View catalogue
Transcription
View catalogue
Things Happen When We Remember FX Harsono solo exhibition 1 Things Happen When We Remember Things Happen When We Remember FX Harsono solo exhibition 6 - 28 September 2014 Gallery B & Wing Space Selasar Sunaryo Art Space 2 FX Harsono solo exhibition 1 Things Happen When We Remember Kata Pengantar P ameran FX Harsono yang berjudul Tionghoa. Kita tahu warga negara etnis Things Happen When We Remember Tionghoa banyak mengalami peristiwa kelam menjadi salah satu highlight program dalam sejarah perjalanan republik ini. Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) tahun ini. Meskipun memamerkan karya-karya lama, Upaya identifikasi diri itu ia implementasikan dengan pembacaan yang baru pameran dengan dengan metode riset. Dengan metode ini masih penting untuk diperbincangkan, itu ia mencoba menunda kesimpulan sekaligus terutama bagi publik seni rupa Bandung yang menghindari stereotip. Hal ini membuat belum sempat melihat karya-karya tersebut karya-karya Harsono secara sublim dan saat dipamerkan di Yogyakarta dan Hongkong subtil mengetuk nurani kita sebagai manusia. tahun lalu. Melalui riset yang mendalam, karya-karya dan gagasan-gagasan Harsono juga mampu SSAS merasa terhormat untuk dapat bergaung tidak hanya di dalam melainkan juga menghadirkan karya-karya Harsono ini. luar negeri. Sejak tahun 1970an saya mengetahui sepak terjangnya sebagai seniman, khususnya Di Indonesia terhitung jarang seniman yang saat ia menginisiasi Gerakan Seni Rupa menggunakan metode riset. Pencapaian Baru Indonesia bersama Jim Supangkat Harsono patut menjadi contoh bagi para dan beberapa seniman muda lain. Saat itu, seniman muda. Saya berharap Harsono dan karya-karya Harsono tidak hanya mendobrak karya-karyanya terus menginsipirasi banyak batasan-batasan medium seni rupa, melainkan orang. juga berani untuk menjadi politis. Bandung, 14 November 2014 Karya-karya Harsono dalam pameran ini mewakili pencapaiannya sebagai seniman, dalam hal sebagai saksi atas kondisi sosialpolitik. Ketimbang berapi-api, karya-karya Sunaryo Harsono secara personal bertolak dari Direktur keresahan dirinya saat mengidentifikasi diri sebagai warga negara Indonesia beretnis Menulis dalam Hujan (detil) Writing in the Rain (detail) 2 FX Harsono solo exhibition 3 Things Happen When We Remember Foreword FX Harsono’s exhibition, entitled Things Happen national of Chinese descent. As we know, When We Remember is one of the highlights Chinese ethnicity has suffered a truly dark of Selasar Sunaryo Art Space’s programmes period in the history of our republic. this year. Despite showing previous works, this exhibition remains important to discuss, He attempts of self-identification are especially for Bandung’s art public who did not implemented through research methods. have the chance to see these works as they With such method, he prevents himself from were exhibited in Yogyakarta and Hong Kong drawing quick conclusion as well as falling prey last year. to stereotypes. This allows Harsono’s works to move our conscience in a subtle and sublime To be able to exhibit Harsono’s works is an way. Through in-depth research, Harsono’s honour for SSAS. Since the 1970s, I have been works and thought are able to find their echoes aware of Harsono’s efforts and determination not only within the country but also abroad. as an artist, in particular his initiative behind the Indonesia New Art Movement with Jim In Indonesia, there are relatively a few number Supangkat and a number of other young artists of artists who employ research as a method. at the time. Then, Harsono’s works not only Harsono’s achievements deserve to stand as break down the boundaries of art, but they also a model for younger artists. It is my hope that dared to be political. Harsono and his works will continue to inspire many people. The works exhibited here represent his achievements as an artist, in the sense of Bandung, 14 November 2014 standing witness to socio-political conditions. Rather than being impassioned, Harsono’s works personally sprung from his own anxiety in regards to his identity as an Indonesian Sunaryo Director 4 FX Harsono solo exhibition 5 Things Happen When We Remember Masa Lalu dari Masa Lalu / Migrasi (detil) The Past of The Past / Migration (detail) Rewriting on the Tomb (detail) 6 FX Harsono solo exhibition 7 Things Happen When We Remember L Esai Kuratorial Kita Ingat Maka Terjadilah ima tahun setelah pameran tunggal FX Harsono, The Erased Time (2009), tiba saatnya untuk membaca kembali karya-karyanya sebagai suatu eksplorasi yang utuh dan berkesinambungan. Dalam kurun waktu tersebut Harsono telah mengerjakan puluhan karya dalam medium yang berbedabeda (instalasi, lukisan, foto, dan video). Sejumlah idiom yang berulang muncul secara bervariasi dalam karya-karya yang berbeda memberi petunjuk bagaimana Harsono bekerja dengan gagasan dan pemikiran yang terusmenerus ia geluti. Ada juga pergeseran fokus, percabangan, perluasan dan pendalaman gagasan yang menarik untuk dibandingkan dengan karya-karya Harsono sebelumnya. Pameran Kita Ingat Maka Terjadilah Sejarah dan Ingatan dalam Kesenian FX Harsono (Things Happen When We Remember) tersusun atas tujuh karya Harsono yang telah dipamerkan di sejumlah pameran di Jakarta, Yogyakarta, Roma dan Hong Kong, sejak 2011. Keinginan untuk menampilkan kembali karyakarya ini dalam konfigurasi baru menunjukkan itikad Harsono untuk tetap membuka diri terhadap tinjauan dan kritik. Pameran ini juga merupakan salah satu upaya untuk menguji praktik artistik Harsono melalui dialog-dialog baru. Sebagai catatan pasca-kegiatan, tulisan “Identity belongs to the future, as much as to the past.” (Stuart Hall, 1990) ini bukan sekadar pengantar kuratorial. Dengan merespon sejumlah tulisan yang pernah terbit tentang Harsono dan kritik yang muncul selama pameran berlangsung, di sini saya mencoba menempatkan karya-karya dan sosok Harsono sebagai objek perdebatan, sekaligus jalan masuk ke dalam wacana seni rupa kontemporer secara lebih luas. 8 FX Harsono solo exhibition Warisan Oh Hok Tjoe 9 Things Happen When We Remember Penting untuk melihat kembali dari mana dan bagaimana Harsono mulai terlibat fokus tematiknya selama lima tahun terakhir. Inspirasi awal Harsono datang dari foto-foto tua dalam album peninggalan sang ayah, Oh Hok Tjoe alias Hendro Subagio – seorang juru potret, pendiri studio foto ‘Atom’ di Blitar. Album foto itu sempat tersimpan berpuluh tahun lamanya di ruang tamu, sampai ketika Hok Tjoe meninggal pada 1999, Harsono baru kembali membuka-buka dan lebih serius mencermatinya. Ingatan Harsono tentang fotofoto hitam putih itu memercik keingintahuan yang berlanjut ke dalam sebuah petualangan baru. Awalnya, foto-foto itu serupa memento mori bagi Harsono, bukan saja karena identik dengan kepergian sang ayah, tapi juga karena gambar-gambarnya yang menyajikan panorama kematian. Sebagian foto-foto merekam gambar tulang-belulang dan tengkorak manusia yang terserak di tanah, atau tersusun dalam suatu konfigurasi tertentu. Ada juga foto-foto yang menampilkan sekumpulan orang yang berpose bersama kumpulan tengkorak itu. Pada sejumlah foto tertera tulisan tangan berwarna putih yang mengindikasikan nama tempat dan tanggal pengambilan gambar. Harsono akhirnya mengetahui bahwa ayahnya mengambil gambar-gambar itu dari sebuah kegiatan yang disebut ‘ndudah’: penggalian dan penguburan kembali mayatmayat manusia. Ndudah bukan tradisi baru di Jawa. Sampai hari ini, kegiatan memindahkan sisa jasad manusia dari dalam kuburan masih penyusup yang mengambil kesempatan di di tempat-tempat lainnya di Indonesia. Selain Seni Rupa Baru Indonesia yang mempelopori banyak dilakukan oleh masyarakat untuk tengah situasi ekonomi yang tidak menentu. bepergian dan melakukan banyak wawancara, pendekatan ‘anti-lirisisme’. Sanento Yuliman ia terus mengumpulkan dan mempelajari mendefinisikan ‘lirisisme’ sebagai suatu alasan-alasan yang berbeda. Dalam 1 Cerita pembantaian massal yang kepercayaan orang-orang Tionghoa, ritual terpantul pada foto-foto koleksi Oh Hok Tjoe buku-buku tentang sejarah etnis Tionghoa dan kecenderungan seni lukis yang pernah penguburan keluarga, leluhur atau nenek bercampur aduk dengan kekecewaan Harsono dokumen tentang peran tokoh-tokoh Tionghoa dominan di Indonesia pada 1980-an, di mana moyang harus dilakukan dengan layak, demi yang mendalam terhadap kekerasan terhadap dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sejumlah seorang seniman memproyeksikan getaran kehidupan hari ini dan masa depan keturunan etnis Tionghoa di Jakarta menjelang reformasi pemakaman korban pembantaian massal di perasaan dan ‘dunia dalam’-nya melalui sang mati yang lebih baik. 1998 – sebuah peristiwa yang membuatnya kota-kota lain di Jawa (Muntilan, Yogyakarta, pendekatan emosional dan subjektif.3 Dalam merasa ‘dikhianati’.2 Melalui arsip dan Kediri, Nganjuk dan Tulungagung) juga ia paradigma ini, dunia luar adalah sesuatu yang itu, Harsono baru sadar bahwa ayahnya wawancara, diketahui kemudian bahwa tulang- kunjungi dan ziarahi. Selain itu, Harsono juga harus disaring dan ditransformasikan ke dalam meninggalkan arsip yang tidak biasa. Tulang- belulang dalam foto-foto ayah Harsono digali mulai menggali cerita-cerita seputar sejarah dunia simbolik dan puitik—kebanyakan melalui belulang dan tengkorak itu ternyata merupakan dari sejumlah tempat yang berbeda, yang diri, nama dan keluarganya. Ia menemukan abstraksi. Sebaliknya, seniman-seniman anti- bagaimana ingatan atau sejarah personalnya liris justru berupaya menghilangkan filter dan juga beririsan dengan sejarah kolektif. transformasi itu, tidak hanya dengan cara Ketika menelusuri lebih jauh foto-foto Meskipun tidak pernah meragukan kemampuan teknologi virtual, seperti internet, untuk memberikan informasi yang tak dapat terjangkau secara fisik, Harsono menganggap bahwa observasi empirik sangat penting untuk menguji terus-menerus sensibilitas sosialnya sebagai seniman. mengadopsi ‘bahasa’ benda sehari-hari, tapi juga menghadirkannya kembali apa adanya di Reproduksi Tanda-tanda Salah satu cara strategi artistik yang ditempuh Harsono dalam proyek ini adalah dengan ‘mereproduksi’ tanda-tanda yang ia temukan sepanjang risetnya. Ia banyak jejak sebuah sejarah kelam. Ia menemukan lantas dimakamkan kembali secara bersama- bahwa ayahnya adalah fotografer yang ditunjuk sama di Bong Belung, (bong: pemakaman oleh sekelompok relawan yang mendata dan orang Tionghoa; belung / balung: tulang- menguburkan kembali orang-orang Tionghoa belulang) di kawasan Karangsari, Blitar. yang dibantai sepanjang 1948-1949 di Blitar. Harsono memulai risetnya dengan Dalam beberapa penulisan, peristiwa mengunjungi Bong Belung. dan menggali pembantaian itu diidentifikasi sebagai dampak informasi sebanyak mungkin. Ia mewawancarai dari Agresi Militer Belanda yang melanggar penduduk setempat, dan sejumlah warga hasil Perundingan Linggarjati (1947). Ketika keturunan Tionghoa yang berhasil selamat dari tentara Indonesia melakukan gerilya dan peristiwa pembantaian. Prosedur ini, seperti menjalankan taktik bumi hangus dalam dikatakannya, adalah bagian dari suatu ‘riset’. menghadapi tentara Belanda, kaum Tionghoa penelusuran cerita-cerita sejarah pembantaian perpecahan politik dan ulah para oportunis dan etnis Tionghoa yang terjadi pada masa lain, dan FX Harsono solo exhibition mengkonstruksinya ke dalam gubahan karya yang dibubuhi tafsir personal. Ini bukanlah metode baru dalam perjalanan artistik Harsono. Dalam banyak karya Harsono pada 1970-an, pemanfaatan benda-benda seharihari sangat menonjol. Pada awal 2000-an, untuk rangkaian karya cetak grafis Harsono dalam pameran tunggalnya, Displaced, misalnya, ia memanfaatkan citra-citra temuan fotografis dan digital yang ia kumpulkan dari berbagai situs internet. Riset Harsono berlanjut sampai pada menjadi sasaran tindakan kekerasan akibat 10 menyalin tanda-tanda itu secara langsung, lalu Merunut lebih jauh ke belakang, Harsono adalah salah satu seniman Gerakan 11 Things Happen When We Remember ruang pamer. Ada kecenderungan kuat untuk memanfaatkan bahasa visual yang langsung dan lugas yang, meskipun seringkali terlihat sederhana, terbangun atas pertimbangan yang berlapis-lapis. Dalam kurun lima tahun terakhir, Harsono telah menggunakan foto-foto koleksi ayahnya berulang kali dalam beberapa rangkaian karya yang berbeda. Ia telah mengekspos gambaran-gambaran foto hitamputih itu ke dalam lukisan-lukisan berukuran besar dengan jukstaposisi dan teks-teks yang menegaskan konstruksi makna baru. Dalam The Erased Time, misalnya, Harsono pernah menampilkan foto-foto itu dalam instalasi ruang gelap yang diselimuti nuansa merah mencekam. Sebagian citraan tengkorak diperbesar ke dalam neon box, sementara sebagian foto ndudah yang lain dipajang dalam bingkai-bingkai kayu yang tersusun di dinding. Dalam pameran ini, Harsono ke dalam video A Pilgrimage to History (2013) dan wawancaranya dengan sejumlah mereproduksi dan menghadirkan kembali foto- narasumber. Secara menyeluruh, konfigurasi foto Oh Hok Tjoe dalam instalasi Monumen Bong ini memunculkan ketegangan antara sikap Belung (2011). Ia menyusun puluhan kotak kayu berkabung yang khidmat dengan nuansa yang masing-masing memuat nama-nama saintifik seorang peneliti atau sejarawan yang latin setiap korban, selembar foto dan tengah menggali informasi. Hendro Wiyanto sepasang lampu sembahyang. Tidak sekadar menganggap kedua karya ini sebagai upaya membangun kembali monumen pengingat, ia sublim Harsono untuk memberi tempat pada menyusun karya ini sedemikian rupa sehingga ‘sang ganjil’ yang terbungkam dan nama