Jurnal Auditor
Transcription
Jurnal Auditor
Volume IX/ No.17 / Juni 2016 ISSN : 1979 - 7524 JURNAL Audit Dengan Tujuan Tertentu Untuk Memastikan Perhitungan Volume Galian Non Struktur Elbert MH Feasibility Study of Material Recovery Facility Redevelopment In Malang City Indonesia Faizal Fahmi Evaluasi Peningkatan Kinerja Campuran Laston Lapis Aus (AC-WC) Dengan Perbaikan Sifat Reologi Visco-Elastic Aspal Ditambah Asbuton Murni Elvibryna Nofriza Road Safety Management Towards Zero Accident: A Literature Review Zuni Asih Nurhidayati 2 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 Daftar Isi Volume IX/No.17/Juni 2016 Audit Dengan Tujuan Tertentu Untuk Memastikan Perhitungan Volume Galian Non Struktur 7 - 14 Elbert MH Feasibility Study of Material Recovery Facility Redevelopment In Malang City Indonesia 15 - 23 Faizal Fahmi Evaluasi Peningkatan Kinerja Campuran Laston Lapis Aus (AC-WC) Dengan Perbaikan Sifat Reologi Visco-Elastic Aspal Ditambah Asbuton Murni 25 - 40 Elvibryna Nofriza Road Safety Management Towards Zero Accident: A Literature Review 41 - 51 Zuni Asih Nurhidayati Diterbitkan berdasarkan Keputusan Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.16/KPTS/IJ/2016 tanggal 22 Februari 2016, SIT No.2504/SK/PPG/1998 tanggal 30 September 2002. Penanggung Jawab : Inspektur Jenderal. Redaktur/Koordinator : Sekretaris Inspektorat Jenderal. Anggota : Para Inspektur di Inspektorat Jenderal. Pemimpin Redaktur: Ir. Bambang Sudiatmo, Dipl.SE. Wakil Pemimpin Redaktur : Kabag HKP. Anggota Redaktur : Drs. Sunarto, M.Si, Ir. M. Kamil, MM, Ir. Herman Suroyo, MT, Hari Primahadi, BAE, S.Sos, M.Ak, Drs. Slamet Haryono, MT, Mohamad Ikhsan, SH, Irnanda Kristandi, ST. Redaktur Pelaksana: Drs. Syafrudin Dino Syaf, M.Si, A.S.B. Rahayu, ST, Sp.1, MT. Korektor : Krisudiyati, SE, M.Si, Dwita Gustiana. Tata Letak dan Setting : Moh. Danang Sanjoyo, Ariyanto, Ari Sumadi Nugroho. Fotografer/Dokumentasi : Loka Secowicaksono, Hari Susyanto. Sekretariat/Tata Usaha : Sangidan, Indri Margianti, Endang Sutisna. Staf Sekretariat : Susanto, Rahmat Nursidiq, Sulardi, Triyono. Alamat Redaksi/Tata Usaha : Inspektorat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jl. Pattimura No.20 Lt.15 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110. No telp. (021) 7262608 E-mail : [email protected] Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 3 4 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 Pengantar Redaksi Jurnal Auditor volume IX, nomor 17, bulan Juni tahun 2016 tanpa terasa mengantar kita memasuki penerbitan tahun ke sembilan. Sungguh suatu usia yang tidak muda lagi dan membutuhkan perjuangan yang tidak mudah untuk mempertahankannya agar tetap rutin terbit dengan mengemban misi yang telah ditetapkan. Tujuan diterbitkannya Jurnal Auditor ini adalah untuk menyalurkan hasil penulisan para Auditor yang berupaya menggali masalah-masalah di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan dikaji secara ilmiah. Kali ini disajikan empat buah tulisan, antara lain mengenai cara pengukuran lapangan dan perhitungan volume hasil pengukuran oleh Auditor untuk mendapatkan keyakinan memadai bahwa volume yang telah dibayarkan sesuai dengan fisik di lapangan. Sedangkan tenaga ahli diperlukan untuk melakukan pengujian dan analisis guna memastikan kesesuaian metode galian dengan jenis tanahnya, karena hal tersebut menjadi batasan pada saat pelaksanaan audit dengan tujuan tertentu. Tulisan kedua mengetengahkan penanganan permasalahan sampah yang dijumpai di kota-kota besar Indonesia yang menjadi salah satu dasar gerakan pembangunan bank sampah. Faktanya banyak bank sampah yang tidak dapat berkembang dikarenakan alasan operasional. Penulis mencoba memberikan alternatif jalan keluar terhadap permasalahan ini. Tulisan berikutnya merupakan hasil penelitian tentang perbaikan sifat reologi aspal dengan tiga variasi kadar asbuton dalam campuran aspal yang diuji dan dibandingkan dengan Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 Revisi 3. Hasil pengujian menunjukkan beberapa kondisi yang secara rinci dapat dibaca pada tulisan Elvibryna Nofriza. Sedangkan tulisan terakhir membahas tentang program keselamatan jalan yang merupakan salah satu kebijakan yang efektif dalam rangka aksi mengurangi angka kecelakaan lalu lintas. Bertujuan untuk menggali informasi terkait peran manajemen keselamatan jalan terhadap angka kematian pada kecelakaan lalu lintas. Dengan menggunakan metode Literature Review, mengulas hubungan antara efektifitas manajemen keselamatan dengan tingkat kematian dalam kecelakaan lalu lintas. Selamat membaca, semoga terbitan kali ini dapat menjadi bahan masukan dan renungan. Redaksi AUDITOR menerima tulisan yang mencakup hasil studi, kajian, penelitian, maupun pengalaman bidang pengawasan, pemeriksaan, administrasi, hukum dan manajemen pembangunan bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Naskah yang dimuat akan diberikan imbalan. Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 5 6 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 AUDIT DENGAN TUJUAN TERTENTU UNTUK MEMASTIKAN PERHITUNGAN VOLUME GALIAN NON STRUKTUR Oleh : Elbert Marangkup H, ST.,MT. Auditor Muda Inspektorat I, Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR Alamat Kantor: Jl. Pattimura No.20 Gd. Menteri Lt.15, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Email: [email protected] ABSTRAK Audit sebagai bentuk pengawasan fungsional telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan/pengelolaan pekerjaan satuan kerja. Pada awalnya audit lebih banyak difokuskan pada pengelolaan keuangan. Untuk hal-hal yang berhubungan dengan teknik, auditor dapat meminta bantuan tenaga ahli. Namun dengan bertambahnya auditor yang berlatar belakang teknik, porsi tenaga ahli untuk beberapa tahapan dapat digantikan oleh auditor tersebut. Sesuai dengan bahasan topik audit dengan tujuan tertentu untuk memastikan perhitungan volume galian, maka auditor menggantikan peran tenaga ahli untuk melakukan pengukuran kembali di lapangan dan menghitung volume hasil pengukuran di lapangan guna mendapatkan keyakinan memadai bahwa volume yang dibayarkan telah sesuai dengan fisik. Sedangkan untuk memastikan kesesuaian metode galian dengan jenis tanahnya, diperlukan tenaga ahli untuk melakukan pengujian dan analisis yang menjadi batasan audit tujuan tertentu. Kata Kunci : Audit, volume, galian. I. LATAR BELAKANG Audit adalah salah satu bentuk pengawasan fungsional yang dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal melalui proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, keakuratan, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab penggunaan APBN dengan cara menguji tingkat kesesuaian antara kondisi yang menyangkut kegiatan auditi dan kriterianya dan melengkapi hasilnya dengan bukti-bukti pendukungnya, menjadi simpulan dan konsep rekomendasi kepada auditi dengan tujuan Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 7 memperbaiki dan meningkatkan kinerja auditi. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 07/PRT/M/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Menyeluruh di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum. Sesuai dengan ruang lingkup Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008. Kegiatan audit yang dapat dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis audit, yaitu: 1. Audit atas laporan keuangan yang bertujuan untuk memberikan opini atas kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum. 2. Audit kinerja yang bertujuan untuk memberikan simpulan dan rekomendasi atas pengelolaan instansi pemerintah secara ekonomis, efisien dan efektif. 3. Audit dengan tujuan tertentu, yaitu audit yang bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diaudit. Termasuk dalam kategori ini adalah audit investigatif, audit terhadap masalah yang menjadi fokus perhatian pimpinan organisasi dan audit yang bersifat khas. Permintaan untuk melakukan audit atas perhitungan ulang volume dapat digolongkan kedalam audit dengan tujuan tertentu, untuk mengungkap suatu hal yang menjadi fokus perhatian pimpinan organisasi. Seperti kebenaran volume tambah, jenis galian berdasarkan jenis tanah, serta harga dan peralatan yang digunakan. Untuk hal-hal yang membutuhkan penilaian profesional ahli maka pimpinan dapat 8 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 menyertakan tenaga ahli dalam tim audit. Tenaga ahli yang dimaksud bisa saja dari unsur peneliti, penilai, insinyur, konsultan lingkungan, dari dalam maupun dari luar organisasi. Hal ini telah diatur dalam standar umum audit yang dikeluarkan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Penggunaan tenaga ahli dari luar dapat digunakan apabila APIP tidak mempunyai keahlian yang diharapkan untuk melaksanakan penugasan (standar umum 2240). Penelitian ini mengambil studi kasus pembangunan yang membutuhkan galian untuk pembentukan dinding tebing. II. MAKSUD DAN TUJUAN Perubahan ruang lingkup dalam kontrak berupa penambahan volume suatu item pembayaran akan menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak seperti pimpinan organisasi, auditor ataupun penegak hukum. Dikarenakan banyak terjadi permasalahan di lapangan terkait pembayaran tambahan untuk volume galian yang melebihi volume kontrak awal maka diperlukan audit atas perhitungan ulang untuk volume galian tambahan yang akan atau sudah dibayarkan. Oleh sebab itu tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Menilai pelaksanaan kegiatan secara independen, obyektif, dan profesional sesuai dengan standar audit dan standar teknis yang berlaku. 2. Merancang metodologi pemeriksaan perhitungan ulang volume galian untuk menilai kebenaran, keakuratan, dan keandalan informasi yang disajikan. III. RUANG LINGKUP Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada masalah: 1. Perhitungan ulang volume galian tanah pada lereng yang telah terbentuk; 2. Tidak melakukan uji tekan bebas pada material untuk menentukan jenis tanah/ batuan guna penentuan metode galian yang seharusnya dilakukan; serta 3. Tidak memperhitungkan kewajaran biaya. IV. PROGRAM DAN METODOLOGI AUDIT 4.1. Program Audit Auditor merancang metode audit dalam program kerja audit untuk memastikan bahwa pelaksanaan audit telah sesuai dengan standar audit dan standar teknis yang berlaku. Langkahlangkah audit dalam program kerja audit direncanakan secara seksama untuk menguji kebenaran, keakuratan, dan keandalan informasi yang disajikan. Program audit yang akan dilaksanakan seperti bagan alir pada gambar 4.1 dibawah ini: Gambar 4.1. Rancangan program audit 4.2. Metodologi Audit Metode audit ini disusun sesuai dengan alur pikir pada program kerja penelitian umumnya untuk menjelaskan setiap tahapannya. 1. Tahap 1 (satu) Pengumpulan Data Pengumpulan data dibedakan menjadi pengumpulan data sekunder dan data primer, yaitu: a. Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder berarti data yang didapat dari pihak kedua atau ketiga, dapat juga berarti data yang belum dilakukan analisis. Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kontrak, amandemen, back up data, gambar desain, justifikasi teknis, hasil uji laboratorium dan literatur terkait. b. Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer yang dilaksanakan adalah dengan melakukan pengukuran langsung untuk mendapatkan data yang akan diverifikasi terhadap back up yang telah dikerjakan sebelumnya. Cara mengumpulkan data primer adalah melakukan pengukuran dengan alat ukur atau total station untuk mendapatkan potongan melintang dari setiap segmen yang akan diverifikasi. 2. Tahap 2 (dua) analisis Analisis dilakukan terhadap semua data yang didapat, berupa perhitungan galian dengan beberapa metode, analisis terhadap kewajaran back up data yang disampaikan, serta analisis terhadap justifikasi teknis. Langkah kerja tahap analisis antara lain: a. Analisis justifikasi teknis yang ada; b. Analisis laporan harian, bulanan dan dokumentasi lapangan serta laporan jumlah Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 9 truk yang mengangkut hasil galian; c. Analisis laporan penyelidikan geoteknik; d. Analisis data ukur hasil laporan juru ukur (handwriting); e. Analisis kesesuaian gambar Shop Drawing terhadap kondisi lapangan, dan dapatkan As Built Drawing pekerjaan yang telah selesai; serta f. Analisis perhitungan volume sebelumnya dibandingkan dengan perhitungan volume yang dilakukan tim auditor dan back up data kuantitas. 3. Tahap 3 (tiga) Kesimpulan Kesimpulan terhadap analisis yang telah dilakukan untuk menjawab tujuan dari audit tertentu didasarkan pada bukti yang benar, akurat, lengkap dan relevan. V. KAJIAN PUSTAKA 5.1. Pekerjaaan Galian Pekerjaan galian adalah pekerjaan pemotongan tanah, pengupasan dan pembuangan bahan perkerasan beraspal dengan tujuan untuk memperoleh bentuk/profil dan penampang serta elevasi permukaan sesuai dengan gambar yang telah direncanakan. Pekerjaan galian dapat diklasifikasikan menjadi 7 (tujuh) bagian, yaitu: 1) galian biasa (common excavation); 2) galian batu lunak; 3) galian batu ; 4) galian struktur; 5) galian perkerasan beraspal; 6) galian perkerasan berbutir; dan 7) galian perkerasan beton. 5.2. Galian Tanah Biasa Pekerjaan galian biasa harus mencakup seluruh galian yang tidak diklasifikasikan sebagai galian batu, galian struktur, galian sumber bahan (borrow excavation), galian perkerasan jalan, galian perkerasan berbutir dan galian perkerasan beton. 10 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 5.3. Galian batu lunak Pekerjaan galian batu lunak harus mencakup galian pada batuan yang mempunyai kuat tekan uniaksial 300–400 kg/cm2 sesuai ASTM D 7012 dan pekerjaan galian yang menurut pendapat direksi tidak dapat dilaksanakan hanya dengan excavator bucket biasa namun memerlukan kuku baja khusus jenis penetration plus tip dengan kuat leleh 1000 Mpa. 5.4. Galian Batu Galian batu mencakup galian bongkahan batu dengan volume 1 m3 atau lebih dimana seluruh batu atau bahan lainnya tersebut tidak praktis digali, tidak termasuk galian yang dapat dibongkar dengan penggaru (ripper) tunggal yang ditarik oleh traktor dengan berat maksimum 15 ton dan tenaga kuda netto maksimum sebesar 180 PK. 5.5. Galian struktur Pekerjaan galian ini mencakup galian pada segala jenis tanah dalam batas pekerjaan yang ditunjukkan dalam gambar struktur. Galian ini terbatas pada lantai beton pondasi jembatan, tembok penahan tanah beton, dan struktur beton pemikul lainnya. 