ii PEWARISAN NILAI SEJARAH LOKAL MELALUI PEMBELAJARAN

Transcription

ii PEWARISAN NILAI SEJARAH LOKAL MELALUI PEMBELAJARAN
PEWARISAN NILAI SEJARAH LOKAL MELALUI PEMBELAJARAN
SEJARAH JALUR FORMAL DAN INFORMAL PADA SISWA SMA DI
KUDUS KULON
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh
Syaiful Amin
S860209111
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
PEWARISAN NILAI SEJARAH LOKAL MELALUI PEMBELAJARAN
SEJARAH JALUR FORMAL DAN INFORMAL PADA SISWA SMA DI
KUDUS KULON
Disusun oleh
Syaiful Amin
S860209111
Telah disetujui oleh tim pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan
Nama
Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Dr. Warto, M.Hum
___________ _______
NIP 196109251986031001
Pembimbing II Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum.
___________ _______
NIP 195907081986012001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Dr. Warto, M.Hum.
NIP 196109251986031001
iii
PEWARISAN NILAI SEJARAH LOKAL MELALUI PEMBELAJARAN
SEJARAH JALUR FORMAL DAN INFORMAL PADA SISWA SMA DI
KUDUS KULON
Disusun oleh
Syaiful Amin
S860209111
Telah disetujui oleh tim penguji
Jabatan
Nama
Tanda Tangan Tanggal
Ketua
Prof. Dr. Sri Yutmini
___________ _______
Sekretaris
Dr.Suyatno Kartodirdjo
___________ _______
Anggota Penguji 1. Dr. Warto, M.Hum
2. Dra. Sutiyah, M.Pd, M.Hum
___________ _______
___________ _______
Mengetahui
Ketua Prodi.
Dr. Warto, M.Hum.
Pendidikan Sejarah NIP 196109251986031001
___________ _______
Direktur Program
Pascasarjana
___________ _______
Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D.
NIP 195708201985031004
iv
PERNYATAAN
Nama : Syaiful Amin
NIM
: S860209111
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul “Pewarisan Nilai Sejarah
Lokal Melalui Pembelajaran Sejarah Jalur Formal dan Informal Pada Siswa SMA
di Kudus Kulon” adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Juli 2010
Yang membuat pernyataan
Syaiful Amin
v
MOTTO
 Belajar, Bergerak, Berkarya
 Bersyukur atas hidup dan kehidupan.
vi
PERSEMBAHAN
 Untuk Ibu Sukilah dan Bapak Harun (orang
tuaku), Eko Sujarwadi, Siti Halimah, dan Orisa
Nafa’aizul Ulya Sujarwadi (mas, mba’yu, dan
ponakanku), Ari Widyaningsih (adikku).
 Untuk
Indah
Trimulyani,
terimakasih
atas
kepercayaan dan kesabarannya.
 Untuk guru-guruku yang telah memberi teladan
ilmu dan teladan laku
 Untuk sahabat-sahabatku yang bersama-sama
belajar “berilmu” dan “ber-laku”
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan yang Maha Kuasa, yang dengan
rahmat-Nya tesis dengan judul “ Pewarisan Nilai Sejarah Lokal Melalui
Pembelajaran Sejarah Jalur Formal dan Informal Pada Siswa SMA di Kudus
Kulon ” telah diselesaikan. Disadari bahwa dalam penyusunan tesis ini,
keberhasilan bukan semata-mata diraih oleh penulis, melainkan diraih berkat
dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali
ini, penulis bermaksud menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak
yang membantu dalam penyusunan penelitian ini. Dengan penuh kerendahan hati,
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. H. Much. Syamsulhadi, dr, Sp.KJ (K). Selalu rektor UNS yang telah
memberikan kesempatan kepada peneliti untuk belajar di kampus UNS.
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. selaku Direktur PPs UNS yang telah
memberikan izin kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian.
3. Untuk semua keluargaku yang selalu menjadi motivasi utama bagi peneliti.
4. Dr. Warto, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah PPs
UNS Surakarta sekaligus pembimbing I tesis yang dengan kesabaran
senantiasa memberikan pengarahan, motivasi, dan masukan-masukan yang
berharga dalam penelitian.
5. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Pendidikan
Sejarah PPs Surakarta, sekaligus pembimbing II tesis, atas masukan-masukan
viii
yang sangat berharga, koreksi-koreksi yang kritis, dan bimbingan dengan
penuh kesabaran.
6. Prof. H.B. Sutopo, M.Sc., M.Sc., Ph.D. (alm.) atas masukan-masukan yang
berharga dan catatan-catatan kritis pada awal penelitian tesis.
7. Prof. Dr. Sri Yutmini dan Dr. Suyatno Kartodirdjo yang telah menguji peneliti
dengan baik dan perbaikan yang diberikan kepada peneliti.
8. Dosen-dosen pada Program Studi Pendidikan Sejarah PPs UNS atas
keteladanan untuk tetap mengutamakan kesederhanaan.
9. Kepala sekolah SMA 2 N Kudus dan Kepala sekolah MA NU Banat Kudus
beserta jajarannya, khususnya untuk guru-guru sejarah serta siswa yang telah
banyak direpotkan .
10. Teman-teman pada Program Studi Pendidikan Sejarah PPs UNS, terutama
angkatan 2009 atas kekompakan, keceriaan dan nasihatnya pada penulis.
11. Teman-teman di komunitas Taman Baca “Ngudi Kawruh” (Tsabit Azinar
Ahmad, Ahmad Fauzan Mubarok, dll), PMII Komisariat Al Ghozali
Semarang, Patemon Syndicate, Kos Al-Ikhlas Kentingan atas segala keceriaan
dan kebersamaannya.
Pada penyusunannya, tesis ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu
kritik dan saran sangat dibutuhkan sebagai upaya perbaikan. Semoga tulisan ini
bermanfaat.
Surakarta, Juli 2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR ………………………………………………………….
i
SAMPUL DALAM ……………………………………………………….
ii
PENGESAHAN PEMBIMBING …………………………………………
iii
PENGESAHAN PENGUJI TESIS ……………………………………….
iv
PERNYATAAN …………………………………………………………..
v
MOTO …………………………………………………………………….
vi
PERSEMBAHAN ………………………………………………………...
vii
KATA PENGANTAR …………………………………………………….
viii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………..
x
DAFTAR TABEL ………………………………………………………...
xiii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..
xiv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...
x
ABSTRAK ………………………………………………………………...
xvi
ABSTRACT ………………………………………………………………
xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………........
1
B. RumusanMasalah………………………………………………….
8
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….
8
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………...
9
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori ……………………………………………………….
11
1. Pembelajaran Sejarah Formal...…………………………………….
11
2. Pembelajaran Sejarah Informal ………………………………
19
3. Sejarah Lokal ...................................…………………………
23
4. Pewarisan Nilai sejarah ...........................................................
32
B. Penelitian yang Relevan …………………………………………..
42
C. Kerangka Pikir …………………………………………………….
47
x
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………..
44
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ……………………………………
52
C. Sumber Data ………………………………………………………
53
D. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………….
54
E. Teknik Cuplikan …………………………………………………..
56
F. Validitas Data ……………………………………………………..
57
G. Teknik Analisis ……………………………………………………
59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ……………………………………………………
62
1. Deskripsi Latar ………………………………………………..
62
2. Sajian Data …………………………………………………….
91
B. Pokok-Pokok Temuan .................................................................
133
1. Pewarisan Nilai Sejarah Lokal Melalui Pembelajaran Sejarah
Jalur Formal Pada Siswa SMA di Kudus Kulon .…………….
133
2. Pewarisan Nilai Sejarah Lokal Melalui Pembelajaran Sejarah
Jalur Informal Pada Siswa SMA di Kudus Kulon …………...
134
3. Kesinambungan Pendidikan Sejarah Jalur Formal dan Informal 3
dalam Rangka Pewarisan Nilai Sejarah ……………………....
135
C. Pembahasan ……………………………………………………….
136
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan …………………………………………………………..
157
B. Implikasi …………………………………………………………..
159
C. Saran ………………………………………………………………
161
xi
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
163
LAMPIRAN ………………………………………………………………
166
xii
DAFTAR TABEL
Tabel:
Hlm.
1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ……………………………………
51
2. Jumlah penduduk Kudus berdasarkan jenis kelamin per tahun
2003 – 2007 ............…………………………………………….
64
3. Jumlah penduduk per kecamatan ………………………………
64
4. Kepadatan penduduk tiap Kecamatan…………………………..
65
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar:
Hlm.
1. Kerangka Pikir Penelitian …………………………………………
49
2. Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif…………..
61
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran:
Hlm.
1. Pedoman Wawancara, dan Analisis Dokumen
166
2. Daftar Informan
170
3. Contoh Silabus dan RPP
172
4. Dokumentasi Penelitian
208
5. Surat Izin Penelitian
210
xv
ABSTRAK
Syaiful Amin. 2010. Pewarisan Nilai Sejarah Lokal Melalui Pembelajaran
Sejarah Jalur Formal dan Informal Pada Siswa SMA di Kudus Kulon. Tesis:
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang (1) Proses
pewarisan nilai sejarah lokal melalui pembelajaran sejarah jalur formal pada
siswa SMA di Kudus Kulon; (2) Proses pewarisan nilai sejarah lokal melalui
pembelajaran sejarah jalur informal pada siswa SMA di Kudus Kulon; (3)
Kesinambungan antara pendidikan sejarah jalur formal dan informal dalam
proses pewarisan nilai sejarah lokal kepada siswa SMA di Kudus Kulon.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus
terpancang (embedded research). Penelitian dilakukan di lingkungan masyarakat
dan SMA di Kudus Kulon. Sumber data terdiri atas informan (guru-guru sejarah,
peserta didik, dan orang tua siswa), dokumen (silabus, RPP, tugas siswa), serta
tempat dan peristiwa ( Kelas untuk mengamati pembelajaran dan lingkungan
masyarakat). Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara
mendalam, observasi, dan analisis dokumen. Validitas data menggunakan
trianggulasi data dan trianggulasi metode. Analisis data menggunakan analisis
interaktif dengan tiga tahapan analisis, yakni reduksi data, penyajian data, dan
penarikan simpulan yang berinteraksi dengan pengumpulan data secara siklus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Guru telah melakukan Pewarisan
nilai dalam pembelajaran sejarah formal melalui pemanfaatan bangunan
bersejarah dan folklore yang ada disekitar sekolah, namun hasil yang didapat
belum maksimal karena keterbatasan waktu belajar ; (2) Pewarisan nilai pada
pembelajaran sejarah jalur informal terjadi melalui cerita rakyat (folklore) yang
diceritakan dalam keluarga dan masyarakat saat acara ritual keagamaan (buka
luhur); (3) Kesinambungan pembelajaran sejarah jalur formal dan informal dalam
upaya pewarisan nilai terjadi karena adanya hubungan saling mengisi kelemahan
dan saling menguatkan (interdependency) yang membuat upaya pewarisan nilai
sejarah lokal jadi maksimal.
Kata kunci : pewarisan nilai, sejarah lokal, pembelajaran sejarah formal,
pembelajaran sejarah informal.
xvi
ABSTRACT
Syaiful Amin. 2010. Inheritance Value of Local History Learning History
Through Formal and Informal at High Schools Students in Kudus Kulon. Thesis:
The Graduate Program of Sebelas Maret University.
This study aimed to describe the (1) The process of devolution of local
history through the history of formal learning on high school students in Kudus
Kulon; (2) The process of devolution of local history through informal channels of
learning history in high school students in Kudus Kulon; (3) Continuity between
the educational history of formal and informal channels in the process of
devolution of local historical value to students of high school in Kudus Kulon.
This study uses qualitative methods with case studies stuck (embedded
research). Research conducted in the community environment Kudus Kulon and
High Schools in Kudus. The data sources consisted of informants (history
teachers, students, and parents), documents (syllabus, RPP, the task of students),
and places and events (schools and community environment). Data collection
techniques using the technique of in-depth interviews, observation, and content
analysis. Data validation using triangulation of data and triangulation method.
Analysis of data using an interactive analysis with the three stages of analysis,
namely data reduction, data presentation, and drawing conclusion that interact
with the data collection cycle.
The results showed that: (1) Teacher was implement inheritance of value
through formally hostorical learning, but the result shows it not optimally yet,
because time allocation problem; (2) Inheritance of value in the history of
informal learning occurs through folklore which is told in the family and society
as a religious ritual events, (3) Continuity learning the history of formal and
informal channels occurs because the relationship is mutually reinforcing that
makes the efforts of inheritance so the maximum value of local history.
Key words: inheritance of values, local history, the history of formal learning,
informal learning history.
xvii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan manusia berdasarkan dimensi sejarah selalu berkaitan dengan
waktu masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Keadaan masa
sekarang adalah kenyataan hasil masa lampau untuk menentukan masa yang akan
datang. Kemampuan manusia untuk memainkan perannya pada masa kini dalam
rangka mewujudkan masa depan yang dicita-citakan sangat ditentukan
pemahaman jiwa dan semangat masa lampau dengan baik. Sukaryanto (2007: 5)
mengatakan sejarah merupakan peristiwa yang dilakukan manusia pada masa
lampau (the past human event), terjadi hanya sekali (einmalig) dan tidak terulang
kembali menjadi sejarah yang harus diketahui manusia pada masa berikutnya.
Oleh karena itu mempelajari sejarah menjadi penting agar dapat menentukan
tindakan yang tepat guna melanjutkan masa depan yang sesuai dengan harapan
masa lampau.
Sejarah
merupakan
dialog
antara
peristiwa
masa
lampau
dan
perkembangan ke masa depan (Kochhar,2008: 5). Hal ini menunjukkan bahwa
kesinambungan harus terus dijaga karena tidak ada peristiwa atau kejadian yang
tidak ada hubungannya dengan peristiwa lain di dunia ini. Keberhasilan dan
kegagalan sudah banyak tertulis oleh sejarah, tinggal bagaimana kita bisa belajar
1
2
dari proses yang pernah terjadi tersebut untuk dapat menjadi bangsa yang besar
dan mandiri.
Eksistensi bangsa termasuk bangsa Indonesia mutlak harus dipertahankan
dalam kehidupan masyarakat bangsa dunia. Pembangunan karakter bangsa
(national character building) menjadi alternatif dalam mewujudkan generasi
bangsa yang memahami jati diri bangsanya secara komprehensif. Salah satu
upaya pembangunan karakter bangsa dapat dilakukan melalui pendidikan sejarah
yang mulai diberikan sejak pendidikan dasar. Pendidikan sejarah diharapkan
dapat memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai
periode dalam upaya pembentukan sikap dan perilaku siswa.
Pemahaman sejarah perlu dimiliki setiap orang sejak dini agar mengetahui
dan memahami makna dari peristiwa masa lampau sehingga dapat digunakan
sebagai landasan sikap dalam menghadapi kenyataan pada masa sekarang serta
menentukan masa yang akan datang. Artinya sejarah perlu dipelajari sejak dini
oleh setiap individu baik secara formal maupun informal, Keterkaitan individu
dengan masyarakat atau bangsanya memerlukan terbentuknya kesadaran
pentingnya sejarah terhadap persoalan kehidupan bersama seperti: nasionalisme,
persatuan, solidaritas dan integritas nasional. Terwujudnya cita-cita suatu
masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh generasi penerus yang mampu
memahami sejarah masyarakat atau bangsanya. Pemahaman sejarah yang sangat
penting ini sekarang ini banyak diimplentasikan melalui jalur pendidikan yakni
pendidikan sejarah.
3
Tujuan mata pelajaran sejarah nasional dimaksudkan untuk mengetahui dan
menyadari bahwa manusia hidup dalam lingkungan. Ada hubungan fungsional
dan timbal balik antara manusia dan lingkungannya, sehingga manusia mampu
memanfaatkannya, dan memiliki pengetahuan mengenai perubahan-perubahan
yang telah dialami penduduk di lingkungannya pada masa lampau sehingga
mampu memahami keadaan lingkunganya sekarang. Dengan demikian, pelajaran
sejarah diharapkan mampu memperluas wawasan hubungan masyarakat antar
bangsa di dunia (Soedarno, 1998:29).
Perkembangan pembelajaran sejarah dalam sistem pendidikan nasional
bangsa Indonesia belum dapat berjalan sesuai dengan harapan. Pembelajaran
sejarah lebih ditujukan untuk mengetahui cerita sejarah, belum pada substansi
sikap sejarah. Seorang siswa memiliki pengetahuan sejarah tentang suatu
peristiwa, tokoh-tokoh, waktu dan tempat terjadinya, tetapi tidak semua tahu
alasan dan semangat yang menjadi latarbelakang peristiwa sejarah. Akibatnya
pembelajaran sejarah menjadi kurang bermakna, bahkan ada yang mengatakan
mengalami kegagalan.
Ada berbagai faktor yang kemudian membuat pelajaran sejarah kurang atau
bahkan tidak diminati oleh siswa selain dari alasan di atas. Wakhidah (2006:5)
mengatakan bahwa penulisan sejarah Indonesia masih mengalami kebingungan
dan bahkan sampai masalah pendidikan sejarah yang diajarkan di sekolah dasar
sampai menengah atas. Ada berbagai pendapat miring tentang pelajaran sejarah
sehingga membuat siswa pada khususnya, sangat tidak menyukai sejarah dan
4
tidak berminat untuk mempelajarinya. Ada pendapat yang menyatakan bahwa
memberikan pelajaran sejarah adalah sesuatu yang tidak masuk akal atau tidak
mungkin sama sekali, pelajaran sejarah bukan sebagai dasar ilmu pengetahuan.
Sejarah bukan kelompok basic science (Kasmadi,1996:15). Sejarah dianggap
sebagai ilmu kering, artinya manfaat dari mempelajari sejarah tidak dapat
langsung dipetik saat itu juga seperti halnya ilmu murni seperti matematika
namun butuh waktu yang lama untuk dapat memahami dan mendapatkan
pelajaran dari belajar sejarah.
Selain diajarkan secara formal di sekolah, sejarah juga diajarkan secara
informal. Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa ke-dua macam jenis
pendidikan yakni formal dan informal, terjadi secara bersamaan. Meskipun
demikian banyak terjadi ketidaksepahaman dalam prosesnya. Sebagai contoh
adalah ada jarak yang relatif jauh antara materi pelajaran yang diajarkan di
sekolah dengan realitas yang dihadapi siswa di masyarakat. Teori-teori yang di
ajarkan oleh guru pelajaran sejarah kadang tidak tepat atau malah berbeda
dengan yang dihadapi siswa dalam realitas masyarakat. Hal ini yang kadang
membuat siswa tidak suka dengan pelajaran sejarah karena cenderung hanya
hapalan dan tidak aplikatif.
Pembelajaran sejarah mestinya merupakan pemahaman akan masa lalu
yang berkaitan dengan sekarang. Sudah semestinya pula pandidikan dan
pembelajaran sejarah menjadikan siswa untuk bisa sedekat mungkin dengan
masyarakat, karena sejarah yang diajarkan beserta nilai-nilai yang terkandung
5
dari suatu peristiwa diambil dari kisah yang terjadi di masyarakat. Oleh karena
itu sudah seharusna luaran dari pembelajaran sejarah adalah bagaimana siswa
yang merupakan bagian dari masyarakat dapat menghargai dan melestarikan
nilai-nilai tersebut, terutama lingkungan di mana siswa itu tinggal.
Kesadaran akan sejarah pada dasarnya dimiliki oleh setiap masyarakat dan
mereka sudah sering mengajarkan sejarah secara informal dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagai contoh dalam keluarga adalah bagaimana sejak kecil seorang
anak akan dikenalkan dengan silsilah keluarga oleh orang tua agar anak tersebut
mengetahui siapa saja saudara mereka. Untuk tingkat masyarakat, pendidikan
sejarah secara informal sering disampaikan melalui folklore atau tradisi sejarah
lisan, misal cerita mengenai asal-usul nama suatu daerah atau cerita-cerita
kepahlawanan pada masa lalu. Oleh karena itu, sudah seharusnya materi
pelajaran sejarah yang di ajarkan di sekolah diambil dari nilai-nilai yang muncul
atau sudah ada dan lama tertanam dalam masyarakat. Dengan demikian,
pelajaran sejarah juga bisa digunakan sebagai sarana atau media untuk
mempertahankan identitas suatu bangsa atau daerah.
Salah satu daerah atau kawasan yang memiliki karakteristik khas yang
menjadi indentitas tersendiri adalah kota Kudus. Kota Kudus sangat maju di
bidang pembangunan dan ekonomi, tetapi kota ini tidak lepas dari identitas
lokalnya. Cermin yang menunjukkan bahwa kota Kudus tidak kehilangan
identitas lokalnya, saat ini Kudus semakin kental dengan sebutan kota simbol
seperti kota wisata, kota pusat oleh-oleh, kota industri dan perdagangan, kota
6
wali, kota kretek, dan kota tradisi. Lebih tepatnya Kudus dapat dikata sebagai
kota yang memacu pembangunan melalui strategi wawasan identitas (Potensi
Alam Kudus 2002: 5).
Disamping itu, sebagaimana lazimnya sebuah pemukiman, wilayah Kudus
juga dikenal dengan pembagian wilayah yang khas, yaitu mengalami
perkembangan pemukiman secara kultural. Hal ini dapat dilihat dengan
pembagian dua wilayah yaitu Kudus Kulon (Kudus bagian barat) dan Kudus
Wetan (Kudus bagian timur). Kudus Kulon dikenal dengan tradisi mengaji yang
masih kental sehingga disebut kawasan santri. Sedangkan Kudus Wetan dikenal
dengan kawasan priayi, hal ini menjadi latarbelakang perkembangan kota ke
arah timur, kawasan ini juga sebagai pusat berkembangnya organisasi
pemerintahan seperti kantor kabupaten dan organisasi sosial yang lain.
Kudus merupakan kota yang kaya akan tradisi, baik secara ritual maupun
secara cerita. Kekayaan tersebut sampai sekarang masih terjaga dengan baik.
Upacara ritual dan kegiatan tradisi seperti dan-dangan dan buka luhur sampai
sekarang masih terjaga dan terpelihara dengan baik. Tidak hanya pada tingkat
penyelenggaraan saja namun tingkat antusiasme warga dalam mengikuti acara
juga sangat tinggi. Hal ini mengindakasikan bahwa nilai-nilai yang selama ini
ada dan turun-temurun dalam masyarakat masih terjaga dengan baik. Kota Kudus
juga mempunyai cerita rakyat yang sampai sekarang masih lestari di masyarakat.
Sedikit banyak cerita rakyat yang ada tersebut membentuk karakter masyarakat,
karena setiap cerita rakyak pasti memiliki nilai-nilai yang luhur. Nilai-nilai
7
tersebut dalam akumulasinya akan membentuk citra atau karakter masyarakat di
Kudus.
Merujuk James Danandjaja (2002: 23) yang mengatakan bahwa cerita
rakyat suatu masyarakat dapat digunakan untuk mengetahui kepribadian
pembangunan dan karakteristik masyarakat yang bersangkutan. Danandjaja juga
menambahkan bahwa dengan analisis cerita rakyat yang dimiliki, akan
didapatkan bagaimana pemikiran, pola perilaku dan materi yang hasilkan pada
masyarakat tersebut. Hal senada diungkapkan Bascom (dalam James Danandjaja
2002) bahwa dalam cerita rakyat dapat diketahui tentang bagaimana cara
pandang ke depan, dinamika dan pola pendidikan masyarakatnya, serta
bagaimana pengesahan budayanya.
Dengan demikian, sangatlah wajar jika
masyarakat Kudus dengan potensi budayanya telah berhasil mempertahankan
identitas yang terwariskan dengan baik dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Banyak penelitian mengenai pembelajaran sejarah di sekolah, akan tetapi
sangat jarang penelitian pembelajaran sejarah melalui jalur informal. Padahal
siswa atau peserta didik memiliki waktu dan perhatian dan lebih pada kegiatankegiatan informal selain belajar di sekolah. Pada kenyataanya lingkungan sekitar
memberi dampak yang besar pada perkembangan siswa dan sedikit banyak
karakter seseorang akan ditentukan oleh lingkungan, termasuk di dalamnya
adalah bagaimana semangat siswa untuk belajar. Aspek-aspek psikologis seperti
ini jarang tersentuh oleh penelitian-penelitian formal yang dilakukan di sekolah.
Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk sekali lagi melihat proses
8
pembelajaran sejarah secara formal di sekolah untuk dibandingkan dengan proses
pembelajaran sejarah secara informal di masyarakat. Penelitian ini juga ingin
melihat bagaimana proses penanaman nilai-nilai sejarah masyarakat di Kudus
Kulon yang diperlukan untuk mempertahankan identitas masyarakat.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah disampaikan di atas, maka
masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut ;
1. Bagaimana proses pewarisan nilai sejarah lokal melalui pembelajaran sejarah
jalur formal pada siswa SMA di Kudus Kulon?
2. Bagaimana proses pewarisan nilai sejarah lokal melalui pembelajaran sejarah
jalur informal pada siswa SMA di Kudus Kulon?
3. Bagaimana kesinambungan antara pendidikan sejarah jalur formal dan
informal dalam proses pewarisan nilai sejarah lokal kepada siswa SMA di
Kudus Kulon ?
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan ;
1.
Proses pewarisan nilai sejarah lokal melalui pembelajaran sejarah jalur
formal pada siswa SMA di Kudus Kulon.
9
2.
Proses pewarisan nilai sejarah lokal melalui pembelajaran sejarah jalur
informal pada siswa SMA di Kudus Kulon.
3.
Kesinambungan antara pendidikan sejarah jalur formal dan informal dalam
proses pewarisan nilai sejarah lokal kepada siswa SMA di Kudus Kulon.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis
Secara teoretis penelitian ini diharapkan mampu memberikan kajian ilmiah
mengenai proses pewarisan nilai-nilai sejarah lokal yang dilakukan melalui
pendidikan sejarah jalur formal dan informal kepada siswa SMA di Kudus
Kulon.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran
mengenai proses pewarisan nilai-nilai sejarah lokal yang dilakukan melalui
pendidikan sejarah jalur formal dan informal kepada siswa SMA di Kudus
Kulon, terutama bagi ;
a. Siswa
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan pada siswa tentang peran
sentral siswa sebagai generasi penerus yang harus mengetahui sejarah serta
nilai-nilai luhur yang terdapat di daerahnya.
10
b. Guru dan Sekolah
Penelitian ini diharapkan memberikan masukan pada guru tentang pentingnya
pendidikan yang menekankan pada proses penanaman nilai(value) dan bukan
sekadar teori dan nilai (nominal). Sedangkan bagi sekolah seharusnya bisa
menjadi agen dalam pelestarian nilai-nilai sejarah budaya lokal mengingat
ekspetasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap sekolah pada saat ini.
c. Masyarakat
Penelitian ini diharapkan memberikan masukan pada masyarakat akan
pentingnya keluarga dan masyarakat dalam pendidikan anak, terutama dalam
penanaman nilai.
d. Dinas terkait atau Pemerintahan
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan pada dinas terkait
seperti Dinas Pendidian dan Kebudayaan tentang strategi yang harus
dilakukan dalam upaya menyinergikan antara pendidikan dan pelestarian
budaya sehingga bisa dibuat kebijakan-kebijakan yang mengarah pada hal
tersebut.
11
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Kajian Teori
1. Pembelajaran Sejarah Formal
Arief Rohman (2009:169-171) menjelaskan bahwa pendidikan formal
menunjuk pada pendidikan sistem persekolahan. Jenis pendidikan ini adalah
jenis pendidikan yang sudah terstandarisasi secara legal formal. Baik dalam
jenjangnya, lama belajar, paket kurikulum, persyaratan unsur-unsur
pengelolaannya, persyaratan usia dan tingkat pengetahuan, perolehan dan
keberartian nilai dari kredensialnya, prosedur hasil evalusi belajar, bahkan
sampai presensi, waktu liburan, serta sumbangan pendidikan. Menurut
Mustofa Kamil (2009: 10) pendidikan formal merujuk pada sistem pendidikan
yang terlembagakan secara hirarkis dan terstuktur, mempunyai kelas yang
berurutan yang terentang dari sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan
potensi
dirinya
untuk
memiliki
kekuatan
spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
11
12
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Ki
Hajar Dewantara seperti dikutip Munib dkk. (2004:32) menyatakan bahwa
pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi
pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak didik.
Pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok
bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan
budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi. Paulo Freire
menyatakan bahwa pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang
membebaskan, yakni pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif
dari peserta didik, berupa kemampuan dalam menafsirkan masalah-masalah,
percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak satu pendapat,
di mana seseorang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat
(Manggeng, 2005:43).
Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
13
Beragamnya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem pendidikan
nasional yang diterapkan di Indonesia, secara legal pemerintah telah
mengeluaran Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Peraturan ini memberikan arahan tentang perlunya
disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu standar
isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Lebih lanjut dalam PP Nomor
19 tahun 2005 pasal 6 ayat 1 dinyatakan bahwa kurikulum untuk jenis
pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah terdiri atas (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia,
(2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, (3) kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, (4) kelompok mata pelajaran
estetika, dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Menurut PP nomor 19 tahun 2005 pasal 7 ayat (3), (4), (5) dan (6) dan
penjelasannya, pendidikan sejarah termasuk kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga dalam pembelajaranya di mulai dari
tingkatan SD/MI/SDLB, SMP dan SMA, masing-masing jenjang mempunyai
jenjang sebagai berikut:
Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada
SD/MI/SDLB dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan
mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan
kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif dan
mandiri. Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
14
pada SMP/MTs/SMPLB dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi
dasar ilmu pengetahuan dan teknologi serta membudayakan berpikir
ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri. Kelompok mata pelajaran
ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMA/MA/SMALB
dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi lanjut ilmu pengetahuan
dan teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis,
kreatif dan mandiri. Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi pada SMK/MAK dimaksudkan untuk menerapkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, membentuk kompetensi, kecakapan, dan
kemandirian kerja.
Pengemasan pendidikan Sejarah diatur sebagai berikut, (1) untuk
jenjang SD/MI/SDLB/Paket A dan SMP/MTs/SMPLB/Paket B sebagai
bagian dari IPS, (2) untuk SMA/MA/SMALB/Paket C, sebagai mata pelajaran
yang berdiri sendiri diberikan di kelas X (semester 1 dan 2), di kelas XI dan
XII IPS, IPA, dan Bahasa. Untuk IPS diberikan tiga sks setiap semester,
Bahasa diberikan 2 sks setiap semester, sedangkan IPA diberikan satu sks
setiap semester, dan (3) untuk SMK/MAK sebagai mata pelajaran IPS,
“sekurang-kurangnya terdiri dari muatan dan/atau kegiatan ketatanegaraan,
ekonomika, sejarah, sosiologi, antropologi, atau geografi yang disesuaikan
dengan program kejuruan masing-masing”.
Mata pelajaran Sejarah telah diberikan pada tingkat pendidikan dasar
sebagai bagian integral dari mata pelajaran IPS, sedangkan pada tingkat
pendidikan menengah diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Mata
pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan
peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia
Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Materi sejarah:
15
(1)
mengandung nilai-nilai
kepahlawanan,
keteladanan,
kepeloporan,
patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari
proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik; (2) memuat
khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa
Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi
proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa
depan; (3) menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta
solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman
disintegrasi bangsa; (4) sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna
dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan seharihari; (5) berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung
jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup
(Permnendiknas, 2006:523).
Mata pelajaran Sejarah, terutama pada tingkat SMA bertujuan agar
peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut (Permnendiknas,
2006:524).
a. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan
tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini,
dan masa depan
16
b. Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara
benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah
dan metodologi
keilmuan
c. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap
peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa
lampau
d. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya
bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses
hingga masa kini dan masa yang akan datang
e. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari
bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang
dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik
nasional maupun internasional.
Sedangkan ruang lingkup mata pelajaran Sejarah untuk Sekolah
Menengah Atas meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
a. Prinsip dasar ilmu sejarah
b. Peradaban awal masyarakat dunia dan Indonesia
c. Perkembangan negara-negara tradisional di Indonesia
d. Indonesia pada masa penjajahan
e. Pergerakan kebangsaan
f. Proklamasi dan perkembangan negara kebangsaan Indonesia
17
Dengan posisi legal dari kedua dokumen tersebut maka pendidikan
sejarah dapat dikenal dari dua kemasan yaitu IPS dan Sejarah. Baik dalam
kemasan sebagai IPS maupun sebagai sejarah maka pendidikan sejarah harus
memperhatikan kondisi masyarakat yang ada di sekitar peserta didik, harus
dapat mengkaji apa yang terjadi, dan menerapkan apa yang dipelajari dari
materi pendidikan sejarah dalam kehidupan sehari-hari (Hasan, 2007:14).
Terkait dengan materi pelajaran sejarah sudah ditetapkan standar
kompetensi dan kompetensi dasar melalui Permendiknas tahun 2006,
sedangkan untuk materi yang akan diajarkan dalam kelas, setiap sekolah
diberi sedikit kebebasan untuk menentukan sendiri. Dengan aturan ini,
sekolah bisa mengoptimalkan pembelajaran sejarah lokal yang disesuaikan
dengan kondisi sekitar. Dengan mengoptimalkan pembelajaran sejarah lokal
diharapkan nilai-nilai atau kearifan lokal yang menjadi identitas suatu daerah
bisa tetap lestari. Kondisi pembelajaran sejarah seperti inilah yang sangat
diharapkan. Dalam konteks penelitian ini, terdapat beberapa standar
kompetensi dan kompetensi dasar (SK/KD) khususnya untuk SMA yang bisa
dioptimalkan dalam pembelajaran sejarah jalur formal sebagai sarana
pewarisan nilai-nilai sejarah yang terdapat di Kudus Kulon.
Dalam pembelajaran sejarah formal, metode pembelajaran yang bisa
digunakan agar hasil belajar bias optimal dalam rangka pewarisan nilai
sejarah lokal adalah dengan menggunakan Contextual Teaching and Learning
(CTL). Elaine B. Jonhson (2008:57) menjelaskan bahwa CTL merupakan
18
suatu sistem pengajaran yang menghasilkan makna dengan menghubungkan
muatan akademis dan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Model
pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi dan situasi dunia nyata siswa serta mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari (Nurhadi dkk, 2003:4).
Sulaiman Zein (2008:34) juga menambahkan bahwa pembelajaran
kontekstual adalah suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan
memotivasi
siswa untuk
memahami
makna
materi pelajaran
yang
dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan
mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa
memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan
(ditransfer) dari satu permasalahan/konteks ke permasalahan/konteks lainnya.