setiap korban menempati ‘altarnya’ terpinggirkan.4 masing-masing. Jika di situs Bong Belung yang Instalasi Writing in the Rain (2011) ‘Siapa saya’ adalah pertanyaan klasik yang idiosinkratik. ‘Saya’ sepertinya tetaplah misteri universal yang akan terus relevan untuk manusia gali sampai akhir jaman. sesungguhnya, ratusan tengkorak dan ribuan berangkat dari sejarah personal Harsono keping tulang-belulang para korban disatukan sebagai salah satu dari sekian juta orang dan bercampur dalam satu liang kubur saja, Indonesia keturunan Tionghoa yang harus Monumen Bong Belung Harsono menghadirkan mematuhi kebijakan Orde Baru tentang penghormatan terhadap ‘individu’ sang mati. penggantian nama pada tahun 1967. Salah satu Metode ‘menyalin’ dan mereproduksi Berziarah ke Sejarah (detil) Pilgrimage to History (detail) 12 FX Harsono solo exhibition 13 elemen dalam karya ini adalah video kanal juga nampak jelas pada Rewriting on the Tomb tunggal yang diulang (looped), yang (2013). Harsono melakukan performans di lima memperlihatkan dirinya tengah menuliskan lokasi pemakaman massal di Jawa, dengan nama masa kecilnya, ‘Oh Hong Bun’ dalam cara menggosokkan krayon merah pada kain aksara Tionghoa. Harsono berdiri menghadap putih yang disampirkan pada batu nisan. pemirsa, menumpuk aksara-aksara pada Hasilnya adalah pahatan nama-nama dalam permukaan layar, hingga nyaris menutupi aksara Cina yang tercetak secara tegas dan gambaran sosoknya sendiri. Dengan kuas dan kontras. Di dalam ruang pamer, kelima kain tinta hitam, ia menulis dengan pelan-pelan dan putih itu dipajang berjajar dan bersanding hati-hati. Tumpukan nama-nama itu seolah dengan rekaman performans yang ia sunting hendak memberikan suatu penegasan tentang Things Happen When We Remember kehadiran. Namun pada suatu momen, muncul Uroboros, yang ‘terjebak’, atau ‘menjebak masyarakat pada 1980-an banyak memberikan justru dihadapkan pada krisis. Kritik sosial- air yang mengucur bagai hujan, yang dengan dirinya sendiri’, di dalam jalur pencarian yang pengaruh pada cara kerja ini. politik melalui kesenian jatuh ke dalam slogan- segera meluruhkan aksara-aksara itu menjadi melingkar tak berkesudahan. Hendro Wiyanto mencatat bagaimana genangan cairan hitam di lantai. Penulisan nama dalam Writing in the Rain berhubungan dengan upaya Harsono untuk mengenali kembali dirinya, dengan Siapa Saya/Kami/Kamu/Mereka? kesenian Harsono sepanjang 1980-an banyak yang ekstrim, karya-karya seni hanyalah suatu merupakan refleksi kritis terhadap kerusakan amplifikasi tajuk utama berita-berita politik di ekologis yang berdampak pada ketimpangan media massa di tengah gaduhnya suara-suara sosial. Di antaranya adalah instalasi Pagar tentang ‘reformasi’. 5 Menyusul bubarnya GSRBI pada 1979, slogan yang semu, banal dan kosong. Pada titik mengingat kembali aspek ke-Cina-an yang Harsono terlibat intens dengan sejumlah Tripleks dan Hutan Kita (1982) di Parangtritis, pernah melekat kuat padanya semasa kecil. proyek artistik yang merespon langsung Yogyakarta, dan terutama proyek Seni Rupa mana ia merasa harus mengambil jarak Namun seperti yang ia kisahkan, pada persoalan-persoalan di masyarakat. Ia banyak Lingkungan – Proses 85 (1985) bersama Gendut dengan praktik seni yang sebelumnya ia tekuni, dasarnya ia tak mengenal budaya Tionghoa mengunjungi lokasi-lokasi ‘pembangunanisme’ Riyanto, Harris Purnomo, Bonyong Munni terlebih lagi ketika kenyataan sosial yang dengan baik. Dalam performans itu ia mengeja, (developmentalism) Orde Baru yang berdampak Ardhi, dkk. yang merespon isu pencemaran laut semula menjadi sumber inspirasi, justru oleh merkuri di kampung Luar Batang, membuatnya terasing. Namun, di sisi yang lain, Penjaringan, Jakarta. Bersama seniman- peristiwa kerusuhan dan kekerasan terhadap seniman yang lebih muda seperti Moelyono dan etnis Tionghoa yang terjadi di sekitar momen Semsar Siahaan, Harsono juga menggarap Reformasi 1998 masih terus mengusik karya-karya kolaboratif yang menyuarakan pemikirannya. Dalam percakapannya dengan Saya berpendapat bahwa dalam konteks proyek ndudah, foto-foto Oh Hok Tjoe, biografi Harsono dan keluarganya pada akhirnya menjadi ‘sekadar’ jalan masuk untuk membicarakan konstruksi, formasi dan representasi identitas suatu komunitas, yakni etnis Tionghoa di Indonesia. kritik terhadap persoalan-persoalan aktual seperti hak-hak buruh dan keadilan politik. Harsono pernah berada pada titik di Wiyanto, Harsono mengemukakan: “Saat itu, 6 Mei 1998, saya diliputi oleh kemarahan, ketakutan, Karya Harsono lainnya yang menempuh dan kekecewaan sebagai seorang keturunan Cina metode kerja yang sama adalah Suara dari yang merasa bahwa orang-orang Cina di Indonesia Dasar Bendungan (1994), yang berawal dari selalu menjadi korban dari kerusuhan-kerusuhan risetnya tentang masyarakat yang terusir politik. […] Kemarahan, rasa takut dan kekecewaan mengingat aksara-aksara yang sudah lama tak pada marjinalisasi dan represi terhadap karena proyek pembebasan lahan di Sampang, inilah yang mendorong saya untuk melakukan digunakan untuk menulis namanya. Pemilihan komunitas tertentu. Meskipun tidak pernah Madura. refleksi terhadap penciptaan yang saya lakukan video (dan) performans sebagai medium meragukan kemampuan teknologi virtual, berbasis waktu memperkuat gagasan tentang seperti internet, untuk memberikan informasi karyanya pada awal 2000-an dibuat dengan sebuah pertanyaan yang akan menjadi landasan kesementaraan. Adegan penghapusan yang yang tak dapat terjangkau secara fisik, Harsono oreintasi yang berbeda dengan masa penciptaan saya berikutnya, yaitu ‘siapa saya’…”8 diteruskan dengan pengulangan video yang menganggap bahwa observasi empirik sangat sebelumnya. 7 Realitas pasca-reformasi 1998 simultan dan tanpa jeda (looped) pada akhirnya penting untuk menguji terus-menerus telah memberinya pelajaran penting tentang Harsono tegaskan dalam sebuah pernyataaan memunculkan konotasi ketakpastian, atau sensibilitas sosialnya sebagai seniman. Ia ekspresi seni dan konteks sosial-politik. yang ditulisnya pada 2003: “[…] saya merasakan bahkan ‘kesia-siaan’: aksara-aksara itu ditulis, percaya bahwa material dan gagasan artistik Reformasi 1998 menjadi momen penanda kehilangan tempat berpijak dan merasa terasing di tersapu oleh kucuran air, ditulis lagi, terhapus selalu ada di ‘luar sana’, dan oleh karena itu beralihnya orientasi artistik seniman-seniman tengah-tengah masyarakat saya sendiri. lagi. Begitu seterusnya. Kehadiran lafal ‘Oh harus ditemukan dan ditangkap dengan cara Indonesia kepada tema-tema sosial politik. Masyarakat inilah yang dulu pernah saya anggap Hong Bun’ dapat terbaca hanya untuk beberapa ‘terjun langsung ke lapangan’. Kedekatannya Namun ketika kebebasan berekspresi sebagai kelompok yang harus diperjuangkan saat saja. Harsono bagaikan Sisyphus, atau dengan sejumlah aktivis dan lembaga swadaya dirayakan secara berlebihan, praktik seni kritis melalui kesenian. Saya pun merasa asing dengan 14 FX Harsono solo exhibition Harsono mengakui bahwa karya- 15 Things Happen When We Remember selama ini. Refleksi ini pada akhirnya sampai pada Perubahan orientasi itu juga pernah ‘kamu’, ‘mereka’, ‘kami; dan ‘kita’. Meskipun orang-orang yang dulu saya anggap mempunyai benar-benar didorong oleh keinginan untuk visi perubahan yang sama. Dalam ketelanjangan menjawab pertanyaan ‘siapa saya’. Meskipun dan kepolosan yang diperlihatkan melalui perilaku terdengar sederhana, kita tahu selama jarak antara praktik artistiknya dengan realitas Harsono masih menunjukkan upaya-upaya mereka, tiba-tiba saya bertanya, siapakah berabad-abad, para pemikir kuno Timur atau dunia ‘di luar dirinya’, karya-karyanya untuk menghubungkan ‘yang personal’ dan sebenarnya mereka? Dalam perubahan seperti ini, maupun Barat, para psikoanalis, eksistensialis, setelah 1998 tidak serta-merta menyelam ‘yang sosial’. Pada karya-karya yang secara saya mencoba melihat kembali diri saya.” sosiolog, antropolog, spiritualis dan seniman masuk ke ‘dunia dalam’ yang serba liris, jelas menggambarkan potret dirinya (misal: telah mengajukan jawaban berbeda-beda, emosional dan subyektif. Saya menyetujui Jarum dalam Mimpiku, 2003; atau Berguguran, pertanyaan yang saya kemukakan di awal: dengan tingkat kerumitan yang berbeda-beda pendapat Wiyanto yang menulis bahwa 2007) sebenarnya kita tengah melihat sosok Dengan ‘landasan penciptaan baru’ itu, sejauh pula, untuk pertanyaan itu. ‘Siapa saya’ adalah Harsono tak mungkin bisa mengikis habis seniman sebagai representasi dari suatu mana karya-karya Harsono dapat dikatakan pertanyaan klasik yang idiosinkratik. ‘Saya’ seluruh kecenderungan kritisnya, hanya entitas kolektif. Di hadapan karya Harsono berubah? Tan Siu Li pernah menulis bahwa sepertinya tetaplah misteri universal yang akan melalui sebuah kelokan pertanyaan tentang pandangan kita dibiarkan keluar masuk transisi Harsono pada awal 2000-an terletak terus relevan untuk manusia gali sampai akhir pada penggunaan medium, bahan dan jaman. 9 Di sini saya ingin kembali kepada presentasi karya seninya. Memang benar, 10 Jawaban Harsono atas pertanyaan itu dan profesi kita dalam masyarakat.”11 Meskipun Harsono ingin memberi memunculkan idiom-idiom baru, kesenian Pengaruh paradigma ilmu sosial ke dalam praktik seni rupa Indonesia memang gejala yang cenderung tak terhindarkan, khususnya ketika seniman-seniman menjadikan masyarakat, beserta berbagai problematika di dalamnya, sebagai pokoksoal dalam karya-karya mereka. dalam sepuluh tahun terakhir Harsono mulai tentu penting untuk kita lihat dalam lebih sering melukis dan membuat cetak grafis, manifestasi karya-karyanya. Akan tetapi, meskipun instalasi, video dan performans penting pula untuk menelisik dalam kerangka masih ia kerjakan juga. Figur perempuan, apa sesungguhnya pertanyaan itu Harsono potret diri, atau foto-foto keluarganya juga ajukan. Salah satu petunjuk penting adalah merupakan idiom baru yang muncul pada pernyataan tentang peristiwa kekerasan pada masa ini. Pergeseran lainnya juga nampak etnis Tionghoa pada 1998 yang masih pada aspek metafor yang berhubungan dengan membayangi Harsono ketika ia ‘mencoba perubahan sosio-kultural di Indonesia. Ketika melihat kembali dirinya’. Dari situ saya ‘diri’ (self).12 Selain itu, dalam karya-karya melalui lubang-lubang yang bocor pada lapisan peristiwa kekerasan sudah dieksploitasi menduga, jikapun ada yang disebut Wiyanto Harsono, yang muncul bukanlah ‘diri’ yang pembatas antara ‘saya’/‘kami’ dan sedemikian rupa sebagai taktik pemasaran sebagai ‘pencarian baru’ untuk ‘melihat diri’, esensial (yang meyakini bahwa ada nilai-nilai ‘kamu’/’mereka’, antara ‘diri’ dengan ‘liyan’. media massa yang efektif, Harsono justru cara-cara Harsono masih cenderung bersifat individual tersembunyi yang pasti, tetap dan memanfaatkan metafor untuk menghindari ‘eksternal’ ketimbang ‘internal’. Pertanyaan statis). Kita tahu bahwa gagasan esensialisme konteks proyek ndudah, foto-foto Oh Hok Tjoe, kebanalan, seperti dalam caranya ‘Siapa saya’ yang Harsono ajukan setelah 1998 identitas semacam itu pula yang Harsono tolak biografi Harsono dan keluarganya pada menampilkan jukstaposisi antara ‘keindahan’ nampaknya tidak jauh berbeda dengan yang ia ketika ia mendeklarasikan Seni Rupa Baru akhirnya menjadi ‘sekadar’ jalan masuk untuk dan ‘kekerasan’, melalui idiom kupu-kupu, nyatakan pada 1996 dalam sebuah pengantar Indonesia sebagai sebuah gerakan avant- membicarakan konstruksi, formasi dan sebagai makhluk bersayap yang cantik, dengan untuk sebuah lokakarya di Yogyakarta: “[…] gardisme. representasi identitas suatu komunitas, yakni jarum-jarum yang merajam serangga itu dimulai dengan sebuah pertanyaan “Siapa saya”… dengan keji. “Saya seorang perupa”. Untuk sementara pameran Titik Nyeri (2007); Aftertaste (2008), dan sejarah sosial di Indonesia sebelum 1998, barangkali cukup. Tetapi, pertanyaan ini bisa Surviving Memories (2009)—tetap menunjukkan peristiwa pembantaian dan kekerasan nampaknya meyakini bahwa pernyataan berarti juga mempertanyakan keberadaan kita, suatu refleksi, kalau bukan kontemplasi, menempatkan etnis Tionghoa pada posisi yang tentang landasan penciptaan baru Harsono hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita, tentang oposisi-oposisi sosial: antara ‘saya’, kurang lebih sama dengan para ‘korban’ Baik Siu Li maupun Wiyanto 16 FX Harsono solo exhibition Pencarian Harsono—misalnya dalam 17 Things Happen When We Remember Saya berpendapat bahwa dalam etnis Tionghoa di Indonesia. Dalam konteks kekerasan pada masa Orde Baru. Dengan kata lain, dalam proyek-proyek Harsono (di Luar batang, Sampang maupun situs-situs bong belung) ada kecenderungan kuat untuk melakukan pembelaan pada eksistensi liyan. Sampai di sini, kita bisa beroleh kesimpulan bahwa karya-karya Harsono sebelum dan setelah 1998, dan setelah proyek ndudah (2009), menunjukkan konsistensinya untuk menyentuh persoalan-persoalan sosiopolitis. Analisa terhadap rangkaian karya Harsono bisa mengarah ke dalam dua kemungkinan yang berseberangan tentang Kritik Foster tidak ditujukan kepada Riset Lapangan dan Penciptaan Seni Dalam suatu wawancara yang mengiringi persiapan pameran ini, saya membuka percakapan saya dengan Harsono dengan menyinggung tesis Hal Foster tentang praktik seni rupa kontemporer dengan tendensi ‘etnografis’. Topik itu relevan, mengingat dalam riset-risetnya Harsono melakukan observasi, wawancara, interaksi, melakukan dokumentasi dan pencatatan untuk mendapatkan data-data dari persentuhan langsungnya dengan kelompok-kelompok sosial di sejumlah lokasi ‘konsistensi’. Pertama, bahwa Harsono adalah seniman yang konsisten, dalam pengertian mampu untuk mempertahankan suatu prinsip, fokus konseptual dan tematik dalam waktu yang lama. Namun, dari perspektif kedua, kita juga bisa bertanya: Apakah ‘konsistensi’ itu juga menunjukkan ‘kegagalan’ Harsono untuk menempuh suatu transisi dan perubahan? Kita tentu ingin mengetahui sejauh mana proyek ndudah benar-benar telah menciptakan jarak dengan realitas sosial-politik seperti yang ia inginkan. 