Waktu Berharga
Transcription
Waktu Berharga
M e w a r t a k a n I m a n d a n K a s i h BERITA U.K.I O K T O B E R DI BULAN NOPEMBER Misa Minggu II, Saat Menyatakan Segala Sesuatu 10 Nopember 2013 Misa Minggu IV, 24 Nopember 2013 Rekoleksi Adven Berharga 30 Nopember 2013 GEREJA St. Anselm’s Church 1 MacNaughton Rd. (Bayview & Millwood) Toronto ON M4G 3H3 Ph: (416) 485-1792 Subway Stn: Davisville Redaksi: Angelina Hanapie Julian Wibowo Novius Handy Yusup Yusup Penasehat: Rm. A. Purwono SCJ Alamat Redaksi: c/o Priests of the Sacred Heart 58 High Park Blvd. Toronto ON M6R 1M8 Email: [email protected] W W W . U K I . C A Waktu Saat Bersyukur dan KEGIATAN 2 0 1 3 / N O . 2 5 7 aktu berlalu, tentulah sebuah kodrat. Karena tak ada yang bisa menghentikannya. Ia berjalan dan terus berjalan tanpa henti. Di lingkarannya, kita hidup dan terus mencari serta menemukan arti kehidupan tersebut. Dan tak satupun dari kita, ingin menjadi frustrasi, setelah mendapatkan semua yang dicari di dunia ini, dan menemukan itu semua tiada arti. Sebagai orang beriman, kita yakin akan apa yang kita imani. Tidak ada satupun yang tidak berarti ataupun sia-sia, sejauh semuanya itu bertujuan untuk semakin yakin bahwa Tuhan mencintai kita dan ingin membuat kehidupan manusia berharga. Dan keyakinan itu, adalah kata “amin” kita, dalam upaya untuk menghidupi diri sebagai orang-orang yang dicintai Tuhan, dan membuat kehidupan semakin berharga. Waktu berharga, adalah sebuah pilihan. Dan pilihan kita adalah tidak membiarkan waktu berlalu dengan sia-sia. Musim panas baru saja lewat, berlanjut dengan musim gugur. Kurun W waktu itu, aneka kegiatan kita laksanakan, baik secara pribadi maupun bersama, dalam keluarga maupun komunitas UKI. Semua kegiatan itu tentu menyisakan butir –butir pengalaman berharga. Kehangatan, keharmonisan, persaudaraan, sukacita, kesegaran, atau bahkan pengalaman yang tidak kita kehendaki; yang menimbulkan kesedihan, kehilangan dan sebagainya. Itu semua adalah butir-butir pengalaman berharga. Butir-butir pengalaman itu, mestinya semakin meyakinkan kita, bahwa Tuhan yang mencintai kita adalah mahakuasa. Kuasa-Nya mampu menerobos keterbatasan pemahaman kita, yang sering bertanya; mengapa? Dan rasanya, bukan jawaban atas pertanyaan itu yang sungguh kita butuhkan, karena kita sadar, pastilah Tuhan punya rencana. Dan yang sungguh kita inginkan adalah; kekuatan untuk ikhlas menjalani semua pengalaman itu. Keikhlasan tersebut akhirnya menuntun kita menjadi penyembah-Nya. Menjadi penyembah yang ikhlas dicintai dan dibentukBersambung ke halaman 10, Pastor Pamong Rm. Antonius Purwono SCJ [email protected] Deacon Deacon Val Danukarjanto, (416) 497.2274 [email protected] DEWAN PENGURUS UMAT KATOLIK INDONESIA Koordinator Christine Budihardjo, (647) 895.7089 [email protected] Wakil Koordinator Albert Tee, (905) 824.1168 [email protected] Sekretaris Kiki Hermyana, (647) 928.7119 [email protected] Bendahara Janto Solichin, (416) 587.2362 [email protected] WILAYAH TIMUR Ketua Wilayah Nani Widjaja, (416) 890.0894 [email protected] Seksi Liturgi Jeffrey Susilo, (416) 388.6169 [email protected] Seksi Bina Iman Reza Aguswidjaya, (647) 863.0030 [email protected] Seksi Sosial Sofjan “Chopi” Suhadi, (416) 949.3900 [email protected] Seksi Rumah Tangga Selvie Widjaja, (647) 896.6121 [email protected] Usher Harty Doyle, (647) 533.6246 [email protected] WILAYAH BARAT Ketua Wilayah Ben Dijong, (905) 997.5765 [email protected] Seksi Liturgi Raymond Wirahardja, (905) 812.9491 [email protected] Seksi Bina Iman Maya Adisuria, (905) 814.8475 [email protected] Seksi Sosial Lucas Noegroho, (416) 859.0222 [email protected] Seksi Rumah Tangga Ribkah Mesach, (905) 286.9081 [email protected] Usher Joyo Sudardi, (905) 785.6379 [email protected] BIDANG KHUSUS Mudika, Yoanitha [email protected] PELAKSANA KHUSUS Ketua Lektor Lilian Tjokro, (905) 887.9546 [email protected] Ketua Sakristi Hendry Wijaya, (416) 450.6536 [email protected] Warga UKI yang terkasih, Dalam rangka menertibkan penyelenggaraan Misa UKI, permintaan ujud misa dan doa umat, mohon disampaikan paling lambat satu minggu sebelum Misa UKI, (bila dalam keadaan mendadak permintaan dapat dilakukan sebelum Misa UKI) kepada PERMOHONAN Ujud Misa dan Doa Umat DI MISA UKI Wilayah WEST Seksi Liturgy: Raymond Wirahardja ([email protected]) Ketua Wilayah: Ben Dijong ([email protected]) Wilayah EAST Seksi Liturgy: Jeffrey Susilo ([email protected]) atau Ketua Wilayah: Nani Widjaja ([email protected]) OKTOBER 2013/NO.257 HALAMAN 1. 3 3. (1) Juara I, Kelompok Bible Study & PD West: Iis, Cindra, Rosa, Siu Yang, Christine. (2) Juara II, Kelompok Choir West; Denny, Melly, Tiny, Dominicus, Djoni. (3) Juara III, Kelompok PI Ursula; Taufik, Yanti, Chopy, Lilian, Hendry. 