma Kwan Tee Kiong terletak di Jalan Poncowinatan 11 Yogyakarta. Didirikan tahun 1883 atas inisiatif masyarakat Tionghoa di Yogyakarta, kelenteng ini mendapat bantuan dari Sri Sultan Hamengkubuwana VII berupa tanah untuk tempat bangunan tersebut. Kwan Tee Kiong menghadap ke arah selatan. Denah bangunan berbentuk persegi panjang dengan luas kurang lebih 1500 m2. Kwan Tee Kiong terdiri atas bangunan utama dengan beberapa sayap. 234 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Pada ruang pemujaan utama terdapat altar pemujaan, beduk, dan lonceng. Altar pemujaan itu diperuntukkan bagi Kwan Tee Koen, Kong Ce Cu Ong, dan Tien Song Su Bo yang merupakan tokoh-tokoh dalam Taoisme. Di sisi timur ruang pemujaan utama tersedia ruang pemujaan kepada Fuk Tek Cen Sen. Bangunan di sisi utara yang merupakan bangunan bertingkat, digunakan sebagai ruang pemujaan kepada Dhyani Bodhisatva Avalokitesvara yang ditampilkan sebagai Dewi Kwan Im di ruang tengah. Sisi kanan ruang pemujaan untuk Buddha Gautama, sisi kiri untuk Dhyani Bodhisatva Manjusri. Di sebelah kiri ruang pemujaan untuk Dhyani Bodhisatva Manjusri, terdapat ruang pemujaan untuk U Tien Sien Nie dan Kong Hu Cu. Ruang sebelah baratnya untuk Tie Cong Ong Poo Sat dan Chuing Sen Tien. Selain kekhasan bangunan kelenteng, Yogyakarta juga menyimpan peninggalan-peninggalan komunitas Tionghoa. Di antaranya makam Tan Jing Sin, sebuah makam kapiten Tionghoa yang dianggap njawani, Regocolo, pemakaman warga Tionghoa lain di Sagan (yang sudah dibongkar untuk pembangunan UGM), Cokrodiningratan, sekitar Gunung Boko Prambanan, dan sekitar Gunung Sempu, Kasihan, Bantul. Pemakaman Tionghoa di daerah Cokrodiningratan hanya tersisa sebagian dengan kondisi tidak terawat. Hingga saat ini yang masih difungsikan adalah makam di daerah Boko, Prambanan, Sleman, dan Gunung Sempu, Kasihan, Bantul. C. Yang Terlibat Konflik Konflik seputar Kelenteng Poncowinatan pada awalnya melibatkan dua kelompok, yaitu Yayasan Bhakti Loka dan KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 235 YPPN Budya Wacana. Bhakti Loka merupakan yayasan yang didirikan untuk memelihara dan melestarikan Kelenteng Poncowinatan sebagai Tri Dharma, tempat pemujaan kalangan Konghucu, Buddha, dan Tao. Ketika konflik berjalan dan bangunan dibongkar, Bhakti Loka membentuk Tim 7 yang diketuai Siput Lokasari, dengan anggota Dery Sadana (Ketua Umum Yayasan Bhakti Loka), Ariyanto Tirtowinoto (Ketua I Yayasan), Fantoni Gutama (Ketua II Yayasan), ditambah Hari Purnomo, Bimo Yuwono, dan Iman Teguh KS.9 Sedangkan YPPN Budya Wacana yang mengelola sekolah di sisi utara area bangunan Kelenteng Poncowinatan. Sejarah kelahiran YPPN tidak bisa dilepaskan dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) Ngupasan, GKI tertua di Yogyakarta yang berdiri pada 3 Juni 1934. GKI inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya tiga GKI lain, yakni GKI Wongsodirjan (31 Oktober 1991), GKI Gondomanan (22 Nopember 1996) dan GKI Gejayan (3 Maret 2000). Pdt. Iskak Gunawan yang datang tahun 1959 mulai menginisiasi pertemuan dengan sekolahsekolah Kristen yang dulu dirintis Guru Injil Go Tiang Lioe. Dari kegiatan ini pada 6 April 1959 akhirnya berdiri YPPN, kemudian berubah menjadi YPPN Budya Wacana sejak 17 Oktober 1970.10 Juru bicara dalam konflik soal Kelenteng Poncowinatan dari YPPN Budya Wacana diwakili Gideon Hartono dan pengacaranya, Oncan Purba dan kawan-kawan. Dalam kelanjutannya, konflik tidak hanya melibatkan dua kelompok tersebut, tapi juga Dinas Perizinan Pemkot Yogyakarta, Balai Pelestarian “Liputan Khusus: Dari Konflik Budya Wacana-Kelenteng Poncowinatan, Meretas Perdamaian di Tanah Magersari,” dalam http://www.kr.co.id/web/ detail.php?sid=155331&actmenu=46. 10 “Profil sekolah Budya Wacana,” dalam http://www.budyawacana.com/ media.php?module=profil 9 236 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta, Dinas Ketertiban (Dintib), sampai Dirjen Sejarah dan Purbakala di Jakarta. Sejauh mana keterlibatan kelompok-kelompok ini, dapat dilihat dalam kronologi konflik di bawah ini.11 D. Kronologi Konflik Kasus Kelenteng Poncowinatan muncul bermula dari sebuah laporan Yayasan Bhakti Loka dan Siput Lokasari (seorang warga Kranggan) ke BP3. Kemudian BP3 menggali data dan bertemu dengan berbagai pihak, di antaranya Dinas Perizinan, Yayasan Budya Wacana, dan Yayasan Bhakti Loka. Meskipun BP3 telah mengeluarkan rekomendasi dari hasil kajiannya, tetapi kasus Kelenteng Poncowinatan belum selesai, bahkan sampai dimejahijaukan. Kronologi ini disusun berdasarkan kajian dari BP312 tertanggal Nopember 2008 (sampai kronologi Nopember 2007); surat-surat dari berbagai institusi yang dianggap berhubungan, berita dari koran-koran di Yogyakarta, situs internet (baik dari kelenteng Poncowinatan maupun dari Bantahan YPPN Budya Wacana), dan lain-lain yang dianggap perlu. Kronologi konflik selanjutnya dapat dibaca di bawah ini: Ketika tulisan ini dibuat, kasus ini telah dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara, di mana Bhakti Loka menggugat Dinas Perizinan Pemkot Yogyakarta, dan telah memasuki beberapa kali sidang. 12 Laporan Penyelesaian Kasus Pengaduan Yayasan Bhakti Loka Selaku Pengelola Kompleks Kelenteng Poncowinatan terhadap Pembongkaran Gedung Sekolah dalam Kompleks Kelenteng Poncowinatan oleh Yayasan Budya Wacana, BP3, 2008. 11 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 237 14 September 2007 Siput Lokasari selaku warga Kranggan yang beralamat di Jalan Kranggan No. 22 mengirimkan surat kepada BP3 DIY, tentang kejadian pembongkaran sebagian bangunan yang masuk area Kelenteng Poncowinatan. Yayasan Bhakti Loka juga melaporkan YPPN Budya Wacana telah membongkar sekolah Budya Wacana yang masuk di area Kelenteng Poncowinatan. Surat ini juga dilengkapi surat bukti magersari serta foto-foto dan denah kompleks kelenteng di masa lalu. 17 September 2007 BP3 Yogyakarta mengirimkan surat kepada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk mengklarifikasi adanya izin yang diberikan kepada YPPN Budya Wacana mengingat bangunan tersebut adalah bagian dari bangunan cagar budaya Kelenteng Poncowinatan. Berdasarkan surat BP3, Dinas Perizinan Kota meminta Budya Wacana untuk mengajukan rekomendasi IMBB (Izin Mendirikan Bangun Bangunan) ke BP3. Dalam surat yang ditandatangani Plt Kepala BP3, Dra. Herni Pramastuti itu disebutkan, “bangunan yang dibongkar merupakan bangunan fasilitas kelenteng yang termasuk cagar budaya.”13 20 September 2007 Terjadi rapat antara BP3 dengan Dinas Perizinan yang hasilnya menyatakan, meskipun Dinas Perizinan telah mengeluarkan IMBB, namun karena terjadi kasus dan tidak sesuai dengan perencanaan awal maka IMBB perlu diperbarui sesuai dengan kesepakatan warga dan pihak YPPN. Dinas Perizinan kemudian menunggu rekomendasi yang dikeluarkan BP3 Yogyakarta terkait pengembangan sekolah Budya Wacana. Surat BP3 kepada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, No. 2166 N2/BP3/DKP/2007. 13 238 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 22 September 2007 Terjadi rapat antara BP3 dan YPPN Budya Wacana yang kesimpulannya, pertama, Budya Wacana keberatan bila harus mengulang proses perizinan sejak awal, karena IMBB sudah turun; kedua, perlu dilakukan pembicaraan dengan pihak Bhakti Loka sebagai pengurus Kelenteng Poncowinatan. 24 September 2007 YPPN mengajukan surat kepada BP3 Yogyakarta No. 72/YPPN-BW/eks/2007 tentang permohonan rekomendasi. Karena ada surat dari Yayasan Bhakti Loka dan Yayasan Budya Wacana, kemudian BP3 segera melakukan kajian dan mengumpulkan data di lapangan serta keterangan dari kedua belah pihak guna mencari jalan keluar, karena sangat terkait dengan pelestarian benda cagar budaya. 29 September 2007 Terjadi rapat antara BP3 dengan Bhakti Loka. Agendanya penyampaian secara resmi deri pihak Bhakti Loka bahwa telah terjadi perusakan bangunan dalam kompleks Kelenteng Poncowinatan yang merupakan benda cagar budaya. Bhakti Loka mendesak agar bangunan yang telah dirusak itu dibangun kembali seperti semula, karena ada keterkaitan secara moril dengan para leluhur yang telah mewariskan bangunan tersebut. Pihak Bhakti Loka juga melampirkan dokumen dan beberapa foto lama yang menguatkan jika sekolah Budya Wacana yang telah dibongkar merupakan bangunan lama bekas sekolah Tiong Hoa Hak Tong yang merupakan bagian dari Kelenteng Poncowinatan. 12 Oktober 2007 Terjadi rapat antara BP3 dengan YPPN yang berisi penjelasan kepada pihak Budya Wacana bahwa berdasarkan kajian data faktual di lapangan maupun data historis, ba- KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 239 ngunan tersebut memenuhi kritera cagar budaya yang berkait dengan eksistensi sejarah pendidikan khusus untuk etnis Tionghoa dari dulu sampai sekarang. Terkait itu, pihak Budya Wacana diminta mengembalikan bangunan seperti setting aslinya di mana sekolah tersebut merupakan satu kesatuan dengan kelenteng. Sedangkan untuk pengembangan dapat dilakukan pada bangunan sisi utara yang membujur arah barat-timur. Pihak Budya Wacana sendiri belum dapat menerima rekomendasi pihak BP3 Yogyakarta itu. Nopember 2007 BP3 menyelesaikan narasi tentang mulai munculnya kasus Kelenteng Poncowinatan, yang prosesnya berjalan sejak 14 September 2007. Akhir dari seluruh kajiannya, BP3 membuat rekomendasi berisi: pertama, Yayasan Budya Wacana harus mengembalikan bangunan seperti aslinya, yaitu bangunan sisi barat dan bangunan loteng yang menghadap selatan serta bangunan sisi timur yang menghadap barat; untuk pengembangan sekolah Budya Wacana harus mengacu pada setting aslinya, di mana sekolah tersebut merupakan satu kesatuan dengan kelenteng. Dengan demikian akses antara kelenteng dan sekolah hanya boleh dibatasi pagar yang transparan seperti besi, bukan tembok; kedua, berdasarkan tingkat asli bangunan sebelum dilakukan pembongkaran, yang banyak mengalami perubahan terdapat di bagian utara. Untuk itu pembangunan bisa dilakukan pada sisi utara membujur dari barat ke timur; ketiga, pembangunan sekolah yang akan dilakukan Budya Wacana pun harus mengacu setting awal Kelenteng Poncowinatan. Dengan begitu kegiatan ini harus melibatkan Yayasan Bhakti Loka selaku pengelola kelenteng. Yayasan Budaya Wacana menolak rekomendasi ini. Meski begitu, BP3 beranggapan penolakan YPPN tidak akan mengubah keputusan yang telah ada, dan BP3 Yogyakarta tetap mempertahankan rekomendasi yang telah dibuat berdasarkan pengkajian data-data yang akurat. 240 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Penolakan tersebut dipandang lebih sebagai upaya mempertahankan kepentingan YPPN dan tidak memperhatikan pelestarian bangunan-bangunan bersejarah di Yogyakarta.14 10 Desember 2007 Kecamatan Jetis lewat Camat Jetis Sisruwardi SH mengundang Siput Lokasari di aula kecamatan untuk mengoordinasikan masalah pembangunan gedung Yayasan Budya Wacana. 14 Desember 2007 Direktur Peninggalan Purbakala, Drs. Soeroso, M.Hum., membuat surat kepada Kepala BP3 Yogyakarta, yang isinya mendukung apa yang telah direkomendasikan kepala BP3 dalam menangani bangunan kompleks kelenteng Poncowinatan. Ini berati ia mendukung jika Budya Wacana mengembalikan bangunan dalam keadaan aslinya. Begitupun dengan pandangan bahwa sekolah tersebut satu kesatuan dengan kelenteng yang berarti menegaskan jika akses antara kelenteng dengan sekolah hanya boleh dibatasi dengan pagar yang transparan seperti besi, bukan tembok. Jika kasus ini tidak bisa diselesaikan dengan baik, pihak Peninggalan Purbakala mnyarankan untuk mempuh jalur sesuai ketentuan yang berlaku. 23 Januari 2008 Kepala BP3 Yogyakarta mengirim surat kepada Pengurus YPPN berisi beberapa hal. Pertama, BP3, sesuai rekomendasi Dirjen Purbakala, mengundang Budya Wacana tapi tidak diindahkan. Kedua, pada 28 Desember 2007 BP3 Seluruh narasi pada 14 September 2007 - Nopember 2007, merujuk pada dokumen Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta, Laporan Penyelesaian Kasus Pengaduan Yayasan Bhakti Loka Selaku Pengelola Kompleks Kelenteng Poncowinatan terhadap Pembongkaran Gedung Sekolah dalam Kompleks Kelenteng Poncowinatan oleh Yayasan Budya Wacana, Nopember 2008. 14 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 241 telah mengecek lokasi dan diketahui jika proses pembangunannya tidak mengindahkan rekomendasi BP3. Ketiga, dengan tidak diindahkannya hal tersebut, BP3 akan melakukan proses penyidikan. 30 Januari 2008 Kepala Dinas Ketertiban mengeluarkan surat berisi desakan penghentian proses pembangunan kepada Ketua YPPN. Berdasarkan surat BP3 tertanggal 23 Januari 2008, pembangunan gedung fisik tersebut seharusnya dilakukan disesuaikan dengan IMBB seperti surat dari Dinas Perizinan Kota, dan disesuaikan dengan rekomendasi Dirjen Sejarah dan Purbakala Depbudpar RI yang ditujukan kepada Kepala BP3 Yogyakarta. Surat ini ditandatangani kepala Dintib, Priyono Raharjo, CN. 5 Februari 2008 Dinas Ketertiban Pemkot Yogyakarta mengeluarkan surat kepada YPPN Budya Wacana yang ditandatangani Drs. Wahyu Widayat, Mac. MM. Isinya justru mencabut surat sebelumnya. Pihak Dinas Ketertiban menyatakan setelah mereka melakukan koordinasi dengan instansi terkait, disimpulkan bahwa IMBB yang dikirim YPPN masih tetap berlaku. “Bahwa berdasarkan informasi dari instansi terkait, ternyata saudara dalam melakukan kegiatan pembangunan telah sesuai dengan IMBB yang telah diterbitkan oleh Dinas Perizinan Kota, sehingga tidak ada alasan untuk menghentikan kegiatan; dan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan bangunan cagar budaya merupakan kewenangan BP3, dan dengan ini kami mencabut surat kami dan kami nyatakan tidak berlaku lagi,” demikian isi surat. 11 Februari 2008, Seorang warga Kemetiran Kidul No.89 bernama Sadana Mulyono melaporkan Gideon Hartono (YPPN Budya Wacana) dan Stevanus Wijaya ke Polda DIY berupa laporan “Perusakan gedung sekolah terjadi pada bulan 242 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Maret 2007, di Jl. Kranggan No. 11 Jetis Yogyakarta dengan kerugian tidak ternilai”. Laporan ini diterima Adi Pontjonoegroho berpangkat Kompol, Kepala Siaga Operasi Regu Polda DIY. 27 Februari 2008 Setelah upaya-upaya berbagai institusi seperti tampak dalam kronologi sebelumnya belum juga membuat kasus ini selesai, 50-an orang yang membawa bendera Gerakan Masyarakat Peduli Cagar Budaya (Gempar) menggelar unjuk rasa di halaman Kelenteng Poncowinatan. Aksi yang berlangsung sejak pukul 10.30 WIB ini diikuti berbagai elemen, di antaranya Yayasan Bhakti Loka, Kaum Muda Nahdlatul Ulama, Jogja Heritage Society (JHS), dan lain-lain. Para demonstran membawa spanduk dan beberapa poster. Antara lain bertuliskan “Lawan kesewenangan Dinas Perizinan”, “Pemkot Biang Kerok Penjarahan”, “Cabut IMBB Pemkot Yogya,” dan “Kelenteng Bukan Barang Jarahan”. Dalam aksi ini, pengunjuk rasa dalam pernyatannya menuntut Budya Wacana menghentikan proses pembangunan sekolah yang dianggap secara hukum dan prosedur belum mendapatkan kekuatan legalitas. Mereka juga menuntut pemerintah dan lembaga-lembaga terkait segera menindak para pelaku perusakan Kelenteng Poncowinatan sebagai kawasan cagar budaya, termasuk mengembalikan kawasan cagar budaya Kelenteng Poncowinatan yang telah dirusak sebagaimana mestinya.15 Anggota Tim Pelestari Kelenteng (TPK) Siput Lokasari yang mendukung aksi tersebut mengungkapkan, bangunan kelenteng merupakan bangunan milik Keraton Yogya. Pernyataan ini dibenarkan Bimo, anggota TPK. Bangunan Pernyataan Sikap Gerakan Masyarakat Peduli Cagar Budaya (Gempar Budaya), 26 Februari 2008. 15 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 243 yang telah dibongkar itu didirikan tahun 1897 semasa kepemimpinan Raja Keraton Sultan HB VII. Namun, baru digunakan tahun 1907. Hingga akhirnya mulai tahun 1970 sampai sekarang, bangunan tersebut di bawah pengelolaan Yayasan Budya Wacana. “Seharusnya bangunan itu dipertahankan, bukan dibongkar,” katanya menyesalkan. Siput saat itu mengungkapkan adanya keterlibatan oknum pegawai Dinas Perizinan Kota Yogya. Namanya berinisial “S”. Pegawai ini yang telah menghidupkan kembali IMBB yang sudah kadaluwarsa.16 29 Februari 2008 Terjadi perang kata-kata antara Bhakti Loka dan YPPB Budya Wacana. Siput Lokasari mengungkapkan ke media massa. “Di bangunan itu kan sudah ada police line, seharusnya kegiatan dihentikan. Saya tidak ingin menyebut nama. Tapi, orang ini yang merusak cagar budaya. Orang ini bekerjasama dengan pegawai di Dinas Perizinan Kota Yogya.” Sisi barat kelenteng memang sedang dibangun berlantai tiga, akan digunakan sebagai sarana pendidikan bagi siswa sekolah dasar, TK dan playgroup di bawah pengelolaan YPPN Budya Wacana. Upaya menghentikan pembangunan itu, bahkan dilakukan dengan cara mengadu ke Walikota Yogyakarta Herry Zudianto dan Wakil Wali Kota Haryadi Suyuti lewat telepon. Kepada Herry dan Haryadi, Yayasan Bhakti Loka menyampaikan alasan dan argumennya tentang mendesaknya penghentian proses pembangunan. Beberapa argumentasi antara lain dikemukakan antara lain pengajuan IMBB pada 16 Januari 2007 tidak memenuhi persyaratan, dalam desain gambar tidak disertai tanda tangan warga, pada rapat koordinasi pada 20 September 2007 “Kelenteng Bukan Barang Jarahan”, Radar Jogja, 27 Februari 2008.“Mahasiswa Tolak Pengrusakan Cagar Budaya”, CyberNews, 26, Februari 2008. 16 244 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA juga dinyatakan IMBB perlu diperbaharui, dan terakhir Dinas Perizinan menunggu rekomendasi BP3 sebelum mengeluarkan IMBB. Siput mengemukakan: “Lho tanggal 5 Desember 2007, tiba-tiba Pak Sutarto (pegawai Dinas Perizinan --pen) mengabaikan proses pembaharuan IMBB yang sedang berjalan dan mengizinkan YPPN Budaya Wacana untuk mulai membangun. Sudah jelas ini permainan bukan? Budya Wacana membangun tanpa IMMB?” Selain itu, Direktur Peninggalan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Sejarah dan Purbakala, Drs Soeroso M. Hum., juga meminta Budya Wacana mengembalikan bangunan seperti aslinya. Siput dalam SMS itu lantas mengingatkan agar Pemkot tidak dibodohi dan dijadikan bemper orang-orang yang merusak budaya bangsa.17 3 Maret 2008 Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Sejarah dan Purbakala, menerbitkan surat kedua yang ditujukan kepada BP3 Yogyakarta yang isinya sangat mendasar. Setelah mempelajari gambar denah rencana baru versi panitia pembangunan YPPN Budya Wacana di Jalan Kranggan 11 Yogyakarta, Departemen Kebudayaan pada prinsipnya menyetujui usulan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian BP3 di Yogyakarta sebelumnya dan pemantauan di lapangan, Departemen Kebudayaan menyimpulkan bahwa bangunan yang dirobohkan adalah bangunan baru yang telah direnovasi tahun 1970-an dan tahun 2003. Departemen ini berkesimpulan, bangunan tersebut bukanlah bangunan cagar budaya dan belum ada penetapannya sebagai benda cagar budaya. Departemen Kebudayaan juga berharap, dengan diterbitkannya surat itu polemik tentang “Nasib Kelenteng Poncowinatan Setelah Kasus Perusakan”, Radar Jogja, Jumat, 29 Februari 2008 17 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 245 pembangunan gedung sekolah YPPN dianggap telah selesai, dan kepada semua pihak diminta menghormati keputusan tersebut.18 Surat ini membalik kesimpulan BP3 yang telah dikemukakan di muka. 4 Maret 2008 Ketua YPPN Gideon Hartono akhirnya buka suara terhadap pihak-pihak yang mempersoalkan pembangunan gedung. Gideon menggelar jumpa pers setelah sebelumnya berdialog dengan Komisi III DPRD Kota Yogyakarta. Dalam keterangan kepada wartawan, Gideon yang didampingi penasihat hukumnya Oncan Poerba SH, Susie Fitri SH, MM, Rudolf Ferdinand PS, SH., dan Willyam Hendry S SH., menegaskan jika anggapan merusak cagar buadaya di kawasan Kelenteng Poncowinatan tidak benar. Gideon mengatakan, bangunan dimaksud bukan benda cagar budaya (BCB). Bangunan sisi barat kelenteng yang dipersoalkan Yayasan Bhakti Loka itu hanyalah bangunan biasa seperti rumah-rumah lain. Kelenteng Poncowinatan sendiri belum berstatus cagar budaya. Berdasarkan surat resmi yang dikeluarkan pemerintah, kelenteng yang terletak di utara Pasar Kranggan itu baru dinyatakan sebagai “potensi benda cagar budaya”. Alasan Gideon, tanah seluas 1.900 m2 yang dibangun persilnya terpisah dari kelenteng. Bangunan itu juga telah mengantongi Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB) resmi dan sah yang diterbitkan Pemkot Yogya. Sementara itu pihak Keraton Yogya melalui KGPH Hadiwinoto telah memberi izin tanah untuk dibangun. Karena bangunan rusak berat setelah digoyang gempa 27 Mei 2006, dan keberadaannya itu dinilai penting bagi upaya pencerdasan Surat Dirjen Sejarah dan Purbakala, Drs. Soeroso M.Hum., kepada BP3 Yogyakarta, No. 242/DIT.PP/SP/3.III/2008. 18 246 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA masyarakat melalui pendidikan, yayasan yang dipimpinnya memutuskan membangun kembali meski rencana tersebut belum berjalan mulus. Pembangunan tersebut bahkan sempat macet. Saat dimulai lagi, menurut pengakuan Gideon harga bangunan melonjak. Setelah ada dana talangan, pembangunan kembali dilanjutkan.19 5 Maret 2008 Asisten Bidang Pembangunan Pemkot Yogyakarta Muhammad Sarjono SH mengatakan pemkot telah mendapat informasi resmi dari pemerintah pusat. Informasi itu terkait dengan status bangunan di kompleks Kelenteng Poncowinatan yang dikelola Yayasan Pendidikan Budya Wacana (YPBW). Pemerintah memutuskan bangunan tersebut bukan termasuk benda cagar budaya (BCB).20 “Ini informasi yang barusan saya terima dari Jakarta. Saat ini saya sedang menunggu surat resminya,” kata Sarjono kepada para wartawan di Yogyakarta. Oleh karena itu, Sarjono berharap keputusan itu dapat mengakhiri polemik dan pro-kontra terhadap status bangunan di barat kelenteng yang dikelola Yayasan Bhakti Loka. Terpisah, pengurus Yayasan Bhakti Loka Siput Lokasari mengaku telah menyerahkan bukti baru kepada Polda DIY. Bukti itu berupa dokumen palsu. “Saya tidak perlu menyebutkan siapa yang memalsukan dokumen,” katanya. Dokumen itu diperoleh dari pegawai Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Sementara itu, Tim Penasihat Hukum YPPN Budya Wacana bakal memperkarakan pihak-pihak yang telah merugikan yayasan. Pernyataan ini disampaikan “Bantah Merusak Cagar Budaya, Gedeon: Itu Bangunan Biasa”, Radar Jogja, 4 Maret 2008, dan “Terkait Tuduhan Pembongkaran Cagar Budaya, Gedung Sekolah Budya Wacana Bukan Cagar Budaya”, Kedaulatan Rakyat, 4 Maret 2008. 20 Kemungkinan besar yang dimaksud di sini adalah surat kedua dari Dirjen Sejarah dan Purbakala tertanggal 3 Maret 2007. 19 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 247 Oncan Poerba SH., Susie Fitri SH., MM., Rudolf Ferdinand PS., SH., dan Willyam Hendry S. SH., selaku pengacara YPPN Budya Wacana.21 18 Maret 2008 Anggota Tim Pelestari Kelenteng yang juga pengurus Yayasan Bhakti Loka, Siput Lokasari, justru disomasi Pemkot Yogya. Asisten Bidang Pembangunan Pemkot Yogya Muhammad Sarjono menjelaskan. “Kami sudah menerima tanggapan atas somasi dari Saudara Siput. Tapi, terus terang jawabannya belum memuaskan.” Oleh karena itu, Sarjono yang waktu itu didampingi Kepala Bagian Hukum Basuki berencana melayangkan somasi kedua. Hanya, kapan somasi itu bakal dikirimkan, Sarjono maupun Basuki belum dapat memastikan. Alasannya, Pemkot baru akan membahas tanggapan Siput. Tanggapan atas somasi pertama Pemkot ini ditandatangani Siput tanggal 10 Maret 2008. Dalam selembar surat yang kini berada di Bagian Hukum, Siput antara lain menyampaikan permintaan maaf kepada Pemkot. Siput sendiri tampak rileks. “Monggo-monggo saja. Itu hak Pemkot,” katanya. Hanya, dia mengaku tidak mengerti mengapa Pemkot getol sekali mensomasi dirinya. Apalagi Pemkot akan melayangkan somasi kedua. “Apa yang mau disomasi. Saya ora dong sik disomasi? Saya nggak ngerti. Somasinya apa?” katanya sembari menjelaskan dirinya telah menjawab somasi pertama. Siput berpendapat, Pemkot seharusnya mensomasi orang yang membohongi dan membuat dokumen palsu. “Masak ada dokumen palsu Pemkot justru mendiamkan dan malah mensomasi orang lain?” katanya. Siput mengatakan, Pemkot seharusnya memanggilnya untuk klarifikasi. Dia “Pemkot Dapat Kepastian dari Pusat: Kelenteng Poncowinatan Bukan Cagar Budaya”, Radar Jogja, 5 Maret 2008. 21 248 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA mengatakan siap dan akan memenuhi undangan bila diperlukan Pemkot. Siput mengatakan, “panggil saya kan bisa. Tanya saya dong? Kan gampang. Gitu saja kok repot?”22 15 April 2008 Komisi II DPRD Kota Yogyakarta meminta proses pembangunan gedung Budya Wacana yang berada di Kranggan untuk sementara dihentikan dulu sebelum permasalahan terkait selesai. Selain itu, Dewan juga meminta Dinas Perizinan untuk mensosialisasikan rekomendasi tersebut kepada pihak-pihak terkait. Sekretaris Komisi II DPRD Kota Yogyakarta, Henry Kuncoroyekti SH, usai koordinasi dengan Dinas Perizinan dan Dinas Ketertiban, di Gedung DPRD Kota Yogyakarta, Senin (14/4/2008) mengungkapkan hal itu. Rapat yang dipimpin Ketua Komisi II DPRD Kota Yogyakarta, Sinarbiyat Nujanat diikuti sejumlah anggota komisi, Kepala Dinas Perizinan dan Dinas Ketertiban. Henry mengatakan, “sambil menunggu penyelesaian masalahnya kami merekomendasikan agar proses pembangunan gedung BW (Budya Wacana) dihentikan dulu.” Terhadap rekomendasi ini, Dinas Perizinan Kota Yogyakarta segera mendiskusikan dengan Asisten Pembangunan Kota Yogyakarta. Dinas Perizinan juga meminta waktu seminggu untuk mempelajari sejumlah bukti baru yang muncul. “Kami masih menunggu keputusan dari Dinas Perizinan. Prinsipnya sebelum masalah di Budya Wacana selesai pembangunannya dihentikan dulu,” ungkap anggota Fraksi PDI Perjuangan ini. Dewan juga meminta dinas untuk menyampaikan rekomendasi dari dewan kepada pihak-pihak terkait.23 “Pemkot Ancam Somasi Kedua”, Radar Jogja, 18 Maret “Dewan Minta Pembangunan BW Dihentikan”, Kedaulatan Rakyat, 15 April 2008. 22 23 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 249 21 April 2008 Ketua YPPN Budya Wacana, Gideon Hartono berstatus sebagai saksi dalam kasus konflik Kelenteng Poncowinatan di Polda DIY. Hal itu diungkapkan penasihat hukum Gideon Hartono, Oncan Poerba SH., dan Susie Fitri SH., Sabtu (19/4/2008). Diakui, kasus tersebut telah memasuki ranah hukum, oleh karena itu para pihak diharapkan menghormati proses hukum dengan tidak membuat opini di luar. Oncan mengemukakan kembali alasan perlunya pembangunan diteruskan. Alasannya, pertama, pihaknya telah memenuhi semua syarat-syarat hukum dibuktikan dengan adanya perizinan mengenai Amdal lalu lintas dan sesuai dengan surat Departemen Kebudayaan Pariwisata Dirjen Sejarah dan Purbakala yang menyatakan bangunan yang dibongkar oleh YPPN Budya Wacana bukan merupakan benda cagar budaya. Kedua, tanah yang terletak di atas bangunan pendidikan yang dibangun yayasan tersebut dianggap tanah pinjam-pakai milik keraton sesuai dengan surat perjanjian No. 15/HT/K.P.K/2004 tertanggal 24 Mei 2004, sehingga jelas bangunan gedung yang selama ini dikelola YPPN Budya Wacana tidak ada hubungannya dengan Kelenteng Poncowinatan. Susie Fitri menambahkan alasan. Karena sebagian besar rusak akibat gempa beberapa waktu lalu, renovasi itu diperlukan agar para siswa merasa nyaman dalam mengikuti proses belajar mengajar.24 28 April 2008 Siput Lokasari kembali mengemukakan bahwa proses pembangunan SMA Budya Wacana di sebelah barat Kelenteng Poncowinatan, Yogyakarta, tak cukup dihentikan sementara. Tapi pemerintah daerah setempat harus mencabut izin bangunan baru berlantai tiga di atas “Dilaporkan Merusak Cagar Budaya, Gideon Masih Berstatus Saksi”, Kedaulatan Rakyat, 21 April 2008. 24 250 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA bangunan bersejarah itu, yang dibongkar pengelola YPPN Budya Wacana. Siput menjelaskan, “Yayasan Pendidikan Budya Wacana harus membongkar bangunan (baru) dan mengembalikannya seperti aslinya.” Siput mengemukakan bahwa tanah dan gedung yang diruntuhkan itu tak terpisahkan dari kelenteng. Dalam konsep kelenteng, selain bangunan kelenteng, ada sekolah dan tempat kegiatan kebudayaan. Bangunan sekolah Ting Hoa Hak Tong didirikan pada 1907. Sekolah pertama di Yogyakarta ini adalah bangunan arsitektur Tionghoa dengan atap melengkung seluas 1.400 meter persegi. Sekolah itu ditutup pada 1938. Tapi berdiri lagi dan beberapa kali berganti nama, salah satunya menjadi YPPN tahun 1958. YPPN berubah menjadi Yayasan Pendidikan Budya Wacana pada 1970, yang meminjam bangunan milik kelenteng. Menurut Siput, sekitar 1982, Budya Wacana menambah bangunan baru, tapi roboh karena gempa pada 2006. Sedangkan bangunan lama masih berdiri untuk kegiatan SMA Budya Wacana. Bangunan lama milik kelenteng itu malah dirobohkan dan di atasnya didirikan bangunan baru untuk SMA Budya Wacana. Pembangunan SMA ini dimulai pada Februari 2007 setelah mengantongi izin dari pemerintah kota Yogyakarta. “Kami berusaha mencegah, tapi bangunan terlanjur dirobohkan alat berat,” kata Siput.25 29 April 2008 Siput Lokasari malah dilaporkan Pemkot ke Poltabes Yogyakarta. Siput sendiri menanggapi santai menyusul dilaporkannya dirinya ke Poltabes Yogya oleh Pemkot Yogya. Hanya saja, Siput mengungkapkan keheranannya “Bangunan SMA Budya Wacana Harus Dibongkar”, Koran Tempo, 28 April 2008. 25 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 251 dengan sikap Pemkot. “Saya heran dan tidak mengerti, mengapa Pemkot melaporkan saya”. Siput heran karena merasa belum pernah mencemarkan nama baik siapa pun. Ia juga menyatakan tidak pernah menyebarluaskan apapun yang dituduhkan Pemkot. Pengusaha restoran ini mengaku sebenarnya hanya bermaksud memberi masukan kepada Walikota Herry Zudianto. Ia membeberkan, seseorang yang tidak disebut namanya dalam dokumen pengajuan IMBB memberi keterangan palsu hingga terbit IMBB. Siput menyebut orang itu berinisial GD. Dengan IMBB tersebut, GD membongkar kelenteng bagian barat yang bukan miliknya. Lucunya lagi, lanjut dia, GD yang jelas-jelas melanggar dan membohongi Pemkot tidak diberi sanksi. ”Eh, saya malah difitnah dan dilaporkan ke polisi. Ini ada apa toh?” Kepala Bagian Hukum Pemkot Yogya Basuki SH menegaskan, pernyataan Siput dianggap telah mencemarkan pihak lain. Pihak yang dimaksud adalah Pemkot, Dinas Perizinan dan Sutarto. Menyikapi pencemaran nama baik tersebut, Pemkot sebenarnya telah melayangkan somasi kepada Siput. Namun, somasi tersebut tidak ditanggapi. ”Apa boleh buat, jalan terakhirnya kita laporkan ke pihak berwajib,” kata Basuki. Laporan secara tertulis telah disampaikan Pemkot ke Poltabes tanggal 24 April lalu. Surat pengaduan bernomor STB/165/IV/2008/SPK. Pemkot telah menyerahkan sepenuhnya kepada polisi untuk menyelesaikan kasus hukum dengan Siput. Menanggapi langkah Pemkot ke polisi, Siput menyarankan kepada yang sedang berkuasa jangan seperti anak kecil yang sensitif dan arogan. ’’Masak masyarakatnya sendiri kok dilaporkan ke polisi hanya garagara memberi masukan. Contohlah Pak Wali yang selalu terbuka untuk masukan,” tutur Siput.26 26 “Siput Heran Dilaporkan Polisi,” Radar Jogja, 29 April 2009. 252 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 22 Juli 2008 Pihak Bhakti Loka membuat pengumuman tentang Kelenteng Poncowinatan di koran, berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 30/Pdt/P/1995/P.N. Yk. Tgl. 30-5-1995; dan dokumen Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta, Peta Jetis 3.lb. 22 Yogyakarta, maka Bhakti Loka mengumumkan: Tanah di Jl. Poncowinatan yang di atasnya berdiri bangunan-bangunan yang saat ini dimanfaatkan sebagai Sekolah Bhinneka Tunggal Ika (bagian timur), tempat ibadah (bagian tengah), Sekolah Budya Wacana (bagian barat) merupakan satu kesatuan Tanah Negara yang tercatat di Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta sebagai China Temple (kelenteng); Kebohongan Publik yang disebarluaskan oknum YPPN Budya Wacana (YPPN BW) bahwa gedung bagian barat kelenteng adalah “Milik” BW merupakan tindak penistaan terhadap Agama Kristen yang menjunjung tinggi kejujuran dan merupakan asas inti dunia pendidikan termasuk YPPN BW. Sangat disayangkan bahwa dunia dan lembaga pendidikan telah dinodai dengan tindak kriminal serta diperalat dalam upaya rekayasa penyerobotan tanah dan gedung milik kelenteng oleh dusta segelintir oknum “pendidik” dengan kedok “umat Kristiani”; Pengrusakan Bagian Barat ChinaTemple oleh Oknum YPPN BW (GH), saat ini sedang dalam penanganan Polda DIY; Penggalangan dana sebagai upaya pengembalian modal pembangunan Sekolah Budya Wacana yang masih dalam sengketa oleh oknum-oknum YPPN BW merupakan tindakan yang menyesatkan dan tidak bertanggung jawab; KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 253 Masyarakat dihimbau untuk tidak melayani upaya penggalangan dana yang menyesatkan tersebut, agar tidak dirugikan di kemudian hari.27 28 Juli 2008 Pihak YPPN Budya Wacana membuat bantahan lewat pengacarannya, Oncan Poerba dkk, berkaitan dengan pengumuman Bhakti Loka yang dimuat di Kedaulatan Rakyat tanggal 22 Juli 2008 itu. Bantahan ini menyebutkan bahwa pengumuman itu menyesatkan, menghasut dan mengelabui masyarakat. Atas dasar itu dikemukakan bahwa: • Penetapan Pengadilan Negeri Yogyakarta No.30/ Pdt/P/1995/PN.YK tanggal 30-5-1995 berisi keterangan bahwa tanah persil yang sekarang ditempati YPPN Budya Wacana telah dikembalikan ke negara, dan YPPN adalah satu-satunya pihak yang berhak mengajukan permohonan hak. Dan selanjutnya karena tanah tersebut adalah tanah magersari keraton maka YPPN Budya Wacana memperoleh hak pinjam pakai, berdasarkan perjanjian pinjam pakai tanah milik sri Sultan HB Keraton Yogyakarta No.15/HT/ KPK/2004 tanggal 24 Mei 2004. Sedangkan bagian timur Budya Wacana, yaitu Kelenteng Poncowinatan dan Sekolah Bhineka Tunggal Ika, masing-masing memperoleh hak pinjam-pakai (magersari) tidak terkait dengan tanah dengan bangunan YPPN Budya Wacana. Demikian pula dokumen BPN Yogyakarta, peta jetis 3 Lb.22 Yogyakarta hanyalah peta yang tidak menunjukkan tentang kepemilikan hak dan tanah tersebut sebagai satu kesatuan hak China Temple. Oleh Karena itu, Yayasan Bhakti Loka dan maupun China “Pengumuman”, Kedaulatan Rakyat, 22 Juli 2008. Lihat juga situs www. kelentengponcowinatanjogja.com. 27 254 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA • • • Temple tidak memiliki hak dan kepentingan hukum atas tanah YPPN Budya Wacana Yogyakarta; Lebih lanjut dalam penetapan PN Yogyakarta tersebut menyebutkan, pada 1958 Badan Pengurus Pendidikan Chunghwa tidak diizinkan melanjutkan usahanya sebagai sekolah partikulir asing/Tionghoa atas surat Penguasa Perang Daerah TTIV tertanggal 14 Juni 1958 Nomor: B.PPD/006663/6/1958 berdasarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/032/ Peperpu/1958 Jo. UU No. 50 Prp tahun 1960. Oleh karena itu, sejak itu pula, pengurus sekolah Tionghoa (Chunghwa) tidak aktif lagi dan bahkan sejak peristiwa G30S/PKI (surat bantahannya menyebutkan dengan disertai kata PKI) tahun 1965, sekolah Chunghwa tersebut telah dilarang; Dengan demikian, tidak ada satu bukti pun yang dapat menyatakan bahwa tanah dan bangunan tersebut milik China Temple, karena itu Yayasan Bhakti Loka tidak memiliki hubungan dan kepentingan hukum terhadap bangunan dan tanah YPPN Budya Wacana, bahkan hal ini pun telah ditegaskan oleh penetapan PN Yogyakarta No.30.Pdt/P/1995/PN.YK. tanggal 30 Mei 1995, di mana dalam pertimbangannya bahwa sejak tahun 1958, Badan Pengurus Pendidikan Chunghwa telah menyerahkan sepenuhnya kepengurusan sekolah kepada perkumpulan sekolah Kristen saat itu. Dan lebih lanjut pengelolaannya kepada Yayasan Pendidikan Pengajaran Nasional yang menjadi cikal bakal YPPN Budya Wacana. Bahwa sejak dari awal hingga sekarang keberadaan YPPN Budya Wacana adalah sebagai lembaga pendidikan yang sah dan telah memberikan pengabdiannya kepada negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan pasal 31 UUD 45. Demikianlah sejak awal, gedung sekolah Budya Wacana bukan termasuk benda cagar budaya, dan lokasinya pun terpisah dari KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 255 • • • Kelenteng Poncowinatan, berdasarkan surat dari Departemen Kebudayaaan dan Pariwisata Dirjen Sejarah dan Purbakala No. 242/DIT.PP/SP/3.III.2008. Bahwa sekolah Budya Wacana merupakan sekolah swasta yang pengelolaan dan siswa-siswinya terdiri dari berbagai macam etnis, suku, dan agama. Oleh karena itu, dihimbau kepada seluruh warga Tionghoa dan warga beragama Kristen, agar tidak terpengaruh oleh provokasi dan pemberitaan yang menyesatkan, menghasut, pembohongan publik, menciptakan isu-isu yang berbau SARA, dan upaya mengadu domba antara kelompok tertentu dengan kelompok agama yang dapat mengganggu kerukunan antarumat beragama dan mengganggu stabilitas keamanan warga Yogyakarta yang berhati nyaman dengan memberikan informasi yang tidak benar di luar ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Bahwa pada saat terjadinya gempa di Yogyakarta 27 Mei 2006 yang lalu, gedung sekolah Budya Wacana mengalami kerusakan berat, serta menggangu keselamatan dan keamanan para siswa dan guru, maka YPPN Budya Wacana dengan iktikad baik merenovasi dan memperbaiki sekolah Budya Wacana tersebut. Dan untuk melaksanaknnya, Budya Wacana telah memperoleh izin IMBB, Amdal, lalu lintas dan lain sebagainya dari instansi pemerintah yang berwenang sebagaimana prosedur yang berlaku. Bahwa kepada pihak-pihak yang telah melakukan pencemaran nama baik, menyebarkan berita bohong dan menghasut masyarakat, telah dilaporkan kepada kepolisian sebagai tindak pidana pencemaran nama baik, fitnah, dan memberikan keterangan yang tidak benar sebagaimana dalam laporan polisi No.Pol.LP/161/ IV/2008/Siaga tanggal 24 April 2008, yang sampai sekarang masih dalam penanganan, pemeriksaan, dan penyidikan Polda DIY. 256 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA • • • • Sedangkan laporan oknum tertentu dari Yayasan Bhakti Loka terhadap klien kami berdasarkan hasil penyidikan tidak memenuhi unsur-unsur pidana seperti dituduhkan, karena klien kami tidak terbukti merusak bangunan dan benda cagar budaya. Dan lagi pula, Yayasan Bhakti Loka bukanlah sebagai pemilik dan tidak memiliki kepentingan hukum terhadap tanah dan bangunan Budya Wacana di Jalan Poncowinatan. Demikian pula menyangkut penggalangan dana yang dilakukan Sekolah Budya Wacana, hal tersebut adalah urusan internal pihak YPPN Budya Wacana dan bukan urusan dari Yayasan Bhakti Loka sehingga dihimbau kepada seluruh masyarakat luas, maupun para alumni dan para simpatisan agar tidak ragu dan diharapkan partisipasinya dalam memberikan sumbangan kepada YPPN Budya Wacana, yang tujuannya demi kepentingan pendidikan yang telah berjalan sebagaimana yang kita harapkan bersama. Dan oleh karena itu, kepada pihak-pihak tertentu dan Yayasan Bhakti Loka, kami peringatkan agar menghentikan untuk tidak melakukan agitasi, serta propaganda yang menyesatkan, menyampaikan pembohongan publik, serta bermaksud untuk menyudutkan klien kami, tanpa dasar dan tanpa didukung pada kebenaran yang dapat merugikan klien kami. Jika hal itu terjadi, maka kami sebagai tim kuasa hukum Budya Wacana, tidak segan-segan melakukan tuntutan hukum, baik secara pidana maupun perdata. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, kami mengharapkan kepada masyarakat luas, khususnya warga Tionghoa dan warga Kristen di DIY tidak terpengaruh oleh propaganda dan agitasi yang dilakukan oknum tertentu, termasuk atas pengumuman Kelenteng Poncowinatan dari Yayasan Bhakti Loka, karena keberadaan tanah, gedung, dan pendidikan YPPN Budya Waca- KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 257 na telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana menurut prosedur hukum dan undang-undang.28 22 September 2008 Pihak Yayasan Bhakti Loka, kembali membuat pengumuman yang menyanggah bantahan YPPN Budya Wacana dengan menjelaskan sejarah Kelenteng Poncowinatan. Menurut Bhakti Loka, sejarah Kelenteng Poncowinatan dapat disebutkan sebagai berikut: • Sekitar tahun 1860-an kawasan utara Tugu Yogyakarta ditetapkan Kesultanan Ngayogyakarta sebagai kawasan penduduk Tionghoa (de Chinese Bevolking). Khusus untuk tempat aktivitas umum diberilah sebidang tanah “triman” sekitar 6,200 m2 di Jalan Poncowinatan yang pada tahun 1881 berdiri bangunan pertama Kauw Lang Teng (kemudian mengalami perubahan fonetik dan lebih dikenal sebagai kelenteng, yang berarti: tempat mendidik orang), Zhen Ling Gong yang dikenal sebagai “kawasan Kelenteng Poncowinatan” dan sejak tahun 1923 hingga hari ini tercatat sebagai Tionghoa Temple di BPN Yogyakarta. Ini merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun juga; • Tahun 1907 di kawasan Kelenteng Poncowinatan “bagian Koelon” dibangun sekolah modern pertama di Yogyakarta bernama Tiong Hoa Hak Tong (THHT) dikelola oleh Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Untuk pertama kali aset milik kelenteng dipinjamkan kepada Lembaga Pendidikan Independen Eksternal kelenteng. • Tahun 1940 THHT berhenti menggunakan aset gedung kelenteng karena tidak mampu bersaing terhadap Holland Chinesche School (HCS) sekolah yang Oencan Poerba dkk., “Bantahan Pengumuman tentang Kelenteng Poncowinatan”, dimuat dalam www.budyawacana.com, 28 Juli 2008. 28 258 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA sengaja didirikan pemerintah Hindia Belanda untuk mematikan THHT yang kehadirannya dianggap telah membangkitkan rasa nasionalisme di Tanah Air. Oleh THHK, gedung dikembalikan kepada kelenteng, dan menjadi asrama para hamba kelenteng. • Masuknya tentara pendudukan Jepang ke bumi Nusantara telah menutup semua sekolah Belanda. Sebaliknya mengizinkan sekolah Tionghoa untuk hidup kembali. Aset kelenteng untuk kedua kalinya dipinjamkan kepada Sekolah Rakyat Tionghoa Pertama Yogyakarta (Ri Re Zhong Hua Di Yi Xiao Xie, disingkat Di Yi Xiao) dikelola Yayasan Pendidikan Chunghwa Yogyakarta yang masih berstatus asing. • Tahun 1949 lahirnya The People’s Republic of Tionghoa (PRC) di Tiongkok mengakhiri perang saudaranya dengan ROC yang pemerintahannya tergusur ke pulau Taiwan. Setelah tahun 1951 Pemerintah RI mengakui pemerintah PRC dan memutuskan hubungan diplomatik dengan ROC, makin banyak orang Tionghoa perantauan yang berorientasi ke PRC dan Di Yi Xiao yang tetap berorientasi ke ROC, membuat semakin sedikit murid yang diterimanya. Menyadari situasi yang makin sulit ini, pada 1956 pimpinan Di Yi Xiao meminjamkan gedung sekolah kepada Sekolah Rakyat Nasional di bawah pengelolaan YPPN di siang hari untuk persiapan nasionalisasi. Tahun 1958 pengurus Di Yi Xiao menerima tawaran pemerintah RI. Kepada sekolah asing yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan RI, dianjurkan untuk dijadikan sekolah nasional. Maka hak pengelolaan sekolah diserahkan kepada YPPN yang merupakan cikal bakal YPPN Budya Wacana. • Rentetan sejarah di atas secara gamblang menunjukkan bahwa “Pendatang YPPN” yang kemudian berubah menjadi YPPN-BW tidak pernah punya hak kepemilikan atas secuil tanah pun di Jalan Poncowina- KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 259 tan yang sejak tahun 1860-an telah dianugerahkan kepada masyarakatan Tionghoa dan diwujudkan dalam bentuk bangunan kelenteng, yang hingga saat ini masih tercatat di BPN-YK sebagai Tionghoa Temple. Bantahan YPPN-BW justru menelanjangi diri sendiri dengan upaya jahatnya menerobos celah-celah hukum melakukan penyerobotan tanah dan gedung milik Kelenteng Poncowinatan (Tionghoa Temple); • Kami penganut ajaran Confusius paham ada tiga jalan menyelesaikan masalah yaitu: Qing (rasa tepo seliro, baca: Ceng), Li (akal sehat, baca: Li) dan Fa (hukum, baca: Hwat), namun penganut ajaran Konfusius hanya menempuh jalan Ceng-Li, tidak menempuh jalan Hwat. Karena Ceng-Li adalah seratus persen karunia Tuhan yang sempurna. Hanya binatang yang tidak bisa menyelesaikan masalah dengan Ceng-Li. Sedangkan Hwat yang sepenuhnya hasil karya manusia pasti ada kekurangannya yang bisa diplintar-plintir menjadi alat pembela kekuasaan dan selalu ada tikus dan bandit hukum yang memanfaatkan celah-celah hukum yang ada. Sebagai contoh ada cukup bukti di tangan kami bahwa hingga dua tahun lamanya memohon IMBB tak kunjung selesai hanya karena tidak ditandatangani oleh tetangga, tetapi dalam penjelasan kepada Komisi 2 DPRD pejabat Dinas Perizinan dengan entengnya mengatakan tanda tangan tetangga tidak menjadi syarat mutlak untuk pemberian IMBB! Sehingga tanda-tangan dimanipulasikan oleh GH (Oknum YPPNBW) atas permohonan IMBB juga tidak menjadikan kasus yang harus diusut. Inilah bukti nyata betapa hukum menjadi bulan-bulanan di tangan pejabat yang korup! Dengan menjabarkan fakta sejarah kami mengajak seluruh khalayak ramai untuk mengkaji “kebenaran” dengan rasa tepo seliro dan akal sehat. Suatu keanehan, bagaimana mungkin “pendatang” yang hanya “dipinjami” gedung oleh sebuah yayasan yang bu- 260 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA kan pemilik aset akhirnya bisa menjadi “pemilik” gedung? Jika tidak dilakukan dengan persekongkolan penuh tipu muslihat dan rekayasa hukum; • Bantahan mengutip pengakuan GH: gedung sekolah milik Kelenteng Poncowinatan telah “diberikan” oleh Pengurus Yayasan Chung Hwa, Bapak Ong Tiong Tjoei (OTT) kepada YPPN? Bagaimana mungkin gedung yang dibangun jauh sebelum OTT lahir dan tidak pernah dimiliki OTT bisa diberikan kepada YPPN? Pengakuan di depan Notaris Soeryanto Partaningrat oleh sesepuh YPPN, Lie Djiang Seng dan Pik Djoe Siong dengan akta No. 94 tertanggal 17 Desember 1990, yang menyatakan gedung sekolah tidak pernah dialihkan kepemilikannya tidak berani diungkapkan dalam bantahan. Kerakusan oknum Pengurus YPPN generasi setelah era Lie Djiang Seng dan Pik Djoe Siong untuk menyerobot gedung sekolah milik kelenteng semakin tampak jelas setelah wafatnya OTT: memanfaatkan situasi pemusnahan seluruh budaya yang berbau “ketionghoaan” termasuk kelenteng pada era rezim Orde Baru, oknum pengurus YPPN saat itu (JH) tidak segan-segan mengarang cerita yang sangat keji dengan pengakuan palsu kepada Pengadilan Negeri Yogya bahwa gedung sekolah tersebut milik Yayasan Chung Hwa berstatus asing yang dikuasai oleh Peperpu setelah G-30-S, sehingga tanah tersebut adalah tanah milik negara dan YPPN-BW berhak mengajukan kepemilikan atas tanah tersebut. Padahal dari pemanfaatan gedung sekolah sejak 1958 sudah dimanfaatkan oleh YPPN sendiri yang berstatus nasional, bisa diputar-balikkan berstatus asing, hanya karena kerakusan menyerobot milik orang lain! Suatu tindak perampokan di saat orang mengalami kebakaran rumah; • Bantahan menyebutkan gedung sekolah telah roboh akibat gempa tahun 2006, merupakan “kebohongan KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 261 publik” dengan keberanian yang fantastis! Kontraktor bangunan yang melakukan renovasi sebelum dirobohkannya gedung utama dan narasumber yang ditemui tim investigasi BP3 dan kami dari Panitia Peringatan 100 tahun THHT semuanya menjadi saksi hidup yang melihat dengan mata kepala sendiri bahwa gedung Kelenteng Poncowinatan bagian barat (yang dipakai BW) yang dibangun pada tahun 1907, seperti halnya gedung Kelenteng Poncowinatan bagian tengah, sama sekali tidak mengalami kerusakan berarti; • Serangkaian tindak perusakan bangunan kelenteng, penggelapan bongkaran gedung bangunan kelenteng (yang dilakukan oknum GH, saat ini kasusnya sedang dalam penanganan POLDA DIY), kebohongan, persekongkolan jahat dan pemutarbalikan fakta sejarah yang hanya bisa dilakukan oleh bandit kriminil, sulit dipercaya ini semua dilakukan oleh segelintir orang berkedok “umat Kristiani” yang telah menyusup ke dalam lembaga pendidikan bernaung di bawah agama Kristen yang menjunjung tinggi kejujuran! Bagaimana mungkin bandit-bandit demikian bisa melahirkan generasi yang bermoral Cinta Kasih Kristiani? Oleh karenanya, kami menghimbau umat Kristiani yang kami yakini memiliki rasa Ceng-Li yang baik untuk mengutuk tindakan yang tidak sejalan dengan moralitas Kristiani. Kepada orang tua dan wali murid agar tidak menyekolahkan anaknya ke sekolah yang dipimpin oleh sebuah yayasan yang saat ini didominasi oleh oknum tidak bermoral; • Kami mendoakan agar oknum-oknum GH cs perusak Kelenteng Poncowinatan dapat segera sadar dan mengembalikan bangunan Kelenteng Poncowinatan seperti sediakala.29 “Pengumuman II”, Kedaulatan Rakyat, 22 September 2008. Lihat juga dalam www.kelentengponcowinatanjogja.com. 29 262 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 14 Nopember 2008 Sengketa Yayasan Bhakti Loka selaku pengelola Kelenteng Poncowinatan dengan Dinas Perizinan Pemkot Yogyakarta disidangkan. Bhakti Loka menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta karena pemkot telah menerbitkan Izin Mendirikan Bangun Bangunan (IMBB) sekolah Budya Wacana di atas tanah yang dikuasai kelenteng. Sidang Perkara Tata Usaha Negara (PTUN) antara pihak Yayasan Bhakti Loka melawan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta digelar di kantor PTUN Yogyakarta di Jalan Janti, Kamis (13/11/2008). Sidang yang diketuai Ratna Harmani SH., berlangsung singkat dan dihadiri di antaranya beberapa pengurus Yayasan Bhakti Loka, didampingi kuasa hukum Moelyadi SH. Sedang pihak tergugat diwakili Kepala Bagian Hukum Pemkot Yogyakarta, Basuki SH. Dalam eksepsinya, Moelyadi menyatakan pihaknya menolak dalil-dalil dan bantahan tergugat. Pihaknya meminta majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat dan menghukum tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara tersebut. Sidang berlangsung singkat tidak lebih dari lima menit dengan agenda mendengarkan jawaban penggugat atas eksepsi yang diberikan oleh tergugat. Seusai menyerahkan berkas eksepsinya, majelis hakim menutup sidang dan akan mempelajari berkas perkaranya kembali.30 25 Nopember 2008 Pemkot Yogyakarta yang dinilai tidak peduli dengan bangunan cagar budaya telah mendorong Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Kota Yogyakarta mengadukan “Pengurus Kelenteng Poncowinatan Gugat Dinas Perizinan Pemkot Yogyakarta”, berita media massa belum terlacak tanggal dan nama media yang memuat. 