Sejumput Catatan Perjalanan Fortuga Rinjani 2014 Tawaran
Transcription
Sejumput Catatan Perjalanan Fortuga Rinjani 2014 Tawaran
Sejumput Catatan Perjalanan Fortuga Rinjani 2014 Tawaran mendaki puncak gunung Rinjani disampaikan oleh laksamana Vicky sekitar awal 2014 dan langsung mendapat tanggapan positif dari Fortuga. Keinginan untuk membuktikan bahwa umur hanyalah angka dan usia 60 pantas dirayakan dengan mencapai puncak Rinjani. Latihan dan persiapan dilakukan secara intensif terutama pada 2 bulan terakhir. Gunung Pancar dan Manglayang merupakan tempat latihan yang dipilih. Pada akhirnya beberapa Fortuga mendaftarkan diri: Darwanto, Ucil Lucina ditemani putranya Data, Atik Meilono, Agus Haryanto, Daman Suhadi bersama putrinya Mira, Hari Supiyanto dengan anaknya Fito, jenderal Sapta dan tentunya laksamana Vicky sebagai komandan tim plus Bagus mantan direksi PHE, Anton, dan Ucok aktifis Wanadri serta Natasha putrinya Ingkan/Butar. Tim juga didukung dua orang staff laksamana: Eko dan Arun. Daya tarik Lombok membuat beberapa Fortuga ikut di rombongan namun tidak masuk dalam rombongan tim pendaki: Nani/Ujang, Jasmin, Cucu Hari Supiyanto didampingi adik dan keponakannya. Hari Pertama Mulai sekitar pukul 8 pagi tepat pada hari Buruh, 1 Mei 2014, 23 anggota rombogan mulai berdatangan ke Terminal 1 Bandara Soeta walaupun Darwanto sempat agak kepagian sampainya, jam 6.30 pagi. Sempat terjadi masalah dengan pihak Lion karena ternyata botol oksigen yang kami bawa termasuk yang diatur di pesawat. Masalahnya sebagian ditarok didalam koper/ransel dan sudah terlanjur dicheck-in. Akhirnya diambil kembali dan ransel yang sudah terlanjur dibungkus plastik harus dibongkar dan dibungkus ulang. Kebijakan botol oksigen ini memang tidak jelas karena menurut security airport justru harusnya ditarok di bagasi bukan di kabin seperti dikatakan groundcrew Lion, selain juga di botol tersebut tidak ada petunuk larangan dibawa di pesawat udara. Kenyataannya benar karena botol yang dibawa jenderal tetap aman sampai di Lombok walaupun tidak diambil dari bagasi….hehehe. Pesawat Lion yang kami tumpangi akhirnya take-off tidak banyak meleset dari jadwalnya, sekitar jam 10 pagi. Penumpang di pesawat penuh dan hampir semuanya tertidur lelap terutama karena tidak ada hidangan apapun disediakan selama perjalanan. Pesawat mendarat menjelang pukul 1 siang dan setelah mengambil semua barang bawaan kami semua dengan menggunakan dua mobil dibawa oleh tour guide ke rumah makan tidak jauh dari bandara untuk makan siang. Hidangan nasi puyung ayam kampung dan air kelapa muda cukup membuat kami kenyang dan siap melanjutkan perjalanan ke kaki gunung Rinjani tampat kami akan memulai pendakian, persisnya di desa Sembalun. Kami sampai di wisma Sembalun saat matahari masih bersinar dan sempat melihat keindahan Rinjani dari kejauhan. Kedatangan disambut pak Haji Ismail, komandan 19 porter yang akan menemani Fortuga mendaki Rinjani dan juga teman lama laksamana Vicky. Aksi berfoto tentu saja tidak dilewatkan di lokasi ini. Setelah pembagian kamar, selanjutnya makan malam dan briefing dilakukan sekitar pukul 7 malam. Semua peserta optimis dengan rencana pendakian dan memisahkan barang yang harus dibawa dari barang yang harus dititipkan kepada tim pengantar. Dari semua pendaki, hanya laksamana Vicky dan kang Daman yang pernah naik ke puncak Rinjani sebelumnya. Guyonan khas Fortuga selalu muncul selama briefing, mungkin merasa perjalanan mendaki gunung ini bukanlah suatu hal yang luar biasa. Hari Kedua Bangun pagi terus