ISIS DAULAH, KHILAFAH ATAU JAMAAH?

Transcription

ISIS DAULAH, KHILAFAH ATAU JAMAAH?
SALAM
F
okus umat Islam terhadap krisis Suriah terbelah. Belum kering darah
yang ditumpahkan rezim kafir Bashar Asad, fitnah muncul dalam bentuk
perselisihan yang tajam di antara elemen Mujahidin. Menentukan siapa
benar siapa keliru, bukan semudah membalik tangan. Fitnah yang
rumit dan lebih ruwet ketimbang menentukan jawaban mana lebih duluan;
telur atau ayam.
Masing-masing pihak memiliki landasan dan argumen tersendiri atas sikap
dan tindakan yang diambilnya. Belum kelar mentas dari keprihatinan ini,
muncul lagi keprihatinan yang tak kalah memilukan. Sebagian aktivis jihad
Indonesia hari ini terjebak dalam pengkubuan, larut dalam klaim membenarkan
satu kelompok dengan mencela kelompok lain—meski kelompok-kelompok
tersebut sama-sama mujahidin.
Internet menjadi lahan pergunjingan. Vonis-vonis keji seperti “kafir” dan
“murtad” begitu mudah diucapkan ketika tak dicapai kata sepakat dalam
berdebat. Cepat reaksi, instan berpikir dan gampang berkesimpulan, adalah
wabah yang diakibatkan oleh sindrom debat kusir internet ini. Kita pun terbius,
dan tak lagi tertarik untuk mendalami masalah dan peristiwa secara lebih adil,
bijak dan ilmiah.
Sebagai bagian dari media umat Islam, kiblat.net merasa berkewajiban untuk
memberikan informasi yang utuh, tak berpihak dan yang tak kalah penting
memiliki pijakan ilmiah. Kami memandang titik krusial yang menjadi pemantik
fitnah ini adalah perbedaan pendapat dalam masalah status kepemimpinan
dan konsekuensi baiat kepadanya.
Rancangan penulisan majalah ini sudah kami susun sebulan lalu, sebelum
juru bicara ISIS Syaikh Abu Muhammad Al-Adnani mendeklarasikan pendirian
khilafah oleh ISIS. Meski pengakuan statusnya telah berubah dari “daulah”
menjadi “khilafah,” tulisan dalam majalah ini tetap relevan sebagai pijakan dasar
untuk memahami bagaimana konsep Islam dalam imamah (kepemimpinan)
tersebut. Selamat membaca!
Redaktur Ahli : Abu Zahrah, Abu Abdurrahman Pimpinan Redaksi : Tony Syarqi Redaksi : Agus Abdullah,
Fahruddin, Dhani el-Ashimi, Bashirudin R, Miftahul Ihsan MAJALAH DIGITAL KIBLAT adalah salah satu
konten dari situs berita Islam www.kiblat.net. Dapat diunduh dan sebarluaskan secara cuma-cuma.
Email : [email protected] Donasi: BCA 7735072587 BNI Syariah 0298526555 BNI Syariah atas
nama Muh Bashirudin Rosyed.
kiblat
Ramadhan 1435 h
2
MUNAQOSYAH
BAIAT
KEWAJIBAN,
APLIKASI &
PENYELEWENGAN
D
eklarasi Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) April 2013—yang
kemudian disusul pendeklarasian khilafah pada 29 Juni 2014
lalu—menyisakan polemik. Seruan baiat kepada Syaikh Abu
Bakar Al-Baghdadi, pemimpin ISIS yang menyusul deklarasi
tersebut mendapat berbagai tanggapan. Ada yang disambut dan ada yang
ditolak. Dihantar kecanggihan sarana teknologi informasi dan komunikasi,
polemik itu pun sampai juga ke Indonesia. Seseorang yang menyebut dirinya
Ikhwan yang taat kepada Allah disebut-sebut sebagai orang pertama yang
menyatakan baiat kepada ISIS.1
Namun, tidak sedikit ulama yang menganggap baiat Syaikh Al-Baghdadi
tidak sah. Salah satu contohnya, Syaikh Sulaiman bin Nashir Al-Ulwan
mengatakan, “Daulah maupun Al-Baghdadi tidak berhak atas baiat umum
kaum muslimin, karena salah satu syarat baiat umum adalah dipilih oleh Ahlu
Halli wal ‘Aqdi, dan Al-Baghdadi tidak dipilih oleh siapa pun. Bila Dr. Ayman AzZhawahiri yang merupakan amir dan penanggung jawabnya saja tidak setuju
dengan sikapnya, bagaimana ia menuntut orang lain untuk membaiatnya?”2
1.
2.
http://al-mustaqbal.net/baiat-pertama-dari-indonesia-mulai-mengalir-ke-isis/ [23 Juni 2014]
http://www.youtube.com/watch?v=eapGxmDk9f8&feature=youtu.be [23 Juni 2014]
kiblat
Ramadhan 1435 h
3
MUNAQOSYAH
Banyak atau sedikitnya dukungan kepada
sesuatu pada dasarnya tidak bisa menjadi
dasar untuk menentukan sikap. Dasar
bagi orang beriman untuk berbuat adalah
ilmu yang benar, karena ilmu mendahului
perkataan dan perbuatan.
Ada ungkapan salaf, “Bila engkau mampu
untuk tidak menggaruk kepala kecuali
dengan dalil, maka lakukanlah.” Artinya,
dalam urusan agama, kita tidak boleh ikutikutan. Orang ke utara kita ke utara, orang
ke selatan kita pun nurut! Boleh saja ikut
ke utara, tetapi apa dasarnya? Maka dalam
urusan ini, berbaiat atau tidak, semua harus
dilandasi dengan ilmu yang benar.
Baiat adalah salah satu elemen dalam
sebuah jamaah yang mengikat antara
pemimpin dan jamaahnya. Maknanya,
tujuan baiat adalah mempersatukan umat
Islam dalam satu pemimpin dan jamaah.
Sebab esensi dari baiat adalah ketaatan dan
kesetiaan kepada pemimpin selama tidak
dalam maksiat.
Berjamaah adalah perintah Islam, “Dan
berpeganglah kalian kepada tali (agama)
Allah dan janganlah berpecah belah.” (Ali
Imran: 103). Banyaknya perselisihan dan
perbedaan manhaj akibat pemahaman yang
keliru tentang Islam maka lahirlah Manhaj
Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Ulama salaf menjelaskan bahwa berjamaah
adalah: mengikuti sunnah meskipun engkau
sendirian. Maka, ketika ada dua orang
yang mengikuti sunnah, keduanya harus
bergabung dalam satu jamaah sebagai
pelaksanaan perintah berjamaah dalam
Al-Qur’an. Bila tidak, yang terjadi adalah
perpecahan. Sebab masing-masing pihak
akan mengklaim kebenaran. Ini baru dua
orang.
Bagaimana bila dari dua ini berkembang
dan banyak pengikut?
Tulisan ini mengajak pembaca untuk
berdiskusi tentang baiat sebagai elemen
untuk mewujudkan kehidupan berjamaah,
yang kemudian dalam praktiknya justru
perpecahan yang terjadi. Kemudian, kita akan
mencoba mengurai di manakah kesalahan
itu dan bagaimana perbaikan yang mesti kita
lakukan untuk kembali kepada tujuan awal,
yaitu berjamaah dalam kebenaran.
Definisi Baiat
Ibnu Al-Atsir mengatakan, “Baiat ialah
ungkapan tentang akad dan perjanjian,
seolah-olah masing-masing pihak menjual
apa yang ada pada dirinya dan memberikan
jiwa dan ketaatannya secara tulus dari dasar
hatinya.” 3
Ibnu Khaldun mengatakan, “Baiat ialah janji
untuk taat. Orang yang berbaiat itu berjanji
kepada pemimpinnya untuk menyerahkan
kepadanya segala kebijaksanaan tentang
urusan dirinya dan urusan kaum muslimin,
sedikit pun tanpa menentangnya; serta taat
kepada perintah pimpinan yang dibebankan
kepadanya, suka maupun tidak.”4
Baiat adalah bagian dari syariat Islam
sudah dilaksanakan sejak masa Rasulullah.
Bahkan diabadikan di dalam Al-Qur’an.
‫ذين ُيبايِعونَكَ �إِنَّما ُيبايِعو َن اللَّ َه َي ُد اللَّ ِه‬
َ َّ‫�إِ َّن ال‬
ٰ ‫َفوقَ �َأيدي ِهم َف َمن نَ َك َث َف إِ�نَّما َين ُك ُث َعلى‬
ِ ‫ن‬
‫َفس ِه َو َمن �َأوفى ٰ بِما ٰع َه َد َع َلي ُه اللَّ َه َف َس ُيؤتي ِه‬
‫جرا َعظي ًما‬
ً ‫�َأ‬
3. Baiah fi Al-Islam; Mafhumuha, Ahammiyatuha,
4.
wa syurutuha, Dr. Raghib As-Sirjani.
Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299
kiblat
Ramadhan 1435 h
4
MUNAQOSYAH
"Bahwasanya
orang-orang
yang
berbaiat kepada kamu, mereka berbaiat
kepada Allah. Tangan Allah di atas
tangan mereka, maka barang siapa
yang melanggar janjinya niscaya akibat
ia melanggar janji itu akan menimpa
dirinya sendiri dan barang siapa
menepati janjinya kepada Allah maka
Allah akan memberinya pahala yang
besar." (Al-Fath:10)
Sepeninggal beliau, umat Islam membaiat
Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah dan
pemimpin umum bagi umat Islam. Maka
dengan proses ini umat Islam bersatu dalam
barisan.
Baiat Sughra dan Kubra
Dari peristiwa sejarah dan dalil-dalil nash,
para ulama membagi baiat menjadi dua,
yaitu baiat kubra dan sughra.
Baiat kubra adalah baiat kepada pemimpin
kaum muslimin (khalifah). Sedangkan baiat
sughra adalah baiat untuk tetap setia dalam
perkara tertentu yang tidak bisa dikuasakan
kepada orang lain. Baiat ini berlaku terhadap
penguasa dan juga terhadap selain mereka.5
Banyak orang belum memahami tentang
syariat baiat sughra ini, terutama dalam amal
berjamaah.
Baiat sughra adalah baiat atau ‘ahdun
(perjanjian) yang diambil atas amal makruf
syar’i. Dalam ungkapan lain, merupakan akad,
janji, dan ikatan yang bersyarat. Termasuk
jenis ini adalah baiat untuk melakukan
bentuk amal saleh apa saja.6
Di antara dalil yang menunjukkan adanya
baiat sughra adalah firman Allah dalam surat
Al-Fath: 10 dan 18.
“Bahwasanya orang yang berjanji setia
kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji
setia kepada Allah. Tangan Allah di atas
tangan mereka, maka barang siapa yang
melanggar janjinya niscaya akibatnya akan
menimpa diri sendiri dan barang siapa
menepati janjinya kepada Allah maka Allah
akan memberinya pahala yang besar.” (Al5
6
Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah fi Al-‘Alaqoh
baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman
(Jakarta:Gema Insani Press,1995), p.153
Lihat kitab Al-Mausu’ah Al-Muyassarah fi Al-Adyan
wa Al-Madzahib wa Al-Ahzab Al-Mu’ashirah (II/10001006) yang diterbitkan oleh WAMY (World Assembly
of Moslem Youth
kiblat
Ramadhan 1435 h
5
MUNAQOSYAH
Fath: 10)
Qiyas Imam Safar?
Peristiwa baiat yang disebutkan dalam
ayat di atas adalah Baiatur Ridwan yang
terjadi pada tahun 6 Hijriah. Tidak diragukan
lagi–sebagaimana yang disebutkan para
sejarah Muslim–bahwa baiat tersebut
bukanlah baiat dalam rangka mendaulat
Rasulullah n sebagai pimpinan tertinggi
kaum muslimin.
Jika ada yang mengatakan bahwa
imarah safar tidak dapat diqiyaskan dengan
imarah amal islami yang lain, maka dapat
diterangkan sebagai berikut:
1
2
3
Imarah jamaah-jamaah Islam
tidak hanya bersandar pada hadits
safar, namun ada dalil-dalil lain.
Qiyas imarah jamaah-jamaah
Islam terhadap imarah safar
merupakan qiyas shahih (benar)
lantaran kesamaan ‘illat (sebab).
Baiat
tersebut
merupakan
sikap
pembelaan para sahabat terhadap Utsman
bin Affan yang diisukan telah dibunuh
oleh kafir Quraisy. Baiat untuk membela
darah Utsman bin Affan sampai titik darah
penghabisan. 7
Sesungguhnya jamaah yang
berlangsung terus menerus lebih
utama untuk menyelenggarakan
imarah untuk menata kerapian dan
ketertibannya daripada jamaah yang
bersifat sementara sebagaimana safar. 8
Selain itu ada juga Baiatun Nisa
sebagaimana diterangkan dalam firman
Allah Surat Al-Mumtahanah ayat 12.
4
Selain ayat Al-Qur’an di atas, hadits yang
diriwayatkan Abu Daud dari Abu Sa’id dan
Abu Hurairah juga mendukung adanya
baiat sughra secara eksplisit, Rasulullah n
bersabda:
‫اِ َذا كَا َن ثَلا َ َث ٌة ِفى َس َف ٍر َفالْ ُي َؤ ِّم ُر ْوا َع َل ْي ِه ْم‬
‫�َأ َح َد ُه ْم‬
“Apabila ada tiga orang dalam safar
maka hendaknya mereka mengangkat
amir (pimpinan) salah satu di antara
mereka.” (Sunan Abu Dawud no. 2608)
Baiat sughra/baiat amal jama’i
juga
tidak
berlaku
untuk
selamanya meskipun rentang
waktunya lebih lama dari imarah safar.
Imarah amal jama’i juga akan berakhir,
yaitu ketika seorang khalifah syar’i
telah dibaiat.
Di antara dalil lebih khusus dan spesifik
yang menunjukkan adanya baiat ini adalah
hadits Jabir bin Abdillah ra. yang diriwayatkan
Imam Muslim. Jabir a berkata:
‫َج َاء َع ْب ٌد َف َبا َي َع ال َّن ِب َّي َصلَّى اللَّه َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫َع َلى الْ ِه ْج َر ِة‬
Ibnu Taimiyyah berkata, “Apabila telah
diwajibkan mengangkat seorang amir dalam
perkumpulan dan masyarakat yang paling
kecil dan bersifat sementara (dalam safar),
maka hal ini menunjukkan lebih wajibnya
mengangkat amir dalam skala yang lebih
besar darinya.”
7
Lihat: Ar-Rahiq Al-Makhtum hlm. 298
“Datang seorang hamba sahaya lalu
berbaiat kepada Nabi saw atas hijrah.”
(Shahih Muslim no. 4113)
8
Al-‘Umdatu fi I’dadil ‘Uddah hlm. 69
kiblat
Ramadhan 1435 h
6
MUNAQOSYAH
BOLEHKAH MELAKUKAN BAIAT AMAL?
B
eberapa kalangan menilai bahwa
baiat hanya berlaku dari rakyat
untuk khalifah. Sedangkan baiat
amal dalam sebuah jamaah
minal Muslimin, dianggap bid'ah.
Pemahaman ini bisa ditanggapi dari
beberapa sisi:
Pertama, anggapan bahwa tidak ada
baiat jenis ini pada masa dakwah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab bertolak
belakang dengan kenyataan yang
ada. Justru, para ulama dan ahli tarikh
menyebutkan adanya pernyataan “saling
setia” antara Muhammad bin Suud—
pelopor Daulah Saudi I—dan Syaikh
Muhammad rahimahumallah. Bahkan,
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menukilnya
dalam risalah beliau yang berjudul AlImam Muhammad bin Abdul Wahhab:
Da’watuhu wa Siratuhu, hlm. 38-39, Cet.
Kerajaan Arab Saudi.
Ibnu Suud berkata, “Wahai Syaikh, saya
akan berbaiat (menyatakan setia) kepada
Anda untuk membela agama Allah dan
Rasul-Nya dan untuk berjihad di jalan
Allah. Namun, saya khawatir, jika Anda
kami dukung dan kami bela lalu Allah
memenangkan Anda atas musuh-musuh
Islam, jangan-jangan Anda akan memilih
negeri lain untuk berpindah ke sana dan
meninggalkan negeri kami.”.
Syaikh menjawab, “Saya tidak berbaiat
kepada Anda untuk tujuan semacam
itu. Saya berbaiat kepada Anda untuk
menegaskan tekad bahwa darah harus
dibayar dengan darah, penghancuran
harus dibalas penghancuran. Saya tidak
akan keluar dari negeri Anda selamanya.”
Kedua, perbuatan atau perkataan para
ulama dan dai pada dasarnya bukanlah
dalil syar’i yang bisa dijadikan hujjah
dalam permasalahan syar’i. Pendapat
mereka diikuti sepanjang kesesuaiannya
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Atau
sebagaimana perkataan Imam Malik,
“Setiap perkataan seseorang bisa diterima
dan ditolak kecuali pemilik kubur ini
(Rasulullah) n.” 1
Berargumen
dengan
sikap
dan
perbuatan ulama dan para dai untuk
mendukung pendapat tidak adanya baiat
shugra/amal jelas telah bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang
dikemukakan di atas. Bahkan, bertentangan
dengan perbuatan sahabat ketika perang
Yarmuk yang terjadi pada tahun 13 H.
Saat itu, pasukan muslim yang
berjumlah 40.000 orang menghadapi
240.000 pasukan Romawi. Setelah pecah
pertempuran dengan dahsyatnya, Ikrimah
a membaiat 400 pasukan muslim ‘alal
maut (siap untuk mati). Kemudian pasukan
ini menyerbu musuh hinggga seluruh
pasukan ini mendapatkan gugur atau
dalam keadaan luka parah. Sedang korban
di fihak musuh ada 120.000 orang.2
Perlu kita tegaskan pula bahwa
jumlah sahabat yang ikut dalam perang
ini berjumlah sekitar seribu, namun
tidak seorang pun di antara mereka
yang mengingkari perbuatan Ikrimah,
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Katsir.3 (Fahruddin)
1
2
3
Siyaru A’lamin Nubala’, Adz-Dzahabi: VIII/93
Lihat: Fathul Bari: XIII/63
Lihat: Al-Bidayah wa An-Nihayah: VII/9
kiblat
Ramadhan 1435 h
7
MUNAQOSYAH
Karakter Baiat Sughra dan Kubra
• Baiat Sughra
Dalam baiat sughra, orang yang dibaiat
(mubaya’) bisa saja khalifah atau kaum
muslimin sebagian dengan sebagian
lainnya.9 Ini adalah baiat yang dilakukan
sebagian manusia, baik tiga orang maupun
lebih banyak untuk berjanji dan menaati
dalam urusan ketaatan. Tidak terbatas pada
Ahlul Halli wal ‘Aqdi, tetapi siapa saja yang
terlibat dalam suatu perjanjian.
Baiat ini berlaku bagi mereka untuk
berjanji dalam ketaatan apapun tanpa
adanya batas, seperti jihad, dakwah, amar
ma’ruf nahi munkar, menyelamatkan orang
yang teraniaya dan menolong orang yang
dizalimi. Bahkan menyingkirkan duri dari
jalan—bila menuntut ikatan baiat—maka ini
termasuk Baiat Sughra.
Komitmen terhadap Baiat Sughra sifatnya
wajib bagi orang yang telah suka rela
bergabung di dalamnya, dan tidak mengikat
orang di luar baiat tersebut. Jika seseorang
telah mengikat janji setia, maka wajib baginya
untuk memenuhi ikatan janji tersebut.10
9
Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fie
Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235
10 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fie
Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235
Keluar dari Baiat Sughra
adalah maksiat karena telah
mengingkari janji yang
mengikat antara sesama
muslim. Dan ini telah jelas
dalam syariat tentang
hukum mengingkari janji
dalam perkara ketaatan.
Berdasarkan sifat tersebut, maka dalam
satu wilayah bisa terjadi banyak baiat
dengan arah masing-masing. Maka ketika
ada dua jamaah —atau lebih— dari sebagian
umat Islam dengan baiat masing-masing,
hubungannya bersifat kerja sama dan
nasihat, bukan perintah dari atas ke bawah.
Jamaah-jamaah ini bisa mengarah kepada
penggabungan (tansik) untuk membentuk
jamaah umat Islam yang satu bila terjadi
kesepakatan. Atau terbentuk jamaah yang
memiliki kekuatan (syaukah) sehingga jamaah
yang menyelisihi tunduk di bawahnya.
Hal ini telah ditunjukkan oleh sejarah.
Setelah kaum Anshar dan Muhajirin bersatu
di bawah kepemimpinan Rasulullah n.
Kekuatan (syaukah) pun terwujud. Sampai
Rasulullah wafat, kelompok yang menyelisihi
kiblat
Ramadhan 1435 h
8
MUNAQOSYAH
atau orang-orang munafik tetap ada, tetapi
syaukah tidak ada pada mereka, sehingga
tunduk di bawah otoritas kaum muslimin,
yakni Daulah Nabawiyah n.
• Baiat Kubra
Dalam Baiat Kubra, orang yang dibaiat
adalah Imam A'dham (khalifah).11 Pihak yang
membaiat adalah Ahlul Halli wal Aqdi dari
umat ini atau seorang khalifah sebelumnya
setelah melakukan pertimbangan dan syura
di antara kaum muslimin.
Orang yang dibaiat atau dinobatkan
menjadi khalifah wajib memenuhi syaratsyarat baiat.12
Baiat Kubra mengharuskan
orang yang dibaiat untuk
menerapkan segala
ketentuan syariat bagi kaum
muslimin.13
Di sisi lain, umat wajib mendengar dan
taat kepada imam serta menolongnya
selama tidak dalam maksiat.
Kewajiban dan komitmen baiat kubra
Imam Al-Qurtubi berkata, “Dan jika
imamah (khilafah) telah terwujud dengan
kesepakatan Ahlul Halli wal Aqdi atau dengan
salah satu seperti penjelasan yang lalu, maka
wajib bagi seluruh rakyat membaiatnya untuk
mendengar dan taat dan untuk menegakkan
kitab Allah k dan sunnah Rasulullah n.
11 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu fie
Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235
12 Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7.