Model pembelajaran kontekstual merupakan model pembelajaran yang
membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia
nyata siswa, mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dan penerapannya (implementasi) dalam kehidupan nyata mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pembelajaran kontekstual adalah
suatu proses pembelajaran yang meliputi relating, experiencing, applying,
cooperating, dan transfering. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran
kontekstual adalah: (1) meningkatkan hasil pembelajaran siswa, (2)
penyusunan materi pelajaran yang praktis dan sesuai dengan kehidupan di
19
Indonesia dan konteks sekolah (Depdiknas, 2003:23). Sedangkan Achmad
Sugandi (2004:41) menjelaskan bahwa pembelajaran kontekstual memiliki
tujuh komponen utama pembelajaran yang efektif, yaitu: kontruktivisme
(contructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat
belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan
penilaian yang sebenarnya (authentic assesment). Kegiatan siswa dalam
pembelajaran kontekstual diarahkan agar siswa dapat bekerja sama dalam
kelompok dan lingkungan sekitar. Situasi belajar dibuat menyenangkan dan
tidak membosankan sehingga siswa belajar dengan gairah dan minat yang
tinggi. Untuk mata pelajaran sejarah, model pembelajaran kontekstual sangat
mendukung dengan pemanfaatan nilai-nilai sejarah lokal yang ada di
lingkungan sekitar siswa.
2. Pembelajaran Sejarah Informal
Pada konteks belajar sepanjang hayat, pendidikan dibagi menjadi tiga
yaitu pendidikan formal, informal dan nonformal. Menurut Coombs dan
Ahmed dalam Kamil (1974: 8), pendidikan formal adalah sistem pendidikan
yang berstruktur hirarkis dan memiliki kelas yang berurutan dari Sekolah
Dasar sampai Universitas yang termasuk juga didalamnya kegiatan tambahan
bagi studi akademik umum dengan bermacam-macam program juga lembaga
khusus untuk pelatihan teknis dan profesional. Jenis pendidikan yang kedua
adalah
pendidikan nonformal, yaitu setiap kegiatan pendidikan yang
20
terorganisir
diselenggarakan
di
luar
sistem
pendidikan
formal,
diselenggarakan secara tersendiri atau merupakan bagian penting dari sebuah
sistem yang lebih luas dengan maksud memberikan layanan khusus kepada
warga belajar atau membantu mengidentifikasikan kebutuhan belajar agar
sesuai dengan kebutuhan dan mencapai tujuan belajarnya (Coombs dan
Ahmed dalam Kamil, 2009: 11). Jenis pendidikan ketiga adalah pendidikan
informal yang merupakan salah satu bagian yang tidak dipisahkan dengan
sistem lainnya nonformal dan formal. Lebih jelasnya, pendidikan informal
adalah sebuah proses pendidikan sepanjang hayat di mana setiap individu
memperoleh dan mempeajari tingkah laku, norma-norma, keterampilan,
pengetahuan dari pengalaman sehari-hari dan pengaruh serta sumber-sumber
pendidikan di lingkungannya dari keluarga, tetangga, dari lingkungan kerja
dan lingkungan bermain, dari tempat belanja, dan dari perpustakaan serta
media massa (Rogers dalam Kamil, 2009: 12).
Pengertian dan posisi masing-masing jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal juga dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal
1 ayat (10) Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal
pada setiap jenjang dan jenis pendidikan; ayat (11) Pendidikan formal adalah
jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi; ayat (12) Pendidikan
21
nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang; ayat (13) Pendidikan informal
adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Arief Rohman (2009:169171) menjelaskan bahwa selain ada jalur formal dan nonformal, terdapat pula
pendidikan informal dengan karakteristik sebagai berikut : (1) Tidak
terorganisir secara secara struktural; (2) Tidak terdapat penjenjangan secara
kronologis; (3) Tidak mengenal adanya kredensial; (4) Lebih merupakan hasil
pengalaman belajar individual-mandiri; dan (5) Pendidikannya tidak terjadi
dalam “medan interaksi pembelajaran yang artifisial”. Dari pengetian tersebut
dapat dikatakan bahwa pendidikan informal adalah pendidikan yang
dilakukan dalam keluarga dan lingkungan masyarakat.
Keluarga adalah lembaga terkecil di mana sebuah kehidupan dimulai.
Pada saat kehidupan dimulai, saat yang sama dimulailah pendidikan.
Pendidikan adalah sebuah proses pemindahan dan pembentukan kehidupan
yang sudah ada dalam kehidupan ayah, ibu, dan kanak-kanak kepada
kehidupan bayi sebagai anggota keluarga mulai dia contoh, teladan dan
pelatihan sehingga masing-masing kehidupan dapat terbentuk secara unik dan
saling memberi makna. Ketika pendidikan dalam keluarga tidak dilaksanakan
dengan baik, maka anak tidak bisa menemukan jati diri atau identitas dalam
dirinya. Anak tidak mengerti mengapa dia dilahirkan dalam keluarganya.
Kegamangan akan identitas diri inilah yang membuat anak ragu-ragu
menjalani kehidupan dan masuk dalam lingkungan masyarakat di luar dirinya.
22
Kalau ini terus menerus berlangsung, maka yang dilihat adalah anak-anak
yang terombang-ambing tidak percaya diri dan terus mencari sesuatu di luar
dirinya untuk menopang identitas diri yang palsu. Jiddu Krisnamurti
(2007:15), mengatakan bahwa “fungsi pendidikan adalah untuk menolong kita
dari kecil untuk tidak meniru orang lain, tetapi senantiasa menjadi dirinya
sendiri.”
Selain dalam keluarga, pendidikan secara informal juga dilakukan
dalam masyarakat. Direktorat pendidikan kesetaraan (2007: 3) menyebutkan
bahwa hasil dari pendidikan di rumah hanya dapat diuji keberhasilannya
ketika anak-anak hasil didikan keluarga ini dapat menjadi bagian yang
menentukan keberhasilan dan kemajuan masyarakat. Tiap keluarga yang
berhasil dalam mendidik anak-anak mereka akan saling memberi makna, tidak
saling
melemahkan,
tetapi
saling
sebaliknya
saling
memperkuat
(interdependency).
Pada konteks ilmu-ilmu sosial, sejarah memiliki peran yang cukup
penting dalam masyarakat. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan kajian-kajian
mengenai suatu masyarakat pasti dimulai dengan kajian sejarah. Kondisi ini
menggambarkan keadaan bahwa setiap masyarakat pasti memiliki sejarah
sendiri-sendiri, dimana satu dengan yang lain berbeda dengan keunikan
masing-masing. Sejarah masyarakat tersebut selama ini selalu ditularkan
kepada generasi satu kepada generasi berikutnya secara turun temurun,
biasanya melalui tradisi lisan yang sudah cukup mengakar dalam masyarakat.
23
Proses sejarah yang membentuk masyarakat akan membuat masyarakat
tersebut memiliki karakter khas.
Pembelajaran secara informal sering dilakukan dengan cara-cara
tradisional, misal dengan dongeng sebelum tidur atau dalam bentuk cerita
rakyat (fokllore) yang disampaikan oleh orang tua kepada anaknya dan bisa
juga disampaikan melalui upacara-upacara ritual keagamaan. Pada masyarakat
tertentu misal perkotaan dengan kultur budaya yang relatif tidak terlalu kuat
dimana tingkat kesibukan yang tinggi berakibat pada minimnya interkasi
antara anak dengan orang tua serta majunya teknologi hiburan (TV, game,
internet) pembelajaran sejarah secara informal mungkin sudah tidak dilakukan
lagi, tetapi pada masyarakat yang masih memiliki kultur budaya yang kuat
seperti di Kudus Kulon pembelajaran sejarah jalur informal masih terjadi.
Sebagaimana dikemukakan Suharso (1994) yang menyatakan bahwa peran
keluarga sangat kuat dalam membentuk karakter anak-anak di Kudus Kulon,
terutama oleh pola asuh ibu.
3. Sejarah Lokal
Sejarah lokal memiliki arti khusus, yaitu sejarah dengan ruang lingkup
spasial di bawah sejarah nasional. Sejarah lokal barulah ada setelah adanya
kesadaran sejarah nasional (Abdullah, 2005:3). Sementara itu I Gde Widja
(1989:11) menyebut sejarah lokal adalah suatu bentuk penulisan sejarah
dalam lingkup yang terbatas yang meliputi suatu lokalitas tertentu. Sejarah
24
lokal diartikan sebagai studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya
komunitas dari suatu lingkungan sekitar (neighborhood) tertentu dalam
dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan manusia
(Widja, 1989:13).
Dalam konteks pembelajaran sejarah, sejarah lokal diperlukan untuk
membangkitkan kesadaran sejarah nasional serta menghindarkan siswa tidak
tahu atau tidak mengenal nilai sejarah yang ada di sekitarnya. Pembelajaran
sejarah hendaknya dimulai dari fakta-fakta sejarah yang dekat dengan
lingkungan tempat tinggal anak, baru kemudian pada fakta-fakta yang jauh
dari tempat tinggal anak (Wasino, 2005:1).
Salah satu pendekatan dalam penulisan sejarah lokal adalah dengan
menggunakan pendekatan sejarah sosial. Dengan mengunakan pendekatan ini
sejarah lokal yang ditulis akan memperhitungkan dan mempertimbangkan
dengan baik ikatan structural, yaitu jaringan peranan sosial yang saling
bergantungan terhadap aktor sejarah lokal setempat. Penulisan sejarah lokal
ini selalu mengaitkan antara gejala yang terjadi dimasyarakat sekarang dengan
struktur sosial kebudayaan sebelumnya (Abdullah, 2005:21)
Sejarah lokal sangat erat kaitanya dengan tradisi lisan. Tradisi lisan
menyangkut pesan-pesan yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang
diucapkan, dinyanyikan atau disampaikan lewat musik (alat bunyi-bunyian).
Hal yang perlu diperhatikan dari tradisi lisan adalah tradisi ini berasal dari
generasi sebelumnya paling sedikit satu generasi sebelumnya. Dalam hal ini
25
tradisi lisan dibedakan dengan sejarah lisan. Ada beberapa jenis tradisi lisan,
pertama : Petuah-petuah yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang
dianggap punya arti khusus bagi kelompok. Kedua adalah : kisah tentang
kejadian disekitar kehidupan kelompok, baik sebagai kisah perseorangan
maupun kelompok. Sesuai dengan alam pemikiran alam masyarakat magis
religius, faktanya biasanya selalu diselimuti dengan unsur kepercayaan atau
terjadi pencampuradukan antara fakta dan kepercayaan. Ketiga adalah: cerita
kepahlawanan yang berisi tentang gambaran berbagai macam tindakan
kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemilikya, biasanya
berpusat pada tokoh tertentu dari kelompok tersebut. Keempat adalah:
dongeng yang umumnya bersifat fiksi belaka. Unsur faktanya boleh dikatakan
tidak ada, berfungsi untuk menyenangkan pendengarnya. Tradisi lisan juga
sangat berkaitan erat dengan Folklor atau cerita rakyat (Widja, 1989:57).
Menurut Danandjaja (2002:3-4) ciri-ciri utama cerita rakyat pada
umumnya adalah sebagai berikut; (a) penyebaran dan pewarisannya biasanya
dilakukan secara lisan, (b) bersifat tradisional yaitu relative tetap dan standart,
(c) ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda, (d)
bersifat anomi yaitu penciptanya tidak diketahui, (e) biasanya mempunyai
bentuk berumus atau berpola, (f) mempunyai kegunaan (function) dalam
kehiduan bersama suatu kolektif, (h) bersifat pra logis yaitu mempunyai
logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum, dan (i) menjadi milik
bersama (collective) dari masyarakat tertentu.
26
Danandjaja (2002:181)
menggolongkan cerita rakyat menjadi tiga
jenis, yaitu cerita rakyat lisan, cerita rakyat sebagian lisan dan cerita rakyat
bukan lisan. Cerita rakyat lisan adalah cerita rakyat yang murni bentuknya
lisan. Bentuk-bentuk cerita rakyat lisan di Indonesia terdiri dari bahasa rakyat,
ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan puisi rakyat, cerita
prosa rakyat dan nyayian rakyat. Cerita rakyat sebagian lisan adalah cerita
rakyat yang bentuknya merupakan gabungan unsur lisan dan unsur tulisan.
Cerita rakyat dalam jenis ini dapat dilihat misalnya tentang kepercayaan
rakyat dan permainan rakyat. Cerita rakyat bukan lisan menurut Danandjaja
(2002:185) yaitu dapat dilihat dalam bentuk makanan tradisional. Senada
dengan Foester dan Barbara (1978) yang mengatakan bahwa kebudayaan
adalah yang menentukan suara itu merupakan makanan atau bukan.
Bentuk-bentuk cerita rakyat lisan di Indonesia terdiri dari cerita rakyat,
ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan puisi rakyat, cerita
prosa rakyat dan nyayian rakyat. cerita rakyat lisan cerita prosa rakyat terdiri
dari mite, legenda dan dongeng, ungkap Bascom yang dikutip Danandjaja
(2002: 50).
Cerita rakyat dan bagian-bagiannya menurut Danandjaja (2002:72)
meliputi;
a.
Mite adalah cerita yang dianggap benar-benar terjadi dan di anggap
sakral oleh pendudkunya. Mite mengandung tokoh-tokoh dewa atau
27
mahluk setengah dewa. Tempat terjadinya di dunia lain. dan masa
terjadinya sudah jauh di jaman purba.
b.
Legenda adalah cerita yang mengandung ciri-ciri mirip dengan mite,
yaitu dianggap benar-benar terjadi tetapi tidak dianggap sakral. Tokoh
legenda adalah manusia biasa yang memiliki sifat laur biasa, sering
dibantu oleh mahluk-mahluk gaib. Terpat terjadinya di dunia kita.
waktu terjaidnya tidak setua mite.
c.
Dongeng adalah cerita yang tidak dianggap benar-benar terjadi, baik
oleh penuturnya maupun oleh pendengarnya. Dongeng tidak terikat
pada ketentuan tentang pelaku, waktu dan tempat, artinya: tokohnya
boleh siapa saja, dewa, hantu, manusia, binatang dan sebagainya,
waktu terjadinya.
Cerita rakyat akan terus dipertahankan oleh masyarakat jika cerita-
cerita tersebut memiliki nilai. Nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat. Berikut ini adalah beberapa nilai yang ada pada cerita
rakyat atau folklore :
a.
Nilai Pendidikan Moral
Franz Magnis Suseno (2000: 143) menyatakan bahwa moralitas
merupakan kesesuaian sikap, perbuatan, dan norma hukum batiniah
yang dipandang sebagai suatu kewajiban. Seorang tokoh dalam cerita
dikatakan bermoral tinggi apabila ia mempunyai pertimbangan baik
dan buruk. Namun, pada kenyataannya pandangan mengenai moral
28
dalam hal hal tertentu bersifat relatif. Suatu hal yang dipandang baik
oleh seseorang pada suatu bangsa belum tentu sama bagi bangsa yang
lain. Burhan Nurgiyantoro (2002: 321) menyatakan bahwa pandangan
seseorang
tentang
moral,
nilai-nilai,
dan
kecenderungan-
kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup, Way of
life, bangsanya.
Moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang
berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang
dapat ditafsirkan dan diambil lewat cerita yang bersangkutan oleh
pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 321).
Moral merupakan
petunjuk yang sengaja diberikan tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan masalah kehidupan. seperti sikap, tingkah laku,
dan sopan santun pergaulan. Ajaran moral yang disampaikan bersifat
praktis, karena alasan itu ditampilkan pada diri tokoh-tokoh yang ada
lewat sikap-sikap dan tingkah Iakunya.
b. Nilai Pendidikan Adat/Tradisi
Kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat dapat diartikan suatu
adat Adat atau tradisi dikatakan cara atau kelakuan yang sudah
menjadi kebiasaan sejak dahulu kala. Kebiasaan yang dimaksud
seringkali sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat yang
bersangkutan. Tradisi atau kebiasaan masa lampau yang ada dalam
masyarakat seringkali masih memiliki relevansi dengan kehidupan
29
sekarang. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai
masalah dalam Iingkup yang cukup kompleks. Hal itu dapat berupa
kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup,
cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual.
Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh
yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas (Burhan
Nurgiyantoro, 2002: 233-234).
Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap, Wujud
itu disebut adat tata kelakuan. Adat ini berfungsi sebagai pengatur
kelakuan. Suatu contoh dari adat yang memiliki nilai sosial budaya
yang tinggi adalah gotong-royong. Konsepsi bahwa hal itu bernilai
tinggi ialah apabila manusia itu suka bekerja sama dengan sesamanya
berdasarkan rasa solidaritas yang besar (Koentjaraningrat, 1984: 11)
c.
Nilai Pendidikan Agama (Religi)
Agama, sebagaimana biasa diyakini oleh para pendukungnya,
merupakan sumber rasa kewajiban sosial (Russell, 1993: 80). Ketika
seseorang berbuat hal yang tidak menyenangkan bagi para dewa,
mereka cenderung menghukum tidak hanya individu yang bersalah
tetapi seluruh suku hangsa itu (Russell, 1993: 80). Akibatnya, perilaku
individu
merupakan
urusan
umum,
sebab
perbuatan
perseorangan tersebut menimbulkan malapetaka bagi publik.
jahat
30
Orang-orang zaman dahulu, terutama orang-orang pedesaan, bersifat
sangat religius. Sifat ini tampak atau ditandai dengan berbagai
kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat (Darsono
Wisadirana, 2004: 60). Upacara-upacara keagamaan atau ritual
biasanya dilakukan bersamaan dengan upacara tradisi leluhur, yaitu
berupa selamatan, bersih desa, melakukan sesaji untuk roh-roh
penunggu atau leluhur yang telah meninggal. Doa bersama juga
dilakukan dalam rangka meminta hujan ketika musim kering yang
dipimpin oleh seorang tokoh adat atau tokoh agama.
Religi dan kepercayaan mengandung segala keyakinan serta bayangan
manusia tentang sifat-sifat Tuhan tentang wujud dari alam gaib
(supernatural); serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang
bersangkutan (Koentjaraningrat, 1984: 145). Sementara itu, sistem
ritus dan upacara merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan
dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk halus yang
mendiami alam gaib itu (Koentjaraningrat, 1984: 145). Hal tersebut
sudah terjalin erat satu dengan yang lain menjadi sebuah sistem yang
terintegrasi secara bulat.
d. Nilai Pendidikan Sejarah (Historis)
Pada hakikatnya karya sastra merefleksikan kehidupan masyarakat
Seringkali dinyatakan bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial
(Herman .J. Waluyo, 2002: 20). Karya sastra, termasuk di dalamnya
31
cerita rakyat, sangat mungkin bermuatan kisah masa silam. Oleh
karena itu, kisah masa silam dalam cerita rakyat dapat merupakan
rekaman fakta sejarah yang sesungguhnya. Namun, kandungan nilai
sejarah tersebut barangkali hanya merupakan buah imajinasi
pengarangnya. Sejalan dengan pendapat Herman J. Waluyo, Taufik
Abdullah (2004) menyatakan bahwa naskah dan tradisi lisan warisan
budaya leluhur bermanfaat untuk mengenali perjalanan sejarah
masyarakat lokal dan bangsa . Melalui tradisi lisan atau naskah (sastra
lisan yang sudah dibukukan) dapat ditelusuri kembali kejadiankejadian atau peristiwa-peristiwa masa lampau. Perjalanan hidup
masyarakat, bangsa, dan anggotanya dapat dengan mudah kita ketahui.
Sebagai contoh dikemukakan oleh Purwadi (2004: 1) bahwa tradisi
sejarah Jawa memaparkan transmisi penyerahan kedaulatan yang
dibuktikan oleh peristiwa-peristiwa supernatural dari kerajaan HinduBudha yang terakhir, yakni Majapahit kepada kerajaan Islam yang
pertama, yakni Demak, sebuah kota dagang di pantai utara Jawa.
Selain itu, cerita rakyat dapat berperan sebagai penghubung
kebudayaan masa silam dengan kebudayaan yang akan datang.
e.
Nilai Pendidikan Kepahlawanan (Semangat Perjuangan)
Dapat dikatakan bahwa hal kepahlawanan didalam setiap peristiwa
atau kejadian pasti akan menjadikan idola dalam cerita. Hal ini juga
dapat dijumpai dalam karya sastra, termasuk di dalamnya cerita rakyat.
32
Tokoh atau beberapa orang yang menjadi pusat cerita ada kalanya
dikagumi masyarakat, tetapi ada pula yang dibenci masyarakat. Pelaku
cerita
yang dikagumi biasanya mempunyai
keberanian,
jiwa
kepahlawanan atau semangat perjuangan, membela kebenaran,
memperjuangkan daerah atau tanah kelahirannya, dan semacamnya.
Jika
dihadapkan
kepada
tokoh-tokoh
cerita,
pembaca
sering
memberikan suatu reaksi emotif yang tersendiri ataupun tertentu
seperti merasa akrab, simpati, benci, kesal, empati, atau berbagai
reaksi afektif lainnya (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 174). Bagi
pembaca atau pendengar cerita dan kisah sering mengidentifikasikan
dirinya dengan tokoh yang dikagumi atau dibenci, biasa disebut
sebagai idola. Segala tindakan atau apa saja yang dilakukan tokohtokoh tersebut seakan-akan dialami atau dirasakan oleh pendengar
cerita. Kehadiran tokoh-tokoh dalam cerita dirasakan sebagai
kehadiran dalam dunia yang nyata dan tidak mengada-ada.
Pelaku-pelaku cerita yang diidolakan dianggap atau diyakini dengan
sebutan pahlawan pada masa silam, meskipun kadang-kadang cerita
itu tidak sepenuhnya benar dan nyata berdasarkan pandangan sejara
Kekaguman pembaca atau pendengar cerita terhadap tokoh-tokoh
pujaan ini benar-benar diresapi dan merasuk ke dalam hatinya..
Ketokohan atau kepahlawanan seseorang akan diteladani oleh
33
pembaca atau pendengar cerita. Hal inilah yang dimaksud dengan
hikmah atau nilai kepahlawanan (semangat perjuangan) tokoh cerita.
Kudus sebagai salah satu kawasan di Jawa yang memiliki peran dalam
proses islamisasi masyarakat tentunya memiliki banyak sekali sejarah lokal
yang terwariskan secara lisan dalam cerita rakyat atau folklore. Dalam sebuah
penelitian tugas akhir dengan judul “Cerita Rakat Kudus Sebagai Media
Pendidikan Untuk Menumbuhkembangkan Etos Kerja Siswa Di Sekolah
Dasar”, Suhadi (2006) menemukan setidaknya terdapat 21 cerita rakyat yang
masih eksis di masyarakat Kudus.
4. Pewarisan Nilai Sejarah
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, tetapi secara fungsional
mempuuyai ciri mampu membedakan antara yang satu dengan yang lain.
Suatu nilai jika dihayati oleh seseorang, maka akan sangat berpengaruh
terhadap cara berpikir, cara bersikap maupun cara bertindak dalam mencapai
tujuan hidupnya (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991: 69). Scheler (dalam Franz
Magnis Suseno, 2000: 34) mengatakan hahwa nilai adalah kualitas atau sifat
yang membuat apa yang bernilai menjadi bernilai. Misalnya, nilai “jujur”
adalah sifat atau tindakan yang jujur. Jadi, nilai (weit, value) tidak sama
dengan apa yang bernilai (gutter, goods). Oleh karena itu nilai selalu menjadi
ukuran dalam menentukan kebenaran dan keadilan sehingga tidak akan pernah
34
lepas dari sumber asalnya, yaitu berupa agama, logika dan norma yang
berlaku dalam masyarakat umum.
Yvon Ambroise (1993: 21) menjelaskan bahwa nilai merupakan
realitas abstrak. Nilai yang dirasakan dalam diri berfungsi sebagai daya
pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman hidup. Sebab itu, nilai
menduduki tempat paling penting dalam kehidupan seseorang. Pada suatu
tinggkat, orang akan lebih siap untuk mengorbankan diri daripada
mengorbankan nilai. Nilai yang menjadi realitas abstrak dapat dilacak dari
tiga realitas berikut :
Nilai
Pola tingkah laku, pola
pikir, dan sikap
Seorang pribadi
atau kelompok
Sesuai dengan sifatnya sebagai makhluk sosial, nilai yang dimiliki
atau diyakini seseorang umumnya merupakan pancaran nilai bersama tempat
seseorang hidup. Hal tersebut tidak mengherankan, sebab “kelainan” yang
dilakukan oleh seseorang dari lingkungannya akan menyebabkan
orang
tersebut terisolasi, yang merupakan keadaan yang tidak pernah diinginkan
oleh siapa pun.
Dengan demikian kiranya dapat disimpulkan bahwa nilai atau nilai
budaya itu tidak lain merupakan konsep yang dimiliki bersama oleh bagian
terbesar anggota suatu kelompok sosial yang sangat berpengaruh terhadap
perilaku anggota kelompok dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut Koentjaraningrat (1977: 244-252) tiap sistem nilai budaya dalam
35
setiap kebudayaan berkaitan dengan lima masalah dasar kehidupan manusia
Kelima masalah dasar tersebut ialah; (1) Masalah yang berkaitan dengan
hakikat hidup manusia; (2) Masalah yang berkaitan dengan hakikat karya
manusia; (3) Masalah yang berkaitan dengan kedudukan manusia dalam ruang
dan waktu; (4) Masalah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan
manusia yang lain; dan (5) Masalah hakikat hubungan manusia dengan
alamnya. Nilai budaya merupakan salah satu unsur dan hakikat kebudayaan.
Oleh karena itu ciri-ciri kebudayaan melekat pula pada ciri-ciri itu antara lain;
(a) milik masyarakat, (b) pemilikannya melalui proses belajar, (c) merupakan
suatu konfigurasi, dan (d) dapat mengalami pergeseran.
Seseorang atau individu dalam menanggapi lingkungannya biasanya
akan menetapkan suatu standar, sebagian besar bersifat sosial. Hal ini terjadi
akibat proses sosialisasi yang dialaminya. Dengan demikian penilaian
terhadap orang lain atau objek dan kejadian-kejadian yang bersifat universal,
standar yang dipakai mungkin saja berbeda-beda, karena dimilikinya latar
belakang yang berbeda, sehingga ekspresi nilai antara orang yang satu dengan
yang lain, tidak selalu sama. Perbedaan itu dapat disebabkan oleh faktorfaktor individu, budaya, atau waktu (Bock,1974:54). Dengan kata lain
mungkin saja terjadi sesuatu yang dahulu dinilai baik, sekarang dinilai tidak
baik, sehingga nilai budaya tersebut ditinggalkan sama sekali, begitu pula
sebaliknya.
36
Sejarah adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia di masa
yang lampau dan memberikan petunjuk dalam mereaksi terhadap masalahmasalah baru yang ada di masa seakarang. Sejarah memiliki berberapa
manfaat bagi kehidupan manusia pada masa sekarang. Wasino (2007: 10-14)
dan Noor (1995: 334-335) menyebutkan bahwa paling tidak ada beberapa
guna sejarah bagi manusia yang mempelajarinya, yakni (a) edukatif (untuk
pendidikan), (b) instruktif (memberikan pengajaran), (c) inspiratif (memberi
ilham), serta (d) rekreatif (memberikan kesenangan).
Sejarah memiliki fungsi pendidikan karena dengan memahami sejarah
berarti telah diambil satu manfaat atau hikmah dari terjadinya suatu peristiwa
sejarah. Kaitan antara sejarah dan pendidikan dapat diketahui dari sebuah
kalimat bijak tentang peranan sejarah bagi manusia yang berbunyi historia
vitae magistra
yang bermakna “sejarah adalah guru kehidupan”. Makna
sejarah sebagai guru kehidupan ini sangat dalam, karena memerlukan
pemikiran mengapa sampai sejarah itu digunakan sebagai guru kehidupan.
Maksud dari kalimat tersebut adalah bahwa sejarah ini memiliki fungsi
pendidikan, yang mengajarkan bagaimana manusia seharusnya itu bertindak
dengan melihat peristiwa yang telah terjadi untuk kemudian diambil
hikmahnya (Ahmad, 2007:17). Kuntowijoyo (1995:45) menerangkan bahwa
ada beberapa fungsi sejarah kaitannya dengan sarana pendidikan, yaitu
sebagai pendidikan moral, penalaran, politik, kebijakan, perubahan, masa
depan, dan keindahan.
37
Fungsi instruktif terlihat dari aktivitas manusia pada masa lampau
memiliki fungsi untuk memberikan pelajaran mengenai suatu keterampilan
atau pengetahuan, misalnya pengetahuan tentang taktik (Wasino, 2007:12).
Fungsi inspirasi maksudnya adalah bahwa tindakan yang telah
dilakukan oleh manusia pada masa lampau mampu memberikan inspirasi atau
ilham bagi manusia yang hidup pada masa ini. Tindakan-tindakan
kepahlawanan dalam sejarah dapat mengilhami masyarakat pada perjuangan
yang sekarang. Contoh dari fungsi sejarah sebagai insrpirasi adalah seperti
patriotisme yang terpatri dalam jiwa rakyat Indonesia ketika menghadapi
kolonialisme asing, memberi inspirasi bagi bangsa Indonesia pada masa kini
untuk terus menerus bekerja keras, rela berkorban, dan menjaga persatuan
agar cita-cita dan tujuan Indonesia bisa tercapai (Noor, 1995: 334).
Fungsi rekreatif, maksudnya adalah bahwa sejarah dapat memberikan
kesenangan lain kepada generasi sekarang. Sejarah membawa manusia kepada
nostalgia, kisah-kisah yang dramatis, dan indah. Lebih lanjut lagi Notosusanto
seperti dikutip Wasino (2007: 14) menjelaskan bahwa “dengan sejarah kita
seolah-olah berpariwisata ke negeri-negeri jauh, menyaksikan peristiwaperistiwa penting yang terjadi dalam suasana yang berlainan dengan suasana
kita pada masa sekarang.”
Dari keempat fungsi di atas, ada beberapa fungsi atau guna lain dari
sejarah yang merupakan turunan dari keempat fungsi lain, yaitu sebagai
sarana untuk menumbuhkan semangat nasionalisme dan partiotisme, sampai
38
pada fungsi untuk memprediksi masa depan melalui refleksi terhadap
peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau. Oleh karena sejarah memiliki
guna yang strategis, pendidikan sejarah juga memiliki tujuan-tujuan yang
diturunkan dari guna sejarah itu. Collingwood yang dikutip Widja (1989:101102) menyatakan “bahwa mengenal diri sendiri berarti mengenal apa yang
kita mampu lakukan; dan karena tidak seorangpun mengetahui apa yang bisa
dia perbuat sampai dia mencobanya, maka satu-satunya kunci untuk
mengetahui apa yang bisa diperbuat seseorang adalah apa yang telah dia
perbuat (maksudnya adalah dari sejarah masa lampaunya).” Dengan demikian
berarti menurut Collingwood kegunaan sejarah bagi manusia adalah untuk
mengenal dirinya sendiri. Hal senada juga diungkapkan Wineburg (2006:7)
bahwa “sejarah memiliki potensi untuk menjadikan manusia yang
berprikemanusiaan, hal yang tidak dapat dilakukan oleh mata pelajaran lain
dalam kurikulum sekolah.” Menurut Said Hamid Hasan adalah ditinjau dari
mana pendidikan sejarah itu dimaknai. Menurut Hasan (2007:10), ada dua
pemaknaan terhadap pendidikan sejarah itu. Pertama pendidikan sejarah
dimaknai sebagai upaya unuk mentransfer kemegahan bangsa di masa lampau
kepada generasi muda. Dengan posisi yang demikian maka pendidikan sejarah
adalah wahana bagi pewarisan nilai-nilai keunggulan bangsa. Melalui posisi
ini pendidikan sejarah ditujukan untuk membangun kebanggaan bangsa dan
pelestarian keunggulan tersebut.
39
Terkait dengan nilai sejarah, banyak yang berpendapat bahwa sejarah
merupakan pendidikan moral. Sejarah membuat masyarakat menjadi
bijaksana. Bacon pernah berkata, “Kalau puisi membuat orang berpikir tajam,
maka matematika menjadikan cermat, filsafat memperdalam pemahaman
tentang keberadaan diri kita dalam lingkungan kita, moral menjadi dasar
perilaku, logika dan retorika membuat orang berpikir kritis, maka sejarah
membuat orang lebih bijaksana (Kochhar, 2008 : 55).
Lebih terperinci lagi Kochhar (2008 : 56-63) menjelaskan tentang nilai
sejarah yang sangat berguna bagi bagi siapa saja yang ingin belajar dari
sejarah, dalam hal ini terutama siswa sekolah atau peserta didik. Nilai-nilai
tersebut adalah :
a. Nilai keilmuan
Dengan belajar sejarah, anak-anak menerima berbagai latihan
mental dalam membandingkan dan membedakan, menguji data
dan
mengambil
kesimpulan,
mempertimbangkan
bukti,
menghubungkan sebab akibat, dan memilah kebenaran dari kisahkisah yang bertentangan.
b. Nilai informatif
Sejarah
merupakan
pusat
informasi
yang
lengkap
dan
menyediakan panduan untuk menemukan jalan keluar dari semua
masalah yang dihadapi manusia, yang berkaitan dengan sains dan
seni, bahasa dan sastra, kehidupan sosial dan politik, spekulasi
40
filsafat, dan pertumbuhan ekonomi. Sejarah juga merupakan satusatunya pelajaran yang mendiskripsikan asal mula
dan
perkembangan peradaban manusia dari yang paling sederhana
hingga super kompleks seperti sekarang.
c. Nilai pendidikan
Sejarah merupakan guru yang terbaik untuk belajar. Dari sejarah
kita bisa mengetahui tentang keberhasilan dan kegagalan yang
pernah terjadi sebelumnya, kita hanya tinggal mengelola semua
informasi dan fakta yang ada untuk kemudian menjadikanya
pelajaran langkah kita kedepan.
d. Nilai etika
Sejarah merupakan suara yang selamanya terdengar, melintasi
abad demi abad, kekuatan moral hukum tentang benar dan salah.