30 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 263 Pemerintah Kota Yogyakarta ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, organisasi pendidikan, serta Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Pemkot Yogyakarta dinilai tidak peduli terhadap bangunan cagar budaya, salah satu kasusnya adalah pemberian izin terhadap pembongkaran bangunan sisi barat Kelenteng Poncowinatan. Salah satu alasannya karena pemkot memberikan izin pembongkaran bangunan sisi barat Kelenteng Poncowinatan untuk pembangunan SMA Budya Wacana. Sekretaris Komisi II DPRD Kota Yogyakarta, Henry Kuncoroyekti, Selasa (25/11/2008) mengatakan, pekan lalu pihaknya meminta sikap pemerintah pusat melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta UNESCO untuk mengambil tindakan konkret terkait kebijakan Pemkot Yogyakarta yang memberikan izin membangun gedung sekolah tersebut. Pengaduan komisi II DPRD Kota Yogyakarta itu sebagai tindak lanjut dari kesepakatan sebelumnya bahwa Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) telah sepakat kalau sisi barat bangunan Kelenteng Poncowinatan dikembalikan seperti semula. Tapi oleh Dirjen Sejarah dan Purbakala ini dianulir, dengan menerbitkan surat yang menggap bangunan yang dirobohkan sebagai bangunan baru, sehingga tidak apa-apa. Henry mengungkapkan dari pertemuan tersebut, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berjanji akan mengirimkan surat kepada pihak-pihak terkait agar segera mengembalikan bangunan Kelenteng Poncowinatan seperti semula. Dari hasil pertemuan dengan UNESCO, pihak Pemkot Yogyakarta diimbau untuk peduli dengan bangunan-bangunan bersejarah. UNESCO juga mengemukakan keprihatinannya terhadap kota Yogyakarta terkait kebera- 264 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA daan kawasan Kota Gede yang rusak akibat gempa bumi 27 Mei 2006 dan sampai sekarang belum didukung maksimal oleh Pemkot Yogyakarta.31 28 Nopember 2008 Setelah komisi II DPRD Kota Yogyakarta mengadukan Pemerintah Kota Yogyakarta ke UNESCO, pengelola Kelenteng Poncowinatan yang dibongkar mengancam akan mengadukan Pemkot Yogya ke UNESCO. Langkah tersebut dinilai sangat layak karena lembaga tersebut juga membawahi kecagarbudayaan. “Jika pemerintah kota tidak mencabut izin pembongkaran, maka kami juga akan mengadukan hal tersebut ke UNESCO dari sisi hukum untuk mendukung data, dari sisi budaya sudah diadukan oleh DPRD,” kata Mulyadi, pengacara Yayasan Bhakti Loka, Jumat (28/11/2008). Sementara Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Yogyakarta, Basuki Hari S, tetap ngotot menyebutkan keberadaan Kelenteng Poncowinatan belum ada dokumen yang menetapkan sebagai benda cagar budaya. Hal tersebut, didasarkan pada Surat Dinas Kebudayaan Provinsi DIY Nomor 432/996 perihal data benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya. Aturan ini dipertegas dengan Surat Depbudpar Nomor 242/DIT.PP/SP/3. III/2008. Selain dua regulasi tersebut, dasar penerbitan IMBB oleh Pemerintah Kota juga berdasarkan hasil penelitian BP3 dan pemantauan di lapangan. Dalam argumennya, bangunan yang dirobohkan adalah bangunan “Dukung Pembongkaran Bangunan Cagar Budaya: Pemkot Yogyakarta Dilaporkan ke UNESCO,” dalam www.vhrmedia.com, 27 Nopember 2008. Juga dimuat dalam http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/news/artikel.php?aid=31498 dengan judul yang sama. Bisa dilihat pula dalam “Pemerintah Kota Yogyakarta Diadukan ke UNESCO,” Koran Tempo, 26 Nopember 2008, dan “Pemkot Yogyakarta Diadukan ke UNESCO,” Media Indonesia, 25 Nopember 2008. 31 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 265 baru yang telah direnovasi 1970 dan 2003. “Kalau seperti itu berarti bukan termasuk cagar budaya,” kata Basuki. Namun, pengacara pengelola kelenteng tetap menyatakan, Kelenteng Poncowinatan termasuk bangunan cagar budaya. Pihak penggugat berpegangan pada surat yang diterbitkan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta pada 20 Nopember 2007 yang menyatakan izin mendirikan bangunan menunggu rekomendasi Direktur Peninggalan Purbakala. Lalu surat tersebut didukung penegasan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada 14 Desember 2007.32 Berdasarkan kronologi yang telah dikemukakan di atas, dengan sendirinya terlihat, kasus ini bukan hanya menjadi kasus lokal, tetapi juga sudah berkembang menjadi berskala nasional dan internasional, dengan keterlibatan Dirjen Sejarah dan Purbakala, juga laporan DPRD kota ke Unesco. Kronologi juga menunjukkan betapa banyaknya pihak yang terlibat dan memainkan peran dalam kasus ini, di luar Yayasan Bhakti Loka dan YPPB Budya Wacana. E. Pembacaan atas Konflik yang Terjadi 1. Konflik Kelenteng Poncowinatan dan Soal Konflik Agama Pembacaan terhadap konflik ini, pertama akan dilihat kaitannya dengan aspek keagamaan. Apakah konflik ini merupakan konflik berbasis agama atau tidak? Seorang responden Konghucu yang mengurus Kelenteng Poncowinatan 32 “Diadukan Ke UNESCO,” Tempo Interaktif, 28 Nopember 2008. 266 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA bernama Koh Margo menceritakan. Konflik ini tidak ada kaitannya dengan diakuinya Konghucu sebagai agama yang sah di masa Presiden Abdurrahman Wahid sampai sekarang. Kelenteng Poncowinatan yang merupakan tempat peribadatan Buddha, Tao, dan Konghucu, tetap berlangsung menjadi tempat peribadatan meskipun Konghucu belum diakui. Koh Margo menjelaskan. “Sehingga permasalahan ini jelas tidak ada kaitannya dengan diakuinya Khonghucu sebagai agama di Indonesia, namun murni permasalahan bangunan kelenteng sebagai tempat peribadatan dan sekaligus menjadi bangunan cagar budaya …juga jadi tempat peribadatan untuk semua orang, setiap orang dari latar belakang budaya, agama apapun boleh beraktivitas (ibadah-doa) di tempat ini, sehingga sebenarnya kelenteng tidak bisa diasosiasikan secara eksklusif pada satu kepercayaan saja (Khonghucu misalnya).”33 Koh Margo bahkan menyayangkan kalau konflik ini dibawa kepada konflik agama. Pernyataan dari beberapa responden yang diwawancarai, termasuk dari kalangan KMNU, juga tidak mengaitkan kasus ini dengan konflik agama. Menurut Fakih, salah seorang anggota KMNU, konflik ini lebih sebagai konflik soal bangunan yang dirobohkan, pembangunan sekolah YPPN BW dan yang berkaitan dengan benda cagar budaya. Lebih khusus lagi, konflik ini berkaitan dengan persoalan perusakan benda cagar budaya.34 Agus B, salah seorang yang juga ikut aksi Gempar Budaya di Kelenteng Poncowinatan, juga mengingatkan bahwa kasus ini jangan dikaitkan dengan konflik agama, Wawancara dengan Koh Margo di Yogyakarta, tanggal 29 Desember 2008. 34 Wawancara dengan Fakih di Yogyakarta, 5 Januari 2009. 33 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 267 karena ini murni masalah penguasaan tanah, dan penafsiran apakah bangunan tersebut benda cagar budaya atau bukan. Kasus ini harus diarahkan untuk diselesaikan dengan melihat sejarah kelenteng dan bukti-bukti formalnya. Untuk itu Agus melihat kasus ini sebaiknya diselesaikan di pengadilan.”35 Pernyataan Koh Margo dan responden lain yang dikutip ini mewakili bagaimana konflik ini mesti dilihat, yaitu berkaitan dengan sengketa bangunan yang dirobohkan, cagar budaya, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu. Ini juga bisa dilihat berdasarkan deskripsi kronologi konflik yang terjadi sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Konflik tersebut sebenarnya tidak berkaitan dengan konflik berbasis agama, meskipun yang dipermasalahkan terkait konflik Kelenteng Poncowinatan dan yang terlibat di dalamnya adalah dua kelompok dengan afiliasi agama yang berbeda. Bhakti Loka mengurus, menjaga, dan memperbaiki kelenteng yang menjadi peribadatan Buddha, Tao dan Konghucu. Sementara Budya Wacana merupakan hasil dari jerih payah kalangan Kristen di Yogyakarta, khususnya GKI. Meski begitu harus diakui bahwa konflik ini bisa muncul, tidak lepas dengan pengakuan Konghucu sebagai agama resmi. Kalangan Konghucu yang dulu tidak bisa muncul dan tidak memiliki kekuatan kembali bisa menunjukkan eksistensinya. Seandainya Konghucu tidak dipetieskan Orde Baru dulu dan bisa menunjukkan eksistensinya sejak lama, kemungkinan konflik ini akan bisa diselesaikan sejak dini. Dengan begitu Konghucu bisa menggunakan 35 Wawancara dengan Agus B, di Yogyakarta, 3 Januari 2009. 268 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Kelenteng Poncowinatan dan melestarikannya sehingga bisa mengantisipasi kemungkinan konflik. Kasus Kelenteng Poncowinatan ini bisa menjadi salah satu bukti bahwa kelompok agama yang tidak diakui. Padahal dia memiliki hak hidup dan memiliki aset-aset sosial, ekonomi, dan sejenisnya yang bisa terbengkalai, dan kemudian menjadi salah satu arena konflik bagi kelompok-kelompok yang berkepentingan. Ini bisa dipahami karena ketika mereka dihancurkan hak-haknya dan tidak memiliki hak hidup, aset-asetnya bisa menjadi arena konflik bagi kelompok-kelompok yang berkepentingan itu. Walhasil, konflik kelompok agama dan rumah ibadah juga disebabkan oleh negara yang tidak memberi hak kebebasan secara penuh. 2. Perbedaan Melihat Status Sebagai Benda Cagar Budaya Kelompok Bhakti Loka melihat Kelenteng Poncowinatan dan areanya merupakan bagian dari benda cagar budaya yang perlu dilindungi. Siput Lokasari yang mewakili Bhakti Loka berkali-kali mengemukakan ke media massa bahwa kelenteng dan areanya adalah benda cagar budaya “Kawasan Kelenteng Poncowinatan tidak seharusnya dibongkar dan didirikan bangunan baru karena tempat itu merupakan benda cagar budaya (BCB). Meski belum ada putusan resmi Dirjen BP3, berdasarkan UU No.5 Tahun 1995 tertulis bangunan yang berumur lebih dari 50 tahun masuk dalam kriteria BCB dan harus dipelihara.”36 “Pengurus Kelenteng Poncowinatan Gugat Dinas Perizinan Pemkot Yogyakarta”. Berita media massa, sumber belum terlacak. 36 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 269 Para demonstran yang berdemonstrasi pada 26 Februari 2008 juga menyebutkan salah satunya kawasan di area Kelenteng Poncowinatan sebagai kawasan cagar budaya (tuntutan 2 dan 3), dan karenanya para demonstran menuntut agar bangunan itu dikembalikan sebagai kawasan cagar budaya.37 Selain tuntutan, dalam pernyataan sikap Gempar Budaya ternyata BP3 Yogyakarta pada 17 September 2007, juga menyatakan: “Hal ini mengingat bangunan yang dibongkar merupakan bangunan fasilitas kelenteng yang termasuk benda cagar budaya.”38 Kajian yang dilakukan BP3 dan rapat dengan Budya Wacana di antaranya disebutkan: “Penjelasan kepada pihak YPPN Budya Wacana bahwa berdasarkan data faktual di lapangan maupun data historis, bangunan sekolahan tersebut merpakan bangunan yang memenuhi kriteria sebagai cagar budaya yang terkait dengan eksistensi sejarah pendidikan khusus untuk etnis Tionghoa dari dulu hingga sekarang.”39 Sebaliknya, kalangan Budya Wacana melihat bangunan yang dirobohkan bukan kawasan cagar budaya. Gideon mengatakan, bangunan yang dimaksud bukan merupakan benda cagar budaya (BCB). Bangunan sisi barat kelenteng yang dipersoalkan Yayasan Bhakti Loka itu hanyalah bangunan biasa seperti rumah-rumah lain. Kelenteng Poncowinatan sendiri belum berstatus cagar budaya.40 Pernyataan sikap Gempar Budaya, 26 Februari 2008. Surat BP3 kepada Dinas Perizinan Pemkot Yogya, No. 2116. N2/BP3/DKP/2007. 39 BP3, Laporan Penyelesaian kasus Pengaduan yayasan Bhakti Loka Selaku Pengelola Kompleks Kelenteng Poncowinatan terhadap Pembongkaran Gedung Sekolah dalam kompleks Kelenteng Poncowinatan oleh Yayasan Budya Wacana, 2008. 40 “Bantah Merusak Cagar Budaya, Gedeon: Itu Bangunan Biasa”, Radar 37 38 270 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Selain yang dikemukakan Gideon, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Sejarah dan Purbakala menerbitkan surat kedua yang berbeda dengan surat pertama kepada BP3 Yogyakarta yang isinya juga menyebut bahwa bangunan yang dirobohkan adalah bangunan baru yang direnovasi tahun 1970-an dan 2003. Karena itu disimpulkan, bangunan tersebut bukanlah bangunan cagar budaya dan belum ada penetapan sebagai benda cagar budaya. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Sejarah dan Purbakala kemudian berharap dengan diterbitkannya surat ini polemik mengenai pembangunan gedung sekolah YPPN Budya Wacana dianggap selesai dan kepada semua pihak diharapkan dapat menghormati keputusan ini.41 Dengan begitu sangat jelas sekali terjadi perbedaan mendasar dari kedua belah pihak. Satu sisi Bhakti Loka menyebutkan bangunan yang disengketakan dianggap masih satu kawasan dengan Kelenteng Poncowinatan sebagai benda cagar budaya. Di sisi lain Budya Wacana menganggap bangunan yang dirobohkan bukan benda cagar budaya dan bukan bagian dari Kelenteng Poncowinatan. Keduanya mengungkapkan ungkapan-ungkapan yang belum memiliki kekuatan hukum mengikat, karena masih sebatas diungkap di media massa. Jogja, 4 Maret 2008, dan “Terkait Tuduhan Pembongkaran Cagar Budaya, Gedung Sekolah Budya Wacana Bukan Cagar Budaya,” Kedaulatan Rakyat, 4 Maret 2008. 41 Surat Dirjen Sejarah dan Purbakala, Drs. Soeroso, M Hum, kepada BP3 Yogyakarta, No. 242/DIT.PP/SP/3.III/2008. KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 271 3. Perbedaan Melihat Dampak Gempa 2006 terhadap Kelenteng Di samping terjadi perbedaan apakah kelenteng dan kawasan yang masuk di dalamnya berstatus sebagai benda cagar budaya atau bukan, perbedaan juga timbul dalam melihat dampak gempa dahsyat di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 terhadap bangunan di kawasan Kelenteng Poncowinatan. Perbedaan ini bisa dilihat dari opini dan pandangan yang selama ini dikemukakan kelompok-kelompok yang berkonflik. YPPN Budya Wacana misalnya melihat, “pada saat terjadinya gempa di Yogyakarta 27 Mei 2006 yang lalu, gedung sekolah Budya Wacana mengalami kerusakan berat, serta mengganggu keselamatan dan keamanan para siswa dan guru, maka YPPN Budya Wacana dengan iktikad baik merenovasi dan memperbaiki sekolah Budya Wacana tersebut. Dan untuk melaksanaknnya, Budya Wacana telah memperoleh izin IMBB, Amdal, lalu lintas, dan lain sebagainya dari instansi pemerintah yang berwenang sebagaimana prosedur yang berlaku.”42 Dengan sendirinya, menurut YPPN Budya Wacana, gedung sekolah milik Budya Wacana lah yang saat gempa mengalami kerusakan berat, dan karenanya direnovasi. Sedangkan kelompok Bhakti Loka melihat, kerusakan justru terjadi pada bangunan yang dipakai Budya Wacana di lingkungan Kelenteng Poncowinatan dengan mengatakan, “bantahan menyebutkan gedung sekolah telah roboh akibat gempa tahun 2006 merupakan ‘kebohongan publik’ dengan keberanian yang fantastis! Kontraktor bangunan yang mela“Bantahan Pengumuman tentang Kelenteng Poncowinatan,” www. budyawacana.com, 28 Juli 2008 42 272 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA kukan renovasi sebelum dirobohkannya gedung utama dan narasumber yang ditemui tim investigasi BP3, dan kami dari Panitia Peringatan 100 tahun THHT semuanya menjadi saksi hidup yang melihat dengan mata kepala sendiri bahwa gedung Kelenteng Poncowinatan bagian barat (yang dipakai Budya Wacana), yang dibangun pada 1907 seperti halnya gedung Kelenteng Poncowinatan bagian tengah, sama sekali tidak mengalami kerusakan berarti”. Dengan sendirinya gedung yang dirobohkan menurut versi BW adalah bagian dari kelenteng di sisi barat, tidak ikut roboh atau tidak mengalami kerusakan berarti. Kajian BP3 Yogyakarta juga menyebutkan dan menyimpulkan, “sebelum dibongkar total, bangunan lama sebenarnya masih asli, namun turut dirobohkan. Terbukti pada bekas bongkaran, karena pada sisi barat masih terlihat adanya struktur bata lama yang berbeda dengan bata sekarang karena ukurannya jauh lebih besar.” Kajian BP3 ini juga mendasarkan pada wawancara dengan bekas murid sekolah Tionghoa lama bernama Tjeng Tjoen (75 tahun) yang menyebutkan, “dalam rangka pengembangan, narasumber sangat menyayangkan tindakan YPPN Budya Wacana yang merobohkan seluruh bangunan yang masih asli, mengingat bangunan tersebut masih bagus kondisinya”.43 Tentu saja di sini terdapat dua penafsiran berbeda. YPPN Budya Wacana menyebut kerusakan di bangunan sekolah akibat gempa sangat membahayakan keselamatan murid dan guru sehingga perlu direnovasi dan dirobohkan. Sementara kalangan Bhakti Loka melihat dampak gempa BP3, Laporan Penyelesaian kasus Pengaduan yayasan Bhakti Loka Selaku Pengelola Kompleks Kelenteng Poncowinatan terhadap Pembongkaran Gedung Sekolah dalam kompleks Kelenteng Poncowinatan oleh Yayasan Budya Wacana, 2008, h. 4 dan 5. 43 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 273 tidak cukup berarti atas bangunan di sisi barat yang digunakan YPPN Budya Wacana dan bangunan itu dibangun tahun 1907. Ini menunjukkan perbedaan yang sangat diametral dan saling bertolak belakang. Pernyataan-pernyataan keduanya dalam hal ini juga hanya sebatas pernyataan wacana, sehingga harus dikatakan “belum memiliki kekuatan hukum mengikat”. 4. Perbedaan Melihat Status Tanah Magersari Konflik Kelenteng Poncowinatan ini juga di dalamnya mengandung perbedaan dalam melihat status hak tanah yang di atasnya dibangun sekolah Budya Wacana. Satu pihak melihat, bangunan yang dirobohkan adalah hak YPPN Budya Wacana, sedang pihak lain melihat bangunan tersebut masih dalam area Kelenteng Poncowinatan yang selama ini dikelola dan dipelihara Yayasan Bhakti Loka. YPPN Budya Wacana melihat, “dengan demikian, tidak ada satu bukti pun yang dapat menyatakan bahwa tanah dan bangunan tersebut milik China temple, karena itu Yayasan Bhakti Loka tidak memiliki hubungan dan kepentingan hukum terhadap bangunan dan tanah YPPN Budya Wacana. Bahkan hal ini pun telah ditegaskan oleh penetapan PN Yogyakarta No.30.Pdt/P/1995/PN.YK. tertanggal 30 Mei 1995, di mana dalam pertimbangannya bahwa sejak tahun 1958 Badan Pengurus Pendidikan Chunghwa telah menyerahkan sepenuhnya kepengurusan sekolah kepada perkumpulan sekolah Kristen saat itu. Dan lebih lanjut pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan Pendidikan Pengajaran Nasional yang menjadi cikal bakal YPPN Budya Wacana”.44 Dalam kata-kata lanjutannya disebutkan, “dan “Bantahan Pengumuman tentang Kelenteng Poncowinatan,” www. budyawacana.com, 28 Juli 2008. 44 274 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA lagi pula, Yayasan Bhakti Loka bukanlah sebagai pemilik dan tidak memiliki kepentingan hukum terhadap tanah dan bangunan Budya Wacana di Jalan Poncowinatan.”45 Kelompok Budya Wacana juga menambahkan alasannya dengan menyebutkan, pembangunan telah memperoleh izin dari kraton dan Dinas Perizinan, karena tanah itu sebenarnya adalah tanah magersari. Gideon pun sempat menyampaikan kronologis proses perizinan yang ditempuh Yayasan. Pihaknya telah bertemu KGPH Hadiwinoto dan telah mendapatkan rekomendasi dari keraton untuk mendirikan dan membangun bangunan yang roboh. Sementara pada 16 Januari 2007 lalu, YPPN Budya Wacana pun telah mengantongi IMBB dari dinas perizinan.46 Sedangkan kalangan Bhakti Loka melihat sebaliknya. Mereka membantah apa yang dikemukakan YPPN dengan menyebutkan, “tanah di Jalan Poncowinatan yang di atasnya berdiri bangunan-bangunan yang saat ini dimanfaatkan sebagai Sekolah Bhinneka Tunggal Ika (bagian timur), tempat ibadah (bagian tengah), Sekolah Budya Wacana (bagian barat) merupakan satu kesatuan tanah negara yang tercatat di Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta sebagai China temple (kelenteng).”47 Kalangan Bhakti Loka berargumentasi dengan memaparkan sejarah bagaimana YPPN bisa ada di kelenteng yang pada awalnya hanya dipinjami untuk mengelolanya (lihat bantahan Bhakti Loka dalam kronologi), dan juga berdasarkan Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta, “Bantahan…,” www.budyawacana.com, 28 Juli 2008 Radar Jogja, 4 Maret 2008, dengan judul berita “Ketua Yayasan Budya Wacana, Gedung itu Bukan Cagar Budaya.” 47 Kedaulatan Rakyat, 22 Juli 2008, dengan judul “Pengumuman Masalah Kelenteng Poncowinatan.” 45 46 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 275 Peta Jetis 3.lb.22 Yogyakarta di mana area bangunan yang dirobohkan masih satu kesatuan dengan kelenteng.48 Berbeda dengan Yayasan Bhakti Loka, kalangan Budya Wacana melihat sebagaimana tampak dalam kronologi yang diungkapkan. “Penetapan PN Yogyakarta No.30/Pdt/ P/1995/PN.YK tanggal 30-5-1995, berisi penjelasan bahwa tanah persil yang sekarang ditempati YPPN Budya Wacana telah dikembalikan ke negara, dan YPPN adalah satusatunya pihak yang berhak mengajukan permohonan hak. Dan selanjutnya karena tanah tersebut adalah tanah magersari keraton, maka YPPN Budya Wacana memperoleh hak pinjam-pakai berdasarkan perjanjian Pinjam-Pakai Tanah Milik Sri Sultan HB dan Keraton Yogya No.15/HT/ KPK/2004 tanggal 24 Mei 2004. Sedangkan bagian timur Budya Wacana, yaitu Kelenteng Poncowinatan dan Sekolah Bhineka Tunggal Ika, masing-masing memperoleh hak pinjam pakai (magersari) tidak terkait dengan tanah dengan bangunan YPPN Budya Wacana. Demikian pula dokumen BPN Yogyakarta. Peta jetis 3 Lb.22 Yogyakarta, hanyalah peta yang tidak menunjukkan tentang kepemilikan hak dan tanah tersebut sebagai satu kesatuan hak China temple. Oleh Karena itu, Yayasan Bhakti Loka dan maupun China temple (Kelenteng) tidak memiliki hak dan kepentingan hukum atas tanah YPPN Budya Wacana Yogyakarta”.49 Di sini terjadi perbedaan mendasar. Satu pihak melihat bahwa tanah itu merupakan magersari keraton dan karena dulu sudah dikembalikan ke negara. YPPN sendiri merasa sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengajukan permohonan hak. Dan selanjutnya karena tanah tersebut adalah tanah magersari keraton maka YPPN Budya Wacana 48 49 “Pengumuman...,” Kedaulatan Rakyat, 22 Juli 2008. “Bantahan...,” www.budyawacana.com, 28 Juli 2008 276 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA memperoleh hak pinjam-pakai berdasarkan Perjanjian Pinjam Pakai Tanah Milik Sri Sultan HB dan Kraton Yogya No.15/HT/KPK/2004 tanggal 24 Mei 2004. Di sisi lain, Bhakti Loka tetap menganggap tanah di mana bangunan yang dirobohkan adalah masuk area kelenteng yang merupakan pemberian Sri Sultan VII kepada kalangan Tionghoa. Ini juga menunjukkan pernyataan-pernyataan yang satu sama lain saling bertolak belakang. 5. Ketidaksinkronan Kebijakan Institusi Pemerintah Bukan hanya terjadi perbedaan sesama kelompok bertikai, di kalangan instansi pemerintah sendiri juga terjadi inkonsistensi kebijakan, tidak seragam dan terkesan tidak terkoordinasi. Ketidaksinkronan ini tampak ketika instansi pemerintah terkait memakai rujukan, argumentasi, dan kebijakan berbeda. Beberapa ketidaksinkronan itu bisa dilihat di bawah ini: • BP3 dalam kajiannya menyebutkan dan menyimpulkan, yang salah satunya berbunyi, “berdasarkan kajian faktual data lapangan maupun data historis bangunan, sekolahan tersebut merupakan bangunan yang memenuhi kriteria sebagai cagar budaya yang terkait dengan eksistensi sejarah pendidikan khusus kalangan Tionghoa dari dulu hingga sekarang”.50 Di bagian lain BP3 juga menyebutkan, “berdasarkan data-data di lapangan berdasarkan pondasi yang ada dapat diketahui bahwa bangunan yang menjadi sekolah Budya Wacana sudah tidak seperti aslinya (Letter L), namun ada penambahan bangunan di sisi selatan yang menutup akses dari kelenteng. Bangu50 BP3, Laporan Penyelesaian kasus Pengaduan…, h. 6. KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 277 nan baru yang dibangun sekitar tahun 1980-an telah mengubah setting asli kelenteng dengan fasilitas pendukungnya. Sebelum dibongkar total, sebenarnya bangunan lama masih asli namun turut dirobohkan”. Pandangan BP3 menunjukkan dua hal: menyebut bangunan kelenteng dan areanya sebagai benda cagar budaya, termasuk terhadap bangunan yang dirobohkan di sisi barat, dan bangunan yang dirobohkan masih satu kawasan dengan Kelenteng Poncowinatan. • Dinas Perizinan Kota Yogyakarta mengeluarkan rekomendasi yang ditandatangani Drs. MK Pontjosiwi bernomor 0611.01/2007 atas denah yang akan di bangun lantai 1, 2, dan 3 yang diajukan Budya Wacana. Kelanjutannya, Budya Wacana merasa telah memperoleh izin IMBB, Amdal, lalu lintas, dan lain sebagainya dari instansi pemerintah yang berwenang sebagaimana prosedur yang berlaku. • Dinas Ketertiban mengeluarkan dua keputusan: pertama, dalam surat No. 640/261 yang sifatnya “segera”, agar YPPN Budya Wacana menghentikan proses pembangunan berdasarkan surat BP3 pada 23 Januari 2008 agar fisik bangunan yang yang saat ini sedang dikerjakan disesuaikan dengan IMBB yang diterbitkan Dinas Perizinan Kota dan disesuaikan dengan rekomendasi Dirjen Sejarah dan Purbakala Depbudpar RI yang ditujukan kepada Kepala BP3 Yogyakarta. Surat ini ditandatangani kepala Dintip Priyono Raharjo, CN. Kedua, Dintip mengeluarkan surat No. 640/297 yang di antaranya menyebutkan pencabutan surat pertama: “bahwa berdasarkan informasi dari instansi terkait, ternyata Saudara di dalam melakukan kegiatan membangun sudah sesuai dengan IMBB yang telah diterbitkan oleh Dinas Per- 278 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA izinan Kota Yogyakarta, sehingga tidak ada alasan untuk menghentikan kegiatan.” • Dirjen Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di Jakarta mengeluarkan dua surat yang saling bertentangan: pertama, tanggal 14 Desember menyebutkan mendukung apa yang telah direkomendasikan BP3, yaitu agar YPPN Budya Wacana mengembalikan bangunan seperti aslinya, dan pengembangan sekolah Budya Wacana hanya boleh dibatasi dengan pagar transparan seperti pagar besi dan bukan tembok. Padahal BP3 menyebut bangunan yang dirobohkan masih satu kesatuan dengan kelenteng sebagai cagar budaya, dan akan melakukan proses penyidikan bila tidak diindahkan. Kedua, surat tanggal 3 Maret 2008 berisi kesimpulan bahwa bangunan yang dirobohkan adalah bangunan baru yang telah direnovasi tahun 1970-an dan tahun 2003, karena itu Dirjen Sejarah dan Purbakala berkesimpulan bangunan tersebut bukanlah bangunan cagar budaya dan belum ada penetapannya sebagai benda cagar budaya, dan semua pihak diharapkan bisa memahami keputusan ini. Dengan penjelasan di atas, tampak sekali berbagai kebijakan institusi pemerintah terkait tidak sinkron dan saling bertentangan. BP3 menyebut bangunan yang dirobohkan termasuk bangunan cagar budaya; Dintip pertama memerintahkan untuk dihentikan pembangunan, tetapi kedua mencabut keputusan pertama; Dirjen Sejarah dan Purbakala pertama mendukung BP3, tetapi kemudian mengeluarkan surat pamungkas bahwa bangunan yang dirobohkan (dan yang dibangun Budya Wacana) bukan merupakan cagar budaya, Pemkot Dinas perizinan sendiri mengeluarkan KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 279 IMBB untuk pembangunan gedung sekolah Budya wacana. Di sini memang tampak aroma simpang siur yang menandakan ada ketidaksinkronan satu dengan lainnya. 6. UU Cagar Budaya, Kelenteng Poncowinatan, dan Konflik yang Melebar Karena konflik Kelenteng Poncowinatan ini terkait isu benda cagar budaya, dengan sendirinya penting menghubungkan konflik ini dengan undang-undang terkait. Rujukan tentang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Berhubungan dengan benda cagar budaya ini juga dikenal istilah situs. Keduanya didefiniskan UU ini dengan: pertama, benda cagar budaya adalah “benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan”. Kedua, situs didefinisikan dengan “lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya”.51 Penguasaan benda cagar budaya disebutkan UU ini dikuasai oleh negara, tetapi juga boleh dikuasai oleh orang Indonesia tertentu. UU ini menyebutkan semua benda cagar budaya dikuasai oleh negara meliputi benda cagar bu51 UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, pasal 1. 280 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA daya yang terdapat di wilayah hukum Republik Indonesia.52 Meski begitu, disebutkan pula bahwa benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.53 Nah, dalam konteks benda cagar budaya yang dimiliki oleh orang Indonesia ini memiliki syarat-syarat di antaranya dimiliki atau dikuasai secara turun-temurun atau merupakan warisan, jumlah untuk setiap jenisnya cukup banyak dan sebagian telah dimiliki oleh negara. Yang sangat penting, berkaitan dengan pengalihan hak benda cagar budaya disebutkan, pengalihan pemilikan atas benda cagar budaya tertentu yang dimiliki warga negara Indonesia secara turun-temurun atau karena pewarisan hanya dapat dilakukan kepada negara, dan ini dapat disertai pemberian imbalan yang wajar;54 dan setiap pemilikan, pengalihan hak, dan pemindahan tempat benda cagar budaya tertentu maka wajib didaftarkan. Dalam konteks ini, pemeliharaan bila terjadi perusakan disebutkan bahwa setiap orang yang benda cagar budayanya hilang dan/atau rusak wajib melaporkan peristiwa tersebut kepada pemerintah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diketahui hilang atau rusaknya benda cagar budaya tersebut.55 Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jogjakarta, perlindungan benda cagar budaya secara teknis adalah usaha penyelamatan dan pengamanan yang dilakukan sebagai upaya untuk mencegah dari kerusakan karena faktor alam UU No. 5 Tahun 1992, pasal 4. UU No. 5 Tahun 1992, pasal 6. 54 UU No. 5 Tahun 1992, pasal 7. 55 UU No. 5 Tahun 1992, pasal 9. 52 53 KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 281 dan akibat ulah manusia; beralihnya kepemilikan dan penguasaan kepada orang yang tidak berhak; dan berubahnya keaslian dan nilai sejarahnya. Upaya perlindungan terhadap benda cagar budaya itu dapat dilakukan dengan: pemasangan papan petunjuk, larangan, ajakan, apresiasi, dan keterangan; pembentukan petugas keamanan, PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), tindakan pelaporan tindak pidana; dan penyelidikan/penyidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana.56 Dengan melihat ketentuan yang demikian, sebenarnya, syarat bisa dikategorikan sebagai benda cagar budaya sudah jelas: berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurangkurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Berkaitan dengan Kelenteng Poncowinatan dan area bangunan yang masuk satu kesatuan dengannya itu, tentu sudah berumur 50 tahun, dan sukar untuk tidak mengatakan mewakili gaya yang khas, memiliki nilai sejarah dan dianggap penting, terutama oleh etnis Tionghoa karena menyangkut sejarah mereka. Dalam hal ini, penulis mengacu pada apa yang disebutkan Dinas Kebudayan dan Pariwisata Yogyakarta saja, dalam tulisan “Peninggalan Masa Kolonial”57 menyebutkan, Kelenteng Poncowinatan masuk dalam kategori peninggalan sejarah yang khas. Terus kemudian BP3 sendiri mengkategorikan berdasarkan kaDinas Kebudayaan dan Pariwisata Yogyakarta, “Pengelolaan Benda Cagar Budaya,” dalam www.tasteofjogja.com. 57 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jogjakarta, “Peninggalan Masa Kolonial,” dalam www.tasteofjogja.com. 56 282 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA jiannya bahwa area yang dibangun di sisi barat yang kemudian menjadi masalah itu, masuk satu kesatuan dengan Kelenteng Poncowinatan sebagai benda cagar budaya.58 Kalau merujuk pada sejarahnya saja, tahun 1881 berdiri bangunan pertama Kauw Lang Teng ‘Zhen Ling Gong’ yang dikenal sebagai ‘Kawasan Kelenteng Poncowinatan’, dan sejak tahun 1923 tercatat sebagai Tionghoa Temple di BPN-Yogyakarta. Sementara tahun 1907, di Kawasan Kelenteng Poncowinatan ‘Bagian Koelon’ dibangun sekolah modern pertama di Yogyakarta bernama ‘Tiong Hoa Hak Tong’ (THHT) dikelola oleh ‘Tiong Hoa Hwee Koan’ (THHK), dan ini yang sebagiannya kemudian menjadi tempat Sekolah Budya Wacana, lalu berujung sengketa. Konflik ini memang tidak hanya berhenti pada isu umur dan nilai sejarah, bahkan bertambah dengan adanya isu dampak gempa bumi beberapa tahun lalu. Beragam isu inilah yang menjadikan area konflik melebar seperti soal tanah yang ditempati Budya Wacana dianggap tanah dan hak mereka, karena telah memperoleh izin dari kraton (bahkan kemudian memperoleh IMBB) sebagai tanah magersari. Budya Wacana juga merasa sebagai satu-satunya pihak yang berhak mengajukan hak kepada keraton. Sementara Bhakti Loka tetap menganggap bangunan sekolah Budya Wacana yang disengketakan itu ada di atas tanah dan bangunan asli yang masuk sebagai satu kesatuan dengan Kelenteng Poncowinatan. Bhakti Loka kemudian menganggap ada perusakan benda cagar budaya karena bangunan asli yang jadi tempat sekolah Budya Wacana di sisi barat kelenteng, masih berdiri dan dirobohkan semua oleh Budya Wacana. Sementara Budya Wacana menganggap mereka 58 Lihat kembali BP3, Laporan Penyelesaian Kasus Pengaduan …, hlm. 6. KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 283 berhak melakukan renovasi dengan alasan demi membuat nyaman proses belajar mengajar karena ada lampu hijau dari Dinas Perizinan. Konflik yang sudah sangat melebar ini menunjukkan rumitnya upaya penyelesaian konflik. Terdapat dua yayasan yang bertikai, termasuk sejumlah kebijakan institusi pemerintah yang saling bertolak belakang. Upaya-upaya penyelesaian ini sebenarnya sudah dilakukan seperti oleh BP3 dengan jalan mempertemukan beberapa kelompok atau bertemu dengan kedua kelompok. Tetapi karena rekomendasi BP3 menyudutkan Budya Wacana, bahkan salah satu suratnya berbunyi “bila tidak diindahkan akan disidik”, kemudian Pemkot juga mensomasi Siput Lokasari dari Bhakti Loka, dan kemudian terbit surat dari Dirjen Sejarah dan Purbakala yang berisi pamungkas bahwa bangunan yang dirobohkan bukan sebagai benda cagar budaya, sangat jelas memperumit penyelesaian, kecuali keputusan Dirjen Sejarah dan Purbakala di Jakarta itu dianggap final. Kalau keputusan Dirjen Sejarah dan Purbakala di Jakarta itu dianggap final, lantas atas dasar apa keputusan itu dianggap mengikat? Bagaimana pula dengan keputusan dan kajian BP3, dan kesimpangsiuran Dintip yang menerbitkan dua surat yang meralat surat pertama? Mengapa Komisi II DPRD Kota mengadukan Pemkot ke Unesco? Dan karenanya kasus ini akan terus menjadi persoalan bila tidak ada penyelesaian yang pasti, berkekuatan hukum yang tetap. Beberapa kelompok sipil yang mencoba masuk untuk mendamaikan, juga tampaknya tidak terdengar lagi —meski terdapat beberapa kelompok yang sebenarnya ingin masuk dan berusaha mendamaikan.59 Dengan melihat peta 59 Kelompok sipil yang terlibat sejak awal adalah Gempar Budaya. 284 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA konflik yang sudah melebar ini agaknya usaha-usaha yang akan dilakukan para kelompok pendamai dari kalangan sipil akan mengalami kesulitan. Apalagi kalau kelompok sipil yang mencoba mendamaikan misalnya, sudah dianggap berpihak atau terlihat berpihak. Satu-satunya jalan penyelesaian memang harus diselesaikan lewat jalur hukum dengan keputusan yang tetap. F. Kesimpulan Tanah Kelenteng Poncowinatan dan kawasan yang masuk di dalamnya merupakan pemberian Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Luasnya kurang lebih 1500 m2. Sedang bangunannya sendiri didirikan sejak 1883 atas inisiatif masyarakat Tionghoa yang tinggal di Yogyakarta. Konflik Kelenteng Poncowinatan bermula dari dirobohkannya bangunan gedung sisi barat oleh YPPN Budya Wacana setelah gempa pada 27 Mei 2006. Alasan YPPN bisa mengganggu keselamatan para siswa dan guru. Bangunan sisi barat itu dulu menjadi tempat sekolah Tionghoa di zaman penjajahan. Kelompok ini mencuat setelah aksi di depan Kelenteng Poncowinatan. Di samping itu Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (Aji Damai). Dalam sebuah rapat di GMKI, mereka juga sempat membicarakan kasus Kelenteng Poncowinatan bersamaan dengan pembicaraan kasus GPdI Sleman dan kekerasan yang menimpa Sapto Dharmo oleh FPI Yogayakarta. Namun hingga kini isu tersebut belum dibicarakan lagi. Selain Gempar dan Aji Damai, kelompok lainnya adalah FPUB. Penulis sempat mendengar, kelompok ini juga terlibat untuk turut menyelesaikan kasus tersebut, tapi belakangan kabar itu tidak terdengar lagi. Penulis beranggapan, karena kasus ini sudah begitu melebar dan konfliknya semakin dalam, maka penyelesaian melalui musyawarah akan mengalami kebuntuan. Dan penyelesaian melalui pengadilan --meski dipastikan akan memakan waktu lama, tenaga, biaya dan meninggalkan luka konflik-- memang masih menjadi satu-satunya cara memberikan status hukum yang tetap dan mengikat atas persoalan yang disengketakan ini. KONFLIK KELENTENG PONCOWINATAN 285 Bangunan tersebut rencananya akan dibangun tiga lantai. Pembangunannya sendiri telah memperoleh IMBB (Izin mendirikan Bangun Bangunan) dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Namun kelanjutan pembangunan sekolah tersebut seprti diketahui tidak mulus, karena ada laporan dari Yayasan Bhakti Loka ke BP3 yang menjelaskan tentang perusakan benda cagar budaya, tetapi oleh oleh Budya Wacana dianggap sebagai tuduhan menyesatkan. Konflik berlanjut semakin rumit ketika pihak-pihak terlibat menunjukkan bukti-bukti ke publik, melakukan perang wacana, sementara kebijakan dan pandangan sejumlah institusi pemerintah tampak tidak sinkron. Terdapat argumentasiargumentasi yang mendukung Bhakti Loka, ada pula yang oleh Budya Wacana dianggap mendukung mereka. Sebagian menguntungkan, sebagian lagi merugikan kedua belah pihak. Dalam konflik ini juga muncul sejumlah perbedaan penafsiran seperti apakah bangunan yang dirobohkan itu benda cagar budaya atau bukan, dampak gempa terhadap bangunan sisi barat kelenteng yang ditempati Budya Wacana, dan status tanah magersari keraton. Setelah memperhatikan kronologi, peta konflik, dan perbedaan sejumlah pandangan, penulis menyimpulkan beberapa hal: • Konflik Kelenteng Poncowinatan tidak berkaitan dengan konflik berbasis agama. Konflik ini berkaitan dengan isu benda cagar budaya, pembangunan sekolah Budya Wacana, dan lain-lain. Meski begitu, konflik ini tidak bisa juga dilepaskan sama sekali dari isu agama mengingat fakta, di masa Orde Baru (negara) Konghucu tidak diakui sebagai “agama resmi”, sehingga aset-asetnya menjadi arena konflik bagi kelompok-kelompok yang berkepentingan tanpa bisa mengantisipasi sejak dini. Andai Konghucu diakui hak-hak 286 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA hidupnya sejak dini, dan seharusnya begitu, maka mereka bisa memelihara dan mengembangkan aset-aset yang mereka miliki tanpa meninggalkan ruang yang terlalu lebar dan memungkinkan aset-asetnya menjadi arena konflik. Kasus ini membuktikan, negara yang memasung kebebasan hak hidup kelompok agama justru akan memunculkan konflik di kemudian hari, termasuk menyangkut aset-aset yang dimiliki; • Konflik ini agaknya sulit diselesaikan melalui jalan musyawarah dengan beberapa. Pertama, perang kata keras di media massa, saling ancam dan saling lapor ke kepolisian sudah terjadi begitu tajam. Kedua, dalil dan argumentasi masingmasing pihak saling bertentangan. Ketiga, konflik juga melibatkan institusi kekuasaan di wilayah Kota Yogyakarta dan menunjukkan kebijakan yang saling bertentangan. • Konflik ini lebih baik diselesaikan lewat jalur hukum yang memiliki kekuatan hukum tetap dan hasilnya semestinya bisa dihormati masing-masing pihak yang bertikai, termasuk bagi institusi-institusi pemerintah yang dianggap tidak tepat dalam menetapkan keputusan hukum yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat. Berdasarkan kesimpulan itu, tentu saja jalan penyelesaian melalui jalur hukum, dan sekarang ini memang tengah berjalan, hasilnya bisa diterima masing pihak-pihak bertikai. Proses hukum yang berlangsung itu terjadi antara Pemkot Dinas Perizinan dengan Bhakti Loka di PTUN Yogyakarta. Reintegrasi Pasca-Konflik Etnis di Palangkaraya : Studi Reintegrasi Etnis Madura dan Dayak GAZALIRRAHMAN A. Pengantar Delapan tahun sudah konflik etnis di Kalimantan Tengah berlalu. Konflik ini telah merenggut ribuan nyawa, hilangnya harta dan terusirnya ratusan ribu warga etnis Madura dari tempat tinggal mereka.1 Pecahnya konflik yang disulut kasus kriminal di Kereng Pangi Sampit ini merupakan klimaks dari konflik sejak interaksi etnis Madura ke Kalimantan Tengah pertama kali berlangsung.2 Agar terbangun perdamaian dan terjadi interaksi yang baik antar dua etnis ini, pascakonflik telah dilakukan berbagai upaya rekonsiliasi oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.3 Tujuannya adalah terjadinya reintegrasi di mana etnis “Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan”, Asia Report N°19 International Crisis Group 27 Juni 2001, http:www.crisisgroup.org. 2 M. Shohibul Hidayah, “Kasus: Membangun Pondasi Resolusi Konflik Dayak-Madura, di Kalimantan”, dalam http://www.ireyogya.org/F16_kasus. htm. 3 “Mengatasi Kekerasan (Damai dan Adil),” Notulensi Seminar Lokakarya hasil kerjasama Majelis Sinode GKE dengan Cairos Canada dan Pemerintah 1 288 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Madura bisa kembali ke Kalimantan Tengah dan etnis Dayak menerima mereka dengan baik. Etnis Madura juga bisa mendapatkan kembali aset mereka seperti rumah atau tanah dan bisa berinteraksi secara baik dengan penduduk setempat.4 Penelitian ini hendak menggambarkan proses reintegrasi etnis Madura ke Kalimantan Tengah khususnya di Palangkaraya. Fokus pembahasannya menggali proses reintegrasi etnis Madura di mata etnis Dayak, suasana psikologis etnis Dayak atas kembalinya etnis Madura serta menggali berbagai upaya agar proses perdamaian tetap terjaga. Pemilihan lokasi penelitian di Palangkaraya karena pertimbangan sebagai salah satu daerah terjadinya konflik etnis, imbas konflik etnis di Sampit.5 Sebagai ibukota provinsi sekarang ini Palangkaraya menjadi primadona Kalimantan Tengah, sehingga banyak orang yang datang mengadu nasib ke kota ini. Apalagi pembangunan infrastruktur terus dibenahi. Tidak terkecuali bagi etnis Madura yang memang sangat berkepentingan kembali ke Palangkaraya untuk mendapatkan aset berupa rumah dan tanah serta toko yang telah mereka tinggalkan ketika konflik terjadi. Sebagai perbandingan, akan disebutkan di sini beberapa hasil penelitian lain yang berkaitan dengan konflik etnis Madura-Dayak. Sebagian besar penelitian yang ada dilakukan di Sampit (Kabupaten Kotawaringin Timur), lokasi sumber terjadinya konflik. Sedangkan yang mengambil lokasi di PalangKabupaten Kotawaringin Timur, Hotel Sampit 15 – 20 April 2002. 4 “Mengatasi Kekerasan (Damai dan Adil)”. 5 Lihat misalnya “Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan,” dalam http:www.crisisgroup.org. Diakses 19 April 2009. Atau “Konflik antarEtnis Kalimantan (Mencegah Lebih Baik daripada Menindak),” http://www. kompas.com/kompas-cetak/0104/12/daerah/konf30.htm. Diakses 19 April 2009. “Dari Sanggau Ledo Hingga Sampit,” Kompas (Kamis,12/4/2001). REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 289 karaya sangat minim ditemukan, setidaknya hanya dua penelitian yang berhasil penulis temukan. Adapun beberapa penelitian yang berkaitan dengan konflik etnis Dayak-Madura yang mengambil lokasi Sampit di antaranya, penelitian untuk tesis yang dilakukan Jhony Rusmanto, dosen Universitas Palangkaraya dengan judul “Konflik Etnik Dayak-Madura di Kalimantan Tengah (Studi Tentang Akar Konflik dari Perspektif Sosio Kultural),” tahun 2004. Penelitian ini melihat masyarakat atas dua etnis secara sosiologis-antropologis. Temuan dari penelitian ini adalah, streotype yang dibangun itu bukan karena politis tapi karena pengalaman interaksi, pengalaman yang menyakitkan.6 Penelitian lain dilakukan oleh Retno, Dosen Arsitektur Universitas 17 Agustus Surabaya (Untag) berjudul “Mengelola Ruang Etnis bagi Suatu Kota Berkelanjutan: Studi Kasus Masjid Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, Indonesia”. Dalam penelitiannya itu, ia menerangkan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antaretnis dan alternatif solusi dari kacamata arsitektur. Keberadaan musala atau langgar di sekitar rumah milik warga Madura di Sampit merupakan sebuah penanda bila warga Madura tinggal di sekitar itu. “Memang masjid atau musala bukan sasaran perusakan. Tapi karena sikap eksklusif warga Madura di sana, menyebabkan rumah yang ada di dekat masjid menjadi target amuk massa warga Dayak”. Dari peristiwa itu, ia menawarkan konsep pembentukan ruang ekslusif pada pemukiman masyarakat plural di Sampit. Yang menjadi pertanyaan besar Retno adalah, kalau persoalan tidak suka atau bunuh-membunuh, kenapa harus merusak rumah, pasar dan sebagian sekolah, sementara musala tidak. Dari sini, kata Retno, bisa ditarik kesimpulan bahwa ruang eksklusif bisa menjadi pemicu konflik. Apalagi, jika pemakainya hanya untuk Wawancara dengan JR dan S (seorang warga etnis Dayak), Jumat 6 Februari 2009 di kediamannya di Palangkaraya 6 290 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA segelintir orang. Karena itu, untuk menghindari konflik harus ada fasilitas yang sama. Penelitian yang berkaitan konflik etnis Dayak-Madura dengan mengambil lokasi di Palangkaraya sejauh yang penulis ketahui adalah penelitian yang dilakukan Taufik untuk tesis pada Program Pascasarjana Studi Kependudukan UGM Yogyakarta dengan judul “Strategi Adaptasi Migran Banjar di Kota Palangkaraya (Pasca-Konflik Dayak-Madura, Kalimantan Tengah)”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kondisi sosial migran Banjar, strategi adaptasi, dan faktor-faktor yang memengaruhi selama pascakonflik di Kota Palangkaraya. Hasil penelitian menunjukkan: (1) pascakonflik telah timbul kesadaran etnis Banjar untuk merekonstruksi strategi adaptasi terhadap penduduk asli dengan upaya penguatan interaksi sosial, keterlibatan kegiatan sosial dan pemanfaatan asosiasi suka rela sebagai jaringan sosial hubungan antaretnis. Strategi adaptasi lebih didasarkan pada kepentingan-kepentingan ekonomi; (2) dalam strategi adaptasi tersebut terdapat perbedaan antara migran Banjar yang tinggal di Kelurahan Panarung dan Kelurahan Pahandut disebabkan oleh faktor umur, pekerjaan, pendidikan, lama tinggal dan lokasi pemukiman. Strategi adaptasi di Panarung lebih baik daripada di Pahandut, tetapi strategi adaptasi dengan pemanfaatan Asosiasi sukarela di Pahandut lebih baik daripada di Panarung; (3) tingkat kriminalitas, keterlibatan dalam dukungan politik dan kegiatan keislaman yang semarak dilakukan etnis Banjar menimbulkan masalah-masalah baru dalam hubungan antaretnis. Penelitian-penelitian tentang konflik etnis Dayak-Madura yang dipaparkan di atas belum ada yang spesifik menyentuh pada proses reintegrasi etnis Madura, yaitu yang berusaha mengetahui bagaimana sikap, perilaku etnis Madura di Palangkaraya, juga respon etnis Dayak di sana terhadap proses reinteg- REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 291 rasi ini. Karena itu penelitian tentang proses reintegrasi etnis Madura ke Palangkaraya ini perlu dilakukan. Selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang ilmu manajemen konflik berkaitan dengan rekonsiliasi, juga melakukan evaluasi atas sikap penerimaan etnis Dayak yang pernah menolak kedatangan etnis Madura ke Kalimantan Tengah.7 Hasil penelitian ini diharapkan pula menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan berkaitan dengan pembangunan dan pemberdayaan kedua etnis tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, yaitu menggali gambaran proses reintegrasi etnis Madura di Palangkaraya dan gambaran psikologis etnis Dayak atas reintegrasi tersebut secara empirik. Gambaran ini diperoleh dengan teknik pengumpulan data berupa observasi lapangan yang dilakukan di pasar, pelabuhan, tempat tinggal etnis Madura, wawancara kepada warga Palangkaraya dengan mayoritas informan dari etnis Dayak (masyarakat, aktivis LSM, akademisi), di antaranya juga terdapat dari etnis Jawa dan Banjar, serta mengamati dan berinteraksi dengan etnis Madura. Penelitian ini juga menggunakan data-data sekunder terkait dengan konflik etnis Kalimantan Tengah.8 Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2008-Februari 2009. Dimulai dengan melakukan studi pendahuluan pada Desember 2008, kemudian penyusunan laporan studi pendahuluan dan penentuan masalah penelitian pada Januari 2009, dilanjutkan dengan pelaksanaan kerja lapangan. Sedang analisis dan pelaporan dilakukan pada Februari 2009. “Kerusuhan Etnis Warga Kalteng Tetap Tolak Pemulangan Etnis Madura, Palangkaraya,” Gatra.com, 6 Maret 2001 16:43. Diakses 19 April 2008. 