5.6. Galian perkerasan beraspal Pekerjaan galian ini mencakup pembuangan lapisan beraspal dengan atau tanpa cold milling machine. 5.7. Galian perkerasan berbutir Pekerjaan ini mencakup galian perkerasan berbutir lama dan pembuangan bahan perkerasan berbutir yang tidak terpakai. 5.8. Galian perkerasan beton Pekerjaan ini mencakup galian pada perkerasan beton lama dan pembuangan bahan perkerasan beton yang tidak dipakai. 5.9. Survei Pendahuluan (Reconnaissance Survey) Geologi dan Geoteknik Dalam perencanaan teknik jalan baru diper- lukan pekerjaan lapangan yang mencakup keseluruhan kegiatan survei dan investigasi lapangan untuk memperoleh data-data akurat yang diperlukan dalam perencanaan teknik. Salah satu survei pendahuluan yang dilakukan adalah survei geologi dan geoteknik. Survei penyelidikan tanah dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi tanah. Hasil penyelidikan ini akan digunakan sebagai dasar untuk perencanaan galian dan timbunan, kajian penurunan tanah, analisis lapisan dan tebal bahan sebagai tanah dasar, dan sebagainya. 5.10. Uji CBR (California Bearing Ratio) Perencanaan perkerasan jalan menggunakan uji CBR untuk menilai kekuatan tanah dasar jalan (subgrade). CBR merupakan suatu perbandingan antara beban percobaan (test load) dengan beban standar (standar load) dan dinyatakan dalam persentase, dengan kondisi sebagai berikut: a. Tanah dasar lunak, dimana CBR < 2 %. Kondisi tanah lunak memerlukan perbaikan tanah dasar dengan cara dipadatkan, distabilisasi atau dibuang seluruhnya. b. Tanah dasar dengan daya dukung sedang, dimana 2% ≤ CBR ≤ 6 %. Kondisi tanah dasar dengan daya dukung sedang memerlukan perbaikan tanah dasar dengan cara stabilisasi menggunakan kapur atau dengan menambah timbunan pilihan sampai ketebalan tertentu seperti yang disyaratkan dalam spesifikasi. c. Tanah galian dengan daya dukung cukup, dimana CBR > 6 %. Kondisi tanah dasar ini tidak memerlukan perbaikan tanah dasar. VI. DATA DAN ANALISIS Setelah melakukan pembahasan dengan Auditi untuk mendapatkan penjelasan kronologis proyek dan mengevaluasi data serta dokumen proyek, Auditor bersama dengan Auditi melakukan survei dan perhitungan ulang volume galian menggunakan alat ukur di lokasi proyek sebagai bahan analisis. A. Penelitian Dokumen 1. Penelitian Profil Memanjang (Long Section) dan Melintang (Cross Section) Interval jarak yang umumnya ditemui di lapangan adalah 10, 15, 25, 50, 100 meter. Lebar profil tergantung dari kebutuhan dan tujuan proyek, tapi umumnya batas lebar profil melintang kiri dan kanan dari garis sumbu proyek adalah 50 – 100 meter. Pada penelitian ini, dari laporan hasil juru ukur dan As Built Drawing diketahui bahwa interval jarak pengukuran adalah 25 m. Langkah kerja penelitian terhadap dokumen tersebut adalah sebagai berikut: a. Memeriksa dimensi setiap profil yang terbentuk dalam back up data quantity; b. Membandingkan antara hasil pengukuran juru ukur dengan as built drawing untuk pengukuran profil tiap segmen dan pengecekan elevasi tanah asli pada tiap STA; c. Menganalisis kesesuaian potongan melintang pada gambar as built drawing dengan peta situasi dan dokumentasi lapangan Auditi; d. Mengecek sistem koordinat yang digunakan (x,y,z). 2. Penentuan Sampel Pengukuran Kembali Setelah dilakukan penelitian terhadap dokumen, langkah selanjutnya adalah menentukan sampel yang akan dilakukan pengukuran kembali. Penentuan sampel dilakukan berdasarkan analisis terhadap: a. Peta situasi Dengan melihat peta situasi (gambar 6.1), auditor dapat melakukan penilaian profil-profil yang Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 11 memiliki risiko lebih tinggi. Risiko kekurangan volume terletak pada bagian belokan. Untuk itu dianjurkan untuk menetapkan sampel pada bagian belokan. Gambar 6.1. Peta situasi Gambar 6.2. Potongan memanjang rencana galian jalan b. Potongan memanjang rencana awal galian jalan (Gambar 6.2) memperlihatkan besaran volume galian yang akan digali. Semakin besar rencana volume untuk galian maka potensi risiko/ penyimpangan akan semakin besar. Oleh sebab itu dianjurkan untuk menetapkan segmen yang akan menjadi sampel berdasarkan penilaian segmen yang memiliki volume besar. c. Kemiringan lereng Kemiringan lereng menunjukkan risiko setiap segmen. Semakin curam lereng yang terbentuk maka risiko pelaksanaan semakin tinggi. Untuk itu dianjurkan untuk menetapkan sampel berdasarkan tingkat curam suatu lereng. d. Kombinasi ketiga metode Untuk efektifitas, efisiensi pelaksanaan audit, segmen dengan kriteria kombinasi ketiga metode diatas dianjurkan untuk diambil menjadi sampel audit. B. Analisis Hasil Pengukuran Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilak- 12 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 sanakan dilakukan analisis terhadap kesesuaian volume dan kualitas hasil pekerjaan (lereng) yang telah terbentuk. Kesesuain hasil pengukuran ulang dengan volume dalam back up data quantity menunjukkan pekerjaan yang dilaksanakan telah sesuai dengan kenyataan. Sedangkan kualitas hasil pelaksanaan pekerjaan dapat terlihat dari lereng yang telah terbentuk. Lereng yang masih memiliki kemiringan sama dengan gambar as buit drawing menunjukkan bahwa pelaksanaan pekerjaan telah dilaksanakan sesuai dengan spesifikasi teknis. 1. Stabilitas Lereng Galian Stabilitas galian secara visual dapat dilihat dari kemiringan lereng dan jenis tanah galian serta potongan melintang pada gambar As Built Drawing. Diketahui bahwa perbandingan lereng rata-rata pada lokasi adalah V : H = 1,5 : 1 (Gambar 6.3), sehingga lereng dapat dikategorikan cukup curam yang mengindikasikan bahwa konsistensi tanah cukup padat. Selain itu, tidak terdapat longsoran galian yang menandakan bahwa tanah memiliki ikatan butiran yang cukup baik. Namun, diketahui bahwa tanah pada lokasi merupakan tanah yang dapat berubah struktur batuannya jika terekspos cuaca. Hal ini ditandai dengan batuan pasiran yang berubah menjadi pasir pada lokasi galian. Kadar air tanah juga dapat menggambarkan konsistensi dan daya dukung tanah yang mempengaruhi stabilitas. Pada saat peninjauan ke lapangan, terdapat air yang mengalir pada dasar galian, berasal dari sungai kecil yang berada di lokasi, yang lambat laun menggerus lapisan tanah dan merubah struktur lapisan batuan. Dalam perencanaan jalan, sumber air yang mengalir ke perkerasan seperti aliran air tanah dari galian atau saluran irigasi dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk pemasangan sistem drainase bawah permukaan. planimeter. Selain itu, dapat juga menggunakan bantuan perangkat lunak Autocad. Data-data tersebut diukur langsung dari lapangan sesuai dengan hasil akhir konstruksi. Data-data ini pula yang dipergunakan sebagai dasar-dasar hitungan MC100 dan penggambaran purna bangun (As build drawing). Gambar 6.3. Potongan melintang galian di lapangan Gambar 6.4. Volume dengan metode luas ujung rata-rata 2. Perhitungan Volume Galian Tanah Pada studi kasus ini digunakan perhitungan volume galian dengan menggunakan metode luas ujung rata-rata (Gambar 6.4), dengan rumus luas ujung rata-rata (average end area formula): dimana: Setelah mendapatkan luas ujung setiap stasiun, dilanjutkan dengan membuat kesimpulan berdasarkan perbandingan antara hasil perhitungan volume ulang Auditor dengan hasil perhitungan volume Auditi dari as built drawing (gambar 6.5). Ve = volume luas ujung rata-rata (m3) A1 dan A2 = luas ujung pada dua stasiun terpisah oleh jarak horizontal (m2) L = jarak horizontal (m) Dalam menentukan luas ujung dapat dilakukan secara grafis atau dengan hitungan. Dalam metode grafik, tampang melintang dan mal-acuan digambar dengan skala pada kertas kisi (kertas mm); kemudian jumlah bujur sangkar kecil dalam tampang dapat dihitung dan diubah jadi luas, atau luas dalam batas tampang diukur menggunakan Gambar 6.5. Contoh potongan melintang pada as built drawing Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 13 Tabel 6.1. Perhitungan volume beberapa sampel segmen berdasarkan pengukuran ulang Berdasarkan pengamatan visual di lapangan, kemiringan dinding tebing cukup tegak mencapai 1H : 1.5V. Hal ini menandakan bahwa pembentukan dinding dilakukan dengan benar dimana hasil akhir dinding tebing tersebut cukup stabil yang diperkuat dengan tidak didapati adanya tanda-tanda kelongsoran. VII. DAFTAR PUSTAKA Berdasarkan pengukuran ulang volume pada beberapa sampel segmen didapati hasil pengukuran ulang yang lebih besar dari back up yang dibayarkan. Perbedaan ini terjadi karena adanya gerusan pada lantai segmen pada saat pengukuran ulang sehingga tinggi permukaan berbeda pada saat pengukuran awal dan pengukuran ulang. Secara teknis maka pengukuran ulang yang dilakukan menunjukkan hasil bahwa pengukuran awal yang dilakukan dapat diterima karena tidak lebih besar daripada pada saat pengukuran ulang. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil perhitungan profil segmen yang menjadi sampel, perhitungan ulang volume galian yang dilaksanakan menunjukkan hasil yang lebih besar daripada volume yang dibayarkan sehingga auditor mendapatkan keyakinan yang memadai bahwa hasil pengukuran awal telah dilaksanakan dengan benar. Selain dari pengukuran ulang volume, auditor dapat menilai kualitas dari pekerjaan yang telah dilaksanakan. 14 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 Braja M,Das. (1985) Mekanika Tanah. Endah, Noor & Mochtar, Indrasurya. Erlangga. Spesifikasi Umum Bina Marga Revisi III tahun 2015 Pedoman Konstruksi dan Bangunan No: 003-01/ BM/2006, Pekerjaan Tanah Dasar Buku 1 Umum Manual Desain Perkerasan Jalan No 02/M/BM/2013 tahun 2013. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor : PER/05/M.PAN/03/2008, Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah. Feasibility Study of Material Recovery Facility Redevelopment in Malang City Indonesia Oleh : Faizal Fahmi *) Staf Pengadministrasi Umum pada Inspektorat II, Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR Alamat Kantor: Jl. Pattimura No.20 Gd. Menteri Lt.15, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Email: [email protected] A master thesis in fulfilment of the requirements for the degree of Master of Engineering Science (Extension) at University of New South Wales Australia INTRODUCTION It is a typical situation in major cities in Indonesia where local government are unable to give comprehensive waste serviceability to their resident and Malang-city is one among those cities. The lack of capabilities results from various problems, like council’s limited budget, decreasing capacity of current operating landfills and community rejection of landfill expansions. Those waste management issues were backgrounds of environmentally-aware community to operate independent recycling centres. Unfortunately, the recent data shows that their members/recyclable supplier are decreasing, as well as their recyclable waste input. One of the options to keep the recycling centres continues to operate is rebuilding the site and supplying the centre with recycling machinery and heavy equipment. Thus, the objective of this study is estimating the feasibility of improving the recycling centre workability with new waste recycling machineries instalment. The feasibility study consists of 5 approaches: proposing 3 methods for the MRF (manual handling, hybrid, and full equipment), financial assessment with Net Present Value calculation and comparison, technical assessment of plant processing time with Monte Carlo Simulation, social impact assessment based on field observation and key-issue identification, and environment assessment by life-cycle-assessment (LCA). The result of those approaches depicts manual handling method as the best solution and it will not feasible to purchase a land and then construct full equipment MRF and hybrid Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 15 MRF plant in Malang city if the recycling waste selling price and consumer demand of recycling products are still low. Government incentives and financial supports are absolutely required for the MRF. Contract with potential buyer of processed waste to get better selling prices is also recommended. Kata Kunci : Solid waste, waste recycling plant, feasibility study, redevelopment. INTRODUCTION Challenges in Solid Waste Management in Indonesia As country with high dense population, specifically in most major cities, Indonesia is struggling in providing its people with decent basic services. Water for domestic usage, proper sanitation and comprehensive domestic waste serviceability are several issues that this country must improve for the sake of its people rights of basic domestic services. In regards with the coverage of service, collection rate, method of collection, and disposal system, 70 years after its independent day from the civil war, there are still many things to improve. Those challenges can be categorized into two major aspects: waste mobilisation and waste disposal. Challenge in Waste Mobilisation Like many other developing countries, composition of domestic waste in Indonesia is dominated by organic/putrescibles waste. Research from decades of 90’s shown that 60-70% (based on weight) of domestic waste is organic (Sicular, 1992). Cointreau in her study in 1982 wrote percentage (by weight) of compostable waste in Jakarta, Indonesia’s capitol city is 85% (Cointreau, 1982, cited in (Sicular, 1992)). In recent decades, 16 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 the characteristic are still not far from those studies. Putrescibles waste was still dominating with 70% (by weight) of total domestic waste stream (Supriyadi, Kriwoken, & Birley, 2000). High composition of organic waste with high moisture content also required vast collection or mobilisation to avoid odour issues and potential risk of health contamination. With majority of waste is organic/putrescibles, waste mobilization are known to be challenging. High density waste (high volume transportation), risk of waste spills during transportation and high moisture content (required fast mobilisation to avoid odour) are several issue to deal from high organic waste mobilisation (Pasang, Moore, & Sitorus, 2007). Generally, in major cities of Indonesia, service coverage/serviceability of local authorities in managing domestic waste is low. In Jakarta, collection rate was claimed to achieve 80% of total daily waste generation (Pasang et al., 2007). In Semarang, third largest city in Indonesia, the collection rate of total waste generation was 87%, slightly better