13 Imam Al-Mawardi menyebutkan sepuluh kewajiban,
lihat Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 15-17.
Barang siapa tidak berbaiat karena ada
uzur, ia diberi uzur (maaf). Barang siapa tidak
berbaiat tanpa uzur maka dia dipaksa (untuk
berbaiat), agar kesatuan kaum muslimin
tidak terpecah.”14
Setiap muslim wajib memegang teguh
baiatnya. Berdasarkan hadits:
‫ات ِمي َت ًة‬
َ ‫ َم‬،‫س ِفي ُع ُن ِق ِه َب ْي َع ٌة‬
َ ‫َو َم ْن َم‬
َ ‫ات َولَ ْي‬
‫َجا ِه ِل َّي ًة‬
“Barang siapa mati dan belum berbaiat,
maka matinya seperti mati dalam
keadaan jahiliah.” (HR. Muslim dari
Ibnu Umar).
Dan hadits, “Wajib beriltizam terhadap
jamaah dan imamnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih
dari Hudzifah).15
Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz berkata,
“Kesimpulannya, bahwa baiat imam kaum
muslimin adalah wajib menurut syar’i.”16
Setelah berbaiat, komitmen selanjutnya
ialah mendengar dan taat, serta tidak
melepaskan baiatnya kecuali dengan alasan
yang telah ditetapkan syariat. Rasulullah n
bersabda:
‫ لَ ِق َي الل َه َي ْو َم الْ ِق َيا َم ِة‬،‫َم ْن َخ َل َع َيدًا ِم ْن َطا َع ٍة‬
‫َلا ُح َّج َة لَ ُه‬
"Barangsiapa melepaskan tangan dari
ketaatan (kepada Amir), maka dia
berjumpa dengan Allah di hari kiamat
dalam keadaan tidak memiliki hujjah."
(HR. Muslim dari Ibnu Umar).
14 Al-Qurthubi, Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, juz 1, hal: 302,
Maktabah Syamilah
15 Lihat dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 20-23.
16 Lihat: Abdul Qadir bin Abdul Aziz, al-Umdah fii I’dadil
Uddah: 1/144
kiblat
Ramadhan 1435 h
9
MUNAQOSYAH
Maksud tidak ada hujjah, seperti dijelaskan
oleh Imam Nawawi, ialah tidak ada alasan
baginya di dunia dengan tindakannya itu.
Sedangkan maksud tidak ada ‘uzur adalah
tidak ada alasan yang berguna baginya
untuk menyelamatkan dari ancaman Allah
pada hari kiamat.17
Al Hafidz Ibnu Hajar
(wafat 852 H) dalam Fathul
Bari mengatakan, “Yang
dimaksud dengan al miitah
al jaahiliyyah (mati dalam
keadaan jahiliah) adalah
keadaan mati seperti
matinya orang jahiliah.
Yakni mati dalam kesesatan;
tidak mempunyai imam yang
ditaati karena mereka dulu
tidak tahu yang demikian. Ia
tidak mati kafir, namun mati
dalam keadaan maksiat.”
Beliau melanjutkan, “(Ungkapan al miitah
al jahiliah) mengandung makna tasybih
(penyerupaan) atas zahirnya, yang maknanya
dia mati seperti mati jahiliah walaupun dia
bukan orang jahiliah.”18
Dengan memahami perbedaan antara
Baiat Kubra dan Baiat Sughra, maka
jelaslah bahwa imam kaum muslimin yang
dimaksudkan dalam hadits tersebut bukan
pemimpin kelompok atau jamaah yang
ada saat ini. Akan tetapi maksud imam di
sini adalah pemimpin yang disepakati oleh
seluruh kaum muslimin dengan memenuhi
segala syarat yang ada. Dan yang menjadi
titik tekan juga adalah pemimpin tersebut
merupakan pemimpin yang menjalankan
syariat islam.
Jadi, kedudukannya
benar-benar menjadi
khalifah yang menjalankan
fungsi kepemimpinan,
yaitu menjaga agama
(menjalankan hukum islam)
dan mengatur kemaslahatan
dunia.
20
Karena pemimpin yang demikianlah yang
wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin n
(Fahruddin)
Imam Ahmad ditanya tentang makna
hadits “Barang siapa mati, sedang dia tidak
memiliki imam, maka matinya seperti mati
dalam keadaan jahiliah.”
Beliau bertanya, “Tahukah kamu, siapakah
imam itu?” Yaitu imam yang telah disepakati
oleh kaum muslimin. Mereka semua
menyatakan, “Ini imam,” Inilah maknanya.”19
17 An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, vol. 6, p. 323.
18 Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari, (Beirut: Dar
Ma'rifah, ), vol. 13, p. 7
19 Dinukil dari al-Wajiz fii Fiqhil Khilafah, hal. 77-78, lihat
ats-Tsawabit wal Mutaghayyirat, hal. 230.
20 Lihat: Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7
kiblat
Ramadhan 1435 h
10
MUNAQOSYAH
I
Bagaimana
Menyikapi Dualisme
Kepemimpinan
Dalam Islam?
slam menghendaki umatnya bersatu
dalam jamaah dan satu pemimpin.
Karena itulah, Islam melalui lisan Nabi
n memberikan sanksi berat terhadap
upaya yang mengarah kepada dualisme
kepemimpinan. Hal ini tampak dalam haditshadits berikut:
‫ َو َث َم َر َة‬،‫َو َم ْن َبا َي َع �إِ َما ًما َف�َأ ْع َطا ُه َص ْف َق َة َي ِد ِه‬
‫ َف إِ� ْن َج َاء � َآخ ُر‬،‫ َف ْل ُي ِط ْع ُه �إ ِِن ْاس َت َطا َع‬،‫َق ْل ِب ِه‬
‫ُي َنا ِز ُع ُه َفاضْ ِر ُبوا ُع ُن َق ا ْل� آ َخ ِر‬
"Barang siapa telah membaiat imam
serta memberikan kesetiaan dan
loyalitas kepadanya, maka hendaklah
dia menaatinya semampu mungkin,
kemudian bila datang orang lain
yang menyainginya maka penggallah
lehernya." (Riwayat Muslim).
‫ َفا ْق ُتلُوا ا ْل� آ َخ َر ِم ْن ُه َما‬، ِ‫�إِ َذا ُبويِ َع لِ َخ ِلي َف َت ْين‬
"Bila dilakukan baiat kepada dua
khalifah, maka bunuhlah yang paling
akhir dari keduanya." (Riwayat Muslim).
َ‫ات َف َم ْن َأ� َرا َد �َأ ْن ي ُف ِّرق‬
ٌ ‫ات َو َه َن‬
ٌ ‫َس َت ُكو ُن َه َن‬
‫الس ْي ِف‬
َّ ِ‫َه ِذ ِه ا ْل� ُأ َّم ِة َو ِه َي ج ِمي ٌع َفاضْ ِر ُبوه ب‬
‫كَائِ ًنا َم ْن كَا َن‬
"Akan terjadi kekacauan dan kekacauan,
barang siapa ingin memecah persatuan
umat ini sedangkan umat itu sedang
bersatu, maka penggallah lehernya
dengan pedang siapa pun orangnya."
(Riwayat Muslim).
،‫َم ْن َأ� َتا ُك ْم َو َأ� ْم ُر ُك ْم َج ِمي ٌع َع َلى َر ُجلٍ َو ِاح ٍد‬
،‫ �َأ ْو ُي َف ِّرقَ َج َما َع َت ُك ْم‬،‫ُيرِي ُد �َأ ْن َيشُ َّق َع َصاكُ ْم‬
‫َفا ْق ُتلُو ُه‬
"Barang siapa datang kepada kalian
sedangkan urusan kalian itu bersatu
di bawah kepemimpinan seorang
pria, dan ia ingin membelah tongkat
(kepemimpinan) kalian atau memecah
barisan kalian, maka bunuhlah."
(Riwayat Muslim).
lll
kiblat
Ramadhan 1435 h
11
MUNAQOSYAH
perjalanan yang jauh.
Tetapi, Al-Juwaini melihat
kebolehan ini berada di luar
permasalahan yang telah
pasti hukumnya.
"Para ulama mazhab kami berpendapat
pelarangan penyematan imamah kepada dua
orang di semua penjuru dunia, sedangkan
menurut saya bahwa penyematan imamah
kepada dua orang di satu wilayah yang
berdekatan itu tidak boleh dan ijma telah
terjalin terhadap hal itu.
Para ulama menetapkan kaidah-kaidah
yang jelas pula dalam perkara ini. AlMawardi Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, "Dan
bila kepemimpinan disematkan kepada dua
imam di dua negeri, maka kepemimpinan
mereka itu tidak sah, dikarenakan tidak boleh
bagi umat ini ada dua imam di waktu yang
sama." (Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, hal: 9).
Al-Qurthubi
menjelaskan
alasan
pelarangan tersebut, “Ini adalah dalil
yang paling jelas menunjukkan larangan
pengangkatan dua imam, karena itu bisa
menyebabkan
timbulnya
kemunafikan,
perselisihan, perpecahan, kekacauan dan
lenyapnya kenikmatan.” (Tafsir Al Qurthubi,
1/273).
Namun, menurut AlQurtubi juga dan beberapa
ulama lain, dualisme
kepemimpinan dibolehkan
bila wilayahnya berjauhan
dan dipisahkan oleh
Adapun bila jaraknya berjauhan dan
dua imam itu dipisahkan oleh perjalanan
yang sangat jauh, maka di dalam hal itu
ada kemungkinan (boleh). Dan ini di luar
permasalahan yang qath'i." (Lihat Al Irsyaad
Ilaa Qawathii'il Adillah Fi Ushulil I'tiqad).
Baiat dalam Kondisi Imam Belum Pasti
Ada yang menarik dalam hal ini. Abdullah
bin Umar adalah sahabat yang meriwayatkan
hadits ancaman mati jahiliyah bagi orang
yang tidak berbaiat kepada imam kaum
muslimin, seperti disebutkan sebelumnya.
Namun
bagaimana
sikapnya
ketika
kekhilafahan belum jelas? Mari kita lihat!
Diriwayatkan
bahwa
Muawiyah
menunaikan ibadah haji pada tahun 51 H.
Selain itu ia juga berkeinginan mengambil
baiat kaum muslimin untuk anaknya, Yazid.
Lalu ia mengirim utusan untuk memanggil
Ibnu Umar. Setelah bertemu, Muawiyah
mengucapkan syahadat dan berkata, “Wahai
Ibnu Umar! Kamu pernah berkata kepadaku
bahwa kamu tidak ingin tidur satu malam
pun tanpa ada pemimpin (khalifah). Aku
kiblat
Ramadhan 1435 h
12
MUNAQOSYAH
ingatkan kepadamu agar kamu mencegah
perselisihan kaum muslimin, atau kamu akan
menyebabkan pertikaian di antara mereka!
Kisah lebih lengkap tentang baiat Abdullah
bin Umar RA ini, baca halaman 16.
Ibnu Umar mengucapkan tahmid dan
memuji Allah, lalu berkata, "Amma ba’du,
sebelum dirimu, banyak khalifah yang
mempunyai anak, dan anakmu tidak lebih
baik daripada anak-anak mereka. Akan
tetapi mereka tidak melakukan untuk anakanak mereka sebagaimana yang kamu
lakukan untuk anakmu. Mereka membiarkan
kaum muslimin untuk memilih orang pilihan
mereka.
lll
Engkau
mengingatkan
agar
aku
mencegah perselisihan kaum muslimin. Aku
tidak akan melakukan hal itu. Aku hanyalah
seorang dari kalangan kaum muslimin. Jika
mereka telah sepakat akan suatu perkara,
maka kau sepakat dengan mereka. Semoga
kamu dirahmati oleh Allah!’ Lalu Ibnu Umar
keluar.”1
Hal yang sama juga terjadi pada masa
lain. Abdullah bin Umar, pada mulanya tidak
berbaiat kepada Abdullah bin Zubair ataupun
Abdul Malik bin Marwan. namun ketika umat
sepakat kepada Abdul Malik bin Marwan,
beliau pun berbaiat kepadanya. Diriwayatkan
dari Abdullah bin Dinar, ia berkata, "Aku
melihat —pada saat umat berkumpul untuk
berbaiat kepada Abdul Malik bin Marwan
sebagai khalifah— Ibnu Umar berkata,
“Sesungguhnya aku menyatakan mendengar
dan taat kepada hamba Allah Jalla wa ‘ala,
Abdul Malik, Amirul Mukminin, di atas
ketetapan Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla
dan Sunnah Rasul-Nya selama aku mampu,
dan sesungguhnya anak-anakku telah
menyatakan hal yang sama.”(HR. Al-Bukhari
no. 7203 dan 7205).
1
Imam Suyuti, Tarikh khulafa, hal: 150
Menurut DR. Yahya Ismail, salah
satu karakteristik syariat Islam adalah
menghilangkan segala kesempitan dan
kesulitan dalam beribadah. Begitu juga
halnya dalam urusan baiat.
Seseorang tidak boleh
dipaksa untuk berbaiat
kepada salah seorang
imam jika mayoritas rakyat
belum setuju dengan
kepemimpinan tersebut.
Lebih lanjut beliau mengungkapkan
beberapa alasan bahwa Islam membolehkan
seorang muslim untuk meninggalkan baiat
dan kepatuhan, apabila berada dalam kondisi
sebagai berikut:
1
2
Terjadi perebutan kekuasaan
antara dua penguasa yang sah
dan belum jelas siapakah di antara
keduanya yang lebih berhak menerima
baiat.
Terjadi fitnah peperangan internal
umat Islam dan diyakini bahwa
hal itu bisa diredakan jika tidak
ada baiat.2
Baiat Zaman Fitnah
Sudah hampir satu abad, kaum muslimin
kehilangan kepimpinan Islam yang dikenal
2 Minhajul I'tidal, hal. 176, An-Nadhariah Siyasah
Islamiah, hal. 195, Mukaddimah Ibnu Khaldun, Hal.
178
kiblat
Ramadhan 1435 h
13
MUNAQOSYAH
dengan kekhilafahan. Ahli hadits Basrah
dan yang lainnya menyatakan bahwa ketika
tidak ada pemimpin umum bagi umat Islam
maka zaman itu disebut zaman fitnah.3
Dalam masa fitnah, perintah Nabi n adalah,
“Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan
sunnah khulafaur rasyidin setelahku.”
Dari uraian sebelumnya, terlihat jelas
bagaimana petunjuk Islam dalam perkara
ini. Tidak ada perdebatan dalam baiat ketika
imam (khalifah) benar-benar ada dan diakui
3
Ibnu Taimiyah, Minhajus sunnah, Riyadh:Jami’ah
Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah, 1986, vol
1, 144.
di tengah-tengah kaum muslimin. Namun
yang menjadi polemik adalah bagaimana
menyikapi seruan baiat dari suatu jamaah.
Apalagi ketika seruan baiat itu dikuatkan
dengan dalil-dalil baiat kubra, baik kewajiban
berbaiat maupun ancaman bagi yang
enggan melakukannya, seperti disebutkan
sebelumnya. Walhasil, yang terjadi ialah klaim
kebenaran dan kepemimpinan. Dampaknya
ialah perpecahan dan perselisihan. Maka
tujuan baiat sebagai elemen jamaah menuju
persatuan tidaklah terwujud n
(Fahruddin)
penyelewengan baiat
Baiat memang disyariatkan, baik
sughra apalagi kubra. Namun seringkali
baiat disalahgunakan. Di antara bentuk
penyelewengan dalam persoalan baiat
ini adalah:
Pertama, menyalahgunakan hadits
baiat kubra untuk melegitimasi baiat
sughra,
ditambah
lagi
kesalahan
dalam mengartikan kalimat “mitatan
jahiliyyatan”. Hasilnya, orang yang
tidak bergabung dianggap kafir dan
syahadatnya tidak berguna. Tidak jarang
terjadi permusuhan antara orang tua
dan anak karena kesalahan ini. Orang
tua dikafirkan karena tidak bergabung
dengan jamaahnya.
Tahun 2011 lalu, umat Islam
dihebohkan oleh banyaknya korban
baiat NII KW-9. Sejarah juga mencatat
jamaah LDII yang menganggap orang
tua, saudara, dan siapa pun di luar jamaah
mereka diyakini sebagai orang kafir yang
najis. Maka, bekas tempat duduknya pun
dipel karena kenajisannya.
Karena pihak di luar jamaahnya
diyakini kafir, maka harta dan properti
mereka halal diambil dan tidak ada dosa.
Kesalahan ini pun semakin kompleks
karena menggunakan dalil-dalil fa’i untuk
mengambil harta orang lain.
Kedua, memaksa kelompok lain agar
mau bergabung dan berbaiat kepada
pimpinannya. Baiat tidak boleh dipaksakan
kecuali dalam baiat kubra kepada imam
yang telah disepakati oleh Ahlul Halli
wal Aqdi maupun cara lain sesuai syariat.
Sedangkan dalam baiat kubra, sifatnya
adalah ajakan dan nasihat.
Pada dasarnya suatu kepemimpinan
akan sah jika telah diakui oleh mayoritas
umat karena salah satu syarat mutlak
dalam kepemimpinan adalah adanya
syaukah (kekuatan). Dan itu akan terwujud
jika mayoritas telah menyetujuinya.1
1 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan,
“Kepemimpinan, menurut mereka (Ahlus Sunnah,
pen.), ditetapkan dengan persetujuan yang
memiliki kekuatan. Seseorang tidak menjadi imam
hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang
dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan
kepemimpinan. Sebab, tujuan kepemimpinan dapat
kiblat
Ramadhan 1435 h
14
MUNAQOSYAH
Dalam kasus baiat dan proyek Daulah
Islam Irak dan Syam (ISIS) di Suriah
maupun di Irak, kelompok maupun faksifaksi jihad lain, seperti Ahrar Syam, Liwa
Tauhid dan lainnya, juga memiliki syaukah
(kekuatan). Maka pendekatan yang terbaik
adalah persuasif, selain bahwa baiat yang
diserukan adalah baiat sughra.2
Selain itu, ketika persetujuan mayoritas
umat tidak terwujud dalam kepemimpinan
tersebut maka akan timbul kekacauan
dan fitnah di tengah-tengah umat. Dan
ini jelas terjadi di Suriah. Banyak tokoh
dari kedua pihak yang dibunuh tanpa ada
penyelesaian, dengan salah satu alasan
menolak tahkim karena daulah tidak
mungkin bertahkim kepada organisasi.3
Jadi prinsip Islam dalam pengangkatan
imam adalah adanya persetujuan mayoritas
umat —terukur dengan terwujudnya
syaukah— yang ditempuh melalui jalur
musyawarah bukan dengan pemaksaan.
Umar bin Khattab berkata, “Barang siapa
membaiat seseorang tanpa musyawarah
dari kaum muslimin maka ia tidak boleh
diikuti, dan tidak pula mengikuti para
terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka
jika seseorang dibai’at dan bersamaan dengan
itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia
menjadi pemimpin (yang sah). Oleh karenanya
berkata para imam salaf: ‘Siapa yang memiliki
kekuatan dan kekuasaan, yang dengan keduanya
terwujud tujuan kepemimpinan, maka dia menjadi
ulil amri yang Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla
perintahkan taat kepada mereka selama mereka
tidak memerintahkan kepada maksiat kepada
Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla’.” (Minhajus
Sunnah An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, 1/527. Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid
4/388)
2
3
Syaikh Abu Ja'far Al-Haththab, Anggota
Lajnah Syar'iyyah Pada Anshar Syari'ah
Tunisia, dalam bukunya Bai'atul Amshaar Lil
Imaam Al Mukhtaar, menyimpulkan bahwa
baiat kepada Syaikh Al-Baghdadi adalah baiat
umum (baiat kubra). Namun pendapat ini
lemah dan dibantah oleh kenyataan dan para
ulama. Salah satunya ialah Syaikh Abu Laits
Al-Anshari dalam bukunya Tabyin Az-Zaif
wal Jahl wa izhharul Awar.
Lihat kembali catatan Syaikh Al-Maqdisi tentang
ISIS di mimbar tauhid dan jihad.
pendukungnya, karena khawatir mereka
akan dibunuh (yang berbaiat dan yang
dibaiat).” (HR. Al-Bukhari no. 6442)
Bahkan lebih tegas lagi Umar a
berkata, “Barang siapa membaiat seorang
laki-laki tanpa didahului musyawarah
dengan umat Islam, maka tidak halal
bagi kalian kecuali membunuhnya.”
Pada hajinya yang terakhir, sebagaimana
yang disebutkan dalam Shahih Bukhari,
Umar berkata, “Sesungguhnya, sore ini
aku berdiri dan mengingatkan umat
Islam tentang orang-orang yang hendak
merampas pemerintahan mereka”. Umar
menganggap baiat yang dilakukan oleh
sebagian sahabat kepada sebagian
yang lain, tanpa didahului musyawarah
dengan umat adalah merupakan bentuk
perampasan hak umat. Tidak ada istilah
baiat kepada orang yang merampas,
apalagi kalau merampasnya dengan
pedang bukan dengan baiat, meskipun
hanya baiat minoritas.
Adalah Umar bin Abdul Aziz, ketika
beliau diangkat menjadi khalifah beliau
berkata, “Wahai manusia aku telah diuji
dengan jabatan ini tanpa pernah dimintai
pendapatku tentangnya, bukan juga
karena aku yang memintanya dan bukan
juga berdasarkan hasil musyawarah
kaum muslimin. Sesungguhnya aku tidak
memaksa kalian untuk membaiatku. Oleh
karena itu, pilihlah orang yang pantas
memimpin kalian.”
Maka seketika itu juga mereka berkata,
“Sungguh kami telah memilih engkau
wahai amirul mukminin dan kami ridha
dengan kepemimpinanmu. Oleh karena
itu pimpinlah kami dengan adil dan baik.”4
(Fahruddin)
4
Ali Muhammad Ash-Sholabi, Umar bin Abdul Aziz,
terj: chep M.faqih FR, (Jakarta Timur: Yayasan Ashshilah: tt), hal: 64
kiblat
Ramadhan 1435 h
15
MUNAQOSYAH
J
EDA
Kisah Baiat Abdullah
bin Umar d
Kisah ini lebih lengkap diceritakan oleh
Ibnu Hajar sebagai berikut:
Dahulu dua pihak yang masingmasing mengklaim dirinya sebagai yang
berhak memegang tampuk kekhilafahan.