mandi karena ada “ancaman” tidak akan ketemu kenikmatan mandi seperti di rumah selama dua hari. Ada yang sibuk melanjutkan persiapan mendaki, ada yang sibuk berpose di halaman wiswa dengan latar belakang gunung Rinjani yang tampak semakin indah karena sorotan matahari pagi dari arah timur. Selesai sarapan semuanya berkumpul untuk mendapatkan briefing terakhir, berdoa, dan menugaskan porter yang membantu membawa barang pribadi keperluan selama pendakian. Beberapa orang merasa tidak perlu menggunakan jasa porter. Tepat pukul 8.30 semua pendaki dan pengantar bergerak menuju kantor pendaftaran pendaki berjarak sekitar 173 meter dari tempat kami menginap. Ternyata disana sudah banyak pendaftar yang terdiri dari berbagai kebangsaan, Australia, Singapura, Jepang, Malaysia, Thailand, Filipina, Perancis, Inggris dan sebagainya. Selesai mendaftar dan membayar, kami 17 pendaki dan 6 pengantar tim Fortuga berjalan menuju batas jalan menuju Rinjani. 17 pendaki terdiri dari 7 Fortuga ITB, 4 Fortuga Extension, 4 Fortuga Junior, dan 2 Fortuga Support. 6 pengantar terdiri dari 2 Fortuga ITB, 1 Fortupat ITB, dan 3 keluarga Fortuga. Sepanjang jalan para pengendara motor yang berseragam siswa tanpa menggunakan helmet lalu lalang dengan kecepatan tinggi tanpa mempedulikan pejalan kaki. Walaupun demikian aksi berfoto tetap dilakukan sampai dengan titik batas perpisahaan pendaki dan pengantar. Sebelum berpisah tentu saja foto bersama tidak lupa dilakukan selain juga saling mendoakan untuk mendapatkan kelancaran dan keselamatan. Dari titik pisah inilah suasana mendaki mulai sangat terasa. Melalui jalan di kebun rakyat, padang rumput diselingi kotoran sapi, pohon perdu, dan pohon besar yang relatif pendek kami sambil diselingi obrolan ringan terus melalui jalan yang secara pelan tapi pasti semakin mendaki. Setelah berjalan kurang lebih dua jam rombongan mulai agak terpisah-pisah. Praktek dolbon sesuai ajaran Iman Sudradjat dipraktekkan dengan baik oleh Ucil yang mulai merasakan kelelahan. Sayang adegannya tidak sempat direkam….hehehe. Ucil juga memutuskan memberikan ransel kecilnya ke porter karena dirasakan mengganggu ketahanan dalam perjalanan. Sekitar jam 12 siang pendaki Fortuga satu persatu sampai di pos-1 ditengah terik matahari. Minuman dan makanan ringan yang dibawa sendiri maupun oleh porter dinikmati untuk mengatasi rasa haus dan lapar. Makan siang ternyata disediakan di pos-2. Setelah beristirahat sejenak perjalanan dilanjutkan kembali dan kali ini mulai melalui padang rumput ilalang yang sangat luas. Jalan yang konsisten mendaki dan terik matahari semakin menguras tenaga. Barisan Fortuga tetap terpisah-pisah namun relatif masih dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Setelah berjalan selama kurang lebih 6 jam akhirnya rombongan Fortuga sampai di pos-2 disambut “welcome drink” berupa teh manis panas. Di pos ini berkumpul banyak pendaki yang mau menuju ke Rinjani maupun yang sedang dalam perjalanan kembali dari puncak. Tak lama kemudian makan siang keluar satu persatu berupa mie rebus hangat dicampur potongan sayuran dan telur rebus. Rasanya nikmat sekali, lebih enak dari mie rebus manapun, tentu saja karena sudah sangat lapar…hehehe. Tepat jam 3 sore, setelah terlebih dahulu melakukan sholat lohor dan ashar, rombongan mulai meninggalkan pos-2 menuju tempat bermalam di Sembalun Pelawangan di ketinggian 2.600 mdpl. Ternyata inilah saat dimulainya pendakian sebenarnya. Kemiringan pendakian mulai dan secara konsisten semakin ekstrim. Lengah sedikit dapat berakibat