2. Bible Games Dalam rangka menyambut bulan KITAB SUCI, dan sebagai acara tetap tahunan di UKI diadakan Bible Games pada tanggal 22 September 2013. Ini adalah tahun yang ke enam dan acara diselenggarakan seusai Misa Minggu II. Tujuan dari kegiatan ini sederhana yakni agar setiap kontestan membaca dan memahami alkitab. cara yang dihadiri 19 orang dibagai menjadi 5 grup. Dipandu oleh Maya Adisuria sebagai MC, didampingi oleh Romo Pamong, Antonius Purwono SCJ sebagai juri, Ketua Bina Iman East Reza Agus dan Emerintia Muliadi sebagai pemain music. Kehadiran para teknisi electronic, Lucas Noegroho, Chopi Suhadi dari Seksi Sosial turut membantu lancarnya acara Bible Games ini dengan menyediakan sound system, dan system tekan tombol bel untuk para peserta berebut dan berlomba mengumpulkan points. Wajah wajah peserta, dari tahun ke tahun tidak berbeda banyak. Lima grup peserta ini mewakili dari kelompok kegiatan yang ada di UKI, kelompok I mewakili grup Bible Study dan PD West, kelompok II mewakili grup Bible Study Ferry, kelompok III me- A wakili grup Choir West, kelompok IV mewakili Mudika , dan kelompok V mewakili PI Ursula.. Diakui oleh Maya Adisuria, mencari peserta untuk ikut lomba tidak mudah, peserta semakin sukar dicari sebab tidak punya waktu untuk belajar. Namun beliau tidak patah semangat, mengikuti anjuran kegiatan yang pernah dilakukan oleh Christine Tanujaya, mantan Ketua Sie. Bina Iman West, sebaiknya pertanyaan dikemas sedemikian rupa agar tanpa belajar mereka bisa menjawab. Disisi lain Maya sendiri juga rindu mengingatkan janji-janji indah dari Tuhan serta peringatan-peringatanNya yang tertulis dalam kitab Suci untuk kita dapat lebih baik dalam berlaku dan bertindak. Dengan latar belakang ini, memang lomba Bible Quiz atau Games tahun Bersambung ke halaman 7, HALAMAN 4 Peluncuran Ensiklik Pertama Paus Fransiskus Bersama Benediktus XVI: LUMEN FIDEI ENCYCLICAL LETTER LUMEN FIDEI OF THE SUPREME PONTIFF FRANCIS TO THE BISHOPS PRIESTS AND DEACONS CONSECRATED PERSONS AND THE LAY FAITHFUL ON FAITH Continuation, 13. The history of Israel also shows us the temptation of unbelief to which the people yielded more than once. Here the opposite of faith is shown to be idolatry. While Moses is speaking to God on Sinai, the people cannot bear the mystery of God’s hiddenness, they cannot endure the time of waiting to see his face. Faith by its very nature demands renouncing the immediate possession which sight would appear to offer; it is an invitation to turn to the source of the light, while respecting the mystery of a countenance which will unveil itself personally in its own good time. Martin Buber once cited a definition of idolatry proposed by the rabbi of Kock: idolatry is "when a face addresses a face which is not a face".[10] In place of faith in God, it seems better to worship an idol, into whose face we can look directly and whose origin we know, because it is the work of our own hands. Before an idol, there is no risk that we will be called to abandon our security, for idols "have mouths, but they cannot speak" (Ps 115:5). Idols exist, we begin BERITA U.K.I to see, as a pretext for setting ourselves at the centre of reality and worshiping the work of our own hands. Once man has lost the fundamental orientation which unifies his existence, he breaks down into the multiplicity of his desires; in refusing to await the time of promise, his life-story disintegrates into a myriad of unconnected instants. Idolatry, then, is always polytheism, an aimless passing from one lord to another. Idolatry does not offer a journey but rather a plethora of paths leading nowhere and forming a vast labyrinth. Those who choose not to put their trust in God must hear the din of countless idols crying out: "Put your trust in me!" Faith, tied as it is to conversion, is the opposite of idolatry; it breaks with idols to turn to the living God in a personal encounter. Believing means entrusting oneself to a merciful love which always accepts and pardons, which sustains and directs our lives, and which shows its power by its ability to make straight the crooked lines of our history. Faith consists in the willingness to let ourselves be constantly transformed and renewed by God’s call. Herein lies the paradox: by constantly turning towards the Lord, we discover a sure path which liberates us from the dissolution imposed upon us by idols. 