Sejarah tidak hanya memperlihatkan makna kualitas moral yang
hebat seperti, kepahlawanan, pengorbanan diri, cinta pada tanah
air, dan keteguhan pada tugas dengan kongkret dan menarik tetapi
juga dihiasi dengan sekumpulan contoh yang dapat ditiru oleh
siswa.
e. Nilai budaya
Sejarah dapat menjadi instrumen yang sangat efektif untuk
membuat pikiran manusia lebih berbudaya. Sejarah memaparkan
pada kita berbagai masyarakat dengan keragamanya, membuat kita
41
memahami dan bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan, dan
memperlihatkan pada kita bahwa masyarakat telah mengalami
berbagai transformasi budaya.
f. Nilai politik
Sejarawan adalah politisi pada kelompok politik atau organisasi,
dan negara menjadi kajiannya. Memberi kuliah tentang ilmu
politik sama dengan memberi kuliah tentang sejarah. Sejarah
sangat dibutuhkan untuk melengkapi ilmu politik dan ilmu sosial
yang sedang dalam proses pembantukan. Sejarah melengkapi
kedua ilmu tersebut dengan kajian tentang fenomena-fenomena di
masa lampau.
g. Nilai nasionalisme
Sebagai instrumen penggugah rasa cinta tanah air, sejarah sudah
tidak perlu diragukan lagi. Dari sejarah kita bisa belajar dan
mengetahui semangat serta motivasi para pahlawan yang telah
berjuang. Dengan membaca tentang kehidupan mereka, generasi
muda akan dengan mudah mendapat inspirasi untuk menirunya.
h. Nilai internasional
Melalui kajian tentang sejarah, kita akan menyadari bahwa
meskipun setiap negara dan bangsa memiliki perbedaan adatistiadat,
kebiasaan,
hukum
dan
lembaga,
tapi
semua
42
memperlihatkan saling ketergantungan yang merupakan akar dari
internasionalisme.
Dari berbagai kajian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
dalam sebuah masyarakat terdapat nilai-nilai tertentu yang harus dianut oleh
semua anggota. Nilai atau nilai budaya itu dimiliki dan dikembangkan oleh
seseorang sejak yang bersangkutan menyadari akan kehadirannya di tengahtengah pergaulan sesamanya. Nilai tersebut akan menjadi pegangan dan
sekaligus pedoman bagi seseorang dalam berfikir dan bertindak, termasuk di
dalamnya merespon atau menanggapi segala sesuatu dari lingkungannya.
Salah satu nilai yang ada dalam masyarakat adalah nilai sejarah yang
sebenarnya telah ada bersamaan dengan keberadaan masyarakat itu sendiri.
Ada beberapa fungsi dan nilai dalam sejarah yang harus diajarkan atau
diwariskan oleh masyarakat kepada generasi penerusnya. Pewarisan nilai
sejarah tersebut bisa dilakukan melalui jalur pendidikan baik formal maupun
informal demi satu tujuan yakni agar generasi penerus masyarakat tersebut
tidak akan tercabut dari akar budaya setempat.
B. Penelitian Yang Relevan
Kudus merupakan kota yang menarik. Berbagai keunikan telah
menarik perhatian beberapa peneliti untuk mengkaji kota tersebut dari sudut
pandang yang berbeda-beda. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh
43
bebepara ahli tersebut telah memberikan banyak gambaran kepada peneliti
untuk melangkah dengan benar. Penelitian yang cukup terkenal dan klasik
adalah penelititian Lance Castles (1982) yang meneliti tentang Tingkah Laku
Agama dan Ekonomi: Industri Rokok Kudus. Dalam penelitian ini Castles
sampai pada tiga kesimpulan. Pertama adalah keberhasilan golongan
pedagang masyarakat santri di Kudus, terutama adalah Kudus Kulon haruslah
diakui. Mereka ini, telah berhasil menciptakan industri dan melancarkan
serentetan guncangan serta tantangan untuk mengubah kehidupan ekonomi
dan politik. Kedua, industri (dalam hal ini adalah terutama rokok) telah gagal
dimekanisasi. Mungkin ini berhubungan dengan politik pemerintah dan
serikat buruh yang mencegahnya, dengan mempertahankan mata pencaharian
mereka. Ketiga, pengusaha-pengusaha di Kudus hanya sedikit berhasil
memajukan bentuk-bentuk organisasi ekonomi yang lebih kompleks daripada
firma keluarga. Penelitian Castles ini sangat membantu peneliti untuk
mengetahui pembagian wilayah di Kudus yang didasarkan atas batas kultural.
Castles menjelaskan bahwa Kudus terbagi menjadi dua kawasan, yakni
kawasan Kudus Barat atau Kudus Kulon dan Kudus Timur atau Kudus Wetan.
Pembagian ini mewakili kultur masing-masing dimana Kudus Kulon identik
dengan kawasan orang-orang santri yang secara politis mendukung Masjumi
serta roda perekonomian bergerak dalam bidang industri, perdagangan, dan
jasa. Sedangkan Kudus Wetan identik dengan kawasan abangan dan orangorang pemerintahan yang secara politis pada waktu itu mendukung PKI
44
dengan sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Secara
geografis pembagian wilayah ini dipisahkan oleh sungai (kali) Gelis yang
masih ada sampai sekarang. Kawasan Kudus Kulon merupakan kawasan yang
akan menjadi obyek dalam penelitian ini.
Penelitian yang hampir sama adalah yang ditulis oleh Wasino (2007).
Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa sejak dulu sudah ada kapitalisme
Bumi Putra, salah satunya adalah Nitisemito yang merupakan cikal bakal
industri rokok modern di Kudus. Salah satu faktor yang memegang peranan
penting dalam perilaku ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat adalah
perilaku agama, terutama masyarakat Kudus Kulon. Semangat ber-agama dan
berwiraswasta telah membentuk karakter masyarakat Kudus Kulon.
Mengenai etos kerja masyarakat Kudus Kulon lebih lengkap dikupas
dalam tesis yang ditulis oleh Soeharso (1994). Soeharso meneliti tentang
masyarakat Kudus Kulon dalam pembangunan ekonomi yang ternyata
dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni kesadaran sejarah, pola pengasuhan anak,
dan etos kerja. Yang menarik dari penelitian ini adalah ternyata pembangunan
ekonomi yang maju di Kudus Kulon sangat dipengaruhi oleh etos kerja. Etos
kerja muncul akibat dari kesadaran sejarah masyarakat yang dalam penelitian
tersebut disebutkan akibat dari kompensasi atas “dendam” Sunan Kudus
terhadap Sunan Kedu. Dalam penelitian ini juga banyak dikupas mengenai
cerita-serita rakyat (fokllore) yang memiliki nilai pembentuk karakter
masyarakat Kudus, terutama Kulon Kulon. Pada bagian akhir pembahasan
45
Soeharso menceritakan bahwa pelestarian nilai yang dapat membentuk
kesadaran sejarah di Kudus Kulon adalah berkat pola asuh yang dilakukan
oleh Ibu. Pendekatan dan penekanan yang dilakukan oleh Ibu dalam
mengasuh anaknya adalah dengan menggunakan Agama Islam. Sejak kecil
anak-anak Kudus Kulon diajarkan bahwa semangat berwirausaha sama
dengan ibadah, sehingga sudah menjadi kewajiban.
Peneltian ini sepertinya cukup memberikan kajian yang lengkap
mengenai Kudus Kulon dalam perspektif pembelajaran informal dalam
masyarakat dan keluarga, namun belum dapat memberikan gambaran
mengenai bagaimana proses pembalajaran formal berlangsung, serta
dampaknya terhadap masyarakat Kudus Kulon. Karena bagaimanapun proses
pendidikan formal sedikit banyak akan memperngaruhi kepribadian dan
pilihan siswa untuk melanjutkan hidup. Apalagi jika dikaitkan dengan konteks
sekarang di mana (kurang lebih sudah 15 tahun Soeharso melakukan
penelitian) keadaan jaman sudah sedikit berubah. Sekarang peran pendidikan
formal lebih menonjol, bahkan pengukuran kelulusan siswa dari bangku
sekolah sekarang dilakukan dengan sistem ujian nasional.
Penelitian mengenai cerita rakyat (fokllore) di Kudus juga pernah
dilakukan oleh Suhadi (2006). Dengan pendekatan sosiologi dan antropologi
Suhadi mencoba mencari nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat
(fokllore) untuk dikaitkan dengan etos kerja. Dalam penelitian tersebut ada
dua kesimpulan Pertama, di tengah-tengah masyarakat yang memiliki daya
46
tarik dan tampilan potensi yang ideal seperti Kota Andalan Jawa Tengah,
Kota Simbol (kota wisata religi, kota pusat oleh-oleh, kota industri dan
perdagangan, kota wali, kota kretek), Pembagian Letak Secara Kultural, tepat
pada jantung pantura, kota transit,
mata pencaharian yang beragam,
kehidupan keberagamaan yang harmoni, dan bahasa yang komunikatif,
ternyata di Kabupaten Kudus kaya akan cerita rakyat yang mengandung nilai
etos kerja. Kedua, secara umum dari dua puluh cerita rakyat yang tersebar di
kabupaten Kudus terdapat kandungan nilai etos kerja, namun kandungan nilai
etos kerjanya bervariasi. Adapun kandungan etos kerja yang paling kental
adalah pada berita rakyat yang berjudul Gunung Pati Ayam dengan nilai etos
kerja sejumlah enam buah serta kandungan nilai etos kerja terbanyak adalah
nilai mampu bersaing dengan gesit dan tak kenal menyerah. Kekurangan
penelitian ini adalah tidak dijelaskan bagaimana cerita rakyat itu sampai
sekarang masih bertahan dan bagaimana strategi yang harus digunakan agar
nilai yang terkandung dalam cerita rakyat tersebut tetap eksis untuk masamasa yang akan datang.
Penelitian yang terakhir yang menjadi rujukan adalah penelitian tesis
yang dilakukan oleh Suwoto (2009) dengan judul Folklore Menara, Masjid
dan Makam Sunan Kudus Sebagai Materi Pembelajaran Sejarah. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa Folklore yang terdapat di kawasan Kudus
Kulon tersebut memiliki nilai-nilai moral dan keagamaan yang sesuai dengan
salah satu tujuan pembelajaran di Madrasah Aliyah Nahdatul Ulama Banat
47
Kudus sehingga bisa digunakan sebagai bahan pengayaan materi sejarah.
Penelitian Suwoto ini menjadi referensi yang sangat berguna bagi penelitian
ini karena memberikan informasi tentang pembelajaran sejarah formal yang
dilaksanakan di Kudus Kulon.
Penelitian Castlel (1982), R. Soeharso (1994), Suhadi (2006), Wasino
(2007), dan Suwoto (2009) sedikit banyak memberikan peta kepada peneliti
untuk mengetahui “arah” dan bisa menguasai medan terhadap penelitian yang
akan dilakukan. Penelitian yang akan dilakukan ini memiliki tekanan serta
sudut pandang yang berbeda dengan penelitian-penelitian yang terdahulu.
Penelitian ini akan mencari jawaban tentang pelaksanaan pewarisan nilai-nilai
sejarah melalui dua jalur pendidikan sekaligus yakni jalur pendidikan formal
(di sekolah) dan jalur pendidikan informal (keluarga dan masyarakat) dengan
objek utamanya adalah siswa SMA yang tinggal di Kudus Kulon.
C. Kerangka Pikir
Setiap daerah, kawasan, dan wilayah pasti mempunyai cerita sejarah yang
tersendiri. Cerita sejarah suatu kawasan atau sekelompok masyarakat antara satu
dengan yang lain berbeda-bada serta memiliki keunikan dan ke-khasan sendiri.
Cerita-cerita tersebut biasanya menceritakan tentang asal-muasal kenapa suatu
daerah mendapat nama atau julukan tertentu. Dalam cerita-cerita rakyat tersebut
biasanya terdapat muatan nilai-nilai luhur yang hendak diwariskan kepada
48
generasi berikutnya. Nilai-nilai tersebut yang bisa terus berlanjut dan kuat dijaga
dalam masyarakat akan memberikan identitas dengan karakter-karakter khas
yang tidak dimiliki daerah lain. Misal tentang identitas Kudus sebagai Kota
Santri, Kota Wisata, Kota barang dan jasa, serta Kota Kretek. Karakter yang
menjadi identitas Kawasan Kudus, terutama Kudus Kulon dapat dipertahankan,
dalam artian pewarisan nilai-nilai lokal yang bisa diambil dari cerita rakyat
(fokllore) tetap diceritakan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses
pewarisan nilai ini bisa dilakukan melalui pilar pendidikan. Dalam hal ini
pendidikan berfungsi sebagai agen dalam proses pewarisan nilai-nilai lokal yang
menjadi identitas. Pendidikan yang dilihat adalah pendidikan dalam arti luas,
yakni pendidikan yang dilakukan di sekolah (pendidikan formal) dan pendidikan
yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat (pendidikan informal).
Penggunaan pendidikan jalur formal atau sekolah bisa dilihat dari kurikulum
serta muatan lokal yang digunakan. Apakah dalam pembelajaran sejarah guru
mengajarkan nilai-nilai lokal? Apakah siswa antusias terhadap pembelajaran
yang guru lakukan? Penanaman nilai-nilai lokal dalam cerita rakyat juga akan
dilihat dari keluarga. Apakah siswa yang dalam hal ini berstatus sebagai anak
pernah mendapatkan penanaman nilai dari keluarga? Dengan cara memberi
nasehat atau mendongeng kepada anak sebelu tidur? Dan apakah keluarga juga
antusias terhadap penanaman nilai melalui nasehat? Hal lain yang akan dikaji
adalah bagaimana masyarakat Kudus Kulon juga melakukan proses penanaman
nilai sejarah, serta bagaimana bentuk serta metode yang digunakan.
49
Luaran dari semua kegiatan pembelajaran formal dan informal adalah
siswa mampu memainkan peran dalam masyarakat. Peran yang dimainkan siswa
sebagai generasi penerus masyarakat akan sangat ditentukan proses yang
berlangsung serta kondisi psikologis siswa itu sendiri.
Ketika ketiga macam pembelajaran sejarah di sekolah, keluarga, dan
masyarakat bisa berjalan dengan baik dan sinergis maka dapat dipastikan akan
terciptanya kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah dalam hal ini dapat dilihat
bagaimana karakter masyarakat yang terbentuk dari cerita rakyat atau fokllore
tetap bertahan dari generasi-generasi. Agar lebih jelas, berikut ini adalah
gambaran atau alur pemikiran dalam penelitian ini.
Nilai-nilai sejarah
Formal
Sekolah
Kurikulum
Mempertahankan
identitas
Identitas Lokal
Pemb. Sejarah
Siswa
Kesadaran sejarah
Keluarga
Cerita/nasihat
Masyarakat
Upacara ritual
Informal
Gambar 1.
Kerangka pemikiran penelitian proses pewarisan nilai Sejarah lokal
melalui pembelajaran sejarah jalur formal dan informal pada siswa
SMA di Kudus Kulon.
50
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kudus, tepatnya pada masyarakat
Kudus Kulon. Secara administratif ada di Kabupaten Kudus Provinsi Jawa
Tengah. Penggunaan
nama Kudus Kulon bukan merupakan batasan
administratif, namun memberikan batasan secara kultural. Castles (1982: 78-79)
menjelaskan bahwa di Kudus terdapat dua kawasan yakni Kudus Kulon dan
Kudus Wetan. Pada awalnya pembagian wilayah ini sangat erat dengan muatan
politik, dimana Kudus Kulon yang sebagian besar merupakan santri ortodoks
mendukung partai Masjumi sedangkan Kudus Wetan meskipun juga matoritas
santri namun lebih plural banyak yang mendukung PKI. Pembatasan wilayah ini
sampai sekarang masih terjadi di Kota Kudus.
Alasan dipilihnya Kudus Kulon sebagai lokasi penelitian adalah karena di
tempat tersebut nilai-nilai lokal masyarakat masih dipegang teguh. Masyarakat
Kudus Kulon memiliki karakteristik khas yang membedakan dengan daerah
lainya. Salah satu karakteristik Kudus Kulon terkenal dengan ajaran islam yang
cukup kuat karena merupakan salah satu pusat penyebaran agama islam di Jawa
dengan Sunan yang terkenal adalah Sunan Kudus. Makan Sunan Kudus dan
Masjid Sunan Kudus juga terletak di Kudus Kulon. Keberadaan situs sejarah
50
51
tersebut membuat kawasan tersebut ramai dengan ritual-ritual keagamaan yang
sampai sekarang masih berlangsung. Beberapa ritual seperti buka luhur dan
dandangan
Selain terkenal sebagai masyarakat yang religius, masyarakat Kudus kulon
juga terkenal sebagai pedagang dan pengusaha yang ulung. Dalam sejarahnya
masyarakat Kudus Kulon terkenal dengan industri rokok yang dulu dipelopori
oleh Nitisemito, dan sampai sekarang industri rokok di Kudus masih
penyumbang pajak terbesar di Jawa Tengah. Selain bergelut di bidang industri
rokok, masyarakat Kudus Kulon juga bergerak dalam industri konveksi dan
banyak pula yang bergerak dalam bidang jasa.
Karakteristik tersebut merupakan identitas yang menunjukkan bahwa
masyarakat Kudus Kulon berbeda dengan masyarakat yang lain. Karakteristik
tersebut merupakan nilai-nilai yang harus dipertahankan dan diteruskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya agar identitas tersebut tetap terjaga.
2. Waktu Penelitian
Sejak proses penyusunan proposal sampai dengan penyusunan laporan akhir,
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan efektif yang bisa dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 1. Waktu Penelitian
Tahap
Penelitian
Waktu
Okt. Nov.
Des.
Jan. Feb.
Mar. Apr. Mei
Jun Jul
52
Penyusunan
proposal
Pengumpulan
data
Analisis data
Penyusunan
laporan
B. Bentuk dan strategi penelitian
Berdasarkan
rumusan
masalah
yang
diangkat,
penelitian
ini
mendeskripsikan secara rinci dan mendalam tentang proses pewarisan nilai yang
dilakukan melalui pembelajaran sejarah jalur formal dan informal Bentuk dari
penelitian ini adalah penelitian dasar, sedangkan berdasarkan permasalahan yang
diajukan dalam penelitian ini maka penelitian menggunakan bentuk penelitian
kualitatif diskriptif sehingga akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tentang pelaksanaan pendidikan sejarah secara formal dan informal pada
masyarakat di Kudus Kulon. Artinya data yang dianalisis di dalamnya berbentuk
deskriptif dan tidak berupa angka-angka seperti halnya pada penelitian kuantitatif
(Moleong, 2002:3). Sutopo (2006:39) menjelaskan bahwa dalam penelitian
kualitatif data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat, atau
gambar yang memiliki arti lebih bermakna dan mampu memicu timbulnya
pemahaman yang lebih nyata daripada sekadar sajian angka atau frekuensi.
Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara utuh (holistik), tidak
53
boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis,
tetapi dipandang sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal
karena hanya ada satu objek penelitian meskipun dilakukan pada tiga tempat
yang berbeda, yakni siswa SMA 2 Negeri Kudus, MA NU Banat dan masyarakat
di wilayah Kudus Kulon. Selain itu, karena permasalahan dan fokus penelitian
sudah ditentukan sebelumnya maka lebih lanjut Strategi penelitian dalam bentuk
studi kasus terpancang (embedded case study).
C. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar adalah
adalah data-data kualitatif yang diperoleh dari beberapa sumber data. Sumber
data dalam penelitian ini meliputi :
1. Informan
Informan merupakan seseorang yang diwawancarai untuk mendapatkan
keterangan dan data untuk keperluan informasi (Koentjaraningrat, 1997:130).
Informan dalam penelitian ini adalah siswa SMA atau MA yang bertempat
tinggal di kawasan Kudus Kulon, guru sejarah yang mengajar siswa SMA atau
MA pada sekolah yang berada di Kudus Kulon, orang tua dan tokoh
masyarakat di Kudus Kulon.
54
2. Tempat dan peristiwa/aktivitas
Tempat yang akan dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian ini
adalah. (1) sekolah, untuk mengetahui bagaimana proses pewarisan nilai
sejarah lokal melalui pembelajaran sejarah
jalur formal serta. (2)
kawasan/wilayah di Kudus Kulon, untuk melihat bagaimana proses pewarisan
nilai sejarah lokal pendidikan sejarah secara informal.
3. Arsip dan Dokumen
Arsip dan dokumen menjadi sumber data untuk mengetahui perencanaan
serta proses pembelajaran yang dirancang oleh guru. Arsip dan dokumen yang
digunakan meliputi perangkat pembelajaran guru, seperti program tahunan,
program semester, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), Arsip
serta dokumen tentang tugas-tugas siswa yang terkait dengan pembelajaran
sejarah lokal serta upacara-upacara ritual keagamaan juga akan digunakan
untuk melihat proses pewarisan nilai yang dilakukan oleh masyarakat di
Kudus Kulon.
D. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan bentuk penelitian kualtiatif dan sumber data yang
dimanfaatkan, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut
1. Wawancara Mendalam (in-depth interviewing)
Wawancara dapat diartikan sebagai suatu cara yang dipergunakan
untuk mendapatkan informasi (data) dari informan dengan cara bertanya
55
langsung secara bertatap muka (Mashud, 2005:69). Wawancara dilakukan
kepada informan untuk mendapatkan data yang relevan berkaitan dengan
permasalahan penelitian. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan wawancara mendalam (in depth interview). Patton (dalam Sutopo,
2006:228) menjelaskan bahwa wawancara ini bersifat lentur dan terbuka,
tidak berstruktur ketat, tidak berada pada suasana formal, dan bisa dilakukan
berulang pada informan yang sama. Dalam penelitian ini wawancara
mandalam akan dilakukan terhadap siswa yang menjadi subjek utama dalam
penelitian ini. Guru-guru sejarah yang mengajar SMA dan MA NU Banat di
Kudus Kulon. Keluarga atau orang tua siswa serta tokoh masyarakat, yakni
pengurus Yayasan Menara Kudus dan Lurah Kauman.
2. Observasi Langsung
Teknik observasi digunakan untuk mengetahui aktivitas pembelajaran
pendidikan sejarah di sekolah dan masyarakat Kudus Kulon. Observasi yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi secara langsung dan termasuk
dalam observasi berperan pasif. Teknik ini digunakan untuk mengamati dan
menggali informasi mengenai perilaku dan kondisi lingkungan penelitian
menurut kondisi yang sebenarnya (Sutopo, 2006:76). Observasi dilakukan
dalam kondisi formal atau pun informal tergantung keadaan yang terjadi di
lapangan.
3. Mencatat Dokumen (content analysis)
56
Teknik dokumentasi digunakan peneliti untuk menyelidiki bendabenda tertulis seperti buku, dokumen tugas siswa, peraturan-peraturan, dan
catatan harian (Suharsimi, 2002:135). Dokumen tertulis dan arsip merupakan
sumber data yang sering memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif
(Sutopo, 2006: 80). Pada penelitian ini pencatatan dokumen dilakukan
terhadap perangkat perencanaan dan pelaksanaan yang digunakan guru dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran formal.
E. Teknik Cuplikan
Teknik cuplikan atau sampling yang digunakan dalam penelitian kualitatif
ini adalah purposive sampling. Artinya sumber data tidak diambil secara acak
tetapi dipilih melalui seleksi berdasarkan pertimbangan dan tujuan tertentu
(Sugiyono, 2009: 216). H.B Sutopo (2006:64) menjelaskan bahwa dalam
purposive sampling, peneliti memilih informannya berdasarkan posisi dengan
akses tertentu yang dianggap memiliki informasi berdasarkan permasalahan
secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap.
Dalam penelitian ini akan dipilih Siswa (dalam pembelajaran formal) atau anak
(dalam pembelajaran informal) yang akan dijadikan sasaran penelitian terlebih
dahulu dipilih berdasarkan karakteristik tertentu (criterion-based selection)
sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam perolehan data. Kriteria
yang digunakan dalam menentukan informan adalah siswa SMA atau MA yang
berdomisili/bertempat tinggal di wilayah Kudus Kulon. Pada penelitian
57
digunakan pula cuplikan waktu (time sampling) untuk melihat aktivitas
pembelajaran sejarah secara formal dan informal. Hal ini karena tidak semua
aktivitas siswa terkait dengan pelajaran sejarah serta penanaman nilai lokal yang
bersumber dari cerita rakyat sehingga diperlukan waktu-waktu khusus untuk
memperoleh data yang sesuai.
F. Validitas Data
Validitas data merupakan faktor yang penting dalam sebuah penelitian
karena sebelum data dianalisis terlebih dahulu harus mengalami pemeriksaan.
Validitas membuktikan hasil yang diamati sudah sesuai dengan kenyataan dan
memang sesuai dengan sebenarnya ada atau kejadiannya (Nasution, 2003 : 105).
Validitas data berguna untuk menentukan tingkat kepercayaan data yang
diperoleh. Adanya tingkat kepercayaan yang tinggi menjadikan data yang
digunakan semakin baik karena telah teruji kebenarannya dan merupakan
jaminan bagi kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian
(Sutopo, 2006 : 92). Untuk menguji validitas data dalam penelitian ini
dipergunakan teknik trianggulasi. Teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan
validitas data yang menggunakan pandangan multiperspektif, sehingga untuk
menarik simpulan yang mantap diperlukan tidak hanya dari satu cara pandang.
Patton (dalam Sutopo, 2006:92) menyatakan ada empat macam teknik
trianggulasi, yakni (1) trianggulasi data, (2) trianggulasi peneliti, (3) trianggulasi
metodologis, dan (4) trianggulasi teoretis. Namun dalam penelitian ini hanya
58
digunakan trianggulasi data dan trianggulasi metode. Trianggulasi data atau
menurut istilah Patton (1984) disebut juga trianggulasi sumber (Sutopo, 2006
:93). Teknik trianggulasi sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik
pemeriksaan
dengan
memanfaatkan
penggunaan
sumber,
yaitu
menggunakan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang
diperoleh melalui beberapa sumber yang berbeda. Data diambil dari beberapa
sumber, seperti guru, siswa, dan perangkat perencanaan (silabus dan RPP) untuk
pembelajaran formal, sedangkan untuk pembelajaran informal sumber yang
digunakan adalah orang tua siswa, tokoh masyarakat, serta lingkungan sekitar
tempat tinggal. Dengan adanya pembandingan sumber inilah maka akan
diketahui tingkat validitas dari data.
Selain menggunakan trianggulasi data, pada penelitian ini digunakan pula
trianggulasi metode. Pada trianggulasi metode, peneliti mengumpulkan data
sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang
berbeda (Sutopo, 2006:95). Artinya untuk mengamati satu sumber data
digunakan beberapa metode, seperti untuk mengetahui bagaimana proses
pewarisan nilai melalui pembelajaran sejarah jalur formal dan informal, pada
penelitian ini digunakan metode wawancara, observasi, dan studi dokumen.
Wawancara digunakan untuk mengetahui bagaimana proses pewarisan nilai
sejarah lokal dilakukan, observasi untuk mengamati siswa dan guru dalam
praksis pembelajaran sejarah formal dan mengamati anak dan orang tua dalam
proses
pembelajaran
informal.
Perbedaan
trianggulasi
metode
dengan
59
trianggulasi data adalah tentang bagaimana cara data itu diapatkan. Pada
trianggulasi metode dari satu sumber, peneliti mencoba untuk mengambil data
dengan berbagai macam metode.
G. Teknik Analisis
Pada penelitian kualitatif, analisis data bersifat induktif, artinya penarikan
simpulan yang bersifat umum dibangun dari data-data yang diperoleh di
lapangan. H.B. Sutopo (2006) menjelaskan bahwa dalam prosesnya, analisis
penelitian kualitatif dilakukan dalam tiga macam kegiatan, yakni (1) analisis
dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data, (2) analisis dilakukan
dalam bentuk interaktif, sehingga perlu adanya perbandingan dari berbagai
sumber data untuk memahami persamaan dan perbedaannya, dan (3) analisis
bersifat siklus, artinya proses penelitian dapat dilakukan secara berulang sampai
dibangun suatu simpulan yang dianggap mantap. Dengan demikian, analisis data
dalam penelitian kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang, dan terusmenerus (Miles dan Huberman, 1992:20).
Analisis yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan analisis model
interaktif. Analisis interaktif terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi
(Miles dan Huberman, 1992:16).
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 16) menjelaskan
bahwa reduksi data diartikan sebagai “proses pemilihan, pemusatan perhatian
60
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan”. Setelah data dikumpulkan dengan
teknik wawancara, observasi, dan analisis dokumen, dilakukanlah reduksi data.
Reduksi data dalam penelitian ini terdiri atas beberapa langkah, yaitu (1)
menajamkan analisis, (2) menggolongkan
atau pengkategorisasian, (3)
mengarahkan, (4) membuang yang tidak perlu dan (5) mengorganisasikan data
sehingga simpulan-simpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Miles dan
Huberman, 1992:16-17).
Setelah reduksi data, langkah berikutnya dalam analisis interaktif adalah
penyajian data. Penyajian data yang paling sering digunakan dalam penelitian
kualitatif adalah dalam bentuk teks naratif, yang merupakan rangkaian kalimat
yang disusun secara logis dan sistematis, sehingga mampu menyajikan
permasalahan dengan fleksibel, tidak “kering”, dan kaya data. Namun demikian,
pada penelitian ini data tidak hanya disajikan secara naratif, tetapi juga melalui
berbagai matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Penyajian data dalam penelitian
kualitatif dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu
bentuk yang padu dan mudah diraih, sehingga peneliti dapat melihat apa yang
sedang terjadi. Dengan demikian, peneliti lebih mudah dalam menarik simpulan
(Miles dan Huberman, 1992:18).
Kegiatan analisis yang ketiga adalah menarik simpulan dan verifikasi.
Langkah awal dalam penarikan simpulan dan verifikasi dimulai dari penarikan
simpulan sementara. Penarikan simpulan hasil penelitian diartikan sebagai
61
penguraian hasil penelitian melalui teori yang dikembangkan. Dari hasil temuan
ini kemudian dilakukan penarikan simpulan teoretik (Miles dan Huberman,
1992:131). Kemudian simpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan tinjauan ulang pada
catatan di lapangan atau simpulan dapat ditinjau sebagai makna yang muncul dari
data yang harus diuji kebenarannya, kekokohan, dan kecocokannya. Namun
demikian, jika simpulan masih belum mantap, maka peneliti dapat melakukan
proses pengambilan data dan verifikasi, sebagai landasan penarikan simpulan
akhir. Ketiga alur dalam analisis data kualitatif apabila digambarkan adalah
sebagai berikut,
Gambar 2.Komponen-komponen analisis data model interaktif (Miles dan
Huberman, 1992:20)
62
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Latar
a. Kabupaten Kudus
Kudus merupakan kabupaten terkecil di Jawa Tengah dengan luas
wilayah mencapai 42.516 Ha yang terbagi dalam 9 kecamatan. Kudus
merupakan daerah industri dan perdagangan. Sektor ini mampu menyerap
banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi yang besar terhadap
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kabupaten Kudus berada di jalur pantai
utara timur Jawa Tengah, yaitu di antara (Semarang-Surabaya). berada 51
km sebelah timur Kota Semarang. Kabupaten ini berbatasan dengan
Kabupaten Pati di timur, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak di
selatan, serta Kabupaten Jepara di barat.
Secara geografis daerah ini berada diantara 110º,36º dan 110º.50‟
Bujur Timur, serta 61º.51‟ dan 7º.16‟ Lintang Selatan. Sebagian besar
wilayah Kabupaten Kudus adalah dataran rendah. Sebagian wilayah utara
terdapat pegunungan (Gunung Muria), dengan puncaknya Gunung
Saptorenggo (1.602 meter), Gunung Rahtawu (1.522 meter), dan Gunung
Argojembangan (1.410 meter). Sungai terbesar adalah Sungai Serang yang
mengalir di sebelah barat, membatasi Kabupaten Kudus dengan
62
63
Kabupaten Demak. Letak kota Kudus sangat strategis sebagai penghubung
beberapa daerah sekitar dengan ibu kota propinsi yakni Semarang.
Secara administratif Kabupaten Kudus terdiri atas 9 kecamatan,
yang dibagi lagi atas 123 Kelurahan dan 9 kelurahan. Pusat pemerintahan
berada di Kecamatan Kota Kudus. Kudus merupakan kabupaten dengan
memiliki jumlah kecamatan paling sedikit di Jawa Tengah. Kabupaten
Kudus terbagi menjadi 3 wilayah pembantu bupati (Kawedanan), setiap
kawedanan terdiri 3 kecamatan yaitu: (1) Kawedanan Kota (Kec. Kota,
Jati dan Undaan). (2) Kawedanan Cendono (Kec. Bae, Gebog dan
Kaliwungu). (3) Kawedanan Tenggeles (Kec. Mejobo, Dawe dan Jekulo).
Meskipun dikatakan sebagai kabupaten dengan luas wilayah
terkecil namun dalam jumlah penduduk yang tinggal di Kudus relatif
banyak dan padat. Jumlah penduduk di Kabupaten Kudus pada tahun 2007
tercatat sebesar 747.488 orang terdiri dari laki-laki 369.884 orang
(49,48%) dan perempuan 377.604 orang (50,52%). Dengan prosentase
jumlah terbesar di Kecamatan Jekulo, Dawe, Jati. Bila dilihat dari
perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan diperoleh rasio jenis
kelamin sebesar 97,96 yang berarti penduduk perempuan lebih banyak
dibanding laki-laki.
Kepadatan penduduk rata-rata di Kabupaten Kudus mencapai 1.758
orang/km2. Untuk kawasan yang mempunyai kepadatan terbesar adalah
Kecamatan Kota yaitu 8.748 orang / km2, sedangkan yang terendah yaitu
64
Kecamatan Undaan 941 orang / km2. Lebih jelas mengenai jumlah
penduduk di Kota Kudus dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 2. jumlah penduduk Kudus berdasarkan jenis kelamin
per tahun 2003 – 2007
Tahun
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
2003
358.255
366.714
724.969
2004
361.282
369.472
730.754
2005
364.074
372.165
736.239
2006
367.143
374.897
742.040
2007
369.884
377.604
747.488
Sumber : www.kuduskab.co.id
Tabel 3. Jumlah penduduk per kecamatan
Kecamatan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Kaliwungu
43.637
44.231
87.868
Kota
44.315
47.273
91.588
Jati
45.633
47.733
93.366
Undaan
33.685
33.871
67.556
Mejobo
33.142
33.669
66.811
Jekulo
47.231
47.865
95.096
Bae
30.084
30.442
60.526
Gebog
45.397
45.512
90.909
Dawe
46.760
47.008
93.768
Sumber : www.kuduskab.co.id
65
Tabel 4. Kepadatan penduduk tiap Kecamatan
Kecamatan
2003
2004
2005
2006
2007
Kaliwungu
2.601
2.626
2.648
2.672
2.686
Kota
8.773
8.784
8.752
8.762
8.748
Jati
3.369
3.394
3.448
3.504
3.550
Undaan
918
923
928
935
941
Mejobo
1.748
1.767
1.784
1.801
1.817
Jekulo
1.101
1.113
1.125
1.137
1.147
Bae
2.537
2.555
2.570
2.576
2.595
Gebog
1.597
1.610
1.623
1.637
1.651
Dawe
1.060
1.072
1.079
1.084
1.092
1.705
1.719
1.732
1.745
1.758
Jumlah
Sumber : www.kuduskab.co.id
Kudus juga dikenal sebagai kota industri, salah satu yang paling
terkenal dan menjadi ikon kota Kudus adalah industri rokok. Salah satu
indikatornya adalah dikenal sebagai kota penghasil rokok kretek terbesar
di Jawa Tengah. Dilihat dari peluang investasi bidang pariwisata, di
Kabupaten Kudus terdapat beberapa potensi yang bisa dikembangkan baik
itu wisata alam, wisata budaya maupun wisata religi. Bidang agrobisnis
juga ikut memberikan citra pertanian Kudus. Jeruk Pamelo dan Duku
Sumber merupakan buah lokal yang tidak mau kalah bersaing dengan
daerah lain. Dalam hal seni dan budaya, Kudus mempunyai ciri khas yang
membedakan Kudus dengan daerah lain. Di antaranya adalah seni
arsitektur rumah adat Kudus, kekhasan produk bordir dan gebyog Kudus.
