20091120-chp-hgl-bdg
Transcription
20091120-chp-hgl-bdg
Hidrogeologi Cekungan Bandung D. Erwin Irawan 2009-12-01 **BAGIAN KE-12 ** **HIDROGEOLOGI CEKUNGAN BANDUNG-SOREANG ** **DISUSUN SEBAGAI BAB DALAM BUKU GEOLOGI CEKUNGAN BANDUNG ** Contents 1. Pendahuluan Air tanah mengalir dalam lapisan pembawa air (akuifer) yang dibatasi oleh batas hidrogeologi yang dapat berupa batuan, patahan, lipatan, atau tubuh air permukaan. Batas-batas ini menentukan tiga elemen penting dalam anatomi cekungan hidrogeologi, yaitu kawasan imbuhan (recharge area), kawasan pengaliran (flowing area), dan kawasan pengurasan (discharge area). Error: Reference source not found di bawah ini memperlihatkan tatanan cekungan hidrogeologi yang mengandung beberapa lapisan akuifer dan lapisan kedap air sebagai batas cekungannya. Kendali hidrogeologi bersifat alamiah dan tidak kasat mata karena berada di bawah permukaan. 1. Salah satu sistem cekungan air tanah yang berkembang sangat pesat di Indonesia adalah cekungan air tanah gunung api. Dengan jumlah gunung api yang kurang lebih 130 buah di Indonesia, maka sumber daya air yang mengalir di dalamnya sangat besar. Gunung Ciremai sebagai salah satu gunung api di Indonesia, merupakan gunung api yang kaya sumber daya air tanah. 2. Bab ini ditulis dengan dilator-belakangi perhatian penulis atas adanya berbagai pendapat para pakar mengenai kondisi air tanah di Cekungan Bandung-Soreang baik yang menyangkut kuantitas maupun kualitasnya. Permasalahan air tanah di Cekungan Bandung-Soreang menjadi berkembang pada saat dikaitkan dengan permasalahan Bandung Utara sebagai 1 kawasan imbuhan yang masih saja menjadi polemik. Banyak ahli juga memberikan pandangan dan saran sesuai bidang keahlian yang dimiliki. Figure 1: image Gambar Ilustrasi tata air yang dikendalikan kondisi geologi berupa perlapisan akuifer dan lapisan kedap air. Batas-batas tersebut tidak mengikuti batas administrasi (). Masalah Bandung Utara yang telah mencuat sejak lama adalah menyangkut fungsi ekologinya sebagai kawasan imbuhan air tanah (groundwater recharge area) kurang diperhatikan. Muncul kekhawatiran, jika hal tersebut tidak segera dibenahi, maka kuantitas air tanah Bandung dan sekitarnya akan terus berkurang terutama pada musim kemarau. Sebaliknya pada musim hujan mudah sekali terjadi banjir pada daerah-daerah yang lebih rendah akibat besarnya air hujan yang dilimpaskan di permukaan, khususnya aliran limpasan permukaan buatan (artificial run off ). Hasil penelitian volume air yang meresap dan menjadi air tanah di Bandung sekitar 108 juta m3 , padahal pengambilan melalui sumur pemboran, yang resmi adalah 1438 sumur ditambah sumur yang belum terdaftar mencapai 140 juta m3 . Untuk memperbaruinya kembali diperkirakan memerlukan waktu belasan tahun, puluhan tahun, bahkan beratus tahun, sebagaimana penelitian oleh (Sunarwan, 1997) atau berpuluh ribu tahun. Selanjutnya, dampak pengambilan air tanah yang berlebihan serta serta makin berkurangnya 2 daerah resapan telah mengakibatkan penurunan muka air tanah 2-4 meter/tahun, bahkan pada beberapa daerah industri mencapai 6 meter/tahun. telah mengkaji lebih dari 15 laporan geologi dan atau hidrogeologi, kesimpulannya adalah tidaklah mudah untuk mengevaluasi apalagi melakukan validasi atas berbagai hasil penelitian yang antara lain disebabkan oleh: • penelitian dilakukan untuk tujuan dan kepentingan yang berbeda • skala hasil penelitian yang beragam • metoda dan sistem pengolahan data yang beragam • penelitian masih belum bersifat konvergen sebagai fungsi waktu • parameter yang diteliti juga beragam Ketidak-mudahan melakukan validasi data untuk selanjutnya dilakukan analisis hasil-hasil penelitian tersebut akan selalu mengundang perdebatan di antara pakar hidrogeologi sendiri, misalnya untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada tatanan air tanah Bandung dan sekitarnya. Untuk itu perlu ditetapkan terlebih dahulu suatu langkah mendasar yaitu melakukan delineasi kawasan imbuhan dan keluaran air tanah untuk berbagai skala dan kepentingan. Langkah fundamental tersebut semakin besar artinya apabila dapat dimunculkan suatu pandangan ilmiah tentang keterkaitan antara air sungai dan akuifer, hubungan akuifer yang satu dengan lainnya serta diketahui besaran-besaran parameter hidrolik akuifer dan lain-lain. 2. Pemetaan Hidrogeologi 1. Kondisi geologi akan mengendalikan geometri CAT dan tatanan sistem akuifer yang ada di dalamnya. Telah banyak peneliti yang mengkaji seting geologidi kawasan CAT Bandung-Soreang. Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Geologi telah menghasilkan peta-peta pada skala makro 1:100.000 sejak akhir tahun 1970an yang hingga saat ini masih menjadi rujukan, yaitu peta yang dibuat oleh . Selain itu, Pusat Lingkungan Geologi (PLG) yang dahulu dikenal dengan nama Direktoral Geologi Tata Lingkungan dengan juga telah membuat peta hidrogeologi dengan skala 1:100.000 . Selain itu, penelitian oleh juga merupakan salah satu penelitian komprehensif mengenai hidrogeologi Cekungan Air Tanah Bandung. Hal ini merupakan sumbangan besar bagi pengembangan ilmu hidrogeologi di Indonesia. 3 2. Cekungan Air Tanah 1 Definisi 4. 3. Cekungan terdiri dari cekungan topografi dan cekungan geologi. Cekungan topografi didefinisikan sebagai tempat yang secara morfologi bentuknya cekung dan dibatasi oleh tinggian atau punggungan. Cekungan topografi berkaitan dengan tatanan air hidrologi. 5. 3. Sebagai ilustrasi pada Gambar 2 berikut ini, yang dibuat oleh . Ilustrasi di bawah ini menggambarkan adanya perbedaan antara cekungan di permukaan dengan kemiringan batuan dari sisi geologinya, sebagaimana ditandani dengan warna kuning. Cekungan di permukaan akan mempengaruhi aliran air sungai ditandai dengan warna biru. Figure 2: image Gambar Sketsa 3D Geologi Cekungan Bandung () 3.2 Pemetaan Cekungan Air Tanah Jawa Barat 1. Topologi Sistem Akuifer Endapan Gunung Api 2. Topologi Sistem Akuifer Batuan Sedimen Terlipat 3. Topologi Sistem Akuifer Dataran Pantai 4. Topologi Sistem Akuifer Karst 5. Topologi Sistem Akuifer Endapan Aluvial 4 CAT Bandung-Soreang terdiri dari setidaknya tiga tipologi, yakni: 1. Topologi Sistem Akuifer Endapan Gunung Api 2. Topologi Sistem Akuifer Batuan Sedimen Terlipat 3. Topologi Sistem Akuifer Endapan Aluvial Khusus untuk tiopologi akuifer gunung api, yaitu G. Tangkubanparahu, dalam disertasinya di Universitas RWTH Aachen Jerman, telah mengkaji sistem input dan output mata air panas di lereng gunung tersebut. Karakter fasies air panas yang berbeda-beda, antara lain, fasies sulfat dan bikarbonat menggambarkan siklus air tanah sejak masuk di kawasan imbuhan, mengalir di dalam akuifer, mengalami pemanasan dari aktivitas magmatik, atau bercampur dengan sumber air panas, kemudian muncul di permukaan sebagai mata