ISIS DAULAH, KHILAFAH ATAU JAMAAH?
Transcription
ISIS DAULAH, KHILAFAH ATAU JAMAAH?
SALAM F okus umat Islam terhadap krisis Suriah terbelah. Belum kering darah yang ditumpahkan rezim kafir Bashar Asad, fitnah muncul dalam bentuk perselisihan yang tajam di antara elemen Mujahidin. Menentukan siapa benar siapa keliru, bukan semudah membalik tangan. Fitnah yang rumit dan lebih ruwet ketimbang menentukan jawaban mana lebih duluan; telur atau ayam. Masing-masing pihak memiliki landasan dan argumen tersendiri atas sikap dan tindakan yang diambilnya. Belum kelar mentas dari keprihatinan ini, muncul lagi keprihatinan yang tak kalah memilukan. Sebagian aktivis jihad Indonesia hari ini terjebak dalam pengkubuan, larut dalam klaim membenarkan satu kelompok dengan mencela kelompok lain—meski kelompok-kelompok tersebut sama-sama mujahidin. Internet menjadi lahan pergunjingan. Vonis-vonis keji seperti “kafir” dan “murtad” begitu mudah diucapkan ketika tak dicapai kata sepakat dalam berdebat. Cepat reaksi, instan berpikir dan gampang berkesimpulan, adalah wabah yang diakibatkan oleh sindrom debat kusir internet ini. Kita pun terbius, dan tak lagi tertarik untuk mendalami masalah dan peristiwa secara lebih adil, bijak dan ilmiah. Sebagai bagian dari media umat Islam, kiblat.net merasa berkewajiban untuk memberikan informasi yang utuh, tak berpihak dan yang tak kalah penting memiliki pijakan ilmiah. Kami memandang titik krusial yang menjadi pemantik fitnah ini adalah perbedaan pendapat dalam masalah status kepemimpinan dan konsekuensi baiat kepadanya. Rancangan penulisan majalah ini sudah kami susun sebulan lalu, sebelum juru bicara ISIS Syaikh Abu Muhammad Al-Adnani mendeklarasikan pendirian khilafah oleh ISIS. Meski pengakuan statusnya telah berubah dari “daulah” menjadi “khilafah,” tulisan dalam majalah ini tetap relevan sebagai pijakan dasar untuk memahami bagaimana konsep Islam dalam imamah (kepemimpinan) tersebut. Selamat membaca! Redaktur Ahli : Abu Zahrah, Abu Abdurrahman Pimpinan Redaksi : Tony Syarqi Redaksi : Agus Abdullah, Fahruddin, Dhani el-Ashimi, Bashirudin R, Miftahul Ihsan MAJALAH DIGITAL KIBLAT adalah salah satu konten dari situs berita Islam www.kiblat.net. Dapat diunduh dan sebarluaskan secara cuma-cuma. Email : [email protected] Donasi: BCA 7735072587 BNI Syariah 0298526555 BNI Syariah atas nama Muh Bashirudin Rosyed. kiblat Ramadhan 1435 h 2 MUNAQOSYAH BAIAT KEWAJIBAN, APLIKASI & PENYELEWENGAN D eklarasi Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) April 2013—yang kemudian disusul pendeklarasian khilafah pada 29 Juni 2014 lalu—menyisakan polemik. Seruan baiat kepada Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi, pemimpin ISIS yang menyusul deklarasi tersebut mendapat berbagai tanggapan. Ada yang disambut dan ada yang ditolak. Dihantar kecanggihan sarana teknologi informasi dan komunikasi, polemik itu pun sampai juga ke Indonesia. Seseorang yang menyebut dirinya Ikhwan yang taat kepada Allah disebut-sebut sebagai orang pertama yang menyatakan baiat kepada ISIS.1 Namun, tidak sedikit ulama yang menganggap baiat Syaikh Al-Baghdadi tidak sah. Salah satu contohnya, Syaikh Sulaiman bin Nashir Al-Ulwan mengatakan, “Daulah maupun Al-Baghdadi tidak berhak atas baiat umum kaum muslimin, karena salah satu syarat baiat umum adalah dipilih oleh Ahlu Halli wal ‘Aqdi, dan Al-Baghdadi tidak dipilih oleh siapa pun. Bila Dr. Ayman AzZhawahiri yang merupakan amir dan penanggung jawabnya saja tidak setuju dengan sikapnya, bagaimana ia menuntut orang lain untuk membaiatnya?”2 1. 2. http://al-mustaqbal.net/baiat-pertama-dari-indonesia-mulai-mengalir-ke-isis/ [23 Juni 2014] http://www.youtube.com/watch?v=eapGxmDk9f8&feature=youtu.be [23 Juni 2014] kiblat Ramadhan 1435 h 3 MUNAQOSYAH Banyak atau sedikitnya dukungan kepada sesuatu pada dasarnya tidak bisa menjadi dasar untuk menentukan sikap. Dasar bagi orang beriman untuk berbuat adalah ilmu yang benar, karena ilmu mendahului perkataan dan perbuatan. Ada ungkapan salaf, “Bila engkau mampu untuk tidak menggaruk kepala kecuali dengan dalil, maka lakukanlah.” Artinya, dalam urusan agama, kita tidak boleh ikutikutan. Orang ke utara kita ke utara, orang ke selatan kita pun nurut! Boleh saja ikut ke utara, tetapi apa dasarnya? Maka dalam urusan ini, berbaiat atau tidak, semua harus dilandasi dengan ilmu yang benar. Baiat adalah salah satu elemen dalam sebuah jamaah yang mengikat antara pemimpin dan jamaahnya. Maknanya, tujuan baiat adalah mempersatukan umat Islam dalam satu pemimpin dan jamaah. Sebab esensi dari baiat adalah ketaatan dan kesetiaan kepada pemimpin selama tidak dalam maksiat. Berjamaah adalah perintah Islam, “Dan berpeganglah kalian kepada tali (agama) Allah dan janganlah berpecah belah.” (Ali Imran: 103). Banyaknya perselisihan dan perbedaan manhaj akibat pemahaman yang keliru tentang Islam maka lahirlah Manhaj Ahlu Sunnah wal Jamaah. Ulama salaf menjelaskan bahwa berjamaah adalah: mengikuti sunnah meskipun engkau sendirian. Maka, ketika ada dua orang yang mengikuti sunnah, keduanya harus bergabung dalam satu jamaah sebagai pelaksanaan perintah berjamaah dalam Al-Qur’an. Bila tidak, yang terjadi adalah perpecahan. Sebab masing-masing pihak akan mengklaim kebenaran. Ini baru dua orang. Bagaimana bila dari dua ini berkembang dan banyak pengikut? Tulisan ini mengajak pembaca untuk berdiskusi tentang baiat sebagai elemen untuk mewujudkan kehidupan berjamaah, yang kemudian dalam praktiknya justru perpecahan yang terjadi. Kemudian, kita akan mencoba mengurai di manakah kesalahan itu dan bagaimana perbaikan yang mesti kita lakukan untuk kembali kepada tujuan awal, yaitu berjamaah dalam kebenaran. Definisi Baiat Ibnu Al-Atsir mengatakan, “Baiat ialah ungkapan tentang akad dan perjanjian, seolah-olah masing-masing pihak menjual apa yang ada pada dirinya dan memberikan jiwa dan ketaatannya secara tulus dari dasar hatinya.” 3 Ibnu Khaldun mengatakan, “Baiat ialah janji untuk taat. Orang yang berbaiat itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang urusan dirinya dan urusan kaum muslimin, sedikit pun tanpa menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.”4 Baiat adalah bagian dari syariat Islam sudah dilaksanakan sejak masa Rasulullah. Bahkan diabadikan di dalam Al-Qur’an. ذين ُيبايِعونَكَ �إِنَّما ُيبايِعو َن اللَّ َه َي ُد اللَّ ِه َ َّ�إِ َّن ال ٰ َفوقَ �َأيدي ِهم َف َمن نَ َك َث َف إِ�نَّما َين ُك ُث َعلى ِ ن َفس ِه َو َمن �َأوفى ٰ بِما ٰع َه َد َع َلي ُه اللَّ َه َف َس ُيؤتي ِه جرا َعظي ًما ً �َأ 3. Baiah fi Al-Islam; Mafhumuha, Ahammiyatuha, 4. wa syurutuha, Dr. Raghib As-Sirjani. Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299 kiblat Ramadhan 1435 h 4 MUNAQOSYAH "Bahwasanya orang-orang yang berbaiat kepada kamu, mereka berbaiat kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar." (Al-Fath:10) Sepeninggal beliau, umat Islam membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah dan pemimpin umum bagi umat Islam. Maka dengan proses ini umat Islam bersatu dalam barisan. Baiat Sughra dan Kubra Dari peristiwa sejarah dan dalil-dalil nash, para ulama membagi baiat menjadi dua, yaitu baiat kubra dan sughra. Baiat kubra adalah baiat kepada pemimpin kaum muslimin (khalifah). Sedangkan baiat sughra adalah baiat untuk tetap setia dalam perkara tertentu yang tidak bisa dikuasakan kepada orang lain. Baiat ini berlaku terhadap penguasa dan juga terhadap selain mereka.5 Banyak orang belum memahami tentang syariat baiat sughra ini, terutama dalam amal berjamaah. Baiat sughra adalah baiat atau ‘ahdun (perjanjian) yang diambil atas amal makruf syar’i. Dalam ungkapan lain, merupakan akad, janji, dan ikatan yang bersyarat. Termasuk jenis ini adalah baiat untuk melakukan bentuk amal saleh apa saja.6 Di antara dalil yang menunjukkan adanya baiat sughra adalah firman Allah dalam surat Al-Fath: 10 dan 18. “Bahwasanya orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibatnya akan menimpa diri sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Al5 6 Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah fi Al-‘Alaqoh baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman (Jakarta:Gema Insani Press,1995), p.153 Lihat kitab Al-Mausu’ah Al-Muyassarah fi Al-Adyan wa Al-Madzahib wa Al-Ahzab Al-Mu’ashirah (II/10001006) yang diterbitkan oleh WAMY (World Assembly of Moslem Youth kiblat Ramadhan 1435 h 5 MUNAQOSYAH Fath: 10) Qiyas Imam Safar? Peristiwa baiat yang disebutkan dalam ayat di atas adalah Baiatur Ridwan yang terjadi pada tahun 6 Hijriah. Tidak diragukan lagi–sebagaimana yang disebutkan para sejarah Muslim–bahwa baiat tersebut bukanlah baiat dalam rangka mendaulat Rasulullah n sebagai pimpinan tertinggi kaum muslimin. Jika ada yang mengatakan bahwa imarah safar tidak dapat diqiyaskan dengan imarah amal islami yang lain, maka dapat diterangkan sebagai berikut: 1 2 3 Imarah jamaah-jamaah Islam tidak hanya bersandar pada hadits safar, namun ada dalil-dalil lain. Qiyas imarah jamaah-jamaah Islam terhadap imarah safar merupakan qiyas shahih (benar) lantaran kesamaan ‘illat (sebab). Baiat tersebut merupakan sikap pembelaan para sahabat terhadap Utsman bin Affan yang diisukan telah dibunuh oleh kafir Quraisy. Baiat untuk membela darah Utsman bin Affan sampai titik darah penghabisan. 7 Sesungguhnya jamaah yang berlangsung terus menerus lebih utama untuk menyelenggarakan imarah untuk menata kerapian dan ketertibannya daripada jamaah yang bersifat sementara sebagaimana safar. 8 Selain itu ada juga Baiatun Nisa sebagaimana diterangkan dalam firman Allah Surat Al-Mumtahanah ayat 12. 4 Selain ayat Al-Qur’an di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah juga mendukung adanya baiat sughra secara eksplisit, Rasulullah n bersabda: اِ َذا كَا َن ثَلا َ َث ٌة ِفى َس َف ٍر َفالْ ُي َؤ ِّم ُر ْوا َع َل ْي ِه ْم �َأ َح َد ُه ْم “Apabila ada tiga orang dalam safar maka hendaknya mereka mengangkat amir (pimpinan) salah satu di antara mereka.” (Sunan Abu Dawud no. 2608) Baiat sughra/baiat amal jama’i juga tidak berlaku untuk selamanya meskipun rentang waktunya lebih lama dari imarah safar. Imarah amal jama’i juga akan berakhir, yaitu ketika seorang khalifah syar’i telah dibaiat. Di antara dalil lebih khusus dan spesifik yang menunjukkan adanya baiat ini adalah hadits Jabir bin Abdillah ra. yang diriwayatkan Imam Muslim. Jabir a berkata: َج َاء َع ْب ٌد َف َبا َي َع ال َّن ِب َّي َصلَّى اللَّه َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َع َلى الْ ِه ْج َر ِة Ibnu Taimiyyah berkata, “Apabila telah diwajibkan mengangkat seorang amir dalam perkumpulan dan masyarakat yang paling kecil dan bersifat sementara (dalam safar), maka hal ini menunjukkan lebih wajibnya mengangkat amir dalam skala yang lebih besar darinya.” 7 Lihat: Ar-Rahiq Al-Makhtum hlm. 298 “Datang seorang hamba sahaya lalu berbaiat kepada Nabi saw atas hijrah.” (Shahih Muslim no. 4113) 8 Al-‘Umdatu fi I’dadil ‘Uddah hlm. 69 kiblat Ramadhan 1435 h 6 MUNAQOSYAH BOLEHKAH MELAKUKAN BAIAT AMAL? B eberapa kalangan menilai bahwa baiat hanya berlaku dari rakyat untuk khalifah. Sedangkan baiat amal dalam sebuah jamaah minal Muslimin, dianggap bid'ah. Pemahaman ini bisa ditanggapi dari beberapa sisi: Pertama, anggapan bahwa tidak ada baiat jenis ini pada masa dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Justru, para ulama dan ahli tarikh menyebutkan adanya pernyataan “saling setia” antara Muhammad bin Suud— pelopor Daulah Saudi I—dan Syaikh Muhammad rahimahumallah. Bahkan, Syaikh Abdul Aziz bin Baz menukilnya dalam risalah beliau yang berjudul AlImam Muhammad bin Abdul Wahhab: Da’watuhu wa Siratuhu, hlm. 38-39, Cet. Kerajaan Arab Saudi. Ibnu Suud berkata, “Wahai Syaikh, saya akan berbaiat (menyatakan setia) kepada Anda untuk membela agama Allah dan Rasul-Nya dan untuk berjihad di jalan Allah. Namun, saya khawatir, jika Anda kami dukung dan kami bela lalu Allah memenangkan Anda atas musuh-musuh Islam, jangan-jangan Anda akan memilih negeri lain untuk berpindah ke sana dan meninggalkan negeri kami.”. Syaikh menjawab, “Saya tidak berbaiat kepada Anda untuk tujuan semacam itu. Saya berbaiat kepada Anda untuk menegaskan tekad bahwa darah harus dibayar dengan darah, penghancuran harus dibalas penghancuran. Saya tidak akan keluar dari negeri Anda selamanya.” Kedua, perbuatan atau perkataan para ulama dan dai pada dasarnya bukanlah dalil syar’i yang bisa dijadikan hujjah dalam permasalahan syar’i. Pendapat mereka diikuti sepanjang kesesuaiannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Atau sebagaimana perkataan Imam Malik, “Setiap perkataan seseorang bisa diterima dan ditolak kecuali pemilik kubur ini (Rasulullah) n.” 1 Berargumen dengan sikap dan perbuatan ulama dan para dai untuk mendukung pendapat tidak adanya baiat shugra/amal jelas telah bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dikemukakan di atas. Bahkan, bertentangan dengan perbuatan sahabat ketika perang Yarmuk yang terjadi pada tahun 13 H. Saat itu, pasukan muslim yang berjumlah 40.000 orang menghadapi 240.000 pasukan Romawi. Setelah pecah pertempuran dengan dahsyatnya, Ikrimah a membaiat 400 pasukan muslim ‘alal maut (siap untuk mati). Kemudian pasukan ini menyerbu musuh hinggga seluruh pasukan ini mendapatkan gugur atau dalam keadaan luka parah. Sedang korban di fihak musuh ada 120.000 orang.2 Perlu kita tegaskan pula bahwa jumlah sahabat yang ikut dalam perang ini berjumlah sekitar seribu, namun tidak seorang pun di antara mereka yang mengingkari perbuatan Ikrimah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir.3 (Fahruddin) 1 2 3 Siyaru A’lamin Nubala’, Adz-Dzahabi: VIII/93 Lihat: Fathul Bari: XIII/63 Lihat: Al-Bidayah wa An-Nihayah: VII/9 kiblat Ramadhan 1435 h 7 MUNAQOSYAH Karakter Baiat Sughra dan Kubra • Baiat Sughra Dalam baiat sughra, orang yang dibaiat (mubaya’) bisa saja khalifah atau kaum muslimin sebagian dengan sebagian lainnya.9 Ini adalah baiat yang dilakukan sebagian manusia, baik tiga orang maupun lebih banyak untuk berjanji dan menaati dalam urusan ketaatan. Tidak terbatas pada Ahlul Halli wal ‘Aqdi, tetapi siapa saja yang terlibat dalam suatu perjanjian. Baiat ini berlaku bagi mereka untuk berjanji dalam ketaatan apapun tanpa adanya batas, seperti jihad, dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, menyelamatkan orang yang teraniaya dan menolong orang yang dizalimi. Bahkan menyingkirkan duri dari jalan—bila menuntut ikatan baiat—maka ini termasuk Baiat Sughra. Komitmen terhadap Baiat Sughra sifatnya wajib bagi orang yang telah suka rela bergabung di dalamnya, dan tidak mengikat orang di luar baiat tersebut. Jika seseorang telah mengikat janji setia, maka wajib baginya untuk memenuhi ikatan janji tersebut.10 9 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fie Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235 10 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fie Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235 Keluar dari Baiat Sughra adalah maksiat karena telah mengingkari janji yang mengikat antara sesama muslim. Dan ini telah jelas dalam syariat tentang hukum mengingkari janji dalam perkara ketaatan. Berdasarkan sifat tersebut, maka dalam satu wilayah bisa terjadi banyak baiat dengan arah masing-masing. Maka ketika ada dua jamaah —atau lebih— dari sebagian umat Islam dengan baiat masing-masing, hubungannya bersifat kerja sama dan nasihat, bukan perintah dari atas ke bawah. Jamaah-jamaah ini bisa mengarah kepada penggabungan (tansik) untuk membentuk jamaah umat Islam yang satu bila terjadi kesepakatan. Atau terbentuk jamaah yang memiliki kekuatan (syaukah) sehingga jamaah yang menyelisihi tunduk di bawahnya. Hal ini telah ditunjukkan oleh sejarah. Setelah kaum Anshar dan Muhajirin bersatu di bawah kepemimpinan Rasulullah n. Kekuatan (syaukah) pun terwujud. Sampai Rasulullah wafat, kelompok yang menyelisihi kiblat Ramadhan 1435 h 8 MUNAQOSYAH atau orang-orang munafik tetap ada, tetapi syaukah tidak ada pada mereka, sehingga tunduk di bawah otoritas kaum muslimin, yakni Daulah Nabawiyah n. • Baiat Kubra Dalam Baiat Kubra, orang yang dibaiat adalah Imam A'dham (khalifah).11 Pihak yang membaiat adalah Ahlul Halli wal Aqdi dari umat ini atau seorang khalifah sebelumnya setelah melakukan pertimbangan dan syura di antara kaum muslimin. Orang yang dibaiat atau dinobatkan menjadi khalifah wajib memenuhi syaratsyarat baiat.12 Baiat Kubra mengharuskan orang yang dibaiat untuk menerapkan segala ketentuan syariat bagi kaum muslimin.13 Di sisi lain, umat wajib mendengar dan taat kepada imam serta menolongnya selama tidak dalam maksiat. Kewajiban dan komitmen baiat kubra Imam Al-Qurtubi berkata, “Dan jika imamah (khilafah) telah terwujud dengan kesepakatan Ahlul Halli wal Aqdi atau dengan salah satu seperti penjelasan yang lalu, maka wajib bagi seluruh rakyat membaiatnya untuk mendengar dan taat dan untuk menegakkan kitab Allah k dan sunnah Rasulullah n. 11 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fie Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235 12 Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7. 