Keduanya adalah Abdul Malik bin Marwan
dan Abdullah bin Zubair. Pada saat itu,
Ibnu Zubair tinggal di kota Mekkah dan
berlindung di sana setelah Muawiyah
wafat.
Karena Ibnu Zubair menolak berbaiat
kepada Yazid bin Muawiyah, Yazid
mengirimkan tentaranya beberapa kali
untuk menyerang. Ketika tentaranya masih
dalam posisi mengepung Ibnu Zubair,
Yazid meninggal dunia pada bulan Rabiul
Awal 64 H. Menyusul kematian Yazid, umat
Islam berbaiat kepada Ibnu Zubair (dengan
wilayah kekuasaan di Hijaz), sedangkan
penduduk daerah-daerah lain berbaiat
kepada Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah
(Muawiyah II).
Kira-kira 40 hari kemudian, Muawiyah
II meninggal dunia. Maka sebagian besar
penduduk wilayah kekuasaan Muawiyah
II kemudian berbaiat pada Ibnu Zubair
dengan wilayah kekhalifahan meliputi
Hijaz, Yaman, Mesir, Irak, seluruh bagian
timur dan seluruh negeri Syam, termasuk
Damaskus. Semua berbaiat kepada Ibnu
Zubair kecuali seluruh keturunan bani
Umayyah dan orang-orang yang masih
setia kepada mereka di Palestina. Dengan
serentak, mereka berbaiat kepada Marwan
bin Hakam untuk memegang kekuasaan.
Selanjutnya, orang-orang yang setia
kepada Marwan menyerang pengikut
Ibnu Zubair di Damaskus, sehingga terjadi
saling bunuh antara dua golongan di
tanah lapang. Setelah berhasil menguasai
Syam, Marwan menyerang Mesir dan
mengepung Abdurrahman bin Jahdar,
gubernur Ibnu Zubair di sana, dan berhasil
menguasai Mesir pada bulan Rabiul Akhir
tahun 65 H. Namun, pada tahun itu juga
Marwan wafat (memegang kekuasaan
hanya 6 bulan) dan digantikan putranya,
Abdul Malik bin Marwan dengan wilayah
kekuasaan meliputi Syam, Mesir dan
Maroko. Sementara itu, wilayah Hijaz, Irak
dan negeri bagian timur berada dalam
kekuasaan Ibnu Zubair.
Hanya kota Kufah yang dikuasai Mukhtar
bin Abu Ubaid, sang pemberontak yang
mengajak orang untuk setia pada Imam
Mahdi dan Ahlu Bait. Mukhtar memerintah
di sana selama kurang lebih dua tahun.
Kemudian Mus’ab bin Zubair dari pihak
kiblat
Ramadhan 1434
1435 h
16
J
EDA
MUNAQOSYAH
Masjid Umawiyah, Damaskus
(Ibnu Zubair) menyerang Mukhtar
pada bukan Ramadhan 71 H yang
mengakibatkan terbununya Mukhtar.
mengepung serta menyerang Hijaz selama
dua tahun. Pada April 73 H Ibnu Zubair
terbunuh.
Namun, keadaan segera berubah.
Abdul Malik bin Marwan menyerang
Mus’ab bin Zubair dan mengepungnya
sehingga Mus’ab gugur pada bulan
Jumadil Akhir tahun itu. Karena kekalahan
yang diderita dan wilayah yang mulai
menyusut dan hanya terdiri dari Hijaz,
Yaman dan wilayah timur. Puncaknya,
Abdul Malik menyiapkan pasukan di
bawah pimpinan Hajjaj bin Yusuf dan
Selama pertentangan itulah Ibnu Umar
menolak berbaiat pada Ibnu Zubair atau
Abdul Malik bin Marwan, sebagaimana
ia juga menolak berbaiat pada Ali atau
Muawiyah. Setelah Ibnu Zubair terbunuh
dan semua wilayah kerajaan berada di bawah
kekuasaan Abdul Malik, barulah Ibnu Umar
berbaiat kepada Ibnu Malik.1
1
Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah fi Al-‘Alaqoh
baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman
(Jakarta:Gema Insani Press,1995), p.181-182
kiblat
Ramadhan 1434
1435 h
17
MUNAQOSYAH
ISIS
DAULAH, KHILAFAH ATAU JAMAAH?
S
yaikh Abu Humam Bakar bin Abdul Aziz Al-Atsari, dalam bukunya
Maddul Ayaadi bi Bai’ah Al-Baghdadi,1 menguatkan legalitas syar’i
Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Amir Daulah Islam Irak. Setelah
menampilkan berbagai argumentasi mengenai urgensi, faktor-faktor
mendorong berdirinya Daulah Islam Irak, serta tinjauan syar’i berdirinya dan
realitas sejarah berdirinya sebuah negara, maka disimpulkan bahwa Daulah
Islam Irak sah secara syar’i.
Syaikh Abu Humam mengulas kelayakan Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi
sebagai Amirul Mukminin, sahnya baiat sebagian orang dan sebagian Ahlul
Halli wal Aqdi, sahnya disebut Daulah meskipun belum mendapatkan wilayah
yang aman (tamkin), menjawab syubhat imam majhul, dan semua hal yang
menguatkan bahwa Syaikh Al-Baghdadi adalah amir sebuah Daulah Islam
memimpin jamaah muslimin, bukan amir sebuah imarah (kepemimpinan
Islam) dalam arti organisasi atau tanzim jihad.
Di lapangan dan media, hal tersebut dikuatkan oleh tentara dan ulama
pendukung ISIS bahwa baiat Syaikh Al-Baghdadi adalah baiat pemimpin
1
http://www.tawhed.ws/r?i=05081301
kiblat
Ramadhan 1435 h
18
MUNAQOSYAH
tertinggi dalam Islam, sehingga siapa
yang menolak wajib diperangi. Dalil-dalil
yang dipakai adalah dalil-dalil Imamatul
Uzhma dan konsekuensi-konsekuensi yang
diterapkan pun berdasarkan pemahaman ini.
Contohnya hadits, “Barang siapa yang
mati, sedangkan ia tidak memiliki baiat di
pundaknya, maka ia mati dalam keadaan
jahiliah.” (HR Muslim).
Juga sabda Rasulullah n, “Siapa saja yang
datang kepada kamu sekalian, sedangkan
urusan kalian berada di tangan seorang
Khalifah, kemudian dia ingin memecah-belah
kesatuan jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.”
(HR. Muslim)
Untuk mendudukkan masalah ini, kita
akan melihatnya dari pengertian Daulah dan
Khilafah terlebih dahulu.
Daulah, Imarah dan Khilafah
Secara bahasa kalimat Daulah oleh para
ulama diartikan: Sesuatu yang kadang
dihasilkan dari tangan ini atau dari tangan
lain, atau balasan dalam hal kekayaan atau
peperangan.2
Penggunaan kata daulah digunakan
sebagai kata istilah, belum begitu merata
dipakai oleh para fuqaha zaman dulu, hanya
beberapa kitab yang sudah memakainya
seperti kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah.
Namun oleh para fuqaha zaman dulu,
pembahasan Daulah Islamiyah dalam kitab
fiqh-fiqh turats sudah dimasukkan ke dalam
sub tema kepemimpinan negara (al-ahkam
al-imamiyah) dengan menegaskan bahwa
Daulah adalah representasi dari sosok
kepemimpinan tinggi, atau istilah lainnya
Khalifah.
Imamah secara bahasa bisa diartikan
setiap orang yang harus diikuti baik dia itu
adalah seorang pemimpin atau tidak. Dalam
Lisanul Arab juga dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan imamah dan imam itu
adalah orang yang diikuti oleh suatu kaum
baik mereka berada di jalan yang lurus
maupun yang sesat.
2
Lihat : “Mausu’ah Fiqhiyah” Wazartul Auqaf Kuwait, hal
36 juz 6
kiblat
Ramadhan 1435 h
19
MUNAQOSYAH
Sementara yang dimaksud dengan
imamah secara istilah ulama memberikan
definisi secara beragam akan tetapi
semuanya itu bermuara pada satu tujuan.
Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam
Al-Sulthaniyah mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan imamah adalah posisi
khilafah nubuwwah–pengganti Nabi–untuk
menjaga agama serta mengatur dunia
dengan agama tersebut.3
Oleh para fuqaha tata negara Daulah
Islam didefinisikan sebagai:
ِ ‫َم ْج ُم ْو َع ُة ا ْل إِ� ْيل‬
‫الس َيا َد ِة‬
ِّ ِ‫َات َت ْج َت ِم ُع لِ َت ْح ِق ْيق‬
‫َع َلى �َأ َقالِ ْي ٍم ُم َع َّي َن ٍة لَ َها ُحد ُْو ُد ُها َو ُم ْس َت ْو ِط ُن ْو َها‬
‫َف َي ُك ْو ُن الْ َحا ِك ُم �َأ ِو الْ َخ ِل ْي َف ُة �َأ ْو �َأ ِم ْي ُر الْ ُمؤ ِْم ِن ْي َن‬
ِ ‫الس ْل َط‬
‫ات‬
ِ ْ‫َع َلى َر�أ‬
ُ ‫س ه ِذ ِه‬
“Gabungan
kelompok
masyarakat
yang menguasai kawasan tertentu,
mempunyai wilayah dan anggota
masyarakat tertentu, dan hakim atau
khalifah atau amirul mukminin yang
bertindak sebagai pucuk pimpinan
kekuasaan ini.”4
Dari definisi di atas dapat
diambil kesimpulan
bahwa daulah atau negara
terdiri dari tiga unsur,
yaitu wilayah, rakyat dan
pemerintahan.
tema hukum Darul Islam. Dr. Wahbah Zuhaili
berkata:
“Hijrahnya Nabi n dari kota Mekkah
menuju kota Madinah yang merupakan
titik awal berdirinya sebuah Daulah
Islamiyah oleh kalangan fuqaha di masa
awal-awal Islam belum digunakan sebagai
sebuah terminologi umum, melainkan
mengungkapkannya dengan istilah Darul
Islam, karena kalimat daulah belum banyak
digunakan ulama saat itu. Di sisi lain terdapat
korelasi makna yang bersifat talazum antara
istilah kalimat daulah dan Darul Islam.5
Para fuqaha menyatakan bahwa tugas
khilafah adalah menegakkan din Islam dan
melaksanakan hukum-hukumnya, serta
menegakkan politik Daulah di perbatasan
Islam.
Dalam aspek ini, Al-Mawardi menjelaskan
bahwa, “Apabila imam (kepala negara)
telah menjalankan semua tugas-tugasnya
dalam memenuhi hak-hak rakyatnya
dan menegakkan hak-hak Allah SWT di
antara mereka, maka wajib bagi rakyatnya
memenuhi dua hak sang imam, yaitu hak
menaatinya dan hak membantu tugasnya.”6
Dalam mengkaji ketiga unsur pokok
sebuah negara tersebut, para fuqaha ahli
tata negara telah menjabarkannya di dalam
3
4
http://id.shvoong.com/humanities/religionstudies/2171993-pengertian-imamah-imarohkhilafah-dan/#ixzz34g72bqoP
Ibid.
5
6
Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, VIII/6304
Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, 15
kiblat
Ramadhan 1435 h
20
MUNAQOSYAH
Bagaimana dengan Daulah Islam Irak dan
Syam (ISIS)?7
Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS)
mengklaim sebagai daulah Islam dan
memakai dalil-dalil baiat kubra untuk
menguatkannya. Syaikh Abu Bakar AlBaghadi juga dijuluki Amirul Mukminin.
Namun, pihak lain menyebutnya dengan
kata jamaah atau tanzim Daulah. Bahkan
Syaikh Aiman Al-Zawahiri juga menyebut
demikian.
Banyak hal yang menguatkan bahwa ISIS
adalah organisasi. Namun sebelumnya, kita
perlu memahami perbedaan antara tanzhim
dan daulah, terutama konsekuensi baiatnya.
Ini perkara mendasar yang membedakan
antara
keduanya
dan
konsekuensikonsekuensi di baliknya. Tabel berikut
merupakan beberapa konsekuensi baiat
keduanya:
Pemahaman dasar tersebut menjadi
penting untuk melihat apa yang harus
dilakukan Daulah Islam ketika ada pihak yang
keluar maupun menolak berbaiat, dalam
kapasitas Daulah sebagai tanzim maupun
7
Sebagaimana telah kami sebutkan dalam Pengantar,
makalah ini dirancang ketika ISIS masih menjadi
"Daulah," belum mendeklarasikan diri sebagai
"Khilafah."
daulah Islam dalam makna kepemimpinan
tertinggi Islam. Demikian pula menjadi
pandangan setiap umat Islam dalam masalah
ini.
Kembali ke persoalan sebelumnya, ISIS
tanzim ataukah daulah? Syaikh Athiyatullah
Al-Libbi ketika ditanya tentang Daulah Islam
Irak (ISI): Mengapa namanya Daulah, bukan
Imarah, apa bedanya? Beliau menjawab:
“Nama ’Daulah Islam Irak’ adalah julukan
bagi entitas politik dan sosial bagi mujahidin
dan kaum muslimin ahli sunnah di wilayah
ini sebagai bagian dari negeri-negeri Islam
lainnya. Ini hendaknya tidak hilang dari
ingatan kita.”
Beliau menjelaskan bahwa pemilihan
nama dan julukan itu sifatnya ijtihad. Makna
sesungguhnya berhubungan erat dengan
fakta dan kenyataan yang ada.
Contohnya, julukan Amirul Mukminin
dalam sebuah nama daulah. Maksudnya
adalah pemimpin dan pemegang otoritas
politik “Daulah”. Julukan ini sifatnya ijtihadi,
yaitu nama pemimpin dalam Daulah ini.
Tetapi, maksudnya bukanlah pemimpin
tertinggi (imam a’dzam) yang diangkat
berdasarkan baiat umum dari kaum
kiblat
Ramadhan 1435 h
21
MUNAQOSYAH
muslimin atau oleh Ahlul Halli wal Aqdi, atau
melakukan kudeta atas suatu negeri Islam
sampai akhirnya disebut Amirul Mukminin
dalam arti pemimpin tertinggi atau khalifah.
Meskipun penamaan dan julukan seperti
itu dibolehkan sesuai konteks ijtihad tadi,
Syaikh Athiyatullah Al-Libbi melihat bahwa
memilih nama lain lebih utama dan lebih
baik. Termasuk sebutan Amirul Mukminin
bagi Mulla Muhammad Umar sebelumnya.
Menurutnya, nama Amir saja tanpa
tambahan mukminin lebih baik sebab
kesannya lebih jelas. Yakni dialah pemimpin
suatu Daulah atau Imarah, dalam makna
bukan daulah khilafah. Mengapa bukan
Amirul Mukminin?
Sebab, masih menurut Syaikh, ini bisa
menimbulkan ilusi bahwa ia adalah imam
tertinggi (khalifah). “Itu bisa membuat
kerancuan bagi saudara-saudara kita,
mungkin akan mengira bahwa itu khalifah!
Sebab julukan Amirul Mukminin ini sudah
tertanam dalam benak kaum muslimin sejak
Umar bin Khathab a bahwa julukan Amirul
Nama "Amir" saja tanpa
tambahan mukminin lebih
baik sebab kesannya lebih
jelas. Yakni dialah pemimpin
suatu Daulah atau
Imarah, dalam
makna bukan
daulah khilafah.
Syaikh Athiyatullah Al-Libbi
Mukminin ini adalah untuk imam tertinggi
dan khalifah.”
Hal itu, menurut beliau, lebih menambah
kerancuan dengan kondisinya (Abu Bakar
Al-Baghdadi)—semoga Allah menjaganya—
adalah dari suku Quraisy8 dan keturunan
Husain. Ilusinya semakin kuat!9
Syaikh Athiyatullah termasuk ulama yang
menyetujui proyek Daulah Islam Irak, dan
tampak jelas bahwa beliau juga mendoakan
kebaikan bagi Syaikh Al-Baghdadi. Namun
beliau memahami bahwa Daulah Islam Irak
adalah imarah Islam yang tidak berbeda
dengan makna tanzhim.
Baiat Al-Baghdadi kepada Al-Zawahiri
Banyak
kalangan
mempertanyakan
hubungan antara Daulah Islam Irak dan
Syam (ISIS) dan Al-Qaidah serta status baiat
antara pemimpinnya. Bukan kalangan awam,
bahkan para ulama seperti Dr Thariq Abdul
Halim, Dr Hani As-Sibai dan lainnya juga
mempertanyakannya.
Pertanyaan Dr Thariq dan Dr Habi As-Sibai
tidak berbeda, yaitu urusan baiat Syaikh
Al-Baghdadi kepada Syaikh Al-Zawahiri
merupakan baiat yang belum ada kepastian,
baik sifat maupun hakikatnya.
Padahal jawaban tersebut sangat penting.
Untuk mendudukkan perkara sebenarnya.
Sekurang-kurangnya
pertanyaanpertanyaan berikut akan terjawab.
Penolakan Al-Jaulani atas deklarasi Daulah
Islam Irak dan Syam adalah penolakan yang
salah bila alasannya hanyalah karena AlJaulani tidak diajak bermusyawarah lebih
8
9
Lihat kembali syarat-syarat imam tertinggi.
http://www.muslm.org/vb/showthread.php?516157‫اذاـمل‬-‫ةلودلا‬-‫ةيمالسإلا‬-‫اذاملو‬-‫ريمأ‬-‫نينمؤملا‬-‫امو‬-‫اـهدودح‬-%28‫خيشلا‬‫ةيطع‬-‫هللا‬-‫همحر‬-‫هللا‬
kiblat
Ramadhan 1435 h
22
MUNAQOSYAH
dahulu, seperti disebutkan dalam pidatonya.10
Al-Jaulani juga (bisa dianggap) berdosa
karena telah melepaskan baiat dari AlBaghadi dengan alasan yang tidak
dibenarkan.
Semua arahan Syaikh Aiman, termasuk
perintah membekukan ISIS tidak mengikat
sebab hubungannya hanyalah kerja sama
dan saling menasihati sesama tanzim, bukan
perintah. Demikian, dan masih banyak lagi.
Ini adalah persoalan besar. Namun, saat
banyak pihak mempertanyakan hakikat
hubungan tersebut, Abu Mu’adz Asy-Syar’i
mengomentari pertanyaan Dr Habi As-Sibai
dan menyatakan bahwa esensinya bukan
pada masalah baiat. Tetapi ada persoalan lain
yang tidak diperdebatkan lagi yang menjadi
akar masalah antara JN dan ISIS, yaitu
penyimpangan manhaj Al-Qaidah. Al-Qaidah
(dianggap) kesusupan akidah sururiyah dan
lima poin lainnya tanpa menyebutkan bukti
apa pun.11
Dr. Thariq Abdul Halim menilai Abu Mu’adz
Asy-Syar’i telah menelanjangi Dr Aiman dan
Dr Hani Sibai sebagai tokoh yang dalam
10 Rabu, 29 Jumadil Ula 1434 /10 April 2013 M, yang
diterbitkan oleh Media Al-Manarah al-Baidha’.
11 Lihat
http://alplatformmedia.com/vb/showthread.
php?t=42298
sejarah panjang telah mengabdikan diri
dalam pertarungan dengan thaghut dengan
lisan dan perbuatan. “Nama, rupa, sejarah
dan pengalaman keduanya telah dikenal,
sedangkan lainnya tidaklah kita kenal rupa,
sejarah, dan tulisannya kecuali penambahan
kata “Asy-Syar’i” yang tidak pernah kita
kenal sebelumnya kecuali setelah muncul
perkataan-perkataan mereka di justpaste.
it12 sejak pengumumam “Daulah Islam”
beberapa bulan lalu,” ungkapnya.
Dr Thariq mengapresiasi upaya para
pendukung Daulah dalam menjawab setiap
persoalan. Namun, “sangat disayangkan,
tindakan ini dinilai sebagian orang telah
menjadi ciri umum Daulah, yaitu menghantam
siapa dan apa saja yang sifatnya menyelisihi
Daulah.”
Dan itu berimbas kepada para pendukung
mereka di twitter dan facebook. Mereka
seolah-olah telah memenangkan al-haq
secara keseluruhan dan tidak terbantahkan
lagi; bebas dari kesalahan secara keseluruhan.
Merekalah yang benar dalam setiap hal yang
mengingatkan mereka.”
12
Hosting gratis tempat berbagi artikel dan tulisan.
kiblat
Ramadhan 1435 h
23
MUNAQOSYAH
Ya, permasalahan baiat
antara Syaikh Al-Zawahiri
dan Syaikh al-Baghdadi
adalah jantung dari masalah
ini. Itulah sebabnya jawaban
dari kedua pihak sangat
ditunggu-tunggu.
pengumuman ekspansi serta persoalan
baiat, maka saya telah menjelaskan
dalam tulisan saya berjudul: Kesaksian
untuk menghentikan pertumpahan
darah mujahidin di Suriah. Yaitu bahwa
Daulah Islam Irak (ISIS) adalah cabang
jamaah Al-Qaidah. Amir dan tentara
ISIS memiliki kewajiban baiat di pundak
mereka terhadap jamaah Al-Qaidah.
Sebenarnya, Dr Thariq telah memiliki
persepsi bahwa Al-Baghdadi berbaiat
kepada Al-Zawahiri. Ia memiliki kesaksian
dari orang yang dikenal sebagai orang adil
dan kesaksiannya tidak patut didustakan.
Amir mereka adalah Usamah bin
Ladin—semoga Allah mengasihinya—
kemudian saya yang lemah ini.”
Di sisi lain, berdasarkan upaya penyelesaian
masalah antara ISIS dan JN, Dr. Thariq Abdul
Halim melihat bahwa Abu Bakar Al-Baghdadi
sebenarnya menerima Syaikh Aiman menjadi
hakim bagi dirinya dan Al-Jaulani.13 Hanya
saja, ketika keputusannya tidak sesuai
dengan keinginan Daulah, Al-Baghdadi
tidak melaksanakannya. Ini menguatkan
bahwa Al-Zawahiri adalah amir Al-Baghdadi.