14. In the faith of Israel we also encounter the figure of Moses, the mediator. The people may not see the face of God; it is Moses who speaks to YHWH on the mountain and then tells the others of the Lord’s will. With this presence of a mediator in its midst, Israel learns to journey together in unity. The individual’s act of faith finds its place within a community, within the common "we" of the people who, in faith, are like a single person — "my first-born son", as God would describe all of Israel (cf. Ex 4:22). Here mediation is not an obstacle, but an opening: through our encounter with others, our gaze rises to a truth greater than ourselves. Rousseau once lamented that he could not see God for himself: "How many people stand between God and me!"[11] … "Is it really so simple and natural that God would have sought out Moses in order to speak to Jean Jacques Rousseau?"[12] On the basis of an individualistic and narrow conception of knowledge one cannot appreciate the significance of mediation, this capacity to participate in the vision of another, this shared knowledge which is the knowledge proper to love. Faith is God’s free gift, which calls for humility and the courage to trust and to entrust; it enables us to see the luminous path leading to the encounter of God and humanity: the history of salvation. The fullness of Christian faith 15. "Abraham rejoiced that he would see my day; he saw it and was glad" (Jn 8:56). According to these words of Jesus, Abraham’s faith pointed to him; in some sense it foresaw his mystery. So Saint Augustine understood it when he stated that the patriarchs were saved by faith, not faith in Christ who had come but in Christ who was yet to come, a faith pressing towards the future of Jesus.[13] Christian faith is centred on Christ; it is the confession that Jesus is Lord and that God has raised him from the dead (cf. Rom 10:9). All the threads of the Old Testament converge on Christ; he becomes the definitive "Yes" to all the OKTOBER 2013/NO.257 promises, the ultimate basis of our "Amen" to God (cf. 2 Cor 1:20). The history of Jesus is the complete manifestation of God’s reliability. If Israel continued to recall God’s great acts of love, which formed the core of its confession of faith and broadened its gaze in faith, the life of Jesus now appears as the locus of God’s definitive intervention, the supreme manifestation of his love for us. The word which God speaks to us in Jesus is not simply one word among many, but his eternal Word (cf. Heb 1:12). God can give no greater guarantee of his love, as Saint Paul reminds us (cf. Rom 8:31-39). Christian faith is thus faith in a perfect love, in its decisive power, in its ability to transform the world and to unfold its history. "We know and believe the love that God has for us" (1 Jn 4:16). In the love of God revealed in Jesus, faith perceives the foundation on which all reality and its final destiny rest. 16. The clearest proof of the reliability of Christ’s love is to be found in his dying for our sake. If laying down one’s life for one’s friends is the greatest proof of love (cf. Jn 15:13), Jesus offered his own life for all, even for his enemies, to transform their hearts. This explains why the evangelists could see the hour of Christ’s crucifixion as the culmination of the gaze of faith; in that hour the depth and breadth of God’s love shone forth. It was then that Saint John offered his solemn testimony, as together with the Mother of Jesus he gazed upon the pierced one (cf. Jn 19:37): "He who saw this has borne witness, so that you also may believe. His testimony is true, and he knows that he tells the truth" (Jn 19:35). In Dostoevsky’s The Idiot, Prince Myshkin sees a painting by Hans Holbein the Younger depicting Christ dead in the tomb and says: "Looking at that painting might cause one to lose his faith".[14] HALAMAN The painting is a gruesome portrayal of the destructive effects of death on Christ’s body. Yet it is precisely in contemplating Jesus’ death that faith grows stronger and receives a dazzling light; then it is revealed as faith in Christ’s steadfast love for us, a love capable of embracing death to bring us salvation. This love, which did not recoil before death in order to show its depth, is something I can believe in; Christ’s total self-gift overcomes every suspicion and enables me to entrust myself to him completely. 