World Bank Document
Transcription
World Bank Document
lic Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized 19638 SERI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN Meredam Wabah Pemerintah dan Aspek Ekonomi Pengawasan terhadap Tembakau Meredam Wabah Pemerintah dan Aspek Ekonomi Pengawasan terhadap Tembakau BANK DUNIA WASHINGTON D.C. @ The International Bank of Reconstruction and Development/THE WORLD BANK 1818 H Street, N.W. Washington, D.C. 20433 Hak Cipta dilindungi Dicetak di Indonesia Cetakan pertama Oktober 2000 Penemuan, interpretasi dan kesimpulan yang disampaikan dalam buku ini adalah seluruhnya berasal dari penulis dan tidak dapat dianggap sebagai hasil dari Bank Dunia (The World Bank), atau dari organisasi organisasi yang berafiliasi dengannya atau dari anggota Dewan Eksekutif atau dari negaranegara yang diwakilinya. Bank Dunia tidak menjamin ketelitian data yang dimuat dalam buku ini dan tidak bertanggungjawab atas akibat-akibat penggunaan data tersebut. Bahan dalam buku ini memiliki hak cipta. Bank Dunia mendorong penyebaran publikasinya dan umumnya segera memberikan izin untuk memperbanyak bagian-bagian dari buku itu. Izin untuk memfotokopi artikel untuk keperluan internal atau pribadi, untuk keperluan internal atau pribadi dari klien khusus, atau untuk keperluan mengajar di kelas diberikan oleh Bank Dunia, sepanjang ongkos yang sebenarnya dibayar langsung kepada Copyright Clearance Center, Inc., 222 Rosewood Drive, Danvers, MA 01923, USA.; telpon 978-750-8400, fax 978-750-4470. Harap menghubungi Copyright Clearance Center sebelum membuat fotokopi. Untuk memperoleh izin membuat reprint masing-masing artikel atau bab secara tersendiri, silahkan kirim fax permintaan dengan informasi lengkap kepada Republication Department, Copyright Clearance Center, fax: 978-750-4470. Lain-lain pertanyaan mengenai hak cipta dan perizinan hendaknya dialamatkan kepada Office of the Publisher, World Bank di alamat tersebut di atas atau fax ke nomor 202-522-2422. Foto kulit buku: Dr. Joe Losos, Health Canada ISBN 0-8213-4856-6 Katalog dalam Terbitan [Jha, Prabhat, 1965-] Meredam wabah: Pemerintah dan aspek ekonomi pengawasan terhadap tembakau /Prabhat Jha, Frank J. Chaloupka: terjemahan Sri Moertiningsih Adioetomo. ... hal, ; ... Cm. (seri Pelaksanaan Pembangunan) Judul asli: Curbing the epidemic : governments and the economics of tobacco control. Termasuk bibliografi ISBN 0-8213-4856-6 1. Tembakau – aspek sosial 2. Rokok – aspek kesehatan I. Judul II.. Chaloupka, Frank J. III. Adioetomo, Sri Moertiningsih. III. Seri Pelaksanaan Pembangunan 363.4-dc21 Buku ini pada mulanya diterbitkan tahun 1999 oleh Bank Dunia dalam bahasa Inggris dengan judul Curbing the Epidemic: Governments and the Economics of Tobacco Control, kemudian diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia atas izin Bank Dunia. Edisi ini dicetak dengan mendapat bantuan cukup dari US Center for Disease Control and Prevention, Office on Smoking and Health. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dilaksanakan oleh Tim yang dikoordinasikan oleh Dr. Sri Moertiningsih Adioetomo, Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Buku ini bukanlah terjemahan resmi Bank Dunia. Dalam hal ini Bank Dunia tidak menjamin ketelitian terjemahan dan tidak bertanggung jawab atas konsekuensi penafsiran atau penggunaannya dalam bentuk apa pun. Daftar Isi PENDAHULUAN xi KATA PENGANTAR RINGKASAN 1 xiv 1 Kecenderungan Global Konsumsi Tembakau 15 Peningkatan konsumsi tembakau di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah 15 Pola regional perilaku merokok 17 Hubungan merokok dengan status sosial ekonomi 18 Umur saat pertama kali merokok 20 Pola global berhenti merokok 21 2 Konsekuensi Kesehatan Perilaku Merokok Sifat kecanduan merokok tembakau 23 Beban penyakit 24 Jangka waktu panjang antara mulai terpapar terhadap risiko merokok dan timbulnya penyakit 25 Bagaimana merokok menyebabkan kematian 26 Wabah berbeda menurut tempat dan juga waktu 27 Merokok dan kerugian kesehatan bagi orang miskin Risiko didapat dari asap rokok orang lain 29 Berhenti itu berguna 30 3 23 28 Apakah Perokok Tahu Risiko-Risikonya dan Menanggung Biayanya ? 33 Kesadaran akan risiko-risiko merokok 34 VII VIII Remaja, kecanduan dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang sehat 35 Biaya yang dibebankan kepada orang lain 37 Tanggapan yang sepatutnya bagi pemerintah 40 Menangani kecanduan merokok 41 4 Langkah-Langkah Mengurangi Permintaan terhadap Tembakau 43 Menaikkan pajak rokok 43 Langkah-langkah nonharga untuk mengurangi permintaan: informasi untuk konsumen, pelarangan iklan dan promosi serta pembatasan merokok 52 Terapi pengganti nikotin (NRT) dan intervensi lainnya untuk penghentian merokok 61 5 Langkah-Langkah Mengurangi Penawaran Tembakau 65 Efektivitas terbatas sebagian besar intervensi dari sisi penawaran 65 Tindakan tegas terhadap penyelundupan 72 6 Biaya dan Konsekuensi Pengawasan terhadap Tembakau 75 Apakah pengawasan terhadap tembakau merusak ekonomi? Apakah pengawasan terhadap tembakau pantas dibiayai 86 7 Sebuah Agenda untuk Bertindak 89 Mengatasi hambatan politis terhadap perubahan Prioritas penelitian 92 Rekomendasi 93 91 LAMPIRAN A PAJAK TEMBAKAU: SEBUAH PANDANGAN DARI INTERNATIONAL MONETARY FUND 97 LAMPIRAN B MAKALAH LATAR BELAKANG 99 LAMPIRAN C UCAPAN TERIMA KASIH 101 LAMPIRAN D NEGARA-NEGARA DI DUNIA MENURUT PENDAPATAN DAN WILAYAH REGIONAL (PENGELOMPOKKAN MENURUT KLASIFIKASI BANK DUNIA) CATATAN BIBLIOGRAFIS BIBLIOGRAFI 115 111 105 75 DAFTAR ISI INDEKS IX 128 GAMBAR 1.1 1.2 1.3 2.1 2.2 2.3 4.1 4.2 4.2a 4.2b 4.3 4.4 5.1 6.1 7.1 Konsumsi rokok meningkat di negara-negara berkembang 16 Merokok umum di antara orang berpendidikan rendah 19 Merokok dimulai pada usia muda 20 Tingkat nikotin cepat bertambah pada perokok muda 24 Pendidikan dan risiko kematian akibat merokok 28 Merokok dan melebarnya kesenjangan kesehatan antara yang kaya dan yang miskin 30 Rata-rata harga, pajak dan persentase pajak sigaret per bungkus, menurut kelompok pendapatan Bank Dunia 45 Harga dan konsumsi rokok sigaret dalam tren berlawanan 47 Harga riil rokok sigaret dan konsumsi sigaret per kapita di Kanada, 1989-1995 47 Harga riil rokok sigaret dan konsumsi sigaret tahunan per orang dewasa (umur 15 tahun ke atas), Afrika Selatan, 1970-1989 47 Label peringatan yang sangat keras 54 Larangan menyeluruh untuk iklan menurunkan konsumsi sigaret 58 Penyelundupan tembakau cenderung meningkat sejalan dengan tingkat korupsi 73 Dengan naiknya pajak tembakau pendapatan negara meningkat juga 82 Kecuali perokok saat ini berhenti merokok, kematian akibat merokok akan meningkat secara dramatis dalam 50 tahun mendatang. 90 TABEL 1.1 2.1 4.1 4.2 4.3 5.1 6.1 6.2 Pola-pola regional merokok 17 Kematian akibat tembakau saat ini dan perkiraan di masa depan Jumlah perokok potensial yang diimbau berhenti merokok dan jiwa terselamatkan dengan kenaikan harga 10% 49 Jumlah perokok potensial diimbau berhenti merokok dan jiwa terselamatkan menurut paket tindakan nonharga 62 Efektivitas berbagai pendekatan untuk penghentian [merokok] Tiga puluh negara utama penghasil tembakau mentah 67 Studi dampak pengurangan atau penghapusan konsumsi tembakau pada lapangan kerja 79 Keefektivan biaya langkah-langkah pengawasan terhadap tembakau 26 63 87 KOTAK 1.1 4.1 4.2 Berapa jumlah orang muda yang mulai menjadi perokok setiap hari? 22 Estimasi dampak langkah-langkah pengawasan terhadap konsumsi tembakau secara global: variabel dalam model 50 Larangan promosi dan iklan tembakau di Uni Eropa 60 X 6.1 7.1 7.2 Bantuan kepada petani termiskin 80 World Health Organization (WHO) dan Framework Convention for Tobacco Control 94 Kebijakan Bank Dunia mengenai tembakau 96 Pendahuluan D ENGAN pola-pola [kebiasaan] merokok yang terjadi seperti saat ini, sekitar 500 juta orang yang kini masih hidup pada akhirnya akan mati karena mengkonsumsi tembakau. Lebih dari separo angka ini adalah anak-anak dan remaja. Pada tahun 2030, tembakau diperkirakan menjadi satu-satunya penyebab terbesar kematian di seluruh dunia, yang mengakibatkan sekitar 10 juta kematian per tahun. Peningkatan aksi-aksi untuk mengurangi beban ini menjadi prioritas Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) maupun Bank Dunia (WB) sebagai bagian dari misi mereka untuk meningkatkan kesehatan dan mengurangi kemiskinan. Dengan dimungkinkannya upaya-upaya untuk mengidentifikasi dan melaksanakan kebijakan pengawasan terhadap tembakau secara efektif, terutama kepada anakanak, dua organisasi ini akan memenuhi misi mereka dan membantu mengurangi penderitaan dan beban biaya akibat wabah merokok ini. Tembakau mempunyai aspek yang berbeda dari banyak tantangan kesehatan lainnya. Rokok diminati banyak konsumen dan menjadi salah satu bentuk kebiasaan umum di banyak masyarakat. Rokok diperdagangkan secara luas dan menjadi komoditi yang dapat menguntungkan, yang produksi dan konsumsinya mempunyai dampak pada sumber-sumber daya sosial dan ekonomi baik di negara maju maupun di negera berkembang. Oleh karena itu aspek-aspek ekonomi penggunaan tembakau menjadi masalah kritis dalam perdebatan tentang pengawasan terhadap rokok. Meskipun demikian, sampai saat ini aspek-aspek tersebut hanya mendapatkan sedikit perhatian global. Laporan ini bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut dengan mengetengahkan isu-isu kunci yang dihadapi banyak masyarakat dan pembuat kebijakan di saat mereka berpikir tentang tembakau atau pengawasannya. Laporan ini menjadi bagian penting dari kerjasama antara WHO dan Bank Dunia. WHO, sebuah lembaga utama internasional yang menangani isu kesehatan, telah menjadi pelopor dalam menanggapi wabah itu dengan proyek Insiatif Bebas Tembakaunya (Tobacco Free Initiative). Tujuan Bank Dunia bekerjasama dengan lembaga internasional ini dibuktikan dengan menawarkan sumber-sumber khusus untuk analisis di bidang ekonomi. Sejak 1991, Bank Dunia telah memiliki kebijakan XI XII formal tentang tembakau, yang mengakui bahwa, sejalan dengan keyakinannya, tembakau membahayakan kesehatan. Kebijakan tersebut mencegah Bank Dunia memberikan pinjaman untuk kegiatan yang berkaitan dengan tembakau dan bahkan mendorong upaya-upaya pengawasannya. Laporan ini juga keluar tepat pada waktunya. Mengingat makin meningkatnya jumlah korban meninggal akibat tembakau, banyak pemerintah, lembaga nonpemerintah, dan lembaga-lembaga dalam lingkungan PBB, seperti UNICEF, FAO, dan IMF mencoba mengkaji kembali kebijakan mereka sendiri tentang pengawasan terhadap tembakau. Laporan ini adalah hasil kerjasama yang produktif tentang kajian-kajian dari berbagai pihak, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Laporan ini dimaksudkan terutama untuk mengungkapkan kekhawatiran para pembuat kebijakan tentang pengaruh kebijakan pengawasan terhadap tembakau pada perekonomian. Keuntungan kebijakan pengawasan terhadap tembakau untuk kesehatan, khususnya untuk anak-anak, memang sudah sangat jelas. Namun, diperlukan biaya untuk kegiatan pengawasan terhadap tembakau ini dan para pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan masalah ini secara hati-hati. Apabila kebijakan pengawasan terhadap tembakau membebani kelompok warga termiskin di masyarakat, pemerintah negara-negara bersangkutan bertanggung jawab untuk membantu mengurangi beban biaya-biaya itu, misalnya dengan membuat skema transisi untuk para petani tembakau yang miskin. Tembakau merupakan satu di antara kasus penyebab kematian terbesar dan penyebab kematian dini dalam sejarah manusia yang sesungguhnya dapat dicegah. Meskipun demikian, kebijakan yang relatif sederhana dan dengan biaya yang efektif (cost-effective) telah tersedia, serta mampu menurunkan dampak menghancurkan itu. Bagi pemerintah yang berniat meningkatkan kesehatan dalam kerangka kebijakan ekonomi yang sehat, tindakan pengawasan terhadap tembakau merupakan suatu pilihan yang teramat menarik. David de Ferranti Wakil Presiden Jaringan Pengembangan Manusia (Human Development Network) Bank Dunia Jie Chen Direktur Eksekutif Penyakit tidak Menular Organisasi Kesehatan Sedunia Tim penulis laporan: Laporan ini dipersiapkan oleh suatu tim yang dipimpin oleh Prabhat Jha, dengan anggota Frank J. Chaloupka (wakil ketua) Phyllida Brown, Son Nguyen, Jocelyn Severino-Marquez, Rowena van der Merwe, dan Ayda Yurekli. William Jack, Nicole Klingen, Maureen Law, Philip Musgrove, Thomas E. Novotny, Mead Over, Kent Ranson, Michael Walton, dan Abdo PENDAHULUAN XIII Yazbeck memberikan masukan dan nasihat yang berharga. Laporan ini memanfaatkan hasil studi mengenai tembakau yang dilakukan Bank Dunia sebelumnya dan dikerjakan oleh Howard Barnum. Masukan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dipersiapkan oleh Derek Yach, dan masukan dari Center for Disease Control and Prevention Amerika Serikat dipersiapkan oleh Michael Eriksen. Laporan ini dikerjakan berdasarkan pengarahan umum dari Helen Saxenian, Christopher Lovelace, dan David de Ferranti. Richard Feachem amat berjasa dalam memprakarsai laporan ini. Namun, kesalahan-kesalahan yang ada dalam laporan ini tetap menjadi tanggung jawab tim penulis. Staf produksi laporan ini adalah Dan Kagan, Don Reisman, dan Brenda Mejia. Laporan ini telah mendapat banyak masukan dari berbagai konsultasi dengan banyak pihak (lihat ucapan terima kasih di Lampiran C). Dukungan untuk laporan ini datang dari Human Development Network, Bank Dunia, Institute of Social and Preventive Medicine, Universitas Lausanne, dan Office on Smoking and Health pada Center for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat. Atas bantuan mereka diucapkan banyak terima kasih. Kata Pengantar Laporan ini berawal dari upaya-upaya mempertemukan pendapat yang dilakukan beberapa teman kerja yang peduli untuk mengatasi masalah bersama: yaitu relatif terabaikannya kontribusi ekonomi dalam diskusi tentang pengawasan terhadap tembakau. Pada Konferensi Dunia ke-10 tentang Tembakau di Beijing, Cina, tahun 1997, Bank Dunia telah mengorganisasikan satu sesi konsultasi tentang aspek ekonomi pengawasan terhadap tembakau. Pertemuan ini merupakan bagian dari upaya pengkajian yang sedang dilakukan Bank Dunia atas kebijakankebijakannya. Dalam pertemuan ini dengan tegas diakui bahwa perhatian global sangat kurang memadai terhadap segi ekonomi wabah merokok itu. Peserta pertemuan juga mengakui bahwa disiplin ilmu ekonomi tidak diaplikasikan dalam kebijakan pengawasan terhadap tembakau di banyak negara, dan bahkan jika pendekatan ekonomi digunakan, metodologinya mempunyai kualitas bervariasi. Pada saat yang sama, ketika Bank Dunia mulai meninjau kembali kebijakannya, para ekonom dari Universitas Cape Town, Afrika Selatan, memulai suatu proyek mengenai aspek ekonomi pengawasan terhadap tembakau di Afrika Selatan. Prakarsa-prakarsa ini kemudian dilakukan secara bersama-sama, dalam suatu kerjasama dengan para ekonom dari Universitas Lausanne, Swiss, dan juga dengan pakar lain, untuk membuat analisis yang lebih luas. Upaya ini mencapai puncaknya pada konferensi di Cape Town pada bulan Februari 1998. Prosiding konferensi tersebut telah dipublikasikan secara terpisah. Kerjasama ini menghasilkan analisis yang lebih luas mengenai aspek ekonomi pengawasan terhadap tembakau, yang melibatkan para ekonom dan pakar lainnya dari berbagai negara dan lembaga. Beberapa penelitian yang dihasilkan dari analisis ini telah diterbitkan dalam buku berjudul Tobacco Control in Developing Countries. Laporan ini merupakan ringkasan temuan-temuan yang relevan dari penelitian tersebut untuk para pembuat kebijakan. XV XVI Catatan: 1. Abedian, Iraj, R. van der Merwe, N. Wikins, and P. Jha. Eds. 1998. The Economics of Tobacco Control: Towards an Optimal Policy Mix. University of Cape Town, South Africa. 2. Jha, Prabhat and F. Chaloupka Eds 2000, Tobacco Control Policies in Developing Countries. Oxford University Press for the World Bank and WHO, Oxford. 1 Ringkasan M EROKOK telah membunuh satu di antara 10 orang dewasa di seluruh dunia. Pada tahun 2030, atau barangkali sedikit lebih cepat lagi, proporsinya akan menjadi satu di antara enam orang dewasa, atau 10 juta kematian per tahun— suatu jumlah yang lebih besar dari penyebab tunggal kematian lainnya. Walaupun sementara ini, wabah penyakit kronis dan kematian dini [karena merokok] terutama menghantui negara kaya, namun sekarang dengan sangat cepat wabah ini berpindah ke negara berkembang. Pada tahun 2020, tujuh dari 10 orang yang mati karena merokok diperkirakan akan terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Mengapa laporan ini dibuat ? Saat ini, tidak banyak orang yang membantah kenyataan bahwa merokok dapat merusak kesehatan manusia dalam skala global. Akan tetapi, banyak pemerintah negara yang menghindar melakukan aksi pengawasan terhadap rokok—seperti misalnya mengenakan pajak yang lebih tinggi, larangan iklan dan promosi secara menyeluruh, atau larangan merokok di tempat umum—karena takut bahwa intervensi yang dilakukan itu akan membawa konsekuensi yang buruk pada perekonomian. Misalnya, beberapa pembuat kebijakan takut bahwa penurunan penjualan rokok akan menghilangkan ribuan pekerjaan secara permanen; bahwa pengenaan pajak yang tinggi pada tembakau akan mengakibatkan rendahnya pendapatan pemerintah; dan penetapan harga tinggi untuk rokok akan mendorong penyelundupan rokok secara besar-besaran. 1 2 MEREDAM WABAH Laporan ini membahas masalah-masalah ekonomi yang harus diperhatikan oleh para pembuat kebijakan bila akan mengadakan tindakan pengawasan terhadap tembakau. Laporan ini mengungkapkan pertanyaan apakah perokok sadar akan risiko dan beban biaya yang harus dipikul akibat pilihan konsumsinya, dan menelaah pilihan-pilihan bagi pemerintah apabila mereka memutuskan bahwa intervensi itu dapat dibenarkan. Laporan ini menjajagi konsekuensi kebijakan pengawasan terhadap tembakau yang diperkirakan akan berakibat pada kesehatan, ekonomi, dan individu. Laporan ini juga menunjukkan bahwa ketakutan atas dampak perekonomian yang menjadi kendala pembuat kebijakan untuk melakukan intervensi, pada umumnya tidak berdasar. Kebijakan yang mengakibatkan penurunan permintaan tembakau, seperti keputusan meningkatkan pajak tembakau, tidak akan menyebabkan hilangnya pekerjaan dalam jangka panjang di banyak negara. Penetapan cukai rokok yang tinggi juga tidak akan menurunkan pendapatan dari pajak; bahkan pendapatan akan semakin meningkat dalam jangka menengah. Kesimpulannya, kebijakan-kebijakan tersebut bahkan dapat memberikan keuntungan pada kesehatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tanpa mengganggu perekonomian. Kecenderungan-kecenderungan merokok saat ini Saat ini sekitar 1.1 miliar orang merokok di seluruh dunia. Pada tahun 2025, jumlah ini akan meningkat menjadi lebih dari 1.6 miliar. Di negara berpendapatan tinggi, kebiasaan merokok pada umumnya menurun selama beberapa dekade terakhir, meskipun terus meningkat untuk beberapa kelompok penduduk. Sebaliknya, di negara berpendapatan rendah dan menengah, konsumsi rokok terus meningkat. Perdagangan rokok yang lebih bebas memberikan kontribusi pada peningkatan konsumsi rokok di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah pada tahun-tahun terakhir ini. Banyak perokok mulai merokok sejak usia muda. Di negara berpendapatan tinggi, sekitar delapan dari 10 perokok mulai merokok sejak mereka masih berusia belasan tahun. Sementara banyak perokok di negara berpendapatan rendah dan menengah mulai merokok pada awal umur duapuluhan, tetapi umur puncak awal merokok ini makin menurun. Di banyak negara saat ini, lebih banyak terdapat perokok di kalangan orang miskin daripada di kalangan orang kaya. Konsekuensi-konsekuensi pada kesehatan Ada dua konsekuensi kesehatan akibat merokok. Pertama, perokok dengan cepat ketagihan nikotin. Sifat-sifat kecanduan nikotin telah terdokumentasikan dengan baik tetapi seringkali diremehkan konsumen [perokok]. Di Amerika Serikat, penelitian yang dilakukan terhadap siswa sekolah menengah atas tahun terakhir menemukan bahwa ternyata lebih sedikit dari dua di antara lima perokok yang percaya bahwa mereka mampu berhenti merokok dalam lima tahun, benar- benar RINGKASAN 3 telah berhasil berhenti merokok. Sekitar tujuh dari 10 remaja perokok di negara berpendapatan tinggi mengatakan bahwa mereka menyesal telah memulai kebiasaan itu dan menyatakan ingin berhenti. Setelah melalui beberapa dekade dan akibat meningkatnya pengetahuan tentang akibat merokok, negara-negara berpendapatan tinggi telah memiliki sejumlah besar mantan perokok yang telah sukses menghentikan konsumsi rokoknya. Akan tetapi, upaya-upaya perorangan untuk berhenti merokok menunjukkan angka keberhasilan yang rendah: dari mereka yang mencoba berhenti merokok tanpa bantuan program penghentian merokok, sekitar 98 persen di antaranya akan mulai merokok lagi dalam setahun. Di negara berpendapatan rendah dan menengah, kasus berhenti merokok dapat dikatakan jarang. Merokok dapat mengakibatkan penyakit serta kecacatan yang fatal, dan bila dibandingkan dengan perilaku berisiko lainnya, risiko kematian dini akibat merokok adalah luar biasa tingginya. Separo dari perokok jangka panjang pada akhirnya akan meninggal karena tembakau, dan di antara mereka, separonya akan mati dalam usia yang masih produktif, menyia-nyiakan 20-25 tahun sisa hidupnya. Penyakit yang berhubungan dengan rokok telah terdokumentasikan dengan baik, termasuk kanker paru-paru dan organ lainnya, penyakit jantung ischemic dan penyakit yang berhubungan dengan peredaran darah, penyakit pernapasan seperti emfisema (emphisema). Di daerah-daerah dimana TBC berkembang, risiko terkena TBC bagi para perokok lebih besar dibandingkan mereka yang tidak merokok. Karena kemungkinan lebih banyak warga miskin merokok dibandingkan warga yang kaya, risiko penyakit yang berhubungan dengan rokok dan kematian dini juga lebih besar di kalangan warga miskin. Di negara berpendapatan tinggi dan menengah, kemungkinan mati pada usia setengah baya bagi laki-laki dari kelompok sosial ekonomi terendah adalah dua kali lebih besar dibandingkan lakilaki dari kelompok sosial ekonomi tertinggi, dan merokok minimal menyumbang separo dari risiko kematian tersebut. Merokok juga mempengaruhi kesehatan orang yang tidak merokok. Bayibayi dari ibu perokok lahir dengan berat badan yang rendah, menghadapi risiko tinggi terjangkit penyakit pernapasan, dan menghadapi risiko “sindrom bayi meninggal secara mendadak” (sudden death syndrome) yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu bukan perokok. Orang dewasa bukan perokok menghadapi risiko kecil, tetapi risiko untuk mendapat penyakit dan kecacatan yang fatal terus meningkat karena berhadapan dengan orang lain yang merokok. Apakah perokok mengetahui risiko dan beban biaya yang harus dipikul? Teori ekonomi modern berpandangan bahwa konsumen biasanya memiliki penilaian yang terbaik bagaimana mengatur pengeluaran uang mereka untuk 4 MEREDAM WABAH barang dan jasa. Prinsip hak konsumen ini didasarkan beberapa asumsi tertentu: pertama, bahwa konsumen membuat pilihan yang rasional dan berdasarkan informasi setelah mempertimbangkan biaya dan manfaat pembeliannya; kedua, bahwa konsumen memikul semua biaya yang dikeluarkan. Apabila semua konsumen menggunakan hak-hak mereka dengan cara seperti ini — mengetahui risiko dan beban biaya yang akan mereka tanggung — maka menurut teori, sumber daya masyarakat sejauh mungkin akan teralokasikan secara efisien. Laporan ini menyelidiki insentif konsumen untuk merokok, menanyakan apakah pilihan yang mereka lakukan itu sama seperti pilihan untuk konsumsi barang lain, dan apakah hal itu menyebabkan alokasi efisien dari sumber daya masyarakat, sebelum mendiskusikan implikasinya bagi pemerintah. Perokok dengan jelas merasakan keuntungan merokok, seperti perasaan nikmat dan perasaan terbebas dari tekanan, dan mencoba membandingkan keuntungan-keuntungan ini dengan biaya yang dikeluarkan secara pribadi atas pilihan mereka. Dengan rumusan ini, keuntungan akan dirasakan melebihi biaya yang diperkirakan, karena jika tidak demikian, perokok tidak akan mau mengeluarkan uang untuk merokok. Meskipun begitu, ternyata bahwa pilihan untuk membeli rokok mungkin berbeda dengan pilihan untuk membeli barang konsumsi lain, yang dapat diterangkan dalam tiga cara khusus. Pertama, ada bukti bahwa banyak perokok tidak sepenuhnya sadar akan risiko penyakit dan kematian dini akibat pilihan mereka itu. Di negara berpendapatan rendah dan menengah, banyak perokok sama sekali tidak mengetahui bahaya-bahaya akibat merokok. Pada tahun 1996, di Cina, misalnya, 61 persen perokok yang disurvai mengatakan risiko merokok bagi mereka “kecil dan tidak berbahaya”. Di negara berpendapatan tinggi, perokok mengetahui bahwa risiko yang mereka hadapi akan meningkat, tetapi mereka menilai bahwa besaran risiko ini lebih rendah dan lebih tidak pasti dibandingkan dengan yang dihadapi orang yang bukan perokok. Mereka juga berusaha untuk meminimalkan relevansi risiko-risiko tersebut terhadap dirinya. Kedua, merokok biasanya dimulai sejak remaja atau menjelang dewasa. Bahkan meskipun kepada mereka telah diberikan informasi, remaja tidak selalu mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan informasi itu dalam arti untuk membuat suatu keputusan (untuk tidak merokok). Remaja mungkin kurang menyadari tentang risiko kesehatan yang dihadapi akibat merokok dibandingkan dengan orang dewasa. Banyak orang yang baru mulai merokok dan para calon perokok meremehkan risiko menjadi kecanduan nikotin. Sebagai akibat kondisi ini, mereka sangat meremehkan biaya-biaya yang akan dihabiskan untuk rokok, yaitu biaya yang harus dipikul dimasa tua nanti [biaya perawatan kesehatan dan kehilangan kesempatan yang lain] akibat tidak mampu mengubah keputusan merokok yang diambil di waktu muda. Masyarakat secara umum mengakui bahwa remaja memiliki kemampuan terbatas untuk membuat keputusan, dan membatasi kebebasan orang muda untuk membuat keputusan tertentu, misalnya, dengan meniadakan hak mereka untuk memilih atau menikah sampai umur tertentu. RINGKASAN 5 Demikian juga, masyarakat mungkin dapat mempertimbangkan bahwa membatasi kebebasan orang muda dalam hal pilihan untuk menjadi pecandu rokok adalah sah, karena perilaku itu membawa risiko kematian yang lebih besar dibandingkan aktivitas berisiko lainnya yang biasa dilakukan para anak muda. Ketiga, merokok memberi beban biaya pada orang yang tidak merokok. Dengan membebankan sebagian biaya kepada orang lain, para perokok mungkin akan terdorong untuk merokok lebih banyak lagi dibandingkan jika mereka harus memikul sendiri semua biaya itu. Untuk mereka yang bukan perokok jelas biayabiaya itu termasuk terganggunya kesehatan, ketidaknyamanan serta iritasi yang disebabkan tersebarnya kepulan asap rokok di lingkungan sekitarnya. Tambahan pula, perokok dapat membebankan biaya finansial kepada orang lain. Biayabiaya semacam itu lebih sulit diidentifikasi dan dihitung secara kuantitas, lagipula bervariasi menurut tempat dan waktu. Oleh karenanya masih belum memungkinkan untuk menentukan bagaimana hal-hal tersebut dapat dijadikan dis-insentif terhadap keinginan perorangan untuk memilih antara merokok sedikit atau merokok banyak. Meskipun begitu, ada dua biaya yang secara singkat dapat didiskusikan, yaitu untuk pelayanan kesehatan dan pensiun. Di negara berpendapatan tinggi, pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan merokok menggunakan antara 6 sampai 15 persen dari semua biaya pelayanan kesehatan selama setahun. Angka-angka ini belum tentu terdapat di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah yang wabah penyakit berkaitan dengan merokok masih berada pada tingkat-tingkat awal dan mungkin ada perbedaan-perbedaan lain yang bersifat kualitatif. Biaya tahunan sangat penting bagi pemerintah, tetapi untuk konsumen-konsumen perorangan, pertanyaan kuncinya adalah seberapa besar biaya yang harus mereka pikul sendiri atau oleh orang lain. Dalam tahun manapun, biaya pelayanan kesehatan untuk perokok rata-rata melebihi biaya pelayanan kesehatan bagi yang bukan perokok. Bila biaya pelayanan kesehatan pada tingkat tertentu dibayar dengan pajak umum, mereka yang bukan perokok akan terbebani sebagian dari biaya untuk penduduk yang merokok. Namun, sebagian peneliti berpendapat bahwa karena perokok cenderung meninggal lebih cepat dibandingkan mereka yang bukan perokok, biaya pelayanan kesehatan mereka seumur hidup mungkin tidak terlalu besar, dan bahkan mungkin lebih kecil dibandingkan untuk yang bukan perokok. Isu ini kontroversial, tetapi tinjauan akhir-akhir ini di negara berpendapatan tinggi menyatakan bahwa pada akhirnya biaya seumur hidup perokok, ternyata memang lebih tinggi dibanding dengan yang tidak merokok, meskipun umur perokok lebih pendek. Berapa pun biayanya, apakah lebih tinggi atau lebih rendah, sejauh mana perokok membebankan biaya-biaya tersebut kepada orang lain, tergantung pada banyak faktor seperti tingkat pajak rokok yang ada, dan berapa banyak pelayanan kesehatan yang disediakan untuk sektor publik. Sementara itu, di negara berpendapatan rendah dan menengah, belum pernah ada penelitian yang cukup dapat dipercaya mengenai isu-isu semacam ini. 6 MEREDAM WABAH Pertanyaan menyangkut skema pensiun juga sama kompleksnya. Beberapa peneliti di negara berpenghasilan tinggi berkesimpulan bahwa perokok ”membayar sendiri” dengan menyumbang pada skema pensiun publik karena kemudian rata-rata mereka meninggal lebih cepat dibandingkan orang-orang yang bukan perokok. Akan tetapi, pertanyaan ini tidak relevan untuk negaranegara berpendapatan rendah dan menengah, dimana umumnya para perokok tinggal, sebab skema pensiun publik di negara-negara itu masih rendah. Pendeknya, jelas bahwa perokok membebankan beberapa biaya fisik (nonfinansial), termasuk kerusakan kesehatan, berbagai gangguan dan iritasi, terhadap orang yang bukan perokok. Mereka juga membebankan biaya finansial, tetapi lingkup masalah ini masih belum jelas benar. Tanggapan-tanggapan yang tepat Tampaknya sebagian besar perokok ternyata tidak tahu betul baik risiko yang dihadapi karena merokok maupun beban biaya yang harus mereka pikul akibat pilihan mereka. Oleh karena itu pemerintah dapat mempertimbangkan bahwa intervensi merupakan suatu yang dapat dibenarkan, terutama untuk menghindarkan keinginan merokok anak-anak dan remaja serta melindungi orang yang tidak merokok. Selain itu pemerintah juga harus memberikan semua informasi yang dibutuhkan oleh orang dewasa agar pilihan yang mereka putuskan berdasarkan informasi yang benar. Idealnya, intervensi pemerintah hendaknya dapat memperbaiki setiap masalah yang teridentifikasi secara khusus. Misalnya, pertimbangan anak-anak yang kurang sempurna tentang dampak merokok pada kesehatan perlu ditangani secara khusus dengan memperbaiki pendidikan anak-anak dan juga orangtuanya, atau dengan membatasi akses anak-anak terhadap rokok. Akan tetapi, tanggapan remaja terhadap pendidikan kesehatan umumnya sangat kurang, sedangkan orangtua yang benar-benar mampu membimbing anak-anaknya agar menjauhi perilaku merokok sangat jarang. Pada kenyataannya bentuk-bentuk pembatasan penjualan rokok untuk anak-anak tidak berjalan sebagaimana mestinya, bahkan di negara-negara berpendapatan tinggi sekalipun. Cara yang paling efektif untuk menghindarkan anak-anak menjadi perokok adalah dengan meningkatkan pajak tembakau. Harga yang tinggi akan mencegah anak dan remaja mulai merokok dan mendorong perokok untuk mengurangi konsumsi rokok mereka. Bagaimanapun, pajak merupakan instrumen yang berdampak langsung, karena jika pajak rokok ditingkatkan, perokok dewasa akan cenderung mengurangi konsumsi rokoknya karena terpaksa harus membayar harga lebih mahal untuk membeli rokok. Untuk mencapai tujuan melindungi anak dan remaja, pajak juga harus membebankan biaya-biaya pada perokok dewasa. Biaya-biaya ini mungkin dapat diterima, tergantung pada berapa besar masyarakat menilai upaya mengatasi konsumsi rokok pada anak-anak. Bagaimanapun juga, suatu usaha penurunan konsumsi rokok pada orang dewasa dalam jangka panjang akan menurunkan RINGKASAN 7 hasrat anak-anak dan remaja untuk merokok. Masalah kecanduan nikotin juga perlu ditangani. Bagi pecandu rokok yang ingin berhenti, pengorbanan yang dilakukan untuk menghentikan kebiasaan merokok sangat besar. Pemerintah mungkin dapat mengadakan intervensiintervensi untuk membantu mengurangi pengorbanan tersebut sebagai bagian dari paket pengawasan terhadap tembakau secara keseluruhan. Langkah-langkah menurunkan permintaan terhadap tembakau Diskusi selanjutnya membahas langkah-langkah pengawasan terhadap tembakau, kemudian mengevaluasi masing-masing langkah. Menaikkan pajak Bukti dari negara-negara dengan berbagai tingkat pendapatan menunjukkan bahwa menaikkan harga rokok sangat efektif untuk menurunkan permintaan terhadap rokok. Pajak yang lebih tinggi mendorong sebagian perokok untuk berhenti merokok dan mencegah orang lain untuk mulai merokok. Pajak yang tinggi juga akan mencegah sejumlah mantan perokok kembali merokok dan menurunkan besarnya konsumsi rokok bagi orang-orang yang masih merokok. Rata-rata peningkatan 10 persen harga per bungkus rokok diharapkan dapat menurunkan permintaan rokok sekitar empat persen di negara-negara berpendapatan tinggi dan sekitar delapan persen di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, dimana pendapatan rendah cenderung membuat orang lebih sensitif terhadap perubahan harga. Anak-anak dan remaja lebih sensitif terhadap kenaikan harga dibandingkan orang dewasa, sehingga intervensi seperti ini akan memiliki dampak yang berarti bagi anak-anak dan remaja. Model-model dalam laporan ini menunjukkan bahwa peningkatan pajak yang akan menaikkan harga riil rokok sekitar 10 persen, menyebabkan 40 juta perokok yang hidup pada tahun 1995 berhenti merokok, dan mencegah minimal 10 juta kematian yang diakibatkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan tembakau. Kenaikan harga akan menghalangi atau mencegah orang lain untuk menjadi perokok. Asumsi-asumsi yang menjadi dasar model ini sengaja dibuat konservatif, dan karena itu angka-angka ini dapat dianggap sebagai estimasi minimum. Seperti disadari oleh banyak pembuat keputusan, pertanyaan mengenai berapa besarnya pajak yang tepat adalah suatu pertanyaan yang kompleks. Besarnya pajak secara rinci tergantung pada fakta empiris yang mungkin saja belum tersedia, seperti skala biaya yang harus ditanggung oleh nonperokok dan tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Hal ini juga tergantung pada variasi nilai masyarakat, seperti sejauh mana anak-anak harus dilindungi, dan harapan apa yang ingin dicapai oleh masyarakat melalui pajak, seperti misalnya keuntungan khusus dari pendapatan pajak atau penurunan khusus pada biaya beban penyakit yang diderita. Laporan ini menyimpulkan bahwa untuk saat ini, para pembuat 8 MEREDAM WABAH kebijakan yang berupaya menurunkan konsumsi rokok, dapat menggunakannya sebagai tolok ukur tingkat pajak yang diterapkan oleh negara-negara dimana konsumsi rokok telah menurun, sebagai bagian dari kebijakan pengawasan terhadap tembakau secara menyeluruh. Di negara-negara tersebut, komponen pajak dalam harga sebungkus rokok adalah antara dua per tiga dan empat per lima dari harga ecerannya. Di negara berpendapatan tinggi, dewasa ini pajak rokok rata-rata 2/3 atau lebih dari harga eceran sebungkus sigaret. Sementara di negara berpendapatan rendah, jumlah pajak tidak lebih dari separo harga eceran sebungkus rokok. Langkah-langkah lain yang nonharga untuk menurunkan permintaan Di luar kebijakan menaikkan harga rokok, pemerintah juga dapat mengambil langkah-langkah efektif lainnya. Langkah-langkah ini termasuk larangan yang menyeluruh pada iklan dan promosi rokok; ketentuan-ketentuan mengenai informasi seperti misalnya informasi tandingan melawan iklan rokok di media masa, label peringatan kesehatan yang menonjol, publikasi dan penyebarluasan hasil penelitian yang berhubungan dengan konsekuensi kesehatan akibat merokok dan juga pembatasan atau larangan merokok di tempat kerja dan di tempat umum. Laporan ini memaparkan bukti-bukti bahwa masing-masing langkah ini dapat menurunkan permintaan terhadap rokok. Misalnya, “kejutan-kejutan informasi” seperti publikasi hasil penelitian yang mengemukakan penemuan baru yang signifikan mengenai dampak merokok pada kesehatan ternyata menurunkan permintaan terhadap rokok. Pengaruh terbesar dari informasi dengan cara seperti ini terutama terdapat pada penduduk yang relatif telah mempunyai sedikit kesadaran tentang dampak merokok terhadap kesehatan. Larangan pada iklan dan promosi rokok secara menyeluruh, dapat menurunkan permintaan sekitar 7 persen, seperti yang ditemukan dalam penelitian yang menggunakan pendekatan ekonometri di negara-negara berpendapatan tinggi. Pembatasan-pembatasan merokok jelas menguntungkan orang yang bukan perokok, dan ditemukan juga beberapa bukti bahwa pembatasan dapat menurunkan prevalensi merokok. Model-model yang dikembangkan untuk laporan ini menemukan bahwa, dengan menerapkannya sebagai seperangkat paket, langkah-langkah nonharga yang digunakan secara global, akan dapat meyakinkan sekitar 23 juta perokok yang hidup pada tahun 1995 untuk berhenti merokok dan dengan demikian mencegah 5 juta kematian di antara mereka akibat merokok. Seperti yang diterapkan untuk mengestimasi dampak peningkatan pajak, estimasi ini juga bersifat konservatif. Terapi pengganti nikotin dan terapi-terapi penghentian lainnya Intervensi ketiga adalah untuk membantu orang-orang yang ingin berhenti dengan cara memberikan kemudahan untuk mendapatkan terapi pengganti nikotin RINGKASAN 9 (Nicotine Replacement Therapy—NRT) dan intervensi-intervensi penghentian lainnya. NRT secara menyolok meningkatkan keefektivan upaya-upaya penghentian merokok dan juga mengurangi pengorbanan/biaya untuk menghentikan merokok secara perorangan. Namun, di banyak negara, NRT sangat sulit didapat. Model-model dalam studi ini mengemukakan bahwa ketersediaan NRT yang dibuat seluas mungkin akan dapat membantu menurunkan permintaan secara substansial. Dampak dari kombinasi berbagai langkah untuk menurunkan permintaan rokok ini belum diketahui, karena perokok di banyak negara yang menerapkan kebijakan pengawasan terhadap tembakau, terpapar pada semua kebijakan tersebut dan tak satu pun yang dapat dikaji secara murni terpisah. Namun, ada bukti bahwa penerapan satu intervensi mendukung kesuksesan intervensi yang lain, dan menekankan betapa pentingnya berbagai langkah pelaksanaan pengawasan terhadap tembakau diterapkan sebagai satu paket. Kesimpulannya, langkahlangkah intervensi yang diterapkan secara bersama-sama dapat mencegah jutaan manusia dari kematian. Langkah-langkah menurunkan penawaran tembakau Jika intervensi-intervensi untuk menurunkan permintaan terhadap tembakau sedikit berhasil, maka langkah-langkah