18 FX Harsono solo exhibition praktik ‘seni etnografis’ secara umum. Ia menganggap bahwa penjelasan Harsono yang mengkritik terutama proyek-proyek seni tapak- komprehensif mengenai studinya tentang khas / site-specific ‘pesanan’ yang berpotensi kekerasan terhadap etnis Tionghoa di menjadi alat dari suatu institusi atau patron Indonesia justru ‘mengecilkan’ kehadiran seni untuk melegitimasi posisi politik atau karya-karya yang ada di dalam ruang pamer. ekonomi mereka di dalam medan sosial. Ia Bukankah dengan longgarnya sensor menggambarkannya dengan sebuah skenario pemerintah pasca-1998 sejarah-sejarah gelap yang terjadi dalam pameran-pameran dapat lebih mudah didapatkan melalui buku- blockbuster internasional, di mana seniman- buku? Ia skeptis terhadap potensi transformatif seniman terjun ke wilayah-wilayah geografis yang dibayang-bayangkan oleh seniman dapat atau etnografis baru, bekerjasama atau dilakukan oleh (pameran dan karya) seni, berkolaborasi dengan komunitas-komunitas karena terbukanya akses informasi, telah liyan, yang pada titik ekstrim dianalogikan tumbuh pemahaman khalayak (common sense) sebagai barang jadi (ready made) yang yang lebih baik tentang sejarah kekerasan di ‘mengandung representasi’. Dalam proyek- Indonesia. Secara tidak langsung, ia juga proyek berbasis komunitas, kerja seniman, mempertanyakan konotasi ‘riset’ dalam seni yang secara tradisional intentik dengan rupa yang secara sempit diartikan dengan ‘pencipta objek’, bertransformasi menjadi metode observasi empirik dan etnografis. 13 Dalam karya-karya Harsono reproduksi tanda-tanda adalah salah satu upaya untuk menghadirkan bahasa yang mudah difahami baik oleh komunitas di ‘lapangan’ maupun publik seni di ruang pamer. investigator, penyuluh (educator) dan kecenderungan seniman-seniman kontemporer untuk menempuh riset lapangan tentang suatu komunitas (terutama para liyan dalam pengertian yang luas) menunjukkan suatu ‘tikungan antropologis’ dalam praktik seni rupa. Dengan mengadopsi metode dan pandangan yang melihat kebudayaan, realitas dan komunitas sosial sebagai objek / teks, seni mengenai sempitnya pemahaman tentang riset mereka hampiri. artistik di Indonesia. Seharusnya cara-cara ditentukan oleh metode observasi empirik. seorang seniman yang melakukan riset dapat Riset pada dasarnya merupakan berbagai bertindak sebagai ‘peneliti’, atau bahkan upaya sistematis yang ditempuh untuk ‘pengarang’ yang memiliki otoritas untuk mencapai pengetahuan. Artinya, tidak hanya menjelaskan kebudayaan atau keadaan suatu mereka yang ‘terjun ke lapangan’, seniman- komunitas? Bagaimana metode yang harus seniman berbasis kerja studio pun, pada ditempuh oleh seorang seniman/peneliti dasarnya, melakukan riset dengan metode sehingga ia tidak terjebak pada suatu praktik yang berbeda. Pada bagian esai ini saya ingin memperluas praktiknya ke dalam ranah (domain) antropologi. 19 untuk memahami realitas / dunia tidak hanya saya bertanya kepada Harsono: sejauh mana ‘peliyanan’ (othering) yang artifisial? rupa kontemporer akhir abad ke-20 telah Saya sependapat dengan Irianto kolaborator bagi kelompok sosial / budaya yang Dalam kaitan dengan tesis tersebut, tertentu. Foster menganggap bahwa Happen when We Remember.14 Irianto Dalam konteks Indonesia, ketidakpopuleran istilah ‘riset artistik’ juga menghubungkan ihwal ‘riset etnografis’ berhubungan dengan relasi kuasa antara dengan kritik lain yang dikemukakan Asmudjo paradigma dominan dan bahasa. Dalam dunia Jono Irianto pada artist talk pameran Things akademik saat ini, istilah riset bahkan masih Things Happen When We Remember jarang digunakan untuk menyebut kerja para riset untuk menghindari cara-cara seni untuk Brumbun dan Nggerangan, Tulungagung pada (1993), terdapat wilayah irisan yang efektif seniman (riset seni cenderung identik dengan menghampiri realitas secara subjektif atau 1988. ‘Riset’ juga istilah yang digunakan oleh antara ilmu sosial dan praktik artistik. Metode penelitian sejarah atau kritik seni). Secara imajinatif, karena “…persoalan-persoalan di Rumah Seni Cemeti di Yogyakarta, dalam hal etnografis menjadi benar-benar berdaya historis, gejala ini mencerminkan inferioritas masyarakat adalah sesuatu yang sangat riil”. ini oleh Mella Jaarsma dan Nindityo sebagai instrumen untuk memabngun gagasan wacana dan praktik seni di hadapan dominasi Pengaruh paradigma ilmu sosial ke 19 16 Adipurnomo, dalam program-program yang seniman maupun mengungkap represi yang saintisme dan positivisme, terutama ketika dalam praktik seni rupa Indonesia memang mereka kuratori sejak awal 1990-an. Di dilakukan penguasa. Pertanyaan tentang sains, dan berakar pada perkembangan ilmu- gejala yang cenderung tak terhindarkan, Bandung, karya-karya Tisna Sanjaya, terutama otoritas seniman sebagai perwakilan suara ilmu sosial dan kemanusiaan yang dibentuk khususnya ketika seniman-seniman proyek Imah Budaya-nya di Cigondewah, komunitas ia jawab dengan metode semata-mata sebagai disiplin kelimuan menjadikan masyarakat, beserta berbagai adalah proyek tapak-khas yang sejak pengamatan partisipatoris yang berangkat dari instrumental. Pada masa Orde Baru istilah problematika di dalamnya, sebagai pokok-soal pertengahan 2000-an dilakukan melalui riset empati. “Empati adalah modal dasar untuk ‘riset’ lebih sering digunakan dalam domain dalam karya-karya mereka. Dalam untuk merespon langsung problem sosial dan seniman dalam menjawab persoalan- non-artistik, terutama sains dan teknologi, pengantarnya untuk Biennale Seni Rupa lingkungan di wilayah tersebut. Dalam persoalan etis. Tanpa empati, komunitas hanya karena kerja seniman dianggap ‘kurang Jakarta IX (1993), Jim Supangkat menyitir sejumlah proyek generasi seniman yang lebih akan menjadi objek yang tidak bersuara. Karya sistematis’, terlalu berbasis pada intuisi dan Goenawan Mohamad yang mengatakan bahwa imajinasi. perkembangan seni rupa Indonesia ketika itu Harsono memang banyak menempuh telah ‘dijajah’ oleh ilmu-ilmu sosial.17 Hal itu, 20 Karya-karya Harsono membuktikan bagaimana praktik seni akan selalu bersandar kepada wacana lain di luar seni. Harsono menempuh riset sejarah untuk mengatasi keterbatasan diskursus dan logika seni yang sempit, seperti dalam anggapan bahwa gagasan dalam sebuah karya seni dapat terjelaskan lewat tampilan visualnya belaka. riset-riset yang bersifat antropologis, sosiologis menurut Supangkat, disebabkan oleh penulis- dan etnografis. Akan tetapi saya berpendapat penulis dan pengamat seni rupa yang bahwa riset-riset itu ia tempuh bukan semata- kebanyakan berlatar belakang disiplin ilmu mata sebagai suatu validasi metodologis sosial. Supangkat pernah menengarai terhadap praktik artistiknya, apalagi demi bagaimana seniman-seniman GSRBI tuntutan untuk terlihat ‘saintifik’. Sebelum (termasuk Harsono) “[…] berusaha keras untuk 1998, motif politik dalam riset-riset Harsono mengikuti pemikiran ahli-ahli ilmu sosial itu.”18 cenderung kuat. Ia mencari ‘kebenaran’ yang Namun ia juga menandai munculnya bisa diungkapkan oleh seni rupa, tapi bukan kecenderungan para seniman pasca-GSRBI kebenaran yang ‘diproduksi’ oleh wacana untuk ‘mendemistifikasi’, bahkan baru, seperti ruangrupa di Jakarta, dan Mes56 seni pun akan menjadi kering,”21 katanya dalam esoterik seni rupa itu sendiri. Pada 1980-an, meninggalkan paradigma-paradigma ilmu di Yogyakarta, riset lapangan juga ditempuh wawancara. Dalam sejumlah tulisannya, Harsono dan kawan-kawan memang sosial itu, terutama ketika teori-teori dengan melakukan interaksi langsung dengan Harsono memang selalu menekankan bahwa mengadopsi metode-metode dalam ilmu posmodernisme mulai dibicarakan di lingkungan dan komunitas sosial tertentu. seniman adalah bagian dari masyarakat.22 sosial, tapi bukan metode yang secara formal Indonesia. Tentu, perlu telaah lebih lanjut untuk Seniman bukanlah pusat, ataupun subjek yang mengetahui bagaimana apa yang mereka paling otoritatif, dan alih-alih, harus belajar maupun instrumental mendukung kekuasaan Kenyataannya, kecenderungan ‘kerja dominan. Sebaliknya, ia ingin membongkar lapangan’ tidak hanya berhenti pada seniman- lakukan memiliki kesinambungan historis banyak dari masyarakat. Ketika ‘terjun ke kepalsuan-kepalsuan yang menopengi rezim seniman GSRBI. Moelyono, seorang sahabat dengan GSRBI, dan tidak jatuh pada riset lapangan’, jarak antara seniman dengan itu, menelanjanginya secara kritis melalui sekaligus kolaborator Harsono, pernah ‘pseudo-etnografis’, seperti dikritik oleh Foster. komunitas atau kelompok sosial, harus ‘sistematika kerja’ yang berbeda dengan pola merumuskan ‘Seni Rupa Penyadaran’ untuk kerja seniman-seniman studio. Ia menempuh proyeknya dengan orang-orang di kampung 15 20 FX Harsono solo exhibition Dalam karya-karya Harsono sebelum 1998, misalnya Suara dari Dasar Bendungan 21 Things Happen When We Remember dipangkas melalui dialog, interaksi, peleburan dan keterlibatan langsung yang intens.23 Dalam karya-karya Harsono reproduksi tanda-tanda adalah salah satu upaya untuk menghadirkan bahasa yang mudah difahami baik oleh komunitas di ‘lapangan’ maupun publik seni di ruang pamer. Saya menyetujui pandangan Rath, yang mempertajam rumusan Harsono tentang ‘seni kontekstual’ sebagai cara-cara untuk memadukan bahasa simbol dan material lokal dengan kerangka-kerangka artikulasi dan mode representasi baru untuk kepentingan bersama yang didasarkan pada dialog antara seniman dengan masyarakat. Rath menyitir 24 Masa Lalu sebagai ‘Objek’ Jika Wiyanto dan Siu Li mengatakan bahwa ‘kelokan baru’ dalam karya-karya Harsono setelah 1998 terletak pada orientasi ‘etika universal’ sebagai dasar-dasar yang penting untuk melihat karya-karya Harsono baik sebagai hasil dari suatu produksi artistik maupun proses investigasi sosial. Ia juga melihat bagaimana ihwal ‘kondisi penindasan’ karya-karya Harsono bisa diletakkan sebagai ‘objek’ yang melulu terikat pada subjek seniman ataupun komunitas tertentu, melainkan sebagai representasi dominasi kekuasaan yang hadir di mana-mana (omnipresent). 22 FX Harsono solo exhibition keterbatasan diskursus dan logika seni yang penjelasan atau narasi Harsono yang sempit, seperti dalam anggapan bahwa ‘mengerdilkan’ karya-karya dalam ruang gagasan dalam sebuah karya seni dapat pamer, melainkan penilaian Irianto sendiri, terjelaskan lewat tampilan visualnya belaka. yang justru lebih terpesona oleh narasi tekstual tentang ‘kedirian’ (self), saya ingin menambahkan bahwa terutama dalam proyek ndudah Harsono sesungguhnya juga tengah menjelajahi tikungan metodologis baru. Harsono memang berangkat dari foto-foto yang menggambarkan kematian dan korban. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, ‘objek’ yang sesungguhnya Harsono hadapi adalah masa lalu yang menaungi foto-foto itu. Metode riset historis menjadi penting, karena ia tidak hanya berhadapan dengan jarak spasial yang memisahkannya dengan situs kekerasan dan makam korban, tapi juga kondisi temporal yang masa lalu melalui dua lorong sekaligus, yakni pemisahan yang tegas antara ‘yang visual’ dan ingatan dan sejarah. Bukan kebetulan, dua ‘yang tekstual’, Irianto terbawa pada suatu lorong ini berseberangan, jika kita mematok suasana kekerasan masa silam yang, sejarah versi Orde Baru yang selama tigapuluh meskipun sudah diketahui khalayak, dua tahun cenderung represif dan mendapatkan penegasan kembali lewat riset meminggirkan ingatan-ingatan kaum minoritas Harsono. dan marjinal. Harsono sepertinya berhasil kejadian. Di sini kita faham bagaimana Harsono memperlakukan metode, yakni sebagai konsekuensi dari objek dan gagasan. Kritik Irianto sepertinya tidak didasarkan pada kebutuhan untuk memahami karya-karya Harsono dalam pameran ini sebagai suatu hasil dari proses riset historis. 