Karena itulah, beliau menginginkan pihak
Daulah memberikan penjelasan tegas dalam
masalah ini.14
Pertanyaan-pertanyaan
para
ulama
tersebut akhirnya dijawab oleh Syaikh Aiman.
Surat Syaikh Aiman menjawab pertanyaanpertanyaan Dr. Thariq Abdul Halim, Dr. Hani
As-Siba’i, Dr. Iyadh Qunaibi, Dr. Abdullah
Al-Muhaisini, Syaikh Muhammad Al-Hashmi
dan Dr. Sami Al-Uraidi.15
"Adapun pertanyaan kalian tentang
jamaah Daulah Islamiyah di Irak dan
Syam (ISIS), sebelum dan sesudah
13 Lihat
http://www.tariqabdelhaleem.net/new/
Artical-72557
14 Ibid.
15 h t t p : / / w w w . a l m a q r e z e . n e t / a r / n e w s .
php?readmore=2445
Salah satu buktinya ialah surat Syaikh AlBaghdadi kepada Syaikh Aiman pada 7 Dzul
Hijjah 1433. Di dalamnya, Syaikh Al-Baghdadi
mengatakan:
“Syaikh kami yang diberkati, kami
ingin menjelaskan dan mengumumkan
kepadamu bahwa kami adalah bagian
darimu. Kami adalah dari dan untukmu.
Kami berhutang kepada Allah bahwa
engkau adalah pemegang otoritas
urusan kami. Engkau memiliki hak
ketaatan (sam’u wa tha’ah) selama
kami hidup. Dan bahwa nasihat dan
peringatanmu untuk kami adalah hak
kami untuk menerimanya darimu.
Perintahmu mengikat bagi kami.
Akan tetapi, beberapa masalah
adakalanya memerlukan beberapa
penjelasan
untuk
menangani
kenyataan yang terjadi di lapangan
kami. Kami berharap engkau lapang
dada untuk mendengar sudut pandang
kami. Setelah itu, engkau berhak
mengeluarkan perintah karena kami ini
hanyalah anak-anak panah di busurmu.”
Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi
bersaksi kepada Allah atas kebenaran
semua pernyataan Syaikh Aiman Al-Zawahiri
kiblat
Ramadhan 1435 h
24
MUNAQOSYAH
tentang hubungan ISIS dan Al-Qaidah16 dan
ini juga diakui oleh Juru Bicara ISIS Syaikh
Al-Adnani dalam pidatonya yang berjudul
“Maaf wahai Amir Al-Qaidah”:
“Sesungguhnya semua kesaksianmu
yang engkau sebutkan itu adalah
benar”.17
Di antara kesaksian Syaikh Aiman saat ISIS
masih di Irak ialah:
“Syaikh Abu Hamzah t mengirimkan
surat kepada kepemimpinan pusat (AlQaidah) yang isinya membenarkan
pembentukan Daulah. Ia menegaskan
di dalamnya bahwa loyalitas Daulah
adalah kepada jamaah Al-Qaidah dan
bahwa saudara-saudara di Dewan
Syuro telah mengambil janji kepada
Syaikh Asy-Syahid—seperti yang kami
harapkan—Abu Umar Al-Baghdadi
bahwa amirnya adalah Syaikh Usamah
bin Ladin t. Dan bahwa Daulah
berada di bawah jamaah Al-Qaidah.
Akan tetapi, Dewan Syuro memandang
saudara-saudara harus diberitahu itu,
namun tidak diberitahukan secara
luas dengan beberapa pertimbangan
politik, yang mereka lihat di Irak saat
itu.”
“Delegasi Dewan Syuro Daulah Islam Irak
menanggapinya pada awal Dzul Qa’dah
1431, sebagai berikut: '... Seluruh ikhwah
di sini, yang dipimpin oleh Syaikh Abu
Bakar, semoga Allah melindunginya
dan Dewan Syura sepakat bahwa tidak
ada keberatan bila imarah (daulah) ini
bersifat sementara. Dan kalian boleh
mengirimkan seseorang kepada kami
bila kalian melihat keputusan sebagai
bagian dari perwujudan maslahat
16 http://www.tawhed.ws/r?i=26051401
17 Lihat
transkripnya
di
http://www.dawaalhaq.
com/?p=12828
Transkrip penjelasan Al-Zawahiri tentang hubungan
Al-Qaidah dan ISIS. Terjemahnya dapat dilihat di :
http://www.kiblat.net/2014/05/03/inilah-penegasanal-qaidah-untuk-jn-dan-isis/
untuk menyerahkan imarah ini. Kami
tidak keberatan dan kami semua di
sini adalah prajuritnya (Syaikh Usamah)
yang di pundak mereka ada beban
mendengar dan taat. Kewajiban ini
adalah hasil kesepakatan dari Majelis
Syuro dan Syaikh Abu Bakar AlBaghdadi, semoga Allah melindungi
mereka.”18
Hal yang sama juga dilakukan saat
kepemimpinan Al-Qaidah dipercayakan
kepada
Syaikh
Aiman,
sepeninggal
Syaikh Usamah bin Ladin. Syaikh AlBaghdadi meminta kepastian apakah
18
http://www.tawhed.ws/r?i=26051401
kiblat
Ramadhan 1435 h
25
MUNAQOSYAH
harus memperbarui baiat secara terangterangan atau cukup secara rahasia seperti
sebelumnya. Disebutkan juga dalam surat Dr
Aiman, menukil dari surat yang dikirimkan
kepada beliau dari Daulah:
“… dan ia (Syaikh Al-Baghdadi)
menanyakan posisinya dari sudut
pandang kalian (organisasi Al-Qaidah),
ketika ada pengumuman amir baru
di organisasi (Al-Qaidah). Apakah
Daulah harus memperbarui baiatnya
secara terang-terangan atau secara
rahasia saja, seperti yang dilakukan
sebelumnya. Ini penting sebab saudarasaudara di sini adalah anak panah di
busurmu.”19
Semua proses tersebut dilakukan secara
rahasia antara dua pihak. Maka wajar bila
sekelas tokoh senior dalam dunia jihad pun
tidak mengetahui hubungan sebenarnya
antara Al-Baghdadi dan Al-Zawahiri.
Dengan demikian semua pertanyaan
seputar status ISIS dan hubungannya dengan
Al-Qaidah terjawablah sudah.
Daulah adalah bagian dari Al-Qaidah.
Sejak awal berdirinya adalah bagian dari
Al-Qaidah pusat. Pembubaran tanzim AlQaidah fi Bilad Rafidhain oleh Syaikh AIman
Al-Zawahiri dan diumumkan bergabung
dengan Daulah adalah langkah yang
benar. Ini bukan berarti tidak adanya baiat
kepada Al-Qaidah pusat. Sebab sifatnya
diintegrasikan, bukan independen.
Pernyataan-pernyataan Syaikh Al-Zawahiri
dan Syaikh Usamah dalam memuji Daulah
adalah wujud apresiasi kepemimpinan pusat
kepada organisasi cabang. Azh-Zhawahiri
pernah menyatakan:
19
http://www.tawhed.ws/r?i=26051401
“... Dan pada hari ini (2007) Daulah
Islam Irak telah didirikan di Irak. Para
mujahidin merayakan (berdirinya) di
jalan-jalan Irak, masyarakat juga ikut
berdemonstrasi untuk mendukungnya
di kota-kota dan desa-desa Irak,
dukungannya diumumkan, dan baiat
terhadapnya (Daulah Islam Irak)
dilakukan di masjid-masjid Baghdad.”20
Maka tidak salah bila Syaikh Aiman pernah
menyatakan:
“Saya ingin menjelaskan bahwa pada
hari ini tidak ada kelompok yang
bernama Al-Qaidah di Irak. Sebagai
gantinya Al-Qaidah yang berada di
Irak menyatukan diri dengan Daulah
Islamiyah
Irak—
semoga
Allah
menjaganya – bersama jama’ahjama’ah jihad lainnya. Daulah Islam Iraq
adalah Imarah Syar’iyah yang berdiri
di atas manhaj syar’i yang benar dan
didirikan melalui Syura (musyawarah)
dan
membai’at
sebagian
besar
Mujahidin dan suku-suku di Irak.”
Adalah sikap yang tepat sebagai pemimpin
untuk menengahi dan mendudukkan
masalahnya ketika bagian dari organisasinya
mendapatkan tuduhan. Daulah Islam Irak
dituduh menjadi penyebab berbagai perang
saudara dan dituding telah membunuh
orang-orang sipil dan menumpahkan darah.
Syaikh Aiman pada saat itu menjawab:
“Ini merupakan suatu tuduhan,
dan tuduhan memerlukan bukti.
Sebagaimana halnya Daulah Islamiyah
Irak
mengumumkan
kesiapannya
untuk menanggapi setiap keluhan….
20 Simak
pesan
Aiman
Azh-Zhawahiri, Nashiihah
Musyaffaq, yang dirilis pada Juni 2007. http://archive.
org/download/The-Advice-of-One-Concerned3b/
The-Advice-of-One-Concerned3b_512kb.mp4
kiblat
Ramadhan 1435 h
26
MUNAQOSYAH
Saya tidak memiliki kewenangan
untuk berlepas diri maupun membela
berbagai bentuk urusan sebelum
saya mendengar dari dua sisi urusan
tersebut.”21
Prospek Daulah Islam Akhir Zaman
Bagaimanapun Daulah Islam Irak awalnya
adalah tanzim yang disetujui dan dipuji oleh
para ulama jihad dan proyek Daulah Islam
yang digadang-gadang menjadi cikal-bakal
khilafah ala manhaj nubuwwah. Ini adalah
harapan para pemimpin pergerakan jihad,
terlebih lagi para pemimpin Daulah.
Syaikh
Al-Adnani
misalnya
dalam
pernyataan berjudul “La yadzurrukum illa
adza” mengatakan, ‘Proyek kami adalah
proyek umat. Tujuannya adalah menegakkan
daulah Islam ala manhaj nubuwwah, yang
tidak mengenal batas (teritorial), tidak
membedakan Arab dan non-Arab, tidak
pula timur dan barat, kecuali ketakwaan dan
loyalitasnya yang tulus kepada Allah.”22
Dalam dalam salah satu pesannya, AzhZhawahiri berkata, “... Dan pada hari ini
(2007) Daulah Islam Irak telah didirikan di
Irak. Para mujahidin merayakan (berdirinya)
di jalan-jalan Irak, masyarakat juga ikut
berdemonstrasi untuk mendukungnya di
kota-kota dan desa-desa Irak, dukungannya
diumumkan, dan baiat terhadapnya (Daulah
Islam Irak) dilakukan di masjid-masjid
Baghdad.”23
21 http://www.arrahmah.com/read/2008/01/15/1503wawancara-eksklusif-syaikh-aiman-az-zawahirimengenai-dunia-islam-bag-1.html
22 h t t p : / / a l p l a t f o r m m e d i a . c o m / v b / s h o w t h r e a d .
php?t=26620
23 Simak
pesan
Aiman
Azh-Zhawahiri, Nashiihah
Musyaffaq, yang dirilis pada Juni 2007. http://archive.
org/download/The-Advice-of-One-Concerned3b/
The-Advice-of-One-Concerned3b_512kb.mp4 Pernyataan Aiman Azh-Zhawahiri menarik
untuk dicermati: “Sungguh, Al-Qaidah ingin
agar umat Islam memiliki seorang khalifah
yang mereka pilih sendiri dengan kerelaan,
keputusan bulat, atau dengan kesepakatan
mayoritas mereka.
Dan
seandainya
umat
Islam
memungkinkan untuk menjalankan hukum
Allah di manapun wilayah tersebut sebelum
tegaknya khilafah, maka orang yang diridai
(direstui) oleh umat Islam di wilayah tersebut
sebagai imam (pemimpin) yang memenuhi
syarat-syarat syar’i dan akan memimpin
umat dengan Al-Quran dan As-Sunnah,
maka kami merupakan orang pertama
yang akan merestuinya. Karena kami bukan
menginginkan kekuasaan, namun hanya
menginginkan (tegaknya) hukum Islam.”24
Apakah daulah atau imarah kecil tidak
bisa menjadi Daulah Islam? Apakah baiat
amal atau baiat jihad dalam taraf tertentu
tidak bisa menjadi baiat kubra?
Tentu bisa. Sebab sebuah daulah, bila
berkaca kepada perjuangan Nabi n
menegakkan Daulah di Madinah, merupakan
proses yang tidak lepas dari kekurangan
dan kesabaran. Ya, meskipun kondisi Daulah
Islam, menurut beberapa analisis, tidak layak
dianalogikan dengan Madinah.
Sebagian karya dan tulisan ulama yang
menguatkan baiat Syaikh Al-Baghdadi telah
kami baca dan teliti dan telah dibantah pula
oleh banyak pihak. Ada yang kuat di satu
bagian namun ada juga kelemahan di bagian
lain. Namun satu hal yang harus menjadi
catatan adalah pengakuan terhadap ISIS dan
baiat Syaikh Al-Baghdadi. Ya, pengakuan
kaum muslimin.
24 Simak pesan audio Aiman Azh-Zhawahiri, Al-Iman
Yashra’u
Al-Istikbar. http://www.youtube.com/
watch?v=aIa7Mx43D5g
kiblat
Ramadhan 1435 h
27
MUNAQOSYAH
Misalnya baiat kepada imam yang tidak
dikenal (majhul), bantahannya kemungkinan
lebih kuat, namun yang dibantah juga tidak
bisa ditolak secara total. Majhul bagi sebagian
orang, belum tentu majhul bagi sebagian
lain. Demikian pula persoalan lainnya.
pertumpahan darah di antara umat Islam.”
Maka Ali menyetujuinya. Keduanya rela
dengan kesepakatan tersebut. Muawiyah
tinggal di Syam dengan pasukannya dan
demikian pula Ali di Irak.
Tetapi, perdebatan itu tidak
berlaku untuk pengakuan.
Sebuah daulah maupun
baiat tidak akan berlaku
tanpa pengakuan kaum
muslimin.
Manhaj Nabi dalam Menegakkan Daulah
Apakah pengakuan tersebut harus datang
dari seluruh manusia?
Tentu saja tidak, tetapi umat Islam secara
umum atau sebuah proses yang dengan itu
kepemimpinan dan kekuasaan bisa berjalan.
Ibnu Khaldun di Mukadimah mengatakan,
“Yaitu baiat dari Ahlul Halli wal Aqdi yang
dengan mereka tercapailah kekuatan dan
pembelaan.”
Imam Al-Ghazali berkata, “Seandainya
yang membaiat Abu Bakar a hanya
Umar a, sementara umat Islam secara
keseluruhan tidak mau melakukannya,
atau mereka terpecah belah dan tidak bisa
dibedakan mana kelompok mayoritas dan
mana kelompok minoritas, niscaya tidak ada
pengukuhan imamah.”25
Ketika kubu Muawiyah dan Ali tidak mau
memberikan kesepakatan untuk menaati
salah satu pihak, maka Muawiyah—sesuai
riwayat Ziyad bin Abdullah dari Abu
Ishaq—menulis surat kepada Ali, “Bila
engkau bersedia, ambillah Irak, dan Syam
untuk saya. Dengan demikian, berhentilah
ancaman pedang terhadap umat ini dan
25
Fathaih Al-Bathiniyah, 176-177.
Intinya adalah membangun kepercayaan.
Manhaj Nabi n dalam membentuk
kedaulatan Madinah telah mewariskan
strategi yang sangat baik. Langkah awal
setelah menyatukan barisan internal dengan
membangun masjid dan mempersaudarakan
antara muhajirin dan Anshar ialah menjalin
perjanjian dengan Yahudi dan suku-suku di
sekitarnya untuk menciptakan keamanan di
Madinah.
Allah bahkan memberikan kelonggaran
yang jelas bagi pembela kebenaran, “Dan
bila mereka cenderung kepada perdamaian,
maka cenderunglah kepada perdamaian itu.
Dan bertawakallah kepada Allah.” (QS. Al
Anfal: 61)
Nabi n mengirimkan surat kepada orangorang kafir, mengajak mereka untuk bertobat
dan masuk Islam. Nabi juga menerima hadiah
dari mereka, dan juga meminta bantuan.
Maka tidaklah salah ketika Syaikh Abu
Muhammad Al-Maqdisi berpesan untuk
amal jihad di Suriah:
"Kami ingatkan mereka akan urgensi
memperhatikan siyasah syar’iyyah yang
ditempuh Nabi n, khususnya pada awal-awal
berdirinya negara dan sebelum terbentuknya
kekuatan kaum muslimin di Madinah. Beliau
memelihara persekutuan-persekutuan yang
diadakan. Beliau mengadakan perjanjianperjanjian bahkan dengan orang-orang
Yahudi. Beliau tidak membatalkannya sampai
negara Islam menguat dan mereka sendiri
yang melanggar.
kiblat
Ramadhan 1435 h
28
MUNAQOSYAH
mereka. Para shahabat masih memandang
para pembesar mereka, serta berkonsultasi
kepada para pemikir mereka dalam
menghadapi suatu peristiwa. Sirah Nabawi
memuat hal itu dan mencantumkannya.
Demikian juga, beliau tidak bersegera
mengadakan bentrok dengan orangorang munafik padahal beliau mengalami
gangguan dari mereka. Beliau membiarkan
mereka dan menunda sampai terbentuknya
kekuatan kaum Muslimin. Beliau bersikap
memaafkan dan berpaling dari jenis munafik
yang lain agar orang-orang tidak berbincangbincang (menyebar isu) bahwa Muhammad
membunuh para shahabatnya sendiri.
Kami juga mengingatkan mereka akan
langkah Nabi n yang menempuh sunnahsunnah dan sebab-sebab kauni. Kondisi
tidak berdaya, sedikitnya persenjataan, dan
lemahnya kekuatan kaum muslimin menjadi
pertimbangan bagi beliau. Padahal beliau
adalah tokoh orang-orang yang bertawakal,
penyabar dan orang-orang yang yakin.
Beliau juga memperhatikan kondisi
para shahabat, yang notabene baru saja
meninggalkan masa jahiliah dan Islam belum
mengakar di hati banyak dari mereka. Itulah
sebagian pertimbangan-pertimbangan yang
diperhatikan Rasulullah n.
Sebab, meski mayoritas mereka melebur
pada kategori Muhajirin dan Anshar, namun
beliau tidak lupa bahwa hati para shahabat
itu masih mengunggulkan tokoh-tokoh
Karena itu, siapa saja yang ingin membakar
fase-fase ini dan tergesa-gesa dengan cara
mengabaikan pertimbangan-pertimbangan
ini serta melompatinya, maka berarti ia
tergesa-gesa sebelum waktunya. Ia tidak
memperhatikan siyasah nabawiyyah. Ia akan
menuai akibat berupa bercabangnya area
pertempuran dan terbukanya banyak front
di satu waktu. Hal ini bukanlah termasuk
siasat Nabi n.
Karena itu, dalam jihad di Suriah, kami
ingin agar orang yang muncul pada jajaran
pimpinannya dan tampak pada tokohtokohnya adalah saudara-saudara kami ahli
Tauhid yang notabene adalah penduduk
negeri itu. Kami melihat ada kemaslahatan
dalam pengambilan kebijakan tersebut. Ini
pula yang kami nasihatkan kepada saudarasaudara kami mujahidin di berbagai medan
tempur. Kami tidak suka jika hal tersebut
diabaikan dengan alasan bahwa ini mengikat
jihad
dengan
pembagian-pembagian
jahiliah Sykes Picot. Sebab, kami tidak
mengikatnya dengan itu sama sekali, tapi
kami mengikatnya dengan kitab Allah yang
memperhatikan hal itu dalam pengutusan
para nabi. Sehingga, memperhatikan hal itu
pada selain mereka lebih utama. Demikian
juga kami mengikatnya dengan siyasah
nabawiyyah yang memperhatikan hal itu
pula dan tidak mengabaikannya di banyak
pertempuran.”26
(Agus Abdullah)
26
http://www.tawhed.ws/r?i=17111301
kiblat
Ramadhan 1435 h
29
MUNAQOSYAH
J
EDA
kiblat
Ramadhan 1434
1435 h
30
MUNAQOSYAH
SUKSESI
MENURUT ISLAM
“Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para
khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. (HR. Abu Dawud
dan Tirmidzi)
S
etelah Rasulullah n wafat, kaum Muhajirin dan Anshar terlibat dalam
perdebatan di Saqifah Bani Saidah yang nyaris mengarah pada
konflik. Ketegangan terjadi terkait dengan siapa yang layak menjadi
pemimpin pengganti Rasulullah n. Setiap pihak mengajukan
argumentasinya tentang siapa yang berhak sebagai khalifah.
Kaum Anshar menuntut bahwa mereka adalah orang yang memberi
tempat kepada Nabi n pada saat kritis. Oleh karena itu seorang penerus
Nabi harus dipilih di antara mereka. Sedangkan kaum Muhajirin merasa lebih
berhak mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sebab merekalah yang
menyertai Rasulullah sejak awal.
Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas
menyampaikan pendirian kaum Muhajirin, yaitu agar menetapkan pemimpin
dari kalangan Quraisy. Akan tetapi hal tersebut mendapat perlawanan keras
dari al-Hubab bin Munzir (kaum Anshar).
Setelah suasana ketegangan sedikit mereda, Abu Bakar berkata, “Marilah
kita semua bermusyawarah dan kita pilih bersama siapa yang pantas menjadi
pemimpin kita semua. Saya ingatkan pilihlah mereka yang tidak meminta
kiblat
Ramadhan 1435 h
31
MUNAQOSYAH
kekuasaan, seperti yang Rasulullah telah
menyatakan kepada Abbas, pamannya,
saat ia meminta untuk menjadi gubernur,
Rasulullah menjawab, ‘Sesungguhnya kamu
tidak memberikan kekuasaan ini kepada
orang yang memintanya’.”
Abu Bakar melanjutkan, “Sesungguhnya
orang yang pantas menjadi Khalifah hanya
satu, di antara dua orang, yaitu Umar bin
Khattab dan Ubaidah bin Jarrah.”
Mendengar usulan Abu Bakar tersebut
Abu Ubaidah bin Jarrah sepontan kaget
seperti tersambar petir pada siang bolong.