untuk menurunkan penawarannya tampak kurang memberi harapan. Hal ini terjadi karena jika satu orang pemasok dihentikan maka pemasok alternatif lainnya akan mendapat kesempatan besar untuk memasuki pasar. Langkah pelarangan tembakau yang paling ekstrim sekalipun, secara ilmu ekonomi adalah tidak dapat dijamin keberhasilannya, juga tidak realistik dan mungkin sekali gagal. Tanaman pengganti tembakau sering diusulkan untuk menurunkan penawaran tembakau, tetapi hampir tidak ada bukti yang menunjukkan adanya penurunan konsumsi, karena insentif bagi para petani untuk menanam tembakau belakangan ini lebih besar dibandingkan jenis tanaman lainnya. Selagi tanaman pengganti tembakau masih dianggap kurang efektif sebagai cara menurunkan konsumsi rokok, tetapi itu mungkin dapat merupakan strategi yang bermanfaat untuk membantu petani tembakau termiskin dalam transisi peralihan ke mata pencaharian lain, sebagai bagian dari program diversifikasi yang lebih luas. Demikian juga selama ini terbukti bahwa pembatasan-pembatasan perdagangan seperti larangan impor, dampaknya kecil pada konsumsi rokok di seluruh dunia. Sebaliknya negara-negara mungkin akan lebih berhasil menanggulangi konsumsi rokok dengan mengadopsi langkah-langkah yang secara efektif dapat menurunkan permintaan serta menerapkan langkah-langkah tersebut secara simetris terhadap rokok impor dan rokok yang diproduksi di dalam negeri. Demikian juga, dalam kerangka kebijakan perdagangan dan pertanian, subsidi terhadap produksi tembakau yang terutama banyak ditemukan di negara-negara 10 MEREDAM WABAH berpendapatan tinggi, tidak membawa manfaat yang berarti. Dalam beberapa kasus, penghapusannya akan kecil dampaknya pada harga eceran secara keseluruhan. Namun demikian, ada satu perangkat dari sisi penawaran yang dapat menjadi kunci strategi pengawasan terhadap tembakau yang efektif, yaitu tindakantindakan melawan maraknya penyelundupan. Tindakan-tindakan efektif tersebut termasuk mengenakan cukai yang tinggi serta pencantuman peringatan bahaya merokok pada bungkus rokok dengan menggunakan bahasa lokal dan juga menerapkan hukuman keras yang agresif dan konsisten untuk mencegah para penyelundup. Pengawasan terhadap penyelundupan secara ketat dapat meningkatkan penerimaan pemerintah dari kenaikan pajak rokok. Biaya dan konsekuensi pengawasan terhadap tembakau Para pembuat keputusan biasanya mempertimbangkan beberapa kekhawatiran sebelum melaksanakan tindakan pengawasan terhadap tembakau. Kekhawatiran pertama adalah bahwa pengawasan terhadap tembakau akan menghilangkan kesempatan kerja secara permanen dalam suatu perekonomian. Akan tetapi, penurunan permintaan terhadap tembakau tidak berarti menurunnya tingkat kesempatan kerja secara menyeluruh dalam suatu negara. Uang perokok yang tadinya dikeluarkan untuk membeli rokok, akan digunakan untuk membeli barang dan jasa lain. Ini berarti menciptakan pekerjaan-pekerjaan lain yang dapat mengisi kembali pekerjaan yang hilang dari industri rokok. Studi yang dibuat untuk laporan ini menunjukkan bahwa hampir semua negara tidak memperlihatkan mengalami penurunan kesempatan kerja neto dan beberapa mendapat keuntungan neto karena konsumsi tembakau berkurang. Memang ada beberapa negara, terutama di Afrika Sub-Sahara, yang perekonomian negaranya sangat bergantung pada perkebunan tembakau. Untuk negara-negara seperti itu, walaupun upaya menurunkan permintaan dalam negeri akan berdampak juga, tetapi penurunan permintaan secara global akan membuat banyak pekerjaan hilang. Kebijakan-kebijakan untuk membantu penyesuaian dalam keadaan tersebut akan sangat diperlukan. Namun, perlu ditekankan bahwa walaupun permintaan turun secara signifikan, penurunannya akan terjadi dengan lambat sekali, yang memerlukan waktu satu generasi atau lebih. Kekhawatiran kedua adalah anggapan bahwa pengenaan pajak tinggi akan menurunkan penerimaan pemerintah. Pada kenyataannya, bukti empiris menunjukkan bahwa dengan peningkatan pajak tembakau akan dapat menghasilkan penerimaan negara lebih besar [atas pajak tembakau]. Hal ini sebagian disebabkan proporsi penurunan permintaan tidak sebanding dengan proporsi peningkatan pajak, karena konsumen yang sudah kecanduan rokok merespons kenaikan harga relatif lambat. Model yang dikembangkan dalam laporan ini menyimpulkan bahwa peningkatan secara moderat pengenaan pajak sebesar 10 persen di seluruh dunia akan meningkatkan penerimaan dari pajak RINGKASAN 11 tembakau sekitar 7 persen secara keseluruhan, dengan dampak-dampak yang bervariasi pada beberapa negara. Kekhawatiran ketiga adalah bahwa pengenaan pajak yang tinggi menyebabkan peningkatan penyelundupan besar-besaran, dengan demikian membiarkan konsumsi rokok tetap tinggi tetapi menurunkan penerimaan pemerintah. Penyelundupan memang suatu masalah yang sangat serius, tetapi laporan ini menyimpulkan bahwa, di negara yang tingkat penyelundupannya tinggi sekalipun, peningkatan pajak memberikan pemasukan yang lebih besar dan menurunkan konsumsi. Oleh karena itu, daripada menunda peningkatan pajak, diperlukan respons yang tepat terhadap penyelundupan dengan mengambil tindakan tegas terhadap aktivitas kriminal. Kekhawatiran keempat adalah peningkatan pajak rokok akan mempunyai dampak yang tidak proporsional pada konsumen miskin. Pajak tembakau yang sekarang berlaku memang menyerap bagian lebih besar dari pendapatan konsumen miskin dibandingkan pendapatan konsumen kaya. Akan tetapi, perhatian utama pembuat kebijakan hendaknya ditujukan pada dampak distribusi seluruh pajak dan sistem pengeluaran, dan bukannya mengenai satu pajak secara terpisah. Hal yang penting dicatat adalah konsumen miskin biasanya lebih sensitif terhadap kenaikan harga dibandingkan konsumen kaya, sehingga konsumsi rokok mereka akan turun lebih tajam mengikuti peningkatan pajak, dan sejalan dengan itu beban finansial yang mereka tanggung akan menurun pula. Namun demikian, hilangnya manfaat yang mereka dapatkan dari merokok mungkin dirasakan lebih besar dibandingkan dengan yang dirasakan konsumen kaya. Apakah pengawasan terhadap tembakau ada gunanya? Bagi pemerintah yang berniat untuk mengadakan intervensi, pertimbangan penting lebih lanjut adalah keefektivan biaya (cost-effectiveness) pengawasan terhadap tembakau relatif dibandingkan dengan biaya intervensi kesehatan lainnya. Untuk laporan ini telah dilakukan estimasi pendahuluan tentang biaya publik (public cost) untuk pelaksanaan program pengawasan terhadap tembakau dibandingkan dengan potensi jumlah tahun-tahun kehidupan sehat yang terselamatkan. Ternyata hasilnya konsisten dengan studi-studi terdahulu yang mengatakan bahwa keefektivan biaya pengawasan terhadap tembakau sangat tinggi sebagai bagian dari suatu paket pelayanan kesehatan umum di negaranegara berpendapatan rendah dan menengah. Jika dihitung dengan biaya per tahun penyelamatan hidup sehat, maka peningkatan pajak adalah berbiaya-efektif. Tergantung dari berbagai asumsi, instrumen peningkatan pajak ini membutuhkan antara US$5 dan US$171 per tahun untuk biaya penyelamatan hidup sehat di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Perbandingan ini sangat cocok dengan banyak intervensi kesehatan yang biasa dibiayai pemerintah, seperti program imunisasi terhadap anak. Langkah-langkah nonharga dalam berbagai keadaan juga bersifat biaya- MEREDAM WABAH 12 efektif. Langkah-langkah untuk meliberalisasikan akses pada NRT, misalnya, dengan cara mengubah kondisi penjualannya, biayanya mungkin juga akan bersifat efektif dalam berbagai situasi. Namun demikian, suatu negara harus mengadakan penjajagan secara teliti sebelum memutuskan memberi subsidi pada NRT dan lain-lain intervensi penghentian bagi para perokok miskin. Potensi unik pajak tembakau untuk menaikkan pendapatan pemerintah tidak dapat diabaikan. Di Cina, misalnya, dengan estimasi konservatif, ditemukan bahwa peningkatan pajak rokok 10 persen menurunkan konsumsi rokok sebesar 5 persen, dan meningkatkan pendapatan sebesar ± 5 persen, dan peningkatan ini akan cukup besar untuk membiayai paket pelayanan kesehatan yang esensial untuk sepertiga dari 100 juta warga miskin Cina. Sebuah agenda untuk bertindak Setiap masyarakat membuat keputusan sendiri mengenai kebijakan yang menyangkut pilihan-pilihan individu. Pada kenyataannya, lebih banyak kebijakan diambil berdasarkan gabungan dari beberapa kriteria, dan tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan ekonomi saja. Banyak masyarakat yang ingin mengurangi beban penderitaan dan kerugian-kerugian emosional yang tidak dapat diukur dengan angka disebabkan oleh penyakit dan kematian dini akibat merokok. Bagi para pembuat kebijakan yang berusaha untuk meningkatkan kesehatan masyarakat juga mengatakan bahwa pengawasan terhadap tembakau adalah pilihan yang menarik. Bahkan dengan sedikit penurunan terhadap beban penyakit dalam skala yang besar akan merupakan keberhasilan yang signifikan dalam upaya pelayanan kesehatan. Beberapa pembuat kebijakan berpendapat bahwa alasan-alasan terkuat mengadakan intervensi adalah untuk mencegah anak-anak dari kebiasaan merokok. Padahal, suatu strategi yang semata-mata bertujuan mencegah anakanak untuk menjadi perokok adalah tidak praktis dan tidak memberikan keuntungan yang signifikan pada kesehatan masyarakat dalam beberapa dekade. Sebagian besar kematian yang diakibatkan oleh perilaku merokok yang diproyeksikan akan terjadi setelah 50 tahun mendatang adalah terjadi pada para perokok saat ini. Pemerintah yang hanya memfokuskan pada keuntungan kesehatan dalam jangka menengah karenanya dapat mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan yang lebih luas sehingga juga akan membantu perokok dewasa berhenti merokok. Laporan ini merekomendasikan dua hal: 1. Jika pemerintah memutuskan untuk mengadakan aksi keras mengatasi wabah tembakau, strategi atau langkah-langkah yang mencakup banyak aspek harus dilaksanakan. Strategi beraspek banyak ini antara lain mencegah anak-anak menjadi perokok, melindungi orang-orang yang bukan perokok, dan menyediakan untuk semua perokok informasi tentang dampak merokok pada RINGKASAN 2. 13 kesehatan. Strategi yang disesuaikan dengan kebutuhan negara yang bersangkutan, hendaknya mencakup: (1) peningkatan pajak, dengan menggunakan sebagai ukuran, angka yang diadopsi negara-negara yang melaksanakan program pengawasan terhadap rokok secara menyeluruh dan menyebabkan konsumsi rokoknya menurun. Di negara-negara tersebut, besarnya pajak rokok adalah 2/3 sampai 4/5 harga eceran rokok; (2) menerbitkan dan menyebarluaskan hasil-hasil penelitian tentang dampak merokok pada kesehatan, menambah label peringatan bahaya merokok yang menyolok, mengadakan larangan-larangan iklan dan promosi rokok yang menyeluruh, dan membatasi orang merokok di tempat kerja dan tempattempat umum; dan (3) memperluas akses pada terapi pengganti nikotin (NRT) dan terapi-terapi penghentian lainnya. Organisasi internasional seperti lembaga-lembaga PBB harus meninjau kembali program-program dan kebijakan-kebijakan mereka untuk memastikan bahwa pengawasan terhadap tembakau mendapat perhatian yang semestinya; mereka harus mensponsori penelitian yang berhubungan dengan sebab-musabab, konsekuensi, dan biaya merokok, serta keefektifan biaya (cost-effectiveness) intervensi pada tingkat lokal; dan mereka harus memperhatikan isu-isu pengawasan terhadap tembakau lintas batas, termasuk bekerja sama dengan WHO yang mempunyai program Framework Convention for Tobacco Control. Bidang-bidang penting untuk aksi ini termasuk memfasilitasi antara lain perjanjian internasional mengenai pengawasan terhadap penyelundupan, diskusi tentang harmonisasi pajak untuk mengurangi rangsangan terhadap penyelundupan, dan larangan iklan dan promosi rokok yang melibatkan media komunikasi global. Ancaman perilaku merokok pada kesehatan global memang belum pernah terjadi, demikian juga halnya dengan potensi untuk menurunkan kematian akibat rokok dengan kebijakan yang berbiaya efektif. Laporan ini menunjukkan skala yang mungkin dapat dicapai: aksi yang moderat mungkin dapat memberikan keuntungan kesehatan secara substansial dalam abad ke-21 ini. Catatan: 1. Semua kurs dollar yang digunakan berdasarkan kurs dollar terakhir ketika laporan ini ditulis 14 MEREDAM WABAH 15 B A B 1 Kecenderungan Global Konsumsi Tembakau M ESKIPUN sudah berabad-abad lamanya orang mengkonsumsi tembakau, namun rokok sigaret belum menjadi industri besar-besaran sampai abad ke 19. Sejak itu, perilaku merokok sigaret telah menyebar ke seluruh dunia dalam skala yang luar biasa. Saat ini, sekitar satu di antara tiga orang dewasa atau 1.1 miliar orang merokok. Dari angka ini, sekitar 80 persen di antaranya tinggal di negara-negara berpendapatan rendah dan sedang. Angka ini sebagian terjadi karena pertumbuhan penduduk dewasa, dan sebagian lagi karena peningkatan konsumsi, sehingga total jumlah perokok diperkirakan akan mencapai 1.6 miliar pada tahun 2025. Dahulu tembakau sering dikunyah atau diisap dengan menggunakan berbagai bentuk pipa. Cara-cara seperti itu masih dilakukan, meskipun prevalensinya terus berkurang. Rokok buatan pabrik dan berbagai jenis rokok gulung seperti bidis – yang umum terdapat di Asia Tenggara dan India—sekarang jumlahnya mencapai 80 persen dari seluruh konsumsi tembakau di seluruh dunia. Tampaknya merokok sigaret menimbulkan bahaya kesehatan yang lebih besar daripada bentuk awal penggunaan tembakau. Karena itulah, laporan ini memfokuskan pada rokok hasil pabrik dan bidis. Peningkatan konsumsi rokok di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah Penduduk negara-negara berpendapatan rendah dan sedang telah meningkatkan konsumsi rokoknya sejak tahun 1970 (lihat Gambar 1.1). Konsumsi per kapita negara-negara ini terus-menerus meningkat antara tahun 1970 sampai tahun 1990, meskipun kecenderungan peningkatannya mulai sedikit menurun 15 MEREDAM WABAH 16 GAMBAR 1.1 KONSUMSI ROKOK MENINGKAT DI NEGARA-NEGARA BERKEMBANG. Kecenderungan konsumsi rokok per kapita pada orang dewasa Konsumsi rokok sigaret pertahun orang dewasa 3000 2500 negara maju 2000 negara berkembang 1500 dunia 1000 500 1970-72 1980-82 1990-92 Tahun Sumber: World Health Organization, 1997. Tobacco or Health: a Global Status Report. Geneva, Switzerland. sejak awal tahun 1990-an. Ketika perilaku merokok sudah menjadi kebiasaan di antara para pria di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, dalam periode yang sama di negara berpendapatan tinggi, kebiasaan seperti itu secara keseluruhan mengalami penurunan di antara para pria. Misalnya, lebih dari 55 persen pria di Amerika Serikat berada pada puncak konsumsi pada pertengahan abad 20, tapi proporsi itu telah mengalami penurunan sampai 28 persen pada pertengahan tahun 1990-an. Konsumsi per kapita penduduk di negara-negara berpendapatan tinggi secara keseluruhan juga mengalami penurunan. Namun, ada beberapa kelompok tertentu di negara-negara itu, seperti kelompok remaja dan wanita muda, dimana proporsi mereka yang merokok mengalami pertumbuhan pada tahun 1990-an. Secara keseluruhan, kemudian, wabah merokok telah dengan pesat beralih dari fokusnya yang asli, yaitu dari para pria di negara-negara berpendapatan tinggi kepada para wanita di negara berpendapatan tinggi dan para pria di negaranegara berpendapatan rendah. Dalam tahun-tahun terakhir ini, perjanjian perdagangan internasional telah memungkinkan perdagangan global yang bebas untuk berbagai barang dan jasa. Tidak terkecuali dengan perdagangan rokok. Dengan hilangnya hambatanhambatan perdagangan, timbul kecenderungan kompetisi pasar yang lebih tinggi yang menyebabkan antara lain harga-harga menjadi turun, adanya promosi dan 17 KECENDERUNGAN GLOBAL KONSUMSI TEMBAKAU iklan yang lebih luas, dan aktivitas-aktivitas lain yang merangsang permintaan. Satu studi menyimpulkan bahwa di empat negara ekonomi Asia – Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Thailand — yang membuka pasar mereka sebagai respons terhadap tekanan perdagangan Amerika Serikat dalam tahun 1980-an, konsumsi rokok per orang hampir 10 persen lebih tinggi pada tahun 1991 daripada tingkat yang seharusnya jika pasar mereka masih tetap tertutup. Satu model ekonometrika yang dikembangkan dalam laporan ini menyimpulkan bahwa peningkatan liberalisasi perdagangan memberikan kontribusi signifikan pada peningkatan konsumsi rokok, terutama di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Pola regional perilaku merokok Data jumlah perokok di setiap wilayah regional telah dikumpulkan WHO dengan menggunakan lebih dari 80 studi yang terpisah. Untuk keperluan laporan ini, data-data tersebut telah digunakan untuk mengestimasi prevalensi merokok di setiap kelompok negara dari tujuh pengelompokan regional yang dibuat oleh Bank Dunia.1 Seperti ditampilkan pada Tabel 1.1, terdapat variasi besar antarregional, dan terutama dilihat pada prevalensi merokok para wanita di wilayah regional yang berbeda itu. Misalnya, di negara-negara Eropa Timur dan Asia TABEL 1.1 POLA-POLA REGIONAL MEROKOK Estimasi prevalensi merokok berdasarkan jender dan jumlah perokok pada penduduk berumur 15 tahun ke atas, berdasarkan wilayah regional Bank Dunia, 1995 Wilayah regional Prevalensi merokok (%) Seluruhnya Jumlah perokok (% dr jml (Juta) perokok) Bank Dunia Laki-laki Perempuan Asia Timur dan Pasifik 59 4 32 401 35 Eropa Timur dan Asia Tengah 59 26 41 148 13 Timur Tengah dan Afrika Utara 40 21 30 95 8 Amerika Latin dan wilayah Karibia 44 5 25 40 3 Asia Selatan (Sigaret) 20 1 11 86 8 Asia Selatan (bidis) 20 3 12 96 8 Afrika Sub Sahara 33 10 21 67 6 Negara berpendapatan rendah/sedang 49 9 29 933 82 Negara berpendapatan tinggi 39 22 30 209 18 Dunia 47 12 29 1,142 100 Catatan : angka telah dibulatkan Sumber : Perhitungan penulis berdasarkan laporan World Health Organization,1997. Tobacco or Health Status Report. Geneva, Switzerland. 18 MEREDAM WABAH Tengah (terutama di negara-negara bekas ekonomi sosialis), 59 persen laki-laki dan 26 persen perempuan merokok pada tahun 1995, lebih tinggi dari wilayah regional lainnya. Namun di Asia Timur dan Pasifik, dimana kebiasaan merokok laki-laki sama-sama tinggi yaitu 59 persen, perokok perempuan hanya ada 4 persen. Hubungan merokok dengan status sosial ekonomi Berdasarkan sejarah, dengan meningkatnya pendapatan para penduduk jumlah orang yang merokok juga meningkat. Dalam beberapa dekade awal terjadinya wabah merokok di negara berpendapatan tinggi, perokok cenderung lebih banyak terdiri dari orang kaya daripada orang miskin. Tetapi dalam tiga atau empat dekade terakhir, pola ini menjadi terbalik, sekurang-kurangnya di antara para pria, dimana data untuk itu tersedia secara luas.2 Saat ini para pria berkecukupan di negara berpendapatan tinggi yang meninggalkan perilaku merokok meningkat dengan pesat sedangkan pria dari kelas ekonomi rendah belum melakukan hal yang serupa. Misalnya, di Norwegia, persentase laki-laki perokok yang berpenghasilan tinggi yang merokok telah menurun dari 75 persen pada tahun 1955 menjadi hanya 28 persen pada tahun 1990. Pada periode yang sama, proporsi laki-laki berpendapatan rendah yang merokok kurang mengalami penurunan secara tajam, dari 60 persen pada tahun 1955 menjadi hanya 48 persen pada tahun 1990. Saat ini, di banyak negara berpendapatan tinggi, terdapat perbedaan yang signifikan dalam prevalensi merokok di antara kelompok sosial ekonomi yang berbeda. Di Inggris, misalnya, hanya 10 persen wanita dan 12 persen laki-laki dari kelompok sosial ekonomi yang paling tinggi adalah perokok. Di kelompok sosial ekonomi terendah persentase yang merokok tiga kali lebih besar: 35 persen dan 40 persen. Hubungan terbalik yang sama juga ditemukan antara tingkat pendidikan—sebagai tanda status sosial ekonomi—dengan merokok. Secara umum, orang-orang yang mendapat sedikit pendidikan atau tidak berpendidikan sama sekali, mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk merokok dibandingkan mereka yang lebih tinggi pendidikannya. Sebelumnya orang berpendapat bahwa situasinya berbeda di negara-negara berpendapatan rendah dan sedang. Penelitian terakhir menyimpulkan bahwa di negara-negara itu pun, laki-laki dengan status sosial ekonomi rendah lebih besar kemungkinannya untuk merokok dibandingkan dengan laki-laki dengan status sosial ekonomi tinggi. Tingkat pendidikan jelas merupakan faktor penentu merokok di Chennai, India (Gambar 1.2). Studi-studi di Brasil, Cina, Afrika Selatan, Vietnam, dan beberapa negara Amerika Tengah juga telah mengkonfirmasikan adanya pola seperti itu. Walaupun sudah jelas bahwa di seluruh dunia prevalensi merokok lebih banyak terdapat di antara mereka yang miskin dan berpendidikan rendah, namun tidak banyak ditemukan data tentang jumlah batang rokok yang diisap setiap hari oleh kelompok-kelompok status sosial ekonomi yang berbeda. Di negara- KECENDERUNGAN GLOBAL KONSUMSI TEMBAKAU 19 GAMBAR 1.2 MEROKOK UMUM DI ANTARA ORANG BERPENDIDIKAN RENDAH Kebiasaan merokok di antara laki-laki di Chennai (India) berdasarkan tingkat pendidikan. 64% 58% Prevalensi merokok 60% 42% 40% 21% 20% 0% Buta huruf <6 tahun 6-12 tahun >12 tahun Lama Pendidikan Sumber: Gajalakshmi, C.K. P. Jha, S. Nguyen, dan A. Yurekli. Patterns of Tobacco Use, and Health Cosequences. Makalah pendukung. negara berpendapatan tinggi, dengan beberapa pengecualian, laki-laki miskin yang berpendidikan rendah mengisap lebih banyak batang rokok per hari dibandingkan laki-laki kaya yang berpendidikan lebih tinggi. Walaupun mungkin dapat diharapkan bahwa laki-laki miskin di negara-negara berpendapatan rendah dan sedang akan mengkonsumsi lebih sedikit batang rokok daripada laki-laki kaya, data yang tersedia mengindikasikan bahwa secara umum perokok dengan tingkat pendidikan rendah mengkonsumsi sama atau sedikit lebih banyak batang rokok daripada mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Suatu pengecualian penting adalah India, — bukan sesuatu yang mengherankan — dimana perokok dengan tingkat pendidikan universitas atau akademi, cenderung mengkonsumsi lebih banyak sigaret, yang harganya relatif lebih mahal, sementara perokok dengan status pendidikan rendah mengkonsumsi lebih banyak rokok bidis yang lebih murah. MEREDAM WABAH 20 GAMBAR 1.3 MEROKOK DIMULAI PADA USIA MUDA Distribusi kumulatif mulai merokok di Cina, India dan Amerika Serikat. Amerika Serikat (laki-laki & perempuan, lahir antara 1952-61) Persentase umur mulai merokok secara kumulatif 100 Cina (laki-laki, 1996) Amerika Serikat (laki-laki & perempuan, lahir 1910-14) 80 India (laki-laki, 1995) 60 40 20 0 15 20 Umur 25 Sumber : Chinese Academy of Preventive Medicine. 1997. Smoking in China: 1996. National Prevalence Survey of Smoking Pattern. Beijing. Science and Technology Press; Gupta P.C., 1996. “Survey of Sociodemograpic Characteristics of Tobacco Use Among 99,598 Individuals in Bombay, India, Using Handheld Computers.” Tobacco Control 5: 114-20 and U.S. Surgeon General Report, 1989 and 1994. Umur saat pertama kali merokok Rasanya tidak mungkin bahwa orang yang menghindari merokok pada masa remaja atau menjelang dewasa di kemudian hari akan menjadi perokok. Sampai saat ini, mayoritas perokok memulainya sebelum umur 25 tahun, seringkali bahkan sejak masa anak-anak atau masa akil balik (lihat Kotak 1.1 dan Gambar 1.3). Di negara berpendapatan tinggi delapan dari 10 perokok memulainya sejak mereka KECENDERUNGAN GLOBAL KONSUMSI TEMBAKAU 21 KOTAK 1.1 BERAPA JUMLAH ORANG MUDA YANG MULAI MENJADI PEROKOK SETIAP HARI? Individu yang mulai merokok pada umur muda besar kemungkinannya akan menjadi perokok berat, dan juga mengalami peningkatan risiko kematian dari penyakit yang berkaitan dengan merokok di masa tuanya. Karena itu sangat penting untuk diketahui berapa banyak anak-anak dan orang muda yang mengisap rokok setiap hari. Studi ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Data yang digunakan adalah (1) data Bank Dunia tentang jumlah anak-anak dan remaja, pria dan wanita, yang mencapai umur 20 tahun pada tahun 1995 untuk setiap wilayah regional Bank Dunia, dan (2) data WHO tentang kebiasaan merokok pada setiap kelompok umur sampai umur 30 tahun di setiap wilayah regional tersebut. Untuk skenario estimasi lebih tinggi, digunakan asumsi bahwa jumlah orang muda yang merokok setiap hari adalah produk dari 1*2 per wilayah regional, untuk setiap jender. Untuk estimasi lebih rendah, angka tersebut diturunkan berdasarkan estimasi khusus wilayah bersangkutan untuk jumlah perokok yang memulai merokok setelah umur 30 tahun. Kemudian dibuat tiga asumsi konservatif: pertama, bahwa selama itu ada perubahan minimal dalam rata-rata umur saat merokok pertama kali. Akhir-akhir ini ada kecenderungan menurun dalam umur merokok pertama kali pada laki-laki muda Cina. Tetapi asumsi perubahan minimal tersebut mempunyai konsekuensi bahwa, angka-angka yang terestimasi itu menjadi terlalu rendah. Kedua, estimasi difokuskan pada perokok secara teratur, jadi tidak termasuk sejumlah besar anak-anak yang ingin mencoba merokok tapi tidak menjadi perokok tetap yang teratur. Ketiga, diasumsikan bahwa orang muda yang menjadi perokok tetap jarang berhenti merokok sebelum mencapai usia dewasa. Sementara jumlah remaja perokok tetap yang berhenti merokok secara total jumlahnya besar di negara berpendapatan tinggi, di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah saat terakhir ini jumlah tersebut sangat rendah. Dengan asumsi ini, dikalkulasikan bahwa setiap hari terdapat jumlah anak-anak dan orang muda mulai menjadi perokok berkisar antara 14.000 hingga 15.000 orang di negara berpendapatan tinggi secara keseluruhan. Untuk negara-negara berpendapatan menengah dan rendah, diperkirakan jumlahnya berkisar antara 68.000 hingga 84000 orang per hari. Ini berarti bahwa setiap hari di seluruh dunia terdapat antara 82000 dan 99000 orang-orang muda yang mulai menjadi perokok dan berisiko sangat cepat mengalami kecanduan nikotin. Angka-angka ini konsisten dengan perkiraan yang ada pada setiap negara berpendapatan tinggi. 22 MEREDAM WABAH berusia belasan tahun. Di negara berpendapatan rendah dan sedang dengan data yang tersedia, kelihatan bahwa sebagian besar perokok mulai merokok pada awal umur 20-an, tetapi kecenderungannya mengarah pada umur yang lebih muda. Sebagai contoh, di Cina antara tahun 1984 dan 1996, ada peningkatan yang signifikan pada jumlah laki-laki muda yang mulai merokok pada umur antara 15 dan 19 tahun. Penurunan umur saat merokok pertama kali juga teramati di negaranegara berpendapatan tinggi. Pola global berhenti merokok Sementara bukti-bukti menunjukkan bahwa di seluruh dunia perilaku merokok sudah dimulai sejak muda, proporsi perokok yang berhenti merokok (quit smoking) menampakkan variasi yang tajam antara negara berpendapatan tinggi dan negara lainnya di dunia, setidak-tidaknya untuk saat ini. Dalam lingkungan dimana pengetahuan mengenai dampak rokok pada kesehatan terus meningkat, prevalensi merokok lambat laun menurun dan jumlah mantan perokok secara signifikan telah terakumulasi dalam beberapa dekade ini. Di sebagian besar negara berpendapatan tinggi, sekitar 30 persen penduduk laki-laki adalah mantan perokok. Sebaliknya, hanya 2 persen laki-laki di Cina yang berhenti merokok pada tahun 1993, hanya 5 persen laki-laki di India pada tahun yang sama, dan hanya 10 persen laki-laki Vietnam yang berhenti merokok pada tahun 1997. Catatan : 1. Pengelompokan ini secara rinci ditampilkan dalam Lampiran D. Secara ringkas, negaranegara ini dikelompokkan seperti berikut; (1) Asia Timur dan Pasifik, (2) Eropa Timur dan Asia Tengah (termasuk juga dalam kelompok ini hampir semua bekas negara ekonomi sosialis), (3) Timur tengah dan Afrika Utara, (4) Amerika Latin dan wilayah Karibia, (5) Asia Selatan, (6) Sub-Sahara Afrika, dan (7) negara berpendapatan tinggi, yang umumnya sama dengan negaranegara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). 2. Penelitian yang mengungkapkan pola-pola merokok wanita sangat terbatas. Bagi para wanita sudah merokok selama puluhan tahun, hubungan antara status sosial ekonomi dan perilaku merokok sama dengan yang terlihat pada laki-laki. Di bagian lain, informasi yang layak dipercaya lebih banyak lagi dibutuhkan sebelum kesimpulan dapat diambil. 23 BAB 2 Konsekuensi Kesehatan Perilaku Merokok P ENGARUH tembakau pada kesehatan telah terdokumentasi secara luas. Laporan ini tidak bermaksud mengulangi informasi tersebut secara rinci melainkan hanya untuk memberikan fakta-fakta yang ringkas saja. Bab ini dibagi dalam dua bagian yaitu: pertama, diskusi ringkas tentang kecanduan nikotin; dan kedua, deskripsi tentang beban penyakit yang dikaitkan dengan perilaku merokok. Sifat kecanduan merokok tembakau Tembakau berisi nikotin, suatu zat yang telah diakui oleh organisasi kedokteran internasional sebagai pembawa sifat kecanduan. Ketergantungan pada tembakau telah tercatat dalam Klasifikasi Penyakit Internasional (International Classification of Diseases). Nikotin memenuhi kriteria kunci penyebab kecanduan atau ketergantungan, seperti: dorongan penggunaan yang kuat, meskipun ada hasrat dan upaya berulang-ulang untuk berhenti; pengaruh-pengaruh psikoaktif akibat bekerjanya zat-zat itu pada otak; dan perilaku-perilaku yang dimotivasi oleh efek-efek “penguatan” zat psikoaktif itu. Rokok sigaret, tidak seperti tembakau kunyahan, memungkinkan nikotin mencapai otak dengan cepat hanya dalam beberapa detik setelah menghirup asap rokok, dan selanjutnya perokok dapat mengatur dosisnya kepulan demi kepulan. Kecanduan nikotin terjadi secara cepat. Pada anak remaja yang baru mulai merokok, konsentrasi kotinin dalam saliva (ludah), sebuah produk nikotin yang bersifat merusak, terus meningkat secara tajam sampai mencapai tingkat yang terdapat pada perokok tetap (Gambar 2.1). Tingkat rata-rata nikotin yang dihirup cukup untuk memberikan efek farmakologis dan memainkan perannya untuk 23 MEREDAM WABAH 24 GAMBAR 2.1 TINGKAT NIKOTIN CEPAT BERTAMBAH PADA PEROKOK MUDA Konsentrasi kotinin dalam ludah sekelompok gadis remaja di Inggris Kotinin dalam saliva (mg/ml) 250 200 perokok tahun 1985 150 bukan perokok tahun 1985, menjadi perokok tahun 1986-1987 100 50 0 1985 1986 tahun 1987 Sumber: McNeill, A.D 1989. “Nicotine Intake in Young Smokers: Longitudinal Study of Saliva Cotinine Concentrations. “American Journal of Public Health 79(2): 172-75 merangsang perilaku merokok. Namun banyak perokok muda meremehkan risiko kecanduan merokok ini. Antara separo dan tiga perempat jumlah perokok muda di Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka telah mencoba untuk berhenti sekurang-kurangnya sekali tetapi gagal. Hasil beberapa survai di negara berpendapatan tinggi menyatakan bahwa suatu proporsi substansial perokok yang semuda 16 tahun mengatakan menyesal telah mengisap rokok namun merasa tidak mampu untuk berhenti. Sesungguhnya ada kemungkinan perokok melepaskan diri [dari merokok] secara permanen sebagaimana halnya dengan zat-zat kecanduan lainnya. Namun, tanpa intervensi penghentian [dari pemerintah atau badan non-pemerintah lainnya], angka keberhasilan secara perorangan akan rendah. Hasil temuan penelitian terbaru menyimpulkan bahwa dari perokok tetap yang mencoba berhenti tanpa bantuan, 98 persen di antaranya akan mulai merokok lagi dalam setahun. Beban penyakit Pada tahun mendatang, tembakau diperkirakan akan menyebabkan kematian KONSEKUENSI KESEHATAN PERILAKU MEROKOK 25 sekitar 4 juta orang di seluruh dunia. Saat ini tembakau sudah menjadi penyebab satu dari 10 kematian orang dewasa; pada tahun 2030 perbandingannya diperkirakan akan menjadi satu di antara enam kematian, atau 10 juta kematian per tahun—lebih besar dari penyebab kematian lainnya dan lebih banyak dari angka kematian yang diproyeksikan akibat penyakit radang paru-paru, penyakit diare, TBC, dan komplikasi kelahiran yang dijumlahkan untuk tahun itu. Jika kecenderungan terakhir ini berlanjut maka sekitar 500 juta orang yang saat ini masih hidup pada akhirnya akan terbunuh oleh tembakau, separo dari mereka masih dalam usia setengah baya yang produktif, dan menyia-nyiakan 20-25 tahun dari hidup mereka. Kematian akibat merokok, yang semula hanya dialami sebagian besar lakilaki di negara berpendapatan tinggi, sekarang meluas ke kelompok perempuan di negara berpendapatan tinggi dan kelompok laki-laki di seluruh dunia (Tabel 2.1). Pada tahun 1990 dua dari tiga kematian akibat merokok terjadi di negara berpendapatan tinggi atau di bekas negara-negara sosialis di Eropa Timur dan Asia Tengah, dan pada tahun 2030, tujuh dari 10 kematian akibat merokok akan terjadi di negara perpendapatan sedang dan rendah. Dari setengah miliar kematian yang diperkirakan terjadi pada orang yang hidup saat ini, sekitar 100 juta akan terjadi pada laki-laki Cina. Jangka waktu panjang antara mulai terpapar terhadap risiko merokok dan timbulnya penyakit Meskipun begitu, korban kematian dan kecacatan akibat merokok di luar negara-negara berpendapatan tinggi masih belum banyak dirasakan. Hal ini terjadi karena penyakit yang disebabkan karena merokok membutuhkan jangka waktu puluhan tahun untuk berkembang. Bahkan ketika merokok menjadi suatu kebiasaan yang lumrah di suatu masyarakat, dampak negatifnya terhadap kesehatan mungkin masih belum kelihatan. Hal ini sangat jelas ditunjukkan oleh kecenderungan penyakit kanker paru-paru di Amerika Serikat. Meskipun di Amerika Serikat terjadi pertumbuhan pesat pada konsumsi rokok antara tahun 1915 dan 1950, angka prevalensi penyakit kanker paru-paru baru mulai menunjukkan peningkatan yang tajam sekitar tahun 1945. Angka prevalensi menurut umur yang distandardisasi dari penyakit menjadi tiga kali lipat antara tahun 1930-an dan 1950-an, tetapi setelah tahun 1955 angkanya meningkat lebih besar lagi: pada tahun 1980-an menjadi 11 kali lebih tinggi dari angka tahun 1940. Di Cina saat ini, dimana seperempat dari jumlah seluruh perokok di dunia tinggal, konsumsi rokoknya sama tingginya dengan konsumsi rokok di Amerika Serikat pada tahun 1950, yaitu ketika tingkat konsumsi rokok per kapita mencapai puncaknya. Pada tingkat wabah di Amerika Serikat itu, rokok menjadi penyebab atas 12 persen dari semua kematian secara nasional pada penduduk usia setengah baya. Empat puluh tahun kemudian, ketika konsumsi rokok di Amerika Serikat MEREDAM WABAH 26 TABEL 2.1 KEMATIAN AKIBAT TEMBAKAU SAAT INI DAN PERKIRAAN DI MASA DEPAN (dalam juta per tahun) Negara: Negara Maju Negara Berkembang Jumlah kematian akibat tembakau tahun 2000 Proyeksi kematian akibat tembakau, 2030 2 2 3 7 Sumber: World Health Organization. 1999. Making a Difference. World Health Report. Geneva, Switzerland telah menurun, tembakau bertanggungjawab atas sekitar sepertiga dari kematian orang-orang usia setengah baya dari bangsa itu. Saat ini, dengan terdengarnya gaung keras atas pengalaman Amerika Serikat tersebut, tembakau diperkirakan sebagai penyebab sekitar 12 persen kematian laki-laki usia setengah baya di Cina. Para peneliti memperkirakan bahwa dalam beberapa dekade mendatang, proporsinya akan meningkat menjadi sekitar satu dalam tiga kematian, sebagaimana terjadi di Amerika Serikat. Sebaliknya, merokok di antara para wanita muda Cina belum menunjukkan peningkatan yang menyolok dalam dua dekade terakhir dan para perokok wanita kebanyakan di antaranya berumur lebih tua. Jadi, dengan pola merokok akhir-akhir ini, kematian akibat merokok pada wanita di Cina mungkin turun secara nyata dari tingkat sekitar 2 persen dari total kematian menjadi kurang dari 1 persen. Bahkan di negara-negara berpendapatan tinggi yang penduduknya sudah terjangkit kebiasaan merokok selama beberapa dekade, gambaran yang jelas mengenai penyakit yang dikaitkan dengan perilaku merokok baru muncul minimal 40 tahun kemudian. Para peneliti menghitung kelebihan risiko (excess risk) kematian perokok melalui studi prospektif yang membandingkan risiko kesehatan yang dialami perokok dan bukan perokok. Setelah mengikuti selama 20 tahun, pada awal tahun 1970-an, peneliti percaya bahwa perokok menghadapi satu di antara empat risiko kematian akibat tembakau, tetapi sekarang, dengan adanya lebih banyak data, mereka percaya bahwa risikonya adalah satu di antara dua kematian. Bagaimana merokok menyebabkan kematian Di negara berpendapatan tinggi, studi prospektif jangka panjang seperti studi Second Cancer Prevention yang dilakukan oleh Masyarakat Peduli Kanker Amerika (Cancer Society), yang mengikuti kehidupan lebih dari satu juta orang dewasa di Amerika Serikat, telah dapat memberikan bukti yang dapat dipercaya KONSEKUENSI KESEHATAN PERILAKU MEROKOK 27 bagaimana merokok menyebabkan kematian. Perokok di Amerika Serikat menghadapi 20 kali lebih besar kemungkinan mati akibat kanker paru-paru pada umur setengah baya dibandingkan mereka yang bukan perokok, dan tiga kali lebih besar kemungkinan mati pada umur tersebut karena penyakit pembuluh darah, termasuk serangan jantung, stroke, dan penyakit urat nadi dan pembuluh darah lainnya. Karena penyakit jantung ischemic sudah umum di negara-negara berpendapatan tinggi, kelebihan risiko dari perokok dicerminkan ke dalam jumlah kematian yang tinggi, sehingga penyakit serangan jantung menjadi penyebab utama kematian yang dikaitkan dengan rokok yang terjadi pada negara-negara tersebut. Merokok juga menjadi penyebab utama radang tenggorokan kronis dan emfisema. Hal ini kemudian dihubungkan dengan penyakit kanker pada beberapa organ lain, termasuk kandung kemih, ginjal, saluran pernapasan, mulut, pankreas, dan perut. Risiko terkena kanker paru-paru pada seorang perokok lebih banyak disebabkan oleh lamanya menjadi perokok daripada banyaknya batang rokok yang dikonsumsi setiap hari. Dengan kata lain, tiga kali peningkatan waktu lamanya menjadi perokok berarti sama dengan 100 kali risiko terkena kanker paru-paru, sementara peningkatan tiga kali jumlah rokok yang dikonsumsi setiap harinya menyebabkan hanya tiga kali risiko terkena kanker paru-paru. Jadi, mereka yang memulai merokok pada umur belasan tahun dan terus melakukannya akan menghadapi risiko paling besar terkena penyakit kanker paru-paru. Untuk beberapa tahun, pabrik rokok telah memasarkan merek rokok tertentu yang disebutnya mempunyai “tar rendah” atau “nikotin rendah”, suatu modifikasi yang oleh banyak perokok dipercaya dapat membuat rokok menjadi lebih aman. Namun, perbedaan risiko kematian dini untuk perokok yang mengkonsumsi jenis tar-rendah atau nikotin-rendah yang dibandingkan dengan perokok sigaret biasa jauh lebih rendah daripada perbedaan risiko antara bukan perokok dengan perokok. Wabah berbeda menurut tempat dan juga waktu Oleh karena banyak studi jangka panjang telah dilakukan di negara-negara berpendapatan tinggi, maka tidak banyak ditemukan data mengenai pengaruh tembakau pada kesehatan di tempat lain. Namun demikian, beberapa studi besar yang baru-baru ini dilakukan di Cina, dan studi yang sedang dilakukan di India, mengindikasikan bahwa walaupun semua risiko bagi orang yang terus-menerus merokok hampir sebesar di negara-negara berpendapatan tinggi seperti Amerika Serikat dan Inggris, namun pola penyakit yang dihubungkan dengan merokok di negara-negara ini secara substansial berbeda. Data dari Cina menunjukkan proporsi kematian akibat penyakit jantung ischemic dari seluruh jumlah kematian akibat rokok, ternyata lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di negaranegara di Barat, sementara di Cina penyakit pernapasan dan kanker tercatat sebagai penyebab kematian terbesar. Yang sangat menarik adalah adanya anak muda yang jumlahnya cukup signifikan terkena penyakit TBC. Perbedaan lain muncul pada MEREDAM WABAH 28 penduduk-penduduk lainnya; misalnya, di Asia Selatan, polanya mungkin dipengaruhi oleh tingginya prevalensi penyakit yang berkaitan dengan pembuluh darah jantung (cardiovascular). Hasil-hasil ini menekankan pentingnya memonitor wabah di semua wilayah. Namun demikian, meskipun ada pola yang berbeda mengenai penyakit yang berkaitan dengan perilaku merokok di berbagai masyarakat yang berbeda, tampaknya secara keseluruhan proporsi orang yang pada akhirnya mati karena terus-menerus merokok sigaret, adalah rata-rata sekitar satu dari dua kematian di banyak penduduk dunia. Merokok dan kerugian kesehatan bagi orang miskin Apabila konsumsi tembakau dikaitkan dengan kemiskinan dan status sosial ekonomi rendah, demikian juga halnya dengan dampaknya yang merusak terhadap kesehatan. Analisis untuk laporan ini menunjukkan dampak merokok pada kelangsungan hidup laki-laki dari kelompok sosial ekonomi yang berbeda (diukur berdasarkan pendapatan, kelas sosial, atau tingkat pendidikan) di empat negara dimana wabah merokok sudah lama berlangsung yaitu Kanada, Polandia, Inggris, dan Amerika Serikat. GAMBAR 2.2 PENDIDIKAN DAN RISIKO KEMATIAN AKIBAT MEROKOK Kematian laki-laki usia setengah baya dengan tingkat pendidikan berbeda, Polandia, 1996. Risiko kematian (%) 60% 50% 40% 28% 30% 20% 10% 0% 4% 22% 21% Dihubungkan dengan merokok tapi bagaimanapun mungkin telah meninggal pada umur 35-69 1% 19% 1% Penyebab lain Dihubungkan dengan merokok 9% 5% Pendidikan tinggi Pendidikan menengah Pendidikan dasar Tingkat Pendidikan Catatan: angka dibulatkan Sumber: Bobak, Martin, P. Jha, M. Jarvis, dan S. Nguyen. Poverty and Tobacco. Makalah pendukung. KONSEKUENSI KESEHATAN PERILAKU MEROKOK 29 Di Polandia pada tahun 1996, 26 persen laki-laki berpendidikan universitas berisiko mati pada umur setengah baya. Untuk laki-laki yang hanya berpendidikan tingkat dasar, risiko kematiannya 52 persen, dua kali lipat lebih besar. Dengan menganalisis proporsi kematian akibat merokok pada setiap kelompok, para peneliti memperkirakan bahwa tembakau menjadi penyebab sekitar dua per tiga kelebihan risiko merokok (excess risk) pada kelompok yang hanya berpendidikan tingkat dasar. Dengan kata lain, jika merokok dihapuskan, kesenjangan kelangsungan hidup antara dua kelompok akan berkurang secara sangat tajam. Risiko kematian pada umur setengah baya akan turun sampai 28 persen pada lelaki dengan hanya berpendidikan tingkat dasar dan 20 persen pada mereka dengan pendidikan universitas (gambar 2.2). Hasil yang sama juga ditemukan di negara-negara lain dalam studi ini, yang mengindikasikan bahwa tembakau menjadi penyebab lebih dari separo perbedaan angka kematian laki-laki dewasa antara mereka yang status sosial ekonomi tertinggi dan terendah di negara-negara tersebut. Rokok juga besar kontribusinya dalam memperlebar kesenjangan kelangsungan hidup selama ini antara laki-laki kaya dan laki-laki miskin di negaranegara tersebut (Gambar 2.3). Risiko didapat dari asap rokok orang lain Perokok tidak hanya mempengaruhi kesehatan perokok sendiri tetapi juga pada kesehatan orang lain yang ada disekitarnya. Wanita yang merokok selama hamil kemungkinan besar akan kehilangan janinnya karena keguguran spontan. Bayi dari ibu perokok di negara berpendapatan tinggi secara signifikan mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk lahir dengan berat badan rendah (BBLR) dibandingkan bayi yang lahir dari ibu bukan perokok, dan kecenderungannya mencapai 35 persen lebih tinggi untuk meninggal waktu masih bayi. Bayi-bayi itu juga menghadapi risiko tinggi terjangkit penyakit pernapasan. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa carcinogen, yang hanya terdapat dalam asap rokok, ditemukan dalam air seni bayi yang baru lahir dari ibu perokok. Merokok sigaret adalah penyebab banyak kerugian pada kesehatan bayi yang lahir dari wanita miskin. Di antara wanita kulit putih di Amerika Serikat, merokok ditemukan sebagai satu-satunya penyebab dari 63 persen perbedaan berat badan antara bayi-bayi yang lahir dari wanita berpendidikan universitas dengan bayibayi yang lahir dari wanita berpendidikan menengah atau yang lebih rendah. Orang dewasa yang secara terus-menerus terkena asap tembakau orang lain mempunyai risiko kecil tapi secara nyata mempunyai risiko terkena kanker paruparu dan berisiko lebih tinggi terkena penyakit jantung (cardiovascular), sementara anak-anak dari orang-orang perokok akan menderita sederetan masalah kesehatan dan keterbatasan fungsi-fungsi organ (functional limitation). Orang yang bukan perokok, termasuk anak-anak perokok dan pasangan perokok, terkena asap rokok terutama dalam rumah mereka sendiri. Juga sejumlah besar orang bukan perokok yang bekerja dengan perokok, atau dalam lingkungan MEREDAM WABAH 30 GAMBAR 2.3 MEROKOK DAN MELEBARNYA KESENJANGAN KESEHATAN ANTARA YANG KAYA DAN YANG MISKIN Merokok dan perbedaan risiko kematian laki-laki pada umur setengah baya antara yang berstatus sosial ekonomi (SSE) tertinggi dan terendah di Inggris Perbedaan risiko kematian pada laki-laki umur setengah baya antara SSE rendah dan lebih tinggi 25 20 Dihubungkan dengan merokok Penyebab lain 15 10 5 0 1970-72 1980-82 Tahun 1990-92 Catatan: Di Inggris, status sosial ekonomi dikategorikan dalam lima kelompok dari I (tertinggi) sampai V (terendah). Gambar ini memperlihatkan perbedaan risiko kematian di antara lakilaki umur setengah baya di kelompok I dan II terhadap kelompok V selama waktu itu. Sumber: Bobak, Martin, P. Jha, M. Jarvis, dan S. Nguyen, Proverty and Tobacco. Makalah pendukung. penuh asap rokok, akan terkena asap rokok sepanjang waktu secara signifikan. Berhenti itu berguna Makin muda umur seorang mulai merokok, makin besar risiko mendapat penyakit yang menyebabkan kecacatan. Di negara-negara berpendapatan tinggi berdasarkan data jangka waktu panjang, para peneliti telah menyimpulkan bahwa perokok yang mulai merokok pada umur muda dan melakukannya terus-menerus secara teratur mempunyai kemungkinan lebih besar terkena kanker paru-paru dibandingkan perokok yang berhenti ketika masih muda. Di Inggris, dokter pria yang berhenti merokok sebelum berumur 35 tahun dapat bertahan hidup sebagaimana mereka yang tidak pernah merokok. Mereka yang berhenti merokok antara umur 35 dan 44 tahun juga mendapatkan manfaat yang lumayan besar, dan juga ada manfaatnya bagi yang berhenti pada umur yang lebih tua. KONSEKUENSI KESEHATAN PERILAKU MEROKOK 31 Kesimpulannya, wabah penyakit yang dikaitkan dengan merokok berkembang luas dari fokus aslinya pada pria di negara-negara berpendapatan tinggi, kemudian beralih berakibat pada wanita di negara-negara berpendapatan tinggi dan laki-laki di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Perilaku merokok makin banyak dikaitkan dengan ketimpangan sosial, sebagaimana diukur dengan tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan. Banyak perokok pemula menganggap remeh risiko menjadi ketergantungan nikotin; menjelang awal masa dewasa, mereka banyak yang menyesal karena telah memulai merokok dan merasa tidak mungkin untuk berhenti. Separo dari perokok jangka panjang pada akhirnya akan terbunuh oleh tembakau, dan separo dari mereka akan meninggal pada umur-umur setengah baya. 32 MEREDAM WABAH 33 KONSEKUENSI KESEHATAN PERILAKU MEROKOK 29 Kesimpulannya, wabah penyakit yang dikaitkan dengan merokok berkembang luas dari fokus aslinya pada pria di negara-negara berpendapatan tinggi, kemudian beralih berakibat pada wanita di negara-negara berpendapatan tinggi dan laki-laki di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Perilaku merokok makin banyak dikaitkan dengan ketimpangan sosial, sebagaimana diukur dengan tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan. Banyak perokok pemula menganggap remeh risiko menjadi ketergantungan nikotin; menjelang awal masa dewasa, mereka banyak yang menyesal karena telah memulai merokok dan merasa tidak mungkin untuk berhenti. Separo dari perokok jangka panjang pada akhirnya akan terbunuh oleh tembakau, dan separo dari mereka akan meninggal pada umur-umur setengah baya. 30 MEREDAM WABAH 31 BAB 3 Apakah Perokok Tahu Risiko-Risikonya dan Menanggung Biayanya ? D ALAM bab ini, akan diteliti mengenai insentif yang membuat orang (gemar) merokok. Juga akan diperhatikan apakah merokok sama seperti pilihan konsumsi untuk barang-barang lainnya, dan apakah ini menghasilkan alokasi sumber daya masyarakat yang efisien. Kemudian juga dibahas implikasinya bagi pemerintah. Teori ekonomi modern mengatakan bahwa konsumen individual adalah orang yang paling tepat untuk mempertimbangkan bagaimana membelanjakan uangnya untuk barang-barang seperti beras, pakaian, atau menonton bioskop. Prinsip-prinsip kedaulatan konsumen ini didasarkan pada asumsi tertentu: pertama, bahwa setiap konsumen membuat pilihan secara rasional dan berdasarkan berbagai informasi setelah mempertimbangkan biaya dan manfaat dari pembelianpembelian itu. Kedua, bahwa konsumen sendiri menanggung semua biaya dari pilihan tersebut. Jika semua konsumen melaksanakan kedaulatannya dengan cara seperti ini — mengetahui risiko dan beban biaya atas pilihan-pilihannya itu— maka sumber daya dari suatu masyarakat, secara teoretis, akan teralokasikan dengan sangat efisien. Perokok sudah pasti merasakan manfaat dari merokok; kalau tidak mereka tidak akan mau mengeluarkan uang untuk melakukannya. Manfaat yang dirasakan termasuk merasakan kesenangan dan kepuasan, meningkatkan citra diri, dapat mengendalikan stres, dan bagi perokok yang sudah kecanduan, akan menghindar untuk menghentikan kecanduan nikotin. Biaya-biaya pribadi yang dikeluarkan atau ditanggung akan dibandingkan dengan manfaatnya, termasuk uang yang digunakan untuk membeli produk tembakau, kerusakan kesehatan, dan kecanduan 31 32 MEREDAM WABAH nikotin. Dengan cara pemikiran seperti ini, manfaat yang dirasakan perokok menjadi lebih besar daripada beban pengeluaran yang diperkirakan. Akan tetapi ada tiga hal yang membedakan pilihan untuk membeli produk tembakau dibandingkan dengan pilihan untuk membeli barang-barang lainnya yaitu: ■ Pertama, terdapat bukti bahwa banyak perokok yang sama sekali tidak sadar akan kemungkinan sangat besar terkena penyakit dan kematian dini akibat memilih untuk merokok. Ini merupakan biaya pribadi (private cost) akibat merokok yang paling besar. ■ Kedua, terdapat bukti bahwa anak-anak dan remaja mungkin tidak mempunyai kemampuan untuk secara tepat memahami berbagai informasi yang mereka miliki mengenai akibat merokok bagi kesehatan. Hal yang sama pentingnya, adalah terdapatnya bukti-bukti bahwa perokok pemula menganggap enteng biaya yang akan mereka tanggung di masa depan (future cost) sebagai akibat kecanduan nikotin. Biaya yang diperlukan di masa depan mungkin dianggap sebagai biaya bagi para perokok dewasa sebagai akibat dari ketidak-mampuan mengubah keputusan merokok pada usia muda bahkan meskipun ada keinginan untuk itu, karena sudah telanjur kecanduan. ■ Ketiga, terdapat bukti bahwa perokok membebankan biaya pada orang lain, baik langsung maupun tidak langsung. Para ahli ekonomi biasanya mengasumsikan bahwa orang-orang akan mempertimbangkan secara tepat biaya dan manfaat dari pilihan mereka hanya jika mereka sendiri memikul biayanya dan menikmati manfaatnya. Jika biaya ditanggung oleh orang lain, perokok akan merokok lebih banyak lagi sebagaimana yang mereka inginkan jika dibandingkan dengan bila mereka sendiri yang harus menanggung semua biayanya. Berikut ini disajikan bukti-bukti dari masing-masing asumsi tersebut di atas. Kesadaran akan risiko-risiko merokok Pengetahuan masyarakat mengenai risiko merokok bagi kesehatan tampaknya hanya sebagian saja, terutama di negara-negara berpendapatan menengah dan rendah karena informasi mengenai bahaya ini sangat terbatas. Di Cina, sebagai contoh, 61% perokok yang disurvai pada tahun 1996 percaya bahwa rokok “tidak atau sedikit sekali merugikan mereka.” Tidak diragukan lagi bahwa selama empat dekade terakhir, di negara-negara berpendapatan tinggi, kesadaran umum mengenai dampak merokok bagi kesehatan telah meningkat. Akan tetapi banyak terjadi kontroversi mengenai seberapa akurat perokok di negara-negara berpendapatan tinggi melihat risiko akan terkena penyakit. Berbagai penelitian yang diadakan dalam dua dekade terakhir ini menghasilkan bermacam-macam kesimpulan tentang keakuratan persepsi seseorang mengenai risiko akibat merokok. Beberapa peneliti APAKAH PEROKOK TAHU RISIKO-RISIKONYA DAN MENANGGUNG BIAYANYA 33 menemukan bahwa sebagian masyarakat melebih-melebihkan risiko ini, sebagian yang lain menemukan bahwa masyarakat menganggap risiko itu tidak begitu besar, dan sisanya lagi menemukan bahwa persepsi masyarakat mengenai risiko merokok cukup memadai. Akan tetapi metodologi yang diterapkan pada penelitian-penelitian ini telah dikritik dengan berbagai alasan. Sebuah tinjauan literatur penelitian akhir-akhir ini menyimpulkan bahwa perokok di negara-negara berpendapatan tinggi umumnya sadar akan meningkatnya risiko mereka akibat merokok, tetapi mereka menilai risikonya lebih kecil dan lebih kurang pasti dibandingkan dengan penilaian orang bukan perokok. Lebih jauh diketahui, bahkan orang-orang yang mempunyai pandangan cukup akurat mengenai risiko kesehatan yang dihadapi perokok (sebagai sebuah kelompok), mengecilkan relevansi informasi ini terhadap diri sendiri, dan percaya bahwa risiko bagi perokok lain lebih besar daripada risiko bagi dirinya sendiri Akhirnya, terdapat bukti dari berbagai negara bahwa sebagian perokok tampaknya mempunyai persepsi kacau mengenai risiko kesehatan akibat merokok dibandingkan dengan risiko kesehatan lainnya. Sebagai contoh, di Polandia pada tahun 1995 para peneliti bertanya kepada responden dewasa untuk mengurutkan “faktor-faktor apa yang paling berpengaruh terhadap kesehatan manusia”. Faktor yang banyak dipilih adalah “lingkungan”, diikuti oleh “pola makan”, dan “ stres atau gaya hidup yang keliwat sibuk”. Merokok menempati urutan keempat dan dinyatakan oleh hanya 27% responden dewasa. Pada kenyataannya, merokok merupakan lebih dari sepertiga risiko kematian dini pada laki-laki berusia setengah baya di Polandia, jauh lebih besar dari faktor risiko lainnya. Remaja, kecanduan, dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang sehat. Seperti diuraikan dalam Bab 1, sebagian besar perokok mulai merokok pada usia muda dalam kehidupan mereka, dan anak-anak maupun para remaja mungkin kurang memahami dampak rokok bagi kesehatan dibandingkan dengan orang dewasa. Survai yang dilakukan baru-baru ini terhadap remaja umur 15 dan 16 tahun di Moskow menemukan bahwa lebih dari separo remaja tidak mengetahui penyakit yang berhubungan dengan merokok atau hanya mampu menyebutkan satu penyakit saja yaitu kanker paru-paru. Bahkan di Amerika, di mana remaja diharapkan memiliki lebih banyak informasi, hampir separo dari remaja umur 13 tahun mengira bahwa menghabiskan satu bungkus rokok sehari tidak akan menyebabkan gangguan kesehatan. Minimnya pengetahuan remaja mengenai akibat merokok bagi kesehatan, menghadapkan mereka pada hambatan lebih besar lagi daripada orang dewasa dalam membuat pilihan berdasarkan informasi (informed choices). Sama pentingnya adalah bahwa remaja menganggap enteng risiko menjadi kecanduan nikotin dan karena itu nyata sekali mereka meremehkan biaya yang akan timbul di masa depan akibat merokok. Di antara siswa sekolah menengah 34 MEREDAM WABAH atas kelas terakhir di Amerika yang merokok dan percaya bahwa mereka akan mampu berhenti merokok dalam lima tahun, ternyata kurang dari 2 di antara 5 siswa tersebut yang benar-benar berhenti merokok. Sisanya masih tetap merokok dalam lima tahun berikutnya. Di negara-negara yang berpendapatan tinggi sekitar 7 dari 10 perokok dewasa menyatakan penyesalannya telah memilih menjadi perokok. Dengan menggunakan model ekonometri dan berdasarkan data dari AS para peneliti menganalisis hubungan antara merokok sekarang dan merokok di masa lalu. Mereka memperkirakan bahwa sedikitnya 60% dari kecanduan nikotin disebabkan karena mengkonsumsi rokok sigaret [dalam satu tahun] dan mungkin bisa mencapai sampai 95 % besarnya. Bahkan para remaja yang telah diberi tahu mengenai risiko akibat merokok mungkin mempunyai kemampuan terbatas untuk menggunakan informasi tersebut secara bijaksana. Bagi sebagian remaja mungkin sangat sulit membayangkan diri mereka pada umur 25 tahun, apalagi umur 55 tahun, sehingga peringatan tentang kerusakan yang disebabkan oleh perilaku merokok terhadap kesehatan mereka di masa depan yang masih jauh, kemungkinan besar tidak akan mengurangi keinginan mereka untuk merokok. Kemungkinan bahwa remaja akan membuat keputusan yang tidak bijaksana diakui oleh sebagian besar masyarakat dan bukan hanya menyangkut pilihan tentang keinginan merokok. Sebagian besar masyarakat membatasi remaja dalam membuat keputusan tertentu, walaupun hal ini berbeda dari satu budaya ke budaya lainnya. Sebagai contoh, sebagian besar masyarakat demokratis tidak mengijinkan remaja ikut pemilu sampai batas umur tertentu; beberapa masyarakat melaksanakan wajib belajar hingga usia tertentu, dan beberapa masyarakat lainnya melarang perkawinan sebelum mencapai usia dewasa. Inti kesepakatan masyarakat-masyarakat tersebut adalah bahwa beberapa keputusan sebaiknya ditunda hingga anak-anak remaja mencapai usia dewasa. Demikian juga, masyarakat mungkin perlu mempertimbangkan bahwa kebebasan remaja untuk memilih menjadi kecanduan [merokok] seharusnya dibatasi. Mungkin dapat diperdebatkan bagaimana remaja umumnya tertarik pada banyak kegiatan yang mengandung risiko seperti kebut-kebutan dengan kendaraan bermotor atau pesta minum minuman keras, dan karenanya tidak ada yang istimewa tentang merokok. Akan tetapi, sesungguhnya terdapat beberapa perbedaan. Pertama, di sebagian besar negara di dunia, peraturan tentang merokok relatif kurang dibandingkan dengan peraturan tentang perilaku berisiko lainnya. Pengemudi biasanya didenda jika mengendarai kendaraan melebihi batas kecepatan yang diijinkan dengan denda cukup berat atau malah bisa kehilangan ijin mengemudi, dan ada hukuman untuk perilaku membahayakan yang berkaitan dengan minuman keras, seperti mengemudi dalam keadaan mabuk. Kedua, merokok lebih berbahaya daripada kegiatan-kegiatan berisiko lainnya sepanjang hidup. Ekstrapolasi yang didasarkan pada data dari negara-negara yang berpendapatan tinggi menunjukkan dari 1.000 remaja laki-laki umur 15 tahun yang saat ini tinggal di negara-negara yang berpendapatan rendah dan sedang, 125 di antaranya akan meninggal oleh rokok pada usia setengah baya jika mereka APAKAH PEROKOK TAHU RISIKO-RISIKONYA DAN MENANGGUNG BIAYANYA 35 terus merokok secara teratur, dengan tambahan ada 125 lagi meninggal pada umur tua. Sebagai perbandingan, sekitar 10 orang akan meninggal di usia setengah baya karena kecelakaan di jalan, sekitar 10 orang akan meninggal pada usia yang sama karena kekerasan, dan 30 orang akan meninggal karena hal-hal yang berkaitan dengan minuman alkohol termasuk kecelakaan lalu lintas dan kematian dengan kekerasan. Ketiga, hanya sedikit perilaku berisiko lainnya membawa risiko kecanduan yang tinggi seperti halnya perilaku merokok, oleh karena itu kebanyakan perilaku berisiko itu lebih mudah menghentikannya dan memang kemudian ditinggalkan, karena kematangan berpikir. Biaya yang dibebankan kepada orang lain Perokok membebankan biaya fisik pada orang lain dan juga mungkin biaya finansial (financial cost). Secara teori, para perokok akan lebih sedikit mengkonsumsi rokok jika mereka memperhitungkan biaya-biaya tersebut. Secara sosial tingkat konsumsi optimal akan tercapai apabila semua biaya ditanggung oleh konsumen dan ini berarti sumberdaya terdistribusikan secara merata dalam masyarakat. Apabila ada sebagian biaya yang ditanggung oleh bukan perokok, maka konsumsi rokok mungkin lebih tinggi daripada tingkat optimal konsumsi masyarakat. Berikut ini akan dibahas berbagai jenis biaya yang dibebankan kepada orang lain. Pertama, perokok membebankan secara langsung biaya kesehatan kepada orang lain yang bukan perokok. Dampak bagi kesehatan, seperti dijelaskan dalam Bab 2, termasuk bayi lahir dengan berat badan rendah dan meningkatnya risiko berbagai macam penyakit pada bayi yang ibunya merokok, dan penyakit pada anak-anak dan orang dewasa yang terus-menerus terkena asap rokok orang lain. Biaya langsung lainnya termasuk iritasi dan kejengkelan atas asap rokok dan biaya untuk membersihkan pakaian dan mebel. Meskipun bukti-bukti yang ada berserakan, mungkin ada juga biaya yang harus ditanggung karena adanya kebakaran, degradasi lingkungan, dan pembabatan hutan (deforestation) sebagai akibat penanaman dan pengolahan tembakau, dan sebagai konsekuensi merokok. Dari data-data yang ada, biaya finansial yang dibebankan perokok kepada orang lain sulit diidentifikasi dan dihitung. Laporan ini tidak berusaha untuk memberikan estimasi besarnya biaya-biaya ini, tapi hanya mengidentifikasikan beberapa kemungkinan di mana biaya-biaya tersebut dapat muncul. Pertama akan dibahas biaya perawatan kesehatan untuk para perokok, kemudian masalahmasalah yang berkaitan dengan pensiun. Di negara-negara berpendapatan tinggi, biaya perawatan kesehatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan merokok diestimasikan besarnya antara 6% dan 15% dari biaya perawatan kesehatan secara keseluruhan. Di negara-negara berpendapatan menengah dan rendah saat ini, biaya perawatan kesehatan tahunan yang berkaitan dengan tembakau lebih rendah daripada angka di atas, sebagian karena wabah yang berkaitan dengan penyakit akibat tembakau masih pada tahap 36 MEREDAM WABAH awal, dan sebagian lagi karena faktor lain seperti jenis penyakit akibat konsumsi tembakau yang sudah mewabah serta perawatan khusus yang mereka perlukan. Akan tetapi, negara-negara ini melihat kemungkinan meningkatnya biaya perawatan kesehatan di masa depan akan meningkat. Proyeksi yang dilakukan untuk laporan ini, dengan menggunakan data dari Cina dan India, menunjukkan bahwa biaya perawatan kesehatan setiap tahun untuk penyakit yang berkaitan dengan rokok akan meningkat dan menyerap persentase lebih besar dari Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan dengan saat ini. Bagi para pembuat kebijakan, sangat penting untuk mengetahui biaya perawatan kesehatan tahunan ini dan bagian-bagian yang ditanggung oleh masyarakat, karena biaya ini merupakan sumber daya nyata yang tidak dapat dipergunakan untuk barang dan jasa lain. Sebaliknya, bagi konsumen perorangan masalah utama adalah pada seberapa besar biaya akan ditanggung oleh mereka sendiri atau oleh orang lain. Sekali lagi, jika beberapa bagian dari biaya itu akan ditanggung oleh mereka yang bukan perokok, konsumen akan mendapat insentif untuk merokok lebih banyak dibandingkan jika mereka harus menanggung sendiri semua biayanya. Akan tetapi, sebagai mana ditunjukkan dalam pembahasan berikut ini, perhitungan mengenai biaya-biaya ini sangat rumit, oleh karena itu belum bisa disimpulkan apa-apa mengenai bagaimana biaya-biaya tersebut mempengaruhi para perokok untuk menentukan pilihan konsumsinya. Untuk sesuatu tahun tertentu secara rata-rata, biaya perawatan kesehatan untuk seorang perokok mungkin lebih besar daripada biaya untuk bukan perokok pada umur dan jenis kelamin yang sama. Akan tetapi, karena perokok cenderung meninggal lebih dulu daripada bukan perokok, total biaya perawatan kesehatan seumur hidup bagi perokok dan bukan perokok di negara-negara yang berpendapatan tinggi mungkin hampir sama. Tetapi penelitian yang mengukur biaya perawatan kesehatan seumur hidup bagi perokok dan bukan perokok di negara-negara berpendapatan tinggi menghasilkan kesimpulan yang saling bertentangan. Sebagai contoh, di Belanda dan Swiss, misalnya, perokok dan bukan perokok ditemukan memiliki biaya yang sama, sementara di Inggris dan di Amerika penelitian menyimpulkan bahwa biaya perawatan kesehatan seumur hidup bagi perokok lebih tinggi. Tinjauan terakhir yang menghitung perkembangan penyakit yang disebabkan oleh tembakau dan faktor-faktor lainnya menyimpulkan bahwa, secara umum, biaya perawatan kesehatan seumur hidup bagi perokok di negara-negara berpendapatan tinggi agak lebih besar daripada bagi bukan perokok, walaupun perokok meninggal lebih awal. Sejauh ini belum ada penelitian yang cukup dapat dipercaya (reliable) mengenai biaya perawatan kesehatan seumur hidup di negara-negara berpendapatan sedang dan menengah. Jadi jelaslah bahwa, untuk semua wilayah di seluruh dunia, perokok yang menanggung seluruh biaya pelayanan medis tidak akan membebankan biayabiaya itu kepada orang lain, betapapun lebih besarnya biaya itu dibandingkan dengan biaya bagi orang-orang bukan perokok. Akan tetapi banyak perawatan kesehatan, terutama yang berkaitan dengan perawatan di rumah sakit, dibiayai APAKAH PEROKOK TAHU RISIKO-RISIKONYA DAN MENANGGUNG BIAYANYA 37 dengan anggaran pemerintah atau melalui asuransi pribadi. Sejauh kontribusikontribusi kepada salah satu dari dua mekanisme pembiayaan ini —dalam bentuk pajak atau premi asuransi–secara diferensial tidak lebih tinggi bagi perokok, maka biaya kesehatan masyarakat yang lebih tinggi yang diberikan kepada perokok paling tidak akan ditanggung sebagian oleh bukan perokok. Sebagai contoh, di negara-negara berpendapatan tinggi, pengeluaran pemerintah untuk kesehatan mencapai 65% dari seluruh pengeluaran kesehatan, atau kira-kira 6% dari PDB. Jadi, jika biaya bersih (net) perokok untuk perawatan seumur hidup lebih tinggi, maka orang-orang yang bukan perokok akan mensubsidi biaya perawatan kesehatan perokok. Besarnya kontribusi yang tepat adalah kompleks dan bervariasi, tergantung pada jenis cakupannya dan sumber pajak yang digunakan untuk membayar pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh, jika biaya perawatan kesehatan yang dibiayai pemerintah hanya untuk mereka yang berumur 65 tahun ke atas, maka penggunaan pendapatan masyarakat oleh para perokok secara neto mungkin kecil pada tingkat di mana banyak orang memerlukan perawatan kesehatan yang berkaitan dengan rokok dan meninggal sebelum usia tersebut. Demikian pula sama halnya jika pengeluaran masyarakat dibiayai dari pajak konsumsi, termasuk pajak rokok, maka berarti perokok tidak membebankan biaya pada orang lain. Sekali lagi, keadaannya berbeda pada negara-negara berpendapatan rendah dan sedang, di mana komponen pemerintah dari total pengeluaran perawatan kesehatan adalah rata-rata lebih rendah daripada negara-negara berpendapatan tinggi di mana persentasenya mencapai 44% dari total pengeluaran atau 2% dari PDB. Akan tetapi, semakin tinggi pengeluaran pemerintah untuk kesehatan, maka bagian pengeluaran total yang dibiayai dengan keuangan negara juga cenderung meningkat. Sementara penilaian biaya-biaya relatif perawatan kesehatan perokok dan bukan perokok masih merupakan isu yang kompleks, permasalahan tentang pensiun ternyata juga menimbulkan perdebatan. Beberapa peneliti berpendapat bahwa sumbangan para perokok di negara-negara berpendapatan tinggi kepada program pensiun masyarakat adalah lebih besar daripada bukan perokok, karena mereka membayar dana pensiun hingga mencapai sekitar umur pensiun tetapi meninggal sebelum mereka dapat meng-klaim sejumlah manfaat penting yang seharusnya diterima1 . Akan tetapi, seperempat dari perokok terbunuh oleh tembakau di usia setengah baya, dan karena itu meninggal sebelum mereka membayar iuran pensiun secara penuh. Pada saat ini, tidak diketahui apakah, secara keseluruhan, para perokok di negara-negara berpendapatan tinggi menyumbang lebih kecil atau lebih besar pada program pensiun masyarakat dibandingkan dengan yang bukan perokok. Meskipun begitu, saat ini masalah tersebut tidak relevan untuk negara-negara berpendapatan rendah dan sedang. Di negara-negara berpendapatan rendah hanya sekitar satu dari 10 orang dewasa memiliki program pensiun, dan di negara-negara berpendapatan menengah proporsinya antara seperempat hingga setengah dari jumlah penduduk, tergantung pada tingkat pendapatan masing-masing negara itu. 38 MEREDAM WABAH Jadi, para perokok secara jelas membebankan biaya langsung seperti kerusakan kesehatan pada bukan perokok. Mungkin juga ada biaya finansial, misalnya untuk perawatan kesehatan, meskipun biaya-biaya itu sulit diidentifikasi dan dihitung. Tanggapan yang sepatutnya bagi pemerintah Berdasarkan tiga permasalahan yang telah diidentifikasi tersebut, tampaknya tidak mungkin bahwa sebagian besar perokok tahu segala risiko akibat merokok atau menanggung semua biaya atas pilihan mereka untuk merokok. Jadi, pilihanpilihan konsumsi mereka dapat menyebabkan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Oleh karena itu pemerintah dapat dibenarkan untuk melakukan campur tangan guna menyesuaikan insentif untuk konsumen sehingga mereka mengurangi konsumsi rokok. Masyarakat mungkin dapat menerima bahwa alasan kuat pemerintah mengadakan campur tangan adalah untuk menghalangi anak-anak dan remaja untuk menjadi perokok, mengingat adanya berbagai permasalahan kekurangan akses terhadap informasi mengenai tembakau, risiko untuk mereka menjadi kecanduan, dan terbatasnya kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang masuk akal. Pemerintah juga mempunyai alasan untuk campur tangan mencegah perokok membebankan biaya fisik langsung kepada bukan perokok. Sedangkan alasan-alasan untuk melindungi orang lain dari biaya keuangan yang diakibatkan oleh perokok, masih terasa kurang kuat, karena sifat dari biaya itu sendiri masih kurang jelas. Akhirnya, beberapa masyarakat akan mempertimbangkan bahwa adalah menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan semua informasi yang dibutuhkan oleh orang dewasa agar mereka dapat menentukan pilihan konsumsi mereka berdasarkan pengetahuan yang benar. Idealnya, pemerintah mengadakan intervensi secara khusus pada setiap masalah yang diidentifikasi. Akan tetapi, hal ini tidak selalu dapat dilaksanakan dan beberapa intervensi mungkin memiliki dampak yang lebih luas. Sebagai contoh, penilaian yang tidak sempurna dari anak-anak dan remaja mengenai dampak rokok bagi kesehatan haruslah secara khusus ditangani dengan meningkatkan pengetahuan mereka mengenai akibat-akibat merokok dan dengan meningkatkan pendidikan orang tua mereka. Akan tetapi dalam kenyataannya, anak-anak menanggapi pendidikan kesehatan secara negatif dan orang tua bukanlah “agen” yang sempurna dan tidak selalu bertindak demi kebaikan anaknya. Dalam kenyataannya, perpajakan —walaupun merupakan instrumen yang tumpul — adalah metode yang paling efektif dan praktis dalam mencegah anak-anak dan remaja untuk merokok. Bukti-bukti dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja cenderung lebih kecil kemungkinannya mengkonsumsi rokok dan bahwa teman sebaya mereka kemungkinan besar akan berhenti merokok, jika harga rokok naik. Langkah-langkah khusus untuk melindungi orang yang tidak merokok adalah APAKAH PEROKOK TAHU RISIKO-RISIKONYA DAN MENANGGUNG BIAYANYA 39 dengan menerapkan larangan merokok di tempat-tempat yang mungkin dipakai untuk merokok. Walaupun ini akan melindungi orang yang bukan perokok di tempat umum, tapi hal ini tidak akan mengurangi keterpaparan (exposure) mereka terhadap asap rokok di rumah. Jadi pajak merupakan cara lain untuk membuat perokok menanggung biaya yang telah mereka bebankan kepada orang-orang bukan perokok. Untuk membicarakan permasalahan biaya keuangan yang membebani bukan perokok, seperti kelebihan biaya perawatan kesehatan bagi perokok, mekanisme yang paling langsung adalah membuat sistem pembiayaan perawatan kesehatan yang mencerminkan perilaku merokok secara individual. Sebagai contoh, perokok seharusnya membayar premi lebih tinggi daripada bukan perokok, atau mereka diminta membuat tabungan perawatan kesehatan yang mencerminkan kemungkinan biaya mereka yang lebih tinggi. Dalam praktek, cara mudah untuk membuat para perokok menyumbang lebih banyak adalah dengan menetapkan pajak tembakau. Dalam teori, jika pajak rokok digunakan untuk mencegah anak-anak dan remaja agar tidak merokok, maka pajak untuk anak-anak seharusnya lebih tinggi daripada pajak untuk orang dewasa. Namun, penetapan pajak yang berbeda itu sebenarnya sangat mustahil dilaksanakan. Di lain pihak penetapan tingkat pajak seragam untuk anak-anak dan dewasa, yang merupakan pilihan lebih praktis, akan memberi beban kepada orang dewasa. Meskipun begitu, masyarakat mungkin dapat membenarkan cara pemberian beban [pajak] kepada orang dewasa dengan tujuan untuk melindungi anak-anak. Lagi pula jika orang dewasa mengurangi konsumsi rokok, anak-anak mungkin juga akan merokok lebih sedikit, berdasarkan bukti-bukti bahwa kecenderungan anak-anak untuk merokok dipengaruhi oleh apakah orang tua atau idola mereka merokok. Salah satu jalan untuk menerapkan sistem pajak yang berbeda (differential tax system) untuk anak-anak dan dewasa adalah dengan melarang akses anakanak pada rokok. Menurut teori, pelarangan itu akan meningkatkan secara efektif harga yang harus dibayar oleh anak-anak untuk rokok, tanpa mempengaruhi harga yang dibayar orang dewasa. Dalam kenyataannya, hanya ada sedikit bukti bahwa pelarangan yang berlaku dapat berjalan di negara-negara berpendapatan tinggi. Di negara-negara berpendapatan menengah dan rendah, di mana kemampuan untuk mengatur dan melaksanakan larangan semacam itu kemungkinan besar sangat kecil, larangan itu sangat sulit untuk dilaksanakan. Karena itu, untuk menghalangi anak-anak merokok, instrumen terbaik kedua yang lebih disukai adalah pajak yang lebih tinggi. Menangani kecanduan merokok Selain perlu mengoreksi ketidak-efisienan yang muncul karena pilihan konsumsi rokok dari para perokok, perlu juga membahas masalah kecanduan. Karena kecanduan, para perokok dihadapkan pada biaya tinggi jika mereka ingin 40 MEREDAM WABAH mengubah kebiasaan itu yang sebagian besar dibuat pada waktu muda itu. Masyarakat mungkin akan memilih pemberian intervensi yang akan membantu para calon perokok berhenti merokok dalam rangka menurunkan biaya-biaya tersebut. Intervensi ini termasuk meningkatkan akses kepada informasi yang memperingatkan perokok tentang biaya-biaya yang akan terjadi bila terus-menerus merokok dan manfaatnya bila berhenti merokok, dan akses yang lebih besar terhadap terapi penghentian merokok untuk menurunkan biaya-biaya dalam proses berhenti merokok. Jelaslah bahwa, kenaikan pajak akan mendorong para perokok berhenti merokok, tetapi hal ini juga akan membebankan berbagai biaya kepada mereka. Biaya-biaya ini adalah kehilangan manfaat merokok yang mereka rasakan selama ini dan biaya fisik tambahan yang berkaitan dengan upaya melepaskan diri dari kecanduan. Pembuat kebijakan dapat mengurangi biaya-biaya tersebut dengan memperluas akses perokok atas terapi penghentian merokok. Dalam Bab 6 akan dibahas lebih lanjut mengenai biaya-biaya untuk upaya melepaskan diri dari kecanduan (withdrawal costs). Sementara itu, untuk anak-anak yang belum kecanduan nikotin, pengenaan pajak akan mejadi strategi yang efektif karena tidak akan ada biaya penghentian yang berkaitan dengan keputusan untuk tidak merokok. Selanjutnya akan dibicarakan mengenai berbagai intervensi yang telah diadopsi oleh beberapa pemerintah untuk mengendalikan rokok. Masing-masing intervensi tersebut akan dievaluasi secara bergantian. Pada Bab 4, dibahas langkahlangkah yang dimaksudkan untuk mengurangi permintaan rokok, dan Bab 5 membahas tentang evaluasi tindakan untuk mengurangi pasokan tembakau. Catatan 1. Walaupun perokok akan mengurangi biaya bersih yang dikenakan pada orang lain karena meninggal di umur muda, adalah sangat menyesatkan untuk mengatakan bahwa masyarakat akan menjadi lebih baik dengan adanya kematian dini itu. Dengan mengatakan demikian, berarti sama dengan menerima anggapan bahwa masyarakat akan lebih baik tanpa penduduk lansia. 41 BAB 4 Langkah-Langkah Mengurangi Permintaan terhadap Tembakau N EGARA-NEGARA yang berhasil dalam kebijakan pengawasan terhadap tembakau menerapkan kebijakan yang beragam. Berikut ini didiskusikan beberapa ringkasan bukti-bukti yang menunjukkan efektivitas kebijakan tersebut. Menaikkan pajak rokok Selama berabad-abad, tembakau dianggap sebagai barang kebutuhan yang pantas dikenakan pajak; tembakau bukan kebutuhan pokok, tetapi dikonsumsi secara luas dan permintaan terhadap tembakau secara relatif bersifat inelastis, karena itu sangat masuk akal untuk dikenakan pajak dan menjadi sumber pemasukan pemerintah yang mudah diatur. Adam Smith, yang menulis dalam Wealth of Nations pada tahun 1776, menyebutkan bahwa pajak seperti itu mungkin akan membebaskan penduduk miskin dari beberapa pajak yang paling berat; mulai dari pajak yang dibebankan pada kebutuhan hidup atau pada bahan-bahan hasil pabrik.” Pajak tembakau, menurut Smith, akan memberi kesempatan penduduk miskin “untuk hidup lebih baik, bekerja lebih mudah dan mengirim barangnya dengan lebih murah ke pasar.” 