I. Pendahuluan

Transcription

I. Pendahuluan
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
Public Disclosure Authorized
56348 v2
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Menuju terciptanya pekerjaan yang lebih baik
dan jaminan perlindungan bagi para pekerja
KANTOR BANK DUNIA, JAKARTA
Gedung Bursa Efek Indonesia Tower II/Lantai12
Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12910
Tel: (6221) 5299-3000
Faks: (6221) 5299-3111
Situs web: www.worldbank.org/id
BANK DUNIA
1818 H Street N.W.
Washington, D.C. 20433, U.S.A.
Tel: (202) 458-1876
Fax: (202) 522-1557/1560
Situs web: www.worldbank.org
Dicetak Juni 2010
Desain sampul dan buku: Hasbi Aisuke ([email protected])
Foto sampul dan bab oleh: Copyright © JiwaFoto Agency di halaman 73, 131, dan 173 (Sinartus Sosrodjojo), halaman 43 dan 117
(Josh Estey), halaman 143 (Roy Rubianto), dan halaman 101 (Toto Santiko Budi). Foto di halaman 27 dan 55 oleh Josh Estey, dan telah
diizinkan untuk digunakan oleh Mercy Corps. Foto di halaman 159 dan 11 (Kristen Thompson), serta halaman 89 berasal dari koleksi foto
MDF/JRS Bank Dunia. Semua hak dilindungi undang-undang.
Laporan Lapangan Kerja Indonesia dibuat oleh staf Bank Dunia. Temuan, penafsiran, dan kesimpulan yang disampaikan di dalamnya
tidak mencerminkan pandangan Dewan Direksi Bank Dunia ataupun Pemerintah yang diwakili Bank Dunia.
Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data dalam laporan ini. Perbatasan, warna, denominasi, dan informasi lain yang ditampilkan
pada peta apa pun dalam laporan ini tidak menyiratkan penilaian apa pun dari Bank Dunia mengenai status hukum teritori mana pun,
atau dukungan atau penerimaan terhadap perbatasan tersebut.
Jika ada pertanyaan apa pun mengenai laporan ini, silakan hubungi Vivi Alatas ([email protected]), David Newhouse (dnewhouse@
worldbank.org), dan Edgar Janz ([email protected]).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Menuju terciptanya pekerjaan yang lebih baik
dan jaminan perlindungan bagi para pekerja
Kata Pengantar
Kata Pengantar
Selama empat puluh tahun terakhir, Indonesia telah menikmati manfaat demografis seiring pertumbuhan
populasi usia kerja yang lebih cepat daripada kenaikan populasi anak-anak dan lanjut usia. Hal ini merupakan
peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan, asalkan seiring dengan diciptakan
pekerjaan yang lebih banyak – dan lebih baik – untuk mempekerjakan angkatan kerja yang akan bertambah
kira-kira 20 juta orang dalam sepuluh tahun berikutnya. Sayangnya, peluang demografis ini akan tertutup
dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan karena pertumbuhan populasi lanjut usia mulai melampaui
pertumbuhan angkatan kerja, sehingga menambah beban terhadap jaminan penghasilan para pekerja.
Inilah sebabnya mengapa sepuluh tahun ke depan adalah masa yang kritis bagi Indonesia untuk mendorong
penciptaan lapangan kerja dan memanfaatkan sebaik-baiknya peluang ini.
Saat ini, pembuat kebijakan di Indonesia menghadapi tantangan strategis dalam mengidentifikasi kebijakan
dan program yang dapat mendorong penciptaan pekerjaan yang baik dan secara bersamaan memastikan
para pekerja memperoleh perlindungan yang lebih baik terhadap berbagai risiko yang mengancam
jaminan penghasilan mereka. Keputusan mengenai kebijakan ketenagakerjaan sangat sulit diambil karena
keputusan ini berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan pekerja, baik formal maupun informal, dan
terhadap perusahaan yang menjadi mesin utama pertumbuhan lapangan kerja. Persaingan di antara
berbagai kepentingan yang berbeda tersebut turut berperan menimbulkan kebuntuan yang saat ini
menjebak pekerja dan perusahaan dalam keadaan “sama-sama rugi”.
