RESISTENSI SANG LIYAN - Diponegoro University | Institutional

Transcription

RESISTENSI SANG LIYAN - Diponegoro University | Institutional
RESISTENSI SANG LIYAN:
PERFORMA PEREMPUAN DALAM K-POP MV DI YOUTUBE
Tesis
Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan
Pendidikan Strata 2
Kebijakan Media Magister Ilmu Komunikasi
Universitas Diponegoro
RUTH MEI ULINA MALAU
NIM : 14030111400007
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Ruth Mei Ulina Malau
Nomor Induk Mahasiswa
: 14030111400007
Tempat/Tanggal Lahir
: Pematangsiantar/30 Mei 1988
Program Studi
: Magister Ilmu Komunikasi
Konsentrasi
: Kebijakan Media
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya susun dengan judul:
Resistensi Sang Liyan:
Performa Perempuan dalam K-Pop MV di YouTube
Adalah benar-benar hasil karya saya sendiri, dan bukan merupakan plagiat dan
tesis atau karya ilmiah orang lain. Apabila di kemudian hari pernyataan saya tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademis yang berlaku (dicabut
predikat dan gelar magisternya).
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan
bilamana diperlukan.
Semarang, 15 Juli 2013
Pembuat Pernyataan,
Ruth Mei Ulina Malau
ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS
RESISTENSI SANG LIYAN:
PERFORMA PEREMPUAN DALAM K-POP MV DI YOUTUBE
DISUSUN OLEH:
RUTH MEI ULINA MALAU
NIM : 14030111400007
Telah disetujui di depan Tim Penguji
Semarang, Juli 2013
Pembimbing
Dr. Sunarto
NIP. 19660727 199203 1 001
iii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS
NAMA
: RUTH MEI ULINA MALAU
NIM
: 14030111400007
PROGRAM STUDI : KEBIJAKAN MEDIA
JUDUL TESIS
: RESISTENSI SANG LIYAN: PERFORMA
PEREMPUAN DALAM K-POP MV DI YOUTUBE
Pembimbing Tesis
Dr. Sunarto
NIP. 19660727 199203 1 001
Ketua Program Studi
Dr. Sunarto
NIP. 19660727 199203 1 001
iv
HALAMAN PENGESAHAN TESIS
NAMA
: RUTH MEI ULINA MALAU
NIM
: 14030111400007
PROGRAM STUDI : KEBIJAKAN MEDIA
JUDUL TESIS
: RESISTENSI SANG LIYAN: PERFORMA
PEREMPUAN DALAM K-POP MV DI YOUTUBE
Telah dipertahankan dalam sidang ujian tesis Program Magister Ilmu Komunikasi
Universitas Diponegoro, pada:
Hari
: Senin
Tanggal
: 15 Juli 2013
Pukul
: 13.00 WIB
Dan dinyatakan
: LULUS
PANITIA PENGUJI TESIS
Pembimbing
: Dr. Sunarto
(
)
Ketua Sidang
: Dr. Turnomo Rahardjo
(
)
Sekretaris Sidang
: Triyono Lukmantoro, S.Sos, M.Si
(
)
Reader
: Suzie Handajani, Phd
(
)
v
“When my soul was embittered, when I was pricked in heart,
I was stupid and ignorant, I was like a beast toward thee.
Nevertheless I am continually with thee; thou dost hold my
right hand.”
(Psalm 73:21-23, 1952 version)
●
●
●
to my family,
and to all young people suffering from a
sense of inferiority.
●
vi
●
●
RESISTENSI SANG LIYAN:
PERFORMA PEREMPUAN DALAM K-POP MV DI YOUTUBE
Abstrak
Penelitian ini merupakan sebuah kajian performa, yang memperlihatkan persoalan
ideologis berupa resistensi perempuan Timur yang disebut-sebut sebagai sang
Liyan—sebuah istilah yang ditujukan untuk menandai inferioritas perempuan
terhadap Barat. Persoalan ini muncul karena tingginya tingkat konsumsi terhadap
video musik K-Pop melalui YouTube, dengan perempuan sebagai jualan utama
dalam produk K-Pop. Penelitian ini kemudian mempertanyakan bagaimana
performa perempuan dalam K-Pop MV di YouTube menghadirkan ideologi
resistensi sang Liyan?.
Penelitian ini merupakan manifestasi kajian budaya feminis yang mencoba
mengkritisi relasi kesenjangan yang dialami oleh perempuan Timur. Dengan
menggunakan teori komunikasi poststrukturalis mengenai performa sebagai
pendekatan teoritis utama serta teknik analisis semiotika Roland Barthes,
penelitian ini ditujukan untuk membongkar dan menguraikan ideologi resistensi
sang Liyan dalam dua unit analisis yaitu: video musik Girls’ Generation versi
“The Boys” dan Kara versi “Pandora”.
Hasil penelitian memperlihatkan adanya kecenderungan resistensi
perempuan melalui mimikri yang terpola dalam “passing”. Perempuan
memanfaatkan tiga instrumen yaitu, relasi gender, mitologi, dan kecantikan,
sebagai usaha untuk melakukan resistensi terhadap Barat.
Akhirnya, penelitian ini berefleksi pada realitas kebudayaan di Indonesia
dan mengharapkan adanya usaha untuk mempertimbangkan jaringan kebijakan
untuk mengontrol dan menjaga keseimbangan antar produk kultural yang muncul
di ruang publik.
Keywords: Resistensi, Sang Liyan, Performa, K-Pop MV, Mimikri
vii
RESISTANCE OF THE OTHER:
WOMEN’S PERFORMANCE IN K-POP MV IN YOUTUBE
Abstract
This research is a performance studies, which marks ideological problems of the
Eastern women in order to do resistance towards their identities as the Other—a
term used to describe inferiority towards the West. This problem based on the
high consumption of K-Pop MV through YouTube, where woman is being offered
as the main comodity of the K-Pop product. A problematical question raised is:
How the women’s performance in K-Pop MV in YouTube claim an ideological
resistance of the Other?
This research is a manifestation of feminist cultural studies that try to
criticize the unequal relationship experienced by the Eastern women. Using the
poststructuralist communication theories of performance as the main teoritical
framework and Roland Barthes semiotics analysis, this research aims to disclose
and explain the ideological resistance of the Other based on two analysis units:
Girls’ Generation “The Boys” dan Kara “Pandora”.
The result highlight the resistance of the Other established from the process
of mimicry which constituted a figure named “passing”. There are three
instruments used: gender relationship, mitology, and beauty.
Finally, the research draws a reflections towards cultural realities in
Indonesia, therefore considering a cultural policy as a strategy to control and
maintain an equality between various cultural product in the public space.
Keywords: Resistance, The Other, Performance, K-Pop MV, Mimicry
viii
KATA PENGANTAR
Tesis berjudul “Resistensi Sang Liyan: Performa Perempuan dalam K-Pop
MV di YouTube” ini merupakan penelitian yang mengkaji usaha perempuan
non-Barat (baca: Timur) untuk menegosiasikan identitasnya sebagai ‘Sang Liyan’.
Perempuan dinamai ‘sang Liyan’ untuk memperlihatkan adanya kompleksitas
relasi inferior perempuan Timur terhadap Barat. Isu krusial yang muncul untuk
mempertanyakan kembali relasi ini adalah hadirnya sebuah ruang performa yang
memungkinkan sang Liyan untuk menolak inferioritasnya dan mengekspresikan
Diri dalam permainan kultural yaitu mimikri.
Penelitian ini didasari oleh perkembangan pesat industri kebudayaan Korea
Selatan yang memenuhi ruang multikultural Indonesia, terutama melalui situs
YouTube. Penelitian ini membongkar makna di balik makna, untuk menemukan
sebuah persoalan ideologis yang memperlihatkan
bahwa
sesungguhnya
perempuan Timur tidak selamanya menjadi Liyan. Performa perempuan yang
dibahas dalam penelitian ini merupakan sebuah wujud realitas multikultural yang
menciptakan dikotomi di antara perempuan sendiri: Barat dan Timur.
Penulis mengucap syukur pada Tuhan Yesus Kristus, atas anugrah yang
membuat mengerti bahwa segala sesuatu indah pada waktu-Nya. Lord, You are
always more than enough for me. Dengan segala kerendahan hati Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam
proses penelitian ini:
ix
1.
Dr. Sunarto selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi
Universitas Diponegoro, sekaligus sebagai dosen pembimbing tesis. Penulis
mengucapkan terimakasih atas ilmu yang telah diberikan.
2.
Dr. Turnomo Rahardjo selaku Ketua Konsentrasi Kebijakan Media Magister
Ilmu Komunikasi Undip, sekaligus sebagai ketua sidang tesis.
3.
Suzie Handajani, Phd. selaku reader tesis.
4.
Triyono Lukmantoro, S.Sos, M.Si selaku sekretaris sidang tesis.
5.
Papa dan mama, Drs. L. Malau, M.Pd. dan Dra. H. Tampubolon, M.Pd,
yang merupakan esensi dari dunia kecil bernama keluarga, penulis berterima
kasih atas kesempatan yang diberikan untuk mencapai cita.
6.
Abang, kakak dan adik, Antoni Ronald M. Malau, ST. (alm); Natalia Artha
Kristine Malau, M.Si, dan keluarga; Anne Rumondang Malau, M.Sc; Johan
Saut M. Malau, SE; dan Bambang Parada Nugraha Malau. Penulis berterima
kasih atas cinta dan ego yang membuat hidup lebih berwarna.
7.
Teman-teman Kebijakan Media dan Komunikasi Strategis angkatan IV,
Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang.
8.
Sahabat, yang telah membuat hidup ini selalu layak untuk disyukuri.
Penulis menyadari penyusunan tesis ini jauh dari kesempurnaan dan banyak
kekurangan, namun Penulis berharap agar tesis ini bermanfaat bagi pembaca.
Semarang, Juli 2013
Ruth Mei Ulina Malau
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ...............................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS .................................................................iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ..........................................................................iv
ABSTRAK ..........................................................................................................vii
ABSTRACT ........................................................................................................viii
KATA PENGANTAR.........................................................................................ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................xi
DAFTAR TABEL ...............................................................................................xvi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xx
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
1.1
Latar Belakang ...........................................................................................1
1.2
Perumusan Masalah ...............................................................................18
1.3
Tujuan Penelitian ...................................................................................19
1.4 Signifikansi Penelitian ..............................................................................20
1.4.1 Signifikansi Teoritis ..............................................................................20
1.4.2 Signifikansi Praktis ...............................................................................20
1.4.3 Signifikansi Sosial .................................................................................21
1.5
Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................21
1.5.1 Paradigma Penelitian .............................................................................21
1.5.2 State of The Art .....................................................................................22
xi
1.5.3
Kajian Budaya Feminis .........................................................................26
1.5.4
The Poststructuralist Communication Theories of Performance.............28
1.5.4.1
Mimicry and Symbolic Reversals ......................................................30
1.5.4.2
Passing and Cross-Expressing .........................................................32
1.5.4.3
Mediation and Confrontation ...........................................................33
1.5.5
Postcolonial Theories ............................................................................35
1.5.6
Performa Perempuan dan Feminisme ....................................................40
1.5.7
YouTube dan Korean Popular Music (K-Pop) ......................................44
1.5.8
Asumsi Penelitian..................................................................................51
1.6
Operasionalisasi Konsep ............................................................................52
1.7
Metoda Penelitian ......................................................................................54
1.7.1
Desain Penelitian ...................................................................................54
1.7.2
Objek Penelitian ....................................................................................56
1.7.3
Jenis Data dan Sumber Data ..................................................................58
1.7.4
Teknik Pengumpulan Data ....................................................................58
1.7.5
Analisis dan Intepretasi Data .................................................................58
1.7.5.1
Analisis Sintagmatik ........................................................................59
1.7.5.1.1
Narasi (narrative) ........................................................................60
1.7.5.1.2
Kode Sinematik (Mise-én-scene) .................................................61
1.7.5.1.2.1
Setting .....................................................................................61
1.7.5.1.2.2
Costume ..................................................................................63
1.7.5.1.2.3
Performance and Movement ...................................................66
1.7.5.1.2.4
Camera Movement ..................................................................68
xii
1.7.5.1.2.5
Camera Editing .......................................................................68
1.7.5.1.2.6
Sound ......................................................................................68
1.7.5.2
Analisis Paradigmatik .......................................................................70
1.7.5.2.1
Kode Hermeneutika .....................................................................70
1.7.5.2.2
Kode Proarietik ............................................................................70
1.7.5.2.3
Kode Kultural ..............................................................................71
1.7.5.2.4
Kode Simbolik .............................................................................71
1.7.5.2.5
Kode Semik .................................................................................71
1.7.6
Goodness Criteria .................................................................................71
1.7.7
Keterbatasan Penelitian .........................................................................72
BAB II “MENARIKAN SANG LIYAN”: FEMINISME DALAM
INDUSTRI MUSIK ...........................................................................................75
2.1
Eksploitasi Kapitalisme dalam Industri Musik Populer .............................76
2.1.1
Hollywood di Asia: Sebuah Pemahaman Industri Budaya....................79
2.1.2
Girlband Sebagai Cultural Capital .......................................................84
2.2
Performa Feminisme dalam Budaya Kontemporer ....................................90
2.2.1
Performa Perempuan dalam Teater .......................................................90
2.2.2
Performa Perempuan dalam Music Video .............................................92
2.3
Performa Feminisme dalam Industri Musik Indonesia ..............................95
BAB III PERFORMA PEREMPUAN (SEBUAH ANALISIS
SINTAGMATIK) ..............................................................................................100
3.1
3.1.1
Unit Analisis 1: “Girls bring the boys out!” ..............................................101
Narasi “The Boys” ................................................................................101
xiii
3.1.2
Mise-én-scene “The Boys” ....................................................................107
3.1.2.1
Setting ...............................................................................................107
3.1.2.2
Costume ............................................................................................113
3.1.2.3
Performance and Movement .............................................................124
3.1.2.4
Camera Movement............................................................................128
3.1.2.5
Camera Editing ................................................................................130
3.1.2.6
Sound ................................................................................................132
3.2
Unit Analisis 2: Pandora ............................................................................133
3.2.1
Narasi “Pandora” ...................................................................................133
3.2.2
Mise-én-scene “Pandora” ......................................................................137
3.2.2.1
Setting ...............................................................................................137
3.2.2.2
Costume ............................................................................................146
3.2.2.3
Performance and Movement .............................................................150
3.2.2.4
Camera Movement............................................................................152
3.2.2.5
Camera Editing ................................................................................153
3.2.2.6
Sound ................................................................................................155
3.3
Catatan Sintagma: “The Boys” dan “Pandora” ...........................................156
BAB IV [MEMBUNUH] SANG LIYAN: MITOS RESISTENSI DALAM
PERFORMA PEREMPUAN ...........................................................................159
4.1
Girls’ Generation: “[We] Bring The Boys Out!” .........................................163
4.1.1
Kode Hermeneutika (hermeneutic code) ...............................................163
4.1.2
Kode Proairetik (proarietic code)..........................................................168
4.1.3
Kode Kultural (cultural code) ...............................................................174
xiv
4.1.4
Kode Simbolik (symbolic code).......................................................
179
4.1.5
Kode Semik (codes of semes) ..........................................................
181
Pandora: “Up and up ah ah”.................................................................
185
4.2.1
Kode Hermeneutika (hermeneutic code) .........................................
185
4.2.2
Kode Proairetik (proarietic code) ....................................................
190
4.2.3
Kode Kultural (cultural code)..........................................................
194
4.2.4
Kode Simbolik (symbolic code).......................................................
197
4.2.5
Kode Semik (codes of semes) ..........................................................
201
4.3
Mosaik Performa: Sebuah Perbandingan Analisis ...............................
203
4.4
Figur Mimikri Sang Liyan ....................................................................
207
4.2
BAB V REFLEKSI TERHADAP PERFORMA PEREMPUAN: DARI
SUNYI MENJADI BUNYI ...............................................................................218
5.1
Implikasi Teoritis..................................................................................
220
5.2
Implikasi Praktis ...................................................................................
223
5.3
Implikasi Sosial ....................................................................................
225
BAB VI PENUTUP .....................................................................................
228
6.1
Simpulan ...............................................................................................
228
6.2
Saran .....................................................................................................
230
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Statistik Ekspor Content Korea Selatan ..............................................11
Tabel 1.2 Figures of Mimicry .............................................................................32
Tabel 1.3 Figures of Mimicry .............................................................................33
Tabel 1.4 Model analisis semiotika Roland Barthes ...........................................59
Tabel 1.5 Kategori Repetisi ................................................................................60
Tabel 1.6 Four Basic Stage Spaces.....................................................................62
Tabel 1.7 Kategori pakaian perempuan ..............................................................64
Tabel 1.8 Kategori Gestur Tubuh .......................................................................67
Tabel 1.9 Kategori shot kamera ..........................................................................68
Tabel 1.10 Camera work and editing techniques ................................................68
Tabel 1.11 Genre Musik ......................................................................................69
Tabel 2.1 Daftar Girlband K-Pop ........................................................................77
Tabel 2.2 Daftar Girlband I-Pop..........................................................................78
Tabel 2.3 Best-selling Girl Groups (worldwide) .................................................87
Tabel 3.1 Setting dalam MV “The Boys” ............................................................108
Tabel 3.2 Performa Berdasarkan Visualisasi Dalam MV “The Boys”................125
Tabel 3.3 Camera Movement dalam MV “The Boys” ........................................129
Tabel 3.4 Camera Editing dalam “The Boys”.....................................................131
Tabel 3.5 Setting dalam MV “Pandora”..............................................................138
Tabel 3.6 Performa Berdasarkan Visualisasi Dalam MV “Pandora” ..................150
Tabel 3.7 Camera Movement dalam MV “Pandora” ..........................................152
xvi
Tabel 3.8 Camera Editing dalam “Pandora” .......................................................154
Tabel 4.1 Resistensi Perempuan Melalui Mimikri dengan Pola ‘Passing’..............210
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Girls’ Generation dalam MV “Gee” ...............................................7
Gambar 1.2. Peta Konsumsi K-Pop MV melalui YouTube ................................13
Gambar 1.3. Concepts of Poststructuralist Communication Theories of
Performance ...................................................................................34
Gambar 1.4. Operasionalisasi Konsep.................................................................53
Gambar 2.1. Girls’ Generation dalam MV ‘Time Machine’................................89
Gambar 2.2 KARA dalam MV ‘Step’ ................................................................89
Gambar 2.3 “Untitled Feminist Show” ...............................................................91
Gambar 2.4 Madonna “The Queen of Pop” .......................................................94
Gambar 2.5 Ainul Rokhimah alias “Inul Daratista” ...........................................98
Gambar 3.1. Captured Image Unit Analisis “The Boys” .....................................101
Gambar 3.2. Struktur narasi lirik “The Boys”......................................................102
Gambar 3.3. Tampilan proscenium stage dalam stage 1 .....................................109
Gambar 3.4. Tampilan circle stage dalam stage 2 ..............................................109
Gambar 3.5. Tampilan proscenium stage dalam stage 3 .....................................110
Gambar 3.6. Tampilan glazier stage dalam stage 4 ............................................111
Gambar 3.7. Tampilan stage 5 ............................................................................112
Gambar 3.8. Kostum dalam MV “The Boys” .....................................................123
Gambar 3.9. Captured Image Unit Analisis “Pandora” ......................................133
Gambar 3.10 Struktur Narasi Lirik “Pandora” ...................................................133
Gambar 3.11 Tampilan mini proscenium dalam stage 1a ...................................139
xviii
Gambar 3.12 Tampilan mini proscenium dalam stage 1b ....................................140
Gambar 3.13 Tampilan tunnel stage dalam stage 2 .............................................140
Gambar 3.14 Tampilan path stage dalam stage 3 ................................................141
Gambar 3.15 Tampilan parking place dalam stage 4 ...........................................141
Gambar 3.16 Tampilan capsule dalam stage 5 ....................................................142
Gambar 3.17 Tampilan proscenium dalam stage 6 ..............................................143
Gambar 3.18 Tampilan proscenium dalam stage 7 ..............................................144
Gambar 3.19 Tiga model kostum dalam Pandora ................................................146
Gambar 3.19 Tipe kostum keempat dalam Pandora.............................................148
Gambar 4.1 Resistensi Perempuan: Figur Mimikri Sang Liyan ............................207
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Music Video “The Boys”
Lampiran 2. Lirik “The Boys”
Lampiran 3. Music Video “Pandora”
Lampiran 4. Lirik “Pandora”
xx
BAB I
PENDAHULUAN
“Korea is the most interesting of the Asian cultures”
~ The Koreas: Asia in Focus (2009) ~
1.1. Latar Belakang
YouTube telah berhasil membuat panggung performa hadir secara virtual bagi
semua orang, dan apapun yang ditangkap oleh video dan diunggah ke YouTube
mungkin akan dilihat lebih dari jutaan kali tanpa alasan yang jelas. Untuk alasan
ini, YouTube telah banyak digunakan untuk kepentingan kultural yang
memunculkan banyak isu-isu kontroversial (Danesi, 2012:244). YouTube kini
merupakan salah satu jenis media sosial yang menjelma menjadi ruang performa
perempuani non-Barat di tengah-tengah euforia budaya populer.
Perempuan non-Barat secara khusus disebutkan sebagai sang Liyanii untuk
mendefinisikan inferioritas perempuan-perempuan dunia ketiga (third-world
women) terhadap dunia pertama (baca: Barat)—yang ternyata menawarkan
pemikiran ideologis bahwa laki-laki dianggap sebagai “the one and only [self]”
(Kroløkke dan Sørensen, 2006:13-14). Dengan demikian, YouTube menjadi
panggung kebudayaan yang mempertontonkan usaha perempuan
untuk
mengklaim identitas Diri (Self) melalui performa, yang membawa serta
kepentingan ideologis yaitu resistensi terhadap Barat. Wacana resistensi ini pada
akhirnya memposisikan Indonesia dalam persimpangan, munculnya peralihan
1
2
dominasi kultural yang sebelumnya, sejak masa kolonialisme, telah dikuasai oleh
produk budaya Barat.
Peralihan dominasi kultural ini merupakan perwujudan resistensi terhadap
industri budaya Barat dengan cara menghadirkan industri budaya yang serupa,
namun dalam versi yang berbeda, yaitu Hallyu. Hallyu (sebutan awal untuk
gelombang budaya Korea) diawali oleh kesuksesan drama Korea (K-drama) di
akhir tahun 1900-an, dan kemudian menghasilkan klasifikasi baru yaitu neoHallyu yang lebih mengunggulkan K-Pop sebagai jualan utamanya, “K-pop has
taken a leading role in the new Korean wave ... have transcended the boundaries
of the old Korean wave” (People and Culture Magazine, dikutip dari Nugroho,
2011). K-Pop menandai apa yang disebut the neo-Korean wave, dengan
pemanfaatan media sosial secara masif dan keterlibatan fans sebagai salah satu
cirinya (Iski, 2011:38).
Histeria K-Pop ini merupakan produk manipulatif dari industri budaya, yang
menurut
Max
dan
Horkheimer,
menghasilkan
kesadaran
palsu
karena
memanipulasi berbagai ideologi. YouTube merupakan salah satu kategori media
sosial yang menjadi agen industri musik Barat dalam rangka merepresentasikan
ideologi-ideologi kultural Barat, namun kini YouTube dimanfaatkan sebagai
ruang performa bagi manusia postkolonial, yaitu perempuan Timur, yang sedang
berusaha untuk menemukan kembali identitas Diri-nya. Implikasi yang
dimunculkan adalah sebuah wacana pembalikan identitas sang Liyan, di mana
perempuan yang selama ini dianggap sebagai the Other seolah berubah arah,
demikian pula relasi antara Timur terhadap Barat. Idi Subandy Ibrahim, seorang
3
pengamat komunikasi di Indonesia, menyebut fenomena ini sebagai proses
Asianisasi terhadap kebudayaan global (Kamil, Kompas, 15 Januari 2012).
Wacana Asianisasi ini dipercayai mampu mendobrak dominasi Barat
dengan memperkenalkan “Barat dalam versi Timur”, atau dengan kata lain,
industri Hollywood versi Timur, “Over the past decade, South Korea, with a
population of around 50 million, has become the Hollywood of the East, churning
out entertainment that is coveted by millions of remaja stretching from Japan to
Indonesia” (Lara Farrar, CNN World, dikutip dari Contemporary Korea No.1,
2011). Presiden AS Barack Obama bahkan menyebutnya sebagai sebuah
keajaiban modern dari Korea Selatan. Obama menekankan pada
evolusi
demokrasi Korea Selatan yang semula merupakan negara yang seakan tertutup,
hingga
(dalam
kini
menjelma
begitu
populer
dengan
K-Popnya
http://www.kapanlagi.com/showbiz/asian-star/barack-obama-tidak-heran-
k-popbegitu-dikenal-dunia.html).
Asianisasi dalam industri K-Pop dapat dikatakan sebagai sebuah wacana
resistensi yang muncul akibat sejarah kolonialisasi Timur yang tidak pernah lepas
dari kekuasaan Barat. Akan tetapi K-Pop bukan sekedar bentuk perlawanan Timur
terhadap Barat, namun pada tataran mikro, K-Pop juga membawa serta wacana
resistensi perempuan dengan memanfaatkan pola mimikri terhadap simbol-simbol
budaya Barat yang kemudian dijadikan sebagai jualan utama dalam industri KPop. K-pop banyak diakses melalui internet, terutama melalui situs YouTube.
YouTube dikatakan sebagai salah satu media yang paling sukses membuat
K-pop menjadi sebuah fenomena global dan menjadi wadah bagi K-pop untuk
4
mempromosikan diri mereka, contohnya, sebuah album solo dari boyband Big
Bang dirilis melalui YouTube berhasil menarik perhatian 390.000 users dari
seluruh dunia hanya dalam 1 jam. Salah satu artis pemimpin hallyu lainnya,
girlband Girls’ Generation, merilis teaser music video “Hoot” pada Oktober 2010
dan
tercatat
1
juta
views
dalam
2
hari
(Ja-young,
2011,
dalam http://www.Koreatimes.co.kr/www/news/biz/2011/02/123_81039.html).
YouTube mengklaim bahwa hingga November 2011, telah lebih dari 5 juta
music video K-Pop diupload ke situs tersebut. Lima video musik terbanyak adalah
TVXQ (400.000), Kara (400.000), Girls’ Generation atau SNSD (340.000), Super
Junior (270.000), dan Wonder Girls (260.000) (http://www.metrotvnews.com
/read/news/2011/11/10/71242/YouTube-Bakal-Buat-Channel-Spesial-K-Pop/13).
Data ini memperlihatkan bahwa tiga (3) dari lima (5) video musik yang paling
banyak tersedia untuk dikonsumsi melalui YouTube adalah kelompok artis K-Pop
berkelamin perempuan yaitu Kara, Girls’ Generation, dan Wonder Girls.
Perempuan diasumsikan menjadi jualan utama K-Pop. Merujuk pada
konteks historis bangsa yang memproduksinya, Korea Selatan, adalah bangsa
yang lahir dari ideologi patriarkisme yang sepanjang sejarahnya dilintasi oleh
beragam dinasti kerajaan yang menghasilkan peradaban yang berpihak kepada
laki-laki. Dalam buku yang berjudul ‘Asias in Focus: The Koreas’ (2009:17),
Marry E. Connor mengisahkan sebuah sejarah asal-usul bangsa Korea:
“Korea is one of the oldest countries in the world. The standard account of
the origins of Ancient Choson is contained in the legend of the first great
ruler, Tan’gun, who was born of a union between the son of the divine
creator and a female bear that had achieved human form. According to
5
ancient Chinese historians, Tan’gun made the walled city of P’yongyang the
capital in 2333 BCE, called his country Choson (“Land of the Morning
Calm”), and ruled for 1,000 years. No evidence supports this story, but over
the centuries the legend has contributed to the Korean sense of identity as a
distinct and proud race”.
Sejarah di atas mengisahkan bagaimana manusia Korea Selatan dihasilkan
oleh penyatuan antara anak laki-laki pencipta abadi (the son of the divine creator)
dan seekor beruang betina (a female bear) yang akhirnya menghasilkan keturunan
berbentuk manusia (human form). Mitos ini, meskipun tidak memiliki bukti
sejarah, telah berhasil membentuk peradaban manusia Korea Selatan yang
memiliki identitas sebagai ras yang berbeda dan angkuh. Mitos ini mengukuhkan
dikotomi antara laki-laki dan perempuan di mana laki-laki dianggap mewakili
sesuatu yang abadi sementara perempuan dianggap mewakili sifat kebinatangan.
Imaji yang terdapat dalam mitos sejarah bangsa Korea Selatan, kini menjadi
warisan ideologi yang melekat dalam K-Pop. Meski bukan sebagai binatang
(apalagi beruang), perempuan dalam industri K-Pop adalah sosok yang dikemas
sedemikian rupa untuk konsumsi massal dalam rangka perwujudan resistensi
kultural terhadap budaya Barat.
Mitos ini membenarkan pemahaman post-kolonial, yang mana perempuan
dipandang mengalami ‘kolonialisasi ganda’ karena keberadaannya sebagai subjek
yang dikuasai (colonial subject) dan diskriminasi umum yang dialami sebagai
subjek perempuan dalam budaya patriarkal (Sutrisno dan Putranto, 2004:22).
Dengan posisi yang seperti ini, sang Liyan perempuan harus menghadapi
6
dualisme struktur dominasi, yaitu Barat dan budaya patriarki yang tertanam dalam
budaya Timur itu sendiri.
Salah satu contoh bentuk representasi sang Liyan perempuan melalui
performanya di MV K-Pop adalah ekspresi kecantikan yang bersumber dari
kolonialisasi. Dikatakan demikian karena perempuan dalam K-Pop MV dijadikan
sebagai objek kecantikan yang sesungguhnya tidak mewakili kecantikan
perempuan Timur, melainkan dijadikan objek yang mengekspresikan kecantikan
Barat dalam rupa Timur. Kecantikan memang sudah terstandarisasi sejak dulu,
yaitu kecantikan yang putih. Perempuan berkulit putih dianggap memiliki
kecantikan yang ideal atau diidealkan (ideal[ized] beauty) (Prabasmoro, Becoming
White, 2003). Kecantikan yang dianggap ideal ini terepresentasikan dalam tubuh
perempuan yang ditampilkan dalam K-Pop MV, salah satunya adalah SNSD atau
Girl’s Generation. Girl’s Generation termasuk girlband K-Pop yang sejak dini
telah dilatih secara profesional dalam hal menyanyi dan menari, bahkan berakting
dan menjadi model. Girl’s Generation terdiri dari sembilan anggota perempuan,
yang disebut-sebut sebagai counterpart dari boyband Super Junior yang juga
merupakan salah satu kelompok musik K-Pop yang fenomenal.
Salah satu contoh representasi perempuan Timur yang dihadirkan Girl’s
Generation adalah MV berjudul “Gee”. MV ini mencoba menegosiasikan sang
Liyan dalam performa sebagai mannequin. Dengan menjadi mannequin,
perempuan membawa serta keinginan untuk melakukan resistensi melalui mimikri
terhadap model kecantikan Barat. Kenapa demikian? Karena mannequin
merupakan penggambaran ideal dari perempuan-perempuan yang memiliki bentuk
7
tubuh yang indah, yang layak untuk dipertontonkan di etalase kota metropolitan.
Kecantikan yang ditawarkan oleh mannequin adalah kecantikan yang putih (pada
umumnya mannequin berwarna putih), yang sejalan dengan model kecantikan
yang diwariskan Barat selama kolonialisasi.
Gambar 1.1
Girls’ Generation dalam MV “Gee”
Namun menjadi cantik seperti mannequin dalam hal ini tidak lagi sekedar
kecantikan yang putih. K-Pop menawarkan kecantikan yang lebih sempurna,
kecantikan artifisial yang dapat diperoleh dengan cara yang sederhana—operasi
plastik. Wacana kecantikan yang semacam ini merupakan sebuah fenomena hiper
yang disebutkan Yasraf Amir Piliang sebagai fenomena hypercare, gejala upaya
perawatan dan penyempurnaan daya kerja serta penampilan tubuh secara
berlebihan, lewat bantuan kemajuan teknologi kosmetik dan medis (Kasiyan,
2008:213). Dengan model kecantikan yang artifisial ini, industri K-Pop
memperlihatkan adanya pergerakan perempuan (women’s movement) yang
menghadirkan perempuan dengan label ‘cantik’ dan dijadikan sebagai subjek
dalam setiap K-Pop MV yang diperankannya. Menjadi perempuan ala K-Pop bisa
dikatakan merupakan sebuah diskursus keperempuanan di mana banyak
perempuan kini terobsesi untuk menjadi cantik seperti perempuan K-Pop.
8
Diskursus ini sesungguhnya berkaitan dengan persoalan sang Liyan yang selama
ini melekat dalam tubuh perempuan Timur yang sejak dulu telah menjadi wilayah
perebutan dan perjuangan identitas sebagai seorang Diri (the Self) yang ingin
diakui keberadaannya di mata Barat.
Sejarah memperlihatkan bahwa Korea Selatan sendiri sejak dahulu telah
melegitimasi adanya relasi kekuasaan dominan laki-laki terhadap perempuan, dan
bersamaan dengan sejarah kolonialisme yang panjang, Barat melegitimasikan diri
sebagai sumber kekuasaan kultural. Sejarah Korea Selatan memperlihatkan
adanya percampuran budaya sejak masa sebelum kolonialisme, yang berakibat
pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Korea Selatan, termasuk perempuan.
Korea has a history that stretches back some 5,000 years, and in that time it
has developed its own unique culture. Starting in the late 19th century,
however, the nation was sucked into the vortex of a chaotic world history,
suffering the ills of colonialism for many years ... After the Korean War,
Korea had to start from scratch in almost everything. Culture was no
exception to this... Ancient Koreans absorbed Buddhism, Confucian
teachings and Chinese traditions. More recently, Korea began to absorb
American lifestyles and education, European, philosophy, and Japanese
modernity (Contemporary Korea No.1, 2011:17-18).
Perpaduan dari nilai-nilai yang diadopsi dan diadaptasi oleh Korea Selatan
memberinya legalitas untuk memproduksi produk-produk kultural yang hibrid
yang dapat menyusup ke budaya mana pun di dunia. Legalitas ini diperkuat
dengan keberadaan media sosial berwujud content community yaitu YouTube.
Hingga saat ini, YouTube telah menyebarluaskan gelombang kebudayaan Korea
sedemikian rupa hingga ke bumi belahan Barat, ke negara-negara dunia pertama.
9
Pergerakan ini menandai adanya transisi budaya yang menjembatani dua dunia
yang sangat berbeda: Timur dan Barat; dunia ketiga dan dunia pertama.
Pada 10-11 Juni 2011 yang lalu, 7.000 tempat duduk di Le Zénith de Paris,
salah satu venue terbesar di kota Paris dipenuhi oleh fans-fans muda. Event
ini merupakan official debut dari K-Pop di panggung Eropa ... Fans yang
hadir tidak hanya orang Perancis, namun juga dari Inggris Raya, Jerman,
Spanyol, Italia, Swiss, Polandia, Latvia, dan Serbia. Mereka merupakan
sebuah bentuk representasi virtual dari benua Eropa yang sangat besar itu,
yang dalam logat bahasa masing-masing melantunkan nama sang penyanyi
Korea, ikut menari dan bernyanyi dalam bahasa Korea (Contemporary
Korea No.1, 2011:9).
Uraian di atas memperlihatkan perjuangan identitas Timur yang selama ini
dianggap tiada hingga kini di-ada-kan untuk dinikmati bersama oleh beragam
bangsa Barat. Dalam relasi ini, garis antara Barat dan Timur menjadi kabur, dan
sejalan dengan itu, persoalan sang Liyan perempuan Timur tidak lagi sebatas
relasi gender antara laki-laki dan perempuan, melainkan menyimpan adanya
kompleksitas diskursus yang kerap kali tidak disadari kehadirannya. K-Pop
dengan demikian akan menjadi sebuah hiper-komoditas (hypercommodity) yang
menyediakan ruang bagi Timur untuk melakukan resistensi terhadap Barat dengan
memanfaatkan perempuan sebagai komoditas utama yang ditawarkan dalam
industri K-Pop. Ruang kultural K-Pop di YouTube tidak lagi sekedar menawarkan
kesenangan budaya populer yang silih berganti, namun di balik teks yang ada di
setiap MV yang diunggah ke YouTube, perempuan direpresentasikan sedemikian
rupa untuk memperlihatkan adanya ideologi-ideologi yang bermain di dalamnya.
10
Sesungguhnya persoalan resistensi perempuan ini bukan yang pertama kali
terjadi, dan industri budaya ideologis semacam K-Pop ini juga bukan merupakan
hal yang baru. Indonesia sejak dulu memang merupakan wilayah perebutan dan
perjuangan identitas kultural yang tidak pernah berakhir. Indonesia pernah
mengalami proyek globalisasi kultural misalnya budaya Jepang, Bollywood, dan
Hollywood. K-Pop dan gelombang kebudayaan serupa hanyalah salah satu dari
banyak proyek kebudayaan yang pernah muncul sebagai ekspresi dari kelompok
kultural yang merasa tak terepresentasikan dengan baik oleh media.
Industri budaya
populer
Korea,
menurut presiden
KBS (Korean
Broadcasting System), Cho Dae-Hyun, merupakan salah satu pasar yang paling
kompetitif di dunia. Dua produk unggulan industri ini, yaitu K-Pop dan K-Drama
saling berkompetisi untuk melatih aktor dan penyanyi selama bertahun-tahun
untuk menciptakan drama dan program musik yang berkualitas serta berkolaborasi
dengan ahli-ahli yang telah mendunia. Dream High, adalah salah satu contoh
drama musikal yang merupakan kolaborasi dari K-Pop dan K-Drama. Drama
musikal yang diproduksi oleh raksasa media KBS di tahun 2011 lalu ini, berhasil
masuk nominasi dalam youth category of Rose d’Or festival, satu-satunya
program Asia yang dinominasikan di festival televisi global yang diadakan di
Lucerne, Switzerland. Di negara asalnya, drama ini meraih rating sebesar 20%
dan telah diekspor ke lebih dari 20 negara di Asia dan Eropa. Drama ini dianggap
menjadi sukses karena merupakan kombinasi dari dua faktor kekuatan utama
dalam
Hallyu
yaitu
drama
dan
K-Pop
(Chong-un,
2012,
dalam
11
http://www.thejakartapost.com/news/2012/02/29/kbs-drama-dream-high-nomina
ted-european-award.html).
Kolaborasi antara K-Pop dan K-Drama memperlihatkan bagaimana dua
produk kultural Hallyu tersebut mampu menaklukkan pasar Eropa. Merujuk pada
data KOCCA (Korea Creative Content Agency), sebuah agensi yang didirikan
pada tahun 2009 di bawah bimbingan Departemen Kebudayaan Korea Selatan,
memperlihatkan perkembangan industri hiburan Korea yang dilakukan dengan
cara mengekspor berbagai produk budaya populernya ke berbagai negara di dunia.
Tabel 1.1
Statistik Ekspor Content Korea Selatan
Sumber: http://www.kocca.kr/eng/industry/trend/index.html
Persentase kenaikan sebesar 4.1% pada tahun 2009, menurut KOCCA,
berasal
dari
industri
musik,
games,
dan
broadcasting.
KOCCA
juga
memprediksikan ekspor content Korea di tahun 2011 akan mencapai US$ 3.8
billion dengan peningkatan 14% dari tahun sebelumnya (Korean IT News,
dalam
http://english.etnews.com/news/detail.html?id=201102250008).
Industri
musik K- Pop menjadi faktor utama perintisan gelombang budaya di berbagai
negara yang mengimpornya. Tingginya angka ekspor produk budaya populer
ini pasti akan berimplikasi
mengimpornya. Kegiatan
pada
pasar
domestik
negara
yang
12
mengimpor produk K-Pop akan menjadi beban ekonomi yang bernuansa politik
kebudayaan, karena yang ditransaksikan dalam hal ini tidak sekedar ditujukan
untuk kepentingan ekonomi melainkan juga untuk kepentingan politik yang
berkaitan dengan penanaman nilai ideologis melalui ranah kebudayaan populer.
Terlepas dari K-Drama, K-Pop pun telah menjadi sebuah industri budaya
tersendiri yang dapat dengan mudah diakses di media digital, terutama melalui
situs YouTube. Menurut hasil analisis tim YouTube, jumlah views pada video
musik Korea di tahun 2010 mencapai 793.574.005 yang berasal dari 229 negara,
bahkan termasuk dari negara-negara yang letaknya jauh dari Korea (Ja-young,
2011, http://www.Koreatimes.co.kr/www/ news/biz/2011/02/123_81039.html).
Peta di bawah ini memperlihatkan visualisasi negara-negara yang ‘dilanda’
K-Pop. Indonesia termasuk negara dengan tingkat konsumsi K-Pop di YouTube
cukup tinggi (warna merah menunjukkan jumlah konsumsi di atas 10.000.000).
Tingkat konsumsi paling tinggi di tahun 2010 adalah Jepang (113.543.684) dan
Amerika Serikat (94.876.024), sementara tingkat konsumsi paling rendah berada
di sebagian besar negara-negara di kawasan Afrika. Di Indonesia sendiri, tingkat
konsumsi terhadap produk K-pop sebagian besar ditandai dengan warna merah
yang artinya tingkat konsumsi K-Pop di Indonesia cukup tinggi. Penyebaran
konsumsi secara geografis paling tinggi di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Bali dan sekitarnya, sementara Papua memiliki tingkat konsumsi yang cukup
rendah yaitu 10.000 hingga 100.000 views (berwarna hijau).
Gambar 1.2
Peta Konsumsi K-Pop MV melalui YouTube
13
Sumber: Contemporary Korea No. 1, 2011:22
14
Sejalan dengan data YouTube tersebut, KOFICE (Korean Foundation for
International Culture Exchange), sebuah institusi pemerintah Korea Selatan yang
ditujukan untuk mengawasi perubahan arus gelombang budaya Hallyu dengan
lima fokus wilayah (Jepang, China, Asia Tenggara, Asia Tengah, Amerika Utara,
serta Amerika Tengah dan Selatan), mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan
negara yang “influenced by Hallyu fever in Southeast Asia, Indonesia is showing
increasing interest toward Korean Culture”. Meskipun data YouTube di atas
memperlihatkan Indonesia bukan merupakan negara yang paling tinggi tingkat
konsumsinya (dibandingkan dengan Jepang dan AS), di mata industri budaya
Korea, Indonesia merupakan pasar potensial yang semakin lama semakin
memperlihatkan minat yang tinggi terhadap produk budaya Korea.
Fenomena Hallyu di Indonesia sebenarnya merupakan efek domino
penyebarluasan Hallyu mulai dari China, Jepang, hingga ke seluruh Asia termasuk
Indonesia. Meskipun hanya sebatas efek domino, sebagai salah satu pasar
potensial. KOFICE sengaja mendirikan satu kantor korespondensi di Indonesia
yang bertindak sebagai jendela pengamat perubahan arus kebudayaan secara
global, serta mempelajari berbagai industri-industri budaya lokal di negara
koresponden sehingga mereka dengan mudah mengontrol realisasi pengglobalan
budaya populer Korea Selatan.
Gelombang kebudayaan Korea sesungguhnya dilatarbelakangi oleh krisis
finansial yang dialami negara-negara Asia sejak tahun 1997 yang membutuhkan
bantuan bailout dari International Monetary Fund (IMF). Di tengah-tengah
depresi akibat krisis, Korea memanfaatkan kepopuleran internet dan menciptakan
15
sebuah dunia kapitalisme yang baru dengan berbagai pergerakan modal, media,
dan budaya yang berkumpul menjadi satu dalam gelombang Korea atau Hallyu
(Cho, 2005:148). Korea Selatan mengusahakan sebuah transformasi dunia yang
masuk akal. Lebih lanjut lagi, dalam tulisannya yang berjudul “Reading the
‘Korean Wave’ as a Sign of Global Shift” tersebut, Cho mengkaji bagaimana
orang Korea mampu mengembangkan sebuah perspektif baru dalam struktur
dunia yang diakibatkan oleh krisis IMF, dan kemudian mengembangkan cita rasa
baru dalam hal globalisasi, industri budaya, dan wajah baru Asia dalam waktu
yang singkat.
Konsumsi massal K-Pop tersebut tidak mungkin terjadi tanpa bantuan
evolusi teknologi broadband yang menciptakan media baru, yang kehadirannya
menawarkan speed and space, di mana media baru membuka peluang bagi
kehadiran informasi-informasi yang tidak dapat ditemukan dalam bentuk hard
copy media konvensional serta menawarkan format multimedia yang lebih
inovatif dan lebih menarik (Fenton, 2010:7). Di Korea Selatan sendiri, media
berbasis internet dianggap sebagai sebuah simbol kemudaan dan resistensi (Yoon,
2001:253). Media baru menawarkan sebuah ruang pertukaran budaya—yang di
dalamnya terjadi produksi, distribusi, dan konsumsi produk-produk kultural KPop dan juga produk kultural lainnya. Dalam ruang yang sama, performa
perempuan direpresentasikan sebagai salah satu komoditas utama yang
diperjualbelikan
di
antara
budaya
yang
berbeda.
Fungsi
representasi
mencerminkan efek yang dihasilkan media dalam mengkomunikasikan sesuatu.
Dengan isu yang sama, media yang berbeda akan mengkomunikasikannya secara
16
berbeda dikarenakan pengaruh dari medium yang digunakan. Terlebih dalam
media digital, fungsi representasi akan menjadi semakin arbitrer, tidak hanya
bergantung pada aktor sosial yang mengkonstruksikan makna, namun juga karena
tanda digital akan sangat berbeda dengan tanda yang ada dalam media
konvensional. Dengan demikian, efek domino dari fenomena ini perlu
dikhawatirkan karena ke-arbitrer-an tanda dalam media digital akan membuat
semakin arbitrernya performa perempuan yang terepresentasikan di dalamnya.
Media seharusnya merefleksikan struktur masyarakat, disesuaikan dengan
bahasa, etnis atau identitas kultural, politik, agama atau kepercayaan (Van der
Wurf, 2004,
dalam
McQuail,
2010:198). Undang-Undang
1945 (hasil
amandemen) yang merupakan dasar negara Indonesia juga mengatur negara untuk
menjamin kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia (pasal 32),
selain itu persoalan identitas kultural juga merupakan HAM yang dijamin oleh
negara (pasal 28I ayat 3). Dengan demikian, media yang diakui sebagai pilar
keempat dalam negara demokrasi, sudah selayaknya ditujukan untuk memajukan
kebudayaaan nasional dan juga menjamin identitas kultural perempuan sebagai
perempuan Timur. Media massa dituntut untuk mampu merepresentasikan
identitas budaya nasional selaras dengan perkembangan budaya global, dengan
demikian media pun tidak boleh sekedar menampilkan produk kultural Barat (atau
yang ke-Barat-barat-an), namun harus mampu menjamin keseimbangan antara
Barat dan Timur di dalam ruang media termasuk di media digital. Performa
perempuan dalam K-Pop MV di YouTube mengandung wacana resistensi Timur
terhadap Barat yang dikhawatirkan akan membawa persoalan ideologis yang
17
terjebak dalam sistem terkunci antara ras, kelas, dan gender. Hal ini sangat
mungkin terjadi mengingat Indonesia, sama seperti Korea Selatan, adalah bangsa
yang lahir dari proses kolonialisme. Implikasi sebagai bangsa post-kolonialisme
jelas tidak akan sama di antara Korea Selatan dan Indonesia, mengingat persoalan
multikulturalisme Indonesia akan membuat perempuan semakin terjebak di dalam
sistem terkunci bernama ras, kelas, dan gender.
Masuknya nilai-nilai kultural dalam K-Pop memang bukan wacana kultural
yang dapat kita hindari, sama halnya dengan ketidak-mungkinan menolak
warisan-warisan kolonialisme. Namun perlu dipahami bahwa meskipun Indonesia
dan Korea Selatan merupakan sama-sama memiliki sejarah kolonialisme,
Indonesia tidak seperti Korea Selatan yang masyarakatnya bersifat dan-il min guk
ga, yang berarti satu ras (Rini, 2012, dalam http://edsus.tempo.co/kontenberita/musik/2012/12/02/445381/42/Korea-Selatan-Ternyata-Lebih-Kecil-dariPulau-Jawa).
Dengan perbedaan ini, akan ditemukan persoalan kompleks terkait resistensi
perempuan dalam representasi Diri-nya. Persoalan ini, jika diposisikan dalam
wacana multikulturalisme Indonesia, persoalan Diri perempuan akan terjebak
dalam resistensinya terhadap kekuasaan kultural Barat karena mereka terikat pada
persoalan ras, kelas, dan gender. Dengan demikian, kolonialisme akan tetap
menyisakan praktek penjajahan dalam rupa imperialisme media, dengan
perempuan sebagai objek utamanya.
18
1.2. Perumusan Masalah
Dalam dunia ketiga yang selalu didominasi oleh dunia pertama, Barat biasanya
selalu menemukan cara untuk melegitimasi kekuasaan kulturalnya. Keadaan
semacam ini akan menghadirkan relasi kesenjangan yang terus-menerus
diabadikan media dalam dikotomi Barat dan Timur, yang serta merta
menempatkan perempuan Timur sebagai manusia postkolonial yang hadir dalam
sosok sang Liyan.
Kemunculan industri budaya populer Korea Selatan menjadi sebuah peluang
untuk mempertanyakan kembali ruang publik yang kini semakin dipenuhi dengan
diskursus budaya Barat dan Timur. Industri K-Pop yang memanfaatkan YouTube
telah menjadi sebuah platform yang menyediakan kemungkinan resistensi dengan
menempatkan perempuan sebagai pejuang resistensi terhadap dunia Barat melalui
performa yang dilakukan perempuan dalam K-Pop MV.
Performa perempuan dalam music video (MV) di YouTube mencoba untuk
menegosiasikan identitas sang Liyan untuk mendapatkan pengakuan atas
eksistensi Diri (the Self) perempuan yang dianggap mewakili perempuan
postkolonial lainnya, termasuk perempuan Indonesia. Dengan demikian, ruang
kebudayaan di Indonesia akan menghadapi persinggungan antara Barat dengan
Timur, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup banyak
mengkonsumsi K-Pop
melalui situs
YouTube
sehingga memungkinkan
munculkan efek domino dari persoalan ideologis yang melekat di dalamnya.
Persoalan performa sang Liyan (perempuan) dalam K-Pop MV menjadi
sebuah isu feminis yang penting untuk dikaji karena K-Pop MV yang ada di
19
YouTube tidak sekedar sumber kesenangan populer, namun menjadi persoalan
resistensi kultural yang bisa mempengaruhi konstruksi the Self perempuan yang
mengkonsumsinya. Atau, performa yang sama justru berbalik arah dan
memunculkan pengukuhan dominasi Barat terhadap Timur. K-Pop MV ini
berpotensi sebagai sumber penentangan terhadap dominasi kultural Barat, dan
sebagai sebuah teks kultural, K-Pop MV di YouTube menjadi sebuah permainan
tanda kultural yang sangat dinamis yang di dalamnya. Performa perempuan akan
membawa wacana resistensi melalui permainan tanda yang dipengaruhi faktorfaktor seperti ras, kelas, seksualitas, dan gender.
Dalam hal ini, K-Pop tidak lagi dipandang sebatas sebuah fenomena musik
modern dari Korea Selatan, namun K-Pop menjadi sebuah permasalahan
multikultural yang akan berimplikasi pada persoalan ideologis terkait ide
resistensi yang melekat di dalamnya. Berangkat dari permasalahan di atas, lalu
muncul pertanyaan mengenai bagaimana performa perempuan dalam K-Pop MV
di YouTube menghadirkan ideologi resistensi sang Liyan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Membongkar dan menguraikan ideologi resistensi sang Liyan yang dihadirkan
melalui performa perempuan dalam K-Pop MV di YouTube.
20
1.4. Signifikansi Penelitian
1.4.1. Signifikansi Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi pengembangan ilmu
komunikasi khususnya bidang kajian budaya feminis di media. Teori-teori dalam
penelitian ini diharapkan dapat menguraikan permasalahan ideologis yang muncul
dalam K-Pop MV di YouTube, serta mengkonseptualisasikan ideologi yang
dimunculkan terkait dengan persoalan resistensi perempuan [Timur]. Penelitian
ini menitikberatkan content community YouTube sebagai media digital yang
berperan penting bagi penyebarluasan nilai-nilai kultural. Eksplorasi terhadap
persoalan perempuan di dalam media digital diharapkan menjadi usaha
pengembangan kajian komunikasi feminis di tengah keberagaman pilihan media
untuk dikonsumsi.
1.4.2. Signifikansi Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap pengembangan
kebijakan dalam media massa khususnya media digital, mengingat media digital
merupakan ranah representasi kultural yang sangat beragam yang dapat dengan
mudah menanamkan ideologi melalui konten media yang ditampilnya. Media
digital, dalam hal ini koorporasi Google yang diwakili oleh YouTube Indonesia,
diharapkan mampu mempertimbangkan implikasi etis yang dihadirkan akibat
banyaknya konten media mengenai performa perempuan sehingga dapat
meminimalisir problematika kultural yang dihasilkan mengingat perempuan
Indonesia terdiri dari identitas etnik yang berbeda-beda.
21
1.4.3. Signifikansi Sosial
Penelitian ini diharapkan mampu mengajak khalayak media digital untuk berpikir
kritis dan tidak menerima secara langsung konten yang disampaikan oleh media,
terutama yang menampilkan budaya populer K-Pop. Khalayak diharapkan
memiliki kesadaran kultural sehingga khalayak tidak sembarangan mengakses dan
mengkonsumsi
konten
media,
namun
khalayak
diharapkan
memiliki
pertimbangan etis untuk mengakses konten media yang layak untuk dikonsumsi.
1.5. Kerangka Pemikiran Teoritis
1.5.1. Paradigma Penelitian
Paradigma merupakan sistem kepercayaan dasar (basic belief system) atau cara
pandang yang membimbing seorang peneliti untuk memilih metode serta
menentukan cara-cara fundamental yang epistemologis dan ontologis. Sesuai
dengan empat tipe paradigma yang dijelaskan oleh Guba dan Lincoln (1994:163255), paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis.
Paradigma kritis (critical theories) mengacu pada alternative paradigm yang
mengartikulasikan ontologi berdasarkan realisme historis (historical realism),
epistemologi yang bersifat transaksional, dan metodologi yang dialogic dan
dialectical (Denzin dan Lincoln, 2000:160).
Menurut Bourdieu (1977), sebuah pendekatan kritis merupakan sebuah
pemahaman di mana praktik sosial serta bahasa yang kita gunakan saling terikat
dalam hubungan sebab akibat yang mungkin tidak kita sadari dalam kondisi yang
normal (Fairclough, 1995:54). Dengan demikian, pendekatan kritis dalam
22
penelitian ini dimaksudkan untuk membongkar diskursus-diskursus yang
tersembunyi di balik teks media. Pendekatan kritis digunakan sebagai acuan
dalam berfikir kritis dalam membongkar problematika K-Pop yang kini
dikonsumsi secara massal melalui YouTube, yang membawa serta narasi
resistensi di balik performa perempuan.
Pandangan kritis terlihat dalam pendekatan kajian budaya feminis di mana
feminisme, seperti yang diungkapkan Van Zoonen (1994:4), digunakan untuk
menteoritisikan multiplikasi dari relasi-relasi subordinasi perempuan dan
menganalisis bagaimana relasi subordinasi tersebut dikaitkan dengan identitas
kolektif, seperti gender ras, dan etnisitas. Paradigma kritis diasumsikan sebagai
paradigma yang tepat dalam penelitian ini untuk menjelaskan adanya persoalan
ideologis yang dihadirkan dalam performa perempuan yang ditampilkan dalam KPop MV di YouTube.
1.5.2. State of The Art
Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengambil sudut pandang yang berbeda
dari penelitian-penelitian sebelumnya. Ada 4 (empat) penelitian yang dijadikan
sebagai state of the art. Pertama, skripsi yang ditulis Aulia Dwi Nastiti (2010,
program studi Komunikasi Massa, Universitas Indonesia), berjudul “Korean
Wave di Indonesia: Antara Budaya Pop, Internet, dan Fanatisme pada Remaja
(Studi Kasus terhadap Situs Asians Remaja Club di Indonesia dalam Perspektif
Komunikasi Antarbudaya)”.
23
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus untuk menjelaskan
fenomena Korean wave atau Hallyu yang ditandai oleh kemunculkan kelompok
penggemar di internet (fansclub atau fandom). Objek penelitian adalah situs Asian
Remaja Club 2, yang merupakan salah satu kelompok penggemar Hallyu terbesar.
Hasil penelitian dari studi kasus ini mendapati adanya fanatisme kelompok
penggemar yang terbentuk dibagi dalam tiga tataran, yaitu tataran kognitif, afektif,
dan perilaku. Efek fanatisme ini diawali dari meningkatnya pemahaman kultural
terhadap budaya Korea yang ditawarkan dalam situs Asians Remaja Club 2,
kemudian menimbulkan ketertarikan terhadap budaya Korea, dan beranjak pada
pola perilaku komunikasi yang berujung pada upaya difusi dan preservasi budaya
Korea
oleh
kelompok
penggemar
(dalam
http://www.scribd.com
/doc/67051422/Korean-Wave-di-Indonesia-Budaya-Pop-Internet-dan-FanatismeRemaja).
Kedua, penelitian yang ditulis oleh Woongjae Ryoo (2008, Honam
University, Gwangju, Republic of Korea). Judul penelitian ini adalah “The
Political Economy of The Global Mediascape: The Case of The South Korean
Film Industry”. Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonomi politik kritis
yang membongkar mengenai wacana globalisasi dalam fenomena Hallyu yang
dilihat dari tiga konsekuensi, yaitu politik, ekonomi, dan budaya, dalam kaitannya
dengan media sebagai alat produksi Hallyu. Analisis yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu analisis empiris yang mengkaji hubungan antara negara, sektor
swasta, dan media dilihat dari sejarah perkembangan Hallyu (Media, Culture and
Society, Vol. 30(6):873-889).
24
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Rizal Irvani (2010, program studi Ilmu
Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang) yang berjudul “Representasi
Perempuan dalam Video Klip: Analisis Semiotik pada Video Klip Menghapus
Jejakmu, Peterpan”. Penelitian ini merupakan penelitian intepretatif dengan
pendekatan semiotika, yang mengkaji semua scene dalam videoklip “Menghapus
Jejakmu” dari segi audio (lirik dan suara musik) dan visual (gambar). Teknik
analisa yang digunakan adalah semiotika Peirce dan Riffaterre. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa perempuan tidak memiliki standar yang layak untuk
menyamai peran laki-laki di ruang publik (dalam eprints.umm.ac.id).
Keempat, penelitian yang ditulis oleh Sue Jin Lee (2011, Strategic
Communications Major, Elon University), berjudul “The Korean Wave: The Seoul
of Asia”. Penelitian ini mengungkapkan bahwa gelombang budaya Korea
menghasilkan ripple effect yang memainkan faktor-faktor politik, kultural,
ekonomi, dan historis, guna membentuk reputasi nasional. Penelitian ini
merupakan kajian kritis dengan pendekatan comparative framing analysis untuk
membandingkan efek gelombang budaya Korea mulai dari Amerika Serikat, Asia,
dan Korea Selatan. Unit analisis yang diteliti adalah 84 artikel online surat kabar
Korean Herald, Korean Herald (Singapore), Korean Herald (Thailand), Korean
Herald (Tokyo). Dari perbandingan framing berita cross-national, terdapat 3
(tiga) frame yaitu: (1) “love/hate relationship: China, Japan, and Korea”, (2)
“nation branding through culture”, dan (3) “cultural imperialism and blacklash”.
Framing ini terbentuk akibat perbedaan cross-cultural yang menghasilkan
intepretasi khalayak yang berbeda. Sue menyimpulkan bahwa gelombang budaya
25
Korea telah melampaui batasan geografis, budaya, politik, dan teoritis, dan saat ini
sedang dalam proses mengkonstruksi jenis relasi antar batas (relations accross
boundaries) yang baru yang masih terlalu dini untuk diprediksi (The Elon Journal
of Undergraduate Research in Communication, 2011, Vol.2(1):85-93).
