place the king in the right position

Transcription

place the king in the right position
PLACE
THE KING
IN THE RIGHT
POSITION
1
Published by ArtSociates
© 2014, ArtSociates, Bandung
Published in conjunction with the exhibition:
Place The King In The Right Position
September 6, - October 5, 2014
Lawangwangi Creative Space, Bandung
and January 10 - January 25, 2015
at Sangkring Art Project, Yogyakarta
All rights reserved. No part of this publication may
be reproduced, stored in a retrieval system, or
transmitted, in any form or by any means, electronic,
mechanical, photocopying or otherwise, without
prior permission of the copyright holder. Copyright
of artwork images belong to ArtSociates and their
respective artists, and essays to the respective authors.
Text by
Asmudjo J. Irianto
Anton Larenz
Translator
Henny Rolan
Dinni Tresnadewi NF
Graphic Design
Arif Setiawan
Photography
Roni Wibowo
ISBN 978-602-14347-2-7
First Edition, September 2014
500 copies
Printed in Yogyakarta, Cahaya Timur Offset
Lawangwangi Creative Space:
Jl. Dago Giri 99, Warung Caringin, Mekarwangi
Bandung, Indonesia
Ph +62 22 250 4065, Fax +62 22 250 4105
[email protected]
2
3
PLACE
THE KING
IN THE RIGHT
POSITION
Franziska merupakan sosok yang kritis melihat
berbagai persoalan di sekitarnya. Hidup
dalam dua budaya, Jerman dan Indonesia juga
menjadi kesempatan baginya untuk mengamati
perbedaan—dan persamaan—di antara kedua
budaya tersebut. Sebagai orang Jerman, mudah
diduga jika Franziska cukup tertarik dengan
nilai-nilai tradisi dan spiritual dalam kebudayaan
Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa, tempat
Franziska saat ini menetap. Seperti umumnya
“orang luar” dia dapat melihat dan merasakan
keistimewaan budaya Jawa, yang mungkin bagi
orang lokal menjadi hal yang biasa. Namun di sisi
lain, Franziska tetap orang Jerman yang secara
kritis melihat berbagai aspek sosial dan politik
yang menurutnya tidak proper di dunia.
Franziska directs her critical mind to look at
the issues around her. Living in two cultures—
German and Indonesian—has allowed her
the opportunity to observe the differences,
and similarities, between them. It is perhaps
easy to deduce her interest, as a Germanborn artist, in the traditions and spirituality of
Indonesian cultures, especially of the Javanese
culture that she is currently inhabiting. As with
other “outsiders”, she is able to observe and
experience the uniqueness of Javanese culture,
which might be considered ordinary by the
locals. On the other hand, Franziska remains a
German person who critically views the various
socio-political aspects around the world that
are, in her opinion, improper.
Karya-karya Franziska di Indonesia bisa
dikatakan merupakan persimpangan berbagai
persoalan yang dilihatnya di Indonesia dan juga
di Jerman, serta relasi di antara keduanya. Hal
itu juga bisa diperlebar menjadi persimpangan
persoalan Barat dan Timur. Dengan kata lain
apa yang dipersoalkan juga merupakan situasi
global saat ini. Sebagai seniman Jerman
yang saat ini menetap di Indonesia, Franziska
seperti berada dalam persimpangan jalan yang
Franziska’s works, created in Indonesia, can be
considered as an intersection or the crossroads
between the various issues she has observed
in Indonesia and in Germany, as well as the
relationships between the two. They can also be
expanded to represent the intersection between
the West and the East. In other words, she is
also questioning or highlighting the current
global situation. As a German artist currently
living in Indonesia, Franziska’s situation can be
4
kondisinya berbeda. Dia dapat melihat kedua
jalan tersebut memiliki sisi baik dan buruknya
masing-masing. Namun ada aspek yang
tampaknya tampil dominan pada kedua jalan
tersebut, yaitu cengkeraman sistem ekonomi
kapital. Globalisasi saat ini memang tidak
bisa dipisahkan dari pemain utamanya, yaitu
kapitalisme. Sudah terlalu banyak ulasan yang
menyatakan bagaimana kapitalisme di samping
mendatangkan kemakmuran juga menhasilkan
kehancuran. Memang kelas menengah yang
lebih makmur terus tumbuh di negara-negara
berkembang. Di atas kertas pertumbuhan
ekonomi mengalami peningkatan. Ruang-ruang
urban dengan gaya hidup konsumtif terus
tumbuh. Namun hal itu tampaknya berbanding
lurus dengan degradasi lingkungan, menipisnya
sumber daya alam, dan lenyapnya pola-pola
tradisi, berikut segala kearifannya.
Pokok soal dalam karya-karya Franziska
memang mengenai dampak kapitalisme.
Tentu saja untuk Indonesia topik dari karyakarya Franziska sangat relevan, perkara
dampak buruk kapitalisme mudah kita jumpai
secara telanjang. Kritik terhadap kapitalisme
merupakan tema yang dominan dalam seni
rupa kontemporer Barat. Kesadaran kritis yang
sama tampak pada Franziska, dia menyadari
betapa konsep ekonomi yang datang dari Barat
tersebut memberikan dampak luar biasa secara
global termasuk pada masyarakat Indonesia.
Pada intinya kapitalisme yang menjadi
pengejawantahan konsep liberal masyarakat
Barat didasari oleh dominasi dan penaklukan,
sebagaimana dikatakan oleh Suzi Gablik,
“For a long time now, the cultural coding of
modern Western civilization has centered
in notion of dominance and mastery: The
dominance of humans over nature, of masculine
over feminine, of the wealthy and powerful
over the poor, and Western over non-Western
cultures. These some goals of dominance and
mastery, which are crucial to our society’s
notion of success have also become the formula
likened to that of standing on an intersection
of two different conditions. She is able to see
the good and bad in each of them. However,
there seems to be a dominant aspect shared by
the two roads: the grip of capitalist economy.
Globalization can no longer be separated
from it lead actor: capitalism. There are too
many reviews and discourses stating how
capitalism leads not only to prosperity but
also to destruction. Certainly, the prosperous
middle class continues to grow in developing
countries. Theoretically, there is an increase
in economic development. Urban spaces
catering to consumptive lifestyle continue to
emerge. However, it is directly proportional to
environmental degradation, depletion of natural
resources, the loss of traditional life patterns
and their attendant wisdoms.
The key subject of Franziska’s works is the
impact of capitalism. Certainly, it is a relevant
subject/theme for Indonesia—the issue of
capitalism’s detrimental impact is clear to see.
Criticisms against capitalism is a dominant
theme in Western contemporary art. The same
critical awareness can be witnessed in Franziska,
in her awareness of how this Western-born
economic concept has a far-reaching, global
impact, including on the people of Indonesia.
At its core, capitalism is the manifestation of
Western liberal society, a concept based on
domination and subjugation, as expounded by
Suzi Gablik,
“For a long time now, the cultural coding of
modern Western civilization has centered
in notions of dominance and mastery: the
dominance of humans over nature, of masculine
over feminine, of the wealthy and powerful
over the poor, and Western over non-Western
cultures. These same goals of dominance and
mastery, which are crucial to our society’s
notion of success, have also become the formula
for global destruction—it is logic a that pervades
every experience in contemporary culture.” 1 5
for global destruction—it is logic that pervades
every experiences in contemporary culture.”1
Yang menghawatirkan, paradigma dominasi dan
penaklukan ini menjangkiti seluruh kebudayaan
global. Dengan kata lain hal itu menjadi mantra
seluruh bangsa. Jika tidak mendominasi maka
akan menjadi mangsa negara/bangsa lain
melalui penjajahan kapital. Tentu saja dalam
logika tersebut, semua memiliki dorongan yang
sama: lebih baik menjadi pemangsa dari pada
dimangsa. Masalahnya untuk jadi pemangsa
tentu harus memiliki modal kapital dan
kekuasaan geopolitik yang besar. Dua hal yang
tak dimiliki oleh Indonesia.
Tentu saja bagi seniman, kesadaran terhadap
situasi tersebut tentu tak berarti harus
sepakat atau semata-mata menentang kredo
kapitalisme, namun mencari alternatifnya.
Seperti dikatakan Suzi Gablik bahwa pemangsa
pun akan sampai pada ujung kehancuran. Upaya
mencari alternatif tampaknya yang melatari
sikap hidup Franziska termasuk keseniannya.
Lukisan-lukisan Franziska yang tampil pada
pameran ini masing-masing bisa dilihat sebagai
cuplikan dari masalah besar yang diangkat sang
seniman. Kendati narasi atau cuplikan tersebut
saling berbeda, namun didasari oleh persoalan
yang sama. Berada dalam persimpangan budaya,
dualisme agaknya menjadi atmosfir yang
melingkupi cara berpikir dan berkarya Franziska.
Hal tersebut terlihat dalam penggarapan
visual karya-karya Franziska. Franziska pandai
mengoptimalkan kemampuannya menggambar,
tapi tidak ke arah realisme fotografis—yang
mementinkan draftmanship yang tinggi. Karyakarya lukis Franziska muncul dengan penggayaan
visual yang menekankan pada metafor.
Cenderung agak digayakan dengan atmosfir
visual Timur, seperti ada jejak-jejak miniature
painting dari Persia dan India yang memang
menjadi inspirasi Franziska. Namun di sisi lain
karya-karya tersebut tetap terasa sebagai
karya seniman Barat, karena tidak terjebak
pada akrobat ketrampilan menggambar,
6
Worryingly, the paradigms of dominance and
mastery have infected all cultures, globally. In
other words, they have become the overriding
mantra of every nation. If not fully dominant,
then the region in question will, sooner or later,
fall under other countries/nations through
capitalistic colonialism. Based on this logic,
everything or everyone has adopted the same
impetus: it is better to hunt than be hunted;
better predator than prey. However, to become
a predator, one must possess a significant
amount of capital and geopolitical power—two
things that Indonesia lacks.
Certainly, as an artist, an awareness of such
situation does not necessarily mean either
concurrence or outright resistance to the
capitalist creed, but to find an alternative.
Suzi Gablik discussed how even a predator
will ultimately encounter destruction. A
desire to discover alternatives have informed
Fransizka’s attitudes in life, including in her
art. Fransiska’s paintings at this exhibition
can be seen as fragments of a greater issue
she wishes to highlight. Despite the narrative
differences, each fragment is created based
on the same issue. Standing on the crossroads
of culture, this dualism seems to become the
atmosphere that envelops Fransizka’s creative
and thought processes. It is evident in the
way she approaches her works. Franziska ably
optimizes her abilities in drawing—although not
towards photographic realism, which requires a
high level of draftsmanship. Fransizka’s paintings
appear with a visual style that emphasizes
upon metaphors. They are mostly stylized with
Eastern visual atmospheres—evident in the
traces of Persian and Indian miniature paintings
that have always been her inspiration. However,
on the other hand, these works still come
across as works created by a Western hand—a
Western artist—because they are free from any
drawing acrobatics; instead, they demonstrate
a very personal visual uniqueness. Her paintings
appear free, as though weightlessly flowing,
and confidently made. Thus, Fransizka’s works
melainkan menampilkan kekhasan visual yang
personal. Lukisan-lukisan tersebut tampak
bebas, mengalir tanpa beban dan dibuat dengan
percaya diri. Karena itu karya-karya Franziska
tampak otentik dan memiliki identitas visual
yang khas dan dikenali sebagai lukisan Franziska.
Secara visual narasi dalam lukisan-lukisan
Franziska bersandar pada bahasa realis,
namun di sisi lain ada kode-kode visual yang
tampil melampaui realisme. Sebagai contoh,
dalam lukisan Blessed Business sosok manusia
yang besar menandakan sosok yang penting,
yang memberikan restu pada sosok-sosok
yang lebih kecil—tampak seperti pengusaha.