17. Christ’s death discloses the utter reliability of God’s love above all in the light of his resurrection. As the risen one, Christ is the trustworthy witness, deserving of faith (cf. Rev 1:5; Heb 2:17), and a solid support for our faith. "If Christ has not been raised, your faith is futile", says Saint Paul (1 Cor 15:17). Had the Father’s love not caused Jesus to rise from the dead, had it not been able to restore his body to life, then it would not be a completely reliable love, capable of illuminating also the gloom of death. When Saint Paul describes his new life in Christ, he speaks of "faith in the Son of God, who loved me and gave himself for me" (Gal 2:20). Clearly, this "faith in the Son of God" means Paul’s faith in Jesus, but it also presumes that Jesus himself is worthy of faith, based not only on his having loved us even unto death but also on his divine sonship. Precisely because Jesus is the Son, because he is absolutely grounded in the Father, he was able to conquer death and make the fullness of life shine forth. Our culture has lost its sense of God’s tangible presence and activity in our world. We think that God is to be found in the beyond, on another level of reality, far removed from our everyday relationships. But if this were the case, if God could not act in the world, his love would not be truly powerful, truly real, and thus not even true, a love capable of delivering 5 the bliss that it promises. It would make no difference at all whether we believed in him or not. Christians, on the contrary, profess their faith in God’s tangible and powerful love which really does act in history and determines its final destiny: a love that can be encountered, a love fully revealed in Christ’s passion, death and resurrection. 18. This fullness which Jesus brings to faith has another decisive aspect. In faith, Christ is not simply the one in whom we believe, the supreme manifestation of God’s love; he is also the one with whom we are united precisely in order to believe. Faith does not merely gaze at Jesus, but sees things as Jesus himself sees them, with his own eyes: it is a participation in his way of seeing. In many areas in our lives we trust others who know more than we do. We trust the architect who builds our home, the pharmacist who gives us medicine for healing, the lawyer who defends us in court. We also need someone trustworthy and knowledgeable where God is concerned. Jesus, the Son of God, is the one who makes God known to us (cf. Jn 1:18). Christ’s life, his way of knowing the Father and living in complete and constant relationship with him, opens up new and inviting vistas for human experience. Saint John brings out the importance of a personal relationship with Jesus for our faith by using various forms of the verb "to believe". In addition to "believing that" what Jesus tells us is true, John also speaks of "believing" Jesus and "believing in" Jesus. We "believe" Jesus when we accept his word, his testimony, because he is truthful. We "believe in" Jesus when we personally welcome him into our lives and journey towards him, clinging to him in love and following in his footsteps along the way. HALAMAN 6 To enable us to know, accept and follow him, the Son of God took on our flesh. In this way he also saw the Father humanly, within the setting of a journey unfolding in time. Christian faith is faith in the incarnation of the Word and his bodily resurrection; it is faith in a God who is so close to us that he entered our human history. Far from divorcing us from reality, our faith in the Son of God made man in Jesus of Nazareth enables us to grasp reality’s deepest meaning and to see how much God loves this world and is constantly guiding it towards himself. This leads us, as Christians, to live our lives in this world with ever greater commitment and intensity. Salvation by faith 19. On the basis of this sharing in Jesus’ way of seeing things, Saint Paul has left us a description of the life of faith. In accepting the gift of faith, believers become a new creation; they receive a new being; as God’s children, they are now "sons in the Son". The phrase "Abba, Father", so characteristic of Jesus’ own experience, now becomes the core of the Christian experience (cf. Rom 8:15). The life of faith, as a filial existence, is the acknowledgment of a primordial and radical gift which upholds our lives. We see this clearly in Saint Paul’s question to the Corinthians: "What have you that you did not receive?" (1 Cor 4:7). This was at the very heart of Paul’s debate with the Pharisees: the issue of whether salvation is attained by faith or by the works of the law. Paul rejects the attitude of those who would consider themselves justified before God on the basis of their own works. Such people, even when they obey the commandments and do good works, are centred on themselves; they fail to realize that goodness comes from God. Those who live this way, who want to be the source of their own righteousness, find that the latter is soon depleted and that they are unable even to keep the law. They become closed in on themselves and isolated from the Lord and from others; their lives become futile and their works barren, like a tree far from water. Saint Augustine tells us in his usual concise and striking way: "Ab eo qui fecit te, noli deficere nec ad te", "Do not turn away from the one who made you, even to turn towards yourself".