fatal. Rasa terengah-engah terjadi pada setiap langkah, terutama saat mulai memasuki “bukit penyesalan”. Tanjakan yang tiada putus diselingi hujan gerimis membuat pendakian semakin terasa berat. Nama yang diberikan terhadap bukit ini memang membuat banyak pendaki menyesal, mengapa mesti kesini…hehehe. Rombongan Fortuga mulai tercecer disini. Fisik yang sudah lelah karena sudah berjalan lebih dari 6 jam, beban yang ada dipunggung, dan rasa frustasi karena tanjakan yang seperti tiada akhir tentu saja menjadi faktor penyebabnya. Latihan di gunung Pancar dan gunung Manglayang ternyata jauh berbeda dengan yang ditemukan di gunung Rinjani. Kemampuan mengatur “pace” diri sendiri, motivasi untuk sampai di tujuan, dan dorongan semangat untuk membuktikan Fortuga memang spesial membuat kaki terus melangkah naik keatas. Beberapa kejadian perlu dicatat disini. Botol oksigen yang dibawa mulai digunakan, dan cukup memberi energi baru. Agus yang mampu mentertawakan tremornya sendiri mendapatkan keuntungan. Dua bule bernama Gerry asal Australia dan Yusuf asal Belanda karena rasa kasihan menawarkan diri untuk membantu membawakan ransel Agus. Tentu saja Agus menerima tawaran ini dengan senang hati. Padahal, kalau saja bule tersebut tahu prestasi Agus di Halimun dan Salak, ga bakalan mereka menawarkan bantuan itu. Keputusan untuk sepenuhnya menggunakan porter untuk membantu kelancaran untuk pendaki seusia Fortuga. Perjuangan selama lebih dari 9 jam akhirnya membuahkan hasil, satu demi satu rombongan Fortuga mulai mencapai titik puncak tempat perkemahan berada di Sembalun Pelawangan. Disini mulai ditemukan puluhan tenda yang digunakan banyak pendaki Rinjani. Dari titik puncak ini menuju kemah Fortuga ternyata masih membutuhkan waktu sekitar 15-20 menit. Sementara hari sudah mulai gelap dan udara sangat dingin disertai tiupan angin. Di perkemahan ini praktek dolbon sulit dihindarkan, bau semerbak menyebar di beberapa tempat. Menginjak “koman” ternyata suatu keniscayaan. Bagus, senior Wanadri dan mantan Direksi Pertamina, menjadi korban pertama. Sebaiknya semua pendaki wajib mendapatkan pelatihan dolbon yang benar dari Iman….hehehe. Sekitar pukul 8 malam semua anggota rombongan Fortuga sudah sampai di perkemahan ini. Setiap tenda diisi oleh dua orang. Makan malam yang disiapkan porter haji Ismail langsung disantap habis ditenda masing-masing. Setelah sholat maghrib dan Isya, satu persatu mulai tertidur sambil menahan dingin. Sebelumnya peserta diberitahu bahwa pada jam 1.30 malam semuanya akan dibangunkan untuk bersiapsiap melalukan “summit attack” alias menuju puncak Rinjani di ketinggian 3726 mdpl. Udara yang sangat dingin dan turunnya hujan rintik membuat sulit untuk dapat tidur dengan nyenyak. Hari Ketiga Tepat pukul 1.30 malam suara berisik para porter dan pendaki lainnya membangunkan rombongan Fortuga untuk ikut bersiap menuju puncak Rinjani. Udara sangat dingin, nol derajat kata Hari karena air kencingnya langsung menjadi es. Masing-masing disarankan hanya untuk membawa pelindung dari udara dingin dan makanan/minuman yang diperlukan. Semua barang lainnya ditinggalkan di tenda yang dijaga oleh porter yang tidak ikut ke puncak. Dua anggota rombongan Fortuga, Atik dan Anton, memutuskan untuk tidak ikut ke puncak karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Setelah mendapatkan briefing dan melakukan doa, rombongan secara berbaris teratur dengan dibekali senter kepala mulai melangkah menuju puncak Rinjani. Keadaan gelap dan udara dingin membuat suasana terasa mencekam. Saat