Hal ini merupakan pengaruh dari miniature
painting dan metode visual yang banyak kita
jumpai dalam seni rupa tradisi. Dualisme juga
terasa pada narasi karya-karya Franziska yang
umumnya bergerak antara dua kemungkinan,
utopia dan dystopia, antara optimisme dan
keputusasaan, antara kebaikan dan keburukan.
Aspek destruksi dari kapitalisme adalah situasi
persaingan bebas: pihak yang kuat memangsa
pihak yang lemah: seperti hukum rimba:
kehadiran sosok harimau dalam beberapa
karya Franziska bisa jadi merefleksikan hal itu.
Melihat tokoh-tokoh manusia yang memangsa
manusia lain, seperti tampak pada karya
Educational Dynamic dan Softened Brain jelas
merepresentasikan sistem kapital. Sosok-sosok
dalam lukisan Franziska memang kebanyakan
mewakili sosok penguasa lalim dan bobrok dan
sosok yang menjadi korbannya. Namun ada
pula narasi yang netral atau cenderung positif
seperti dalam karya The Good One. Dari narasi
karya-karta tersebut kita dapat merangkai
kemungkinan makna dari karya-karya Franziska.
Sebagai cuplikan, ada bagian-bagian dan latar
belakang yang memang tidak hadir langsung
pada karya-karya Franziska. Demikian pula
harapan-harapan utopis Franziska bisa jadi tak
tampak pada karyanya. Namun jika berbincang
dengan Franziska mengalirlah segala kepedulian
dan harapannya. Salah satu hal paling penting
appear authentic, with a unique visual identity
that is truly recognizable as hers.
Visually, the narrations in Franziska’s paintings
hinge upon a realist’s lexicon, yet, there are
also visual codes that transcend realism. For
instance, in Blessed Business, the large-sized
person seen giving his blessings to smaller
figures appears to be a business mogul of
some sort—his size indicating his perceived
importance. This painting is influenced by
miniature paintings and visual methods usually
encountered in traditional art forms. This sort
of dualism is also evident in the narratives of
her other works that tend to move between
two possibilities: utopia and dystopia, optimism
and despair, virtue and vice. Capitalism’s
destructive aspects appear in the instances
of free competition, where the strong preys
upon the weak; the law of the jungle, so to
speak, reflected by the tigers in several of her
works. See also several human figures preying
on other humans, as in Educational Dynamic
and Softened Brain, clearly representing the
capitalist system. The figures in Franziska’s
paintings tend to represent despotic depraved
rulers and their victims. However, there are
also neutral figures, or even positive ones, as in
The Good One. And thus, we can begin to piece
together the meaning that we might be able to
construe from Franziska’s paintings.
As fragments, there are certain parts or
backgrounds that are not immediately visible in
Franziska’s works. Likewise, Franziska’s utopic
hopes and dreams may not be immediately
discernible, either. However, in conversations,
all of her concerns and hopes will quickly flow
forth. One of the most important things for
Franziska is education. Even here, we can clearly
see Franziska’s dualistic perception concerning
the connection, or relationship, between
capitalism and education. In her opinion, the
quality of education determines a graduate’s
ability to compete within a capitalist’s system.
On the other hand, if we do not agree with
7
bagi Franziska adalah pendidikan. Dalam hal
ini pun tampak persepsi dualisme Franziska
berkenaan hubungan antara kapitalisme dan
pendidikan. Menurutnya kualitas pendidikan
penting untuk menghasilkan lulusan yang
dapat berkompetisi dalam sistem kapital. Atau
di sisi lain, jika tak setuju dengan kapitalisme
maka pendidikan yang baik memberikan modal
untuk dapat mengantisipasi dampak buruk
kapitalisme, dengan “melunakkannya” atau
mencari alternatif lain, setidaknya dalam skala
personal atau keluarga. Tanpa pendidikan yang
baik, maka hanya akan dihasilkan masyarakat
yang mudah dijadikan mangsa oleh kapitalisme.
Franziska menurut saya bukan seniman yang
menentang kapitalisme, namun dia sangat
waspada terhadap sistem ekonomi tersebut.
Bisa jadi dalam beberapa hal dia memang
menolak bagian-bagian negatif dari sistem
tersebut. Hal itu menjadi sikap hidupnya seharihari. Sepengamatan saya Franziska adalah sosok
yang berani hidup cukup spartan. Meninggalkan
kenyamanan hidup dalam ruang-ruang urban di
negaranya, dan tinggal di pinggiran kota Yogya.
Saat ini, tampaknya berkesenian adalah
aktifitas yang paling penting bagi Franziska.
Berkarya bagi Franziska memberikan banyak
hal baginya. Berkarya adalah cara Franziska
berdialog dengan dirinya sendiri. Berkarya
adalah jalan baginya untuk berkomentar tentang
situasi dan kondisi lingkungannya. Dia ingin
karya-karyanya membangkitkan kesadaran
pada pemirsanya mengenai pokok soal yang
direpresentasikannya. Namun pada akhirnya
yang paling penting bagi Franziska adalah
bahwa karya-karyanya dapat memberikan
nutrisi subtil bagi pemirsa. Pada bagian akhir
ini Franziska bicara mengenai tawaran apresiasi
untuk pemirsa, tidak pada konten tapi pada
aspek estetik. Bagaimanapun Franziska sadar
bahwa dia menampilkan karya seni, bukan
sekadar protes atau kritik. Itu sebabnya dia
juga menggarap karya-karya tiga dimensi yang
lebih didasari oleh kebutuhan ekspresi estetik.
Penggayaan karya-karya tiga dimensi itu
8
capitalism, then we can see how good education
can help a person anticipate the ill-influence of
capitalism, by “softening it” or seeking other
alternatives, at least on a personal or familial
scale. Without good education, society will
only become easy prey for capitalism. I think,
Franziska is not an artist who is [blatantly]
against capitalism. She is someone who is very
cautious of that economic system. It may be
that she truly rejects the negative aspects of
this system, in several instances. This is her daily
outlook. Based on my observation, I can say that
Franziska is someone who dares to live sparsely.
She has abandoned the comforts of the urban
spaces of her own country, choosing instead to
live on the outskirts of Yogyakarta.
Currently, it seems that art has become the
most important activity in Franziska’s daily
life. For Franziska, creating has given her
many things. Creating is her way to set up a
dialog with herself. Creating is a way for her
to comment on the situations and conditions
around her. She wants her works to spark an
awareness in her audience, especially on the
subject matter she is representing. Yet, in
the end, the most important thing for her is
that her works can provide a subtle nutrition
for her audience. On this last part, Franziska
tries to invite appreciation from her audience,
not through content, but through aesthetic
aspects. In the end, Franziska is aware that she
is presenting works of art, not mere protests or
critiques. And this is why she has also created
three-dimensional works that are mostly based
on the needs for aesthetic expression. Her
three-dimensional works are stylistically similar
to her paintings, in the form of soft sculptures
created using sewn canvas as the main material.
As with her paintings, these soft sculptures
are very unique, often resembling mutants or
creatures.
Franziska titled her exhibition, Place the King
in the Right Position. The King in question
may be a metaphor with a variety of possible
menyerupai karya-karya lukisanya, berupa soft
sculture dengan bahan kain kanvas yang dijahit.
Seperti juga karya-karya lukisnya, patung-patung
lunak Franziska sangat khas, kadang menyerupai
mahluk mutan.
Pameran ini oleh Franziska diberi tajuk Place
the King in The Right Position. Sesunggunya Raja
yang dimaksud oleh Franziska bisa merupakan
metafor dan dengan berbagai kemungkinan
makna. Hal itu juga terefleksikan dalam karyakarya Franziska. Raja bisa berarti penguasa
dalam beberapa pengertian sekaligus. Saat ini
kapitalisme bisa dinobatkan sebagai raja-diraja
global, sebab kapitalisme mampu mengatur
segala sesuatu di dunia ini sesuai kehendaknya.
Raja juga bisa diwakili oleh para pemilik kapital,
yang menjadi agen utama nasib masyarakat
dunia. Demikian berlapis-lapis tingkatan raja,
sampai akhirnya setiap orang, menurut
Franziska sesugguhnya adalah raja bagi dirinya
sendiri. Artinya, jika setiap orang sadar bahwa
dirinya adalah miliknya paling utama, tentu dia
dapat ikut bermain dan memiliki posisi tawar,
sejauh dia memahami pola-pola kekuasaan yang
berlaku.
Sulit disangkal bahwa kapitalisme telah menjadi
pemain utama dalam sistem global saat ini.
meanings. This is certainly reflected in her
works. The King may mean “ruler” in a number
of ways. Today, capitalism may be regarded as
a global ruler, because of its ability to rule and
govern everything everywhere in the world.
According to Franziska, there are many layers of
“kingship”, so much so that in the end everyone
is actually his or her own ruler. If a person is
aware how the Self is one’s foremost belonging,
then that person will be able to take part in the
“game” and claim a bargaining position, insofar
as he or she is able to understand the prevailing
patterns of power.
It is difficult to deny that capitalism has become
the lead actor in our global system. However,
there are no shortage of people or groups
that can show how capitalism will lead to a
world-wide destruction. Capitalism, through a
network of neo-liberalism, has caused the overexploitation of earth’s resources in its quest
to satisfy global consumption. Certainly there
are thoughts and movements that attempt to
correct capitalism. There are substantial schools
of thought and analyses that can demonstrate
how, in the end, capitalism will only benefit
a small group of people, and even then, only
achievable through significant degradation of
natural resources. A number of dire predictions
9
Namun tak kurang pula pihak yang dapat
menunjukkan bagaimana kapitalisme akan
membawa dunia pada kehancuran. Kapitalisme
melalui jejaring neoliberalisme memang telah
menyebabkan eksploitasi yang berlebih atas
segala sumber yang ada di muka bumi ini,
untuk memenuhi konsumsi masyarakat global.
Tentu saja selalu ada pemikiran dan gerakan
yang berupaya mengoreksi kapitalisme. Cukup
banyak pemikiran dan analisis yang dapat
menunjukkan betapa kapitalisme pada akhirnya
hanya menguntungkan segelitir pemilik modal,
dan itu harus dibayar melalui degradasi sumber
daya alam. Berbagai ramalan buruk ke depan
berkenaan dengan kapitalisme tentu saja
bisa menjadi pemicu bagi banyak pihak untuk
waspada pada sistem ekonomi kapitalisme
yang saat ini menguasai dunia. Masalahnya, di
Indonesia kesadaran mencari alternatif atau
sikap kritis terhadap sistem kapital tersebut bisa
dikatakan absen.
Situasi global terakhir merupakan babak
terakhir dari perjalanan manusia. Namun cerita
manusia dari awal peradaban sampai saat ini
tidak lain tidak bukan adalah: mengenai upaya
manusia untuk saling menguasai. Sejarah
perjalanan manusia tak lain adalah perjalanan
segelintir manusia yang berkuasa dalam
menentukan nasib sebagian besar manusia
lain: rakyat jelata. Catatan sejarah kurang
lebih merupakan catatan mengenai segelintir
penguasa menentukan sejarah dunia. Saat ini,
di penghujung perjalanan manusia, situasinya
kurang lebih sama. Segala kemajuan yang
dibuat manusia tampaknya selalu berbanding
lurus dengan kehancuran yang menyertainya.
Kemajuan teknologi informasi, alih-alih
menyebarkan kebaikan, namun lebih mudah
menyebarkan kerusakan. Pengrusakan alam
semakin parah, dengan hasil anomali cuaca
karena global warming. Kekerasan antara
bangsa, agama (bahkan sesama agama), ras,
etnis terus berlanjut. Jurang antara kelompok
kaya dan miskin semakin melebar, baik antara
negara maupun kelompok sosial. Penjajahan
10
concerning capitalism may trigger a wariness
about the capitalistic economy ruling the world
today. Unfortunately, Indonesia still lacks any
attempt to seek alternatives or to take a critical
stance against capitalism.
The most recent global situation is the final act
in the journey of humanity. However, the story
of mankind—from the beginning of civilization
until today—is none other than a story of
mankind’s attempt to rule over one another.