Data empiris yang kuat dapat memberikan masukan bagi perdebatan di seputar reformasi ketenagakerjaan.
Laporan Lapangan Kerja Indonesia, yang disusun oleh Bank Dunia melalui kerja sama dengan Pemerintah
Indonesia dan mitra peneliti lokal, merupakan kajian yang paling lengkap dalam sepuluh tahun terakhir
mengenai pasar tenaga kerja di Indonesia. Laporan ini menggunakan data terkini untuk mengkaji kinerja
pasar tenaga kerja, perubahan pasokan pekerja, dan pengaruh dari kebijakan ketenagakerjaan. Berbagai
temuan yang diperoleh dapat menjadi masukan bagi arah kebijakan masa depan, dan membantu dalam
pengambilan keputusan berbasis pembuktian.
Untuk mendorong pertumbuhan pekerjaan yang lebih baik, pendekatan dari berbagai segi sangat
diperlukan. Laporan ini merekomendasikan beberapa reformasi penting terhadap program dan kebijakan
ketenagakerjaan. Tetapi di samping itu, yang tidak kalah penting adalah reformasi untuk mempercepat
penciptaan lapangan kerja melalui perbaikan infrastruktur dan iklim investasi, bersamaan dengan reformasi
untuk meningkatkan mutu pendidikan. Keberhasilan akan bergantung pada kemitraan antara pemerintah,
asosiasi pemberi kerja, serikat pekerja, dan kelompok masyarakat madani lainnya, dengan dukungan dari
lembaga penelitian di Indonesia dan mitra pembangunan internasional.
Kami berharap dengan sepenuh hati bahwa laporan ini akan membantu membangkitkan kembali dialog
mengenai penciptaan lapangan kerja dan jaminan bagi pekerja. Dengan belajar dari pengalaman serta
praktik-praktik terbaik internasional, Indonesia akan lebih siap mencari jalan untuk memperoleh solusi
“sama-sama untung” yang dapat mempercepat penciptaan pekerjaan yang lebih baik tanpa mengorbankan
perlindungan yang memadai bagi pekerja.
Joachim von Amsberg
Direktur Bank Dunia untuk Indonesia
ii
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ucapan Terima Kasih
Ucapan Terima Kasih
Laporan Lapangan Kerja Indonesia dibuat oleh Poverty Team, sebuah unit di bawah kelompok Poverty
Reduction and Economic Management (PREM) dari kantor Bank Dunia Jakarta. Tim yang dipimpin Vivi Alatas
ini memberikan nasihat teknis dan kebijakan berdasarkan riset empiris dan analisis yang mendalam kepada
Pemerintah Indonesia guna membantu tercapainya sasaran pengurangan kemiskinan nasional. Dukungan
yang sangat bernilai bagi pembuatan laporan ini telah diberikan oleh Bank Dunia dan Kedutaan Besar
Kerajaan Belanda di Indonesia.
Laporan ini disusun oleh tim inti yang dipimpin oleh Vivi Alatas (Ekonom Senior, EASPR) dan David Newhouse
(Ekonom Ketenagakerjaan, HDNSP). Manajemen proyek harian dipimpin oleh Edgar Janz. Tim penulis
yang turut berkontribusi dalam pembuatan laporan ini termasuk: Vivi Alatas, Vera Brusentsev, Emanuela
Di Gropello, Edgar Janz, Lina Marliani, David Newhouse, Ari Perdana, Maria Laura Sanchez-Puerta, Kurnya
Roesad, Ramya Sundaram, Daniel Suryadarma, dan Wayne Vroman. Milda Irhamni dan Peter Milne turut
memberikan kontribusi tambahan.
