- Perpustakaan Kemenkeu
Transcription
- Perpustakaan Kemenkeu
KATA PENGANTAR Piutang Negara merupakan bagian dari kekayaan negara yang oleh undang-undang diserahkan pengelolaannya kepada Menteri Keuangan. Oleh karena itu piutang negara harus dikelola secara tertib, efektif, efisien, transparan, bertanggungjawab, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dalam rangka pengelolaan piutang negara tersebut terdapat 2 (dua) unit organisasi di lingkungan Departemen Keuangan, yaitu Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN). Kedua unit organisasi tersebut berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Menteri Keuangan. Tujuan dibentuknya PUPN dan DJPLN tidak terlepas dari tujuan pemerintah untuk mengamankan kekayaan negara yang berupa piutang. Piutang negara tersebut berasal dari instansi pemerintah dan badan-badan yang modalnya sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh negara. Pengamanan/pengembalian piutang negara tersebut tidak akan tercapai dengan segera bila dilakukan menurut prosedur biasa, yaitu melalui badan peradilan berdasarkan hukum acara perdata (HIR : Herizene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941 No.44). Dalam menyelesaikan piutang negara, PUPN dan/atau DJPLN menempuh prosedur khusus (Lex Specialis) yaitu prosedur pengurusan piutang sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 beserta segenap peraturan pelaksanaannya yang tertuang dalam berbagai Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya PUPN dan/atau DJPLN juga memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait, seperti Undang-undang Keimigrasian, Undang-undang Keuangan Negara, Undang-undang Perbendaharaan Negara dan undang-undang lainnya. Penulisan buku ini difokuskan pada pengenalan prosedur pengurusan Piutang Negara, khususnya prosedur yang lebih bersifat non eksekusi, sedangkan yang bersifat eksekusi akan diuraikan dalam buku tersendiri. Materi yang akan dibahas antara lain meliputi dasar hukum, tujuan dan asas-asas dalam pengurusan piutang negara, beberapa pengertian penting, berbagai instansi yang juga melakukan pengurusan piutang negara, prosedur penyerahan dan penerimaan pengurusan piutang negara, pengurusan piutang negara secara khusus termasuk pendekatan pengurusan non eksekusi, ii Kata Pengantar pengelolaan barang jaminan, upaya pencegahan debitor bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia, pemeriksaan dalam pengurusan piutang negara, tata cara penghapusan piutang negara, biaya pengurusan piutang negara serta pengurusan piutang negara secara spesifik. Dengan berbagai keterbatasan baik kemampuan, waktu maupun kesempatan, penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan sumbangan pikiran, usul maupun kritik dari pihak manapun sebagi bahan masukan yang tentunya sangat bermanfaat bagi penyempurnaan buku ini. Pada kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih yang sebesar besarnya kepada: 1. Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Departemen Keuangan beserta segenap jajarannya, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menulis buku ini; 2. Segenap Pimpinan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang memberikan izin kepada penulis untuk mewujudkan buku ini; 3. Para pihak yang telah membantu dengan memberikan masukan-masukan, serta kritik dan saran yang memperkaya penulisan buku ini. Akhirnya penulis berharap agar kiranya buku ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara bidang Spesialisasi Piutang Negara dan Lelang, para stakeholder PUPN/DJPLN, seperti para debitor/Penanggung Hutang, kreditor/Penyerah Piutang, dan masyarakat umum seperti para praktisi hukum, akademisi, dan masyarakat lain yang berminat atau ingin memperoleh manfaat dari kinerja PUPN/DJPLN. Jakarta, Oktober 2005 Penulis, Samsul Chorib Boedirijanto Andy Pardede DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi i iii Bab 1 Pengertian Pengurusan Piutang Negara Pendahuluan Pengertian Piutang Negara Institusi yang Dapat Melakukan Pengurusan Piutang Negara Terminologi dalam Pengurusan Piutang Negara Hubungan antara Penyerah Piutang, Penanggung Hutang, dan Penjamin Hutang Rangkuman Latihan 1 2 3 9 15 Bab 2 Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara Pendahuluan Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara Rangkuman Latihan 29 30 31 50 51 Bab 3 Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara Pendahuluan Tujuan Pengurusan Piutang Negara Asas-asas Pengurusan Piutang Negara Rangkuman Latihan 53 54 54 56 83 84 Bab 4 Instansi yang Mengurus Piutang Negara Berdasarkan Undang-undang No. 49 Prp. Tahun 1960 Pendahuluan Perkembangan Kelembagaan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) 23 25 27 85 86 86 iv Daftar Isi Perkembangan Kelembagaan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara Tugas, Fungsi, dan Struktur Organisasi DJPLN sesuai Kepmenkeu No. 302/KMK.01/2004 Visi dan Misi DJPLN Rangkuman Latihan Bab 5 Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara Pendahuluan Prosedur Pengurusan Piutang Negara Penyerahan Pengurusan Piutang Negara Penelitian Dokumen Penyerahan dan Perhitungan Besarnya Piutang Negara Penolakan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara Registrasi, Hasil, dan Verifikasi Pengurusan Piutang Negara Rangkuman Latihan Bab 6 Pengurusan Piutang Negara secara Khusus Pendahuluan Due Process of Law Penagihan Piutang Negara dengan Surat Paksa, Sita, dan Lelang Berbagai Upaya/Sarana Hukum Lain yang Dapat Dilakukan PUPN/KP2LN Rangkuman Latihan Bab 7 Pendekatan non-Eksekusi dalam Pengurusan Piutang Negara Pendahuluan Penjualan Barang Jaminan Tidak Melalui Lelang Penebusan Barang Jaminan 105 115 138 139 140 143 144 145 149 157 160 165 177 178 181 182 183 191 193 196 196 205 206 207 211 v Pengurusan Piutang Negara Pemberian Keringanan Penyelesaian Hutang Rangkuman Latihan 216 236 237 Bab 8 Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain 239 Pendahuluan Penatausahaan Dokumen dan Fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain Pengamanan Dokumen dan Fisik Barang Jaminan dan /atau Harta Kekayaan Lain Pendayagunaan Barang Jaminan Rangkuman Latihan Bab 9 Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia Pendahuluan Pengertian Pencegahan Dasar Hukum Pencegahan Pihak yang Berwenang Melakukan Pencegahan Obyek Pencegahan Syarat Pencegahan Prosedur dan Tata Cara Penerbitan Keputusan Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia Rangkuman Latihan Bab 10 Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara Pendahuluan Dasar Hukum Tugas/Wewenang PUPLN/DJPLN untuk Melakukan Pengusutan/Pemeriksaan Definisi/Pengertian Pemeriksaan Tujuan, Obyek, dan Sasaran Pemeriksaan Syarat-syarat Pemeriksaan 240 241 245 249 251 252 255 256 257 258 258 260 262 264 269 270 275 276 277 278 280 281 vi Daftar Isi Petugas Pemeriksa Tata Cara Pemeriksaan Tindak Lanjut Pemeriksaan Rangkuman Latihan 282 283 286 288 289 Bab 11 Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara Pendahuluan Pelunasan Penarikan Pengurusan Piutang Negara Pengembalian Pengurusan Piutang Negara Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih Rangkuman Latihan 291 292 293 294 297 299 301 303 Bab 12 Penghapusan Piutang Negara Pendahuluan Dasar Hukum Penghapusan Piutang Negara Kewenangan Penghapusan Piutang Negara Persyaratan dan Prosedur Penghapusan Piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah Persyaratan Penghapus Tagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN)/Perusahaan Daerah (BUMD) Proses Penghapus Tagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN)/Perusahaan Daerah (BUMD) Rangkuman Latihan 305 306 309 314 Bab 13 Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara Pendahuluan Perkembangan Pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara Penerimaan Negara Bukan Pajak Tarif Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara 337 338 318 325 328 332 334 339 341 342 Pengurusan Piutang Negara Cara Pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara Rangkuman Latihan Bab 14 Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik Pendahuluan Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara Pengurusan Piutang Negara Atas Penanggung Hutang yang Dinyatakan Pailit atau Atas Barang Jaminan Milik Pihak Ketiga yang Dinyatakan Sebagai Boedel Pailit Pengurusan Piutang Negara dengan Barang Jaminan yang Diikat Sempurna Pengurusan Piutang Negara dengan Barang Jaminan yang Dibebani Hak Tanggungan Pengurusan Piutang Negara dengan Barang Jaminan yang Dibebani Jaminan Fidusia Rangkuman Latihan Daftar Pustaka Bio grafi Tim Penulis vii 343 346 347 349 350 351 354 357 357 360 361 364 365 369 BAB 1 PENGERTIAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA Sasaran Pembelajaran Setelah membaca dan mempelajari bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan memahami pengertian pengurusan piutang negara. Pemahaman tentang arti piutang negara dan arti pengurusan piutang negara sangat diperlukan untuk meminimalkan terjadinya permasalahan hukum sebagai akibat adanya perbedaan pemahaman tersebut. Pendahuluan 2 Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara Alinea pertama Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan rumusan sebagai berikut: “Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara, sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara”. Pengelolaan keuangan negara tersebut harus diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sebagai bagian dari upaya perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Selain itu, penyelenggaraan pengelolaan keuangan negara harus didasarkan pada penerapan kaidah-kaidah yang baik (best practices), seperti akuntabilitas yang berorientasi pada hasil, profesionalisme, proporsionalitas, keterbukaan, dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Di atas telah disebutkan bahwa hak negara yang dapat dinilai dengan uang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara, sehingga pengelolaan hak negara tersebut harus sejalan dan selaras dengan pengelolaan keuangan negara. Salah satu bentuk hak negara yang dapat dinilai dengan uang adalah piutang negara. Oleh karena itu, pengelolaan (pengurusan) piutang negara merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara. Agar sejalan dengan sistem dan tujuan pengelolaan kekayaan negara, maka pengurusan piutang negara harus juga diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab, serta menerapkan kaidah-kaidah yang baik dalam penelolaan kekayaan negara. Untuk itu, seluruh pihak yang terkait (stake holders) dalam pengurusan piutang negara perlu memiliki suatu kesamaan dalam pengertian piutang negara, pengertian pengurusan piutang negara itu sendiri, serta pengertian dari beberapa terminologi yang digunakan dalam pengurusan piutang negara. Pengertian-pengertian tersebut akan dijelaskan dalam uraian-uraian berikut. Pengertian Piutang Negara Pengurusan Piutang Negara 3 Pengertian piutang negara dapat ditemukan pada 2 undang-undang yang saat ini masih berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Di dalam buku ini, dan di dalam pelaksanaan pengurusan piutang negara yang saat ini masih berlangsung, pengertian piutang negara yang digunakan adalah pengertian yang ada pada Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Penentuan pengertian tersebut di dasarkan pada pertimbangan sesuai uraian berikut ini. Pengertian Piutang Negara Menurut Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 mendefinisikan piutang negara atau hutang kepada negara sebagai jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apapun. Penjelasan pasal tersebut menjabarkan piutang negara sebagai hutang yang: 1. langsung terhutang kepada negara dan oleh karena itu harus dibayar kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; 2. terhutang kepada badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki Negara, misalnya Bank-bank Negara, PT-PT Negara, Perusahaan-perusahaan Negara, Yayasan Perbekalan Persediaan, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dan penjelasannya tersebut dapat diketahui beberapa hal yang terkait dengan pengertian piutang negara, yaitu: 1. piutang negara adalah hutang yang wajib dibayar; 2. pihak yang wajib membayar piutang negara adalah orang per orang atau badan (berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960); 3. dasar terjadinya piutang negara atau hutang kepada negara: Ø suatu peraturan, misalnya: ü kewajiban pemegang konsesi pengusahaan hutan untuk membayar Iuran Hasil Hutan dan PSDH; ü kewajiban perusahaan untuk mengikutsertakan pegawainya dalam program JAMSOSTEK sehingga perusahaan tersebut harus membayar premi; ü pengenaan denda oleh BAPEPAM atas pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang telah masuk bursa; 4 Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara ü dan sebagainya; Ø suatu perjanjian, misalnya perjanjian kredit antara Bank BUMN dengan Debitor, perjanjian kontrak kerja antara suatu departemen dengan perusahaan kontraktor, tagihan rekening listrik dari PT. PLN (Persero), tagihan rekening air dari PDAM, tagihan rekening telepon dari PT. TELKOM (Persero), tagihan rumah sakit, dan sebagainya; atau Ø sebab apapun, misalnya tuntutan ganti atas kasus penggelapan uang oleh Pegawai Negeri Bendahara, dan sebagainya. 4. pengertian negara adalah: Ø Pemerintah Pusat, seperti Departemen/Kementerian, Lembaga Negara Non Departemen, Sekretariat Lembaga Tertinggi Negara, dan Sekretariat Lembaga Tinggi Negara; Ø Pemerintah Daerah, Instansi-instansi Pemerintah di daerah baik tingkat Provinsi, Kabupaten, maupun Kota; dan Ø Badan-badan yang secara langsung dikuasai oleh negara, seperti BUMN dan BUMD; dan Ø Badan-badan yang secara tidak langsung dikuasai oleh negara, seperti anak perusahaan (subsidiary) BUMN/BUMD (misalnya PT. Telkomsel yang merupakan anak perusahaan PT. TELKOM (Persero); 5. hutang pajak merupakan piutang negara, tetapi penagihannya dilakukan dengan undang-undang khusus bidang pajak. Pengertian negara sebagaimana yang diuraikan di atas adalah pihakpihak yang memiliki piutang negara. Pihak-pihak tersebut terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Badan-badan yang secara langsung maupun tidak langsung dikuasai negara. Pengertian yang luas atas definisi pihak yang berpiutang negara tersebut disebabkan oleh situasi hukum, sosial kemasyarakatan, dan keadaan politik pada pada saat penyusunan Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yaitu sebagai berikut: 1. di dalam sistem pengelolaan keuangan negara, yang masih berdasarkan Undang-undang Perbendaharaan Indonesia / Indische Comptabiliteitswet (ICW Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448, sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968), terdapat juga Peraturan Keuangan Perusahaan Negara Indonesia / Indische Bedrijvenwet (IBW Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419 jo. Staatsblad Tahun 1936 Nomor 445). IBW tersebut mengatur ketentuan tentang pengelolaan kekayaan perusahaan negara, dan kaitannya dengan keuangan negara. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka pengelolaan Pengurusan Piutang Negara 5 keuangan perusahaan negara (BUMN/BUMD) dimasukkan ke dalam sistem pengelolaan keuangan negara, dan pada gilirannya menyebabkan pengurusan piutang BUMN/BUMD dan piutang anak perusahaan BUMN/BUMD diikutsertakan dalam pengurusan piutang negara secara umum; 2. sistem pemerintahan belum melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah, sehingga roda pemerintahan termasuk pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terpusat oleh Pemerintah Pusat. Keadaan ini menyebabkan pengurusan piutang pemerintah daerah, termasuk pengurusan piutang BUMD dan pengurusan piutang anak perusahaan BUMD juga dilaksanakan sejalan dengan pelaksanaan pengurusan piutang Pemerintah Pusat. Pengertian Piutang Negara Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 mendefinisikan piutang negara sebagai jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui beberapa hal yang terkait dengan piutang negara, yaitu: 1. Piutang negara adalah: Ø sejumlah uang yang wajib dibayar oleh orang per orang atau badan; dan/atau Ø hak negara yang dapat dinilai dengan uang. Hak ini tentu harus diupayakan untuk ditagih. 2. Piutang negara tersebut terjadi karena: Ø suatu perjanjian, misalnya perjanjian kontrak kerja antara suatu departemen dengan perusahaan kontraktor, dan sebaginya; Ø suatu peraturan, misalnya • kewajiban pemegang konsesi pengusahaan hutan untuk membayar Iuran Hasil Hutan dan Dana Reboisasi; • pengenaan denda oleh BAPEPAM atas pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang telah masuk bursa; 6 Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara • dan sebagainya; Ø akibat lainnya yang sah, misalnya tuntutan ganti atas kasus penggelapan uang oleh Pegawai Negeri Bendaharawan, dan sebagainya. 3. Pengertian Negara adalah Pemerintah Pusat yang terdiri dari Kementerian Negara, Lembaga Negara atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian Negara (berdasarkan Pasal 1 angka 20 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004). Berdasarkan uraian di atas, pihak yang memiliki piutang negara hanyalah Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah Daerah tidak memiliki piutang negara tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 undang-undang yang sama, hanya memiliki Piutang Daerah. Selain itu, piutang negara juga tidak termasuk piutang Badan-badan yang secara langsung maupun tidak langsung dikuasai negara. Dibandingkan dengan pengertian pemilik piutang negara berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, pengertian pemilik piutang negara berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 sangatlah sempit. Keadaan tersebut tersebut disebabkan oleh perkembangan situasi hukum, sosial kemasyarakatan, dan keadaan politik pada pada saat penyusunan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, yaitu antara lain: 1. Undang-undang Perbendaharaan Indonesia/Indische Comptabiliteitswet (ICW Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448, sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968) dan Peraturan Keuangan Perusahaan Negara Indonesia / Indische Bedrijvenwet (IBW Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419 jo. Staatsblad Tahun 1936 Nomor 445) telah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak berlakunya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dengan tidak berlakunya ketentuan tentang IBW tersebut, maka pengelolaan keuangan perusahaan negara (BUMN/BUMD) tidak lagi dimasukkan ke dalam sistem pengelolaan keuangan negara, dan pada gilirannya menyebabkan pengurusan piutang BUMN/BUMD dan piutang anak perusahaan BUMN/BUMD tidak dimasukkan sebagai bagian dalam pengurusan piutang negara secara umum. 2. Sistem pemerintahan telah melaksanakan azas desentralisasi dan otonomi daerah, sehingga telah ada pembagian dan perimbangan roda pemerintahan, termasuk pengelolaan keuangan negara, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Keadaan ini menyebabkan piutang Pemerintah Daerah, tidak termasuk dalam lingkup piutang negara. 7 Pengurusan Piutang Negara Perbandingan Pengertian Piutang Negara Berikut ini tabel perbandingan pengertian piutang negara berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan pengertian berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Tabel 1.1. Perbandingan Pengertian Piutang Negara PENGERTIAN BERDASARKAN NO. URAIAN UU No. 49 Prp. Tahun 1960 1. definisi piutang 2. dasar terjadinya a. suatu perjanjian; piutang b. suatu peraturan; atau c. akibat lainnya 3. pemilik Negara UU No. 1 Tahun 2004 hutang kepada negara yang a. sejumlah uang yang wajib dibayar oleh orang per wajib dibayar oleh orang orang atau badan per orang atau badan; dan/atau b. hak negara yang dapat dinilai dengan uang. piutang a. b. c. d. Pemerintah Pusat; Pemerintah Daerah; BUMN/BUMD; Subsidiary BUMN/BUMD a. suatu perjanjian; b. suatu peraturan; atau c. akibat lainnya yang sah. Pemerintah Pusat 8 Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang sangat menyolok dari kedua pengertian piutang negara di atas adalah perbedaan pihak-pihak pemilik piutang negara. Namun demikian, sebagaimana diuraikan di atas, dalam pengurusan piutang negara yang sampai saat ini masih dilaksanakan, pengertian piutang negara yang dianut adalah pengertian berdasarkan Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, undang-undang yang sampai saat ini masih berlaku dan belum dicabut. Pengertian Pengurusan Piutang Negara Pengurusan piutang negara yang dilaksanakan saat ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara1. Undang-undang tersebut walaupun hanya berisi 15 Pasal tapi telah mengatur tentang subyek, obyek, dan proses pengurusan piutang negara. Proses pengurusan piutang negara yang diatur dalam undang-undang tersebut ditujukan untuk memperoleh hasil pengurusan yang lebih cepat dan efektif dibandingkan hasil pengurusan bila ditempuh cara pengurusan melalui jalur hukum (Lembaga Peradilan) yang akan memakan waktu lama (melalui pengadilan tingkat pertama, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Guna mendukung proses yang cepat dan efektif tersebut, subyek yang melakukan pengurusan piutang negara diberi kewenangan khusus yang disebut dengan istilah “parate eksekusi” yaitu kewenangan untuk menerbitkan keputusankeputusan yang mempunyai kekuatan seperti keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti (in kracht van gewijsde). Upaya percepatan dan efektivitas pengurusan piutang negara tersebut memiliki tujuan masing-masing, yang bila dicermati keduanya bermuara pada upaya penyelamatan keuangan negara. Tujuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Upaya percepatan proses pengurusan negara ditujukan untuk efisiensi sumber daya yang digunakan, seperti waktu, biaya, dan tenaga. Efisiensi tersebut tidak lain adalah bagian dari upaya penghematan keuangan negara, yang pada gilirannya dapat diartikan sebagai salah satu bentuk penyelamatan keuangan negara. 2. Upaya peningkatan efektivitas pengurusan piutang negara ditujukan untuk memaksimalkan hasil pengurusan piutang negara. Semakin maksimal hasil pengurusan yang diperoleh, maka semakin banyak kekayaan negara yang diselamatkan dari piutang macet. Dengan demikian peningkatan efektivitas 1 Uraian lengkap tentang dasar hukum dan sumber hukum pengurusan piutang negara akan dijelaskan pada Bab-bab selanjutnya Pengurusan Piutang Negara 9 pengurusan piutang negara, pada dasarnya merupakan salah satu upaya dalam penyelamatan keuangan negara. Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa upaya percepatan dan peningkatan efektivitas hasil pengurusan piutang negara pada akhirnya ditujukan pada upaya penyelamatan keuangan negara. Dengan demikian, pengurusan piutang negara dapat diartikan sebagai proses kegiatan yang secara khusus dilakukan untuk mengurus piutang negara dalam rangka penyelamatan keuangan negara. Institusi yang Dapat Melakukan Pengurusan Piutang Negara Terdapat beberapa instansi yang berwenang menyelesaikan piutang macet, yaitu: Pengadilan Negeri Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, yang meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Berdasarkan Pasal 47 Undang-undang tersebut telah diatur bahwa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk yang baru berdasarkan Undang-undang ini. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang memuat aturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut di atas atau belum dibentuk ketentuan yang baru berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut. Aturan main yang masih berlaku tersebut menentukan batas yurisdiksi untuk setiap badan peradilan. Khusus mengenai permasalahan sengketa perkreditan, yurisdiksi termasuk kewenangan lingkungan Peradilan Umum, sehingga badan peradilan yang secara resmi bertugas menyelesaikan kredit macet bila disengketakan adalah Pengadilan Negeri. 10 Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara Penyelesaian sengketa kredit macet dapat diselesaikan melalui Peradilan Umum dengan beberapa cara, yaitu: 1. Pemilik Piutang menggugat nasabah karena telah melakukan wanprestasi atas perjanjian kredit yang telah disepakati. Pemilik Piutang (Kreditor) dapat menggugat debitor yang melakukan wanprestasi dengan tidak membayar hutang pokok maupun bunga ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dalam hal ini akan memproses gugatan tersebut dengan mempertimbangkan bukti-bukti dan sanggahan yang diajukan oleh kedua belah pihak. Apabila proses pemeriksaan selesai dilakukan, Pengadilan Negeri akan mengeluarkan putusan. Putusan tersebut dilaksanakan dengan sita eksekusi atas agunan yang diberikan untuk kepentingan pelunasan hutang. Proses beracara di lembaga peradilan ini, dapat berlangsung sampai pada tahap Kasasi di Mahkamah Agung. Kondisi ini dapat menyebabkan lambatnya hasil dan rendahnya tingkat pengembalian kredit, sehingga pengurusan piutang negara melalui cara ini dipandang kurang efektif dan efisien (hal inilah yang mendasari pembentukan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara). 2. Pemilik Piutang meminta penetapan Pengadilan Negeri tentang sita eksekusi terhadap barang agunan debitor yang telah diikat secara sempurna. Terhadap barang agunan debitor yang telah diikat secara sempurna, seperti dengan cara hipotik (Pasal 224 HIR jo PMA Nomor 15 Tahun 1961), crediet verband (Stb. 1908 Nomor 542 jo Stb. 1937 Nomor 190), atau Hak Tanggungan (Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996) maka pemilik piutang dapat langsung mengajukan permohonan penetapan sita eksekusi barang agunan untuk dapat memperoleh pelunasan piutangnya tanpa harus melalui proses gugatan biasa di Pengadilan. Sebelum mengajukan penetapan eksekusi, pemilik piutang terlebih dahulu harus mendaftarkan barang agunan dimaksud ke Pengadilan untuk memenuhi prinsip “openbar” yang menentukan kepastian hukum kapan pengikatan barang agunan tersebut mempunyai kekuatan mengikat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 198 dan 199 HIR serta berdasarkan azas ketertiban umum bahwa pengikatan barang agunan mempunyai kekuatan mengikat kepada pihak ketiga, terhitung sejak tanggal diterbitkannya sertifikat hipotik/crediet verband/hak tanggungan oleh kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan pendaftaran conservatoir beslag (CB) dan sita eksekusi yang merupakan kewajiban juru sita, sehingga apabila bank lalai mendaftarkan dan ada kreditur lain yang telah terlebih dahulu Pengurusan Piutang Negara 11 mendaftarkan barang agunan yang sama, hal ini akan merugikan bank karena pelaksanaan eksekusi akan terhambat. Dalam praktek, sita eksekusi (eksekutorial beslag) atau conservatoir beslag yang diajukan oleh bank dapat ditangguhkan pelaksanaannya, karena pengadilan mengabulkan conservatoir beslag yang diajukan pihak lain, ikut campurnya pihak III dalam perkara (derdenverzet), atau pihak ke III mengajukan gugatan kepada pemilik agunan. Hal semacam ini sering dimanfaatkan oleh debitor yang merekayasa perjanjian kredit baru dengan pihak ke III pada waktu agunannya akan di eksekusi oleh pengadilan. 3. Pemilik Piutang bersama dengan satu atau lebih kreditor lain yang memiliki tagihan kepada debitor yang sama mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga (yang berada dalam lingkungan peradilan umum), untuk memailitkan debitor yang bersangkutan. Mekanisme kepailitan tersebut diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kejaksaan Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Berdasarkan ketentuan tersebut, peranan kejaksaan dalam bidang hukum perdata dapat disejajarkan dengan Government’s Law Office atau Advokat/ Pengacara Negara. Dengan peran tersebut, Kejaksaan dapat mewakili bank milik negara dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum, yang timbul dari hubungan pemberian kredit antara bank dengan debitor bilamana debitor tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) kepada bank. Dalam pelaksanaan pemberian kuasa tersebut, Kejaksaan diartikan sebagai pihak terafiliasi sehingga berkewajiban memenuhi ketentuan mengenai rahasia bank sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam pelaksanaan penyelesaian masalah hukum yang timbul dalam hubungan antara bank dengan nasabahnya antara lain dalam hubungan pemberian kredit perlu dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 12 Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara 1. Untuk menangani masalah hukum yang bersifat perdata dalam hubungan bank dengan nasabahnya, bank dapat memberikan Surat Kuasa Khusus kepada Kejaksaan. 2. Dengan surat kuasa tersebut kejaksaan termasuk dalam kategori pihak terafiliasi yang berkewajiban mematuhi ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk ketentuan rahasia bank. 3. Sebagai penerima kuasa, Kejaksaan bertindak untuk dan atas nama bank tanpa adanya pelepasan/penagihan hak tagih bank terhadap debitor. 4. Sebagai pengacara Kejaksaan akan menghormati rahasia klien termasuk bank yang telah memberikan kuasa kepadanya. Badan Arbitrase Cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini diperlukan oleh para pihak karena cara penyelesaian melalui gugatan perdata di Pengadilan memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Dasar hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam klausul arbitrase tersebut biasanya ditetapkan cara-cara penunjukan arbitrase (wasit) dan susunan tim arbiter yang akan memutuskan sengketa yang mungkin terjadi. Tim arbiter ini hanya berwenang memutuskan sengketa jika sebelumnya telah ada kesepakatan antara kedua pihak untuk tidak menyelesaikan sengketa melalui pengadilan melainkan melalui arbitrase yang dituangkan dalam suatu perjanjian tersendiri. Tanpa adanya kesepakatan dimaksud lembaga arbitrase tidak sah dan keputusannya tidak mempunyai kekuatan hukum. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Dasar pembentukan BPPN adalah berdasarkan Pasal 37A Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang menetapkan bahwa: 1. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank Pengurusan Piutang Negara 13 Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan. 2. Badan khusus tersebut melakukan program penyehatan terhadap bankbank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada badan dimaksud. Yang dimaksud dengan kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional adalah suatu kondisi sistem perbankan yang menurut penilaian Bank Indonesia terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang berdampak kepada hajat hidup orang banyak. Menurut ketentuan ini, atas piutang bank terhadap pihak ketiga yang diambil-alih oleh badan khusus, badan khusus tersebut dapat melakukan tindakan penagihan piutang dengan penerbitan “Surat Paksa”, dengan berdasarkan pada catatan utang debitor yang bersangkutan pada bank dalam program penyehatan. Surat Paksa ini berkepala kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dalam hal tindakan penagihan piutang tidak diindahkan oleh pihak berhutang, badan khusus tersebut dapat melakukan penyitaan atas harta kekayaan milik pihak yang berhutang tersebut, dan selanjutnya dapat melakukan pelelangan atas harta pihak yang berhutang dalam rangka pengembalian piutang dimaksud. Harta yang tidak dapat disita meliputi perlengkapan rumah tangga, buku-buku, dan peralatan kerja untuk kelangsungan hidup dari yang berhutang. Walaupun badan khusus ini diberi kewenangan untuk melakukan penagihan paksa, tata cara pelaksanaan penagihan paksa tersebut tetap memperhatikan aspek kepastian hukum dan keadilan. Badan khusus yang melakukan tugas penyehatan perbankan pada saat itu adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mempunyai tugas melakukan Penyehatan Bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia: 1. Penyelesaian aset Bank baik aset fisik maupun kewajiban debitor melalui Unit Pengelola Aset (Aset Management Unit/AMU). 2. Pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bankbank. Dengan demikian timbul titik singgung antara kewenangan badan khusus dimaksud (BPPN/AMU) dengan kewenangan yang dimiliki oleh PUPN/DJPLN. Adapun perbedaannnya terletak pada obyek pengurusan, dimana PUPN/DJPLN menangani kredit macet bank-bank BUMN, sedangkan 14 Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara BPPN selain menangani kredit macet bank BUMN juga menangani kredit macet perbankan swasta. Di muka telah dikemukakan bahwa eksistensi BPPN bersifat sementara. Pada tanggal 27 Februari 2004 Pemerintah mengakhiri tugas dan membubarkan BPPN melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pengakhiran Tugas Dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Selanjutnya, dalam rangka penyelesaian pengakhiran tugas BPPN Pemerintah membentuk Tim Pemberesan BPPN melalui Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Tim Pemberesan BPPN. Ketua Tim Pemberesan tersebut adalah Menteri Keuangan. Selain itu, untuk mengelola aset-aset bank dalam program penyehatan perbankan yang semula dikelola BPPN dan saat ini sudah tidak terkait permasalahan hukum lagi, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004 telah membentuk suatu Perseroan Terbatas dengan nama PT. Perusahaan Pengelolaan Aset (PT. PPA). Namun, badan usaha dimaksud, dalam mengelola aset-aset eks BPPN tersebut, tidak dilengkapi dengan kewenangan parate eksekusi. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, PUPN bertugas menyelesaikan piutang negara yang telah diserahkan kepadanya oleh instansi pemerintahan atau badan-badan negara. Oleh karena itu, berdasarkan undang-undang tersebut, penyelesaian masalah kredit macet bagi instansi pemerintahan atau badan-badan negara wajib dilakukan melalui PUPN, dimana dengan adanya penyerahan kredit macet kepada PUPN, secara hukum wewenang penguasaan atas hak tagih dialihkan kepada PUPN. Pengurusan piutang negara dimaksud dilakukan dengan membuat surat Pernyataan Bersama antara PUPN dan debitor tentang besarnya jumlah hutang dan kesanggupan debitor untuk menyelesaikannya. Pernyataan Bersama tersebut mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan hukum tetap, sehingga pernyataan tersebut mempunyai titel eksekutorial. Jika debitor menolak membuat Pernyataan Bersama (PB), ketua PUPN dapat menetapkan sendiri besarnya jumlah hutang melalui penerbitan PJPN (Penetapan Jumlah Piutang Negara). Pemberlakukan ketentuan tentang PJPN tersebut merupakan pelaksanaan Pasal 14 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 yang mengamanatkan Menteri Keuangan untuk menetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut. Produk hukum PJPN yang diterbitkan oleh PUPN tersebut dikenal dan diakui dalam putusan Mahkamah Pengurusan Piutang Negara 15 Agung antara lain Keputusan Mahkamah Agung Nomor 1500 K/SIP/1978 tanggal 2 Januari 1980 dan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 1267/k/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986. Apabila ketentuan yang telah disepakati dalam PB tidak dipenuhi oleh debitor, PUPN dapat memaksa debitor untuk membayar seluruh hutang dengan surat paksa. Selanjutnya bila surat paksa tidak dilaksanakan oleh debitor, maka PUPN akan melaksanakan penyitaan dan pelelangan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik debitor. Dengan demikian penagihan piutang negara dilakukan sesuai dengan azas parate eksekusi. Selain itu, PUPN juga diberi kewenangan untuk melakukan Paksa Badan terhadap Penanggung Hutang yang tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan hutangnya walaupun yang bersangkutan mempunyai kemampuan untuk itu. Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa pengurusan piutang negara oleh PUPN menganut asas percepatan, efektifitas, dan efisiensi dalam mengupayakan pengembalian piutang negara. Terminologi Dalam Pengurusan Piutang Negara Selain pengertian tentang pengurusan piutang negara dan pengertian piutang negara itu sendiri, terdapat beberapa terminologi lain yang digunakan dalam pengurusan piutang negara. Pemahaman tentang terminologi tersebut perlu disepakati bersama, guna meminimalisasi kemungkinan terjadinya permasalahan hukum sebagai akibat perbedaan pengertian atas terminologi tersebut. Penyerah Piutang Penyerah Piutang adalah pemilik piutang negara yang menyerahkan pengurusan piutangnya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Pemilik piutang negara, sebagaimana telah diuraikan pada sub bab sebelum ini, berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 adalah: 1. Pemerintah Pusat, seperti Departemen, Lembaga Negara Non Departemen, Sekretariat Lembaga Tertinggi Negara, dan Sekretariat Lembaga Tinggi Negara; 2. Pemerintah Daerah, baik Provinsi, Kabupaten, maupun Kota; dan 3. Badan-badan yang secara langsung dikuasai oleh negara, seperti BUMN dan BUMD; dan 16 Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara 4. Badan-badan yang secara tidak langsung dikuasai oleh negara, seperti anak perusahaan (subsidiary) BUMN/BUMD (misalnya PT. Telkomsel yang merupakan anak perusahaan PT. TELKOM (Persero). Pemilik piutang tersebut di atas, berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 diwajibkan menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN. Setelah para pemilik piutang tersebut di atas menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN, status pemilik piutang tersebut menjadi Penyerah Piutang. Secara umum terminologi Penyerah Piutang dikenal sebagai Kreditor, karena pada dasarnya Penyerah Piutang adalah sama dengan Kreditor yang adalah pihak yang berpiutang/yang memiliki piutang. Di dalam operasional pengurusan piutang negara, Penyerah Piutang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Penyerah Piutang Perbankan, baik yang berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara, maupun milik Daerah (BUMN/BUMD). 2. Penyerah Piutang Non Perbankan, yang terdiri dari: Ø Instansi Pemerintah dan Lembaga Negara, yang terdiri dari: • Lembaga-Lembaga Tinggi Negara (LLTN) dalam hal ini Sekretariat Jenderal atau Biro Keuangan yang berperan selaku Penyerah Piutang. • Kementerian Negara. • Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) Ø Pemerintah Daerah. Ø BUMN/BUMD Non Perbankan, yang terdiri dari badan usaha yang melakukan kegiatan di luar usaha perbankan, dan Badan/Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang terdiri dari: 1) Perusahaan Asuransi. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang tidak diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. 2) Lembaga-Lembaga Pembiayaan. Pengurusan Piutang Negara 17 Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik (menghimpun) dana secara langsung dari masyarakat. Agar lembaga pembiayaan tidak menyerupai perbankan khususnya kegiatan di sisi pasiva, maka lembaga pembiayaan dilarang untuk: Ø menerbitkan surat sanggup bayar (promissory notes) kecuali sebagai jaminan atas hutang kepada bank yang menjadi krediturnya; Ø memberikan jaminan dalam segala bentuknya kepada pihak lain. Bidang usaha Lembaga Pembiayaan (menurut Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1998) adalah sebagai berikut: Sewaguna Usaha (leasing) Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala disertai hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal tersebut atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati. Jenis-jenis usaha leasing: Financial Leasing Lessee (penyewa) yang membutuhkan barang modal menentukan sendiri jenis serta spesifikasi barang yang dibutuhkan dan mengadakan negosisasi langsung dengan suplier mengenai harga. Lessor akan mengeluarkan dana untuk membayar barang kepada suplier dan selanjutnya barang tersebut diserahkan kepada lessee. Untuk itu lessee membayar rental yang secara keseluruhan akan meliputi harga barang yang dibayar lessor ditambah faktor bunga serta keuntungan untuk lessor. Operating Lease Lessor membeli barang dan menyewakan kepada lessee. Lessee membayar rental sedangkan lessor bertanggung jawab atas perawatan barang tersebut. Anjak Piutang (Factoring) 18 Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara Pembiayaan anjak merupakan penjualan piutang dagang eksportir kepada perusahaan factoring untuk mendapatkan uang tunai dengan cara membayar komisi tertentu. Jasa-jasa factoring antara lain: ü Pembiayaan jangka pendek/menengah. ü Asuransi kredit. ü Akuntansi pembukuan. Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance Co.) Adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran/berkala. Pembiayaan konsumen merupakan perusahaan yang bergerak dalam pembiayaan konsumen. Kekayaannya berbentuk sewa beli dan berjatuh tempo jangka panjang, sedang sifat pasivanya adalah berbentuk promes yang berjangka menengah. Perusahaan Perdagangan Surat Berharga (Securities Co.) Adalah perusahaan efek yaitu badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang/tagihan jangka pendek suatu perusahaan dalam transaksi perdagangan dalam dan luar negeri. Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Co.) Adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal kedalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee Co) untuk jangka tertentu. Pasar Modal Adalah tempat/sarana mendapatkan dana murah dalam jangka panjang bagi perusahaan publik dan tempat menanamkan modal bagi investor. Pihak-pihak yang terlibat dalam pasar modal : Ø Kelompok instansi pemerintah yang terdiri dari Bapepam, BPKM, Departemen Kehakiman, dan departemen teknis yang berfungsi memberi ijin usaha. Ø Kelompok lembaga swasta yang terdiri dari notaris, konsultan hukum, akuntan publik, penilai, konsultan efek dan bursa efek. 19 Pengurusan Piutang Negara Kelompok pelaku pasar modal meliputi emiten, investor, penjamin emisi, penanggung, wali amanat (trustee), perantara perdagangan efek (broker/pialang), pedagang efek (dealer), perusahaan surat berharga (securities company), perusahaan pengelola dana (investment company), dan Biro Administrasi Efek. Dana Pensiun Perusahaan dana pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program pensiun (berdasarkan peraturan yang berlaku terkait dengan dana pensiun) yang menjanjikan manfaat yang dapat diperoleh setelah yang terjamin memasuki masa pensiun. Sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001, kegiatan usaha BUMN dibagi menjadi 12 sektor, yaitu: 1. Sektor Keuangan Non Perbankan, seperti PT. ASKRINDO, Perum SPU, dan sebagainya; 2. Sektor Logistik, yaitu Perum Bulog; 3. Sektor Pariwisata, yaitu hotel-hotel yang tergabung dalam PT. Hotel International Indonesia (Persero); 4. Sektor Energi, seperti PT. PLN (Persero); 5. Sektor Komunikasi, seperti PT. TELKOM (Persero); 6. Sektor Konstruksi, seperti PT. Istaka Karya (Persero), PT. Hutama Karya (Persero), dan sebagainya; 7. Sektor Jasa Konsultan dan Industri Pendukung; 8. Sektor Pertambangan, seperti PT. Timah (Persero), PT. Aneka Tambang (Persero), dan sebagainya; 9. Sektor Industri Strategis, seperti PT. INKA (Persero), PT. Dirgantara Indonesia, dan sebagainya; 10. Sektor Kehutanan, seperti INHUTANI; 11. Sektor Kertas, Percetakan dan Penerbitan, seperti PERURI; 12. Sektor Agro Industri, seperti PERTANI. Secara garis besar Penyerah Piutang dapat digambarkan dalam skema berikut ini: Gambar 1.1. Bagan/Skema Penyerah Piutang - BUMN - Perbankan - Bank Mandiri Bank BNI BRI BTN - BUMD – Bank Pembangunan Daerah 20 Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara Penanggung Hutang Penanggung Hutang adalah badan atau orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan atau orang yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang. Secara yuridis formal, pengertian Penanggung Hutang tersebut dirumuskan dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN yang berbunyi: (1) Penanggung Hutang kepada negara ialah orang atau badan yang berhutang menurut perjanjian atau peraturan yang bersangkutan. (2) Sepanjang tidak diatur dalam perjanjian atau peraturan yang bersangkutan, maka para anggota pengurus dari badan-badan yang berhutang bertanggung jawab renteng terhadap hutang kepada negara. Dalam dunia perbankan, orang pribadi atau badan usaha yang berhutang kepada bank disebut juga dengan istilah debitor. Definisi tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 18 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi : Nasabah Debitor adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah Pengurusan Piutang Negara 21 atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Berdasarkan 2 definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Penanggung Hutang tidak lain adalah debitor dan dalam pengertian teknis yuridis disebut dengan istilah Peminjam. Penjamin Hutang Penjamin Hutang adalah badan atau orang yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang. Penjamin Hutang dalam lalu lintas hukum lazim disebut dengan istilah “borg”. Penjamin Hutang atau borg ini timbul sebagai akibat adanya suatu perjanjian yang dalam Buku Ketiga KUH Perdata disebut dengan perjanjian “Penanggungan Hutang” sebagaimana dijumpai dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850. Pasal 1820 KUH Perdata secara lengkap berbunyi sebagai berikut: “Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan pihak si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”. Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Borg/Penjamin Hutang merupakan pihak ketiga yang berjanji/menyanggupi kepada kreditor untuk menanggung pembayaran suatu hutang bilamana si debitor tidak menepati kewajibannya. 2. Perjanjian Penanggungan Hutang ini merupakan perjanjian accessoir (pelengkap) seperti halnya gadai dan hipotik, yang tidak mungkin timbul bila tidak ada perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang. 3. Mengingat borgtocht merupakan perjanjian pelengkap, maka terhadap seorang borg secara azasi tidak boleh dipikulkan syarat-syarat yang lebih berat melebihi beban yang menjadi kewajiban debitor (lihat Pasal 1822 KUH Perdata). Berdasarkan uraian di atas, kedudukan borg tidak sama dengan kedudukan debitor, kecuali borg/Penjamin Hutang yang bersangkutan telah 22 Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara melepaskan hak-hak istimewanya sebagaimana diatur dalam Pasal 1831 dan Pasal 1832 KUH Perdata. Hak-hak istimewa tersebut adalah: 1. jika ada penagihan, ia dapat meminta agar kreditor menagih/menuntut kepada debitor terlebih dahulu, jika perlu dengan menyita kekayaan si debitor; 2. jika terhadap suatu hutang terdapat beberapa borg/Penjamin Hutang, ia berhak meminta agar pembayaran hutang tersebut dipikul bersama-sama dengan borg lainnya; Sebenarnya dalam sistem hukum perdata telah diatur suatu mekanisme penjaminan dalam suatu perjanjian hutang-piutang yang pada prinsipnya menyatakan bahwa segala kebendaan (kekayaan) seseorang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan segala hutang-hutangnya (Subekti, hlm.181). Azas hukum atau mekanisme penjaminan tersebut diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Namun dalam praktek jaminan secara umum tersebut dipandang kurang memadai/kurang aman dengan alasan selain kekayaan debitor sewaktu-waktu bisa habis, dan mudah dialihkan (dijual), juga jaminan secara umum tersebut berlaku untuk semua kreditor, sehingga bila ada banyak kreditor, ada kemungkinan beberapa kreditor tidak lagi mendapat bagian. Seringkali terjadi dalam praktek seorang debitor, karena berbagai alasan, telah memperoleh pinjaman uang dari beberapa kreditor. Oleh karena itu seorang kreditor seringkali pula meminta untuk diberikan jaminan khusus berupa jaminan kebendaan (hipotik, gadai, fiducia) di samping jaminan perorangan yang dinamakan jaminan/perjanjian penanggungan hutang (borgtocht atau guaranty). Sebagaimana halnya borgtocth, perjanjian hipotik, pemberian gadai dan fiducia mempunyai kedudukan sebagai perjanjian accessoir (pelengkap atau tambahan) atas perjanjian pokoknya. Sesuai perkembangan dunia bisnis, saat ini dikenal adanya 2 jenis borg, yaitu borg perseorangan (Personal Guarantor) dan borg perusahaan (Corporate Guarantor). Perikatan pertanggungan tersebut dituangkan dalam perjanjian penanggungan hutang dengan nama masing-masing adalah Personal Guaranty dan Corporate Guaranty. Seorang borg/guarantor/Penjamin Hutang sebagai pihak ketiga dalam suatu perjanjian pinjam meminjam dapat menjadi penjamin hutang tanpa diminta oleh debitor bahkan dapat terjadi tanpa sepengetahuan si debitor itu sendiri. Hal ini adalah logis mengingat yang berkepentingan atas pengembalian suatu hutang adalah kreditor, bukan debitor. Bahkan berdasarkan Pasal 1823 KUH Perdata, seorang guarantor/borg dapat Pengurusan Piutang Negara 23 mengikatkan diri sebagai penjamin hutang terhadap guarantor lainnya. Penjamin hutang semacam ini dalam praktek disebut dengan nama sub borg/sub guarantor/sub penanggung. Hubungan antara Penyerah Piutang, Penanggung Hutang, dan Penjamin Hutang Hubungan antara Penyerah Piutang, Penanggung Hutang, dan Penjamin Hutang dapat dilihat dalam bagan/skema berikut ini: 24 Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara Gambar 1. 2. Bagan/Skema Hubungan Antara Penyerah Piutang (PP), Penanggung Hutang (H), dan Penjamin Hutang (PjH) - Non Perbankan Kreditor (PP) - Perbankan 1. Perjanjian Kredit - Orang Pribadi / Perorangan Debitor (PH) - Badan Usaha 2. Perjanjian Penanggungan Hutang (Borgtocht/Guaranty) Badan Hukum - PT - Koperasi - Yayasan, dst. Bukan Badan Hukum - CV - Firma - UD / Kongsi, dst. - Non Perbankan - Perbankan Borg / Guarantor (PJH) - Perorangan (Personal Guaranty) - Badan Usaha (Corporate Guaranty) Keterangan: Pengurusan Piutang Negara 25 1. Kreditor mengadakan perjanjian kredit dengan debitor sebagai perjanjian utama/ pokok. 2. Guna menjamin adanya kepastian atas pengembalian kredit yang telah dikucurkan, kreditor mengadakan perjanjian dengan Borg/Guarantor/Penjamin Hutang sebagai perjanjian tambahan/accessoir/pelengkap. • Dikenal adanya 2 macam debitor (Penanggung Hutang), yaitu debitor perorangan dan debitor bahan usaha. Badan usaha ada yang berstatus badan hukum (PT, Koperasi, Yayasan dan sebagainya) dan bukan badan hukum (CV, Firma, Usaha Dagang/Kongsi dan sebagainya), masing-masing mempunyai ciri-ciri perlakuan serta aspek hukum yang berbeda dalam perjanjian kredit. • Borg/Guarantor/Penjamin Hutang sebagai pihak ketiga terdiri dari personal guarantor dan corporate guarantor. Dalam lalu lintas hukum tidak dikenal adanya perbedaan antara keduanya. Dari sisi Kreditor, corporate guarantor dirasakan atau diharapkan dapat lebih memberikan jaminan atas pengembalian hutang debitor, terlebih lagi apabila corporate guarantor tersebut adalah perusahaan ternama/terkemuka. Rangkuman Pengertian piutang negara dapat ditemukan pada 2 undang-undang yang masih berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Di dalam buku ini, dan di dalam pelaksanaan pengurusan piutang negara yang saat ini masih berlangsung, pengertian piutang negara yang digunakan adalah pengertian yang ada pada Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Terminologi piutang negara berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 mengandung pengertian sebagai berikut: 1. Piutang negara adalah hutang yang wajib dibayar (oleh orang per orang atau badan berdasarkan Pasal 9 undang-undang yang sama); 2. Dasar terjadinya piutang negara atau hutang kepada negara adalah suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apapun. 3. Pengertian negara adalah: 26 Bab I : Pengertian Pengurusan Piutang Negara Ø Pemerintah Pusat, seperti Departemen, Lembaga Negara Non Departemen, Sekretariat Lembaga Tertinggi Negara, dan Sekretariat Lembaga Tinggi Negara; Ø Pemerintah Daerah, baik Provinsi, Kabupaten, maupun Kota; dan Ø Badan-badan yang secara langsung dikuasai oleh negara, seperti BUMN dan BUMD; dan Ø Badan-badan yang secara tidak langsung dikuasai oleh negara, seperti anak perusahaan (subsidiary) BUMN/BUMD (misalnya PT. Telkomsel yang merupakan anak perusahaan PT. TELKOM (Persero)). 4. Hutang pajak merupakan piutang negara, tetapi penagihannya dilakukan dengan undang-undang khusus bidang pajak. Proses pengurusan piutang negara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 ditujukan untuk memperoleh hasil pengurusan yang lebih cepat dan efektif, yang pada akhirnya ditujukan untuk penyelamatan keuangan negara. Oleh karena tujuan tersebut, maka pengurusan piutang negara dapat diartikan sebagai proses kegiatan yang secara khusus dilakukan untuk mengurus piutang negara dalam rangka penyelamatan keuangan negara. Selain pengertian tentang pengurusan piutang negara dan pengertian piutang negara itu sendiri, terdapat beberapa terminologi lain yang digunakan dalam pengurusan piutang negara. Pemahaman tentang terminologi tersebut perlu disepakati bersama, guna meminimalisasi kemungkinan terjadinya permasalahan hukum sebagai akibat perbedaan pengertian atas terminologi tersebut. Terminologi dimaksud adalah: 1. Penyerah Piutang, yang merupakan pemilik piutang negara dan menyerahkan pengurusan piutangnya kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Secara umum Penyerah Piutang dikenal sebagai Kreditor. 2. Penanggung Hutang adalah badan atau orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan atau orang yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang. Secara umum Penanggung Hutang dikenal sebagai Debitor. 3. Penjamin Hutang adalah badan atau orang yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang. Penjamin Hutang dalam lalu lintas hukum lazim disebut dengan istilah “borg”. 27 Pengurusan Piutang Negara - o0o- Latihan Untuk mengingatkan kembali materi yang telah anda pelajari, coba kerjakan latihan di bawah ini: 1. Jelaskan pengertian yang terkandung dalam terminologi piutang negara berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN ! 2. Jelaskan pengertian yang terkandung dalam terminologi piutang negara berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ! 3. Jelaskan perbedaan dari kedua pengertian pada nomor 1 dan 2 di atas ! 4. Jelaskan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan sebagaimana dimaksud pada soal nomor 3 di atas ! 5. Jelaskan mengapa diperlukan adanya kesamaan pengertian atas terminologi-terminologi yang ada dalam pengurusan piutang negara ! 6. Jelaskan pengertian pengurusan piutang negara ! 7. Jelaskan pengertian Penyerah Piutang ! 8. Jelaskan pengertian Penanggung Hutang ! 9. Jelaskan pengertian Penjamin Hutang ! 10. Jelaskan hubungan antara Penyerah Piutang, Penanggung Hutang, dan Penjamin Hutang ! - o0o- BAB 2 SUMBER HUKUM PENGURUSAN PIUTANG NEGARA Sasaran Pembelajaran Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan memahami dasar hukum pengurusan piutang negara dan beberapa ketentuan peraturan perundangan lainnya yang perlu diperhatikan dalam pengurusan piutang negara. Pendahuluan 30 Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara Indonesia adalah negara hukum atau disebut juga dengan istilah “rechtsstaat”, dan bukan negara kekuasaan atau “machtsstaat”, demikian bunyi salah satu pokok pikiran yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pokok pikiran ini dapat diartikan bahwa segala tindakan dan perbuatan manusia Indonesia dalam tata pergaulan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus berdasarkan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku. Pokok pikiran tersebut di atas menjadi salah satu dasar pemikiran dalam penyusunan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dasar pemikiran yang tertuang pada alinea kedua Penjelasan Umum undang-undang dimaksud berbunyi sebagai berikut: “Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan, antara lain disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Halhal lain mengenai keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23C diatur dengan undang-undang”. Dasar pemikiran tersebut di atas menjelaskan bahwa sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, aturan pelaksanaan sistem pengelolaan keuangan negara tersebut harus diatur dengan undangundang. Oleh karena menjadi bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara, maka pengelolaan (pengurusan) piutang negara juga diatur berdasarkan undang-undang. Uraian di atas menunjukkan bahwa pengurusan piutang negara harus didasarkan pada suatu dasar hukum yang jelas yang dapat menjadi payung dalam setiap gerak pengurusan. Selain memperhatikan ketentuan hukum yang mendasarinya, pengurusan piutang negara juga harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait guna meminimalisasi kemungkinan terjadinya permasalahan hukum dalam proses pengurusan piutang negara. Pengurusan Piutang Negara 31 Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara Uraian tentang sumber hukum, latar belakang terbitnya dasar hukum tersebut, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dalam pengurusan piutang negara akan dijelaskan berikut ini. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Sebelum membahas sumber hukum pengurusan piutang negara, kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian sumber hukum yang akan menjadi acuan dalam pengurusan piutang negara. Dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia, pengertian tentang sumber hukum dapat dijumpai dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan PerundangUndangan. Menurut Pasal 6 TAP MPR tersebut, yang dimaksud dengan sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Ketentuan TAP MPR tersebut di atas, bersama dengan amanat Pasal 22A Undang-Undang Dasar Tahun 1945, digunakan sebagai dasar pemikiran dalam penerbitan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pemikiran tersebut terlihat pada alinea kelima Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut memuat ketentuan tentang sumber dari segala sumber hukum negara, serta jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 mengatur bahwa sumber dari segala sumber hukum negara adalah Pancasila, sedangkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang dimaksud mengatur bahwa tata urutan perundang-undangan adalah sebagai berikut: 1 Uraian tentang dasar pemikiran penyusunan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dengan TAP MPR Nomor III/MPR/2000 walaupun oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 TAP MPR tidak dimasukkan sebagai salah satu ketentuan hukum dalam tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia. Meskipun begitu, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 berdasarkan Pasal 7 ayat (4) tetap mengakui keberadaan TAP MPR dan menyatakan bahwa TAP MPR memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, TAP MPR masih dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum negara. 32 Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945); 2. Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu); 3. Peraturan Pemerintah (PP); 4. Peraturan Presiden (Perpres); 5. Peraturan Daerah (Perda), yang meliputi: Ø Perda Provinsi, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur, termasuk dalam jenis Perda ini adalah Qanun yang berlaku di daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua; Ø Perda Kabupaten/Kota, yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Walikota; Ø Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, yang dibuat oleh Badan Perwakilan Desa, atau nama lainnya, bersama dengan Kepala Desa, atau nama lainnya. Selain itu, terkait dengan pengertian sumber hukum di atas, Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 juga mengatur beberapa hal berikut ini. 1. Pasal 7 ayat (4) mengatur bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain yang termasuk dalam tata urutan perundang-undangan, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Penjelasan Pasal 7 ayat (4) ini menjelaskan bahwa jenis peraturan yang tetap diakui tersebut antara lain adalah peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Menteri, Kepala Lembaga, atau Kepala Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undangundang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. 2. Pasal 7 ayat (5) mengatur bahwa kekuatan hukum peraturan perundangundangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana yang diuraikan dalam tata urutan perundang-undangan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menunjukkan penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 33 Pengurusan Piutang Negara Tata urutan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut merupakan suatu sistem perundang-undangan yang dianut oleh sebagian negara di dunia, termasuk Indonesia agar tercipta suatu tertib hukum di masing-masing negara. Sesuai teori hukum yang lazim dianut, hukum suatu negara merupakan suatu sistem, yaitu suatu keseluruhan yang merupakan suatu kesatuan yang saling terkait satu dengan lainnya yang terdiri dari subsub sistem. Terdapat hubungan hierarkis antara kaedah hukum yang satu dengan kaedah hukum yang lain dalam arti peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Sebagi contoh, suatu undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Demikian juga Perda, tidak boleh bertentangan dengan UU, PP, maupun Keppres. Hal tersebut sesuai dengan teori “stufenban” (teori piramidal atau teori anak tangga) yang merupakan pendapat ahli hukum terkenal Hans Kelsen (Simoeh, hlm. 22). Bila diterapkan di Indonesia, stufenban teori dari Hans Kelsen tersebut dapat digambarkan dalam bagan/skema sebagai berikut: Gambar 2.1. Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia UUD 1945 UU / PERPU 34 Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PRESIDEN PERATURAN DAERAH PROVINSI KABUPATEN / KOTA DESA / YG SETINGKAT Berdasarkan uraian tentang sumber hukum di atas, jelaslah bahwa dasar hukum pengurusan piutang negara harus bersumber dan karenanya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Dasar Hukum Pengurusan Piutang negara Jauh sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, ketentuan tentang pengurusan piutang negara telah diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Undang-undang inilah yang menjadi dasar hukum pengurusan piutang negara. Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 sangat singkat dan hanya memuat 15 pasal, sehingga masih belum bersifat paripurna dalam memberikan aturan tentang proses pengurusan piutang negara. Namun demikian, undangundang tersebut telah dapat menjadi payung hukum dalam upaya optimalisasi hasil pengurusan piutang negara, karena: 1. mengatur 3 hal penting, yaitu: Ø subyek yang melakukan pengurusan piutang negara (yaitu Panitia Urusan Piutang Negara/PUPN); Ø obyek dalam pengurusan piutang negara; dan Ø proses pengurusan yang dapat mendukung upaya-upaya percepatan dan peningkatan efektivitas hasil pengurusan piutang negara, yaitu upaya- Pengurusan Piutang Negara 35 upaya yang diharapkan dapat membantu terwujudnya optimalisasi hasil pengurusan piutang negara; dan 2. memuat amanat kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan peraturanperaturan yang diperlukan dalam melaksanakan undang-undang tersebut. Amanat kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan peraturanperaturan yang diperlukan dalam melaksanakan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 terdapat dalam Pasal 14. Amanat tersebut ditindaklanjuti dengan penerbitan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengurusan Piutang Negara, yang lebih dikenal dengan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Pengurusan Piutang Negara. Petunjuk Pelaksanaan yang berlaku saat ini adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara. Pada intinya, juklak tersebut berisi: 1. Ketentuan pelaksanaan pengurusan piutang negara secara khusus sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, seperti ketentuan tentang: a. persyaratan dan mekanisme penyerahan pengurusan piutang negara dan tindaklanjutnya; b. mekanisme penerimaan atau penolakan pengurusan piutang negara; c. mekanisme pemanggilan Penanggung Hutang tindaklanjutnya; d. mekanisme pembuatan dan materi Pernyataan Bersama; e. mekanisme penerbitan dan materi Surat Paksa; f. mekanisme penyampaian Surat Paksa; g. mekanisme penerbitan dan materi Surat Perintah Penyitaan; h. mekanisme pelaksanaan Sita; i. mekanisme pelaksanaan dan persyaratan lelang barang sitaan; j. mekanisme dan persyaratan paksa badan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; dan k. mekanisme penerbitan, persyaratan, dan materi Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas. 2. Ketentuan yang diperlukan dalam pelaksanaan pengurusan piutang negara namun secara tegas belum diatur dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, seperti ketentuan tentang: a. mekanisme pembuatan dan materi surat Penetapan Jumlah Piutang Negara yang diterbitkan PUPN Cabang bila Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat; 36 Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara b. mekanisme dan persyaratan pemberian keringanan penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang; c. mekanisme dan persyaratan pencegahan bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; d. mekanisme dan persyaratan pengelolaan barang jaminan; e. mekanisme dan persyaratan penilaian barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; f. mekanisme dan persyaratan penebusan barang jaminan milik Penjamin Hutang, dan penjualan tidak melalui lelang atas barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang; g. mekanisme dan persyaratan pengenaan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara; dan h. mekanisme dan persyaratan pengurusan piutang negara secara spesifik, seperti: Ø pengurusan piutang negara eks-Kredit Perumahan PT. Bank Tabungan negara (Persero); Ø pengurusan piutang negara dengan jaminan yang telah diikat secara sempurna; dan Ø pengurusan piutang negara dengan Penanggung Hutang yang telah atau sedang dalam proses dipailitkan. Untuk kepentingan teknis operasional, Petunjuk Pelaksanaan tersebut diatur lebih rinci lagi dengan Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara (dahulu Keputusan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara). Pengaturan lebih rinci tersebut umumnya dikenal dengan nama Petunjuk Teknis (Juknis) Pengurusan Piutang Negara. Petunjuk Teknis yang saat ini berlaku adalah Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep-25/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara. Bila dicermati, Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai sumber hukumnya, yaitu UUD 1945. Pembentukannya Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 didasarkan pada: 1. Pasal 23 UUD 1945, yang mengamanatkan negara untuk menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan mempergunakan semuanya untuk kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut tentunya termasuk juga amanat untuk mengelola kekayaan negara, yang di dalamnya terdapat piutang negara. Pengurusan Piutang Negara 37 2. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang bila terjadi suatu kegentingan yang memaksa. Ketentuan tersebut digunakan untuk menyusun Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 karena situasi saat itu dianggap genting dan mendesak untuk disusunnya suatu ketentuan tentang pengurusan piutang negara. Ketentuan tersebut harus mengatur proses pengurusan piutang negara yang cepat dan efektif. Frasa (rangkaian huruf) “Prp” (merupakan singkatan dari “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”) yang terdapat pada nama Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 menunjukkan bahwa undangundang tersebut pada awalnya adalah Peraturan Pemerintah yang ditetapkan sebagai undang-undang. Selanjutnya, Perpu tentang PUPN tersebut, pada tahun 1961 sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan menjadi undang-undang oleh Presiden Soekarno, setelah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada masa sekarang ini, setelah amandemen keempat UUD 1945, Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 masih tetap relevan dan masih sesuai dengan UUD 1945 yang menjadi sumber hukumnya. Relevansi tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 23C UUD 1945 yang mengatur bahwa, “Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang”. Pengaturan tentang pengurusan piutang negara berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yang merupakan salah satu bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara, masih sesuai dengan isi Pasal 23C UUD 1945 tesebut. Latar Belakang Terbitnya Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 Sebagaimana yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, dalam judul Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN terselip frasa (rangkaian huruf) “Prp”, yang merupakan singkatan dari “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”. Penyusunan ketentuan tentang pengurusan piutang negara yang dimulai dengan pemberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut tidak dapat dilepaskan dari situasi politik, hukum, dan perekonomian pada masa sekitar tahun 1960. Pada tahun 1958 Negara Republik Indonesia masih dalam keadaan darurat perang (SOB). Untuk menyelesaikan hutang-hutang kepada negara, oleh penguasa pada saat itu yaitu Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat telah diambil tindakan yang pertama berupa Maklumat 38 Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara Bersama antara KSAD dengan Jaksa Agung Nomor MKL/Peperpu/01/1958 tanggal 4 Januari 1958. Materi utama maklumat tersebut antara lain adalah pengumuman kepada semua debitur negara untuk segera menyelesaikan kewajiban hutangnnya dan apabila tidak mau melaksanakan perintah tersebut akan dilakukan penyitaan barang jaminan dan harta kekayaan debitur, yang selanjutnya akan dilakukan penjualan barang jaminan melalui pelelangan. Tindakan kedua adalah pada bulan April 1958 dengan pembentukan Panitia Penyelesaian Piutang Negara (P3N) berdasarkan Keputusan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Kpts/Peperpu/0241/1958 tanggal 6 April 1958. Tugas pokok P3N adalah menyelesaikan hutang-hutang kepada negara secara cepat dan efisien. Pertimbangan cepat dan efisien ini menjadi tujuan utama mengingat kalau ditempuh penyelesaian hutang melalui jalur hukum (Lembaga Peradilan) penyelesaian akan memakan waktu lama (Putusan Majelis Hakim, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Oleh karena itu, agar dapat melaksanakan tugasnya secara cepat dan efisien tersebut, P3N diberi kewenangan khusus yang disebut dengan istilah “Parate Eksekusi”, yaitu dapat melaksanakan sendiri putusan-putusannya (paksa, sita, lelang dan seterusnya) tanpa harus meminta bantuan lembaga pengadilan. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, dan mengembalikan negara ke keadaan tertib sipil mulai tanggal 16 Desember 1960. Dengan kembali diberlakukannya UUD 1945 dan dalam situasi tertib sipil tersebut, maka dasar hukum yang memayungi Keputusan Penguasa Perang Pusat (yaitu Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950) menjadi tidak berlaku lagi. Oleh karena itu, seluruh Keputusan Penguasa Perang Pusat berikut semua aturan pelaksanaannya juga tidak akan berlaku lagi. Salah satu keputusan yang telah diterbitkan oleh Penguasa Perang Pusat adalah Keputusan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Kpts/Peperpu/0241/1958 tanggal 6 April 1958 tentang pembentukan Panitia Penyelesaian Piutang Negara. Keputusan tersebut mengatur pembentukan Panitia Penyelesaian Piutang Negara dengan tugas melakukan penyelesaian piutang negara dengan cara yang cepat dan efisien. Tidak terkecuali, dalam keadaan negara yang tertib sipil, keputusan Penguasa Perang Pusat tentang pembentukan Panitia Penyelesaian Piutang Negara tersebut juga tidak akan berlaku lagi. Namun demikian, tugas dan kewenangan Panitia Penyelesaian Piutang Negara untuk menyelesaikan hutang-hutang kepada negara secara cepat dan efisien masih dipandang relevan untuk tetap dilaksanakan. Oleh karena itu, sebelum Keputusan Penguasa Perang Pusat tersebut dicabut, maka dipandang perlu untuk Pengurusan Piutang Negara 39 menyusun suatu ketentuan pengganti yang dapat mempertahankan eksistensi tugas dan kewenangan pengurusan piutang negara yang cepat dan efisien. Berdasarkan pemikiran di atas, maka disusunlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang memuat ketentuan yang “hampir” sama dengan Keputusan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Kpts/Peperpu/0241/1958 tanggal 6 April 1958, dengan perubahan-perubahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Perubahan tersebut antara lain adalah perubahan nama panitia, yang semula adalah Panitia Penyelesaian Piutang Negara berdasarkan ketentuan yang baru berubah menjadi Panitia Urusan Piutang Negara. Perubahan nama tersebut disesuaikan dengan perubahan tugas panitia, yang semula bertugas untuk menyelesaikan piutang-piutang negara, kemudian berubah menjadi mengurus piutang-piutang negara. Perubahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa terminologi pengurusan mengandung pengertian yang lebih luas dari pada terminologi penyelesaian. Satu hal yang dipertahankan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Panitia Urusan Piutang Negara adalah kewenangan khusus “Parate Eksekusi” yang sangat membantu dalam percepatan dan optimalisasi hasil pengurusan piutang negara. Dengan kewenangan tersebut diharapkan penagihan piutang negara dapat dilakukan secara secara cepat, dan efektif terutama terhadap para debitor “nakal”. Pada gilirannya proses yang cepat dan efektif tersebut akan memberikan hasil yang lebih memuaskan dibandingkan dengan hasil pengurusan bila ditempuh prosedur-produser biasa yang diatur dalam hukum acara perdata yang saat itu berlaku di Indonesia. Peraturan Perundang-undangan yang Terkait Proses pengurusan piutang negara tidak hanya didasarkan pada ketentuan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 saja, tetapi juga harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait. Situasi ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pengurusan piutang negara melibatkan banyak pihak, seperti: 1. pihak debitor yang terkadang dengan diwakili oleh kuasanya; 2. pihak kreditor; atau 3. instansi pemerintah lain yang memberikan pelayanan yang diperlukan dalam proses pengurusan piutang negara, seperti Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia, Kepolisian, Kejaksaan, Pemerintah Desa/Kelurahan dan sebagainya. 40 Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara Masing-masing pihak tersebut di atas mempunyai kepentingan masing-masing sesuai dengan rezim hukum/peraturan perundang-undangan yang terkait dengan bidang tugas masing-masing. Oleh karena itu, agar tidak terjadi permasalahan hukum akibat masing-masing pihak saling tidak mau mengerti ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang tugas masingmasing. Peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan pengurusan piutang negara akan diuraikan berikut ini. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pengurusan piutang negara harus memperhatikan dan tidak boleh bertentangan dengan KUH Perdata. Beberapa pasal dalam KUH Perdata yang memberikan pengaruh dalam pengurusan piutang negara adalah sebagaimana uraian berikut . 1. Pasal 1131 yang berbunyi, “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Ketentuan pasal ini memberikan PUPN suatu kewenangan untuk melakukan penyitaan dan pelelangan harta kekayaan Penanggung Hutang, walaupun harta kekayaan tersebut tidak diikat sebagai barang jaminan hutangnya. 2. Pasal 1320 yang berbunyi, “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal.” Ketentuan pasal ini menjadi dasar PUPN untuk menentukan pihak-pihak yang dijadikan Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang untuk dimintakan pertanggungjawaban atas piutang negara yang timbul sebagai akibat suatu perjanjian yang sah. 3. Pasal 1338 yang berbunyi, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Ketentuan tersebut merupakan salah satu ketentuan yang memungkinkan Pengurusan Piutang Negara 41 PUPN (yang berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 bertindak untuk dan atas nama Penyerah Piutang) untuk memaksakan Penanggung Hutang melaksanakan perjanjian yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang. 4. Pasal 1381 yang berbunyi, “Perikatan-perikatan hapus: Ø karena pembayaran; Ø karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; Ø karena pembaharuan utang; Ø karena perjumpaan utang atau kompensasi; Ø karena percampuran utang; Ø karena pembebasan utangnya; Ø karena musnahnya barang yang terutang; Ø karena kebatalan atau pembatalan; Ø karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab kesatu buku ini; Ø karena liwatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri.” Ketentuan tersebut merupakan dasar bagi PUPN untuk menerbitkan pernyataan piutang negara lunas dan karenanya Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dinyatakan tidak mempunyai kewajiban kepada negara lagi, bila Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang melakukan pembayaran pelunasan hutang Penanggung Hutang. 5. Pasal 1831 yang berbunyi, “Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selain jika si berutang lalai, sedangkan bendabenda si berutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya.” Ketentuan pasal ini mengatur bahwa Penjamin Hutang (terminologi berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 yang memiliki arti yang sama dengan penanggung berdasarkan KUH Perdata) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban untuk menyelesaikan hutang Penanggung Hutang (terminologi berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 yang memiliki arti yang sama dengan si berutang berdasarkan KUH Perdata), bila: Ø si Penanggung Hutang belum dinyatakan lalai menyelesaikan hutang Penanggung Hutang; dan Ø harta kekayaan si Penanggung Hutang belum laku terjual untuk menyelesaikan hutang Penanggung Hutang. 42 Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara 6. Pasal 1832 yang berbunyi, “Si penanggung tidak dapat menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya: 1. apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual; 2. apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan si berutang utama secara tanggung-menanggung, dalam hal mana akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utang-utang tanggung-menanggung; 3. jika si berutang dapat memajukan suatu tangkisan yang hanya dirinya sendiri secara pribadi; 4. jika si berutang berada dalam keadaan pailit; 5. dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh hakim.” Ketentuan pasal ini merupakan pengecualian atas ketentuan Pasal 1831. Oleh karena itu, bila ketentuan pasal 1832 telah dipenuhi, PUPN dapat meminta pertanggungjawaban para Penjamin Hutang secara simultan dengan penagihan kepada para Penanggung Hutang. 7. Ketentuan lain dalam KUH Perdata, seperti ketentuan tentang waris, surat kuasa, perikatan, dan ketentuan lainnya yang terkait. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Keterkaitan undang-undang ini dalam proses pengurusan piutang negara adalah melalui ketentuan Pasal 41A yang berbunyi sebagai berikut: (1) Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah debitur. (2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang Negara. Pengurusan Piutang Negara 43 (3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, nama nasabah debitor yang bersangkutan, dan alasan diperlukannya keterangan. Ketentuan tersebut di atas diperlukan BUPLN (saat ini telah berubah menjadi DJPLN)/PUPN untuk mendapat izin memperoleh informasi tentang keberadaan dan nilai simpanan debitor di suatu bank. Izin memperoleh informasi tersebut, secara umum dikenal dengan nama izin membuka rahasia bank sesuai dengan nama Peraturan Bank Indonesia2 yang merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 41 sampai dengan Pasal 44A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tersebut. Izin membuka rahasia bank tersebut digunakan oleh DJPLN/PUPN untuk melakukan pemblokiran dan/atau penyitaan harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang tersimpan di bank. Kewenangan PUPN untuk melaksanakan kegiatan tersebut dijamin oleh Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Apabila pejabat DJPLN/PUPN melakukan tindakan pemblokiran dan/atau penyitaan tersebut tanpa dilengkapi dengan izin membuka rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia, maka pejabat DJPLN/PUPN tersebut terancam sanksi Pasal 47 ayat (1) Undangundang Nomor 7 Tahun 1992. Sanksi hukuman atas pelanggaran Pasal 47 ayat (1) tersebut adalah pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian Keterkaitan undang-undang ini dalam proses pengurusan piutang negara adalah melalui ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b yang mengatur bahwa wewenang dan tanggungjawab pencegahan terhadap seseorang bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia, sepanjang menyangkut urusan piutang negara, adalah Menteri Keuangan. 2 Nama Peraturan Bank Indonesia tersebut adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank 44 Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara Pada perkembangan selanjutnya, Menteri Keuangan mendelegasikan wewenang dan tanggung-jawab kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara (dahulu Kepala BUPLN) untuk dan atas nama Menteri Keuangan menandatangani keputusan Menteri Keuangan yang terkait dengan pencegahan, yaitu: 1. Keputusan Menteri Keuangan tentang Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia Terhadap Debitor Piutang Negara; 2. Keputusan Menteri Keuangan tentang Perpanjangan Pertama Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia Terhadap Debitor Piutang Negara; 3. Keputusan Menteri Keuangan tentang Perpanjangan Kedua Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia Terhadap Debitor Piutang Negara; dan 4. Keputusan Menteri Keuangan tentang Pencabutan Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia Terhadap Debitor Piutang Negara. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1994 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Keterkaitan undang-undang ini dalam proses pengurusan piutang negara adalah melalui ketentuan Pasal 1 angka 1 yang berbunyi: “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.” Ketentuan tersebut memberikan jaminan bagi PUPN untuk mendapatkan hak mendahulu dari pada hak kreditor lainnya atas hasil penjualan barang jaminan piutang negara yang telah dibebankan Hak Tanggungan secara sempurna3. 3 Pembebanan Hak Tanggungan tersebut dinyatakan telah sempurna setelah didaftarkan ke Kantor Pertanahan dan oleh Kantor Pertanahan telah diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan. Pengurusan Piutang Negara 45 Selain itu, Pasal 20 undang-undang ini mengatur bahwa bila Penanggung Hutang cedera janji, objek Hak Tanggungan dapat dilelang berdasarkan: 1. hak Pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6); atau 2. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan. Berdasarkan ketentuan tersebut, PUPN dapat langsung melakukan lelang barang jaminan yang telah dibebani Hak Tanggungan, segera setelah PUPN menerima pengurusan piutang negara dari Penyerah Piutang. Namun demikian, karena berbagai pertimbangan, hak tersebut belum dilaksanakan di dalam pengurusan piutang negara. Penjelasan tentang pengurusan piutang negara dengan barang jaminan yang telah dibebankan Hak Tanggungan diuraikan lebih lanjut dalam Bab 14. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT) Keterkaitan undang-undang ini dalam proses pengurusan piutang negara adalah melalui ketentuan Pasal 3, Pasal 11, Pasal 15, Pasal 23, Pasal 79, Pasal 82, Pasal 85, dan Pasal 100. Ketentuan yang diatur oleh pasal-pasal tersebut membantu PUPN dalam menentukan: 1. pihak-pihak yang bertanggungjawab menyelesaikan hutang badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas; dan 2. batasan pertanggungjawaban yang bersangkutan, apakah sampai pada pertanggungjawaban secara pribadi atau tidak. Pada dasarnya hutang badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas harus diselesaikan oleh perseroan itu sendiri, dan bukan secara pribadi para pengurus (Direksi) dan pengawas pengurus (Komisaris). Namun demikian, dalam melaksanakan pengurusan piutang negara, PUPN tentu hanya berhubungan dengan wakil dari perseroan tersebut, bukan berhubungan dengan perseroan secara utuh. Proses pengurusan piutang negara yang harus melibatkan pribadi pengurus atau komisaris adalah sebagai berikut: 1. pemanggilan kepada Penanggung Hutang yang berbentuk badan usaha selalu ditujukan kepada pengurus badan usaha tersebut, bukan ditujukan semata-mata kepada “badan hukum/perseroan” itu sendiri; 2. tindakan hukum pencegahan bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia yang hanya dapat dilakukan kepada pribadi pengurus (Direksi) dan/atau 46 Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara pribadi pengawas direksi (komisaris) dan tidak akan pernah dapat dilakukan terhadap organisasi badan usaha (organisasi perseroan terbatas); dan 3. tindakan hukum paksa badan yang hanya dapat dilakukan kepada pribadi pengurus (Direksi) dan/atau pribadi pengawas direksi (komisaris) dan tidak akan pernah dapat dilakukan terhadap organisasi badan usaha (organisasi perseroan terbatas). Selain itu, berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, kepada Direksi dan/atau Komisaris dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atas kewajiban perseroan terbatas. Hal ini tentu juga berpengaruh terhadap pengurusan piutang negara yang dilakukan oleh PUPN. PUPN harus dapat mengetahui batas-batas penagihan kepada pribadi Direksi dan/atau Komisaris tersebut. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak berikut aturan pelaksanaannya merupakan dasar PUPN untuk mengenakan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) atas setiap pengurusan piutang negara. Penjelasan tentang Biad PPN akan diuraikan lebih lanjut pada Bab 13. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Keterkaitan undang-undang ini dalam proses pengurusan piutang negara adalah melalui ketentuan Pasal 27 yang berbunyi: (1) Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. (2) Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi Benda yang menjadi objek jaminan Fidusia. (3) Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia. Ketentuan tersebut di atas perlu diperhatikan oleh petugas DJPLN/PUPN dalam melaksanakan penyitaan dan penjualan barang jaminan Penanggung Hutang yang dibebani Jaminan Fidusia bukan oleh Penyerah Pengurusan Piutang Negara 47 Piutang. Hasil penjualan barang jaminan tersebut terlebih dahulu harus digunakan untuk menyelesaikan hutang kepada pihak lain tersebut. Di lain pihak, bila barang jaminan milik Penanggung Hutang tersebut dibebani Jaminan Fidusia oleh Penyerah Piutang, dan barang jaminan tersebut dijual oleh Penanggung Hutang atau oleh pihak lain, maka PUPN mempunyai hak preferen atas hasil penjualan barang jaminan tersebut. Selain itu, Pasal 29 undang-undang ini mengatur bahwa apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara: 1. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia; 2. penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; 3. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Berdasarkan ketentuan tersebut, PUPN dapat langsung melakukan lelang barang jaminan yang telah dibebani Jaminan Fidusia4 segera setelah PUPN menerima pengurusan piutang negara dari Penyerah Piutang. Pengurusan piutang negara dengan barang jaminan yang telah dibebankan Jaminan Fidusia diuraikan lebih lanjut dalam Bab 14. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Keterkaitan undang-undang ini dalam proses pengurusan piutang negara adalah melalui ketentuan Pasal 2 yang berisi ketentuan tentang ruang lingkup Keuangan Negara, yang di dalamnya mencakup kekayaan negara/kekayaan daerah. Kekayaan tersebut antara lain dapat berupa piutang dan kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Ketentuan ini penting bagi kegiatan pengurusan piutang negara, mengingat ketentuan tersebut: 1. menjelaskan kedudukan piutang negara dan kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah sebagai bagian dari Keuangan Negara; dan 4 Pembebanan Jaminan Fidusia atas barang jaminan dinyatakan telah sempurna setelah barang jaminan tersebut didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Berdasarkan pendaftaran tersebut, Kantor Pendaftaran Fidusia telah menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia dan menyerahkan sertifikat dimaksud kepada Penerima Fidusia. 48 Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara 2. menjelaskan bahwa keuangan negara juga meliputi kekayaan daerah, baik daerah Provinsi, maupun daerah Kabupaten/Kota. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 yang memberikan pengaruh dalam pengurusan piutang negara adalah sebagaimana uraian berikut ini. 1. Pasal 37 undang-undang ini mengatur ketentuan tentang penghapusan piutang negara/daerah. Ketentuan tersebut menjadi dasar ketentuan penghapusan piutang negara. Uraian lengkap tentang penghapusan piutang negara ada pada Bab 12. 2. Pasal 50 undang-undang ini berisi larangan untuk menyita uang dan barang milik negara/daerah, dan atau yang dikuasai negara/daerah. Ketentuan ini mendasari kekhususan pengurusan piutang negara dengan Instansi Pemerintah atau BUMN/BUMD selaku Penanggung Hutang. 3. Pasal 64 undang-undang ini mengatur ketentuan untuk tetap melaksanakan penagihan tuntutan ganti rugi kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah, walaupun yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman pidana. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang Terdapat beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang harus diperhatikan, sehingga pengurusan piutang negara tidak melanggar ketentuan undang-undang tersebut, misalnya: 1. berdasarkan Pasal 55 ayat (1), Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggunggan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya diperbolehkan untuk mengeksekusi haknya seolah-olah tidak ada kepailitan, namun Pasal 56 ayat (1) mengatur bahwa bila putusan pailit telah dibacakan, maka hak eksekusi Kreditor tersebut ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak pembacaan putusan tersebut. Kedua ketentuan tersebut mengatur bahwa PUPN dapat melakukan eksekusi barang jaminan yang telah diikat sempurna milik debitor yang telah pailit atau dalam proses pailit, seolah-olah tidak ada proses kepailitan terhadap debitor tersebut. Namun demikian, hak untuk melakukan eksekusi Pengurusan Piutang Negara 49 tersebut harus ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak putusan pailit dibacakan. 2. Berdasarkan Pasal 59, telah diatur bahwa PUPN dapat melakukan eksekusi barang jaminan yang diikat sempurna tersebut di atas dalam jangka waktu paling lama 2 bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. Pengertian keadaan insolvensi tersebut berdasarkan penjelasan Pasal 57 ayat (1) adalah keadaan tidak mampu membayar. Penjelasan tentang Pengurusan Piutang Negara Atas Penanggung Hutang yang Dinyatakan Pailit atau Atas Barang Jaminan Milik Pihak Ketiga yang Dinyatakan Sebagai Boedel Pailit diuraikan lebih lanjut dalam Bab 14. Rangkuman Indonesia adalah negara hukum atau “Rechtsstaat”, dan bukan negara kekuasaan atau “Machtsstaat”, demikian bunyi salah satu pokok pikiran yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pokok pikiran tersebut di atas mewajibkan pengurusan piutang negara untuk didasarkan pada suatu dasar hukum yang jelas yang dapat menjadi payung dalam setiap gerak pengurusan. Jauh sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, ketentuan tentang pengurusan piutang negara telah diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Undang-undang inilah yang menjadi dasar hukum pengurusan piutang negara, walaupun belum bersifat paripurna dalam memberikan aturan tentang proses pengurusan piutang negara. Namun demikian, undang-undang tersebut telah dapat menjadi payung hukum dalam upaya optimalisasi hasil pengurusan piutang negara, karena telah mengatur subyek, obyek, dan proses pengurusan piutang negara. Selain itu, undangundang tersebut juga memberi amanat kepada Menteri Keuangan untuk membuat aturan pelaksanaannya. Selain memperhatikan ketentuan hukum yang mendasarinya, pengurusan piutang negara juga harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait guna meminimalisasi kemungkinan terjadinya permasalahan hukum dalam proses pengurusan piutang negara. Ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut antara lain adalah: 1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata); 50 Bab 2 : Sumber Hukum Pengurusan Piutang Negara 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; 3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; 4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1994 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah; 5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; 6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; 7. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; 8. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 9. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 10. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang. - o0o - Latihan Untuk mengingatkan kembali materi yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di bawah ini ! 1. Jelaskan arti dari pokok pikiran bahwa Indonesia adalah negara hukum atau “Rechtsstaat”, dan bukan negara kekuasaan atau “Machtsstaat”! Apa arti pokok pikiran tersebut bagi pengurusan piutang negara? 2. Apa pengertian “sumber hukum”? Apa dasar hukum pengertian tersebut? 3. Apakah yang menjadi sumber dari segala sumber hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004? Apa saja yang masuk dalam tata urutan perundang-undangan menurut ketentuan undang-undang tersebut? 4. Jelaskan dengan singkat pengertian tentang hierarki peraturan perundangundangan! 5. Jelaskan dengan singkat stufenban teori dari Hans Kelsen! 51 Pengurusan Piutang Negara 6. Apa yang menjadi dasar hukum pengurusan piutang negara? Jelaskan dengan singkat, mengapa undang-undang tersebut telah dapat menjadi payung hukum dalam pengurusan piutang negara! 7. Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dengan pengurusan piutang negara! 8. Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1994 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dengan pengurusan piutang negara! 9. Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dengan pengurusan piutang negara! 10. Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan pengurusan piutang negara! 11. Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dengan pengurusan piutang negara! 12. Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan pengurusan piutang negara! 13. Jelaskan dengan singkat keterkaitan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan pengurusan piutang negara! - o0o - BAB 3 TUJUAN DAN ASAS-ASAS PENGURUSAN PIUTANG NEGARA Sasaran Pembelajaran Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan memahami tujuan dan asas-asas yang dianut dalam pengurusan piutang negara. 54 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara Pendahuluan Tujuan kegiatan pengurusan piutang negara tentu tidak terlepas dari tujuan dibentuknya Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) itu sendiri. Tujuan tersebut tentu tidak terlepas pula dari keseluruhan sistem pengelolaan keuangan negara, di mana pengurusan piutang negara merupakan bagian atau sub sistemnya. Agar pengurusan piutang negara tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan, maka pelaksanaan pengurusan piutang negara perlu memperhatikan pula asas-asas atau prinsip-prinsip pokok yang harus dianut atau dipedomani oleh setiap insan PUPN dan DJPLN serta pihak-pihak lain yang terkait dengan pengurusan piutang negara. Tujuan dan prinsip-prinsip pokok dalam pengurusan piutang negara secara rinci akan dijelaskan dalam uraian berikut ini. Tujuan Pengurusan Piutang Negara Sebagaimana telah diuraikan dalam pendahuluan Bab ini, bahwa tujuan pengurusan piutang negara tidaklah terlepas dari tujuan dibentuknya PUPN. Tujuan dibentuknya PUPN itu sendiri dapat dijumpai dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yaitu melakukan penagihan piutang negara secara singkat dan efektif dengan hasil yang optimal, terutama terhadap penanggung hutang yang “nakal” dan dengan tindakannya terangterangan merugikan negara. Berdasarkan tujuan dibentuknya PUPN tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tujuan pengurusan piutang negara adalah penagihan piutang negara secara singkat dan efektif dengan hasil yang optimal dengan tetap memberikan kepastian hukum kepada debitor/Penanggung Hutang. Pengurusan piutang negara dilakukan dalam rangka penyelesaian piutang negara secara cepat dan efektif mensyaratkan adanya kewenangan khusus yang harus diberikan kepada PUPN. Kewenangan khusus tersebut adalah kewenangan “parate eksekusi”, dalam hal ini PUPN dapat melaksanakan sendiri putusan-putusannya (paksa, sita, lelang dan seterusnya) tanpa harus meminta bantuan lembaga peradilan. Kewenangan khusus yang dimiliki PUPN itulah yang menimbulkan pandangan beberapa pihak termasuk jajaran pengadilan bahwa PUPN adalah lembaga quasi rechtspraak (setengah majelis), suatu lembaga yang mirip/setengah pengadilan namun berada di lingkungan eksekutif/pemerintahan. Hal ini tidak terlepas dari situasi dan kondisi spesifik Pengurusan Piutang Negara 55 Indonesia, di mana di satu sisi penyelesaian piutang melalui lembaga peradilan memerlukan waktu yang tidak cepat, dan di sisi lain kecepatan terjadinya piutang macet milik instansi pemerintah dan badan-badan yang baik secara langsung maupun tidak langsung dikuasai negara, lebih cepat dibandingkan penyelesaiannya. Dengan situasi seperti ini, maka percepatan penagihan hutang debitor hanya dapat dilakukan melalui lembaga yang berada di luar lembaga peradilan namun mempunyai kewenangan parate eksekusi. Keadaankeadaan tersebut tercemin pula dari adanya lembaga quasi rechtspraak di luar PUPN seperti Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan baik tingkat Pusat maupun Daerah (P4P dan P4D) yang khusus dibentuk untuk menangani masalah-masalah perburuhan. Pengurusan piutang negara dilakukan dengan tetap memberikan kepastian hukum kepada debitor/Penanggung Hutang. Hal ini tentunya tidak terlepas dari keseluruhan sistem pengelolaan keuangan negara sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mengamanatkan pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dengan demikian, pengurusan piutang negara akan terhindar dari kesan seolah-olah PUPN dalam menagih hutang laksana tukang jagal (eksekutor) belaka, tanpa memberi ruang gerak (kesempatan) bagi debitor untuk berusaha melunasi hutangnya secara baik-baik. Oleh karena itu, kepada debitor yang mempunyai itikad baik, dalam arti menunjukkan sikap yang kooperatif dengan PUPN/DJPLN, maka kepadanya perlu diberikan kesempatan untuk menyelesaikan hutangnya, baik berupa kesempatan waktu maupun menyampaikan informasi untuk memperoleh kepastian jumlah hutang, termasuk kesempatan untuk menjual sendiri barang jaminan, serta harta kekayaan lain tanpa melalui mekanisme lelang. Inilah yang dimaksud dengan kata “pengurusan” dalam kalimat pengurusan piutang negara yang lebih luas maknanya dari pada sekedar kata “penyelesaian/penagihan piutang negara“. Dalam pengurusan piutang negara, tidak hanya hak negara untuk menagih piutang saja yang dikedepankan, tetapi hak-hak debitor harus pula diperhatikan sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan. Dengan demikian, PUPN/DJPLN dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus berlaku/bersikap objektif dan adil, harus memperhatikan baik kepentingan kreditor/Penyerah Piutang maupun debitor/Penanggung Hutang. Proses dan hasil pengurusan piutang negara yang paling ideal tentunya apabila piutang negara dapat diselesaikan tanpa melakukan tindakan eksekusi. 56 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara Penyelesaian dimaksud dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara PUPN dan Penanggung Hutang/debitor. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu dokumen yang disebut Pernyataan Bersama (PB), yang memuat kesepakatan tentang jumlah hutang, cara, dan jangka waktu penyelesaiannya. Keadaan ideal ini hanya akan terwujud apabila berbagai kondisi dapat dipenuhi, seperti adanya itikad baik debitor/Penanggung Hutang, maupun konsistensi PUPN/DJPLN dalam melaksanakan prosedur pengurusan piutang negara yang sesuai dengan asas-asas atau prinsip-prinsip pokok yang telah ditetapkan. Asas-asas atau prinsip-prinsip pokok dalam pengurusan piutang negara dimaksud adalah asas/prinsip cepat, efektif dan efisien, serta asas lainnya yang akan dijelaskan dalam uraian berikut ini. Asas-Asas Pengurusan Piutang Negara Agar pengurusan piutang negara dapat memperoleh hasil yang optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur tentang pengurusan piutang negara, maka dalam pengurusan piutang negara perlu diperhatikan asas-asas/prinsip-prinsip pokok sebagai berikut. Prosedur Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus Pengurusan piutang negara, oleh Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, telah diamanatkan agar dilaksanakan dengan prinsip percepatan, efektifitas dan efisiensi proses pengurusan piutang negara. Prinsip percepatan proses pengurusan piutang negara diarahkan pada minimalisasi waktu pencapaian hasil pengurusan piutang negara. Prinsip efektifitas proses pengurusan piutang negara diarahkan pada optimalisasi hasil pengurusan piutang negara, sedangkan prinsip efisiensi ditujukan pada minimalisasi biaya dan sumber daya yang dipergunakan dalam pengurusan piutang negara. Agar azas percepatan, efektifitas dan efisiensi proses pengurusan piutang negara terpenuhi, maka dalam mengupayakan pengembalian piutang negara, PUPN/DJPLN menempuh “prosedur khusus”. Prosedur tersebut bukanlah prosedur biasa (lex generalis) yang terdapat di HIR, tetapi dengan menempuh prosedur khusus (lex spesialiasis) berupa: 1. Pembuatan Pernyataan Bersama (PB); 2. Penerbitan Surat Paksa (SP); Pengurusan Piutang Negara 3. 4. 5. 6. 57 Penyitaan Barang Jaminan dan Harta Kekayaan Lain milik debitor; Pelelangan Barang Jaminan dan Harta Kekayaan Lain milik debitor; Penyanderaan/Paksa Badan (Gijzeling/Lijfdwang); Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah Republik Indonesia. Pengurusan Piutang Negara secara khusus tersebut diatur dalam Pasal 10 dan 11 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN. Prosedur pengurusan piutang negara yang dapat dikatakan khusus adalah pembuatan Pernyataan Bersama, yaitu kesepakatan tertulis antara Ketua PUPN Cabang dengan Penanggung Hutang tentang jumlah hutang yang wajib dilunasi, termasuk cara-cara penyelesaiannya dan sanksi yang jelas kepada debitor apabila yang bersangkutan tidak melaksanakan ketentuan yang telah disepakati dalam Pernyataan Bersama (debitor wanprestasi). Pernyataan Bersama tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial/kekuatan pelaksanaan seperti suatu putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan hukum tetap/pasti yang tidak dapat dibanding dan dikasasi. Oleh karena itu, Pernyataan Bersama diberi irah-irah/berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari segi hukum, Pernyataan Bersama ini dikenal dengan istilah “grosse” akta. Setiap dokumen yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku diberi irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka dokumen tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial dan dinamakan grosse. Grosse selain Pernyataan Bersama (PB) antara lain adalah Surat Paksa, Akta Pengakuan Hutang, Sertifikat Hipotek/Hak Tanggungan, Salinan Risalah Lelang dan sebagainya. Materi/isi yang tercantum dalam PB adalah: 1. Jumlah hutang yang harus dilunasi oleh debitor yang terdiri dari hutang pokok, bunga, denda dan ongkos-ongkos (BDO), dan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara. 2. Cara-cara melunasinya, baik secara angsuran bulanan, triwulanan maupun semesteran, yang harus dilunasi dalam jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun. Dengan adanya pembatasan jangka waktu yang dapat disepakati di dalam Pernyataan Bersama, maka diharapkan pengurusan piutang negara ini dapat diselesaikan secara cepat, efektif, efisien dan optimal. 3. Barang apa saja yang dijadikan agunan hutang debitor, termasuk harta kekayaan lain miliknya bila diperlukan. 4. Kesediaan debitor untuk menerima sanksi bila terjadi wanprestasi, seperti penagihan piutang negara dengan Surat Paksa, sita, pelelangan agunan termasuk upaya hukum penyanderaan/paksa badan dan pencegahan debitor bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia. 58 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara Ketentuan tentang PB ini diatur dalam Pasal 10 UU PUPN tersebut yang secara lengkap berbunyi: 1. Setelah dirundingkan oleh Panitia (PUPN) dengan Penanggung Hutang dan diperoleh kata sepakat tentang jumlah hutangnya yang masih harus dibayar, termasuk bunga uang, denda yang tidak bersifat pidana, serta biayabiaya yang bersangkutan dengan piutang ini (BDO), maka oleh Ketua Panitia dan penanggung hutang dibuat suatu pernyataan bersama (PB) yang memuat jumlah tersebut dan memuat kewjiban penanggung hutang untuk melunasinya. 2. Pernyataan Bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti suatu putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan pasti, untuk mana pernyataan bersama itu berkepala “Atas nama Keadilan” (baca Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa). 3. Sanksi bila PB tidak dilaksanakan oleh debitor, dilakukan oleh Ketua Panitia dengan mengeluarkan suatu surat paksa (SP), yang dapat dijalankan secara pensitaan dan pelelangan barang-barang kekayaan penanggung hutang dan secara penyanderaan terhadap penanggung hutang. Jadi, berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, status hukum perjanjian kredit (PK) yang semula bersifat keperdataan diperbaharui menjadi bersifat publik (dalam ilmu hukum dikenal sebagai verpublikesering van het privatrecht). Hal tersebut berarti perjanjian yang semula merupakan hubungan hukum perdata antara Penyerah Piutang (kreditor) dan Penanggung Hutang (debitor) menjadi hubungan hukum publik antara PUPN yang mewakili negara sebagai kreditor baru dan Penanggung Hutang (debitor) sebagai warga negara pada umumnya. Dalam penjelasan Pasal 10 Undangundang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dijelaskan dalam kalimat terakhir yang berbunyi: “Pemakaian sistim surat paksa seperti dalam hal (penagihan) pajak dapat dipertanggungjawabkan karena kinipun Negaralah yang merupakan pihak berpiutang” Dalam uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa PB disamakan atau mempunyai kedudukan yang sama dengan putusan hakim dalam perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang berisi antara lain pengakuan dan pengukuhan hutang debitor dan karenanya mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs) dan kekuatan memaksa (dwingend bewijs). Pengurusan Piutang Negara 59 Bila Penanggung Hutang mentaati kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama, yang bersangkutan akan melunasi hutangnya, dan PUPN akan menerbitkan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas (SPPNL). Namun sebaliknya, bila Penanggung Hutang wanprestasi atas ketentuan yang telah disepakati dalam Pernyataan Bersama, PUPN akan melakukan penagihan secara sekaligus dengan Surat Paksa. Kemudian, bila Surat Paksa tersebut juga tidak ditaati oleh Penanggung Hutang, maka PUPN akan melakukan tindakan eksekusi, yang berupa: 1. penyitaan dan pelelangan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penangung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; atau 2. pelaksanaan paksa badan terhadap Penangung Hutang dan/atau penjamin Hutang. Proses pengurusan yang dilakukan PUPN/DJPLN dengan tahapan sebagaimana yang diuraikan di atas, merupakan proses pengurusan piutang negara yang dilakukan secara khusus sebagai pelaksanaan kewenangan parate eksekusi yang dijamin oleh Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang pengurusan Piutang Negara. Piutang yang Diurus adalah Piutang Negara yang Telah Macet Penjelasan Pasal 4 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 berbunyi bahwa Piutang Negara pada tingkat pertama pada prinsipnya diselesaikan oleh instansi dan badan-badan yang bersangkutan1. Apabila itu tidak mungkin lagi terutama disebabkan oleh karena ternyata Penanggung Hutang tidak ada kesediaan dan termasuk Penanggung Hutang yang nakal maka oleh instansi dan badan-badan yang bersangkutan penyelesaiannya diserahkan kepada Panitia. Isi penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa Piutang Negara yang diurus oleh PUPN/DJPLN adalah piutang yang telah dinyatakan macet dan sebelumnya telah diupayakan untuk ditagih sendiri oleh masing-masing pemilik piutang. Upaya penagihan yang dilakukan Penyerah Piutang antara lain berupa pembinaan dari kreditor terhadap usaha para debitornya dalam hal piutang negara perbankan (PNP), maupun penyuluhan/sosialisasi terhadap para penanggung hutangnya dalam hal piutang negara non perbankan (PNNP). Apabila upaya pembinaan tersebut kurang/belum berhasil, maka Penyerah Piutang, melanjutkan upaya tersebut dengan upaya penyampaian peringatan 1 Instansi dan badan-badan yang berpiutang adalah Instansi Pemerintah Pusat atau Instansi Pemerintah Daerah, dan badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara, vide penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. 60 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara atau biasa disebut dalam bahasa hukumnya adalah somasi. Lazimnya somasi ini dilakukan dengan memperhatikan asas kepatutan, yaitu 3 (tiga) kali masing-masing berselang 1 (satu) minggu. Salah satu tembusan surat peringatan terakhir disampaikan kepada PUPN. Berdasarkan surat tembusan tersebut, PUPN dapat membuat dan mengirimkan surat kepada debitor/Penanggung Hutang dengan isi pokoknya agar yang bersangkutan segera melunasi hutangnya disertai penjelasan adanya berbagai konsekuensi bilamana hal tersebut diabaikan oleh Penanggung Hutang. Konsekuensi yang akan ditanggung oleh debitor antara lain adalah: 1. Penagihan atas hutangnya akan diserahkan pengurusannya ke PUPN, ditambah biaya administrasi pengurusan piutang negara (Biad PPN) sebesar 10% dari jumlah hutang. 2. Kemungkinan dilakukannya tindakan penagihan piutang negara oleh PUPN dengan penerbitan Surat Paksa (SP), penyitaan dan pelelangan barang jaminan/harta kekayaan lain milik debitor/Penanggung Hutang. 3. Dapat diterapkannya sanksi lainnya seperti tindakan pencegahan bepergian ke luar negeri serta penyanderaan/paksa badan (gijzeling/lijfsdwang). Bilamana berbagai upaya telah ditempuh oleh kreditor/Penyerah Piutang, namun upaya-upaya tersebut tidak mungkin lagi berhasil terutama karena tidak adanya kesediaan/itikad baik dari debitor/ Penanggung Hutang, karenanya termasuk kategori debitor nakal, maka oleh instansi-instansi atau badan-badan tersebut penyelesaiannya diserahkan kepada PUPN. Dengan demikian penyerahaan kasus kredit/piutang macet kepada PUPN/DJPLN harus terlebih dahulu didahului oleh upaya-upaya penagihan yang sungguh-sungguh dari pihak Penyerah Piutang, sehingga terhindar kesan seolah-olah PUPN/DJPLN hanya merupakan timbunan keranjang sampah belaka dari kredit/piutang macet. Penentuan kriteria macet atas suatu piutang non perbankan, dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada pemilik piutang masing-masing. Penentuan kriteria macet atas piutang bankbank BUMN/BUMD, berlaku ketentuan kolektibilitas kredit perbankan yang ditentukan/diatur oleh Bank Indonesia, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (dahulu Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Pengurusan Piutang Negara 61 Nomor 31/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif). Dalam peraturan tersebut, kualitas kredit terbagi menjadi 5 golongan, yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Tiga kategori kredit terakhir, yaitu kategori Kurang Lancar, Diragukan dan Macet termasuk dalam kriteria kredit bermasalah (Non Performing Loans /NPL). Berdasarkan Lampiran I Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, penentuan kriteria dari masing-masing kualitas kredit tersebut di atas dapat dijelaskan berdasarkan tabel berikut ini. Tabel 3.1. Penentuan Kriteria Kolektibilitas Kredit Perbankan 62 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara Pengurusan Piutang Negara 63 64 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara Pengurusan Piutang Negara 65 66 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara Sumber: Lampiran I Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/ 3 /DPNP tanggal 31 Januari 2005 Pengurusan Piutang Negara 67 Pada tahap awal, penyelamatan kredit macet dapat ditempuh melalui beberapa cara yaitu: 1. penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak; 2. persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau keseluruhan syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit, dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi equity perusahaan; 3. penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut: Ø penanaman dana bank dan/atau; Ø konversi seluruh, atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru dan/atau; Ø konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan. Selain penyelamatan melalui tindakan tersebut di atas, penanganan terakhir kredit macet dapat dilakukan melalui Lembaga Penyelesaian Piutang. Bagi bank milik pemerintah penyelamatan kredit macetnya wajib diserahkan ke PUPN/BUPLN, sesuai Pasal 8 jo Pasal 12 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN. Adanya dan Besarnya Piutang Negara Telah Pasti Menurut Hukum Apa yang dimaksud dengan adanya dan besarnya piutang negara telah pasti menurut hukum itu? Dalam kalimat tersebut di atas, terdapat 2 (dua) syarat kepastian hukum yang harus dipenuhi agar piutang negara dapat diterima dan dilakukan pengurusannya oleh PUPN/ DJPLN, yaitu adanya piutang negara dan besarnya piutang negara. Kepastian hukum tentang dua hal tersebut merupakan syarat dasar yang harus dipenuhi untuk terbitnya produk hukum PUPN yang bersifat parate eksekusi. Tanpa adanya kepastian hukum atas kedua hal tersebut, maka piutang dimaksud menjadi “tidak laik” urus dan PUPN/DJPLN wajib menolak penyerahan kasus dimaksud. Azas ini tercantum dalam Pasal 4 butir 2 UU Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN yang berbunyi: 68 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara “Piutang negara yang diserahkan sebagaimana tersebut dalam angka 1 di atas, ialah piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, akan tetapi yang menanggung hutangnya tidak melunasinya sebagaimana mestinya”. Adanya dan Besarnya Piutang Negara Perbankan Khusus untuk Piutang Negara Perbankan (PNP), keberadaan atau timbulnya piutang negara sebagian besar atau hampir seluruhnya didasarkan pada adanya perjanjian, yaitu perjanjian pemberian kredit antara bank sebagai kreditor dengan debitor. Perjanjian pemberian kredit ini biasa disebut dengan istilah “Perjanjian Kredit“ atau lazim disingkat dengan PK, sebagian bank menyebutnya dengan singkatan PMK (Perjanjian Membuka Kredit). Jadi, adanya piutang negara perbankan harus dibuktikan dengan keberadaan PK. Tanpa adanya dokumen PK, maka suatu piutang sulit atau tidak mungkin dibuktikan keberadaannya, atau patut diragukan keberadaannya. Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu, terdapat kemungkinan bahwa PK tidak ada, sehingga untuk membuktikan adanya piutang negara perbankan diperlukan Pengakuan Hutang yang dibuat oleh Penanggung Hutang. Dalam praktek sering seorang debitor tidak mengakui bahkan menolak mempunyai hutang kepada bank. Apalagi menghadapi “debitor nakal”, maka tanpa adanya bukti PK, PUPN/DJPLN akan mengalami kegagalan dalam menjalankan kewajibannya melakukan pengurusan piutang negara. Walaupun secara teori hukum suatu perjanjian itu dapat juga dilakukan secara lisan, namun hampir tidak mungkin dapat dibuktikan keberadaannya apabila kasus kredit macet ini oleh debitor dibawa ke sidang pengadilan (perdata). Berbeda dengan sistem peradilan pidana, menurut sistem hukum acara perdata di Indonesia, hakim bersifat pasif dan putusannya sangat bergantung kepada argumentasi serta alat-alat bukti, termasuk PK yang diajukan para pihak, baik tergugat (PUPN/DJPLN), maupun penggugat (debitor). Walaupun dokumen PK memang ada, belum tentu dapat menjamin kelancaran dalam pengurusan piutang negara, karena masih banyak ramburambu hukum yang harus diperhatikan seperti syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, batal (nietig) dan pembatalan (vernietigbaar) suatu perjanjian, saat dan tempat lahirnya suatu perjanjian, adanya wanprestasi (ingkar janji) dalam suatu perjanjian dengan segala akibat-akibat hukumnya, hapusnya suatu perjanjian serta rambu-rambu hukum lain yang siap menghadang apabila PUPN/DJPLN kurang hati-hati dalam mengantisipasinya. Sikap hati-hati inilah yang harus selalu dipedomani oleh PUPN/DJPLN dalam memberikan Pengurusan Piutang Negara 69 pertimbangan serta mengambil keputusan, apakah penyerahan suatu kasus kredit macet dari Penyerah Piutang dapat diterima untuk diurus atau ditolak. Setiap penyerahan kasus piutang macet harus diteliti terlebih dahulu dengan cermat dan hasilnya dituangkan dalam suatu formulir “Resume Hasil Penelitian Kasus” (RHPK). Dipandang dari sudut hukum, Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu perjanjian termasuk PK dianggap sah apabila memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu: 1. adanya kata sepakat antara para pihak; 2. para pihak mempunyai kecakapan dalam membuat perjanjian; 3. perjanjian dibuat mengenai suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal. Dua syarat pertama disebut sebagai syarat subyektif, karena menyangkut persyaratan orang-orangnya atau subyek hukum yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat obyektif, karena menyangkut obyek perjanjian dari perbuatan hukum yang dilakukan daalam perjanjian tersebut. Apabila suatu kredit macet diserahkan pengurusannya oleh bank kepada PUPN/DJPLN pada tanggal 1 Agustus 2005 yang didukung oleh suatu perjanjian kredit yang dibuat pada tanggal 10 Januari 2000, maka PUPN/DJPLN harus berhati-hati melakukan penelitian atas kasus dimaksud, misalnya pihak debitor diketahui lahir pada tanggal 15 Desember 1983. Pada saat perjanjian dibuat, yaitu pada tanggal 10 Januari 2000, si debitor baru berumur kurang dari 17 tahun, sehingga perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat subyektif sahnya suatu perjanjian, termasuk PK, karena dalam hukum perdata yang berlaku di Indonesia, seseorang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum termasuk membuat perjanjian apabila telah berumur 21 tahun. Demikian juga dengan syarat-syarat lain tentang sahnya suatu perjanjian, harus pula dicermati secara mendalam. Sebagai contoh misalnya suatu bank memberi kredit kepada seorang/perusahaan importir atau produsen/pabrik obat. Apabila ternyata uang hasil pinjaman tersebut digunakan untuk mengimpor barang yang terlarang tanpa ijin resmi seperti mengimpor senjata api, atau digunakan untuk mendirikan pabrik ekstasi, apakah piutang macet tersebut dapat diterima untuk diurus oleh PUPN/DJPLN? Satu hal yang jelas adalah bahwa perjanjian demikian tidak memenuhi syarat obyektif sahnya suatu perjanjian. Kepastian besarnya piutang negara perbankan dapat dibuktikan dengan dokumen yang lazim diterbitkan oleh bank, yaitu berupa: 70 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara 1. Rekening Koran (RK) yang menunjukkan adanya/terjadinya mutasi dana keluar/masuk, baik mutasi atas hutang pokok maupun hutang bunga, denda dan ongkos-ongkos (BDO). Atas dasar RK tersebut dapat diketahui kapan suatu kredit termasuk kategori kurang lancar, diragukan dan macet. 2. Prima Nota, yaitu catatan-catatan yang dibuat oleh bank tentang mutasi keuangan debitor yang dibuat secara manual dalam hal tidak ada atau tidak dibuat rekening koran. 3. Dokumen lain yang dipersamakan dengan Rekening Koran ataupun Prima Nota. 4. Surat Pengakuan Hutang yang dibuat oleh debitor yang berisi pengakuan besarnya jumlah hutang yang diterima olehnya dari bank, biasanya disertai pula dengan besarnya beban bunga yang harus ditanggung debitor. Konstruksi besaran Piutang Negara Perbankan yang diserahkan oleh Penyerah Piutang kepada PUPN terdiri dari: 1. Hutang Pokok. 2. Hutang Bunga, yang terdapat bermacam-macam variasi sesuai dengan yang diperjanjikan kedua belah pihak. Cara pembebanan bunga ini antara lain adalah fix rate, sliding rate, floating rate dan sebagainya. 3. Denda atas kelambatan pembayaran angsuran hutang pokok dan bunga. 4. Ongkos-ongkos yang lazim diperjanjikan seperti biaya pemasangan hipotik/hak tanggungan, asuransi kebakaran dsb. Butir 2, 3 dan 4 di atas biasa disingkat dengan istilah BDO (Bunga, Denda dan Ongkos-Ongkos). Besarnya BDO yang boleh diperhitungkan paling lama 6 bulan setelah kredit di kategorikan macet berdasarkan peraturan tentang kategori kredit perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (Pasal 11 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002). Sebagai gambaran di bawah ini disampaikan contoh perhitungan jumlah PNP2. 2 Contoh yang diberikan di sini adalah perhitungan yang dilakukan pada saat masih berlakunya ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 376/KMK.01/1998 yang telah diganti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, namun cara perhitungan jumlah piutang negara di dalam kedua ketentuan tersebut tidak berbeda. Selain itu, pada saat perhitungan tersebut dilakukan, aturan tentang penentuan kategori kredit 71 Pengurusan Piutang Negara 1. Sesuai dengan surat penyerahan pengurusan piutang Negara dari Kreditor (Bank Raja Intan), PT. ANGPAU sebagai Penanggung Hutang mempunyai kewajiban untuk membayar hutang sebesar Rp. 446.301.975.459,72 dengan rincian sebagai berikut: Keterangan KMK KI Bridging loan Tunggakan Pokok Rp. 5.900.000.000,00 Rp. 77.400.000.000,00 Rp. 5.000.000.000,00 Tunggakan Bunga Rp. 8.017.339.583,34 Rp. 111.063.920.883,2 Rp. 7.086.920.884,00 Denda Rp. 18.303.796.825,75 Rp. 211.871.611.200,5 Rp. 1.676.548.122,93 Total Kewajiban Rp. 32.221.136.409,09 Rp. 400.335.532.083,7 Rp. 13.745.468.966,93 2. KP3N Jakarta I (sekarang KP2LN Jakarta II) telah melakukan perhitungan jumlah hutang sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 293/KMK.09/1993 tanggal 27 Februari 1993 Pasal 9 ayat (2), sehingga jumlah hutang (27 bulan sejak diragukan) menjadi sebesar Rp.253.220.585.145,47 dengan rincian sebagai berikut: Keterangan KMK KI Bridging loan Tunggakan Pokok Rp. 5.900.000.000,00 Rp. 77.400.000.000,00 Rp. 5.000.000.000,00 Tunggakan Bunga Rp. 5.254.228.472,22 Rp. 73.995.476.438,73 Rp. 2.925.070.694,01 Denda Rp. 9.531.286.393,44 Rp. 71.537.975.024,12 --- perbankan yang berlaku saat itu adalah Surat Edaran (SE) Bank Indonesia Nomor 30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 yang saat ini telah diganti dengan SE Bank Indonesia Nomor 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Di dalam SE Bank Indonesia Nomor 30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 telah diatur bahwa kredit dapat dinyatakan macet apabila terjadi tunggakan pokok atau denda selama 270 hari, sedangkan di dalam SE Bank Indonesia Nomor 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005, diatur bahwa kredit dapat dinyatakan macet apabila terdapat tunggakan pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari. 72 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara Biaya lainnya --- Rp. 1.676.548.122,95 --- Total Kewajiban Rp.20.685.514.865,66 Rp.224.609.999.585,8 Rp.7.925.070.694,01 3. Atas jumlah hutang tersebut, KP3N Jakarta I telah melakukan perhitungan kembali jumlah hutang sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 376/KMK.01/1998 tanggal 31 Juli 1998 Pasal 9 ayat (1) dan (2) dan sesuai Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998, kredit dikategorikan macet apabila terdapat tunggakan angsuran pokok, bunga atau denda selama 270 hari, sehingga jumlah hutang menjadi sebesar Rp. 136.205.124.529,00 dengan rincian sebagai berikut: Keterangan KMK KI Tunggakan Pokok Rp. 5.900.000.000,00 Rp. 77.400.000.000,00 Rp. 5.000.000.000,00 Tunggakan Bunga Rp. 1.165.545.000,00 Rp. 15.638.670.000,00 Rp. 900.000.000,00 Denda Bunga Rp. 1.748.317.500,00 Rp. 23.458.005.000,00 Rp. 450.000.000,00 Biaya lainnya --- Rp. 2.633.161.061,00 Rp. 45.000.000,00 Biaya lainnya *) --- Rp. 1.676.548.122,95 Total Kewajiban Rp.9.005.740.345,63 Rp.120.804.384.183,95 Bridging loan --Rp.6.395.000.000,00 *) Ket : biaya premi asuransi kebakaran yang telah dibayarkan oleh pihak bank 4. Rincian perhitungan jumlah hutang PT. Angpau tersebut adalah sebagai berikut: a. Kredit Modal Kerja (KMK) Pokok = Rp.5.900.000.000,00 Bunga Rata-rata = 26,34% (weighted average interest) Denda pokok/Bunga = sebesar bunga ditambah 50% (150% dari bunga) Perhitungan kolektibilitas kredit macet menurut SE Bank Indonesia Nomor 30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 adalah apabila terjadi tunggakan bunga/denda selama 270 hari, sehingga perhitungan menggunakan rumus: Jumlah hutang macet sebesar: - Bunga : 270/360 x tingkat bunga x jumlah hutang pokok Pengurusan Piutang Negara 73 - Denda Pokok : 270/360 x 150% x tingkat bunga x jumlah hutang pokok - Denda Bunga : dihitung per bulan tergantung jumlah bunga yang tertinggal atau 30/360 x 150% x tingkat bunga x bunga tertunggak Perhitungan Hutang Macet: Hutang Pokok = Rp.5.900.000.000,00 Hutang Bunga = 270/360 x 26,34% x Rp.5.900.000.000,00 = Rp.1.165.545.000,00 Denda Pokok = 270/360 x 150% x 26,34% x Rp.5.900.000.000 = Rp.1.748.317.500,00 Denda Bunga = Bunga tertunggak per bulan (debitor tidak pernah melakukan pembayaran angsuran) = 30/360 x 26,34% x Rp.5.900.000.000 = Rp. 129.505..000,00 Denda bunga bulan I = 30/360 x 150% x 26,34% x Rp.129.505.000,00 = Rp.4.263.952,13 Denda bunga bulan II = 30/360 x 150% x 26,34% x Rp.259.010.000,00 = Rp. 8.527.904,25 Denda bunga bulan III = 30/360 x 150% x 26,34% x Rp.388.515.000,00 = Rp. 12.791.856,38 Denda bunga bulan IV = 30/360 x 150% x 26,34% x Rp.518.020.000,00 = Rp. 17.055.808,80 Denda bunga bulan V = 30/360 x 150% x 26,34% x Rp.647.525.000,00 = Rp. 21.319.760,63 Denda bunga bulan VI = 30/360 x 150% x 26,34% x Rp.777.030.000,00 = Rp. 25.583.712,75 74 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara Denda bunga bulan VII Denda bunga bulanVIII Denda bunga bulan IX Total denda bunga Total Hutang KMK: Pokok Bunga Denda Bunga Denda Pokok b. Kredit Investasi (KI) Pokok Bunga Rata-rata Denda Pokok/Bunga = 30/360x 150% x 26,34% x Rp.906.535.000,00 = Rp.29.847.664,88 = 30/360x 150% x 26,34% x Rp.10.360.400.000,00 = Rp.34.111.617,00 = 30/360x 150% x 26,34% x Rp.11.655.450.000,00 = Rp.38.375.569,13 = Rp. 191.877.845,63 = Rp. 5.900.000.000,00 = Rp. 1.165.545.000,00 = Rp. 191.877.845,63 = Rp. 1.748.317.500,00 = Rp. 9.005.740.345,63 + = Rp.77.400.000.000,00 = 26,94% = sebesar bunga ditambah 50% (150% dari bunga) Perhitungan kolektibilitas hutang macet menurut SE Bank Indonesia Nomor 30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 adalah apabila terjadi tunggakan bunga/denda selama 270 hari, sehingga perhitungan menggunakan rumus: Jumlah Hutang macet sebesar: - Bunga : 270/360 x tingkat bunga x jumlah hutang pokok - Denda pokok : 270/360 x 150% x tingkat bunga x jumlah hutang pokok - Denda Bunga : dihitung per bulan tergantung jumlah bunga yang tertinggal atau 30/360 x 150% x tingkat bunga x bunga tertunggak Pengurusan Piutang Negara 75 Perhitungan Hutang Macet: Hutang Pokok = Rp.77.400.000.000,00 Hutang Bunga = 270/360 x 26,94% x Rp.77.400.000.000,00 = Rp.15.638.670.000,00 Denda Pokok = 270/360 x 150% x Rp.77.400.000.000 = Rp.23.458.005.000,00 Denda Bunga = Bunga tertunggak per bulan (debitor tidak pernah melakukan pembayaran angsuran) = 30/360 x 26,94% x Rp.77.400.000.000 = Rp. 1.737.630.000,00 Denda bunga bulan I = 30/360 x 150% x 26,94% x Rp.1.737.630.000,00 = Rp.58.514.690,25 Denda bunga bulan II = 30/360 x 150 % x 26,94 % x Rp.3.475.260.000,00 = Rp. 117.029.380,50 Denda bunga bulan III = 30/360 x 150 % x 26,94 % x Rp.5.212.890.00000 = Rp. 175.544.070,80 Denda bunga bulan IV = 30/360 x 150 % x 26,94 % x Rp.6.950.520.000,00 = Rp. 234.058.761,00 Denda bunga bulan V = 30/360 x 150 % x 26,94 % x Rp.8.688.150.000,00 = Rp. 292.573.451,30 Denda bunga bulan VI = 30/360 x 150 % x 26,94 % x Rp.10.425.780.000,00 =Rp. 351.088.141,50 Denda bunga bulan VII = 30/360x 150 % x 26,94 % x Rp.12.163.410.000,00 = Rp. 409.602.831,80 Denda bunga bulanVIII = 30/360 x 150 % x 26,94 % x Rp.13.901.040.000,00 = Rp.468.117.522,00 76 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara Denda bunga bulan IX = 30/360 x 150 % x 26,94 % x Rp.15.638.670.000,00 = Rp.526.632.212,30 Total denda bunga = Rp.2.633.161.061,00 Denda Pokok = 150% x 270/360 x 26,94% x Rp.77.400.000.000,00 = Rp.23.458.005.000,00 Total Hutang KI : Pokok = Rp. 77.400.000.000,00 Bunga = Rp. 15.638.670.000,00 Denda Bunga = Rp. 2.633.161.061,00 Denda Pokok = Rp. 23.458.005.000,00 + =Rp. 119.127.836.061,00 c. Bridging Loan Pokok = Rp.5.000.000.000,00 Bunga Rata-rata = 24% Denda Pokok/Bunga = 50% dari bunga Perhitungan kolektibilitas hutang macet menurut SE Bank Indonesia Nomor 30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 adalah apabila terjadi tunggakan bunga/denda selama 270 hari, sehingga perhitungan menggunakan rumus: Jumlah Hutang macet sebesar: - Bunga : 270/360 x tingkat bunga x jumlah hutang pokok - Denda pokok : 270/360 x tingkat bunga x 0,5% x jumlah hutang pokok - Denda Bunga : dihitung per bulan tergantung jumlah bunga yang tertinggal atau 30/360 x tingkat bunga x bunga tertunggak Perhitungan Hutang Macet: Hutang Pokok = Rp.5.000.000.000,00 Hutang Bunga = 270/360 x 24% x Rp.5.000.000.000,00 = Rp.900.000.000,00 Denda Pokok = 270/360 x 24% x 0,5 x Rp.5.000.000.000 = Rp.450.000.000,00 Pengurusan Piutang Negara 77 Denda Bunga = Bunga tertunggak per bulan (debitor tidak pernah melakukan pembayaran angsuran) = 30/360 x 24% x Rp.5.000.000.000 = Rp. 100.000.000,00 Denda bunga bulan I = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.100.000.000,00 = Rp.1.000.000,00 Denda bunga bulan II = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.200.000.000,00 = Rp.2.000.000,00 Denda bunga bulan III = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.300.000.000,00 = Rp.3.000.000,00 Denda bunga bulan IV = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.400.000.000,00 = Rp.4.000.000,00 Denda bunga bulan V = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.500.000.000,00 = Rp.5.000.000,00 Denda bunga bulan VI = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.600.000.000,00 = Rp.6.000.000,00 Denda bunga bulan VII = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.700.000.000,00 = Rp.7.000.000,00 Denda bunga bulan VIII = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.800.000.000,00 = Rp.8.000.000,00 Denda bunga bulan IX = 30/360 x 24 % x 0,5 x Rp.900.000.000,00 = Rp. 9.000.000,00 Total denda bunga = Rp. 45.000.000,00 Total Hutang Bridging Loan: Pokok = Rp. 5.000.000.000,00 Bunga = Rp. 900.000.000,00 Denda Bunga = Rp. 45.000.000,00 Denda Pokok = Rp. 450.000.000,00 + = Rp. 6.395.000.000,00 Dari contoh perhitungan jumlah Piutang Negara Perbankan tersebut di atas, jelas terlihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara perhitungan menurut kreditor dengan perhitungan menurut PUPN/KP3N sebagai berikut : 78 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara - Menurut Bank (Kreditor) ………….. Rp.446.301,975,459,72 Menurut PUPN/KP3N ………….. Rp.253.220,585,145,47 _ Selisih …………. Rp.193.081,390,314,25 Selisih jumlah piutang negara yang cukup besar tersebut di atas (Rp 193.081,390,314,25), merupakan resiko yang harus ditanggung oleh PT. Bank Raja Intan selaku kreditor sebagai akibat tidak segera menyerahkan pengurusan kredit macetnya kepada PUPN sesuai ketentuan kolektibilitas kredit perbankan yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Adanya dan Besarnya Piutang Negara Non Perbankan Sebagian besar Piutang Negara Non Perbankan (PNNP) timbul atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk hutang pajak dan Piutang Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebagai contoh adalah: 1. Iuran Hasil Hutan (IHH) dan PSDH, dipungut dari Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dalam rangka reboisasi, pembangunan hutan tanaman industri dan rehabilitasi lahan hutan. Dasar hukum pungutan IHH dan PSDH adalah Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1990 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1998, beserta segenap peraturan pelaksanaannya seperti Keputusan Menteri Kehutanan, Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan dan sebagainya. 2. Sanksi denda atas pelanggaran ketentuan pasar modal yang terhutang berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Pasar Modal beserta segenap peraturan pelaksanaannya. Piutang Negara yang diurus oleh PUPN/DJPLN berupa “sanksi denda” atas kelambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) undang-undang tersebut. 3. Tunggakan biaya perawatan dan obat, yang terhutang berdasarkan pernyataan kesanggupan pasien untuk menyelesaikan segala biaya perawatan yang dilengkapi dengan surat peringatan pembayaran dan kwitansi penagihannya. Dengan demikian bukti adanya PNNP selain atas dasar peraturan, juga didasarkan atas sebab-sebab lain yang sah. Seperti surat pernyataan kesanggupan membayar dari debitor (Penanggung Hutang), surat peringatan pembayaran, dan lain-lain seperti Surat Perintah Kerja (SPK). Pengurusan Piutang Negara 79 Selanjutnya kepastian besarnya PNNP dapat dibuktikan dengan berbagai dokumen yang beragam dan tidak sama di antara masing-masing PP. selain dokumen yang berupa rekening seperti rekening listrik, telepon, air, dapat juga berupa surat pernyataan kesanggupan membayar dari pasien suatu rumah sakit disertai rincian kwitansi, bon sementara, pinjaman (kepada karyawan), uang muka (persekot) dan sebagainya. Dokumen pendukung adanya dan besarnya PNNP sering kurang jelas dan tidak lengkap, bahkan sering terjadi penyerahan tanpa dilengkapi dengan dokumen pendukung. Hal ini dapat terjadi mengingat bidang usaha dan kegiatannya tidak selalu menuntut adanya bukti otentik. Besarnya PNNP dihitung berdasarkan perhitungan pada saat piutang jatuh tempo. Dalam hal terdapat pembebanan BDO, maka perhitungan BDO tersebut ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah piutang jatuh tempo, kecuali ditetapkan tersendiri berdasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku. Sebagai gambaran di bawah ini disampaikan contoh perhitungan jumlah PNNP. Sesuai penyerahan pengurusan piutang Negara dari PP, telah ditetapkan jumlah piutang negara sebagai berikut : 1. Kasus Pertama - Nama Debitor : PT Mainan Utama - Penyerah Piutang : Bodipam - Jenis Piutang Negara : Sanksi Denda atas pelanggaran ketentuan pasar modal - Surat Penyerahan : S-1779/PM/2005 tanggal 06 Juni 2005 - Alamat Debitor : Menara Imperium Lt.16 Suite B, Metropolitan Kuningan Superblok Kav.1 Jl. HR. Rasuna Said, Jakarta - Jumlah Penyerahan : Hutang Pokok : Rp.46.000.000,00 (denda kelambatan pembayaran Bunga : Rp. 920.000,00 (bunga 2%/bulan sesuai Pasal 17 UU No.20/1997 tentang PNBP) - Jumlah Penetapan Piutang Negara Ditetapkan sejumlah penyerahan, yaitu Rp.46.000.000,00 + Rp.920.000,00 = Rp.46.920.000,00 80 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara 2. Kasus Kedua - Penyerah Piutang : RSUP Flamboyan - Debitor : Tn. Ali - Jenis Piutang Negara : Tunggakan biaya perawatan dan obat - Dasar Hukum Terjadinya Piutang : - Surat pernyataan kesanggupan penyelesaian biaya-biaya - Kwitansi tagihan - Surat peringatan pembayaran - Jumlah Penyerahan : Biaya Perawatan : Rp.3.481.150,00 Biaya Obat : Rp.1.018.850,00 Jumlah : Rp.4.500.000,00 - Jumlah Penetapan Piutang Negara Ditetapkan sejumlah penyerahan, yaitu Rp.4.500.000,00 3. Kasus Ketiga - Penyerah Piutang - Surat Penyerahan - Debitor - Jenis Piutang Negara - Jumlah Penyerahan Hutang Pokok Bunga Jumlah : Dinas Kehutanan Jaya Mania : 737/1./12 tanggal 30 Agustus 2000 : Harga Diri : Tunggakan pembayaran DR dan IHH : : Rp.1.542.008.212,29 : Rp.3.532.649.170,39 : Rp.5.074.657,382,68 Perhitungan denda dikoreksi sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dengan ketentuan bunga sebesar 2% per bulan paling banyak 24 bulan dari jumlah hutang, sehingga sesuai surat Penyerah Piutang (Dinas Kehutanan Propinsi Jayamania Nomor: 802/1.712 tanggal 14 September 2004, jumlah hutang penyerahan ditetapkan sebagai berikut : Hutang Pokok = Rp.1.542.008.212,29 Bunga (2%, 24 Bulan) = Rp. 740.211.941,90 + Pengurusan Piutang Negara 81 Jumlah = Rp.2.282.220.154,19 Sehingga jumlah piutang negara ditetapkan sebesar Rp.2.282,220,154,19 Hutang penyerahan semula sebesar Rp 5.074.657.382,68 Ditetapkan sebesar ……..………….. Rp 2.282.220.154,19 _ Selisih ......……….. Rp 2.792.437.228,49 Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara Dalam setiap kasus piutang negara yang diterima dan dilakukan pengurusannya oleh PUPN/DJPLN dikenakan pungutan negara yang disebut Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN). Biad PPN ini secara resmi dibebankan kepada debitor, bukan kepada kreditor. Biad PPN ini termasuk kategori penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Ketentuan tentang Biad PPN telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Keuangan. Biad PPN diatur dalam Pasal 4 ayat (5), huruf g, h, i dan j. Secara garis besar dapat dijelaskan bahwa terdapat 4 (empat) macam tarif Biad PPN, yaitu sebesar 0%, 1%, 10% dan 2,5%. Untuk jenis PNBP mana saja masing-masing tarif tersebut diterapkan? Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Tarif 0% diterapkan apabila debitor telah melunasi hutangnya sebelum kasus hutangnya secara resmi diterima oleh PUPN/DJPLN. Penerimaan Kasus Piutang Negara ditandai dengan diterbitkannya Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara atau disingkat SP3N. SP3N ditanda tangani oleh Ketua PUPN Cabang dan merupakan “peristiwa hukum” teramat penting yang mendahului pembuatan PB. Dengan terbitnya SP3N, maka dalam penagihan / penyelesaian piutang negara berlaku rezim hukum PUPN, tidak lagi berlaku rezim hukum perdata sebagaimana diatur dalam Buku III KUHP tentang Perikatan (Verbintenis). 2. Tarif 1% diterapkan apabila debitor melunasi seluruh hutangnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan yang dihitung dari sejak tanggal diterbitkannya SP3N. 82 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara 3. Tarif 10% diterapkan apabila debitor melunasi seluruh hutangnya dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan yang dihitung dari sejak tanggal diterbitkannya SP3N. 4. Tarif 2,5% diberlakukan apabila kreditor melakukan penarikan kasus piutang negara yang sedang dilakukan pengurusannya oleh PUPN / DJPLN dengan alasan untuk dilakukan upaya penyehatan terhadap usaha debitor dengan jalan rescheduling, restructuring, ataupun reconditioning (3R). Biad 2,5% dihitung dari sisa hutang yang masih harus diselesaikan oleh debitor yang bersangkutan. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Adanya pengenaan Biad PPN memberikan suatu penegasan sekaligus suatu ciri khusus bahwa telah terjadi perubahan status hukum yang semula berupa perjanjian utang piutang biasa antara kreditor dan debitor (hubungan hukum perdata) berubah menjadi hubungan hukum publik, yaitu antara Negara yang diwakili PUPN/DJPLN sebagai kreditor baru dengan debitor selaku warga negara pada umumnya. 2. Melihat susunan tarif Biad PPN, terkandung unsur “Reward and Punishment”, dalam arti debitor yang segera melunasi hutangnya akan memperoleh tarif yang lebih rendah, bahkan nol persen, jika dibandingkan dengan debitor yang lamban dalam menyelesaikan hutangnya. Disini tercermin adanya azas pengurusan piutang negara yang cepat, efektif, efisien dengan hasil yang optimal. 3. Biad PPN merupakan PNBP yang dibebankan kepada debitor sehingga negara memperoleh tambahan penerimaan dengan jumlah yang tidak kecil, di samping hasil utama yang diperoleh berupa piutang negara yang berhasil ditarik kembali /diamankan. Uraian lebih lengkap tentang Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara terdapat pada Bab 13. Pengurusan Piutang Negara 83 Rangkuman Tujuan yang hendak dicapai dalam pengurusan piutang negara tidak terlepas dari tujuan dibentuknya PUPN, yaitu melakukan pengurusan piutang negara secara singkat dan efektif dengan hasil yang optimal, terutama terhadap Penanggung Hutang yang “nakal”, yang dengan segala tindakannya terangterangan merugikan negara. Walaupun demikian, pelaksanaan pengurusan piutang negara tetap memperhatikan azas-azas kepatutan, keadilan, serta dengan memberikan kepastian hukum kepada para Penanggung Hutang. Hal ini tidak terlepas dari keseluruhan sistem Pengelolaan Keuangan Negara yang harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Tidak hanya hak negara untuk menagih piutang negara saja yang ditonjolkan, tetapi hak-hak debitor harus juga diperhatikan sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan. Agar tujuan pengurusan piutang negara dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya, maka dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan azas-azas atau prinsip-prinsip pokok sebagai berikut: 1. Prosedur pengurusan piutang negara secara khusus dengan menggunakan prinsip cepat, efektif, dan efisien (lex specialis) dan tidak menggunakan prosedur biasa yang tersedia dalam Hukum Acara Perdata biasa (lex generalis). Hal ini dilakukan dengan menempuh prosedur: Ø Pembuatan Pernyataan Bersama; Ø Surat Paksa; Ø Sita dan Lelang; Ø Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia; dan Ø Penyanderaan/Paksa Badan. 2. Piutang negara yang diurus oleh PUPN adalah piutang negara yang telah macet. Untuk piutang negara perbankan, ukuran yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu piutang telah termasuk kategori piutang macet adalah dengan memperhatikan ketentuan kolektibilitas kredit perbankan yang diatur oleh Bank Indonesia; 3. Kepastian menurut hukum mengenai adanya dan besarnya piutang negara yang dibuktikan dan didukung oleh dokumen-dokumen yang mendasari terjadinya piutang (perjanjian kredit, misalnya) dan dokumen-dokumen yang menunjukkan besarnya piutang (misalnya rekening koran); 84 Bab 3 : Tujuan dan Asas-asas Pengurusan Piutang Negara 4. Adanya pungutan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN), yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dimana di dalamnya terdapat unsur “reward and punishment” sebagai insentif bagi debitor yang bersedia untuk segera menyelesaikan hutangnya. - o0o - Latihan Untuk mengingatkan kembali materi yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di bawah ini: 1. Jelaskan apa yang menjadi tujuan pengurusan piutang negara! 2. Sebutkan 4 (empat) azas yang harus diperhatikan oleh PUPN/DJPLN dalam melakukan pengurusan piutang negara! 3. Dapatkah Pernyataan Bersama disamakan dengan novasi (pembaharuan) piutang yang lazim digunakan dan dikenal dalam hukum perdata di Indonesia? Jelaskan pendapat anda! 4. Dasar timbulnya Piutang Negara Perbankan (PNP) berasal dari Perjanjian Kredit (PK) yang dibuat oleh pihak kreditor dengan pihak debitor. Jelaskan apa yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian, termasuk PK, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) di Indonesia! Bagaimana kaitannya dengan pengurusan piutang negara? 5. Apakah yang menjadi isi pokok Pernyataan Bersama itu? Bagaimana kedudukan Pernyataan Bersama dalam konstelasi hukum di Indonesia, jelaskan jawaban anda! - o0o - BAB 4 INSTANSI YANG MENGURUS PIUTANG NEGARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 49 PRP. TAHUN 1960 Sasaran Pembelajaran Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan memahami instansi yang mengurus piutang negara berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, serta sejarah dan perkembangan kelembagaannya. Pendahuluan 86 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara Sesuai dengan amanat Pasal 1 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN, Pemerintah1 selaku pemegang kewenangan eksekutif telah membentuk Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Tugas utama PUPN adalah melakukan pengurusan piutang negara dengan cara yang cepat dan efektif dalam rangka pengamanan Keuangan Negara. Tugas PUPN dalam pengurusan piutang negara diwujudkan dalam penerbitan produk-produk hukum sebagai dasar pengurusan piutang negara, sedangkan operasionalisasi atas produk-produk hukum tersebut dilaksanakan oleh suatu Badan yang disebut Badan Pelaksana Administrasi (BPA). BPA ini dalam perjalanan waktu telah beberapa kali mengalami reorganisasi, yaitu berubah menjadi Badan Urusan Piutang Negara (BUPN), kemudian menjadi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, dan terakhir berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 jo Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 berubah lagi menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN). Perkembangan kelembagaan PUPN dan Badan Pelaksana Administrasi tersebut akan diuraikan lebih rinci berikut ini. Perkembangan Kelembagaan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Perkembangan kelembagaan PUPN dapat dibagi dalam dua periode, yaitu periode tahun pembentukan PUPN sampai dengan tahun 2002, dan periode setelah tahun 2002 sampai dengan saat ini. Masing-masing periode perkembangan tersebut diuraikan secara lengkap berikut ini. Perkembangan PUPN sampai dengan Tahun 2002 Sebagaimana uraian latar belakang terbitnya Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 pada Bab 2, berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, negara Indonesia kembali ke keadaan tertib sipil mulai tanggal 16 Desember 1960. Dalam situasi tertib sipil tersebut, maka dasar hukum yang memayungi Keputusan Penguasa Perang Pusat (yaitu Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950) menjadi tidak berlaku lagi. Oleh karena itu, seluruh 1 Pada tahun terbitnya Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, Pemerintahan masih dipimpin oleh Menteri Pertama (atau Perdana Menteri), dan bukan oleh Presiden. Pengurusan Piutang Negara 87 Keputusan Penguasa Perang Pusat berikut semua aturan pelaksanaannya juga tidak akan berlaku lagi. Salah satu keputusan yang telah diterbitkan oleh Penguasa Perang Pusat adalah Keputusan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Kpts/Peperpu/0241/1958 tanggal 6 April 1958 tentang Pembentukan Panitia Penyelesaian Piutang Negara. Keputusan tersebut mengatur pembentukan Panitia Penyelesaian Piutang Negara dengan tugas melakukan penyelesaian piutang negara dengan cara Parate Eksekusi, (melaksanakan sendiri putusan-putusannya seperti surat paksa, sita, lelang dan keputusan hukum lainnya tanpa harus meminta bantuan lembaga peradilan). Tidak terkecuali, dalam keadaan negara yang tertib sipil, keputusan Penguasa Perang Pusat tentang pembentukan Panitia Penyelesaian Piutang Negara tersebut juga tidak akan berlaku lagi. Namun demikian, tugas dan kewenangan Panitia Penyelesaian Piutang Negara (P3N) untuk menyelesaikan piutang (tagihan-tagihan) negara secara cepat dan efisien masih dipandang relevan untuk tetap dilaksanakan. Oleh karena itu, sebelum Keputusan Penguasa Perang Pusat tersebut dicabut, maka dipandang perlu untuk menyusun suatu ketentuan pengganti yang dapat mempertahankan eksistensi tugas dan kewenangan pengurusan piutang negara yang cepat dan efisien. Pada tanggal 14 Desember 1960, dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Pemerintah membentuk Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) sebagai pengganti P3N. Guna melestarikan dan mempertahankan eksistensi kewenangan P3N, maka PUPN juga diberikan kewenangan parate eksekusi dalam melaksanakan tugasnya. Susunan keanggotaan PUPN adalah: 1. Dua Pejabat Departemen Keuangan. 2. Seorang Pejabat Bank Indonesia. 3. Seorang Pejabat Sekretariat Negara. 4. Seorang Pejabat Angkatan Perang. 5. Seorang Pejabat Kejaksaan Agung. Untuk memudahkan pengurusan piutang negara di seluruh Indonesia, telah dibentuk PUPN Cabang di masing-masing ibukota provinsi. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960, yang mengatur bahwa, ”Bila dianggap perlu, di Daerah-daerah Tingkat I, dapat dibentuk Cabang PUPN dengan keputusan Menteri Keuangan”.2 2 Sejak diberlakukannya asas desentralisasi dan otonomi daerah dalam sistem pemerintahan negara, wilayah Daerah Tingkat I sudah ditiadakan dan penggunaan terminologi wilayah 88 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) tersebut, Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-731/MK/7/10/1969 tanggal 21 Oktober 1969 yang mengatur tentang organisasi, tata kerja, dan keanggotaan organisasi PUPN Pusat dan PUPN Cabang di Daerah Tingkat I. PUPN Cabang yang dibentuk atas usul Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, adalah organisasi pelaksana yang secara Organisasi dan Administrasi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua PUPN Pusat. Adapun susunan keanggotaan PUPN Cabang adalah: 1. Dua Pejabat Departemen Keuangan; 2. Seorang Pejabat Bank Indonesia; 3. Seorang Pejabat Angkatan Perang; 4. Seorang Pejabat Kepolisian; 5. Seorang Pejabat Pemerintah Daerah; dan 6. Seorang Pejabat Kejaksaan Tinggi. Untuk setiap anggota ditunjuk juga anggota penggantinya. Tugas PUPN dalam pengurusan piutang negara diwujudkan dalam penerbitan produk-produk hukum sebagai dasar pengurusan piutang negara, sedangkan operasionalisasi atas produk-produk hukum tersebut dilaksanakan oleh suatu Badan yang disebut Badan Pelaksana Administrasi (BPA). BPA dipimpin oleh seorang anggota PUPN dari Departemen Keuangan. Kegiatan operasional BPA tersebut, juga kegiatan PUPN dibiayai dengan menggunakan dana yang bersumber dari pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) dari Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. Sebelum tahun 1974 susunan organisasi departemen belum seragam dan masih banyak yang berupa jawatan-jawatan serta belum mengadopsi sistem eselonering jabatan. Pada tahun 1974 dengan Keputusan Presiden Nomor 44 dan 45 tahun 1974 Pemerintah melakukan penyeragaman susunan organisasi departemen. Penyeragaman organisasi tersebut berupa: setiap Departemen dipimpin oleh Menteri dengan Staf pembantunya yang terdiri dari Sekretariat Jenderal, Direktorat-direktorat Jenderal dan Badan-badan. Pejabatpejabatnya masing-masing disebut Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal dan Kepala-Kepala Badan yang dalam eselonering jabatan ditetapkan sebagai Eselon I. Provinsi tetap dipertahankan. Oleh karena itu, saat ini wilayah administrasi pemerintahan yang dipimpin oleh Gubernur adalah Provinsi. Pengurusan Piutang Negara 89 Untuk mengantisipasi pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 44 dan Nomor 45 tahun 1974, pada tanggal 30 Mei sampai dengan 1 Juni 1974 telah diadakan musyawarah kerja PUPN seluruh Indonesia di Pandaan Jawa Timur. Dalam musyawarah kerja tersebut telah dibicarakan kebijakan-kebijakan dan strategi untuk mempertahankan eksistensi PUPN dan BPA. Hasil-hasil musyawarah kerja tersebut, berikut tembusan surat rekomendasi dari Ketua BPK yang ditujukan kepada Presiden Nomor 861/5/8/1974 tanggal 20 Agustus 1974, dijadikan dasar oleh Departemen Keuangan untuk mengusulkan kepada Pemerintah agar melakukan reorganisasi PUPN dan BPA. Berdasarkan usul Departemen Keuangan tersebut, lahirlah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 menetapkan sekaligus dalam satu keputusan pembentukan PUPN dan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN). Dalam Keputusan Presiden tersebut ditetapkan antara lain: 1. pencabutan Keputusan Menteri Pertama Nomor 454/M-P/1961; 2. pembentukan PUPN yang bersifat interdepartemental sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960; 3. kedudukan Kepala BUPN adalah setingkat Direktur Jenderal pada Departemen Keuangan. Dengan demikian, tingkatan Kepala BUPN tersebut adalah Eselon I. Kepala BUPN secara Ex Officio adalah Ketua PUPN Pusat; 4. di beberapa Daerah Tingkat I dibentuk Kantor Wilayah BUPN. Kepala Kantor Wilayah BUPN secara Ex Officio menjabat Ketua Cabang PUPN. Menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976, Menteri Keuangan menerbitkan dua keputusan yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/MK/IV/4/1976 tentang Tata Kerja dan Organisasi BUPN dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-1075/MK/IV/8/1976 tentang Organisasi Dan Tata Kerja PUPN. Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-1075/MK/IV/8/1976 pada pokoknya berisi ketentuan sebagai berikut: 1. Pencabutan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP731//MK/7/10/1969. 2. Di daerah Tingkat I dapat dibentuk Cabang PUPN yang bertanggung jawab kepada PUPN Pusat secara organisatoris, administratif dan operatif. 3. Di daerah Tigkat II dapat dibentuk Team atau Pejabat Pelaksana Daerah. 4. Untuk kelancaran tugas PUPN Pusat dan Cabang dapat diangkat seorang Pejabat sebagai Sekretaris PUPN Pusat dan Sekretaris Cabang PUPN. 90 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara 5. PUPN Pusat berkewajiban menyampaikan laporan kepada Menteri Keuangan dan BPK. 6. PUPN Cabang dibentuk oleh Menteri Keuangan berada di Wilayah dan bertanggung jawab kepada PUPN Pusat. 7. Susunan Organisasi PUPN Cabang adalah sebagai berikut: a. Seorang Ketua yang merangkap sebagai anggota. Secara ex officio Kepala Kanwil BUPN menjadi Ketua Cabang PUPN. b. Seorang wakil dari ABRI sebagai anggota. Umumnya wakil dari ABRI adalah Kepala Oditurat Militer setempat. c. Seorang wakil Pemda Tingkat I sebagai anggota. Umumnya wakil dari Pemda Tingkat I tersebut adalah Kepala Inspektorat Wilayah Pemda Tingkat I d. Seorang wakil dari Kejaksaan Tinggi sebagai Anggota. Umumnya, wakil dari Kejaksaan Tinggi tersebut adalah Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara. e. Seorang wakil dari Bank Indonesia. Umumnya wakil dari Bank Indonesia adalah Pimpinan BI setempat. Setelah melampaui waktu yang cukup lama, yaitu + 15 tahun, sejak Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 ditetapkan, pada tahun 1989 Menteri Keuangan menetapkan kebijakan baru untuk mempertahankan eksistensi PUPN/BUPN. Bahkan, pada tingkat yang sangat menyakinkan, kebijakan tersebut juga mencakup peningkatan segala sesuatu yang terkait dengan institusi PUPN, seperti reorganisasi, peningkatan dan penambahan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM), pencukupan secara bertahap sarana dan prasarana yang diperlukan, penciptaan suasana yang kondusif, dan tertib administrasi di masing-masing kantor. Langkah pertama yang diputuskan oleh Menteri Keuangan di bidang pembenahan organisasi adalah pengalihan secara “Bedol Deso” Unit Lelang Negara dari Direktorat Jenderal Pajak ke Badan Urusan Piutang Negara pada tahun 1990. Secara “Bedol Deso” berarti seluruh perangkat lelang negara di seluruh Indonesia meliputi organisasi, jabatan dan pejabatnya, peralatan kantor, sarana dan prasarana dialihkan dari Ditjen Pajak ke BUPN. Selain itu, di bidang SDM pembenahan dilakukan dengan ditariknya atau dibebastugaskannya pimpinan teras di kantor Pusat BUPN maupun di 5 (lima) pimpinan Kantor Wilayah BUPN, sebagai gantinya ditunjuk pejabat-pejabat dari Direktorat Jenderal Moneter, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Anggaran, dan Bapeksta Departemen Keuangan. Pengurusan Piutang Negara 91 Langkah berikutnya adalah melaksanakan reorganisasi struktur BUPN menjadi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) melalui penerbitan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 tanggal 1 Juni 1991. Ketentuan yang dicabut dari Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 adalah ketentuan yang mengatur tentang Badan Urusan Piutang Negara (BUPN). Sedangkan ketentuan tentang PUPN Pusat tidak dicabut, sehingga Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 masih berlaku. Dengan demikian struktur organisasi PUPN Pusat didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976, sedangkan struktur organisasi BUPLN didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991. Penjelasan lebih lanjut mengenai struktur organisasi BUPLN, perbedaan-perbedaannya dengan struktur organisasi BUPN, pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan struktur organisasi, dan sebagainya akan diuraikan dalan sub bab perkembangan kelembagaan DJPLN berikutnya. Sementara itu, pengaturan tentang organisasi dan tata kerja PUPN dilakukan kembali oleh Menteri Keuangan pada tahun 1993 dengan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 294/KMK.09/1993 tanggal 27 Pebruari 19993. Isi dari keputusan tersebut antara lain: 1. PUPN, sesuai dengan Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960 bersifat interdepartemental, 2. PUPN terdiri dari PUPN Pusat, PUPN Wilayah dan PUPN Cabang. 3. PUPN Pusat berkedudukan di Pusat sesuai Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 1976. PUPN Wilayah berkedudukan di masing-masing Kantor Wilayah, PUPN Cabang berkedudukan di masing-masing Kantor Operasional DJPLN (saat itu bernama Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara /KP3N). 4. PUPN Cabang di bawah koordinasi PUPN Wilayah namun bertanggung jawab kepada PUPN Pusat. 5. PUPN berwenang mengurus Piutang Negara macet milik Bank-bank Pemerintah dan Badan-badan Usaha Milik Negara/Daerah non perbankan serta Instansi Pemerintah, yang pengurusannya telah diserahkan berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960. 6. Kewenangan sebagaimana dimaksud pada poin 5 di atas dilaksanakan oleh PUPN dengan cara: a. Menerbitkan Pernyataan Bersama yang ditandatangani Ketua PUPN dan Penanggung Hutang/Penjamin Hutang atau 92 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara b. Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) yang ditandatangani oleh Ketua PUPN dalam hal PB tidak dibuat berdasarkan alasan-alasan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 7. Pernyataan Bersama pada angka 6 di atas dilaksanakan dengan menerbitkan Surat Perintah/ Keputusan: a. Surat Paksa. b. Surat Perintah Penyitaan. c. Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan. d. Surat Perintah Penangkalan Sita. e. Surat Perintah Penyanderaan. f. Surat Keputusan Pernyataan Lunas PN. 8. PUPN Pusat berkedudukan di Ibu Kota Negara sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 a. PUPN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. b. Wilayah kerja PUPN Pusat meliputi wilayah Kerja BUPLN. c. Susunan keanggotaan PUPN Pusat adalah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976. d. PUPN dibantu oleh Sekretaris. 9. PUPN Wilayah a. Berkedudukan di tingkat Kanwil BUPLN. b. Berada di bawah dan bertanggung jawab kepada PUPN Pusat. c. Wilayah kerja PUPN Wilayah adalah wilayah kerja Kanwil BUPLN. d. Kepala Kanwil BUPLN karena jabatannya adalah Ketua PUPN Wilayah. e. Susunan keanggotaannya terdiri : o Seorang Ketua merangkap Anggota. o Seorang Anggota dari ABRI. o Seorang Anggota dari Bank Indonesia setempat. o Seorang Anggota dari Kejaksaan Tinggi setempat. o Seorang Anggota dari Pemda Tingkat I. o Seorang Anggota dari Departemen Keuangan. o Kepala Bidang Informasi dan Hukum Kanwil karena jabatannya adalah Sekretaris PUPN Wilayah. 10. PUPN Cabang Pengurusan Piutang Negara 93 a. PUPN Cabang adalah Panitia di tingkat KP3N. Berada di bawah koordinasi PUPN Wilayah dan bertanggung jawab kepada Ketua PUPN Pusat. b. Wilayah kerjanya adalah Wilayah kerja KP3N. c. Tempat kedudukannya adalah tempat kedudukan KP3N. d. Kepala KP3N karena jabatannya adalah Ketua PUPN Cabang. e. Susunan keanggotaan PUPN Cabang terdiri dari : o Seorang ketua merangkap anggota. o Seorang anggota dari ABRI. o Seorang anggota dari Bank Indonesia setempat. o Seorang anggota dari Kejaksaan Tinggi setempat. o Seorang anggota dari Pemda Tingkat I. f. Ketua PUPN Pusat dapat menunjuk salah seorang wakil dari instansi tersebut di atas sebagai Ketua PUPN Cabang. g. Kepala Seksi/Kepala Sub Seksi Informasi dan Hukum pada KP3N, karena jabatannya adalah Sekretaris PUPN Cabang. h. Pada tahun 1998 peranan, tugas dan kedudukan Panitia Urusan Piutang Negara yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 294/KMK.09/1993 tanggal 27 Pebruari 1993 dipandang perlu untuk ditinjau kembali. Peninjauan kembali dimaksud dilakukan dengan penerbitan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 381/KMK.09/1998. Isi Keputusan Menteri Keuangan tersebut antara lain adalah: 1) PUPN terdiri PUPN Pusat dan PUPN Cabang. Dasar hukum PUPN Pusat adalah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976, sedangkan PUPN Cabang di mana KP3N berada disitulah keberadaannya. Oleh karena itu, Kepala KP3N karena jabatannya adalah Ketua PUPN Cabang. Adapun PUPN Wilayah dihapuskan. 2) Susunan keanggotaan PUPN Pusat terdiri dari: o Seorang Ketua merangkap anggota. o Seorang wakil dari Departemen Keuangan. o Seorang wakil dari unsur ABRI. o Seorang wakil dari Kejagung. o Seorang wakil dari Bank Indonesia. Ditegaskan juga dalam surat keputusan ini tentang Pemberdayaan tugas Sekretaris PUPN dalam bidang teknis operasional/Pengurusan Piutang Negara. 94 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara 3) Jabatan Sekretaris, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Cabang, di samping memberikan pelayanan dan dukungan teknis administratif juga memberikan pelayanan dan dukungan teknis operasional. Oleh karena itu, Sekretaris PUPN Pusat adalah Sekretaris BUPLN dalam tugas operasional PUPN dibantu oleh Kepala Biro teknis pada kantor Pusat. Sedangkan di tingkat PUPN Cabang yang menjabat Sekretaris adalah Kepala Seksi/Sub Seksi Piutang Perbankan KP2LN dengan tujuan untuk dapat membantu pelayanan dan dukungan baik teknis administratif maupun teknis operasional Pengurusan Piutang Negara. 4) Keputusan PUPN Cabang adalah merupakan putusan final. 5) Terdapat penegasan bahwa Anggota PUPN Cabang dari unsur ABRI adalah Oditurat Militer, dari unsur Kejati/Kejari adalah Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara, dari unsur Pemda Tk I/Tk. II adalah Inspektur Wilayah. 6) PUPN Cabang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan Keputusan-keputusan hukum yang terdiri dari: a) Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N); b) Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara; c) Pernyataan Bersama; d) Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN); e) Surat Paksa (SP); f) Surat Perintah Penyitaan (SPP); g) Surat Perintah Pengangkatan Sita (SPPS); h) Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS); i) Surat Perintah Penyanderaan. 7) Wilayah kerja PUPN Cabang adalah wilayah kerja KP3N. 8) Susunan keanggotaan PUPN Cabang adalah: a) Seorang Ketua merangkap anggota. b) Seorang anggota wakil dari unsur ABRI. c) Seorang anggota wakil dari Kejati. d) Seorang anggota wakil dari Bank Indonesia. e) Seorang anggota wakil dari Pemerintah Daerah. 9) Apabila berhalangan sementara: a) Ketua PUPN Pusat menunjuk Pejabat Penggantinya dari salah satu anggota PUPN Pusat. Pengurusan Piutang Negara 95 b) Ketua PUPN Cabang menunjuk pejabat penggantinya dari salah satu anggota PUPN Cabang. 10) Apabila berhalangan tetap, maka: a) Ketua PUPN ditunjuk Pejabat Penggantinya oleh Menteri Keuangan. b) Ketua PUPN Cabang ditunjuk pejabat penggantinya oleh Ketua PUPN Pusat. Perkembangan PUPN Periode Setelah Tahun 2002 sampai Sekarang (Pasca Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 Juncto Keputusan Menteri Keuangan Nomor 533/KMK.08/2002). Di depan telah secara panjang lebar diuraikan mengenai perkembangan kelembagaan PUPN sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 sampai dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 381/KMK.09/1998. Dalam sub bab ini pembahasan akan difokuskan pada organisasi dan tugas PUPN sebagaimana dimaksud pada Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 tanggal 26 Pebruari 2002 jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor 533/KMK.08/2002 setelah pembentukan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara sebagai pengganti Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara. Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) adalah suatu organisasi yang bersifat secara interdepartemental. Maksud dari sifat interdepartemental seperti itu adalah bahwa keanggotaan PUPN berasal dari berbagai instansi pemerintah, seperti Departemen Keuangan, Kejaksaan, Kepolisian, Bank Indonesia dan Pemerintah Daerah. Karena sifat kepanitiaan yang interdepartemental, maka pembentukan PUPN Pusat dan Badan Pelaksana Administrasi PUPN dilakukan oleh Menteri Pertama3 yang mengkoordinasikan kementrian-kementrian negara melalui Keputusan Nomor 454/MP/1960. Pada masa sekarang payung hukum PUPN Pusat adalah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 dan PUPN Cabang adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002. 3 Menteri Pertama adalah Kepala Pemerintahan pada sistem pemerintahan yang masih berlaku pada tahun 1960, dan berdasarkan sistem negara Republik saat ini, kepala pemerintahan tersebut dipegang oleh Presiden) 96 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 mengatur bahwa PUPN bertugas mengurus Piutang Negara yang adanya dan besarnya sudah pasti menurut hukum akan tetapi Penanggung Hutang tidak melunasi sebagaimana mestinya. Pengurusan Piutang Negara tersebut dapat dilakukan PUPN sepanjang ada penyerahan dari Penyerah Piutang yang terdiri dari Instansi Pemerintah Pusat/Daerah atau Badan-badan yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai Negara dan Badan-Badan yang sebagian atau seluruhnya milik Negara. Penyerahan pengurusan piutang negara tersebut oleh Penyerah Piutang tersebut sifatnya wajib dan bukan pilihan (optional). Namun terdapat klausul dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 bahwa pada tingkat pertama apabila terdapat hutang macet harus diselesaikan terlebih dahulu oleh Penyerah Piutang. Apabila Penyerah Piutang sudah berupaya sedemikian rupa dan tidak ada hasilnya, terlebih-lebih apabila memang Debitur tersebut termasuk Debitur nakal/On Will maka barulah piutang-piutang macet tersebut diserahkan ke PUPN untuk ditetapkan menjadi Piutang Negara sepanjang telah memenuhi segala persyaratan-persyaratan yang berlaku. Selanjutnya, PUPN juga mempunyai tugas lainnya seperti: 1. mengurus Piutang-piutang Negara dengan tanpa menunggu penyerahan dari Penyerah Piutang apabila ada cukup alasan yang kuat bahwa Piutangpiutang Negara tersebut harus segera diurus; 2. melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang/kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh Negara/Badan-badan Negara apakah kredit benar-benar dipergunakan sesuai syarat-syarat pemberian kredit; 3. dengan Keputusan Menteri Keuangan PUPN bertindak sebagai liquidator atas Badan Negara yang telah diliquidasi; 4. menurut Penjelasan Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 PUPN juga dapat melakukan Paksa Badan (Gijzeling). Pada prakteknya butir 1 s.d. 4 di atas belum ada pelaksanaannya karena belum ada juklaknya, sehingga PUPN hanya melakukan Pengurusan Piutang Negara saja. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 juncto Nomor 533/KMK.08/2002, Organisasi PUPN terdiri dari PUPN Pusat dan PUPN Cabang. Materi pokok kedua ketentuan tersebut adalah sebagaimana uraian berikut. 1. Organisasi PUPN Pusat a. PUPN Pusat adalah PUPN sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 berkedudukan di Jakarta dengan susunan keanggotaan sebagai berikut: Pengurusan Piutang Negara 97 ü Seorang Ketua merangkap anggota. ü Seorang wakil dari departemen Keuangan sebagai anggota. ü Seorang wakil dari unsur polri sebagai anggota. ü Seorang wakil dari unsur bank Indonesia sebagai anggota. ü Seorang wakil dari unsur Kejaksaan Agung sebagai anggota. b. Ketua PUPN Pusat secara ex officio adalah Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara. c. Terdapat perubahan keanggotaan yaitu wakil dari unsur Hankam diganti unsur Polri sebagai anggota. d. Sekretaris PUPN Pusat secara ex officio adalah Sekretaris DJPLN. Tugas Sekretaris terbatas hanya pada memberikan pelayanan dan dukungan teknis administratif kepada Ketua PUPN Pusat sedangkan pelayanan teknis operasional Pengurusan Piutang Negara dihilangkan dari Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas. e. Ketua PUPN Pusat dan anggota diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Walaupun demikian, PUPN Pusat berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. 2. Organisasi PUPN Cabang a. PUPN Cabang berkedudukan di semua Ibu Kota Provinsi, kecuali untuk Provinsi Kalimantan Timur berkedudukan di Kota Balikpapan. b. Di Ibu Kota Provinsi yang terdapat kantor Wilayah DJPLN Ketua PUPN Cabang adalah Kepala Kantor Wilayah DJPLN. Adapun Kepala-Kepala KP2LN yang berada satu kota dengan Kanwil DJPLN menjadi anggota PUPN Cabang. Dengan demikian terdapat 9 (sembilan) Ketua PUPN Cabang yang berasal dari Kepala Kanwil DJPLN dan 21 (dua puluh satu) Ketua PUPN Cabang yang berasal dari Kepala KP2LN . c. Susunan keanggotaan PUPN Cabang terdiri adalah sebagai: § Seorang ketua merangkap anggota. § Seorang atau lebih wakil dari Departemen Keuangan. § Seorang wakil dari POLRI sebagai anggota. § Seorang wakil dari unsur Bank Indonesia setempat sebagai anggota. § Seorang wakil dari unsur Kejaksaan Tinggi setempat sebagai anggota. § Seorang wakil dari unsur Pemda setempat sebagai anggota. 98 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara d. Kepala Bagian Umum pada Kantor-kantor Wilayah DJPLN atau Kepala Sub Bagian Umum pada KP2LN karena jabatannya adalah Sekretaris PUPN Cabang yang memberikan pelayanan teknis administratif PUPN Cabang saja dan tidak memberikan pelayanan teknis operasional. 3. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, PUPN memiliki kewenangan untuk: a. menerima/menolak/mengembalikan PPN; b. membuat Pernyataan Bersama (PB); c. menetapkan Jumlah Piutang Negara (PJPN); d. mengeluarkan Surat Paksa (SP); e. mengeluarkan Surat Perintah Penyitaan (SPP); f. mengeluarkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS); g. menetapkan/menolak penjualan barang jaminan; h. menetapkan nilai limit lelang dan nilai pencairan di luar lelang; i. meminta sita persamaan; j. mengeluarkan surat perintah pengangkatan penyitaan; k. menetapkan suatu piutang sebagai piutang untuk sementara belum dapat ditagih (PSBDT); l. mengeluarkan pernyataan Pengurusan Piutang Negara lunas/selesai; m. menyetujui/menolak penarikan kembali Piutang Negara; n. mengeluarkan surat perintah paksa badan; o. mengaktifkan kembali pengurusan piutang yang telah dinyatakan sebagai PSBDT. Lebih lanjut, terdapat beberapa hal dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/MK.08/2002 tersebut di atas yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Pertanggungjawaban pekerjaan PUPN Cabang yang berada di kota yang berbeda dengan tempat kedudukan Kantor Wilayah DJPLN, dilakukan melalui Ketua PUPN Cabang yang dijabat oleh Kepala Kanwil. 2. Ketua dan Anggota PUPN Pusat diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 3. Anggota PUPN Pusat harus memenuhi persyaratan: a. Berdinas aktif dan minimal eselon II. b. Anggota dari Departemen Keuangan adalah Kepala Biro Hukum dan Humas. c. Anggota dari unsur POLRI adalah Pejabat DITSERSE. d. Anggota dari unsur Bank Indonesia adalah Kepala Biro Kredit. Pengurusan Piutang Negara 4. 5. 6. 7. 8. 9. 99 e. Anggota dari unsur Kejaksaan Agung adalah Direktur Pemulihan dan Perlindungan Hak Jamdatun. Ketua dan Anggota PUPN Cabang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua PUPN Pusat atas nama Menteri Keuangan. Anggota PUPN Cabang harus memenuhi persyaratan: a. Berdinas aktif dan minimal eselon III. b. Anggota dari Departemen Keuangan adalah Kepala KP2LN yang satu kota dengan kantor Wilayah atau Kepala KP2LN yang tidak berada di daerah tingkat I. c. Anggota dari unsur POLRI adalah Kadit Serse atau Kasat Serse atau Pejabat POLRI lainnya. d. Anggota dari unsur Bank Indonesia adalah pemimpin Bank Indonesia setempat atau Pejabat Bank Indonesia lainnya. e. Anggota dari unsur Kejaksaan Tinggi adalah Asisten Perdata atau Tata Usaha Negara setempat atau Pejabat lain yang setingkat. Rapat PUPN dalam 1 (satu) tahun anggaran terdiri dari: a. Rapat PUPN Pusat paling sedikit adalah 4 (empat) bulan sekali. b. Rapat PUPN Cabang paling sedikit adalah 2 (dua) bulan sekali. Apabila dianggap perlu, dapat diadakan rapat di luar jadwal yang telah ditentukan. Rapat PUPN Pusat membahas: a. Rencana kerja tahunan. b. Kebijaksanaan Pengurusan Piutang Negara. c. Evaluasi Pengurusan Piutang Negara dan atau. d. Materi lainnya yang dianggap perlu. Rapat PUPN Cabang membahas : a. Rencana kerja tahunan. b. Evaluasi Pengurusan Piutang Negara. c. Optimalisasi Pengurusan Piutang Negara dan atau d. Penyelesaian Piutang Negara yang menurut pertimbangan Panitia perlu dirapatkan. Rapat PUPN dihadiri minimal 3 (tiga) anggota yang berasal dari 2 (dua) unsur anggota atau lebih. Apabila anggota yang hadir tidak mencapai quorum, diadakan rapat kedua yang harus dihadiri oleh minimal 2 (dua) anggota yang berasal 2 (dua) unsur anggota yang berbeda. Hasil rapat 100 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara dinyatakan sah bila disetujui oleh minimal 2 (dua) anggota atau ¾ anggota yang hadir. Bila rapat kedua tetap tidak mencapai quorum, diadakan rapat ketiga tanpa ada persyaratan quorum. Rapat di luar jadwal minimal harus dihadiri oleh 4 (empat) anggota. Hasil syah apabila disetujui minimal 3 (tiga) anggota atau ¾ (tiga perempat) anggota yang hadir. 10. Tempat kedudukan PUPN Cabang di seluruh Indonesia berada di setiap ibukota provinsi dan daerah kewenangannya meliputi daerah wewenang provinsi yang bersangkutan. Namun demikian, terdapat pengecualian tempat kedudukan PUPN Cabang, yaitu PUPN Cabang Provinsi Kalimantan Timur yang berkedudukan di Balikpapan, bukan di Samarinda yang merupakan Ibukota Provinsi Kalimantan Timur. Dengan demikian PUPN Cabang di seluruh Indonesia berjumlah 30 (tiga puluh) PUPN Cabang. Dari 30 (tiga puluh) PUPN Cabang, terdapat 9 (sembilan) PUPN Cabang dengan Ketua yang dijabat oleh Kepala Kanwil DJPLN, mengingat pada kota tempat kedudukan PUPN Cabang tersebut terdapat Kantor Wilayah DJPLN. Berikut ini adalah tabel tentang tempat kedudukan PUPN Cabang dan wilayah kerjanya. Tabel 4.1. PUPN Cabang dengan Ketua yang Dijabat oleh Kepala Kanwil DJPLN NO PUPN CABANG DAERAH WEWENANG TEMPAT KEDUDUKAN 1 2 3 4 1. PUPN Cab. Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara Medan 2. PUPN Cab. Sumatera Selatan Provinsi Sumatera Selatan Palembang 3. PUPN Cab. DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta Jakarta 4. PUPN Cab. Jawa Barat Provinsi Jawa Barat Bandung 5. PUPN Cab. Jawa Tengah Provinsi Jawa Tengah Semarang 6. PUPN Cab. Jawa Timur Provinsi Jawa Timur Surabaya 7. PUPN Cab. Bali Provinsi Bali Denpasar 8. PUPN Cab. Sulawesi Selatan Provinsi Sulawesi Selatan Makassar 9. PUPN Cab. Sulawesi Utara Provinsi Sulawesi Utara Manado Sumber: Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia 533/KMK.08/2002 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri 61/KMK.08/2002 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara Nomor Nomor 101 Pengurusan Piutang Negara Tabel 4.2. PUPN Cabang dengan Ketua yang Dijabat oleh Kepala KP2LN NO PUPN CABANG DAERAH WEWENANG TEMPAT KEDUDUKAN 1 2 3 4 1. PUPN Cab. Nangroe Aceh Darussalam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Banda Aceh 2. PUPN Cab. Riau Provinsi Riau Pekanbaru 3. PUPN Cab. Sumatera Barat Provinsi Sumatera Barat Padang 4. PUPN Cab. Jambi Provinsi Jambi Jambi 5. PUPN Cab. Bengkulu Provinsi Bengkulu Bengkulu 6. PUPN Cab. Lampung Provinsi Lampung Bandar Lampung 7. PUPN Cab. Bangka Belitung Provinsi Bangka Belitung Pangkal Pinang 8. PUPN Cab. Banten Provinsi Banten Serang 1 2 3 4 9. PUPN Cab. Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Megelang, Kab. Magelang, Kab. Temanggung Yogyakarta 10. PUPN Cab. Kalimantan Barat Provinsi Kalimantan Barat Pontianak 11. PUPN Cab. Kalimantan Tengah Provinsi Kalimantan Tengah Palangkaraya 12. PUPN Cab. Kalimantan Selatan Provinsi Kalimantan Selatan Banjarmasin 13. PUPN Cab. Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur Balikpapan 14. PUPN Cab. Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat Mataram 15. PUPN Cab. Nusa Tenggara Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur Kupang 16. PUPN Cab. Sulawesi Tenggara Provinsi Sulawesi Tenggara Kendari 17. PUPN Cab. Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Tengah Palu 102 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara 18. PUPN Cab. Gorontalo Provinsi Gorontalo Gorontalo 19. PUPN Cab. Maluku Provinsi Maluku Ambon 20. PUPN Cab. Maluku Utara Provinsi Maluku Utara Ternate 21. PUPN Cab. Papua Provinsi Papua Jayapura Sumber: Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia 533/KMK.08/2002 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri 61/KMK.08/2002 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara Nomor Nomor 11. Dalam PUPN Cabang yang secara ex-officio diketuai oleh Kepala Kanwil DJPLN, Kepala KP2LN yang berkedudukan di kota yang sama dengan Kepala Kantor Wilayah DJPLN, atau Kepala KP2LN yang berkedudukan di luar ibukota Provinsi, statusnya dalam PUPN Cabang adalah sebagai anggota. Tugas PUPN Cabang yang berupa penerbitan 15 produk hukum sehari-hari dilaksanakan oleh Kepala KP2LN tersebut di atas. Namun, berdasarkan Pasal 11 ayat (2), (3), dan (4) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 terdapat pengecualian akan hal-hal sebagai berikut: a. penandatanganan Pernyataan Bersama dan Surat Paksa dilakukan oleh Ketua PUPN Cabang; dan b. penetapan nilai limit lelang dan nilai pelepasan (pencairan) tidak melalui lelang, kecuali pelepasan sebesar Hak Tanggungan, dimintakan persetujuan kepada Ketua PUPN Cabang oleh Kepala Kantor Wilayah DJPLN. Seluruh pelaksanaan tugas PUPN Cabang yang diketuai oleh Kepala KP2LN yang berkedudukan di ibukota Provinsi dilaksanakan sendiri oleh Kepala KP2LN yang bersangkutan. 12. Untuk dapat mengerti uraian pada butir 11 di atas, berikut adalah contoh yang terjadi dalam pengurusan piutang negara di Provinsi Jawa Tengah. a. Ketua PUPN Cabang adalah Kepala Kanwil V DJPLN Semarang. b. KP2LN yang berada di bawah koordinasi Kanwil V DJPLN Semarang adalah KP2LN Semarang, KP2LN Tegal, KP2LN Purwokerto, KP2LN Surakarta, KP2LN D.I.Yogyakarta, dan KP2LN Banjarmasin. Kepala KP2LN yang menjadi anggota PUPN Cabang Jawa Tengah adalah Kepala KP2LN Semarang, Kepala KP2LN Tegal, Kepala KP2LN Purwokerto, dan Kepala KP2LN Surakarta, sedangkan: 1) Kepala KP2LN Banjarmasin menjadi Ketua PUPN Cabang Kalimantan Selatan; dan Pengurusan Piutang Negara 103 2) Kepala KP2LN Yogyakarta menjadi Ketua PUPN Cabang D.I. Yogyakarta. Seluruh tugas sehari-hari PUPN Cabang Jawa Tengah yang terkait dengan penerbitan dan pelaksanaan 15 (lima belas) produk hukum dilaksanakan oleh seluruh KP2LN yang menjadi anggotanya, sesuai dengan wilayah kerja masing-masing. Pengecualian atas ketentuan tersebut adalah penandatanganan Pernyataan Bersama (PB) dan Surat Paksa (SP) yang dilakukan oleh Kepala Kanwil V DJPLN Semarang selaku Ketua PUPN Cabang Jawa Tengah. Selain itu, penetapan nilai limit lelang dan nilai pelepasan (pencairan) tidak melalui lelang, kecuali pelepasan sebesar Hak Tanggungan, dimintakan persetujuan kepada Kepala Kantor Wilayah V DJPLN selaku Ketua PUPN Cabang Jawa Tengah. Ketetapan tersebut membawa konsekuensi tidak efisien dan tidak efektifnya pelaksanaan pengurusan Piutang Negara, khususnya efisiensi yang terkait dengan penggunaan dana perjalanan dinas yang tersedia baik di KP2LN maupun di Kantor Wilayah DJPLN bersangkutan. Seyogyannya Kepala Kanwil DJPLN tidak dibebani pekerjaan pelaksanaan operasional pengurusan piutang negara, tetapi hanya melaksanakan fungsi sebagai pembina, koordinator, pengendalian dan pengawasan, serta menciptakan suasana yang kondusif pada kantorkantor operasional di wilayahnya. Penghapusan PUPN Cabang yang ketuanya secara ex officio dijabat oleh Kepala Kantor Wilayah DJPLN sudah pernah dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 381/KMK.09/1998. Dengan ketentuan tersebut, maka keberadaan PUPN Cabang hanya terdapat pada seluruh KP3N di seluruh Indonesia. 13. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 tersebut di atas telah disempurnakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 533/KMK.08/2002. Perubahan yang dilakukan antara lain adalah: a. Ketentuan Pasal 3 huruf J yang semula berbunyi “menetapkan nilai limit lelang dan nilai pelepasan di luar lelang” diubah menjadi “menetapkan nilai limit lelang dan nilai pencairan di luar lelang”. b. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf b yang semula berbunyi “menetapkan seorang wakil atau lebih dari unsur Departemen Keuangan sebagai anggota” diubah menjadi “menetapkan seorang atau lebih wakil dari unsur Departemen sebagai anggota”. 104 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara c. Ketentuan Pasal 10 ayat (6) yang semula berbunyi “Ketua PUPN Cabang menunjuk/ mengangkat Staf Sekretariat sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang” diubah menjadi “Pengangkatan Staf Sekretariat PUPN Cabang dilakukan oleh Ketua PUPN Cabang dengan pertimbangan efisiensi dan efektifitas”. d. Ketentuan Pasal 11 ayat (4) yang semula berbunyi “hal-hal tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang harus dimintakan persetujuan Ketua PUPN Cabang yang diketuai oleh Kepala Kanwil adalah penetapan nilai limit lelang dan nilai pelepasan kecuali pelepasan sebesar Hak Tanggungan” diubah menjadi “Hal tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang harus dimintakan persetujuan Ketua PUPN Cabang yang diketuai oleh Kepala Kanwil adalah Penetapan nilai limit lelang dan nilai pencairan kecuali pelepasan sebesar Hak Tanggungan”. e. Ketentuan Pasal 14 ayat (2) yang semula berbunyi “Calon anggota yang mewakili unsur Pemerintah Daerah adalah Pejabat dari Inspektorat Wilayah setempat atau Pejabat dari Badan Pertahanan Nasional setempat” diubah menjadi “Calon anggota yang mewakili unsur Pemerintah Daerah adalah Pejabat dari Inspektorat Wilayah setempat atau Pejabat dari Badan Pertahanan Nasional setempat atau Pejabat lain dari Pemerintah Daerah setempat yang setingkat”. f. Isi lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 Nomor 9 tentang tempat kedudukan PUPN Cabang Bangka Belitung yang semula ditetapkan di Bangka, diubah menjadi di Pangkal Pinang. g. Isi lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 Nomor 30 tentang “wilayah kewenangan PUPN Cabang Irian Jaya yang meliputi daerah wewenang Provinsi Irian Jaya, dan tempat kedudukan PUPN Cabang Irian Jaya yang berada di Jaya Pura” diubah menjadi “wilayah kewenangan PUPN Cabang Papua meliputi daerah wewenang Propinsi Papua, dan tempat kedudukan PUPN Cabang Papua berada di Jaya Pura”. Perkembangan Kelembagaan Direktorat Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) Jenderal Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa operasionalisasi atas produk-produk hukum yang diterbitkan oleh PUPN dilaksanakan oleh suatu Badan yang disebut Badan Pelaksana Administrasi (BPA). BPA tersebut, Pengurusan Piutang Negara 105 dalam perjalanannya telah berkembang dan mengalami beberapa kali reorganisasi, dan terakhir berubah menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN). Perkembangan kelembagaan DJPLN dapat dibagi dalam dua periode, yaitu periode tahun pembentukan PUPN sampai dengan tahun 1999, dan periode tahun 1998 sampai dengan saat ini. Masing-masing periode perkembangan tersebut diuraikan secara lengkap berikut ini. Perkembangan Kelembagaan DJPLN sampai dengan Tahun 1999 Pasal 1 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN menetapkan bahwa Menteri Pertama membentuk Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Menteri Pertama dengan keputusan Nomor 454/M.P/1961 menetapkan susunan keanggotaan PUPN secara interdepartemental. Selanjutnya, Menteri Keuangan membentuk Badan Pelaksana Administrasi (BPA) yang tugasnya menyelenggarakan tugas PUPN seharihari sebagaimana telah diuraikan pada Sub sebelum ini. BPA dipimpin oleh Kepala Staf Administrasi yang membawahi Bagian Umum, Bagian Keuangan, Bagian Pemeriksaan, Bagian Penyitaan dan Bagian Pengawasan. Hasil tugas PUPN yang berupa Produk-produk Hukum Pengurusan Piutang Negara pelaksanaan operasional dilakukan oleh Aparat BPA. Secara sederhana kalau dibandingkan dengan lembaga peradilan produk-produk hukum putusan PUPN adalah seperti perkara-perkara yang diputuskan oleh Majelis Hakim yang kemudian pelaksanaan operasionalnya dilakukan oleh Panitera, Juru Sita Pengadilan Negeri. Selanjutnya menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 731/MK/7/10/1969 ditetapkan antara lain masing-masing Anggota PUPN Pusat ditunjuk anggota pengganti, sedang BPA dipimpin oleh seorang anggota PUPN yang berasal dari Departemen Keuangan. Dari segi pembiayaan segala aktifitas PUPN dan BPA dibebankan kepada Penanggung Hutang/Debitur. Setelah melampaui waktu yang cukup lama, yaitu kurang lebih 15 (lima belas) tahun sejak tahun 1961, dan mengingat pada tahun 1974 Pemerintah telah menetapkan keputusan-keputusan untuk menyeragamkan susunan organisasi departemen-departemen dan menetapkan eselonering jabatan, maka dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 Pemerintah menetapkan organisasi PUPN dan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) yang mengadopsi susunan organisasi departemen. Isi dari Keputusan Presiden tersebut antara lain: 1. Susunan organisasi Badan Urusan Piutang Negara (disingkat BUPN) terdiri: 106 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara a. Kepala yang dirangkap Ketua PUN Pusat; b. Sekretariat; c. Direktorat Penetapan dan Penagihan Piutang Negara; d. Direktorat Perbendaharaan Piutang Negara; e. Direktorat Eksekusi dan Laporan; f. Instansi vertikal di Daerah Tingkat I. 2. Kepala Badan kedudukannya setingkat Direktur Jenderal dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. 3. Kepala Badan Urusan Piutang Negara diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 4. Sekretaris, Kepala Direktorat, Kepala Kantor Wilayah BUPN didaerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan. 5. Keputusan Menteri Pertama Nomor 454/MP/1961 dicabut. Selanjutnya, dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep517/MK/IV/4/1976 telah ditetapkan susunan organisasi dan tata kerja BUPN. Dalam Keputusan Menteri Keuangan dimaksud telah ditetapkan tugas, fungsi dan susunan organisasi pada Sekretariat, Direktorat Penetapan dan Penagihan Piutang Negara, Direktorat Perbendaharaan Piutang Negara, Direktorat Eksekusi dan Laporan dan Kantor Wilayah BUPN di Daerah Tingkat I. Susunan organisasi BUPN adalah sebagai berikut: 1. Sekretariat terdiri dari Bagian (3 Bagian) dan Sub Bagian (8 Sub Bagian); 2. Direktorat Penetapan dan Penagihan Piutang Negara terdiri dari Sub Direktorat ( 2 Sub Dit) dan Seksi (5 Seksi); 3. Direktorat Perbendaharaan Piutang Negara terdiri dari Sub Direktorat (2 Sub Dit) dan Seksi (5 Seksi); 4. Direktorat Esekusi dan Laporan terdiri dari Sub Direktorat (2 Sub Dit) dan Seksi (5 Seksi); 5. Kantor Wilayah BUPN di daerah tingkat I terdiri dari Bagian Umum (3 Sub Bagian) Bidang Penetapan dan Penagihan Piutang (2 Seksi), Bidang Perbendaharaan Piutang Negara (2 Seksi), Bidang Eksekusi dan Laporan (2 Seksi). Susunan organisasi yang secara formal ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan tersebut pada pelaksanaan di lapangan, terutama pada Kantor-kantor Wilayah BUPN tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Satu Kepala Bagian Umum dan tiga Kepala Bidang tersebut tidak dilaksanakan penunjukannya sesuai ketentuan, tetapi yang ada di lapangan adalah Kepala Sub Bagian dan Kepala Seksi. Pengurusan Piutang Negara 107 Di samping itu, fungsi Kantor Wilayah BUPN tidak berjalan sesuai yang seharusnya, yaitu melakukan pembinaan, koordinasi dan pengawasan Kantor-Kantor Operasional di wilayahnya. Kantor-Kantor Wilayah PUPN pada saat itu masih melakukan operasionalisasi Pengurusan Piutang Negara. Kantor-Kantor operasional pada waktu itu masih belum sepenuhnya berfungsi sebagai kantor-kantor yang telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan formal yang berlaku yaitu berupa Satgas BUPN. Struktur Organisasi yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 juga mengandung kelemahan-kelemahan karena struktur organisasi tersebut disusun berdasarkan pendekatan “by process”. Dalam pengurusan piutang negara, tahap pertama yang harus dilakukan adalah menentukan besarnya piutang negara. Proses selanjutnya adalah penagihan kepada Penanggung Hutang, dan kemudian bila diperlukan pelaksanaan eksekusi. Proses pengurusan demikian yang menjadi dasar pemikiran dalam penyusunan organisasi. Susunan organisasi pada lingkup Kantor Pusat BUPN antara lain adalah Direktorat Penetapan dan Penagihan Piutang Negara, dan Direktorat Eksekusi dan Laporan. Demikian pula pada struktur organisasi Kanwil BUPN, terdapat Seksi Penetapan, Seksi Penagihan dan Seksi Eksekusi. Dengan susunan yang demikian maka Seksi Penagihan belum dapat menjalankan tugasnya apabila Seksi Penetapan belum selesai melaksanakan tugasnya. Demikian pula Seksi Eksekusi yang akan menunggu selesainya Seksi Penagihan melakukan tugasnya. Situasi ini memperlambat penyelesaian pengurusan piutang negara dengan cepat dan efisien, serta menimbulkan ketidakjelasan tentang seksi mana yang harus dimintai pertanggungjawaban atas terlambatnya pengurusan penyelesaian piutang negara atau hilangnya sebagian dokumen dalam Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN). Sistem kerja sebagaimana diuraikan di atas akan dapat berjalan dengan baik apabila prinsip-prinsip KISS (Koordinasi, Integrasi, Simplifikasi dan Sinkronisasi) diterapkan dengan ketat. Selain itu, sistem tersebut akan semakin baik lagi apabila dilakukan sistem pengawasan melekat melalui penciptaan “routing slip”, yaitu slip yang ditempelkan pada berkas di mana ada kewajiban bagi petugas untuk menandatangani atau membubuhkan paraf pada slip tersebut pada hari, tanggal, jam selesainya pelaksana yang bersangkutan melaksanakan tugas. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep.517/MK/IV/4/1976 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep.1075/MK/IV/8/1976 berlaku dalam waktu yang cukup lama (yaitu ± 13 tahun) sampai dengan timbulnya pemikiran baru di tingkat pengambil 108 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara keputusan Departemen Keuangan. Pemikiran tersebut adalah mempertahankan eksistensi PUPN, dan bahkan mengembangkannya. Masa yang cukup lama tersebut adalah masa ”status quo” bagi BUPN, saat mana perkembangan kelembagaan BUPN terhenti di segala bidang. Didahului dengan pengisian jabatan-jabatan teras di Kantor Pusat BUPN dan di Kantor-kantor Wilayah BUPN maka dimulailah pengembangan di segala bidang sehingga pada tahun 1991 organisasi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 tanggal 1 Juni 1991. Isi dari Keputusan Presiden tersebut antara lain: 1. Pencabutan ketentuan tentang BUPN dari Keppres Nomor 11 Tahun 1976 sedang PUPN Pusat tidak. 2. Susunan Organisasi BUPLN terdiri: a. Kepala Badan b. Sekretariat Badan c. Biro Piutang Negara Perbankan d. Biro Piutang Negara Non Perbankan e. Biro Lelang Negara f. Biro Informasi dan Hukum g. Instansi Vertikal di daerah 3. BUPLN adalah badan yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Menteri Keuangan. 4. BUPLN adalah badan yang bertugas menyelenggarakan pengurusan piutang dan lelang negara. Dalam melaksanakan pengurusan piutang negara, BUPLN melaksanakan penyelenggaraan tugas PUPN yang hasilnya berupa produk-produk hukum PPN dan melaksanakan kebijakankebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 5. Kepala BUPLN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sedangkan Sekretaris, Kepala-kepala Biro, dan Kepala Wilayah diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan. Ketentuan tentang organisasi dan tata kerja BUPLN diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 940/KMK.01/1991 tanggal 12 September 1991. Isi Keputusan Menteri Keuangan tersebut antara lain adalah: 1. BUPLN dipimpin oleh seorang Kepala Badan. Pengurusan Piutang Negara 109 2. Susunan organisasi BUPLN terdiri dari Sekretariat, Biro Piutang Negara Perbankan, Biro Piutang Negara Non Perbankan, Biro Lelang Negara, Biro Informasi dan Hukum, Instansi vertikal di Wilayah. 3. Sekretariat terdiri dari: a. Bagian Kepegawaian dan Organisasi b. Bagian Keuangan c. Bagian Perlengkapan d. Bagian Tata Usaha dan Rumah Tangga. Tiap Bagian terdiri 3 (tiga) Sub Bagian. 4. Biro Piutang Negara Perbankan terdiri dari: a. Bagian Piutang Negara Perbankan I b. Bagian Piutang Negara Perbankan II c. Bagian Penataan Barang Jaminan d. Sub Bagian Tata Usaha e. Kelompok tenaga fungsional di Bidang Pengurusan Piutang Negara. Tiap Bagian terdiri Sub Bagian. 5. Biro Piutang Negara Non Perbankan terdiri dari: a. Bagian Piutang Negara Non Perbankan I b. Bagian Piutang Negara Non Perbankan II c. Sub Bagian Tata Usaha d. Kelompok tenaga fungsional di Bidang Pengurusan Piutang Negara. Tiap Bagian terdiri dari Sub Bagian. 6. Biro Lelang Negara terdiri dari: a. Bagian Bina Lelang b. Bagian Verifikasi dan Pembukuan Lelang c. Sub Bagian Tata Usaha d. Kelompok tenaga fungsional, Pejabat Lelang. Tiap Bagian terdiri dari Sub-Sub Bagian. 7. Biro Informasi dan Hukum terdiri dari: a. Bagian Perencanaan dan Pengolahan Data b. Bagian Informasi Pembukuan c. Bagian Peraturan Perundangan dan Bantuan Hukum d. Sub Bagian Tata Usaha 110 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara e. Kelompok tenaga fungsional, Pranata Komputer. Tiap Bagian terdiri dari Sub-Sub Bagian 8. Kantor Wilayah BUPLN: a. Unsur Pelaksana BUPLN di Daerah berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala BUPLN. b. Kanwil BUPLN dipimpin oleh seorang Kepala. c. Susunan organisasi Kanwil: § Bidang Piutang Negara § Bidang Lelang § Bidang Informasi dan Hukum § Sub Bagian Tata Usaha. Tiap Bagian terdiri Sub Bagian. 9. Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara (KP3N) adalah pelaksana tugas BUPLN di bidang pelayanan Pengurusan Piutang Negara. Berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kanwil BUPLN. Dipimpin oleh seorang Kepala, KP3N dapat diklasifikasikan menjadi KP3N Tipe A dan KP3N Tipe B. a. KP3N Tipe A terdiri dari: § Sub Bagian Tata Usaha § Seksi Piutang Perbankan § Seksi Piutang Non Perbankan § Seksi Penataan Barang Jaminan § Seksi Informasi dan Hukum § Kelompok Tenaga Fungsional di Bidang Pengurusan Piutang Negara. b. KP3N Tipe B terdiri dari: § Urusan tata Usaha § Sub Seksi Piutang Perbankan § Sub Seksi Piutang Non Perbankan § Sub Seksi Penataan Barang Jaminan § Sub Seksi Informasi dan Hukum § Kelompok Tenaga Fungsional di Bidang Pengurusan Piutang Negara. Pengurusan Piutang Negara 10. 111 Kantor Lelang Negara (KLN) adalah pelaksana tugas BUPLN di bidang Pelayanan Lelang, berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kanwil BUPLN. 11. Struktur organisasi BUPLN yang telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991, telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 44 dan Nomor 45 Tahun 1974 dan persyaratan eseloneering jabatan, yaitu telah dipenuhinya keberadaan organisasi baik pada tingkat Kantor Pusat, Kantor Wilayah, maupun Kantor-Kantor Operasional Pengurusan Piutang Negara, seperti : a. Pada tingkat Kantor Pusat BUPLN sudah terdapat susunan organisasi dengan eseloneering jabatan yaitu Eselon I untuk Kepala BUPLN, yaitu Eselon II untuk Sekretaris BUPLN dan Kepala-kepala Biro, Eselon III untuk Kepala-kepala Bagian, dan Eselon IV untuk Kepalakepala Seksi atau Sub Bagian. b. Pada tingkat Kantor Wilayah BUPLN sudah terdapat susunan organisasi dengan eseloneering jabatan yaitu Eselon II untuk Kepala Kanwil BUPLN, Eselon III untuk Kepala-kepala Bidang, dan Eselon IV untuk Kepala-kepala Seksi atau Sub Bagian. c. Pada tingkat Kantor Operasional, yaitu Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara sudah terdapat susunan organisasi dengan eseloneering jabatan jabatan sebagai berikut: o pada KP3N tipe A, Eselon III untuk Kepala KP3N, dan Eselon IV untuk Kepala-kepala Seksi atau Sub Bagian; o pada KP3N tipe B, Eselon IV untuk Kepala KP3N dan Eselon V untuk Kepala-kepala Sub Seksi atau Kepala Urusan; o pada KLN tipe A, Eselon III untuk Kepala KLN, dan Eselon IV untuk Kepala-kepala Seksi atau Sub Bagian; o pada KLN tipe B, Eselon IV untuk Kepala KLN dan Eselon V untuk Kepala-kepala Sub Seksi atau Kepala Urusan. 12. Struktur organisasi BUPLN tersebut di atas disusun dengan pendekatan “by commodity/product approach”, dengan maksud efesiensi dan efektivitas pengurusan piutang negara. Organisasi BUPLN ini berjalan dalam durasi waktu yang cukup lama yaitu selama 9 (sembilan) tahun sampai dengan terbitnya Keputusan Presiden No.177 Tahun 2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen. Dalam Keputusan Presiden dimaksud, yaitu pada susunan Organisasi Departemen Keuangan Pasal 10 ayat (1), diatur bahwa organisasi 112 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) ditetapkan sebagai pengganti organisasi BUPLN. Dengan terbentuknya organisasi DJPLN maka cita-cita di bidang organisasi yang dicetuskan para peserta rapat kerja Kantor Pusat Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) dengan Kantor Wilayah BUPN dan PUPN Cabang seluruh Indonesia Tanggal 6 – 8 November 1989 di Megamendung Cipayung dapat direalisasikan. Rapat kerja tersebut merupakan tindak lanjut kebijakan baru Menteri Keuangan pada waktu itu yang menetapkan bahwa eksistensi BUPN dan PUPN harus dikembangkan setelah mengalami masa status quo yang cukup lama yaitu 13 tahun (tahun 1976 – tahun 1989). Menurut Buku Hasil Rapat Kerja yang diterbitkan pada tahun 1989 oleh BUPN, para peserta rapat kerja pada waktu itu sepakat dan mendukung penuh untuk segera dilakukan pembenahan, refungsionalisasi, konsolidasi dan pengembangan Sumber Daya Manusia yang meliputi 5 (lima) bidang pokok yaitu : 1. Bidang Organisasi, Uraian Pelaksanaan Tugas dan Prosedur Kerja; 2. Bidang Personalia, Keuangan dan Sarana Kerja; 3. Bidang Teknis Pengurusan Piutang Negara Perbankan; 4. Bidang Teknis Pengurusan Piutang Negara Non Perbankan; 5. Bidang Teknis Perencanaan dan Sistem Informasi. Di samping menghasilkan susunan organisasi BUPLN yang telah berjalan selama 9 (sembilan) tahun sebagaimana diuraikan di atas, upaya pembenahan, refungsionalisasi, konsolidasi dan pengembangan sumber daya manusia juga dilakukan di berbagai bidang antara lain: 1. Pada bidang Sumber Daya Manusia dilakukan rekrutmen sarjana (S1), pengiriman pegawai untuk mendapatkan pendidikan tingkat master ke luar negeri, pendidikan Program Diploma I dan III Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (PPLN) dan Program Pendidikan Keahlian/Keterampilan para pegawai. Demikian juga dalam rangka penyegaran (refreshing) pegawai yang dilakukan secara berkala berupa tour of duty dan tour of area di kalangan pejabat dan pegawai BUPLN. 2. Pemenuhan sarana dan prasarana kerja telah dilakukan secara bertahap sesuai dana yang tersedia pada Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Pembangunan (DIP) serta dana Crash Program seperti pembangunan Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara dan Kantor Lelang Negara, pengadaan mobilitas operasional pengurusan Piutang dan Lelang Negara, Pengurusan Piutang Negara 113 penertiban penyimpanan Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) dan dokumen penting lainnya dengan pembelian almari tahan api dan rolling door. 3. Pada bidang Teknis Pengurusan Piutang Negara dan Lelang telah diterbitkan keputusan-keputusan Menteri Keuangan dan keputusankeputusan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara antara lain: a. Petunjuk Pelaksanaan Pengurusan Piutang Negara yang diatur dalam Keputusan Menteri yang telah beberapa kali diubah, yaitu: ♦ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 293/KMK.09/1993; ♦ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 376/ KMK.01/1998; ♦ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.01/2000. b. Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara yang diatur dalam Keputusan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) telah beberapa kali diubah, yaitu: ♦ Keputusan Kepala BUPLN Nomor Kep-04/PN/1993; ♦ Keputusan Kepala BUPLN Nomor Kep-11/PN/1999; ♦ Keputusan Kepala BUPLN Nomor Kep-38/PN/2000. c. Pengaturan tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) telah beberapa kali diubah, yaitu: ♦ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 294/KMK.09/1993; ♦ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 381/KMK.09/1998. d. Ketentuan yang terkait dengan pelayanan lelang telah beberapa kali diubah, yaitu: ♦ Keputusan Menteri Keuangan Nomor 295/KMK.09/1998; ♦ Keputusan Menteri Keuangan No.47/ KMK.01/1996 tentang Regularisasi Lelang; ♦ Keputusan Kepala BUPLN No.kep1/1996 tentang Petunjuk Teknis Lelang; ♦ Keputusan Kepala BUPLN No.SE-39/PN/199 tentang Pemasyarakatan Deregularisasi Lelang. Perkembangan Kelembagaan DJPLN Periode Setelah Tahun 1999 sampai dengan Saat Ini (pasca Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000) 114 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara Ketentuan tentang Organisasi, Tugas dan Fungsi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004, sedangkan ketentuan tentang organisasi dan tata kerja Kantor Wilayah DJPLN dan KP2LN didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/KMK.01/2001. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa untuk melaksanakan Pengurusan Piutang Negara terdapat 2 (dua) lembaga yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yaitu PUPN dan DJPLN. Pembentukan DJPLN pada hakekatnya adalah untuk melaksanakan atau menyelenggarakan Pengurusan Piutang Negara dan pelayanan jasa lelang baik berdasarkan pelaksanaan tugas PUPN maupun pelaksanaan kebijakan Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. DJPLN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. Kantor operasional DJPLN tersebar pada 54 (limapuluh empat) KP2LN yang dikoordinasikan oleh dan di bawah pembinaan 9 (sembilan) Kantor Wilayah DJPLN. Tugas, Fungsi, dan Struktur Organisasi DJPLN sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 Tugas Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang piutang negara dan lelang baik yang berasal dari penyelenggaraan tugas Panitia Urusan Piutang Negara maupun berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara adalah: 1. Penyiapan rumusan kebijakan di bidang Piutang Negara dan lelang. 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang Piutang Negara dan lelang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 3. Perumusan standar, norma, kriteria, dan prosedur di bidang piutang negara dan lelang. 4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengurusan piutang negara dan pelayanan lelang. 5. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal. 115 Pengurusan Piutang Negara Struktur organisasi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara terdiri dari : 1. Sekretariat Direktorat Jenderal 2. Direktorat Piutang Negara Perbankan 3. Direktorat Piutang Negara Non Perbankan 4. Direktorat Lelang Negara 5. Direktorat Informasi dan Hukum Gambar berikut adalah struktur organisasi DJPLN: Gambar 4.1. Struktur Organisasi DJPLN DJPLN SEKRETARIAT DJPLN DIREKTORAT PNP DIREKTORAT PNNP DIREKTORAT LELANG DIREKTORAT IH KANTOR WILAYAH KP2LN Sumber: Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tanggal 23 Juni 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, Struktur Organisasi DJPLN 116 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara Tugas, Fungsi, dan Organisasi Vertikal DJPLN di Daerah sesuai Keputusan Menteri Keuangan No.445/KMK.01/2004 1. Kantor Wilayah DJPLN a. Tugas Kantor Wilayah DJPLN adalah melaksanakan bimbingan teknis, pengendalian dan evaluasi pelaksanakan tugas di bidang Pengurusan Piutang Negara dan lelang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Dalam melaksanakan tersebut Kantor Wilayah DJPLN menyelenggarakan fungsi: ♦ Pemberian bahan pertimbangan atas penghapusan, keringanan hutang, pencegahan, paksa badan atau penyelesaian Piutang Negara. ♦ Pemberian bimbingan teknis pengelolaan barang jaminan dan pemeriksaan harta kekayaan atau barang jaminan yang tidak diketemukan milik Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang. ♦ Pemberian bimbingan teknis, penggalian potensi, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan lelang serta pengembangan lelang. ♦ Pemberian bimbingan teknis pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan dan pelayanan, informasi serta pelaksanaan verifikasi pengurusan piutang negara dan lelang. ♦ Pembinaan terhadap balai lelang dan superintendensi terhadap pejabat lelang pemerintah. ♦ Pelaksanaan pengawasan teknis Pengurusan Piutang Negara dan lelang. ♦ Pelaksanaan administrasi kantor wilayah. c. Struktur organisasi Kanwil DJPLN terdiri dari: ♦ Bagian Umum ♦ Bidang Piutang Negara ♦ Bidang Lelang ♦ Bidang Informasi dan Hukum ♦ Kelompok Jabatan Fungsional 117 Pengurusan Piutang Negara Gambar berikut adalah struktur organisasi Kantor Wilayah DJPLN: Gambar 4.2. Struktur Organisasi Kantor Wilayah DJPLN KANTOR WILAYAH DJPLN BAGIAN UMUM SUBBAGIAN KEPEGAWAIAN BIDANG PIUTANG NEGARA BIDANG LELANG SUBBAGIAN KEUANGAN SUBBAGIAN TATA USAHA DAN RUMAH TANGGA BIDANG INFORMASI DAN HUKUM SEKSI PIUTANG NEGARA PERBANKAN SEKSI BIMBINGAN LELANG SEKSI INFORMASI DAN HUKUM PENGURUSAN PIUTANG NEGARA SEKSI PIUTANG NEGARA NON PERBANKAN SEKSI VERIFIKASI LELANG SEKSI INFORMASI DAN HUKUM LELANG SEKSI BIMBINGAN PENGELOLAAN BARANG JAMINAN KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL KP2LN Sumber: Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 445/KMK.01/2001 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara 118 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara d. Wilayah kerja masing-masing Kantor Wilayah DJPLN adalah sebagaimana tersebut pada tabel berikut ini: Tabel 4.3. NAMA, LOKASI, DAN WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA WILAYAH KERJA NO NAMA DAERAH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN LOKASI KP2LN 1. KP2LN Banda Aceh 2. KP2LN Medan 3. KP2LN Pematang Siantar 4. KP2LN Pekanbaru 5. KP2LN Tanjung Pinang 6. KP2LN Padang 1. KANWIL I DJPLN MEDAN MEDAN 1. 2. 3. 4. Provinsi Sumatera Utara Provinsi D.I Aceh Provinsi Riau Provinsi Sumatera Barat 2. KANWIL II DJPLN PALEMBANG PALEMBANG 1. 2. 3. 4. Provinsi Sumatera Selatan 1. KP2LN Palembang 2. KP2LN Pangkal Pinang Provinsi Jambi Provinsi Bengkulu 3. KP2LN Bandar Lampung Provinsi Lampung 4. KP2LN Jambi 5. KP2LN Bengkulu 3. KANWIL III DJPLN JAKARTA JAKARTA 1. Provinsi DKI Jakarta 2. Provinsi Kalimantan Barat 3. Provinsi Kalimantan Tengah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. KP2LN Jakarta I KP2LN Jakarta II KP2LN Jakarta III KP2LN Jakarta IV KP2LN Jakarta V KP2LN Pontianak KP2LN Palangkaraya 119 Pengurusan Piutang Negara WILAYAH KERJA LOKASI DAERAH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN NO NAMA 4. KANWIL IV DJPLN BANDUNG BANDUNG Provinsi Jawa Barat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. KP2LN Bandung I KP2LN Bandung II KP2LN Bogor KP2LN Cirebon KP2LN Serang KP2LN Bekasi KP2LN Tangerang KP2LN Tasikmalaya 5. KANWIL V DJPLN SEMARANG SEMARANG 1. Provinsi Jawa Tengah 2. Provinsi D.I. Yogyakarta 3. Provinsi Kalimantan Selatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. KP2LN Semarang KP2LN Yogyakarta KP2LN Surakarta KP2LN Pekalongan KP2LN Purwokerto KP2LN Banjarmasin 6. KANWIL VI DJPLN SURABAYA SURABAYA 1. Propinsi Jawa Timur 2. Propinsi Kalimantan Timur 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. KP2LN Surabaya I KP2LN Surabaya II KP2LN Malang KP2LN Jember KP2LN Madiun KP2LN Samarinda KP2LN Balikpapan 7. KANWIL VII DJPLN DENPASAR DENPASAR 1. Propinsi Bali 2. Propinsi Nusa Tenggara Barat 3. Propinsi Nusa Tenggara Timur 1. 2. 3. 4. 5. KP2LN Denpasar KP2LN Singaraja KP2LN Mataram KP2LN Bima KP2LN Kupang 8. MAKASSAR KANWIL VIII DJPLN MAKASSAR 1. Propinsi Sulawesi Selatan 2. Propinsi Sulawesi Tengah 3. Propinsi Sulawesi Tenggara 1. 2. 3. 4. 5. KP2LN Makassar KP2LN Pare-pare KP2LN Palopo KP2LN Kendari KP2LN Palu KP2LN 120 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara WILAYAH KERJA NO NAMA 9. KANWIL IX DJPLN MANADO Sumber: LOKASI MANADO DAERAH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN 1. Propinsi Sulawesi Utara 2. Propinsi Maluku 3. Propinsi Irian Jaya KP2LN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. KP2LN Manado KP2LN Gorontalo KP2LN Ambon KP2LN Ternate KP2LN Jayapura KP2LN Timika KP2LN Sorong Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 445/KMK.01/2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara 2. Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) Sebelum KP2LN terbentuk, kantor-kantor operasional yang berada di dalam lingkungan Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) adalah Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara (KP3N) dan Kantor Lelang Negara (KLN) yang dikoordinasikan dan dikendalikan oleh Kantor Wilayah BUPLN. Pada tahun 2001 kedua unit kantor tersebut digabung menjadi satu kesatuan kantor yaitu menjadi Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Kedudukan KP2LN berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah DJPLN. Tugas KP2LN adalah melaksanakan pelayanan pengurusan piutang negara dan lelang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas tersebut KP2LN menyelenggarakan fungsi: a. pelaksanaan penetapan dan penagihan piutang negara serta pemeriksaan Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang dan eksekusi barang jaminan; b. pelaksanaan pemeriksaan barang jaminan milik Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang serta harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang; c. penyiapan bahan pertimbangan dan pemberian keringanan hutang; d. pengusulan pencegahan, pengusutan dan pelaksanaan paksa badan serta penyiapan bahan pertimbangan penyelesaian atau penghapusan hutang negara; Pengurusan Piutang Negara 121 e. pelaksanaan pemeriksaan dokumen persyaratan lelang dan dokumen obyek lelang; f. penyiapan dan pelaksanaan lelang serta penyusunan dan verifikasi minut Risalah Lelang serta pembuatan salinan, petikan, kutipan dan grosse Risalah Lelang; g. pelaksanaan penggalian potensi piutang negara dan lelang; h. pelaksanaan superintendensi kepada pejabat lelang swasta serta pengawasan balai lelang swasta dan pengawasan pelaksanaan lelang pada PT Pegadaian (Persero) dan lelang kayu kecil oleh PT Perhutani (Persero); i. inventarisasi, registrasi, pengamanan, pendayagunaan dan pemasaran barang jaminan; j. pelaksanaan regristrasi dan penatausahaan berkas kasus Piutang Negara, pencatatan surat permohonan lelang dan penyajian informasi Piutang Negara dan lelang; k. pelaksanaan pemberian pertimbangan dan bantuan hukum Pengurusan Piutang Negara dan lelang; l. verifikasi dan pembukuan penerimaan pembayaran piutang negara dan hasil lelang; m. pelaksanaan administrasi Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara. Terdapat 2 (dua) tipe KP2LN, yaitu KP2LN Tipe A dan KP2LN Tipe B. Susunan Organisasi Tipe A terdiri dari: a. Sub Bagian Umum b. Seksi Piutang Negara c. Seksi Pengelolaan Barang Jaminan d. Seksi Pelayanan Lelang e. Seksi Dokumentasi dan Potensi Lelang f. Seksi Informasi dan Hukum g. Kelompok Jabatan Fungsional Gambar berikut adalah struktur organisasi KP2LN Tipe A: 122 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara Gambar 4.3. Struktur Organisasi KP2LN Tipe A KP2LN TIPE A SUBBAGIAN UMUM SEKSI PIUTANG NEGARA SEKSI PENGELOLAAN BARANG JAMINAN SEKSI PELAYANAN LELANG SEKSI DOKUMENTASI DAN POTENSI LELANG SEKSI INFORMASI DAN HUKUM KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL Sumber: Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 445/KMK.01/2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Susunan Organisasi KP2LN Tipe B terdiri dari: a. Sub Bagian Umum b. Seksi Piutang Negara c. Seksi Pengelolaan Barang Jaminan d. Seksi Lelang e. Seksi Informasi dan Hukum f. Kelompok Jabatan Fungsional Gambar berikut adalah struktur organisasi KP2LN Tipe B: 123 Pengurusan Piutang Negara Gambar 4.4. Struktur Organisasi KP2LN Tipe B KP2LN TIPE B SUBBAGIAN UMUM SEKSI PIUTANG NEGARA SEKSI PENGELOLAAN BARANG JAMINAN SEKSI LELANG SEKSI INFORMASI DAN HUKUM KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL Sumber: Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 445/KMK.01/2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Dalam susunan organisasi, baik tingkat kantor Pusat DJPLN, Kantor Wilayah DJPLN maupun Kantor KP2LN terdapat kelompok jabatan fungsional yaitu kelompok yang mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan fungsional masng-masing berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku seperti Pejabat Penilai, Juru Sita, Pejabat Lelang. Hingga sampai saat ini ketentuan yang mengatur jabatan fungsional pada Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara belum ada sehingga tugastugas penyelesaian Pengurusan Piutang Negara dan Lelang masih tetap dilakukan sebagaimana biasa oleh aparat struktural DJPLN. Penyusunan struktur organisasi Kantor Pusat DJPLN, Kanwil DJPLN dan KP2LN masih tetap berdasarkan pendekatan “by commodity/by product” sebagaimana diterapkan pada susunan organisasi BUPLN dahulu. Dengan 124 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara penyusunan organisasi yang demikian diharapkan terjaminnya efektifitas dan efisiensi Pengurusan Piutang Negara dan Lelang. Wilayah kerja masing-masing Kantor Wilayah DJPLN adalah sebagaimana tersebut pada tabel berikut ini: Tabel 4.4. NAMA, LOKASI, DAN WILAYAH KERJA KANTOR PELAYANAN PIUTANG DAN NEGARA LELANG NO NAMA TIPE LOKASI WILAYAH KERJA 1. KP2LN BANDA ACEH A BANDA ACEH 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. KOTA BANDA ACEH KOTA-KOTA SABANG KAB. ACEH BARAT KAB. ACEH SELATAN KAB. ACEH TENGAH KAB. ACEH UTARA KAB. ACEH BESAR KAB. BEREUN KAB. SIMELUE KAB. ACEH TIMUR KAB. ACEH TENGGARA KAB. PIDIE KAB. SINGKIL 2. KP2LN MEDAN A MEDAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. KOTA MEDAN KOTA TEBING TINGGI KOTA BINJAI KAB. DELI SERDANG KAB. KARO KAB. LANGKAT KAB. DAIRI 125 Pengurusan Piutang Negara 3. KP2LN PEMATANG SIANTAR B PEMATANG SIANTAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. KOTA SIANTAR KOTA SIBOLGA KOTA RANTAU PRAPAT KOTA TANJUNG BALAI KAB. ASAHAN KAB. SIMALUNGUN KAB. LABUHAN BATU KAB. NIAS KAB. TAPANULI TENGAH KAB. TAPANULI UTARA KAB. TAPANULI SELATAN KAB. MANDAILING NATAL KAB. TOBA SAMOSIR 4. KP2LN PEKANBARU A PEKANBARU 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. KOTA PEKANBARU KOTA DUMAI KAB. ROKAN HULU KAB. ROKAN HILIR KAB. SIAK KAB. INDRAGIRI HULU KAB. INDRGIRI HILIR KAB. KUANTAN SINGINGI KAB. KAMPAR KAB. PALALAWAN 5. KP2LN BATAM B BATAM 1. 2. 3. 4. 5. KOTA BATAM KAB. KARIMUN KAB. BENGKALIS KAB. KEPULAUAN RIAU KAB. NATUNA 6. KP2LN PADANG B PADANG 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. KOTA PADANG KOTA SAWAH LUNTO KOTA SOLOK KAB. PADANG PARIAMAN KAB. MENTAWAI KAB. PESISIR SELATAN KAB. SAWAH LUNTO KAB. SOLOK 126 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara 7. KP2LN BUKITTINGGI B BUKITTINGGI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. KOTA BUKITTINGGI KOTA PAYA KUMBUH KOTA PADANG PANJANG KAB. AGAM KAB. LIMA PULUH KOTA KAB. PASAMAN KAB. TANAH DATAR 8. KP2LN PALEMBANG A PALEMBANG 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. KOTA PALEMBANG KAB. MUSI BANYUASIN KAB. OGAN KOMERING ILIR KAB. OGAN KOMERING ULU KAB. MUARA ENIM KAB. LAHAT KAB. MUSI RAWAS 9. KP2LN PANGKALPINANG B PANGKAL PINANG 1. 2. 3. KOTA PANGKALPINANG KAB. BANGKA KAB. BELITUNG 10. KP2LN BANDAR LAMPUNG A BANDAR LAMPUNG 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. KOTA BANDAR LAMPUNG KAB. METRO KAB. LAMPUNG TENGAH KAB. LAMPUNG TIMUR KAB. LAMPUNG SELATAN KAB. TENGAMUS KAB. LAMPUNG BARAT KAB. LAMPUNG UTARA KAB. TULANG BAWANG KAB. WAY KANAN 127 Pengurusan Piutang Negara 11. KP2LN JAMBI B JAMBI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. KOTA JAMBI KAB. BATANGHARI KAB. KERINCI KAB. MUARA JAMBI KAB. T. JABUNG BARAT KAB. T. JABUNG TIMUR KAB. BUNGO KAB. TEBO KAB. MERANGIN KAB. SAROLANGUN 12. KP2LN BENGKULU B BENGKULU 1. 2. 3. 4. KOTA BENGKULU KAB. BENGKULU SELATAN KAB. BENGKULU UTARA KAB. REJANG LEBONG 13. KP2LN JAKARTA I A JAKARTA PENGURUSAN PN BANK MANDIRI LELANG : 1. KP2LN JAKARTA I 2. BALAI LELANG 3. PN/KEJAKSAAN JKT. PUSAT 14. KP2LN JAKARTA II A JAKARTA PENGURUSAN PN BRI LELANG : 1. KP2LN JAKARTA II 2. BALAI LELANG 3. PN/KEJAKSAAN JKT. UTARA 4. BEA CUKAI 15. KP2LN JAKARTA III A JAKARTA PENGURUSAN PN BNI LELANG : 1. KP2LN JAKARTA III 2. BALAI LELANG 3. PN/KEJAKSAAN JKT. BARAT 4. SITA KEPOLISIAN 5. KANWIL V DJP 128 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara 16. KP2LN JAKARTA IV A JAKARTA PENGURUSAN PN 1. BANK DKI-BANK LAIN 2. BUMD 3. INSTANSI LAIN LELANG : 1. KP2LN JAKARTA IV 2. BALAI LELANG 3. PN/KEJAKSAAN JKT. SEL. 4. KANWIL IV DJP 5. BUMD 6. INSTANSI PUSAT DAERAH 7. SUKARELA 17. KP2LN JAKARTA V A JAKARTA PENGURUSAN PN 1. BTN 2. BUMN LELANG : 1. KP2LN JAKARTA V 2. BALAI LELANG 3. PN/KEJAKSAAN JKT. TIMUR 4. KEJAKSAAN TINGGI 5. KEJAKSAAN AGUNG 6. KANWIL V DJP 7. BUMN 18. KP2LN PONTIANAK A PONTIANAK 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 8. KOTA PONTIANAK KAB. KAPUAS HULU KAB. KETAPANG KAB. PONTIANAK KAB. LANDAK KAB. SAMBAS KAB. SANGGAU KAB. SINTANG KAB. BENGKAYANG 129 Pengurusan Piutang Negara 19. KP2LN PALANGKARAYA B 20. KP2LN BANDUNG I A PALANGKARAYA 1. 2. 3. 4. 5. 6. BANDUNG KOTA PALANGKARAYA KAB. BARITO SELATAN KAB. BARITO UTARA KAB. BARITO KAPUAS KAB. KOTA WARINGIN BARAT KAB. KOTA WARINGIN TIMUR Meliputi: Kota Bandung, Kab. Bandung dan Kab. Sumedang PENGURUSAN PN: 1. BRI 2. BNI 3. BPD 4. BUMD LELANG : 1. KP2LN BANDUNG I 2. KEJAKSAAN/POLISI 3. BUMD 4. BALAI LELANG 5. BEA CUKAI 6. KAYU JATI 7. SUKARELA 21. KP2LN BANDUNG II A BANDUNG Meliputi: Kota Bandung, Kab. Bandung dan Kab. Sumedang PENGURUSAN PN : 1. BANK MANDIRI 2. BTN 3. BUMD 4. INSTANSI PEMERINTAH PUSAT/DAERAH/INSTANSI LAIN LELANG : 1. KP2LN BANDUNG II 2. PENGADILAN 3. BUMN 4. INSTANSI PEMERINTAH PUSAT/DAERAH 5. PAJAK 6. BALAI LELANG 7. SUKARELA 130 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara 22. KP2LN BOGOR A BOGOR 1. 2. 3. 4. 5. 6. KOTA BOGOR KOTA DEPOK KOTA SUKABUMI KAB. BOGOR KAB. CIANJUR KAB. SUKABUMI 23. KP2LN CIREBON A CIREBON 1. 2. 3. 4. 5. KOTA CIREBON KAB. CIREBON KAB. KUNINGAN KAB. INDRAMAYU KAB. MAJALENGKA 24. KP2LN SERANG A SERANG 1. 2. 3. 4. 5. 6. KAB. SERANG KOTA. CILEGON KAB. LEBAK KAB. PANDEGLANG KOTA TANGERANG KAB. TANGERANG 25. KP2LN BEKASI A BEKASI 1. 2. 3. 4. 5. KOTA BEKASI KAB. BEKASI KAB. KARAWANG KAB. PURWAKARTA KAB. SUBANG 26. KP2LN TASIKMALAYA B TASIKMALAYA 1. 2. 3. KAB. TASIKMALAYA KAB. CIAMIS KAB. GARUT 27. KP2LN SEMARANG A SEMARANG 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. KOTA SEMARANG KAB. SEMARANG KAB. DEMAK KAB. KUDUS KAB. JEPARA KAB. REMBANG KAB. PATI KAB. BLORA 131 Pengurusan Piutang Negara 28. KP2LN YOGYAKARTA A YOGYAKARTA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. KOTA YOGYAKARTA KOTA MAGELANG KAB. BANTUL KAB. SLEMAN KAB. KULONPROGO KAB. GUNUNG KIDUL KAB. TEMANGGUNG KAB. MAGELANG 29. KP2LN SURAKARTA A SURAKARTA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. KOTA SURAKARTA KOTA SALATIGA KAB. BOYOLALI KAB. KLATEN KAB. WONOGIRI KAB. SRAGEN KAB. KARANGANYAR KAB. SUKOHARJO KAB. GROBOGAN 30. KP2LN TEGAL B TEGAL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. KOTA PEKALONGAN KOTA TEGAL KAB. PEKALONGAN KAB. TEGAL KAB. BREBES KAB. KENDAL KAB. PEMALANG KAB. BATANG 31. KP2LN PURWOKERTO A PURWOKERTO 1. 2. 3. 4. 5. 6. KAB. PURBALINGGA KAB. BANJARNEGARA KAB. KEBUMEN KAB. PURWOREJO KOTA WONOSOBO KAB. BANYUMAS 132 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara 32. KP2LN BANJARMASIN 33. KP2LN SURABAYA I A A BANJARMASIN SURABAYA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. KOTA BANJARMASIN KAB. BANJAR BARU KAB. BANJAR KAB. BARITOKUALA KAB. HULU SUNGAI SELATAN KAB. HULU SUNGAI TENGAH KAB. HULU SUNGAI UTARA KAB. TANAH LAUT KAB. TAPIN KAB. PULAU LAUT PENGURUSAN PN 1. KOTA SURABAYA - BRI - BNI - BANK LAINNYA - NON BANK 2. KAB. SIDOARJO 3. KOTA MOJOKERTO 4. KAB. MOJOKERTO 5. KAB. JOMBANG 6. KAB. BANGKALAN 7. KAB. SAMPANG 8. KAB. PAMEKASAN 9. KAB. SUMENEP LELANG : 1. PUPN 2. PENGADILAN 3. BEA CUKAI 4. BUMN/BUMD 5. SUKARELA 6. HAK TANGGUNGAN 133 Pengurusan Piutang Negara 34 KP2LN SURABAYA II A SURABAYA PENGURUSAN PN 1. KOTA SURABAYA - BANK MANDIRI - BTN - BANK JATIM 2. KAB. GRESIK 3. KAB. LAMONGAN 4. KAB. TUBAN 5. KAB. BOJONEGORO LELANG : 1. PUPN 2. KAYU JATI 3. INVENTARIS 4. BALAI LELANG 5. KEJAKSAAN 35. KP2LN MALANG A MALANG 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. KOTA KOTA KOTA KOTA KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. MALANG BLITAR PROBOLINGGO PASURUAN MALANG BLITAR PROBOLINGGO PASURUAN TULUNGAGUNG 36. KP2LN JEMBER A JEMBER 1. 2. 3. 4. 5. KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. JEMBER BONDOWOSO BANYUWANGI SITUBONDO LUMAJANG 134 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara 37. KP2LN MADIUN B MADIUN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. KOTA KOTA KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. MADIUN KEDIRI MADIUN PONOROGO PACITAN NGAWI MAGETAN TRENGGALEK NGANJUK KEDIRI 38. KP2LN BALIKPAPAN A BALIKPAPAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. KOTA KOTA KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. BALIKPAPAN TARAKAN PASIR BERAU MALINAU NUNUKAN BULUNGAN 39. KP2LN DENPASAR A DENPASAR 1. 2. 3. 4. 5. KOTA KAB. KAB. KAB. KAB. DENPASAR BADUNG GIANYAR KLUNGKUNG TABANAN 40. KP2LN SINGARAJA B SINGARAJA 1. 2. 3. 4. KAB. KAB. KAB. KAB. BULELENG BANGLI JEMBRANA KARANG ASEM 41. KP2LN MATARAM B MATARAM 1. 2. 3. 4. KOTA KAB. KAB. KAB. MATARAM LOMBOK BARAT LOMBOK TENGAH LOMBOK TIMUR 42. KP2LN BIMA B BIMA 1. 2. 3. KAB. BIMA KAB. DOMPU KAB. SUMBAWA 135 Pengurusan Piutang Negara 43. KP2LN KUPANG B KUPANG 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. KOTA KUPANG KAB. KUPANG KAB. ALOR KAB. BELU KAB. ENDE KAB. FLORES KAB. MANGGARAI KAB. NGADA KAB. SIKA KAB. SUMBA BARAT KAB. SUMBA TIMUR KAB. TIMOR TENGAH SELATAN KAB. TIMOR TENGAH UTARA KAB. LEMBATA 44. KP2LN MAKASSAR A MAKASSAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. KOTA KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. MAKASSAR GOWA JENEPONTO PANGKAJENE KEP. MAROS SELAYAR BINJAI TAKALAR BULU KUMBA BANTAENG 45. KP2LN PARE--PARE B PARE-PARE 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. KOTA KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. PARE--PARE BARRU PINRANG POLEWALI MAMASA SINDENRENG RAPPANG MAJENE WAJO SOPPENG 136 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara 46. KP2LN PALOPO B PALOPO 1. 2. 3. 4. 5. 6. KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. LUWU LUWU UTARA TANA TORAJA MAMUJU ENREKANG BONE 47. KP2LN KENDARI B KENDARI 1. 2. 3. 4. 5. KOTA KAB. KAB. KAB. KAB. KENDARI BUTON KENDARI KOLAKA MUNA 48. KP2LN PALU B PALU 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. KOTA PALU KAB. BANGAI KAB. BANGGAI KEPULAUAN KAB. TOLI-TOLI KAB. BUOL KAB. DONGGALA KAB. POSO KAB. MOROWALI 49. KP2LN MANADO A MANADO 1. 2. 3. 4. 5. KOTA KOTA KAB. KAB. KAB. 50. KP2LN GORONTALO B GORONTALO 1. 2. 3. KOTA GORONTALO KAB. GORONTALO KAB. BOALIMO 51. KP2LN AMBON B AMBON 1. 2. 3. KOTA GORONTALO KAB. GORONTALO KAB. BOALIMO 52. KP2LN TERNATE B TERNATE 1. 2. 3. KOTA TERNATE KAB. MALUKU UTARA KAB. HALMAHERA MANADO BITUNG MINAHASA SANGIHE TALAUT BOLONG MANGAONDAU 137 Pengurusan Piutang Negara 53. KP2LN JAYAPURA B JAYAPURA 1. 2. 3. 4. 5. KOTA KAB. KAB. KAB. KAB. JAYAPURA JAYAPURA JAYAWIJAYA PUNCAK JAYA MERAUKE 54. KP2LN BIAK B BIAK 1. 2. 3. 4. 5. KAB. KAB. KAB. KAB. KAB. TIMIKA PANIAI NABIRE YAPEN WAROPEN BIAK NUMFOR 55. KP2LN SORONG B SORONG 1. 2. 3. 4. KOTA KAB. KAB. KAB. SORONG SORONG FAK-FAK MANOKWARI Sumber: Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/KMK.01/2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Visi dan Misi DJPLN Sebagai acuan bagi seluruh aparatur DJPLN dalam menjalankan tugastugasnya, DJPLN menetapkan visi dan misi. Visi DJPLN adalah menjadi lembaga pemerintah terbaik dalam melakukan Pengurusan Piutang Negara dan lelang negara yang profesional bertanggung jawab dan dapat dibanggakan masyarakat. Untuk mencapai Visi tersebut DJPLN telah menetapkan misi yaitu melakukan Pengurusan Piutang Negara dan memberikan pelayanan lelang dalam rangka pengamanan keuangan negara, penerimaan negara dan pelayanan kepada masyarakat. Secara lebih terinci misi yang dibebankan oleh PUPN meliputi: 1. Misi fiskal yaitu mengamankan keuangan dan asset negara sehingga mewujudkan kontribusi yang signifikan terhadap pengamanan keuangan negara dan penerimaan negara. 2. Misi sosial budaya yaitu meningkatkan kepatuhan/kesadaran para pengguna jasa DJPLN yang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya setempat untuk mengoptimalkan pengurusan piutang dan pelayanan lelang. 3. Misi kelembagaan yaitu memberikan pelayanan kepada pengguna jasa secara efisien, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan dan lebih 138 Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara menjamin kepastian hukum sehingga menjadikan DJPLN sebagai organisasi yang lebih akomodatif terhadap tuntutan dan kondisi yang ada. Rangkuman Sejarah kelembagaan Pengurusan Piutang Negara dimulai pada tahun 1958 dengan terbitnya Keputusan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Kpts/Peperpu/0241/1958 tanggal 4 Januari 1958 tentang Panitia Penyelesaian Piutang Negara (P3N). Tujuan utamanya adalah untuk menyelesaikan hutang-hutang kepada negara secara cepat dan efisien. Pada tanggal 14 Desember 1960 pemerintah dengan situasi negara yang masih dalam keadaan darurat perang membentuk Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dengan UU No. 49 Prp Tahun 1960 sebagai pengganti P3N. Pada tanggal 16 Desember 1960 Pemerintah menetapkan negara dalam keadaan ”tertib sipil”. Dalam situasi tertib sipil tersebut, dengan pertimbangan bahwa hasil yang dicapai oleh P3N sangat memuaskan, maka prinsip-prinsip kerja P3N (yaitu cepat dan efisien dalam penyelesaian Piutang Negara serta memberikan lebih perlindungan hukum bagi Debitur) perlu dipertahankan dan dilestarikan. Dengan pemikiran tersebut, maka tugas dan kewenangan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) berdasarkan UU No. 49 Prp Tahun 1960 perlu dipertahankan eksistensinya. Keanggotaan PUPN menurut Undang-undang No. 49 Prp Tahun 1960 adalah PUPN secara interdepartemental artinya susunan keanggotaan PUPN adalah terdiri dari wakil-wakil lembaga departemen yang bidang tugasnya ada kaitan dengan penyelesaian Piutang-piutang Negara yang macet. Seperti Departemen Keuangan, Kepolisian Negara, Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia ditingkat Pusat. Di tingkat daerah, keanggotaan ditambah dari unsur pemerintah daerah. PUPN terdiri dari PUPN Pusat dan PUPN Cabang. PUPN Pusat diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sedangkan PUPN Cabang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara sebagai pejabat eselon I di bawah Menteri Keuangan secara Ex Officio adalah Ketua PUPN Pusat. Di daerah-daerah di mana Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal (KW DJPLN) berkedudukan disitulah Kepala Kanwil DJPLN secara Ex Officio sebagai Ketua PUPN Cabang Provinsi. Dengan demikian di seluruh Indonesia terdapat 9 (sembilan) Kepala Kanwil DJPLN yang menjadi Ketua PUPN Cabang sedangkan di Ibukota Provinsi Tk I lainnya selain Provinsi Kalimantan Timur Ketua PUPN Cabangnya secara Ex 139 Pengurusan Piutang Negara Officio dijabat Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan lelang Negara (KP2LN) yang berkedudukan di Ibu Kota Provinsi Tk I bersangkutan. Pada saat ini terdapat 21 (dua puluh satu) Kepala KP2LN secara Ex Officio menjabat Ketua PUPN Cabang. Kewenangan PUPN Cabang adalah menetapkan 15 (lima belas) keputusan-keputusan hukum/produk-produk hukum dalam Pengurusan Piutang Negara. - o0o - Latihan Pilihan Ganda 1. Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 menetapkan: a. Panitia Penyelesaian Piutang Negara (P3N) b. Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) c. Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) d. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) 2. PUPN menurut UU Nomor 49 Prp. Tahun 1960 bertanggung jawab kepada: a. Menteri Pertama b. Kepala Staf Angkatan Darat/Ketua TEPERPU c. Menteri Keuangan d. Presiden 3. Keanggotaan Cabang PUPN berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor Kep.731/MK/7/10/1969 tanggal 21 Oktober 1969 ditetapkan oleh: a. Ketua PUPN Pusat b. Gubernur Kepala Daerah Tk I c. Menteri Keuangan Langsung d. Menteri Keuangan atas usul Gubernur KDH Tk. I melalui Ketua PUPN Pusat 4. Organisasi dan Tata kerja BUPLN ditetapkan dalam: a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 294/KMK.09/1993 b. Keputusan Menteri Kauangan Nomor 295/KMK.09/1993 c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 940/KMK.01/1991 140 5. 6. 7. 8. Bab 4 : Instansi Yang Mengurus Piutang Negara d. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 Menjelang ”tertib Sipil” UU Nomor 49 Prp Tahun 1960 ditetapkan pada tanggal: a. 12 Desember 1960 b. 13 Desember 1960 c. 14 Desember 1960 d. 16 Desember 1960 P3N adalah singkatan dari: a. Panitia Pengurusan Piutang Negara b. Panitia Penyelesaian Piutang Negara c. Panitia Pemulihan Piutang Negara d. Panitia Pemutihan Piutang Negara Dasar Hukum pembentukan KP2LN adalah: a. Keppres Nomor 11 Tahun 1976 b. Keppres Nomor 21 Tahun 1991 c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/KMK.01/2001 Sesuai UU Nomor 49 Prp. Tahun 1960 penyerahan piutang dari perbankan pemerintah wajib menyerahkan piutang macetnya kepada: a. Pengacara b. Kejaksaan c. Pengadilan d. PUPN Cabang melalui KP2LN Benar (B) - Salah (S) 1. B-S Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1991 tentang BUPLN mengenai Organisasi dan Tata kerjanya diatur dalam keputusan Menteri Keuangan No.940/KMK.01/1991 2. B-S PUPN Pusat, PUPN Wilayah dan PUPN Cabang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.294/KMK.09/1993. 141 Pengurusan Piutang Negara 3. B-S Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 381/K Sekretaris PUPN Cabang membantu Ketua PUPN Cabang dalam bidang teknis administratif saja. 4. B-S Penanggung Hutang Non Perbankan adalah orang atau Badan yang berhutang menurut perjanjian, peraturan atau sebab apapun yang menimbulkan hutang kepada Negara. 5. B-S PUPN bertugas mengadili atas sengketa yang terjadi antara Penanggung Hutang dengan Penyerah Piutang. 6. B-S Struktur organisasi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara disusun berdasarkan prinsip by process Pengurusan Piutang Negara. 7. B-S Menurut Keputusan Menteri Keuangan No.61/KMK.08/2002 KP2LN-KP2LN yang berada satu kota dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara menjadi anggota PUPN Cabang yang ketua PUPN Cabangnya adalah Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang bersangkutan. 8. B-S Sistem Pengurusan Piutang Negara secara khusus menurut UU No.49 Prp Tahun 1960 hanya untuk memberikan kepastian hukum kepada Kreditur. - o0o - BAB 5 PENYERAHAN DAN PENERIMAAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA Sasaran Pembelajaran Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan memahami proses pengurusan piutang negara, dan khususnya tahap penyerahan dan penerimaan pengurusan piutang negara berikut kegiatan operasional dan administrasi lainnya yang terkait. Pendahuluan 144 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara Sebagaimana uraian pada Bab-bab sebelum ini, berdasarkan Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, PUPN bertugas: 1. mengurus Piutang Negara yang telah diserahkan pengurusannya oleh Pemerintah atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara; dan 2. Piutang Negara yang diserahkan tersebut ialah piutang yang adanya dan besarnya pasti menurut hukum Di dalam penjelasan pasal 4 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, diuraikan bahwa pada prinsipnya piutang negara pada tahap awal diselesaikan oleh Instansi-Instansi dan Badan-badan pemilik piutang. Apabila tidak mungkin lagi terutama disebabkan oleh karena Penanggung Hutang tidak ada kesediaan dan termasuk Penanggung yang nakal, maka oleh pemilik piutang tersebut, penyelesaiannya diserahkan ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Penyerahan pengurusan piutang negara, dari instansi-instansi pemerintah dan badan-badan negara yang memiliki piutang, tidak serta merta diterima oleh PUPN, tetapi berkas-berkas penyerahan terlebih dahulu diteliti oleh KP2LN. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah penyerahan sudah memenuhi prosedur dan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hal tidak memenuhi persyaratan maka penyerahan berkas piutang macet dapat ditolak atau dalam hal tertentu dapat dikembalikan ke Penyerah Piutang. Istilah penolakan dan pengembalian dalam pelaksanaan Pengurusan Piutang Negara mengandung makna yang berbeda. Penjelasan tentang hal ini akan diuraikan lebih detail pada sub-sub bab berikutnya. Kegiatan penelitian berkas penyerahan oleh KP2LN dan penerimaan pengurusan oleh PUPN berdasarkan hasil penelitian tersebut merupakan tindakan yang sangat penting dalam proses Pengurusan Piutang Negara. Hal tersebut disebabkan oleh karena: 1. hasil dari penelitian tersebut adalah kepastian tentang adanya dan besarnya Piutang Negara menurut hukum, suatu kepastian yang diperlukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam Undang-undang No. 49 Prp. Tahun 1960 dan untuk keperluan pelaksanaan kewenangan parate eksekusi; dan 2. keputusan penerimaan pengurusan piutang negara yang diterbitkan oleh PUPN merupakan pintu hubungan antara PUPN dan Penyerah Piutang dalam melakukan pengurusan piutang negara. 145 Pengurusan Piutang Negara Oleh PUPN, pengurusan piutang negara tersebut dilaksanakan melalui tahap-tahap pengurusan yang telah baku. Ketentuan tentang tahap pengurusan piutang negara telah diatur dalam: 1. petunjuk pelaksanaan (juklak) pengurusan piutang negara, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan yang merupakan pelaksanaan amanat Pasal 14 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 19601; dan 2. petunjuk teknis (juknis) pengurusan piutang negara, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang merupakan pelaksanaan amanat juklak tersebut di atas2. Agar dapat mengerti uraian tentang penyerahan dan penerimaan pengurusan piutang negara, terlebih dahulu akan diuraikan prosedur pengurusan piutang negara. Prosedur Pengurusan Piutang Negara Pengurusan piutang negara dilaksanakan PUPN dengan menempuh tahap pengurusan sebagai yang dijabarkan pada Gambar 5.1 Alur tahapan pengurusan piutang negara tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Penyerah Piutang menyerahkan pengurusan piutang/kredit macetnya secara tertulis kepada PUPN melalui KP2LN, disertai berbagai dokumen pendukung yang dapat membuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara (seperti Perjanjian Kredit, Kontrak Kerja, Rekening Koran, dan sebagainya) beserta dokumen lain yang dianggap perlu (dokumen barang jaminan, dokumen pengikatan barang jaminan, dan sebagainya). Gambar 5.1. Alur Prosedur Pengurusan Piutang Negara MULAI SURAT PENYERAHAN 1) 1 2 MENGAKUI JML HTG & SEPAKAT CARA PENYELESAIAN 5A) SURAT PENERIMAAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA 3A) PB DITAATI ? PB 7) Y BAYAR 8) T Juklak pengurusan piutang negara yang berlaku pada saat buku ini ditulis adalah MENGAKUI JUMLAH HUTANG Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang TAPI TIDAK PENELITIAN Negara.KP2LN 2) SEPAKAT CARA PANGGILAN 2X Y PENYELESAIAN Juknis pengurusan piutangDAN/ATAU negara yang berlaku pada saat buku iniLUNAS? ditulis adalah SELESAI 5B) 9) PENGUMUMAN Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep-25/PL/2002 tentang PANGGILAN 4) T Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara. ADANYA & BESARNYA PASTI ? 3) T Y WAWANC ARA 5) MEMENUHI PANGGILAN ? Y TIDAK MENGAKUI JUMLAH HUTANG 5C) LUNAS? T 14B) Y 14A) PEMERIKSAAN 15) Y 13A) PSBDT 16) LAKU? 146 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara 2. KP2LN melakukan penelitian dokumen penyerahan yang hasilnya dituangkan dalam Resume Hasil Penelitian Kasus (RHPK). 3. Dari RHPK tersebut dapat diketahui apakah kasus tersebut dapat diterima untuk diurus (laik urus) atau tidak. Suatu piutang negara dikatakan laik urus oleh PUPN bila adanya dan besarnya piutang negara tersebut dapat dibuktikan secara hukum, dan § apabila laik urus, maka PUPN akan menerbitkan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N); atau § apabila tidak memenuhi syarat untuk diurus, maka PUPN akan menerbitkan Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara, dan kasus tersebut akan dikembalikan kepada Penyerah Piutang. 