[15] Once I think that by turning away from God I will find myself, my life begins to fall apart (cf. Lk 15:11-24). The beginning of salvation is openness to something prior to ourselves, to a primordial gift that affirms life and sustains it in being. Only by being open to and acknowledging this gift can we be transformed, experience salvation and bear good fruit. Salvation by faith means recognizing the primacy of God’s gift. As Saint Paul puts it: "By grace you have been saved through faith, and this is not your own doing; it is the gift of God" (Eph 2:8). 20. Faith’s new way of seeing things is centred on Christ. Faith in Christ brings salvation because in him our lives become radically open to a love that precedes us, a love that transforms us from within, acting in us and through us. This is clearly seen in Saint Paul’s exegesis of a text from Deuteronomy, an exegesis consonant with the heart of the Old Testament message. Moses tells the people that God’s command is neither too high nor too far away. There is no need to say: "Who will go up for us to heaven and bring it to us?" or "Who will go over the sea for us, and bring it to us?" (Dt 30:11-14). Paul interprets this nearness of God’s word in terms of Christ’s presence in the Christian. "Do not say in your heart, ‘Who will ascend into heaven?’ (that is, to bring Christ down), or ‘Who will descend into the abyss?’ (that is, to bring Christ up from the dead)" (Rom 10:6-7). Christ came down to earth and rose from the dead; by his incarnation and resurrection, the Son of God embraced the whole of human life and history, and now dwells in our hearts through the Holy Spirit. Faith knows that God has drawn close to us, that Christ has been given to us as a great gift which inwardly transforms us, dwells within us and thus bestows on us the light that illumines the origin and the end of life. 21. We come to see the difference, then, which faith makes for us. Those who believe are transformed by the love to which they have opened their hearts in faith. By their openness to this offer of primordial love, their lives are enlarged and expanded. "It is no longer I who live, but Christ who lives in me" (Gal 2:20). "May Christ dwell in your hearts through faith" (Eph 3:17). The self-awareness of the believer now expands because of the presence of another; it now lives in this other and thus, in love, life takes on a whole new breadth. Here we see the Holy Spirit at work. The Christian can see with the eyes of Jesus and share in his mind, his filial disposition, because he or she shares in his love, which is the Spirit. In the love of Jesus, we receive in a certain way his vision. Without being conformed to him in love, without the presence of the Spirit, it is impossible to confess him as Lord (cf. 1 Cor 12:3). The ecclesial form of faith 22. In this way, the life of the believer becomes an ecclesial existence, a life lived in the Church. When Saint Paul tells the Christians of Rome that all who believe in Christ make up one body, he urges them not to boast of this; rather, each must think of himself "according to the measure of faith that God has assigned" (Rom 12:3). Those who believe come to see themselves in the light of the faith which they profess: Christ is the mir- OKTOBER 2013/NO.257 ror in which they find their own image fully realized. And just as Christ gathers to himself all those who believe and makes them his body, so the Christian comes to see himself as a member of this body, in an essential relationship with all other believers. The image of a body does not imply that the believer is simply one part of an anonymous whole, a mere cog in a great machine; rather, it brings out the vital union of Christ with believers and of believers among themselves (cf. Rom 12:4-5). Christians are "one" (cf. Gal 3:28), yet in a way which does not make them lose their individuality; in service to others, they come into their own in the highest degree. This explains why, apart from this body, outside this unity of the Church in Christ, outside this Church which — in the words of Romano Guardini — "is the bearer within history of the plenary gaze of Christ on the world"[16] — faith loses its "measure"; it no longer finds its equilibrium, the space needed to sustain itself. Faith is necessarily ecclesial; it is professed from within the body of Christ as a concrete communion of believers. It is against this