State of the art pertama dan kedua merupakan penelitian mengenai
fenomena gelombang kebudayaan Korea yang dikaji dalam bentuk studi kasus
dan
ekonomi politik kritis. Sementara, penelitian ketiga menggunakan
pendekatan semiotika untuk memperlihatkan representasi perempuan dalam
relasinya dengan laki-laki. Penelitian keempat menggunakan pendekatan
comparative framing analysis yang menganggap gelombang budaya Korea
sebagai sebuah usaha untuk mengkonstruksi relasi antar batas. Berdasarkan state
of the art tersebut, tesis berjudul “Resistensi sang Liyan: Performa Perempuan
dalam K-Pop MV di YouTube” ini mencoba menawarkan sudut pandang yang
berbeda, yang memandang music video K-Pop sebagai sebuah ruang performa
yang membawa wacana resistensi. Keberadaan perempuan sebagai sang Liyan
merupakan persoalan ideologis yang perlu ditelaah untuk memperlihatkan
perjuangan
pergerakan feminisme
dalam
mengusahakan
legitimasi Diri
perempuan Timur.
Penelitian ini beranjak dari pendekatan feminist cultural studies, yang
diasumsikan sebagai cara pandang yang tepat untuk mengkaji isu keperempuanan
yang ditampilkan dalam K-Pop MV di YouTube. YouTube sendiri dianggap
sebagai sebuah terobosan media baru yang disebut sebagai YouTube phenomenon,
yang sulit untuk dikaji dalam pendekatan komunikasi klasik (Danesi, 2012:244).
26
Untuk itu, penelitian ini mengkonseptualisasikan secara berbeda diskursus
perempuan melalui pemahaman komunikasi feminis yang dipengaruhi oleh cara
pandang post-strukturalis, yaitu kajian performa yang akan dianalisis dengan
pendekatan semiotika Roland Barthes. Kajian performa dianggap sebagai bagian
dari
studi
komunikasi
mempertimbangkan
(Kroløkke
adanya
dan
perubahan
Sørensen,
performa
2006:34),
(khususnya
dengan
performa
perempuan) dalam media massa secara signifikan dari masa feminisme
gelombang pertama hingga ketiga. Dengan demikian, kajian performa ini
merupakan bagian dari perjuangan untuk membongkar isi media pada tataran
mikro, yang diharapkan dapat memprediksi efek yang dihasilkan guna
pertimbangan perubahan arah kebijakan media.
1.5.3. Kajian Budaya Feminis
Kajian budaya (cultural studies atau disingkat CS) adalah sebuah kajian
multidisipliner yang mengandung wacana yang berlipat ganda dan memuat
sejarah yang berbeda karena pengaruh yang berbeda dari sejumlah disiplin seperti
Marxisme, culturalism, strukturalisme, poststrukturalisme, psychoanalysis, dan
feminisme (feminisme menjadi bagian dari politik perbedaan yang di dalamnya
juga terkait dengan teori-teori mengenai ras, etnisitas dan postkolonialisme)
(Barker, 2000:12).
CS memiliki beberapa konsep kunci yaitu: budaya dan sistem penandaan
(culture and signifying practices), representasi, materialisme dan
non-
reduktionisme, artikulasi, kekuasaan, budaya populer, serta subjektivitas dan
27
identitas.
Representasi
menjadi
sebuah
pertanyaan
utama
yang
sering
dipertanyakan dalam CS, karena melalui representasi dunia dikonstruksikan dan
direpresentasikan untuk dan oleh kita. Representasi dimaknai sebagai penggunaan
bahasa untuk mengungkapkan sesuatu yang bermakna mengenai bahasa tersebut,
atau untuk merepresentasikan dunia yang penuh makna ke orang lain.
Representasi merupakan bagian penting dari proses di mana makna diproduksi
dan dipertukarkan di antara anggota kelompok sebuah kebudayaan. Dalam hal ini,
kajian budaya menjadi sebuah praktek penandaan dari representasi yang
menghasilkan
pemaknaan
tekstual
yang
mana
representasi
melibatkan
penggunaan bahasa, tanda, gambar yang digunakan untuk merepresentasikan
sesuatu (Barker, 2000:8-12; Hall, 1997a:15).
Lebih jauh lagi, Van Zoonen mengungkapkan bahwa CS merupakan kajian
yang memperhatikan manifestasi dari budaya populer, isu-isu representasi, dan
identitas kolektif seperti identitas nasional, etnisitas, dan gender. CS menerima
kontribusi besar dari feminisme untuk membongkar dan mencari tahu bagaimana
identitas kolektif terkonstitusikan dan menghasilkan relasi subordinasi (Van
Zoonen, 1994: 4-5). Dengan demikian, CS dan feminisme dapat dikatakan
memiliki kepedulian terhadap isu-isu serupa, bahkan Stuart Hall menyebut
feminisme sebagai ‘pencuri’: “feminism as ‘A thief in night, it broke in;
interrupted, made an unseemly noise, seized the time, crapped on the table of
cultural studies’” (Barker, 2000:224-225). Anggapan feminisme sebagai pencuri
ini memberi makna bahwa feminisme banyak ‘menginterupsi’ kajian budaya.
28
Dalam istilah lain, Stuart Hall menyebutkan bahwa bagi CS, intervensi
feminisme bersifat spesifik dan menentukan. Intervensi tersebut bersifat memecah.
Intervensi tersebut menata ulang CS dengan cara-cara yang amat konkret
(Thornham,
2010:1).
CS
dan
feminisme
banyak
menerima
pengaruh
poststrukturalisme dan postmodernisme dan menghasilkan kajian media feminis
yang berfokus pada “politics of pleasure” yang mana politik kesenangan ini
diasumsikan muncul dalam feminisme gelombang ketiga melalui negosiasi posisi
perempuan melalui identitas yang terepresentasikan dalam politik performa (Van
Zoonen, 1994:3; Kroløkke dan Sørensen, 2006:21).
1.5.4. The Poststructuralist Communication Theories of Performance
Performance merupakan pertunjukan formal dari sebuah lakon/sandiwara,
program musikal, dan sejenisnya, yang dianggap sebagai representasi teks yang
di-display di hadapan khalayak (Danesi, 2009:228). Teater menjadi hal yang
penting bagi kajian performa karena dulunya, kajian performa lahir dari kajian
teater di Inggris yang kemudian berfokus pada isu-isu tertentu yang mengikat di
dalam teater (Bhattacharyya, 2005:313-314).
Performance dianggap sebagai sebuah aktivitas yang terpisah dari praktek
seni abad ke-20 yang menyebar melalui bentuk-bentuk seni lain baik dalam
memotivasi maupun menentang akademisasi
seni dan bentuk
hierarki.
Performance merupakan hasil dorongan performik yang hadir dalam modernisme
Eropa sebagai sebuah penolakan untuk menyesuaikan dengan teknik pengaturan
musik klasik yang formal dalam narasi, citra, pola, komposisi, dan menegaskan
29
validitas dari bentuk-bentuk dongeng rakyat seperti balai musik, sirkus dan
kabaret (Gamble, 2010: 382). Secara fundamental, teori performance mengakar
pada pemikiran poststrukturalisme yang menandai adanya interplay antara subjek,
bahasa, dan masyarakat serta menekankan agensi, kompleksitas, dan kontingensi
dalam pelaksanaan kekuasaan. Postrukturalisme ini menandai adanya pergantian
performa, yaitu sebuah peralihan di mana performa berubah menjadi sebuah
praktek komunikasi yang melekat (Kroløkke dan Sørensen, 2006:34).
Dalam buku Gender Communication Theories and Analysis (2006),
dijelaskan bahwa performance merupakan sebuah kajian komunikasi feminis yang
muncul dalam pemahaman feminis poststrukturalis, yang menandai kemunculan
feminisme gelombang-ketiga. Melalui performance, identitas gender akan
diekspresikan dalam wujud akumulasi dari beragam bentuk representasi dalam
budaya kontemporer (Storey, 2003:91). Kajian klasik dari feminis poststrukturalis
ini adalah performance and positioning theory, yang merupakan sebuah diskursus
yang dibahas Judith Butler sebagai kritiknya terhadap feminisme gelombang
kedua. Ada 4 (empat) premis dasar dari teori ini (Kroløkke dan Sørensen,
2006:45), yaitu: (1) Gender tidak lagi diposisikan sebagai sumber identitas dan
bahasa, namun merupakan konsekuensi atau sebuah akibat/efek dari praktik
semiotika; (2) Gender merupakan sebuah “gestur yang performatif” dengan efek
querring, yang melaluinya kita dapat mengadaptasi dan menegosiasikan posisi
subjek yang diskursif; (3) Kita berpartisipasi dalam performa gender melalui
peniruan dan subversi yang retoris; dan (4) Istilah “gendering” saling bersilangan
dengan persoalan ras, kelas, seksualitas, etnisitas, dan nasionalitas.
30
Dengan kata lain teori performa dan positioning ini memaknai kekuasaan
sebagai sebuah konsep yang cair serta kompleks karena dibentuk dan dipengaruhi
oleh praktek-praktek performa yang dikaitkan dengan berbagai faktor. Teori
feminis poststrukturalis klasik ini selanjutnya termanifestasikan dalam kerangka
pemikiran yang lebih fokus, salah satunya yaitu teori mengenai performativity
yang dipelopori Kristin M. Langellier.
Langellier beranjak dari pemikiran Butler dan kemudian mengeksplorasi
kemungkinan-kemungkinan adanya ruang bagi konsep performance dalam kajian
komunikasi feminis. Langellier mengelaborasi perbedaan antara performance
dengan performativity: “whereas performance designates a type of imperfection
that implies a transgresive desire for agency and action, performativity
articulates a display of differences that challenges the forces of discourses and
institutionalized networks of power”. Bagi Judith Butler sendiri (dalam Salih,
2003:45,63), performance dan performativity dibedakan dari posisi subjek di
mana performance menghadirkan keberadaan subjek sementara performativity
meragukan atau bahkan meniadakan posisi subjek.
Karya feminis poststrukturalis yang dihasilkan oleh Butler dan Langellier
selanjutnya menandai perkembangan agenda-agenda feminis poststrukturalis
khususnya dalam kajian komunikasi yang dianggap relevan (Kroløkke dan
Sørensen, 2006:129-136, 155-163), yaitu:
1.5.4.1. Mimicry and Symbolic Reversals
Filsuf feminis Perancis Luce Irigaray menyatakan bahwa peniruan (mimicry)
merupakan sebuah cara bagi perempuan untuk memperoleh kembali suaranya
31
dalam proses komunikasi. Teknik mimikri secara tidak langsung menyatakan
bahwa perempuan memainkan peran femininnya:
“to play with mimesis is thus, for a woman, to try to recover the place of her
exploitation through discourse, without allowing herself to be simply
reduced to it. It means to resubmit herself—in as much as she is on the side
of the ‘perceptible’, of ‘matter’ to ‘ideas’, in particular to ideas about
herself, that are elaborated in/by masculine logic, but so as to make
‘visible’, by an effect of playful repetition, what was supposed to remain
invisible; the cover-up of a possible operation of the feminine in language.
It also means to ‘unveil’ the fact that, if women are such good mimics, it is
because they are not simply resorbed in this function”
Kutipan di atas mengisahkan bagaimana sebuah mimesis (proses peniruan)
merupakan sebuah permainan bagi seorang perempuan yang mencoba untuk
memperlihatkan dirinya dalam/oleh logika maskulin. Dengan cara yang seperti
ini, perempuan yang seharusnya ‘tak terlihat’ (invisible) akan menjadi ‘terlihat’
(visible) karena perempuan memainkan repetisi peran femininnya, sehingga secara
performa, perempuan menjadi bisa memperlihatkan identitasnya, bukan sebagai
Liyan melainkan sebagai Diri.
Dalam hal ini, perempuan diasumsikan selalu memainkan diskursus mimikri
sebagai usaha pencarian atas identitasnya. Perempuan mungkin saja menggunakan
mimikri dari diskursus patriarkis, atau dalam konteks yang berbeda perempuan
juga bisa memainkan diskursus Barat sebagai mimikrinya. Mimikri ini terusmenerus direpitisi. Bagi Bultler, mimikri dipreferensikan sebagai sebuah
pertunjukan paksaan (drag show) yang mewujudkan retorik mimikri yang ambigu.
Apa yang dipertunjukkan perempuan adalah tubuh yang palsu, yang membedakan
32
tubuh yang alami dengan tubuh yang imitasi. Semua ini terjadi karena kegilaan
perempuan untuk menjadi subjek sehingga ia terjebak dalam ilusi identitas. Figur
yang dipaksakan merupakan sebuah petanda bahwa setiap perempuan harus bisa
melampaui (pass) identitas gender dan seksual yang diterima dalam komunitas
dan budaya tertentu. Lebih jauh lagi, persoalan mimikri ini dicontohkan dalam
“passing” dan “cross-expressing” dalam kaitannya dengan isu-isu mengenai
gender, seksualitas, dan ras/etnisitas.
1.5.4.2. Passing and Cross-Expressing
Bagi Mary Bucholtz, “passing” mengacu pada kemampuan untuk diakui sebagai
anggota kategori sosial tertentu di luar kategori sosialnya yang nyata. “Passing”,
dalam teori poststrukturalis Butler, merupakan sebuah performa komunikasi, dan
bahasa, yang kemudian menjadi sumber daya krusial yang berpindah dari satu
kategori ke kategori lainnya. “Passing” dan “cross-expressing” merupakan sebuah
model yang mengilustrasikan strategi komunikasi yang memperhitungkan kajian
silang antara gender, seksualitas, dan ras/etnisitas dari perspektif performa.
Tabel 1.2
Figures of Mimicry
Passing
Pretending to be (desiring to be recognized
as) something which she/he “is” not
Pastiche
Difference as identity
Cross-Expressing
Demonstrating that she/he is not what
she/he pretends to be (recognized as)
Parody
Identity as difference
Sumber: Kroløkke dan Sørensen, 2006:134
Menurut Bucholtz sendiri, passing berkaitan erat dengan teknik crossexpressing (contoh: cross-dressing), yang mana keduanya merupakan upaya
33
pengelakan terhadap rasisme agar perempuan diakui sebagai individu yang
diinginkan (desirable). Dalam perspektif performance, passing merupakan sebuah
fantasi identitas dan cross-expressing adalah manifestasi dari fantasi yang
biasanya dianggap sebagai parodi identitas. Identitas dalam hal ini menjadi
persoalan perbedaan (difference) antara satu perempuan dengan perempuan lain,
yang menghasilkan interplay antara ras, kelas, etnisitas, dan seksualitas.
1.5.4.3. Mediation and Confrontation
Ambiguitas dalam point (b), digunakan secara kritis dan ditransformasikan ke
dalam strategi mediasi dan konfrontasi. Dalam tataran ini, Mary Bucholtz
mereformulasi konsep passing. Bucholtz berpendapat bahwa konsep passing
terkait dengan persoalan individu yang memiliki latar belakang etnis yang ambigu
atau yang tercampur aduk sehingga perlu dipertanyakan legitimasi keaslian dari
klaim etnisitasnya, passing is the active construction of how the self is perceived
when one’s ethnicity is ambiguous to others.
Tabel 1.3
Figures of Mimicry
Passing
Pretending to be what one
is not or demonstrating
that one is not what one
pretends to be
Pastiche or parody
Difference as identity or
identity as difference
Contact
Surfing between
possible points of
identification and selfrepresentation
“contact”
Identity as a complex
and contingent
process
Cross-Expressing
Representing oneself as a mix of
identifications or confronting
different expectations and
categorizations
Mixture or irony
Identity as mediated or
conflicting
Sumber: Kroløkke dan Sørensen, 2006:134
34
Melalui performance, manusia secara individual maupun kolektif dapat
melakukan resistensi yang seringkali terkait dengan identitas kultural, seperti yang
diungkapkan Shane T. Moreman dalam analisis tekstualnya terhadap 3 (tiga)
memoir individu yang adalah hasil pencampuran Latin dan ras kulit putih. Dalam
essai hasil disertasinya tersebut, Moreman menyebutkan bahwa performa
merupakan jebakan-jebakan (trappings) yang memperlihatkan adanya hierarki
bahasa, pertunjukan ke-putih-an, serta bahasa yang memproduksi subjek
(Moreman, dalam Text and Performance Quarterly Vol 29, 2009: 346-366).
Bahasa merupakan sumber krusial dalam performa komunikasi, sejalan dengan
itu, ras/etnisitas, kelas, dan gender menjadi sistem terkunci yang melekat dalam
performa perempuan dan dijadikan sebagai sebuah strategi untuk melakukan
mediasi atau justru konfrontasi (Kroløkke dan Sørensen, 2006:135-136).
Secara keseluruhan, konsep-konsep dalam performance theories, dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.3.
Concepts of Poststructuralis Communication Theories of Performance
(Judith Butler, Kristin M. Langellier, Luce Irigaray, dan Mary Bucholtz)
Passing
Pastiche
Mediation
Mixture
Mimicry
Cross-expressing
Parody
Confrontation
Irony
Sumber: data yang diolah dari buku Kroløkke dan Sørensen, 2006
35
Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa mimikri merupakan strategi
performa perempuan untuk menandai Diri-nya yang selama ini tidak diakui
keberadaannya. Dalam mimikri, ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama,
perempuan ingin menjadi sama dan bahkan melebihi/melampaui apa yang
ditirunya (passing). Pola Passing akan memungkinkan perempuan untuk
mendapatkan posisi yang diakui dalam kategori sosial masyarakat. Kedua,
perempuan ingin meniru dan melakukan parodi terhadap apa yang ditirunya. Apa
pun pola yang dipilih perempuan dari antara keduanya, menggambarkan usaha
perempuan untuk menemukan identitas Diri-nya melalui proses mimikri
(mimesis). Lebih lanjut lagi, persoalan mimikri juga akan dibahas dalam sub bab
berikut, dikaitkan dengan pengalaman kolonialisme yang pada akhirnya membuat
perempuan ingin keluar dari identitasnya sebagai sang Liyan.
1.5.5. Postcolonial Theories
Teori post-kolonial tidak mengacu pada teori tunggal, melainkan mengacu pada
teor-teori yang diistilahkan dengan ‘postcolonial theories’. Istilah post- di sini
mengacu pada beyond (melampaui), yang mengandaikan adanya pengakuan atas
sekaligus upaya mengatasi continuing effects dari kolonialisme (Budiawan,
2010:vii). Postkolonialisme menandai masa di mana dominasi terhadap
masyarakat postkolonial (postcolonial societies) masih berlangsung meskipun
masa kolonialisme telah selesai. Keberlangsungan kolonialisme ini bersifat lintas
waktu dan seringkali dideskripsikan sebagai sebuah neo-kolonialisme, atau
dengan kata lain, sebuah keberlanjutan dari imperialisme yang terjadi akibat
36
sebagian besar kaum kolonial masih tetap menjadi ‘orang yang sama’ yang
menjajah dalam wajah dan tampilan yang berbeda (Ramutsindela, 2004:1;
Sutrisno dan Putranto, 2004:123).
Wujud neokolonialisme seringkali ditemukan dalam rupa imperialisme
kultural yang konon dimaknai sebagai suatu wujud dominasi satu budaya atas
budaya yang lain. Biasanya dipahami dalam pengertian keunggulan suatu bangsa
dan/atau kapitalisme konsumen global (Barker, 2005:515). Imperialisme kultural
ini akan sangat tepat jika diasosiasikan dengan westernisasi, seperti yang
dikatakan oleh Robin (1991):
“for all that it has projected itself as transhistorical and transnational, as
the transcendent and universalizing force of modernization and modernity,
global capitalism has in reality been about westernization—the export of
western commodities, values, priorities, ways of life” (dikutip dari Barker,
2000:115).
Imperialisme kultural mencakup bagian integral dan produk dari proses
imperialisme yang lebih umum, di mana bangsa yang memiliki dominansi
ekonomi secara sistematis akan berkembang dan memperluas kontrol ekonomi,
politik dan kebudayaan ke wilayah negara lain (O’Sullivan dkk, 1994:73). Dengan
kata lain, imperialisme kultural akan memunculkan relasi dominansi, subordinasi
dan dependensi terhadap kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh bangsa
kapitalis. Imperialisme kultural mengacu pada beberapa aspek dari proses-proses
ini, misalnya, transmisi produk-produk tertentu berupa fashion dan gaya yang
berasal dari bangsa yang dominan untuk sedemikian rupa menciptakan pola
permintaan dan konsumsi tertentu di mana hal tersebut digarisbawahi oleh sebuah
37
wacana pengabsahan nilai-nilai kultural, idealisme dan praktik budaya dominan.
Dalam hal ini, budaya lokal akan didominasi dan pada level tertentu akan
mengalami kepunahan, pergantian, dan mengalami tantangan dari budaya asing.
Proses ini diperankan oleh korporasi trans-nasional yang bertujuan untuk
memfasilitasi persebaran output kebudayaan melalui ekonomi global, yang pada
akhirnya melibatkan penyebarluasan ideologi-ideologi yang sesuai dengan sistem
kapitalis. Korporasi trans-nasional dalam hal ini menjadi agen yang terus-menerus
mensingkronisasi imperialisme budaya, sehingga secara konsekuen, imperialisme
budaya merupakan hasil dari serangkaian proses ekonomi dan budaya yang
berimplikasi pada reproduksi kapitalisme global (Barker, 2000:115).
Media massa dalam hal ini merupakan salah satu institusi yang paling
berpengaruh di mana proses tersebut diorganisasikan dan dicapai, dan peran
media massa ini seringkali diistilahkan sebagai sebuah imperialisme media.
Mengutip dari buku yang sama, Boyd-Barrett mengistilahkan adanya ‘the unidirectional nature of international media flow’ di mana aliran media ini
membawa sebuah proses ekspor satu arah dari produk-produk media seperti film,
program televisi, dokumen, berita, dan iklan, dalam sebuah sistem media yang
mengembangbiakkan konteks budaya negara tertentu (O’Sullivan, dkk, 1994:74).
Bagi masyarakat postkolonial, bebas dari diskursus kolonial akan
mengarahkan mereka pada jebakan krusial dalam wujud representasi nilai-nilai
kultural yang melekat dalam sistem media. Ini merupakan strategi sang kolonial
untuk menghadirkan imaji dimana tanah jajahan yang dianggap sebagai
perempuan yang harus diselamatkan dari mental disorder (Shohat, 2012:95).
38
Persoalan ini menandai adanya ekspansi Barat dalam relasinya dengan
representasi perempuan, “The intersection of colonial and gender discourses
involves a shifting, contradictory subject positioning, whereby Western woman
can simutaneosly constitute “center” and “periphery”, identity and alterity.”
(Shohat, 2012:95) Dalam relasi ini, perempuan postkolonial akan menjadi
instrumen representasi yang akan terus-menerus ada dalam relasi dominasi yang
dikuasai oleh Barat. Representasi dari perempuan Dunia Ketiga sebagai yang
bodoh, miskin, tidak terdidik, terikat tradisi, terdomestikasi, orientasi keluarga
tradisional, dan korban. Sedangkan representasi perempuan Barat sebagai yang
pintar, mapan, terdidik, punya pilihan bebas, dan modern (Arivia, 2006:41).
Feminis
postkolonial
memunculkan
pertanyaan
mengenai
whether
subordinates can speak or are forever silenced by the virtue of representation
within elite thought (Spivak, 1988, dalam Olesen, 2011:130). Kaum feminis ini
berargumen bahwa subjektivitas dan identitas dikonstruksikan dalam beragam
cara dengan dikaitkan dengan beragam momen historis. Dengan
adanya
konstruksi yang berasal dari sejarah kolonial, kaum feminis postkolonial berharap
adanya usaha untuk mendekolonisasikan Diri (Self) dan Liyan (Other).
Feminisme
dan
postkolonial
berusaha
melihat
keterkaitan
antara
jender/budaya/etnisitas dengan cara menolak oposisi biner yang menjadi dasar
dari otoritas patriarkal dan kolonial. Bagi Gayatri Spivak, Liyan di sini disebut
sebagai subaltern, yang mengacu pada kelompok yang lemah, yang tak berdaya.
Spivak menyebutkan bahwa ketidakberdayaan dari subaltern ini berasal dari
penindasan yang mereka alami sehingga akhirnya mereka terkonstruksikan
39
menjadi kelompok minoritas yang miskin, berkulit hitam, perempuan, ras
pinggiran, dan warga negara kelas dua (Arivia, 2006: 38,40).
Dalam esai “Can the Subaltern Speak?”, Spivak beranggapan bahwa bahasa
merupakan satu-satunya wujud ekspresi, resistensi, dan perjuangan. Namun
kelompok subaltern tidak dapat berbicara karena bahasa bukan merupakan milik
subaltern, sebaliknya, bahasalah yang menciptakan subaltern (Khair, 2009:108).
Teori Spivak tentang Subaltern yang menyebutkan: “Antara patriarki dan
imperialisme, konstitusi subjek dan formasi objek, sosok perempuan menghilang
bukan dalam ketiadaan namun pada perwujudan sosok perempuan Dunia Ketiga”,
terjerat antara tradisi dan modernisasi (Spivak, dalam Arivia, 2006:46).
Perempuan, merupakan kelompok masyarakat postkolonial yang terjebak dalam
identitasnya sebagai perempuan Dunia Ketiga.
Bagi Spivak, bahasa merupakan satu-satunya strategi resistensi yang
mungkin dilakukan oleh perempuan. Namun pendekatan postkolonial membuka
kemungkinan strategi resistensi lain, yaitu mimikri. Mimikri merupakan sebuah
pendekatan postkolonialis Homi K. Bhabha yang membuka ruang bagi kelompok
terjajah untuk melakukan resistensi terhadap yang menjajah (Huddart, 2006:39).
Logika yang sama juga berlaku bagi perempuan Dunia Ketiga dengan identitas
sebagai sang Liyan/the Other/subaltern yang dikondisikan sebagai identitas
warisan dari kolonialisme. Sejalan dengan teori performa
(Kroløkke
dan
Sørensen, 2006), Bhabha mencoba mengkonseptualisasikan perjuangan ideologis
resistensi melalui mimikri.
40
Bagi Bhabha, mimikri bukanlah sekedar imitasi dan kelompok subordinat
yang melakukan mimikri tidak serta merta terassimilasikan dalam budaya yang
dominan maupun superior. Bhabha memahami mimikri sebagai an exaggerated
copying of language, culture, manners, and idea. Kata exaggerate (dilebihlebihkan) memberi makna bahwa mimikri merupakan repetisi yang muncul karena
perbedaan (Huddart, 2006:39).
[C]olonial mimicry is the desire for a reformed, recognizable Other as a
subject of difference that is almost the same, but not quite. Which is to say,
that the discourse of mimicry is constructed around an ambivalence; in order
to be effective, mimicry must continually produce its slippage, its excess, its
difference (Huddart, 2006:40).
Mimikri dikonstruksikan sejalan dengan ambivalensi diskursus postkolonial.
Mimikri pun menyisakan hasil paradoks tentang apa yang terjadi pada Liyan yang
ingin menjadi Liyan yang dikenal (recognizable Other). Namun, menurut Bhabha,
mimikri akan selalu menjadi pilihan strategi resistensi yang memungkinkan Liyan
dapat dikenali dengan menjadi mimik (peniru) (Huddart, 2006:41).
1.5.6. Performa Perempuan dan Feminisme
Identitas perempuan sebagai Liyan, mengkonstruksikan bahwa ‘seseorang tidak
terlahir, tetapi lebih menjadi perempuan’. Ini merupakan catatan Simone de
Beauvoir yang mendefinisikan bahwa menjadi perempuan sama dengan menjadi
Liyan. Kategori Liyan sangat fundamental dalam pembentukan subjek, sebab
pengertian tentang Diri bisa diciptakan dalam oposisi terhadap sesuatu yang
41
bukan Diri. Perempuan dianggap harus menjadi Liyan selamanya karena laki-laki
telah mengklaim kategori Diri atau subjek (Thornham, 2004:41).
Konstruksi perempuan sebagai Liyan dapat diubah ketika perempuan bisa
memahami ‘posisinya sebagai subjek’ (Thornham, 2004:42). Usaha pembalikan
relasi inilah yang menjadi persoalan penting bagi kebanyakan kaum feminis, salah
satunya dengan pendekatan postfeminisme. Istilah ini, sama halnya dengan
postmodernisme, dianggap sebagai sesuatu yang tidak memiliki bentuk tetap.
Postfeminisme secara khusus dikisahkan sebagai the Backlash (serangan balasan),
tergantung pada seberapa besar kemampuan perempuan untuk mendefinisikan
dirinya (Gamble, 2004:53,56).
Dalam postfeminisme, kata Diri bagi perempuan dapat menjadi sangat
bermakna karena perempuan diberi kesempatan untuk mendefinisikan Dirinya,
salah satunya dengan performa (lihat sub bab 1.5.4). Namun persoalan keliyanan
perempuan, dan usahanya untuk merebut posisi Diri dari tangan laki-laki terbentur
pada perdebatan multikultural.
Bagi kaum feminisme multikultural, perempuan dipandang sebagai Diri
yang terpecah. Keterpecahan ini lebih bersifat budaya, rasial, dan etnik daripada
seksual, psikologis, dan sastrawi (Tong, 2008:309). Diri perempuan disituasikan
dan diartikulasikan dalam konteks gender, ras, kelas, dan agama (Christian,
2011:71). Dua tokoh feminis multikultural yaitu Audre Lorde dan Angela Y.
Davis,
sama-sama
mengaitkan
Diri
perempuan
dengan
kompleksitas
multikulturalisme yang selalu menghadirkan subordinasi di kalangan perempuanperempuan non-Barat.
42
Sister Outsider (1984) karya Audre Lorde merupakan karya yang berada
pada persimpangan sejumlah posisi subjek periferal (pinggiran) yaitu perempuan,
kulit hitam, lesbian dan penderita kanker. Lorde mengkritisi universalisasi
terhadap pengalaman perempuan dan membuat asumsi-asumsi eurosentris berlaku
untuk keseluruhan. Sementara itu, Angela Y. Davis dalam karyanya yang berjudul
Women, Race, and Class (1981), berpandangan bahwa seksisme dan rasisme
hanya dapat dihapuskan melalui perusakan sistem ekonomi yang memproduksi
keduanya yaitu kapitalisme (Gamble, 2010: 274-275, 344). Bagi kaum perempuan
di negara berkembang, feminisme cenderung ditujukan untuk merepresentasikan
sebuah diskursus yang memiliki sensitivitas yang relevan dengan kulit putih yaitu
dunia pertama serta bias neokolonial (Van Zoonen 1994:3). Diskursus ini
menjadikan feminisme multikultural sebagai salah satu persoalan yang erat terkait
dengan wacana kolonialisme di masa lampau.
Perempuan di negara berkembang atau disebut pula perempuan non-Barat,
dikategorikan sebagai perempuan dunia ketiga (third-world women)
yang
diartikan sebagai kelompok homogen yang ‘tidak memiliki kekuasaan’ yang
biasanya dianggap sebagai korban implisit dari sistem budaya dan sosio-ekonomis
tertentu (Mohanty, 1994:200). Dalam hal ini, ‘Timur’ dan ‘Perempuan’
didefinisikan sebagai Liyan, sementara laki-laki [dan] Barat didefinisikan sebagai
pusat humanisme. Dengan kata lain, it is only in so far as ‘Woman/Women’ and
‘the East’ are defined as Others, or as peripheral that (western) Man/Humanism
can represent him/itself as the centre (Mohanty, 1994:215).
43
Liyan atau ‘the Other’ adalah salah satu persoalan difference (perbedaan)
yang sering hadir dalam fungsi representasi media, yang sering diperdebatkan
dalam masyarakat kontemporer (Hall, 1997b:225). Perbedaan merupakan
persoalan yang menghadirkan pesona otherness (keliyanan), yang merupakan
konsep yang penting sekaligus berbahaya. Konsep ini salah satunya mengakar
pada pendekatan linguistik Saussure di mana bahasa digunakan sebagai sebuah
model yang menjelaskan bagaimana kebudayaan bekerja. Asumsi utamanya
adalah ‘difference’ matter because it is essential to meaning; without it, meaning
could not exist. Bagi Saussure, hitam hanya akan dimaknai hitam jika hitam
dikontraskan dengan putih. Dalam hal ini, perbedaan yang ada di antara hitam dan
putih akan menandakan dan membawakan makna. Konsep perbedaan yang
terkandung dalam sistem penandaan akan memungkinkan munculnya oposisi
biner antara hitam/putih, laki-laki/perempuan, maskulin/feminim, kelas atas/kelas
bawah, dan sebagainya yang mana oposisi ini memperlihatkan adanya dimensi
kekuasaan yang berbeda di antara keduanya (Hall, 1997b: 234-235).
Perempuan non-Barat dianggap berbeda dengan perempuan Barat. Salah
satu perbedaannya didasarkan pada asumsi bahwa perempuan Barat lebih bersifat
sekuler, memiliki kebebasan dan kontrol atas hidup mereka (Mohanty, 1994:215).
Perbedaan lain yang menindas perempuan non-Barat adalah mitos tentang
kecantikan. Naomi Wolf (2004) dalam bukunya yang berjudul Mitos Kecantikan:
Kala Kecantikan Menindas Perempuan, mengisahkan bagaimana perempuan
secara sadar berjuang untuk diakui sebagai perempuan yang cantik:
“Para perempuan, baik yang berkulit putih, berkulit hitam, maupun sawo
matang ... menyatakan mereka tahu, sejak awal mereka dapat berpikir
44
secara sadar, bahwa sosok yang ideal adalah sosok yang kurus, tinggi,
putih, dan berambut pirang, dengan wajah yang mulus tanpa noda, simetri,
dan tanpa cacat sedikit pun. Sosok perempuan yang sepenuhnya
“sempurna” dan bagi perempuan itu, mereka rasa, dalam satu atau lain
cara, bukanlah Diri mereka” (Wolf, 2004:3-4).
Kecantikan dalam hal ini merupakan sebuah bentuk penonmanusiawian
(dehumanization) perempuan, karena tanpa label cantik mereka sering kali tidak
dianggap dan tidak menganggap dirinya sebagai manusia yang layak.
Ketidakcantikan ‘Timur’, akan membuat mereka terjajah oleh inferioritas,
sementara di sisi lain, kecantikan ‘Barat’ akan membuat mereka merasa bahwa
mereka bukanlah diri mereka sendiri. Perbedaan lain antara Barat versus nonBarat lahir dari perilaku paternalistik terhadap perempuan-perempuan non-Barat.
Semua perbedaan antara Barat dan non-Barat secara umum mendeskripsikan
perempuan non-Barat sebagai perempuan yang, religius (baca: tidak berkembang),
family-oriented (baca:tradisional), lemah hukum (baca: tidak sadar akan haknya),
illiterate (baca: ignorant), domestik (baca: berjalan mundur), dan kadang
revolutionary (baca: dalam keadaan perang) (Mohanty, 1994:214). Demikianlah
relasi perbedaan di antara perempuan dalam wacana feminisme multikultural.
1.5.7. YouTube dan Korean Popular Music (K-Pop)
K-Pop merupakan bentuk globalisasi budaya, sama halnya dengan budaya
Amerika (budaya Barat), yang dianggap sebagai sebuah pendekatan untuk
menaklukkan/melemahkan identitas nasional atau identitas budaya (Shim,
2006:26). Menurut Won K. Paik, seorang profesor ilmu politik di Michigan
45
University menyebutkan bahwa “after all, it’s not the Korean but the Koreanhybrid or westernised form of the wave” (Ashayagachat, 2011). Produk kultural
K-Pop merupakan format dari budaya Korea yang di-westernisasi-kan dalam
kemasan budaya Timur, sehingga baik Barat maupun Timur dapat menerima
produk kultural ini. Ia merupakan sebuah penciptaan kembali budaya-budaya
asing dalam gaya Korea, sehingga budaya yang dihasilkan tidak sekedar budaya
Korea melainkan sebuah byproduct yang berasal dari benturan dan interaksi dari
beberapa produk budaya yang berbeda (Contemporary Korea No.1, 2011:15).
Dalam pemikiran Theodore Adorno dan Max Horkheimer, fenomena
penciptaan-kembali (recreation) budaya Korea di atas dianalogikan sebagai wujud
penipuan massal yang dilakukan oleh industri budaya, “...the false identity of
universal and particular. All mass culture under monopoly is identical...” (Adorno
dan Horkheimer, 2006:41; 1999:32). K-Pop merupakan fenomena penciptaan
kembali berbagai unsur-unsur American lifestyles and education, European,
philosophy, and Japanese modernity yang diadopsi dan diadaptasi ke dalam
budaya tradisional Korea Selatan. Produk budaya yang dihasilkannya berada di
bawah pengaruh monopoli pasar budaya yang dicanangkan oleh Korea Selatan
melalui industri kreatifnya.
Dilihat dari sisi historisnya, fenomena ini sebenarnya merupakan sebuah
kebijakan soft power Departemen Pariwisata Korea Selatan. Soft power
merupakan sebuah konsep diplomasi kultural yang berusaha untuk mencari
pengaruh melalui budaya. Dengan kata lain, soft power merupakan kemampuan
sebuah negara untuk membentuk preferensi bangsa lain dengan memanfaatkan
46
produk budaya, khususnya budaya populer (Huat, 2012:120). Hallyu merupakan
bagian dari strategi ekonomi kreatif yang dikembangkan dalam usaha untuk
keluar dari krisis moneter 1998.
“The miraculous turnaround of the 1990s was initiated by a complex
number of developments—changes in trade laws that led to a loosening of
censorship, the movement toward a democratic form of government, rapid
industrialization and the growth of the middle-class, a shift in finance laws
that altered the funding process, and the legacy of the 1980s Korean New
Wave.” (Gateward, 2007:5)
Produk kultural yang dihasilkan oleh industri musik K-Pop tidak berupa
budaya tradisional, melainkan budaya populer. Menurut Stuart Hall, budaya
populer ... merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan wilayah di mana
hegemoni berlangsung (Storey, 2010:3). Stuart Hall menjelaskan bahwa media
merupakan
alat
hegemoni
kekuasaan
yang
diposisikan
untuk
tetap
mempertahankan dominansi dari kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan
tersebut (Griffin, 2009:335). Media di sini dipandang sebagai wilayah tempat
produksi budaya populer, yang juga sebagai wilayah produksi ideologi-ideologi
yang dijadikan sebagai alat hegemoni kekuasaan.
Hegemoni merupakan sebuah konsep yang sangat penting dalam budaya
populer, yang diteoritisikan oleh Anthonio Gramsci. Bagi Gramsci, budaya
populer memproduksi relasi kekuasaan. Di sisi lain, budaya populer juga
memampukan
kelompok-kelompok
yang tersubordinasi
untuk
melakukan
perjuangan ideologis (Guins & Cruz, 2005:7). Karya Gramsci mengenai hegemoni
ini, banyak mempengaruhi perkembangan kajian budaya populer yang membantu
47
mengkonseptualisasikan resistensi sebagai bentuk perjuangan ideologis terhadap
hegemoni kekuasaan.
Pemahaman budaya populer sebagai wilayah yang hegemonik inilah yang
disebut Horkheimer dan Adorno sebagai “the culture industry”, di mana
keseluruhan budaya saat ini saling berkaitan dengan kepentingan ekonomi politik
dan produksi budaya dilakoni oleh korporasi kapitalis (Barker, 2000:44). Dalam
lingkaran industri budaya yang disebutkan oleh Horkheimer dan Adorno tersebut,
terdapat standarisasi dan manipulasi, thus ‘Culture impresses the same stamp on
everthing. Films, radio and magazines make up a system which is uniform as a
whole in every part’ (dalam Barker, 2000:47). Keseluruhan media membentuk
sistem industri budaya yang semua produksinya telah terstandarisasi terlebih
dahulu sesuai dengan kepentingan industri.
Pengembangbiakan konteks budaya Korea Selatan, yaitu neo-Hallyu
dengan produk kultural utama K-Pop, diperankan oleh YouTube. Istilah
“platform” merupakan salah satu metafora yang banyak digunakan untuk
menekankan pada kepentingan sosial, ekonomi dan teknologi yang terdapat dalam
situs YouTube (Snickars dan Vonderau, 2009:13). Hal ini mengacu pada
YouTube sebagai sebuah media sosial dalam bentuk content community yang di
dalamnya berisi konten yang bisa diunggah oleh siapapun, terlepas dari batasan
kultural setiap individu.
“...when plunging into YouTube discourse, one indeed begins to wonder
about the transparent resemblances YouTube bears to a number of
established cultural institutions...” YouTube Methapors, dalam “The
YouTube Reader” (Snickars dan Vonderau, 2009:13)
48
Kehadiran YouTube dan media sosial lainnya telah memperluas pengaruh
budaya populer yang dulu hanya dapat diakses melalui media konvensional.
Media sosial YouTube, secara khusus memberi penekanan pada ‘You’ dalam
‘YouTube’ untuk mencerminkan adanya kebebasan bagi setiap individu dan
kolektif untuk menyediakan sebuah frame kultural yang bergantung pada konten
yang diunggah ke situs ini. YouTube disebutkan sebagai situs yang sangat penting
bagi penyatuan kultural (Uricchio, 2009:24), karena posisinya sebagai media
transparan yang mencampuradukkan berbagai institusi budaya dengan segala
macam produk kulturalnya, salah satunya K-Pop.
Sebagai sebuah platform yang memiliki kepentingan sosial, ekonomi, dan
teknologi, YouTube akan sangat mempengaruhi perkembangbiakan industri KPop di berbagai negara di dunia. Sebagai sebuah media yang transparan, YouTube
menghadirkan dinamika ideologi yang saling tarik-menarik antara industri budaya
yang mencoba untuk memperoleh posisi dominan. YouTube dengan demikian
merupakan platform yang hegemonik, terstandarisasi oleh industri budaya yang
memiliki kepentingan untuk memproduksi dan mendistribusikan produk-produk
kulturalnya.
Standarisasi yang dilakukan oleh industri budaya membawa persoalan
globalisasi kultural, yang menurut Arjun Appadurai, wacana globalisasi ini sering
kali
diasosiasikan
dengan
Amerikanisasi,
adalah
sama
halnya
dengan
Indonesianisasi bagi orang Papua, Indianisasi bagi orang Srilanka, Vietnamisasi
bagi orang Kamboja, dan sebagainya (Appadurai, 1999:221; 2006:588). Dalam
konteks K-Pop, globalisasi yang dikatakan oleh Appadurai merupakan wujud
49
Koreanisasi bagi orang Indonesia dan bangsa mana saja yang mengalaminya. Hal
ini tentu saja akan membentuk pola imperialisme yang memperkuat sejarah
kolonialisme Barat terhadap Timur yang mana jauh sebelumnya, kolonialisme
menandai proses historis di mana “Barat” berusaha secara sistematis untuk
menghancurkan atau menafikan perbedaan dan nilai-nilai kultural dari bangsa
“non-Barat” (Gandhi, 1998:16; 2007:21). Pengalaman historis bangsa “non-Barat”
tersimpan dengan rapi dalam kemasan music video/MV (video klip).
MV merupakan sebuah bentuk produk kultural baru yang muncul sejak
tahun 1980-an. MV dideskripsikan sebagai bentuk kultural yang hibrid yaitu
produk industrial dan komersial yang mengkombinasikan visual, musik dan
beragam jenis produksi yang berbeda dari teks audio-visual biasa. Kemunculan
MV memberikan spekulasi bentuk baru dari komersialisasi dan komodifikasi
budaya, seperti yang dijelaskan oleh Fiske (1987) dan Kaplan (1987) yang mana
MV
memiliki
kesamaan
dengan
iklan
komersial
karena
telah
mengkomersialisasikan musik populer (Casey, dkk, 2008:173).
MV merupakan sebuah film pendek, ‘a short film showcasing a particular
song or artist’ (Danesi, 2009:205; Strasser, 2010:97). Dilihat dari genrenya, maka
MV termasuk dalam genre film musikal (mengacu pada historical taxonomy
dalam Nelmes, 2003:156), MV memberikan spekulasi mengenai pengalaman
historis perempuan di balik tampilan performa yang mereka hadirkan dalam KPop. MV tidak sekedar pencontohan tren baru yang tumbuh dalam masyarakat
kontemporer, namun MV merupakan the ultimate example: of commodification,
of the incorporation of authenticity and resistance, of textual and psychological
50
schizophrenia, of the ‘postmodern’ diappearance of reality, and of new forms of
resistance (Frith, dkk, 2005:185). MV merupakan sebuah bentuk baru dari
resistensi dengan kemasan performa yang menarik perhatian. Kajian mengenai
MV merupakan sebuah ranah konvergensi dan berada di tengah beragam batasan
ilmu, dengan demikian ia melibatkan berbagai teori-teori film dan kajian televisi.
Dalam momen perkembangannya, MV diklaim sebagai sebuah ekspresi dari rock
journalism dengan alasan: (1) MV memiliki ‘gambar’ yang lebih penting dari
pengalaman musik itu sendiri yang memiliki efek yang perlu ditakuti, dan (2) MV
mengurangi kebebasan individual dalam mendengarkan musik, karena efek visual
dan intepretasi naratif lirik lagu yang dihasilkan (Frith, 2005:2).
Bagi Fiske dan Kaplan, MV dikarakteristikkan sebagai teks postmodern.
MV combine the codes and conventions of the spectacle of live performance
(atmospheric lighting and location, dry ice, coloured smoke, explosions, strobe
lighting) with special effects, multi-media technology and post-production
technical wizardry (exemplified in the extensive use of rapid editing techniques,
extreme camera angles, slow-motion and freeze-frame devices). Kode dan
konvensi ini menciptakan fragmentasi jenis MV yang sangat beragam yang
kemudian mengaburkan batas antara masa lalu dan masa kini karena semua
terlihat kontemporer sehingga akan sulit membedakan antara high culture dan
popular culture. MV meminjam apapun sumber kultural yang ada seperti film,
iklan, newsreels, seni avant-garde dan seni modernis, fashion, animasi,
pornografi, dan
sebagainya.
Hal ini menghasilkan
intertektualitas
dan
mencampuradukkan teks dalam pastiche, bricolage, dan parodi. Hasilnya, MV
51
tidak menampilkan narasi yang linear melainkan menciptakan non linear pastiche
of image dan sebuah pengalaman schizophrenic di mana tidak akan ditemukan
satu sudut pandang tunggal (Casey, dkk, 2008:173-174).
Dalam bahasa Vernallis (dalam Strasser, 2010:97), MV termasuk dalam
kategori non-naratif yang berisi lagu yang cyclical dan episodik. Cerita dalam MV
hanya muncul dalam relasi dinamis antara lagu dan gambar, yang bisa menghilang
kapan saja. Dilihat dari struktur plotnya, MV termasuk dalam kategori episodic
structure. Berbeda dengan struktur yang klimatik, struktur episodik ini terdiri dari
banyak scene pendek yang terfragmentasi, tidak linear, dan mengalami
juxtaposition (kontras/berlawanan) satu dengan yang lainnya (Wilson, 1985:161).
1.5.8. Asumsi Penelitian
K-Pop MV di YouTube merepresentasikan gagasan resistensi perempuan Timur
terhadap dominansi kultural Barat, yang dilakukan melalui pola mimikri
(peniruan) terhadap standar performa Barat. Resistensi ini merupakan performa
perempuan Timur yang selama ini dianggap sebagai sang Liyan, yang mana
perempuan Timur berusaha keluar dari narasi postkolonial yang sepanjang sejarah
selalu memarginalkan perempuan-perempuan non-Barat. K-Pop MV di YouTube
menjadi sebuah ranah digital yang menyediakan panggung performa bagi
perempuan
yang
pada
akhirnya
akan
menggiring
perempuan
untuk
menegosiasikan Diri-nya dalam sistem terkunci (interlocking system) antara ras,
kelas, dan gender.
52
Identitas sebagai sang Liyan merupakan warisan dari wacana postkolonial
yang menjadikan perempuan sebagai salah satu kelompok manusia postkolonial.
Identitas ini bernegosiasi dengan faktor multikultural yang mana pengalaman
kolonialisme akan menghasilkan metafora postkolonialisme yang berbeda sesuai
dengan faktor-faktor multikultural yang berlaku di suatu bangsa tertentu. Dengan
demikian, sebagai bangsa yang lahir dari rahim postkolonialisme, Indonesia dan
Korea Selatan dianggap memiliki persamaan dan juga perbedaan yang nantinya
akan terjebak dalam persoalan multikultural.
Performa perempuan di dalam K-Pop MV di YouTube merupakan
representasi manusia postkolonial. Performa ini diawali dengan proses mimikri,
yang mana perempuan [Timur] melakukan mimikri terhadap standar performa
Barat, namun mimikri ini tidak direpresentasikan benar-benar sama melainkan
akan ternegosiasikan dalam proses passing dan cross-expressing. Dalam proses
ini, mimikri yang dilakukan oleh perempuan [Timur] akan meminjam identitas
budaya asing atau sekedar menyilangkannya dengan identitas multikultural
mereka, yaitu ras, kelas, dan gender. Hasil dari persilangan tersebut akan
memperlihatkan apakah performa perempuan [Timur] mampu melakukan mediasi
(atau justru konfrontasi) terhadap kebudayaan Barat.
1.6. Operasionalisasi Konsep
Konsep-konsep utama dalam penelitian ini dioperasionalisasikan seperti yang
terlihat dalam bagan berikut:
53
perempuan sebagai salah satu postcolonial people
POSTCOLONIAL DISCOURSE
yang dianggap sebagai Liyan yang mengalami
kolonialisme ganda
neo-colonialism
Gambar 1.4. Operasionalisasi Konsep
“Performa Perempuan dalam K-Pop MV di YouTube” (Sumber: Data yang diolah)
postcolonial people
kolonialisme berwajah baru yang
memanfaatkan media massa
sebagai alat imperialisme
perempuan sebagai salah satu postcolonial people
yang dianggap sebagai Liyan yang mengalami
kolonialisme ganda
class
YOUTUBE
YouTube merupakan media imperialis yang
dimanfaatkan sebagai panggung performa bagi kaum
Liyan untuk merepresentasikan Diri
Mimicry
Passing / Cross Expressing
Mediation / Confrontation
(Pastiche / Parody)
(Mixture / Irony)
resistensi
WOMEN‘S PERFORMANCE
in K-POP MV
gender
race
interlocking
system
perbedaan kultural antar Barat dan Timur
dipengaruhi oleh konteks historis dari
pengalaman kolonial, dan dengan demikian
menjadi faktor-faktor yang ikut berkontribusi
terhadap performa perempuan.
M U L T I C U L TU R A L
FEMINISM
54
1.7. Metoda Penelitian
1.7.1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan
analisis semiotika. Semiotika memperlakukan teks media sebagai komponen
utama dalam melakukan analisis. Dalam hal ini, semiotika digunakan untuk
mengkaji bagaimana permainan tanda yang terdapat dalam K-Pop MV di
YouTube mengkonstruksi makna kultural tertentu. Tanda menjadi sebuah unsur
yang sangat penting, karena sebuah tanda menjadikan realitas di luar dirinya
sebagai rujukan atau citra cerminnya (mirror image). Hal ini disebut Jean
Baudrillard sebagai sebuah hipersemiotika, di mana tanda merefleksikan realitas
(reflection of a basic reality), namun selalu ada unsur dusta dalam tanda itu.
Tanda mereduksi realitas sehingga tanda seakan-akan asli padahal palsu. Tanda
menyembunyikan realitas yang sesungguhnya di balik topeng-topeng realitas.
Tanda yang sesungguhnya mengandung kebenaran parsial tentang realitas,
digunakan untuk melukiskan realitas yang seakan-akan total (Piliang, 2003:5556). Dunia dalam hal ini dianggap sebagai sebuah “teks” raksasa yang terusmenerus diproduksi melalui intertekstualitas, seperti yang diistilahkan oleh
Derrida. Dalam intertekstualitas yang semacam itu, tanda akan menghasilkan
makna dari pembeda yang berasal dari tanda lain dalam sistem penandaan secara
keseluruhan (Kroloke dan Sorensen, 2006:35).
Representasi merupakan produksi makna konsep-konsep yang ada dalam
pikiran kita melalui bahasa. Representasi menghubungkan konsep dan bahasa
yang memampukan kita untuk mengacukannya kepada benda, orang, dan kejadian
55
dalam dunia nyata maupun imajiner. Hall menjelaskan ada dua proses atau sistem
representasi. Pertama, ‘sistem’ di mana semua jenis benda, orang, dan kejadian
dikorelasikan dengan seperangkat konsep atau representasi mental yang ada
dalam pikiran kita. Sistem representasi ini memampukan kita untuk memaknai
dunia dengan cara mengkonstruksikan seperangkat korespondensi atau ikatan
ekuivalensi antara benda-benda (dapat berupa orang, benda, peristiwa, ide abstrak,
dan sebagainya) dengan sistem konsep atau peta konseptual kita. Sistem
representasi yang pertama ini dikenal sebagai pendekatan semiotika yang berfokus
pada bagaimana representasi, dan bagaimana bahasa memproduksi makna, yang
disebut ‘poetics’ of exhibiting (Hall, 1997a: 17; Webb, 2009:45; Lidchi,
1997:153).
Sistem representasi yang kedua adalah bahasa, di mana sistem ini
melibatkan keseluruhan proses konstruksi makna. Semua peta konseptual yang
dibagikan harus diterjemahkan dalam bahasa yang umum, sehingga dapat
mengkorelasikan konsep dan ide dengan kata-kata yang dituliskan, suara yang
diucapkan, atau gambar yang divisualisasikan, atau dengan kata lain diistilahkan
dengan tanda (signs). Sistem ini bergantung pada konstruksi dari seperangkat
korespondensi antara peta konseptual kita dengan seperangkat tanda, yang diatur
ke dalam bahasa yang beragam yang difungsikan untuk merepresentasikan
konsep-konsep tersebut. Relasi antara ‘benda’, konsep, dan tanda terletak pada
proses produksi makna melalui bahasa, yang mana proses yang menghubungkan
ketiga elemen tersebut adalah proses yang disebut sebagai proses representasi.
Sistem ini dikenal juga sebagai pendekatan diskursif yang berfokus pada efek dan
56
konsekuensi representasi, yaitu ‘politik’ representasi (Hall, 1997a: 17-19; Webb,
2009:45; Lidchi, 1997:153). Dalam proses representasi ini, fungsi simbolis
(symbolic function) bersifat relasional, yang mana makna relasional ini dianggap
bersifat arbitrer.
Keliyanan perempuan merupakan objek representasi dalam setiap K-Pop
MV yang akan diteliti. Sebagai sebuah objek representasi, keliyanan akan dapat
dimaknai melalui representasi yang diulang-ulang dalam konteks yang berbedabeda. Pengulangan representasi keliyanan dalam konteks yang berbeda akan
memproses produksi dan reproduksi makna hingga pada akhirnya akan
menciptakan berbagai konstruksi makna dalam wujud mitos yang mengarah pada
resistensi perempuan yang sebelumnya dianggap sebagai Liyan. Dengan
menggunakan desain semacam ini, penelitian ini diharapkan dapat membongkar
gagasan resistensi yang muncul pada tataran mitos, yang mana sesuai dengan
pemikiran Roland Barthes, mitos merupakan problematika ideologi di mana
ideologi dominan dinaturalisasikan melalui bahasa (Sunardi, 2002:18).
1.7.2. Objek Penelitian
Objek penelitian yang akan diteliti adalah potongan gambar (scene) yang terdapat
dalam K-Pop music video (MV) yang diunggah di YouTube. YouTube dipilih
karena merupakan salah satu bentuk media sosial yang memiliki pengaruh yang
kuat
terhadap
individu,
korporat,
maupun
negara.
Statistik
YouTube
memperlihatkan akumulasi MV terbanyak di situs YouTube untuk kategori
girlband mengacu pada 3 (tiga) kelompok, yaitu Girls’ Generation, Kara, dan
57
Wonder Girls. Dari ketiga kelompok ini, objek penelitian yang dipilih adalah
Girls’ Generation dan Kara, dengan alasan, kelompok Wonder Girls telah vakum
(in hiatus) saat penelitian ini dilakukan. Girls’ Generation dan Kara termasuk
dalam the most popular idol groups yang telah berhasil mendobrak pasar musik
global dan mensukseskan invasi neo-Korean Wave ke negara-negara di luar Korea
Selatan (Contemporary Korea No.1, 2011: 35-43).
Dari kedua girlband K-Pop tersebut, dipilih 2 (dua) MV (atau video klip)
untuk dijadikan sebagai unit analisis, yaitu Girls Generation versi ‘The Boys’ dan
Kara versi “Pandora”. Pandora merupakan album mini ke-5 yang dirilis oleh DSP
Kara 22 Agustus 2012 sebagai tanda comeback–Kara setelah 1 tahun sebelumnya
vakum.
Showcase
dari
MV
ini
disiarkan
secara
live
via
YouTube
(www.sompi.com), dan disebut-sebut sebagai all–kill, karena 3 jam setelah dirilis,
Pandora menguasai music chart, namun MV ini juga mendapatkan kecaman
berupa sensor dari KBS music bank karena dianggap terlalu vulgar. Sensualitas
yang ditampilkan oleh MV ini dianggap sebagai sebuah wujud resistensi terhadap
nilai-nilai konservatif. Sedangkan MV “The Boys” yang dirilis oleh Girls’
Generation dianggap sebagai salah satu MV yang unpredictable berbeda dari MV
Girls’ Generation lainnya, karena menampilkan perempuan dalam tampilan yang
lebih dewasa. Alasan pemilihan lainnya juga mempertimbangkan asumsi peneliti
mengenai yang mana yang dianggap paling memiliki kualifikasi terkait tema
penelitian.
58
1.7.3. Jenis Data dan Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah :
1. Data Primer
Data primer diperoleh dari teks media berupa K-Pop MV di YouTube.
2. Data Sekunder
Data pendukung yang diperoleh dari sumber tambahan yang berasal dari
sumber-sumber tertulis seperti buku-buku, artikel, ataupun bahan bacaan dari
internet.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi. Dokumentasi
dilakukan dengan mengumpulkan official music video K-Pop (K-Pop MV) yang
terdapat dalam situs YouTube yang menampilkan performa perempuan.
1.7.5. Analisis dan Interpretasi Data
Menurut Roland Barthes, ada dua sistem pemaknaan, sistem pemaknaan tataran
pertama yaitu denotasi dan sistem pemaknaan tataran kedua yaitu konotasi.
Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda
dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak
langsung, dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai keinginan) (Piliang,
2003:261). Sistem pemaknaan tataran kedua merupakan Mitos, di mana apa yang
merupakan tanda dalam sistem pertama, menjadi sekedar penanda dalam sistem
kedua (Barthes, 1991:114; 2007:324). Tataran pemaknaan ini akan mengarahkan
59
tanda dengan relasinya terhadap pemaknaan alternatif di luar tanda seperti
ideologi, relasi kekuasaan, dan nilai-nilai kultural (Fairclough, 1995:24; Barker,
2000:69).
Tabel 1.4
Model analisis semiotika Roland Barthes
1. Penanda
2.Petanda
Bahasa
3. Tanda
Mitos
I PENANDA
II PETANDA
III TANDA
Sumber: (Barthes, 1991:113; 2007: 303)
1.7.5.1. Analisis Sintagmatik
Sistem pemaknaan tataran pertama (analisis sintagmatik) akan dianalisis dengan
menggunakan lexia (leksia). Leksia (lexist) didefinisikan sebagai satuan-satuan
bacaan (unit of meaning) dengan panjang pendek yang bervariasi yang
membangun dan mengorganisasikan suatu cerita atau narasi. Leksia bersifat
fleksibel, artinya tidak ada aturan yang pasti tentang panjang pendeknya. Leksia
dipilih dan ditentukan berdasarkan pada kebutuhan pemaknaan yang akan
dilakukan. Leksia dalam narasi bahasa didasarkan pada: kata, frasa, klausa,
ataupun kalimat, sementara leksia dalam gambar didasarkan pada satuan tanda
(gambar) yang dianggap penting dalam pemaknaan (Kurniawan, 2009:128-129).
Leksia dalam MV ini termasuk dalam kategori leksia gambar karena MV
60
merupakan jenis film pendek bergenre musikal yang bersifat non-narasi (Danesi,
2009:205; Nelmes, 2003:371; Strasser, 2010:97). Analisis sintagmatik penelitian
ini akan mengkaji leksia melalui 2 (dua) elemen yaitu narasi dan kode sinematik.