air. Hal ini menjadi salah satu penelitian yang mutakhir pada saat itu, karena telah menggunakan analisis isotop. Penelitian lainnya menggunakan kembali metoda ini secara rinci untuk menganalisis perilaku air tanah di dalam akuifer, diataranya adalah oleh yang berhasil membedakan karakter air tanah di bagian utara Patahan Lembang dengan air tanah di bagian selatannya. Figure 3: image Gambar Peta Cekungan Air Tanah Provinsi Jawa Barat 5 4. Cekungan Air Tanah Bandung-Soreang 4.1 Sistem Akuifer Sebagai endapan termuda adalah endapan sungai Cikapundung sebagai bahan lepas yang berumur berkisar dari Plistosen sampai Holosen (saat ini). Batas formasi tersebut dapat dikenali pada data pemboran, dari litologi maupun berdasarkan kurva radio aktivitas dan kurva listrik. Yang sangat khas adalah batas antara Formasi Cikapundung dengan Formasi Cibeureum yang ditandai oleh tendangan sinar gamma yang tinggi sebagai cerminan kehadiran tanah lempung hitam yang merupakan tanah purba sebelum Formasi Cibeureum diendapkan di atasnya. Formasi Cibeureum merupakan penghantar (akuifer) atau akuifer utama di bawah Kota Bandung. merupakan salah satu penelitian utama di daerah Cekungan Bandung yang mengkaji sistem akuifer di Cekungan ini, dan menerbitkannya sebagai Peta Hidrogeologi Lembar Bandung Skala 1 : 250.000. Dalam publikasi tersebut dinyatakan bahwa Cekungan Bandung terdiri dari tiga akuifer utama masing-masing dari ke atas ke bawah: • akuifer dangkal ( < 35 m ), • akuifer tengah ( 45 - 90 m ), dan • akuifer dalam ( 90-100 111 ) Komposisi akuifer adalah heterogen dan beragam dalam arah vertikal maupun horizontal. ** mengasumsikan tidak ada aliran air tanah diantara akuifer akuifer tersebut, karena pada belum ada bukti-bukti lebih lanjut. Imbuhan sistem airtanah dangkal berasal dari peresapan langsung dari air hujan dan peresapan tidak langsung dari sungai - sungai, saluran irigasi, dan sawah. Sistem airtanah dalam merupakan akuifer tertekan yang mengalir dari utara ke selatan. Penyebaran angka transmisivitas pada sistem akuifer dalam menunjukkan angka yang relatif tinggi (500 - 1500 m2 /hari) di bagian tengah cekungan kemudian mengecil menjadi kurang dari 250 m2 /hari ke arah timur dan barat. Diperkirakan secara keseluruhan volume aliran airtanah dari utara dalam Cekungan Bandung berjumlah 70 juta m3 /tahun. Angka ini akan berubah sejalan dengan bertambahnya data bawah permukaan. Peneliti lainnya, Azikin dan Sodoso (1992) dan Puradimaja (1997) menyatakan bahwa Cekungan Hidrogeologi Bandung, mempunyai kondisi yang kompleks terdiri dari tiga tipologi sistem akuifer: • Tipologi akuifer gunung api: – Sub tipologi akuifer gunung api muda dan – Sub tipologi akuifer gunung api tua; 6 • Tipologi akuifer aluvial: – Sub tipologi akuifer kipas – Sub tipologi akuifer endapan danau • Tipologi akuifer sedimen terlipat Figure 4: image Gambar Peta Sistem Akuifer Cekungan Bandung (Puradimaja, 1995) 4.2 Sistem Input dan Output Air Tanah Mengidentifikasi sistem input dan output air tanah merupakan kegiatan yang sangat menarik, karena memerlukan validasi dari berbagai metoda. Tentunya semakin komprehensif metoda yang digunakan akan semakin tinggi pula biaya yang diperlukan. Metoda ini dikenal di dunia dengan teknologi pelacakan/perunutan air tanah (groundwater tracer technology). Berbagai metoda yang dikenal di dunia dan akan terus berkembang antara lain: • Hidrometri. Metoda ini menggunakan teknik pengukuran debit atau muka air tanah secara time series. Pengukuran tersebut akan dibandingkan dengan pengukuran parameter cuaca, misalnya curah hujan, suhu udara. Tujuannya adalah untuk mencari korelasi antara perilaku air tanah dalam kerangka waktu tertentu. 