ecclesial backdrop that faith opens the individual Christian towards all others. Christ’s word, once heard, by virtue of its inner power at work in the heart of the Christian, becomes a response, a spoken word, a profession of faith. As Saint Paul puts it: "one believes with the heart ... and confesses with the lips" (Rom 10:10). Faith is not a private matter, a completely individualistic notion or a personal opinion: it comes from hearing, and it is meant to find expression in words and to be proclaimed. For "how are they to believe in him of whom they have never heard? And how are they to hear without a preacher?" (Rom 10:14). Faith becomes operative in the Christian on the basis of the gift received, the love which attracts our hearts to Christ (cf. Gal 5:6), and enables us to become part of the Church’s great pilgrimage through history until the end of the world. For those who have been transformed in this way, a new way of seeing opens up, faith becomes light for their eyes.□ HALAMAN 7 BIBLE GAMES... ini dirasakan jauh lebih menarik. Panitia selalu bekerja keras dan berusaha sedemikian rupa dalam mengemas bentuk acara bible quiz yang unik, kreatif dan mudah namun tidak menghilangkan makna yang penting untuk mendengar dan mengetahui pesan, janji serta peringatan dariNya. Menurut Maya tantangannya adalah pada dirinya Rm Antonius Purwono SCJ, Maya Adisiuria sendiri, untuk mempersiapkannya perlu banyak waktu. Mengemas bahan quiz sangat tidak mudah karena tidak Grup PI Ferry: Yuni, Ferry, Sari dan Handy dapat mengetahui secara persis kemampuan peserta, pertanyaan apa yang sekiranya cocok untuk peserta yang beragam ini. Grup Mudika: Michael, Nicole, Ryan, Astrid, Ozy Tantangan lainnya dalam mengatur pernak pernik di hari H, sangat diperlukan banyak bantuan. Pada kesempatan ini ia ingin berterimakasih kepada Sie Sosial, suami (Rudy SB Hartono) dan teman-teman Reza lain. Nasya Akhir kata, Maya mengingatkan kita semua, acara ini hanyalah games, santai, bukan mencari ijazah atau ujian untuk naik ke surga…(di jawab sambil tertawa)..! Ia menghimbau tidak perlu takut atau malu, “Mari kita nikmati Sabda Tuhan sambil bermain dan bergembira bersama.” Sebagai penonton dan pengamat, setumpuk rasa syukur karena mendapat kesempatan menerima pengajaran melalui BIBLE GAMES, kegembiraan melihat para peserta yang berlomba menjawab setiap pertanyaan dengan keyakinan benar ataupun salah, dan humor. Kita dukung kegiatan ini untuk menjadi semakin menarik dan dirindukan oleh setiap dari kita. Mari bersatu sebagai warga UKI dalam kegiatan positif melalui Bible Games.□ [Angie Hanapie] HALAMAN 8 LUMPIA GORENG INDOMIE Resep Martha’s Kitchen Juara III Lomba Masak UKI Bahan-bahan: -Dua bungkus Indomie goreng -Kulit Lumpia -Wortel -Kol -Buncis -Dada ayam -Gula pasir -Minyak Goreng Cara Membuat: 1.Rebus Indomie sampai matang dan tiriskan 2. Daging ayam dipotong kecil-kecil dan tumis dengan 2 sendok minyak goreng. 3. Wortel diiris seperti batang korek api, Kol dan buncis diiris halus. 4. Masukkan Wortel, Kol, Buncis, Indomie yang telah direbus dan bumbu-bumbunya kedalam ayam yang sudah ditumis dan aduk secara merata. 5. Beri setengah sendok teh Gula pasir dan aduk. 6. Kemudian angkat dan tempatkan dalam sebuah wajan. Menggulung Lumpia: Letakkan selembar kulit lumpia diatas talenan. Letakkan diatasnya 2 sendok makan Indomie goreng yang telah dicampur dengan bumbu bumbunya. kemudian dibentuk/dirol memanjang. Kemudian goreng dengan minyak yang cukup panas. Setelah menguning angkat. Untuk 2 bungkus Indomie goreng bisa jadi 12 biji lumpia. Lukas 2: 29-30 “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam dalam sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang daripada-Mu” Umat Katolik Indonesia di Toronto dan sekitarnya, TURUT BERDUKA CITA, atas berpulangnya: Bapak Yahya Winata (97 thn) Meninggal, 11 September 2013 Di Jakarta, Indonesia Suami dari Almh. Nelly Salim Ayah/Ayah Mertua dari Salim Winata dan Sri Herman Winata dan Swanny Tumbelaka Bonny Winata dan Albert Jamin Leza Winata dan Hoey Laswardi Riswan Winata dan Gail Gautama Opa dari Emil Laswardi, Dennis Laswardi, Alice Winata, Irsan Jamin, Irma Jamin, Rene Winata, Aldo Winata Ibu Djolina (90 thn) Meninggal, 29 September 2013 Jam 19:05 WIB, di Medan, Indonesia Istri dari Alm. Sujitno Ibu / Ibu Mertua dari Minijati Sujitno dan Ali Muara Milajati Sujitno dan dr. Herwandi Harianto Sujitno dan Lina Widjaja Hartono Sujitno dan Farija Sudjadi Sujitno dan Immelda Misuaty Sujitno dan Edu Sutrisno Mikiwaty Sujitno dan Agustinus Handratno Mifoyaty Sujitno dan Sukardy Chandra Oma dari Marcella Agustina dan Marcellina Kristiani Tante dari Poa Kui Ie Semoga Tuhan Yang Maha Rahim