66
Keanekaragaman potensi yang dimiliki Kudus diharapkan mampu menarik
masyarakat luar untuk bersedia hadir di Kudus.
Pendidikan di Kudus juga bisa dikatakan maju karena meskipun
dengan wilayah yang relatif kecil tetapi terdapat banyak sekolah, hal ini
mengindikasikan tingkat kesadaran pendidikan yang tinggi. Dari data yang
diperoleh di Kudus terdapat 109 sekolah untuk jenjang sekolah Menengah
Pertama atau SMP yang terdiri dari SMP Negeri berjumlah 26 Sekolah,
SMP Swasta berjumlah 20 sekolah, SMP Terbuka Swasta : 5 sekolah,
SMP LB Swasta : 1 sekolah, MTS Negeri ada 2 sekolah, MTS Swasta ada
56 sekolah. Sedangkan untuk jenjang Sekolah Menegah Atas terdapat 72
sekolah yang terdiri dari SMA Negeri berjumlah 7 sekolah, SMA Swasta
berjumlah 10 sekolah, SMA LB Swasta : 1 sekolah, SMK Negeri : 3
sekolah, SMK Swasta : 22 sekolah, MA Negeri : 2 sekolah, MA Swasta :
27 sekolah. Pendidikan merupakan faktor yang terus ditingkatkan karena
dari pendidikan tercipta kualitas sumber daya manusia yang sangat
berperan penting dalam pembangunan. Dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan, penyediaan sarana prasarana pendukung dan tenaga
pendidik
terus
dipersiapkan
secara
matang
disesuaikan
dengan
perkembangan yang ada saat ini (www.kuduskab.co.id).
Selain terkenal sebagai kota industri yang maju, Kudus juga
terkenal sebagai kota yang masih memiliki identitas budaya yang masih
lestari sampai sekarang. Identitas budaya tersebut ada yang berupa
bangunan seperti makam Sunan Muria di Colo, Masjid, Manara, dan
67
Makam Sunan Kudus di Kecamatan Kota Kudus. Selain dalam bentuk
bangunan fisik, identitas budaya juga terlihat dari bagaimana masyatakat
masih memegang teguh nilai, aturan, dan norma yang dari dulu dijalankan
oleh masyarakat. Hal-hal seperti tidak boleh menyembelih sapi, tradisi
Bulusan, Ampyang Maulud, Dan-dangan, dan buka luhur masih menjadi
ritual tahunan yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat Kudus. Indikator
lain kuatnya kultur budaya di Kudus adalah banyak terdapat cerita rakyat
yang masih eksis di masyarakat.
b. Folklor yang Berkembang di Kabupaten Kudus
Folklor menjadi salah satu bentuk media pendidikan yang
digunakan sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai di kalangan
masyarakat Kudus. Di Kabupaten Kudus, folklor yang berkembang di
kalangan masyarakat cukup banyak. Beberapa cerita rakyat yang masih
ada sampai sekarang adalah sebagai berikut:
1) Asal Usul Sapi Pendamai
Sewaktu Sunan Kudus pulang dari Pajang bersama-sama
pengikutnya, mereka mengalami kehausan. Tak ada sedikitpun air bisa
mereka temukan. Secara kebetulan, mereka temukan seekor sapi
berina. Berkat do‟a kanjeng Sunan Kudus, susu sapi tersebut mampu
menghilangkan kehausan seluruh pengikutnya. Dengan kejadian ini,
pendiri Kota Kudus itu melarang warganya menyembelih dan
68
memakan daging sapi sebagai bentuk ucapan terimakasih kerena telah
menyelamatkan Sunan dan pengikutnya.
2) Gunung Pati Ayam
Pada suatu hari, seluruh wali dan Sunan pulau Jawa berkumpul
di kerajaan Demak melakukan do‟a dan selametan bersama. Seusai
makan bersama, setiap undangan mendapatkan satu besek berkat untuk
dibawa pulang. Suatu ketika, ada salah satu wali songo, yaitu Sunan
Kudus (wali yang dikenal gemi dan setiti) sedang mengumpulkan upo
(nasi yang tercecer di tempayan) untuk dibawa pulang. Sunan Kudus
sangat yakin dan percaya bahwa doa wali itu sangat mustajabah.
Melihat kejadian itu, Sunan Ngerang Yuwono (guru Sunan Kudus)
merasa iba dan berkata, “iki lho nang besekku, pe’en”, sehingga besek
Sunan Kudus terhitung tiga buah besek dalam genggaman tangannya.
Namun sikap dari salah satu Sunan, yaitu Sunan Kedu adalah
sebaliknya, dia mencemooh Sunan Kudus dengan ucapan “Dasar
Sunan Kudus, meskipun sudah kaya, tetapi pelit, sampai sisa upo
wahe isih dititili”. Mendengar ucapan tersebut, Sunan Kudus marah
bukan main. Pada saat itu pula terjadi perkelahian sengit, namun
akhirnya dapat dipisah dan keduanya pulang kerumah masing-masing.
Namun hati Sunan Kedu masih membara, dengan kesaktiannya, Sunan
Kedu naik tempayan untuk ngluruk Sunan Kudus.
69
Sesampainya
di
Kudus,
Sunan
Kedu
berputar-putar
mengelilingi menara Kudus. Dengan kemampuhan Sunan Kudus,
Sunan Kedu akhirnya jatuh di tanah yang becek yang selalu nyumber
airnya. Kemudian desa tempat jatuhnya Sunan Kedu itu disebut desa
Jember. Pertikaian keduanya kemudian berlanjut dipegunungan
sebelah timur kota Kudus. Kedua Sunan tersebut bertanding ini
kemudian mensabdakan pethelnya menjadi ayam jago. Kemudian
terjadilah pertarungan antar ayam jago, namun akhirnya pertarungan
itu di menangkan Sunan Kudus, setelah ayam jagonya Sunan Kedu
mati. Akhirnya Sunan Kedu mengakui kekalahannya dan berjanji akan
menjadi muridnya. “terserah panjengengan”, ungkapnya. Kemudian
Sunan Kudus bersabda; “bahwa gunung tempat kalahnya ayam jago
Sunan Kedu ini dinamakan Gunung Pati Ayam, dan bahwa suatu saat
di jaman tertentu, seluruh kekayaan daerah kedu akan di bawa oleh
rakyat Kudus dan menjadikan makmurnya orang Kudus”.
Mengetahui kesaktian serta kemurahan hati dari Sunan Kudus
karena sedah memaafkannya, akhirnya Sunan Kedu belajar dengan
Sunan Kudus sampai akhir wafatnya. Makam Sunan Kedu terdapat di
wilayah Desa Gribig, sebuah desa yang terletak di sebelah utara
kompleks menara Kudus dan masyarakat masih percaya kalau hendak
mendirikan industri rokok harus nyekar dan berdoa di tempat tersebut
agar usahanya lancar.
70
3) Asal Usul Terjadinya Desa Sunggingan
Pada suatu ketika Kyai Telingsih diperintah oleh raja Majapahit
terakhir. Kyai Telingsih disuruh dengan paksa untuk melukis anak
sang raja. Selain disuruh paksa, Kyai Telingsih juga di berikan
ancaman, jika lukisannya jelek, maka Kyai Telingsih akan di bunuh.
Perintah untuk melukis itu segera dilaksanakan. Namun suatu ketika,
tanpa disadari tinta lukisan itu menetes tepat pada bagian alat kelamin
lukisan putri raja. Raja kemudian marah besar, karena di anggap telah
melakukan sesuatu yang tidak baik kepada putrinya, dan Kyai
Telingsing dianggap mengetahui bentuk kelamin putrinya, namun
tuduhan yang diberikan sang raja itu tidak dapat diterima, karena
keduanya belum pernah saling mengenal. Dari peristiwa itulah, Kyai
Telingsih dikenal sebagai orang yang mahir melukis. Kemudian daerah
ini disebut desa Sunggingan. Asal dari kata sungingan yaitu sungging
yang berarti orang yang mahir melukis.
4) Asal Usul Tradisi Bulusan
Pada suatu malam Sunan Muria melakukan perjalanan ke
daerah timur Kudus. Saat itu melewati pematang sawah. Beliau
melihat beberapa orang baik, putra maupun putri, sedang bekerja di
sawah untuk mengambil semaian padi (ndaut winih). Seketika Sang
Sunan berkata “malam-malam kok masih bekerja, seperti bulus saja,
gunakanlah malam itu untuk beribadah dan beristirahat”. Seketika
71
orang-orang itu berubah menjadi bulus. Bulus-bulus itu masih bisa
berbicara dan menangis menyesali sabda Sunan Muria. Lantas bulus
itu meminta kepada Sunan Muria, “wahai Sunan Muria, kalau memang
aku telah di sabda menjadi bulus, saya minta dibuatkan sendang untuk
kehidupan anak-turunku besok. Maka Sunan Muria menancamkan
tongkatnya ke tanah, muncullah sumber air. Kemudian Sunan Muria
menamakan desa itu menjadi desa sumber dan sendangnya dinamakan
Sendang Mbulusan. Sampai sekarang, setiap satu tahun sekali
masyarakat Kudus selalu mengunjungi sendang mbulusan, tepatnya
tujuh haru setelah hari raya Idul Fitri.
5) Tambak Tanggul Angin
Tambak Tanggul Angin menurut cerita adalah tempat sebagai
pusat rajah Sunan Kudus. Pada suatu hari ketika terjadi konflik antara
Mataram dan Kudus, beliau bersabda, “Sopo-sopo wonge mataram,
kok wani lewat kene, saat kuwi ugo, bakale kabeh kekuatan lan
kedigdayaane sirno” (siapa saja orang Mataram yang berani lewat
daerah ini, pada saat itu juga, segala kekuatan dan kesaktiannya akan
hilang). Maka mulai saat itu, orang-orang Mataram tidak berani lewat
di Tambak Tanggul Angin. Sampai saat ini, ketika akan melakukan
perjalanan jauh, mereka selalu menghindari daerah Kudus dan rela
untuk mengalihkan rutenya, walaupun jaraknya lebih jauh.
72
6) Kursi Sunan Kudus
Kursi Kasunanan Sunan Kudus di kenal keampuhannya. Konon
telah di beri rajah Kolocokro pada saat terjadinya konflik antara Ratu
Kalinyamat dengan Arya Panangsang (murid kesayangan Sunan
Kudus). Kemudian datanglah si pembela bernama Sultan Hadi Wijaya
atau yang dikenal dengan Joko Tingkir. Joko Tingkir ketika datang di
Kudus dipersilahkan duduk di kursi tersebut, tetapi Jaka Tingkir tidak
mau karena telah mengetahui bahwa kursi itu ada rajahnya, sehingga
siapa yang duduk di kursi itu akan celaka. Namun Arya Panangsang
lengah dan lupa bahkan dialah yang menduduki kursi kasunanan.
Akhirnya dialah yang kena balak, pada saat bertikai dengan Hadi
Wijaya, Arya panangsang akhirnya ajalnya tiba dengan kondisi
ususnya putus oleh kerisnya sendiri.
7) Gapura Kidul Menara
Dari semua gapura yang ada di kompleks menara yang paling
diangap keramat adalah Gapura Kidul Menara. Gapura yang ada di
sebelah kiri ini tidak ada satu pun pejabat Kudus yang berani melewati.
Gapura ini masih banyak rajahnya, yaitu benda atau lafal-lafal Arya
Penangsang. Setiap pengunjung (pejabat) yang memiliki pegangan
(pekandel awak) akan luntur. Dulu pernah ada salah satu presiden,
yaitu Gus Dur melewati gapura ini, dan tidak lama kemudian, dalam
hitungan bulan, Gus Dur lengser keprabon.
73
8) Tradisi Buka Luwur
Pada suatu ketika datanglah ulama dari negeri Arab, dialah
yang kemudian menjadi Sunan Kudus. Beliau dikenal sebagai
pedakwah yang gigih dan pedagang yang sangat kaya dengan etos
kerja tinggi namun setelah sepeninggalannya, pada suatu ketika terjadi
polemik besar-besaran hanya untuk memutuskan kapan Sunan Kudus
wafat. Oleh karena itu, diputuskanlah tanggal 10 Muharrom (Syuro)
sebagai hari khoul untuknya atau yang kemudian dikenal dengan
tradisi buka luwur. Tradisi buka luwur adalah tradisi mengganti kain
mori yang digunakan untuk membungkus dua nisan, atap, langitan,
tembok makam serta makam para kerabat Sunan Kudus. Kain luwur
bagian dalam dibagikan untuk keluarga dekatnya, sedangkan kain
luwur bagian luar di bagi-bagikan untuk masyarakat umum. Kain
luwur ini digunaan untuk mendatangan berkah (untuk berdagang).
Rangkaian tradisi buka luwur juga diakukan acara membagi-bagikan
berkat yang biasa disebut dengan nama nasi jangkrik untuk para
peziarah yang datang. Berbagai bentuk sumbangan berdatangan
dengan sedirian tanpa diminta, baik yang berupa kerbau, kambing,
beras, dan materi lainnya. Semua sumbangan biasanya langsung
dimasak di dapur umum. Masakan yang telah siap segera dibungkus
dengan daun jati, serta makanan pendampingnya yaitu bubur asyura
yang terbuat dari bahan beras, kacang ijo, ketela rambat, dan ketela
74
pohon. Berkat segera dibagikan untuk para peziarah. Seusai selametan
buka luwur, luwur yang baru segera di pasang dan di akhiri dengan
do‟a penutup.
9) Penjamasan Keris Sunan Kudus
Pada suatu hari Sunan Kudus memasang keris yang searah
dengan gapura Arya Panangsa. Pemasangan keris ini dimaksudkan
sebagai penjaga tlatah Kudus dari ancaman orang-orang mataram.
Pada suatu ketika datanglah orang-orang Mataram yang bermaksud
jahat, dan seketika itu orang-orang Mataram langsung telanjang bulat
ketika sedang melintas dibawah gapura tersebut. Setiap satu tahun
sekali (pada saat tradisi buka luwur) dilakukan penjamasan keris
Sunan Kudus. Jamasan selalu dilakukan pada hari tasyrik, yaitu
tanggal 11-13 Muharrom. Setiap penjamasan keris Sunan Kudus,
cuaca dapat dipastikan dalam keadaan tidak terik matahari, tidak
mendung dan juga tidak hujan atau yang disebut dengan suasana
timbreng. Hal ini di percaya karena ketika penjamasan keris, ada
kekuatan magis luar biasa memancar dari keris Sunan Kudus.
10) Asal Usul Nama Kudus
Sekitar pada tahun 1548 M atau 956 H, Sunan Jafar Shodiq itu
mendapat titah dari raja Demak membawa jamaah calon haji di
Mekah-Medinah dan berkunjung di Palestina, yaitu tepatnya di masjid
75
Al-Aqso. Sesampainya di Palestina, terdapat wabah penyakit yang
mematikan. Jafar Shodiq pada saat itu ikut menyembuhkan wabah
penyakit dan kerena keihlasan dan keilmuan serta bantunnya yang
tulus, Gubernur Palestina memberi hadiah berupa batu mamer kepada
Jafar Shodiq. Di dalam batu marmer itu tertulis kata Baitul Maqdis.
Kemudian batu itu di bawa pulang Sunan Kudus. Sesampainya pulang
dari Paletina, batu piagam itu diletakkan diatas mihrob masjid Jafar
Shodiq. Untuk mengenang penghargaan dari Gubernur Palestina itu,
Jafar Shodiq akan menjadikan tempatnya menjadi miniatur Pelestina.
Pertama, desa yang ditempati Sunan Jafar Shodiq ini dinakan desa
Kudus yang diambil dari kata Baitul Maqdis. Kedua, masjidnya
kemudian dinamakan masjid Masjidil Aqso. Ketiga, untuk selanjutnya
gunung sebelah utara kota Kudus dinamakan gunung Muria, karena di
Palestina itu teradapat gunung yang namanya gunung muria.
11) Awal Mula Terjadinya Desa Nganguk
Jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di
Kudus, lebih dahulu terdapat tokoh yang bernama Kyai Telingsing.
Pada suatu hari, Kyai Telingsing berdiri disampping bangunan masjid,
sambil menengok ke kanan dan ke kiri (ingak-inguk). Tiba-tiba Sunan
Kudus muncul dari arah selatan, dan masjid pun segera di binanya
dalam waktu yang amat singkat. Malahan ada yang mengatakan bahwa
masjid itu tiba-tiba muncul dengan sendirinya (mesjid tiban). Dengan
76
peristiwa itu, kemudian desa tempat dibangunnya masjid itu
dinamakan desa Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan masjid
Nganguk wali.
12) Putri Pingitan Dari Kudus Kulon
Konon menurut ceritanya, Kudus pada zaman dahulu terkenal
dengan putri-putrinya yang dipingit (tidak boleh keluar rumah). Putriputri Kudus khususnya Kudus Kulon pada umumnya berparas cantikcantik. Demi keamaan gadis-gadis yang cantik itu, maka di bangunlah
rumah-rumah orang Kudus berpagar
tembok tinggi dengan tirai
bambu di sekelilingnya, agar orang tidak dapat melihat kedalam
rumah, namun seringkali gadis-gadis Kudus mengintip dari belakang
tirai. Putri-putri ini hanya boleh keluar satu kali dalam setahun yaitu
pada saat upacara menyongsong hadirnya bulan puasa tiba. Pada harihari itulah orang-orang dapat menyaksikan wajah-wajah cantik
bermunculan yang tidak pernah kelihatan pada hari biasanya.
13) Tradisi Dandangan
Ketika pada malam menjelang datangnya bulan puasa,
dipukullah bedug berkali-kali dengan bunyi ndang... ndang... ndang...
sebagai pengumuman awal puasa, sehingga perayaan keagamaan ini
disebut tradisi dandangan. Secara beramai-ramai sebagai pengumuman
awal puasa di masjid menara Kudus. Pengumuman ini dilakukan pada
77
waktu setelah sholat isya‟. Pada saat itulah, para kawula datang dari
segala penjuru desa. Kemudian mereka berjalan kaki menuju ke
menara masjid. Para kawula dari berbagai penjuru desa menginap.
Semakin banyak orang yang berdatangan menyambut datangnya bulan
puasa dan bermalam di masjid bertuah tersebut, maka disediakan
makanan sahur bersama. Penyediaan makanan sahur ini seringkali
merasa kualahan, maka pada saat itu muncullah para pedagang yang
menjual berbagai jenis makanan untuk sahur para kawula itu.
Perkembangan jenis bahan yang dijual pada saat bulan puasa tiba
semakin hari semakin bertambah jenisnya. Bahkan pada saat itu para
pedagang menjual berbagai macam jenis kerajinan rakyat di sekitar
wilayah kabupaten Kudus, Jepara, dan Demak.
14) Ikan Di Dalam Buah Kelapa
Suatu ketika Saridin melakukan ontran-ontran di perguruan
Sunan Kudus dan berdebat dengan Sunan Kudus tentang soal air dan
ikan. Untuk menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya,
"Apakah setiap air pasti ada ikannya?" Saridin dengan ringan
menjawab, "Ada, Kanjeng Sunan." Mendengar jawaban itu, sang guru
memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon di
halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban
Saridin terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan,
karena itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum
78
simpul, akan tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer
kepintaran. Lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan tempat
wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua
ember untuk mengambil air. Saridin tidak enak hati. Karena ketika
para santri yang mendapat giliran mengisi bak air, termasuk dia, sibuk
bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember. Dia meminjam
ember kepada seorang santri, namun apa jawab santri itu? ''Kalau mau
bekerja, itu kan ada keranjang.'' Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil
untuk mengangkut air. Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat
wudu itu penuh air. Santri lain pun hanya bengong.
15) Syahadat Saridin
Suatu ketika di pesantren Sunan Kudus melaksanakan ujian
menghafalkan syahadat. Tiba saatnya Saridin harus menjalani tes baca
syahadat. Lantas apa yang dilakukan oleh Saridin. Ia berdiri tegap dan
berkonsentrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. Matanya
menatap ke depan. Ia menarik napas sangat panjang beberapa kali.
Bibirnya umik-umik (komat-kamit) entah membaca aji-aji apa.
Mendadak ia berlari kencang menuju salah satu pohon kelapa, dan ia
pilih yang paling tinggi. Ia memanjat ke atas dengan cepat, dengan
kedua tangan dan kedua kakinya, tanpa perut atau dadanya menyentuh
batang kelapa. Saridin tiba di bawah blarak-blarak (daun kelapa
kering) di puncak batang kelapa. Ia menyibak lebih naik lagi. Melewati
79
gerumbulan bebuahan. Ia terus naik dan menginjakkan kaki di tempat
teratas. Kemudian tak disangka-sangka Saridin berteriak dan melompat
tinggi melampaui pucuk kelapa, kemudian badannya terjatuh sangat
cepat ke bumi. Semua yang hadir berteriak. Kemudian Sunan Kudus
bertanya kepada Saridin, “kenapa kamu malah naik ke pohon kelapa
kemudian melompat kebawah, ketika saya suruh baca syahadat,
Saridin?”.
Saridin
menjawab,
"Karena
syahadat
adalah
mempersembahkan seluruh diri dan hidupku”. “Bagaimana kalau apa
yang kamu lakukan itu di tiru para santri kemudian”, tanya Sunan
Kudus. Saridin menjawab, “Setiap manusia memiliki latar belakang,
sejarah, kondisi, situasi, irama dan metabolismenya sendiri-sendiri.
Maka Tuhan melarang taqlid, peniruan yang buta. Setiap orang harus
mandiri untuk memperhitungkan kalkulasi antara kondisi badannya
dengan mentalnya, dengan keyakinannya, dengan tempat ia berpijak,
serta dengan berbagai kemungkinan Sunatullah atau hukum alam
permanen”, jawab Saridin.
16) Cerita Tentang Air Kehidupan
Dikisahkan bahwa istri Sunan Kudus memiliki hewan
peliharaan yang sangat disayangi, yakni se ekor burung. Pada suatu
ketika burung kesayanganya tersebut sakit dan akhirnya mati. Setelah
kejadian tersebut istri Sunan Kudus jadi murung dan berubah sikap
jadi pendiam, karena tidak tega dengan kondisi istrinya tersebut Sunan
80
Kudus akhirnya mengambil bangkai burung yang telah mati kemudian
di bawa ke menara. Konon di bawah menara tersebut terdapat sebuah
sumur, kemudian bangkai burung tersebut di mandikan dengan air
sumur. Setelah beberapa saat burung yang semula tidak bernyawa tibatiba hidup lagi.
Banyak santri dan warga yang mengetahui peristiwa hidupnya
burung yang sudah mati akibat dari sumur di bawah menara, sehingga
banyak orang berebut air sumur tersebut agar bisa awet muda serta
bisa kekal. Mengetahui hal itu, Sunan Kudus akhirnya menutup sumut
yang dianggap sebagai sumur kehidupan tersebut karena khawatir akan
banyak umatnya yang jadi musrik karena percaya dengan kekuatan air
dalam sumur.
17) Masjid Bubrah
Dikisahkan setelah Sunan Kudus memutuskan untuk menetap
dan berdakwah di Kudus, beliau berniat untuk mendirikan sebuah
masjid. Setelah sekian waktu berfikir tempat mana yang cocok untuk
mendirikan masjid, akhirnya Sunan memutuskan untuk mendirikan
masjid di kawasan Rejaksen. Entah mengapa alasanya, Sunan Kudus
tidak ingin masyarakat mengetahui rencana pembuatan masjid
tersebut, sehingga beliau memulai pembuatan masjid tersebut pada
malam hari. Pada saat sedang mengerjakan pembuatan masjid dengan
kelebihan yang dimiliki oleh Sunan Kudus, tiba-tiba ada seorang
81
perempuan muda yang sedang menyapu halaman belakang dan tanpa
sengaja melihat apa yang dilakukan oleh Sunan. Mengetahui ada orang
yang melihat proses pembuatan masjid tersebut, Sunan Kudus
membatalkan niatnya (bubrah) untuk membuat masjid, dan fondasi
masjid yang sudah separoh jadi tersebut dibiarkan begitu saja. Sampai
sekarang bekas fondasi tersebut masih ada tempatnya dan sebagian
masyarakat mengkramatkan dengan memberikan sesaji.
c. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1) Kudus Kulon
Kudus Kulon merupakan salah satu kawasan pembagian
wilayah Kudus yang terbagi secara kultural. Masyarakat di sana
mengenal adanya Kudus Wetan dan Kudus Kulon. Meskipun
perbedaan antara Kudus Wetan dan Kudus Kulon dilatarbelakangi
perbedaan kultur namun secara geografis kedua wilayah tersebut
dibatasi oleh sungai Gelis. Kawasan kali Gelis ke Timur adalah
wilayah Kudus Wetan sedangkan kawasan kali Gelis ke Barat adalah
Kudus Kulon.
Masyarakat Kudus Kulon terkenal sebagai masyarakat yang
religius dan pekerja keras dalam bidang wiraswasta, sedangkan
masyarakat Kudus Wetan dikenal sebagai masyarakat yang lebih
sekuler dan sebagian besar birokrat. Perbedaan tersebut bisa dilihat
dari tingkah laku sehari-hari, terutama orang-orang Kudus Kulon.
82
Mereka cenderung lebih tertutup terhadap orang lain dan simbol
agama seperti sarung, peci, dan jilbab selalu mereka pakai kalau
sedang keluar rumah. Dari segi bangunan fisik sangat memperlihatkan
karekter mereka yang tertutup karena rumah-rumah di Kudus Kulon
sebagian besar merupakan rumah dengan benteng yang tinggi dan
tembok yang tebal sehingga sulit untuk melakukan interaksi dengan
tetangga atau orang lain. Menurut wawancara dari beberapa sumber
bahwa rumah-rumah di Kudus Kulon dibuat seperti itu agar tidak
mudah kemalingan karena sebagian besar orang-orang yang tinggal di
sana adalah orang kaya.
Kawasan Kudus Kulon menjadi sesuatu yang penting dalam
sejarah penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, karena merupakan
tempat salah satu Walisongo yang terkenal yakni Sunan Kudus. Di
kawasan tersebut masih terdapat situs peninggalan Sunan Kudus yang
sampai sekarang masih dirawat dan dijaga dengan baik yakni Masjid,
menara, dan makan Sunan Kudus. Sejarah Kudus sendiri tidak lepas
dari cerita Sunan Kudus karena menurut cerita yang berkembang di
masyarakat.
Wilayah Kudus Kulon semakin lama semakin sempit, jika
dahulu kawasan Kudus Kulon meliputi Kali Gelis ke Barat hampir
sampai kelurahan Purwosari, namun sekarang ini kawasan Kudus
Kulon hanya pada sebatas sekitar kompleks menara Kudus yang
meliputi Kauman Menara, Damaran Wetan, Langgardalem, Kerjasan,
83
Rejaksan. Hal tersebut terjadi karena pesatnya perkembangan dan
modernisasi di Kudus.
Di kawasan Kudus Kulon juga dikenal sebagai salah satu pusat
pendidikan di Kabupaten Kudus, karena disana terdapat banyak
lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Lembaga
pendidikan formal yang ada diantaranya adalah sekolah-sekolah negeri
mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA)
serta sekolah swasta milik yayasan seperti yayasan Banat yang
memiliki sekolah mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK), Madrasah
Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah
(MA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Selain yayasan Banat
disana juga terdapat yayasan Qudshiyyah, yayasan Ma‟ahid, yayasan
Taswaquttullab Salafiyah (TBS), serta Muhhamadiyah yang semuanya
juga menyelanggarakan pendidikan formal dari tingkat dasar,
menegah, dan atas. Pendidikan non-formal juga terdapat di Kudus
Kulon dalam bentuk pondok pesantren serta jamaah pengajian.
2) Madrasah Aliyah Nahdatul Ulama Banat (MA NU Banat)
Madrasah Aliyah Nahdatul Ulama Banat terletak di jalan
KHM. Arwani Amin, dukuh Kajan Kelurahan Krandon Kecamatan
Kota Kudus. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah swasta favorit
di Kudus karena telah tersertifikasi ISO. Banat juga merupakan
sekolah
yang
hanya
menerima
siswa
putri,
yayasan
ini
84
menyelenggarakan pendidikan formal dari taman kanak-kanak sampai
SMA atau MA, serta SMK.
MA NU Banat didirikan oleh KH. Masda‟in Amin adik dari
Hadlotusy Syekh KHR. Arwani Amin seorang Kyai Besar di Kudus
pada tahun 1940. Pertama didirikan TK NU Banat kemudian tahun
1952 didirikan MI/SD NU Banat , dilanjutkan dengan pendirian MTs
pada tahun 1957 dan baru pada tanggal 3 Januari 1972 berdiri MA NU
Banat dengan siswa awal hanya 7 orang sedangkan saai ini jumlah
siswi yang belajar disekolah tersebut sudah mencapai 910 siswa
(Company profile MA NU Banat, 2009/2010).
MA NU Banat berdiri di atas tanah wakaf seluas kurang lebih
5253 M2 dengan fasilitas sarana dan prasarana yang lengkap untuk
mendukung aktifitas pembelajaran. Cita-cita awal berdirinya adalah
untuk membekali wanita-wanita Islam agar berpengetahuan Islam
yang bisa diamalkan dan mampu memimpin wanita-wanita Islam
untuk hidup maju bersama masyarakat yang lain seiring dengan
perkembangan jaman. Banyak prestasi yang sudah diperoleh oleh MA
NU Banat, mulai dari tingkat Kabupaten, Provinsi, sampai tingkat
Nasional antara lain, pada tahun 1998 meraih juara III dalam lomba
yang diadakan oleh Depag RI dan tahun 2004 memperoleh juara II
dalam event serupa (Company profile MA NU Banat, 2009/2010).
Visi dari MA NU Banat adalah “Terwujudnya madrasah putri
sebagai
pusat
keunggulan
yang
mampu
menyiapkan
dan
85
menngembangkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas di
bidang IMTAQ dan IPTEQ yang Islami dan Sunni. Misinya adalah
untuk menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi kwalitas, baik
akademik, moral, maupun sosial sehingga mampu menyiapkan dan
mengembangkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas
dibidang IMTAQ dan IPTEK dalam rangka mewujukan baldatun
thoyyibatun waraobbur ghofur. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai
oleh sekolah ini adalah, (1) membekali siswa-siswanya agar mampu
memahami ilmu agama dan umum, (2) mampu mengaplikasikan ilmu
yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari, (3) memiliki ilmu
ketrampilan sebagai bekal hidup di masyarakat, (4) mampu
berkomunikasi sosial dengan modal bahasa asing praktis arab dan
inggris, dan terakhir (5) mampu memahami ilmu-ilmu yang
dibutuhkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
(Company profile MA NU Banat, 2009/2010).
Fasilitas pembelajaran yang ada di MA NU Banat ini juga bisa
dikatakan cukup lengkap karena semua yang dibutuhkan untuk
pembelajaran tersedia, mulai dari labolatorium IPA, labolatorium
bahasa, ruang multi media, ruang komputer, dan perpustakaan yang
menyediakan fasilitas internet.
Di MA NU Banat, pewarisan nilai-nilai lokal juga dilakukan.
Menurut kepala sekolah MA NU Banat M. Said (wawancara 10-032010) menjelaskan bahwa berdirinya sekolah ini tidak lepas dari peran
86
para ulama besar yang ada di Kudus Kulon sehingga nilai-nilai yang
dikembangkan tentu saja berasal dari masyarakat Kudus Kulon,
terutama dalam hal menjalankan nilai agama Islam. Lebih lanjut Said
menjalaskan bahwa wilayah Kudus Kulon merupakan kawasan santri
yang taat dan ketaatan dalam menjalankan agama itu sampai sekarang
masih kuat mengakar di masyarakat, hal tersebut terlihat ketika acaraacara ritual keagamaan seperti buka luhur dan dan-dangan. Khusus
untuk ritual buka luhur yakni acara pengantian kain penutup makam
Sunan Kudus, hampir semua warga Kudus Kulon terlibat langsung.
Selain dilihat dari masih eksisnya acara ritual keagamaan, indikator
lain yang mengambarkan kultur agama yang kuat di Kudus Kulon
adalah banyak berdiri sekolah-sekolah islam dan banyak juga terdapat
pondok pesantren.
Selain terkenal dengan hal-hal positif tentang Kudus Kulon,
ternyata pandangan masyarakat sangat beragam tentang kawasan ini.
Said (wawancara 10-03-2010) menjelaskan sebagai berikut :
Orang di luar komunitas masyarakat Kudus Kulon biasanya
mempunyai pandangan yang negatif tentang gaya hidup yang
dijalankan. Mereka menganggap kalau orang Kudus Kulon
pelit dan tertutup dengan orang lain. Oleh karena itu, di
sekolah ini kami mencoba untuk mengambil yang positif saja
dan meminimalisir yang negatif. Selain itu, siswa yang belajar
di sini bukan hanya terdiri dari orang Kudus Kulon tetapi dari
wilayah lain, jadi kami juga mengambangkan hal-hal positif
dari masyarakat lain, misal masyarakat Kudus wetan dan
sebagainya.
87
Dengan penjelasan dari kepala sekolah tersebut dapat diketahui
bahwa MA NU Banat ini tidak hanya mengembangkan nilai-nilai yang
ada dan berkembang di masyarakat Kudus Kulon tetapi juga dari
komunitas masyarakat lain dimana siswa sekolah berasal.
Sebagai sekolah Islam tentu yang ditonjolkan dalam tiap aspek
pembelajaran adalah ajaran Islam. Selain terlihat dari visi dan misi
yang banyak terdapat di dinding-dinding sekolahan banyak pula
terdapat tulisan yang bertuliskan “pesan sesepuh” KHM. Sya‟roni
Ahmadi yang berisikan (1) semua kegiatan hendaknya diniati sebagai
ibadah, (2) berakhlaqul karimah dan menjaga kekompakan dan
kerukunan, (3) jangan sengaja melanggar aturan, bila melanggar secara
sengaja supaya cepat-cepat bertaubat. Menurut Sri Rachanah
(wawancara 10-03-2010) yang menjabat sebagai wakil ketua
kurikulum menjelaskan bahwa pemasangan pesan sesepuh tersebut
sengaja dilakukan agar siswa atau pihak sekolah tidak melupakan
sejarah sekolah, termasuk pendiri dan sesepuh sekolah ini yakni KHM.