than Jakarta (Supriyadi et al., 2000). Malang, smaller city than two earlier, has 70% collection rate of its total waste generation (C. o. M. S. a. L. Office, 2013). These low serviceability shows that there are big amount of uncollected solid waste every day. According to data from Malang Office of Sanitation and Landscaping (2013) there are approximately 190 Ton/day of uncollected waste. Challenge in Waste Disposal In waste disposal, it is a common situation when Ministry of Public Works Indonesia, the office that responsible to build and manage any public infrastructure in Indonesia, are difficult to build landfills. There are many backgrounds of that difficulty, but most of them are community rejections, limited availability of vast land to use as project site, people/private companies reluctance to sell their land for waste landfill. On the other hand, in the current operating landfill, most of them have issues, such as almost full-capacity to receive waste input, limited budget of landfill operation and maintenance, and community rejection for landfill land expansion. THEORETICAL FRAMEWORK Those two challenges are several things that support statement that Indonesia should start to more focus on waste recovery instead of waste disposal. A very good comparison of positive and negative aspect of recovery based system and disposal based system were discussed by (Sicular, 1992): Positive aspects of disposal based system: • A conservation of materials and energy, • No virgin raw materials used in the process, • Channelling of environmentally-risk materials such as plastic. They converted directly into new plastic-based product. • It does not require expansion of land • Revenue from sale of recovered materials can subsidize improvement of the entire system Negative aspects of disposal based system: • Recovery based system require large initial investment and subsidise in the short term, but in the long term the operation cost are lower and more stable compared to landfill based system. Meanwhile, for disposal based system like landfill, • It has the potential risk to contaminate the environment if the site was not properly lined with impermeable lining system and leachate recovery system. • It requires abundant of soil to use as cover lining and it has to be done every day following daily waste input into landfill. In some region in Indonesia like Malang, soil is an economical commodity and requires initial purchasing. • It requires proper methane production system to avoid the gas pollute the air and trigger fire/ explosion within the waste. • In tropical country like Indonesia, the warm temperature climate and high humidity level will fasten the process of decomposition, thus it requires quick approach. • As the waste input more likely to increase, it require expansion of land to increase capacity. Above passage shown that there are more benefits of adopting recovery-based waste management system than a disposal system. Indonesia still requires disposal-based system, but it should not only solely rely upon it. Potential Development of Recycling Practices in Indonesia Generally, most Indonesian and authorities know Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 17 waste recovery and/or recycling practices, but unfortunately recycling, especially in domestic waste, are not completely developed. Many excuses related to resident reluctance to recycle their own waste, for example not really aware of the benefits of recycling, do not get direct benefit after recycling their waste, and do not really care about the environment. Malang Waste Bank or Independent Recycling Centre Thus, it was a very good momentum when a community in Malang start to build and operate recycling centre in 2011. They announce the recycling waste centre as “waste-bank”. It is means literally because they open registration for people who would like to sell their domestic waste and gain some money from it. METHODOLOGY Introduction In order to ensure the thesis objective achieved, several steps of a methodology are defined and has been completed. The methodology was selected to ensure that the every aspect in a feasibility study (technical, economic, environmental, and social) is examined comprehensively. Future Recyclable Waste Estimation First of all, Material Recovery Facility (MRF) is the technology chosen for the improvement of the current recycling centre in this thesis. Three type of MRF, which are manual handling (current), hybrid, and full equipment, are included within this study. In estimation of recyclable waste input, year of 2018 is planned to be the construction year of the 18 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 new plant. Steps in estimating future recyclable waste are: • Estimate fixed population growth rate of Malang city • Estimate recyclable waste generation from 2013 until 2018 based on population growth rate. • Estimate waste input for MRF based on 4 type of waste (paper, glass, metal/scrap, and plastic). Economic Feasibility In economic feasibility, the main objective is to figure out which MRF technology has the biggest Net Present Value among other. Steps in this stage are initially with defining and estimating every possible cost related with setting-up new MRF plant. Then estimate potential income from processed waste selling. Details of economic feasibility are: • Estimate construction cost • Estimate land purchase cost • Estimate equipment cost (for full equipment and hybrid MRF) • Estimate salvage value of equipment (for full equipment and hybrid MRF) • Estimate operation and maintenance cost • Estimate production material cost • Estimate potential income/benefit from processed waste selling. • Estimate Net Present Value • Comparison of NPV value for all three types of MRF and decide which MRF method have best NPV. Technical Feasibility Technical feasibility is based on comparison of production time of each MRF methodology and the calculation was based on uncertainty analysis with the Monte Carlo Simulation and random number table. Environmental Feasibility In environment feasibility, the objective is to find which MRF technology has the lowest impact to the environment/the lowest carbon dioxide emitter. Details of the study are: • Calculate amount of energy required based on quantity of recyclable waste processed. Fuel for heavy equipment (loader/dozer) and electricity for processing machine (conveyor, shredder, grinder, separator, breaker) • Calculate amount of CO2 emission based on quantity of energy usage per equipment • All input data of energy required and emission emitted are based on research by Damgaard et al (2009), Astrup et al (2009), Larsen et al (2009), and Merrild et al (2009). • CO2 emission and fuel usage are compared for each method of MRF (manual, hybrid and full equipment). Social Feasibility In social feasibility, the objective is to find which MRF technology has the lowest impact to the community and the scavengers as one of the vital stakeholder in landfill. Details of the study are: • Social key issue and stakeholder identification • Score MRF based on social key issue with Technique for Order Preference using Similarity to Ideal Solution (TOPSIS). Uncertainty Analysis There are three parameters in MRF operation that depends on waste input. The three variables are production time, material cost, and potential income. Since the daily waste inputs are fluctuated, those three parameters can be categorized as uncertainty parameters. The details of analysis are: • Production time of MRF (activity-on-node (AON) diagram and the Monte Carlo simulation) • Production material cost of MRF (buying price, composition of waste, waste input and cost of production material and the Monte Carlo simulation). • Potential income of MRF (selling price, composition of waste, waste input and potential daily income and the Monte Carlo simulation). RESULTS The summary of results are shown in below table: Table.1 Result of Calculation Feasibility Study Aspects Economic (NPV) Technical (Production time for 1 day input) Env (CO2 emission) Env (Electricity required) Env (Fuel required) Social (less impact to neighbourhood) Final Opt No. MRF Types 1 Manual Handling -$5,961,942 4.99 dayss 1031.07 Kg CO2-eq/day N/A 381.87 L/day 1st option 1st 2 Hybrid -$46,731,362,692 7.59 days 21,195.96 Kg CO2-eq/day 22405.4 kWh/day 381.87 L/day 2nd option 2nd 3 Full equipment -$53,253,037.692 13.4 days 31,278.4 Kg CO2-eq/day 33608.1 kWh/day 381.87 L 3rd option 3rd Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 19 Explanations of above table: • Financial feasibility estimation shows manual handling MRF as the 1st choice since it has the biggest NPV value. However since the result of all NPV are negative, it shows that the potential income is lower than the initial cost and operational cost. • Technical feasibility in production time required shows manual handling has the shortest production time to other options. • Manual handling MRF has the lowest social impact compared to other two MRF. • Since it employ less machinery in processing recyclable, it is obvious that manual handling is the MRF with lowest carbon dioxide emission compared to other MRF. • Lastly, in social feasibility, manual handling MRF, which able to hired most current scavengers, has the lowest risk of social conflict with stakeholders in landfill site. Based on above table, it is obvious that manual MRF is the suggested MRF type for the Waste Bank of Malang. However, the result shows manual handling MRF has negative NPV. Thus, further calculation is required to know what type of manual handling MRF will be beneficial to operate. Several new assumptions are made for this calculation: 1. Manual handling MRF is the only MRF considered. 2. No land purchasing and no new constructions for new form of MRF. 3. MRF operator has options to sign long-term contract with manufacturers for better selling prices (assumed to reach 5X of usual selling prices) or not signing any contract. 4. MRF operator has options to receive the Government support for cost of production material and salary of sorters or not receive any support. 5. Number of sorter are 250 people and sorters salary is still same with previous assumptions, $20/month/person. 6. There will be 4 model of manual handling MRF considered: • Model 1: Long-term contract + the Government incentives (cost of production material and sorter’s salary). • Model 2: Long-term contract + without the Government incentives. • Model 3: No long-term contract + the Government incentives. • Model 4: No long-term contract + no the Government incentives. 7. Buying prices of recyclables will still same for all 4 models of manual MRF. 8. Selling prices are assumed to be higher 5x in manual MRF model with long term contract and selling prices is still same for models without long term contract. The result of manual MRF new model calculation: Table 2. Result of Manual MRF Calculation No. Parameters 1. Production material cost 2. Potential income (old selling prices) 20 Model 1 (long term contact + govt incentives) Model 2 (long term contract and without govt incentives) Model 3 (no long term contract but with govt incentives) Model 4 (no contract and no govt incentives) 1685.697 1685.697 1685.697 1685.697 N/A N/A 1800.605 1800.605 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 3. Sorter salary • Salary in $/year • Salary estimation is $20/month/ sorter • Number of sorters is 250 workers 60000 60000 60000 60000 4. Government incentive on sorter salary and material cost 61685.6965 N/A 61685.6965 N/A 5. New potential income (new selling price with long term contract) 9307.84749 9307.84749 N/A N/A 9307.85 -52377.85 1800.60 -59885.09 Net Present Value (NPV) Above table shows that manual MRF will beneficially operate with the government incentives only and will be feasible operate without higher selling prices from contract with manufacturers. Conclusion • In the case of Malang city recycling centre, since the cost of sorters salary is low, labour intensive plant/manual handling MRF will more efficient and economically feasible than the other two MRF. • In economic feasibility, the low selling price of recyclable waste, cost of land purchase and construction cost of new plant are backgrounds of negative NPV. • In technical feasibility, it is clear that mechanisation process will not guarantee MRF to have faster production time. • Government incentives in MRF operation is a must to ensure MRF operation continuity. RECOMMENDATION Recommendation will be made in three aspects, policy, operation/technical, and economic aspects. Details of the recommendation are: In policy/regulation aspect: In short term period, due to its direct link to public welfare and basic service, the Waste Bank of Malang recycling practice must be supported by the Government of Indonesia. Modelling of manual MRF with the government incentive in sorters salary and material cost shows it will be operate beneficially. The bank should also receive support in a form of working capital and tax reduction. Moreover, The Government may also link its waste collection process with the bank operation, so the bank will receive direct input from local waste collection waste trucks. In long term period, the Government must encourage manufacturer and other related industries to purchase recycled waste from local suppliers instead of importing the recyclables from other countries. On the other hand, the Government must offer real incentive for its people to start sorting their domestic waste and give reward for industries that recycled their own waste. In MRF operation/technical aspect: Since manual recycling operation has estimated to be the most suitable option to the Waste Bank of Malang, several ways can be suggested to technically improve its capability: • Propose new process workflow in manual handling MRF New workflow in MRF must have specific sorting line for each type of recyclables. The new plan also suggests pre-storage area as a part Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 21 of tipping point area. New approach of storage management is a must in the new manual handling plan. Since it is less likely to mobilize processed waste to the customer in daily basis, suitable storage area with “first-in-first-out” system is also mandatory. • Propose extended working hours The operator of MRF may also double its daily