4. Setelah SP3N diterbitkan, maka KP2LN melakukan pemanggilan kepada Penanggung Hutang (PH) dan/atau Penjamin Hutang (PjH), paling banyak 2 (dua) kali masing-masing berselang 7 (tujuh) hari. Bila PH/PjH tidak diketahui keberadaannya, pemanggilan dapat dilakukan melalui Pengumuman Panggilan pada media masa. 5. Apabila PH/PjH memenuhi panggilan, maka dilakukan wawancara yang menyangkut pengakuan jumlah hutang, dan kesepakatan tentang cara dan jangka waktu penyelesaian, serta sanksi bila PH/PjH wanprestasi/cidera janji. Dari hasil wawancara, dapat diketahui kemungkinan sebagai berikut: Pengurusan Piutang Negara 147 § PH/PjH mengakui dan menyetujui jumlah hutangnya, serta menyepakati cara dan jangka waktu penyelesaian; § PH/PjH mengakui dan menyetujui jumlah hutangnya, tapi tidak menyepakati cara dan jangka waktu penyelesaian; atau § PH/PjH tidak mengakui dan/atau tidak menyetujui jumlah hutangnya tanpa alasan yang sah. 6. Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) akan diterbitkan oleh PUPN bila: § PH/PjH menghilang, tidak diketahui alamatnya, atau PH/PjH tidak hadir memenuhi panggilan terakhir dan/atau pengumuman panggilan; atau § PH/PjH hadir memenuhi panggilan, panggilan terakhir, atau pengumuman panggilan, namun tidak mengakui dan/atau tidak menyetujui jumlah hutangnya tanpa alasan yang sah. 7. Berdasarkan PJPN di atas, PUPN melaksanakan penagihan piutang negara kepada PH/PjH secara sekaligus dengan Surat Paksa (SP). Tahap pengurusan ini dilaksanakan sebagai berikut: § PUPN menerbitkan SP, yang berisi perintah kepada PH/PjH untuk melunasi hutang dalam jangka waktu 1 X 24 jam sejak SP diberitahukan; dan § Jurusita Piutang Negara memberitahukan SP tersebut kepada PH/PjH, dengan menggunakan Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa. 8. Bila berdasarkan wawancara diketahui hasil sebagaimana dimaksud pada butir 5A atau 5B, maka Pernyataan Bersama (PB) dibuat dan ditandatangani bersama oleh PH/PjH dan Ketua PUPN. 9. Apabila PH/PjH mentaati isi PB, yang bersangkutan melaksanakan pembayaran. Bila PH/PjH tidak mentaati isi PB (wanprestasi), PUPN akan menerbitkan SP terhadap PH/PjH yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud pada butir 7. 10. Pembayaran yang dilakukan oleh PH/PjH sesuai ketentuan yang disepakati pada PB, akan bermuara pada pelunasan hutangnya. 11. Apabila PH/PjH tidak memenuhi ketentuan SP, maka PUPN menerbitkan Surat Perintah Penyitaan (SPP) terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain. SPP tersebut ditindaklanjuti dengan pelaksanaan penyitaan oleh Jurusita Piutang Negara dengan menggunakan Berita Acara Penyitaan. 148 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara 12. Apabila debitor tetap tidak menyelesaikan hutangnya kepada negara walaupun barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain miliknya telah disita, maka tahap pengurusan akan ditingkatkan ke arah lelang barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik PH/PjH yang telah disita. Tahap pengurusan ini akan dilaksanakan sebagai berikut: § PUPN menerbitkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS) yang memerintahkan Kepala KP2LN untuk melakukan penjualan di muka umum (lelang) terhadap barang yang telah disita tersebut; dan § pelaksanaan lelang dihadapan Pejabat Lelang. 13. Pelaksanaan lelang barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik PH/PjH dapat § berhasil (laku); atau § tidak berhasil (tidak laku), dan terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain tersebut akan dilakukan lelang ulang. 14. Terdapat 2 (dua) kemungkinan hasil yang diperoleh bila barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain tersebut laku terjual lelang, dan tidak ada lagi barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang tersisa, yaitu: § piutang negara lunas; atau § piutang negara tidak lunas. 15. Bila piutang negara belum lunas meski sudah tidak ada lagi barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik PH/PjH, maka untuk piutang negara yang memenuhi persyaratan akan dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui: § kemampuan PH/PjH; § keberadaan harta kekayaan lain; atau § keberadaan diri PH/PjH bila yang bersangkutan menghilang, atau tidak diketahui alamatnya. 16. Bila piutang negara belum lunas dan telah memenuhi persyaratan, maka PUPN akan menghentikan sementara pengurusan piutang negara tersebut dengan menerbitkan pernyataan Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT). Di samping proses pengurusan piutang negara sebagaimana yang diuraikan di atas, PUPN/DJPLN dapat menempuh upaya hukum lain seperti melakukan penyanderaan/paksa badan (gijzeling/lijfdwang), serta pencegahan bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia terhadap PH/PjH. Waktu pelaksanaan upaya hukum lain tersebut, walaupun tidak secara tegas diatur, umumnya dilaksanakan setelah terbitnya SP. Pengurusan Piutang Negara 149 Dalam uraian tentang proses pengurusan piutang negara tersebut, terdapat beberapa terminologi yang perlu mendapat perhatian secara serius dan memerlukan adanya kesamaan pengertian dari semua pihak yang terkait dengan pengurusan piutang negara. Beberapa terminologi tersebut di atas, secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: 1. Terminologi teknis yuridis, yang merupakan nama produk hukum yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Ketua PUPN Cabang, yaitu mulai dari SP3N, PB, PJPN, SP, SPP, SPPBS, SPPS (Surat Perintah Pengangkatan Sita), Surat Perintah Penyanderaan/Paksa Badan, penetapan PSBDT (Piutang Sementara Belum Dapat diTagih) dan sebagainya. 2. Terminologi non teknis yuridis, yaitu surat-surat yang: § merupakan tindak lanjut/pelaksanaan dari putusan-putusan PUPN tersebut pada butir 1 (satu) di atas, seperti RHPK, Surat Panggilan kepada PH/PjH, surat pemblokiran rekening/harta kekayaan debitor yang disimpan di Bank, surat pemblokiran tanah dan/atau bangunan kepada Kantor Pertanahan; atau § bukan merupakan produk hukum yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Ketua PUPN Cabang, seperti Surat Keputusan Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia. Surat/dokumen tersebut dibuat dan diterbitkan oleh Kantor Pusat DJPLN sebagai pelaksanaan kewenangan Menteri Keuangan terkait dalam pengurusan piutang negara. Penyerahan Pengurusan Piutang Negara Penyerahan pengurusan piutang negara wajib dilakukan oleh para Penyerah Piutang, yang menurut Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 adalah Instansi-Instansi Pemerintah atau Badan-Badan yang kekayaannya baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai Negara. Penyerahan pengurusan tersebut disampaikan Penyerah Piutang secara tertulis kepada PUPN Cabang melalui KP2LN yang wilayah kerjanya merupakan bagian dari wilayah kerja PUPN Cabang yang bersangkutan. Secara umum, KP2LN melalui siapa pengurusan piutang negara diserahkan, dipilih Penyerah Piutang dengan pertimbangan: 1. Tempat kedudukan Penyerah Piutang sama dengan tempat kedudukan KP2LN, misalnya: 150 § Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk. Cabang Rasuna Said Jakarta menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN Cabang DKI Jakarta melalui KP2LN Jakarta I; § PT. Jamsostek (Persero) Cabang Bekasi menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN Cabang Jawa Barat melalui KP2LN Bekasi. 2. Wilayah kerja Penyerah Piutang mencakup juga tempat kedudukan KP2LN, misalnya Perum Sarana Pengembangan Usaha Cabang Semarang, yang wilayah kerjanya meliputi kota Purwokerto, menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN Cabang Jawa Tengah melalui KP2LN Purwokerto, dan tidak melalui KP2LN Semarang; 3. Tempat kedudukan Penyerah Piutang termasuk dalam wilayah kerja KP2LN, misalnya PT. Bank BRI (Persero) Cabang Purwakarta menyerahkan pengurusan piutangnya kepada PUPN Cabang Jawa Barat melalui KP2LN Bekasi. Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab IV, tempat kedudukan dan wilayah kerja KP2LN adalah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara. Tempat kedudukan dan daerah wewenang PUPN Cabang diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 533/KMK.08/2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Nomor 61/KMK.08/2002 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Penyerahan pengurusan piutang kepada PUPN merupakan proses pertama yang harus dilakukan oleh Penyerah Piutang dalam pengurusan piutang negara. Penyerahan tersebut harus disertai dengan resume perkembangan pengurusan/penagihan piutang yang diserahkan tersebut, dan dokumen yang terkait. Resume tersebut berisi informasi sebagai berikut: 1. Identitas Penyerah Piutang. 2. Identitas Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. 3. Bidang usaha Penanggung Hutang, antara lain industri, manufaktur perdagangan, pertanian, perkebunan atau bidang usaha lainnya. 4. Keadaan usaha Penanggung Hutang pada saat pengurusan piutang negara atas namanya diserahkan ke PUPN Cabang. 5. Dasar hukum terjadinya hutang, antara lain perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, peraturan atau dasar hukum lainnya. 6. Jenis piutang negara antara lain kredit investasi, kredit modal kerja, kredit umum, dana reboisasi, jasa pelabuhan atau jenis piutang negara lainnya. Pengurusan Piutang Negara 151 7. Penjamin Kredit oleh pihak ketiga antara lain PT. Askrindo, PT. ASEI, PERUM PKK atau Lembaga Penjamin lainnya. 8. Sebab-sebab kredit/piutang dinyatakan macet seperti kesalahan manajemen, kerusuhan sosial atau sebab-sebab lainnya. 9. Tanggal realisasi kredit dan tanggal Penyerah Piutang mengkategorikan kredit sesuai peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia dalam hal Piutang Negara berasal dari perbankan atau tanggal PH dinyatakan wanprestasi sesuai perjanjian, peraturan, surat keputusan pejabat berwenang atau sebab apapun dalam hal Piutang Negara berasal dari Non Perbankan. 10. Rincian hutang yang terdiri dari saldo hutang pokok, bunga, denda dan ongkos/beban lainnya. 11. Daftar barang jaminan yang memuat uraian barang pengikatan, kondisi dan nilai barang jaminan pada saat penyerahan, dalam hal penyerahan didukung oleh barang jaminan. 12. Daftar harta kekayaan lain. 13. Penjelasan singkat upaya-upaya penyelesaian piutang yang telah dilakukan oleh PP dan 14. Informasi lainnya yang dianggap perlu disampaikan oleh PP antara lain PH dan atau PjH sudah tidak diketahui tempat tinggalnya, ada kasus gugatan di Pengadilan atau barang jaminan telah disita Pengadilan Negeri untuk kepentingan pihak lain. Selain resume yang berisi uraian di atas, penyerahan pengurusan piutang negara juga dilampiri dokumen, yang berdasarkan tujuannya, dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: 1. jenis dokumen yang dapat membuktikan adanya dan besarnya piutang negara; dan 2. jenis dokumen yang terkait dengan penjaminan (baik perjanjian penjaminan, dokumen asli barang jaminannya, maupun pengikatan/pembebanan Hak Tanggungan atau Jaminan Fidusia). Pada tahap penyerahan pengurusan, dokumen yang dilampirkan tidak harus dokumen asli tetapi cukup fotokopi dokumen saja. Dokumen-dokumen yang dilampirkan tersebut adalah sebagai berikut: 1. penyerahan pengurusan piutang negara perbankan, dilampiri dengan fotokopi: 152 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara a. perjanjian kredit (dan addendum perjanjian kredit jika ada), akta pengakuan hutang, cessie, letter of crediet (LC) atau dokumen lain yang sejenis yang dapat membuktikan adanya piutang; b. rekening koran, prima nota, mutasi piutang dan atau dokumen lain yang sejenis yang dapat membuktikan besarnya piutang; c. dokumen barang jaminan serta pengikatannya dan surat pernyataan kesanggupan Penyerah Piutang untuk mengajukan permohonan roya, bila piutang yang diserahkan pengurusannya didukung dengan barang jaminan; d. Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor atau bukti diri Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; e. daftar kekayaan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang diperkuat dengan dokumen kepemilikannya (bila ada) seperti sertifikat, Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK); dan f. surat menyurat antara Penyerah Piutang dengan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang berkaitan dengan upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka penyelesaian hutang; g. Akta Pendirian Perusahaan, pengumuman akta pendirian perusahaan dalam Tambahan Berita Negara, beserta akta perubahannya, tanda pengenal/pendaftaran perusahaannya dan atau identitas lainnya; h. izin usaha, izin mendirikan bangunan dan atau surat-surat izin lainnya; i. surat pemberitahuan dari Penyerah Piutang kepada Penanggung Hutang bahwa pengurusan piutang negara diserahkan ke PUPN Cabang. 2. penyerahan pengurusan piutang negara non perbankan oleh BUMN/BUMD, dilampiri dengan fotokopi: a. perjanjian, kontrak, surat perintah kerja, surat keputusan, peraturan atau dokumen lain yang sejenis, yang dapat membuktikan adanya piutang; b. mutasi keuangan, faktur, resi, bon sementara rekening, tagihan kartu kredit atau dokumen lain yang sejenis yang dapat membuktikan besarnya piutang; dan c. dokumen barang jaminan serta pengikatannya dan surat pernyataan kesanggupan Penyerah Piutang untuk mengajukan permohonan roya, bila piutang yang diserahkan pengurusannya didukung dengan barang jaminan. Pengurusan Piutang Negara 153 3. penyerahan pengurusan piutang yang diserahkan oleh Istansi Pemerintah dan Lembaga Negara berupa Tuntutan Ganti Rugi (TGR) bagi Pegawai Negeri Sipil bukan bendahara, dilampiri dengan fotokopi: a. Laporan Kerugian Negara oleh atasan pegawai negeri yang dituntut /Kepala Kantor; b. Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak; c. surat pemberitahuan dari Menteri/Ketua Lembaga Negara yang bersangkutan kepada pihak/pegawai negeri yang dituntut; d. Surat Keputusan Pembebanan Tingkat Pertama yang ditetapkan oleh Menteri/Ketua Lembaga Negara; e. Surat Keputusan Pembebanan Tingkat Banding; dan f. surat-surat hasil pemeriksaan. 4. penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah dan Lembaga Negara berupa Tuntutan Ganti Rugi bagi Pegawai Negeri Sipil selaku Bendahara dilampiri dengan fotokopi: a. hasil pemeriksaan yang mengungkapkan adanya kerugian negara; b. berita acara pemeriksaan kas; c. daftar pernyataan untuk menyusun Laporan Pemeriksaan Keuangan Perbendaharaan guna keperluan proses Tuntutan Perbendaharaan; d. Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak; e. bukti angsuran kerugian negara; f. surat keputusan menteri/ketua lembaga negara tentang penggantian sementara; g. Surat Keputusan Pembebanan Badan Pemeriksa Keuangan yang terdiri dari : ♦ Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu untuk Menjawab; ♦ Surat Keputusan Pembebanan; dan/atau ♦ Surat Keputusan Pembebanan Tingkat banding; dan ♦ Surat kuasa untuk menjual barang. 5. penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah dan Lembaga Negara berupa piutang ikatan dinas, dilampiri dengan fotokopi: a. surat perjanjian; b. surat keputusan Menteri/Ketua Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terdiri dari: ♦ Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil; 154 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara ♦ Surat Keputusan Pemberhentian; dan ♦ perhitungan jumlah biaya yang harus dibayarkan. 6. penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah berupa piutang Bea Masuk/Bea Masuk Tambahan, dilampiri dengan fotokopi: a. bukti rincian perhitungan tagihan; b. Pemberitahuan Import Untuk Dipakai/Pemberitahuan Import Barang beserta lampiran-lampirannya; dan c. Nomor Pokok Wajib Pajak. 7. penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah berupa piutang Pajak Ekspor, dilampiri dengan fotokopi: 1) bukti rincian Perhitungan Pajak Ekspor; dan 2) Pemberitahuan Ekspor Barang. 8. penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah sektor kehutanan berupa: a. Tunggakan iuran Hasil Hutan/Provisi Sumber Daya Hutan dan dana Reboisasi, dilampiri dengan fotokopi: ♦ Akta Pendirian Perusahaan pada saat memperoleh Hak Pengusahaan Hutan berikut susunan direksinya; ♦ Surat Keputusan Penunjukan Selaku Pemegang Hak Konsesi Hak Pengusahaan Hutan/Hak Pemanfaatan Hasil Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu dan izin lainnya; ♦ Surat Perintah Pembayaran Tunggakan Iuran Hasil Hutan/Provisi Sumber Daya hutan dan dana Reboisasi; ♦ bukti rincian tunggakan; dan ♦ surat keputusan tentang terjadinya kerugian negara. b. Tagihan atas Pelanggaran Eksploitasi Hutan, dilampiri dengan fotokopi: ♦ Surat Keputusan Penunjukan Pemegang Hak Konsesi Hak Pengusahaan Hutan; ♦ Akta Pendirian Perusahaan/Hak Pemanfaatan Hasil Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu, dan izin lainnya; ♦ foto/peta udara yang menunjukkan blok-blok dan batas konsesi; ♦ Laporan Hasil Pemeriksaan dan berita acara pemeriksaan di lapangan; Pengurusan Piutang Negara 155 ♦ surat keputusan tentang terjadinya kerugian negara; dan ♦ surat-surat penjatuhan sanksi denda. 9. penyerahan pengurusan piutang oleh Badan Usaha Logistik, dilampiri dengan fotokopi: a. Akta Pendirian Perusahaan; b. nota klaim; c. surat perjanjian; dan d. kontrak kerja. 10. Penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah sektor pertambangan, yaitu fotokopi : a. Akta Pendirian Perusahaan; b. Surat Penunjukan Kontraktor Penambang; dan c. bukti rincian perhitungan tagihan. 11. penyerahan pengurusan piutang oleh Instansi Pemerintah instansi pemerintah sektor kesehatan berupa tagihan biaya rumah sakit, dilampiri dengan fotokopi: a. bukti rincian tagihan; dan b. surat pernyataan penanggungjawab hutang. 12. penyerahan pengurusan piutang proyek-proyek pemerintah, dilampiri dengan fotokopi: a. bukti rincian perusahaan; b. Perjanjian Kontrak; c. Surat Perintah Kerja; dan d. Laporan Hasil Pemeriksaan dan atau bukti rincian ganti rugi. 13. penyerahan pengurusan piutang oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yaitu: a. piutang yang berasal dari kredit perbankan berupa fotokopi dokumen sebagaimana dimaksud dalam rincian butir 1 di atas; b. piutang yang bukan berasal dari kredit perbankan berupa fotokopi dokumen: § Akta Pengakuan Utang, MSAA, MRNIA atau perjanjian yang sejenis; § bukti pemilikan dan bukti pengikatan; § rekening koran, mutasi keuangan atau dokumen yang sejenis dan; 156 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara § dokumen-dokumen lain yang mendukung adanya dan besarnya piutang negara. Selain ketentuan tentang lampiran surat penyerahan, terdapat ketentuan lain yang terkait dengan penyerahan pengurusan piutang negara dari Penyerah Piutang kepada PUPN Cabang. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. batas paling sedikit besaran piutang negara yang diserahkan pengurusannya kepada PUPN Cabang adalah Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap kasus. Batasan tersebut tidak berlaku bagi piutang Instansi Pemerintah dan Lembaga Negara Tingkat Pusat maupun Daerah; 2. bila pada waktu yang bersamaan Penyerah Piutang menyerahkan lebih dari 1 (satu) berkas kasus pengurusan piutang negara, maka setiap berkas kasus dilengkapi surat penyerahan dengan nomor surat tersendiri; 3. bila berkas kasus yang diserahkan belum lengkap atau KP2LN yang menerima penyerahan membutuhkan adanya informasi tambahan sebagai bahan pengurusan, KP2LN yang bersangkutan dapat meminta tambahan kelengkapan data kepada Penyerah Piutang. Demikian pula bila terdapat suatu kasus tertentu, KP2LN secara selektif dapat meminta Penyerah Piutang untuk memberikan ekspose atas kasus yang diserahkan dan/atau melakukan penelitian ”on the spot” (lapangan); 4. bila terdapat piutang yang berasal dari kredit sindikasi/konsorsium, sepanjang terdapat piutang negara yang harus diselesaikan, pengurusannya dapat diserahkan kepada PUPN Cabang melalui KP2LN. Pihak yang bertindak selaku Penyerah Piutang adalah anggota sindikasi yang berasal dari Badan Usaha Milik Negara. Ketentuan tentang hal ini diperjelas dengan surat Menteri Keuangan yang ditujukan kepada sebuah bank swasta asing (milik seorang Jepang) yang bersindikasi/ berkonsorsium dengan Bank BUMN. Surat dengan Nomor 1191/MK.09/1991 tanggal 30 Oktober 1991 tersebut, pada intinya berisi: a. Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (sekarang DJPLN) akan menerima pengurusan kredit macet dari Bank-bank BUMN tanpa melihat keterkaitan kredit tersebut dengan sindikasi/konsorsium sepanjang terdapat kepentingan Bank BUMN berupa piutang macet yang harus diselesaikan. b. Hasil pengurusan piutang negara tersebut pada butir a. di atas diberikan kepada Bank BUMN bersangkutan selaku Penyerah Piutang setelah Pengurusan Piutang Negara 157 diperhitungkan biaya administrasi pengurusan piutang negara sesuai peraturan perundangan yang berlaku. c. Bila kredit yang diberikan secara sindikasi/konsorsium, penyelesaian piutang macet Bank BUMN yang bersangkutan oleh BUPLN tidak mengurangi hak Kreditur lainnya berdasarkan perjanjian dan ketentuan hukum yang berlaku atas hasil pengurusan yang diperoleh. Penelitian Dokumen Penyerahan dan Perhitungan Besarnya Piutang Negara Penyerahan pengurusan piutang negara dari Penyerah Piutang ditindaklanjuti KP2LN dengan melakukan penelitian atas surat penyerahan berikut lampirannya, dan melakukan perhitungan besarnya piutang negara. Kedua kegiatan tersebut akan diuraikan berikut ini. Penelitian Dokumen Penyerahan Penelitian atas surat penyerahan berikut dokumen-dokumen yang dilampirkan dilakukan KP2LN dalam rangka mencari kepastian tentang adanya dan besarnya piutang negara. Kepastian tersebut harus dapat didukung dengan bukti-bukti yang sah, yang seharusnya sudah dipenuhi dan dilengkapi melalui dokumen-dokumen yang dilampirkan dalam surat penyerahan. Hasil penelitian tersebut di atas dituangkan dalam Resume Hasil Penelitian Kasus (RHPK). Salah satu muatan yang terkandung dalam RHPK tersebut adalah pendapat petugas peneliti tentang dapat atau tidaknya piutang tersebut diurus oleh PUPN. Apabila berdasarkan hasil penelitian diperoleh kepastian tentang adanya dan besarnya piutang, maka di dalam RHPK akan dicantumkan pendapat bahwa piutang tersebut dapat diurus oleh PUPN. Demikian juga sebaliknya, bila adanya dan besarnya piutang tidak dapat dibuktikan secara hukum, maka di dalam RHPK akan dicantumkan pendapat bahwa piutang tersebut tidak laik urus oleh PUPN. Perhitungan Besarnya Piutang Negara Bila berdasarkan penelitian diketahui bahwa adanya piutang dapat dibuktikan secara hukum, maka petugas peneliti melakukan perhitungan jumlah piutang. Perhitungan jumlah piutang tersebut dilakukan untuk mengetahui besarnya jumlah hutang yang dapat dibuktikan secara hukum. 158 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara Untuk itu, perhitungan besarnya piutang negara harus didasarkan pada dokumen-dokumen yang sah yang dilampirkan dalam surat penyerahan. Perhitungan besarnya piutang negara dilakukan sesuai cara yang telah diuraikan pada Bab III, dan hasil perhitungan merupakan salah satu bagian dalam RHPK. Selain itu, dalam menghitung besarnya piutang negara, petugas peneliti harus memperhatikan kemungkinan adanya pembayaran-pembayaran pada periode sejak 6 bulan setelah piutang dinyatakan macet sampai pada pengurusan piutang diserahkan kepada PUPN, seperti: 1. pembayaran yang dilakukan oleh Penanggung Hutang atau oleh pihak lain untuk kepentingan Penanggung Hutang yang merupakan angsuran hutang, diperhitungkan sebagai pengurangan jumlah hutang; 2. pembayaran yang terkait dengan polis asuransi atas barang jaminan, biaya pembebanan Hak Tanggungan/Jaminan Fiducia, biaya perpanjangan hak atas tanah, biaya pengukuhan hak atas tanah, dan biaya-biaya lainnya sesuai perjanjian antara Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang, diperhitungkan sebagai penambahan jumlah hutang. Perhatian yang seksama atas pembayaran-pembayaran tersebut dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam petunjuk pelaksanaan pengurusan piutang negara yang mengatur bahwa pembebanan bunga (bila ada) hanya dapat dilakukan paling banyak selama 6 (enam) bulan sejak piutang dinyatakan macet. Aplikasi atas ketentuan tersebut dapat digambarkan dengan contoh sebagai berikut: 1. Piutang atas nama PT. Hutang Slalu ditetapkan sebagai piutang macet pada tanggal 1 Maret 2000, dengan rincian sebagai berikut: a. Pokok hutang : Rp.200.000.000,00 b. Bunga : Rp. 40.000.000,00 c. Jumlah : Rp.240.000.000,00 2. Data di dalam rekening koran, terdapat informasi sebagai berikut: a. pada tanggal 1 September 2000, rincian hutang adalah sebagai berikut: 1) Pokok hutang : Rp.200.000.000,00 2) Bunga : Rp. 43.000.000,00 3) Jumlah : Rp.243.000.000,00 b. pada tanggal 1 Oktober 2000 terdapat pembebanan kepada Penanggung Hutang sebesar Rp.500.000,00, sebagai akibat pembayaran polis 159 Pengurusan Piutang Negara asuransi kebakaran atas barang jaminan, sehingga rincian hutang pada tanggal tersebut adalah: 1) Pokok hutang :Rp.200.000.000,00 2) Bunga :Rp. 43.500.000,00 3) Ongkos-ongkos :Rp. 500.000,00 4) Jumlah :Rp.244.000.000,00 c. pada tanggal 1 November 2000 terdapat pembayaran angsuran sebesar Rp.1.000.000,00, sehingga rincian hutang pada tanggal tersebut adalah: 1) Pokok hutang :Rp.199.750.000,00 2) Bunga :Rp. 43.250.000,00 3) Ongkos-ongkos :Rp. 500.000,00 4) Jumlah :Rp.243.000.000,00 3. Piutang tersebut, diserahkan kepada PUPN Cabang melalui KP2LN pada tanggal 1 Desember 2000, dengan rincian sebagai berikut: a. Pokok hutang : Rp.199.750.000,00 b. Bunga : Rp. 43.750.000,00 c. Ongkos-ongkos : Rp. 500.000,00 d. Jumlah : Rp. 244.500.000,00 Dari data tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jumlah hutang PT. Hutang Selalu adalah Rp. 242.500.000,00, dengan perhitungan sebagai berikut: Uraian Hutang Pokok (Rp.) Posisi macet + 6 200.000.000,00 bulan Penambahan setelah posisi macet + 6 bulan Pengurangan setelah posisi macet + 6 bulan Rincian jumlah 0,00 Bunga (Rp.) 43.000.000,00 0,00 (250.000,00) ( 750.000,00) 199.750.000,00 42.250.000,00 Ongkos (Rp.) 0,00 500.000,00 0,00 500.000,00 Jumlah (Rp.) 243.000.000,00 500.000,00 (1.000.000,00) 242.500.000,00 160 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara hutang Penolakan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara Penolakan Pengurusan Piutang Negara Bila di dalam RHPK tercantum pendapat bahwa piutang tidak laik urus oleh PUPN karena adanya dan besarnya piutang tidak dapat dibuktikan secara hukum, maka PUPN Cabang akan menolak pengurusan piutang negara yang bersangkutan. Penolakan pengurusan tersebut dilakukan dengan penerbitan Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara yang ditandatangani oleh Ketua PUPN Cabang. Penerimaan Pengurusan Piutang Negara Bila di dalam RHPK tercantum pendapat bahwa piutang laik urus oleh PUPN karena adanya dan besarnya dapat dibuktikan secara hukum, maka PUPN Cabang akan menerima pengurusan piutang negara yang bersangkutan. Penerimaan pengurusan tersebut dilakukan dengan penerbitan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) yang ditandatangani Ketua PUPN Cabang. SP3N tersebut merupakan dasar hubungan antara Penyerah Piutang yang memiliki piutang dengan PUPN yang akan melakukan penagihan/pengurusan piutang. Selain itu, SP3N dapat juga dikatakan sebagai peristiwa hukum yang menandai beralihnya pengelolaan hak tagih kredit/piutang macet yang semula berada di tangan Penyerah Piutang kepada pengelolaan PUPN. Hubungan hukum yang semula bersifat perdata (yaitu antara Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang), menjadi hubungan hukum yang bersifat publik (yaitu antara PUPN dan Penanggung Hutang). Hubungan hukum yang semula berlaku antara kreditor dan debitor sebagai sesama warga negara dengan derajat yang sama menjadi hubungan hukum antara negara yang diwakili oleh PUPN dengan debitor selaku warga negara pada umumnya. Sejak terbitnya SP3N, ketentuan hukum yang mendasari pengurusan piutang atas nama Penanggung Hutang tersebut adalah rezim hukum PUPN, yaitu Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dengan segenap peraturan pelaksanaannya. Pengurusan Piutang Negara 161 Dari konstelasi hukum yang demikian dapatkah SP3N disamakan dengan “cessie” sebagaimana lazim dikenal dalam hukum perdata di Indonesia? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini tentunya perlu diketahui terlebih dahulu, apakah cessie itu? Ketentuan tentang cessie diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata yang pada pokoknya adalah “penjualan” hak tagih dari kreditor lama kepada kreditor baru dengan cara “penyerahan” atau levering, atau disebut juga dengan istilah overdracht. Menurut ketentuan hukum perdata yang berlaku, penjualan/penyerahan hak tagih dari kreditor lama yang disebut “cedent” kepada kreditor baru yang disebut “cessionaris” harus dilakukan dengan akta otentik dan tidak boleh dengan lisan misalnya dengan cara menyerahkan surat piutangnya saja (R. Subekti, 1980). Dari uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa di dalam Cessie terdapat unsur-unsur sebagai berikut : 1. ada kreditor dan debitor; 2. kreditor mempunyai hak tagih terhadap debitor; 3. hak tagih tersebut dapat dipindah tangankan/dialihkan atau dijual oleh kreditor lama kepada pihak lain sebagai kreditor baru; 4. kreditor lama disebut “Cedent” dan kreditor baru disebut “Cessionaris”; 5. cara pengalihan/pemindahan hak tagih dilakukan dengan metode penyerahan atau levering/overdracht yang harus dilakukan dengan suatu akta otentik atau tulisan di bawah tangan. Cara inilah yang disebut cessie. Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam dunia perdagangan, cessie seringkali dilakukan dan bahkan sudah merupakan kebutuhan nyata para pedagang guna memenuhi kebutuhan cash flow. Tindakan alih kreditor ini tidak memerlukan adanya persetujuan dari debitornya, namun kepada debitor harus diberitahukan adanya alih kreditor setelah dibuatnya akta cessie. Hal penting bagi debitor dengan adanya cessie tersebut adalah tidak adanya perubahan jumlah hutang serta jangka waktu atau saat tertentu tagihan tersebut harus dibayar. Bagaimana halnya dengan SP3N, apakah metode penyerahan piutang dari PP kepada PUPN dilakukan secara tertulis atau dengan akta otentik. Apakah dengan terbitnya SP3N, PUPN dapat disebut atau disamakan dengan Cessionaris (kreditor baru). Secara sepintas, memang terdapat banyak persamaan antara Cessie dengan SP3N namun bila dicermati lebih mendalam terdapat adanya berbagai perbedaan. Dapat dikatakan bahwa antara keduanya adalah serupa tetapi tidak sama atau sama namun tidak serupa. Perbedaan antara SP3N dan cessie adalah sebagai berikut: 162 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara 1. meskipun cessie seringkali dilakukan dalam dunia bisnis namun mengalihkan hak tagih kepada kreditor baru (cessionaris) bukan merupakan keharusan bagi kreditor (cedent), sedangkan dalam SP3N terbit karena adanya kewajiban Penyerah Piutang untuk menyerahkan kredit/piutang macetnya kepada PUPN; 2. dalam Cessie, kreditor lama dapat menyerahkan hak tagihnya kepada siapa saja sebagai kreditor baru asal dicapai kesepakatan di antara keduanya, sedangkan dalam SP3N, penagihan atas kredit/piutang macetnya hanya dapat diserahkan oleh Penyerah Piutang kepada PUPN. Bahkan dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang PUPN, Penyerah Piutang dilarang menyerahkan pengurusan piutang/kredit macetnya kepada pengacara sekalipun, apalagi kepada pihak lain yang bukan pengacara; 3. dalam cessie jumlah piutang atau hak tagih yang dialihkan tidak berubah sedangkan dalam SP3N jumlah tagihan dapat berubah sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi piutang negara non perbankan, dan sesuai dengan ketentuan kolektilibitas kredit perbankan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia bagi piutang negara perbankan; 4. dalam cessie tidak dikenal adanya tambahan beban bagi debitor, sedangkan dalam SP3N jumlah tagihan akan ditambah dengan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) yang besarnya ditetapkan antara 1% sampai dengan 10% dari jumlah hutang (tagihan); 5. dalam cessie hasil penagihan seluruhnya menjadi milik kreditor baru (cessionaris), sedangkan dalam SP3N, hasil tagihan atas pokok hutang ditambah bunga, denda, dan ongkos-ongkos (BDO) diserahkan kepada Penyerah Piutang. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa SP3N tidak sama dengan cessie. Bila terdapat kesamaan antara SP3N dan cessie, kesamaan tersebut hanya terletak pada adanya mekanisme penyerahan hak tagih secara tertulis baik otentik maupun di bawah tangan, serta keduanya mengenal adanya cessionaris (kreditor baru). PUPN sebagai kreditor baru dijumpai secara jelas dalam naskah penjelasan Pasal 10 UU Nomor 49 Tahun 1960 tentang PUPN (di dalam kalimat terakhir) yang berbunyi, “Pemakaian sistim surat paksa dalam pajak dapat dipertanggungjawabkan oleh karena kinipun Negaralah yang merupakan pihak yang berpiutang”. Hal-hal yang harus dimuat dalam SP3N adalah: 1. nomor dan tanggal Surat Penyerahan Pengurusan Piutang Negara; 2. identitas Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang; Pengurusan Piutang Negara 163 3. pernyataan menerima Pengurusan Piutang Negara; 4. rincian dan jumlah Piutang Negara yang telah diperhitungkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana; dan 5. tanda tangan Ketua PUPN Cabang. Sejak SP3N ditetapkan oleh Ketua PUPN Cabang maka Pengurusan Piutang Negara beralih sepenuhnya kepada PUPN Cabang dan penyelenggaraannya dilakukan oleh KP2LN. Dengan ditetapkannya SP3N maka pengurusan piutang macet yang selama ini diselesaikan oleh Kreditur (Penyerah Piutang) menjadi piutang negara yang pengurusannya menjadi kompetensi PUPN Cabang dan KP2LN. Pelaksanaan Pengurusan Piutang Negara tersebut tunduk sepenuhnya pada Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya yaitu: 1. petunjuk pelaksanaan pengurusan piutang negara, yang terakhir ditetapkan Menteri Keuangan dengan Nomor 300/KMK.01/2002 tanggal 13 Juni 2002; dan 2. petunjuk teknis pengurusan piutang negara yang ditetapkan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara dengan Nomor 25/PL/2002 tanggal 18 September 2002 dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait. Dalam hal Penanggung Hutang adalah BUMN, BUMD, InstansiInstansi Pemerintah atau Lembaga Negara, maka SP3N tidak diterbitkan oleh PUPN. Apabila terdapat penyerahan pengurusan piutang negara dengan Penanggung Hutang adalah seperti tersebut di atas, dan berdasarkan RHPK piutang tersebut laik urus, maka penyerahan piutang tersebut akan diterima. Penerimaan pengurusan tersebut dilakukan dengan menerbitkan Surat Tanda Terima Penyerahan yang ditandatangani oleh Kepala KP2LN yang dalam pelaksanaan pengurusan piutang tersebut bertindak sebagai Mediator. Pengurusan semacam ini tidak dikenakan Biaya Administrasi. Setelah SP3N diterbitkan, pada prinsipnya koreksi besaran piutang negara tidak dapat dilakukan. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah, koreksi dapat dilakukan apabila berdasarkan hasil penelitian atas bukti-bukti yang bersumber dari Penyerah Piutang maupun dari Penanggung Hutang diketahui bahwa terdapat: 1. pembayaran dari Penanggung Hutang yang tidak tercatat; dan/atau 2. kesalahan perhitungan oleh Penyerah Piutang. Koreksi besaran piutang negara yang dilakukan tersebut tidak boleh dilakukan dengan maksud memberi keringanan hutang. Selain itu, koreksi tersebut diperhitungkan pada saat menetapkan besarnya piutang negara dalam Pernyataan Bersama atau Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN). 164 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara Selain koreksi besaran piutang negara, terdapat kemungkinan terjadinya perubahan besaran piutang negara setelah SP3N diterbitkan. Pada prinsipnya, perubahan besaran piutang negara tersebut tidak dapat dilakukan agar kepastian jumlah hutang tetap dapat dipertahankan, sehingga kewenangan parate eksekusi dapat dilaksanakan. Namun demikian, perubahan besaran piutang negara setelah terbitnya SP3N dapat dilaksanakan bila berdasarkan hasil penelitian atas bukti-bukti yang bersumber dari Penyerah Piutang maupun dari Penanggung Hutang diketahui bahwa terdapat: 1. pembebanan biaya-biaya Polis Asuransi, pembayaran atas pembebanan Hak Tanggungan/ Jaminan Fidusia, perpanjangan hak atas tanah dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan; dan/atau 2. persetujuan keringanan jumlah hutang. Registrasi, Hasil, dan Verifikasi Pengurusan Piutang Negara Registrasi Pengurusan Piutang Negara Registrasi adalah kegiatan atau tindakan melakukan pencatatan. Registrasi pengurusan piutang negara adalah pencatatan segala data yang berasal dari berkas penyerahan piutang macet dari Penyerah Piutang, pencatatan semua tahapan pengurusan yang telah dilaksanakan PUPN Cabang/KP2LN, serta pencatatan data dokumen dan fisik barang jaminan. Pencatatan tersebut harus dilaksanakan secara cermat, tepat, akurat, dan benar, karena registrasi yang salah akan menyebabkan terjadinya kekeliruan pelaksanaan tahap pengurusan yang mempunyai dampak terhadap hasil Pengurusan Piutang Negara. Pada tingkat yang ekstrim, kekeliruan pelaksanaan tahap pengurusan tersebut dapat menimbulkan permasalahan hukum yang kontra produktif bagi pengurusan piutang negara itu sendiri. Selain itu registrasi juga akan berguna untuk mengetahui outstanding Piutang Negara yang diurus oleh DJPLN dan tahapan pengurusan yang telah dilaksanakan. Bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk melakukan pencatatan/registrasi pengurusan piutang negara antara lain adalah: 1. data penyerahan piutang negara; 2. tahap-tahap dan hasil pengurusan piutang pegara. Sarana yang digunakan untuk melakukan registrasi adalah buku-buku dan kartu-kartu seperti : Pengurusan Piutang Negara 165 1. 2. 3. 4. Buku Agenda Surat Penyerahan Piutang Macet; Buku Penerimaan Surat Penyerahan Piutang Macet; Buku Register Piutang Negara (BRPN); Buku Dokumen Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain Milik Penanggung Hutang/Penjamin Hutang; 5. Kartu Perkembangan Dokumen Barang Jaminan, dan Fisik Barang Jaminan Bergerak; 6. Kartu Monitor Pengurusan Piutang Negara; 7. Buku-buku Bendahara Penerima. Di Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN), kegiatan registrasi atau pencatatan dilakukan pada masing-masing Seksi/Sub Bagian yang berwenang untuk melakukannya. 1. Kegiatan Pencatatan pada Subbagian Umum Data penyerahan dicatat dalam Buku Agenda Surat Penyerahan Piutang Macet yang kolom-kolomnya adalah sebagai berikut: a. nomor urut yang diisi berurutan sesuai tanggal surat; b. nomor dan tanggal surat penyerahan; c. nama Penyerah Piutang, yang diisi secara lengkap, seperti PT. BRI (Persero), Tbk. Cabang Bekasi, PT Telkom (Persero), Tbk., dan sebagainya; d. nama Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; e. jumlah piutang negara, yang diisi dengan jumlah pokok, bunga, denda, dan/atau ongkos-ongkos, total piutang sesuai penyerahan; f. uraian lampiran, yang diisi dengan daftar lampiran surat penyerahan. g. keterangan, yang diisi dengan penjelasan, misalnya dokumen barang jaminan yang dilampirkan adalah asli, dan sebagainya. 2. Kegiatan Pencatatan pada Seksi Informasi dan Hukum Apabila SP3N telah ditetapkan dan tembusan SP3N tersebut telah diterima oleh Seksi Informasi dan Hukum, maka seksi tersebut sudah dapat melakukan pencatatan pada Buku Registrasi Piutang Negara (BRPN), yang memuat: a. nomor dan tanggal registrasi; b. nomor dan tanggal surat penyerahan; c. nama Penyerah Piutang; 166 d. e. f. g. Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara jumlah piutang negara; nama dan alamat Penanggung Hutang; nomor dan tanggal SP3N; jumlah penambahan atau pengurangan nilai pengurusan piutang negara. Berdasarkan Surat Edaran Kepala BUPLN No.SE-32/PN/1992 tanggal 2 Oktober 1992 telah diatur bahwa untuk Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) yang diserahkan pada tanggal 1 April 1993 dan sesudahnya, penomoran registrasi menggunakan 8 (delapan) digit angka yang terdiri dari: a. 2 (dua) digit pertama diisi tahun penyerahan; b. 2 (dua) digit kedua diisi bulan penyerahan; c. 4 (empat) digit terakhir diisi dengan nomor urut penyerahan sesuai catatan dalam Buku Register Piutang Negara yang pada setiap bulan April dimulai dengan Nomor 1 (satu). XX XX XXXXX nomor urut bulan penyerahan pengurusan piutang negara tahun penyerahan pengurusan piutang negara Penerapan ketentuan tersebut, dapat dilihat pada contoh berikut: a. Pada bulan April 1993 terdapat 3 (tiga) BKPN yang diserahkan oleh Penyerah Piutang. Seluruh penyerahan tersebut oleh PUPN Cabang diterima pengurusannya dan diterbitkan SP3N. Pemberian nomor registrasinya adalah 93040001, 93040002, 93040003. Setelah penyerahan itu, pada bulan Mei 1993 terdapat penyerahan pengurusan atas 5 (lima) BKPN. Pemberian nomor registrasi kepada kelima BKPN tersebut, masing-masing adalah: 93050004, 93050005, 93050006, 93050007, 93050008. b. Pada bulan April 1994 terdapat penyerahan pengurusan atas 2 kasus, pada bulan Mei 1994 terdapat penyerahan pengurusan atas 2 kasus, pada bulan Juni 1994 dan Juli 1994 tidak ada penyerahan, dan pada Pengurusan Piutang Negara 167 bulan Agustus 1994 terdapat penyerahan pengurusan atas 3 kasus. Pemberian Nomor registrasinya adalah : 94040001, 94040002, 94050003, 94050004, 94080005, 94080006, 94080007. Cara penomoran registrasi dengan sistem 8 (delapan) digit sebagaimana diuraikan tersebut di atas terdapat pada berkas-berkas kasus Piutang Negara (BKPN) lama. Pada saat ini, penomoran Registrasi BKPN dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada lampiran Keputusan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara No.38/PN/2000 tentang Tata cara Pengurusan Piutang Negara yang menetapkan cara penomoran Registrasi menjadi 11 (sebelas) digit. Cara penomoran Registrasi BKPN adalah sbb: a. 4 (empat) digit pertama adalah tahun terbit SP3N; b. 2 (dua) digit ke dua adalah bulan terbit SP3N; c. 5 (lima) digit terakhir adalah nomor urut. XXXX XX XXXXX nomor urut bulan terbit SP3N tahun terbit SP3N Penomoran BKPN disesuaikan dengan tahun anggaran yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir pada tanggal 31 Desember. Contoh : Sampai dengan tanggal 1 Nopember 2001 telah diterbitkan SP3N sebanyak 911. Pada tanggal 2 Nopember 2001 diterbitkan 4 SP3N, maka penomorannya sbb: BKPN A: 2001 11 00912 BKPN B: 2001 11 00913 BKPN C: 2001 11 00914 BKPN D: 2001 11 00915 Kepala Seksi Informasi dan Hukum membuat Nota Dinas pemberitahuan Nomor Registrasi Kasus Piutang Negara ditujukan kepada Seksi/Sub 168 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara Seksi/Piutang Perbankan atau Non Perbankan dan Seksi/Sub Seksi Penataan Barang Jaminan. Setelah penomoran Registrasi dilakukan kemudian dilakukan penyusunan berkas yang dilengkapi dengan nomor dan tanggal register, nama Penyerah Piutang, dan nama Penanggung Hutang/Penjamin Hutang pada sampul BKPN serta memasukkan dalam rumah berkas. Dokumen-dokumen yang dimasukkan dalam berkas tersebut adalah sebagai berikut: a. surat penyerahan Pengurusan Piutang Negara berikut lampirannya; b. Resume Hasil Penelitian Kasus; c. tembusan SP3N; d. Nota Dinas pemberitahuan nomor register; dan e. dokumen-dokumen serta data dan informasi yang berkaitan dengan tindak lanjut perkembangan pengurusan piutang negara. Selain pembuatan rumah berkas, Seksi Informasi dan Hukum juga membuat kartu monitor, yang memuat semua data perkembangan tahap pengurusan dan segala data yang tercatat pada BRPN. Selain itu, pada kartu monitor ini juga dicatat semua tembusan surat/produk hukum yang diterima Seksi Informasi dan Hukum dari seksi-seksi lainnya pada Kantor Pelayanan Kantor Pelayanan yang bersangkutan, serta data penerimaan pembayaran dan permasalahan-permasalahan yang ditemukan. 3. Kegiatan Pencatatan pada Seksi Pengelolaan Barang Jaminan Dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang/Penjamin Hutang, berikut dokumen pengikatannya, harus ditatausahakan oleh Seksi Pengelolaaan Barang Jaminan dalam Buku Dokumen Barang Jaminan. Penatausahaan tersebut meliputi kegiatan penerimaan, pencatatan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pengeluaran dokumen. Informasi yang ada pada Buku Dokumen Barang Jaminan ini adalah sebagai berikut: a. nomor urut, yang diisi dengan nomor urut pencatatan dokumen; b. nomor registrasi BKPN, yang diisi dengan nomor registrasi BKPN 11 digit; c. nama dan alamat Penanggung Hutang/Penjamin Hutang; d. nomor dan tanggal surat serah terima dokumen, yang diisi dengan nomor dan tanggal Berita Acara Serah Terima Dokumen. Berita Acara tersebut ditandatangani oleh Kasi Penataan Barang Jaminan dan Penyerah Piutang; 169 Pengurusan Piutang Negara e. uraian barang jaminan/harta kekayaan lain, yang diisi dengan jenis barang jaminan, seperti kendaraan bermotor, jenis mesin, dan sebagainya. Selain itu, uraian ini juga diisi dengan nomor, tahun, dan merek mesin, kendaraan dan sebagainya. Apabila barang jaminan adalah tanah, maka dalam uraian ini disebut jenisnya, seperti tanah darat, atau tanah sawah, serta disebutkan juga tanda-tanda luar dan letaknya; f. dokumen barang jaminan, yang diisi dengan data masing-masing dokumen barang yang terkait, misal: nomor dan tanggal terbitnya Sertifikat Hak Milik, lokasi, nama pemegang hak, dan sebagainya; g. jenis, nomor, dan tanggal pengikatan barang jaminan, yang diisi dengan jenis, nomor dan tanggal pengikatan; Contoh: Hipotik No... tanggal .... Pengikatan Credit Verband atau Tanggungan Nomor... tanggal …. Pengikatan fidusia Nomor... tanggal .... Pembebanan Hak h. nomor dan tanggal surat serah terima penitipan, yang diisi dengan nomor dan tanggal Serah Terima Penitipan Dokumen Barang Jaminan yang ditandatangani oleh Kepala KP3N dan Penyerah Piutang; i. nomor dan tanggal Surat Penyerahan Dokumen, yang diisi dengan nomor dan tanggal surat serah terima dokumen barang jaminan/harta kekayaan yang ditandatangani oleh Kepala Seksi Penataan barang Jaminan dan penerima dokumen; j. identitas penerima, yang diisi dengan nama dan alamat penerima dokumen; k. keterangan yang diisi hal-hal yang perlu dijelaskan. Selain membuat dan mengelola Buku Dokumen Barang Jaminan, Seksi Pengelolaan Barang Jaminan juga membuat dan mengelola kartu perkembangan dokumen dan barang jaminan bergerak. Kartu perkembangan ini dibuat untuk setiap barang jaminan yang ada. Pencatatan dilakukan pada kolom-kolom yang tersedia yaitu: a. Nomor urut. b. Identitas Penyerah Piutang. c. Nomor Register BKPN. d. Identitas Penanggung Hutang. 170 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara e. Alamat Penanggung Hutang. f. Barang Jaminan yang berisi informasi tentang: 1) Uraian jenis barang. 2) Nilai barang. g. Dokumen jaminan yang berisi informasi tentang: 1) Dokumen pemilikan. 2) Pengikatan. h. Hasil penelitian/pemeriksaan yang berisi informasi tentang: 1) Keberadaan dokumen pemilikan. 2) Keberadaan dokumen pengikatan. 3) Fisik barang. 4) Nilai barang. i. Hasil penyitaan 1) Surat Perintah Penyitaan Nomor... Tanggal .... 2) Berita acara penyitaan Nomor... Tanggal .... 3) Fisik barang. 4) Nilai barang. j. Pelelangan: 1) Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan Nomor... Tanggal .... 2) Pelaksanaan lelang. 3) Harga penawaran tertinggi. 4) Harga jual. 5) Harga limit. k. Penjualan tidak melalui lelang: 1) Surat pemberitahuan penetapan harga dari Kepala KP2LN Nomor... Tanggal .... 2) Surat persetujuan dari Penyerah Piutang Nomor... Tanggal .... 3) Harga jual. l. Pengeluaran Dokumen: 1) Surat Pengeluaran Nomor... Tanggal .... 2) Surat Piutang Negara Lunas Nomor... Tanggal .... 3) Surat Piutang Negara Selesai Nomor... Tanggal .... 4) Risalah Lelang Nomor... Tanggal .... Pengurusan Piutang Negara 171 5) Surat Persetujuan KP3N mengenai pencairan barang jaminan Nomor.... Tanggal... 6) Perintah Kepala KP3N mengenai pengeluaran dokumen Nomor... Tanggal .... 7) Identitas penerima. Bentuk Kartu Perkembangan Dokumen dan Barang Jaminan Tak Bergerak pada prinsipnya sama dengan bentuk kartu seperti uraian tersebut di atas. Dengan Kartu Monitor yang dikerjakan dengan baik, lengkap dan up to date maka fungsi kartu monitor sangat penting sebagai sumber informasi dalam pembuatan laporan, evaluasi, pengambilan keputusan dan kelancaran Pengurusan Piutang Negara. Hasil Pengurusan Piutang Negara Di depan telah diuraikan bahwa bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk melakukan pencatatan/registrasi Pengurusan Piutang Negara antara lain adalah hasil Pengurusan Piutang Negara yang ditatausahakan dan dikelola oleh Bendahara Penerima KP2LN. Terdapat 2 jenis Bendahara, yaitu Bendahara Umum dan Bendahara Khusus. Bendahara umum adalah Kepala Kas Negara, sedangkan Bendahara Khusus terdiri 2 (dua) macam yaitu Bendahara Khusus Pengeluaran tertentu dan Bendahara Khusus Penerimaan tertentu. Bendahara Khusus Pengeluaran tertentu terdapat di semua kantor Pemerintahan Pusat maupun Daerah, sedangkan Bendahara Khusus Penerimaan tertentu tidak terdapat pada semua Kantor Pemerintahan tetapi terdapat hanya pada kantor-kantor yang menghasilkan Penerimaan Bukan Pajak (PNBP). Salah satu kantor Pemerintah yang memiliki Bendahara Khusus Penerimaan tertentu adalah KP2LN yang memberikan hasil Pengurusan Piutang Negara dan pelayanan jasa lelang. Pembahasan pada bab ini khusus terhadap pengelolaan hasil Pengurusan Piutang Negara yang dipertanggungjawabkan kepada Bendahara Penerima (Geregelde Storter) KP2LN. Penerimaan Hasil Pengurusan Piutang Negara dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu: 1. membayar tunai kepada Bendahara Penerima KP2LN; 2. membayar melalui rekening Bendahara Penerima KP2LN yang dibuka di suatu bank Pemerintah; 172 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara 3. membayar melalui Bank Penyerah Piutang; 4. membayar melalui Kantor Pos; 5. membayar melalui Kantor Lelang Negara. Pembayaran tunai langsung kepada Bendahara Penerima KP2LN dihapus sehubungan dengan adanya Keputusan Menteri Keuangan No.300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara khususnya pada Bab XXIII pasal 310 (1) yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pembayaran hutang termasuk Biaya Administrasi PPN dilakukan melalui Rekening Bendahara Penerima KP2LN. Adapun penerimaan Hasil Pengurusan Piutang Negara berupa: 1. penerimaan Hak Penyerah Piutang; 2. penerimaan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara; 3. penerimaan denda kelambatan; 4. penerimaan jaminan lelang yang dibatalkan; dan 5. penerimaan Jasa Giro. Penerimaan denda kelambatan Pernyataan Bersama terdapat pada berkas-berkas lama, karena terdapat ketentuan pada waktu itu bahwa atas keterlambatan pembayaran yang telah ditetapkan dalam Pernyataan Bersama (PB) dikenakan denda sebesar 2 %. Pada saat sekarang ketentuan tersebut sudah dihapus. Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep16/PL/2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang Penatausahaan Hasil Pengurusan Piutang Negara dan Pelayanan Lelang Pada KP2LN, merupakan ketentuan yang berlaku tentang tugas-tugas Bendahara terkait dengan hasil pengurusan piutang negara dan pelayanan lelang. Keputusan Dirjen Piutang dan Lelang Negara tersebut merupakan pengganti Keputusan Kepala BUPLN Nomor Kep-03/PN/1995 tentang Pedoman Bendahara Penerima pada KP3N dan KLN. Dalam kaitan dengan pengurusan piutang negara, tugas Bendahara Penerima menurut Pasal 4a Keputusan Dirjen Piutang dan Lelang Negara tersebut di atas adalah menerima pembayaran hasil pengurusan piutang negara yang terdiri atas Uang Hak Penyerah Piutang, Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN)3 dan Jasa Giro. Jadi hasil Pengurusan Piutang Negara hanya berupa 3 hal yaitu: 1. Uang Hak PP; 3 Uraian lengkap tentang Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara ada pada Bab 13. 173 Pengurusan Piutang Negara 2. Biad PPN; 3. Jasa Giro. Buku-buku yang dibuat dan dikelola oleh Bendahara Penerima KP2LN antara lain adalah Buku Kas Umum, Buku Rekening Khusus, Buku Setoran/Nota Kredit. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengerjakan Buku Kas Umum adalah: 1. buku tersebut harus berada di kantor, tidak diperkenankan dibawa keluar; 2. harus dikerjakan sendiri oleh Bendahara Penerima atau petugas khusus yang ditunjuk oleh atasan langsung Bendahara dengan persetujuan Kepala KP2LN; 3. tiap halaman diberi nomor dan dibubuhi paraf oleh Bendahara Penerima, kecuali halaman pertama dan halaman terakhir yang harus dibubuhi tandatangan; 4. pencatatan harus menggunakan tinta hitam dan dilakukan dengan cermat, tertib dan benar; 5. tiap tanda bukti pengeluaran maupun penerimaan harus diberi kode berupa Nomor Urut sejak dimulainya sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran berjalan. 6. pada halaman pertama Buku Kas Umum dibuat pernyataan ”Buku Kas Umum ini terdiri atas ... halaman, dimulai No.... s.d. Nomor ... dan mulai digunakan tanggal .... Mengetahui ......tanggal ..... Atasan langsung Bendahara Penerima ( ) ( ) Verifikasi Pengurusan Piutang Negara Melakukan verifikasi berarti melakukan penelitian, pemeriksaan, pengujian yang dilakukan verifikator dengan berpedoman kepada peraturanperaturan, SOP (Standard Operating Procedures) yang berlaku terhadap suatu berkas penyerahan atau tembusan surat hasil suatu kegiatan/aktifitas. Hasil verifikasi dapat berupa penolakan atau pemberitahuan kepada unit terkait. 1. Seksi Piutang Negara melakukan verifikasi untuk penerbitan: 174 ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara Resume Hasil Penelitian Kasus; SP3N; Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara; Surat Panggilan/Peringatan Panggilan/Surat Peringatan Terakhir; Pernyataan Bersama (PB); Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN); Peringatan PB; Surat Pencegahan dan Pencabutan PN/PjH ke Luar Negeri; Surat Paksa; Pemberitahuan Surat Paksa; Surat Perintah Penyitaan; Berita Acara Penyitaan; Surat Sita Persamaan kepada Pengadilan Negeri atau Instansi Pajak; Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan; Surat Pemberitahuan Kepada PH/PjH disertai SPPBS; surat permintaan penetapan tanggal pelaksanaan lelang kepada KLN; Naskah Pengumuman Lelang dan Surat Pengantarnya ke surat kabar; Surat Perintah Pengangkatan Sita; surat permintaan pengangkatan sita; surat permintaan persetujuan penyanderaan/Paksa Badan; surat permintaan ijin ke Kejati mengenai penyanderaan; surat permintaan penyediaan tempat penyanderaan kepada Lembaga Pemasyarakatan oleh Juru Sita; Berita Acara Pelaksanaan Penyanderaan; Surat Perintah Pembebasan Penyanderaan/Paksa Badan; Berita Acara Pembebasan Penyanderaan/Paksa Badan; Surat Pernyataan Piutang Negara untuk Sementara Belum Dapat Ditagih; Surat Persetujuan Penarikan Pengurusan Piutang Negara. 2. Seksi Pengelolaan Barang jaminan melakukan verifikasi untuk penerbitan: Pengurusan Piutang Negara 175 ♦ surat permintaan kelengkapan dokumen barang jaminan kepada Penyerah Piutang; ♦ surat serah terima dokumen barang jaminan; ♦ surat penitipan dokumen barang jaminan; ♦ penelitian dokumen barang jaminan; ♦ laporan tertulis hasil penelitian keaslian dokumen barang jaminan dan kekuatan pengikatan barang jaminan; ♦ nota penunjukan petugas pemeriksaan untuk melakukan pemeriksaan pisik barang jaminan; ♦ laporan tertulis hasil pemeriksaan phisik barag jaminan dan atau harta kekayaan pemilik barang jaminan; ♦ surat permintaan pencabutan pemblokiran barang jaminan/harta kekayaan; ♦ Surat Penyerahan dokumen. 3. Seksi Informasi dan Hukum Seksi Informasi dan Hukum menerima tembusan dari semua produk hukum yang diterbitkan oleh Seksi Piutang Negara, dan Seksi Pengelolaan Barang Jaminan. Dalam rangka pemenuhan fungsi internal audit dan pengamanan teknis yuridis pengurusan piutang negara (ketentuan ini dimulai berlaku berdasarkan Pasal 113 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 940/KMK.01/1991), atas dasar tembusan produk-produk hukum yang diterima dari seksi-seksi lainnya, Seksi I&H melakukan verifikasi secara post audit, untuk mengetahui apakah: a. Standard Operating Procedures telah ditempuh dengan benar; b. segala ketentuan-ketentuan yang berlaku mengenai pengurusan piutang telah dipedomani dengan betul; dan c. tidak ada cacat hukum dalam pengurusan piutang negara. Di samping melakukan verifikasi yang berupa post audit atas seluruh tembusan produk hukum, Seksi Informasi dan Hukum juga melakukan verifikasi lainnya yang dilakukan dengan cara: a. membuat dan menandatangani rincian hak penyerah piutang dan Biad PPN berdasarkan tembusan kuitansi atau tembusan Credit Nota (CN) yang diterima dari Bendahara Penerima; 176 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara b. membuat surat pernyataan Piutang Negara lunas dan surat pernyataan Piutang Negara selesai yang ditandatangani Ketua PUPN. Sebelumnya terlebih dahulu dibuat Nota hasil verifikasi oleh kepala Seksi Informasi dan Hukum; c. untuk pembuatan konsep surat bantahan ke Pengadilan Negeri. Apabila pre audit oleh Seksi Piutang Negara, dan Seksi Pengelolaan Barang Jaminan, dan Post Audit oleh Seksi/Informasi dan Hukum KP2LN telah dilakukan dengan cermat, tepat dan benar maka fungsi internal control pada KP2LN diharapkan dapat berjalan dengan baik, transparan dan accountable sehingga fungsi pengamanan tehnis yuridis dapat terpenuhi. Rangkuman Bahwa pada tahap awal, piutang-piutang bermasalah atau piutangpiutang macet harus terlebih dahulu diselesaikan oleh para pemilik piutang (BUMN Perbankan, BUMN Non Perbankan, Instansi Pemerintah, Lembagalembaga Negara) yang bersangkutan. Setelah dilakukan berbagai upaya yang optimal dan hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, serta Debitur/Penanggung Hutang nyata-nyata bersikap On Will/Nakal barulah para pemilik piutang diwajibkan untuk menyerahkan piutang macetnya kepada PUPN untuk diurus menurut ketentuan pengurusan piutang negara yang berlaku. Penyerahan tersebut bersifat wajib, dan para pemilik piutang tersebut dilarang menyerahkan kepada para pengacara. Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara, Penyerah Piutang menyerahkan pengurusan piutang macetnya secara tertulis dan dilampiri dengan resume dan dokumen-dokumen. Tindak lanjut dari penyerahan tersebut adalah penelitian oleh KP2LN. Penelitian tersebut ditujukan untuk memastikan adanya dan besarnya piutang negara. Bila adanya dan besarnya piutang telah pasti menurut hukum, maka penyerahan pengurusan tersebut dapat diterima, dan oleh Ketua PUPN Cabang dengan menerbitkan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N), dan bila sebaliknya, Ketua PUPN Cabang akan menerbitkan Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara. SP3N tersebut merupakan dasar hubungan antara Penyerah Piutang yang memiliki piutang dengan PUPN yang akan melakukan penagihan/pengurusan piutang. Selain itu, SP3N dapat juga dikatakan sebagai 177 Pengurusan Piutang Negara dasar penyerahan kewenangan untuk melakukan pengurusan dari Penyerah Piutang kepada PUPN. Setelah SP3N diterbitkan maka pada Seksi I&H KP2LN dilakukan pemberian nomor Registrasi Pengurusan Piutang Negara yang terdiri 11 (sebelas) digit. Setelah itu, dilakukan penyusunan berkas dan dimasukkan ke dalam Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN). Dokumen yang dimasukkan dalam BKPN tersebut antara lain adalah resume, dokumen penyerahan, putusan–putusan hukum PUPN Cabang, Resume Hasil Penelitian kasus, tembusan SP3N, dan dokumen lainnya. - o0o - Latihan Pilihan Ganda 1. Di bawah ini adalah informasi yang termuat dalam berkas penyerahan, kecuali: a. Identitas Penanggung Hutang. b. Bidang usaha Penanggung Hutang. c. Prima nota. d. Pemberitahuan kepada Penanggung Hutang bahwa piutang macetnya telah diserahkan kepada PUPN Cabang. 2. Pengurusan Piutang Negara sepenuhnya beralih ke PUPN sepanjang: a. Berita acara tanya jawab telah ditandatangani Debitur. b. PB berhasil ditetapkan. c. Peringatan PB telah diterbitkan. d. SP3N telah diterbitkan. 3. Di bawah ini adalah alasan pengembalian berkas penyerahan ke Penyerah Piutang kecuali: a. PP tidak bersikap kooperatif. b. Kekeliruan perhitungan dari Penyerah Piutang. c. Tidak dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara. d. Piutang terkait dengan perkara pidana tingkat penyidikan. 178 Bab 5 : Penyerahan dan Penerimaan Pengurusan Piutang Negara 4. Penelitian atas penyerahan berkas Piutang Negara dari Penyerah Piutang dituangkan dalam dokumen : a. Berita Acara Tanya Jawab (BATJ). b. Resume Hasil Pemeriksaan Kasus. c. Resume Hasil Penelitian Kasus (RHPK). d. Butir a, b dan c salah. 5. Jumlah Piutang Negara dalam SP3N yang telah ditetapkan terdapat kesalahan, maka tindakan korektif yang dapat dilakukan adalah: a. Ketua PUPN menerbitkan Surat Koreksi SP3N. b. Ketua PUPN menerbitkan SP3N baru. c. Ketua PUPN membatalkan SP3N bersangkutan. d. Ketua PUPN melakukan koreksi perubahan besaran Piutang Negara pada saat menetapkan PB. 6. Dalam hal menghitung besarnya Piutang Negara hal-hal yang dapat dipertimbangkan sebagai penambahan adalah biaya: a. Polis asuransi. b. Perpanjangan hak atas tanah. c. Pemasangan hak tanggungan. d. Butir a, b dan c benar. 7. Salah satu dokumen yang paling penting berkaitan persyaratan penyerahan kredit macet adalah: a. Pengikatan barang jaminan. b. Bukti pemilikan barang jaminan. c. Perjanjian kredit. d. Peringatan dari Kreditur. 8. Wewenang ketua PUPN Cabang antara lain: a. Membuat Surat Paksa. b. Menyampaikan Surat Paksa. c. Mengeluarkan Surat Paksa. d. Butir a, b dan c benar. Benar (B) Salah (S) 179 Pengurusan Piutang Negara 1. B – S : Dalam hal Pengurusan Piutang Negara diselesaikan oleh instansi lain KP2LN dapat menolak penyerahan piutang macet. 2. B – S : Berkas penyerahan piutang macet oleh Sub Bagian Umum dicatat dalam buku penerimaan penyerahan piutang macet. 3. B – S : SP3N adalah surat yang ditandatangani Kepala KP2LN yang menyatakan penerimaan penyerahan pengurusan piutang dari Kreditur. 4. B – S : PUPN dibentuk berdasarkan UU Nomor 49 Prp. Tahun 1960 sedang DJPLN dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 177 Tahun 2000 dengan demikian tampaknya PUPN lebih tinggi dari pada DJPLN. 5. B – S : Penetapan besarnya Piutang Negara perbankan didasarkan peraturan kualitas kredit perbankan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 6. B – S : Dalam konsorsium kredit sindikasi PT Bank BRI memiliki konstribusi minoritas, jika piutang tersebut macet maka dapat diterima pengurusannya oleh PUPN/KP2LN. 7. B – S : Kantor Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang Negara digabung menjadi Kantor Pengurusan Piutang Negara. 8. B – S : Keputusan Menteri Kuangan Nomor 300/KMK.01/2002 adalah penetapan mengenai Pengurusan Piutang Negara. - o0o - BAB 6 PENGURUSAN PIUTANG NEGARA SECARA KHUSUS Sasaran Pembelajaran Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan memahami proses dan prosedur pengurusan piutang negara secara khusus yang ditempuh oleh PUPN/DJPLN. Kekhususan proses pengurusan tersebut terkait dengan kewenangan parate eksekusi yang dimiliki oleh PUPN. Pendahuluan 182 Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus Pada Bab 5 telah diuraikan tahap pengurusan piutang negara, yang merupakan pintu hubungan hukum antara Penyerah Piutang dan PUPN. Setelah tahap tersebut selesai dilaksanakan, pengurusan piutang negara melangkah ke tahap hubungan hukum antara PUPN dan Penanggung Hutang/Penjamin Hutang. Pada tahap ini, pengurusan piutang negara dilakukan oleh PUPN dengan cara yang khusus. Pengurusan piutang negara secara khusus merupakan pengurusan piutang negara yang dilakukan dengan langkah-langkah yang sistematis berdasarkan prinsip percepatan dan efektivitas. Pengurusan secara khusus tersebut dimaksudkan sebagai pelaksanaan kewenangan parate eksekusi yang dimiliki oleh PUPN berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Kenyataan tersebut di atas dapat diartikan bahwa PUPN dalam melaksanakan tugasnya tidak menempuh prosedur umum yang tersedia dalam HIR (Hukum Acara Perdata Indonesia), Staatsblad 1941 Nomor 44, terutama Pasal 195 dan seterusnya. Bilamana ditempuh prosedur umum, maka hasil pengurusan tidak akan memuaskan karena prosedur umum tersebut akan menempuh upaya hukum konvesional dengan langkah sebagai berikut: 1. pada tingkat pertama, melakukan gugatan melalui pengadilan umum (Pengadilan Negeri); 2. pada tingkat banding, melakukan upaya hukum melalui Pengadilan Tinggi; dan 3. pada tingkat kasasi, melakukan upaya hukum melalui Mahkamah Agung. Cara-cara konvensional tersebut di atas, sering memerlukan waktu yang panjang, bahkan sering sangat panjang dan lama, sehingga percepatan dan efektivitas hasil pengurusan piutang negara akan sulit untuk diwujudkan. Untuk mengatasi kelemahan cara pengurusan piutang yang konvensional itulah maka PUPN diberikan kewenangan parate eksekusi, yaitu kewenangan untuk menerbitkan keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan seperti keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti (in kracht van gewijsde). Namun demikian, kewenangan tersebut tentu saja dilaksanakan dengan tetap memberikan kepastian hukum dan kesempatan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang untuk menggunakan haknya terkait pengurusan hutang yang bersangkutan kepada negara. Penjelasan tentang pengurusan piutang negara secara khusus yang dilakukan oleh PUPN akan diuraikan secara lengkap berikut ini. Pengurusan Piutang Negara 183 Due Process of Law Pada Bab terdahulu telah dijelaskan bahwa dalam melakukan pengurusan piutang negara, PUPN/DJPLN menghadapi rambu-rambu hukum. Bila PUPN/DJPLN tidak/kurang hati-hati sehingga rambu-rambu tersebut terlanggar, maka berbagai langkah yang telah, sedang, dan akan ditempuh menjadi cacat hukum. Kehati-hatian PUPN/DJPLN dalam melaksanakan tugasnya dan melaksanakan kewenangan parate eksekusi dimulai dengan pemberian kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk menyanggah atau memberikan bukti baru yang sah tentang keberadaan dan besaran hutangnya kepada negara. Kesempatan yang diberikan kepada Penanggung Hutang tersebut dapat diartikan juga sebagai penerapan azas keadilan dalam pengurusan piutang negara. Adil di sini adalah kesetaraan antara pelaksanaan kewenangan parate eksekusi yang dimiliki oleh PUPN dan pelaksanaan hak Penanggung Hutang untuk membela dirinya. Pemberian kesempatan kepada Penanggung Hutang tersebut di atas, secara umum dikenal dengan terminologi “due process of law”. Pengertian terminologi due process of law tersebut menurut Black’s Law Dictionary 6th Edition halaman 500 (dalam http://www.criminalgovernment.com/docs/duproc0.html) adalah: "Due Process of law implies the right of the person affected thereby to be present before the tribunal which pronounces judgement upon the question of life, liberty, or property, in its most comprehensive sense; to be heard, by testimony or otherwise, and to have the right of controverting, by proof, every material fact which bears on the question of right in the matter involved. If any question of fact or liability be conclusively presumed against him, this is not due process of law". Secara bebas, pengertian due process of law tersebut di atas, bila dikaitkan dengan pengurusan piutang negara, dapat diartikan sebagai hak Penanggung Hutang untuk dipanggil dan didengar pendapatnya dan hak untuk menunjukkan bukti-bukti yang terkait dengan keberadaan dan besaran hutangnya kepada negara, serta cara-cara penyelesaian hutangnya tersebut. Bila sah dan secara hukum dapat dipertanggungjawabkan, tentunya bukti-bukti 184 Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus tersebut digunakan PUPN untuk memperbaiki data tentang adanya dan besarnya piutang negara atas nama Penanggung Hutang yang bersangkutan. Due process of law tersebut, dalam pengurusan piutang negara dilaksanakan melalui tahap pemanggilan dan tanya jawab. Pemanggilan Secara Tertulis kepada Penanggung Hutang Pemanggilan kepada Penanggung Hutang dilakukan oleh KP2LN sebagai pelaksanaan produk hukum SP3N yang diterbitkan oleh PUPN Cabang. Pemanggilan tersebut dilakukan KP2LN secara patut dengan mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 42 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara1. Pemanggilan tersebut dilakukan secara tertulis dalam rangka pemberian kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk dan didengar pendapatnya dan hak untuk menunjukkan bukti-bukti yang terkait dengan keberadaan dan besaran hutangnya kepada negara. Sesuai ketentuan, pemanggilan dilakukan dengan ketentuan, bila Penanggung Hutang adalah: 1. perorangan, panggilan ditujukan kepada diri pribadi Penanggung Hutang; 2. badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas, panggilan ditujukan kepada direksi dan/atau komisaris yang melakukan kegiatan pengurusan perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga badan hukum yang bersangkutan; 3. badan hukum koperasi dan/atau yayasan, panggilan ditujukan kepada pengurus koperasi dan/atau yayasan; 4. firma, panggilan ditujukan kepada salah seorang firman; atau 5. commanditer vennootschap, panggilan ditujukan kepada pesero pengurus. Bila Penanggung Hutang tidak datang memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Surat Panggilan, KP2LN melakukan panggilan kedua (Panggilan Terakhir) paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal untuk menghadap yang ditetapkan dalam Surat Panggilan pertama. Agar pemanggilan dapat terjamin sampai kepada Penanggung Hutang maka pemanggilan dilakukan dengan kurir (menggunakan tanda terima) atau pos tercatat. 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara, merupakan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) pengurusan piutang negara yang berlaku saat buku ini ditulis. Pengurusan Piutang Negara 185 Apabila Penanggung Hutang menghilang atau tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman yang dikenal di Indonesia, dapat dilakukan upaya Pengumuman Panggilan melalui surat kabar harian dan/atau media masa lainnya. Selain itu, apabila Penanggung Hutang telah meninggal dunia, pemanggilan dilakukan kepada ahli warisnya. Dalam praktek, dapat terjadi Penanggung Hutang tidak datang secara pribadi tetapi diwakilkan kepada kuasa hukum/pihak ketiga, untuk itu agar tidak menimbulkan akibat hukum yang dapat menunda tahap pengurusan disyaratkan pemberian kuasa untuk datang memenuhi panggilan harus dituangkan dalam akta notaris. Tanya Jawab/Wawancara Apabila Penanggung Hutang datang atas inisiatif sendiri atau memenuhi panggilan yang disampaikan oleh KP2LN (salah satu dari Panggilan, Panggilan Terakhir, atau Pengumuman Panggilan) maka KP2LN akan melakukan wawancara kepada Penanggung Hutang2. Wawancara tersebut dilakukan guna mengetahui: 1. kebenaran tentang adanya dan besarnya Piutang Negara; dan 2. cara dan syarat penyelesaian piutang negara tersebut. Tujuan akhir wawancara tersebut adalah pencarian informasi yang secara jelas menggambarkan rencana Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya dan arah tindak lanjut Pengurusan Piutang Negara yang akan dilaksanakan oleh PUPN. Hasil wawancara tersebut di atas, dituangkan dalam Berita Acara Tanya Jawab yang ditandatangani oleh Penanggung Hutang, Kepala KP2LN atau pejabat yang ditunjuk, dan 2 (dua) orang saksi untuk memberikan kekuatan yuridis formal terhadap tanya jawab/pengakuan dari PH/PjH sehingga dapat menjadi alat bukti yang kuat sebagai dasar tahap pengurusan selanjutnya yaitu penyusunan Pernyataan Bersama (PB). Pernyataan Bersama (PB) Bila berdasarkan Berita Acara Tanya Jawab diketahui bahwa Penanggung Hutang mengakui dan sepakat dengan jumlah hutang, serta sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka 2 Ketentuan tentang wawancara kepada Penangung Hutang terdapat dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 44 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara. 186 Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus Pernyataan Bersama akan dibuat dan ditandatangani bersama antara PUPN dan Penanggung Hutang. Pernyataan Bersama tersebut merupakan produk hukum yang menjadi pintu hubungan hukum antara PUPN dan Penanggung Hutang, analog dengan SP3N yang merupakan pintu hubungan hukum antara PUPN dan Penyerah Piutang. Pembuatan Pernyataan Bersama tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara. Pernyataan Bersama tersebut sekurang-kurangnya memuat: 1. irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; 2. identitas Penanggung Hutang; 3. identitas Penanggung Hutang; 4. besarnya Piutang Negara dengan rincian terdiri dari hutang pokok, bunga, denda dan/atau ongkos/beban lain; 5. besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara; 6. pengakuan hutang oleh Penanggung Hutang; 7. kesanggupan Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutang dan cara penyelesaiannya; 8. sanksi jika tidak memenuhi cara penyelesaian hutang; 9. tanggal penandatanganan Pernyataan Bersama; 10. tanda tangan Ketua PUPN Cabang; 11. tanda tangan Penanggung Hutang di atas meterai cukup; dan 12. tanda tangan para saksi. Bila diperhatikan secara cermat, uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa: 1. pada dasarnya Pernyataan Bersama tersebut adalah surat pernyataan pengakuan dan pengukuhan hutang Penanggung Hutang, hal ini ditunjukkan dari disepakatinya besarnya piutang negara yang harus diselesaikan Penanggung Hutang; dan 2. pada dasarnya Pernyataan Bersama tersebut adalah “Grosse Acte” yang mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti putusan hakim dalam perkara perdata yang berkekuatan pasti dan tidak dapat dibanding dan dikasasi (inkracht van gewijsde), mengingat Pernyataan Bersama berkepala/berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; Pengurusan Piutang Negara 187 Kedua hal tersebut di atas menunjukkan bahwa pengurusan piutang negara dilakukan secara khusus dengan tahapan: 1. Pembuatan pengakuan hutang, kesepakatan cara dan jangka waktu penyelesaian hutang, dan sanksi bila Penanggung Hutang wanprestasi. Tahapan ini merupakan bagian upaya due process of law yang didasarkan pada azas kesetaraan antara kewenangan PUPN dan hak Penanggung Hutang. 2. Pembuatan grosse acte yang dapat langsung dieksekusi bila Penanggung Hutang tidak melaksanakan kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama. Selain itu, mengingat Pernyataan Bersama membuat pengakuan dan pengukuhan hutang Penanggung Hutang dan karenanya mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijs) dan kekuatan memaksa (dwingend bewijs). 3. Pelaksanaan eksekusi bila Penanggung Hutang benar-benar wanprestasi terhadap kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama. Dengan adanya syarat “kata sepakat” antara Ketua PUPN Cabang dan Penanggung Hutang, maka pengurusan piutang negara secara khusus, melalui pembuatan Pernyataan Bersama ini tidak menyalahi hakekat bahwa segala sengketa perdata harus diputuskan oleh Pengadilan. Dengan demikian, apabila Penanggung Hutang wanprestasi terhadap kesepakatan yang tertuang dalam Pernyataan Bersama, dan setelah Penanggung Hutang diberikan peringatan namun tetap tidak bersedia memenuhi kewajibannya, maka PUPN berhak untuk dengan segera melakukan penagihan piutang negara dengan surat paksa, penyitaan dan pelelangan harta kekayaan Penanggung Hutang, bilamana perlu dengan melakukan penyanderaan/paksa badan terhadap diri Penanggung Hutang. Jadi, berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, status hukum perjanjian kredit (PK) yang semula bersifat keperdataan diperbaharui menjadi bersifat publik, yaitu yang semula merupakan hubungan hukum perdata antara kreditor dan Penanggung Hutang menjadi hubungan hukum publik antara PUPN yang mewakili Negara sebagai kreditor baru dengan Penanggung Hutang sebagai warga negara pada umumnya. Dalam penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dijelaskan dalam kalimat terakhir yang berbunyi, “Pemakaian sistim surat paksa seperti dalam hal (penagihan) pajak dapat dipertanggungjawabkan karena kinipun Negaralah yang merupakan pihak berpiutang” Dari segi hukum, Pernyataan Bersama dapat juga diartikan sebagai akta pembaharuan hutang (novasi) terutama yang menyangkut jumlah hutang. Jumlah hutang dalam PB biasanya jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan 188 Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus jumlah hutang penyerahan yang dihitung oleh bank, terutama apabila Penyerah Piutang yang bersangkutan terlambat menyerahkan kasus piutang/kredit macetnya ke PUPN yang jauh melampaui batas waktu saat kredit dinyatakan macet. Hukum Perdata Indonesia mengatur ketentuan tentang novasi dalam Pasal 1413 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang berbunyi: “Terdapat tiga cara untuk melakukan pembaharuan utang, yaitu: 1. apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang dihapuskan karenanya; 2. apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya; 3. apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang berpiutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya.” Ketiga cara pembaharuan utang tersebut di atas, oleh R. Subekti (1996) dijelaskan sebagai berikut: 1. cara pembaharuan hutang butir 1 di atas dinamakan novasi obyektif, karena yang diperbaharui di situ adalah obyek perjanjiannya, sedangkan cara yang ditempuh dalam butir 2 dan 3 di atas dinamakan novasi subyektif, karena yang diperbaharui di situ adalah subyek (para pihak) dalam perjanjian; 2. cara pembaharuan hutang butir 2 di atas disebut dengan nama novasi subyektif pasif, karena yang digantikan adalah Penanggung Hutangnya; 3. cara pembaharuan hutang butir 3 di atas disebut dengan nama novasi subyektif aktif, karena yang digantikan adalah kreditornya. Pertanyaan yang timbul dari konstelasi/tatanan hukum yang demikian, termasuk kriteria novasi yang manakah Pernyataan Bersama itu, novasi obyektif atau subyektif. Dilihat dari segi obyeknya, yaitu jumlah hutang yang seringkali berubah, maka Pernyataan Bersama dalam rangka piutang negara perbankan adalah model novasi obyektif. Namun bila dilihat dari segi subyeknya, maka Pernyataan Bersama termasuk jenis novasi subyektif aktif, karena yng berubah adalah kreditornya, yaitu perubahan kreditor yang semula adalah pihak Bank berubah menjadi PUPN/DJPLN. Pengurusan Piutang Negara 189 Dalam hal novasi subyektif aktif, pada hakekatnya terjadi perundingan segitiga, yaitu pihak kreditor lama, kreditor baru dan Penanggung Hutang. Dilihat dari berbagai aspek hukum tentang novasi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Pernyataan Bersama dalam kerangka pengurusan piutang negara mempunyai ciri yang spesifik, bukan hanya novasi obyektif dan bukan pula hanya termasuk novasi subyektif aktif saja. Ciri-ciri dari kedua novasi tersebut terdapat dalam PB. Jadi PB termasuk ciri novasi yang ke empat, yaitu model “novasi berdasarkan undang-undang”, yaitu Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN. Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN) Kenyataan operasional di lapangan menunjukkan bahwa tidak selamanya Pernyataan Bersama dapat dibuat. Hal-hal yang menyebabkan Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat adalah sebagai berikut: 1. Penanggung Hutang tidak memenuhi Surat Panggilan atau Panggilan Terakhir yang diterbitkan KP2LN; 2. Penanggung Hutang tidak memenuhi Surat Panggilan atau Panggilan Terakhir, namun: § menolak mengakui jumlah hutang tetapi tidak dapat menunjukkan bukti-bukti pendukung; § mengakui jumlah hutang tetapi menolak menandatangani Pernyataan Bersama tanpa alasan yang sah. Bila Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat, maka pengurusan piutang negara tidak dapat diteruskan, sehingga pada gilirannya penyelesaian piutang negara menjadi berlarut-larut dan tidak akan pernah terwujudkan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka PUPN diberikan kewenangan yang bersifat sepihak untuk menerbitkan Surat Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN). Ketentuan tentang kewenangan pembuatan PJPN tersebut merupakan pelaksanaan amanat Pasal 14 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yang berbunyi, “Menteri Keuangan menetapkan peraturan-peraturan yang perlu untuk melaksanakan peraturan ini”. Produk hukum PUPN tersebut telah dikenal dan diakui dalam putusan Mahkamah Agung, antara lain Nomor 1500 K/SIP/1978 tanggal 2 Januari 1980 dan Nomor 1267/k/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986. PJPN yang diterbitkan oleh PUPN Cabang tersebut memuat ketetapan tentang adanya dan besarnya piutang negara yang harus dilunasi Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, berikut Biad PPN yang harus dibayar, yang dapat segera ditindak lanjuti dengan Surat Paksa dan Penyitaan. 190 Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus Tindaklanjut dari penerbitan PJPN tersebut adalah penerbitan Surat Paksa oleh PUPN guna penagihan secara sekaligus kepada Penanggung Hutang. Koreksi PB dan Koreksi PJPN Untuk mengakomodasikan perkembangan yang terjadi di lapangan, dimungkinkan adanya koreksi jumlah Piutang Negara yang tercantum di dalam Pernyataan Bersama atau PJPN. Koreksi tersebut dapat terjadi karena alasan yang bersifat administratif, adanya penambahan biaya-biaya yang berkenaan dengan pengamanan barang jaminan sebagaimana diperjanjikan oleh Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang, maupun karena adanya buktibukti baru yang sah tentang pembayaran hutang namun sebelumnya tidak diperhitungkan dalam jumlah hutang. Untuk menghindari terjadinya ketidakpastian mengenai ada dan besarnya Piutang Negara yang tercantum dalam PB atau PJPN, KP2LN harus melakukan penelitian kembali terhadap seluruh berkas penyerahan dan buktibukti baru tersebut guna menetapkan kembali Piutang Negara yang ada dan besarnya telah pasti menurut hukum. Bila koreksi dilakukan terhadap Pernyataan Bersama, maka Ketua PUPN membuat Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran PN. Surat pemberitahuan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pernyataan Bersama itu sendiri. Bila koreksi dilakukan terhadap PJPN maka Ketua PUPN menerbitkan Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran PN. Surat pemberitahuan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari PJPN itu sendiri. Selain itu, surat-surat koreksi tersebut disampaikan kepada Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sebagai pemberitahuan. Penagihan Piutang Negara dengan Surat Paksa, Sita, dan Lelang Penagihan Sekaligus dengan Surat Paksa PUPN Cabang dapat melakukan penagihan sekaligus dengan Surat Paksa dalam hal: 1. Pernyataan Bersama telah dibuat, tetapi Penanggung Hutang tidak mentaati kesepakatan yang tercantum dalam Pernyataan Bersama, dan atas hal itu KP2LN telah melakukan peringatan secara tertulis; atau 2. Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat, dan PUPN Cabang telah menerbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN). Pengurusan Piutang Negara 191 Ketentuan tentang Surat Paksa terdapat pada Pasal 11 Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN. Secara khusus, di dalam ketentuan di atas tidak terdapat pengertian tentang Surat Paksa. Namun dari uraian Pasal 11 tersebut di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa Surat Paksa adalah surat perintah yang berkepala “Demi Keadilan Berdsarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dikeluarkan oleh Ketua PUPN kepada Penanggung Hutang untuk membayar secara sekaligus seluruh hutangnya kepada negara berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Identik dengan Pernyataan Bersama, Surat Paksa juga mempunyai kekuatan yang sama seperti grosse akta dari putusan hakim dalam perkara perdata, yang tidak dapat dimintakan banding lagi pada hakim atasan. Surat Paksa ditandatangani oleh Ketua PUPN. Pemberitahuan Surat Paksa dilaksanakan oleh Jurusita Piutang Negara (JSPN) dengan menyatakan dan membacakan serta dituangkan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat paksa (BAPSP). Selanjutnya apabila dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam semenjak Pemberitahuan Surat Paksa, ternyata Penanggung Hutang tidak memenuhi kewajiban pembayaran hutangnya kepada Negara, maka atas perintah Ketua PUPN, JSPN melaksanakan penyitaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, dan selanjutnya dijual secara lelang. Penyitaan Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain Penyitaan terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik PH/PjH termasuk harta kekayaan yang tersimpan di bank, saham, surat berharga, dan lain-lain, yang dilakukan oleh PUPN dan merupakan tindakan hukum lanjutan setelah perintah untuk membayar sejumlah uang tertentu, yang tertuang dalam Surat Paksa, tidak ditaati oleh PH/PjH. Penyitaan dilakukan oleh Jurusita Piutang Negara atas dasar Surat Perintah Penyitaan (SPP) yang ditandatangani oleh Ketua PUPN. Di dalam melaksanakan tugasnya, Jurusita Piutang Negara didampingi oleh 2 (dua) orang saksi. Kegiatan pelaksanaan penyitaan tersebut dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan yang ditandatangani bersama oleh Jurusita Piutang Negara, Penanggung Hutang/Penjamin Hutang atau pihak yang menempati/menguasai obyek sita, serta kedua saksi tersebut tersebut di atas. 192 Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus Satu lembar salinan berita acara penyitaan dapat ditempelkan di tempat umum atau pada barang yang disita tersebut berada. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi azas publisitas. Oleh karena itu, barang-barang yang telah disita tersebut harus diberitahukan kepada instansi yang berwenang untuk dilakukan pencatatan sebagaimana mestinya. Salah satunya adalah ke instansi Badan Pertanahan Nasional, khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan. Pelelangan Barang Sitaan Penjualan barang sitaan melalui lelang dilakukan jika Penanggung Hutang tidak menyelesaikan seluruh hutangnya kepada negara walaupun barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain miliknya telah disita. Pelelangan tersebut dilaksanakan oleh KP2LN berdasarkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan (SPPBS) yang ditandatangani oleh Ketua PUPN. Pelaksanaan lelang barang sitaan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang lelang. Dasar hukum utama adalah Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor 189 jo. Stb. 1908 Nomor 190 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 304/KMK.01/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Berdasarkan ketentuan tersebut, pelaksanaan lelang didahului dengan pengumuman pada surat kabar harian yang beredar di kota tempat kedudukan KP2LN yang bersangkutan. Cara penawaran lelang akan ditentukan pada saat pelaksanaan lelang, namun demikian cara penawaran yang diutamakan adalah penawaran secara terbuka dengan sistem lisan naiknaik. Sebelum lelang berlangsung, Kepala KP2LN selaku anggota PUPN Cabang terlebih dahulu menetapkan nilai limit barang yang akan dilelang dengan berpedoman kepada hasil penilaian (harga taksasi) yang dibuat oleh Tim Penilai Internal KP2LN atau hasil penilaian perusahaan jasa penilai yang independen. Pengertian nilai limit tersebut adalah harga dasar terendah sebagai dasar persetujuan penjualan barang melalui lelang. Sedangkan harga taksasi merupakan perkiraan nilai yang ditetapkan oleh Tim Penilai atas suatu barang berdasarkan hasil penilaian yang dilaksanakan. Hasil bersih lelang yang diperoleh akan diperhitungkan sebagai pembayaran hutang Penanggung Hutang. Sebanyak 10/11 bagian dari hasil bersih lelang tersebut diserahkan kepada Penyerah Piutang dan 1/11 bagian sisanya diperhitungkan sebagai pembayaran Biad PPN dan disetorkan ke Kas Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pengurusan Piutang Negara 193 Berbagai Upaya/Sarana Hukum Lain yang Dapat Dilakukan PUPN/KP2LN Uraian di atas merupakan tahapan yang ditempuh dalam pengurusan piutang negara yang dilakukan oleh PUPN secara khusus. Pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah upaya apa lagi yang dapat dilakukan oleh PUPN/DJPLN apabila setelah semua barang jaminan dan harta kekayaan lain milik PH/PjH telah dilelang namun belum juga menutupi seluruh hutang Penanggung Hutang? Guna memperoleh hasil yang optimal dalam melaksanakan pengurusan piutang negara maka disamping melakukan pengurusan piutang negara secara khusus, PUPN/DJPLN juga dapat menempuh berbagai upaya/sarana hukum lainnya yang tersedia. Upaya/sarana hukum yang tersedia dimaksud antara lain adalah: 1. pencegahan bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang memenuhi syarat; 2. pelaksanaan sandera/paksa badan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang memenuhi syarat; 3. pemanfaatan barang jaminan; 4. pemberian keringanan penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang; 5. pengusutan/pemeriksaan atas diri Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dan/atau atas harta kekayaan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; 6. penghentian sementara pengurusan piutang negara dengan menerbitkan Pernyataan Piutang untuk Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT); 7. penghapusan piutang negara. Masing-masing upaya hukum tersebut dijelaskan dalam uraian berikut ini. Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia Kewenangan pencegahan bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia (selanjutnya disebut pencegahan) dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian jo. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan. Pencegahan dilaksanakan DJPLN dengan prinsip efektivitas 194 Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus dan efisiensi. Penjelasan lengkap tentang sarana hukum ini, akan diuraikan pada Bab 9. Penyanderaan/Paksa Badan Penyanderaan atau paksa badan dapat dikatakan sebagai suatu tindakan hukum yang luar biasa yang dilakukan terhadap diri seorang Penanggung Hutang. Kewenangan untuk menyandera ini dimiliki oleh PUPN berdasarkan ketentuan yang ada dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Penyanderaan dapat dilakukan apabila Penanggung Hutang tidak memenuhi ketentuan Surat Paksa. Kewenangan PUPN untuk menyandera tersebut tidak termasuk kewenangan yang dilarang atas dasar instruksi Mahkamah Agung Nomor 82/P/374/M/1964 tanggal 22 Januari 1964. Meskipun demikian, prosedur penyanderaan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 butir 15 sampai dengan 23 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dan juga dengan memperhatikan ketentuan Pasal 186 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2000 yaitu: 1. jumlah piutang negara sekurang-kurangnya 1 milyar rupiah; 2. hasil pemeriksaan KP2LN menunjukkan bahwa Penanggung Hutang mampu menyelesaikan hutangnya, tetapi tidak memperlihatkan itikad baik untuk menyelesaikan; 3. Umur PH/PjH tidak lebih dari 75 tahun; 4. barang jaminan tidak ada atau tidak menutup sisa hutang; dan 5. Penanggung Hutang tidak memenuhi Surat Paksa. Pemanfaatan Barang Jaminan Dalam melaksanakan pengurusan piutang negara, PUPN/DJPLN diberikan kewenangan untuk melakukan pemanfaatan barang jaminan. Penjelasan lengkap tentang hal ini diuraikan dalam Bab 8. Pemberian Keringanan Penyelesaian Hutang Guna percepatan pengurusan piutang negara, DJPLN memiliki kewenangan untuk memberikan keringanan penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang. Penjelasan lengkap tentang hal ini diuraikan dalam Bab 7. Pengusutan/Pemeriksaan Pengurusan Piutang Negara 195 Pemeriksaan merupakan upaya yang dilakukan oleh KP2LN setelah adanya informasi yang dapat dipercaya atas usaha dan kemampuan PH/PjH yang dilakukan dengan prinsip efektivitas dan efesiensi dalam pengurusan piutang negara. Penjelasan lengkap tentang pemeriksaan diuraikan dalam Bab 10. Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT) Bila pengurusan piutang negara telah optimal, PUPN diberi kewenangan untuk menghentikan sementara pengurusan piutang negara tersebut. Penghentian sementara tersebut ditandai dengan penerbitan Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT). Penjelasan lengkap tentang pemeriksaan diuraikan dalam Bab 11. Penghapusan Piutang Negara Terhadap piutang negara yang memenuhi syarat, dapat dilakukan penghapusan. Penghapusan tersebut dapat berupa baik penghapusan piutang dari pembukuan dengan tidak menghilangkan hak tagih negara, maupun penghapusan piutang dengan menghilangkan hak tagih negara. Penjelasan lengkap tentang hal ini diuraikan dalam Bab 11. Rangkuman Dalam rangka pengamanan keuangan negara Pemerintah Republik Indonesia telah membentuk lembaga/institusi khusus yang diberi nama PUPN, suatu unit organisasi yang bersifat antar departemen yang anggotanya terdiri dari unsur Departemen Keuangan, Bank Indonesia, POLRI, Kejaksaan Agung dan Pemda. Pembentukan PUPN tersebut dituangkan dalam UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara yang berisi susunan organisasi tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. Dalam melakukan upaya penagihan piutang negara, PUPN tidak menempuh prosedur umum (lex generalis) sebagaimana diatur dalam H.I.R., tetapi menempuh prosedur khusus (lex specialis). Dengan prosedur khusus tersebut, diharapkan hasilnya akan lebih efektif, efisien, cepat dan optimal. Hal mana tidak akan diperoleh bilamana ditempuh melalui prosedur biasa, satu dan lain hal mengingat yang dihadapi adalah debitur nakal yang dengan tindakannya secara terang-terangan merugikan Keuangan Negara. Di samping tindakan eksekusi dalam pengurusan piutang negara, maka PUPN/KP2LN dilengkapi pula dengan berbagai upaya/sarana hukum agar 196 Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus diperoleh hasil yang efektif dan efisien. Disamping hasil berupa uang, maka hasil penyelanggaraan pengurusan piutang negara dapat diwujudkan dalam bentuk penyelesaian administratif, yaitu berupa penarikan/pengembalian kasus piutang negara kepada PP (kreditor) dengan alasan penyehatan usaha PH/PjH, PSBDT serta penghapusan piutang negara. Penghapusan piutang negara ini dapat diusulkan kepada Menteri Keuangan setelah melalui prosedur pengusutan/ pemeriksaan, baik terhadap diri PH/PjH maupun kemampuan serta harta kekayaannya. - o0o - Latihan Untuk mengingatkan kembali yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di bawah ini: 1. Apa tujuan dibentuknya PUPN berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960? Coba jelaskan pendapat/alasan/argumentasi saudara! 2. Bagaimana hubungan antara PUPN dengan DJPLN? 3. Jelaskan prosedur atau langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pengurusan piutang negara dari tahap penyerahan sampai dengan penerbitan PB/PJPN! 4. Langkah-langkah apa saja yang perlu ditempuh oleh PUPN/KP2LN dalam hal PH/PjH tidak memenuhi PB/PJPN ? 5. Bagaimana cara Juru Sita Piutang Negara (JSPN) menyampaikan/ memberitahukan SP kepada PH/PjH? 6. Tindakan apa yang dapat dilakukan oleh PUPN/KP2LN bilamana PH/PjH tidak juga menyelesaikan hutangnya kepada negara ? 7. Sebutkan berbagai upaya/sarana hukum yang dapat ditempuh oleh PUPN/KP2LN dalam pengurusan piutang negara disamping tindakan penagihan dengan SP, SPP dan pelelangan barang jaminan! 8. Apa persyaratan yang harus dipenuhi agar PH/PjH dapat disandera / paksa badan ? 9. Kapan PUPN/KP2LN dapat melakukan pelelangan atas barang jaminan sebelum diterbitkannya PB atau PJPN ? Pengurusan Piutang Negara 197 TES FORMATIF I Pilih jawaban yang paling benar dengan melingkari jawaban yang Saudara pilih. 1. Hubungan antara PUPN dengan DJPLN ditinjau dari sudut organisasi dan mekanisme kerjanya adalah: A. PUPN dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960, sedangkan DJPLN dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 sehingga secara organisasi kedudukan PUPN lebih tinggi daripada DJPLN. B. DJPLN memiliki tanggungjawab yang lebih luas daripada PUPN. C. DJPLN bertugas menyelenggarakan Pengurusan Piutang dan Lelang Negara baik yang berasal dari Penyelenggaraan tugas PUPN maupun pelaksanaan kebijaksanaan Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. D. Pernyataan A, B, dan C salah. 2. Pengurusan Piutang dan Lelang Negara oleh PUPN dilakukan secara khusus, maksud secara khusus adalah : A. PUPN dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 dan memiliki prosedur khusus sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959. B. Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 bersifat lex specialis dalam pengurusan piutang negara. C. PUPN memiliki kewenangan Parate Eksekusi. D. Pernyataan A, B, dan C benar. 3. Pengertian piutang macet dalam Surat Keputusun Direksi Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif, adalah: A. Jika terdapat tunggakan angsuran bunga yang telah melampaui 270 hari. B. Jika terdapat tunggakan angsuran pokok 240 hari dan tunggakan angsuran bunga telah melampaui 270 hari. C. Jika terdapat tunggakan angsuran pokok dan bunga yang telah melampaui 270 hari. 198 Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus D. Jika terdapat tunggakan angsuran pokok kurang dari 270 hari dan tunggakan angsuran bunga kurang dari 270 hari. 4. Berdasarkan Surat Panggilan tertanggal 4 Maret 2002 KP2LN Sorong memanggil Sdr. Suto yang beralamat di JI. Pembangunan Sorong untuk datang guna menyelesaikan piutang macet yang diserahkan olch Bank BRI (Persero) Cabang Sorong pada tanggal 7 April 2002. Jika Sdr. Suto tidak datang memenuhi Surat Panggilan tersebut maka panggilan kedua (terakhir) paling lambat dibuat : A. Tujuh hari setelah tanggal untuk menghadap. B. Tujuh hari setelah tanggal surat panggilan. C. Tujuh hari kerja setelah tanggal surat panggilan. D. Tujuh hari kerja setelah tanggal 7 April 2002. 5. Salah satu persyaratan penyerahan piutang macet kepada KP2LN dilampirkan juga surat kesanggupan bank untuk meroya hipotik/crediet verband/hak tanggungan. Persyaratan tersebut diperlukan untuk : A. Melindungi kepentingan pernbeli objek hak tanggangan jika ternyata harga pernbelian lebih rendah daripada nilai pembebanan hak tanggungan. B. Melindungi kepentingan KP2LN dari gugatan bank, jika barang jaminan dijual di bawah nilai pembebanan hak tanggungan berdasarkan penilaian dari tim penaksir. C. Keperluan administrasi internal KP2LN. D. Persiapan pelaksanaan lelang barang jaminan. 6. Dalam hal PH/PjH tidak sanggup menyelesaikan hutangnya, maka berdasarkan Pasal 51 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002: A. PB tetap harus dibuat. B. PB tidak perlu dibuat. C. PB tetap dibuat yang berisi tentang kepastian adanya dan besarnya piutang negara. D. Langsung diterbitkan PJPN. Pengurusan Piutang Negara 199 7. Bilamana terdapat kekeliruan jumlah piutang negara yang tercantum dalam PB, maka tindakan korektif yang dapat dilakukan adalah: A. Membatalkan PB yang bersangkutan. B. Ketua PUPN menerbitkan Surat Koreksi PB. C. Menerbitkan PB baru. D. Ketua PUPN menerbitkan Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara. 8. Sedangkan bila terdapat kekeliruan jumlah piutang negara, yang tercantum dalam PJPN, maka Ketua PUPN melakukan: A. Pembatalan PJPN. B. Menerbitkan PJPN yang baru. C. Menerbitkan Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara. D. Menerbitkan SP, SPP dan SPPBS. Hasil wawancara dengan PH/PjH yang memenuhi panggilan KP2LN dituangkan dalam: A. Resume hasil Penelitian Kasus (RHPK). B. Resume Hasil Pemeriksaan Penanggung Hutang (RHPD). C. Berita Acara, Tanya Jawab (BATJ). D. Jawaban A, B, dan C salah. 9. 10. Penelitian atas dokumen penyerahan kasus piutang macet dari kreditor/PP dituangkan dalam dokumen : A. RHPD B. RHPK C. BATJ D. Jawaban A, B dan C benar TES FORMATIF II 1. PT. Bank BRI (Persero) menyerahkan piutang macet a.n. Sdr. Japra kepada PUPN, dari Rekening Koran diketahui bahwa Sdr. Japra memiliki tunggakan angsuran pokok selama 12 bulan sedangkan angsuran bunga selama 6 bulan. 200 Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus A. Piutang macet a.n. Japra yang dituangkan dalam Pernyataan Bersama adalah jumlah tunggakan angsuran pokok selama 12 bulan ditambah tunggakan angsuran bunga selama 6 bulan. B. Piutang macet a.n. Japra yang dituangkan dalam Pernyataan Bersama adalah jumlah tunggakan angsuran pokok selama 9 bulan ditambah tunggakan angsuran bunga selama 6 bulan. C. Nilai yang dituangkan dalam Pernyataan Bersama adalah nilai pada saat penyerahan. D. Pernyataan A dan B benar. 2. 3. 4. Pemberitahuan Surat Paksa oleh Jurusita Piutang Negara kepada PH/PjH dilaksanakan dengan ketentuan antara lain : A. PH/PjH berada di tempat lain, yaitu apabila PH/PjH tidak diketahui alamatnya secara pasti di Indonesia. B. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha PH/PjH, apabila PH/PjH menolak meneima Surat Paksa. C. Para ahli waris PH/PjH secara pro rata parte, apabila PH/PjH telah meninggal dunia melampaui waktu 6 (enam) bulan serta harta warisan telah dibagi. D. Salah seorang ahli waris PH/PjH apabila PH/PjH telah meninggal dunia melampaui 6 (enam) bulan serta harta warisan telah dibagi. Dalam hal PH/PjH tidak mentaati kesepakatan yang dituangkan dalam PB, maka : A. PH/PjH wajib diperingatkan secara tertulis oleh KP2LN. B. Dilakukan tindakan eksekusi oleh PUPN/DJPLN. C. Segera diterbitkan SP. D. Jawaban A, B dan C benar. Penyitaan atas agunan hutang dapat dilaksanakan oleh juru sita PUPN setelah jangka waktu : Pengurusan Piutang Negara A. B. C. D. 201 I x 24 jam setelah pemberitahuan SP. 2 x 24 jam setelah pemberitahuan SP. 7 x 24 jam setelah penerbitan SP. Jawaban A, B dan C salah. 6. Dalam pelaksanaan lelang, PUPN terlebih dahulu menetapkan : A. Nilai limit. B. Harga limit. C. Harga taksasi. D. Harga dasar barang sitaan. 6. Tim Penaksir dalam melakukan taksasi barang jaminan tidak perlu melakukan pemeriksaan lapangan dalam hal barang jaminan : A. Bernilai Rp. 10 juta ke atas tetapi kurang dari Rp. 20 juta. B. Nilainya diperkirakan kurang dari Rp. 10 juta. C. Bernilai sekitar Rp. 20 juta ke atas. D. Nilainya kurang dari Rp 15 juta, tetapi di atas Rp. 10 juta. 7. Kebenaran atas harga taksasi merupakan tanggung jawab dari : A. Ketua Tim Penaksir. B. Salah satu anggota Tim Penaksir yang melakukan pemeriksaan lapangan. C. Sckrctaris Tim Penaksir. D. Seluruh Anggota Tim Penaksir. 8. Harga Taksasi berlaku selama 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkan, dengan ketentuan sebagai berikut : A. Dapat diperpanjang oleh Ketua PUPN sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pertimbangan karena belum laku dilelang. B. Dapat ditinjau ulang oleh Ketua PUPN kurang dari 6 (enam) bulan jika terdapat perubahan baik peruntukan maupun perubahan kondisi barang jaminan. 202 Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus C. Dapat diperpanjang oleh Kepala KP2LN sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pertimbangan karena belum ada perkembangan perubahan harga yang berarti. D. Pernyataan A dan B benar. 9. Pelaksanaan lelang tidak dapat ditunda/dibatalkan oleh pejabat lelang, kecuali hal-hal antara lain : A. Atas permintaan pemohon lelang. B. Karena adanya putusan pengadilan. C. SKT belum diterbitkan oleh/diterima dari Kantor BPN setempat. D. Jawaban A, B dan C benar. 10. Penyitaan terhadap harta kekayaan lain PH/PjH di luar barang jaminan dapat dilakukan oleh JSPN berdasarkan: A. SPP yang diterbitkan PUPN atas barang jaminan PH/PjH. B. SPP PUPN yang terbaru. C. SPP yang diterbitkan PUPN berdasarkan hasil pemeriksaan/pengusutan atas harta kekayaan lain milik PH/PjH. D. Jawaban A, B, dan C salah. TES FORMATIF III 1. Efektifitas tindakan pencegahan ke luar negeri dalam rangka pengurusan piutang negara terhadap Penanggung Hutang/Penjamin Hutang (PH/PjH) karena antara lain alasan sebagaimana di bawah ini : A. Memiliki piutang negara senilai Rp. 500 juta dan berdasarkan keterangan dari berbagai sumber terutama dari Penyerah Piutang (PP) yang bersangkutan sering bepergian ke luar negeri baik untuk kepentingan bisnis maupun pribadi. B. PH/PjH memiliki piutang negara senilai Rp. 2 milyar dan menurut penilaian Tim Penaksir memiliki jaminan hutang senilai Rp. 2 milyar dan dokumennya lengkap. C. PH/PjH memiliki piutang negara senilai Rp. 1 milyar dan dalam keadaan pailit. D. Pernyataan A dan B benar. 2. Pernyataan di bawah ini BENAR, kecuali : Pengurusan Piutang Negara 203 A. Penyanderaan merupakan kewenangan PUPN. B. Penyanderaan dalam rangka pengurusan piutang negara tidak dilarang oleh Mahkamah Agung. C. Penyanderaan memerlukan izin dari Kepala Kejaksaan Tinggi. D. Dampak positif penyanderaan adalah dapat mengatasi berkembangnya praktek Debt Collector yang bersifat melanggar hukum sehingga secara tuntas dapat meniadakan terjadinya kredit macet. 3. Gijzeling/Lijfdwang dapat dilaksanakan kembali dalam hal : A. Adanya persamaan persepsi antara seluruh penegak hukum untuk menghidupkan kembali Gijzeling/Lijfdwang. B. PUPN Cabang memperoleh persetujuan dari Ketua PUPN Pusat dan memperoleh persetujuan dari Kepala Kejaksaan Tinggi. C. PUPN Cabang memperoleh izin dari Ketua PUPN Pusat dan memperoleh persetujuan dari Kepala Kejaksaan Tinggi. D. Direkomendasikan untuk dilaksanakan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM). 4. Tindakan paksa badan tidak dapat dilakukan terhadap debitur yang berumur : A. 50 tahun ke atas. B. 75 tahun ke atas. C. 60 tahun ke atas. D. 70 tahun ke atas. 5. Terjemahan gijzeling menjadi istilah paksa badan didasarkan atas pertimbangan : A. Demi penegakan hukum/law enforcement yang lebih efektif. B. Menyesuaikan dengan perkembangan kondisi penegakan HAM. C. Sesuai dengan pengertian “Imprisonment for civil debt” yang berlaku secara universal. D. Jawaban A, B dan C benar. 204 Bab 6 : Pengurusan Piutang Negara Secara Khusus - o0o - BAB 7 PENDEKATAN NON EKSEKUSI DALAM PENGURUSAN PIUTANG NEGARA Sasaran Pembelajaran Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan memahami salah satu pendekatan yang ditempuh PUPN dalam melaksanakan Pengurusan Piutang Negara. Pendekatan dalam pengurusan piutang negara yang akan diuraikan dalam Bab ini adalah pendekatan non eksekusi, yaitu langkah yang ditempuh PUPN dengan memberikan kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya tanpa perlu adanya tindakan hukum eksekusi barang jaminan. Langkah-langkah tersebut adalah pemberian kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk menjual barang jaminan miliknya tidak melalui lelang, kesempatan kepada Penjamin Hutang untuk melakukan penebusan barang jaminan miliknya, dan pemberian keringanan penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang. Pendahuluan 206 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi Pada Bab 2 telah diuraikan, bahwa pengurusan piutang negara oleh PUPN didasarkan pada Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Undang-undang tersebut memuat aturan pengurusan piutang yang bersifat khusus dengan tujuan efisiensi proses pengurusan piutang negara dan percepatan hasil kegiatan pengurusan tersebut. Dengan aturan main tersebut, diharapkan bahwa pengurusan piutang negara oleh PUPN dapat dilaksanakan dengan lebih efisien dan lebih cepat memberikan hasil dibandingkan dengan pengurusan piutang yang dilaksanakan berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (H.I.R. Staatsblad 1941 Nomor 44). Efisiensi dan percepatan perolehan hasil pengurusan tersebut dimungkinkan terjadi mengingat proses pengurusan piutang negara oleh PUPN diatur sangat singkat. Sebagaimana yang telah diuraikan di Bab 6, proses singkat pengurusan piutang negara dimulai dari pemanggilan kepada Penanggung Hutang dan dilanjutkan dengan pembuatan Pernyataan Bersama, yang berisi pengakuan hutang dan rencana penyelesaiannya oleh Penanggung Hutang. Apabila Penanggung Hutang tidak melaksanakan Pernyataan Bersama tersebut, PUPN melakukan penagihan secara sekaligus dengan Surat Paksa. Setelah itu, bila Penanggung Hutang tetap tidak menyelesaikan hutangnya, pengurusan piutang negara akan dilanjutkan dengan penyitaan dan pelelangan barang jaminan dan harta kekayaan lain. Proses pengurusan yang dikenal dengan “Penagihan Piutang Negara Dengan Surat Paksa” tersebut dapat dikatakan juga sebagai pendekatan eksekusi dalam pengurusan piutang negara. Pendekatan eksekusi tersebut, di satu sisi dapat membantu upaya percepatan pengurusan piutang negara. Namun demikian, di sisi lainnya, pendekatan eksekusi terkadang menjadi kontra produktif dalam pengurusan piutang negara. Hal tersebut disebabkan karena: 1. Penyitaan barang jaminan merupakan hal yang tidak disukai oleh Penanggung Hutang, dan bahkan pada kasus-kasus tertentu menyebabkan ketersinggungan sehingga yang bersangkutan melakukan segala upaya untuk membatalkan penyitaan tersebut. Pada gilirannya, keadaan ini menjadi penghambat dalam pengurusan piutang Negara. 2. Di mata para Penanggung Hutang pada umumnya, harga jual yang terbentuk pada lelang eksekusi barang jaminan berada di bawah nilai pasar sehingga Penanggung Hutang selalu memiliki alasan untuk melakukan gugatan kepada PUPN. Gugatan-gugatan tersebut, juga menjadi penghambat dalam pengurusan piutang negara. Pengurusan Piutang Negara 207 Guna meminimalkan hambatan yang terjadi sebagai akibat digunakannya pendekatan eksekusi dalam pengurusan piutang negara, dan memperhatikan paradigma baru yang berlaku di masyarakat terkait dengan penegakan hak asasi manusia (HAM), PUPN mulai mengedepankan pendekatan non eksekusi dalam pengurusan piutang negara. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang untuk menyelesaikan hutangnya melalui cara-cara berikut: 1. penjualan barang jaminan tidak melalui lelang; 2. penebusan barang jaminan; dan/atau 3. penyelesaian hutang dengan keringanan. Penjualan Barang Jaminan Tidak Melalui Lelang Sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab sebelum ini, di dalam praktik secara umum, seorang kreditor seringkali meminta kepada seorang debitor untuk memberikan jaminan khusus berupa jaminan kebendaan (hipotik, gadai, fidusia), di samping jaminan perorangan yang dinamakan jaminan/perjanjian penanggungan hutang (borgtocht atau guaranty). Selain diberikan oleh debitor yang bersangkutan, jaminan kebendaan dapat juga diberikan diberikan oleh orang/pihak lain. Sedangkan jaminan perorangan, selalu diberikan oleh orang/pihak lain. Jaminan khusus tersebut digunakan oleh kreditor sebagai bagian upaya penyelesaian hutang debitor bila yang bersangkutan tidak mampu menyelesaikan kewajibannya sesuai yang dipersyaratkan dalam perjanjian hutang piutang. Dalam melakukan pengurusan piutang negara, PUPN juga menggunakan jaminan kebendaan yang ada menjadi bagian dalam upaya penyelesaian hutang Penanggung Hutang. Bila menggunakan pendekatan eksekusi, barang jaminan tersebut dapat disita dan dilelang yang hasilnya digunakan sebagai bagian dalam penyelesaian hutang. Dalam pendekatan non eksekusi, PUPN memberikan kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk melakukan penjualan barang jaminan tanpa melalui lelang. Keuntungan dari pendekatan ini adalah bahwa harga jual barang jaminan merupakan harga yang disetujui oleh Penanggung Hutang, Penyerah Piutang, dan PUPN, sehingga tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan. Berbeda dengan penjualan barang jaminan melalui lelang, harga yang terjadi belum tentu disetujui oleh Penanggung Hutang, sehingga terkadang ada saja Penanggung Hutang yang 208 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi melakukan gugatan ke pengadilan. Keadaan ini pada gilirannya menjadi penghambat dalam pengurusan piutang negara. Syarat Penjualan Barang Jaminan Tidak Melalui Lelang Di dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pengurusan piutang negara yang berlaku, penjualan barang jaminan tidak melalui lelang hanya dapat dilakukan oleh Penanggung Hutang apabila telah terpenuhi hal-hal sebagai berikut: 1. Penjualan barang jaminan tidak melalui lelang hanya dapat dilakukan oleh Penanggung Hutang yang memiliki barang jaminan tersebut. Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penanggung Hutang perlu diberi kesempatan untuk menjual sendiri barang miliknya yang telah dijadikan jaminan atas pelunasan hutangnya. Sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, dengan menjual sendiri, diharapkan Penanggung Hutang tidak akan mempermasalahkan nilai jual barang miliknya. 2. Penjualan tidak melalui lelang hanya dapat disetujui dengan nilai penjualan paling sedikit sama dengan nilai pasar, dan nilai pasar tersebut paling sedikit sama dengan nilai pengikatan Hypotheek/Credietverband atau nilai pembebanan Hak Tanggungan (untuk simplifikasi, selanjutnya disebut nilai pengikatan/pembebanan). Nilai penjualan yang disetujui tersebut didasarkan pada Laporan Penilaian. Persyaratan ini dirumuskan untuk menjamin bahwa nilai yang terjadi pada penjualan tersebut adalah transparan, dan dapat dipertanggung-jawabkan. Selain itu, untuk menjamin bahwa nilai penjualan merupakan nilai yang dapat diterima oleh semua pihak, maka nilai tersebut diatur untuk mengacu pada nilai pasar. 3. PUPN menyetujui penebusan tersebut. Dasar pemikiran persyaratan ini jelas bahwa PUPN yang berwenang melakukan pengurusan piutang negara harus memberikan persetujuan penebusan barang jaminan terlebih dahulu sebelum penebusan tersebut efektif. Dari persyaratan ini juga dapat diketahui bahwa PUPN hanya memberikan persetujuan penjualan tidak melalui lelang, dan bukan menjadi para pihak yang terlibat dalam jual beli barang (bukan pihak yang ikut menandatangani akta jual beli). Pengurusan Piutang Negara 209 4. Permohonan penjualan tidak melalui lelang dengan nilai yang berada di bawah nilai pengikatan/pembebanan dapat diajukan sepanjang Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penebusan kepada PUPN. Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penyerah Piutang, berdasarkan perjanjian penjaminan, mempunyai jaminan penyelesaian piutangnya sebesar nilai pengikatan/pembebanan yang melekat pada barang jaminan milik Penanggung Hutang. Bila Penanggung Hutang ingin menjual barang jaminan tersebut, tentunya yang bersangkutan harus menjualnya minimal sama dengan nilai yang diperjanjikan. Bila ingin menjual dengan nilai di bawah yang diperjanjikan, adalah hal yang wajar bila diperlukan adanya persetujuan dari Penyerah Piutang sebagai penerima Hypotheek/ Credietverband atau pemegang Hak Tanggungan. Proses Penjualan Barang Jaminan Tidak Melalui Lelang Penjualan barang jaminan tidak melalui lelang oleh Penanggung Hutang yang memiliki barang jaminan dilakukan sebagai berikut: 1. Tentang pengajuan permohonan penebusan barang jaminan: a. Penanggung Hutang mengajukan permohonan penjualan tidak melalui lelang secara tertulis kepada PUPN. Surat permohonan tersebut dilengkapi dengan uraian barang yang akan dijual, nilai penjualan, identitas calon pembeli, dan cara pembayaran. Prosedur ini diperlukan untuk kepentingan dokumentasi proses pengurusan piutang negara oleh PUPN, serta untuk memastikan bahwa pembeli barang jaminan bukanlah Penanggung Hutang sendiri, atau keluarganya, atau bahkan pembeli fiktif. b. Bila Penanggung Hutang telah meninggal dunia, ahli warisnya dapat mengajukan permohonan penjualan barang jaminan di luar lelang. c. Permohonan penjualan barang jaminan di luar lelang dapat diajukan pada setiap tahap pengurusan piutang negara, dengan ketentuan permohonan telah diterima PUPN paling lambat 14 hari sebelum pelaksanaan lelang. 2. Tentang persetujuan/penolakan penjualan barang jaminan tidak melalui lelang: a. Persetujuan/penolakan penjualan ditetapkan oleh PUPN, dengan ketentuan: 210 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi 1) berpedoman pada Laporan Penilaian yang masih berlaku dan ditetapkan paling lama 1 bulan sejak surat permohonan diterima PUPN; dan 2) apabila nilai penjualan di bawah nilai pengikatan/pembebanan persetujuan/penolakan ditetapkan paling lama 2 bulan sejak surat permohonan diterima PUPN. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada PUPN dan Penyerah Piutang guna mengumpulkan bukti-bukti yang menguatkan persetujuan/ penolakan dengan nilai di bawah nilai pengikatan/pembebanan. Bukti utama adalah Laporan Penilaian yang masih berlaku. b. Jangka waktu pemberian persetujuan Penyerah Piutang atas permohonan penjualan barang jaminan tidak melalui lelang dengan nilai di bawah nilai pengikatan/pembebanan diatur tidak boleh melebihi 15 hari sejak permintaan persetujuan diterima Penyerah Piutang. Apabila Penyerah Piutang tidak menyetujui nilai penjualan tersebut, Penyerah Piutang harus menyampaikan secara tertulis keberatan tersebut disertai dengan Laporan Penilaian yang masih berlaku. c. Sejak permohonan penjualan diterima sampai terbitnya keputusan, PUPN tidak melakukan tindakan hukum pengurusan piutang negara yang terkait dengan barang jaminan yang akan dijual tersebut. Hal ini diatur untuk memberikan kepastian hukum kepada Penanggung Hutang dalam menjual barang jaminannya guna menyelesaikan kewajibannya. 3. Tentang pembayaran: a. Pembayaran atas penjualan barang jaminan tidak melalui lelang dengan nilai sampai dengan Rp.1.000.000.000,00, hanya dapat dilakukan secara tunai paling lama 2 bulan sejak tanggal surat persetujuan penjualan. Sedangkan pembayaran atas penjualan dengan nilai lebih dari Rp.1.000.000.000,00, dapat dilakukan secara angsuran pro rata dengan jangka waktu paling lama 6 bulan sejak tanggal surat persetujuan penjualan. Ketentuan ini dirumuskan dengan mempertimbangkan jangka waktu pembayaran dibandingkan dengan besarnya nilai uang yang digunakan untuk jual beli barang jaminan. Semakin besar nilai transaksi penjualan, tentu semakin banyak waktu yang diperlukan pembeli barang jaminan untuk menyiapkan uang tersebut. b. Pembeli barang jaminan tidak melalui lelang hanya membayar sebesar nilai penjualan yang disetujui semua pihak (Penanggung Hutang, Penyerah Piutang, dan PUPN) dan tidak dikenakan pembayaran Biaya Pengurusan Piutang Negara 211 Administrasi Pengurusan Piutang Negara. Hasil transaksi tersebut, bila tidak melebihi sisa hutang Penanggung Hutang, akan digunakan seluruhnya sebagai bagian dari penyelesaian hutang Penanggung Hutang. Alokasi hasil penjualan tersebut adalah sebagai berikut: 1) 10/11 (sepuluh per sebelas) bagian akan diserahkan kepada Penyerah Piutang, dan 2) 1/11 (satu per sebelas) bagian akan disetorkan ke kas negara. Ketentuan ini didasarkan pada pemikiran bahwa pembeli barang jaminan tidak melalui lelang bukanlah pihak yang bertanggung-jawab untuk menyelesaikan hutang Penanggung Hutang sehingga tidak berkewajiban membayar Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara. Penebusan Barang Jaminan Dalam pendekatan non eksekusi, selain memberikan kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk melakukan penjualan barang jaminan tanpa melalui lelang, PUPN juga memberikan kesempatan kepada Penjamin Hutang untuk menebus barang jaminan miliknya. Hasil yang diperoleh dari penebusan tersebut digunakan sebagai bagian dalam penyelesaian kewajiban Penanggung Hutang. Keuntungan Penebusan Barang Jaminan Kesempatan untuk menebus barang jaminan miliknya merupakan bentuk jaminan hukum yang diberikan PUPN kepada Penjamin Hutang untuk menjadi prioritas yang mendapatkan kembali barang miliknya yang telah dijadikan barang jaminan hutang. Dengan penebusan, nilai barang jaminan dapat dipertahankan. Selain itu, adanya kesempatan Penjamin Hutang untuk menebus barang jaminan miliknya memberikan keuntungan nyata dalam pengurusan piutang negara, yaitu: 1. Percepatan perolehan hasil pengurusan piutang negara. Dengan adanya penebusan barang jaminan, terlebih bila penebusan tersebut dilakukan dengan nilai penebusan minimal sama dengan nilai pengikatan/pembebanan, pengurusan piutang negara dapat lebih cepat diselesaikan karena tidak perlu ada tahap penilaian dan lelang barang jaminan. 2. Efisiensi biaya pengurusan piutang negara. Dengan berkurangnya tahap pengurusan yang harus ditempuh karena adanya penebusan barang jaminan, tentunya biaya yang harus dikeluarkan dalam 212 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi pengurusan piutang negara juga dapat diminimalkan. Biaya yang dapat diminimalkan tersebut antara lain adalah biaya penilaian barang jaminan, dan biaya yang terkait dengan lelang seperti biaya pengumuman lelang. Syarat Penebusan Barang Jaminan Berdasarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pengurusan piutang negara yang berlaku1, penebusan barang jaminan hanya dapat dilakukan oleh Penjamin Hutang apabila telah terpenuhi hal-hal sebagai berikut: 1. Penebusan barang jaminan tidak dapat dilakukan oleh Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang yang menjamin seluruh hutang/kewajiban Penanggung Hutang. Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa keinginan Penanggung Hutang untuk menebus barang jaminan miliknya menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki uang/kemampuan yang seharusnya diprioritaskan untuk membayar hutangnya. Oleh karena itu, yang bersangkutan wajib menggunakan uang/kemampuannya tersebut untuk menyelesaikan hutangnya. Dan apabila setelah adanya pembayaran tetapi hutangnya belum lunas, barang jaminan milik yang bersangkutan tetap menjadi barang jaminan hutang. Dengan konsep ini, terlihat bahwa uang milik Penanggung Hutang digunakan untuk membayar hutangnya dan bukan untuk menebus barang jaminan miliknya. Selain itu, seperti yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, PUPN juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang yang tidak dijadikan sebagai barang jaminan. Dengan adanya kewenangan PUPN ini, maka dari sudut pandang Penanggung Hutang upaya penebusan barang jaminan miliknya merupakan suatu upaya yang siasia. Hal tersebut terjadi karena barang jaminan miliknya yang telah ditebus dari PUPN (apabila diperbolehkan, tentunya) akan serta merta disita kembali oleh PUPN apabila Penanggung Hutang masih memiliki sisa hutang yang masih harus diselesaikannya. Penjamin Hutang yang menjamin seluruh hutang Penanggung Hutang tidak diperbolehkan untuk menebus barang jaminan miliknya didasarkan pada pemikiran bahwa Penjamin Hutang seperti itu kedudukan hukumnya adalah sama dengan Penanggung Hutang sehingga kewajibannya juga sama dengan 1 Ketentuan tentang penebusan barang jaminan diatur dalam Pasal 286 – Pasal 299 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, dan Pasal 107 – Pasal 110 Keputusan Dirjen Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep-25/PL/2002. Pengurusan Piutang Negara 213 Penanggung Hutang. Dengan demikian, bila Penanggung Hutang tidak dapat menebus barang jaminan miliknya, maka Penjamin Hutang yang menjamin seluruh hutang Penanggung Hutang juga tidak dapat menebus barang jaminan miliknya. 2. Nilai penebusan yang diajukan paling sedikit sama dengan nilai pengikatan Hypotheek/Credietverband atau nilai pembebanan Hak Tanggungan. Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penjamin Hutang, berdasarkan perjanjian penjaminan, mempunyai kewajiban untuk ikut menyelesaikan kewajiban Penanggung Hutang sebesar yang diperjanjikan, yang dalam hal ini tercermin dari nilai pengikatan/pembebanan. Oleh karena itu, bila Penjamin Hutang berniat menebus barang jaminan miliknya, yang bersangkutan harus menebusnya dengan nilai yang diperjanjikan tersebut. 3. PUPN menyetujui penebusan tersebut. Dasar pemikiran persyaratan ini jelas bahwa PUPN yang berwenang melakukan pengurusan piutang negara harus memberikan persetujuan penebusan barang jaminan terlebih dahulu sebelum penebusan tersebut efektif. 4. Nilai penebusan yang diajukan di bawah nilai pengikatan/pembebanan dapat dilakukan, sepanjang: a. Nilai penebusan tersebut paling sedikit sama dengan nilai pasar barang yang akan ditebus, dan nilai pasar tersebut berdasarkan Laporan Penilaian yang masih berlaku berada di bawah nilai pengikatan/ pembebanan; Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa apabila barang jaminan yang akan ditebus tersebut dijual, harga optimal yang akan tercapai tentu tidak akan jauh lebih besar dari nilai pasar. Oleh karena itu, apabila Penjamin Hutang tidak diperkenankan untuk menebus barang miliknya sebesar nilai pasar, tentu yang bersangkutan akan berusaha mendapatkan kembali barang jaminan miliknya tersebut sebesar nilai pasar dengan cara pembelian baik melalui lelang maupun tidak melalui lelang. Dengan demikian, bila penjualan barang jaminan hanya akan memberikan hasil sebesar nilai pasar, adalah hal yang wajar bila sebelum penjualan terjadi Penjamin Hutang diperbolehkan untuk menebus barang jaminan miliknya sebesar nilai pasar. b. Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penebusan kepada PUPN. Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penyerah Piutang berdasarkan perjanjian penjaminan mempunyai hak tagih kepada 214 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi Penjamin Hutang sebesar nilai pengikatan/pembebanan yang melekat pada barang jaminan milik Penjamin Hutang. Bila Penjamin Hutang ingin melepaskan ikatan/pembebanan tersebut, tentunya yang bersangkutan harus membayar sebesar nilai yang diperjanjikan. Bila ingin membayar dengan nilai di bawah yang diperjanjikan, adalah hal yang wajar bila diperlukan adanya persetujuan dari Penyerah Piutang sebagai penerima Hypotheek/ Credietverband atau pemegang Hak Tanggungan. c. Penanggung Hutang menyetujui penebusan tersebut. Persyaratan ini didasarkan pada pemikiran bahwa ekspektasi Penanggung Hutang, bila situasi tidak berjalan sesuai yang diharapkan, sebagian hutang yang bersangkutan dapat diselesaikan sebesar nilai pengikatan/pembebanan, melalui penjualan atau penebusan barang jaminan yang ada. Agar ekspektasi tersebut terpenuhi, tentu Penanggung Hutang berharap agar penjualan atau penebusan barang jaminan benarbenar dilakukan dengan nilai paling sedikit sama dengan nilai pengikatan/pembebanan. Apabila penjualan atau penebusan barang jaminan dilakukan dengan nilai di bawah nilai pengikatan/pembebanan, nilai hutang Penanggung Hutang yang tidak tertutup barang jaminan menjadi bertambah, sehingga beban Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya dapat dikatakan “bertambah”. Oleh karena itu, bila Penjamin Hutang hendak menebus barang jaminan miliknya dengan nilai penebusan di bawah nilai pengikatan/pembebanan, adalah wajar untuk meminta persetujuan Penanggung Hutang. Proses Penebusan Barang Jaminan Penebusan barang jaminan oleh Penjamin Hutang yang memiliki barang jaminan tersebut dilakukan sebagai berikut: 1. tentang pengajuan permohonan penebusan barang jaminan: a. Penjamin Hutang mengajukan permohonan penebusan secara tertulis kepada PUPN. Surat permohonan tersebut juga dilengkapi dengan uraian barang yang akan ditebus, nilai penebusan, dan cara pembayaran. Prosedur ini diperlukan untuk kepentingan dokumentasi proses pengurusan piutang negara oleh PUPN. b. Bila Penjamin Hutang telah meninggal dunia, ahli warisnya dapat mengajukan permohonan penebusan. c. Permohonan penebusan dengan nilai sebesar nilai pengikatan/ pembebanan dapat diajukan pada setiap tahap pengurusan piutang negara, Pengurusan Piutang Negara 215 sedangkan permohonan penebusan dengan nilai di bawah nilai pengikatan/pembebanan hanya dapat dilakukan paling lambat 14 hari sebelum pelaksanaan lelang. 2. Tentang persetujuan penebusan barang jaminan: a. Persetujuan penebusan ditetapkan oleh PUPN, dengan ketentuan: § apabila nilai penebusan sama dengan nilai pengikatan/pembebanan persetujuan ditetapkan paling lama 7 hari sejak surat permohonan diterima PUPN; dan § apabila nilai penebusan di bawah nilai pengikatan/pembebanan persetujuan ditetapkan paling lama 2 bulan sejak surat permohonan diterima PUPN. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada PUPN dan Penyerah Piutang guna mengumpulkan bukti-bukti yang menguatkan persetujuan penebusan di bawah nilai pengikatan/pembebanan. Bukti yang paling utama adalah Laporan Penilaian yang masih berlaku. b. Jangka waktu pemberian persetujuan Penyerah Piutang atas penebusan barang jaminan dengan nilai di bawah nilai pengikatan/pembebanan diatur tidak boleh melebihi 15 hari sejak permintaan persetujuan diterima Penyerah Piutang. Apabila Penyerah Piutang tidak menyetujui nilai penebusan tersebut, Penyerah Piutang harus menyampaikan secara tertulis keberatan tersebut disertai dengan Laporan Penilaian yang masih berlaku. c. Sejak permohonan penebusan diterima sampai terbitnya keputusan, PUPN tidak melakukan tindakan hukum pengurusan piutang negara yang terkait dengan barang jaminan yang akan ditebus tersebut. Hal ini diatur untuk memberikan kepastian hukum kepada Penjamin Hutang dalam menyelesaikan hak dan kewajibannya. 3. Tentang pembayaran: a. Pembayaran penebusan barang jaminan dengan nilai sampai dengan 1 milyar rupiah, hanya dapat dilakukan secara tunai paling lama 2 bulan sejak tanggal surat persetujuan penebusan. Sedangkan pembayaran penebusan barang jaminan dengan nilai lebih dari 1 milyar rupiah, dapat dilakukan secara angsuran pro rata dengan jangka waktu paling lama 6 bulan sejak tanggal surat persetujuan penebusan. Ketentuan ini dirumuskan dengan mempertimbangkan jangka waktu pembayaran dibandingkan dengan besarnya nilai uang yang digunakan untuk menebus barang jaminan. Semakin besar nilai penebusan, tentu semakin banyak waktu yang diperlukan untuk ketersediaan uang tersebut. 216 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi b. Penjamin Hutang selain membayar sebesar nilai penebusan yang disetujui PUPN, juga membayar Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara sebesar 10% dari nilai yang disetujui tersebut. Ketentuan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penjamin Hutang, sama dengan Penanggung Hutang merupakan pihak yang bertanggung-jawab menyelesaikan pengurusan piutang negara dan yang berkewajiban membayar Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara. Pemberian Keringanan Penyelesaian Hutang Di depan telah diuraikan dua kebijakan dalam pengurusan piutang negara yang dapat dilakukan oleh PUPN. Keduanya merupakan bagian dari pendekatan non eksekusi yang terkait dengan barang jaminan. Selain itu, terdapat satu kebijakan lagi dalam pengurusan piutang negara yang termasuk dalam pendekatan non eksekusi, namun tidak semata-mata terkait dengan barang jaminan. Kebijakan tersebut adalah pemberian keringanan penyelesaian hutang. Kebijakan untuk memberikan keringanan penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang didasarkan pada pemikiran bahwa dengan diberikan keringanan yang bersangkutan dapat menyelesaikan hutangnya lebih optimal dan lebih cepat bila dibandingkan dengan cara penyelesaian hutang lainnya. Cara penyelesaian lainnya di sini adalah penyelesaian dengan pendekatan eksekusi dalam pengurusan piutang negara. Selain itu, kewenangan untuk memberikan keringanan hutang perlu dimiliki oleh DJPLN agar tercipta keseimbangan kewenangan dengan Penyerah Piutang. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat Penyerah Piutang yang secara legal memiliki kewenangan untuk memberikan keringanan. Bila DJPLN tidak memiliki kewenangan yang sama, maka kewenangan Penyerah Piutang tersebut tidak akan pernah bisa digunakan untuk memberikan keringanan kepada Penanggung Hutang yang penagihan hutangnya telah diurus oleh PUPN/DJPLN. Penyerah Piutang yang memiliki kewenangan untuk memberikan keringanan penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang adalah Perbankan BUMN/BUMD. Kewenangan tersebut diberikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham dan tertuang di dalam Anggaran Dasar pendirian perusahaan. Selain itu, kewenangan untuk memberikan keringanan penyelesaian hutang juga telah diatur oleh Bank Indonesia sebagai institusi yang berwenang mengatur dan mengawasi perbankan. Pengaturan oleh Bank Indonesia tersebut ada dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Pengurusan Piutang Negara 217 (dahulu diatur dengan Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/Kep/Dir Tanggal 12 November 1998 Tentang Restrukturisasi Kredit sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/ 15 /PBI/2000 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/Kep/Dir Tanggal 12 November 1998 Tentang Restrukturisasi Kredit). Jenis Keringanan Penyelesaian Hutang Di dalam petunjuk pelaksanaan pengurusan piutang negara2 telah diatur bahwa bila memenuhi syarat, kepada Penanggung Hutang dapat diberikan keringanan penyelesaian hutang. Jenis keringanan yang dapat diberikan adalah: 1. Keringanan jangka waktu penyelesaian hutang. Dengan keringanan ini Penanggung Hutang diberi kesempatan untuk menyelesaikan hutangnya dalam jangka waktu lebih lama dari 12 bulan, jangka waktu maksimal yang diperkenankan diberikan kepada Penanggung Hutang dalam Pernyataan Bersama3. Kebijakan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penanggung Hutang yang memenuhi syarat akan dapat menyelesaikan seluruh hutangnya bila diberikan perpanjangan jangka waktu. 2. Keringanan jumlah hutang. Dengan jenis keringanan ini Penanggung Hutang diberi insentif pengurangan hutang bunga, beban, dan ongkos-ongkos. Kebijakan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penanggung Hutang akan dapat menyelesaikan sebagian hutangnya dalam jangka waktu maksimal yang diperkenankan diberikan kepada Penanggung Hutang dalam Pernyataan Bersama bila yang bersangkutan diberi diberi insentif berupa pengurangan jumlah hutang bunga, denda, dan ongkos-ongkos. 3. Keringanan jumlah hutang sekaligus jangka waktu penyelesaian hutang. Dengan jenis keringanan ini Penanggung Hutang yang memenuhi syarat diberikan insentif berupa pengurangan jumlah hutang bunga, denda, dan ongkos-ongkos, serta perpanjangan jangka waktu penyelesaian hutang. Kebijakan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Penanggung Hutang akan 2 Ketentuan tentang Keringanan Penyelesaian Hutang diatur dalam Pasal 59 – Pasal 81 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, dan Pasal 6 – Pasal 30 Keputusan Dirjen Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep-25/PL/2002. 3 Uraian lengkap tentang Pernyataan Bersama dapat dilihat pada Bab 6 218 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi dapat menyelesaikan sebagian hutangnya bila yang bersangkutan diberi diberi insentif berupa pengurangan jumlah hutang bunga, denda, dan ongkosongkos serta perpanjangan jangka waktu. Kewenangan untuk Memberikan Keringanan Penyelesaian Hutang Di dalam petunjuk pelaksanaan pengurusan piutang negara4 telah diatur bahwa kepada Penanggung Hutang dapat diberikan keringanan penyelesaian hutang. Pihak yang memiliki kewenangan untuk memberikan keringanan tersebut bukanlah PUPN melainkan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN)5. Kewenangan untuk memberikan keringanan penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang tersebut merupakan pelaksanaan kebijakan Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Oleh karena itu, untuk melaksanakan kebijakan tersebut, Menteri Keuangan memberikan kewenangan kepada DJPLN yang salah satu tugas pokok adalah melaksanakan kebijakan Menteri Keuangan. Kewenangan yang dimiliki DJPLN untuk memberikan keringanan penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang didelegasikan kepada Kantor Wilayah DJPLN dan Kantor Pelayanan dengan arestasi kewenangan yang didasarkan pada jumlah pokok hutang/kredit Penanggung Hutang. Di dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, telah diatur bahwa arestasi kewenangan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara berwenang untuk: a. menyetujui permohonan keringanan hutang, dalam hal pokok kredit paling banyak Rp.1.000.000.000,00, berupa keringanan hutang: § bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100%; § jangka waktu paling lama 3 tahun; atau § bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% sekaligus jangka waktu paling lama 3 tahun; b. menolak permohonan keringanan hutang; atau c. memberikan pertimbangan kepada Kepala Kantor Wilayah agar permohonan keringanan hutang dapat disetujui. 4 5 Ketentuan tentang Keringanan Penyelesaian Hutang diatur dalam Pasal 59 – Pasal 81 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, dan Pasal 6 – Pasal 30 Keputusan Dirjen Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep-25/PL/2002. Uraian lengkap tentang PUPN dan DJPLN dapat dilihat pada Bab 4. Pengurusan Piutang Negara 219 2. Kepala Kantor Wilayah DJPLN berwenang untuk: a. menyetujui permohonan keringanan hutang, dalam hal pokok kredit lebih dari Rp.1.000.000.000,00, atau pokok kredit dalam satuan mata uang asing, berupa keringanan hutang: § bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100%; § jangka waktu paling lama 5 tahun untuk pokok kredit paling banyak Rp.5.000.000.000,00; § jangka waktu paling lama 7 tahun untuk pokok kredit lebih dari Rp.5.000.000.000,00; § bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% sekaligus jangka waktu paling lama 5 tahun untuk pokok kredit paling banyak Rp.5.000.000.000,00; atau § bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% sekaligus jangka waktu paling lama 7 tahun untuk pokok kredit lebih dari Rp.5.000.000.000,00; atau b. menolak permohonan keringanan hutang. Permohonan Keringanan Penyelesaian Hutang Penanggung Hutang dapat mengajukan permohonan keringanan penyelesaian hutang kepada Kepala Kantor Pelayanan. Permohonan tersebut harus dilakukan secara tertulis dengan disertai proposal penyelesaian hutang berikut alasan-alasan dimintanya keringanan hutang. Ketentuan permohonan secara tertulis dirumuskan untuk keperluan dokumentasi Kantor Pelayanan, sedangkan proposal dan alasan permohonan keringanan dimaksudkan untuk: § mengetahui itikad, kemampuan, dan upaya Penanggung Hutang dalam menyelesaikan hutangnya, dan § mengetahui penyebab Penanggung Hutang tidak mampu menyelesaikan seluruh hutangnya tepat waktu sehingga yang bersangkutan mengajukan permohonan untuk diberikan keringanan. Permohonan keringanan hutang tersebut di atas harus sudah diajukan oleh Penanggung Hutang sebelum terbitnya pengumuman lelang barang jaminan. Apabila lelang pernah dilaksanakan, namun Penanggung Hutang masih memiliki sisa hutang dan sisa barang jaminan, Penanggung Hutang dapat mengajukan permohonan keringanan sebelum terbitnya pengumuman lelang ulang. Agar permohonan Penanggung Hutang dapat segera ditindaklanjuti Kantor Pelayanan, permohonan tersebut harus dilengkapi dokumen-dokumen 220 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi yang diperlukan. Bila usaha Penanggung Hutang masih berjalan, permohonan harus dilengkapi dengan dua dokumen berikut: 1. Laporan Keuangan sekurang-kurangnya 2 tahun terakhir, untuk Penanggung Hutang dengan pokok hutang/kredit paling banyak Rp.5.000.000.000,00, atau sekurang-kurangnya 3 tahun terakhir, untuk Penanggung Hutang dengan pokok hutang/kredit lebih dari Rp.5.000.000.000,00. Bila pokok hutang/kredit lebih dari Rp.1.000.000.000,00, Laporan Keuangan tersebut harus sudah diaudit oleh Akuntan Publik. 2. Rencana kegiatan usaha (business plan) yang akan berlaku sejak permohonan diajukan sampai dengan saat akhir jangka waktu keringanan yang diminta. Bila pokok hutang/kredit lebih dari Rp.5.000.000.000,00, rencana kegiatan usaha yang disampaikan harus berupa proyeksi laporan keuangan yang dibuat oleh perusahaan jasa konsultan keuangan. Ketentuan tentang dokumen tersebut dirumuskan untuk menjamin bahwa permohonan keringanan yang diajukan oleh Penanggung Hutang didasarkan pada historis usaha yang bersangkutan dengan data yang cukup dan yang telah diperiksa kebenaran penyusunannya. Selain itu, permohonan tersebut juga didasarkan pada prediksi kelayakan usaha di masa depan yang penyusunannya juga dapat dipertanggung-jawabkan. Bila usaha Penanggung Hutang sudah tidak ada, permohonan harus dilengkapi dengan 3 informasi berikut: 1. latar belakang permohonan keringanan penyelesaian hutang, yang diperlukan untuk mengetahui penyebab Penanggung Hutang tidak dapat menyelesaikan hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan dan penyebab yang bersangkutan mengajukan permohonan keringanan; 2. rencana pelunasan hutang, yang diperlukan untuk mengetahui tingkat keseriusan Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya dan jadwal serta metode riil yang akan ditempuh dalam penyelesaian hutang yang bersangkutan; 3. sumber dana pelunasan hutang, yang diperlukan untuk mengetahui sumbersumber yang digunakan Penanggung Hutang dalam menyelesaikan hutangnya mengingat usaha yang bersangkutan sudah tidak ada dan diperkirakan yang bersangkutan tidak akan mampu menyelesaikan hutangnya bila tidak menggunakan sumber dana lainnya. Analisis Atas Permohonan Keringanan Penyelesaian Hutang Pengurusan Piutang Negara 221 Permohonan keringanan yang diajukan Penanggung Hutang ditindaklanjuti Kantor Pelayanan dengan melakukan analisis yang akan digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Analisis tersebut umumnya dapat dibedakan menjadi 2 jenis analisis berdasarkan keadaan usaha Penanggung Hutang. 1. Analisis atas permohonan keringanan yang diajukan Penanggung Hutang dengan usaha yang masih berjalan. Bila usaha Penanggung Hutang masih berjalan, terdapat 5 materi pokok yang dianalisis, yaitu latar belakang pengajuan permohonan, itikad Penanggung Hutang, kemampuan/usaha Penanggung Hutang, nilai dan daya laku barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang, dan usul rencana pelunasan hutang. a. Latar belakang pengajuan permohonan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang kemacetan pembayaran hutang seperti adanya kebijakan umum pemerintah, keadaan perekonomian secara umum yang tidak kondusif, atau sebab-sebab lainnya. Sebab-sebab lain di sini dapat berupa kegagalan manjemen usaha Penanggung Hutang, atau bahkan karena kenakalan para Penanggung Hutang itu sendiri. Dasar dari pemikiran ketentuan ini adalah bahwa keringanan penyelesaian hutang hanya akan diberikan kepada Penanggung Hutang yang nakal, yang sengaja menjadikan hutangnya macet. Salah satu contoh kebijakan pemerintah yang menjadi penyebab kemacetan pembayaran hutang adalah larangan ekspor rotan asalan/mentah (rotan yang belum diolah, yang belum memiliki nilai tambah). Kebijakan ini menyebabkan matinya usaha Penanggung Hutang yang berupa eksportir rotan mentah. Hal ini tentunya bukan menjadi kemauan Penanggung Hutang seperti itu, sehingga tentu kepada yang bersangkutan harus diberikan pertimbangan yang lebih dalam menganalisis permohonannya. Salah satu contoh keadaan perekonomian secara umum yang tidak kondusif bagi usaha penyelesaian hutang Penanggung hutang adalah krisis keuangan yang menjadi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia mulai pertengahan tahun 1997 yang dampaknya masih dirasakan sampai saat ini. Situasi perekonomian secara umum seperti ini menjadi penyebab terjadinya kemunduran usaha para Penanggung Hutang. Keadaan seperti ini juga bukanlah kemauan mereka, sehingga kepada merekapun perlu 222 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi diberikan pertimbangan lain dalam menganalisis permohonan yang bersangkutan. Selain latar belakang kemacetan pembayaran hutang, analisis ini juga digunakan untuk mengetahui latar belakang diajukannya permohonan keringanan penyelesaian hutang. Permohonan keringanan tesebut tentu didasarkan pada pemikiran bahwa yang bersangkutan hanya akan dapat menyelesaikan hutangnya (baik seluruhnya maupun sebagian) apabila diberi tambahan jangka waktu penyelesaian, diberi pengurangan jumlah hutang, atau diberi pengurangan jumlah hutang sekaligus penambahan jangka waktu penyelesaian. Namun demikian, Kantor Pelayanan tetap harus melakukan analisis untuk memastikan bahwa apabila kepada Penanggung Hutang diberikan keringanan, yang bersangkutan secara nyata dapat menyelesaikan hutangnya sesuai yang dimohon. Untuk itu, Kantor Pelayanan perlu mengetahui latar belakang yang melandasi perkembangan kemampuan si pemohon keringanan dalam menyelesaikan hutangnya. Latar belakang tersebut dapat berupa prediksi peningkatan usaha, peningkatan efisiensi, atau sebab-sebab lain yang memberikan pengaruh yang siginifikan terhadap kemajuan usaha Penanggung Hutang dalam menyelesaikan hutangnya. b. Itikad Penanggung Hutang. Analisis ini dilakukan untuk menilai kesungguhan Penanggung Hutang dalam menyelesaikan hutangnya. Kantor Pelayanan tentunya tidak ingin memberikan keringanan kepada para Penanggung Hutang yang tidak mempunyai kesungguhan menyelesaikan hutangnya. Perlu diingat bahwa terdapat kemungkinan Penanggung Hutang mengajukan permohonan keringanan hanya untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian sehingga pengurusan piutang negara tidak segera ditingkatkan ke arah penyitaan dan lelang barang jaminan. Materi yang dianalisis terkait dengan itikad Penanggung Hutang adalah tingkat keaktifan yang bersangkutan dalam melakukan angsuran secara proporsional dengan hutangnya. Yang diperhitungkan di dalam analisis ini adalah jumlah/besaran angsuran yang sudah diselesaikan relatif terhadap jumlah hutang secara keseluruhan. Misalnya, jumlah hutang adalah Rp.1.000.000.000,00, dan Penanggung Hutang selama 1 tahun rajin mengangsur hutangnya sebesar Rp.50.000,00 per bulan. Angsuran tersebut tentu tidak proporsional dengan jumlah hutang secara keseluruhan, sehingga Penanggung Hutang seperti ini belum dapat Pengurusan Piutang Negara 223 dikatakan sebagai Penanggung Hutang yang mempunyai kesungguhan untuk menyelesaikan hutangnya. Selain tingkat keaktifan membayar hutang, itikad Penanggung Hutang juga dapat dianalisis dengan memperhatikan kemauan yang bersangkutan untuk bekerja sama dalam upaya menyelesaikan hutangnya. Sifat kooperatif tersebut umumnya diperlihatkan Penanggung Hutang dengan: § berinisiatif atau secara aktif berusaha menyelesaikan hutangnya, misalnya dengan mau menjual barang jaminan dan/atau harta kekayaan miliknya tidak melalui lelang; § melakukan pengungkapan secara transparan (full disclosure) mengenai keadaan dan kondisi perusahaan dan/atau diri Penanggung Hutang; serta § mempunyai rencana penyelesaian hutang yang realistis. c. Kemampuan/usaha Penanggung Hutang. Analisis tentang kemampuan Penanggung Hutang dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan usaha yang bersangkutan, dan hasil penjualan aset Penanggung Hutang yang tidak terkait kegiatan usaha (non core asset), dan/atau kemungkinan pencarian sumber-sumber pelunasan hutang lainnya. Contoh non core aset adalah sebuah rumah yang dimiliki oleh perusahaan farmasi yang dijadikan tempat kos dan disewa oleh pihak ketiga (misalnya para mahasiswa). Analisis tentang usaha Penanggung Hutang dilakukan dengan mengkaji hal-hal sebagai berikut: § kemampuan produksi, pemasaran produk, persaingan usaha, prospek usaha, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha Penanggung Hutang; § data keuangan historis, yang meliputi identifikasi perubahan dari tahun ke tahun dan penyebabnya, dan ikhtisar atas laporan keuangan yang terdahulu. § aspek persaingan dan makro ekonomi yang terkait dengan usaha Penanggung Hutang, seperti kondisi dan prospek sektor industri, pasar produk atau jasa yang dihasilkan, upaya yang telah dan akan dilakukan oleh Penanggung Hutang untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing, serta identifikasi keunggulan kompetitif usaha Penanggung Hutang. 224 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan usaha dari waktu ke waktu, dari beberapa periode laporan keuangan sebelum diajukannya permohonan sampai pada periode penyelesaian hutang. d. Nilai dan daya laku barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang. Analisis tentang nilai barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dilakukan dengan mengkaji hasil penilaian yang dilakukan oleh Penilai Internal DJPLN atau Penilai Eksternal. Analisis tentang daya laku barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dilakukan dengan mengkaji potensi kemudahan untuk menjual barang-barang tersebut. Daya laku tersebut dapat diketahui dari: § data/informasi yang menunjukkan bahwa barang belum pernah dijual (baik melalui lelang maupun tidak melalui lelang) atau telah pernah dijual tetapi tidak laku; § ada atau tidak permasalahan hukum yang terkait dengan barang tersebut; § kondisi fisik/letaknya yang menyebabkan barang menjadi mudah atau sulit terjual. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui potensi hasil yang akan diperoleh bila PUPN menggunakan pendekatan eksekusi barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang. Potensi hasil tersebut diperlukan sebagai pembanding atas hasil yang akan diperoleh bila Penanggung Hutang membayar hutangnya setelah yang bersangkutan diberi keringanan. Bila hasil lelang barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain lebih besar dari pada pembayaran yang dilakukan Penanggung Hutang pasca keringanan, dan hasil lelang dapat diperoleh dalam rentang waktu yang relatif sama dengan rentang waktu yang diberikan sebagai keringanan, tentu alternatif eksekusi barang jaminan yang akan dipilih. Oleh karena itu, dengan hasil analisis seperti itu, maka permohonan keringanan Penanggung Hutang tidak dapat disetujui, kecuali apabila yang bersangkutan bersedia meningkatkan pembayarannya. e. Usul rencana pelunasan hutang. Dalam hal permohonan keringanan diajukan Penanggung Hutang tentu terdapat rencana pelunasan sisa hutang bila keringanan tesebut jadi Pengurusan Piutang Negara § 225 diberikan. Rencana pelunasan tersebut harus dianalisis untuk diketahui kelayakannya. Hal-hal yang dikaji adalah: § Asumsi-asumsi yang digunakan dalam proyeksi laporan arus kas, untuk mengetahui apakah proyeksi arus kas disusun dengan menggunakan asumsi yang dapat dipertanggung jawabkan atau tidak. Misalkan tingkat pertumbuhan penjualan perusahaan diasumsikan sebesar 25% per tahun selama 5 tahun, sedangkan asumsi pertumbuhan ekonomi secara umum adalah 5% per tahun yang mungkin akan berubah-ubah tiap tahunnya. Hal ini merupakan indikasi bahwa asumsi yang digunakan dalam menyusun proyeksi laporan perubahan arus kas bersifat sangat optimis, yang akan menyebabkan angka-angka proyeksi menjadi sangat bias bila ternyata perekonomian secara umum berkembang hanya sebesar 5% per tahun. Kajian tentang asumsi ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: ü pembuatan daftar asumsi yang digunakan dalam penyusunan angka-angka proyeksi; ü pembuatan komentar atas asumsi-asumsi tersebut berdasarkan penelaahan terhadap latar belakang permohonan keringanan hutang dan kegiatan usaha Penanggung Hutang; ü perbaikan asumsi apabila diperlukan. Proyeksi arus kas, untuk mengetahui perkembangan arus kas yang akan dihadapi Penanggung Hutang selama periode penyelesaian hutang. Analisis ini ditujukan untuk mengetahui apakah arus kas yang akan dihadapi Penanggung Hutang dapat mendukung upaya penyelesaian hutang tanpa mengganggu kegiatan usaha yang bersangkutan. Kajian tentang proyeksi arus kas ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: ü rekonstruksi proyeksi arus kas dengan menggunakan asumsiasumsi yang telah diperbaiki; ü pelaksanaan analisis sensitivitas, dengan cara membuat beberapa proyeksi arus kas dengan menggunakan beberapa asumsi yang berbeda; ü identifikasi proyeksi arus kas berdasarkan asumsi-asumsi bisnis yang rasional; ü pengkajian proyeksi arus kas yang dikaitkan dengan keringanan yang dimohonkan, misalnya proyeksi arus kas yang dikaitkan dengan keringanan jangka waktu penyelesaian hutang atau keringanan jumlah hutang sekaligus keringanan jangka waktu. 226 § Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi Penyusunan dan pengkajian alternatif keringanan yang akan diberikan kepada Penanggung Hutang. Kegiatan ini diperlukan untuk mencari alternatif jenis keringanan dan besaran keringanan yang dapat diberikan kepada Penanggung Hutang dengan tingkat pengembalian yang paling maksimal dan jangka waktu pengembalian yang paling minimal. Penyusunan dan pengkajian alternatif keringanan tersebut di atas dilakukan dengan cara berikut ini. ü Penyusunan sekurang-kurangnya 2 alternatif keringanan dengan menggunakan proyeksi arus kas yang telah diperbaiki sesuai asumsi-asumsi bisnis yang rasional. Penyusunan minimal 2 alternatif keringanan tersebut ditujukan untuk mencari kebijakan keringanan yang akan diberikan dengan prediksi tingkat pengembalian piutang yang paling optimal dan dalam waktu yang relatif paling cepat, tanpa mengganggu usaha Penanggung Hutang. ü Penghitungan nilai sekarang neto (net present value) total angsuran dari masing-masing alternatif proyeksi arus kas. Tingkat suku bunga (discount factor) yang digunakan dalam perhitungan net present value tersebut, yang diatur6 saat ini adalah tingkat suku bunga simpanan yang berlaku pada Penyerah Piutang saat perhitungan dilakukan. Perhitungan net present value tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut: i. menghitung present value tiap angsuran dengan rumus7: PV= Xn 1 1+k n PV: adalah present value dari angsuran bulan ke n Xn: adalah angsuran bulan ke n k: adalah tingkat suku bunga (discount factor) n: adalah jarak waktu pembayaran angsuran dari pertama 6 7 pembayaran Pasal 15 ayat (2) Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep25/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara. James C. Van Horne (1989) hlm. 58. 227 Pengurusan Piutang Negara ii. menghitung net present value dengan cara menjumlahkan seluruh present value tiap-tiap angsuran. Berikut adalah contoh perhitungan net present value total angsuran yang dibandingkan dengan nilai barang jaminan (yang tidak menutup jumlah hutang). Sisa Hutang Pokok Rp.920.000.000,00, sisa Hutang BDO Rp.125.000.000,00 Tingkat bunga: 9% per tahun = 0,75% per bulan Nilai Barang jaminan: Rp.750.000.000,00 Bulan ke Angsuran Present Value Bulan ke Angsuran Present Value 0 45.000.000,00 45.000.000,00 18 25.000.000,00 21.853.903,55 1 25.000.000,00 24.813.895,78 19 25.000.000,00 21.691.219,40 2 25.000.000,00 24.629.176,95 20 25.000.000,00 21.529.746,31 3 25.000.000,00 24.445.833,21 21 25.000.000,00 21.369.475,24 4 25.000.000,00 24.263.854,30 22 25.000.000,00 21.210.397,26 5 25.000.000,00 24.083.230,07 23 25.000.000,00 21.052.503,49 6 25.000.000,00 23.903.950,44 24 25.000.000,00 20.895.785,10 7 25.000.000,00 23.726.005,40 25 25.000.000,00 20.740.233,35 8 25.000.000,00 23.549.385,02 26 25.000.000,00 20.585.839,55 9 25.000.000,00 23.374.079,42 27 25.000.000,00 20.432.595,09 10 25.000.000,00 23.200.078,83 28 25.000.000,00 20.280.491,40 11 25.000.000,00 23.027.373,53 29 25.000.000,00 20.129.520,00 12 25.000.000,00 22.855.953,87 30 25.000.000,00 19.979.672,46 13 25.000.000,00 22.685.810,30 31 25.000.000,00 19.830.940,41 14 25.000.000,00 22.516.933,30 32 25.000.000,00 19.683.315,54 15 25.000.000,00 22.349.313,45 33 25.000.000,00 19.536.789,62 16 25.000.000,00 22.182.941,39 34 25.000.000,00 19.391.354,46 17 25.000.000,00 22.017.807,83 35 25.000.000,00 19.247.001,95 Jumlah 470.000.000,00 442.625.623,08 Jumlah 450.000.000,00 369.440.784,19 228 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi Total 920.000.000,00 Net Present Value 812.066.407,27 Ket: Angsuran bulan ke-0 adalah angsuran pertama yang dilakukan dan biasanya disyaratkan untuk segera dilakukan pada saat keringanan disetujui. Angsuran bulan ke-1 adalah angsuran kedua yang dilakukan 1 bulan setelah tanggal persetujuan keringanan Dari contoh di atas diketahui bahwa Penanggung Hutang dengan mengangsur tiap bulan selama 3 tahun akan dapat melunasi hutang pokok. Net Present Value dari seluruh angsuran tersebut adalah sebesar Rp.806.356.235,50, angka yang masih lebih besar dari nilai barang jaminan. Dengan situasi ini, Penanggung Hutang dapat diberikan keringanan berupa pengurangan 100% hutang BDO dan jangka waktu peyelesaian hutang sampai dengan 3 tahun. Analisis yang dilakukan Kantor Pelayanan juga dilakukan terhadap aset/kekayaan Penanggung Hutang yang tidak terkait dengan usaha yang bersangkutan. Analisis ini digunakan untuk mengetahui nilai dan daya laku aset tersebut yang hasil penjualannya akan digunakan sebagai bagian dalam penyelesaian hutang. Penjualan asset yang tidak terkait dengan usaha Penanggung Hutang tersebut merupakan salah satu persyaratan persetujuan pemberian keringanan hutang kepada Penanggung Hutang yang usahanya masih berjalan. 2. Analisis atas permohonan keringanan yang diajukan Penanggung Hutang dengan kegiatan usaha yang sudah tidak berjalan atau tidak ada usaha sama sekali. Bila usaha Penanggung Hutang sudah tidak berjalan atau sudah tidak ada sama sekali, terdapat 5 materi pokok yang dianalisis, yaitu latar belakang pengajuan permohonan, itikad Penanggung Hutang, nilai dan daya laku barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang, rencana dan sumber pelunasan hutang; dan aspek-aspek lainnya. a. Analisis tentang latar belakang pengajuan permohonan, itikad Penanggung Hutang, serta nilai dan daya laku barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang adalah sama dengan analisis serupa yang dilakukan atas permohonan keringanan yang diajukan Penanggung Hutang dengan kegiatan usaha yang masih berjalan. Pengurusan Piutang Negara 229 b. Analisis tentang rencana dan sumber pelunasan hutang dilakukan untuk mengetahui kemampuan, cara pembayaran yang akan ditempuh, dan sumber-sumber dana yang digunakan oleh Penanggung Hutang dalam menyelesaikan hutangnya. Hasil analisis atas ketiga hal tersebut akan bermuara pada penentuan berapa besar jumlah hutang yang akan didiskon. c. Aspek-aspek lainnya yang dapat dianalisis adalah aspek buruh/tenaga kerja, masalah perizinan, permasalahan hukum, atau permasalahan sosial lainnya. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu juga dianalisis, mengingat untuk menyelesaikannya diperlukan sumber daya (baik waktu, tenaga, maupun biaya) yang tidak kecil. Sumber daya yang akan terbuang dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, berpotensi mengurangi kemampuan Penanggung Hutang dalam menyelesaikan hutangnya. Oleh karena itu, hasil analisis tentang hal ini juga bermuara pada besaran diskon yang akan diberikan kepada Penanggung Hutang. Keputusan atas Permohonan Keringanan Penyelesaian Hutang Hasil analisis yang dilakukan Kantor Pelayanan digunakan sebagai dasar oleh Kepala Kantor Pelayanan atau Kepala Kantor Wilayah untuk menetapkan keputusan atas permohonan keringanan penyelesaian hutang. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, terdapat 3 jenis keringanan yang dapat diputuskan untuk diberikan kepada Penanggung Hutang, yaitu keringanan jangka waktu penyelesaian hutang, keringanan jumlah hutang, atau keringanan jumlah hutang sekaligus jangka waktu penyelesaian hutang. 1. Keringanan jangka waktu penyelesaian hutang. Keputusan untuk memberikan keringanan jenis ini hanya dapat diberikan bila hasil analisis membuktikan bahwa: a. Laporan keuangan dan rencana kegiatan usaha Penanggung Hutang mendukung penyelesaian seluruh hutang secara bertahap, paling lama: 1) tiga tahun bila pokok hutang/kredit paling banyak sebesar Rp.1.000.000.000,00; 2) lima tahun bila pokok hutang/kredit paling banyak sebesar Rp.5.000.000.000,00; 3) tujuh tahun bila pokok hutang/kredit lebih besar dari Rp.5.000.000.000,00. 230 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi b. Nilai barang jaminan tidak dapat menutup jumlah hutang, atau bila nilai barang jaminan dapat menutup jumlah hutang tetapi daya laku barang jaminan tersebut sangatlah rendah. 