8 Etnis Madura tidak ada yang menjadi informan dalam penelitian ini karena terbatasnya waktu yang dimiliki dan belum terbangunnya akses peneliti kepada warga Madura sehingga kesulitan untuk mencari informan. 7 292 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA B. Gambaran Kota Palangkaraya Kota Palangkaraya merupakan pusat kota sekaligus ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas, sebelah timur Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Pulau Pisau, sebelah barat Kabupaten Katingan, sedangkan di selatan berbatasan dengan Kabupaten Pulau Pisau. Kota ini memiliki luas 2.678,51 km, terbagi atas lima kecamatan dan berpenduduk sebanyak 168.449 jiwa (data tahun 2003) dengan kepadatan 62,89 jiwa/km2. Dari data profil Kota Palangkaraya, disebutkan etnis yang ada di Kota Palangkaraya adalah etnis Dayak, Banjar, Bugis, Tionghoa, Jawa, Bali dan Batak sedangkan etnis Madura tidak disebutkan. Hal ini mungkin disebabkan karena etnis Madura sudah keluar pada 2001 sehingga tidak menjadi bagian salah satu etnis yang berdomisili di kota tersebut. Adapun bahasa yang digunakan kebanyakan masyarakat: Dayak, Banjar, dan Bahasa Indonesia. Adapun agama yang berkembang: Islam Kristen, Hindu, Kaharingan, Buddha, Konghucu. Mayoritas penduduk memilih berprofesi sebagai pedagang atau pegawai negeri. Dari sekitar 60.000 penduduk yang bekerja, 32 persen menggeluti sektor perdagangan dan 24 persen menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Karena banyaknya penduduk yang bekerja sebagai pegawai negeri, tak heran jika bidang jasa menjadi kontributor utama kegiatan ekonomi kota ini. C. Peristiwa Konflik dan Penanganannya Sebelum konflik Pebruari 2001 sebenarnya telah terjadi konflik antara Dayak-Madura namun dalam skala kecil bahkan konflik kedua etnis ini telah terjadi ketika interaksi antarmereka terbangun. Menurut catatan Lembaga Musyawarah Ma- REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 293 syarakat Dayak Kalimantan Tengah (LMMDKT), sejak tahun 1970 telah terjadi konflik antara etnis Dayak-Madura kurang lebih 100 kasus pembunuhan, penganiayaan, dan pemerkosaan. Tapi sebagian besar proses hukum peristiwa konflik tidak terselesaikan secara tuntas. Di Palangkaraya sebenarnya telah terjadi kesepakatan antara dua etnis ini, yaitu dalam kasus konflik Pelamboyan Bawah di mana warga Madura membantai warga Dayak kemudian terjadi pembantaian sebaliknya sampai kedua tokoh etnis ini bersepakat untuk tidak mengulangi dengan mediasi LMMDKT. Kesepakatan ini dilakukan dengan hukum adat dan tidak dibawa ke hukum positif. Tapi kesepakatan dilanggar oleh etnis Madura sehingga terulang konflik kedua etnis ini sampai akhirnya terjadi lagi konflik di Sampit.9 Peristiwa-peristiwa konflik ini dapat dikatakan mendorong konflik tahun 2001. Konflik tahun 2001 bermula dari pembunuhan seorang putra tokoh informal Dayak bernama Sendung di Kereng Pangi, pada 16 Desember 2000. Karena pembunuhan ini warga Dayak menyerang Madura sambil mencari pembunuh Sendung yang belum tertangkap. Sejak peristiwa itu, ketegangan meningkat antara warga Dayak dengan Madura, terutama sejak meledaknya bom di salah satu rumah warga Madura di Sampit. Warga Dayak beranggapan, warga Madura menyimpan bom untuk persiapan perang. Kemudian peritiwa konflik meledak pada 17 Februari 2001 ketika sejumlah orang (dicurigai warga Dayak) menyerang rumah warga Madura yang mengakibatkan enam warga Madura terbunuh. Pembunuh Sendung diduga bersembunyi di rumah tersebut. Karena masalah itu, warga Madura kemudian mencari kelompok penyerang di Baamang, Sampit, berkeliling mencari warga Dayak yang 9 Wawancara dengan JR. 294 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA terlibat, dan sempat membakar sebuah rumah. Saat itu, warga Madura mampu “menguasai” Sampit.10 Pascaperistiwa itu konflik tidak terelakkan lagi, terutama setelah para “warrior” Dayak dari pedesaan (pedalaman) masuk kota Sampit pada 19 Februari 2001. Pada 20 Februari 2001, sampit sepenuhnya berada dalam kontrol warga Dayak dan pembantaian terhadap Madura mulai berlangsung. Menghindari pengejaran etnis Dayak, warga Madura kemudian mengungsi ke rumah Bupati. Dengan inisiatif pemerintah setempat, demi menghindari pembantaian lebih banyak, dilakukan pemindahan pengungsi dari Sampit ke Surabaya dan Madura.11 Konflik ini diperkirakan telah mengakibatkan 419 orang meninggal dunia, 93 orang luka-luka, 1.304 rumah beserta 250 kendaraan bermotor dirusak dan dibakar serta 88.164 orang mengungsi. Pertikaian yang terjadi di Kalimantan Tengah yang bermula di Kota Sampit Kabupaten Kotawaringin Dalam wawancara dengan Majalah Tempo, 1 April 2001 Fridolin Ukur menyebutkan. Setelah satu keluarga Matoya asal Madura dibunuh warga Dayak karena dianggap menyembunyikan pembunuh Sendung, maka orang Madura membalas kematian keluarga Matoya ini dengan membakar satu keluarga warga Dayak sampai tewas pada 18 Februari 2001. Setelah itu muncul spanduk-spanduk yang bertuliskan “Sampit Kota Sampang”, menandakan dominasi orang Madura. Peristiwa ini memunculkan gelombang pengungsian warga dayak lebih dari 5 ribu orang mengungsi ke Palangkaraya. Muncul pengumuman Bupati Kotawaringin Timur melarang warga Dayak keluar malam dengan membawa senjata, sementara orang Madura yang berpawai dengan truk membawa senjata tidak dilucuti. Hal ini membuat warga dayak lebih kecewa setelah aparat tidak bisa menangkap pembunuh Sendung, yang kemudian memunculkan perasaan bahwa orang Dayak akan dihabisi. Berita menyebar ke mana-mana dan terjadi pembalasan pada 20 Februari 2001 yang dilakukan orang-orang Dayak di Pedalaman. Mereka berhasil menguasai Kota Sampit. Saat itulah terjadi pemenggalan kepala. 11 “Dari Sanggau Ledo Hingga Sampit,” Kompas, Kamis 12 April 2001. Diakses 19 April 2009. 10 REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 295 Timur dengan cepat menyebar ke kota lainnya seperti di Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Kapuas. Untuk mencegah konflik tidak meluas ke daerah lain, pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah telah melakukan serangkaian tindakan, antara lain mengirimkan sejumlah pasukan pengamanan tambahan yang terdiri dari Pasukan Brimob dan TNI di samping melakukan upaya-upaya evakuasi terhadap para pengungsi. Dalam melakukan tugastugas pengamanan, telah terjadi beberapa insiden yang melibatkan anggota kesatuan Brimob dengan warga masyarakat di sejumlah lokasi, khususnya peristiwa di Bundaran Besar Palangkaraya 8 Maret 2001 dan Peristiwa di KM 40-41 Sampit ke Pangkalan Bun pada 6 April 2001.12 Atas konflik yang terjadi itu, beberapa upaya membangun perdamaian dilakukan agar kedua etnis ini bisa menghentikan konflik tersebut. Di antaranya melakukan pertemuan para gubernur di Jakarta, 20-22 Maret 2001. Pertemuan ini berhasil mengeluarkan kesepakatan “Tekad Damai Anak Bangsa”, dilanjutkan dengan Musyawarah Masyarakat Dayak 18-20 Mei 2001 di Sampit yang ditujukan untuk menggali aspirasi warga Dayak, dan Kongres Rakyat Kotawaringin Timur, 4-7 Juni 2001 di Sampit. Hasil pertemuan terakhir ini adalah adanya usulan perda tentang kependudukan yang mengatur kembalinya orang Madura di Sampit. Dalam usulan perda itu, peran pemerintah daerah adalah menangani pengungsi baik dari warga Madura maupun warga Dayak, melakukan identifikasi dan inventarisasi harta benda miliki warga Madura sebagai bentuk perlindungan pemerintah pada warga Madura yang telah mengungsi.13 “Komnas HAM dalam Kasus Sampit,” Kamis, Tempo Interaktif, 17 Juni 2004, 15:42 WIB. 13 “Mengatasi Kekerasan (Damai dan Adil)”. 12 296 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Peran lembaga keagamaan dan tokoh-tokoh agama dalam membangun perdamaian adalah dengan membangun kesadaran akan akar konflik dan terbangunnya kesadaran akan pluralitas etnis, budaya, dan agama. Salah satunya dilakukan Majelis Sinode Gereja Kalimantan Evangelis (MS-GKE) bekerjasama dengan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3Banjarmasin) dan para tokoh lintas agama yang pada 2002 melakukan rehabilitasi pascakonflik. Mereka berusaha melakukan penyadaran di beberapa daerah kabupaten di Kalimantan Tengah (Kapuas, Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat), mengajak para tokoh adat Damang, tokoh lintas agama, kaum perempuan melakukan refleksi atas konflik etnis dan membangun kesadaran untuk kembali menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan ekonomi masyarakat. D. Sebab-Sebab Konflik Beragam pendapat dikemukakan terkait penyebab konflik etnis Dayak-Madura di Sampit dan Kalimantan Tengah ini. Menurut Dr Thamrin Amal Tomagola, sosiolog dari Universitas Indonesia, ada empat faktor utama akar konflik di Kalimantan. Pertama, terjadinya proses marginalisasi suku Dayak. Pendidikan yang minim dan sedikitnya warga Dayak yang bisa menikmati pendidikan mengakibatkan sedikitnya warga Dayak yang duduk di pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah lebih banyak dipegang warga pendatang. Kedua, penempatan transmigran di pedalaman Kalimantan yang mengakibatkan singgungan hutan. Hutan bagi masyarakat Dayak adalah tempat tinggal dan hidup mereka. Ketika transmigran ditempatkan di pedalaman Kalimantan, dan mereka melakukan penebangan hutan, menyebabkan kehidupan masyarakat Dayak terganggu. Sejak tahun 1995 para transmigran ditempatkan di pedalaman Kalimantan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 297 menempatkan transmigran di pesisir. Para pendatang baru inilah yang dikenal keras dan pembuat masalah, tidak seperti pendatang-pendatang sebelumnya. Selain soal transmigrasi, pemerintah juga telah memberikan keleluasaan bagi para pengusaha untuk membuka hutan melalui HPH. Ketiga, masyarakat Dayak kehilangan pijakan. Terganggunya harmoni kehidupan masyarakat Dayak mengakibatkan mereka kehilangan pijakan. Kekuatan adat menjadi berkurang. Kebijakan-kebijakan pemerintah telah menghilangkan atau mengurangi identitas mereka sebagai masyarakat adat. Keempat, hukum yang tidak dijalankan dengan baik mengakibatkan banyaknya tindak kekerasan dan kriminal yang dibiarkan. Proses pembiaran ini berakibat pada lemahnya hukum di mata masyarakat sehingga masyarakat menggunakan caranya sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan, di antaranya dengan menggunakan kekerasan.14 Dari beberapa akar yang disebutkan di atas, menurut beberapa informan, penyebab konflik yang paling dirasakan etnis Dayak adalah dari ketidakharmonisasn interaksi karena problem sikap warga Madura. Persinggungan etnis Dayak dengan pendatang (Madura) telah terjadi sejak awal interaksi. Dalam banyak kasus, etnis Dayak mendapatkan pengalaman menyakitkan. Ketidakharmonisan interaksi yang sudah berada pada titik kulminasi ini menyebabkan ketidakpuasan, kejengkelan, kemarahan akibat berbagai sebab yang amat kompleks, kemudian terakumulasi dalam kurun waktu yang lama dan sewaktu-waktu bisa meledak. “Mencari Solusi Permusuhan Panjang,” Asasi Elsam Newsletter Edisi Maret-April 2001. Versi softcopy dapat diakses di www.elsam.or.id. Artikel tersebut merupakan catatan dari kegiatan Dialog Kemanusiaan Masyarakat Madura dan Dayak di Jakarta. 14 298 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA “Orang Dayak pada dasarnya baik terhadap pendatang. Umumnya mereka memberikan sebidang tanah kepada orang Madura, sampai akhirnya kaum pendatang ini punya tanah sendiri. Setelah menetap, orang Madura bukannya mencari tempat untuk pindah malah mendatangkan sanak keluarga. Jumlah mereka menjadi berlipat. Ketika orang Dayak minta tanah itu dikembalikan, orang Madura tidak mau. Orang-orang dari suku ini punya adat yang keras. Mereka tak segan mengancam dengan celurit jika marah, sehingga sering terjadi pembunuhan.”15 Selain benturan-benturan budaya, penyebab konflik juga dipicu adanya perlakuan tidak adil pemerintah dan sistem yang selama itu berjalan kepada masyarakat lokal, meskipun kadangkadang hanya merupakan kasus yang tidak berlaku umum. Rasa ketidakadilan berkisar pada kesempatan berusaha, memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah, pembinaan aspek budaya Dayak sebagai nilai-nilai luhur, perlakuan hukum dalam bentrok antara penduduk asli dengan penduduk pendatang (etnis Madura). Pada sektor ekonomi, etnis Madura sangat mendominasi terutama di pelabuhan, terminal dan pasar, banyak etnis Madura bekerja sebagai pedagang dan buruh juga menjadi pengusaha transportasi. “Kerusuhan Dayak-Madura adalah bom waktu yang sudah ditanam sejak Orde Baru melaksanakan pembangunan yang sentralistis. Pembangunan yang hanya mencari keuntungan telah menguras kekayaan Kalimantan, tanpa memedulikan penduduk asli. Coba bayangkan hampir 30 tahun pembangunan berjalan tanpa mengikutsertakan penduduk asli.”16 Wawancara dengan Fridolin Ukur, dalam “Pembunuhan Seabad Lalu Terulang”, Majalah Tempo, 1 April 2001. 16 “Fridolin Ukur: Pembunuhan Seabad Lalu Terulang,” Majalah Tempo, 1 April 2001. 15 REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 299 Keterbatasan pendidikan mengakibatkan kemiskinan dalam wawasan dan kemampuan menggunakan nalar, dan ketika menghadapi suatu kompetisi hidup antarwarga yang kadang demikian keras, masyarakat kurang bisa mengapresiasikan secara positif, tetapi yang muncul adalah kecemburuan sosial, solidaritas kesukuan yang sempit. “Karakter orang Madura adalah etnis yang suka marah, suka mencaci maki orang lain, kasar, suka mengambil (mencaplok) tanah orang orang lain sebagian besar etnis Madura yang datang ke Palangkaraya adalah freeman, kalau yang berdagang di pasar suka mengambil sisa belanjaan pelanggan, misalnya kalau nilai belanjaan Rp. 4.000,- kemudian pelanggan menyerahkan uang senilai Rp. 5.000,- maka nilai belanjaan itu akan dijadikan Rp. 5.000,- tanpa ada penambahan kuantitas barang. Dalam hubungan sosial, etnis Madura dikenal sebagai etnis yang eksklusif hidupnya mengelompok tidak berbaur dengan etnis yang lain. Walaupun ada di antara etnis ini tinggal terpisah biasanya mereka adalah kalangan yang memiliki pendidikan lebih baik.”17 E. Proses Reintegrasi Reintegrasi pascakonflik sesungguhnya tercermin dari keberhasilan membangun relasi positif antara pihak-pihak yang pernah terlibat konflik. Relasi sosial positif itu melahirkan keseimbangan dalam hubungan-hubungan sosial antarwarga dan memperkuat ikatan-ikatan komunitas tanpa melihat latar belakang sosio-politik-kultural. Reintegrasi sosial juga harus membebaskan rakyat dari eksklusifitas kelompok yang membatasi interaksi dan komunikasi sosial. Integrasi sosial sesungguhnya adalah sebuah harmoni di mana perbedaan-perbedaan yang ada Wawancara dengan JR dan S (warga beretnis Dayak) di rumahnya di Palangkaraya, Jumat 6 Februari 2009. 17 300 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA bisa hidup bersama di dalamnya lebih sebagai sebuah dinamika sosial yang memberi energi untuk maju, bukan sesuatu yang menimbulkan benturan. Akan menjadi sebuah ancaman besar di era transisi bila masih ada kelompok-kelompok sosial bersikap eksklusif dengan prinsip dasar masing-masing. Secara sosial, kelompok eksklusif tidak bisa benar-benar lebur sebagai suatu komunitas bersama. Gejala yang muncul adalah disharmoni di mana prinsip orang kita dan orang lain masih memenuhi otak masing-masing. Reintegrasi yang gagal akan menyebabkan suasana kebatinan di antara mereka terus diracuni prasangka dan mungkin juga kebencian-kebencian struktural. Bila transisi damai hendak dilewati dengan mulus, maka gejala disharmoni atau ketegangan antar kelompok, harus dihilangkan. Kalau itu gagal juga, maka program reintegrasi hanya akan menjadi angin surga, sementara kepentingan kelompok di belakang layar terus mengintai. Oleh karena itu dalam konteks reintegrasi etnis Madura ke Palangkaraya akan dilihat dari aspek strategi kedatangan dan penerimaan etnis Dayak dalam interaksi dengan mereka. 1. Strategi Kedatangan dan Interaksi Etnis Madura Umumnya informan mengemukakan, proses kedatangan etnis Madura ke Palangkaraya terjadi secara alami. Cara ini dituntut oleh masyarakat setempat dengan tujuan menjaga rasa aman atas kedatangan etnis Madura karena ukuran diterima atau tidaknya etnis Madura adalah sikapnya, bukan lama waktu tinggal di daerah ini. Menurut informan, apa yang menjadi hasil kongres dan hasil kesepakatan dari pertemuan-pertemuan kepala daerah sebagai rekonsiliasi hanya berpengaruh dan menjadi kepentingan di tingkat elit, bukan kesepakatan masyarakat akar rumput. REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 301 “Kesepakatan antarkepala daerah memang ada pengaruhnya tapi hal itu bersifat bagi elit. Kalau masyarakat kebanyakan di desa-desa dan entis Madura yang berpendidikan yang rendah tidak memahami kesepakatan-kesepakatan itu. Bagi mereka alamiah saja.”18 Proses secara alami etnis Madura kembali atau datang ke Kalimantan Tengah dengan sendirinya. Mereka merasa cukup aman, bisa diterima karena merasa bukan orang yang membuat konflik. Beberapa KK (kepala Keluarga) datang tanpa dimobilisasi secara sistematis oleh organisasi seperti IKAMA (Ikatan Keluarga Madura), tapi mereka berbaur dengan warga lain datang ke Palangkaraya dengan keinginan sendiri. Tujuan kembalinya ke Palangkaraya ada yang karena untuk menempati kembali rumah atau tanah yang mereka tinggalkan. Ada juga yang hanya ingin menjual rumah dan tanah mereka. Biasanya proses kembali ke tempat tinggal mereka dengan mengirimkan utusan anggota keluarga ke rumah Ketua RT (Rukun Tetangga) untuk menyampaikan keinginan menempati tanah atau rumah mereka kalau masih utuh. Pihak RT akan mengundang para warga sekitar untuk membicarakan keinginan tersebut kemudian diputuskan dalam rapat RT. Jika warga setuju, termasuk tetangga kiri-kanan, maka mereka diperbolehkan kembali. Kalau di tingkat warga tidak sepakat dan tidak menerima maka warga Madura tersebut tidak bisa kembali karena menurut masyarakat keluarga tersebut tidak baik, suka membuat keributan. Mereka tidak akan dilayani termasuk menjual aset seperti rumah atau tanah. Keluarga yang bisa diterima diharuskan Wawancara dengan TS (etnis Jawa) di rumahnya di Palangkarya, Selasa, 3 Februari 2009. 18 302 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA memenuhi persyaratan, yaitu tidak membawa orang baru, karena orang baru itu masih tidak diketahui karakternya sehingga dikhawatirkan akan membuat masalah. Sikap secara alami dengan melakukan seleksi terhadap etnis yang datang bagi etnis Dayak bukanlah suatu arogansi kelompok (etnis) tapi bagian dari manajemen konflik, walaupun muncul kesan etnis Dayak dan masyarakat setempat (lingkungan tempat tinggal Madura) memaksakan kehendak dan memanfaatkan kekuasaan (kemenangan). Mereka sepakat disebut etnis yang arogan kalau prinsip yang dibangun adalah menolak sama sekali kedatangan etnis Madura. Tapi kenyataannya prinsip etnis lokal ini adalah menerima kembali etnis Madura kalau memang baik dan tujuan proses seleksi itu adalah etnis Dayak tidak mau konflik etnis terulang lagi sehingga dengan cara itu mendapatkan rasa aman. “Sikap kami itu bukan sesuatu yang arogansi. Tapi kalau pengamanan maka hal itu harus dilakukan bagi siapapun yang pernah mengalami konflik di mana saja, pasti ada trauma sehinga perlu ada pengamanan-pengamanan, takut akan terulang lagi. Jadi hal itu dilakukan karena ada trauma dan pengamanan diri.”19 Etnis Madura yang sudah diterima dan menetap di Palangkaraya kebanyakan bekerja pada sektor informal seperti penjual pencok, pedagang sayur, buah-buahan dan penjual ayam keliling, tukang becak, dan sopir angkot. Mayoritas perempuan Madura bekerja sebagai penjual pencok, pedagang sayur, buah-buah dan penjual ayam. Ada yang memiliki kios di pasar, ada pula yang menjajakan ber19 Wawancara dengan S (Etnis Dayak). REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 303 keliling. Sementara itu kaum laki-laki Madura bekerja sebagai tukang becak dan sopir angkot. Berikut adalah keterangan seorang informan perempuan: “Rata-rata yang berjualan di Pasar Palangka adalah perempuan. Mungkin hal ini bagian dari strategi. Saya pernah bertanya kepada bibi pencok yang berjualan di seberang rumah orang tuaku, ‘kenapa datang sendiri?’ Katanya biar saya dulu mencari penghidupan. Nanti kalau sudah bagus suasananya maka bapaknya menyusul, karena saat ini bapaknya masih belum berani.”20 Kehadiran perempuan lebih awal ini masih menjadi pertanyaan di antara informan. Kemungkinan hal ini merupakan strategi karena perempuan dari etnis Madura ini dianggap lebih aman oleh etnis Dayak sehingga tidak ditolak warga setempat. “Mungkin kalau yang datang perempuan dianggap lemah sehingga tidak diapa-apakan dan kebanyakan menurutnya yang datang ke Kalteng adalah kawan-kawannya sesama perempuan. Mungkin melihat kondisi baru kemudian mengajak anaknya dan seterusnya. Bagi orang Dayak, perempuan itu lebih merasa aman dibanding adanya orang Madura laki-laki.”21 Secara perlahan, keluarga yang sudah diterima akan mengajak anggota keluarga yang lain untuk datang kembali sehingga seluruh anggota keluarganya termasuk yang lakilaki bisa berkumpul. Wawancara dengan Y (Etnis Dayak), Kamis 5 Pebruari 2009 di rumah nya di Palangkaraya. 21 Wawancara dengan Y (etnis Dayak). 20 304 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Pemulangan secara alami dari kacamata sosiologis merupakan hal positif. Siapapun berhak untuk datang asal bisa melakukan sosialisasi, menempatkan kehidupan dan memahami budaya setempat, seperti istilah orang Dayak, “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Dengan proses secara alami, maka interaksi akan dapat bertahan karena di situ terjadi sikap saling menghargai terhadap nilai-nilai yang ada di masyarakat.22 2. Penerimaan Etnis Dayak Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya etnis Dayak bisa menerima kedatangan etnis Madura kembali ke Palangkaraya, apalagi sampai saat ini tidak ada reaksi penolakan terhadap etnis Madura. Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah (LMMDKT) pun menyerahkan sepenuhnya proses reintegrasi kepada mekanisme yang dibuat masyarakat setempat. Penerimaan dan lahirnya interaksi antaretnis, selain karena dilakukan secara alami juga didasarkan pada perubahan yang lebih baik dari sikap etnis Madura. Umumnya informan mengemukakan, etnis Madura banyak mengambil pelajaran dari konflik etnis yang terjadi pada 2001. Sikap mereka tidak lagi kasar, tidak main bentak, bahasanya sudah halus dan tidak memaksa pembeli lagi untuk membeli dagangannya, malah kalau menawarkan barang atau dagangan dengan bahasa yang memikat seperti, “mau beli apa sayang?”. Bahkan bukan hanya menerima kedatangan justru ada di antara etnis Dayak dan masyarakat Palangkaraya mengWawancara dengan J (Etnis Dayak), Jumat, 6 Pebruari 2009 Jam 14.00 WIB di rumahnya di Kota Palangkaraya. 22 REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 305 harapkan kembalinya etnis Madura, karena sebelum terjadi konflik sebagian etnis Madura berjualan sayur keliling sehingga sangat membantu ibu-ibu yang tidak bisa ke pasar. Kalau tidak ada etnis Madura yang berjualan keliling maka menyulitkan bagi ibu-ibu sehingga mereka harus berbelanja ke pasar. “Orang Madura yang datang ke Kalteng lebih berhati-hati sikapnya belajar dari pengalaman masa lalu tidak sembarangan bersikap dengan orang walaupun karakter aslinya tetap masih melekat. Mereka tidak sembarangan mengeluarkan celurit dan tidak sembarangan memaki-maki orang lebih bisa mengontrol diri, hal ini menjadi pelajaran juga bagi etnis yang lain agar tidak sembarangan.”23 Selain sikap dalam interaksi, kehidupan sosialnya pun sudah terbangun dengan baik di mana etnis Madura tidak lagi tinggal secara mengelompok dan eksklusif. Sudah tampak adanya pembauran antara etnis Madura dengan masyarakat lokal. Penerimaan masyarakat Dayak terhadap etnis Madura ini juga didorong kesadaran budaya dalam masyarakat Dayak yang terbuka terhadap orang luar. Sikap demokratis dalam masyarakat Dayak sudah ada sejak dulu kala, yaitu menerima perbedaan dan menerima orang lain. Prinsip yang dibangun dalam “rumah betang” menjadi salah satu filosofis untuk hidup bersama walaupun dalam perbedaan, baik berbeda etnis maupun agama tetap saling menghargai. Sikap menghargai ini juga diberikan kepada pendatang. Bahasa Dayak dalam keluarga itu juga demokratis, egaliter. Misal panggilan seorang cucu kepada kakeknya adalah hikau 23 Wawancara dengan S (etnis Dayak). 306 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA (kamu). Nama orang Dayak itu tidak selalu khas, bisa saja seperti nama orang jawa; Riyanto, Rusmanto, Rohmanto, seperti orang Batak: Lubis atau Tambunan. Jadi penerimaan terhadap orang lain sudah ada sejak dulu. Kenapa banyak orang Madura di Kalimantan, itu tanda bahwa orang Dayak toleran.24 Namun di balik sikap penerimaan dari etnis Dayak ini ternyata masih ada sebagian kecil dari warga Palangkaraya yang merasa terganggu, walaupun sudah terjadi perubahan sikap dari etnis Madura. Menurut informan, kondisi psikologis sebagian etnis Dayak sekarang ini masih ada yang merasa khawatir, tidak nyaman, ketakutan, bahkan merasa terancam dengan kedatangan etnis Madura di Palangkaraya. Ini terjadi karena konflik tahun 2001 itu masih terasa dalam ingatan sebagian etnis Dayak. Trauma ini dirasakan sebagian besar etnis Dayak, yang sebelumnya jarang berkonflik dengan etnis lain kecuali dengan Madura. Sebagian warga etnis Dayak juga belum bisa menghilangkan trauma masa lalu karena banyak di antara saudara-saudara mereka tewas dan rumahnya dibakar etnis Madura. Ada pula kekhawatiran yang muncul khususnya bagi mereka yang ikut dalam pengusiran etnis Madura saat konflik terjadi telah mengambil tanah orang Madura lalu menguasai sektor ekonomi seperti pasar, pelabuhan. Terutama kelompok bisnis, pengusaha, atau pedagang pasar, mereka agaknya tidak berharap etnis Madura kembali sebab beberapa aset orang Madura seperti tokoh telah mereka dikuasai, termasuk ada sebagian mereka yang memiliki utang tanah dan utang uang dengan etnis Madura. 24 Wawancara dengan TS. REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 307 Alasan lainnya, adanya ketakutan etnis Dayak karena isu dan prasangka yang dibangun kalangan etnis Dayak sendiri. Misalnya ketakutan memakan makanan yang dijual etnis Madura karena bisa diberi racun. Hal ini digambarkan oleh salah seorang informan: “Dalam kegiatan Pasar Wadai di bulan Ramadhan, saya pernah mengamati pedagang pencok, satu Madura dan satu lagi Banjar. Ternyata yang lebih laku dari etnis Madura karena enak, dan aku juga ikut beli di tempat itu. Yang satu lagi tidak terlalu laku. Sambil ngantri aku mendengar selentingan obrolan ibu-ibu yang antri katanya ‘hati-hatilah kita siapa tahu ini ada racunnya.’”25 Ketakutan lain yang merupakan hasil prasangka yang diciptakan kalangan etnis Dayak sendiri adalah penggunaan air PDAM yang dikhawatirkan akan diberi racun oleh etnis Madura. Berikut dikemukakan: “Tetanggaku mengatakan, beruntunglah kita tidak memasang ledeng. Siapa tahu di ledeng itu dimasukan oleh Madura racun, maka matilah kita. Jadi kasihan dengan orang Madura, walaupun hal itu ada guyonan tapi menimbulkan perasaan takut juga di hati saya. Siapa tahu hal itu bisa terjadi.”26 Terjadinya perubahan sikap yang positif dari etnis Madura yang datang ke Palangkaraya bahkan memunculkan fenomena sebagian etnis Madura berusaha menyembunyikan identitas mereka. Berbeda dengan etnis Dayak yang tamWawancara dengan Y (etnis Dayak). Wawancara dengan I (etnis Dayak), Kamis, 05 Februari 2009 di rumahnya di Kota Palangkaraya 25 26 308 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA paknya semakin menunjukkan sikap “keakuannya”. Kalau dulu stereotype orang Dayak adalah malas, bodoh sehingga malu mengaku sebagai etnis Dayak, namun sekarang sudah muncul kebanggaan. Pada tataran birokrasi (pemerintahan), adanya UU Otonomi Daerah memberi ruang tersendiri bagi putra daerah berkiprah di pemerintahan. F. Upaya Membangun Perdamaian 1. Pembenahan Internal Kedua Etnis Salah satu upaya pembenahan yang harus dilakukan etnis Madura adalah perubahan sikap lebih baik dari sebelumnya. Kalau ada permasalahan yang terjadi dalam interaksi sosial maka penyelesaiannya tidak langsung menggunakan cara-cara kekerasan. Tidak mengganggu eksistensi masyarakat Dayak seperti melakukan penyerobotan tanah dan warung yang dimiliki etnis Dayak. Peran warga etnis Madura yang sudah kembali dan bekerja sebagai pedagang baik di pasar maupun berkeliling, menjadi sopir angkot, tukang becak, diharapkan memberikan citra positif. Integrasi etnis Madura diharapkan juga bisa dilakukan melalui organisasi seperti Ikatan Keluarga Madura (IKAMA), namun dengan manajemen yang harus dikelola baik dan dipimpin oleh orang yang baik dan berpikir ke depan sehingga organisasi ini akhirnya menjadi alat menuju perdamaian. IKAMA jangan sampai berperan, seperti yang terjadi sebelumnya, menjadi alat untuk membela warga etnis Madura yang bersalah melakukan tindakan kriminal, menyembunyikan pelaku sehingga bisa bebas dari jeratan hukum. Hal ini yang akhirnya menyebabkan ketidakpuasan REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 309 warga Dayak. Pandangan ini tampak dalam pernyataan informan berikut: “IKAMA pada masa lalu telah melakukan atau dipimpin oleh orang yang keliru. Bukan IKAMA-nya yang salah, tapi orang yang memimpin. Di mana saat itu yang memimpin mempunyai ambisi-ambisi tertentu, seandainya dipimpin oleh orang yang memiliki pikiran jangka panjang, berpikir perdamaian maka ia tidak akan mengarahkan kepada hal-hal yang menjerumuskan.“27 Perbaikan etnis Madura juga bisa dilakukan dengan melakukan pendidikan multikulturalisme seperti yang pernah dilakukan salah satu perguruan tinggi di Palangkaraya, walaupun masih bersifat elit sehingga ke depan harus dikembangkan hingga bisa menjangkau akar rumput. Sementara itu pembenahan etnis Dayak dilakukan dimulai dengan pendidikan. Dengan pendidikan, mereka bisa berkompetisi secara sehat dan bekerja lebih giat lagi. Dengan pendidikan etnis Dayak diharapkan bisa bersikap lebih ramah dan tidak malu menyebut dirinya sebagai Dayak. Sebab, kadang-kadang orang Dayak tidak percaya diri atas ke-Dayak-annya. Ada perasaan minder, merasa identitasnya itu memalukan karena anggapan orang Dayak yang tidak bisa bersaing. Pendidikan terhadap etnis Dayak juga membangun kesadaran akan nilai dan semangat multikulturalisme. Pembenahan lain yang bisa dilakukan adalah dengan pemberdayaan di bidang ekonomi dan politik seperti yang pernah dilakukan Lembaga Dayak Panarung (LDP) Palangkaraya dengan membangun Serikat Petani Karet, mengembangkan lembaga ekonomi kerakyatan melalui Credit Uni27 Wawancara dengan S (etnis Dayak). 310 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA on (CU), pendidikan politik kepada kaum perempuan agar memahami posisi sehingga terbangun kesetaraan gender. Dengan cerdasnya masyarakat Dayak maka mereka sadar untuk menghindari konflik.28 Salah satu keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan terhadap etnis dayak adalah pengembangan ekonomi kerakyatan melalui Credit Union dengan nama CU Betang Asi, lembaga keuangan yang diprakarsai LDP. Saat ini keanggotaannya sudah terbuka untuk umum karena, bukan hanya etnis Dayak tapi semua etnis boleh menjadi anggota. Omset lembaga ini sekarang kurang lebih Rp. 100 milyar.29 Dalam bidang pemberdayaan perempuan supaya terlibat dalam pemantapan rekonsiliasi dan pemberdayaan terhadap kedua etnis (Dayak-Madura), sejak tahun 2003 dibangun komunitas Dara Arum di Kalimantan Tengah. Komunitas ini terus memantapkan upaya rekonsiliasi antara etnis Dayak dan Madura melalui peran aktif perempuan. Itu diwujudkan melalui kegiatan kaum perempuan kedua etnis dalam kegiatan seperti arisan, pengajian, simpan pinjam, dan pelatihan baca tulis. Menurut Intan Ruwaidah: “Hal yang dikedepankan dalam rekonsiliasi ini adalah bagaimana mempertemukan para perempuan dalam kegiatan bernapas kerukunan, yang selanjutnya akan mendorong harmonisasi hubungan antara kedua etnis dalam tataran lebih luas,” 30 Wawancara dengan M, 4 Pebruari 2009 di kantor Lembaga Dayak Panurung (LDP) Kota Palangkaraya 29 Wawancara ES, 04 Mei 2009 di Kota Palangkaraya 30 “Perempuan Jalin Rekonsiliasi di Kalimantan Tengah,” Kompas, 10 Mei 2003. Intan Ruwaidah adalah Field Officer wilayah Kalteng Search for Common Ground in Indonesia (SFCGI) 28 REINTEGRASI PASCA KONFLIK ETNIS DI PALANGKA RAYA 311 Anggota Dara Arum di Sampit saat ini sekitar 100 orang. Adapun di Palangkaraya dan Kapuas masing-masing sekitar 30 dan 70-an perempuan dari kedua etnis. Namun seiring perjalanannya komunitas ini belum berkembang maksimal karena munculnya perbedaan visi antaranggota di internal etnis, selain karena masing-masing anggota memiliki kesibukan .31 2. Rekomendasi Membangun Perdamaian Untuk membangun perdamaian dalam proses reintegrasi etnis Madura, bisa disimpulkan jika umumnya informan menghendaki: pertama, kedua etnis (Madura-Dayak) lebih berhati-hati, menjaga sikap terutama pihak Madura agar terus menjaga sikapnya menjadi lebih baik, lebih sopan, menghargai etnis Dayak dan ajakan agar kehidupan etnis Madura tidak eksklusif atau mengelompok. Sementara bagi etnis Dayak diharapkan mampu merubah sikap malas dengan menjadi lebih rajin. Kedua, penegakan hukum dan aturan, baik berkaitan dengan kasus kriminal yang terjadi maupun proses penyelesaian masalah aset dan status tanah etnis Madura, yaitu dengan mengembalikan status kepemilikan tanah kepada yang berhak. Ketiga, membuat peraturan daerah tentang kependudukan yang menjamin keberadaan setiap etnis di Palangka Raya tidak hanya untuk satu etnis saja. Peraturan semacam ini terjadi pada perda yang diberlakukan di Sampit yang berakibat munculnya diskriminasi terhadap salah satu etnis. Dalam perda tersebut, diatur tentang peran pemerintah 31 Wawancara dengan M dan I. 312 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA dengan lebih melakukan pengawasan kependudukan dengan memfungsikan RT dan RW. Keempat, ada wadah yang bisa menghimpun etnis Madura melakukan pembinaan. Namun wadah ini tidak digunakan —seperti sebelum konflik— untuk melindungi anggota etnis yang melakukan tindakan kriminal. Kelima, mendorong agar etnis Dayak dan Madura mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi sehingga memiliki kesadaran hidup untuk maju dan menjalankan semangat serta nilai-nilai multikulturalisme. G. Penutup Konflik etnis yang terjadi di Palangkaraya sebagai imbas dari konflik di Sampit telah menyisakan trauma yang mendalam bagi kedua etnis. Proses reintegrasi secara alami merupakan satu model rekonsiliasi yang dituntut etnis Dayak dengan tujuan mendapatkan rasa aman dan diharapkan tidak lagi terulang konflik di masa mendatang. Kondisi damai yang sudah terbangun di Kota Palangkaraya seharusnya dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah dengan pengembangan aspek ekonomi dan penegakan hukum agar terjadi peningkatan kesejahteraan dan terbangunnya kesadaran hukum serta penegakan hukum itu sendiri. Salah satu poin yang harus ditegakkan pemerintah adalah kejelasan status kepemilikan aset (tanah, rumah, toko, dan lain-lain) etnis Madura, agar tidak menjadi persoalan yang suatu saat bisa menimbulkan konflik etnis baru. Yang Ilahiyah di Tanah Bumbu: Problem Penerapan Manajemen Ilahiyah ERNA KASYPIAH DAN GUSTI MARHUSIN A. Pengantar Kejatuhan Orde Baru (Orba) telah diikuti terbukanya kran demokrasi sebagai buah reformasi. Sistem pemerintahan sentralistik selama 32 tahun di bawah Orba yang membelenggu kebebasan rakyat dan pemerintahan di daerah, berubah dengan keterbukaan yang luas. Sistem pemerintahan yang lebih mengakomodir kepentingan daerah juga diberikan dengan munculnya UU Pemerintahan Daerah No. 32 tahun 2004. Otonomi daerah awalnya dianggap sebagai jawaban atas ketimpangan hubungan pusat-daerah setelah runtuhnya diktator Soeharto. Namun otonomi daerah menampilkan wajah ganda. Di satu sisi menampakkan adanya upaya sunguh-sungguh pemerintah pusat yang menguntungkan lokal, khususnya dalam hal prakarsa-prakarsa kebijakan pembangunan dan tata kelola pemerintahan, tapi di sisi lain juga memunculkan persoalan baru seperti tuntutan pemekaran yang seringkali berujung konflik horizontal. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat yang mestinya 314 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA menjadi semangat otonomi masih sebatas demi kesejahteraan yang hanya dinikmati segelintir elite daerah. Selain itu sederet persoalan lainnya dari proses otonomi tersebut hingga kini masih menyisakan masalah dan urung tertuntaskan. Pencarian bentuk ideal otonomi daerah ini bagi banyak kalangan dipandang melenceng dan dikhawatirkan mengganggu jalannya sistem demokrasi. Tren di daerah dalam bentuk pengelolaan pemerintahan melalui kebijakan bernuansa agama atau formalisasi agama (sejenis peraturan bernuansa syariat Islam) dianggap sebagian kalangan sebagai distorsi makna otonomi. Salah satu bentuknya penerapan Manajemen Ilahiyah (selanjutnya disebut MI) yang digagas Bupati Tanah Bumbu, dr. HM. Zairullah Azhar, M. Sc. MI mulai dicanangkan tahun 2004 dan diklaim model ideal pendamping tata kelola birokrasi dan pemerintahan di Indonesia. Tanah Bumbu pun lalu menjadi sorotan banyak kalangan dengan penerapan pelayanan model MI ini. Penerapan MI diklaim penggagasnya sebagai varian baru sistem manajemen pemerintahan. Gagasan awal penerapan MI ini merupakan hasil elaborasi dan kekaguman pencetusnya, Zairullah, terhadap manajemen kepemimpinan Rasulullah dan para Sahabat dalam membangun peradaban baru di kota Madinah yakni “masyarakat madani”. MI diyakini mampu menjawab segala permasalahan di Tanah Bumbu yang dihuni masyarakat multietnis. Namun, seorang dosen FISIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Taufik Arbain mempertanyakan konsistensi penerapan kebijakan ini. Tokoh yang dikenal vokal menyoal kebijakan-kebijakan pemerintah di tingkat lokal ini menyoroti izin Tempat Hiburan Malam (THM) di sebuah hotel di Tanah Bumbu yang ditengarai menampilkan pertunjukan yang mele- MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 315 wati batas norma agama dan meresahkan masyarakat. Dia melihat, fenomena ini mencerminkan paradoks dimana aparat pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hanya sebatas memberi izin tetapi alpa melakukan pengawasan atas penyalahgunaan izin tersebut. Menurut Taufik, para aparat tersebut mestinya bisa memahami visi-misi Tanah Bumbu yang telah menerapkan manajemen pemerintahan dengan pendekatan MI. Di sini Taufik melihat, kasus THM yang membuat warga marah dan penerapan MI di sisi lain terkesan bertolak belakang. Terlalu murah upaya MI jika harus dibayar dengan lemahnya pengawasan THM oleh aparat dinas yang menciderai nilai-nilai MI.1 Contoh kasus di atas hanya salah satu fakta yang terjadi di Tanah Bumbu. Ditengarai terjadi penyimpangan perizinan lainnya seperti Izin Kuasa Pertambangan yang mengabaikan Amdal. Padahal nilai-nilai MI tentunya juga bersumber dari al-Quran yang secara tegas menyinggung tentang kerusakan di bumi dan lautan diakibatkan ulah tangan manusia termasuk ulah si pemberi izin.2 Tulisan ini akan mencoba menelusuri bagaimana konsep MI dan implikasinya bagi tata kelola pemerintahan. B. Kabupaten Tanah Bumbu Tanah Bumbu adalah salah satu kabupaten termuda di Kalimantan Selatan, hasil pemekaran dari Kabupaten Kotabaru. Isu pemekaran Tanah Bumbu (Selatan) sebenarnya telah lama berhembus sejak tahun 1959 dan dilontarkan panitia penuntut (pantut) yang saat itu diketuai Drs. Ilham Djafrie. Karena 1 2 Taufik Arbain, “THM Tanbu”, Harian Mata Banua, 4 Nopember 2008 Taufik Arbain, “THM Tanbu”. 316 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Orde Baru menutup rapat kran pemekaran, usaha itupun gagal. Di era reformasi semangat pemekaran itupun kembali muncul. Pada 27 Agustus 2000 kembali terbentuk pantut yang dipimpin Drs. Burhansyah. Karena kinerjanya dinilai tidak efektif, ketua kemudian digantikan H. Jayadi Hasan (Zairullah juga memiliki peran besar dalam pantut ini). Melalui perjuangan alot, 16 April 2002 akhirnya pantut berhasil mendapatkan Surat Persetujuan Pemekaran dari DPRD Kabupaten Kotabaru (sebagai induk) yang tertuang melalui Keputusan DPRD Nomor 15 Tahun 2002. Tak berselang lama pantut juga mengantongi SK DPRD Provinsi Kalsel Nomor 10 Tahun 2002 tertanggal 7 Mei 2002 tentang Persetujuan Pembentukan Kabupaten Tanah Bumbu. Pada 27 Januari 2003 Sidang Paripurna DPR memutuskan menyetujui terbentuknya Kabupaten Tanah Bumbu yang tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2003, 25 Februari 2003 Presiden Megawati mensahkan pemekaran tersebut dan diundangkan Menteri Sekretaris Negara Bambang Kesowo.3 Kabupaten Tanah Bumbu yang memiliki slogan “Bumi Bersujud”, akronim dari bersih, syukur, jujur dan damai, ini memiliki luas kurang lebih 5.006,96 km2 atau 13,56% dari luas wilayah Kalimantan Selatan. Tanah Bumbu memiliki 10 Kecamatan terdiri dari 120 desa dan satu kelurahan dengan jumlah penduduk 212.000 jiwa. Sebelumnya hanya terdapat lima Kecamatan: Kecamatan Batulicin, Kusan Hilir, Kusan Hulu, Sungai Loban, dan Satui. Suyana, H.M. Zairullah Azhar Sang Gardu Epos; Penggagas Manajemen Ilahiyah, (Yogyakarta: Adicita, 2008), h. 19-22 3 MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 317 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kecamatan Batu Licin Kusan Hilir Kusan Hulu Sungai Loban Satui Simpang Empat Karang Bintang Mantewe Kuranji Angsana Luas Wilayah 227,5 301,69 1.609 358,41 876,58 301,23 118,02 1.011,31 110,42 151,54 Km2 Km2 Km2 Km2 Km2 Km2 Km2 Km2 Km2 Km2 Sumber: Bagian Tata Pemerintahan Kab. Tanah Bumbu Kabupaten Tanah Bumbu terletak di ujung Tenggara, berbatasan dengan Kabupaten Kotabaru di sebelah utara dan timur, Laut Jawa sebelah selatan, Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut sebelah barat. Dengan multipotensi dan multiprospek ini, Kabupaten Tanah Bumbu merupakan pintu gerbang perekonomian Kalimantan Selatan yang sangat luar biasa untuk dikembangkan di masa-masa mendatang. Selain kaya akan sumber daya alam, letak wilayah ini sangat strategis, berada di antara beberapa kabupaten, dan memiliki pemandangan alam yang eksotik. Dari sisi geografis, Kabupaten Tanah Bumbu memiliki kondisi alam yang berbeda, mulai dari dataran tinggi yang terdiri dari bukit dan pegunungan, dataran rendah sebagai lahan pertanian serta wilayah pantai yang memiliki panorama alam dan kekayaan laut yang potensial. Selain infrastruktur yang memadai, dukungan keamanan memungkinkan pula menjadi daerah yang aman dan kondusif. Beberapa instansi vertikal juga telah berdiri di sini, termasuk instalasi militer strategis yang memungkinkan pengamanan intensif terhadap wilayah ini secara menyeluruh. 318 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Dengan potensi tersebut, Tanah Bumbu merupakan tempat yang terbuka bagi para pendatang. Masyarakatnya yang heterogen, terdiri dari berbagai suku bangsa seperti Banjar, Bugis, Jawa, Madura, Bali, Batak, NTB, Sunda, Ambon, Manado, Cina, Korea, India, dan Arab menjadikan Tanah Bumbu bagaikan Indonesia mini. Mayoritas agama yang dianut penduduk Tanah Bumbu adalah Islam, di samping itu terdapat juga agama Hindu, Kristen, Katolik dan Buddha. Adapun jumlah sarana peribadatannya terdiri dari 202 masjid, 373 langgar/musala, tiga buah gereja dan 42 buah pura.4 Tahun 2007 Pemkab Tanah Bumbu menetapkan Tahun tersebut sebagai “Tahun Kebangkitan” dengan mengusung 11 isu strategis, yakni : 1. Desa Sejahtera Bersujud 2. Penuntasan Pengangguran & Kemiskinan 3. Penguatan Ekonomi Desa 4. Integritas Pribadi dan Kepemimpinan Ilahiyah 5. Pemberdayaan Perempuan di Desa 6. Gerakan Gemar Membaca dan Wakaf Buku Desa 7. Peningkatan dan Penguatan Kelembagaan Ekonomi Kerakyatan 8. Sarjana Inisiator, Inovator, dan aktivator Pembangunan Desa 9. Peningkatan Kualitas Lingkungan 10. Gerakan Disiplin dan Tertib Administrasi 11. Gerakan Peduli Data dan Informasi. Bagian Humas Kab Tanah Bumbu, Profil dan Pembagunan 4 Tahun Kabupaten, 2007, h. 12- 15. 4 MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 319 C. Beberapa Titik Pandang Menurut Mujiburrahman, kajian-kajian yang mendalam tentang kecenderungan formalisasi ajaran Islam berkaitan dengan demokrasi dan pluralisme mengungkapkan kepada kita apa saja kendala-kendala sekaligus peluang-peluang dari kemungkinan terbentuknya sebuah konsensus tentang isu publik tertentu, khususnya yang berkaitan dengan agama, secara damai dan berkeadilan. Kemungkinan lahirnya konsensus mengenai isu publik tertentu di mana semua pihak dapat menerimanya dengan lapang dada bukanlah sesuatu yang mustahil. Temuannya tentang ini adalah munculnya pandangan positif dari sebagian tokoh masyarakat mengenai tersedianya ruang publik yang bebas di mana baik para pendukung ataupun penolak gagasan formalisasi syariat Islam itu dapat mengemukakan pandangan mereka secara terbuka.5 Ihsan Ali Fauzi dan Saiful Mujani berpendapat, menjadi fenomena yang problematik ketika keyakinan dan nilai-nilai keagamaan personal dibawa masuk ke dalam wilayah politik yang bersifat publik. Meski demikian, setiap orang atau kelompok memang tak bisa dihindarkan untuk membawa serta berbagai keyakinan dan nilai yang ditumbuhkan dalam diri mereka melalui nilai agama tertentu atau oleh ideologi non-agama ke dalam arena pemerintahan atau politik.6 Tokoh lain yang turut menyoal hubungan agama dan negara terkait munculnya peraturan daerah bernuansa syariah adalah Mukhtar Sarman. Ia menegaskan bahwa wilayah akidah personal bukanlah otoritas pejabat publik, termasuk soal moraMujiburrahman, Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Cet. I, h. 60-61. 6 Ihsan Ali Fauzi dan Saiful Mujani (Ed.), Gerakan Kebebasan Sipil; Studi Advokasi Kritis atas Perda Syari’ah (Jakarta: Nalar, 2009), h. 21. 5 320 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA litas dan akhlak mulia. Pejabat publik bisa memberikan prakondisi agar masyarakatnya bermoral baik tanpa perlu mengeluarkan aturan daerah bernuansa syariah. Bukankah moral baik di antaranya dapat diukur dari tingkat kejujuran dan kemampuan mengemban amanah? Mengapa pejabat publik tidak memberikan contoh sebagai pemimpin yang jujur dan amanah? Tugas pokok kepala daerah adalah menyejahterakan kehidupan warga.7 D. Sosok Zairullah Azhar8 Zairullah Azhar lahir di Pagatan, 2 April 1954. Ayahnya seorang polisi militer yang kemudian diangkat menjadi camat di Pulau Sembilan Kabupaten Kotabaru, induk Kabupaten Tanah Bumbu sebelum menjadi kabupaten sendiri. Karena tugas ayahnya yang jauh dari akses sekolah, Zairullah kecil mesti rela berpisah dengan keluarga agar tetap bisa bersekolah. Di bawah pengawasan neneknya, Zairullah menyelesaikan Sekolah Rakyat (sekarang SD) dan SMP yang tamat tahun 1969. Setelah itu, anak kedua dari delapan bersaudara, ini merantau ke Banjarmasin dan masuk ke SMA 2 Banjarmasin hingga lulus tahun 1972. Cita-cita Zairullah yang ingin menjadi dokter mengandaskan kuliahnya yang telah berjalan selama 6 semester di Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang, lalu pindah ke Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Solo, tamat tahun 1980. Selama sekolah rakyat hingga perguruan tinggi, Zairullah memang senang berorganisasi. Semasa kuliah di Solo, dia menMukhtar Sarman, Mencari Kebenaran Menuai Kecaman; Dibalik Kontroversi Perda Ramadhan (Banjarmasin: PK2PD dan LK-3, 2006), h. 9-11. 