13 Imam Al-Mawardi menyebutkan sepuluh kewajiban, lihat Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 15-17. Barang siapa tidak berbaiat karena ada uzur, ia diberi uzur (maaf). Barang siapa tidak berbaiat tanpa uzur maka dia dipaksa (untuk berbaiat), agar kesatuan kaum muslimin tidak terpecah.”14 Setiap muslim wajib memegang teguh baiatnya. Berdasarkan hadits: ات ِمي َت ًة َ َم،س ِفي ُع ُن ِق ِه َب ْي َع ٌة َ َو َم ْن َم َ ات َولَ ْي َجا ِه ِل َّي ًة “Barang siapa mati dan belum berbaiat, maka matinya seperti mati dalam keadaan jahiliah.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar). Dan hadits, “Wajib beriltizam terhadap jamaah dan imamnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih dari Hudzifah).15 Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz berkata, “Kesimpulannya, bahwa baiat imam kaum muslimin adalah wajib menurut syar’i.”16 Setelah berbaiat, komitmen selanjutnya ialah mendengar dan taat, serta tidak melepaskan baiatnya kecuali dengan alasan yang telah ditetapkan syariat. Rasulullah n bersabda: لَ ِق َي الل َه َي ْو َم الْ ِق َيا َم ِة،َم ْن َخ َل َع َيدًا ِم ْن َطا َع ٍة َلا ُح َّج َة لَ ُه "Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan (kepada Amir), maka dia berjumpa dengan Allah di hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah." (HR. Muslim dari Ibnu Umar). 14 Al-Qurthubi, Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, juz 1, hal: 302, Maktabah Syamilah 15 Lihat dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 20-23. 16 Lihat: Abdul Qadir bin Abdul Aziz, al-Umdah fii I’dadil Uddah: 1/144 kiblat Ramadhan 1435 h 9 MUNAQOSYAH Maksud tidak ada hujjah, seperti dijelaskan oleh Imam Nawawi, ialah tidak ada alasan baginya di dunia dengan tindakannya itu. Sedangkan maksud tidak ada ‘uzur adalah tidak ada alasan yang berguna baginya untuk menyelamatkan dari ancaman Allah pada hari kiamat.17 Al Hafidz Ibnu Hajar (wafat 852 H) dalam Fathul Bari mengatakan, “Yang dimaksud dengan al miitah al jaahiliyyah (mati dalam keadaan jahiliah) adalah keadaan mati seperti matinya orang jahiliah. Yakni mati dalam kesesatan; tidak mempunyai imam yang ditaati karena mereka dulu tidak tahu yang demikian. Ia tidak mati kafir, namun mati dalam keadaan maksiat.” Beliau melanjutkan, “(Ungkapan al miitah al jahiliah) mengandung makna tasybih (penyerupaan) atas zahirnya, yang maknanya dia mati seperti mati jahiliah walaupun dia bukan orang jahiliah.”18 Dengan memahami perbedaan antara Baiat Kubra dan Baiat Sughra, maka jelaslah bahwa imam kaum muslimin yang dimaksudkan dalam hadits tersebut bukan pemimpin kelompok atau jamaah yang ada saat ini. Akan tetapi maksud imam di sini adalah pemimpin yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin dengan memenuhi segala syarat yang ada. Dan yang menjadi titik tekan juga adalah pemimpin tersebut merupakan pemimpin yang menjalankan syariat islam. Jadi, kedudukannya benar-benar menjadi khalifah yang menjalankan fungsi kepemimpinan, yaitu menjaga agama (menjalankan hukum islam) dan mengatur kemaslahatan dunia. 20 Karena pemimpin yang demikianlah yang wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin n (Fahruddin) Imam Ahmad ditanya tentang makna hadits “Barang siapa mati, sedang dia tidak memiliki imam, maka matinya seperti mati dalam keadaan jahiliah.” Beliau bertanya, “Tahukah kamu, siapakah imam itu?” Yaitu imam yang telah disepakati oleh kaum muslimin. Mereka semua menyatakan, “Ini imam,” Inilah maknanya.”19 17 An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, vol. 6, p. 323. 18 Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari, (Beirut: Dar Ma'rifah, ), vol. 13, p. 7 19 Dinukil dari al-Wajiz fii Fiqhil Khilafah, hal. 77-78, lihat ats-Tsawabit wal Mutaghayyirat, hal. 230. 20 Lihat: Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7 kiblat Ramadhan 1435 h 10 MUNAQOSYAH I Bagaimana Menyikapi Dualisme Kepemimpinan Dalam Islam? slam menghendaki umatnya bersatu dalam jamaah dan satu pemimpin. Karena itulah, Islam melalui lisan Nabi n memberikan sanksi berat terhadap upaya yang mengarah kepada dualisme kepemimpinan. Hal ini tampak dalam haditshadits berikut: َو َث َم َر َة،َو َم ْن َبا َي َع �إِ َما ًما َف�َأ ْع َطا ُه َص ْف َق َة َي ِد ِه َف إِ� ْن َج َاء � َآخ ُر، َف ْل ُي ِط ْع ُه �إ ِِن ْاس َت َطا َع،َق ْل ِب ِه ُي َنا ِز ُع ُه َفاضْ ِر ُبوا ُع ُن َق ا ْل� آ َخ ِر "Barang siapa telah membaiat imam serta memberikan kesetiaan dan loyalitas kepadanya, maka hendaklah dia menaatinya semampu mungkin, kemudian bila datang orang lain yang menyainginya maka penggallah lehernya." (Riwayat Muslim). َفا ْق ُتلُوا ا ْل� آ َخ َر ِم ْن ُه َما، ِ�إِ َذا ُبويِ َع لِ َخ ِلي َف َت ْين "Bila dilakukan baiat kepada dua khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya." (Riwayat Muslim). َات َف َم ْن َأ� َرا َد �َأ ْن ي ُف ِّرق ٌ ات َو َه َن ٌ َس َت ُكو ُن َه َن الس ْي ِف َّ َِه ِذ ِه ا ْل� ُأ َّم ِة َو ِه َي ج ِمي ٌع َفاضْ ِر ُبوه ب كَائِ ًنا َم ْن كَا َن "Akan terjadi kekacauan dan kekacauan, barang siapa ingin memecah persatuan umat ini sedangkan umat itu sedang bersatu, maka penggallah lehernya dengan pedang siapa pun orangnya." (Riwayat Muslim). ،َم ْن َأ� َتا ُك ْم َو َأ� ْم ُر ُك ْم َج ِمي ٌع َع َلى َر ُجلٍ َو ِاح ٍد ، �َأ ْو ُي َف ِّرقَ َج َما َع َت ُك ْم،ُيرِي ُد �َأ ْن َيشُ َّق َع َصاكُ ْم َفا ْق ُتلُو ُه "Barang siapa datang kepada kalian sedangkan urusan kalian itu bersatu di bawah kepemimpinan seorang pria, dan ia ingin membelah tongkat (kepemimpinan) kalian atau memecah barisan kalian, maka bunuhlah." (Riwayat Muslim). lll kiblat Ramadhan 1435 h 11 MUNAQOSYAH perjalanan yang jauh. Tetapi, Al-Juwaini melihat kebolehan ini berada di luar permasalahan yang telah pasti hukumnya. "Para ulama mazhab kami berpendapat pelarangan penyematan imamah kepada dua orang di semua penjuru dunia, sedangkan menurut saya bahwa penyematan imamah kepada dua orang di satu wilayah yang berdekatan itu tidak boleh dan ijma telah terjalin terhadap hal itu. Para ulama menetapkan kaidah-kaidah yang jelas pula dalam perkara ini. AlMawardi Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, "Dan bila kepemimpinan disematkan kepada dua imam di dua negeri, maka kepemimpinan mereka itu tidak sah, dikarenakan tidak boleh bagi umat ini ada dua imam di waktu yang sama." (Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, hal: 9). Al-Qurthubi menjelaskan alasan pelarangan tersebut, “Ini adalah dalil yang paling jelas menunjukkan larangan pengangkatan dua imam, karena itu bisa menyebabkan timbulnya kemunafikan, perselisihan, perpecahan, kekacauan dan lenyapnya kenikmatan.” (Tafsir Al Qurthubi, 1/273). Namun, menurut AlQurtubi juga dan beberapa ulama lain, dualisme kepemimpinan dibolehkan bila wilayahnya berjauhan dan dipisahkan oleh Adapun bila jaraknya berjauhan dan dua imam itu dipisahkan oleh perjalanan yang sangat jauh, maka di dalam hal itu ada kemungkinan (boleh). Dan ini di luar permasalahan yang qath'i." (Lihat Al Irsyaad Ilaa Qawathii'il Adillah Fi Ushulil I'tiqad). Baiat dalam Kondisi Imam Belum Pasti Ada yang menarik dalam hal ini. Abdullah bin Umar adalah sahabat yang meriwayatkan hadits ancaman mati jahiliyah bagi orang yang tidak berbaiat kepada imam kaum muslimin, seperti disebutkan sebelumnya. Namun bagaimana sikapnya ketika kekhilafahan belum jelas? Mari kita lihat! Diriwayatkan bahwa Muawiyah menunaikan ibadah haji pada tahun 51 H. Selain itu ia juga berkeinginan mengambil baiat kaum muslimin untuk anaknya, Yazid. Lalu ia mengirim utusan untuk memanggil Ibnu Umar. Setelah bertemu, Muawiyah mengucapkan syahadat dan berkata, “Wahai Ibnu Umar! Kamu pernah berkata kepadaku bahwa kamu tidak ingin tidur satu malam pun tanpa ada pemimpin (khalifah). Aku kiblat Ramadhan 1435 h 12 MUNAQOSYAH ingatkan kepadamu agar kamu mencegah perselisihan kaum muslimin, atau kamu akan menyebabkan pertikaian di antara mereka! Kisah lebih lengkap tentang baiat Abdullah bin Umar RA ini, baca halaman 16. Ibnu Umar mengucapkan tahmid dan memuji Allah, lalu berkata, "Amma ba’du, sebelum dirimu, banyak khalifah yang mempunyai anak, dan anakmu tidak lebih baik daripada anak-anak mereka. Akan tetapi mereka tidak melakukan untuk anakanak mereka sebagaimana yang kamu lakukan untuk anakmu. Mereka membiarkan kaum muslimin untuk memilih orang pilihan mereka. lll Engkau mengingatkan agar aku mencegah perselisihan kaum muslimin. Aku tidak akan melakukan hal itu. Aku hanyalah seorang dari kalangan kaum muslimin. Jika mereka telah sepakat akan suatu perkara, maka kau sepakat dengan mereka. Semoga kamu dirahmati oleh Allah!’ Lalu Ibnu Umar keluar.”1 Hal yang sama juga terjadi pada masa lain. Abdullah bin Umar, pada mulanya tidak berbaiat kepada Abdullah bin Zubair ataupun Abdul Malik bin Marwan. namun ketika umat sepakat kepada Abdul Malik bin Marwan, beliau pun berbaiat kepadanya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Dinar, ia berkata, "Aku melihat —pada saat umat berkumpul untuk berbaiat kepada Abdul Malik bin Marwan sebagai khalifah— Ibnu Umar berkata, “Sesungguhnya aku menyatakan mendengar dan taat kepada hamba Allah Jalla wa ‘ala, Abdul Malik, Amirul Mukminin, di atas ketetapan Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla dan Sunnah Rasul-Nya selama aku mampu, dan sesungguhnya anak-anakku telah menyatakan hal yang sama.”(HR. Al-Bukhari no. 7203 dan 7205). 1 Imam Suyuti, Tarikh khulafa, hal: 150 Menurut DR. Yahya Ismail, salah satu karakteristik syariat Islam adalah menghilangkan segala kesempitan dan kesulitan dalam beribadah. Begitu juga halnya dalam urusan baiat. Seseorang tidak boleh dipaksa untuk berbaiat kepada salah seorang imam jika mayoritas rakyat belum setuju dengan kepemimpinan tersebut. Lebih lanjut beliau mengungkapkan beberapa alasan bahwa Islam membolehkan seorang muslim untuk meninggalkan baiat dan kepatuhan, apabila berada dalam kondisi sebagai berikut: 1 2 Terjadi perebutan kekuasaan antara dua penguasa yang sah dan belum jelas siapakah di antara keduanya yang lebih berhak menerima baiat. Terjadi fitnah peperangan internal umat Islam dan diyakini bahwa hal itu bisa diredakan jika tidak ada baiat.2 Baiat Zaman Fitnah Sudah hampir satu abad, kaum muslimin kehilangan kepimpinan Islam yang dikenal 2 Minhajul I'tidal, hal. 176, An-Nadhariah Siyasah Islamiah, hal. 195, Mukaddimah Ibnu Khaldun, Hal. 178 kiblat Ramadhan 1435 h 13 MUNAQOSYAH dengan kekhilafahan. Ahli hadits Basrah dan yang lainnya menyatakan bahwa ketika tidak ada pemimpin umum bagi umat Islam maka zaman itu disebut zaman fitnah.3 Dalam masa fitnah, perintah Nabi n adalah, “Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin setelahku.” Dari uraian sebelumnya, terlihat jelas bagaimana petunjuk Islam dalam perkara ini. Tidak ada perdebatan dalam baiat ketika imam (khalifah) benar-benar ada dan diakui 3 Ibnu Taimiyah, Minhajus sunnah, Riyadh:Jami’ah Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah, 1986, vol 1, 144. di tengah-tengah kaum muslimin. Namun yang menjadi polemik adalah bagaimana menyikapi seruan baiat dari suatu jamaah. Apalagi ketika seruan baiat itu dikuatkan dengan dalil-dalil baiat kubra, baik kewajiban berbaiat maupun ancaman bagi yang enggan melakukannya, seperti disebutkan sebelumnya. Walhasil, yang terjadi ialah klaim kebenaran dan kepemimpinan. Dampaknya ialah perpecahan dan perselisihan. Maka tujuan baiat sebagai elemen jamaah menuju persatuan tidaklah terwujud n (Fahruddin) penyelewengan baiat Baiat memang disyariatkan, baik sughra apalagi kubra. Namun seringkali baiat disalahgunakan. Di antara bentuk penyelewengan dalam persoalan baiat ini adalah: Pertama, menyalahgunakan hadits baiat kubra untuk melegitimasi baiat sughra, ditambah lagi kesalahan dalam mengartikan kalimat “mitatan jahiliyyatan”. Hasilnya, orang yang tidak bergabung dianggap kafir dan syahadatnya tidak berguna. Tidak jarang terjadi permusuhan antara orang tua dan anak karena kesalahan ini. Orang tua dikafirkan karena tidak bergabung dengan jamaahnya. Tahun 2011 lalu, umat Islam dihebohkan oleh banyaknya korban baiat NII KW-9. Sejarah juga mencatat jamaah LDII yang menganggap orang tua, saudara, dan siapa pun di luar jamaah mereka diyakini sebagai orang kafir yang najis. Maka, bekas tempat duduknya pun dipel karena kenajisannya. Karena pihak di luar jamaahnya diyakini kafir, maka harta dan properti mereka halal diambil dan tidak ada dosa. Kesalahan ini pun semakin kompleks karena menggunakan dalil-dalil fa’i untuk mengambil harta orang lain. Kedua, memaksa kelompok lain agar mau bergabung dan berbaiat kepada pimpinannya. Baiat tidak boleh dipaksakan kecuali dalam baiat kubra kepada imam yang telah disepakati oleh Ahlul Halli wal Aqdi maupun cara lain sesuai syariat. Sedangkan dalam baiat kubra, sifatnya adalah ajakan dan nasihat. Pada dasarnya suatu kepemimpinan akan sah jika telah diakui oleh mayoritas umat karena salah satu syarat mutlak dalam kepemimpinan adalah adanya syaukah (kekuatan). Dan itu akan terwujud jika mayoritas telah menyetujuinya.1 1 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, “Kepemimpinan, menurut mereka (Ahlus Sunnah, pen.), ditetapkan dengan persetujuan yang memiliki kekuatan. Seseorang tidak menjadi imam hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan kepemimpinan. Sebab, tujuan kepemimpinan dapat kiblat Ramadhan 1435 h 14 MUNAQOSYAH Dalam kasus baiat dan proyek Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) di Suriah maupun di Irak, kelompok maupun faksifaksi jihad lain, seperti Ahrar Syam, Liwa Tauhid dan lainnya, juga memiliki syaukah (kekuatan). Maka pendekatan yang terbaik adalah persuasif, selain bahwa baiat yang diserukan adalah baiat sughra.2 Selain itu, ketika persetujuan mayoritas umat tidak terwujud dalam kepemimpinan tersebut maka akan timbul kekacauan dan fitnah di tengah-tengah umat. Dan ini jelas terjadi di Suriah. Banyak tokoh dari kedua pihak yang dibunuh tanpa ada penyelesaian, dengan salah satu alasan menolak tahkim karena daulah tidak mungkin bertahkim kepada organisasi.3 Jadi prinsip Islam dalam pengangkatan imam adalah adanya persetujuan mayoritas umat —terukur dengan terwujudnya syaukah— yang ditempuh melalui jalur musyawarah bukan dengan pemaksaan. Umar bin Khattab berkata, “Barang siapa membaiat seseorang tanpa musyawarah dari kaum muslimin maka ia tidak boleh diikuti, dan tidak pula mengikuti para terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka jika seseorang dibai’at dan bersamaan dengan itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia menjadi pemimpin (yang sah). Oleh karenanya berkata para imam salaf: ‘Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, yang dengan keduanya terwujud tujuan kepemimpinan, maka dia menjadi ulil amri yang Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla perintahkan taat kepada mereka selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat kepada Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla’.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/527. Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid 4/388) 2 3 Syaikh Abu Ja'far Al-Haththab, Anggota Lajnah Syar'iyyah Pada Anshar Syari'ah Tunisia, dalam bukunya Bai'atul Amshaar Lil Imaam Al Mukhtaar, menyimpulkan bahwa baiat kepada Syaikh Al-Baghdadi adalah baiat umum (baiat kubra). Namun pendapat ini lemah dan dibantah oleh kenyataan dan para ulama. Salah satunya ialah Syaikh Abu Laits Al-Anshari dalam bukunya Tabyin Az-Zaif wal Jahl wa izhharul Awar. Lihat kembali catatan Syaikh Al-Maqdisi tentang ISIS di mimbar tauhid dan jihad. pendukungnya, karena khawatir mereka akan dibunuh (yang berbaiat dan yang dibaiat).” (HR. Al-Bukhari no. 6442) Bahkan lebih tegas lagi Umar a berkata, “Barang siapa membaiat seorang laki-laki tanpa didahului musyawarah dengan umat Islam, maka tidak halal bagi kalian kecuali membunuhnya.” Pada hajinya yang terakhir, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Bukhari, Umar berkata, “Sesungguhnya, sore ini aku berdiri dan mengingatkan umat Islam tentang orang-orang yang hendak merampas pemerintahan mereka”. Umar menganggap baiat yang dilakukan oleh sebagian sahabat kepada sebagian yang lain, tanpa didahului musyawarah dengan umat adalah merupakan bentuk perampasan hak umat. Tidak ada istilah baiat kepada orang yang merampas, apalagi kalau merampasnya dengan pedang bukan dengan baiat, meskipun hanya baiat minoritas. Adalah Umar bin Abdul Aziz, ketika beliau diangkat menjadi khalifah beliau berkata, “Wahai manusia aku telah diuji dengan jabatan ini tanpa pernah dimintai pendapatku tentangnya, bukan juga karena aku yang memintanya dan bukan juga berdasarkan hasil musyawarah kaum muslimin. Sesungguhnya aku tidak memaksa kalian untuk membaiatku. Oleh karena itu, pilihlah orang yang pantas memimpin kalian.” Maka seketika itu juga mereka berkata, “Sungguh kami telah memilih engkau wahai amirul mukminin dan kami ridha dengan kepemimpinanmu. Oleh karena itu pimpinlah kami dengan adil dan baik.”4 (Fahruddin) 4 Ali Muhammad Ash-Sholabi, Umar bin Abdul Aziz, terj: chep M.faqih FR, (Jakarta Timur: Yayasan Ashshilah: tt), hal: 64 kiblat Ramadhan 1435 h 15 MUNAQOSYAH J EDA Kisah Baiat Abdullah bin Umar d Kisah ini lebih lengkap diceritakan oleh Ibnu Hajar sebagai berikut: Dahulu dua pihak yang masingmasing mengklaim dirinya sebagai yang berhak memegang tampuk kekhilafahan. Keduanya adalah Abdul Malik bin Marwan dan Abdullah bin Zubair. Pada saat itu, Ibnu Zubair tinggal di kota Mekkah dan berlindung di sana setelah Muawiyah wafat. Karena Ibnu Zubair menolak berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah, Yazid mengirimkan tentaranya beberapa kali untuk menyerang. Ketika tentaranya masih dalam posisi mengepung Ibnu Zubair, Yazid meninggal dunia pada bulan Rabiul Awal 64 H. Menyusul kematian Yazid, umat Islam berbaiat kepada Ibnu Zubair (dengan wilayah kekuasaan di Hijaz), sedangkan penduduk daerah-daerah lain berbaiat kepada Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah (Muawiyah II). Kira-kira 40 hari kemudian, Muawiyah II meninggal dunia. Maka sebagian besar penduduk wilayah kekuasaan Muawiyah II kemudian berbaiat pada Ibnu Zubair dengan wilayah kekhalifahan meliputi Hijaz, Yaman, Mesir, Irak, seluruh bagian timur dan seluruh negeri Syam, termasuk Damaskus. Semua berbaiat kepada Ibnu Zubair kecuali seluruh keturunan bani Umayyah dan orang-orang yang masih setia kepada mereka di Palestina. Dengan serentak, mereka berbaiat kepada Marwan bin Hakam untuk memegang kekuasaan. Selanjutnya, orang-orang yang setia kepada Marwan menyerang pengikut Ibnu Zubair di Damaskus, sehingga terjadi saling bunuh antara dua golongan di tanah lapang. Setelah berhasil menguasai Syam, Marwan menyerang Mesir dan mengepung Abdurrahman bin Jahdar, gubernur Ibnu Zubair di sana, dan berhasil menguasai Mesir pada bulan Rabiul Akhir tahun 65 H. Namun, pada tahun itu juga Marwan wafat (memegang kekuasaan hanya 6 bulan) dan digantikan putranya, Abdul Malik bin Marwan dengan wilayah kekuasaan meliputi Syam, Mesir dan Maroko. Sementara itu, wilayah Hijaz, Irak dan negeri bagian timur berada dalam kekuasaan Ibnu Zubair. Hanya kota Kufah yang dikuasai Mukhtar bin Abu Ubaid, sang pemberontak yang mengajak orang untuk setia pada Imam Mahdi dan Ahlu Bait. Mukhtar memerintah di sana selama kurang lebih dua tahun. Kemudian Mus’ab bin Zubair dari pihak kiblat Ramadhan 1434 1435 h 16 J EDA MUNAQOSYAH Masjid Umawiyah, Damaskus (Ibnu Zubair) menyerang Mukhtar pada bukan Ramadhan 71 H yang mengakibatkan terbununya Mukhtar. mengepung serta menyerang Hijaz selama dua tahun. Pada April 73 H Ibnu Zubair terbunuh. Namun, keadaan segera berubah. Abdul Malik bin Marwan menyerang Mus’ab bin Zubair dan mengepungnya sehingga Mus’ab gugur pada bulan Jumadil Akhir tahun itu. Karena kekalahan yang diderita dan wilayah yang mulai menyusut dan hanya terdiri dari Hijaz, Yaman dan wilayah timur. Puncaknya, Abdul Malik menyiapkan pasukan di bawah pimpinan Hajjaj bin Yusuf dan Selama pertentangan itulah Ibnu Umar menolak berbaiat pada Ibnu Zubair atau Abdul Malik bin Marwan, sebagaimana ia juga menolak berbaiat pada Ali atau Muawiyah. Setelah Ibnu Zubair terbunuh dan semua wilayah kerajaan berada di bawah kekuasaan Abdul Malik, barulah Ibnu Umar berbaiat kepada Ibnu Malik.1 1 Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah fi Al-‘Alaqoh baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman (Jakarta:Gema Insani Press,1995), p.181-182 kiblat Ramadhan 1434 1435 h 17 MUNAQOSYAH ISIS DAULAH, KHILAFAH ATAU JAMAAH? S yaikh Abu Humam Bakar bin Abdul Aziz Al-Atsari, dalam bukunya Maddul Ayaadi bi Bai’ah Al-Baghdadi,1 menguatkan legalitas syar’i Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Amir Daulah Islam Irak. Setelah menampilkan berbagai argumentasi mengenai urgensi, faktor-faktor mendorong berdirinya Daulah Islam Irak, serta tinjauan syar’i berdirinya dan realitas sejarah berdirinya sebuah negara, maka disimpulkan bahwa Daulah Islam Irak sah secara syar’i. Syaikh Abu Humam mengulas kelayakan Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Amirul Mukminin, sahnya baiat sebagian orang dan sebagian Ahlul Halli wal Aqdi, sahnya disebut Daulah meskipun belum mendapatkan wilayah yang aman (tamkin), menjawab syubhat imam majhul, dan semua hal yang menguatkan bahwa Syaikh Al-Baghdadi adalah amir sebuah Daulah Islam memimpin jamaah muslimin, bukan amir sebuah imarah (kepemimpinan Islam) dalam arti organisasi atau tanzim jihad. Di lapangan dan media, hal tersebut dikuatkan oleh tentara dan ulama pendukung ISIS bahwa baiat Syaikh Al-Baghdadi adalah baiat pemimpin 1 http://www.tawhed.ws/r?i=05081301 kiblat Ramadhan 1435 h 18 MUNAQOSYAH tertinggi dalam Islam, sehingga siapa yang menolak wajib diperangi. Dalil-dalil yang dipakai adalah dalil-dalil Imamatul Uzhma dan konsekuensi-konsekuensi yang diterapkan pun berdasarkan pemahaman ini. Contohnya hadits, “Barang siapa yang mati, sedangkan ia tidak memiliki baiat di pundaknya, maka ia mati dalam keadaan jahiliah.” (HR Muslim). Juga sabda Rasulullah n, “Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang Khalifah, kemudian dia ingin memecah-belah kesatuan jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.” (HR. Muslim) Untuk mendudukkan masalah ini, kita akan melihatnya dari pengertian Daulah dan Khilafah terlebih dahulu. Daulah, Imarah dan Khilafah Secara bahasa kalimat Daulah oleh para ulama diartikan: Sesuatu yang kadang dihasilkan dari tangan ini atau dari tangan lain, atau balasan dalam hal kekayaan atau peperangan.2 Penggunaan kata daulah digunakan sebagai kata istilah, belum begitu merata dipakai oleh para fuqaha zaman dulu, hanya beberapa kitab yang sudah memakainya seperti kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Namun oleh para fuqaha zaman dulu, pembahasan Daulah Islamiyah dalam kitab fiqh-fiqh turats sudah dimasukkan ke dalam sub tema kepemimpinan negara (al-ahkam al-imamiyah) dengan menegaskan bahwa Daulah adalah representasi dari sosok kepemimpinan tinggi, atau istilah lainnya Khalifah. Imamah secara bahasa bisa diartikan setiap orang yang harus diikuti baik dia itu adalah seorang pemimpin atau tidak. Dalam Lisanul Arab juga dikatakan bahwa yang dimaksud dengan imamah dan imam itu adalah orang yang diikuti oleh suatu kaum baik mereka berada di jalan yang lurus maupun yang sesat. 2 Lihat : “Mausu’ah Fiqhiyah” Wazartul Auqaf Kuwait, hal 36 juz 6 kiblat Ramadhan 1435 h 19 MUNAQOSYAH Sementara yang dimaksud dengan imamah secara istilah ulama memberikan definisi secara beragam akan tetapi semuanya itu bermuara pada satu tujuan. Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan imamah adalah posisi khilafah nubuwwah–pengganti Nabi–untuk menjaga agama serta mengatur dunia dengan agama tersebut.3 Oleh para fuqaha tata negara Daulah Islam didefinisikan sebagai: ِ َم ْج ُم ْو َع ُة ا ْل إِ� ْيل الس َيا َد ِة ِّ َِات َت ْج َت ِم ُع لِ َت ْح ِق ْيق َع َلى �َأ َقالِ ْي ٍم ُم َع َّي َن ٍة لَ َها ُحد ُْو ُد ُها َو ُم ْس َت ْو ِط ُن ْو َها َف َي ُك ْو ُن الْ َحا ِك ُم �َأ ِو الْ َخ ِل ْي َف ُة �َأ ْو �َأ ِم ْي ُر الْ ُمؤ ِْم ِن ْي َن ِ الس ْل َط ات ِ َْع َلى َر�أ ُ س ه ِذ ِه “Gabungan kelompok masyarakat yang menguasai kawasan tertentu, mempunyai wilayah dan anggota masyarakat tertentu, dan hakim atau khalifah atau amirul mukminin yang bertindak sebagai pucuk pimpinan kekuasaan ini.”4 Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa daulah atau negara terdiri dari tiga unsur, yaitu wilayah, rakyat dan pemerintahan. tema hukum Darul Islam. Dr. Wahbah Zuhaili berkata: “Hijrahnya Nabi n dari kota Mekkah menuju kota Madinah yang merupakan titik awal berdirinya sebuah Daulah Islamiyah oleh kalangan fuqaha di masa awal-awal Islam belum digunakan sebagai sebuah terminologi umum, melainkan mengungkapkannya dengan istilah Darul Islam, karena kalimat daulah belum banyak digunakan ulama saat itu. Di sisi lain terdapat korelasi makna yang bersifat talazum antara istilah kalimat daulah dan Darul Islam.5 Para fuqaha menyatakan bahwa tugas khilafah adalah menegakkan din Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menegakkan politik Daulah di perbatasan Islam. Dalam aspek ini, Al-Mawardi menjelaskan bahwa, “Apabila imam (kepala negara) telah menjalankan semua tugas-tugasnya dalam memenuhi hak-hak rakyatnya dan menegakkan hak-hak Allah SWT di antara mereka, maka wajib bagi rakyatnya memenuhi dua hak sang imam, yaitu hak menaatinya dan hak membantu tugasnya.”6 Dalam mengkaji ketiga unsur pokok sebuah negara tersebut, para fuqaha ahli tata negara telah menjabarkannya di dalam 3 4 http://id.shvoong.com/humanities/religionstudies/2171993-pengertian-imamah-imarohkhilafah-dan/#ixzz34g72bqoP Ibid. 5 6 Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, VIII/6304 Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, 15 kiblat Ramadhan 1435 h 20 MUNAQOSYAH Bagaimana dengan Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS)?7 Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) mengklaim sebagai daulah Islam dan memakai dalil-dalil baiat kubra untuk menguatkannya. Syaikh Abu Bakar AlBaghadi juga dijuluki Amirul Mukminin. Namun, pihak lain menyebutnya dengan kata jamaah atau tanzim Daulah. Bahkan Syaikh Aiman Al-Zawahiri juga menyebut demikian. Banyak hal yang menguatkan bahwa ISIS adalah organisasi. Namun sebelumnya, kita perlu memahami perbedaan antara tanzhim dan daulah, terutama konsekuensi baiatnya. Ini perkara mendasar yang membedakan antara keduanya dan konsekuensikonsekuensi di baliknya. Tabel berikut merupakan beberapa konsekuensi baiat keduanya: Pemahaman dasar tersebut menjadi penting untuk melihat apa yang harus dilakukan Daulah Islam ketika ada pihak yang keluar maupun menolak berbaiat, dalam kapasitas Daulah sebagai tanzim maupun 7 Sebagaimana telah kami sebutkan dalam Pengantar, makalah ini dirancang ketika ISIS masih menjadi "Daulah," belum mendeklarasikan diri sebagai "Khilafah." daulah Islam dalam makna kepemimpinan tertinggi Islam. Demikian pula menjadi pandangan setiap umat Islam dalam masalah ini. Kembali ke persoalan sebelumnya, ISIS tanzim ataukah daulah? Syaikh Athiyatullah Al-Libbi ketika ditanya tentang Daulah Islam Irak (ISI): Mengapa namanya Daulah, bukan Imarah, apa bedanya? Beliau menjawab: “Nama ’Daulah Islam Irak’ adalah julukan bagi entitas politik dan sosial bagi mujahidin dan kaum muslimin ahli sunnah di wilayah ini sebagai bagian dari negeri-negeri Islam lainnya. Ini hendaknya tidak hilang dari ingatan kita.” Beliau menjelaskan bahwa pemilihan nama dan julukan itu sifatnya ijtihad. Makna sesungguhnya berhubungan erat dengan fakta dan kenyataan yang ada. Contohnya, julukan Amirul Mukminin dalam sebuah nama daulah. Maksudnya adalah pemimpin dan pemegang otoritas politik “Daulah”. Julukan ini sifatnya ijtihadi, yaitu nama pemimpin dalam Daulah ini. Tetapi, maksudnya bukanlah pemimpin tertinggi (imam a’dzam) yang diangkat berdasarkan baiat umum dari kaum kiblat Ramadhan 1435 h 21 MUNAQOSYAH muslimin atau oleh Ahlul Halli wal Aqdi, atau melakukan kudeta atas suatu negeri Islam sampai akhirnya disebut Amirul Mukminin dalam arti pemimpin tertinggi atau khalifah. Meskipun penamaan dan julukan seperti itu dibolehkan sesuai konteks ijtihad tadi, Syaikh Athiyatullah Al-Libbi melihat bahwa memilih nama lain lebih utama dan lebih baik. Termasuk sebutan Amirul Mukminin bagi Mulla Muhammad Umar sebelumnya. Menurutnya, nama Amir saja tanpa tambahan mukminin lebih baik sebab kesannya lebih jelas. Yakni dialah pemimpin suatu Daulah atau Imarah, dalam makna bukan daulah khilafah. Mengapa bukan Amirul Mukminin? Sebab, masih menurut Syaikh, ini bisa menimbulkan ilusi bahwa ia adalah imam tertinggi (khalifah). “Itu bisa membuat kerancuan bagi saudara-saudara kita, mungkin akan mengira bahwa itu khalifah! Sebab julukan Amirul Mukminin ini sudah tertanam dalam benak kaum muslimin sejak Umar bin Khathab a bahwa julukan Amirul Nama "Amir" saja tanpa tambahan mukminin lebih baik sebab kesannya lebih jelas. Yakni dialah pemimpin suatu Daulah atau Imarah, dalam makna bukan daulah khilafah. Syaikh Athiyatullah Al-Libbi Mukminin ini adalah untuk imam tertinggi dan khalifah.” Hal itu, menurut beliau, lebih menambah kerancuan dengan kondisinya (Abu Bakar Al-Baghdadi)—semoga Allah menjaganya— adalah dari suku Quraisy8 dan keturunan Husain. Ilusinya semakin kuat!9 Syaikh Athiyatullah termasuk ulama yang menyetujui proyek Daulah Islam Irak, dan tampak jelas bahwa beliau juga mendoakan kebaikan bagi Syaikh Al-Baghdadi. Namun beliau memahami bahwa Daulah Islam Irak adalah imarah Islam yang tidak berbeda dengan makna tanzhim. Baiat Al-Baghdadi kepada Al-Zawahiri Banyak kalangan mempertanyakan hubungan antara Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) dan Al-Qaidah serta status baiat antara pemimpinnya. Bukan kalangan awam, bahkan para ulama seperti Dr Thariq Abdul Halim, Dr Hani As-Sibai dan lainnya juga mempertanyakannya. Pertanyaan Dr Thariq dan Dr Habi As-Sibai tidak berbeda, yaitu urusan baiat Syaikh Al-Baghdadi kepada Syaikh Al-Zawahiri merupakan baiat yang belum ada kepastian, baik sifat maupun hakikatnya. Padahal jawaban tersebut sangat penting. Untuk mendudukkan perkara sebenarnya. Sekurang-kurangnya pertanyaanpertanyaan berikut akan terjawab. Penolakan Al-Jaulani atas deklarasi Daulah Islam Irak dan Syam adalah penolakan yang salah bila alasannya hanyalah karena AlJaulani tidak diajak bermusyawarah lebih 8 9 Lihat kembali syarat-syarat imam tertinggi. http://www.muslm.org/vb/showthread.php?516157اذاـمل-ةلودلا-ةيمالسإلا-اذاملو-ريمأ-نينمؤملا-امو-اـهدودح-%28خيشلاةيطع-هللا-همحر-هللا kiblat Ramadhan 1435 h 22 MUNAQOSYAH dahulu, seperti disebutkan dalam pidatonya.10 Al-Jaulani juga (bisa dianggap) berdosa karena telah melepaskan baiat dari AlBaghadi dengan alasan yang tidak dibenarkan. Semua arahan Syaikh Aiman, termasuk perintah membekukan ISIS tidak mengikat sebab hubungannya hanyalah kerja sama dan saling menasihati sesama tanzim, bukan perintah. Demikian, dan masih banyak lagi. Ini adalah persoalan besar. Namun, saat banyak pihak mempertanyakan hakikat hubungan tersebut, Abu Mu’adz Asy-Syar’i mengomentari pertanyaan Dr Habi As-Sibai dan menyatakan bahwa esensinya bukan pada masalah baiat. Tetapi ada persoalan lain yang tidak diperdebatkan lagi yang menjadi akar masalah antara JN dan ISIS, yaitu penyimpangan manhaj Al-Qaidah. Al-Qaidah (dianggap) kesusupan akidah sururiyah dan lima poin lainnya tanpa menyebutkan bukti apa pun.11 Dr. Thariq Abdul Halim menilai Abu Mu’adz Asy-Syar’i telah menelanjangi Dr Aiman dan Dr Hani Sibai sebagai tokoh yang dalam 10 Rabu, 29 Jumadil Ula 1434 /10 April 2013 M, yang diterbitkan oleh Media Al-Manarah al-Baidha’. 11 Lihat http://alplatformmedia.com/vb/showthread. php?t=42298 sejarah panjang telah mengabdikan diri dalam pertarungan dengan thaghut dengan lisan dan perbuatan. “Nama, rupa, sejarah dan pengalaman keduanya telah dikenal, sedangkan lainnya tidaklah kita kenal rupa, sejarah, dan tulisannya kecuali penambahan kata “Asy-Syar’i” yang tidak pernah kita kenal sebelumnya kecuali setelah muncul perkataan-perkataan mereka di justpaste. it12 sejak pengumumam “Daulah Islam” beberapa bulan lalu,” ungkapnya. Dr Thariq mengapresiasi upaya para pendukung Daulah dalam menjawab setiap persoalan. Namun, “sangat disayangkan, tindakan ini dinilai sebagian orang telah menjadi ciri umum Daulah, yaitu menghantam siapa dan apa saja yang sifatnya menyelisihi Daulah.” Dan itu berimbas kepada para pendukung mereka di twitter dan facebook. Mereka seolah-olah telah memenangkan al-haq secara keseluruhan dan tidak terbantahkan lagi; bebas dari kesalahan secara keseluruhan. Merekalah yang benar dalam setiap hal yang mengingatkan mereka.” 12 Hosting gratis tempat berbagi artikel dan tulisan. kiblat Ramadhan 1435 h 23 MUNAQOSYAH Ya, permasalahan baiat antara Syaikh Al-Zawahiri dan Syaikh al-Baghdadi adalah jantung dari masalah ini. Itulah sebabnya jawaban dari kedua pihak sangat ditunggu-tunggu. pengumuman ekspansi serta persoalan baiat, maka saya telah menjelaskan dalam tulisan saya berjudul: Kesaksian untuk menghentikan pertumpahan darah mujahidin di Suriah. Yaitu bahwa Daulah Islam Irak (ISIS) adalah cabang jamaah Al-Qaidah. Amir dan tentara ISIS memiliki kewajiban baiat di pundak mereka terhadap jamaah Al-Qaidah. Sebenarnya, Dr Thariq telah memiliki persepsi bahwa Al-Baghdadi berbaiat kepada Al-Zawahiri. Ia memiliki kesaksian dari orang yang dikenal sebagai orang adil dan kesaksiannya tidak patut didustakan. Amir mereka adalah Usamah bin Ladin—semoga Allah mengasihinya— kemudian saya yang lemah ini.” Di sisi lain, berdasarkan upaya penyelesaian masalah antara ISIS dan JN, Dr. Thariq Abdul Halim melihat bahwa Abu Bakar Al-Baghdadi sebenarnya menerima Syaikh Aiman menjadi hakim bagi dirinya dan Al-Jaulani.13 Hanya saja, ketika keputusannya tidak sesuai dengan keinginan Daulah, Al-Baghdadi tidak melaksanakannya. Ini menguatkan bahwa Al-Zawahiri adalah amir Al-Baghdadi. Karena itulah, beliau menginginkan pihak Daulah memberikan penjelasan tegas dalam masalah ini.14 Pertanyaan-pertanyaan para ulama tersebut akhirnya dijawab oleh Syaikh Aiman. Surat Syaikh Aiman menjawab pertanyaanpertanyaan Dr. Thariq Abdul Halim, Dr. Hani As-Siba’i, Dr. Iyadh Qunaibi, Dr. Abdullah Al-Muhaisini, Syaikh Muhammad Al-Hashmi dan Dr. Sami Al-Uraidi.15 "Adapun pertanyaan kalian tentang jamaah Daulah Islamiyah di Irak dan Syam (ISIS), sebelum dan sesudah 13 Lihat http://www.tariqabdelhaleem.net/new/ Artical-72557 14 Ibid. 15 h t t p : / / w w w . a l m a q r e z e . n e t / a r / n e w s . php?readmore=2445 Salah satu buktinya ialah surat Syaikh AlBaghdadi kepada Syaikh Aiman pada 7 Dzul Hijjah 1433. Di dalamnya, Syaikh Al-Baghdadi mengatakan: “Syaikh kami yang diberkati, kami ingin menjelaskan dan mengumumkan kepadamu bahwa kami adalah bagian darimu. Kami adalah dari dan untukmu. Kami berhutang kepada Allah bahwa engkau adalah pemegang otoritas urusan kami. Engkau memiliki hak ketaatan (sam’u wa tha’ah) selama kami hidup. Dan bahwa nasihat dan peringatanmu untuk kami adalah hak kami untuk menerimanya darimu. Perintahmu mengikat bagi kami. Akan tetapi, beberapa masalah adakalanya memerlukan beberapa penjelasan untuk menangani kenyataan yang terjadi di lapangan kami. Kami berharap engkau lapang dada untuk mendengar sudut pandang kami. Setelah itu, engkau berhak mengeluarkan perintah karena kami ini hanyalah anak-anak panah di busurmu.” Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi bersaksi kepada Allah atas kebenaran semua pernyataan Syaikh Aiman Al-Zawahiri kiblat Ramadhan 1435 h 24 MUNAQOSYAH tentang hubungan ISIS dan Al-Qaidah16 dan ini juga diakui oleh Juru Bicara ISIS Syaikh Al-Adnani dalam pidatonya yang berjudul “Maaf wahai Amir Al-Qaidah”: “Sesungguhnya semua kesaksianmu yang engkau sebutkan itu adalah benar”.17 Di antara kesaksian Syaikh Aiman saat ISIS masih di Irak ialah: “Syaikh Abu Hamzah t mengirimkan surat kepada kepemimpinan pusat (AlQaidah) yang isinya membenarkan pembentukan Daulah. Ia menegaskan di dalamnya bahwa loyalitas Daulah adalah kepada jamaah Al-Qaidah dan bahwa saudara-saudara di Dewan Syuro telah mengambil janji kepada Syaikh Asy-Syahid—seperti yang kami harapkan—Abu Umar Al-Baghdadi bahwa amirnya adalah Syaikh Usamah bin Ladin t. Dan bahwa Daulah berada di bawah jamaah Al-Qaidah. Akan tetapi, Dewan Syuro memandang saudara-saudara harus diberitahu itu, namun tidak diberitahukan secara luas dengan beberapa pertimbangan politik, yang mereka lihat di Irak saat itu.” “Delegasi Dewan Syuro Daulah Islam Irak menanggapinya pada awal Dzul Qa’dah 1431, sebagai berikut: '... Seluruh ikhwah di sini, yang dipimpin oleh Syaikh Abu Bakar, semoga Allah melindunginya dan Dewan Syura sepakat bahwa tidak ada keberatan bila imarah (daulah) ini bersifat sementara. Dan kalian boleh mengirimkan seseorang kepada kami bila kalian melihat keputusan sebagai bagian dari perwujudan maslahat 16 http://www.tawhed.ws/r?i=26051401 17 Lihat transkripnya di http://www.dawaalhaq. com/?p=12828 Transkrip penjelasan Al-Zawahiri tentang hubungan Al-Qaidah dan ISIS. Terjemahnya dapat dilihat di : http://www.kiblat.net/2014/05/03/inilah-penegasanal-qaidah-untuk-jn-dan-isis/ untuk menyerahkan imarah ini. Kami tidak keberatan dan kami semua di sini adalah prajuritnya (Syaikh Usamah) yang di pundak mereka ada beban mendengar dan taat. Kewajiban ini adalah hasil kesepakatan dari Majelis Syuro dan Syaikh Abu Bakar AlBaghdadi, semoga Allah melindungi mereka.”18 Hal yang sama juga dilakukan saat kepemimpinan Al-Qaidah dipercayakan kepada Syaikh Aiman, sepeninggal Syaikh Usamah bin Ladin. Syaikh AlBaghdadi meminta kepastian apakah 18 http://www.tawhed.ws/r?i=26051401 kiblat Ramadhan 1435 h 25 MUNAQOSYAH harus memperbarui baiat secara terangterangan atau cukup secara rahasia seperti sebelumnya. Disebutkan juga dalam surat Dr Aiman, menukil dari surat yang dikirimkan kepada beliau dari Daulah: “… dan ia (Syaikh Al-Baghdadi) menanyakan posisinya dari sudut pandang kalian (organisasi Al-Qaidah), ketika ada pengumuman amir baru di organisasi (Al-Qaidah). Apakah Daulah harus memperbarui baiatnya secara terang-terangan atau secara rahasia saja, seperti yang dilakukan sebelumnya. Ini penting sebab saudarasaudara di sini adalah anak panah di busurmu.”19 Semua proses tersebut dilakukan secara rahasia antara dua pihak. Maka wajar bila sekelas tokoh senior dalam dunia jihad pun tidak mengetahui hubungan sebenarnya antara Al-Baghdadi dan Al-Zawahiri. Dengan demikian semua pertanyaan seputar status ISIS dan hubungannya dengan Al-Qaidah terjawablah sudah. Daulah adalah bagian dari Al-Qaidah. Sejak awal berdirinya adalah bagian dari Al-Qaidah pusat. Pembubaran tanzim AlQaidah fi Bilad Rafidhain oleh Syaikh AIman Al-Zawahiri dan diumumkan bergabung dengan Daulah adalah langkah yang benar. Ini bukan berarti tidak adanya baiat kepada Al-Qaidah pusat. Sebab sifatnya diintegrasikan, bukan independen. Pernyataan-pernyataan Syaikh Al-Zawahiri dan Syaikh Usamah dalam memuji Daulah adalah wujud apresiasi kepemimpinan pusat kepada organisasi cabang. Azh-Zhawahiri pernah menyatakan: 19 http://www.tawhed.ws/r?i=26051401 “... Dan pada hari ini (2007) Daulah Islam Irak telah didirikan di Irak. Para mujahidin merayakan (berdirinya) di jalan-jalan Irak, masyarakat juga ikut berdemonstrasi untuk mendukungnya di kota-kota dan desa-desa Irak, dukungannya diumumkan, dan baiat terhadapnya (Daulah Islam Irak) dilakukan di masjid-masjid Baghdad.”20 Maka tidak salah bila Syaikh Aiman pernah menyatakan: “Saya ingin menjelaskan bahwa pada hari ini tidak ada kelompok yang bernama Al-Qaidah di Irak. Sebagai gantinya Al-Qaidah yang berada di Irak menyatukan diri dengan Daulah Islamiyah Irak— semoga Allah menjaganya – bersama jama’ahjama’ah jihad lainnya. Daulah Islam Iraq adalah Imarah Syar’iyah yang berdiri di atas manhaj syar’i yang benar dan didirikan melalui Syura (musyawarah) dan membai’at sebagian besar Mujahidin dan suku-suku di Irak.” Adalah sikap yang tepat sebagai pemimpin untuk menengahi dan mendudukkan masalahnya ketika bagian dari organisasinya mendapatkan tuduhan. Daulah Islam Irak dituduh menjadi penyebab berbagai perang saudara dan dituding telah membunuh orang-orang sipil dan menumpahkan darah. Syaikh Aiman pada saat itu menjawab: “Ini merupakan suatu tuduhan, dan tuduhan memerlukan bukti. Sebagaimana halnya Daulah Islamiyah Irak mengumumkan kesiapannya untuk menanggapi setiap keluhan…. 20 Simak pesan Aiman Azh-Zhawahiri, Nashiihah Musyaffaq, yang dirilis pada Juni 2007. http://archive. org/download/The-Advice-of-One-Concerned3b/ The-Advice-of-One-Concerned3b_512kb.mp4 kiblat Ramadhan 1435 h 26 MUNAQOSYAH Saya tidak memiliki kewenangan untuk berlepas diri maupun membela berbagai bentuk urusan sebelum saya mendengar dari dua sisi urusan tersebut.”21 Prospek Daulah Islam Akhir Zaman Bagaimanapun Daulah Islam Irak awalnya adalah tanzim yang disetujui dan dipuji oleh para ulama jihad dan proyek Daulah Islam yang digadang-gadang menjadi cikal-bakal khilafah ala manhaj nubuwwah. Ini adalah harapan para pemimpin pergerakan jihad, terlebih lagi para pemimpin Daulah. Syaikh Al-Adnani misalnya dalam pernyataan berjudul “La yadzurrukum illa adza” mengatakan, ‘Proyek kami adalah proyek umat. Tujuannya adalah menegakkan daulah Islam ala manhaj nubuwwah, yang tidak mengenal batas (teritorial), tidak membedakan Arab dan non-Arab, tidak pula timur dan barat, kecuali ketakwaan dan loyalitasnya yang tulus kepada Allah.”22 Dalam dalam salah satu pesannya, AzhZhawahiri berkata, “... Dan pada hari ini (2007) Daulah Islam Irak telah didirikan di Irak. Para mujahidin merayakan (berdirinya) di jalan-jalan Irak, masyarakat juga ikut berdemonstrasi untuk mendukungnya di kota-kota dan desa-desa Irak, dukungannya diumumkan, dan baiat terhadapnya (Daulah Islam Irak) dilakukan di masjid-masjid Baghdad.”23 21 http://www.arrahmah.com/read/2008/01/15/1503wawancara-eksklusif-syaikh-aiman-az-zawahirimengenai-dunia-islam-bag-1.html 22 h t t p : / / a l p l a t f o r m m e d i a . c o m / v b / s h o w t h r e a d . php?t=26620 23 Simak pesan Aiman Azh-Zhawahiri, Nashiihah Musyaffaq, yang dirilis pada Juni 2007. http://archive. org/download/The-Advice-of-One-Concerned3b/ The-Advice-of-One-Concerned3b_512kb.mp4 Pernyataan Aiman Azh-Zhawahiri menarik untuk dicermati: “Sungguh, Al-Qaidah ingin agar umat Islam memiliki seorang khalifah yang mereka pilih sendiri dengan kerelaan, keputusan bulat, atau dengan kesepakatan mayoritas mereka. Dan seandainya umat Islam memungkinkan untuk menjalankan hukum Allah di manapun wilayah tersebut sebelum tegaknya khilafah, maka orang yang diridai (direstui) oleh umat Islam di wilayah tersebut sebagai imam (pemimpin) yang memenuhi syarat-syarat syar’i dan akan memimpin umat dengan Al-Quran dan As-Sunnah, maka kami merupakan orang pertama yang akan merestuinya. Karena kami bukan menginginkan kekuasaan, namun hanya menginginkan (tegaknya) hukum Islam.”24 Apakah daulah atau imarah kecil tidak bisa menjadi Daulah Islam? Apakah baiat amal atau baiat jihad dalam taraf tertentu tidak bisa menjadi baiat kubra? Tentu bisa. Sebab sebuah daulah, bila berkaca kepada perjuangan Nabi n menegakkan Daulah di Madinah, merupakan proses yang tidak lepas dari kekurangan dan kesabaran. Ya, meskipun kondisi Daulah Islam, menurut beberapa analisis, tidak layak dianalogikan dengan Madinah. Sebagian karya dan tulisan ulama yang menguatkan baiat Syaikh Al-Baghdadi telah kami baca dan teliti dan telah dibantah pula oleh banyak pihak. Ada yang kuat di satu bagian namun ada juga kelemahan di bagian lain. Namun satu hal yang harus menjadi catatan adalah pengakuan terhadap ISIS dan baiat Syaikh Al-Baghdadi. Ya, pengakuan kaum muslimin. 24 Simak pesan audio Aiman Azh-Zhawahiri, Al-Iman Yashra’u Al-Istikbar. http://www.youtube.com/ watch?v=aIa7Mx43D5g kiblat Ramadhan 1435 h 27 MUNAQOSYAH Misalnya baiat kepada imam yang tidak dikenal (majhul), bantahannya kemungkinan lebih kuat, namun yang dibantah juga tidak bisa ditolak secara total. Majhul bagi sebagian orang, belum tentu majhul bagi sebagian lain. Demikian pula persoalan lainnya. pertumpahan darah di antara umat Islam.” Maka Ali menyetujuinya. Keduanya rela dengan kesepakatan tersebut. Muawiyah tinggal di Syam dengan pasukannya dan demikian pula Ali di Irak. Tetapi, perdebatan itu tidak berlaku untuk pengakuan. Sebuah daulah maupun baiat tidak akan berlaku tanpa pengakuan kaum muslimin. Manhaj Nabi dalam Menegakkan Daulah Apakah pengakuan tersebut harus datang dari seluruh manusia? Tentu saja tidak, tetapi umat Islam secara umum atau sebuah proses yang dengan itu kepemimpinan dan kekuasaan bisa berjalan. Ibnu Khaldun di Mukadimah mengatakan, “Yaitu baiat dari Ahlul Halli wal Aqdi yang dengan mereka tercapailah kekuatan dan pembelaan.” Imam Al-Ghazali berkata, “Seandainya yang membaiat Abu Bakar a hanya Umar a, sementara umat Islam secara keseluruhan tidak mau melakukannya, atau mereka terpecah belah dan tidak bisa dibedakan mana kelompok mayoritas dan mana kelompok minoritas, niscaya tidak ada pengukuhan imamah.”25 Ketika kubu Muawiyah dan Ali tidak mau memberikan kesepakatan untuk menaati salah satu pihak, maka Muawiyah—sesuai riwayat Ziyad bin Abdullah dari Abu Ishaq—menulis surat kepada Ali, “Bila engkau bersedia, ambillah Irak, dan Syam untuk saya. Dengan demikian, berhentilah ancaman pedang terhadap umat ini dan 25 Fathaih Al-Bathiniyah, 176-177. Intinya adalah membangun kepercayaan. Manhaj Nabi n dalam membentuk kedaulatan Madinah telah mewariskan strategi yang sangat baik. Langkah awal setelah menyatukan barisan internal dengan membangun masjid dan mempersaudarakan antara muhajirin dan Anshar ialah menjalin perjanjian dengan Yahudi dan suku-suku di sekitarnya untuk menciptakan keamanan di Madinah. Allah bahkan memberikan kelonggaran yang jelas bagi pembela kebenaran, “Dan bila mereka cenderung kepada perdamaian, maka cenderunglah kepada perdamaian itu. Dan bertawakallah kepada Allah.” (QS. Al Anfal: 61) Nabi n mengirimkan surat kepada orangorang kafir, mengajak mereka untuk bertobat dan masuk Islam. Nabi juga menerima hadiah dari mereka, dan juga meminta bantuan. Maka tidaklah salah ketika Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi berpesan untuk amal jihad di Suriah: "Kami ingatkan mereka akan urgensi memperhatikan siyasah syar’iyyah yang ditempuh Nabi n, khususnya pada awal-awal berdirinya negara dan sebelum terbentuknya kekuatan kaum muslimin di Madinah. Beliau memelihara persekutuan-persekutuan yang diadakan. Beliau mengadakan perjanjianperjanjian bahkan dengan orang-orang Yahudi. Beliau tidak membatalkannya sampai negara Islam menguat dan mereka sendiri yang melanggar. kiblat Ramadhan 1435 h 28 MUNAQOSYAH mereka. Para shahabat masih memandang para pembesar mereka, serta berkonsultasi kepada para pemikir mereka dalam menghadapi suatu peristiwa. Sirah Nabawi memuat hal itu dan mencantumkannya. Demikian juga, beliau tidak bersegera mengadakan bentrok dengan orangorang munafik padahal beliau mengalami gangguan dari mereka. Beliau membiarkan mereka dan menunda sampai terbentuknya kekuatan kaum Muslimin. Beliau bersikap memaafkan dan berpaling dari jenis munafik yang lain agar orang-orang tidak berbincangbincang (menyebar isu) bahwa Muhammad membunuh para shahabatnya sendiri. Kami juga mengingatkan mereka akan langkah Nabi n yang menempuh sunnahsunnah dan sebab-sebab kauni. Kondisi tidak berdaya, sedikitnya persenjataan, dan lemahnya kekuatan kaum muslimin menjadi pertimbangan bagi beliau. Padahal beliau adalah tokoh orang-orang yang bertawakal, penyabar dan orang-orang yang yakin. Beliau juga memperhatikan kondisi para shahabat, yang notabene baru saja meninggalkan masa jahiliah dan Islam belum mengakar di hati banyak dari mereka. Itulah sebagian pertimbangan-pertimbangan yang diperhatikan Rasulullah n. Sebab, meski mayoritas mereka melebur pada kategori Muhajirin dan Anshar, namun beliau tidak lupa bahwa hati para shahabat itu masih mengunggulkan tokoh-tokoh Karena itu, siapa saja yang ingin membakar fase-fase ini dan tergesa-gesa dengan cara mengabaikan pertimbangan-pertimbangan ini serta melompatinya, maka berarti ia tergesa-gesa sebelum waktunya. Ia tidak memperhatikan siyasah nabawiyyah. Ia akan menuai akibat berupa bercabangnya area pertempuran dan terbukanya banyak front di satu waktu. Hal ini bukanlah termasuk siasat Nabi n. Karena itu, dalam jihad di Suriah, kami ingin agar orang yang muncul pada jajaran pimpinannya dan tampak pada tokohtokohnya adalah saudara-saudara kami ahli Tauhid yang notabene adalah penduduk negeri itu. Kami melihat ada kemaslahatan dalam pengambilan kebijakan tersebut. Ini pula yang kami nasihatkan kepada saudarasaudara kami mujahidin di berbagai medan tempur. Kami tidak suka jika hal tersebut diabaikan dengan alasan bahwa ini mengikat jihad dengan pembagian-pembagian jahiliah Sykes Picot. Sebab, kami tidak mengikatnya dengan itu sama sekali, tapi kami mengikatnya dengan kitab Allah yang memperhatikan hal itu dalam pengutusan para nabi. Sehingga, memperhatikan hal itu pada selain mereka lebih utama. Demikian juga kami mengikatnya dengan siyasah nabawiyyah yang memperhatikan hal itu pula dan tidak mengabaikannya di banyak pertempuran.”26 (Agus Abdullah) 26 http://www.tawhed.ws/r?i=17111301 kiblat Ramadhan 1435 h 29 MUNAQOSYAH J EDA kiblat Ramadhan 1434 1435 h 30 MUNAQOSYAH SUKSESI MENURUT ISLAM “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) S etelah Rasulullah n wafat, kaum Muhajirin dan Anshar terlibat dalam perdebatan di Saqifah Bani Saidah yang nyaris mengarah pada konflik. Ketegangan terjadi terkait dengan siapa yang layak menjadi pemimpin pengganti Rasulullah n. Setiap pihak mengajukan argumentasinya tentang siapa yang berhak sebagai khalifah. Kaum Anshar menuntut bahwa mereka adalah orang yang memberi tempat kepada Nabi n pada saat kritis. Oleh karena itu seorang penerus Nabi harus dipilih di antara mereka. Sedangkan kaum Muhajirin merasa lebih berhak mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sebab merekalah yang menyertai Rasulullah sejak awal. Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas menyampaikan pendirian kaum Muhajirin, yaitu agar menetapkan pemimpin dari kalangan Quraisy. Akan tetapi hal tersebut mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin Munzir (kaum Anshar). Setelah suasana ketegangan sedikit mereda, Abu Bakar berkata, “Marilah kita semua bermusyawarah dan kita pilih bersama siapa yang pantas menjadi pemimpin kita semua. Saya ingatkan pilihlah mereka yang tidak meminta kiblat Ramadhan 1435 h 31 MUNAQOSYAH kekuasaan, seperti yang Rasulullah telah menyatakan kepada Abbas, pamannya, saat ia meminta untuk menjadi gubernur, Rasulullah menjawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak memberikan kekuasaan ini kepada orang yang memintanya’.” Abu Bakar melanjutkan, “Sesungguhnya orang yang pantas menjadi Khalifah hanya satu, di antara dua orang, yaitu Umar bin Khattab dan Ubaidah bin Jarrah.” Mendengar usulan Abu Bakar tersebut Abu Ubaidah bin Jarrah sepontan kaget seperti tersambar petir pada siang bolong. Begitu juga Umar bin Khattab, mereka malu berhadapan dengan orang besar seperti Abu Bakar. Umar bin Khattab berteriak, “Demi Allah..., lebih baik aku maju dan dipukul leherku tanpa dosa, daripada aku diminta memimpin kaum sementara masih ada Abu Bakar di dalamnya.” lainnya menyatakan persetujuannya atas pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah. Seluruh yang hadir dalam pertemuan tersebut kemudian ikut membaiat Abu Bakar. Mereka kemudian ramai-ramai mengarak Abu Bakar menuju Masjid Nabawi. Di Masjid Nabawi sekali lagi Abu Bakar dibaiat di depan khalayak umum. Dengan demikian Abu Bakar dinyatakan sah sebagai khalifah pengganti Rasulullah n. Itulah suksesi kepemimpinan Islam sepeniggal Rasulullah n. Proses pengangkatan Abu Bakar ra sebagai khalifah pertama menunjukkan betapa seriusnya masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam dan sekaligus menjadi salah satu mekanisme pemilihan pemimpin yang jelas dalam Islam. Dari proses pengangkatan Abu Bakar dan tiga khalifah berikutnya—yang akan dijelaskan selanjutnya insya Allah—tersebut, kemudian para ulama menetapkan bahwa mekanisme pengangkatan khalifah terdiri atas dua cara1: Abu Ubaidah bin Jarah pun maju ke depan Abu Bakar, sambil berkata, “Mana mungkin saya dikatakan pantas! Demi Allah, kami yakin hanya engkaulah wahai Abu Bakar yang pantas memimpin umat Islam pengganti Rasulullah! Engkaulah orang yang kami anggap paling mulia di kalangan Muhajirin dan Tsaniu-Itsnain. Engkaulah yang menemani Rasulullah saat Hijrah, dan engkaulah yang pernah menggantikan Rasulullah dalam imam salat ketika Rasulullah sakit. Padahal salat merupakan hal utama sebagai tiang atau landasan tegaknya agama. Lantas siapa yang mampu membelakangimu dan siapa yang paling layak darimu? Ulurkan tanganmu dan kami akan mengangkat bai’at terhadapmu.” 1. Kemudian Abu Ubaidah dan Basyir bin Saad, menjabat tangan Abu Bakar dan mengucapkan bai’at diikuti Umar bin Khattab serta tokoh-tokoh kaum Anshar yang Yakni, Ahlu Halli wa ‘Aqdi memilih seorang imam yang pada dirinya memenuhi persyaratan yang harus dimiliki seorang imam. 1 Pemilihan (ikhtiyar) Abu Umar Asy-Syaif, Siyasah Syar’iah, (Beirut: Dar AlMa’alim Li Toba’ah, 2007), 192 kiblat Ramadhan 1435 h 32 MUNAQOSYAH wa ‘Aqdi.2 2. Penunjukan (istikhlaf) Imam sebelumnya menunjuk seseorang yang memenuhi persyaratan seorang imam untuk menjadi penggantinya, tetapi tetap melewati proses syura dengan Ahlu Halli wa ‘Aqdi, dan jika terjadi perselisihan dalam penunjukan imam pengganti, maka perselisihan ini diserahkan dan diselesaikan dengan syariat Allah, sesuai dengan firmanNya ِ َف إ�ِن َت َنٰ َز ْع ُت ْم ِفى شَ ْى ٍء َف ُر ُّدو ُه �إِلَى ٱللَّ ِه َوٱل َّر ُس ول َ�إِن كُن ُت ْم تُؤ ِْم ُنو َن بِٱللَّ ِه َوٱلْ َي ْو ِم ٱل َْء ِاخ ِر َ ٰذلِك َخ ْي ٌر َو�َأ ْح َس ُن َت�أْوِيلًا “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ : 59) Qadhi Abu Ya’la menambahkan, “Imamah itu ditetapkan dengan dua cara, pertama, dengan dipilih oleh Ahlu Halli wa ‘Aqdi. Kedua, dengan dipilih dan diangkat oleh imam sebelumnya, tetapi dalam pengangkatannya tetap melalui musyawarah dengan Ahlu Halli Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji dalam Al-Imamah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl AsSunnah wa al-Jama’ah menambahkan, yaitu kesimpulan yang bisa diambil dari proses istikhlaf yang dilakukan oleh Abu Bakar yang menunjuk penggantinya Umar adalah selain harus dengan persetujuan Ahlu Halli wa ‘Aqdi juga harus dengan kerelaan yang ditunjuk sebagai pengganti.3 3. Imamah Mutaghallibah Cara ini bukanlah suksesi kepemimpinan Islam yang didasarkan kepada nash ataupun atsar yang qath’i. Mekanisme kepemimpinan seperti ini akan diulas di halaman 50, insya Allah. Mekanisme Ikhtiar Pemilihan dengan cara ikhtiar terwujud dalam pengangkatan Abu Bakar4 seperti dikisahkan di awal tulisan ini, Utsman bin Affan5 dan Ali Bin Abi Thalib.6 Pengangkatan Utsman bin Affan juga melalui proses ikhtiar. Amirul Mukminin Umar bin Khattab pada saat itu menunjuk 6 shahabat yang terpercaya. Khalifah Umar yakin bahwa integritas dan kapabilitas keenam shahabat ini tidak diragukan lagi. Sehingga umat Islam pada saat itu tidak akan ragu mewakilkan hak suara mereka kepada 2 3 4 5 6 Al-Qadiy Abu Ya’la, Ahkamu Sulthaniyah, (Beirut: Dar Kutub Al-‘Alamiyah, 2000), 23 Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji, Al-Imamah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah, (Riyadh:Dar Thoyyibah, 1403 H), 151 Ibid, 148 Ibid, 153 Syaikh Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali bin Abi Thalib, Jakarta:Yayasan Ash-Shilah, 395 kiblat Ramadhan 1435 h 33 MUNAQOSYAH keenam shahabat yang shalih ini, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam. Inilah enam shahabat dari sepuluh shahabat yang dijamin masuk jannah. Setelah melalui proses musyawarah—yang akan kami sebutkan nanti insya Allah—maka terpilihlah khalifah Utsman bin Affan sebagai pengganti dari Khalifah Umar bin Khattab melalui proses ikhtiyar para Ahlu Halli wa ‘Aqdi yang telah diridhai umat Islam pada saat itu.7 Pengangkatan shahabat Ali bin Abi Thalib juga menggunakan cara ikhtiar. Setelah Utsman terbunuh pada malam Jum’at 18 Dzulhijjah tahun 35 H, kaum muslimin mendatangi Ali a Beberapa orang shahabat mengetuk-ngetuk pintunya dan berkata, “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah terbunuh, sedang kaum muslimin harus memiliki seorang khalifah. Kami tidak melihat seseorang yang lebih layak dengan kekhalifahan selain anda.” Kemudian Ali berkata kepada mereka, “Janganlah kalian memilih aku, cukuplah aku sebagai menteri pembantunya. Karena itu pilihlah untuk diriku seorang Amir bagi kalian.” Akan tetapi,mereka tetap berkata,”Demi Allah, tidak, kami tidak melihat seseorang yang lebih layak selain Anda.” Lalu Ali berkata, “Jika kalian tetap menolak, maka baiklah, namun syaratnya acara pembai’atanku ini tidak dilakukan secara rahasia melainkan aku akan keluar menuju masjid dan di sanalah nanti kalian membaia’atku.” Kemudian ia keluar menuju masjid, setelah itu seluruh kaum muslimin berduyun-duyun membai’atnya.”8 7 8 Fathul Bary, 7/67 Abu Bakar AL-Khallal, Kitab Sunnah, 415 Sebagian orang menyanggah ijma’ atas kekhalifahan Ali berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut: Adanya sekelompok shahabat yang tidak mau membai’at Ali seperti Sa’ad bin Abi Waqash, Muhammad bin Maslamah, Ibnu Umar, Usamah bin Zaid, Shuhaib, Zaid bin Tsabit dan Salamah bin Salaamah bin Waqsy. Klaim ini tidak benar, karena tidak ada seorang pun dari sahabat yang tidak mau membaiat Ali. Adapun dalam hal membantu dan mendukungnya, memang ada beberapa orang dari mereka yang enggan melakukannya, karena masalah ini adalah masalah ijtihadiyah. Maka masingmasing berhak berijtihad dan memberikan pandangannya. Semuanya benar sesuai denga porsi dan batasannya.9 Penduduk Syam, yaitu Muawiyah dan orang-orang yang bersamanya tidak mau membaiat Ali, bahkan mengadakan perlawanan terhadapnya.10 Klaim ini salah karena Muawiyah tidak memerangi atas kekhalifahan Ali dan tidak pula karena mengingkari keimamahannya. Muawiyah hanya menuntut Ali menegakkan hukum had syar’i atas orang-orang yang berkomplot dalam pembunuhan Utsman. Muawiyah dalam hal ini merasa benar dengan ijtihadnya, meskipun pada dasarnya salah. Maka dari ijtihadnya, ia mendapat satu pahala.11 Beberapa riwayat yang menyatakan bahwa Thalhah dan Zubair dipaksa untuk melakukan baiat adalah batil dan rusak.12 Karena di sisi lain terdapat beberapa riwayat shahih yang menetapkan bai’at mereka kepada Ali secara sukarela tanpa paksaan apapun. 9 Al-BAqilani, At-Tamhid, 233-234. 10 Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah fi Ash-Shahabah, vol. 2, 695 11 Ibid, vol, 2, 696 12 Isytishad Usman, 141 kiblat Ramadhan 1435 h 34 MUNAQOSYAH Sebagaimana riwayat shahih yang dituturkan oleh Ibnu Hajar dari jalur AlAhnaf bin Qais. Diriwayatkan bahwa Aisyah, Thalhah dan Zubair menyuruh AlAhnaf agar membai’at Ali setelah mereka bermusyawarah menentukan siapakah yang layak dibaiat sepeninggal Utsman bin Affan.13 itu. Namun, Abu Bakar ingin mengambil pendapat umum. Ia bermusyawarah dengan para sahabat yang terpandang. Imam AthThabari menulis bahwa Abu Bakar naik ke atas balkon rumahnya dan berbicara kepada orang banyak yang berkerumunan di bawah, ”Apakah kalian akan menerima orang yang saya calonkan sebagai pengganti saya?” “Saya bersumpah bahwa saya melakukan yang terbaik dalam menentukan hal ini, dan saya telah memilih Umar bin Khathab sebagi pengganti saya. Dengarkanlah saya, dan ikutilah keinginan-keinginan saya.” Mereka semua berkata serempak, “Kami telah mendengar Anda dan Kami akan menaati Anda.” Mekanisme Istikhlaf Pemilihan secara istikhlaf adalah 14 pengangkatan Umar bin Khattab. Abu Bakar jatuh sakit di musim panas tahun 634 M, dan selama 15 hari dia berbaring ditempat tidur. Khalifah ingin sekali menyelesaikan masalah peggantian dan mencalonkan seorang pemimpin. Ia tidak ingin rakyatnya masuk ke dalam perang saudara karena tidak ada pemimpin. Berdasarkan penilain pribadinya, Abu Bakar yakin bahwa tidak ada seorang pun kecuali Umar bin khatthab yang dapat mengambil tanggung jawab kekhalifahan yang berat 13 Fathul Bari, vol 13, 38, Istisyhad Usman, 141. AlMushannaf Ibnu Abi Syaibah, vol 11, 118. Seluruh rawinya adalah rawi hadits shahih kecuali Umar bin Jawan, ia hanyalah orang yang diterima hadistnya, dan telah dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bariy,vol. 34, 13-57 14 Ibnul Jauziy, Shirah Umar bin Khattab, (Dar Ibnu Khaldun, 1996), 44 Ahlul Halli wal Aqdi Semua cara pengangkatan imam tadi, baik ikhtiar maupun istikhlaf, tidak lepas dari proses musyawarah dan persetujuan para sahabat senior, yang kemudian dalam konsep Islam dikenal dengan istilah Ahlu Halli wa ‘Aqdi. Kedudukan Ahlu Halli wal Aqdi ini sangat penting, apalagi bagi umat Islam zaman ini. Sebab, keputusan mereka bisa diterima umat dan mengikat mereka. Pemimpin atau khalifah bisa diterima dan kiblat Ramadhan 1435 h 35 MUNAQOSYAH tidak ada penentangan. Mengapa mereka yang tidak secara tegas diangkat oleh rakyat menjadi wakil, tetapi peran mereka benar-benar mewakili umat? Siapakah sebenarnya Ahlu Halli wa ‘Aqdi ini dan bagaimana proses terbentuknya? Ahlu Halli wa ‘Aqdi adalah sekelompok manusia yang memiliki kapasitas ilmu dien yang memadai, budi pekerti atau akhlak serta mempunyai ilmu dan diakui oleh umat. Terkadang disebut sebagai ahlu ikhtiar, ahlu syura, dan ahlu ra’yi wa tadbir. Sebagian ulama ada yang mendefinisikan mereka adalah ulama dan para pemimpin yang terkemuka di antara manusia yang mudah untuk berkumpul bersama.15 Dr. Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa Ahlu Halli wa ‘Aqdi adalah ulama mujtahid, tokoh-tokoh terkemuka yang keberadaannya berfungsi mewakili umat dalam memilih imam.16 15 Syihabuddin Ar-Romly,Nihayatul Muhtaj ila Syarhi Manhaj,(Beirut:Dar Kutub Al-Alamiyah,2003) vol. 7, 390 16 Prof DR.Wahbah Az-Zuhaily, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Beirut:Darul Fikr, 2007-1428 H), vol 6, 685-686 Imam Al-Mawardi dalam Ahkamu Sulthaniyah17 menyebutkan beberapa syarat Ahlu Halli wa ‘Aqdi , yaitu: 1. Adil yaitu menjaga muru’ah dan mengerjakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. 2. Mengetahui tata cara pengangkatan imam yang sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. 3. Tegas dan bijaksana dalam memilih imam yang lebih baik dan cerdas dalam menentukan program untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Para fuqaha mengisyaratkan bahwa Ahlul Halli wal ‘Aqdi tidak harus berasal dari penduduk yang senegeri dengan sang imam, yaitu penduduk ibu kota. Karena tempat tinggal bukanlah alat ukur.18 Proses terbentuknya Ahlul Halli wal Aqdi, seperti disebutkan oleh Ad-Dumaiji,19 mereka dipilih oleh imam sebelum lengser. Contohnya pada masa pemerintahan Umar bin Khattab saat pembentukan Ahlu Syura untuk mengangkat pengganti khalifah. Muhammad Syakir Syarif menambahkan20 syarat lain bagi Ahlu Halli wa ‘Aqdi menyangkut bagaimana proses pengangkatannya adalah bergantung pada keridhaan masyarakat pada mereka.21 Tugas dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi antara lain memilih khalifah, imam, kepala negara 17 Al-Mawardi, Ahkamu Sultoniyah, (Kuwait:Dar Ibnu Qutaibah, 1989), 8 18 Al-Qodiy Abu Ya’la, Ahkamu Sultoniyah, (Beirut:Dar Kutub Al-‘Alamiyah, 2000), 4. 19 Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji, Al-Imamah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah, (Riyadh:Dar Thoyyibah, 1403 H), 162 20 Muhammad Syakir Syarif, Muqoddimah fi Fiqh Nidzom Siyasi Al-Islamiy, 14 21 Seperti yang terjadi pada saat pembaiatan Abu Bakr dimana Umar telah dipercaya umat untuk mewakili dalam memilih dan membaiat Abu Bakr. Intinya adalah keridhaan umat pada orang yang mewakili mereka. kiblat Ramadhan 1435 h 36 MUNAQOSYAH secara langsung. Karena itu Ahlul Halli wal ‘Aqdi juga disebut oleh Al-Mawardi sebagai ahlu al-ikhtiar (orang-orang yang berhak menentukan pemimpin). Peranan mereka sangat penting untuk memilih salah seorang di antara orang-orang yang layak dipilih menjadi khalifah. Ahlul Halli wal ‘Aqdi ialah orang-orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberi kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena keikhalasan, kekuatan komitmen, ketakwaan, keadilan dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Di samping punya hak pilih, menurut Muhammad Rasyid Ridha adalah menurunkan khalifah jika terdapat hal-hal yang mengharuskan pemecatannya.22 AlMawardi juga berpendapat jika kepala negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama, rakyat dan Ahlu Halli wa ‘Aqdi berhak untuk menyampaikan “mosi tidak percaya” kepadanya. 23 Sekalipun mereka mewakili rakyat, menurut Rasyid Ridha, tidak identik dengan parlemen di zaman modern yang memiliki kekuasaan legislatif dan berhak membatasi kekuasaan kepala negara melalui undangundang. Sementara khalifah adalah kepala negara yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.24 22 Muhammad Rasyid Ridha, Al-Khilafat, (Kairo:Az-Zahro Lil I’laami Arabiy,1354 H), 15. 23 Al-Mawardi, Op. Cit, hlm. 17. 24 Muhammad Rasyid Ridha, Op. Cit, 28. Kualitas dan Kuantitas Ahlul Halli wal Aqdi untuk Mengangkat Pemimpin Fakta sejarah dan uraian ulama tadi menunjukkan bahwa kualitas Ahlul Halli wal Aqdi dapat diukur. Seperti ahlu syura yang diangkat khalifah Umar bin Khattab yang terdiri dari eam shahabat yang dijamin masuk jannah. Bila dihubungkan dengan masa sekarang, tentu berbeda. Namun, dapat disimpulkan bahwa mereka adalah orang-orang yang dipercaya umat. Kapabilitas mereka tidak diragukan lagi oleh umat Islam pada zamannya, seperti digambarkan oleh Imam Mawardi, mereka berkecimpung langsung dengan umat. Umat menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena keikhalasan, kekuatan komitmen, ketakwaan, keadilan dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam. Secara kuantitas pun ukurannya tidak berbeda, yaitu bahwa pemimpin yang mereka pilih tidak ditentang oleh umat atau kelompok Islam lain yang memiliki kekuatan seimbang atau lebih besar. Karena kiblat Ramadhan 1435 h 37 MUNAQOSYAH itulah, para ulama menetapkan bahwa baiat pengangkatan imam tidak harus melalui semua Ahlul Halli wal Aqdi. Selama baiat itu menghasilkan pengakuan dan umat Islam bersatu pada pemimpin yang diangkat maka baiat tersebut sah. Imam Nawawi berkata, “Tentang bai’at, para ulama telah sepakat bahwa legitimasinya tidak disyaratkan pembai’atan seluruh manusia dan tidak pula seluruh Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Pengangkatan pemimpin sah dengan baiat orang-orang yang bisa berkumpul dari kalangan ulama, para pemimpin dan para tokoh masyarakat.” (Syarh Muslim 12/77). Ya, para ulama menguatkan bahwa kuncinya berada di pengakuan dan persetujuan, bukan jumlah. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Penguasa tidak menjadi seorang penguasa dengan persetujuan satu, dua atau empat orang Ahlul Halli wal ‘Aqdi kecuali jika persetujuan mereka memperoleh persetujuan yang lain untuk menjadikannya sebagai seorang penguasa. Seperti halnya Umar ketika dia menerima wasiat dari Abu Bakar untuk menjadi khalifah, hal itu hanya terwujud ketika orang-orang membaiatnya dan mematuhinya. Seandainya meraka tidak melakukan amanat Abu Bakar dan tidak membaiat Umar, niscaya dia tidak menjadi seorang khalifah.”25 Imam Al-Ghazali juga menyebutkan hal yang sama, “Seandainya yang membaiat Abu Bakar hanya Umar sementara mayoritas ummat Islam menolaknya atau mereka terpecah belah dan tidak bisa dibedakan mana kelompok mayoritas dan mana kelompok minoritas, niscaya tidak ada pengukuhan imamah.”26 Karena itulah 25 Minhajus Sunnah: 1/527. 