The history of humanity is none other than the
history of the journeys made by a few powerful
people to determine the fate of many, those of
the commoners. Historical records are mostly
records of how these few rulers turned the
global tide. Today, at the end of humanity’s
journey, the situation remains mostly the same.
All of humanity’s progress is proportional to its
attendant destruction. Rather than spreading
goodwill, progress in information technology
seems to facilitate the spread of destruction.
Nature is further degraded, causing weather
anomalies through global warming. Acts of
violence perpetrated amongst different nations
and different religions (even within the same
faith), amongst diverse races and ethnicities
continue. The gap between the haves and the
have-nots only widen, either across nations
or across social groups. The subjugation of
fellow men does not abate. Colonialism and
exploitation through economic power has
become the most visible reality, spreading and
seeping into all corners of the world.
antar manusia tak berkurang. Penjajahan dan
eksploitasi melalui kekuatan ekonomi saat ini
agaknya menjadi hal yang paling nyata, dan
marasuk ke seluruh penjuru dunia.
Itu semua kita tahu. Namun kita sepertinya
tak tergerak untuk berani mengubahnya.
Atau mulai mengubahnya. Franziska adalah
seniman yang memiliki semangat dan pemikiran
untuk mencari alternatif, setidaknya dari sikap
hidupnya sendiri. Franziska ingin menjadi raja
bagi dirinya sendiri, tak ingin mudah kalah oleh
gempuran prinsip-prinsip kapital. Hal ini menjadi
dasar dari misi kesenian Franziska. Keyakinan
tersebut yang menjadikan pendorong utama
dan bahan bakar bagi intensitas berkeseniannya.
Dia bergerilya secara mandiri. Franziska adalah
penganut perubahan kecil atau sedikit demi
sedikit. Misi tersebut disampaikan melalui
karya-karyanya dan menjadi gaya hidup yang
diyakininya dengan rasa bahagia.
believes in small, incremental changes. And she
communicates her mission through her works,
and through her lifestyle, all of which she does
with a happy heart.
Bandung, Late August 2014
Asmudjo J Irianto
//Endnotes
1. Suzi Gablik, The Reenchantment of Art (London: Thames
and Hudson, 1995), pg. 117.
Bandung, Akhir Agustus 2014
Asmudjo J Irianto
//Endnotes
1. Suzi Gablik, The Reenchantment of Art (London: Thames
and Hudson, 1995), hlm. 117.
We are aware of these things. However,
we seem to lack the courage to change the
situation, or to even begin to change it.
Franziska is an artist who has the desire and the
thought to seek alternatives, if only in her own
lifestyle and attitudes. She wishes to become
her own ruler, not easily defeated by capitalist
principles. This is the basis of Franziska’s
artistic mission. This conviction has become
her main motivator and the fuel for her artistic
intensity. She fights her own guerrilla. Franziska
11
12
13
Blessed Business, 2014
Acrylic, ink, gold ink and gouache on paper
24 x 32 cm
Just Eat It-Just Beat It, 2014
Acrylic, ink, gold ink and gouache on paper
24 x 32 cm
14
The Good One, 2014
Acrylic, ink, gold ink and gouache on paper
24 x 32 cm
15
The Softened Brain, 2014
Acrylic, ink, gold ink and gouache on paper
32 x 24 cm
Bunga Bakung Buat Anda (A Lily For You), 2014
Acrylic, ink, gold ink and gouache on paper
32 x 24 cm
The Humble Regent (Bupati yang Rendah Hati), 2014
Acrylic, ink, gold ink and gouache on paper
32 x 24 cm
16
17
Javanese Concept of Power, 2014
Acrylic, ink, gold ink and gouache on paper
32 x 24 cm
Fusion Forward, 2014
Acrylic, ink, gold ink and gouache on paper
32 x 24 cm
18
Multiple King, 2014
Acrylic, ink, gold ink and gouache on paper
32 x 24 cm
19
Education Dynamics, 2014
Acrylic, ink, gold ink and gouache on canvas
150 x 100 cm
20
Menempatkan Raja, 2014
Acrylic, ink, gold ink and gouache on canvas
150 x 100 cm
21
Inner Majesty, 2013
Acrylic and ink on canvas
165 x 140 cm
N-eat You So Much, 2014
Acrylic and ink on canvas
165 x 140 cm
Our Plates Are Filled From The Same Source, 2014
Acrylic, ink, gold ink and gouache on canvas
150 x 150 cm
22
23
Sitting on The Spirit of The Past, 2014
Acrylic and ink on canvas
65 x 40 cm
Indonesian Tiger, 2013
Acrylic and ink on canvas
140 x 90 cm
24
25
Heavy Decision, 2014
Acrylic and ink on canvas
65 x 50 cm
26
Infusion, 2014
Acrylic and ink on canvas
65 x 50 cm
27
The Tiger Monitors The Lactating Doe, 2014
Acrylic and ink on canvas
155 x 290 cm (two panels @155 x 145 cm)
28
29
Business Man on a Pillow, 2014
Acrylic and ink on canvas
80 x 60 cm
Raja Sakti, 2014
Acrylic, ink, gold ink and gouache on paper
32 x 24 cm
30
31
32
33
Kembali ke Jalur Sutera – Sebuah Perjalanan dari Barat
menuju Timur (dan sebaliknya)
Return to Silk Road - A Journey from the West to the East
(and reverse)
PLACE THE KING
IN THE RIGHT POSITION
Artworks by Franziska Fennert
Dunia yang kita tempati hanyalah kumpulan citraan semata, yang kita
pelajari untuk kita ciptakan, semenjak kita masih kanak-kanak. Dunia
tersebut sesungguhnya adalah satu-satunya warisan dari satu generasi
pada generasi selanjutnya. Saat ada cukup orang yang dapat melihat
“padang rumput” ini, menyimak “rerumputan” ini, dan merasakan angin
musim panas, maka kita dapat berbagi pengalaman tersebut bersamasama. Namun, seperti apapun bentuk yang telah diperuntukkan bagi kita
dari sejarah, pada kenyataannya yang masing-masing kita cerap dalam
kehidupan hanyalah citraan dari jiwa kita sendiri
The world in which we live is simply a collective visualization, which we
are taught to make from our early childhood. It is, in actual fact, the only
thing that one generation hands on to the next. When a sufficient number
of people see this steppe, this grass and feel this summer wind, then we
are able to experience it all together with them. But no matter what forms
might be prescribed for us by the past, in reality what each of us sees in
life is still only a reflection of his own spirit.”
Victor Pelevin: Buddha’s Little Finger, p. 235
34
Franziska Fennert tumbuh di Jerman bagian
timur, di kota Rostock, sebuah kota pelabuhan
di tepi Lautan Baltik. Saat ia berusia lima tahun,
Franziska beserta kedua orangtuanya pindah ke
tempat yang sangat terpencil, ke sebuah rumah
di tengah hutan. Suatu tempat yang sedikitnya
mengingatkan kita akan adegan-adegan dari
cerita rakyat Jerman (“Marchen”). Rumah ini
berlokasi di hutan yang dikelilingi pepohonan
dengan bermacam fauna hutan seperti rusa dan
babi liar hidup di sekitarnya.
Franziska Fennert had grown up in the Eastern
part of Germany, in the town of Rostock, a
harbor town at the Baltic Sea. At the age of
five years she had moved from there with her
parents to some very remote place, - to a lonely
house in the middle of the forest, a place that
reminds a little of scenes from well known old
German folk tales (“Märchen”), located in the
forest surrounded by trees with many forest
animals like deer and wild pigs living around that
place.
Pada masa Jerman Romantik, berbagai cerita
rakyat dan legenda dihimpun—di antaranya
–oleh Grimm bersaudara. Mereka telah
menerbitkan sebuah buku koleksi cerita rakyat
Jerman (“Marchen”) yang sangat terkenal. Di
Jerman buku ini telah menjadi bagian dari hidup
sehari-hari. Anak-anak dibacakan kisah-kisah
dari buku ini sebelum mereka tidur.
During the time of German Romanticism folk
tales and legends had been collected among
others by the brothers Grimm who had
published their famous collection of German
“Märchen”. Such books had become household
items, children were read the stories before
they went to sleep.
Hutan-hutan Jerman menjadi semacam padanan
kata bagi ruh bangsa Jerman, karena adanya
ikatan yang mendalam di antara orang-orang
Jerman dengan lingkuan alam sekitar mereka.
Pepohonan adalah cerminan kekuatan mistis
sang alam. Hutan merupakan perlambang
citraan emosional yang kuat yang dipadukan
ke dalam mitos-mitos; mengisyaratkan misteri;
jalan-jalan setapak menuju wilayah yang gelap
dan terlarang, yang dihuni oleh peri-peri dan
kurcaci dan berbagai mahluk supranatural
lainnya; suatu wilayah imajinasi yang penuh
bahaya, yang juga menghela rasa penasaran;
mengilhami fantasi dan memicu berbagai
petualangan. Sebuah tempat yang ideal bagi
seorang seniman untuk tumbuh di masa kanakkanak, untuk kemudian membentuk kreativitas
dan imajinasi....
Di masa dewasanya Franziska Fennert
masih mempertahankan jiwa petualangnya;
melancong sendirian ke negeri-negeri asing,
mencari segala hal yang berbeda dari yang
ia alami sebelumnya, atau [sekadar] mencari
tantangan baru. Pada kisah-kisah romantik,
topik pengembaraan seringkali muncul. Sang
tokoh utama meninggalkan tempat mereka
The German forest became a synonym for the
German soul, for that deep connection of the
Germans with their natural surroundings. The
trees represented the mystifying power of
nature. The forest was symbolized by a strong
emotional imagery that was incorporated into
myths, suggesting mystery, paths into the dark,
forbidden areas inhabited by fairies and gnomes
and other supernatural beings. An imaginary
zone that is full of dangers, but that also attracts
curiosity, inspiring fantasies and challenging
for adventures. An ideal place for an artist to
grow up as a child, to shape her creativity and
imagination…
In her later years Franziska Fennert had kept this
sense of adventure, traveling alone to foreign
countries, seeking something different from
her previous experiences, or new challenges. In
the Romantic tales the motif of the journey is
often used, the heroes (or heroines) leave their
original place, mostly by walking, looking for
something else, or striving for happiness. Some
of these sojourners or wanderers in these tales
reach their goal, or discovered the ideals they
were looking for, - others failed, went back or
never finished their quest.
35
berhasil menyentuh Franziska. Menurutnya
lukisan-lukisan tersebut adalah ekspresi spiritual
yang penting dan sangat bermakna yang berasal
dari Timur.
berasal, biasanya dengan berjalan kaki, mencari
sesuatu yang berbeda, atau berupaya meraih
kebahagiaan. Beberapa dari para petualang dan
pengembara ini pada akhirnya mencapai tujuan
mereka, atau menemukan cita-cita yang mereka
cari. Sebagian lagi gagal, pulang atau tak pernah
menuntaskan petualangan mereka.
Sumber imajinasi lain bagi Franziska adalah
sastra dan filsafat, dengan menukil karya
Gottfried Willhelm Leibniz sebagai filsuf
idolanya. Franziska berkisah mengenai
perpustakaan kakeknya, tempat ia menemukan
buku-buku. Beberapa di antaranya adalah buku
mengenai legenda dan kisah-kisah dongeng;
dan mengenai “Perpustakaan Sastra Dunia”
yang memuat novel-novel karya penulis tenama
dari bermacam negara. Franziska berujar:
“Apa yang bisa kau lakukan di tengah hutan?
Tak banyak kegiatan menghibur tersedia di
sana...” Membaca telah membawa Franziska ke
sebuah dunia paralel penuh dongeng mitos dan
imajinasi.
Pengaruh Kesusastraaan
Para penulis asal Rusia adalah yang paling
memikat Franziska. Beberapa di antara mereka,
antara lain Dostoevsky, Turgenjew, dan Tolstoy.