Sya‟roni. Lebih dalam lagi Said menjelaskan bahwa “pesan sesepuh”
dan pesan-pesan lain yang tertempel di sekolahan memang bagian dari
upaya sekolah untuk menanamkan nilai-nilai luhur yang diambil dari
ajaran islam dan sebagian juga berkembang di masyarakat.
Selain melakukan penanaman nilai melaui media penempelan
pesan di dinding, sekolah juga melakukan kegiatan ritual ziarah
makam Sunan Kudus. Kesempatan ziarah makam biasanya digunakan
88
pihak sekolah untuk menceritakan riwayat sekolah serta riwayat
perjuangan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam. Pada
kegiatan tersebut sering diceritakan mitos serta cerita rakyat, misal
cerita mengenai sosok Sunan Kudus yang menjadi Waliulilmi artinya
sebagai wali yang memiliki ilmu yang tinggi. Keilmuan Sunan Kudus
tersebut dijadikan sebagai motivasi kepada siswa agar mereka belajar
dengan rajin, tekun, serta giat beribadah agar menjadi ahli ilmu seperti
Sunan kudus. Kegiatan ziarah tersebut secara rutin selalu dilaksanakan
ketika memasuki awal tahun ajaran baru, menjelang ujian, serta
moment buka luhur.
3) SMA N 2 Kudus
Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Kudus terletak di jalan
Ganesha Kelurahan Purwosari Kecamatan Kota Kudus. Sekolah ini
dulunya adalah Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Kudus kemudian
berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 0519/O/1991 tanggal 5 September 1991 dengan
nama SMAN 4 Kudus. Pada tahun 1997 berganti nama menjadi
SMUN 2 Kudus dan pada tahun 2003 berganti nama menjadi SMAN 2
Kudus.
Beberapa kepala sekolah yang pernah memimpin sekolah
tersebut adalah Drs. T.H. Sugeng Esmo Handoyo, kemudian diganti
oleh Drs. Pahyono, kepala sekolah ketiga adalah Drs. Sumijan, dan
89
yang masih menjabat sampai sekarang ini adalah Drs. M. Zainuri,
M.Si. Saat ini jumlah tenaga mengajar di SMA N 2 Kudus ada 54 guru
yang terdiri dari 41 tetap atau PNS dan sisanya yakni 13 adalah guru
tidak tetap. Visi sekolah ini adalah “Terwujudnya Sekolah Berprestasi
Unggul, Berketrampilan, Berwawasan Seni Budaya dan Berlandaskan
Iman dan Taqwa”, sedangkan misinya adalah (1) Menyelenggarakan
kegiatan prosess belajar mengajar dan bimbingan secara efektif dan
effisien. (2) Menumbuhkan semangat berprestasi dan keunggulan pada
seluruh warga sekolah sehingga dapat mempertkuat daya saing
kompetitif. (3) Memberikan latihan dalam kegiatan ekstra kurikuler
dan berbagai keterampilan kepada seluruh warga sekolah. (4)
Menumbuhkembangkan budaya tertib, budaya bersih, dan budaya
belajar
kepada
seluruh
warga
sekolah.
(5)
Memupuk
dan
mengembangkan bakat seni dalam rangka pelestarian budaya daerah
dan nasional. (6) Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama
dan mendorong pengamalan ibadah keagamaan bagi setiap warga
sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas iman dan taqwa.
Saat ini SMA N 2 Kudus sedang merintis untuk menjadi
sekolah mandiri. Untuk itu, SMA N 2 Kudus sedang memenuhi 8
kriteria standar yaitu: standar isi, standar kompetensi kelulusan,
standar proses, standar pendidikan dan kependidikan, standar sarana
dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar
penilaian pendidikan. Untuk mencapai target tersebut, SMA N 2
90
Kudus sudah melengkapi semua fasilitas pembelajaran, diantaranya
hot spot area, perpustakaan, laboratorium IPA, laboratorium bahasa,
ruang media, dan ruang komputer yang representatif.
Terkait dengan Pelaksanaan pembelajaran sejarah pada jalur
formal melalui pemanfaatan folklor di SMA N 2 Kudus secara umum
telah mendapatkan perhatian dari pihak sekolah. Perhatian dari pihak
sekolah tampak dengan adanya pernyataan dari kelapa sekolah bahwa
pihak sekolah pada dasarnya menganggap lingkungan sekitar sebagai
bagian dari lingkungan pembelajaran. Dalam konsep wawasan wiyata
mandala sekolah dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. M. Zainuri, kepala sekolah SMA 2 Negeri Kudus
(wawancara, 05-03-2010) yang juga merupakan salah satu pengurus
Yayasan Menara Kudus mengatakan bahwa SMA 2 N Kudus memang
berniat memfokuskan diri pada pelestarian budaya, terutama budaya
Kudus. Hal tersebut terlihat dengan perlengkapan ekstrakulikuler yang
cukup lengkap serta mendatangkan guru seni yang ahli dibidangnya,
dan hasilnya terlihat ketika SMA 2 pernah diminta tampil di Taman
Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta untuk mewakili Kabupaten
Kudus. Seperti yang di sampaikan sebagai berikut :
Sekolah ini (SMA 2 Kudus) ingin mengembangkan dan
melastarikan budaya asli Kudus, karena itu saya terus mempush guru-guru, terutama seni untuk menggali dan
mengembangkan budaya yang ada di masyarakat. Hubungan
antara sekolah dengan masyarakat sangat berhubungan erat
karena dalam konsep wiyata mandala antara sekolah dan
masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisah.
91
Kebijakan sekolah terkait dengan pengembangan nilai-nilai
lokal masyarakat sekitar menjadi dasar yang baik untuk pelajaran
sejarah, karena dalam kurikulum pelajaran sejarah terdapat beberapa
SK dan KD yang mengarah pada sejarah lokal. Guru sejarah semakin
terbantu lagi karena di sekitar sekolah banyak terdapat bangunanbangunan bersejarah seperti masjid, menara, dan makam Sunan Kudus
yang bisa membantu guru mengkongkritkan materi yang terkait
dengan bangunan bersejarah tersebut.
2. Sajian Data
a. Pelaksanaan pembelajaran sejarah jalur formal
Kebijakan kepala sekolah terkait dengan pengembangan nilai-nilai
lokal yang ada di kawasan sekitar menjadi acuan guru dalam
melaksanakan pembelajaran sejarah. Pelaksanaan pembelajaran sejarah
yang ada di SMA N 2 Kudus diadakan pada setiap kelas, mulai dari kelas
X sampai kelas XII di semua jurusan, baik jurusan IPA, jurusan IPS, serta
jurusan Bahasa. Pada kelas X pelajaran sejarah diajarkan selama satu jam
pelajaran dalam satu minggu, untuk kelas XI dan XII jurusan IPS pelajaran
sejarah mendapat alokasi tiga jam per minggu, jurusan IPA pelajaran
sejarah mendapat alokasi satu jam pelajaran, dan jurusan Bahasa mendapat
dua jam per minggunya. Pembagian jam pelajaran sejarah ini sesuai
dengan kerangka dasar dan struktur kurikulum dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP).
92
Pada kelas X, pembelajaran sejarah dengan pemanfaatan folklor
telah dilakukan dengan mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
berbagai tradisi lisan yang ada di masyarakat. Achmad Sofwan guru
sejarah kelas X SMA N 2 kudus (wawancara, 15-02-2010), menjelaskan
dengan panjang lebar dan rinci mulai dari sejarah, budaya/adat, sampai
mitos dan cerita rakyat yang ada sebagai berikut :
Di Kudus memang dikenal adanya Kudus Wetan dan Kudus
Kulon. Kudus Kulon terkenal dengan kehidupan beragama yang
militan karena masih mewarisi peninggalan Sunan Kudus seperti
tahlilan, manakiban, istigozah serta berjanjen. Selain mewarisi
dalam hal beragama, orang-orang Kudus Kulon juga mewarisi jiwa
dagang dari Sunan Kudus karena itu banyak yang jadi pedagang
atau berwiraswasta dan sangat sedikit yang mau jadi pegawai
negeri, kalau-pun ada biasanya tidak menjadi pekerjaan utama
tetapi dianggap sebagai sambilan seperti jadi pengusaha sambil
nyambi jadi guru. Semangat serta etos kerja yang diwariskan oleh
Sunan Kudus dilestarikan melalui cerita rakyat, cerita rakyat yang
terkenal adalah cerita mengenai Gunung Patiayam, dalam cerita
tersebut diceritakan bahwa terjadi perselisihan antara Sunan Kudus
dengan Sunan Kedu, pada akhirnya Sunan Kudus Menang dan
disebutkan bahwa suatu ketika semua hasil bumi dari tanah Kedu
akan mensejahterakan anak dan cucu Sunan Kudus.
Pengetahuan
tentang
Kudus
yang diketahui
oleh
Sofwan
dikarenakan beliau orang asli Kudus yang sejak kecil akrab dengan
lingkungan Kudus, terutama Kudus Kulon serta sebelum diangkat jadi
guru di SMA 2 Kudus sudah sepuluh tahun lebih menjadi guru sejarah di
SMA Muhammadiyah yang terletak di Kelurahan Damaran. Pengetahuan
yang lengkap tentang Kudus tersebut menjadi kelebihan khusus yang
menjadi alasan mengapa Sofwan mengampu kelas X karena pada meteri
sejarah kelas X memang banyak yang menonjolkan sejarah lokal.
93
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh Sofwan di dalam kelas
adalah dengan mengunakan metode ceramah bervariasi, diselingi tanya
jawab. Tujuan utama yang hendak dicapai adalah tersampaikanya semua
materi yang sudah di susun dalam silabus dan RPP, namun ketika
membahas sejarah lokal Sofwan lebih senang untuk mengeksplorasi
karena pengetahuan
yang dimiliki. Pada akhir pelajaran sering
memberikan penugasan yang berkaitan dengan sejarah lokal, seperti ketika
mengajarkan kelas X semester I Standar Kompetensi (SK) ”Memahami
prinsip
dasar
ilmu
sejarah
dengan
Kompetensi
Dasar”
(KD)
“Mendeskripsikan tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia masa praaksara dan masa aksara”. Materi pelajaran “Jejak sejarah di dalam sejarah
lisan (foklore, mitologi, dongeng, dan legenda) dari berbagai daerah di
Indonesia”, kegiatan pembelajaran (1) mengidentifikasi tradisi sejarah
pada masyarakat pra-aksara dengan tari, upacara, lagu, alat bangunan, dan
lukisan di Indonesia, (2) mendiskripsikan jejak sejarah di dalam sejarah
lisan (foklore, mitologi, dongeng, dan legenda) pada masa pra-aksara, (3)
mengidentifikasi jejak sejarah di dalam jejak sejarah di dalam sejarah lisan
dari berbagai daerah di Indonesia dalam bentuk foklore, mitologi,
dongeng, dan legenda (dokumen perangkat pembelajaran).
Pada akhir pembelajaran SK, KD, dan materi tersebut siswa
diberikan tugas untuk membuat makalah dan atau laporan observasi
sederhana tentang cerita rakyat yang berkaitan dengan sejarah di Kudus.
Agar lebih mudah membuat tugas, siswa biasanya membuat tugas yang
94
terkait dengan lingkungan mereka. Tugas dari siswa tersebut biasanya
hanya langsung diberi penilaian, namun beberapa hasil tugas siswa yang
dianggap menarik akan di bahas sebentar di dalam kelas. Pemberian tugas
ini efektif untuk menyiasati keterbatasan waktu pelajaran yang hanya
dibatasi satu jam pelajaran selama satu minggu. Menurut Sofwan
(wawancara 15-02-2010), waktu satu jam pelajaran hanya cukup untuk
menjelaskan konsep umum saja seperti menerangkan konsep tentang
folklore, mitologi, dongeng, dan legenda, agar siswa lebih paham maka
perlu pendalaman yakni dengan menugasi siswa untuk mencari salah satu
contoh folklore, mitologi, dongeng, dan legenda yang ada di sekitar
mereka. Dari penugasan tersebut banyak hasil karya siswa dari Kudus
Kulon yang menulis tentang folklore yang terkait dengan cerita Sunan
Kudus misal, peristiwa sapi pendamai, legenda gunung Pati Ayam, dan
masjid bubrah.
Kondisi lingkungan di kawasan Kudus Kulon sangat membantu
siswa untuk menyelesaikan tugas tersebut karena cerita rakyat tersebut
sampai sekarang masih hidup dan menjadi bagian dari masyarakat. Banyak
dari siswa yang menjadikan orang tua atau keluarga sebagai nara sumber
dalam membuat tugas tersebut.
Achmad Sofwan (wawancara 15-02-2010) juga menjelaskan
bahwa hampir setiap tradisi serta cerita rakyat yang ada di Kudus Kulon
syarat akan kandungan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Seperti
cerita sapi pendamai yang mengajarkan toleransi, legenda gunung Pati
95
Ayam yang mengajarkan agar jangan jangan sombong, cerita tentang
Sunan Kudus dalam jamuan makan malam yang mengajarkan tentang
kesedarhanaan dan penghargaan terhadap kehidupan (disimbolkan dengan
nasi), serta cerita-cerita lainya.
Penanaman nilai di sekolah sangat penting bagi siswa karena siswa
merupakan generasi penerus masyarakat yang kelak akan menggantikan
posisi generasi yang sudah ada. Oleh karena itu sekolah dan guru harus
bisa memberikan pendidikan moral dan etika (wawancara, 15-02-2010).
Lebih lanjut, Sofwan menjelaskan :
Sekarang kepercayaan masyarakat terhadap sekolah sangat tinggi
sehingga jika disadari sebenarnya tugas guru semakin berat kerena
bukan hanya mengajarkan kepada siswa bagaimana caranya
membaca, menulis, dan berhitung tetapi juga harus mengajarkan
moral dan etika. Masalah moral dan etika memiliki standar masingmasing karena itu dalam mengajarkannya sekolah harus menggali
dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sekitar karena toh pada
akhirnya setelah belajar di sekolah siswa akan kembali
kemasyarakat.
Sofwan (wawancara, 15-02-2010) menjelaskan bahwa nilai-nilai
yang sampai saat ini masih dipegang dan dilestarikan oleh masyarakat di
Kudus Kulon adalah nilai tentang ajaran Agama Islam dan semangat yang
tinggi dalam bekerja, terutama dalam berdagang dan wiraswasta.
Meskipun demikian, sebagai sekolah umum tentunya Sofwan tidak selalu
dan terus-menerus mengajarkan tentang Kudus Kulon karena siswa yang
belajar di sana sangat heterogen, meskipun masih berada dalam wilayah
Kudus Kulon namun tidak semua siswa berasal dari daerah tersebut. Oleh
karena itu, dalam mengajarkan materi sejarah lokal tidak selalu terpaku
96
pada sejarah Kudus Kulon namun juga mengajakan budaya lokal di Kudus
Wetan. Seperti yang disampaikan berikut :
SMA 2 „kan sekolah negeri jadi siswanya beragam karena itu saya
tidak terus-menerus mengajarkan sejarah lokal di Kudus Kulon.
Kudus sendiri sebenarnya kaya akan budaya dan sejarah lokal,
seperti yang terdapat di Loram (Kudus Wetan) tiap bulan maulud
selalu diadakan ampyang maulud sebuah acara ritual pawai keliling
Kelurahan dengan membawa gunungan dan nasi kepel, serta di
Trenggeles ada tradisi bulusan yang hampir sama dengan tradisi
lomban di Jepara yakni biasanya dilaksanakan hari ke-tujuh bulan
syawal.
Lebih lanjut, Sofwan (wawancara, 15-02-2010), menjelaskan
bahwa banyak sekali tradisi dan cerita rakyat di daerah Kudus yang bisa
dijadikan sebagai bahan ajar, terutama jika dikaitkan dengan materi-materi
sejarah, namun dalam kenyataanya sulit untuk merealisasikannya.
Berbagai alasan yang menjadi faktor pengahambat adalah alokasi waktu
pelajaran sejarah yang kurang karena belajar tradisi masyarakat akan lebih
efektif jika dilakukan dengan turun lapangan untuk malakukan
pengamatan secara langsung. Kendala berikutnya tentu dari guru dan
pihak sekolah, karena tidak semua guru paham dengan tradisi lokal serta
kebijakan sekolah yang lebih mengutamakan pelajaran-pelajaran Ujian
Nasional.
Pembelajaran sejarah dengan pemanfaatan folklore juga dilakukan
di kelas XI, baik kelas XI IPS, XI IPA, dan XI Bahasa. Sapto Ari Rahayu
guru sejarah kelas XI (wawancara pada 13-03-2010) menyatakan bahwa
selama ini pembelajaran sejarah yang dilakukan berpatokan pada
kurikulum yakni berusaha untuk menyampaikan semua materi sesuai
97
dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK dan KD) yang
sudah dirancang dalam silabus. Terkait dengan penggunaan sejarah lokal
yang ada disekitar (Kudus Kulon) dalam pembelajaran yang dilakukan di
dalam kelas beliau menjawab bahwa hanya pada sub bahasan tertentu
memasukkan sejarah lokal Kudus Kulon seperti menara, masjid, dan
sejarah Sunan Kudus yang semuanya disampaikan pada semester Gasal.
Pada kelas XI IPS pelajaran sejarah di ajarkan tiga jam pelajaran
dalam satu minggu, hal ini sesuai dengan ketentuan KTSP. Sebagai kelas
IPS maka pelajaran sejarah termasuk pelajaran utama selain pelajaran IPS
yang lain seperti ekonomi, sosiologi, dan geografi. Pada pelaksanaan
pembelajaran, terdapat materi dalam kurikulum yang bisa dikaitkan
dengan sejarah lokal Kudus Kulon, salah satunya adalah pada Standar
Kompetensi (SK) “Menganalisis Perjalanan Bangsa Indonesia pada Masa
Negara-Negara Tradisional”, Kompetensi Dasar (KD) “ Menganalisis
Pengaruh Perkembangan Agama dan Kebudayaan Islam Terhadap
Masyarakat di Berbagai Daerah di Indonesia”, pada materi pembelajaran
“tempat dan bukti awal penyebaran Islam di Indonesia”. Pada SK, KD,
dan materi pembelajaran tersebut, Sapto Ari Rahayu menjelaskan materi
kepada siswa dengan mencontohkan bukti adanya manara dan Masjid
Sunan Kudus sebagai salah satu tempat dan bukti penyebaran agama Islam
di Jawa pada umumnya dan Kudus pada khususnya. Hal tersebut sesuai
dengan indikator yang hendak dicapai dalam RPP yakni “mengidentifikasi
98
tempat dan bukti awal penyebaran Islam di Indonesia” (dokumen
perangkat pembelajaran)
Selain pada materi tersebut pemanfaatan sejarah lokal yang ada
disekitar sekolah (Kudus Kulon) juga digunakan dalam membantu guru
untuk memudahkan siswa dalam menerangkan materi tentang “perpaduan
arsitektur lokal, Hindu-Budha, dan Islam di berbagai wilayah di
Indonesia” yang terdapat pada KD “Menganalisis proses interaksi antara
tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia”. Contoh yang
digunakan adalah bentuk menara masjid Kudus yang bercorak HinduBudha yang dipadukan dengan bangunan Islam (masjid). Selain
menggunakan bangunan bersejarah yang ada di Kudus kulon sebagai
sumber dan media belajar, cerita rakyat juga sering digunakan sebagai
pengantar dalam menjelaskan SK tersebut, misalnya adalah usaha Sunan
Kudus dalam meng-Islamkan warga dengan cara-cara yang simpatik serta
tidak bertentangan dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya yakni
larangan menyembelih sapi/lembu yang merupakan hewan suci dalam
kepercayaan Hindu. Keberadaan Masjid, Menara, dan makam Sunan
Kudus tersebut sangat membantu guru dalam mencapai indikator yang
hendak di capai dalam proses pembelajaran karena siswa bisa langsung
paham penjelasan guru. Keberadaan benda-benda peninggalan sejarah
seperti menara, masjid, dan makam membantu guru untuk mengkongkritkan materi sehingga siswa bisa lebih jelas menerima pelajaran.
99
Selain memberikan penjelasan tentang materi yang dikaitkan
dengan peninggalan sejarah yang ada di sekitar lingkungan sekolah, guru
juga sering memberikan penugasan kepada siswa untuk membuat
makalah. Pemberian tugas makalah tersebut bertujuan agar siswa bisa
memperdalam meteri yang sudah disampaikan sebelumnya. Misalnya
dalam Standar Kompetensi (SK) “Menganalisis Perjalanan Bangsa
Indonesia pada Masa Negara-Negara Tradisional”, Kompetensi Dasar
(KD) “ Menganalisis Pengaruh Perkembangan Agama dan Kebudayaan
Islam Terhadap Masyarakat di Berbagai Daerah di Indonesia”, setelah
guru menjelaskan tentang proses masuknya Islam di Nusantara, siswa di
beri tugas untuk membuat makalah tentang peran Walisongo dalam
penyebaran Islam di Jawa. Selain untuk memperdalam penguasaan materi
siswa, penugasan tersebut juga sebagai salah satu bentuk penilai guru
kepada siswa sebagai tugas harian. Tugas dari siswa tersebut biasanya
langsung dikumpulkan kepada guru, namun jika ada kesempatan beberapa
tugas siswa yang dianggap bagus oleh guru akan dibahas pada akhir
pertemuan setelah materi utama tersampaikan (wawancara guru, pada 1503-2010). .
Pembelajaran sejarah yang terjadi di kelas XI IPS agak berbeda
dengan kelas XI Bahasa dan XI IPA. Di kelas XI Bahasa pelajaran sejarah
diajarkan dua jam dalam satu minggu. Pada kurikulum sejarah kelas XI
Bahasa semester ganjil hanya terdapan satu Standar Kompetensi (SK)
yakni “Menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara-
100
negara
tradisional”, dengan dua Kompetensi Dasar (KD) yakni
“Menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara kerajaan (HinduBuddha dan Islam) di Indonesia” dan “Menganalisis perkembangan
kebudayaan Hindu-Buddha dan
Islam di Nusantara terutama dalam
bidang bahasa dan karya sastra”. Pemanfaatan sejarah lokal Kudus Kulon
dalam pembelajaran sejarah kelas XI Bahasa hanya dilakukan guru pada
KD yang pertama, itupun hanya sekilas/pengantar saja. Misalnya ketika
guru menjelaskan tentang perkembangan kebudayaan Hindu-Budha dan
Islam, guru menjelaskan bahwa proses perkembangan kebudayaan dari
Hindu-Budha ke Islam dapat dilihat dalam proses akulturasi bangunan
menara masjid Sunan Kudus. Hal yang sama juga dilakukan pada kelas XI
IPA, dimana dalam tiap minggunya pelajaran sejarah hanya diajarkan satu
jam. Pada kurikulum pelajaran sejarah kelas XI IPA semester ganjil
terdapat satu SK yakni “Menganalisis perjalanan bangsa Indonesia dari
negara tradisional, kolonial, pergerakan kebangsaan, hingga terbentuknya
negara kebangsaan sampai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia”, dan
terdapat empat KD, namun hanya satu KD saja yang bisa dikaitkan dengan
sejarah lokal Kudus Kulon yakni “Menganalisis perkembangan negara
tradisional (Hindu-Buddha dan Islam) di Indonesia”. Hampir sama dengan
pembelajaran yang dilakukan pada kelas XI Bahasa, sejarah lokal Kudus
Kulon juga dijadikan sebagai bagian dari materi, namun hanya bersifat
sebagai contoh dari penjelasan guru. Pemberian tugas dalam bentuk
makalah juga dilakukan oleh guru, berbeda dengan kelas XI IPS dimana
101
tugas difungsikan untuk memperdalam siswa dalam penguasaan materi,
pada kelas XI Bahasa dan XI IPA pemberian tugas difungsikan sebagai
pelengkap materi dan tidak ada pembahasan tugas siswa di dalam kelas
(dokumen perangkat pembelajaran dan wawancara guru, pada 15-032010).
Terkait dengan perangkat pembelajaran yang digunakan, Sapto Ari
(wawancara,
pada
15-03-2010)
menjelaskan
bahwa
perangkat
pembelajaran seperti silabus dan RPP jarang dijadikan sebagai acuan
utama dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Pengalaman mengajar
selama lebih dari 15 tahun dianggap sudah cukup untuk dijadikan
pegangan dalam mengajar dalam kelas. Ada kesan bahwa perangkat
pembelajaran hanya merupakan syarat administrasi, untuk aplikasi di kelas
pengalaman yang lebih utama, namun meskipun demikian perangkat
pembelajaran berguna untuk mengontrol pemberian materi dan evaluasi
pada siswa.
Metode yang digunakan guru dalam mengajarkan materi sejarah
yang dikaitkan dengan sejarah lokal adalah metode ceramah yang diselingi
dengan tanya jawab. Hal ini dilakukan karena Sapto Ari Rahayu
(wawancara 15-02-2010) bukan orang asli Kudus yang tentunya tidak
terlalu paham dengan sejarah lokal, hanya sekadar tahu saja, misalnya
tentang larangan menyembelih sapi/lembu, tradisi dan-dangan, dan Buka
luhur yang dilaksanakan ritun tiap tahun. Dengan menggunakan metode
tanya jawab kadang guru juga mendapat informasi-informasi baru dari
102
siswa, terutama dari siswa yang berasal dari Kudus Kulon karena siswa
banyak mendapat informasi dari masyarakat dimana siswa tinggal, seperti
tentang adanya sumur kehidupan di bawah menara masjid Sunan Kudus.
Terkait dengan apresiasi siswa terhadap pelajaran sejarah, guru
menjelaskan bahwa respon siswa biasa saja, bahkan cenderung akan cepat
bosan jika hanya mendapat ceramah terus-menerus, oleh karena itu perlu
adanya tanya jawab. Selain itu, siswa juga akan lebih senang jika
pembelajaran dilakukan di luar kelas, misalnya dengan melakukan
pengamatan terhadap benda bangunan bersejarah yang ada di sekitar
sekolahan. Keinginan siswa tersebut tidak semua dapat terpenuhi akibat
dari keterbatasan jam pelajaran dan beban materi, hanya pada kelas IPS
saja dimana kelas tersebut mendapat jatah tiga jam per minggu
pembelajaran di luar kelas pernah dilakukan. Seperti apa yang
disampaikan sebagai berikut:
Para siswa juga pada dasarnya siswa lebih senang jika diajak
belajar di luar, langsung mengamati peniggalan-peniggalan sejarah
di sekitar kompleks menara tetapi karena waktu belajar yang
terbatas jadi tidak bisa semua kelas di ajak belajar di luar, yang
pernah hanya kelas IPS yang jam-nya lebih lama dibanding Bahasa
dan IPA. Sebagai gantinya biasanya diganti dengan tugas makalah
untuk membuat pengamatan tentang peniggalan-peniggalan sejarah
di Kudus dan yang paling banyak siswa membuat tentang masjid,
menara, dan makam Sunan Kudus.
Terkait dengan nilai-nilai yang ada dalam cerita rakyat di Kudus
Kulon, Sapto Ari (wawancara 15-02-2010) menjelaskan bahwa yang
paling penting dimiliki oleh orang Kudus Kulon adalah nilai keagamaan
atau ilmu agama, karena itu lebih banyak sekolah agama daripada sekolah
103
umum, namun sekarang ini sudah tidak sekuat dulu karena sudah banyak
anak-anak Kudus Kulon yang belajar di sekolah umum seperti yang ada di
SMA 2 Kudus ini. Contoh cerita rakyat yang memiliki kandungan nilai
adalah cerita rakyat tentang sapi pendamai yang membuat anak-anak
Kudus Kulon memilikii sikap toleransi tinggi. Sikap toleran tersebut
sangat membantu dalam interaksi anak-anak Kudus Kulon dengan siswa
dari daerah lain yang beragama lain dalam satu sekolahan.
Pernyataan Zein, dan Sofwan hampir sama, yakni mereka sering
bertemu dengan siswa-siswa dari SMA N 2 Kudus yang sedang berziarah
di makam Sunan Kudus pada malam jumat. Pertemuan tersebut terjadi
tanpa dikoordinir dulu sebelumnya, jadi bisa dikatakan bahwa nilai
mengamalkan ajaran Islam terutama ajaran Sunan Kudus sudah mengakar
dimasyarakat dan tercermin di sekolah yang terletak di kawasan Kudus
Kulon.
Aufir Rahmalia (15 th) siswi kelas X 1 yang berasal dari kelurahan
Kauman, menyatakan bahwa dia jarang mendengar cerita tentang sejarah
Kudus Kulon diangkat dalam pembelajaran sejarah di dalam kelas. Dia
justru lebih banyak tahu mengenai sejarah dan cerita-cerita rakyat yang
ada di wilayah Kauman dari keluarga dan masyarakat, misalnya tentang
larangan menyembelih sapi, larangan membangun rumah bertingkat yang
melibihi menara dan masjid, serta acara dan-dangan, dan buka luhur.
Meskipun demikian, ketika belajar di sekolah dia pernah mendapat tugas
makalah untuk mencari salah satu bentuk dari folklore, mitologi, dongeng,
104
dan legenda yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Tugas tersebut di
dapat setelah dia mendapat penjelasan dari guru tentang pengetian dari
folklore, mitologi, dongeng, dan legenda. Pernyataan Ainur tersebut
mendapat dukungan dari Krisna Anjarwan (15 th) siswa kelas X 7 yang
berasal dari Kajeksan, serta Asharudin Wahyu Yudhanto (16 th) siswa
kelas X 1 yang berasal dari Rejaksen (wawancara, 17-03-2010). Aufir
membuat tugas folklore tentang cerita sapi yang menyelamatkan Sunan
kudus dan santri-santrinya. Dia mendapat cerita tersebut dari seorang kyai
di masjid ketika dia sedang ngaji. Dikisahkan bahwa karena bantuan sapi
tersebut Sunan dan santri-santrinya bisa selamat, untuk membalas budi
sapi tersebut Sunan Kudus melarang santrinya menyembelih sapi/lembu.
Hikmah yang didapat Aufir dari cerita ini adalah toleransi serta strategi
dalam meng-Islamkan orang Kudus yang semula beragama Hindu. Krisna
Anjarwan membuat tugas tentang pantangan membuat rumah bertingkat
yang melebihi tinggi menara dan masjid Sunan Kudus. Menurut Krisna
pantangan tersebut tidak
berasal dari Sunan, namun warga meyakini
bahwa membangun rumah yang tingginya melebihi tinggi menara atau
masjid sama saja dengan melawam Sunan dan akibatnya pasti orang
tersebut akan celaka. Krisna mengetahui pantangan membuat bangunan
rumah bertingkat tersebut dari orang tuanya dan orang-orang disekitar
rumahnya (para tetangga). Asharudin membuat tugas mengenai air
kehidupan. Konon diceritakan bahwa dulu pernah ada air kehidupan yang
bisa membuat orang atau mahkluk hidup yang mati bisa hidup lagi, karena
105
khawatir air kehidupan tersebut disalahgunakan maka Sunan Kudus
menutup mata air tersebut dengan menara. Asharudin mengetahui cerita
tentang adanya air kehidupan yang ada di bawah menara Masjid dari
teman sepermainan yang lebih tua dari dia serta dari orang tuanya. Aufir,
Krisna, dan Asharudi juga menjelaskan bahwa lingkungan sekolah dan
lingkungan tempat tinggal mereka tidak jauh berbeda. Ketika mereka
berada di lingkungan tempat tinggal (rumah) mereka harus mengikuti
aturan dan nilai-nilai keluarga dan masyarakat seperti ketika berbicara
dengan orang yang lebih tua harus menggunakan bahasa yang halus dan
sopan, tidak boleh meninggalkan sholat, serta harus memakai pakaian
yang menutupi aurat, hal semacam itu juga mereka lakukan di sekolah.
Arina Novita Sari (16 th) siswa kelas XI IPS 1 (wawancara, 1803-2010) yang berasal dari Kelurahan Demangan menceritakan bahwa
dalam pelajaran sejarah pernah mendapat tugas untuk melakukan
pengamatan terhadap peniggalan-peniggalan sejarah yang ada disekitarnya
dan pada waktu itu dia membuat tugas tentang Masjid Bubar. Alasan
mengambil masjid bubar sebagai tugas adalah karena dekat dengan
rumahnya dan dia juga sering melihat ritual yang menurutnya tidak
dilakukan di daerah lain. Ritual tersebut biasanya adalah sebelum orang
dari Kelurahan tersebut melakukan pernikahan biasanya menaruh nasi
bebek di masjid tersebut. Arina juga menceritakan bahwa Masjid bubar
dulunya adalah cikal bakal masjid yang akan dibuat oleh sunan Kudus,
namun kerena rencana tersebut diketahui oleh warga maka bubarlah
106
rencana tersebut. Oleh karena itu, situs masjid tersebut dinamakan masjid
bubar dan sampai sekarang masih ada karena penghormatan yang
dilakukan warga. Pada awalnya Arina hanya mendengar kisah tentang
masjid bubar ini dari teman dan tidak detail mengenai jalan cerita serta
mengapa harus nasi bebek, namun karena tuntutan tugas akhirnya dia bisa
lebih paham mengenai masjid bubar tersebut. Selama mengerjakan tugas
tersebut Arina banyak mendapat cerita dari orang tua, serta kakeknya.
Arina menyatakan bahwa dengan mengerjakan tugas tersebut dia jadi lebih
paham dengan ritual dan tradisi yang ada dimasyarakatnya.
Uraian senada disampaikan oleh Elisa Ferdiana Sari (16 th) siswi
kelas XI IPA 2 dan Nurul Khofidhoh (17 th) siswi kelas XI IPS 2
(wawancara, 18-03-2010) yang sama-sama berasal dari Kelurahan
Kajeksan. Mereka juga pernah mendapatkan tugas ketika pelajaran sejarah
untuk melakukan penelitian sederhana mengenai peninggalan sejarah yang
ada disekitar tempat tinggal mereka. Elisa mengangkat tradisi dandangan
yang rutin dilakukan setiap tahun. Alasan mengapa dia mengangkat tema
itu adalah setiap kali dilaksanakan acara tersebut, halaman rumahnya
selalu dipakai oleh warga dari luar Kudus untuk berjualan. Semula Elisa
menganggap bahwa dandangan hanya kemeriahan yang dilakukan dalam
rangka menyambut puasa, namun setelah mengerjakan tugas tersebut dia
akhirnya mengerti bahwa dandangan dulunya tidak sekadar senangsenang saja, tetapi juga digunakan sebagai sarana untuk berdoa di Masjid
serta berziarah ke makam Wali untuk mensucikan diri dalam rangka
107
menyambut puasa. Elisa mendapat cerita tentang dandangan tersebut dari
kakek serta saat ada pengajian di sekolah. Nurul juga membuat tugas yang
temanya mengenai dandangan dan apa yang dia sampaikan hampir sama
dengan Elisa yang berbeda hanya alasan mengapa dia mengambil tema
tersebut. Menurut Nurul alasan mengambil tema tersebut karena mudah
untuk dikerjakan. Dengan mengerjakan tugas-tugas tersebut mereka jadi
lebih mengerti tentang tradisi yang ada serta cerita-cerita rakyat yang
berkembang di lingkungan sekitar mereka.