1.7.5.1.1. Narasi (narrative)
Dalam film, narasi biasanya dapat dilihat dari elemen struktur dan plot (yang
dioperasionalisasikan oleh kode sinematik mise-en-scéne). MV dalam penelitian
ini mengarah pada film pendek non-narasi, di mana dalam MV tidak terdapat
narasi mainstream berbentuk story-telling seperti yang terlihat dalam film-film
biasa. Struktur dalam MV lebih mengarah pada narasi alternatif dengan struktur
episodik (multi-scene structure) yang memperlihatkan banyak sekali short scenes
yang saling berpotongan, tumpang-tindih, kontras satu sama lainnya sehingga
menciptakan juxtaposition. Dalam mengkaji MV, narasi akan dilihat dari
narrative-lyrics yang terdapat dalam lagu (Nelmes, 2003:78-89; Wilson,
1985:157; Bennett, 2006:17-18). Struktur narasi dalam lirik lagu akan membentuk
pola yang berisi verse atau phrase (bait), reff (riffs), dan bridge. Struktur dalam
MV akan dilihat dari kategori repetisi, yaitu:
Tabel 1.5
Kategori Repetisi
Jenis Repetisi
Keterangan
Repetisi musematik
(Musematic Repetition)
Pengulangan unit-unit yang pendek (repetition of
short units). Contoh: Riffs
Repetisi Diskursif
(Discursive Repetition)
Pengulangan unit yang lebih panjang
repetition of longer units), yaitu the phrase
Sumber: Bennett, 2006:16-17
(the
61
1.7.5.1.2. Kode sinematik (mise-en-scéne)
Untuk menganalis leksia yang terdapat dalam potongan gambar MV, digunakan
acuan kode-kode sinematik film yang disebut sebagai mise-en-scéne (istilah
Perancis yang menjelaskan aspek-aspek visual yang muncul dalam sebuah single
shot) yang dipilih sesuai dengan kepentingan penelitian (Nelmes, 2003:62-78),
yaitu: setting, costume, performance and movement, camera movement, camera
editing, dan sound.
1.7.5.1.2.1. Setting
Setting mengacu pada penanda keaslian (signifier of authenticity), yaitu lokasi
yang dikonstruksikan sebagai tempat kejadian berlangsung. Aspek setting
memperlihatkan semua yang ada di depan kamera sesungguhnya telah diatur dan
dipilih terlebih dahulu. Setting merupakan screen yang terbuka layaknya jendela,
yang sifatnya transparan dan mencerminkan impresi realitas yang berpadu dengan
ideologi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap setting selalu akan
menyembunyikan ilusi ideologi tertentu. Setiap setting panggung memberi ruang
berproses bagi: subjek, “gaya”, bentuk, makna, narasi, dan wacana ideologis yang
menggarisbawahi semua hal yang ada di dalamnya (Stam, 1992:191).
Dalam mengidentifikasi setting, maka perlu diperhatikan dua elemen yaitu
stage dan scenery. Keduanya akan saling melengkapi dalam menciptakan
lingkungan dan pengalaman performa bagi orang yang menonton performa
tersebut. Stage atau panggung terdiri dari empat kategori dasar (lihat tabel 1.6),
sementara scenery terbagi atas dua: realistic dan non-realistic. Realistic scenery
akan menciptakan suasana yang hampir sama (sangat menyerupai) lingkungan
62
kehidupan sehari-hari, sementara non-realistic scenery akan menciptakan
imajinasi melalui penggunaan simbol-simbol tertentu dalam desain panggung
(Wilson 1985:278, 309-311).
Tabel 1.6
Four Basic Stage Spaces
Stage
Keterangan
The proscenium/
picture frame stage
Prosecenium artinya “in front of the scenery”. Model memfokuskan performa pada satu arah, yang menyerupai konsep
frame gambar raksasa. Model ini diadaptasi dari teater
Romawi kuno, dan menjadi model dominan yang digunakan di
Broadway (AS). Proscenium digunakan untuk menciptakan
atmosfir yang seolah-olah nyata melalui efek visual yang
spektakuler yang terlihat pada frame-nya (setting yang
dihasilkan menciptakan pemandangan realistik, seperti
ruangan, kantor, dapur, dll).
The arena/
Circle stage
The Thrust stage with
three-quarters seating
Created and found
stage space
Tipe panggung yang muncul setelah PD II.
Dalam panggung ini, performa menciptakan kedekatan dan
terlihat lebih nyata dengan kehidupan sehari-hari. Aturan
dalam panggung ini menyerupai arena olahraga semacam
tinju, yang mana performa dapat dilihat dari segala sisi yang
mengelilingi panggung.
Tipe panggung yang dikelilingi tiga arena khalayak (atau
berbentuk semi-lingkaran).
Tipe panggung ini menciptakan kedekatan dan orang
menonton dapat berfokus pada satu arena performa dengan
background tunggal. Tipe panggung ini sangat cocok untuk
kisah tragedi dan komedi.
Tipe panggung kontemporer yang mencoba mendobrak konsep
panggung yang tradisional, biasanya performa berusaha
menciptakan panggung sendiri di lingkungan apa pun yang
memungkinkan.
- Outdoor setting
- Non theater buildings (gereja, istana, dll yang memiliki
elemen arsitektural yang kuat)
- Street setting (jalanan)
- Multifocus environment (lebih dari satu arena performa,
kombinasi acting, film, tarian, musik, dan pencahayaan)
Sumber: Wilson, 1985:277-301
63
1.7.5.1.2.2. Costume
Identifikasi kostum yang digunakan dapat dijadikan penanda bagi karakter
individu
yang
mengenakannya.
Menganalisis
kostum
dalam
hal
ini
mentransformasikan kostum yang dikenakan ke dalam bahasa tertulis. Barthes
mengistilahkannya sebagai written clothes yang ditranformasikan dari imageclothing. Hal ini akan membantu peneliti untuk mendeskripsikan penanda pakaian
yang sebenarnya (real clothing) berdasarkan apa yang bisa diamati melalui
gambar (Barthes, 1990: 3-5).
Kode sinematik kostum, pertama-tama dikaji dengan melihat pakaian yang
dikenakan. Pakaian akan menghasilkan representasi yang melaluinya orang dapat
mengukur relasi perempuan dengan aestetik naturalnya (Young, 2005:64). Di
abad ke-19, cara berpakaian perempuan mencitrakan kelakuan perempuan sebagai
patung (statuesque), tidak bergerak, cenderung menyembunyikan bagian kaki.
Sebaliknya, di abad ke-20, citra berpakaian perempuan mengalami pergerakan,
mulai memperlihatkan kaki, rok, dan celana yang mempermudah perempuan
untuk bergerak tanpa rasa malu (Young, 2005:64).
Deskripsi tentang pakaian perempuan, sejauh ini masih berpatokan pada
Barat. Seorang perempuan kulit putih dalam versi yang glamour merupakan acuan
model yang dipelajari oleh perempuan–perempuan non–Barat. Model itu sendiri
dianggap sebagai simbol feminitas Barat dengan teknik high fashion yang
diacukan untuk mendisiplinkan tubuh perempuan agar selalu terlihat cantik dan
berpakaian menarik (Bhattacharyya, 2005:140-141). Perempuan diasumsikan
memiliki kesenangan dalam berpakaian dan menciptakan fantasi untuk bergerak
64
dan bertransformasi. Melalui pakaian juga dapat dideskripsikan posisi perempuan,
apakah ia menjadi subjek atau menjadi objek (Young, 2005:71–72). Dalam buku
Fashioning The Feminine (2002), ada beberapa kategori pakaian perempuan yang
selanjutnya dijadikan kriteria analisis mise-én-scene dalam penelitian ini, yaitu:
Tabel 1.7
Kategori pakaian perempuan
Kategori
High Fashion
Tubular Dress
Glamour/
Hollywood
Glamour
Minimal
Clothing
Shift/slip dresses
Miniskirts/
straight skirts
Deskripsi
Lady–like style, semacam gaya aristokrat The Lady Victorian.
Tubuh terstuktur untuk menggunakan korset dan sheat dress (baju
ketat), menekankan pada bagian dada dan pantat, untuk
memperlihatkan margin tubuh perempuan.
Dress ini popular sejak tahun 1920an, memperlihatkan pergeseran
fashion ke arah yang lebih maskulin, perempuan mulai
menggunakan trousers dan gaun yang potongannya lurus. Desain
pakaian abstrak, kerah kotak, biasanya model rambut pendek.
Potongan pada paha, perut, pantat dan pinggang terlihat lurus.
Berkembang sejak masa inter-wars 1920an – 1930an.
Istilah glamour mengacu pada jenis pakaian yang
mengkomodifikasikan seksualitas perempuan, dimaknai sebagai
sexualised beauty, dengan erotisme yang melekat.
(memberi penekanan pada dada, paha, kaki, perut, punggung, dan
pinggang) (red-lipped, silk-stockinged, gaunt, dramatic-makeup,
backless gowns, androgynous tubular shifts, figure-hugging biascuts, square-shouldered jackets and nippedin waists)—semua jenis
pakaian yang ditujukan untuk mengekspos tubuh seksual.
‘Micro-skirt’, atau disebut juga sebagai microminiskirt, yaitu rok
yang lebih pendek dari miniskirt (<20cm); ‘Crop-top’ , yaitu jenis
atasan yang modelnya terpotong, sengaja memperlihatkan bagianbagian seperti perut dan sebagian dada.
Crop top pada umumnya menyerupai model atasan olahraga dan
Choli (pakaian tradisional India)
Model dress yang dulunya hanya digunakan sebagai pakaian dalam,
di tahun 1950an/1960an mulai digunakan sebagai outer.
Rok atau dress pendek (di atas lutut)
(Sumber: Fashioning the Feminine, 2002)
65
Tabel di atas membagi model pakaian perempuan ke dalam dua kategori
besar: klasik (high fashion, tubular dress, dan glamour) dan kontemporer
(minimal clothing, slip dress, dan mini skirt). Gaya high fashion memperlihatkan
citra keluarga, the ruling class (kelas yang berkuasa),
kegairahan
tubuh
perempuan (voluptuous body) sebagai subjek maternal, kekuasaan reproduktif
perempuan, Oedipal complex yang tergila-gila pada pemakaian korset untuk
menjaga skala tubuh. Jenis tubular dress dikenakan oleh wanita kelas pekerja,
material dan desain pakaiannya simple, dan memperlihatkan independensi
ekonomi perempuan.
Sementara itu, tipe glamour merupakan bentuk penolakan terhadap
domestifikasi perempuan sebagai istri dan ibu (yang terlihat dalam model high
fashion), memperlihatkan kalangan pekerja perempuan yang belum menikah,
memiliki kebebasan dalam berfantasi. Tipe glamour biasanya berkaitan dengan
wacana dominan seputar seks, perang seks (sex war), kebebasan seksual,
persetubuhan seksual dengan siapa saja (sexual promiscuity), dan sebagainya.
Sementara itu, tipe pakaian kontemporer dilihat sebagai heterosexual camp,
sebuah hiper-feminitas yang menjelaskan adanya disorientasi kekuasaan dan
posisi perempuan di dalam lingkungan urban kontemporer. Tipe pakaian ini
merepresentasikan citra muda dan kontemporer, diasosiasikan dengan kesenangan
masa muda. Menekankan pada kekurusan (thinness), gaya kekanak-kanakan
(stylised child-like); girliness sebagai identitas perempuan muda, bukan woman
(perempuan dewasa).
66
Pakaian dapat digunakan sebagai penanda dalam mendefinisikan seksualitas
perempuan. Misalnya payudara. Dalam kultur yang maskulin, biasanya payudara
akan dikonstruksikan sebagai objek, yang dikorelasikan dengan objektifikasi dari
tatapan laki-laki (Young, 2005:90). Semakin terbuka pakaian yang dikenakan,
semakin memperlihatkan payudara dan dengan demikian semakin menempatkan
perempuan pada posisi objek. Dalam hal ini, tubuh perempuan dipandang sebagai
tubuh yang beragam (various body), yang mana dalam masyarakat liberal tidak
adalah kategori khusus untuk membedakan jenis pakaian (Young, 2005:13).
Pakaian diasumsikan memperlihatkan kelas perempuan (Buckley dan Fawcett,
2002:83,122), pakaian akan mendefinisikan perempuan classy dan common—
sebuah defenisi yang mengacu pada perbedaan perempuan yang berkelas dan
yang dianggap tidak berkelas.
1.7.5.1.2.3. Performance and Movement
Kode sinematik ini berfungsi untuk mengidentifikasi setiap objek tatapan kamera
(manusia atau binatang), seperti ekspresi wajah dan posisi tubuh. Kode ini
mengacu pada bahasa tubuh (body language), namun kriteria bahasa tubuh dalam
penelitian ini terbatas untuk tidak mengkaji bahasa tarian. Bahasa tubuh
merupakan elemen kunci dalam penciptaan performa. Kode ini juga nantinya akan
mengarahkan karakterisasi karakter mayor dan minor (Wilson, 1985:197,202).
Mayor mengacu pada figur yang dianggap penting dan menjadi fokus performa,
sementara minor merupakan karakter yang hanya memainkan sebagian kecil
performa. Beberapa acuan bahasa tubuh yang digunakan adalah:
67
Tabel 1.8
Kategori Gestur Tubuh
Gestures
Keterangan
Palm-up position
Submissive, non-threatening gesture, reminiscent of the
pleading gesture of a street beggar
Palm-down
Position
Otoritas dan dominasi
Palm-closedfinger-pointed
position
Aggresif
Hands clenched
together
Awalnya gestur ini memperlihatkan rasa percaya diri
dan diikuti dengan ekspresi tersenyum dan terlihat
gembira. Namun gestur ini memperlihatkan rasa frustasi
dan sikap yang tidak menyenangkan.
Standard-arm
cross gestures
Gestur melipat tangan universal, memperlihatkan sikap
defensif/negatif, biasanya ditunjukkan ketika seseorang
berada di tengah kerumunan yang asing.
Memperlihatkan kenyamanan emosional
Partial arm-cross
barriers
Kurang percaya diri
Menggunakan bunga, dompet untuk menciptakan
batasan dengan orang lain, dilakukan untuk mengurangi
rasa nervous.
Standing leg cross
gestures
Nervous, pemalu, dan defensif
Hands-on-hips
gestures
Clothing appealing
Sexual
aggresiveness
gestures
Perilaku seksual yang agresif
Sumber: Pease (1988), Body Language
68
1.7.5.1.2.4. Camera movement
Pergerakan kamera dikategorikan sebagai shot berikut:
Tabel 1.9
Kategori shot kamera
Signifier (shot)
Definition
Signified (meaning)
Close-up
Face only
Intimacy
Medium shot
Most of body
Personal relationship
Long-shot
Setting and character
Context, scope, public distance
Full shot
Full body person
Social relationship
Sumber: Berger, 1991:26
1.7.5.1.2.5. Editing
Teknik editing dari pergerakan kamera dikategorikan sebagai berikut:
Tabel 1.10
Camera Work and Editing Techniques
Signifier (shot)
Definition
Signified (meaning)
Pan down
Camera looks down
Power, authority
Pan up
Camera looks up
Smallness, weakness
Dolly in
Camera moves in
Observation, focus
Fade in
Image appears on blank screen
Beginning
Fade out
Image screen goes blank
Ending
Cut
Switch from one image to another
Simultaneity, excitement
Wipe
Image wiped off screen
Imposed conclusion
Sumber: Berger, 1991:27
1.7.5.1.2.6. Sound (musik)
Elemen ini merupakan elemen final dalam kode sinematik yang membantu
mengkonstruksi gambar. Musik sendiri terdiri dari beragam genre mulai dari
musik country, jazz, rock, dan musik campuran lainnya, seperti yang terlihat
dalam tabel 1.11 berikut.
69
Tabel 1.11
Genre Musik
Music Genre
Jazz
Classic Rock
Acoustic
Rock
Rock
Alternative
Rock
Punk Rock
Hard Rock
Big Band
Music
Pop Music
Urban Music
Disco Music
Electronic
Music
Electronica/
Techno
Dance Music
Blues
Rap
Soul Music
Ballad
Keterangan
Bentuk musikal, yang biasanya improvisasional
(improvisational), dikembangkan oleh Afrika-Amerika.
Musik rock yang berkembang di tahun 1960-an dan awal 1970an, khususnya dikaitkan dengan pergerakan hippie
Jenis musik rock yang dimainkan dengan instrumen akustik
(instruments without amplification)
Musik rock yang dipertunjukkan oleh musisi yang relatif tidak
dikenal dan/atau dipromosikan oleh perusahaan rekaman yang
kecil
Rock agresif, muncul di tahun 1970-an, berkembang dari artisartis rock counterculture, dan mengakar di kota London, dengan
fashion “punk”.
Tipe musik rock yang dikarakteristikkan dengan permainan gitar
yang kencang dan strong insistent beat, serta cara bernyanyi
dengan berteriak
Musik populer di tahun 1930-an dan 1940-an, dipertunjukkan
oleh band jazz atau band dance yang berjumlah besar, biasanya
mengutamakan improvisasi solo oleh pemain utama.
Genre musik pop yang disukai oleh khalayak perkotaan,
kategorinya didominasi oleh rhythm and blues dan hip-hop.
Flamboyan, genre musik populer yang berorientasi pada taruan,
berkembang sejak tahun 1970-an.
Jenis musik yang mulai dikenal sejak tahun 1980-an, yang
menggunakan peralatan seperti synthesizers dan komputer untuk
mem produksi karakter musik dengan suara elektronik
(“electronic sound”)
Jenis musik pop elektronik dengan adanya disc jockey yang
berbicara atau nge-rap sebagai penari.
Jenis musik yang berasal dari lagu sekuler Afrika-Amerika
bagian selatan di awal tahun 1900-an, dibedakan dengan tempo
yang cepat serta melodi dan lirik yang menyedihkan, dan
dimainkan dengan intrumen yang sederhana.
Jenis musik yang liriknya di-rap-kan (rapped/chanted)
disesuaikan dengan musik yang ritmik, yang berasal dari
kalangan muda Afrika-Amerika. Tema-tema lirik rap secara
umum dikategorikan dalam 3 (tiga) yaitu:
- those that are blatantly sexual,
- those that chronicle and often embrace the so-called gangsta
lifestyle of youths who live in inner cities,
- and those that address contemporary political and
philosophical issues related to the black experience and its
history
Jenis musik populer yang muncul di tahun 1960-an, dinyanyikan
oleh musisi Afrika-Amerika seperti James Brown, Ray Charles,
Sam Cooke, dan Aretha Franklin. Mengakar pada jenis musik
gospel dan rhythm and blues
Musik romantis yang lambat dalam musik populer, atau lagu
lama yang mengisahkan cerita yang sentimental
Sumber: Dictionary of Media Studies, Anderson, dkk., 2006
70
Dalam genre film biasa, elemen musik biasanya paling banyak muncul
ketika film berada dalam keadaan silent (diam tanpa narasi). Namun MV dalam
penelitian ini terkategorikan dalam film non-narasi (silent-film musical), maka
musik memegang peranan yang sangat penting dan berkesinambungan dari awal
hingga akhir.
Kode sinematik
musik
akan
membantu
peneliti dalam
mengidentifikasikan karakter serta efek emosional yang dihasilkannya.
1.7.5.2. Analisis Paradigmatik
Selanjutnya sistem pemaknaan tataran kedua (analisis paradigmatik)
akan
dianalisis melalui 5 (lima) kode pembacaan (Kurniawan, 2009:128-129), yaitu:
1.7.5.2.1. Kode hermeneutika (hermeneutic code)
Merupakan kode penceritaan, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam
permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan
penyelesaian atau jawaban. Kode ini merupakan satuan-satuan yang dengan
berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaian,
serta aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut, atau justru
yang menunda-nunda penyelesaiannya.
1.7.5.2.2. Kode proairetik (proarietic code)
Merupakan kode tindakan yang didasari konsep proiresis, yakni kemampuan
untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional, yang
mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia, tindakan-tindakan membuahkan
71
dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam
judul bagi sekuens yang bersangkutan.
1.7.5.2.3. Kode Kultural (cultural code)
Merupakan kode referensial yang berwujud sebagai suara kolektif yang anonim
dan otoritatif, bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara
tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau
kebijkasanaan yang diterima umum. Kode ini berupa kode-kode pengetahuan atau
kearifan yang terus-menerus dirujuk oleh teks atau menyediakan semacam dasar
otoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana.
1.7.5.2.4. Kode simbolik (symbolic code)
Merupakan kode pengelompokan atau konfigurasi yang gampang dikenali karena
kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai sarana
tekstual. Kode ini memberikan suatu struktur simbolik.
1.7.5.2.5. Kode semik (codes of semes)
Merupakan kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau kilasan makna yang
ditimbulkan oleh penanda-penanda tersebut.
1.7.6. Goodness Criteria
Menurut Guba dan Lincoln, goodness criteria (atau quality criteria) merupakan
perbedaan mendasar yang ada antara paradigma-paradigma penelitian yang
72
mengakar pada pertanyaan ontologi, epistemologi dan metodologi. Dalam
paradigma kritis, kualitas data dalam penelitian dilakukan melalui 3 (tiga) kriteria
(Guba dan Lincoln, 2000:170; Conrad dan Serlin, 2011:267). Pertama, Historical
situatedness, yang merupakan kriteria yang mana sebuah penelitian kritis akan
mempertimbangkan nilai-nilai pembentuk realitas yaitu nilai sosial, politik,
kultural, ekonomi, etnis, dan gender. Kriteria ini terlihat pada Bab II penelitian,
yang menjelaskan bagaimana persoalan perempuan dalam fenomena budaya
populer K-Pop sesungguhnya dilatarbelakangi terutama oleh nilai kapitalisme.
Kedua, Erosion of ignorance and misapprehensions, yang merupakan
kriteria yang mempertimbangkan bagaimana realitas yang terbentuk mampu
mengikis ketidaktahuan (atau kebodohan) serta kesalah-pengertian yang terjadi
dalam konteks sejarah. Kriteria ini merupakan bagian dari analisis penelitian yang
memperlihatkan pengembangan teori sebagai usaha untuk membongkar dan
menguraikan persoalan-persoalan yang dimunculkan di masa lampau.
Ketiga, Action stimulus, yaitu kriteria yang mempertimbangkan sejauh mana
kedua kriteria sebelumnya mampu menstimulasikan tindakan-tindakan yang baik
yang mengarah pada transformasi sosial, persamaan, dan keadilan sosial. Kriteria
ini dinilai dalam wujud implikasi penelitian yang berefleksi terhadap realitas yang
dibentuk oleh sejarah dan masa kini.
1.7.7. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mengeksplorasi persoalan performa perempuan hanya pada tataran
mikro, yaitu teks kultural K-Pop MV yang ditampilkan di YouTube. Dengan
73
demikian, penelitian ini tidak mampu mengungkap proses produksi wacana
performa performa perempuan sebagai sebuah realitas. Selain itu, penelitian ini
sekedar mengkaji performa perempuan dalam music video dengan tidak terlalu
mengindahkan persoalan musikalitas yang ada dalam MV, serta lebih memilih
untuk mengkaji teks narasi dalam bahasa Inggris daripada bahasa Hangeul (Korea
Selatan). Kajian lebih terfokus pada aspek-aspek sinematografi yang terdapat
dalam MV yang menonjolkan performa perempuan.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan tersebut, penelitian selanjutnya
disarankan menggunakan pendekatan FPDAiii (feminist poststructural discourse
analysis) untuk dapat memahami secara lebih mendalam mengenai ideologi
kultural yang muncul dalam beragam produk budaya populer, serta dapat
membongkar wacana performa perempuan yang dihadirkan oleh media massa di
Indonesia.
i
Penelitian ini lebih memilih untuk menggunakan terminologi “perempuan” daripada “wanita”
karena istilah “wanita” dianggap cenderung memperlihatkan konotasi negatif yang justru
merendahkan kaum perempuan (Sunarto, 2009). istilah “perempuan” berasal dari akar kata
empu, yang bermakna ‘dihargai, dipertuan, atau dihormati’. Sementara kata “wanita” memiliki
dasar kata wan yang berarti ‘nafsu’, sehingga kata “wanita” dimaknai dengan ‘yang dinafsui atau
objek seks’. Pemilihan istilah “perempuan” daripada “wanita” merupakan sebuah usaha untuk
mengubah objek menjadi subjek (Handayani dan Novianto, 2004:vi).
ii
Istilah ‘Liyan’ atau ‘The Other’ dalam penelitian ini meminjam istilah Simone de Beauvoir
dalam karyanya The Second Sex (1949) yang menjelaskan mengenai konstruksi perempuan
sebagai ‘Liyan’ atau ‘yang Lain’ (O’Donnell, 2009:86). De Beauvoir berargumentasi bahwa
perempuan tidak memiliki alter ego (yang diwakili dengan keberadaan penis), karenanya,
perempuan dituntun untuk membuat objek dari seluruh dirinya sendiri sebagai sang Liyan (the
Other) (Thornham, 2010:49). Istilah yang sejenis juga digunakan oleh Stuart Hall dalam
tulisannya yang berjudul The Spectacle of the ’Other’ (Hall, 1997b). ‘Liyan’ juga diistilahkan
sebagai ‘subaltern’ oleh Gayatri Chakravorty Spivak dalam tulisannya Can the Subaltern Speak
(Spivak, 1994). Prosa sang Liyan dalam penelitian ini memaknai relasi oposisi antara perempuan
74
versus laki-laki dan Timur versus Barat, untuk memperlihatkan superioritas laki-laki dan Barat
terhadap perempuan [Timur].
iii
FPDA (feminist poststructuralist discourse analysis) merupakan sebuah pendekatan untuk
mengkaji performa yang diinspirasikan oleh para pemikir feminisme gelombang ketiga, terutama
Judith Baxter. FPDA merupakan variasi dari PDA (poststructuralist discourse analysis), sebagai
wujud kritik terhadap CA (conversation analysisi) dan CDA (critical discourse analysis). FPDA
berfokus pada proses performa itu sendiri. Tujuan utama dari FPDA ini adalah untuk mengkaji
bagaimana cara perempuan menegosiasikan identitas,relasi dan posisi mereka dalam lingkungan
yang dimultiplikasi oleh beragam diskursus (Kroløkke dan Sørensen, 2006: 61,113).
BAB II
“MENARIKAN SANG LIYAN”i:
FEMINISME DALAM INDUSTRI MUSIK
“A feminist approach means taking nothing for granted
because the things we take for granted are usually those that were constructed
from the most powerful point of view in the culture ...”
~ Gayle Austin ~
Bab II akan menguraikan bagaimana perkembangan feminisme, khususnya dalam
industri musik populer yang terepresentasikan oleh media massa. Bab ini
mempertimbangkan kriteria historical situatedness untuk mencermati bagaimana
feminisme merupakan sebuah realitas kultural yang terbentuk dari berbagai nilai
sosial, politik, kultural, ekonomi, etnis, dan gender. Nilai-nilai tersebut dalam
prosesnya menghadirkan sebuah realitas feminisme dan menjadikan realitas
tersebut tak terpisahkan dengan sejarah yang telah membentuknya.
Proses historis ini ikut andil dalam perjalanan feminisme from silence to
performance, seperti yang diistilahkan Kroløkke dan Sørensen (2006). Perempuan
berjalan dari dalam diam hingga akhirnya ia memiliki kesempatan untuk hadir
dalam performa. Namun dalam perjalanan performa ini perempuan membawa
serta diri “yang lain” (Liyan) yang telah melekat sejak masa lalu. Salah satu
perwujudan performa sang Liyan ini adalah industri musik populer K-Pop yang
diperankan oleh perempuan Timur yang secara kultural memiliki persoalan
feminisme yang berbeda dengan perempuan Barat.
75
76
K-Pop merupakan perjalanan yang sangat panjang, yang mengisahkan
kompleksitas perempuan dalam relasinya dengan musik dan media massa sebagai
ruang performa, namun terjebak dalam ideologi kapitalisme. Feminisme diuraikan
sebagai sebuah perjalanan “menarikan sang Liyan” (dancing othering), yang
memperlihatkan bagaimana identitas the Other (Liyan) yang melekat dalam tubuh
perempuan [Timur] ditarikan dalam beragam performa music video (MV) yang
dapat dengan mudah diakses melalui situs YouTube. Tarian merupakan sebuah
bentuk konsumsi musik dan praktik kultural yang membawa banyak makna
tersembunyi mengenai konteks sosial (Wall, 2003:188).
Tarian merupakan sebuah aksi yang sangat kaya makna, yang maknanya
dapat mengarah pada isu-isu mengenai kelas, nasionalitas, etnisitas, gender, dan
seksualitas. “Whether we dance (or do not dance), how, where, and to what music
we dance, are all very meaningful acts within popular music culture” (Wall,
2003:189). Semua itu, dikatakan Wall, akan membentuk politik resonansi yang
mungkin akan selalu terulang sepanjang sejarah. Perjalanan “menarikan sang
Liyan”, dengan demikian bukanlah sebuah perjalanan yang cepat saji melainkan
dipengaruhi oleh situasi historis dan terjebak pada akar persoalan ideologis
bernama kapitalisme.
2.1. Eksploitasi Kapitalisme dalam Industri Musik Populer
Keberhasilan Korea Selatan dalam mengembangbiakkan industri K-Pop telah
mendorong Indonesia untuk melakukan hal yang sama, seperti yang diungkapkan
Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif, Mari Elka Pangestu. Mari menyebutkan
77
bahwa pemerintah berharap akan adanya I-Pop sebagai model budaya yang
diupayakan untuk menyaingi K-Pop. Mari juga menyebutkan bahwa Indonesia
harus mencontoh teknik-teknik musik, lagu, koreografi, dan performa panggung
yang
ditampilkan
dalam
industri
musik
K-Pop
(dalam
http://oase.
kompas.com/read/2012/04/30/14332957/Mari.Pangestu.Pop.Harus.Saingi.KPop).
Tabel 2.1
Daftar Girlband K-Pop
Nama
Girlband
Girls’
Generation
KARA
Wonder
Girls
2NE1
f(x)
Brown
Eyed Girls
A-Pink
T-Ara
After
School
Miss A
RaNia
4Minute
Brave
Girls
AOA (Ace
of Angels)
Girl’s Day
Hello
Venus
Debut
2007
Anggota
Taeyeon, Jessica, Sunny, Tiffany, Hyoyeon,
Yuri, Sooyoung, Yoona, dan Seohyun
Park Gyuri, Han Seungyeon, Nicole Jung, Goo
Hara, dan Kang Jiyoun
Nama
Fandom
SONE
Kamilia
2007
Yubin, Yeeun, Sunye, Sohee, dan Hyerim
Wonderful
2009
2009
Bom, Dara, CL, and Minzy
Victoria, Amber, Luna, Sulli, and Krysta
Blackjack
Aff(x)tion
2006
JeA, Miryo, Narsha, Gain
Everlasting
2011
2009
2011
2009
2011
2009
2011
2012
2010
2012
Chorong, Bomi, Eunji, Naeun, Yookyung,
Namjoo, Hayoung
Boram, Qri, Soyeon, Eunjung, Hyomin, Jiyeon,
Areum, Dani
Jungah, Jooyeon, UEE, Raina, Nana, Lizzy, EYoung, Kaeun
Fei, Jia, Min, Suzy
Saem, Riko, Jooyi, Di, T-ae, Xia
Nam Ji-hyun, Heo Ga-yoon, Jeon Jiyoon, Kim Hyun-a, and Kwon So-hyun
Eun Young, Seo Ah, Yejin, Yoojin and Hyeran
JiMin, Choa, Yuna, Youkyoung, Mina,
Hyejong, Seolhyun, Chanmi
So Jin, Ji Hae, Min Ah, Yura, dan Hyeri
Yoo Ara, Nara, Alice, Lime, Yoonjo, dan
Yooyoung
Sumber: dari berbagai sumber
Pink Panda
Diadem
Play Girlz
Say A
A1ST
4NIA
Fearless
Elvis
Daisy
Hello Cupid
78
Tabel di atas merupakan perwujudan komitmen pemerintah Korea Selatan
untuk membentuk sebuah institusionalisasi produksi budaya populer (khususnya
girlband). Perkembangan pesat dari kelompok-kelompok tersebut didukung
sepenuhnya oleh pemerintah yang dinaungi oleh Kementerian Kebudayaan,
Olahraga, dan Pariwisata (Contemporary Korea No.1, 2011). Di sisi lain,
Indonesia berharap untuk menciptakan gerakan kebudayaan yang sama yang bisa
diterima oleh masyarakat (http://oase.kompas.com/read/2012/04/30/14332957/
Mari.Pangestu.Pop.Harus.Saingi.KPop).
Meskipun belum berkembang pesat
seperti K-Pop, Indonesia pun memperlihatkan adanya pergerakan girlband sebagai
bagian dari bayangan institusi kebudayaan yang disebut I-Pop (Indonesian
Popular Music).
Tabel 2.2
Daftar Girlband I-Pop
Nama Girlband
7 Icons
Cherry Belle
Debut
2010
2011
G String
Tina with D’Girls
2008
Blink
Princess
Super Girlies
2011
2011
2010
2011
Anggota
Angela Tee, Grace Wohangara, Linzy, Mezty, Natly,
PJ, Vanilla
Cherly, Angel, Anisa, Christy, Devi, Felly, Gigi,
Ryn, dan Wenda
Araky, Dewa, Saqe, Nonie, Landa
Tina Toon, Deyla Setia, Jilly Tan, Elisabeth Jessica,
Dina Anjani
Sivia, Pricilla, Ify, Febby
Elma, Danita, Rachel, Ana, and Alika
Laras, Atu, Mega, Opie, Kinang, Sarah, dan Uty
Sumber: dari berbagai sumber
Cita-cita Indonesia menghadirkan I-Pop untuk menyaingi K-Pop tampaknya
masih jauh dari realitas kultural yang saat ini [masih] berpihak pada Korea
Selatan. Ekspansi global dari gelombang Korea (hallyu) yang kini berubah wajah
menjadi neo-hallyu merupakan alat diplomatis yang menghasilkan keuntungan
79
kultural, politik, dan ekonomi bagi Korea Selatan. Tanpa disadari, gelombang
kultural yang lahir dari desakan krisis moneter ini telah menghasilkan sebuah
industri budaya yang dengan lihai mengeksplotasi setiap aspek-aspek kebudayaan
yang bisa dijangkau olehnya.
2.1.1. Hollywood di Asia: Sebuah Pemahaman Industri Budaya
Produk budaya populer Korea Selatan memang dikenal sangat kental dengan
tradisi bangsanya sendiri yang mampu mereka olah dengan menyisipkan tema
nilai-nilai kehidupan orang Asia pada umumnya yang dikemas dengan bingkai
modern (Nugroho, 2011:118). Korea Selatan berhasil mengemas aspek-aspek
kebudayaan tradisional mereka dalam kemasan modern hingga akhirnya
mengubah posisi Korea yang semula merupakan negara pengimpor budaya
menjadi “Hollywood-nya Asia” yang hingga kini telah banyak mengekspor
konten budaya mereka ke seluruh dunia.
“In the 1960’s, Korea remained a “culture importer”, content to accept
culture from the Unites States, Europe, and Japan. That very same country
is now “Asia’s Hollywood” with Korean cultural booms taking place not
only in Asia, but also in Europe and the Americas” (Contemporary Korea
No.1, 2011:15).
Sebutan “Hollywood-nya Asia” melegitimasikan adanya kehadiran Barat di
Asia. Hal ini merupakan implikasi dari aliran kebudayaan Timur yang bergerak
dinamis dan berkiblat ke Barat. Aliran ini menciptakan gelombang kebudayaan
Korea yang merupakan penciptaan kembali budaya-budaya luar dalam kemasan
Korea, is not just “Korean”, but a byproduct of clashing and communication
80
among several different cultures (Contemporary Korea No.1, 2011:15). Hal ini
mengukuhkan kembali apa yang dikatakan Adorno dan Horkheimer dalam
Mahzab Frankfurt mengenai the culture industry. Adorno dan Horkheimer
merupakan pewaris terpenting tradisi Marxis yang memperkenalkan gagasan
bahwa budaya kontemporer adalah sebuah “industri budaya”, yang merupakan
karya kunci dalam pendekatan Marxis untuk kajian budaya. Sebagai Marxis yang
penuh komitmen, Adorno dan Horkheimer meyakini bahwa bisnis-bisnis besar
yang mengontrol pesan-pesan media memiliki kepentingan ideologis. Di dalam
paradigma Marxis, media dipelajari melalui metode-metode materialis/historis,
biasanya dengan memperlihatkan kekuasaan ekonomi dan ideologi kelas yang
berkuasa (Stokes, 2003 :116).
Dalam esai berjudul The Culture Industry: Enlightment as Mass Deception,
Adorno dan Horkheimer menjelaskan bahwa industri budaya menawarkan sebuah
gambaran ...a society that has lost its capacity to nourish true freedom and
individuality – as well as the ability to represent the real conditions of existence
(Adorno dan Horkheimer, 1999:31). Bagi Adorno dan Horkheimer, industri
budaya modern memproduksi kenyamanan dan produk yang terstandarisasi oleh
kepentingan murni dari golongan kapitalis. Dalam hal ini, segala bentuk film,
iklan, musik, dan bentuk-bentuk industri budaya lainnya, ditujukan untuk
kepentingan hiburan yang menghasilkan kapital.
Cikal bakal industri budaya Korea diawali ketika Korea di masa lampau
mulai menyerap ajaran Budha, Confucian, dan tradisi-tradisi China, kemudian
dilanjutkan dengan penyerapan gaya hidup dan sistem pendidikan Amerika,
81
filosofi Eropa, dan modernitas Jepang. Selanjutnya, perang di Korea Selatan dan
di Vietnam telah banyak mendatangkan prajurit-prajurit bantuan yang membawa
serta budaya popular dan budaya modern dari AS dan negara lain hingga akhirnya
Korea dibanjiri dengan musik impor—American folk, lush ballads, rock, French
chansons, Italian canzone, Latin and Cuban music, serta Japanese enka—dan
mimikri yang dilakukan oleh penyanyi lokal terhadap gaya dan nada musik-musik
impor ini telah menghasilkan ledakan popularitas dari musik kontemporer asing di
Korea (Contemporary Korea No.1, 2011: 17).
Musik kontemporer asing telah ada cukup lama di Korea Selatan hingga
akhirnya mereka berakhir dan berdifusi menjadi industri budaya hallyu yang
disebut-sebut sebagai Hollywood-nya Asia. Hal ini merupakan sebuah prestasi
dari ekspansi kapitalisme yang menurut Marx, ‘the bourgeoisie’, has through its
exploitation of the world market given a cosmopolitan character to production
and consumption in every country’ (Elliot, 2009:18). Kata “borjuis” di sini
menjelma dalam kontrol korporat yang dinaungi oleh Kementerian Kebudayaan,
Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan, yang telah berhasil mengubah pola
produksi dan konsumsi budaya kontemporer. Hingga kini, Korea telah berhasil
menciptakan karakter-karakter kosmopolitan untuk diproduksi dan dikonsumsi di
hampir setiap negara. Industri K-Pop sendiri memiliki banyak karakter
kosmopolitan yaitu bintang-bintang hallyu yang diidolakan oleh kelompok
manusia yang terkotak-kotakkan dalam kelompok fandomii.
Lahirnya berbagai kelompok fandom Korea di berbagai belahan dunia
adalah salah satu bentuk perayaan terhadap kehadiran industri budaya hallyu.
82
Ragam produk budaya yang ditawarkan industri budaya untuk dikonsumsi
dikaitkan dengan kapitalisme dan komodifikasi, yang selanjutnya memunculkan
perdebatan antara Marx (1850), Adorno (1940) dan Althusser (1970), yang mana
dalam komoditas tersebut melekat makna ideologis yang melayani kepentingan
kapitalisme (...that commodities carry embedded ideological meanings that serve
the interests of capitalism and which are taken on board by consumers through
the very act of consumption) (Barker, 2004:33). Konsumsi pada dasarnya
merupakan wujud kebebasan pribadi individu. Namun ketika praktek konsumsi
dikontrol oleh kapitalisme, maka segala bentuk kegiatan konsumsi pada ujungnya
akan diakhiri dengan kepentingan kapital. Atas dasar kepentingan kapital inilah,
industri budaya memasukkan berbagai nilai-nilai ideologis dalam produk
komoditasnya yang ditujukan untuk mengontrol perilaku konsumen menjadi
sejalan dengan kepentingan kapitalis.
Dalam istilah yang lebih komersial, K-Pop merupakan perwujudan industri
kreatif. Istilah ini menciptakan dan mendistribusikan konten kreatif melalui
sebuah model perekonomian baru (misalnya, Hollywood, Bollywood, dll).
Industri kreatif merupakan sebuah rekonseptualisasi dari industri budaya, dan
berfokus pada dua kebenaran, yaitu: (1) inti dari “kebudayaan” adalah kreatifitas,
namun (2) kreatifitas diproduksi, didistribusikan, dikonsumsi dan dinikmati
dengan cara yang berbeda dengan era post-industrial (Hartley, 2004:43-44;
2005:18).
Sebagai
sebuah
industri
kreatif,
K-Pop
memenuhi
beberapa
karakteristik praktik kreatif yaitu: melibatkan interaktifitas, bersifat hibrid,
memunculkan situs-situs dan bentuk produksi kultural yang baru, berorientasi
83
pada distribusi multi-platform, serta produksi kultural yang tak terpisahkan
dengan realitas komersial (Haseman, 2005:167-169). Dalam pemahaman industri
kreatif, K-Pop dianggap sebagai sebuah strategi kebudayaan (cultural strategic)
yang tidak terlepas dari lima kriteria di atas. K-Pop memang dimaksudkan untuk
lahir dari logika kapitalisme dan kemudian tumbuh berkembang dengan cara
mengkomersialisasikan budaya dalam proses kreatif.
Memandang industri musik kontemporer K-Pop sebagai wujud eksploitasi
kapitalisme merupakan sebuah usaha pembuktian bahwa K-Pop memperlihatkan
superioritasnya terhadap cultural capital yang ada di Korea Selatan, sekaligus
sebagai bentuk kejenuhan terhadap ruang publik yang telah dimonopoli oleh
musik kontemporer asing selama rentang waktu yang cukup lama. K-Pop kini
bebas dan diberikan hak secara legal untuk merepresentasikan cultural capital
dalam bentuk-bentuk yang bisa dijual (musik, drama, film, manhwa/komik,
animasi, dan sebagainya). Tom Dixon (2011) menyebut K-Pop sebagai sebuah
perjalanan kebudayaan yang berasal dari kemampuan untuk mengingini hal yang
paling sekuler, kapitalistik, dan materialistik (the Korean Wave may be a result of
the ‘ability’ of a most secular, capitalistic, materialistic desire ...). Hal yang
hampir sama juga diungkapkan oleh Piliang (2010:209-210) yaitu, kapitalisme
adalah sistem yang dibangun terutama di atas prinsip persaingan (competition).
Inheren dalam persaingan adalah kehendak berkuasa (menguasai pasar), kehendak
mendominasi pihak lain, untuk mendapatkan keunggulan dan kekayaan dan
akumulasi kapital sebesar-besarnya.
84
Persaingan untuk menjadi yang paling sekuler, kapitalistik, materialistik,
serta yang paling dominan ini berbuahkan hasil yang cukup memuaskan ketika
cultural capital mulai diproduksi menjadi komoditas dan didistribusikan melalui
media sosial. Dalam hal ini situs YouTube memegang peranan yang penting.
YouTube banyak memberikan rekor popularitas kepada artis K-Pop. Girls’
Generation, misalnya. GG merilis MV berjudul “I Got a Boy” yang kemudian
dipublikasikan di akun YouTube SM Town pada 1 Januari 2013, dan dalam enam
hari MV ini telah ditonton lebih dari 21 juta kali. Fenomena popularitas lain di
situs YouTube terlihat ketika MV PSY “Gangnam Style” ditonton lebih dari 1,1
milyar
kali
dalam
rentang
waktu
161
hari
setelah
MV
ini
dirilis
dalam http://english.kofice.or.kr/a00_music/a10_news_detail.asp?seq=182&page=
1&me
nu=MUSIC&category).
YouTube seolah malaikat yang dikirimkan kepada kaum kapitalis untuk
mempertemukan komoditas budaya dengan para konsumennya. Dengan demikian
YouTube merupakan media yang bermain bersama dengan para kapitalis. Media,
menurut Stuart Hall, merupakan alat ideologis yang sangat kuat (Griffin,
2009:335). Media menjadi alat perpanjangan tangan kapitalis, yang dalam bentuk
apapun medianya, selalu membawa serta ideologi kapitalis kemanapun ia pergi.
2.1.2. Girlband Sebagai Cultural Capital
Fenomena Hallyu (dan/atau Neo-Hallyu) yang dihasilkan oleh Korea Selatan tidak
terlepas dari pembicaraan mengenai produk kultural berupa boyband dan girlband
sebagai produk kultural yang paling laris dikonsumsi di berbagai belahan dunia
85
(lihat gambar 1.2.). Boyband dan girlband ini diinstitusikan secara legal sebagai
sebuah industri K-Pop yang dikendalikan oleh negara.
Girlband mengacu pada kelompok perempuan (girl group) yang dimaknai
sebagai musical ensembles made up exclusively of female performer and, usually,
potraying a gendered view of topics (Danesi, 2009:134). Logika yang sama dapat
digunakan pula untuk mendefinisikan boyband. Pengklasifikasian boys dan girls
dalam K-Pop merupakan sebuah usaha untuk memperlihatkan oposisi biner di
antara laki-laki dan perempuan. Dengan pengklasifikasian yang seperti ini maka
muncul logika laki-laki > < perempuan. Sistem oposisi biner ini terintitusikan
dalam K-Pop, mengingat dalam beberapa kasus terbukti bahwa girlband dibentuk
sebagai usaha untuk menciptakan counterpart dari boyband. Misalnya, SM
Entertainment dengan boyband Super Junior dan girlband Girls’ Generation, atau
YG Entertainment dengan boyband BigBang dan girlband 2NE1.
Pengklasifikasian sederhana antara perempuan dan laki-laki dalam industri
K-Pop ini tidak terlepas dari unsur kontrol korporat atas industri budaya. SM
Entertainment, YG Entertainment, JYP, dan sebagainya, merupakan beberapa
institusi K-Pop yang diberikan mandat oleh negara untuk mengontrol sumber daya
kultural agar bisa diolah menjadi produk budaya yang layak dikonsumsi. Produk
unggulan yang dihasilkannya adalah boyband dan girlband. Keduanya sengaja
dioposisikan dan kemudian didistribusikan ke ruang publik untuk membuktikan
siapa di antara laki-laki dan perempuan yang paling bisa dimonopoli untuk
dijadikan sebagai komoditas unggulan K-Pop.
86
Situs YouTube sendiri memberikan ruang yang lebih banyak kepada
perempuan, yang mana tiga dari lima MV terbanyak adalah girlband (lihat
halaman 3). Hal ini menjadi pengukuhan bahwa perempuan merupakan komoditas
yang paling menguntungkan untuk dijual, dengan segala aspek keperempuanan
mereka. Bahkan dalam industri K-Pop, telah menjadi sebuah tradisi bahwa
boyband K-Pop merupakan kelompok laki-laki yang kebanyakan diberi julukan
the flower boys. Istilah ini diacukan karena representasi laki-laki dimasukkan ke
dalam frame perempuan, artinya laki-laki tampil dengan kecantikan yang hampir
sebanding dengan perempuan.
Kapitalisme menjadikan tubuh perempuan sebagai bahan baku sistem
pertukaran tanda, dengan melakukan eksplorasi besar-besaran terhadap tubuh
perempuan. Tubuh diproduksi sebagai rangkaian teks, yaitu kumpulan tandatanda,
yang dikombinasikan lewat kode-kode semiotik tertentu. Tubuh
disegmentasi menjadi elemen-elemen tanda (mata, bibir, hidung, pipi, rambut,
payudara, penis, bahu, tangan, jari, kuku, perut, pinggul, betis, paha, kaki;
pakaian, asesori, perhiasan) yang masing-masing mampu menghasilkan makna
yang marketable: sensual, erotis, menggairahkan, pesona, fetis (Piliang,
2010:297). Perempuan adalah objek komoditas dalam industri musik secara
global. Tidak hanya performa solo saja, performa perempuan secara grouping
(berkelompok) juga telah menjadi perhatian dalam dunia internasional.
Dua unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Girls’
Generation dan KARA, termasuk dalam kategori best-selling girls group dan
menduduki peringkat ke-19 dan 20 (lihat tabel 2.3).
87
Tabel 2.3
Best-Selling Girl Groups (Worldwide)
No
Girl group
Country
Sold
(Album)
Genre
Years Active
1
Spice Girls
United
Kingdom
80 million
Pop
2
TLC
United States
55 million
R&B /
HipHop
1994–2000, 2007,
2008, 2012
1991–2003,
2008–present
3
Destiny’s
Child
United States
50 million
R&B
1995–2006, 2013
4
Bananarama
40 million
Pop
1982–present
5
AKB48
United
Kingdom
Japan
20 million
J-Pop
6
Speed
Japan
20 million
Pop
7
8
The Supremes
En Vogue
Morning
Musume
United States
United States
20 million
20 million
R&B
R&B
2005–present
1996–2001, 2003,
2008–present
1959–1977
1989–present
Japan
16 million
Pop
1997–present
10
SWV
United States
15 million
R&B
11
Pussycats
Dolls
United States
15 million
12
All Saints
13
Atomic Kitten
14
Sugababes
15
Wilson Philips
16
9
United
Kingdom
United
Kingdom
United
Kingdom
10 million
Pop /
R&B
Pop /
R&B
1990–1998,
2005–present
2005–2009,
2011–present
1994–2001,
2006–2007
1997–2004, 2008,
2012–present
10 million
Pop
10 million
Pop
United States
10 million
Pop
Girls Aloud
United
Kingdom
8 million
Pop
17
Rouge
Brazil
6 million
Pop
18
No Angels
Germany
5 million
Pop
South Korea
4.5 million
K-Pop
2007–present
South Korea
4.2 million
K-Pop
2007–present
19
20
Girls’
Generation
KARA
Sumber:
1998–2012
1989–1993,
2004–present
2002–2009,
2012–2013
2002–2005,
2012–present
2000–2003,
2007–present
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_best-selling_girl_groups#Best-selling_girl_groups
88
Dari semua kelompok tersebut, Girls’ Generation dan KARA merupakan
dua dari lima kelompok Asia yang muncul (tiga di antaranya berasal dari Jepang),
dan keduanya ini tergolong dalam kelompok girlband yang usianya masih muda
(7 tahun masa aktif) dan sedang dalam perkembangan dalam meraih popularitas.
Kehadiran girlband ini merupakan sebuah bentuk cultural capital yang akan
membuka peluang untuk merebut pasar potensial global yang sejauh ini masih
dikuasai oleh penjualan produk kultural dari Barat. Untuk masuk ke dalam dunia
komoditas K-Pop sebagai sebuah girlband bukanlah hal yang mudah. Perempuan
harus memiliki nilai-nilai tubuh yang layak untuk bisa dikategorikan sebagai
elemen tanda yang menghasilkan makna yang marketable. Bagi industri budaya
K-Pop sendiri, tidak semua artis di bawah manajemen korporat dapat tampil
perdana di depan publik (debut), jika ia dinilai tidak layak atau tidak memiliki
nilai jual yang sempurna. Dengan demikian, K-Pop hanya menjual yang terbaik,
yang paling kapitalistik di antara semuanya. Sekali lagi, kontrol korporat berperan
besar dalam membesarkan (baca: mengkomodifikasikan) sebuah girlband.
Girls’ Generation atau SNSD (sebutan yang diberikan oleh fans) (lihat
gambar 2.1), merupakan girlband yang dibentuk pada tahun 2007 dan memiliki
lima label rekaman di lima negara, yaitu SM Entertainment (Korea Selatan),
Nayutawave (Jepang), Interscope (AS), Polydor (Perancis), dan Universal Music
(Taiwan). Dalam bahasa Korea, Girls’ Generation (GG) disebut So Nye Shi Dae
(소녀시대). Nama Girls’ Generation ini memberi arti “the generation of girls’
domination has come”. GG terdiri dari 9 (sembilan) anggota perempuan yaitu,
Taeyeon, Jessica, Sunny, Tiffany, Hyoyeon, Yuri, Sooyoung, Yoona, dan
89
Seohyun. GG secara khusus telah menarik perhatian 22.000 khalayak untuk
datang ke showcase performance mereka sebagai awal masuknya GG ke pasar
Jepang. Selain menarik perhatian publik Jepang, GG menjadi headline news
dalam berbagai media, dan terpilih sebagai cover majalah Nikkei Business.
Dobrakan terhadap pasar Jepang ini juga telah membantu GG untuk merambah ke
wilayah Asia lainnya hingga ke Eropa dan Amerika Serikat (Contemporary Korea
No.1, 2011:36,42).
Gambar 2.1
Girls’ Generation
dalam MV ‘Time Machine’
Gambar 2.2
KARA
dalam MV ‘Step’
KARA (lihat gambar 2.2) merupakan girlband yang dibentuk pada tahun
2007 oleh DSP Media. Kelompok ini terdiri dari 5 (lima) orang anggota yaitu,
Park Gyuri (leader, lead vocalist, sub-rapper), Han Seungyeon (main vocalist),
Nicole Jung (main rapper, main dancer, vocalist), Goo Hara (lead dancer, vocalist,
face of the group), dan Kang Jiyoung (vocalist, maknae). Nama KARA dikatakan
berasal dari bahasa Yunani “Chara” (χαρά), yang diartikan sebagai ‘sweet
melody’. KARA didukung oleh fanbase bernama Kamilia (merupakan gabungan
dari “Kara” dan ”familia”).
90
2.2. Performa Feminisme dalam Budaya Kontemporer
Kapitalisme selalu berhasil memanfaatkan dan memeras cultural capital yang ada,
termasuk perempuan. Eksploitasi kapitalisme semakin memperlihatkan objekobjek feminisme yang menjelma menjadi teks dalam seni kontemporer, termasuk
dalam industri musik kontemporer. Perempuan tidak lagi sekedar menari dalam
panggung teater, namun kini ia menari dalam panggung media. Perkembangan ini,
tentu saja tidak terlepas dari peranan kapitalisme dalam merangkai performa.
Bersamaan dengan berkembangbiaknya kapital, muncul pula passionate
capitalism yang menurut Piliang (2010:128) berisi usaha mensejajarkan komoditi
dengan mesin hasrat. Artinya, kapitalisme akan berusaha mengeksploitasi segala
sesuatu yang bisa dijadikan sebagai komoditi pemuas hasrat, dengan perempuan
sebagai alat pertukarannya.
2.2.1. Performa Perempuan dalam Teater
Performance contains (a lot of) nudity. Performa mengandung (banyak)
ketelanjangan. Kalimat ini merepresentasikan sebuah perfoma feminis dalam
teater yang berjudul “Untitled Feminist Show”. Untitled Feminist Show
merupakan pertunjukan teater karya Young Jean Lee yang memperlihatkan
performa feminisme dalam utopia ketelanjangan, memadukan gerakan dan musik
dalam
wujud
tarian
kontemporer
performances /now/all/2013/891).
(dalam
http://www.mcachicago.org/
91
Gambar 2.3
“Untitled Feminist Show”
Sumber:
http://www.mcachicago.org/performances/now/all/2013/891
Representasi seksual di atas merupakan titik balik dari modernitas dan
kembalinya manusia ke dalam era yang primitif, era modern yang primitif
(Piliang, 2010:99). Karya ini disebutkan sebagai performa yang mempertunjukkan
a fully nude, wordless celebration of female identity. Untitled Feminist Show
memperlihatkan sebuah pertunjukan resistensi terhadap sistem dunia yang penuh
dengan
kesenjangan
seksual.
Ia
merupakan
strategi
perempuan
untuk
mengekspresikan Diri dengan tidak dibatasi oleh rasa malu akan identitasnya
sebagai perempuan.
Namun ini adalah fakta moral yang memang tidak adil. Perjuangan gender
yang terlihat dalam teater ini bisa saja diartikan sebagai sebuah perilaku disorder
perempuan, yang membuka nilai-nilai tubuh yang seharusnya tertutup. Dengan
menelanjangi dirinya, perempuan telah memparodikan keberadaan “yang lain”
yang ada dalam dirinya, dengan cara mengeksplorasi tubuh keperempuanan yang
ia miliki. Ketika perempuan menarikan “yang lain” (dancing othering), ia akan
masuk dalam frame performa di mana ketelanjangan tidak lagi dimaknai sebatas
92
perayaan identitasnya sebagai perempuan, melainkan direduksi menjadi sebatas
objek seksual yang direpresentasikan kepada dunia yang sejatinya memihak
kepada kapitalisme.
2.2.2. Performa Perempuan dalam Music Video
Penggunaan perempuan sebagai ilustrasi musik (video clip) memiliki fungsi
utama untuk memberikan nilai-nilai tampilan tubuh (Piliang, 2010:293). Dengan
demikian, sesuai dengan pendapat L. Lewis (1993), pendekatan feminis akan
membantu dalam menganalisis MV untuk mengidentifikasi
bentuk-bentuk
kultural yang mengobjektifikasikan perempuan. Menurut Lewis, sebagian besar
elemen yang ada dalam MV terkonstruksi di seputar fantasi seksual laki-laki.
Namun Lewis juga mengungkapkan bahwa MV bisa menjadi ranah kesenangan
perempuan bagi mereka yang bisa bermain artikulasi teks MV (Casey, et all,
2008:174).
MV
kini
menjadi
ranah
performa
bagi
feminisme
untuk
mengekspresikan diri, dan mengubah perempuan yang sebelumnya invisible
menjadi visible. Dalam musik kontemporer, pengeksposan tubuh tidak lagi
dianggap sebagai hal yang melecehkan, namun dilihat sebagai permainan di mana
tubuh bagi mereka bukan sesuatu yang esensialis, namun hanya sebagai
representasi.
Tidak semua representasi menawarkan subordinasi posisi subjek, seperti
hasil eksplorasi Kaplan (1992) terhadap sosok Madonna sebagai sebuah teks yang
mampu mendekonstruksi norma gender. Madonna dianggap mampu untuk
mengubah relasi gender dan mendestabilisasinya (Barker, 2000:255). Madonna
93
digambarkan sebagai perempuan muda yang mencari kebebasan makna
seksualitasnya lewat pengeksposan tubuhnya yang menantang. Namun, ia juga
menegaskan pengontrolan penuh atas tubuhnya di mana penonton tidak
melihatnya untuk dilecehkan, tetapi justru untuk dikagumi.
Madonna dengan ungkapan material girl dan Spice Girl dengan ungkapan
girl power, merepresentasikan budaya perempuan yang baru, yakni perempuan
mandiri yang mendikte sendiri tubuhnya, penonton, dan pasar (Arivia, 2006:116117). Dalam fenomena girl power, gagasan ‘kekuasaan’ Foucault memberikan
pemahaman bahwa perempuan tidak melulu dilihat sebagai yang tidak berdaya,
namun yang mempunyai kekuasaan sekalipun dengan menggunakan sensualitas
dan seksualitasnya, tetapi dengan kesadaran penuh dan kritis (Arivia, 2006:90).
Madonna dalam videonya berusaha untuk memperlihatkan kekuasaan
perempuan dengan cara mendesak perempuan untuk mengambil alih kontrol atas
hidup mereka, dan bermain kode-kode seks dan gender (codes of sex and gender)
untuk mengaburkan batas antara maskulinitas dan feminitas (Barker, 2000:256).
Madonna pernah dilarang untuk ditayangkan ditelevisi, karena isinya yang terlalu
vulgar dan kontroversial, salah satunya MV Like A Prayer. MV-nya dikecam oleh
Vatikan karena telah dianggap mencampurkan simbol-simbol Kristiani dengan
erotisme. MV tersebut bercerita tentang seorang lelaki kulit hitam yang menolong
seorang wanita korban pembunuhan yang kemudian justru dituduh sebagai
pembunuhnya. Akibatnya si lelaki kemudian ditangkap dan dipenjarakan sebelum
Madonna datang sebagai saksi mata yang akhirnya dapat membuktikan bahwa
lelaki itu tidak bersalah.
94
Meskipun MV tersebut dianggap menentang rasisme, kontroversi muncul
karena banyaknya penggunaan simbol-simbol Katolik “menyesatkan”, seperti
stigmata dan salib yang terbakar, ditambah lagi dengan unsur seksualitas yang
sangat kuat. Seiring dengan kontroversi yang terjadi, album Like A Prayer justru
meningkat penjualannya dan menghasilkan 4 (empat) kali platinum di Amerika.
Madonna juga dianggap berulah lewat MV Justify My Love yang menampilkan
aktivitas seksual bersifat sado-machocism dengan karakter gay dan lesbian dan
penampilan bugil singkat, serta MV Erotica yang menampilkan sensualitas yang
berlebihan hingga akhirnya MTV melarang penayangannya (Munif, 2009:116).
Gambar 2.4
Madonna “The Queen of Pop”
Sumber:
http://beverlyhillshoneys.com/marilyn-monroe-madonna-smoking-cigarette-modelsupermodel-lindsay-hancock/
Madonna merupakan ikon pertama dari post-feminisme, yaitu istilah yang
dipakai untuk menolak perempuan yang digambarkan sebagai korban, tidak
otonom, dan bertanggung jawab. Penggambaran perempuan yang terus-menerus
menjadi korban menggambarkan perempuan yang tidak memiliki kontrol atas
hidupnya sendiri (Arivia, 2006:129). Madonna terus-menerus menemukan
95
imejnya, sambil mencampuradukkan fesyen, era, kebudayaan, dan gaya
(O’Donnell, 2009:18). Madonna menggambarkan dirinya sebagai perempuan
yang sepenuhnya bebas, meskipun ekspresi dirinya itu seringkali mendapatkan
kecaman dari berbagai pihak.