26 Dinukil dari Ar-Raddu alal Bathiniyah, Leiden 1916, kutipan dari an-Nazhariyah as-siyasah al-Islamiyah, Al-Mawardi menambahkan, “Dilihat dari ketaatan manusia kepada mereka.”27 Persetujuan dan pengakuan tersebut tidak berarti semua manusia, tetapi persetujuan yang dengan itu fungsi kepemimpinan terwujud seperti yang dikehendaki oleh syariat. Wujudnya ialah syaukah (kekuatan) bagi umat Islam di bawah pemimpin tersebut. Dan itu akan terwujud jika mayoritas telah menyetujuinya.28 Selain itu, ketika persetujuan mayoritas umat tidak terwujud dalam kepemimpinan tersebut maka akan timbul kekacuan dan fitnah di tengah-tengah umat. Dalam kondisi ini, kewajiban umat untuk berbaiat kepada pemimpin gugur sampai mayoritas umat berpihak kepada salah satu pemimpin yang disepakati. Kesimpulan dari baiat Ahlu Halli wal Aqdi kepada pemimpin yang dipilih ialah, apakah ia representatif atau tidak. Artinya, mau satu, enam atau sepuluh orang bukanlah persoalan hal. 233. Dr. Hasan Ibrahim berkata, “Abu Bakar dibaiat oleh Abu Ubaidah setelah Basyir bin Sa’ad, diikuti oleh kaum Muhajirin dan Anshar.” Baiat ini dinamakan baiat khusus, karena hanya dilakukan oleh segolongan kecil umat Islam yang hadir di balai tersebut. Adapun baiat umum terjadi pada hari berikutnya di masjid. Pada waktu itu, Abu Bakar berada di atas mimbar dan orang-orang membaiatnya dengan baiat umum. Lihat: Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif Sunnah, hal. 165. 27 Raudhatu Ath-Thalibin, Imam Nawawi, X/43. 28 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, “Kepemimpinan, menurut mereka (Ahlus Sunnah, pen.), ditetapkan dengan persetujuan yang memiliki kekuatan. Seseorang tidak menjadi imam hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan kepemimpinan. Sebab, tujuan kepemimpinan dapat terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka jika seseorang dibai’at dan bersamaan dengan itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia menjadi pemimpin (yang sah). Oleh karenanya para imam salaf berkata, ‘Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, yang dengan keduanya terwujud tujuan kepemimpinan, maka dia menjadi ulil amri yang Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla perintahkan taat kepada mereka selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat kepada Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla’.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/527. Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid 4/388) kiblat Ramadhan 1435 h 38 MUNAQOSYAH selama itu mewakili umat Islam. Ukuran mewakili ini ialah bila baiatnya diterima umat. Bukti penerimaan umat adalah tidak terjadi perpecahan dan fitnah. Dan bila ada yang menyelisihi, mereka tunduk di bawah pemimpin pemilik syaukah. Hal ini terbukti dalam baiat-baiat pada masa khalifah yang empat. Demikian pula pada masa Nabi n, kaum munafik tidaklah sedikit. Namun mereka tunduk di bawah kepemimpinan Nabi n sebagai pemilik syaukah. Sebagain jamaah mungkin saja berkeyakinan bahwa semua ulama telah murtad dan kafir. Demikian pula tokoh dan pemimpin masyarakat yang disebutkan oleh para ulama bisa menjadi Ahlu Halli wa ‘Aqdi, tidak mewakili umat ini. Lalu, ahlu halli wa ‘aqdi diklaim secara sepihak sebagai elemen yang mewakili umat. Ini akan berakibat pertumpahan darah bila imam yang diangkat dipaksakan kepada jamaah lain. Dan lebih kacau lagi masing-masing jamaah melakukan hal yang sama terhadap amirnya. Peran Syura dalam Suksesi Kepemimpinan Maka, musyawarah adalah cara yang harus ditempuh dalam proses pengangkatan imam. Semua proses pengangkatan khalifah yang empat, baik dengan ikstikhlaf maupun ikhtiyar, tidak lepas dari syura ini. Dalam proses ikstikhlaf, Abu Bakar meminta pertimbangan para shahabat dahulu sebelum pengangkatan Umar bin Khattab. Dalam proses ikhtiyar, kita dapat melihat detilnya musyawarah ini dalam proses pengangkatan Utsman bin Affan ra sebagai khalifah. Beberapa persoalan bisa terjadi seiring dengan banyaknya jamaah dan kelompok Islam yang bercita-cita menegakkan khilafah Islam. Contohnya: Beberapa jamaah atau kelompok jihad bisa saja memiliki Ahlul Halli wal ‘Aqdi sendiri untuk membuat pertimbanganpertimbangan internal sebelum menjadi keputusan organisasi. Ketika Ahlul Halli wal Aqdi ini mengangkat dan membaiat Amir Jamaah, maka keputusannya mengikat anggota jamaahnya. Namun tidak mengikat orang di luar jamaah. Dan baiat ini tidak bisa diklaim sebagai baiat kubra, sehingga orang yang tidak berbaiat dianggap sebagai bughot yang wajib diperangi, halal darah dan hartanya. Demikian pula dengan Umar bin AlKhattab yang telah memilih enam orang untuk mengangkat pemimpin sepeninggalnya (baca: Jalan Panjang Pengangkatan Utsman bin Affan). Barang siapa tidak meninggalkan ucapan dusta, mengamalkannya, kebodohan, maka tidak ada gunanya bagi Allah meskipun ia meninggalkan makan dan minum. Syura kiblat Ramadhan 1435 h 39 MUNAQOSYAH Jalan Panjang Pengangkatan Utsman bin Affan M ereka adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa‘ad bin Abi Waqqash, Zubair bin ‘Awwam, dan Thalhah bin Ubaidullah radhiyallahu ‘anhum. Ketika dewan musyawarah sudah berkumpul, Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada mereka, “Berikanlah hak kalian dalam perkara ini kepada tiga orang di antara kalian.” siapa yang paling utama di antara kalian berdua?” Zubair berkata, “Aku kepada Ali.” Thalhah berikan hakku kepada berkata, “Aku berikan Abdurrahman bin ‘Auf.” Musyawarah terus dilakukan selama tiga hari penuh sampai hari Rabu 4 Muharram yang merupakan hari terakhir dari waktu yang telah diberikan Umar. Abdurrahman bin ‘Auf mulai dengan Ali bin Abi Thalib. Dia berkata kepada Ali, “Apabila aku tidak membaiatmu, maka siapakah yang engkau calonkan untuk menjadi khalifah?” Ali berkata, “Utsman bin ‘Affan.”. Mereka berdua berkata, “Iya.”1 Setelah itu, Abdurrahman bin ‘Auf bertugas mengelola musyawarah untuk menentukan pilihan antara Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Abdurrahman bin ‘Auf memulai komunikasi dan konsultasi segera setelah rapat enam kandidat pada pagi hari Ahad. berikan hakku berkata, “Aku Utsman.” Sa‘ad hakku kepada Para kandidat pada saat itu menjadi tiga orang: Ali bin Abi Thalib, Utsman bin ‘Affan, dan Abdurrahman bin ‘Auf. Kemudian Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Siapa di antara kalian berdua yang berlepas diri dari hal ini dan kami jadikan perkara ini kepadanya? Demi Allah dan demi Islam! Hendaknya setiap orang melihat siapa yang paling utama di antara mereka.” Utsman dan Ali pun diam. Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Apakah kalian menyerahkan kepadaku, demi Allah, untuk memilih Abdurrahman bin ‘Auf pergi menemui Utsman dan berkata, “Apabila aku tidak membaiatmu, maka siapakah yang engkau calonkan untuk menjadi khalifah?” Utsman menjawab, “Ali bin Abi Thalib.” 1 Al-Bukhâri, Kitab Fadhâ’il Ashhâb Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. No. 3700. kiblat An-Nabiyyi Ramadhan 1435 h 40 MUNAQOSYAH Abdurrahman bin ‘Auf menemui para shahabat yang lain dan bermusyawarah dengan mereka. Dia juga bermusyawarah dengan setiap sahabat senior yang dia temui di Madinah, tokoh-tokoh, para panglima perang, dan siapa saja yang datang ke Madinah. Dia juga bermusyawarah dengan kaum perempuan dan menyampaikan pendapat mereka. Dia juga menanyakan pendapat para pemuda dan hamba sahaya di Madinah. Hasil dari musyawarah Abdurrahman bin ‘Auf adalah sebagian besar kaum Muslim memilih Utsman bin ‘Affan. Kemudian Ali bangkit dan pergi. Beberapa waktu kemudian, Abdurrahman bin ‘Auf berkata, ‘Panggilan Utsman untukku.’ Aku pun memanggil Utsman dan mereka berdua berbicara rahasia sampai azan Subuh memisahkan mereka.”3 Pada pertengahan malam Rabu, Abdurrahman bin ‘Auf pergi ke rumah putra saudara perempuan Al-Musawwar bin Mahramah. Dia mengetuk pintu dan mendapati AlMusawwar sedang tidur.2 Lalu Abdurrahman berkata kepada Utsman, “Aku membaiatmu atas dasar sunnatullah, sunnah Rasul-Nya, dan sunnah kedua khalifah sepeninggalnya.” Para hadirin dari kalangan Muhajirin, Anshar, panglima perang, gubernur berbagai wilayah, dan kaum Muslim membaiat Utsman.4 Ketika mereka telah berkumpul, Abdurrahman bersyahadat kemudian berkata, “Amma ba‘du. Wahai Ali! Aku telah memperhatikan kondisi orang banyak. Aku tidak melihat mereka berpaling dari Utsman. Oleh karena itu, janganlah engkau memberi jalan untuk dirimu.” Abdurrahman bin ‘Auf memukul pintu sampai Al-Musawwar bangun. Dia berkata, “Saya melihatmu sedang tidur. Demi Allah! Malam ini saya belum sempat tidur. Pergilah dan panggil Zubair dan Sa‘ad ke sini.” Al-Musawwar berkata, “Aku pun memanggil keduanya. Abdurrahman bermusyawarah dengan mereka berdua. Kemudian Abdurrahman bin ‘Auf memanggilku lagi dan berkata, ‘Panggilkan Ali untukku.’ Aku pun memanggilnya. Mereka berdua berbicara rahasia sampai pertengahan malam. 2 Al-Khulâfâ’ Ar-Râsyidûn, Al-Khâlidi. Hal. 106, 107 Penulis At-Tamhîd wa Al-Bayân meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang berbaiat setelah Abdurrahman bin ‘Auf. 5 Abdurrahman bin Auf melakukan proses musyawarah panjang dan banyak kalangan untuk sampai kepada keputusan akhir pengangkatan Utsman bin Affan. Ini adalah sejarah yang berharga bagi umat Islam hari ini! n (Dhani el-Ashimi) 3 4 5 Al-Bukhâri, Kitâb Al-Ahkâm. No. 8207 Al-Bukhâri, Kitab Al-Ahkâm, No. 7207. At-Tamhîd wa Al-Bayân, hal. 26. kiblat Ramadhan 1434 1435 h 41 MUNAQOSYAH Syura dalam Islam adalah kaidah hukum yang wajib untuk mewujudkan tegaknya keadilan dan hukum dalam syariah Islam dalam berbagai segi kehidupan. Juga sebagai upaya untuk menolak segala bentuk kezaliman dan kerusakan di dunia, sebagaimana firman Allah : َو�َأ ْم ُر ُه ْم شُ و َرى َب ْي َن ُه ْم “Urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka.” (Asy Syura : 36-39). Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka” adalah mereka tidak melaksanakan suatu urusan sampai mereka saling bermusyawarah mengenai hal itu agar mereka saling mendukung dengan pendapat mereka seperti dalam masalah peperangan dan semisalnya” 29 Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya bermusyawarah untuk mempersatukan hati para sahabatnya, dan dapat dicontoh oleh orang-orang setelah beliau, serta agar beliau mampu menggali ide mereka dalam permasalahan yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu, baik permasalahan yang terkait dengan peperangan, permasalahan parsial, dan selainnya. Dengan demikian, selain beliau N tentu lebih patut untuk bermusyawarah” 30 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-'Azhim,(Beirut:Dar Kutub Thoyyibah, 1999) vol 7,p. 211. 30 Ibnu Taimiyah,As Siyasah asy-Syar'iyah,(Beirut:Dar AlAfaq Al-Jadiidah,1983), 126 Manfaat Syura Urgensi dan faedah syura banyak diterangkan oleh para ulama, di antaranya imam Fakhruddin Ar-Razy.31 Secara ringkas beliau menyebutkan bahwa syura memiliki faedah antara lain adalah sebagai berikut : 1. Musyawarah yang dilakukan Nabi N dengan para sahabatnya menunjukkan ketinggian derajat mereka (di hadapan nabi) dan juga hal ini membuktikan betapa cintanya mereka kepada beliau dan kerelaan mereka dalam menaati beliau. Jika beliau tidak mengajak mereka bermusyawarah, tentulah hal ini merupakan bentuk penghinaan kepada mereka. 2. Musyawarah perlu diadakan karena bisa saja terlintas dalam benak seseorang pendapat yang mengandung kemaslahatan dan tidak terpikir oleh waliy al-amr (penguasa). 3. Al-Hasan dan Sufyan ibn ‘Uyainah mengatakan, “Sesungguhnya Nabi diperintahkan untuk bermusyawarah agar bisa dijadikan teladan bagi yang lain dan agar menjadi sunnah (kebiasaan) bagi umatnya” 4. Syura memberitahukan kepada Rasulullah N dan juga para penguasa setelah beliau mengenai kadar akal dan pemahaman orang-orang yang mendampinginya, serta untuk mengetahui seberapa besar kecintaan dan keikhlasan mereka dalam menaati beliau. Dengan demikian, akan nampak baginya tingkatan mereka dalam keutamaan. 29 31 Fakhruddin Ar-Rozy, Mafatih al-Ghaib,(Beirut:Dar AlFikr, 1981,) vol9, 67-68 kiblat Ramadhan 1435 h 42 MUNAQOSYAH 5. Syaikh Abu Umar Asy-Saif menambahkan32 bahwa syura adalah bentuk ibadah dan ketaatan kita kepada Allah karena kita telah mengikuti perintah dan mengamalkannya. 6. Dengan syura, akan didapatkan keputusan yang benar dan tepat sasaran serta jauh dari kesalahan. 7. Syura identik dengan keadilan dan menolak kezaliman dari pemaksaan kehendak dari satu pendapat saja. Beberapa dampak negatif yang diakibatkan jika meninggalkan syura adalah: 1. Seorang imam akan kehilangan salah satu sifat dari sifat orang mukmin. Karena Syura adalah perintah Allah dan jika meninggalkannya termasuk bermaksiat kepada Allah 2. Seorang imam akan mengambil keputusan dan tindakan secara serampangan dan jauh dari kata adil karena pengambilan keputusan tanpa ada syura dengan ahlu syura yang ada. 3. Akan terkesan ada pemaksaan kehendak yang berakibat tidak tercapainya kenyamanan hati dan kehidupan. Maslahat tidak akan tercapai dengan pengambilan keputusan yang sepihak. 4. Tidak adanya syura akan mengakibatkan adanya rasa saling mencurigai dan ketidakpercayaan. Jadi, dapat memicu kerusakan dan hancurnya keharmonisan (Dhani el-Ashimi) 32 Abu Umar Asy-Syaif, Siyasah Syar’iah, (Beirut:Dar AlMa’alim Li Toba’ah, 2007), 225 Ahlul Halli wal Aqdi Sekali lagi, hubungan Ahlul Halli wal Aqdi dengan masyarakat adalah hubungan perwakilan, meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan bahwa mereka adalah wakil umat. Esensinya ialah bagaimana keputusan mereka dipercaya dan mengikat umat. Ini yang penting! Karena merekalah yang melaksanakan pemilihan pemimpin daulah atau khalifah mewakili umat, kemudian pilihan mereka ini diterima oleh umat. Lantas bagaimana Ahlul Halli wal Aqdi bisa terwujud? Atau bagaimana seseorang bisa mencapai posisi ini? Apakah umat harus mengadakan pemilu seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi hari ini? Dr Abdul Karim Zaidan dalam kitab Ushul Ad-Da’wah mengatakan, “Yang tergambar dalam pikiran bahwa umatlah yang mengangkat mereka sampai pada kedudukan tersebut dengan proses pemilihan. Namun, kita tidak pernah menemukan dalam sejarah Islam masa lalu yang menunjukkan bahwa umat ini berkumpul dan memilih sejumlah orang untuk menjadi Ahlul Halli wal Aqdi.” “Perwakilan Ahlul Halli wal Aqdi bagi umat di era Islam pertama— masa kekhilafahan yang empat— sifatnya tersirat, karena mereka dikenal kiblat Ramadhan 1435 h 43 MUNAQOSYAH ketakwaannya, lebih dahulu masuk Islam, penguasaan mereka terhadap setiap perkara, keikhlasan mereka dalam beramal, di samping keutamaan mereka karena bersama Rasulullah n, pujian Allah di dalam Al-Qur’an, dan pujian Rasul terhadap mereka secara umum maupun menyebut nama langsung. Dari situlah kemudian mereka mendapatkan kepercayaan umat. Maka umat tidak perlu mengadakan pemilihan atau menyatakan mereka sebagai wakil secara tegas. Bahkan seandainya diadakan pemilihan pun, pilihannya akan jatuh kepada mereka yang sekarang kita kenal sebagai Ahlul Halli wal Aqdi sebab tidak ada yang mengingkari kedudukan mereka,” tambahnya. Dari fakta sejarah dan kesimpulankesimpulan ulama tentang Ahlul Halli wal Aqdi tadi, dapat disimpulkan bahwa Ahlul Halli wal Aqdi terbentuk karena dua proses: • Dipilih oleh khalifah sebelumnya. • Terbentuk dengan inisiatif sebagian orang yang kemudian menjadi bagian dari ahlul halli wal aqdi tersebut. membentuk Ahlul Halli wal Aqdi. Ahlul Halli wal Aqdi terbentuk dengan inisiatif Umar bin Al-Khattab yang kemudian terjadi suksesi pengangkatan Abu Bakar a di saqifah Bagi Sa’idah. Maka hari ini, para pemimpin atau orang-orang yang dipercaya dalam jamaah-jamaah Islam dengan konsentrasi kerja masing-masing yang mengarah kepada tujuan yang sama, yaitu tegaknya kembali kepemimpinan Islam yang satu, harus berkumpul untuk memilih Ahlul Halli wal Aqdi atau mereka langsung membuat kesepakatan untuk memunculkan satu pemimpin umat dalam pertemuan tersebut. Itulah cara yang ditunjukkan oleh sejarah dan sekaligus membedakan sistem Islam dengan sistem demokrasi. Ahlul Halli wal Aqdi sebagai wakil rakyat tidak bisa angkat dengan pemilihan umum yang menyamakan suara pelacur dan ulama. Para ulama dan tokoh yang dipercaya dalam masyarakat atau jamaahlah yang harus berinisiatif untuk mewujudkannya hingga tercapailah suksesi kepemimpinan umat. (Dhani el-Ashimi) Hari ini tidak mungkin Ahlul Halli wal Aqdi terwujud dengan cara pertama karena umat telah kosong dari kekhilafahan. Maka Ahlul Halli wal Aqdi bisa terwujud dengan cara kedua. Dan ini terwujud pada masa pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Tidak ada atsar yang secara eksplisit Rasulullah menunjuk pengganti atau kiblat Ramadhan 1435 h 44 MUNAQOSYAH Deklarasi Khilafah Islamiyah 1 Ramadhan 1435 H. S yaikh Abu Muhammad Al-Adnani telah mendeklaraskan Khilafah Islam pada 1 Ramadhan 1435, pekan ini. Berdasarkan teori di atas, maka suksesi Syaikh Al-Baghdadi masuk dalam mekanisme ikhtiar. Ini berarti Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi telah melewati proses baiat khusus (baiat pengangkatan oleh Ahlul Halli wal Aqdi). Sebab deklarasi merupakan proses penggalangan baiat umum dari seluruh kaum muslimin, seperti yang dilakukan terhadap Abu Bakar Ash-Shiddiq setelah dibaiat di Saqifah. Namun, pada proses baiat pengangkatan, legalitas Ahlul Halli wal Aqdi dipertanyakan oleh banyak kalangan. Salah satunya adalah Syaikh Husain bin