8 Suyana, H.M. Zairullah Azhar Sang Gardu Epos, h. 9-17 7 MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 321 jabat Sekretaris 1 Senat Mahasiswa, Ketua Dewan Mahasiswa dan Ketua Senat Mahasiswa. Tahun 1978, dia terpilih menjadi Ketua Presidium Ikatan Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran se-Indonesia. Dalam organisasi ekstra kampus, Zairullah juga aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) serta Persatuan Mahasiswa Kalimantan Selatan periode 1978-1980. Sekembalinya ke Kalimantan Selatan Zairullah kembali aktif berorganisasi di KNPI, Pemuda Pancasila, dan menjadi Sekretaris I ICMI Kalsel (Ikatan Cendekiawan muslim Indonesia), Ketua Harian FORKI, Ketua Majelis Pemuda Daerah dan Wakil Ketua KORPRI Kota Banjarmasin. Dalam dunia politik Zairullah terpilih sebagai ketua DPD Golkar Banjarmasin, Ketua Pemenangan Pemilu/Jurkam Golkar Tingkat II Banjarmasin (Pemilu 1987, 1992, 1997), Ketua DPD Golkar Banjarmasin (1995-2000), Biro Olahraga DPD AMPI Tingkat I Kalimantan Selatan (1985-1988). Setelah duduk sebagai Pejabat Bupati Tanah Bumbu (2003), ia juga masih aktif sebagai penasihat KAHMI, Ketua Umum DPW Pemuda Pancasila, Ketua Umum Depidar XIV SOKSI, Ketua Umum Badan Koordinasi Panti Asuhan Indonesia (Bakorpin) Kalimantan Selatan, dan Ketua Umum sekaligus penyandang dana Yayasan Darul Azhar. E. Konsep Manajemen Ilahiyah Manajemen Ilahiyah (IMI) ini meskipun tidak menjadi perda, oleh bupatinya diwajibkan untuk dilaksanakan segenap aparat pemerintahan dari tingkat kabupaten sampai desa/ kelurahan. Misalnya, Zairullah mewajibkan para birokrat mengikuti pelatihan ESQ (Emotional Spiritual Quotient), mewajibkan memakai seragam yang menutup aurat dan busana muslimah/ 322 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA memakai jilbab bagi birokrat perempuan, aktif ke majlis taklim, mewajibkan tadarus al-Quran setiap pagi dan salat Zuhur berjemaah (sebelumnya juga pernah diberlakukan salat Subuh berjaemaah). Bukan itu saja, bupati aktif memprakarsai berbagai kegiatan keagamaan seperti majlis taklim dengan mendatangkan penceramah tingkat nasional dan lokal. Terkadang Bupati sendiri yang menjadi penceramah dalam majlis taklim tersebut. Majlis taklim yang diprakarsainya tidak hanya di Kabupaten Tanah Bumbu tetapi sampai ke ibukota propinsi di Banjarmasin. Bupati Zairullah Azhar juga sering memberi sumbangan untuk pesantren-pesantren yang ada di Kalimantan Selatan, memberi santunan pada anak yatim, janda tua dan jompo, melalui APBD yang diberikan setiap bulannya. Bahkan karena perhatiannya pada anak yatim, rumah Bupati konon disebut sebagai Istana Anak Yatim. Bupati Zairullah Azhar juga dianggap sangat menghormati ulama dan habaib karena membangun asrama Muhibbin dalam rangka memberikan pelayanan bagi ulama dan habaib. Bupati juga menggelar “Pesantren Bersujud”. Ini diperuntukkan khusus bagi pegawai pemerintahan dengan menyisihkan satu jam perhari selama empat hari setiap minggunya untuk memperdalam agama. Selasa tentang akhlak, Rabu tentang fikih, Kamis tentang tauhid dan Sabtu tentang tafsir al-Quran. Pengertian MI ditandai dengan sejauhmana seseorang telah menjalankan agamanya dengan benar. Orang yang telah melaksanakan MI akan mengawali, menghadapi, dan mengakhiri aktivitasnya selalu membasahi bibirnya dengan doa. Pada tahap awal penerapannya, MI dimulai dengan proses pada tataran ilahiyah berupa simbolisasi. Simbolisasi ilahiyah berwujud pengamalan ritual keagamaan dan seragam islami.9 9 Suyana, H.M. Zairullah Azhar Sang Gardu Epos, h. 89-90. MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 323 Bentuk ritual keagamaan sebagai realisasi simbolisasi ilahiyah dapat dilihat pada kegiatan khataman al-Quran, zikir, salawat, tausiyah, sebelum aktivitas kerja, salat dhuha, salat berjemaah, Pesantren Bersujud, majelis taklim rutin di malam Jumat, gerakan salat Subuh berjemaah, safari Jumat dan safari Ramadhan, gerakan wakaf, infak, sedekah dan zakat, tes integritas ilahiyah (tes pemahaman agama para CPNS dan calon PTT, bagi yang muslim berupa tes kemampuan baca alQuran), acara pelantikan yang diadakan di masjid dan gedung wakil rakyat berarsitektur ilahiyah. Sementara wujud simbolisasi ilahiyah dalam seragam islami bisa dilihat dari model pakaian para aparatur pemkab Tanah Bumbu yang berbaju takwa, berpeci atau berkopiah haji. Hal ini dimaksudkan agar proses pelembagaan nilai-nilai dan prinsip-prinsip MI mengalami proses pendalaman dan internalisasi. Simbolisasi diterapkan untuk mendukung proses esensialiasasi dimensi substantif dalam serangkaian proses habituasi. Dua prinsip simbolis dan substantif inilah yang mendasari pengembangan dan penerapan MI (lihat Gambar 1.pola pengembangan MI).10 Namun dari konsep-konsep di atas, efektivitas dan efisiensi penerapan MI sebagai program pendamping sistem manajemen pemerintahan dan birokrasi di Tanah Bumbu diragukan banyak pihak. Rutinitas kegiatan-kegiatan MI dirasa mengganggu roda pelayanan masyarakat meski Pemkab telah menerapkan enam hari kerja dan memperpanjang jam kerja hingga pukul lima sore. Kegiatan ritual MI di hari kerja selain Jumat dan Sabtu biasanya hingga jam sembilan pagi, setelah itu baru aparat memberikan pelayanan masyarakat. Sementara, di hari Zairullah Azhar dan Syakrani, Kepemimpinan dan Manajemen Ilahiyah: Refleksi dan Pengalaman dari Bumi Bersujud, Kabupaten Tanah Bumbu, (Yogyakarta: Eja Publisher, 2007), h. 20-21. 10 324 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Sabtu, kegiatan Pesantren Bersujud tak jarang berlangsung hingga pukul 11 siang. KEPEMIMPINAN & MANAJEMEN ILAHIYAH SOSOK PRIBADI Spiritual-based: shiddiq, amanah, fathanah, tabliq, istiqamah KOMITMEN Cinta dan rindu kepada Allah VISI ‘IBARURRAHMAN KAPASITAS INSPIRING HIS/HERSELF INSPIRING THE OTHERS FOKUS SEBAGAI PELAYAN SEBAGAI HAMBA Gambar 1. KERANGKA PIKIR PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN ILAHIYAH Selain itu, penerapan MI sebenarnya telah memunculkan kegelisahan aparatur daerah setempat. Mereka merasa bahwa ada unsur keterpaksaan dalam melaksanakan kebijakan penerapan MI karena mengekang dan merampas hak-hak mereka untuk berkumpul bersama keluarga atau kegitan lainnya. Keluhan ini khususnya tentang kewajiban mengikuti kegiatan Lailatul Jumat yang berisi acara zikir, salawat dan taushiyah yang menurut mereka terkadang berlangsung hingga larut malam.11 Kenyataan ini juga diakui oleh Bupati dalam pernyataannya kepada Antara: 11 Wawancara dengan J di rumahnya, 14 Februari 2009 MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 325 “Kami seluruh jajaran menghaturkan permohonan maaf, jika sistem yang diterapkan ini jadi beban bagi sebagian orang, tapi itulah cara yang kami gunakan untuk mewujudkan sebuah sistem sesuai dengan ajaran al-Quran dan Hadis, dengan harapan dapat mengubah diri kita masing-masing ke arah yang lebih baik”.12 Beberapa catatan lain di lapangan masih terkait adanya unsur pemaksaan dalam penerapan MI adalah kasus kewajiban salat Subuh berjemaah. “Dulu di awal-awal penerapan MI pernah diberlakukan wajib salat Subuh berjemaah bagi semua PNS di Pemkab Tanah Bumbu. Nah, yang kesulitan justru PNS/PTT perempuan sebab di pagi hari harus keluar rumah untuk salat jemaah di masjid ditambah lagi jika mereka mempunyai anak kecil (Balita), hal itu terasa semakin memberatkan. Gara-gara pemberlakuan wajib salat Subuh jemaah ini, ada kasus suami yang mau bercerai dengan isterinya.”13 Persoalan-persoalan di atas yang kini mengemuka agaknya sejalan dengan kegusaran kalangan mahasiswa yang menyangsikan kesungguhan Pemkab Tanah Bumbu dalam menjalankan MI.14 Sederet pertanyaan terus menyeruak, akankah penerapan MI ini bisa berjalan dengan baik lebih-lebih kebijakan MI ini tampaknya sangat “bupati sentris”. Apakah akan dilanjutkan ketika bupati berganti dan mampu memenuhi harapan masyarakat berupa kesejahteraan yang merata. Ataukah kebijakan ini untuk meningkatkan popularitas personal Bupati, meminjam istilah Taufik Arbain, poli“Manajemen Ilahiyah; Pola Pemerintahan Tanah Bumbu,” Antara News, 18 Juni 2008. 13 Wawancara dengan Y, 10 Pebruari 2009. 14 “Manajemen Ilahiyah; Pola Pemerintahan Tanah Bumbu,” Antara News, 18 Juni 2008. 12 326 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA tical marketing. Jawabannya bisa dilihat pada korelasi penerapan MI dengan kebijakan-kebijakan yang lebih akomodatif-partisipatif dan kesungguhan menciptakan pemerintahan yang efektif dan efesien. Dalam penerapannya, MI juga menerapkan sanksi bagi yang lalai mengikuti kegiatan-kegiatan MI. Misalnya, beberapa kali tidak hadir tanpa alasan yang jelas, sanksinya menulis salawat sebanyak 1000 kali dengan tangan. Sanksi ini dianggap bernilai ibadah karena secara tak langsung “memaksa” penerima sanksi kembali kepada ajaran-ajaran agama. MI merupakan replika utuh dan konsisten pribadi Rasulullah SAW sebagai the living Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan.15 Eksperimen konseptual dan empirik MI tertuang dalam 14 isu, yakni: Ziarah Ilahiyah, Apresiasi Ilahiyah, Inovasi Ilahiyah, Renungan Ilahiyah, Usaha/ikhtiar Ilahiyah, Loyalitas Ilahiyah, Langkah/Strategi Ilahiyah, Aksi Sosial Ilahiyah, Hubungan/Interaksi Ilahiyah, Adaptasi Ilahiyah, Zona/Wisata Ilahiyah, Humanisme Ilahiyah, Adab Ilahiyah dan Refleksi Ilahiyah.16 F. Rakyat Bicara Penerapan MI di Tanah Bumbu menarik perhatian banyak kalangan. Bagi yang mendukung, kebijakan ini dianggap sebagai jawaban ideal atas persoalan manajerial pemerintahan yang dibalut nuansa spiritualitas agama untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat yang diidamkan, masyarakat madani. Kebijakan penerapan MI yang saat ini sudah sangat terasa Zairullah Azhar dan Syakrani, Kepemimpinan dan Manajemen Ilahiyah, h.43. Zairullah Azhar dan Syakrani, Kepemimpinan Kepemimpinan dan Manajemen Ilahiyah, h. 69. 15 16 MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 327 nuansa simboliknya lewat cara berpakaian para aparatur daerah yang selalu mengenakan pakaian putih-putih berbaju koko dan berpeci putih (kopiah haji) diasumsikan akan mampu menumbuhkan kesadaran spiritual (di antaranya nilai-nilai iman dan ikhlas dalam bekerja) terhadap amanah sebagai pelayan masyarakat yang mereka emban. Sementara, bagi kalangan yang tidak setuju (baca: mereka yang lebih berpikir substantif ketimbang simbolik) melihat bahwa MI mungkin saja secara konsepsional ideal tetapi harus diwujudkan dalam praktik semisal pencapaian kesejahteraan masyarakat, tata kelola pemerintahan yang bersih, efesiensi dan efektivitas pemerintahan, penerapan prinsip-prinsip good governance (partisipatif, akuntabel dan transparan) dan sebagainya dan tidak berhenti pada ritual semata. Berbagai tanggapan masyarakat di bawah ini menunjukkan bahwa penerapan MI tampaknya memang masih baru sebatas pondasi tata kelola pemerintahan ritual dan belum pada penciptaan kesejahteraan. Berikut ini beberapa komentar masyarakat seputar penerapan MI di Tanah Bumbu: J (seorang PNS): “Di mata masyarakat, penerapan MI memunculkan kesan yang baik tetapi di mata para PNS di Tanbu, penerapan MI terasa sangat “memaksa”, bahkan dianggap merenggut hak para PNS untuk menikmati waktu istirahat di luar jam kantor dan juga hari Sabtu yang mestinya libur. Misalnya penerapan Lailatul Jumat yang diwajibkan bagi semua PNS. Tiga kali tidak mengikuti kegiatan berakibat pencopotan jabatan oleh Bupati karena dianggap tidak melaksanakan komitmen Bupati dalam menerapkan MI.”17 17 Wawancara dengan J, 14 Pebruari 2009. 328 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Pandangan umum masyarakat soal MI, hal ini dianggap politis. Saat ini ada sekitar 40-an orang pejabat yang ingin mundur dari Tanah Bumbu karena tidak tahan dengan penerapan MI. Menurutnya lagi, masyarakat yang mau mengikuti kegiatan-kegiatan rutin MI difasilitasi tepatnya mungkin dimobilisasi dengan mobil-mobil carteran yang disediakan Pemkab Tanah Bumbu. Dana kegiatan pesantren Bersujud dan Lailatul Jumat diambilkan dari APBD.18 Menurut pengakuan SH, pedagang di Pasar Ahad Batulicin, dirinya sama sekali tidak mengetahui tentang penerapan MI di Kabupaten Tanah Bumbu. Baginya, kehidupan masyarakat Tanah Bumbu yang begitu beragam sangat sulit untuk menerapkan MI tersebut. “Pergaulan anak mudanya aja masih bebas, bagaimana MI mau berhasil diterapkan, apalagi masyarakat juga banyak yang tidak tahu.”19 Tanggapan senada dilontarkan F, seorang warga masyarakat: “Penerapan MI bukanlah sebuah gerakan kultural dari arus bawah masyarakat akan tetapi MI adalah politik pencitraan yang coba dibangun Zairullah. Karena MI bukan lahir dari sebuah gerakan kultural, maka pelaksanaannya masih elitis tanpa banyak diketahui dan dipahami masyarakat umum”.20 Menurutnya lagi, kebijakan penerapan MI berlebihan sehingga mengorbankan dan mengabaikan waktu pelayanan bagi masyarakat dalam pemerintahan yang harusnya lebih utama. Wawancara dengan J, 14 Pebruari 2009. Wawancara dengan SH, 14 Pebruari 2009. 20 Wawancara dengan F, 28 April 2009. 18 19 MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 329 Penerapan MI sangat politis dan “dipaksakan”, dan itu semua hanyalah kulit luar untuk menutupi kebobrokan yang ada. Kesejahteraan yang didengung-dengungkan tidak berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan. Masih banyak infrastruktur seperti jalan desa atau kecamatan yang belum terjamah pembangunan. Birokrat di dalam pemkab yang tidak sepakat dengan penerapan MI ada, tetapi tidak berani “berontak”. “Konsep MI itu sangat ideal namun secara simpel kita harus memandangnya dari sisi output (hasil nyata yang dicapai dari penerapan MI), misalnya bagaimana tingkat keberhasilannya kalau dihubungkan dengan pengurangan korupsi. Padahal Anda bisa saja lihat temuan-temuan BPK atau wacana di koran tentang jaksa yang kewalahan menangani korupsi di Tanah Bumbu. Bagi saya, manajemen birokrasi yang normatif saja sebenarnya sudah cukup membangun sistem pemerintahan yang baik asal semuanya diawali dengan niat suci untuk menyejahterakan masyarakat. Ini lebih substantif ketimbang memakai manajemen ilahiyah yang masih sebatas simbol belaka.” “Bagaimana mungkin penerapan MI berhasil selama kesejahteraan rakyat tidak diurusi, kalau urusan perut saja belum beres bagaimana mungkin orang bisa beribadah dengan tenang. Lagian dalam beribadah kan tidak ada paksaan, ditambah lagi soal pendidikan SD-SMP yang hingga kini belum juga digratiskan. Padahal hasil SDA di daerah ini besar sekali” 21 Penerapan MI bagi RS sangat mengganggu pelayanan publik sebab hampir setiap hari warga yang mau berurusan harus menunggu jadwal kegiatan MI selesai dan untuk hal itu tak jarang masyarakat menunggu berjam-jam ini jelas mengabaikan hak masyarakat atas pelayanan. 21 Wawancara dengan RS, salah seorang warga, 15 Pebruari 2009. 330 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA TM, salah seorang PNS beragama Kristen juga menceritakan. Penerapan MI di lingkungan Pemkab Tanah Bumbu juga diikuti oleh pegawai nonmuslim (Kristen). Mereka juga diberi porsi waktu yang sama dalam mengadakan kegiatan keagamaan (kebaktian setiap hari di kantor) sebagaimana juga saudara yang muslim. Jumlah keseluruhan pegawai yang beragama Kristen awalnya sebanyak 20 orang. Satu orang kemudian memeluk agama Islam (menikah dengan wanita muslimah) dan pindah kerja ke Sekretariat Dewan. Ditanya mengenai perbandingan kegiatan penerapan MI dengan yang muslim, yang difasilitasi dengan mendatangkan ustadz atau ulama, TM mengaku bahwa dalam kegiatan MI untuk pegawai beragama Kristen tidak pernah mendatangkan pendeta. Menurutnya, merekalah yang bergantian menjadi pengkhutbah.22 Kegiatan MI menurut TM juga mempunyai efek positif karena dalam agama Kristen penganutnya juga dituntun ke jalan yang benar. Kegiatan MI pada setiap Selasa, Rabu, Kamis dan Sabtu menurutnya paling tidak bisa menjadi rem atau sebagai pengingat. Meski begitu, dia juga mengakui walaupun MI telah diterapkan, penyelewengan juga tetap ada dan itu kembali ke individu masing-masing. Selain itu, menurutnya, penerapan MI juga memang mengurangi porsi pelayanan, meski waktu yang ada singkat tetapi tinggal bagaimana memanfaatkannya. Dia juga mengakui jika rasa keterpaksaan itu dirasakan dalam pelaksanaan manajemen ini. 22 Wawancara dengan TM, 16 Pebruari 2009. MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 331 G. MI : Harapan dan Realita Penerapan MI di Kabupaten Tanah Bumbu seperti yang digambarkan di atas sangat populer, tidak hanya di kalangan masyarakat Tanah Bumbu tetapi juga bagi masyarakat di Kalimantan secara umum. Namun maksud populer di sini adalah masyarakat hanya mengetahui MI luarnya saja, tidak sampai ke substansi. Ketika masyarakat mendengar sebutan MI mereka langsung beranggapan bahwa MI sangat bagus untuk diterapkan karena aturan yang diterapkan bersumber langsung dari ilahi atau Tuhan. Hal ini juga terus diperkuat oleh penjelasan Zairullah Azhar, orang nomor satu di Tanah Bumbu sekaligus pencetus MI. Dalam wawancara, ia mengatakan, “konsep MI diambil dari nilai-nilai perjuangan Rasulullah yang menjadi landasannya, yang muaranya adalah terwujudnya masyarakat madani”.23 Konsep masyarakat madani yang dimaksud adalah masyarakat yang warganya menjunjung tinggi keadaban (civility), pluralisme dan multikulturalisme, memiliki etos kewargaan yang luhur, taat hukum (rule of law), egaliter, berkarakter dan berkeadilan, selain taat menjalankan perintah Allah.24 Dengan konsep ini maka tidak ada alasan bagi umat yang berbeda keyakinan (nonmuslim) untuk khawatir akan terganggu, karena toleransi yang berarti “kelapangan dada dalam arti suka rukun kepada siapapun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tidak mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan orang lain,”25 pasti akan terwujud di Bumi Bersujud ini. Wawancara dengan Zairullah Azhar, 14 Pebruari 2009. M. Zairullah Azhar dan Syakrani, Kepemimpinan dan Manajemen Ilahiyah; Refleksi dan Kepemimpinan dari Bumi Bersujud, (Pemda Kab. Tanah Bumbu, cet I, 2007), h. 8. 25 Adi Gunawan, Kamus Cerdas Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kartika, 2003), h. 527 23 24 332 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Penerapan konsep MI inilah yang membuat Tanah Bumbu berbeda dengan kabupaten/kota lainnya di Kalimantan Selatan. Nuansa religius simbolik sangat terasa saat pelantikan para pejabat di tempat-tempat ibadah seperti masjid/musala, adanya persyaratan PNS/PTT yang harus bisa membaca al-Quran dan kewajiban salat berjemaah, serta penggunaan busana muslim putih-putih pada hari-hari tertentu bagi pegawai pemerintahan. Namun, berbagai aktivitas pemerintah yang dipaparkan di atas bagi sebagian orang dianggap telah merugikan masyarakat, karena terlalu banyak kegiatan ibadah rutin dan berjemaah, menyita banyak waktu yang harusnya diberikan untuk melayani masyarakat. Selain itu kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan seolah-olah masyarakat yang ada di sana hanya lah umat Islam. Padahal di sana juga tinggal masyarakat memeluk agama Hindu, Buddha, Kristen dan lainnya. Di sini tidak terlihat bagaimana penerapan MI bagi mereka yang nonmuslim. Celah yang masih menyisakan pertanyaan adalah ketika penerapan MI dihubungkan dengan sistem manajemen administrasi publik dan birokrasi yang normatif dan tersubordinasi oleh kuatnya dominasi sistem MI. Menurut Taufik Arbain, ketika birokrasi begitu dominan dikontrol dan didominasi oleh sistem MI, maka sistem yang berjalan itu sebanarnya sudah tidak demokratis.26 Wacana yang berkembang di tengah masyarakat merupakan potret nyata tentang bagaimana sesungguhnya masyarakat menanggapi, menyikapi dan merasakan pengaruh serta wujud dari penerapan MI dalam pelbagai aspek kehidupan. 26 Wawancara dengan Taufik Arbain, 28 April 2009. MANAJEMEN ILAHIYAH (MI) DI KABUPATEN TANAH BUMBU.. 333 H. Penutup Pada tataran konseptual penerapan MI sangatlah ideal. Tetapi, di tataran empirik dan aplikasinya masih memerlukan kajian berkelanjutan terkait efektivitas pemerintahan yang tidak mengabaikan hak-hak masyarakat dalam pelayanan dan tata kelola pemerintahan yang betul-betul berpijak pada prinsip clean government. Wacana yang muncul di masyarakat soal paradoks-paradoks penerapan MI di lapangan adalah persoalan yang semestinya mendapat perhatian serius soal keberlangsungan pelaksanaan sistem yang diklaim sangat ideal tersebut dalam mewujudkan Masyarakat madani. Jangan sampai kemudian penerapan MI hanya menjadi sebuah menara gading dan urung sempat menjawab dan merealisasikan harapan dan keinginan masyarakat tentang sebuah daerah yang adil, makmur dengan kesejahteraan yang merata. Masyarakat kini menanti-nanti harapan-harapan dan idealita yang dibangun oleh pemkab Tanah Bumbu hingga sampai pada tujuan realisasi dari ekpektasi yang terwacanakan tersebut. 334 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Dampak Konflik Maluku: Studi Konflik dan Kekisruhan pada Pengungsi Iha, Kayu Tiga dan, Seriholo ABIDIN WAKANO A. Pengantar Pemukiman penduduk di Indonesia bagian timur (NTT, Maluku, Papua) umumnya terpisah antara penduduk yang berbeda agama, yaitu komunitas Islam dan Kristen. Sebelum konflik Ambon dihuni masyarakat dari dua agama tersebut. Mereka dapat bekerjasama dalam berbagai hal, termasuk dalam urusan-urusan keagamaan seperti mendirikan rumah ibadah. Perbedaan agama tidak begitu mengganggu hubungan karena ada ikatan kultural yang lebih kuat dan lebih lama dari masuknya kedua agama tersebut. Ikatan kultural seperti pela misalnya sangat bermanfaat dalam menumbuhkan, menjaga dan meningkatkan rasa kesatuan dan persatuan. Namun keadaan ini berubah total pascakonflik 1999, masyarakat tersegregasi seratus persen antara Islam dan Kristen. Mereka menempati desa yang terpisah satu sama lain dan tidak 336 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA ada yang mau tinggal kembali di desa asalnya yang didiami masyarakat berlainan agama, meskipun harta benda dan tanah harus mereka tinggalkan. Hal ini tentu saja menjadi masalah sekaligus rentan konflik. Terlebih, rekonsiliasi sebagai proses penyelesaian konflik antara komunitas muslim dan Kristen belum terwujud. Masih muncul suara saling menyalahkan di antara mereka sebagai penyebab konflik. Faktor utama penyebab konflik sampai saat ini juga belum ditemukan dan disepakati kedua belah pihak, sehingga tidak mungkin ada kesediaan dari kedua pihak untuk saling meminta maaf atau memaafkan. Padahal ini menjadi salah satu elemen penting terciptanya rekonsiliasi. Penyelesaian konflik di Ambon dewasa ini nampaknya baru terbatas pada penghentian konflik fisik, berkat upaya-upaya pemerintah dan karena kelelahan kedua pihak atas dampak konflik. Para elitnya tidak mau berupaya memahami akar penyebab konflik secara bersama-sama, sehinga faktor dominan penyebab konflik tidak pernah tampak. Kondisi sosial seperti ini masih menyimpan bara yang sewaktu-waktu siap terbakar kembali. B. Tentang Maluku Secara geografis luas keseluruhan Provinsi Maluku adalah 581.376 km², terdiri dari luas lautan 527.191 km² dan luas daratan 54.185 km², hal ini berarti sekitar 90٪ wilayah Propinsi Maluku adalah lautan. Letak astronomis Provinsi Maluku adalah 30-9˚ lintang selatan, 120˚-136˚ bujur timur, dibatasi laut Seram di sebelah utara, laut Indonesia dan Arafura di sebelah selatan, pulau Papua di sebelah timur, serta laut dan pulau Sulawesi di sebelah barat. Karena itu sebagai daerah kepulauan, Maluku memiliki wilayah yang sangat luas jika dilihat DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 337 dari luas daratan dan lautan dari utara sampai ke selatan. Jumlah pulau di Maluku kurang lebih 1.412 buah, dua buah di antaranya yang terbesar adalah Pulau Seram dan Pulau Buru.1 Dari aspek budaya masyarakat Maluku memiliki kurang lebih lima puluh kelompok suku bangsa dan sub-suku. Karena itu termasuk dalam kategori the little traditions, yaitu adanya keanekaragaman budaya yang cukup kaya. Hal tersebut dapat dilihat pada begitu beragamnya bahasa atau dialek serta suku dan sub-suku di Maluku. Berdasarkan hasil penelitian Summer Institute of Linguistik (SIL) menyebutkan, bahasa di Maluku kurang lebih terdiri dari 117 buah. Sedangkan suku dan subsuku bangsa lebih dari 100 yang mendiami pulau-pulau kecil di kepulauan Maluku, yang terbentang dari utara sampai ke selatan.2 Itulah sebabnya di samping ada identifikasi diri sebagai suku bangsa di Maluku seperti orang Bugis, Makasar, Buton, atau Jawa dan sebagainya, juga terdapat orang Ambon, orang Seram, orang Kei, orang Buru, orang Lease dan lain-lain.3 Walaupun memiliki tingkat keragaman yang cukup besar seperti itu, tapi pada dasarnya secara kultural masyarakat Maluku memiliki akar kebudayaan untuk dapat hidup dan menerima Pemda Propinsi Maluku, Maluku Dalam Angka, 2003, (Ambon: BPS Propinsi Maluku, 2003), h. 3-6 2 Taber, Mark, dkk. Atlas Bahasa Tanah Maluku, Badan Pengkajian Masyarakat dan Pembangunan Universitas Pattimura dan Summer Institute of Linguistic Ambon, 1996 3 Suku bangsa di Maluku seperti Etnis Buton, Bugis, Makasar, Jawa atau etnis lain biasa disebut sebagai orang dagang atau pendatang, sedangkan etnis yang dikategorikan adat sepert etnis Ambon, Seram, Lease, Tenggara, Buru adalah etnis asli yang mendiami pulau-pulau di Maluku, yang umumnya punya negeri serta bahasa tersendiri. Lihat: J. Ajawaila, Dinamika Budaya Orang Maluku,: dalam Maluku Menyambut Masa Depan. (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 2005), h. 159 1 338 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA realitas kehidupan yang plural. Karena sejak semula masyarakat Maluku berdasarkan pandangan kosmologinya telah hidup dan menerima realitas yang monodualistik, yaitu siwa dan lima. Pandangan monodualistik ini adalah nilai inti yang membentuk kepribadian masyarakat Maluku—bahwa ada kelompok lima dan kelompok siwa, yang selanjutnya kelompok lima menjadi muslim dan kelompok siwa menjadi Kristen, tetapi hidup saling menghargai dan saling membantu. Berdasarkan siwa lima ini pulalah nilai-nilai kearifan lokal seperti pela, gandong, famili bersumber. Akar budaya orang Maluku yang bersifat monodualistik ini dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa Melanesia, yang mendiami gugusan kepulauan yang terletak di sebelah barat Samudera Pasifik. Karena bangsa Melanesia adalah ras asli dari masyarakat awal yang mendiami kepulauan Maluku.4 Menurut Saleh Putuhena, orang-orang Maluku sendiri menamakan diri mereka dengan sebutan orang Alifuru yang mendiami pulaupulau besar di Maluku sebagai leluhurnya. Dalam oral tradition orang-orang Maluku, sebelum leluhurnya tersebar ke pelbagai pulau kecil di Maluku, orang-orang Melanesia itu mendiami pulau-pulau besar tersebut. Pulau-pulau besar yang dimaksud adalah pulau Seram, pulau Halmahera dan pulau Buru, sehingga di pulau-pulau ini juga terdapat suku-suku terasing yang memiliki karakteristik yang mirip. Dari sini dapat dikatakan bahwa Alifuru yang diklaim sebagai leluhur orang Maluku itu tak lain adalah leluhur orang Maluku yang berasal dari Melanesia atau keturunan Melanesia.5 Sartono Kartodirdjo, Kebudayaan Pembangunan Dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta; GAMA Press, 1987), h. 155 5 Saleh Putuhena, “Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pemberdayaan Kebudayaan Lokal di Maluku Tengah, Maluku Tenggara”, Makalah pada 14 Maret 2001, h. 3 4 DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 339 C. Masalah dan Pentingnya Penelitian Ketika terjadi kerusuhan sosial 19 Januari 1999 kemudian muncul lagi pada tahun 2003/2004, yang berlangsung begitu lama dan kompleks serta memakan korban jiwa dan harta benda yang begitu banyak, persaudaraan sebagai orang Maluku menjadi hancur. Manusia Maluku terpola menjadi orang Islam dan Kristen, orang muslim di simbolkan dengan kelompok putih dan orang Kristen dengan simbol merah, orang Islam disebut “Acan” dan orang Kristen disebut dengan “Obeth”.6 Dalam situasi seperti ini terbentuklah segregasi sosial secara total antara orang Islam dan orang Kristen yang membuat interaksi dan komunikasi menjadi terputus, baik itu di kota maupun di desa. Dampak dari segregasi tersebut adalah adanya ribuan pengungsi yang kehilangan hak perdata dan hak adatnya yang sampai sekarang belum tertangani secara tuntas, sehingga menimbulkan permasalahan atau konflik baru dalam masyarakat, seperti yang terjadi pada negeri Iha, negeri Seriholo, Ahuru, dan Kayu Tiga. Tiga negeri ini yang akan menjadi locus penelitian ini. Permasalahannya adalah, mengapa kerusuhuan sosial di Maluku sampai menimbulkan segregasi sosial di masyarakat? Mengapa nilai-nilai kearifan lokal kurang fungsional peranannya di dalam merawat tatanan persaudaraan dan perdamaian dalam masyarakat? Apa dampak segregasi sosial terhadap para pengungsi di Maluku? Riset ini menjadi penting dan menarik karena beberapa faktor: Acan adalah nama pendek dari Hasan yang beragama Islam dan Obeth adalah nama pendek dari kata Robert dari Kristen yang dikutip dari salah satu iklan perdamaian di TVRI pada masa konflik. Dalam perkembangan selanjutnya panggilan ini digunakan untuk mempolarisasi orang Islam dan Kristen di Maluku. 6 340 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 1. Masalah segregasi sosial di Maluku pasca-konflik, merupakan masalah yang sangat kompleks serta merupakan ancaman terhadap perdamaian dan persaudaraan masyarakat Maluku ke depan. Karena itu perlu diungkap sejauh mana dampak segregasi sosial pascakonflik dewasa ini terhadap hubungan antaragama, khususnya dalam kasus pengungsi di Maluku. 2. Sesungguhnya konflik dan segregasi sosial dewasa ini merupakan fenomena rusaknya modal sosial kultural masyarakat Maluku. Tetapi dalam kondisi konflik, peranan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses rekonsiliasi dan recovery Maluku pasca-konflik masih sangat signifikan. Untuk itu, penelitian ini menjadi penting untuk mentransformasikan kearifan lokal sebagai modal sosial kultural untuk membangun Maluku yang berkeadaban. 3. Segregasi sosial dewasa ini telah merusak tatanan budaya, serta hilangnya hak-hak sipil masyarakat—seperti hak-hak adat dan perdata para pengungsi. Kondisi ini merupakan sumber konflik terhadap muncul sejumlah konflik dewasa ini maupun konflik-konflik ke depan. Karena itu, riset ini menjadi menarik untuk mengungkap penyebabnya untuk dicari solusinya D. Kajian Riset Sebelumnya Riset tentang dampak konflik bagi segregasi sosial pascakonflik di Maluku secara spesifik belum ada. Tetapi yang bertalian dengan bentuk-bentuk kearifan lokal di Ambon, Maluku Tengah dan Maluku Tenggara, serta kedudukan dan revitalisasi kearifan lokal dalam membangun perdamaian di Maluku pernah dilakukan oleh Hasbollah Toisuta serta Abubakar Kabakoran dkk dalam buku Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 341 Konflik di Kalimanatan Barat, Maluku dan Poso, (Jakarta: ICIP, 2007). Selain itu Aholiab Watloly dalam Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), yang menulis tentang budaya, pembangunan serta tantangan yang dihadapi pascakonflik memasuki Maluku Baru. Kemudian Abidin Wakano serta Fahmi Salatalohy dkk, menulis tentang Nasionalisme Kaum Pinggiran: Dari Maluku, Tentang Maluku Untuk Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2004). Buku ini mencoba menganalisis pelbagai masalah yang menyebabkan konflik, dampak konflik, budaya lokal, dan nasionalisme. Serta tulisan Abidin Wakano tentang “Membangun Hidup Orang Basudara di Maluku Dalam Konteks Masyarakat Plural”, dalam Kemurahan Allah yang Mengampuni; dalam rangka HUT ke-70 Pdt. Dr. Arnold Nicolaas Radjawane, (Ambon: UKIM, 2008). Tulisan ini mencoba mentransformasikan modal sosial kultural masyarakat Maluku dalam rangka membangun perdamaian sejati di Maluku. Sementara itu riset yang hasilnya menjadi sumber utama tulisan ini sendiri dilaksanakan sejak 25 Februari-7 Maret 2009. E. Modal Sosial Masyarakat Maluku Dalam memori kolektif masyarakat Maluku, sesungguhnya masyarakat asli Maluku yang mendiami gugusan kepulauan Maluku Tengah, leluhurnya berasal dari pulau Seram yang pernah terkenal dengan sebutan Nusa Ina (Pulau Ibu). Menurut tradisi lisan yang seringkali disampaikan dalam bentuk kapata (kisah dalam bentuk nyanyian), pada suatu waktu kelompok-kelompok masyarakat yeng terbentuk secara geneologis, meninggalkan daerah asalnya untuk bermukim di daerah lain atau pulaupulau di sekitar pulau Seram. Sebab-sebab kepindahan serta daerah mana mereka berasal sulit untuk dideskripsikan. 342 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Di tempat yang baru itu mereka hidup dalam kelompokkelompok keluarga yang kemudian terkenal dengan sebutan lumatau (keluarga/famili) secara terpisah meskipun tidak berjauhan. Perkembangan selanjutnya beberapa lumatau yang berdekatan membentuk aman atau hena sebagai satuan pemukiman. Sesuai dengan pandangan kosmologi mereka yang dualisme serta mengikuti pola alune dan wemale; di tanah yang baru terbentuk semacam konfederasi yang disebut uli, untuk di Seram disebut sebagai Pata. Terdapat dua macam uli, yaitu uli lima dan uli siwa. Pada umumnya yang tergabung dalam uli lima adalah kurang lebih lima aman dan pada umumnya menempati daerah utara (atas) pulau dan uli siwa gabungannya sembilan aman yang berada di bagian selatan (bawah) pulau. Pola seperti ini juga terdapat di Maluku Utara dengan nama soa siu (gabungan sembilan soa) yang menempati daerah pesisir bawah, sedangkan soa nyagimoi (gabungan sepuluh soa) mendiami daerah pedalaman.7 Sedangkan untuk Maluku Tenggara dikenal dengan sebutan ur lim dan ur siu.8 Dalam perkembangan selanjutnya setelah masuknya Islam kelompok lima masuk Islam dan satu abad kemudian kelompok kelompok siwa masuk Kristen. Karena itu, negeri-negeri yang masuk kelompok patalima/ ulilima identik dengan, Islam dan negeri-negeri yang masuk dalam kelompok patasiwa/ulisiwa identik dengan Kristen, walaupun pada wilayah lima terdapat beberapa negeri yang beragam Kristen Katolik, hal ini disebabkan oleh proses kristenisasi ketika Portugis datang yang dilakukan Fransis Xavier (1506-1552) seorang misionaris dari ordo Jesuit Spanyol.9 Frassen, Ch. F. Van, Types of Sociopolitical Stucture in North Halmahera, Majalah ilmu-Ilmu Sastera Indonesia, Jld. 8 No. 2 Nopember 1978/1979, h. 90 8 David Howes, Op.cit, h. 105 9 William, Bangert, S.J, Francis Xavier, dalam Encyclopedia Americana, (New York: The Americana), h. 854 7 DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 343 Setelah Portugis meninggalkan Maluku pada tahun 1605, kemudian orang-orang Katolik dikonversi ke dalam Protestan, yang merupakan agama resmi VOC Belanda. Patasiwa/ulisiwa dan patalima/ulilima sebagai pandangan monodualistik ini adalah nilai inti yang membentuk kepribadian masyarakat Maluku. Berdasarkan pandangan monodualistik sebagai nilai persatuan inilah dasar semua nilai-nilai kearifan lokal di Maluku. Adapun nilai-nilai kearifan lokal yang punya nilai integrasi sosial yang sangat tinggi dan dikenal luas antara lain 1. Pela Salah satu bentuk kearifan lokal dikalangan masyarakat Maluku, khususnya di Kabupaten Seram Bagian Barat yang sudah sangat terkenal di Nusantara dan menjadi ikon kerukunan adalah pela. Nilai budaya yang terkemas dalam pela ini sering menjadi rujukan masyarakat. Ketika orang berbicara tentang model kehidupan kebersamaan dan toleransi, para pemimpin terus menunjukan tradisi pela-gandong sebagai model bertoleransi yang baik. Walaupun pada saat konflik melanda Maluku ini beberapa tahun lalu identitas budaya pela ini dipertanyakan, seakan kehilangan kohesifitasnya, tetapi budaya pela sampai saat ini tetap eksis Masyarakat terkadang sering keliru dalam memaknai konsepsi pela dan gandong dalam satu pengertian, padahal pela-gandong adalah dua entitas budaya yang memiliki pengertian berbeda dalam perspektif sosio-antropologis. Pela misalnya adalah terambil dari bahasa setempat pelau yang berarti “saudara laki-laki”,10 dan secara terminologis diartiF.L. Cooley, Mimbar dan Tahta, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 219. 10 344 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA kan sebagai ikatan persahabatan atau persaudaraan yang dihubungkan di antara seluruh masyarakat pribumi dari dua desa atau lebih ikatan tersebut telah ditetapkan sejak nenek moyang mereka dalam keadaan yang khusus dan menyertakan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang ada di dalamnya. Seperti dijelaskan Cooley, akar histories pela ini berhubungan dengan tradisi kakehan yakni tradisi “perburuan kepala” manusia yang ada pada masyarakat suku-suku di Seram ketika itu, yang mungkin saja di antara kelompok itu saling bermusuhan untuk mencari “kepala” dari masingmasing anggota suku musuh, kemudian mereka dalam kondisi tertentu bersepakat untuk mengikat janji untuk tidak saling menyerang, sebaliknya harus saling melindungi. Ikatan perjanjian ini untuk kemudian memposisikan kedua belah pihak sebagai pela atau “saudara laki-laki”. Dalam perkembangan selanjutnya pela terbagi menjadi tiga jenis. Yang pertama disebut dengan pela tulen/pela darah. Pela jenis ini termasuk pela yang keras, larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban dari desa-desa yang terikat ke dalam jenis pela ini dikuti dengan sangat ketat. Perjanjian dalam pela jenis ini dilakukan dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari tangan para pemimpin dan dimasukkan ke dalan gelas, setelah ujung senjata mereka dicelupkan ke dalam gelas, yang dilakukan dalam sebuah upacara. Dengan demikian hal tersebut dilakukan untuk menegaskan semangat persaudaraan selama-lamanya. Sesama anggota yang ber-pela dilarang untuk kawin-mawin, sebaliknya diwajibkan untuk sling membantu dan melindungi. Kedua, pela tempat sirih. Jenis pela ini tergolong kedalam ketegori yang lunak. Pela ini tidak ditetapkan melalui sumpah, serta aturan yang berupa hak dan kewajiban DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 345 di antara yang ber-pela tidak begitu ketat, namun kewajiban untuk saling membantu dan melindungi diterapkan juga secara bersama. Pesan dasar dari budaya pela, baik pela darah maupun pela tempat sirih adalah deklarasi sebuah kesadaran kemanusiaan termasuk kesadaran kepelbagaian. Mereka yang diikat dalam pela terikat dalam kewajiban untuk saling membantu pekerjaan yang menjadi tanggung jawab masyarakat umum, baik dalam bentuk material maupun moril. Setiap negeri adat11 umumnya memiliki ikatan pela, dan di antaranya terdapat ikatan pela negeri yang beragama Islam dengan negeri yang beragama Kristen. Menurut penelitian Cooley, besar kemungkinan terbentuknya hubungan pela ini sebelum masuknya agama ke Maluku.12 Contoh hubungan pela antara Negeri Kamariang dengan Negeri Sepa di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah. 2. Gandong Berbeda dengan pela yang lahir berdasarkan ikatan perjanjian persahabatan dan persaudaraan dua desa atau lebih. Gandong menyiratkan persahabatan yang terbentuk karena adanya kesadaran genealogis. Gandong berasal dari kata kandung atau “gandung” yang menyiratkan persaudaraan berdasarkan garis turunan. Dalam kehidupan masyarakat awal ketika terbentuknya pemukiman-pemukiman pertama di Maluku, seperti dikatakan M. Nur Tawainella, suatu Negeri adalah desa. Dalam budaya Maluku negeri dipimpin seorang raja yang dipilih secara turun temurun dari marga tertentu yang disebut marga “parintah” (marga perintah). Pada setiap negeri mempunyai marga perintah yang berbeda-beda. Seorang raja selain memiliki kekusaan administratif juga memiliki kekuasaan adat. 12 F.L. Cooley, Mimbar dan Tahta, h. 185. 11 346 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA komunitas dari satu gen (keluarga), biasanya terpencar untuk mencari tempat pemukiman baru yang layak sesuai sifat hidup masyarakat tradisional saat itu yang nomaden. Pola penyebaran gen-gen itu ke beberapa uli/hena baru, kemudian masyarakat berkembang dan terbentuklah aman (negeri).13 Perkembangan selanjutnya kedua desa atau lebih yang memiliki akar geneologis yang sama kemudian besepakat untuk hidup selayaknya saudara kandung meskipun berbeda agama. Mereka bersepakat saling melindungi dan membantu dalam ungkapan darah satu darah samua, hidup satu hidup samua yang pengertian bebasnya adalah “darah kamu adalah juga darahku dan darah kita semua, hidup kamu adalah juga hidupku dan hidup kita semua”. Bila pela hanya menyiratkan persahabatan antara dua desa, maka gandong lebih luas cakupannya, karena karena gandong bisa mencakup lebih dari dua negeri, contohnya antara lain hubungan gandong negeri Latu, Huloy dengan Aboru, Kariu, dan Boi. Dalam tradisi masyarakat ber-gandong seperti juga pela, dalam kerja-kerja negeri sering dilakukan secara bersama-sama yang dibantu oleh negeri lain yang terikat dalam pela atau gandong. Pandangan mereka merupakan suatu kesalahan dan aib besar apabila hajatan sosial saudaranya (seperti membangun gereja, masjid, baileo), tetapi mereka tidak diikutkan untuk mengambil bagian dalam kegiatan tersebut. Bahkan diyakini mempunyai kekuatan magis atau pantangan sakral. Apabila melanggarnya akan disumpah dan dilaknat oleh nenek moyang mereka. 13 2009. Wawancara dengan M. Nur Tawainella di Negeri Tulehu, 8 Maret DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 347 3. Famili Selain pela dan gandong, di Maluku juga terdapat hubungan kekerabatan sosial yang disebut famili. Bila gandong adalah hubungan persaudaraan berdasarkan genealogis sejak pembentukan desa/aman, maka famili adalah hubungan kekerabatan berdasarkan kesamaam marga/fam. Tradisi masyarakat Maluku menempatkan marga (lumah tau) sebagai keluarga inti, jadi satu marga adalah satuan keluarga inti. Dalam perspektif tersebut, marga/fam pada satu desa di Maluku juga tersebar ke berbagai desa baik dalam bentuk fam yang sama atau dengan sedikit perubahan fonemik pada fam tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka adalah satu keluarga inti. Jejaring konsep famili ini relatif luas di Maluku, karena tidak hanya ada pada dua atau tiga desa akan tetapi cukup luas. Famili misalnya, fam atau Marga Wakano di Desa/Negeri Latu (Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat di Pulau Seram), atau Wakano di Desa/Negeri Sepa dan Tamilou (Kabupaten Maluku di Pulau Seram Selatan), terdapat juga di Desa/Negeri Ameth (Kecamatan Saparua, Kabuapten Maluku Tengah di Pulau Nusa Laut), atau Ely di Kawa, Taniwel Kabupaten Seram bagian barat juga terdapat di Asilulu Kabupaten Maluku Tengah, atau fam Putuhena di Iha Kabupaten Seram bagian barat juga terdapat di Iha Mahu Kabupaten Maluku Tengah. Dalam tradisi kefamilian ini di Maluku, terdapat nilainilai kearifan yang mentradisi untuk saling mengunjungi di setiap hari Natal atau Idul Fitri. Selain itu terdapat pula pola hidup saling membantu dalam konteks hidup orang basodara berdasar ke-famili-an. Pola ini agak berbeda dengan pela dan gandong, karena agak eksklusif karena hanya satu marga sebagai satu keluarga inti. 348 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Berdasar pada nilai-nilai kearifan lokal inilah sejak dahulu Masyarakat Maluku mampu membangun persaudaraan dan perdamaian sejati yang melampau sekat-sekat sosial-keagamaan. Bahkan ketika konflik SARA di Maluku pada tahun 1999-2004 yang begitu besar dengan jumlah korban jiwa dan harta yang sangat banyak, peranan nilai-nilai kearifan lokal ini sangat signifikan digunakan untuk upayaupaya rekonsiliasi dan recovery Maluku. Boleh dikatakan di saat hampir semua pendekatan dilakukan, termasuk pendekatan militer gagal, justru peran nilai-nilai kearifan lokal masih cukup efektif. Hal ini karena di dalam nilai-nilai kearifan-kearifan lokal tersebut terdapat spirit yang mengajarkan budaya damai, rukun, gotong royong, kasih sayang, persaudaraan, kesetaraan, penghargaan dsb—sebagaimana pesan profetik agama-agama yang meletakkan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang sebagai mission sacre-nya. Bahwasanya dengan nilai-nilai kearifan lokal yang ada, masyarakat Maluku mampu membangun solidaritas sosial yang melampaui sekat-sekat agama, etnik, sub-etnik, idiologi, bahasa, dan golongan. Karena dengan modal sosial-kultural seperti ini orang Maluku pernah membangun sebuah peradaban Maluku yang sangat damai dan rukun dalam semangat orang basudara. F. Temuan Riset 1. Pelanggaran Hak-hak Pengungsi Pasca-Konflik Problem yang cukup serius saat konflik SARA di Maluku terutama pada tahun 1999-2001, yaitu warga muslim dan Kristen sudah tersegregasi secara total dan sangat rentan untuk diprovokasi dan dimobilisir. Pasca konflik segregasi pemukiman warga muslim dan Kristen ini, baik di DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 349 kota maupun desa telah menjadi masalah serius yang hingga kini belum tertangani secara maksimal. Salah satu masalah pascakonflik dari segregasi sosial di Maluku adalah pengungsi. Hingga tahun 2009, untuk keseluruhan pengungsi di Provinsi Maluku masih tersisa 12.080 Kepala Keluarga (KK), sedangkan untuk Kota Ambon tersisa 3.824 KK. (Data Aliansi Pengungsi Maluku 2009). Ditengarai terbengkalainya pengembalian pengungsi ini karena tidak akuratnya data pengungsi dan masalah korupsi. Sebagai contoh yang terjadi pada pengungsi di Kayu Tiga, pengungsi desa Iha di Liang dan pengungsi desa Seriholo sudah hampir 10 tahun para pengungsi ini tidak tertangani secara maksimal sehingga menyebabkan beberapa hal. Pertama, pengungsi di Kayu Tiga adalah pengungsi jemaat gereja Betabara berjumlah 410 KK merupakan pengungsi yang berasal dari desa Batu Merah kecamatan Sirimau Kota Ambon, hingga saat ini 87 KK belum memiliki rumah. Anehnya bantuan untuk pengungsi yang tiaptiap KK sebesar 5 juta rupiah tidak dibayar oleh bank BPDM (Bank Pembangunan Daerah Maluku) dengan alasan uang sebesar 5 juta itu menjadi dasar bagi pengungsi mendapatkan kredit lunak dari BPDM. Area Kayu Tiga sendiri merupakan tanah milik desa Soya yang dibeli pengungsi dengan menggunakan uang kredit lunak dari bank BPDM. Permasalahannya sekarang adalah pihak bank BPDM mengancam pengungsi di Kayu Tiga karena tidak mampu membayar kredit lunak tersebut. Hal lain adalah tidak terpenuhinya hak-hak dasar karena tinggal di tempat pengungsian yang tidak terpenuhi standar hidup layak. Menurut Piet Pattiwailapia, Koordinator Aliansi Pengungsi Maluku, di beberapa lokasi pengungsi seperti Kayu Tiga, 350 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Ahuru, Wayyari, tidak ada pendidikan SD untuk anakanak pengungsi. Padahal sudah dibangun 6 buah SD pada lokasi-lokasi pengungsian tersebut. Bangunan-bangunan SD itu dibiarkan terbengkalai karena tidak ada guru dan fasilitas, karena belum dibuka secara resmi. Akibatnya anak-anak pengungsi tersebut harus pergi ke sekolah yang cukup jauh dari tempat pengungsian mereka dengan menggunakan angkot. Padahal kebanyakan orang tua mereka belum punya pekerjaan tetap. Akibatnya banyak di antara anak-anak itu terpaksa berjalan kaki 2-4 km dan sangat rawan kecelakaan di jalan.14 Kedua, hilangnya hak-hak perdata pengungsi. Di Kota Ambon banyak tanah milik warga yang hilang, khususnya tanah dan rumah milik pengungsi jemaat gereja Betabara di desa Batu Merah (sekarang mengungsi di Kayu Tiga) terpaksa dijual dengan harga sangat murah karena sertifikatnya hilang. Ada pula yang sama sekali tidak dapat dijual atau dimiliki kembali karena sudah diklaim warga setempat di negeri Batu Merah. Ketiga, pengungsi desa Iha (desa adat muslim) di Pulau Saparua Kabupaten Maluku Tengah, dewasa ini menjadi pengungsi dan tinggal di dua lokasi yang berbeda, sebagian tinggal di desa Liang Pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, dan sebagian lagi di Desa Sepa (muslim) di Pulau Seram Kabupaten Maluku Tengah. Menurut Rais Haulussy, salah satu warga desa Iha, yang juga dosen UNPATTI, pada salah satu bukit desa Iha telah dibuatkan salib besar yang dibeton sebagai simbol kemenangan. Padahal desa Iha merupakan salah satu desa adat Islam yang pernah menjadi pusat kerajaan Islam di Pulau Saparua. 14 Wawancara dengan Piet Patiwailapia di Desa Paso, 1 Maret 2009 DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 351 Pascakonflik lokasi pemukiman pengungsi di desa Liang sudah mulai timbul persoalan perdata di mana sebagian warga Liang sudah mulai mempertanyakan tanah milik mereka yang sekarang menjadi lokasi pengungsian warga Iha. Menurut mereka tanah itu sifatnya cuma pinjaman. Padahal banyak warga Iha yang sudah membangun rumah permanen, sementara untuk kembali ke negeri asal masih trauma dan tidak ada jaminan keamanan.15 Keempat, kasus yang berbeda terjadi di negeri Seriholo di Kabupaten Seram Bagian Barat. Desa Seriholo adalah salah satu negeri Kristen yang terbakar pada konflik 1999 di Maluku. Desa ini terbakar ketika terjadi penyerangan dari negeri Hualoy (negeri muslim) yang merupakan negeri tetangga di sebelah barat. Permasalahannya, ketika proses pengembalian pengungsi negeri Seriholo, terjadi konflik yang melibatkan negeri Latu yang juga merupakan salah satu negeri tetangga berpenduduk muslim. Menurut Hendrik Seriholo, salah seorang tokoh masyarakat negeri Seriholo, kekisruhan itu terjadi ketika negeri Hualoy, memberi persyaratan bahwa negeri Seriholo boleh kembali, asalkan mereka mau mengakui negeri Hualoy sebagai desa induk, dan negeri Seriholo hanyalah dusun dari negeri Hualoy.16 Menurut Saefuddin Sapsuha, salah seorang tokoh pemuda negeri Latu, pada saat konflik ada yang beranggapan bahwa negeri Seriholo sudah menjadi ghanima (pampasan perang) karena kalah perang. Padahal Seriholo adalah negeri adat yang memiliki tanah adat atau hak-hak adat yang sama dengan negeri Hualoy. Lebih lanjut kata Saefuddin, masalah antara negeri Hualoy 15 16 2009 Wawancara dengan Rais Haulussy di Negeri Liang, 6 Maret 2009 Wawancaradengan Hendrik Seriholo di Negeri Seriholo 29 Februari 352 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA dan Seriholo pada 26 Nopember 2008 itu juga menimbulkan konflik antara negeri Latu (Islam) dengan negeri Hulaoy (Islam). Pada rencana pemulangan pengungsi negeri Seriholo yang semestinya dihadiri Gubernur Maluku, Bupati Kabupaten Seram Bagian Barat, Pangdam, Kepala Polda, yang saat itu sudah dalam perjalanan untuk mengikuti prosesi adat pemulangan pengungsi Seriholo di negeri Hualoy, akhirnya gagal hadir. Demikian juga prosesi upacara adat pemulangan pengungsi Seriholo pun tidak jadi dilaksanakan. Penyebabnya adalah terjadi pemblokiran jalan oleh warga negeri Latu, salah satu negeri tetangga sebelah barat dari negeri Hualoy dan negeri Seriholo. Pemblokiran jalan di jalan utama Trans-Seram itu berjalan selama dua hari dan menyebabkan lalu lintas di jalur itu lumpuh total. Aksi pemblokiran jalan ini dilakukan sebagai protes, karena proses pemulangan pengungsi seperti ini dianggap mendistorsikan hak-hak adat negeri Seriholo dan Latu.17 Karena di samping pengembalian negeri Seriholo dengan syarat mengakui negeri Hualoy sebagai negeri induk, negeri Hualoy juga mengklaim diri sebagai negeri adat tertua (Ina Ama) di wilayah ini. Klaim seperti ini menurut masyarakat negeri Latu merupakan suatu pengingkaran terhadap fakta sejarah— dan hal ini secara otomatis merupakan delegitimasi terhadap negeri Latu yang lebih adat dan lebih tua dari negeri Hualoy--jadi pemblokiran jalan merupakan gerakan perlawanan terhadap upaya pengembalian pengungsi dan perdamaian yang dianggap bias.18 Padahal dalam hukum positif dan standar HAM—Seriholo harus kembali meWawancara dengan Saefudiin Sapsuha di Negeri Latu, 3 Maret 2009 Wawancara dengan Muhammad Nasir Wakano, di Negeri Latu, 3 Maret 2009 17 18 DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 353 miliki dan menghuni daerahnya tanpa persyaratan apapun. Pada kejadian itu sebuah mobil rusak, dua buah motor milik warga Latu rusak berat, dan empat orang warga Latu luka berat, salah satunya adalah anak usia dua tahun dilempar oleh warga Hualoy ketika melintasi desa Hualoy menuju Kota Masohi (Harian Ameks, 18 Nopember 2008). 