production time from 10 hours/day to 20 hours/day by adding extra working shift for its sorters. Extended working hours may reduce need to have storage expansions of recyclables. In economic aspect: • Postpone purchase land and construct new plant of MRF From calculation of economic feasibility, it is obvious that construction cost of MRF plant and land purchasing are the biggest initial cost. These two costs are items that make net present value become negative. Hence, instead of buying new land area and construct new plant, it is better to increase number of waste-bank branches without building a centralized plant. • Expand area of service coverage to increase input quantity For MRF operator, in order to ensure continuity of supplies and higher quantity of recyclable input, it is recommended to expand the area of service coverage, not only area within the City of Malang, but also in neighbouring region. The Waste Bank of Malang should sign agreement with local authorities and local commercials (supermarkets and convenience stores) to guarantee the recyclable supplies. • Sign long term agreement to get better selling prices It is also suggested to have a long duration contract with industries that require recycled 22 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 waste for their production. Long-term contracts means the MRF have opportunity to increase the selling price of recyclables. Further Work Further work should be conducted in analysing existing market of recycled waste in Indonesia. Until this research is completed, there is no scientific research that study about condition of recyclable market (consumer and commercial scale) and its future development. Data of recyclable waste import from Industrial Ministry of Indonesia from 2007 – 2011 shows that recyclable have firm markets in Indonesia (Industries, 2011). If only majority of industries, which usually import recyclable, stop import and start to purchase recyclable from the waste bank, the recycling practice in Indonesia will be welldeveloped. REFERENCES Astrup, T., Fruergaard, T., & Christensen, T. H. (2009). Recycling of plastic: accounting of greenhouse gases and global warming contributions. Waste Management & Research. C.K.Smoley. (1993). Material recovery facility design manual. Chelsea, MI: Chelsea, MI : C.K. Smoley. Damanhuri, E. (2005). Some principal issues on municipal solid waste management in Indonesia. Paper presented at the Expert Meeting on Waste Management in Asia-Pacific Islands, Oct. Damgaard, A., Larsen, A. W., & Christensen, T. H. (2009). Recycling of metals: accounting of greenhouse gases and global warming contributions. Waste Management & Research. Davis, S. (2014a). Network Formation. Course Note. School of Civil Engineering and Environmental. University of New South Wales Australia. Australia. Retrieved from http://moodle.telt.unsw.edu. au/pluginfile.php/1019383/mod_resource/ content/1/Lecture_02a_Network_Formation.pdf Davis, S. (2014b). Stochastic Networks. Course note. School of Civil Engineering and Environmental. University of New South Wales Australia. Australia. Retrieved from http://moodle.telt.unsw.edu. au/pluginfile.php/1019412/mod_resource/ content/3/lecture_08_stochastic_projects.pdf Glaub, J. C., Jones, D. B., & Savage, G. M. (1982). The design and use of trommel screens for processing municipal solid waste. Paper presented at the Proc. ASME National Solid Waste Processing Conf., New York. Hariyani, N., Prasetyo, H., & Soemarno, S. (2013). PARTISIPASI PEMULUNG DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA SUPIT URANG MULYOREJO SUKUN KOTA MALANG. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari, 4 (1). Industries, I. M. o. (2011). Data of waste import of Indonesian industries. Retrieved October 5, 2015, from http://www.kemenperin.go.id/statistik/ query_komoditi.php?komoditi=waste&negara=&j enis=i&action=Tampilkan Jain, R., Urban, L., Balbach, H., & Webb, M. D. (2012). Handbook of environmental engineering assessment: strategy, planning, and management: Butterworth-Heinemann. Kristanto, G. A., Gusniani, I., & Ratna, A. THE PERFORMANCE OF MUNICIPAL SOLID WASTE RECYCLING PROGRAM IN DEPOK, INDONESIA. Larsen, A. W., Merrild, H., & Christensen, T. H. (2009). Recycling of glass: accounting of greenhouse gases and global warming contributions. Waste Management & Research. Malang, B. S. (2014). Purchasing price and Selling Price of Recyclable Waste. Retrieved 20 September, 2015, from http://banksampahmalang.com/home. php?page=profil/daftar_harga Malang, B. S. (2015a). Recycled waste price list. Retrieved May 14, 2015 Malang, B. S. (2015b). Workflow of Waste Bank of Malang. Retrieved 25 September, 2015, from http:// banksampahmalang.com/home.php?page=profil/ pengurus_nasabah Malang, S. a. L. A. C. o. (2013). Waste Management in Malang City. Malang: Sanitary and Landscaping Agency City of Malang. Manser, A., & Keeling, A. (1996). Practical handbook of processing and recycling municipal waste: CRC Press. Merrild, H., Damgaard, A., & Christensen, T. H. (2009). Recycling of paper: accounting of greenhouse gases and global warming contributions. Waste Management & Research, 27(8), 746-753. Nezhad, A. A. (2014). Project Selection. Course note of Project Management Framework. School of Civil and Environmental Engineering. University of New South Wales. Australia. Office, C. o. M. S. a. L. (2013). Waste Management in City of Malang. Malang-Indonesia: City of Malang Sanitation and Landscaping Office. Office, P. a. c. r. (2015). Malang City residents population. Retrieved May 14, 2015, from http:// dispendukcapil.malangkota.go.id/ Pasang, H., Moore, G. A., & Sitorus, G. (2007). Neighbourhood-based waste management: a solution for solid waste problems in Jakarta, Indonesia. Waste management, 27 (12), 1924-1938. Rahajeng, A. S., Meidiana, C., & Anggraeni, M. (2015). Pengelolaan Tpa Supit Urang Dengan Keterlibatan Sektor Informal. Jurnal Tata Kota dan Daerah, 6 (2). Raharjo, S., Matsumoto, T., Ihsan, T., Rachman, I., & Gustin, L. Community-based solid waste bank program for municipal solid waste management improvement in Indonesia: a case study of Padang city. Journal of material cycles and waste management, 1-12. Schloemann, E., Reiner, M., & Pendley, A. (1979). High performance magnetic separator for removal of partially magnetic particles from shredded waste. Magnetics, IEEE Transactions on, 15(6), 15321534. Sicular, D. T. (1992). Scavengers, recyclers, and solutions for solid waste management in Indonesia: Center for Southeast Asia Studies, University of California at Berkeley. Supriyadi, S., Kriwoken, L. K., & Birley, I. (2000). Solid waste management solutions for Semarang, Indonesia. Waste management and Research, 18(6), 557-566. Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 23 24 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 evaluasi peningkatan kinerja campuran laston lapis aus (ac-wc) dengan perbaikan sifat reologi visco-elastic aspal ditambah asbuton murni Oleh : Elvibryna Nofriza Auditor Pertama Pada Inspektorat Wilayah I, Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR Alamat Kantor: Jl. Pattimura No.20 Gd. Menteri Lt.15, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Email: [email protected] ABSTRAK Umur perkerasan jalan tidak terlepas dari sifat bahan terutama aspal sebagai bahan pengikat. Dengan adanya perbaikan sifat reologi dari aspal, diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan kerusakan pada awal umur rencana yang diakibatkan oleh suhu tinggi dan beban lalu lintas padat. Dari penelitian perbaikan sifat reologi aspal terdahulu, kadar asbuton optimum yang disarankan adalah sebesar 10%. Untuk melihat kinerja campuran terhadap perbaikan sifat reologi aspal, dilakukan penelitian dengan 3 variasi kadar asbuton dalam campuran aspal. Reologi dasar aspal diuji dan dibandingkan dengan Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 Revisi 3. Hasil pengujian menunjukkan bahwa seiring dengan penambahan asbuton maka nilai penetrasi semakin kecil, nilai indeks penetrasi dan titik melembek semakin besar, begitu pula dengan nilai viskositas yang menaikkan suhu pencampuran dan pemadatan. Hasil Pengujian Marshall menunjukkan bahwa penambahan kadar Asbuton dalam aspal pen 60/70 dapat meningkatkan Stabilitas Marshall. Berdasarkan uji Marshall Immersion nilai IKS paling baik adalah pada campuran dengan 8% asbuton yaitu 97,64%. Nilai Modulus Resilien dengan pengujian UMATTA nilai tertinggi terdapat pada campuran dengan 10% Asbuton. Sedangkan hasil pengujian deformasi permanen dengan Wheel Tracking Machine menunjukkan stabilitas dinamis paling baik ditunjukkan oleh campuran dengan kadar asbuton 8%. Untuk uji fatigue dengan Four Point Bending Apparatus menunjukkan yang paling tahan terhadap retak lelah adalah campuran dengan kadar asbuton 8% yang ditandai dengan nilai Phase Angle (δ) yang Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 25 paling kecil adalah pada campuran dengan 10% asbuton. Dari hasil pengujian diperoleh bahwa campuran aspal pen 60/70 ditambah 8% asbuton dengan kadar aspal optimum 5,94% menunjukkan kinerja lebih baik. Penambahan aspal Asbuton murni sebagai aditif dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan ketahanan terhadap deformasi permanen dan retak lelah. Kata Kunci : AC-WC, Asbuton, Modulus Resilien, Deformasi Permanen, Fatigue I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki Sumber Daya Alam yang belum diamanfaatkan secara optimal, salah satunya adalah Asbuton. Asbuton merupakan aspal alam dengan deposit terbesar dibanding deposit aspal alam lainnya di dunia (Hetzel, 1936), dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengikat pada perkerasan jalan menggantikan aspal minyak. Ada beberapa permasalahan perkerasan jalan yang dihadapi oleh Indonesia yaitu perkerasan yang mengalami retak lelah akibat beban lalu lintas yang padat dan suhu yang tinggi. Asbuton merupakan material yang dapat meningkatkan ketahanan terhadap deformasi permanen dan Fatigue pada campuran serta dapat menjadi material pengisi atau pengikat pada suatu campuran beraspal. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada material campuran beraspal agar diperoleh campuran yang tahan terhadap Fatigue dan deformasi permanen. Langkah perbaikan kinerja pada campuran material tersebut dapat melalui perbaikan dalam pemilihan agregat ataupun dengan perbaikan reologi aspal dan Asbuton dapat dijadikan sebagai salah satu solusi dari permasalahan tersebut. Berdasarkan pada penelitian sebelumnya yang 26 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 mengkaji reologi aspal dengan penambahan variasi kadar Asbuton pada aspal minyak pen 60/70 yang ditinjau dari beberapa parameter dan kriterianya didapatkan kadar optimum penggunaan Asbuton murni sebesar sekitar 10%, dimana terdapat peningkatan kekakuan bitumen, ketahanan terhadap deformasi permanen, dan penurunan terhadap kriteria Fatigue cracking (Indriyanti Eva Wahyu, 2012 dan Ekawati Basyir, 2014). Penambahan asbuton murni ini diharapkan mampu memperbaiki sifat dari aspal tersebut dan dapat bersinergi dengan baik pada campuran aspal Lapis Beton Aspal Lapis Aus (AC-WC) yang merupakan lapisan paling atas dari struktur perkerasan yang berhubungan langsung dengan roda kendaraan, mempunyai tekstur yang lebih halus dibandingkan dengan Lapis Beton Aspal Lapis Pengikat (AC-Binder Course). Disamping sebagai pendukung lalu lintas, lapisan ini mempunyai fungsi utama sebagai pelindung konstruksi di bawahnya dari kerusakan akibat pengaruh air dan cuaca, sebagai lapisan aus dan menyediakan permukaan jalan yang rata dan tidak licin (Bina Marga Dept. PU, 1987). Sehingga terjadinya retak yang rentan terjadi pada campuran beraspal diharapkan mampu diatasi oleh campuran beton aspal yang dimodifikasi dengan menggunakan asbuton murni tersebut. 1.2. Ruang Lingkup Penelitian 1. Asbuton yang digunakan adalah asbuton murni yang telah diekstraksi murni mendekati 100% yang diproduksi oleh Wika Bitumen. Sedangkan aspal pen 60/70 yang digunakan adalah produksi dari Shell. 2. Variasi perbandingan aspal Pen 60/70 dan asbuton yang digunakan, yaitu 100% aspal Pen 60/70, 92% aspal Pen 60/70 + 8% asbuton, dan 90% aspal Pen 60/70 + 10% asbuton. 3. Jenis campuran beraspal yang digunakan adalah Laston Lapis Aus (AC-WC). 4. Perencanaan campuran beraspal panas menggunakan metoda Marshall dan pendekatan kepadatan mutlak untuk mendapatkan KAO (Kadar Aspal Optimim) dari Laston Lapis Aus (AC-WC). 5. Pengujian laboratorium pada kondisi KAO (Kadar Aspal Optimum) campuran terdiri dari: a. Uji Marshall Immersion (Perendaman Marshall). b. Uji Modulus Resilient dengan alat UMATTA (Universal Material Testing Apparatus Asphalt). c. Uji Stabilitas dinamis (untuk mengetahui tingkat ketahanan campuran terhadap deformasi permanen) dengan alat Wheel Tracking. d. Uji Fatigue dengan alat Four Point Bending Apparatus. 