Selain itu, [Franziska] juga [terpikat oleh] penulis
paska-Soviet kenamaan, Victor Pelevin, yang
dikenal luas akan gayanya yang imajinatif dan
preferensinya terhadap filsafat timur (terutama
Zen), dan juga akan kisah-kisah ganjil nan nyata
tentang monster-monster yang senantiasa
menantang benak para pembacanya akan
realitas (misal: “The Sacred Book of Werewolf”).
Setelah membaca novel-novel Rusia, Franziska
merasakan semacam simpati bagi Rusia dan/
atau Kebudayaan Rusia, yang kemudian
membuka jalan bagi apresiasinya terhadap
seni rupa Rusia, seperti lambang-lambang
dan lukisan naif karya Marc Chagall. Franziska
berujar bahwa hewan-hewan pada lukisan
(Chagall) tampak sangat hidup baginya, seakan
seseorang telah memberi nyawa pada mereka.
Menyimak lukisan simbolis yang dibuat sebagai
perangkat meditasi dan sembahyang juga selalu
36
Another source of Franziska Fennert’s
imagination is literature and philosophy, citing
Gottfried Wilhelm Leibniz as her favorite
philosopher. She told about the library of her
grandfather where she found among other
books legends and fairy tales, and also “The
Library of World Literature” which contained
novels of famous writers from many different
countries. She said: “What could you do in the
middle of a forest? There wasn’t much other
entertainment available… “.Reading took her to
a parallel world of myths and imagination.
Literary Influences
The Russian writers impressed her most, among
them Dostoevsky, Turgenjew and Tolstoy. But
also the renowned Post-Soviet writer Victor
Pelevin who is known for his imaginative style
and his preference for Eastern philosophy
(especially Zen) and bizarre, yet vivid tales
about monsters that are supposed to shake the
reader’s mind of reality (“The Sacred Book of
the Werewolf”). After having read the Russian
novels she still feels certain sympathy for Russia
and/or Russian culture, later leading her path
to appreciate Russian arts, like icons and naïve
Ketertarikan Franziska pada lukisan miniatur
juga terinspirasi oleh pembacaan sebuah novel
“My Name is Red”—karya penulis-nobelis Turki,
Orhan Pamuk—yang menggambarkan karakter
dan pandangan hidup pelukis miniatur di masa
Ottoman. Orhan Pamuk mengisahkan cerita
yang sangat mendetail tentang pertemuan
antara seni Barat dan Timur di Konstatinopel
dan memicu semacam perbenturan budaya.
Para seniman lukisan miniatur menyambut
pengaruh asing (Barat) ini dengan kebimbangan
dan kecemburuan, namun di saat yang sama
mereka juga merasakan kekaguman dan
penghormatan terhadap teknik realis lukisan
potret dan perspektif dari Barat. Meskipun
demikian, mereka tetap merasa angkuh akan
tradisi seni mereka yang dipengaruhi gaya
lukisan Cina—yang masuk ke Turki melalui
Iran setelah invasi bangsa Mongol. Ketakutan
yang menyusul terhadap pesaing dari barat ini
merupakan topik yang sering muncul dalam
perdebatan di antara para seniman lukisan
miniatur kala itu.
Petualangan terhadap Bentuk
paintings or Marc Chagall. She says that the
animals in these paintings looked so alive to her
as if somebody had given a real soul to these
figures. Looking at the icon paintings which
originally were in use as tools for meditation
and praying always touched her. They are an
important and deeply spiritual expression from
the East.
Franziska Fennert’s interest in miniature
painting had also been inspired by her reading
of “My Name is Red”, a novel of the Turkish
Nobel prize winner Orhan Pamuk who describes
in that novel the characters and the views of
life of the Ottoman miniature painters. Orhan
Pamuk tells in very detailed stories about
the encounter of Western and Eastern art
coming to Constantinople and evoking a kind
of cultural clash. The miniature painters react
with confusion and jealousy towards these
foreign influences, but they feel at the same
time admiration and respect for these new
realist techniques of portraiture and painting
perspectives. But they feel also proud of their
own art tradition that has been influenced
formerly by Chinese painting, coming through
to them from Iran after the Mongol invasion.
Upcoming fears about the new Western
competitors are a frequent topic in the debates
among the miniature painters.
Keputusan Franziska untuk mempelajari
seni rupa dan menjadi pelukis, dipandu oleh
hasratnya dalam menyimak sesuatu yang ia
tafsirkan sebagai “orisinil” dan “transenden”.
Saat ia berbincang mengenai seni secara luas,
ia merujuk ikon-ikon Rusia sebagai salah satu
pengaruh terkuat dalam karir permulaannya
sebagai seorang seniman (beberapa dari
pengaruh ini masih terlihat dalam lukisanlukisannya belakangan, misalnya penggayaan
perspektif dari wajah-wajah karya figurnya, yang
tampak beratmosferkan tenggelamnya seorang
manusia dalam kumparan batinnya sendiri,
seolah menjaga suatu teka-teki).
The Quest for the Form
Citraan, gaya, dan teknik lain yang memukau
Franziska adalah lukisan miniatur Oriental, yang
Other images, styles and techniques that
impressed her were the Oriental miniature
Her decision to study arts and to become a
painter was guided by the wish to look for
something that she considers as “original”
and “transcendent”. When she talks about art
generally, she refers to the Russian icons as one
of the most powerful influences in the beginning
of her career as an artist. (Some if this influence
is still visible in her recent paintings, for example
the stylized view of the faces of her figures,
holding an atmosphere of persons sunk into
their inner spheres and thoughts, like guarding
some mystery.)
37
telah memancing bakat istimewa Franziska akan
komposisi ruang—alih-alih datarnya dimensi
lukisan-lukisan tersebut.
paintings which revealed to her a special ability
of composition of space, - in spite of their
flatness.
Pada lukisan tinta dan lanskap Cina, Franziska
menemukan kemerdekaan dan pemusatan
pikiran, seperti yang ia dapat dari seni cukil
kayu Jepang. Saat pertama kali menetap di
Yogyakarta, Franziska mempelajari Batik dan
lukisan wayang dan berbagai teknik seni rupa
Jawa lainnya. Ia menghimpun lebih banyak lagi
pengetahuan yang menambah keterpukauannya
pada seni dan kebudayaan Asia.
In Chinese ink and landscape paintings she
found freedom and concentration. and Japanese
wood prints. During her first long stay in
Yogyakarta she had studied Batik and wayang
painting and other Javanese art styles, collecting
more knowledge and adding to her continuing
fascination with Asian arts and cultures.
Franziska memahami karya-karyanya sebagai
suatu sumbangsih (atau penghormatan) bagi
seni lukis non-Barat. Ia terutama menyukai
dimensi dari lukisan dengan teknik datar
(flat), dengan perspektif hanya ditengarai oleh
penggunaan pulasan bermacam warna.
Pada karya-karya terbarunya ini ada banyak
rujukan terhadap berbagai gaya (pengaruh)
yang telah disebutkan di atas. Namun demikian,
Franziska tentunya tidak mengakui diri sebagai
seorang ahli dalam teknik lukisan Cina ataupun
teknik lainnya yang diinspirasi oleh elemenelemen dari beragam seni rupa Asia.
Studi Franziska terhadap seni rupa Asia,
ia anggap sebagai titik berangkat untuk
menemukan bahasa visual miliknya sendiri,
untuk menunjukkan berbagai hal yang ia
anggap penting dalam sejarah panjang
perjumpaan (pertukaran) artistik, filosofis,
politik, dan ekonomi di antara berbagai bagian
dunia yang dahulu dikenal sebagai “Timur”
dan “Barat”. Franziska memadukan berbagai
macam pengaruh ini untuk menciptakan sudut
pandang personal dan subjektif akan dunia,
untuk kemudian membentuk semesta pribadi
miliknya yang dipenuhi muatan berupa simbol
penuh makna dan berbagai rujukan. Dengan
karyanya Franziska hendak membuka jendela
untuk melihat perspektif baru dan berbeda
tanpa melupakan dari mana gagasan tersebut
berasal. (Karyanya) ini adalah kesinambungan
dari percakapan antara Timur dan Barat (dalam
38
She understands her works as a dedication (or
homage) to non-Western painting. Especially
she likes how dimensions are painted in a flat
technique, perspectives only indicated through
the different shades of color.
In her current works many allusions to these
aforementioned styles can be found. She does
certainly not claim that she is highly skilled in
the techniques of Chinese painting or any other
kind of technique that is inspired by elements
from different Asian arts.
Her studies of Asian arts she considers just as a
starting point to find her own visual language to
show what is important to her in the long history
of artistic, philosophical, political and economic
exchange in the relationships between the parts
of world that were once signified or labeled as
“East” and “West”. She combines all these
different influences to create her subjective and
personal view of the world, shaping her private
universe filled with deep symbolic contents
and allusions. With her artworks she wants to
open a window for seeing other perspectives
and different angles without to forget where
these ideas came from. It is the continuation
of dialogue between East and West (what ever
these words still mean in the times of ongoing
globalization), a dialogue that has begun by
many generations of artists before her without
ever coming to an end.
Romanticism in Modern Times
Franziska Fennert never felt drawn to modern
arti apapun dua kata ini dapat dipahami di
masa globalisasi yang kini berlangsung), suatu
perbincangan yang telah dimulai oleh sejumlah
generasi seniman sebelum Franziska yang belum
mencapai titik henti hingga kini.
Romantisme masa Modern
Franziska Fennert tidak pernah merasa tertarik
pada seni rupa Konseptual Modern, yang—
merujuk pada ucapannya sendiri—tampak
“hampa” dan “dingin”. Dari sudut pandang
tertentu, hal ini bersesuaian dengan perspektif
kaum Romantik yang, sebagaimana layaknya
prinsip seorang Friederich Segel—salah seorang
pemikir Romantik Jerman ternama—bergulat
melawan modernitas.
Secara umum, bangsa Jerman dikenal memiliki
reputasi sebagai masyarakat yang sangat
teratur, tertib, efisien dan mengelola diri dengan
baik. Franziska Fennert pernah berkata bahwa
ia merasa gelisah dengan cara hidup masyarakat
Jerman tersebut. Ia cemas akan hilangnya
beberapa nilai [lama], hilangnya suatu cerapan
akan tujuan yang dapat melampaui ambisiambisi individual.
Sikap Romantik terhadap modernitas dapat
digambarkan sebagai berikut:
“Sensibilitas romantik tercermin dalam
pengalaman akan kehilangan. Dalam masyarakat
kapitalis modern sesuatu yang berharga telah
hilang, baik pada tataran individu maupun
kemanusiaan secara luas. Beberapa nilai
hakiki kemanusiaan telah disisihkan—nilainilai kualitatif yang digantikan oleh nilai-nilai
kuantitatif murni yang merupakan pengaruh
kuat dalam kehidupan modern. Ketersisihan ini,
kentara terasa, seringkali dialami sebagai sebuah
pengasingan: dalam memaknai jiwa Romantik,
Friederich Segel menyebut tentang sang jiwa
yang berada “di bawah dedalu pengasingan”.”
(Robert Sayre dan Michael Loewy: 2005:435)
Nostalgia akan surga yang hilang biasanya
diikuti oleh sebuah petualangan untuk mencari
Conceptual art which appeared to her –
according to her own words - as “void” and
“cold”. In a certain sense this attitude
corresponds with the Romantics’ view who – like
Friedrich Schlegel, one of the most important
German Romantic thinkers - struggled against
modernity.
Generally, Germany has a reputation as a very
regulated, orderly, efficient and well-managed
society. Franziska Fennert mentioned to feel
discontent with the ways German society has
taken. She is concerned about a loss of values,
missing a sense of purpose that goes beyond
individual ambition.