23 mempertemukan dua lorong itu di dalam menunjukkan keberhasilan Harsono dalam sebuah persimpangan, kalau bukan irisan: melakukan regresi historis. Bagaimanapun, antara ingatan personal dengan sejarah besar masa lalu bukanlah objek yang bisa dikenali yang hegemonik. Ariel Heryanto pernah melalui pendekatan empirik, melainkan menulis bagaimana etnis Tionghoa di Indonesia melalui data-data yang seringkali asing dan dibentuk oleh politik Orde Baru yang berjarak. ‘Kebesaran’ narasi Harsono, harus menciptakan kontradiksi dalam identitas diakui, bukan saja menyangkut pokok-soal mereka sebagai kaum minoritas.25 Di satu sisi, kematian ratusan manusia, melainkan juga etnis Tionghoa terus-menerus distigmatisasi pada bagaimana masa lalu didekati, ditelaah, sebagai kasta paria, sebagai simpatisan dan ditafsirkan dan dijelaskan sebagai ‘kebenaran aktivis komunis, sebagai liyan dalam sejarah sejarah’. Pada titik itu pula, skeptisisme Irianto politik pasca 1965.26 Selain dipaksa untuk terhadap perubahan yang bisa dilakukan oleh mengganti nama Tionghoa, mereka juga tidak seni, menjadi paradoks. Bukankah narasi diberi hak yang sama dalam perolehan posisi Harsono yang menggugah itu adalah bagian pemerintahan. dari kemampuan seniman untuk mengubah memisahkannya dengan konteks waktu Dalam ndudah, Harsono mendekati ketimbang karya-karya itu. Seolah ada Respon Irianto pada saat artist talk ‘Kebesaran’ narasi Harsono, harus diakui, bukan saja menyangkut pokok-soal kematian ratusan manusia, melainkan juga pada bagaimana masa lalu didekati, ditelaah, ditafsirkan dan dijelaskan sebagai ‘kebenaran sejarah’. pandangan Anthony Kwame Appiah tentang Dalam hemat saya, sesungguhnya bukan Di sisi yang lain, melalui rezim kesadaran? Seperti dalam karya-karya ekonomi yang didukung oleh Blok Barat pada sebelum proyek ndudah, apapun yang Harsono masa Perang Dingin, Orde Baru juga berhasil kerjakan sepertinya tak mungkin lepas dari menciptakan aikon-aikon dan aktor-aktor keyakinannya tentang heteronomi, ketimbang ekonomi yang kuat dari etnis Tionghoa, yang otonomi. Karya-karya Harsono membuktikan melalui afiliasi dengan militer, mampu bagaimana praktik seni akan selalu bersandar menguasai sektor privat seperti industri kepada wacana lain di luar seni. Harsono manufaktur, perbankan, selain pemanfaatan menempuh riset sejarah untuk mengatasi dan perdagangan sumber daya alam nasional. Things Happen When We Remember Dengan kebijakan ekonomi ‘trickle-down effect’, ke daratan Indonesia pada masa-masa yang besar, di mana mereka sangat antusias. Tetapi ia dapatkan dari pasar loak di Solo dan Orde baru menempatkan etnis Tionghoa berbeda. Pada karya yang pertama disebut, saya ragu apakah mereka peduli pada makna dan Yogyakarta, dan merupakan peninggalan sebagai kaum pemodal dan pedagang yang perahu yang memuat lilin-lilin sembahyang fungsi kebudayaan dan artefak, kesejarahan yang gelombang migrasi orang-orang Tionghoa yang menempati kelas ekonomi atas dan menengah. ditampilkan bagaikan karam di tengah lautan seharusnya mereka pahami? Misalnya ada mulai berdatangan ke Indonesia tahun 1940 Menyusul krisis ekonomi Asia Tenggara, etnis huruf-huruf (teks sejarah) yang dikontrol oleh kelenteng lama yang dibongkar menjadi kelenteng hingga 1950-an. Cahaya yang berpendar dari Tionghoa dijadikan kambing hitam untuk (kursi) penguasa. Ini adalah gambaran baru, hanya demi pemajangan nama-nama kata-kata berbahasa Indonesia itu menandakan kebangkrutan ekonomi negara. Kekerasan politisasi dan distorsi sejarah kaum migran patronnya. […] Cap Go Meh di Singkawang suatu transformasi dari kebajikan dan harapan pada etnis Tionghoa yang terjadi pada Mei 1998 Tionghoa dalam sejarah yang diciptakan sekarang menjadi komoditi wisata yang luar biasa. para migran pendahulu ke dalam kehidupan sesungguhnya berhutang banyak pada penguasa. Sementara untuk karya yang Tetapi apakah tungku naga yang ada di sana juga baru anak cucu mereka, di tanah air yang baru. kesenjangan sosial dan politik minoritas yang terakhir di sebut, Harsono menempatkan masih dirawat dengan baik? Sekarang ini diciptakan oleh sistem ekonomi Orde Baru. perahu di sudut ruangan dengan posisi barangkali hanya tinggal beberapa saja. Mereka pentingnya ingatan, sebagai alternatif terhadap tersandar, lalu ‘menghiasnya’ dengan huruf- tidak lagi mendukung dan mengakomodir dari sikap tunduk dan pasrah terhadap sejarah Pameran ini hendak menunjukkan tikungan historis Harsono tidak hanya terletak huruf Tionghoa dan latin. Huruf-huruf itu ia pada masa lalu yang ia pancang sebagai objek, kutip dari puisi yang tercantum pada lien, tapi juga modus operandi-nya sebagai seniman pahatan kayu yang dipajang di kanan dan kiri yang selalu mementingkan proses dan riset. pintu rumah-rumah bergaya Tionghoa di masa Setelah proyek ndudah, Harsono memperluas lampau. pengertian risetnya sebagai ‘ziarah ke masa Dalam suatu ‘ziarahnya’ ke pasar loak Akhir kata, pameran ini menegaskan Dalam konteks masa kini, fungsi riset seperti yang dilakukan Harsono menjadi krusial untuk mendekati masa lalu lewat suatu pengalaman subjektif, untuk mengalami ‘sejarah’ melalui ingatan, melalui cara-cara yang idiosinkratik. lalu’. Ia tak hanya tak hanya mengunjungi Harsono menemukan bagaimana lien-lien itu makam korban kekerasan, tapi juga tempat- menjadi barang yang banyak dijual karena tempat lain yang ia yakini ‘menyimpan bukti dianggap tak berguna. Tindakan ‘menghias’ sejarah’: klenteng kuno, pecinan, kota-kota perahu dengan kata-kata puisi ini bukan tanpa pelabuhan di pesisir utara Jawa, pasar loak alasan. Harsono ingin menggambarkan keramik Singkawang, sehingga dibiarkan dan dominan. Peter Osborne menjelaskan bahwa atau barang antik, dsb. Harsono percaya bahwa bagaimana sejarah migrasi orang-orang hancur.” motivasi kembalinya ingatan dalam konteks benda-benda dari masa lalu selalu menyimpan Tionghoa ke Indonesia cenderung difahami ceritanya sendiri. Tugasnya sebagai seniman sebagai mitos yang beku, dan tak lagi digali pameran ini, Cahaya di Dalam Koper (The Light pengalaman manusiawi dari representasi adalah memberi tempat kembali pada benda- relevansinya dengan kehidupan masa kini. in the Suitcases, 2014) juga menampilkan kata- historis.28 Dalam modernitas kapitalistik, benda yang terlupakan, menyusunnya ke dalam Setelah pemerintah memperbolehkan berbagai kata dalam bahasa Indonesia yang ia representasi historis dicirikan oleh konstruk artistik, menyingkapkan cerita-cerita perayaan ritual atau adat-istiadat Tionghoa di terjemahkan dari lien. Ia menempatkan kata- kemelimpahruahannya di satu pihak, dan tersembunyi, dan memancing ingatan-ingatan Indonesia, ironisnya, kebudayaan Tionghoa kini kata itu sebagai neon sign yang berpendar dari kelangkaan kesadaran dan pengalaman pemirsa tentang . dikomodifikasi secara artifisial. Harsono dalam enam buah koper tua yang terbuka. historis di pihak yang lain. Kita bisa mengatakan, “[…] rasa keprihatinan saya cukup Harsono menerjemahkan puisi-puisi Mandarin menggambarkan kemelimpahruahan itu Lalu dari Masa Lalu/Migrasi (2013) dan Cahaya besar pada orang – orang Tionghoa di Indonesia dari lien itu kata per kata, secara harfiah, ke dengan keterbukaan informasi, di mana Perjalanan (The Light of a Journey, 2014) sekarang ini. Mereka hanya melihat dan dalam bahasa Indonesia, sehingga secara teknologi virtual dan arsip digital telah menampilkan elemen perahu yang mewakili menampilkan pencitraan. Pencitraan yang luar menyeluruh membentuk puisi yang sama mengubah cara-cara orang memandang dan gelombang perjalanan orang-orang Tionghoa biasa: Barongsai, Tarian naga, upacara-upacara sekali baru. Koper-koper besi dalam karya ini mengakses arsip sejarah. Dalam konteks masa Dua karya dalam pameran ini, Masa 24 FX Harsono solo exhibition Karya terbaru Harsono dalam 27 25 Things Happen When We Remember seni adalah untuk melawan efek alienasi kini, fungsi riset seperti yang dilakukan Catatan Akhir Harsono menjadi krusial untuk mendekati masa lalu lewat suatu pengalaman subjektif, 1 Hal Foster Artist as Ethnographer? dalam The Return of 14 15 semakin banyaknya kegiatan pemindahan makam. an. Moelyono secara jelas mengadopsi konsep Paulo Freire tentang ‘penyadaran’ (conscientization), yakni sebagai 40 -41. upaya untuk memahami kontradiksi sosial politik dan ekonomi serta mengambil tindakan untuk melawan unsur- Hendro Wiyanto, Kebenaran, Keindahan dan Pencarian unsur yang menindas. FX Harsono, esai kuratorial untuk pameran tunggal FX Harsono, What We have Here Perceived as Truth, We Shall Someday Encounter as Beauty, di Jogja National Museum, Yogyakarta, 2013 (Yogyakarta: Galeri Canna, 2013) hal. 14. 16 Wawancara penulis dengan FX Harsono, 17 Agustus 2014 17 Jim Supangkat, Seni Rupa Era 80, Pengantar untuk Biennale Seni Rupa Jakarta IX, 1993, katalog Biennale Seni Hendro Wiyanto, Harsono dan Pasca GSRB, dalam Rath Rupa Jakarta IX (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1993), (et.al.), op.cit., hal. 104 – 107. Lihat juga Rath, op.cit., hal hal. 27. 4 – 6. FX Harsono, Gerakan-gerakan Baru dalam Seni Rupa Indonesia sejak 1974 Hingga Kini, katalog pameran Seni 18 Ibid 19 Moelyono, Seni Rupa Penyadaran, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997. Rupa Penyadaran, Bailarung Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Desember 1989. Dimuat kembali dalam 20 FX Harsono, Seni Rupa, Perubahan, Politik, (Yogyakarta: Percakapan Harsono dengan Wiyanto, Wiyanto dalam Rath dalam 15 Years Cemeti Art House, Exploring Vacuum, (Yogyakarta: Cemeti Art House, 2003), hal. 198 – 200. 21 (et.al.), op.cit, hal. 164. 9 Ibid., hal. 170. 10 Tan Siu Li, Tubuh yang Pecah, Diri yang Mangkir: 22 Harsono (2009), op.cit., hal. 35 -44. Rath (et.al.), ibid. hal. 244. 23 Wawancara penulis dengan FX Harsono, 17 Agustus 2014 Siapa Saya, makalah lokakarya di Cemeti Art Foundation, 24 Rath (2009), op.cit. hal. 4. 25 Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Harsono (2009), op.cit. hal. 229. FX Harsono solo exhibition Lihat misalnya, FX Harsono, Gendut Riyanto, Wienardi, sarasehan seni rupa di Solo, 1985, dimuat kembali dalam Yogyakarta, 14-17 Juni 1996, dimuat kembali dalam FX 26 Wawancara penulis dengan FX Harsono, 17 Agustus 2014 Seni Rupa Kembali ke Masyarakat, makalah untuk Representasi Tubuh dalam Seni Rupa FX Harsono, dalam 11 Nindityo Adipurnomo, Exploring Vacuum 2003, 15 Tahun Cemeti, Kompas, 23 November 2003. Dimuat kembali Galeri Langgeng, 2009), hal. 45 – 56. 8 mereka? Jikapun ada, sampai sekarang jumlah mereka bisa dihitung dengan jari (antara lain: Dadang Christanto, Tisna Sanjaya, Jompet Kuswidananto). Apakah kondisi ini mencerminkan kesadaran sejarah yang memang ada dalam masyarakat kontemporer di Indonesia? Atau, perkembangan ini menunjukkan masih adanya hegemoni sejarah dominan, Peneliti Sosial Indonesia), pada akhir 1980-an hingga 1990- Pengantar, (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1976), hal. Wawancara penulis dengan FX Harsono, 17 Agustus 2014 sejarah para liyan itu sebagai pokok-soal dalam karya Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan API (Asosiasi Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru, Sebuah 7 tak banyak seniman yang mempersoalkan masa lalu dan Moelyono, Seni Rupa Penyadaran, makalah untuk Seminar beberapa proyek yang dikerjakan bersama LSM Wahana 19. 6 Mengapa dalam praktik seni rupa kontemporer Indonesia, menjelaskan bahwa ia dan Harsono pernah terlibat dalam POSISI (Yogyakarta: Langgeng Art Foundation, 2010), hal. 5 Orde Baru. Dengan fakta ini, saya mempertanyakan: Institut Teknologi Bandung, 20 Maret 2013. Moelyono FX Harsono, dalam Amanda K. Rath (et.al.), RE: PETISI/ 4 militer, kaum Jawa-sentris dalam sejarah dominan versi pada Masa Orde Baru’, di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Batas-batas Keefektifan: Etika Universal pada karya-karya 3 di hadapan para industrialis, kapitalis, politikus kanan, Artist talk diselenggarakan di Bale Handap Selasar Sunaryo Nasional Sejarah Seni Rupa ‘Gerakan-gerakan Seni Rupa Lihat Amanda K. Rath, Syarat-syarat Kemungkinan dan 27 Things Happen When We Remember Selain kaum Tionghoa, para komunis dan kaum kiri, petani, nelayan dan buruh korban kekerasan para liyan sebagai penanggap. di wilayah-wilayah sub-urban juga telah mendorong Kurator Pameran 26 menampilkan Harsono sebagai pembicara dan Tisna Sanjaya dikembangkannya kompleks pemakaman sebagai ‘properti’ 2 hal. 28 – 30 Art Space, 7 September 2014, pukul 14.00 – 17.00 dengan lahan-lahan menjadi kawasan komersial. Selain itu, masa lalu, melainkan di sini, sekarang. Indonesia, Fatally Belonging, (New York: Routledge, 2006), (Cambridge: The MIT Press, 1996), hal. 304. Penggusuran kuburan dilakukan karena berubahnya model ingatan itulah sejarah ‘hidup’, tidak di Agung Hujatnikajennong 13 the Real: The Avant-Garde at the End of Twentieth Century. karena semakin sempitnya lahan pemakaman di perkotaan. melalui cara-cara yang idiosinkratik. Melalui Ibid., hal. 175. Dalam masyarakat modern di Indonesia kegiatan memindahkan kuburan dan jasad mayat juga dilakukan untuk mengalami ‘sejarah’ melalui ingatan, 12 justru ketika Orde Baru dinyatakan berakhir setelah 1998? 27 28 Wawancara penulis dengan FX Harsono, 17 Agustus 2014. Peter Osborne, Anywhere or Not at All, Philosophy of Contemporary Art, (London: Verso, 2013), hal. 192. Cahaya dalam Koper (detil) Light in The Suitcase (detail) 28 FX Harsono solo exhibition 29 Things Happen When We Remember Curatorial Essay Things Happen When We Remember: The Legacy of Oh Hok Tjoe It is important to trace back where and how Harsono became involved in his thematic focus over the past five years. Harsono’s early inspiration came from old photographs in an album left by his father, Oh Hok Tjoe, also known as Hendro Subagio – the camerist, founder of the photo studio ‘Atom’ in Blitar. The photo album was stored away for years in the living room, until Hok Tjoe died in History and Memory in FX Harsono’s Art 1999, which was when Harsono opened it once again and began studying it more intensely. Harsono’s memory about those black and white photographs sparked a curiosity that led him to a new adventure. At the outset, the photographs serve “Identity belongs to the future, as much as to the past.” as a memento mori for Harsono, not simply (Stuart Hall, 1990) his father, but also because the images portray because he identified them with the death of a panorama of death. Some of the photographs Five years after FX Harsono’s solo exhibition, Remember consists of seven of Harsono’s works records images of human skeleton and bones The Erased Time (2009), comes the time to that have been shown previously in Jakarta, spread out on the ground, or stacked up in re-interpret his works as a complete and Yogyakarta, Rome, and Hong Kong since a particular configuration. There are also continuous exploration. Within that time 2011. The desire to re-exhibit these works in a photographs that show a group of people Harsono has created dozens of works using new configuration shows Harsono’s intention posing with the collection of skeletons. In a different medium (installation, painting, to keep himself open to new interpretation number of them, we find the names of places photography and video). A number of recurrent and critique. This exhibition is also a way to as well as the dates of when the photographs idiom emerge variedly in several different examine Harsono’s artistic practice through were taken, handwritten in white. works, which provide us with a clue as to new dialogues. By responding to several how Harsono works as well as the ideas and published texts about Harsono and the father took the photographs as part of an thinking that he tries to deal with. There are criticism raised during this exhibition, here I act that is called ‘ndudah’: the excavation and also shifts in the focus, ramification, expansion, will try to place the works as well as the figure reburial of human remains. Ndudah is not a intensification of his thought that is interesting of Harsono as an object of debate, as well as new tradition in Javanese culture. To this day, to compare with Harsono’s previous works. an entry point into a wider discourse about the act of relocating human remains from contemporary art. their graves remains a common act, done for The exhibition Things Happen When We 30 FX Harsono solo exhibition Harsono soon discovered that his 31 Things Happen When We Remember a variety of reasons. 