Makalah latar belakang yang sangat bagus juga berkontribusi dalam persiapan pembuatan laporan. Armida
Alisjahbana menyusun empat makalah penelitian mengenai undang-undang perlindungan kerja dan
fleksibilitas pasar, ketidakcocokan antara pendidikan dan keahlian, pemberian pelatihan oleh sektor swasta
dan publik, serta pendidikan kejuruan dan teknis. Hari Nugroho menulis makalah mengenai penyelesaian
perselisihan melalui sistem pengadilan hubungan industrial. Makalah oleh Ana Revenga dan Jamele Rigolini,
serta makalah oleh Wayne Vroman, mendiskusikan tentang reformasi pembayaran pesangon di Indonesia
dan pengalaman internasional. Emanuela Di Gropello dan Berly Martawardaya memberikan temuan
awalnya dari publikasi Bank Dunia yang akan datang, yaitu Survei Keahlian Indonesia. Kami juga berterima
kasih kepada Sean Granville-Ross dari Mercy Corps yang telah memberikan izin untuk menggunakan kisah
dan foto dari buku Nineteen yang bercerita tentang kehidupan pekerja di sektor informal Indonesia.
Riset dan analisis data yang sangat bernilai telah diberikan oleh: Peter Brummund, Fitria Fitrani, Milda
Irhamni, Lina Marliani, David Newhouse, Ari Perdana, Ririn Salwa Purnamasari, Ramya Sundaram, dan Daniel
Suryadarma. Bantuan analisis tambahan juga diberikan oleh: Amri Illma dan Hendratno Tuhiman.
Laporan ini semakin disempurnakan berkat masukan yang bernilai dari Kajian Rekanan Sebaya (Peer Review)
oleh: Gordon Betcherman (University of Ottawa), Chris Manning (Australia National University), dan Pierella
Paci (Manajer Sektor, PREM-GR).
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berbaik hati memberikan
masukannya selama pembuatan laporan ini. Dari Pemerintah Indonesia, masukan dan wawasan yang
sangat bermanfaat diberikan oleh: Myra Hanartani (Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial
dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi), Rahma Iryanti (Direktur
Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional), Bambang Widianto (Deputi Wakil Presiden Bidang Kesejahteraan Masyarakat) dan Prasetijono
Widjojo (Deputi Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha
Kecil Menengah, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional). Selain itu, kami juga berterima
kasih kepada pribadi berikut atas masukannya yang berharga: Wiebe Anema, Shubham Chaudhuri, Dandan
Chen, John Giles, Javier Luque, Peter Rosner, William Wallace, dan Matthew Pierre Zurstrassen.
Laporan ini mendapatkan manfaat besar dari penyuntingan yang dipimpin oleh Edgar Janz dan dibantu
oleh Mia Hyun, Peter Milne, dan Marcellinus Jerry Winata. Bantuan logistik dan produk yang sangat berarti
iii
Ucapan Terima Kasih
juga diberikan oleh Deviana Djalil, Myra Fitrianti, dan Dinni Prihandayani. Kami pun mengucapkan terima
kasih kepada Hendrayatna Tafianoto yang telah menerjemahkan laporan dari bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia, dan Hasbi Akhir yang telah merancang tata letak laporan akhir.
Laporan ini dibuat di bawah panduan umum dari: Vikram Nehru (Direktur Sektor, EASPR), Shubham Chaudhuri
(Ekonom Kepala, EASPR) dan William Wallace (Penasihat Senior, EASPR). Panduan strategis dan masukan
kunci juga diberikan oleh Joachim von Amsberg, Direktur Negara Bank Dunia untuk Indonesia.
iv
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Daftar Isi
Daftar Isi
Kata Pengantar
Ucapan Terima Kasih
Daftar Isi
Singkatan dan Akronim
ii
iii
v
x
Ringkasan Eksekutif
I. Menegosiasikan Kesepakatan Besar
II. Mengembangkan Strategi Pelatihan Keahlian yang Menyeluruh
III. Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
IV. Mendukung Pembuatan Kebijakan Berbasis Bukti
13
16
20
24
27
Bab 1 Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
I. Pendahuluan
II. 1990-1997: Bertumbuh Pesat
III. 1997-1999: Jatuh dan Bertahan di Tengah Krisis
IV. 1999-2003: Pertumbuhan Ekonomi tanpa Peningkatan Lapangan Kerja (Jobless Growth)
V. 2003-2007: Pemulihan Lapangan Kerja
VI. 2007-08: Tanda-tanda optimisme
VII. Kesimpulan
31
32
34
40
42
44
47
47
Bab 2 Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia
I. Pendahuluan
II. Pertumbuhan ekonomi dan penciptaan pekerjaan: Membandingkan Indonesia dengan
tetangganya di Asia Timur
III. Pertumbuhan jobless growth: Memahami lemahnya penciptaan lapangan non-pertanian
selepas krisis keuangan 1997
IV. Pemulihan parsial: Mengapa transformasi struktural kembali terjadi, namun dengan laju
yang lebih lambat selama 2003-2007?