2. Perusakan Modal Sosial Kultural Masyarakat Berbagai bentuk pengabaian hak-hak para pengungsi di Negeri Kayu Tiga, Negeri Iha maupun Negeri Seriholo tidak hanya telah menimbulkan hilangnya hak-hak perdata para pengungsi di sana, tetapi lebih jauh lagi merusak modal sosial kultural masyarakat Maluku secara keseluruhan. Memang, proses pelemahan nilai-nilai kearifan-kearifan lokal dalam budaya Maluku telah berlangsung jauh sebelum konflik terjadi. Penyebabnya antara lain nilai-nilai kearifan lokal seperti pela, gandong, dan larvul ngabal19 mengalami penghilangan spirit dan penghancuran oleh kekuasaan Orde Baru yang ditandai dengan penyeragaman bentuk desa di seluruh Indonesia melalui UU No. 5 tahun 1979. Proyek desaisasi ini turut menghancurkan negeri adat di Maluku, padahal nilai-nilai kearifan lokal seperti pela, gandong dan larvul ngabal selama ini eksis bukan pada desa atau lurah, tetapi pada negeri yang sebelumnya dikenal dengan aman, hena, uli/uru20. Pada kategori-kategori Larvul ngabal adalah hukum adat di Maluku Tenggara (Kei) yang berisi nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan yang mengikat atau mengatur kehidupan masyarakat 20 Hena, uku, aman adalah bentuk desa dalam budaya Maluku sebelum berubah menjadi negeri. 19 354 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA seperti inilah pela, gandong dan larvul ngabal menemukan spirit dan konteksnya. Ketika konflik terjadi dan menyisakan problem sosial seperti para pengungsi, pelemahan modal sosial masyarakat Maluku semakin terasa dampaknya menghambat integrasi pasca konflik. Hal ini diperparah munculnya tantangan dari luar seperti neoliberalisme dan kapitalisme yang ditandai dengan cara berfikir strukturalis dan pragmatis membuat relasi-relasi sosial yang bersifat kolegial terpinggirkan dan yang dominan adalah hubungan-hubungan yang lebih bersifat mekanistik. Berbagai pelanggaran hak perdata para pengungsi misalnya adalah akibat langsung dari cara pandang dan hubungan mekanik tersebut, dimana empati terhadap para pengungsi yang juga adalah korban kerusuhan semakin menipis. Berkembangnya politik identitas, juga salah satu penghambat reintegrasi. Secara sosial politik jumlah Islam dan Kristen di Maluku yang hampir berimbang akibat adanya imigrasi secara besar-besaran dari Sulawesi, Jawa dan Sumatera yang membuat jumlah komunitas muslim makin bertambah —serta adanya stigma-kolektif masa lalu, sejak masa penjajah hingga konflik 1999, membuat relasi politik kedua komunitas agama ini berada dalam vis-à-vis yang sangat tajam. Karena itu isu agama selalu digunakan dalam setiap prosesi politik di Maluku. Dewasa ini posisi para kepala badan dan dinas di Provinsi Maluku sedang menunggu perbandingan jumlah antara pejabat Islam dan Kristen yang akan menduduki jabatan-jabatan tersebut (Harian Ameks 2 Ferbruari 2009). Ketegangan seperti ini sebenarnya sudah lama ada dalam relasi politik Islam dan Kristen di Maluku, baik yang terjadi di eksekutif (khususnya di Pemda Provinsi Maluku dan Pemda Kota Ambon) DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 355 dan legislatif (DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota) maupun di Kampus Universitas Pattimura yang dianggap selalu didominasi oleh komunitas Kristen), di mana masalah ini merupakan salah satu sumber konflik Maluku tahun 1999. Dalam kenyataan seperti ini turut merusak modal sosial kultural masyarakat Maluku. G. Kesimpulan Masalah-masalah di atas merupakan akumulasi dari sejumlah persoalan sebagai berkut: a. Pola penanganan konflik yang dilakukan pemerintah saat itu sangat bersifat top down dan militeristik. Kemudian pemerintah tidak punya sistem proteksi terhadap rakyat pada saat konflik, akibatnya banyak hak-hak sipil maupun perdata yang terabaikan. b. Pola penanganan konflik sampai pada recovery Maluku pasca konflik kurang memperhatikan kondisi antropologis masyarakat serta modal sosial kultural, sehingga banyak kebijakan yang dilakukan justru menimbulkan persoalan baru, misalnya masalah relokasi pengungsi yang menimbulkan segregasi total, serta kehilangan hak-hak perdata dan hak adat. c. Dalam kasus pengungsi, jika tidak ditangani secara serius—menimbulkan rasa cemburu, dendam, rasa tidak puas, hilangnya rasa percaya, hal ini menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan konflik, seperti beberapa konflik terakhir di Maluku. d. Tak dapat dinafikan bahwa segregasi pemukiman muslim dan Kristen di Maluku sudah ada sejak dulu—dimana setiap negeri atau ohoi di Maluku tidak ada asimilasi agama, sehingga muncul istilah Negeri Islam atau Negeri Kristen (Negeri Salam dan Negeri Sarane). Tapi kondisi sebelum 356 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA konflik, walaupun ada masalah, tetap dapat diterima dengan baik, sebagai suatu model kerukunan umat beragama, bahkan dalam relasi antar Negeri Salam dan Negeri Sarane ini secara kultural terdapat ikatan-ikatan persaudaraan yang begitu kuat—seperti pela, gandong dan larvul ngabal—yang berikutnya menjadi modal sosial-kultural dalam kehidupan bersama di Maluku. Pada saat konflik, ikatan-ikatan kultural seperti ini justru sangat efektif digunakan dalam membangun perdamaian di Maluku. Hal ini berbeda dengan kondisi sosial pascakonflik ini, selain segregasi sekarang bukan saja terjadi di negeri-negeri, tapi juga di kota, segregasi sosial dewasa ini juga menyimpan stigma kolektif yang amat dalam. Selain itu komunikasi dan interaksi secara informal menjadi sangat minim. Dalam segregasi tersebut politisasi agama dan mobilisasi cepat sekali menimbulkan konflik. e. Pascakonflik di Maluku muncul kesadaran untuk kembali menguatkan gerakan fundamentalisme agama—dengan mengonsolidasi masjid dan gereja sebagai pusat dakwah/misi. Kasus ini begitu kuat terjadi di Islam, yaitu eks laskar jihad dari luar Maluku yang sudah menetap di Maluku, karena perkawinan atau bisnis—dengan latar belakang Salafi yang didukung oleh pesantren-pesantren berlatar belakang Wahabi yang baru dibangun, melakukan purifikasi secara massif. Pola dakwah yang dilakukan dengan menguasai masjid-masjid dan perkawinan. Untuk masjidmasjid di kota Ambon milik NU dan Muhammadiyah mayoritas telah dikuasai, termasuk masjid-masjid kampus. Pela, gandong, larvul ngabal yang selama ini menjadi modal sosial-kultural bagi kehidupan bersama (ikatan hidup orang basudara) dihancurkan oleh identitas “ukhuwah islamiyah” dengan dalih pela, gandong, larvul ngabal hanyalah persaudaraan budaya—tidak berlandaskan iman Islam, untuk itu DAMPAK KONFLIK BAGI SEGREGASI SOSIAL DI MALUKU 357 tidak bisa menjadi ikatan persaudaraan untuk dunia dan akhirat. Sedangkan “ukhuwah islamiyah”, adalah persaudaraan berlandaskan iman Islam yang dapat menyelamatkan persaudaraan di dunia dan akhirat. f. Tidak ada penegakan hukum. Karena tidak ada penegakan hukum paskakonflik, sehingga yang muncul dalam memori kolektif masyarakat Maluku perasaan saling tidak percaya dan saling klaim sebagai korban atau yang benar dalam konflik. Meskipun masyarakat makin sadar tentang pentingnya membangun perdamaian dan hidup bersama dalam keadaan damai, tapi kondisi yang ada masih menyisakan stigma kolektif serta stereotif yang membuat posisi Islam dan Kristen berada dalam posisi yang vis-à-vis. Karena itu pula hak-hak pengungsi banyak yang hilang. g. Tidak ada perlindungan terhadap hak-hak pengungsi, khususnya hak perdata dan hak adat. h. Pengungsi dijadikan proyek yang dieksploitasi dan sarat korupsi sebagaimana kasus kredit lunak pengungsi Kayu Tiga di bank BPDM. H. Rekomendasi Masalah-masalah yang dihadapi oleh para pengungsi di atas jika tidak ditangani secara baik, akan menimbulkan masalah-masalah baru dalam kehidupan masyarakat, khususnya para pengungsi serta makin mempertajam ruang segregasi dan stigma kolektif. Untuk itu, penanganan pengungsi secara serius menjadi suatu kemestian dengan memperhatikan dan melakukan beberapa hal: a. Melakukan pendataan ulang pengungsi yang ada sekarang secara profesional agar data pengungsi tidak tumpang tin- 358 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA dih, karena pendataan pengungsi selama ini tumpang tindih atau tidak valid. b. Membangun sistem perlindungan serta perlu adanya advokasi terhadap hak-hak pengungsi, khususnya hak perdata dan hak adat. c. Perlu adanya reintegrasi sosial dalam masyarakat, melalui pengembalian pengungsi ke tempat semula serta adanya kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan secara bersama-sama. Dalam hal ini perlu dibangun ruang-ruang perjumpaan sosial, ekonomi dan budaya. d. Revitalisasi dan transformasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai kekuatan integrasi sosial. Berebut Kue FKUB: FKUB Kota Depok dan Kabupaten Bandung Pasca PBM M SUBHI AZHARI & DINDIN A GAZALI A. Pendahuluan Maraknya konflik tempat ibadah yang memuncak di tahun 2005 menjadi isu yang fenomenal hingga menyulut polemik dan reaksi beragam dari berbagai pihak. Satu pihak menyatakan, maraknya penutupan gereja tersebut tidak akan terjadi jika gereja mematuhi aturan yang sudah ditentukan. Di lain pihak menyatakan aturan tersebut sangat sulit untuk dilaksanakan. Sementara kebutuhan akan ibadah dan sarananya tidak bisa ditunda-tunda dan termasuk hak kebebasan beragama setiap warga yang dijamin konstitusi negara. Untuk itu tidak ada pilihan lain kecuali ibadah itu tetap dijalankan meskipun sarananya tidak memilik perizinan yang diharuskan. Konflik tempat ibadah ini mampu memicu ketegangan sosial di antara kelompok agama, terutama Islam dan Kristen. Untuk itulah akhirnya pada 21 Maret 2006 pemerintah mengambil langkah untuk menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 360 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Tahun 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah (selanjutnya disingkat PBM). Langkah pemerintah menerbitkan PBM ini dimaksudkan untuk menggantikan peraturan lama yang terkait dengan ketentuan pendirian rumah ibadah yang dianggap menyulitkan tersebut, yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya (selanjutnya disingkat SKB). PBM ini dianggap lebih baik ketimbang SKB, karena aturan-aturan dalam PBM lebih rinci sehingga tidak menghindari multitafsir seperti terjadi pada SKB. Aturan baru ini juga disusun berdasarkan berbagai pengalaman penerapan SKB sebelumnya, sehingga diharapkan kekurangan-kekurangan yang ada sebelumnya bisa diperbaiki. Meski begitu, masih banyak kalangan, terutama pihak Kristen, merasa dalam beberapa ketentuan PBM merugikan pihaknya. Tiga hal yang menjadi poin penting dari PBM ini adalah pertama, ditegaskannya tugas dan kewajiban kepala daerah atas pemeliharaan kerukunan umat beragama. Kedua, untuk pemeliharaan kerukunan ini, PBM juga mengamanatkan pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai forum yang memiliki peran strategis dalam hal membangun kerukunan umat beragama. Peran tersebut diimplementasikan dalam bentuk melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 361 sebagai bahan kebijakan kepala daerah; melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan khusus FKUB kabupaten/kota memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah. Ketiga, PBM mengatur secara cukup rinci tentang prosedur pendirian tempat ibadah. Pertama, terkait dengan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dalam memelihara kerukunan umat beragama misalnya, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 bahwa tanggungjawab tersebut tidak hanya dipikul pemerintah melainkan juga melibatkan umat beragama sendiri. Kerjasama antarkeduanya ditujukan agar umat beragama tidak hanya menjadi objek melainkan sebagai subjek dalam memelihara kerukunan.1 Namun dalam kaitan kerjasama ini, BAB III (pasal 3 – pasal 7) hanya menjabarkan tentang tugas dan kewajiban pemerintah mulai dari provinsi hingga desa. Namun bagaimana kerjasama antara pemerintah dan umat beragama itu dilakukan, tidak dijelaskan secara terperinci. Kedua, dalam hal pembentukan dan pembinaan FKUB, pasal 8 menyatakan bahwa FKUB dibentuk oleh masyarakat sendiri dan difasilitasi pemerintah. Pasal ini juga menyatakan bahwa hubungan FKUB dengan pemerintah bersifat konsultatif. Pasal 9 menyatakan bahwa tugas pokok FKUB adalah melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat, menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dan melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan. Khusus untuk FKUB kabupaten/kota ditambah satu tugas lagi yakni memberi rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah. 1 Sambutan Menteri Agama, Jakarta, 17 April 2006 362 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Satu hal yang dapat memunculkan pertanyaan tentang independensi FKUB, meskipun forum ini ditegaskan sebagai lembaga murni masyarakat adalah keberadaan Dewan Penasehat FKUB baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota (Pasal 11). Ketentuan tersebut menyatakan bahwa Dewan Penasehat FKUB terdiri dari Ketua (Wakil Gubernur/Wakil Bupati/ Wakil Walikota), Wakil Ketua (Kakanwil/Kakan Depag), Sekretaris (Kepala Badan Kesbangpol Propinsi/Kabupaten/Kota), dan Anggota (pimpinan instansi terkait). Pertanyaan soal independensi muncul karena tugas Dewan Penasehat ini (Pasal 11 ayat 2) sangat umum. Tugas tersebut adalah membantu kepala daerah dalam perumusan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah dan hubungan antarsesama instansi pemerintah. Ketiga, menyangkut prosedur pendirian tempat ibadah, dalam pasal 14 disebutkan: ayat (1) pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Ayat (2) selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota; d. rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota. Ayat (3) dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah. BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 363 Pertanyaan yang muncul tentu saja adalah darimana diperoleh angka 90 dan 60 di atas? Karena dalam kenyataannya, angka 90 pengguna dan 60 orang yang mendukung berdirinya tempat ibadah justru mempersulit hak umat beragama memperoleh tempat ibadah yang mereka butuhkan. Angka 90 diperoleh dari musyawarah majelis-majelis agama dengan pemerintah, angka ini dianggap mewakili kearifan lokal di Tanah Air. Menteri Agama menjelaskan: “Angka ini diperoleh setelah mempelajari kearifan lokal di Tanah Air. Sebagaimana diketahui sejumlah gubernur telah melakukan pengaturan tentang hal ini. Di Provinsi Riau, diatur jumlah syarat minimal 40 KK, di Sulawesi Tenggara diatur jumlah syarat minimal 50 KK dan di Bali diatur jumlah syarat minimal 100 KK.”2 Pernyataan Menteri Agama ini secara tidak langsung menyatakan bahwa angka 90 orang (bukan KK) adalah angka kompromistis (kearifan lokal), di mana kalau dibandingkan dengan beberapa daerah tersebut di atas yang mensyaratkan jumlah KK, maka 90 orang kalau dibagi dengan jumlah KK, paling banyak hanya 40 KK. Yang yang perlu digarisbawahi bahwa angka 90 orang dalam peraturan ini menjadi peraturan yang berlaku di seluruh wilayah di Indonesia, tanpa melihat kearifan lokal yang dimaksud oleh Menteri Agama di atas. Sementara syarat dukungan 60 orang, Menteri Agama menjelaskan: “Terkait dengan dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang, dapat kami jelaskan bahwa angka itu sebenarnya tidak mutlak, karena pada bagian berikutnya diketahui bahwa apabila dukungan masyarakat setempat yaitu 60 orang tidak terpenuhi sedangkan calon pengguna rumah ibadah sudah memenuhi ke2 Sambutan Menteri Agama, Jakarta, 17 April 2006 364 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA perluan nyata dan sungguh-sungguh, maka pemerintah daerah memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.”3 Ini berarti bahwa umat beragama yang dinilai telah memenuhi keperluan nyata dan sungguh-sungguh untuk mempunyai tempat ibadah, tidak akan ditolak oleh pemerintah untuk mendirikan rumah ibadah. Hanya saja, lokasinya dipindahkan ke lokasi yang lebih mendapat dukungan masyarakat setempat. Dan dalam hal ini, pemerintah berkewajiban memfasilitasi, meskipun maksud memfasilitasi di sini tidak begitu jelas. Namun begitu, catatan lain dari PBM ini misalnya pasal 16 ayat (2). Pasal ini bisa memberikan jaminan bahwa pengajuan izin mendirikan rumah ibadah tidak akan berlarut-larut. Ini biasanya terjadi ketika hendak mengajukan izin gereja. Pasal ini berbunyi: “bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Fakta hukum di atas, menggambarkan masih adanya potensi munculnya masalah dalam penerapan PBM di lapangan. Apakah itu berkaitan dengan peran pemerintah, peran FKUB dan peran masyarakat. Bahkan fakta menunjukkan, setelah PBM, masih banyak terjadi konflik rumah ibadah dan hingga kini belum terselesaikan. Dengan alasan-alasan tersebut penelitian ini menjadi penting dilakukan. B. Masalah yang Diteliti Penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut: 1. Bagaimana dinamika internal yang terjadi di dalam FKUB, terkait dengan penentuan anggota, penyusunan 3 Sambutan Menteri Agama, Jakarta, 17 April 2006 BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 365 dan realisasi program dan bagaimana respon lembaga ini terhadap konflik rumah ibadah yang terjadi? Apa yang mereka lakukan dalam menyelesaikan masalah rumah ibadah? 2. Bagaimana dukungan pemerintah daerah terhadap FKUB? Dalam hal apa saja fasilitasi pemerintah daerah diberikan? 3. Lalu bagaimana FKUB memposisikan dirinya berhadapan dengan pemerintah daerah, sejauhmana mereka mampu menegaskan independensi sebagai forum masyarakat sipil? Apakah FKUB mampu melepaskan diri dari tarikan kepentingan kekuasaan daerah? C. Fokus yang Diteliti Penelitian ini akan difokuskan pada kajian tentang dua FKUB yakni di Kabupaten Bandung (selanjutnya FKUB Kab. Bandung) dan Kota Depok (selanjutnya FKUB Depok). Keduanya adalah dua forum kerukunan yang penting untuk dibaca baik dari sudut kelembagaannya maupun pengelolaan kerukunan yang menjadi tugas dan tanggungjawab mereka. Kedua forum ini memang tidak bisa mewakili gambaran FKUB secara keseluruhan, namun keduanya dapat mewakili diri mereka masing-masing sebagai sebuah perbandingan satu sama lain untuk mengetahui sejauhmana mereka memahami peran dan tugas yang diberikan PBM. D. Peta Kehidupan Keagamaan Jawa Barat Sebagaimana dirumuskan dalam PBM, yang disebut kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, 366 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ini artinya membangun kerukunan adalah membangun toleransi, saling pengertian, saling menghormati dan seterusnya. Berbagai data menunjukkan bahwa angka kasus-kasus keagamaan di wilayah Jawa Barat menempati angka paling tinggi. Ini sekaligus menempatkan Jawa Barat sebagai wilayah yang memiliki tingkat toleransi yang rendah sekaligus menyimpan potensi konflik yang sangat tinggi. Data kasus konflik rumah ibadah misalnya, catatan tahun 2004-2007 menunjukkan yang paling sering terjadi. Hal ini bisa dimaklumi karena menyangkut konflik yang melibatkan rumah ibadah di Jawa Barat ini memiliki sejarah yang panjang. Masyarakat seakan-akan sensitif sekali jika menyangkut rumah ibadah.4 Kerusuhan Tasikmalaya pada 26-27 Desember 1996 misalnya yang mengakibatkan 15 gereja dirusak dan dibakar, seorang jemaat Gereja Kristen Indonesia tewas terpanggang api, seorang jemaat Gereja Bethel Indonesia tewas terkena serangan jantung karena hiruk-pikuk kerusuhan, dan kota Tasikmalaya yang luluh lantak. Kerusuhan ini menunjukkan bahwa begitu mudahnya massa digiring untuk merusak sarana peribadatan, padahal persoalan awalnya bukan menyangkut rumah ibadah. Tragedi Tasikmalaya ini memang sudah berlalu belasan tahun, namun wajah konflik rumah ibadah di Jawa Barat tetap saja tidak beranjak jauh. Meskipun skala konflik yang muncul tidak begitu meluas dan besar, namun intensitasnya setiap taLihat laporan kasus-kasus tempat ibadah yang dikeluarkan Bidang Diakonia Persekutuan Gereja-gereja se-Indonesia (PGI) tahun 2007 dan 2009. 4 BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 367 hun masih turun naik. Selain konflik tempat ibadah, Jawa Barat juga banyak diwarnai kasus-kasus kekerasan terhadap kelompok-kelompok internal agama tertentu seperti terhadap Ahmadiyah, ajaran Ishak Suhendra, Ahmad Sayuti, AKI, HDH dan lain-lain.5 Secara demografis, penduduk Jawa Barat yang mencapai 41 juta jiwa termasuk dalam entitas masyarakat yang sangat beragam baik dari segi etnis maupun agama. Sebagian besar masyarakatnya berasal dari etnis Sunda, namun tidak sedikit juga berasal dari Jawa, Batak, Madura, Minagkabau dan Palembang. Sementara mayoritas penduduknya (96,51%) beragama Islam, (1,24%) Protestan, (0,70%) Katolik, (0,24%) Buddha dan (0,10%) Hindu. Dari jumlah umat Islam, beberapa kelompok minoritas Islam juga terdapat di Jawa Barat seperti Ahmadiyah, Syiah, Wahidiyah. Dari pemeluk Kristen terdapat sekte Saksi Yehova. Terdapat pula komunitas yang menganut kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan dan Dayak Losarang. Dari sisi organisasi kemasyarakatan keagamaan, terdapat organisasi-organisasi seperti Persatuan Islam (Persis), Mathlaul Anwar (MA), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Syarikat Islam (SI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada awal hingga pertengahan era reformasi, muncul ormas-ormas keagamaan baru seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Aliansi Umat Islam Indonesia (Alumi), Gerakan Reformasi Islam (Garis), Forum Umat Islam (FUI), Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII), Himpunan Santri Bersatu (Hisab), Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP), Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat (GAPAS), Front Anti Pemurtadan (FAP), Komando Laskar Islam (KLI), Majelis Dakwah Umat (MDU), Lebih lengkap lihat Laporan the Wahid Institute, “Menapaki Bangsa yang Kian Retak”, Jakarta, the Wahid Institute, 2008. 5 368 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Garda Hasmi, Gerakan Anti Maksiat (GAM)6, Forum Ulama Ummat Islam (FUUI) yang menaungi Divisi Anti-Pemurtadan (DAP). Ormas-ormas baru ini banyak mewarnai konflikkonflik bernuansa keagamaan di Jawa Barat baik terkait rumah ibadah maupun aliran yang dituduh sesat. E. FKUB Kabupaten Bandung dan Kota Depok: Proses Pembentukan 1. Minim Inisiatif Masyarakat Pasal 8 ayat 2 menegaskan, pembentukan FKUB dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Pasal ini menandaskan bahwa peran aktif dan inisiasi pembentukan FKUB dalam hal ini diserahkan seutuhnya kepada masyarakat (baca: umat beragama). Peran Pemerintah tidak lebih sebagai fasilitator saja. Fasilitasi dapat berarti penyediaan tempat rapat, akomodasi, atau juga pembiayaan.7 Namun, kenyataan yang ada inisiatif pembentukan FKUB Kab. Bandung dan FKUB Depok tidak murni datang dari masyarakat atau umat beragama di kedua daerah tersebut sebagaimana amanat PBM. FKUB Kab. Bandung misalnya terbentuk berawal dari inisiasi Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Linmas) Kabupaten Bandung pada awal 2007 yang mengundang elemen ormas keagamaan di Kab. Bandung8 seperti Disarikan dari laporan PBHI Jawa Barat dalam laporannya berjudul “Efek Horizontal atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Jawa Barat” yang dipublikasikan di majalah SatuVisi Edisi 12, Nov-Des 2008, h. 25-26. 7 Akmal Salim, “FKUB dalam PBM”, http://klikfkub.wordpress.com/2009/03/. Dipublikasi tanggal 27 Maret 2009. 8 Saat itu Kabupaten Bandung masih belum dimekarkan. Sejak 8 Januari 6 BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 369 NU, Muhammadiyah, MUI, Mathlaul Anwar, Persatuan Islam, Syarikat Islam, BKSG, PGIS, dan lain-lain untuk mengajukan calon anggota FKUB Kab. Bandung. Setelah inisiatif tersebut, Bupati Bandung mengundang ormasormas keagamaan tersebut menghadiri lokakarya pembentukan pengurus FKUB. Barulah dalam lokakarya yang berlangsung pada 20 Desember 2006 itu, para tokoh agama mulai lebih banyak terlibat dalam pembahasan berbagai hal menyangkut FKUB, dan pada tanggal 9 Januari 2007 Bupati Bandung melalui SK Bupati No. 220/Kep. 26-Kesbanglinmas/2007 melantik dan meresmikan berdirinya FKUB Kab. Bandung Periode 2007-2010.9 Minimnya inisiatif dari umat beragama atau tokoh agama dalam pembentukan FKUB juga terjadi di Kota Depok. Peran sentral pembentukan FKUB di Depok diambil oleh Pemda Kota Depok yang mengundang para tokoh berbagai agama dan ormas keagamaan yang ada di Depok seperti NU, Muhammadiyah, PGIS, MUI, perwakilan Katolik, Hindu dan Buddha untuk menghadiri Musyawarah Kota (Muskot) bulan Februari 2007. Pada Muskot inilah kemudian ormas-ormas keagamaan yang diundang mulai memperlihatkan perhatiannya dan merasa perlu membentuk FKUB. Pada Muskot ini, wakil dari enam agama (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu) menetapkan perwakilan masing-masing yang akan duduk di FKUB Depok. Dari hasil Muskot inilah, pada tanggal 16 2008, kabupaten ini telah dimekarkan menjadi Kab. Bandung dan Kab. Bandung Barat. 9 Dirangkum dari wawancara dengan Ketua FKUB Kab. Bandung, KH Saifudin Kamil, Wakil Ketua FKUB Kab. Bandung Usep Dedi (05 Mei 2009), anggota FKUB Kab. Bandung Yudi Wildan (04 Mei 2009) dan anggota FKUB Kab. Bandung Maladi Dani (04 Mei 2009). 370 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Maret 2007, Walikota Depok melantik kepengurusan FKUB Depok melalui SK Nomor: 821.29/16/Kpts./KESBANG dan LINMAS/Huk/2007.10 2. Kisruh Soal Representasi Selain minimnya inisiatif masyarakat dalam proses awal pembentukan FKUB baik di Kab. Bandung maupun Depok, dinamika internal umat beragama sendiri ketika pembentukannya juga kurang kondusif. Keadaan ini terkait dengan pertanyaan: bagaimana para anggota dipilih? Berapa komposisi masing-masing agama? Siapa saja yang berhak duduk di dalamnya? Para perwakilan agama-agama tidak memiliki pegangan yuridis yang seragam dan tegas mengenai berbagai persoalan tersebut karena PBM sendiri hanya memberi batasan bahwa pembentukan FKUB dilakukan melalui musyawarah (pasal 8) dan keanggotaan terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat (pasal 10). Di Depok misalnya, Muskot berlangsung alot karena terjadi ketegangan di antara para pemuka agama. Perwakilan nonmuslim Lodewijk Gultom mempertanyakan ormas Islam mana yang akan merepresentasikan Islam di FKUB Depok, karena salah satu ormas Islam yakni FPI juga ingin anggotanya masuk. “Penentuan itu alot, dan ternyata ormas-ormas Islam di Depok mendesak FPI masuk jadi salah satu anggota. Rapat juga alot karena mereka (Islam) ngotot hanya boleh seorang untuk masing-masing agama di luar muslim.”11 Dirangkum dari wawancara dengan Ketua FKUB Depok Farid Hadjiri (13 Mei 2009) dan anggota FKUB Depok Pdt. Lodewijk Gultom (09 Mei 2009). 11 Wawancara Pdt. Lodewijk Gultom, 09 Mei 2009. 10 BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 371 Akhirnya musyawarah tersebut tetap memutuskan anggota FPI masuk menjadi salah satu perwakilan umat Islam di FKUB Depok, bahkan kemudian terpilih menjadi sekretaris FKUB. Dari 17 anggota FKUB Depok, jumlah perwakilan agama-agama menjadi Islam (11 orang), Protestan (dua orang), Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu (masing-masing seorang). Demikian halnya di FKUB Kab. Bandung, meskipun tidak terjadi ketegangan seperti di Depok, perwakilan umat Islam tetap saja berasal dari berbagai ormas keagamaan yang ada di Kab. Bandung. Pemkab Bandung juga tidak memiliki acuan yang jelas soal representasi umat Islam ini, sehingga dari umat Islam diundang ormas-ormas yang cukup besar seperti MUI, NU, SI dan MA, sementara ormasormas keislaman lain seperti yang ada pada sub 3 tulisan ini tidak diundang, padahal sebagian mereka juga memiliki cabang di Kab. Bandung. Tidak hanya representasi umat Islam, perwakilan dari agama-agama lain juga tidak memiliki aturan hukum yang jelas mengenai organisasi keagamaan apa yang akan mewakili masing-masing agama, meskipun pada umumnya tidak terjadi perdebatan yang alot di antara mereka. Ketidakjelasan ini disebabkan belum adanya peraturan Gubernur Jawa Barat tentang pedoman pembentukan FKUB di Jawa Barat sebagaimana diamanatkan PBM (Pasal 12). Pasal ini menyatakan: “Ketentuan lebih lanjut mengenai FKUB dan Dewan Penasehat FKUB provinsi dan kabupaten /kota diatur dengan Peraturan Gubernur”. Di tingkat provinsi Jawa Barat memang ada Peraturan Gubernur No. 7 tahun 2007 tentang FKUB di Jawa Barat. 372 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Peraturan ini hanya mengatur FKUB Provinsi, tidak mengatur representasi masing-masing agama di FKUB kabupaten/kota dan hanya mengulang klausul-klausul yang ada dalam PBM. Tidak adanya peraturan Gubernur Jawa Barat tentang FKUB ini mengakibatkan baik Bupati Bandung maupun Walikota Depok hanya mengacu pada PBM dengan penafsiran kontekstual daerah masing-masing. F. Problem-problem dalam Realisasi Program 1. Ke Dalam FKUB adalah tempat dimusyawarahkannya berbagai masalah keagamaan lokal dan dicarikan jalan keluarnya.12 Untuk mencapai tujuan tersebut tentu akan ditentukan oleh sejauhmana visi kerukunan para anggotanya mampu menjadikan sekat-sekat perbedaan yang ada sebagai jembatan untuk mencapai keputusan bersama yang adil. Adil di sini berarti bahwa setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama, memiliki posisi yang setara, inilah sesungguhnya makna kerukunan.13 Namun yang terjadi, visi kerukunan di antara anggota FKUB belum seragam sehingga berimplikasi pada proses pengambilan keputusan yang bias terhadap mayoritas. Di FKUB Depok, pola pengambilan keputusan selain melalui musyawarah juga dengan menggunakan voting. Cara pengambilan keputusan semacam ini pernah menjadi perdebatan di antara mereka karena menganggap tidak mencerminkan kerukunan. Lodewijk Gultom mengatakan: 12 13 Sambutan Menteri Agama, Jakarta, 17 April 2006. Wawancara Pdt. Lodewijk Gultom, 09 Mei 2009. BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 373 “Di PBM itu rumusannya tidak mungkin voting. Karena FKUB ini adalah forum kerukunan umat, yang kita bicarakan di sana kerukunan, kalau tidak bisa musyawarah akan di pending. Sebab apa? Inilah makna kerukunan, harus ada kesetaraan di situ. Nah saya lihat waktu dibikin juklak juknis FKUB, mereka (Islam) memaksakan kalau tidak dapat musyawarah kita ambil voting. Itu yang sudah mulai tercederai lalu saya tidak ikut ambil bagian.” Lodewijk tidak setuju dengan voting, karena bagaimana mungkin melakukan voting apabila jumlah perwakilan masing-masing agama sangat tidak seimbang, Yang ada menurutnya adalah tirani mayoritas terhadap minoritas. Ia sendiri mengaku tidak ikut ambil bagian dalam penetapan voting tersebut, meskipun cara itu akhirnya disepakati. Sistem voting ini hingga hari ini belum pernah digunakan, karena selalu bisa diselesaikan dengan musyawarah. Namun bagi Lodewijk, bukan tidak mungkin satu saat cara itu akan dipakai manakala terjadi deadlock dalam musyawarah. Lain halnya di FKUB Kab. Bandung. Maladi menceritakan, pola pengambilan keputusan di FKUB Kab. Bandung cenderung sentralistik, karena hanya melibatkan beberapa pengurus inti seperti ketua, wakil dan sekretaris. Ia mencontohkan, dalam hal penentuan tim survei lokasi tempat ibadah yang mengajukan rekomendasi lebih banyak di tangan ketua, wakil dan sekretaris. Hal itu misalnya ia rasakan karena jarang sekali masuk tim survei ke lapangan. “Ketika survei ke satu tempat ibadah Kristen, FKUB yang dari Kristen tidak selalu dilibatkan. Pernah satu kali FKKI menanyakan hal itu kepada anggota FKUB yang melakukan survei, namun anggota-anggota FKUB yang turun survei memberi alasan macam-macam.”14 Wawancara dengan Anggota FKUB Kab. Bandung Maladi Dani, 04 Mei 2009. 14 374 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Hal ini menurutnya sangat mengganggu hubungan masing-masing anggota. Tidak hanya dirinya yang merasakan hal tersebut, Wakil Bupati sebagai Ketua Dewan Penasehat FKUB pernah juga menyuarakan masalah tersebut dan meminta agar lebih banyak melibatkan anggota-anggota yang lain, namun menurut Maladi tidak ada perubahan yang berarti. Ia sendiri mengaku hanya sekali diajak survei, waktu itu ke GII Taman Rahayu. Masih adanya bias mayoritas ini disebabkan cara pandang sebagian anggota FKUB bahwa keberadaan mereka di forum ini untuk mempertahankan akidah masing-masing. Hal ini tentu tidak nyambung dengan tujuan FKUB untuk membangun dan meningkatkan kualitas kebersamaan, membangun dan bertumbuh bersama..15 Selain itu, soal kerukunan juga masih jadi perdebatan internal. Di FKUB Depok, sebagian menginginkan kerukunan itu adalah kesediaan untuk saling mengakui dan saling menerima, sementara yang lain tidak mau kerukunan itu disama-samakan karena masing-masing agama punya prinsip sendiri-sendiri. Salah seorang anggota misalnya mengatakan: “Saya tidak suka misalnya kerukunan dipaksakan, misalnya kegiatan doa bersama, apa harus begitu. Terus Natal bersama. Itu tidak usah. Kita kan punya aturan masingmasing.”16 Di internal FKUB Kab. Bandung juga mengalami hal yang sama. Bahkan visi kerukunan di sini telah mengalami penyempitan makna hanya menyangkut soal pendirian rumah ibadah. Kerukunan bagi salah satu anggota telah 15 16 Pendapat Pdt. Lodewijk Gultom, 09 Mei 2009. Wawancara dengan F. (13/05/2009). BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 375 tercipta manakala tidak ada yang mempermasalahkan keberadaan suatu rumah ibadah.17 Padahal menurut salah saorang anggota lainnya, kerukunan seperti itu adalah kerukunan semu, dimana karena satu tempat ibadah tidak ada yang mempermasalahkan, seakan-akan masyarakat sudah rukun. Menurutnya, ini menunjukkan bahwa masalah kerukunan kurang dipahami oleh para anggota FKUB. “Justru yang sering disinggung soal IMB saja. Jadi seolah PBM ini hanya untuk IMB saja. Seperti halnya masjid yang tidak ada izin. Karena dianggap tidak ada yang mempermasalahkan, maka seakan-akan rukun saja.”18 2. Keluar Dalam PBM ditegaskan bahwa tugas FKUB meliputi empat hal: pertama, tugas FKUB provinsi dan kabupaten/ kota adalah melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat. Dialog dilakukan dalam berbagai bentuk, baik berupa pertemuan formal seperti workshop, seminar; ataupun berupa dialog informal seperti saat para anggota FKUB berbaur berinteraksi dengan masyarakat. Kegiatan dialog ini sejalan dengan tugas yang kedua, yakni menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat. Berbagai aspirasi masyarakat dari hasil dialog itu kemudian didiskusikan bersama anggota pengurus FKUB. Jika aspirasi tersebut terkait dengan penyelesaian kasus tertentu, maka FKUB dapat memberikan solusi atas permasalahan tersebut. Jika aspirasi itu terkait dengan kebijakan pemerintah, maka Wawancara anggota FKUB Kab. Bandung Yudi Wildan (04/05/ 2009). 18 Wawancara dengan anggota FKUB Kab. Bandung Maladi Dani (04/05/2009) 17 376 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA hal ini searah dengan tugas ketiga FKUB, yakni menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur atau bupati/walikota. Tugas keempat adalah melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. Tentu saja, yang pertama sekali adalah sosialisasi PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 itu sendiri. Satu tugas lagi khusus untuk FKUB tingkat kabupaten/kota yakni memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah. Persoalan utama yang muncul dalam pelaksanaan tugas pokok ini baik di FKUB Kab. Bandung maupun Depok adalah pemahaman sebagian besar anggota FKUB bahwa tugas pokok FKUB adalah mengeluarkan rekomendasi pendirian rumah ibadah. Hal ini bukan berarti masalah kerukunan yang ada di wilayah tersebut hanya berkaitan dengan pendirian rumah ibadah, tetapi juga masalah-masalah lain seperti soal menguatnya radikalisme kelompok agama tertentu atau meluasnya problem sosial seperti kemiskinan dan kebodohan yang dapat menjadi sumber utama sikap tidak toleran terhadap keyakinan orang lain. Dengan pemahaman seperti ini, seolah parameter keberhasilan tugas FKUB Kab. Bandung adalah semakin banyaknya rekomendasi tempat ibadah yang dikeluarkan dan semakin berkurangnya tekanan terhadap keberadaan rumah ibadah.19 Atau seperti dikatakan Wakil Ketua FKUB Kab. Bandung, Usep Dedi: 19 2009. Wawancara Anggota FKUB Kab. Bandung Yudi Wildan, 04 Mei BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 377 “Nampaknya juknis (petunjuk teknis) FKUB dari (pemerintah) pusat sendiri dan saya melihat latar belakang dibentuknya FKUB kaarena banyak gangguan terhadap tempat ibadah. Dan kalau kita lihat PBM, di situ banyak mengatur. Sementara kami pengurus FKUB Kab. Bandung, acuannya itu.” Di FKUB Depok, pemahaman terhadap tugas FKUB pun tidak jauh berbeda. Bahkan tolak ukur keberhasilan program FKUB Depok adalah seberapa banyak mereka mengeluarkan rekomendasi tempat ibadah. Farid menegaskan: “Tugas pokok kita adalah membantu walikota dalam masalah kerukunan. Khususnya masalah-masalah memberikan rekomendasi tentang tempat ibadah. (Jadi) kita melaksanakan tugas yang masuk saja, memberikan rekomendasi ya sudah”. Lalu, bagaimana dengan tugas yang lain seperti dialog, menampung aspirasi dan melakukan sosialisasi? Tugastugas ini memang dilaksanakan semuanya. Di Kab. Bandung misalnya, dialog dan menampung aspirasi dilaksanakan bersamaan hanya tiga kali, dari jumlah itu hanya sekali yang diadakan FKUB, sisanya diadakan umat beragama sendiri mengundang FKUB Kab. Bandung sebagai narasumber. Sementara menyalurkan aspirasi kepada Pemerintah Kab. Bandung, dilaksanakan sekali sebulan. Namun selama enam bulan terakhir (sejak September 2008) tidak lagi dilaksanakan.20 Sementara di Depok sudah dilaksanakan dialog dan menampung aspirasi di enam kecamatan yang ada di DeKesimpulan dari wawancara dengan anggota FKUB Kab. Bandung Maladi Dani (04 Mei 2009) dan Yudi Wildan (04 Mei 2009). 20 378 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA pok, namun FKUB hanya sebagai narasumber, sementara yang melaksanakan pemda sendiri.21 Tantangan eksternal lain adalah sikap sebagian masyarakat yang tidak mau tunduk pada aturan-aturan yang ada dalam PBM. Hal ini menjadi kesulitan tersendiri bagi FKUB, karena sesering apapun sosialisasi dilakukan, hasilnya tetap sama, penolakan. Lodewijk Gultom memberi contoh. Ketika FKUB Depok melakukan sosialisasi PBM di Cinere, FPI salah satu ormas keagamaan di sana tidak mau menerima berbagai prosedur pendirian rumah ibadah yang dimuat dalam PBM, mereka tetap menolak rumah ibadah umat lain berdiri di sana dengan alasan apapun. Karena menurut mereka itu adalah wilayah mereka. “Saya bilang ke mereka, negara ini negara hukum, kalau dibilang ini wilayah kami, rujukannya itu kepada bukti otentik kepemilikan.” Toh, bantahan tersebut tidak mau didengar. Kenyataan ini menurut Lodewijk sangat menghambat dialog, karena ada satu pihak yang menutup diri terhadap pilihan-pilihan solusi dan hanya memaksakan kehendak mereka. G. Netralitas dan Independensi FKUB 1. Respon terhadap Konflik Rumah Ibadah Pencabutan IMB HKBP Cinere Pada 27 Maret 2009 lalu, Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tentang Pencabutan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Tempat Ibadah dan Gedung Serbaguna atas nama HKBP Pangkalan Jati di Jalan Puri 21 Wawancara dengan Ketua FKUB Depok Farid Hadjiri, 13 Mei 2009. BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 379 Pesanggrahan IV Kav. NT-24 Kelurahan Cinere, Limo, Depok (HKBP Cinere). IMB yang dicabut ini adalah IMB yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Nomor 453.2/229/TKB/1998 tanggal 13 Juni 1998. Alasan walikota mencabut IMB HKBP Cinere sebagaimana tertuang dalam SK tersebut antara lain: bahwa sejak keluarnya IMB hingga saat ini, pembangunan gereja dan gedung serbaguna tidak dapat terealisasi karena adanya penolakan dari masyarakat sekitar lokasi yang tergabung dalam Forum Solidaritas Umat muslim Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Meruyung, Gandul, Limo yang ditandai dengan terjadinya beberapa kali konflik di lapangan pada saat pembangunan dilaksanakan. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, Pemda Depok pada 8 Juli 2000 pernah mengeluarkan surat penghentian kegiatan pembangunan sementara kepada panitia pembangunan, namun tidak diindahkan pihak panitia. Fakta ini yang menurut walikota telah menyulut penolakan dari Forum Umat muslim di atas dengan mengirim surat penolakan kepada walikota pada 19 Februari 2009. Sebagai kepala daerah yang diamanatkan Undang Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Nur Mahmudi merasa berkewajiban menjaga ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Karena itu, untuk menghindari konflik di lapangan, berdasar pasal 27 undang-undang tersebut yang diubah menjadi UU No. 12/2008, Rekomendasi Kantor Departemen Agama Depok (9 Juni 2008) dan Rekomendasi FKUB Depok (2 Juni 2008). Dan cara untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban tersebut adalah dengan mencabut IMB HKBP Cinere.22 22 2009 Dirangkum dari SK Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail, 27 Maret 380 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Dengan keluarnya pencabutan ini, praktis HKBP Cinere tidak memiliki landasan hukum untuk meneruskan pembangunan gereja. Apalagi di dalam SK Walikota tersebut, tidak diberikan satu jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi HKBP Cinere. HKBP Cinere (Pangkalan Jati) sendiri berdiri sejak 1978 dengan jumlah ruas (jemaat) sekitar 25 KK, mengadakan kebaktian Minggu di rumah salah satu ruas. Tiga bulan kemudian sampai sekarang, ruas ini menumpang di gereja Bahtera Allah Kompleks TNI AL Pangkalan Jati, Pondok Labu. Seiring waktu, ruas ini terus berkambang dan per Juni 2008 telah menjadi 281 KK (tidak kurang 1020 jiwa). Dengan jumlah ruas yang sedemikian besar, pihak HKBP merasa perlu memiliki gedung gereja sendiri berikut fasilitas lain seperti gedung serba guna dan lainnya. Karena itu, pada 30 Juni 1980, HKBP Cinere atas nama HKBP Distrik VIII Jawa Kalimantan membeli tanah seluas 5000 m2 kepada PT Urecon Utama. Pada 31 Agustus 1992 tanah tersebut dikukuhkan peruntukannya untuk gereja. Setelah Panitia Pembangunan Gereja (PPG) HKBP Pangkalan Jati memperoleh tanah untuk bangunan gereja, maka dimulailah usaha-usaha pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja kepada Pemda Tingkat II Bogor. Karena gereja yang akan dibangun terletak di lokasi PT. Bukit Cinere Indah, maka permohonan IMB kepada Pemda Tingkat II Bogor diajukan melalui PT. Bukit Cinere Indah. Permohonan IMB selalu dikembalikan, karena ada persyaratan yang harus dilengkapi, antara lain harus ada persyaratan dari warga masyarakat setempat. Seharusnya persetujuan warga itu tidak perlu karena gereja yang akan dibangun terletak di lokasi Pengembang (developer) dan tanahnya pun masih kosong, serta bangunan di sekitarnya belum ada. BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 381 Setelah kurang lebih 10 (sepuluh) tahun, yakni pada tanggal 13 Juni 1998 Pemda Tingkat II Bogor mengeluarkan IMB No.453.2/229.TKB/1998, tentang Izin Mendirikan Bangunan Tempat Ibadah dan Gedung Serba Guna. Bahwa IMB tersebut dikeluarkan Pemda Tingkat II Bogor setelah mempertimbangkan semua persyaratan administrasi yang diperlukan termasuk surat pernyataan persetujuan warga masyarakat setempat, selain itu sebelum IMB dikeluarkan lokasi tanah gereja pun ditinjau dua kali oleh sebuah tim dari dinas/kantor terkait di lingkungan Pemda Tingkat II Bogor, yakni pada 18 Januari 1982 dan 17 April 1996.23 Dan sejak 24 Oktober 1998, dimulailah pembangunan gereja. Pada Mei 1999, sekelompok masyarakat melakukan aksi protes penghentian pengerjaan pembangunan sambil menggelar spanduk, menuntut pemda setempat membatalkan IMB.24 Karena situasi memanas maka Walikota Depok pada saat itu, Badrul Kamal, memutuskan untuk menghentikan sementara pembangunan gereja. Penundaan tersebut berjalan terus-menerus tanpa adanya penyelesaian yang jelas. Oleh karena itu, pada Oktober 2007 pihak Panitia Pembangunan Gereja berupaya untuk melanjutkan pembangunan gereja.25 Pada 21 Oktober 2007, PPG dibentuk kembali untuk meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat, tokoh agama dan ormas keagamaan setempat, termasuk kepada FKUB Depok ketika mengadakan sosialisasi PBM di sana pada 15 23 24 “Riwayat Berdirinya Gereja”, http://hkbpcinere.tripod.com/ Dirangkum dari Proposal Pembangunan Gereja HKBP Cinere, Juli 2008 25 “Umat Kristiani Diminta Memahami Pencabutan Izin Gereja HKBP”, http://kompas.com, Rabu, 29 April 2009. 382 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Januari 2008. Bahkan setelah itu, Camat Limo menegaskan bahwa IMB HKBP sah dan tetap berlaku. Karena itu, pembangunan kemudian dilanjutkan. Namun pada 28 Januari 2009, Lurah Cinere memerintahkan penghentian proses pembangunan karena adanya protes dari masyarakat Limo, dan pembangunan pun dihentikan untuk kedua kalinya. Akan halnya upaya sebelumnya, PPG kembali melakukan sosialisasi, meminta dukungan tokoh agama dan berkonsultasi dengan FKUB Depok. Pada bulan Juli 2008, proses pembangunan gereja dilanjutkan.26 Namun pada 12 Oktober 2008, sekitar 50 warga mendatangi tempat pembangunan gereja dan menyerang 24 buruh bangunan. Para buruh itu tengah beristirahat di mess buruh bangunan yang disediakan di lokasi gereja. Para buruh berlari menyelamatkan diri dengan meninggalkan lokasi gereja. Penyerangan baru berhenti saat anggota Polsek Cinere datang mengamankan lokasi.27 Selain peristiwa tersebut pada 26 Oktober 2008 sekitar seribu lebih warga Villa Mutiara Cinere, dan Kecamatan Limo, melakukan istighasah dalam rangka menolak pembangunan gereja. Menurut Budi, salah seorang panitia, penolakan terjadi karena proses pembangunan gereja itu dianggap kurang jujur, tanda tangan 90 jemaat dan 60 warga, yang menyetujui kehadiran gereja tersebut, tidak benar alias palsu.28 Selain itu, nama warga yang tercantum dalam izin lingkungan yang diberikan pihak panitia pembangunan gereja untuk mendapatkan IMB sebagian besar ilegal atau palsu.29 Proposal Pembangunan Gereja HKBP Cinere, Juli 2008 “Warga Serang Pembangunan Gereja HKBP Cinere”, Sinar Harapan, Senin, 13 Oktober 2008 28 “Istighosah Tolak Gereja”, www.reformata.com, 27 Oktober 2008 29 “Nama Warga Dicatut, Gereja HKBP Diminta Tutup”, http://dakta.com, 26 27 BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 383 Berbagai kejadian di atas dijadikan alasan oleh Nur Mahmudi untuk mencabut IMB Gereja HKBP Cinere. Menurutnya, HKBP Cinere tidak memiliki izin lingkungan, bahkan ditolak dan selalu menimbulkan konflik di lapangan.30 Apa yang dikatakan Nur Mahmudi ini dibantah Ketua PPG HKBP Cinere dan menganggapnya mengada-ada. Selain itu tindakan pencabutan IMB tersebut ia anggap tidak sesuai prosedur karena tidak transparan dan sewenang-wenang. Pasalnya, beberapa kali (14 Januari 2008, 4 Agustus 2009 dan 2 Febuari 2009 dan upaya yang terakhir tanggal 24 Maret 2009) pihak HKBP telah mengajukan surat kepada walikota untuk berdialog namun tidak ditanggapi.31 Berangkat dari ketidakpuasan ini, HKBP Cinere menempuh jalur hukum, dan pada 6 Mei 2009, melayangkan gugatan terhadap Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail ke Pangadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Bandung.32 Dalam kasus pencabutan IMB Gereja HKBP Cinere, pihak yang paling dominan perannya dalam kasus ini adalah Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail. Nur Mahmudi mengeluarkan SK pencabutan pada 27 Maret 2009 dengan mencantumkan alasan-alasan sebagaimana dijelaskan di atas. Dalam satu kesempatan ia menyatakan bahwa izin gereja HKBP Cinere bermasalah dan tidak valid33, sama seperti yang disuarakan oleh warga Cinere, yang tergabung dalam Selasa, 28 Oktober 2008. 