The Romantic attitude towards modernity has
been described as follows:
“Romantic sensibility reflects an experience
of loss. In modern capitalist reality something
precious has been lost, at the level of both
individuals and humanity at large. Certain
essential human values have been alienated
– qualitative values as opposed to the purely
quantitative exchange value that predominates
in modernity. This alienation, keenly sensed,
is often experienced as exile: in defining the
Romantic spirit, Friedrich Schlegel speaks of the
soul ‘‘under the willows of exile’’ “ (Robert Sayre
and Michael Loewy: 2005:435)
Nostalgia for the lost paradise is generally
accompanied by a quest for what has been lost,
39
apa yang telah hilang, kembali lagi ke akar, dan
menemukan-ulang sang asal.
going back to the roots, or re-discovering the
origin.
Hagemoni, Relasi Kekuasaan dan Bentukbentuk Simbolisnya
Hegemony, Power Relations and their
Symbolical Forms
Meskipun secara permukaan karya Franziska
Fennert tampak halus dan lembut, namun
hadir sebuah konsep di balik narasi visualnya
yang menyertakan hubungan antara Timur
dan Barat dalam kerangka politis dan historis.
Hubungan antara Timur dan Barat dalam hal
ini senantiasa dibayang-bayangi oleh sejarah
kolonialisme dan imperialisme, bahkan hingga
kini. Peperangan kolonialisme, penindasan,
dan eksploitasi; merupakan sisi kejam dari
hegemoni yang didirikan oleh kekuatan Barat di
Asia (dan tentunya di berbagai belahan dunia
lainnya). Hegemoni ini mewariskan pula tradisi
diskriminasi rasialis di tengah rakyat Asia yang
masih terjadi, bahkan setelah kekuatan kolonial
runtuh. Globalisasi yang terjadi kini juga dapat
diartikan sebagai bentuk baru siasat para kaum
imperialis.
Although the surface of Franziska Fennert’s
looks soft and mild there is a concept behind her
visual narrative that puts the relations between
East and West in a political and historical
context. The relationships between East and
West have been darkened by the history of
colonialism and imperialism until today. Colonial
wars, oppression and exploitation were the
cruel side of the hegemony that was established
by Western powers in Asia (and certainly, in
other parts of the world, too). This hegemony
included racialist discrimination of Asian peoples
that did not end after the colonial Empires
had collapsed. Globalization now could be
understood as a new version of the imperialist
strategies.
Dengan figur sang Raja (pada karyanya),
Franziska telah memilih suatu metafora
atau petunjuk dalam menjelaskan hubungan
antara beragam kekuatan yang ada. Ia juga
mempertanyakan apakah hierarki dan hegemoni
ini telah tertoreh demikian dalam dan luas
ke dalam benak umat manusia masa kini—
seperti suatu arketip. Di seluruh penjuru dunia
pergumulan untuk kekuasaan dan upaya untuk
mendominasi dapat ditemui dalam berbagai
bentuk dan ukuran. Sang Raja di sini adalah
model purba akan sebuah kepemimpinan, yang
merujuk kembali pada bentuk-bentuk keputusan
kekuasaan dan otoritas yang terlegitimasi secara
religius.
Salah satu contoh kepemimpinan tersebut yang
cukup terkenal adalah “Putera dari Surga”,
seorang raja Cina yang diberi Mandat dari
Surga—atau dari Kaisar Jepang yang dianggap
bagai tuhan. James Frazer dalam “Golden
Bough” menyebutkan bahwa sang Raja Sakral,
yang memiliki hubungan dengan tetumbuhan
40
With the figure of the king Franziska Fennert
has chosen a metaphor or a clue for explaining
these power relationships. She is also asking if
these hierarchies and hegemonies are deeply
and universally engraved into the human mind,
like an archetype. All over the world the struggle
for power and striving for domination is to be
found in varying forms and degrees. The king is
an ancient model of leadership, going back to
religiously legitimized forms of the execution of
power and authority.
Famous examples are the Son of Heaven, the
Chinese emperor who was given the Mandate
of Heaven, or the Emperor of Japan who was
revered as a god. James Frazer in his “Golden
Bough” spoke of the Sacred King who was
related to vegetation and fertility, responsible
for good harvests and the well being of his
people. When catastrophes like floods, droughts
or earthquakes occurred, these natural disasters
were considered as the failure of the king who
would be replaced as soon as possible or, in
the words of James Frazer, sacrificed. Dynasties
were not supposed to last forever.
dan kesuburan tersebut, bertanggungjawab
akan nasib panen dan kesehatan rakyatnya. Di
saat terjadi bencana seperti banjir, kekeringan
dan gempa bumi, kejadian alam ini dianggap
sebagai kegagalan sang raja yang akan kemudian
diganti selekasnya, atau dalam istilah James
Frazer, dikorbankan. Karenanya sebuah dinasti
kerajaan tak akan bertahan cukup lama.
In modern times only a few monarchies have
survived and just some of these kingships
actually still old their grip on political power like
King Bhumiphol of Thailand, for mentioning an
example from Southeast Asia. The structures
of power are more complicated today, royal
leaders depending on the will of elites, in many
cases also the military, and the people.
Di masa modern hanya sejumlah monarki
yang mampu bertahan dan hanya beberapa
kerajaan yang masih menggenggam kekuatan
politik, Raja Bhumipol dari Thailand adalah
salah satu contoh dari kawasan Asia Tenggara.
Kerangka kekuasaan menjadi lebih rumit saat
ini, bangsawan penguasa bergantung pada
kehendak kaum elite, dan terutama bergantung
pada kekuatan militer dan kehendak rakyat
banyak.
Several paintings of Franziska Fennert show the
king (or similar power figures) in a prominent
position, for example “The humble Regent”,
“Raja sakti”, “The Multiple King” and ”Place the
King in the Right Position”, metaphorically or
symbolically modified, according to the given
meanings which depend on the power relation
she is referring to. This could be a traditional
religious context, a local power struggle or
even the relationships between genders, as it is
shown in ”Place the King in the Right Position”.
Pada beberapa lukisan karyanya, Franziska
sengaja menempatkan sang Raja (atau figur
serupa) di posisi yang mencolok, seperti yang
bisa dilihat pada “The Humble Regent”, “Kera
Sakti”, “The Multiple King”, dan “Place the King
in the Right Position”. Posisi ini diatur secara
metaforis dan simbolis, sesuai dengan maknanya
masing-masing, yang juga sesuai dengan
referensi Franziska terhadap berbagai hubungan
kekuasaan. Setiap lukisan dapat menjadi sebuah
konteks religius, sebuah perjuangan lokal atau
bahkan hubungan antar gender—seperti yang
dapat dilihat pada karya “Place the King in the
Right Position”.
Salah satu metafora kekuasaan yang penting
adalah sang gurita, yang menurut Franziska
merupakan jenis hewan yang paling cerdas.
Tentakel sang Gurita merupakan perwakilan
lengan-peraih berukuran panjang milik para
penguasa, yang juga dapat diartikan sebagai
kiasan akan suatu kehadiran yang tak terduga,
karena sang gurita dapat meraih ke berbagai
arah tanpa bisa diterka.
Gurita adalah mahluk yang misterius dan
ajaib. Hewan ini telah diteliti para ahli biologi
laut untuk mendapat jawaban akan berbagai
Another important metaphor of power is
the octopus which is according to Franziska
Fennert the most intelligent animal species. The
tentacles represent the long reaching arms of
power, but this also a simile for unpredictable
presence, because the octopus can reach out to
all directions into unforeseeable ways.
The octopus is still a very mysterious and
miraculous creature, researched by marine
biologists with the intention to find answers for
the many unknown facts about this fascinating
sea animal. According to research reports the
octopus recognizes its environment through the
neurons in the tentacles. Usually these neuron
cells are only found in the brain of living beings.
That means that the octopus thinks and feels
through the extremities, having a much wider
scope to detect what is happening around it, like
a sonic radar system. Octopus is also a master
of camouflage, being able to change color
and shape, even able to make itself invisible
for protecting from enemies. The motif of the
octopus is visualized in painting and as well as
installation (“Fusion to raise an equal conscious
mind”)
41
hal yang belum diketahui mengenai mereka.
Berdasarkan suatu laporan penelitian, gurita
mengenali lingkungan sekitar tempat ia tinggal
melalui sel-sel syaraf pada tentakel mereka.
Biasanya sel syaraf ini hanya ditemukan di
bagian otak mahluk hidup. Fakta ini memiliki arti
jika gurita berpikir dan mencerap melalui kondisi
yang ekstrim, dengan dimilikinya fasilitas yang
lebih luas untuk mengindera berbagai hal yang
terjadi di sekelilingnya, seperti suatu sistem
radar (ultra) sonic. Gurita juga merupakan
ahli menyaru. Ia mampu berubah warna dan
bentuk, bahkan membuat dirinya tak tampak
untuk melindungi diri dari musuh. Motif gurita
ditorehkan Franziska ke karya-karyanya, baik
pada karya lukis maupun karya-karya instalasi.
kekuasaan dapat menarik diri... menata-ulang
kekuatannya, dan mempertaruhkan diri di
tempat lain” (1980: 56).
Mahluk semacam gurita adalah simbol yang
tepat dan anggun bagi kekuasaan, karena
kekuasaan tidaklah perlu ditonjolkan, meskipun
tentunya ia perlu berubah sesekali untuk
mempertahankan dominasi miliknya. Pemikir
posmodern Michel Foucault menggambarkan
diskursus kekuasaan sebagai suatu panoptikum
(alat yang dapat menangkap atau melihat semua
benda sekaligus), yang dapat memantau dan
mengatur dari luar sistem di setiap saat dan dari
setiap penjuru tempat.
Setelah terkuaknya aktivitas spionase global
Amerika Serikat oleh Edward Snowden, ada
lebih banyak gambaran jernih mengenai
bagaimana cara kerja dan mekanisme kekuasaan
saat ini. Seperti halnya tentakel-tentakel
gurita, yang berupaya menangkap tiap carik
informasi yang ada, kekuasaan memiliki arti
mengumpulkan sebanyak mungkin informasi.
Teknologi yang haus-data melalui internet
dipasok oleh jutaan data setiap detiknya.
Salah satu istilah penting dalam teori yang
digulirkan Foucault adalah “episteme”—suatu
modul-modul pengetahuan yang ditanamkan
ke dalam benak masyarakat; sehingga dapat
menguasai masyarakat melalui gagasan dan
pikiran yang mendominasi. Modul-modul ini
juga dapat diubah ke dalam bentuk citraan,
sehingga media visual seperti seni rupa memiliki
peranan penting dalam proses penciptaan dan
pemindahan kekuasaan. Masyarakat mengikuti
arahan-arahan ini, yang diterima sebagai norma
umum tanpa direnungkan atau dipertanyakan
secara langsung—dan diterima secara alami.
“Kekuasaan, “le” pouvoir, secara substansial
tidaklah nyata... Kekuasaan berarti... hubungan
yang kurang lebih terorganisir, bertingkat, dan
diatur dalam gugusan hubungan-hubungan.”
(1980:198), dan “kesan bahwa suatu kekuasaan
melemah dan turun-naik... adalah... salah;
42
Kekuasaan telah menyembunyikan wajahnya
sendiri dan bertindak tanpa terlihat di balik
layar. Ia ada di mana-mana dan senantiasa
bergerak, peka terhadap serangan dan
rintangan. Harus digaris-bawahi di sini, jika teori
posmodern milik Foucault sangatlah digemari
di kalangan akademisi—bahkan hingga hari
ini—di Amerika serikat, mendominasi diskursus
mengenai kekuasaan. Namun tentunya ada teori
kekuasaan yang lain yang dapat memberikan
perspektif berbeda mengenai topik yang penuh
perdebatan ini.
This kind of creature is a perfect and
sophisticated symbol for power, for power does
not need to be exposed, but it could take other
forms to old its grip on the dominated. The
post-modern thinker Michel Foucault described
the discourse of power with the example of
the panopticum, where everything could be
observed and controlled from outside at any
time and every possible angle.