mendaki, karena berada dalam kegelapan, pendaki tidak menyadari bahwa disebelah kanan terletak Segara Anakan yang sangat indah dilihat dari ketinggian. Hal ini baru disadari saat kembali ke kemah. Rasa letih yang belum sepenuhnya hilang kini dalam waktu kurang dari satu jam sudah muncul kembai. Waktu istirahat yang secara efektif hanya sekitar 3 jam jauh dari cukup untuk memulihkan kondisi fisik. Rasa frustasi mulai muncul saat selalu dilewati oleh peserta yang lebih muda dan khususnya para bule. Namun hal ini tidak terjadi pada Darwanto yang bebas bergerak karena tidak harus menemani Atik. Kita patut bangga karena ada Fortuga seperti Darwanto yang dapat menandingi para bule dan anak muda tersebut. Motivasi dan semangat yang dimiliki seperti saat mendaki di hari pertama membuat kami terus melangkah. Kenyataannya “there is no point of return”. Jenis batuan dan tanah yang dihadapi lagi-lagi berbeda dengan saat latihan sebelumnya di gunung Pancar dan gunung Manglayang. Tanahnya berpasir bercampur batu kerikil di awal perjalanan. Semakin dekat ke puncak, terdiri dari pasir kasar, batu seukuran kerikil bercampur batu yang berukuran agak besar. Pendaki mudah untuk terpeleset dan jatuh. Dua langkah berarti satu langkah karena ketidakpadatan tempat pijakan langkah. Kondisi ini sangat menguras tenaga dan mempengaruhi kondisi otot kaki. Salah satu Fortuga, Hari, akhirnya memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan ke puncak Rinjani karena mengalami kram pada bagian pahanya. Dalam perjalanan ke puncak kesempatan mendokumentasikan pemandangan indah Segara Anakan dan sekitarnya tentu saja tidak dilewatkan. Laksamana sebenarnya bisa sama cepatnya dengan Darwanto namun karena tanggung jawabnya sebagai komandan tim selalu memastikan semua okay, tentunya smabil mengambil foto. Kalau jenderal lebih banyak mengatur nafas supaya tetap kuat naik keatas…hehehe. Hal yang paling tidak enak lagi-lagi dialami karena Iman masih belum berhasil mensosialisasikan dolbon secara nasional. Keinjak produk dolbon, bau yang terasa tidak sedap disepanjang pendakian, dan yang lebih parah kesenggol saat melakukan sholat shubuh…..ampun deh. Jenderal sendiri sempat mempraktekkan dolbon sesuai petunjuk Iman di ketinggian 3706 mdpl, luar biasa memang leganya…hehehe. Ini semua gara-gara ada yang memberikan cake ulang tahun pas di puncak. Sepasang suami istri dari Cilegon ternyata merayakan ulang tahun istrinya yang ke 29 tepat di puncak Rinjani dan kami ikut menyanyikan selamat ulang tahun sehingga ikut kebagian kuenya. Lucunya laksamana dan jenderal sempat kelintasi mereka berdua sebelumnya saat pendakian dalam keadaan si istri setengah putus asa untuk terus naik keatas dan diancam suaminya “ya udah turun aja”. Begitulah suasana yang dapat terjadi saat pendakian. Laksamana, Bagus dan jenderal akhirnya menjadi pecahan kedua yang berhasil mencapai puncak, sekitar jam 8.15. Suasana masih cerah, belum ada awan yang menutupi Segara Anakan. Tidak lama kemudian disusul anggota tim lainnya sehingga kami sempat berfoto bersama termasuk foto keluarga “Ucil dan Daman”….hehehe. Pemandangan diatas memang luar biasa, rasa capek langsung hilang semua. Angin bertiup cukup kencang namun rasa dingin tidak lagi seperti saat pendakian. Anggota terakhir yang sampai diatas adalah Natasha putrinya Ingkan/Butar, sekitar pukul 10 lewat. Untungnya sampai agak terlambat adalah tidak terlalu banyak orang lain disana sehingga kami bebas beraksi. Setelah puas berfoto dan istirahat, satu persatu anggota turun ke bawah. Turun