1 Permintaan terhadap tenaga mereka akan meningkat, yang pada gilirannya menaikkan pendapatan penduduk miskin dan memberi keuntungan bagi perekonomian secara keseluruhan. Dua abad kemudian, hampir semua pemerintah mengenakan pajak tembakau, yang kadang-kadang cukup tinggi, yang bervariasi menurut cara pengenaan pajak. Tujuan pemerintah-pemerintah tersebut hampir semua sama, yaitu bagaimana 41 42 MEREDAM WABAH meningkatkan pendapatan pemerintah. Akan tetapi dalam tahun-tahun terakhir ini pajak juga merefleksikan perhatian pemerintah yang semakin besar terhadap pentingnya meminimalkan gangguan kesehatan akibat merokok. Bagian ini akan mengadakan tinjauan tentang bukti-bukti mengenai bagaimana kenaikan pajak mempengaruhi permintaan terhadap rokok dan produk tembakau lainnya. Disimpulkan bahwa kenaikan pajak sangat mengurangi konsumsi rokok. Hal yang penting lagi adalah bahwa dampak kenaikan pajak yang tinggi cenderung paling besar pada orang muda, yang lebih tanggap terhadap kenaikan harga daripada penduduk dewasa. Hal yang sama pentingnya, pembahasan ini menyimpulkan bahwa pengenaan pajak tinggi akan mengurangi permintaan rokok secara tajam di negara-negara berpendapatan menengah dan rendah yang para perokoknya lebih tanggap terhadap kenaikan harga daripada perokok di negara-negara berpendapatan tinggi. Walaupun ada penurunan permintaan, tetapi pendapatan pemerintah tidak akan terganggu. Sebagaimana terlihat dalam Bab 8, pajak yang lebih tinggi berarti akan menghasilkan penerimaan yang secara substansial lebih tinggi dalam jangka pendek dan jangka menengah. Dalam Bab ini akan dijelaskan secara ringkas jenis-jenis pajak tembakau yang digunakan oleh sebagian besar pemerintah dan memperkirakan bagaimana kenaikan harga mempengaruhi permintaan. Juga dibandingkan bukti-bukti dari negara-negara berpendapatan rendah dan menengah dengan negara-negara berpendapatan tinggi. Implikasi kebijakan akan dibahas pula dalam Bab ini. Jenis-jenis pajak tembakau Pajak tembakau dapat dibedakan menjadi berbagai macam. Pajak-pajak tembakau khusus, yakni suatu jumlah yang tetap (fixed amount) yang ditambahkan pada harga rokok, akan memberikan keleluasan tertinggi dan memungkinkan pemerintah menaikkan pajak dengan risiko kecil bahwa industri rokok akan menanggapinya dengan tindakan yang menyebabkan jumlah pajak riil yang dikenakan pada rokok tetap rendah. Pajak ad valorem, seperti pajak pertambahan nilai atau pajak penjualan, adalah persentase harga dasar dan diterapkan oleh hampir semua negara—sering kali di samping mengenakan cukai khusus. Pajak ad valorem diterapkan pada tempat-tempat penjualan, atau seperti di banyak negara Afrika, pada harga grosir. Pajak dapat bervariasi sesuai dengan tempat pabrik memproduksi atau jenis produk, misalnya, beberapa negara mengenakan pajak lebih tinggi pada rokok yang diproduksi di luar negeri daripada yang diproduksi di dalam negeri, atau pada rokok yang tar-nya tinggi dibandingkan dengan yang tar-nya rendah. Saat ini banyak negara mengenakan pajak rokok yang tinggi sebagai kampanye antimerokok dan kegiatan khusus lainnya. Misalnya salah satu kota terbesar di Cina, Chongqning, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat menetapkan penggunaan sebagian dari pendapatan pajak rokok untuk tujuan pendidikan tentang dampak negatif rokok, iklan 43 LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK antimerokok, dan kegiatan-kegiatan pengawasan lainnya. Negara-negara lainnya menggunakan pajak rokok untuk mendukung pelayanan kesehatan. Jumlah pajak yang dikenakan terhadap rokok berbeda-beda antarnegara (Gambar 4.1). Di negara-negara berpendapatan tinggi, besarnya pajak rokok bernilai dua pertiga atau lebih dari harga eceran sebungkus rokok. Sebagai kontras, di negara-negara berpendapatan rendah, pajak rokok nilainya kurang dari setengah harga eceran sebungkus rokok. Harga rata-rata dalam $ AS Pajak rata-rata dalam $ AS Pajak sebagai persentase harga 3.50 3.00 80 70 60 2.50 50 2.00 40 1.50 30 1.00 20 0.50 10 0.00 Pajak sebagai persentase harga Harga rata-rata atau pajak per bungkus GAMBAR 4.1 RATA-RATA HARGA, PAJAK DAN PERSENTASE PAJAK SIGARET PER BUNGKUS, MENURUT KELOMPOK PENDAPATAN BANK DUNIA, 1996 0 Tinggi Menengah atas Menengah bawah Rendah Negara menurut pendapatan Sumber: Hasil kalkulasi penulis Dampak kenaikan pajak terhadap konsumsi rokok Hukum dasar ekonomi menyatakan bahwa jika harga suatu komoditas naik, permintaan akan komoditas tersebut akan turun. Di masa lalu, para peneliti berpendapat bahwa sifat kecanduan tembakau menyebabkan hukum ekonomi ini tidak berlaku: mereka yang sudah kecanduan rokok akan membayar berapa pun harga sebungkus rokok dan akan terus merokok dengan jumlah yang sama untuk memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi, makin banyak penelitian menemukan bahwa pendapat ini salah dan bahwa permintaan rokok oleh perokok, walaupun tembakau termasuk barang tidak elastik, sangat dipengaruhi oleh 44 MEREDAM WABAH harganya. Sebagai contoh, kenaikan pajak di Kanada antara tahun 1982 hingga tahun 1992 menyebabkan kenaikan cukup tajam pada harga riil dan menyebabkan penurunan permintaan terhadap rokok yang cukup besar (Gambar 4.2a). Hal yang serupa dalam penurunan konsumsi rokok sebagai akibat peningkatan pajak terlihat di Inggris dan sejumlah negara lain. Sebaliknya, pajak yang lebih rendah meningkatkan konsumsi rokok di Afrika Selatan antara tahun 1979 dan 1989 (Gambar 4.2b). Para peneliti secara konsisten menemukan bahwa kenaikan harga mendorong masyarakat untuk berhenti merokok, mencegah orang lain untuk mulai merokok, dan menurunkan jumlah mantan perokok yang ingin memulai lagi kebiasaan merokok. Bagaimana kecanduan rokok mempengaruhi tanggapan terhadap kenaikan harga Beberapa model [kuantitatif] yang berusaha menjajagi dampak kecanduan nikotin atas kenaikan harga menerapkan berbagai asumsi yang berbeda mengenai apakah perokok memikirkan akibat dari merokok atau tidak. Akan tetapi, semua model yang dicoba menemukan bahwa dalam hubungannya dengan zat adiktif [zat yang menyebabkan kecanduan] seperti nikotin, tingkat konsumsi perseorangan saat ini ditentukan oleh tingkat konsumsinya pada masa lampau dan harga barang saat ini. Hubungan antara konsumsi masa lampau dan konsumsi saat ini memiliki implikasi yang penting dalam pembuatan model kuantitatif mengenai dampak kenaikan harga pada permintaan tembakau. Jika perokok telah kecanduan, mereka akan menanggapi kenaikan harga secara relatif lambat, tetapi tanggapan ini akan lebih besar dalam jangka panjang. Literatur ekonomi menyebutkan bahwa kenaikan harga permanen dan nyata akan memiliki dampak kira-kira dua kali lebih besar pada jangka panjang daripada jangka pendek. Perbedaan tanggapan mengenai kenaikan harga di negara-negara berpendapatan rendah dan tinggi Jika harga suatu barang naik, masyarakat berpendapatan rendah akan lebih banyak mengurangi konsumsi barang tersebut dibandingkan dengan masyarakat berpendapatan tinggi. Sebaliknya, jika harga turun, mereka mempunyai kecenderungan lebih besar untuk meningkatkan konsumsinya. Keadaan tentang sejauh mana permintaan konsumen terhadap suatu barang akan berubah sebagai akibat atas perubahan harga barang tersebut, disebut sebagai elastisitas harga terhadap permintaan. Sebagai contoh, jika harga naik 10% menyebabkan jumlah yang diminta turun sebanyak 5%, elastisitas permintaan adalah –0,5. Makin tanggap konsumen terhadap harga, makin besar elastisitas permintaan. Estimasi elastisitas harga berbeda antara satu penelitian dengan penelitian lainnya, tetapi ada bukti-bukti yang masuk akal bahwa di negara-negara berpendapatan menengah dan rendah, elastisitas harga terhadap permintaan lebih 45 LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK GAMBAR 4.2 HARGA DAN KONSUMSI ROKOK SIGARET DALAM TREN BERLAWANAN Penurunan pajak dalam upaya melawan penyelundupan Harga riil per bungkus ($AS) 7 90 80 6 70 5 60 4 50 3 40 30 2 20 1 10 0 0 1989 1990 1991 1992 Harga Riil 1993 1994 1995 Komsumsi sigaret tahunan per kapita (dalam bungkus) 4.2a Harga riil rokok sigaret dan konsumsi sigaret per kapita di Kanada, 1989-1995 Konsumsi Konsumsi per orang dewasa 1.2 0.08 1.1 0.07 1 Harga riil Konsumsi sigaret per orang dewasa (dalam bungkus) 4.2b Harga riil rokok sigaret dan konsumsi sigaret tahunan per orang dewasa (umur 15 tahun ke atas, Afrika Selatan, 1970-1989 0.09 1.3 0.9 0.06 Harga riil 0.8 0.05 0.7 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 Tahun Catatan: Angka konsumsi diambil dari data penjualan. Sumber: 4.2a: Kalkulasi penulis. 4.2b: Saloojee, Yussuf. 1995. “Price and Income Elasticity of Demand for Cigarettes in South Africa.”. In Slama, K. ed. Tobacco and Health. New York, NY: Plenum Press; and Townsend, Joy. 1998. “The Role of Taxation Policy in Tobacco Control.” In Abedian, I., and others., eds. The Economics of Tobacco Control. Cape Town, South Africa: Applied Fiscal Research Centre, University of Cape Town 46 MEREDAM WABAH besar dibandingkan di negara-negara berpendapatan tinggi. Di Amerika Serikat, misalnya, para peneliti telah menemukan bahwa kenaikan harga 10% untuk satu bungkus rokok menurunkan permintaan sebanyak 4% (berarti elastisitasnya – 0,4). Penelitian di Cina menyimpulkan bahwa kenaikan harga 10% menurunkan permintaan dalam persentase lebih besar dibandingkan di negara-negara berpendapatan tinggi. Tergantung pada penelitiannya, estimasi elastisitas berkisar antara –0,6 dan –0,1. Penelitian di Brasil dan Afrika Selatan menunjukkan hasil dengan rentang yang sama. Untuk negara-negara berpendapatan sedang dan menengah secara keseluruhan, estimasi yang masuk akal dari rata-rata elastisitas permintaan adalah –0,8 berdasarkan data terakhir. Ada alasan-alasan lain mengapa masyarakat di negara-negara berpendapatan rendah akan lebih menanggapi kenaikan harga rokok daripada masyarakat di negara-negara berpendapatan tinggi. Struktur usia penduduk di sebagian besar negara bependapatan rendah umumnya lebih muda dan penelitian di negara-negara berpendapatan tinggi menunjukkan bahwa, secara keseluruhan, penduduk usia muda lebih tanggap terhadap perubahan harga daripada penduduk usia dewasa. Hal ini sebagian dikarenakan penduduk usia muda memiliki pendapatan lebih rendah untuk pengeluaran mereka, sebagian karena pengaruh nikotin rokok belum terlalu parah, sebagian karena perilaku mereka yang lebih berorientasi pada masa kini, dan sebagian lagi karena mereka lebih mudah dipengaruhi oleh teman-teman sebaya mereka. Jadi jika seorang anak muda berhenti merokok karena dia tidak mampu membeli lagi, besar kemungkinan teman-temannya akan mengikuti tindakannya dibandingkan dengan mereka dari kelompok usia dewasa. Suatu penelitian yang dilakukan oleh US Centers for Disease Control and Prevention menemukan bahwa elastisitas permintaan di kalangan penduduk muda usia 1824 tahun di Amerika Serikat adalah –0,6 lebih tinggi daripada perokok secara keseluruhan. Para peneliti menyimpulkan bahwa jika rokok harganya tinggi, tidak hanya para perokok muda yang berhenti, tetapi juga lebih sedikit [calon] perokok muda potensial yang akan mengikuti kebiasaan ini. Berdasarkan bukti-bukti yang ada saat ini, maka ada dua hal yang dapat disimpulkan. Pertama bahwa kenaikan pajak sangat efektif untuk mengurangi konsumsi tembakau di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, tempat sebagian besar perokok saat ini tinggal; dan kedua, bahwa dampak kenaikan pajak akan lebih dirasakan di negara-negara ini daripada di negaranegara berpendapatan tinggi. Potensi dampak kenaikan pajak pada permintaan global terhadap tembakau Untuk tujuan penulisan laporan ini, para peneliti telah membuat model potensi dampak serangkaian kenaikan pajak pada permintaan rokok di seluruh dunia. Disain model dan masukannya digambarkan di Kotak 4.1. Asumsi yang diterapkan pada model itu menyangkut elastisitas harga, dampak kesehatan, dan LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK 47 variabel lainnya yang sangat konservatif. Jadi, hasilnya mungkin merupakan estimasi lebih rendah (underestimate) terhadap potensi itu. Model tersebut menunjukkan bahwa kenaikan harga yang kecil pun dapat berdampak luar biasa pada prevalensi merokok dan jumlah kematian dini akibat rokok pada orangorang yang hidup pada tahun 1995. Para peneliti menghitung bahwa jika ada kenaikan harga 10% yang secara terus menerus dari harga estimasi rata-rata di setiap wilayah, 40 juta penduduk dunia akan berhenti merokok dan lebih banyak lagi orang yang semula ingin mulai merokok akan mengurungkan niatnya. Berdasarkan kenyataan bahwa tidak semua perokok yang berhenti merokok akan terhindar dari kematian, jumlah kematian dini yang akan terhindar masih tetap besar diukur dengan standar mana pun —10 juta atau 3% dari semua kematian akibat rokok— hasil dari kenaikan harga saja. Sembilan juta kematian dini yang terselamatkan terdapat di negara-negara berkembang, di mana 4 juta di antaranya berada di Asia Timur dan Pasifik (Tabel 4.1). TABEL 4.1 JUMLAH PEROKOK POTENSIAL YANG DIIMBAU BERHENTI MEROKOK DAN JIWA TERSELAMATKAN DENGAN KENAIKAN HARGA 10%. Dampak pada perokok yang hidup tahun 1995, menurut wilayah regional Bank Dunia Wilayah Perubahan dalam jumlah perokok Perubahan dalam jumlah kematian Asia Timur dan Pasifik Eropa Timur dan Asia Tengah Amerika Latin dan wilayah Karibia Timur Tengah dan Afrika Utara Asia Selatan (Sigaret) Asia Selatan (bidis) Afrika Sub Sahara -16 -6 -4 -2 -3 -2 -3 -4 -1.5 -1.0 -0.4 -0.7 -0.4 -0.7 Berpendapatan rendah/sedang Berpendapatan tinggi Dunia -36 -4 -40 -9 -1 -10 Catatan: Angka dibulatkan Sumber: Ranson, Kent, P. Jha, F. Chaloupka, and A. Yurekli. Effectiveness and Cost effectiveness of Price Increases and Other Tobacco Control Policy Interventions. Makalah latar belakang. 48 MEREDAM WABAH KOTAK 4.1 ESTIMASI DAMPAK LANGKAH-LANGKAH PENGAWASAN TERHADAP KONSUMSI TEMBAKAU SECARA GLOBAL: VARIABEL DALAM MODEL Pertama, para peneliti mengestimasi jumlah penduduk di setiap wilayah regional menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dengan menggunakan standar Proyeksi Penduduk dari Bank Dunia untuk tujuh wilayah regional Bank Dunia (lihat Lampiran D). Kedua, mereka membuat estimasi prevalensi merokok menurut jenis kelamin untuk masing-masing dari tujuh wilayah regional Bank Dunia, dengan menggunakan sekumpulan data berasal lebih dari 80 penelitian dari berbagai negara yang digunakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (data ditunjukkan di Bab 1, Tabel 1.1) . Untuk India, bidis (sejenis rokok lintingan) tersebar luas sebagai pengganti rokok sigaret, prevalensi merokok dari 2 jenis rokok tersebut diambil dari penelitian lokal. Ketiga, dengan menggunakan data yang tersedia, tim peneliti mengestimasi profil usia perokok di setiap wilayah regional, membuat ekstrapolasi dari penelitian-penelitian skala besar di masing-masing negara, dan mengestimasi rasio perokok dewasa terhadap perokok muda. Keempat, jumlah total perokok dan jumlah kematian yang diperkirakan akibat rokok diestimasi berdasarkan wilayah regional, jenis kelamin, dan umur. Dalam tahap ini para peneliti berasumsi bahwa hanya satu dari tiga perokok di negara maju akhirnya akan meninggal karena kebiasaan merokok. Asumsi ini sangat konservatif, berdasarkan hasil penelitian-penelitian dari Inggris, Amerika dan negara-negara lain yang menunjukkan bahwa angka yang lebih tepat adalah satu di antara dua, sehingga hasil studi dalam laporan ini mungkin dibawah perkiraan (underestimated), karena penelitian terakhir di Cina menunjukkan bahwa proporsi perokok yang meninggal akan segera mencapai tingkatnya yang sama dengan yang ditemukan di Barat. Selanjutnya, para peneliti membuat estimasi jumlah rokok atau bidis yang dikonsumsi setiap hari oleh setiap perokok di setiap wilayah, dengan menggunakan angka WHO dan berbagai penelitian epidemiologi yang telah diterbitkan. Mereka juga membuat estimasi jumlah rokok/bidis yang dikonsumsi oleh orang dewasa dan anak muda di setiap wilayah untuk memperoleh rasio tingkat merokok harian orang dewasa terhadap anak muda. Para peneliti lalu mencoba mengukur elastisitas harga dari permintaan rokok di setiap wilayah dengan menggunakan data lebih dari 60 penelitian. Apabila telah dilakukan lebih dari satu penelitian di satu negara tertentu, angkanya dibuat rata-rata. Peneliti lalu menggabungkan angkaangka itu untuk mendapat hasil ratabersambung pada halaman berikutnya LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK rata untuk wilayah-wilayah berpendapatan tinggi dan rendah. Angka-angka ini juga ditimbang (weighted) menurut umur, karena penduduk usia muda lebih tanggap terhadap perubahan harga dibandingkan penduduk dewasa. Elastisitas harga jangka pendek untuk negara berpendapatan tinggi dihitung dengan hasil relatif lebih rendah, yaitu –0.4, sedangkan untuk negara-negara berpendapatan rendah elastisitasnya lebih tinggi, yaitu –0.8. Para peneliti mengasumsikan bahwa, sesuai dengan salah satu penelitian utama, setengah dari dampak kenaikan harga akan berpengaruh pada jumlah perokok dan setengahnya lagi akan berpengaruh pada jumlah rokok yang diisap oleh mereka yang meneruskan merokok. Juga, sesuai dengan bukti-bukti penelitian lainnya, para peneliti mengasumsikan bahwa 49 mereka yang berhenti merokok pada usia yang lebih muda kemungkinan besar akan terhindar dari kematian akibat merokok dibandingkan mereka yang berhenti pada usia yang lebih tua, dan bahwa risiko kematian akibat rokok tetap ada pada mereka yang terus merokok meskipun sudah mengurangi jumlah batang rokok yang diisap. Semua variabel dalam model dapat dianalisis sensitivitasnya untuk mempertimbangkan ketidakpastiannya (uncertainty) dengan kisaran antara 75% hingga 125% dari nilai dasar perhitungan (baseline values) yang digunakan dalam perhitunganperhitungan tersebut. Ditekankan di sini bahwa asumsi yang digunakan dalam model ini didasarkan pada asumsi yang konservatif sehingga hasilnya mungkin merupakan estimasi rendah, bukan estimasi tinggi. Kesulitan menghitung tingkat pajak rokok yang optimal Berbagai upaya telah dilakukan untuk menetapkan seberapa besar seharusnya tingkat pajak rokok “yang dianggap tepat.” Untuk menentukan tingkat tersebut, pembuat kebijakan memerlukan fakta-fakta empiris, yang beberapa di antaranya mungkin belum tersedia, seperti misalnya skala biaya yang ditanggung oleh bukan perokok. Besarnya pajak rokok itu juga tergantung pada pendapatan dan asumsiasumsi atas dasar nilai-nilai yang berbeda antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Sebagai contoh, beberapa masyarakat akan lebih mementingkan kebutuhan untuk melindungi anak daripada yang lainnya. Dalam istilah ekonomi, pajak optimal terjadi apabila biaya sosial marjinal (marginal social cost) dari rokok terakhir yang dikonsumsi sama dengan manfaat sosial marjinal (marginal social benefit). Akan tetapi, seperti kita lihat dalam Bab sebelumnya, besaran biaya dan manfaat sosial tersebut tidak diketahui secara pasti dan hampir tidak mungkin untuk diukur, dan ini menjadi masalah yang menimbulkan kontroversi berkelanjutan. Beberapa orang meragukan bahwa perokok membebankan biaya fisik pada bukan perokok yang terpaksa menghirup 50 MEREDAM WABAH asap rokok dengan beban terbesar perokok pasif ditanggung oleh anak-anak dan pasangan si perokok. Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa keluarga adalah unit pembuat keputusan yang paling dasar dalam masyarakat dan mereka menganggap bahwa keterpaparan anak-anak serta pasangan perokok pada asap rokok sebagai suatu biaya internal yang sudah diperhitungkan dalam keputusan keluarga mengenai rokok dan bukannya biaya eksternal yang dibebankan oleh perokok kepada orang bukan perokok. Sementara itu, skala biaya lainnya, seperti perawatan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah untuk merawat pasien dengan penyakit yang berkaitan dengan tembakau, seperti kita lihat, sangat sulit untuk dinilai. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa upaya untuk menghitung pajak optimal yang ekonomis menghasilkan serangkaian estimasi dari beberapa sen hingga beberapa dolar. Pendekatan lain untuk menetapkan besarnya pajak adalah dengan memilih sesuatu angka (rate) yang akan menghasilkan penurunan khusus dalam konsumsi rokok, oleh karenanya memenuhi sasaran khusus kesehatan masyarakat , daripada menentukan angka yang akan mencakup biaya sosial akibat merokok. Tujuan lain adalah menetapkan tingkat pajak untuk memaksimalkan pendapatan yang dihasilkan dari pajak-pajak yang relatif efisien ini. Daripada berupaya untuk menyarankan tingkat pajak yang optimal, laporan ini mengusulkan pendekatan yang lebih pragmatis, yaitu mengamati tingkat pajak yang diadopsi oleh negara-negara yang memiliki kebijakan pengawasan terhadap tembakau yang komprehensif dan efektif. Di negara-negara tersebut komponen pajak dalam harga satu bungkus rokok adalah antara dua pertiga dan empat perlima dari harga eceran. Tingkat-tingkat ini dapat digunakan sebagai ukuran untuk menyesuaikan kenaikan harga di mana-mana2 . Langkah-langkah nonharga untuk mengurangi permintaan: informasi untuk konsumen, pelarangan iklan dan promosi, serta pembatasan merokok Terdapat bukti-bukti yang luas di negara-negara berpendapatan tinggi bahwa pemberian informasi kepada konsumen dewasa mengenai sifat kecanduan tembakau dan beban penyakit fatal dan yang menyebabkan kecacatan, dapat mengurangi konsumsi rokok. Dalam bagian ini akan dijelaskan apa yang diketahui tentang efektivitas berbagai jenis informasi, termasuk penerbitan hasil penelitian tentang konsekuensi kesehatan karena merokok, peringatan kesehatan pada bungkus rokok dan iklan rokok, serta usaha-usaha untuk membalas iklan rokok. Juga akan disajikan ringkasan mengenai dampak kegiatan iklan rokok dan kegiatan promosi lainnya serta apa yang terjadi jika kegiatan ini dilarang. Karena bermacam-macam jenis informasi sering tersedia bagi konsumen pada saat yang sama, sangat sulit untuk memisahkan dampak masing-masing jenis kegiatan tersebut, tetapi makin meningkat jumlah penelitian yang dilakukan dan LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK 51 berkembangnya pengalaman di negara-negara berpendapatan tinggi menunjukkan bahwa masing-masing jenis informasi itu dapat menimbulkan dampak yang signifikan. Hal yang penting pula, bahwa dampak tersebut muncul secara berbedabeda di setiap kelompok sosial. Secara umum, penduduk usia muda ternyata kurang tanggap terhadap informasi mengenai dampak tembakau bagi kesehatan dibandingkan dengan penduduk dewasa dan penduduk yang lebih berpendidikan yang menanggapi informasi baru lebih cepat daripada mereka yang berpendidikan minimal atau tidak berpendidikan sama sekali. Kesadaran atas adanya perbedaanperbedaan ini adalah masukan penting bagi para pembuat keputusan guna merencanakan suatu intervensi gabungan yang disusun sesuai dengan kebutuhan tertentu negara mereka. Penerbitan hasil-hasil penelitian mengenai dampak merokok terhadap kesehatan Tren menurunnya prevalensi merokok dalam jangka panjang di kebanyakan negara berpendapatan tinggi selama tiga dekade terakhir ini sejalan dengan terjadinya tren meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai dampak yang membahayakan dari merokok. Pada tahun 1950, di Amerika Serikat hanya 45% orang dewasa yang mengatakan bahwa merokok adalah penyebab kanker paruparu. Pada tahun 1990, persentasenya menjadi 95%. Kira-kira pada periode yang sama proporsi penduduk Amerika Serikat yang merokok telah menurun dari lebih 40% menjadi sekitar 25%. Dalam berbagai kesempatan di negara-negara berpendapatan tinggi, masyarakat diberi “kejutan informasi” mengenai dampak merokok bagi kesehatan seperti publikasi laporan resmi dan diliput oleh media massa secara luas. Dampak pemberian informasi tersebut telah diteliti di berbagai negara seperti Finlandia, Yunani, Swiss, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan. Secara umum dampaknya adalah terbesar dan berkelanjutan pada masyarakat yang berada pada tahap relatif awal dari wabah penyakit yang berkaitan dengan tembakau, dan ketika kesadaran masyarakat tentang bahaya merokok bagi kesehatan secara umum masih rendah. Jika pengetahuan masyarakat sudah meningkat, kejutan informasi baru menjadi kurang efektif. Sebuah analisis yang dilakukan di Amerika Serikat yang didasarkan pada sejumlah data time series antara tahun 1930-an dan akhir tahun 1970-an menunjukkan bahwa tiga kejutan informasi, termasuk laporan Surgeon General yang berpengaruh pada tahun 1964, telah mengurangi konsumsi rokok sebanyak 30% selama periode tersebut. Dalam beberapa dekade terakhir ini, penelitian dari berbagai negara berpendapatan tinggi menyimpulkan bahwa publikasi informasi mengenai dampak tembakau terhadap kesehatan telah menyebabkan penurunan konsumsi rokok yang berkelanjutan. Sebagai contoh, antara tahun 1960 dan 1994 di Amerika Serikat, para orang tua yang memiliki anak telah menurunkan konsumsi rokok mereka jauh lebih cepat daripada orang dewasa MEREDAM WABAH 52 tunggal yang tidak memiliki anak. Para peneliti menyimpulkan bahwa kesadaran orang tua terhadap bahaya merokok pasif bagi anak-anak mereka telah mendorong mereka untuk berhenti merokok. Di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah hingga saat ini hanya ada sedikit penelitian untuk memantau dampak kejutan informasi seperti itu. Akan tetapi, kecenderungan merokok di Cina sedang dipantau setelah adanya publikasi hasil penelitian-penelitian utama tentang dampak merokok bagi kesehatan di negara itu. Jelasnya, prasyarat untuk menerbitkan data yang menggambarkan konsekuensi-konsekuensi merokok bagi kesehatan adalah mengumpulkan datadata tersebut terlebih dulu. Di Afrika Selatan dan di India akhir-akhir ini dilakukan “penghitungan kematian akibat rokok” melalui metode yang tidak mahal, yaitu mencatat status merokok/tidak merokok pada kartu kematian seseorang. Cara ini akan membantu menyediakan data yang dibutuhkan untuk menggambarkan bentuk dan ukuran epidemi tembakau di setiap wilayah. GAMBAR 4.3 LABEL PERINGATAN YANG SANGAT KERAS Bentuk usulan prototipe label peringatan pada bungkus rokok di Australia Merokok menyebabkan Kanker Paru-paru Peringatan Otoritas Kesehatan EKSTRA RINGAN 30 SIGARET Peringatan Otoritas Kesehatan Mengenai Kanker Paru-paru. Asap rokok mengandung banyak bahan kimia penyebab kanker, Jika asap rokok diisap, akan membahayakan paru-paru dan dapat menyebabkan kanker. Kanker paru-paru biasanya tumbuh dan menyebar tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Dalam banyak kasus, kanker ini dapat menyebabkan kematian yang cepat. Merokok berdampak buruk pada paru-paru serta jantung, dan setelah beberapa tahun dapat menyebabkan penyakit serius seperti penyakit jantung, stroke, emphysema, juga kanker paruparu. Jika anda merokok sepanjang hidup anda kemungkinan asap rokok membunuh Anda lebih awal, akan lebih tinggi dari 1 banding 4. Makin muda Anda mulai merokok, makin banyak Anda merokok, makin lama Anda merokok makin besar bahayanya. Orang lain yang mengisap asap rokok Anda juga mendapat bahaya. Asap rokok Anda dapat meningkatkan risiko mereka terhadap penyakit di dada, kanker dan penyakit jantung. Merokok pada saat hamil membahayakan bayi yang dikandung. Merokok menyebabkan kecanduan karena adanya zat nikotin dalam rokok. Kecanduan nikotin berat menyulitkan untuk berhenti. Berhenti pada usia berapa pun akan membantu kesehatan Anda dan mengurangi resiko terhadap penyakit-penyakit serius. Untuk informasi atau bantuan berhenti merokok: Hubungi : Quit Line pada 008 11538 Sumber: Institute of Medicine: Growing Up Tobacco Free: Preventing Nicotine Addiction in Children and Youths. 1994. National Academy Press. Washington, D.C. LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK 53 Label-label peringatan Bahkan negara-negara yang konsumennya telah cukup memiliki akses informasi mengenai dampak merokok bagi kesehatan pun masih terdapat buktibukti bahwa adanya kesalah pengertian yang luas mengenai dampak-dampak tersebut sebagian di antaranya disebabkan oleh cara membungkus serta melabelnya. Sebagai contoh, dalam dua dekade terakhir ini banyak perusahaan telah memberi label tertentu pada bungkus rokok seperti “mengandung tar rendah” dan “mengandung nikotin rendah”. Banyak perokok di negara-negara berpendapatan tinggi percaya bahwa rokok dengan label itu lebih aman daripada rokok lainnya, meskipun literatur penelitian menyimpulkan tidak ada rokok yang aman bagi kesehatan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak konsumen kurang paham mengenai unsur pokok dalam asap tembakau dan bahwa kemasan rokok tidak cukup memberikan informasi mengenai produk yang mereka beli. Sejak tahun 1960-an makin banyak pemerintah yang meminta kepada perusahaan rokok untuk memasang label peringatan pada produk mereka. Pada tahun 1991, sebanyak 77 negara telah menginstrusikan untuk mencantumkan peringatan itu, meskipun hanya sedikit negara yang menuntut peringatan keras dengan pesan yang berganti-ganti, seperti terlihat pada Gambar 4.3 Salah satu penelitian di Turki menunjukkan bahwa label peringatan kesehatan menyebabkan konsumsi rokok turun 8% selama lebih dari enam tahun. Di Afrika Selatan, ketika label peringatan serius diperkenalkan pada tahun 1994, ada penurunan konsumsi yang cukup signifikan. Lebih dari separo (58%) perokok yang ditanyai mengenai label itu mengatakan bahwa mereka berhenti atau mengurangi merokok karena termotivasi oleh adanya label peringatan tersebut. Akan tetapi, salah satu kelemahan label peringatan tersebut adalah bahwa peringatan itu tidak sampai kepada penduduk miskin, terutama anak-anak dan remaja di negara-negara yang berpendapatan rendah. Karena di antara konsumen ini biasa membeli rokok batangan dan bukan dalam bungkusan. Seringkali diperdebatkan bahwa pada penduduk yang telah banyak menerima informasi di mana kebiasaan merokok telah menyebar luas dalam beberapa dekade, prevalensi merokok cenderung tidak turun lebih rendah akibat adanya label peringatan. Akan tetapi, bukti-bukti dari Australia, Kanada, dan Polandia menunjukkan bahwa label peringatan itu masih cukup efektif, sepanjang cakupannya luas, tulisannya mencolok, dan memberikan informasi yang tegas serta nyata. Di Polandia pada akhir tahun 1990-an, label peringatan baru yang menempati 30% dari dua halaman sisi terbesar bungkus rokok diketahui berhubungan erat dengan keputusan perokok untuk berhenti atau mengurangi jumlah rokok yang diisap. Di antara perokok laki-laki Polandia, sebanyak 3% mengatakan telah berhenti merokok setelah dipasangnya label peringatan pada bungkus rokok tersebut, 16% mengatakan mereka mencoba untuk berhenti merokok, dan 14% mengatakan memahami lebih baik dampak rokok bagi kesehatan setelah membaca peringatan itu. Di antara para perempuan, dampaknya 54 MEREDAM WABAH hampir sama. Di Australia label peringatan diperkeras pada tahun 1995. Dampaknya kelihatan lebih kuat dalam mendorong para perokok untuk berhenti merokok dibandingkan dengan peringatan sebelumnya, yang kata-katanya kurang tegas. Survai yang diadakan di Kanada pada tahun 1996 menunjukkan bahwa separo dari perokok yang bermaksud berhenti atau mengurangi konsumsinya termotivasi oleh apa yang mereka baca sebagai peringatan pada bungkus rokok itu. Iklan antimerokok di media massa Terdapat banyak penelitian yang menganalisis dampak pesan-pesan negatif mengenai konsumsi rokok. Pesan-pesan negatif ini atau kampanye antimerokok disebarluaskan oleh pemerintah maupun badan-badan promosi kesehatan dan ditemukan bahwa secara konsisten terdapat penurunan konsumsi secara menyeluruh, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian-penelitian di tingkat nasional maupun lokal di Amerika Utara, Australia, Eropa, dan Israel. Penelitipeneliti Swiss menyimpulkan bahwa dari penelitian konsumsi rokok orang dewasa yang dilakukan pada tahun 1954 dan 1981, publikasi antimerokok di media massa secara permanen mengurangi konsumsi sebanyak 11% selama periode tersebut. Di Finlandia dan Turki kampanye antimerokok juga telah menyumbang penurunan konsumsi rokok. Program pendidikan antimerokok di sekolah Program pendidikan antimerokok di sekolah sudah tersebar luas, terutama di negara-negara berpendapatan tinggi. Namun, tampaknya upaya ini kurang efektif dibandingkan dengan jenis-jenis penyebarluasan informasi yang lain. Bahkan, program yang pada awalnya mengurangi kebiasaan merokok kelihatannya hanya berdampak sementara; program itu hanya mampu menunda sedikit untuk memulai merokok dan bukan mencegah siswa untuk merokok. Kelemahan yang nyata dari program antimerokok di sekolah ini bukan pada sifatnya, tetapi lebih pada pendengar yang menjadi sasarannya. Seperti diketahui, remaja menanggapi informasi mengenai dampak jangka panjang tidak sama dengan tanggapan orang dewasa mengenai informasi yang sama. Hal ini sebagian disebabkan perilaku remaja yang umumnya lebih berorientasi pada masa sekarang dan sebagian karena remaja cenderung untuk menentang nasihat orang dewasa. Promosi dan iklan rokok Para pembuat kebijakan yang tertarik pada pengawasan terhadap tembakau perlu mengetahui apakah iklan dan promosi rokok mempengaruhi konsumsi rokok. Jawabannya adalah hampir pasti ya, walaupun datanya tidak langsung menyatakan begitu. Kesimpulan utama adalah pelarangan iklan dan promosi LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK 55 rokok terbukti efektif, tetapi hanya jika pelarangan itu komprehensif sifatnya, mencakup semua media dan bentuk merek serta logo. Berikut ini diuraikan secara singkat bukti-bukti tersebut. Telah terjadi perdebatan sengit mengenai dampak iklan rokok pada konsumen. Di satu pihak, para penyuluh kesehatan masyarakat berpendapat bahwa iklan rokok itu meningkatkan konsumsi rokok. Sebaliknya, industri rokok berpendapat bahwa iklan rokok tidak merekrut perokok baru tetapi hanya mendorong para perokok untuk tetap merokok atau beralih kepada merk rokok tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian empiris mengenai hubungan iklan dengan penjualan cenderung menyimpulkan bahwa iklan tidak berdampak positif pada konsumsi atau hanya menunjukkan dampak positif yang sangat kecil. Namun, penelitian ini mungkin menyesatkan karena alasan berikut. Pertama, menurut teori ekonomi, iklan mempunyai dampak marjinal yang menurun pada permintaan, yang berarti bahwa jika iklan dari suatu barang meningkat, tanggapan konsumen terhadap penambahan iklan secara perlahanlahan akan berkurang dan pada akhirnya, meningkatkan iklan tidak akan berdampak sama sekali bagi konsumen. Persentase iklan dalam industri rokok relatif lebih tinggi sekitar 6% dari nilai penjualan, kira-kira 50% lebih tinggi daripada rata-rata berbagai industri. Jadi kenaikan konsumsi sebagai akibat dari meningkatnya iklan mungkin sangat kecil dan sulit untuk ditelusuri. Hal ini tidak berarti bahwa konsumsi dalam situasi tiadanya iklan, akan menjadi setinggi seperti dengan adanya iklan—hanya saja kenaikan marjinal akibat iklan itu teramat kecil. Kedua, data yang mencatat dampak iklan pada penjualan biasanya dikumpulkan untuk jangka waktu yang relatif lama, untuk semua pengiklan, di dalam semua media, dan sering meliputi populasi yang besar jumlahnya. Setiap perubahan tipis yang mungkin hanya terlihat pada tingkat analisis yang lebih disagregatif, dan karenanya, memberikan gambaran yang kabur. Dalam penelitian yang menggunakan data yang tidak agregatif, para peneliti menemukan lebih banyak bukti tentang dampak positif iklan terhadap konsumsi rokok, tetapi penelitian semacam itu mahal biayanya dan membutuhkan waktu lama, karenanya jarang dilakukan. Dengan adanya masalah-masalah yang berkaitan dengan pendekatanpendekatan ini, para peneliti beralih ke penelitian mengenai apa yang terjadi jika iklan dan promosi rokok dilarang, sebagai cara tidak langsung untuk mengukur dampaknya pada konsumsi rokok. Dampak pelarangan iklan Apabila pemerintah melarang iklan rokok di satu media, seperti televisi, industri rokok akan dapat menggunakan media lain dengan sedikit atau tanpa mempengaruhi pengeluaran pemasaran secara keseluruhan. Oleh sebab itu, berbagai penelitian yang meneliti dampak pelarangan iklan rokok secara parsial tidak menemukan atau sedikit sekali dampaknya pada perilaku merokok. MEREDAM WABAH 56 GAMBAR 4.4 LARANGAN MENYELURUH UNTUK IKLAN MENURUNKAN KONSUMSI SIGARET Konsumsi sigaret tahunan per kapita Tren dalam perbandingan konsumsi sigaret per kapita di negara-negara dengan pelarangan menyeluruh dan yang tidak ada larangan menyeluruh. 