7 • Hidrogeokimia. Metoda ini memanfaatkan komposisi kimia air tanah untuk mengetahui perilakunya di dalam akuifer. Komposisi kimia yang digunakan umumnya tergolong unsur utama (major element) atau unsur jarang (minor/trace element). Analisis menggunakan unsur utama memerlukan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan analisis unsur jarang. Kandungan/limpahan unsur utama yang lebih besar dan dimiliki oleh segala jenis air memudahkan metoda pengukurannya. Unsur jarang memiliki komposisi yang rendah atau bahkan sangat rendah, sehingga memerlukan peralatan yang lebih canggih untuk menentukan komposisinya. Parameter lainnya yang biasa diukur dalam metoda ini adalah sifat fisik air tanah, antara lain suhu, pH, Daya Hantar Listrik (DHL), Total Padatan Terlarut (TPT) atau lebih dikenal sebagai Total Dissolved Solid (TDS). Parameterparameter tersebut dapat pula dianalisis relasinya dengan jenis batuan penyusun akuifer tertentu. • Hidroisotop. Teknik ini merupakan salah satu teknik yang mutakhir, walaupun telah dikembangkan sejak tahun 1960 an. Metoda ini lebih disukai oleh para peneliti karena outputnya bersifat kuantitatif. Karena lebih rinci, biaya yang diperlukannya pun lebih besar dibanding metoda lainnya. Isotop yang biasa digunakan juga beragam, yang paling banyak dipilih adalah isotop dengan biaya analisis rendah relatif dibanding lainnya, antara lain H2 (deterium), O18 , H3 (tritium). Selain itu juga sering digunakan isotop C13 , S24 dan lain-lain. Masing-masing isotop memiliki karakteristik masing-masing, sehingga kegunaannya pun berlainan. • Hidrogeofisika. Metoda ini juga menjadi fokus utama peneliti di dunia. Bagaimana mengidentifikasi perilaku air tanah dan geometri akuifer dengan membaca responnya terhadap injeksi gelombang dari permukaan. Metoda yang kerap dipakai adalah geolistrik atau dikenal pula dengan nama metoda resistivitas. Teknik ini menginjeksikan arus listrik ke bawah permukaan untuk diukur responnya di sepanjang bentangan di permukaan. Metoda lainnya antara lain: gravity dan seismik. Beberapa peneliti, misalnya, telah membuat beberapa penampang geolistrik interpretatif melintasi Kota Bandung. Beberapa peneliti telah memanfaatkan kemajuan teknologi di bidang pelacakan air tanah untuk mengetahui posisi kawasan imbuhan berdasarkan asal mula serta umur air tanah. Namun demikian, penelitian masih bersifat parsial sehingga belum dapat menggambarkan sistem input dan output air tanah di Cekungan Bandung secara menyeluruh. telah berhasil mengetahui umur air pada lintasan utara – selatan dari arah G. Tangkubanparahu ke arah Cimahi, berdasarkan sampel dari mata air. Dari perhitungannya umur air tidaklah sama, dari kisaran belasan tahun hingga 40 tahun. Lokasi mata air nya pun sifatnya tidak mengikuti pola yang teratur. Kesimpulan sementara ini menurut Sunarwan, adalah bahwa sistem imbuhan air tanah Cekungan Bandung dari arah utara ke arah barat daya sifatnya bertingkat-tingkat. Tidak seluruh air yang menginfiltrasi akuifer di 8 Bandung Utara mengalir ke arah barat daya. Begitu pula, ada sistem aliran air tanah yang