membutuhkan teknik tersendiri agar tidak mudah jatuh atau terguling. Agus yang mencoba untuk turun dengan cepat sempat terguling dan nyaris masuk ke jurang. Saya sempat melempar batu ke jurang dan batu tersebut bergulir sampai jauh ke bawah dan tidak terlihat lagi, demikianlah gambaran dalamnya jurang disana. Waktu tempuh untuk turun jauh lebih pendek, sekitar setengah sampai sepertiga waktu mendaki. Jenderal bisa turun dalam waktu 2 jam sementara waktu naik diperlukan waktu lebih dari 6 jam. Saat turun dihibur oleh pemandangan Segara Anakan yang indah sekali. Ini yang membuat banyak orang selalu kembali kesini. Kami sempat ngobrol dengan pendaki dari Malysia yang setiap tahun selama lima tahun terakhir selalu berkunjung ke puncak Rinjani. Sampai di kemah sekitar pukul 12 ternyata makan siang belum siap, padahal sudah lapar sekali. Akhirnya kami makan sisa sarapan ditemani monyet-monyet yang gemuk-gemuk disekitar kemah. Ada yang istirahat sambil leyeh-leyeh, mandi di sumber air yang sekitarnya beraroma produk dolbon, dan tentu saja tidak lupa sholat. Makan siang baru siap sekitar pukul 13.30, sementara sudah diberitahu bahwa kami harus segera turun sekitar pukul 15.00 menuju tepian Segara Anakan agar bisa sampai saat matahari masih bersinar. Walupun kaki masih pegel dan rasa ngantuk belum hilang, demi untuk memenuhi jadwal trip ini,semua anggota rombongan Fortuga mulai berbenah sekitar pukul 14.30 dan bergerak menuruni bukit sekitar setengah jam kemudian. Menuruni bukit menuju Segara Anakan harus dilakukan juga secara perlahanlahan. Faktor usia membuat kemampuan lutut menahan beban menjadi kritikal. Jarak antar batu yang cukup lebar membuat tingkat kesulitan menjadi tinggi dan harus dilakukan dengan hati-hati. Lengah sedikit akan berakibat terguling dibebatuan yang dapat menimbulkan cedera serius. Alhamdulillah kami semua sampai dengan selamat satu persatu mulai pukul 18.15 dan yang terakhir sekitar pukul 20.00. Ucil sempat agak sakit namun tidak membuatnya menjadi sulit menyelesaikan perjalanan. Kemah kami terletak persis di pinggir danau Segara Anakan nan cantik. Saat di puncak Rinjani kami sempat melihat lokasi ini dari atas. Ternyata untuk mencapainya memerlukan perjuangan tersendiri juga. Gunung baru yang mulai muncul sejak tahun 1984 semakin jelas terlihat. Menurut info, ketinggian gunung baru ini terus bertambah dari tahun ke tahun. Disini kami sempat bertemu dengan dua bule yang “dikibulin” oleh Agus. Mereka sempat mendengarkan Agus menyanyikan lagu “Wonderful World” sambil setengah berendam di danau ini. Jangan kaget suatu waktu rekamannya muncul di YouTube. Satu hal yang tidak boleh lupa disampaikan disini adalah nikmatnya mandi air panas di hilir danau berjarak kurang lebih 173 meter dari lokasi kemah kami. Setelah menyeberangi anak sungai di pinggir danau dan menuruni bukit batu yang cukup terjal, kami menemukan mata air panas yang langsung bertemu dengan air dingin dari Segara Anakan. Ini sungguh satu spa alami yang tidak ada tandingannya. Kapten pasti akan terpesona melihat air pada memancur dari bebatuan dengan rasa belerang yang tidak terlalu terasa. Treatment spa kami rasakan disini. Berendam di air dingin sambil dipijat oleh derasnya air, lalu masuk ke kolam kecil air panas, kemudian masuk lagi ke air dingin sungguh membuat rasa penat jadi terasa hilang. Tentu saja dolbon sesuai prosedur tidak lupa dilakukan….hehehe. Atik tidak berhasil dolbon karena ada rasa khawatir dilihatin cowok-cowok sehingga sulit konsentrasi. Info buat teman pelistrikan, di