Madonna
adalah
ikon
resistensi
perempuan,
ia
memperlihatkan
independensi seksualnya dalam lagu ‘Like A Virgin’, di sisi yang lain ia
mendeskripsikan dirinya dalam sepenggal kalimat berbunyi, “I’m tough, I’m
ambitious, and I know exactly what i want. If that makes me a bitch, okay.”.
Kalimat tersebut menyiratkan eksistensi perempuan yang berusaha mengabaikan
penindasan terhadap dirinya. Kalimat yang diungkapkan Madonna memberikan
pelajaran penting bagi perempuan lain untuk “menjadi diri sendiri”.
Namun bagi seorang perempuan, “menjadi diri sendiri” dalam artian
memperlihatkan kekuasaan dan kontrol keperempuannya, seringkali menimbulkan
kontroversi. Seperti yang terlihat dalam kisah Lady Gaga yang selalu tampil tak
terprediksi di depan publik. Ia sering tampil di depan publik dengan konsep meat
dress, menggunakan bikini daging dalam cover majalah Vogue Hommes Japan,
namun ia menyebut dirinya “I’m not a piece of meat”. Terlepas dari kontroversi
apakah ia adalah seorang ikon feminis atau bukan, Lady Gaga merupakan sebuah
wujud perayaan perempuan atas kontrol penuh terhadap dirinya.
2.3. Performa Feminisme dalam Industri Musik di Indonesia
Seiring dengan perkembangan argumen terkait feminisme, Strinati mencatat
bahwa sekurang-kurangnya ada tiga golongan feminisme secara umum (Strinati,
96
2009:274; 1995:165). Pertama adalah feminisme liberal, yang mengkritik usaha
maupun representasi tak adil dan eksploitatif dalam media maupun budaya
populer, serta menyampaikan pendapat tentang berbagai legislasi kesempatan
untuk mendapatkan kesetaraan untuk memperbaiki situasi ketidakadilan tersebut.
Kedua adalah feminisme radikal, yang memandang kepentingan laki-laki maupun
perempuan pada dasarnya dan tak pelak lagi berbeda, menganggap patriarki
maupun kontrol dan represi kaum perempuan oleh laki-laki sebagai wujud historis
paling krusial dari pembagian sosial maupun sebagai bentuk penindasan, serta
memperdebatkan suatu strategi pemisahan kaum perempuan. Ketiga adalah
feminis sosialis, yang menerima penekanan pada patriarki tapi berusaha
memasukkannya dalam analisis kapitalisme, serta memperdebatkan perubahan
radikal reaksi antara gender sebagai bagian integral dari lahirnya sebuah
masyarakat sosialis.
Menurut Gadis Arivia (2006), peta pergerakan perempuan di Indonesia
terbagi dalam empat tahap. Tahap pertama, memunculkan persoalan hak memilih
dalam pemilihan pejabat publik, hak pendidikan yang dikemukakan pada jaman
Belanda. Pada tahap kedua, memunculkan persoalan politis yang berada pada
basis massa dan perkumpulan untuk memajukan baik keterampilan maupun
politik perempuan yang ditemui pada masa Orde Lama. Pada tahap ketiga, di
masa Orde Baru, menampilkan wacana tugas-tugas domestikasi perempuan
sebagaimana yang diinginkan negara. Dan pada tahap yang keempat, di era
reformasi, memunculkan pergerakan-pergerakan liberal yang bertemakan anti
kekerasan terhadap perempuan (Arivia, 2006:15).
97
Pergerakan perempuan mulai dari masa penjajahan hingga masa Orde Baru
pada akhirnya menciptakan sebuah justifikasi perempuan sebagai ‘Ibuisme
Negara’ (Suryakusuma, 2011). Ibuisme Negara dipahami sebagai sebuah
konstruksi sosial resmi keperempuanan di Indonesia yang mana perempuan
dimanfaatkan untuk kepentingan negara dalam mempertahankan kekuasaan dan
kontrolnya atas masyarakat (Suryakusuma, 2011:111). Dalam hal ini, perempuan
diposisikan dalam posisi ‘silence’, dikontrol sedemikian rupa oleh negara yang
sesungguhnya didominasi oleh laki-laki. Konstruksi perempuan sebagai Ibuisme
sama halnya dengan memposisikan perempuan sebagai penjaga gawang patriarki
yang berfungsi untuk memelihara dan melegalkan dominasi laki-laki di hampir
semua aspek kehidupan.
Pada masa itu, keterlibatan feminisme di Indonesia memunculkan banyak
hambatan, seperti yang dialami di banyak negara Dunia Ketiga lainnya. Ciri dasar
feminisme adalah sikap kritis, karena itulah ia tidak bisa diterima di Indonesia.
Feminisme disalahpahami dan sengaja dimanipulasi untuk membangkitkan
konotasi-konotasi negatif. Feminisme dianggap secara apriori dianggap sebagai
paham yang konfrontasional, dipandang “melawan laki-laki”, “kebarat-baratan”,
“kekiri-kirian”, tidak sesuai dengan nilai-nilai “ketimuran”, dan merupakan
ancaman bagi status quo (Suryakusuma, 2011: 102).
Feminisme di Indonesia pada masa setelah reformasi mulai memperlihatkan
adanya pergeseran dari silence ke performance. Feminisme pada masa ini tidak
lagi terfokus hanya pada batasan politik atau kehidupan domestik. Feminisme kini
mulai mempertanyakan ketimpangan representasi perempuan yang ada di media
98
massa. Seiring dengan reformasi, feminisme mulai menyuarakan paham
multikultural yang memandang feminisme sebagai sebuah jaringan yang
kompleks dan memaknai perempuan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Hal
ini dimungkinkan di Indonesia mengingat Indonesia adalah negara multikultural
yang dikaruniai lebih dari 500 suku bangsa.
Jika Madonna adalah ikon post-feminis pertama di tahun 1980-an, Indonesia
juga memiliki ikon serupa yaitu Inul Daratista. Inul memperlihatkan adanya girl
power di dalam dirinya. Ia bukan seorang perempuan lemah yang melantunkan
lagu-lagu melankolis penuh desahan penyesalan nasib, melainkan seorang
entertainer yang berbakat dan tahu benar nilai jual dirinya (Arivia, 2010:130).
Gambar 2.5
Ainul Rokhimah alias “Inul Daratista”
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0603/05/nas06.htm
Inul dengan performa ‘Goyang Inul’ dan lagu ‘kocok-kocok’ dianggap
sebagai sebuah ekspresi publik atas seksualitas naturalnya. Tubuh performatif Inul
yang lihai dalam bergoyang sesunggguhnya merupakan tradisi kultural dari tarian
perempuan di Indonesia. Indonesia memiliki cultural capital berupa ragam tarian
tradisional yang di dalam masing-masing tarian menyiratkan relasi antara
99
perempuan, kekuasaan, dan performa. Tubuh Inul dianggap sebagai contoh
‘pementasan budaya’ dalam demokrasi mendadak pasca masa Orde Baru
(Weintraub, 2008:367-392). Performa Inul merupakan sebuah ekspresi demokrasi
yang sebelumnya terpendam di masa Orde Baru. Tariannya dianggap melampaui
batas moral, namun dari sudut pandang feminisme, tarian itu merupakan wujud
pergerakan feminis yang mengartikulasikan bahwa perempuan pun memiliki hak
kebebasan berekspresi dengan menggunakan tubuhnya.
i
Judul bab “Menarikan Sang Liyan” terinspirasi dari sebuah chapter berjudul “Dancing Othering”
yang diambil dari dalam buku “Of the Presence of the Body: Essay on Dance and Performance
Theory” karya André Lepecki (2004). Istilah “menarikan sang Liyan ini merupakan sebuah
penggambaran historical situatedness dari penelitian, yang mendeskripsikan bagaimana identitas
sang Liyan bagi perempuan bukan merupakan hal yang baru, melainkan sebuah proses panjang
yang dipengaruhi oleh proses konstruksi sejarah.
ii
Fandom merupakan sebuah gaya hidup yang bisa muncul ketika identitas budaya yang berbeda
dibenturkan dan identitas budaya yang satu menjadi dominan atas budaya yang lain (Hills,
2002:82). Fandom merupakan sebuah bentuk resepsi dan konsumsi publik terhadap artis tertentu
yang diidolakannya. Fandom seringkali diasosiasikan dengan pandangan kritis mengenai
ketidakdewasaan, ketidak-rasional-an, yang merupakan produk budaya massa dan merupakan
contoh perilaku massa. Fandom merupakan sesuatu yang bersifat kolektif, yaitu berbagi perasaan
terhadap ketertarikan yang kuat yang dilakukan secara sadar (McQuail, 2010:442, Huat,
2012:152).
BAB III
PERFORMA PEREMPUAN DALAM K-POP MV
(SEBUAH ANALISIS SINTAGMATIK)
Bab ini akan menguraikan performa perempuan dalam unit analisis penelitian
yaitu music video Girls’ Generation “The Boys” dan Kara “Pandora” hingga pada
tataran sintagmatik. Dari dua MV yang merupakan unit analisis penelitian
tersebut, akan dikategorikan unit pembacaan yaitu leksia yang dipilih berdasarkan
satuan tanda yang terdapat dalam unit analisis.
Dalam mengkaji leksia ini, perempuan dipandang sebagai seorang bintang
(star). Bintang adalah famous individuals, widely known, and often admired and
desired. Atribut ini biasanya diperlihatkan sebagai produk talenta serta karisma
(Wall, 2003:153). Ketika seorang perempuan menjadi terkenal sebagai seorang
bintang, maka pada saat ia melakukan performa, ia akan masuk ke dalam
konstruksi diri yang dimainkan oleh tanda-tanda dalam teks media. Dalam hal ini,
analisis sintagmatik berfungsi untuk mengawali pemaknaan terhadap teks media
hingga akhirnya, dari pemaknaan sintagmatik ini dapat dilakukan penafsiran
paradigmatik untuk melihat mitos atau ideologi tentang resistensi perempuan yang
bersembunyi di balik teks performa.
Analisis sintagmatik mengajak kita untuk mengimajinasikan ke depan atau
memprediksi apa yang terjadi kemudian. Suatu tanda mempunyai hubungan
sintagmatik dengan tanda lainnya sejauh tanda-tanda itu mempunyai fungsi satu
sama lain. Hubungan sintagmatik disebut juga sebagai hubungan fungsional, dan
hubungan ini akan tampak jelas dalam sebuah sintagma yang ditata menurut
100
101
sintaks tertentu di mana keberadaan tanda dalam satu sintaks bersifat saling
mengadakan (constituent) (Sunardi, 2002:70-74). Analisis sintagmatik dalam
penelitian ini mengkaji leksia melalui narasi dan kode-kode sinematik (mise-enscéne) yaitu, setting, costume, performance and movement, camera movement,
camera editing, dan sound.
3.1. Unit Analisis 1: “Girls bring the boys out!”
Gambar 3.1
Captured Image Unit Analisis “The Boys”
Sumber: data yang diolah
3.1.1. Narasi “The Boys”
Narasi dalam MV dikaji melalui struktur lagu dan plot yang nantinya akan
dioperasionalisasikan oleh kode-kode sinematik dan akan menghasilkan
potongan-potongan gambar seperti yang diperlihatkan dalam gambar 3.1 di atas.
102
Dalam MV, narasi merupakan kumpulan syair yang terpotong-potong yang
terdapat dalam lirik lagu. Narasi MV “The Boys”, dilihat dari struktur lagunya
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.2
Struktur narasi lirik “The Boys”
Musematic repetition
Verse 1 – Verse 2 – Riffs – Verse 3 – Riffs – Verse Rap – Verse 4 – Verse 1 – Bridge – Riffs
Discursive repetition
Sumber: hasil pengamatan penelitian
MV ini terdiri dari 55 (lima puluh lima) syair yang terbagi dalam empat
bait, rap, refrain, dan bridge. Dari gambar 3.2 di atas dapat dilihat adanya repetisi
musematik (dalam hal ini pengulangan
refrain) dan repetisi diskursif
(pengulangan bait pertama). Pengulangan ini dimaksudkan untuk memberi
penekanan penting pada apa yang dianggap penting dalam sebuah narasi. Sebelum
memasuki bait pertama (verse 1), MV diawali dengan kalimat intro yaitu, “the
boys, the boys, the boys, the boys, the boys, the boys, out.”[1]. Pengulangan kata
‘the boys’ sebanyak enam kali ini merupakan penekanan pada judul lagu, dan
diakhiri dengan kata ‘out’, sehingga membentuk pernyataan ‘the boys out’.
Namun ‘out’ di sini dimaknai sebagai idiom, sebuah kalimat yang dimaknai untuk
mengajak/membuat laki-laki untuk menjadi dikenal (to be known to everyone).
Uniknya, syair [1] ini diucapkan oleh laki-laki, bukan perempuan.
103
Pernyataan ‘the boys out’ dalam syair [1] berkaitan dengan syair [4], [6], [7],
[8], [16], [19], [21], [30], [33], [35], [36], [42], [46], [49], [50], [53], dan [55]. Sejumlah
17 syair tersebut mengandung kalimat bring the boys out yang diulang sebanyak
dua puluh satu kali sepanjang MV dari awal hingga akhir. Istilah bring the boys
out tidak dimaknai dengan kalimat membawa laki-laki keluar. Dalam kaidah
bahasa Inggris sendiri, kalimat bring the boys out mengacu pada idiom: “to bring
(somebody) out” yang artinya “to help somebody to feel more confident”
(menolong seseorang untuk menjadi lebih berani). Syair “bring the boys out”
selanjutnya sengaja tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk
menjaga keaslian pemaknaannya.
Bait yang pertama (syair [1] hingga [8]) berisi pernyataan nasihat terhadap
seseorang yang merasa takut untuk memulai apapun. Syair [2] dan [3]
menceritakan bahwa keluh kesah akan mengakibatkan kesempatan terbuang siasia. Syair [7] yang berisi “we bring the boys out” memberi penekanan pada ‘we’
yaitu perempuan. Bait yang kedua merupakan perpanjangan kisah dari bait
pertama, namun dalam bait ini, narasi sudah mulai memperlihatkan siapa
seseorang
yang
dimaksudkan
sebagai
penerima
nasihat.
Syair
[15]
memperlihatkan bahwa seseorang yang dimaksudkan adalah my boy, yaitu lakilaki. Pesan inti dari bait ini adalah “get up” (lihat syair [10] dan [14]), yang
diungkapkan perempuan sebagai cerminan perasaan yang tidak tahan melihat lakilaki-nya kehilangan semangat. Dalam kacamata perempuan, kehilangan semangat
bagi laki-laki adalah hal yang lucu, dan ini merupakan sindiran yang diungkapkan
secara gamblang dan bersifat satire (lihat syair [11] dan [12]). Perempuan juga
104
mengungkapkan keinginan hatinya terhadap seseorang yang disebut sebagai ‘my
boy’ agar ia mau menunjukkan sisi keliaran dirinya.
Bagian terpenting dari narasi lirik dalam MV ini adalah reff (atau refrain).
Dalam struktur narasi pada umumnya, reff diibaratkan sebagai klimaks dari cerita
secara keseluruhan. Munculnya reff sebanyak tiga kali (lihat gambar 3.2) menjadi
penekanan akan pentingnya pesan yang disampaikan. Dalam reff, Syair [17]
berbunyi, “Girls’ Generation make’em feel the heat”. Kalimat ini memberi
penekanan pada kata ‘heat’, yang dalam bahasa Inggris memiliki kesamaan arti
dengan ‘excited’, yaitu kegembiraan yang dimaknai sebagai sensasi yang
dirasakan laki-laki ketika mereka bertemu dengan perempuan. Pertemuan yang
sensasional ini akan membuat laki-laki mendapat perhatian dari orang banyak
(syair [18]). Lirik refrain ini memberi penguatan keyakinan kepada laki-laki
bahwa mereka hebat dan kuat, dan selalu terlihat tenang (syair [20]).
Selanjutnya, bait ketiga dalam “The Boys” ini mengisahkan perempuan
yang berusaha untuk meyakinkan laki-laki untuk tidak goyah [22]. Dalam kalimat
yang sama, perempuan berkata pada laki-laki “just protect your place” [22], yang
dapat diterjemahkan dalam kalimat lindungi saja posisimu. ‘your place’ di sini
mengacu pada posisi laki-laki, yang mana posisi ini dapat dikorelasikan dengan
syair [20] dalam reff yang menjelaskan bahwa laki-laki memiliki posisi yang hebat
dan kuat. Syair [22] selanjutnya juga menjelaskan bahwa kita manusia (we) hidup
dalam kehidupan layaknya peperangan, yang mana ‘kita’ tidak hanya mengacu
pada laki-laki saja, namun juga pada perempuan. Pesan inti dari bait ketiga ini
terlihat dari syair [24] dan [26] yang menekankan pada lirik “fly high”—terbang
105
tinggi. Bait ini juga menegaskan bahwa kesuksesan (yang dimaknai dalam kalimat
“fly high”) hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang memiliki kesiapan, jika
tidak, maka ia harus menyerah (syair [27]).
Rangkaian syair dalam bait ketiga merupakan tuntutan seorang perempuan
terhadap laki-laki untuk bisa terbang tinggi, dalam rangka memperlihatkan
kepada dunia bahwa ia (laki-laki) mampu mengubah sejarah (syair [28] dan [29]).
“History will be written anew, the main character is you, you!”[28], syair ini
menekankan pada you, mengacu pada laki-laki yang dianggap sebagai karakter
utama dalam sejarah yang dikatakan akan berubah. Bait ketiga diakhiri dengan
pernyataan ‘brings the boys out’, dan diikuti dengan pengulangan reff.
Selanjutnya, muncul bait yang berisi lirik rap (syair [36] hingga [42]).
Dalam bait ini, perempuan lebih banyak berkisah tentang dirinya. Perempuan
mendeklarasikan dirinya sebagai Athena, sosok yang dikatakan sebagai pemberi
nasihat yang hebat kepada laki-laki (syair [38]). Deklarasi ini ditujukan kepada
orang-orang yang disebut sebagai ‘the boys of the world’[38], yang diajak
perempuan untuk menari [37], bersenang-senang dan berpetualang [39], dan
berharap laki-laki akan tetap menjadi seperti yang diinginkannya [40].
Selanjutnya, syair [41] dan [42], membentuk kalimat utuh yaitu Girls’ Generation
we won’t stop [to] bring the boys out!. GG tidak akan pernah berhenti untuk
membuat laki-laki menjadi lebih berani.
Bait ini selanjutnya diikuti oleh keempat, yang hanya terdiri dari dua syair
([43] dan [44]). Syair [43] berisi tentang nasihat ironis, bahwa usaha untuk
menahan masa depan akan masa depan itu akan semakin terserak. Bertentangan
106
dengan syair sebelumnya, syair [44] justru menceritakan tentang isi hati
perempuan, “I think I’m falling more and more for you who is becoming more and
more perfect, my heart”. Perempuan mengungkapkan bahwa semakin sempurna
laki-laki (yang disebut my heart) maka akan semakin mudah bagi perempuan
untuk jatuh cinta kepadanya.
Bait keempat kemudian diikuti oleh pengulangan bait pertama, sehingga
narasi lirik kembali menyampaikan pesan yang terdapat di bait pertama, yang
menekankan pada harapan perempuan yang mengingini laki-laki untuk mau
membuka hati dan keluar sebagai seorang pemberani (syair [48]). Setelah selesai
pengulangan bait pertama, narasi memasuki bridge yang merupakan pengantar
menuju pengulangan reff yang ke-3 (lihat gambar 3.2) menjelang akhir dari lagu.
Syair [50] berisi satu frasa yang diulang-ulang, ‘cause the girls bring the boys
out’, yang dapat diartikan sebagai ‘karena perempuan akan membuat laki-laki
menjadi lebih berani’. Selanjutnya, reff kembali diulang hingga akhir lagu.
Dari pola narasi yang telah dijelaskan di atas, secara umum dapat
disimpulkan bahwa narasi lirik “The Boys” mengisahkan keinginan perempuan
yang berharap agar laki-laki(nya) menjadi laki-laki yang berani. Secara
keseluruhan, frasa ‘bring the boys out’ dalam lagu ini diulang sebanyak 21 kali.
Berdasarkan plotting-nya, narasi lirik memperlihatkan urutan dominasi karakter
sebagai berikut: Jessica [22], [25], [27], [43], dan [50]; Tiffany [5], [7], [10], [12],
[32], dan [54]; Yoona [11], [13], dan [38]; Taeyeon [9], [29], [44], dan [46]; Sunny
[14], [24]. [26], dan [52]; Seohyun [15], [28], [47], dan [48]; Yuri [18] dan [37];
Sooyoung [20], [40], dan [41]; Hyoyeon [34] dan [39]. Selain syair yang disebutkan
107
di atas, merupakan syair yang dinyanyikan secara bersamaan oleh kesembilan
karakter perempuan yang ada di dalam GG.
Dalam plotting syair, karakter performa didominasi oleh Sunny, namun
visualisasi MV justru menekankan pada wajah dominan yang lain yaitu Yoona
(lihat gambar 3.1 dan tabel 3.2). Selanjutnya urutan dominasi adalah Taeyeon,
Jessica, Tiffany, Yuri, Seohyun, Sunny, Sooyoung, dan yang paling sedikit
ditampilkan adalah sosok Hyoyeon. Apa yang terlihat dalam visualisasi MV
memang tidak selalu sejalan dengan narasi lirik, inilah yang disebut sebagai
struktur episodik yang terdiri dari banyak scene pendek yang terfragmentasi, tidak
linear, dan mengalami juxtaposition (kontras/berlawanan) satu dengan yang
lainnya (Wilson, 1985:161).
3.1.2. Mise-en-scéne “The Boys”
Mise-en-scéne dalam penelitian ini dikategorikan dalam 6 kode sinematik yang
dianggap relevan, yaitu:
3.1.2.1. Setting
Setting merupakan sebuah perwujudan totalitas visual dalam mengkonstruksi
lingkungan performa. Setting diidentifikasi melalui dua elemen yaitu stage dan
scenery (Wilson, 1985:278). Setiap tipe panggung akan menentukan scenery yang
akan tercipta dalam ruang performa. Tipe panggung yang terlihat dalam MV ini
dapat dikategorikan dalam tipe panggung kontemporer yang menciptakan ruang
tersendiri dengan lingkungan apa pun yang dianggap memungkinkan (created and
found stage space) (lihat tabel 1.6, kategori panggung). Berdasarkan hasil
108
pengamatan penelitian, ada 5 (lima) jenis stage (panggung) yang digunakan dalam
MV ini, yaitu:
Tabel 3.1
Setting dalam MV “The Boys”
Setting (preview)
Menit/detik
01.00–26, 03.40–44,
03.46–56, 04.00, 04.01, 04.02, 04.05, 00.04.06, 04.12, 04.14, 04.20,
04.29, 04.30, 04.31, 04.41–48, 04.52, dan 04.53
(1) Preview 00.01
00.25, 00.27 – 01.07, 02.48, 02.49, 02.50, 02.53, 02.54, 02.57, 02.58,
03.00, 03.02, 03.04, 03.05, 03.06, 03.09, 03.12, 03.18, 03.19, 04.03,
04.04, 04.10, 04.11, 04.21, 04.22, 04.23, 05.00–18
(2) Preview 05.03
01.11–15, 01.28, 01.29, 01.35, 01.42–46, 02.00–02.03, 02.07, 02.09–11,
02.15–17, 02.23, 02.24, 02.30, 02.31, 02.39, 02.41, 02.45–47, 03.01,
03.03, 03.10, 03.11, 03.21, 03.22, 03.25, 03.27–31,03.34–36, 03.45,
03.57, 04.24, 04.26, 04.34, 04.35, 04.38, 04.39, 04.51, 04.54
(3) Preview 01.12
01.08, 01.09, 01.10, 01.16, 01.17, 01.19, 01.21–27, 01.32, 01.33, 01.34,
01.36–39, 01.47, 01.51–54, 01.58, 01.59, 02.06, 02.08, 02.13, 02.14,
02.20–22, 02.26–29, 02.33, 02.34, 02.36–38, 02.40, 02.42–44, 02.55,
02.56, 03.08, 03.16, 03.17, 03.20, 03.23, 03.26, 03.32, 03.33, 03.37–39,
(4) Preview 01.23
04.08, 04.09, 04.13, 04.15, 04.19, 04.25, 04.49, 04.55–59
01.18, 01.20, 01.30, 01.31, 01.40, 01.41, 01.49, 01.50, 01.56, 01.57,
02.05, 02.12, 02.18, 02.19, 02.25, 02.32, 02.35, 02.51, 02.59, 03.07,
03.13, 03.14, 03.15, 03.58, 03.59, 04.07, 04.16, 04.17, 04.18, 04.27,
04.28, 04.36, 04.37, 04.40, dan 04.50
(5) Preview 04.27
Sumber: hasil pengamatan penelitian
Kelima tipe panggung dalam tabel di atas banyak mengadopsi konsep
panggung tradisional dan kemudian mengkombinasikannya dengan elemenelemen kontemporer yang akhirnya menciptakan lingkungan yang multifokus.
Lebih lanjut lagi, masing-masing tipe panggung akan diuraikan sebagai berikut.
109
Gambar 3.3
Tampilan proscenium stage dalam stage 1
(1) Panggung
pertama
(lihat gambar
3.3) merupakan panggung
kontemporer yang mengadopsi model proscenium, yaitu model yang menekankan
pada pembingkaian background/latar performa. Panggung ini menghadirkan
performa dalam sebuah pembingkaian natural dalam nuansa “salju” yang
imajinatif. Dengan mengkolaborasikan warna putih dan hitam, panggung
menciptakan dua dimensi antara fondasi dan langit yang ada di atasnya. Dimensidimensi ini berfokus pada satu titik, yaitu sebuah bongkahan kristal hitam yang
terletak di bagian tengah panggung, berbentuk gua kecil dengan potongan kristal
yang tak beraturan, serta berlapis kristal putih di bagian dalamnya. Di sekitar gua
kristal tersebut terdapat pula lima kristal (putih dan hitam) yang ukurannya jauh
lebih kecil dan tak beraturan. Keseluruhan dari kristal ini menjadi pembatas untuk
memberi ruang gerak bagi performa.
Gambar 3.4
Tampilan circle stage dalam stage 2
(2) Panggung kedua (gambar 3.4) dalam MV muncul dengan cara yang
unik, yaitu sebagai bentuk imaginatif yang dilihat oleh Yoona melalui sebuah
kristal hitam (lihat preview 00.25). Dalam batu tersebut muncul bayangan seorang
perempuan, kamera kemudian bergerak sangat cepat seolah-olah membawa
110
imajinasi penonton ikut masuk ke dalam batu, dan seketika pula muncul panggung
yang berbeda. Panggung kedua ini mengadopsi model arena stage atau circle
stage (panggung arena), karena performa terfokus pada bagian tengah sehingga
performa dapat dilihat dari sudut mana pun yang mengelilingi arena panggung.
Dalam panggung arena di atas, kamera merupakan lensa yang melaluinya
khalayak menonton performa. Bentuk arena akan mempermudah kamera untuk
bergerak leluasa memutari arena panggung, sehingga dapat memperlihatkan
masing-masing karakter performa dengan lebih jelas dari sisi panggung mana pun
yang memungkinkan. Ruang arena yang tersedia dibatasi dengan adanya helai
bunga mawar merah muda yang bertaburan dan bertebaran di panggung. Tebaran
bunga tersebut berasal dari efek hujan mawar (falling rose petals), yang
menciptakan ruang istimewa berbentuk lingkaran dan difungsikan sebagai
panggung tempat para karakter GG menyanyi dan menari.
Gambar 3.5
Tampilan proscenium stage dalam stage 3
(3) Ruang gerak yang ketiga (gambar 3.5) mengetengahkan visualisasi
artifisial dalam panggung kontemporer yang juga mengadopsi tipe klasik
proscenium, sama seperti panggung pertama namun dalam frame yang berbeda.
Pembingkaian panggung yang ketiga ini menekankan pada desain interior yang
mendetail. Dekorasi interior yang ada dalam ruangan menciptakan atmosfir
“modern” yang bersumber dari kombinasi kristal dan efek iluminasi.
111
Panggung proscenium kontemporer di atas dibatasi oleh 8 (delapan) pilar
yang berdiri sedikit miring ke arah dalam, fungsinya untuk menyanggah 3 (tiga)
piramida kristal terbalik yang ada di bagian atas panggung. Dekorasi semacam ini
membentuk panggung kubah setengah lingkaran dengan ruang gerak performa
yang hanya terbatas di dalam kubah tersebut. Keunggulan dari panggung ketiga
ini adalah pembingkaian yang terfokus, sehingga penonton yang melihat dalam
bingkai ini akan menikmati pemandangan performa yang konsisten. Desain
proscenium dalam panggung ini juga diperkaya dengan adanya efek iluminasi,
yang membuat semua keindahan dekorasi yang ada di atas panggung menjadi
semakin “terkristalisasi” akibat tata letak cahaya yang memungkinkan untuk
mendramatisasi performa. Iluminasi cahaya dalam tata panggung ini memberi
kesan misterius dan rasa penasaran terhadap performa.
Gambar 3.6
Tampilan glazier stage dalam stage 4
(4) Panggung kontemporer keempat (gambar 3.6) memanfaatkan visualisasi
ruangan semacam koridor. Ruang ini merupakan ruang kreatif yang sisi kiri dan
kanannya didesain menyerupai bongkahan es (glazier) dan lantai panggung yang
didesain berwarna biru laut, seola-olah menampilkan performa di atas hamparan
laut biru. Konsep ini menciptakan lingkungan imaginatif sebuah miniatur
hamparan laut biru yang penuh dengan bongkahan es yang mengambang bebas.
Bagian atas dan latar panggung ditutupi dengan jaring yang tak beraturan, desain
112
abstrak yang dipadukan dengan pencahayaan yang terfokus tepat di bagian tengah
panggung, sehingga terkadang memberi efek backlight terhadap performa.
Gambar 3.7
Tampilan stage 5
(5) Panggung kelima (gambar 3.7) memiliki konsep yang berbeda dengan
panggung lainnya. Jika dalam keempat panggung sebelumnya terlihat model
adaptasi kontemporer dengan beragam desain, maka panggung yang kelima ini
merupakan panggung yang “tak berbentuk”. Panggung kelima hanya berupa
visualisasi latar belakang yang merupakan kombinasi dari ukiran ber-bunga dan
efek cahaya yang menembus lewat celah-celah ukir yang ada di dinding latar.
Panggung ini tidak mengutamakan pada detail konsep panggung, namun
cenderung mengutamakan pada karakter performa yang ditempatkan di depan
latar. Panggung yang kelima ini dikhususkan hanya kepada performa yang
dilakukan oleh satu karakter saja.
Dari keseluruhan tipe panggung yang ditampilkan dalam MV “The Boys”,
maka dapat didefinisikan scenery yang diciptakankan dalam masing-masing
panggung tergolong dalam tipe non-realistic scenery. Kenapa? kelima tipe
panggung dalam MV ini merupakan panggung kontemporer yang sekedar
mengadopsi sebagian konsep dari panggung tradisional, namun juga memasukkan
elemen dan desain imaginatif yang jauh dari esensi nyata dalam kehidupan seharihari, seperti yang ditemukan dalam konsep panggung tradisional. Scene yang
113
tidak realistik akan menghadirkan pengalaman yang tidak realistik pula. Dengan
demikian, kategori setting dalam MV ini tidak memperlihatkan otentikasi lokasi
performa. Apa yang diperlihatkan dalam setting MV adalah sebuah pengaturan
performa yang didesain secara kontemporer untuk menciptakan lingkungan dan
pengalaman performa yang imaji.
Tipe panggung dalam MV ini didominasi oleh model proscenium. Model ini
merupakan konsep panggung raksasa, sehingga penonton yang melihat performa
dalam panggung ini seolah-olah melihat pertunjukan dalam bingkai raksasa.
Proscenium awalnya berkembang sebagai model panggung teater Romawi Kuno,
namun kini model ini menjadi sebuah konsep panggung populer yang banyak
digunakan dalam beragam performa non-teater.
Panggung proscenium, ditambah pula konsep scene yang non-realistik telah
menciptakan efek spektakuler ke dalam panggung performa. Dengan demikian,
perempuan yang menjadi pelaku performa di dalamnya dianggap menjadi bagian
dari yang spektakuler tersebut. Apa pun yang dilakukan perempuan dalam
panggung tersebut, menyanyi, menari, atau sekedar berjalan, akan membuat
perempuan terlihat lebih bermakna. Model panggung ini dapat dikatakan sebagai
sebuah bentuk penghargaan terhadap performa perempuan.
3.1.2.2. Costume
Ada beragam kombinasi kostum yang digunakan dalam MV ini, sama halnya
dengan bentuk narasi yang tak beraturan, kostum yang dikenakan oleh masingmasing karakter dalam MV ini pun muncul sewaktu-waktu, tak beraturan, dan
114
kadang kala tidak tertangkap oleh frame kamera. Berikut ini merupakan uraian
dari pendefinisian kostum yang dikenakan oleh kesembilan karakter GG yang
terlihat dalam frame kamera.
Pertama, Yoona. Dalam performanya yang pertama (detik 01–25), karakter
Yoona muncul dalam balutan gaun mini berwarna putih yang senada dengan
setting performa yang didesain bersalju. Tipe kostum Yoona ini bergaya glamour,
yang menekankan pada potongan baju pada bagian dada dan paha sehingga
membentuk mini-dress. Bagian belakang gaun ini memperlihatkan helaian rok
panjang sehingga jika dilihat dari belakang, Yoona seolah-olah mengenakan gaun
panjang (preview 00.09).
Kostum kedua yang dikenakan Yoona bergaya aristokrat (preview 00.33)
yang memberi kesan lady-like pada karakter Yoona. Dalam balutan kostum ini,
tubuh Yoona terlihat “terstruktur” karena ia mengenakan gaun berwarna coklat
keemasan bermodel korset (lihat preview 02.04) dengan sehelai ikat pinggang
kain yang melilit bagian perutnya sehingga tubuhnya terlihat ramping dan
menonjol pada bagian dada. Bawahan yang dikenakannya adalah rok panjang
yang menjuntai dengan model A. Kostum ini memiliki konsep dasar high–fashion,
terlebih lagi karena Yoona dihiasi dengan mahkotai layaknya seorang putri, serta
kalung yang mewarnai lehernya dengan berlian. Kostum ini dipadukan dengan
long-coat hitam bergaya glamour untuk menutupi gaun yang dikenakan, sehingga
jika dilihat dari belakang, model ini terlihat menutupi bentuk tubuh Yoona.
Kostum ketiga yang digunakan Yoona bergaya casual, termasuk dalam
kategori fashion kontemporer yang memadukan berbagai gaya di dalamnya.
115
Dalam balutan kostum ini, Yoona terlihat mengenakan celana panjang ketat
(legging) dengan atasan ketat tanpa lengan. Model ini tidak memperlihatkan tubuh
perempuan secara terbuka, namun mengekspos bentuk tubuh yang tertutup
sehingga memperlihatkan margin tubuh Yoona dengan jelas (preview 02.01).
Kostum casual lain yang dikenakan Yoona terlihat dalam preview 03.47, ia
mengenakan baju ketat berlengan pendek, mengadaptasi model pakaian olahraga
yang bagian kerahnya menutupi sebagian leher. Dalam balutan kostum ini Yoona
terlihat “tertutup”, namun masih mengekspos pada bentuk tubuh perempuan.
Kedua, Yuri. Kostum pertama yang dikenakan Yuri menyerupai fashion
bergaya high, memperlihatkan status diri sebagai seorang perempuan dari
kalangan aristokrat, namun di sisi lain dipadukan dengan gaya fashion
kontemporer. Pilihan warna kostum yang dikenakan adalah emas, dengan konsep
gaun panjang yang berbelah tinggi di bagian belakang, memperlihatkan keindahan
kaki ketika Yuri berjalan mengitari panggung. Model gaun ini menonjolkan
bagian dada, karena gaun ini mengadaptasi model pakaian dalam yang didesain
menyerupai korset sehingga memperlihatkan bentuk dada. Bagian bahu Yuri
tertutupi oleh jaket hitam bergaya glamour, namun jaket ini tidak dikenakan Yuri
melainkan dibiarkan menggantung di bahu Yuri sehingga ia seolah–olah
mengenakan jaket (preview 02.25).
Kostum kedua yang dikenakan Yuri merupakan model kontemporer bergaya
mini-skirt, bawahan pendek di atas lutut yang dipadukan dengan atasan tanpa
lengan berkerah–v (preview 01.13, karakter ke–2 dari kiri). Model semacam ini
menekankan pada margin kaki perempuan. Tipe kostum lain yang dikenakan Yuri
116
terlihat dalam preview 03.44, yang mana Yuri terlihat mengenakan bawahan
berupa celana panjang dengan atasan bermodel crop–top. Atasan model crop–top
di sini dimaksudkan untuk mendeskripsikan kemeja putih berlengan panjang yang
masing–masing lengannya “tersobek” untuk memperlihatkan tangan. Selain itu
kemeja putih ini berkerah–v dengan potongan yang terlalu ke bawah sehingga
memperlihatkan belahan dada. Bagian bawah kemeja dibiarkan terpotong pendek
sehingga memperlihatkan bagian perut perempuan (preview 03.52). Kostum Yuri
ini mengekspose sensualitas tubuh perempuan, terlebih karena kemeja putih yang
dikenakan berbahan tipis sehingga memvisualisasikan bayang–bayang tubuh yang
ada di balik kemeja. Selain itu, Yuri juga terlihat dalam balutan gaya maskulin
berupa celana panjang, kemeja putih, jas, dan juga dasi (preview 04.32).
Ketiga, Tiffany. Konsep kostum pertama yang dikenakan Tiffany
merupakan minidress yang ditujukan untuk mengekspose bagian paha (preview
00.49). Minidress yang dikenakan Tiffany merupakan model one-piece dress yang
merupakan kombinasi dari warna hitam dan hijau keemasan. Gaun mini ini
berukuran pendek di atas lutut, dan tanpa lengan (preview 03.04). Gaun mini
Tiffany membuat tubuh perempuan terlihat lebih bervolume terutama di bagian
depan, hal ini disebabkan detail desain yang ditempeli manik berwarna hitam dan
hijau keemasan. Meskipun terkesan lebih bervolume, gaun mini yang dikenakan
Tiffany ini tetap mengekspose bentuk tubuh perempuan.
Kostum kedua yang dikenakan Tiffany merupakan model fashion
kontemporer bergaya microskirt yang dipadukan dengan crop–top yang hanya
memiliki lengan di bagian kiri sementara lengan bagian kanan terpotong (preview
117
01.45). Desain minimalis ini mengutamakan eksposur pada paha perempuan serta
sebagian belahan tubuh perempuan. Tiffany juga mengenakan gaya kontemporer
microskirt dan crop–top dalam kostum ketiga yang dikenakannya dalam MV
(lihat preview 04.51). Ia mengenakan celana sangat pendek (disebut juga dengan
hot pant). Atasan yang dikenakan merupakan kemeja merah yang di sisi kiri dan
kanannya dipadukan dengan kain hitam dengan detail bordir semacam kebaya,
sehingga memperlihatkan sebagian bra yang dikenakan di balik kemeja. Gaya
kontemporer Tiffany ini menampilkan tubuh natural perempuan yang sebagian
“terbuka” dan tidak tertutup dalam kekakuan.
Model kostum yang keempat yang dikenakan Tiffany merupakan kostum
dengan gaya maskulin (lihat preview 04.53). Ia mengenakan bawahan berupa
celana panjang, baju lengan panjang, dilengkapi dengan sarung tangan, dan
mengenakan topi sport. Model ini menggiring Tiffany ke pencitraan maskulin
perempuan, yang mengadaptasi gaya laki-laki ke dalam tubuh perempuan
sehingga potongan tubuh tampak lurus, desain sederhana, dan tidak menonjolkan
bentuk tubuh.
Keempat, Seohyeon. Kostum pertama yang dikenakan Seohyeon adalah
minidress yang mendeskripsikan dengan detail siluet tubuh sang karakter. Gaun
mini ini terinspirasi dari model baju tradisional China, dilengkapi dengan detail
ornamen bunga yang terdapat di bagian dada, leher, lengan, dan pinggul, sehingga
mengarahkan fokus pandangan pada bagian–bagian tersebut (preview 00.39).
Selanjutnya Seohyeon memperlihatkan karakter dirinya dalam balutan
kostum kedua yaitu model microskirt, dipadukan dengan atasan casual (preview
118
02.16). Kesan yang ditonjolkan melalui kostum ini merupakan tampilan paha dan
kaki perempuan. Kostum ketiga yang dikenakan Seohyeon lebih mengarah kepada
model kontemporer yang mengadaptasi gaya maskulin, yaitu celana panjang,
kemeja putih, rompi, dan sarung tangan yang hanya dikenakan oleh tangan kanan
(lihat preview 02.20).
Kelima, Jessica. Kostum pertama yang dikenakan oleh Jessica mengesankan
karakter seorang perempuan bangsawan dengan gaya high–fashion (preview
01.00, 02.48, 02.51). Jessica mengenakan long–dress (gaun panjang) berwarna
biru elegan. Citra elegan ini muncul juga dari konsep gaun korset yang restriktif
yang dikenakan oleh Jessica. Korset ketat ini ditutupi oleh ornamen gaun yang
dibentuk menyerupai pita, sehingga memberi tambahan volume pada bagian dada.
Selain itu, citra klasik seorang aristokrat melekat dalam karakter Jessica karena
mengenakan mahkota di rambut, serta didramatisir oleh objek berupa burung
merpati putih yang diterbangkan oleh Jessica (preview 00.55).
Selain gaya aristokrat, Jessica mengenakan dua model kostum kontemporer
yang mengadopsi figur kartun Jepang yaitu Sailormoon (preview 01.13, 01.17).
Meski berbeda warna (ungu muda dan putih) dan pola, konsep dasar dari kedua
kostum ini sama saja, yaitu model crop–top. Atasan yang dikenakan berupa
potongan baju yang hanya menutupi bagian dada, dilengkapi dengan lengan
pendek berbahan tipis sehingga mengeskpos keterbukaan di bagian leher dan
bahu, ditambah pula belahan kerah baju yang sengaja dibuat lebar untuk
memperlihatkan bentuk natural tubuh (preview 02.46, 02.47). Sementara itu,
bawahan yang dikenakan adalah miniskirt, yang memiliki lapisan kain lebih dari
119
satu sehingga menambah volume di bagian pinggul dan paha. Tipe kedua kostum
ini mengedepankan citra girliness, jiwa muda yang ada dalam sosok Sailormoon
yang ditampilkan melalui kostum kontemporer yang dikenakan oleh Jessica.
Selain itu, tipe kostum yang hampir sama juga dikenakan oleh Jessica
seperti yang terlihat dalam preview 04.43 (karakter yang berada di tengah). Dalam
preview tersebut, Jessica tampak menggunakan bra dan miniskirt berwarna hitam,
namun dilapisi dengan baju kasual berbahan tipis sehingga memperlihatkan
bayang–bayang bra yang dikenakan. Tipe kostum lainnya juga muncul sekilas
dalam preview 02.44, yang mana Jessica tampak mengenakan rompi bulu
berwarna biru cerah, namun tidak ada preview lain yang menggambarkan dengan
detail tipe kostum ini.
Keenam, Taeyeon. Kostum pertama yang dikenakan oleh Taeyeon
merupakan minidress berwarna krem yang dipadukan dengan gaya klasik high
fashion dan kontemporer (preview 00.52, karakter sebelah kiri). Kesan klasik
muncul karena gaun yang dikenakan Taeyeon merupakan model korset ketat yang
biasanya dipakai tanpa mengenakan bra. Model korset ini memberi potongan yang
jelas bagi margin tubuh dan terutama pada belahan dada. Aksesori gelang yang
senada dengan warna gaun serta hiasan rambut dengan desain bulu burung, juga
ikut menambah citra lady–like bagi Taeyeon (preview 03.15, 04.17). Sementara
itu, kesan kontemporer muncul dari detail gaun yang mencampur adukkan gaya
glamour dan casual. Kerah gaun dibuat menyerupai kalung berbahan kain, korset
yang dikenakan dibuat menyerupai kaca mata dengan untaian manik menghiasi di
sekitarnya. Sekilas, gaun ini bahkan tampak menyerupai model slip dress, yaitu
120
jenis pakaian yang mengadaptasi dari model fashion yang dulunya hanya
dikenakan sebagai pakaian dalam.
Tipe kostum kedua yang dikenakan Taeyeon adalah miniskirt hitam,
dipadukan dengan tanktop putih dan kardigan informal berwarna hitam dengan
corak putih di bagian tangan (preview 03.08, 03.10). Taeyeon juga tampak sekilas
mengenakan crop–top berwarna biru tua (preview 04.24), dan di bagian
menjelang akhir MV, ia tampak bergaya maskulin (preview 04.30) dengan
mengenakan celana panjang yang dipadukan dengan rok yang panjangnya selutut,
serta mengenakan atasan kasual berlengan panjang namun sedikit memperlihatkan
bagian perut. Dominasi warna dalam kostum terakhir yang dikenakan Taeyeon
adalah hitam.
Ketujuh, Sunny. Karakter Sunny mengenakan minidress yang berpadu
dengan gaya korset di masa kejayaan high–fashion. Desain dari gaun yang
dikenakannya menggunakan dominasi warna polos (ungu gelap dan hitam), gaun
hanya diberi corak berwarna abu-bau dibagian dada yang mana korset didesain
seperti bra dan dihias oleh payet (preview 02.57). Kostum kombinasi bergaya lady
yang dipadukan dengan gaya kontemporer minidress ini menampilkan gambaran
nyata mengenai margin tubuh perempuan. Desain gaun yang minimalis semakin
memberi imajinasi tentang lekuk tubuh perempuan di bagian dada, pinggul, dan
paha. Kostum lainnya yang dikenakan Sunny mengadaptasi gaya glamour, yaitu
mantel merah berbahan bulu (tidak diketahui model bawahan yang dikenakan)
yang dilengkapi dengan penutup kepala serta perhiasan berupa gelang berukuran
besar yang ada di tangan kiri dan kanan (preview 02.05). Dalam gaya glamour ini,
121
Sunny tampak memainkan penutup kepala yang dikenakannya (preview 02.12),
tubuhnya juga tampak tertutup karena pakaian yang dikenakan berbahan tebal dan
menutupi semua bagian tubuh kecuali telapak tangan dan kepala.
Selain kostum bergaya high dan glamour, Sunny juga tampak mengenakan
model kontemporer yaitu miniskirt yang dipadukan dengan atasan berupa kaos
kasual berwarna keemasan dan rompi (preview 02.16, karakter sebelah kiri).
Rompi di sini dimanfaatkan untuk memberi citra informal dan untuk menutupi
bentuk tubuh yang diperlihatkan oleh kaos ketat yang dikenakannya. Tipe
miniskirt yang sama juga dikenakan Sunny dalam model yang agak berbeda (lihat
preview 04.47, yang mengenakan pakaian berwarna merah). Kostum yang
dikenakan Sunny merupakan perpaduan dari hotpants, tanktop yang dilapisi
dengan jaket crop–top merah yang “sobek” di bagian atas lengan/pundak. Bagian
tubuh yang ditonjolkan melalui kostum ini adalah bagian kaki, selain itu, kostum
ini juga mencitrakan konsistensi bentuk tubuh Sunny yang mungil.
Kedelapan, Sooyoung. Kostum pertama yang dikenakan oleh Sooyoung
adalah long–dress berwarna hitam (preview 01.00, karaktaer yang berdiri di
belakang Jessica). Konsep gaun panjang ini adalah simple, namun memberi kesan
mewah. Potongan gaun panjang ini disesuaikan dengan potongan tubuh Sooyoung
yang “panjang”. Ia tidak didesain untuk menampilkan lekuk tubuh karena
potongan gaun ini cenderung lurus hingga ke bawah. Namun, di bagian kerah,
gaun ini dimodifikasi dengan model kerah sabrina yang menjuntai menutupi
sedikit bagian bahu, dan menambah volume pada tubuh bagian dada (lihat
preview 03.12).
122
Model kostum kedua dan ketiga yang dikenakan Sooyoung bertipe sama,
yaitu miniskirt (preview 02.39, 02.40, karakter yang berada di tengah) yang
dipadukan dengan atasan kasual. Kostum lain yang digunakannya adalah gaun
berbahan bulu (yang diperlihatkan hanya atasan saja). Dominasi warna dalam
kostum ini adalah orange dan perak, ditambah dengan aksesori kalung bermodel
mahkota yang memberi kesan glamour. Bagian bahu sebelah belakang terlihat
sedikit “sobek”, memberi kesan seksi pada tubuh perempuan (preview 03.07).
Kesembilan, Hyoyeon. Awalnya, Hyoyeon tampil dalam gaya glamour
minidress dengan sedikit sentuhan futuristik (preview 00.58, karakter sebelah
kiri). Konsep minidress yang ia kenakan adalah minimalis dan didominasi oleh
warna hitam. Uniknya, kostum ini dipadukan dengan rompi yang terbuat dari
bahan yang sedikit keras (preview 02.25). Dari visualisasi MV terlihat bahwa
rompi yang ia kenakan bermodel bentuk sayap burung yang didesain sedemikian
rupa sehingga bisa berfungsi sebagai rompi (preview 02.50). Konsep ini
merupakan model fashion kontemporer yang mencitrakan gaya masa depan, yang
tampil berbeda di antara karakter–karakter lain yang kebanyakan mengenakan
fashion bergaya kombinasi high–fashion dan glamour.
Pada menit pertama detik ke–24, Hyoyeon sekilas tampak mengenakan
celana panjang ketat yang ditutupi dengan sepatu boot, dipadukan dengan atasan
bermodel crop–top yang memperlihatkan sedikit bagian perut. Tipe kostum lain
yang dikenakannya adalah gaya kontemporer miniskirt (preview 03.30) yang
memadukan hotpant dengan atasan ketat yang penuh dengan detail bulu burung
sehingga menambah volume tubuh bagian dada hingga leher. Di bagian
123
menjelang akhir MV, Hyoyeon tampak mengenakan celana panjang ketat
dipadukan dengan atasan crop–top berbentuk bra, ditutupi dengan jaket berwarna
merah (preview 03.53). Semua tipe kostum yang dikenakan Hyoyeon, pada
umumnya menekankan pada visualisasi perut, pinggul, dan kaki.
Gambar 3.8
Kostum dalam MV “The Boys”
Dari keseluruhan uraian di atas, maka dapat disimpulkan model kostum
yang paling dominan digunakan dalam MV “The Boys” adalah model yang
divisualisasikan kostum dalam gambar 3.8. Tampilan kostum ini diasumsikan
paling representatif di antara model kostum lainnya, meskipun di sepanjang MV
terlihat juxtaposition (tumpang tindih) antara kostum yang satu dengan kostum
lainnya, dan seringkali MV tidak memperlihatkan secara utuh dan jelas model
kostum yang digunakan oleh masing–masing karakter.
Gambar 3.8 di atas memperlihatkan kesembilan karakter perempuan dalam
MV ini dalam balutan kostum yang menggabungkan model klasik high fashion
dengan kontemporer. Gaya kontemporer itu sendiri merupakan hasil rekayasa
berpakaian yang digunakan untuk mendobrak fashion klasik di masa lampau.
Fashion klasik high fashion merupakan tipe pakaian yang awalnya berkembang di
Eropa, menekankan pada gaya berpakaian perempuan yang berasal dari kelas atas.
Dengan demikian, perpaduan antara klasik high fashion dengan kontemporer
124
merupakan sebuah usaha untuk tidak sekedar menjual seksualitas perempuan yang
mengenakan pakaian mini, namun merupakan usaha untuk memvisualisasikan
perempuan seksual yang berkelas melalui pakaian yang digunakannya.
3.1.2.3. Performance and Movement
Kriteria mise-en-scéne ini mengidentifikasi berbagai model body language yang
digunakan dalam MV “The Boys”. Dalam hal ini bahasa tubuh dipandang sebagai
sebuah hal yang mewah (luxury), karena pada dasarnya setiap bahasa tubuh yang
ditampilkan dalam performa merupakan seperangkat pola yang telah diatur
sedemikian rupa dalam ruang bermain performa yang disebut dengan panggung.
Kriteria ini berkaitan erat dengan kategori setting karena di dalam performa,
pergerakan dan bahasa tubuh karakter tidak pernah melebihi batas panggung yang
telah ditentukan. Dengan demikian, karakter akan menyatu dengan lingkungan
performanya sehingga ia dapat menghadirkan sebuah pengalaman performa secara
total kepada penontonnya. Secara umum, penelitian ini mengkategorikan karakter
mayor dan minor berdasarkan visualisasi karakter yang paling banyak ditampilkan
di sepanjang MV (lihat tabel 3.2).
Secara visual, karakter yang tampil paling dominan adalah
Yoona,
kemudian diikuti oleh Taeyeon, Tiffany, Jessica, Yuri, Seohyun, Sunny,
Sooyoung, dan Hyoyeon. Dengan demikian, MV ini menampilkan Yoona sebagai
karakter mayor dan Hyoyeon sebagai karakter minor. Yoona sebagai karakter
mayor menjadi wajah yang paling sering tampil di panggung performa. MV ini
diawali dengan kemunculan sang mayor, Yoona. Dalam balutan gaun mini
125
berwarna putih, Yoona berjalan menuju objek sentral yang ada di stage 1 (detik
00–25). Apa yang dilakukan Yoona di sini merupakan sebuah awalan—yang
mengawali kisah “The Boys”.
Kehadiran Yoona di awal memiliki pengaruh yang besar bagi keseluruhan
rangkaian performa MV, karena ia menghadirkan sebuah ilusi imajinasi. Ilusi ini
muncul ketika Yoona memegang sebuah kristal hitam, memandanginya, dan
menyadari bahwa ada bayangan seorang perempuan terlihat di permukaan kristal
tersebut. Yang terjadi kemudian adalah ekspresi abstrak, yang membuat penonton
seolah–olah tertarik masuk ke dalam batu. Ini merupakan momen epic yang
memperlihatkan sang mayor Yoona, mengawali performa dengan pergerakan ilusi
yang memberikan pengalaman imajiner terhadap orang yang menontonnya.
Tabel 3.2
Performa Berdasarkan Visualisasi Dalam MV “The Boys”
Menit/Detik
Actress
Menit
ke-0
Taeyeon
52
Jessica
53, 54,
55, 56
Sunny
52
Tiffany
36, 37,
49, 50
Hyoyeon
Yuri
Sooyoung
Yoona
Seohyun
37, 38
51
(01–25),
(29–36)
39
Menit
ke-1
Menit ke2
Menit
ke-3
10, 11, 13,
14, 15, 18, 19
30, 31, 49, 50
40, 41, 55, 56
25, 50
25, 32, 53, 54
35
18, 57, 59
00, 01, 02, 04
48
18, 19, 59
03, (06–11),
(13–17),
(20–24),
(26–31), 33,
34, (36–40),
42, 43, 45,
47, 55, 56
All
(40–48),
57, 58,
59
00, 01, 02,
(08–17),19,
(21–29),
(32–39), (42–
47), (51–54),
58
Unidentified
26, 27,
28
(03–07)
Menit
ke-5
∑
10, 16, 17, 18,
24
17
07, 40
13
11
7
04, 05, 06, 24
50
13
42, 43, 44
07, 12
09, 37, 46,
47, 58, 59
00, 02
32, 33
2
11
4
23, 36, 37
48
27, 28, 30
10
01, 03, 08,
16, 17, (20–
23),
(25–36),
(38–41), 45,
(48–57)
00, 01, 02, 05,
06, 08, 09,(12–
15), 19, 20, 25,
26, 29, 31, 34,
35, 38, 39,(41–
49), (51–59)
00, 12,
13, 14,
15, 16,
17, 18
170
03, 04, 21, 22
(01–11)
22
41, 44, 46,
48, 49, 51
05, 12, 52,
57, 58
20
Menit
ke-4
Sumber: hasil pengamatan penelitian
126
Namun di sisi yang berbeda, sang minor Hyoyeon merupakan karakteristik
yang paling sering hilang dari visualisasi performa. Secara visual ia hanya tampil
selama 2 detik, yang membuat jurang selisih yang cukup luas dibandingkan
dengan sang mayor yang tampil sebanyak 48 detik. Meskipun demikian, dikotomi
antara mayor dan minor tidak memiliki kaitan langsung dengan pengalaman
moral, pengkotak-kotakan antara baik dengan jahat. Dalam jenis film semacam
MV, penilaian karakter lebih banyak diaplikasikan berdasarkan visualisasi acak
yang muncul dalam potongan-potongan gambar MV yang jika memungkinkan,
dikaitkan dengan narasi lirik.
Selanjutnya, kategori mise-en-scéne ini mengidentifikasi gestur/bahasa
tubuh yang digunakan oleh karakter performa. Berdasarkan kategori gestur tubuh
(lihat tabel 1.9), dapat diidentifikasi beberapa gestur yang digunakan dalam MV
“The Boys”. Gestur telapak tangan adalah salah satu gestur yang sering
dieksplorasi dalam MV ini. Misalnya, tipe palm–up position (telapak tangan
terbuka ke arah atas) muncul dalam beberapa preview, yaitu, ketika Yoona
mengambil sebuah batu hias berwarna hitam, ia menggenggam batu tersebut
sampai akhirnya ia menadahkan tangan dan batu tersebut terangkat perlahan
(preview 00.21–25). Preview lainnya memperlihatkan Yoona muncul dalam
panggung ke-2, menadahkan tangan kepada hujan helai mawar (preview 00.29–
33, 03.09). Selain itu, tipe gestur yang sama juga digunakan Jessica ketika
melepas seekor burung merpati putih dari tangannya (00.53–01.02). Gestur ini
juga muncul secara acak dalam preview 00.39, 04.30, 04.07, dan 04.40.
127
Gestur palm–up position ini didefinisikan sebagai gestur yang tidak
mengancam. Ketika seseorang menadahkan tangan, berarti ia memposisikan
dirinya sebagai individu yang membutuhkan bantuan, layaknya seorang pengemis
yang meminta–minta. Sebaliknya, gestur yang berlawanan (disebut palm–down
position atau telapak tangan membuka ke arah bawah) didefinisikan sebagai
gestur tubuh yang dominan. Individu yang melakukan gestur ini dianggap
memiliki otoritas atau dapat dikatakan memiliki kekuasaan. Gestur palm–down
position ini muncul dalam beberapa preview, yaitu, detik ke-37 dan 38, ketika
Seohyeon berjalan mengitari panggung, ia memposisikan tangannya terbuka ke
arah bawah. Preview 01.55 dan 01.56 juga memperlihatkan Tiffany dengan gestur
yang sama.
Selain itu, gestur telapak tangan lainnya yang muncul adalah palm-closedfinger-pointed position (telapak tangan menutup, dengan jari telunjuk menunjuk).
Gestur ini muncul dalam MV pada 01.48, 01.52, 02.38, 02.59, 03.42, 03.47,
04.25, dan 04.42. Menariknya, gestur ini sering dipadukan dengan syair “bring the
boys out”, yang mana hal ini dimaknai sebagai sebuah otoritas yang dimiliki
perempuan untuk meminta laki-laki untuk out (dalam artian, membuat laki-laki
untuk memberanikan diri).
Gestur tangan dan gestur melipat tangan (versi standar) merupakan tipe
gestur yang
tidak
teridentifikasikan
dalam
MV
ini,
namun
MV
ini
memperlihatkan adanya penggunaan gestur melipat tangan partial. Perhatian
terhadap gestur ini muncul berkali-kali dalam preview 00.45, 01.50, 02.48, dan
sebagainya. Gestur kaki juga tidak menjadi perhatian dalam MV ini, dikarenakan
128
kamera lebih sering menggunakan teknik close–up dan medium–shot yang tidak
memperlihatkan kaki. Meskipun demikian, kaki tetap menjadi salah satu perhatian
utama dalam MV ini, terlebih jika kamera menggunakan teknik pan–up yang
pandangannya sejajar dengan telapak kaki dan menengadah ke atas. Ketika
kamera dalam posisi ini, kaki menjadi perhatian utama, namun biasanya gestur
yang diperlihatkan adalah gestur kaki yang menari bersama–sama.
Pergerakan performa dari masing–masing karakter juga diperkaya oleh tipe
gestur populer yaitu hands-on-hips gestures (gestur berkacak pinggang) dan
sexual aggresiveness gestures (gestur yang memperlihatkan agresivitas seksual).
Tipe gestur berkacak pinggang ini biasanya muncul untuk memberi penekanan
pada bentuk tubuh, sekaligus pada model fashion yang dikenakan oleh karakter
performa (lihat preview 00.58–01.02, 01.13, 01.17, 01.48, 02.01, 02.02, 03.18).