V. Kesimpulan
49
50
Bab 3 Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
I. Pendahuluan
II. Segmentasi di Sektor Formal
III. Sektor Informal
III. Kesimpulan
63
65
66
69
80
Bab 4 Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
I. Pendahuluan
II. Kekakuan dalam Peraturan Perekrutan dan Pemberhentian
III. Kekakuan Peraturan dan Penciptaan Lapangan Kerja
IV. Perlindungan Karyawan
V. Rekomendasi
83
85
86
90
92
94
Bab 5 Upah Minimum
I. Pendahuluan
II. Pendekatan internasional terhadap upah minimum
III. Tren upah minimum dan perubahan kebijakan
IV. Efek upah minimum terhadap pasar tenaga kerja
V. Rekomendasi
52
54
58
61
101
102
103
105
107
113
v
Daftar Isi
Bab 6 Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
I. Pendahuluan
II. Serikat Pekerja
III. Perundingan Bersama
IV. Penyelesaian Sengketa dan Pengadilan Tenaga Kerja
V. Sistem P4D/P4P
VI. Sistem Penyelesaian Sengketa yang Telah Direformasi
VII. Mengkaji Sistem Penyelesaian Sengketa yang telah Direformasi
VIII. Rekomendasi
115
116
117
120
121
123
124
127
131
Bab 7 Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
I. Pendahuluan
II. Memperbesar Jumlah Pekerja yang Berpendidikan lebih Tinggi
III. Premium Upah Pekerja yang Berpendidikan lebih Tinggi
IV. Memahami Premium Upah yang Masih Tetap Tinggi
V. Mutu Pendidikan & Persoalan Ketidaksesuaian
133
135
135
138
140
142
Bab 8 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian (Bagian I)
I. Pendahuluan
II. Pendidikan Menengah Atas di Indonesia
III. Kebijakan Ekspansi Pendidikan Kejuruan
IV. Mengkaji Keberhasilan Lulusan di Pasar Tenaga Kerja
V. Rekomendasi
149
150
151
152
155
158
Bab 9 Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian(Bagian II)
I. Pendahuluan
II. Pelatihan di Indonesia
III. Program Pelatihan Keahlian
IV. Kerangka Kerja Kualifikasi Nasional
V. Rekomendasi
163
164
166
168
175
179
Bab 10 Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
I. Pendahuluan
II. Mendeteksi Guncangan dan Memahami Bagaimana Guncangan Tersebut Mempengaruhi
Pekerja
III. Kebijakan dan Program untuk Melindungi Pekerja dari Guncangan
IV. Rekomendasi
181
183
Lampiran
Referensi
197
235
184
187
194
Gambar
Gambar 1:
Gambar 2:
Gambar 3:
Gambar 4:
Gambar 5:
Gambar 6:
Gambar 7:
Gambar 8:
Gambar 9:
Gambar 10:
vi
Komposisi angkatan kerja aktif menurut sektor, 2007
Pangsa lapangan kerja di sektor formal dan non-tani (persen)
Tingkat pesangon, 1996-2003
Biaya memberhentikan (dalam gaji mingguan)
Penerimaan uang pesangon sesuai laporan pekerja
Pekerja yang memenuhi syarat namun melaporkan tidak menerima pesangon (persen)
Segmentasi – Distribusi angkatan kerja aktif menurut status pekerjaan
Perbandingan upah bulanan (rata-rata log) menurut status pekerjaan
Pendaftaran sekolah kejuruan, 1992-2007
Pendaftaran ke sekolah menengah atas menurut jenisnya
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
14
14
16
16
18
18
19
19
20
20
Daftar Isi
Gambar 11:
Gambar 12:
Gambar 13:
Gambar 14:
Gambar 15:
Gambar 16:
Gambar 17:
Gambar 18:
Gambar 1.1
Gambar 1.2
Gambar 1.3