1 In Chinese belief, the ritual of family and ancestor burial must be conducted in a most proper way, to ensure that the good fortune of their descendants, today and in the future. Looking deeper into the photographs, Harsono became aware that his father had left behind extraordinary archive materials. The bones and skeletons are in fact remnants of a violent history. He discovered that his father was a photographer appointed by a group of volunteers to record and re-bury the Chinese people who were massacred during 1948 – 49 in Blitar. According to a number of texts, the massacre is identified to be the impact of the Dutch Military Aggression that violated the Linggarjati Pact (1947). When the Indonesia army was conducting their guerilla and performing the “earth-scorching” tactic in their confrontation towards the Dutch, the Chinese people became the target for acts of violence that resulted from political rupture, compounded with opportunistic wrongdoings and intruders who took advantage out of the unstable economic situation. Tales of mass murder reflected in Oh Hok Tjoe’s collection of photographs became interlaced with Harsono’s own deep-seated disappointment about the violence directed towards the Chinese people in Jakarta in the events leading up to the Reform era in 1998 – an event that raised in him a sense of betrayal.2 Through archives and interviews, he found out that the bones in his father’s photographs were excavated from several different places, which were then buried again simultaneously at Bong Belung (bong: Chinese cemetery; very prominent. In the early 2000, for a series of a neon box, while some of the other ndudah belung/ balung: bones) in the Karangsari area, print works in his solo exhibition, Displaced, for photographs were displayed inside wooden Blitar. Harsono began his research by visiting instance, he made use of found photographic frames hung on the wall. Bong Belung, and tried to get his hands on as and digital images that he had collected from much information as possible. He interviewed Internet sites. In this exhibition, Harsono reproduced that has been silenced and marginalized.4 The installation Writing in The Rain (2011) departed from Harsono’s personal history as one among millions of Chinese- and represented Oh Hok Tjoe’s photographs Indonesian who must obey the New Order Tracing back even further, Harsono is with the installation Monumen Bong Belung policy of name replacement in 1967. One of Chinese descendants who survived the mass one of the only artists from the Indonesia New (2011). He arranged dozens of wooden box the elements in this work is a looping single murder. This procedure, as he says, is part of a Art Movement who professed of an “anti-lyrical” bearing the Latin names of each of the victims, channel video that shows Harsono as he writes “research”. approach. Sanento Yuliman defined “lyricism” a piece of photograph and a pair of praying down his childhood name, ‘Oh Hong Bun’ in as a tendency in painting that was dominant in lamps. Not only to reawaken a monument of Chinese letters. Harsono stands facing the investigation about historical narratives that Indonesia in the 1980s, where an artist projects remembrance, he arranged the work in such audience, layering the letters of the surface of are related to the massacre of the Chinese- the vibrations of his feelings and ‘inner self’ a way so that each of the victims is placed the screen, so that they nearly cover the image Indonesian ethnicity that occurred during other through an emotional and subjective approach. in in their own ‘altar’. If in the actual Bong of his body. With a brush and black ink, he periods, as well as other places in Indonesia. According to this paradigm, the outside world Belung site hundreds of skeleton and thousand writes down the name slowly and carefully. The Aside from site visits and conducting numerous must be filtered and transformed into a pieces of bones are put together in one grave, layers of names as if stand for a confirmation of interviews, he continued to collect and study symbolic and poetic world – mostly through Harsono’s Monumen Bong Belung presents his presence. Yet at one moment, water starts books on the history of Chinese-Indonesian as abstraction. Contrastingly, anti-lyrical artists homage to the departed ‘individual’. pouring down like rain, which immediately well as documents about the role of Chinese- aim to erase such filtering and transformation, Indonesian figures in Indonesia’s history. He not simply by adopting the ‘language’ of reproducing also appears clearly in Rewriting also visited a number of other mass burial sites everyday objects, but also presenting them on the Tomb (2013). Harsono creates a in other Javanese cities (Muntilan, Yogyakarta, as they are in the exhibition space. There is a performance in five locations of mass burial in the Rain relates to Harsono’s attempt to Kediri, Nganjuk dan Tulungagung), as a kind strong tendency to make use of an immediate in Java, by rubbing red crayon on white fabric become reacquainted with his own self, by of pilgrimage. He soon realized how his own and straightforward visual language, often draped over the gravestone. The result is an remembering aspects of Chinese-ness that personal memory and history are jointed to a times appearing simple, yet built upon layers of embossed figure of the names in Chinese once was attached so strongly to him as a collective history. consideration. lettering, printed boldly and with great contrast. child. However as he tells us, essentially Inside the exhibition space, the five white he is not familiar with Chinese culture. In Harsono have used photographs from his pieces of fabric are hung in a row together that performance as he spells, he tries to father’s collection numerous times in a series with the recording of the performance that remember the letters that he has not used for a of different works. He has exposed the black he edited in the video A Pilgrimage to History long time to write his name. The choice of video for this project is to ‘reproduce’ the symbols and white images into large-scale paintings (2013) as well as interviews with a number of (and) performance as a time-based medium he came across during his research. He often juxtaposed with texts that delineate new sources. Overall, this configuration creates a reinforced the issue of ephemerality. The copied them directly, and reconstructed them construction of meaning. In The Erased Time, for tension between a solemn mourning attitude scene of erasure was looped, which in the end into works that are punctuated with personal example, Harsono presented the photographs and a scientific atmosphere of a researcher or created a connotation of uncertainty or even interpretation. This is not a new method in inside an installation of a darkened room historian who is digging for information. Hendro ‘redundancy’: the letters were written down, Harsono’s artistic journey. In many of his works covered by a threatening red atmosphere. Some Wiyanto considers both works as Harsono’s washed away by the water, to be rewritten, and from the 1970s, the use of everyday objects was of the skeleton images were enlarged inside sublime attempt to make room for ‘the absurd’ erased once more. The presence of ‘Oh Hong the local residents, as well as a number of Harsono’s research developed into an 3 The method of ‘copying’ and In the space of the last five years, Reproduction of Symbols One of Harsono’s artistic strategy 32 FX Harsono solo exhibition 33 Things Happen When We Remember washes away the letters until they become a black puddle on the ground. Writing down his name in Writing Bun’ could only be read for a short moment. the village Luar Batang, Penjaringan, Jakarta. mind. In one of his conversations with Wiyanto, cultural changes in Indonesia. When events of Harsono is akin to Sisyphus, or Uroboros, With other younger artists such as Moelyono Harsono explained: “At the time, May 1998, I violence have been exploited to such an extent ‘trapped’ or ‘trapping himself’, in a never and Semsar Siahaan, Harsono also worked was filled with anger, fear, and disappointment as effective marketing techniques for the mass ending and cyclical path of a hunt. on collaborative works that gave a critical as somebody of Chinese descent who felt media, Harsono made use of metaphors to voice to actual problems such as labour rights that the Chinese in Indonesia was always avoid banality, such as his way of juxtaposing and political justice. Harsono’s other works victimized in political riots… This anger, fear, ‘beauty’ and ‘violence’ through butterflies as an that reflected a similar method is Suara dari and disappointment was what led me to reflect idiom, as dainty winged creatures, with needles As the Indonesia New Art Movement Dasar Bendungan (1994), which began from upon the practice that I was doing up till then. viciously stuck to them. disbanded in 1979, Harsono became intensely his research about social groups that were This reflection brought me to a question that involved in a number of art projects that evicted because of land acquisition projects in became a basis for my next practice, that is the agree that the statement about Harsono’s responded directly to societal problems. Sampang, Madura. question ‘who am I…” new basis for creation is driven by the will 6 Who am I/ We/ You/ Them? He often visited locations of the New Order 8 This change of orientation was also Harsono admits that his works in Both Siu Li and Wiyanto appear to to answer the question ‘who am I’. Despite ‘developmentalism’, which resulted in the the early 2000s was created with a different strongly stated as he wrote in 2003: “… I felt like sounding simplistic, we know that for centuries, marginalization and repression of particular orientation than the previous eras. Post- I was loosing ground and alienated among my ancient thinkers from the East and West, the groups. Although he never doubted the reform realities gave him an important lesson own people. It is the same people who I used to psychonanalysts, existentialists, sociologists, capacity of virtual technologies, such as in artistic expression and socio-political feel were worth fighting for through the arts. I anthropologists, spiritualists and artists have the Internet, to provide information that is context. The 1998 Reformation became also felt alienated among those who I felt had offered differing answers, with differing levels physically unattainable, Harsono considers a turning point for artistic orientation in the same vision for change. In the naivety that of complexities, towards this question. ‘Who empirical observation to be crucial in testing Indonesia, towards soci-political themes. Yet they showed through their behavior, I suddenly am I’ is a classic idiosyncratic question. The ‘I’ again and again his social sensibility as an when freedom of expression is celebrated in questioned, who are they, really? In such a remains a universal mystery that will continue artist. He believe that artistic thought and an exaggerated way, critical art practice in fact change, I tried to look back into myself.” to maintain its relevance for human questioning material is always ‘out there’, and because of faces a crisis. Socio-political criticism through that it must be captured and caught by way of art falls into emphemeral slogans, banal and question I posed in the beginning: with this new ‘direct involvement in the field’. His affinity to a empty. At an extreme point, artworks become basis for his practice, to what extend can we Harsono’s answer to this question is manifest number of activist and self-help groups in the a mere amplification of the main themes in say that Harsono’s works have changed? Tan in his works. However, it is also important to 1980s greatly influence this way of working. political headlines made by the mass media, Siu Li wrote that Harsono’s transition in the probe further into the framework of what it is amids the deafening noise of ‘reformation’. early 2000s may be seen in the medium and that Harsono is questioning. An important clue materials used, as well as how the works were is the statement that the events of violence Hendro Wiyanto noted how