Selain itu, tipe gestur sexual aggresiveness ini juga menjadi salah satu gestur yang
dominan muncul di sela–sela tarian yang dipertontonkan. Gestur ini didukung
oleh pemilihan kostum yang ketat dan mungil yang memungkinkan karakter
performa untuk menonjolkan sisi seksual yang terlihat melalui tubuhnya.
3.1.2.4. Camera Movement
Pergerakan kamera biasanya akan selalu mengikuti pada karakter yang menjadi
subjek dalam performa. Kamera sebisa mungkin akan mengekspos apa pun yang
dilakukan oleh sang karakter di atas panggung. Dalam MV ini, kamera bergerak
sesuai dengan 4 (empat) kategori pergerakan kamera yaitu close–up, medium shot,
long shot, dan full shot.
129
Tabel 3.3
Shot
Camera Movement dalam MV “The Boys”
Definition
Preview
Close-up
Face only
Medium
shot
Most of body
Long-shot
Setting and
character
Full shot
Full body person
00.03–05, 00.13, 00.14, 00.17, 00.18, 00.30, 00.31, 00.49, 00.50, 01.03–
01.07, 01.18, 01.20, 01.30, 01.31, 01.40, 01.41, 01.49 , 02.05, 02.19, 02.44,
02.49, 02.52, 02.53, 02.54, 02.58, 03.02, 03.05, 03.06, 03.13, 03.14, 03.19,
03.24, 03.37, 03.58, 03.59, 04.07, 04.10, 04.11, 04.17, 04.18, 04.22–24,
04.32, 04.33, 04.36, 04.37, 04.40, 04.50,
00.06–08, 00.10–12, 00.19–24, 00.32–39, 00.51–56, 01.13, 01.16, 01.17,
01.19, 01.26, 01.27, 01.43–45, 01.48, 01.50, 01.51, 01.55–57, 01.59, 02.00,
02.01, 02.02, 02.04, 02.07, 02.08, 02.12, 02.16–18, 02.20, 02.23, 02.26,
02.30, 02.32, 02.35, 02.38, 02.41, 02.42, 02.46, 02.48, 02.50, 02.51, 02.57,
02.59, 03.00, 03.01, 03.04, 03.07, 03.08, 03.10–12, 03.15, 03.25, 03.26,
03.29, 03.30, 03.34, 03.35, 03.42–44, 03.46, 03.47, 03.52, 03.53, 03.56,
04.03, 04.04, 04.13, 04.16, 04.20, 04.27–30, 04.48, 04.51, 04.53,
00.01, 00.02, 00.09, 00.15, 00.16, 00.27–29, 00.40–48, 00.57–01.02, 01.08–
01.12, 01.14, 01.15, 01.21, 01.22–25, 01.28, 01.29, 01.32, 01.33, 01.35,
01.37, 01.39, 01.42, 01.46, 01.47, 01.52–54, 01.58, 02.03, 02.06, 02.09–11,
02.14, 02.15, 02.21, 02.22, 02.24, 02.26–29, 02.31, 02.33, 02.36, 02.37,
02.39, 02.40, 02.43, 02.45, 02.55, 02.56, 03.03, 03.16, 03.17, 03.20–23,
03.27, 03.28, 03.31–33, 03.36,
03.38–41, 03.45, 03.48–51, 03.54, 03.55, 03.57, 04.00–02, 04.05, 04.06,
04.08, 04.09, 04.12, 04.14, 04.15, 04.19, 04.25, 04.26, 04.34, 04.35, 04.38,
04.39, 04.41–47, 04.49, 04.52, 04.54, 04.58–05.18
01.34, 01.38, 02.47, 04.55–57
Sumber: Hasil pengamatan penelitian
Tipe shot yang berbeda biasanya akan menghadirkan pengalaman yang
berbeda. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kamera lebih banyak melirik
performa dengan menggunakan cara long–shot, hal ini memberi pengalaman utuh
karena kamera menghadirkan asosiasi antara karakter dan lingkungan tempat ia
melakukan performa. Pemanfaatan teknik long–shot merupakan upaya untuk
memberi penekanan pada konteks, ruang lingkup, dan jarak publik antara
performa dengan penonton (Berger, 1991:26). Teknik long–shot memberikan
harmonisasi penonton dengan performa yang ditontonnya sehingga penonton bisa
menikmati performa tersebut seolah-olah ia merupakan bagian dari performa itu
sendiri. Ilusi kenikmatan ini akan menjadi sebuah kesempatan besar untuk
menentukan sejauh mana performa dapat mempengaruhi penontonnya.
130
Selain long–shot, kamera juga memanfaatkan tipe close up dan medium shot
di waktu-waktu tertentu untuk memberikan frame yang lebih dramatis. Kedua
teknik kamera ini menitikberatkan pada keintiman dan relasi personal (Berger,
1991:26). Dengan melihat pembingkaian performa dengan teknik close up dan
medium shot, akan terjalin kontak personal antara penonton dengan karakter
performa seolah-olah sedang melakukan aktivitas face to face. Teknik ini juga
menciptakan ilusi cermin, yang mana penonton seolah-olah bercermin terhadap
“diri”nya yang ada di panggung performa. Kategori yang paling sedikit digunakan
adalah jenis full shot. Kategori ini sesungguhnya menekankan pada relasi sosial,
namun teknik ini sedikit ditemukan dalam MV. Kemungkinan alasan yang
muncul adalah karena banyaknya karakter yang ada (9 orang) sehingga akan sulit
jika memasukkan masing-masing ke dalam frame full shot.
3.1.2.5. Camera Editing
Pergerakan kamera dalam menangkap gambar, biasanya akan dibantu dengan
teknik editing. Cara ini diperlukan untuk mengarahkan kamera agar lebih fokus
dalam mengobservasi performa yang ada di atas panggung. Tabel 3.4 di bawah ini
memperlihatkan dinamika teknik editing kamera dari detik ke detik di sepanjang
MV. Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa preview MV dari detik ke detik
didominasi oleh teknik cut, pergantian gambar yang satu ke gambar yang lain. Hal
ini mengindikasikan adanya perubahan gambar yang cukup cepat sehingga apa
yang divisualisasikan oleh MV menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan muncul
131
karena teknik ini memotong gambar-gambar yang sejenis dan membuatnya
menjadi tercerai-berai.
Tabel 3.4
Camera Editing dalam “The Boys”
Camera
Editing
Definition
Pan
down
Camera looks
down
Pan up
Camera looks up
Dolly in
Camera moves in
Fade in
Fade out
Image appears
on blank screen
Image screen
goes blank
Preview
00.50, 01.54, 02.13, 02.34, 03.21, 03.55, 04.05, 04.34
01.52, 01.53, 02.15, 02.22, 02.31, 02.33, 02.36, 02.37, 02.39, 02.40, 02.45,
03.16, 03.17, 03.23, 03.31, 03.57, 04.08, 04.09, 04.35, 04.54–05.00,
00.02, 00.05, 00.07, 00.08, 00.11, 00.12, 00.14, 00.16, 00.18, 00.20–24, 00.26,
00.28– 33, 00.35, 00.38, 00.41–48, 00.50, 00.54, 00.55, 00.56, 00.58–01.02,
01.04–01.07, 01.09–01.12, 01.15, 01.17, 01.22–01.25, 01.29, 01.31, 01.33,
01.41, 01.43–45, 01.56, 02.00–02.02, 02.10, 02.11, 02.16, 02.17, 02.19 , 02.27–
29, 02.54, 02.58, 03.06, 03.11, 03.14, 03.22, 03.28–30, 03.35, 03.43, 03.44,
03.47, 03.51, 03.59, 04.01, 04.02, 04.04, 04.06, 04.17, 04.18, 04.28, 04.33,
04.37, 04.42–44, 04.47, 05.01–03, 05.05–18
00.01
05.20
Cut
Switch from one
image to another
00.03, 00.04, 00.06, 00.09, 00.10, 00.13, 00.15, 00.17, 00.19, 00.25, 00.27,
00.34, 00.36, 00.37, 00.39, 00.40, 00.49, 00.51, 00.52, 00.53, 00.57, 01.03,
01.08, 01.13, 01.14, 01.16, 01.18–21, 01.26, 01.27, 01.28, 01.30, 01.32, 01.34–
40, 01.42, 01.46–52, 01.54, 01.55, 01.57–02.00, 02.03–09, 02.12, 02.13, 02.14,
02.15, 02.16, 02.18, 02.20, 02.21–26, 02.30, 02.32, 02.35, 02.36, 02.38, 02.39,
02.40–53, 02.55–57, 02.59, 03.00–05, 03.07–10, 03.12, 03.13, 03.15, 03.16,
03.18–20, 03.24–27, 03.32–34, 03.36–42, 03.45, 03.46, 03.48–50, 03.52–58,
04.00, 04.03, 04.05, 04.07, 04.08, 04.10–16, 04.19–27, 04.29–32, 04.34–36,
04.38–41, 04.45, 04.46, 04.49–55, 05.01, 05.04
Wipe
Image wiped off
screen
05.19
Sumber: Hasil pengamatan penelitian
Dominasi teknik editing cut-to-cut merupakan upaya untuk memberi
penekanan pada kesenangan (excitement) yang konsisten dari awal hingga akhir
MV (Berger, 1991:27). Pola ini seakan memberikan teka-teki bagi penonton untuk
menebak scene apa kira-kira akan dihadirkan, sehingga mau tidak mau, penonton
akan digiring dengan rasa ingin tahu terhadap akhir kisah dalam MV. Meskipun
demikian, teknik ini juga diperkaya dengan teknik lainnya, pan down, pan up, dan
dolly in, yang membantu untuk menciptakan visualisasi yang lebih bervariasi.
132
Teknik pan down dan pan up menciptakan dikotomi antara otoritas dan
kelemahan. Kecenderungannya, kamera yang melihat ke arah bawah cenderung
melemahkan objek yang disorot oleh kamera, sebaliknya, kamera yang melihat ke
atas akan memberi arti bahwa objek yang disorot memiliki otoritas atau
kekuasaan. Selain itu, teknik dolly in memberi pengaturan fokus pada apa yang
harus ditonton dan apa yang tidak.
3.1.2.6. Sound
Kriteria suara (sound) dalam penelitian ini diidentifikasi berdasarkan genre musik
yang
digunakan
dalam
MV.
Berdasarkan
genre
musik
yang
telah
dikategorisasikan (lihat tabel 1.11), MV “The Boys” dapat tergolong dalam
kelompok musik elektronik yaitu dance music, tipe musik pop yang menggunakan
irama elektronik dan dipadukan dengan rap. MV ini menggunakan harmonisasi
musik bertempo cepat, ceria, dan dipadukan dengan tarian–tarian yang nge-beat.
Perpaduan antara dance music dengan rap ini menjadi sebuah fenomena yang
sering terlihat dalam musik populer Korea Selatan.
133
3.2. Unit Analisis 2: “Pandora”
Gambar 3.9
Captured Image Unit Analisis “Pandora”
Sumber: data yang diolah
3.2.1. Narasi “Pandora”
Sama seperti unit analisis sebelumnya, narasi dalam MV “Pandora” ini dikaji
melalui struktur lagu dan plot yang nantinya akan dioperasionalisasikan oleh
kode–kode sinematik dan akan menghasilkan potongan–potongan gambar seperti
yang diperlihatkan dalam gambar 3.9 di atas. Berikut merupakan struktur narasi
yang dapat diidentifikasikan dari narasi lirik dalam MV “Pandora”:
Gambar 3.10
Struktur Narasi Lirik “Pandora”
Musematic repetition
Intro – Verse 1 – Riffs – Verse 2 – Riffs – Verse Rap – Bridge – Riffs
Sumber: hasil pengamatan penelitian
134
MV “Pandora” terdiri dari 50 (lima puluh) syair yang terbagi dalam dua
bait, satu bait rap, refrain, dan bridge. Gambar 3.10 di atas memperlihatkan
struktur narasi “Pandora” yang ditandai dengan keberadaan repetisi musematik,
yaitu pengulangan refrain. Dalam MV ini, refrain muncul sebanyak 3 (tiga) kali.
Struktur narasi tidak memperlihatkan adanya repetisi diskursif (pengulangan bait
yang panjang), karena masing–masing bait (bait 1, 2, dan rap) serta bridge, berdiri
sendiri tanpa pengulangan. Sebelum memasuki bait pertama (verse 1), MV
diawali dengan kalimat intro, “up and up, ah, ah.. up and up, ah, ah..” (syair [1]).
Istilah up and up, ah, ah ini berkesesuaian dengan syair [16], [32], dan [50]. Di
dalam keseluruhan narasi, syair tersebut diulang sebanyak 11 (sebelas kali), yang
mana syair ini memiliki penekanan penting. Syair ini mengacu pada keinginan
untuk “ke atas” dan terus “ke atas (up and up).
Bait yang pertama (syair [2]–[11]) berkisah tentang nasihat terhadap
seseorang (diidentifikasikan sebagai laki-laki) yang memiliki kekakutan,
bersembunyi, dan tidak memiliki keberanian bahkan untuk menatap perempuan.
Tatapan perempuan dalam hal ini dianggap sebagai tatapan yang aneh (syair [5]),
yang memunculkan sensasi erotis, menstimulasikan keinginan laki-laki untuk
menyentuh tubuh sang perempuan (syair [6]). Perempuan kemudian mengingini
sang laki-laki agar ia (laki-laki) mau mendapatkan hatinya (syair [11]) dan melihat
perempuan tersebut (syair [9]) sehingga sang perempuan mau memperlihatkan
dirinya yang sesungguhnya kepada laki-laki.
Bait pertama kemudian beralih kepada klimaks narasi, yaitu refrain (syair
[12]–[17]). Dalam refrain, syair menekankan pada pesan close to you (syair [13])
135
dan close to me (syair [16]), yaitu sebuah isyarat yang ditujukan perempuan untuk
saling mendekatkan diri dengan laki-laki (“me” mengacu pada perempuan, dan
“you” mengacu pada laki-laki). Perempuan juga meneriakkan kepada laki-laki
untuk mau merasakan dirinya (syair [12]), dan berjanji akan memberikan apa pun
(syair [14]) terhadap laki-laki yang mau memandangnya (syair [15]).
Klimaks pesan dalam refrain kemudian berubah arah dan memasuki narasi
dalam bait kedua (syair [18]–[26]). Rentang bait ini sedikit lebih panjang dari bait
pertama dengan pesan–pesan yang lebih beragam. Kisah dalam bait kedua ini
masih berada di seputar topik curahan hati perempuan terhadap laki-laki.
Perempuan terlihat meremehkan laki-laki yang berhenti di tengah jalan, bahkan
ketika perempuan belum memperlihatkan “separuh dari dirinya” kepada laki-laki
(syair [18]–[20]). Perempuan mengutarakan harapannya tentang hubungan yang
seharusnya tidak berakhir (syair [18]), berharap laki-laki mampu membuat ia
(perempuan) menjadi tergerak untuk mengungkapkan rahasianya (syair [21]).
Perempuan juga membuat sebuah penawaran kepada laki-laki agar ia (laklaki) tidak melakukan keputusan yang tidak beralasan dan pergi (syair [24]),
perempuan juga meminta sang laki-laki untuk tidak melepaskan dirinya (don’t let
go of my hand) (syair [25]). Akhir dari permintaan yang diutarakan perempuan
dalam bait kedua ini adalah memohon kepada laki-laki untuk mencoba mengenali
dirinya (perempuan) dalam segala hal (syair [26]). Bait kedua ini kemudian
dilanjutkan dengan pengulangan refrain.
Bait yang ketiga berisi syair yang dinyanyikan nge-rap. Bait ini
mengisahkan rasa frustasi perempuan yang berusaha untuk meyakinkan laki-laki.
136
Perempuan mengatakan “apa lagi yang bisa aku lakukan?” (syair [34]),
pernyataan ini mengungkapkan keterbukaan perempuan terhadap perasaan yang
tiada henti. Kejujuran hati perempuan juga terungkap dalam syair [35] ketika ia
berbicara tentang dirinya yang berusaha mendekati laki-laki sedikit demi sedikit,
namun semacam diabaikan, perempuan akhirnya mengalami stress (syair [36]).
Perempuan berada di dalam dilema ketika ia telah memberikan segalanya kepada
laki-laki namun laki-laki tidak dapat melakukan apa-apa (syair [36]). Dilema ini
kemudian berubah jadi amarah, yang terlihat secara ekspresif dalam syair [37]–
[40], “Apa yang kamu harapkan [dari ku]?”. Perempuan menuduh laki-laki tidak
akan bisa datang mendekat, namun juga tidak mampu pergi menjauh, laki-laki
hanya akan berputar-putar tanpa menyadari hitungan waktu.
Lirik yang penuh amarah dalam bait ini merupakan sebuah taktik untuk
membalikkan pesan syair ke dalam refrain, yang sebelumnya diawali dengan
bridge: “I waited for a while, I hoped it was you, I pray that it is perfect...” (syair
[42]–[44]). Dari kalimat ini, dapat disimpulkan bahwa amarah yang terungkap
dalam bait sebelumnya merupakan sebuah pernyataan strategis untuk meluluhkan
hati laki-laki. Perempuan mengatakan bahwa ia menunggu untuk beberapa saat,
menanti kehadiran yang sempurna dari seorang laki-laki. Narasi lirik kemudian
diakhiri dengan pengulangan refrain. Dengan demikian seluruh kisah di atas
kembali kepada klimaks di mana seorang perempuan ingin diakui eksistensinya
oleh laki-laki.
Pola narasi di atas mengungkapkan bahwa rayuan perempuan untuk
dimengerti dan dikenali oleh laki-laki. Berdasarkan pada plotting-nya, narasi lirik
137
memperlihatkan urutan dominasi karakter sebagai berikut: Jiyoung [2], [3], [23],
[24], [25], [26], [33], [34], [35]; Nicole [4], [5], [27], [36]–[41]; Seungyeon [8], [9],
[10], [11], [20], [44]; Hara [6], [7], [21], [22], [43]; Gyuri [12], [13], [18], [19], [42].
Selain dari syair di atas ([1], [14]–[17], [28]–[32], dan [45]–[50]), merupakan syair
yang dinyanyikan secara bersamaan oleh kelima karakter dalam girlband Kara.
Dalam plotting syair, karakter performa dalam MV “Pandora” di dominasi oleh
Jiyoung dan Nicole (masing–masing 9 syair), sementara itu, visualisasi MV
menekankan pada wajah dominan Seungyeon dan Jiyoung (lihat tabel 3.6).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa visualisasi MV tidak selalu
berkesesuaian dengan plotting syair.
3.2.2. Mise-en-scéne “Pandora”
Narasi MV biasanya akan dioperasionalisasikan oleh kode-kode sinematik, yaitu
mise-en-scéne, yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Mise-en-scéne
akan dikaji dari 6 (enam) kategori yang dianggap relevan dengan penelitian, yaitu:
3.2.2.1. Setting
Dalam MV “Pandora” ini, diidentifikasi 7 (tujuh) setting yang berbeda (lihat tabel
3.5). Masing–masing setting memperlihatkan kombinasi stage dan scene yang
berbeda, sehingga menghasilkan visualisasi performa yang berbeda pula.
Berdasarkan hasil pengamatan penelitian, setting dalam MV “Pandora” adalah
sebagai berikut:
138
Tabel 3.5
Setting dalam MV “Pandora”
Setting
Preview
Contemporary
Stage
Menit/detik
Scene
00.01, 00.02, 00.08, 00.12, 00.13, 00.17,
00.18, 00.20, 02.51, 02.52, 02.53
(1a) Preview 00.02
Proscenium
Non –
realistic
00.09, 00.10, 00.11, 00.56–01.00, 01.34,
01.55, 02.20, 03.15
(1b) Preview 00.11
Tunnel
Realistic
00.03, 00.35, 00.38, 02.23–27, 02.29–31,
03.00, 03.17
(2) Preview 00.03
00.04, 00.05, 00.39, 00.41, 00.42, 00.47,
Path
Realistic
01.42, 01.43, 01.44, 01.52, 02.22, 02.35,
02.38, 03.18, 03.19
(3) Preview 00.04
Parking place
Realistic
00.07, 02.13, 02.14, 02.54
Non –
00.14, 00.15, 00.16, 00.48, 00.51, 00.55,
realistic
01.33–36, 02.46–50, 02.55, 03.11
(4) Preview 00.07
Capsule
(5) Preview 00.14
00.19, 00.22–34, 00.36, 00.37, 00.40,
Proscenium
Non –
realistic
(6) Preview 01.04
00.43–46, 00.49, 00.50, 00.52, 00.53,
00.54, 01.01–14, 01.20–27, 01.29, 01.46,
02.28, 02.32–34, 02.36, 02.37, 02.57,
02.58, 02.59, 03.01–10, 03.12, 03.16
01.15–19, 01.28, 01.30, 01.31, 01.32,
Proscenium
(7) Preview 01.15
Non –
01.37–41, 01.45, 01.47–51, 01.53, 01.54,
realistic
01.56–02.12, 02.15–19, 02.21, 02.39–45,
03.13, 03.14, 03.20–24
Sumber: Hasil pengamatan penelitian
139
Dari tabel di atas, diidentifikasi sejumlah 7 (tujuh) model panggung yang
konsepnya kebanyakan memperlihatkan konsep panggung kontemporer. Lebih
lanjut lagi, ketujuh panggung tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
Gambar 3.11
Tampilan mini proscenium dalam stage 1a
(1) Panggung pertama dalam MV “Pandora” (lihat gambar 3.11)
memperlihatkan sebuah ruang kecil yang hanya diisi oleh seorang laki-laki.
Panggung ini merupakan tampilan mini dari model panggung kontemporer yang
diadaptasi dari tipe proscenium. Dikatakan mini karena ruang performa yang
tercipta dalam panggung ini sangat sempit, menyerupai sebuah ruang lift dengan 3
(tiga) sisi.
Titik pandang dalam panggung ini hanya satu arah (dari arah depan), itulah
sebabnya kenapa panggung ini disebutkan mengadaptasi model proscenium.
Panggung ini memvisualisasikan seorang laki-laki dalam bingkai panggung yang
didominasi oleh cahaya merah yang muncul secara acak, membias ke segala arah
sehingga menciptakan ruang warna–warni yang sifatnya non–realistik. Latar
panggung yang terdiri dari tiga sisi didesain berbentuk susunan ubin persegi yang
berbahan transparan, sehingga memungkinkan cahaya untuk merangkai warna
yang indah semacam pelangi. Objek yang menjadi fokus dalam panggung ini
adalah sebuah kotak kaca yang terletak di tengah panggung. Kotak ini
menghasilkan cahaya merah muda dan dijaga oleh seorang laki-laki.
140
Uniknya, panggung yang sama diubah dengan scene yang berbeda sehingga
menciptakan setting yang berbeda pula (disebut dengan stage/panggung 1b, lihat
gambar 3.12). Model kedua dari panggung pertama ini masih menampilkan model
proscenium mini, namun sudut pemandangan ditarik sedikit lebih jauh sehingga
menciptakan visualisasi yang lebih panjang.
Gambar 3.12
Tampilan mini proscenium dalam stage 1b
Desain latar dari panggung ini masih sama, yaitu susunan ubin persegi yang
menutupi tiga sisi yang berfungsi sebagai pembingkaian panggung. Scene yang
dihasilkan dari panggung ini juga bersifat non–realistik. Namun yang menjadi
pembeda di antara keduanya adalah degradasi warna yang menghiasi latar.
Panggung 1b ini menciptakan estetika warna pelangi dengan objek utamanya
berupa sebuah kursi kaca yang didesain setengah lingkaran (preview 00.11).
Gambar 3.13
Tampilan tunnel stage dalam stage 2
(2) Panggung kedua (lihat gambar 3.13) yang muncul dalam MV ini
menawarkan sebuah kesan yang realistik. Panggung kedua dalam MV ini
merupakan model kontemporer yang memanfaatkan ruang berbentuk terowongan
(tunnel), yang di ujungnya terlihat visualisasi sinar yang berasal dari luar ruangan.
Ruang performa dalam panggung ini terlihat kosong. Semua sisi latar
141
memperlihatkan dinding natural, lantai yang sedikit basah, dan langit-langit yang
di bagian atasnya terdapat pipa saluran. Dalam preview 00.35, MV
memperlihatkan sebuah box telepon umum yang yang diletakkan di bagian tengah
panggung. Objek ini menambahkan desain sederhana dari model panggung ini,
namun tidak mengubah esensinya.
Gambar 3.14
Tampilan path stage dalam stage 3
(3) Tipe ketiga (lihat gambar 3.14) dari panggung “Pandora” menciptakan
suasana yang realistik. Panggung ini memanfaatkan sebuah lorong (path) untuk
dijadikan sebagai ruang performa. Panggung ini menonjolkan desain arsitektural,
yang mana semua sisi latar dari panggung ini adalah susunan batu bata berwarna
hijau, yang dipadukan dengan pipa saluran yang menghias dinding bata tersebut.
Tidak ada objek khusus yang menghias ruang performa dalam panggung ini.
Namun di menit pertama detik ke-43, tampak visualisasi sebuah kotak kaca di sisi
kiri panggung ketiga ini. Objek ini merupakan objek yang sama yang terlihat
dalam panggung 1a.
Gambar 3.15
Tampilan parking place dalam stage 4
(4) Panggung ke empat (lihat gambar 3.15) merupakan panggung yang
paling sedikit digunakan dalam MV ini. Panggung ini hanya muncul sekitar 4
142
detik saja dalam keseluruhan MV yang berdurasi 209 detik. Scene yang diciptakan
dalam MV ini bersifat realistik. Dikatakan realistik karena hampir menyerupai
ruang nyata berupa tempat parkir (parking place) yang biasanya ditemukan di
bagian bawah gedung–gedung modern.
Desain arsitektur sebagai tempat parkir terlihat dari visualisasi pilar yang
tersusun teratur di berbagai sisi dalam ruangan tersebut. Pilar tersebut terlihat
dicat berwarna kuning–hitam. Panggung ini merupakan sebuah ruang kosong,
meskipun ia terlihat seperti replika gedung parkir, namun tidak ada keberadaan
mobil yang membenarkan fungsi ruangan tersebut sebagai gedung parkir. Ekspresi
yang dihasilkan dari panggung ini adalah ekspresi yang suram, yang terlihat dari
lantai yang sedikit basah, dinding yang mulai memudar warnanya, dan ketidakadaan sumber cahaya dari sisi mana pun. Ruangan divisualisasikan dengan cahaya
remang dan tidak ada satu pun karakter yang tampak tampil di ruang performa
tersebut. Kekosongan ruang tersebut hanya berisi sebuah kotak kaca yang
sebelumnya tidak ada di ruangan tersebut. Sama halnya dengan panggung 1a dan
3, kotak kaca yang sama juga muncul di panggung ke-4 namun dalam ukuran
yang lebih besar dari sebelumnya.
Gambar 3.16
Tampilan capsule dalam stage 5
(5) Panggung yang kelima dalam MV “Pandora” (lihat gambar 3.16)
muncul dengan desain futuristik dan menciptakan kesan non–realistik. Ia
merupakan panggung proscenium yang mengadaptasi model teknologi mutakhir,
143
yaitu replika ruang fantasi yang biasanya ditemukan di dalam teritorial pesawat
ruang angkasa. Efek yang dimunculkan adalah suasana modernitas yang sangat
kental. Ruangan berbentuk kapsul yang berputar-putar secara otomatis, dan citracitraan cahaya putih–biru yang bergantian secara acak. Semua sisi dalam ruangan
ini terlarut dalam model yang sama sehingga sulit sekali didefinisikan yang mana
sisi sebelah kiri dan yang mana sisi sebelah kanan. Ruang kapsul ini berpusat pada
satu titik yang bentuknya menyerupai kipas. Kapsul ini sempat dihiasi oleh kotak
kaca yang di dalamnya terdapat kotak yang lebih kecil berwarna merah muda
(lihat preview 02.46). Objek ini hanya muncul sekilas saja dalam panggung
kelima.
Gambar 3.17
Tampilan proscenium dalam stage 6
(6) Panggung keenam (gambar 3.17) didefinisikan sebagai model panggung
proscenium yang bernuansa kontemporer. Lingkungan
yang
diciptakan
merupakan lingkungan non–realistik yang bermain di seputar permainan degradasi
cahaya merah dan putih. Panggung ini merupakan panggung yang dimanfaatkan
sebagai ruang performa bersama bagi kelima karakter perempuan dalam MV ini,
hal ini berbeda dengan panggung-panggung sebelumnya yang hanya dimanfaatkan
oleh satu karakter saja atau bahkan tidak dimanfaatkan.
Pada dasarnya, panggung ini didominasi oleh latar berwarna hitam, dengan
margin panggung yang tidak jelas. Di bagian tengah panggung terdapat titik yang
dari sana didesain lima tiang lighting yang semakin ke atas semakin terlihat
144
mekar. Tiang tersebut merupakan desain pencahayaan berwarna merah yang
disusun vertikal, sehingga menciptakan warna kombinasi antara cahaya merah dan
latar hitam. Lantai panggung ini berwarna hitam dan terbuat dari bahan yang
memantulkan cahaya. Dikatakan demikian karena tiang lighting yang berada di
atas panggung, ketika bercahaya, menimbulkan efek bercermin dengan lantai
panggung sehingga desain yang tercipta dari panggung ini adalah desain bunga.
Panggung ini juga memiliki kecenderungan kosong, tersentralisasi pada
kontrol pencahayaan yang menimbulkan efek yang berbeda–beda. Meskipun
demikian, panggung ini sempat menghadirkan sebuah mobil sport berwarna hijau
kekuning-kuningan (detik ke-43 hingga ke-45), dikendarai oleh salah satu karakter
bernama Hara. Meskipun hanya sebentar, kehadiran mobil ini memperkaya desain
panggung yang monoton didominasi oleh warna merah dan hitam.
Gambar 3.18
Tampilan proscenium dalam stage 7
(7) Panggung ketujuh (gambar 3.18) merupakan panggung terakhir yang
muncul dalam MV “Pandora”. Panggung ini mengadopsi model proscenium,
dengan satu latar yang sama yang memasukkan para karakter ke dalam bingkai
performa yang sama. Selain panggung ke-6 di atas, panggung ke-7 merupakan
panggung yang dimanfaatkan sebagai ruang performa bagi kelima karakter
perempuan dalam MV ini. Ruang performa dalam panggung ini menciptakan
nuansa non-realistik. Ia berbentuk ruangan tertutup yang keotentikannya
digantikan dengan desain futuristik dengan pemanfaatan titik-titik cahaya yang
145
tersebar di seluruh sisi panggung. Ruang ini menciptakan dimensi interior yang
bergantung pada kontrol pencahayaan. Semakin jauh sudut pandang kamera dalam
melihat performa, dimensi ruangan tersebut akan terlihat semakin mengecil.
Di akhir MV, dalam panggung ini muncul sebuah kotak berwarna merah
muda (pink) dengan tidak dilapisi kotak kaca. Hal ini kontras dengan
pemandangan yang terlihat dalam panggung 1a, 3, 4, dan 5, yang menghadirkan
kotak merah muda yang dilapisi dengan kaca. Di bagian akhir MV, objek persegi
berwarna merah muda tersebut menjadi fokus dalam pembingkaian panggung
dengan karakter-karakter performa yang disusun mengelilinginya.
Ruang performa dalam panggung-panggung “Pandora” tampaknya sengaja
dikondisikan dengan kecenderungan yang kosong. Satu-satunya objek yang paling
sering muncul dalam panggung adalah kotak merah muda yang diasosiasikan
dengan judul MV yaitu “Pandora”. Kotak Pandora ini merupakan dimensi
penghubung antara panggung yang satu dengan panggung yang lain. Dari tujuh
panggung yang dimanfaatkan dalam MV ini, keseluruhannya merupakan
panggung kontemporer, ada yang mengadopsi model panggung klasik bertipe
proscenium dan ada yang menciptakan ruang tersendiri dengan memanfaatkan
ruang-ruang yang menyerupai ruang yang sering ditemukan dalam hidup
keseharian. Panggung kontemporer dalam MV ini dapat dikatakan sebagai bentuk
penolakan terhadap yang klasik. Tiga dari tujuh panggung tersebut menghadirkan
esensi realistik, dan empat lainnya menciptakan ilusi non–realistik yang bernuansa
futuristik.
146
3.2.2.2. Costume
Dalam unit analisis “Pandora”, terdapat 5 (lima) karakter perempuan yaitu Park
Gyuri, Han Seungyeon, Nicole Jung, Goo Hara, dan Kang Jiyoung. Dalam MV
ini, kelima karakter tampil dalam 3 (model) model kostum yang seragam, yaitu:
Gambar 3.19
Tiga model kostum dalam “Pandora”
Kostum 1 (preview 00.22)
Kostum 2 (preview 01.49)
Kostum 2 (preview 03.22)
Ketiga kostum di atas mengadopsi model pakaian kontemporer minimal
clothing, yaitu pakaian yang memadukan microskirt (rok yang sangat pendek)
dengan crop–top (atasan yang terpotong). Dikatakan demikian karena visualisasi
MV memperlihatkan kelima karakter perempuan menggunakan celana ketat yang
pendeknya menyerupai celana dalam (underwear), dengan atasan berbentuk crop–
top yang didesain sedikit “sobek”. Crop–top ini tertutupi oleh jas formal yang
berbelah di bagian belakang, yang ukuran panjang jas ini sedikit lebih panjang
dari micro–skirt yang dikenakan. Dengan demikian micro–skirt dan crop–top
dalam tipe kostum ini berfungsi hanya sebagai dalaman, namun keduanya tampak
terlihat jelas ketika kelima karakter memperagakan bahasa tubuh membuka
pakaian (lihat preview 00.34, 01.26–29, 03.37, 03.38).
Meskipun ketiga kostum di atas sama–sama merupakan model minimal
clothing dan dipadukan dengan jas formal, yang menjadi pembeda di antara
ketiganya adalah warna. Kostum pertama didominasi oleh warna hitam, dengan
147
desain pita yang menghiasi bagian dada. Warna kain pita yang didesain secara
acak tersebut merupakan warna kulit tubuh, sehingga menambah ilusi yang
menyerupai ketelanjangan. Di sisi lain, kostum kedua didominasi oleh warna
putih, ditambah dengan kain pita berwarna emas yang didesain untuk menghiasi
margin tubuh antara perut, dada, dan leher. Sedangkan kostum yang ketiga tampil
dengan desain yang lebih minimalis, didominasi oleh warna krem, dengan model
kerah yang berbeda-beda di masing-masing karakter.
Ketiga kostum tersebut menekankan pada visualisasi tubuh sensual
perempuan. Objek utama yang ditonjolkan adalah pangkal paha hingga ujung
kaki. Selain itu, kostum ini juga menampilkan margin tubuh perempuan yang
berfokus pada dada dan pinggul. Nuansa sensual diperkaya dengan postur tubuh
yang seksi yang menampilkan citra kedewasaan seksual, terlebih ketika para
perempuan mencoba membuka dan menutup jas yang mereka kenakan.
Selain ketiga model pakaian di atas, MV ini juga menampilkan performa
masing-masing karakter dalam representasi kostum yang berbeda-beda namun
tidak meninggalkan logika fashion yang sama seperti tiga rangkaian konstum
sebelumnya
yaitu fashion kontemporer.
Konsekuensi
kontemporer
yang
dihasilkan mengarah pada penggunaan model minimal clothing sebagai konsep
dasar namun dengan pola yang lebih beragam. Dikarenakan model keempat dari
kostum yang dikenakan dalam MV ini berbeda-beda maka model keempat ini
akan dibahas berdasarkan karakter performa.
148
Gambar 3.19
Tipe kostum keempat dalam “Pandora”
Karakter pertama adalah Jiyoung, ia muncul dalam balutan gaun mini hitam
(mini dress) berbahan ketat dalam preview 00.35, namun awalnya gaun mini yang
dikenakannya dilapis dengan jas hujan transparan berwarna merah muda. Kostum
ini memadukan gaya kontemporer casual dengan mini dress yang dalam istilah
populer dikenal dengan sebutan gaun cocktail. Gaun cocktail mengacu pada
model gaun hitam yang mini dengan pola minimalis namun tetap menghadirkan
esensi keglamouran. Pakaian ini memperlihatkan muatan sensual perempuan
sebagai daya tarik performa, terlebih lagi gaun Jiyoung dipola dengan kerah yang
terbuka sehingga memamerkan leher dan sedikit bagian dada (preview 02.29).
Bentuk lain dari gaya kontemporer juga terlihat dalam kostum yang
dikenakan Nicole. Ia tampil dalam nuansa orange, menggunakan micro skirt serta
atasan longgar bermodel crop top yang berpotongan di sisi kiri dan kanan
sehingga memperlihatkan bra berwarna hitam yang dikenakannya (preview
03.19). Nuansa cerah yang dikenakan Nicole ini sepadan dengan warna rambut
pirang yang diurai panjang, dan kontras dengan latar panggung yang berwarna
hijau (panggung ke-3). Dalam balutan kostum ini, Nicole menciptakan pencitraan
yang “berani” dan tetap menonjolkan unsur sensualitas tubuh perempuan.
Di sisi lain, Hara tampak mengenakan kostum kontemporer bergaya
futuristik. Disebut futuristik karena Hara mengenakan mini dress berwarna merah
149
yang terbuat dari bahan campuran plastik (preview 01.46), sehingga menampilkan
gaya kebaruan yang hanya muncul di masa depan. Dalam tampilan kostum yang
berbeda, Hara tampak tampil mengenakan celana panjang ketat dengan atasan
crop-top bermodel bra olahraga berwarna putih (preview 02.31).
Gaya kontemporer futuristik juga terlihat dalam busana Seungyeon. Ia
tampil dengan gaun mini berwarna kuning emas (preview 02.46). Esensi futuristik
dalam hal ini muncul akibat persinggungan antara gaya busana yang dikenakan
Seungyeon dengan panggung performa yang menyerupai kapsul dalam perjalanan
di masa depan. Seungyeon memadukan gaun ini dengan ikat pinggang berwarna
hitam yang memberi penekanan pada margin tubuh di bagian perut dan pinggung.
Selain itu, pada bahu Seungyeon, gaun tanpa lengan ini diberikan pola bantalan
dan rangkaian kawat-kawat emas yang menghiasi bahu dan leher baju. Hal ini
didefinisikan sebagai sebuah variasi futuristik yang di dalamnya tetap
menawarkan citra tubuh perempuan yang sensual.
Model terakhir dari rangkaian kostum keempat dalam MV ini dikenakan
oleh Gyuri (lihat preview 00.58). Gyuri tampil dengan balutan warna ungu yang
esensinya menghadirkan nuansa yang glamour. Tipe gaun yang dikenakannya,
sama seperti empat karakter lainnya, adalah mini dress dengan leher terbuka dan
lengan gaun yang dipola berbentuk segitiga sama sisi. Namun visualisasi gaun
yang dikenakan Gyuri tidak tampak dengan cukup jelas, selain karena rambutnya
diurai sehingga menutupi detail pakaian, karakter Gyuri sesungguhnya lebih
menekankan gaya bahasa tubuh yang tidak terlalu memamerkan pola pakaian,
150
melainkan lebih menekankan pada sensualitas yang berasal dari gerak-gerik
performa.
3.2.2.3. Performance and Movement
Kriteria mise-en-scéne ini mengeksplorasi tampilan performa yang terfragmentasi
dalam dua karakter, yaitu mayor dan minor. Dominansi performa dalam hal ini
ditentukan oleh banyaknya tampilan visual yang diperkirakan
muncul
di
sepanjang MV, seperti yang diuraikan dalam tabel berikut.
Tabel 3.6
Performa Berdasarkan Visualisasi Dalam MV “Pandora”
Actress
Menit/Detik
Menit ke-0
Menit ke-1
Menit ke-2
Menit ke-3
∑
Park Gyuri
Han
Seungyeon
32, 57, 58, 59
00, 02, 32, 33, 55
04, 17, 20
06, 15
14
(49–53), 55
03, 13, 16, 22, (34–37),
02, 09, (46–50), 57
11
23
Nicole Jung
30, (39–42), 47
07, 21, 42, 43, 53
18, 19, 20
21
00, 17, 20
22
12, 18, (23–27) , 29
09, 21
23
01, 03, 05, 06, 08, 10,
11, 15, 19, 21, 28, 32,
34, (39–45), 58, 59
(01–05), 07, 08,
10, 12, 13, 14, 16,
22
73
14, (51–55)
(23–27)
32
Goo Hara
Kang
Jiyoung
21, 26, 27, 43,
44, 45
29, 35, 36, 37,
38
All
22, 23, 24, 25,
28, 31, 33, 34,
46, 54
Unidentified
(01–20), 48
05, 19, 23, 41, 46, 56
10, 18, 24, 44, 47, 50, 52,
59
01, 04, 06, 08, 09, 11, 12,
14, 15, 17, 20, (25–31),
38, 39, 40, 45, 48, 49, 51,
54, 57, 58
00, 22, 33, 35, 36, 37,
38
07, 13, 16, 30, 31, 36,
56
Sumber: hasil pengamatan penelitian
Arena panggung merupakan arena kompetisi mayor dan minor yang
ditengahi oleh karakter-karakter lain yang diposisikan sebagai pendukung. Tabel
3.6 di atas memperlihatkan urutan dominasi adalah Seungyeon dan Jiyoung
(masing–masing ± 23 detik), diikuti oleh Hara (± 22 detik), Nicole (± 21 detik),
dan Gyuri (± 14 detik). Namun varian jumlah dari masing–masing karakter tidak
memperlihatkan adanya kesenjangan jumlah yang signifikan, sehingga peran dari
masing-masing karakter membaur sedemikian rupa tanpa mengkontraskan mayor
151
dengan minor. Hal ini mengindikasikan bahwa kebersamaan merupakan sebuah
cara performa yang diartikulasikan dalam dimensi kesetaraan.
Selanjutnya, mengacu pada kategori gestur tubuh (tabel 1.9), maka dapat
diidentifikasi bahwa MV “Pandora” ini hanya menggunakan tipe gestur populer
yaitu sexual agresiveness gesture. Gerakan ini mengakomodasi semua bagian
tubuh untuk tujuan yang sama, yaitu untuk menonjolkan agresivitas seksual yang
dimiliki oleh perempuan. Dalam hal ini, karakter performa mengharmonisasikan
gerakan mulai dari kaki hingga kepada ke dalam interaksi vulgar yang
diperlihatkan dalam tariannya. Salah satu gestur agresivitas seksual yang paling
berkesan dalam MV ini adalah ketika kelima karakter Kara membuka jaket
dengan perlahan dan memperlihatkan punggung yang terbuka, setelah itu menutup
jaketnya kembali (lihat preview 01.27, 01.28, dan 01.29. Hal ini menciptakan
sebuah ilusi ketelanjangan, terlebih karena gestur ini didukung oleh pemilihan
kostum yang sangat ketat, pendek, dan terbuka.
Selain itu, masing–masing karakter juga memiliki penciri gestur seksual
yang berbeda. Nicole merupakan salah satu karakter yang dominan dalam gestur
ini. Dalam panggung ke-3 (path stage), Nicole tampak agresif misterius dalam
balutan kostum berwarna orange. Setiap kali Nicole
diperlihatkan
dalam
panggung yang menyerupai lorong ini, sang karakter performa tampak lihai
menggerakkan tubuhnya secara agresif untuk memperlihatkan daya tarik seksual
yang luar biasa. Hal ini didukung juga oleh permainan kamera yang mencoba
melirik Nicole dari berbagai arah demi memperlihatkan gestur seksual yang
dimainkan oleh sang karakter (lihat preview 00.42, 00.47, 01.42, 02.22, 02.35,
152
02.38). Jiyoung dan Hara juga tampak memainkan gestur seksual mereka seperti
yang diperlihatkan dalam preview 02.23 hingga 02.32. Masing–masing karakter
terlihat mengenakan minidress dan crop–top,
kemudian
menggerakkan
pinggulnya untuk memperlihatkan agresivitas seksual. Sementara itu, Seungyeon
dan Gyuri tampak memainkan gestur seksual mereka dengan agresivitas yang
lebih perlahan (misalnya, preview 01.55 dan 03.11). Secara keseluruhan, MV
“Pandora” merupakan praktik gestur seksual yang secara agresif dikemas dalam
bentuk tarian yang merupakan ekspresi fisik dari perempuan-perempuan Kara.
3.2.2.4. Camera Movement
Pergerakan kamera dalam unit analisis “Pandora” ini dikategorikan berdasarkan 4
(empat) kategori dasar dalam mengkaji kriteria pergerakan kamera, yaitu: closeup, medium shot, long shot, dan full shot.
Tabel 3.7
Shot
Camera Movement dalam MV “Pandora”
Definition
Preview
Close-up
Face only
Medium
shot
Most of body
Long-shot
Setting and
character
Full shot
Full body person
00.12, 00.13, 00.17, 00.18, 00.20, 00.21, 00.37, 00.43, 00.55, 00.57, 00.59,
01.00, 01.44, 02.07, 02.16 –18, 02.48–53, 02.56, 02.57, 03.00, 03.06,
03.25–28
00.08, 00.26, 00.27, 00.29, 00.30, 00.32, 00.34, 00.36, 00.38, 00.40, 00.44,
00.47, 00.49, 00.50, 00.52, 00.53, 00.58, 01.02, 01.03, 01.05, 01.07, 01.10,
01.13, 01.16, 01.18 – 24, 01.27, 01.29, 01.32, 01.33, 01.36, 01.37, 01.39,
01.41, 01.46, 01.47, 01.50, 01.52, 01.53, 01.55, 01.56, 01.59, 02.00, 02.02,
02.04, 02.06, 02.08, 02. 09, 02.12, 02.13, 02.20, 02.26, 02.27, 02.31, 02.33,
02.36, 02.37, 02.38, 02.42–45, 03.07, 03.09, 03.14, 03.17–21,
00.01–07, 00.09–11, 00.14–16, 00.19, 00.23, 00.25, 00.28, 00.31, 00.33,
00.35, 00.39, 00.45, 00.46, 00.48, 00.51, 00.56, 01.01, 01.04, 01.06, 01.08,
01.09, 01.11, 01.12, 01.14, 01.15, 01.17, 01.25, 01.28, 01.30, 01.31, 01.34,
01.38, 01.40, 01.42, 01.43, 01.45, 01.48, 01.49, 01.51, 01.54, 01.57, 01.58,
02.01, 02.03, 02.05, 02.10, 02.11, 02.14, 02.15, 02.19, 02.21, 02.22, 02.28,
02.30, 02.32, 02.34, 02.39–42, 02.46, 02.47, 02.54, 02.55, 02.58, 02.59,
03.01–05, 03.08, 03.10, 03.11, 03.13, 03.15, 03.16, 03.22–24
00.22, 00.24, 00.41, 00.42, 00.54, 01.26, 01.35, 02.24, 02.25, 02.29, 03.12
Sumber: Hasil pengamatan penelitian
Pergerakan kamera dalam MV lebih banyak menggunakan teknik long-shot,
yang menekankan pada visualisasi dari karakter dan setting tempat sang karakter
153
tampil. Teknik long-shot ini membantu menciptakan lingkungan non realistik
yang menjembatani panggung dengan karakter performa sehingga menyatu dalam
sebuah pengalaman virtual yang menyenangkan. Contohnya adalah replika bunga
mekar yang dihadirkan (salah satunya preview 02.58) ketika kamera menyorot
performa dengan sudut pandang yang jauh sehingga meleburkan performa ke
dalam ruang setting yang imajinatif.
Kamera juga memanfaatkan teknik medium shot pada saat-saat di mana
kamera berusaha untuk berfokus pada ekspresi tubuh, dan menggunakan teknik
close up untuk menonjolkan ekspresi wajah. Salah satu ekspresi close up yang
paling menonjol dalam MV ini adalah ekspresi mata (preview 00.21), yang
menciptakan kesan virtual yang luar biasa tajam. Variasi lain dari teknik editing
kamera adalah teknik full shot yang membingkai karakter dalam satu tubuh yang
utuh dengan tidak terlalu mengindahkan lingkungan. Teknik ini membantu dalam
menciptakan keanekaragaman pose yang di mana tubuh tampil dalam
penggambaran fisik yang memperlihatkan dan mengeksplorasi nilai-nilai tampilan
tubuh secara utuh.
3.2.2.5. Camera Editing
Selain teknik pergerakan kamera, kategori mise-en-scéne mempersyaratkan
adanya pemanfaatan teknik editing. Hal ini diperlukan untuk memungkinkan
terciptanya rangkaian gambar yang utuh dari awal hingga akhir MV. Teknik
editing ini memberi penekanan pada detail saat-saat tertentu yang dianggap
merupakan memiliki nilai representatif. Dengan demikian, setiap gambar yang
154
muncul dalam MV merupakan penggambaran representatif dari apa yang
dianggap penting untuk ditampilkan di dalam ruang performa. Sama seperti unit
analisis sebelumnya, MV ini mengkategorikan 7 (tujuh) teknik editing kamera,
dengan kecenderungan sebagai berikut:
Tabel 3.8
Camera Editing dalam “Pandora”
Camera
Editing
Pan down
Pan up
Dolly in
Fade in
Fade out
Definition
Preview
Camera looks
down
Camera looks
up
00.01, 00.02, 00.12, 00.13, 00.17, 00.18, 00.20, 00.43, 00.46, 00.57 – 01.00,
01.17, 01.48, 02.20, 02.22, 02.35, 02.58, 03.03, 03.20
Camera moves
in
00.05, 00.10, 00.11, 00.13, 00.15, 00.16, 00.18, 00.37, 00.42, 00.50, 01.00,
01.12, 01.26, 01.27 , 01.31, 01.35, 01.49, 01.58, 02.25, 02.27, 02.40 – 42,
02.02.44, 02.47, 02.49 – 50, 02.53, 03.02, 03.04, 03.26 – 28
Image appears
on blank screen
Image screen
goes blank
00.25, 00.28, 00.31, 00.33, 00.39, 00.45, 00.54, 01.08, 01.12, 01.14, 01.46,
01.55, 02.51, 02.59, 03.32
00.07
00.06
Cut
Switch from one
image to
another
00.03, 00.04, 00.07, 00.08, 00.09, 00.12, 00.14 , 00.17, 00.19 – 34, 00.35,
00.36, 00.38 – 41, 00.43 – 49, 00.51 – 59, 01.01 – 11, 01.13 – 25, 01.28 – 30,
01.32 – 34, 01.36 – 48, 01.50 – 57, 01.59 – 02.24, 02.26, 02.28 – 39, 02.43,
02.45, 02.46, 02.48, 02.51, 02.52, 02.54 – 03.01, 03.03, 03.05 – 25
Wipe
Image wiped off
screen
Sumber: Hasil pengamatan penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan penelitian dalam tabel di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa gambar yang dihadirkan dalam visualisasi MV merupakan
susunan gambar yang telah terlebih dahulu “diatur” dengan memanfaatkan teknik
editing kamera. Teknik editing sesungguhnya menawarkan sudut pandang (point
of view) yang menghanyutkan penonton dalam pengalaman performa emosional
yang dihasilkan.
Teknik pan down memperlihatkan sudut pandang dari atas, sebaliknya, pan
up memperlihatkan sudut pandang dari bawah. Dalam MV ini, teknik pan down
155
dimanfaatkan untuk merefleksikan performa dari sudut bawah, dan menciptakan
tatapan yang dimanipulasi untuk melihat tubuh perempuan dari bawah (misalnya
preview 00.31). Teknik pan up dan pan down, dalam studi postkolonial,
disebutkan sebagai salah satu penciri dalam film-film yang diproduksi oleh
bangsa-bangsa non-Barat (baca: Timur). Disebut demikian karena teknik ini
menciptakan angle kamera yang bias terhadap pertunjukan relasi kekuasaan dan
dominansi (Gabriel, 1994:354).
Teknik lain yang juga banyak digunakan dalam MV ini adalah dolly in.
Teknik ini menciptakan sudut pandang yang sejajar dengan karakter performa
(eye-looking). Efek yang dihasilkan dari teknik dolly in ini adalah pengalaman
menonton performa dalam posisi penonton layaknya dalam model panggung
proscenium. Teknik ini juga secara signifikan mengajak penonton untuk “lebih
mendekat” ke arah objek performa sehingga menciptakan sebuah pengalaman
fisik yang menyenangkan. Teknik fade in, fade out hanya muncul di awal dan
akhir MV, hal ini mengasumsikan bahwa MV hanya terdiri dari satu scene yang
utuh, yang terdiri dari susunan gambar-gambar yang dieksploitasi dengan teknik
cut. Banyaknya teknik cut yang digunakan dalam MV memang didesain untuk
memperlihatkan variasi gambar yang menciptakan kesenangan luar biasa dalam
menonton performa.
3.2.2.6. Sound
Genre musik yang digunakan dalam MV ini merupakan kategori pop yang disebut
juga sebagai K-Pop. Namun dalam K-Pop sendiri, musik dicampuradukkan dan
156
membentuk ciri khas masing-masing sesuai dengan lagu dan kelompok yang
membawakannya. Dalam MV “Pandora” ini, musik yang diperkenalkan tidak
termasuk dalam kategori tertentu, melainkan membuat sebuah model musik pop
yang baru yaitu Kara-pop. Kategorisasi ini muncul karena Kara secara spesifik
memadukan musik pop dengan musik elektro yang di dalamnya juga terdapat
gaya rap. Keunikan dari musik dalam MV ini adalah harmonisasi antara dance
dan musik dari awal hingga akhir MV sehingga menciptakan musik yang berada
di persimpangan berbagai genre musik pada umumnya.
3.3. Catatan Sintagma: “The Boys” dan “Pandora”
Narasi dan masing–masing kriteria mise-en-scéne dalam kedua unit analisis di
atas (Girls’ Generation ”The Boys” dan Kara “Pandora”) sesungguhnya
merefleksikan sebuah pengalaman emosional yang mengisi ruang imajinasi yang
bergantung pada apa yang dihadirkan dan dieksploitasi dalam visualisasi MV.
Kedua unit analisis menceritakan kisah tentang laki–laki, meskipun di MV “The
Boys” tidak terdapat satu laki-laki pun yang muncul di sepanjang MV. Kisah
kedua ini merupakan kisah romansa perempuan yang dikondisikan bersifat
persuasif, yang mana perempuan mencoba meyakinkan laki-laki dengan memberi
berbagai nasihat kehidupan dan percintaan kepada laki-laki.
Praktik narasi terlihat dari operasionalisasi kode-kode sinematik yang pada
kenyataannya, di panggung performa, kode dan narasi sering kali tidak
berkesesuaian. Karakter yang dominan secara naratif, belum tentu dominan secara
visual. Hal ini membuat masing-masing unit analisis memperlihatkan wajah
dominan yang muncul dalam panggung performa. Dalam MV “The Boys”,
157
dominansi terlihat sangat jelas dimiliki oleh Yoona, sementara dalam MV
“Pandora”, karakterisasi terlihat cenderung paritas meskipun didominasi oleh
wajah Jiyoung dan Seungyeon.
Setting yang paling banyak digunakan dalam kedua unit analisis adalah tipe
panggung kontemporer yang mengadopsi model klasik panggung proscenium
dengan scene yang bersifat non-realistic. Sedangkan dalam kategori kostum,
kedua unit analisis cenderung berbeda. MV “The Boys” lebih mengedepankan
penggunaan kostum kontemporer yang dipadukan dengan gaya high-fashion dan
glamour. Namun kesembilan karakter Girls’ Generation juga tidak lepas dari
potrait mini-skirt dalam rangka mengeksplorasi tubuh. Kostum yang ditampilkan
dalam “The Boys” terlihat lebih bervariasi daripada “Pandora”. “Pandora”
mencitrakan kekuatan kontemporer micro yang menampilkan sensasi virtual yang
sensual dan futuristik.
Bahasa tubuh performa yang banyak digunakan dalam “The Boys”
merupakan gestur telapak tangan, serta gestur populer yang seringkali menyatu
dengan gerakan artistik dari tarian yang ditampilkan. Sementara itu, “Pandora”
berhasil menciptakan fantasi seksual dengan gestur-gestur populer yang agresif.
Kode sinematik lainnya, pergerakan kamera dan teknik editing, biasanya
menekankan pada harmonisasi antara karakter dengan ruang performa. Masingmasing unit analisis memperlihatkan gerak dan teknik yang saling menyerupai,
yang mana kamera ditujukan untuk mengeksplorasi karakter dengan tidak
mengabaikan lingkungan performa tempat ia berada.
158
Musik dalam masing-masing MV menghadirkan pencampuran antara
melodi dengan tempo yang cepat. Meskipun bahasa yang digunakan adalah
bahasa Korea Selatan, kedua MV ini mencampurkannya dengan istilah-istilah
bahasa Inggris yang membantu untuk memahami isi cerita meskipun hanya
sebagian kecil. Banyak yang mengatakan bahwa tipe musik yang dihadirkan oleh
kelompok-kelompok K-Pop sangat efektif untuk membuat lagu tersebut melekat
di kepala dengan sangat mudah, bahkan tanpa disadari. Ia dikategorikan sebagai
tipe musik kontemporer yang disebut-sebut sebagai hook songs (Contemporary
Korea No.1, 2011:58). Ini bukan pengkategorian berdasarkan genre musik, namun
berdasarkan efek emosional yang dihasilkan oleh musik yang diproduksi oleh
industri musik Korea Selatan, termasuk kedua MV dalam penelitian ini. Musik
yang ditampilkan adalah musik yang catchy yang membuat orang-orang yang
menontonnya ikut terlarut secara emosional meskipun tidak memahami bahasa
yang digunakan.
BAB IV
[MEMBUNUH] SANG LIYAN:
MITOS RESISTENSI DALAM PERFORMA PEREMPUAN
“We live in the third world from the sun. Number three. Nobody tells us what to do.”
~ Bob Perelman ~
Bagi Barthes, tanda mengambang bebas. Baudrillard menyebutnya sebagai lautan
semiotik luas tanda yang menenggelamkan segala sesuatu (O’Donnell, dkk,
2009:50-51). Dengan logika tersebut, maka tanda tidak akan berhenti pada level
pemaknaan sintagmatik, namun ia bergerak lebih jauh dari yang bisa dibayangkan
dan mencoba menelusuri relasi tanda dengan sesuatu yang ada di luarnya.
Eksistensi dari relasi ini membuat tanda bergerak bebas seolah tanpa batas, dan
pada akhirnya nanti ia akan berhenti pada dimensi-dimensi mitos yang
mencampuradukkan tanda dengan masa lalu, dengan kondisi sosial budaya yang
melatarbelakanginya. Dengan kata lain, tanda akan membangun relasi antara
realitas sejarah kolonialisme dengan post-, dan menyisakan mitos yang
membaurkan keduanya dalam performa Diri sang perempuan.
Upaya untuk membongkar kompleksitas tanda memerlukan sebuah
pemaknaan yang disebut Barthes dengan sistem pemaknaan tataran kedua, yaitu
analisis paradigmatik. Analisis paradigmatik menguraikan dialektika di antara
tanda dengan sesuatu yang ada di luar tanda. Keseluruhan pengaturan narasi dan
kode sinematik dalam sebuah music video (MV) dianggap menghasilkan efek
159
160
ideologis yang berkaitan dengan produksi mitos yang bersembunyi di balik
performa perempuan.
Dalam bab IV ini, masing-masing unit analisis (MV “The Boys” dan
“Pandora”) akan dikaji secara paradigmatik untuk menguraikan makna yang
tersembunyi
di
balik
tanda.
Satuan-satuan
pembacaan
(leksia)
akan
dikelompokkan dan dikaji melalui kode-kode pembacaan yang diartikan sebagai
perangkat untuk memaknai teks. Kode-kode pembacaan yang digunakan untuk
menganalisis tanda pada tataran paradigmatik adalah: kode hermeneutika, kode
proairetik, kode kultural, kode semik, dan kode simbolik (Kurniawan, 2009:128129; Stam, dkk, 1992: 196–200).
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “hermeneuein”, yang
artinya “to interpret”. Intepretasi mengacu pada varian pertanyaan yang dapat
dimunculkan melalui teks, yang mana akumulasi dari pertanyaan tersebut
menimbulkan enigma (misteri) tersendiri atas jawaban yang mungkin terungkap.
Kode hermeneutika mengontrol kesenangan-kesenangan yang dihasilkan melalui
teks, yang menarik pembaca teks ke dalam apa yang disebut Barthes sebagai
“narrative striptease”. Dalam kode pembacaan ini, intepretasi hermeneutika
mengarah pada penelanjangan teks, yang mempertanyakan misteri teks tersebut,
memunculkan rasa ingin tahu, kemudian mengungkapkan kebenaran itu sendiri.