Begitu juga Umar bin Khattab, mereka malu
berhadapan dengan orang besar seperti Abu
Bakar. Umar bin Khattab berteriak, “Demi
Allah..., lebih baik aku maju dan dipukul
leherku tanpa dosa, daripada aku diminta
memimpin kaum sementara masih ada Abu
Bakar di dalamnya.”
lainnya menyatakan persetujuannya atas
pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah.
Seluruh yang hadir dalam pertemuan
tersebut kemudian ikut membaiat Abu Bakar.
Mereka kemudian ramai-ramai mengarak
Abu Bakar menuju Masjid Nabawi. Di Masjid
Nabawi sekali lagi Abu Bakar dibaiat di
depan khalayak umum. Dengan demikian
Abu Bakar dinyatakan sah sebagai khalifah
pengganti Rasulullah n.
Itulah suksesi kepemimpinan Islam
sepeniggal
Rasulullah
n.
Proses
pengangkatan Abu Bakar ra sebagai khalifah
pertama menunjukkan betapa seriusnya
masalah suksesi kepemimpinan dalam
masyarakat Islam dan sekaligus menjadi
salah satu mekanisme pemilihan pemimpin
yang jelas dalam Islam.
Dari proses pengangkatan Abu Bakar
dan tiga khalifah berikutnya—yang akan
dijelaskan selanjutnya insya Allah—tersebut,
kemudian para ulama menetapkan bahwa
mekanisme pengangkatan khalifah terdiri
atas dua cara1:
Abu Ubaidah bin Jarah pun maju ke
depan Abu Bakar, sambil berkata, “Mana
mungkin saya dikatakan pantas! Demi Allah,
kami yakin hanya engkaulah wahai Abu
Bakar yang pantas memimpin umat Islam
pengganti Rasulullah! Engkaulah orang
yang kami anggap paling mulia di kalangan
Muhajirin dan Tsaniu-Itsnain. Engkaulah
yang menemani Rasulullah saat Hijrah, dan
engkaulah yang pernah menggantikan
Rasulullah dalam imam salat ketika Rasulullah
sakit. Padahal salat merupakan hal utama
sebagai tiang atau landasan tegaknya agama.
Lantas siapa yang mampu membelakangimu
dan siapa yang paling layak darimu? Ulurkan
tanganmu dan kami akan mengangkat bai’at
terhadapmu.”
1.
Kemudian Abu Ubaidah dan Basyir bin
Saad, menjabat tangan Abu Bakar dan
mengucapkan bai’at diikuti Umar bin Khattab
serta tokoh-tokoh kaum Anshar yang
Yakni, Ahlu Halli wa ‘Aqdi memilih
seorang imam yang pada dirinya memenuhi
persyaratan yang harus dimiliki seorang
imam.
1
Pemilihan (ikhtiyar)
Abu Umar Asy-Syaif, Siyasah Syar’iah, (Beirut: Dar AlMa’alim Li Toba’ah, 2007), 192
kiblat
Ramadhan 1435 h
32
MUNAQOSYAH
wa ‘Aqdi.2
2.
Penunjukan (istikhlaf)
Imam sebelumnya menunjuk seseorang
yang memenuhi persyaratan seorang
imam untuk menjadi penggantinya, tetapi
tetap melewati proses syura dengan Ahlu
Halli wa ‘Aqdi, dan jika terjadi perselisihan
dalam penunjukan imam pengganti, maka
perselisihan ini diserahkan dan diselesaikan
dengan syariat Allah, sesuai dengan firmanNya
ِ ‫َف إ�ِن َت َنٰ َز ْع ُت ْم ِفى شَ ْى ٍء َف ُر ُّدو ُه �إِلَى ٱللَّ ِه َوٱل َّر ُس‬
‫ول‬
َ‫�إِن كُن ُت ْم تُؤ ِْم ُنو َن بِٱللَّ ِه َوٱلْ َي ْو ِم ٱل َْء ِاخ ِر َ ٰذلِك‬
‫َخ ْي ٌر َو�َأ ْح َس ُن َت�أْوِيلًا‬
“Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (An-Nisa’ : 59)
Qadhi Abu Ya’la menambahkan, “Imamah
itu ditetapkan dengan dua cara, pertama,
dengan dipilih oleh Ahlu Halli wa ‘Aqdi. Kedua,
dengan dipilih dan diangkat oleh imam
sebelumnya, tetapi dalam pengangkatannya
tetap melalui musyawarah dengan Ahlu Halli
Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji
dalam Al-Imamah al-‘Uzhma ‘Inda Ahl AsSunnah wa al-Jama’ah menambahkan, yaitu
kesimpulan yang bisa diambil dari proses
istikhlaf yang dilakukan oleh Abu Bakar
yang menunjuk penggantinya Umar adalah
selain harus dengan persetujuan Ahlu Halli
wa ‘Aqdi juga harus dengan kerelaan yang
ditunjuk sebagai pengganti.3
3.
Imamah Mutaghallibah
Cara ini bukanlah suksesi kepemimpinan
Islam yang didasarkan kepada nash ataupun
atsar yang qath’i. Mekanisme kepemimpinan
seperti ini akan diulas di halaman 50, insya
Allah.
Mekanisme Ikhtiar
Pemilihan dengan cara ikhtiar terwujud
dalam pengangkatan Abu Bakar4 seperti
dikisahkan di awal tulisan ini, Utsman bin
Affan5 dan Ali Bin Abi Thalib.6
Pengangkatan Utsman bin Affan juga
melalui proses ikhtiar. Amirul Mukminin
Umar bin Khattab pada saat itu menunjuk
6 shahabat yang terpercaya. Khalifah Umar
yakin bahwa integritas dan kapabilitas
keenam shahabat ini tidak diragukan lagi.
Sehingga umat Islam pada saat itu tidak akan
ragu mewakilkan hak suara mereka kepada
2
3
4
5
6
Al-Qadiy Abu Ya’la, Ahkamu Sulthaniyah, (Beirut: Dar
Kutub Al-‘Alamiyah, 2000), 23
Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji, Al-Imamah
al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah,
(Riyadh:Dar Thoyyibah, 1403 H), 151
Ibid, 148
Ibid, 153
Syaikh Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali bin Abi
Thalib, Jakarta:Yayasan Ash-Shilah, 395
kiblat
Ramadhan 1435 h
33
MUNAQOSYAH
keenam shahabat yang shalih ini, yaitu
Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Sa’ad
bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah,
Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin
Awwam. Inilah enam shahabat dari sepuluh
shahabat yang dijamin masuk jannah.
Setelah melalui proses musyawarah—yang
akan kami sebutkan nanti insya Allah—maka
terpilihlah khalifah Utsman bin Affan sebagai
pengganti dari Khalifah Umar bin Khattab
melalui proses ikhtiyar para Ahlu Halli wa
‘Aqdi yang telah diridhai umat Islam pada
saat itu.7
Pengangkatan shahabat Ali bin Abi Thalib
juga menggunakan cara ikhtiar. Setelah
Utsman terbunuh pada malam Jum’at 18
Dzulhijjah tahun 35 H, kaum muslimin
mendatangi Ali a Beberapa orang
shahabat mengetuk-ngetuk pintunya dan
berkata, “Sesungguhnya Amirul Mukminin
telah terbunuh, sedang kaum muslimin
harus memiliki seorang khalifah. Kami tidak
melihat seseorang yang lebih layak dengan
kekhalifahan selain anda.”
Kemudian Ali berkata kepada mereka,
“Janganlah kalian memilih aku, cukuplah
aku sebagai menteri pembantunya. Karena
itu pilihlah untuk diriku seorang Amir
bagi kalian.” Akan tetapi,mereka tetap
berkata,”Demi Allah, tidak, kami tidak
melihat seseorang yang lebih layak selain
Anda.” Lalu Ali berkata, “Jika kalian tetap
menolak, maka baiklah, namun syaratnya
acara pembai’atanku ini tidak dilakukan
secara rahasia melainkan aku akan keluar
menuju masjid dan di sanalah nanti kalian
membaia’atku.” Kemudian ia keluar menuju
masjid, setelah itu seluruh kaum muslimin
berduyun-duyun membai’atnya.”8
7
8
Fathul Bary, 7/67
Abu Bakar AL-Khallal, Kitab Sunnah, 415
Sebagian orang menyanggah ijma’ atas
kekhalifahan Ali berdasarkan beberapa
alasan sebagai berikut:
Adanya sekelompok shahabat yang
tidak mau membai’at Ali seperti Sa’ad bin
Abi Waqash, Muhammad bin Maslamah,
Ibnu Umar, Usamah bin Zaid, Shuhaib,
Zaid bin Tsabit dan Salamah bin Salaamah
bin Waqsy. Klaim ini tidak benar, karena
tidak ada seorang pun dari sahabat yang
tidak mau membaiat Ali. Adapun dalam hal
membantu dan mendukungnya, memang
ada beberapa orang dari mereka yang
enggan melakukannya, karena masalah ini
adalah masalah ijtihadiyah. Maka masingmasing berhak berijtihad dan memberikan
pandangannya. Semuanya benar sesuai
denga porsi dan batasannya.9
Penduduk Syam, yaitu Muawiyah dan
orang-orang yang bersamanya tidak
mau membaiat Ali, bahkan mengadakan
perlawanan terhadapnya.10 Klaim ini salah
karena Muawiyah tidak memerangi atas
kekhalifahan Ali dan tidak pula karena
mengingkari keimamahannya. Muawiyah
hanya menuntut Ali menegakkan hukum had
syar’i atas orang-orang yang berkomplot
dalam pembunuhan Utsman. Muawiyah
dalam hal ini merasa benar dengan ijtihadnya,
meskipun pada dasarnya salah. Maka dari
ijtihadnya, ia mendapat satu pahala.11
Beberapa riwayat yang menyatakan bahwa
Thalhah dan Zubair dipaksa untuk melakukan
baiat adalah batil dan rusak.12 Karena di sisi
lain terdapat beberapa riwayat shahih yang
menetapkan bai’at mereka kepada Ali secara
sukarela tanpa paksaan apapun.
9 Al-BAqilani, At-Tamhid, 233-234.
10 Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah fi Ash-Shahabah, vol.
2, 695
11 Ibid, vol, 2, 696
12 Isytishad Usman, 141
kiblat
Ramadhan 1435 h
34
MUNAQOSYAH
Sebagaimana riwayat shahih yang
dituturkan oleh Ibnu Hajar dari jalur AlAhnaf bin Qais. Diriwayatkan bahwa
Aisyah, Thalhah dan Zubair menyuruh AlAhnaf agar membai’at Ali setelah mereka
bermusyawarah menentukan siapakah yang
layak dibaiat sepeninggal Utsman bin Affan.13
itu. Namun, Abu Bakar ingin mengambil
pendapat umum. Ia bermusyawarah dengan
para sahabat yang terpandang. Imam AthThabari menulis bahwa Abu Bakar naik ke
atas balkon rumahnya dan berbicara kepada
orang banyak yang berkerumunan di bawah,
”Apakah kalian akan menerima orang yang
saya calonkan sebagai pengganti saya?”
“Saya bersumpah bahwa saya melakukan
yang terbaik dalam menentukan hal ini, dan
saya telah memilih Umar bin Khathab sebagi
pengganti saya. Dengarkanlah saya, dan
ikutilah keinginan-keinginan saya.” Mereka
semua berkata serempak, “Kami telah
mendengar Anda dan Kami akan menaati
Anda.”
Mekanisme Istikhlaf
Pemilihan
secara
istikhlaf
adalah
14
pengangkatan Umar bin Khattab. Abu Bakar
jatuh sakit di musim panas tahun 634 M, dan
selama 15 hari dia berbaring ditempat tidur.
Khalifah ingin sekali menyelesaikan masalah
peggantian dan mencalonkan seorang
pemimpin. Ia tidak ingin rakyatnya masuk
ke dalam perang saudara karena tidak ada
pemimpin.
Berdasarkan penilain pribadinya, Abu Bakar
yakin bahwa tidak ada seorang pun kecuali
Umar bin khatthab yang dapat mengambil
tanggung jawab kekhalifahan yang berat
13 Fathul Bari, vol 13, 38, Istisyhad Usman, 141. AlMushannaf Ibnu Abi Syaibah, vol 11, 118. Seluruh
rawinya adalah rawi hadits shahih kecuali Umar bin
Jawan, ia hanyalah orang yang diterima hadistnya,
dan telah dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul
Bariy,vol. 34, 13-57
14 Ibnul Jauziy, Shirah Umar bin Khattab, (Dar Ibnu
Khaldun, 1996), 44
Ahlul Halli wal Aqdi
Semua cara pengangkatan imam tadi,
baik ikhtiar maupun istikhlaf, tidak lepas
dari proses musyawarah dan persetujuan
para sahabat senior, yang kemudian dalam
konsep Islam dikenal dengan istilah Ahlu
Halli wa ‘Aqdi. Kedudukan Ahlu Halli wal
Aqdi ini sangat penting, apalagi bagi umat
Islam zaman ini. Sebab, keputusan mereka
bisa diterima umat dan mengikat mereka.
Pemimpin atau khalifah bisa diterima dan
kiblat
Ramadhan 1435 h
35
MUNAQOSYAH
tidak ada penentangan.
Mengapa mereka yang tidak secara tegas
diangkat oleh rakyat menjadi wakil, tetapi
peran mereka benar-benar mewakili umat?
Siapakah sebenarnya Ahlu Halli wa ‘Aqdi ini
dan bagaimana proses terbentuknya?
Ahlu Halli wa ‘Aqdi adalah sekelompok
manusia yang memiliki kapasitas ilmu dien
yang memadai, budi pekerti atau akhlak
serta mempunyai ilmu dan diakui oleh umat.
Terkadang disebut sebagai ahlu ikhtiar, ahlu
syura, dan ahlu ra’yi wa tadbir. Sebagian
ulama ada yang mendefinisikan mereka
adalah ulama dan para pemimpin yang
terkemuka di antara manusia yang mudah
untuk berkumpul bersama.15
Dr. Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa
Ahlu Halli wa ‘Aqdi adalah ulama mujtahid,
tokoh-tokoh terkemuka yang keberadaannya
berfungsi mewakili umat dalam memilih
imam.16
15 Syihabuddin Ar-Romly,Nihayatul Muhtaj ila Syarhi
Manhaj,(Beirut:Dar Kutub Al-Alamiyah,2003) vol. 7,
390
16 Prof DR.Wahbah Az-Zuhaily, Fiqih Islam wa Adillatuhu,
(Beirut:Darul Fikr, 2007-1428 H), vol 6, 685-686
Imam Al-Mawardi dalam Ahkamu
Sulthaniyah17 menyebutkan beberapa syarat
Ahlu Halli wa ‘Aqdi , yaitu:
1. Adil yaitu menjaga muru’ah dan
mengerjakan semua perintah Allah dan
menjauhi semua larangan-Nya.
2. Mengetahui tata cara pengangkatan
imam yang sesuai dengan syarat-syarat
yang telah ditentukan.
3. Tegas dan bijaksana dalam memilih
imam yang lebih baik dan cerdas dalam
menentukan program untuk mencapai
masa depan yang lebih baik.
Para fuqaha mengisyaratkan bahwa
Ahlul Halli wal ‘Aqdi tidak harus berasal dari
penduduk yang senegeri dengan sang imam,
yaitu penduduk ibu kota. Karena tempat
tinggal bukanlah alat ukur.18
Proses terbentuknya Ahlul Halli wal
Aqdi, seperti disebutkan oleh Ad-Dumaiji,19
mereka dipilih oleh imam sebelum lengser.
Contohnya pada masa pemerintahan Umar
bin Khattab saat pembentukan Ahlu Syura
untuk mengangkat pengganti khalifah.
Muhammad Syakir Syarif menambahkan20
syarat lain bagi Ahlu Halli wa ‘Aqdi menyangkut
bagaimana proses pengangkatannya adalah
bergantung pada keridhaan masyarakat
pada mereka.21
Tugas dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi antara
lain memilih khalifah, imam, kepala negara
17 Al-Mawardi, Ahkamu Sultoniyah, (Kuwait:Dar Ibnu
Qutaibah, 1989), 8
18 Al-Qodiy Abu Ya’la, Ahkamu Sultoniyah, (Beirut:Dar
Kutub Al-‘Alamiyah, 2000), 4.
19 Abdullah bin Umar Sulaiman Ad-Dumaiji, Al-Imamah
al-‘Uzhma ‘Inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah,
(Riyadh:Dar Thoyyibah, 1403 H), 162
20 Muhammad Syakir Syarif, Muqoddimah fi Fiqh Nidzom
Siyasi Al-Islamiy, 14
21 Seperti yang terjadi pada saat pembaiatan Abu Bakr
dimana Umar telah dipercaya umat untuk mewakili
dalam memilih dan membaiat Abu Bakr. Intinya adalah
keridhaan umat pada orang yang mewakili mereka.
kiblat
Ramadhan 1435 h
36
MUNAQOSYAH
secara langsung. Karena itu Ahlul Halli wal
‘Aqdi juga disebut oleh Al-Mawardi sebagai
ahlu al-ikhtiar (orang-orang yang berhak
menentukan pemimpin). Peranan mereka
sangat penting untuk memilih salah seorang
di antara orang-orang yang layak dipilih
menjadi khalifah.
Ahlul Halli wal ‘Aqdi ialah orang-orang yang
berkecimpung langsung dengan rakyat yang
telah memberi kepercayaan kepada mereka.
Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil
itu karena keikhalasan, kekuatan komitmen,
ketakwaan, keadilan dan kecemerlangan
pikiran serta kegigihan mereka di dalam
memperjuangkan kepentingan rakyatnya.
Di samping punya hak pilih, menurut
Muhammad
Rasyid
Ridha
adalah
menurunkan khalifah jika terdapat hal-hal
yang mengharuskan pemecatannya.22 AlMawardi juga berpendapat jika kepala negara
melakukan tindakan yang bertentangan
dengan agama, rakyat dan Ahlu Halli wa
‘Aqdi berhak untuk menyampaikan “mosi
tidak percaya” kepadanya. 23
Sekalipun mereka mewakili rakyat,
menurut Rasyid Ridha, tidak identik dengan
parlemen di zaman modern yang memiliki
kekuasaan legislatif dan berhak membatasi
kekuasaan kepala negara melalui undangundang. Sementara khalifah adalah kepala
negara yang memegang kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif.24
22 Muhammad Rasyid Ridha, Al-Khilafat, (Kairo:Az-Zahro
Lil I’laami Arabiy,1354 H), 15.
23 Al-Mawardi, Op. Cit, hlm. 17.
24 Muhammad Rasyid Ridha, Op. Cit, 28.
Kualitas dan Kuantitas Ahlul Halli wal
Aqdi untuk Mengangkat Pemimpin
Fakta sejarah dan uraian ulama tadi
menunjukkan bahwa kualitas Ahlul Halli
wal Aqdi dapat diukur. Seperti ahlu syura
yang diangkat khalifah Umar bin Khattab
yang terdiri dari eam shahabat yang dijamin
masuk jannah. Bila dihubungkan dengan
masa sekarang, tentu berbeda. Namun,
dapat disimpulkan bahwa mereka adalah
orang-orang yang dipercaya umat.
Kapabilitas mereka tidak
diragukan lagi oleh umat
Islam pada zamannya,
seperti digambarkan
oleh Imam Mawardi,
mereka berkecimpung
langsung dengan
umat. Umat menyetujui
pendapat wakil-wakil
itu karena keikhalasan,
kekuatan komitmen,
ketakwaan, keadilan dan
kecemerlangan pikiran
serta kegigihan mereka di
dalam memperjuangkan
kepentingan umat Islam.
Secara kuantitas pun ukurannya tidak
berbeda, yaitu bahwa pemimpin yang
mereka pilih tidak ditentang oleh umat
atau kelompok Islam lain yang memiliki
kekuatan seimbang atau lebih besar. Karena
kiblat
Ramadhan 1435 h
37
MUNAQOSYAH
itulah, para ulama menetapkan bahwa baiat
pengangkatan imam tidak harus melalui
semua Ahlul Halli wal Aqdi. Selama baiat itu
menghasilkan pengakuan dan umat Islam
bersatu pada pemimpin yang diangkat maka
baiat tersebut sah.
Imam Nawawi berkata, “Tentang bai’at,
para ulama telah sepakat bahwa legitimasinya
tidak disyaratkan pembai’atan seluruh
manusia dan tidak pula seluruh Ahlul Halli wal
‘Aqdi. Pengangkatan pemimpin sah dengan
baiat orang-orang yang bisa berkumpul dari
kalangan ulama, para pemimpin dan para
tokoh masyarakat.” (Syarh Muslim 12/77).
Ya, para ulama menguatkan bahwa
kuncinya berada di pengakuan dan
persetujuan, bukan jumlah. Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “Penguasa tidak menjadi
seorang penguasa dengan persetujuan satu,
dua atau empat orang Ahlul Halli wal ‘Aqdi
kecuali jika persetujuan mereka memperoleh
persetujuan yang lain untuk menjadikannya
sebagai seorang penguasa.
Seperti halnya Umar ketika dia menerima
wasiat dari Abu Bakar untuk menjadi khalifah,
hal itu hanya terwujud ketika orang-orang
membaiatnya dan mematuhinya. Seandainya
meraka tidak melakukan amanat Abu Bakar
dan tidak membaiat Umar, niscaya dia tidak
menjadi seorang khalifah.”25
Imam Al-Ghazali juga menyebutkan hal
yang sama, “Seandainya yang membaiat
Abu Bakar hanya Umar sementara mayoritas
ummat Islam menolaknya atau mereka
terpecah belah dan tidak bisa dibedakan
mana kelompok mayoritas dan mana
kelompok minoritas, niscaya tidak ada
pengukuhan imamah.”26 Karena itulah
25 Minhajus Sunnah: 1/527.
26 Dinukil dari Ar-Raddu alal Bathiniyah, Leiden 1916,
kutipan dari an-Nazhariyah as-siyasah al-Islamiyah,
Al-Mawardi menambahkan, “Dilihat dari
ketaatan manusia kepada mereka.”27
Persetujuan dan pengakuan tersebut tidak
berarti semua manusia, tetapi persetujuan
yang dengan itu fungsi kepemimpinan
terwujud seperti yang dikehendaki oleh
syariat. Wujudnya ialah syaukah (kekuatan)
bagi umat Islam di bawah pemimpin tersebut.