Pelaksanaan pembelajaran sejarah sejarah jalur formal yang
memanfaatkan sejarah lokal Kudus Kulon juga dilakukan di Madrasah
Aliyah Nahdatul Ulama Banat (MA NU Banat). Terkait dengan
pembelajaran sejarah dan penanam nilai sejarah lokal yang ada di Kudus
Kulon, Said (wawancara 10-03-2010) mengatakan bahwa pelajaran sejarah
yang dilakukan MA NU Banat ini pada dasarnya hanya mengacu pada
kurikulum, jadi apa yang diajarkan masih merupakan hal-hal umum.
Untuk materi yang berkaitan dengan sejarah lokal di Kudus Kulon
diajarkan melalui pelajaran muatan lokal Ke-NU-an karena sejarah lokal
Kudus Kulon yang sebagian besar berupa cerita rakyat identik dengan
ajaran-ajaran Islam. Pelajaran muatan lokal ke-Nu-an dianggap sangat
penting karena merupakan ruh dari pembelajaran yang dilakukan di MA
NU Banat. Hal ini dikarenakan secara struktural sekolah ini dibawah
naungan organisasi masyarakat Nadhatul Ulama (NU) yang merupakan
ormas mayoritas di kawasan Kudus Kulon.
108
Hal senada diucapkan oleh Azhar Rahmawati (wawancara, 16-032010) guru sejarah kelas X dan XI Madrasah Aliyah Nahdatul Ulama
Banat, “sejarah lokal dan cerita rakyat tentang Kudus Kulon lebih banyak
disampaikan melalui ke-NU-an, kalau pelajaran sejarah yang saya
sampaikan masih bersifat umum. Namun jika ada materi yang bisa
disambungkan dengan sejarah Kudus pasti saya sampaikan”. Contohnya
adalah materi tentang masuknya agama Islam di Nusantara, khususnya
peran Wali Songo karena di Kudus ada dua wali yang terkenal yakni
Sunan kudus dan Sunan Muria. Selain itu kawasan Kudus Kulon juga bisa
dijadikan contoh untuk materi akulturasi agama antara Hindu, Budha, dan
Islam. Pemberian materi Kudus Kulon hanya dilakukan sekilas karena jam
pelajaran sejarah terbatas, namun meskipun sekilas biasanya siswa akan
lebih paham jika ada contoh kongkrit. Contoh kongkrit tentang
peninggalan Sunan Kudus banyak terdapat di sekitar sekolah, hal ini
membantu siswa dalam memahami materi yang di hubungakan dengan
peran Sunan Kudus dalam sejarah masuknya Islam di Jawa. Selain kendala
waktu, masalah yang dihadapi oleh guru sejarah adalah kerena kebijakan
sekolah yang sering mengesampingkan pelajaran sejarah untuk diganti
dengan pelajaran lain yang di Ujiakan secara nasional, jadi guru sejarah
harus pintar-pintar mensiasati waktu agar tuntutan materi dalam kurikulum
dapat terpenuhi. Lebih lengkap Azhar Rahmawati menjelaskan :
Untuk mengejar semua materi agar bisa tersampaikan kepada siswa
saja sudah sulit, kadang harus mengalah dengan pelajaran-pelajaran
UN, jadi prioritas pertama adalah menyampaikan semua materi.
Terbatasnya waktu biasanya saya siasati dengan penugasan
109
membuat makalah untuk dikerjakan di rumah. Alokasi jam sejarah
hanya satu jam untuk tiap-tiap kelas kerena harus dibagi dengan
pelajaran muatan lokal sekolah.
Azhar (wawancara, 16-03-2010) juga menyampaikan bahwa ketika
belajar sejarah siswa lebih senang diajak keluar untuk langsung melihat
objek dan tidak jenuh dengan ceramah, namun karena terkendala waktu
hal tersebut hanya pernah dilakukan beberapa kali saja dengan kelas yang
berbeda. Keinginan untuk belajar diluar kelas pernah diusulkan kepada
pihak sekolah, sehingga ada program untuk wisata edukasi. Progam ini
baru dilaksanakan satu kali yakni pada tahun 2009 dengan melakukan
kunjungan ke museum Ronggowarsito di Semarang, walupun tidak semua
siswa dilibatkan dalam progam ini karena keterbatasan dana yang ada
tetapi kegiatan tersebut sangat bermanfaat buat siswa. Pada kegiatan
wisata edukasi tersebut tiap kelas diwakili oleh beberapa siswa yang
kemudian diwajibkan membuat laporan perjalanan. Laporan tersebut harus
dipresentasikan di depan kelas agar semua siswa mengetahui apa saja yang
didapat dari Museum Ronggowarsito. Azhar Rahmawati berharap program
ini selalu ada tiap tahun karena sangat bermanfaat bagi siswa dan guru,
namun semua tergantung dari kebijakan sekolah karena terkait dengan
anggaran dan waktu.
Metode mengajar yang dilakukan oleh Azhar (wawancara, 16-032010) adalah ceramah bervariasi dengan diselingi tanya jawab. Alasan
memilih metode ceramah adalah dengan metode ini guru bisa mengontrol
pemberian materi karena banyak materi yang harus disampaikan
110
sedangkan waktunya sangat terbatas. Tetapi meskipun demikian, Azhar
juga sering memberikan kesempatan siswa untuk berdialog dengan guru,
terutama ketika guru menyampaikan materi yang ada hubungannya dengan
kondisi di sekitar lingungan siswa, misal ketika membahas masuknya
Islam serta proses dan bentuk akulturasi.
Azhar juga menyampaikan bahwa ketertarikan siswa, terutama
yang dari Kudus Kulon terhadap sejarah lokal dan cerita rakyat sangat
baik. Hal itu terlihat dengan tugas-tugas yang siswa kumpulkan. Ada
beberapa diantara tugas siswa tersebut yang justru memberikan
pengetahuan baru bagi guru mengenai sejarah lokal dan cerita rakyat di
Kudus Kulon, seperti tugas yang di buat oleh Ainur Rohmah, Chusnul
Sholikhah, dan Norma Fajria Nida. Tema yang didapakan siswa
bermacam-macam, hal tersebut terjadi kerena dalam pemberian tugas
Azhar sedikit membebaskan siswa untuk memilih tema, namun tetap
terkait dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang sedang
dipelajari. Penugasan siswa tersebut selain digunakan sebagai penguatan
terhadap penjelasan yang sudah guru sampaikan, juga berfungsi sebagai
salah satu alat evalusi untuk memberikan penilaian kepada siswa.
Kelemahan guru dalam menggunakan perangkat pembelajaran juga
ditemukan di MA NU Banat ini. Meskipun dari hasil wawancara
dikemukakan bahwa dalam penyampaian materi sering dimasukkan
sejarah lokal dalam materi sejarah yang ada kaitanya dengan sejarah lokal
Kudus Kulon, namun dalam perangkat pembelajaran (Silabus dan RPP)
111
yang di susun guru tidak nampak adanya hal tersebut. Ketika di konfirmasi
mengenai hal ini, jawaban Azhar hampir sama dengan apa yang
disampaikan oleh Sapto Ari dan Achmad Sofwan (guru SMA N 2 Kudus),
bahwa perangkat pembelajaran yang di susun guru lebih bersifat
administratif belaka, dalam penyusunanya biasanya mengacu pada tahun
sebelumnya. Alasan yang disampaikan adalah karena guru tidak punya
cukup banyak waktu untuk membuat perangkat yang baru. Alasan lain
yang disampaikan adalah yang terpenting dalam mengajar bukan terletak
dari perangkat pembelajaran tetapi dari gurunya itu sendiri. Jika guru
tersebut sudah punya banyak pengalaman dan menguasai meteri tentu
akan mudah dalam mererangkan kepada siswa, namun diakui juga bahwa
perangkat pembelajaran sangat membatu dalam mengetur dan mengontrol
penyampaian materi serta sebagai pedoman dalam melakukan evaluasi.
Ainur Rohmah (16 th) siswi kelas XI bahasa yang berasal dari
Kerjasan (wawancara, 6-04-2010) menjelaskan bahwa dia jarang
mendengar cerita mengenai sejarah lokal Kudus ketika pelajaran sejarah,
kalaupun ada biasanya hanya sekilas, namun setelah mendengar
penyampaian guru yang sekilas tadi biasanya lansung diberi tugas. Ainur
ingat ketika guru menjelaskan tentang proses masuknya Islam ke Jawa,
khususnya membahas tentang Wali Songo pada akhir pembelajaran guru
menugaskan siswa untuk membuat makalah tentang peran Sunan Kudus
dalam penyebaran Islam. Dia membuat tugas dengan judul “Islam dan
perdamaian”, dalam tugas tersebut Ainur menceritakan cara-cara Sunan
112
Kudus dalam menyebarkan agama Islam dengan jalan damai sehingga
mudah diterima oleh masyarakat, misalnya dengan tidak memperbolehkan
menyembelih lembu yang merupakan binatang suci orang Hindu.
Chusnul Sholikhah (16 th) siswa kelas XI IPA yang bertempat
tinggal di Bale Tengahan, Langgar Dalem, (wawancara, 6-04-2010)
pernah membuat tugas tentang akulturasi yang terjadi Kudus Kulon.
Dalam tugas tersebut dia mencontohkan beberapa bentuk akulturasi antara
Islam dengan kebudayaan yang sudah ada sebelumnya yakni Hindu dan
Budha. Beberapa bentuk akulturasi yang dicontohkankan adalah adanya
menara masjid yang berbentuk seperti candi, serta kebiasaan ziarah
makam. Lebih lanjut Chusnul menceritakan bahwa lingkungan sekolah
MA NU Banat hampir sama dengan lingkungan dimana dia tinggal (di
rumahnya). Di sekolah dia harus menghormati guru, apalagi sebagian guru
di sana adalah ustaz. Selain itu, dia juga tidak boleh berhubungan dengan
laki-laki yang bukan muhrimnya.
Hal yang hampir sama disampaikan oleh Norma Fajria Nida (16
th), siswi kelas XI IPS 2 yang tinggal di Kauman (wawancara, 6-04-2010).
Dia menceritakan bahwa dengan penugasan-penugasan yang diberikan
mendorong untuk bertanya kepada orang tua maupun tokoh masyarakat
yang ada disekitarnya mengenai cerita-cerita rakyat terdapat di
wilayahnya. Contohnya adalah ketika Norma membuat tugas mengenai
mitos atau cerita rakyat yang berhubungan dengan masjid Sunan Kudus.
Dalam tugas tersebut dia menemukan beberapa cerita rakyat yang
113
berkembang tentang adanya sumur kehidupan yang ada dibawah menara
masjid. Konon air kehidupan tersebut bisa membangkitkan orang yang
sudah meninggal dunia, kemudian ditutup dengan menara masjid agar
tidak disalah gunakan oleh orang. Cerita lain yang didapat adalah adanya
rajah Kolocokro yang terdapat di kursi Sunan, serta rajah yang terdapat di
pintu gapuro kidul, yang konon jika ada pejabat dari trah Mataram lewat
melalui gerbang tersebut akan hilang semua ilmu serta kesaktiaanya. Lebih
lanjut Norma menjelaskan bahwa semua cerita tersebut dia peroleh dari
kakek serta orang tuanya, dia juga sering mendengar cerita tersebut ketika
ikut pengajian.
Beberapa Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD)
yang biasanya bisa dihubungkan dengan sejarah lokal serta cerita rakyat
yang ada di Kudus Kulon; Pada kelas XI IPS semester I terdapat SK
Menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara-negara
tradisional dengan 3 KD yang bisa dioptimalkan yakni (1) Menganalisis
pengaruh perkembangan agama dan kebudayaan
masyarakat
di
berbagai
daerah
di
Indonesia,
Islam
(2)
terhadap
Menganalisis
perkembangan kehidupan negara-negara, kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia, (3) Menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, HinduBuddha, dan Islam di Indonesia. Pada kelas XI bahasa semester I terdapat
SK Menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara-negara
tradisional dengan KD (1) Menganalisis perkembangan kehidupan negaranegara kerajaan (Hindu-Buddha dan Islam) di Indonesia (2) Menganalisis
114
perkembangan kebudayaan Hindu-Buddha dan
Islam di Nusantara
terutama dalam bidang bahasa dan karya sastra. Azhar Rahmawati
mengakui bahwa keberadaan cerita rakyat serta bangunan-bangunan
bersejarah yang ada di Kudus Kulon sangat membantu dia dalam
menyampaikan materi. Misalnya, ketika membahas tentang akulturasi dia
langsung mencontohkan tentang manara masjid serta ziarah makam
sebagai contoh bentuk akulturasi, karena siswa sudah terbiasa dengan
manara dan ziarah makam maka siswa akan cepat paham. Sedangkan
cerita rakyat atau folklore yang sering digunakan adalah cerita tentang sapi
pendamai karena dari kisah tersebut terlihat jelas bagaimana Sunan Kudus
menyebarkan Islam dengan cara yang damai.
Dari deskripsi di atas, pelaksanaan pembelajaran sejarah di SMA N
2 Kudus dan MA NU Banat pada dasarnya hampir sama, yakni mengacu
pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Tujuan utama yang
hendak dicapai adalah untuk menyampaikan semua materi yang ada
karena keterbatasan waktu sehingga guru-guru tidak berani untuk
memberikan materi pengayaan khusus tentang Kudus Kulon. Upaya
penanaman nilai yang dilakukan dalam pembelajaran sejarah sebenarnya
hanya merupakan konsekuensi dari siasat guru dalam mengatasi
keterbatasan
waktu,
yakni
dengan
memberikan
tugas.
Dengan
mengerjakan tugas yang berhubungan dengan sejarah lokal, baik yang
terkait dengan fakta sejarah atau hanya berupa folklore, siswa pada
akhirnya mencari data yang terkait dengan tugas dari lingkungan sekitar
115
mereka. Di MA NU Banat, jam mengajar sejarah lebih sedikit
dibandingkan dengan yang di SMAN 2 Kudus, namun di Banat ada
pelajaran muatan lokal ke-NU-an yang bisa mem-back-up materi yang
terkait dengan sejarah lokal di Kudus Kulon.
Dilihat dari sudut pandang sekolah terdapat perbedaan antara
SMAN 2 Kudus dengan MA NU Banat terkait dengan penanaman nilainilai lokal yang ada di Kudus Kulon. Di SMA N 2 Kudus penanaman nilai
lebih bersifat sebagai hidden kurikulum. Penanaman nilai yang dilakukan
memang tidak tercantum dalam peraturan sekolah, namun dalam
keseharian guru dan pihak sekolah menerapkan nilai-nilai tersebut. Hal
tersebut terlihat ketika interaksi antara guru dan siswa yang harus dilandasi
kesopanan dan tata krama. Sedangkan di MA NU Banat, penanaman nilai
lokal Kudus Kulon menjadi bagian dari tujuan yang hendak dicapai oleh
sekolahan. Hal tersebut terlihat dengan aturan-aturan yang di tempel pada
setiap ruangan kelas yang bertuliskan “pesan sesepuh”. Pesan sesepuh
tersebut diambil dari sosok tokoh di Kudus Kulon yang juga merupakan
pendiri sekolahan. Selain dari “pesan sesepuh” penanaman nilai yang
dilakukan oleh sekolah juga dilakukan tiap awal tahun dengan melakukan
ziarah
makan
sekaligus
menceritakan
riwayat
sekolahan
yang
dihubungkan dengan Sunan Kudus dan Kudus Kulon. Persamaan yang ada
antara SMA N 2 Kudus dengan MA NU Banat dalam melakukan
pewarisan nilai adalah dalam cara penyampian yang sama-sama
memanfaatkan acara ritual seperti tahlilan bersama dan ziarah makam.
116
Dilihat dari sudut pandang siswa juga terdapat sedikit perbedaan.
Siswa di SMA N 2 Kudus tidak semua merasakan proses penanaman nilai
yang dilakukan oleh guru dan sekolah. Hal tersebut terjadi kerena SMA N
2 Kudus merupakan sekolah umum, berbeda dengan MA NU Banat yang
merupakan sekolah Islam. Hal tersebut juga merupakan pengaruh dari
kebijakan sekolah dimana SMA N 2 Kudus penanaman dilakukan melalui
hidden kurikulum, sedangkan di MA NU Banat dilakukan secara terangterangan.
b. Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah Jalur Informal
Masyarakat Kudus Kulon memiliki karakteristik yang khas, bahkan
kekhasan tersebut sudah bisa dirasakan ketika masuk wilayah Kudus
Kulon. Bangunan rumah dengan tembok tinggi dan jalan dengan
gang/lorong yang sempit membuat sulit ketika harus berpapasan dengan
orang lain, terutama jika memakai kendaraan bermotor, bahkan ada orang
yang menyebut gang-gang di Kudus Kulon sebagai gang senggol.
Disamping itu terlihat bahwa kawasan Kudus Kulon sangat kental dengan
nuansa keagamaan yang bisa dilihat dengan simbol-simbol keagamaan
seperti wanita yang memakai jilbab dan laki-laki yang selalu mamakai
peci. Hal tersebut dikarenakan kawasan tersebut merupakan salah satu
pusat penyebaran agama islam yang pada waktu itu di sebarkan oleh salah
seorang dari Wali Songo yang cukup terkenal yakni Sunan Kudus. Di
kawasan itu pula terdapat peninggalan Sunan Kudus berupa masjid dan
117
menara yang menjadi simbol dan identitas kota Kudus serta makam Sunan
Kudus yang terletak di belakang masjid yang tidak pernah sepi dari
penziarah.
Banyak mitos dan cerita rakyat yang berkembang seiring sejarah
perjalanan Kudus Kulon. Berikut adalah sejarah singkat Kudus Kulon
yang peneliti rangkum dari hasil wawancara dengan beberapa tokoh di
Kelurahan Kauman yang dipadukan dengan bukunya Solikhin Salam.
Disebutkan bahwa kota ini teah berdiri pada abad ke-16 Masehi, namun,
satu abad sebelum itu pemukiman muslim telah tumbuh dan berkembang.
Pemukiman yang bercorak Islam sudah muncul di kota Kulon pada abad
ke-15 M. Kesimpulan ini berdasarkan adanya topon Langgar Dalem dan
senkalan memet yang menunjukkan angka tahun 863 H, hanya saja
pemukiman itu baru berupa pemukiman kacil saja. Sebagai pemukiman
perkotaan baru muncul pada abad ke-16 M, sebagaimana tersirat pada
prasasti di atas mihrab masjid yang terkenal dalam sejarah Islam yang
tertulis di situ kata “negeri” (Rofiqul Hidayat, wawancara, 06-04-2010).
Menurut prasasti tersebut, masjid ini berdiri bersamaan dengan
berdirinya kota Kudus, yaitu pada hari Jumat Kliwon, 10 Muharam 956H/
17 Februari 1549 M. Pendirinya adalah Ja‟far Shidiq, yang kemudian
dikenal sebagai seorang wali. Adapun nama kota itu diambil dari nama
kota Baitul Maqdis, tempat Ja‟far Shidiq belajar dan mendapat
penghargaan sebuah batu pualam yang diukir dan ditulis sebagai tanda
berdirinya nagari. Tulisan itu dibuat atas permintaan Ja‟far Shidiq sendiri,
118
dan kini batu pualam tersebut masih utuh dan diletakkan di atas mihrab
Masjid Jami‟. Batu pualam itu berharga sekali karena memberikan
informasi kepada para ahli sejarah secara jelas mengenai tahun berdirinya
masjid dan nagari, berikut nama pendirinya, nama masjid yang sama
dengan nama masjid yang ada di Baitul Maqdis, Palestina (Rofiqul
Hidayat, wawancara, 06-04-2010).
Hampir orang tua yang tinggal dikawasan Kudus Kulon
mengetahui cerita tentang Kudus Kulon baik yang berupa fakta sejarah,
mitos, maupun cerita rakyat. Hal tersebut bisa terjadi karena cerita-cerita
tersebut sudah menjadi bagian dari masyarakat yang melekat erat. Cerita
tersebut berpindah dari satu generasi kepada generasi berikutnya melaui
interaksi sehari-hari, misal ketika mendengarkan kyai ceramah atau ketika
sedang kumpul dengan kelauarga. Seperti apa yang disampaikan oleh
Noor Hidayat (Wawancara, 20-03-2010), tokoh masyarakat setempat yang
menyatakan
Sejak kecil saya sering diceritai oleh orang tua dan kakek
mengenai cerita Sunan Kudus, beberapa diantaranya adalah cerita
mengenai pertengkaran Sunan Kudus dengan Sunan Kedu. Waktu
itu mereka beradu ayam jago, Sunan Kedu memiliki ayam yang
merupakan jelmaan dari kayu, mengetahui hal tersebut Sunan
Kudus langsung menjelmakan ayam yang aslinya adalah tatal
(semacam palu dari besi). Hasilnya tentu saja kemenangan untuk
Sunan Kudus dan kerena kemenangan tersebut akhirnya semua
hasil bumi dari Kedu akan mensejahterakan Kudus. Atas dasar
cerita tersebut banyak orang Kudus Kulon yang termotivasi untuk
berwiraswasta dengan memanfaatkan hasil dari Kedu yang berupa
tembakau untuk dijadikan rokok, karena alasan itu pula industri
rokok sangat maju.
Lebih lanjut Noor Hidayat menjelaskan :
119
Cerita-cerita yang saya dapat dari orang tua saya dulu juga saya
ceritakan kepada anak-anak serta siswa. Polanya hampir sama, dulu
saya mendapat cerita saat keluarga sedang kumpul untuk makan
malam, sekarangpun ketika sedang kumpul makan malam dengan
anak-anak saya gunakan untuk menasehati dan kadang dengan
bercerita tentang Sunan Kudus. Ketika mengajar di kelas juga
sering saya menceritakan kepada siswa tentang penyebaran Islam
yang dilakukan para Wali, terutama Sunan Kudus dan Sunan
Muria.
Rofiqul Hidayat (wawancara, 06-04-2010) (47 th) kepala desa
Kauman bercerita tentang kehidupan di Kudus Kulon yang agak berbeda
jika bandingkan dengan daerah lain, terutama di Kauman. Wilayah
Kauman sendiri cukup unik karena luas wilayah yang sangat sempit,
hanya terdiri dari satu RW dan tiga RT namun bisa menjadi desa sendiri
karena bersifat seperti daerah “perdikan”. Alasanya adalah dulu wilayah
tersebut merupakan tempat para murid atau santri dari Sunan Kudus
tinggal. Lebih jelas pak Rofiqul menjelaskan sebagai berikut:
Setiap daerah dikawasan menara ini (Kudus Kulon) memiliki cerita
sendiri-sendiri, termasuk di Kauman ini. Meskipun wilayah
Kauman ini sempit karena hanya terdiri dari satu RW dan tiga RT
namun karena dulunya banyak santri dari Sunan Kudus yang
tinggal disini kemudian melanjutkan tugas untuk menyebarkan
agama Islam setelah Sunan meninggal maka daerah ini mendapat
keistimewaan untuk berdiri sendiri menjadi kelurahan.
Terkait dengan kehidupan di Kauman Rofiqul menjelaskan sebagai
berikut :
Sebagai warga yang tinggal di Kudus Kulon, terutama di Kauman
ini kami merasa memiliki tanggung jawab yang besar untuk terus
menjaga dan melestarikan warisan dari Sunan Kudus. Karena itu,
sejak kecil anak-anak dilingkungan ini dibiasakan untuk terus
mengaji, baik mengaji kitab maupun kepada Kyai serta ziarah
makam Sunan Kudus. Selain itu, kami harus berterima kasih
dengan Sunan Kudus karena menjadikan kami seperti ini. Berkat
120
Sunan Kudus sekarang kami bisa mendapat rizki, bahkan setelah
beliau wafat.
Rofiqul juga menceritakan tentang masa kecil beliau kemudian
membandingkan dengan masa sekarang ini.
Dulu kami anak-anak yang tinggal kompleks menara selalu ngaji
kepada kyai. Selain dapat ilmu agama kami juga mendapat
pelajaran hidup yang bersumber dari ajaran-ajaran Sunan Kudus.
Ajaran-ajaran tersebut seperti toleransi kepada orang yang tidak
sama dengan kita, tidak boleh sombong, berusaha keras dalam
bekerja namun tidak boleh melupakan agama, serta menghormati
para pendahulu yang sudah berjuang atas nama agama.
Sekarang ini keadaan jauh lebih mudah dan modern namun tradisi
ngaji masih ada sampai sekarang. Anak-anak sekarang punya
banyak pilihan untuk mondok atau ngaji di masjid.
Zainuri (wawancara, 05-03-2010) yang juga menjadi anggota yayasan
pengurus menara membenarkan pernyataan Rofiqul. Aspek yang utama
bagi orang Kudus adalah bisa ngaji karena itu mondok pada kyai adalah
wajib hukumnya, meskipun tidak tertulis. Dengan ngaji anak-anak tidak
hanya mengerti agama, tetapi juga mengerti norma dan aturan yang
berlaku di masyarakat.
Noor Hidayat dan Sofwan juga memberikan
penyataan yang sama. Lebih lanjut tentang Kudus Kulon Zaenuri
menceritakan bahwa :
Kudus Kulon memiliki norma, adat, aturan, serta nilai-nilai khas
yang dipegang teguh oleh masyarakat dan berbeda dengan
masyarakat lainya. Contohnya adalah sikap sopan dan menghargai
orang tua, terutama para Kyai/guru ngaji. Bahkan pernah pada awal
tahun 1990-an, masyarakat Kudus Kulon lebih percaya kepada kyai
daripada pemerintah dalam hal menentukan awal puasa. Saya juga
masih ingat waktu saya kecil, hampir tiap sore bersama dengan
teman-teman saya ngaji ke rumah Kyai. Kemudian setiap malam
jumat biasanya bermalam di makam Sunan Kudus untuk berdoa.
Sampai sekarang hal tersebut masih dilakukan oleh warga,
meskipun bentuknya tidak sama persis namun intinya sama yakni
memegang teguh ajaran agama Islam, terutama yang disampaikan
121
melalui Sunan Kudus. Sedikit banyak sekolah ini juga terpengaruh
oleh nilai-nilai tersebut kerena banyak siswa dan guru dari Kudus
Kulon yang ada di sekolah ini, kerena nilai itu melekat pada diri
maka dalam keseharian mengaplikasikan nilai tersebut di sekolah
Jaelani, orang tua dari Krisna Anjarwan siswa SMA N 2 Kudus
yang berprofesi sebagai wiraswasta (wawancara, 09-04-2010) bercerita
bahwa dahulu ketika beliau masih kecil sehari-hari dihabiskan berada di
kompleks masjid Sunan Muria. Disana beliau belajar ngaji agama
sekaligus spiritual kepada Kyai dan salah satu amalan yang harus
dilakukan adalah melakukan wirid di Makam Sunan tiap malam jumat dan
sampai sekarang amalan tersebut masih dilakukan meskipun tidak serutin
dahulu. Jaelani juga menjelaskan bahwa kegiatan ngaji yang dilakukan
bukan hanya karena dorongan dari orang tuanya tetapi juga kerena faktor
lingkungan dimana hampir semua anak-anak pada waktu itu pasti ngaji di
masjid Sunan Kudus. Ketika ditanya mengenai bagaimana dengan
anaknya sekarang (Krisna Anjarwan), Jaelani menjelaskan bahwa
sekarang dia membebaskan anaknya untuk memilih menurut keinginan sianak. Kebebasan tersebut dilakukan karena melihat perkembangan jaman
yang sudah pesat dan tidak sama dengan dahulu ketika dia masih kecil,
tetapi meskipun demikian bekal agama adalah hal wajib yang harus
dimiliki. Krisna Anjarwan dalam kesempatan itu juga menjalaskan bahwa
dia bersama dengan teman-temannya juga sering mele’an di Makan Sunan
Kudus untuk sekadar berdoa membaca yasin dan tahlil. Lebih lanjut
Krisna bercerita bahwa orang tuanya tidak mengekang dia, buktinya
sekarang dia memilih melanjutkan sekolah di sekolah umum (SMA),
122
berbeda dengan beberapa temannya yang disuruh oleh orang tua mereka
untuk melanjutkan sekolah ke Madrasah Aliyah (MA). Meskipun
mendapat sedikit kebebasan, tetapi kontrol dari orang tua tetap
dilaksanakan. Kontrol tersebut biasanya berbentuk nasehat-nasehat yang
sering diberikan oleh orang tua kepada Krisna. Kesempatan ketika makan
makan malam adalah waktu yang sering digunakan untuk “mengobrol”
dalam keluarga. Interaksi yang terjalin ketika bersama itulah moment yang
sering dijadikan sebagai media tranfer nilai dalam keluarga.
Dudi Widodo orang tua dari Asharudin Wahyu Yudanto siswa
SMA N 2 Kudus yang berprofesi sebagai pengusaha (wawancara, 10-042010) adalah gambaran ideal warga Kudus Kulon. Secara sekilas
rumahnya nampak biasa saja jika dilihat dari luar, yakni bangunan rumah
yang bertembok tebal dan benteng tinggi, namun setelah masuk ke dalam
dapat disaksikan bahwa ternyata terdapat empat bangunan rumah, dua
rumah kuno dan dua lagi lebih modern. Rumah model keluarga Dudi
Widodo inilah yang khas Kudus Kulon, terlihat sederhana dari luar tetapi
terkesan mewah jika di lihat dari dalam.
Dudi Widodo menjelaskan bahwa sewaktu kecil dia aktif untuk
selalu bertanya kepada orang tua, kakeknya serta tokoh masyarakat
mengenai sejarah di Kudus Kulon sehingga dia bisa tahu banyak tentang
Kudus Kulon, salah satunya adalah tentang klenteng yang ada di depan
masjid. Konon, letak klenteng tersebut berada tepat di depan masjid,
namun pernah ada satu kejadian yakni pernah suatu ketika orang-orang
123
Cina mengadakan perayaan keagamaan. Perayaan keagamaan tersebut
disertai arak-arakan massa yang memakai atribut muslim (seperti pakaian
arab), hal tersebut memancing amarah warga karena dianggap sebagai
penghiaan. Akhirnya kerusuhan antar warga Kudus Kulon dengan orang
Cina terjadi, dalam kerusuhan tersebut orang Cina kalah jumlah sehingga
bersedia mengalah. Konsekuensi dari kekalahan tersebut adalah dengan
memindahkan letak klenteng yang semula tepat di depan masjid di geser
ke arah timur sejauh kurang lebih 50 meter. Dudi Widodo mengatakan
bahwa tindakan yang dilakukan pada waktu itu merupakan wujud dari
toleransi beragama yang di wariskan oleh Sunan Kudus, meskipun warga
sudah mengalahkan orang Cina, namun tetap memperbolehkan mereka
tinggal di wilayah tersebut. Cerita lain yang disampaikan oleh Dudi adalah
mengenai rajah Kolocokro yang di buat khusus oleh Sunan Kudus untuk
membantu
murid
kesayanganya
yakni
Aryo
Penangsang
dalam
menghadapi Pangeran Hadirin dari Jepara. Diceritakan bahwa dalam
pertarungan tersebut Pangeran Hadirin kalah, dengan luka parah dia
mencoba untuk kembali ke Jepara. Pada suatu tempat banyak darah
Pangaran Hadirin yang tercecer hingga menggenang, daerah tersebut
kemudian di namakan Jember (dari kata nyumber), semakin berjalan ke
Barat Pangerah Hadirin berjalan dengan merambat hingga kawasan setelah
Jember ke Barat di namakan Prambatan. Akhirnya Pangeran Hadirin
meninggal dunia, kemudian istrinya Pangerah Hadirin yakni Ratu
Kalinyamat berniat membalas dendam, namun karena merasa kalah ilmu
124
akhirnya Ratu Kalinyamat bertapa di sebelah Timur Langgardalem,
sampai sekarang petilasan pertapaan tersebut masih ada. Dari kisah
tersebut kemudian muncul kepercayaan yang konon berasal dari perkataan
Sunan Kudus bahwa perempuan Kudus Kulon pantang menikah dengan
laki-laki dari Jepara, jika hal tersebut tetap dilaksanakan maka perempuan
tersebut akan kalah awu.
Dudi Widodo berpendapat bahwa sekarang ini kawasan Kudus
Kulon sudah banyak berubah, “nuansanya sudah tidak kental lagi”. Hal
tersebut terlihat dari generasi muda yang cenderung pasif untuk
mempelajari cerita-cerita rakyat, mereka hanya menunggu untuk diceritani
tanpa ada inisiatif bertanya seperti ketika beliau masih kecil dulu. Lebih
spesifik Dudi mencontohkan anaknya sendiri yakni Asharudin Wahyu
Yudanto yang menurutnya jarang bertanya mengenai sejarah yang ada di
sekitar lingungan tempat tinggal, namun meskipun demikian tiap ada
kesempatan berkumpul selalu disempatkan untuk bercerita mengenai
sejarah lokal. Dudi berpendapat bahwa perkembangan teknologi
memperngaruhi perubahan tersebut, misalnya adalah ketika ada waktu
luang, anak sekarang lebih sering menggunakan waktu tersebut untuk
bermain Play Station (PS), internetan, atau main motor (berkeliling),
bahkan pacaran, berbeda dengan waktu dulu dimana hampir tidak ada
waktu untuk bermain. Sepanjang hari bisa digunakan untuk belajar ngaji,
kalaupun ada waktu luang pasti digunakan untuk membantu orang tua
dalam bekerja. Membantu orang tua bekerja juga merupakan bekal penting
125
bagi si anak kelak. Pernyataan Dudi Widodo tersebut sempat mendapat
bantahan dari Asharudin Wahyu Yudanto karena merasa yang dicontohkan
tersebut adalah dirinya. Asharudin mengatakan bahwa selama ini dia dan
teman-temannya lebih banyak menghabiskan waktu luang di Masjid dan
ziarah makam Sunan Kudus. Sempat terjadi debat kecil antara ayah dan
anak, namun cepat terselesaikan. Lebih lanjut Asharudin Wahyu Yudanto
mengatakan bahwa selain dari orang tuanya, dia juga banyak mengetahui
cerita rakyat dari lingkungan dan teman-temanya, contohnya adalah cerita
tentang sumur puter di Langgardalem dan cerita tentang air kehidupan di
bawah menara masjid Sunan Kudus.