1750 Dengan larangan 1700 1650 1600 1550 Tanpa larangan 1500 1450 1981 1991 Tahun Catatan: Analisa ini meliputi 102 negara, dengan atau tanpa larangan menyeluruh terhadap iklan tembakau, dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan data konsumsi sigaret per orang dewasa umur 15 sampai 64 tahun, dibandingkan dengan jumlah penduduk, antara 1980-82 dan 1990-92. Negara-negara dengan larangan menyeluruh mulai dengan tingkat konsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa larangan, tetapi mengakhiri periode dengan tingkat konsumsi yang lebih rendah. Perubahan ini disebabkan tingkat penurunan konsumsi lebih tinggi pada kelompok dengan larangan dibandingkan dengan yang tanpa larangan. Sumber: Saffer, Henry. The Control of Tobacco Advertising and Promotion. Makalah latar belakang. Larangan beriklan di semua media massa dan di kegiatan promosi, relatif menciutkan alternatif untuk beriklan bagi industri rokok. Sejak tahun 1972, negara-negara berpendapatan tinggi telah mengeluarkan larangan yang lebih keras kepada lebih banyak jenis media dan segala bentuk sponsor kegiatan. Penelitian terakhir dari 22 negara berpendapatan tinggi berdasarkan data dari tahun 1970 hingga tahun 1992 menyimpulkan bahwa pelarangan yang menyeluruh terhadap promosi dan iklan rokok dapat mengurangi kebiasaan merokok, tetapi pelarangan yang parsial (sebagian media saja) dampaknya hanya sedikit atau tidak ada sama sekali. Jika pelarangan iklan rokok dilakukan secara menyeluruh, penelitian menyimpulkan konsumsi rokok akan turun lebih dari 6% di negara-negara berpendapatan tinggi. Model yang dibuat berdasarkan estimasi ini menunjukkan bahwa larangan negara-negara Uni Eropa terhadap iklan rokok dapat mengurangi LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK 57 konsumsi rokok di Uni Eropa sebesar 7% (Kotak 4.2). Penelitian lain dari 100 negara membandingkan trend konsumsi dari waktu ke waktu di negara-negara yang memiliki program pelarangan promosi dan iklan rokok yang relatif menyeluruh dengan negara-negara yang tidak memiliki program pelarangan sama sekali. Di negara-negara yang memiliki program pelarangan iklan dan promosi yang hampir lengkap, tren penurunan konsumsi terlihat lebih tajam (Gambar 4.4). Penting untuk dicatat bahwa, dalam penelitian ini, terdapat faktor-faktor lain yang juga menyumbang pada penurunan konsumsi rokok di berbagai negara. Sementara itu, di luar literatur ekonomi, ada jenis penelitian lain, seperti survai mengenai daya ingat anak-anak terhadap pesan-pesan iklan, yang menyimpulkan bahwa promosi dan iklan memang mempengaruhi permintaan rokok dan menarik perokok baru. Anak-anak tertarik pada iklan tersebut dan mereka mengingat pesan-pesan yang disampaikan. Terdapat makin banyak bukti yang menunjukkan bahwa industri-industri rokok sedang meningkatkan aktivitas iklan dan promosi ke pangsa pasar yang diperkirakan akan berkembang atau potensial untuk berkembang, termasuk pasar kelompok remaja dan kelompok minoritas khusus yang sebelumnya tidak terbiasa merokok. Lembaga penelitian nonekonomi ini mungkin dapat menarik perhatian para pembuat keputusan yang peduli pada kecenderungan merokok kelompok tertentu di dalam masyarakat. Pembatasan merokok di tempat umum dan di tempat kerja Negara yang saat ini sedang menerapkan pembatasan merokok di tempat umum seperti di restoran dan fasilitas transportasi, jumlahnya makin banyak. Di beberapa negara, seperti di Amerika Serikat, beberapa tempat kerja juga terkena pembatasan umum untuk merokok. Dengan adanya pembatasan ini, jelas yang diuntungkan adalah mereka yang bukan perokok, yang menjadi terbebas dari risiko kesehatan dan gangguan dari lingkungan asap rokok. Namun, orangorang yang tidak merokok terkena asap rokok oleh perokok bukan di tempat umum atau di tempat kerja tetapi di rumah. Oleh karena itu, pembatasan ini hanya merupakan sebagian dari cara-cara untuk memenuhi kebutuhan orang yang bukan perokok. Dampak kedua dari larangan merokok adalah keberhasilan mengurangi konsumsi rokok dari sejumlah perokok dan mendorong sejumlah perokok lainnya untuk berhenti merokok. Menurut berbagai estimasi, di Amerika Serikat pembatasan tersebut telah mengurangi konsumsi rokok sekitar 4%-10%. Agar pembatasan itu dapat berfungsi, tampaknya harus ada dukungan dari seluruh masyarakat dan kesadaran akan akibat dari lingkungan yang tercemar asap rokok pada kesehatan. Selain di Amerika Serikat, hanya sedikit data yang dapat diperbandingkan mengenai efektivitas larangan merokok di dalam ruangan. Dampak potensial tindakan-tindakan nonharga pada permintaan rokok secara global MEREDAM WABAH 58 KOTAK 4.2 LARANGAN PROMOSI DAN IKLAN TEMBAKAU DI UNI EROPA Pada tahun 1989, sebagai bagian dari prakarasa yang lebih luas melawan kanker, Komisi Eropa mengajukan ketentuan untuk membatasi iklan produk-produk tembakau di media cetak dan yang menggunakan papan iklan serta poster-poster. Pada tahun 1990 Parlemen Eropa mengubah usulan Komisi Eropa tersebut dan memilih untuk melarang iklan [tembakau]. Komisi Eropa mengamati bahwa usulan itu hanya dapat menghasilkan perjanjian untuk pelarangan parsial pada satu saat saja, dan menambahkan sebuah usulan baru yang mungkin dapat dipakai untuk mengajukan pelarangan total terhadap iklan rokok, tergantung pada kemajuan yang dicapai oleh masingmasing negara anggota Uni Eropa. Pada bulan Juni 1991 Komisi Eropa mengajukan ketentuan tentang pelarangan iklan tembakau yang telah mengalami perubahan. Dalam periode antara tahun 1992 dan 1996 tidak ada kemajuan mengenai penerapan usulan itu karena sekurangnya ada tiga negara yang menentang yaitu Jerman, Belanda, dan Inggris. Namun, partai oposisi di Inggris mengalami kekalahan pada tahun 1997, ketika Partai Buruh Inggris menang dalam pemilu dan menyampaikan pernyataan komitmen (pemerintah) untuk memberlakukan larangan iklan tembakau. Teks mengenai ketentuan pelarangan akhirnya diadopsi oleh Komisi Eropa pada bulan Juni 1998. Ketentuan pelarangan itu menyebutkan bahwa iklan produk-produk tembakau baik yang langsung maupun tidak langsung (termasuk iklan sponsor) dilarang di Uni Eropa, dan akan memberlakukan seluruh ketentuannya secara penuh dan final dalam Oktober 2006. Ketentuan-ketentuan penting dalam larangan itu adalah sebagai berikut: Semua anggota negara-negara Uni Eropa harus memberlakukan peraturan di tingkat nasional paling lambat pada tanggal 30 Juli 2001. Semua iklan di media cetak harus dihentikan dalam waktu satu tahun berikut. Pemberian sponsor (kecuali untuk acara atau kegiatan yang diselenggarakan pada tingkat dunia) harus dihentikan dalam dua tahun berikutnya lagi. Dukungan sponsor tembakau dalam kegiatan tingkat dunia, seperti Formula Satu dalam balap mobil, boleh dilanjutkan untuk tiga tahun lagi, tetapi harus diakhiri pada tanggal 1 Oktober 2006. Dalam periode menjelang penghentian itu, dukungan sponsor harus dikurangi secara keseluruhan, demikian juga harus ada kemauan sukarela untuk tidak menyebarkan iklan rokok di seputar kegiatan itu. Informasi tentang produk (tembakau) diizinkan penyebarannya di tempattempat penjualan. Publikasi mengenai perdagangan tembakau boleh memuat iklan tembakau. Publikasi negara ketiga, yang tidak secara khusus ditujukan untuk pasar Uni Eropa, tidak terkena larangan ini. Ketentuan tersebut saat ini sudah diterapkan. LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK 59 Sebelumnya telah dijelaskan tentang efektivitas sejumlah tindakan nonharga termasuk informasi untuk konsumen, diseminasi laporan dan penelitian ilmiah, label peringatan, iklan antimerokok, larangan promosi dan iklan secara menyeluruh, dan pembatasan merokok. Sebagai latar belakang laporan ini, model yang digambarkan di Kotak 4.1 digunakan untuk menilai dampak potensial dari satu paket tindakan nonharga yang menyeluruh terhadap konsumsi rokok di tingkat dunia. Karena sampai sekarang hanya ada sedikit upaya untuk mengestimasi keseluruhan dampak dari tindakan-tindakan ini, model tersebut disusun berdasarkan asumsi yang konservatif. Diasumsikan, bahwa berdasarkan ukuran efektivitas yang ada untuk masing-masing tindakan nonharga, dampak gabungannya mendorong 2% hingga 10% perokok untuk berhenti merokok. Secara konservatif, model itu mengasumsikan bahwa langkah-langkah itu tidak akan berdampak pada jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari oleh mereka yang tidak berhenti merokok. Berdasarkan pada asumsi ini, satu paket tindakan nonharga dapat mengurangi jumlah perokok yang hidup pada tahun 1995 sebanyak 23 juta orang di seluruh dunia, bahkan, pada estimasi yang paling rendah, yakni jika paket ini diterapkan di seluruh dunia akan mengurangi jumlah konsumen perokok hanya sebesar 2% (lihat Tabel 4.2). Dengan menggunakan asumsi sebelumnya mengenai jumlah perokok yang berhenti dan akan terhindar dari kematian, model tersebut menunjukkan bahwa 5 juta nyawa dapat terselamatkan. Terapi pengganti nikotin (NRT) dan intervensi lainnya untuk penghentian merokok Selain pajak yang tinggi dan tindakan nonharga, masih ada seperangkat tindakan ketiga yang dapat membantu mengurangi konsumsi tembakau. Rangkaian tindakan itu adalah perawatan untuk yang berhenti merokok dan berbagai jenis program, termasuk latihan perorangan, perawatan rumah sakit, program penyuluhan, dan berkembangnya berbagai produk farmasi yang diperuntukkan membantu penghentian merokok seperti Terapi Pengganti Nikotin (NRT—Nicotine Replacement Therapy) dan obat anti stres dengan nama generik bupropion. Produk NRT dalam bentuk plester kecil-kecil, permen karet, spray, dan dalam bentuk barang yang diisap, berisi kandungan nikotin dosis rendah tanpa mengandung bahan-bahan berbahaya lainnya seperti terdapat dalam asap rokok. Apabila digunakan secara tepat, NRT dianggap aman dan efektif oleh sebagian besar organisasi kesehatan di negara-negara berpendapatan tinggi. Sebuah lembaga penelitian besar menyimpulkan bahwa keberhasilan NRT mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan upaya lain untuk penghentian merokok, dengan atau tanpa intervensi lain yang dijalankan bersamaan (Tabel 4.3). Bupropion juga menunjukkan efektivitasnya dalam percobaan di Amerika Serikat. Kunci utama keunggulan NRT adalah bahwa terapi ini dapat dilakukan MEREDAM WABAH 60 TABEL 4.2 JUMLAH PEROKOK POTENSIAL DIIMBAU BERHENTI MEROKOK, DAN JIWA TERSELAMATKAN MENURUT PAKET TINDAKAN NONHARGA (dalam juta) Untuk perokok yang hidup dalam tahun 1995 Perubahan jumlah perokok bila paket menurunkan prevalensi merokok dengan: Wilayah Regional 2 persen 10 persen Perubahan jumlah kematian bila paket menurunkan prevalensi merokok dengan: 2 persen 10 persen Asia Timur dan Pasifik Eropa Timur dan Asia Tengah Amerika Latin dan wilayah Karibia Timur Tengah dan Afrika Utara Asia Selatan (Sigaret) Asia Selatan (bidis) Afrika Sub Sahara -8 -3 -2 -0.8 -2 -2 -1 -40 -15 -10 -4 -9 -10 -7 -2 -0.7 -0.5 -0.2 -0.3 -0.4 -0.4 -10 -3 -2 -1 -2 -2 --2 Berpendapatan rendah/sedang Berpendapatan tinggi Dunia -19 -4 -23 -93 -21 -114 -4 -1 -5 -22 -5 -27 Catatan: Angka dibulatkan Sumber: Ranson, Kent, P. Jha, F. Chaloupka, and A. Yurekli. Effectiveness and Cost effectiveness of Price Increases and Other Tobacco Control Policy Interventions. Makalah latar belakang. sendiri oleh perokok. Cara ini paling praktis bagi perokok yang ingin berhenti di negara-negara yang memiliki sumberdaya terbatas terutama keberadaan tenaga kesehatan profesional yang diperlukan untuk memberi dukungan intensif. NRT ditujukan hanya untuk menangani gejala-gejala ketagihan nikotin pada perokok dalam usahanya untuk berhenti merokok. Sampai saat ini produk NRT tidak dihubungkan dengan penyakit kardiovaskular atau penyakit pernapasan, dan terdapat konsensus bahwa produk-produk NRT lebih aman sebagai sumber nikotin daripada rokok. Nikotin, tentu saja menghasilkan efek psikologi termasuk peningkatan tekanan darah. Akan tetapi dibandingkan dengan rokok, dosis nikotin yang dikandung dalam produk NRT lebih kecil dan dikeluarkan secara perlahanlahan. NRT adalah cara mengurangi biaya pengorbanan karena berhenti merokok. Ketersediaan NRT berbeda-beda dari satu negara ke negara lainnya. Di beberapa negara berpendapatan tinggi, produk NRT dijual bebas, sementara di 61 LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PERMINTAAN TERHADAP ROKOK TABEL 4.3 EFEKTIVITAS BERBAGAI PENDEKATAN UNTUK PENGHENTIAN [MEROKOK] Intervensi dan perbandingan Nasihat singkat untuk berhenti (3-10 menit) oleh petugas klinik versus tanpa nasihat Peningkatan persentase perokok berhenti merokok selama 6 bulan atau lebih 2 sampai 3 Nasihat singkat tambah NRT versus nasihat singkat saja atau nasihat singkat plus placebo 6 Bantuan intensif (misalnya, klinik perokok) plus NRT versus bantuan intensive atau bantuan intensif plus placebo 8 Sumber: Raw, Martin, and others. 1999. Data dari Agency for Health Care Policy and Research, dan perpustakaan Cochrane. negara lain produk itu tersedia melalui resep dokter. Berbagai model yang didasarkan pada data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa jika NRT dijual secara bebas, lebih banyak penduduk yang akan berhenti merokok dan lebih banyak nyawa yang bisa diselamatkan dibandingkan jika NRT hanya tersedia lewat resep dokter. Dengan model tersebut diramalkan bahwa dalam lebih dari lima tahun, hampir 3000 nyawa dapat diselamatkan di Amerika Serikat saja. Ada juga bukti bahwa perokok menginginkan jenis bantuan ini: di Amerika Serikat, penjualan NRT meningkat 150% antara tahun 1996 dan 1998, ketika produk itu pertama kali dijual secara bebas. Di luar negara-negara berpendapatan tinggi, ketersediaan NRT dalam bentuk apapun tidak merata; sebagai contoh, produk NRT dijual di Argentina, Brasil, Indonesia, Malaysia, Mexico, Filipina, Afrika Selatan, dan Thailand, tetapi di antara negara-negara ini pasokan NRT hanya terbatas di beberapa kota-kota besar. Di beberapa negara berpendapatan menengah dan di banyak negara berpendapatan rendah produk NRT tidak tersedia sama sekali. Biaya penyediaan produk NRT untuk keperluan sehari kira-kira hampir sama dengan rata-rata harga dosis rokok sehari, tetapi karena produk NRT dijual dalam paket besar, diperlukan pembayaran yang relatif besar untuk sekali pesan. Dibandingkan dengan rokok, penjualan produk NRT sangat ketat peraturannya. Berdasarkan kenyataan tersebut, para pembuat kebijakan mungkin dapat mempertimbangkan untuk memperluas akses mendapatkan NRT sebagai sebuah komponen penting dalam upaya pengawasan terhadap rokok. Salah satu pilihan adalah mengurangi ketatnya peraturan mengenai penjualan produk-produk seperti ini, misalnya dengan meningkatkan jumlah tempat penjualan dan memperpanjang waktu penjualan NRT, serta mengurangi pembatasan-pembatasan mengenai kemasannya. 62 MEREDAM WABAH Dengan adanya bukti bahwa NRT akan membantu mengurangi biaya untuk berhenti merokok, pilihan lain yang perlu dipertimbangkan adalah ketersediaan NRT dengan harga yang disubsidi atau secara cuma-cuma untuk periode tertentu bagi perokok berpenghasilan rendah yang ingin berhenti merokok. Pendekatan ini telah dicoba dilaksanakan di beberapa negara. Di Inggris, misalnya, ada usulan agar perokok yang miskin dapat menerima pasokan NRT secara cuma-cuma jika mereka memutuskan untuk berhenti merokok. Sasaran bantuan NRT kepada penduduk miskin merupakan tantangan bagi semua negara. Kini sudah jelas bahwa setiap keputusan apa pun untuk memperluas akses NRT harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Sebagian besar masyarakat ingin agar anakanak mereka terhindar dari promosi produk-produk yang membuat anak-anak tersebut kecanduan. Akan tetapi, ahli kesehatan di negara-negara berpendapatan tinggi sepakat bahwa NRT, bila digunakan secara efektif akan sangat menguntungkan dan seharusnya para perokok dewasa yang ingin berhenti didorong untuk menggunakannya. Analisis keefektivan biaya (cost effectiveness) dari penggunaan NRT belum diteliti secara luas, terutama di negara-negara berpendapatan sedang dan rendah tempat sebagian besar perokok tinggal. Jelaslah bahwa adanya lebih banyak informasi mengenai analisis manfaat-biaya akan sangat berguna bagi pembuat kebijakan di tingkat daerah, baik untuk menentukan cara penggunaan dana pemerintah yang terbatas maupun untuk memberikan dasar yang kuat bagi pembuat kebijakan untuk bertindak. Sebagai latar belakang laporan ini, potensi dampak ketersediaan NRT yang lebih luas dibuat sesuai model dengan metode yang sama seperti di atas. Secara konservatif, diasumsikan bahwa efektivitas terapi mungkin lebih rendah dibandingkan dengan yang ditemukan dalam penelitian-penelitian di negara-negara berpendapatan tinggi. Dengan asumsi yang konservatif angka rata-rata orang yang berhenti merokok di antara para pemakai NRT akan menjadi dua kali lipat dibandingkan yang tidak memakainya, dan hanya 6% dari perokok yang menggunakan NRT untuk berhenti merokok, maka diestimasikan bahwa 6 juta perokok yang hidup pada tahun 1995 mampu untuk berhenti merokok dan 1 juta kematian akan dapat dicegah. Sebaliknya, jika 25% perokok menggunakan NRT, ditemukan bahwa 29 juta perokok yang hidup pada tahun 1995 akan mampu berhenti merokok dan 7 juta kematian dapat dicegah. Catatan: 1. Smith, Adam. Wealth of Nations, 1776. Version edited by Edwin Canaan, 1976. University of Chicago Press, Chicago. 2. Sebagai contoh, jika pajak dihitung empat perlima dari harga eceran, hal ini menyebabkan kenaikan harga 4 kali harga pabrik per bungkus (sebelum pajak). Misalnya, jika harga sebelum pajak setara dengan $0.5, maka tingkat (rate) pajak adalah $2 (0.5 x 4= 2). Harga eceran akan menjadi setara dengan $2 (pajak) + $0.5 (harga pabrik) = $2.5. Dampaknya terhadap harga eceran tentu saja berbeda-beda untuk tiap negara, tergantung faktor-faktor eceran seperti harga grosir, tetapi secara umum kenaikan semacam ini akan meningkatkan harga yang tertimbang menurut penduduk antara 80 hingga 100% di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. 63 BAB 5 Langkah-Langkah Mengurangi Penawaran Tembakau W ALAUPUN terdapat banyak bukti bahwa permintaan tembakau dapat diturunkan, tetapi bukti mengenai keberhasilan menurunkan penawarannya jauh lebih sedikit. Pada bab ini akan dibahas secara singkat pengalaman beberapa negara dalam usaha mereka mengurangi akses dan penawaran tembakau melalui pembatasan perdagangan atau kebijakan pertanian. Bagian kedua bab ini menguraikan suatu cara penting yang dapat digunakan pemerintah untuk mengurangi penawaran tembakau, yaitu dengan mengawasi penyelundupan. Efektivitas terbatas sebagian besar intervensi dari sisi penawaran Pengamatan dasar pada pasar menunjukkan bahwa jika seorang pemasok sebuah komoditas dicegah beroperasi, pemasok lain akan segera muncul menggantikannya selama ada insentif kuat untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini terdapat insentif kuat untuk memasok tembakau, seperti diuraikan di bawah ini. Pelarangan tembakau Mengingat tidak ada bukti-bukti sebelumnya bahwa tembakau mampu merusak kesehatan, beberapa penyuluh kesehatan masyarakat menyerukan untuk melarangnya dengan alasan bahwa masalah tembakau tidak pada konsumsinya tetapi pada produksinya. Seruan untuk mengadakan larangan terhadap tembakau mengacu pada menurunnya secara nyata jumlah penyakit yang berhubungan dengan alkohol ketika di abad ke-20 penawaran alkohol dibatasi. Misalnya, ketika penawaran alkohol dibatasi di Paris, Prancis, konsumsi alkohol turun sekitar 80 63 64 MEREDAM WABAH persen per kapita selama Perang Dunia II. Kematian yang disebabkan radang hati pada para pria berkurang sampai menjadi setengahnya selama satu tahun dan empat perlimanya setelah lima tahun. Setelah perang berakhir dan alkohol dapat diperoleh dengan bebas, jumlah kematian karena radang hati kembali ke tingkat sebelum perang. Akan tetapi, berdasarkan beberapa alasan, pelarangan atas tembakau bukan hanya tidak mungkin tetapi juga tidak efektif. Pertama, meskipun bahan-bahannya dilarang, rokok tetap dikonsumsi secara luas, seperti kasus mengenai banyak obat-obat terlarang. Kedua, pelarangan akan menciptakan masalahnya sendiri seperti: kemungkinan akan meningkatkan aktivitas kriminal sehingga berbuntut pada pengerahan polisi dengan biaya mahal. Ketiga, dari perspektif ekonomi, konsumsi optimal tembakau tidaklah nol (zero). Keempat, pelarangan atas tembakau secara politis mungkin tidak bisa diterima di banyak negara. Barubaru ini di India, usaha melarang sejenis tembakau kunyah yang dikenal dengan nama gutka telah gagal, sebagian besar disebabkan reaksi politis terhadap pelarangan tersebut. Pembatasan akses para remaja terhadap tembakau Di negara-negara berpendapatan tinggi, banyak usaha telah dilakukan untuk mengadakan pembatasan penjualan rokok kepada para anak remaja. Dalam bentuknya seperti sekarang, pembatasan seperti itu tampaknya tidak banyak berhasil. Pada umumnya, pembatasan terhadap remaja sukar diterapkan, karena kenyataannya mereka biasanya mendapat rokok dari teman-teman mereka yang lebih tua dan kadang-kadang dari orang tua mereka sendiri. Tambahan pula, di negara berpendapatan rendah di mana konsumsi tembakau meningkat, sistem, prasarana, dan dana yang diperlukan untuk menerapkan pembatasan itu serta memaksa mereka mematuhinya, adalah sangat kurang dibandingkan dengan di negara-negara berpendapatan tinggi. Tanaman pengganti dan diversifikasi produk pertanian Lebih dari 100 negara menanam tembakau dan sekitar 80 dari jumlah tersebut adalah negara-negara berkembang. Empat negara merupakan penghasil dari dua pertiga jumlah total produksi: di tahun 1977, Cina menghasilkan 42 persen dari seluruh tembakau yang ditanam, sedangkan Amerika Serikat, India, dan Brasil bersama-sama menghasilkan sekitar 24 persen. Pada Tabel 5.1 terlihat 20 negara pertama menghasilkan lebih dari 90 persen total hasil tembakau. Setelah lebih dari dua dekade, sumbangan produksi global dari negara berpendapatan tinggi menurun dari 30 persen menjadi 15 persen, sedangkan produksi di negara-negara Timur Tengah dan Asia meningkat dari 40 persen menjadi 60 persen. Sumbangan negara-negara Afrika meningkat dari 4 persen menjadi 6 persen, sedangkan produksi di wilayah lain tidak banyak berubah. Cina Amerika Serikat India Brasil Turki Zimbabwe Indonesia Malawi Yunani Italia Argentina Pakistan Bulgaria Kanada Thailand Jepang Filipina Korea Selatan Meksiko Bangladesh Spanyol Negara 3.390,0 746,4 623,7 576,6 296,0 192,1 184,3 158,6 132,5 131,4 123,2 86,3 78,2 71,1 69,3 68,5 60,9 54,4 44,3 44,0 42,3 51,5 4.0 18,1 30,5 57,7 8,0 15,2 61,7 -2,2 0,3 50,3 -14,0 124,3 -0,5 17,4 -13,8 8,7 -44,8 -35,1 -26,7 0,1 42,12 9,27 7,75 7,16 3,68 2,39 2,29 1,97 1,65 1,63 1,53 1,07 0,97 0,88 0,86 0,85 0,76 0,68 0,55 0,55 0,53 (persentase) produk dunia nilai tahun 1984 Produksi terhadap (1000 metrik ton) Total jumlah Perubahan Produksi data tahun 1997, diurut berdasarkan jumlah produksi 1.880,0 328,4 420,2 329,5 323,0 99,3 217,5 122,3 67,3 47,5 71,0 45,9 48,5 28,5 47,0 25,6 29,4 27,2 25,4 50,3 13,3 (1000 hektar) Luas lahan 38,4 6,7 8,6 6,7 6,6 2,0 4,4 2,5 1,4 1,0 1,5 0,9 1,0 0,6 1,0 0,5 0,6 0,6 0,5 1,0 0,3 (persentase) produk dunia Total jumlah TABEL 5.1 TIGA PULUH NEGARA UTAMA PENGHASIL TEMBAKAU MENTAH 2,9 35,5 23,2 77,0 89,3 109,7 10,2 74,2 74,5 78,7 60,6 1,6 53,5 24,0 48,5 0,5 17,2 8,4 31,8 c 53,9 (persentase) Rasio ekspora 0,68 0,55 0,44 2,55 1,17 23,05 0,42 60,64 2,05 0,04 0,59 0,08 5,40 0,04 0,11 0,04 0,17 0,02 0,11 0,03 0,06 total ekspor 1995) tembakau (persentase dari Pendapatan dari ekspor (bersambung ke halaman berikutnya) 4,7 7,4 c 0,2 0,5 c 27,6 c 12,8 18,3 5,1 c 58,3 12,6 15,3 145,4 18,3 26,2 8,3 16,1 126,7 (persentase) Rasio imporb LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PENAWARAN TEMBAKAU 65 41,7 37,0 35,8 32,0 30,3 30,0 30,0 29,0 25,1 8.048,4 metrik ton) -3,3 117,6 -15,8 n.a 41,7 n.a -33,3 -1,4 15,1 25,9 nilai tahun 1984 0,52 0,46 0,45 0,40 0,38 0,37 0,37 0,34 0,31 100,0 (persentase) (1000 19,0 59,0 17,2 36,0 21,2 22,0 12,0 14,9 n.a 4.893,8 (1000 hektar) Luas lahan Total jumlah 0,4 1,2 0,4 0,7 0,4 0,4 0,2 0,3 n.a 100,0 (persentase) produk dunia 6,9 13,5 61,4 n.a 58,1 n.a 76,7 41,5 55,8 25,3 (persentase) Rasio ekspora 66,4 0,8 6,7 n.a 2,2 n.a 3,3 55,5 c 24,4 (persentase) Rasio imporb Pendapatan dari ekspor 0,12 n.a 6,90 0,04 5,26 5,44 6,96 0,31 4,53 - total ekspor 1995) tembakau (persentase dari a. Rasio ekspor terhadap produk domestik b. Rasio impor terhadap produk domestik c. Kurang dari 0,1 persen n.a : tidak ada data Sumber: Van der Merwe, Rowena, and others. The Supply-side Effets of Tobacco Control Policies. Makalah latar belakang (Data dihimpun dari Departemen Pertanian Amerika Serikat, FAO dan lain-lain sumber). Polandia Kuba Moldova Vietnam Republik Dominika Masedonia Kirgistan Afrika Selatan Tanzania Total seluruh dunia Negara Total jumlah produk dunia Perubahan Produksi terhadap Produksi TABEL 5.1 (sambungan) 66 MEREDAM WABAH LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PENAWARAN TEMBAKAU 67 Sementara negara Cina memasarkan tembakaunya di dalam negeri, negara penghasil yang lain mengekspor sebagian besar produksinya. Brasil, Turki, Zimbabwe, Malawi, Yunani, dan Italia mengekspor lebih dari tujuh persepuluh produksi mereka. Di seluruh dunia hanya ada dua negara yang secara signifikan tergantung pada tembakau mentah untuk memperoleh devisa dari ekspor — Zimbabwe, dengan 23 persen dari pendapatan ekspornya, dan Malawi, 61 persen. Beberapa negara lain — Bulgaria, Moldova, Republik Dominika, Macedonia, Kirgistan dan Tanzania — sangat bergantung pada tembakau sebagai sumber devisa mereka, meskipun sumbangan mereka terhadap pasar tembakau global adalah kecil. Tembakau merupakan sumber pendapatan penting bagi beberapa negara berbasis ekonomi pertanian, termasuk Malawi, Zimbabwe, India, dan Turki. Sepanjang sejarah, tembakau merupakan produk pertanian yang sangat menarik bagi para petani, karena memberikan penghasilan per unit tanah lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan hasil pertanian untuk pasar (cash crops) lainnya dan secara substansial lebih besar lagi dibandingkan penghasilan dari tanaman pangan. Daerah-daerah di Zimbabwe, di mana tembakau tumbuh dengan sangat baik, misalnya, tanaman tersebut hampir 6,5 kali lebih menguntungkan daripada tanaman alternatif terbaik berikutnya. Para petani juga menganggap bahwa tembakau merupakan tanaman yang menarik, lebih banyak karena alasan-alasan praktis. Pertama, harga tembakau di pasaran dunia relatif lebih stabil dibandingkan dengan hasil pertanian lainnya. Kestabilan ini memungkinkan para petani menyusun rencana ke depan dan dapat memperoleh kredit untuk usaha lain maupun untuk menanam tembakau. Kedua, industri rokok biasanya menyediakan bantuan cukup besar dalam bentuk bahan kepada petani, termasuk kebutuhan pertanian dan konsultasi. Ketiga, industri rokok sering memberi pinjaman kepada para petani. Keempat, tanaman lain mungkin menimbulkan masalah bagi para petani dalam hal penyimpanan, pengumpulan dan pengiriman hasilnya. Tembakau tidak cepat rusak dibandingkan dengan banyak tanaman lain dan industri dapat membantu dalam hal pengiriman atau pengumpulannya; sebaliknya, kelambatan pengumpulan, kelambatan pembayaran serta fluktuasi harga dapat merusak hasil tanaman lainnya. Telah banyak rencana percobaan yang dilakukan untuk mengganti tanaman tembakau dengan tanaman lain. Akan tetapi, kecuali dengan Kanada yang masih dipertanyakan, tidak ada bukti kuat bahwa rencana-rencana itu berhasil sebagai suatu cara mengurangi konsumsi tembakau, karena kurangnya motivasi para petani untuk berpartisipasi [dalam rencana substitusi tembakau itu] sementara harga tembakau tetap sama dan adanya kesiapan para pemasok lain menggantikan mereka. Meskipun demikian, tanaman pengganti kadang-kadang berhasil dalam program-program diversifikasi yang lebih luas, yaitu apabila tanaman itu dapat membantu petani tembakau miskin dalam transisi memasuki mata pencarian lain. Hal ini akan diuraikan lebih rinci di bab berikutnya. 68 MEREDAM WABAH Bantuan harga dan subsidi terhadap produksi tembakau Sementara negara-negara berkembang cenderung mengenakan pajak pada penghasilan ekspor tembakau/rokok, negara-negara berpendapatan tinggi seperti Amerika Serikat dan negara anggota Uni Eropa serta Cina, secara tradisi memberikan bantuan harga dan lain-lain subsidi kepada petani-petani yang menanam tembakau. Motivasi pemberian subsidi pada produksi tembakau termasuk menjaga agar harga tetap tinggi dan stabil, membantu pertanian keluarga yang kecil, mengawasi impor tembakau dari luar negeri untuk menjaga devisa, dan untuk mendapat dukungan politik. Sering semua bantuan tersebut dijalankan bersama-sama dengan pembatasan impor. Dengan kebijakan bantuan-harga bagi para produsen, pemerintah negaranegara berpendapatan tinggi secara artifisial menaikkan harga tembakau dunia dan produknya. Para pakar ekonomi berpendapat bahwa, bilamana harga dinaikkan dengan cara ini, para perokok mungkin menanggapi dengan cara mengurangi konsumsinya. Akan tetapi, bukti menunjukkan bahwa kalaupun ada efeknya terhadap konsumsi rokok, hasilnya sangat kecil. Di hampir semua negara berpenghasilan tinggi seperti Amerika Serikat, harga daun tembakau dari produsen hanya merupakan bagian kecil dari harga rokok. Ditambah lagi, impor tembakau harga rendah menjadi meningkat. Dengan demikian bantuan harga dan subsidi tersebut hanya membuat perbedaan yang tidak ada artinya bagi harga sebungkus rokok. Suatu analisis baru-baru ini mengindikasikan bahwa program-program ini meningkatkan harga sekitar satu persen di Amerika Serikat. Peningkatan sebesar itu hampir tidak mempunyai pengaruh terhadap konsumsi. Oleh karena itu, penghapusan subsidi tidak akan meningkatan konsumsi rokok secara signifikan. Namun, belum jelas bagaimana penghapusan bantuan harga dan subsidi ini akan berdampak pada produksi global. Harga-harga dalam negeri yang lebih tinggi di Amerika Serikat mungkin dapat membantu menaikkan harga daun tembakau mentah di dunia, dengan demikian dapat menaikkan pendapatan para petani tembakau di negara-negara berpendapatan rendah. Sebaliknya, akan terjadi dampak yang beragam terhadap petani di negara-negara berpendapatan rendah apabila subsidi-subsidi maupun pembatasan-pembatasan perdagangan dihapuskan. Seandainya di Amerika Serikat harga tembakau yang dihasilkan dalam negeri turun karena subsidi dihapuskan, industri rokok mungkin lebih banyak menggunakan tembakau dalam negeri; dan mereka akan mengurangi impor mereka terhadap tembakau bermutu rendah dari negara berpendapatan rendah. Di lain pihak, pada saat yang sama, perdagangan bebas menyebabkan impor tembakau jenis itu mungkin dapat meningkat. Terlepas dari dampak minimal terhadap konsumsi [tembakau], bantuan harga dan subsidi semacam itu kurang masuk akal dalam kerangka kebijakan-kebijakan pertanian dan perdagangan yang sehat. Fungsinya yang paling utama mungkin bersifat politis, yaitu menambah jumlah orang yang mempunyai kepentingan LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PENAWARAN TEMBAKAU 69 pribadi (vested interest) dalam produksi tembakau. Pembatasan terhadap perdagangan internasional Perdagangan bebas telah terbukti meningkatkan pilihan konsumen dan membuat produksi lebih efisien. Sejumlah studi memperlihatkan bahwa hal itu menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Meskipun kemudian pendapat yang mendukung perdagangan bebas pada umumnya sangat kuat, perdagangan tembakau (secara internasional) jelas lebih merusak kesehatan dibandingkan dengan sebagian besar barang lain yang diperdagangkan. Isu pokok bagi para pembuat kebijakan adalah memutuskan bagaimana mengawasi perdagangan tembakau tanpa mengacaukan konsekuensi-konsekuensi yang seharusnya menguntungkan dari perdagangan bebas. Seperti diuraikan dalam bab 1, liberalisasi perdagangan mengakibatkan peningkatan konsumsi tembakau di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Oleh karena itu, tampak masuk akal bahwa pembatasan perdagangan akan dapat menekan peningkatan konsumsi tersebut. Akan tetapi, ada beberapa alasan mengapa pembatasan seperti itu akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan. Salah satu alasan penting adalah bahwa pembatasanpembatasan demikian mungkin akan menyebabkan timbulnya tindakan-tindakan pembalasan yang cepat sehingga dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan. Sementara itu, liberalisasi perdagangan mengundang tanggapan internasional melalui General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang memberikan hak kepada negara-negara di dunia untuk menetapkan dan menerapkan langkah-langkah guna melindungi kesehatan masyarakat. Syarat untuk langkah-langkah semacam itu adalah bahwa penerapannya harus dilakukan baik terhadap produk dalam negeri maupun produk impor. Pasal XX dalam GATT secara jelas menyatakan bahwa langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kesehatan manusia tidak akan terhalang oleh adanya syarat-syarat perdagangan bebas. Pada tahun 1990, Thailand mencoba mengadakan larangan impor rokok dan pemasangan iklan, suatu gerakan yang segera memunculkan tantangan dari perusahaan-perusahaan rokok Amerika Serikat. Sebuah panel GATT mengadakan investigasi mengenai situasi tersebut dan menentukan bahwa Thailand tidak dapat melarang impor rokok, tetapi boleh mengenakan pajak, melarang iklan, serta melakukan pembatasan harga; dan negara ini dapat meminta semua perusahaan yang produknya dipasarkan di Thailand agar memasang label peringatan yang keras serta mencantumkan ramuan bahan yang digunakan untuk produk mereka. Bahkan, peraturan panel GATT telah ditafsirkan sebagai menyatakan bahwa Thailand boleh melarang penjualan semua produk tembakau yang beredar di dalam negeri, sepanjang larangan tersebut diterapkan juga secara simetris terhadap rokok buatan dalam dan luar negeri. Thailand telah mengimplementasikan dengan tegas langkah-langkah untuk menurunkan permintaan, termasuk larangan 70 MEREDAM WABAH menyeluruh terhadap iklan dan promosi [rokok] serta memasang label peringatan keras pada bungkus rokok. Keputusan penting ini serta tanggapan yang cepat dan tegas dari Thailand menjadikannya suatu contoh bagi banyak negara untuk melakukan intervensi guna mengurangi permintaan rokok demi kesehatan masyarakat dengan tetap memegang prinsip-prinsip perdagangan bebas. Tindakan tegas terhadap penyelundupan Penyelundupan rokok merupakan masalah serius. Para peneliti memperkirakan bahwa sekitar 30 persen ekspor rokok internasional, atau sekitar 355 miliar batang rokok diselundupkan. Persentase ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan persentase kebanyakan barang konsumsi lainnya yang diperdagangkan secara internasional. Masalahnya menjadi pelik, karena adanya perbedaan besar dalam pengenaan pajak antarnegara bagian atau antarnegara bertetangga, karena korupsi meluas dan karena penjualan barang-barang selundupan ditolerir. Di sini akan diuraikan secara singkat betapa luasnya masalah penyelundupan dan akan dibahas beberapa pilihan untuk pengawasannya. Keuntungan dari pengawasan terhadap penyelundupan bukanlah terutama karena akan mengurangi penawaran, tetapi pada implementasi peningkatan harga yang efektif yang dapat mengurangi permintaan. Perbedaan-perbedaan harga di antara negara-negara atau antarnegara bagian jelas akan meningkatkan insentif terhadap penyelundupan rokok. Akan tetapi, determinan penyelundupan tampaknya bukan karena harga semata. Sebuah studi yang dipersiapkan untuk laporan ini meneliti sejauh mana faktor-faktor lain, seperti tingkat korupsi pada umumnya di sebuah negara, memberikan kontribusi terhadap besarnya masalah penyelundupan. Dengan menggunakan indikator standar tingkat korupsi berdasarkan Transparency International’s Index of Countries, studi tersebut menyimpulkan bahwa, dengan beberapa pengecualian penting, tingkat penyelundupan rokok cenderung naik sejalan dengan kenaikan tingkat korupsi suatu negara (Gambar 5.1). Penyelundupan rokok dalam skala besar tergantung pada organisasiorganisasi kejahatan, sistem yang secara komparatif canggih untuk mendistribusikan rokok selundupan di negara tujuan, dan kurangnya pengawasan terhadap lalu-lintas rokok secara internasional. Kebanyakan rokok yang diselundupkan adalah dari merek internasional yang terkenal. Sejumlah besar uang terlibat di sini: penyelundup yang terorganisasi mampu membeli satu peti kemas berisi 10 juta batang rokok dengan harga $200.000, tanpa mereka harus membayar pajak. Di Uni Eropa, nilai fiskal rokok sejumlah itu paling sedikit sebesar $1 juta dengan menghitung cukai, pajak pertambahan nilai (VAT = Value Added Tax) serta pajak impor. Keuntungan para penyelundup dengan demikian sangat tinggi sehingga mereka dapat membiayai perjalanan jarak jauh. Rokok biasanya diselundupkan dalam perjalanan transit antara negara asal dan negara tujuan yang resmi. Untuk mendorong perdagangan antarnegara, 71 LANGKAH-LANGKAH MENGURANGI PENAWARAN TEMBAKAU GAMBAR 5.1 PENYELUNDUPAN TEMBAKAU CENDERUNG MENINGKAT SEJALAN DENGAN TINGKAT KORUPSI Penyelundupan sebagai bagian konsumsi (%) Penyelundupan sebagai fungsi indeks transparansi 0.40 Kamboja 0.35 0.30 Pakistan y = - 0.02x + 0.2174 R2= 0.2723 0.25 0.20 Brasil 0.15 Austria 0.10 0.05 Indonesia Swedia 0.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Indeks Transparansi untuk negara 9 10 Sumber: Merriman, David, A. Yurekli, dan F. Chaloupka. “How Big is the Worldwide Cigarette Smuggling Problem?. NBER Working Paper. Cambridge, Mass. : National Bureau of Economic Research. diterapkan apa yang dinamakan sistem transit yang menunda untuk sementara pembayaran bea masuk, PPN (VAT) yang dikenakan terhadap komoditas berasal dari negara A dan dikirim ke negara B, sedangkan harus melakukan transit di negara C, D, dan seterusnya. Akan tetapi, banyak rokok gagal sampai ke tempat tujuan, karena telah dibeli atau dijual oleh pedagang tidak resmi. Bentuk lain penyelundupan adalah apa yang disebut “round-tripping” dimana terdapat perbedaan harga relatif besar antara negara-negara tetangga. Rokok-rokok yang diekspor dari Kanada, Brasil, dan Afrika Selatan, misalnya, telah tercatat masuk ke negara tetangga dan kemudian muncul kembali di negara asal dengan tingkat harga dibanting dan tanpa pajak. Keberhasilan penyelundupan terletak pada banyak kali terjadinya perpindahan kepemilikan dalam waktu singkat, membuatnya hampir tidak mungkin untuk ditelusur kembali geraknya. Ditambah pula lemahnya penerapan hukum terhadap penjualan ilegal dan sukarnya memisahkan antara penjualan legal dan ilegal menyebabkan berkurangnya risiko bagi para penyelundup. Misalnya, di Rusia dan di banyak negara berpendapatan rendah, sebagian besar 72 MEREDAM WABAH rokok dijual di jalan-jalan. Menurut teori ekonomi, industri rokok sendiri akan mendapat keuntungan dari adanya penyelundupan. Studi mengenai dampak penyelundupan memperlihatkan bahwa apabila penjualan rokok selundupan mencapai persentase tinggi dari seluruh penjualan maka harga rata-rata semua jenis rokok, baik yang kena pajak atau tidak, akan jatuh, sehingga akibatnya meningkatkan penjualan rokok secara keseluruhan. Adanya rokok hasil penyelundupan di pasar yang selama itu tertutup terhadap merek-merek rokok impor, akan meningkatkan permintaan terhadap rokok merek-merek tersebut dan pada akhirnya menaikkan pangsa pasar mereka. Hal itu juga mempengaruhi pemerintah untuk tetap mengenakan pajak yang rendah. Pengalaman dan penelitian mengenai efektivitas berbagai tindakan anti penyelundupan masih sangat sedikit. Akan tetapi, para pembuat kebijakan dapat mempertimbangkan beberapa pilihan. Pertama, agar cepat diketahui oleh pembeli dan penarik pajak apakah bungkusan-bungkusan rokok itu legal atau tidak, dapat dilakukan misalnya dengan membubuhkan pita cukai yang sangat jelas — yang sukar dipalsukan — pada kemasan yang telah membayar pajak serta membuat kemasan khusus untuk rokok yang bebas-pajak. Label larangan yang keras dan bervariasi dalam bahasa lokal juga dapat membantu membedakan penjualan yang legal dari yang ilegal. Kedua, hukuman bagi penyelundup hendaknya dibuat cukup berat untuk menghalangi mereka yang saat ini menganggap kecil risiko terkena hukuman itu. Ketiga, semua pihak dalam matarantai antara perusahaan dengan konsumen dapat diharuskan mempunyai izin. Cara seperti ini sudah diterapkan di Prancis dan Singapura. Keempat, perusahaan dapat diminta untuk memberi stempel nomor seri pada setiap kemasan rokok agar dapat ditelusuri. Dengan teknologi yang semakin canggih, stempel itu bahkan dapat memuat informasi tentang distributor, grosir, dan pengekspor. Kelima, perusahaan dapat diminta bertanggungjawab atas pembuatan laporan yang baik untuk memastikan tujuan akhir produk mereka sebagaimana dimaksudkan secara resmi. Sistem pengawasan terkomputerisasi akan mempermudah pemerintah menelusuri setiap pengiriman barang serta dapat setiap saat memeriksa kemajuannya. Sistem ini sudah dijalankan di Hong Kong dan Cina. Keenam, pengekspor dapat diminta memberi label pada kemasan dengan nama negara tujuan akhir dan menempelkan label peringatan kesehatan dalam bahasa negara tersebut. Apabila perusahaan internasional memproduksi rokok di negara setempat, hal tersebut juga harus dituliskan di kemasan untuk membantu mendeteksi dan meningkatkan kesadaran adanya rokok selundupan. Sejumlah negara mulai meningkatkan tindakan antipenyelundupan mereka. Misalnya, Kerajaan Inggris belum lama ini mengumumkan suatu paket bernilai lebih dari $55 juta untuk membasmi penyelundupan tembakau dan alkohol, termasuk menambah jabatan-jabatan baru untuk tenaga yang berdedikasi. Dengan bertambahnya pengalaman, prospek-prospek untuk mengadakan pengawasan yang lebih baik di semua negara yang mempunyai masalah penyelundupan tampaknya akan meningkat. 73 73 73 74 MEREDAM WABAH 75 BAB 6 Biaya dan Konsekuensi Pengawasan terhadap Tembakau W ALAUPUN jelas-jelas terdapat ancaman tembakau terhadap kesehatan global, namun banyak pemerintah, terutama dari negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, belum mengambil tindakan cukup signifikan untuk mengurangi jumlah korbannya. Dalam beberapa kasus, hal ini disebabkan karena mereka menganggap kecil skala ancaman itu, atau karena keliru beranggapan bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengurangi konsumsinya. Akan tetapi, banyak pemerintah ragu-ragu untuk bertindak karena khawatir pengawasan terhadap tembakau akan mengakibatkan konsekuensi ekonomi yang tidak diinginkan. Dalam bab ini akan dibahas beberapa kekhawatiran umum tentang konsekuensi pengawasan terhadap tembakau atas perekonomian serta perorangan dan kemudian menjajagi efektivitas biaya sebuah intervensi. Apakah pengawasan terhadap tembakau merusak ekonomi? Di bawah ini akan dibahas secara singkat beberapa kekhawatiran yang menjadi masalah bersama, yaitu dalam bentuk jawaban atas beberapa pertanyaan yang sering dikemukakan. 