Barthes mempercayai bahwa teks selalu mencoba untuk berbohong (to lie as little
as possible), sehingga tugas dari hermeneutika adalah mengungkapkan kebenaran.
Kode proairetik mengacu pada kode tindakan (code of actions). Istilah
“proairesis” sendiri, bagi Aristoteles, dimaknai sebagai kemampuan untuk
161
memutuskan hasil tindakan secara rasional. Dengan demikian, kode proairetik
mengacu pada logika tindakan sesuai dengan wacana naratif yang telah diarahkan.
Kode ini memastikan bahwa tindakan yang muncul adalah tindakan yang rasional
sesuai dengan sekuens naratif yang ada. Tindakan yang dimaksudkan dalam kode
ini mungkin saja berupa tindakan yang sepele, namun hal ini menciptakan
konjungsi dengan kode-kode lainnya untuk memproduksi sebuah narasi yang
koheren, baik narasi yang klasik maupun model narasi modern. Barthes
memandang sekuens proairetik sebagai sebuah konstruksi artifisial yang
memprediksi seperangkat tindakan apa yang akan muncul dalam sekuens tersebut.
Kode kultural disebut juga dengan kode referential. Kode ini mengacukan
tanda dengan referensi eksplisit dan implisit tentang “apa yang diketahui semua
orang”, kearifan konvensional (conventional wisdom) mengenai waktu, obatobatan, sejarah, dan sebagainya. Dengan kata lain, kode ini ditujukan untuk
membuat tanda menjadi masuk akal “to common sense”. Kode ini terkadang sulit
dipisahkan dengan kode semik. Barthes menyebutnya juga sebagai doxa,
contohnya “voice of natural”, segala sesuatu yang terjadi tanpa perlu dikatakan,
opini tertentu, makna yang diulang.
Kode simbolik bergantung pada antitesis yang ditentukan secara kultural.
Istilah “simbolik” itu sendiri dilatarbelakangi oleh pendapat Lévi-Straussean
mengenai peran krusial dari oposisi biner. Istilah ini bermain pada oposisi takenfor-granted yang ada dalam konteks budaya secara keseluruhan, misalnya lakilaki/perempuan. Kode pembacaan ini berfungsi untuk memetakan antitesis yang
di dalamnya budaya mengartikulasikan makna melalui representasi diferensial
162
atas identitas simbolik sehingga memunculkan oposisi secara natural, tidak dapat
terelakkan, dan bersifat non-linguistik. Oposisi biner yang muncul misalnya:
nature/civilization;
outdoors/indoors;
sincerity/lies;
organic
lower-class/upper-class;
life/artifacts;
servants/masters;
life/death;
female/male;
wildlife/property; greenhouse/manor; childishness/maturity, dan sebagainya.
Kode semik berkaitan dengan asosiasi afektif dan emotif antara penanda
dengan sebuah nama, karakter, atau wilayah. Barthes menyebut kode ini sebagai
sebuah bentuk “noise” yang memunculkan sekaligus membohongi
kebenaran
(both names and dissimulates the truth), sehingga kaya akan ambiguitas. Kode
pembacaan ini mengukuhkan premis mengenai tingginya kadar repetisi kultural,
yang mana signifikasi konotatif dari tanda biasanya diasosiasikan dengan objek
kultural yang telah ada.
Kelima kode pembacaan ini tidak selalu terintegrasikan secara sistematis
satu sama lainnya. Kode pembacaan dapat muncul dengan intepretasi yang
berbeda-beda sehingga cerita yang diungkapkan oleh masing-masing kode
pembacaan tidak selalu memiliki akhir yang sama namun hadir dengan
pemahaman yang berbeda-beda. Hal ini dimungkinkan terjadi dalam dua unit
analisis penelitian dikarenakan teks yang dibaca merupakan teks kontemporer
yang di dalamnya unsur-unsur narasi dan kode mise-en-scéne membangun makna
yang beragam.
163
4.1. Girls’ Generation: “[We] Bring The Boys Out!”
Unit analisis pertama yang akan dikaji secara paradigmatik adalah MV Girls’
Generation, “The Boys”. Dalam MV ini terdapat banyak sekali tanda yang
selanjutnya akan dikelompokkan ke dalam leksia-leksia yang disesuaikan dengan
kode-kode pembacaan.
4.1.1. Kode hermeneutika (hermeneutic code)
Leksia pertama dalam kategori kode pembacaan hermeneutika terdapat pada
narasi. Leksia ini mengeksplorasi relasi di antara ‘we’ dan ‘you’ untuk
mempermainkan peran gender (gender roles) antara laki-laki dan perempuan.
Leksia ini mempertanyakan: Bagaimana posisi subjek dan objek dalam narasi?
(Bait pertama)
“If you haven’t started yet because you’re scared, then stop complaining![2]
If you hesistate, opportunities will pass by you, so open your heart and
come out![3] Bring the boys out![4] Yeah, you know.[5] Bring the boys out![6]
We bring the boys out, we bring the boys out! Yeah![7] Bring the boys
out![8]”
Secara linguistik, ada tiga posisi yang bisa diungkap dari narasi, yaitu: orang
pertama /we/, orang kedua /you/, dan orang ketiga /the boys/. Semua kategori ini
mengacu pada pembaca teks (dalam hal ini disebut penonton MV). Kenapa
demikian? Mengutip pernyataan Barthes (dalam Stam, dkk, 1992:195), “teks
mengakibatkan kematian sang penulis (death of the author) dan memunculkan
konsekuensi kelahiran sang pembaca (birth of the reader)”, teks memiliki
kecenderungan untuk membuka diri kepada para pembacanya dan menjalin relasi
164
yang intim yang membuat pembaca seolah-olah merupakan bagian dari teks
tersebut. Sebagai sebuah teks yang terbuka, narasi MV ini tidak hanya mengacu
pada posisi perempuan yang tampil di panggung performa, namun ia juga
merefleksikan identitas kolektif dari pembaca teks..
Penamaan orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga, merupakan
ekspresi bahasa dalam mengungkapkan relasi dikotomi antara subjek dan objek.
Penamaan /we/ mengacu pada ‘the girls’ (dalam syair [21]), atau lebih spesifik
lagi, /we/ mengacu pada perempuan (syair [17], “Girls’ Generation make you feel
the heat”). Di sisi lain, identitas /you/ diperjelas dalam syair “show me your wild
side that is sharp and cool, my boy”
[15]
. Sisi liar yang disebutkan dalam narasi
merupakan karakter kelaki-lakian yang memberi pembenaran bahwa /you/ dalam
narasi memberikan fungsi objek bagi laki-laki.
Narasi MV “The Boys” dengan demikian menjadi sebuah ekspresi universal
yang diungkapkan perempuan kepada laki-laki. Namun keduanya telah
kehilangan sentuhan personal karena merepresentasikan identitas kolektif.
Perempuan (girls atau girls’ generation) dan laki-laki (the boys atau the boys of
the world[38]) merupakan identitas kolektif yang mewakili baik laki-laki maupun
perempuan lain yang ikut menonton MV tersebut. Uniknya, perempuan
didefinisikan sebagai sebuah generasi sedangkan laki-laki didefinisikan sebagai
dunia itu sendiri (dikotomi yang dimunculkan adalah: generation > < world).
Kenapa demikian? Relasi ini merupakan refleksi terhadap relasi nyata dunia yang
dianggap man-made (buatan laki-laki), dan perempuan hanyalah generasi yang
hidup di bawah naungan dunia maskulin yang dikontrol oleh cara berpikir laki-
165
laki. Sejauh ini relasi tersebut memang sudah menjadi logika dan norma hidup
dalam dunia patriarki, namun kode hermeneutika mengajak kita berjalan lebih
jauh untuk membongkar relasi gender yang ditampilkan dalam MV ini.
Frasa “bring the boys out” merupakan sebuah idiom yang memiliki arti
“untuk membuat laki-laki menjadi lebih berani (to bring [someone] out)”. Siapa
yang membuat mereka menjadi berani? Perempuan. Dalam syair yang berbeda
(syair [17], misalnya), frasa “bring the boys out!” ditambahi subjek di depan yaitu
/we/ sehingga menjadi frasa “we bring the boys out!”. Logika “bring the boys out”
yang dibangun dalam ruang performa sejalan dengan commonsense yang dalam
kenyataannya sering dinaturalisasikan dalam frasa “behind every successful man
is a woman’. Perempuan dalam hal ini dimaknai sebagai “penolong” bagi lakilaki, menekankan pada interferensi perempuan terhadap kesuksesan laki-laki.
Pernyataan di atas merupakan penggambaran kondisi di mana perempuan
merupakan ‘fakta’ yang penting bagi laki-laki jika ia ingin memperoleh
kesuksesan dalam hidupnya.
Dengan logika seperti di atas, narasi ini mencoba membalikkan pola
“phallogocentrism” dari pemikiran Barat yang menganggap laki-laki sebagai the
one and only (Kroløkke dan Sørensen, 2006:14). Bagaimana caranya? Perempuan
dalam performa ini berfokus untuk membalikkan posisi antara laki-laki dan
perempuan—sebuah relasi kesenjangan yang hingga saat ini masih sangat kuat di
dunia Timur karena paham patriarki yang melahirkan sejarahnya. Sejarah
merupakan sebuah titik perbedaan antara perempuan Timur dengan perempuan
Barat, karena ketika perempuan Barat telah bergerak jauh ke masa depan,
166
perempuan Timur masih terjebak dalam masa lalu. Dalam ruang performa ini,
perjuangan perempuan sejalan dengan perjuangan kelas yang memperebutkan
kekuasaan untuk menguasai dunia (karena laki-laki dimaknai sebagai dunia).
MV ini memunculkan kata kunci “the boys” yang diulang-ulang sebanyak
21 (dua puluh satu). Anehnya, tidak sekalipun muncul penggambaran visual dari
laki-laki dalam MV. Laki-laki dengan demikian merupakan perwujudan dari
ketidakhadiran (absence) yang menuntut kode pembacaan hermeneutika untuk
mengisi ketidakhadiran tersebut. Menghilangkan
laki-laki
sama dengan
menghilangkan satu bagian penting dalam MV ini. Pertanyaan yang dimunculkan
adalah, kenapa tidak ada penggambaran laki-laki dalam MV yang diberi judul ‘the
boys’? Apa makna dari ‘ketakhadiran’ laki-laki dalam MV ini?.
Sesuatu yang tidak hadir adalah makna, ia menyiratkan bahwa sesuatu
seharusnya ada di sana (Williamson, 2007:105-106). Ketakhadiran laki-laki
dalam MV ini ditafsirkan sebagai upaya pengakuan atas kehadiran laki-laki secara
nyata, yang terungkap dalam frasa “the boys of the world”. Hal ini merupakan
upaya totalitas perempuan untuk tidak memilih hanya satu atau beberapa figur
laki-laki untuk ditampilkan di ruang performa, karena pada dasarnya laki-laki ada
dimana-mana, di segala arah. Dengan ketidakhadiran laki-laki, ia (perempuan)
berdiri tepat di depan para penonton laki-laki di seluruh dunia sebagai isyarat
eksistensi Diri, melepaskan status sebagai sang Liyan dan memiliki kontrol penuh
atas laki-laki di seluruh dunia.
Kontrol atas laki-laki muncul ketika perempuan menyebut laki-laki dengan
sebutan “the boys” (bukan man). Istilah ‘boys’ mengacu pada tingkah laku
167
ketidak-dewasaan untuk mendeskripsikan bahwa laki-laki bisa dipermainkan
karena mereka masih anak-anak (boy) (Mills, 1998:42). Penamaan ini
membangunkan kesadaran kelas dari perempuan yang menyebut dirinya sebagai
bagian dari generasi perempuan untuk mencoba merebut kekuasaan dari tangan
laki-laki. Perempuan dalam hal ini memberi apresiasi yang sangat tinggi terhadap
dirinya, ia menganugerahi dirinya sebuah kekuasaan yaitu sesuatu yang melebihi
manusia—nyaris mendekati sifat ketuhanan. Ia mentransformasikan diri ke dalam
dunia mitologis Yunani dan mendeklarasikan diri sebagai Dewi Athena.
(rap)
“Girls bring the boys out![36] I wanna dance right now. I will lead you, come
out![37] The boys of the world, I am Athena, the one who gives the number
one wisdom. Check this out![38] Enjoy the excitement of the challenge, You
already have everything in this world[40], just keep going like that. Keep up,
Girls’ Generation we don’t stop[41]. Bring the boys out[42].
Leksia
di
atas
memunculkan
misteri:
“Mengapa
perempuan
menggambarkan dirinya sebagai Dewi Athena?”, “Mengapa Athena?”. Athena
merupakan Dewi perawan dalam mitologi Yunani. Ia merupakan anak perempuan
dari Zeus dan istri pertamanya, Metis. Athena dikenal sebagai dewi kearifan,
peperangan, seni, dan keadilan. Athena terkenal sebagai dewi yang ahli dalam
strategi perang, dan biasanya, ia tidak akan berperang tanpa alasan yang jelas.
Dalam mitologi Yunani dikisahkan bahwa Athena pernah murka terhadap Medusa
dan akhirnya mengubah kecantikan Medusa menjadi monster Gorgon yang
memiliki tatapan mata dingin yang mampu mengubah setiap laki-laki yang
168
melihatnya
menjadi
batu
(Loewen,
1998:12; www.greekmyhtology.com/Olympians/Athena/athena.html).
Athena merupakan sosok heroik yang diimajinasikan dalam panggung
performa “The Boys”. Para perempuan mendeklarasikan dirinya dengan
mengatakan, “Hai laki-laki di seluruh dunia, Akulah Athena, yang akan
memberikanmu kearifan yang utama” (syair [38]). Penggunaan kata “I am” (Aku
adalah) merupakan sebuah pernyataan yang menciptakan emosi seseorang yang
mencoba menegosiasikan identitasnya sebagai subjek yang aktif. Perempuan
menonaktifkan identitas sang Liyan ketika ia memposisikan diri sebagai Athena.
Identitas perempuan dalam hal ini tidak dimaknai sebagai identitas personal
melainkan identitas kolektif. Dalam panggung performa “The Boys”, perempuan
hadir mewakili “Athens”, nama yang mengacu pada kota yang dimiliki dan
dinamai berdasarkan nama Dewi Athena yaitu “the city of Athens”, maknanya
“[many] Athenas”. Dengan demikian, kehadiran Athena mengalami multiplikasi
sebanyak jumlah tak-terkuantifikasi dari perempuan-perempuan sang Liyan.
4.1.2. Kode proairetik (proarietic code)
Kode proairetik merupakan kode tindakan. Kode ini mendefinisikan leksia berupa
detail sekuens-sekuens yang muncul di dalam MV. Kode proairetik dalam MV ini
adalah performa perempuan itu sendiri. Kenapa? Ketidakhadiran laki-laki dalam
MV telah membuat perempuan menjadi pusat perhatian dalam panggung
performa. Feminisme dalam hal ini mengatakan bahwa perempuan harus memiliki
kepercayaan diri untuk mengklaim kekuasaan dengan cara memamerkan
169
keperempuanan mereka (Kroløkke dan Sørensen, 2006:17). Menjadi perempuan
adalah kata kunci dalam kode pembacaan ini.
Perempuan dalam MV ini menamai diri mereka dengan sebutan ‘girl’
(bukan ‘woman’). Istilah ‘girl’ biasanya diacukan kepada perempuan yang
berumur 16 tahun, sedangkan istilah ’woman’ akan memunculkan aktivasi organ
dan fungsi seksual dari tubuh perempuan itu sendiri (Mills, 1998:98,104-105).
Jika istilah ‘girl’ digunakan untuk memaknai ‘woman’ maka ada kemungkinan
ekuivalensi di antara keduanya. Hal ini mengakibatkan transformasi kemudaan
perempuan menjadi kedewasaan yang tak terkontrol, seperti yang diungkapkan
oleh para pemikir feminisme gelombang-ketiga, ‘I’m a grrrl you have no
control!” (Kroløkke dan Sørensen, 2006:18).
Perubahan woman ke dalam grrrl (baca: girl) merupakan sebuah usaha
untuk melecehkan relasi seksis yang diwariskan oleh sistem patriarki. Perempuan,
dalam hal seksual, dikontrol oleh laki-laki sesuai dengan aturan patriarki yang
berlaku. Transformasi diri ke dalam grrrl membuat perempuan (tua dan muda)
mendamaikan dirinya dengan aktivasi tubuh sensual. Untuk memperoleh kontrol
atas dirinya dan atas laki-laki, perempuan harus mengaktivasi tubuh sensual yang
mempersyaratkan seperangkat aturan kecantikan yang harus dipenuhi. Mengutip
kembali perkataan Naomi Wolf (2004) mengenai mitos kecantikan, perempuan
dikisahkan berjuang secara sadar untuk diakui sebagai perempuan yang cantik
karena sosok perempuan yang sepenuhnya “sempurna” adalah sosok yang kurus,
tinggi, putih, dan berambut pirang, dengan wajah yang mulus tanpa noda, simetri,
dan tanpa cacat sedikit pun (Wolf, 2004:3-4).
170
MV “The Boys” merupakan visualisasi dari mitos mengenai perempuan
Timur yang berusaha mengaktualisasikan diri sebagai ‘perempuan yang
sepenuhnya sempurna’, yang populer dengan sebutan the flawless nine. Kelompok
ini terdiri dari 9 (sembilan) anggota perempuan, dan masing-masing dari mereka
disebutkan memiliki kecantikan yang tak bernoda, tinggi, putih, ramping, rambut
bergaya K-cut (sebutan gaya rambut Korea Selatan), memiliki kaki yang panjang,
dan terlihat bagus dalam balutan pakaian apa pun. Semua penggambaran ini
terlihat dalam MV dengan bantuan kamera yang bergerak mengekplorasi berbagai
keindahan tubuh perempuan untuk diperlihatkan dalam ruang performa.
Menjadi perempuan merupakan sebuah ritual modern yang ditata untuk
lebih mempedulikan penampilan daripada otak. Kemasan tubuh cantik secara
artifisial menjadi penting bagi perempuan jika ia tidak ingin memperlihatkan
inferioritasnya di hadapan laki-laki. Kenapa? Kecantikan memberikan kontribusi
yang besar bagi perempuan yang ingin terlihat (visible). MV ini mewakili
konstruksi kecantikan artifisial yang kini sedang menjadi tren bagi perempuan
Korea Selatan. Pada dasarnya, orang Korea Selatan menganggap penampilan
personal dengan sangat serius sehingga mereka akan sangat hati-hati dalam
berpakaian. Berpakaian secara konservatif merupakan pilihan terbaik, mereka
cenderung menghindari jeans, kaos, gaun, dan celana pendek kecuali
diperkenankan untuk mengenakannya (Connor, 2009:245). Panggung performa
membuat perempuan Korea Selatan meninggalkan penampilan konservatif dan
beralih pada kecantikan artifisial yang disebut Prabasmoro (dalam Becoming
White, 2003) sebagai ideal[ized] beauty.
171
Tubuh yang artifisial dimaknai berbeda dengan tubuh yang natural
(Nicholson dan Seidman, 2002: 129, 133). Kemunculan tubuh artifisial sebagai
oposisi biner dari tubuh yang natural ditujukan untuk membuang jauh-jauh
inferioritas yang dimiliki perempuan Timur. Kenapa demikian?. Kecantikan
artifisial mengakibatkan perempuan Timur mengesampingkan tubuh natural dan
meniru model kecantikan Barat yang dianggap sebagai kecantikan yang ideal.
Namun menjadi cantik secara artifisial tidak sekedar menjadi putih, seperti yang
diungkapkan dalam buku berjudul “The Clothed Body” (2004), yang mana
pakaian dan segala atribut yang mengikutinya merupakan pelengkap bagi
kecantikan yang tidak sempurna (imperfect beauty) untuk bermetamorfosis
menjadi kecantikan yang sempurna.
“I see myself as another, as another would see me, from the outside,
available to all, exposed to everyone’s gaze, let loose in a circuit of cities,
streets and pleasures.” (Marguerite Duras, dikutip dari Calefato, 2004:1)
Menurut Duras, perempuan memperoleh kesenangan ketika ia berpakaian.
Pakaian merupakan sebuah tanda yang sadar (conscience sign) karena perempuan
biasanya akan memilih sendiri apa yang ingin dipakainya untuk memperlihatkan
dirinya. Asumsinya, pakaian merupakan salah satu atribut artifisial yang membuat
perempuan memperoleh identitas yang baru, yang berbeda dari yang natural.
Ketika perempuan dalam MV mengenakan pakaian kontemporer bergaya highfashion, perempuan bertransformasi sebagai perempuan Barat. Mengapa? Karena
gaya high fashion merupakan gaya yang berkembang di masa aristokrasi Barat di
mana perempuan diperlakukan sebagai lady.
172
Dengan berpakaian seperti perempuan Barat, perempuan Timur melihat diri
mereka dalam rupa Barat. Hal ini merupakan kesenangan (pleasure) karena
‘menjadi Barat’ dianggap sebagai tolak ukur untuk dapat terlihat bagi semua
orang (exposed to everyone’s gaze). Transformasi artifisial ini, tentu saja, tidak
terlepas dari apa yang telah diprediksi oleh kode pembacaan hermeneutika
mengenai Athena. Girls’ Generation merupakan the city of Athens yang terdiri
dari banyak Athena-Athena. Kecantikan artifisial menciptakan kecantikan yang
melebihi sekedar kecantikan Barat yaitu kecantikan sang Dewi Athena.
Atribut artifisial lainnya adalah bahasa tubuh atau gestur. “A gesture of
profound joy and delight, of pleasure in masquerade, and sensual enjoyment”
(Calefato, 2004:2). Gestur, sama seperti pakaian, menciptakan kesenangan dalam
sesuatu yang bukan dirinya (masquarade). Gestur tangan di pinggang (hands-onhips gesture) misalnya, menandakan perempuan yang
memperlihatkan
kesenangan sensual dengan tujuan menonjolkan bentuk tubuhnya. Gestur seksual
agresif (sexual agresiveness gesture), memperlihatkan performa kesenangan
sensual perempuan yang biasanya dipadukan dengan model-model pakaian mini
yang memperlihatkan bagian tubuh tertentu.
Kontruksi artifisial yang diciptakan dalam MV ini berakibat pada apa yang
dikatakan narasi: “Girls’ Generation membuat-mu merasakan panas (heat)” (lihat
syair [17]). Istilah ‘heat’ merupakan sebuah metafora (lawan katanya, lack of heat)
yang mendeskripsikan seksualitas. Seseorang akan dikatakan ‘panas’ ketika ia
merupakan seorang pecinta yang baik (Mills, 1998:137). Kadar ‘panas’
merupakan interpretasi terhadap ‘pengetahuan’ mengenai seksualitas yang diukur
173
berdasarkan tingkat responsif seseorang terhadap lawan jenisnya. Ukuran dari
panas tidaknya performa perempuan terlihat dari visualisasi tubuh perempuan
yang teatris dan menyentil hasrat sehingga memberikan suatu keintiman yang
berimajinasi, karena ia mampu membangun sensasi virtual yang memunculkan
kenikmatan dalam melihat performa—namun tidak untuk menyentuhnya.
Keseluruhan tindakan yang dimainkan dalam ruang performa, apa pun itu,
memperlihatkan
seksualitas perempuan.
Perempuan
berjalan,
berpakaian,
bernyanyi, menari, menggerakkan tangan, memutar pinggulnya, memainkan
matanya dan sebagainya. Semua hal tersebut di-shooting dan disebarkan sebagai
serangkaian tindakan kesenangan seksual. Piliang menyebutnya sebagai logika
libidonomics, yang memanfaatkan tubuh untuk menggali kesenangan yang tanpa
batas, melalui berbagai bentuk seksualitas (Piliang, 2010:125-126).
Sekuens seksualitas dalam MV ini menggambarkan perempuan sebagai
sosok heroine yang cantik, romantis, menggoda, dan dinamis. Perempuan Timur
yang digambarkan sebagai heroine merupakan replika dari konsep kekuatan
perempuan (girls’ power) yang banyak diterapkan oleh perempuan-perempuan
Barat, misalnya, Madonna dan Spice Girls. Melalui performa muncul pola
tindakan yang diatur untuk memperlihatkan perempuan Timur sebagai subjek
yang aktif, yang memiliki kemampuan untuk mengekspresikan tubuh tanpa
batasan dari budaya patriarki darimana ia berasal.
Athena merupakan salah satu penggambaran girl’s power yang ditampilkan
dalam MV ini. Athena merupakan dewi perawan namun diingini oleh banyak lakilaki. Logika yang sama juga berlaku bagi perempuan dalam ruang performa ini.
174
Dewi (goddess) merupakan penggambaran dari perempuan magis (magical
female) yang independen secara seksual dan memiliki karakter sebagai pemberi
kehidupan. Karakter ‘spiritualitas para dewi’ ini dapat ditemukan dalam
seksualitas dan ketelanjangan perempuan yang membentuk karakter yang playful,
powerful, kreatif, dan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan (Roach, 2007:3).
Perempuan dimaknai sebagai simbol-simbol kesucian yang memiliki nilai
spiritualitas untuk mengontrol laki-laki—mengutip apa yang telah diungkapkan
dalam narasi—“Akulah Athena yang akan memberimu kearifan utama”. Hal ini
merupakan eksistensi perempuan yang mampu membuat laki-laki menjadi
bergantung padanya dan membuat laki-laki jatuh ke dalam ruang hasrat yang suci,
di mana keberadaan hasrat di sini merupakan energi yang dikontrol sepenuhnya
oleh perempuan.
4.1.3. Kode Kultural (cultural code)
Kode pembacaan kultural terhadap MV ini memperlihatkan adanya utopia
terhadap universalitas budaya. Kenapa demikian? MV ini tidak memperlihatkan
adanya nostalgia sejarah budaya Korea Selatan atau budaya ke-Timur-an yang
kononnya merupakan konteks kebudayaan nyata di mana MV ini diproduksi.
Model setting yang digunakan dalam MV ini mengadopsi model teatrikal Barat,
terutama model proscenium, yaitu model teater yang awalnya berkembang dalam
seni teater Yunani namun kini dominan digunakan di Broadway, sebuah pusat
performa teater yang terkenal di Amerika Serikat.
175
Model setting yang keBarat-baratan ini merupakan wujud penyatuan
kultural antara Timur dengan Barat. Dengan demikian, MV ini dilatarbelakangi
oleh konteks kebudayaan yang “terbuka”, dalam artian meninggalkan nilai-nilai
budaya yang berbasis lokalitas dan berusaha untuk mereproduksi nilai-nilai
budaya yang berorientasi pada dunia Barat. Nilai ke-Timuran hadir dalam
penggunaan bahasa, meskipun aspek ini sifatnya juga terbuka. Dikatakan terbuka
karena narasi MV menoleransi keberadaan bahasa Inggris yang dicampuradukkan
dengan bahasa Korea Selatan. Dengan demikian, narasi MV itu sendiri
menciptakan adanya dialog di antara dua kebudayaan yang melebur dalam citra
kontemporer yang menghasilkan sintesis budaya yang kompleks.
Kode kultural dapat juga dibaca melalui konsep kecantikan yang dihadirkan
dalam MV The Boys. Kecantikan merupakan standarisasi kultural yang
diwariskan secara turun temurun. Salah satu panorama kecantikan yang
dihadirkan dalam MV ini adalah bentuk tubuh perempuan. MV ini merupakan
kumpulan performa dari sembilan perempuan kurus yang dinamis memainkan
tubuhnya tanpa lelah. Kenapa harus kurus? Ternyata, preferensi umum terhadap
bentuk tubuh yang kurus muncul sebagai norma yang secara kultural berlaku
secara konsisten dalam masyarakat, khususnya masyarakat Barat (Wykes dan
Gunter, 2005:6). Dalam MV ini, hal ini tampaknya telah menjadi sebuah
konsensus yang berlaku universal, dikarenakan sebelumnya MV ini juga
memperlihatkan adanya toleransi yang berlebihan terhadap nilai-nilai Barat
melalui pemilihan panggung.
176
Dalam kode pembacaan ini, kecantikan dianggap sebagai kode kultural yang
memandang kecantikan tersebut melalui konteks kecantikan perempuan Timur,
namun ekspresi kecantikan itu ditelan oleh dominasi kecantikan Barat sebagai
konsekuensi pengembangan kultural Timur ke arah Barat. Di balik kecantikan
yang ditampilkan dalam MV, hadir sebuah dunia yang kontradiksi dengan apa
yang ada di dalam versi nyata. Salah satunya adalah penggunaan operasi plastik
yang ditujukan untuk memperoleh bentuk wajah V-line, yaitu bentuk wajah yang
tirus. Model V-line dianggap sebagai model kecantikan ideal yang diadopsi dari
model boneka Barbie.
Kenapa demikian? Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan Korea
Selatan ‘gemar’ mengubah bentuk tubuh dan wajah mereka untuk mencapai
standar kecantikan kultural Barat yang dianggap sebagai kecantikan yang ideal.
Ras Korea, disebut-sebut menyerupai orang Manchuria dan Mongolia dengan ciriciri fisik, mata berbentuk almond, rambut hitam, dan tulang pipi yang tinggi
(Connor, 2009:7). Namun MV ini menampilkan perempuan Korea dalam rupa
yang berbeda dengan penciri ras mereka. Hal ini merupakan pembenaran
keberadaan “grrrl feminism”, yaitu model feminisme baru yang sifatnya
eurosentrisme, di mana salah satu karakteristik dari feminisme ini adalah operasi
tubuh (operasi plastik) (Kroløkke dan Sørensen, 2006:17). Hal ini dimaksudkan
untuk memberi gambaran universal tentang perempuan, bahwa dengan menjadi
cantik, perempuan akan lebih mudah memperoleh haknya dan menghapus
identitasnya sebagai sang Liyan. Hal ini merupakan usaha untuk melampaui
kecantikan Timur dan bertransformasi ke dalam model kecantikan Barat.
177
Cantik dalam sejarah Korea Selatan, biasanya dimiliki oleh kelompok
perempuan penghibur, yang dikenal dengan sebutan kisaeng (atau gisaeng).
Seorang kisaeng tidak memiliki kebebasan atas hidupnya sendiri, biasanya kelas
tertinggi yang bisa dicapai oleh seorang kisaeng adalah menjadi gundik bagi lakilaki kaya. Peran perempuan dalam sejarah Korea Selatan
juga
dibatasi.
Perempuan tidak diperbolehkan untuk mengecap pendidikan dan menjadi setara
dengan laki-laki. Selain menjadi kisaeng, perempuan merupakan masyarakat biasa
(commoners). Kadang, perempuan hanya diperlakukan sebagai budak atau sebagai
shaman (penyihir) (Connor, 2009:183).
Uniknya, kode kultural dalam MV ini memperlihatkan pergeseran kelas
perempuan ke arah yang positif. Fenomena kaum elit, yang direpresentasikan
dalam model pakaian high fashion dan glamour memperlihatkan adanya
pengukuhan akan keberadaan kelas aristokrat modern di kalangan perempuanperempuan Timur. Bukti lainnya juga dapat dilihat melalui penggunaan bahasa
dalam narasi MV. Dikotomi antara “kami” dan “kalian” (we dan you) merupakan
salah satu kode kultural lainnya yang di dalamnya melekat norma perbedaan
antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hal ini mengacu pada
pembedaan antara perempuan sebagai subjek (we) dan laki-laki sebagai objek
(you). Dalam budaya patriarki yang dianut oleh bangsa Korea Selatan, hierarki
masyarakat memperlihatkan bahwa kekuasaan sebagai aristokrat dipegang oleh
laki-laki (disimbolkan dengan kaisar/king). Namun MV ini memperlihatkan
degradasi kekuasaan laki-laki dan akhirnya menimbulkan ketidakpastian arah
kekuasaan di antara dua dikotomi gender tersebut.
178
MV ini menampilkan perempuan dalam hierarki kelas sosial aristokrat
melalui deskripsi tubuh yang dibalut dengan pakaian-pakaian yang classy.
Tampilan classy ini membuat perempuan hadir bukan sebagai masyarakat biasa
(commoners), melainkan dihadirkan sebagai ratu (terlihat dengan penggunaan
mahkota pada beberapa karakter performa). Dalam konteks kultural yang seperti
ini, perempuan sebagai subjek aktif yang terkesan menyingkirkan laki-laki.
Meniadakan laki-laki sama halnya dengan membunuh satu identitas penjajah,
meskipun ketidakhadiran laki-laki dalam MV ini hanya dimaknai secara parsial
saja (laki-laki hadir dalam narasi yang diimajinasikan).
Konteks kultural lainnya yang bisa dilihat dalam kode pembacaan ini adalah
Athena. Dewi Athena, dalam mitologi Roma, mirip dengan karakter Minerva.
Keduanya merupakan dewi kebijakan dan peperangan (goddess of wisdom and
war) (Loewen, 1998:8). Penggambaran karakter ini juga sejalan dengan sang
Srikandi dalam legenda Jawa. Uniknya, MV ini sengaja meminjam mitos yang
berasal dari akar budaya yang berbeda dari Korea Selatan. Hal ini memperlihatkan
bahwa budaya Yunani Kuno sebagai asal usul mitologi yang digunakan dalam
MV ini merupakan akar kebudayaan yang dianggap penting yang digunakan
perempuan sebagai alat resistensi terhadap budaya Barat.
Performa perempuan bergerak ke arah Eurosentris. Mengapa? Karena ia
meminjam sejarah Eropa yaitu Yunani Kuno yang juga merupakan akar sejarah
peradaban Barat. Sejarah Korea Selatan tidak menawarkan kisah semacam
Athena, Hawa, atau Srikandi. Namun sejarah Korea mencatat satu perempuan
yang paling berpengaruh di sepanjang monarki, Queen Sondak. Ia memerintah
179
Korea di masa 632-647 M, dan merupakan satu dari tiga perempuan yang pernah
memimpin kekaisaran di Korea Selatan. Sebagai bangsa patriarki, Korea Selatan
pada dasarnya tidak mentoleransi kekuasaan dipegang oleh perempuan. Ratu
Sondak sendiri diterima rakyatnya sebagai pemimpin bukan karena nilai
keperempuanannya, melainkan karena sistem garis-keturunan yang mana Sondak
merupakan satu-satunya keturunan kaisar sebelumnya (Connor, 2009:194-196).
Dari sejarah budaya ini, dapat dilihat bahwa perempuan hanya akan diakui
ketika ia memiliki darah seorang noble (bangsawan). Jika tidak, ia dianggap
sebagai lowborn (lahir dalam kelas yang rendah). Relasi antara perempuan dan
laki-laki merupakan relasi subordinasi yang telah melekat menjadi hukum moral
dalam masyarakat. Bahkan dalam penyebutan identitas diri (nama), perempuan
Korea tidak dipanggil dengan nama mereka sendiri melainkan diidentifikasi
berdasarkan posisi dalam relasi mereka dengan laki-laki (Connor, 2009:198).
Identitas Athena dalam MV ini dengan demikian merupakan sebuah usaha untuk
meniadakan identitas sang Liyan perempuan. Dengan memakai nama Athena,
perempuan mendeklarasikan diri tidak sekedar menjadi bangsawan namun
menjadi dewi yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dunia.
4.1.4. Kode simbolik (symbolic code)
Perbedaan jenis kelamin adalah salah satu cara untuk mengenali oposisi biner
yang dimunculkan dalam kode pembacaan simbolik. Laki-laki dan perempuan.
Kehadiran semu laki-laki dalam MV ini menjadi sebuah simbol yang semu pula,
namun simbol itu menjadi nyata ketika ia dikontraskan dengan simbol lainnya,
180
yaitu perempuan. Laki-laki memerankan peranan yang krusial, ia adalah sosok
yang hebat, hal ini terlihat dari penggambaran narasi dalam syair [29] yang
mengatakan bahwa sejarah akan berubah, dan dalam perubahan sejarah tersebut,
karakter utamanya adalah laki-laki.
Laki-laki merupakan simbol dari kelemahan. Kenapa? because the girls
bring the boys out. Logika yang hendak dibangun dalam MV ini adalah
perempuan merupakan sumber kekuatan dan keberanian bagi laki-laki. Hal ini
bertolak belakang dengan budaya macho yang menekan anima sekaligus
menyembunyikan perasaan, dan menunjukkan kemampuan mereka dengan
ekspresi: “Boys don’t cry!” (O’Donnell, dkk, 2009:91). Laki-laki seharusnya
mampu menaklukkan perasaannya, ini merupakan karakter universal dari lakilaki. Laki-laki harusnya mampu memakai logika untuk bangkit menghadapi
kegelapan dunia yang dalam narasi MV digambarkan dengan kehidupan semacam
perang (lihat syair [11] dan [22]).
Simbol perempuan dalam MV ini mengubah ruang performa menjadi ruang
antitesis yang membongkar identitas perempuan itu sendiri. Kode simbolik ini
membaca performa perempuan sebagai upaya untuk menampilkan kekuatan
perempuan (girls’ power) dalam sosok seorang Athena. Dewi Athena, dalam
mitologi Yunani dikenal sebagai dewi peperang (the goddess of war). Karakter
Athena dalam MV ini sebagai dewi peperangan menyimbolkan perempuan
maskulin yang memiliki kemampuan untuk menaklukkan kehidupan yang seperti
perang (war-like life). Simbol Athena ini jelas sekali bertolak belakang dengan
penggambaran perempuan sebagai Liyan. Athena sebaliknya merupakan sebuah
181
babak baru dari performa perempuan sebagai diri yang tidak lagi termarginalisasi,
namun justru sebagai pahlawan yang dominan yang mampu menaklukkan apa pun
di hadapannya termasuk menaklukkan laki-laki.
Identifikasi simbol lain yang terkait dengan perempuan adalah burung
merpati. Keberadaan merpati putih dalam MV membalikkan konvensi mitologis
Yunani yang mana sang Dewi Athena biasanya dipadankan dengan burung
peliharaan disayanginya—burung hantu (owl). Sebaliknya dalam MV ini,
perempuan-perempuan yang mengaku diri adalah Athena tidak memperlihatkan
simbolisasi burung hantu melainkan menggantinya dengan burung merpati.
Kenapa? Tidak ada perempuan yang ingin disamakan dengan hantu. Ia jelas
memilih penggambaran visual seekor merpati putih yang cantik, mulus, dan tidak
bercacat. Merpati merupakan penggambaran dari tubuh-tubuh tak bernoda. Ia juga
mewakili kemurnian dan kepolosan seorang Athena yang masih perawan. Dengan
cara yang seperti ini, perempuan memperlihatkan kekuatannya untuk merayu lakilaki melalui usahanya untuk mempercantik diri, berganti-ganti kostum dari
fashion yang satu ke fashion lainnya. Banyaknya model fashion yang digunakan
dalam MV ini merupakan simbol virtual dari pernyataan perfect dress for perfect
body (pakaian yang sempurna untuk tubuh yang sempurna).
4.1.5. Kode semik (codes of semes)
Kode pembacaan ini mengungkapkan keberadaan ideologis di antara ruang-ruang
kebudayaan Timur dan Barat. Perjuangan ideologis dalam MV ini mengarah pada
konflik abadi yaitu relasi konflik antar gender (laki-laki dan perempuan). Dalam
182
logika dunia maskulin, perempuan seharusnya tidak bisa ‘berbicara’, ia
merupakan oknum sang Liyan yang memiliki status sebagai kelas subordinat yang
tidak memiliki kekuasaan. Konflik ini juga menarik persoalan rasial dan
seksualitas, sehingga mau tidak mau, semua faktor tersebut bermain bersama
(interplay). Permainan performa yang dihadirkan di dalam panggung performa
merupakan relasi budaya-budaya, antara yang terjajah dengan yang menjajah.
Status sebagai ‘yang terjajah’ dari masa lalu dikukuhkan sebagai status
perempuan. Sementara itu, status ‘yang menjajah’ merupakan status kebanggaan
kaum laki-laki.
Namun kode semik tidak mendefinisikan relasi ‘yang terjajah’ dan ‘yang
menjajah’ hanya berdasarkan relasi gender. Kode semik mengajak sedikit lebih
jauh ke arah masa lalu kolonialisme. Status sebagai ‘sang penjajah’ memiliki
identitas ganda, yaitu laki-laki, serta—dan konteks postkolonialisme—Barat.
Perempuan merupakan manusia postkolonial yang mengusung identitas sang
Liyan sejak masa lalu. Perempuan Timur (secara khusus) dianggap sebagai
kelompok manusia yang mengalami kolonialisme ganda karena ia diasumsikan
dijajah oleh laki-laki, dan bersamaan dengan itu, ia juga dijajah oleh manusiamanusia Barat.
Kode pembacaan semik ini mencoba membongkar makna yang ada di balik
makna. Ada persoalan ideologis yang hadir ketika MV ini lebih memilih untuk
menampilkan perempuan daripada laki-laki meskipun judul MV ini adalah “The
Boys”. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, ketakhadiran laki-laki adalah
makna bahwa laki-laki seharusnya ada di sana. Logika maskulin membenarkan
183
bahwa penamaan the boys dan the girls tidak sekedar berusaha mendeskripsikan
jenis kelamin namun juga mendefinisikan siapa yang punya kekuasaan.
Laki-laki dengan sadar telah memberikan posisi subjek kepada perempuan.
Kenapa demikian? Lirik lagu “The Boys” ditulis oleh laki-laki, namun diceritakan
dengan gaya bahasa perempuan. Hal ini membentuk resistensi melalui pola
mimikri yang cara meminjam diskursus patriarki. Perempuan meminjam identitas
laki-laki dan masuk ke dalam logika laki-laki. Sosok perempuan pun ditampilkan
dalam sosok yang maskulin (Athena). Mimikri direpetisi terus-menerus hingga
akhirnya “The Boys” muncul seolah-olah merupakan ekspresi logika perempuan.
Selain itu, perempuan juga melakukan mimikri dengan meminjam diskursus
Barat. Perempuan Timur merupakan manusia postkolonial yang lahir dari budaya
patriarki yang sangat kuat sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menanggalkan
identitas Liyan kecuali mereka membuka diri terhadap pola-pola kutural Barat.
Perempuan Timur mulai masuk ke dalam diskursus Barat ketika mereka
menegosiasikan Diri-nya ke dalam girls’ power yang jauh sebelumnya sudah
berkembang di Barat, di era feminisme liberal. Perbedaan multikultural membuat
perempuan Timur ketinggalan jauh di belakang dan pada akhirnya membuang
dirinya ke dalam Barat itu sendiri. Perempuan meminjam banyak hal dari
diskursus Barat dan ditampilkan di atas panggung performa: setting, teknik
kamera dan editing, kostum, bahasa tubuh, dan sebagainya.
Penggabungan mimikri dari dua diskursus ini menciptakan sosok
perempuan yang menjebak laki-laki dalam ilusi kesenangan. Dua konteks mimikri
yang berbeda ini direpetisi secara terus-menerus sehingga menghasilkan apa yang
184
disebut Butler sebagai drag show (pertunjukan paksaan) (Kroløkke dan Sørensen,
2006:130). Artinya, mimikri yang dilakukan bergerak melampaui identitas yang
sesungguhnya dan menghadirkan performa ilusi identitas dalam tubuh yang palsu.
Kepalsuan ini menciptakan tubuh-tubuh imitasi yang baru, yang berbeda dari
yang asli dan yang dimimikri. Performa the flawless nine merupakan perwujudan
dari drag show karena menciptakan model kecantikan yang baru, yang
menyerupai (namun tidak sama dengan) Barbie dan juga tidak sama dengan
kecantikan alami yang dimiliki oleh ras Korea Selatan.
Resistensi
melalui
mimikri
ini
menjadi
sempurna
ketika
MV
memperlihatkan deklarasi perempuan sebagai Diri yang berperang. Konsep
peperangan ini ditiru perempuan dari Dewi Athena yang dikenal sebagai dewi
peperangan. Perempuan Timur berusaha memperoleh pengakuan dalam panggung
performa dengan cara menegosiasikan identitas kultural Korea Selatan ke dalam
identitas yang berbeda yaitu Yunani Kuno. Perempuan dalam hal ini terperangkap
dalam fase yang disebut Freud sebagai fase narsistik (mengacu pada mitos Yunani
tentang Narcissus), di mana Diri jatuh cinta pada bayangannya sendiri
(O’Donnell, dkk, 2009:68). Perempuan meminjam identitas yang berbeda dengan
identitasnya, yaitu menjadi Athena, dan kemudian sang perempuan jatuh cinta
pada karakter yang ditiru olehnya. Dengan cara yang seperti ini, perempuan
bermain dengan mimikri, ia menghadirkan identitas fantasi yang diimprovisasi
seolah-olah menjadi sesuatu yang nyata.
185
4.2. Pandora: “Up and Up ah ah”
Unit analisis kedua yang akan dikaji secara paradigmatik adalah MV Kara yang
berjudul “Pandora”. Sama seperti MV sebelumnya, dalam MV ini juga terdapat
banyak sekali tanda yang selanjutnya akan dikelompokkan ke dalam leksia-leksia
yang disesuaikan dengan kode-kode pembacaan.
4.2.1. Kode Hermeneutika (hermeneutic code)
Leksia pertama yang muncul dalam kode pembacaan hermeneutika terletak pada
bait pertama. Leksia ini mengungkapan relasi antara subjek dan objek dalam
narasi lirik secara keseluruhan. Dari leksia ini muncul berbagai pertanyaan,
siapakah yang menduduki posisi sebagai subjek dan objek?.
(bait pertama)
You can’t hide it[2], your eyes are shaking[3], your heart is beating[4],
because I’m strangely looking at you[5]. The rough breaths stimulates your
sense of touch[6], crush, crush[7]. Hold on[8], stop right there and look at
me[9], I will show you all of my hidden truths now[10]. Capture my heart[11].
Narasi MV mendefinisikan dua posisi, orang pertama /I/ dan orang kedua
/you/. Keseluruhan narasi dalam MV diungkapkan oleh perempuan. Syair demi
syair yang muncul dalam MV ini memperlihatkan sikap emosional ‘I’
(perempuan) terhadap ‘you’ (laki-laki). Di dalam bahasa Inggris terdapat
ungkapan, ‘I’ is not ‘me’ (Aku bukan aku). Permainan kata ini membuat
perbedaan yaitu, Aku (subjek) adalah bukan aku (objek) (O’Donnell, dkk,
2009:79). Dengan demikian, keberadaan ‘Aku’ di sini dimaksudkan untuk
memberi penekanan bahwa ‘Aku’ adalah subjek dan bukan objek. Pemutarbalikan
186
relasi perempuan dengan laki-laki di mana perempuan sebagai subjek merupakan
persoalan yang mendasari tafsiran ideologis mengenai resistensi perempuan.
Sebagai subjek, perempuan berbicara kepada laki-laki dalam posisi
dominan.
Pemahaman
kemampuan
laki-laki
perempuan
untuk
terhadap
memahami
laki-laki
dirinya
terlihat
sendiri.
melampaui
Perempuan
direpresentasikan sebagai sosok subjek yang aktif, yang diakibatkan dari aktivasi
peran seksual perempuan. Perempuan mencoba membujuk rayu laki-laki,
mengatakan pada sang lelaki agar menyerah pada usahanya meredam
gelora
hasrat terhadap perempuan. Perempuan menantang laki-laki untuk berserah,
dengan catatan, perempuan mengatakan bahwa ia akan memberikan hatinya jika
sang laki-laki mau mendekat. Laki-laki tentu saja terdorong untuk menyentuh
perempuan, namun ia hanya menahan diri.
Pembacaan hermeneutika terhadap narasi teks memperlihatkan ada banyak
kerancuan yang dimunculkan. Kenapa perempuan berusaha menggoda laki-laki?
Apakah karena sifat alami perempuan sebagai penggoda atau justru dikarenakan
oleh keinginan lain? Lalu kenapa laki-laki menolak perempuan? Apakah laki-laki
takut terhadap perempuan?. Perempuan tampaknya bergerak sangat aktif untuk
mendesak laki-laki, seperti yang diungkapkan dalam refrain.
(refrain)
Feel me[12]. Close to you and close to you[13], I will give you everything[14],
do you see me?[15] Close to me and close to me[16], take me up and up ah ah.
Up and up ah ah, up and up ah ah[17].
Perempuan menggunakan dua frasa yang hampir sama, yaitu “close to you”
dan “close to me” untuk mendefinisikan dua hal yang berbeda. Perempuan dengan
187
jelas mengatakan “close to you” terlebih dahulu, artinya, perempuan akan
mengambil langkah awal untuk mendekati laki-laki yang diingininya. Setelah itu,
perempuan berjanji akan memberikan segalanya jika laki-laki tersebut mau
berbalik arah untuk mendekati perempuan (“close to me”). Kedekatan perempuan
dengan laki-laki bersifat dyadic (dua arah) di mana dua manusia hanya akan
bersatu jika keduanya saling mendekatkan diri satu sama lain. Lalu, pertanyaan
yang muncul kemudian, apa yang diharapkan perempuan dari laki-laki yang mau
mendekatinya?
Frasa yang sama ditemukan juga di sepanjang narasi karena frasa ini diulang
sebanyak 11 (sebelas kali). Lalu, apa makna yang bisa ditafsirkan dari frasa take
me up and up ah ah, up and up ah ah, up and up ah ah?. Pernyataan ini seolah
pernyataan erotis yang berupa ajakan untuk melakukan aktivitas seksual. Dengan
mengungkapkan pernyataan ini, perempuan tertarik ke dalam pencitraan
seksualitas yang memiliki hasrat yang tak terkontrol terhadap laki-laki.
Perempuan menganggap remeh laki-laki karena dianggap tidak mampu
melakukan apa yang diinginkan perempuan. Di akhir narasi rap, perempuan
melampiaskan amarahnya pada laki-laki dengan mengungkapkan, “What do you
expect?[37] Next time You can’t come[38], You can’t leave[39]. You just go round and
round[40]. The countdown is starting, time is ticking[41]”.
Perempuan menghadapi situasi di mana ia telah membuka peluang untuk
memberikan segalanya, namun laki-laki masih saja tidak mampu melakukannya
(melakukan apa?). Ketidak-mampuan laki-laki dalam melakukan ‘sesuatu’
menyisakan sebuah misteri besar tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan
188
dengan pernyataan tersebut. Apa yang diharapkan perempuan dari laki-laki?.
Ekspresi yang paling emosional dari perempuan terlihat dalam syair [38] hingga
[40], yaitu ketika perempuan mengatakan pada laki-laki, “lain kali kamu tidak
akan bisa datang, tidak akan bisa pergi. Kamu hanya akan berputar dan berputar
saja”. Kenapa perempuan berkata demikian kepada laki-laki? Apakah keseluruhan
ekspresi perempuan dalam lirik berkaitan dengan judul MV “Pandora”?.
Istilah Pandora itu sendiri diambil dari masa lalu, pandora’s box, yaitu salah
satu artefak dalam mitologi Yunani. Pandora dalam MV ini merupakan intepretasi
modern terhadap salah satu mitologi Yunani. Pandora mengacu pada nama
perempuan, yang artinya “all gift” atau “she who gives all gifts”. Nama Pandora
itu sendiri sejalan pemaknaan nama ‘Kara’ yang diambil dari bahasa Yunani yaitu
“Chara” (χaρά) yang diartikan sebagai ‘sweet melody’. Dengan demikian, MV
Kara yang berjudul Pandora merupakan ekspresi perempuan terhadap hadiah
melodi indah yang dimilikinya.
Pandora adalah perempuan pertama yang diciptakan di dalam dunia oleh
dewa-dewi dalam mitologi Yunani, yaitu Zeus, Athena, dan Hermes. Kepada
Pandora, Zeus memberikan sebuah kotak dengan pesan agar Pandora tidak
membuka kotak tersebut apapun yang terjadi. Namun rasa ingin tahu membuat
Pandora mencuri kunci kotak tersebut dari suaminya Epimetheus dan
membukanya. Kotak yang terbuka itu ternyata melepaskan banyak roh-roh jahat
ke dalam dunia, yang akhirnya membuat Pandora menyesal karena telah
membuka kotak tersebut. Namun dalam kotak tersebut, roh terakhir yang
tertinggal adalah roh yang bernama ‘hope’, yaitu harapan (Hurwit, 1999:244).
189
Kotak Pandora dalam mitologi Yunani mengisahkan bagaimana perempuan
pertama di dunia membawa berbagai berbagai permasalahan ke dalam dunia.
Kisah Pandora ini, hampir sama dengan perempuan ciptaan bernama “Eve” yaitu
Hawa. Keduanya merupakan perempuan pertama yang diciptakan di dunia namun
menghasilkan kesia-siaan. Rasa ingin tahu Pandora, sama halnya dengan
ketidakmampuan Hawa menahan godaan setan telah mengakibatkan kesengsaraan
pada manusia.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah MV yang berjudul
Pandora ini memiliki intepretasi yang sama dengan mitologinya? Di dalam
mitologinya, kotak tersebut diberikan Zeus kepada Pandora ketika ia diturunkan
ke bumi. Oleh dewa-dewi, Pandora dikaruniai kecantikan yang luar biasa, yang
didasarkan pada kecantikan sang Dewi Athena, yaitu Athena Parthenos (Hurwit,
1999:242). Selain itu, ia dianugerahi rasa ingin tahu yang membuatnya penasaran
terhadap kotak yang seharusnya tidak dibuka olehnya. Namun jika menarik kisah
Pandora ke awal, sesungguhnya Zeus-lah yang dengan sengaja menciptakan
Pandora dengan tujuan menghukum manusia di muka bumi. Dengan kata lain,
perempuan bernama Pandora terjebak dalam dilema rasa ingin tahu dikarenakan
kehendak para dewa, yang akhirnya membuat Pandora dipersalahkan atas semua
kutukan yang terlepas dari kotak tersebut.
Kisah mitologis Pandora sesungguhnya merupakan representasi dari
dominansi laki-laki, dan sebagai bentuk pengukuhan atas patriarki. Pandora
disebutkan sebagai figur yang sangat cantik yang tidak ada duanya. Ia bahkan
dikategorikan sebagai seorang femme fatale, namun ia juga disebutkan sebagai
190
figur yang sangat ambigu: beautiful, dangerous, and evil. Itulah penggambaran
Pandora yang diciptakan sebagai senjata balas dendam dewa Zeus terhadap dunia
(Hurwit, 1999:244).
Namun logika mimikri yang dimunculkan dalam MV ini menghasilkan
ketidaksamaan dengan mitologi aslinya. Kotak Pandora dalam versi mitologis
Yunani dibuka oleh Pandora yang adalah perempuan, itulah sebabnya kenapa
kotak tersebut dinamai berdasarkan nama Pandora. Namun anehnya, visualisasi
Pandora dalam MV ini bukanlah perempuan, namun laki-laki. Yang membuka
kotak Pandora dalam MV ini adalah laki-laki. Pembalikan mitologis ini
merupakan wujud penolakan perempuan atas tuduhan pembawa masalah. Dalam
dunia modern yang diintepretasikan dalam MV ini, masalah tidak hanya berasal
dari perempuan, melainkan, masing-masing laki-laki dan perempuan mempunyai
kesempatan yang sama untuk berbuat kejahatan maupun kebaikan.
4.2.2. Kode Proairetik (proairetik code)
Kode proairetik dalam MV ini berusaha untuk membaca implikasi dari dinamika
tindakan yang dihadirkan dalam MV ini. Ketika laki-laki membuka kotak Pandora
yang ada di tangannya, performa dimulai. Dengan demikian, performa perempuan
dalam MV ini merupakan implikasi dari kotak Pandora yang terbuka. Sesuai
dengan mitosnya, perempuan-perempuan dalam hal ini digambarkan sebagai rohroh jahat yang dikeluarkan Pandora dari kotak yang diberikan Zeus.
Uniknya, perempuan tidak digambarkan serupa dengan kisah mitologisnya.
Perempuan tidak dihadirkan sebagai sumber penyakit, kutukan, kemiskinan, atau
191
hal-hal negatif lainnya yang membawa kesengsaraan bagi manusia di dunia.
Perempuan justru dihadirkan sebagai sosok perempuan yang cantik, sama seperti
ketika Zeus menciptakan Pandora berdasarkan pada kecantikan sang Dewi
Athena. Ketika kotak Pandora terbuka, keluarlah lima perempuan cantik yang
memiliki kemampuan untuk mengontrol dunia dengan memanfaatkan keindahan
tubuhnya. Hal ini dibenarkan oleh frasa “up and up ah ah” yang tedapat dalam
narasi. Frasa ini diungkapkan perempuan untuk pertama kalinya ketika laki-laki
membuka kotak Pandora, yang bisa disepadankan dengan ungkapan terimakasih
perempuan karena telah membebaskan dirinya dari kotak Pandora.
Up and up, ah ah. Bukalah, maka kau akan merasakan ah ah. Perempuan
berusaha untuk membujuk rayu laki-laki untuk membuka kotak Pandora. Di sisi
lain, laki-laki juga memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap perempuanperempuan Pandora. Pada akhirnya, sang laki-laki membuka kotak. Ia (laki-laki)
pun terjebak dalam keterpesonaannya terhadap perempuan yang membuat lakilaki ingin memiliki dan menyentuh perempuan, namun ia tidak memiliki
keberanian. Laki-laki terprovokasi oleh tubuh-tubuh indah yang muncul dari
kotak Pandora yang telah dibukanya.
Perempuan dalam MV Pandora ditampilkan dalam tubuh yang provokatif
secara seksual, dikarenakan kamera dan bahasa tubuh berfokus pada karakter
seksual yang dimiliki oleh masing-masing tubuh. Rangkaian tindakan dalam MV
ini menghasilkan pola fragmentasi. Fragmentasi mengacu pada proses di mana
karakter-karakter yang ada di dalam teks lebih cenderung dideskripsikan dalam
konteks bagian tubuh mereka daripada ditampilkan dalam tubuh yang utuh (Mills,
192
1998:207). Dalam MV ini, fragmentasi tubuh yang sering diperlihatkan adalah
mata, dada, punggung, kaki, dan tangan. Kesemuanya ini merupakan aspek-aspek
ketubuhan perempuan yang kaya akan ekspresi seksualitas.
Tubuh perempuan masuk ke dalam kontruksi dunia performa dan
memunculkan memori yang dihasilkan dari bahasa tubuh yang terus-menerus
diulang-ulang (Atkinson, 2006:95). Dalam MV ini, bahasa tubuh yang paling
dominan digunakan adalah sexual aggresiveness gesture. Tatapan perempuan
dalam hal ini merupakan ekspresi seksualitas perempuan yang mempermainkan
emosional laki-laki. Perempuan dalam MV ini menampilkan dirinya dalam
perilaku seksual yang ekstrim, namun dianggap sebagai hal yang biasa dan
natural. Sekuens MV ini menawarkan aktivitas seksual, salah satunya adalah
gerakan
tarian
sensual
yang
dipraktekkan
Nicole
dalam
path
stage
memperlihatkan adegan erotik berupa striptease (lihat preview 03.19). Kenapa
Nicole melakukan hal tersebut? Ia tampak seperti penari yang hampir telanjang
seolah-olah siap melakukan adegan one-night-stand. Hal ini merupakan
penggambaran perempuan yang secara visual merupakan subjek yang sangat aktif,
yang memperlihatkan identitasnya melalui kemampuannya untuk menggoda lakilaki dengan memanfaatkan tubuhnya.
Aktivitas stripping telah mereduksi dunia menjadi sekedar klub penari
telanjang, namun ia juga menjustifikasi bahwa aktivitas seksual semacam ini
menghasilkan
energi
positif
kepada
pergerakan
feminisme
(Roach,
2007:100,105). Kenapa demikian? Adegan stripping dianggap merupakan
ekspresi non-patriarkhis dari seksualitas perempuan dan fantasi aktivitas seksual.
193
Ia berbicara tentang kecantikan bukan tentang uang, ia merupakan performa
namun tidak diperuntukkan kepuasan hasrat laki-laki, glamour namun bukan seks,
dilihat namun tidak untuk disentuh (Roach, 2007:112).
Performa perempuan hanya sekedar menawarkan fantasi aktifitas seksual, ia
tidak dimanfaatkan sebagai pemuasan hasrat namun ia mempermainkan hasrat
laki-laki. Perempuan seolah-olah merasa puas dengan menggoda laki-laki, namun
selanjutnya ia tidak memberikan dirinya kepada laki-laki. Perempuan mendekati
laki-laki hingga pada titik tertentu dan kemudian ia akan berpaling pergi. Hal ini
memperlihatkan perilaku seksual yang tidak biasa, yaitu ketika perempuan
perlahan membuka jaketnya, memperlihatkan separuh punggungnya yang hampir
telanjang, namun sekejap kemudian ia kembali memakai jaketnya sambil
memainkan mata. Tindakan ini merupakan kenakalan perempuan yang
memainkan hasrat laki-laki, seolah-olah berkata pada laki-laki ‘beranikah kamu
membuka pakaianku dan menyentuhku?’. Hal ini merupakan perwujudan girls’
power yang dapat diistilahkan dalam frasa berikut, ‘you can see my body, but you
can’t touch it’. Perempuan memberikan kesempatan bagi laki-laki untuk bermain
hasrat namun tidak sepenuhnya melainkan hanya sebatas pandangan mata.