30 “IMB Gereja HKBP Cinere Tetap Dicabut”, Republika Newsroom, Senin, 04 Mei 2009 31 “Wali Kota Depok Cabut IMB Gereja”, Republika Newsroom, 30 April 2009 32 “HKBP Gugat Wali Kota Depok”, Koran Tempo, Kamis, 7 Mei 2009 33 “IMB Gereja HKBP Depok Dicabut”, www.kompas.com, Rabu, 29 april 2009 384 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Forum Masyarakat muslim se-Depok yang mensinyalir nama-nama warga yang mendukung pembangunan gereja fiktif. Koordinator warga muslim, Dodi KH misalnya mengatakan: ‘’Dari nama-nama yang tercantum dalam izin lingkungan paling hanya segelintir orang yang benar-benar warga dekat lingkungan pembangunan gereja. Sementara itu, sisanya adalah data warga yang tidak jelas alamatnya.”34 Klaim warga muslim ini nampaknya sejalan dengan pandangan Nur Mahmudi sendiri yang menganggap IMB HKBP Cinere bermasalah. Ia juga mengklaim proses pencabutan dilakukan dengan sangat hati-hati. Misalnya sebelum pencabutan, ia berkonsultasi terlebih dahulu dengan Bupati Bogor Rahmat Yasin dan Pakem setempat.35 Apa sesungguhnya maksud Nur Mahmudi menyatakan IMB HKBP Cinere bermasalah? Apakah terkait dengan substansi IMB atau pencatutan nama-nama warga yang tidak valid atau berkaitan dengan hal lain, Nur Mahmudi tidak menjelaskan lebih jauh. Apabila terkait yang pertama, salah satu pasal dalam IMB yang dikeluarkan Pemkab Bogor pada 13 Juni 1998 dinyatakan: apabila dalam waktu 6 bulan surat izin dikeluarkan tidak ada kegiatan pembangunan, maka IMB tersebut tidak berlaku lagi. Namun jika menghitung rentang waktu keluarnya IMB (13 Juni) dengan pembangunan dimulai (24 Oktober 1998), maka IMB tersebut tidak bermasalah. 34 “Nama Warga Di Catut, Gereja HKBP Di Minta Tutup”, http://dakta. com, Selasa, 28 Oktober 2008) 35 “Umat Kristiani Dminta Memahami Pencabutan Izin Gereja HKBP”, www.kompas.com, Rabu, 29 april 2009. BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 385 Namun, jika terkait dengan klaim pencatutan namanama warga, maka Nur Mahmudi hanya berdasar pada pandangan satu pihak yakni umat muslim yang keberatan. Sementara dari pihak HKBP, tidak dipertimbangkan. Salah seorang anggota DPRD Kota Depok Ritandiono juga mempermasalahkan SK Walikota tanpa mempertimbangkan pandangan pihak HKBP sendiri. Mencabut IMB dengan alasan sepihak adalah tindakan yang sangat ceroboh, bahkan mengganggu kerukunan umat beragama di Indonesia.36 Persekutuan Gereja-Gereja se-Indonesia Setempat (PGIS) Depok menyimpulkan bahwa alasan utama Nurmahmudi mencabut IMB adalah desakan sepihak umat muslim Cinere dan bukan karena alasan hukum yang jelas. Dengan tindakannya tersebut, PGIS menilai Nur Mahmudi telah melanggar prosedur yang ditetapkan dalam PBM.37 Dalam surat PGIS yang ditujukan kepada Nur Mahmudi dikatakan: “Jika mengacu kepada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri Tahun 2006 dalam ketentuan pasal 21, maka sebelum terjadinya pencabutan IMB dan apabila dianggap ada perselisihan seharusnya dilakukan terlebih dulu musyawarah baik dengan masyarakat setempat maupun bersama walikota maupun instansi terkait.” Dalam PBM, ada kewajiban bagi pemda untuk memfasilitasi umat beragama untuk memperoleh tempat ibadah apabila mendapat penolakan seperti yang dialami HKBP Cinere. Maksud dari memfasilitasi ini adalah relokasi dan “Cabut IMB HKBP, Nur Mahmudi Menuai Kritik”, Media Indonesia, 4 Mei 2009 37 “Diprotes, Pencabutan IMB HKBP Cinere Alasan Pemkot Tidak Logis”, Suara Pembaruan, 28 April 2009. 36 386 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA jaminan perizinan dari pihak pemda di lokasi yang baru. Namun, hal ini dipahami berbeda oleh walikota. Nur Mahmudi mempersilakan agar pihak gereja HKBP merelokasi tempatnya asal memenuhi persyaratan yang berlaku.38 Ini berarti pihak HKBP harus mengurus perizinan mulai dari awal, yang mana tidak ada jaminan tidak ditolak kembali. Lalu bagaimana sikap FKUB Depok sendiri terhadap keluarnya SK Walikota tersebut? Ada dua sikap yang berkembang. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa tindakan pencabutan IMB adalah bentuk sikap arogan pemerintah menggunakan kekuasaan. Mencabut izin tidak semudah yang dibayangkan, karena ada aturannya. Namun hal itu tidak dipenuhi oleh Nur Mahmudi.39 Sementara pendapat kedua menyatakan bahwa tindakan walikota mencabut IMB sudah berjalan pada trek yang benar, artinya secara prosedur pencabutan tersebut sudah sesuai dengan aturan. Misalnya sudah mempertimbangkan masukan (rekomendasi) dari Kantor Departemen Agama Depok dan FKUB. Selain itu, menurut pendapat ini, walikota juga mengakomodir aspirasi umat Islam yang menolak keberadaan gereja.40 Pada 2 Juni 2008 lalu, FKUB Depok mengeluarkan rekomendasi permohonan IMB Gereja HKBP Cinere. Dalam surat rekomendasi ini, FKUB menyebut soal adanya penolakan dari umat muslim Cinere, lalu surat penghentian sementara pembangunan dari Walikota Depok terdahulu, kemudian hasil investigasi FKUB ke lokasi dan hasil rapat pleno khusus FKUB. Memperhatikan berbagai hal tersebut, “IMB Gereja HKBP Cinere Tetap Dicabut”, Republika Newsroom, Senin, 04 Mei 2009. 39 Wawancara Pdt. Lodewijk Gultom, 09 Mei 2009. 40 Wawancara dengan Ketua FKUB Depok Farid Hadjiri, 13 Mei 2009 38 BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 387 FKUB meminta Walikota Depok untuk melakukan pendekatan kepada pihak-pihak terkait dengan semangat kekeluargaan. Di sini tidak ada satupun yang merekomendasikan agar walikota segera menerbitan IMB. Menurut Lodewijk Gultom, rekomendasi ini memang bersifat netral dan tidak ada kaitannya dengan IMB, apalagi meminta mencabut IMB. Namun bagi Farid Hadjiri, rekomendasi ini memang menyerahkan solusi penyelesaian kasus HKBP Cinere di tangan Walikota sampai final. Apapun hasilnya, FKUB tidak lagi berwenang melakukan intervensi. Namun bagi Lodewijk, pemahaman terakhir ini justru tidak mencerminkan tujuan FKUB membangun kerukunan. Lodewijk mengatakan: “Karena kita di FKUB adalah forum membangun kerukunan, jadi kalau ada yang tidak rukun akibat perbuatan kita, berarti kita gagal. Seharusnya produk FKUB itu mendorong kepada proses terjadinya kerukunan.” Dua pendapat ini nampaknya bermuara dari ketidaktegasan rekomendasi FKUB Depok sendiri yang mengakibatkan munculnya berbagai penafsiran dari dalam. Satu pendapat menganggap tugas FKUB hanya sebatas member rekomendasi, sementara yang lain menganggap FKUB harus punya tanggungjawab terhadap implikasi rekomendasi yang dikeluarkan. 2. Penolakan Gereja-gereja di Kab. Bandung Setelah terbitnya PBM, di Kabupaten Bandung telah terjadi sejumlah kasus penyerangan dan penolakan tempat ibadah, khususnya gereja. Dalam tulisan ini akan diungkap beberapa kasus yang memiliki pola kasus hampir mirip. 388 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Beberapa kasus tersebut adalah: kasus desakan penutupan Gereja Bethel Pentakosta Indonesia (GBPI) Pesawahan, Dayeuhkolot, kasus pembubaran paksa jemaat Geraja Bethel Indonesia (GBI) Majalaya dan kasus perusakan dan penganiayaan terhadap rumah Pendeta Robby Eliza yang digunakan sebagai tempat ibadah oleh Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) di Perumahan Umum Gading Tutuka Cingcin, Ketapang. Kasus pertama yang menimpa GBPI Dayeuhkolot yang berlokasi di Jalan Cibiuk Kapling No. 2 Desa Pesawahan terjadi pada Minggu 11 Januari 2009. Kasus ini bermula dari kedatangan massa dari Divisi Anti Pemurtadan (DAP) Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) yang berjumlah 200 orang. Mereka melakukan demonstrasi dan mendesak GBPI Dayeuhkolot segera ditutup. Tidak hanya itu, Pihak Gereja juga dipaksa menandatangani surat berisi penutupan gereja yang akan dilakukan dalam waktu 7X24 Jam. Turut hadir dalam kejadian tersebut Muspika dan aparat keamanan yang ikut menyaksikan serta melakukan pengamanan. Guna mencari pemecahan dari kasus tersebut, telah diadakan rapat yang bertempat di kantor Kecamatan Dayeuhkolot Kab. Bandung pada 12 Januari 2009, pukul 14.00.41 Desakan penutupan tempat ibadah ini dilakukan DAP karena gereja yang dipimpin Pdt. Ev. Jamanarik Nainggolan ini dianggap tidak memiliki izin legal serta dugaan penggunaan rumah tinggal sebagai tempat ibadah. Selain dugaan tersebut, gereja yang mulai kegiatan pada tahun 1990 ini diduga melakukan pemurtadan terhadap warga di Cibiuk. 41 http://fkki-jabar.blogspot.com, Rabu, 21 Januari 2009. BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 389 Karena itu warga mendesak agar pemerintah menertibkan gereja tersebut.42 Kasus kedua, pembubaran paksa jemaat Geraja Bethel Indonesia (GBI) Majalaya terjadi pada 11 Februari 2007. Penyerbuan gereja yang berlokasi di Kampung Waruspangka, Desa Padawulan, Kecamatan Majalaya ini dilakukan oleh 50 orang juga dari DAP FUUI. Mereka mempersoalkan pemanfaatan rumah untuk tempat ibadah. Ketika penyerbuan berlangsung, puluhan anggota jemaat dari GBI tersebut sedang beribadah. Menurut pimpinan jemaat GBI, Alner Mbaloto, warga memprotes dan menganggap kegiatan GBI melanggar PBM tentang syarat pendirian tempat ibadah itu. Bagi Alner, hal ini terpaksa dilakukan karena izin membangun tempat ibadah tak kunjung diberikan, baik oleh pemerintah maupun persetujuan warga setempat. Kepala Kepolisian Sektor Majalaya Ajun Komisaris Irfan Nugraha menjelaskan, kegiatan peribadatan di rumah itu sudah berlangsung lama. Awalnya warga sekitar mengizinkan, tapi belakangan pengurus RW dan Dewan Keluarga Masjid (DKM) setempat berkeberatan. Irfan menambahkan, Koordinator DAP Suryana Nur Fatwa mengatakan jika kelompoknya hanya ingin menegakkan aturan berdasarkan Peraturan Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 bahwa pendirian rumah ibadah minimal memiliki 90 anggota jemaat dari warga setempat. Namun nyatannya rumah ibadah itu hanya dipakai oleh tiga keluarga, sehingga mendorong penyerbuan tersebut.43 Kasus ketiga terjadi pada 15 Juni 2007 yakni penyerbuan, perusakan dan penganiayaan terhadap rumah Pendeta http://antipemurtadan.wordpress.com, 14 Februari, 2009. “Menata Dakwah Islam yang Toleran”, http://www.cmm.or.id, 7-Maret 2007. 42 43 390 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Robby Eliza yang digunakan sebagai tempat ibadah di Kompleks Gading Tutuka I Blok F1 No. 12 A, Desa Cingcin, Kecamatan Ketapang. Robby Eliza, pimpinan Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) tersebut, mengatakan bahwa ada sekitar 100 umat non-Kristen yang menyerang tempat mereka tatkala ibadah Minggu sedang berlangsung. Menurut keterangannya, istrinya sendiri mengalami pemukulan, sementara empat mosaik kaca bergambar Yesus telah hancur. Penyerbuan ini dilakukan oleh Badan Anti Pemurtadan (BAP). Menurut Eliza, gereja yang dikelolanya sangat kecil dan hanya terdiri dari kongregasi 20 orang dewasa, 40 remaja dan anak-anak. Gereja terdekat ada di kota yang terlalu jauh letaknya, sementara umat di sana perlu tempat untuk beribadah. Penyelesaian kasus tersebut melalui musyawarah dilakukan di kantor Kecamatan Ketapang pada 14 Juni namun menemui jalan buntu. Bahkan, mereka yang menolak mendesak dan menekan agar Eliza menandatangani kesepakatan yang intinya menghentikan kegiatan keagamaan selama belum mempunyai izin. Namun Eliza tidak mau menandatangani kesepakatan tersebut. Dan dia lebih meminta penyelesaian ditangani oleh Pemkab Bandung, dalam hal ini Bupati Bandung. Dan penyelesaian ini diselesaikan secara hukum. Ketiga kasus tersebut muncul dari masalah izin yang tidak dimiliki ketiga gereja yang menjadi korban yang menjadi alasan organisasi-orgsnisasi seperti DAP maupun BAP melakukan aksi penyerangan. Seorang anggota DAP misalnya mengatakan: “Kalau mereka mengantongi izin resmi, kami tidak masalah. Seluruh gereja yang resmi tidak kami persoalkan. Yang BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 391 kami persoalkan adalah rumah yang dijadikan gereja. Karena kami anggap itu gereja illegal.”44 Bagaimana sikap FKUB Kab. Bandung sendiri, apakah mereka juga punya sikap yang sama dengan DAP? FKUB Kab. Bandung melihat bahwa munculnya penolakan terhadap keberadaan rumah ibadah di Kabupaten Bandung disebabkan adanya kelompok di masyarakat yang melihat rumah ibadah bersangkutan tidak memenuhi persyaratan mendirikan rumah ibadah. Bagi FKUB, sikap sebagian masyarakat ini sah-sah saja karena mereka punya alasan yang kuat, seperti penggunaan rumah tinggal sebagi tempat ibadah. “Walaupun alasannya macem-macem, misalnya arisan, tetapi dengan nyanyi-nyanyi sehingga tetangga-tetangga juga kaget. Itu yang jadi permasalahan.” Penyebab lain menurut FKUB adalah tradisi agama khususnya Kristen Protestan yang sangat aktif mendirikan rumah ibadah baru meskipun sudah ada gereja di lokasi yang sama. Di Kabupaten Bandung, banyak kasus penutupan gereja Kristen Protestan karena pihak yang menutup melihat sudah ada gereja Kristen Protestan di tempat tersebut. 45 Dan penyebab yang paling mendasar adalah ketidaksiapan sebagian masyarakat menerima keyakinan berbeda hadir di lingkungan mereka. “Jangankan beda agama, masih 44 “Rumah Jadi Tempat Ibadah Dibubarkan Paksa di Bandung”, www.detik. com, Minggu, 11/02/2007. 45 Wawancara Yudi Wildan, anggota FKUB Kab. Bandung 4 Mei 2009 392 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA satu agama beda ormas saja kadang masih ada sedikit ganjalan” kata Usep Dedi, Wakil Ketua FKUB Kab. Bandung. Menyikapi problem tersebut, FKUB Kab. Bandung sendiri melihat aturan harus menjadi pegangan semua pihak termasuk mereka yang tidak setuju terhadap satu rumah ibadah. FKUB Kab. Bandung melihat umat Kristen yang sering menjadi korban juga harus dilindungi karena hak-hak mereka dijamiin undang-undang. Termasuk dalam memberikan rekomendasi kepada rumah ibadah yang ingin mengajukan IMB, FKUB Kab. Bandung berpegang pada aturan. Apabila ada persyaratan yang tidak terpenuhi, FKUB tidak akan mengeluarkan rekomendasi. Pada kenyataannya, FKUB Kab. Bandung tidak selalu berpegang pada aturan yang ada dalam PBM, karena lembaga ini juga kerap tidak mengeluarkan rekomendasi meskipun berbagai persyaratan sudah terpenuhi, seperti yang dialami Gereja Bethel Tabernakel di Taman Kopo Indah 2 Margahayu. FKUB Kab. Bandung tidak mengeluarkan rekomendasi untuk gereja ini karena MUI dan Muspika setempat menolak izin gereja. Alasan FKUB, mereka tidak ingin ketika mengeluarkan rekomendasi menjadi masalah di kemudian hari. Usep Dedi mengatakan: “Saran kami agar mereka sabar dulu daripada rekomendasi keluar malah ibadah mereka terganggu. Sebab yang membuat kami bingung, masyarakat mempersilahkan umat ini beribadah tidak usah izin. Alasan mereka, selama ini mereka kan tidak pernah diganggu, tapi kalau keluar surat izin baru akan diganggu.” Pernyataan Usep ini menunjukkan bahwa FKUB Kab. Bandung tidak selalu perpegang pada aturan yang ada, pendapat tokoh-tokoh seperti MUI juga dipertimbangkan guna BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 393 memutuskan mengeluarkan atau tidak rekomendasi rumah ibadah, seperti yang dialami GBT Margahayu di atas. 3. FKUB di Hadapan Pemerintah Daerah Salah satu isu penting berkaitan dengan posisi FKUB berhadapan dengan pemerintah daerah adalah soal peran fasilitator pemerintah daerah terhadap FKUB. Sebagaimana diatur dalam PBM, hubungan FKUB dengan pemda bersifat konsultatif (pasal 8 ayat 3). Ketentuan ini jelas berarti bahwa FKUB bukan alat pemerintah dan sepenuhnya independen dari intervensi pemerintah. Peran pemerintah dalam FKUB adalah sebagai fasilitator dalam hal anggaran dan kelengkapan organisasi. Namun salah satu peran pemerintah dalam FKUB sebagaimana diatur PBM adalah sebagai Dewan Penasehat guna melakukan pemberdayaan FKUB. Tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan peran pemberdayaan ini. Namun dalam Rapat Koordinasi Nasional FKUB Se-Indonesia yang dilaksanakan di Bandung, 6-8 Agustus 2008 lalu dijelaskan, sebelas hubungan kerja FKUB dengan Dewan Penasehat. Beberapa yang menurut kami dimaknai sebagai peran pemberdayaan antara lain: 1. FKUB dapat meminta bantuan Dewan Penasehat apabila mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan bulat melalui proses musyawarah mufakat. 2. Dewan Penasehat dapat mendorong terwujudnya keterpaduan di kalangan anggota FKUB sehingga diharapkan dapat terciptanya harmonisasi di kalangan anggotanya. 3. Dewan Penasehat, diminta atau tidak diminta, dapat mengundang FKUB membahas suatu persoalan aktual di masyarakat yang dipandang dapat mengganggu kerukunan umat beragama. 394 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 4. FKUB dapat mengundang Dewan Penasehat untuk membahas berbagai aspirasi umat beragama yang ditampung dan disalurkan oleh FKUB antara lain yang berkenaan dengan kebutuhan pelaksanaan peringatan keagamaan bagi dua atau lebih agama yang bersamaan waktunya.46 Poin-poin tersebut belum banyak yang terealisir karena baru dihasilkan beberapa bulan yang lalu. Dan pola hubungan FKUB baik di Kab. Bandung maupun Depok selama ini lebih banyak mengacu pada pendekatan masingmasing daerah. Yang sudah berjalan, pemerintah daerah yang diwakili Dewan Penasehat membuat agenda pertemuan berkala antara FKUB dan Dewan Peasehat. Di Depok, hal itu dilakukan setiap hari Sabtu bertempat di kantor Kesbang Linmas atau di Kantor Walikota. Namun dalam praktiknya pertemuan tersebut baru diadakan apabila ada hal yang dianggap penting.47 Sementara di Kab. Bandung rapat dengan pemerintah (Kesbang Linmas dan Depag) diadakan sekali sebulan. Namun semenjak Nopember 2008 sudah tidak pernah lagi diadakan.48 Dalam hal fasilitasi anggaran, baik FKUB Depok maupun FKUB Kab. Bandung merasa dukungan dari Pemerintah Daerah sangat minim. Mereka melihat, seharusnya pemda konsisten dengan PBM yang telah mengamanatkan pemberdayaan FKUB di setiap daerah harus didukung sepenuhnya termasuk mengalokasikan anggaran melalui APBD. http://klikfkub.wordpress.com/2009/03/, 31 Maret 2009. Wawancara Pdt. Lodewijk Gultom, 09 Mei 2009. 48 Wawancara dengan Anggota FKUB Kab. Bandung Maladi Dani, 04 Mei 2009. 46 47 BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 395 Seperti yang dikeluhkan para anggota FKUB Kab. Bandung, hingga saat ini FKUB Kab. Bandung belum memiliki kantor sendiri dan harus menumpang di kantor Kesbang Linmas. Begitu juga dalam hal anggaran operasional termasuk untuk realisasi program, dukungan dana dari pemda tidak jelas. “Sebagaimana kebiasaan forum, nampaknya tidak ada juklak (petunjuk pelaksanaan), juknis (petunjuk teknis) dari atas bahwa uang harus diberikan segini-segini, itu tidak ada. Anggarannya tidak jelas. Karena itu kita sampaikan hal itu yang membuat gerakan kami tidak bisa sistematis.”49 Meskipun tidak separah yang dialami FKUB Kab. Bandung, di Depok dukungan pemda juga belum maksimal. Meskipun Ketua FKUB Depok mengakui bahwa sudah ada dukungan dana, namun tidak didasari satu struktur anggaran yang baku, sebagaimana yang dilakukan Pemda Depok terhadap program-program pemda sendiri. Yang selama ini berjalan, Pemda Depok akan menurunkan anggaran apabila FKUB sendiri mengajukan usulan, tidak ada langkah proaktif dari pemda untuk membuat pos anggaran FKUB ketika menyusun APBD. Pendekatan pemda seperti ini yang juga diterapkan kepada ormas-ormas keagamaan yang mengajukan anggaran ke pemda. Kenyataan di atas memunculkan pertanyaan dari FKUB sendiri bahwa yang dimaksud memfasilitasi itu sesungguhnya apa? Apakah dukungan anggaran sepenuhnya, termasuk menyediakan kantor, menyediakan staf, gaji bulanan, biaya operasional dan lain-lain atau seperti apa? Wawancara dengan Wakil Ketua FKUB Kab. Bandung Usep Dedi, 05 Mei 2009. 49 396 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Apabila pertanyaan ini dihadapkan kepada pemerintah khususnya Departemen Agama, mantan Kepala Badan Litbang Depag Atho Mudzhar menegaskan bahwa seluruh anggaran FKUB yang masuk dalam anggaran pemeliharaan kerukunan umat beragama diambilkan dari APBN maupun APBD.50 Jadi tidak ada alasan bagi pemda untuk tindak mengalokasikan anggaran FKUB dalam APBD setiap tahunnya. Isu lain terkait hubungan FKUB dengan pemerintah daerah adalah menyangkut independensi forum ini dari intervensi dan kooptasi pemda terkait rumah ibadah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pelaksanaan PBM di daerah lebih banyak ditentukan oleh penafsiran kepala daerah, karena itu kebijakan antara satu daerah dengan daerah lainnya tidak seragam, termasuk dalam masalah rumah ibadah. Di Kota Depok, walikota menerbitkan SK pencabutan IMB HKBP Cinere dengan tujuan menjaga kerukunan umat beragama di Kota Depok sebagaimana diamanatkan PBM. Dengan SK ini, walikota menilai tindakannya tersebut sebagai implementasi tugas-tugas kepala daerah yang diatur dalam PBM. Sementara di Kab. Bandung, Pemda telah memiliki sejumlah kebijakan yang mengatur soal rumah ibadah ini. Pada tahun 2004, Bupati Bandung mengeluarkan surat yang dikirimkan kepada seluruh pimpinan gereja di wilayah Kabupaten Bandung No. 452.21/1829/ Kesbang tanggal 3 September 2004 perihal larangan penggunaan rumah tinggal sebagai rumah peribadatan. Sebelumnya Bupati Bandung Obar Sobarna juga mengeluarkan Surat Edaran No. 4522/1949/Sosial/2001 tentang larangan penggunaan ruHal tersebut dikatakan Atho Mudzhar dalam rapat kerja dengan Panitia Adhoc III DPD, di gedung DPR Senayan Jakarta, Senin 27 Februari 2006. http://www.ob.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=342, 9 Maret 2006 50 BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 397 mah tinggal untuk tempat peribadatan. Setahun sebelumnya keluar Perda No 24/2000 tentang IMB yang melarang pengalihfungsian rumah tinggal sebagai tempat ibadah. Menurut perda tersebut setiap pengalihfungsian rumah tinggal akan dijerat pidana kurungan enam bulan, atau denda Rp 5 juta. Aturan-aturan ini memang keluar sebelum PBM diterbitkan dan masih menggunakan Perber 2 Menteri tahun 1969. Namun hingga saat ini, berbagai aturan tersebut tidak pernah dicabut dan masih dijadikan kebijakan resmi Pemkab Bandung. Dengan adanya berbagai aturan daerah tersebut, FKUB mempunyai tugas melakukan sosialisasi terhadap aturan-aturan terkait kerukunan umat beragama. Dalam konteks ini, FKUB juga memiliki hak untuk menilai apakah aturan-aturan tersebut berdampak terhadap peningkatan kerukunan atau justru sebaliknya. Dalam konteks SK pencabutan IMB HKBP Cinere oleh Walikota Depok, FKUB Depok justru tidak memiliki sikap yang tegas, salah satu pendapat anggota forum ini justru menilai langkah yang diambil Walikota Depok (mengeluarkan SK) sudah pada trek yang benar. Sementara di Kab. Bandung, FKUB juga tidak memiliki sikap yang jelas terhadap berbagai aturan tentang rumah ibadah yang ada, FKUB sendiri masih bergulat dengan persoalan administrasi internal, karena dukungan Pemkab Bandung sangat kurang. Karena itu, FKUB tidak pernah melakukan penyikapan terhadap berbagai aturan yang ada di kabupaten ini terkait rumah ibadah. Bahkan ketika Pemkab Bandung menutup 8 gereja di Rancaekek pada 6 Januari 2006 lalu, Bupati Obar Sobarna (saat ini masih menjabat bupati untuk periode kedua) mengatakan: 398 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA “Setiap rumah tinggal tidak boleh dijadikan tempat peribadatan. Menurutnya, izin peruntukan rumah tinggal tidak boleh disalahgunakan menjadi tempat beribadah. Bagi warga yang ingin mendirikan tempat peribadatan diminta mengikuti prosedur yang berlaku.”51 Pernyataan ini adalah sikap resmi Pemkab Bandung hingga kini, sikap yang digunakan sebagai dalih oleh kelompok-kelompok yang melakukan penyerangan dengan terhadap sejumlah rumah ibadah, seperti DAP. FKUB Kab. Bandung tidak mempunyai sikap yang pasti mengenai cara pengelolaan konflik rumah ibadah seperti ini. H. Analisis Temuan: Beberapa analisis yang bisa diambil dari temuan-temuan di atas adalah: 1. PBM 2 Menteri No. 8 dan 9 tahun 2006 adalah aturan yang memberi tanggungjawab yang lebih besar kepada masyarakat untuk mengelola dan memelihara kerukunan umat beragama, termasuk dengan pembentukan FKUB hingga di tingkat kabupaten. Hal ini adalah satu upaya yang baik untuk memperkecil peran negara dan memperbesar peran masyarakat dalam persoalan yang seharusnya menjadi urusan masyarakat. Di samping itu, PBM ini juga memberi jaminan bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak mereka memiliki rumah ibadah. Namun demikian, implementasi PBM di lapangan tidak seideal yang tertuang dalam pasal-pasalnya. Soal pembentukan FKUB misalnya, selain “Pemkab Bandung Tutup Delapan Gereja,” Sinar Harapan, Senin, 9 Januari 2006. 51 BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 399 masih dominan peran pemerintah dan minimnya peran masyarakat, sering terjadi kisruh mengenai representasi dan jumlah perwakilan masing-masing agama yang akan duduk di dalam forum ini. Hal ini di satu sisi disebabkan masih adanya anggapan bahwa yang duduk di FKUB adalah membawa kepentingan agama, di sisi lain karena FKUB bisa menjadi akses terhadap pemerintah daerah. 2. Kenyataan ini menunjukkan bahwa FKUB belum bisa dianggap sebagai forum membangun kerukunan. Forum ini lebih tepat dilihat sebagai eksperimen pemerintah untuk memutus rantai birokrasi (debirokratisasi) kerukunan yang selama ini diprotes banyak kalangan. Kenyataan tersebut mengakibatkan para anggota yang duduk di dalamnya juga tidak memiliki kriteria yang jelas termasuk soal pandangan mereka terhadap kerukunan dan perbedaan. Bagaimana forum ini akan membangun kerukunan dalam arti semua orang menghargai hak kebebasan beragama sebagaimana dijamin UUD 1945 apabila di internal FKUB sendiri masih berdebat soal arti kerukunan itu sendiri. 3. Dengan posisi FKUB yang demikian, maka tidak mengherankan apabila kebutuhan terhadap forum ini tidak benarbenar datang dari masyarakat sendiri, melainkan lebih banyak dari pemerintah. FKUB bukanlah kebutuhan asli masyarakat karena mereka membutuhkan sebuah wadah bersama guna menyelesaikan problem yang mereka hadapi. Dari temuan tentang proses berdirinya FKUB, menunjukkan bahwa forum ini adalah kebutuhan pemerintah, selain untuk menjembatani problem rumah ibadah yang selama ini ditangani langsung pemerintah, ada kepentingan dari pemerintah untuk mencari perlindungan dari masyarakat sendiri apabila tidak menerbitkan izin satu rumah ibadah. Selain itu dalam hal program, FKUB juga tidak bisa lepas dari pemerintah sebagai penyo- 400 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA kong anggaran operasional maupun program. Dengan demikian, FKUB lebih banyak menunggu daripada menciptakan program secara mandiri. Hal ini juga tidak lepas dari sikap pemerintah yang “setengah hati” mendukung program-program FKUB, pemerintah sendiri tidak konsisten menjalankan PBM yang mengamanatkan FKUB didukung sepenuhnya oleh APBN dan APBD. Ini mengakibatkan FKUB cenderung dikooptasi birokrasi, tidak independen, tidak efektif, bahkan terkesan pembentukan forum ini hanya untuk memenuhi kewajiban PBM. 4. Salah satu tujuan diterbitkannya PBM 2 Menteri Tahun 2006 adalah sebagai acuan yuridis bagi pemerintah maupun FKUB dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tempat ibadah di lapangan secara adil. Dalam praktiknya, muncul kelompok-kelompok yang menolak pendirian rumah ibadah, bahkan tidak jarang menggunakan cara-cara kekerasan seperti pemaksaan dan penganiayaan. FKUB yang seharusnya berdiri netral justru lebih berpihak kepada mereka yang menolak. Kasus terbitnya surat pencabutan IMB HKBP Cinere oleh Walikota Depok dimana FKUB seakan membenarkan tindakan Walikota Depok dengan menyerahkan solusi final masalah tersebut kepada pihak walikota. Ini menunjukkan bahwa netralitas FKUB masih dipertanyakan sekaligus membuktikan bahwa mereka tidak memahami secara utuh PBM 2 Menteri tersebut. 5. Dalam masalah pendirian rumah ibadah, peran FKUB Kabupaten cukup sentral karena rekomendasi yang dia keluarkan sangat menentukan izin rumah ibadah keluar atau tidak. Pemerintah daerah tidak akan memproses izin rumah ibadah tanpa ada rekomendasi dari FKUB. Namun dalam praktiknya, rekomendasi FKUB juga tidak begitu saja dikeluarkan. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi BEREBUT KUE FKUB: FKUB KOTA DEPOK DAN KABUPATEN BANDUNG PASCA PBM 401 pihak rumah ibadah seperti jumlah umat 90 orang dan jumlah orang yang mendukung 60 orang. Selain itu, persyaratan tersebut tidak cukup dengan bukti-bukti tandatangan dan KTP, pihak FKUB sendiri harus melakukan survei ke lapangan untuk melakukan verifikasi data dan menanyakan masyarakat sekitar calon rumah ibadah soal persetujuan mereka. Dalam kegiatan ini, FKUB sering mendapatkan pengurus RT, RW atau warga sekitar yang tidak setuju rumah ibadah berdiri. Atau seperti kasus GBT Margahayu, ada anggota MUI dan Muspika setempat yang menolak, padahal berbagai persyaratan sudah terpenuhi. Penolakan-penolakan yang muncul di luar persyaratan yang sudah terpenuhi ini justru yang kerap membuat FKUB kabupaten urung mengeluarkan rekomendasi. Dengan berbagai persyaratan pendirian rumah ibadah yang sudah diatur dalam PBM, ditambah berbagai pertimbangan dilapangan, sangat membuka kemungkinan –bahkan sudah terjadi di beberapa tempat—FKUB tidak mengeluarkan rekomendasi dengan alasan sepihak. Meskipun ada aturan di mana pemerintah berkewajiban memfasilitasi pengadaan rumah ibadah di tempat lain, namun aturan ini ditafsirkan bermacam-macam oleh pihak Pemda. Dalam posisi ini FKUB tidak bisa mengintervensi keputusan Pemda. Dan ini menunjukkan bahwa keberadaan FKUB sesungguhnya tidak memudahkan pendirian rumah ibadah tetapi cenderung menghambat dan mempersulit. I. Kesimpulan dan Rekomendasi Dari temuan-temuan riset ini dapat disimpulkan bahwa FKUB memang masih dalam tahap menemukan bentuknya, mskipun sudah ada arah yang ingin dituju yakni memperbesar 402 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA peran masyarakat. Terbitnya PBM sebagai acuan masih mengandung banyak kelemahan dan tidak member kepastian hukum sehingga memunculkan multitafsir, termasuk oleh FKUB di setiap daerah. Kasus dua FKUB (Depok dan Kabupaten Bandung) ini memperlihatkan pemahaman para anggota FKUB terhadap tugas pokok mereka dan bagaimana diimplementasikan di lapangan tidak sama. Karena itu, diperlukan peninjauan ulang terhadap PBM dalam beberapa aspek yang menjadi problem dalam penelitian ini. Epilog: Pandemi Ideologi Puritanisme Agama1 RUMADI B EBERAPA waktu lalu, the Wahid Institute meluncurkan buku berjudul Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional ke Indonesia (16/5/09). Buku yang berisi laporan riset tentang munculnya “gerakan Islam baru” yang mengancam keberadaan “gerakan Islam lama” ini menimbulkan sejumlah kontroversi, baik menyangkut substansi maupun isu ancaman pemasaran. Ada yang mengatakan, buku ini berisi fitnah, mengadu domba umat Islam dan sebagainya. Ada juga yang mencoba memahami bahwa buku ini memang tidak untuk tujuan akademik, tapi lebih sebagai advokasi, sehingga aspek-aspek akademik tidak menjadi perhatian utama. Komentar-komentar tersebut tentu tidak seluruhnya salah, namun yang jelas buku ini mampu menunjukkan satu episode penting Beberapa bagian dari tulisan ini terdapat dalam Rumadi, Renungan Santri, Dari Jihad hingga Kritik Wacana Agama, (Jakarta: Erlangga, 2007) 1 404 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA dari perkembangan Islam di Indonesia, terutama semakin menguatnya gerakan kaum puritan Islam. Di luar buku ini, sebenarnya banyak yang sudah melakukan riset persoalan semakin merangseknya ideologi keagamaan puritan ke publik. Namun, buku ini mempunyai tempat tersendiri sehingga di tengah kontroversi itu banyak sekali orang yang ingin membaca buku itu, meski versi PDF-nya bisa didownload secara gratis lewat internet. Dengan gaya penulisan yang begitu vulgar, buku ini memberi warning yang cukup kuat tentang bahaya gerakan Wahabi. Dalam waktu yang hampir bersamaan, dalam jagat politik nasional ketika itu diramaikan dengan isu Wahabi. Hidayat Nurwahid, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Ketua MPR 2004-2009, isunya diajukan PKS menjadi calon wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pilpres 2009. Kabar ini beredar luas dan menimbulkan reaksi dimana-mana. Bahkan, Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, kabarnya mengirim surat khusus kepada Presiden SBY untuk menyatakan ketidaksetujuannya meskipun kabar ini kemudian dibantah. SBY sendiri kabarnya mencari informasi kebenaran hal ini, karena Hidayat Nurwahid memang salah satu cawapres yang cukup kuat ketika itu. Memang, SBY akhirnya tidak memilih Nurwahid, meskipun hal itu tidak sepenuhnya bisa dikatakan karena isu Wahabi. Hidayat sendiri merasa difitnah dengan isu Wahabi itu.2 Selama ini PKS memang menjadi salah satu sasaran isu wahabisme, karena asal usul gerakannya yang lekat dengan Wahabi.3 PKS berulangkali membuat bantahan bahwa mereka Lihat “Hidayat merasa Difitnah Wahabi dan Anti NKRI”, http://www. nu.or.id/page.php 30 April 2009. 3 Lihat Abdurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam, Eskpansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: the Wahid Institute, 2009), terutama Bab II dan IV. 2 EPILOG 405 bukan Wahabi dan Hidayat Nurwahid bukanlah pengikut Wahabi. Jelasnya, PKS tidak suka kalau mereka diidentifikasi sebagai Wahabi. Apa yang bisa kita maknai dari itu? Karakter keberagamaan Wahabi ternyata tidak disukai kebanyakan masyarakat kita. Bahkan, PKS yang latar belakang historisnya sangat dekat dengan Wahabi sekali pun, tidak mau dikatakan sebagai Wahabi. Namun demikian, tidak terlalu penting, apakah kelompok itu menyebut dirinya sebagai Wahabi maupun tidak, yang jelas ideologi wahabisme kini seperti pandemi yang sedang menggerogoti masyarakat. Dalam pertarungan politik, isu Wahabi sama persis dengan isu neoliberalisme. Cawapres Boediono yang disudutkan dengan tuduhan sebagai pengikut aliran neoliberalisme, menolak dan menganggap hal itu sebagai fitnah. Karakteristik Puritanisme Agama Salah satu karakter penting dari wahabisme adalah puritanisme. Memang, isu puritanisme bukan tipikal Islam semata. Hampir semua agama mempunyai sejarah dengan kelompok puritan. Banyak kalangan berpandangan, puritanisme4 agamaDalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “puritan” diartikan sebagai 1. orang yang hidup saleh dan menganggap kesenangan dan kemewahan sebagai dosa; 2. anggota mazhab protestan yang pernah berkembang pada abad ke-16 dan 17 di Inggris yang berpendirian bahwa kemewahan dan kesenangan adalah dosa. Sedang “puritanisme” berarti paham dan tingkah laku yang didasarkan pada ajaran kaum puritan. Lihat, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 910. Makna ini agaknya kurang selaras dengan maksud dalam pembahasan ini. Dalam tesaurus Bahasa Indonesia, kata “purifikasi” diartikan sebagai 1. pembersihan, penjernihan, penyaringan; 2. pemurnian penyucian. Lihat Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 495. 4 406 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA agama merupakan bagian perkembangan modernitas. Puritanisme agama dipandang sebagai salah satu bentuk respon kalangan agama terhadap perkembangan modernitas yang pernah diramalkan akan semakin meminggirkan peran agama. Agama akan runtuh seiring dengan proses modernisasi. Agama dipandang tidak mempunyai masa depan dalam kehidupan modern.5 Modernitas yang berwajah garang terhadap agama, ditanggapi kalangan agamawan dengan berdiri menantang sambil membuka lembar demi lembar kitab suci untuk menegaskan bahwa Tuhan ada di pihaknya. Memang, dalam perkembangannya puritanisme agama memang terkait dengan modernitas. Namun, ide tentang puritanisme itu sendiri pada awalnya tidak selalu terkait langsung dengan sesuatu yang berasal dari luar dirinya, seperti pergumulan dengan ide modernitas, tapi juga bisa berasal dari dalam dirinya sendiri. Pergumulan internal agamaagama sangat memungkinkan untuk membuka ruang terjadinya puritifikasi. Para sosiolog abad ke-19 awal abad ke-20 meramalkan hal ini. Bahkan, Peter L Berger pada awalnya termasuk sosiolog yang mengadvokasi teori modernisasi yang sinis terhadap agama. Hingga tahun 1970-an cara pandang demikian begitu kuat dalam teori sosiologi. Tapi, belakangan mulai direvisi. Modernisasi ternyata tidak sepenuhnya mampu “menundukkan” agama. Agama bahkan kadang tampil menjadi kekuatan yang menantang modernisasi, meskipun di pihak lain ada upaya untuk memparalelkan agama dan modernisasi. Peter L Berger belakangan merevisi pandangan-pandangannya soal agama dan modernisasi, setelah dia menyaksikan kenyataan agama justru semakin tampil ke ruang publik, tidak seperti yang dibayangkan modernisasi yang berusaha mengandangkan agama ke ruang privat. Muncullah istilah “agama publik” seperti dielaborasi secara tajam oleh Jose Casanova, Public Religion in the Modern World, (Chicago: The University og Chicago Press, 1994). Baca juga, Peter L Berger, Kabar Angin dari Langit, Makna Teologi dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: LP3ES, 1991). 5 EPILOG 407 Barangkali sudah menjadi nature dari perkembangan agama-agama. Di satu sisi ada kelompok yang berupaya untuk mengadaptasi agama dalam menghadapi gelombang perubahan, di pihak lain ada kelompok yang berupaya untuk mempertahankan identitas asli dan menolak segala bentuk pengaruh yang bisa merusak autentisitas agama itu. Memang, rumusan teoritiknya tidak sesederhana itu, namun bila dicermati secara seksama, semua pergumulan itu berujung pada dua poros di atas. Para peneliti persoalan ini sering membuat dikotomi untuk menandai dan menyebut dua kecenderungan di atas. Kelompok pertama sering disebut sebagai kelompok progresif, modernis, reformis bahkan liberal. Sedang kelompok kedua disering disebut sebagai kelompok fundamentalis, militan, ekstrimis, radikal, fanatik, puritan dan sebagainya.6 Istilah-istilah tersebut sekarang sering digunakan secara bergantian dengan makna yang sudah tumpang tindih. Namun demikian, penulis tidak sepenuhnya bisa menghindarkan diri dari tumpang tindih tersebut. Istilah puritanisme misalnya, sering disejajarkan dengan fundamentalisme, ekstrimisme, fanatisme dan seterusnya meskipun istilah-istilah tersebut mempunyai tekanan makna yang berbeda. Terlepas dari itu, penulis memilih istilah puritanisme untuk menunjuk pada kelompok agama yang berupaya untuk melakukan pemurnian atas agamanya. Asumsi dasarnya, agama yang dia peluk tidak lagi berada dalam bentuk yang sebenarnya karena adanya pencampuran dan pengaruh teologi dan praktik dari luar. Khaled Aboe el-Fadl lebih suka menggunakan istilah puritan karena ciri menonjol kelompok ini yang menganut paham absolutisme dan tak kenal kompromi. Dalam banyak Lihat Khaled Aboe el-Fadl, The Great Theft, Wrestling Islam from the Extremist, (San Fransisco: Harper San Fransisco, 2005), h. 16-19. 6 408 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA hal, orientasi kelompok ini cenderung menjadi puritan, dalam arti ia tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang pluralitas sebagai bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati agamanya.7 Dalam kaitan ini, puritanisme berbeda dengan fundamentalisme, bahkan istilah yang terakhir ini cukup problematis bila dikaitkan dengan Islam dan diperlawankan dengan kelompok progresif atau liberal. Mengapa? Semua kelompok aliran dalam Islam berkomitmen untuk menjalankan ajaran Islam secara fundamental. Bahkan, gerakan paling liberal sekali pun akan menegaskan bahwa cita-cita pendirian mereka adalah untuk merepresentasi ajaran-ajaran iman secara otentik. Problemnya, dalam konteks masyarakat Barat, istilah fundamentalis digunakan untuk menggambarkan kelompok-kelompok ekstrim dalam Kristen yang bersikeras menggunakan makna literal kitab suci. Mereka beranggapan, pemahaman teks suci yang semakin literal maka akan semakin mendekati kebenaran. Semakin jauh dari makna literal, maka semakin jauh dari kebenaran. Dengan demikian, kata kunci penting dalam ideologi puritanisme adalah autentisitas dan originalitas, atau lebih tepatnya klaim atas autentisitas itu. Mengapa? Semua umat beragama selalu menyebut keyakinannya sebagai “keyakinan sah” yang berasal dari Tuhan, sehingga bisa disebut sebagai keyakinan yang otentik. Namun problemnya, sebagian kalangan, baik dalam satu agama maupun antar agama, selalu ada cara pandang bahwa keyakinan yang berbeda dengan dirinya dianggap sebagai bentuk keyakinan yang palsu karena berbagai sebab. Sampai di sini bisa dipahami, konsep keautentikan hampir ada dalam semua agama dan aliran-alirannya. Dalam pengertian yang paling umum, keautentikan bisa dimaknai upaya untuk 7 Khaled Aboe el-Fadl, The Great Theft, h. 18. EPILOG 409 menjadi diri sendiri, bukan menjadi orang lain. Tidak perlu menuruti dan mengikuti petunjuk dari luar, tapi cukup dibimbing dengan sesuatu yang ada dalam dirinya.8 Jika pengertian ini dikaitkan dengan agama, maka muncul pemahaman bahwa beragama yang autentik adalah beragama yang tunduk pada makna awal agama itu. Dalam makna awal itulah keautentikan bersemayam. Karenanya, upaya untuk menggoyahkan makna awal harus ditentang karena hal itu bisa membahayakan autentisitas agama. Dalam tradisi Barat (dan juga Islam), konsep keautentikan memiliki karakteristik sebagai berikut: pertama, keautentikan dimulai dengan pemahaman tentang diri sebagai sesuatu yang unik, tidak memiliki sesuatu yang sama. Di sini ada kekhasan eksistensial yang menjadi pembeda dengan yang lain. Kedua, aktivitas manusia melahirkan keragaman kondisi-kondisi yang melandasi individualitas manusia. Pemikiran autentik dalam segala bentuknya menekankan bahwa umat manusia menciptakan sejarahnya yang berarti menciptakan diri sendiri. Hal yang membentuk manusia bukan hanya apa yang mereka pikirkan atau percayai, tapi juga apa yang mereka perbuat. Ketiga, pemikiran autentik sering melahirkan perlawanan terhadap kemodernan dan tradisi. Keempat, pemikiran autentik bisa berubah menjadi individualisme radikal, subyektivisme kognitif dan relativisme nilai.9 Dari ilustrasi di atas, ide tentang keautentikan ada dalam hampir semua kelompok masyarakat. Keautentikan memang tidak selalu terkait dengan agama, tapi juga bisa terkait dengan politik, bahkan filsafat. Meski demikian, ide dasar dari keautentikan adalah keinginan untuk kembali pada yang “asli”, karena dalam yang “asli” itu ada kebenaran. Hal-hal baru yang 8 9 Lihat Robert D Lee, Islam Autentik, (Bandung: Mizan, 2000), h. 11. Lihat Robert D Lee, Islam Autentik, h. 27-30. 410 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA bercampur dengan yang asli tak lebih sebagai debu kotor yang harus disingkirkan. Dari sinilah gagasan tentang puritanisme bertemu dengan istilah fundamentalisme. Dua istilah ini sebenarnya mempunyai tekanan makna yang berbeda. Jika puritanisme lebih mempunyai orientasi ke dalam (inward looking) sehingga agenda-agenda gerakan ini lebih pada upaya memperbaiki keyakinan keagamaan, sedang fundamentalisme lebih berorientasi ke luar (outward looking) meski aspek-aspek ke dalam menjadi spirit gerakan mereka. Hampir semua agama mempunyai sejarah pergolakan seperti ini. Karena orientasinya ke dalam, gerakan purifikasi dalam agama-agama hampir selalu memunculkan konflik internal. Kadang konflik itu sebatas saling menyalahkan dan menganggap pesaingnya bukan lagi sebagai penganut agama yang benar, kadang-kadang konflik itu diikuti dengan tindak kekerasan. Dalam konteks Kristen, puritanisme pada awalnya adalah gerakan ‘pemberontakan’ di lingkungan gereja Inggris pada akhir abad ke-16. Istilah ini, dalam sejarahnya, lebih menunjukkan sebuah gerakan ketimbang sekte dalam agama. Gerakan ini muncul karena, setidaknya, dua hal: pertama, fenomena gereja yang berada di bahwa kontrol kerajaan Inggris dan kedua, kenyataan bahwa gereja telah dikotori –versi kaum puritan— dengan perilaku, hubungan dengan kaum pagan dan keharusankeharusan yang dikeluarkan oleh raja dan para pastor. Hal-hal inilah yang menjadikan mereka terobsesi untuk memurnikan (purify) kembali institusi gereja. Dua tokoh yang menjadi rujukan kaum puritan adalah Jhon Calvin (Genewa) dan Martin Luther (Jerman). Keduanya adalah tokoh Kristen Protestan. Meskipun gerakan ini lahir di Inggris, namun ia berkembang di Amerika, di daerah New England mengingat nenek moyang gerakan ini menyeberang ke Amerika karena melarikan diri dari pimpinan gereja dan raja Inggris. EPILOG 411 Dalam perkembangannya, penggunaan kata puritan tidak hanya untuk orang-orang yang dikeluarkan dari Church of England dengan the Act of Uniformity-nya pada tahun 1662, namun juga orang-orang dari beberapa generasi setelah reformasi di wilayah Inggris Raya dan Amerika Utara, yang berusaha mereformasi dan memurnikan gereja serta memimpin orangorang kepada Alkitab, kehidupan yang saleh, mempertahankan konsistensi doktrin tentang anugerah. Dengan demikian, puritan adalah gerakan untuk memimpin kekristenan kembali kepada Alkitab dan kehidupan yang kudus sebagai bukti dari pertobatan yang sejati. Oleh sebab itu, berita utama kaum puritan adalah seruan pertobatan.10 Ajaran-ajaran pokok puritanisme Kristen dapat diringkas sebagai berikut: 1. kekuasaan mutlak Tuhan terhadap segala urusan manusia; 2. setiap orang harus diperbaiki untuk berjuang melawan dosa dan melakukan perbuatan baik di hadapan Tuhan; 3. kekaguman terhadap tokoh-tokoh kristen awal; 4. peribadatan di gereja harus ditata ulang sesuai dengan apa yang diperintahkan di dalam Bibel; 5. pemerintahan sekular bertanggung jawab kepada Tuhan untuk merawat dan menghargai kebaikan dan menghukum para pendosa; 6. tekanan untuk mempelajari Bibel secara otodidak dan melakukan pendidikan dan pencerahan terhadap umat agar mereka dapat membaca Bibel secara mandiri; 7. syarat penguasaan bahasa asli Bibel (Yunani, Ibrani dan Aramaic) buat para pastor. Dari ilustrasi tersebut tampak adanya semangat kaum puritan untuk, pertama, mengembalikan ajaran dan peribadatan Kristen ke dan sebagaimana dipraktikkan kaum Kristen awal. Kedua, semangat dan kerja keras kaum puritan untuk mendidik dan mencerahkan anggotanya agar berpengatahuan luas dan 10 Dr. Eddy Peter Purwanto, “Memikirkan Kembali Metode Penginjilan Kaum Puritan”, dikhotbahkan di Philadelphia Baptist Fellowship, 16 April 2006. 412 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA berkeahlian tinggi. Oleh karena itu, tidak heran jika dua hal yang berlawanan disematkan sebagai ciri kaum puritan Amerika. Di satu sisi mereka digambarkan sebagai tertutup dan fundamentalis, tapi di pihak lain mereka digambarkan sebagai sosok yang bekerja keras, egaliter dan suka belajar. Mereka, oleh Alexis de Tocqueville disebut sebagai pendiri demokrasi Amerika. Dalam klaim kaum puritan, kehadiran mereka dituntut karena tiga kebutuhan utama pada zaman itu, yaitu: (1) perlunya khutbah yang Alkitabiah dan pengajaran kebenaran; (2) perlunya kesucian personal yang menekankan pekerjaan Roh Kudus dalam iman dan kehidupan orang beriman; dan (3) pembaharuan tatacara dan pemerintahan gereja menurut Alkitab. Oleh sebab itu, ungkapan “puritan evangelism” seringkali dihubungkan dengan bagaimana kaum puritan memberitakan firman Tuhan berhubungan dengan keselamatan orang-orang berdosa dari dosa dan konsekuensinya.11 Dari gambaran tersebut jelas, dalam sejarah kekristenan puritanisme pada awalnya merupakan hasil pergumulan internal. Namun dalam perkembangannya, puritanisme memberikan respon keras terhadap perkembangan modernitas yang dianggap mengancam nilai-nilai dasar keagamaan. Hal yang sama juga bisa kita baca dari sejarah Islam. Ide puritanisme bisa dilacak sejak masa-masa awal Islam dengan munculnya kelompok Khawarij. Khawarij adalah pengikut Ali bin Abi Talib yang mengeluarkan diri dan membentuk kelompok sendiri karena tidak setuju dengan kebijakannya yang menerima tawaran damai (arbitrase) dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam perang Shiffin. Kelompok Khawarij memang lahir dari kekecewaan politik, namun dalam perkembangannya mereka mulai Dr. Eddy Peter Purwanto, “Memikirkan Kembali Metode Penginjilan Kaum Puritan”. 