Another important term in Foucault’s theory of
power is the “episteme”, modules of knowledge
that are implanted into the mind of the society,
so controlling the society from inside by way of
dominating ideas and thoughts; these modules
could be transformed into images, so visual
media like arts have an important role in this
process of establishing and transferring of
power. The society follows these directives
which are accepted as common norms and not
reflected or directly opposed, like naturally
given. . ‘Power in the substantive sense, “le”
pouvoir, doesn’t exist…power means…a moreor-less organised, hierarchical, co-ordinated
Lukisan-lukisan lain karya Franziska merujuk juga
pada jejak-jekan di masa kolonialisme. Karya
“Sitting on the spirit of the past” menunjukkan
seorang ras Asia yang tengah bermeditasi
dengan duduk di atas punggung figur miriphantu berwarna putih keabuan; karya ini
mengisyaratkan persoalan pilihan akan ke mana
kita beranjak: apakah kembali ke akar sendiri,
dengan kemungkinan masih bisa terjadi, jika
tak dihalangi oleh sang hantu atau sang roh.
Hadir juga topik ketergantungan antar bangsa—
karya “Infusion” atau “Indonesian Tiger”—yang
beralih pada pertanyaan akan pertumbuhan dan
ketergantungan ekonomi, sebagai salah satu
peninggalan kolonialisme dan imperialisme (di
masa lalu). 1
Ketergantungan mutual hadir dalam hubungan
antara seseorang atau antara sesama rekankerja; yang cair dan lebur bersama, tak mampu
cluster of relations’ (1980:198), and ‘the
impression that power weakens and vacillates…
is…mistaken; power can retreat…reorganise its
forces, invest itself elsewhere’ (1980:56)
Power has hidden its face and acts invisibly
behind the screen, it is ubiquitous and always
active, sensitive to attacks and disturbances. (It
should be remarked here that the post-modern
theory of Foucault was very fashionable for a
while in academic circles (even until today) in
the United States, dominating the discourse on
power. But there are certainly other theories of
power which give different perspectives on this
highly debated topic.)
After the revelations of Edward Snowden about
the global spying activities of the USA there
is a much clearer picture to be seen how the
mechanisms of power work now, just like the
tentacles of the octopus, catching up every
piece of information that is available. The power
consists in collecting as much information as
possible. The data-greedy technology provided
through the internet is fed with millions of data
every second.
Other paintings by Franziska Fennert refer to the
legacy of colonialism, “Sitting on the spirit of the
past”, showing a meditating Asian person sitting
on the back of a ghost-like figure in grey-white
color, indicating the problem of choice where
to go, going back to the own roots, in the case
that this is still possible, if not prevented by the
ghost or spirit. There is also the dependence
between nations – “Infusion” or “Indonesian
Tiger”, turning to the questions of economic
development and dependency, as well one of
the legacies of colonialism and imperialism. 1
Interdependency exists in relationships between
persons or co-workers, melted or fused
together, unable to walk alone. (“Our plates are
filled from the same source”; “Heavy decision”).
The domestic sphere appears in the kitchen,
where a huge figure of woman preparing rolls
seems to be pleased to wrap some male figures
into the dough for later consumption.
43
untuk berjalan dalam kesendirian—muncul
dalam karya “Our Plates are Filled from the
Same Source”dan “Heavy Decision”. Lingkup
domestik hadir di dapur, dengan figur seorang
perempuan gemuk tengah yang mempersiapkan
adonan gulungan, yang tampak bahagia kala
ia menyelimuti figur seorang lelaki ke dalam
adonan untuk dapat dinikmati.
Garis/benang merah yang ada di antara semua
lukisan Franziska bisa dilihat sebagai hasrat
untuk melahap satu sama lain, bahkan bisa
disimak sebagai semacam konsumsi yang
disetujui bersama, persatuan/penggabungan
akhir dari yang terdominasi ke dalam tubuh
yang memiliki, untuk menyerap seluruh energi
layaknya parasit. Lukisan “Just eat it-just beat
it” menggambarkan wajah warna-warni, dengan
mulut-mulut menganga tengah melahap rakus
batangan emas. Warna yang bermacam-macam
ini mewakili kerakusan yang bisa ditemui di
mana-mana.
Ke mana akan Beranjak
Pameran Franziska di masa lalu berjudul
U(dys)topia (2010), yang mengambil isyarat
dari judulnya sendiri, di mana dua arah yang
bertolak belakang dimungkinkan terjadi secara
bersamaan(: arah yang penuh harapan menuju
masa depan yang lebih baik, kehidupan yang
damai dan harmonis; dan arah yang lebih
berperspektif negatif, yang berarti kehancuran
dan kekacauan). Umat manusia diharuskan
untuk sadar akan pilihan ke mana mereka akan
menuju, meskipun mungkin ada indikasi jika dua
skenario yang berbeda ini hanyalah dua sisi dari
satu mata uang yang sama.
Di pameran ini Franziska mengacu pada
filsuf idolanya Gottried Leibliz, yang pernah
menggambarkan dunia sebagai hal terbaik
yang muncul dari semua probabilitas—ia juga
mengakui keberadaan kekuatan jahat di dunia
ini (untuk gagasannya ini ia dicemooh oleh filsuf
Penceraham, Voltaire, yang menulis “Candide”
dalam rangka menyerang Leibniz).
44
The red thread among all these paintings seems
to the wish to consume each other, even a kind
of mutual consumption, the final incorporation
of the dominated into the own body, to absorb
all energy from it like a parasite. The painting
“Just eat it-just beat it” depicts faces with
different colors, with open mouths to devour
greedily the bars of gold. The different colors of
the faces imply the universality of greed.
Where to Go
A former project of Franziska Fennert was
titled U(dys)topia (2010), indicating by this
title that two directions are possible: the more
hopeful way towards a better future, a living
in peace and harmony, and the more negative
perspective, which means disaster and chaos.
Humanity is called to be conscious of choice
which way to go, although it might be implied
that these two scenarios are only the different
sides of the same medal.
Here Franziska Fennert relates to her favourite
philosopher Gottried Leibniz, who once
described the world as the best of all possible
– he also acknowledged the presence of evil in
this world. (For this view he was ridiculed by the
philosopher of Enlightenment, Voltaire, who
wrote his “Candide” in response to Leibniz).
Interestingly both philosophers –Voltaire as well
as Leibniz shared an interest in China. Leibniz
had analyzed the famous “Book of Changes” (I
Ching) in his mathematical theories. He had a
great respect for Chinese philosophy, although
finally he perceived the European culture
as superior, due to his religious background
in Christianity. According to him Europeans
were surpassed by the Chinese in practical
philosophy, by which he meant the adaptation
of ethics and politics to contemporary life.
(Mungello:2009) So it seems that it is possible
to find a way of exchange between cultures,
in the case that both sides feel respected and
acknowledge fully each other in their specific
perceptions of explaining the world. .
Satu hal yang menarik, kedua filsuf tersebut—
Voltaire dan Leibniz—berbagi ketertarikan
yang sama terhadap Cina. Dalam salah satu
teori matematikanya, Leibniz telah meneliti
karya I Cing yang terkenal: “Buku Perubahan”.
Leibniz juga menaruh hormat yang cukup
besar pada filsafat Cina, meskipun di kemudian
hari ia mengakui bahwa budaya Eropa lebih
superior—ditengarai karena latar belakangnya
sebagai penganut Kristiani yang taat. Menurut
Leibniz Bangsa Cina mampu melampaui bangsa
Eropa terutama dalam filsafat praktis, yang
dalam hal ini ia adalah pada kemampuan
mengadaptasi etika dan politik ke dalam hidup
keseharian (Mungello: 2009). Karenanya,
sebuah pertukaran kebudayaan adalah hal yang
mungkin terjadi, dengan catatan kedua pihak
merasa dihormati dan keduanya merasa bahwa
cara pandang masing-masing kala menjabarkan
dunia, diakui sepenuhnya.
Orientalisme dalam Seni Rupa
Sejak terbitnya buku “On Orientalism” oleh
Edward Said di tahun 1972, perdebatan
mengenai cara pandang bangsa Barat
terhadap bangsa Timur—dalam hal ini Timur
diartikan sebagai kebudayaan yang liyan
atau kebudayaan-kebudayaan non-Eropa,
yang berada di bawah satu payung kategori
Oriental—terus menerus berlangsung. Timur
dikonstruksikan sebagai sang “Liyan”, yang
kemudian menjelmakan mereka sebagai sesuatu
untuk ditakuti atau ditaklukan, dan mendorong
imajinasi bangsa Barat akan sebuah kebudayaan
asing sehingga berujung pada keinginan untuk
mendominasi mereka; terlegitimasi pula oleh
kecurigaan terhadap berbagai bahaya yang
berasal dari Timur. Timur dilukiskan dalam
citraan yang menggoda dan memancing hasrat;
yang justru mencerminkan motivasi tersembunyi
bangsa Barat sendiri; sehingga membentuk
identitas mereka sendiri melalui persepsi
bayangan akan sang “Liyan”.
Orientalisme pernah digunakan oleh praktisi
seni rupa--yang dipengaruhi oleh tema-tema
non-Eropa (Delacroix, misalnya)—dengan
Orientalism in the Arts
Since Edward Said had published his book
on Orientalism in 1972, the debate about
Westerners view the Easterners (meaning
other, non-European cultures, subsumed
under the term Oriental) is ongoing. The East is
constructed as the “Other”, portraying the East
as something to be feared or desired, imposing
Western imaginations on other cultures with the
final intention to dominate them, legitimized by
the supposed dangers arising from there. The
East was painted in a seductive manner, evoking
desirability, but actually reflecting like a mirror
the inner motivations of Westerners, shaping
their own identity seen through these imaginary
perceptions of the “Other”.
Orientalism once was used for art that was
influenced by non-European motifs (Delacroix
for example), exposing a distorted image of
other cultures. At the same time Orientalism
represented the science of experts concerning
the Orient and Islamic culture that came
under heavy attacks since the publication
of “Orientalism” by Said who analyzed the
writings of famous historians and researchers
of Islam (writers and artists as well) in
critical perspective. This book was discussed
controversially, but after decades of debate
there had been a change in the views of the
Orient, at least in academic circles. On the
popular cultural level the stereotyped images
of the Orient are still in use and widespread
(Hollywood movies as an outstanding example).
Edward Said unfortunately left many questions
open, for example the problem how the
Orient could be perceived in a right way. Is it
even possible to do so? What means Orient
anyway, so many different cultures and
histories subsumed under this term. There is an
essentialism implied in Said’s theory, as if one
true or authentic image would exist. Of course,
there are always many “truths”, depending on
the point of view in time and space where this
view takes from. 2
45
menampilkan citraan-citraan bias kebudayaan
Liyan. Di saat yang sama Orientalisme juga
menjadi sebuah sains berkenaan dengan
kebudayaan Oriental dan Islam yang diserang
secara gencar semenjak diterbitkannya
“Orientalisme” oleh Said—di mana ia telah
menganalisa karya tulis ahli sejarah kenamaan
dan pengkaji Islam (termasuk di dalamnya
para sastrawan dan seniman) dengan cara
yang sangat kritis. Buku ini didiskusikan secara
kontroversial, namun setelah perdebatan
berpuluh tahun, terjadi pergeseran dalam
memandang Oriental, setidaknya dalam lingkup
akademis. Pada taraf budaya populer, citraan
stereotipikal akan Oriental masih saja digunakan
secara meluas (film-film Hollywood merupakan
contoh yang paling mencolok).