Perempuan sengaja melakukan hal ini untuk jual mahal, ia memposisikan dirinya
pada posisi tawar yang tinggi di depan laki-laki dengan mengatakan bahwa ia
(perempuan) hanya akan memberikan segalanya kepada laki-laki jika laki-laki
berhasil mendapatkan hati sang perempuan.
Lebih jauh lagi dikatakan bahwa adegan stripping atau tindakan yang
menyerupainya merupakan bagian dari nilai positif yang mengekspansi
194
kecantikan dan keseksian perempuan. Hal ini dianggap sebagai sebuah lelucon
terhadap patriarki, karena merupakan parodi terhadap norma-norma budaya
patriarki mengenai kecantikan dan seksualitas perempuan (Roach, 2007:112).
Dengan logika yang semacam ini, adegan yang menyerupai stripping yang
dilakukan perempuan dalam MV “Pandora” dianggap sebagai sebuah performa
parodi, yang membuat lelucon mengenai budaya patriarki yang kaku terhadap
tubuh perempuan.
Hal ini merupakan sebuah pembenaran atas kelicikan perempuan dalam
performa parodi yang dilakukannya, mengingat Korea Selatan, dan manusia
Timur secara umumnya merupakan bangsa yang kebanyakan lahir dari sejarah
patriarki. Implikasi yang dihasilkan dari tindakan ini tentu saja memunculkan
perubahan dalam masyarakat secara nyata. Kenapa? Karena adegan-adegan vulgar
semacam ini mengijinkan kita untuk melihat lebih jelas bagaimana sebenarnya
gender sebagai sebuah sistem regulasi yang ditransmisikan, ditampilkan, dan
dipaksakan oleh kebudayaan (Roach, 2007:2).
4.2.3. Kode Kultural (cultural code)
Era kebudayaan yang diciptakan MV adalah era irasional, yang mengisahkan
nuansa non-realistik. Hal ini terlihat dari gaya panggung yang lebih terlihat
sebagai dunia masa depan yang terisolasi dari dunia masa kini yang realistik.
Gaya kontemporer yang diimajinasikan dalam panggung MV menciptakan relasi
antara ruang dan waktu. Kenapa ruang dan waktu? Karena panggung dalam MV
ini memperlihatkan kekuatan futuristik yang memisahkan dunia masa kini dengan
195
dunia masa depan. Orang-orang dari gerakan futuris biasanya berusaha
melukiskan kecepatan yang memusingkan dan warna-warni kehidupan kota dalam
karya mereka (O’Donnell, dkk, 2009:14), seperti yang divisualisasikan MV ini
melalui degradasi warna pelangi yang menghiasi setting performa. Dimensi
futuristik yang dihadirkan dalam MV ini merupakan pola yang dicontoh dari
budaya populer Barat. Hollywood, misalnya, biasa memproduksi film yang
memperlihatkan pesona dunia di masa depan. Dimensi ini menciptakan citra yang
sulit diprediksikan. Ia berorientasi pada masa depan yang belum tentu bisa
dipastikan
kebenarannya,
menggambarkan
rangkaian
arsitektural
yang
menciptakan ruang-ruang yang menyerupai ruang luar angkasa.
Fashion juga merupakan salah satu kode pembacaan kultural yang
memunculkan diskusi mengenai penggambaran kelas sosial. Aku berbicara lewat
pakaianku (Dick Hebdige, dikutip dari Piliang, 2010:247), ungkapan ini
menggambarkan bahwa setiap pakaian membawa serta makna di balik makna.
Berbeda dengan MV “The Boys”, MV ini tidak menampilkan perempuan sebagai
perempuan classy dengan gaya aristokrat high fashion dan segala atribut classy
lainnya. MV “Pandora” justru menekankan pada model pakaian kontemporer,
yang mana model ini dianggap sebagai sebuah paradigma dalam sistem
penandaan yang memiliki relasi dengan dunia nyata (Calefato. 2004:11). Dalam
hal ini, dunia dimaknai berdasarkan pakaian. Model pakaian kontemporer bukan
sekedar imitasi melainkan inovasi dari apa yang telah direpetisi. Berpakaian mini
bukanlah cara berpakaian natural perempuan Korea Selatan, karena ketimuran
196
mereka membuat mereka patuh pada cara berpakaian yang konservatif (Connor,
2009:245).
Perempuan memilih untuk meninggalkan gaya konservatif dan beralih pada
inovasi gaya kontemporer yang ditirunya. Dengan tubuh yang dibalut dengan
pakaian minimal micro-skirt, perempuan dalam MV ini menampilkan performa
playfulness. Istilah playfulness sengaja digunakan untuk menekankan pada
perilaku seksual yang ditampilkan melalui potrait fashion yang dikenakan,
semacam penari stripping yang dengan lihai memainkan tubuhnya.
Dengan fashion yang demikian, perempuan merupakan figur yang sempurna
untuk permainan seksual. Mereka mewakili kelas sosial perempuan sebagai
wanita penghibur yang dalam sejarah Korea Selatan dikenal dengan sebutan
kisaeng. Kisaeng biasanya mendandani dirinya dengan sedemikian rupa untuk
menghibur laki-laki (Connor, 2009:183). Logika yang sama juga dapat
disambungkan dengan perempuan-perempuan Kara. Mereka secara gamblang
memasukkan diri mereka ke dalam konotasi seksual—tampil dalam tubuh yang
hampir telanjang dengan pakaian-pakaian yang provokatif, serta masuk ke dalam
permainan fisik sebagai penghibur dan penggoda.
Ungkapan Descartes mengenai deskripsi Diri yaitu “Cogito, ergo sum”
dimaknai sebagai “Aku berpikir, maka aku ada”, mengacu pada “Aku yang
berpikir” atau “Diri yang berpikir” (O’Donnell, dkk, 2009:32,64). Pemikiran
dalam ungkapan Descartes tampaknya bisa ditafsirkan ke dalam spekulasi
pemikiran untuk membangkitkan hasrat, untuk menggoda. Aku menggoda, maka
aku ada. Ide ini tampak seperti ocehan, namun ia membawa pemaknaan irasional
197
yang mendalam terhadap Diri perempuan yang selama ini tersembunyi di balik
Liyan.
4.2.4. Kode Simbolik (symbolic code)
Kode simbolik dalam MV ini mendefinisikan oposisi biner sebagai bentuk
ekstrim dari perbedaan-perbedaan yang dihasilkan leksia, yaitu perempuan > <
laki-laki.
Kedua
simbol ini merupakan
simbol yang
paling
dominan
diakomodasikan dalam MV, sementara simbol-simbol lainnya merupakan simbol
yang dapat diartikan paralel dengan perempuan atau laki-laki. Teori feminis dan
postrukturalis menunjukkan bahwa peran konsep biner dapat memunculkan
hierarki kekerasan di mana satu kategori yang beroposisi selalu lebih dominan
daripada kategori lain (Sutrisno dan Putranto, 2004:20). Relasi biner antara lakilaki dan perempuan pada dasarnya menghadirkan hierarki yang lebih besar, yaitu
oposisi biner antara penjajah dengan yang dijajah.
Simbol pertama yang diungkapkan oleh teks MV adalah laki-laki. Laki-laki
muncul dalam eksistensi yang sederhana dan terbatas. Fungsi performatif laki-laki
dalam MV ini hanya sebatas ekspresi singkat dari sifat kelaki-lakian yang pasif.
Kenapa dikatakan demikian? Karena laki-laki hadir hanya sebentar saja dalam
ruang performa, terkesan tidak melakukan apa-apa selain berdiam diri menjaga
kotak kaca berwarna merah muda yang merupakan metafora dari kotak Pandora.
Namun, kehadiran laki-laki dalam performa yang singkat merupakan simbol yang
penting karena menentukan relasi oposisinya terhadap perempuan. Nantinya, laki-
198
laki dalam MV dianggap sebagai objek ekspresi emosional yang diperlihatkan
oleh perempuan.
Istilah “ganteng” (handsome) biasanya diacukan pada simbol laki-laki. Ini
merupakan ukuran visual yang menjadi tolak ukur derajat ketertarikan
(attractiveness) dalam diri laki-laki (Mills, 1998:169). Laki-laki dalam MV ini
digambarkan sebagai sosok yang peragu. Hal ini dibuktikan dalam visualisasi MV
di awal, ketika sang lelaki memegang kotak kaca berwarna pink. Adegan ini
diiringi dengan musik yang sedikit misterius untuk memberi kesan misteri tentang
apa yang akan dilakukan laki-laki terhadap kotak tersebut. Kotak ini
diintepretasikan sebagai salah satu simbol lain yang muncul dalam MV ini yaitu
simbol dari kotak Pandora.
Laki-laki dalam MV ini merupakan simbolisasi dari Pandora, sementara
perempuan Kara yang muncul dalam MV ini merupakan simbolisasi dari kotak
Pandora (Pandora’s box). Performa perempuan disimbolkan dengan kotak
pandora yang dibuka oleh laki-laki. Saat kotak terbuka, saat itu pula performa
dimulai. MV ini telah melakukan pengambi-lalihan simbol-simbol dari masa lalu
dan menyesuaikannya dengan masa kini. Kenapa demikian? Karena perempuan
tidak ingin tetap disimbolkan sebagai pembawa masalah seperti yang dikisahkan
oleh mitologi Yunani. Simbol Pandora dan kotak Pandora, yaitu laki-laki dan
perempuan, memang menyisakan paradoks yang kompleks. Namun makna-makna
simbolik yang dihadirkannya dengan sengaja mengubah esensi posisi perempuan
sebagai pembawa masalah.
199
Perempuan mentransformasikan dirinya ke dalam representasi estetika
kecantikan tubuh. Jika ia (perempuan) dikatakan sebagai masalah, maka ia tidak
ingin muncul dalam wujud kesengsaraan, kemiskinan, atau kutukan. Sebaliknya,
perempuan muncul dalam setting permainan seksual. Dikatakan demikian karena
MV ini menjadikan perempuan sebagai subjek atas seksualitas tubuhnya. Tubuh
perempuan ditelanjangi melalui ribuan varian sikap, gaya, penampilan
(appearance)
dan
kepribadian,
mengkonstruksikan dan
menaturalisasikan
tubuhnya secara sosial dan kultural sebagai objek fetis, yaitu objek yang dipuja
karena dianggap mempunyai kekuatan pesona (rangsangan, hasrat, citra) tertentu
(Piliang, 2010: 332).
Proyeksi perempuan sensual dan kuat biasanya diposisikan sebagai si
penggoda yang pada dasarnya adalah iblis (Arivia, 2006:165). Ia adalah
penggambaran dari roh-roh jahat yang dikeluarkan Pandora dari kotak pandora,
namun dalam rupa penggambaran yang lebih halus. Iblis di sini dimaknai sebagai
iblis penggoda, ia bermain-main dengan laki-laki, menjelajahi hasrat laki-laki
tanpa memuaskannya. Perempuan mendaur-ulang konsep ‘masalah’ yang
dimaksudkan dalam kotak pandora menjadi persoalan tubuh yang berubah-ubah
gaya, berganti-ganti pakaian, berputar-putar di atas panggung performa sesuai
dengan kehendaknya sendiri. Segala sesuatu yang ditampilkan perempuan dalam
panggung performa adalah kontrol penuh atas dirinya
Kebebasan perempuan dari kotak pandora membuat laki-laki menyesal telah
membuka kotak tersebut. Kenapa? Karena laki-laki mengakibatkan dominasi
perempuan dengan menggunakan simbol-simbol sensualitas yang tidak dimiliki
200
laki-laki. Ia (laki-laki) pun dianggap berhasrat terhadap penggambaran
perempuan-perempuan yang memiliki kecantikan setingkat dengan dewi. Lakilaki menjadi tergila-gila pada perempuan, ia mencerminkan kepanikan atas
kejatuhan laki-laki karena keterpesonaannya pada perempuan.
Pada akhirnya, MV ini menggambarkan bagaimana laki-laki kehilangan
dimensi rasionalitasnya dan pada titik yang fatal, ia sendiri yang masuk ke dalam
kotak pandora yang telah dibukanya. Hal ini terjadi karena laki-laki dianggap
tidak mampu mengontrol emosi dan hasratnya yang pada akhirnya membuat ia
terjebak dalam ruang terpisah yaitu kotak pandora. Hal ini mendapatkan
pembenaran dari sepotong narasi yang diungkapkan perempuan kepada laki-laki,
“lain kali kamu tidak akan bisa datang, tidak akan bisa pergi. Kamu hanya akan
berputar dan berputar saja”. Frasa ini menandai ketidakhadiran laki-laki karena
sang laki-laki telah menghilang, masuk ke dalam kotak pandora untuk
menggantikan posisi perempuan.
Simbol lain yang muncul dalam MV adalah mobil sport. Mobil merupakan
objek dari dunia masa kini—artefak modern yang memperlihatkan nilai kekinian
(Jameson, 1984:496). Simbol ini merupakan strategi untuk mengklaim bahwa
masa modern merepresentasikan kehidupan yang menantang karena perempuan
tidak lagi takut memperlihatkan seksualitas mereka. Perempuan diperlihatkan
duduk di depan kemudi mobil sport yang biasanya dikemudikan oleh laki-laki.
Pada saat yang sama, perempuan masuk ke dalam logika maskulin dan
menggunakan seksualitas sebagai kontrol simbolis atas laki-laki
201
Simbolisme fashion dalam MV ini memperlihatkan varian yang sama yaitu
micro-clothing, tipe pakaian kontemporer yang luar biasa pendeknya. Secara
visual, fashion yang dikenakan oleh para perempuan Kara terlihat seperti pakaian
dalam (inner). Dengan pakaian yang semacam ini, perempuan Kara tampil
sebagai perempuan yang terkesan nakal karena bermain-main dengan tubuhnya
sendiri. Fashion yang dikenakan menampilkan dinamisme perempuan Timur yang
memiliki ruang gerak yang bebas dan cepat, dengan asumsi perempuan tidak
memerlukan tipe pakaian yang membuat ruang geraknya menjadi tertutup,
lamban, dan sulit untuk berekspresi.
4.2.5. Kode Semik (Codes of Semes)
Kode pembacaan semik dalam MV ini berurusan dengan pemaknaan konotasi,
yang membongkar persoalan-persoalan ideologis yang tak kasat mata dan
seringkali terpisah jauh dengan tanda-tanda yang. Kode semik menemukan
adanya eksistensi dari ruang kebudayaan yang chaotic, di mana seksualitas
merupakan permainan virtual antara perempuan dan laki-laki. Seksualitas dalam
hal ini tidak lagi dibayangkan sebagai hubungan fisik antara perempuan dan lakilaki, namun dikonotasikan sebagai hubungan virtual yang semata-mata
merupakan permainan seks—seolah-oleh menikmati relasi seksual tersebut namun
tidak mampu untuk menjangkau tubuh-tubuh seksual dalam ruang performa.
MV ini merupakan bagian dari nostalgia masa lalu, ketika eksistensi
perempuan di masa lalu diakui sebagai nilai tukar seksual, sebagai Liyan. Namun
202
nostalgia masa lalu ini dihadirkan dalam relasi ruang dan waktu dengan masa
depan. Dengan berorientasi pada masa depan, posisi perempuan sebagai Liyan
berubah arah. Perempuan menyangkal status diri sebagai Liyan, mengaburkan
memorinya akan identitasnya sebagai objek seksual. Sebaliknya, perempuan
dihadirkan dalam nuansa kekinian, bahkan dalam imajinasi/prediksi tentang masa
depan. Perempuan tidak lagi sekedar nilai tukar seksual, namun ia memiliki
kontrol yang sepenuhnya atas seksualitas tubuhnya. Dalam hal ini, performa
perempuan membangkitkan ingatan masa lalu dan menggantikannya dengan
momen di mana perempuan memiliki imaji dominasi terhadap laki-laki.
MV ini menghadirkan mitos baru dengan cara mendaur-ulang mitos lama. Ia
menggambarkan perempuan sebagai kotak pandora, bukan sebagai Pandora,
karena Pandora dalam MV ini mengacu pada laki-laki. Kotak pandora dalam
dunia modern merupakan penggambaran dari dunia perempuan yang ‘nakal’,
penuh dengan romantika dan sensualitas di mana perempuan merasa memiliki
sensasi kesempurnaan tubuh yang digunakannya untuk mengontrol laki-laki. Ia
bersinggungan dengan ruang dan waktu di masa lalu di mana perempuan dulunya
dianggap sebagai sosok yang lemah, yang termarjinalkan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa penggambaran kotak pandora dalam MV ini merupakan wujud
penentangan perempuan terhadap posisi Liyan yang selama ini dipikul olehnya.
Perempuan meminjam mitologi Yunani yaitu Pandora untuk membalikkan relasi
antara Diri dengan Liyan. “Up and up ah ah” merupakan mantra bujuk rayu
perempuan kepada laki-laki dengan tujuan agar laki-laki mau membukakan pintu
kotak pandora untuknya. Dengan kata lain, laki-laki adalah sang pangeran yang
203
membangunkan snow white dari tidur-nya. Sepenggal mitologi ini mengisahkan
strategi muslihat yang digunakan perempuan untuk mentransformasikan posisi
Liyan-nya menjadi Diri yang terlihat.
4.3. Mosaik Performa: Sebuah Perbandingan Analisis
Kode pembacaan hermeneutika dalam kedua unit analisis penelitian menafsirkan
relasi subjek-objek dalam narasi lirik. MV “The Boys” memperlihatkan relasi
antara we – you, sementara MV “Pandora” memperlihatkan relasi antara I – you.
Kata you di sini sama-sama mendeskripsikan laki-laki, dengan demikian, kedua
narasi MV sama-sama mengisahkan relasi antara perempuan dengan laki-laki,
namun dari sudut pandang yang berbeda. “The Boys” menganggap laki-laki
sebagai imaji, ketidakhadiran laki-laki dalam MV merupakan salah satu bentuk
penaklukan perempuan atas the boys of the world (laki-laki di seluruh dunia).
Sementara itu, “Pandora” menganggap laki-laki sebagai objek yang menantang
perempuan untuk memanfaatkan tubuhnya untuk menggoda laki-laki.
Kode hermeneutika juga menafsirkan bahwa masing-masing narasi MV
memperlihatkan adanya penggunaan gaya bahasa feminin (feminist stylistic),
meskipun masing-masing lirik ditulis oleh laki-laki. Istilah feminist stylistic
mengacu pada gaya bahasa feminin biasanya akan memperlihatkan adanya
perbedaan-perbedaan yang tersembunyi yang seringkali telah dinaturalisasikan,
karena gaya bahasa tersebut dianggap sebagai sesuatu yang ‘normal’ dan
merupakan bagian dari ‘common sense’ masyarakat (Mills, 1998:21). Gaya
penulisan yang feminin biasanya ditujukan untuk mengartikulasikan pengalaman
204
dan perasaan perempuan (O’Donnell, dkk, 2009:84-85). Contoh intepretasi
terhadap gaya bahasa feminin dalam kedua MV di atas yaitu, penggunaan istilahistilah seperti “my boy” dan “my heart” dalam MV The Boys, dan penggunaan
istilah “ah ah” dalam MV Pandora merupakan contoh ungkapan yang biasanya
hanya keluar dari mulut seorang perempuan. Secara tidak langsung, narasi MV
telah menciptakan referensi tersendiri dengan perempuan-perempuan di luar dunia
performa dan mensimbolisasikan bahwa bahasa merupakan sebuah diferensiasi
yang diperlukan perempuan untuk berinteraksi dengan laki-laki.
Selain itu, kode hermeneutika juga melakukan penafsiran yang sama di
dalam kedua unit analisis. Mengapa kedua MV ini menggunakan karakterkarakter Mitologi Yunani di dalam panggung performa? Mengapa Athena?
Mengapa Pandora? Kenapa Yunani?. Mitos kemurnian ras.
Seperti
yang
dilakukan Hitler untuk menciptakan satu ras unggul yaitu ras para tuan dengan
tujuan memperoleh kesempurnaan genetis (O’Donnell, dkk, 2009:103). Kedua
MV ini sengaja meminjam mitologi Yunani sebagai upaya penyamaan diri antara
Timur dengan Barat.
Kode proairetik memunculkan implikasi dari tindakan performa yang
dilakukan oleh perempuan dalam K-Pop MV. Dalam “The Boys”, aktivasi girl
sebagai woman mengakibatkan aktivasi pengetahuan dan perilaku seksual dari
perempuan. Ketakhadiran laki-laki membawa makna subjek yang aktif bagi
perempuan, namun dengan kecantikan yang terstandarisasi sesuai
dengan
performa the flawless nine. Perempuan dalam MV “The Boys” digambarkan
sebagai sosok heroine yaitu Athena, sebagai perwujudan dari girls’ power.
205
Perempuan tidak lagi menjadi Liyan, namun dia memiliki kekuatan dan kekuasaan
untuk memperlihatkan identitasnya sebagai sosok yang mendominasi laki-laki.
Sementara itu, kode proairetik dalam MV Pandora memunculkan implikasi dari
visualiasi perempuan dalam tubuh-tubuh yang provokatif. Hal ini dianggap
sebagai bentuk penantangan terhadap budaya patriarki yang menganggap
perempuan tidak memiliki hak untuk mempertontonkan tubuhnya di depan publik.
Perempuan dalam MV ini banyak melakukan tindakan-tindakan sensual yang
ekstrim yang dianggap mendobrak nilai-nilai konvensional yang dianut oleh
masyarakat ke-Timur-an.
Selanjutnya, jika dilihat dari kode pembacaan kultural, kedua MV ini
bertumpu pada logika kebudayaan yang sama. Performa perempuan memakai
logika teknik performa yang sama dengan Barat (setting, kamera, musik, dll), ia
juga menggunakan logika fashion dan kecantikan yang serupa. Selain itu, kedua
MV sama-sama bertumpu pada akar mitologis yang sama yaitu mitologi Yunani
kuno. Mitologi ini sengaja digunakan dalam MV sebagai identitas pembeda yang
dimanfaatkan melalui mimikri.
Dalam kode pembacaan simbolik, kedua MV ini memperlihatkan oposisi
binair yang sama. Laki-laki versus perempuan, namun dalam relasi ini laki-laki
sebagai objek dan perempuan sebagai subjek. Laki-laki dalam MV “The Boys”
merupakan perwujudan dari ketakhadiran laki-laki, ia hanya dideskripsikan dalam
narasi sebagai sosok yang bergantung pada perempuan. Sementara dalam MV
“Pandora”, laki-laki merupakan sosok peragu yang pada akhirnya membuat
perempuan berbalik untuk mengontrol dirinya. Simbolisasi perempuan dalam
206
masing-masing MV memanfaatkan simbol mitologis Yunani kuno, yaitu Dewi
Athena dan kotak Pandora. Athena merupakan penggambaran perempuan sebagai
sosok yang maskulin, sejalan dengan karakter Athena sebagai dewi peperangan.
Sementara itu, MV “Pandora” menyimbolkan perempuan sebagai roh jahat yang
dikeluarkan laki-laki dari dalam kotak Pandora. Kejahatan perempuan dalam hal
ini dimaknai sebagai kontrol seksualitas perempuan atas laki-laki.
Kode pembacaan simbolik juga memandang fashion sebagai sebuah simbol.
Masing-masing MV memperlihatkan model fashion yang kontemporer (atau
perpaduan kontemporer dengan high fashion) yang dimaknai sebagai sebuah
wujud kebebasan perempuan untuk memanfaatkan tubuhnya sesuai dengan
keinginannya. Simbol lain yang terlihat dalam MV “The Boys” adalah burung
merpati sebagai refleksi dari kecantikan tak bernoda yang dimiliki perempuan,
sementara, MV “Pandora” memperlihatkan simbol mobil sport sebagai refleksi
dari gaya perempuan kontemporer yang maskulin.
Pada akhirnya, kode semik dalam masing-masing MV membaca
keseluruhan performa sebagai mitos perempuan Timur yang berusaha untuk
memperjuangkan negosiasi Diri perempuan dengan memanfaatkan apa pun yang
dianggap perempuan bisa digunakan untuk menantang budaya Barat yang selama
ini mendominasi Timur. Performa perempuan, dalam bahasa Lacanian, disebutkan
sebagai sebuah ideologi yang menantang aturan simbolik (symbolic order) Barat
dan patriarki dengan cara menyatakan diri mereka sebagai Diri yang berbicara
(Forte, 2002:239). Dengan demikian, ideologi ini merupakan perwujudan
207
resistensi perempuan terhadap Barat, yang dilakukan melalui proses mimikri
terhadap diskursus Barat dan patriarki itu sendiri.
4.4. Figur Mimikri Sang Liyan
Resistensi bukanlah sebuah utopia. Mengacu pada pendapat Stuart Hall, resistensi
bukanlah sebuah realitas tunggal maupun universal, namun resistensi dapat
mendefinisikan dirinya sendiri, kapan pun, di mana pun. Resistensi merupakan
sebuah aktivitas yang memproduksi nilai-nilai ideologis, sama halnya dengan
argumentasi Bennett yang mengkarakteristikkan resistensi sebagai wujud respon
virtual terhadap kekuasaan (Barker, 2000:342, 343).
Penelitian ini mengindikasikan bahwa resistensi perempuan dalam ruang
performa menghadirkan sebuah ruang negosiasi antara kelompok yang
tersubordinasi dengan kelompok yang memiliki kekuasaan, dengan kata lain,
antara perempuan [Timur] dengan Barat. Resistensi ini merupakan sebuah
perjuangan untuk eksis di tengah-tengah maraknya Barat, dan uniknya, resistensi
ini tidak hadir sebagai sebuah konfrontasi terhadap Barat namun justru
menghadirkan sebuah relasi mediasi. Inilah permainan performa, sebuah usaha
untuk membingkai kembali (re-frame) relasi yang tidak seimbang antara
perempuan [Timur] dengan Barat.
Gambar 4.1.
Resistensi Perempuan: Figur Mimikri Sang Liyan
Mimicry
Passing
Pastiche
Mediation
Mixture
Sumber: Hasil pengamatan penelitian (mengacu pada Gambar 1.3)
208
Mimikri merupakan sebuah perjuangan ideologis perempuan untuk
melakukan resistensi. Perempuan dapat dengan sadar melakukan mimikri, strategi
ini dianggap sebagai satu-satunya cara untuk membalikkan wacana eksploitasi
terhadap dirinya. Melalui mimikri, perempuan masuk dalam logika Barat. Ia
bercermin pada perempuan Barat, berdandan seperti perempuan Barat, berpakaian
seperti perempuan Barat, berbicara dalam bahasa yang umum digunakan di
belahan dunia Barat, mengeskpresikan tubuh seperti perempuan Barat, dan
bermain dengan instrumen sejarah yang sama dengan Barat.
Itulah yang dilakukan perempuan, merepetisi hal-hal yang sama dengan
tujuan membuat untuk mengubah yang invisible menjadi visible. Dengan logika
yang semacam ini, seperti yang telah digambarkan di atas, perempuan dalam KPop MV pada akhirnya menciptakan figur mimikri yaitu passing (merujuk pada
tabel Figures of Mimicry). Passing merupakan sebuah usaha untuk mengambil
(atau meminjam) kategori sosial seseorang yang berbeda dari yang dimiliki
(Kroløkke dan Sørensen, 2006:131). Dengan kata lain, pola passing ini dimaknai
sebagai sebuah kemampuan untuk menjadi seperti dan/atau melampaui apa yang
ditirunya. Passing ini memperlihatkan aktifitas penyamaan identitas untuk
meniadakan relasi yang tidak seimbang (inequality), yaitu relasi antara perempuan
[Timur] dengan Barat.
Passing merupakan salah satu premis penting dalam teori performa
poststrukturalis yang memperlihatkan bagaimana seorang mimik berpura-pura
209
menjadi sesuatu yang lain untuk bisa diterima. Idealnya, pola ini akan
menghasilkan mimesis (proses peniruan) yang melampaui (lebih baik) dari apa
yang yang ditirunya. Dengan kata lain, mimesis yang dihasilkan dari passing
adalah pastiche, yaitu pola yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari
pelbagai sumber dari masa lalu. Pastiche mengambil kepingan-kepingan sejarah,
mencabutnya dari semangat zamannya dan menempatkannya dalam konteks masa
kini (Hidayat, 2012:129). Pastiche merupakan praktik netral dari mimikri yang
dilakukan tanpa adanya maksud parodi tersembunyi. Dengan kata lain, pastiche
merupakan parodi yang kosong (blank parody) (Jameson, 1984:493).
Berdasarkan dua tataran pemaknaan semiotika Roland Barthes, penelitian
ini mengidentifikasi munculnya ideologi (dalam bahasa Barthes disebut mitos)
resistensi yang menggunakan instrumen mimikri dalam hal: (1) relasi gender, (2)
mitologi, dan (3) kecantikan. Masing-masing dari ketiga diskursus ini
memperlihatkan adanya pola passing yang mendeskripsikan bagaimana ideologi
resistensi muncul melalui mimikri, seperti yang diuraikan sebagai berikut:
210
Tabel 4.1
“Resistensi Perempuan Melalui Mimikri dengan Pola ‘Passing’”
Diskursus
Mimikri
Relasi
Gender
Posisi lakilaki
(1)
Posisi
perempuan
MV Girls’ Generation
“The Boys”
Membongkar relasi perempuan
dengan laki-laki (we – you);
perempuan digambarkan sebagai
subjek.
Mengacu pada ‘boys’, bukan ‘man’.
Hal ini menekankan pada
ketidakdewasaan laki-laki (boy). Di
sisi lain, ruang performa
menawarkan ketidakhadiran
(absence) laki-laki sebagai bentuk
inferioritas laki-laki terhadap
perempuan.
Ekuivalensi antara ‘girl’ dan
‘woman’, dengan memperlihatkan
pola aktivasi tubuh seksual.
Perempuan digambarkan sebagai
heroin yang merupakan sumber
kearifan bagi laki-laki.
MV Kara
“Pandora”
Membongkar relasi perempuan
dengan laki-laki (I – you);
perempuan digambarkan sebagai
subjek.
Laki-laki sebagai penyelamat
perempuan sekaligus sebagai
pembawa masalah terhadap
diskursus Patriarki, karena telah
mengakibatkan perempuan
memperoleh kontrol atas dirinya
dan atas laki-laki itu sendiri.
Posisi perempuan sebagai ‘woman’,
memperlihatkan kontrol
sepenuhnya terhadap tubuh seksual
perempuan dengan citra
playfulness.
Pola Passing
Melampaui konsep Barat
mengenai “phallogocentrism”
yang menganggap laki-laki
sebagai the one and only.
Perempuan digambarkan sebagai
Diri karena telah membalikkan
relasi oposisi antara laki-laki dan
perempuan.
Melampaui logika oposisi biner
laki-laki VS perempuan, di mana
perempuan menjadi subjek yang
dominan yang meniru konsep
feminisme liberal mengenai
“girls’ power”.
211
Diskursus
Mimikri
Akar
Peradaban
(2)
Intepretasi
Mitologis
Mitos
Kecantikan
(3)
Fashion
Gestur
MV Girls’ Generation
“The Boys”
MV Kara
“Pandora”
Yunani Kuno
Yunani Kuno
Dewi Athena. Perempuan
digambarkan sebagai generasi the
city of Athens, yang terdiri dari
banyak Athena. Perempuan dalam
logika maskulin yang menolong lakilaki dalam menghadapi kehidupanyang-seperti-perang. Menekankan
pada perbedaan kelas antara manusia
(laki-laki) dan Dewi.
Pandora (Pandora’s Box).
Pembalikan mitologis yang mana
laki-laki membuka kotak Pandora
dan mengeluarkan perempuan dari
dalam kotak.
Perempuan menggoda laki-laki
untuk membuka kotak, dan ketika
terbuka, laki-laki terjerat dalam
hasratnya terhadap perempuan.
Kecantikan yang bercermin dari
kecantikan tokoh mitologis,
Pandora, yang kononnya mendapat
warisan kecantikan dari Dewi
Athena.
Melampaui konsep kecantikan ideal
Barat, dengan bercermin pada
kecantikan Dewi Athena.
Meniru konsep high fashion dari
Menerapkan konsep fashion
Barat, dipadu dengan gaya
kontemporer.
kontemporer.
Gestur seksual sebagai wujud peniruan terhadap grrrl feminism, di mana
perempuan memiliki kontrol sepenuhnya atas tubuh dan seksualitasnya
Sumber: Data yang diolah
Pola Passing
Meniru dan/atau melampaui tolak
ukur kebudayaan Barat, yaitu
Yunani Kuno.
Pola ini mematahkan dominansi
Barat karena dianggap bukan
sesuatu yang taken-for-granted,
melainkan sama seperti budaya
Timur dalam kajian ini, bersifat
Eurosentrisme.
Konstruksi kecantikan artifisial
yang ditiru dan/atau melampaui
konsep kecantikan Barat yang
dianggap sebagai ideal[ized]
beauty.
Sumber kecantikan artifisial
menciptakan tubuh palsu yang
berbeda dari tubuh yang natural,
dan dilengkapi dengan segala
atribut artifisial termasuk fashion
dan gestur tubuh.
212
Lebih lanjut lagi, proses mimikri dengan pola passing sebagai sebuah
bentuk resistensi perempuan akan dijelaskan sebagai berikut. Pertama, relasi
gender. Kedua MV dalam penelitian ini sama-sama mengeksplorasi relasi gender
antara perempuan dengan laki-laki dengan tujuan memposisikan perempuan
sebagai subjek. Kata pertama “we” dan “I” secara linguistik memposisikan
perempuan lebih dominan dibandingkan “you” yang mengacu pada laki-laki.
Pola passing menjelajahi relasi gender melampau relasi oposisi biner yang
selama ini mengkonstruksikan perempuan sebagai kelompok yang subordinat
terhadap laki-laki. Passing memisahkan perempuan dengan objek, dan beralih
kepada subjek. Hal ini sejalan dengan kritik Derrida manifestasi filosofi Barat
yaitu “phallogocentrism” yang menganggap hierarki binair antara perempuan dan
laki-laki merupakan sebuah asumsi beku yang tidak dapat diubah. Kritik Derrida
ini menghadirkan sebuah fase yang disebutnya sebagai mirror phase, di mana
subjek (Diri/the Self) dapat dikonstitusikan melalui bahasa. Dengan logika
Derrida, other akan berefleksi menjadi (m)other (Kroløkke dan Sørensen,
2006:35-36).
Penggunaan bahasa dalam narasi MV merupakan persoalan krusial yang
bisa mengalihkan objek menjadi subjek, Liyan menjadi Diri, seperti yang
diungkapkan oleh Derrida. Dengan demikian, relasi gender menerima pengaruh
yang sangat besar dari bahasa (Kroløkke dan Sørensen, 2006:36). Dan secara
konsekuen pula, apa yang dihadirkan dalam visualisasi kode sinematik akan
menyesuaikan dengan posisi subjek yang dikonstruksikan oleh narasi lirik.
213
Mengutip kembali apa yang diungkapkan Luce Irigaray mengenai konsep
mimikri, “to play with mimesis is thus, for a woman, to try to recover the place of
her exploitation through discourse, without allowing herself to be simply reduced
to it. It means to resubmit herself ..., that are elaborated in/by masculine logic, but
so as to make ‘visible’, by an effect of playful repetition, what was supposed to
remain invisible...” (Kroløkke dan Sørensen, 2006:129). Pergerakan feminisme
Dunia Ketiga sengaja menggunakan perempuan sebagai pemeran utama dalam
panggung performa karena perempuan merupakan peniru yang baik (good
mimics). Ia dikatakan peniru yang baik karena perempuan [Timur] lahir dari rahim
patriarki yang membangun relasi kesenjangan di antara perempuan dan laki-laki.
Bagi perempuan [Timur], laki-laki [Barat] adalah pusat peradaban (Mohanty,
1994:215), sehingga perempuan harus bergerak menjadi dan melampaui laki-laki
untuk memperoleh kekuasaan. Dengan kata lain, perebutan kekuasaan
dimungkinkan terjadi jika sang Liyan mampu meniru atau bahkan meniru lebih
baik sosok sang pemilik kekuasaan.
Pola passing lain yang bisa diidentifikasi dalam relasi gender adalah
penyamaan konsep girl’s power antara perempuan Timur dengan perempuan
Barat. Konsep ini sesungguhnya berkembang dalam paham feminisme liberal
Barat (salah satu ikonnya adalah Madonna, lihat bab II). Kedua MV
memperlihatkan kecenderungan proses mimikri yang berusaha menyamai
perempuan Timur dalam hal kontrol penuh atas tubuh dan seksualitas yang
dimiliki oleh perempuan. Akhirnya, relasi gender dalam kedua MV analisis
memperlihatkan perjuangan ideologis perempuan [Timur] masuk ke dalam logika
214
maskulin untuk mengambil alih posisi subjek, dan juga menolak bias patriarki
yang menganggap bahwa perempuan tidak memiliki kebebasan atas dirinya.
Kedua, mitologi. Mitologi di sini mengacu pada kumpulan kisah mitos
dalam peradaban Yunani Kuno. Mitologi menjadi sebuah persoalan ideologis
dalam penelitian ini karena uniknya, kedua MV analisis dengan sengaja
memasukkan unsur-unsur mitologi Yunani ke dalam produk budaya populer KPop. Kode hermeneutika sebelumnya telah mempertanyakan, mengapa Yunani?.
Salah satu intepretasi passing dalam persoalan mitologi ini adalah karena
‘sejarah’ memiliki sejarah. Kalimat ini diungkapkan oleh Bertens dalam buku
terjemahan berjudul ‘Panorama Filsafat Modern’ (2005) untuk menyatakan bahwa
manusia berkembang dari dimensi historis yang berlapis. Meskipun Bertens
berbicara dari sudut pandang filsafat, namun hal ini menjadi persoalan yang
penting dalam penelitian ini mengingat perempuan Timur yang dikaji dalam KPop MV di YouTube ditandai oleh eksistensi sejarah dalam persoalan Liyan yang
diperolehnya sebagai manusia postkolonial.
History berasal dari bahasa Yunani yaitu historein yang artinya
‘menyelidiki’ (Bertens, 2005:229). Apa yang perlu diselidiki? Sejarah di balik
sejarah. Yunani kuno merupakan bagian dari masa lampau yang menjadi titik
tumpu pengetahuan masa kini yang dikembangkan oleh Barat. Kenapa demikian?
Barat banyak menyandarkan eksistensi manusianya kepada pengetahuanpengetahuan yang telah terlebih dahulu dibangun dalam dimensi sejarah, yaitu
masa Yunani Kuno. Filsafat Barat, misalnya, meresap ke dalam masyarakat dan
215
kebudayaan Yunani Kuno dan menyaksikan pahlawan-pahlawan mitologi yang
memiliki kehendak dewa-dewi yang tak terelakkan (Bertens, 2005:233).
Barat juga banyak bertumpu pada ahli pikir seperti Herodotus Phytagoras,
Socrates, Hippocrates, Archimedes, dan Plato. Dan tak jarang, nama dewa-dewi
seperti Apollo, Poseidon, Hermes, dan yang lainnya sering dimanfaatkan oleh
Barat. Barat bersandar pada dimensi sejarah yang dirintis oleh Yunani. Dengan
demikian, dominasi yang dimiliki Barat selama ini bukanlah sesuatu yang takenfor-granted, namun merupakan proses perkembangan kontinuitas.
Di sisi lain, dilihat dari sudut pandang feminisme multikultural, pergerakan
feminisme Dunia Ketiga (baca: Timur) yang ditampilkan dalam kedua MV ini
sengaja menyodorkan perempuan untuk mencari titik temu resistensi Timur
terhadap Barat. Resistensi terhadap kebudayaan Barat membuat Timur melakukan
kalkulasi kebencian, dan menarik kebudayaan kembali pada akar dari kebudayaan
Barat itu sendiri—Yunani Kuno. Feminisme kemudian bergerak untuk meminjam
sejarah masa lampau dari Yunani kuno untuk menentang budaya Barat. Resistensi
ini terjadi untuk “menciptakan leluhur yang sama” sehingga melahirkan logika
kebudayaan yang sama.
Perempuan bergerak melampaui dirinya dan berpura-pura menjadi bagian
dari sesuatu yang ada di luar dirinya (identitasnya sebagai Athena dan Pandora).
Dengan demikian, ruang performa memberi penawaran ideologis tentang
resistensi—sebuah proses mimikri yang bergerak melampaui sejarah peradaban
Barat dengan tujuan untuk menyamakan diri dengan Barat itu sendiri. Industri
kebudayaan raksasa Korea Selatan untuk selanjutnya, perlahan-lahan akan
216
berkembang dan menjadi sejalan dengan industri budaya Barat karena keduanya
bergerak dari ruang dan waktu yang sama—mitologi Yunani kuno.
Ketiga, kecantikan. Konsep ini sesungguhnya telah menjadi persoalan
ideologis dalam pergerakan feminisme di berbagai wilayah. Idealnya, Barat
disebut-sebut sebagai standar kecantikan bagi perempuan-perempuan non-Barat.
Hal ini tentu saja meninggalkan jejak perbedaan di antara keduanya. Kedua MV
dalam penelitian ini muncul dengan nilai ideologis kecantikan yang berbeda
dengan kecantikan Barat yang diagung-agungkan. Dilihat dari pola passing-nya,
kecantikan yang ditampilkan dalam kedua MV bergerak melampaui konsep
kecantikan ideal. Dengan meminjam kisah mitologis Yunani, perempuan dalam
MV pun turut meminjam kecantikan Dewi Athena dan sosok Pandora yang
memperlihatkan identitas cantik yang tidak biasa. Menjadi cantik dalam hal ini
menjadi sebuah persoalan ideologis karena dituntut untuk menciptakan tubuh
palsu yang berbeda dari tubuh yang natural. Eksistensi kecantikan yang seperti ini
merupakan kecantikan artifisial yang dilengkapi dengan segala atribut artifisial
termasuk fashion dan gestur tubuh.
Pola passing, dalam teori poststrukturalis performa, merupakan sebuah
sumber krusial bagi strategi komunikasi performa (Kroløkke dan Sørensen,
2006:135). Passing merupakan sebuah konstruksi Diri (the Self) yang aktif karena
proses mimikri dengan pola ini memungkinkan perempuan bergerak dari satu
identitas ke identitas lain, sesuai dengan apa yang ingin ditirunya. Itulah sebabnya
mengapa mimikri dengan pola passing ini disebut pula sebagai usaha untuk
melakukan mediasi. Proses ini tidak membentuk resistensi sebagai realitas yang
217
universal, namun ia menjadi strategi mediasi yang mencoba membingkai kembali
relasi kesenjangan antara Liyan dan Diri.
Akhirnya, perempuan dalam hal ini digambarkan sebagai “Diri yang
tercabut dari wilayahnya”. Istilah ini ditujukan untuk menggambarkan keinginan
untuk menjadi bebas bergerak melampaui masa lalu untuk menghancurkan kultur
dominasi (O’Donnell, dkk, 2009:76-77). Perempuan meninggalkan posisi yang
selama ini telah diwariskan secara turun-temurun dalam budayanya, dan pada satu
titik, perempuan memanfaatkan performa untuk menata-ulang persoalan ideologis
seputar diri perempuan, sekaligus menentang dominasi kebudayaan Barat.
BAB V
REFLEKSI TERHADAP PERFORMA PEREMPUAN:
“DARI SUNYI MENJADI BUNYI”i
“I imagine a postcolonial Asia constructed through the flows of popular culture
where the term “Korean Wave” will be used together with the “Indonesian Wave”, etc.,
since it provides us with new “contact zones” to reflect upon them and myself
who have been “othered” for so long in modern history.”
~ Cho Hae-Joang, 2005 ~
Ketika Timur dipertemukan dengan Barat, apa yang mungkin terjadi? Ruang
ketiga. Dalam pandangan postkolonialis Homi Bhabha, ruang ketiga diistilahkan
dengan “liminality”, “in-between” atau “third-space”, yaitu ruang perjumpaan
perbedaan-perbedaan kultural dan sekaligus ruang penciptaan identitas di mana
terjadi gerak interaktif terus-menerus antara status-status yang berbeda, yaitu di
antara “mereka yang merasa diekslusi” dengan mereka yang (dituduh)
“mengesklusi” (Sutrisno dan Putranto, 2004:95). Barat dan Timur dalam hal ini
bertemu dalam sebuah platform bernama situs YouTube, implikasi yang
dimunculkannya adalah hadirnya ruang ketiga yang sifatnya berada di antara (in
between). Aktor dalam ruang ini adalah perempuan Timur yang menjadi ramuan
utama melakukan perjuangan untuk membunuh identitasnya sebagai Liyan.
Industri budaya Barat telah lama mendominasi ruang-ruang kebudayaan
multikultural Timur dan memonopoli ideologi sehingga Barat dianggap sebagai
sebuah kebenaran. Namun monopoli yang ditanamkan dalam sebuah industri
budaya, tidak terlepas dari kemungkinan kecil munculnya resistensi, terlebih
218
219
karena logika kebudayaan mulai bergeser seiring dengan perkembangan teknologi
(Adorno dan Horkheimer, 1999:33).
Perkembangan masif dari teknologi telah memungkinkan informasi
disebarluaskan melampaui ruang dan waktu, dan sebagai efeknya, budaya lokal
hadir sebagai sebuah bentuk resistensi terhadap budaya global. Kini, K-Pop tidak
lagi sekedar budaya lokal milik Korea Selatan, namun ia menjadi sebuah industri
budaya populer dari Asia Timur, yang berdiri sebagai bentuk counter-hegemoni
dari budaya Barat. Industri ini perlahan mendominasi media secara global, hingga
disebut-sebut telah menggantikan posisi Barat dalam hal imperialisme budaya
(Huat, 2012:145, 152).
Argumen di atas menjadi substansi penting bagi penelitian ini, untuk
merenungkan kembali perkembangan-perkembangan budaya populer yang
memenuhi ruang publik masyarakat, yang kemunculannya didukung oleh
perkembangan teknologi berbasis internet. Dengan mempertimbangkan aneka
ragam teks musik populer yang ada di situs YouTube, penelitian ini memilih dua
teks MV untuk ditonton, dicermati, dipahami, dibaca, dan dibongkar pada dua
tataran analisis yaitu sintagmatik dan paradigmatik. Pada akhirnya, ada realitasrealitas ideologis yang dimunculkan seiring dengan proses penelitian dilakukan,
dan dengan demikian penelitian ini diarahkan untuk merenungkan implikasi yang
dimunculkannya terhadap realitas nyata yang ada di dunia. Sesuai dengan
signifikansi penelitian (lihat 1.4.), maka implikasi dari penelitian ini terbagi atas 3
(tiga) kelompok yaitu: implikasi teoritis, praktis, dan sosial.
220
5.1. Implikasi Teoritis
From silence to performance. Kalimat ini menggambarkan pergerakan feminisme
dari diam yang bergerak perlahan menuju performa. Proses ini menggambarkan
perkembangan pandangan feminisme dari mulai gelombang pertama hingga
gelombang ketiga, yang disebut sebagai performance third-wave feminism
(Kroløkke dan Sørensen, 2006:22). Gelombang ketiga menandai pergerakanpergerakan feminisme yang mencoba untuk mendobrak sistem, dan memposisikan
perempuan dan feminisme itu sendiri ke dalam politik perbedaan dan
multiplisitas. Dalam hal ini perempuan tidak lagi dimaknai sebagai individu yang
berasal dari dunia yang sama, melainkan dari dunia yang berbeda yaitu Dunia
Pertama dan Dunia Ketiga.
Bagi
perempuan-perempuan
Dunia
Ketiga,
sama
halnya
dengan
penggambaran perempuan Timur (Korea Selatan) yang dikaji dalam penelitian ini,
feminisme dipandang berbeda dengan yang ada di belahan bumi
Barat.
Perempuan Timur mengalami kolonialisme ganda, yang disebut Trinh T. Minh-ha
sebagai “the other Others” dan “inappropriated others” (Kroløkke dan Sørensen,
2006:13). Dengan demikian, feminisme di Dunia Ketiga bergerak dengan cara
yang berbeda dengan feminisme di Dunia Pertama, yaitu melalui pola feminisme
multikultural—yang menempatkan perempuan pada konteks budaya yang berbeda
karena pengalaman sejarah yang berbeda.
Konsep teoritis feminisme multikultural dalam penelitian ini membenarkan
adanya perbedaan posisi di antara perempuan-perempuan di seluruh dunia. Pada
pergerakan feminisme gelombang ketiga, penelitian ini memperlihatkan cikal
221
bakal lahirnya generasi baru yang nantinya akan dikarakteristikkan dengan
perkembangan bio-teknologi (Kroløkke dan Sørensen, 2006:17), salah satunya
dengan cara melakukan operasi plastik untuk menyembunyikan identitas asli dari
ras Korea Selatan dan menjelma ke dalam kecantikan artifisial ala Barbie—yang
menyerupai Barat. Feminisme ini akan membenarkan adanya operasi plastik
sebagai salah satu hak perempuan untuk bertahan hidup agar mendapat pengakuan
atas Diri-nya. Perempuan dalam penelitian ini memperlihatkan keberanian diri
untuk mengklaim kekuasaan, seperti yang terungkap dalam perkataan Natasha
Walter (tokoh new feminist) yaitu “we embrace the power!” (Kroløkke dan
Sørensen, 2006:18).
Penelitian ini memperlihatkan performa perempuan sebagai perwujudan dari
usaha perempuan untuk membunuh identitas Liyan yaitu “the other Others”
dengan menggunakan beberapa instrumen resistensi yaitu: relasi gender, mitologi
dan kecantikan. Mitologi Yunani merupakan salah satu point of interest dalam
penelitian ini, yang mengeskpos strategi perempuan untuk berdialog dengan dunia
Barat—dengan cara
meminjam instrumen ‘masa lalu’
yang kononnya
melatarbelakangi perkembangan peradaban Barat hingga seperti saat ini. Performa
perempuan yang bermain dengan sejarah Yunani Kuno ini memperlihatkan
adanya klaim kekuasaan, yaitu klaim posisi yang sama antara Barat dan Timur.
Keduanya menjadi counter-culture satu sama lainnya dan bermain bersama
(interplay) dalam platform media massa bernama situs YouTube.
Dengan demikian, penelitian ini membenarkan prediksi
performance
theories mengenai figur mimikri yaitu passing. Pada tahapan lebih lanjut, figur
222
mimikri ini merupakan pilihan strategi untuk melakukan mediasi atau justu
konfrontasi. Semua konsep ini teroperasionalisasikan dalam proses pembacaan
atas teks MV yang dikaji dalam penelitian ini, yang mana, mimikri yang
dilakukan Timur terhadap Barat memanfaatkan pola passing dengan cara
meminjam diskursus patriarti dan di sisi lain meminjam diskursus Barat. Hasil
dari performa ini memperlihatkan kompleksitas pastiche yang mengembangkan
tumpang tindih alternatif bagi perempuan untuk membunuh identitasnya sebagai
sang Liyan. Matinya sang Liyan merupakan usaha ideologis mimikri dengan pola
(passing), yang pada akhirnya, hasil dari performa memperlihatkan bahwa
perempuan [Timur] menciptakan ruang ketiga yaitu “in between” yang di
dalamnya terjadi mediasi terhadap narasi kebudayaan Barat. Ideologi resistensi
melalui pola mimikri passing ini menciptakan identitas ilusi yang tidak sama dari
yang asli dan yang ditiru. Dengan kata lain, mimikri dilakukan bukan sekedar
meniru, namun tiruan yang dihasilkan menciptakan figur peniru yang sifatnya
berbeda, baru, dan melampauii apa yang ditirunya.
Teori-teori dan konsep-konsep yang digunakan sebagai landasan pemikiran
dalam penelitian ini telah memperlihatkan adanya diskursus mengenai resistensi
sang Liyan melalui performa perempuan dalam K-Pop MV di YouTube. Namun
perkembangan pergerakan feminisme (feminism movement) tidak menutup
kemungkinan munculnya dunia yang lebih berbeda dari apa yang ditampilkan
dalam penelitian ini, sehingga dibutuhkan ruang interaksi teoritis yang lebih
terbuka untuk memperkaya penelitian-penelitian komunikasi di ranah feminisme.
223
5.2. Implikasi Praktis
Munculnya ruang ketiga atau in between menghadirkan persoalan-persoalan
ideologis yang memerlukan adanya kesadaran ideologis dari media massa. Kajian
mengenai performa perempuan merupakan salah satu model kajian komunikasi
feminis, dengan demikian, mau tidak mau penelitian ini memberikan implikasi
penting bagi media massa terutama yang berhubungan dengan konten perempuan
yang dihadirkan media massa ke dalam ruang publik.
Teks media telah mengaktifkan makna-makna ideologis mengenai resistensi
perempuan. Sejalan dengan itu, teks media pun dituntut dengan sejumlah
tanggungjawab. Media massa (konvensional maupun digital), bagaimana pun,
tidak boleh melupakan tanggungjawab sosialnya di mana penyiaran seharusnya
diarahkan untuk menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa serta
diarahkan untuk memajukan kebudayaan nasional (UU Penyiaran No.32/2002
pasal 5). Meskipun kehadiran K-Pop MV di YouTube menjadi cermin resistensi
Timur terhadap Barat, media massa tidak boleh sembarangan mengutip,
memotong, dan menampilkannya di ruang publik, seperti imitasi-imitasi I-Pop
(Indonesia Popular Music) yang merupakan upaya peniruan terhadap K-Pop.
Implikasi praktis dalam penelitian ini tidak hanya terfokus pada situs
YouTube, yang di Indonesia diwakilkan dengan keberadaan YouTube Indonesia.
Namun penelitian ini menjelajahi ruang publik yang dipenuhi oleh varian media
yang berbeda-beda, mengingat peperangan antara budaya Timur dan Barat tidak
hanya terjadi di situs YouTube. Penelitian ini berharap media massa di Indonesia
untuk tidak sekedar menjadi imitator sejati, namun media massa harus mampu
224
mengurai persoalan-persoalan ideologis yang melekat dalam produk-produk
budaya populer, dan dengan demikian media massa dapat mengarahkan
perkembangan budaya populer Indonesia ke arah yang lebih baik tanpa
meninggalkan esensi lokalitas kebudayaan Indonesia yang bhinneka tunggal ika.
Ruang publik Indonesia merupakan ruang budaya yang penuh dengan
keberagaman. Kehadiran konten media berupa produk budaya populer Korea
Selatan diharapkan tidak menjadi bentuk homogenisasi kebudayaan, namun
sebaiknya diarahkan pada penciptaan harmonisasi dialog antar ragam produk
kebudayaan yang bermunculan seiring dengan perkembangan pesat dari
globalisasi. Pada akhirnya, implikasi praktis dari penelitian ini mengarah pada
pembentukan jaringan kebijakan (policy network) (Suwitri, 2011:30-32) yang
salah satunya mengarah pada institusionalisasi, khususnya institusionalisasi
kebudayaan. Mengapa demikian? Tidak bisa dipungkiri bahwa kesuksesan Korea
Selatan dengan industri K-Pop telah membuat banyak bangsa mengingini hal yang
sama, termasuk Indonesia. Menjadi imitator sejati bukanlah pilihan, namun
Indonesia harus bisa bercermin pada Korea Selatan yang sukses menjaga
keseimbangan antara budaya populer dengan budaya lokal. Institusionalisasi
kebudayaan merupakan usaha menjaga keseimbangan produk budaya dengan cara
membentuk jaringan kebijakan mengenai kebudayaan baik di tingkat individu,
institusi,
maupun
pemerintah.
Dengan demikian,
implikasi dari
usaha
institusionalisasi kebudayaan ini adalah munculnya pertimbangan peraturan
perundang-undangan yang mengatur jalannya strategi kebudayaan.
225
Pertimbangan kebijakan berkaitan dengan usaha institusionalisasi budaya
merupakan persoalan penting, mengingat institusionalisasi budaya dapat menjadi
langkah awal untuk mengkonseptualisasikan adanya soft power, atau disebut pula
diplomasi kultural (Huat, 2012:119). Untuk mencapai soft power, pemerintah
Indonesia, bersamaan dengan pelaku media, harus mempertimbangkan produk
budaya populer sebagai sebuah sumber daya yang perlu dikontrol dan diawasi
perkembangannya.
5.3. Implikasi Sosial
Mem-Barat-kan Timur, demikian performa perempuan dihadirkan dalam
panggung performa YouTube. Persoalan ini tidak hanya memunculkan implikasi
secara praktis terhadap pengelola media massa, namun yang tidak kalah penting,
persoalan ini akan menciptakan perubahan dalam masyarakat sebagai konsumen
media masa. Jika diabaikan, khalayak media dikhawatirkan akan menciptakan—
meminjam istilah Benedict Anderson—imagined community (Anderson, 1991,
2008). Penggunaan komunitas imajinasi dalam hal ini dimaksudkan untuk
menggambarkan masyarakat yang mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari
bangsa yang memproduksi produk budaya yang dikonsumsinya. Lebih lanjut lagi,
Appadurai mengembangkan konsep
imagined community Anderson dan
menyebutnya sebagai imagined worlds, yang di dalamnya terdapat beragam dunia
yang terbentuk karena situasi historis yang imaji (Appadurai, 1994:329). Fakta
penting bagi pembentuk imaji ini adalah media, yang sejak lama menawarkan
kepada khalayak beragam bentuk budaya dan ideologi untuk dikonsumsi.
226
Beberapa tokoh cultural studies seperti Stuart Hall, Adorno, Horkheimer,
dan Richard Hoggart sama-sama menegaskan bahwa media telah menciptakan
audien budaya virtual yang bodoh dan tidak mampu memberikan respons terhadap
berbagai produk dan aktivitas budaya yang tidak ditoleransi dan tidak
distandarisasikan oleh industri budaya (Tester, 2009:121). Ideologi resistensi yang
melekat dalam performa perempuan di dalam K-Pop MV di YouTube pada
dasarnya merupakan hal yang baik. Ia memberi ruang kebebasan bagi perempuan
Timur untuk memiliki kontrol penuh atas dirinya, dan juga memberikan energi
positif bagi perkembangan pergerakan feminisme di dunia ketiga. Namun, jika
media massa gagal melakukan fungsinya untuk menjaga harmonisasi dialog antar
kebudayaan, maka dikhawatirkan khalayak massa yang diciptakan oleh media
merupakan khalayak virtual yang bodoh, yang tidak mampu memilih dengan
benar konten yang merupakan kebutuhannya.
Dengan demikian, penelitian ini berimplikasi pada perintisan literasi media
mengenai konten-konten musik populer di media massa. Penelitian ini mengajak
masyarakat untuk menjadi khalayak yang aktif, dengan cara memanfaatkan
berbagai jenis media massa sebagai sumber-sumber informasi sehingga khalayak
tidak hanya diterpa oleh satu macam ideologi. Khalayak aktif yang dimaksudkan
juga diharapkan dapat mengembangkan dan menularkan cara berfikir kritis yang
tidak spontan menerima apa yang ditampilkan media massa sebagai perceived
reality saja, melainkan mampu mengaktifasi kesadaran khalayak dalam
mengkonsumsi media. Penelitian ini memandang literasi media sebagai sebuah
regulasi diri dari masyarakat dengan cara mengembangkan sikap toleransi
227
kultural, sebagai bentuk tanggung jawab masyarakat multikultural Indonesia yang
mengkonsumsi produk budaya asing namun harus tetap menjaga harmonisasi
dialog antar kebudayaan.
i
Judul bab ini terinspirasi dari sub judul buku yang ditulis oleh Kroløkke dan Sørensen (2006)
yaitu “Gender Communication Theories and Analysis: From Silence to Performance”. Buku ini
digunakan sebagai sumber teori poststrukturalis mengenai performa perempuan yang digunakan
sebagai salah satu dasar pemikiran teoritis dalam penelitian ini.
BAB VI
PENUTUP
“Mimicry is an exaggerated copying of language, culture, manners, and ideas”
~ Homi K. Bhabha ~
6.1. Simpulan
Penelitian ini lahir dari keterpesonaan sekaligus kekhawatiran terhadap
perkembangan pesat dari industri budaya Korea Selatan yang disebut-sebut
sebagai Hollywood-nya Asia, sebuah wajah baru dalam ruang kebudayaan Timur
yang selama ini didominasi oleh Barat. Semula, China menyebutnya sebagai
fenomena hallyu. Fenomena yang sama kini bergerak lebih jauh merasuki ruangruang kebudayaan dalam bentuk neo-hallyu—yang berkembang pesat akibat
pemanfaatan media internet. Sebagai sebuah efek domino dari krisis ekonomi
global di akhir tahun 1900-an, industri budaya Korea Selatan berkembang
melampaui batasan geografis, seakan-akan mengambil alih posisi Barat sebagai
leluhur yang merintis begitu banyaknya produk-produk budaya kontemporer.