11 EPILOG 413 merumuskan paham teologi, terutama hukum bagi pelaku dosa besar. Orang yang melakukan dosa besar dihukumi kafir dan keluar dari agama Islam (murtad), dan karenanya mereka harus dibunuh. Pada perkembangan berikutnya, orang yang kafir tidak hanya orang yang melakukan dosa besar saja, namun juga orang yang tidak sepaham dengan Khawarij, orang yang tidak mengkafirkan non-Khawarij, dan yang lebih ekstrim lagi orang-orang Khawarij yang tidak hidup di wilayah mereka (yang mereka sebut sebagai dâr al-Islâm) juga dianggap kafir (yang mereka sebut sebagai dâr al-harb) dan karenanya harus diperangi. Oleh karena itu, orang yang terlibat dalam peristiwa arbitrase, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan kedua delegasi, Amr bin As dan Abu Musa al-Asyari adalah kafir karena mereka dipandang telah melakukan dosa besar, karena mereka tidak memberi keputusan dengan hukum Allah, waman lam yahkum bimâ anzala Allâh faulâika hum al-kâfirûn (QS. 5: 44). Dari ayat ini mereka mengambil semboyan lâ hukma illâ lillâh (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Hukum Allah yang mereka maksud adalah bunyi dan makna tekstual yang ada dalam al-Quran.12 Kelompok Khawarij senantiasa memandang semua umat Islam, kecuali kelompoknya, sebagai kaum kafir. Bahkan, Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan pun mereka kategorikan sebagai kafir yang halal darahnya. Dua orang sahabat ini akhirnya meninggal dibunuh kelompok Khawarij ini. Ide purifikasi Khawarij terletak pada pandangannya tentang Kelompok ini pada gilirannya juga terpecah-pecah menjadi kelompokkelompok kecil yaitu: 1) golongan al-Muhakimah; 2) golongan al-Azariqah; 3) golongan al-Najdat; 4) al-Ajaridah; 5) al-Sufriah; 6) al-Ibâdiah. Lihat Ali Mustafa al-Gurabi, Târîkh al-Firaq al-Islâmiyah wa Nasy`at ‘ilmu al-Kalâm ‘inda al-Muslimîn, (Mesir: Maktabah wa Matba`ah Muhammad Ali Sabîh, 1959), h. 277-282. 12 414 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA kebenaran yang terletak pada makna harfiyah dari al-Quran. Semakin harfiyah maka orang akan semakin dekat dengan kebenaran. Semakin jauh dari hal-hal yang bersifat harfiyah, maka orang semakin jauh dari kebenaran. Dalam perkembangan berikutnya, beberapa aspek dari karakter Khawarij tersebut diwarisi oleh paham Wahabi. Sudah tentu, Khawarij dan Wahabi mempunyai agenda, latar belakang dan model gerakan yang berbeda, namun antara keduanya terdapat semacam kontinuitas dan perubahan, terutama menyangkut karakter gerakan yang cenderung menghalalkan kekerasan untuk memperjuangkan pemahaman keagamaan yang mereka anggap paling benar. Sebagaimana kelompok Wahabi abad 19 yang mengancam kelompok bid’ah, Khawarij bahkan membunuh Ali bin Abi Talib, yang tak lain menantu Rasulullah. Sebagaimana kita tahu, ajaran Wahabi ini diperkenalkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1206 H/1792 M). Gagasan utama Abdul Wahab yang kemudian menjadi karakter utama gerakan Wahabi adalah asumsi bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dan menyimpang dari jalan Islam yang lurus. Penyimpangan itu tidak bisa benarkan kecuali harus kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis secara benar. Dengan semangat ini, Abdul Wahab hendak membersihkan Islam dari paham dan praktik keberagamaan yang merusak dan menggerogoti Islam. Ideologi Abdul Wahab ternyata mendapat sambutan positif dari sebagian masyarakat Arab. Kesederhanaan, ketegasan dan absolutisme pemikiran keagamaannya menjadi daya tarik bagi suku-suku di gurun pasir, terutama di daerah kelahirannya, Najd. Ketika itu, Najd merupakan wilayah Arabia yang paling tribal. Memang, ideologi Wahabi tidak berkembang luas, namun karena dukungan keluarga Raja Saud yang berperang melawan Dinasti Utsmani Wahabi kemudian mempunyai posisi penting. EPILOG 415 Aliansi al-Saud-Wahabi sejak 1745 sampai 1818 dikenal sebagai negara Saudi pertama berakhir ketika militer Mesir dan Turki berhasil menghancurkan Kota Dariyah, Ibukota Kerajaan Saudi pertama. Penaklukan yang diikuti dengan pembantaian massal ini benar-benar membekas dalam memori kaum Wahabi dan membakar semangat mereka dengan menjadikan sebagai simbol penderitaan. Ideologi Wahabi dihidupkan lagi pada awal abad 20 di bawah kepemimpinan Raja Abdul Azis ibnu al-Saud (memerintah 1319-1373 H/1902-1953 H), pendiri negara Saudi modern. Abdul Azis merupakan pengikut teologi puritan kaum Wahabi dan menggabungkan dirinya dengan suku-suku Najd. Inilah yang menjadi cikal bakal negara Saudi Arabia. Pemberontakan Wahabi pertama di Semenanjung Arabia pada abad ke-18 bertujuan menggulingkan kendali Utsmani dan memperkuat jenis keislaman puritan Abdul Wahab ke dunia Arab. Kamun Wahabi juga mengontrol Mekah dan Madinah, karena dengan itu, mereka mendapatkan kemenangan simbolik yang besar. Meski pemberontakan pada akhir abad ke-18 digagalkan, pemberontakan pada akhir abad ke-19 awal abad ke-20 melahirkan situasi yang sangat berbeda. Pada 1924, Wahabi berhasil menaklukkan Mekah, sehingga mereka memperoleh pajak dan pendapatan dari jamaah haji. Keluarga Hasyimiyah yang semula memegang gubernur atau Syarif Mekah, diusir dan aturan Islam menurut visi Wahabi mulai ditegakkan. Perebutan Kota Mekah terjadi pada 23 tahun gerakan Ibnu Saud. Ratusan ribu orang dibunuh dan diciderai Wahabi fanatik, dan jutaan orang melarikan diri.13 Tahun berikutnya, Ibn Saud dengan topangan ideologi Wahabi menguasai Jedah dan Madinah. Ia segera memerintahkan penghancuran pusara, makam dan Lihat Stephen Sulaiman, Dua Wajah Islam: Moderatisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global, (Jakarta: the Wahid Institute, 2007), h. 145. 13 416 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA masjid-masjid yang dianggap menyimpang. Milisi Wahabi, yang dinamai ikhwan, pertama-tama meratakan pemakaman Jannat al-Baqi di Madinah yang oleh warga setempat dan jamaah haji dianggap sebagai situs yang keramat. Di sana dimakamkan putra Rasulullah, Ibrahim, yang meninggal ketika masih kanakkanak, serta Hasan, putra Ali bin Abi Talib yang juga cucu Rasulullah. Dalam waktu singkat, mereka telah memusnahkan beberapa kuburan besar, masjid dan situs-situs suci yang masyhur, menghancurkan arsitektur Arabia. Hanya makam Rasulullah yang masih utuh meskipun sebenarnya mereka juga berusaha menghancurkan.14 Dengan demikian, puritanisme Wahabi lebih merupakan orientasi teologis, bukan sebuah mazhab pemikiran yang tersusun rapi sehingga di dalamnya terdapat berbagai kecenderungan ideologis. Namun demikian, ada ciri konsisten pada puritanisme, yaitu ideologi supremasi. Mereka selalu merasa lebih unggul dan superior sebagai kompensasi dari atas perasaan kalah, tak berdaya dan keterasingan. Sikap yang muncul adalah arogansi diri yang di dalamnya ada sikap selalu merasa benar ketika berhadapan dengan yang lain. Kata “yang lain” di sini bisa berarti Barat, kaum ateis, kaum muslim yang dianggap bid’ah atau perempuan. Ideologi Wahabisme ini yang bisa bertahan hidup, bahkan tersebar luas, dalam pandangan Khaled Aboe el-Fadl karena ditopang empat hal. Pertama, dengan memberontak melawan Dinasti Utsmani, Wahabi menyeru untuk mendukung ideologi nasionalisme Arab yang muncul pada abad ke-18. Dengan menempatkan pemerintah muslim Utsmani sebagai kekuatan asing yang berkuasa, Wahabi telah meletakkan benih-benih determinasi diri dan otonomi bangsa Arab. Kedua, Wahabisme Lebih jauh lihat Stephen Sulaiman, Dua Wajah Islam, h. 145-179. Lihat pula, Khaled Aboe el-Fadl, The Great Theft, h. 53-66. 14 EPILOG 417 mendorong kepada umat Islam untuk kembali pada apa yang oleh Abdul Wahab disebut sebagai Islam yang asli dan murni. Karena itu, Wahabisme menolak seluruh pengalaman historis dan mendesak untuk kembali pada contoh generasi awal (alsalâf al-sâlih), yaitu generasi sahabat Nabi dan tabi’în. Dua generasi inilah yang layak ditiru, dan masa setelah itu Islam mulai diselewengkan. Ketiga, dengan memegang kendali atas Mekah dan Madinah Arab Saudi dapat menanamkan pengaruh yang luar biasa, baik dalam pengembangan budaya dan pemikiran Islam. Mekah dan Madinah merupakan simbol kesucian umat Islam. Di situlah Islam diturunkan, sehingga apa yang datang dari wilayah ini dipandang sebagai Islam yang otentik. Keempat, hal yang paling penting untuk dicatat adalah adanya sumber daya minyak di Arab Saudi yang luar biasa. Sumber ini bisa menjadi dana segar bukan hanya bagi rakyat Saudi tapi juga wilayah dan kelompok yang mau menjalankan agenda Saudi Arabia. Khususnya sejak tahun 1975, dengan naiknya harga minyak dunia, Arab Saudi begitu agresif mendukung promosi pemikiran Wahabi ke seluruh dunia.15 Dari Puritanisme ke Fundamentalisme Puritanisme bisa dikatakan sebagai salah satu varian dari fundamentalisme. Namun, pada saat yang sama puritanisme juga bisa menjadi “bahan baku” dari fundamentalisme. Artinya, puritanisme merupakan ladang subur yang di atasnya bisa tumbuh fundamentalisme dan radikalisme. Meskipun istilah fundamentalisme pada awalnya banyak beredar di kalangan Kristiani, namun hal yang sama juga mewabah dalam agama yang lain. 15 Lihat Khaled Aboe el-Fadl, The Great Theft, h. 70-72. 418 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Dalam The Shorter Oxford English Dictionary dijelaskan, fundamentalisme dimaknai sebagai kepatuhan yang keras kepada ajaran ortodoks (dalam Kristen, kepatuhan kepada Injil secara literal) yang menjadi dasar (fundamen) kepercayaan Nasrani, dan menentang terhadap liberalisme dan modernisme.16 Dengan demikian, secara umum, fundamentalisme bisa dimaknai sebagai paham untuk kembali kepada sesuatu yang dipandang sebagai pokok, dasar, dan asas. Pokok, dasar, dan asas itulah yang dianggap sebagai sesuatu “yang murni” dan “yang benar”, sehingga perlu dipertahankan mati-matian dari segala sesuatu yang bisa mengurangi “kemurnian” dan “kebenarannya”. Paham yang “murni” dan “pokok” tersebut hanya bisa dicari dan ditemukan melalui makna literal teks suci. Upaya mempertahankan “kebenaran” dan “kemurnian” tersebut, oleh pendukungnya, dimaknai sebagai upaya untuk mempertahankan agama itu sendiri. Dengan keyakinan seperti ini, maka pendukung kelompok ini meyakini bahwa perjuangan mereka tidak akan sia-sia, karena perjuangan itu dimaknai sebagai jihad (Islam) atau holy war (Kristen). Kalau toh kalah dalam perjuangan di dunia, di akhirat mereka yakin akan mendapat jaminan kemuliaan di sisi Tuhan. Dari sinilah, kita melihat bahwa fundamentalisme merupakan kelanjutan dari paham puritan. Sebagai istilah yang diproduksi dalam tradisi Barat, maka istilah ini tidak cukup dikenal dalam tradisi Islam, meskipun gejala dan perilaku yang kurang lebih sama dapat kita temukan dalam tradisi dan sejarah muslim. Dalam Islam, fundamentalisme biasanya diterjemahkan dengan al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah (fundamentalisme Islam), al-Salâfiyah (warisan leluhur), alSahwah al-Islâmiyyah (kebangkitan Islam), al-Ihyâ’ al-Islâmî W. Little, H.W. Fowler dan J. Coulson, The Shorter Oxford English Dictionary, (Oxford: Clar Endon Press, 1964), h. 762. 16 EPILOG 419 (kebangunan kembali Islam), al-Bâdil al-Islâmî (alternatif Islam). Istilah-istilah tersebut, meski mempunyai spesifikasi dan konteks maknanya masing-masing, namun secara umum digunakan untuk menunjuk pada gejala intensifikasi Islam. Di Barat pun gejala intensifikasi Islam tersebut tidak selalu disebut fundamentalisme. Harus diakui, fundamentalisme sebagai istilah sosiologis mempunyai cakupan yang begitu luas, sehingga bisa diterapkan pada kondisi lain yang mempunyai pola dan kecenderungan tertentu. Tokoh tertentu menggunakan istilah “ekstrimisme Islam” sebagaimana dilakukan Gilles Kepel, “Islam radikal” sebagaimana Emmanual Sivan,17 dan yang lain ada yang menggunakan istilah “integrisme”, “revivalisme”, atau “Islamisme”.18 Sebutan-sebutan tersebut oleh kalangan tertentu juga sering disebut sebagai fenomena “kebangkitan Islam” atau, paling tidak, “intensifikasi Islam” dalam wajah yang baru.19 Emmanuel Sivan, Radical Islam, Medieval Theology and Modern Politics, (New Haven and London: Yale University Press, 1990). 18 Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin, Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern, (Jakarta: Serambi, 2002), h. 41. 19 Istilah-istilah tersebut digunakan untuk menunjuk gejala “kebangkitan Islam” yang diikuti dengan militansi dan fanatisme yang terkadang sangat ekstrim. Dibanding yang lain, istilah “Islam radikal” yang paling sering dipersamakan dengan “Islam fundamentalis”, meskipun keduanya sebenarnya berbeda, setidaknya bila dilihat dari “awal” dan “akhir” dari gerakan itu. Sebuah pemikiran dan gerakan radikal biasanya berangkat dari ketidakpuasan atas kemapanan yang unquestionable, mendobrak status quo. Namun, gerakan demikian tidak selalu berujung pada fundamentalisme, tapi pada saat yang lain bisa berujung ke liberalisme. Gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin di kenal cukup radikal dalam mengkritisi tradisi teologi Kristen, tapi gerakan ini tidak dipandang sebagai fundamentalisme, bahkan sebaliknya, dilihat sebagai liberalisme dan pembebasan. Demikian juga dengan pemikir Islam “kiri” yang dikenal sangat radikal dan kritis terhadap doktrin agamanya sendiri, seperti Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, “Abid al-Jabiri, dan seterusnya, tidak dipandang sebagai pemikiran fundamentalis, tapi sebagai 17 420 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Kata “fundamentalisme” bila dikaitkan dengan “Islam”, hingga kini masih cukup problematis. Banyak kalangan Islam yang menolak istilah tersebut, bukan saja karena fundamentalisme berasal dari tradisi Kristiani, namun lebih dari itu, cap fundamentalis yang dialamatkan kepada (sebagian) umat Islam dianggap sebagai konspirasi “Barat” untuk menyeret Islam ke kubangan lumpur sejarah. Fundamentalisme kini bukan lagi sekedar kategori sosiologis pemeluk agama (Islam), tapi di dalamnya terdapat muatan ideologi yang menyiratkan kebencian, cemoohan, dan ejekan kepada (sebagian) umat Islam. Istilah fundamentalisme Islam, menurut (sebagian) umat Islam, sengaja diciptakan untuk menghadang kemajuan Islam yang dianggap akan menjadi ancaman bagi Barat pascakeruntuhan komunisme.20 Dalam masyarakat Barat, istilah fundamentalisme Islam pasti dihubungkan dengan hal-hal negatif, picik, militan, dan cenderung menafsirkan teks suci secara literal, sebagaimana yang mereka kenal dalam Kristen. Kesan demikian mungkin tidak sepenuhnya salah, karena sikap kurang senang terhadap Barat —terutama Amerika, Kristen, dan Yahudi— mempunyai akar yang yang cukup dalam di lingkungan umat Islam dan Timur tengah pada umumnya. Pakar Timur Tengah Dr Daniel Pipes, lulusan Harvard University, mengungkapkan bahwa kebencian ditanamkan kepada Bangsa Yahudi dan Amerika di dalam otak dan pikiran pemikiran liberal. Sedangkan fundamentalisme lebih banyak berangkat dari literalisme dalam menafsir teks agama dan berakhir pada tindakan dengan wawasan sempit yang terkadang yang menindas dan menyalahkan kelompok lain. 20 Tulisan Todirun Dydo, Islam Fundamentalis dan Kegusaran Masyarakat Barat, Percaturan Politik dan Ideologi Internasional, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1993) sangat jelas menunjukkan hal ini. Dydo menjelaskan munculnya gerakan ekstrim dalam Islam yang melihat Barat, terutama AS, sebagai musuh karena Barat telah memperlakukan Islam secara tidak adil. EPILOG 421 seluruh generasi di Timur Tengah melalui berbagai medium dan cara. Provokasi kebencian tersebut menancap begitu kuat dalam benak dan hati sebagian besar masyarakat Timur Tengah, terutama yang simpatik dengan perjuangan rakyat Palestina melawan Israel (Yahudi). Disebutkan, bangsa Yahudi merupakan “setan kecil” dan Amerika adalah “setan besar”, yang keduanya harus dimusnahkan dari muka bumi. Setiap orang dicuci otaknya dan kebencian semacam itu ditransplantasikan ke dalam hati, menutupi hati nurani yang sesungguhnya.21 Sebagai terma sosiologis, fundamentalisme pada dasarnya merupakan istilah netral, bisa bermakna positif, dan pada saat yang lain negatif. Fundamentalisme bermakna positif dalam arti bahwa istilah itu menunjuk pada orang atau kelompok yang teguh dengan pendirian atas apa yang diyakini sebagai kebenaran. Sedangkan makna negatif terletak pada kesulitan kelompok ini untuk melakukan akselerasi gagasan, melakukan negosiasi dan resistensi dengan kelompok lain yang dianggap sebagai lawan. Karena itu, kelompok fundamentalis sering dilihat sebagai kelompok yang kaku dan tanpa kompromi, meskipun asumsi seperti ini tidak selamanya benar. Istilah “fundamentalisme” muncul kali pertama dalam The Shorter Oxford English Dictionary pada 1923, setelah terbit dua belas risalah teologis yang berjudul: The Fundamentals: A Testimony to Truth. Tulisan tersebut oleh para penerjemahnya Suara Pembaruan, 9 September 2002. Kebencian yang mengakar dan berdarah daging terhadap sesama itu yang menghancurkan peradaban bangsa yang bersangkutan dan juga peradaban dunia. Kebencian itu jugalah yang merupakan akar dari terorisme dan aksi teror yang dilakukan kaum ekstremis, bukan urusan Israel-Palestina seperti yang digembar-gemborkan orang dalam mencari pembenaran terorisme. Urusan Israel-Palestina bisa menjadi salah satu symptom tetapi bukan akar masalah. Jika benih kebencian ditanamkan sejak anak berusia dua tahun dan anak usia empat tahun bercita-cita jadi suicide bomber, di mana tempat untuk peradaban, kasih dan toleransi? 21 422 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA dilaporkan memakai pendekatan scientific critical oleh ahli-ahli teologi Protestan terhadap studi tentang Injil.22 Dalam kaitan ini, Frederick M. Denny (1987), sebagaimana dikutip Riffat Hassan menyatakan, istilah fundamentalisme muncul pada awal abad ke-20 sebagai kerangka kerja kaum Protestan konservatif di Amerika untuk menunjukkan ciri suatu doktrin yang berdasarkan Kitab Injil, yang meliputi lima poin (kelahiran Yesus dari sang perawan, kebangkitan fisiknya, Kitab Injil yang tanpa salah, penebusan dosa substitusional, dan kedatangan Kristus yang kedua). Poin yang sejalan dengan kaum muslim hanyalah yang menyangkut ketidaksalahan kitab suci Injil –tentu saja dalam Islam adalah al-Quran.23 Baiklah, barangkali tidak terlalu penting untuk memperdebatkan soal istilah, namun yang lebih penting adalah substansi yang ada dalam istilah itu. Atas dasar itu, yang penting untuk ditangkap adalah pola-pola fundamentalisme, karena, sebagaimana dikatakan Martin E Marty dan R. Scott Appleby (1991) dalam Fundamentalism Observed yang dikutip Karen Amstrong, bahwa fundamentalisme memiliki pola-pola tertentu, sebagai mekanisme pertahanan yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang mengancam.24 Harus diakui, kehadiran sistem demokrasi Riffat Hassan, “Mempersoalkan Istilah Fundamentalisme Islam” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Edisi Nomor 3 Volume IV Tahun 1993, h. 32. 23 Riffat Hassan, “Mempersoalkan Istilah Fundamentalisme Islam”, h. 33. 24 Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, h. xii. Atas dasar itu, kurang tepat yang dikatakan Rifyal Ka’bah bahwa fundamentalisme (dan juga modernisme) tidak dikenal dalam Islam hanya karena kata tersebut tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Arab, bahasa Indonesia, dan bahasa umat Islam yang lain. Argumen semacam ini hanya berkutat pada pencarian sinonim, dan belum masuk pada substansi yang sebenarnya. Rifyal Ka’bah, “Modernisme dan Fundamentalisme Ditinjau dari Konteks Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 3, Volume IV, Tahun 1993, h. 26 22 EPILOG 423 di Barat, lambat tapi pasti, mulai menggeser kekuasaan dominan yang sekian lama menguasai otoritas kehidupan masyarakat. Gereja yang berabad-abad menjadi satu-satunya pusat orientasi kebenaran hampir dalam segala aspek kehidupan masyarakat (Kristen), pada abad 19 mulai banyak digugat dan dipertanyakan, terutama setelah banyak temuan-temuan ilmu pengetahuan yang secara mendasar bertentangan dengan kekuasaan dogmatik gereja. Sebagai contoh, penerimaan teori evolusi yang begitu cepat, di dalam maupun di luar kalangan biologi, dirasakan mengancam keyakinan Kitab Suci yang menjadi dasar teologi Kristen. Teori Evolusi yang ditawarkan kelompok baru untuk memahami Tuhan dan agama, meskipun belum sepenuhnya mampu menggantikan kekuasaan gereja, tetapi dalam batas tertentu berhasil membekukan nilai-nilai kristiani. Kecenderungan baru ini juga berhasil mengenyampingkan sistem studi Bibel berdasarkan filsafat Aristoteles.25 Gerakan ini semakin berkembang setelah Perang Dunia I. Bible Conference of Conservative Protestants (Konferensi Bibel Protestan Konservatif) mengadakan beberapa kali sidang untuk menentukan sikap atas kritikan kelompok baru atas Bibel. Dalam sidang di Niagara 1895 dikeluarkan sikap mengenai fundamentalisme yang dikenal dengan “The Five Point of Fundamentalism”, yaitu: 1) kitab suci tak pernah salah kata demi kata; 2) Ketuhanan Yesus; 3) Kelahiran Yesus dari Ibu Perawan; 4) Ketentuan baru dalam penebusan dosa; dan 5) Kebangkitan dan kelahiran Yesus secara fisik. Istilah “fundamentalisme” lebih populer lagi setelah dikeluarkan 12 risalah berjudul “The Fundamentals” pada 1909, yang kemudian ditulis oleh sejumlah tokoh Kristen Evangelik dan disebarkan ke media seluruh dunia. Pada 1919 didirikan World Christian FunRifyal Ka’bah, “Modernisme dan Fundamentalisme Ditinjau dari Konteks Islam”, h. 26. 25 424 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA damentals Association untuk mengokohkan keberadaan kaum fundamentalis. Abad itu merupakan saat-saat perjuangan sengit antara ilmu dan teologi, bahkan antara ilmu dan agama (Kristen). Karena gereja, Bibel, dan teologi tradisional Kristen dianggap tidak mampu mengakomodir perkembangan ilmu pengetahuan, maka muncul gerakan baru yang ingin memisahkan diri dari ajaran teologi Kristen tradisional dengan melakukan kajian kritis terhadap Bibel, baik dari segi sejarah maupun interpretasinya. Kondisi demikian, mau tak mau memunculkan konflik yang tajam antara agama dan ilmu pengetahuan ilmiah. Bagi kelompok baru ini, teologi yang benar adalah teologi yang sejalan dengan fakta ilmiah, karenanya, pendekatan kritik sejarah atas Bibel dianggap sebagai sesuatu yang niscaya. Tajamnya perseteruan antara “kelompok baru” dengan pendukung “ortodoksi gereja” tersebut memunculkan kepercayaan di kalangan fundamentalis bahwa pertarungan tersebut bukan pertarungan politik biasa, tapi sebagai pertarungan kosmis antara “kebaikan” dan “kejahatan”. Mereka sangat cemas ancaman pemusnahan basis agama mereka, sehingga mereka membentengi identitas dengan cara membentengi doktrin dan praktik masa lampau (Islam, salafiyyûn) untuk memberi legitimasi historis atas keyakinannya.26 Atas dasar itu, kaidahkaidah kebudayaan seperti resistensi dan negosiasi tetap saja terjadi dalam proses dialektika dua kelompok besar yang saling merebut pengaruh untuk membenarkan “keyakinannya” tersebut. Dalam ketegangan dan proses dialektikanya, ada beberapa ciri yang terdapat gerakan fundamentalis Kristen, yang dalam batas tertentu juga relevan untuk melihat fundamentalisme Islam. Ciri-ciri tersebut antara lain: 1) memberi penekanan 26 Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, h. xii. EPILOG 425 pada interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama. Mereka menolak pemahaman hermeneutik atas teks suci agama karena pemahaman seperti ini dianggap akan menghilangkan kesucian agama; 2) setiap gerakan fundamentalisme hampir selalu dapat dihubungkan dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme dan militanisme. Oposisionalisme kaum fundamentalis dalam berbagai agama mengambil bentuk perlawanan terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama; 3) fundamentalisme hampir selalu memberi penekanan kepada pembersihan agama dari isme-isme modern seperti liberalisme, modernisme, dan humanisme; 4) ada monopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalis biasanya cenderung menganggap dirinya sebagai penafsir agama yang paling absah dan paling benar, sehingga cenderung memandang sesat kepada kelompok yang tidak “sealiran” dengan mereka; 5) menolak terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis, pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks suci.27 Dari ilustrasi tersebut dapat kita lihat adanya semacam interplay antara gerakan yang melakukan kritisisme atas Bibel dan gerakan oposisi atas otoritas gereja dengan fundamentalisme. Bibel yang oleh kalangan fundamentalis dipandang sebagai teks yang sudah selesai, sakral, tidak boleh dikritik dan, karenanya tertutup, dipandang berbeda secara radikal oleh kelompok baru bahwa Bibel belum selesai, harus dikritik, dan terbuka. Fundamentalis dalam pengertian yang sangat elemen- Lihat Martin E Marty, “What is Fundamentalism? Theological Prespective” dalam Hans Kung dan Jurgen Moltmann (eds.), Fundamentalism as a Ecumanical Challenge, (London: SCM Press 1992), h. 3-13. Lihat pula survei redaksi Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 3 Vol. IV, Tahun 1993 dengan judul “Fundamentalisme Islam: Istilah yang dapat Menyesatkan”, h. 5-6. 27 426 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA ter dan berkaitan dengan teks suci agama ini, sebenarnya juga bisa dialamatkan kepada paham yang terdapat semua agama. Pada tingkat ini, gerakan fundamentalisme berimpit dengan gerakan puritan. Dalam konteks Islam, gerakan Wahabi sebagaimana telah disinggung di atas sangat dekat dengan tipologi ini. Memang, dalam perkembangannya gerakan fundamentalisme kontemporer lebih banyak sebagai respon atas Barat dan agenda modernisasi, meskipun tema-tema yang berkaitan dengan inward oriented tetap menjadi concern dan pilihan ideologis mereka. Paling tidak ada dua masalah besar yang menjadi perhatian kelompok ini. Pertama, mereka menolak sekularisme masyarakat Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kesuksesan Barat melakukan sekularisasi yang terus merembes ke dalam Islam dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya, karena dapat mengancam Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi masalah ukhrawi, tapi juga duniawi. Kedua, banyak umat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperintah dengan menggunakan al-Quran dan syariat Islam sebagai aturan hukum bernegara.28 Kemunduran umat Islam di berbagai belahan dunia dalam mengelola pemerintahan, menurut kelompok ini, karena mereka tidak lagi menggunakan syariat Islam sebagai acuannya. Kedua hal tersebut dianggap sebagai ancaman bagi umat Islam akibat gerakan sekularisme Barat. Proses modernisasi yang dilakukan Barat, terlepas dari kekurangannya, telah mampu mentransformasi masyarakatnya yang antara lain ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi. Kemajuan ini secara kualitatif berbeda dengan kemajuan yang pernah dibawa Islam pada masa sebelumnya. Kemajuan ini menjadikan umat Islam serba canggung dalam merespon dan melihat doktrin agamanya. Di 28 Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, h. 54-55. EPILOG 427 satu pihak mereka yakin akan kebenaran dan kememadaian Islam, namun di pihak lain mereka menyaksikan sebuah perkembangan yang tidak sepenuhnya di dasarkan pada agama. Bahkan kemajuan tersebut terjadi ketika agama semakin dijauhkan dari kehidupan publik melalui proses sekularisasi. Hal tersebut menimbulkan sikap resisten sebagian umat Islam dengan mengedepankan sikap apologetik, meskipun sebagian kecil mencoba untuk memberi respon secara rasional dan proporsional dengan tetap tidak kehilangan identitas keislamannya. Sikap apologetik yang mendominasi umat Islam antara lain ditunjukkan dengan mengemukakan kelebihan-kelebihan Islam, baik pada aspek doktrinal maupun historisnya, sembari mengagung-agungkan kejayaan masa lampau. Hal itu dikemukakan bukan sekedar untuk menjawab hegemoni politik Barat, tetapi juga untuk menjawab tantangan intelektual Barat yang mempersoalkan aspek-aspek tertentu dari ajaran Islam, seperti menyangkut jihad, poligami, kedudukan wanita, perbudakan, pidana Islam dan sebagainya. Sikap apologetik ini memang cenderung normatif dan idealistik seolah ingin menyelesaikan semua persoalan kehidupan manusia yang sangat kompleks ini dengan agama, tepatnya teks agama.29 Karenanya, sikap demikian cenderung mengabaikan realitas dan reaksioner, sehingga sering dilihat secara pejoratif dan negatif. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Dari Fundamentalisme, Moderatisme hingga Postmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. iv. Pada perkembangannya, sikap tersebut dengan upaya mengafirmasi dirinya dengan mengemukakan hal-hal yang “serba Islam” sebagai bentuk perlawanan atas sistem Barat yang dianggap gagal mengangkat derajat kemanusiaan, seperti dimunculkannya ekonomi Islam, bank Islam, islamisasi ilmu, pakaian Islam, budaya Islam, dan seterusnya. Upaya menampilkan “serba Islam” tersebut juga dapat dilihat sebagai mekanisme mempertahankan diri dari gempuran Barat yang mendominasi hampir dalam semua segi kehidupan. 29 428 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Konteks Buku Ini Dengan pemaparan di atas, penulis sekedar ingin memberi konteks dari keseluruhan tema yang dituangkan dalam buku ini. Kumpulan tulisan dalam buku ini tidak bisa disebut sekedar bunga rampai, mengumpulkan tulisan berserak untuk disatukan dalam buku. Buku ini disusun dengan kesadaran penuh adanya perubahan-perubahan penting dalam masyarakat yang kadang tak tampak hanya karena tidak di-blow up media. Tidak menjadi bahan dialog di TV atau menjadi ulasan di media cetak. Seluruh isi buku ini berupaya merangkai perubahan-perubahan itu. Meskipun tampaknya peristiwanya kecil, seperti soal rebutan tempat ibadah (kasus Ponorogo dan Yogyakarta), ketegangan dalam sebuah kampung karena perbedaan aliran keagamaan (kasus Bulukumba dan NTB), adanya kebijakan pemerintah daerah untuk menerapkan manajemen ilahiyah (kasus Tanah Bumbu) dan beberapa isu yang lain menandai adanya dinamika dalam masyarakat. Dengan menggunakan isu agama, masyarakat kita terus bergerak dan berubah, meskipun menebak arah perubahan itu tidak selalu mudah. Namun yang jelas, perubahan-perubahan yang membawa konflik lokal itu bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Di sana selalu ada keterkaitan dengan negara dalam berbagai tingkatannya dan juga aspek global. Pengalaman seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di banyak negara. Dalam pergumulan itu selalu ada tarik menarik antara mempertahankan identitas religius dengan perkembangan yang menuntut perubahan.30 Baca misalnya Gwilym Beckerlegge (ed), Colonialism, Modernity, and Religious Identities,(Oxford: Oxford University Press, 2008), terutama tulisan Ian Copland, “From Communitas to Communalism: Evolving Muslim Loyalties in Princely North India”. 30 EPILOG 429 Nah, tarik menarik dan mengenali keterkaitan-keterkaitan itulah yang harus kita miliki. Buku ini, meskipun belumsepenuhnya berhasil, telah mencoba untuk mengantarkan pembaca mengenali keterkaitan-keterkaitan itu.[] 430 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Bibliografi Buku dan Jurnal Abdurrahman, Moeslim, (ed.) (2003), Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural, Jakarta: Ideo Press & Maarif Institute. Al-Ashmawy, Mohammad Said (terj.) (2002), Jihad Melawan Islam Ekstrem, Jakarta: Desantara. Al-Ghurabi, Ali Mustafa (1959), Târîkh al-Firaq al-Islâmiyah wa Nasyat ‘ilmu al-Kalâm ‘inda al-Muslimîn, Mesir: Maktabah wa Matba`ah Muhammad Ali Shabîh. Al-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa (t.t), Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari ah, Vol-II, Beirut: Dar al-Ma’rifah. Appleby, R. Scott (2000), The Ambivalence of the Sacred, Religion, Violence, and Reconciliation, New York: Rowman & Littlefield Publishers Inc. Aritonang, Jan S. (2008), Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja, Cet. ke 8, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Azhar, Zairullah dan Syakrani (2007), Kepemimpinan dan Manajemen Ilahiyah: Refleksi dan Pengalaman dari Bumi Bersujud, Kabupaten Tanah Bumbu, Yogyakarta: Eja Publisher. Azra, Azyumardi (2005), Jaringan Ulama, Cet II, Jakarta: Prenada Mulia. _____, (1996), Pergolakan Politik Islam, Dari Fundamentalisme, Moderatisme hingga Postmodernisme, Jakarta: Paramadina. Bartholomew, John Ryan (2001), Alip Lam Mim, Kearifan Mayarakat Sasak, Cet. ke-1, Yogyakarta: PT.Tiara Wacana. 432 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Baso, Ahmad (2002), Plesetan Lokalitas. Politik Pribumisasi Islam Depok: Desantara. Beckerlegge, Gwilym (2008) (ed), Colonialism, Modernity, and Religious Identities, Oxford: Oxford University Press. Berger, Peter L (1991), Kabar Angin dari Langit, Makna Teologi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: LP3ES. Blau, Peter M. (1977), Inequality and Heteroganity: A Primitive Theory of Social Structure, New York: The Free Press. Bushman, Claudia L. (2006), Contemporary Mormonism: Latter Day Saints in Modern America, West Port Connecticut: Praeger. Bruinessen, Martin van (1996), Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Penerbit Mizan: Bandung. Casanova, Jose (1994), Public Religion in the Modern World, Chicago: The University of Chicago Press. Castell, Manuel (2004), The Power of Identity, Malden: Blackwell. Cence, A.A (1931), The Patuntungs in the Mountains of Kajang, Makassar. Che Man, W.K (1990), Muslim Separatism the Moros of Southern Philipines and th Malays of Southern Thailand, Manila: Ateneo de Manila University Press. Cooley, FL (1987), Mimbar dan Tahta, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. De Jong, Chris G.F (1996), Ilalang Arenna, Jakarta: BPKGunung Mulia. Departemen Infokom Wahdah Islamiyah (2004), Selayang Pandang Wahdah Islamiyah, Cet ke 1 & 2, Makassar: Departemen Infokom Wahdah Islamiyah, 2004). Departemen Pendidikan Nasional (2005), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka BIBLIOGRAFI 433 Durkheim, Emile (1964), The Division of Labour in Society, New York: Routledge. _____, (1976), The Elementary Forms of the Religious life, trans. J.W. Swain, London: Allen & Unwin. El Fadl, Khaled Abou (2005), Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi. _____, (2005), The Great Theft, Wrestling Islam from the Extremist, San Fransisco: Harper San Fransisco Endarmoko, Eko (2006), Thesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia. Euben, Roxanne L (2002), Musuh dalam Cermin, Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern, Jakarta: Serambi. Fauzi, Ihsan Ali dan Saiful Mujani (Ed.) (2009), Gerakan Kebebasan Sipil; Studi Advokasi Kritis atas Perda Syari’ah, Jakarta: Nalar. Gadamer, Hans Georg (1975), Truth and Methode, London: Sheed and Ward. Geertz, Clifford (1960), The Religion of Java, Chicago and London: University of Chicago Press. Giring (2004), Madura di Mata Dayak dari Konflik ke Rekonsiliasi, Yogyakarta: Galang Press. Gutmann, Amy (2003), Identity in Democracy, New Jersey: Princeton University Press. Hanks, Maxine dan Jean Kinney Williams (2003), Mormon Faith in America, New York: Fact of File. Hayyi, Nukman (2001), Menolak Paham Wahabi, terjemahan dari Ad Durarus-Saniyyah Fir-Raddi ‘Alal-Wahhabiyyah karya Al-Alimul –Allamah As-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, September. 434 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Hendricks Jr, Obery M. (2006), The Politics of Jesus: Rediscovering the True Revolutionary Nature of Jesus’ Teachings and How They Have Been Corrupted, USA: Doubleday. Howes, David (1988), On The Odour of The Soul, BKI, Deel Le Aflevering. J. Z. Manusama (1977), Hikayat Tanah Hitu, Proefschijft: Leiden, 1977 Jamhari dan Jajang Jahroni (2004) (ed.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: Rajawali. Laraňa, Enrique et. al. (1994) (ed.), New Social Movements from Ideology to Identity, Philadelphia: Temple University Press Kartodirdjo, Sartono (1987), Kebudayaan Pembangunan Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: GAMA Press. Katu, Samiang, (2000), Pasang Ri Kajang: Akomodasi Islam dengan Budaya Lokal Sul-sel, Makassar: PPIM. Klinken, Gerry Van (2007), Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: KTLV_Obor. Koentjaraningrat (1985), Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru. Kung, Hans dan Jurgen Moltmann (1992) (eds.), Fundamentalism as a Ecumanical Challenge, London: Routledge Kurtz, Lester (1995), Gods in the Global Village: The World’s Religions in Sociological Perspective, Pine Forge Press. Lee, Robert D (2000), Islam Autentik, Bandung: Mizan. Marx, Karl & Frederich Engels (1976), Collected Works, Vol. 3, London: Lawrence & Wishart. Yavus, M. Hasan (2003), Islamic Political Identity in Turkey, New York: Oxford University Press. Marsh, Ian, et.al. (2000), Sociology, Making Sense of Society, Harlow: Prentice Hall. BIBLIOGRAFI 435 Moloney, Gail and Ian Walker (ed.) (2007), Social Representations and Identity: Content, Process and Power, New York: Palgrave Macmillan. Mujiburrahman (2008), Mengindonesiakan Islam; Representasi dan Ideologi, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Neil, T. Wildferd (1973), Twentieth Century Indonesia, New York: Colombia University Press. Salehuddin, Ahmad, Satu Dusun Tiga Masjid, Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama, Yogyakarta: Pilar Media. Ridwan, Nur Kholik (2004), Agama Borjuis, Kritik Atas Nalar Islam Murni Jogyakarta: Ar-Ruzz. Rumadi (2007), Renungan Santri, Dari Jihad hingga Kritik Wacana Agama, Jakarta: Erlangga. Sairin, Weinata (1996), Himpunan Peraturan di Bidang Keagamaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia Laclau, Ernesto, (ed.), (1994) The Making of Identities, London: Verso. Sarman, Mukhtar (2006), Mencari Kebenaran Menuai Kecaman; di Balik Kontroversi Perda Ramadhan, Banjarmasin: PK2PD dan LK-3. Schwartz, Stephen Sulaiman (2003), Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in Terrorism, New York: Division of Random House. Sivan, Emmanuel (1990), Radical Islam, Medieval Theology and Modern Politics, New Haven and London: Yale University Press Smith Jr, Joseph (2005), Mormon’s Book: A Reader’s Edition of The Book of Mormon, Utah. Smith-Christopher, Daniel L, “Pendahuluan,” dalam Daniel L. Smith-Christopher (ed.) (2005), Lebih Tajam Dari Pedang, Refleksi Agama-Agama tentang Paradoks Kekerasan, terj. A. Widyamartaya, Yogyakarta: Kanisius. 436 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Snyder, Jack (2000), From voting to violence: democratization and nationalist conflict, New York: WW Norton and Company. Stark, Rodney (2005), The Rise of Mormonism, New York: Columbia University Press. Suryadinata, Leo (1989), Military Ascendancy and Political Culture: A Study of Indonesia’s Golkar, Athens: Ohio University. Sutton, Anderson R. (2002), Calling Back the Spirit, New York: Oxford University Press. Suyana, H.M., (2008), Zairullah Azhar Sang Gardu Epos; Penggagas Manajemen Ilahiyah, Yogyakarta: Adicita -----, (2007), Potret Manajemen Ilahiyah, Yogyakarta: Adicita. -----, (2006), Perjalanan Panjang Lahirnya Kabupaten Tanah Bumbu, Yogyakarta: Adicita. Taylor, Charles (2004), Multiculturalism: Examining The Politics of Recognition, Princeton: Princeton University Press. Todirun, Dydo (1993), Islam Fundamentalis dan Kegusaran Masyarakat Barat, Percaturan Politik dan Ideologi Internasional, Jakarta: Golden Terayon Press. Turner, Bryan S. (1991), Religion and Social Theory, London: SAGE Publications. Turner, Jonathan H. (1998), The Structure of Sociological Theory, Wadsworth Publishing Company. Usop, K.M.A.M. (1978), Pasang ri Kajang: Kajian Sistem Nilai di “Benteng Hitam” Amma Toa, Ujungpandang: Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial UNHAS Little, H.W. Fowler dan J. Coulson (1964), The Shorter Oxford English Dictionary, Oxford: Clar Endon Press Wahid, Ahdurrahman (ed.) (2009), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: the BIBLIOGRAFI 437 Wahid Institute-The Maarif Institute-Gerakan Bhinneka Tunggal Ika. Weber, Max (1963), The Sociology of Religion, Boston, MA: Beacon. Woodward, Kathryn (1997) (ed.), Identity and Difference, London: SAGE Publications Ltd. 1997. Woodward, Mark R. (2004), Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, (terj). Hairus Salim HS, Yogyakarta: LKiS, 2004. Yahya, Kadirun (1405 H), ”Mutiara al-Qur’an” dalam Capita Selecta tentang Agama Metafisika dan Ilmu Eksakta, Jakarta: LIPTI. Yekti Maunati (2004), Identitas Dayak: Komidifikasi dan Politik Kebudayaan, Yogyakarta:LKIS. Zada, Khamami (2002), Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju Paper, Laporan, Dokumen Azhar, M. Zairullah (2007), “Syakrani, Kepemimpinan dan Manajemen Ilahiyah: Refleksi dan Pengalaman dari Bumi Bersujud Kab. Kalimantan Selatan,” Pemda Kab. Tanah Bumbu. -----, (2008), “Syakrani, Ziarah Ilahiyah Menuju Masyarakat Madani,” Kalimantan Selatan: Setda Kab. Tanah Bumbu. Badan Pusat Statistik Bulukumba (2003), “Bulukumba dalam Angka 2003”. Bagian Kesra (2007), Kilas Balik Kegiatan Pesantren Bersujud di Lingkungan Pemerintah Daerah Kab. Tanah Bumbu Tahun 2007, Kalimantan Selatan: Tanah Bumbu. 438 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Basyuni, Maftuh (2006), Sambutan Menteri Agama dalam Sosialisasi PBM, Jakarta. Berita Acara Rapat/Musyawarah (2008). BP3 (2008), “Laporan Penyelesaian kasus Pengaduan Yayasan Bhakti Loka Selaku Pengelola Kompleks Klenteng Poncowinatan Terhadap Pembongkaran Gedung Sekolah dalam Kompleks Kelenteng Poncowinatan,” Yogyakarta: Yayasan Budya Wacana. Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor U.S. Department of State (2000), “Annual Report on International Religious Freedom: Indonesia”. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Departemen Agama RI (2005), Sambutan pada Peluncuran Website Gereja Yesus Kristus Dari Orang-orang Suci Zaman Akhir. Durham, W. Cole dan Nathan B. Oman (2006), ”A Century of Mormon Theory and Practice in Church-State Relations: Constancy Amidst Change”, Working Paper Series. Ghazali Rahman, (2002), “Mengatasi Kekerasan (Damai dan Adil),” Proceeding Semiloka, Hotel Sampit, Kalimantan Tengah. Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir (1998), “Kesaksian Nabi Joseph Smith,” Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir. Hinckley, Gordon B. (1995), “Keluarga: Pernyataan Kepada Dunia”, Pesan pada pertemuan Lembaga Pertolongan Umum di Salt Lake City, Utah. Humas Setda Kabupaten Tanah Bumbu (2007), Profil dan Pembagunan 4 Tahun Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan:Bagian Humas Tanah Bumbu. BIBLIOGRAFI 439 PBHI (2008), “Efek Horizontal atas Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Jawa Barat”, laporan yang dipublikasikan di Majalah SatuVisi Edisi XII, Jakarta: PBHI. Pernyataan Sikap Gempar Budaya, 26 Februari 2008 Proposal Pembangunan Gereja HKBP Cinere, 12 Juli 2008 Eddy Peter Purwanto (2006), “Memikirkan Kembali Metode Penginjilan Kaum Puritan”. Dikhotbahkan di Philadelphia Baptist Fellowship, April 16th. Saleh Putuhena (2001), “Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pemberdayaan Kebudayaan Lokal di Maluku Tengah,” Makalah, Maluku Tenggara, 14 Maret 2001 Sadana Mulyono, Surat tanda bukti lapor No. Pol: STBL/54/ II/2008/SIAGA kepada Polda DIY. Setara Institute (2008), “Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia”, Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008, Jakarta. SK Walikota Depok Nurmahmudi Ismail, 27 Maret 2009 Surat BP3 kepada Dinas Perizinan Kota Jogjakarta, No. 2166 N2/BP3/DKP/2007. Surat BP3 kepada Dinas Perizinan Pemkot Jogja, No.2116. N2/BP3/DKP/2007. Surat Camat Jetis, No. 005/273 tentang Undangan Koordinasi Rencana Pebangunan Gedung Yayasan Budya Wacana. Surat Dirjen Sejarah dan Purbakala, Drs. Soeroso, M Hum, kepada BP3 Yogyakarta, No. 242/DIT.PP/SP/3. III/2008. Surat dari Dirjen Sejarah dan Purbakala, Drs. Soeroso, M Hum, kepada BP3 Jogjakarta, No. 242/DIT.PP/SP/3. III/2008. 440 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Surat Dintib Pemkot Jogjakarta, No. 640/261 tentang Penghentian Proses Pembangunan. Surat Dintib Pemkot Jogjakarta, No. 640/297 tentang Pencabutan Surat No. 640/261. The Wahid Institute (2008), “Menapaki Bangsa yang Kian Retak,” Laporan Tahunan The WAHID Institute 2008 Pluralisme Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Jakarta. Usop, Sidik R (2005), “Dinamika Politik Lokal Dalam Proses Pemilihan Gubernur Propinsi Kalimantan Tenah”, Salatiga: Lembaga Percik, Seminar Internasional Ke-6 UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Wahyudi K, Anwar, M (2002), “Misi dan Strategi Kabupaten Kotawaringin timur dalam Penyelesaian Konflik Etnis, Sampit”, Makalah Bupati Kota Waringin Timur. Majalah, Koran, Bulletin: Harian Fajar, Bulan Nopember 2007 Harian Kedaulatan Rakyat, 15 April 2008. ------, 21 April 2008. ------, 22 Juli 2008. ------, 22 September 2008. ------, 4 Maret 2008 Harian Kompas, 8 April 2008. Harian Koran Tempo, 26 Nopember 2008. ------, 28 April 2008. Harian Lombok Post, 55 Februari 2009 ------, 27 Februari 2009 ------, 19 Mei 2008 ------, 4 Juli 2007 Harian Media Indonesia, 25 Nopember 2008. BIBLIOGRAFI 441 Harian Radar Jogja, 4 Maret 2008. ------, 18 Maret 2008. ------, 27 Februari 2008. ------, 28 Februari 2008. ------, 29 April 2009. ------, 29 Februari 2008. ------, 29 Februari 2008. ------, 4 Maret 2008. ------, 4 Maret 2008. ------, 5 Maret 2008. Harian Tribun, Bulan Nopember 2007 Harian Suara NTB, 11 Februari 2009 ------, 15 Mei 2008 ------, 21 Februari 2009 ------, 23 Februari 2009 ------, 27 Februari 2009 Harian Suara Merdeka, 10 Januari 2008 ------, 11 Februari 2006 Harian Suara Pembaruan, 9 September 2002. Jurnal Ulumul Qur’an (1993), Nomor 3, Volume IV. Majalah Al-Bashirah, (Edisi 05 Tahun II Muharram 1429, 2007). Majalah Al-Furqon, edisi 8 tahun IV Rabiul Awal 1426 Majalah Gatra, Nomor 23, 17 April 2008. Majalah Liahona, Edisi Juli 2006 Majalah Liahona, Edisi Oktober 2007 Wawancara Agus Budianto, (Yogyakarta), 07 Januari 2007. Galla Puto, (Kajang), 28 September 2004 Hendrik Seriholo, (Seriholo), 29 Februari 2009 442 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Qasim Saguni (Pengurus Pusat Wahdah Islamiah), 26 Mei 2005 Ustas Ikhwan (Pengurus Pusat Wahdah Islamiyah), 12 Juni 2007 Budi Utomo, (Penasehat Distrik Surakarta), 02 Oktober 2008 Kepala Desa Klepu, 13 Februari 2008. Suyatno (Klepu), 13 Februari 2008. Mbah Selan (Klepu), 14 Februari 2008. Mustakim (Klepu), 14 Februari 2008. Salam Muhayat (Klepu), 14 Februari 2008. Mustakim (Klepu), 26 Februari 2008. Suwito (Klepu), 20 Februari 2008. -----, 26 Februari 2008. Sukidi (Klepu), 20 Maret 2008. Koh Margo, (Yogyakarta), 04 Desember 2008. Pamuji, 08 Maret 2008. Partomo, 08 Maret 2008 Suyatno, 08 Maret 2008. Elder Andressen, 24 Oktober 2008. Elder Supriyanto, 24 Oktober 2008. Karsi, 09 Maret 2008. Mbah Yoto (Klepu), 09 Maret 2008. A. Mahrus Andis, (Bulukumba), 11 Desember 2008 Tjamiruddin (Bulukumba), 11 Desember 2008. Ust.H Hamzin, 11 Desember 2008 Agung Santoso (Klepu), 12 Februari 2008. Ust.Pihirudin, 23 Desember 2008 Ust.Tanwir, 26 Desember 2008 Piet Patiwailapia, (Paso), 01 Maret 2009 Mardianto, (Bulukumba), 24 Januari 2009 A. Mattalatta (Bontobahari), 25 Januari 2009 BIBLIOGRAFI 443 Lina (Tanah Beru), 25 Januari 2009. Putra Wangsa, 30 Januari 2009 Khoirul Anam, (Yogyakarta), 02 Januari 2009. Mardiyono (Semarang), 20 Agustus 2008 02 Februari 2009. J, 14 Februari 2009. SH, 14 Februari 2009. Zairullah Azhar, 14 Februari 2009 Jusman, S.Pd. (Bulukumba), 15 Februari 2009 RS, 15 Februari 2009. TM, 16 Februari 2009. Restya Budi, (Surakarta), 24 Februari 2009. Muhammad Nasir Wakano, (Negeri Latu), 03 Maret 2009 Saefudiin Sapsuha, (Negeri Latu), 03 Maret 2009. TGH. Khatibul Umam, 04 Februari 2009. Yudi Wildan, (Bandung), 04 Mei 2009. Taufik Arbain (Banjarmasin), 28 April 2009. TGH. Jamiludin, 05 Januari 2009 KH Saifudin Kamil, (Bandung), 05 Mei 2009. Usep Dedi, (Bandung), 05 Mei 2009. Farid Hadjiri, (Depok), 13 Mei 2009. Maladi Dani, (Bandung), 04 Mei 2009 & 06 Februari 2009. Rais Haulussy di Negeri Liang, 06/03/2009 Kepala Desa Mesanggok, 08 Februari 2009. M. Nur Tawainella, (Negeri Tulehu), 08/03/2009. Ust. H.Said, 09 Januari 2009 Pdt. Lodewijk Gultom, (Depok), 09 Mei 2009. Fakih, (Yogyakarta), 10 Januari 2009. John A. Titaley (Salatiga), 10 Februari 2009. Y, 10 Februari 2009. 