Mahmud, dalam ulasannya yang panjang menanggapi deklarasi khilafah. Menurutnya, khilafah Islamiyah yang diumumkan oleh Juru bicara ISIS tersebut tidaklah sah. Sebab, ahlul halli wal aqdi yang mengangkat Syaikh Al-Baghdadi tidak dikenal umat. Dr Yusuf Al-Qardhawi menganggap deklarasi ini adalah klaim sepihak (sebagai Syaikh Al-Baghdadi hasil dari aAhlul Halli wal Aqdi jamaah saja). Beliau menegaskan bahwa semua organisasi perjuangan di seluruh dunia Islam tidak mungkin dianggap ilegal dan tidak sah begitu ada deklarasi sepihak yang kemudian menamakan dirinya sebagai khilafah. Padahal saat itu umat Islam tidak disertakan sama sekali. Konsekuensi logis dari legalitas baiat khusus tersebut adalah penolakan baiat umum; penolakan umat Islam terhadap deklarasi Khilafah.Inilah proses yang sedang dihadapi oleh ISIS. Pada tataran ini, banyak kalangan menyoroti unsur-unsur pokok sebuah negara Islam yang belum terwujud dalam daulah yang dideklarasikan oleh ISIS. Istilah daulah atau negara mengandung arti sekumpulan masyarakat dengan jumlah yang banyak yang mendiami kawasan atau geografi tertentu secara permanen, dan tunduk ke dalam sebuah aturan institusi kekuasaan atau wilayah politik tertentu. Dari pengertian ini terdapat tiga unsur pokok utama yaitu : rakyat atau sekumpulan masing-masing pribadi, iklim atau kawasan kiblat Ramadhan 1435 h 46 MUNAQOSYAH dan kekuasaan atau pemerintahan. Uraian ketiga unsur utama pemerintahan, menurut fikih Islam adalah sebagai berikut: 1. Wilayah Wilayah dalam pemerintahan Islam adalah mencakup semua kawasan yang dihuni orang Islam, terdiri atas geografi dan lingkungan tempat tinggalnya antara lain. 2. Rakyat Rakyat—atau dalam pengertian Qur’an disebutkan dengan istilah umat (QS 21:92)—dalam pengertian istilah dewasa ini terdiri atas dua unsur : unsur material, yaitu mendiami kawasan tertentu di muka bumi secara permanen, dan unsur maknawi (spiritual), yaitu keinginan untuk hidup bersama-sama. Pengertian rakyat sebagai salah satu unsur pokok terciptanya sebuah negara, menurut teori tata Negara Islam adalah terdiri dari orang-orang Islam yang mengimani ajaranajaran Islam baik dari segi agama, syariat, akidah maupun aturan-aturannya. Dan orang-orang kafir zhimmi, yaitu orang yang tidak menganut Islam akan tetapi bertempat tinggal secara permanen di wilayah Islam dengan bersedia menjalani semua aturan-aturan yang ditetapkan pemerintahan Islam. Umat dalam Negara Islam adalah terdiri dari kedua jenis unsur masyarakat tersebut (muslim dan kafir zhimi) yang diikat ke dalam sebuah aturan-aturan politik dan undangundang, di mana dalam teori istilah sekarang dinamakan warga negara. Terdapat titik perbedaan sudut pandang dalam pengertian istilah rakyat antara teori tata negara pada umumnya dengan teori tata negara Islam, ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Rakyat atau umat dalam pengertian negara pada umumnya adalah masyarakat yang dibatasi wilayah geografi tertentu, hidup di dalamnya kumpulan individuindividu yang terikat atas persamaan suku bangsa, warna kulit, bahasa, agama, adat istiadat atau kepentingan tertentu. Sedangkan rakyat dalam pandangan pemerintahan Islam adalah sebuah asas yang berdasarkan prinsip-prinsip dan tujuan garis-garis besar ajaran Islam, dari sistem yang berasaskan kemaslahatan hidup bagi umat manusia serta menjauhi prinsip rasisme, feodalisme, fanatisme kawasan dan kebangsaan. Ikatan utama dalam pemerintahan Islam adalah satu kesatuan dalam aqidah atau dalam ungkapan lain diungkapkan satu kesatuan dalam corak fikir dan hati masingmasing warga negara Islam. Setiap orang yang memeluk Islam baik dari golongan, jenis, warna kulit, kawasan manapun dan orang-orang non-mulim yang bertempat tinggal di kawasan Islam dengan bersedia mematuhi aturan-aturan negara Islam, mereka adalah warga negara Islam. kiblat Ramadhan 1435 h 47 MUNAQOSYAH Pengertian rakyat dalam pandang pemerintahan Islam oleh Dr. Wahbah dikatakan sebagai sudut pandang yang lebih bersifat manusiawi dan sudut pandang internasional yang lebih substansif, karena asas ikatan masing-masing individu dalam negara Islam, bukan semata atas persamaan tanah air, warna kulit, bahasa dan sebagainya. Melainkan lebih dari itu, ikatan yang mengikat adalah persamaan akidah (bagi muslim) atau ketundukan politik kepada negara Islam. 3. Pemerintahan Pemerintahan atau otoritas dalam Islam mempunya dua sifat aspek kekuasaan; aspek internal dan aspek eksternal. Adapun dalam aspek internal, negara berkuasa penuh atas semua individu dan institusi yang ada dalam negara Islam. Rakyat wajib taat sepenuhnya kepada pemerintah sepanjang masih dalam batas-batas syariat. Nabi bersabda: �إِنَّ َما ال َّطا َع ُة ِفي,لا َ َطا َع َة ِفي َم ْع ِص َية اللّ ِه الْ َم ْع ُر ْو ِف "Tidak wajib menaati perintah yang mengandung maksiat kepada Allah, ketaatan hanya ada dalam hal kebaikan." (HR Muslim) Dalam aspek ini, oleh Al-Mawardi, sosok fakih tata negara Islam, dijelaskan bahwa : Apabila imam (kepala negara) telah menjalankan semua tugas-tugasnya dalam memenuhi hak-hak rakyatnya dan menegakkan hak-hak Allah SWT di antara mereka, maka wajib bagi rakyatnya memenuhi dua hak sang imam yaitu : hak menaatinya dan hak membantu tugasnya. Adapun dalam aspek kekuasaan eksternal negara Islam, Al-Qur'an telah menegaskan tentang asas prinsip pemerintahan yang berkuasa penuh, independen dan bebas dari campur tangan asing (QS 4:141) dan firman Allah SAW (QS 63:8). Tiga unsur utama tersebut dipandang oleh banyak pihak, belum terwujud secara nyata. Wilayah Suriah dan Irak merupakan wilayah perang. Banyak wilayah sifatnya baru direbut dan beberapa jatuh kembali dalam kendali Rezim, baik Irak maupun Suriah. Batas-batas negara belum jelas, sehingga sulit dipisahkan manakah umat Islam dan ahlul zhimi yang tunduk di bawah kekuasaan Islam. Demikian pula otoritas nyata sebuah pemerintahan belumlah terwujud. Hal ini jelas berbeda dengan kondisi Daulah Nabawiyah di Madinah pada masa Rasulullah SAW. Batas wilayah yang dipertahankan sangat jelas, keamanan dan perlindungan kaum muslimin juga terlihat nyata. Kaum munafik, Yahudi dan lainnya tunduk di bawah otoritas Rasulullah n. Kisah Abu Bashir yang hendak masuk ke Madinah setelah perjanjian Hudzaibiyyah adalah contoh yang nyata dalam hal ini. Sebagian ulama mengklaim wilayah ISIS hari ini lebih luas daripada Madinah zaman Nabi n, sehingga tidak ada alasan untuk mempersoalkan wilayah kekuasaan. Klaim ini bisa saja benar, dan analogi ini bisa diterima bila mayoritas umat Islam hari ini hanya ada di wilayah ISIS saja, sebagaimana masyarakat Islam pada awal hijrah adalah di Madinah. Tetapi, hari ini tidaklah demikian. Umat Islam telah menyebar luas di penjuru dunia. Berapa persen wilayah ISIS bila dibandingkan dengan keberadaan umat Islam di seluruh dunia? Maka Daulah Islam Syaikh Al-Baghdadi dalam hal ini statusnya tidak berbeda dengan keamiran seperti Imarah Islam Afghanistan dan Kaukasus n (Agus Abdullah) kiblat Ramadhan 1435 h 48 MUNAQOSYAH Siapa Ahlul Halli wal Aqdi Hari Ini? P eran Ahlul Halli wal Aqdi dalam pemilihan khilafah begitu penting. Bila di zaman para shahabat cara mengenalinya cukup dengan melihat siapa yang lebih senior dan yang lebih dekat kepada Nabi Muhammad n, bagaiamana cara menilai Ahlul Halli wal Aqdi pada masa sekarang ini? Syaikh Husain bin Mahmud dalam menanggapi deklarasi khilafah oleh ISIS menyampaikan dengan tegas siapa yang layak disebut sebagai Ahlul Halli wal Aqdi. Beliau menyebutkan: "Ahlul Halli Wal ’Aqdi zaman ini adalah para ulama rabbani dan para pemimpin mujahidin di Khurasan, Kaukasus, Jazirah Arab, Maroko, Somalia dan negara-negara lain yang melakukan perperangan di bawah bendera Islam yang jelas. Jika mereka telah berbai’at maka bai’atnya telah sah dan wajib diikuti oleh seluruh kaum muslimin karena pada saat itu tidak ada tempat untuk berijtihad atau bahkan membantah." Bagaimana ISIS? dengan Kekhilafahan Setelah menyebutkan kriteria Ahlul Halli wal Aqdi, Syaikh Husain juga memberikan penilaian terkait khilafah yang dideklarasikan oleh ISIS. "Saya berpendapat bahwa bai’at (AlBaghdadi) tidak termasuk bai’at yang syar’i kecuali setelah dibai’at oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi umat ini atau oleh mayoritas mereka. Inilah yang saya yakini dalam agama ini setelah mengkaji berbagai macam nash dan pendapat para ulama. Dan ijtihad saya itu bisa jadi benar dan bisa jadi juga salah." Syaikh Husain menegaskan, ketidaksetujuannya terhadap deklarasi khilafah ini bukan berarti ia tidak senang dengan berdirinya Khilafah Islamiyah. "Tetapi yang kami kritisi adalah karena mereka tidak melakukan musyawarah dengan saudara-saudara mereka dalam perkara ini, meskipun ini dilakukan untuk kebaikan kaum muslimin dan untuk menyatukan kalimat. Allah berfirman, “Dan masuklah ke rumahrumah itu dari pintu-pintunya.” (AlBaqarah: 189). Sosok Syaikh Husain bin Mahmud termasuk unik. Beliau selama ini dikenal mendukung ISIS. Namun demikian, beliau tetap berusaha obyektif dalam memberikan penilaian, termasuk yang bersifat kritis seperti di atas. Disarikan dari terjemah lengkap yang dimuat di http://www.kiblat. net/2014/07/04/ada-yang-tertinggaldalam-deklarasi-khilafah-syaikh-aladnani/ kiblat Ramadhan 1435 h 49 MUNAQOSYAH DI ANTARA TUGAS-TUGAS SEORANG KHALIFAH K ekhilafahan merupakan sebuah jabatan yang penuh dengan tanggung jawab. Layaknya sebagai seorang pemimpin maka dia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Rasulullah n bersabda : ،�َأل� آ كُلُّ ُك ْم َرا ٍع َو كُلُّ ُك ْم َم ْس ُؤ ْو ٌل َع ْن َر ِع َّي ِت ِه س َرا ٍع َو ُه َو ِ َفا ْل إِ� َما ُم ا ْل� َأ ْع َظ ُم الَّ ِذي َع َلى ال َّنا َم ْس ُؤ ْو ٌل َع ْن َر ِع َّي ِت ِه َو ال َّر ُج ُل َرا ٍع َع َلى َب ْي ِت ِه َو ُه َو َم ْس ُؤ ْو ٌل َع ْن َر ِع َّي ِت ِه َو الْ َم ْر�َأ ُة َر ِاع َي ٌة َع َلى �َأهْلِ َب ْي ِت َز ْو ِج َها َو ِه َي َم ْس ُؤ ْولَ ٌة َع ْن ُه ْم َو َع ْب ُد ال َّر ُجلِ َرا ٍع َع َلى َم ِال َس ِّي ِد ِه َو ُه َو َم ْس ُؤ ْو ٌل َع ْن ُه �َأل� آ كُلُّ ُك ْم َرا ٍع َو كُلُّ ُكم ْ َم ْس ُؤ ْو ٌل َع ْن ) َر ِع َّي ِت ِه (متفق عليه "Ketahuilah, setiap kalian pemimpin. Dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Imam tertinggi yang memimpin manusia (khalifah) adalah pemimpin, dan dia bertangung jawab atas rakyatnya. Seorang laki-laki pemimpin di rumahnya dan dia bertanggungjawab atas apa yang dia pimpin. Seorang istri pemimpin terhadap penghuni rumah suaminya dan dia bertanggungjawab atas mereka. Seorang budak menjaga harta tuannya, dan dia bertanggung jawab akan hal itu. Dan ketahuilah bahwa setiap kalian pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang kalian pimpin.” (HR. Bukhari & Muslim ). Kekhilafahan bukanlah sebuah jabatan tanpa beban, kewajiban dan tanggung jawab. Syaikh Abdulllah bin Umar bin Sulaiman Ad Dumaiji dalam desertasi doktoralnya yang berjudul “Al-Imamatul Udzma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah” menyebutkan beberapa kewajiban pokok (asasi) bagi kiblat Ramadhan 1435 h 50 MUNAQOSYAH seorang khalifah atau Imam kaum muslimin. Secara garis besar kewajiban seorang khalifah tertuang dalam ungkapan “Iqamatud Din wa Siyasatud Dunya bihi” (menegakkan agama dan mengatur urusan dunia manusia berdasarkan agama). Dua hal ini merupakan Maqashidul Imamah (tujuan adanya khilafah). Syakih Abdullah bin Umar ad Dumaiji membagi kewajiban dasar seorang imam ke dalam dua pokok ini, dan di antara pokok yang paling urgen adalah : Iqomatud Din (menegakkan agama) ,terwujud dalam 2 hal : 1 Hifdzud Din ( Menjaga Agama ). Bentuk penjagaan agama seorang khalifah kepada rakyatnya bisa diwujudkan dengan beberapa hal : l Menyebarkan dan mendakwahkan agama ini dengan berbagai sarana, baik dengan tulisan, lisan bahkan pedang. Kewajiban dakwah merupakan kewajiban setiap rasul dan utusan Allah. Di samping hal ini juga menjadi kewajiban setiap muslim. Rasulullah n bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat “(HR. Bukhari). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan Hal ini (dakwah) yang disebut oleh para ulama’ fardhu kifayah. Yang jika sebagian kelompok umat Islam mengerjakannya, maka kewajiban menjadi gugur bagi sebagian yang lain (Majmu’ Fatawa 15/165). Melihat khalifah adalah sebagai wakil dari umat maka kewajiban dakwah dan menyebarkan islam tentunya lebih dititik beratkan kepada khalifah. l Menangkal syubhat setiap kebatilan. dan memerangi Kalau umat Islam beserta khalifahnya diibaratkan sebagai sebuah tubuh, maka setiap syubhat-syubhat yang ada adalah virus dan penyakit. Maka demi terjaganya kesehatan umat Islam penting bagi seorang khalifah untuk membentengi rakyatnya dari upaya pembusukan dan pencemaran dari luar. Hal ini disebutkan oleh Abu Ya’la, “Merupakan kewajiban bagi seorang imam untuk menjaga rakyat supaya tetap berada pada pokok-pokok ajaran Islam yang telah disepakati oleh para salaf. Dan jika ada yang menyeleweng karena syubhat maka wajib bagi imam untuk menyingkap syubhat itu dan menjelaskan yang benar “. (Al-Ahkam AsSulthaniyah li Abi Ya’la hal 27 ). Sarana untuk menjaga dan membentengi umat dari syubhat dan penyelengan amat beragam. Bisa dengan cara menggiatkan halaqoh-halaqoh ilmu, membenahi kurikulum pendidikan, mengadakan penyuluhan-penyuluhan keagamaan dan cara-cara lainnya yang bisa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. l Menjaga daerah perbatasan. kekuasaan dan Di antara tujuan ditegakkannya khilafah adalah agar terciptanya keamanan bagi kaum muslimin. Sehingga mewujudkan keamanan bagi rakyatnya adalah tugas utama seorang khalifah baik aman secara jasmani maupun rohani. Demi terjaminnya keamanan, seorang muslim harus berada dalam kawasan yang menjadi kekuasaan seorang khalifah. Hal ini sudah disinyalir jauh jauh hari kiblat Ramadhan 1435 h 51 MUNAQOSYAH oleh Rasulullah dalam sabdanya, ” Saya berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di negeri orang musyrik.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi). Di sini, jelas Rasulullah hanya menjamin keamanan orang-orang yang masuk dan tinggal di bawah kekuasaannya. Adapun di wilayah yang tidak menjadi kekuasaan Rasulullah maka Rasulullah berlepas diri dari orang tersebut dengan tidak menjanjikan keamanan bagi mereka. Sebagai gantinya Rasul memerintahkan setiap muslim yang tinggal tidak dibawah kekuasannya untuk berhijrah ke daerah kekuasaanya. Hal ini menjadi penegas bahwa walaupun Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi umat islam (khalifah) akan tetapi rasul juga menyadari bahwa daerah kekuasaannya terbatas, sehingga beliau tidak bisa menjamin keamanan setiap muslim yang berada di luar kekuasaan beliau. Imam Al Mawardi dalam Al-Ahkam Sulthaniyah sewaktu menyebutkan tugastugas Imam, “Yang ke tiga : Menjaga daerah kekuasaan dan membela kehormatan agar manusia bisa leluasa beraktifitas dan bebas berkeliaran di kota-kota tanpa khawatir akan jiwa dan hartanya “ (AlAhkam As-Sulthaniyah hal 16). 2 Tanfidz Ad-Din (menerapkan agama dalam pemerintahan). Hal ini terdiri dari beberapa tugas pokok yaitu : l Menegakkan Islam). syariat, hudud (pidana l Menegakkan syariat adalah sebuah istilah yang memiliki cakupan yang amat sangat luas. Semisal menagih zakat kepada para wajib zakat, menegakkan amar makruf nahi mungkar, menerapkan undangundang pidana (hudud), dan lain-lain. l Mengajak manusia untuk beriltizam dengan syariat baik dengan motivasi ataupun ancaman. Sebagaimana diketahui bersama Imamah/khilafah adalah sarana dan bukan tujuan. Imamah adalah sarana agar manusia tunduk dan hidup teratur dibawah naungan Islam. Selain dengan adanya hukuman-hukuman hudud, cara lain agar umat Islam selalu berada di bawah nauangan Islam adalah dengan cara mengajak mereka untuk senantiasa berada di bawah naungan Islam. Bisa dengan ajakan yang bersifat motivasi bisa juga dengan sesuatu yang bersifat ancaman. l Disarikan dari kitab Al Imamatul Udzma, karya Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad Dumaiji, oleh : Miftahul Ihsan, Lc. kiblat Ramadhan 1435 h 52 AL-QOTHI IMAMAH MUTAGHALLIBAH I slam mengenal dua mekanisme pengangkatan khalifah atau imam kaum muslimin, yaitu ikhtiar dan istikhlaf. Namun, kepemimpinan Islam juga bisa terwujud dengan imamah mutaghallibah. Definisi imamah mutaghalabah dijelaskan oleh Ibnu Qudamah dengan ungkapan, “Seandainya ada orang keluar dari ketaatan kepada imam, lalu memaksanya dan menguasai rakyat dengan pedangnya hingga rakyat mengakui, tunduk dalam ketaatan kepadanya, serta mengikutinya, maka ia menjadi imam yang haram diperangi. Tidak halal keluar darinya.” (Al-Mughni, V/9). Cara ini bukanlah suksesi kepemimpinan Islam yang didasarkan kepada nash ataupun atsar yang qath’i, melainkan berdasarkan ijtihad para ulama. Ya, sebab secara hukum dasar, kepemimpinan Islam hanya satu, dan bila ada pihak lain yang berusaha merusak, perintahnya ialah dibunuh. Rasulullah n bersabda: َ �َأ ْو ُي َف ِّرق، ُيرِي ُد �َأ ْن َيشُ َّق َع َصاكُ ْم،َم ْن �َأ َتاكُ ْم َو�َأ ْم ُركُ ْم َج ِمي ٌع َع َلى َر ُجلٍ َو ِاح ٍد kiblat Ramadhan 1434 1435 h 53 MUNAQOSYAH َفا ْق ُتلُو ُه،َج َما َع َت ُك ْم “Barang siapa datang kepada kalian sedangkan urusan kalian itu bersatu di bawah kepemimpinan seorang pria, dan ia ingin membelah tongkat (kepemimpinan) kalian atau memecah barisan kalian, maka bunuhlah.” (Riwayat Muslim). Pendapat ulama tentang wajibnya taat kepada imam yang didapat dengan cara pemberontakan ini adalah: Ibnu Hajar berkata, “Para fuqaha’ telah bersepakat (ijma’) berkenaan kewajiban menaati penguasa yang menang dalam perebutan kekuasaan (sulthan mutaghalib), dan berjihad bersamanya. Sebab, ketaatan kepadanya lebih baik daripada keluar meninggalkan ketaatan kepadanya, yang dengannya mampu menjaga darah (nyawa) dan menenangkan masyarakat. Tidak ada pengecualian dalam perkara ini, kecuali bila penguasa tersebut melakukan kekafiran yang nyata.