Terkait dengan sosok Sunan Kudus, Dudi widodo (wawancara, 1004-2010) menjelaskan bahwa semangat terbesar yang diwariskan adalah
semangat untuk bekerja keras. Seperti yang sudah diketahui bahwa selain
sebagai pendakwah, Sunan Kudus juga merupakan saudagar yang ulung.
Dengan bekerja keras maka akan banyak harta yang terkumpul, harta
tersebut bisa dijadikan sebagai media untuk mengumpulkan pahala,
misalnya dengan beramal dan berangkat haji. Salah satu cerita rakyat yang
masih dipercaya oleh masyarakat Kudus Kulon adalah cerita tentang
Gunung Pati Ayam, dimana dalam cerita tersebut Sunan Kudus beradu
kesaktian dengan Sunan Kedu. Dalam pertarungan tersebut Sunan Kedu
kalah hingga akhirnya semua sumber daya yang ada di kawasan Kedu
akan mensejahterakan orang Kudus. Kepercayaan Dudi Widodo terhadap
cerita itu membuat dia menjadi pengusaha rokok rumahan.
126
Muhammad Nasrudin, ayah dari Norma Fajria Nida siswi MA NU
Banat (wawancara, 11-04-2010) mengatakan bahwa sebenarnya warga
Kudus Kulon adalah orang-orang yang taat. Ketaatan tersebut bukan hanya
sebatas menjalankan ibadah ritual saja, seperti sholat dan ngaji, tetapi juga
taat kepada orang tua serta leluhur karena hal itu juga merupakan bagian
dari ajaran agama. Ketaatan tersebut yang membuat orang Kudus Kulon
bisa menjaga dan melestarikan tradisinya. M. Nasrudin mencontohkan
ketaatan tersebut sebagai berikut :
ketika acara buka luhur, semua warga Kudus Kulon pasti terlibat.
Orang yang kaya akan menyumbang harta, sedangkan warga yang
tidak punya akan menyumbangkan tenaga mereka. Bayangkan
saja, materi yang keluar untuk kegiatan ini tentunya tidak sedikit
karena untuk sekali penyelenggaraan saja minimal ada 10 ekor
kerbau dan puluhan kuintal beras dan itu semua terkumpul dari
iuran warga secara suka rela. Semangat dan motivasi kami adalah
untuk mengucap rasa syukur kepada Tuhan atas nikmat dan
karunia serta sebagai ucapan terimakasih kepada Sunan Kudus
karena beliau telah memberikan berkah kepada semua warga.
Lebih lanjut M. Nasrudin menjelaskan bahwa dalam kegiatan
seperti itulah keakraban antar warga terjadi karena di hari-hari biasa,
semua warga sibuk untuk bekerja. Kondisi lingkungan mendorong orang
Kudus Kulon untuk cenderung tertutup, setiap hari mereka kerja setelah
sore pulang untuk istirahat. Bentuk rumah yang seperti benteng membuat
interaksi antar warga sangat jarang terjadi. Norma Fajria Nida
(wawancara, 30-03-2010) mengakui bahwa lingkungan tempat tinggal dia
memang tertutup, dia bahkan tidak hafal dengan tetangganya, hanya
sebatas tahu saja. Aturan yang diterapkan juga sangat ketat, terutama
untuk anak perempuan seperti Norma. Aturan tersebut seperti tidak boleh
127
keluar sendirian pada malam hari, tidak boleh ada teman laki-laki yang
main ke rumah, serta harus selalu memakai jilbab jika keluar rumah. Oleh
karena itu, dalam moment buka luhur nilai yang menonjol dari acara
adalah nilai kebersamaan dan gotong royong, dimana sosok penokohan
Sunan Kudus menjadi simbol pemersatu. Selain memberikan nilai
kebersamaan dan gotong royong, acara buka luhur juga bisa menjadi
media untuk anak-anak Kudus Kulon mengenal tradisi kerena mereka juga
ikut terlibat didalamnya.
Cerita rakyat yang berkembang di Kudus Kulon sebagian besar
berisikan aturan yang dibuat oleh Sunan Kudus. Aturan tersebut
ditularankan dari satu generasi kepada generasi berikutnya melalui cerita
rakyat. Melalui cerita tersebut biasanya terdapat kesimpulan akhir
mengenai sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para pengikut
Sunan Kudus. Yang menjadikanya unik dan menarik adalah setiap aturan
tersebut selalu dikisahkan melalui sebuah kejadian atau peristiwa dimana
sosok Sunan Kudus selalu terlibat didalamnya. Mulai dari kisah sapi
pendamai, cerita mata air kehidupan, cerita tentang Saridin, cerita tentang
Gunungpatiayam, serta cerita tentang rajah Kolocokro.
Warga di Kudus Kulon merasa memiliki tanggung jawab sebagai
kelompok masyarakat yang identik dengan Sunan Kudus. Tanggungjawab
inilah yang menjadi faktor serta motivasi mereka dalam menjalankan harihari mereka. Warga juga masih percaya dengan karomah Sunan Kudus
yang mensejahterakan masyarakat yang tinggal di sekitar kompleks
128
makam, dengan keberadaan menara, masjid, dan makam tersebut banyak
warga yang bisa berdagang, banyak tukang becak, serta banyak usaha
yang dilakukan warga karena banyak orang yang berkunjung untuk
berziarah. Karena itulah, warga tidak ada yang berani melanggar semua
aturan yang pernah di buat oleh Sunan Kudus, meskipun dalam
kenyataannya aturan tersebut tidak pernah dibuat secara tertulis.
c. Kesinambungan Pendidikan Sejarah Jalur Formal dan Informal
Dalam Rangka Pewarisan Nilai Sejarah Lokal.
Kudus Kulon merupakan sebuah komunitas masyarakat yang
terbangun atas konstruksi sejarah yang berpatron pada sosok Sunan Kudus
telah berhasil mempertahankan identisanya sampai sekarang. Sebagai
pusat penyebaran agama Islam pada jaman Wali Songo, Kudus Kulon
masih memiliki citra sebagai pusat pendidikan Islam sampai sekarang,
sehingga di kawasan Kudus Kulon terdapat banyak lembaga pendidikan
baik negeri maupun swasta. Keberadaan lembaga pendidikan tersebut
tentu saja menperkuat citra yang sudah ada sebelumnya.
Terkait dengan pewarisan nilai, masyarakat Kudus Kulon dalam
keseharianya hidup dalam tata aturan nilai yang berbeda dengan
komunitas masyarakat lainya. Perbedaan tersebut terlihat dari sudut
pandang tentang gaya hidup yang dipengaruhi oleh jiwa dagang yang di
peroleh dari Sunan Kudus. Jiwa tersebut membuat orang Kudus Kulon
terkenal sangat perhitungan dalam hal materi, namun tidak dalam urusan
129
keagamaan. Perbedaan tersebut mengakibatkan banyak pandangan negatif
yang muncul dari golongan masyarakat di luar Kudus Kulon. Seperti
contohnya adalah kebisaaan dalam menyediakan hidangan kepada para
tamu. Ketika kedatangan tamu orang-orang Kudus Kulon pasti
menyuguhkan hidangan dalam toples kecil, dengan leher toples yang
sempit hingga hanya jari saja yang bisa masuk untuk mengambil makanan
yang disuguhkan. Begitu pula dengan gelas minum yang kecil pula. Orang
di luar komunitas Kudus Kulon beranggapan bahwa mereka itu kaya tetapi
pelit. Padahal sesungguhnya tidak demikian, menurut orang Kudus Kulon
ada nilai yang hendak disampaikan dan dipertahankan dengan melakukan
hal seperti itu. Menurut mereka alasan kenapa demikian adalah
mengajarkan agar orang itu jangan rakus dengan mengambil secukupnya
saja, serta ajaran bahwa kalau bertamu ke rumah orang minumanya harus
dihabiskan, jika diberikan gelas besar belum tentu habis malahan akan
membuat mubazir dan hal itu bertentangan dengan ajaran agama. Contoh
lainya adalah larangan menyembelih lembu, tidak boleh membuat
bangunan bertingkat yang melebihi tinggi menara, dan ada beberapa
kelompok masyarakat yang masih tidak boleh menggunakan kursi.
Salah satu cara yang bisa digunakan untuk memahami keadaan
masyarakat Kudus Kulon tersebut adalah melalui jalur pendidikan formal.
Pada jenjang pendidikan formal, siswa bisa dikondisikan untuk menerima
pemahaman nilai dari masyarakat, seperti yang di lakukan di MA NU
Banat. Pewarisan nilai yang dilakukan di MA NU Banat memang
130
bersumber dari nilai-nilai dari masyarakat Kudus Kulon, namun tidak
semua nilai diajarkan, sekolah memiliki seleksi tersendiri. Seperti apa
yang disampaikan oleh M. Said (wawancara 10-03-2010) kepala sekolah
MA NU Banat bahwa nilai-nilai yang ditamankan hanya yang positif saja,
seperti ketaatan beribadah, hormat pada orang tua, serta melestarikan
tradisi, hal-hal negatif yang lebih bersifat mitos seperti perempuan Kudus
yang tidak boleh menikah dengan laki-laki Jepara dan tidak boleh
menanam tamanam yang merambat tentunya tidak diajarkan.
Pewarisan nilai yang dilakukan oleh sekolah juga memiliki
beberapa kendala, misalnya adalah keterbatasan waktu serta orientasi yang
hendak dicapai oleh sekolah. Tujuan utama siswa belajar di sekolah
tentunya adalah untuk belajar ilmu pasti, penanaman nilai merupakan
pelengkap. Seperti yang disampaikan oleh Jaelani (wawancara 09-042010)
orang tua dari Krisna Anjarwan bahwa alasan kenapa dia
menyekolahkan anaknya di sekolah umum adalah agar memperoleh
pengetahuan umum sebagai bekal untuk memperoleh kerja. Permasalahan
nilai, norma, dan perilaku anak menurut Jaelani adalah tugas utama orang
tua, oleh karena itu dia selalu memperhatikan perilaku Krisna dan jika ada
perilaku yang dianggap salah maka dengan segera orang tua akan
menasehatinya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Noor Hidayat
(Wawancara, 20-03-2010) terhadap anak-anaknya. Menurut Noor, prinsip
utama orang tua di Kudus Kulon adalah memberikan bekal agama yang
131
cukup untuk anaknya karena dengan bekal agama tersebut anak akan
mengerti dengan sendiri mana yang baik dan mana yang tidak baik.
Masyarakat di Kudus Kulon meyakini bahwa penanaman nilai
yang utama adalah di dalam keluarga, namun narasumber seperti Jaelani,
Noor Hidayat, Dudi Widodo, dan Muhammad Nasrudin tidak menafikan
fungsi sekolah sebagai tempat sehari-hari siswa belajar. Di sekolah siswa
bebas berinteraksi dengan siapa saja serta untuk sementara lepas dari
perhatian orang tua, dalam interaksi tersebut orang tua kadang khawatir
jika anaknya akan terlibat dalam pergaulan yang negative. Oleh karena itu,
orang tua juga sangat berharap pihak sekolah juga memberikan perhatian
serta bisa menanamkan nilai-nilai yang positif, terutama nilai yang ada
dalam masyarakat dimana sekolah itu ada.
Kesinambungan pendidikan formal dan informal dalam pewarisan
serta
penanaman
nilai
kepada
siswa
terjadi
di
Kudus
Kulon.
Kesinambungan tersebut terjadi karena kedua belah pihak yakni sekolah
dan masyarakat memiliki persepsi yang sama tentang pentingnya
penanaman nilai kepada siswa. Masing-masing lembaga, baik sekolah
(formal) dan masyarakat (Informal) memiliki kelebihan dan kekurangan
dalam proses pewarisan nilai. Kelebihan yang dimiliki pendidikan formal
adalah siswa bisa dikondisikan melalui peraturan serta tuntutan dalam
menyelesaikan tugas, namun memiliki kelemahan yakni keterbatasan
waktu, bersifat mekanis serta tidak semua sekolah memiliki nilai tersendiri
terutama sekolah umum. Kekurangan yang ada pada jenjang pendidikan
132
formal tersebut bisa ditutupi pada pendidikan informal, dalam pendidikan
informal intensitas waktu relatif banyak, terutama pada sore dan malam
hari yang merupakan waktu berkumpul kelarga. Pendidikan informal juga
bisa dilakukan dalam masyarakat. Contohnya di Kudus Kulon ketika
masyarakat mengadakan acara ritual keagamaan buka luhur, semua warga
masyarakat terlibat aktif termasuk anak-anak, dalam proses itulah terjadi
pewarisan nilai dari generasi ke generasi. Pendidikan informal juga
memiliki kelemahan, yakni dengan semakin berkembanganya jaman
membuat ekspetasi orang tua sangat tinggi terhadap sekolah dengan
harapan kelak anaknya akan memperoleh pekerjaan yang layak. Ekspetasi
masyarakat tersebut bisa dijawab oleh pihak sekolah dengan menyediakan
kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Posisi pendidikan formal dan informal yang saling melengkapi satu
sama lain serta bisa saling menguatkan tersebut akan membuat proses
pewarisan nilai bisa maksimal. Seperti proses yang terjadi di Kudus Kulon
dimana terjadi kesinambungan antara pendidikan formal dan informal
terkait dengan pewarisan nilai membuat internalisasi nilai kepada siswa
sangat kuat. Dengan demikian, maka siswa sebagai generasi penerus
masyarakat akan siap menggantikan posisi sebagai penerus kebudayaan
masyarakat.
133
B. Pokok-Pokok Temuan
1. Pewarisan nilai sejarah lokal melalui pembelajaran sejarah jalur formal
pada siswa SMA di Kudus Kulon
Pembelajaran sejarah lokal yang dilakukan pada jalur formal tampak
dari pembelajaran di sekolah. Terkait dengan pewarisan nilai yang terkandung
dalam sejarah lokal, pihak sekolah melalui pelajaran sejarah telah melakukan
hal yang optimal. Bentuk optimalisasi tersebut terlihat dari upaya guru sejarah
dalam memanfaatkan sejarah lokal yang ada di Kudus Kulon, mulai dari
benda-benda peninggalan sejarah seperti manara, masjid, dan makam Sunan
Kudus, hingga cerita rakyat yang berkembang di masyarakat pada materi
pelajaran. Hal tersebut bisa dilakukan karena dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) pelajaran sejarah yang dalam beberapa Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) terdapat materi yang bisa di
hubungkan dengan sejarah lokal di Kudus Kulon. Meskipun demikian, posisi
pelajaran sejarah yang sering di nomerduakan karena sering tergeser oleh
pelajaran UAN membuat guru-guru kesulitan untuk memasukan lebih banyak
sejarah lokal dan nilai-nilai yang ada karena mereka sudah terbebani dengan
banyaknya materi serta harus melakukan evalusi secara berkala. Untuk
menyiasati keterbatasan waktu dan banyaknya materi guru sering memberikan
penugasan untuk mengidentifikasi sejarah lokal yang ada di lingkungan siswa.
Hal-hal yang dilakukan guru tersebut bisa dipandang sebagai usaha yang
optimal meskipun hasil yang didapat belum maksimal karena siswa
134
beranggapan bahwa tugas yang dibuat hanya sekadar menggugurkan
kewajiban dan mendapatkan nilai bagus dari guru, untuk masalah pewarisan
nilai keluarga tetap utama.
2.
Pewarisan nilai sejarah lokal melalui pembelajaran sejarah jalur
informal pada siswa SMA di Kudus Kulon
Pewarisan sejarah lokal tidak hanya dilakukan pada jalur formal, tetapi
juga melalui jalur informal yakni pewarisan nilai yang terjadi di lingkungan
keluarga dan masyarakat. Pembelajaran sejarah jalur informal menempatkan
sejarah bukan sebagai ilmu, tetapi sejarah sebagai cerita. Pewarisan melalui
jalur informal dilakukan dengan pemanfaatan folklore yang berkembang di
masyarakat. Di Kudus Kulon folklore yang sangat dominan adalah folklore
tentang sapi pendamai yang mengajarkan toleransi, folklore tentang cerita
Saridin yang mengajarkan tentang thorekot, dan folklore tentang Gunung Pati
Ayam yang mengajarkan tentang semangat hidup dalam berwiraswasta.
Pewarisan nilai melalui jalur informal terjadi sejak proses interaksi pertama
dalam keluarga. Sarana yang biasa digunakan adalah ketika semua anggota
keluarga sedang berkumpul. Dalam perkembangannya masyarakat juga
berperan aktif dalam pewarisan nilai ketika seorang anak yang beranjak
dewasa mulai terlibat dalam acara-acara tradisi seperti dan-dangan dan buka
luhur. Pewarisan nilai melalui jalur informal yang dilakukan oleh keluarga dan
masyarakat di Kudus Kulon berfungsi untuk melestarikan budaya dan tradisi
yang sudah ada sebelumnya, namun semakin lama eskpetasi warga mulai
135
berubah dari yang semula mementingkan nilai (value) berubah jadi lebih
mementingkan intelektual. Harapan dari orang tua tersebut adalah agar
anaknya kelak bisa mendapat pekerjaan yang layak.
3. Kesinambungan antara pendidikan sejarah jalur formal dan informal
dalam proses pewarisan nilai sejarah lokal kepada siswa SMA di Kudus
Kulon
Pewarisan nilai pada jalur formal dan informal mengarah pada satu
tujuan yakni adanya intrenalisasi nilai dan norma di kalangan peserta didik.
untuk mencapai hasil internalisasi nilai yang maksimal maka diperlukan
kesinambungan antara pendidikan formal dan informal karena dalam
kesehariannya siswa hidup dalam dua lembaga pendidikan tersebut.
Kesinambungan pendidikan formal dan informal terkait dengan proses
internalisasi terjadi Karena posisi yang bisa saling melengkapi. Kelemahan
yang ditemukan dalam proses pendidikan formal yakni waktu yang terbatas
serta tuntutan materi pelajaran yang lain dan nilai (value) apa sesuai untuk
siswa bisa ditutupi dalam pendidikan informal karena dalam pendidikan jalur
informal prosesnya terjadi di keluarga dan masyarakat. Begitu pula
sebaliknya, lembaga pendidikan formal bisa menjawab ekspektasi masyarakat
yang tinggi terhadap masa depan anaknya kelak yakni dengan adanya
perangkat kurikulum dengan tujuan serta rambu-rambu yang jelas.
136
C. Pembahasan
Cerita rakyat yang berkembang di kawasan Kudus Kulon sudah menjadi
bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam tradisi masyarakat. Keberadaannya
mampu menjadi pengikat keutuhan serta mempertahankan adat-istiadat warisan
dari para pendahulu. Hal tersebut bisa terlihat dari masih dilestarikanya nilai-nilai
yang sudah lama menjadi pegangan masyarakat. Nilai-nilai tersebut tersampaikan
dengan baik melalui cerita rakyat, jadi ada hubungan yang erat antara cerita rakyat
yang berkembang di masyarakat dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
Masyarakat Kudus Kulon adalah masyarakat yang sangat menghargai
perbedaan serta toleransi beragama yang tinggi. Sikap toleran tersebut terlihat
dengan adanya beberapa komunitas masyarakat yang ada di Kudus Kulon seperti
komunitas warga NU yang dominan, komunitas warga Muhammadiyah, dan
warga keturunan Cina (etnis) yang bisa hidup berdampingan. Hampir tidak ada
konflik yang berlatar belakang agama murni di Kudus, kalaupun ada kerusuhan
biasanya dilatarbelakangi masalah etnis serta perekonomian. Penanaman sikap
atau nilai toleransi beragama tersebut bisa di dapat dari cerita rakyat seperti cerita
tentang sapi pendamai. Cerita tentang sapi pendamai tidak secara langsung
menggambarkan perintah agar menjadi toleran, tetapi Sunan Kudus menggunakan
simbol yang berupa sapi betina (lembu). Sapi betina atau lembu merupakan
binatang suci agama Hindu yang merupakan agama masyarakat di Kudus sebelum
masuknya Islam. Pada cerita sapi pendamai dikisahkan bahwa Sunan Kudus dan
santrinya terselamatkan dari kehausan karena adanya sapi betina, sejak saat itu
Sunan Kudus melarang santri dan pengikutnya untuk menyembelih sapi sebagai
137
ungkapan rasa terimakasih. Larangan menyembelih sapi tersebut membuat orang
yang beragama Hindu jadi tertarik dengan Islam dan pada akhirnya banyak yang
beralih.
Selain mengadung nilai toleransi beragama, cerita tentang sapi pendamai
tersebut sekarang ini dimaknai sebagai ajaran atau perintah agar sebagai orang
Islam harus menggunakan cara-cara yang lembut dan halus untuk mengamalkan
dan menyebarkan syariat Islam. Nilai tentang cara kelembutan dalam berdakwah
menjadi hal utama dalam penyebaran Islam di tanah Jawa yang dilakukan oleh
Wali Songo. Dengan memegang nilai tersebut membuat kondisi lingkungan sosial
di Kudus Kulon sangat kondusif, karena dalam beribadah dan berdakwah orang
Kudus Kulon selalu berpegang teguh pada toleransi dan cara-cara yang lembut.
Cerita lain yang sangat populer di kawasan Kudus Kulon adalah cerita
tentang Gunung Pati Ayam. Cerita ini sangat populer karena kandungan nilai yang
bisa digali dari kisah ini beragam dan menjadi motivasi hidup oleh warga.
Dikisahkan bahwa suatu ketika ada semua wali dan Sunan di Pulau Jawa
berkumpul di Kerajaan Demak untuk melakukan do‟a dan selamatan bersama.
Dari kisah awal ini dapat diketahui bahwa do‟a bersama dan selamatan merupakan
tradisi yang sudah dilakukan sejak jaman para wali, dan ketika sampai sekarang
warga Kudus Kulon masih melakukan kegiatan tersebut, berarti tradisi tersebut
dilestarikan dengan baik. Nilai pertama yang bisa diambil dari kisah Gunung Pati
Ayam ini adalah nilai untuk meneruskan tradisi leluhur. Kisah selanjutnya adalah
setelah selesai do‟a dan selamatan kemudian ada jamuan makan bersama, setelah
itu setiap tamu undangan mendapatkan bungkusan (berkat/besek) untuk dibawa
138
pulang. Sebelum pulang, Sunan Kudus mengumpulkan nasi yang tercecer dari
tempayan ketika makan bersama. Sunan Kudus yakin dan percaya doa wali
tersebut sangat mustajabah, termasuk nasi yang tercecer tersebut dianggap berkah
karena telah di dioakan. Nilai yang diambil dari kisah ini adalah sifat gemi dan
setiti (hati-hati dan teliti) terhadap semua hal, meskipun hal tersebut merupakan
hal yang kecil (dilambangkan dengan nasi sisa). Nilai tersebut terinternalisasi
dengan baik oleh warga Kudus Kulon sehingga banyak pengusaha yang sukses
kerena memiliki sifat gemi dan setiti tersebut. Sifat gemi dan setiti tersebut kadang
disalah artikan oleh orang di luar komunitas yang menganggap hal tersebut
sebagai sifat pelit dan perhitungan. Selain nilai gemi dan setiti, penggalan kisah
tersebut juga mengandung nilai bahwa segala usaha harus disertai dengan doa,
dan doa dari wali atau orang yang ahli agama akan lebih berkah. Nilai tersebut
juga terinternalisasi dengan baik di Kudus Kulon. Indikasinya adalah makam
Sunan Kudus yang selalu ramai didatangi oleh perziarah yang berdoa agar diberi
keselamatan, kesehatan serta berdoa agar segala usaha yang dilakukan mendapat
rezeki yang berkah.
Kisah Gunung Pati Ayam berlanjut, setelah melihat apa yang dilakukan oleh
Sunan Kudus, Sunan Ngerang Yuwono (guru Sunan Kudus) merasa iba dan
kasihan, kemudian memberikan jatah bungkusannya kepada Sunan Kudus. Sikap
lain ditunjukkan oleh Sunan Kedu yang merasa risih dengan apa yang dilakukan
oleh Sunan Kudus, dengan nada mengejek dia menyindir Sunan Kudus sebagai
orang kaya yang pelit karena meskipun sudah mendapat jatah masih mengambil
nasi sisa dari tempayan. Mendengar sindiran tersebut Sunan Kudus marah
139
sehingga mengakibatkan pertengkaran antara kedua Sunan, namun pertikaian
tersebut langsung dapat dicegah dan semua pulang ke rumah masing-masing.
Amarah Sunan Kedu masih membara, sehingga pada suatu saat Sunan Kedu
datang ngeluruk ke Kudus. Setelah sampai di Kudus, kedua Sunan beradu
kesaktian dengan mengadu ayam di pegunungan sebelah timur kota Kudus.
Dengan kesaktiannya, Sunan Kedu merubah kayu menjadi ayam jago dengan
tujuan agar menang bertanding ketika melawan ayam jago Sunan Kudus, namun
dengan kesaktiannya pula Sunan Kudus bisa melihat bahwa ayam jago Sunan
Kedu sejatinya adalah kayu. Untuk melawan ayam Sunan Kedu, Sunan Kudus
mengambil sebuah pethel (seperti kapak kecil) dan merubahnya menjadi ayam
jago. Terjadilah pertarungan antara kedua ayam jelamaan tersebut dan akhirnya
dimenangkan oleh ayam Sunan Kudus. Akhirnya Sunan Kedu mengakui
kekalahannya dan berjanji akan menjadi muridnya. “terserah panjengengan”,
ungkapnya. Kemudian Sunan Kudus bersabda; “bahwa gunung tempat kalahnya
ayam jago Sunan Kedu ini dinamakan Gunung Pati Ayam, dan bahwa suatu saat
di jaman tertentu, seluruh kekayaan daerah Kedu akan di bawa oleh rakyat Kudus
dan menjadikan makmurnya orang Kudus”. Kemudian Sunan Kedu belajar
dengan Sunan Kudus sampai akhir wafatnya. Makam Sunan Kedu terdapat di
wilayah Desa Gribig, sebuah desa yang terletak di sebelah utara kompleks menara
Kudus.
Nilai yang bisa diambil dari penggalan kisah di atas adalah nilia moral yakni
agar tidak menghina atau mengejek orang lain karena belum tentu kita lebih baik
dari orang yang tersebut. Seperti dilakukan oleh Sunan Kedu yang mengejek
140
Sunan Kudus dan pada akhirnya Sunan Kedu yang kalah oleh kesaktian Sunan
Kudus. Meskipun demikian, poin penting dari cerita Gunung Pati Ayam ini adalah
mampu memberikan motivasi, semangat, dan bekal hidup warga Kudus Kulon
untuk berwiraswata. Pernyataan Sunan Kudus menanggapi kekalahan Sunan Kedu
“dan bahwa suatu saat di jaman tertentu, seluruh kekayaan daerah Kedu akan di
bawa oleh rakyat Kudus dan menjadikan makmurnya orang Kudus” menjadi
inspirasi warga Kudus untuk berbisnis di bidang rokok karena bahan dasar rokok
adalah tembakau yang diambil dari daerah Kedu. Selain mengambil tembakau
sebagai bahan dasar rokok, warga Kudus Kulon juga mengambil hasil bumi lain
dari tanah Kedu seperti kapas yang dijadikan sebagai bahan dasar industri tekstil
dan ayam cemani yang banyak digunakan oleh warga untuk ritual-ritual tertentu.
Kepercayaan warga Kudus Kulon terhadap sosok Sunan Kudus dalam cerita
Gunung Pati Ayam telah membawa mereka pada kesejahteraan secara ekonomi.
Cerita rakyat lain yang cukup terkenal di Kudus kulon adalah cerita tentang
Saridin. Dikisahkan bahwa Saridin merupakan murid atau santri baru di
lingkungan perguruan Sunan Kudus, namun meskipun orang baru ternyata Saridin
memiliki kepandaian serta ilmu kasepuhan (kesaktian) yang lebih dari santrisantri lainnya. Suatu ketika sedang diadakan ujian membaca shahadat, dalam
ujian tersebut Saridin melakukan sesuatu yang berbeda yakni dia membaca
shahadat kemudian loncat dari atas pohon kelapa. Ketika ditanya oleh Sunan
Kudus mengapa dia melakukan hal tersebut, Saridin menjawab bahwa shahadat
adalah mempersembahkan seluruh diri kepada Tuhan, jadi ketika seseorang sudah
bershahadat maka tidak ada lagi yang perlu ditakutkan, seluruh hidup dan matinya
141
sudah dipasrahkan kepada Tuhan. Selain kisah shahadat, Saridin juga berulah
dengan mengambil air menggunakan keranjang dan mempertunjukkan buah
kelapa yang ada ikan di dalamnya. Kisah tentang Saridin banyak mengandung
ajaran Islam, terutama tentang tasyawuh atau tentang hakekat dalam ajaran Islam.
Kisah tentang Saridin banyak dipakai oleh para kyai untuk berdakwah, terutama
para kyai dari Kudus Kulon karena dari kisah-kisah tersebut banyak mengandung
ajaran Sunan Kudus.
Cerita tentang sapi pendamai, Gunung Pati Ayam, dan Saridin bisa
dikatakan sebagai inti ajaran nilai yang selama ini dipegang oleh warga Kudus
Kulon. Karakter masyarakat Kudus Kulon yang dinamis, toleran, pekerja keras,
serta taat menjalankan ibadah ter-tranfer dengan baik oleh ketiga kisah tersebut.
Selain sarat akan ajaran serta muatan nilai, cerita rakyat yang ada di Kudus Kulon
juga memiliki beberapa fungsi. Dendy Sugono (2003: 126) menjelaskan bahwa
cerita rakyat memiliki fungsi sebagai berikut mengetahui, (1) asal-usul nenek
moyang, (2) jasa atau teladan kehidupan para pendahulu kita, (3) hubungan
kekerabatan (silsilah), (4) asal mula tempat, (5) adat-istiadat dan (6) sejarah benda
pusaka.
Cerita rakyat di Kudus Kulon yang memiliki fungsi untuk mengetahui asalusul nenek moyang adalah cerita tentang asal-usul nama Kudus. Masyarakat yang
tinggal di lingkungan Kudus Kulon sangat percaya bahwa mereka masih
keturunan dari Sunan Kudus. Cerita rakyat yang memiliki fungsi untuk
mengetahui jasa atau teladan kehidupan para pendahulu adalah cerita tentang
makam Kaliyitno, cerita tentang daun singkokng yang menjadi emas, dan cerita
142
tentang maling Kapa dan Kentiri. Cerita rakyat yang memiliki fungsi hubungan
kekerabatan (silsilah) adalah cerita tentang asal-usul nama Kudus dan cerita
tentang sejarah Sunan Kudus. Cerita rakyat yang memiliki fungsi untuk
mengetahui asal mula seuatu tempat adalah cerita tentang makam Kaliyitno, asalusul desa Sunggingan, cerita tentang asal-usul nama Kudus, cerita asal-usul desa
Nganguk, dan cerita tentang asal-usul desa Padurenan. Cerita rakyat yang
memiliki fungsi untuk mengetahui adat-istiadat adalah cerita tentang asal-usul
tradisi Bulusan, tradisi buka luhur, dan cerita tentang asal-usul tradisi dandangan.
Cerita rakyat yang memiliki fungsi untuk mengetahui sejarah benda-benda pusaka
adalah cerita tentang kursi Sunan Kudus serta cerita tentang gapura kidul menara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam folklore di daerah Kudus Kulon memiliki
relevansi terhadap nilai yang terdapat dalam pendidikan sejarah. Dalam
Permendiknas No 23 tahun 2006 (2006: 524), mata pelajaran Sejarah bertujuan
agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut (1) Membangun
kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan
sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.
Dengan
mempelajari sejarah lokal Kudus Kulon, siswa bisa menyadari bahwa keberadaan
benda-benda bersejarah seperti menara, masjid, dan makam Sunan Kudus yang
sampai sekarang masih terjaga dengan baik merupakan sebuah kesinambungan
dari masa lalu, masa kini, dan pada akhirnya tugas mereka (siswa) yang akan
melanjutkan untuk tahapan masa depan. (2) Melatih daya kritis peserta didik
untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan
ilmiah
dan metodologi keilmuan. Di Kudus Kulon terdapat benda-benda
143
peninggalan sejarah dan Folklore yang hidup dimasyarakat. Terkadang antara
fakta sejarah dan cerita rakyat bercampur jadi satu, oleh karena itu dengan
membahas folklore di dalam kelas maka siswa dapat melatih daya kritisnya untuk
bisa memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan
ilmiah
dan metodologi keilmuan dengan bantuan guru tentunya. (3)
Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan
sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau. Dengan
penjelasan dari guru tentang peninggalan yang ada di Kudus Kulon yang ternyata
memiliki peran yang penting dalam penyebaran Islam di Jawa, maka siswa bisa
ditumbuhkan rasa bangganya terhadap peniggalan sejarah yang ada di daerahnya ,
untuk kemudian akan tumbuh apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap
peninggalan sejarah. (4) Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses
terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses
hingga masa kini dan masa yang akan datang. (5) Menumbuhkan kesadaran
dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa
bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang
kehidupan baik nasional maupun internasional.
Foklor menjadi salah satu bagian yang dapat mentransmisikan kearifan lokal
masyarakat. Kearifan lokal dapat bersumber dari kebudayaan masyarakat dalam
suatu lokalitas tertentu. Dalam perspektif historiografi, kearifan lokal dapat
membentuk suatu sejarah lokal. Sebab kajian sejarah lokal yaitu studi tentang
kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar
(neighborhood) tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek
144
kehidupan (I Gde Wijda, 1988 : 15). Lingkungan sekitar (neighborhood)
merupakan batasan keruangan dalam konteks yang lebih luas, mulai dari
keruangan yang terkecil misalnya keluarga, komunitas tertentu hingga masyarakat
yang lebih luas.
Awal pembentukan kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak
diketahui secara pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya
terbentuknya kearifan lokal mulai sejak masyarakat belum mengenal tulisan (praaksara). Tradisi pra-aksara ini yang kemudian melahirkan tradisi lisan. Secara
historiografi tradisi lisan banyak menjelaskan tentang masa lalu suatu masyarakat
atau asal-usul suatu komunitas atau adanya sesuatu. Dalam perkembangan berikut
tradisi lisan ini dapat menjadi kepercayaan atau keyakinan masyarakat.