444 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Website http://antipemurtadan.wordpress.com http://dakta.com http://epaper.suarapembaruan.com/default. aspx?iid=24721&startpage=page0000012 http://fkki-jabar.blogspot.com http://hkbpcinere.tripod.com/. http://hkbpcinere.wordpress.com/about/ http://jawaban.com http://klikfkub.wordpress.com/2009/03/ http://klikfkub.wordpress.com/2009/03/. http://kompas.com. http://www. islamlib.com http://www.antaranews.com http://www.banua-raya.blogspot.com/2008/11/thm-tanbu.htmlhttp://www.budyawacana.com http://www.budyawacana.com/media.php?module=profil http://www.cmm.or.id http://www.crisisgroup.org. http://www.detik.com http://www.elsam.or.id/txt/asasi/2001_0304/03.html. http://www.gatra.com. http://www.geocities.com/haiho1961/fridolin.html http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006/mei_31/hl003. html. http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006/sep_18/ lkMim001.html. http://www.ireyogya.org/F16_kasus.htm. http://www.klentengponcowinatanjogja.com http://www.kompas.com http://www.kompas.com BIBLIOGRAFI 445 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0104/12/daerah/konf30. htm, http://www.kompascybernews.com http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=155331&actmenu=46. http://www.nu.or.id/page.php http://www.ob.or.id/modules. php?name=News&file=article&sid=342 http://www.pgi.or.id http://www.puisi.net/index. php?option=com_content&task=view&id=206&Itemid=46 http://www.reformata.com. http://www.republika.co.id http://www.salafy.or.id http://www.sinarharapan.co.id/berita/0810/13/jab03.htmlhttp://www.sinarharapan.co.id/nasional/2006/s0601.htmlhttp://www.tasteofjogja.com. http://www.tasteofjogja.com. http://www.tempointeraktif.com http://www.tempointeraktif.com/hg/tata_kota/2009/05/06/ brk,20090506-174766,id.html http://www.thejakartapost.com/.../religious-intolerance-gettingworse-says-report.html http://[email protected]:[email protected]. http://www.vhrmedia.com http://www.wahidinstitute.org http://www.wikipedia.org.i/Klenteng. http://www.yesuskristus.or.id http://www.yogyes.com. http://zkarnain.tripod.com 446 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Indeks A A.A. Cence • 136 A. Putra Wangsa • 140, 163 abangan • 69, 70, 71, 72, 76, 167 Abduh • 21, 26 Abdullah Ahmad • 26 Abdullah bin Baaz • 158 Abdullah bin Salim Al-Bashry • 23 Abdul Wahab Qadhi • 23 Abdurrahman Wahid • 171, 188, 266, 404 Abraham • 182, 183 Abu Bakar Baasyir • 41 Abubakar Kabakoran • 340 Aceh • 139, 153, 192 Adam • 181 Adi Pontjonoegroho • 242 Agus B • 266, 267 Agus Supriyanto • 59 Ahmad Hasan • 27 Ahmadiyyah • 194, 195 Ahmad Sayuti • 367 Aholiab Watloly • 341 Ahuru • 339, 350 Aikmel • 27, 29, 30, 34, 35, 37 Akhmad Khatib • 139 AKI, HDH • 367 al-Bâdil al-Islâmî • 419 al-Bashirah • 158 al-Bisthami • 141 al-Ihyâ’ al-Islâmî • 418 Al-Islam Joresan • 88 al-Khurasani • 141 Al-Manar • 26, 31 al-Qur’an • 437 al-Sahwah al-Islâmiyyah • 418 al-salaf al-shalih • 21 al-Salâfiyah • 418 al-Urwah al-Wustqa • 26 al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah • 418 Alexis de Tocqueville • 412 Aliansi Pengungsi Maluku • 349 Ali bin Abi Talib • 412, 413, 414, 416 Alifuru • 338 Alkitab • 170, 171, 172, 173, 179, 184, 185, 187, 202, 210, 211, 213, 216, 218, 411, 412 Allah SWT • 141 Amanna Gappa • 133 Ambon • 318, 336, 337, 340, 341, 349, 350, 354, 356 American Religion • 213 Amerika Serikat • 170, 179, 198, 448 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 200, 209, 210 Amma Toa • 135, 136, 137, 138, 436 Ampenan • 58 Andi • 106, 107, 134 Andi Suwito • 106, 107 Aostronesia • 16 APBN • 396, 400 Appleby • 422, 431 Ara • 135, 138, 139 Arab • 19, 24, 28, 31, 35, 37, 38, 41, 47, 54, 57, 86, 155, 318, 414, 415, 416, 417, 422 Arab Saudi • 19, 24, 28, 31, 35, 37, 41, 47, 86, 417 Aramaic • 411 Aristoteles • 423 Ariyanto Tirtowinoto • 235 AR Sutan Mansur • 26 As-Sunnah Salafiah • 31 Atho Mudzhar • 396 B Baamang • 293 Badan Pertanahan Nasional • 252, 274 Badrul Kamal • 381 Badui • 24 Bagek Nyaka • 27, 29, 30, 32, 34 Baghdad • 23 Bakka Tera • 138, 139 Bali • 16, 17, 18, 19, 292, 318, 363 Balikpapan • 153 Bambang Kesowo • 316 Banda Aceh • 153 Bandung • viii, 142, 152, 189, 210, 359, 365, 368, 369, 370, 371, 372, 373, 374, 375, 376, 377, 383, 387, 388, 390, 391, 392, 393, 394, 395, 396, 397, 398, 402, 409, 432, 434, 443 Bani Saleh • 42, 44 Banjar • 290, 291, 292, 307, 317, 318 Banjarmasin • x, 296, 314, 320, 321, 322, 435 Bantaeng • 135, 153 Bantul • 234 Bapak Surgawi • 182, 186, 215 Barat • 58, 59 Barru • 153 Barzanji • 18, 34, 45, 57 Bashrah • 23 Basuki • 247, 251, 262, 264, 265 Batak • 197, 292, 318, 367 Batu Merah • 349, 350 Bayan Suraji • 110 Belanda • 16, 17, 18, 19, 38, 74, 139, 141, 193, 197, 231, 258, 343 Beroro • 58 bid’ah • 19, 414, 416 Bima • 28, 38, 153 BKSG • 369 Bob Bennett • 179 Bodhisatva • 234 Bogor • 189, 379, 380, 381, 384 Bohe Kato • 136, 137 Bonandir • 81 Bone • 152, 155 Bontobulaeng • 143 BPK • 188, 191, 329, 431, 432, 435 INDEK 449 Buddha • 15, 196, 225, 229, 232, 233, 234, 235, 367, 369, 371 Budi • 142, 170, 198, 203, 204, 205, 382, 442, 443 Bugis • 134, 138, 292, 318, 337 Bulo-Bulo • 136 Bulukumba • vii, ix, 131, 132, 133, 136, 137, 141, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 152, 153, 155, 159, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 428, 437, 442, 443 Bupati Bandung • 369, 372, 390, 396 Burhanudin Daya • 26, 27 Buton • 337 Butta Panrita Lopi • 133 C Cabang Davidian • 200 Cabogo • 135 Cakranegara • 17, 28, 37, 41 Calvinis • 197, 207 Carik Poedji Soekartono • 79 Charles Taylor • 175, 176 China temple • 253, 254, 273, 275 Chunghwa • 254, 273 Church of England • 411 Ci • 228 Cibiuk • 388 Cilibbo • 143 Cina • 37, 38, 318 Cinere • 378, 379, 380, 381, 382, 383, 384, 385, 386, 387, 396, 397, 400, 439 Cingcin • 388, 390 clean government • 333 Cokrodiningratan • 234 Confusius • 259 Cooley • 343, 344, 345, 432 CU Betang Asi • 310 D Daarul Falah (LDATA) • 31 Daerah Istimewa • viii dakwah • 18, 23, 52, 53, 61, 84, 86, 87, 88, 89, 94, 96, 97, 98, 109, 111, 113, 116, 119, 135, 146, 147, 148, 154, 155, 356 Dalail al-Khairat • 45, 47 Damang • 296 dan Purbakala • 236, 241, 244, 245, 246, 249, 255, 263, 265, 270, 277, 278, 283, 439 Dara Arum • 310, 311 Darul Istiqamah • 146, 147 Datuk Patimang • 135, 136 Datuk ri Tiro • 134, 135, 136, 137, 138 Dayak • viii, x, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 300, 302, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 309, 310, 311, 312, 367, 433, 437 Dayak Losarang • 367 Dean C. Jensen • 190 Deliar Noer • 25, 26, 27 Departemen Agama • 82, 173, 174, 450 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA 362, 379, 386, 396, 438 Departemen Lingkungan Hidup • 156 Department of State • 170, 171, 438 Dery Sadana • 235 Desa Gapuk • 44, 48, 58 Desa Kutu • 81 desa Liang • 350, 351 Desa Sepa • 350 Desa Sombro • 74 Dewan Harimau Nan Selapan • 25 Dewan Penasehat FKUB • 362, 371, 374 Dewi Kwan Im • 234 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jogjakarta • 280, 281 Dinas Ketertiban • 236, 241, 248, 277 Dinas Perizinan Pemkot Jogjakarta • 262, 268 Dinasti Utsmani • 414, 416 Dirjen Sejarah • 236, 241, 244, 245, 246, 249, 255, 263, 265, 270, 277, 278, 283, 439 DKI Jakarta • 152 Dodi KH • 384 Dompu • 28, 38 DPD Golkar Banjarmasin • 321 dr. HM. Zairullah Azhar, M. Sc • 314 Dr Daniel Pipes • 420 Drs. Burhansyah • 316 Drs. Ilham Djafrie • 315 Drs. Soeroso, M.Hum • 240 Drs Tjamiruddin • 145 Dunia Baru • 212 Durkheim • 66, 127, 215, 433 Dusun Jogorejo • 68, 82, 126 Dusun Sambi • 68, 77, 91, 96, 99, 102, 107, 111, 112, 114, 120, 122, 126 E Efesus • 183 Elder Andressen • 183, 184, 192, 213, 442 Emille Durkheim • 215 Emmanual Sivan • 419 Enrekang • 152 Eropa • 192, 211, 212 Etta • 134 F Fahmi Salatalohy • 341 Famili • 347 Fantoni Gutama • 235 Farid Hadjiri • 370, 378, 386, 387, 443 Fathul Muin • 150 FKKI • 373 FKUB Depok • 365, 368, 369, 370, 371, 372, 374, 377, 378, 379, 381, 382, 386, 387, 394, 395, 397 FKUB Kab. Bandung • 365, 368, 369, 371, 373, 374, 375, 376, 377, 391, 392, 394, 395, 398 Fokus London • 86 Fraksi PDI Perjuangan • 248 Fransis Xavier • 342 INDEK 451 Frederick M. Denny • 422 Fundamentalist LDS • 199 G Gandul • 379 Garda Hasmi • 368 Gautama • 234 Geertz • 69, 70, 71, 72, 215, 433 Gegutu • 42 Gejayan • 235 Geraja Bethel Indonesia (GBI) • 388, 389 Gereja Bethel Indonesia • 197, 366 Gereja Bethel Pentakosta Indonesia (GBPI) • 388 Gereja Bethel Tabernakel • 392 Gereja Kristen Indonesia • x, 197, 235, 366 Gereja Sesat • 170 Gereja Yesus Kristus • 174, 179, 185, 186, 438 Gerung • 29, 44, 48, 49, 50, 51, 52, 58, 59 ghanima • 351 Gideon Hartono • 226, 235, 241, 245, 249 GII Taman Rahayu • 374 Gilbert Lumoindong • 202, 203 Gilles Kepel • 419 Golkar • 78, 79, 84, 85, 321, 436 Gomong Lama • 28, 41 Gondomanan • 232, 235 good governance • 327 Gordon B. Hinckley • 171, 180, 181, 188 Gordon Smith • 179 Gorontalo • 152, 155 Go Tiang Lioe • 235 Gowa • 135, 136, 152 Gunung Boko • 234 Gunung Sari • 29, 54, 58 Gunung Sempu • 234 Gus Dur • 171, 195 H H.Husnul Munip • 31 H. Idris • 28, 37, 38, 39, 40, 41 H. Jayadi Hasan • 316 H. Mukti • 29, 30, 46, 47, 48, 49, 50, 50, 51, 52, 59 H. Musfihad • 46, 48 H. Piabang • 25 H. Rasul • 26 H. Said • 29, 42, 43, 44, 58 H.Wildan • 44 Haafkens • 66 Haji Madjid • 19 Haji Miskin • 25 Halmahera • 338, 342 Haramain • 156, 157 Harry Reid • 179 Harvard University • 420 Haryadi Suyuti • 243 Hasan • 27, 122, 135, 316, 339, 416, 434 Hasan Tunggal • 135 Hasyimiyah • 415 Hasyim Muzadi • 404 Hasyiyah Shahih Bukhary • 24 Hendrik Seriholo • 351, 441 Henry Kuncoroyekti SH • 248 Herman Hasyim • 153 452 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Herni Pramastuti • 237 Herry Zudianto • 243, 251 Hidayat Nurwahid • 404, 405 Hidayatullah • 146, 147 Hila-Hila • 135 Hindu • 15, 16, 17, 18, 196, 206, 292, 318, 332, 367, 369, 371 Hindu-Buddha • 15 Hindu-Jawa • 15 HKBP Cinere • 378, 379, 380, 381, 382, 383, 384, 385, 386, 387, 396, 397, 400, 439 HKBP Pangkalan Jati • 378, 380 Hokkian • 228 Hok Tik Bio • 233 Hok Tik Cing Sin • 233 Hualoy • 351, 352, 353 Hukum Cambuk • 145 Husnul Akib • 81, 82, 97 I IAIN Sunan Ampel • 88 Ibn Qayyim al-Jawziyyah • 21 Ibn Taimiyyah • 27 Ibnu Saud • 157, 415 Ibnu Taymiyyah • 21 Ibrahim • 23, 24, 129, 416, 431 Ibrahim bin Sulaiman • 23 Ibrani • 180, 220, 411 Idul Fitri • 17, 94, 101, 196, 347 Iha • viii, 335, 339, 347, 349, 350, 351, 353 Ihsan Ali Fauzi • 319 Imamat Melkisedek • 187 Imam Syafii • 18, 26 Ina Ama • 352 India • 24, 318, 428 Indonesia • i, iii, iv, v, vii, ix, x, xi, 17, 25, 27, 28, 32, 57, 67, 79, 80, 84, 130, 139, 141, 142, 152, 163, 170, 171, 179, 191, 190, 189, 57, 173, 189, 25, 174, xi, 188, 194, 172, 171, 131, 25, 170, 192, 194, 195, 196, 197, 206, 209, 210, 213, 214, 215, 216, 217, 219, 221, 222, 228, 233, 235, 264, 266, 279, 280, 284, 287, 288, 289, 292, 296, 310, 314, 318, 321, 331, 335, 336, 341, 342, 353, 363, 366, 367, 385, 388, 389, 393, 403, 404, 405, 422, 428, 432, 433, 434, 435, 436, 437, 438, 439, 440 Inggris • 32, 179, 405, 410, 411 insider • 66, 67 integrisme • 419 Iqbal Manna • 149 Irak • 24 Irfan Nugraha • 389 IRO • 156, 157 Ir Yusran Yusuf • 164 Ishak Suhendra • 367 Iskak Gunawan • 235 Islam • vii, ix, x, xi, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 33, 41, 55, 62, 63, 65, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, INDEK 453 82, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 97, 98, 100, 101, 103, 104, 108, 109, 110, 111, 114, 116, 117, 119, 121, 126, 129, 130, 131, 132, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 152, 155, 158, 159, 163, 167, 168, 185, 193, 194, 195, 196, 206, 214, 219, 292, 314, 318, 319, 321, 330, 332, 335, 339, 342, 345, 350, 352, 354, 355, 356, 357, 359, 367, 368, 369, 370, 371, 373, 386, 389, 403, 404, 405, 407, 408, 409, 412, 413, 414, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 422, 423, 424, 425, 426, 427, 431, 432, 433, 434, 435, 436, 437 Islamic Centre Abu Hurairah • 41 Islam Nusantara • 15 Ismail Hadi • 31 J Jalal al-Shan’ani • 21 Jalsah Salanah • 195 Jamal al-Din al-Afgani • 21 Jamiat Khair • 26 Janggo Toa • 135, 136 Janggo Toa Kajang • 136 Jannat al-Baqi • 416 Jason Lase • 173 Jawa • x, 15, 18, 27, 28, 40, 41, 69, 73, 89, 110, 188, 193, 194, 195, 197, 199, 229, 232, 291, 292, 317, 318, 337, 354, 365, 366, 367, 368, 371, 372, 380, 437, 439 Jawa Barat • 365, 366, 367, 368, 371, 372, 439 Jawa Tengah • x, 193, 194, 195, 197, 199, 232 Jawa Timur • 89, 110 Jayapura • 153 Jedah • 415 Jembatan Kembar • 58 Jembatan Surau Besi • 26 Jeneponto • 152 Jepang • 18, 19, 158, 258 Jetis • 81, 240, 242, 252, 275 Jhon Calvin • 410 Jhony Rusmanto • 289 jihad • 23, 24, 356, 418, 427 Jogorejo • 68, 69, 82, 85, 99, 126 John Ryan Bartholomew • 17, 19 Jonatan H. Turner • 176 Joseph Smith • 173, 179, 180, 181, 184, 185, 186, 187, 202, 207, 208, 438 Jundullah • 146, 147 Juwaini • 103, 104, 106, 107, 123 K Kabupaten Bandung • viii, 359, 365, 368, 387, 391, 396, 402 Kabupaten Banjar • 317 454 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Kabupaten Gunung Mas • 292 Kabupaten Katingan • 292 Kabupaten Kotabaru • 315, 316, 317 Kabupaten Pulang Pisau • 292 Kabupaten Tanah Bumbu • 315, 316, 317, 318, 322, 323, 328, 331, 431, 436, 438 Kabupaten Tanah Laut • 317 Kadirun Yahya • 141, 142 Kairo • 28 Kajang • 135, 136, 137, 138, 432, 434, 436, 441 kakehan • 344 kalatting • 136 Kalimangu • 74, 75 Kalimantan Selatan • 315, 316, 317, 321, 322, 332, 437, 438 Kalimantan Tengah • x, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 296, 301, 304, 310, 438 Kalumpang • 135 Kamituwo • 74, 76 Kampung Kranggan • 230 kapata • 341 Kapuas • 295, 296, 311 Karaeng • 134, 136, 138, 139 Karaeng Kajang • 136 Karaeng Mamampang • 138, 139 Karaeng Matoa • 136 Karen Armstrong • 426 Karsi • 86, 101, 103, 106, 107, 114, 115, 116, 122, 123, 442 Karubbe • 143 Kasiman • 81 Kasyfu Syubuhat • 24 Katemin • 116, 117 Katolik • 69, 70, 71, 77, 78, 79, 80, 82, 86, 87, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 109, 126, 140, 195, 206, 210, 211, 318, 342, 343, 367, 369, 371 Kayu Tiga • viii, 335, 339, 349, 350, 353, 357 Kebon Kongok • 46, 47 Kecamatan Janapria • 28, 37 Kecamatan Sooko • 67, 68, 85 Kei • 337, 353 kejawen • 69, 70, 71, 72, 73 Kelenteng Tay Kak Sie • 195 Kelurahan Pahandut • 290 Kelurahan Panarung • 290 Kembang Kerang • 27, 29, 30, 32, 34 Kendari • 152, 155 kenduren • 84 Kepatihan • 231 Keraton • 226, 231, 242, 243 Kereng Pangi • 287, 293 Kesbang Linmas • 368, 394, 395 Kesultanan • 257 Ketapang • 388, 390 Keuskupan Agung Semarang • 195 KGPH Hadiwinoto • 245, 274 KH. Achmad Dahlan • 25 KH. Ahmad Dahlan • 19 Khalidiyah • 141, 454 KH. Hasyim Asy’ari • 18 KH. Muhatim Hasan • 122 Khaled Aboe el-Fadl • 407, 408, 416, 417 Khalwatiah • 146 INDEK 455 KH Anshor M. Rusydi • 122 Kharaj • 24 Khatib Bungsu • 135 Khawarij • 412, 413, 414 khilafiyah • 97, 101, 119 Khizib • 18, 57 khurafat • 19 King James • 172 Kitab-kitab Perjanjian • 172 Kitab Mormon • 172, 179, 180, 201, 213 Kitab Permata • 172 Kitabut Tauhid • 24 Klenteng Poncowinatan • 438 Klepu • vii, 65, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 108, 109, 110, 111, 112, 114, 116, 119, 120, 121, 122, 126, 442 Koh Margo • 266, 267, 442 Kolaka • 152 Korea • 318 Kota Depok • viii, 359, 365, 368, 369, 383, 385, 396 Kota Gede • 264 Kota Mataram • 17, 28, 38, 41, 42, 46, 60, 58 Kotawaringin Barat • 295, 296 Kotawaringin Timur • 288, 294, 295, 296 Kristen • x, 18, 71, 86, 140, 171, 172, 173, 174, 185, 192, 197, 199, 203, 205, 207, 209, 210, 211, 216, 218, 219, 235, 252, 254, 255, 256, 261, 267, 273, 292, 318, 330, 332, 335, 336, 338, 339, 342, 345, 348, 351, 354, 355, 357, 359, 360, 366, 367, 369, 373, 390, 391, 392, 408, 410, 411, 418, 419, 420, 423, 424, 438 Kristiani • 252, 261, 381, 384, 417, 420 Krukut • 379 KUA • 81, 85, 107, 120 Kuniran Atas • 94, 97, 98, 99, 100, 101 Kurdi • 73, 74, 75, 76, 79 Kuswandi • 90, 91, 95 Kuwait • 28, 31, 32, 35, 37, 38 Kwan Tee Kiong • 232, 233 L Lailatul Ijtimak • 39 Langkasa • 135, 136 Lao Tze • 229 Lapian • 172 larvul ngabal • 353, 354, 356 Las Vegas • 190 Latu • 346, 347, 351, 352, 353, 443 LDS Charities • 188, 189, 222 Lease • 337 Ledok • 68, 73, 99 Lekong Putek • 30 Lembang • 136, 143 Lembar • 44, 46, 47, 48 456 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA lima • 23, 29, 35, 45, 50, 56, 75, 83, 96, 108, 112, 114, 152, 166, 179, 194, 198, 279, 281, 292, 337, 338, 342, 422 Limo • 379, 382 Lingsar • 17 Litbang Depag • 396 Lodewijk Gultom • 370, 372, 374, 378, 386, 387, 394, 443 Lombok • ix, 15, 16, 18, 19, 20, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 17, 29, 32, 31, 34, 35, 36, 37, 38, 40, 41, 42, 44, 46, 48, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 58, 59, 60, 62, 194, 440 Lombok Barat • ix, 17, 29, 30, 41, 42, 44, 48, 51, 54, 60, 58, 59 Lombok Timur • 17, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 34, 60, 35, 36, 37, 41, 53, 54, 55, 58, 60 Lombok Utara • 16, 52 lumatau • 342 Lurah Soemakoen • 77 Luwu • 135, 152, 153 Luwuk Banggae • 153 Luwu Timur • 153 M Madagaskar • 133 Madinah • 23, 24, 152, 155, 314, 415, 416, 417 Madrasah Al-Falah • 28 Madrasah Aliyah • 18, 28 Madrasah Ihya As-Sunnah • 58 Madrasah Tsanawiyah • xi, 18, 30, 40 Madura • viii, x, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 309, 310, 311, 312, 318, 367, 433 Madzariah • 141 Magelang • 232 magersari • 253, 274, 275, 282, 285 Mahayana • 196, 229 Mahmud Suyuti • 82 Majalaya • 388, 389 Majapahit • 15, 16, 17 Majelis Ulama Indonesia (MUI) • 130, 367 Makassar • 432, 434 Maladi • 369, 373, 374, 375, 377, 394, 443 Maluku • viii, ix, xi, 335, 336, 337, 338, 339, 340, 341, 342, 343, 345, 347, 348, 349, 350, 351, 352, 353, 354, 355, 356, 357, 439 Maluku Tengah • 338, 340, 341, 345, 347, 350, 439 Maluku Tenggara • 338, 340, 342, 353 Maluku Utara • 342 Mamuju • 153 Manado • 171, 189, 318 Manajemen Ilahiyah • xi, 314, 316, 321, 323, 325, 331, 431, 436 Mansur • 26, 164 INDEK 457 Manuel Castell • 175, 176 Mapatinro Benne • 134 Mappadendang • 134 Mappalili • 134 Marauke • 153 Mardianto • 141, 143, 144, 159, 162, 163, 164, 165, 166, 442 Margahayu • 392, 393, 401 Margaret Jean Jensen • 190 Marina • 196 Maros • 153 Martin E Marty • 422, 425 Martin Luther • 410 Masjid Baitul Mukminin • 99 masjid Daarud Dakwah • 59 Masjid Darussalam • 100 masyarakat madani • 331 Masyumi • 18 Mataram • 58 Mattalatta • 165, 166, 442 Mattulada • 135, 136 Maulana Syekh TGH. Zainudin Abdul Majid • 17 Maulid Nabi • 19, 56 mazhab • 18, 22, 24, 25, 60, 63, 194, 405, 416 mazhab Hanbali • 25 Mbah Kasno • 113 Mbah Selan • 71, 442 Mbah Sulni • 82, 83, 91, 102, 105, 108, 112, 113, 114, 115, 118, 122 Mbah Yoto • 65, 77, 99, 101, 106, 110, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 442 Medan • 142, 188, 209 Megawati • 316 Melanesia • 338 Melayu • 27 Menteri Agama • 191, 194, 216, 359, 360, 361, 363, 364, 372, 385, 438 Menteri Dalam Negeri • 194, 359, 360 Meruyung • 379 Mesir • 24, 28, 185, 413, 415, 431 miao • 228, 229 Mike Crapo • 179 Minagkabau • 367 Modin Sukidi • 82, 83, 93, 108, 110 Moelyadi SH • 262 Mormon • vii, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 179, 180, 181, 183, 184, 185, 188, 189, 191, 192, 193, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 218, 219, 220, 221, 222, 433, 435, 438 Mormon Tabernacle • 179 MPR • 404 Mu’awiyah bin Abu Sufyan • 412 Muhadi • 82 Muhammad Abduh • 21 Muhammad al-Syawkani • 21 Muhammad bin Abdul Wahab • 22, 23, 24, 27, 414 Muhammad bin Suud • 24 Muhammad Djamil Jambek • 139 Muhammad Hayat As-Sindy • 24 458 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Muhammadiyah • x, 19, 20, 25, 26, 27, 70, 73, 81, 94, 97, 98, 99, 100, 101, 108, 110, 114, 143, 146, 150, 159, 321, 356, 367, 369, 431 Muhammad Rasyid Ridha • 21 Muhammad Sarjono SH • 246 Muhibbin • 322 Muh Ridwan • 160 Mujiburrahman • 319, 435 Mukhtar Sarman • 319, 320 Muktar • 165 Mukti Nasihat • 59 Muna • 152 Munawar • 65, 83, 84, 85, 88, 89, 95, 97, 99, 100, 101, 105, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 119, 120, 121, 122 Musa • 129, 181, 182, 183, 202, 413, 431 Muspika • 119, 388, 392, 401 Mustakim • 72, 74, 75, 76, 77, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 88, 92, 95, 96, 97, 98, 101, 108, 120, 442 Musyawarah Kota (Muskot) • 369 Narmada • 17, 42 Natbiti • 69 Negara Kesatuan Republik Indonesia • 366 Negeri Kamariang • 345 Negeri Sepa • 345, 347 New England • 410 Newmont Nusa Tenggara (NNT) • 44 New York • 125, 127, 130, 185, 208, 212, 219, 342, 431, 432, 433, 434, 435, 436 Ngadirojo • 77 Ngang Shan • 233 Ngapak • 68, 73, 74, 75, 76, 79, 99, 100, 101 Ngupasan • 235 NTB • 38, 41, 45, 48, 49, 50, 51, 52, 318, 428, 441 NTT • xi, 335 Nuh • 181, 182, 183 Nur Kholik Ridwan • 25, 27 Nurmahmudi Ismail • 439 Nusa Ina • 341 NW • 17, 18, 19, 20, 34, 40, 41, 57, 62 NW-Anjani • 41 N O Nabi • 58 Nabi Muhammad • 21, 33, 45, 55, 56, 139 Nahdlatul Ulama (NU) • 39, 45, 367 Nahdlatul Wathan • 17, 18, 19 Najd • 414, 415 Obar Sobarna • 396, 397 Obeth • 339 Oncan Poerba • 227, 245, 247, 249, 253 Orde Baru • 70, 78, 79, 229, 233, 260, 267, 298, 313, 353 Orrin Hatch • 179 INDEK 459 Osmond • 179 outsider • 66, 67 P P4 • xi, 92, 93 Paciran • 110 Padawulan • 389 Padri • 25, 26 Pagatan • 320 Pak Munawar • 65, 113 Pak Wo • 105 Palangka Raya • viii, 290, 291, 292, 295, 299, 300, 301, 302, 304, 306, 307, 309, 311, 312 Palembang • 367 Pali • 229 Palpo • 152 Palu • 152, 155 Pancasila • xi, 82, 93, 321, 366 Pancor • 17, 37 Pangadilan Tata Usaha Negara (PTUN) • 383 Pangestu • 196 Pangkalan Jati • 378, 379, 380 Panre Abeng • 139 Paok Dandak • 37, 39 Papua • 335, 336 Pare-pare • 153 Parigi • 153 Partai Masyumi • 18 Partomo • 83, 117, 118, 119, 120, 123, 124, 125, 128, 442 Pasar Kranggan • 226, 245 Pasar Wadai • 307 Patabai Pabokori • 145, 148 Patuntung • 136 Pdt. Dr. Arnold Nicolaas Radjawane • 341 Pdt. Ev. Jamanarik Nainggolan • 388 Pdt Dr Lefrandt Lapian MA • 172 Pecinan • 195, 196, 230 Pejarakan • 29, 42, 43, 44, 54, 58 Pekan Baru • 153 Pekunden • 198 Pela • 343, 344, 356 pela-gandong • 343 Pelamboyan Bawah • 293 pela tempat sirih • 344, 345 pela tulen • 344 pelau • 343 Pemerintah Daerah • 379, 393, 394, 437 Pemuda Pancasila • xi, 321 Penatua Ezra Taft Benson • 189 Pendeta Robby Eliza • 388, 389 Pendeta Sibuea • 217 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) • 262 Pentakosta • xi, 172, 197, 214, 388 Perang Topat • 17 Peraturan Bersama Menteri • xi, 359, 385 Perda • 144, 145, 319, 320, 397, 433, 435 Perjanjian Baru • 173, 185, 202, 218 Perjanjian Lama • 185, 187 Persekutuan Gereja-Gereja seIndonesia Setempat • 385 Pesantren Arrisalah Ponorogo • 121 Pesantren Bersujud • 324, 437 460 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Pesantren Daarul Falah • 46 Pesantren Darul Fikri • 103 Pesantren Gontor • 83, 84, 111 Pesawahan, Dayeuhkolot • 388 Peter M. Blau • 125 Petrus • 187 Piet Pattiwailapia • 349 Pinrang • 152 POLDA DIY • 261 political marketing • 325 Polman • 152 Poltabes • 250, 251 Pondok Pesantren Jamaludin • 29 Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri • 29 Ponorogo • vii, 65, 67, 68, 77, 81, 82, 83, 88, 89, 90, 102, 104, 107, 119, 120, 121, 122, 123, 428 Ponpes Ubay bin Ka’ab • 58 Pontianak • 153 Portugis • 342, 343 Poso • 341 Prambanan • 234 Presiden • 169, 171, 180, 187, 188, 189, 190, 193, 198, 201, 214, 316, 404 Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) • 404 Protestan • 140, 197, 211, 343, 367, 369, 371, 391, 410, 422, 423 Provinsi Riau • 363 PT. Bukit Cinere Indah • 380 PT Urecon Utama • 380 Pulau Buru • 337 Pulau Saparua • 350 Pulau Seram • 347, 350 Q Qadariyah • 143, 460 Qashim • 24 Qasim Saguni • 151, 156, 157, 158, 159, 442 R R. Scott Appleby • 422 Rais Aam • 18 Rais Haulussy • 350, 351, 443 Raja Abdul Azis ibnu al-Saud • 415 Raja Saud • 414 Ramadhan • 38, 72, 113, 209, 307, 320, 323, 435 Rancaekek • 397 Rasulullah • 164, 194, 314, 326, 414, 416 Rasulullah SAW • 326 Rasyid Ridha • 21, 26, 27 Ratna Harmani SH • 262 Retno • 289 revivalisme • 419 Ridhoni Sholeh • 81 Riffat Hassan • 422 Riyadh • 24, 47 Rm.Ignatius Soeharjo • 195 Robert N. Bellah • 212 Rodney Stark • 219, 220 Rulon Jeffs • 199 S Sadana Mulyono • 241, 439 Saefuddin Sapsuha • 351 sahabat • 20, 22, 413, 417 INDEK 461 Saiful Mujani • 319, 433 salaf • 20, 21 Salafi • 20, 21, 22, 23, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 37, 39, 41, 42, 22, 28, 25, 27, 27, 29, 31, 29, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 356, 434 Salafisme • 21, 22 Salam Muhayat • 72, 73, 77, 87, 92, 97, 442 Saleh Putuhena • 338 Samarinda • 153 Sambi • 68, 74, 77, 82, 83, 86, 87, 91, 96, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 119, 120, 121, 122, 126, 127, 128 Sampit • 287, 288, 289, 293, 294, 295, 296, 311, 312, 438, 440 Sam Poo Kong • 195 Sapo Lohe • 131 Sapolohe • 160, 165 Sapta Dharma • 196 Sasak • 15, 16, 17, 19, 45, 54, 55, 431 Sasak Boda • 15 Saudi • 19, 22, 24, 28, 31, 35, 37, 41, 47, 86, 156, 415, 417, 435 Saudi Arabia • 22, 24, 415, 417 Sayidina Husain • 194 SBY • 404 SDA • 329 SDN Klepu • 87, 88, 96, 99 Sekolah Bhineka Tunggal Ika • 253, 275 Sekolah Rakyat Nasional • 258 Sekotong • 29, 45, 47, 48, 58 Selayar • 135, 153 Selong • 17 Semarang • vii, xi, 169, 174, 175, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 201, 203, 206, 207, 209, 210, 220, 221, 222, 232, 443 sembajang • 136 Sendang. Galih • 91 Sendang Waluyo Jatiningsih Gua Maria Fatima • 89, 91 Sendi Aman • 26 Sendung • 293, 294 Sengkang • 153 Seriholo • viii, 335, 339, 349, 351, 352, 353, 441 Serikat Petani Karet • 309 Sheldon Stryker • 176 Shibghatullah Al-Haidary • 23 Shiffin • 412 Sidoarjo • 191 Sidrap • 152, 155 sikkiri • 136, 137 Simpang Lima • 192, 193, 198 Sinarbiyat Nujanat • 248 Singapura • 27, 189 Sinjai • 152 Siput Lokasari • 226, 235, 236, 237, 240, 242, 243, 246, 247, 249, 250, 268, 283 Sister Jensen • 190, 191 462 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA siwa • 338, 342 SKB • xi, 195, 360 SMA • 156, 198, 203, 249, 250, 263, 320 Soeharto • 78, 230, 313 Soiman Lukmanul Hakim • 81 Sooko • 67, 68, 74, 81, 83, 85, 87, 107, 119, 120 Soppeng • 152 Sri Sultan Hamengku Buwana • 233 Sri Sultan HB • 275, 276 STAI Al-Gazali • 162 STAIN Bone • 155 STAIN Gorontalo • 155 Stephen Covey • 179 STIK Tamalate • 155 sufisme • 22 Sugito • 91, 92 Suhud • 81 Sulawesi Tenggara • 363 Sulnomo • 82, 102, 108 Sulsel • 131, 132, 142, 148, 150, 151, 156, 157, 159 Sumatera Barat • 25 Sumatera Thawalib • 25, 26, 27 Sunan Giri • 16 Sunda • 318, 367 Sunda Wiwitan • 367 Suraji • 83, 110, 111 Surat Keputusan (SK) • 378 Suryana Nur Fatwa • 389 Susie Fitri • 227, 245, 247, 249 Sutrisno • 115, 116 Suwito • 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 95, 96, 97, 98, 100, 101, 103, 104, 105, 106, 107, 110, 120, 121, 123, 442 Suyatno • 90, 94, 98, 442 Syam • 24 Syariat • x, 129, 144, 146, 147, 148, 158 Syarif Mekah • 415 Syarikat Islam (SI) • 367 Syekh Ahmad Khatib • 26 Syekh Muhammad Nur • 26 Syekh Yusuf • 138, 139, 142 syirik • 19, 24, 25, 39, 58 T ta’ashsub • 24 tahlilan • 39, 95, 96, 97, 98, 106, 109, 111, 113, 115, 117 Taiwan • 258 Takalar • 152 takkang jeko • 136 talfiq • 22 Tanah Beru • 131, 132, 133, 138, 139, 140, 150, 153, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 443 Tanah Bumbu • 314, 315, 316, 317, 318, 320, 321, 322, 323, 325, 326, 327, 328, 329, 330, 331, 332, 333, 428, 431, 436, 437, 438 Tanah Doang • 135 Tan Jing Sin • 234 Tao • 225, 229, 235, 266, 267 Taoisme • 234 Tapanuli Selatan • 142 Tarakan • 152 Tasikmalaya • 194, 366 Tator • 153 INDEK 463 Taufik Arbain • 314, 315, 325, 332, 443 Ted Gurr • 130 Teori Evolusi • 423 Ternate • 152, 155 TGH. Abhar • 46 TGH. Ahmad Jamiludin • 37, 39, 40 TGH. Hatabullah • 46 TGH. Hazbullah Munir • 46 TGH. Husni • 27, 28, 29, 30, 31 TGH. Husni Abdul Manan • 27, 28, 29, 30 TGH. Karim • 45 TGH. Khotibul Umam • 45, 46 TGH. Manar • 29, 30, 31 TGH. Masud • 46 TGH. Muaz • 45 TGH. Muhajirin • 46 TGH. Muhammad Arif • 45 TGH. Mustafa • 45, 46 TGH. Mustiadi Abhar • 46, 47 TGH. Muzhar • 46 TGH. Ridwan • 45 TGH. Safwan • 31 TGH. Sakaki • 36 TGH. Shafwan Hakim • 29, 45, 48, 51, 58, 59 TGH. Udin • 46 Thamrin Amal Tomagola • 296 the living Qur’an • 326 Thionghoa • xi Thomas S. Monson • 181 Tiong Hoa Hak Tong • 238, 257, 282 Tiro • 134, 135, 136, 137, 138 TK Katolik Pancasila • 82 TK Perwanida • 82, 102, 111 Toli-toli • 152 Topoyo • 153 Tri Dharma • 225, 232, 233, 235 Trinitas • 216 Tritunggal • 172 Tuanku Imam Bonjol • 25 Tuanku Nan Renceh • 25 Tu Asara • 135, 136 Tuhan • 22, 72, 129, 172, 173, 178, 181, 184, 185, 186, 202, 216, 218, 259, 331, 406, 408, 411, 412, 418, 422, 423, 424, 426 Tuhan Yesus • 172 Turki • 415 Turner • 127, 176, 436 U UIN Alauddin • 155 Unaha • 153 Undang-Undang Dasar • 366 UNESCO • 263, 264, 265 UNHALU Kendari • 155 Unitarian • 197 Universitas Gajah Mada • 19 Universitas Indonesia • 296 Universitas Merdeka Malang • 320 Universitas Nevada • 190 Universitas Palangkaraya • 289 Universitas Panca Budi • 142 Universitas Sebelas Maret Solo • 320 University of California • 214 University of Utah • 189, 190 UNTAD (Palu) • 155 464 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Usep Dedi • 369, 376, 392, 395, 443 Ust.H Mufti Ali • 29 Ust. Ibnu Hizam • 41 Ust.Tanwir • 36, 442 Ustadz Ridwan • 143 Ustas Ikhwan • 442 Usulul Iman • 24 Utah • 179, 180, 189, 190, 208, 212, 214, 215, 435, 438 Utara • 16, 52, 152, 342, 411 UU Pemerintahan Daerah • 313 Uyainah • 22, 24 uzlah • 166 V Van Lith • 195 Vermont • 185 vihara • 229, 230, 233 Vihara Buddha Prabha • 232, 233 Vihara Watu Gong • 196 Villa Mutiara Cinere • 382 VOC Belanda • 343 W W. Cole Durham • 212 Wahabi • 19, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 28, 30, 31, 34, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 46, 52, 53, 54, 55, 56, 58, 60, 61, 132, 146, 158, 356, 404, 405, 414, 415, 416, 417, 426, 433 Wahabisme • 21, 416, 417 Wahdah Islamiyah • 145, 146, 147, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 164, 432, 442 Wahidiyah • 367 Wahyu Widayat, Mac • 241 Wajo • 135 Walikota Depok • 370, 372, 378, 379, 381, 383, 386, 387, 397, 400, 439 Warren Jeffs • 199, 200 Waruspangka • 389 wayang krucil • 71 Wayyari • 350 Weber • 124, 125, 437 Wetu Telu • 16, 18 Wikipedia • 228, 229 Wongsodirjan • 235 Woodward • 69, 437 Y Yakobus • 185, 187 Yayasan Al-Idrisyiah • 37 Yayasan As-Sunnah • 31 Yayasan Bhakti Loka • 225, 227, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 242, 243, 245, 246, 247, 253, 254, 256, 257, 262, 264, 265, 269, 273, 274, 275, 285 Yayasan Darul Azhar • 321 Yayasan Nuruts Tsaqolain • 194 Yayasan Pendidikan Sirojul Huda • 37, 39, 40 Yesus Kristus • 174, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 197, 202, 213, 438 Yogyakarta • viii, 17, 19, 25, 26, INDEK 465 27, 66, 67, 69, 153, 195, 202, 225, 227, 228, 230, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 248, 250, 252, 253, 254, 255, 257, 258, 262, 263, 264, 265, 269, 270, 271, 272, 273, 274, 275, 277, 281, 282, 290, 316, 319, 341, 428, 431, 433, 435, 436, 437, 438 Yohanes Pembaptis • 186 Yohannes • 201 YPPN Budya Wacana • 235, 236, 237, 238, 241, 243, 244, 247, 249, 250, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 270, 271, 272, 273, 274, 275, 277, 278, 284 Yunani • 411 Yunanto Wiji Utomo • 230 Z Zainudin • 17, 18 Zhen Ling Gong’ • 257, 282 ziarah kubur • 19, 57 Zikir • 141 Zulhaini • 49, 58 466 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA TENTANG PENULIS 467 Tentang Penulis A BIDIN WAKANO lahir di Kairatu, 5 April 1973. Abidin Wakano menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Makassar dan selesai pada tahun 1998. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan S2 di perguruan tinggi yang sama. Selesai tahun 2000. Dari sisi pengalaman organisasi, saat ini dosen IAIN Ambon dan Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) ini menjabat sebagai Direktur Lembaga Antar Iman Maluku (EL-AI-EM) sejak 2007. Ia juga Wakil Tanfidz NU Wilayah Maluku 2007 sampai sekarang, Sekretaris Umum KAHMI Wilayah Maluku dan MUI Wilayah Maluku dari 2008 sampai sekarang. Sebelumnya pernah aktif di Institut Dian/Interfidei Yogyakarta (2002-2007), Forum Dialog Antarkita Sulawesi Selatan (1999-2002) dan Ketua Badko HMI Sulawesi 1998-2000. Sejumlah hasil karya yang dihasilkan oleh Abidin antara lain Nasionalisme Kaum Pinggiran: Dari Maluku, Tentang Maluku untuk Indonesia (Yogyakarta: Komunitas Satusa dan LkiS Yogyakarta, 2005), editor dan memberi kata pengantar buku MemahamiWajah Para Pembela Tuhan (Yogyakarta: Dian/Interfidei 2003), Teologi Bencana (Makassar: Oase Intim, 2005), editor buku Kurikulum Orang Basudara (Ambon: PTDUNP Maluku 2008), Kumpulan Khutbah-Khutbah Anti Korupsi (Jakarta Menko Info RI, 2005) dll. Abidin juga menghasilkan beberapa riset seperti “Hubungan Negeri Adat dan Kampung di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) Provinsi Maluku”, kerjasama Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maluku dan Pemda kabupaten SBB 2008, “Nilai-Nilai kearifan Hidup Dalam Masyarakat Maluku (Sejarah dan Budaya Maluku),” sebagai bahan untuk menyusun materi pelajaran di Sekolah 468 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA (Mulok) di Provinsi Maluku 2009, “Studi Tentang Ketahanan Masyarakat dalam Konflik di Kota Masohi kabupaten Maluku Tengah”, Lembaga Antar Iman (EL-AI-EM, 2008). A HMAD SUAEDY Lahir di Kebumen 6 Mei 1963. Setamat Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kebumen tahun 1983 dan pesantren di Kemayan, Kediri, Jawa Timur serta Nampuadi dan Lirap, kebumen, Jawa Tengah, ia melanjutkan studi S1 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurusan Tafsir Hadis dan tamat tahun 1990. Tercatat menjadi pendiri Lembaga Kajian islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta; peneliti di Interfidei, (Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia), Yogyakarta; Koordinator Program Islam dan Demokrasi P3M Jakarta taun 1997-1999; Koordinator Program Penerbitan Institut Studi Arus Informasi (ISAI); Pengurus Pusat Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (PP Lakpesdam NU). Pada 2001-2003, Suaedy menjadi Program Officer The Asia Foundation untuk Program Islam and Civil Society. Saat ini menjadi Direktur Eksekutif the Wahid Institute. Ia juga menjadi editor sejumlah buku di antaranya Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak-hak Azasi Manusia dan Hukum Internasional dalam Islam, karya Abdullahi Ahmed An-Na’im (Yogyakarta: LKiS 1994), Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, editor, Yogyakarta, LKiS 1999, Kiai dan Democracy (Jakarta: P3M, 2000); Politisasi Agama dan Konflik Komunal, editor, (Jakarta: Wahid Institute 2007); dan menulis di sejumlah jurnal dan media massa nasional dan internasional. Baru-baru ini mendapat Research Fellowship Asian Public Intellectual (API) dari Japan Foundation untuk riset di Thailand, Filipina, dan Malaysia masing-masing untuk tiga bulan mulai Juli 2009. Tiga karya terbarunya Perspektif Pesantren: Islam Indonesia, Gerakan Sosial Baru, Demokratisasi (Jakarta; Wahid Institute, 2009); Islam, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia: Problematika Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia (Jakarta; Wahid Institute, 2009); Para Pembaru: Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggara, editor, (Jakarta; Seamus, 2009). TENTANG PENULIS 469 A HMAD ZAINUL HAMDI lahir di Lamongan pada 18 Mei 1972. Menyelesaikan pendidikan S1 di IAIN Sunan Ampel Malang (sekarang UIN Malang) Fakultas Tarbiyah. Jenjang Magister diselesaikan di IAIN Sunan Ampel Surabaya dalam bidang Pemikiran Islam dengan tesis “Relasi Tuhan-Manusia dalam Filsafat Muhammad Iqbal”. Tesis tersebut kemudian diterbitkan PT. Danarwijaya dengan judul “Tak Bergeming di Bawah Tatapan Tuhan”. Selama satu tahun (2006-2007) mendapat kesempatan untuk mengikuti program sandwhich di ANU (The Australian National University) Canberra, Australia. Bukunya Tujuh Filosof Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern, diterbitkan Pustaka Pesantren. Tulisannya berjudul “Menilai Ulang Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Sebagai Blueprint Pengembangan Keilmuan UIN,” memenangkan juara I lomba penulisan artikel nasional CRCS UGM, dan diterbitkan Mizan dalam buku (antologi) Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi. Beberapa artikel hasil penelitiannya diterbitkan di berbagai jurnal, antara lain Istiqra’, Srinthil, Bhinneka, Desantara, dan Gerbang. Saat ini sedang melakukan penelitian “Beragam Agama, Satu Jawa,” dan “Sexualitas ODHIV”. D INDIN ABDULLAH GHAZALI lahir di Bandung, 11 Maret 1977. Menyelesaikan masa sekolah di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Al-Islam Ponorogo Jawa Timur tahun 1996. Melanjutkan kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung jurusan Sastra Arab dan mendapat gelar Sarjana Sastra (S.S) pada tahun 2006. Semasa kuliah aktif di organisasi kemahasiswaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada tahun 1997 membentuk INCReS (Institute for Culture and Religion Studies), dan pada tahun 2000 bersama-sama dengan tokoh-tokoh lintasagama Jawa Barat membentuk Jakatarub (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama). Di PWNU Jabar aktif sebagai pengurus LTN-NU (Lajnah Ta’lif wan-Nasr) 20032008, dan pengurus Lakpesdam 2008-2013. Karya tulis Beyond the symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, penerbit INCReS dan Rosda Karya 1999, sebagai salah satu penulis. Menulis juga untuk penelitian-penelitian singkat diantaranya; tentang formalisasi syariat Islam di Jabar, Strategi Gerakan Islam Lewat Penerbitan, dll. 470 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA E RNA KASYPIAH lahir tanggal 26 Nopember 1977 di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Semasa kuliah aktif di Senat Mahasiswa IAIN Antasari dan HMI Cabang Banjarmasin. Setemat kualiah tahun 2001, ia menjadi guru agama di SMK Pertiwi Kalimantan Timur, dan pada 2003 kembali ke kampung halamannya. Sejak tahun 2003 itulah dia aktif dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan dengan menjadi pengurus di Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3), sebuah NGO yang konsen pada isu-isu demokrasi, budaya dan pluralisme. Beberapa jabatan yang pernah di pegangnya selama bergiat LK3 antara lain staf Program Advokasi Berbasis Monitoring Partisipatif, staf Program Inisiatif Pembangunan Petani, Koordinator Divisi Pemberdayaan dan Advokasi. Pada Kepengurusan periode 2007 -2010, ia dipercaya menjadi Direktur Eksekutif LK3. Di samping itu, selama 2008-2009 dia juga dipercaya menjadi Deputi III di Lembaga Filantropi Borneo (MFB), sebuah lembaga yang bergerak di bidang penggalangan dana sosial untuk isu lingkungan, pendidikan dan kemiskinan, juga menjadi Dewan Daerah Walhi Kalsel periode 2008-2011. Adapun karyanya yang pernah dimuat media lokal adalah “Melacak Visi Transformatif Tarekat Sammaniyyah di Kalimantan Selatan”, “Seleksi KPU dan Pasar Persaingan Sempurna”, dan “Mencermati Tim Seleksi KPU Propinsi”. G AZALIRRAHMAN lahir di Rantau Kujang Kecamatan Jenamas, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, pada 5 Januari 1978. Setelah menyelesaikan studi di Madrasah Aliyah Buntok (Barito Selatan) dan pernah nyantri di Pondok Pesantren Ahlussunnah Wal Jama’ah Buntok pada tahun 1992-1993, melanjutkan studi ke IAIN Antasari Banjarmasin dan lulus pada tahun 2002. Kemudian melanjutkan pendidikan ke program pascasarjana Magister Administrasi Publik Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin pada tahun 2004. Semasa menjadi mahasiswa di IAIN Banjarmasin aktif di Lembaga Dakwah Kampus IAIN Antasari, nyantri di Pondok Pesantren NU Syekh KH. Abdul Qadir Hasan Gambut Kabupaten Banjar (1996-1998), kemudian menjadi kader dakwah di Lembaga Pendidikan Kader Dakwah Praktis (LPKDP) Banjarmasin pada tahun TENTANG PENULIS 471 1998-2002, dan menjadi Koordinator Himpunan Kader Dakwah Praktis (HKDP) LPKDP Banjarmasin mulai tahun 2003-2007. Sejak tahun 2000 sampai 2007 aktif di Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin, menangani berbagai program pemberdayaan seperti Program Penyadaran HAM dan Demokrasi Berbasis Jaringan Pesantren se-Kalimantan Selatan (2003-2004), Program Pendidikan Lingkungan Hidup berbasis Guru Sekolah Dasar di Kota Banjarmasin. Koordinator Program Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR-LK3) pada tahun 2007. Pada tahun 2001 – 2002 menjadi Koordinator Pemberdayaan Masyarakat dalam dalam Program Penguatan dan Pemberdayaan Masyarakat Demokratis (P3MD) untuk Masyarakat Pinggiran Sungai, Masyarakat Padat Perkotaan, Pedagang Kaki Lima dan Buruh di Yayasan Dalas Hangit (Yadah) Banjarmasin. Pada tahun 2008 kembali ke Buntok dan mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Ma’arif Buntok Kabupaten Barito Selatan dan menjadi Direktur Lembaga Pendidikan dan Kajian Dakwah Islam (LPKDI) Buntok. G USTI MARHUSIN Lahir di Desa Pingaran Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, 15 Maret 1977. Mantan aktivis PMII dan alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ini sekembalinya ke kampung halaman aktif di dunia jurnalistik (2006-2008) sebagai wartawan dan staf redaksi sebuah koran mingguan lokal, ISHLAH. Di antara karya tulisnya juga pernah dimuat di surat kabar harian lokal dan nasional serta riset ilmiah: “Bercermin pada Masa Lalu Ospek”, “Rumahku Sekolahku”, “Pendekatan Logoterapi dalam Pengembangan Psikoterapi Islam (Telaah Pemikiran Viktor Emil Frankl)”, dan tulisan-tulisan lainnya. Sejak pertengahan 2008, dia bergelut dengan aktivitas sosial-kemasyarakatan sebagai pendamping masyarakat miskin sebagai bagian dari program pemerintah yang bertujuan membuka kemudahan akses pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat hingga sekarang. Saat ini, ia juga dipercaya sebagai Ketua Lakpesdam NU (Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Kabupaten Banjar (2009-2014). 472 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA N UR KHALIK RIDWAN Kelahiran Banyuwangi, 15 Maret 1974. Nyantri di PP Darunnnajah Tanjungsari Banyuwangi. Melanjutkan ke MANPK Jember, S1 di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN), dan dropout dari Universitas Sanata Dharma. Sejak mahasiswa sudah aktif di pers mahasiswa, terlibat dalam demo-demo tahun 1998, dan ikut menandatangani pernyataan golput pada masa rezim Soeharto bersama beberapa kawan di IAIN Sunan Kalijaga. Selama mahasiswa juga aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Sekarang ini aktif menulis buku. Tidak kurang sepuluh buku yang sudah ditulisnya, di antaranya Islam Borjuis, Pluralisme Borjuis, Agama Borjuis, Tafsir al-Maun, Regenerasi NII, dan lain-lain. Sekarang sedang menunggu terbitnya naskah buku yang sudah rampung berjudul Seri Gerakan Wahabi (3 jilid) untuk kado Muktamar NU tahun depan. R UMADI lahir di Jepara (Jawa Tengah) 18 September 1970. Setelah menamatkan Sekolah Dasar (1983) dan MTsN (1986) di Jepara, melanjutkan ke PGAN Kudus. Tahun 1989 melanjutkan ke Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang (1994). Tahun 1995-1997 menempuh S2 di IAIN Imam Bonjol Padang, dan menyelesaikan S3 (2006) di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pernah menjadi staf pengajar di STAIN Bengkulu (1997-2004) sebelum akhirnya pindah ke Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di Sela-sela mengajar, penulis menjadi peneliti senior di the Wahid Institute (2005-sekarang); dan redaktur jurnal Taswirul Afkar Lakpesdam NU (2000-sekarang). Buku yang pernah diterbitkan antara lain Masyarakat Post-Teologi, (Jakarta: Gugus, 2002), bersama Marzuki Wahid menulis buku Fiqh Mazhab Negara, Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 2001), Renungan Santri: dari Jihad sampai Kritik Wacana Agama, (Jakarta: Erlangga, 2007), Post-Tradisionalisme Islam,Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, (Cirebon: Fahmina, 2007). Di samping itu, penulis juga menjadi kontributor dan editor sejumlah buku. Di samping menulis di sejumlah Jurnal ilmiah, tulisan-tulisan lepasnya juga TENTANG PENULIS 473 sering menghiasa sejumlah media seperti Kompas, Suara Pembaruan, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Karya dan sebagainya. S YAMSURIJAL AD’HAN oleh teman-temannya kerap dipanggil Ijhal. Lahir di Bulukumba, 17 November 1976. Menempuh pendidikan Sekolah Dasar di Bulukumba (1983-1989). Melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Madinah Makassar selama enam tahun (1989-1995). Tahun 1995-2000, menempuh sarjana S1 di Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar. Tahun 2007-2009 melanjutkan studi di pascasarjana Jurusan Antropologi UNHAS. Selama mahasiswa aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Sejak tahun 1999-sekarang aktif di Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Makassar. Tahun 2008-sekarang aktif pula mengajar di Institut Kesenian Makassar (IKM). Saat ini juga masuk dalam jajaran pengurus NU Cabang Makassar. Karya-karya yang telah dihasilkan antara lain “Bissu Menggugat Maskulinitas dan Femininitas,” (Jurnal Srinthil,2004), “Maudhu Lompoa; Ritual Kecintaan Terhadap Rasul,” (Gong, 2005), “Rethinking Nasionalisme Pasca-Kolonial,” (Jurnal Resolusi, 2005), “Islam dan Patuntung di Tanah Toa Kajang; Pergulatan Tiada Akhir,” (2005), “Perda Syariat Islam di Bulukumba,” (Jurnal Afkar, 2006) dan “Tak Seindah Kabar dari Rupa; Nasib perempuan di Balik Tabir Syariat Islam di Bulukumba,” (Jurnal perempuan, 2009) dll. T EDI KHOLILUDIN lahir di Lembah Gunung Ciremai Kuningan, Jawa Barat pada 27 Juli 1981. Pada tahun 2001 masuk ke Jurusan Politik dan Pidana Islam Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Ditunjuk sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal Justisia pada 2004-2006. Semasa mahasiswa aktif juga di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tahun 2007 dengan sokongan penuh melalui beasiswa “Religion and Society Scholarship” dari PT. Marimas Semarang, melanjutkan studi di Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Saat ini, aktif di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) dan Pengurus Wilayah 474 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Lakpesdam Nahdlatul Ulama Jawa Tengah. Pernah menyumbang tulisan untuk buku Runtuhnya Negara Tuhan (Semarang: INSIDE dan PMII, 2005), Indahnya Kawin Sesama Jenis (Semarang: eLSA, 2005), serta Dekonstruksi Islam Madzhab Ngaliyan (Semarang: Rasail, 2005), Kuasa Negara atas Agama (2009). Bisa dihubungi via tedi_kh@yahoo. com. Y USUF TANTAWI lahir di Aikmel, Lombok Timur 27 Juli 1980. Bersentuhan dengan dunia NGO di Yayasan Humanies Studies (YHS) Mataram. Tahun 2005 aktif juga di Nusatenggara Centre (NC). Kini koordinator Divisi Islam dan Civil Society, Lembaga Studi Kemanusiaan (LeNSA) NTB. Pendidikan dasar sampai sekolah menengah atas diselesaikan di Lombok Timur. Saat menempuh SMP-SMA, nyantri di Pondok Pesantren Al-Mujahidin, Bagek Nyaka, Aikmel, pimpinan TGH. Abdul Azim. Setelah mengabdi selama satu tahun di pondok itu, lalu melanjutkan pendidikan di Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram. Adapun pengalaman organisasi di antaranya, Pimpinan Umum (PU) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ro’yuna, Wakil Ketua PW. IPNU NTB dan koordinator kelompok diskusi Lingkar Studi Progresif (LSP) Mataram. Pengalaman kerja di antaranya, Sekretaris Redaksi Koran Mataram, Staf Program Advokasi Perda Syari’at Islam (YPKM, LeNSA, TIFA) 2005-2006, Korda Kota Mataram Program Membangun Kesetaraan, Toleransi dan Perdamaian di Kalangan Pemimpin Agama dan Adat Muda di Kota Mataram – PP. Lakpesdam NU 2007-2008, Peneliti Indeks Kerja Demokrasi (IKD) Bappenas-UNDP 2008, Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Jakarta 2008, Kontributor SETARA Institute 2008, Peneliti dan kontributor The Wahid Institute (WI) Jakarta 2008-sekarang. Ia aktif menulis di sejumlah media massa lokal di antaranya “Islam Tapi Mesra” (NTB Post), “Mewaspadai Islam Timur Tengah” (NTB Post), “Jihad Politik Tuan Guru” (Lombok Post), “Ayo Sekolah di Penjara” (Lombok TENTANG PENULIS 475 Post), “Mencari Sekolah Ramah Anak” (Bali Post), “Mencari Gubernur Pluralis” (Tabloid SiNERGI), “Memainkan Politik Pesantren” (Majalah RELIGI), “Khutbah Jum’at Sebuah Otokritik” (Buletin Al-Ikhtilaf), “Acaman Serangga Kebebasan” (Majalah Syir’ah, Jakarta), “Potret Buram Beragama Masyarakat NTB” (Buletin PLURAL). Penulis dan editor buku Beragama di Negara Bukan-Bukan (Desember 2008). M UHAMMAD SUBHI AZHARI lahir di Lombok 30 April 1978 di sebuah desa bernama Sengkol. Mengenyam pendidikan dasar di kampung halamannya mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (1990) dan Madrasah Tsanawiyah (1993). Penulis juga menimba ilmu keislaman klasik di sejumlah pesantren di Lombok. Setelah itu ia meneruskan pendidikan di Madrasah Aliyah Program Khusus Mataram dan selesai tahun 1996. Perjalanan hidup telah membawanya merantau ke Jakarta dan meneruskan studi di Fakultas Hukum dan Syariah UIN Syarief Hidayatullah Jakarta dan selesai tahun 2002. Semasa kuliah, pernah menjadi Sekretaris Cabang PMII Ciputat dan pengurus PB PMII. Setelah menyelesaikan pendidikan S1-nya, sempat aktif di beberapa lembaga Swadaya Masyarakat. Sejak tahun 2004 ia mulai terlibat di The Wahid Institute (WI) dan menangani sejumlah program seperti penelitian, advokasi dan penulisan buku. Beberapa buku yang telah dihasilkan antara lain Kala Fatwa Jadi Penjara, editor dan penulis (2006), Politisasi Agama dan Konflik Komunal, editor (2007), Ragam Ekspresi Islam Nusantara, editor dan penulis (2008) dan Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (2009). Selain itu, ia juga terlibat dalam pengelolaan buletin bulanan Monthly Report on Religious Issues (MRoRI) dan Newsletter Nawala yang diterbitkan WI. 476 AGAMA DAN PERGESERAN REPRESENTASI : KONFLIK DAN REKONSILIASI DI INDONESIA