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari, 13/7). Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan, “Para imam dari setiap mazhab sepakat bahwa siapa yang merebut kekuasaan dari suatu negeri atau beberapa negeri, ia berhak ditetapkan sebagai imam dalam segala urusan.” (Ad-Durar As-Saniyah, VII/239). Abu Hasan Al-Asy’ari mengatakan, “Mereka (para ulama) sepakat atas wajibnya mendengar dan taat kepada para pemimpin umat Islam, dan siapa saja yang memegang kepemimpinan dalam urusan mereka, dengan kerelaan atau menang dalam perebutan kekuasaan.” (Risalah ila Ahli AtsTsughur, 296). bahwa ada seorang penguasa yang merebut kekuasaan atas rakyat dan memegang otoritas kekuasaan, dan ia bukan dari bangsa Arab, melainkan seorang budak hitam dari Habasyah, maka kita wajib mendengar dan taat.” (Syarh Riyadhus Shalihin, VI/385). Imam Ahmad mengatakan, “Siapa yang menguasai rakyat dengan pedang hingga menjadi khalifah dan dinamai Amirul Mukminin, maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk tidur malam sebelum mengakuinya sebagai imam.” (Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Abu Ya’la, 23). Imam Syafi’i mengatakan, “Setiap aorang yang menang atas seorang khalifah dengan pedang hingga disebut khalifah dan rakyat bersatu padanya, maka ia adalah khalifah (yang sah).” (Al-Manaqib Asy-Syafi’i, AlBaihaqi, I/449). Dan masih banyak ungkapan ulama lain yang substansinya tidaklah berbeda. Ada tiga hal penting yang bisa digarisbawahi dari penjelasan para ulama tersebut: P ertama, kepemimpinan model ini sah bila diakui rakyat, rakyat tunduk kepada kekuasannya, disebut (baca: memenuhi syarat dan layak) khalifah. Kekuatan dan otoritas yang diperoleh menjadi ciri utama. Inilah yang membedakannya dengan bughat dan qutha’ thaqiq atau pembegal. K edua, ketaatan kepada imam mutaghalib berlaku bila melaksanakan tugas-tugas yang menjadi tujuan imamah dan tidak kekafiran yang nyata. Ini sesuai syarat Syaikh Utsaimin mengatakan, “Anggaplah kiblat Ramadhan 1435 h 54 MUNAQOSYAH jelas tidak wajib ditaati. dasar menaati imam, seperti sabda Nabi n, “Mendengar dan taatlah kalian walaupun yang memimpin kalian adalah bekas budak dari Habasyah yang kepalanya seperti kismis, selama menegakkan Kitabullah di antara kalian.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya). Atau seperti dijelaskan ulama, sejalan dengan tujuan imamah, yaitu menegakkan dien dan mengatur dunia dengan Islam. K etiga, definisi imamah mutaghalib ini tidak mencakup penggulingan terhadap penguasa yang kafir. Hal ini tampak dalam ungkapan Ibnu Qudamah dan persyaratan ketaatan kepada imam mutaghalib. Dengan demikian, orang yang merebut kekuasaan tidak selalu menjadi penguasa yang sah. Ketika kekuasaannya terwujud pun, tidak mutlak langsung ditaati. Sejarah telah mengabadikan peristiwa yang jelas dalam dua hal ini. Abdul Malik bin Marwan mendapatkan kekuasaan dengan memerangi kekhilafan Ibnu Zubair. Setelah Ibnu Zubair terbunuh, kaum muslimin menaati Abdul Malik bin Marwan. Hal itu berbeda dengan bangsa Tartar yang merebut kekuasaan kaum muslimin di Baghdad dan Syam. Ibnu Taimiyyah telah menjadi pelopor dalam meyakinkan umat Islam untuk memerangi mereka. Jadi, tolok ukurnya bukan siapa yang menang, maka ketaatan dan loyalitas langsung diberikan. Kudeta yang menghasilkan pemimpin yang menghancurkan syariat dan menampakan kekafiran yang nyata, maka Seperti perkataan Al-Mawardi ketika menjelaskan dua proses hilangnya otoritas pemimpin, “Maksud disingkirkan ialah bahwa kekuasaannya (imam yang sedang memerintah) diambil alih oleh para pegawainya saat itu .... Maka kepemimpinannya (pihak yang merebut) tidaklah terlarang dan keabsahan wilayahnya tidaklah tercela. Akan tetapi, tindakan orang yang berwenang dalam urusan-urusannya harus dilihat, bila berjalan sesuai hukum-hukum din dan tuntutan keadilan, kekuasaannya boleh diakui dan dilaksanakan agar urusan-urusan agama tidak mandeg hingga menyebabkan kerusakan bagi umat. Namun, bila tindakannya keluar dari aturan agama dan tuntutan keadilan, maka ia tidak boleh diakui. Orang yang disingkirkaannya harus ditolong, sedangkan dominasi pemimpin baru tersebut harus dilawan.” (Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, 24). Beliau menambahkan, “Bila imam yang telah sah itu dipenjara setelah dinobatkan menjadi imam, maka seluruh umat harus menyelamatkannya karena hak kepemimpinannya mewajibkan rakyat untuk menolongnya. Dan posisinya tetap seorang imam selama ada harapan bisa dibebaskan, dengan perang maupun tebusan.” (Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, 24). Dapat disimpulkan bahwa imamah mutaghalabah tidaklah disyariatkan. Ini terlihat dalam ungkapan para ulama bahwa mereka tidak memakai kata masyru’iyah imamah mutaghalib. Syaikh Utsaimin dan Ibnu Qudamah memakai kata “anggaplah” dan “seandainya (itu terjadi)”. Sedangkan ulama lain menjelaskan hukumnya ketika kiblat Ramadhan 1435 h 55 MUNAQOSYAH kasus seperti ini terjadi. Artinya bukan dibolehkan apalagi dianjurkan, melainkan kepastian hukum ketika terjadi kasus seperti itu. Pertimbangan ulama, seperti dijelaskan oleh Ibnu Hajar dan lainnya adalah maslahat, karena ketaatan kepadanya lebih baik daripada melawannya, yang dengan itu pertumpahan darah terhindari dan kehidupan masyarakat menjadi aman. Sekali lagi, hukum dasar melawan penguasa yang sah adalah haram. Namun dalam kenyataan, imam yang sah bisa digulingkan oleh pihak lain dengan kekuatan, seperti Abdul Malik bin Marwan terhadap pemerintahan Ibnu Zubair. Demikian pula kisah perebutan kekuasaan antara Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, seperti kasus Abu Abdullah As-Saffah, dari Bani Abbasiyah dan Marwan bin Muhammad, dari Bani Umayyah. Dan sejarah menunjukkan bahwa kaum muslimin terlibat dalam pertumpahan darah yang sangat mengerikan dalam perebutan kekuasaan. Itulah sebabnya, hikmah ulama menjatuhkan hukum wajib taat adalah ketika terjadi kasus perebutan kekuasaan dengan kekuatan. Bila dibolehkan, maka pertumpahan darah yang menjadi pertimbangan maslahat menjadi hilang. Sebab, kebanyakan yang terjadi, kekuasaan dengan perebutan kekuasaan diperoleh dengan membunuh khilafah sebelumnya. Pada praktiknya, imam yang digulingkan pasti memiliki pendukung, sebab ketaatan kepadanya wajib secara syar’i. (Agus Abdullah) kiblat Ramadhan 1435 h 56 MANHAJ KHILAFAH ALA MINHAJIN NUBUWWAH R asulullah n telah mengabarkan kepemimpinan Islam hingga akhir zaman. Hal ini disebutkan dalam banyak hadis, di antara riwayat dari Hudzaifah bin Zaman yang berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Akan berlangsung nubuwwah (kenabian) di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki, lalu Dia mengangkatnya (berakhir) bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung kekhilafahan menurut sistem kenabian (‘ala manhaj nubuwwah) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung kerajaan yang otoriter (mulkan ‘aazhan) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung pemerintahan yang menindas/ kiblat Ramadhan 1435 h 57 MANHAJ diktator (mulkan jabariyan) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian akan berlangsung kembali kekhalifahan menurut sistem kenabian (‘ala manhaj nubuwwah). Kemudian beliau diam”. (H.R. Ahmad no hadits. 17680) Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Imam Ath-Thayalisi, Al-Baihaqi dan Imam Ath-Thabari. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih, sedangkan AlArnauth menyatakan hasan. Penjelasan tentang Urutan Kejadian di Dalam Hadits Khilafah Urutan masa kepemimpinan tersebut sebagian telah terjadi dan ada hadits lain yang menguatkan kepastiannya. Misalnya masa kekhalifahan pertama, yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh Al Arnauth yang lain. َع ْن َس ِعي ِد ْبنِ ُج ْم َها َن َقا َل حدثني َس ِفي َن ُة رضي الله عنه َقا َل َقا َل َر ُسو ُل الل ِه صلى الله عليه وسلم الْ ِخلا َ َف ُة ِفي �ُأ َّم ِتي ثَلاَثُو َن َس َن ًة ثُ َّم ُم ْلكٌ َب ْع َد َذلِكَ ثُ َّم َقا َل لِي َس ِفي َن ُة �َأ ْم ِس ْك ِخلا َ َف َة �َأبِي َب ْك ٍر ثُ َّم َقا َل َو ِخلا َ َف َة ُع َم َر َو ِخلا َ َف َة ُع ْث َما َن ثُ َّم َقا َل لِي �َأ ْم ِس ْك ِخلا َ َف َة ين َس َن ًة َ َِع ِل ٍّي َقا َل َف َو َج ْدنَا َها ثَلاَث “Sa’id bin Jumhan berkata, “Safinah menyampaikan hadits kepadaku, bahwa Rasulullah n bersabda, ‘Pemerintahan Khilafah pada umatku selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu dipimpin oleh pemerintahan kerajaan.” Lalu Safinah berkata kepadaku, “Hitunglah masa kekhilafahan Abu Bakar (2 tahun), Umar (10 tahun) dan Utsman (12 tahun).” Safinah berkata lagi kepadaku, ‘Tambahkan dengan masa khilafahnya Ali (6 tahun). Ternyata semuanya tiga puluh tahun.” (HR. Ahmad dan alTirmidzi). Namun, masa selanjutnya sampai khilafah ‘ala minhaj nubuwah diperdepatkan oleh para ulama, terkait kapan waktunya. Sebagian ulama salaf menyatakan bahwa semuanya telah berlalu dan terjadi. Khilafah terakhir yang sesuai dengan manhaj nubuwah adalah Khilafah ketika masa Umar bin Abdul Aziz. Namun, Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah mengatakan bahwa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz terlalu dekat dengan masa-masa Khulafaur Rasyidin dan bukan setelah masa raja-raja yang otoriter dan diktator. Maka dari itu, terlalu dekat untuk mengambil kesimpulan bahwa masa khilafah ala manhaj nubuwah terakhir di hadits tersebut adalah di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hadits di atas sejatinya memberi kabar akan datangnya khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Namun, tidak membatasi pada masa tertentu secara pasti. Syaikh Al-Albani memperkirakan bahwa masa kekhilafahan ala minhaj nubuwwah telah dekat. Hal ini karena kehidupan dunia Islam saat ini adalah masa kerajaan-kerajaan diktator, sebagaimana perkataan ahli ilmu. Menurut salah satu pendapat, Khilafah di akhir zaman ialah masa kekuasaan Imam Mahdi, yang berasal dari keturunan ahlul bait Rasulullah n. Beliau bersabda: “Kiamat tidak akan terjadi sampai semua manusia dipimpin oleh seseorang dari Ahlul baitku. Namanya sama dengan kiblat Ramadhan 1435 h 58 MANHAJ namaku, nama ayahnya sama dengan nama ayahku. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan.” �ُأ َبشِّ ُركُ ْم بِا ْل َم ْه ِد ِّي ُي ْب َع ُث ِفي ُأ� َّم ِتي َع َلى ٍ اخْ ِتل ض ِ َاف ِم ْن ال َّنا َ س َو َز َلا ِز َل َف َي ْم َل� ُأ ا ْل� َأ ْر ِق ْس ًطا َو َع ْد ًلا َك َما ُم ِل َئ ْت َج ْو ًرا َو ُظ ْل ًما “Aku kabarkan berita gembira mengenai Al-Mahdi yang diutus Allah ta’aala ke tengah ummatku ketika banyak terjadi perselisihan antar-manusia dan gempa-gempa. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kejujuran sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman.” (HR Ahmad 10898) َف إِ� َذا َر�َأ ْي ُت ُمو ُه َف َبايِ ُعو ُه َولَ ْو َح ْب ًوا َع َلى الثَّ ْل ِج َف إِ�نَّ ُه َخ ِلي َف ُة اللَّ ِه الْ َم ْه ِد ُّي “Ketika kalian melihatnya maka berbai’atlah dengannya walaupun harus merangkak-rangkak di atas salju karena sesungguhnya dia adalah Khalifatullah Al-Mahdi.” (HR Ibnu Majah 4074) Bagaimana Menyikapi Hadits Khilafah Akhir Zaman? Berdasarkan hadits-hadits nubuwwah akhir zaman, umat Islam meyakini bahwa Islam akan bangkit sekali lagi di akhir zaman, sebelum peristiwa-peristiwa besar menjelang kiamat. Ini adalah kabar gembira sekaligus harapan bagi umat Islam. Namun, sebagian orang terjerumus ke dalam khurafat, dengan mencocok-cocokkan suatu peristiwa dengan kabar-kabar dari Rasulullah n. Perlu ditegaskan bahwa mencocokcocokkan hadits-hadits akhir zaman dengan tokoh atau peristiwa-peristiwa tertentu adalah tindakan yang membahayakan iman. Sebab, perkara gaib itu ilmunya ada di tangan Allah. Nabi n pun tidak mengetahui kecuali apa yang diwahyukan kepada beliau. Kita sebagai pengikut beliau tidak meyakini atau menafsirkan perkara gaib kecuali dengan ayat atau hadits Rasulullah n. Ini penting agar umat Islam tidak mengikuti cara-cara paranormal. Kita tentu masih ingat kehebohan kabar kiamat 2012 lalu, dan bagaimana sebagian umat Islam terpengaruh olehnya. Pun demikian dengan kepemimpinan Islam akhir zaman. Kelompok mana pun tidak pantas mengaku-aku sebagai pemilik kepemimpinan akhir zaman, lalu menganggap yang lain sesat. Di sisi lain, tenggelam dalam penantian munculnya tanda-tanda hari akhir tersebut, seperti Imam Mahdi merupakan gejala negatif. Ini mencerminkan penyimpangan dalam memahami hubungan antara hal-hal alami yang ditakdirkan Allah dan hal-hal syar’i yang dikehendaki Allah. Hal-hal alami dan permasalahan takdir—yang termasuk di dalamnya masalah-masalah gaib yang terjadi di masa datang—pasti terjadi. Kewajiban kita terhadapnya sebelum hal itu terjadi hanyalah mempercayainya. Lantas setelah itu, kita wajib melaksanakan hukum-hukum syar’i yang terkait dengannya, jika waktunya telah tiba. Sementara hukum-hukum syar’i yang dikehendaki dan diwajibkan Allah, kita dituntut untuk beribadah dengannya di setiap waktu dengan terus melaksanakannya. Para shahabat memahami bahwa Allah memiliki sunnatullah (hukum-hukum) di alam dan dalam kehidupan manusia. Aturan tidak berubah. Meskipun Allah mempunyai hukum yang keluar dari logika manusia, dan kiblat Ramadhan 1435 h 59 MANHAJ tidak dapat dipatahkan oleh sesuatu pun, namun Allah sudah menetapkan bahwa sunnatullah-lah yang menjadi patokan dalam kehidupan dunia. Sementara itu kejadian yang sifatnya di luar kebiasaan manusia menjadi pengecualian dari patokan tersebut. Kedua sunnah tersebut tetap terkait dengan kehendak Allah. Oleh karena itu, para sahabat sangat menjaga sunnatullah itu, namun mereka juga tetap menempuh jalan usaha, dengan tidak menggantungkan hati atau pasrah dengannya. Sebab, begitulah yang Allah ajarkan kepada mereka. Dia (Allah) mengajarkan kepada mereka bahwa kesuksesan dalam mencapai suatu hasil tertentu dalam realitas kehidupan mereka, sangat terkait dengan usaha yang mengacu padanya. Demikianlah sunnatullah berjalan di atas makhluk-Nya. Terakhir, ada beberapa hal yang hendaknya diperhatikan ketika muncul indikasi-indikasi dari tanda-tanda hari akhir. Ini menjadi acuan sebagai bentuk kehati-hatian dalam masalah tersebut agar tidak terjebak pada khurafat dan salah tafsir. Ada tiga hal sebagaimana yang dipaparkan oleh DR. Muhammad alMuqaddam di dalam Fiqh Asyratis Saa’ah: 1 Tanda-tanda yang muncul kita tempatkan dalam ranah prediksi yang bersifat dugaan dan tidak bersusah payah membuktikannya dengan tindakan-tindakan dari diri kita. Karena tanda-tanda tersebut termasuk alamiah, sudah ditakdirkan dan pasti terjadi. Dalam hal ini, kita tidak diminta mengeluarkannya dari alam gaib ke alam nyata. 2 Memerhatikan periodesasi dan urutan waktu pada rangkaian tanda-tanda kiamat yang terjadi sesuai dengan nash wahyu. Bukan berdalil pada dugaan dan rekaan. 3 Penantian tersebut tidak berpengaruh negatif terhadap pelaksanaan tuntutan zaman dan kewajiban syar’i. Berdasarkan kaedah-kaedah di atas, kita perlu berhati-hati dalam menisbatkan dan memastikan sebuah hal atau peristiwa sebagai rangkaian pertanda akhir zaman. Ini agar seseorang tidak terjebak pada penetuan yang tergesa-gesa dan jauh dari landasan yang benar, terlebih menyimpang. Namun demikian, ketika memang ada sebuah ciri-ciri atau tanda-tanda pasti dan sesuai nash syar’i akan suatu hal atau peristiwa, maka seorang muslim berharap dengan keyakinannya bahwa hal tersebut memang benar adanya. Misalnya ketika nantinya muncul sebuah kelompok yang sesuai dengan ciri-ciri khas—sesuai yang digambarkan Rasul, maka bisa jadi hal tersebut memang benar adanya, tanpa langsung membuat sebuah kepastian haqqul yaqin bahwa munculnya kelompok itu adalah salah satu urutan peristiwa akhir zaman. Perlu benar-benar diyakini, khilafah yang bermanhaj nubuwah menurut janji Nabi n pasti akan datang, tidak diragukan lagi. Karena Nabi n tidaklah bersabda berdasarkan hawa nafsu. Akan tetapi bagaimanakah datangnya khilafah tersebut dan di mana bermulanya, tidak ada jawaban tentangnya. Perkara ini adalah merupakan kabar yang gaib, tidak bisa dipastikan kecuali adanya wahyu. Al-Quran dan As-Sunnah tidak menerangkan tentang hal itu. Umat Islam hendaknya berusaha untuk mewujudkannya dengan mengambil sebab-sebab agar khilafah dapat tegak. Bukan menunggu tegaknya dengan sebab-sebab yang tidak masuk akal dan di luar kebiasaan. Wallahu a’lam. (Bashir) kiblat Ramadhan 1435 h 60