2. Keringanan jumlah hutang. Keputusan untuk memberikan keringanan jenis ini hanya dapat diberikan bila hasil analisis membuktikan bahwa: a. Penanggung Hutang menggunakan sumber-sumber lain dalam penyelesaian hutang, misalnya menggunakan dana bantuan keluarga besar yang bersangkutan, atau menggunakan hasil usaha lainnya; b. Laporan keuangan dan rencana kegiatan usaha Penanggung Hutang tidak mendukung penyelesaian hutang secara bertahap, misalnya: § Penanggung Hutang memiliki sisa hutang pokok sebesar Rp.1.000.000.000,00 dan hutang bunga, denda, dan/atau ongkosongkos (hutang BDO) sebesar Rp.400.000.000,00. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang bersangkutan dalam jangka waktu 3 tahun hanya sanggup melakukan pembayaran kurang dari Rp.1.000.000.000,00, sehingga dalam jangka waktu yang maksimal diperkenankan, Penanggung Hutang tidak dapat melunasi pokok hutang/kredit. Dengan demikian, kepada yang bersangkutan hanya dapat diberikan keringanan jumlah hutang (maksimal sebesar 100% hutang BDO) dan tidak diberikan keringanan jangka waktu penyelesaian hutang. Oleh karena itu, bila keringanan jadi ditetapkan, maka Penanggung Hutang wajib melunasi sisa hutangnya pasca keringanan secara tunai dalam jangka waktu paling lama 2 bulan. § Penanggung Hutang memiliki sisa hutang pokok sebesar Rp.5.000.000.000,00 dan sisa hutang BDO sebesar Rp.2.000.000.000,00. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang bersangkutan dalam jangka waktu 5 tahun hanya sanggup melakukan pembayaran kurang dari Rp.5.000.000.000,00, sehingga dalam jangka waktu yang maksimal diperkenankan, Penanggung Hutang tidak dapat melunasi pokok hutang/kredit. Dengan demikian, kepada yang bersangkutan hanya dapat diberikan keringanan jumlah hutang (maksimal sebesar 100% hutang BDO) dan tidak diberikan keringanan jangka waktu penyelesaian hutang. Oleh karena itu, bila keringanan jadi ditetapkan, maka Penanggung Hutang wajib melunasi sisa hutangnya pasca keringanan secara tunai dalam jangka waktu paling lama 2 bulan. Pengurusan Piutang Negara § 231 Penanggung Hutang memiliki sisa hutang pokok sebesar Rp.10.000.000.000,00 dan sisa hutang BDO sebesar Rp.4.000.000.000,00. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang bersangkutan dalam jangka waktu 7 tahun hanya sanggup melakukan pembayaran kurang dari Rp.10.000.000.000,00, sehingga dalam jangka waktu yang maksimal diperkenankan, Penanggung Hutang tidak dapat melunasi pokok hutang/kredit. Dengan demikian, kepada yang bersangkutan hanya dapat diberikan keringanan jumlah hutang (maksimal sebesar 100% hutang BDO) dan tidak diberikan keringanan jangka waktu penyelesaian hutang. Oleh karena itu, bila keringanan jadi ditetapkan, maka Penanggung Hutang wajib melunasi sisa hutangnya pasca keringanan secara tunai dalam jangka waktu paling lama 2 bulan. c. Nilai barang jaminan tidak dapat menutup jumlah hutang, atau bila nilai barang jaminan dapat menutup jumlah hutang tetapi daya laku barang jaminan tersebut sangatlah rendah. 3. Keringanan jumlah hutang sekaligus jangka waktu penyelesaian hutang. Keputusan untuk memberikan keringanan jenis ini hanya dapat diberikan bila hasil analisis membuktikan bahwa: a. Laporan keuangan dan rencana kegiatan usaha Penanggung Hutang hanya mendukung penyelesaian sebagian hutang secara bertahap, misalnya: § Penanggung Hutang memiliki sisa hutang pokok sebesar Rp.1.000.000.000,00 dan hutang BDO sebesar Rp.400.000.000,00. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang bersangkutan dapat melakukan pembayaran angsuran hutang sebesar Rp.1.100.000.000,00 dalam jangka waktu 3 tahun, maka kepada yang bersangkutan dapat diberikan keringanan jumlah hutang BDO sebesar Rp.300.000.000,00 (atau setara dengan 75% hutang BDO) dan diberikan juga keringanan jangka waktu penyelesaian hutang selama 3 tahun. § Penanggung Hutang memiliki sisa hutang pokok sebesar Rp.5.000.000.000,00 dan sisa hutang BDO sebesar Rp.2.000.000.000,00. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang bersangkutan dapat melakukan pembayaran angsuran hutang sebesar Rp.6.200.000.000,00 dalam jangka waktu 5 tahun, maka kepada yang bersangkutan dapat diberikan keringanan jumlah hutang BDO sebesar Rp.800.000.000,00 (atau setara dengan 40% hutang BDO) dan diberikan juga keringanan jangka waktu penyelesaian hutang selama 5 232 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi tahun. Bila hasil analisis menunjukkan bahwa Penanggung Hutang dapat melakukan pembayaran angsuran hutang sebesar Rp.5.000.000.000,00 dalam jangka waktu 3 tahun, maka kepada yang bersangkutan dapat diberikan keringanan jumlah hutang BDO sebesar Rp.2.000.000.000,00 (atau setara dengan 100% hutang BDO) dan diberikan juga keringanan jangka waktu penyelesaian hutang selama 3 tahun. § Penanggung Hutang memiliki sisa hutang pokok sebesar Rp.10.000.000.000,00 dan sisa hutang BDO sebesar Rp.4.000.000.000,00. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang bersangkutan dapat melakukan pembayaran angsuran hutang sebesar Rp.13.000.000.000,00 dalam jangka waktu 7 tahun, maka kepada yang bersangkutan dapat diberikan keringanan jumlah hutang BDO sebesar Rp.1.000.000.000,00 (atau setara dengan 25% hutang BDO) dan diberikan juga keringanan jangka waktu penyelesaian hutang selama 7 tahun. Bila hasil analisis menunjukkan bahwa Penanggung Hutang dapat melakukan pembayaran angsuran hutang sebesar Rp.11.000.000.000,00 dalam jangka waktu 4 tahun, maka kepada yang bersangkutan dapat diberikan keringanan jumlah hutang BDO sebesar Rp.3.000.000.000,00 (atau setara dengan 75% hutang BDO) dan diberikan juga keringanan jangka waktu penyelesaian hutang selama 4 tahun. b. Nilai barang jaminan tidak dapat menutup jumlah hutang, atau bila nilai barang jaminan dapat menutup jumlah hutang tetapi daya laku barang jaminan tersebut sangatlah rendah. Ketentuan Lain Dalam Pemberian Keringanan Penyelesaian Hutang Selain hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, terdapat ketentuan lain yang perlu diperhatikan dalam menindaklanjuti permohonan keringanan penyelesaian hutang yang diajukan Penanggung Hutang. Ketentuan tersebut adalah: 1. Guna keperluan perhitungan sisa hutang sebelum pemberian keringanan, telah diatur bahwa angsuran sejak Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) terbit, dan yang dilakukan sejak tanggal 13 Juni 2002, diperhitungkan sebagai pembayaran hutang pokok. Ketentuan ini diperlukan untuk mengetahui rincian sisa hutang pokok dan sisa hutang BDO. Selama ini di dalam pembukuan PUPN hanya ada jumlah total piutang negara dan tidak Pengurusan Piutang Negara 233 ada rincian hutang pokok dan hutang BDO, sehingga setiap ada pembayaran, akan diperhitungkan sebagai pengurang total hutang. Pengurangan tersebut tidak dirinci sebagai pengurangan hutang pokok maupun pengurangan hutang BDO. Perlakuan pembukuan atas angsuran yang terjadi sebelum tanggal 13 Juni 2002, apakah dibukukan sebagai pengurang hutang BDO terlebih dahulu atau sebagai pengurang hutang pokok terlebih dahulu, walaupun tidak diatur, tetapi perlu dimintakan konfirmasi kepada Penyerah Piutang. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi perbedaan jumlah hutang pokok dan hutang BDO antara yang dihitung oleh PUPN dan yang dihitung oleh Penyerah Piutang. 2. Besarnya keringanan hutang dihitung dari sisa hutang BDO pada saat persetujuan. Maksud dari ketentuan ini adalah agar besarnya keringanan tidak dihitung dari nilai hutang BDO pada saat SP3N terbit. Ketentuan ini dirumuskan mengingat perbedaan penentuan posisi hutang BDO yang digunakan sebagai dasar pemberian keringanan jumlah hutang akan mengakibatkan perbedaan besarnya nilai keringanan. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada 2 contoh berikut ini. a. Contoh perhitungan yang sesuai ketentuan Hutang SP3N/PB/PJPN Hutang pokok Rp. 15.000.000,00 Hutang BDO Rp. 4.000.000,00 Rp.19.000.000,00 Angsuran sebelum 13-06-2002 (konfirmasi ke PP, misal dihitung sebagai angsuran BDO) Rp. 3.000.000,00 Angsuran sesudah 13-06-2002 Rp. 1.000.000,00 Sisa hutang Hutang pokok Rp. 14.000.000,00 Hutang BDO Rp. 1.000.000,00 Rp.15.000.000,00 Keringanan BDO 100% Rp. 1.000.000,00 Sisa hutang yang masih harus diselesaikan Rp.14.000.000,00 b. Contoh perhitungan yang tidak sesuai ketentuan 234 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi Hutang sesuai SP3N/PB/PJPN Hutang pokok Rp. 15.000.000,00 Hutang BDO Rp. 4.000.000,00 Rp.19.000.000,00 Keringanan BDO 100% Rp. 4.000.000,00 Sisa hutang pasca keringanan Hutang pokok Rp. 15.000.000,00 Hutang BDO Rp. 0,00 Rp.15.000.000,00 Angsuran Sebelum 13-06-2002 Rp.3.000.000,00 Sesudah 13-06-2002 Rp.1.000.000,00 Rp. 4.000.000,00 Sisa hutang yang masih harus diselesaikan Rp.11.000.000,00 Dari kedua contoh di atas, terlihat bahwa perbedaan posisi hutang BDO yang digunakan sebagai dasar perhitungan, menyebabkan perbedaan besarnya sisa hutang yang harus diselesaikan Penanggung Hutang pasca keringanan (contoh a sebesar Rp.14.000.000,00 sedangkan contoh b sebesar Rp.11.000.000,00). Hanya dengan menggunakan total jumlah hutang sebesar Rp.19.000.000,00, sebagai contoh, terdapat perbedaan sisa hutang yang harus diselesaikan Penanggung Hutang sebesar Rp.3.000.000,00 sebagai akibat perbedaan cara menghitung pemberian keringanan. Bayangkan berapa besar jumlah perbedaan sisa hutang bila perbedaan cara perhitungan tersebut terjadi pada permohonan keringanan dengan total jumlah hutang sebesar Rp.1.900.000.000,00. 3. Kepada Penanggung Hutang yang telah pernah diberikan keringanan penyelesaian hutang tidak dapat lagi diberikan keringanan berdasarkan ketentuan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara. Apabila terdapat ketentuan lain di luar ketentuan tersebut yang memperbolehkan adanya pemberian keringanan hutang lagi, misalnya Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Crash Program Pengurusan Piutang Negara Perbankan, maka kepada Penanggung Hutang tersebut dapat diberikan lagi keringanan penyelesaian hutang sepanjang memenuhi persyaratan. 235 Pengurusan Piutang Negara Rangkuman Proses pengurusan piutang negara yang dikenal dengan “Penagihan Piutang Negara Dengan Surat Paksa” dapat dikatakan juga sebagai pendekatan eksekusi dalam pengurusan piutang negara. Pendekatan eksekusi tersebut, di satu sisi dapat membantu upaya percepatan pengurusan piutang negara. Namun demikian, di sisi lainnya, pendekatan eksekusi terkadang menjadi kontra produktif dalam pengurusan piutang negara. Guna meminimalkan hambatan yang diakibatkan oleh pendekatan eksekusi dalam pengurusan piutang negara, dan dengan memperhatikan paradigma baru yang berlaku di masyarakat terkait dengan penegakan hak asasi manusia (HAM), PUPN mulai mengedepankan pendekatan non eksekusi dalam pengurusan piutang negara. Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya melalui penjualan barang jaminan miliknya tidak melalui lelang dan penebusan barang jaminan oleh Penjamin Hutang. Hasil penjualan dan penebusan barang jaminan tersebut digunakan sebagai bagian dalam penyelesaian hutang Penanggung Hutang. Selain itu, pendekatan non eksekusi dapat juga dilakukan dengan memberikan keringanan penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang. Pemberian keringanan penyelesaian hutang diarahkan sebagai insentif kepada Penanggung Hutang agar bersedia menyelesaikan hutangnya seoptimal dan secepat mungkin. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan penebusan barang jaminan oleh Penjamin Hutang, penjualan barang jaminan milik Penanggung Hutang tidak melalui lelang, dan pemberian keringanan penyelesaian hutang kepada Penanggung Hutang. Selain persyaratan, telah diatur juga proses pengambilan keputusan dalam menindaklanjuti permohonan atas ketiga kebijakan tersebut, mulai dari ketentuan tentang pengajuan usul/permohonan, penelitian yang harus dilakukan sebagai tindak lanjut usul/permohonan yang telah diajukan, penetapan keputusan dan penyampaiannya, sampai pada pengaturan tentang tindakan yang dilakukan pasca penetapan keputusan. - o0o - 236 Bab 7 : Pendekatan Non Eksekusi Latihan Untuk mengingatkan kembali yang telah Anda pelajari, kerjakanlah latihan di bawah ini! 1. Jelaskan mengapa di dalam pengurusan piutang negara juga dikenal pendekatan non eksekusi? 2. Jelaskan secara singkat keuntungan penjualan barang jaminan tidak melalui lelang! 3. Jelaskan mengapa persetujuan Penyerah Piutang diperlukan dalam penjualan barang jaminan tidak melalui lelang dengan nilai di bawah nilai pengikatan/pembebanan? Mengapa persetujuan tersebut dimintakan juga kepada Penanggung Hutang? 4. Jelaskan secara singkat keuntungan penebusan barang jaminan! 5. Jelaskan mengapa Penanggung Hutang tidak dapat menebus barang jaminan miliknya? Mengapa Penjamin Hutang yang menjamin seluruh penyelesaian hutang Penanggung Hutang tidak dapat menebus barang jaminan miliknya? 6. Jelaskan mengapa persetujuan Penyerah Piutang diperlukan dalam penebusan barang jaminan dengan nilai di bawah nilai pengikatan/pembebanan? Mengapa persetujuan tersebut dimintakan juga kepada Penanggung Hutang? 7. Jelaskan mengapa persetujuan pemberian keringan penyelesaian hutang ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan atau Kepala Kantor Wilayah DJPLN, dan bukan ditetapkan oleh Ketua PUPN? 8. Jelaskan secara singkat jenis-jenis keringanan penyelesaian hutang yang dapat diberikan kepada Penanggung Hutang, dan apa saja syarat pemberian masing-masing jenis keringanan tersebut? 9. Jelaskan dengan singkat analisis yang harus dilakukan terhadap permohonan keringanan yang diajukan Penanggung Hutang! 10. Jelaskan cara penentuan rincian jumlah hutang dan cara perhitungan keringanan jumlah hutang yang sesuai dengan ketentuan! 237 Pengurusan Piutang Negara - o0o - BAB 8 PENGELOLAAN BARANG JAMINAN DAN/ATAU HARTA KEKAYAAN LAIN Sasaran Pembelajaran Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan memahami kegiatan pengelolaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. 240 Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain Pendahuluan Sebagaimana telah diuraikan pada Bab V di muka bahwa penyerahan piutang-piutang bermasalah atau piutang-piutang macet dari para Penyerah Piutang harus memenuhi segala persyaratan sesuai Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 berikut aturan pelaksanaannya, yaitu dokumentasi yang dapat membuktikan adanya dan besarnya piutang negara. Dokumen yang dapat membuktikan adanya piutang berupa Perjanjian Kredit dan perubahannya, atau dokumen lain yang sejenis yang membuktikan adanya piutang negara. Dokumen yang diperlukan untuk membuktikan besarnya piutang negara adalah Rekening Koran, Primanota, Mutasi Piutang, dan/atau dokumen lain sejenis yang membuktikan besarnya piutang. Setelah segala persyaratan dipenuhi, dan bila adanya dan besarnya piutang negara dapat dibuktikan serta pasti menurut hukum, maka PUPN Cabang/KP2LN akan menerima penyerahan dengan penerbitan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) yang ditandatangani Ketua PUPN Cabang. Dengan diterbitkannya SP3N, maka pengurusan piutang negara beralih kepada PUPN Cabang dan penyelenggaraannya dilakukan oleh KP2LN. Dengan beralihnya Pengurusan Piutang Negara kepada PUPN Cabang maka Penyerah Piutang wajib menyerahkan semua dokumen asli barang jaminan sesuai dengan Pasal 17 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002. Asli dokumen (dan fisik barang jaminan apabila dikuasai PUPN/DJPLN) wajib dikelola dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu kegiatan pengelolaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain telah diatur dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 95 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 dan Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor 25/PL/2002. Di dalam ketentuan tersebut telah diatur ruang lingkup pengelolaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain meliputi kegiatan: 1. penatausahaan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain; 2. pengamanan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain; dan 3. pendayagunaan barang jaminan. Penatausahaan Dokumen dan Fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain Pengurusan Piutang Negara 241 Dalam struktur organisasi KP2LN terdapat Seksi Pengelolaan Barang Jaminan (Seksi PBJ). Seksi PBJ inilah yang melaksanakan tugas pengelolaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang ruang lingkup kegiatannya sebagaimana telah diuraikan di atas. Pada Seksi PBJ ini terdapat Petugas Khusus yang ditunjuk dengan Surat Keputusan Kepala KP2LN untuk melaksanakan penatausahaan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain. Sesuai ketentuan yang berlaku, rumusan penatausahaan adalah kegiatan yang meliputi penerimaan, pencataatan, penyimpanan, pemeliharaan dan pengeluaran/penyerahan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan penatausahaan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain meliputi 5 (lima) kegiatan, yaitu: 1. penerimaan; 2. pencatatan; 3. penyimpanan; 4. pemeliharaan dan yang terakhir; 5. pengeluaran/penyerahan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain. Tanggung jawab atas pelaksanaan kelima kegiatan tersebut di atas diserahkan kepada Petugas Khusus. Penerimaan Penyerahan Dokumen dan/atau Fisik Barang Kegiatan pertama dalam rangka penataan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang dilakukan oleh Petugas Khusus di KP2LN adalah penerimaan penyerahan: 1. dokumen asli barang jaminan; 2. dokumen asli harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; 3. fisik barang jaminan; dan/atau 4. fisik harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. 242 Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain Serah terima tersebut dituangkan dalam Tanda Terima Dokumen Asli Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain, atau Tanda Terima Fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain. Pencatatan Dokumen dan/atau Fisik Barang Kegiatan kedua yang dilakukan Petugas Khusus tersebut di atas adalah melakukan pencatatan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain, berikut pengikatannya. Kegiatan tersebut dituangkan dalam: 1. Buku Dokumen Asli dan Fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain; dan 2. Kartu Perkembangan Dokumen Asli dan/atau Fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain. Pencatatan dokumen dan/atau fisik tersebut di atas dilakukan secara sistematis, dengan tujuan: 1. mempermudah penyimpanan, pemeliharaan dan pengeluaran dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain; 2. memperlancar pemberian informasi mengenai dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain berikut pengikatannya. Penyimpanan Dokumen dan/atau Fisik Barang Kegiatan ketiga yang dilakukan Petugas Khusus adalah melakukan penyimpanan: 1. dokumen asli barang jaminan; 2. dokumen asli harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; 3. fisik barang jaminan berupa barang-barang bergerak; dan/atau 4. fisik harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang berupa barang-barang bergerak. Penyimpanan tersebut dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. penyimpanan dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dilakukan di tempat khusus yang memenuhi syarat keamanan, dan bila sarana penyimpanan belum memenuhi syarat keamanan, maka KP2LN dapat menitipkan kembali dokumen tersebut kepada Penyerah Piutang yang dibuktikan dengan Tanda Terima Penitipan Dokumen Asli Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain; Pengurusan Piutang Negara 243 2. penyimpanan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain berupa barang-barang bergerak dilakukan di tempat khusus yang memenuhi syarat keamanan, dan bila sarana penyimpanan fisik barang belum tersedia, maka KP2LN dapat menitipkan fisik barang tersebut kepada Penyerah Piutang atau Instansi lain yang berwenang. Penitipan tersebut dituangkan dalam Tanda Terima Penitipan Fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain. Pemeliharaan Dokumen dan/atau Fisik Barang Kegiatan keempat yang dilakukan oleh Petugas Khusus adalah pemeliharaan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain. Tujuan kegiatan ini adalah untuk: 1. mencegah rusaknya atau hilangnya dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain; dan 2. mencegah penurunan nilai barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain. Selain itu, kegiatan pemeliharaan tersebut di atas juga dilakukan terhadap hal-hal sebagai berikut: 1. bila barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain mengalami perubahan fisik yang disebabkan oleh antara lain pelebaran jalan, longsor, atau abrasi, KP2LN melakukan koordinasi dengan Penyerah Piutang guna melakukan penyesuaian dokumen asli melalui instansi yang berwenang; 2. bila penyesuaian dimaksud di atas belum dapat dilaksanakan, informasi tentang perubahan fisik tersebut dicantumkan dalam surat-surat yang memuat uraian barang. Penyerahan Dokumen dan/atau Fisik Barang Kegiatan kelima adalah penyerahan dokumen dan/atau fisik asli barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain, kepada: 1. Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang, bila piutang negara dinyatakan lunas; 2. Penyerah Piutang, bila pengurusan piutang negara dinyatakan selesai; 3. Penyerah Piutang atau pihak yang berwenang, bila barang jaminan dan/atau harta kekayan lain disita dalam perkara pidana; 4. Pemenang Lelang, bila barang jaminan dan/atau harta kekayan lain telah laku terjual lelang; 5. Pembeli, bila barang jaminan dan/atau harta kekayan lain telah laku terjual tidak melalui lelang dan pembeli telah membayar lunas; 244 Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain 6. Penjamin Hutang, bila barang jaminan milik penjamin hutang telah ditebus dan uang penebusan telah dibayarkan seluruhnya. Penyerahan dokumen tersebut di atas dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima Dokumen Asli Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain, sedangkan penyerahan fisik barang jaminan dan atau harta kekayaan lain dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima Fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain. Selain itu, penyerahan dokumen dan/atau fisik tersebut di atas, dilakukan dengan ketentuan: 1. bila dari hasil penelitian diketahui bahwa dokumen yang diserahkan oleh Penyerah Piutang bukan milik Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang atau milik pihak lain yang tidak ada kaitannya dengan piutang negara yang diurus, dokumen asli dikembalikan kepada Penyerah Piutang. Dokumen tersebut dapat juga diserahkan kepada pemilik yang sah, dengan syarat telah diperoleh persetujuan tertulis dari Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang; 2. bila pelunasan piutang negara dilakukan oleh Penjamin Hutang, dokumen barang jaminan milik Penjamin Hutang dapat diserahkan kepada Penjamin Hutang dengan syarat yang bersangkutan membuat pernyataan sanggup menanggung risiko yang mungkin timbul dan membebaskan KP2LN dari segala tuntutan Penanggung Hutang; 3. bila pelunasan piutang negara dilakukan oleh ahli waris Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain diserahkan kepada ahli waris Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dimaksud, dengan ketentuan ahli waris tersebut harus: § mendapat kuasa dari ahli waris lainnya; dan § membuat pernyataan sanggup menanggung risiko yang mungkin timbul dan membebaskan KP2LN dari segala tuntutan Penanggung Hutang. Perbandingan antara Petugas Khusus dengan Bendahara UP Penatausahaan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang meliputi 5 (lima) kegiatan sebagaimana yang diuraikan di atas, pada prinsipnya sama dengan rumusan tugas Bendahara UP (Bendahara Pemegang Uang Persediaan) yang ada di setiap kantor pemerintahan. Rumusan tugas Bendaharawan tersebut didasarkan pada Pasal 77 UndangUndang Perbendaharaan Indonesia/I.C.W. (Indiesche Comptabiliteit Wet) Pengurusan Piutang Negara 245 yang sekarang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perbedaan yang sangat jelas terlihat antara tugas Petugas Khusus dan tugas Bendaharaan UP adalah bahwa kegiatan penatausahaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang diserahkan kepada Petugas Khusus terkait dengan pengelolaan barang, sedangkan kegiatan Bendahara UP terkait dengan pengelolaan uang. Sepantasnyalah kalau Petugas Khusus pengelola barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain diangkat menjadi Bendahara Barang (Bendaharawan Materiil berdasarkan Pasal 55 ICW). Sehingga pada saatnya nanti sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004, Petugas Khusus tersebut dapat diangkat menjadi Pejabat Fungsional sehingga resiko yang dihadapi karena hilangnya barang atau sebab-sebab lainnya dapat terobati karena mendapat tunjangan resiko (Resico Toelage) sebagai Pejabat Fungsional, sama dengan Bendaharawan Pengelola Uang. Pengamanan Dokumen dan Fisik Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain Pengamanan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dapat dilakukan dengan 3 (tiga) kegiatan, yang meliputi: 1. penelitian terhadap keaslian, kebenaran atau jangka waktu berlakunya hak atas dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain beserta pengikatannya; 2. penelitian lapangan; dan/atau, 3. pemblokiran barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain. Penelitian Terhadap Keaslian, Kebenaran atau Jangka Waktu Berlakunya Hak Atas Dokumen Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain Beserta Pengikatannya Penelitian terhadap keaslian dokumen dan kebenaran pengikatan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dilakukan dengan cara melakukan koordinasi dan konfirmasi kepada instansi terkait yang berwenang. Bila jangka waktu berlakunya dokumen barang jaminan akan segera berakhir atau dokumen asli barang jaminan rusak/hilang, KP2LN melakukan koordinasi dengan pihak Penyerah Piutang, untuk menghubungi Instansi yang berwenang guna: 246 Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain 1. perpanjangan masa laku dokumen atau perbaikan/penggantian fisik dokumen yang rusak/hilang; dan 2. perbaikan/penggantian fisik dokumen yang rusak/hilang. Penelitian Lapangan Kegiatan penelitian lapangan (on the spot) merupakan kegiatan pemeriksaan atas keadaan/kondisi fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang sesungguhnya ada di lokasi tempat barang tersebut berada. Kegiatan tersebut juga termasuk pencocokan data yang ada di dokumen dengan keadaan nyata fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain tersebut. Kegiatan penelitian lapangan ditujukan untuk: 1. pengamanan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; dan 2. identifikasi/pencocokan data yang terdapat di dalam dokumen asli dengan keadaannya yang sesungguhnya di lapangan, sehingga pengurusan piutang negara yang dilaksanakan tidak menimbulkan permasalahan hukum, misalnya: Di dalam dokumen barang jaminan tertera luas tanah sebesar 100 M2, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa luas tanah hanya sebesar 70M2, yang disebabkan adanya pelebaran jalan, misalnya. Bila dokumen barang jaminan tersebut tidak dicocokkan dengan keadaan di lapangan, dan apabila barang jaminan tersebut laku terjual lelang, terdapat kemungkinan Pembeli Lelang akan melakukan gugatan melalui pengadilan karena merasa dirinya ditipu PUPN/DJPLN (seharusnya membeli tanah seluas 100 M2 tapi hanya memperoleh tanah seluas 70 M2). Kegiatan yang dilaksanakan dalam penelitian lapangan adalah sebagai berikut: 1. Inventarisasi barang jaminan, guna mencocokkan fisik aktual di lapangan dengan data yang ada pada daftar barang jaminan. Kegiatan ini tidak hanya sekedar mencocokkan data administratif dengan data aktual di lapangan, tetapi juga mencari data sebagai bahan merumuskan langkah yang tepat untuk pengamanan, pengelolaan dan perkiraan nilai sementara barang jaminan. 2. Identifikasi dan inventarisasi harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang/Penjamin Hutang yang dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan hutang Penanggung Hutang. Kegiatan identifikasi dan inventarisasi tersebut ditujukan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data dan bukti Pengurusan Piutang Negara 247 tentang kekayaan lain milik Penanggung Hutang/Penjamin, khususnya data dan bukti tentang status kepemilikan, kondisi, dan kemungkinan pemanfaatan barang tesebut. Pemblokiran Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain, dan Pencabutan Pemblokiran Kegiatan pemblokiran barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dilaksanakan dengan cara menerbitkan Surat Pemblokiran yang ditandatangani oleh Kepala KP2LN. Surat Pemblokiran tersebut dapat diterbitkan oleh KP2LN setelah diterbitkannya SP3N, dan ditujukan kepada Instansi yang berwenang melakukan pemblokiran, seperti: 1. Kantor Pertanahan untuk memblokir dokumen yang terkait dengan hak atas tanah dan bangunan; atau 2. Kantor SAMSAT untuk memblokir dokumen kendaraan. Bila KP2LN dapat memperoleh data yang valid tentang keberadaan harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang yang tersimpan pada Bank, harta kekayaan tersebut dapat diblokir setelah diperoleh izin tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia. Adapun harta kekayaan lain yang tersimpan di Bank dapat berupa rekening, simpanan, giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Izin tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran ketentuan tentang rahasia bank (sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan).1 Izin tertulis tersebut diperoleh melalui proses sebagai berikut: 1. KP2LN mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara/Ketua PUPN Pusat, dengan menyebutkan sekurangkurangnya: a. identitas Penanggung Hutang; b. nama kantor bank tempat Penanggung Hutang mempunyai simpanan; c. keterangan yang diminta; dan d. alasan diperlukannya keterangan. 1 Lihat uraian dalam Bab 2, halaman 43. 248 Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain 2. Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara setelah menerima surat permohonan dari KP2LN tersebut di atas, mengajukan permohonan izin pemblokiran kepada Pimpinan Bank Indonesia untuk ditindaklanjuti penerbitannya. Setelah Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin, maka izin tertulis tersebut dilampirkan KP2LN dalam Surat Pemblokiran Harta Kekayaan Lain yang tersimpan di Bank. Surat pemblokiran tersebut disampaikan kepada kepada Bank tempat disimpannya harta kekayaan tersebut. Dengan proses dan persyaratan yang sama, KP2LN dapat juga melakukan pemblikiran harta kekayaan lain milik Penjamin Hutang yang tersimpan di Bank. Namun demikian, pemblokiran atas harta kekayaan Penjamin Hutang tersebut hanya dapat dilaksanakan apabila Penjamin Hutang yang bersangkutan menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung Hutang. Selain itu, dengan proses dan persyaratan yang analog dengan yang telah diuraikan di atas, KP2LN juga dapat melakukan pemblokiran Harta Kekayaan Lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang berupa Surat Berharga yang diperdagangkan di Bursa Efek setelah memperoleh izin tertulis dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Surat Pemblokiran barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dapat dicabut oleh KP2LN apabila terdapat hal-hal sebagai berikut: 1. piutang negara dinyatakan lunas; 2. pengurusan piutang negara dinyatakan selesai karena adanya penarikan pengurusan oleh Penyerah Piutang dalam rangka program restrukturisasi hutang kepada Penanggung Hutang; 3. barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain tidak lagi merupakan jaminan penyelesaian hutang; 4. barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain telah disita terlebih dahulu oleh instansi lain yang berwenang; 5. barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain diketahui mengandung cacat hukum berdasarkan keputusan instansi yang berwenang. Pendayagunaan Barang Jaminan Berdasarkan Pasal 94 sampai dengan Pasal 96 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, KP2LN dapat melakukan Pengurusan Piutang Negara 249 pendayagunaan barang jaminan dengan cara dilakukan sewa-menyewa. Hasil sewa menyewa tersebut digunakan untuk pembayaran hutang Penanggung Hutang. Perjanjian sewa-menyewa tersebut di atas, dilakukan dengan ketentuan: 1. sewa-menyewa disepakati oleh KP2LN, Penyerah Piutang, Penanggung Hutang dan Pemilik Barang Jaminan; 2. jangka waktu sewa-menyewa ditetapkan paling lama 3 (tiga) tahun; 3. tidak menghalangi proses pengurusan piutang negara terhadap barang jaminan lainnya dan/atau harta kekayaan lain; 4. perjanjian sewa-menyewa antara pemilik barang jaminan dengan penyewa dibuat dengan Akte Notaris. Selain itu, berdasarkan Pasal 313 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dapat melakukan kerjasama dengan: 1. Penyerah Piutang; 2. Badan Usaha Milik Negara penjamin kredit; 3. pihak-pihak yang mempunyai keahlian di bidang pengelolaan aset, restrukturisasi hutang, peningkatan kualitas sumber daya manusia; dan/atau 4. instansi lain yang berkaitan dengan pengurusan piutang negara. Secara historis, ketentuan tentang kerjasama ini baru di atur di dalam Bab VI Pasal 42 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 367/KMK.01/1998 tentang Pengurusan Piutang Negara. Di dalam beberapa Keputusan Menteri Keuangan sejenis sebelumnya, ketentuan tentang kerjasama belum diatur. Contoh kerjasama yang telah pernah diselenggarakan oleh DJPLN (pada saat masih berbentuk Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara) adalah Perjanjian Kerjasama antara Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara dengan PT. Surveyor Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 31 Oktober 1977. Dalam perjanjian tersebut, bertindak selaku Pihak Pertama adalah Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, dan selaku Pihak Kedua adalah PT. Surveyor Indonesia (PT. SI). Nomor perjanjian tersebut adalah Nomor Perj.01/PN/1997 (nomor yang dikeluarkan oleh BUPLN) dan Nomor Perj.14/HKM-DRU/X/AICAM/97 (nomor yang dikeluarkan oleh PT. SI). Perjanjian kerjasama dengan dasar Surat Menteri Keuangan Nomor S149/rk09/1997 Tanggal 14 Maret 1997 dan Nomor S-465/rk09/1997 tanggal 6 250 Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain Oktober 1997 tersebut antar lain memuat poin yang terkait dengan Pengelolaan Barang Jaminan. Poin tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pasal 2, yang memuat kesepakatan sebagai berikut: Pemeriksaan barang jaminan dilakukan Pihak Kedua untuk memastikan bahwa barang jaminan benar ada dan sesuai dengan dokumen yang diserahkan sebagai bukti jaminan, dengan kegiatan meliputi: a. survey lapangan, yaitu memastikan barang jaminan benar-benar ada dan sesuai dengan dokumen barang yang dijaminkan, termasuk pengukuran dan pengecekan batas-batas; b. inventarisasi barang jaminan, yaitu melakukan pencatatan dan indeksasi barang jaminan; c. pemeriksaan kondisi fisik barang jaminan, yaitu melakukan pemeriksaan untuk mengetahui kondisi barang jaminan pada saat verifikasi dan memperkirakan adanya perbaikan dan pengelolaan barang jaminan. 2. Pasal 4, yang memuat kesepakatan sebagai berikut: Pengelolaan barang jaminan dilakukan oleh Pihak Kedua untuk mempertahankan nilai barang jaminan, dengan kegiatan meliputi: a. penguasaan/pengamanan, yaitu melakukan penguasaan/pengamanan penuh terhadap barang jaminan dari kemungkinan pencurian dan/atau pemindahan; b. penyimpanan, yaitu melakukan penyimpanan barang jaminan berupa barang bergerak; c. pemeliharaan, yaitu memelihara barang jaminan secara berkala dengan melakukan kegiatan pembersihan, perawatan, pembayaran rekening telepon, rekening listrik dan rekening air minum (untuk barang jaminan berupa tanah dan bangunan), pengecekan fungsional dan perawatan berkala (untuk barang jaminan berupa mesin) serta kegiatan lainnya yang termasuk dalam lingkup pemeliharaan, untuk menjaga kualitas dari barang jaminan; d. perbaikan kecil/ringan dan pembaharuan/penyelesaian dokumen kepemilikan, yaitu melakukan perbaikan-perbaikan kecil yang diperlukan terhadap barang jaminan yang meliputi pengecatan dan perbaikan fisik bangunan, reparasi dan penggantian suku cadang (mesin-mesin) serta memperpanjang/memperbaharui masa berlaku dokumen. 251 Pengurusan Piutang Negara Rangkuman Ruang lingkup pengelolaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain meliputi kegiatan sebagai berikut: 1. penatausahaan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain; 2. pengamanan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain; 3. pendayagunaan barang jaminan. Penatausahaan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain adalah kegiatan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan, yaitu: 1. penerimaan dokumen dan fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain; 2. pencatatan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain; 3. penyimpanan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain; 4. pemeliharaan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain; 5. penyerahan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain. Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam penatausahaan tersebut di atas dilaksanakan oleh Petugas Khusus pada Seksi Pengelolaan Barang Jaminan yang diangkat oleh Kepala KP2LN. Tugas yang dilaksanakan Petugas Khusus dimaksud pada hakekatnya identik/sama dengan Bendahara Materiil (Bendahara Barang) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 I.C.W. (Indiesche Comptabiliteit Wet) yang saat ini sudah dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kegiatan pengamanan dokumen dan/atau fisik barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dilakukan dengan penelitian atas keaslian, kebenaran dan jangka waktu dokumen, penelitian on the spot (lapangan), dan pemblokiran barang jaminan dan harta kekayaan lain. Selanjutnya, kegiatan pendayagunaan barang jaminan dapat dilakukan antara lain dengan cara sewa menyewa, yang hasilnya digunakan untuk pembayaran hutang Penanggung Hutang. - o0o - 252 Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain Latihan Untuk mengingatkan kembali materi yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di bawah ini! Pilihan Ganda 1. Di bawah ini adalah tugas dari Petugas Khusus KP2LN yang ditunjuk melakukan penatausahaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain, kecuali: a. Menerima barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain b. Mencatat barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain c. Meneliti keabsahan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain d. Menyimpan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain 2. Ruang lingkup Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain meliputi : a. Penatausahaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain b. Pengamanan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain c. Pendayagunaan Barang Jaminan d. Jawaban a, b, dan c benar 3. Pendayagunaan barang jaminan dapat dilakukan dengan jalan disewakan dengan batas waktu maksimum: a. 2 (dua) tahun b. 3 (tiga) tahun c. 4 (empat) tahun d. 5 (lima) tahun 4. Pemblokiran harta kekayaan Debitur yang tersimpan di Bank dapat dilakukan oleh KP2LN sepanjang ada izin dari: a. Menteri Keuangan b. Dirjen Piutang dan Lelang Negara c. Pimpinan Bank Indonesia d. Jawaban a, b, dan c benar 5. Pemeriksaan on the spot dalam rangka pengamanan barang jaminan bertujuan untuk : a. Mempercepat penjualan melalui lelang b. Melihat kondisi fisik barang jaminan Pengurusan Piutang Negara 253 c. Mencocokkan data administrasi dengan fakta di lapangan d. Jawaban a, b, dan c salah 6. Dokumen barang jaminan dapat diserahkan kepada yang berhak apabila : a. Barang jaminan telah ditebus pemiliknya b. Barang jaminan telah dicairkan c. Barang jaminan telah laku melalui penjualan melalui lelang d. Jawaban a, b, dan c benar 7. Pencatatan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dilakukan secara sistematis, dengan tujuan untuk: a. Mempermudah penyimpanan b. Mempermudah pemeliharaan c. Mempercepat pemberian informasi Barang Jaminan dan/atau Harta Kekayaan Lain d. Jawaban a, b, dan c benar BENAR (B) – SALAH (S) 1. B – S : Dalam rangka pengamanan dokumen barang jaminan dilakukan penyimpanan dokumen barang jaminan di tempat yang khusus. 2. B – S : Pemanfaatan barang jaminan dilakukan dilakukan dengan cara menyewakan cukup dengan persetujuan pemilik barang jaminan. 3. B – S : Tujuan pemblokiran harta kekayaan Penanggung Hutang yang disimpan di Bank ialah agar harta kekayaan tidak terdapat perubahan kecuali bertambah. 4. B – S : Barang jaminan laku terjual melalui lelang, dokumen barang jaminan diserahkan oleh Pejabat Penjual KP2LN. 5. B – S : Dalam pemeriksaan on the spot salah satu objek yang perlu diidentifikasi adalah sikap dan perilaku. 6. B – S : Pemblokiran terhadap barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain, dilaksanakan dengan menerbitkan Surat Pemblokiran yang ditandatangani ketua PUPN Cabang. 254 7. B – S Bab 8 : Pengelolaan Barang Jaminan dan/atau Kekayaan Lain : Pengelolaan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dipertanggung jawabkan kepada Petugas Khusus KP2LN yang diangkat oleh Kepala KP2LN. - o0o - BAB 9 PENCEGAHAN BEPERGIAN KE LUAR WILAYAH REPUBLIK INDONESIA Sasaran Pembelajaran Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan memahami ketentuan tentang prosedur dan persyaratan pencegahan bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dalam rangka pengurusan piutang negara. Pendahuluan 256 Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI Sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab sebelum ini, setelah SP3N diterbitkan maka kewenangan pengurusan piutang negara beralih sepenuhnya kepada PUPN, dan operasional pengurusannya dilakukan oleh DJPLN. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh DJPLN adalah Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah Republik Indonesia (selanjutnya disebut Pencegahan) terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang telah memenuhi segala persyaratan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara memiliki kewenangan Pencegahan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang tersebut berdasarkan delegasi kewenangan yang diberikan oleh Menteri Keuangan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 374/KMK.01/1994. Keputusan Menteri Keuangan tersebut berisi pelimpahan kewenangan kepada Pejabat Eselon I di lingkungan Departemen Keuangan untuk dan atas nama Menteri Keuangan menandatangani surat dan/atau Keputusan Menteri Keuangan. Oleh karena itu Penetapan Pencegahan, Perpanjangan Pencegahan Pertama, Perpanjangan Pencegahan Kedua, dan Pencabutan Pencegahan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara atas nama Menteri Keuangan. Kewenangan Menteri Keuangan yang dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara tersebut berasal dari ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Pasal 11 ayat (1) huruf b tersebut mengatur bahwa wewenang dan tanggungjawab pecegahan terhadap seseorang bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia, sepanjang menyangkut urusan piutang negara, adalah Menteri Keuangan. Pada hakekatnya Pencegahan merupakan sarana hukum yang dapat dipergunakan di PUPN/DJPLN untuk menegakkan hukum (law enforcement) dalam rangka percepatan dan optimalisasi hasil pengurusan piutang negara. Di sisi lain, Pencegahan tersebut merupakan upaya pembatasan terhadap hak asasi manusia karena bertentangan dengan prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional seperti hak untuk melakukan perjalanan ke luar negeri. Namun demikian karena kewenangan untuk melakukan Pencegahan tersebut dijamin oleh undang-undang, dan demi kepentingan pengamanan Keuangan Negara, maka upaya Pencegahan tersebut tetap dilakukan oleh PUPN/DJPLN. Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan permasalahan hukum, terlebih bila dikaitkan dengan permasalahan hak asasi manusia, maka Pencegahan terhadap Pengurusan Piutang Negara 257 Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang harus dilakukan secara tertib dan teliti. Guna mendapatkan pemahaman yang lebih baik, penjelasan lengkap tentang Pencegahan akan diuraikan berikut ini. Pengertian Pencegahan Pencegahan berdasarkan Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu ke luar dari wilayah Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu. Pelarangan tersebut bersifat sementara karena pelaksanaan Pencegahan tersebut bersinggungan dengan persoalan hak asasi manusia, dimana setiap orang mempunyai hak untuk melakukan perjalanan ke luar negeri (Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992). Karena bersifat sementara, maka dalam pelaksanaan pencegahan ditegaskan adanya jangka waktu pencegahan. Di dalam pengertian di atas, terdapat terminologi orang-orang tertentu yang dapat dikenakan Pencegahan dan alasan-alasan tertentu yang menyebabkan dilaksanakannya Pencegahan. Bila dikaitkan dengan tugas DJPLN dalam melakukan pengurusan piutang Negara, pengertian: 1. orang-orang tertentu adalah pihak-pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam penyelesaian hutang Penanggung Hutang; dan 2. alasan tertentu adalah adanya piutang negara atau hutang kepada negara yang harus diselesaikan oleh Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. Di dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, di samping pengertian dan ketentuan tentang Pencegahan, diatur juga pengertian dan ketentuan tentang Penangkalan. Dalam Pasal 1 angka 13 undang-undang tersebut telah ditegaskan bahwa Penangkalan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk masuk wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu. Penangkalan tersebut pada dasarnya ditujukan kepada orang-orang asing, namun bukan berarti penangkalan tidak dapat dilakukan terhadap orang Indonesia. Berdasarkan undang-undang tersebut telah ditegaskan bahwa Penangkalan dapat dilakukan terhadap orang Indonesia yang dalam keadaan sangat khusus, misalnya : 1. telah lama meninggalkan Indonesia; 258 Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI 2. tinggal menetap atau menjadi penduduk negara lain; 3. melakukan tindakan atau sikap bermusuhan terhadap negara dan Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; 4. diperkirakan dengan masuknya mereka ke wilayah Indonesia dapat menimbulkan ancaman terhadap dirinya atau keluarganya. Dasar Hukum Pencegahan Tindakan Pencegahan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang hendak bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia dilakukan oleh DJPLN dalam rangka pengamanan dan kelancaran pengurusan piutang negara. Dalam melakukan tindakan pencegahan tersebut, DJPLN tentu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang mendasari pencegahan tersebut. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1994 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan. 3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 374/KMK.01/1994 tentang Pelimpahan Kewenangan Kepada Pejabat Eselon I di Lingkungan Departemen Keuangan untuk dan atas nama Menteri Keuangan. 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara (Bab XII, Pasal 117-134). 5. Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep25/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara (Bab VI Pasal 54-61). Pihak yang Berwenang Melakukan Pencegahan Pasal 11 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 mengatur bahwa wewenang dan tanggung jawab pencegahan dilakukan oleh: 1. Menteri Kehakiman, sekarang dikenal dengan sebutan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (MENKUMHAM), sepanjang menyangkut urusan yang bersifat keimigrasian. Pencegahan yang terkait dengan urusan yang bersifat keimigrasian adalah pencegahan yang dilakukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: Pengurusan Piutang Negara 259 § Warga Negara Indonesia yang pernah diusir/dideportasi ke Indonesia oleh suatu negara lain. § Warga Negara Indonesia yang pada saat berada di luar negeri melakukan perbuatan yang mencemarkan nama baik bangsa dan negara Indonesia. § Warga Negara Asing yang belum atau tidak memenuhi kewajibankewajiban terhadap negara atau pemerintah RI, misalnya belum melunasi pajak bangsa asing dan pajak-pajak lain sebagai orang asing/penduduk Indonesia. 2. Menteri Keuangan, sepanjang menyangkut urusan piutang negara. Selama ini, pengertian piutang negara yang digunakan terkait dengan Pencegahan adalah pengertian piutang negara yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN, sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab I1. Sebagaimana uraian pada pendahuluan bab ini, kewenangan Menteri Keuangan untuk melakukan Pencegahan telah didelegasikan kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara. 3. Jaksa Agung, sepanjang menyangkut pelaksanaan ketentuan Pasal 32 angka 9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia2. 4. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Imdonesia (sekarang disebut Panglima Tentara Nasional Republik Indonesia), sepanjang menyangkut pemeliharaan dan penegakkan keamanan dan pertahanan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988. Tujuan Pencegahan dalam hal ini adalah untuk menjamin tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 terhadap segala macam ancaman baik dari luar maupun dari dalam negeri serta tercapainya tujuan nasional. 1 Pada masa sekarang ini, bila dikaitkan dengan Pencegahan, piutang pajak juga dimasukkan ke dalam pengertian piutang negara. Dalam Bab ini, pengertian piutang negara yang terkait dengan kewenangan Pencegahan adalah pengertian yang diatur oleh Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN. 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 260 Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI Terkait dengan uraian tentang kewenangan Penangkalan pada pendahuluan bab ini, timbul pertanyaan apakah DJPLN mempunyai kewenangan untuk melakukan penangkalan? Pasal 15 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 memberi jawaban, yaitu hanya ada 3 (tiga) pejabat yang diberikan kewenangan untuk melakukan penangkalan. Pejabat itu adalah Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Panglima ABRI/TNI. Dengan demikian, DJPLN (dan bahkan Menteri Keuangan sekalipun) tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penangkalan. Objek Pencegahan Terkait dengan kewenangan Pencegahan oleh DJPLN, berdasarkan Pasal 117 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, objek Pencegahan pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan hutang kepada negara. Pihak-pihak tersebut adalah Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. Penanggung Hutang Berdasarkan Pasal 117 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai Penanggung Hutang kepada negara, dan yang dapat dijadikan sebagai objek Pencegahan adalah: 1. pihak-pihak yang menandatangani perikatan hutang (Perjanjian Kredit, Kontrak), atau orang-orang yang berdasarkan peraturan perundangundangan dan/atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara, apabila Penanggung Hutang adalah orang/pribadi;. 2. direksi/anggota pengurus perusahaan/yayasan/koperasi, apabila Penanggung Hutang adalah badan hukum (PT, Yayasan, Koperasi); 3. para anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas yang berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan Rapat Umum Pemegang Saham melakukan tindakan kepengurusan, apabila Penanggung Hutang adalah badan hukum perseroan; atau 4. salah seorang pesero dan/atau pesero pengurus dari Badan Usaha dalam hal Penanggung Hutang adalah Firma, Perseroan Komanditer (Commanditer Vennootschap), atau Persekutuan Perdata. Penjamin Hutang Pengurusan Piutang Negara 261 Berdasarkan Pasal 117 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai Penjamin Hutang atas hutang kepada negara, dan yang dapat dijadikan sebagai objek Pencegahan adalah: 1. Penjamin hutang pribadi (borgtoch atau personal guarantee); 2. Penjamin atas pembayaran wesel (avalist); 3. Pengurus dari badan usaha atau badan hukum yang mengikatkan diri sebagai penjamin (corporte guarantee). Dalam melakukan Pencegahan terhadap Penjamin Hutang pribadi (borgtoch atau personal guarantee), disyaratkan adanya ketelitian yang tinggi dari jajaran DJPLN. Ketelitian tersebut diperlukan untuk meminimalisasi kemungkinan timbulnya permasalahan hukum akibat kesalahan melakukan Pencegahan. Salah satu cara menjaga ketelitian tersebut adalah aparat DJPLN yang bertugas mengelola Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) dapat membaca dan mengerti akta Borgtoch secara cermat. Contoh kemungkinan permasalahan hukum yang mungkin terjadi adalah adanya gugatan kepada DJPLN dari Penjamin Hutang yang tidak melepaskan hak istimewanya karena kepada yang bersangkutan dikenakan Pencegahan meskipun barang jaminan dan harta kekayaan milik Penanggung Hutang belum digunakan sebagai pembayaran hutang yang dijamin oleh Penjamin Hutang tersebut. Sebagaimana yang telah diuraikan di dalam Bab II, bahwa hak istimewa adalah hak yang diberikan undang-undang kepada Penjamin Hutang pribadi (Borgtoch) untuk meminta agar barang jaminan dan harta kekayaan Debitur (terminologi dalam pengurusan piutang negara adalah Penanggung Hutang) terlebih dahulu dicairkan atau dijual untuk melunasi hutangnya, dan bila barang jaminan dan harta kekayaan Debitur telah habis, namun hutangnya masih ada, baru kemudian harta kekayaan Penjamin pribadi dicairkan untuk menyelesaikan hutang Debitur dimaksud. Bagaimana kedudukan Borgtoch yang telah melepas hak istemewanya di dalam pengurusan putang negara? Borgtoch demikian mempunyai kedudukan yang sama dengan Penanggung Hutang, artinya si Borgtoch bersama-sama Penanggung Hutang dapat diminta pertanggungjawabannya untuk menyelesaikan hutang Penanggung Hutang sejak awal pengurusan. Pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah, apakah setiap Penanggung Hutang/ Penjamin Hutang dapat dikenakan tindakan pencegahan? Tentu saja jawabannya tidak semua. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa pencegahan merupakan sarana hukum yang dimiliki oleh DJPLN di dalam melaksanakan pengurusan piutang negara yang bertujuan untuk memaksa PH/PjH 262 Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI menyelesaikan hutangnya. Oleh karena itu, tindakan Pencegahan harus mengena pada sasarannya (efektif), dalam arti apabila dilakukan Pencegahan, Penanggung Hutang/Penjamin Hutang diperkirakan akan berupaya untuk menyelesaikan hutangnya atau tidak dapat melaksanakan niatnya untuk pergi ke luar negeri. Dengan demikian, tindakan Pencegahan semata-mata ditujukan kepada Penanggung Hutang/Penjamin Hutang yang tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan hutangnya. Pada akhirnya, Pencegahan yang efektif adalah pencegahan yang menyebabkan salah satu atau beberapa kejadian berikut: ü Penanggung Hutang/Penjamin Hutang melunasi hutang; ü Penanggung Hutang/Penjamin Hutang mengangsur hutang dan memberikan rencana penyelesaian yang jelas. Syarat Pencegahan Berdasarkan Pasal 121 sampai dengan Pasal 123 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002, Pencegahan dapat dilaksanakan apabila telah terpenuhi seluruh syarat berikut ini: 1. Sisa hutang yang masih harus diselesaikan oleh objek Pencegahan (Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang) adalah lebih dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Apabila sisa hutang kurang dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), terhadap objek Pencegahan tetap dapat dilakukan Pencegahan apabila yang bersangkutan sering bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia. Indikator sering tidaknya seseorang ke luar wilayah Republik Indonesia adalah bahwa yang bersangkutan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun melakukan perjalanan ke luar wilayah Republik Indonesia paling sedikit sebanyak 2 (dua) kali. Informasi tentang sering tidaknya objek Pencegahan melakukan perjalanan ke luar negeri tersebut dapat diperoleh/diketahui dari paspor yang bersangkutan, pengakuan objek Pencegahan atau informasi dari Penyerah Piutang. 2. Objek Pencegahan (Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang) beritikad tidak baik, dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. tidak pernah atau jarang memenuhi panggilan KP2LN; Pengurusan Piutang Negara 263 b. belum pernah membayar sama sekali, atau pernah membayar dalam jumlah yang relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan sisa hutangnya; c. menunda-nunda pembayaran tanpa alasan yang sah; dan/atau d. bergaya hidup mewah namun tidak menyelesaikan hutangnya. Informasi tentang hal ini dapat diperoleh dari hasil penelitian lapangan, Penyerah Piutang, dan/atau informasi dari pihak lain. 3. Nilai barang jaminan diperkirakan tidak menutup hutang. Berdasarkan persyaratan di atas, dan dalam rangka efektivitas upaya Pencegahan, maka Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang akan dijadikan sebagai objek Pencegahan agar dicermati dan diteliti secara seksama. Penelitian tersebut ditujukan untuk mengetahui secara jelas apakah Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang akan dikenakan tindakan pencegahan adalah orang yang benar-benar mampu untuk menyelesaikan hutangnya? Pertanyaan tersebut di atas timbul karena berdasarkan pengalaman, sering ditemukan bahwa Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang menduduki jabatan Direksi atau Komisaris suatu perusahaan bukanlah pengambil keputusan/pemilik/pengendali perusahaan tersebut. Pada kenyataannya orang-orang tersebut adalah orang-orang suruhan (seperti pembantu atau sopir, misalnya) pemilik perusahaan yang aktual (secara de facto). Hal tersebut dilakukan oleh pemilik aktual untuk menghindari tanggung jawab selaku pengurus perusahaan. Apabila pencegahan dilakukan terhadap pihak-pihak yang hanya secara de jure saja dan tidak secara de facto bertindak sebagai pengurus atau komisaris perusahaan, maka pencegahan tersebut tidak akan kena sasaran/tidak efektif. Selain persyaratan di atas, Pencegahan yang dilakukan oleh DJPLN harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan, dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing selama 6 (enam) bulan; 2. Pencegahan atau perpanjangan Pencegahan berakhir demi hukum apabila: a. jangka waktu Pencegahan berakhir dan tidak ada perpanjangan; b. jangka waktu perpanjangan Pencegahan pertama berakhir dan tidak ada perpanjangan; atau c. jangka waktu perpanjangan Pencegahan kedua berakhir; 3. dalam jangka waktu Pencegahan atau perpanjangan Pencegahan, kepada Objek Pencegahan dapat diberikan izin ke luar wilayah Republik 264 Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI Indonesia oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan, dengan pertimbangan objek Pencegahan: a. menjalankan tugas negara atau mewakili kepentingan negara di forum internasional; b. menjalankan ibadah haji; c. memerlukan perawatan atau pengobatan kesehatan ke luar wilayah Republik Indonesia yang didukung dengan rekomendasi dari dokter ahli di Indonesia; d. melakukan kerjasama dengan mitra luar negeri untuk kegiatan usaha dalam rangka menyelesaikan hutangnya; atau e. memerlukan pergi ke luar wilayah Republik Indonesia karena alasan kemanusiaan, seperti membesuk atau mendampingi orang tua/suami/istri/anak yang memerlukan pengobatan/perawatan. Prosedur dan Tata Cara Penerbitan Keputusan Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia Tindakan pencegahan ditetapkan dengan keputusan tertulis yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara atas nama Menteri Keuangan. Keputusan tersebut memuat sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut: 1. identitas objek Pencegahan, antara lain: a. nama; b. umur; c. pekerjaan/kedudukan; d. alamat; e. jenis kelamin; f. kewarganegaraan; 2. alasan pencegahan; dan 3. jangka waktu pencegahan. Keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara, dikirimkan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk ditindaklanjuti melalui aparat/petugas imigrasi. Petugas imigrasi inilah yang secara efektif melakukan pencegahan bepergian pada pintu-pintu keluar masuk Indonesia di seluruh Indonesia. Selain itu, keputusan Pencegahan disampaikan dengan surat tercatat kepada objek Pencegahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) Pengurusan Piutang Negara 265 hari terhitung sejak tanggal penetapan. (Pasal 134 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002). Pengertian surat tercatat tersebut di atas, termasuk juga bukti penerimaan oleh objek Pencegahan yang bersangkutan, atau oleh orang lain yang berada pada alamat objek Pencegahan. Contoh: Surat Keputusan Pencegahan terhadap Budi ditetapkan pada tanggal 2 Maret 2000. Surat Keputusan tersebut harus sudah dikirim melalui surat tercatat (pos) atau dengan kurir kepada alamat domisili Budi, paling lambat pada tanggal 9 Maret 2000. Prosedur Pengajuan Usul Pencegahan Usul Pencegahan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang memenuhi persyaratan untuk dicegah, dilakukan secara tertulis oleh KP2LN dan ditujukan kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara. Usul Pencegahan hanya dapat dilaksanakan setelah Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) terbit. Apabila terdapat informasi bahwa Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang akan melakukan perjalanan ke luar wilayah Republik Indonesia, surat usul Pencegahan dapat ditandatangani dan dikirim bersamaan dengan terbitnya SP3N. Usul Pencegahan yang disampaikan oleh KP2LN kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara dilengkapi dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut: 1. fotocopy KTP atau SIM atau dokumen identitas lain yang otentik yang memuat data dan informasi bukti diri objek Pencegahan yang lengkap; 2. alamat terakhir objek Pencegahan; 3. fotocopy perjanjian atau akta borgtoch yang menunjukkan bahwa orang yang akan dicegah adalah benar sebagai borgtoch atau guarantor atau Penjamin Hutang yang melepaskan hak-hak istemewanya atau yang ikut menandatangani Perjanjian Kredit; 4. jumlah pembayaran hutang dan sisa hutang; 5. kondisi terakhir usaha Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; 6. alasan yang mendukung untuk dilakukan pencegahan seperti: a. itikad Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; dan b. perkiraan harga jual barang jaminan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; dan 266 Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI 7. pendapat KP2LN mengenai efektifitas pencegahan dalam arti tindakan pencegahan tersebut akan memberikan dampak positif dalam penyelesaian pengurusan piutang negara. Usul pencegahan tersebut oleh Kantor Pusat DJPLN diteliti dan dianalisa, apabila sudah memenuhi ketentuan dan persyaratan maka diterbitkan Keputusan Penetapan Pencegahan. Salah satu salinan keputusan tersebut disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk ditindaklanjuti, dan satu petikan keputusan tersebut disampaikan kepada objek Pencegahan yang bersangkutan. Menteri Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Imigrasi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal penerimaan Keputusan Penetapan Pencegahan tersebut memasukkan nama orang yang terkena pencegahan ke dalam “Daftar Pencegahan” dan mengirimkannya kepada Kepala Kantor Imigrasi di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk melaksanakan pencegahan. Kantor-kantor Imigrasi melaksanakan pencegahan tersebut di pintu-pintu keluar masuk wilayah Republik Indonesia, seperti di bandar-bandar udara atau di pelabuhan-pelabuhan laut. Paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya masa laku Pencegahan (atau perpanjangan Pencegahan pertama), KP2LN harus mengajukan usul perpanjangan Pencegahan pertama (atau usul perpanjangan Pencegahan kedua) ke Kantor Pusat DJPLN, dilengkapi dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut : 1. identitas objek Pencegahan;. 2. perkembangan penyelesaian hutang Penanggung Hutang; dan 3. alasan yang mendukung perpanjangan pencegahan, antara lain perkembangan penyelesaian hutang dan itikad PH/PjH. Kantor Pusat DJPLN memproses usulan tersebut untuk kemudian menerbitkan Keputusan Perpanjangan Pertama Pencegahan atau Keputusan Perpanjangan Kedua Pencegahan. Selanjutnya, salah satu salinan keputusan tersebut disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk ditindaklanjuti dengan proses yang serupa dengan yang telah diuraikan di atas. Sebagai ilustrasi, berikut adalah contoh proses Pencegahan yang dilakukan dalam rangka optimalisasi pengurusan piutang negara oleh PUPN/DJPLN. 1. Pada tanggal 10 Maret 2000 Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara menetapkan Keputusan Pencegahan untuk bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia terhadap Munasir selaku Direktur PT. ABC untuk Pengurusan Piutang Negara 2. 3. 4. 5. 6. 7. 267 jangka waktu selama 6 (enam) bulan. Dengan demikian, pencegahan tersebut berlaku terhitung sejak tanggal 10 Maret 2000 sampai dengan tanggal 9 September 2000. Paling lambat, 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal 9 September 2000 yaitu tanggal berakhirnya masa laku pencegahan tersebut (tepatnya paling lambat tanggal 9 Agustus 2000), KP2LN mengirimkan usulan secara tertulis kepada Kantor Pusat DJPLN untuk memperpanjang pencegahan terhadap Munasir selaku Direktur PT. ABC. Apabila masa Pencegahan telah lewat 6 (enam) bulan, KP2LN tidak mengusulkan perpanjangan pertama Pencegahan, maka pencegahan tersebut berakhir demi hukum pada tanggal 10 September 2000. Sebelum berakhirnya masa laku Pencegahan terhadap Munasir selaku Direktur PT. ABC tersebut (sebelum tanggal 9 September 2000), berdasarkan usul perpanjangan Pencegahan dari KP2LN, Kantor Pusat DJPLN akan menerbitkan Keputusan Perpanjangan Pertama Pencegahan. Perpanjangan pertama Pencegahan tersebut akan berlaku selama 6 (enam) bulan berikutnya, terhitung sejak tanggal 10 September 2000 sampai dengan tanggal 9 Maret 2001. Apabila masa perpanjangan pertama Pencegahan telah lewat 6 (enam) bulan, KP2LN tidak mengusulkan perpanjangan kedua Pencegahan, maka pencegahan tersebut berakhir demi hukum pada tanggal 9 Maret 2000. Bila KP2LN kembali mengusulkan perpanjangan kedua Pencegahan, maka Keputusan Perpanjangan Kedua Pencegahan akan diterbitkan oleh Kantor Pusat DJPLN dengan masa laku selama 6 (enam) bulan, yaitu sejak tanggal 10 Maret 2001 sampai dengan 9 September 2001. Sejak tanggal 10 September 2001, Munasir selaku Direktur PT. ABC telah bebas dari Pencegahan, atau dengan kata lain Pencegahan terhadap Munasir selaku Direktur PT. ABC telah berakhir demi hukum. Pencegahan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dapat dilakukan untuk setiap kasus piutang negara. Dalam hal terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah dilakukan pencegahan pada salah satu kasus piutang negara, tidak perlu dilakukan pencegahan kembali terhadap kasus piutang negara yang lain, sepanjang jangka waktu pencegahan untuk kasus yang pertama masih berlaku. Bilamana masa pencegahan untuk kasus yang pertama telah berakhir, terhadap Penanggung Hutang/Penjamin Hutang tersebut dapat diusulkan kembali untuk dilakukan pencegahan atas kasus yang lain. 268 Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI Sebagai ilustrasi, berikut adalah contoh proses Pencegahan yang dilakukan dalam rangka optimalisasi pengurusan piutang negara oleh PUPN/DJPLN. 1. Udin adalah Penanggungjawab PT. X, di samping itu yang bersangkutan menjadi penanggungjawab PT. Y. Pengurusan piutang atas nama kedua Penanggung Hutang tersebut (PT. X dan PT. Y) telah diserahkan kepada KP2LN. 2. KP2LN dapat mengajukan usul kepada Kantor Pusat untuk melakukan Pencegahan terhadap Udin selaku penanggungjawab PT. X paling lama 18 bulan. Setelah masa Pencegahan tersebut berakhir demi hukum, terhadap Udin masih bisa dikenakan pencegahan dengan jangka waktu paling lama 18 bulan. Namun pencegahan tersebut tidak dilakukan terhadap Udin selaku Penanggungjawab PT. X, tetapi selaku Penanggungjawab PT. Y. Apabila Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dapat menyelesaikan hutangnya sebelum jangka waktu pencegahan berakhir, maka KP2LN harus mengajukan usul pencabutan pencegahan. Usul pencabutan tersebut dilengkapi dengan dokumen dan keterangan sebagai berikut : 1. identitas Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang menjadi objek Pencegahan; 2. perkembangan penyelesaian hutang; 3. alasan yang mendukung pencabutan pencegahan, antara lain: • Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang melunasi/menyelesaikan hutangnya; • Kasusnya telah ditarik oleh Penyerah Piutang; • Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah menunjukkan itikad baik dengan melakukan pembayaran ke arah pelunasan dan ada kejelasan rencana penyelesaian atas sisa hutang. Misal: barang jaminan telah terjual untuk mengangsur hutang dan untuk menyelesaikan sisa hutangnya Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang berupaya dari sumber lain; dan • Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah meninggal dunia. Kantor Pusat DJPLN meneliti dan menganalisa usulan KP2LN tersebut. Apabila permohonan tersebut dapat dipertimbangkan, maka diterbitkan Keputusan Pencabutan Pencegahan, dan selanjutnya salinan keputusan tersebut disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk ditindaklanjuti. Pengurusan Piutang Negara 269 Dalam praktek, terdapat usul pencabutan Pencegahan yang diajukan dengan pertimbangan objek Pencegahan tidak lagi berkedudukan sebagai komisaris/direksi perusahaan yang memiliki hutang kepada negara (perusahaan tersebut merupakan Penanggung Hutang). Dalam menindaklanjuti usul pencabutan pencegahan tersebut, perlu dilakukan analisa dan penelitian untuk membuktikan bahwa perubahan susunan pengurus (direksi) dan pengawas (komisaris) perusahaan tersebut telah disetujui oleh Penyerah Piutang. Apabila belum ada persetujuan, maka kepada yang objek Pencegahan tersebut diminta untuk melampirkan persetujuan Penyerah Piutang atas perubahan susunan pengurus perusahaan Penanggung Hutang. Persetujuan tersebut diperlukan untuk memenuhi salah satu klausul dalam Perjanjian Kredit yang mengatur bahwa segala perubahan yang menyangkut modal, kepemilikan saham, atau susunan pengurus terlebih dahulu harus mendapat persetujuan Kreditur. Rangkuman Pencegahan dilakukan dalam rangka pengamanan kekayaan dan kelancaran pengurusan piutang negara. Tindakan pencegahan dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara efektif, mengingat tindakan pencegahan terkait dengan hak asasi manusia di mana setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk melakukan perjalanan ke luar negeri. Oleh karena itu, diperlukan adanya batasan atau kriteria yang jelas, PH/PjH mana saja dapat dikenakan pencegahan. Pelaksanaan Pencegahan tersebut, harus dikoordinasikan secara cermat antara Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM. Koordinasi tersebut dilaksanakan mengingat hal-hal sebagai berikut: 1. Keputusan tentang Penetapan Pencegahan, Perpanjangan Pencegahan Pertama, Perpanjangan Pencegahan Kedua diterbitkan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara atas nama Menteri Keuangan; 2. Operasionalisasi di lapangan atas keputusan-keputusan tersebut pada angka 1 di atas dilaksanakan oleh Direktorat Imigrasi Departemen Hukum dan HAM, yang memiliki aparatur yang bertugas di bandar udara dan pelabuhan laut dan memonitor lalu lintas orang ke luar dan masuk wilayah Republik Indonesia. 270 Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI Usul penetapan Pencegahan, perpanjangan pertama Pencegahan, perpanjangan kedua Pencegahan, pencabutan Pencegahan, dan izin sementara ke luar negeri diajukan oleh KP2LN kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara. Usul tersebut harus senantiasa didukung dengan dokumen/data, alasan serta pertimbangannya. Di samping itu, pertimbangan yang paling utama dalam pengajuan Pencegahan adalah efektivitas dari pencegahan itu sendiri. - o0o - Latihan Untuk mengingatkan kembali materi yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di bawah ini: 1. Pencegahan terhadap Penanggung Hutang dan Penjamin Hutang dapat dilakukan dalam hal jumlah piutang negara sebagai berikut: a. Rp. 1 Milyar atau lebih atau kurang dari Rp. 1 Milyar, tetapi Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sering bepergian ke luar negeri. b. Rp. 500 juta atau lebih atau kurang dari Rp. 500 juta, tetapi Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sering bepergian ke luar negeri. c. Rp. 250 juta atau lebih. d. Rp. 500 juta atau lebih. 2. Penjamin hutang adalah orang atau badan sebagaimana dimaksud di bawah ini, kecuali: a. Borgtocht b. Avalis c. Persero diam d. Corporate guarantee 3. Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang dapat dikenakan pencegahan ke luar negeri adalah: Pengurusan Piutang Negara a. b. c. d. 271 Komisaris utama Direktur utama Borgtoch Jawaban a, b, dan c benar 4. Dalam hal apa saja DJPLN dapat melakukan pencegahan terhadap borgtoch yang tidak melepaskan hak istimewanya? a. Dalam hal agunan telah habis dicairkan/dilelang b. Debitur tidak lagi mempunyai harta kekayaan lain yang dapat dipergunakan untuk melunasi hutang c. Jawaban a benar d. Jawaban a dan b benar 5. Dasar hukum pencegahan, sepanjang menyangkut urusan piutang negara diatur dalam: a. Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 b. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 c. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 6. Pencegahan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dapat dilakukan apabila: a. Telah diterbitkan Surat Paksa b. Telah diterbitkan SP3N c. Jawaban a dan b benar d. Telah dilakukan pengusutan/pemeriksaan 7. Yang dimaksud dengan pencegahan berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 adalah: a. Larangan untuk ke luar negeri. b. Larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk ke luar negeri dari wilayah Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu. c. Larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk masuk wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu. d. Larangan untuk ke luar dan masuk wilayah Republik Indonesia terhadap orang-orang tertentu berdasarkan alasan tertentu. 272 Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI 8. Pencegahan dilakukan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang: a. Melakukan tindakan atau sikap bermusuhan terhadap negara dan pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. b. Telah lama meninggalkan Indonesia c. Mempunyai hutang kepada negara namun tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikannya d. Tersangkut tindak pidana 9. Menteri Keuangan hanya dapat mengenakan tindakan pencegahan yang menyangkut: a. Urusan keimigrasian b. Urusan piutang negara c. Urusan pidana d. Urusan keamanan dan pertahanan wilayah Republik Indonesia 10. Penangkalan dapat dilakukan oleh pejabat pemerintah, kecuali: a. Jaksa Agung b. Menteri Hukum dan HAM c. Pangab/Panglima TNI d. Menteri Keuangan 11. Keputusan Pencegahan berlaku untuk jangka waktu paling lama: a. 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 6 (enam) bulan. b. 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali tidak lebih dari 8 (delapan) bulan. c. 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing tidak lebih dari 6 (enam) bulan. d. 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 3 (tiga) kali tidak lebih dari 6 (enam) bulan. 12. Pencegahan harus dengan keputusan yang memuat sekurang-kurangnya: a. Identitas, alasan dan jangka waktu pencegahan. b. Identitas, jangka waktu dan tujuan pencegahan. c. Identitas, tujuan pencegahan dan jumlah piutang negara. d. Identitas, jumlah piutang negara dan jangka waktu pencegahan. 273 Pengurusan Piutang Negara 13. Apabila tidak ada Keputusan Perpanjangan pencegahan pertama, pencegahan tersebut: a. Dianggap masih berlaku b. Batal demi hukum c. Ditunda d. Berakhir demi hukum setelah berakhirnya 14. Pelaksanaan Keputusan Pencegahan dilakukan oleh: a. Menteri Keuangan b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai c. Menteri Hukum dan HAM atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk olehnya. d. Bank Indonesia 15. Keputusan Pencegahan harus disampaikan kepada Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang paling lambat: a. 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan b. 7 (tujuh) hari sejak tanggal penetapan c. 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penetapan d. 14 (empat belas) hari sejak tanggal penetapan 16. Sejak kapan borgtocht yang melepaskan hak istimewanya dikenakan tindakan pencegahan: a. Harta kekayaan debitur telah habis terjual. b. Diterbitkannya SP3N. c. Setelah adanya pengusutan/pemeriksaan d. Diterbitkannya Pernyataan Bersama. 17. Keputusan Pencegahan terhadap Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang diterbitkan oleh: a. Kepala KP2LN. b. Ketua PUPN Cabang. c. DJPLN atas nama Menteri Keuangan. d. Direktur Piutang Negara Perbankan atas nama Menteri Keuangan. 18. Dengan pertimbangan/alasan di bawah ini, Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dapat diberi izin untuk bepergian ke luar negeri, kecuali: a. Mengikuti seminar. 274 Bab 9 : Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah RI b. Menjalankan ibadah agama. c. Kemanusiaan. d. Melakukan pengobatan dan perawatan. 19. Keputusan Pencegahan diterbitkan apabila: a. Telah memperoleh persetujuan dari Penyerah Piutang. b. Telah memperoleh persetujuan dari Kejaksaan Tinggi setempat. c. Telah memperoleh persetujuan dari Kepala DJPLN. d. Jawaban a, b dan c salah semua. 20. Dalam hal terdapat Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang telah dikenakan pencegahan pada kasus piutang negara selama 18 (delapan belas) bulan, maka terhadap kasus piutang negara lainnya, PH/PjH dimaksud dapat : a. Dikenakan tindakan pencegahan maksimal 6 (enam) bulan. b. Dikenakan tindakan pencegahan maksimal 12 (dua belas) bulan c. Dikenakan tindakan pencegahan maksimal 18 (delapan belas) bulan d. Dikenakan tindakan pencegahan sampai hutangnya dilunasi - o0o - BAB 10 PEMERIKSAAN DALAM PENGURUSAN PIUTANG NEGARA Sasaran Pembelajaran Setelah membaca dan mempelajari Bab ini diharapkan para mahasiswa Prodip III Keuangan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya dapat mengerti dan memahami pengertian, tata cara, pedoman serta sasaran/tujuan yang hendak dicapai dari kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh KP2LN dalam rangka pengurusan piutang negara. Pendahuluan 276 Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya selalu dihadapkan pada berbagai masalah dan hambatan yang terus meningkat baik kualitas dan kuantitasnya sejalan dengan perkembangan serta dampak kondisi perekonomian saat ini. Hambatan yang paling menonjol adalah jumlah Piutang Negara yang jauh melebihi nilai barang jaminan, barang jaminan yang bermasalah, bahkan seringkali piutang negara yang bersangkutan tidak didukung oleh adanya barang jaminan. Selain itu, pengurusan piutang negara seringkali pula dihadapkan pada permasalahan “menghilangnya” Penanggung Hutang/Penjamin Hutang (PH/PjH) termasuk Ahli Waris, begitu juga masalah piutang yang sudah diterbitkan PSBDT namun berdasarkan informasi yang diterima yang bersangkutan masih mempunyai harta kekayaan/usaha yang dapat digunakan untuk menyelesaikan hutangnya. Untuk menghadapi masalah-masalah tersebut di atas, telah diupayakan adanya kegiatan Pemeriksaan/ “Pengusutan” sebagaimana telah beberapa kali diatur dalam Keputusan Kepala BUPLN Nomor KEP-11/PN/1999 tanggal 12 Mei 1999 dan terakhir diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002. Namun ketentuan tersebut hanya memuat aturan yang tidak terlalu detail (teknis), sehingga pelaksanaan pemeriksaan di lapangan menghadapi kendala dan belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Untuk kepentingan tersebut diperlukan suatu “pedoman” yang mengatur secara lebih terperinci mengenai “pengusutan”/pemeriksaan sehingga dapat diterapkan di lapangan dan dapat menjadi petunjuk untuk menemukan keberadaan, kemampuan, harta kekayaan PH/PjH termasuk Ahli Waris, serta menemukan fisik barang jaminan. Hasil-hasil temuan tersebut diharapkan dapat membantu penyelesaian Piutang Negara dalam rangka meningkatkan hasil pengurusan sesuai dengan yang diharapkan. “Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pengurusan Piutang Negara” merupakan pengaturan lebih lanjut tentang pengusutan sebagaimana dimaksud di atas. Ketentuan tentang pemeriksaan ini diperkirakan akan dapat diterapkan di lapangan karena telah mengatur secara lebih jelas dan terperinci mengenai pedoman berikut langkah-langkah dalam pelaksanaan pemeriksaan. Dengan demikian diharapkan ketentuan ini dapat menjadi “darah segar” bagi DJPLN dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam rangka turut serta menyelamatkan/mengamankan Keuangan Negara. Pengurusan Piutang Negara 277 Penjelasan lengkap tentang pemeriksaan dalam pengurusan piutang negara akan diuraikan berikut ini. Dasar Hukum Tugas/Wewenang PUPN/DJPLN untuk Melakukan Pengusutan/ Pemeriksaan Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dijadikan sebagai dasar hukum PUPN/DJPLN dalam “pemeriksaan” adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; 4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (stbl.1847 Nomor 23); 5. Keputusan Presiden nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara; 6. Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi Dan Tugas Departemen, terakhir diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2005; 7. Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen Keuangan; 8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan; 9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan; 10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara; 11. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang Dan Lelang Negara Dan Kantor Pelayanan Piutang Dan Lelang Negara; 12. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 tentang Panitia Urusan Piutang dan Lelang Negara. Definisi / Pengertian Pemeriksaan 278 Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara Pengertian pengusutan/pemeriksaan dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Usut/mengusut adalah : ü memeriksa, menyelidiki suatu perkara (hal dan sebagainya) yang belum terang; ü mencari/meminta keterangan tertentu suatu perkara (hal dan sebagainya). (Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ketiga (Jakarta: Balai Pustaka,1990) , hal.671). b. Pengusutan/Pemeriksaan adalah: ü Proses, pembuatan, cara mengusut; penyelidikan; untuk pengusutan / pemeriksaan lebih lanjut ü Usaha mencari bahan-bahan bukti apabila timbul dugaan seseorang melakukan suatu tindak pidana. ( Departemen P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ketiga(Balai Pustaka 1990), hal.671). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pengusutan/pemeriksaan dapat juga diartikan sebagai penyelidikan. Pengertian penyelidikan dan penyelidik adalah: a. Penyelidikan adalah : Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undangundang ini. (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1 butir ke 5 dan Undang-undang No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian RI Pasal 1 butir ke 7). b. Penyelidik adalah : Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyelidikan. (Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1 butir ke 4 dan UU No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian RI Pasal 1 butir ke 6 ). Di dalam Keputusan Kepala BUPLN Nomor : KEP-11/PN/1999 tanggal 12 Mei 1999 mengenai petunjuk Teknis dan Tata Cara Pengurusan piutang Negara Bab X angka I menyatakan bahwa : Pengurusan Piutang Negara 279 Pengusutan/Pemeriksaan adalah suatu upaya yang dilakukan oleh KP2LN untuk memperoleh informasi atas diri Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, usaha dan/atau harta kekayaan atau kemampuan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang dalam pelaksanaannya memperhatikan prinsip efisiensi dan efektifitas Pengurusan Piutang Negara. Dalam keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/ 2002, Pemeriksaan adalah: serangkaian upaya penelitian yang dilakukan Pemeriksa guna memperoleh informasi dan atau bukti-bukti dalam rangka penyelesaian Piutang Negara. ( Pasal 1 butir 27 ) Kesimpulan : a. Pengusutan/Pemeriksaan dalam kaitannya dengan Pengurusan Piutang Negara adalah: suatu upaya/usaha yang dilakukan oleh pengusut/pemeriksa untuk mencari/memperoleh informasi, mengumpulkan bukti-bukti, meminta keterangan-keterangan tertentu dari berbagai pihak atas diri PH/PjH guna menentukan ada tidaknya usaha dan/atau harta kekayaan atau kemampuan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang serta keberadaannya dalam rangka penyelesaian Piutang Negara dengan memperhatikan prinsip efisiensi dan efektifitas. b. Pengusut/Pemeriksa adalah : Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu DJPLN yang diberi wewenang khusus oleh peraturan perundangundangan untuk melakukan pengusutan. c. Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/ 2002 secara operasional dirumuskan sebagai berikut : Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan Pemeriksaan. (Pasal 1 butir 28 ). Terminologi. Dalam pengurusan piutang negara sekarang ini, terminologi yang digunakan adalah pemeriksaan. Terminologi pengusutan tidak digunakan lagi karena 280 Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara terminologi tersebut dapat dikonotasikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh petugas kepolisian, atau petugas intelijen dari instansi lainnya, sedangkan pemeriksaan yang dilakukan oleh DJPLN hanya sebatas pencarian dan validasi data yang terkait dalam pengurusan piutang negara. Tujuan, Objek & Sasaran Pemeriksaan Tujuan, obyek, dan sasaran pemeriksaan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Tujuan Pemeriksaan adalah untuk penyelamatan/pengamanan keuangan negara. Pengusutan/pemeriksaan dilakukan dengan tujuan untuk menyelesaikan, menyelamatkan/ mengamankan keuangan negara dengan cara melakukan penelitian, mencari dan mengumpulkan bukti-bukti/dokumen dan informasi atas diri Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang termasuk Borg atau Ahli Waris usaha dan harta kekayaan atau kemampuan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, termasuk Borg atau Ahli Waris beserta keberadaannya. 2. Objek Pemeriksaan adalah : a. Penanggung Hutang; b. Penjamin Hutang; c. harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, termasuk Borg atau Ahli Waris; d. kemampuan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang termasuk Borg atau Ahli Waris yang antara lain dapat dibuktikan dari penghasilan dan atau usahanya; e. keberadaan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang termasuk Borg dan Ahli Waris; f. fisik barang jaminan yang belum diketemukan, sedangkan dokumen barang jaminan lengkap dan dikuasai oleh KP2LN. 3. Sasaran Pemeriksaan adalah sebagai berikut : Sasaran pelaksanaan pemeriksaan adalah diperolehnya kebenaran informasi obyek pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada butir 2 di atas. Dengan diperolehnya kebenaran informasi atas obyek pemeriksaan, maka akan diperoleh hasil sebagai berikut: Pengurusan Piutang Negara 281 a. Pelunasan atau pembayaran Piutang Negara, baik melalui tindakan eksekusi maupun non eksekusi. b. Penerbitan surat PSBDT (Piutang yang Untuk Sementara Belum Dapat Ditagih). c. Penghapusan Piutang Negara melalui mekanisme usul rekomendasi penghapusan kepada Menteri Keuangan dan atau pejabat yang berwenang. d. Penyanderaan/Paksa Badan (Gijezeling/Lijfdwang) dan tindakan pencegahan ke luar negeri. Syarat-Syarat Pemeriksaan Pemeriksaan dapat dilakukan dengan memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Pemeriksaan dapat dilakukan pada setiap tahap pengurusan setelah SP3N diterbitkan dengan memperhatikan faktor efisiensi dan efektifitasnya. Jadi pemeriksaan hanya dapat dilakukan oleh KP2LN apabila telah diterbitkan SP3N. 2. Pemeriksaan dilakukan bilamana diperoleh adanya laporan, pemberitahuan, pengaduan dari pihak terkait terutama dari pihak Penyerah Piutang mengenai harta kekayaan, kemampuan/usaha serta keberadaan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang termasuk Borg atau Ahli Waris. 3. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap setiap kasus Piutang Negara dengan kriteria/persyaratan sebagai berikut: a. fisik barang jaminan belum diketemukan, sedangkan dokumen barang jaminan lengkap dan dikuasai KP2LN; b. barang jaminan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sudah habis namun berdasarkan informasi yang bersangkutan mempunyai harta kekayaan lain yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan hutangnya; atau c. Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang tidak diketahui alamat/domisili atau menghilang ; atau d. dalam rangka memberikan pertimbangan mengenai usul Penghapusan Piutang Negara; e. piutang negara untuk sementara dihentikan pengurusannya namun diperoleh informasi bahwa Penanggung Hutang dan/atau Penjamin 282 Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara Hutang termasuk Borg atau Ahli Waris mempunyai harta kekayaan/kemampuan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan hutangnya; f. pada saat akan diterbitkan SPPBS dalam rangka memastikan adanya barang jaminan dan atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang baik jenis maupun jumlahnya. Petugas Pemeriksa Pegawai/Pejabat DJPLN yang diangkat oleh Menteri Keuangan dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Piutang Dan Lelang Negara atas nama Menteri Keuangan untuk melakukan pemeriksaan adalah pegawai/pejabat yang dianggap mampu untuk melaksanakan tugas dimaksud dan memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dalam melaksanakan tugasnya Petugas Pemeriksa minimal terdiri dari 2 ( dua ) orang yang dilengkapi dengan: 1. Surat Tugas; 2. Tanda Pengenal dan atribut lainnya; 3. alat-alat pendukung lainnya. Tugas dan Wewenang Petugas Pemeriksa Tugas Petugas Pemeriksa adalah melakukan pemeriksaan dengan cara sebagai berikut: 1. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan/bukti-bukti/dokumen dokumen sehubungan dengan adanya informasi atas diri Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang termasuk Borgocht atau Ahli Waris, usaha dan/atau harta kekayaan atau kemampuan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang termasuk Borgtocht atau Ahli Waris; 2. meminta informasi/keterangan dari berbagai pihak atas diri Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, usaha dan/atau harta kekayaan atau kemampuan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; 3. melakukan wawancara/konfirmasi dengan berbagai pihak yang berkaitan dengan obyek yang akan diusut. Petugas Pemeriksa mempunyai kewenangan sebagai berikut: Pengurusan Piutang Negara 283 1. Dapat memasuki kediaman/rumah, kantor, pekarangan, tempat usaha/tempat kediaman yang diduga/patut diduga milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. 2. Memotret dan/atau merekam melalui media audio visual terhadap barang atau apa saja yang diduga atau patut diduga sebagai bukti ada dan tidaknya usaha dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. 3. Memeriksa catatan dan pembukuan yang diduga atau patut diduga berasal dari usaha milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang dan dapat meminta turunan dokumen yang diperlukan dalam pemeriksaan dan disahkan oleh pihak yang bersangkutan. 4. Melakukan tindakan-tindakan lain yang dianggap perlu demi kelancaran tugas pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tata Cara Pemeriksaan Pemeriksaan dilaksanakan dengan menempuh tahap-tahap sebagai berikut: 1. Persiapan Pemeriksaan a. apabila menerima laporan atau informasi yang dapat dipercaya, maka KP2LN menugaskan Kepala Seksi PBJ, untuk melakukan pemeriksaan atas kemampuan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; b. Kepala Seksi Penataan Barang Jaminan membuat konsep Surat Tugas atas nama Petugas Pemeriksa disertai nota program pengusutan dan paling lambat dalam waktu 1 (satu) hari menyampaikan kepada Kepala KP2LN untuk ditandatangani; c. Surat Tugas Pemeriksaan sekurang-kurangnya memuat: 1) Kepala KP2LN menugaskan Petugas Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan; 2) identitas Petugas Pemeriksa; 3) setelah melakukan pengusutan agar menyampaikan laporan tertulis kepada Kepala KP2LN; 4) tanda tangan Kepala KP2LN. d. Nota Program Pemeriksaan sekurang-kurangnya memuat : 284 Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara 1) identitas Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; 2) sisa Hutang; 3) asal informasi; 4) program kerja; 5) waktu dan petugas yang diperlukan; 6) ditandatangani Kepala Seksi Penataan Barang Jaminan e. Kepala KP2LN menandatangani Surat Tugas dan paling lambat dalam waktu 3 (tiga) hari menyampaikan kepada Kepala Seksi Penataan barang jaminan melalui Sub Bagian/Urusan Tata Usaha setelah diberi nomor, tanggal dan stempel. 2. Pelaksanaan Pemeriksaan a. Berdasarkan Surat Tugas Pemeriksaan, Petugas Pemeriksa melaksanakan pemeriksaan atas kemampuan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sesuai dengan program pemeriksaan. b. Dalam melaksanakan Pemeriksaan, Petugas Pemeriksa harus : 1) memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal; 2) memperlihatkan Surat Tugas; 3) memberitahukan tentang maksud dan tujuan pengusutan. c. Dalam melaksanakan pemeriksaan, Petugas Pemeriksa wajib menjunjung hukum yang berlaku. d. Dalam melaksanakan pemeriksaan, Petugas Pemeriksa dapat meminta bantuan kepada: 1) Kepolisian Negara RI; 2) Pejabat Daerah setempat; 3) instansi lain yang ada hubungannya dengan objek yang akan diusut. e. Petugas Pemeriksa dalam memasuki rumah/tempat kediaman, kantor, tempat usaha/tempat kegiatan yang diduga/patut diduga milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang harus disaksikan minimal oleh seorang saksi dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang menyetujuinya. f. Petugas Pemeriksa dalam memasuki rumah/tempat kediaman, kantor, tempat usaha/tempat kegiatan yang diduga/patut diduga milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang harus didampingi oleh Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dengan disaksikan minimal oleh Pengurusan Piutang Negara 285 seorang saksi dalam hal Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang tidak menyetujui atau tidak ada/tidak diketahui keberadaannya. g. Mendayagunakan para anggota PUPN dan Penyerah Piutang serta Pejabat terkait. h. Memanggil Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang untuk dimintakan pertanggungjawaban. 3. Laporan Hasil Pemeriksaan a. Setelah selesai melakukan tugas, Petugas Pemeriksa membuat dan menandatangani laporan Pelaksanaan Pemeriksaan yang disampaikan kepada Kepala KP2LN melalui Kepala Seksi Penataan Barang Jaminan untuk tindak lanjut pengurusan. b. Laporan Pemeriksaan sekurang-kurangnya memuat : 1) identitas petugas Pemeriksa; 2) nama Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang; 3) tanggal pemeriksaan; 4) pokok-pokok hasil pemeriksaan; ü Dasar Pemeriksaan ü Temuan/Fakta ü Analisis/Kesimpulan ü Tanda Tangan Petugas Pemeriksa. c. Dalam hal letak objek yang akan diperiksa berada di luar wilayah kerja KP2LN yang menerbitkan Surat Tugas Pemeriksaan, maka Kepala KP2LN yang menerbitkan Surat Tugas Pemeriksaan dapat meminta bantuan secara tertulis kepada KP2LN di wilayah kerja di mana objek yang akan diperiksa berada dengan melampirkan Program Pemeriksaan. Apabila pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa dari KP2LN yang menerbitkan surat tugas pemeriksaan, maka KP2LN tersebut terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis kepada KP2LN di wilayah kerja di mana objek yang akan diusut/diperiksa itu berada. d. KP2LN yang menerima permintaan bantuan pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud dalam butir 3, yang memberitahukan tindakan-tindakan Petugas Pemeriksa yang dilakukan dan hasil pelaksanaan pemeriksaan agar secepatnya diberitahukan kepada Kepala KP2LN yang meminta bantuan, paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah tugas pemeriksaan selesai dilaksanakan. 286 Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara Tindak Lanjut Pemeriksaan Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan diharapkan akan diperoleh berbagai alternatif penyelesaian pengurusan piutang pegara, atau dengan perkataan lain akan diperoleh hasil/output sebagai berikut : 1. Pemblokiran harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. 2. Penyitaan. 3. Angsuran/Pelunasan. 4. Lelang. 5. PSBDT. 6. Penghapusan Piutang Negara. 7. Pencegahan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang bepergian ke luar negeri. 8. Penyanderaan/Paksa Badan (Gijzeling/Lijfdwang). Untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan flowchart pemeriksaan yang dilakukan oleh KP2LN. 10.1. Flow Chart PEMERIKSAAN – KP2LN PBJ Informasi Tentang Objek Pemeriksaan PP KEPALA KANTOR PNP Sumber Info Lain Paling lambat 3 hari KASUBAG/KAUR TATA USAHA - Surat Tugas - Program Pemeriksa INSTANSI TERKAIT KASI/KASUBSI PBJ - Kartu Tanda Pengenal - Surat Tugas - Alat Pendukung Lain PH/PjH 9 P E R S I A P A N P E L A K Pengurusan Piutang Negara 287 Rangkuman Pengusutan, yang dalam praktek pengurusan piutang negara disebut dengan istilah pemeriksaan, adalah suatu upaya/usaha yang dilakukan oleh pemeriksa untuk mencari/memperoleh informasi, mengumpulkan bukti-bukti, meminta keterangan-keterangan tertentu dari berbagai pihak atas diri Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang guna menentukan ada tidaknya usaha dan atau harta kekayaan atau kemampuan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang serta keberadaannya dalam rangka penyelesaian pengurusan Piutang Negara dengan memperhatikan prinsip efisiensi dan efektivitas. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh PPNS (Pejabat Pegawai Negeri Sipil) di lingkungan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan untuk melakukan tugas, wewenang dan tanggung jawab pemeriksaan. Mengingat posisinya yang cukup strategis dalam keseluruhan proses pengurusan piutang negara, maka pelaksanan tugas, wewenang dan tanggung jawab pemeriksaan tersebut harus dilakukan oleh SDM yang berkualitas, yaitu yang memenuhi kriteria/persyaratan, antara lain minimal berijazah S1(Sarjana, diutamakan Sarjana Hukum), mengikuti dan lulus diklat Pemeriksaan, sehat 288 Bab 10 : Pemeriksaan dalam Pengurusan Piutang Negara jasmani dan rohani serta mempunyai integritas dan dedikasi yang cukup tinggi. Obyek pemeriksaan adalah Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, keberadaan dan kemampuan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang termasuk borg/guarantor, dan ahli warisnya serta lokasi dan kondisi fisik barang jaminan. Sasaran tugas pemeriksaan adalah memperoleh kebenaran informasi atas obyek pemeriksaan dengan tujuan utamanya tidak lain adalah untuk menyelamatkan/mengamankan keuangan negara. Agar diperoleh hasil yang optimal, maka dalam melakukan tugas dimaksud petugas pemeriksa harus mengikuti pedoman dan tata cara serta pertahapannya, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan laporan pemeriksaan. Dari pemeriksaan tersebut diharapkan diperoleh hasil berupa tindak lanjut yang nyata, seperti pemblokiran harta kekayaan milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, penyitaan, angsuran atau bahkan pelunasan hutang oleh Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang, pelelangan, PSBDT, pencegahan bepergian ke luar negeri dan juga penyanderaan/paksa badan. - o0o - Latihan Untuk mengingatkan kembali yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di bawah ini! 1. Apa yang dimaksud dengan ”Pemeriksaan”dan siapa pula”Pemeriksa”itu ? 2. Sebutkan apa saja yang menjadi obyek pemeriksaan ! 3. Apa yang menjadi sasaran tugas pemeriksaan itu ? 4. Apa pula tujuan dilakukannya pemeriksaan ? 5. Tindak lanjut apa saja yang dapat dilakukan dari upaya pemeriksaan itu ? 289 Pengurusan Piutang Negara - o0o - BAB 11 PENYELESAIAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA Sasaran Pembelajaran Setelah mempelajari Bab ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami cara-cara penyelesaian Pengurusan Piutang Negara. Penyelesaian pengurusan piutang negara yang akan diuraikan dalam bab ini tidak terbatas hanya pada pelunasan hutang, tetapi lebih dari itu, penyelesaian pengurusan piutang negara dapat juga diselesaikan secara administratif yang berupa penarikan pengurusan piutang negara oleh Penyerah Piutang atau penerbitan pernyataan piutang negara sementara belum dapat ditagih (PSBDT). 292 Bab 11 : Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara Pendahuluan Mengingatkan kembali uraian pada bab-bab sebelum ini, kegiatan yang dilakukan oleh PUPN tidak hanya sekedar ditujukan untuk penyelesaian piutang negara, yaitu lunasnya hutang Penanggung Hutang. Hal tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa karena berbagai sebab tidak semua Penanggung Hutang yang akan dapat melunasi hutangnya. Oleh karena itu, upaya-upaya yang dilakukan PUPN pada dasarnya ditujukan untuk mengurus (atau mengelola) piutang negara dalam rangka penagihan piutang secara cepat dan efisien dengan tetap memberikan jaminan hukum kepada para Penanggung Hutang. Namun demikian, bukan berarti bahwa pelunasan hutang Penanggung Hutang tidak menjadi tujuan lagi. Pelunasan tetap menjadi tujuan utama kinerja PUPN, selain tambahan upaya berupa pengurusan piutang negara untuk mencapai hasil penagihan yang optimal. Jika hanya ditujukan untuk penyelesaian piutang negara, maka terdapat kemungkinan upaya-upaya yang dilakukan PUPN hanya semata-mata ditujukan untuk pemenuhan tugas saja, seperti eksekusi barang jaminan dan pelaksanaan paksa badan kepada Penanggung Hutang. Eksekusi barang jaminan tersebut umumnya tidak dapat menyelesaikan piutang negara, mengingat secara umum nilai barang jaminan tidak menutup (meng-cover) jumlah hutang. Oleh karena itu, jika barang jaminan habis dilelang, masih terdapat sisa hutang yang harus diselesaikan oleh Penanggung Hutang. Bila Penanggung Hutang sudah tidak memiliki kemampuan lagi, tentu yang bersangkutan tidak akan mampu melunasi hutangnya. Sisa hutang yang masih ada tersebut menunjukkan bahwa piutang negara masih belum bisa diselesaikan. Situasi tersebut, pada gilirannya akan menunjukkan bahwa PUPN tidak dapat melaksanakan tugasnya. Bila ditujukan untuk mengurus/mengelola piutang negara, maka kinerja PUPN akan diarahkan untuk secara cepat mencapai hasil penagihan piutang negara yang optimal dan dilakukan dengan cara yang efisien, dengan tetap memberikan kepastian hukum kepada para Penanggung Hutang. Dalam upaya mendapatkan hasil penagihan yang optimal dengan proses yang cepat dan efisien, PUPN tentu tidak akan semata-mata melakukan eksekusi barang jaminan atau melakukan paksa badan kepada Penanggung Hutang, apalagi terhadap Penanggung Hutang yang bersikap kooperatif. Untuk itu, PUPN juga mengenal pendekatan non eksekusi yang diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih optimal dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari pendekatan eksekusi. Pengurusan Piutang Negara 293 Pengurusan piutang negara oleh PUPN pada suatu saat tertentu harus diselesaikan. Penyelesaian proses pengurusan dimaksud dapat disebabkan karena Penanggung Hutang menyelesaikan hutangnya, Penyerah Piutang menarik kembali pengurusan piutang negara, PUPN mengembalikan pengurusan piutang negara, atau PUPN menghentikan sementara pengurusan dengan menerbitkan PSBDT. Penjelasan atas masing-masing jenis penyelesaian pengurusan piutang negara akan diuraikan berikut ini. Pelunasan Salah satu cara penyelesaian pengurusan piutang negara yang paling diharapkan terjadi adalah pelunasan hutang Penanggung Hutang. Pelunasan hutang tersebut dapat ditempuh dengan berbagai cara, yaitu pembayaran baik secara sekaligus maupun angsuran, penebusan barang jaminan oleh Penjamin Hutang, dan penjualan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang baik melalui lelang maupun tidak melalui lelang. Kepada Penanggung Hutang yang telah melunasi hutangnya akan diterbitkan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas (SPPNL) oleh PUPN. SPPNL tersebut terbit setelah KP2LN selesai melakukan verifikasi atas kebenaran bukti-bukti pembayaran (baik pembayaran hutang maupun pembayaran Biaya Adminsitrasi Pengurusan Piutang Negara). Untuk keperluan administrasi dan memenuhi hak Penyerah Piutang, selain diberikan kepada Penanggung Hutang, SPPNL juga diberikan kepada Penyerah Piutang. Dengan terbitnya SPPNL, maka PUPN akan mengangkat sita dan/atau mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut pemblokiran atas barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang masih ada dan masih diletakkan sita atau blokir terhadapnya. Selain itu, PUPN juga menyerahkan dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang masih ada, dengan ketentuan: 1. dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang diserahkan kepada Penanggung Hutang; dan 2. dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penjamin Hutang diserahkan kepada Penjamin Hutang. Ketentuan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa bila ada pelunasan hutang, maka PUPN hanya akan mengembalikan dokumen barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang telah disimpan PUPN kepada yang berhak, 294 Bab 11 : Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara yaitu pemilik barang tersebut. Hal ini dirumuskan untuk menghindari permasalahan hukum sebagi akibat jatuhnya barang jaminan ke tangan-tangan yang tidak berhak. Dokumen yang dititipkan PUPN pada Penyerah Piutang juga diserahkan kepada pemiliknya masing-masing melalui Penyerah Piutang. Serah terima dokumen ini dilakukan dengan cara PUPN memberikan surat pengantar kepada Penanggung Hutang untuk datang kepada, dan menerima dokumen dari Penyerah Piutang. Dengan terbitnya SPPNL, Penyerah Piutang wajib mengajukan permohonan kepada Kantor Pertanahan untuk melakukan roya (pencoretan) pengikatan Hypotheek/ Credietverband atau pembebanan Hak Tanggungan atas barang milik Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang yang diikat menjadi jaminan. Hal ini dilakukan untuk menjamin hak Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang dalam menggunakan haknya sebagai pemilik barang jaminan, misalnya menyewakan, atau menjual barang tersebut. Penarikan Pengurusan Piutang Negara Salah satu cara penyelesaian administrasi adalah penerbitan Surat (SPPNS) oleh PUPN. SPPNS tersebut menarik pengurusan piutang negara tersebut hanya dapat dilakukan bila penarikan yang telah ditentukan. pengurusan piutang negara secara Pernyataan Piutang Negara Selesai diterbitkan apabila Penyerah Piutang dari PUPN. Penarikan pengurusan memenuhi persyaratan dan proses Syarat Penarikan Berdasarkan ketentuan yang berlaku, penarikan pengurusan piutang negara oleh Penyerah Piutang hanya dapat dilakukan dalam rangka pemberian restrukturisasi kredit/hutang kepada Penanggung Hutang. Dengan demikian, penarikan pengurusan tersebut tidak boleh dilakukan bila tidak ada program restrukturisasi kredit/hutang yang akan diberikan kepada Penanggung Hutang. Usul penarikan pengurusan piutang negara diajukan secara tertulis oleh Penyerah Piutang kepada PUPN dengan dilengkapi rencana pelaksanaan restrukturisasi yang akan diberikan kepada Penanggung Hutang. Informasi tersebut untuk memastikan bahwa Penyerah Piutang memang benar akan memberikan program restrukturisasi. Surat formal tersebut akan mengikat Penyerah Piutang sebagai penerbit surat, apabila di kemudian hari diketahui Pengurusan Piutang Negara 295 bahwa ternyata tidak ada program restrukturisasi yang diberikan kepada Penanggung Hutang. Contoh kemungkinan penyalahgunaan penarikan pengurusan oleh Penyerah Piutang adalah setelah penarikan pengurusan dari PUPN, Penanggung Hutang segera melunasi hutangnya langsung kepada Penyerah Piutang. Hal ini dilakukan untuk mengurangi pembayaran Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) sebesar 7,5%, mengingat: 1. Biad PPN yang harus dibayar Penanggung Hutang apabila yang bersangkutan melunasi hutangnya di PUPN adalah sebesar 10% dari nilai pembayaran pelunasan tersebut; 2. Biad PPN yang dikenakan kepada Penanggung Hutang dalam penarikan pengurusan piutang negara adalah sebesar 2,5% dari nilai hutang yang ditarik; dan 3. Biad PPN tidak dikenakan kepada Penanggung Hutang apabila yang bersangkutan melunasi hutangnya pada Penyerah Piutang pasca penarikan pengurusan dari PUPN. Usul penarikan pengurusan piutang negara dapat diajukan Penyerah Piutang kepada PUPN sewaktu-waktu dengan ketentuan paling lambat 6 hari sebelum pelaksanaan lelang barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. Bila telah pernah dilaksanakan pelelangan dan masih terdapat sisa hutang yang masih harus diselesaikan Penanggung Hutang, usul penarikan dapat dilakukan paling lambat 6 hari sebelum pelaksanaan lelang ulang. Ketentuan tentang waktu penarikan tersebut di atas hanya mengatur tentang batas waktu paling akhir diperbolehkannya pengajuan usul penarikan. Batas waktu paling cepat untuk mengajukan usul penarikan tidak diatur. Seyogyanya batas waktu paling cepat tersebut perlu diatur untuk menghindari penyalahgunaan penyerahan pengurusan piutang negara oleh Penyerah Piutang. Contoh kemungkinan penyalahgunaan penyerahan pengurusan piutang negara adalah RUPS sebuah BUMN mewajibkan Direksi untuk menyerahkan upaya penagihan kredit/ piutang macet kepada PUPN sebelum kredit/piutang macet tersebut dihapustagihkan. Agar dapat segera menghapustagihkan kredit/piutang macet tersebut Direksi menyerahkan pengurusannya kepada PUPN dan segera menarik kembali pengurusan tersebut setelah PUPN menerbitkan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N). Apa yang dilakukan oleh Direksi BUMN tersebut secara legal tidak dapat dipertanggung jawabkan mengingat PUPN belum melakukan pengurusan atas kredit/piutang 296 Bab 11 : Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara macet tersebut secara wajar, sehingga seharusnya penghapustagihan atas kredit/piutang macet dimaksud tidak dapat dilaksanakan. Selain persyaratan di atas, telah diatur juga bahwa penarikan pengurusan piutang negara atas nama suatu Penanggung Hutang tertentu hanya dapat dilakukan satu kali. Ketentuan ini didasarkan pada pemikiran bahwa terdapat kemungkinan program restrukturisasi yang diberikan oleh Penyerah Piutang kepada Penanggung Hutang tidak berjalan sesuai dengan rencana. Bila Penanggung Hutang wanprestasi atas kesepakatan program restrukturisasi tersebut, tentu Penyerah Piutang akan menghadapi kredit macet kembali atas nama Penanggung Hutang yang bersangkutan. Pada gilirannya nanti, kredit macet tersebut akan diserahkan kembali pengurusannya kepada PUPN. Pengurusan piutang negara yang kedua kali atas nama Penanggung Hutang ini tidak dapat ditarik kembali oleh Penyerah Piutang. Piutang negara atas nama Penanggung Hutang yang telah pernah ditarik dan diserahkan kembali pengurusannya, akan diurus oleh PUPN sesuai dengan proses pengurusan pada umumnya, yaitu dimulai dari penerbitan SP3N, dilanjutkan dengan pemanggilan Penanggung Hutang, dan seterusnya. Proses Penarikan Usul penarikan yang diajukan Penyerah Piutang ditindaklanjuti Kantor Pelayanan dengan melakukan penelitian yang ditujukan untuk mengetahui apakah permohonan penarikan tersebut memenuhi syarat untuk disetujui. Bila usul penarikan tersebut dilengkapi dengan penjelasan singkat tentang rencana restrukturisasi yang dapat dipertanggung-jawabkan, maka usul penarikan tersebut dapat disetujui. Bila usul penarikan yang diajukan Penyerah Piutang dapat disetujui, PUPN menerbitkan Surat Persetujuan Penarikan Pengurusan Piutang Negara. Bila usul penarikan tersebut tidak dapat disetujui, PUPN menerbitkan Surat Penolakan Penarikan Pengurusan Piutang Negara. Dengan terbitnya Surat Persetujuan Penarikan Pengurusan Piutang Negara, Penanggung Hutang harus segera membayar Biad PPN sebesar 2,5% dari sisa hutang yang pengurusannya ditarik. Bila bukti pembayaran Biad PPN tersebut telah diverifikasi kebenarannya oleh Kantor Pelayanan, PUPN akan menerbitkan Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai. Dengan terbitnya Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai, PUPN akan mengangkat sita atau pemblokiran atas barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang masih ada dan masih diletakkan sita atau blokir Pengurusan Piutang Negara 297 terhadapnya. Selain itu, PUPN juga akan mengembalikan sisa dokumen asli yang masih ada kepada Penyerah Piutang. Dari uraian di atas terlihat bahwa penarikan pengurusan piutang negara dari PUPN merupakan salah satu cara penyelesaian pengurusan piutang negara. Penyelesaian disini mengandung maksud selesainya proses pengurusan oleh PUPN dan bukan selesainya kewajiban Penanggung Hutang , mengingat Penanggung Hutang belum melunasi hutangnya, baik melalui PUPN maupun melalui Penyerah Piutang. Dengan demikian jelaslah bahwa pengembalian pengurusan piutang negara merupakan penyelesaian secara administratif atas pengurusan suatu piutang negara. Pengembalian Pengurusan Piutang Negara Walaupun Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara telah terbit, PUPN dimungkinkan untuk mengembalikan pengurusan piutang negara kepada Penyerah Piutang. Pengembalian pengurusan ini juga termasuk dalam jenis penyelesaian pengurusan secara administrasi. Pengembalian pengurusan tersebut hanya boleh dilakukan karena terjadinya salah satu sebab berikut ini: 1. terdapat kekeliruan Penyerah Piutang karena Penanggung Hutang tidak mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan; 2. piutang yang diurus PUPN terkait dengan perkara pidana; atau 3. Penyerah Piutang bersikap tidak kooperatif. Pengembalian pengurusan piutang negara karena kekeliruan Penyerah Piutang harus didasarkan pada pemberitahuan tertulis dari Penyerah Piutang. Surat pemberitahuan tersebut harus dilengkapi dengan bukti-bukti yang menunjukkan telah terjadi kekeliruan, sehingga sebenarnya Penanggung Hutang tidak mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan. Pengembalian pengurusan piutang negara karena piutang terkait dengan perkara pidana dilakukan agar pengurusan piutang negara tidak berbenturan dengan penyelesaian perkara pidana tersebut. Pengembalian tersebut dapat dilakukan pada tahap dilaksanakannya penyidikan yang terkait dengan perkara pidana dimaksud. Setelah perkara pidana diselesaikan, dan bila masih terdapat hutang yang harus diselesaikan Penanggung Hutang, penyerah Piutang dapat menyerahkan kembali pengurusan piutang tersebut kepada PUPN. 298 Bab 11 : Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara Pengembalian karena piutang terkait dengan perkara pidana dapat dilakukan untuk semua jenis piutang yang diurus PUPN. Namun demikian, piutang negara non perbankan yang berupa Tuntutan Ganti Rugi tidak dikembalikan pengurusannya kepada Penyerah Piutang walaupun piutang tersebut terkait perkara pidana. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa pihak yang menimbulkan kerugian kepada negara sehingga dituntut untuk membayar ganti rugi dapat didakwa telah melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, pidana tersebut masuk ke dalam kategori perkara pidana. Namun demikian, dari sisi Keuangan Negara, si terpidana tersebut tetap dikenai kewajiban untuk mengembalikan kerugian negara yang disebabkannya. Oleh karena itu, kepada yang bersangkutan tetap dikenakan hutang yang berupa Tuntutan Ganti Rugi, yang pengurusannya dilaksanakan oleh PUPN. Pengembalian pengurusan piutang negara karena Penyerah Piutang tidak bersikap kooperatif terjadi karena Penyerah Piutang melakukan salah satu dari yang berikut ini: 1. tidak bersedia menyerahkan dokumen asli barang jaminan berikut pengikatannya kepada Kantor Pelayanan, setlah diminta secara tertulis; atau 2. tidak menanggapi surat-surat yang dikirimkan Kantor Pelayanan yang terkait dengan pengurusan piutang atas nama Penanggung Hutang yang dikembalikan pengurusannya. Meskipun Penyerah Piutang melakukan salah satu dari yang telah disebutkan di atas, PUPN tidak serta merta mengembalikan pengurusan piutang kepada Penyerah Piutang. Pengembalian tersebut didahului dengan peringatan secara tertulis dari PUPN kepada Penyerah Piutang. Pengembalian pengurusan piutang negara dituangkan dalam Surat Pengembalian Pengurusan Piutang Negara yang diterbitkan oleh PUPN. Surat pengembalian tersebut disampaikan kepada Penyerah Piutang berikut dokumen yang telah diserahkan Penyerah Piutang kepada PUPN yang terkait dengan piutang tersebut, atas pengembalian pengurusan piutang negara tersebut tidak dikenakan Biad PPN. Dari uraian di atas terlihat bahwa pengembalian pengurusan piutang kepada Penyerah Piutang merupakan salah satu cara penyelesaian pengurusan. Penyelesaian disini mengandung maksud bukan selesainya kewajiban Penanggung Hutang, melainkan selesainya proses pengurusan oleh PUPN. Dengan demikian jelaslah bahwa pengembalian pengurusan piutang negara merupakan penyelesaian secara administratif atas pengurusan suatu piutang negara. Pengurusan Piutang Negara 299 Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih Jenis terakhir dari penyelesaian pengurusan piutang negara secara administrasi adalah penghentian sementara pengurusan oleh PUPN. Penghentian sementara tersebut ditandai dengan terbitnya pernyataan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT). Suatu piutang negara dinyatakan sebagai PSBDT oleh PUPN bila masih terdapat sisa hutang yang harus diselesaikan Penanggung Hutang, namun: 1. Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikannya; dan 2. barang jaminan tidak ada, sudah dijual atau ditebus, tidak lagi mempunyai nilai ekonomis, atau bermasalah yang sulit diselesaikan. Nilai ekonomis yang menjadi dasar terbitnya pernyataan PSBDT tersebut didasarkan pada Laporan Penilaian bahwa barang jaminan mempunyai nilai jual yang rendah atau sama sekali tidak mempunyai nilai jual. Kondisi barang-barang jaminan terkait masalah yang sulit ataukah tidak dapat dilihat berdasarkan pada Laporan Hasil Pemeriksaan. Pernyataan PSBDT atas suatu piutang negara disampaikan kepada Penyerah Piutang. Pernyataan tersebut oleh Penyerah Piutang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengusulkan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang. Walaupun telah memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai PSBDT, piutang negara dengan nilai sisa hutang tertentu tidak dapat secara otomatis dinyatakan sebagai PSBDT oleh PUPN. Piutang tersebut hanya dapat dinyatakan sebagai PSBDT setelah dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang memang benar sudah tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan hutang. Piutang yang sebelum dinyatakan sebagai PSBDT harus dilakukan kegiatan pemeriksaan terlebih dahulu adalah piutang dengan sisa hutang: 1. Rp.1.000.000.000,00 untuk piutang negara perbankan; atau 2. Rp.250.000.000,00 untuk piutang negara non perbankan. Pemeriksaan yang dilakukan tersebut ditujukan untuk mencari, meneliti, dan mengumpulkan keterangan atau bukti-bukti yang berhubungan dengan: 300 Bab 11 : Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara 1. diri Penanggung Hutang dan Penjamin Hutang, misalnya informasi tentang gaya hidup mereka apakah memang sudah menunjukkan bahwa mereka sudah tidak mampu, informasi tentang keberadaan mereka bila mereka menghilang, dan sebagainya; 2. kemampuan Penanggung Hutang; 3. harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang, yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban Penanggung Hutang; dan 4. fisik barang jaminan, bila selama proses pengurusan fisik barang jaminan tersebut tidak diketahui keberadaannya. Bila berdasarkan hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan, Penanggung Hutang terbukti sudah tidak memiliki kemampuan lagi untuk menyelesaikan hutangnya, barang jaminan sudah habis terjual atau meskipun barang jaminan masih ada tapi daya lakunya rendah, serta harta kekayaan lain tidak ada, maka piutang dengan nilai Rp.1.000.000.000,00 untuk piutang negara perbankan atau Rp.250.000.000,00 untuk piutang negara non perbankan tersebut dapat dinyatakan sebagai PSBDT. Khusus untuk piutang negara yang berasal dari Instansi Pemerintah, PSBDT dinyatakan oleh PUPN bila Penanggung Hutang: 1. tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutangnya; 2. telah meninggal dunia dan ahli waris tidak mampu menyelesaikan hutang; 3. diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil dan/atau telah dikenakan hukuman pidana; atau 4. menghilang, atau tidak diketahui tempat tinggalnya. Penerbitan PSBDT tidak berarti Penanggung Hutang dibebaskan dari kewajibannya untuk melunasi hutangnya. Namun PSBDT diartikan sebagai penghentian sementara proses pengurusan sampai diperoleh informasi baru tentang perkembangan kemampuan Penangggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya. Bila di kemudian hari diketahui bahwa kemampuan Penanggung Hutang sudah meningkat sehingga yang bersangkutan diperkirakan mampu menyelesaikan sisa hutangnya, maka pengurusan piutang negara atas nama yang bersangkutan dilanjutkan kembali. Ketentuan yang ada pada saat buku ini disusun, belum mengatur cara melanjutkan kembali pengurusan piutang negara yang telah pernah dinyatakan sebagai PSBDT. Seharusnya ada pengaturan tentang hal tersebut, mengingat PSBDT adalah suatu produk hukum yang dikeluarkan PUPN dan bila pengurusan akan dilanjutkan kembali maka produk hukum PSBDT tersebut Pengurusan Piutang Negara 301 harus dicabut terlebih dahulu. Oleh karena itu, ke depan pengaturan tentang hal ini harus segera dirumuskan. Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa pernyataan PSBDT merupakan salah satu penyelesaian pengurusan piutang negara. Namun, mengingat pada suatu saat pengurusan dapat dilanjutkan kembali, maka penyelesaian dimaksud bukanlah penyelesaian permanen seperti halnya pelunasan hutang, atau penghapustagihan piutang. Dengan demikian, cara penyelesaian tersebut dapat dikatakan sebagai penyelesaian secara administratif. Rangkuman Pengurusan piutang negara oleh PUPN pada suatu saat tertentu harus diselesaikan. Penyelesaian proses pengurusan dimaksud dapat disebabkan karena Penanggung Hutang menyelesaikan hutangnya, Penyerah Piutang menarik kembali pengurusan piutang negara, PUPN mengembalikan pengurusan piutang negara, atau PUPN menghentikan sementara pengurusan dengan menerbitkan PSBDT. Pelunasan hutang Penanggung Hutang merupakan cara penyelesaian pengurusan piutang negara yang paling diharapkan terjadi. Pelunasan hutang tersebut dapat ditempuh dengan berbagai cara, yaitu pembayaran baik secara sekaligus maupun angsuran, penebusan barang jaminan oleh Penjamin Hutang, dan penjualan barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain milik Penanggung Hutang baik melalui lelang maupun tidak melalui lelang. Penarikan pengurusan piutang negara dari PUPN merupakan salah satu cara penyelesaian pengurusan piutang negara secara administratif. Hal tersebut karena yang dinyatakan selesai adalah proses pengurusan oleh PUPN dan bukanlah kewajiban Penanggung Hutang, mengingat Penanggung Hutang belum melunasi hutangnya, baik melalui PUPN maupun melalui Penyerah Piutang. Pengembalian pengurusan piutang kepada Penyerah Piutang juga merupakan salah satu cara penyelesaian pengurusan piutang negara secara administratif. Pengembalian tersebut dilakukan PUPN karena: 1. terdapat kekeliruan Penyerah Piutang karena Penanggung Hutang tidak mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan; 2. piutang yang diurus PUPN terkait dengan perkara pidana; atau 3. Penyerah Piutang tidak bersikap kooperatif dalam proses pengurusan. 302 Bab 11 : Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara Cara terakhir untuk penyelesaian pengurusan piutang negara secara administratif adalah penghentian pengurusan piutang negara untuk sementara waktu melalui penerbitan pernyataan piutang sebagai PSBDT. Mengingat pada suatu saat pengurusan piutang yang telah dinyatakan sebagai PSBDT dapat dilanjutkan kembali, maka penyelesaian dimaksud bukanlah penyelesaian permanen seperti halnya pelunasan hutang, atau penghapustagihan piutang. Dengan demikian, maka cara penyelesaian tersebut dapat dikatakan sebagai penyelesaian adminstratif. - o0o - Latihan Untuk mengingatkan kembali yang telah anda pelajari, coba kerjakan latihan di bawah ini! 1. Jelaskan mengapa tugas PUPN yang berupa pengurusan piutang negara lebih luas dari penyelesaian piutang negara! 2. Kegiatan apa saja yang harus dilakukan PUPN bila Penanggung Hutang melakukan pelunasan hutangya? 3. Jelaskan syarat penarikan pengurusan piutang negara! 4. Kegiatan apa saja yang harus dilakukan PUPN bila usul penarikan pengurusan piutang negara dapat disetujui? 5. Mengapa PUPN mengembalikan pengurusan piutang negara kepada Penyerah Piutang? 6. Mengapa PUPN tidak mengembalikan pengurusan piutang negara non perbankan yang berupa Tuntutan Ganti Rugi meskipun piutang tersebut terkait dengan perkara pidana? 7. Kegiatan apa saja yang harus dilakukan PUPN bila mengembalikan pengurusan piutang negara? 303 Pengurusan Piutang Negara 8. Apa persyaratan untuk menyatakan bahwa suatu piutang negara adalah PSBDT? 9. Apa persyaratan untuk menyatakan bahwa suatu piutang negara yang berasal dari Instansi Pemerintah adalah PSBDT? 10. Piutang negara yang seperti apakah yang harus diperiksa sebelum dinyatakan sebagai PSBDT? Mengapa perlu diperiksa? - o0o - BAB 12 PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA Sasaran Pembelajaran Setelah mempelajari Bab ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami pengertian, jenis-jenis, dan proses penghapusan Piutang Negara. Materi yang akan diuraikan dalam bab ini adalah dasar hukum, jenis-jenis penghapusan, persyaratan, dan proses penghapusan piutang negara. Pendahuluan 306 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur bahwa perikatan hapus karena pembayaran, karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, karena pembaharuan hutang, karena perjumpaan hutang atau kompensasi, karena percampuran hutang, karena pembebasan hutang, karena musnahnya barang yang terhutang, karena kebatalan atau pembatalan, karena berlakunya suatu syarat pembatalan, atau karena lewat waktu. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa perikatan/perjanjian hutang piutang dapat hapus karena berbagai cara. Demikian juga halnya dengan penghapusan perikatan/perjanjian hutang piutang antara negara sebagai pemilik piutang dengan Penanggung Hutang. Perikatan hutang piutang antara negara dan Penanggung Hutang dapat hapus karena Penanggung Hutang melakukan pembayaran pelunasan hutangnya, negara membebaskan Penanggung Hutang dari kewajiban untuk melunasi hutangnya, umur piutang telah lewat waktu (daluwarsa), atau sebab lain yang diijinkan berdasarkan Pasal 1381 tersebut di atas. Melalui penghapusan piutang negara yang dilakukan secara sepihak oleh negara selaku pemilik piutang, kewajiban Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya menjadi hapus. Dalam hal ini, penghapusan piutang negara merupakan pembebasan hutang Penanggung Hutang. Dengan hapusnya kewajiban Penanggung Hutang, maka hapus juga perikatan/perjanjian hutang piutang antara negara dan Penanggung Hutang. Oleh karena itu, penghapusan piutang negara dapat dikatakan sebagai penghapusan perikatan/perjanjian karena pembebasan hutang. Selain itu, sebagaimana yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, pengurusan piutang negara dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang pengurusan piutang negara, dan ketentuan lain yang terkait. Penerapan seluruh ketentuan yang terkait tersebut dimaksudkan untuk mengupayakan hasil pengurusan piutang negara secara optimal tanpa melanggar rambu-rambu yang ada. Di sisi lain, pemilik piutang negara – bila instansi pemerintah – akan mengelola piutang tersebut dengan sistem akuntansi pemerintahan yang menurut Sugijanto, Robert Gunardi H, dan Sonny Loho (1995) memiliki persamaan dengan akuntansi komersial, yaitu: 1. akuntansi pemerintahan maupun akuntansi komersial sama-sama memberikan informasi mengenai mengenai posisi keuangan dan hasil operasi; 2. akuntansi pemerintahan maupun akuntansi komersial mengikuti prinsipprinsip dan standar akuntansi yang diterima secara umum, yaitu prinsip Pengurusan Piutang Negara 307 objektivitas (objectivity), prinsip konsitensi (consistency), prinsip materialitas (materiality), dan prinsip pengungkapan yang memadai (full disclosure). Bila pemilik piutang negara adalah badan usaha, maka badan usaha tersebut mengelola piutangnya dengan sistem akuntansi komersial yang sama dengan yang diterapkan badan-badan usaha swasta. Dengan penerapan sistem akuntansi keuangan yang baku dan memperhatikan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku tentang tata cara penghapusan piutang negara, Penyerah Piutang dimungkinkan untuk melakukan penghapusan piutang tersebut bila upaya penagihannya telah optimal dilakukan, namun masih terdapat sisa piutang dan Penanggung Hutang sudah tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya. Penghapusan tersebut dapat berupa penghapusbukuan piutang tanpa menghilangkan hak tagih, dan berupa penghapustagihan piutang yang menghilangkan hak tagih. Dasar pemikiran tersebut dirumuskan dalam alinea keenam dan ketujuh Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, yang berbunyi: “Pengelolaan Piutang Negara/Daerah yang menganut asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, juga mengikuti sistem akuntansi yang sesuai dengan standar akuntasi keuangan yang berlaku. Berdasarkan standar akuntasi tersebut di dalam pengelolaan piutang dimungkinkan adanya penghapusan piutang dari pembukuan dengan tidak menghapuskan hak tagih Negara (didefinisikan sebagai penghapusbukuan secara bersyarat). Piutang-piutang yang telah dihapuskan secara bersyarat dari pembukuan tersebut, tetap dikelola dan diupayakan penyelesaiannya. Dalam hal upaya-upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil, dan kewajiban Penanggung Utang tetap tidak terselesaikan, serta diperoleh keterangan dari Pejabat yang berwenang bahwa Penanggung Utang yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menyelesaikan utangnya, dimungkinkan dilaksanakannya penghapusan hak tagih Negara (didefinisikan sebagai penghapusbukuan secara mutlak).” Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis penghapusan piutang negara, yaitu penghapusbukuan dengan tidak menghilangkan hak tagih, dan penghapustagihan piutang negara dengan menghapuskan hak tagih. Kedua jenis penghapusan tersebut dilakukan secara berurutan, yaitu penghapustagihan piutang negara dilakukan hanya apabila piutang dimaksud telah dihapusbukukan terlebih dahulu. 308 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara Penghapusbukuan piutang merupakan jenis penghapusan yang dilakukan hanya dalam administrasi pembukuan saja, yaitu dengan memindahkan pencatatan dari pembukuan utama (misalnya neraca) ke pembukuan khusus piutang yang telah dihapusbukukan. Oleh karena itu, penghapusbukuan piutang tidak menghilangkan hak tagih. Karena tidak berpengaruh terhadap kewajiban Penanggung Hutang, maka penghapusbukuan piutang tidak diberitahukan pemilik piutang kepada Penanggung Hutang. Apabila penghapusbukuan diberitahukan kepada Penanggung Hutang, dapat diperkirakan bahwa yang bersangkutan akan semakin tidak berniat untuk menyelesaikan hutangnya. Bila pemilik piutang adalah badan usaha, kegiatan penghapusbukuan piutang tersebut meningkatkan biaya yang otomatis mengurangi keuntungan. Peningkatan biaya tersebut terjadi karena sebelum penghapusbukuan atas suatu piutang terjadi 100%, secara berkala pemilik piutang tersebut harus mencadangkan penghapusannya. Pencadangan yang dilakukan tersebut dibukukan sebagai biaya. Dengan demikian, walaupun penghapusbukuan hanya dilakukan secara administrasi pembukuan saja, namun dari sisi keuangan badan usaha yang melakukannya, penghapusbukuan memberikan implikasi biaya yang dapat mengurangi keuntungan. Penghapustagihan piutang merupakan jenis penghapusan yang dilakukan dengan menghilangkan hak tagih. Dengan kata lain, penghapustagihan piutang dilakukan dengan menghapuskan kewajiban Penanggung Hutang. Guna meminimalisasi terjadinya kesalahan dalam penghapusan piutang sehingga dapat terhindar dari permasalahan hukum yang mungkin timbul, Penyerah Piutang harus mengetahui ketentuan hukum tentang persyaratan dan proses pelaksanaan penghapusan piutang tersebut. Di dalam bab ini akan diuraikan dasar hukum, kewenangan, serta persyaratan dan prosedur penghapusan piutang negara. Dasar Hukum Penghapusan Piutang Negara Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur bahwa pembebasan hutang (penghapusan piutang) dapat dilakukan pemilik piutang guna menghapuskan perikatan/perjanjian hutang piutang. Walaupun tidak secara khusus ditujukan kepada negara sebagai pemilik piutang, ketentuan tersebut dapat juga Pengurusan Piutang Negara 309 digunakan pemerintah sebagai dasar penghapusan perikatan/perjanjian hutang piutang antara negara dan Penanggung Hutang. Namun demikian, sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara, Pemerintah tidak dapat mendasarkan penghapusan hutang semata-mata hanya pada ketentuan tersebut. Untuk itu, diperlukan suatu ketentuan yang secara khusus menjadi dasar bagi Pemerintah untuk melakukan penghapusan piutang negara. Ketentuan yang secara spesifik mengatur tentang penghapusan piutang negara pertama kali dirumuskan dalam Pasal 19 Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indische Comptabiliteitswet / ICW) sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 yang mengatur bahwa Pemerintah dapat memberikan pembebasan penagihan (atau dengan kata lain, menghapuskan piutang negara) dengan ketentuan: 1. Pemerintah telah mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan atas pembebasan tersebut; dan 2. pembebasan penagihan dengan jumlah melebihi f.10.000,00 ditetapkan dengan undang-undang. Saat ini, Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indonesische Comptabiliteitswet /ICW) S. 1864 – 106 tersebut sudah tidak berlaku lagi dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, pengaturan tentang penghapusan piutang negara diatur dalam Pasal 37 ayat (1) yang berbunyi “Piutang negara/daerah dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat dari pembukuan, kecuali mengenai piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang.” Aturan pelaksanaan ketentuan tersebut dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Untuk dapat mengerti secara utuh isi ketentuan Pasal 37 ayat (1), perlu diuraikan beberapa hal dalam rumusan tersebut. 1. Tentang pengertian piutang negara/daerah. Di dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 telah diatur bahwa Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah, dan Pasal 1 angka 7 mengatur bahwa Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah 310 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara Daerah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Pengertian tentang piutang negara dan piutang daerah tersebut hanya terbatas pada piutang instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, saja. Pengertian tersebut tidak mencakup piutang badan-badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki milik negara atau daerah. Pengertian tersebut berbeda dengan pengertian piutang negara dalam Pasal 8 (dan penjelasannya) Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN. Perbedaan tersebut adalah: a. Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tidak membedakan piutang negara dan piutang daerah, sehingga semua piutang yang diurus oleh PUPN didefinisikan sebagai piutang negara, sedangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 membedakan pengertian piutang negara (yang hanya terbatas pada piutang instansi pemerintah pusat saja) dengan pengertian piutang daerah (yang merupakan piutang instansi pemerintah daerah). b. Pengertian piutang negara dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 selain mencakup pengertian yang lebih luas dari sekedar piutang instansi pemerintah pusat dan daerah, juga mencakup pengertian piutang badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara/daerah (BUMN/BUMD). Bahkan pengertian piutang negara tersebut mencakup juga pengertian piutang milik badan-badan usaha yang merupakan anak perusahaan (subsidiary) dari BUMN/BUMD tersebut. Di sisi lain, pengertian piutang negara dan piutang daerah hanya terbatas pada pengertian piutang instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah saja dan tidak mencakup pengertian piutang badanbadan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara atau daerah. 2. Tentang penghapusan piutang secara bersyarat dan penghapusan piutang secara mutlak. Selama ini, pengertian yang lazim digunakan adalah penghapusbukuan dan penghapustagihan piutang, sedangkan penghapusan piutang secara bersyarat dan penghapusan piutang secara mutlak baru mulai dikenal sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, telah dirumuskan ketentuan yang Pengurusan Piutang Negara 311 sekaligus menjelaskan pengertian kedua terminologi penghapusan piutang tersebut. Pengertian tersebut adalah: a. Penghapusan Secara Bersyarat adalah penghapusan piutang dengan tidak menghilangkan hak tagih, yang secara umum dikenal dengan terminologi penghapusbukuan1; b. Penghapusan Secara Mutlak adalah penghapusan piutang dengan menghilangkan hak tagih, yang secara umum dikenal dengan terminologi penghapustagihan 2. 3. Tentang pengertian piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang. Ketentuan tentang pengelolaan keuangan negara diatur dalam lebih dari satu undang-undang, seperti Undang-undang tentang Keuangan Negara, Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara, beberapa undang-undang yang terkait dengan perpajakan, Udang-undang tentang Kepabeanan, Undang-undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Undangundang tentang PUPN. Sebagian dari undang-undang tersebut mengatur ketentuan tentang piutang negara yang secara spesifik berbeda jenis satu sama lainnya (misalnya piutang pajak, piutang bea dan cukai, dan piutang negara versi Undang-undang PUPN). Penghapusan piutang negara tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dan aturan pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005) atas jenis piutang negara yang diatur secara khusus di dalam suatu undang-undang, baik ketentuan tentang pengelolaannya maupun penghapusannya, misalnya piutang pajak yang diatur dalam undang-undang tentang perpajakan, dan piutang bea cukai yang diatur dalam undang undang tentang kepabeanan). Dari uraian di atas rumusan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dapat direkonstruksi menjadi “Piutang Instansi Pemerintah Pusat atau piutang Instansi Pemerintah Daerah diperbolehkan untuk dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan dari pembukuan. Piutang-piutang yang dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan tersebut tidak termasuk jenis piutang yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan berdasarkan undang-undang lain, seperti piutang pajak dan piutang bea cukai”. 1 2 Vide Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Penghapusan Secara Bersyarat dilakukan dengan menghapuskan Piutang Negara/Daerah dari pembukuan Pemerintah Pusat/Daerah tanpa menghapuskan hak tagih Negara/Daerah” Vide Pasal 2 ayat (3) yang berbunyi “Penghapusan Secara Mutlak dilakukan dengan menghapuskan hak tagih Negara/Daerah” 312 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara Sebagaimana diuraikan di atas, rumusan Pasal 37 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tidak mengatur tentang penghapusan piutang negara yang berasal dari badan-badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara atau daerah. Di sisi lain, badan-badan usaha tersebut memerlukan payung hukum untuk melakukan penghapustagihan piutangpiutang mereka, mengingat anggaran dasar masing-masing badan usaha hanya memberi kewenangan kepada masing-masing direksi untuk melakukan penghapusbukuan piutang saja. Payung hukum yang diperlukan oleh Direksi tersebut dapat diberikan melalui perubahan anggaran dasar masing-masing badan usaha yang dilakukan dengan cara sebagaimana yang diuraikan berikut ini. 1. perubahan anggaran dasar masing-masing oleh Rapat Umum Pemegang Saham, bila badan usaha (BUMN) tersebut berbentuk persero3. 2. berdasarkan Peraturan Pemerintah yang diusulkan oleh Menteri yang diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik modal, bila badan usaha (BUMN) tesebut berbentuk Perusahaan Umum4. Namun demikian, RUPS masing-masing BUMN Persero dan Pejabat yang diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik modal Perusahaan Umum tidak dapat memberikan kewenangan penghapustagihan piutang kepada masing-masing Direksi. Hal tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa RUPS dan Pejabat tersebut pada dasarnya adalah Menteri Keuangan5 yang belum memiliki dasar hukum yang kuat (baik berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 maupun Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004) untuk memberikan kewenangan penghapustagihan piutang kepada Direksi. Agar BUMN (baik yang berbentuk Persero maupun yang berbentuk Perusahaan Umum) tersebut dapat menghapustagihkan piutangnya yang telah diurus secara optimal, maka kepada Menteri Keuangan selaku Wakil 3 Vide Pasal 11 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang mengatur bahwa pengaturan terhadap BUMN yang berupa Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Undang-udang tentang Perseroan Terbatas tersebut mengatur bahwa kewenangan untuk melakukan perubahan anggaran dasar ada pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 4 Vide Pasal 41 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. 5 Kedudukan Menteri Keuangan tersebut dialihkan kepada Menteri Negara BUMN berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) kepada Menteri Negara BUMN. Pengurusan Piutang Negara 313 Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan6, perlu diberikan kewenangan untuk membuat pengaturan tentang penghapustagihan piutang-piutang BUMN. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan tersebut didasarkan pada Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Seperti yang telah kemukakan sebelumnya, Peraturan Pemerintah tersebut merupakan pengaturan lebih lanjut atas Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dalam hal ketentuan penghapusan piutang negara/daerah. Dari uraian di atas, terlihat bahwa berdasarkan aturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk membuat pengaturan tentang penghapustagihan piutangpiutang BUMN yang telah diurus secara optimal. Di sisi lain, Pasal 14 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 juga memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk membuat peraturan-peraturan yang diperlukan dalam pelaksanaan pengurusan piutang negara sesuai Undangundang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan tersebut sangatlah kuat karena dijamin oleh 2 undang-undang. Sebagai pelaksanaan kewenangan yang telah diberikan kepadanya, Menteri Keuangan telah menetapkan pengaturan tentang tatacara penghapusan piutang BUMN, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, Dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. Peraturan Menteri Keuangan tersebut berlaku juga untuk penghapusan piutang Badan Usaha Milik Daerah, meskipun Menteri Keuangan bukan menjadi Wakil Pemerintah Daerah pemegang saham. Hal ini dilakukan mengingat di dalam ketentuan tersebut, yang dapat dihapuskan secara mutlak (dihapustagihkan) adalah piutang yang telah diurus oleh PUPN. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, piutang-piutang yang diurus PUPN juga meliputi piutang Instansi Pemerintah Daerah, dan piutang Badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik Daerah. Agar terdapat kesamaan perlakuan antara piutang BUMN dan piutang BUMD, maka selama Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) yang bersangkutan belum memiliki Peraturan Daerah sendiri tentang penghapusan piutang Instansi Daerah dan piutang BUMD, maka penghapusan piutang BUMD juga dapat dilakukan dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan tersebut. 6 Vide Pasal 6 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 314 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara Di samping itu, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 yang menjadi sumber disusunnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005, selain mengatur ketentuan tentang penghapusan piutang Instansi Pemerintah Pusat juga mengatur tentang penghapusan piutang Instansi Daerah. Oleh karena itu, bila Peraturan Menteri Keuangan mengatur ketentuan tentang penghapusan piutang BUMN sudah pada tempatnya nila peraturan tersebut juga mengatur ketentuan tentang penghapusan piutang BUMD. Kewenangan Penghapusan Piutang Negara Ketentuan tentang penghapusan piutang negara sebagaimana diuraikan di atas mengatur juga tentang pihak-pihak yang berwenang melakukan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang negara. Ketentuan tentang kewenangan tersebut akan diuraikan berikut ini. Penghapusbukuan dan/atau Penghapustagihan Piutang Instansi Pemerintah Pusat Berdasarkan Pasal 37 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Pusat ditetapkan oleh: 1. Menteri Keuangan untuk jumlah sampai dengan Rp.10.000.000.000,00; 2. Presiden untuk jumlah lebih dari Rp.10.000.000.000,00 sampai dengan Rp.100.000.000.000,00; 3. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk jumlah lebih dari Rp.100.000.000.000,00. Batasan nilai Piutang Negara yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihan tersebut di atas adalah nilai hutang per Penanggung Hutang7. Bila di dalam perjanjian/peraturan/hal lain yang menjadi dasar terjadinya Piutang Negara diatur bahwa Penanggung Hutang wajib menyalurkan kredit kepada para anggotanya, maka nilai Piutang Negara yang dapat dihapuskan secara bersyarat adalah per anggota Penanggung Hutang. Contoh Penanggung Hutang seperti itu adalah Koperasi. 7 Vide Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Pengurusan Piutang Negara 315 Untuk piutang Instansi Pemerintah Pusat dalam satuan mata uang asing, nilai yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan adalah nilai yang setara dengan nilai sebagaimana dimaksud di atas. Untuk keperluan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan, piutang negara tersebut tidak perlu dikonversi menjadi dalam satuan mata uang rupiah. Namun, untuk mengetahui batasan nilai yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan, nilai piutang negara tersebut dihitung dengan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari sebelum tanggal surat pengajuan usul penghapusan8. Penghapusbukuan dan/atau Penghapustagihan Piutang Instansi Pemerintah Daerah Penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Daerah, berdasarkan Pasal 37 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, ditetapkan oleh: 1. Gubernur/Bupati/Walikota untuk jumlah sampai dengan Rp.5.000.000.000,00; 2. Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk jumlah lebih dari Rp.5.000.000.000,00. Batasan nilai Piutang Negara yang dapat dihapusbukukan dan/atau dihapustagihkan tersebut di atas juga sama, yaitu nilai hutang per Penanggung Hutang9. Pengaturan tentang penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Daerah dalam satuan mata uang asing juga sama seperti pengaturan untuk piutang Instansi Pemerintah Pusat dalam satuan mata uang asing10. Penghapusbukuan dan/atau Penghapustagihan Piutang BUMN Sebagaimana diuraikan di depan, kewenangan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang BUMN tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, melainkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, Dan 8 Vide Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (2) berikut penjelasannya. 9 Vide Penjelasan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005. 10 Vide Penjelasan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005. 316 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. Ketentuan pokok tentang kewenangan penghapusan tersebut adalah sebagaimana diuraikan berikut ini. 1. Kewenangan Penghapusbukuan Penghapusbukuan piutang BUMN, dilakukan sendiri oleh BUMN yang bersangkutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan11. Ketentuan ini didasarkan pada pemikiran bahwa penghapusbukuan merupakan salah satu kegiatan dalam pengelolaan keuangan badan usaha yang menjadi tugas dan tanggungjawab Direksi. Selain itu, penghapusbukuan tersebut merupakan bagian dalam sistem akuntasi keuangan yang secara periodik akan selalu dilaksanakan bila telah memenuhi persyaratan, sehingga pemberian ijin dari RUPS cukup hanya satu kali saja yaitu di dalam Anggaran Dasar. 2. Kewenangan Penghapustagihan Penghapustagihan piutang pokok BUMN yang telah diurus oleh PUPN ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan batasan nilai yang dapat dihapustagihkan adalah sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang12. Batasan nilai yang dapat dihapustagihkan tersebut disesuaikan dengan kewenangan Menteri Keuangan untuk menghapustagihkan piutang negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004. Pengaturan tentang penghapustagihan piutang BUMN dengan nilai di atas Rp.10.000.000.000,00 tidak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran sebagai berikut: a. Di dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, telah diatur bahwa penghapustagihan piutang negara dengan nilai di atas Rp.10.000.000.000,00 sampai dengan Rp.100.000.000.000,00 ditetapkan oleh Presiden, dan piutang dengan nilai di atas Rp. 100.000.000.000,00 ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Bila piutang BUMN dengan nilai sebesar itu akan dihapustagihkan, maka yang dapat menetapkan penghapustagihannya adalah Presiden atau Presiden dengan persetujuan DPR. Oleh karena itu, apabila akan diatur, maka Peraturan Menteri Keuangan tidak tepat bila mengatur kewenangan Presiden atau kewenangan Presiden dan DPR. 11 Vide Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, Dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. 12 Vide Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005. Pengurusan Piutang Negara 317 b. Pihak yang dapat memberikan persetujuan penghapustagihan piutang BUMN Persero adalah RUPS, sedangkan yang memberikan persetujuan penghapustagihan piutang Perusahaan Umum adalah Pejabat yang diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik modal. Baik RUPS BUMN Persero maupun Pejabat tersebut pada kenyataannya adalah Menteri Keuangan, mengingat Pasal 6 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memberikan kuasa kepada Menteri Keuangan untuk menjadi Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan demikian, pihak yang dapat memberikan persetujuan penghapustagihan piutang BUMN hanya Menteri Keuangan, dan bukan pihak-pihak lain. Namun, dengan pertimbangan kewenangan yang diberikan Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, maka Menteri Keuangan hanya mengatur ketentuan penghapustagihan piutang BUMN dengan nilai sampai dengan Rp.10.000.000.000,00. c. Kondisi aktual yang ada di masyarakat pada saat penyusunan ketentuan tentang penghapustagihan piutang BUMN, pada saat imbas krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 masih sangat terasa, serta kondisi keuangan negara yang masih mendapat tekanan pembayaran hutang dan tekanan kenaikan harga bahan bakar minyak, akan menyebabkan kebijakan penghapustagihan piutang BUMN dengan nilai yang sangat besar (di atas Rp. 10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang) menjadi suatu kebijakan yang tidak populer di mata masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan penghapustagihan piutang BUMN dengan nilai di atas Rp. 10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang tidak diatur. Penghapusbukuan dan/atau Penghapustagihan Piutang BUMD Sama seperti kewenangan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang BUMN, kewenangan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang BUMD hanya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, Dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. Ketentuan pokok tentang kewenangan penghapusan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kewenangan penghapusbukuan piutang BUMD ada pada BUMD yang bersangkutan13. Dasar pemikiran ketentuan ini sama dengan pemikiran 13 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005. 318 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara yang mendasari ketentuan tentang kewenangan penghapusbukuan piutang BUMN. 2. Kewenangan untuk menetapkan penghapustagihan piutang pokok BUMD ada pada Gubernur/Bupati/Walikota dengan batasan nilai yang dapat dihapustagihkan adalah sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang14. Ketentuan ini juga didasarkan pada pemikiran yang analog dengan pemikiran yang mendasari ketentuan tentang kewenangan penghapustagihan piutang BUMN. Persyaratan dan Prosedur Penghapusan Piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah Agar suatu piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah dapat dihapusbukukan, piutang tersebut harus sudah diurus secara optimal oleh PUPN, sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN berikut aturan pelaksanaannya. Pengurusan piutang yang optimal tersebut ditandai dengan terbitnya pernyataan Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT)15. Selain itu, bila piutang tersebut berupa Tuntutan Ganti Rugi, persyaratan penghapusbukuan piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah ditambah dengan adanya rekomendasi penghapusan secara bersyarat (penghapusbukuan) dari Badan Pemeriksa Keuangan. Agar suatu piutang Instansi Pemerintah Pusat/Daerah dapat dihapustagihkan, persyaratan yang harus dipenuhi adalah: 1. usul penghapustagihan diajukan setelah lewat waktu 2 tahun sejak sejak tanggal penetapan penghapusbukuan piutang dimaksud; dan 2. Penanggung Hutang tetap tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan sisa kewajibannya, yang dibuktikan dengan keterangan dari Aparat/Pejabat yang berwenang. Penghapusbukuan/Penghapustagihan Piutang Instansi Pemerintah Pusat Prosedur yang harus ditempuh dalam penghapusbukuan/ penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Pusat adalah: 14 15 Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005. Uraian tentang PSBDT dapat dilihat pada Bab 11 Penyelesaian Pengurusan Piutang Negara. Pengurusan Piutang Negara 319 1. Usul penghapusbukuan diajukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurangkurangnya: a. daftar nominatif Penanggung Hutang; dan b. Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN. Bila piutang negara tersebut berupa Tuntutan Ganti Rugi, usul penghapusbukuan dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya: a. daftar nominatif Penanggung Hutang dan Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN; dan b. surat rekomendasi penghapusan secara bersyarat dari Badan Pemeriksa Keuangan. 2. Usul penghapustagihan diajukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurangkurangnya: a. daftar nominatif Penanggung Hutang; b. Surat Penetapan penghapusan Secara Bersyarat atas piutang yang diusulkan untuk dihapustagihkan; dan c. Surat Keterangan dari Aparat/Pejabat yang berwenang menyatakan bahwa Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan kewajibannya. 3. Penghapusbukuan/penghapustagihan dengan nilai penghapusan sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang. a. Usul penghapusbukuan/penghapustagihan diajukan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara. b. Oleh Direktur Jenderal, usul tersebut segera diteliti kelengkapan persyaratan dan kebenarannya. c. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul tidak dapat diterima, usul penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut dikembalikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul. d. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul dapat diterima, hasil penelitian disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan disertai pertimbangan. Setelah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, penetapan penghapusbukuan/ penghapustagihan disampaikan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul. Selain itu, penetapan 320 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut juga diberitahukan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah DJPLN. 4. Penghapusbukuan/penghapustagihan dengan nilai penghapusan lebih dari Rp.10.000.000.000,00 sampai dengan Rp.100.000.000.000,00 per Penanggung Hutang. a. Usul penghapusbukuan/penghapustagihan diajukan kepada Presiden melalui Menteri Keuangan. b. Oleh Menteri Keuangan usul tersebut ditindaklanjuti dengan menginstruksikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk segera meneliti usul tersebut c. Oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara, usul tersebut diteliti kelengkapan persyaratan dan kebenarannya. d. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul tidak dapat diterima, usul penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut dikembalikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul. e. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul dapat diterima, hasil penelitian disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan disertai pertimbangan. Oleh Menteri Keuangan, usul tersebut diteruskan kepada Presiden dengan disertai pendapat bahwa usulan dapat diterima. f. Bila Presiden tidak memberikan persetujuan penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut, Menteri Keuangan menyampaikan usul penghapusan yang tidak disetujui tersebut kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk dikembalikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul. Bila Presiden menyetujui dan menetapkan penghapusbukuan/penghapustagihan, penetapan tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara atas nama Menteri Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul. Selain itu, penetapan penghapusbukuan/ penghapustagihan tersebut juga diberitahukan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah DJPLN. 5. Penghapusbukuan/penghapustagihan dengan nilai penghapusan lebih dari Rp.100.000.000.000,00 per Penanggung Hutang. Pengurusan Piutang Negara 321 a. Usul penghapusbukuan/penghapustagihan diajukan kepada Presiden dengan persetujuan DPR, melalui Menteri Keuangan. b. Oleh Menteri Keuangan usul tersebut ditindaklanjuti dengan menginstruksikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk segera meneliti usul tersebut c. Oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara, usul tersebut diteliti kelengkapan persyaratan dan kebenarannya. d. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul tidak dapat diterima, usul penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut dikembalikan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul. e. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa usul dapat diterima, hasil penelitian disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan disertai pertimbangan. Oleh Menteri Keuangan, usul tersebut diteruskan kepada DPR dengan disertai pendapat bahwa usulan dapat diterima. f. Bila DPR tidak memberikan persetujuan, usul penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut oleh Menteri Keuangan disampaikan kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk dikembalikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul. g. Bila DPR memberikan persetujuan, Menteri Keuangan menyampaikan usul penghapusbukuan/ penghapustagihan yang telah disetujui DPR tersebut kepada Presiden. Bila Presiden tidak memberikan persetujuan penghapusbukuan/penghapustagihan, Menteri Keuangan menyampaikan usul penghapusan yang tidak disetujui tersebut kepada Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara untuk dikembalikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul. h. Bila Presiden menyetujui dan menetapkan penghapusbukuan/penghapustagihan, penetapan tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara atas nama Menteri Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang mengajukan usul. Selain itu, penetapan penghapusbukuan/penghapustagihan tersebut juga diberitahukan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara kepada Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah DJPLN. Penghapusbukuan/Penghapustagihan Piutang Instansi Pemerintah Daerah 322 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara Prosedur yang harus ditempuh dalam penghapusbukuan/penghapustagihan piutang Instansi Pemerintah Daerah adalah: 1. Usul penghapusbukuan diajukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurangkurangnya: a. daftar nominatif Penanggung Hutang; dan b. Surat Pertimbangan Penghapusan Secara Bersyarat dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN. 2. Usul penghapustagihan diajukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurangkurangnya: a. daftar nominatif Penanggung Hutang; b. Surat Penetapan Penghapusan Secara Bersyarat atas Piutang Daerah yang diusulkan untuk dihapustagihkan; dan c. Surat Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN. Usul penghapustagihan tersebut dilakukan setelah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak penetapan penghapusbukuan. 3. Pertimbangan penghapusan secara bersyarat dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN diperoleh berdasarkan permintaan tertulis dari Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang yang dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya: a. daftar nominatif Penanggung Hutang; dan b. Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN. Bila piutang negara tersebut berupa Tuntutan Ganti Rugi, usul penghapusbukuan dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya: a. daftar nominatif Penanggung Hutang dan Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN; dan b. surat rekomendasi penghapusan secara bersyarat dari Badan Pemeriksa Keuangan. 4. Pertimbangan penghapusan secara mutlak dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN diperoleh berdasarkan permintaan tertulis dari Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang yang dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya: a. daftar nominatif Penanggung Hutang; Pengurusan Piutang Negara 323 b. Surat Penetapan Penghapusan Secara Bersyarat atas Piutang Daerah yang diusulkan untuk dihapustagihkan; dan c. surat keterangan dari Aparat/Pejabat yang berwenang menyatakan bahwa Penanggung Utang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan sisa kewajibannya. 5. Tindak lanjut permintaan pertimbangan penghapusan piutang yang diajukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang berpiutang adalah sebagai berikut: a. Kepala Kantor Wilayah DJPLN melakukan penelitian kelengkapan persyaratan dan kebenarannya. b. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan tidak terpenuhi dan/atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, maka pertimbangan penghapusan piutang tidak dapat diberikan. Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diperoleh kesimpulan hasil penelitian, Kepala Kanwil DJPLN menyampaikan Penolakan Pemberian Pertimbangan Penghapusan Secara Bersyarat/Secara Mutlak atas Piutang Daerah kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang meminta pertimbangan. c. Bila berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan terpenuhi dan/atau dapat dibuktikan kebenarannya, maka pertimbangan penghapusan piutang dapat diberikan. Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diperoleh kesimpulan hasil penelitian, Kepala Kanwil DJPLN menyampaikan Pemberian Pertimbangan Penghapusan Secara Bersyarat/Secara Mutlak atas Piutang Daerah kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang meminta pertimbangan. 6. Setelah dokumen lengkap, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mengajukan permohonan penghapusbukuan/penghapustagihan atas Piutang Daerah dengan nilai: a. sampai dengan Rp.5.000.000.000,00 per Penanggung Hutang kepada Gubernur/ Bupati/Walikota; b. lebih dari Rp.5.000.000.000,00 per Penanggung Hutang kepada Gubernur/ Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rayat Daerah masing-masing. 7. Setelah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, atau oleh Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rayat Daerah, penetapan penghapusbukuan/ penghapustagihan diberitahukan 324 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang mengajukan usul kepada Kepala Kantor Wilayah DJPLN. Penetapan penghapusan tersebut di atas, disampaikan Kepala Kantor Wilayah DJPLN kepada Kepala KP2LN dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterima Kepala Kantor Wilayah DJPLN. Persyaratan Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN)/Perusahaan Daerah (BUMD) Persyaratan (BUMN) Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara Terdapat beberapa persyaratan agar suatu piutang Perusahaan Negara (BUMN) dapat dihapustagihkan. Persyaratan tersebut akan diuraikan berikut ini. 1. Piutang yang akan dihapustagihkan telah diserahkan pengurusannya kepada PUPN sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN berikut aturan pelaksanaannya. 2. Penghapustagihan piutang dilakukan sesuai dengan: a. Anggaran Dasar masing-masing BUMN; dan b. sistem akuntansi dan peraturan yang berlaku bagi BUMN yang bersangkutan. 3. Penghapustagihan piutang hanya dapat dilaksanakan bila: a. piutang telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2002; dan b. telah ada persetujuan dan/atau penetapan nilai limit piutang yang akan dihapustagihkan dari: ♦ Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMN berbentuk Persero; atau ♦ Pejabat yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili Pemerintah selaku pemilik modal Negara, bila BUMN tidak berbentuk Persero. 4. Terdapat 2 skema penghapustagihan piutang BUMN, yaitu: a. penghapustagihan piutang yang telah dinyatakan sebagai PSBDT oleh PUPN, dengan ketentuan yang dapat dihapuskan oleh Menteri Keuangan adalah piutang pokok, bunga, denda, dan/atau ongkosongkos; atau Pengurusan Piutang Negara 325 b. penghapustagihan piutang yang pengurusannya telah ditarik kembali dari PUPN dan Penanggung Utang telah selesai melaksanakan program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang ditetapkan oleh BUMN yang bersangkutan, namun masih terdapat sisa hutang sebesar jumlah yang akan diusulkan untuk dihapustagih. Program restrukturisasi tersebut harus menghasilkan tingkat pengembalian (recovery rate) sebesar: ♦ 50% (lima puluh per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN terdapat jaminan kebendaan; atau ♦ 15% (lima belas per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN tidak terdapat jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan tersebut di atas adalah jaminan dengan benda berwujud dan tidak berwujud baik diikat secara sempurna maupun tidak diikat secara sempurna. Sedangkan sisa piutang pokok sebagaimana dimaksud di atas adalah nilai piutang pokok pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN. Penarikan kembali pengurusan piutang dari PUPN tersebut dapat dilakukan paling cepat setelah: 1) dilakukan pemanggilan kepada Penanggung Hutang dan dibuat Berita Acara Tanya Jawab oleh Kantor Pelayanan; atau 2) diterbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara oleh PUPN. Dengan skema ini, yang berwenang menetapkan penghapustagihan piutang adalah: 1) Menteri Keuangan untuk penghapustagihan piutang pokok; dan 2) BUMN yang bersangkutan untuk penghapustagihan piutang bunga, denda, dan/atau ongkos-ongkos. 5. Usul penghapustagihan piutang tersebut diajukan oleh BUMD atas piutang yang: a. dibiayai dan resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh Instansi Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau b. dijamin oleh Penjamin Kredit dilakukan setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia, Instansi Pemerintah Pusat/Daerah, pihak-pihak yang menanggung risiko, dan/atau perusahaan penjamin kredit. 326 Persyaratan (BUMD) Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara Penghapustagihan Piutang Perusahaan Daerah Persyaratan agar suatu piutang Perusahaan Daerah (BUMD) dapat dihapustagihkan adalah sebagaimana uraian berikut ini. 1. Piutang yang akan dihapustagihkan telah diserahkan pengurusannya kepada PUPN sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN berikut aturan pelaksanaannya. 2. Penghapustagihan piutang dilakukan sesuai dengan: a. Anggaran Dasar masing-masing BUMD; dan b. sistem akuntansi dan peraturan yang berlaku bagi BUMD yang bersangkutan. 3. Penghapustagihan piutang hanya dapat dilaksanakan bila: a. piutang telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2002; dan b. telah ada persetujuan dan/atau penetapan nilai limit piutang yang akan dihapustagihkan dari: § Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMD berbentuk Persero; atau § Pejabat yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili Pemerintah Daerah selaku pemilik modal Daerah, bila BUMD tidak berbentuk Persero. 4. Terdapat 2 skema penghapustagihan piutang BUMD, yaitu: a. penghapustagihan piutang yang telah dinyatakan sebagai PSBDT oleh PUPN, dengan ketentuan yang dapat dihapuskan oleh Gubernur/Bupati/Walikota adalah piutang pokok, bunga, denda, dan/atau ongkos-ongkos; atau b. penghapustagihan piutang yang pengurusannya telah ditarik kembali dari PUPN dan Penanggung Hutang telah selesai melaksanakan program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang ditetapkan oleh BUMD yang bersangkutan, namun masih terdapat sisa hutang sebesar jumlah yang akan diusulkan untuk dihapustagih. Program restrukturisasi tersebut harus menghasilkan tingkat pengembalian (recovery rate) sebesar: 1) 50% (lima puluh per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN terdapat jaminan kebendaan; atau Pengurusan Piutang Negara 327 2) 15% (lima belas per seratus) dari sisa piutang pokok, dalam hal pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN tidak terdapat jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan tersebut di atas adalah jaminan dengan benda berwujud dan tidak berwujud baik diikat secara sempurna maupun tidak diikat secara sempurna. Sedangkan sisa piutang pokok sebagaimana dimaksud di atas adalah nilai piutang pokok pada saat pengurusan piutang ditarik kembali dari PUPN. Penarikan kembali pengurusan piutang dari PUPN tersebut dapat dilakukan paling cepat setelah: 1) dilakukan pemanggilan kepada Penanggung Hutang dan dibuat Berita Acara Tanya Jawab oleh Kantor Pelayanan; atau 2) diterbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara oleh PUPN. Dengan skema ini, yang berwenang menetapkan penghapustagihan piutang adalah: 1) Gubernur/Bupati/Walikota untuk penghapustagihan piutang pokok; dan 2) BUMD yang bersangkutan untuk penghapustagihan piutang bunga, denda, dan/atau ongkos-ongkos. 5. Usul penghapustagihan piutang tersebut diajukan oleh BUMD atas piutang yang: a. dibiayai dan resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh Instansi Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau b. dijamin oleh Penjamin Kredit dilakukan setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia, Instansi Pemerintah Pusat/ Daerah, pihak-pihak yang menanggung risiko, dan/atau perusahaan penjamin kredit. Proses Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN)/Perusahaan Daerah (BUMD) Proses Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMN) 1. Direksi BUMN dapat mengusulkan penghapustagihan piutang dengan nilai penghapusan sampai dengan Rp10.000.000.000,00 per Penanggung Hutang kepada Menteri Keuangan, melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara. 328 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara 2. Usul penghapustagihan tersebut disampaikan secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya: a. daftar nominatif Penanggung Hutang; b. surat keputusan/berita acara/surat pernyataan dari Pejabat yang berwenang dan/atau dokumen lain yang membuktikan bahwa piutang telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2002; c. bukti bahwa BUMN telah memperoleh persetujuan dan/atau penetapan limit piutang yang akan dihapuskan secara mutlak dari: 1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMN berbentuk perseroan; atau 2) Menteri yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik modal negara, bila BUMN berbentuk Perusahaan Umum; dan d. bila pengurusan piutang yang akan dihapustagihkan: 1) telah optimal diurus oleh PUPN, usul penghapustagihan dilampiri dengan Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN; atau 2) telah ditarik dari PUPN dan Penanggung Hutang telah selesai melaksanakan program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang diberikan oleh BUMN, usul penghapustagihan dilampiri: § bukti bahwa PUPN Cabang telah menyetujui usul penarikan dan menyatakan bahwa pengurusan piutang oleh PUPN Cabang telah selesai; § informasi tentang program restrukturisasi/penyelesaian kredit yang ditetapkan oleh BUMN; dan § data pembayaran yang membuktikan bahwa Penanggung Hutang telah menyelesaikan program restrukturisasi/penyelesaian kredit yang ditetapkan oleh BUMN. 3. Usul penghapustagihan piutang BUMN yang dibiayai dan resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh Instansi Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau dijamin oleh Penjamin Kredit, dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya: a. dokumen sebagaimana yang diuraikan pada angka 2 di atas; dan b. surat persetujuan penghapusan dari Bank Indonesia, Instansi Pemerintah Pusat/Daerah, dan/atau perusahaan penjamin kredit. 4. Usul penghapustagihan piutang yang diajukan Direksi BUMN ditindaklanjuti Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara dengan Pengurusan Piutang Negara 329 melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran persyaratan yang diajukan. 5. Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan tidak terpenuhi dan/atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, usul penghapustagihan tidak dapat diterima, dan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara mengembalikan usul tersebut kepada Direksi BUMN yang mengajukan usul. 6. Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan telah terpenuhi dan dapat dibuktikan kebenarannya, usul penghapustagihan dapat diterima, dan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara menyampaikan hasil penelitian kepada Menteri Keuangan dengan disertai pendapat. 7. Setelah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, penetapan penghapusan Piutang Perusahaan Negara disampaikan oleh Direktur Jenderal kepada Direksi BUMN yang mengajukan usul. Penetapan tersebut juga diberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah DJPLN. Proses Penghapustagihan Piutang Perusahaan Negara (BUMD) 1. Direksi BUMD dapat mengusulkan penghapustagihan piutang dengan nilai penghapusan sampai dengan Rp5.000.000.000,00 per Penanggung Hutang kepada Gubernur/Bupati/ Walikota, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah DJPLN. 2. Usul penghapustagihan tersebut disampaikan secara tertulis dan dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya: a. daftar nominatif Penanggung Hutang; dan b. Surat Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak atas Piutang Perusahaan Daerah dari Kepala Kantor Wilayah DJPLN. 3. Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak atas Piutang Perusahaan Daerah dapat diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah DJPLN dengan ketentuan sebagai berikut: a. didasarkan pada permintaan tertulis dari Direksi BUMD, yang dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya: § daftar nominatif Penanggung Hutang; § surat keputusan/berita acara/surat pernyataan dari Pejabat yang berwenang dan/atau dokumen lain yang membuktikan bahwa piutang telah dihapusbukukan paling lambat pada tanggal 31 Desember 2002; 330 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara § bukti bahwa BUMD telah memperoleh persetujuan dan/atau penetapan limit piutang yang akan dihapustagihkan dari: ü Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bila BUMD berbentuk perseroan; atau ü Pejabat yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemilik modal negara, bila BUMD tidak berbentuk perseroan; dan b. bila pengurusan piutang yang akan dihapustagihkan: § telah optimal diurus oleh PUPN, permintaan pertimbangan dilampiri dengan Surat Pernyataan PSBDT dari PUPN; atau § telah ditarik dari PUPN dan Penanggung Hutang telah selesai melaksanakan program restrukturisasi/penyelesaian hutang yang diberikan oleh BUMD, permintaan pertimbangan dilampiri: ü bukti bahwa PUPN Cabang telah menyetujui usul penarikan dan menyatakan bahwa pengurusan piutang oleh PUPN Cabang telah selesai; ü informasi tentang program restrukturisasi/penyelesaian kredit yang ditetapkan oleh BUMD; dan ü data pembayaran yang membuktikan bahwa Penanggung Hutang telah menyelesaikan program restrukturisasi/penyelesaian kredit yang ditetapkan oleh BUMD. c. permintaan pertimbangan penghapustagihan piutang BUMD yang dibiayai dan resikonya ditanggung oleh Bank Indonesia, dan/atau oleh Instansi Pemerintah Pusat/Daerah; dan/atau dijamin oleh Penjamin Kredit, dilampiri dengan dokumen sekurang-kurangnya: § dokumen sebagaimana yang diuraikan pada angka 3 di atas; dan § surat persetujuan penghapusan dari Bank Indonesia, Instansi Pemerintah Pusat/ Daerah, dan/atau perusahaan penjamin kredit; dan d. Permintaan pertimbangan penghapustagihan piutang yang diajukan Direksi BUMD ditindaklanjuti Kepala Kantor Wilayah DJPLN dengan melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran persyaratan yang diajukan. 4. Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan tidak terpenuhi dan/atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya, permintaan pertimbangan tidak dapat diterima, dan Kepala Kantor Wilayah DJPLN Pengurusan Piutang Negara 331 mengembalikan usul tersebut kepada Direksi BUMD yang mengajukan permintaan petimbangan. 5. Bila dari hasil penelitian diketahui bahwa kelengkapan persyaratan telah terpenuhi dan dapat dibuktikan kebenarannya, permintaan pertimbangan dapat diterima, dan Kepala Kantor Wilayah DJPLN menyampaikan Penolakan Pemberian Pertimbangan Penghapusan Secara Mutlak Atas Piutang Perusahaan Daerah kepada Direksi BUMD yang mengajukan permintaan petimbangan. 6. Setelah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, penetapan penghapustagihan piutang BUMD diberitahukan Direksi BUMD yang mengajukan usul penghapustagihan kepada Kepala Kantor Wilayah DJPLN, yang kemudian juga memberitahukan penetapan tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan. Rangkuman Perikatan/perjanjian hutang piutang antara Negara dan Penanggung Hutang dapat hapus bila Penanggung Hutang melakukan pembayaran pelunasan hutangnya, bila Negara membebaskan Penanggung Hutang dari kewajiban untuk melunasi hutangnya, bila umur piutang telah lewat waktu (daluwarsa), atau karena sebab lain yang diijinkan berdasarkan Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Melalui penghapusan piutang negara yang dilakukan secara sepihak oleh negara selaku pemilik piutang, kewajiban Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutangnya menjadi habis/hapus. Dalam hal ini, penghapusan piutang negara merupakan pembebasan hutang Penanggung Hutang. Dengan hapusnya kewajiban Penanggung Hutang, maka hapus juga perikatan/perjanjian hutang piutang antara negara dan Penanggung Hutang. Oleh karena itu, penghapusan piutang negara dapat dikatakan sebagai penghapusan perikatan/perjanjian karena pembebasan hutang. Terdapat 2 jenis penghapusan piutang negara yaitu pertama, penghapusbukuan piutang dengan tidak menghilangkan hak tagih, yang dilakukan hanya dalam administrasi pembukuan saja, yaitu dengan memindahkan pencatatan dari pembukuan utama (misalnya neraca) ke pembukuan khusus piutang yang telah dihapusbukukan. Kedua, penghapustagihan piutang negara dengan menghilangkan hak tagih. Kedua jenis penghapusan tersebut dilakukan secara berurutan, yaitu 332 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara penghapustagihan piutang negara dilakukan hanya apabila piutang dimaksud telah dihapusbukukan terlebih dahulu. Ketentuan yang secara spesifik mengatur tentang penghapusan piutang negara pertama kali dirumuskan dalam Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indonesische Comptabiliteitswet / ICW) S. 1864 – 106 Pasal 19 yang mengatur bahwa Pemerintah dapat memberikan pembebasan penagihan (atau dengan kata lain, menghapuskan piutang negara) dengan ketentuan: 1. Pemerintah telah mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan atas pembebasan tersebut; dan 2. pembebasan penagihan dengan jumlah melebihi f.10.000,00 ditetapkan dengan undang-undang. Saat ini, Undang-undang Perbendaharaan Indonesia (Indonesische Comptabiliteitswet /ICW) S. 1864 – 106 tersebut sudah tidak berlaku lagi dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang juga mengatur tentang penghapusan piutang negara (vide Pasal 37 ayat (1)). Aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 37 ayat (1) tersebut dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Namun demikian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara tidak secara eksplisit mengatur penghapusan piutang BUMN/BUMD. Hal tersebut disebabkan oleh pengertian piutang negara/daerah yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut terbatas hanya pada pengertian piutang Instansi Pemerintah, baik pusat maupun daerah, saja, dan tidak mencakup pengertian piutang badan-badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara atau daerah. Pengertian tersebut berbeda dengan pengertian piutang negara dalam Pasal 8 (dan penjelasannya) Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN yang tidak membedakan piutang negara dan piutang daerah, sehingga semua piutang yang diurus oleh PUPN didefinisikan sebagai piutang negara. Selain itu, pengertian piutang negara dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 juga mencakup pengertian piutang badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara/daerah (BUMN/BUMD). Agar BUMN/BUMD dapat menghapustagihkan piutangnya yang telah diurus secara optimal, maka kepada Menteri Keuangan atau kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara/daerah yang dipisahkan, perlu diberikan kewenangan untuk membuat pengaturan tentang penghapustagihan piutang-piutang BUMN/BUMD. Pemberian kewenangan tersebut didasarkan pada Peraturan 333 Pengurusan Piutang Negara Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, yang merupakan pengaturan lebih lanjut atas Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang ketentuan penghapusan piutang negara/daerah. Untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2005 tentang Tatacara Penghapusan Piutang Negara/Daerah telah disusun Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, Dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah Dan Piutang Negara/Daerah. Kedua peraturan tesebut berisi pengaturan tentang kewenangan, persyaratan, dan proses penghapusan (penghapusbukuan dan penghapustagihan) piutang Instansi Pemerintah Pusat, Instansi Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD. - o0o - Latihan Untuk mengingatkan kembali yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di bawah ini! 1. Jelaskan secara singkat, mengapa negara sebagai pemilik piutang dapat menghapuskan kewajiban Penanggung Hutang? 2. Jelaskan secara singkat, dasar hukum penghapusan piutang negara yang saat ini berlaku! 3. Jelaskan secara singkat pengertian penghapusan piutang secara bersyarat dan pengertian penghapusan piutang secara mutlak! Apa beda kedua pengertian tersebut? 4. Apa beda pengertian piutang negara pada Undang-undang Nomor 1 ahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan pengertian pada Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960? 5. Jelaskan dasar pemikiran diberikannya kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk membuat pengaturan tentang penghapustagihan (penghapusan secara mutlak) piutang BUMN! 334 Bab 12 : Penghapusan Piutang Negara 6. Jelaskan dasar pemikiran diberikannya kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk membuat pengaturan tentang penghapustagihan (penghapusan secara mutlak) piutang BUMD! 7. Jelaskan persyaratan penghapusbukuan (penghapusan secara bersyarat) dan penghapustagihan (penghapusan secara mutlak) piutang Instansi Pemerintah Pusat! Jelaskan juga proses pelaksanaan masing-masing penghapusan tersebut! 8. Jelaskan persyaratan penghapusbukuan (penghapusan secara bersyarat) dan penghapustagihan (penghapusan secara mutlak) piutang Instansi Pemerintah Daerah! Jelaskan juga proses pelaksanaan masing-masing penghapusan tersebut! 9. Jelaskan persyaratan penghapusbukuan (penghapusan secara bersyarat) dan penghapustagihan (penghapusan secara mutlak) piutang BUMN! Jelaskan juga proses pelaksanaan masing-masing penghapusan tersebut! 10. Jelaskan persyaratan penghapusbukuan (penghapusan secara bersyarat) dan penghapustagihan (penghapusan secara mutlak) piutang BUMD! Jelaskan juga proses pelaksanaan masing-masing penghapusan tersebut! - o0o - BAB 13 BIAYA ADMINISTRASI PENGURUSAN PIUTANG NEGARA Sasaran Pembelajaran Setelah mempelajari Bab ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami pengertian biaya yang dipungut PUPN dalam pengurusan piutang negara, yang berupa Biaya Pengurusan Piutang Negara. Materi yang akan diuraikan dalam bab ini adalah perkembangan pemungutan Biaya Adminstrasi Pengurusan Piutang Negara, besaran dan cara memungutnya, dan keterkaitan Biad PPN dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pendahuluan 338 Bab 13 : Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara Berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, PUPN bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan, sehingga dapat dikatakan bahwa PUPN merupakan institusi yang melaksanakan tugas-tugas pemerintah, khususnya di bidang pengelolaan keuangan negara. Namun demikian, pada periode awal berdirinya, PUPN dapat dikatakan sebagai suatu organisasi tetapi bersifat swadana, atau yang mencari dana sendiri. Hal tersebut terjadi, karena Anggaran Belanja Negara tidak membiayai aktifitas PUPN. Ketentuan tentang pembiayaan pelaksanaan tugas PUPN sebagai institusi yang bersifat swadana diatur dalam Peraturan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan Nomor BUM.18-77-30/II Tahun 1962 tentang Pembiayaan Panitia Urusan Piutang Negara. Berdasarkan ketentuan tersebut, hal-hal yang dapat dibiayai adalah: 1. tunjangan bulanan dan uang sidang anggota PUPN; 2. tunjangan pekerjaan pegawai-pegawai Staf Administrasi PUPN; 3. biaya administrasi kantor, seperti biaya sewa gedung, alat tulis menulis, biaya telepon, listrik, air, uang lembur, biaya perjalanan, dan sebagainya; 4. uang jasa kepada anggota PUPN, pegawai Staf Administrasi PUPN, dan pihak lain yang giat membantu penyelesaian pekerjaan PUPN. Karena bersifat swadana, dan dalam rangka menyediakan dana pembiayaan aktifitas organisasi, maka PUPN perlu mencari sumber dana pembiayaan tersebut. Sumber yang paling mungkin didapatkan oleh PUPN adalah pemungutan biaya administrasi kepada pihak-pihak yang menggunakan pelayanan yang diberikan institusi. Agar dapat dipertanggungjawabkan secara legal, maka pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) oleh PUPN tersebut diatur dalam keputusan menteri yang berwenang. Dalam perjalanannya, saat ini seluruh kegiatan pengurusan piutang negara oleh PUPN/ DJPLN, dibiayai oleh Aanggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pembiayaan oleh APBN tersebut tidak hanya pada kegiatan yang langsung terkait dengan pelaksanaan pengurusan piutang negara, seperti biaya pemanggilan Penanggung Hutang, penyampaian Surat Paksa, pelaksanaan sita, dan sebagainya. Pembiayaan oleh APBN dimaksud juga dilakukan pada hal-hal yang terkait dengan administrasi kantor dan penggajian baik kepada anggota PUPN maupun kepada pegawai DJPLN. Walaupun telah dibiayai oleh APBN, saat ini PUPN tetap melakukan pemungutan Biad PPN kepada Penanggung Hutang. Pemungutan. Biad PPN tersebut dimaksudkan sebagai hak pemerintah yang dapat diterima atas kegiatan pelayanan yang diberikannya. Pengurusan Piutang Negara 339 Perkembangan pemungutan Biad PPN, Penerimaan Negara Bukan Pajak, serta besaran tarif dan cara pemungutan Biad PPN akan dijelaskan pada uraian berikut. Perkembangan Pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara Pengaturan tentang pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) pertama kali dilakukan melalui Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan Nomor BUM.1877-18/II Tahun 1962 tentang Peraturan Pelaksanaan Panitia Urusan Piutang Negara. Di dalam Pasal 2 ayat 2 keputusan tersebut telah diatur bahwa dari setiap piutang negara yang diurus PUPN akan dipungut Biad PPN sebesar 3% dari jumlah piutang tersebut. Rincian pemungutan Biad PPN tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2½% dibebankan kepada Penanggung Hutang; dan 2. ½% dibebankan kepada Penyerah Piutang. Dalam perkembangannya, ketentuan tentang pemungutan Biad PPN tersebut, mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan pertama dilakukan melalui Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan Nomor BPN.II/18-14-22 Tahun 1964. Berdasarkan keputusan tersebut, Biad PPN yang dipungut atas setiap piutang negara yang diselesaikan PUPN, dinaikkan menjadi sebesar 6% dari jumlah piutang dan dibebankan kepada Penanggung Hutang. Ketentuan baru tersebut membawa perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya tentang pemungutan Biad PPN. Perbedaan dan alasan terjadinya perbedaan tersebut akan diuraikan berikut ini. 1. Ketentuan baru mengatur bahwa tarif Biad PPN yang dipungut adalah sebesar 6%, sedangkan ketentuan lama mengatur sebesar 3%. Peningkatan tarif Biad PPN tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa dengan tarif Biad PPN sebesar 3%, hasil yang diperoleh PUPN sebagai institusi swadana tidak dapat menutupi biaya yang dikeluarkan oleh PUPN dalam melaksanakan tugasnya. Untuk dapat memperoleh keseimbangan penerimaan dan pengeluaran PUPN, maka perlu meningkatkan tarif Biad PPN. 340 Bab 13 : Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara 2. Ketentuan baru membebankan Biad PPN hanya kepada Penanggung Hutang, sedangkan ketentuan lama membebankan kepada Penanggung Hutang dan kepada Penyerah Piutang. Dibebaskannya Penyerah Piutang dari pengenaan Biad PPN didasarkan pada pemikiran bahwa di satu sisi, Biad PPN merupakan biaya penagihan hutang kepada negara. Di sisi lain, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam hubungan antara kreditor dan debitor, biaya penagihan tersebut sepenuhnya dibebankan kepada debitor/Penanggung Hutang. Oleh karena itu, Penyerah Piutang tidak perlu lagi dikenakan Biad PPN. 3. Ketentuan baru mengatur bahwa pemungutan Biad PPN dilakukan atas piutang negara yang berhasil diselesaikan PUPN, yaitu atas setiap pembayaran yang dilakukan dalam rangka penyelesaian kewajiban Penanggung Hutang, PUPN memungut Biad PPN sebesar 6%, sehingga PUPN tidak harus menunggu pelunasan hutang Penanggung Hutang terlebih dulu sebelum memungut Biad PPN. Ketentuan lama tidak mengatur dengan jelas cara pemungutan Biad PPN tersebut. Perubahan kedua atas ketentuan yang terkait dengan pemungutan Biad PPN dilakukan melalui Keputusan Menteri Iuran Negara Nomor Bpd. 1-1-30 tanggal 9 Maret 1966. Ketentuan dimaksud mengatur kenaikan tarif Biad PPN dari 6% menjadi sebesar 10%. Selain itu, karena materi Keputusan Menteri tersebut sangat singkat, maka keputusaan tersebut tidak secara spesifik mengatur ketentuan tentang pihak-pihak yang dibebankan Biad PPN dan cara pemungutannya. Kedua hal yang tidak secara spesifik diatur dalam keputusan Menteri tersebut di atas terjawab berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Keputusan Ketua PUPN Nomor 122/PUPN/Birad/1967 tentang Peraturan Tata Kerja Panitia Urusan Piutang Negara, yaitu: 1. Biad PUPN sebesar 10% dibebankan kepada Penanggung Hutang; dan 2. dipungut atas setiap pembayaran yang terjadi dalam rangka penyelesaian kewajiban Penanggung Hutang. Pengaturan terakhir tentang besaran tarif Biad PPN dan pihak yang dibebankan untuk membayarnya tetap dipertahankan sampai dengan saat ini. Namun demikian, di dalam beberapa Keputusan Menteri Keuangan yang terkait dengan pengurusan Piutang Negara yang terakhir diberlakukan, terdapat sedikit perubahan besaran tarif dan cara pemungutan Biad. Penerimaan Negara Bukan Pajak Pengurusan Piutang Negara 341 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) memuat ketentuan tentang jenis-jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak serta pengelolaan dan pemeriksaannya. Dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut, telah diatur bahwa jenis penerimaan yang termasuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah: 1. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; 2. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam; 3. penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan; 4. penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah; 5. penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; 6. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; dan 7. penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Bila dikaitkan dengan ketentuan yang termuat dalam undang-undang tentang PNBP tersebut di atas, maka Biad PPN yang dipungut PUPN/DJPLN dalam melakukan pengurusan piutang negara merupakan penerimaan negara bukan pajak. Hal ini disebabkan oleh kenyataan, bahwa kegiatan yang dilakukan oleh PUPN/DJPLN merupakan pelayanan yang diberikan kepada Penanggung Hutang dalam menyelesaikan kewajibannya. Mengingat PUPN/DJPLN merupakan institusi Pemerintah, maka pelayanan PUPN/DJPLN tersebut merupakan bagian dari pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat. Dengan demikian, Biad PPN merupakan penerimaan pemerintah dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakannya, sesuai dengan jenis PNBP yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997. Ketentuan yang melegalisasi penerimaan Biad PPN sebagai PNBP adalah Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Keuangan. Pasal 4 ayat (5) ketentuan tersebut mengatur bahwa salah satu jenis PNBP yang berlaku pada DJPLN adalah penerimaan Biad PPN. Dengan berlandaskan pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tersebut di atas, PUPN/DJPLN tetap dapat memungut Biad PPN dari para Penanggung Hutang meskipun seluruh kegiatan institusi tersebut telah dibiayai oleh APBN. Penerimaan Biad PPN tersebut, oleh DJPLN tidak digunakan untuk membiayai aktifitas PUPN/DJPLN, tetapi disetorkan ke kas negara. 342 Bab 13 : Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara Tarif Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara Pasal 4 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Keuangan mengatur ketentuan tentang tarif Biad PPN. Tarif tersebut adalah sebagai berikut: 1. Penerimaan Biad PPN untuk pelunasan hutang yang dilakukan sebelum Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N) diterbitkan adalah sebesar 0% (nol persen) per Berkas Kasus Piutang Negara. Ketentuan ini dirumuskan berdasarkan pemikiran bahwa sebelum SP3N diterbitkan PUPN, berarti penyerahan pengurusan piutang negara kepada PUPN belum efektif terjadi. Karena penyerahan pengurusan belum efektif terjadi, maka PUPN belum melakukan pengurusan piutang tersebut. Bila belum melakukan kegiatan pengurusan, maka sudah pada tempatnya bila PUPN/DJPLN tidak memungut Biad PPN bila Penanggung Hutang melunasi hutangnya pada periode waktu tersebut. 2. Penerimaan Biad PPN untuk pelunasan hutang yang dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal SP3N diterbitkan adalah sebesar 1% (satu persen) dari jumlah yang wajib dilunasi per Berkas Kasus Piutang Negara. Ketentuan ini dirumuskan berdasarkan pemikiran bahwa sesudah SP3N diterbitkan PUPN, berarti penyerahan pengurusan piutang negara kepada PUPN telah efektif terjadi. Oleh karena itu, setelah terbitnya SP3N, PUPN telah melakukan pengurusan piutang tersebut. Bila telah melakukan kegiatan pengurusan, maka sudah pada tempatnya bila PUPN/DJPLN memungut Biad PPN kepada Penanggung Hutang yang melunasi hutangnya setelah SP3N terbit. Namun demikian, sebagai insentif kepada Penanggung Hutang untuk mau melunasi hutangnya paling lambat 3 bulan sejak SP3N terbit, Biad PPN yang dikenakan hanyalah sebesar 1% dari jumlah hutang yang dilunasi. 3. Penerimaan Biad PPN untuk pelunasan hutang yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan sejak SP3N diterbitkan adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah hutang yang wajib dilunasi per Berkas Kasus Piutang Negara. Salah satu pertimbangan ditetapkannya tarif Biad PPN sebesar 10% adalah perimbangan biaya yang dikeluarkan negara dalam melakukan pengurusan Pengurusan Piutang Negara 343 piutang negara dan penerimaan yang diperoleh dari pemungutan Biad PPN. 4. Penerimaan Biad PPN untuk penarikan Pengurusan Piutang Negara ditetapkan sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari sisa hutang yang wajib diselesaikan per Berkas Kasus Piutang Negara. Ketentuan ini dirumuskan berdasarkan pemikiran bahwa penarikan pengurusan piutang negara bagi PUPN hanyalah penyelesaian pengurusan secara administratif saja dan bukan penyelesaian yang tuntas dalam bentuk pelunasan hutang. Oleh karena itu, maka sesudah pada tempatnya bila PUPN/DJPLN hanya memungut Biad PPN sebesar 2,5% kepada Penanggung Hutang yang pengurusan hutangnya ditarik kembali oleh Penyerah Piutang dari PUPN. Cara Pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara Biad PUPN dipungut atas setiap pembayaran yang terjadi. Pembayaran tersebut dapat terjadi karena pembayaran angsuran/pelunasan, penebusan barang jaminan milik Penjamin Hutang, penjualan barang jaminan milik Penanggung Hutang tidak melalui lelang, dan/atau pelelangan barang jaminan. Perhitungan Biad PPN atas setiap pembayaran tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. pembayaran yang dilakukan Penanggung Hutang, tanpa ada pelunasan dalam jangka waktu 3 bulan setelah SP3N terbit: a. Hak Penyerah Piutang = 10/11 X nilai pembayaran b. Biad PPN = 1/11 X nilai pembayaran 2. pelunasan yang dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah SP3N terbit: a. Hak Penyerah Piutang = jumlah sisa hutang b. Biad PPN = 10% X jumlah sisa hutang yang dilunasi (sebagai tambahan pembayaran di luar jumlah sisa hutang yang menjadi hak Penyerah Piutang) 3. pelunasan yang dilakukan setelah lewat waktu 3 bulan sejak SP3N terbit: a. Hak Penyerah Piutang = jumlah sisa hutang 344 Bab 13 : Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara b. Biad PPN = 10% X jumlah sisa hutang yang dilunasi (sebagai tambahan pembayaran di luar jumlah sisa hutang yang menjadi hak Penyerah Piutang) 4. penebusan barang jaminan milik Penjamin Hutang: a. Hak Penyerah Piutang = nilai penebusan b. Biad PPN = 10% X nilai penebusan (sebagai tambahan pembayaran di luar nilai penebusan) 5. penjualan barang jaminan milik Penanggung Hutang tidak melalui lelang: a. Hak Penyerah Piutang = 10/11 X nilai penjualan tidak melalui lelang b. Biad PPN = 1/11 X nilai penjualan tidak melalui lelang 6. penjualan barang jaminan melalui lelang: a. Hak Penyerah Piutang = 10/11 X Hasil Bersih Lelang b. Biad PPN = 1/11 X Hasil Bersih Lelang Bila dicermati, ketentuan Pasal 4 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 membebankan Biad PPN tidak semata-mata kepada Penanggung Hutang, tetapi membebankannya kepada Penanggung Hutang per Berkas Kasus Pengurusan Piutang Negara (BKPN)1. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa terdapat kemungkinan adanya satu Penanggung Hutang yang harus menyelesaikan beberapa hutang yang berbeda dan tidak saling terkait satu sama lainnya. Hutang tersebut dapat berasal dari satu Penyerah Piutang maupun berasal dari beberapa Penyerah Piutang yang berbeda. Pengurusan beberapa piutang atas nama Penanggung Hutang yang sama, meskipun harus dilakukan secara simultan agar diperoleh hasil yang optimal untuk semua kasus, namun perhitungan penyelesaiannya harus dilakukan secara terpisah. Misalkan PT Mari Berhutang Terus memiliki 2 unit pabrik. Untuk keperluan pabrik I PT Mari Berhutang Terus mendapatkan kredit dari salah 1 Bank BUMN yang ada (sebut saja PT Bank BUMN (Persero)) dengan pokok kredit sebesar Rp.1.000.000.000,00 dan Pembebanan Hak Tanggungan sebesar nilai yang sama. Kredit tersebut macet dan pengurusannya diserahkan PT. Bank BUMN (Persero) kepada PUPN dengan total nilai penyerahan (total hutang pokok, hutang bunga, denda, dan ongkos-ongkos) sebesar Rp.1.200.000.000,00. Untuk keperluan pabrik II, PT Mari Berhutang Terus mendapatkan kredit dari Bank yang sama, dengan pokok kredit sebesar 1 Di dalam administrasi pengurusan piutang negara, satu kasus kredit/piutang macet yang diserahkan pengurusannya oleh Penyerah Piutang dibukukan sebagai satu Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN). Pengurusan Piutang Negara 345 Rp.500.000.000,00 Pembebanan Hak Tanggungan sebesar nilai yang sama. Kredit kedua tersebut juga macet dan pengurusannya diserahkan PT. Bank BUMN (Persero) kepada PUPN dengan total nilai penyerahan (total hutang pokok, hutang bunga, denda, dan ongkos-ongkos) sebesar Rp.650.000.000,00. Oleh PUPN, penyerahan pengurusan tersebut tidak dibukukan menjadi 1 BKPN dengan nilai penyerahan Rp.1.850.000.000,00, walaupun kedua piutang negara tersebut atas nama satu Penanggung Hutang dan berasal dari satu Penyerah Piutang. Kedua berkas penyerahan tersebut oleh PUPN/DJPLN dibukukan sebagai 2 BKPN. Misalkan PUPN melakukan lelang pabrik I dengan hasil bersih lelang (harga jual lelang yang tercapai setelah dikurangi bea lelang) yang diterima PUPN adalah sebesar Rp.1.400.000.000,00. Atas hasil lelang tersebut, PUPN menyerahkan Rp.1.200.000.000,00 kepada PT. Bank BUMN (Persero) sebagai pelunasan hak Penyerah Piutang, dan mengirimkan Biad PPN ke Kas Negara sebesar 10% dari Rp.1.200.000.000,00 (yaitu sebesar Rp.120.000.000,00). Sisa hasil lelang tersebut (sebesar Rp.80.000.000,00) diperlakukan sebagai berikut: 1. diserahkan seluruhnya kepada Pemegang Hak Tanggungan Kedua bila Pabrik I yang dilelang tersebut dibebankan Hak Tanggungan Kedua dengan nilai pembebanan di atas Rp.80.000.000,00; atau 2. oleh PUPN digunakan sebagai pembayaran hutang kedua milik Penanggung Hutang, bila tidak terdapat pembebanan Hak Tanggungan Kedua atas Pabrik I yang dilelang tersebut. Bila ketentuan Biad PPN tidak diatur untuk dikenakan kepada Penanggung Hutang per BKPN, maka hasil bersih lelang tersebut (sebesar Rp.1.400.000.000,00) seluruhnya digunakan untuk menyelesaikan total kewajiban Penanggung Hutang yang sebesar Rp.1.850.000.000,00. Sehingga perhitungannya menjadi sebagai berikut: 1. Hak Penyerah Piutang = 10/11 X Rp.1.400.000.000,00 = Rp.1.272.727.272,73 2. Biad PPN = 1/11 X Rp.1.400.000.000,00 = Rp. 127.272.727,27 Kebijakan di atas akan menghadapi masalah apabila ternyata Pabrik I yang dilelang tersebut dibebankan Hak Tanggungan Kedua oleh bank lain. Bank lain tersebut, sebagai pemegang Hak Tanggungan Kedua mempunyai hak atas hasil lelang Pabrik I tersebut setelah seluruh Pembebanan Pertama dilunasi. Bila oleh PUPN hasil lelang tersebut digunakan juga untuk 346 Bab 13 : Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara menyelesaikan BKPN nomor 2 yang tidak ada kaitan dengan Pabrik I yang dilelang, Bank lain selaku Pemegang Hak Tanggung Kedua tentu akan melakukan perlawan atas hal ini. Rangkuman Pada periode awal berdirinya, PUPN dapat dikatakan sebagai suatu organisasi tetapi bersifat swadana, atau yang mencari dana sendiri. Hal tersebut terjadi, karena Anggaran Belanja Negara tidak membiayai aktifitas PUPN. Karena bersifat swadana, dan dalam rangka menyediakan dana pembiayaan aktifitas organisasi, maka PUPN perlu mencari sumber dana pembiayaan tersebut. Sumber yang paling mungkin didapatkan oleh PUPN adalah pemungutan biaya administrasi kepada pihak-pihak yang menggunakan pelayanan yang diberikan institusi. Agar dapat dipertanggungjawabkan secara legal, maka pemungutan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) oleh PUPN tersebut diatur dalam keputusan menteri yang berwenang. Pengaturan tentang pemungutan Biad PPN dari waktu ke waktu selalu berkembang. Pada pengaturan yang pertama kali ditetapkan, Biad dipungut sebesar 3%, dengan rincian 2½% dibebankan kepada Penanggung Hutang dan ½% dibebankan kepada Penyerah Piutang. Pada pengaturan kedua, Biad dipungut sebesar 6%, dan dibebankan seluruhnya kepada Penanggung. Pada pengaturan ketiga, Biad dipungut sebesar 10%, dan dibebankan seluruhnya kepada Penanggung. Saat ini, pengaturan tentang Biad ada pada Pasal 4 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Keuangan. - o0o - Latihan Untuk mengingatkan kembali yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di bawah ini! 1. Mengapa diawal pendiriannya, PUPN memungut Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN)? 347 Pengurusan Piutang Negara 2. Mengapa saat ini PUPN masih memungut Biad PPN? 3. Apa dasar hukum pemungutan Biad PPN? 4. Bagaimana cara perhitungan Biad PPN berdasarkan PP Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Keuangan? 5. Jelaskan mengapa perhitungan Biad PPN di dalam PP Nomor 44 Tahun 2003 didasarkan pada nilai hutang per Berkas Kasus Piutang Negara, bukan per penanggung Hutang? - o0o - BAB 14 PENGURUSAN PIUTANG NEGARA YANG SPESIFIK Sasaran Pembelajaran Setelah mempelajari Bab ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami proses pengurusan piutang negara yang spesifik, yaitu proses yang berbeda dari proses pengurusan piutang negara pada umumnya. Materi yang akan diuraikan dalam bab ini adalah jenis pengurusan piutang negara yang spesifik, persyaratan dan proses pengurusannya. 350 Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik Pendahuluan Pada bab-bab terdahulu, telah diuraikan bahwa proses pengurusan piutang negara dimulai dari adanya penyerahan pengurusan piutang dari Penyerah Piutang kepada PUPN. Pengurusan piutang negara tersebut, oleh PUPN dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Penerbitan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N), yang merupakan pintu hubungan antara Penyerah Piutang dan PUPN. 2. Pemanggilan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang. 3. Tanya jawab dan pembuatan Pernyataan Bersama (PB), yang merupakan pintu hubungan antara Penanggung Hutang dan PUPN. 4. Penetapan Jumlah Piutang Negara, bila PB tidak dapat dibuat. 5. Penerbitan Surat Paksa, dan penyampaiannya. 6. Penerbitan Surat Perintah Sita, dan pelaksanaan sita. 7. Penerbitan Surat Perintah Penjualan barang sitaan. 8. Lelang Barang Jaminan dan/atau harta kekayaan lain yang telah disita PUPN. 9. Penerbitan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas (SPPNL), Surat Pernyataan Piutang Negara Selesai (SPPNS), atau Piutang Negara Sementara Belum Dapat diTagih (PSBDT), yang merupakan tanda pengakhiran pengurusan piutang negara, baik selesai karena lunas maupun selesai secara administrasi. 10. Di antara tahapan tersebut, sejak SP3N terbit, dapat juga dilakukan pengurusan piutang negara lainnya, seperti: penebusan barang jaminan hutang oleh Penjamin Hutang yang tidak menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung Hutang, penjualan tidak melalui lelang atas barang jaminan milik Penanggung Hutang, dan Pencegahan bepergian ke luar negeri kepada Penanggung Hutang yang memenuhi syarat untuk dicegah. Namun demikian, terdapat beberapa jenis piutang negara yang pengurusannya akan menghadapi hambatan bila dilakukan dengan tahapan sebagaimana disebut di atas. Oleh karena itu, pengurusan atas jenis piutang negara tersebut harus dilakukan dengan cara yang khusus (spesifik). Perlunya tahap pengurusan yang spesifik tersebut disebabkan oleh: 1. karakteristik Penanggung Hutang yang harus menyelesaikan hutangnya kepada negara, yang memerlukan adanya perlakukan khusus, seperti Penanggung Hutang Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara; dan Pengurusan Piutang Negara 351 2. ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan piutang, Penanggung Hutang, dan/atau barang jaminan, yang memerlukan adanya penyesuaian tahap pengurusan piutang negara, seperti ketentuan undangundang tentang kepailitan, undang-undang tentang hak tanggungan, dan undang-undang tentang jaminan fidusia. Masing-masing pengurusan piutang yang bersifat khusus tersebut diuraikan berikut ini. Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara Ketentuan tentang pengurusan piutang negara eks Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara (KP – BTN), yang dilakukan secara khusus, pertama kali diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 340/KMK.01/2000 tentang Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 510/KMK.01/2000 tentang perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 340/KMK.01/2000 tentang Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara. Ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi dan digantikan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 301/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara. Pengurusan piutang negara eks KP – BTN dilaksanakan secara khusus dan tidak sama seperti pengurusan jenis piutang lainnya karena karakteristik piutang tersebut pada dasarnya berbeda dengan jenis piutang lainnya. Namun demikian, tidak semua piutang negara eks KP – BTN yang dapat diurus secara khusus. Piutang eks KP – BTN yang dapat diurus secara khusus, tidak seperti pengurusan piutang negara pada umumnya, hanya piutang dengan pokok kredit paling banyak Rp.350.000.000,00 saja. Piutang eks KP – BTN dengan pokok kredit lebih dari itu akan diurus PUPN dengan tahap pengurusan yang berlaku umum. Karakteristik utama piutang eks KP – BTN yang menyebabkan pengurusannya oleh PUPN dilakukan secara khusus adalah: 1. Penanggungjawab hutang umumnya menempati barang jaminan satusatunya yang ada, yang berupa rumah. 2. Penanggungjawab hutang umumnya berpenghasilan menengah ke bawah. 352 Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik 3. Angsuran yang tertunggak, yang menyebabkan pengurusan piutang atas nama Penanggung Hutang diserahkan kepada PUPN, umumnya dibandingkan dengan pokok kredit belum begitu besar nilainya sehingga kepada yang bersangkutan perlu diberi kesempatan untuk menyelesaikan tunggakan angsurannya terlebih dahulu, sebelum diharuskan menyelesaikan seluruh hutangnya. Pengurusan piutang negara eks KP – BTN berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 301/KMK.01/2002 adalah sebagaimana yang diuraikan di bawah ini. 1. Penyerahan pengurusan piutang eks KP – BTN oleh PT. BTN (Persero) kepada PUPN. Penyerahan tersebut dilakukan sama seperti penyerahan pengurusan piutang pada umumnya (sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara), kecuali informasi tentang rincian jumlah hutang, yang terdiri dari 4 bagian, yaitu saldo hutang, tunggakan angsuran, denda, dan biaya lain-lain. 2. Penerbitan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara oleh PUPN, yang ketentuan tentang proses dan persyaratan penerbitannya sama dengan ketentuan penerbitan SP3N pada umumnya (sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara). 3. Pemanggilan Penanggung Hutang, yang dilakukan sama dengan pemanggilan Penanggung Hutang lainnya (sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara). 4. Bila Penanggung Hutang memenuhi panggilan atau datang atas kemauan sendiri, Penanggung Hutang membuat Surat Pernyataan yang berisi: a. pengakuan jumlah tunggakan, kesanggupan angsuran, denda, dan biaya lain-lain; b. pernyataan kesanggupan melunasi tunggakan angsuran, denda, dan biaya lain-lain yang terhutang dalam waktu 3 bulan sejak SP3N terbit; dan c. cara pelunasannya. 5. Bila Penanggung Hutang melunasi hutangnya sesuai dengan Surat Pernyataan yang ditandatanganinya, maka PUPN akan: a. memungut Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) sebesar 1% dari tunggakan angsuran, denda, dan biaya lain-lain, bukan dari total hutang yang masih harus diselesaikan Penanggung Hutang, Pengurusan Piutang Negara 353 seperti cara pemungutan Biad PPN pada pengurusan piutang negara pada umumnya; dan b. mengembalikan pengurusan piutang negara kepada PT. BTN (Persero). Piutang Negara ini, bila dalam perkembangan selanjutnya harus diserahkan kembali kepada PUPN, tidak dapat lagi diurus dengan cara khusus. Piutang tersebut harus diurus sesuai tahapan yang diatur dalam ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara. 6. Pernyataan Bersama dibuat oleh PUPN dan Penanggung Hutang bila: a. Penanggung Hutang tidak bersedia membuat Surat Pernyataan; b. Surat Pernyataan tidak dapat dibuat (misalnya Penanggung Hutang tidak mampu menyelesaikan tunggakan anggsuran, denda, dan biayabiaya lainnya dalam waktu 3 bulan); atau c. Penanggung Hutang tidak melunasi hutang sesuai Surat Pernyataan. Muatan Pernyataan Bersama sama dengan muatan Pernyataan Bersama dalam pengurusan piutang negara pada umumnya (sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara). 7. Bila salah satu dari situasi sebagaimana dimaksud dalam butir 6.a, 6.b, atau 6.c terjadi, dan Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat, maka PUPN menerbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN). Muatan Penetapan Jumlah Piutang Negara sama dengan muatan Pernyataan Bersama pada pengurusan piutang negara pada umumnya (sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara). 8. Tahap pengurusan piutang negara selanjutnya yang dilakukan oleh PUPN adalah sama dengan tahap pengurusan piutang negara pada umumnya (sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara). Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa kekhususan pengurusan piutang negara eks KP – BTN hanya terletak pada pemberian kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk terlebih dahulu menyelesaikan tunggakan angsuran, denda, dan biaya-biaya lainnya, sebelum dipaksakan untuk menyelesaikan seluruh hutangnya. Namun demikian, perlakukan khusus dalam pengurusan piutang negara eks KP – BTN tidak tanpa batas. Batasan tersebut adalah sebagai berikut: 354 Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik 1. pengurusan secara khusus tersebut hanya berlaku dalam jangka waktu 3 bulan sejak SP3N terbit. Bila Penanggung Hutang tidak dapat menyelesaikan tunggakan eks KP – BTN angsuran, denda, dan biaya-biaya lainnya, maka perlakukan khusus tersebut berakhir dan pengurusan piutang negara atas nama Penanggung Hutang yang bersangkutan akan dilaksanakan sesuai ketentuan umum; 2. piutang negara eks KP – BTN yang dapat diurus secara khusus hanyalah piutang dengan pokok kredit paling banyak Rp.350.000.000,00; dan 3. perlakukan khusus terhadap piutang negara eks KP – BTN hanya satu kali saja, sehingga Penanggung Hutang yang telah dikembalikan pengurusannya kepada PT. BTN (Persero), dan pada suatu saat pengurusannya diserahkan kembali ke PUPN, maka kepada Penanggung Hutang tersebut tidak akan diberikan kesempatan kedua untuk menyelesaikan tunggakan angsuran, denda, dan biaya-biaya lainnya. Kepada yang bersangkutan akan dilaksanakan tahap pengurusan piutang negara yang umum. Pengurusan Piutang Negara Atas Penanggung Hutang yang Dinyatakan Pailit atau Atas Barang Jaminan Milik Pihak Ketiga yang Dinyatakan sebagai Boedel Pailit Pengurusan piutang negara secara khusus dilakukan terhadap piutang negara dengan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang sedang dalam proses kepailitan atau dinyatakan pailit. Perlakukan khusus tersebut didasarkan pada Pasal 155 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara juncto Pasal 62 Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor Kep25/PL/2002 tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara, yang mengatur bahwa bila Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang sedang dalam proses kepailitan atau dinyatakan pailit, pengurusan piutang negara tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepailitan, yaitu Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-undang Kepailitan). Pada sub bab sebelum ini telah dijelaskan bahwa perlakuan khusus yang diberikan PUPN atas pengurusan piutang negara eks KP – BTN adalah 355 Pengurusan Piutang Negara berupa tahap pengurusan khusus. Berbeda dengan itu, perlakukan khusus yang diberikan PUPN terkait dengan ketentuan kepailitan tidak berupa penyediaan proses khusus, namun PUPN hanya mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh Undang-undang Kepailitan. Tujuannya adalah agar pengurusan piutang negara tidak melanggar Undang-undang Kepailitan, dan di sisi lain, hak negara (dalam hal ini hak Penyerah Piutang dan Kas Negara) tidak hilang karena adanya perkara kepailitan yang terkait dengan Penanggung Hutang. Agar tujuan tersebut senantiasa dapat tercapai, pegawai Kantor Pelayanan harus dapat mempelajari dan mengerti materi Undang-undang Kepailitan tersebut. Tim Penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJPLN/PUPN di dalam sosialisasi hasil kerja Tim kepada internal DJPLN sepanjang tahun 2005, telah menggambarkan proses kepailitan berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 sebagai berikut: Gambar 14.1. Diagram Proses Kepailitan DIAGRAM PROSES KEPAILITAN Permohonan Pailit Putusan Pailit Insolvensi Pemberesan PKPU Perdamaian Pencocokan/ Verifikasi Tercapai Homologasi Kepailitan berakhir Tidak Tercapai Putusan Pailit Insolvensi Pencocokan/ Verifikasi Pemberesan Ket: Masa stay berlaku paling lama 90 hari sejak putusan pailit. Sumber: Materi Sosialisasi Buku Pedoman Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJPLN/PUPN (2005) Diagram tersebut perlu diketahui Kantor Pelayanan, agar pengurusan piutang negara yang dilaksanakan yang terkait dengan Penanggung Hutang yang dinyatakan pailit atau terkait dengan barang jaminan milik pihak ketiga yang dijadikan boedel pailit, dapat disesuaikan dan tidak bertentangan dengan setiap tahapan proses kepailitan yang perkaranya melibatkan debitor piutang negara. Contoh tindakan yang dilakukan PUPN terkait dengan ketentuan tentang kepailitan adalah sebagai berikut: Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Kepailitan memperbolehkan Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak 356 Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, untuk mengeksekusi haknya seolah-olah tidak ada kepailitan. Namun, berdasarkan Pasal 56 ayat (1) telah diatur bahwa bila putusan pailit telah dibacakan, maka hak eksekusi Kreditor tersebut ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak pembacaan putusan tersebut. Masa penangguhan tersebut biasa dikenal sebagai masa “stay”. Berdasarkan dua ketentuan tersebut, selama 90 hari sejak putusan pailit dibacakan, PUPN tidak dapat melakukan eksekusi atas barang jaminan yang diikat sempurna: 1. milik Penanggung Hutang yang dinyatakan pailit; atau 2. milik pihak ketiga (Penjamin Hutang, misalnya) yang dinyatakan sebagai boedel pailit. Setelah masa penangguhan berakhir, Berdasarkan Pasal 59 Undangundang Kepailitan telah diatur bahwa PUPN dapat melakukan eksekusi barang jaminan yang diikat sempurna tersebut dalam jangka waktu paling lama 2 bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. Contoh lain tentang tindakan yang dilakukan PUPN terkait dengan ketentuan tentang kepailitan adalah sebagai berikut: dalam pembahasan rencana perdamaian, PUPN, sebagai kreditor separatis karena barang jaminan yang ada telah diikat secara sempurna, tidak ikut mengeluarkan suara agar kedudukan kreditor separatis tetap dipertahankan. Hal ini dilakukan dengan memperhatikan Pasal 149 Undang-undang Kepailitan mengatur bahwa: (1) Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan kreditor yang diistimewakan termasuk kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakannya pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut. (2) Dengan pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mereka menjadi Kreditor konkuren juga dalam hal perdamaian tersebut tidak diterima. Pengurusan Piutang Negara dengan Barang Jaminan yang Diikat Sempurna Pengurusan Piutang Negara 357 Pengurusan piutang negara dilakukan sesuai proses sebagaimana yang telah diuraikan pada sub bab pendahuluan. Bila PUPN menggunakan pendekatan non eksekusi dalam pengurusan piutang negara, PUPN memberikan kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk melakukan penjualan tidak melalui lelang atas barang jaminan miliknya atau kesempatan kepada Penjamin Hutang untuk menebus barang jaminan miliknya. Jika barang jaminan tersebut diikat secara sempurna, maka penjualan tidak melalui lelang atas barang jaminan milik Penanggung Hutang atau penebusan barang jaminan milik Penjamin Hutang, dilakukan dengan memperhatikan nilai pembebanan Hak Tanggungan atau nilai penjaminan Fidusia. Bila PUPN, melalui pendekatan non eksekusi yang dilakukan, tidak dapat membuat Penanggung Hutang melunasi hutangnya, maka PUPN akan meningkatkan tahap pengurusan dengan menggunakan pendekatan eksekusi. Berdasarkan prosedur pengurusan piutang negara, barang jaminan yang merupakan sentral dalam pendekatan eksekusi tersebut, akan dilelang setelah barang tersebut disita terlebih dahulu. Hasil lelang atas barang jaminan tersebut digunakan sebagai bagian dalam penyelesaian hutang Penanggung Hutang. Pengurusan Piutang Negara dengan Barang Jaminan yang Dibebani Hak Tanggungan Ketentuan yang mengatur Hak Tanggungan adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Bendabenda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut Undang-undang Hak Tanggungan). Ketentuan di dalam undang-undang tersebut, yang berkaitan dengan pengurusan piutang negara adalah ketentuan Pasal 1 angka 1 yang berbunyi: “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.” 358 Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik Ketentuan tersebut memberikan jaminan bagi PUPN untuk mendapatkan hak mendahulu daripada hak kreditor lainnya atas hasil penjualan barang jaminan piutang negara yang telah dibebankan Hak Tanggungan secara sempurna1. Selain itu, ketentuan di dalam undang-undang tersebut, yang juga berkaitan dengan pengurusan piutang negara adalah ketentuan Pasal 20 yang mengatur bahwa bila Penanggung Hutang cedera janji, objek Hak Tanggungan dapat dilelang berdasarkan: 1. hak Pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6); atau 2. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan. Atas ketentuan Pasal 20 tersebut, terdapat 2 pendapat yang saling berseberangan satu sama lainnya. 1. Pendapat pertama. Pasal 20 menjamin bahwa barang jaminan yang dibebankan Hak Tanggungan, dan bila pembebanan tersebut sudah didaftarkan, dapat langsung dilelang tanpa melalui proses penyitaan terlebih dahulu. Kesimpulan tersebut dapat ditarik dari ketentuan Pasal 6 yang memberikan hak kepada Pemegang Hak Tanggungan Atas Kekuasan Sendiri untuk melelang barang jaminan yang telah dibebankan Hak Tanggungan. Pihak-pihak yang setuju dengan pendapat pertama ini, menyarankan agar pengurusan piutang negara setelah terbitnya SP3N, dapat segera ditindaklanjuti dengan lelang barang jaminan yang telah diikat secara sempurna (dibebankan Hak Tanggungan) tanpa melalui tahap penyitaan. Keuntungan dari cara ini adalah percepatan hasil pengurusan piutang negara. 2. Pendapat kedua. Pendapat pihak-pihak yang tidak setuju pelaksanaan Undang-undang tentang Hak Tanggungan dalam pengurusan piutang negara. a. Rezim pengurusan piutang negara berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN berbeda dengan rezim yang diatur dalam Undang-undang tentang Hak Tanggungan, oleh karena itu, kedua undang-undang tersebut tidak dapat saling melengkapi (complement) di dalam pengurusan piutang negara. Bahkan pada suatu tahapan tertentu kedua undang-undang tersebut bila dilaksanakan 1 Pembebanan Hak Tanggungan tersebut dinyatakan telah sempurna setelah didaftarkan ke Kantor Pertanahan dan oleh Kantor Pertanahan telah diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan. Pengurusan Piutang Negara 359 dalam pengurusan piutang negara akan menyebabkan proses pengurusan yang terlihat seolah-olah tidak teratur. Pihak-pihak yang setuju dengan pendapat kedua ini menyatakan bahwa dalam pengurusan piutang negara, lelang barang jaminan hanya dapat dilaksanakan setelah barang tersebut disita terlebih dahulu. Bila setelah SP3N terbit, barang jaminan yang dibebankan Hak Tanggungan dilelang tanpa disita terlebih dahulu, dan ternyata tidak laku terjual maka pengurusan piutang negara akan dilaksanakan sesuai tahapan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. tahun 1960. Dalam proses tersebut, penyitaan barang jaminan akan dilakukan sebelum lelang. Keganjilan akan terjadi ketika barang yang telah pernah dilelang PUPN (berdasarkan Undang-undang tentang Hak Tanggungan) kemudian disita oleh PUPN (yang sama) berdasarkan Undang-undang No. 49 Prp. Tahun 1960, untuk selanjutnya dilelang kembali. Keganjilan tersebut dapat dilihat dari urutan tahap pengurusan lelang, sita, dan kemudian lelang kembali atas barang jaminan yang diikat sempurna. b. Ketentuan Pasal 26 Undang-undang tentang Hak Tanggungan mengatur bahwa sebelum adanya ketentuan khusus tentang tatacara eksekusi Hak Tanggungan, maka ketentuan tentang eksekusi hypotheek berlaku juga bagi eksekusi Hak Tanggungan. Penjelasan Pasal 26 ini menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada dalam pasal ini adalah ketentuanketentuan yang diatur dalam Pasal 224 Reglemen Indoneisa yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941 – 44) dan Pasal 228 Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura, Staatsblad 1927 – 227). Ketentuan-ketentuan yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 26 tersebut merupakan hukum acara yang tidak ditempuh oleh PUPN dalam melaksanakan tugas pengurusan piutang negara. Berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 yang memberikan kewenangan kepada PUPN untuk bertindak secara lex specilist. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas Pengurusan Piutang Negara, kepada PUPN diberikan suatu kekuasaan khusus (Parate Executie) dengan kewenangan untuk menerbitkan keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan seperti keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti (in kracht van gewijsde). 360 Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik Pengurusan Piutang Negara dengan Barang Jaminan yang Dibebani Jaminan Fidusia Ketentuan yang mengatur tentang Jaminan Fidusia adalah UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut Undang-undang tentang Jaminan Fidusia). Pasal 29 undang-undang tersebut mengatur bahwa bila Penanggung Hutang atau Pemberi Fidusia cedera janji, objek Jaminan Fidusia dapat dilelang berdasarkan: 1. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia; 2. penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; 3. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Sama seperti ketentuan Pasal 20 Undang-undang tentang Hak Tanggungan yang menuai perdebatan, ketentuan Pasal 29 Undang-undang tentang Jaminan Fidusia tersebut, juga menuai dua pendapat yang saling berseberangan bila ketentuan tersebut dikaitkan dengan pengurusan piutang negara. Selain itu, Pasal 27 Undang-undang tentang Jaminan Fidusia juga harus diperhatikan oleh para petugas DJPLN/PUPN terutama dalam melaksanakan penjualan barang jaminan Penanggung Hutang yang telah dibebani Jaminan Fidusia. Pasal 27 tersebut yang berbunyi: (1) Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. (2) Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi Benda yang menjadi objek jaminan Fidusia. (3) Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia. Pengurusan Piutang Negara 361 Ketentuan Pasal 27 tersebut mengatur bahwa hasil penjualan barang jaminan yang dibebani dengan Jaminan Fidusia bukan oleh Penyerah Piutang, terlebih dahulu harus digunakan untuk menyelesaikan hutang kepada pihak lain tersebut. Apabila terdapat kelebihan hasil penjualan barang jaminan atas nilai pembebanan Jaminan Fidusia, maka hasil tersebut dapat dibagi untuk pelunasan hutang Penanggung Hutang kepada para kreditornya. Di lain pihak, bila barang jaminan milik Penanggung Hutang tersebut dibebani Jaminan Fidusia oleh Penyerah Piutang, dan barang jaminan tersebut dijual oleh Penanggung Hutang atau oleh pihak lain, maka hasil penjualan barang jaminan tersebut harus didahulukan untuk melunasi hutang kepada Penyerah Piutang. Rangkuman Terdapat beberapa jenis piutang negara yang pengurusannya akan menghadapi hambatan bila dilakukan dengan tahapan pengurusan sesuai Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 berikut aturan pelaksanaannya. Oleh karena itu, pengurusan atas jenis piutang negara tersebut harus dilakukan dengan cara yang khusus (spesifik). Perlunya tahap pengurusan yang spesifik tersebut disebabkan oleh: 1. karakteristik Penanggung Hutang yang harus menyelesaikan hutangnya kepada negara, yang memerlukan adanya perlakukan khusus, seperti Penanggung Hutang Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara; dan 2. ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan piutang, Penanggung Hutang, dan/atau barang jaminan, yang memerlukan adanya penyesuaian tahap pengurusan piutang negara, seperti ketentuan undangundang tentang kepailitan dan undang-undang tentang hak tanggungan. Pengurusan piutang negara eks KP – BTN dilaksanakan secara khusus karena karakteristik piutang tersebut pada dasarnya berbeda dengan jenis piutang lainnya. Piutang eks KP – BTN yang dapat diurus secara khusus hanya piutang dengan pokok kredit paling banyak Rp.350.000.000,00 saja. Piutang eks KP – BTN dengan pokok kredit lebih dari itu akan diurus PUPN dengan tahap pengurusan yang berlaku umum. Karakteristik piutang eks KP – BTN yang utama yang menyebabkan pengurusannya oleh PUPN dilakukan secara khusus adalah: 362 Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik 1. Penanggungjawab hutang umumnya menempati barang jaminan satusatunya yang ada, yang berupa rumah. 2. Penanggungjawab hutang umumnya berpenghasilan menengah ke bawah. 3. Angsuran yang tertunggak, yang menyebabkan pengurusan piutang atas nama Penanggung Hutang diserahkan kepada PUPN, umumnya dibandingkan dengan pokok kredit belum begitu besar nilainya sehingga kepada yang bersangkutan perlu diberi kesempatan untuk menyelesaikan tunggakan angsurannya terlebih dahulu, sebelum diharuskan menyelesaikan seluruh hutangnya. Pengurusan piutang negara secara khusus dilakukan terhadap piutang negara dengan Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang sedang dalam proses kepailitan atau dinyatakan pailit. Namun demikian, tidak seperti perlakuan khusus yang diberikan PUPN bagi pengurusan piutang negara eks KP – BTN berupa tahap pengurusan khusus, perlakukan khusus yang diberikan PUPN terkait dengan ketentuan kepailitan tidak berupa penyediaan proses khusus. PUPN hanya mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh Undang-undang Kepailitan. Tujuannya adalah agar pengurusan piutang negara tidak melanggar Undang-undang Kepailitan, dan di sisi lain, hak negara (dalam hal ini hak Penyerah Piutang dan Kas Negara) tidak hilang karena adanya perkara kepailitan yang terkait dengan Penanggung Hutang. Agar tujuan tersebut senantiasa dapat tercapai, pegawai Kantor Pelayanan harus dapat mempelajari dan mengerti materi Undang-undang Kepailitan tersebut. Bila PUPN menggunakan pendekatan non eksekusi dalam pengurusan piutang negara, PUPN memberikan kesempatan kepada Penanggung Hutang untuk melakukan penjualan tidak melalui lelang atas barang jaminan miliknya atau kesempatan kepada Penjamin Hutang untuk menebus barang jaminan miliknya. Bila PUPN, melalui pendekatan non eksekusi yang dilakukan, tidak dapat membuat Penanggung Hutang melunasi hutangnya, maka PUPN akan meningkatkan tahap pengurusan dengan menggunakan pendekatan eksekusi. Berdasarkan prosedur pengurusan piutang negara, barang jaminan akan dilelang setelah barang tersebut disita terlebih dahulu. Hasil lelang atas barang jaminan tersebut digunakan sebagai bagian dalam penyelesaian hutang Penanggung Hutang. Pasal 20 Undang-undang Hak Tanggungan mengatur bahwa bila Penanggung Hutang cedera janji, objek Hak Tanggungan dapat dilelang berdasarkan: 1. hak Pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6); atau 363 Pengurusan Piutang Negara 2. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan. Atas ketentuan Pasal 20 tersebut, terdapat 2 pendapat yang saling berseberangan satu sama lainnya, khususnya bila ketentuan tentang Hak Tanggungan dikaitkan dalam tahapan pengurusan piutang negara. Pasal 29 Undang-undang tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa bila Penanggung Hutang atau Pemberi Fidusia cedera janji, objek Jaminan Fidusia dapat dilelang berdasarkan: 1. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia; 2. penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; 3. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Atas ketentuan Pasal 29 tersebut, terdapat 2 pendapat yang saling berseberangan satu sama lainnya, khususnya bila ketentuan tentang Jaminan Fidusia dikaitkan dalam tahapan pengurusan piutang negara. - o0o - Latihan Untuk mengingatkan kembali yang telah anda pelajari, kerjakanlah latihan di bawah ini! 1. Jelaskan mengapa terdapat beberapa jenis piutang negara yang harus dilakukan pengurusan secara khusus? 2. Jelaskan karakteristik utama piutang negara eks KP – BTN yang menyebabkan PUPN melakukan tahap pengurusan secara khusus! 3. Jelaskan pengurusan secara khusus yang dilakukan PUPN dalam melakukan pengurusan piutang eks KP – BTN! 364 Bab 14 : Pengurusan Piutang Negara yang Spesifik 4. Perlakukan khusus apa yang dilakukan PUPN dalam pengurusan piutang negara dengan Penanggung Hutang yang dinyatakan pailit? Apa tujuan perlakukan tersebut? 5. Jelaskan dua pendapat yang terbentuk berkenaan dengan keterkaitan Undang-undang tentang Hak Tanggungan dengan Undang-undang Pengurusan Piutang Negara! - o0o - DAFTAR PUSTAKA Adolf Warouw. (1996). Pengurusan Piutang Negara Perbankan oleh PUPN/BUPLN (Konsep, Realita, dan Terobosan-terobosan dalam Penanganan Kredit Macet Bank-bank Pemerintah). Kertas kerja pada Ceramah Umum di Kampus Prodip Keuangan/STAN. Jakarta. Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara. (1994). Gema Yustisia. Hasil Diskusi Panel Pengurusan Piutang Negara II di Denpasar, Mahkamah Agung RI, Badan Pertanahan Nasional, Bank-Bank Pemerintah, dan BUPLN Departemen Keuangan. Jakarta. ________ (1996). Hasil Rumusan Mahkamah Agung dan BUPLN tentang Penyelesaian Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, Hasil Diskusi Panel Pengurusan Piutang Negara III di Medan. Jakarta. J. Satrio. (1999). Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie, dan Percampuran Hutang. Bandung: PT. Alumni. Panitia Urusan Piutang Negara. (1976). Himpunan Peraturan tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Jakarta. R. Subekti. (1980), Pokok-pokok Hukum Perdata, Bandung: PT Intermasa ________ (1996), Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Pradnya Paramita R. Subekti & R. Tjitrosudibio. (2004). Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Samsul Chorib. (2004). Pengantar Kepiutanglelangan Negara. Modul untuk Program Diploma Keuangan Negara pada Sekolah Tinggi Akuntasi Negara. Jakarta. Simoeh. (1991). Pengantar Ilmu Hukum. Modul untuk Program Diploma Keuangan Negara pada Sekolah Tinggi Akuntasi Negara. Jakarta. Sugijanto, Robert Gunardi H, dan Sonny Loho. (1995). Akuntansi Pemerintahan dan Organisasi Non-Laba. Malang: Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Brawijaya. Sutan Remy Sjahdeini. (2002). Hukum Kepailitan. Memahami Faillissementscerordening Juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Tim Penyusunan Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJPLN/PUPN. (2005). Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJPLN/PUPN. Jakarta: DJPLN Depkeu. 366 Daftar Pustaka . . (2005). Materi Sosialisasi Buku Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan DJPLN/PUPN. Materi Sosialisasi Internal DJPLN. Jakarta: DJPLN Depkeu. Thomas Suyatno et al. (1999). Dasar-dasar Perkreditan. Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Van Horne, James C. (1989) Fundamentals of Financial Management. Seventh Edition. London: Prentice-Hall International. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen I, II, III, dan IV. Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1994 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) kepada Menteri Negara BUMN. 367 Pengurusan Piutang Negara Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Departemen Keuangan. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 340/KMK.01/2000 tentang Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara (KP – BTN). Keputusan Menteri Keuangan Nomor 510/KMK.01/2000 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 340/KMK.01/2000 tentang Pengurusan Piutang Negara Kredit Perumahan Bank Tabungan Negara (KP – BTN). Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah dan Piutang Negara/ Daerah. - o0o -