Keterpesonaan sekaligus kekhawatiran ini menyisakan sebuah misteri besar
mengenai
keberadaan
mitos
resistensi
sang
Liyan,
yaitu Timur
yang
memanfaatkan perempuan sebagai aktor performa karena perempuan adalah the
[other] Others, Liyan yang lain.
Performa perempuan dalam K-Pop MV di YouTube merupakan hasil
pergerakan feminisme Dunia Ketiga, yang menandai adanya perbedaan
multikultural antara perempuan Barat dengan perempuan non-Barat. Dengan
228
229
menggunakan pisau analisis semiotika Barthes, penelitian ini mencoba membaca
teks K-Pop MV dalam dua tataran, yaitu sintagmatik dan paradigmatik. Dalam
tataran sintagmatik, penelitian ini mengurai teks MV dalam dua kategori utama
yaitu narasi dan kode-kode sinematik yang diistilahkan dengan mise-en-scéne.
Sementara itu, tataran paradigmatik terbagi dalam lima kode pembacaan yang
digunakan untuk menelanjangi teks (kode hermeneutika), memprediksikan
implikasi tindakan (kode proairetik), mengungkap referensi kultural (kode
kultural), mengartikulasikan pemaknaan simbolik (kode simbolik), serta mitos
atau ideologi yang ada di balik makna (kode semik).
Dari hasil penelitian, ditemukan adanya kecenderungan resistensi yang
dilakukan perempuan Timur melalui performa. Perempuan dalam hal ini dianggap
sebagai mimik yang baik, dalam artian peniru yang baik. Perempuan adalah
mimik laki-laki, dan bersamaan dengan itu, ia adalah mimik Barat. Dengan kata
lain, perempuan meniru logika laki-laki, dan bersamaan dengan itu, ia meniru
logika Barat. Ideologi resistensi perempuan muncul dalam ruang performa melalui
proses mimikri “passing” dengan memanfaatkan instrumen yaitu: relasi gender,
mitologi, dan kecantikan.
Ideologi resistensi dalam relasi gender memperlihatkan adanya pengambilalihan posisi subjek dari laki-laki. Relasi gender menandai posisi perempuan
sebagai Diri. Dengan demikian, perempuan memisahkan dirinya dari Liyan dan
masuk ke dalam logika laki-laki untuk mengambil alih posisi laki-laki. Ideologi
resistensi dalam hal mitologi merupakan sebuah usaha untuk meleburkan simbolsimbol mitologis Yunani kuno ke dalam teks MV. Mitologi ini menciptakan
230
counter-ideology antara Timur dengan Barat—melampaui sejarah peradaban
Barat dan mengakar pada Eurosentrisme (yaitu Yunani Kuno). Sementara itu,
ideologi resistensi yang muncul dalam hal kecantikan, memperlihatkan sebuah
proses penciptaan model kecantikan yang melampaui kecantikan Barat yang
disebut sebagai kecantikan artifisial ala K-Pop.
Akhirnya, perempuan [Timur] merupakan figur mimikri (mimik) yang
berusaha untuk memperjuangkan eksistensi yang selama ini tidak diakui.
Perempuan meminjam kepingan-kepingan budaya berbeda untuk ditiru sama
seperti, dan/atau melampaui apa yang ditirunya. Proses perjuangan ideologis ini
tidak menghadirkan realitas resistensi yang universal, namun menghadirkan
alternatif strategi yaitu mediasi untuk membentuk ruang kebudayaan in between—
sebuah negosiasi aktif antara Timur dengan Barat, antara sang Liyan dengan Diri.
6.2. Saran
Penelitian ini diharapkan menjadi titik awal yang mewarnai varian kajian
komunikasi feminis. Fenomena seperti K-Pop merupakan pergerakan feminisme
yang mendobrak sistem dominan—Barat dan laki-laki, sehingga diperlukan ragam
kajian untuk membongkar kompleksitas ideologis yang dihasilkan. Secara
akademis, penelitian ini menyarankan untuk penggunaan pendekatan FPDA
(Feminist Postructuralist Discourse Analysis) untuk membongkar wacana yang
lebih mendalam yang terdapat dalam performa perempuan di media massa. Secara
praktis, penelitian ini menyarankan para pelaku di media massa untuk lebih
mempertimbangkan konten media massa sesuai dengan pertimbangan kebijakan
231
yang lebih matang. Secara sosial, penelitian ini mengajak masyarakat untuk
menjadi khalayak aktif yang mampu meregulasi diri sendiri dengan cara merintis
literasi media dan mengembangkan sikap toleransi kultural.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adorno, Theodor dan Max Horkheimer. (1999). The Culture Industry: Enlighment
as Mass Deception. Dalam Simon During (ed.), The Cultural Studies Reader
(2nd ed.) (31-41). London: Routledge
Anderson, Bennedict. (1991). Imagined Communities: Reflections on The Origin
and Spread of Nationalism (revised ed.). London: Verso
Anderson, Bennedict. (2008). Imagined Communities: Komunitas-Komunitas
Terbayang. Yogyakarta: INSIST
Anderson, S., Heather Bateman, Emma Harris, dan Katy McAdam (2006).
Dictionary of Media Studies. London: A & C Black Publishers Ltd
Appadurai, Arjun. (1994). Disjuncture and Difference in The Global Cultural
Economy. Dalam Patrick Williams dan Laura Chrisman (eds.), Colonial
Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader (324-339). Hertfordshire:
Harvester Wheatsheaf
Appadurai, Arjun. (1999). Disjuncture and Difference in The Global Cultural
Economy. Dalam Simon During (ed.), The Cultural Studies Reader (2nd
ed.) (220-232). London: Routledge
Appadurai, Arjun. (2006). Disjuncture and Difference in The Global Cultural
Economy. Dalam Meenakshi Gigi Durham dan Douglas M. Kellner (eds.),
Media and Cultural Studies: Key Work (revised ed.) (584-603). USA:
Blackwell Publishing.
Arivia, Gadis. (2006). Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas
Atkinson, Paul. (2006). Opera and The Embodiment of Performance. Dalam
Dessis Waskul dan Phillip Vannini (eds.), Body/Embodiment: Symbolic
Interaction and the Sociology of the Body (95-107). Hampshire: Ashgate
Austin, Gayle. (2002). Feminist Theory: Paying Attention to Women. Dalam
Lizbeth Goodman dan Jane de Gay (Eds), The Routledge Reader in Gender
and Performance (136-142). London: Routledge
Barker, Chris. (2000). Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage
Publications
232
233
Barker, Chris. (2004). The Sage Dictionary of Cultural Studies. London: Sage
Publications
Barker, Chris. (2005). Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: PT
Bentang Pustaka
Barthes, Roland. (1990). The Fashion System. London: University of California
Press
Barthes, Roland. (1991). Mythologies. New York: The Noonday Press
Barthes, Roland. (2007). Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau
Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. Yogyakarta: Jalasutra
Bennett, Andy, Barry Shank, dan Jason Toynbee (eds.). (2006). The Popular
Music Studies Reader. New York: Routledge
Berger, Asa Arthur. (1991). Media Analysis Techniques (revised ed). California:
Sage Publications
Bertens, K. (2005). Panorama Filsafat Modern (edisi revisi). Jakarta: Teraju
Buckley, Cheryl dan Hilary Fawcett. (2002). Fashioning the Feminine:
Representation and Women’s Fashion from The Fin De Siecle to The
Present. London: I.B. Tauris & Co Ltd
Budiawan. (2010). Ambivalensi: Post Kolonialisme Membedah Musik Sampai
Agama di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra
Calefato, Patrizia. (2004). The Clothed Body: Dress, Body, Culture. Oxford: Berg
Casey, Bernadette, Neil Casey, Ben Calvert, Liam French, dan Justin Lewis.
(2008). Television Studies: The Key Concepts (2nd ed.). Oxon: Routledge
Christian, Clifford G. (2011). Ethics and Politics in Qualitative Research. Dalam
Denzin, Norman K. Dan Yvonna S. Lincoln (eds.), The Sage Handbook of
Qualitative Research (ed.4) (61-80). LA: Sage Publications
Connor, Marry E. (ed.). (2009). Asias in Focus: The Koreas. California: ABCCLIO, LCC
Conrad, Clifton F. dan Ronald C. Serlin. (2011). The Sage Handbook of Research
in Education: Pursuing Ideas as the Keystone of Exemplary Inquiry (2nd
ed). USA: Sage Publications
Danesi, Marcel. (2009). Dictionary of Media and Communications. New York:
M. E. Sharpe, Inc
234
Danesi, Marcel. (2012). Popular Culture: Introductory Perspective. Maryland:
Rowman & Littlefield Publisher, Inc
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). (2000). Handbook of
Qualitative Research. New York: Sage Publications
Durham, Meenakshi Gigi dan Douglas M. Kellner (eds.). (2006). Media and
Cultural Studies: Key Works (revised ed.). USA: Blackwell Publishing.
Elliot, Anthony. (2009). Contemporary Cultural Theory: An Introduction.
London: Routledge
Fairclough, Norman. (1995). Media Discourse. London: Edward Arnold
Fenton, Natalie (ed.). (2010). New Media, Old News: Journalism & Democracy in
the Digital Age. London: Sage Publications
Forte,
Jeanie K. (2002). Women’s Performance Art: Feminism and
Postmodernism. Dalam Lizbeth Goodman dan Jane de Gay (Eds), The
Routledge Reader in Gender and Performance (236-240). London:
Routledge
Frith, Simon, Andrew Goodwin, dan Lawrence Grossberg. (2005). Sound and
Vision: The Music Video Reader. Oxon: Routledge
Gabriel, Teshome H. (1994). Towards a Critical Theory of Third World Films.
Dalam Patrick Williams dan Laura Chrisman (eds.), Colonial Discourse and
Post-Colonial Theory: A Reader (340-375). Hertfordshire: Harvester
Wheatsheaf
Gamble, Sarah. (2010). Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme.
Yogyakarta: Jalasutra
Gandhi, Leela. (1998). Postcolonial Theory: A Critical Introduction. Australia:
Allen & Unwin
Gandhi, Leela. (2007). Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.
Jakarta: CV Triarga Utama
Gateward, Frances K. (2007). Seoul Searching: Culture and Identity in
Contemporary Korean Cinema. Albany: State University of New York
Press
Griffin, EM. (2009). A First Look at Communication Theory (7th ed). New York:
McGraw-Hill
Guba, Egon G. dan Yvonna S. Lincoln. (1994). Competing Paradigms in
Qualitative Research. Dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln
(eds.), Handbook of Qualitative Research (105-117). New York: Sage
Publications.
235
Guba, Egon G. dan Yvonna S. Lincoln. (2000). Competing Paradigms in
Qualitative Research. Dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln
(eds.), Handbook of Qualitative Research (163-255). New York: Sage
Publications
Guins, Raiford dan Omayra Zaragoza Cruz. (2005). Popular Culture: A Reader.
London: Sage Publications
Hall, Stuart. (1997a). The Work of Representation. Dalam Stuart Hall (ed.),
Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (13-70).
London: Sage Publications
Hall, Stuart. (1997b). The Spectacle of The ‘Other’. Dalam Stuart Hall (ed.),
Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (223290). London: Sage Publications
Handayani, Christina S. dan Ardhian Novianto. (2004). Kuasa Wanita Jawa.
Yogyakarta: LKiS
Hartley, John. (2004). Communication, Cultural, and Media Studies: The Key
Concepts. London: Routledge
Hartley, John (ed.). (2005). Creative Industries. Malden: Blackwell Publishing
Haseman, Brad. (2005). Creative Practices. Dalam John Hartley (ed.), Creative
Industries (158-176). Malden: Blackwell Publishing
Hidayat, Medhi Aginta. (2012). Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang
Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Yogyakarta: Jalasutra
Hills, Matt. (2002). Fan Cultures. London: Routledge
Horkheimer, Max dan Theodor W. Adorno. (2006). The Culture Industry:
Enlightment as Mass Deception. Dalam Meenakshi Gigi Durham dan
Douglas M. Kellner (eds.), Media and Cultural Studies: Key Works (revised
ed.) (41-72). USA: Blackwell Publishing
Huat, Chua Beng. (2012). Structure, Audience, and Soft Power in East Asian Pop
Culture. Hong Kong: Hong Kong University Press
Huddart, David. (2006). Homi K. Babha (Routledge Critical Thinkers Series).
Oxon: Routledge
Hurwit, Jeffrey M. (1999). The Athenian Acropolis: History, Mitology, and
Archeology from the Neolithic Era to the Present. UK: Cambridge
University Press
Kasiyan. (2008). Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan.
Yogyakarta: Penerbit Ombak
236
Khair, Tabish. (2009). The Gothic, Postcolonialism and Otherness: Ghosts from
Elsewhere. New York: Palgrave Macmillan
Kroløkke, Charlotte dan Anne Scott Sørensen. (2006). Gender Communication
Theories & Analysis. London: Sage Publications
Kurniawan, Heru. (2009). Sastra Anak Dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi,
Semiotika, Hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu
Lepecki, André. (2004). Of The Presence of The Body: Essay on Dance and
Performance Theory. USA: Wesleyan University Press
Lidchi, Henrietta. (1997). The Poetics and The Politics of Exhibiting Other
Cultures. Dalam Stuart Hall (ed.), Representation: Cultural Representations
and Signifying Practices (223-290). London: Sage Publications
Loewen, Nancy. (1998). Greek and Roman Mythology: Athena. Minnesota:
Capstone Press
McQuail, Denis.
Publications
(2010).
Mass
Communication
Theory.
London:
Sage
Mills, Sarah. (1995). Feminist Stylistic. London: Routledge
Mohanty, Chandra Talpade (1994). Under Western Eyes: Feminist Scholarship
and Colonial Discourse. Dalam Patrick Williams dan Laura Chrisman
(eds.), Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader (196-220).
Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf
Munif, Achmad. (2009). Kisah Empat Puluh Perempuan yang Mengubah Dunia.
Yogyakarta: Penerbit Narasi
Nelmes, Jill (ed.). (2003). An Introduction to Film Studies (3rd ed). London:
Routledge
Nicholson, Linda dan Steven Seidman. (2002). Social Postmodernism: Beyond
Identity Politics. UK: Cambridge University Press
O’Donnell, Kevin. (2009). Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius
O’Sullivan, Tim, John Hartley, Danny Saunders, Martin Montgomery, dan John
Fiske. (1994). Key Concepts in Communication and Cultural Studies (2nd
ed). London: Routledge
Olesen, Virginia. (2011). Feminist Qualitative Research in The Millenium First
Decade: Developments, Challenges, Prospects. Dalam Norman K. Denzin
dan Yvonna S. Lincoln, The Sage Handbook of Qualitative Research (129146). London: Sage Publications
237
Pease, Allan. (1988). Body Language: How to Read Others’ Thought by Their
Gestures. London: Sheldon Press
Piliang, Yasraf Amir. (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas
Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra
Piliang, Yasraf Amir. (2010). Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui BatasBatas Kebudayaan. Bandung: Matahari
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. (2003). Becoming White: Representasi Ras,
Kelas, Feminitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra
Ramutsindela, Maano. (2004). Parks and People in Postcolonial Societies:
Experiences in Southern Africa. New York: Kluwer Academic Publisher
Roach, Catherine M. (2007). Stripping, Sex, and Popular Culture. Oxford: Berg
Salih, Sarah. (2003). Judith Butler. London: Routledge
Shohat, Ella. (2012). Gender and The Culture Empire: Toward a Feminist
Etnography of the Cinema. Dalam Mary Celeste Kearney, The Gender and
Media Reader (86-108). New York: Routledge
Snickars, Pelle dan Patrick Vonderau. (2009). The YouTube Reader. Sweden:
National Library of Sweden
Spivak, Gayatri Chakravorty. (1994). Can The Subaltern Speak?. Dalam Patrick
Williams dan Laura Chrisman (eds.), Colonial Discourse and Post-Colonial
Theory: A Reader (66-111). Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf
Stam, Robert, Robert Burgoyne dan Sandy Flitterman-Lewis. (1992). Film
Semiotics. London: Routledge
Sunarto. (2009). Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. Jakarta: Kompas
Stokes, Jane. (2003). How To Do Media and Cultural Studies. Yogyakarta:
Bentang
Storey, John. (2003). Inventing Popular Culture: From Folklore to Globalization.
USA: Blackwell Publishing, Ltd
Storey, John. (2010). Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar
Komprehensif Teori dan Metode. Yogyakarta: Jalasutra
Strasser, Richard. (2010). Music Business: The Key Concepts. Oxon: Routledge
Strinati, Dominic. (1995). Popular Culture: An Introduction to Theories of
Popular Culture (2nd ed). London: Routledge
Strinati, Dominic. (2009). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya
Populer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
238
Sunardi, ST. (2002). Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal
Suryakusuma, Julia. (2011). Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan
Orde Baru. Depok: Komunitas Bambu
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (eds.). (2004). Hermeneutika Pascakolonial:
Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius
Suwitri, Sri. (2011). Konsep Dasar Kebijakan Publik (edisi revisi). Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang
Tester, Keith. (2009). Immor[t]alitas Media: Menelisik Moralitas dalam Jejaring
Industri Media. Yogyakarta: Juxtapose
Thornham, Sue. (2004). Gerakan Feminisme Gelombang Kedua. Dalam Sarah
Gamble (Ed), Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme (3552). Yogyakarta: Jalasutra
Thornham, Sue. (2010). Teori Feminis dan Cultural Studies. Yogyakarta:
Jalasutra
Tong, Rosemarie Putnam (2008). Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta:
Jalasutra
Uricchio, William. (2009). The Future of The Medium Once known Television.
Dalam Snickars, Pelle dan Patrick Vonderau. The YouTube Reader (24-39).
Sweden: National Library of Sweden
Van Zoonen, Liesbet. (1994). Feminist Media Studies. London: Sage Publications
Wall, Tim. (2003). Studying Popular Music Culture: Studying the Media. London:
Arnold.
Webb, Jen. (2009). Understanding Representation. London: Sage Publications
Wilson, Edwin. (1985). The Theater Experience. New York: McGraw-Hill
Williamson, Judith. (2007). Decoding Advertising: Membedah Ideologi dan
Makna Dalam Periklanan. Yogyakarta: Jalasutra
Wolf, Naomi (2004). Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan.
Yogyakarta: Penerbit Niagara
Wykes, Maggie dan Barrie Gunter. (2005). The Media
Image: If Looks Could Kill. London: Sage Publications
and
Body
Yoon, Sunny. (2001). Internet Discourse and The Habitus of Korea’s New
Generation”. Dalam Charles Ess (ed.), Culture, Technology,
Communication: Towards an Intercultural Global Village (241-260).
Albany: State University of New York Press
239
Young, Iris Marion. (2005). On Female Body Experience: “Throwing Like A
Girl” and Other Essay. Oxford: Oxford University Press
Jurnal
Hae-Joang, Cho. (2005). “Reading the “Korean Wave” as a Sign of Global Shift”.
Korea Journal Winter 2005:147-182
Korean Culture and Information Service. (2011). The Korean Wave: A New Pop
Culture Phenomenon. Contemporary Korea No.1. Republic of Korea:
Ministry of Culture, Sports and Tourism
Lee, Sue Jin. (2011). The Korean Wave: The Seoul of Asia. The Elon Journal of
Undergraduate Research in Communication Vol.2(1):85-93
Moreman. Shane T. (2009). Memoir as Performance: Strategies of Hybrid Ethnic
Identity. Text and Performance Quarterly Vol 29:346-366
Nugroho, Suray Agung. (2011). Apresiasi K-Pop di Kalangan Generasi Muda
Yogyakarta: Studi Kasus Pengunjung K-Pop Festival UKDW 2010. Korean
Studies in Indonesia: An International Journal, Vol.11 No.1 (April): 117138
Ryoo, Woongjae. (2008). The Political Economy of The Global Mediascape: The
Case of The South Korean Film Industry. Media, Culture & Society Vol 30
(6):873-889
Shim, Doobo. (2006). Hibridity and The Rise of Korean Popular Culture in Asia.
Media, Culture and Society, Vol. 28(1): 25-44
Weintraub, Andrew N. (2008). ‘Dance Drills, Faith Spills’: Islam, Body Politics,
and Popular Music in Post-Suharto Indonesia. Cambridge Journal, Popular
Music Vol.27(3)
Skripsi
Nastiti, Aulia Dwi. (2010). Korean Wave di Indonesia: Antara Budaya Pop,
Internet, dan Fanatisme pada Remaja. Skripsi. Prodi Komunikasi Massa,
Ilmu
Komunikasi
Universitas
Indonesia.
Dalam
http://www. scribd.com/doc/67051422/Korean-Wave-di-IndonesiaBudaya-Pop-Internet- dan-Fanatisme-Remaja diunduh pada 5 November
2011 pukul 16.10 WIB
Irvani, Rizal. (2010). Representasi Perempuan dalam Video Klip: Analisis
Semiotik pada Video Klip Menghapus Jejakmu, Peterpan. Skripsi. Prodi
Ilmu
Komunikasi
Universitas
Muhammadiyah
Malang.
Dalam eprints.umm.ac.id diunduh pada 7 Juli 2012 pukul 18.20 WIB
240
Artikel Media Cetak
Iski. (2011). Hallyu: A Wave Beyond Korean Drama. MIX Marketing
Communications: 38-39
Kamil, Ati. (2012, Januari 15). ’Gelombang Korea’ Menerjang Dunia.
Kompas:1,11
Artikel Internet
Anonim. (2012). Barack Obama: Tidak Heran K-Pop Begitu Dikenal Dunia.
Dalam http://www.kapanlagi.com/showbiz/asian-star/barack-obama-tidakheran-k-pop-begitu-dikenal-dunia.html diunduh pada 16 April 2012
pukul
17.30 WIB
Anonim. (2013). Girls’ Generation “I Got a Boy” 20 Million Views in 6 DaysNew
Record
in
Korea.
Dalam http://english.kofice.or.kr/a00_music/a10_news_detail.asp?seq=182
&page
=1&me diunduh pada 17 Maret 2013 pukul 19.30 WIB
Anonim. (2011). YouTube Bakal Buat Channel Spesial K-Pop..
Dalam http://www.metrotvnews.com/read/news/2011/11/10/71242/YouTubeBakal- Buat-Channel-Spesial-K-Pop/13 diunduh pada 17 November
2011 pukul
10.17 WIB
Anonim.
Athena.
Dalam
http://www.greekmythology.com/Olympians/ Athena/athena.html di
unduh pada 19 Mei 2013 pukul 23.32 WIB
Anonim.
Korean
IT
News.
Dalam http://english.etnews.com/news/detail.html?
id=201102250008 diunduh pada 17 November 2011 pukul 17.00 WIB
Anonim.
List
of
Best
Selling
Girl
Groups.
Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_bestselling_girl_groups#Best- selling_girl_groups diunduh pada 16 Maret 2013
pukul 21.09 WIB
Anonim.
Main
Statistics
of
Korea’s
Content
Market.
Dalam http://www.kocca.kr/eng/industry/trend/index.html diunduh pada 21
Oktober 2011 pukul 10.55 WIB
Anonim.
http://beverlyhillshoneys.com/marilyn-monroe-madonna-smokingcigarettemodel-supermodel-lindsay-hancock/ diunduh pada 2 April
2013
pukul 21.34 WIB
Ashayagachat, Achara. (2011). Riding the ‘K Wave’: Seoul Sees Role for its
Well-known Pop Culture to Extend Cooperation in East Asia.
Dalam http://www.bangkokpost.com/business/economics/261701/riding-the-
241
k-wave diunduh pada 21 Oktober 2011 pukul 09.45 WIB
242
Chong-un, Cho. (2012). KBS drama ‘Dream High’ nominated for European
award. Dalam http://www.thejakartapost.com/news/2012/02/29/kbs-dramadream-high-nominated-european-award.html diunduh pada 21 Maret
2012
pukul 21.53 WIB
Dixon, Tom. (2011). The Journey of Cultural Globalization in Korean Pop Music.
Dalam
http://www.e-ir.info/2011/08/17/the-journey-of-culturalglobalization-in-korean-pop-music/ diunduh pada 9 Maret 2012 pukul
11.05 WIB
DSPKara. (2012). KARA (카라) – Pandora (판도라) Music Video.
Dalam http://www.youtube.com/watch?v=g0XpNvLWimo/
diunduh
pada
27
Desember 2012 pukul 12.50 WIB
Ja-Young, Yoon. (2011). YouTobe Taking Hallyu on International Ride. The
Korea Times. Dalam
http://www.Koreatimes.co.kr/www/news/biz/2011/ 02/123_81039.ht
ml diunduh pada 14 November 2011 pukul 22.12 WIB
K., Rini. (2012). Korea Selatan Ternyata Lebih Kecil daripada Pulau Jawa.
dalam
http://edsus.tempo.co/kontenberita/musik/2012/12/02/445381/42/Korea-Selatan-Ternyata-Lebih-Kecildari-Pulau-Jawa diunduh pada 5 Desember 2012 pukul 16.49 WIB.
Korean Creative Content Agency (KOCCA). Dalam www.kocca.kr diunduh pada
21 Oktober 2011 pukul 10.00 WIB
Korean Foundation for International Culture Exchange (KOFICE). Dalam
www.kofice.co.kr diunduh pada 21 Oktober 2011 pukul 10.15 WIB
Purwanto, Didik dan Tri Wahono. (2012). Mari Pangestu: I-Pop Harus Saingi KPop.
Dalam
http://oase.kompas.com/read/2012/04/30/14332957/Mari.Pangestu.Pop.Har
us.Saingi.KPop diunduh pada 11 Mei 2012 pukul 15.00 WIB
Rukardi,
Fahmi
ZM.
(2006).
Inul
Ngebor
Simpang
Lima.
Dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0603/05/nas06.htm diunduh
pada 18 April 2013 pukul 23.03 WIB
SMT`OWN. (2011). Girls’ Generation 소녀시대_The Boys_Music Video.
Dalam http://www.youtube.com/watch?v=6pA_Tou-DPI/
diunduh
pada
27
Desember 2012 pukul 12.37 WIB
Young Jean Lee’s Theater Company Untitled Feminist Show. (2013).
Dalam http://www.mcachicago.org/performances/now/all/2013/891 diundu
h pada 2 April 2013 pukul 22.00 WIB
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. MUSIC VIDEO “THE BOYS”
Tampilan MV “The Boys” dalam situs www.youtube.com
(diunduh pada 27 Desember 2012 pukul 12.37 WIB)
Nama Girlband
: Girls’ Generation a.k.a SNSD
Judul MV
: The Boys
Durasi
: 5’19” (319 detik)
Sumber Data
: http://www.youtube.com/watch?v=6pA_Tou-DPI diunduh pada 27 Desember 2012 pukul 12.37 WIB
Tanggal Rilis
: 19 Oktober 2011
Jumlah Views
: 70.386.942 views (per 28 Maret 2013)
Produser
Song-writer & composer
Performativity Character
: SM Entertainment
: Yoo Young-Jin
: Taeyeon, Jessica, Sunny, Tiffany, Hyoyeon, Yuri, Sooyoung, Yoona, dan Seohyun
All Scene (shot /sec)
Angle
Frog angle
00.00.01
00.00.02
00.00.05
Lyrics
(Korean Romanization) /
Nomor Syair
Unidentified
Tampak sebelah kaki
perempuan mengenakan
highheel
-----
[Yoona]
Berjalan, gaun putihnya
menyapu lantai yang bersalju
-----
00.00.03
Eye level angle
00.00.04
Performance
Character/Activity
00.00.06
00.00.07
00.00.10
00.00.13
00.00.16
00.00.19
00.00.08
00.00.11
00.00.14
00.00.17
00.00.20
Eye level angle
[Yoona]
Berjalan mendekati ornamen
batu hitam yang dihias
menyerupai pintu
-----
Eye level angle
[Yoona] melihat ke bawah
-----
High Angle
[Yoona] melihat sebuah
bongkahan batu hitam di dasar
lantai, ia berjongkok
-----
High angle
[Yoona] mengambil batu
tersebut dengan tangan kiri
-----
Eye level angle
[Yoona] berdiri dengan batu
masih digenggam di tangan
-----
00.00.09
00.00.12
00.00.15
00.00.18
00.00.21
[Yoona] menatap batu
tersebut; perlahan batu
terangkat ke atas semacam
tertarik gaya gravitasi
-----
[Yoona] menatap lurus ke arah
batu yang sejajar dengan
matanya, di permukaan batu
terlihat sosok seorang
perempuan. Pikiran Yoona
seolah ditarik ke dalam batu
-----
Eye level angle;
Fade in
[Yoona]
Yoona dalam kostum yang
berbeda, ia menadahkan
tangan.
-----
Eye level angle;
Fade out
[Yoona] menadahkan tangan
-----
Frog angle; eye level
angle
[Yoona] berjalan, tampak
Tiffany melirik dari belakang
Yoona dan berlalu
-----
Eye level angle
00.00.22
00.00.23
00.00.24
Eye level angle;
muncul scene
flashfoward, MV
langsung berganti
setting
00.00.25
00.00.28
00.00.31
00.00.34
00.00.26
00.00.29
00.00.32
00.00.35
00.00.27
00.00.30
00.00.33
00.00.36
00.00.37
00.00.40
00.00.43
00.00.46
00.00.49
00.00.38
00.00.41
00.00.44
00.00.47
00.00.50
Eye level angle
Yuri muncul bersamaan
dengan Tiffany; di sisi yang
berbeda terlihat SeoHyun
dengan arah yang berlawanan
dengan Yoona
-----
Eye level angle;
Scene berputar
(sudut kamera tetap
pada posisi awal)
[Yoona; Yuri; SeoHyun; Tiffany]
keempat orang berjalan
membentuk lingkaran, scene
membeku memberikan kesan
perlahan
-----
Eye level angle;
Scene berputa
[Yoona; Yuri; SeoHyun; Tiffany]
keempat orang berjalan
membentuk lingkaran, scene
membeku memberikan kesan
perlahan
-----
Eye level angle;
Scene berputar
[Yoona; Yuri; SeoHyun; Tiffany]
keempat orang berjalan
membentuk lingkaran, scene
membeku memberikan kesan
perlahan
-----
Low Angle;
Eye level angle
[Tiffany] kamera menyorot
bagian paha Tiffany yg
mengenakan mini dress
[SooYoung] melirik ke arah
kamera
-----
00.00.39
00.00.42
00.00.45
00.00.48
00.00.51
00.00.52
00.00.55
00.00.58
00.01.01
00.01.04
00.00.53
00.00.56
00.00.59
00.01.02
00.01.05
Eye level angle
[Taeyon; Sunny] melirik ke
arah kamera
[ Jessica] memegang seekor
burung merpati putih
-----
Eye level angle;
dissolve
[Jessica] melepas burung
merpati tersebut
[Jessica; Taeyon; Sunny;
SooYoung; HyoYeon]
membentuk lingkaran, masingmasing menghadap ke bagian
luar lingkaran
-----
Eye level angle;
Scene berputar
[Jessica; Taeyon; Sunny;
SooYoung; HyoYeon] kamera
berputar mengitari
-----
Eye level angle;
Scene berputar
[Jessica; Taeyon; Sunny;
SooYoung; HyoYeon] kamera
berputar mengitari, tampak
burung merpati putih sudah
terbang
-----
Eye level angle
Merpati terbang
-----
00.00.54
00.00.57
00.01.00
00.01.03
00.01.06
Frog angle
00.01.07
00.01.08
The boys (6x)
Out ...
00.01.09
Frog angle
00.01.10
00.01.11
00.01.16
00.01.19
00.01.14
00.01.17
00.01.20
[All] membentuk formasi
00.01.12
Eye level angle; Frog
angle
00.01.13
[All] membentuk formasi
[All] menari
00.01.15
Eye level angle
[All; Yoona] menari
Eye level angle; high
angle
[All; Jessica] menari
00.01.18
00.01.21
[All]
Keobi naeso shijakjocha an hae
bwaht-damyeon
Keudaen tudeoldaeji mara jom
Eye level angle
00.01.22
00.01.23
00.01.24
[Jessica] GG
Eye level angle; low
angle
00.01.25
00.01.28
00.01.31
00.01.26
00.01.29
00.01.32
00.01.35
[All] menari
00.01.27
[All]
Jujeohamyeon gihwehneun
modu neoreul bikyeo-ga
Gaseum pyeogo nawahbwahra
jom
[Jessica] T R X
High angle; Eye level
angle
[Taeyeon] close up
[All] menari
Eye level angle
[Taeyeon] close up
[All] menari
00.01.30
[All] B-Bring the boys out
00.01.33
Eye level angle; low
angle; high angle
00.01.34
[All] menari
00.01.36
[All] menari
[Tiffany] Yeah~ You know~
low angle
00.01.37
00.01.40
00.01.43
00.01.38
00.01.41
00.01.44
[All] menari
00.01.39
Eye level angle
[Tiffany] close up
[all] menari
Eye level angle
[All; Tiffany] menari
Eye level angle; Low
Angle
[All] menari
[SeoHyun] close up
[All] B-Bring the boys out
00.01.42
00.01.45
[Tiffany]
We bring the boys out (x2)
Yeah~
[All] B-Bring the boys out
00.01.46
00.01.47
00.01.48
Eye level angle
00.01.49
00.01.50
00.01.51
[Taeyeon] close up
[all] menari
[Taeyeon]
Sunrie majchwo saneun geot
Neon gildeulyeojyeo beoryeonni
Kwaehn-chanh-ni
00.01.52
00.01.55
00.01.53
00.01.56
Low angle; high
angle
[All; Taeyeon] menari
Eye level angle
[Tiffany; Yoona] close up
00.01.54
00.01.58
00.01.59
[Yoona]
Amdamhan sesangi geudael
junukdeul-ke
Mandeuni
00.01.57
Low angle; Eye level
angle
[Tiffany] Get up
[All; Yoona] menari
[Tiffany] That’s funny
00.02.00
[Yoona] Kwaehn-chanh-ni
00.02.01
00.02.04
00.02.02
00.02.05
Eye level angle; low
angle
[All; Yoona] menari
Eye level angle; low
angle
[Yoona; Sunny] close up
[All] meanri
00.02.03
00.02.06
[Sunny]
Keunyang bol suga eop-seo nan
Budijhigo kkaejyeodo myeoch
beonigo i-reona
00.02.07
00.02.10
00.02.13
00.02.08
00.02.11
00.02.14
Eye level angle; low
angle
[All; Sunny] menari
Low angle; eye level
angle
[All; Sunny] menari
High angle; eye level
angle; low ang
[All] menari
00.02.09
00.02.12
00.02.15
Eye level angle
00.02.16
00.02.17
00.02.18
Eye level angle; low
angle
00.02.19
00.02.20
[All; SeoHyun] menari
00.02.21
[All; SeoHyun] close up /
menari
[Seohyun]
Nal-karobge meotjike i-reul
naekoya
Maldeon ne yaseongeul
boyeojwo
My boy...
00.02.22
00.02.25.00
00.02.23
00.02.25.05
Low angle; eye level
angle
[All; Yuri] menari
Eye level angle; high
angle
[All; HyoYeon; Yuri] close up/
menari
00.02.24
00.02.26
High angle; low
angle
000.02.27
00.02.28
00.02.31
00.02.34
[All; Yuri; Yoona] menari
[All]
Girl’s generation make you feel
the heat
[Yuri]
Jeon sekye-ga neoreul jurnokhae
00.02.32
Low angle; high
angle; eye level
angle
00.02.33
[All] menari
00.02.29
Low angle; eye level
angle
00.02.30
[All] B-bring the boys out
00.02.35
[All] B-bring the boys out
[All; SooYoong] menari
Low angle; eye level
angle
00.02.36
00.02.39
00.02.42
00.02.45
00.02.37
00.02.40
00.02.43
00.02.46
00.02.38
Low angle; eye level
angle
[All; Jessica] menari
Low angle; eye level
angle
[All; Jessica] menari
Low angle; eye level
angle
[All; Jessica] menari
00.02.49
[Sooyoung]
Wiipungdo dangdang-haji
ppyeossokbu-teo
Neon wonrae meotjyeosseo
You know the girls
[All] B-bring the boys out
00.02.41
00.02.44
00.02.47
Eye level angle
00.02.48
[All; SooYoong] menari
00.02.50
[Jessica; HyoYeon] close up
[Jessica]
Heunteu-lli-ji mal-go keudaen
jaril jikyeo
Wonrae jeonjaeng gateun
salmeul saneun inkaninkeol
Neoneun waeh
[Sunny]
Yes fly high
Eye level angle
00.02.51
00.02.52
[Jessica]
Beol-sseo waeh
00.02.53
Eye level angle; low
angle
00.02.54
00.02.57
00.03.00
00.02.55
00.02.58
00.03.01
00.03.04
[Yuri] close up
[All] menari
[Sunny]
You fly high
00.02.56
Eye level angle
[Sunny; SeoHyun] close up
Eye level angle
[SeoHyun] close up
[Jessica]
Po—gihae
Oh neon meo-reot-janha
00.02.59
00.03.02
Low angle; Eye level
angle
00.03.03
[Jessica; Sunny; Yuri] close up
00.03.05
[All] menari
[SeoHyun; Tiffany] close uo
[Seohyun]
Neoye jimnyeomeul boyeojwo
jikureul jom
Heundeu-reojwo moduga neol
bol su itke
00.03.06
00.03.09
00.03.07
00.03.10
Eye level angle
[All; Tiffany; SooYoung;
TaeYeon] menari
Eye level angle
[Yoona] close up
[Taeyeon] menari di depan,
yang lain mengikuti di
belakang
00.03.08
00.03.11
Eye level angle
00.03.12
00.03.15
00.03.18
00.03.13
00.03.16
00.03.19
[SooYoung; TaeYeon] close up
[Taeyeon]
Yeoksaneun saerob-ge
sseuyeojike twehl keol
Juwinkongeun baro neo baro
neo
00.03.14
Eye level angle; low
angle
[Taeyeon] close up
[all] menari
Eye level angle; low
angle
[Taeyeon] close up
[all] menari
00.03.17
00.03.20
[All]
B-bring the boys out
00.03.21
00.03.24
00.03.27
00.03.30
00.03.33
00.03.22
00.03.25
00.03.28
00.03.31
00.03.34
High angle; eye level
angle; low angle
[All] menari
Eye level angle; low
angle
[All] menari dipimpin Tiffany
[All]
Girl’s generation make you feel
the heat
00.03.23
[Tiffany]
Jeon sekye-ga neoreul jurnokhae
00.03.26
Eye level angle; low
angle
[All] menari dipimpin HyoYeon
Eye level angle; low
angle
[All] menari dipimpin HyoYeon
Eye level angle; low
angle
[All] menari dipimpin HyoYeon
[All]
B-bring the boys out
00.03.29
00.03.32
00.03.35
[Hyoyeon]
Wiipungdo dangdang-haji
ppyeossokbu-teo
Neon wonrae metjyeosseo
You know the girls
[All]
B-Bring the boys out
Eye level angle; low
angle
00.03.36
00.03.39
00.03.42
00.03.45
00.03.48
00.03.37
00.03.40
00.03.43
00.03.46
00.03.49
[All] menari dipimpin Yoona
00.03.38
Eye level angle
[All] menari, dipimpin Yuri
Eye level angle
[All] menari, dipimpin Yuri
[All]
Girls bring the boys out
00.03.41
[Yuri]
I wanna dance right now Naega ikkeu-reo jul-ke come out
00.03.44
Eye level angle
[All] menari dipimpin Yoona
Eye level angle
[All] menari, dipimpin SeoHyun
00.03.47
00.03.50
[Yoona]
Sesang namjadeu-riyeo nan
Number 1 jihyereul juneun
Athena
Ccheck this out
Eye level angle
00.03.51
00.03.52
[All] menari, dipimpin Yuri
[Hyoyeon]
Jeul-kyeobwahra, dojeonye
seolle-im
Imi modu kajin sesangye namja
00.03.53
Eye level angle
[All] menari
[Sooyoung]
Keudaero chuk ganeun geoya
keep up
Girls’ generation, we don’t stop
00.03.54
00.03.57
00.04.00
00.04.03
00.03.55
00.03.58
00.04.01
00.04.04
00.03.56
Eye level angle
[All] menari
[Yoona] close up
Eye level angle
[All] menari
Eye level angle; high
angle
[All] menari
[All]
Girls bring the boys out
00.03.59
00.04.02
00.04.05
[Jessica]
Makhyeobeoryeot-deon miraega
anboyeot-deon mirae-ga
ne nunape pyeolcheojyeo
00.04.06
00.04.09
00.04.07
00.04.10
Eye level angle; low
angle
[All] menari
[Jessica] close up
Low angle; Eye level
angle
[All] menari
[Taeyeon; Sunny] close up
00.04.08
00.04.11
Eye level angle; low
angle
00.04.12
00.04.13
00.04.14
Eye level angle
00.04.15
00.04.16
00.04.19
[All] menari
[Taeyeon] close up
00.04.17
Eye level angle; high
angle
00.04.18
[All] menari, Yoona memimpin
[Taeyeon]
Cheomcheom deo
wahnbyeokhan ne moseube
machi
Nan ppallyeodeul keot kata,
my heart...
00.04.20
[Taeyeon] close up
[all] menari, Sunny memimpin
[All]
Keobi naseo
shijakjocha an hae bwahtdamyeon
Keudaen tudeoldaeji mara jom
Eye level angle
00.04.21
00.04.24
00.04.27
00.04.30
00.04.33
00.04.22
00.04.25
00.04.28
00.04.31
00.04.34
[Yoona] close up
00.04.23
Eye level angle; low
angle; high angle
[Taeyeon] close up
[all] menari
Eye level angle
[SeoHyun] close up
[All] menari
[All/Taeyeon] Just bring the
boys out
00.04.26
[All/Seohyun]
Jujeohamyeon gihwehneun
modu neoreul bikyeo-ga
00.04.29
Eye level angle; high
angle
[SeoHyun; Yuri] close up
Eye level angle; high
level angle; low
angle
[Yuri] close up
[All] menari
Gaseum pyeogo nawah bwahra
jom
00.04.32
00.04.35
[All] B-Bring the boys out
Eye level angle
00.04.36
00.04.37
[Yoona] close up
[All] menari
[Jessica]
Cause the
00.04.38
[All/Jessica]
Low angle; Eye level
angle
00.04.39
00.04.40
00.04.43
00.04.46
[All]
Girl’s generation make’em feel
the heat
00.04.49
[All] menari, Sunny memimpin
00.04.50
[Sunny]
Jeon sekye-ga uril jurno-khae
[All]
B-Bring the boys out
00.04.47
Eye level angle; low
level angle
00.04.48
[All] menari
00.04.44
Eye level angle
00.04.45
Girls bring the boys out (x4)
00.04.41
High level angle
00.04.42
[All] menari
[Jessica] close up
[All] menari, Sunny memimpin
[Tiffany] close up
Eye level angle
00.04.51
00.04.52
00.04.53
Low angle
00.04.54
00.04.55
00.05.00
00.05.03
00.04.58
00.05.01
00.05.04
[All] menari, Tiffany memimpin
00.04.56
[Tiffany]
Sesangeurikkeul namja
Meotjin yeojadeul yeo-gi
moyeora
You know the girls
[All]
B-Bring the boys out
Low angle
00.04.57
[All] menari, Tiffany memimpin
[All] membentuk formasi,
dipimpin oleh Jessica dan
Tiffany
00.04.59
Eye level angle; fade
out
[---]
---
Eye level angle
[---]
---
00.05.02
00.05.05
00.05.06
00.05.09
00.05.07
00.05.10
Eye level angle; fade
out
[---]
---
Eye level angle
[---]
---
[All] membentuk formasi, di
atas muncul caption “GIRLS’
GENERATION ‘THE BOYS’”
---
Eye level angle
[All]
---
Eye level angle
[All]
---
00.05.08
00.05.11
Eye level angle; fade
in fade out
00.05.12
00.05.15
00.05.18
00.05.13
00.05.16
00.05.19
00.05.14
00.05.17
LAMPIRAN 2. LIRIK “THE BOYS”
(diterjemahkan dari Hangeul ke dalam Bahasa Inggris)
Plot
[All]
Lirik
Syair
The boys, the boys, the boys, the boys, the boys, the boys, out.
[1]
If you haven’t started yet because you’re scared,
[2]
Verse
1
Then stop complaining!
If you hesistate,
Ket.
[3]
Opportunities will pass by you,
So open your heart and come out!
[All]
Bring the boys out
[4]
[Tiffany]
Yeah~ You know~
[5]
[All]
Bring the boys out
[6]
We bring the boys out
[7]
[Tiffany]
We bring the boys out
Yeah~
[All]
[Taeyeon]
Bring the boys out
[8]
Living by reason, has it grown on you?
[9]
Are you alright?
[Tiffany]
2
Get up
[10]
Is the dark world making you lose strength?
[11]
That’s funny
[12]
[Yoona]
Are you alright?
[13]
[Sunny]
I can’t stand here and watch,
[14]
[Yoona]
[Tiffany]
Verse
Even if it clashes and breaks numerous times, get up!
[Seohyun]
Show me your wild side that is sharp and cool, my boy
[15]
[All]
Bring the boys out
[16]
[All]
Girl’s generation make you feel the heat
[17]
The entire world is focusing on you
[18]
Bring the boys out
[19]
You are majestic and strong,
[20]
[Yuri]
[All]
[Sooyoung]
Riffs
You were always cool,
You know the girls
[All]
[Jessica]
[21]
Bring the boys out
Don’t be shaken and just protect your place,
[22]
We are all humans living in a war-like life,
3
Why, you?
[23]
[Sunny]
Yes fly high
[24]
[Jessica]
Why already?
[25]
[Sunny]
You fly high
[26]
[Jessica]
Just give up (oh) you’re not ready
[27]
Show me your tenacity,
[28]
[Seohyun]
Verse
Shake the earth so that everyone can see you,
[Taeyeon]
History will be written anew,
[29]
The main character is you, you!
[All]
Bring the boys out
[30]
[All]
Girl’s generation make you feel the heat
[31]
The entire world is focusing on you,
[32]
Bring the boys out
[33]
You are majestic and strong,
[34]
[Tiffany]
[All]
[Hyoyeon]
Riffs
You were always cool,
You know the girls
[35]
[All]
Bring the boys out
[All]
Girls bring the boys out!
[36]
Verse
[Yuri]
I wanna dance right now
[37]
Rap
I will lead you, come out!
[Yoona]
The boys of the world,
[38]
I am Athena,
The one who gives the number one wisdom,
Check this out!
[Hyoyeon]
Enjoy the excitement of the challenge,
[39]
You already have everything in this world,
[Sooyoung]
Just keep going like that,
Keep up,
[40]
[All]
[Jessica]
Girls’ Generation we don’t stop
[41]
Bring the boys out
[42]
The once clogged up future,
[43]
4
The once imperceptible future is spreading before your eyes,
[Taeyeon]
I think I’m falling more and more for you,
Verse
[44]
Who is becoming more and more perfect,
My heart..
[All]
If you haven’t started yet because you’re scared,
[45]
Verse
Then stop complaining!
1
[All/Taeyeon]
Just bring the boys out
[46]
[All/Seohyun]
If you hesistate,
[47]
Opportunities will pass by you,
[All]
[Jessica]
[All/Jessica]
So open your heart and come out!
[48]
Bring the boys out
[49]
Cause the
[50]
Bridge
Girls bring the boys out
Girls bring the boys out
Girls bring the boys out
Girls bring the boys out
[All]
[Sunny]
[All]
[Tiffany]
Girl’s generation make’em feel the heat
[51]
The entire world is focusing on you,
[52]
Bring the boys out
[53]
You are majestic and strong,
[54]
You were always cool,
You know the girls
[All]
Bring the boys out
Sumber : data yang diolah
[55]
Riffs
LAMPIRAN 3. MUSIC VIDEO “PANDORA”
Tampilan MV “Pandora” dalam situs www.youtube.com
(diunduh pada 27 Desember 2012 pukul 12.50 WIB)
Nama Girlband
: KARA
Judul MV
: Pandora
Durasi
: 3’29” (209 sec)
Sumber Data
: http://www.youtube.com/watch?v=g0XpNvLWimo diunduh pada 27 Desember 2012 pukul 12.50 WIB
Tanggal Rilis
: 21 Agustus 2012
Jumlah Views
: 15.050.004 views (per 2 April 2013)
Produser
: DSP Media
Song-writer & composer
: Han Jae Ho; Kim Seung Soo
Performativity Character
: Park Gyuri, Han Seungyeon, Nicole Jung, Goo Hara, dan Kang Jiyoung
Performance
Angle
All Scene (Snapshot /sec)
00.00.01
00.00.04
00.00.02
00.00.05
Performance
Actor/Activity
Lyrics
High angle;
Eye level angle
Laki-laki membawa kota
---
Eye level angle
Tampilan sebuah lorong
kosong
---
00.00.03
00.00.06
00.00.07
00.00.10
00.00.13
00.00.16
00.00.19
00.00.08
00.00.11
00.00.14
00.00.17
00.00.20
Eye level angle
Laki-laki melirik ke kanan
---
Eye level angle; high
angle
Laki-laki membuka kotak
---
High angle; eye level
angle
Laki-laki membuka kotak
---
Eye level angle; high
angle
Laki-laki membuka kotak
---
Eye level angle
Kotak pandora dibuka;
Scene berganti
memperlihatkan mata
Hara secara close up
---
00.00.09
00.00.12
00.00.15
00.00.18
00.00.21
00.00.22
00.00.25
00.00.23
00.00.26
Eye level angle; low
angle
[all] menari
Low angle; eye level
angle
[all; Hara] menari
00.00.24
00.00.29
00.00.32
00.00.35
[all; Jiyoung, Nicole]
menari
[All]
Up and up ah ah~
[all;Gyuri] menari
---
00.00.33
Eye level angle
00.00.34
Up and up ah ah~
00.00.30
Low angle
00.00.31
[All]
00.00.27
Eye level angle
00.00.28
---
00.00.36
[all] menari
[Jiyoung] berdiri di dekat
box telepon
[Jiyoung] close up
---
[Jiyoung]
Eye level angle; low
angle
[Jiyoung] close up
Kamchul su eom-neun geoya
Ni nunbichi heundeullyeo
00.00.37
00.00.38
00.00.39
[Nicole]
Eye level angle
[Nicole] close up
Myohan shiseon so-ge
Shimjangi ttwiigo isseo
00.00.40
00.00.41
00.00.42
High angle; low angle
00.00.43
00.00.44
00.00.47
00.00.50
[all] menari
[Nicole] close up
Ja-geu-khae crush crush
00.00.48
Eye level angle
00.00.49
[Hara]
Keochin sum sori-ga chokka-geul
00.00.45
Eye level angle
00.00.46
[Hara] close up keluar dari
mobil sport
00.00.51
[Seungyeon] close up
[Seungyeon] Jamkkan—
man geo-gie
meomchwoseo
Ttokbaro barabwahbwah
Sumkyeo-on jinshi-reurije da
boyeojul-ke
00.00.52
00.00.55
00.00.58
00.01.01
00.00.53
00.00.56
00.00.59
00.01.02
Eye level angle; low
angle
[Seungyeon] close up
[all] menari
High angle; eye level
angle
[Seungyeon; Gyuri] close
up
High angle
[Gyuri] close up
Low angle; eye level
angle
[all] menari
[Gyuri; Seungyeon] close
up
00.00.54
00.00.57
[Gyuri]
Ja nae mameul jababwah
00.01.00
00.01.03
[All]
Neukkyebwah close to you and
close to you
Low angle; eye level
angle
00.01.04
00.01.05
00.01.06
[All; Hara] menari
00.01.07
00.01.10
00.01.13
00.01.16
00.01.19
00.01.08
00.01.11
00.01.14
00.01.17
00.01.20
Eye level angle; low
angle
[All; Nicole] menari
Eye level angle; low
angle
[Jiyoung] close up
[all] menari
Modeunkeol da jul-ke Naega boini
00.01.09
close to me and close to me
00.01.12
Kajyeo-ga nal
Eye level angle; low
angle
[Seungyeon] close up
[all] menari
Eye level angle; high
angle
[Seungyeon] close up
[all] menari
[Jiyoung] close up
Eye level angle; low
angle
[Hara; nicole; Jiyoung]
menari
00.01.15
[All]
Up and up ah ah~
00.01.18
00.01.21
[All]
Up and up ah ah~
00.01.22
00.01.25
00.01.28
00.01.23
00.01.26
00.01.29
[All]
Eye level angle
[Seungyeon; Hara; jiyoung]
menari
Low angle; Eye level
angle
[all] menari
---
Eye level angle
[all] menari
[Nicole; Hara; Jiyoung]
---
Eye level angle; high
angle
[all] menari
[Gyuri] close up
Up and up ah ah~
00.01.24
00.01.27
00.01.30
[Gyuri]
00.01.31
00.01.32
Yeo-gi-ga kkeuchi anya
Neon ajing moreul keoya
00.01.33
[Seungyeon]
Eye level angle
[Seungyeon] close up
Ajing nae dae-hae
Bando an boyeojwosseo
00.01.34
00.01.35
00.01.36
Eye level angle; low
angle
00.01.37
00.01.38
[Seungyeon] close up
[all] menari
[Hara]
00.01.39
Nae sogane i-nneun bimi-reul
Umkyeojwo crush crush
00.01.40
00.01.43
00.01.46
00.01.49
00.01.41
00.01.44
00.01.47
00.01.50
Eye level angle
[all] menari
[Hara; Nicole] close up
Eye level angle
[all] menari
[Nicole; Jiyoung] close up
00.01.42
00.01.45
Low angle, high angle
[all] menari
[Hara; Jiyoung] close up
Eye level angle; high
angle
[all] menari
[Jiyoung] close up
00.01.48
00.01.51
[Jiyoung]
Eotteon-i eoseolpeun
pyeonkyeone
Keommeokko kaji mara
Seodbureun pandane nae
soneul nohchijima..
Ja
00.01.52
00.01.53
Eye level angle
[Jiyoung; Nicole] close up
[all] menari
Low angle; eye level
angle
[Gyuri; Hara] close up
[all] menari
[Nicole]
Nae jeonburarabwah
00.01.54
[All]
00.01.55
00.01.56
00.01.57
Neukkyebwah close to you and
close to you
00.01.58
00.01.59
Eye level angle
[all] menari
[Jiyoung; Nicole] close up
Eye level angle
[all] menari
[Seungyeon] close up
00.02.00
[all]
Modeunkeol da jul-ke
00.02.01
00.02.02
00.02.03
Nae-ga boini close to me and
close to me
Eye level angle
00.02.04
00.02.05
00.02.06
[Gyuri] close up
[all] menari
Kajyeo-ga nal
00.02.07
00.02.10
00.02.13
00.02.16
00.02.19
00.02.08
00.02.11
00.02.14
00.02.17
00.02.20
Eye level angle
[Hara; Seungyeon] close
up
[all] menari
Eye level angle
[all] menari
[Jiyoung] close up
Eye level angle
[Hara] close up
[all] menari
Eye level angle
[Hara; Gyuri; Jiyoung]
close up
Eye level angle
[all] menari
[Gyuri] close up
00.02.09
[All]
Up and up ah ah~
00.02.12
[All]
Up and up ah ah~
00.02.15
[All]
Up and up ah ah~
00.02.18
00.02.21
---
00.02.22
00.02.25
00.02.23
00.02.26
High angle; eye level
angle
[Nicole; Jiyoung] close up
Eye level angle
[Jiyoung] close up
---
00.02.24
[Jiyoung]
Keurae bwaht-ji geureom
dwaeht-ji
00.02.27
Iboda eotteohke mwol deohae
Low angle; eye level
angle
00.02.28
00.02.29
[all] menari
[Jiyoung] close up
00.02.30
[Hara]
Naega da-gakajanha ja oh
kakka-i
Deo jo-geumman deo kakka-i
Eye level angle
00.02.31
00.02.32
[Hara] close up
[all] menari
[nicole] close up
00.02.33
[Nicole]
Stress neon da jwodo mothae
Low angle; top angle
00.02.34
00.02.35
00.02.36
[all] menari
[Hara; Nicole] close up
Mwol gidae-hani next time?
Waeh odo kado mothae
bingbing
00.02.37
00.02.40
00.02.43
00.02.46
00.02.49
00.02.38
00.02.41
00.02.44
00.02.47
00.02.50
Eye level angle; High
angle; low angle
[nicole] close up
[all] menari
low angle
[all] menari
Shi-gani ka-unteu da-un
chaekkag chaekkak
00.02.39
[Gyuri]
00.02.42
Han-chameul gidaryeosseo
low angle
[all] menari
Eye level angle; high
angle
[Seungyeon] close up
Eye level angle; low
angle
[Seungyeon] close up
00.02.45
[Nicole]
Neoigil baraewah-sseo
00.02.48
00.02.51
[Seungyeon]
Wahnbyeokhagil bi-reo
00.02.52
00.02.55
00.02.53
00.02.56
Eye level angle
Kotak
Eye level angle
[Hara; Seungyeon] close
up
00.02.54
[All]
00.02.57
Neukkyebwah close to you and
Low angle; Eye level
angle
00.02.58
00.02.59
[all] menari
[Hara] close up
close to you
Modeunkeol da jul-ke Nae-
00.03.00
ga boini
00.03.01
00.03.04
00.03.02
00.03.05
Eye level angle; low
angle
[all] menari
Low angle, eye level
angle
[all] menari
[Gyuri] close up
00.03.03
00.03.06
[all]
close to me
and close to me Kajyeoga nal
00.03.07
00.03.10
00.03.13
00.03.16
00.03.19
00.03.08
00.03.11
00.03.14
00.03.17
00.03.20
Eye level angle
[all] menari
[Jiyoung] close up
Eye level angle
[all] menari
[Seungyeon] close up
Eye level angle; low
angle
[all] menari
[Gyuri] close up
Eye level angle
[all] menari
[Hara; Nicole] close up
Eye level angle; high
angle
[Nicole; Jiyoung; HAra]
close up
00.03.09
[All]
Up and up ah ah~
00.03.12
[All]
Up and up ah ah~
00.03.15
[All]
Up and up ah ah~
00.03.18
00.03.21
---
00.03.22
00.03.25
00.03.23
00.03.26
Low angle; frog angle
[all] duduk membentuk
formasi
---
end
end
---
00.03.24
00.03.27
LAMPIRAN 4. LIRIK “PANDORA”
(diterjemahkan dari Hangeul ke dalam Bahasa Inggris)
Plot
Lirik
Syair
Ket.
[1]
Intro
You can’t hide it,
[2]
Verse
Your eyes are shaking,
[3]
1
Your heart is beating,
[4]
Because I’m strangely looking at you,
[5]
The rough breaths stimulates your sense of touch,
[6]
Crush crush
[7]
Hold on,
[8]
Stop right there and look at me,
[9]
I will show you all of my hidden truths now,
[10]
Capture my heart,
[11]
Feel me
[12]
Close to you and close to you,
[13]
I will give you everything,
[14]
Do you see me?
[15]
Close to me and close to me,
[16]
Take me up and up ah ah~
[17]
Up and up ah ah~
Up and up ah ah~
[Jiyoung]
[Nicole]
[Hara]
[Seungyeon]
[Gyuri]
[All]
Riffs
up and up ah ah~
up and up ah ah~
[Gyuri]
[Seungyeon]
[Hara]
[Jiyoung]
This isn’t the end,
[18]
Verse
You still don’t know,
[19]
2
I haven’t even shown you half of me,
[20]
Move me and my secrets inside,
[21]
Crush crush
[22]
How is it?
[23]
Don’t scare yourself with your clumsy judgement and run away,
[24]
[Nicole]
[All]
Don’t let go of my hand because of your unskilled judgement,
[25]
Now get to know my everything,
[26]
Feel me
[27]
Close to you and close to you,
[28]
I will give you everything,
[29]
Do you see me?
[30]
Close to me and close to me,
[31]
Take me up and up ah ah~
[32]
Riffs
up and up ah ah~
up and up ah ah~
[Jiyoung]
[Nicole]
Did you see?
[33]
Then that’s that, what more can I do?
[34]
I am approaching you, closer, a bit closer,
[35]
Stress, I give you everything but you still can’t do it,
[36]
What do you expect?
[37]
Next time You can’t come,
[38]
You can’t leave,
[39]
You just go round and round,
[40]
The countdown is starting, time is ticking
[41]
[Gyuri] I waited for a while,
[Hara]
[Seungyeon]
[42]
I hoped it was you,
[43]
I pray that it is perfect,
[44]
[All] Feel me,
[45]
Close to you and close to you,
[46]
I will give you everything,
[47]
Do you see me?
[48]
Close to me and close to me,
[49]
Take me up and up ah ah~
[50]
up and up ah ah~
up and up ah ah~
Sumber : data yang diolah
Rap
Bridge
Riffs