bersifat lokal, dengan jarak antara kawasan imbuhan dan kawasan pengurasan dekat dengan kendali topografi. Penelitian oleh pun menunjukkan hal yg sama. Pada skala rinci di lereng G. Tangkubanparahu, juga terdapat sistem aliran air tanah lokal dengan jarak aliran dekat, dan sistem aliran regional. Hasil ini didukung pula oleh Hendarmawan (2006) yang mengukur sifat fisik air tanah, yaitu Daya Hantar Listrik (DHL)-nya, serta profil temperatur tanah. Hasilnya adalah bahwa air tanah di zona utara dari Patahan Lembang memiliki karakter yang tidak sama dibanding air tanah di zona selatan patahan tersebut. Perbedaan ini mengarahkan kepada kesimpulan bahwa Patahan Lembang pada bagian timur berperan sebagai penyekat (boundary). Kesimpulan ini masih perlu diuji untuk bagian baratnya, karena patahan pada kondisi tertentu, dapat pula mengalirkan air tanah yang melewatinya. Figure 5: image Gambar Zonasi kawasan lindung sebagai kawasan imbuhan air tanah Cekungan Bandung (Puradimaja, 1995) Gambar Contoh hasil rekonstruksi umur air berdasarkan isotop Tritium (Sunarwan, 1999). Umur air sekaligus juga menjadi indikasi kawasan imbuhan. Gambar Rekonstruksi aliran air tanah dari arah G. Tangkubanparahu (Marpaung, 2003). 9 Figure 6: image 4.3 Kualitas Air Tanah dari sisi kualitas air tanah menyimpulkan bahwa pada umumnya airtanah tertekan di Cekungan Bandung dari ketiga tipologi airtanah yang ada mempunyai kualitas yang relatif sama. Untuk tipologi akuifer gunung api memiliki kandungan Si02 cukup tinggi dalam air tanahnya. Untuk tipologi aluvial dan sedimen terlipat, unsur kalsium (Ca)** **dan magnesium (Mg) nya relatif tinggi. Kondisi yang berbeda ditunjukkan oleh airtanah bebas (tak terttekan) yang umumnya berkualitas baik di seluruh bagian cekungan. Namun kualitas yang baik ini dapat menjadi jelek akibat pencemaran limbah industri yang ditunjukkan hadirnya nitrit (NO2 ), mangan (Mn), dan besi (Fe). Sunarwan (1999) juga telah membuat suatu panduan klasifikasi kualitas air tanah di Cekungan Bandung. Dinyatakan oleh peneliti tersebut bahwa air tanah dengan kadar bikarbonat dan besi yang tinggi merupakan ciri khas air tanah yang mengalir dalam akuifer Endapan Danau. Air tanah dengan bikarbonat dan kalsium tinggi umumnya menjadi karakter khusus air tanah di daerah batugamping. Sementara air tanah dengan bikarbonat dan magnesium tinggi umumnya berada pada sistem akuier endapan gunung api. Gambar Separasi karakter hidrokimia air tanah di sekitar Patahan Lembang (Hendarmawan et.al, 2005) 10 Figure 7: image 11 Figure 8: image 12 Figure 9: image 13 4.4 Status Eksploitasi Air Tanah Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa zona berwarna hijau,yaitu zona dengan status rawan sudah sangat luas. Demikian pula dengan zona berstatus kritis, diberi warna kuning. Bila tidak dilakukan upaya-upaya konservasi maka akan bertambah luas zona yang berubah status dari rawan atau kritis menjadi zona berwarna merah atau zona rusak. Pengembalian posisi muka air tanah bila sudah menjadi zona rusak akan memerlukan waktu yang sangat panjang, serta memerlukan teknologi imbuhan yang mutakhir sehingga dapat mengembalikan posisi muka air tanah tanpa mengubah kondisi alamiah di sekitarnya. Selanjutnya simulasi pengambilan air tanah dan dampaknya pada berbagai skenario juga diperlihatkan pada gambar-gambar berikutnya. Figure 10: image Gambar Penurunan muka air tanah hasil