Harsono’s art during the 1980s was a critical reflection 7 9 Here I would like to return to the Harsono was once at a point where until the end of time. It is important to look at how about ecological degradation and its impact he felt that he needed to gain a kind of presented. It is true that in the last decade towards the Chinese ethnicity during 1998 still to social discontent. Among them is the distance from the artistic practice that he used Harsono began to paint and print works more, haunt Harsono as he ‘tries to look back into installation Pagar Tripleks dan Hutan Kita (1982) to conduct, even more so where the social although he still created installations, videos himself’. From here, I gathered that even if in Parangtritis, Yogyakarta, and especially realities that used to be a source of inspiration, and performances. The female figure, self- there is what Wiyanto calls as a ‘new search’ Seni Rupa Lingkungan – Proses 85 (1985) with now made him feel alienated. However, in portraits, or family photographs are also new to ‘look at oneself’, Harsono’s ways tends to Gendut Riyanto, Harris Purnomo, Bonyong spite of this, the riots and violence towards the idioms that came up during this era. Other be ‘external’ rather than ‘internal’ in nature. Munni Ardhi, and so on that responded to the Chinese ethnic that took place at the times shifts are also noticeable in terms of the use The question of ‘who am I’ that Harsono posed issue of sea pollution as caused by mercury in leading to the 1998 Reform lingered in his of metaphors that are related to the socio- after 1998 appear more similar rather than 5 34 FX Harsono solo exhibition 10 35 Things Happen When We Remember different to the question that he asked in 1996 are allowed to go enter and exist through the in an introduction to a workshop in Yogyakarta: gaping holes on the barrier between ‘I/we’ and “[…] begins with the question of “who am I’… “I am ‘you/them’, between ‘self’ and ‘other’. I believe that in the context of the an artist.” This may do for the time being. But, this question could also question our positions, our ndudah project, Oh Hok Tjoe’s photographs, relationships with the people around us, and our Harsono’s biography as well as his family fulfill 11 profession within society.” Although Harsono wishes to create a the role of an entry point into discussions of the construction, formation and representation distance between his artistic practice with the of the identity of a community, which is the realities or the world ‘outside him’, his works Chinese ethnic in Indonesia. Within the after 1998 do not readily enter into an ‘internal context of Indonesia’s social history prior to world’ that is all lyrical, emotional, and 1998, events of slaughter and violence places subjective. I agree with Wiyanto who wrote that the Chinese ethnic in more or less the same it is impossible for Harsono to fully erode his position as other ‘victims’ of violence during the critical tendency, just by turning to questions New Order era. In other words, in Harsono’s about the self. Aside from that, in Harsono’s projects (in Luar batang, Sampang or the bong works, what appears is not the essential ‘self’ belung sites) there is a strong tendency to (who believes that there are hidden individual defend the existence of the Other. 12 values that are certain, permanent, and Here, we may conclude that in unchanging). We know that the essentialist Harsono’s works before and after 1998, and notion of identity is something that Harsono after the ndudah project (2009), display a rejects when he declared the Indonesia New consistent attempt to touch on socio-political Art Movement as an avant-gardist movement. problems. Analysis towards Harsono’s series Harsono’s quest – such as in the of works may lead into two parallel possibilities exhibition Titik Nyeri (2007); Aftertaste (2008), about ‘consistency’. First, that Harsono is and Surviving Memories (2009) – still shows a an artist who is consistent, in the sense of form of reflection, in not contemplation, about able to stand by a principle, a conceptual social oppositions: between ‘I’, ‘you’, them’, and thematic focus for a long period of time. ‘us’ and ‘we’. Despite creating new idioms, However, according to the second perspective, Harsono’s works continue to indicate attempts we may also ask: Does this ‘consistency’ show to connect the ‘personal’ with the ‘local’. In Harsono’s failure to go through transitions and works that make use of self-portraits (such changes? We certainly would like to know to as Jarum dalam Mimpiku, 2003; or Berguguran, what extent the ndudah project is able to create 2007) we are in fact seeing a figure of the artist a distance from socio-political realities, as he as a representation of a collective entity. In desired. Monumen Bong Belung (detil) Bone Cemetery Monument (detail) front of Harsono’s works, our point of views 36 FX Harsono solo exhibition 37 Things Happen When We Remember Field Research and Artistic Production In an interview that accompanied the preparation of this exhibition, I opened our conversation by mentioning Hal Foster’s thesis about the ‘ethnographic’ tendency of contemporary art practices. This is a relevant topic, considering that in his research Harsono conducts observation, interviews, interaction, creating documentation and notes in order to obtain data and direct engagement with social groups in a number of particular locations. Foster regards that tendency in contemporary artists to do field research about a specific community (especially the Other in a wide understanding) shows an ‘anthropological turn’ in contemporary art. By adopting the methods and perspective that see culture, reality, and social communities as an object/ text, contemporary art at the end of the 20th century has expanded its practice into the domain of anthropology. Foster’s critique is not directed towards ‘ethnographic art’ practice as such. He criticized especially commissioned sitespecific art projects that potentially acts as a tool for a certain institution or patron to legitimize their political or economic position in the art arena. He explains this by describing a scenario that happens in international blockbuster exhibitions, where artists enter into new geographical or ethnographic territories, working with or collaborating with communities of the Other, where at an extreme point may be likened to a ready-made objects that ‘contain representation’.13 In community- 38 FX Harsono solo exhibition based projects, the work of the artist, which observation and ethnography. traditionally is identified as the ‘creator of I contend with Irianto on the issue on his artistic practice, let alone the demands to appear ‘scientific’. Prior to 1998, political objects’, transformed into being an investigator, the narrow understanding of artistic research motives in Harsono’s works are prevalent. He educator, and collaborator with social/ cultural in Indonesia. Our way to understand the world/ was looking for ‘truth’ that may be articulated groups that they visited. reality should not be defined by empirical by art, but not the kind of truth that is observation only. Research is essentially a ‘produced’ by an esoteric discourse of art itself. Harsono: to what extent does an artist that systematic attempt conducted in pursuit of In the 1980s, Harsono and his friends did adopt conducts research may act as a ‘researcher’, or knowledge. This entails that not only those who methods from the social sciences, but not the even ‘author’ with an authority to explain about actually ‘go into the field’, the artists with a method that in a formal or instrumental way the culture or conditions of a given community? studio-based practice, fundamentally, also does supported the dominating powers.15 In contrast, What kind of method must an artist employ research with a different method. he wishes to unpack the deceit that masks In relation to this thesis, I asked within that community? What kind of method In the Indonesian context, the the regime, to critically uncover it through ‘a does an artist/ researches must do to avoid unpopularity of the term ‘artistic research’ is systematic approach’ that is different to the being trapped in an artificial Othering? also related to the power structure between approach of studio artists. He does research dominant paradigm and language. In the to avoid art’s way of looking at reality in a like to draw a link between the issue of current academic world, the term research subjective or imaginative manner, because “… ‘ethnographic research’ with another criticism is still rarely used to refer to the work of the problems in society are very real indeed.” 16 that Asmudjo Jono Irianto posed during the artists (research in the arts is still connoted artist talk of the exhibition Things Happen with historical research or art criticism). paradigm in Indonesian art practice is when We Remember. Irianto considers Historically, this tendency reflects the inferiority certainly an unavoidable tendency, especially that Harsono’s comprehensive explanation of art discourse and practice in Indonesia when artists made society, as well as the about his study into the violence towards the in face of the dominance of scientivism and problematics within it, as subject-matters of Chinese ethnicity in Indonesia actually limits positivism, especially as science is rooted in their work. In his introduction to Jakarta Art the presence of the works in the exhibition the development of studies in social sciences Biennale IX (1993), Jim Supangkat referred space. Does not the reduced censorship by the and the humanities that are formed merely to Goenawan Mohammad who stated that government post-1998 mean that information as an instrumental academic discipline. In the development of Indonesian art at the about untold histories may be found more the New Order era, the term research is more time was ‘colonized’ by the social sciences. easily through books? He is skeptical about often used in non-artistic domains, especially This issue, according to Supangkat, was the the transformative potential that artists science and technology, as artists’ work is result of the background in social sciences assume may be done through art (exhibitions considered to not be ‘very systematic’, too that the majority of writers and observers of as well as works), since the open access much based on intuition and imagination. art has 17. Supangkat also suggests how the At this point of this essay I would 14 for information means that there is growing Harsono does undergo much research The influence of social science’s Indonesia New Art Movement artists (including common sense about the history of violence that are anthropological, sociologica, and Harsono) “[…] try hard to follow the thoughts in Indonesia. Indirectly, he also questions the ethnographic in nature. However I am of the of those experts in social sciences.”18 Yet he connotation of ‘research’ in art that in a narrow opinion that those research are done not for also marked the growing tendency in post sense is associated with methods of empirical the purpose of a methodological validation of INAM artists to ‘demystify’, and even leave 39 Things Happen When We Remember those paradigms behind, in particular when about artistic authority as representative of particular communities, but as a representation postmodern theories came to be discussed in the voice of the community were answered a of an omnipresent dominant power. Indonesia. participatory observation method that departed In reality, the tendency to conduct Irianto’s response at the artist talk shows Harsono’s success in creating a historical regression. Needless to say, the from empathy. “Empathy is an initial capital for The Past as an ‘Object’ past is not an object that we come to know ‘field research’ does not stop with the INAM artist to respond to ethical problems. Without artists. Moelyono, a close friend as well empathy, the community becomes nothing as collaborator of Harsono’s, formulated more than a silent object. The artwork will also the ‘new turn’ in Harsono’s works after 1998 ‘magnitude’ of Harsono’s narration, admittedly, ‘Conscientious Art’ in his projects with the be dry as a result,” he said in an interview. may be seen in the orientation towards the does not only concern the death of hundreds villagers of Brumbum and Nggerangan, In a number of writings, Harsono always self, I would like to add that especially in the of people, but also how we approach the past, stressed that an artist is part of a society. ndudah project Harsono is in fact undergoing a analyzing it, interpreting it, and defining it in Yogyakarta also used the term ‘research’, An artist is not the centre, or an authoritarian new methodological turn. Harsono did depart as ‘historical truth’. At that time, Irianto’s in this case by Mella Jaarsma and Nindityo subject, and instead must learn extensively from using photographs that depict death and skepticism towards change that may be done Adipurnomo, in the programmes they curated from society. When they ‘go into the field’, the victims. Yet, there is a further development, through art, becomes a paradox. Does not distance between an artist with a community where the ‘object’ that Harsono deals with is Harsono’s moving narration act as an artist’s of Tisna Sanjaya especially his Imah Budaya or social group, must be erased through the past that houses the photographs. The ability to change our awareness? As in the project at