6. Pengujian yang dilakukan mengacu pada Spesifikasi Umum Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Tahun 2010 Revisi 3, SNI, ASTM dan AASHTO. II. METODOLOGI PENELITIAN Rencana kerja pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Diagram Alir Program Kerja Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 27 III. PENYAJIAN DATA 3.1. Hasil Pengujian Agregat Hasil pengujian karakteristik agregat dilakukan dengan mengacu pada peraturan Spesifikasi Umum Bina Marga Kementerian PU Tahun 2010 (Revisi 3). Tabel 1 berikut menampilkan data karakteristik agregat. Tabel 1. Hasil Pengujian Karakteristik Agregat 3.2. Hasil Pengujian Aspal Hasil pengujian Karakteristik Aspal pen 60/70 dan Aspal dengan penambahan 5% Asbuton, aspal pen 60/70 dengan penambahan 10% Asbuton dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Pengujian Karakteristik Aspal 28 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 3.3. Hasil Pengujian Marshall Pengujian dilakukan pada Kadar Aspal Optimum dari masing-masing komposisi aspal modifikasi. Untuk mendapatkan nilai Kadar Aspal Optimum (KAO) digunakan perencanaan dengan Metoda Marshall dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak. Hal ini sesuai dengan spesifikasi dari Departemen Pekerjaan Umum mengenai Pedoman Teknis Perencanaan Campuran Beraspal dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak tahun 1999. Kadar aspal optimum ditentukan dengan menggunakan metode Marshall. Beberapa parameter seperti stabilitas, kelelahan, kepadatan, volume rongga dalam campuran (VIM), volume rongga dalam mineral agregat (VMA) dan rongga terisi aspal (VFA), diperoleh dari hasil analisis terhadap pengujian Marshall. Nilai KAO disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Nilai Parameter Marshall Semua Campuran 3.4. Hasil Pengujian Modulus Resilien dengan UMATTA Pengujian Modulus Resilien dilakukan dengan menggunakan alat UMATTA, yaitu menggunakan benda uji diametral seperti benda uji Marshall dan dibuat pada rentang Kadar Aspal Optimum. Pengujian mengacu pada ASTM D 4123-82 (1987) dengan temperatur yang dipakai yaitu 25°C, 35°C, 45°C. Hasil pengujian untuk ketiga variasi ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Pengujian Modulus Resilien dengan UMATTA Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 29 3.5. Hasil Pengujian Wheel Tracking Pengujian Wheel Tracking dilakukan pada 2 variasi temperatur yaitu 45°C dan 60°C. Masing-masing benda uji dibuat pada kondisi Kadar Aspal Optimum (KAO). Hasil Pengujian Wheel Tracking ditunjukkan pada Tabel 5 dan Tabel 6 dibawah ini: Tabel 5. Hasil Pengujian Wheel Tracking Suhu 45°C Tabel 6. Hasil Pengujian Wheel Tracking Suhu 60°C 3.6. Hasil Pengujian Fatigue Metode pengujian ini mengacu pada AASHTO T 321-03. Hasil Pengujian Fatigue ditunjukkan pada Tabel 7 berikut ini: 30 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 Tabel 7. Hasil Pengujian Fatigue Kelelahan merupakan salah satu parameter kriteria kerusakan (failure) pada campuran beraspal dalam konsep metode mekanistik selain deformasi permanen (permanent deformation). Adapun pendekatan yang digunakan untuk mengkaji parameter ini adalah Pembebanan 4 Titik (4 Point Loading) pada balok. IV. ANALISIS DATA 4.1. Analisis Pengujian Agregat Agreagat secara keseluruhan memenuhi spesifikasi Umum 2010 (revisi 3) untuk kriteria kuat dan awet. Untuk memenuhi kriteria bersih agregat kasar perlu dilakukan pencucian karena kadar partikel halus yang melekat banyak dan tidak merata. 4.2. Analisis Pengujian Aspal a. Kenaikan kadar asbuton pada aspal pen 60/70 menurunkan nilai penetrasi dan titik lembek aspal semakin meningkat menunjukkan bahwa sifat aspal semakin keras dan kaku dengan penambahan asbuton. Sifat keras dan kaku aspal tersebut dapat meningkatkan kekakuan campuran karena dipengaruhi oleh Modulus Kekakuan aspal (Sbit). b. Kenaikan kadar asbuton meningkatkan suhu pencampuran dan pemadatan sehingga memerlukan energi yang lebih besar. c. Kepekaan Aspal yang meningkat berdasarkan nilai Indeks Penetrasi aspal yang semakin negatif menunjukkan bahwa temperatur sangat mempengaruhi sifat viskoelastis aspal. Dimana pada kondisi dingin aspal berupa semi padat dan pada kondisi panas berupa cair. Kepekaan ini akan mempengaruhi handling pada saat pencampuran dan pemadatan. Nilai Indeks Penetrasi seluruh Aspal disajikan pada Tabel 8 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 31 Tabel 8. Hasil perhitungan Penetration Indeks (PI) aspal Pen 60/70 memiliki kepadatan lebih tinggi bila dibandingkan dengan campuran Pen 60/70. Penambahan Asbuton dilihat pada setiap kadar aspal maupun pada kadar aspal optimum. Tabel 9. Suhu Pencampuran dan Pemadatan Temperatur pencampuran ditentukan pada saat nilai viskositas aspal sebesar 170 ± 20 Cst, sedangkan temperatur pemadatan ditentukan pada nilai viskositas aspal sebesar 280 ± 30 Cst. Grafik hubungan Viskositas dan suhu ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 2. Nilai viskositas pada aspal dengan kadar Asbuton 0%, 8% dan 10% Dari grafik tersebut, terlihat bahwa dengan penambahan asbuton, nilai viskositas semakin meningkat sehingga suhu pencampuran dan pemadatan juga semakin meningkat. 4.3 Analisis Pengujian Marshall 4.3.1 Volumetrik Campuran Nilai kepadatan, VFA, VIM dan VMA terhadap kadar aspal ditunjukkan pada Gambar 5. Berdasarkan grafik tersebut untuk campuran 32 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 Gambar 3. Nilai Kepadatan, VIM, VMA, dan VFA campuran terhadap kadar aspal Campuran Aspal Modifikasi Asbuton 8% dan 10% memiliki nilai kepadatan lebih rendah dibandingkan dengan campuran Aspal pen 60/70. Hal ini terjadi karena pengisian rongga campuran pada Aspal pen 60/70 dapat lebih mudah dan cepat bila dibandingkan dengan Aspal Modifikasi Asbuton 8% dan 10%, karena Aspal Modifikasi Asbuton 8% dan 10% memiliki sifat yang lebih keras dan kaku dibandingkan dengan Aspal pen 60/70. Campuran beraspal Asbuton 0% memiliki nilai VIM yang lebih tinggi, namun memenuhi ketentuan dari Spesifikasi Umum Bina Marga (revisi 3) yaitu 3–5%. Perbedaan nilai VIM pada ketiga campuran tersebut sangat kecil (tidak signifikan). Nilai VIM yang rendah menunjukkan kemampuan untuk mengalir yang cukup baik. Campuran beraspal Asbuton 0% memiliki nilai VMA yang lebih tinggi dibandingkan campuran beraspal Asbuton 8% dan 10%. Nilai kepadatan yang besar menyebabkan nilai VMA yang rendah, sehingga aspal yang menyelimuti agregat menjadi terbatas dan menghasilkan ketebalan aspal yang tipis. Campuran beraspal Asbuton 10% memiliki nilai VFA yang lebih tinggi dibandingkan dengan campuran beraspal Asbuton 0% dan 8%. Nilai VFA merupakan kandungan aspal efektif. Nilai VFA berkaitan dengan parameter VIM. Semakin kecil rongga dalam campuran diakibatkan oleh semakin banyaknya lapisan aspal yang menyelimuti agregat dan mengisi rongga dalam campuran serta untuk membatasi nilai VMA yang mendekati nilai minimum sehingga akan membutuhkan nilai VFA yang tinggi. 4.3.2 Stabilitas Marshall Campuran dengan penambahan asbuton memiliki stabilitas cenderung lebih tinggi (lebih kaku) dibandingkan campuran asal pen 60/70 dilihat dari stabilitas campuran yang meningkat. Hal tersebut sejalan dengan nilai penetrasi aspal yang semakin menurun, menunjukkan sifat aspal yang semakin kaku. Gambar 4. Nilai Stabilitas dan Flow terhadap kadar aspal Hasil pengujian flow pada penelitian menunjukkan bahwa untuk tingkat kadar aspal dibawah 6%, sebaran nilai flow tidak merata sehingga tidak bisa dilihat kecenderungan nilai flow. Kondisi ini disebabkan karena penambahan Asbuton sebanyak 8% dan 10% membuat aspal menjadi aspal keras dengan penetrasi rendah yang mempunyai temperatur pencampuran lebih tinggi daripada aspal Pen 60/70. Bertambahnya temperatur pencampuran menyebabkan flow akan naik. Hal ini menunjukkan bahwa film aspal yang menyelimuti agregat terlalu tebal, sehingga campuran menjadi semakin plastis. Gambar 5. Nilai MQ terhadap Kadar Aspal Berdasarkan gambar diatas kita ketahui bahwa nilai MQ pada campuran Aspal Modifikasi Asbuton 8% dan 10% lebih tinggi daripada campuran Aspal pen 60/70. Hal ini sesuai dengan nilai stabilitas yang didapatkan, dimana nilai stabilitas pada Aspal Modifikasi Asbuton 8% dan 10% lebih tinggi yang Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 33 berarti campuran lebih kaku. 4.4. Analisis Pengujian Modulus Resilien Campuran Pengujian menggunakan alat UMATTA (Universal Material Testing Aparatus) pada suhu 25°C, 35°C dan 45°C. Nilai Modulus resilien hasil pengujian ditunjukkan pada gambar berikut ini. 4.5. Analisis Pengujian Wheel Tracking Pengujian deformasi dengan Wheel Tracking Machine bertujuan untuk mensimulasikan deformasi yang terjadi pada perkerasan akibat lintasan kendaraan. Hasil pengujian dilakukan pada 2 (dua) variasi temperatur yaitu 45°C dan 60°C menunjukkan bahwa deformasi meningkat sejalan dengan peningkatan suhu, seperti terlihat pada Gambar 7. Gambar 6. Nilai Modulus Resilien Dari Gambar 6 diatas menunjukkan bahwa kenaikan suhu sangat berpengaruh terhadap penurunan nilai Modulus Resilien. Pada suhu pengujian 25°C, 35°C dan 45°C campuran beraspal dengan penambahan 10% Asbuton memiliki nilai Modulus Resilien yang lebih besar dibandingkan campuran beraspal Pen 60/70 dan penambahan 8% Asbuton. Nilai stabilitas aspal dengan penambahan Asbuton akan memperbesar nilai Modulus Resiliennya. Hal ini dikarenakan pada suhu tinggi aspal akan menjadi material yang semakin tidak elastis sehingga kemampuan aspal dalam mengikat akan sangat berkurang, menjadikan ikatan antara agregat dalam campuran menjadi tidak interlocking. Pada saat aspal tidak lagi sebagai pengikat dalam campuran, maka campuran yang akan mempunyai nilai Modulus Resilien besar adalah campuran yang memiliki aspal dengan nilai penetrasi indeks dan Sbit yang besar, yaitu aspal dengan penambahan 10% Asbuton. 34 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 Gambar 7. Hubungan Deformasi dengan Waktu pada Suhu Uji 45°C dan 60°C Gambar 8. Hubungan Total deformasi terhadap suhu Pada suhu 45°C terlihat bahwa campuran pen 60/70 mempunyai total deformasi paling tinggi, sedangkan pada suhu 60°C campuran yang memiliki nilai total deformasi paling tinggi adalah asbuton 10%, dan untuk campuran asbuton 8% memiliki nilai total deformasi paling kecil pada kedua suhu tersebut. Hal ini membuktikan bahwa campuran asbuton 8% lebih tahan terhadap perubahan temperatur dibandingkan campuran asbuton 10% dan campuran pen 60/70. campuran ini yang mempunyai kinerja lebih baik pada suhu sedang. Tetapi pada temperatur yang lebih tinggi (60°C) kinerja campuran asbuton 8% lebih baik dibandingkan dengan campuran lainnya. Hal ini bisa disebabkan oleh pengadukan campuran yang tidak rata serta pengecekan suhu pencampuran dan pemadatan yang tidak teliti. Pada saat melakukan pencampuran pada campuran asbuton 10% dimana nilai PI (Penetration Indeks) nya lebih baik bila dibandingkan dua campuran lainnya, sehingga seharusnya campuran tersebut lebih tahan terhadap perubahan suhu. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kadar asbuton optimum dari pengujian Wheel Tracking adalah 8% asbuton. 4.6. Analisis Pengujian Fatigue Pengujian kelelahan ini dilakukan dengan menggunakan kontrol terhadap regangan. Pada campuran yang diuji diberikan 3 (tiga) tingkat regangan yaitu 500 με, 600 με dan 700 με. Pemilihan besar regangan ini didasarkan pada ketentuan AASHTO T 321-03 yang mensyaratkan nilai regangan berkisar antara 250 με – 750 με. Hubungan antara regangan dan umur kelelahan yang dilakukan hingga kondisi runtuh tercapai bagi setiap variasi campuran, disajikan dalam Gambar 10. Gambar 9. Hubungan Stabilitas Dinamis dan Laju deformasi terhadap suhu Nilai stabilitas dinamis akan menurun sejalan dengan perubahan temperatur. Pada temperatur sedang (45°C) campuran asbuton 10% menghasilkan nilai stabilitas dinamis yang lebih tinggi. Hal ini sejalan juga dengan laju deformasi Gambar 10. Hubungan Umur Kelelahan dan Regangan Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 35 Gambar tersebut memperlihatkan bahwa nilai regangan berbanding terbalik dengan umur kelelahan, dimana semakin besar regangan yang diberikan maka jumlah siklus pembebanan akan semakin pendek. Hal ini disebabkan karena untuk mempertahankan regangan tersebut maka makin besar regangan yang diberikan akan menghasilkan tegangan yang semakin besar pula. Akibatnya beban yang diterima campuran akan semakin besar dan berdampak pada makin cepatnya campuran tersebut mengalami keruntuhan. Secara umum, campuran dengan penambahan Asbuton memiliki ketahanan yang lebih baik dibandingkan dengan campuran aspal Pen 60/70. Pada Gambar 11 secara garis besar dapat dilihat bahwa Modulus kekakuan lentur pada 8% Asbuton mempunyai nilai paling tinggi diantara kedua campuran lainnya pada saat nilai regangan 500 με, 600 με dan 700 με. Hal ini dikarenakan untuk mempertahankan regangan seperti yang ditentukan diawal, dibutuhkan nilai tegangan. Nilai tegangan yang didapatkan pada setiap campuran untuk menghasilkan regangan yang sama berbeda antara satu dengan lainnya. Nilai tegangan awal pada campuran dengan penambahan 8% Asbuton lebih besar dibandingkan kedua campuran lainnya, sehingga nilai Modulus kekakuan lentur dengan penambahan 8% Asbuton lebih besar bila dibandingkan yang lainnya pula. Sejalan dengan nilai Modulus kekakuan lentur, trend yang sama terjadi terhadap nilai Modulus elastisitas, dimana peningkatan Modulus elastisitas juga berpengaruh terhadap peningkatan umur kelelahan. Pada campuran dengan penambahan 8% Asbuton yang diberi regangan 500 με, 600 με, dan 700 με nilai Modulus elastisitasnya juga paling besar bila dibandingkan dengan 2 campuran lainnya. Hal ini merupakan pengaruh dari besarnya tegangan awal pada campuran 8% asbuton tersebut. Gambar 11. Hubungan Flexural Stiffness dan Modulus of Elasticity dan Regangan 36 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 Gambar 12. Nilai Phase Angle (δ) terhadap penambahan asbuton ekstraksi murni Gambar 12 menunjukkan bahwa peningkatan kadar Asbuton semakin menurunkan nilai Phase Angle. Penurunan tersebut semakin signifikan pada saat 500 με. Hal ini menjelaskan bahwa peningkatan kadar Asbuton membuat aspal menjadi semakin keras atau menuju sifat elastiknya. Sifat termoplastik aspal menjelaskan bahwa dengan peningkatan temperatur, aspal akan menuju sifat viscous. Secara keseluruhan hasil rekapitulasi pengujian dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 10. Rekapitulasi hasil pengujian campuran AC-WC ditambahkan asbuton : Hasil pengujian paling baik Dari Tabel 10 dapat ditarik kesimpulan bahwa kadar asbuton optimum yang disarankan untuk campuran AC-WC (Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 revisi 3) dalam pen 60/70 adalah 8%. Untuk hasil pengujian Marshall dan UMATTA campuran dengan asbuton 10% memang menunjukkan hasil yang lebih baik, tapi hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan campuran asbuton 8%. Selanjutnya hasil pengujian Indeks Kekuatan Sisa (IKS) campuran asbuton 8% memiliki nilai yang lebih baik bila dibandingkan dengan dua campuran lainnya. Hasil uji lanjut Wheel Tracking dan Fatigue juga memiliki hasil paling baik yaitu lebih tahan terhadap deformasi permanen dan fatigue cracking dibandingkan dua campuran lainnya. Sedangkan jika kadar asbuton pada campuran melebihi kadar asbuton optimum (8%) yaitu sebesar 10%, kinerja campuran terhadap deformasi permanen dan fatigue cracking mengalami penurunan kinerja sebagaimana ditunjukkan pada tabel tersebut. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 37 1. Evaluasi Karakteristik Aspal, Marshall dan kepadatan mutlak adalah sebagai berikut: a. Pengujian karakteristik aspal, Pen 60/70 dengan penambahan Asbuton menghasilkan kinerja aspal paling baik, membuktikan bahwa penambahan Asbuton dapat memperbaiki sifat reologi aspal Pen 60/70, ditunjukkan dengan nilai Penetrasi Indeks (PI) paling tinggi adalah (-0.158) yang menunjukkan peningkatan ketahanan terhadap perubahan suhu. Selanjutnya terjadi peningkatan kekerasan pada bitumen (nilai Pen mengalami penurunan) dimana nilai penetrasi aspal pen 60/70 sebesar 64dmm, campuran dengan 8% asbuton sebesar 44dmm, dan campuran dengan 10% asbuton sebesar 39,1dmm. Untuk nilai titik lembek (Softening Point) mengalami peningkatan: untuk aspal pen 60/70 sebesar 51°C, campuran dengan 8% asbuton sebesar 55°C, dan campuran dengan 10% asbuton meningkat menjadi 57°C serta mempunyai nilai daktilitas lebih besar dari 100cm. b. Hubungan penambahan kadar Asbuton terhadap suhu adalah bahwa seiring bertambahnya kadar Asbuton maka terjadi peningkatan suhu pencampuran dan suhu pemadatan, ditunjukkan dengan hasil pengujian viskositas yang semakin meningkat. c. Berdasarkan hasil pengujian Marshall Immersion, penambahan Asbuton dalam campuran AC-WC dapat menaikkan nilai VFA dan nilai stabilitas campuran AC-WC; menurunkan nilai kepadatan dan VIM; serta memiliki ketahanan lebih tinggi terhadap pengaruh infiltrasi air dan suhu tinggi. Nilai IKS (Indeks Kekuatan Sisa) paling baik pada campuran dengan 8% asbuton yaitu 97,64% sehingga campuran ini memiliki ketahanan terhadap pengaruh air yang lebih baik bila 38 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 dibandingkan dengan campuran pen 60/70 yang memiliki IKS 95,12% dan campuran dengan 10% asbuton sebesar 96,62%. 2. Evaluasi nilai Modulus Resilien dari campuran AC-WC a. Perbaikan sifat reologi dibuktikan dengan peningkatan nilai Modulus Resilien pada campuran dengan penambahan asbuton 10%. Nilai Modulus Resilien pada suhu 25°C sebesar 5549 MPa, 35°C sebesar 1734 MPa dan 45°C sebesar 628 MPa. Campuran ACWC dengan penambahan 10% Asbuton memiliki nilai Modulus Resilien paling baik diantara kedua campuran lainnya. b. Perbandingan nilai Modulus Resilien hasil Pengujian dan hasil perhitungan menggunakan persamaan Nottingham menunjukkan bahwa nilai Modulus Resilien pada campuran ACWC dengan penambahan 10% Asbuton pada suhu 45°C paling baik diantara kedua campuran lainnya, dimana rasio yang diperoleh sebesar 1,02. c. Rasio rata-rata nilai pengujian di laboratorium dengan perhitungan Modulus Resilien secara teoritis adalah sebesar 1,07. Hal ini membuktikan bahwa persamaan Nottingham dapat digunakan untuk perhitungan nilai Modulus kekakuan campuran AC-WC dengan penambahan Asbuton. 3. Evaluasi kinerja ketahanan deformasi campuran dengan Wheel Tracking Test a. Pada temperatur sedang (45°C), campuran AC-WC dengan penambahan asbuton 10% mempunyai nilai stabilitas dinamis paling tinggi. Sedangkan pada temperatur tinggi (60°C), campuran dengan penambahan asbuton 8% mempunyai nilai stabilitas dinamis paling tinggi, dan campuran dengan penambahan asbuton 10% mengalami penurunan stabilitas dinamis. Ini menunjukkan bahwa pada temperatur tinggi campuran ini bersifat lebih lentur. b. Peningkatan laju deformasi pada campuran akan bertambah seiring dengan turunnya nilai stabilitas dinamis. c. Hasil total deformasi pada campuran ACWC, menunjukkan bahwa penambahan kadar asbuton ke dalam campuran aspal dapat meningkatkan ketahanan terhadap total deformasi yang terjadi. d. Kadar penambahan asbuton paling optimum berdasarkan hasil pengujian Wheel Tracking adalah 8%. 4. Evaluasi ketahanan campuran terhadap retak lelah (fatigue cracking) berdasarkan Controlled Strain a. Pengujian fatigue menunjukkan bahwa penggunaan Asbuton pada campuran ACWC meningkatkan umur kelelahan bila dibandingkan campuran AC-WC tanpa Asbuton (Pen 60/70), dimana pada regangan 500με diperoleh umur kelelahan pada pen 60/70 sebesar 55550 Cycles, dengan penambahan 8% Asbuton sebesar 62520 Cycles, sedangkan pada campuran dengan penambahan 10% Asbuton umur kelelahan mengalami penurunan menjadi 44330 Cycles. b. Perbandingan umur kelelahan hasil pengujian dan hasil perhitungan menggunakan persamaan Nottingham menunjukkan bahwa, umur kelelahan pada campuran AC-WC dengan penambahan 8% Asbuton pada regangan 700με memberikan koreksi yang paling baik diantara kedua campuran lainnya, dimana rasio yang diperoleh sebesar 1,12. c. Nilai Phase Angle (δ) akan menurun seiring dengan peningkatan kadar asbuton ekstraksi murni dalam campuran dan makin signifikan pada saat pengujian dengan regangan 500με. Nilai Phase Angle (δ) yang makin kecil menunjukkan bahwa campuran tersebut lebih elastis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa campuran tersebut memiliki ketahanan lebih baik terhadap fatigue cracking. d. Kadar penambahan asbuton yang paling optimum berdasarkan hasil pengujian fatigue adalah 8%. 5. Kesimpulan Keseluruhan Pengujian Berdasarkan seluruh pengujian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa jenis campuran yang memiliki kinerja yang paling baik dari ketiga jenis campuran adalah campuran dengan 8% asbuton, (Tabel 10) yang dapat disimpulkan bahwa kadar asbuton optimum yang disarankan untuk campuran AC-WC (Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 revisi 3) dalam pen 60/70 adalah 8%, ditunjukkan dengan hasil uji lanjut Wheel Tracking dan Fatigue yang memiliki hasil paling baik, yaitu lebih tahan terhadap deformasi permanen dan fatigue cracking dibandingkan dua campuran lainnya. 5.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian, diusulkan beberapa saran sebagai berikut: 1. Penambahan kadar asbuton ke dalam campuran harus dibatasi agar tidak terjadi penurunan kinerja campuran utamanya pada parameter kekakuan dan total deformasi. 2. Perlu adanya pengembangan spesifikasi khusus untuk Asbuton murni hasil Ekstraksi dan menyertakan tingkat penambahan kadar aspal pada pengujian karakteristik aspal. Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 39 3. Agar melakukan konfirmasi sifat reologi aspal untuk mengetahui nilai Performance Grade (PG) pada jenis campuran AC-WC ini. 4. Melakukan pengujian reologi campuran untuk campuran HRA & SMA berdasarkan kadar asbuton optimum. DAFTAR PUSTAKA AASHTO. (1998). Standard Spesification for Transportation Materials and Methods of Sampling and Testing, Washington D.C. Affandi, Furqon. (2006a). Hasil Pemurnian Asbuton Lawalele sebagai Bahan pada Campuran Beraspal Untuk Perkerasan Jalan. Jurnal Jalan-Jembatan vol 23 no. 3 November 2006, Puslitbang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum. Affandi, Furqon.(2006b). Ekstraksi Aspal Asbuton untuk Campuran Beraspal Panas. Jurnal Jalan-Jembatan vol 23 no. 1 2006, Puslitbang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan Umum. Basyir, Ekawati. (2014). Analisis Pengaruh Waktu Pembebanan (Time Sweep) Terhadap Sifat Reologi Dasar dan Reologi Mekanistik pada Aspal Pen 60/70 dengan Penambahan Asbuton Murni. Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Djunaedi, Rico Octriyana. (2014). Kajian Karakteristik Reologi Campuran Lataston (HRS-WC) Berdasarkan Spesifikasi Kementerian Pekerjaan Umum Menggunakan Aspal Pen 60/70 Dengan Penambahan Asbuton Murni. Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Fitriadi, Harry.(2006). Evaluasi Modulus Kekakuan dari Campuran LATASTON Lapis Aus (HRS-WC) memakai Asbuton Lawele. Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Haryono, Nintyo Tri (2014). Kajian Reologi Campuran Aspal Laston AC-BC dengan Bahan Pengikat Aspal 40 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 Pen 60-70 Dan Bahan Modifikasi Asbuton murni. Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Indriyati, Eva Wahyu (2012). Kajian Perbaikan Sifat Reologi Visco-Elastic aspal dengan penambahan Asbuton murni menggunakan Parameter Complex Shear Modulus. Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Lusyana.(2006). Kajian Deformasi dan Stabilitas Dinamis Campuran LATASTON Lapis Aus (HRS-WC) yang Mengandung Asbuton Lawele. Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Primadiyanti, Suci Putri (2014). Evaluasi Perbaikan Sifat Reologi Visco-Elastic Aspal dengan Penambahan Asbuton Murni untuk Meningkatkan Kinerja Campuran Laston Lapis Pengikat (AC-BC) Bergradasi Kasar. Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Rahman, Harmein (2010). Evaluasi Model Modulus Bitumen Asbuton dan Model Modulus Campuran yang Mengandung Bitumen Asbuton. Laporan Disertasi, Institut Teknologi Bandung. Ramdhani, Fitra. (2013) Evaluasi Reologi Campuran Aspal Pen 80/100 Dan Bahan Modifikasi Asbuton Ekstraksi Penuh Sebagai Dasar Penentuan Kadar Bahan Modifikasi Optimum, Tesis, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Subagio, Bambang Sugeng, Karsaman, Rudy, Adwang, Jimmy, dan Fahmi, Ishaq. (2005). Fatigue Performance of HRA and superpave mixes using Indonesia rock asphalt (asbuton) as fine aggregate and filler. Jurnal Teknik Sipil, Institut Teknologi Bandung. Road Safety Management Towards Zero Accident: A literature review Oleh : Zuni Asih Nurhidayati Auditor Pertama Pada Inspektorat IV, Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR Alamat Kantor: Jl. Pattimura No.20 Gd. Menteri Lt.15, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 Email: [email protected] ABSTRAK The effective road safety programmes set up long-term strategy includes road infrastructure improvements and road safety policy measurement in order to reduce the fatalities number. Thus, this paper aims to provide an overview about road safety management; investigating the role of it towards zero accident vision; and analysing the barrier and challenges within those framework. By using literature review method, the paper will present an effective road safety management system gathered from many countries that successfully establish the system as lesson learned. Afterwards, it will be correlate with the number of fatalities, whether it is strongly influence or not within the discussion part. As the result, road safety management system is not directly linked to zero accident, yet it is a good start to gain high-quality performance on road safety. Kata Kunci : road safety programmes, road safety management, literature review, number of fatalities. INTRODUCTION Global Status Report on Road Safety (WHO, 2013) revealed that around 3400 people death due to traffic casualties every day. Many people travel from their origins to its destination, yet never to return caused by road crash accident. Road safety is multi-sectoral problems as multi-disciplinary activity. In fact, pedestrians, cyclists, and other Vulnerable Road Users (VRU’s) are among the most victim constitutes to road traffic injuries. One of the main reason for their vulnerability is Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 41 the current road safety action plan. In response to this issues, road safety management system is the closest point related to road safety policy which formulate current action plan. In details, aside of the number of traffic fatalities reason, road safety management system is urgently needed due to the high cost of motorised mobility (Elvik, 2008). It also has highly effect on society and public health regarding to Elvik (2008). The serious health loss were raised year to year in many countries due to traffic accident, particularly in low and middle income countries (Bliss & Breen, 2012). Moreover, the ambitious targets has been set for road safety in holistic point of view, such as sustainable safety known as road safety principle introduced by Netherland (Wegman, Aarts, & Bax, 2008), the zero vision approach by Sweden (Tingvall et al., 2010), and etc. Since road safety management play a significant part on the application of road safety performance as the first pillar programme within the road safety action plan, this paper is try to examine more about this issues. Several research shows that road safety performance is significant factor influencing road accident occurrences ( Jahi, Muhlrad, Buttler, Gitelman, Bax, Dupont, & Yannis, 2012) (Wegman et al., 2015) (Tiwari and Mohan, 2015) and certainly linked to the road safety management indicators such as “vision and strategy”, budget, evaluation and reporting, and measurement of road user attitudes and behaviour” (Papadimitriou and Yannis, 2013). Furthermore, a conceptualization of effective road safety management system needs to enhance to achieve synergism among each related actors. Some factors such as leadership, ownership and accountability are requires for achieving the zero 42 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 vision targets ( Johansson, 2009). Improving road safety management system can be viewed as holistic context which involving road users, public and private stakeholders towards on an effective road safety policy. These collaboration process were assessed by several components as road safety measurement such as targets and programmes on each level ( Jahi et al., 2012) (Tiwari and Mohan, 2015). As a consequence, complex problems arise from this activities due to conflict of interest among each actors. Moreover, the intervention of political situation and geographical levels took strong enough part within this scenario. Thus, building up an effective road safety management structures is a long term vision and require policy formulation, adoption, implementation and evaluation (Tiwari and Mohan, 2015). This paper carries the theme “Road Safety Management Towards Zero Accident: A Literature Review” adresses the emergence of road safety management based on the several paper as literature review over the last decade. This resulted in 124 full text online literature (journal articles, book, dissertation and conference proceeding) on road safety management and zero road accident from 1989 to date. Moreover, according to library database, it leads to main literature concern more on road safety management system and its evaluation methods. By using literature review as research methodology, the aim of this paper are (1) provide an overview about road safety management; (2) investigating the role of road safety management towards zero accident vision; and (3) analysing the barrier and challenges within those framework. ROAD SAFETY MANAGEMENT 1. Main component on road safety management Road safety management were established and developed to obtain an effective road safety programme on reducing the number of fatalities in road, including the number of serious injuries by 50% by 2020 (Elvik, 2008). A system of structured management are being expected to improve and furthermore to achieve those target based on several research recently. For instance, some research has hypothesis does road safety management highly affecting to the road safety performance (Elvik, 