memberi keselamatan kekal dan tempat peristirahatan yang indah di rumah Bapa di sorga. Dan bagi keluarga yang ditinggalkan diberi rahmat, kekuatan, ketabahan serta penghiburan dariNya. Untuk lebih nikmat, buatkan sambal Indofood. Tambahkan sedikit gula pasir kalo terlalu pedas. SUMBANGAN MAKANAN Harap menghubungi salah satu pengurus di wilayah Anda, satu minggu sebelum Misa UKI WEST: Ribkah Mesach, [email protected] Ben Dijong, [email protected] EAST: Selvie Widjaja, [email protected] Nani Widjaja, [email protected] BERITA U.K.I OKTOBER 2013/NO.257 Anton and Melling Sjahlim, 44 HALAMAN Andreas and Ilijani Halim, 42 Greg and Lian Sudjana, 45 Adrianto and Jeanne Suhendra, 45 Lebih dari 40 Tahun Kebersamaan Dalam Kasih Pada Misa Minggu ke empat bulan September yang lalu, ada empat pasang suami-istri maju ke depan untuk mendapatkan berkat istimewa dari Rm. Purwono SCJ, karena mereka merayakan “Wedding Anniversary”. Bagi pasangan yang telah bertahun-tahun hidup bersama bahkan sudah empat puluh tahun lebih, mungkin hari ulang tahun pernikahan sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan kebanyakan pasangan tidak lagi merayakannya dengan sesuatu yang spesial seperti di awal tahun pernikahannya. Akan tetapi sebenarnya merayakan ulang tahun pernikahan itu memiliki makna yang lebih dari sekedar bertukar kado, pergi ke restoran, dan bulan madu yang ke sekian kalinya, akan tetapi peristiwa ini dapat membuat pernikahan menjadi semakin awet-mesra dan bahagia. Alasan utama pentingnya merayakan hari ulang tahun pernikahan adalah karena hari itu merupakan hari yang paling bermakna dalam hidup. Tanpa disadari, hari pernikahan telah menjadi masa transisi. Sejak hari itu, mereka mulai tumbuh bersama sebagai pasangan suami-istri. Ulang tahun perkawinan menjadi ajang untuk mengevaluasi kembali segala sesuatu yang penting mengenai pasangan hidup dan pernikahan yang mereka jalani. Tentu sangat diharapkan, setelah bertahuntahun hidup dan menghadapi masalah bersama, pasangan suami-istri menjadi lebih mengenal dan mengerti bahwa kehidupan pernikahan menuntut suatu pengorbanan diri, toleransi, kompromi, dan kasih sayang. Sebagaimana kita ketahui bahwa dasar dari perkawinan Katolik adalah Cinta Kristus (Yohanes 15:917 dan Efesus 5:22-23). Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32). Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya baginya untuk menguduskannya (Ef 5:25). Maka para suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan menguduskan istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya; dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang disebut sebagai ‘kepala istri’ (Ef 5:23), seperti Gereja sebagai anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala. Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi ‘karunia‘ satu bagi yang lainnya, yang secara mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan minyak, namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan pasangan itu sendiri. Inilah artinya sakramen perkawinan: suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang tak terpisahkan seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari suami selalu merenungkan: “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku?” demikian juga, istri merenungkan, “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada suamiku?” Oleh karena itu perayaan atau peringatan hari perkawinan adalah sesuatu yang penting bukan karena ada kesempatan untuk berpesta, akan tetapi inilah hari yang baik untuk melihat dan mengadakan koreksi diri sehingga keintiman dan kebahagiaan di dalam hidup berkeluarga akan tercapai. Pada akhir kata, saya ucapkan bagi mereka yang merayakan Wedding Anniversary nya. Kesetiaan Anda di dalam membangun hidup berkeluarga secara Katolik menjadi pewartaan akan kasih dan setia Allah kepada manusia di jaman yang sudah mulai memudarkan akan pentingnya nilainilai kesetiaan dan keintiman dalam hidup berkeluarga. Salam dan berkatku, Rm. Aegi SCJ 9 HALAMAN 10 Sambungan dari halaman 1, Waktu… Nya. Dibentuk menjadi pribadi-pribadi yang mau berjuang menjadikan hidup makin berharga. Dengan demikian kita menjadi penyembah-penyembah yang berhiaskan rasa syukur atas berharganya setiap sisi kehidupan kita. Di hari Thanksgiving beberapa waktu lalu, permenungan tentang rasa syukur mendapatkan tantangannya. Saya kutipkan sebagian kotbah saya saat misa Thanksgiving. “Terlepas dari apapun yang disyukuri, tradisi ini sangat kristiani; bukankah bersyukur menjadi bagian yang sangat penting dari iman kita? bahkan dalam setiap segi perayaan iman, kata syukur menduduki bagian sentral. Kita memberi nama ekaristi dengan kata kurban syukur. Ada doa syukur