simulasi numerik (Hutasoit, 2009) Gambar Zonasi kawasan pengambilan air tanah hasil simulasi numerik (Hutasoit, 2009) Gambar Zonasi debit pengambilan air tanah hasil simulasi numerik (Hutasoit, 2009) Gambar Hasil simulasi peta zonasi pengambilan air tanah di Cekungan Bandung. pada tahun 2013 14 Figure 11: image Figure 12: image 15 Figure 13: image 4.5 Interaksi antara Air Tanah dengan Air Permukaan Hasil studi tersebut sangat menarik dan berhasil mengkategorikan interaksi hidrodinamika air sungai dengan air tanah dalam akuifer (lihat Gambar 2.5 A) ke dalam tiga tipe () sebagai berikut: (1) Tipe Aliran Cikapundung I, dengan karakter aliran air terisolasi, dijumpai pada segmen Maribaya sampai Curug Dago; (2) Tipe Aliran Cikapundung II, mempunyai karakter terjadinya aliran air tanah secara konvergen dari akuifer menuju sungai, dijumpai mulai Curug Dago hingga kawasan Viaduct. Pada segmen ini terjadi fenomena discharge/pengurasan air tanah. Pengurasan akuifer tersebut terjadi melalui akuifer yang tersingkap pada dinding kiri dan kanan bantaran sungai, sepanjang tahun dengan gradien hidrolik aliran air tanah sebesar 27% (dinding kanan) dan 8% (dinding kiri); (3) Tipe Aliran Cikapundung III, mempunyai karakter aliran air dari sungai, secara divergen, menuju akuifer, terletak mulai dari kawasan Viaduct ke arah hilir aliran sungai (selatan) hingga bermuara ke Sungai Citarum. Fenomena ini memberi imbuhan (recharge) alamiah yang permanen ke dalam akuifer (khususnya akuifer bebas). Gradien hidrolik aliran air tanah yang terukur pada zona ini sebesar 2,5% (dinding kanan) dan 4% (dinding kiri). Segmen ini sangat rentan terhadap terjadinya pencemaran air tanah oleh polutan yang berasal dari air sungai. Dengan demikian, kualitas air di sepanjang aliran sungai Cikapundung harus tetap terjaga kebersihannya. Kajian ini juga dapat memberikan ilustrasi bagaimana potensi pencemaran dapat berasal dari air sungai dan air tanah, bila 16 tidak dilakukan langkah proteksi kualitas air. 5. Teknologi Pengelolaan Air Tanah Figure 14: image Gambar Paradigma zero artificial run-off (Puradimaja, 2006) Salah satu contoh tren riset di dunia saat ini yang perlu mendapat perhatian di Indonesia khususnya di kota besar adalah Teknologi ASR (Aquifer Storage and Recovery Technology). Teknologi ini memperkenalkan suatu teknik penyimpanan air hujan dan air permukaan ke dalam akifer tertentu (selected aquifer) dengan cara injeksi melalui sumur produksi ketika air berlebih biasanya musim penghujan / banjir, dan diambil kembali (re-eksploitasi) dalam bentuk airtanah dari sumur yang sama ketika diperlukan biasanya musim pada kemarau sebagaimana disajikan pada gambar berikut ini. Gambar Model teoritis aplikasi teknologi ASR (Water Encylopedia, 2009) 6. Kesimpulan Daftar Pustaka , Studi Kualitas Air Tanah Kawasan Bandung Raya, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Laporan Penelitian, Tidak dipublikasikan. 