2008) (Elvik, 2012) (Elvik, 2008). However, creating an effective road safety management is not an easy way as it thought. There are several requirements or conditions on the way to establish a successful road safety management (Elvik, 2008): (1) the highly motivation from the top of management (leading politicians), actualized in a firm commitment to gain the goal; (2) the challenging targets; (3) the reasonable targets in which clearly achievable; (4) the authority agency in actualizing the policy instruments; (5) A sufficient funding or budget to accommodate the action plan; (6) a system of monitoring and evaluation for each agencies performance; and (7) an incentives for those agencies who successfully commit for their responsibilities. Aline with those requirements, the tools for road safety management are also needed, that is a road safety audits, safety inspection, network screening, road crash accident modelling, road protection scoring, the hazardous location identification, the road safety impact assessment, road user behaviour monitoring, traffic conflict studies and in–depth road crash accident research (Elvik, 2012). According to (Persaud, Lan, Lyon, & Bhim, 2010), two of the most significant tools are network screening and road safety impact assessment (before-after evaluation). Therefore, a comprehensive road safety management system are needed to formulate and synchronised those tools. However, such a comprehensive road safety management consist of main component for the diagnosis (Muhlrad, 2009). First component is the road crash and injury situation or safety data (Li & Chen, 2007). A briefly and trusted information regarding to the number of traffic casualties were strongly needed as basic knowledge to analyse the root of road safety policy implementation (Muhlrad, 2009). Contextual to this, Bayesian hierarchical models can be used for analysing the road crash prediction models (Huang & AbdelAty, 2010). The second one for the main component diagnosis is the road safety actors and current measurement (Muhlrad, 2009) or safety action plan (Li & Chen, 2007). For additional information, (Elvik, Vaa, Erke, & Sorensen, 2009) formulate the Handbook of Road Safety Measures in order to provide the readers, road safety actors in particular, a brief knowledge about the effects of road safety measures at any level and element of the road system. The third component, the institutional organization and road safety management methods, is a complete inventory of actors (Muhlrad, 2009). Within this component are underlined the responsibilities, tasks and function of each actors on how road safety interventions can Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 43 be actualised. Lastly, the fund allocation or budget for financing the tasks including accommodate the personnel training, logistic, maintenance, operational, monitoring, and evaluation cost. To summarise the comprehensive of road safety management system framework in cycle, the figure 1 below are provided. For the interventions level, it related with the road network: (1) planning, design, operation and use; (2) entry and exit of drivers and vehicles; and (3) recovery and rehabilitation of crash victims (Bliss & Breen, 2012). For instance, the hazardous location detection from road safety agency will be executed by related institution through physical improvement such as shoulders rehabilitation, traffic calming, etc. Lastly, for the results level, it is focus on social cost, final outcomes, intermediate outcomes and output’s (Bliss & Breen, 2012). 2. Vision Zero Requirements As an ideal goal of road safety framework, the so–called zero–tolerance on road crash casualties or known as Vision Zero approach (Tingvall et al., 2010) is presented as a longterm targets (Elvik et al., 2009), Figure 1. Framework of road safety management system (Li & Chen, 2007) a fully commitment which Contextual to the road safety management underlined in each road safety actors mind to framework as above, the road safety management prevent of serious injuries, road accident leads system is derives from three main levels, that to fatality ( Johansson, 2009) (Corben, Logan, is institutional management function level, Fanciulli, Farley, & Cameron, 2010). The notion interventions level and the results level (Bliss of Zero Vision strategy literally introduced in & Breen, 2012). The institutional management 1997 by the Road Traffic Safety Bill, the Swedish functions are encompass coordination, legislation, Parliament as a commitment that no one of road funding and resource allocation, promotion, users will be killed or fatality injured in a road monitoring and evaluation, and the last is research transport system (Larsson, Dekker, & Tingvall, and development knowledge transfer (Bliss & 2010). The Vision Zero Approach explicitly states Breen, 2012). In this level, the role of government that the road safety is a shared responsibility by as central lead command to enhance, manage, each actors of road transport system (designers, synchronise all of road safety actors. According administrators, professional users, and road users) to several lesson learned country, it can be done (Larsson et al., 2010). Concisely, according to by establish a lead agency in advance (Gitelman, Larsson et al. (2010), the systems theory of Vision Hendel, Carmel, & Bekhor, 2012). Zero can be found as foundation in these features: 44 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 (1) safety as an emergent component; (2) system and performance variability; and (3) systems as hierarchical structures. As a traffic safety policy, Vision Zero requires several condition that is (1) the responsible road transport system designers, (2) the responsible road users in daily activities, and (3) a reliable road system design that prevent the road users from fatality accidents ( Johansson, 2009). Moreover, zero accident targets stressed the following principles for road system design, integration and separation to establish the error-tolerance within road system network ( Johansson, 2009). RESEARCH METHODOLOGY The literature review discusses the main component factors on road safety management and the requirement parameter to gain the zero accident as the main goal of the framework. Literature was selected from various disciplines such as economics, engineering, public health, social welfare, environment, government, political science, public health, and social science. This paper using Hasselt University Library database within seeking road safety management keyword as a guideline and it resulted in some journal articles and publication. Focusing on road safety management as the main topic, this paper specify filtering component, importance factors and relates articles to that for narrowing down the literature quarry. The number of countries which are the best practice in road safety management were investigated based on several research such as Johnston (2010), Wegman et al. (2015), Papadimitriou & Yannis (2013). Those countries will be compare with the countries which has least number of traffic accident leads to fatality. Furthermore, the paper also investigate barriers and challenge, determining the effective parameter to achieve the goal of road safety framework. By obtaining this method, the author try to provide a clearly information for the reader regarding to road safety management and its matter. By the end of the article, all of component were measured towards the number of accident in some countries as lesson learned, whether it’s successfully affecting or not. DISCUSSIONS 1. Review of Road Safety Management Development Nowadays, most countries have an explicit ambition to eliminate fatality and serious injury from traffic accident occurrences, for both groups, low and middle income countries and also developed countries (OECD, 2008). Contextual to this, an effective road safety action plan requires an effective road safety management system. In term of European countries assessment, it has been investigated through 14 European countries in 2010 and five main elements of road safety management ( Jähi et al., 2012). The five main criteria regarding to Jähi et al. (2012) are: (1) institutional organisation, coordination and stakeholders’ intervention; (2) policy formulation and adoption; (3) Policy implementation and funding/budget; (4) monitoring and evaluation; and (5) scientific data, information and capacity building. Based on this research, the beneficial result from the investigation will lead on the best practice recommendation at national, local level and European Level. For example, at national and local level, it is recommend to adopting the safe system approach ( Johnston, 2010) such as Zero Vision Strategy as Sweden Government Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 45 Commitment in road safety policy ( Johansson, 2009). For the case of low and middle income countries, the result from research above are also adaptable as development and analysist tools to investigate the road safety management condition and policy making for both national and local level ( Jähi et al., 2012). The framework developed in the research also covers the significant elements of road safety management assessment from beginning (pre-conditions), execution process of the program, road safety actors, data and reporting, monitoring and evaluation phase, and proposal for future improvement. Moreover, it also provide a comprehensive description of road safety management situation in the representative country as a lesson learned for each other ( Johnston, 2010). 2. Correlation Between Road Safety Management And Zero Accident Target Since the zero accident target can be set as a goal within road safety performance indicator, the correlation among road safety management and its target were hypotheses as highly influenced each other. Firstly, the leading countries on road safety management were examined using a formal tools Elvik (2012) as Table 1 below. Table 1. Sample of Use of Formal Tools for Road Safety Management (Elvik, 2012) 46 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 Regarding to above information, the sample of 5 countries categorised within best road safety management evaluation are Netherlands, Finland, Norway, Great Britain and Norway (Elvik, 2012). Thus, second step is comparing with the number of fatalities trend for each countries. The result shows there is no direct relationship between road safety management and the number of road accident fatalities. Yet it has been suggested to correlate the road safety management with road safety performance (Papadimitriou & Yannis, 2013). These suggestion are proposed as policy improvement since it can reduce the number of fatalities on road network. According to the result, it also shows that there are a decreased trend for all of those countries (aside of Iceland) in traffic fatality number from 1990 to 2009, even though the effect of road safety management is indirect ( Jähi et al., 2012). To summarise, based on those research, it has been expected that the more extensive the use of road safety management evaluation tools, the lower of the road accident fatality number (Elvik, 2012). Johnston (2010) also support those number of road crash fatality improvement for several countries sample above as Table 3 below. Table 2. Road crash fatality improvements ( Johnston, 2010) Furthermore, this trend also a line with the result from road safety management evaluation by conducting 3 different subjects (1) ex-post evaluation (2) ex-ante evaluation and (3) research results transferability (Wegman et al., 2015). For instance, Netherlands conduct an evaluation every four years to check current road safety policy strategies. From the ex-ante evaluation, it has been show that the target was not obtained regarding to the number of serious injuries. Meanwhile for the ex-post evaluations, it concluded that the 10 years evaluation for several policy is still relevant. Contextual to this, the Vision Zero approach can be seen not achieved yet, particularly for developed countries who adopt this public road safety policy ( Johnston, 2010). To date, the Vision Zero principle has been used as the fundamental of basic road safety policies improvement such as sustainable safety principle in Netherlands (Wegman et al., 2008). The sustainable safety principles are encompass 4 key elements: (1) the road crash prevention vision; (2) all main factors (vehicles, roads and traffic system) must performed maximise; (3) reduced number on latent errors on road traffic system and (4) the shared responsibility among each elements and good coordination (Wegman et al., 2008). Thus, the keys to achieve the zero accident vision in which related to best practice of road safety management can be summed up in four part, that is constituency, commitment, cooperation and coordination ( Johnston, 2010). The ideal best practice is occur when the decision makers (municipalities, road authorities, police authority, and related institution) have a good understanding and willingness to apply the modelling work form practitioners (professional, researchers) on the way to gain a safe system (Wegman et al., 2015). 3. Barriers and Challenges Within the journey to gain the Zero Vision targets, Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 47 there are barriers on each levels of the road safety management system identification regarding to Bliss & Breen (2012) as below: Coordination – the coordination among each institution is one of the main issue during the process in actualising the effective road safety management system. Lead responsibility for road safety enhancement needs to be synchronised and conducted in sustainable way through the lead agency. For instance, a reciprocal working relationship between police authorities, transportation institution and roads authorities within road safety audits team could be done during the action plan by the arrangement of the lead agency. The barriers and challenges during those reciprocal working can be occurs such as the communication, the capability of actors, the schedule list for each institution, etc. In briefly, multi-sectoral coordination should be refers to the triumph of local precedents (Bliss & Breen, 2012). Moreover, sharing responsibility among central and local government within the bilateral partnership is a new road safety vision as known as sustainable safety (Wegman et al., 2008). The level of coordination are also became one of barrier in bureaucracy system (Wegman, 2000). The national coordinating arrangements and structures should be act as an extension as the use of platform to manage the targets and the resources (Bliss & Breen, 2012). Thus, the need of formal statement such as Memorandum of Understanding (MoU) among each actors (including non-government organization, the business sector, and professional institutes) cannot be neglected in this case since it can encourage the members related with their responsibility, accountability to achieve the targets. 