75 76 MEREDAM WABAH Jika permintaan terhadap tembakau menurun, apakah banyak pekerjaan akan hilang? Alasan utama pemerintah untuk tidak bertindak terhadap tembakau adalah karena mereka takut akan terjadi pengangguran. Ketakutan ini terutama disebabkan oleh argumentasi yang diajukan industri tembakau, yang mengatakan bahwa langkah-langkah pengawasan akan mengakibatkan jutaan pekerjaan hilang di seluruh dunia. Namun, dengan mempelajari secara lebih saksama argumen mereka serta data yang mereka gunakan, dapat diketahui bahwa akibat negatif pengawasan terhadap tembakau pada pekerjaan merupakan pernyataan yang sangat berlebihan. Produksi tembakau merupakan bagian kecil dari perekonomian sebagian besar negara. Dari semua negara agraris, hanya beberapa negara yang sangat tergantung pada hasil pertanian tembakau. Karenanya, tidak akan ada pekerjaan yang hilang secara netto, bahkan mungkin pekerjaan akan bertambah jika konsumsi tembakau secara global menurun. Hal ini disebabkan uang yang semula dibelanjakan untuk tembakau akan digunakan untuk membeli barang dan jasa lain, yang pada akhirnya dapat menciptakan lebih banyak lagi pekerjaan. Bahkan, beberapa negara yang perekonomiannya tergantung pada tembakau akan memiliki pasar yang cukup besar untuk menjamin pekerjaan mereka selama tahuntahun mendatang, walaupun menghadapi permintaan yang secara gradual menurun. Industri tembakau memperkirakan bahwa di seluruh dunia terdapat 33 juta orang yang terlibat dalam pertanian tembakau. Jumlah ini meliputi pekerja musiman, pekerja paro-waktu, dan anggota keluarga petani tembakau. Juga termasuk para petani yang menanam tanaman lain di samping tembakau. Dari jumlah keseluruhannya, sekitar 15 juta orang berada di Cina dan 3,5 juta lainnya di India. Zimbabwe memiliki sekitar 100.000 pekerja pertanian tembakau. Jumlah yang relatif kecil tetapi cukup signifikan adalah petani tembakau di negara berpendapatan tinggi: di Amerika Serikat, misalnya, terdapat 120.000 usaha tani tembakau dan Uni Eropa memiliki 135.000 usaha tani tembakau — kebanyakan kecil lahannya — juga di Yunani, Italia, Spanyol, dan Prancis. Dari segi manufaktur, industri tembakau merupakan sumber pekerjaan yang kecil, karena bersifat mekanik canggih. Di hampir semua negara jumlah pekerjaan di pabrik tembakau hanya sebanyak satu persen dari seluruh pekerjaan manufaktur. Namun, terdapat beberapa pengecualian penting dalam pola ini, yaitu Indonesia tergantung pada industri tembakau sebesar 8 (delapan) persen dari keseluruhan output industri, sedangkan Turki, Bangladesh, Mesir, Filipina, dan Thailand bersandar pada industri ini di antara 2,5 dan 5 persen dari seluruh industri mereka. Jadi jelaslah bahwa pada umumnya produksi tembakau merupakan bagian kecil dari sebagian besar perekonomian. Pernyataan bahwa pengawasan terhadap tembakau akan membuat hilangnya pekerjaan secara besar-besaran biasanya berdasarkan studi yang dibiayai oleh industri tembakau yang menghitung jumlah pekerjaan terkait pada tembakau di BIAYA DAN KONSEKUENSI PENGAWASAN TERHADAP TEMBAKAU 77 setiap sektor, pendapatan yang dihubungkan dengan pekerjaan tersebut, pajak penghasilan yang didapat dari penjualan tembakau, dan sumbangan tembakau pada neraca perdagangan negara tersebut di mana pun dirasakan relevansinya. Studi tersebut juga memperkirakan efek ganda (mutiplier effect) dari uang yang diperoleh dari pertanian tembakau dan industrinya dalam menstimulasi aktivitas lainnya di bidang ekonomi. Akan tetapi, metode yang digunakan dalam studistudi tersebut mendapat kecaman. Pertama, mereka menghitung sumbangan kasar (gross) tembakau kepada kesempatan kerja dan perekonomian. Jarang sekali, kalau pun pernah ada, mereka mempertimbangkan kenyataan bahwa jika orangorang berhenti membelanjakan uangnya untuk tembakau, sebagai gantinya mereka biasanya membelanjakan uangnya untuk barang lain, dengan demikian akan menghasilkan pekerjaan-pekerjaan alternatif sebagai kompensasinya. Kedua, metode mereka membesar-besarkan dampak setiap intervensi yang menyebabkan penurunan permintaan, karena perkiraan mereka mengenai variabel-variabel tertentu, seperti kecenderungan merokok dan kecenderungan mekanisasi produksi rokok, condong bersifat statis. Berbagai studi independen tentang dampak tembakau terhadap beberapa perekonomian masing-masing mencapai kesimpulan yang berbeda. Studi independen itu bukannya menghitung sumbangan ekonomi bruto tembakau terhadap perekonomian, melainkan menilai kontribusi neto, yaitu keuntungan terhadap perekonomian yang diperoleh dari semua aktivitas yang berhubungan dengan tembakau, sesudah memperhitungkan efek kompensasi dari pekerjaan alternatif yang akan tumbuh disebabkan oleh uang yang tidak digunakan untuk membeli tembakau. Kesimpulan studi-studi tersebut adalah bahwa kebijakan pengawasan terhadap tembakau mungkin mempunyai sedikit atau tidak ada dampak negatif atas keseluruhan kesempatan kerja, kecuali di sedikit sekali negara yang memproduksi tembakau. Sebuah studi di Inggris menemukan bahwa di tahun 1990 jumlah pekerjaan akan dapat meningkat sekitar lebih dari 100.000 pekerjaan penuh waktu, jika para mantan perokok menggunakan uang mereka untuk membeli barang mewah dan jika setiap penurunan pendapatan pajak yang disebabkan oleh langkah-langkah non-pajak untuk menurunkan permintaan terhadap rokok diimbangi dengan mengenakan pajak pada barang dan jasa lain. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa sejumlah pekerjaan akan meningkat sekitar 20.000 buah antara tahun 1993 dan 2000 jika semua konsumsi [rokok] domestik dihilangkan. Meskipun di Amerika Serikat akan terjadi kehilangan pekerjaan neto di wilayah pertanian tembakaunya, tetapi secara nasional keseluruhannya akan meningkat karena uang tidak lagi untuk membeli tembakau tetapi digunakan untuk bidang lain dalam perekonomian. Tentu saja, transisi industri akan menimbulkan kesulitan dan dapat melahirkan masalah sosial dan politik dalam jangka pendek. Akan tetapi berbagai perekonomian telah melewati banyak transisi seperti itu dan yang ini tidak terkecuali. Penemuan-penemuan tersebut tidak hanya terbatas pada negara-negara 78 MEREDAM WABAH berpendapatan tinggi. Memang, beberapa negara berpendapatan rendah mungkin mengalami keuntungan luar biasa. Misalnya, sehubungan dengan studi yang dilakukan untuk latar belakang laporan ini. Bangladesh, yang rokoknya hampir semuanya diimpor, akan memperoleh manfaat besar jika semua konsumsi domestiknya terhapuskan. Di sektor formal dalam perekonomiannya, Bangladesh akan mendapat keuntungan bersih tambahan pekerjaan sekitar 18 persen jika para perokok membelanjakan uang mereka untuk barang dan jasa lain. Dampak terhadap perekonomian akibat jatuhnya konsumsi tembakau secara global akan bervariasi, tergantung pada jenis ekonomi suatu negara. Negara-negara dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Kategori pertama meliputi negaranegara yang menghasilkan lebih banyak tembakau mentah dibandingkan dengan yang dikonsumsi mereka, yaitu para pengekspor neto. Sebagai contoh adalah Brasil, Kenya, dan Zimbabwe. Kategori kedua meliputi negara-negara yang mengkonsumsi sebanyak yang mereka hasilkan, apa yang disebut ekonomi tembakau berimbang (“balanced” tobacco economy). Kategori ketiga adalah negara-negara yang mengkonsumsi lebih banyak dari yang mereka hasilkan, berarti pengimpor neto penuh. Kategori terakhir meliputi jauh lebih banyak negara, termasuk Indonesia, Nepal, dan Vietnam. Untuk kelompok negara terbesar, pengimpor neto penuh, sebagian besar dampak dari pengawasan terhadap tembakau akan dipikul oleh konsumen dan lebih banyak pekerjaan yang tercipta daripada yang hilang (Tabel 6.1). Akan tetapi, sebagian kecil negara agraris yang sangat tergantung pada tembakau akan kehilangan pekerjaan neto secara nasional. Di antara negara-negara produsen yang akan mengalami pengaruh paling parah adalah yang mengekspor sebagian besar hasil panen mereka, seperti Malawi dan Zimbabwe. Satu model mengatakan bahwa, jika semua pertanian tembakau di Zimbabwe berhenti besok, negara tersebut akan kehilangan 12 persen neto dari jumlah pekerjaan mereka. Akan tetapi, perlu diingatkan bahwa skenario yang demikian ekstrem adalah tidak mungkin terjadi. Pada tingkat rumah tangga dan masyarakat kecil pedesaan, penyesuaian seperti itu akan berarti kehilangan penghasilan, timbulnya pergolakan, dan kemungkinan relokasi. Selanjutnya, banyak pemerintah negara akan mempertimbangkan pentingnya membantu mempermudah proses transisi tersebut. (Kotak 6.1). Apakah pajak tembakau yang lebih tinggi akan mengurangi pendapatan pemerintah? Para pembuat kebijakan berkali-kali menyatakan penolakannya terhadap kenaikan pajak tembakau atas dasar pemikiran bahwa hasil penurunan permintaan itu akan mengorbankan pendapatan vital pemerintah. Sesungguhnya, hal sebaliknya akan terjadi dalam jangka pendek sampai jangka menengah, meskipun untuk jangka waktu yang sangat panjang situasinya kurang pasti. Pendapatan 79 BIAYA DAN KONSEKUENSI PENGAWASAN TERHADAP TEMBAKAU TABEL 6.1 STUDI DAMPAK PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN KONSUMSI TEMBAKAU PADA LAPANGAN KERJA Jenis/Nama Negara dan tahun Perubahan neto lapangan kerja sebagai persentase dari seluruh ekonomi berdasarkan tahun tertentu Asumsi Pengekspor Neto: Kanada (1992) 0,1 % Amerika Serikat (1993) 0% Inggris (1990) +0,5 % Zimbabwe (1980) -12,4 % Penghapusan semua pengeluaran konsumsi domestik sehubungan dengan pola “rata-rata” pengeluaran Penghapusan semua pengeluaran konsumsi domestik sehubungan dengan pola “rata-rata” pengeluaran Pengurangan pengeluaran konsumsi tembakau sekitar 40%, pengeluaran sehubungan dengan pola pengeluaran “yang berhenti saat ini” (recent stopper) Penghapusan semua konsumsi dan produksi tembakau domestik, didistribusikan kembali menurut pola “rata-rata” input-output Ekonomi tembakau berimbang Afrika Selatan (1995) +0.4% Inggris (1989) +0.3% Penghapusan semua pengeluaran konsumsi tembakau domestik, pengeluaran sehubungan dengan pola pengeluaran “yang berhenti saat ini”. Penghapusan semua pengeluaran konsumsi tembakau domestik, pengeluaran sehubungan dengan pola “rata-rata” pengeluaran. Pengimpor neto Amerika Serikat (1992) +0.1% Bangladesh +18,7% Penghapusan semua pengeluaran konsumsi tembakau domestik sehubungan dengan pola “rata-rata” pengeluaran. Penghapusan semua pengeluaran konsumsi tembakau domestik sehubungan dengan pola “rata-rata” pengeluaran. Sumber: Buck, David, and others., 1995; Irvine, I.J. and W.A. Sims, 1997; Mc Nicoll, I. H. dan S. Boyle, 1992; van der Merwe, Rowena, and others. (makalah latar belakang ); Warner, K.E. dan G.A. Fulton, 1994; Warner K.E. and others., 1996. dari pajak dapat diharapkan meningkat dalam jangka pendek dan jangka menengah, karena, meskipun harga yang lebih tinggi jelas mengurangi konsumsi, permintaan terhadap rokok sifatnya inelastic. Jadi, konsumsi rokok akan berkurang, tetapi dengan proporsi yang lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harganya. Di Inggris, misalnya, pajak rokok telah dinaikan berulang-ulang selama tiga dekade terakhir ini. Sebagian disebabkan oleh kenaikan-kenaikan itu, dan sebagian karena terus meningkatnya kesadaran akan konsekuensi kesehatan akibat 80 MEREDAM WABAH KOTAK 6.1 BANTUAN KEPADA PETANI TERMISKIN Prospeknya sangat kecil bahwa produksi tembakau akan turun tajam dan mendadak. Seperti ditunjukkan pada bab sebelumnya, kebijakan-kebijakan sisi penawaran produksi tembakau, sangat tidak mungkin dapat dipraktekkan atau diterima secara politis oleh banyak negara. Sementara itu, jika permintaan terhadap tembakau turun maka penurunannya itu akan lambat, sehingga memungkinkan mereka yang langsung terkena dampak penurunan itu untuk mengadakan penyesuaian secara perlahan-lahan pula. Penjajagan akurat mengenai bagaimana penurunan permintaan secara bertahap akan mempengaruhi masyarakat petani tembakau, jelas merupakan hal sangat penting bagi para pembuat kebijakan. Studi di banyak negara berpendapatan tinggi memperlihatkan bahwa ekonomi daerah-daerah penanaman tembakau di negaranegara tersebut secara perlahan-lahan telah dapat melakukan diversifikasi. Di negara berpendapatan tinggi, petani tembakau sudah sejak beberapa dekade melakukan penyesuaian-penyesuaian secara ekonomi dan banyak masyarakat petani tembakau saat ini dapat mengambil lebih banyak keuntungan ekonomis hasil diversifikasi dibandingkan di masa lalu. Minat terhadap diversifikasi lebih lanjut merupakan hal yang umum. Survai terakhir tentang petani tembakau di Amerika Serikat menunjukkan, misalnya, bahwa separo dari mereka yang ditanya paling tidak menyadari tentang adanya pertanian alternatif yang menguntungkan, yang kini diikuti oleh para petani tembakau di wilayah mereka sendiri. Petani yang lebih muda dan lebih berpendidikan dibandingkan dengan mereka yang lebih tua ternyata lebih berminat pada diversifikasi tersebut dan lebih melihat diversifikasi sebagai sesuatu yang mungkin. Demikian juga, sejumlah kecil petani minoritas yang ditanya pada survai itu menyadari prospek perubahan, tetapi mengakui bahwa hal itu akan berjalan lamban. Meskipun lebih dari delapan di antara sepuluh petani mengatakan bahwa mereka secara pribadi berharap tetap bertanam tembakau, tetapi satu dari tiga petani mengatakan akan menasehati anak mereka untuk tidak berbisnis dalam tanaman yang sama. Meskipun demikian, terdapat beberapa alasan mengapa pemerintah ingin memberikan bantuan kepada petani paling miskin untuk biaya transisi. Bertani merupakan sumber utama pekerjaan di pedesaan dan secara sosial sering dianggap sangat penting oleh banyak kalangan. Tambahan pula, para petani dapat menjadi oposisi politik yang penting mengenai pengawasan terhadap tembakau. Tindakan pemerintah yang sesuai termasuk sejumlah upaya yang berbeda, seperti mendorong kebijakan yang sehat dalam pertanian dan perdagangan, mengadakan program pembangunan pedesaan yang luas, memberikan bantuan untuk diversifikasi tanaman, pelatihan pedesaan, dan sistem jaring pengaman yang lain. Beberapa pemerintah mengusulkan bahwa bantuan semacam itu mungkin dapat dibiayai dari pajak tembakau. Pemerintah boleh juga belajar dari keberhasilan upaya-upaya setempat. Di Amerika Serikat, misalnya, beberapa masyarakat pedesaan yang secara tradisional tergantung pada tembakau, telah membentuk koalisi dengan pejabat-pejabat kesehatan masyarakat untuk menyetujui prinsip-prinsip dasar bagi kebijakan yang akan menurunkan konsumsi tembakau dan juga mempromosikan pembangunan masyarakat pedesaan yang berkesinambungan. BIAYA DAN KONSEKUENSI PENGAWASAN TERHADAP TEMBAKAU 81 merokok, maka konsumsi rokok menurun tajam dalam waktu yang sama, dengan jumlah rokok per tahun yang terjual turun dari 138 milyar menjadi 80 milyar batang rokok selama tiga dekade. Meskipun begitu pendapatan negara tetap meningkat. Di Inggris, untuk setiap kenaikan pajak satu persen, pendapatan pemerintah naik sekitar 0,6 dan 0,9 persen (Gambar 6.1). Melalui sebuah model yang dikembangkan dalam studi ini disimpulkan bahwa kenaikan sederhana cukai rokok sebesar 10 persen di seluruh dunia akan menaikkan pendapatan dari pajak tembakau sekitar 7 (tujuh) persen secara keseluruhan, dengan dampak yang bervariasi untuk setiap negara. Beberapa tindakan nonharga, seperti larangan iklan dan promosi, [pemuatan] informasi di media massa, dan [pemasangan] label peringatan diperkirakan akan mengurangi pendapatan. Intervensi yang lebih memberi kebebasan pada terapi pengganti nikotin dan usaha penangkal yang lain juga akan mengurangi konsumsi, demikian juga akan mengurangi pendapatan. Akan tetapi setiap bentuk pengaruh terhadap pendapatan akan bersifat bertahap dan sebuah paket pengawasan komprehensif yang mencakup peningkatan pajak, bagaimanapun, mungkin akan membawa kepada peningkatan pendapatan bersih. Memang perlu diketahui bahwa apabila tujuan akhir pengawasan terhadap tembakau adalah demi kepentingan kesehatan manusia, maka secara ideal para pembuat kebijakan akan berharap dapat melihat konsumsi tembakau merosot ke tingkat yang paling rendah, sehingga akhirnya pendapatan dari pajak tembakau akan menurun juga. Kehilangan pendapatan yang besar dapat diartikan sebagai langkah sukses pengawasan tembakau – atau sebagai kemauan masyarakat untuk membayar demi memperoleh manfaat kesehatan akibat mengurangi konsumsi rokok. Tetapi ini lebih merupakan kemungkinan teoretis daripada skenario yang dapat dijalankan. Berdasarkan pola dewasa ini, jumlah perokok diperkirakan meningkat di negara berpendapatan rendah dalam tiga dekade mendatang. Yang juga sama pentingnya, adalah bahwa pemerintah dapat bebas memperkenalkan pajak pendapatan atau pajak konsumsi alternatif yang akan menggantikan pendapatan dari hasil perolehan pajak tembakau. Apakah kenaikan pajak tembakau akan meningkatkan penyelundupan secara besar-besaran? Sudah sejak lama menjadi perdebatan bahwa pajak yang lebih tinggi akan menyebabkan meningkatnya penyelundupan rokok dan aktivitas kriminal yang terkait. Menurut skenario ini, konsumsi rokok akan tetap tinggi dan pendapatan pajak akan merosot. Akan tetapi, secara ekonometrik dan analisis lain sebagai hasil pengalaman banyak negara berpendapatan tinggi menunjukkan bahwa, walaupun menghadapi angka penyelundupan yang tinggi, peningkatan pajak tetap menghasilkan kenaikan pendapatan dan menurunkan konsumsi rokok. Oleh karena itu, walaupun penyelundupan tidak diragukan lagi sebagai masalah serius, dan meskipun perbedaan tingkat pajak tembakau yang menyolok di antara negara- MEREDAM WABAH 82 GAMBAR 6.1 DENGAN NAIKNYA PAJAK TEMBAKAU PENDAPATAN NEGARA MENINGKATJUGA Pendapatan dari pajak (dalam juta pound sterling) 9000 Pendapatan dari pajak 8500 £ 3.00 £ 2.80 £ 2.60 8000 £ 2.40 7500 £ 2.20 7000 £ 2.00 Harga £ 1.80 6500 £ 1.60 6000 £ 1.40 1971 1974 1977 1980 1983 1986 1989 1992 1995 Tahun Harga (dalam pound sterling tahun 1994) Harga riil dan pendapatan dari pajak tembakau di Inggris, 1971-95 Sumber: Townsend, Joy “The Role of Taxation Policy in Tobacco Control.” dalam Abedian I., and others.. eds. The Economic of Tobacco Control. Cape Town South Africa: Applied Fiscal Research Centre, University of Cape Town. negara dapat menjadi insentif bagi para penyelundup, tetapi tanggapan yang sesuai untuk masalah penyelundupan bukan dengan cara mengurangi tingkat pajak atau membatalkan kenaikan pajak. Sebaliknya, tindakan yang tepat adalah memerangi kejahatan itu. Kesimpulan logis kedua adalah harmonisasi tingkat pajak rokok di antara negara-negara tetangga akan membantu turunnya insentif untuk menyelundup. Pengalaman Kanada memberikan gambaran yang jelas tentang hal di atas. Pada permulaan tahun 1980-an dan 1990-an, Kanada menaikkan pajak rokok cukup tinggi sehingga harga rokok meningkat secara signifikan. Antara tahun 1979 dan 1991 jumlah remaja yang merokok mengalami penurunan hampir dua pertiganya, perokok dewasa menurun, dan pendapatan pajak dari rokok meningkat secara substansial. Akan tetapi, karena khawatir akan makin meningkatnya penyelundupan, pemerintah memotong pajak rokok secara tajam. Akibatnya, prevalensi perokok remaja meningkat, demikian juga terjadi kenaikan perokok di antara penduduk secara keseluruhan. Sementara itu pendapatan negara federal atas pajak tembakau menurun lebih dua kali lipat dari yang diperkirakan. Pengalaman negara Afrika Selatan juga menarik. Selama tahun 1990-an BIAYA DAN KONSEKUENSI PENGAWASAN TERHADAP TEMBAKAU 83 Afrika Selatan menaikkan cukai rokok secara tajam dengan lebih dari 450 persen. Sebagai persentase harga penjualan, pajak meningkat 38 sampai 50 persen. Tidak mengherankan kalau penyelundupan meningkat juga, dari nol menjadi kira-kira 6 persen dari seluruh pasar secara rata-rata global. Penjualan pun menurun dengan lebih dari 20 persen, dan ini menunjukkan penurunan konsumsi neto yang berarti, sekalipun dengan penyelundupan yang meningkat. Sementara itu, secara riil pendapatan total pajak lebih dari dua kali lipat. Sebuah studi ekonometrik menilai dampak potensial berbagai skenario pajak terhadap insentif penyebab penyelundupan rokok antarnegara di Eropa. Analisis tersebut menyimpulkan bahwa meskipun tingkat penyelundupan beberapa kali lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan di Eropa, pengenaan pajak yang lebih tinggi akan tetap menghasilkan pendapatan yang lebih besar secara keseluruhan. Studi tersebut menyimpulkan bahwa penyelundupan yang didorong oleh tingginya harga rokok mungkin menjadi masalah besar di negara-negara yang rokoknya telah dihargai tinggi. Penyelundupan ke negara-negara yang harga rokoknya relatif murah, secara relatif tidak akan terpengaruh oleh kenaikan-kenaikan harga. Apakah konsumen miskin akan menanggung beban finansial terberat? Dalam banyak masyarakat terdapat konsesus bahwa sistem perpajakan haruslah adil dalam arti mereka yang memiliki kemampuan membayar paling besar harus dikenai pajak paling tinggi. Konsesus ini tercermin, misalnya, dalam sistem pajak penghasilan progresif, yaitu angka marjinal pajak akan naik bila penghasilan meningkat. Akan tetapi, pajak tembakau merupakan pajak regresif, yaitu seperti halnya pajak atas barang-barang konsumsi lain, pajak-pajak ini secara tidak proporsional memberi beban finansial yang berat kepada mereka yang berpenghasilan rendah. Sifat regresif ini kemudian menjadi meningkat sesuai kenyataan bahwa merokok merupakan hal yang lebih lumrah pada keluarga miskin daripada keluarga kaya, sehingga perokok miskin menggunakan lebih banyak penghasilannya untuk membayar pajak rokok daripada perokok kaya. Timbul kekhawatiran bahwa kalau pajak dinaikkan, konsumen miskin akan menggunakan makin banyak penghasilannya untuk membeli rokok, yang akhirnya dapat menimbulkan kesulitan rumah tangga. Bahkan, dengan permintaan yang makin kecil sekalipun, bila konsumen yang miskin terus mengkonsumsi lebih banyak tembakau dibandingkan konsumen yang kaya, mereka juga akan membayar pajak lebih banyak. Akan tetapi, banyak sekali studi membuktikan bahwa penduduk dengan penghasilan lebih rendah jauh lebih tanggap terhadap perubahan harga dibandingkan penduduk berpenghasilan tinggi. Ketika konsumsi mereka menurun tajam, beban pajak relatif mereka akan menurun pula dibandingkan dengan beban pajak konsumen yang lebih kaya, meskipun pembayaran pajak absolut mereka tetap lebih besar. Dua studi dari Inggris dan Amerika Serikat mendukung gagasan peningkatan pajak tembakau menjadi progresif, meskipun pajak tembakau itu sendiri regresif. Studi lebih lanjut perlu 84 MEREDAM WABAH dilakukan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah untuk mengkonfirmasi temuan ini. Tentu saja semua perokok individual harus melupakan manfaat yang dirasakan dari merokok serta menanggung biaya untuk melepaskan diri dari merokok, dan semua kehilangan itu secara komparatif akan dirasakan lebih berat oleh konsumen miskin. Seperti halnya dengan bentuk pajak tunggal lainnya, pengenaan pajak tembakau harus dengan tujuan yang memastikan bahwa seluruh sistem pajak dan pengeluaran bersifat proporsional atau progresif. Dewasa ini, sistem perpajakan di banyak negara merupakan campuran beberapa jenis pajak yang berbeda, yang tujuan keseluruhannya adalah progresif atau proporsional, meskipun mungkin ada pajak-pajak individual atau unsur-unsur dalam sistem pajak yang sifatnya regresif. Untuk mengimbangi sifat regresif pajak tembakau, pemerintah dapat memperkenalkan lebih banyak pajak progresif atau program transfer yang lain. Pengadaan pelayanan sosial yang ditargetkan dengan baik, seperti program pendidikan dan kesehatan, akan cenderung menahan regresivitas pajak tembakau. Walaupun pada prinsipnya kepentingan umum harus dibiayai dari hasil pajak secara umum, kemampuan unik perpajakan tembakau dalam meningkatkan pendapatan tidak dapat diabaikan. Di Cina, diperkirakan 10 persen kenaikan pajak rokok akan menghasilkan penurunan konsumsi rokok sekitar 5 persen dan menaikkan pendapatan dari pajak sekitar 5 persen juga, dengan demikian membuat peningkatan ini cukup untuk membiayai paket pelayanan kesehatan esensial bagi sepertiga dari 100 juta penduduk termiskin di Cina. Apakah pengawasan terhadap tembakau membebankan biaya pada perorangan? Dengan mengurangi konsumsi rokok, langkah-langkah pengawasan terhadap tembakau akan mengurangi kepuasan atau keuntungan-keuntungan para perokok – sama halnya seperti pengurangan barang konsumsi lainnya akan mengurangi kesejahteraan konsumen. Perokok reguler harus meninggalkan kenikmatan merokok atau menanggung biaya untuk lepas dari rokok, atau keduanya. Ini merupakan hilangnya surplus konsumen dan harus diperbandingkan dengan keuntungan-keuntungan pengawasan terhadap tembakau. Akan tetapi, seperti terlihat sebelumnya, tembakau bukanlah barang konsumsi khas dengan keuntungan yang khas pula karena adanya masalah kecanduan dan informasi. Bagi perokok yang sudah kecanduan yang menyesal telah merokok dan menyatakan keinginannya untuk berhenti merokok, keuntungan merokok mungkin termasuk penghindaran dari penghentian merokok. Bila langkah-langkah pengawasan terhadap tembakau mengurangi konsumsi para perokok perorangan, perokok-perokok itu akan menghadapi biaya penghentian merokok yang signifikan. Mengingat bahwa sebagian besar perokok yang menyatakan keinginan untuk berhenti merokok sangat sedikit yang berhasil atas biaya sendiri, hal itu mungkin BIAYA DAN KONSEKUENSI PENGAWASAN TERHADAP TEMBAKAU 85 menunjukkan bahwa biaya untuk berhenti merokok dirasakan lebih besar daripada biaya bila terus merokok, seperti biaya karena rusaknya kesehatan. Dengan membuat biaya untuk terus merokok lebih besar daripada biaya penghentian merokok, pajak yang lebih besar dapat mendorong sejumlah perokok untuk berhenti merokok. Akan tetapi, para perokok ini masih tetap akan menghadapi biaya penghentian merokok. Dengan memberikan informasi tentang konsekuensi kesehatan akibat merokok, akan meningkatkan biaya yang dirasakan bila terus merokok, serta mengingatkan perokok akan manfaat penghentian merokok. Akses yang diperluas untuk memperoleh terapi pengganti nikotin (Nicotine Replacement Therapy= NRT) dan lain-lain intervensi pencegahan, dapat membantu mengurangi biaya penghentian merokok. Mungkin saja diperdebatkan bahwa langkah-langkah pengawasan terhadap tembakau akan membebankan biaya lebih besar kepada orang-orang miskin daripada kepada mereka yang berpendapatan lebih tinggi. Akan tetapi, jika benar demikian keadaannya untuk tembakau, hal itu tentu bukan sesuatu yang unik dilihat dari segi kesehatan. Untuk mendapatkan berbagai intervensi kesehatan, seperti imunisasi anak atau keluarga berencana, biayanya sering lebih mahal bagi rumahtangga yang miskin. Misalnya, keluarga miskin harus berjalan lebih jauh untuk pergi ke klinik daripada keluarga kaya, dan selama itu mereka bisa kehilangan penghasilan. Namun, biasanya tenaga kesehatan tidak ragu-ragu mengatakan bahwa manfaat sebagian besar intervensi bagi kesehatan, seperti misalnya imunisasi, adalah seimbang dengan biaya yang dikeluarkan, sepanjang biaya itu tidak meningkat sedemikian tinggi sehingga orang-orang yang lebih miskin menjadi tidak bergairah memanfaatkan pelayanan tersebut. Dalam mempertimbangkan hilangnya surplus konsumen terhadap perokok, penting dibedakan antara perokok reguler dan yang lain. Untuk anak-anak dan remaja, yaitu mereka yang pemula atau hanya perokok potensial, biaya untuk menghindari tembakau mungkin tidak mahal, karena mereka belum sampai kecanduan dan oleh karenanya biaya untuk melepaskan diri dari rokok tentunya minimal. Kerugian lain dapat berupa, misalnya kurang diterima oleh kelompok mereka, kurang merasakan kepuasan memberontak terhadap orang tua, dan pengebirian kenikmatan lainnya yang diperoleh dari perilaku merokok. Pembatasan merokok di tempat-tempat umum dan tempat kerja pribadi juga merupakan beban bagi perokok karena memaksa mereka merokok di luar ruangan atau terpaksa mengurangi kesempatan untuk merokok. Intervensi-intervensi ini akan secara tepat menggeser biaya merokok dari bukan perokok kepada perokok. Sekali lagi, bagi sebagian perokok, peningkatan biaya ini akan menyebabkan mereka mengubah pola merokok mereka dan akan membebani mereka dengan biaya. Akan tetapi bagi orang-orang bukan perokok, kebijakan pengawasan terhadap tembakau akan memberikan keuntungan berupa kesejahteraan. Jadi jelaslah bahwa kesejahteraan yang hilang dapat lebih diminimalkan jika intervensi pengawasan diterapkan sebagai satu paket. 86 MEREDAM WABAH Apakah pengawasan terhadap tembakau pantas dibiayai ? Sekarang pertanyaannya apakah pengawasan terhadap tembakau itu efektif secara biaya relatif dibandingkan dengan biaya intervensi-intervensi kesehatan yang lain. Bagi pemerintah yang mempertimbangkan untuk melakukan intervensi, informasi semacam itu akan merupakan faktor penting untuk menetapkan bagaimana melaksanakan intervensi itu. Keefektifan biaya berbagai intervensi kesehatan dapat dievaluasi dengan memperkirakan keuntungan-keuntungan yang dapat diharapkan dalam tahuntahun hidup sehat (years of healthy life) dari masing-masing orang sebagai imbalan dari dana masyarakat yang dipergunakan untuk menerapkan intervensi tersebut. Sesuai dengan laporan Bank Dunia dalam 1993 World Development Report: Investing in Health, kebijakan pengawasan terhadap tembakau dianggap sebagai efektif biayanya dan karenanya pantas dimasukkan dalam paket minimal perawatan kesehatan. Studi-studi yang ada menyatakan bahwa biaya programprogram berdasar kebijakan adalah sekitar $20 sampai $80 per discounted year of healthy life saved (one disability-adjusted life year atau DALY).1 Untuk studi ini, dibuat perkiraan mengenai analisis keefektivan biaya dari setiap intervensi untuk menurunkan permintaan sebagaimana diuraikan dalam Bab 4: peningkatan pajak, paket langkah-langkah nonharga termasuk larangan iklan dan promosi, informasi kesehatan yang lebih luas, pembatasan merokok di tempat umum, dan NRT . Penemuan ini mungkin memiliki nilai khusus bagi negara berpendapatan rendah dan menengah untuk dapat menentukan penekananpenekanan intervensi spesifik yang mungkin lebih sesuai bagi keperluan mereka. Perkiraan dibuat dalam kerangka model seperti diuraikan dalam Kotak 4.1. Asumsi model dan variabelnya diuraikan secara lengkap dalam makalah latar belakang laporan ini. Beberapa intervensi, seperti meningkatkan pajak atau melarang iklan dan promosi rokok, memerlukan biaya nol atau sangat minimal, karena langkah-langkah tersebut merupakan intervensi dengan hanya menggoreskan pena (stroke-of-the-pen). Secara konservatif, model tersebut banyak memasukkan biaya implementasi dan administrasi [kebijakan], di samping biaya obat-obatan untuk NRT. Akan tetapi, biaya tersebut tidak memperhitungkan biaya yang mungkin ditanggung oleh perorangan. Hasilnya (Tabel 6.2) menyatakan bahwa meningkatkan pajak merupakan intervensi yang paling efektif biayanya (cost-effective) jauh lebih baik dan merupakan sesuatu yang lebih berhasil jika dibandingkan dengan intervensi kesehatan lainnya. Tergantung pada asumsi-asumsi yang dibuat tentang biaya administrasi untuk peningkatan dan pemantauan pajak tembakau yang lebih tinggi, biaya untuk mengimplementasikan kenaikan pajak sebesar 10 persen dapat lebih kecil dari $5 per DALY (dan mungkin tidak lebih tinggi dari $17 per DALY) di negara berpendapatan rendah dan sedang. Hal ini memperlihatkan bahwa keefektifan biaya mempunyai nilai yang sepadan dengan banyak intervensi kesehatan yang 87 BIAYA DAN KONSEKUENSI PENGAWASAN TERHADAP TEMBAKAU dibiayai oleh pemerintah, seperti imunisasi anak. Langkah-langkah nonharga mungkin dapat menyebabkan keefektifan biaya yang tinggi bagi negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Tergantung pada asumsi yang menjadi dasar estimasi, sebuah paket dapat dijalankan dengan biaya sebanyak-banyaknya $68 per DALY. Tingkat manfaat-biaya ini cukup sebanding dengan beberapa intervensi kesehatan masyarakat yang telah berjalan, seperti paket pengelolaan terpadu untuk anak sakit, yang di negara-negara berpendapatan rendah diperkirakan biayanya sekitar $30 sampai $50 per DALY dan antara $50 sampai $100 di negaranegara berpendapatan sedang. TABEL 6.2 KEEFEKTIVAN BIAYA LANGKAH-LANGKAH PENGAWASAN TERHADAP TEMBAKAU Nilai berbagai Intervensi Pengawasan terhadap Tembakau (US$ per DALY terselamatkan) menurut Wilayah Wilayah Asia Timur & Pasifik Eopa Timur & Asia Tengah Amerika Latin & Karibia Timur Tengah & Afrika Utara Asia Selatan Afrika Sub-Sahara Berpendapatan rendah/sedang Berpendapatan tinggi Kenaikan harga 10% 3 s/d 13 4 s/d 15 10 s/d 42 7 s/d 28 3 s/d 10 2 s/d 8 4 s/d 17 161 s/d 645 Tindakan nonharga dengan keefektifan 5% 53 s/d 212 64 s/d 257 173 s/d 690 120 s/d 482 32 s/d 127 34 s/d 136 68 s/d 272 1,347 s/d 5.388 NRT (disediakan untuk umum) dengan peliputan 25% 338 s/d 355 227 s/d 247 241 s/d 295 223 s/d 260 289 s/d 298 195 s/d 206 276 s/d 297 746 s/d 1.160 Catatan: Untuk semua perhitungan ini telah ditentukan 3% diskon dan keuntungan telah diproyeksikan di atas 30 tahun; untuk intervensi nonharga, biayanya telah diproyeksikan untuk jangka waktu 30 tahun. Dengan membuat beberapa jenis biaya pelaksanaan, intervensi hasilnya berkisar antara 0.005% sampai 0.02% dari HKN (GNP) per tahun Sumber: Ranson, Kent, P. Jha, F. Chaloupka, and A. Yurekli. Effectiveness and Cost-effectiveness of Price Increases and Other Tobacco Control Policy Interventions. Makalah latar belakang. Studi ini juga mempelajari keefektivan biaya yang mungkin terjadi dalam perluasan akses untuk memperoleh NRT. Untuk perkiraan itu, diasumsikan bahwa biaya NRT akan terpenuhi dari dana masyarakat. Hasil studi menyarankan bahwa pemerintah harus secara hati-hati membuat analisis keefektivan biaya setempat sebelum mempertimbangkan penyediaan terapi-terapi baru itu langsung kepada umum. Penting dicatat bahwa hanya dengan membebaskan akses [kepada NRT] saja sudah lebih mungkin menjadi efektif dari segi biaya dan dengan meningkatnya efektivitas serta jumlah orang dewasa yang ingin berhenti merokok, maka manfaatbiaya NRT pun akan menjadi semakin baik. 88 MEREDAM WABAH Sudah jelas bahwa diperlukan banyak penelitian untuk mengidentifikasi efektivitas paket semacam itu, bagaimana kemungkinan efektivitas-biayanya di negara-negara dengan tingkat penghasilan yang berbeda, dan berapa besar biayanya untuk perorangan. Yang ada sekarang baru suatu estimasi yang kurang sempurna tentang biaya untuk mengimplementasikan program pengawasan terhadap tembakau secara komprehensif. Bukti yang diperoleh dari negara berpendapatan tinggi memperlihatkan bahwa dengan dana yang kecil pun, program-program komprehensif semacam itu dapat dilaksanakan. Negara berpendapatan tinggi dengan program yang sangat komprehensif menghabiskan dana antara 50 sen dolar sampai $2.50 per kapita per tahun. Dalam hubungan ini, pengawasan terhadap tembakau di negara berpendapatan rendah dan sedang mungkin dapat dibiayai, bahkan demikian pula di negara-negara dimana pengeluaran per kapita masyarakat untuk kesehatan sangat rendah. Dalam laporannya: 1993 World Development Report, Investing in Health, Bank Dunia memperkirakan bahwa untuk menyelenggarakan paket intervensi kesehatan masyarakat yang esensial dimasukkan pula program pengawasan terhadap tembakau. Untuk itu pemerintah hanya perlu mengeluarkan uang $4 per kapita di negara berpendapatan rendah dan $7 di negara berpendapatan sedang. Karena merupakan bagian kecil dari biaya keseluruhan, biaya pengawasan terhadap tembakau menjadi sangat kecil. Catatan 1. Disability-adjusted life year (DALY) adalah ukuran berdasarkan waktu yang memungkinkan ahli epidemiologi mengetahui dalam satu indikator tahun-tahun yang hilang karena kematian dini dan tahun-tahun ia hidup dengan kecacatan akibat penyakit dan lamanya menderita (kematian dini itu didefinisikan sebagai sesuatu yang terjadi pada usia sebelum orang yang mati itu menjalani tahun-tahun yang diharapkan ia masih hidup, seandainya ia menjadi anggota model penduduk standar dengan angka harapan hidup sama dengan yang hidup terlama di dunia, yaitu di Jepang). Satu DALY adalah satu tahun hidup yang hilang. 89 BAB 7 Sebuah Agenda untuk Bertindak H ANYA ada dua penyebab kematian yang tinggi tingkatnya dan merambah ke dunia luas: HIV dan tembakau. Walaupun sebagian besar negara sedikitnya telah menanggapi adanya HIV itu, tanggapan terhadap wabah tembakau secara global sebegitu jauh masih terbatas dan terasa tidak beraturan (patchy). Dalam bab ini akan dibahas beberapa faktor yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah untuk bertindak dan mengajukan suatu rencana tindakan yang efektif. Semua pemerintah mengakui bahwa dalam menyusun kebijakan, harus memperhitungkan banyak faktor dan bukan hanya faktor ekonomi saja. Kebijakan pengawasan terhadap tembakau tidak merupakan pengecualian. Sebagian besar masyarakat sangat memperhatikan perlindungan terhadap anak-anak, walaupun tingginya tingkat perhatian itu bervariasi dari satu budaya ke budaya lainnya. Sebagian besar masyarakat mengharapkan agar lebih banyak diusahakan untuk mengurangi penderitaan dan kerugian emosional yang diakibatkan oleh tembakau yang membawa penyakit dan kematian dini itu. Studi ekonomi sampai saat ini belum menemukan suatu konsensus bagaimana menilai beban ini. Bagi seorang pembuat kebijakan yang berusaha memperbaiki kesehatan masyarakat, pengawasan terhadap tembakau merupakan suatu pilihan yang menarik. Dengan sedikit saja mengurangi beban penyakit berskala demikian besar, sudah akan memberikan perbaikan kesehatan yang cukup signifikan. Konsensus yang muncul di antara berbagai masyarakat yang menyatakan bahwa perlu ada perbaikan kesehatan, tercermin dalam kebijakan-kebijakan mengenai rokok dan tindakantindakan World Health Organization serta organisasi-organisasi internasional lainnya. (Lihat Gambar 7.1 dan 7.2 serta Lampiran A). 89 MEREDAM WABAH 90 Mungkin banyak masyarakat beranggapan bahwa alasan terkuat mengadakan pengawasan terhadap tembakau adalah untuk menghalangi anak-anak dan remaja mengisap rokok. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan dalam Bab 3, intervensi yang secara khusus hanya ditujukan kepada konsumen termuda itu tidak akan memberikan dampak yang diharapkan, sedangkan intervensi yang benar-benar efektif — terutama perpajakan — akan juga berdampak pada orang dewasa. Demikian pula, intervensi yang ditujukan khusus untuk melindungi orang-orang GAMBAR 7.1 KECUALI PEROKOK SEKARANG INI BERHENTI, KEMATIAN AKIBAT TEMBAKAU SECARA DRAMATIS AKAN MENINGKAT DALAM 50 TAHUN MENDATANG Kematian kumulatif akibat tembakau yang diperkirakan terjadi tahun 1950-2050 dengan strategi intervensi berbeda. 