17 Figure 15: image Delinom, R.M, Sumawijaya, N., Suriadarma A., 1995, Daerah Imbuhan Airtanah Untuk Cekungan Bandung, Prosiding Seminar Air Tanah Cekungan Bandung. Deptamben, 1979, Data Dasar Gunungapi Indonesia, Deptamben Distamben Jabar, 2006, Identifikasi Cekungan Air Tanah Provinsi Jawa Barat, Laporan Penelitian. Hendarmawan, Mitamura, Kumai, 2005, Water Temperatur and Electrical Conductivity of Springs on The Volcanic Slope in A Tropical Region: A Case Study on Lembang Area, West Java, Indonesia IWACO - WASECO, 1990, West Java Provincial Water Sources Master Plan for Water Supply, Kabupaten Bandung, Groundwater Resources, Directorate General Cipta Karya, Jakarta, Volume A. Koesoemadinata, R.P., Hartono, D., 1981, Stratigrafi dan Sedimentasi Daerah Bandung, Prosiding Ikata Ahli Geologi Indonesia, Bandung. Notosiswoyo, S., 1989, Thermalwasser im Vulkangebiet Tangkuban Perahu bei Bandung, Dissertation, Rheinisch-Westfalischen Technischen Hoch schule Aachen. Puradimaja, D.J., 1995, Kajian Atas Hasil-Hasil Penelitian Geologi dan Hidrogeologi dalam Kaitan dengan Deliniasi Geometri Akuifer Cekungan Bandung, Prosiding Seminar Air tanah Cekungan Bandung. Puradimaja, D.J., 1997, Analisis Sistem Multi Akuifer Cekungan Air Tanah Bandung sebagai Dasar Pengelolaan Air Tanah, Pidato Sidang Terbuka Penerimaan Mahasiswa Baru ITB. 18 Puradimaja, D.J., 2006, Hidrogeologi Kawasan Gunung Api dan Karst, Pidato Guru Besar ITB. Puradimaja, D.J., Priastono, E., dan Fandora, E., 2009, Mewujudkan Jawa Barat sebagai Green Province dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat 2009 - 2029, Seminar Sumber Daya Alam dan Lingkungan Propinsi Jawa Barat Kerjasama antara Bappeda Propinsi Jawa Barat dan FITB-ITB, Kamis, 8 Oktober 2009. Silitonga, P.H., 1973, Peta Geologi Lembar Bandung, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Soekrisno dan Warsono, 1990, Penyelidikan Hidrogeologi dan Konservasi Air tanah Cekungan Bandung, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung. Soetoyo dan Hadisantono, R.D., 1992, Peta Geologi Gunungapi Tangkuban Perahu/Kompleks Gunungapi Sunda, Jawa Barat, Directorate Volkanologi, Bandung. Sunarwan, B., 1997, Penerapan Metoda Hidrokimia – Isotop Oksigen – 18 (18O), Deuterium (2H) dan Tritium (3H) dalam Karakterisasi akuifer Air tanah pada Sistem akuifer Bahan Volkanik. Studi Kasus Kawasan Padalarang – Cimahi – Lembang, Bandung, Tesis Magister, tidak dipublikasikan. Daftar Bacaan Bakker, AJ & Wijk, Van CHR.L. (1951): Infiltration and Run-off under Various Conditions on Java, Biro Bendungan dan Hidrometri, Bandung, 22 pp. Dam, M.A.C, 1994, The Late Quarternary Evolution of The Bandung Basin, West Java, Indonesia, Amsterdam, The Netherlands. Fachrudin, B., 1996, Pengelolaan Air tanah Cekungan Bandung dengan Menggunakan Metode F.J. Mock, Tugas Akhir Jurusan Geofisika dan Meteorologi ITB. Jayamurni, W.D., 2006, Kebutuhan Air Baku di Cekungan Bandung Tahun 2025, Lokakarya Pemenuhan Kebutuhan Air Baku di Cekungan Bandung Tahun 2025. Muhammad, H., 1995, Pengelolaan Air di Cekungan Bandung, Prosiding Seminar Sehari Air tanah Cekungan Bandung, Satgas PSDA - ITB.Bappeda Jabar dan GTL, 1996 NR-C, 1973, Bandung Water Supply Project, Development Plan, Study Report, Bandung Soetrisno dan Puradimaja, D.J., 1993, Kontribusi Hidrogeologi dalam Penentuan Kawasan Lindung Air tanah. Studi kasus: Cekungan Air tanah Bandung, Prosiding PIT IAGI ke XXII, ISBN: 979-8126-04-1. Sukrisno, Wagner, W., dan Rosadi, D., 1993, Groundwater Quality and Protection in Selected Parts of the Bandung Basin, Project Report No. 29, Project CTA 19 108, Cooperative Work between Directorate Environmental Geology and German Environmental Geology Advisory Team for Indonesia. Pustaka dari internet http://www.unep.org/wed/2003/keyfacts.htm http://www.waterencyclopedia.com/A-Bi/Artificial-Recharge.html 20