Cigondewah, is a site-specific dialogue, interaction, immersion and an intense historical research method becomes important, works prior to the ndudah project, whatever project that since the 2000s is done through immediate involvement. because he is not only encountering a spatial Harsono does appears to always revolve distance that separates the site of violence and around his belief about heteronomy, rather Tulungagung in 1998. since the early 1990s. 19 20 Cemeti Art House In Bandung, the works research in response to the iimediate social If Wiyanto and Siu Li considered that 21 22 23 In Harsono’s works, the reproduction through an empirical approach, but through data that often times feel alien and distant. The and environmental problems in the area. of signs is an attempt to represent a language the graves of the victims, but also a temporal than autonomy. Harsono’s works prove how an In a number of projects done by younger that is easily understandable by communities condition that puts him away from the time art practice always relies on other discourse generation artists, such as ruangrupa in in the ‘field’ as well as the art public in the of the event. Here, we come to understand outside of art. Harsono creates historical Jakarta and Mes56 in Yogyakarta, field research exhibition space. I agree with Rath’s opinion, how Harsono treats a method, which is as a research to resolve art’s narrow and limited is also conducted by immediate interaction which sharpened Harsono’s formulation consequence of object and thought. discourse as well as logic, such as the view that with particular environments and social about ‘contextual art’ as a way to combine communities. Certainly, it must be analyzed symbolic language and local material with founded on a need to understand Harsono’s more whether their actions have historical frameworks of articulations and new modes works in this exhibition as a result of a correlation with the INAM, and do not fall under of representation for a common interest based historical research process. In my mind, what past through two simultaneous corridors, which the ‘pseudo-ethnographic’ research as Foster on the dialogue between the artist and the ‘dwarfs’ the works in the exhibition space is is memory and history. It is not a coincidence criticized. community. Rath refers to Anthony Kwame not Harsono’s explanation or narration, but that these two corridors oppose each other, Apiah’s notion of ‘universal ethics’ as an Irianto’s judgment itself, too in awe of the if we consider the New Order’s version of as Suara dari Dasar Bendungan (1993), there important basis to perceive Harsono’s works as textual narrative rather than the works. As if history of the last thirty-two years tends to be are effective overlaps between social science the result of an artistic production as well as there is a definite boundary between ‘the visual’ repressive and dismissive towards minority and and artistic practice. The ethnographic method a process of social investigation. She also saw and ‘the textual’, Irianto was taken to a past air marginalized groups. Harsono appears to be became particularly forceful as an instrument that the issue about ‘conditions of oppression’ of violence that, despite already being known by able to coincide the two corridors in a junction, to build artistic through as well as to uncover in Harsono’s works may be seen as an ‘object’ many, was given a reconfirmation by Harsono’s rather than an overlap: between personal the repression from those in power. Questions that is always bound to the artist-subject or research. memory and hegemonic grand history. Ariel In Harsono’s works prior to 1998, such 40 FX Harsono solo exhibition Irianto’s criticism appears not to be 24 41 Things Happen When We Remember the thinking within a work of art may only be explained by its visual presentation alone. In ndudah, Harsono approaches the Heryanto once wrote about how the Chinese artist that emphasizes process and research. they are not considered to be of any use. The an entirely new poem. The iron suitcases in ethnic in Indonesia is formed by the politics After the ndudah project, Harsono expands his act of ‘decorating’ the boat with the words from this work were obtained from a flea market of the New Order that created a contradiction understanding of research as a ‘pilgrimage to a poem is not without any reason. Harsono in Solo and Yogyakarta, and were left behind in their identity as a minority group. In a the past’. He not only visits the graves of the would like to illustrate how the history of the by the wave of Chinese people migrating to way, the Chinese ethnic is perpetually subject victims, but also other sites that he believes migration of the Chinese people to Indonesia Indonesia during the 1940s to the 1950s. The to stigmas about pariahs, as sympathizers to ‘hold historical proofs’: ancient temples, is often understood as a frozen myth, and glowing light from the Indonesian words mark and communist activists, as the Other in the Chinatown, port towns in the northern coast of its relevance to current everyday life is often a transformation of the good will and hopes political history post-1965. Aside from being Java, antique markets, and so forth. Harsono untouched. After the government allowed the of the earlier migrants to the lives of their forced to change their Chinese names, they believes that objects from the past reserve their Chinese to perform their rituals or traditions in descendants, in their new homeland. were also not allowed the same rights in own stories. His task as an artist is to create Indonesia, ironically, Chinese culture becomes governmental positions. room once again for the forgotten things, to artificially commodified. Harosono stated, “[…] I exhibition wishes to affirm the significance arrange them in an artistic construction, to have great concern for the Chinese in Indonesia of memory, as an alternative to the passivity economic regime that was supported by the reveal hidden stories, and evoke the audience’s right now. They only see and represent an and a resignation towards dominant history. Western Bloc during the Cold War, the New memories about them. image. Extraordinary images: the lion dance, Peter Osborne explained that the motivation the dragon dance, massive ceremonies where of returning memory into the context of art 25 26 On the other hand, through an Order was also successful in creating strong Two of the works in this exhibition, At the end of this essay, this economic actors and icons from the Chinese Masa Lalu dari Masa Lalu/Migrasi (2013) and they are very enthusiastic. However I doubt is to resist the effect of alienation in human ethnic, who through affiliations with the Cahaya Perjalanan (The Light of a Journey, 2014), that they care about the meaning and function experience and historical representation.28 In military, was able to dominate private sectors show elements of a boat that represent the of the culture and its artifacts, the historicity capitalist modernity, historical representation such industries of manufacturing, banking, waves in the journey of the Chinese people that they should be aware of? Such as an old is marked by excess of one side, and a scarcity alongside the utilization and trade of national as they land on Indonesian shore at different temple that is broken up and replaced by a new of awareness and historical experience on natural resources. With a ‘trickle-down effect’ times. In the first work, the boat that contain one, only for the sake of putting the patrons’ the other. We may illustrate such excess with economic policy, The New Order placed the praying candles are shown as if it had wrecked names on display. Cap Go Meh in Singkawang the availability of information, where virtual Chinese ethnic as capital owners and traders amidst the sea of letter (historical texts) at the moment is a spectacular commodity technology and digital archives have changed in the upper and middle economic class. controlled by the (chair of the) ruler. This is an of tourism. But is the dragon fireplace still the way people view and access historical Following the South East Asian economic crisis, illustration of the politicization and distortion kept in a good condition? Now, perhaps only archive. In today’s context, the function of the the Chinese ethnic was turned into black sheep of the history of the Chinese migrants in the a few remain. They no longer support and research that Harsono conducts becomes held responsible for the nation’s economic history created by the ruler. As for the second accommodate for ceramics from Singkawang, crucial to approach the past from a subject bankruptcy. The violence towards the Chinese work, Harsono places the ship on the corner dismissing them and letting them fall apart.” experience, to experience ‘history’ through ethnic that took place on May 1998 truly owed of the room, against the wall, and ‘decorated’ a great deal to the social gap and minority in with Chinese and Latin letters. The letters exhibition, The Light in the Suitcases (2014), this model of memory that history becomes politics created by the New Order economic were quoted from a poem stated on a lien, also displayed words in Indonesian that the ‘alive’, not in the past, but here, right now. system. woodcarving hung on the left and right of the translated from lien. He placed the words as entry door of Chinese styled houses of the past. neon signs that glow out of six open suitcases. This exhibition aims to show that the historical turn of Harsono’s practice not 27 Harsono’s latest work in this In one of his ‘pilgrimages’ to flea Harsono translated the Mandarin poems from Agung Hujatnikajennong Exhibition curator only responds to the past that he puts up as markets, Harsono discovered how the liens the liens one by one, in a literal manner, into an object, but also his modus operandi as an became an object that many put up for sale as Indonesian so that as a whole, they create 42 FX Harsono solo exhibition 43 ‘memory’, through idiosyncratic ways. Through Things Happen When We Remember 12 Endnote 26 Ibid., p. 175. 13 Hal Foster Artist as Ethnographer? in The Return of the 1 graves and bodies are also done due to decreasing land areas in the urban setting. The eviction of graves is 14 2 17 IX (Jakarta: Jakarta Art Council, 1993), p. 27. 20 Nindityo Adipurnomo, Exploring Vacuum 2003, 15 Tahun Cemeti, Kompas, 23 November 2003. Republished in 15 Years Cemeti Art House, Exploring Vacuum, (Yogyakarta: Politik, (Yogyakarta: Galeri Langgeng, 2009), p. 45 – 56. Rath (et.al.), op.cit, p. 164. 9 Ibid., p. 170 10 Tan Siu Li, Tubuh yang Pecah, Diri yang Mangkir: Representasi Tubuh dalam Seni Rupa FX Harsono, in Rath (et.al.), ibid. p. 244. Siapa Saya, paper for a workshop at Cemeti Art Foundation, Yogyakarta, 14-17 June 1996, republished in FX Harsono (2009), op.cit. p. 229. FX Harsono solo exhibition Ibid Bentang Budaya, 1997. Republished in FX Harsono, Seni Rupa, Perubahan, 44 Jim Supangkat, Art in the 80s, Introduction to Jakarta Art Biennale IX, 1993, catalogue of Jakarta Art Biennale Indonesia sejak 1974 Hingga Kini, catalogue for the 11 The The writer’s interview with FX Harsono, 17 August 19 Moelyono, Seni Rupa Penyadaran, Yogyakarta: Yayasan Conversation between Harsono and Wiyanto, Wiyanto in Peter Osborne, Anywhere or Not at All, Philosophy of Contemporary Art, (London: Verso, 2013), p. 192. 2014. FX Harsono, Gerakan-gerakan Baru dalam Seni Rupa 8 28 elements. 16 The writer’s interview with FX Harsono, 17 August 2014. contradiction as well as the act of rejecting repressive 18 The writer’s interview with FX Harsono, 17 August 2014 27 the attempt to understand social, political, and economic 6. 7 New Order after 1998? adopted Paulo Freire’s concept of conscientization, that is Hendro Wiyanto, Harsono dan Pasca GSRB, dalam Rath Kristen Satya Wacana, Salatiga, December 1989. history remains, especially at the pronounced end of the at the end of the 1980 to the 1990s. Moelyono clearly Hendro Wiyanto, Kebenaran, Keindahan dan Pencarian exhibition Seni Rupa Penyadaran, Bailarung Universitas this development show that the hegemony of dominant (WALHI) and API (Asosiasi Peneliti Sosial Indonesia), FX Harsono, curatorial essay for FX Harsono’s solo 6 awareness of contemporary Indonesian society? Or, does Profit Organization Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 40 -41. (et.al.), op.cit., p. 104 – 107. See also Rath, op.cit., p. 4 – Kuswidananto)? Does this condition reflect the historical number of projects completed together with the Non- Pengantar, (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1976), p. 5 others: Dadang Christanto, Tisna Sanjaya, Jompet explained that Harsono and himself were involved in a Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru, Sebuah 2013) p. 14. day the amount may still be counted by hand (among Institute of Technology, 20 March 2013. Moelyono 2010), p. 19. Museum, Yogyakarta, 2013 (Yogyakarta: Galeri Canna, subject matter of their work? Even if there are, to this New Order Era’, the Faculty of Art and Design, Bandung PETISI/POSISI (Yogyakarta: Langgeng Art Foundation, Shall Someday Encounter as Beauty, at Jogja National problematize the past and history of the Other as the the National Art History Seminar ‘Art Movements in the See Amanda K. Rath, Syarat-syarat Kemungkinan dan exhibition, What We have Here Perceived as Truth, We history of Indonesia’s contemporary art, not many artists 15 Moelyono, Seni Rupa Penyadaran, paper presented at karya FX Harsono, in Amanda K. Rath (et.al.), RE: 4 With this fact, I am placing the question: Why is in the Harsono as a speaker and Tisna Sanjaya as a discussant. Batas-batas Keefektifan: Etika Universal pada karya- 3 centric groups, in the New Order’s version of history. Artist talk organized at Bale Handap Selasar Sunaryo Art Space, 7 September 2014, at 14.00 – 17.00, presenting purposes. Aside from that, the development of cemetery an increase in the removal of graves. capitalists, righ-wing politicians, the military, Java- (Cambridge: The MIT Press, 1996), p. 304. also pushed by the change in land use for commercial complexes as ‘property’ in sub-urban areas also creates violence towards the Other in face of the industrialists, Real: The Avant-Garde at the End of Twentieth Century. In Indonesia’s modern society, the act of removing Aside from the Chinese ethnicity, the communists and leftist, farmers, fishermen, and labourers were victims of Cemeti Art House, 2003), p. 198 – 200. 