500 520 500 Baseline Apabila setengah dari proporsi orang muda Kematian akibat tembakau (dalam juta) dewasa mulai merokok pada tahun 2020 400 Apabila konsumsi orang dewasa menjadi setengah pada tahun 2020 340 300 220 200 190 100 70 0 1950 2000 2025 2050 Tahun Catatan: Peto dan kawan-kawan mengestimasi 60 juta kematian akibat tembakau di negaranegara maju antara tahun 1950-2000. Penulis mengestimasi tambahan 10 juta (kematian) antara tahun 1990-2000 di negara-negara berkembang. Penulis mengasumsikan bahwa tidak ada kematian akibat tembakau sebelum 1990 di negara-negara berkembang dan kematian akibat tembakau di seluruh dunia sangat minimal sebelum 1950. Proyeksi-proyeksi jumlah kematian dari tahun 2000 didasarkan atas [informasi dari] Peto (komunikasi pribadi (1998) Sumber: Peto, Richards, and others, 1994. Mortality from Smoking in Developed Countries 1950-2000. Oxford University Press, dan komunikasi pribadi dengan Richard Peto. SEBUAH AGENDA UNTUK BERTINDAK 91 yang tidak merokok akan gagal melindungi sebagian besar dari mereka dan karenanya, sekali lagi, pajak adalah opsi yang paling efektif. Dalam konteks pembuatan kebijakan yang sesungguhnya, banyak masyarakat akan mempertimbangkan untuk menerima dampak yang lebih luas dari kebijakankebijakan itu, yang dalam istilah pragmatis, bahkan lebih diharapkan. Bagaimanapun, setiap kebijakan pengawasan terhadap tembakau yang efeknya hanya untuk menahan anak-anak agar tidak memulai merokok, dalam dekadedekade berikut tidak akan mempunyai dampak pada kematian secara global sebagai akibat merokok, sebab sebagian besar kematian yang diperkirakan terjadi dalam paro pertama abad berikut ini adalah para perokok yang memang sudah lama ada (Gambar 7.1). Oleh karena itu, pemerintah yang ingin memperoleh kemajuan dalam masalah kesehatan dalam jangka waktu menengah akan berkeinginan mengajak orang-orang dewasa untuk juga berhenti merokok. Mengatasi hambatan politis terhadap perubahan Untuk membuat [suatu kebijakan itu] efektif, setiap pemerintah yang memutuskan untuk melaksanakan pengawasan terhadap tembakau harus melakukannya dalam konteks bahwa keputusan tersebut mendapatkan dukungan luas. Walaupun tampaknya para perokok akan menentang keras pengawasan terhadap tembakau itu, namun dalam kenyataan agak berbeda. Dalam berbagai studi di negara-negara berpendapatan tinggi yang memiliki program-program pengawasan terhadap tembakau, kebanyakan perokok dewasa ternyata mendukung paling tidak sebagian program pengawasan tersebut, misalnya tersedianya informasi yang bisa diperoleh secara mudah. Pemerintah tidak akan berhasil mengerjakannya sendiri tanpa melibatkan masyarakat sipil, sektor swasta, dan kelompok-kelompok peduli. Program-program itu mungkin akan lebih berhasil apabila terdapat suatu persetujuan kolektif dan rasa memiliki melalui kerja sama luas antara berbagai kepentingan masyarakat dengan penguasa untuk melaksanakan dan mempertahankan perubahan itu. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengukur dampak terpadu dari gabungan intervensi-intervensi itu. Seperti dilukiskan dalam Bab 4, setiap intervensi mampu mencegah jutaan kematian, tetapi apakah suatu paket tindakan akan mampu lebih banyak lagi menyelamatkan kehidupan dibandingkan dengan jumlah dari hasil semua intervensi individual itu, sampai kini belum diketahui. Dalam melaksanakan suatu paket [tindakan], setiap negara tampaknya akan memberikan tekanan berbeda pada bermacam-macam intervensi, tergantung pada kondisi negara tersebut. Misalnya, sebuah negara yang tingkat pajak rokoknya lebih rendah daripada yang dikenakan di negara-negara tetangganya, akan mendapatkan bahwa kenaikan pajak akan memberi dampak yang istimewa kuatnya terhadap konsumsi rokok. Demikian pula halnya dengan penduduk yang relatif terpelajar dan mampu akan kurang terpengaruh pada harga, tetapi lebih memperhatikan informasi baru jika dibandingkan dengan penduduk yang kurang 92 MEREDAM WABAH berpendidikan dan lebih miskin. Faktor-faktor budaya, misalnya, adanya suatu kekuasaan totaliter, mungkin dapat mempengaruhi penerimaan suatu peraturan misalnya, larangan merokok di tempat-tempat umum. Generalisasi ini tampaknya suatu penyederhanaan, namun para pembuat kebijakan mungkin perlu memperhatikan bila bermaksud memulainya. Banyak pemerintah yang merencanakan suatu perubahan dengan tindakan pengawasan terhadap tembakau, menghadapi halangan politis yang besar. Namun, dengan mengidentifikasi pihak-pihak berkepentingan [stakeholders] di suatu negara, baik dari pihak penyedia maupun dari pihak pemakai, para pembuat kebijakan akan dapat mengetahui situasi masing-masing pihak, apakah tersebar atau terkonsentrasi dan lain-lain faktor yang akan dapat mempengaruhi tanggapan pihak-pihak tersebut terhadap suatu perubahan. Sebagai contoh, pembuat kebijakan mungkin mengetahui bahwa para “pemenang”, yaitu mereka yang tidak merokok mungkin adalah kelompok yang bertebaran dan berjauhan; sedangkan mereka yang kalah, seperti petani tembakau mungkin mempunyai pengaruh politik dan emosional yang kuat. Oleh karena itu, suatu perencanaan dan pemetaan politik yang teliti sangat diperlukan agar dapat mencapai transisi yang mulus dari ketergantungan sampai menjadi bebas dari tembakau, betapa pun sifat ekonomi dan bentuk kerangka politik nasionalnya. Pemetaan semacam itu telah dilakukan, misalnya di Vietnam. Prioritas penelitian Langkah-langkah untuk menekan permintaan seperti pajak lebih tinggi dan larangan iklan serta promosi sudah tampak hasilnya di negara-negara berpendapatan tinggi dan sudah cukup diketahui pentingnya untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut tanpa ditunda-tunda lagi. Namun, sejalan dengan itu diperlukan suatu agenda penelitian, baik di bidang epidemiologi maupun ekonomi, untuk membantu pemerintah menyesuaikan paket-paket intervensi mereka sehingga mampu mencapai keberhasilan besar. Di bawah ini diberikan beberapa bidang penelitian penting. Penelitian terhadap penyebab, konsekuensi, serta biaya merokok pada tingkat nasional dan regional Suatu penelitian diperlukan pada tingkat nasional maupun regional untuk “menghitung kematian akibat tembakau” dan menggolong-golongkan kematian berdasarkan penyebabnya. Suatu cara mudah dan murah adalah menuliskan keterangan mengenai perilaku merokok [seseorang] di masa lalu pada sertifikat kematiannya, dan dengan demikian dapat mengadakan perbandingan kelebihan merokok di antara kematian yang disebabkan oleh tembakau atau oleh sebab lain. Keuntungan penelitian semacam itu melebihi nilai praktisnya sebagai suatu informasi bagi pemerintah tentang status wabah tembakau atau sekedar suatu SEBUAH AGENDA UNTUK BERTINDAK 93 informasi dasar (baseline) yang dapat digunakan untuk memantau dampak usahausaha pengawasan selanjutnya. Hasil-hasil penelitian tersebut akan meningkatkan tanggapan terhadap suatu kebijakan dan dapat memberikan dampak signifikan pada konsumsi tembakau. Walaupun penelitian tentang epidemiologi konsekuensi merokok sedikitnya telah mulai menyebar di luar negara-negara berpendapatan tinggi, namun penelitian terhadap penyebab merokok, sifat kecanduan penggunaan tembakau, dan faktor-faktor perilaku dihubungkan dengan umur mulai merokok masih banyak mengacu pada Amerika Utara dan Eropa Barat. Sementara intervensiintervensi pengawasan sedang dilaksanakan, aktivitas penelitian yang paralel dengan masalah ini akan dapat membantu mempermudah penentuan sasaran intervensi, misalnya seperti yang dirancang untuk memperbaiki informasi kesehatan bagi penduduk miskin demi memperoleh efek yang besar. Bagi para ahli ekonomi, penelitian mengenai keefektifan biaya setiap intervensi pada tingkat nasional merupakan suatu prioritas juga. Selanjutnya, data tentang elastisitas harga di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah akan sangat berguna karena akan dapat dipakai untuk mengestimasi biaya sosial dan perawatan kesehatan akibat penggunaan tembakau di negaranegara tersebut. Sesungguhnya, penelitian mengenai pengawasan terhadap tembakau memperoleh dana kurang dari yang diharapkan jika dilihat dari besarnya beban penyakit akibat merokok. Selama awal tahun 1990-an, suatu periode waktu terbaru yang datanya dapat diperoleh, investasi untuk penelitian dan pengembangan pengawasan terhadap rokok berjumlah $50 per 1990 kematian (seluruhnya berjumlah $148-$164 juta). Sebaliknya penelitian dan pengembangan mengenai HIV mendapat dana $3,000 per 1990 kematian (total berjumlah $919 - $985 juta). Pengeluaran untuk kedua penyakit itu terutama terkonsentrasi di negaranegara berpendapatan tinggi. Rekomendasi Laporan ini mengajukan dua rekomendasi: 1. Bila pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan keras untuk meredam wabah tembakau, perlu disusun suatu strategi multi-aspek. Tujuannya adalah untuk menghindarkan anak-anak dari perilaku merokok, melindungi mereka yang tidak merokok, dan memberikan informasi tentang dampak merokok terhadap kesehatan kepada semua perokok. Strategi yang perlu disusun sesuai dengan keperluan masing-masing negara meliputi: (1) meningkatkan pajak dengan menggunakan ukuran kenaikan yang digunakan oleh negara-negara yang melaksanakan kebijakan pengawasan terhadap tembakau secara komprehensif dan menyebabkan konsumsinya menjadi jauh berkurang. Di negara-negara tersebut besarnya pajak adalah dua pertiga atau empat perlima dari harga eceran rokok; (2) MEREDAM WABAH 94 menerbitkan dan menyebar-luaskan hasil-hasil penelitian tentang efek tembakau pada kesehatan, menambahkan label peringatan keras pada rokok, melarang iklan dan promosi [rokok] secara menyeluruh, dan membatasi kegiatan merokok di tempat-tempat kerja atau tempat-tempat umum; dan (3) memperluas akses pada pengganti nikotin (NRT) dan terapiterapi penyembuhan ketagihan yang lain. 2. Organisasi-organisasi internasional seperti badan-badan PBB harus meninjau kembali program dan semua kebijakan mereka yang ada untuk memastikan bahwa pengawasan terhadap tembakau mendapat perhatian besar. Mereka harus mensponsori penelitian mengenai penyebab, konsekuensi, dan biaya merokok serta keefektifan biaya suatu intervensi yang dilakukan pada tingkat lokal. Mereka harus memperhatikan isu pengawasan terhadap tembakau yang melampaui batas-batas negara, termasuk bekerja sama dalam usulan WHO tentang Framework Convention for Tobacco Control. Bidang-bidang utama untuk suatu tindakan termasuk memfasilitasi perjanjian internasional mengenai pengawasan terhadap penyelundupan, mengadakan diskusi tentang penyesuaian pajak guna mengurangi insentif bagi penyelundup serta melarang iklan dan promosi yang melibatkan media komunikasi global. Ancaman yang disebabkan oleh merokok terhadap kesehatan global memang tidak ada sebelumnya, demikian pula halnya dengan potensi untuk mengurangi kematian akibat rokok dengan kebijakan yang bermakna efektif-biaya. Laporan ini menunjukkan skala keberhasilan yang mungkin dapat dicapai: tindakan yang moderat dapat menjanjikan keberhasilan kesehatan secara substansial bagi abad ke-21. KOTAK 7.1 WORLD HEALTH ORGANIZATION (WHO) DAN FRAMEWORK CONVENTION FOR TOBACCO CONTROL Dalam Sidang Kesehatan Dunia bulan Mei 1996, negara-negara anggota WHO telah menetapkan suatu resolusi yang meminta Direktur Jenderal WHO memprakarsai pengembangan suatu konvensi kerangka pengawasan terhadap tembakau. WHO di bawah kepemimpinan Direktur Jenderal Gro Harlem Brundtland, telah menetapkan prioritas untuk meningkatkan kembali tugas pengawasan terhadap rokok dan telah menetapkan sebuah proyek baru yaitu Tobacco Free Initiative (TFI) - Prakarsa Bebas Tembakau. Sebagai landasan tugas TFI adalah WHOFramework Convention for Tobacco Control (FCTC). WHO-FCTC akan menjadi suatu instrumen hukum internasional yang dirancang guna membatasi perkembangan wabah global disebabkan oleh tembakau bersambung ke halaman berikutnya 95 SEBUAH AGENDA UNTUK BERTINDAK KOTAK 7.1 (SAMBUNGAN) terutama di negara-negara berkembang. Bila [instrumen ini] diterapkan, konvensi ini merupakan yang pertama bagi WHO dan juga yang pertama di dunia. Ini adalah pertama kalinya 191 anggota WHO menggunakan wewenang konstitusional mereka sebagai landasan pengembangan sebuah konvensi. Di samping itu, ini adalah konvensi multilateral yang pertama yang secara khusus memfokuskan pada masalah kesehatan masyarakat. Pengembangan WHO FCTC akan banyak terbantu oleh pengetahuan tentang kualitas kecanduan dan yang mematikan akibat penggunaan tembakau, digabungkan dengan kepentingan banyak negara untuk memperbaiki peraturan mengenai tembakau melalui perangkat-perangkat internasional. Strategi pengaturan internasional yang digunakan untuk memajukan persetujuan dan tindakan multilateral mengenai pengawasan terhadap tembakau adalah dengan pendekatan protokol kerangka konvensi. Strategi ini memantapkan konsensus global dalam tahap-tahap yang meningkat dengan jalan mengadakan negosiasi-negosiasi secara terpisah perihal berbagai masalah sehingga menghasilkan persetujuan-persetujuan tersendiri : Pertama negara-negara menerima sebuah kerangka konvensi yang memerlukan suatu kerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan secara garis besar serta membangun institusi-institusi dasar dengan struktur multilateral yang legal. Adanya persetujuan-persetujuan protokol terpisah yang memuat ketentuan-ketentuan spesifik dimaksudkan untuk menerapkan tujuan-tujuan umum yang diperlukan oleh kerangka konvensi. Pendekatan dengan kerangka konvensi-protokol telah digunakan untuk menangani berbagai masalah global, misalnya Konvensi Wina untuk Melindungi Lapisan Ozon dan Protokol Montreal. Negosiasi dan implementasi WHO FCTC akan mampu membantu mengatasi penggunaan tembakau dengan jalan memobilisasi kesadaran nasional dan internasional maupun sumber-sumber teknis dan finansial demi langkah-langkah pengawasan nasional yang efektif terhadap tembakau. Konvensi tersebut juga akan memperkuat kerja sama global mengenai aspek-aspek pengawasan terhadap tembakau yang melampaui batas-batas negara, termasuk pemasaran dan promosi produk-produk tembakau secara global maupun dalam mengawasi penyelundupan. Walaupun negosiasi setiap perjanjian itu unik sifatnya dan tergantung pada kemauan politis dari negara-negara bersangkutan, namun WHO FCTC Accelerated Work Plan (Rencana Kerja Dipercepat) memperkirakan persetujuan mengenai konvensi itu akan dapat dicapai selambatlambatnya bulan Mei 2003. MEREDAM WABAH 96 KOTAK 7.2 KEBIJAKAN BANK DUNIA MENGENAI TEMBAKAU Sejak tahun 1991 Bank Dunia telah mempunyai kebijakan mengenai tembakau karena menyadari bahayanya bagi kesehatan. Kebijakan itu memuat lima butir utama. Pertama, aktivitas Bank di sektor kesehatan, seperti mengadakan dialog tentang kebijakan dan peminjaman [dana] dan [bagaimana] menghalangi keinginan menggunakan produk-produk tembakau. Kedua, Bank tidak langsung meminjamkan dana untuk, atau melakukan investasi dalam, atau menjamin investasi atau pinjaman untuk produksi, pemrosesan atau pemasaran tembakau. Akan tetapi, di beberapa negara agraris yang sangat tergantung pada tembakau sebagai sumber pendapatan dan perolehan devisa, Bank bertujuan menangani isu itu dengan cara menanggapi secara efektif kebutuhan-kebutuhan pembangunan [nasional] negara-negara tersebut. Bank bertujuan membantu negeranegara itu melakukan diversifikasi pertanian selain tembakau. Ketiga, Bank juga tidak meminjamkan secara tidak langsung kepada kegiatan-kegiatan berkaitan dengan produksi tembakau, sejauh hal ini dapat dijalankan. Keempat, tembakau dan mesin pemrosesan serta alat-alatnya tidak dapat dimasukkan sebagai barang impor yang dibiayai dengan pinjaman [dari Bank]. Kelima, impor tembakau dan barang-barang impor berkaitan dengan tembakau mungkin dikecualikan dalam perjanjian antara nasabah dengan Bank untuk membebaskan perdagangan dan menurunkan tarif. Kebijakan Bank ini konsisten dengan alasan-alasan untuk mengakhiri subsidi seperti diuraikan dalam laporan ini. Akan tetapi, langkah-langkah yang menekankan pada tindakan terhadap segi penawaran belum berhasil mengurangi konsumsi tembakau dalam ukuran apa pun sejak 1991 hingga kini. Dalam laporan sementaranya, tugas Bank mengenai pengawasan terhadap rokok yang meliputi kurang lebih 14 negara dengan total biaya proyek lebih dari US$100 juta adalah sebagian besar di bidang promosi dan informasi kesehatan. Pekerjaan ini diperluas dengan memfokuskan pada harga dan peraturan, yang pada dasarnya telah mendapat dukungan sebagaimana diuraikan dalam Sector Strategy Paper 1997 dari Bank. Laporan itu mengkonfirmasikan betapa pentingnya memfokuskan pada harga sebagai satu cara efektif untuk mengurangi permintaan. 97 LAMPIRAN A Pajak Tembakau : Sebuah Pandangan dari International Monetary Fund M ENAIKKAN besarnya cukai tembakau sering dimasukkan sebagai komponen program stabilisasi yang didukung IMF untuk negara-negara yang perlu memobilisasi tambahan pendapatan dari pajak sebagai upaya mengurangi defisit anggaran. Walaupun cukai terhadap produk-produk tembakau mungkin ditingkatkan terutama untuk menaikkan pendapatan negara, namun ada juga keuntungannya dilihat dari segi kesehatan sebagai akibat menurunnya konsumsi rokok. Dalam menentukan besarnya pajak tembakau, pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa faktor, termasuk dampak penyelundupan, perdagangan lintas batas negara serta perdagangan bebas pajak di atas kapal dan pesawat terbang. Adalah untuk kepentingan pemerintah mengurangi penyelundupan rokok bukan saja guna meningkatkan pendapatan dari cukai tetapi juga untuk membatasi kehilangan pendapatan dari pajak-pajak lain, seperti pajak pendapatan dan pajak pertambahan nilai sebagai akibat transaksi gelap yang menggantikan transaksi legal. Pada akhirnya, besarnya cukai tembakau harus mencerminkan daya beli konsumen lokal, tingkat harga di negara-negara tetangga dan terutama sekali kemampuan dan kesediaan para pejabat pajak untuk menerapkan peraturan secara luwes. Dalam kaitannya dengan cukai tembakau, negara seharusnya mengenakan pajak pada semua jenis rokok: sigaret, cerutu, tembakau pipa, tembakau isap atau kunyah dan rokok linting. Suatu praktek internasional yang terbaik adalah mengenakan cukai berdasarkan tujuan barang dengan mengenakan pajak pada barang yang diimpor sedangkan yang diekspor dibebaskan dari pajak. Cukai itu dapat berupa pajak khusus (berdasarkan kuantitas) atau ad valorem (berdasarkan nilai). Apabila tujuan pertama pengenaan cukai itu adalah untuk mengurangi konsumsi, hal itu dapat menjadi alasan kuat guna menetapkan cukai khusus untuk setiap batang rokok. Pajak-pajak khusus akan lebih mudah 97 98 MEREDAM WABAH mengaturnya, sebab hanya diperlukan penentuan jumlah fisik suatu produk yang akan dikenai pajak dan tidak perlu menetapkan nilai produk tersebut. Namun, pajak-pajak ad valorem akan lebih dapat disesuaikan dengan tingkat inflasi dibandingkan dengan pajak khusus, walaupun untuk pajak khusus yang sudah cukup sering disesuaikan. Pengaturan cukai tembakau domestik memerlukan suatu strategi terpadu untuk pendaftaran pembayar pajak; pengajuan (filing) dan pembayaran; pemungutan pajak tertunggak; audit; dan layanan pada pembayar pajak. Negaranegara berkembang dan negara-negara dalam transisi mungkin perlu mengatur fasilitas-fasilitas produksi tembakau sebagai suatu ekstrateritorial dan menerapkan cukai sama seperti menerapkan bea pabean. Petugas pajak harus mengawasi pengiriman-pengiriman ke dalam dan ke luar suatu wilayah produksi. Pita cukai dapat membantu memastikan pembayaran cukai dan untuk barangbarang yang telah dikenai cukai untuk suatu [wilayah] jurisdiksi, tidak akan dikirim ke tempat lain. Namun, penerapan pita cukai akan menyangkut biaya yang cukup besar di pihak produsen barang-barang kena cukai. Selanjutnya, pita cukai akan kurang artinya sebagai suatu bentuk pengawasan kecuali kalau penggunaannya pada tingkat eceran terus menerus dipantau. 99 LAMPIRAN B Makalah Latar Belakang B EBERAPA dari makalah latar belakang di bawah ini telah diterbitkan oleh Oxford University Press dalam buku berjudul Tobacco Control Policies in Developing Countries yang diedit oleh Prabhat Jha dan Frank J. Chaloupka. Bobak, Martin, Prabhat Jha, Son Nguyen, and Martin Jarvis. Poverty and Tobacco. Chaloupka, Frank, Tei-Wei Hu, Kenneth E. Warner, Rowena van der Merwe, and Ayda Yurekli. Taxation of Tobacco Products. Gajalakshmi, C.K., Prabhat Jha, Son Nguyen, and Ayda Yurekli. Patterns of Tobacco Use and Health Consequences. Jha, Prabhat, Phillip Musgrove, and Frank Chaloupka. Is There a Rationale for Government Intervention? Jha, Prabhat, Fred Paccaud, Ayda Yurekli, and Son Nguyen. Strategic Priorities for Governments and Development Agencies in Tobacco Control. Joossens, Luk, David Merriman, Ayda Yurekli, and Frank Chaloupka. Issues in Tobacco Smuggling. Kenkel, Donald, Likwang Chen, Teh-Wei Hu, and Lisa Bero. Consumer Information and Tobacco Use. Lightwood, James, David Collins, Helen Lapsley, Thomas Novotny, Helmut Geist, and Rowena van der Merwe. Counting the Costs of Tobacco Use. Merriman, David, Ayda Yurekli, and Frank Chaloupka. How Big Is the Worldwide Cigarette Smuggling Problem? 99 100 MEREDAM WABAH Novotny, Thomas E., Jillian C. Cohen, and David Sweanor. Smoking Cessation, Nicotine Replacement Therapy, and the Role of Government in Supporting Cessation. Peck, Richard, Frank Chaloupka, Prabhat Jha, and James Lightwood. Cost Benefit Analysis of Tobacco Consumption. Ranson, Kent, Prabhat Jha, Frank Chaloupka, and Ayda Yurekli. Effectiveness and Cost-effectiveness of Price Increases and Other Tobacco Control Policy Interventions. Saffer, Henry. The Control of Tobacco Advertising and Promotion. Sunley, Emil M., Ayda Yurekli, and Frank Chaloupka. The Design, Administration, and Potential Revenue of Tobacco Excises: A Guide for Developing and Transition Countries. Taylor, Allyn L., Frank Chaloupka, Emmanuel Guindon, and Michaelyn Corbett. Trade Liberalization and Tobacco Consumption. Van der Merwe, Rowena, Fred Gale, Thomas Capehart, and Ping Zhang. The Supply-side Effects of Tobacco Control Policies. Woollery, Trevor, Samira Asma, Frank Chaloupka, and Thomas E. Novotny. Other Measures to Reduce the Demand for Tobacco Products. Yurekli, Ayda, Son Nguyen, Frank Chaloupka, and Prabhat Jha. Statistical Annex 101 LAMPIRAN C Ucapan Terima Kasih L APORAN ini banyak memanfaatkan gagasan dan masukan teknis maupun tanggapan kritis dari sejumlah orang dan lembaga. Sumbangansumbangan terhadap bab-bab tertentu dapat dilihat dalam Catatan Bibliografi. Para pembahas makalah-makalah latar belakang atau ringkasan laporan dicantumkan di bawah ini. Di samping itu masukan yang penting telah diperoleh melalui serangkaian konsultasi. A. Pembahas makalah-makalah latar belakang dan ringkasan laporan Iraj Abedian, Samira Asma, Peter Anderson, Enis Baris, Howard Barnum, Edith Brown-Weiss, Neil Collishaw, Michael Ericksen, Christine Godfrey, Robert Goodland, Ramesh Govindaraj, Vernor Griese, Jack Henningfield, Chee-Ruey Hsieh, The-Wei Hu, Gregory Ingram, Paul Isenman, Steven Jaffee, Dean Jamison, Michael Linddal, Alan Lopez, Dorsati Madani, Will Manning, Jacob Meerman, Cyril Muller, Philip Musgrove, Richard Peck, Richard Peto, Markku Pekurinen, John Ryan, David Sweanor, John Tauras, Joy Townsend, Adam Wagstaff, Kenneth Warner, Trevor Woollery, Russell Wilkins, Witold Zatonski, Barbara Zolty, dan Mitch Zeller. B. Konsultasi 1. Penelaahan Garis Besar Laporan Buram (draft) dan Isu-isu Ekonomi Utama Pada Konferensi Dunia ke-10 tentang Tembakau dan Kesehatan yang diadakan di Beijing, Cina pada tanggal 27 Agustus 1997. Didukung oleh Bank Dunia. 101 102 MEREDAM WABAH Ketua: Thomas Novotny Peserta: Iraj Abedian, Frank Chaloupka, Simon Chapman, Kishore Chaudry, Neil Collishaw, Vera Luisa da Costa y Silva, Prakash Gupta, Laksmiati Hanafiah, Natasha Herrera, Teh-Wei Hu, Desmond Johns, Prabhat Jha, Luk Joossens, Ken Kyle, Eric LeGresley, Michelle Lobo, Judith Mackay, Patrick Masobe, Kathleen McCormally, Zofia Mielecka-Kubien, Rafael Olganov, Alex Papilaya, Terry Pechacek, Milton Roemer, Ruth Roemer, Lu Rushan, Cecilia Sepulveda, David Simpson, Paramita Sudharto, Joy Townsend, Sharad Vaidya, Rowena Van Der Merwe, Kenneth Warner, Shaw Watanabe, David Zaridze, dan Witold Zatonski. 2. Pembahasan Awal mengenai Garis Besar dan Isi Makalah-Makalah Latar Belakang Tanggal 20 Februari 1998 pada konferensi di Universitas Cape Town tentang “Ekonomi Rokok: Menuju suatu Rumusan Kebijakan yang Optimal,” Cape Town, Afrika Selatan. Didukung oleh Institute of Social and Preventive Medicine Universitas Lausanne dan Universitas Cape Town. Ketua: Paul Isenman Peserta: Iraj Abedian, Judith Bale, Enis Baris, Frank Chaloupka, David Collins, Neil Collishaw, Brian Easton, Helmut Geist, Chee-Ruey Hsieh, Teh-Wei Hu, Prabhat Jha, Luk Joossens, Kamal Nayan Kabra, Pamphil Kweyuh, Helen Lapsley, Judith Mackay, Eddie Maravanyika, Sergiusz Matusia, Thomas Novotny, Fred Paccaud, Richard Peck, Krzysztof Przewozniak, Yussuf Saloojee, Conrad Shamlaye, Timothy Stamps, Krisela Steyn, Frances Stillman, David Sweanor, Joy Townsend, Rowena Van Der Merwe, Kenneth Warner, dan Derek Yach. 3. Rapat Pembahasan Teknis Para Pakar Ekonomi Pada tanggal 22-24 November 1998 di Lausanne, Swiss. Disponsori oleh Institute of Social and Preventive Medicine Universitas Lausanne dan Bank Dunia. Ketua bersama: Felix Gutzwiller dan Fred Paccaud Peserta: Iraj Abedian, Nisha Arunatilleke, Martin Bobak, Phyllida Brown, Frank Chaloupka, David Collins, Jacques Cornuz, Christina Czart, Nishan De Mel, Jean-Pierre Gervasoni, Peter Heller, Tomasz Hermanowski, Alberto Holly, TehWei Hu, Paul Isenman, Dean Jamison, Prabhat Jha, Luk Joossens, Jim Lightwood, Helen Lapsley, David Merriman, Phillip Musgrove, Son Nguyen, Richard Peck, Markku Pekurinen, Thomson Prentice, Kent Ranson, Marie-France Raynault, John Ryan, Henry Saffer, David Sweanor, John Tauras, Allyn Taylor, Joy LAMPIRAN C 103 Townsend, Rowena van der Merwe, Kenneth Warner, Trevor Woollery, dan Ayda Yurekli. 4. Pembahasan oleh Pakar-Pakar Eksternal Pada tanggal 17 Maret 1999, di Washington, D.C. Disponsori oleh Office on Smoking and Health, US Centers for Disease Control and Prevention. Ketua: Michael Ericksen Peserta: Iraj Abedian, Samira Asma, Judith Bale, Enis Baris, Phyllida Brown, Frank Chaloupka, Peter Heller, Paul Isenman, Prabhat Jha, Nancy Kaufman, Thomas Loftus, Judith Mackay, Caryn Miller, Rose Nathan, Son Nguyen, Fred Paccaud, Anthony So, Roberta Walburn, Kenneth Warner, Trevor Woollery, Derek Yach, dan Ayda Yurekli. 104 MEREDAM WABAH Bosnia dan Laos Moldavia Vietnam Tajikistan Kirghizia Myanmar Herzegovina Azerbaijan Cina Mongolia Armenia Kamboja Berpendapatan rendah Eropa dan Asia Tengah Asia Timur dan Pasifik Guyana Haiti Honduras Nikaragua dan Karibia Amerika Latin Rep. Yemen dan Afrika Utara Timur Tengah Afganistan Bangladesh Bhutan India Nepal Pakistan Sri Lanka Asia Selatan berpendapatan tinggi bersambung ke halaman berikutnya Lain negara Negara OECD berpendapatan tinggi Angola Benin Burkina Faso Burundi Kamerun Rep. Afrika Tengah Chad Rep. Demo. Komoro Rep. Demo. Kongo Rep. Kongo Pantai Gading Guinea Ekuatorial Eritrea Ethiopia Gambia Ghana Guinea Guinea-Bissau Sub-Sahara Afrika Negara-Negara di dunia menurut pendapatan dan wilayah regional (Pengelompokan menurut klasifikasi Bank Dunia) LAMPIRAN D 105 105 Asia Tengah dan Pasifik Albania Belarus Fiji Indonesia Berpendapatan menengah ke bawah Berpendapatan rendah (sambungan) Eropa dan Asia Timur Bolivia Belize dan Karibia Amerika Latin Arab Mesir Aljazair dan Afrika Utara Timur Tengah Maladewa Asia Selatan Negara OECD berpendapatan tinggi Tanjung Verde Botswana Kenya Lesotho Liberia Madagaskar Malawi Mali Mauritania Mozambique Niger Nigeria Rwanda Sao Tome dan Principe Senegal Sierra Leone Somalia Sudan Tanzania Togo Uganda Zambia Zimbabwe Sub-Sahara Afrika berpendapatan tinggi Lain negara Negara-negara di dunia menurut pendapatan danilayahegional (Pengelompokan menurut klasifikasi Bank Dunia) - sambungan 106 MEREDAM WABAH Rep. Dominika Kazakstan Latvia Neg. Fed Peru St. Vincent dan Grenadines Rumania Fed. Rusia Turki Turmenistan Ukraina Uzbekiztan Rep. Fed. Kep. Solomon Thailand Tonga Vanuatu Barbados Brasil Cile Rep. Ceko Hongaria Pulau Man Malta Polandia Malaysia Palau Argentina Barbuda Kroasia Amerika Antigua dan Venezuela Suriname Panama Jamaika Guatemala Grenada Samoa Berpendapatan menengah atas Yugoslavia Paraguay FYR Samoa El Savador Macedonia Filipina Ekuador Lithuania Kuba Papua Nugini Mikronesia Dominika Georgia Kep. Marshall Kosta Rika Estonia Korea Utara Kolombia Bulgaria Kiribati Arab Saudi Oman Libia Bahrain Gaza Tepi Barat dan Tunisia Suriah Rep. Arab Maroko Lebanon Yordania Irak Rep. Islam Iran Maldives Afrika Selatan Seychelles Mayotte Mauritius Gabon Swaziland Namibia Jibuti bersambung ke halaman berikutnya DUNIA MENURUT PENDAPATAN DAN WILAYAH REGIONAL 107 dan Karibia Amerika Latin Berpendapatan tinggi Meksiko Slovenia Uruguay Tobago Trinidad dan Santa Lusia Timur Tengah dan Afrika Utara St. Kitts & Nevis Puerto Riko Guadeloupe Rep. Slowakia Berpendapatan menengah atas (sambungan) Eropa dan Asia Tengah Asia Timur dan Pasifik Asia Selatan Sub-Sahara Afrika Andora Aruba Bahama Bermuda Brunei Kep. Cayman Kep. Channel Siprus Austria Belgia Kanada Denmark Finlandia Perancis Jerman tinggi Australia Lain negara berpendapatan tinggi OECD berpendapatan Negara-negara di dunia Menurut Pendapatan dan Wilayah Regional (Pengelompokan menurut klasifikasi Bank Dunia) - sambungan 108 MEREDAM WABAH Sumber : Bank Dunia, 1998 Polinesia Prancis Greenland Guam Hongkong Irlandia Italia Jepang Korea Selatan Kuwait Liechtenstein Makao Martinik Monaco Antilla Belanda Kaledonia Baru Kep. Mariana Selandia Baru Norwegia Portugal Spanyol Swedia Swiss Inggris Amerika Serikat Kep. Virgin (AS) Uni Emirat Arab Singapura Reunion Qatar Utara Israel Belanda Cina Guyana Prancis Eslandia Luxembourg Kep. Faeroe Yunani DUNIA MENURUT PENDAPATAN DAN WILAYAH REGIONAL 109 110 MEREDAM WABAH 111 Catatan Bibliografis Bab 1. Kecenderungan Global Konsumsi Tembakau Pembahasan tentang konsumsi dan epidemiologi diambil dari tulisan-tulisan yang dibuat oleh Gajalakshmi dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Lund dan kawan-kawan, 1995; Ranson dan kawan-kawan, makalah latar belakang ; Wald dan Hackshaw, 1996, dan WHO, 1997. Seksi mengenai status sosio-ekonomi diambil dari makalah latar belakang Bobak dan kawan-kawan; Chinese Academy of Preventive Medicine, 1997; Gupta, 1996; Jenkins dan kawan-kawan, 1997; Obot, 1990; Hill dan kawan-kawan, 1998; Laporan US Surgeon General, 1989 dan 1994; Pemerintah Inggris, 1998; Wersall dan Eklund, 1998; serta White dan Scollo, 1998. Uraian tentang liberalisasi perdagangan diambil dari Chaloupka dan Laixuthai, 1996; dan makalah latar belakang dari Taylor serta kawan-kawan. Bab 2. Konsekuensi Kesehatan Perilaku Merokok Pembahasan mengenai kecanduan nikotin diambil dari tulisan Charlton, 1996; Foulds, 1996; Lynch dan Bonnie, 1994; Kessler, 1995; McNeill, 1989; dan Laporan-laporan US Surgeon General 1988, 1989, dan 1994. Uraian tentang beban penyakit disebabkan oleh rokok diambil dari makalah latar belakang Bobak dan kawan-kawan; Doll dan Peto, 1981; Doll dan kawan-kawan, 1994; Environmental Protection Agency, 1992; makalah latar belakang Gajalakshmi dan kawankawan; Gupta,1989; Jha dan kawan-kawan, akan terbit; Liu dan kawan-kawan, 1998; Meara, akan terbit; Niu dan kawan-kawan, 1998; Parish dan kawan-kawan, 1995; Peto dan kawan-kawan, 1994; Peto, Chen, dan Boreham, 1999; dan Royal College of Physicians, 1992. Bab 3. Apakah Perokok Tahu Risikonya dan Menanggung Biayanya? 111 112 MEREDAM WABAH Uraian tentang kesadaran mengenai risiko kesehatan diambil dari Ayanian dan Cleary, 1999; Barnum, 1994; Chaloupka dan Warner, dari pers; Chinese Academy of Preventive Medicine, 1997; Johnston dan kawan-kawan; 1998; Kenkel dan kawan-kawan, ; makalah latar belakang; Kessler, 1995; Levshin dan Droggachih, 1999; Schoenbaum, 1997; Viscusi, 1990,1991 dan 1992; Weinstein, 1998 dan Zatonski, 1996. Diskusi mengenai Biaya dibebankan pada orang lain diambil dari Lightwood dan kawan-kawan, makalah latar belakang, Manning dan kawan-kawan, 1991; Pekurinen, 1992; Viscusi, 1995; Warner dan kawankawan, dalam pers; dan Bank Dunia 1994b. Bab 4. Langkah-Langkah Mengurangi Permintaan terhadap Tembakau Bab ini diambil dari Abedian dan kawan-kawan, 1998; Chaloupka dan kawankawan, makalah latar belakang; Chaloupka dan Warner, dalam pers; Townsend, 1996; Jha dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Kenkel dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Laugesen dan Meads, 1991; Novotny dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Pekurinen, 1992; Ranson dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Raw dan kawan-kawan, 1999; Reid, 1996; Saffer dan Chaloupka, 1999; Saffer dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Tansel, 1993; Townsend, 1998; UK Department of Health, 1998; Laporan US Surgeon General 1989; Warner dan kawan-kawan, 1997; dan Zatonski dan kawan-kawan, 1999. Bab 5. Langkah-Langkah Mengurangi Penawaran Tembakau Bab ini diambil dari Altman dan kawan-kawan, 1998; Berkelman dan Buehler, 1990; Chaloupka dan Warner, dalam pers; Crescenti, 1992; Food and Argiculture Organization, 1998; Ginsberg, 1999; IEC, 1998; Joossens dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Maravanyika, 1998; Merriman dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Reuter, 1992; Taylor dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Thursby dan Thursby, 1994; US Department of Agriculture 1998; Van der Merwe, makalah latar belakang; Warner, 1988; Warner dan Fulton, 1994; Warner dan kawan-kawan, 1996; dan Zang dan Husten, 1998. Bab 6. Biaya dan Konsekuensi Pengawasan terhadap Tembakau Bab ini diambil dari Altman dan kawan-kawan, 1998; Buck dan kawan-kawan, 1995; Centers for Disease Control and Prevention, 1998; Chaloupka dan kawankawan, makalah latar belakang; Doll dan Crofton, 1996; Efroymson dan kawankawan, 1996; Irvine dan Sims, 1997; Jones, 1999; Joossens dan kawan-kawan, makalah latar belakang; McNicoll dan Boyle, 1992; Murray dan Lopez, 1996; Orphanides dan Zervos, 1995; Suranovic dan kawan-kawan, 1999; Townsend, 1998; Van der Merwe, 1998; Van der Merwe dan kawan-kawan, makalah latar CATATAN BIBLIOGRAFIS 113 belakang; Warner 1987; Warner dan Fulton, 1994; Warner dan kawan-kawan, 1996; Bank Dunia, 1993. Bab 7. Sebuah Agenda untuk Bertindak Bab ini diambil dari Jha dan kawan-kawan, makalah latar belakang; Abedian dan kawan-kawan, 1998; WHO, 1996a; US Surgeon General 1999, dan Samet dan kawan-kawan, 1997. 114 MEREDAM WABAH 115 Bibliografi Abedian, Iraj, Rowena van der Merwe, Nick Wilkins, and Prabhat Jha, eds. 1998. The Economics of Tobacco Control. Towards an Optimal Policy Mix. Cape Town, South Africa: Applied Fiscal Research Centre, University of Cape Town. Agro-economic Services, Ltd, and Tabacosmos, Ltd. 1987. The Employment, Tax Revenue and Wealth that the Tobacco Industry Creates. Altman, D. G., D. J. Zaccaro, D. W. Levine, D. Austin, C. Woodell, B. Bailey, M. Sligh, G. Cohn, and J. Dunn. 1998. “Predictors of Crop Diversification: A Survey of Tobacco Farmers in North Carolina.” Tobacco Control 7(4):37682. American Economics Group, Inc. 1996. Economic Impact in the States of Proposed FDA Regulations Regarding the Advertising, Labeling and Sale of Tobacco Products. Washington, D.C. Atkinson, A. B., and J. L. Skegg. 1973. “Anti-Smoking Publicity and the Demand for Tobacco in the UK.” The Manchester School of Economic and Social Studies 41:265-82. Atkinson, A. B., J. Gomulka, and N. Stern. 1984. Household Expenditure on Tobacco 1970-1980. Evidence from the Family Expenditure Survey. London: London School of Economics. Ayanian, J., and P. Cleary. 1999. “Perceived Risks of Heart Disease and Cancer Among Cigarette Smokers.” Journal of the American Medical Association 281 (11): 1019-21. 115 116 MEREDAM WABAH Barendregt, J. J., L. Bonneux, and P. J. van der Maas. 1997. “The Health Care Costs of Smoking.” New England Journal of Medicine 337(15): 1052-7. Barnum, Howard. 1994. “The Economic Burden of the Global Trade in Tobacco.” Tobacco Control 3:358-61. Barnum, Howard, and R. E. Greenberg. 1993. “Cancers.” In Jamison, D. T, H. W Mosley, A. R. Measham, and J. L. Bobadilla, eds., Disease Control Priorities in Developing Countries. New York: Oxford Medical Publications. Becker, G. S., M. Grossman, and K. M. Murphy. 1991. “Rational Addiction and the Effect of Price on Consumption.” American Economic Review 81:237 41. —— .1994. “An Empirical Analysis of Cigarette Addiction.” American Economic Review 84:396-418. Berkelman, R. L., and J. W. Buehler. 1990. “Public Health Surveillance of NonInfectious Chronic Diseases: the Potential to Detect Rapid Changes in Disease Burden.” International Journal of Epidemiology 19(3):628-35. Booth, Martin. 1998. Opium: A History. New York: St. Martin’s Press. British American Tobacco. 1994. Tobacco Taxation Guide: A Guide to Alternative Methods of Taxing Cigarettes and Other Tobacco Products. Woking, U.K.: Optichrome The Printing Group. Buck, David, C. Godfrey, M. Raw, and M. Sutton. 1995. Tobacco and Jobs. York, U.K.: Society for the Study of Addiction and the Centre for Health Economics, University of York. Capehart, T. 1997. “The Tobacco Program—A Summary and Update.” Tobacco Situation & Outlook Report. U.S. Department of Agriculture, Economic Research Service, TBS-238. Chaloupka, F. J. 1990. Men, Women, and Addiction: The Case of Cigarette Smoking. NBER Working Paper No. 3267. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research. ———.1991. “Rational Addictive Behavior and Cigarette Smoking.” Journal of Political Economy 99(4):722 42. ———.1998. The Impact of Proposed Cigarette Price Increases. Policy Analysis No. 9, Health Sciences Analysis Project. Washington D.C.: Advocacy Institute. Chaloupka, F. J., and A. Laixuthai.1996. US Trade Policy and Cigarette Smoking in Asia, NBER Working Paper No. 5543. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research. Chaloupka, F. J., and H. Saffer. 1992. “Clean Indoor Air Laws and the Demand for Cigarettes.” Contemporary Policy Issues 10(2):72-83. Chaloupka, F. J., and H. Wechsler. 1997. “Price, Tobacco Control Policies and Smoking Among Young Adults.” Journal of Health Economics 16(3):35973. Chaloupka, F. J., and K. E. Warner. In press. “The Economics of Smoking.” In Newhouse, J., and A. Culyer, eds., The Handbook of Health Economics. Amsterdam: North Holland. BIBLIOGRAFI 117 Chaloupka, F. J., and M. Grossman. 1996. Price, Tobacco Control Policies and Youth Smoking. NBER Working Paper No. 5740. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research. Chaloupka, F. J., and R. L. Pacula. 