Edward Said, disesalkan, telah membiarkan
banyak pertanyaan menggantung. Misalnya
pertanyaan mengenai bagaimana Oriental dapat
dipahami dengan tepat? Apakah mungkin untuk
melakukan pemahaman tersebut? Apa yang
dapat diartikan sebagai Oriental, karena ada
banyak sekali ragam kebudayaan dan sejarah
yang berbeda-beda dipayungi oleh istilah
tersebut. Ada semacam esensialime hadir di
dalam teori milik Said, seolah suatu citraan
otentik yang sejati akan muncul. Tentu saja,
akan selalu ada banyak “kebenaran”, tergantung
pada ruang dan waktu di mana suatu sudut
pandang akan kebenaran ditentukan. 2
Edward Said juga menyadari akan adanya
ragam sudut pandang—termasuk pelbagai
penafsiran yang salah terhadap tulisannya.
Ia juga menjumpai ada banyak pengecualian
positif dari diskursus imperialis kebanyakan saat
mempersoalkan Orientalisme, yang sungguh
mengagetkan datang dari penulis, pujangga,
dan filsuf kenamaan Jerman Goethe, kala ia
menulis “West-East Divan” sebagai salah satu
karya akhirnya dan sebuah penghormatan bagi
pujangga Persia, Hafiz:
“Menjadi sebuah acuan bagiku, terutama pada
ketertarikan Goethe terhadap Islam secara
umum, dan kepada Hafiz khususnya, suatu
46
Edward Said was also aware of the diversity of
views, - also about the misinterpretations of his
work - , and he found more positive exceptions
from the predominantly imperialist discourse
on Orientalism, astonishingly among them the
renowned German writer, poet and philosopher
Goethe who had written the West-East Divan as
part of his late work this homage to the Persian
poet Hafiz:
gairah yang meluap-luap yang berujung pada
gubahan “West-East Divan”, dan karya ini telah
mempengaruhi gagasan Goethe di kemudian
hari mengenai Weltliteratur, sebuah studi
terhadap karya sastra dunia sebagai keutuhan
selaras, yang secara teoritis terpahami, telah
menjaga keunikan dari setiap karya tanpa
kehilangan cara pandang secara universal.”:
(Edward Said, 2003).
“It is exemplified for me most admirably in
Goethe’s interest in Islam generally, and Hafiz
in particular, a consuming passion which led to
the composition of the West-Östlicher Diwan,
and it inflected Goethe’s later ideas about
Weltliteratur, the study of all the literatures of
the world as a symphonic whole which could be
apprehended theoretically as having preserved
the individuality of each work without losing
sight of the whole.” (Edward Said, 2003).
Goethe mengatakan:
“Aku lebih dan lebih yakin lagi bahwa puisi
adalah hak milik umat manusia yang universal,
membuka diri di manapun dan kapan pun di
antara ratusan dan ratusan lagi manusia....
Aku, karena itu, ingin melihat diriku sendiri di
negeri asing, dan menganjurkan setiap orang
melakukan hal serupa. Sastra nasional kini
menjadi istilah tanpa arti; gema sastra dunia
kini dalam ada genggaman, dan setiap orang
harus berupaya untuk memperlekas ancangancangnya ini.”
Goethe remarked:
“I am more and more convinced that poetry is
the universal possession of mankind, revealing
itself everywhere and at all times in hundreds
and hundreds of men. . . . I therefore like to
look about me in foreign nations, and advise
everyone to do the same. National literature
is now a rather unmeaning term; the epoch of
world literature is at hand, and everyone must
strive to hasten its approach.”
The idea of world literature could be applied to
the arts, too. There has always been a steady
flow of exchange between cultures, designs
and visualizations wandering around the
world, taken by artists who felt attracted by
these new inputs, although the designs were
put in a completely different context that was
no more authentically connected with the
original. Elements were taken from everywhere,
fragments were integrated into a new style.
Picasso did it, the Surrealists were excited by
arts from the Southern Sea and this movement
continues until today,
Today this movement of borrowing or even
appropriation is going into both directions,
Gagasan sastra dunia dapat diaplikasikan pula
pada seni rupa. Selama ini mengalir suatu arus
tenang pertemuan antara berbagai kebudayaan,
rancangan, dan citraan yang beredar di seluruh
dunia, yang diemban oleh para seniman yang
tertarik pada masukan-masukan baru, meskipun
rancangan-rancangan ini memiliki konteks yang
sama sekali berbeda dan tak lagi berkaitan
secara otentik dengan model orisinilnya. Setiap
elemen diambil dari berbagai tempat, tiap serpih
budaya dipersatukan menjadi gaya baru. Picasso
telah melakukannya, para Surealis bersukacita
akan karya seni yang berasal dari Laut Selatan
dan gerakan ini berlanjut hingga hari ini.
Saat ini pergerakan meminjam atau bahkan
mengapropriasi, bergerak ke dua arah
sekaligus. Seniman Cina diinspirasi Pop Art
dan menggabungkan unsur-unsur Barat ke
dalam seni kontemporer Cina. Akan selalu
ada kanibalisme global di dunia seni, seperti
telah diramalkan pemikir asal Brazil, Oswald
de Andrade dalam Cannibalist Manifesto di
tahun 1928. Rakyat Brazil merasa kecewa
akan ketergantungan kultural mereka dan
Chinese artists were inspired by Pop art and
integrated this Western element into the
contemporary Chinese art. There has always
been a global cannibalism in the art world, as
it was envisioned by the Brazilian Oswald de
Andrade in Cannibalist Manifesto in the year
1928. Brazilians felt unhappy about their cultural
47
menuntut hak mereka untuk “melahap”. Sebuah
penentangan yang berapi-api dalam melawan
diskursus yang diwariskan oleh kolonialisme
Eropa.
dependency and claimed for themselves the
right to devour. A fervent protest against the
discourse that was inherited from the European
colonialists.
Pergeseran Kekuasaan
Shifting of Power
Saat ini ada banyak indikasi atau, menurut
para penelaah peristiwa dunia, ada pergeseran
penting yang telah terjadi di dunia kini. Pusat
kekuasaan ekonomi dan politik kini berpindah
secara perlahan ke arah Timur. Negara-negara
seperti Cina dan India telah berubah menjadi
pemain besar dan penting di tataran global.
Currently there a many indications or, according
to some observers of the global scene, even
obvious tendencies that an important shift
has taken place in the world. The centers of
economical and political power move steadily
more to the East, countries like China and India
have transformed into big and very influential
players on the global scale.
Semenjak berakhirnya Perang Dingin dan
runtuhnya Uni Soviet, Amerika telah mengambil
peran sebagai penguasa-super tunggal yang
kini tampak semakin melemah. Saat ini kita
menyimak pembentukan dunia yang multikutub dengan pusat kekuasaan yang majemuk.
Perubahan di lingkaran politik ini juga berparalel
dan tercermin di dunia seni rupa global. Ledakan
seni rupa kontemporer Cina telah membuka
kesempatan bagi pemain-pemain baru. Kandidat
selanjutnya di antaranya mungkin India dan
bahkan Indonesia.
Jalur Sutera baru, dahulu jalan menuju Eropa
dari Asia untuk mengirimkan barang-barang
seperti kain sutera dan berbagai rancangan,
dan juga berbagai gagasan kini menjangkau dari
Cina hingga ke pelabuhan Duisburg di Jerman.
Koneksi baru kini dibangun. Pada kunjungannya
ke pelabuhan Duisburg di Jerman, presiden
Cina Xi Jinping mempromosikan pentingnya
Jalur Sutera antara Eropa dan Asia, untuk
memberikan keuntungan perdagangan di kedua
wilayah tersebut. Cina telah dihubungkan
dengan Jerman melalui jalur kereta internasional
Chongqing-Xinjiang-Eropa (Asia Times: 23 Mei,
2014). Kini adalah saatnya melanjutkan koneksi
fisik ini melalui pertukaran kebudayaan.
Merupakan sesuatu yang menarik, saat
mengetahui jika referensi yang diambil Franziska
berkaitan dengan pelbagai bentuk kesenian
Asia ini, berasal dari negara-negara bertradisi
48
After the Cold War and the collapse of the
former Soviet Union the USA had taken over
the role of the single remaining superpower
which now seems to be in decline. Now we
see the emerging shape of a multi-polar world
with different power centers. These changes in
the political sphere have been paralleled and
reflected in the global art scene. The boom of
contemporary Chinese art has opened the field
for new players, among the next candidates
maybe India or even Indonesia.
The new Silk Road, once the way to Europe
from Asia to transport goods like silk cloths and
designs and along with them ideas is reaching
now from China to the port of Duisburg in
Germany. New connections are to be built.
During his visit to the port of Duisburg in
Germany, the Chinese president Xi Jinping
advocated the need for the Silk Road connecting
Europe and Asia, so as to benefit markets of
both regions. China is already connected to
Germany by the Chongqing-Xinjiang-Europe
international railway. (Asia Times: May 23, 2014)
It is to be seen how this will be followed by
cultural transmissions.
tua yang terletak di sepanjang jalur (ChongqingXinjiang-Eropa) tersebut , yakni: Cina, Iran, Turki
(dan secara tak langsung Jepang dan Indonesia).
Sudut Pandang
“Place the King in the Right Place” adalah
sebuah perbincangan dan pertukaran pada
tataran yang adil dan sejajar, dan bukannya
mengenai penguasaan atau pemanfaatan
budaya lain. Saat ditempatkan ke dalam
sebuah dialog antar kebudayaan, karya-karya
Franziska ini mampu memposisikan ulang seni
rupa pada tempat yang semestinya: sebagai
jembatan sejati dan cara yang efisien untuk
berkomunikasi. Franziska Fennert dengan
kepeduliannya terhadap arah gerak dunia
bukanlah seorang penganut Neo-Romantik, dan
tentunya karya-karyanya bukanlah campuran
eklektik antara berbagai kebudayaan di
seluruh penjuru dunia namun sebuah pilihan
yang disadari bersandar pada alasan-alasan
filosofis dan artistik. Dengan demikian Franziska
menyodorkan cermin di hadapan khalayak
dan bertanya kepada mereka di mana dan
siapa anda dalam gambaran utuh ini. Ia telah
membawa kita dalam sebuah petualangan
sepanjang Jalur Sutera dan kini kembali ke
Yogyakarta.
Outlook
“Place the King in the Right Place” is about
dialogue and exchange on equal levels. Not
about dominating or appropriating other
cultures. When these works are put into the
context of an open intercultural dialogue, they
could place the role of art into the right position
again: as a true mediator and efficient means
of communication. Franziska Fennert with
her concerns about the ways the world goes
is no Neo-Romantic, and certainly her works
are not an eclectic multi-cultural remix, but a
conscious choice based on philosophical and
artistic reasons. In this way she holds the mirror
in front of the viewer and asks where and who
you are in this whole picture. She has taken us
on a journey along the Silk Road and has now
returned to Yogyakarta.
Anton Larenz, art writer
Anton Larenz, Penulis Seni
Interestingly Franziska Fennert’s examples
from Asian art forms are originated in countries
that are situated along this route with a
long tradition: China, Iran, Turkey (and more
indirectly Japan and Indonesia).
49
//Catatan
//Notes
1. Michael Hardt dan Antonio Negri pernah menyampaikan
dalam Empire (2000) bahwa masyarakat di manapun telah
disusupi kekuatan global, saat “negara kian memiliki sedikit
kekuasaan untuk mengatur arus (kekuatan global) ini dan
cenderung menekankan kekuasaannya untuk mengatur
perekonomian”, di saat yang sama saat muncul “sebentuk
kedaulatan global yang baru” yang oleh Hardt dan Negri
dinamakan “Empire”, “yang tersusun atas sejumlah
organisma nasional dan supra-nasional, tersatukan di bawah
logika-tunggal sebuah kaidah” dan “tergambarkan secara
hakiki oleh kurangnya batasan.”