Pada Masyarakat yang belum mengenal tulisan terdapat upaya untuk
mengabadikan pengalaman masa lalunya melalui cerita yang disampaikan secara
lisan dan terus menerus diwariskan dari generasi ke genarasi. Pewarisan ini
dilakukan dengan tujuan masyarakat yang menjadi generasi berikutnya memiliki
rasa kepemilikan atau mencintai cerita masa lalunya. Bahkan masa lalunya harus
diyakini sehingga menjadi kepercayaan yang harus dipegang teguh. Masa lalu
merupakan suatu pengajaran yang berharga bagi kehidupannya. Tradisi lisan
merupakan cara mewariskan sejarah pada masyarakat yang belum mengenal
tulisan, dalam bentuk pesan-pesan verbal yang berupa pernyataan-pernyataan
yang pernah dibuat di masa lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi
yang sekarang ini. Ada beberapa hal yang menjadi ciri dari tradisi lisan, yaitu
pertama menyangkut pesan-pesan yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang
145
diucapkan, dinyanyikan atau disampaikan lewat musik. Berbeda halnya dengan
masyarakat yang sudah mengenal tulisan, pesan-pesan itu disampaikan dalam
bentuk teks (tertulis). Kedua tradisi lisan berasal dari generasi sebelum generasi
sekarang, paling sedikit satu generasi sebelumnya. Berbeda halnya dengan sejarah
lisan (oral history), disusun bukan dari generasi sebelumnya tapi disusun oleh
generasi sejaman.Asal tradisi lisan dari generasi sebelumnya karena memiliki
fungsi pewarisan, sedangkan di dalam sejarah lisan tidak ada upaya untuk
pewarisan.
Tradisi lisan biasa dibedakan menjadi beberapa jenis (Jan Vasina, 1985 : 1317). Pertama berupa “petuah-petuah” yang sebenarnya merupakan rumusan
kalimat yang dianggap punya arti khusus bagi kelompok, yang biasanya
dinyatakan berualang-ulang untuk menegaskan satu pandangan kelompok yang
diharapkan jadi pegangan bagi generasi-generasi berikutnya. Rumusan kalimat
atau kata-kata itu biasanya diusahakan untuk tidak dibah-ubah, meskipun dalam
kenyataan perubahan itu biasa saja terjadi terutama sesudah melewati beberapa
generasi, apalagi penerusannya bersifat lisan, jadi sukar dicek dengan rumusan
aslinya. Namun, karena kedudukannya yang sangat istimewa dalam kehidupan
kelompok, maka tetap diyakini bahwa rumusan itu tidak berubah. Bentuk yang
kedua dari tradisi lisan adalah “kisah” tentang kejadian-kejadian di sekitar
kehidupan kelompok, baik sebagai kisah perorangan (personal tradition) atau
sebagai kelompok (group account). Sesusai dengan alam pikiran masyarakat yang
magis religius, maka kisah-kisah ini yang sebenarnya berintikan suatu fakta
tertentu, maka fakta inti ini dengan cepat biasanya diselimuti dengan unsur-unsur
146
kepercayaan, atau terjadi pencampuradukan antara fakta dengan kepercayaan itu.
Cara penyampaian fakta memang seperti menyampaikan gosip (penuh dengan
tambahan-tambahan menurut selera penuturnya), maka disebut pula dengan istilah
“historical gossip” (gossip yang bernilai sejarah). Untuk kisah-kisah perseorangan
atau keluarga ini diulang-ulang atau diingat-ingat dalam beberapa generasi,
sehingga riwayat keluarga ini kemudian biasa menjadi milik kelompok yang
sering
dikeramatkan
bagi
generasi-generasi
berikutnya,
yang
biasanya
diperbaharui (ditambahkan) secara berkesinambungan. Ketiga adalah “cerita
kepahlawanan”, yang berisi bermacam-macam gambaran tentang tindakantindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang
biasanya berpusat pada tokoh-tokoh tertentu (biasanya tokoh-tokoh pimpinan
masyarakat). Beberapa cerita kepahlawanan ini memang ada yang punya dimensi
historis yang patut diperhatikan karena unsur fakta sejarahnya yang masih bisa
ditelusuri, tapi pada umumnya kebanyakan sudah terselimuti dengan unsur-unsur
kepercayaan, sehingga kadang-kadang dianggap lebih bersifat hasil sastra
Keempat yaitu bentuk cerita “dongeng” yang umumnya bersifat fiksi belaka.
Tentu saja unsur faktanya boleh dikatakan tidak ada, dan memang biasanya
terutama
berfungsi
untuk
menyenangkan
(menghibur)
bagi
yang
mendengarkannya, meskipun sering didalamnya terkandung unsur-unsur petuah.
Dalam suatu komunitas masyarakat tertentu biasanya memiliki kebudayaannya
yang bersifat kolektif, dan diwariskan dari generasi ke generasi sehingga
membentuk suatu tradisi. Dalam perspektif akademik kebudayaan tersebut dapat
disebut dengan folklor. Secara keseluruhan folklor dapat didefinisikan yaitu
147
sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun,
di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,
baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau
alat pembantu (James Danandjaya, 1986 : 2).
Hal terpenting yang bisa diambil dari tradisi lisan adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam uraiannya, misalnya dongeng, cerita rakyat, puisi, prosa dan
lain-lain. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa dalam tradisi lisan biasanya
banyak mengandung pesan-pesan moral. Pesan-pesan moral ini lah yang harus
dikembangkan menjadi kearifan lokal. Misalnya ada beberapa daerah yang
memiliki kuburan keramat seorang tokoh dalam masyarakat tersebut. Tokoh
tersebut biasanya ada ceritanya dan bagaimana ajaran-ajaran yang disampaikan
oleh tokoh tersebut. Ajaran-ajarannya ini lah yang bisa dijadikan sebagai kearifan
lokal. Misalnya tokoh tersebut melarang masyarakat menebang pohon, memakan
ikan yang masih kecil, dan lain sebagainya. Larangan-larangan ini lah yang bisa
didiskusikan dalam pembelajaran sejarah dan bisa menjadi masalah ketika
dihadapkan pada kehidupan yang modern.
Sementara itu, nilai yang terkandung dalam pendidikan sejarah menurut
Kochhar (2008: 54-63) adalah nilai keilmuan, nilai informatif, nilai pendidikan,
nilai etika, nilai budaya, nilai politik, nilai nasionalsme, nilai internasionalisme,
nilai kerja, dan nilai kependidikan. Terkait dengan folklore Kudus Kulon, nilainilai yang relevan dalam pendidikan sejarah adalah nilai pendidikan, nilai etika,
nilai budaya. Nilai pendidikan yang terdapat dalam folklore dapat menjadi
pelajaran dan hikmah yang dapat ditransmisikan dalam pembelajaran di dalam
148
kelas. Nilai-nilai pendidikan dalam folklore Kudus Kulon dapat menjadi hal yang
relevan untuk disampaikan dalam pembelajaran sejarah. Nilai selanjutnya adalah
nilai etika. Folklore Kudus Kulon sarat dengan ajaran moralitas, sehingga dapat
menjadi materi yang disampaikan dalam kelas. Folklore memberikan contohcontoh tentang ajaran kebaikan yang diberikan oleh Sunan Kudus kepada
masyarakat Kudus. Contoh-contoh ini memberikan pelajaran bagi peserta didik
ajakan untuk menjujung tinggi moralitas. Melalui pembelajaran sejarah dengan
pemanfaatan folklore sejarah memberi gambaran tenntag tindakan yang mulia,
serta menularkan pada siswa gagasan-gagasan yang mulia. Berbagai situasi moral
ditampilkan oleh sejarah dan jika guru dapat memanfaatkannya dengan baik, dia
akan mempunyai kemungkinan yang tak terbatas untuk menginformasikan
pemahaman moral dan membentuk pertimbangan moral para siswa.
Nilai lain yang terdapat dalam folklore yang relevan dengan pembelajaran
sejarah pada jalur formal adalah nilai budaya. Sejarah dapat menjadi instrument
yang sangat efektif untuk membuat pikiran manusia lebih berbudaya. Melalui
folklore memaparkan pada siswa untuk memahami dan bertoleransi terhadap
perbedaan-perbedaan, dan memperlihatkkan pada siswa bahwamasyarakat telah
mengalami berbagai macam transformasi. Melalui pembelajaran sejarah formal
dengan pemanfaatan folklore membuat siswa mampu memahami kebudayaan
masa sekarang mealui penjelasannya tentang asal-usul segala sesuatu yang ada,
adat istiadat, kebiasaan, dan lembaga-lembaga. Melalui pembelajaran sejarah
siswa mengetahui bahwa kebudayaan saat ini telah mengalami perkembangan
149
sebagai akibat berbagai pengaruh yang dibawa ke dalam kebudayaan leluhur
melalui abad-abad yang panjang.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa folklore menjadi sebuah sarana yang
relevan dalam pembelajaran sejarah pada jalur formal, terutama dalam penanaman
nilai sejarah lokal pada suatu msayarakat. Folklore masyarakat di suatu daerah
dapat menjadi sebuah sarana yang mengenalkan siswa terhadap sejarah lokal di
sekitar lingkungan hidupnya, sekaligus menjadi sarana yang mampu menanamkan
nilai-nilai keteladanan dari kisah-kisah dalam sebuah folklore.
Relevansi folklore dalam pembelajaran formal didukung pula oleh adanya
keunggulan yang terdapat dalam pembelajaran sejarah. Pembelajaran sejarah
untuk mewariskan nilai sejarah lokal pada jalur formal memiliki beberapa
keunggulan dan kelemahan. Keunggulan pelaksanaan pembelajaran pada jalur
formal adalah materi yang telah disusun secara sistematik. Sistematisasi dalam
pembelajaran jalur formal tampak dengan adanya kurikulum yang mengatur
sedemiian rupa materi ajar yang hendak disampaikan, indikator-indikator yang
hendak dicapai, pembagian waktu, metode yang baku, kompetensi pengajar, dan
ketersediaan sarana evaluasi untuk mengetahui pencapaian hasil belajar siswa.
Sistematisasi dalam pembelajaran sejarah pada jalur formal merupakan sebuah
upaya untuk membiasakan siswa secara bersinambung dalam memahami materi
ajar, khususnya tentang pewarisan sejarah lokal.
Sistematisasi pembelajaran jalur formal idealnya didukung oleh mediamedia pembelajaran dan buku ajar yang memudahkan siswa untuk dapat
memahami nilai-nilai sejarah lokal. Selain itu keberadaan media dan buku ajar
150
dapat mendukung pelaksanaan belajar mandiri oleh siswa. Ketersedian
perpustakaan dan jaringan internet juga harus dioptimalkan agar memudahkan
siswa untuk mencari data atau juga bisa meng-upload informasi tentang folklore
Kudus Kulon agar informasi tentang folklore Kudus Kulon bisa dikenal secara
luas.
Selain memiliki keunggulan, pewarisan nilai melalui pembelajaran sejarah
jalur formal juga memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan pertama terletak pada
pada model interaksi yang terlalu teknis dan formal. Interaksi antara guru dan
siswa yang hanya sebatas hubungan teknis dan formal yakni tugas guru hanya
menyampaikan materi dan siswa hanya mendengarkan dan menerima apa yang
disampaikan guru. Hubungan teknis dan formal antara guru dan siswa membuat
tidak adanya ikatan emosional yang merupakan salah satu syarat utama dalam
pewarisan nilai. Kelemahan yang kedua adalah tuntutan materi, jumlah jam
pelajaran, dan tuntutan evaluasi. Materi dalam pelajaran sejarah sangat banyak
dan kompleks, mulai dari dasar-dasar ilmu sejarah, sejarah jaman Indonesia kuno,
masa penjajahan sampai dengan reformasi, dengan cakupan wilayah yang cukup
luas, jam pelajaran sejarah juga terbatas jadi perlu kerja keras untuk dapat
menyampaikan semua meteri pada siswa. Model evaluasi yang lebih menekankan
pada aspek kognitif membuat pelajaran sejarah mengarah pada hapalan nama,
tempat, dan tanggal peristiwa, tidak ada nilai (value) yang tersampaikan dari suatu
peristiwa. Kelemahan ketiga adalah faktor lingkungan dan perkembangan
teknologi. Kondisi lingungan sekolah yang sangat plural karena banyak siswa
yang datang dari berbagai macam latar belakang lingkungan dengan membawa
151
nilai-nilai yang berbeda akan menimbulkan “pertarungan nilai” dalam sekolah.
Kekhawatiran yang terjadi adalah ketika nilai-nilai negatif seperti hedonisme dan
konsumerisme juga masuk di sekolah. Masuknya nilai-nilai negatif tersebut juga
merupakan efek dari perkembangan teknologi yang membuat mudahnya siswa
untuk mengaksesnya berbagai macam informasi. Ketiga kelemahan tersebut
ditambah dengan kondisi psikologis siswa yang memasuki masa remaja dimana
rasa ingin tahunya sangat besar untuk mengetahui hal-hal yang baru, pada masa
ini pula ikatan pertemanan kadang lebih kuat dari pada ikatan sekolah ataupun
keluarga.
Pewarisan nilai sejarah lokal melalui pendidikan sejarah jalur informal
terjadi sebagai akibat dari keinginan masyarakat untuk mempertahankan tatanan
sosial yang sudah mapan. Nilai-nilai tersebut tergali melalui cerita-cerita rakyat
yang berpatron pada pada sosok Sunan Kudus. Sebagai sumber foklor di kawasan
Kudus Kulon. Pewarisan nilai melalui pendidikan jalur informal memiliki bebrapa
keunggulan. Keunggulan pertama dapat dilihat dari prose pewarisan yang
dilakukan dalam latar alamiah. Latar alamiah yang melatarbelakangi pendidikan
pada jalur informal merupakansalah satu keunggulan yang mempermudah
pelaksanaan penanaman nilai bagi anak. Latar alamiah dalam pendikan informal
terjadi sepanjang waktu, sehingga konsep pendidikan yang dianut adalah life long
education atau pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan informal adalah sebuah
proses pendidikan sepanjang hayat di mana setiap individu memperoleh dan
mempeajari tingkah laku, norma-norma, keterampilan, pengetahuan dari
pengalaman sehari-hari dan pengaruh serta sumber-sumber pendidikan di
152
lingkungannya dari keluarga, tetangga, dari lingkungan kerja dan lingkungan
bermain, dari tempat belanja, dan dari perpustakaan serta media massa.
Keunggulan kedua ditinjau dari aspek intensitas pelaksanaan pendidikan
dan pewarisan nilai. Waktu pendidikan informal dimulai sejak anak masih berusia
dini, sehingga penanaman nilai lebih efektif, karena dimulai sejak anak masih
kecil dalam keluarga batih. Seorjono Seokanto (2004:85) menjelaskan bahwa
keluarga batih merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang mempunyai
fungsi-fungsi tertentu, diantaranya adalah sebagai wadah berlangsungnya
sosialisasi primer, yakni dimana anak-anak akan dididik untuk memahami dan
menganut kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Kemudian, intensitas berlangsung secara bersinambung setiap waktu dalam
keluarga. Pembelajaran secara informal sering dilakukan dengan cara-cara
tradisional, misal dengan dongeng sebelum tidur atau dalam bentuk cerita rakyat
(folklore) yang disampaikan oleh orang tua kepada anaknya dan bisa juga
disampaikan melalui upacara-upacara ritual keagamaan. Keuntungan pelaksanaan
pendidikan jalur informal adalah bahwa nilai yang disampaikan dapat teringat
secara jelas oleh anak karena proses penanaman nilai dilakukan sejak dini secara
terus menerus. Dengan demikian, ketika pelaksanaan pendidikan jalur informal
terlaksana dengan baik, maka nilai-nilai yang ditanamkan dapat diingat dan lekat
dalam diri anak.
Pelaksanaan pendidikan jalur informal memiliki keunggulan karena
keberadaannya tidak lepas dari upaya untuk memberikan pendidikan moral di
keluarga dan lingkungan dalam konteks interaksi dan sosialisasi. Seorjono
153
Seokanto
(2004:69)
menjelaskan
bahwa
interaksi
antara
anak
dan
keluarga/lingkungan akan menimbulkan sosialisasi. Sosioalisasi merupakan suatu
kegiatan yang bertujuan agar pihak yang dididik atau diajak, kemudian mematuhi
kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat. Pewarisan
nilai dalam penddikan jalur informal merupakan bagian dari upaya untuk
memberikan seperangkan pengetahuan, sikap, dan perilaku anak agar sesuai
dengan kaidah, nilai, dan norma yang berlaku dalam lokalitas tertentu. Dengan
demikian, penanaman nilai sejarah lokal dalam jalur informal merupakan satu
proses yang terpadu dengan berbagai aktivitas pendidikan dalam keluarga.
Namun demikian, selain ada keunggulan dalam pelaksanaan pendidikan
informal, ada beberapa kelemahan pelaksanaan pendidikan di jalur ini. Kelemahan
pertama adalah tidak adanya ukuran pencapaian yang jelas. Artinya, tidak ada
sistemisasi dalam upaya penanman nilai. semuany berjalan secara alamiah sesuai
dengan kehendak orang tua selaku subjek yang penanam nilai. Tidak adanya
ukuran yang jelas menyebabkan adanya pencapaian yang berbeda antara satu
keluarga dengan keluarga lain. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang orang tua
selaku penanam nilai. jika orang tua memandang nilai dalam folklore layak untuk
disampiakan maka nilai tersebut akan disampaikan, akan tetapi ketika dinilai nilai
dalam folklore tidak diketahui oleh orang tua maka nilai tersebut tidak dapat
disampaikan dalam pendidikan informal.
Kelemahan lain adalah apabila orang tua sebagai penanam nilai tidak
memiliki waktu untuk menanamkan nilai-nilai kepada anaknya secara langsung
karena bebagai persoalan, seperti kesibukan, dan adanya kecenderungan terlalu
154
menggantungkan pendidikan pada sekolah. Saat ini banyak kalangan orang tua
siswa yang memiliki kesibukan padat, sehingga peran mereka dalam proses
penanaman nilai sejarah lokal menjadi terkendala. Hal inilah yang menjadi
permasalahan dalam pelaksanaan pendidikan informal dalam menanamkan nilai
sejarah lokal di Kudus Kulon.
Adanya kecenderungan orang tua yang terkesan lepas tangan dengan
pendidikan anaknya merupakan permasalahan penting yang menghambat
pewrisan nilai sejarah lokal. Orang tua beranggapan bahwa di sekolah anak-anak
mereka telah mendapatkan sesuatu yang cukup, sehingga kepedulian pada
pendidikan informal untuk mewariskan nilai sejarah lokal sangat rendah.
Dari penjelasan di atas tampak bahwa upaya pewarisan nilai sejarah lokal
melalui pendidikan formal dan informal memiliki keunggulan dan kelemahan
masing-masing. Di satu sisi pendidikan formal memiliki keunggulan tetapi juga
memiliki kelemahan. Hal yang sama terjadi dalam pendidikan jalur informal
untuk mewariskan nilai sejarah lokal pada anak. Dengan demikian, pada dasarnya
kedua jalur pendidikan formal dan informal dalam upaya pewarisan nilai sejarah
lokal tidak dapat berdiri sendiri, tetapi telah menjadi bagian yang saling
melengkapi dan tidak terpisahkan. Di satu sisi pendidikan formal menjadi sebuah
upaya untuk mengatasi kelemahan pada pendidikan informal, begitu pula
pendidikan informal memiliki peran mengatasi kelemahan yang dimiliki oleh
pendidikan formal.
Oleh karena itu, pendidikan sejarah dalam rangka pewarisan nilai sejarah
lokal pada dasarnya hanya dapat berjalan ketika terjadi kesinambungan antara
155
materi dan realitas yang terjadi di lingkungan sekitar peserta didik. Dengan
demikian, pendidikan kontekstual menjadi sebuah keharusan dalam upaya
penanaman nilai sejarah lokal pada siswa.
Untuk menunjang pelaksanaan pewarisan nilai dengan pembelajaran sejarah
berbasis folklore dapat dilakukan dengan penerapan pembelajaran kontekstual.
Model pembelajaran yang bisa digunakan agar hasil belajar bisa optimal dalam
rangka pewarisan nilai sejarah lokal adalah dengan menggunakan Contextual
Teaching and Learning (CTL). Elaine B. Jonhson (2008:57) menjelaskan bahwa
CTL merupakan suatu sistem pengajaran yang menghasilkan makna dengan
menghubungkan muatan akademis dan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa.
Model pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi dan situasi dunia nyata siswa serta mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari (Nurhadi dkk, 2003:4).
Sulaiman Zein (2008:34) juga menambahkan bahwa pembelajaran
kontekstual adalah suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan
memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya
dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka seharihari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/
keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu
permasalahan/konteks ke permasalahan/konteks lainnya.
Model pembelajaran kontekstual merupakan model pembelajaran yang
membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata
156
siswa, mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dan penerapannya (implementasi) dalam kehidupan nyata mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat. Penerapan model pembelajaran kontekstual pada
pendidikan jalur formal di Kudus Kulon harus bisa dioptimalkan karena selain
mempermudah dalam pewarisan nilai, model pembelajaran kontekstual juga
merupakan model pembelajaran yang sekarang ini sedang berkembang dalam
dunia pendidikan.
157
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Salah satu dari tujuan pendidikan sejarah adalah sebagai media pelestarian
budaya. Oleh karena itu, dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
terdapat beberapa Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang
memberikan ruang untuk memasukkan sejarah lokal dalam penyampaian materi.
Namum, jam mengajar sejarah yang terbatas, dengan materi yang padat, dan
pelajaran sejarah yang masih di nomerduakan membuat pengajaran sejarah lokal
tidak bisa maksimal. Guna mengatasi hal tersebut guru berinisiatif dengan
memberikan penugasan untuk mengidentifikasi sejarah lokal yang ada di kawasan
sekitar sekolah. Proses pengindentifikasian sejarah lokal tersebut membuat siswa
mengerti lebih jauh mengenai sejarah lokal. Sejarah lokal yang di identifikasi
tersebut tidak terbatas pada benda-benda fisik peninggalan sejarah tetapi juga
sejarah lokal yang berbentuk lisan atau folklore. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa peran guru dalam upaya pewarisan nilai sejarah jalur formal
adalah sebagai perantara antara kurikulum dan masyarakat. Namun dalam
pelaksanaan pembelajaran sejarah jalur formal terdapat beberapa kelemahan
yakni, masih lemahnya guru dalam penyusunan perangkat pembelajaran, serta
pandangan siswa yang menganggap tugas hanya sebagai sarana mencari nilai, hal
157
158
tersebut yang membuat pewarisan nilai melalui pembelajaran sejarah jalur formal
tidak maksimal.
Di Kudus Kulon, terdapat tiga cerita rakyat atau folklore utama yang bisa
mengambarkan kondisi sosial masyarakat serta nilai-nilai yang sampai sekarang
masih menjadi pegangan. Cerita tersebut adalah cerita tentang sapi pendamai,
cerita tentang Gunung Pati Ayam, dan cerita tentang Saridin. Dalam folklore
tersebut nilai-nilai yang bisa diambil, diantaranya adalah nilai Pendidikan
Adat/Tradisi, nilai Pendidikan Agama (Religi), nilai Pendidikan Sejarah
(Historis), nilai Pendidikan Kepahlawanan atau Semangat Perjuangan hidup, dan
nilai Pendidikan Moral. Cerita rakyat tersebut biasanya diceritakan dalam
keluarga pada saat sedang berkumpul. Waktu yang efektif adalah saat makan
malam, karena pada saat itulah semua anggota keluarga bisa berkumpul dengan
waktu yang relatif santai. Masyarakat juga berperan dalam pewarisan nilai sejarah
lokal ketika melaksanakan ritual keagamaan yang dilaksanakan secara rutin yang
dalam pelaksanaannya melibatkan anak-anak. Keterlibatan tersebut membuat
adanya ikatan emosial bagi anak yang merasa bagian dari masyarakat. Dengan
adanya ikatan emosial tersebut berarti proses pewarisan nilai sedang berlangsung.
Kelemahan pada proses pewarisan nilai jalur informal adalah bahwa seiring
dengan perkembangan waktu, ekspetasi sebagian masyarakat sekarang bukan lagi
pada pelestarian nilai dan budaya, tapi beralih pada bagaimana agar anak mereka
setelah dewasa mendapat pekerjaan.
Proses pewarisan nilai yang terjadi di Kudus Kulon bisa maksimal karena
adanya kesinambungan antara pendidikan sejarah jalur formal dan informal.
159
Kesinambungan tersebut terjadi karena adanya hubungan saling menguatkan dan
saling melengkapi kelemahan masing-masing. Ekspetasi masyarakat terhadap
pendidikan formal yakni agar kelak anak bisa mendapat pekerjaan yang layak
serta terbatasnya waktu dirumah dijawab dengan adanya sistemisasi dalam
kurikulum yang mempunyai tujuan jelas. Sedangkan, Pendidikan sejarah jalur
formal juga memanfaatkan folklore yang ada dan berkembang di masyarakat
(informal) sebagai materi belajar para siswa karena dalam kurikulum terdapat
materi sejarah lokal. Dalam pembelajaran kontekstual kesimanbungan terjadi
ketika materi yang diajarkan dan dibahas dalam kelas sesuai dengan apa yang ada
di lingkungan siswa, sehingga pembelajaran sejarah jadi lebih bermakna dan
bermanfaat bagi siswa.
B. Implikasi
Pada hakikatnya pelajaran sejarah adalah pelajaran tentang nilai (value).
Peristiwa-peristiwa sejarah yang dipelajari bukan hanya untuk menghapal tahun,
tempat, atau sekadar tokoh, tetapi lebih dari itu sesungguhnya pelajaran sejarah
memberikan gambaran tentang keberhasilan dan kegagalan yang bisa ditiru dan
dihindari. Dalam kajian akademis, pendidikan sejarah berfungsi sebagai
pembentuk nasionalisme dan karakter nasional pada siswa. Nasionalisme bisa
dipelajari dari sejarah perjuangan bangsa, sedangkan karakter bangsa harus digali
dari nilai-nilai lokal yang ketika terakumulasi akan bisa menunjukkan jati diri
bangsa.
Oleh karena itu, pihak sekolah terutama melalui pelajaran sejarah
160
seharusnya bisa mengoptimalkan pembelajaran yang berbasis pada penanaman
nilai-nilai lokal. Akan tetapi, dalam pelaksanaan di lapangan pelajaran sejarah
justru dipandang sebelah mata hanya kerena tidak dijadikan sebagai pelajaran
ujian nasional. Jika keadaan tersebut tidak diubah, maka akan dikhawatirkan
bukan hanya tujuan dari pelajaran sejarah yang tidak akan tercapai akan tetapi
lebih dari itu, identitas sebagai sebuah bangsa pasti akan terancam karena tanpa
pegangan nilai generasi bangsa akan mudah terpengaruh budaya luar yang belum
tentu baik.
Dalam kajian sosiologis, keluarga memegang peranan penting dalam
penanaman nilai kepada anak karena di keluarga terjadi proses interaksi tahap
pertama. Pada masyarakat yang memiliki tatanan sosial yang sudah mapan seperti
di Kudus Kulon, penanaman nilai anak pada tahapan interaksi pertama tentu di isi
dengan nilai-nilai yang dipegang masyarakat. Hal ini dikarenakan kecendurungan
masyarakat untuk mempertahankan nilai dan tatanan, namun yang perlu
diperhatikan adalah laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(modernisme) yang mungkin bisa menggerus tatanan sosial masyarakat. Dampak
yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah mulai
berubahnya ekspetasi sebagian masyarakat dari yang semula memegang nilai dan
tradisi berubah menjadi masyarakat modern. Salah satu ciri masyarakat modern
adalah tingginya ekspetasi terhadap sekolah, padahal tidak semua kebutuhan
perkembangan siswa terpenuhi, sebagian besar hanya perkembangan kognitif.
Oleh karena itu, pendidikan nilai dalam keluarga dan masyarakat harus tetap
dilakukan sebagai bekal kepada anak.
161
Realitas menunjukkan bahwa seorang anak akan mendapatkan dua macam
pendidikan, yakni pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal
(sekolah) dan informal (keluarga) tidak akan lepas dari konteks masyarakat
tempat kedua lembaga itu berada. Oleh karena itu, seharusnya kedua lembaga
tersebut tidak boleh melepaskan konteks pembelajaran dari lingkungan
masyarakat karena luaran dari produk pendidikan akan kembali pada masyarakat.
Masing-masing lembaga pendidikan, baik formal dan informal memiliki
kelebihan dan kekurangan. Selama ini kelemahan dan kekurangan masing-masing
lembaga bisa saling menutupi karena adanya keseimanbungan antara pendidikan
formal dan informal, namun semua terjadi tanpa adanya proses komunikasi yang
efektif. Komunikasi dalam lembaga pendidikan formal dan informal selama ini
hanya terjadi pada hal-hal yang bersifat administrasi saja.
C. Saran
1. Perlu adanya inventarisasi folklore dan kajian nilai yang terkandung di
dalamnya sebagai bahan ajar dan bacaan bagi guru dan siswa.
2. Butuh pembahasan khusus bagi guru-guru sejarah yang tergabung dalam
MGMP untuk menyamakan persepsi tentang pentingnya pewarisan nilai dalam
pelajaran sejarah.
3. Perlu upaya perbaikan pembuatan perangkat pembelajaran oleh guru-guru
sejarah sebagai pedoman dalam malaksanakan pembelajaran sejarah, terkait
dengan upaya pewarisan nilai melalui sejarah lokal.
162
4. Perlu diadakan pelatihan dan pendampingan terhadap guru tentang model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) agar dalam
pembelajaran nilai yang dilakukan bisa maksimal.
5. Pemerintah, melalui dinas pendidikan atau yang terkait perlu mempertegas
posisi pelajaran sejarah sebagai salah satu pelajaran yang memberikan
pembelajaran nilai, agar dalam praksisnya pelajaran sejarah tidak di
nomerduakan dengan pelajaran UAN.
6. Masyarakat (orang tua) agar tidak sepenuhnya menyerahkan semua
tanggungjawab perkembangan anak pada sekolah, karena pembelajaran nilai
(moral dan etika) yang paling kuat adalah melalui keluarga.
7. Perlu untuk selalu melibatkan anak-anak dalam setiap pelaksanakan upacara
ritual tradisi agar tumbuh ikatan emosional antara anak dan lingkungan.
8. Hubungan sekolah dan masyarakat yang tergabung dalam komite sekolah
seharusnya juga membahas menganai pewarisan nilai dalam rapat-rapat yang
rutin diadakan.
163
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik, (Ed.). 2005. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Arif Rohman. 2009. Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Laksbang Mediatama
Yogyakarta.
Castles, Lance. 1982. Tingkah Laku Agama dan Ekonomi: Industri Rokok Kudus.
Jakarta : Sinar harapan.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-Lain.
Jakarta: Rajawali.
Darsono Wisadirana. 2004. Sosiologi Pedesaan: Kajian Kultural dan Struktural
Masyarakat Pedesaan. Malang UMM Press.
Dendy Sugono (Ed). 2003a. Buku Praktis Bahasa Indonesia I. Jakarta: Pusat Bahasa.
Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contekstual Theacing and Learning).
Jakarta: Depdiknas.
Elaine B. Jonhson, 2008, Contextual Teaching and Learning. Bandung: MLC
Franz Magnis Suseno. 2002. 12 Tokoh Etika Abad ke20. Yogyakarta : Kanisius
Hartono Kasmadi. 1996. Model-Model dalam Pembelajaran Sejarah. Semarang:
IKIP Semarang Press
Herman J Waluyo. 1990. Apresiasi Prosa dan Drama. Surkarta UNS Press
Kochhar, S.K. 2008. Pembelajaran Sejarah. Penerjemah Purwanta dan Yofita
Hardiwati. Jakarta: Grasindo.
Koentjaraningrat.1997. „Metode Wawancara‟. Dalam Koentjaraningrat (Ed.).
Metode-Metode Penelitian Masyarakat: Jakarta: Gramedia
---------------. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
--------------- 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Bentang Budaya.
164
Laila Wakhidah. 2007. „Sejarah Itu Menyenangkan‟. Makalah disajikan dalam lomba
guru berprestasi se-Profinsi Jawa Tengah pada 10 April 2007
Miles, Matthew dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Tjejep
Rohendi Rohidi (penerjemah). Jakarta. UI Press.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mustofa Kamil,H. 2009. Pendidikan Nonformal. Bandung : Alfabeta
Musta‟in Mashud. 2005. „Teknik Wawancara‟. Dalam Bagong Suyanto dan Sutinah
(ed.). Metode Penelitian Sosial; Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta:
Kencana
Nani, Tuloli. 1991. Tanggomo Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta:
Intermasa.
Nasution, S. 2003. Metode Pendidikan Naturalistik Kualitatif. Bandung: Narsito.
Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK.
Malang: UM Press
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Poniyo. 1999. Peranan Cerita Rakyat (Folklor) Dalam Pendidikan. FIP IKIP
Semarang. Seminar Regional Dosen-Dosen PTS Jawa Tengah di Pekalongan.
Tanggal 07 April 1999. hal: 07-09.
Soedjatmoko. 1976. „Kesadaran Sejarah dan Pembangunan‟ dalam majalah Prisma
(Penerbitan Khusus). No. 7, tahun V. Jakarta: LP3ES.
Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta
Soeharso, R. 1994. Masyarakat Kudus Dalam Pembangunan Ekonomi, Studi Kasus
Tentang Kesadaran Sejarah, Pola Asuh Anak, dan Etos Kerja. Tesis. Prodi
Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Sugandi, Achmad. 2004. Teori Pembelajaran. Semarang: Unnes Press.
Sugiyono. 2009. Metodologi Penelitian Kualitaif, Kuantitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
165
Suhadi. 2006. Cerita Rakat Sebagai Media Pendidikan Untuk Menumbuh
Kembangkan Etos Kerja Siswa. laporan penelitian. karya tulis ilmiah inovatif
produktif Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah.
Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta :
Rinaka Cipta.
Sukaryanto. (2007). Peran Intellectual Emphaty dan Imajinasi dalam Historiografi.
Diunduh dari (http://www.journal.unair.ac.id/TEXT.pdf) pada 15 Juni 2009.
Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya
dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Suwoto. 2008. Folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus Sebagai Pengayaan
Materi Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus di Madrasah Aliyah Nahdatul
Ulama Banat Kudus). Tesis. Prodi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret.
Tim. 1982. Alam Wisata Kudus. Kudus. Menara.
Tsabit Azinar Ahmad. 2007. Kajian tentang Kenetralan Sejarah; Tinjauan Filsafat
Ilmu. Makalah pada Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah
(Ikahimsi) XII di Universitas Negeri Semarang. Semarang, 16 April 2007.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wasino. 2007. “Kapitalisme dan Kapitalis Orang Jawa Dalam Perspektif Sejarah”.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Unnes. Semarang. 15
Mei 2007.
--------------. 2005. „Sejarah Lokal dan Pengajaran Sejarah di Sekolah‟. Dalam Jurnal
Paramita. Vol. 15 No. 1 Juni 2005.
Widja, I Gde. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yusliani Noor. 1995. „Sejarah‟. Dalam Wahyu (ed.). 1995. Pengantar Ilmu-Ilmu
Sosial. Bajarmasin: Lambung Mangkurat University Press.