lokasi ini sangat potensial untuk pembangkit tenaga air. Listriknya dapat digunakan untuk fasilitas penjaga dan toilet umum di sekitar danau dan gunung Rinjani. Berikut ini komentar dari Darwanto terkait hal ini: “Iya tuuuh, sangat memprihatinkan. Fasilitas toilet yang ada tdk bisa digunakan karena tidak adanya sarana air. Akhirnya banyak dolboner yang juga sering tidak menutup lubangnya kembali. Jumlah orang yang naik memang luar biasa, karena banyak pendaki menggunakan porter, seperti team Fortuga...yang 17 orang, menggunakan porter 19 orang untuk angkat tenda2/peralatan masak&makan/matras sleeping bag/barang pribadi/bahan makanan dan minuman..... Walaupun group porter sudah mendapatkan briefing dari pengelola TNGR, namun tetap saja tidak disiplin dalam membuang sampah, karena pengawasan yang kurang. Tempat2 sampah juga tidak terlihat tersedia dengan cukup memadai di-area2 perkemahan. Air bersih yang cukup, harus bisa dipompakan ke at least Base Camp. Selain itu bagai tempat eko wisata, saya belum lihat adanya fasilitas rescuer yang memadai. Jalur pendakian cukup berbahaya, dengan jalan yang terkadang sempit dan batu2an yang terjal (sehingga kadang harus merayap). Beberapa kekurangan ini sempat saya sampaikan ke group mahasiswa Universitas Mataram yang kebetulan ketemu di Rinjani. Namun perlu juga kita berikan masukan ke Pemda nya. Btw, apa ada Fortuga asal Lombok nggak ya? Diluar kekurangan2 itu, pemandangan Rinjani sangat indah sekali...... rasanya seperti pemandangan gunung2 di Eropa. Lombok sendiri terlihat subur. Semoga industri pariwisata di Lombok bisa berkembang terus....untuk mendampingi Bali yang sudah terasa padat terutama di musim liburan”. Selesai mandi kami sarapan sambil memandang keindahan sekitar danau dan melihat Agus beraksi dengan diving suitenya. Cerita-cerita lucu selama perjalanan dan bercanda dengan kedua bule temannya Agus membuat suasana jadi semakin menyenangkan. Lagi-lagi kesempatan berfoto tidak dilewatkan. Tepat pukul 8.30 pagi rombongan bergerak untuk menuju Senaru, tempat kumpul terakhir sebelum menuju hotel dan pulang ke Jakarta pada besok harinya. Informasi dari laksamana terkesan bukit yang akan dilewati tidaklah seberat bukit penyesalan. Perlu diketahui bahwa masuk dan keluar dari danau ini dari arah manapun, tidak ada pilihan lain kecuali melewati bukit. Tidak ada kuda, ojek, apalagi mobil yang dapat digunakan sebagai saran angkutan. Setelah menyeberangi sungai kecil kami menyusuri pinggir danau untuk menuju bagian bukit yang terendah menuju Senaru, kami mulai menaiki bukit lagi. Perbukitannya ternyata banyak bagian yang curamnya, nafas tersengal-sengal tidak dapat dihindari. Satu langkah dua tarikan nafas semakin keatas semakin sering terjadi. Namun yang menarik, pemandangan Segara Anakan dari arah yang berbeda pada hari sebelumnya ternyata lebih cantik, sehingga alasan berfoto bisa dipakai untuk tarik nafas….hehehe. Di perjalanan ini kami banyak menemui rombongan yang akan ke puncak Rinjani dari arah Senaru. Tepat pukul 12.30 jenderal sampai duluan di puncak bukit, dari puncak coba memberi semangat ke tamanteman yang masih di bawah. Setelah berfoto sejenak disini, perjalanan dilanjutkan ke pos-4 tempat makan siang disediakan. Jalan menuruni bebatuan selama 30 menit membawa kami sampai di pos ini. Awan tebal kadang diselingi terik matahari terjadi di daerah ini. Secara pemandangan tidak ada yang menarik disini. Ketika sampai di pos-4 ternyata makan siang belum siap, terpaksa menunggu sampai sekitar jam 14.30. Jenderal