21 22 The writer’s interview with FX Harsono, 17 August 2014 See, for example, FX Harsono, Gendut Riyanto, Wienardi, Seni Rupa Kembali ke Masyarakat, paper for an art meeting in Solo, 1985, republished in Harsono (2009), op.cit., p. 35 -44. 23 The writer’s interview with FX Harsono, 17 August 2014 24 Rath (2009), op.cit. p. 4. 25 Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia, Fatally Belonging, (New York: Routledge, 2006), p. 28 – 30. 45 Things Happen When We Remember Menulis dalam Hujan kursi dan meja kayu, televisi 24”, video satu kanal 6’ 11” (looping), 2011 Writing in the Rain wooden chair and desk, 24” television, single channel video 6’ 11” (looping) variable dimension 2011 46 FX Harsono solo exhibition 47 Things Happen When We Remember 48 FX Harsono solo exhibition 49 Things Happen When We Remember kanan halaman sebelumnya Monumen Bong Belung Monumen Bong Belung (detil) instalasi dengan 202 kotak kayu multiplex, lampu elektrik, kertas dan foto, 270 x 270 x 120 cm, 2011 right spread page before Bone Cemetery Monument Bone Cemetery Monument (detail) installation with 202 multiplex wood box, electric light, paper and photograph 270 x 270 x 210 cm 2011 50 FX Harsono solo exhibition 51 Things Happen When We Remember Berziarah ke Sejarah video performans satu kanal 13’ 40” (looping), 2013 Pilgrimage to History single channel video13’ 40” (looping) 2013 52 FX Harsono solo exhibition 53 Things Happen When We Remember 54 FX Harsono solo exhibition 55 Things Happen When We Remember kiri halaman sebelumnya Menulis Ulang pada Makam (detil) Menulis Ulang pada Makam gosokan pastel di atas kain, dimensi bervariabel 2013 left spread page before Rewriting on the Tomb (detail) Rewriting on the Tomb pastel rubbed on fabric, variable dimension 2013 56 FX Harsono solo exhibition 57 Things Happen When We Remember Masa Lalu dari Masa Lalu / Migrasi perahu, lilin elektrik, terakota, kursi kayu, kap lampu dimensi bervariabel 2013 The Past of The Past / Migration boat, electric candle, earthware, wooden chair, lampshade variable dimension 2013 58 FX Harsono solo exhibition 59 Things Happen When We Remember Cahaya Perjalanan perahu kayu dan lampu neon, dimensi bervariabel 2014 The Light of Journey wooden boat and neon sign variable dimension 2014 60 FX Harsono solo exhibition 61 Things Happen When We Remember Cahaya dalam Koper koper baja dan lampu neon, dimensi bervariabel, 2014 Light in The Suitcase steel suitcase and neon sign variable dimension 2014 62 FX Harsono solo exhibition 63 Things Happen When We Remember Documentation Preparation and display for exhibition Exhibition opening Artist talk 64 FX Harsono solo exhibition 65 Things Happen When We Remember Artist Biography Education 2004 STSRI ASRI, Jogyakarta , Indonesia (1969-1974) • IKJ (Jakarta Art Institute) Indonesia (1987-1991) Mediamor(e)phosa, Puri Gallery, Malang, Indonesia 2003 Profession • Lecturer, the Faculty of Art and Design, Pelita Displaced, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia Harapan University, Tangerang (West Java) • (2005 – now) Displaced, Cemeti Art House, Yogyakarta, Indonesia 1998 • Solo Exhibitions 2014 • Indonesia 1996 Things Happen When We Remember, • Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Indonesia. 1994 FX Harsono • Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia. 2012 Born in Blitar (East Java), Indonesia (1949). • Lives and works in Jakarta (Indonesia). Writing in the Rain, Tyler Rollins, New Selected Group Exhibitions 2014 • York, United States of America • FX Harsono: Testimonies, Singapore Art Art, Istanbul, Turkey • Museum, Singapore [email protected] www. fxharsono.com • United State of America • 2009 • Surviving Memories, Vanessa Art Link, City University of Hong Kong 2013 • Beijing, China Art and Cultural Center, Bangkok, Aftertaste, Koong Gallery, Jakarta, Indonesia Thailand. • 2007 • FX Harsono solo exhibition 67 Things Happen When We Remember Seeing Painting: Conversations Before The End of History, Sangkring Art Titik Nyeri/Point of Pain, Langgeng Icon Gallery, Jakarta, Indonesia Concept Context Contestation, Art and the collective in Southeast Asia, Bangkok 2008 • Market Forces 2014, From Conceptualism to Abstraction, Osage Art Foundation & The Erased Time, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia. • Past Traditions / New Voices in Asian Art, Hofstra University Museum, New York, Re:petisi/posisi, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, Indonesia. The Roving Eye, Contemporary Art From Southeast Asia, Arter Space for 2010 66 Suara (Voice), National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia. What we have here perceived as truth/ we shall some day encounter as beauty, Suara (Voice), Cemeti Art Gallery, Yogyakarta, Indonesia 2013 • Victim, Cemeti Art Gallery, Yogyakarta, Space, Yogyakarta, Indonesia • Jogja Biennale XII, Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia • Collection: Photography | screenings “Writing in the rain” National Gallery of Australia, Canberra, Australia • • • • Beyond The Self, National Portrait • • Asia: Looking South, ARNDT Gallery, • 3rd Nanjing Triennialle, Nanjing, China Berlin, Germany • Manifesto, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia NOW INK: A Call For New Perceptions Quota 2013, Langgeng Art Foundation, (a special project at 5th SH Yogyakarta. Indonesia Contemporary), Shanghai Exhibition Outspoken, Biasa Art Space, Bali, • 2007 Center, Shanghai Indonesia • 4th Moscow Biennale, Moscow, Russia One Step Forward, Two Steps Back — Us • Beyond The East, Macro, Rome, Italy Museum, Guangzhou, China • Sip! Indonesian Art Today, ARNDT • 2010 Indonesia, Museum of Contemporary Indonesian Painting I, Equator Art Art, Shanghai Project, Singapore • 2012 • Visual Art Centre (SAVAC) at Art • Singapore • Indonesian Art, Primo Marella Gallery, Milano, Italy • Encounter, Royal Academy In Asia, • • Archive-Reclaim doc, National Gallery Migration, ARNDT, Sydney, Australia • Contemporary Indonesia, Ben Brown Fine Arts London, UK • • • Edge of Elsewhere, 4A, Sydney, • • 68 • Museum Nusantara, Delft, Netherland • The Third Gwangju Biennial, Gwangju, Korea • Setengah Abad Seni Grafis Indonesia, Bentara Budaya, Jakarta, Indonesia 1999 • Art Document 1999, Kanazu Forest Museum, Kanazu, Japan • Volume & Form, Singapore 1998 • Meet 3:3 (3 Indonesian artists, 3 Germany Indonesia 1997 • Quota 2005, Langgeng - Icon Gallery, Slot in the Box, Cemeti Art Gallery, Yogyakarta, Indonesia • International Contemporary Art Festival, Tokyo, Japan (NICAF) Taboo and Transgression in 1996 Beyond The Dutch, Centraal Museum, F. Johnson of Art Museum, Cornel • Museum City Project, Fukuoka, Japan Utrecht, Nederland University, USA • Tradition/Tension, Asia Society, New Face Value, SIGIarts, Jakarta, • TechnoSign, Surabaya Art Link, • Closing The Gap, Melbourne Institute of 2008 • • Art With Accent, Guangzhou, China Southeast Asia, 1991 – 2011. Singapore • ALLEGORICAL BODIES, A-Art (Australia) - Seoul (Korea) Eksodus Barang, Nadi Gallery, Jakarta, • Exploring Vacuum 2, Cemeti Art House, Yogyakarta. Indonesia • 69 1995 • Reformasi, Sculpture Square, 2003 Yogyakarta, Indonesia • York - Vancouver (Canada) - Perth Australia Singapore Highlight, ISI, Jogja National Museum, Two Decades of Contemporary Art in Text Me, Sharman Gallery, Sidney, Indonesia Milestone, Vanessa Art Link, Jakarta, Fine Art (MIFA), Melbourne, Australia FX Harsono solo exhibition Reformasi Indonesia, Protest in Beeld, artists), Purna Budaya, Yogyakarta, Contemporary Indonesian Art, Herbert Indonesia Negotiating Home, History and Nation: • Anti Aging, Gaya Fusion Contemporary Jakarta, Indonesia Surabaya, Indonesia Australia • • Homo Ludens, Emmitan CA Gallery, Indonesia 2011 Yogyakarta, Indonesia House, Yogyakarta. Indonesia 2005 Surabaya, Indonesia • The Past Forgotten Time, Cemeti Art Art Space, Ubud, Bali, Indonesia Digit(all): Indonesian Contemporary New 2009 of Indonesia, Jakarta, Indonesia • • Indonesia • Edge of Elsewhere, 4A, Sydney, Australia • Media Practices, Umahseni, Jakarta, Institute of Contemporary Art, Lasalle, Out Now, Singapore Art Museum. Singapore Pleasures of Chaos, Inside New What is it to be Chinese?, Grimmuseum, Singapore • Print in The Future, Cemeti Art House, 2000 2006 Recent Art From Indonesia: Toronto, Canada Berlin, Germany • Centre, Jakarta, Indonesia Contemporary Art-Turn, SBinArtPlus, Beyond Geography, by South Asian Imagine Affandi, National Archive International Print Triennial, Kanagawa, Yokohama, Japan • Indonesia • Membaca Frida Kahlo, Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia • Artchipelago Alert, Tonyraka Contemporary Art Gallery, Ubud, Bali, Contemporaneity/Contemporary Art in Gallery, Berlin, Germany • Quota 2007, Langgeng - Icon Gallery, Jakarta, Indonesia • • 2001 Space/spacing, Semarang Gallery, Semarang, Indonesia and Institution, Us as Institution, Times • Res Publicum, Canna Gallery, Jakarta, Indonesia Gallery, Canberra, Australia • Sip! Indonesian Art Today, ARNDT Gallery, Gillman Barracks, Singapore contemporary space, Tai Pei, Taiwan. Art Museum, Singapore • CP Open Biennalle, Jakarta, Indonesia Things Happen When We Remember Asian Modernism, Japan Foundation, Tokyo, Japan 1994 • Jakarta Biennial Contemporary Art, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia 1993 • Baguio Art Festival, Baguio, The • Philippines • Asia-Pacific Triennial of Contemporary Australia • • • • 1973 • Anugerah Adhikarya Rupa 2014 Award, from Minister of Tourism and Creative Economy, Indonesia Kelompok Lima Pelukis Muda (KLPM), Yogyakarta and Solo, Indonesia Prince Clause Fund Laureate Award 2014 Marzuki, Jakarta, Indonesia Artist Regional Exchange (ARX 3), Perth, Artists Week, Adelaide Festival, 1987 Pasar Raya Dunia Fantasi, Seni Rupa Baru (SRB) Proyek I, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia 1985 • • All Indonesia Painting I, Taman Ismail Australia Adelaide, Australia • 2014 Indonesia Art, Queensland Art Gallery, Brisbane, 1992 Black December movement, Jakarta, Proses 85, Art on the Environment, Artist in Residences 2002-2003 • The Amsterdam Grafisch Atelier, Amsterdam, Netherland 1992 • School of Art, the South Australian University, Adelaide, Australia Galeri Seni Rupa Ancol, Jakarta, Indonesia 1982 • Environmental art, Parangtritis Beach, Yogyakarta, Indonesia 1979 • Gerakan Seni Rupa Baru (New Art Movement III), Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia 1977 • Gerakan Seni Rupa Baru (New Art Movement II), Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia 1976 • Concept, New At Movement, Balai Budaya, Jakarta, Indonesia 1975 • Established New Art Movement (Gerakan Seni Rupa Baru) with 10 young artists (Institut Teknologi Bandung and Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta), Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Indonesia 1974 70 FX Harsono solo exhibition Public Collections • Fukuoka Asian Art Museum, Japan • Ullen Foundation Collection • Singapore Art Museum • National Gallery of Singapore, Singapore • Sherman Foundation, Sydney, Australia • National Gallery of Victoria, Melbourne, Australia • National Gallery of Australia, Canberra, Australia • Gallery of Modern Art, Queensland, Australia • OHD Museum, Magelang, Indonesia • Arthub Asia, Far East Far West collection, Shanghai • The National Gallery of Indonesia Awards 71 Things Happen When We Remember Selasar Sunaryo Art Space Managing Organization Program Advisor/ Director: Sunaryo & Siswadi Djoko Bale Tonggoh Coordinator: Yus Herdiawan Program Manager: Elaine V.B. Kustedja Program Interns: Abdul Fatah bin Ali, Muhammad Faishal Shafwan bin Matsah General Affairs: Yanni Aman Finance: Conny Rosmawati & Rita F. Documentation: Diah Handayani Information & Technology: Maksi Nirwanto Frontdesk: Irma Melati Librarian: Ola Triana Martasutisna Exhibition Display: Cecep Hadiat, Yadi Aries, Ismail, Ade Sutisna Security: Suherman, Cucu Suanda, Yusuf Ashari, Fuad Photographer: Adi Rahmatullah, Adnan Hutomo Putra, Meilanti Asriana Mentari Videographer: Muhammad Akbar, Adnan Hutomo Putra, Meilanti Asriana Mentari Exhibition Guide: Ira N. Irianto, Mira Rizki Kurnia, Dea Aprilia, Diana N.Hari Translator: Mitha Budhiyarto Graphic Design: Joko Suharbowo MEDIA PARTNER: infobandung, dewi Magazine Jl. Bukit Pakar Timur No. 100 Bandung t. +62 22 2507939 f. +62 22 2516508 e. [email protected] www.selasarsunaryo.com Buka setiap hari pukul 10.00 - 17.00 wib Senin dan hari libur nasional tutup 72 FX Harsono solo exhibition 73 Things Happen When We Remember 74 FX Harsono solo exhibition