48 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 The best practice coordination model are provided as Figure 2 as below. Figure 2. the best practice of road safety managemen system in coordination based on The World Bank and OECD (Wegman, 2000) Legislation – Typically, the legislation function are concerned on several elements such as the legislative framework (reviewed periodically), effectiveness, and cost and benefit analysis, the public awareness, and road safety strategy in practical (Canoquena, 2013). It also involves the consolidating legislation and other legislative instruments related with road safety action plan (Bliss & Breen, 2012). For the barriers and challenges within legislation element can be addresses on land use, vehicles, roads, road user’s safety standards, post-crash handling, and etc. Funding/Budget and resource allocation – It is important to ensure the budget for the road safety action plan and its system since it should be sufficiently accommodate the whole action. Thus, new funding efforts and mechanism may need to be enhanced to gain high performance road safety targets such as road safety investment (i.e. injury insurance companies, road accident victim’s rehabilitation in trauma, etc.) (Bliss & Breen, 2012). Moreover, the funding source also can be gained from fuel taxes, vehicles taxes and registration, freight transport taxes, users fees (i.e. toll road, Electronic Road Pricing, etc.), licensing, earmarked taxes, and insurance levies. Yet, the barriers and challenges are occurs during the process such as the road safety officers commitment, the bureaucracy commitment on corruption and bribery, the willingness of road users to participate with the action plan, and etc. Meanwhile for the resource allocation, the barriers and challenges is commonly underlined in cost-benefit analysis (Bliss & Breen, 2012). Promotion – regarding to promotion element, it closely related to road safety campaign activities through all media (newspaper, electronic media, and etc.). Publication in road safety has barriers and challenges in process such as the funding or budget, personal skills trainer, and educational level, surveillance and the limited information (Larsson et al., 2010). Monitoring and evaluation programs – Periodic monitoring and evaluation within road action programmes is essential action since it leads to the road safety performance assessment. Yet there are several barriers and challenges regarding this scene such as the resource for road safety officers, the licensed driver numbers, registered vehicles numbers, the population levels, the road users behaviour, roads performance, medical handling due to road accident occurrences, driving license issues, new transport policy implementation, cheap motorised vehicle’s sales, and etc., (Bliss & Breen, 2012). Research and development knowledge transfer – The last element from this scene are encompass research and study related with road safety field. It aims to generate comprehensive knowledge, skills and its road safety evolution. The best practice model from countries as the lesson learned is the effective way to apply the road safety management system structures ( Johnston, 2010). Knowledge transfer should be undertaken and taking into account from top management to the bottom level to achieve Zero Vision targets ( Johansson, 2009). Contextual to this, the barriers and challenges within this scene are also cannot be neglected. For instance the coordination among the politician who has an authority to execute road safety policy in road safety management system and the researchers, the limitation of fund and budget for road safety management research and the commitment of lead agency to integrate road safety research into practical are also important to be handled. Thus, each of institution should be linked by developing capacity for this element. Meanwhile for the developing of road safety management in effective way and efficient, there should be existed two pre-condition factors according to Jähi et al. (2012). The first one is the political will at the higher level of authority. A strong of political will to establish a wellorganised of the road safety management body. Yet, the common problems for this is usual administrative sectoral hierarchies or bureaucracy system such as bribery, corruption and etc. Those such political will could be assessed through several component (Bliss & Breen, 2012): the establishment of lead agency at national level; the adopting policy as long-term vision strategy; a compelling targets in number; strong commitment at the higher level; a national road safety action plan; an accountable funding/budget; an effective institutional structures (well-coordinated); a Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 49 clear task and responsibility for each of road safety actors; feedback and monitoring system after applying new transport policy and program implementation; and supporting knowledge process, both of production and transferring to each level. The second requirement as seen as barriers and challenge is the existence of road safety culture climate ( Jähi et al., 2012). The culture of the road user and road safety officer are underlined within this pre-condition. The road user’s perception regarding to current issues are important in this part since the knowledge transfer play a part due to the road safety issues ( Jähi et al., 2012). Thus, a recommended road safety culture climate encompass several part: an active information policy; scientific agencies; an effective national road safety program and transport environment ( Jähi et al., 2012). CONCLUSIONS Developing road safety management system is a comprehensive task as an integral part within road safety improvement towards zero accident. It requires an enabling organisational setting, an effective institutional management structure and well coordination in process to achieve the targets. An effective road safety management system is not directly linked to zero accident, yet it is a good foundation to start the road safety action plan which leads to high-quality performance, zero accident number in traffic fatalities on road network. The barriers and challenges aspects of road safety management system towards zero accident target should not be neglected. Starting from the coordination element to research and development knowledge transfer element should be integrated 50 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 and sustained in a transversal linkages (involving all of actors in road safety) at national and local level. Thus, the legal and regulatory are needed in making institutional management working in sustainable way. Furthermore, the political will at higher level and the road safety culture climate are two main factors as precondition requirement within building and enhancing an effective road safety management in future. REFERENCES Bliss, T., & Breen, J. (2012). Meeting the management challenges of the Decade of Action for Road Safety. IATSS Research, 35(2), 48–55. http://doi. org/10.1016/j.iatssr.2011.12.001 Canoquena, J. M. da C. (2013). Reconceptualising policy integration in road safety management. Transport Policy, 25, 61–80. http://doi.org/10.1016/j. tranpol.2012.09.003 Corben, B. F., Logan, D. B., Fanciulli, L., Farley, R., & Cameron, I. (2010). Strengthening road safety strategy development “Towards Zero” 2008–2020 – Western Australia’s experience scientific research on road safety management SWOV workshop 16 and 17 November 2009. Safety Science, 48(9), 1085– 1097. http://doi.org/10.1016/j.ssci.2009.10.005 Elvik, R. (2008). Road safety management by objectives: A critical analysis of the Norwegian approach. Accident Analysis & Prevention, 40(3), 1115–1122. http://doi.org/10.1016/j.aap.2007.12.002 Elvik, R. (2012). Does Use of Formal Tools for Road Safety Management Improve Safety Performance? Transportation Research Record: Journal of the Transportation Research Board, 2318, 1–6. http:// doi.org/10.3141/2318-01 Elvik, R., Vaa, T., Erke, A., & Sorensen, M. (2009). The Handbook of Road Safety Measures, Second Edition. Emerald Group Publishing. Gitelman, V., Hendel, L., Carmel, R., & Bekhor, S. (2012). An examination of the national road-safety programs in the ten world’s leading countries in road safety. European Transport Research Review, 4(4), 175–188. http://doi.org/10.1007/s12544-0120081-x Huang, H., & Abdel-Aty, M. (2010). Multilevel data and Bayesian analysis in traffic safety. Accident Analysis & Prevention, 42(6), 1556–1565. http:// doi.org/10.1016/j.aap.2010.03.013 Jähi, H., Muhlrad, N., Buttler, I., Gitelman, V., Bax, C., Dupont, E., … Yannis, G. (2012). Investigating Road Safety Management Processes in Europe. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 48, 2130–2139. http://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.06.1186 Johansson, R. (2009). Vision Zero – Implementing a policy for traffic safety. Safety Science, 47(6), 826– 831. http://doi.org/10.1016/j.ssci.2008.10.023 Johnston, I. (2010). Beyond “best practice” road safety thinking and systems management – A case for culture change research. Safety Science, 48(9), 1175– 1181. http://doi.org/10.1016/j.ssci.2009.12.003 Larsson, P., Dekker, S. W. A., & Tingvall, C. (2010). The need for a systems theory approach to road safety. Safety Science, 48(9), 1167–1174. http:// doi.org/10.1016/j.ssci.2009.10.006 Li, N., & Chen, W. (2007). Comprehensive System of Road Safety Management: Framework for Improving Road Safety in China. Transportation Research Record: Journal of the Transportation Research Board, 2038, 34–41. http://doi. org/10.3141/2038-05 Papadimitriou, E., & Yannis, G. (2013). Is road safety management linked to road safety performance? Accident Analysis & Prevention, 59, 593–603. http://doi.org/10.1016/j.aap.2013.07.015 Persaud, B., Lan, B., Lyon, C., & Bhim, R. (2010). Comparison of empirical Bayes and full Bayes approaches for before–after road safety evaluations. Accident Analysis & Prevention, 42(1), 38–43. http://doi.org/10.1016/j.aap.2009.06.028 Tingvall, C., Stigson, H., Eriksson, L., Johansson, R., Krafft, M., & Lie, A. (2010). The properties of Safety Performance Indicators in target setting, projections and safety design of the road transport system. Accident Analysis & Prevention, 42(2), 372–376. http://doi.org/10.1016/j.aap.2009.08.015 Tiwari G, Mohan D. (2015). Road Safety Management from national to local level. Transportation planning and Road Safety Wegman, F., Aarts, L., & Bax, C. (2008). Advancing sustainable safety: National road safety outlook for The Netherlands for 2005–2020. Safety Science, 46(2), 323–343. http://doi.org/10.1016/j. ssci.2007.06.013 Wegman, F., Berg, H.-Y., Cameron, I., Thompson, C., Siegrist, S., & Weijermars, W. (2015). Evidencebased and data-driven road safety management. IATSS Research, 39(1), 19–25. http://doi. org/10.1016/j.iatssr.2015.04.001 Wegman, F. (2000). Sharing responsibility: central and local government partnership. In ETSC Best in Europe Conference, Brussels. WHO. 2013. Global Status Report on Road Safety. Supporting a Decade of Action (DoA). Retrieved from: http://www.who.int/violence_injury_ prevention/road_safety_status/2013/report/en/ Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 51 52 Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 PETUNJUK PENULISAN NASKAH 1. Redaksi menerima naskah/karya ilmiah bidang pengawasan, hukum, administrasi dan manajemen pada umumnya dari dalam dan luar lingkungan Inspektorat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Naskah yang masuk diperiksa oleh penyunting ahli. 2. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian, pengalaman yang belum dan tidak akan dipublikasikan dalam media cetak lain. Keaslian karya tulisan dan belum pernah dipublikasikan sangat dijunjung tinggi. 3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, diserahkan dalam file elektronik dalam program MS Office disertai dua eksemplar cetakan. Jumlah tulisan maksimum 15 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar rujukan. 4. Sistematika penulisan disusun sebagai berikut: Bagian awal: nama penulis, abstrak (abstrak ditulis dengan huruf italic). Bagian utama: Pendahuluan, tulisan pokok, kesimpulan dan saran. Bagian akhir: simbol dan daftar pustaka. 5. Judul tulisan sesingkat mungkin, tetapi tidak memberikan peluang penafsiran yang beraneka ragam, ditulis dengan huruf kapital posisi tengah. 6. Intisari (Abstrak) memuat permasalahan, pemecahan, hasil yang diperoleh, harus ada kata kunci (keyword) dan tidak lebih dari 200 kata. 7. Teknik Penulisan: a. Naskah diketik dalam 2 (dua) spasi pada kertas ukuran A4 dengan margin sisi kiri dan bawah: 4cm, sisi atas dan kanan 3cm. Diharapkan panjang naskah diantara 12 sampai 15 halaman termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar pustaka. b. Kata Asing ditulis dengan huruf italic, bilangan ditulis dengan angka kecuali pada awal kalimat. c. Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang jelas. Judul tabel diletakan dibagian atas, sedang judul gambar dibagian bawah. d. Sumber pustaka ditulis dalam urutan abjad nama penulis dan disusun menurut aturan yang sudah baku. 8. Dewan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi tulisan. 9. Dewan Redaksi dapat menyesuaikan bahasa dan/atau istilah tanpa mengubah isi dan pengertiannya dengan tidak memberitahu kepada penulis, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dahulu dengan penulis. 10. Tulisan yang dimuat dalam Jurnal ini menjadi hak milik Inspektorat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jurnal Auditor, Volume IX, No.17, Juni 2016 53 Inspektorat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat