interview

Transcription

interview
100
Explore | Interview
INTERVIEW
LUCIENNE
ANHAR,
TUGU RESORTS
Interview and photography by Mark Eveleigh
Lucienne Anhar,
owner and manager
of the prestigious Tugu
resorts, talks to Colours
about her family’s
devotion to Indonesia’s
artistic heritage.
“I must have been four years old,”
Lucienne Anhar recalls, “but I
remember travelling through Java,
visiting all the farms and paddies
where my father hunted for ancient
artefacts.” Decades later, the search
continues with equal enthusiasm for
both father and daughter.
“The house I grew up in was packed full
with antiques. We just couldn’t fit any
more in. So my lawyer father decided
to build what he described as ‘a small
motel’ in his home town at Malang, so
that he could share his Indonesian
artefacts with the rest of the world,
to be admired as an important part
of our national heritage.”
My lawyer father decided to
build what he described as ‘a
small motel’ in his home town
at Malang, so that he could
share his Indonesian artefacts
with the rest of the world.
That ‘motel’ was the first Tugu property. The
vivacious peranakan (Chinese/Indonesian) daughter
of Anhar Setjadibrata is sitting in the massive
hardwood balé that serves as a lobby for the resort
at Canggu, Bali, as she recalls the impressive
growth of the Tugu brand.
“I don’t travel as widely through the country as I
usedto,” she smiles wistfully. “The resorts take most
of mytime so I am often also in Java and Lombok.”
Like the hotel’s sumptuous suites, the lobby is full of
fascinating items collected from all over Indonesia.
But Lucienne is particularly proud of some of the
things that have been ‘brought home’: “There’s a
room here dedicated to Bali’s Puputan wars (when
thousands of Balinese committed suicide rather than
submit to colonial rule) and half those things were
brought back (to Indonesia) from Holland.”
1. Tugu’s Bali resort
celebrates the old-world charm
of Indonesia with evocative
and spacious hardwood suites
and tropical gardens.
2. A Tugu staff member
demonstrates the talent of the
Balinese for making beautiful
offerings.
3. A ‘penjaga’ temple guardian
on duty in Tugu’s gardens.
A towering Garuda dominates the
E lobby itself.
Lucienne tells the story of the winged deity that
x later – became
carried the god Vishnu (and – much
the symbol for the national airline): “I literally
p near Ubud,” she
trippedover it in a sculptor’s yard
recalls.“It was already dark butl I had the feeling that
it wassomething special and shone my torch right at
itseye. We started digging. Weofound this massive
eight-metre Garuda, half buried in the mud.”
r
In resurrecting the Garuda, Lucienne
showed that
e
she had inherited her father’s tenacity.
“We had to deconstruct the entire front of the hotel
|
to get it into place,” she recalls. “It took a lot of
work… I guess there are really no extremes to which
you can’t go to find a home for beautiful things.”
I
n
t
101
Explore | Interview
Tugu (meaning ‘monument’)
now boasts four beautifully
unique boutique resorts in
Malang, Blitar, Lombok and
Bali. Each is thoughtfully
decorated with pieces from an
art collection that spans the
Indonesian archipelago.
www.tuguhotels.com
Tugu (berarti ‘monumen’)
sekarang memiliki 4 resor unik
di Malang, Blitar, Lombok dan
Bali. Setiap resor didekorasi
secara cermat dengan
barang-barang dari koleksi
seni yang berasal dari
berbagai daerah di seluruh
kepulauan Indonesia.
Tugu’s Gong House Art Gallery is an
Aladdin's Cave of some of the Anhar family’s
finest pieces.
Tugu resorts are liberally adorned with
fascinating pieces representing the diversity
of Indonesian art.
JAKARTA TO DENPASAR
Lucienne Anhar, pemilik dan
manajer resor bergengsi Tugu,
berbincang dengan Colours
mengenai kecintaan keluarganya
terhadap warisan seni Indonesia.
“Sepertinya waktu itu saya berumur empat tahun,”
Lucienne Anhar mengingat, “Namun saya ingat
berkeliling Jawa, mendatangi pertanian dan
sawah- sawah di mana ayah saya berburu
artefak kuno.”
Beberapa dekade kemudian, pencarian itu
berlanjut dengan antusiasme yang sama dari
kedua ayah dan anak itu.
“Rumah di mana saya dibesarkan penuh dengan
barang-barang antik. Lama-kelamaan sudah tidak
ada lagi tempat untuk menyimpan barang-barang
antik itu. Jadi, ayah saya yang seorang pengacara
memutuskan untuk membangun ’motel kecil’ di
kota asalnya di Malang, dengan tujuan agar artefak
Indonesia bisa dinikmati oleh orang lain dan
dikagumi sebagai bagian penting dari warisan
nasional kita.”
‘Motel’ itu adalah properti pertama Tugu. Putri
berdarah peranakan (China/Indonesia) dari Anhar
Setjadibrata yang ceria itu duduk di atas bale kayu
besar yang merupakan lobi resor di Canggu, Bali,
sambil mengingat-ingat sejarah perkembangan
Tugu yang luar biasa.
Flight Time 1 hr, 30 mins
Frequency
98 flights per week
Walaupun masih memiliki ketertarikan
dalam berburu artefak kuno, Lucienne mengaku
sudah tidak memiliki banyak waktu untuk
bepergian seperti dulu lagi. “Resor ini memakan
banyak waktu saya, saya biasanya berada di Jawa
atau Lombok untuk mengelola resor", "katanya
· Denpasar
sambil tersenyum. Seperti kamar hotelnya, lobi
Tugu juga dipenuhi barang-barang antik yang
dikumpulkan dari seluruh Indonesia. Namun,
kebanggaan utama Lucienne terletak pada
barang-barang yang ‘dibawa pulang’: “Ada satu
kamar di sini yang didedikasikan untuk perang
Puputan Bali (di mana ribuan orang Bali lebih
memilih mati daripada menyerah kepada penjajah)
dan setengah dari barang-barang itu dibawa pulang
(ke Indonesia) dari Belanda.”
Sebuah patung garuda tinggi besar mendominasi
lobi resor. Lucienne menceritakan asal usul
makhluk bersayap yang menggendong Dewa
Wisnu (dan – nantinya – menjadi simbol maskapai
nasional) itu: “Saya tersandung Garuda itu di
taman pemahatnya di dekat Ubud,” ingatnya.
“Waktu itu sudah gelap tapi saya memiliki perasaan
akan menemukan sesuatu spesial, jadi saya sinari
benda itu dengan senter dan saya melihat bagian
mata dari sebuah patung. Kami mulai menggali
dan menemukan patung garuda setinggi 8 meter,
setengah terkubur dalam lumpur.”
Penemuannya akan patung garuda itu,
menunjukkan bahwa Lucienne telah mewarisi
kegigihan ayahnya. “Kami harus membangun ulang
seluruh bagian depan hotel untuk memasukkan
patung ini,” ingatnya. “Diperlukan banyak kerja
keras dari berbagai pihak… dan saya rasa kerja keras
itu tidaklah terlalu ekstrim ketika tujuannya adalah
menemukan tempat tinggal bagi barang-barang
indah yang bersejarah.”