Dan itu akan terwujud jika mayoritas telah
menyetujuinya.28
Selain itu, ketika persetujuan mayoritas
umat tidak terwujud dalam kepemimpinan
tersebut maka akan timbul kekacuan dan
fitnah di tengah-tengah umat. Dalam kondisi
ini, kewajiban umat untuk berbaiat kepada
pemimpin gugur sampai mayoritas umat
berpihak kepada salah satu pemimpin yang
disepakati.
Kesimpulan dari baiat Ahlu Halli wal Aqdi
kepada pemimpin yang dipilih ialah, apakah
ia representatif atau tidak. Artinya, mau satu,
enam atau sepuluh orang bukanlah persoalan
hal. 233. Dr. Hasan Ibrahim berkata, “Abu Bakar dibaiat
oleh Abu Ubaidah setelah Basyir bin Sa’ad, diikuti
oleh kaum Muhajirin dan Anshar.” Baiat ini dinamakan
baiat khusus, karena hanya dilakukan oleh segolongan
kecil umat Islam yang hadir di balai tersebut. Adapun
baiat umum terjadi pada hari berikutnya di masjid.
Pada waktu itu, Abu Bakar berada di atas mimbar dan
orang-orang membaiatnya dengan baiat umum. Lihat:
Hubungan Penguasa dengan Rakyat dalam Perspektif
Sunnah, hal. 165.
27 Raudhatu Ath-Thalibin, Imam Nawawi, X/43.
28 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan,
“Kepemimpinan, menurut mereka (Ahlus Sunnah,
pen.), ditetapkan dengan persetujuan yang
memiliki kekuatan. Seseorang tidak menjadi imam
hingga disetujui oleh pemilik kekuatan, yang
dengan ketundukan mereka akan terwujud tujuan
kepemimpinan. Sebab, tujuan kepemimpinan dapat
terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka jika
seseorang dibai’at dan bersamaan dengan itu terwujud
kekuatan dan kekuasaan, maka dia menjadi pemimpin
(yang sah). Oleh karenanya para imam salaf berkata,
‘Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, yang
dengan keduanya terwujud tujuan kepemimpinan,
maka dia menjadi ulil amri yang Allah Jalla wa ‘ala
Azza wa Jalla perintahkan taat kepada mereka selama
mereka tidak memerintahkan kepada maksiat kepada
Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla’.” (Minhajus Sunnah
An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/527.
Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid 4/388)
kiblat
Ramadhan 1435 h
38
MUNAQOSYAH
selama itu mewakili umat Islam. Ukuran
mewakili ini ialah bila baiatnya diterima
umat. Bukti penerimaan umat adalah tidak
terjadi perpecahan dan fitnah. Dan bila ada
yang menyelisihi, mereka tunduk di bawah
pemimpin pemilik syaukah. Hal ini terbukti
dalam baiat-baiat pada masa khalifah yang
empat. Demikian pula pada masa Nabi
n, kaum munafik tidaklah sedikit. Namun
mereka tunduk di bawah kepemimpinan
Nabi n sebagai pemilik syaukah.
Sebagain
jamaah
mungkin
saja
berkeyakinan bahwa semua ulama telah
murtad dan kafir. Demikian pula tokoh dan
pemimpin masyarakat yang disebutkan oleh
para ulama bisa menjadi Ahlu Halli wa ‘Aqdi,
tidak mewakili umat ini. Lalu, ahlu halli wa
‘aqdi diklaim secara sepihak sebagai elemen
yang mewakili umat. Ini akan berakibat
pertumpahan darah bila imam yang
diangkat dipaksakan kepada jamaah lain.
Dan lebih kacau lagi masing-masing jamaah
melakukan hal yang sama terhadap amirnya.
Peran Syura dalam Suksesi Kepemimpinan
Maka, musyawarah adalah cara yang
harus ditempuh dalam proses pengangkatan
imam. Semua proses pengangkatan khalifah
yang empat, baik dengan ikstikhlaf maupun
ikhtiyar, tidak lepas dari syura ini. Dalam
proses ikstikhlaf, Abu Bakar meminta
pertimbangan para shahabat dahulu sebelum
pengangkatan Umar bin Khattab. Dalam
proses ikhtiyar, kita dapat melihat detilnya
musyawarah ini dalam proses pengangkatan
Utsman bin Affan ra sebagai khalifah.
Beberapa persoalan bisa terjadi seiring
dengan banyaknya jamaah dan kelompok
Islam yang bercita-cita menegakkan khilafah
Islam. Contohnya:
Beberapa jamaah atau kelompok jihad
bisa saja memiliki Ahlul Halli wal ‘Aqdi
sendiri untuk membuat pertimbanganpertimbangan internal sebelum menjadi
keputusan organisasi. Ketika Ahlul Halli wal
Aqdi ini mengangkat dan membaiat Amir
Jamaah, maka keputusannya mengikat
anggota jamaahnya. Namun tidak mengikat
orang di luar jamaah. Dan baiat ini tidak
bisa diklaim sebagai baiat kubra, sehingga
orang yang tidak berbaiat dianggap sebagai
bughot yang wajib diperangi, halal darah
dan hartanya.
Demikian pula dengan Umar bin AlKhattab yang telah memilih enam orang untuk
mengangkat pemimpin sepeninggalnya
(baca: Jalan Panjang Pengangkatan Utsman
bin Affan).
Barang siapa tidak
meninggalkan ucapan dusta,
mengamalkannya, kebodohan,
maka tidak ada gunanya bagi
Allah meskipun ia meninggalkan
makan dan minum.
Syura
kiblat
Ramadhan 1435 h
39
MUNAQOSYAH
Jalan Panjang Pengangkatan
Utsman bin Affan
M
ereka adalah Ali bin Abi
Thalib, Utsman bin ‘Affan,
Abdurrahman
bin
‘Auf,
Sa‘ad bin Abi Waqqash, Zubair bin
‘Awwam, dan Thalhah bin Ubaidullah
radhiyallahu ‘anhum. Ketika dewan
musyawarah
sudah
berkumpul,
Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada
mereka, “Berikanlah hak kalian dalam
perkara ini kepada tiga orang di antara
kalian.”
siapa yang paling utama di antara
kalian berdua?”
Zubair berkata, “Aku
kepada Ali.” Thalhah
berikan hakku kepada
berkata, “Aku berikan
Abdurrahman bin ‘Auf.”
Musyawarah terus dilakukan selama
tiga hari penuh sampai hari Rabu 4
Muharram yang merupakan hari terakhir
dari waktu yang telah diberikan Umar.
Abdurrahman bin ‘Auf mulai dengan
Ali bin Abi Thalib. Dia berkata kepada
Ali, “Apabila aku tidak membaiatmu,
maka siapakah yang engkau calonkan
untuk menjadi khalifah?” Ali berkata,
“Utsman bin ‘Affan.”.
Mereka berdua berkata, “Iya.”1
Setelah itu, Abdurrahman bin ‘Auf
bertugas mengelola musyawarah untuk
menentukan pilihan antara Utsman
dan Ali bin Abi Thalib. Abdurrahman
bin ‘Auf memulai komunikasi dan
konsultasi segera setelah rapat enam
kandidat pada pagi hari Ahad.
berikan hakku
berkata, “Aku
Utsman.” Sa‘ad
hakku kepada
Para kandidat pada saat itu menjadi
tiga orang: Ali bin Abi Thalib, Utsman
bin ‘Affan, dan Abdurrahman bin ‘Auf.
Kemudian Abdurrahman bin ‘Auf
berkata, “Siapa di antara kalian berdua
yang berlepas diri dari hal ini dan kami
jadikan perkara ini kepadanya? Demi
Allah dan demi Islam! Hendaknya
setiap orang melihat siapa yang paling
utama di antara mereka.” Utsman dan
Ali pun diam. Abdurrahman bin ‘Auf
berkata, “Apakah kalian menyerahkan
kepadaku, demi Allah, untuk memilih
Abdurrahman bin ‘Auf pergi menemui
Utsman dan berkata, “Apabila aku
tidak membaiatmu, maka siapakah
yang engkau calonkan untuk menjadi
khalifah?” Utsman menjawab, “Ali bin
Abi Thalib.”
1
Al-Bukhâri, Kitab Fadhâ’il Ashhâb
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. No. 3700.
kiblat
An-Nabiyyi
Ramadhan 1435 h
40
MUNAQOSYAH
Abdurrahman bin ‘Auf menemui
para shahabat yang lain dan
bermusyawarah dengan mereka. Dia
juga bermusyawarah dengan setiap
sahabat senior yang dia temui di
Madinah, tokoh-tokoh, para panglima
perang, dan siapa saja yang datang
ke Madinah. Dia juga bermusyawarah
dengan
kaum
perempuan
dan
menyampaikan pendapat mereka.
Dia juga menanyakan pendapat para
pemuda dan hamba sahaya di Madinah.
Hasil dari musyawarah Abdurrahman
bin ‘Auf adalah sebagian besar kaum
Muslim memilih Utsman bin ‘Affan.
Kemudian Ali bangkit dan pergi.
Beberapa
waktu
kemudian,
Abdurrahman bin ‘Auf berkata,
‘Panggilan Utsman untukku.’
Aku
pun memanggil Utsman dan mereka
berdua berbicara rahasia sampai azan
Subuh memisahkan mereka.”3
Pada pertengahan malam Rabu,
Abdurrahman bin ‘Auf pergi ke
rumah putra saudara perempuan
Al-Musawwar bin Mahramah. Dia
mengetuk pintu dan mendapati AlMusawwar sedang tidur.2
Lalu Abdurrahman berkata kepada
Utsman, “Aku membaiatmu atas dasar
sunnatullah, sunnah Rasul-Nya, dan
sunnah kedua khalifah sepeninggalnya.”
Para hadirin dari kalangan Muhajirin,
Anshar, panglima perang, gubernur
berbagai wilayah, dan kaum Muslim
membaiat Utsman.4
Ketika mereka telah berkumpul,
Abdurrahman bersyahadat kemudian
berkata, “Amma ba‘du. Wahai Ali! Aku
telah memperhatikan kondisi orang
banyak. Aku tidak melihat mereka
berpaling dari Utsman. Oleh karena itu,
janganlah engkau memberi jalan untuk
dirimu.”
Abdurrahman bin ‘Auf memukul pintu
sampai Al-Musawwar bangun. Dia
berkata, “Saya melihatmu sedang tidur.
Demi Allah! Malam ini saya belum
sempat tidur. Pergilah dan panggil
Zubair dan Sa‘ad ke sini.”
Al-Musawwar berkata, “Aku pun
memanggil keduanya. Abdurrahman
bermusyawarah
dengan
mereka
berdua. Kemudian Abdurrahman bin
‘Auf memanggilku lagi dan berkata,
‘Panggilkan Ali untukku.’ Aku pun
memanggilnya.
Mereka
berdua
berbicara rahasia sampai pertengahan
malam.
2
Al-Khulâfâ’ Ar-Râsyidûn, Al-Khâlidi. Hal. 106, 107
Penulis At-Tamhîd wa Al-Bayân
meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib
adalah orang pertama yang berbaiat
setelah Abdurrahman bin ‘Auf. 5
Abdurrahman bin Auf melakukan
proses musyawarah panjang dan
banyak kalangan untuk sampai kepada
keputusan akhir pengangkatan Utsman
bin Affan. Ini adalah sejarah yang
berharga bagi umat Islam hari ini! n
(Dhani el-Ashimi)
3
4
5
Al-Bukhâri, Kitâb Al-Ahkâm. No. 8207
Al-Bukhâri, Kitab Al-Ahkâm, No. 7207.
At-Tamhîd wa Al-Bayân, hal. 26.
kiblat
Ramadhan 1434
1435 h
41
MUNAQOSYAH
Syura dalam Islam adalah kaidah hukum
yang wajib untuk mewujudkan tegaknya
keadilan dan hukum dalam syariah Islam
dalam berbagai segi kehidupan. Juga
sebagai upaya untuk menolak segala
bentuk kezaliman dan kerusakan di dunia,
sebagaimana firman Allah :
‫َو�َأ ْم ُر ُه ْم شُ و َرى َب ْي َن ُه ْم‬
“Urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka.” (Asy Syura
: 36-39).
Maksud firman Allah Ta’ala (yang artinya):
“Sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarat antara mereka”
adalah mereka tidak melaksanakan
suatu urusan sampai mereka saling
bermusyawarah mengenai hal itu agar
mereka saling mendukung dengan
pendapat mereka seperti dalam
masalah peperangan dan semisalnya” 29
Ibnu
Taimiyah
mengatakan,
“Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan
Nabi-Nya
bermusyawarah
untuk
mempersatukan hati para sahabatnya,
dan dapat dicontoh oleh orang-orang
setelah beliau, serta agar beliau mampu
menggali ide mereka dalam permasalahan
yang di dalamnya tidak diturunkan wahyu,
baik permasalahan yang terkait dengan
peperangan, permasalahan parsial, dan
selainnya. Dengan demikian, selain beliau N
tentu lebih patut untuk bermusyawarah” 30
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-'Azhim,(Beirut:Dar
Kutub Thoyyibah, 1999) vol 7,p. 211.
30 Ibnu Taimiyah,As Siyasah asy-Syar'iyah,(Beirut:Dar AlAfaq Al-Jadiidah,1983), 126
Manfaat Syura
Urgensi dan faedah syura banyak
diterangkan oleh para ulama, di antaranya
imam Fakhruddin Ar-Razy.31 Secara ringkas
beliau menyebutkan bahwa syura memiliki
faedah antara lain adalah sebagai berikut :
1. Musyawarah yang dilakukan Nabi N dengan
para sahabatnya menunjukkan ketinggian
derajat mereka (di hadapan nabi) dan
juga hal ini membuktikan betapa cintanya
mereka kepada beliau dan kerelaan
mereka dalam menaati beliau. Jika beliau
tidak mengajak mereka bermusyawarah,
tentulah hal ini merupakan bentuk
penghinaan kepada mereka.
2. Musyawarah perlu diadakan karena
bisa saja terlintas dalam benak
seseorang pendapat yang mengandung
kemaslahatan dan tidak terpikir oleh waliy
al-amr (penguasa).
3. Al-Hasan dan Sufyan ibn ‘Uyainah
mengatakan,
“Sesungguhnya
Nabi
diperintahkan untuk bermusyawarah agar
bisa dijadikan teladan bagi yang lain dan
agar menjadi sunnah (kebiasaan) bagi
umatnya”
4. Syura memberitahukan kepada Rasulullah
N dan juga para penguasa setelah beliau
mengenai kadar akal dan pemahaman
orang-orang yang mendampinginya,
serta untuk mengetahui seberapa besar
kecintaan dan keikhlasan mereka dalam
menaati beliau. Dengan demikian, akan
nampak baginya tingkatan mereka dalam
keutamaan.
29
31 Fakhruddin Ar-Rozy, Mafatih al-Ghaib,(Beirut:Dar AlFikr, 1981,) vol9, 67-68
kiblat
Ramadhan 1435 h
42
MUNAQOSYAH
5. Syaikh Abu Umar Asy-Saif menambahkan32
bahwa syura adalah bentuk ibadah dan
ketaatan kita kepada Allah karena kita telah
mengikuti perintah dan mengamalkannya.
6. Dengan syura, akan didapatkan keputusan
yang benar dan tepat sasaran serta jauh
dari kesalahan.
7.
Syura identik dengan keadilan dan
menolak kezaliman dari pemaksaan
kehendak dari satu pendapat saja.
Beberapa
dampak
negatif
yang
diakibatkan jika meninggalkan syura adalah:
1. Seorang imam akan kehilangan salah
satu sifat dari sifat orang mukmin. Karena
Syura adalah perintah Allah dan jika
meninggalkannya termasuk bermaksiat
kepada Allah
2. Seorang imam akan mengambil keputusan
dan tindakan secara serampangan dan
jauh dari kata adil karena pengambilan
keputusan tanpa ada syura dengan ahlu
syura yang ada.
3. Akan terkesan ada pemaksaan kehendak
yang
berakibat
tidak
tercapainya
kenyamanan hati dan kehidupan. Maslahat
tidak akan tercapai dengan pengambilan
keputusan yang sepihak.
4. Tidak adanya syura akan mengakibatkan
adanya rasa saling mencurigai dan
ketidakpercayaan. Jadi, dapat memicu
kerusakan dan hancurnya keharmonisan
(Dhani el-Ashimi)
32 Abu Umar Asy-Syaif, Siyasah Syar’iah, (Beirut:Dar AlMa’alim Li Toba’ah, 2007), 225
Ahlul Halli
wal Aqdi
Sekali lagi, hubungan Ahlul Halli
wal Aqdi dengan masyarakat adalah
hubungan perwakilan, meskipun tidak
secara eksplisit dinyatakan bahwa mereka
adalah wakil umat. Esensinya ialah
bagaimana keputusan mereka dipercaya
dan mengikat umat. Ini yang penting!
Karena merekalah yang melaksanakan
pemilihan pemimpin daulah atau khalifah
mewakili umat, kemudian pilihan mereka
ini diterima oleh umat.
Lantas bagaimana Ahlul Halli wal
Aqdi bisa terwujud? Atau bagaimana
seseorang bisa mencapai posisi ini?
Apakah umat harus mengadakan
pemilu seperti yang terjadi dalam sistem
demokrasi hari ini?
Dr Abdul Karim Zaidan dalam kitab
Ushul Ad-Da’wah mengatakan, “Yang
tergambar dalam pikiran bahwa umatlah
yang mengangkat mereka sampai pada
kedudukan tersebut dengan proses
pemilihan. Namun, kita tidak pernah
menemukan dalam sejarah Islam masa
lalu yang menunjukkan bahwa umat ini
berkumpul dan memilih sejumlah orang
untuk menjadi Ahlul Halli wal Aqdi.”
“Perwakilan Ahlul Halli wal Aqdi
bagi umat di era Islam pertama—
masa kekhilafahan yang empat—
sifatnya tersirat, karena mereka dikenal
kiblat
Ramadhan 1435 h
43
MUNAQOSYAH
ketakwaannya, lebih dahulu masuk
Islam, penguasaan mereka terhadap
setiap perkara, keikhlasan mereka dalam
beramal, di samping keutamaan mereka
karena bersama Rasulullah n, pujian
Allah di dalam Al-Qur’an, dan pujian
Rasul terhadap mereka secara umum
maupun menyebut nama langsung. Dari
situlah kemudian mereka mendapatkan
kepercayaan umat.
Maka umat tidak perlu mengadakan
pemilihan atau menyatakan mereka
sebagai wakil secara tegas. Bahkan
seandainya diadakan pemilihan pun,
pilihannya akan jatuh kepada mereka yang
sekarang kita kenal sebagai Ahlul Halli wal
Aqdi sebab tidak ada yang mengingkari
kedudukan mereka,” tambahnya.
Dari fakta sejarah dan kesimpulankesimpulan ulama tentang Ahlul Halli
wal Aqdi tadi, dapat disimpulkan bahwa
Ahlul Halli wal Aqdi terbentuk karena dua
proses:
• Dipilih oleh khalifah sebelumnya.
• Terbentuk dengan inisiatif sebagian
orang yang kemudian menjadi bagian
dari ahlul halli wal aqdi tersebut.
membentuk Ahlul Halli wal Aqdi. Ahlul
Halli wal Aqdi terbentuk dengan inisiatif
Umar bin Al-Khattab yang kemudian
terjadi suksesi pengangkatan Abu Bakar
a di saqifah Bagi Sa’idah.
Maka hari ini, para pemimpin atau
orang-orang yang dipercaya dalam
jamaah-jamaah Islam dengan konsentrasi
kerja masing-masing yang mengarah
kepada tujuan yang sama, yaitu tegaknya
kembali kepemimpinan Islam yang satu,
harus berkumpul untuk memilih Ahlul Halli
wal Aqdi atau mereka langsung membuat
kesepakatan untuk memunculkan satu
pemimpin umat dalam pertemuan
tersebut.
Itulah cara yang ditunjukkan oleh
sejarah dan sekaligus membedakan sistem
Islam dengan sistem demokrasi. Ahlul Halli
wal Aqdi sebagai wakil rakyat tidak bisa
angkat dengan pemilihan umum yang
menyamakan suara pelacur dan ulama.
Para ulama dan tokoh yang dipercaya
dalam masyarakat atau jamaahlah yang
harus berinisiatif untuk mewujudkannya
hingga tercapailah suksesi kepemimpinan
umat. (Dhani el-Ashimi)
Hari ini tidak mungkin Ahlul Halli
wal Aqdi terwujud dengan cara
pertama karena umat telah kosong dari
kekhilafahan. Maka Ahlul Halli wal Aqdi
bisa terwujud dengan cara kedua. Dan ini
terwujud pada masa pengangkatan Abu
Bakar Ash-Shiddiq.
Tidak ada atsar yang secara eksplisit
Rasulullah menunjuk pengganti atau
kiblat
Ramadhan 1435 h
44
MUNAQOSYAH
Deklarasi Khilafah Islamiyah
1 Ramadhan 1435 H.
S
yaikh Abu Muhammad Al-Adnani
telah mendeklaraskan Khilafah Islam
pada 1 Ramadhan 1435, pekan ini.
Berdasarkan teori di atas, maka
suksesi Syaikh Al-Baghdadi masuk dalam
mekanisme ikhtiar. Ini berarti Syaikh Abu
Bakar Al-Baghdadi telah melewati proses
baiat khusus (baiat pengangkatan oleh Ahlul
Halli wal Aqdi). Sebab deklarasi merupakan
proses penggalangan baiat umum dari
seluruh kaum muslimin, seperti yang
dilakukan terhadap Abu Bakar Ash-Shiddiq
setelah dibaiat di Saqifah.
Namun, pada proses baiat pengangkatan,
legalitas Ahlul Halli wal Aqdi dipertanyakan
oleh banyak kalangan. Salah satunya adalah
Syaikh Husain bin Mahmud, dalam ulasannya
yang panjang menanggapi deklarasi
khilafah. Menurutnya, khilafah Islamiyah
yang diumumkan oleh Juru bicara ISIS
tersebut tidaklah sah. Sebab, ahlul halli wal
aqdi yang mengangkat Syaikh Al-Baghdadi
tidak dikenal umat.
Dr Yusuf Al-Qardhawi menganggap
deklarasi ini adalah klaim sepihak (sebagai
Syaikh Al-Baghdadi
hasil dari aAhlul Halli wal Aqdi jamaah saja).
Beliau menegaskan bahwa semua organisasi
perjuangan di seluruh dunia Islam tidak
mungkin dianggap ilegal dan tidak sah
begitu ada deklarasi sepihak yang kemudian
menamakan dirinya sebagai khilafah.
Padahal saat itu umat Islam tidak disertakan
sama sekali.
Konsekuensi logis dari legalitas baiat
khusus tersebut adalah penolakan baiat
umum; penolakan umat Islam terhadap
deklarasi Khilafah.Inilah proses yang sedang
dihadapi oleh ISIS. Pada tataran ini, banyak
kalangan menyoroti unsur-unsur pokok
sebuah negara Islam yang belum terwujud
dalam daulah yang dideklarasikan oleh ISIS.
Istilah daulah atau negara mengandung
arti sekumpulan masyarakat dengan jumlah
yang banyak yang mendiami kawasan atau
geografi tertentu secara permanen, dan
tunduk ke dalam sebuah aturan institusi
kekuasaan atau wilayah politik tertentu.
Dari pengertian ini terdapat tiga unsur
pokok utama yaitu : rakyat atau sekumpulan
masing-masing pribadi, iklim atau kawasan
kiblat
Ramadhan 1435 h
46
MUNAQOSYAH
dan kekuasaan atau pemerintahan.
Uraian ketiga unsur utama pemerintahan,
menurut fikih Islam adalah sebagai berikut:
1. Wilayah
Wilayah dalam pemerintahan Islam
adalah mencakup semua kawasan yang
dihuni orang Islam, terdiri atas geografi dan
lingkungan tempat tinggalnya antara lain.
2. Rakyat
Rakyat—atau dalam pengertian Qur’an
disebutkan dengan istilah umat (QS
21:92)—dalam pengertian istilah dewasa
ini terdiri atas dua unsur : unsur material,
yaitu mendiami kawasan tertentu di muka
bumi secara permanen, dan unsur maknawi
(spiritual), yaitu keinginan untuk hidup
bersama-sama.
Pengertian rakyat sebagai salah satu unsur
pokok terciptanya sebuah negara, menurut
teori tata Negara Islam adalah terdiri dari
orang-orang Islam yang mengimani ajaranajaran Islam baik dari segi agama, syariat,
akidah maupun aturan-aturannya.
Dan orang-orang kafir zhimmi, yaitu
orang yang tidak menganut Islam akan
tetapi bertempat tinggal secara permanen
di wilayah Islam dengan bersedia menjalani
semua aturan-aturan yang ditetapkan
pemerintahan Islam.
Umat dalam Negara Islam adalah terdiri
dari kedua jenis unsur masyarakat tersebut
(muslim dan kafir zhimi) yang diikat ke dalam
sebuah aturan-aturan politik dan undangundang, di mana dalam teori istilah sekarang
dinamakan warga negara.
Terdapat titik perbedaan sudut pandang
dalam pengertian istilah rakyat antara
teori tata negara pada umumnya dengan
teori tata negara Islam, ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Rakyat atau umat dalam pengertian
negara pada umumnya adalah masyarakat
yang dibatasi wilayah geografi tertentu,
hidup di dalamnya kumpulan individuindividu yang terikat atas persamaan suku
bangsa, warna kulit, bahasa, agama, adat
istiadat atau kepentingan tertentu.
Sedangkan rakyat dalam pandangan
pemerintahan Islam adalah sebuah asas
yang berdasarkan prinsip-prinsip dan
tujuan garis-garis besar ajaran Islam, dari
sistem yang berasaskan kemaslahatan hidup
bagi umat manusia serta menjauhi prinsip
rasisme, feodalisme, fanatisme kawasan dan
kebangsaan.
Ikatan utama dalam pemerintahan Islam
adalah satu kesatuan dalam aqidah atau
dalam ungkapan lain diungkapkan satu
kesatuan dalam corak fikir dan hati masingmasing warga negara Islam. Setiap orang
yang memeluk Islam baik dari golongan,
jenis, warna kulit, kawasan manapun dan
orang-orang non-mulim yang bertempat
tinggal di kawasan Islam dengan bersedia
mematuhi aturan-aturan negara Islam,
mereka adalah warga negara Islam.
kiblat
Ramadhan 1435 h
47
MUNAQOSYAH
Pengertian rakyat dalam pandang
pemerintahan Islam oleh Dr. Wahbah
dikatakan sebagai sudut pandang yang
lebih bersifat manusiawi dan sudut pandang
internasional yang lebih substansif, karena
asas ikatan masing-masing individu dalam
negara Islam, bukan semata atas persamaan
tanah air, warna kulit, bahasa dan sebagainya.
Melainkan lebih dari itu, ikatan yang mengikat
adalah persamaan akidah (bagi muslim) atau
ketundukan politik kepada negara Islam.
3. Pemerintahan
Pemerintahan atau otoritas dalam Islam
mempunya dua sifat aspek kekuasaan; aspek
internal dan aspek eksternal. Adapun dalam
aspek internal, negara berkuasa penuh atas
semua individu dan institusi yang ada dalam
negara Islam. Rakyat wajib taat sepenuhnya
kepada pemerintah sepanjang masih dalam
batas-batas syariat. Nabi bersabda:
‫ �إِنَّ َما ال َّطا َع ُة ِفي‬,‫لا َ َطا َع َة ِفي َم ْع ِص َية اللّ ِه‬
‫الْ َم ْع ُر ْو ِف‬
"Tidak wajib menaati perintah yang
mengandung maksiat kepada Allah,
ketaatan hanya ada dalam hal
kebaikan." (HR Muslim)
Dalam aspek ini, oleh Al-Mawardi,
sosok fakih tata negara Islam, dijelaskan
bahwa : Apabila imam (kepala negara)
telah menjalankan semua tugas-tugasnya
dalam memenuhi hak-hak rakyatnya
dan menegakkan hak-hak Allah SWT di
antara mereka, maka wajib bagi rakyatnya
memenuhi dua hak sang imam yaitu : hak
menaatinya dan hak membantu tugasnya.
Adapun dalam aspek kekuasaan eksternal
negara Islam, Al-Qur'an telah menegaskan
tentang asas prinsip pemerintahan yang
berkuasa penuh, independen dan bebas dari
campur tangan asing (QS 4:141) dan firman
Allah SAW (QS 63:8).
Tiga unsur utama tersebut dipandang oleh
banyak pihak, belum terwujud secara nyata.
Wilayah Suriah dan Irak merupakan wilayah
perang. Banyak wilayah sifatnya baru direbut
dan beberapa jatuh kembali dalam kendali
Rezim, baik Irak maupun Suriah. Batas-batas
negara belum jelas, sehingga sulit dipisahkan
manakah umat Islam dan ahlul zhimi yang
tunduk di bawah kekuasaan Islam. Demikian
pula otoritas nyata sebuah pemerintahan
belumlah terwujud.
Hal ini jelas berbeda dengan kondisi
Daulah Nabawiyah di Madinah pada
masa Rasulullah SAW. Batas wilayah yang
dipertahankan sangat jelas, keamanan dan
perlindungan kaum muslimin juga terlihat
nyata. Kaum munafik, Yahudi dan lainnya
tunduk di bawah otoritas Rasulullah n. Kisah
Abu Bashir yang hendak masuk ke Madinah
setelah perjanjian Hudzaibiyyah adalah
contoh yang nyata dalam hal ini.
Sebagian ulama mengklaim wilayah ISIS
hari ini lebih luas daripada Madinah zaman
Nabi n, sehingga tidak ada alasan untuk
mempersoalkan wilayah kekuasaan. Klaim ini
bisa saja benar, dan analogi ini bisa diterima
bila mayoritas umat Islam hari ini hanya ada
di wilayah ISIS saja, sebagaimana masyarakat
Islam pada awal hijrah adalah di Madinah.
Tetapi, hari ini tidaklah demikian.
Umat Islam telah menyebar luas di
penjuru dunia. Berapa persen wilayah ISIS
bila dibandingkan dengan keberadaan umat
Islam di seluruh dunia? Maka Daulah Islam
Syaikh Al-Baghdadi dalam hal ini statusnya
tidak berbeda dengan keamiran seperti
Imarah Islam Afghanistan dan Kaukasus n
(Agus Abdullah)
kiblat
Ramadhan 1435 h
48
MUNAQOSYAH
Siapa Ahlul Halli wal Aqdi
Hari Ini?
P
eran Ahlul Halli wal Aqdi dalam
pemilihan khilafah begitu penting.
Bila di zaman para shahabat cara
mengenalinya cukup dengan melihat
siapa yang lebih senior dan yang lebih
dekat kepada Nabi Muhammad n,
bagaiamana cara menilai Ahlul Halli
wal Aqdi pada masa sekarang ini?
Syaikh Husain bin Mahmud dalam
menanggapi deklarasi khilafah oleh
ISIS menyampaikan dengan tegas siapa
yang layak disebut sebagai Ahlul Halli
wal Aqdi. Beliau menyebutkan:
"Ahlul Halli Wal ’Aqdi zaman ini adalah
para ulama rabbani dan para pemimpin
mujahidin di Khurasan, Kaukasus,
Jazirah Arab, Maroko, Somalia dan
negara-negara lain yang melakukan
perperangan di bawah bendera Islam
yang jelas. Jika mereka telah berbai’at
maka bai’atnya telah sah dan wajib
diikuti oleh seluruh kaum muslimin
karena pada saat itu tidak ada
tempat untuk berijtihad atau bahkan
membantah."
Bagaimana
ISIS?
dengan
Kekhilafahan
Setelah menyebutkan kriteria Ahlul
Halli wal Aqdi, Syaikh Husain juga
memberikan penilaian terkait khilafah
yang dideklarasikan oleh ISIS.
"Saya berpendapat bahwa bai’at (AlBaghdadi) tidak termasuk bai’at yang
syar’i kecuali setelah dibai’at oleh
Ahlul Halli wal ‘Aqdi umat ini atau
oleh mayoritas mereka. Inilah yang
saya yakini dalam agama ini setelah
mengkaji berbagai macam nash dan
pendapat para ulama. Dan ijtihad saya
itu bisa jadi benar dan bisa jadi juga
salah."
Syaikh
Husain
menegaskan,
ketidaksetujuannya terhadap deklarasi
khilafah ini bukan berarti ia tidak senang
dengan berdirinya Khilafah Islamiyah.
"Tetapi yang kami kritisi adalah karena
mereka tidak melakukan musyawarah
dengan saudara-saudara mereka dalam
perkara ini, meskipun ini dilakukan
untuk kebaikan kaum muslimin dan
untuk menyatukan kalimat. Allah
berfirman, “Dan masuklah ke rumahrumah itu dari pintu-pintunya.” (AlBaqarah: 189).
Sosok Syaikh Husain bin Mahmud
termasuk unik. Beliau selama ini dikenal
mendukung ISIS. Namun demikian,
beliau tetap berusaha obyektif dalam
memberikan penilaian, termasuk yang
bersifat kritis seperti di atas.
Disarikan dari terjemah lengkap
yang dimuat di http://www.kiblat.
net/2014/07/04/ada-yang-tertinggaldalam-deklarasi-khilafah-syaikh-aladnani/
kiblat
Ramadhan 1435 h
49
MUNAQOSYAH
DI ANTARA TUGAS-TUGAS
SEORANG KHALIFAH
K
ekhilafahan merupakan sebuah
jabatan yang penuh dengan
tanggung jawab. Layaknya sebagai
seorang pemimpin maka dia
bertanggung jawab atas kepemimpinannya.
Rasulullah n bersabda :
،‫�َأل� آ كُلُّ ُك ْم َرا ٍع َو كُلُّ ُك ْم َم ْس ُؤ ْو ٌل َع ْن َر ِع َّي ِت ِه‬
‫س َرا ٍع َو ُه َو‬
ِ ‫َفا ْل إِ� َما ُم ا ْل� َأ ْع َظ ُم الَّ ِذي َع َلى ال َّنا‬
‫َم ْس ُؤ ْو ٌل َع ْن َر ِع َّي ِت ِه َو ال َّر ُج ُل َرا ٍع َع َلى َب ْي ِت ِه‬
‫َو ُه َو َم ْس ُؤ ْو ٌل َع ْن َر ِع َّي ِت ِه َو الْ َم ْر�َأ ُة َر ِاع َي ٌة َع َلى‬
‫�َأهْلِ َب ْي ِت َز ْو ِج َها َو ِه َي َم ْس ُؤ ْولَ ٌة َع ْن ُه ْم َو َع ْب ُد‬
‫ال َّر ُجلِ َرا ٍع َع َلى َم ِال َس ِّي ِد ِه َو ُه َو َم ْس ُؤ ْو ٌل‬
‫َع ْن ُه �َأل� آ كُلُّ ُك ْم َرا ٍع َو كُلُّ ُكم ْ َم ْس ُؤ ْو ٌل َع ْن‬
‫) َر ِع َّي ِت ِه (متفق عليه‬
"Ketahuilah, setiap kalian pemimpin.
Dan setiap pemimpin bertanggung
jawab atas apa yang dipimpinnya.
Imam tertinggi yang memimpin
manusia (khalifah) adalah pemimpin,
dan dia bertangung jawab atas
rakyatnya. Seorang laki-laki pemimpin
di rumahnya dan dia bertanggungjawab
atas apa yang dia pimpin. Seorang istri
pemimpin terhadap penghuni rumah
suaminya dan dia bertanggungjawab
atas mereka. Seorang budak menjaga
harta tuannya, dan dia bertanggung
jawab akan hal itu. Dan ketahuilah
bahwa setiap kalian pemimpin dan
bertanggung jawab atas apa yang
kalian pimpin.” (HR. Bukhari & Muslim ).
Kekhilafahan bukanlah sebuah jabatan
tanpa beban, kewajiban dan tanggung jawab.
Syaikh Abdulllah bin Umar bin Sulaiman
Ad Dumaiji dalam desertasi doktoralnya
yang berjudul “Al-Imamatul Udzma ‘Inda
Ahlis Sunnah wal Jama’ah” menyebutkan
beberapa kewajiban pokok (asasi) bagi
kiblat
Ramadhan 1435 h
50
MUNAQOSYAH
seorang khalifah atau Imam kaum muslimin.
Secara garis besar kewajiban seorang
khalifah tertuang dalam ungkapan “Iqamatud
Din wa Siyasatud Dunya bihi” (menegakkan
agama dan mengatur urusan dunia manusia
berdasarkan agama). Dua hal ini merupakan
Maqashidul
Imamah
(tujuan
adanya
khilafah). Syakih Abdullah bin Umar ad
Dumaiji membagi kewajiban dasar seorang
imam ke dalam dua pokok ini, dan di antara
pokok yang paling urgen adalah : Iqomatud
Din (menegakkan agama) ,terwujud dalam 2
hal :
1
Hifdzud Din ( Menjaga Agama ).
Bentuk penjagaan agama seorang
khalifah kepada rakyatnya bisa
diwujudkan dengan beberapa hal :
l Menyebarkan dan mendakwahkan agama
ini dengan berbagai sarana, baik dengan
tulisan, lisan bahkan pedang.
Kewajiban dakwah merupakan kewajiban
setiap rasul dan utusan Allah. Di
samping hal ini juga menjadi kewajiban
setiap muslim. Rasulullah n bersabda,
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat
“(HR. Bukhari).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan
Hal ini (dakwah) yang disebut oleh para
ulama’ fardhu kifayah. Yang jika sebagian
kelompok umat Islam mengerjakannya,
maka kewajiban menjadi gugur bagi
sebagian yang lain (Majmu’ Fatawa
15/165).
Melihat khalifah adalah sebagai wakil
dari umat maka kewajiban dakwah dan
menyebarkan islam tentunya lebih dititik
beratkan kepada khalifah.
l
Menangkal syubhat
setiap kebatilan.
dan
memerangi
Kalau umat Islam beserta khalifahnya
diibaratkan sebagai sebuah tubuh, maka
setiap syubhat-syubhat yang ada adalah
virus dan penyakit. Maka demi terjaganya
kesehatan umat Islam penting bagi
seorang khalifah untuk membentengi
rakyatnya dari upaya pembusukan dan
pencemaran dari luar. Hal ini disebutkan
oleh Abu Ya’la, “Merupakan kewajiban
bagi seorang imam untuk menjaga rakyat
supaya tetap berada pada pokok-pokok
ajaran Islam yang telah disepakati oleh
para salaf. Dan jika ada yang menyeleweng
karena syubhat maka wajib bagi imam
untuk menyingkap syubhat itu dan
menjelaskan yang benar “. (Al-Ahkam AsSulthaniyah li Abi Ya’la hal 27 ).
Sarana untuk menjaga dan membentengi
umat dari syubhat dan penyelengan amat
beragam. Bisa dengan cara menggiatkan
halaqoh-halaqoh
ilmu,
membenahi
kurikulum
pendidikan,
mengadakan
penyuluhan-penyuluhan keagamaan dan
cara-cara lainnya yang bisa berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman.
l
Menjaga
daerah
perbatasan.
kekuasaan
dan
Di antara tujuan ditegakkannya khilafah
adalah agar terciptanya keamanan bagi
kaum muslimin. Sehingga mewujudkan
keamanan bagi rakyatnya adalah tugas
utama seorang khalifah baik aman secara
jasmani maupun rohani.
Demi terjaminnya keamanan, seorang
muslim harus berada dalam kawasan
yang menjadi kekuasaan seorang khalifah.
Hal ini sudah disinyalir jauh jauh hari
kiblat
Ramadhan 1435 h
51
MUNAQOSYAH
oleh Rasulullah dalam sabdanya, ” Saya
berlepas diri dari setiap muslim yang
tinggal di negeri orang musyrik.” (HR. Abu
Daud dan At-Tirmidzi).
Di sini, jelas Rasulullah hanya menjamin
keamanan orang-orang yang masuk dan
tinggal di bawah kekuasaannya. Adapun
di wilayah yang tidak menjadi kekuasaan
Rasulullah maka Rasulullah berlepas
diri dari orang tersebut dengan tidak
menjanjikan keamanan bagi mereka.
Sebagai gantinya Rasul memerintahkan
setiap muslim yang tinggal tidak dibawah
kekuasannya untuk berhijrah ke daerah
kekuasaanya. Hal ini menjadi penegas
bahwa walaupun Rasulullah sebagai
pemimpin tertinggi umat islam (khalifah)
akan tetapi rasul juga menyadari bahwa
daerah kekuasaannya terbatas, sehingga
beliau tidak bisa menjamin keamanan
setiap muslim yang berada di luar
kekuasaan beliau.
Imam Al Mawardi dalam Al-Ahkam
Sulthaniyah sewaktu menyebutkan tugastugas Imam, “Yang ke tiga : Menjaga daerah
kekuasaan dan membela kehormatan
agar manusia bisa leluasa beraktifitas
dan bebas berkeliaran di kota-kota tanpa
khawatir akan jiwa dan hartanya “ (AlAhkam As-Sulthaniyah hal 16).
2
Tanfidz Ad-Din (menerapkan
agama dalam pemerintahan). Hal
ini terdiri dari beberapa tugas
pokok yaitu :
l
Menegakkan
Islam).
syariat,
hudud
(pidana
l
Menegakkan syariat adalah sebuah istilah
yang memiliki cakupan yang amat sangat
luas. Semisal menagih zakat kepada para
wajib zakat, menegakkan amar makruf
nahi mungkar, menerapkan undangundang pidana (hudud), dan lain-lain.
l
Mengajak manusia untuk beriltizam
dengan syariat baik dengan motivasi
ataupun ancaman.
Sebagaimana
diketahui
bersama
Imamah/khilafah adalah sarana dan
bukan tujuan. Imamah adalah sarana
agar manusia tunduk dan hidup teratur
dibawah naungan Islam. Selain dengan
adanya hukuman-hukuman hudud, cara
lain agar umat Islam selalu berada di
bawah nauangan Islam adalah dengan
cara mengajak mereka untuk senantiasa
berada di bawah naungan Islam. Bisa
dengan ajakan yang bersifat motivasi
bisa juga dengan sesuatu yang bersifat
ancaman.
l Disarikan dari kitab Al Imamatul Udzma,
karya Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad
Dumaiji, oleh : Miftahul Ihsan, Lc.
kiblat
Ramadhan 1435 h
52
AL-QOTHI
IMAMAH
MUTAGHALLIBAH
I
slam mengenal dua mekanisme pengangkatan khalifah atau imam
kaum muslimin, yaitu ikhtiar dan istikhlaf. Namun, kepemimpinan Islam
juga bisa terwujud dengan imamah mutaghallibah. Definisi imamah
mutaghalabah dijelaskan oleh Ibnu Qudamah dengan ungkapan,
“Seandainya ada orang keluar dari ketaatan kepada imam, lalu memaksanya
dan menguasai rakyat dengan pedangnya hingga rakyat mengakui, tunduk
dalam ketaatan kepadanya, serta mengikutinya, maka ia menjadi imam yang
haram diperangi. Tidak halal keluar darinya.” (Al-Mughni, V/9).
Cara ini bukanlah suksesi kepemimpinan Islam yang didasarkan kepada
nash ataupun atsar yang qath’i, melainkan berdasarkan ijtihad para ulama.
Ya, sebab secara hukum dasar, kepemimpinan Islam hanya satu, dan bila ada
pihak lain yang berusaha merusak, perintahnya ialah dibunuh. Rasulullah n
bersabda:
َ‫ �َأ ْو ُي َف ِّرق‬،‫ ُيرِي ُد �َأ ْن َيشُ َّق َع َصاكُ ْم‬،‫َم ْن �َأ َتاكُ ْم َو�َأ ْم ُركُ ْم َج ِمي ٌع َع َلى َر ُجلٍ َو ِاح ٍد‬
kiblat
Ramadhan 1434
1435 h
53
MUNAQOSYAH
‫ َفا ْق ُتلُو ُه‬،‫َج َما َع َت ُك ْم‬
“Barang siapa datang kepada kalian
sedangkan urusan kalian itu bersatu
di bawah kepemimpinan seorang
pria, dan ia ingin membelah tongkat
(kepemimpinan) kalian atau memecah
barisan kalian, maka bunuhlah.”