agung.. Yang semuanya mengungkapkan betapa penting bersyukur atas karya keselamatan yang Tuhan berikan kepada kita. Namun demikian, kata syukur itu membahana luas artinya. Sehingga kerap terjadi, kita nyaris tak dapat menangkap apa apa dari kata itu. Atau sering menjebak kita pada perolehan-perolehan yang kita capai dan kita menghitungnya, dari situ syukur menjadi bermakna. Lalu, ketika tidak menemukan apapun dalam diri kita, bertanya: bersyukur, apa yang disyukuri? Kayak gini kog disyukuri? Bacaan Injil hari ini, menjadi cermin. Tempat kita berkaca dan menemukan diri kita. Cermin bukan hakim yang mengadili kita, lalu mengolok olok kelemahan kita. Cermin objektif memberikan pantulan diri kita, sehingga kita tahu, seperti apakah kita. Maka dengan berkaca pada Injil hari ini kitapun bisa melihat siapakah aku? Adakah rasa syukur itu muncul dari hidupku? Bagaimana itu? 10 orang kusta. Tidak ada yang patut dibanggakan dari situasi hidup mereka. Mereka adalah orang yang malang, tersingkir dari masyarakat karena dosa dan kemalangannya. Tidak ada ruang dan tempat bagi mereka untuk pongah atau sombong atas keberhasilan dan trimakasih Tuhan, selalu ia lambungkan. pencapaian diri. Satu satunya yang bisa Akhirnya dia lulus kuliah dan mendapat membuat dia bangga dan tumbuh pekerjaan. Bukan pekerjaan yang bergengsi harapannya adalah sosok Yesus. Teriakan di mata dunia. Ia bekerja di panti asuhan, minta tolong mereka adalah jeritan orang merawat anak yatim piatu dgn penuh cinta. tanpa daya. Yesus adalah tempat daya itu Dan untuk inipun ia berdoa singkat: berada. Dan mereka datang kepadaNya. “terimakasih Tuhan, atas kesempatan untuk Keinginan untuk sembuh dan berubah akan mencintai dan merawat mereka”. Itulah rasa syukur, ia tidak situasi hidupnya membuat mereka antusias untuk menjalankan apa yang disampaikan terpenjara oleh pandangan mata dan keinginan fana. Sehingga rasa syukur mesti Yesus. Singkatnya, mereka sembuh. Apakah betul mereka sembuh? bermula dari segala sesuatu yang nikmat Rasanya hanya satu yang sembuh. Yakni dan enak menjumlahkannya. Ia juga bisa orang yang datang kepada Yesus dan muncul lewat derita dan situasi hidup yang mengucapkan syukur. Yang lain, setelah tidak mudah memaknainya. Itulah daya, memperoleh daya dari Yesus lalu lupa yang datang dari Yesus yang kita juga ingin akan sumber daya itu, dan yakinlah, terus menimbanya. Seperti si kusta yang mereka akan kehilangan daya lagi. Tapi k e m b a l i k e p a d a Y e s u s s e t e l a h satu orang ini, tetap memiliki daya yang disembuhkannya. Seperti si gadis, yang diberikan Yesus. Ia datang lagi kepada tidak bisa menolak situasi pahit hidupnya. Semuanya hanya bermuara; hidup adalah Yesus. Ada sebuah cerita kecil; seorang anugerah yang selalu pantas disyukuri, gadis cilik selalu diajari ibunya untuk apapun isinya. Karena Dia yang empunya. ” Dengan demikian waktu menjadi berterimakasih. Gadis itu lalu bertanya: mengapa, untuk alasan apa? Ibunya berharga manakala setiap sisi kehidupan, menjawab; nanti suatu saat kamu akan yang dijalankan di ruang lingkupnya, mengetahuinya. 10 tahun berikutnya, menemukan tidak ada yang sia-sia. Yang ibunya meninggal, bapaknya pergi ada hanya untaian syukur atas apapun yang meninggalkan dia dan mungkin nikah lagi. terjadi itu berharga.□ Lalu ia hidup dengan om dan tantenya. [Rm Antonius Purwono SCJ] Namun juga mendapatkan perlakuan yang tidak mencerminkan bahwa ia “Every Precious Gift Comes From Above” adalah om dan tantenya, selalu (James 1:17) disakiti, dicaci dan dimaki. Dalam situasi itu ia tetap mendapatkan kesempatan kuliah. Setiap hari dia selalu September 15, 2013 berdoa; “Tuhan, sungguh hidup At Mount Sinai Hospital, Toronto ini beraaaaaat banget. Rasanya Born to Seema Bains & Jonathan Gan gak sanggup menjalaninya, tapi Proud Grandparent t e r i m a k a si h, a ku b ol e h John and Leny Gan mengalami pengalaman hidup yang pahit ini dan terimakasih Rejoicing with you on the arrival of boleh tidak tahu kapan your precious baby boy kehidupan pahit ini akan “ Umat Katolik Indonesia “ berakhir”. Sungguh doanya tidak seperti kebanyakan orang. Setiap saat doa pendek: Dev Gan WARGA UKI DAN INDONESIA HUBUNGI GREG ATAU SONELA HOXA TELEPHONE # 905-695-1745 WARUNG KAMPUNG Photo courtesy of Inge S Lasmana Selamat kepada Ernes Sugiono atas pembukaan “WARUNG KAMPUNG”, yang telah mengisi khazanah cita rasa Indonesia di Canada bersama berbagai masakan internasional lainnya. Bagi anda yang selalu merindukan masakan Indonesia, dapat mengunjungi Warung Kampung setiap hari dari jam 11 pagi hingga 8 malam, yang berlokasi di 3143 Eglinton East, satu blok ke barat dari Markham Road dan Eglinton, tepatnya berada di dalam JD’s Market.