1. Michael Hardt and Antonio Negri suggested in Empire
(2000) that societies everywhere are interpenetrated by
global forces as “the nation-state has less and less power
to regulate these flows and impose its authority over the
economy” at the same time as there is a “new global form of
sovereignty” that Hardt and Negri call “Empire,” “composed
of a series of national and supranational organisms
united under a single logic of rule” and “characterized
fundamentally by a lack of boundaries”
2. Gagasan Homi Bhabha akan “pencampuran” (hibridasi)
dapat digunakan dalam perbincangan ini. Percampuran
mencerminkan kesadaran bahwa diskursus kolonial
sungguh bermakna-ganda dan tak mudah dipengaruhi oleh
tekanan dari sebuah agenda satu-arah. Karenanya, Bhabha
berdalih, seorang yang menguasai diskursus kolonial akan
dimanfaatkan oleh penduduk asli yang dalam pertahanan
budayanya terjewantahkan dalam bentuk mimikri dan
parodi akan otoritas kolonial. Lihat juga “Caniballism
Manifesto” oleh Oswald de Andrade (1928).
2. Homi Bhabha’s notion of ‘hybridity’ might be useful in
this discussion. Hybridity reflects an awareness that colonial
discourses are deeply ambivalent and not susceptible to the
constraints of a single uni-directional agenda. Thus, Bhabha
argues, the master discourse is appropriated by the native
whose cultural resistance is manifested through the mimicry
and parody of colonial authority. See also The Cannibalist
Manifesto by Oswald de Andrade (1928).
//Bibliography
Andrade, Oswald de: Manifesto Antropófago [Cannibalist Manifesto], Revista de Antropofagia, 1928.
Foucault, Michel: Power/Knowledge, (ed.) C.Gordon. New York: Harvester/Wheatsheaf, 1980.
Goethe, Johann Wolfgang v.: West-Eastern Divan (between 1814 and 1819).
Hardt, Michael, Negri, Antonio: Empire, Harvard University Press, Cambridge, Massachussets, 2000.
Homi K. Bhabha: The Location of Culture, 1994.
Mungello, David E: The great encounter of China and the West, 1500-1800. Lanham, Boulder, New York. 2009.
Pamuk, Orhan: My Name is Red. New York, 2001.
Pelevin, Victor: The Sacred Book of the Werewolf. New York, 1999.
=== Buddha’s Little Finger. 1996.
Said, Edward: Orientalism. 1978.
Said, Edward: Orientalism 25 Years Later. Worldly Humanism v. the Empire-builders August 05, 2003 in: Counterpunch
Sayre, Robert; Michael Loewy: Romanticism and Capitalism p. 435 In: Ferber. Michael (ed.): A companion to European
romanticism. - Blackwell companions to literature and culture; 38; Oxford, UK, 2005.
Tridivesh Singh Maini: China’s Silk-Road lessons for India. Asia Times, May 23, 2014.
50
51
Fusion to Raise An Equal Conscious Mind, 2014
Canvas, wire, filling material and acrylic paint
variable size (min. 35 x 35 x 145 cm)
52
53
Even, If I Don’t See You…, 2014
Canvas, acrylic paint, wire, filling material, artificial hair
ca. 90 x 50 x 160 cm
54
55
The Branches We Let Grow, 2009 -2014
Canvas, acrylic paint, wire and ship rope
variable dimension (six lianes each between 350 and 500 cm length)
56
57
FRANZISKA FENNERT
*1984 Rostock
2003-2009
Diplom / Master at Hochschule für Bildende Künste
Dresden / Academy of Fine Arts Dresden with Prof.
Ralf Kerbach, Prof. Elke Hopfe, Prof. Wolfram Hänsch
2007
Study tour China (Guangzhou, Yangzhou, Hangzhou,
Shanghai)
2007-2008
Darmasiswa scholarship in Yogyakarta from the
Indonesian Government
At PPPPTK Kesenian, mentored by Dr. Basuki Totok
Sumartono
2009-2011
Postgraduated / Meisterschülerin at Hochschule für
Bildende Künste Dresden / Academy of Fine Arts
Dresden with Landesstipendium des Freistaates
Sachsen / Grant of the Free State Saxony, Germany
2013
Permanent outdoor installation VISION OF A SOCIAL
EVOLUTION with funds from ARTSociate and The
Federal Foreign Office of Germany
2014
Project bonded funds for PLACE THE KING IN THE
RIGHT POSITION from
Goethe Institute Jakarta, Indonesia
SOLO EXHIBITIONS
2014
Place the king in the right position, Lawangwangi, Bandung
2013
VISION OF A SOCIAL EVOLUTION, Lawangwangi, ARTSociates, Bandung
Contemporary Fairytales - Zeitgenössische Märchen, Börse Stuttgart Die Hirschkuh säugt den Tiger, Galerie Michaela Helfrich, Berlin
2012
ZWISCHEN HIMMEL UND ERDE, Das Japanische Haus, Leipzig e.V.
LET DOWN ANCHOR, sanlorenzo-arte, Poppi, Italy
2010
Franziska Fennert, Gallery Albrecht, Berlin, Germany
2008 Everything is Rites, Museum Affandi, Yogyakarta, Indonesia sponsored by KOONG Gallery 2005 G wie Gustav Gründgens, Theater Compagnie de Comedy, Rostock, Germany
GROUP EXHIBITIONS (SELECTION)
2014
On Painting 9, Pinacoteca, Vienna Austria
2013
Collapse-Another perspective of cultural 58
collision, Showroom of East Normal University, Shanghai, China
Open Studio, OFCA International Yogyakarta
LOCA FORE, Bandung collaboration with Lenny Ratnasari Weichert
OSTRALE, Wir überschreiten den Rubikon, Internationale Ausstellung zeitgenössischer Kunst, Dresden
Hommage to Asia - Liebeserklärung an Asien, Chinesischer Pavillon, Dresden
HYPE, Geh8, Dresden
Nass in Nass, Galerie Drei, Dresden
2012
Dresdner Biennale, ORNOE-Festival,Dresden
Wir hängen Neues von Eric Cruikshank Franziska Fennert Jus Juchtmans, Galerie Albrecht, Berlin
Evolution of society, f14, Dresden
Neuköllner Hängung, Michaela Helfrich Galerie, Berlin
Indonesia di mata perupa, Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Jakarta, Indonesia
2011
CROSSING SIGNS, Galeri Nasional Jakarta/
National Gallery Jakarta, Indonesia
CROSSING SIGNS, Taman Budaya Yogyakarta, Indonesia
Das Kleid des Malers, Gallery 2.Stock, Rathaus Dresden
2010 Frühjahrssalon, Gallery ZANDERKASTEN, Dresden, Germany U(Dys)topia The emerging of myths, fairytales and legends in present time in Indonesia and Germany
Gallery Academy of Fine Arts, Dresden; Freies Museum, Berlin 2009 Zeichnungen, Originalgrafiken und Skulpturen, Gallery Biedermann, Munich, Germany
2007 QIAO, Ucity Art Museum of GAFA, Guangzhou, China
Eine(r) für alle, Gallery Treibhaus, Dresden, Germany 2006 A little Piece of Heaven, baby!, Gallery Freiraum Dresden Passerelle, Gallery Adlergasse, Dresden
SCHOLARSHIPS AND PRIZES
2006 Art prize of the Cursächsischen/Cursaxonian Festival according the exhibition Bildwelten 2007-08 Darmasiswa - Scholarship from the Indonesian Government, Yogyakarta, Indonesia
2009-11 Sächsisches Landesstipendium Kulturstiftung des Freistaates Sachsen / Grant of the cultural foundation Saxony, Germany
PROJECTS
2010
U(Dys)topia The emerging of myths, fairytales and legends in present time, Indonesia and Germany Gallery Academy of Fine Arts Dresden, Germany
Freies Museum Berlin, Germany
2011
Crossing Signs: 14 artists from Indonesia and Germany experiencing the liminal zone Taman Budaya Yogyakarta, Indonesia
Galeri Nasional Jakarta/National Gallery Jakarta, Indonesia
2012
Foundation of the German-Asian Art Association COVER e.V.
About the Artist Franziska Fennert
Franziska Fennert is a German artist, who works
mainly with painting and drawing, but also
3-dimensional, whilst nurturing a personal
relationship with Asia. Having graduated from the
Academy of Fine Arts Dresden, Germany in 2009,
she finalized her post-graduate studies in the class
of Prof. Kerbach, with agrant of the Free State of
Saxony(Landesstipendium des Freistaates Sachsen) in
summer of 2011. Her first contact with China was in
2007 with a study trip from the Academy in Dresden.
Deep impressed from the rich culture and especially
the ink paintings she took part in calligraphy courses
and started to merge the new knowledge with her
own cultural and art historical background.
In 2008 she undertook several projects in Yogyakarta,
Indonesia, including a solo-exhibition in the Museum
Affandi. On return she became the co-projectmanager for U(Dys)topia The emergence of myths,
fairytales and legends in contemporary Indonesia and
Germany 2010, which was exhibited in the Gallery of
HfBK Dresden and Freies Museum Berlin.
In 2011 she co-managed the second part of the
project named CROSSING SIGNS 14 artists from
Indonesia and Germany experiencing the ‚liminal
zone‘, which was exhibited in Taman Budaya
Yogyakarta and Galeri Nasional Jakarta.
She is the first chairman of the 2012 founded
German-Asian-art association COVER.e.V. With this
organisation and the special effort of her colleague
Yini Tao, the Chinese-German exhibition COLLAPSEAnother perspective of examining cultural collision
was co-managed and realized in Shanghai 2013.
She intends to continue developing international
projects in the future.
In her own artistic work Franziska Fennert connects
traditional Asian art and philosophy with western art
understanding and current social and political issues.
In 2013 she realized, with the support of ARTSociates
Lawagwangi and the Federal Foreign Office of
Germany, the interactive permanent installation
project VISION OF A SOCIAL EVOLUTION in Bandung,
Indonesia.
About my work
My work nourishes itself from the fertile ground of
fantastic traditions, fairytales and legends. In addition
to this, the peculiar characteristics of foreign customs
- particularly that of eastern cultures - provide a rich
source of inspiration. Habitus, rites and religious
mysticism open a wide domain for dreaming. This
inner world is a the object of the portrayed figures
that are mostly presented with their eyes closed.
They make meaningful gestures: they appear to be
engrossed in another sphere.
All of my works are based on my drawings which I find
to be a very intimate means of expression. Feelings
are directly communicated merely by means of
graduation of light and darkness and the intensity of
line. Indeed even my three dimensional works
emanate from my drawings. Their extended
dimensions create a larger capacity for experiencing
that which is displayed. Examples of art that inspires
me include the portrayals of inner worlds by Robert
von Campin, medieval icons, Japanese woodblock
prints with their breathtaking compositional dexterity
as well as Chinese ink painting in it’s lively
configuration of varigated brushwork. I am
particularly impressed with the agility and love with
which every element is treated in traditional Asian
arts. It signals a very deep understanding of the
rhythms of nature. My aim is that my artworks could
give subtle nutrition to the contemplator.
59
Acknowledgement
I want to express my gratefulness to all parties
being involved in the exhibiton process.
My deepest thanks to Mrs Aan Andonowati
Director of Lawangwangi, Artsociates and Mrs
Katrin Sohns, Head of program for Goethe
Institut Indonesia, who trusted with supporting
and funding the exhibition project.
Best thanks to Imelda Setokusumo!
Thank you so much Mr Yasufumi Ogawa, who
trusted in and inspired my work during the
preparation process for the exhibition.
Further I want to thank to Roswitha Wille
(Berlin), Claudia Wille (Fürth) for contributing.
Further thanks to my beloved husband Gatot W.
Extrianto and my son Leonce F. Nugroho.
The inspiring curators/writers Pak Asmujo Jono
Irianto and Pak Anton Larenz.
Asnaini Aslam( Mbak Inon), Mas Bagus, Pak Oha,
Arif Setiawan, Laksmi Shitaresmi and her family.
Ninda Yusnita Kusuma Ningrum and Mbak Dian
who partly assisted sewing and coloring the 3
dimensional objects and Roni Wibowo for the
photo documentation.
Thanks to my family in Indonesia and Germany
and all friends being connected to us.
Most devoted thanks to the graciousness of god,
guiding and protecting my process. May this
exhibition be blessed.
60