(Riwayat Muslim).
Pendapat ulama tentang wajibnya taat
kepada imam yang didapat dengan cara
pemberontakan ini adalah:
Ibnu Hajar berkata, “Para fuqaha’ telah
bersepakat (ijma’) berkenaan kewajiban
menaati penguasa yang menang dalam
perebutan kekuasaan (sulthan mutaghalib),
dan berjihad bersamanya. Sebab, ketaatan
kepadanya lebih baik daripada keluar
meninggalkan ketaatan kepadanya, yang
dengannya mampu menjaga darah (nyawa)
dan menenangkan masyarakat. Tidak ada
pengecualian dalam perkara ini, kecuali bila
penguasa tersebut melakukan kekafiran
yang nyata.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari, 13/7).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
mengatakan, “Para imam dari setiap
mazhab sepakat bahwa siapa yang merebut
kekuasaan dari suatu negeri atau beberapa
negeri, ia berhak ditetapkan sebagai imam
dalam segala urusan.” (Ad-Durar As-Saniyah,
VII/239).
Abu Hasan Al-Asy’ari mengatakan,
“Mereka (para ulama) sepakat atas wajibnya
mendengar dan taat kepada para pemimpin
umat Islam, dan siapa saja yang memegang
kepemimpinan dalam urusan mereka,
dengan kerelaan atau menang dalam
perebutan kekuasaan.” (Risalah ila Ahli AtsTsughur, 296).
bahwa ada seorang penguasa yang merebut
kekuasaan atas rakyat dan memegang
otoritas kekuasaan, dan ia bukan dari bangsa
Arab, melainkan seorang budak hitam dari
Habasyah, maka kita wajib mendengar dan
taat.” (Syarh Riyadhus Shalihin, VI/385).
Imam Ahmad mengatakan, “Siapa yang
menguasai rakyat dengan pedang hingga
menjadi khalifah dan dinamai Amirul
Mukminin, maka tidak halal bagi orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
tidur malam sebelum mengakuinya sebagai
imam.” (Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Abu Ya’la,
23).
Imam Syafi’i mengatakan, “Setiap aorang
yang menang atas seorang khalifah dengan
pedang hingga disebut khalifah dan rakyat
bersatu padanya, maka ia adalah khalifah
(yang sah).” (Al-Manaqib Asy-Syafi’i, AlBaihaqi, I/449). Dan masih banyak ungkapan
ulama lain yang substansinya tidaklah
berbeda.
Ada tiga hal penting yang bisa
digarisbawahi dari penjelasan para ulama
tersebut:
P
ertama, kepemimpinan model
ini sah bila diakui rakyat, rakyat
tunduk kepada kekuasannya,
disebut (baca: memenuhi syarat dan
layak) khalifah. Kekuatan dan otoritas
yang diperoleh menjadi ciri utama.
Inilah yang membedakannya dengan
bughat dan qutha’ thaqiq atau
pembegal.
K
edua, ketaatan kepada imam
mutaghalib
berlaku
bila
melaksanakan tugas-tugas yang
menjadi tujuan imamah dan tidak
kekafiran yang nyata. Ini sesuai syarat
Syaikh Utsaimin mengatakan, “Anggaplah
kiblat
Ramadhan 1435 h
54
MUNAQOSYAH
jelas tidak wajib ditaati.
dasar menaati imam, seperti sabda
Nabi n, “Mendengar dan taatlah
kalian walaupun yang memimpin kalian
adalah bekas budak dari Habasyah
yang kepalanya seperti kismis, selama
menegakkan Kitabullah di antara
kalian.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya).
Atau
seperti
dijelaskan
ulama,
sejalan dengan tujuan imamah, yaitu
menegakkan dien dan mengatur dunia
dengan Islam.
K
etiga,
definisi
imamah
mutaghalib ini tidak mencakup
penggulingan
terhadap
penguasa yang kafir. Hal ini tampak
dalam ungkapan Ibnu Qudamah dan
persyaratan ketaatan kepada imam
mutaghalib.
Dengan demikian, orang yang merebut
kekuasaan tidak selalu menjadi penguasa
yang sah. Ketika kekuasaannya terwujud
pun, tidak mutlak langsung ditaati. Sejarah
telah mengabadikan peristiwa yang jelas
dalam dua hal ini. Abdul Malik bin Marwan
mendapatkan kekuasaan dengan memerangi
kekhilafan Ibnu Zubair. Setelah Ibnu Zubair
terbunuh, kaum muslimin menaati Abdul
Malik bin Marwan.
Hal itu berbeda dengan bangsa Tartar
yang merebut kekuasaan kaum muslimin
di Baghdad dan Syam. Ibnu Taimiyyah telah
menjadi pelopor dalam meyakinkan umat
Islam untuk memerangi mereka.
Jadi, tolok ukurnya bukan siapa yang
menang, maka ketaatan dan loyalitas langsung
diberikan. Kudeta yang menghasilkan
pemimpin yang menghancurkan syariat dan
menampakan kekafiran yang nyata, maka
Seperti perkataan Al-Mawardi ketika
menjelaskan
dua
proses
hilangnya
otoritas pemimpin, “Maksud disingkirkan
ialah bahwa kekuasaannya (imam yang
sedang memerintah) diambil alih oleh
para pegawainya saat itu .... Maka
kepemimpinannya (pihak yang merebut)
tidaklah terlarang dan keabsahan wilayahnya
tidaklah tercela.
Akan tetapi, tindakan orang yang
berwenang dalam urusan-urusannya harus
dilihat, bila berjalan sesuai hukum-hukum din
dan tuntutan keadilan, kekuasaannya boleh
diakui dan dilaksanakan agar urusan-urusan
agama tidak mandeg hingga menyebabkan
kerusakan bagi umat.
Namun, bila tindakannya keluar dari
aturan agama dan tuntutan keadilan,
maka ia tidak boleh diakui. Orang yang
disingkirkaannya harus ditolong, sedangkan
dominasi pemimpin baru tersebut harus
dilawan.” (Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, 24).
Beliau menambahkan, “Bila imam yang
telah sah itu dipenjara setelah dinobatkan
menjadi imam, maka seluruh umat
harus menyelamatkannya karena hak
kepemimpinannya mewajibkan rakyat untuk
menolongnya. Dan posisinya tetap seorang
imam selama ada harapan bisa dibebaskan,
dengan perang maupun tebusan.” (Al-Ahkam
Al-Sulthaniyah, 24).
Dapat disimpulkan bahwa imamah
mutaghalabah tidaklah disyariatkan. Ini
terlihat dalam ungkapan para ulama bahwa
mereka tidak memakai kata masyru’iyah
imamah mutaghalib. Syaikh Utsaimin dan
Ibnu Qudamah memakai kata “anggaplah”
dan “seandainya (itu terjadi)”. Sedangkan
ulama lain menjelaskan hukumnya ketika
kiblat
Ramadhan 1435 h
55
MUNAQOSYAH
kasus seperti ini terjadi.
Artinya bukan dibolehkan apalagi
dianjurkan, melainkan kepastian hukum
ketika terjadi kasus seperti itu. Pertimbangan
ulama, seperti dijelaskan oleh Ibnu Hajar
dan lainnya adalah maslahat, karena
ketaatan kepadanya lebih baik daripada
melawannya, yang dengan itu pertumpahan
darah terhindari dan kehidupan masyarakat
menjadi aman.
Sekali lagi, hukum dasar melawan
penguasa yang sah adalah haram. Namun
dalam kenyataan, imam yang sah bisa
digulingkan oleh pihak lain dengan kekuatan,
seperti Abdul Malik bin Marwan terhadap
pemerintahan Ibnu Zubair. Demikian pula
kisah perebutan kekuasaan antara Bani
Umayyah dan Bani Abbasiyah, seperti kasus
Abu Abdullah As-Saffah, dari Bani Abbasiyah
dan Marwan bin Muhammad, dari Bani
Umayyah.
Dan sejarah menunjukkan bahwa kaum
muslimin terlibat dalam pertumpahan darah
yang sangat mengerikan dalam perebutan
kekuasaan. Itulah sebabnya, hikmah ulama
menjatuhkan hukum wajib taat adalah
ketika terjadi kasus perebutan kekuasaan
dengan kekuatan. Bila
dibolehkan,
maka pertumpahan darah yang menjadi
pertimbangan maslahat menjadi hilang.
Sebab, kebanyakan yang terjadi, kekuasaan
dengan perebutan kekuasaan diperoleh
dengan membunuh khilafah sebelumnya.
Pada praktiknya, imam yang digulingkan
pasti memiliki pendukung, sebab ketaatan
kepadanya wajib secara syar’i.
(Agus Abdullah)
kiblat
Ramadhan 1435 h
56
MANHAJ
KHILAFAH ALA
MINHAJIN
NUBUWWAH
R
asulullah n telah mengabarkan kepemimpinan Islam hingga akhir
zaman. Hal ini disebutkan dalam banyak hadis, di antara riwayat dari
Hudzaifah bin Zaman yang berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: ‘Akan berlangsung nubuwwah (kenabian) di
tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki, lalu
Dia mengangkatnya (berakhir) bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya.
Kemudian berlangsung kekhilafahan menurut sistem kenabian (‘ala manhaj
nubuwwah) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia
mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian
berlangsung kerajaan yang otoriter (mulkan ‘aazhan) selama kurun waktu
tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki
untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung pemerintahan yang menindas/
kiblat
Ramadhan 1435 h
57
MANHAJ
diktator (mulkan jabariyan) selama kurun
waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu
Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki
untuk mengakhirinya. Kemudian akan
berlangsung kembali kekhalifahan menurut
sistem kenabian (‘ala manhaj nubuwwah).
Kemudian beliau diam”. (H.R. Ahmad no
hadits. 17680)
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh
Imam Ath-Thayalisi, Al-Baihaqi dan Imam
Ath-Thabari. Syaikh Al-Albani menyatakan
hadits tersebut shahih, sedangkan AlArnauth menyatakan hasan.
Penjelasan tentang Urutan Kejadian di
Dalam Hadits Khilafah
Urutan masa kepemimpinan tersebut
sebagian telah terjadi dan ada hadits lain
yang menguatkan kepastiannya. Misalnya
masa kekhalifahan pertama, yaitu hadits
yang diriwayatkan Imam Ahmad dan dinilai
hasan oleh Al Arnauth yang lain.
‫َع ْن َس ِعي ِد ْبنِ ُج ْم َها َن َقا َل حدثني َس ِفي َن ُة‬
‫رضي الله عنه َقا َل َقا َل َر ُسو ُل الل ِه صلى‬
‫الله عليه وسلم الْ ِخلا َ َف ُة ِفي �ُأ َّم ِتي ثَلاَثُو َن‬
‫َس َن ًة ثُ َّم ُم ْلكٌ َب ْع َد َذلِكَ ثُ َّم َقا َل لِي َس ِفي َن ُة‬
‫�َأ ْم ِس ْك ِخلا َ َف َة �َأبِي َب ْك ٍر ثُ َّم َقا َل َو ِخلا َ َف َة ُع َم َر‬
‫َو ِخلا َ َف َة ُع ْث َما َن ثُ َّم َقا َل لِي �َأ ْم ِس ْك ِخلا َ َف َة‬
‫ين َس َن ًة‬
َ ِ‫َع ِل ٍّي َقا َل َف َو َج ْدنَا َها ثَلاَث‬
“Sa’id bin Jumhan berkata, “Safinah
menyampaikan hadits kepadaku, bahwa
Rasulullah n bersabda, ‘Pemerintahan
Khilafah pada umatku selama tiga puluh
tahun, kemudian setelah itu dipimpin
oleh pemerintahan kerajaan.” Lalu
Safinah berkata kepadaku, “Hitunglah
masa kekhilafahan Abu Bakar (2 tahun),
Umar (10 tahun) dan Utsman (12
tahun).” Safinah berkata lagi kepadaku,
‘Tambahkan dengan masa khilafahnya
Ali (6 tahun). Ternyata semuanya tiga
puluh tahun.” (HR. Ahmad dan alTirmidzi).
Namun, masa selanjutnya sampai khilafah
‘ala minhaj nubuwah diperdepatkan oleh
para ulama, terkait kapan waktunya. Sebagian
ulama salaf menyatakan bahwa semuanya
telah berlalu dan terjadi. Khilafah terakhir
yang sesuai dengan manhaj nubuwah adalah
Khilafah ketika masa Umar bin Abdul Aziz.
Namun, Syaikh Al-Albani dalam Silsilah
Al-Ahadits
Ash-Shahihah
mengatakan
bahwa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz
terlalu dekat dengan masa-masa Khulafaur
Rasyidin dan bukan setelah masa raja-raja
yang otoriter dan diktator.
Maka dari itu, terlalu dekat untuk
mengambil kesimpulan bahwa masa khilafah
ala manhaj nubuwah terakhir di hadits
tersebut adalah di masa Khalifah Umar bin
Abdul Aziz.
Hadits di atas sejatinya memberi kabar
akan datangnya khilafah ‘ala minhaj
nubuwwah. Namun, tidak membatasi pada
masa tertentu secara pasti. Syaikh Al-Albani
memperkirakan bahwa masa kekhilafahan ala
minhaj nubuwwah telah dekat. Hal ini karena
kehidupan dunia Islam saat ini adalah masa
kerajaan-kerajaan diktator, sebagaimana
perkataan ahli ilmu.
Menurut salah satu pendapat, Khilafah
di akhir zaman ialah masa kekuasaan Imam
Mahdi, yang berasal dari keturunan ahlul
bait Rasulullah n. Beliau bersabda:
“Kiamat tidak akan terjadi sampai semua
manusia dipimpin oleh seseorang dari
Ahlul baitku. Namanya sama dengan
kiblat
Ramadhan 1435 h
58
MANHAJ
namaku, nama ayahnya sama dengan
nama ayahku. Ia akan memenuhi bumi
dengan keadilan.”
‫�ُأ َبشِّ ُركُ ْم بِا ْل َم ْه ِد ِّي ُي ْب َع ُث ِفي ُأ� َّم ِتي َع َلى‬
ٍ ‫اخْ ِتل‬
‫ض‬
ِ ‫َاف ِم ْن ال َّنا‬
َ ‫س َو َز َلا ِز َل َف َي ْم َل� ُأ ا ْل� َأ ْر‬
‫ِق ْس ًطا َو َع ْد ًلا َك َما ُم ِل َئ ْت َج ْو ًرا َو ُظ ْل ًما‬
“Aku kabarkan berita gembira mengenai
Al-Mahdi yang diutus Allah ta’aala
ke tengah ummatku ketika banyak
terjadi perselisihan antar-manusia dan
gempa-gempa. Ia akan memenuhi
bumi dengan keadilan dan kejujuran
sebagaimana sebelumnya dipenuhi
dengan kesewenang-wenangan dan
kezaliman.” (HR Ahmad 10898)
‫َف إِ� َذا َر�َأ ْي ُت ُمو ُه َف َبايِ ُعو ُه َولَ ْو َح ْب ًوا َع َلى الثَّ ْل ِج َف إِ�نَّ ُه‬
‫َخ ِلي َف ُة اللَّ ِه الْ َم ْه ِد ُّي‬
“Ketika kalian melihatnya maka
berbai’atlah dengannya walaupun harus
merangkak-rangkak di atas salju karena
sesungguhnya dia adalah Khalifatullah
Al-Mahdi.” (HR Ibnu Majah 4074)
Bagaimana Menyikapi Hadits Khilafah
Akhir Zaman?
Berdasarkan hadits-hadits nubuwwah
akhir zaman, umat Islam meyakini bahwa
Islam akan bangkit sekali lagi di akhir zaman,
sebelum peristiwa-peristiwa besar menjelang
kiamat. Ini adalah kabar gembira sekaligus
harapan bagi umat Islam. Namun, sebagian
orang terjerumus ke dalam khurafat, dengan
mencocok-cocokkan suatu peristiwa dengan
kabar-kabar dari Rasulullah n.
Perlu ditegaskan bahwa mencocokcocokkan hadits-hadits akhir zaman dengan
tokoh atau peristiwa-peristiwa tertentu
adalah tindakan yang membahayakan iman.
Sebab, perkara gaib itu ilmunya ada di tangan
Allah. Nabi n pun tidak mengetahui kecuali
apa yang diwahyukan kepada beliau. Kita
sebagai pengikut beliau tidak meyakini atau
menafsirkan perkara gaib kecuali dengan
ayat atau hadits Rasulullah n. Ini penting
agar umat Islam tidak mengikuti cara-cara
paranormal.
Kita tentu masih ingat kehebohan kabar
kiamat 2012 lalu, dan bagaimana sebagian
umat Islam terpengaruh olehnya. Pun
demikian dengan kepemimpinan Islam akhir
zaman. Kelompok mana pun tidak pantas
mengaku-aku sebagai pemilik kepemimpinan
akhir zaman, lalu menganggap yang lain
sesat.
Di sisi lain, tenggelam dalam penantian
munculnya tanda-tanda hari akhir tersebut,
seperti Imam Mahdi merupakan gejala
negatif. Ini mencerminkan penyimpangan
dalam memahami hubungan antara hal-hal
alami yang ditakdirkan Allah dan hal-hal
syar’i yang dikehendaki Allah. Hal-hal alami
dan permasalahan takdir—yang termasuk di
dalamnya masalah-masalah gaib yang terjadi
di masa datang—pasti terjadi. Kewajiban kita
terhadapnya sebelum hal itu terjadi hanyalah
mempercayainya.
Lantas setelah itu, kita wajib melaksanakan
hukum-hukum syar’i yang terkait dengannya,
jika waktunya telah tiba. Sementara
hukum-hukum syar’i yang dikehendaki
dan diwajibkan Allah, kita dituntut untuk
beribadah dengannya di setiap waktu
dengan terus melaksanakannya.
Para shahabat memahami bahwa Allah
memiliki sunnatullah (hukum-hukum) di
alam dan dalam kehidupan manusia. Aturan
tidak berubah. Meskipun Allah mempunyai
hukum yang keluar dari logika manusia, dan
kiblat
Ramadhan 1435 h
59
MANHAJ
tidak dapat dipatahkan oleh sesuatu pun,
namun Allah sudah menetapkan bahwa
sunnatullah-lah yang menjadi patokan dalam
kehidupan dunia. Sementara itu kejadian
yang sifatnya di luar kebiasaan manusia
menjadi pengecualian dari patokan tersebut.
Kedua sunnah tersebut tetap terkait
dengan kehendak Allah. Oleh karena itu,
para sahabat sangat menjaga sunnatullah itu,
namun mereka juga tetap menempuh jalan
usaha, dengan tidak menggantungkan hati
atau pasrah dengannya. Sebab, begitulah
yang Allah ajarkan kepada mereka. Dia
(Allah) mengajarkan kepada mereka bahwa
kesuksesan dalam mencapai suatu hasil
tertentu dalam realitas kehidupan mereka,
sangat terkait dengan usaha yang mengacu
padanya. Demikianlah sunnatullah berjalan
di atas makhluk-Nya.
Terakhir, ada beberapa hal yang hendaknya
diperhatikan ketika muncul indikasi-indikasi
dari tanda-tanda hari akhir. Ini menjadi acuan
sebagai bentuk kehati-hatian dalam masalah
tersebut agar tidak terjebak pada khurafat
dan salah tafsir. Ada tiga hal sebagaimana
yang dipaparkan oleh DR. Muhammad alMuqaddam di dalam Fiqh Asyratis Saa’ah:
1
Tanda-tanda yang muncul kita
tempatkan dalam ranah prediksi
yang bersifat dugaan dan tidak
bersusah payah membuktikannya
dengan tindakan-tindakan dari diri kita.
Karena tanda-tanda tersebut termasuk
alamiah, sudah ditakdirkan dan pasti
terjadi. Dalam hal ini, kita tidak diminta
mengeluarkannya dari alam gaib ke
alam nyata.
2
Memerhatikan periodesasi dan
urutan waktu pada rangkaian
tanda-tanda kiamat yang terjadi
sesuai dengan nash wahyu. Bukan
berdalil pada dugaan dan rekaan.
3
Penantian
tersebut
tidak
berpengaruh negatif terhadap
pelaksanaan tuntutan zaman dan
kewajiban syar’i.
Berdasarkan kaedah-kaedah di atas,
kita perlu berhati-hati dalam menisbatkan
dan memastikan sebuah hal atau peristiwa
sebagai rangkaian pertanda akhir zaman. Ini
agar seseorang tidak terjebak pada penetuan
yang tergesa-gesa dan jauh dari landasan
yang benar, terlebih menyimpang.
Namun demikian, ketika memang ada
sebuah ciri-ciri atau tanda-tanda pasti
dan sesuai nash syar’i akan suatu hal atau
peristiwa, maka seorang muslim berharap
dengan keyakinannya bahwa hal tersebut
memang benar adanya. Misalnya ketika
nantinya muncul sebuah kelompok yang
sesuai dengan ciri-ciri khas—sesuai yang
digambarkan Rasul, maka bisa jadi hal
tersebut memang benar adanya, tanpa
langsung membuat sebuah kepastian haqqul
yaqin bahwa munculnya kelompok itu adalah
salah satu urutan peristiwa akhir zaman.
Perlu benar-benar diyakini, khilafah yang
bermanhaj nubuwah menurut janji Nabi n
pasti akan datang, tidak diragukan lagi. Karena
Nabi n tidaklah bersabda berdasarkan hawa
nafsu. Akan tetapi bagaimanakah datangnya
khilafah tersebut dan di mana bermulanya,
tidak ada jawaban tentangnya.
Perkara ini adalah merupakan kabar yang
gaib, tidak bisa dipastikan kecuali adanya
wahyu. Al-Quran dan As-Sunnah tidak
menerangkan tentang hal itu. Umat Islam
hendaknya berusaha untuk mewujudkannya
dengan mengambil sebab-sebab agar
khilafah dapat tegak. Bukan menunggu
tegaknya dengan sebab-sebab yang tidak
masuk akal dan di luar kebiasaan. Wallahu
a’lam. (Bashir)
kiblat
Ramadhan 1435 h
60