termasuk yang mendapat porter yang baik dan setia, pak Anwar. Selalu mengikuti dari dekat dan siap dengan minuman dan makanan kecil setiap diperlukan. Selesai makan dan sholat, sekitar jam 15.00 rombongan pertama, Bagus, jenderal, Hari, Fito, Ucok dan Anton mulai menuju pos-3. Saat itu rombongan Ucil dan Atik ditemani Vicky, Daman dan Darwanto sudah nampak dari jauh baru akan mendekati pos-4. Dari sini sudah nampak bahwa sampai malam hari di Senaru sudah tidak bisa dihindari. Mempersiapkan senter kepala sudah harus dilakukan. Perhitungan porter, paling cepat sampai di pos TNGR Senaru sekitar jam 8 malam. Masih ada pos-2, pos ekstra, pos-1 dan pos pendaftaran TNGR Senaru, semuanya jalan menurun yang berupa batu, akar pohon, pasir dan tanah. Lagi-lagi masalah yang muncul saat turun adalah menjaga kemampuan sendi lutut menopang berat badan plus beban ransel buat yang membawanya. Beruntung saat sampai di pos ekstra kami bertemu dengan bule teman Agus yang berkemah disana. Jenderal dan Bagus disuguhi welcome drink berupa the panas yang luar biasa nikmatnya saat sudah capek sekali. Anton, Ucok dan Hari sampai disini saat sudah gelap dan diberikan pil pain killer oleh Gerry. Pil ini sangat membantu mereka saat meneruskan perjalanan ke pos terakhir. Ini pelajaran bagus buat pendaki seusia Fortuga. Mulai dari pos ekstra sampai ke pos-TNGR, jenderal dan Bagus seperti mendapat tenaga ekstra. Kami berdua setengah berlari, diselingi minum pocari dua botol di pos-1, akhirnya sampai di pos terakhir sekitar pukul 7.30 malam. Kami langsung lapor di pos ini dan menyantap mie rebus dua bungkus…lapar euy, penyambut tidak kelihatan batang hidungnya. Disangkanya paling cepat sampai jam 10 malam, sebelum berangkat, Syaiful namanya, sempat bicara sama temannya, ini rombongan tua-tua koq nekat mengambil paket 3hari-2malam, biasanya paling tidak 5hari-4malam. Tapi bukan Fortuga kalau tidak nekat…hehehe. Sempat menunggu sekitar 2 jam saat satu persatu mulai muncul, namun kemudian kami mendapat berita dari Darwanto bahwa Atik dalam keadaan sudah lemah sekali dan baru sampai di pos-2. Rasa khawatir mulai muncul, beberapa porter yang sudah sempat beristirahat diminta menyusul keatas. Padahal tadinya kami lebih khawatir tentang Ucil yang sempat sakit pada malam sebelumnya. Setelah makan malam dan sholat di kaki gunung ini akhirnya rombongan mobil pertama menuju hotel sekitar jam 00.30 dinihari, dan harus ditempuh sekitar 2 jam. Sementara anggota rombongan lainnya masih berjuang di tengah hutan menuruni bukit yang tidak habis-habisnya. Berita terakhir kami peroleh bahwa Atik sempat tidak sadarkan diri dan akhirnya harus ditandu oleh para porter. Rombongan terkahir ini akhirnya baru sampai di pos terkahir sekitar jam 3 pagi dan sampai di hotel sekitar jam 5 pagi. Alhamdulillah semua selamat dan sampai di hotel untuk beristirahat setelah melalui perjalanan panjang dalam waktu yang relatif pendek. 76 jam total diselingi istirahat hanya sekitar 20 jam, luar biasa memang. Terimakasih buat laksamana, Darwanto, Daman, Arun dan Eko yang selalu menemani para wanita di rombongan sehingga mereka semua merasa aman dan sampai dengan selamat. Mohon maaf kalau jenderal lebih sering duluan karena ini merupakan pengalaman pertama ke gunung sekelas Rinjani, jadi ngurus diri sendiri saja sudah susah banget rasanya. Badan pegal dan sakit-sakit baru hilang hari jumat ini, selamat ketemu di Midori. Pelajaran dari pelajaran ini in shaa Allah akan dibuatkan sesuai masukan dari semua anggota rombongan. Salam, Jenderal