1998. An Examination of Gender and Race Differences in Youth Smoking Responsiveness to Price and Tobacco Control Policies. NBER Working Paper No. 6541. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research. Chalton, A. 1996. “Children and Smoking: The Family Circle.” British Medical Bulletin, 52(1):90-107. Chase Econometrics. 1985. The Economic Impact of the Tobacco Industry on the United States Economy in 1983. Bala Cynwyd, Penn.: Chase Econometrics. Chinese Academy of Preventive Medicine. 1997. Smoking in China: 1996 National Prevalence Survey of Smoking Pattern. Beijing: China Science and Technology Press. Coalition on Smoking or Health. 1994. Saving Lives and Raising Revenue. The Case for a $2 Federal Tobacco Tax Increase. Washington D.C. Collins, D. J., and H. M. Lapsley. 1997. The Economic Impact of Tobacco Smoking in Pacific Islands. Wahroonga, NSW, Australia: Pacific Tobacco and Health Project. Collishaw, Neil. 1996. “An International Framework Convention for Tobacco Control.” Heart Beat 2: 11. Crescenti, M. G. 1992. “No Alternative to Tobacco.” Tobacco Journal International 6, November-December 14. Doll, Richard, and R. Peto. 1981. The Causes of Cancer. New York: Oxford University Press. Doll, Richard, R. Peto, K. Wheatley, R. Gray, and I. Sutherland. 1994. “Mortality in Relation to Smoking: 40 Years’ Observations on Male British Doctors.” British Medical Journal, 309(6959):901-11. Doll, Richard, and John Crofton, eds. 1996. “Tobacco and Health.” British Medical Bulletin Vol. 52, No. 1. Douglas, S. 1998. “The Duration of the Smoking Habit.” Economic Inquiry 36(1):49-64. Duffy, M. 1996. “Econometric Studies of Advertising, Advertising Restrictions, and Cigarette Demand: A Survey.” International Journal of Advertising 15:123. The Economist. 1995. “An Anti-Smoking Wheeze: Washington Needs a Sensible All-Drugs Policy, Not a “War’ on Teenage Smoking.” 19 August, pp. 14-15. ———. 1997. “Tobacco and Tolerance.” 20 December, pp. 59-61. Efroymson, D., D. T. Phuong, T. T. Huong, T. Tuan, N. Q. Trang, V. P. N. Thanh, and T Stone. Decision Mapping for Tobacco Control in Vietnam: Report to the International Tobacco Initiative. PATH Canada Project 94-0200-01/02214. Ensor, T. 1992 “Regulating Tobacco Consumption in Developing Countries.” 118 MEREDAM WABAH Health Policy and Planning, 7:375-81. EPA (Environmental Protection Agency). 1992. Respiratory Health Effects of Passive Smoking: Lung Cancer and Other Disorders. EPA, Office of Research and Development, Of fice of Air and Radiation. EPA/600/6-90/006F. Evans, W. N., and L. X. Huang. 1998. Cigarette Taxes and Teen Smoking: New Evidence from Panels of Repeated Cross-Sections. Working paper. Department of Economics. University of Maryland. Evans, W. N. and M. C. Farrelly.1998. “The Compensating Behavior of Smokers: Taxes, Tar and Nicotine.” RAND Journal of Economics 29(3):578-95. Evans, W. N., M. C. Farrelly, and E. Montgomery. 1996. Do Workplace Smoking Bans Reduce Smoking? NBER Working Paper No. 5567. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research. FAO (Food and Agriculture Organization). 1998. Food and Agriculture Organization of the United Nations Database (http://apps.fao.org). Federal Trade Commission. 1995. “Cigarette Advertising and Promotion in the United Sates, 1993: A Report of the Federal Trade Commission.” Tobacco Control 4:310-13. Foulds, J. “Strategies for Smoking Cessation.” British Medical Bulletin 52(1): 157-73. Gajalakshmi, C. K., and R. Peto. Studies on Tobacco in Chennai, India. In Lu, R., J. Mackay, S. Niu, and R. Peto, eds. The Growing Epidemic, proceedings of the Tenth World Conference on Tobacco or Health, Beijing, 24-28 August 1997. Singapore: Springer-Verlag (in press). Gale, F.1997. “Tobacco Dollars and Jobs.” Tobacco Situation & Outlook. U.S. Department of Agriculture, Economic Research Service, TBS 239(September):37-43 ———. 1998. “Economic Structure of Tobacco-Growing Regions.” Tobacco Situation & Outlook. U.S. Department of Agriculture, Economic Research Service, TBS 241(April): 40-47. General Accounting Office.1989. Teenage Smoking: Higher Excise Tax Should Significantly Reduce the Number of Smokers. Washington D.C. Ginsberg, S. “Tobacco Farmers Feel the Heat.” Washington Post January 2, 1999. Glantz, S. A., and W. W. Parmley. 1995. “Passive Smoking and Heart Disease: Mechanisms and Risk.” Journal of the American Medical Association 73(13): 1047-53. Gong,Y. L., J. P. Koplan, W. Feng, C. H. Chen, P. Zheng, and J. R. Harris. 1995. “Cigarette Smoking in China: Prevalence, Characteristics, and Attitudes in Minhang District.” Journal of the American Association of Medicine 274(15):1232-34. Goto, K., and S. Watanabe. 1995. “Social Cost of Smoking for the 21st Century.” Journal of Epidemiology, 5(3): 113-15. Gray, Mike.1998. Drug Crazy: How We Got Into This Mess And How We Can Get Out. New York: Random House. BIBLIOGRAFI 119 Grise, V. N. 1995. Tobacco: Background for 1995 Farm Legislation. Agricultural Economic Report No.709. Washington: U.S. Department of Agriculture, Economic Research Service. Gupta, P. C. 1989. “An Assessment of Morbidity and Mortality Caused by Tobacco Usage in India.” In Sanghvi, L. D. and P. Notani, eds., Tobacco and Health: the Indian Scene. Bombay: International Union Against Cancer and Tata Memorial Center. ———. l996 “Survey of Sociodemographic Characteristics of Tobacco Use Among 99,598 Individuals in Bombay, India, Using Handheld Computers.” Tobacco Control 5: 114-20. Hackshaw, A. K., M. R. Law, and N. J. Wald. 1997. “The Accumulated Evidence of Lung Cancer and Environmental Tobacco Smoke.” British Medical Journal 315(7114):980-88. Harris and Associates. 1989. Prevention in America. Steps People Take—or Fail to Take—For Better Health, cited in U.S. Department of Health and Human Services. 1989. Reducing the Health Consequences of Smoking: 25 Years of Progress: a Report of the Surgeon General, DHHS Publication No. (CDC) 89-8411, Office on Smoking and Health, Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Centers for Disease Control, Public Health Service, Washington, D.C.: U.S. Department of Human and Health Services. Harris, J. E. 1987. “The 1983 Increase in the Federal Cigarette Excise Tax.” In Summers L. H., ed., Tax Policy and the Economy. Vol. I . Cambridge, Mass.: MIT Press. ———. 1994. A Working Model for Predicting the Consumption and Revenue Impacts of Large Increases in the U.S. Federal Cigarette Excise Tax. NBER Working Paper No.4803. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research. Hill, D. J., V. M. White, and M. M. Scollo. 1998. “Smoking Behaviours of Australian Adults in 1995: Trends and Concerns.” Medical Journal of Australia 168 (5):209-13. Hodgson, T. A. 1998. “The Health Care Costs of Smoking.” New England Journal of Medicine 338(7):470. Hodgson, T. A., and M. R. Meiners. 1982. “Cost-of-Illness Methodology: A Guide to Current Practices and Procedures.” Milbank Memorial Fund Quarterly 60:429-62. Hsieh, C. R., and T. W. Hu. 1997. The Demand for Cigarettes in Taiwan: Domestic Versus Imported Cigarettes. Discussion Paper No. 9701. Nankang (Taipei): The Institute of Economics, Academia Sinica. Hu, T. W., H. Y. Sung, and T. E. Keeler. 1995a. “Reducing Cigarette Consumption in California: Tobacco Taxes vs. an Anti-Smoking Media Campaign.” American Journal of Public Health 85(9):1218-22. ———.1995b. “The State Antismoking Campaign and the Industry Response: the Effects of Advertising on Cigarette Consumption in California.” Ameri- 120 MEREDAM WABAH can Economic Review 85(2):85-90. Hu, T. W., H. Y. Sung, and T. E. Keeler, M. Marcinia, A. Keith, and R. Manning. Forthcoming. “Cigarette Consumption and Sales of Nicotine Replacement Products.” Hu, T. W., J. Bai, T. E. Keeler, P. G. Barnett, and H. Y. Sung. 1994. “The Impact of California Proposition 99, A Major Anti-Cigarette Law, on Cigarette Consumption.” Journal of Public Health Policy 15(1):26-36. Hu, T. W., T. E. Keeler, H. Y. Sung, and P. G. Barnett. 1995. “Impact of California Anti-Smoking Legislation on Cigarette Sales, Consumption, and Prices.” Tobacco Control 4(suppl):S34-S38. IEC. 1998. IEC Foreign Trade Statistics, World Bank Economic and Social Database, Washington D.C.: The World Bank. Irvine, I. J., and W. A. Sims.1997. “Tobacco Control Legislation and Resource Allocation Effects.” Canadian Public Policy 23(3): 259-73. Jenkins, C. N., P. X. Dai, D. H. Ngoc, H. V. Kinh, T. T. Hoang, S. Bales, S. Stewart, and S. J. McPhee. 19~7. “Tobacco Use in Vietnam: Prevalence, Predictors, and the Role of the Transnational Tobacco Corporations.” Journal of the American Medical Association 277(21):1726-31. Jha, P., O. Bangoura, and K. Ranson 1998. “The Cost-Effectiveness of Forty Health Interventions in Guinea.” Health Policy and Planning 13(3): 249-62. Jha, P., R. Peto, A. Lopez, W. Zatonski, J. Boreham, and M. Jarvis. Forthcoming. “Tobacco-Attributable Mortality by Socioeconomic Status.” Johnston, L. D., P. M. O’Malley, and J. G. Bachman. 1998. Smoking Among American Teens Declines Some. Monitoring the Future Study. University of Michigan Institute for Social Research. Press release. December 18. Washington D.C. Jones, A. M. 1999. “Adjustment Costs, Withdrawal Effects, and Cigarette Addiction.” Journal of Health Economics 18: 125-37. Joossens, L., and M. Raw. 1995. “Smuggling and Cross-Border Shopping of Tobacco in Europe.” British Medical Journal 310(6991):1393-97. Jorenby, D. E., S. J. Leischow, M. A. Nides, S. I. Rennard, J. A. Johnston, A. R. Hughes, S. S. Smith, M. L. Muramoto, D. M. Daughton, K. Doan, M. C. Fiore and T. B. Baker “A Controlled Trial of Sustained-Release Bupropion, a Nicotine Patch, or Both for Smoking Cessation.” New England Journal of Medicine 340(9):685-91. Keeler, T: E., M. Marciniak, and T. W. Hu. Forthcoming. “Rational Addiction and Smoking Cessation: An Empirical Study.” Journal of Socio-Economics. Keeler, T. E., T. W. Hu, P. G. Barnett, and W. G. Manning. 1993. “Taxation, Regulation and Addiction: A Demand Function for Cigarettes Based on TimeSeries Evidence.” Journal of Health Economics 12(1): 1-18. Kenkel, D. S. 1991. “Health Behavior, Health Knowledge, and Schooling.” Journal of Political Economy 99(2):287-305. Kessler, D .A.1995. “Nicotine Addiction in Young People.” New England Jour- BIBLIOGRAFI 121 nal of Medicine 333(3):186-89. Laugesen, M., and C. Meads. 1991. “Tobacco Advertising Restrictions, Price, Income and Tobacco Consumption in OECD Countries, 1960-1986.” British Journal of Addiction 86(10):1343-54. Leu, R. E., and T. Schaub. 1983. “Does Smoking Increase Medical Expenditures?” Social Science & Medicine 17(23): 1907-14. Levshin, V., and V. Droggachih. 1999. “Knowledge and Education Regarding Smoking Among Moscow Teenagers.” Paper presented at the workshop on “Tobacco Control in Central and Eastern Europe.” Las Palmas de Gran Canaria. February 26, 1999. Lewit, E. M., and D. Coate. 1982. “The Potential for Using Excise Taxes to Reduce Smoking.” Journal of Health Economics 1(2):121 45. Liu, B. Q., R. Peto, Z. M. Chen, J. Boreham, Y. P. Wu, J. Y. Li, T. C. Campbell, and J. S. Chen. 1998. “Emerging Tobacco Hazards in China. I. Retrospective Proportional Mortality Study of One Million Deaths.” British Medical Journal 317(7170): 1,411 -22. Longfield, J. 1994. Tobacco Taxes in the European Union: How to Make Them Work for Health. London: UICC and Health Education Authority. Lu, R., J. Mackay, S. Niu, and R. Peto, eds. The Growing Epidemic, proceedings of the Tenth World Conference on Tobacco or Health, Beijing, 24-28 August 1997. Singapore: Springer-Verlag (in press). Lund, K. E., A. Roenneberg, and A. Hafstad. 1995. “The Social and Demographic Diffusion of the Tobacco Epidemic in Norway.” In Slama, K., ed., Tobacco and Health. New York: Plenum Press. Lynch, B. S., and R. J. Bonnie, eds. Growing Up Tobacco Free: Preventing Nicotine Addiction in Children and Youths. Washington D.C.: National Academy Press. Mackay, Judith, and J. Crofton. 1996. “Tobacco and the Developing World.” British Medical Bulletin 52(1):206-21. Mahood, G. 1995. “Canadian Tobacco Package Warning System.” Tobacco Control 4:10-14. Manning, W. G., E. B. Keeler, J. P. Newhouse, E. M. Sloss, and J. Wasserman. 1991. The Costs of Poor Health Habits. Cambridge, Mass.: Harvard University Press. ———. 1989. “The Taxes of Sin: Do Smokers and Drinkers Pay Their Way?” Journal of the American Medical Association 261 ( I I ): 1604-09. Maravanyika, Edward. 1998. “Tobacco Production and the Search for Alternatives for Zimbabwe.” In Abedian, I., and others, eds., The Economics of Tobacco Control. Cape Town, South Africa: Applied Fiscal Research Centre, University of Cape Town. Massing, Michael. 1998. The Fix. New York: Simon & Schuster. McNeill, A. D., and others. 1989. “Nicotine Intake in Young Smokers: Longitudinal Study of Saliva Cotinine Concentrations.” American Journal of Public 122 MEREDAM WABAH Health 79(2): 172-75. McNicoll, I. H., and S. Boyle, 1992. “Regional Economic Impact of a Reduction of Resident Expenditure on Cigarettes: A Case Study of Glasgow.” Applied Economics 24:291-96. Meara, E. “Why Is Health Related to Socioeconomic Status?” Ph.D. dissertation. Department of Economics. Harvard University, forthcoming. Merriman, David, A. Yurekli, and F. Chaloupka. “How Big Is the Worldwide Cigarette Smuggling Problem?” NBER Working Paper. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research, forthcoming. Miller, V. P., C. Ernst, and F. Collin. 1999. “Smoking-Attributable Medical Care Cost in the USA.” Social Science & Medicine 48:375-91. Moore, M. J. 1996. “Death and Tobacco Taxes.” RAND Journal of Economics 27(2):415-28. Murray, C. J., and A. D. Lopez, eds. 1996. The Global Burden of Disease. A Comprehensive Assessment of Mortality and Disability from Diseases, Injuries, and Risk Factors in 1990 and Projected to 2020. Cambridge, Mass.: Harvard School of Public Health. Musgrove, Philip. 1996. Public and Private Roles in Health. Discussion Paper No. 339, Washington, D.C.: The World Bank. National Cancer Policy Board. 1998. Taking Action to Reduce Tobacco Use. Washington, D.C.: National Academy Press. Niu, S. R., G. H Yang, Z. M. Chen, J. L. Wang, G. H Wang, X. Z. He, H. Schoepff, J. Boreham, H. C. Pan, and R. Peto. 1998. “Emerging Tobacco Hazards in China 2. Early Mortality Results from a Prospective Study.” British Medical Journal 317(7170):1423-24. Non-Smokers’ Rights Association/Smoking and Health Action Foundation. 1994. The Smuggling of Tobacco Products. Lessons from Canada. Ottawa: NSRA/ SHAF. Obot, I. S. 1990. “The Use of Tobacco Products Among Nigerian Adults: A General Population Survey.” Drug Alcohol Dependence 26(2):203-08. Orphanides, A., and D. Zerv~)s. 1995. “Rational Addiction with Learning and Regret.” Journal of Political Economy 103(4):739-58. Parish, S., R. Collins, R. Peto, L. Youngman, J Barton, K. Jayne, R. Clarke, P. Appleby, V. Lyon, S. Cederholm-Williams, and others. 1995..”Cigarette Smoking, TarYields, and Non-Fatal Myocardial Infarction:14,000 Cases and 32,000 Controls in the United Kingdom. The International Studies of Infarct Survival (ISIS) Collaborators.” British Medical Journal 311 (7003):471 -77. Pearl, R. 1938. “Tobacco Smoking and Longevity.” Science 87:216-7. Pekurinen, Markku. 1991. Economic Aspects of Smoking: Is There a Case for Government Intervention in Finland? Helsinki: Vapk-Publishing. Peto, Richard, A. D. Lopez, and L. Boqi. “Global Tobacco Mortality: Monitoring the Growing Epidemic.” In Lu R., J. Mackay S. Niu, and R. Peto, eds., The Growing Epidemic. Singapore: Springer-Verlag (in press). BIBLIOGRAFI 123 Peto, Richard, A. D. Lopez, J. Boreham, M. Thun, and C. Heath, Jr. .1994. Mortality from Smoking in Developed Countries 1950-2000. Oxford: Oxford University Press. Peto, Richard, Z. M. Chen, and J. Boreham. l999. “Tobacco: the Growing Epidemic.” Nature Medicine 5 ( l ): l 5- l 7. Price Waterhouse. 1992. The Economic Impact of the Tobacco Industry on the United States Economy. Arlington, Virginia. Raw, Martin, A. McNeill, and R. West. 1999. “Smoking Cessation: Evidence Based Recommendations for the Healthcare System.” British Medical Journal 318(7177): 182-85. Reid, D. 1994. “Effect of Health Publicity on Prevalence of Smoking.” British Medical Journal 309(6966): 1441. ———. 1996. “Tobacco Control: Overview.” British Medical Bulletin 52( l ): l 08-20. Reuter, P. 1992. The Limits and Consequences of U.S. Foreign Drug Control Efforts. RAND Cooperation Publication No. RP-135. Rice, D. P., T. A. Hodgson, P. Sinsheimer, W. Browner, and A. N. Kopstein. 1986. “The Economic Costs of the Health Effects of Smoking, 1984.” Milbank Quarterly 64(4):489-547. Rigotti, N. A., J. R. DiFranza, Y. C. Chang, and others. 1997. “The Effect of Enforcing Tobacco-Sales Laws on Adolescents’Access to Tobacco and Smoking Behavior.” New England Journal of Medicine 337(15): 1044-51. Roberts, M. J., and L. Samuelson. 1988. “An Empirical Analysis of Dynamic, Nonprice Competition in an Oligopolistic Industry.” RAND Journal of Economics 19(2):200-20. Robson, L., and E. Single.1995. Literature Review of Studies of the Economic Costs of Substance Abuse. Ottawa: Canadian Center on Substance Abuse. Roemer, R. 1993. Legislative Action to Combat the World Tobacco Epidemic. 2nd ed. Geneva: World Health Organization. Royal College of Physicians. 1962. Smoking and Health. Summary and Report of the Royal College of Physicians of London on Smoking in Relation to Cancer of the Lung and Other Diseases. New York: Pitman Publishing Co. 1992. Smoking and the Young. London. Rydell, C. P., and S. S. Everingham. 1994. Controlling Cocaine: Supply Versus Demand Programs. RAND Cooperation Publication No. MR-331-ONDCP/ A/DPRC. Rydell, C. P., J. P. Caulkins, and S. S. Everingham. 1996. “Enforcement or Treatment? Modeling the Relative Efficacy of Alternatives for Controlling Cocaine.” Operations Research 44(5):687-95. Saffer, Henry, and F. Chaloupka. l 999. Tobacco Advertising: Economic Theory and International Evidence. NBER Working Paper No. 6958. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research. Saffer, Henry. 1995. “Alcohol Advertising and Alcohol Consumption: Econo- 124 MEREDAM WABAH metric Studies.” In Martin, S. E., ed., The Effects of the Mass Media on the Use and Abuse of Alcohol. Bethesda: National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism. Saloojee, Yussuf. 1995. “Price and Income Elasticity of Demand for Cigarettes in South Africa.” In Slama, K., ed., Tobacco and Health. New York, NY: Plenum Press. Samet, J. M., D. Yach, C. Taylor, and K. Becker. 1998. Research for effective global tobacco control in the 21 st century working group convened during the 10th World Conference on Tobacco or Health. Tobacco Control; 7(1):727. Schelling, T. C. 1986. “Economics and Cigarettes.” Preventive Medicine 15(5):549-60. Schoenbaum, M. 1997. “Do Smokers Understand the Mortality Effects of Smoking? Evidence from the Health and Retirement Survey.” American Journal of Public Health 87(5):755-59. Scitovsky, T.1976. The Joyless Economy: An Inquiry into Consumer Satisfaction and Human Dissatisfaction. Oxford: Oxford University Press. Silagy, C., D. Mant, G. Fowler, and M. Lodge. 1994. “Meta-Analysis on Efficacy of Nicotine Replacement Therapies in Smoking Cessation.” Lancet 343(8890): 139-42. Single, E., D. Collins, B. Easton, H. Harwood, H. Lapsley, and A. Maynard. 1996. 1nternational Guidelines for Estimating the Costs of Substance Abuse. Ottawa: Canadian Center on Substance Abuse. Slama, K., ed. 1995. Tobacco and Health. New York, NY: Plenum Press. Smith, Adam.1776. Wealth of Nations. Edition edited by Canaan, Edwin, 1976. University of Chicago Press. Chicago. Stavrinos, V. G. 1987. “The Effects of an Anti-Smoking Campaign on Cigarette Consumption: Empirical Evidence from Greece.” Applied Economics 19(3):323-29. Stigler, G., and G. S. Becker. 1977. “De Gustibus Non Est Disputandum.” American Economic Review 67:76-90. Stiglitz, J. 1989. “On the Economic Role of the State.” In A. Heertje, ed., The Economic Role of the State. Cambridge, Mass.: Basil Blackwell in association with Bank Insinger de Beauford NV. Sullum, J. 1998. For Your Own Good: The Anti-Smoking Crusade and the Tyranny of Public Health. New York: The Free Press. Suranovic, S. M., R. S. Goldfarb, and T. C. Leonard. 1999. “An Economic Theory of Cigarette Addiction.” Journal of Health Economics 18: 1 -29. Sweanor, D. T., and L. R. Martial. 1994. The Smuggling of Tobacco Products: Lessons from Canada. Ottawa (Canada): Non-Smokers’ Rights Association/ Smoking and Health Action Foundation. Tansel, A. 1993. “Cigarette Demand, Health Scares and Education in Turkey.” Applied Economics 25(4):521-29. BIBLIOGRAFI 125 Thursby, J. G., and M. C. Thursby. 1994. Interstate Cigarette Bootlegging: Extent, Revenue Losses, and Effects of Federal Intervention. NBER Working Paper No. 4763. Cambridge, Mass.: National Bureau of Economic Research. Tobacco Institute. 1996. The Tax Burden on Tobacco. Historical Compilation 1995. Vol. 30. Washington D.C. Townsend, Joy. 1987. “Cigarette Tax, Economic Welfare, and Social Class Patterns of Smoking.” Applied Economics 19:355-65. ———. 1988. Price, Tax and Smoking in Europe. Copenhagen: World Health Organization. ———. 1993. “Policies to Halve Smoking Deaths.” Addiction 88(1):37-46. ———. 1996. “Price and Consumption of Tobacco.” British Medical Bulletin 52(1): 132-42. ———. 1998. “The Role of Taxation Policy in Tobacco Control.” In Abedian, I., and others, eds., The Economics of Tobacco Control. Cape Town, South Africa: Applied Fiscal Research Centre, University of Cape Town. Townsend, Joy, P. Roderick, and J. Cooper. 1994. “Cigarette Smoking by Socioeconomic Group, Sex, and Age: Effects of Price, Income, and Health Publicity.” British Medical Journal 309(6959):923-27. Treyz, G. 1. 1993. Regional Economic Modeling: A Systematic Approach to Economic Forecasting and Policy Analysis. Boston, Mass.: Kluwer Academic Publishers. Tye, J. B., K. E. Warner, and S. A. Glantz. 1987. “Tobacco Advertising and Consumption: Evidence of a Causal Relationship.” Journal of Public Health Policy 8:492-508. U.S. Centers for Disease Control and Prevention. 1994. “Medical-Care Expenditures Attributable to Cigarette Smoking—United States, 1993.” Morbidity and Mortality Weekly Report 43(26):469-72. ———. 1998. “Response to Increases in Cigarette Prices by Race/Ethnicity, Income, and Age Groups—United States,1976- 1993.” Morbidity and Mortality Weekly Report 47(29):605-9. U.K. Department of Health. 1998. Smoking Kills: A White Paper on Tobacco. London: The Stationary Office. (http://www.official-documents.co.uk/document/cm41/4177/ contents.htm). U.S. Department of Health and Human Services. 1988. The Health Consequences of Smoking: Nicotine Addiction. A Report of the Surgeon General. Rockville, Maryland: U.S. Department of Health and Human Services, Public Health Service, Centers for Disease Control, Center for Health Promotion and Disease Prevention, Office on Smoking and Health. DHHS Publication No.(CDC)88-8406. ———. 1989. Reducing the Health Consequences of Smoking: 25 Years of Progress. A Report of the Surgeon General. Rockville, Maryland: U.S’ Department of Health and Human Services, Public Health Service, Centers for Disease Control, Center for Chronic Disease Prevention and Health Promo- 126 MEREDAM WABAH tion, Office on Smoking and Health. DHHS Publication No.(CDC)89-8411. ———. 1990. The Health Benefits of Smoking Cessation: A Report of the Surgeon General. Rockville, Maryland: U.S. Department of Health and Human Services, Public Health Service, Centers for Disease Control, Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Office on Smoking and Health. DHHS Publication No. (CDC) 90-8416. ———. 1994. Preventing Tobacco Use Among Young People. A Report of the Surgeon General. Atlanta, Georgia: U.S. Department of Health and Human Services, Public Health Service, Centers for Disease Control, Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Office on Smoking and Health. USDA (U.S. Department of Agriculture). 1998. Economic Research Service Database. (http://www.econ.ag.gov/prodsrvs/dataprod.htm). Van der Merwe, Rowena. 1998. “Employment and Output Effects for Bangladesh Following a Decline in Tobacco Consumption.” Population, Health and Nutrition Department. The World Bank. Viscusi, W. K.1990. “Do Smokers Underestimate Risks?” Journal of Political Economy 98(6):1253-69. ———. 1991. “Age Variations in Risk Perceptions and Smoking Decisions.” Review of Economics and Statistics 73(4):577-88. ———. 1992. Smoking: Making the Risky Decision. New York: Oxford University Press. ———. 1995. “Cigarette Taxation and the Social Consequences of Smoking.” In Poterba, J. M., ed., Tax Policy and the Economy. Cambridge, Mass.: MIT Press. Wald, N. J., and A. K. Hackshaw. 1996. “Cigarette Smoking: An Epidemiological Overview.” British Medical Bulletin, 52(1):3-11. Warner, K. E. 1986. “Smoking and Health Implications of a Change in the Federal Cigarette Excise Tax.” Journal of the American Medical Association 255(8):1028-32. ———. 1987. Health and Economic Implications of a Tobacco-Free Society.” Journal of the American Medical Association 258(15):2080-6. ———. 1988. “The Tobacco Subsidy: Does it Matter?” Journal of the National Cancer Institute 80(2) 81-83. ———. 1989. “Effects of the Antismoking Campaign: An Update.” American Journal of Public Health 79(2): 144-51. ———.1990. “Tobacco Taxation as Health Policy in the Third World.” American Journal of Public Health 80(5):529-31. ———.1997. “Cost-Effectiveness of Smoking Cessation Therapies: Interpretation of the Evidence and Implications for Coverage.” PharmacoEconomics l l :538-49. Warner, K. E., and G. A. Fulton. 1994. “The Economic Implications of Tobacco Product Sales in a Non-tobacco State.” Journal of the American Medical As- BIBLIOGRAFI 127 sociation 271(10):771-6. Warner, K. E., and others. The Medical Costs of Smoking in the United States. Estimates, Their Validity and Their Implications, forthcoming. Warner, K. E., F. J. Chaloupka, P. J. Cook, and others. 1995. “Criteria for Determining an Optimal Cigarette Tax: the Economist’s Perspective.” Tobacco Control 4:380-86. Warner, K. E., G. A. Fulton, P. Nicolas, and D. R. Grimes. 1996. “Employment Implications of Declining robacco Product Sales for the Regional Economies of the United States.” Journal of the American Medical Association 275(16):1241-6. Warner, K. E., J. Slade, and D. T. Sweanor. 1997. “The Emerging Market for Long-term Nicotine Maintenance.” Journal of the American Medical Association 278(13):1087-92. Warner, K. E., T. A. Hodgson, and C. E. Carroll. 1999. The Medical Costs of Smoking in the United States: Estimates, Their Validity and Implications. Ann Arbor, MI: University of Michigan, School of Public Health. Department of Health Management and Policy. Working Paper. Watkins, B. G. III. 1990. “The Tobacco Program: An Econometric Analysis of Its Benefits to Farmers.” American Economist 34(1):45-53. Weinstein, N. D. 1998. “Accuracy of Smokers’ Risk Perceptions.” Annals of Behavioral Medicine 20(2): 135-40. Wersall, J. P., and G. Eklund.1998. “The Decline of Smoking Among Swedish Men.” International Journal of Epidemiology 27(1):20-6. WHO (World Health Organization). 1996a. Investing in Health Research and Development, Report of the Ad Hoc Committee on Health Research Relating to Future Intervention Options (Document TDR/Gen/96.1.), Geneva, Switzerland. ———.1996b. Tobacco Alert Special Issue: the Tobacco Epidemic: a Global Public Health Emergency. Geneva, Switzerland. ———. 1997. Tobacco or Health: a Global Status Report. Geneva, Switzerland. ———. 1999. Making a Difference. World Health Report. Geneva, Switzerland. World Bank. 1990. Brazil: the New Challenge of Adult Health. Washington, D.C. ———.1992. China: Long-term Issues and Options in the Health Transition. Washington, D.C. ———.1993. The World Development Report 1993: Investing in Health. New York: Oxford University Press. ———.1994a. Chile: the New Adult Health Policy Challenge. Washington, D.C. ———.1994b. Averting the Old Age Crisis. Washington, D.C. ———.1996. China: Issues and Options in Health Financing. Report No. 15278CHA, Washington, D.C. ———.1997. Confronting AIDS: Public Priorities in a Global Epidemic. World Bank Policy Report. Washington, D.C. ———. 1998. World Development Indicators. Washington, D.C. 128 MEREDAM WABAH Zatonski, W. l996. Evolution of Health in Poland Since 1988. Warsaw: Marie Skeodowska-Curie Cancer Center and Institute of Oncology, Department of Epidemiology and Cancer Prevention. Zatonski, W., K. Przewozniak, and M. Porebski. l999. The Impact of Enlarged Pack Health Warnings on Smoking Behavior and Attitudes in Poland. Paper presented at the workshop on “Tobacco Control in Central and Eastern Europe.” Las Palmas de Gran Canaria. February 26, l 999. Zhang, Ping, and C. Husten. 1998. “The Impact of the Tobacco Price Support Program on Tobacco Control in the United States.” Tobacco Control 7(2): 176-82. Zhang, Ping, C. Husten, and G. Giovino. 1997. The Impact of the Price Support Program on Cigarette Consumption in the United States. Atlanta: Office on Smoking and Health, Centers for Disease Control and Prevention. 129 Indeks A Afrika Selatan label, 55 pajak, 46, 47, 82-83 Amerika Serikat anak belasan tahun, 34-35 biaya perawatan kesehatan, 37-38 kejutan informasi, 54 kenaikan harga, 48, 49, 50-51 pekerja, 76, 77 remaja, 23-24 terpapar penyakit, tertunda, 25-26 anak-anak dari perokok, 28 iklan, 50 pendidikan kesehatan, 40 risiko, 34, 35-36 antimerokok, program sekolah, 56 Asia Selatan morbiditas, 28 B Bank Dunia, kebijakan mengenai tembakau, 96 bantuan harga, 70 bayi, kesehatan, 29 beban penyakit, 24-26 Belanda biaya perawatan, 38 berat badan waktu lahir, 29 berhenti (quitting), 30-31, 42, 84 efektivitas, 61-62 pola global, 20-22 biaya perawatan kesehatan, 37-40 pembiayaan, 40 seumur hidup, 38 biaya, 3-6, 34, 37-39, 92-93 beban pada orang lain, 37-39 NRT, 61 perawatan kesehatan, 3-4 bidis, 50 Brundtland, Gro Harlem, 94 130 bukan perokok terpapar asap rokok, 29, 49-50, 51 bupropion, 61 C Cina, 21, 22 cukai, 97-98 morbiditas, 27 kenaikan harga, 46,48-49 pajak, 84 pekerja, 76 produksi tembakau, 66 terpapar penyakit, tertunda 25-26 lihat juga: pajak cukai, pita, 98 E ekonomi tembakau berimbang, 78 eksportir, 73-74 epidemiologi, 92 MEREDAM WABAH larangan, 57-58 informasi, 52-53 kejutan, 8, 54 Inggris, 18 biaya perawatan kesehatan, 37-38 kenaikan harga, 50-51 pajak, 46 pekerja, 76-77 remaja, 24 insentif lihat: manfaat internasional, badan, 13 International Monetary Fund, 97 pajak, 97-98 intervensi dari sisi penawaran, 65-72 individual, 91 J jumlah rokok diisap, 18 K Kanada label, 54-55 pajak, 43, 45, 78, 81-82 tanaman pengganti, 66 G kanker paru-paru, 27, 30 General Agreement on Tariffs and kardiovaskular, penyakit, 62 Trade (GATT), 71 kebijakan, 12-13, 80-91, 94-96, 97-98 biaya perawatan kesehatan, 37 H kecanduan, 23, 41 halangan, 40-41 kehamilan, 29 hambatan politis untuk perubahan, 91- keluarga, 51-52 92 kerangka konvensi-pendekatan harga, protokol, 95 kecanduan dan tanggapan, 46, konsekuensi kesehatan, 2-3, 24-29 48, 49, 50-51 konsumen miskin, 11-12, 27-28 penyelundupan, 72 perpajakan, 83-84 hasil penelitian, penerbitan, 53, 94 konsumsi, tingkat, 48 F Framework Convention for Tobacco Control, 13, 95 I iklan tandingan, media masa, 57 iklan, 56-57 L label, peringatan, 54-55 langkah nonharga menurunkan 131 INDEKS permintaan, 8, 78-79 permintaan global, 59, 61 lapangan kerja, 76 pengawasan tembakau dan, 75-78 larangan lihat: pembatasan M Malawi, produksi tembakau, 69 manfaat, 4, 33 pengawasan tembakau dan, 85-86 menghindarkan, 6-9 intervensi pemerintah, 40-41 morbiditas, 27 mortalitas, 25, 90 N negara berkembang, 16 produksi tembakau, 66 negara berpendapatan rendah, 15-17 biaya perawatan kesehatan, 37-38 kenaikan harga, 46-48 mortalitas, 25 umur, 20-21, 22 negara berpendapatan sedang, 15-17 biaya perawatan kesehatan, 37-38 mortalitas, 25 umur, 20-21, 22 negara berpendapatan tinggi, 16, 18, 34 biaya perawatan kesehatan, 37-38, 40 kenaikan harga, 46-48 larangan iklan, 57 mortalitas, 25 NRT, 61-62 pajak, 48, 51, 52 pajak dan pendapatan pemerintah, 82 penerbitan hasil penelitian, 53 terpapar penyakit, tertunda, 25-26 negara produsen, pekerja, 77-78 nikotin kecanduan, 2, 6, 7, 23-24 pemutusan (withdrawal), 62 nikotin rendah, 27 label, 54 Norwegia, 18 P pajak, 6, 7, 41-42, 43-44, 94 ad valorem, 44 cukai, 97-98 dampak pada konsumsi, 45-46 harmonisasi, 82 International Monetary Fund, 92-98 jenis, 44 konsumen miskin, 83-84 manfaat biaya, 11-12 pendapatan pemerintah, 10-11, 7879, 81,82 penetapan tingkat, 97 penyelundupan, 81-83 permintaan global, 48, 49 persamaan, 83-84 sistem yang berbeda, 41 tingkat optimal, 51-52 pajak tembakau khusus, 44 pembatasan, 40, 41, 59, 65-66, 85 pembatasan perdagangan, 9, 16 internasional, 71 pemerintah, 13 intervensi,40-41 pendapatan, 78, 81 pemuda, pembatasan akses, 66 penawaran, langkah penurunan, 65-74 pendidikan, 19, 20, 28 pendidikan kesehatan, 40 penerbitan, hasil penelitian, 53,94 pengawasan tembakau, 9-13 biaya, 10-11, 75-88 biaya implementasi, 88 biaya untuk individu, 85-86 konsekuensi, 75-88 manfaat-biaya, 11-12, 86-88 pengawasan, perkiraan dampak, 50 MEREDAM WABAH 132 pengeluaran, 76-78 pengusaha pabrik, 74 penyakit jantung, 26, 27-28 penyakit jantung dan pembuluh darah lihat: kardiovaskular, penyakit penyelundupan, 10, 11, 72-74 industri tembakau dan, 74 pajak dan, 81-83 permintaan langkah-langkah nonharga penurunan, 52-60 langkah-langkah penurunan, 43-64 perokok jumlah potensial diimbau berhenti merokok, 62 reguler, 85 perokok pasif lihat: bukan perokok petani, bantuan, 80 pihak-pihak berkepentingan, 92 pita pajak, 74 pita cukai, 98 pola regional, 17 Polandia, 29 label, 54 pendidikan, 29 risiko, 34-35 preservasi, 89-90 prevalensi, 18 prioritas penelitian, 92-93 promosi lihat: iklan R rekomendasi, 93-94 remaja, 4-5, 19, 20-21, 35 saliva, 23-24 remaja, risiko, 34, 35-36 Rencana Kerja Dipercepat, 95 risiko, 3-5, 33-35 S saliva, 23-24 Sector Strategy Paper (1997), 96 sekolah, program antimerokok, 56 stakeholders lihat: pihak-pihak berkepentingan status sosio-ekonomi, 18-19, 30 subsidi, 70 Surgeon General, laporan 1964, 53 Swiss biaya perawatan kesehatan, 38 T tanaman pengganti dan diversifikasi, 9-10, 66-70 tar rendah, 17 label, 54 tempat kerja, 59 tempat-tempat umum, 59 terapi pengganti nikotin (NRT), 7, 61-64 manfaat-biaya, 87-88 terpapar pada kematian, tertunda, 2526 Thailand, larangan, 71 Tobacco Free Initiative (TFI), 94-95 tren, 2, 15-22 Turki, label, 54-55 U umur, 21-22 tingkat penyakit, 24-25 lihat juga: remaja, 166 Uni Eropa, larangan iklan, 58,60 V Vietnam, 21 W WHO, Framework Convention for Tobacco Control, 13, 94-95 133 withdrawal cost, 42 Z Zimbabwe pekerja, 76 produksi tembakau, 69 tanaman pengganti dan diversifikasi, 9-10, 66-70 tar rendah, 17 label, 54 tempat kerja, 59 tempat-tempat umum, 59 terapi pengganti nikotin (NRT), 7, 61-64 manfaat-biaya, 87-88 terpapar pada kematian, tertunda, 2526 Thailand, larangan, 71 Tobacco Free Initiative (TFI), 94-95 tren, 2, 15-22 Turki, label, 54-55 Meredam Wabah Tembakau akan membunuh 4 juta orang dalam duabelas bulan mendatang. Pada tahun 2030 tembakau akan membunuh 10 juta orang dalam setahun, suatu jumlah yang lebih besar dari kematian yang disebabkan salah satu penyakit apa pun, dan 7 juta dari jumlah kematian tersebut akan terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan sedang, dimana sebelumnya rokok itu merupakan barang langka. Kalau orang-orang berpendidikan dan kaya meninggalkan kebiasaan merokok, kegemaran ini menjadi makin meningkat terkonsentrasi pada orang-orang miskin di sebagian besar masyarakat. Paling tidak di negaranegara kaya, terlihat dampak merokok yang merugikan kesehatan berupa kesehatan memburuk dan kematian dini yang dialami orang-orang miskin. Namun banyak pemerintah ragu-ragu mengambil tindakan pengawasan terhadap tembakau karena khawatir akan dampak ekonomi dari tindakan tersebut. Misalnya, banyak pembuat keputusan takut bahwa dengan mengurangi konsumsi tembakau akan menghilangkan lapangan kerja secara permanen. SERI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN MEREDAM WABAH Pemerintah dan Aspek Ekonomi Kini untuk pertama kalinya aspek ekonomi pengawasan terhadap tembakau dibahas dalam laporan tunggal yang ringkas yang meninjau pengalaman-pengalaman berbagai negara. Laporan ini menyimpulkan bahwa dengan menaikkan pajak rokok akan dapat diselamatkan jutaan nyawa, sementara itu pendapatan negara akan meningkat dalam jangka menengah, dan bahwa lain-lain tindakan nonharga seperti melarang iklan dan promosi rokok secara menyeluruh, akan dapat juga menurunkan konsumsi rokok secara signifikan. Studi ini juga mempelajari efek pengawasan tembakau terhadap lapangan kerja dan menemukan bahwa sebagian besar negara tidak akan mengalami kehilangan lapangan kerja secara permanen. Pengawasan terhadap Tembakau Laporan ini juga mempelajari biaya yang diperlukan untuk kebijakan pengawasan dan menyarankan suatu agenda kepada para pemerintah negara untuk bertindak, termasuk memberi bantuan kepada petani tembakau miskin. Selain itu laporan ini juga mengungkapkan peranan lembaga-lembaga internasional dalam menurunkan jumlah korban yang dapat dihindarkan dari kematian dini dan kecacatan disebabkan oleh rokok “Rokok adalah pembunuh dahsyat di seluruh dunia dan masuknya ke Dunia Ketiga akan membunuh lebih banyak penduduk di masa yang akan datang. Laporan ini memberikan pengertian tentang sifat dan gawatnya masalah ini dan bagaimana cara mengatasinya. Suatu karya yang memberi informasi cukup berimbang serta rencana tindakan tepat pada waktunya.” Profesor Amartya Sen, Penerima Hadiah Nobel bidang Ekonomi, 1998. “Rokok adalah pembunuh utama di seluruh dunia. Harga yang paling mahal yang harus dibayar karena rokok, adalah korban yang diakibatkannya berupa penyakit, penderitaan dan kekalutan dalam keluarga. Masalah kesehatan, dan bukannya ekonomi, yang menjadi alasan untuk mengawasi konsumsi rokok. Akan tetapi alasan ekonomi dikemukakan sebagai hambatan pada kebijakan pengawasan terhadap rokok. Laporan ini menyampaikan penyelidikan yang sangat berguna dan tepat waktu tentang tuntutantuntutan yang sering menyebabkan pemerintah negara terhambat tindakannya dalam mengatasi pembunuh global ini.” Dr. Gro Harlem Brundtland Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). The World Bank 1818 H Street, N.W. Washington, D.C. 20433, USA World Wide Web E-Mail : (202) 477-1234 : (202) 477-6391 : MCI 64145 WORLDBANK MCI 248423 WORLDBANK : http://www.worldbank.org/ : [email protected] ISBN 0-8213-4856-6 Bank Dunia Telpon Facsimile Telex PUBLIKASI BANK DUNIA