Gambar 1.4
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 2.7
Gambar 2.8
Gambar 2.9
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 3.5
Gambar 3.6
Gambar 3.7
Gambar 3.8
Gambar 3.9
Gambar 3.10
Gambar 3.11
Gambar 3.12
Gambar 3.13
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Gambar 5.5
Gambar 5.6
Gambar 6.1
Gambar 6.2
Biaya pendidikan kejuruan negeri (Rp)
21
Biaya yang dikeluarkan sendiri untuk pendidikan (Rp)
21
Pilihan jurusan SMK menurut jenis kelamin
22
Pekerja yang lulus SMA atau lebih tinggi, menurut sektor (juta)
22
Upah riil median (Rp)
24
Jobless growth - pangsa pekerjaan non-tani (persen)
24
Upah minimum dan lapangan kerja formal
25
Upah minimum dan ketidakpatuhan
25
Indikator tren tenaga kerja, menurut periode
36
Pangsa lapangan kerja non-pertanian vs. upah karyawan rata-rata
43
Tingkat pertumbuhan pangsa lapangan kerja non-pertanian (persen), 1993-2004
44
Tingkat pertumbuhan pangsa lapangan kerja formal (persen), 2004-2007
46
Pertumbuhan PDB dan Perubahan Lapangan Kerja Non-Tani
51
Pertumbuhan PDB dan Perubahan Lapangan Kerja Non-Tani
51
Pertumbuhan PDB dan Perubahan Lapangan Kerja
51
Pertumbuhan PDB dan Perubahan Lapangan Kerja
51
Pangsa pekerjaan non-pertanian, menurut negara (1990-2004))
52
Elastisitas lapangan kerja sektor jasa
58
Rata-rata perubahan upah per tahun
58
Elastisitas lapangan kerja sektor jasa di Indonesia
59
Rata-rata perubahan upah per tahun di Indonesia
59
Distribusi pekerja menurut sektor
65
Persentase pekerja yang memiliki usaha sendiri dan pekerja keluarga di berbagai Negara 65
Distribusi pekerja aktif menurut status pekerjaan
66
Rata-rata penghasilan bulanan pekerja menurut status pekerjaan
66
Distribusi karyawan menurut status kontrak
67
Tunjangan non-upah yang diterima sesuai laporan karyawan, menurut status kontrak 67
Perbedaan perkotaan-pedesaan dalam distribusi pekerjaan informal
69
Persentase populasi dalam jenis pekerjaan menurut usia
71
Tingkat penghasilan menurut jenis pekerja (Rp/jam)
72
Status kesejahteraan pekerja informal menurut sektor
72
Akses terhadap asuransi dan pensiun
75
Tingkat ketidakpuasan yang dilaporkan sendiri menurut jenis pekerja (persen)
76
Status saat ini bagi pekerja formal yang telah diberhentikan
79
Indeks kesulitan mempekerjakan dan memberhentikan karyawan, perbandingan
berbagai negara
85
Tingkat pesangon, 1996-2003
87
Pajak Perekrutan (dalam gaji mingguan)
87
Peraturan mengenai pesangon dan uang penghargaan masa kerja
89
Penerimaan uang pesangon, sesuai laporan pekerja yang diberhentikan
92
Pekerja yang memenuhi syarat namun melaporkan tidak menerima pesangon (persen) 92
Lamanya FTC, sesuai laporan karyawan
94
Rata-rata upah minimum bulanan dan rata-rata upah penerima gaji (2007 Rp)
105
Upah minimum dan ketidakpatuhan
108
Upah minimum dan lapangan kerja
109
Upah minimum dan lapangan kerja industri
110
Upah minimum dan lapangan kerja formal
111
Ketidakpatuhan terhadap upah minimum
112
Jumlah serikat pekerja di Indonesia (1996-2006)
118
Keanggotaan serikat pekerja menurut negara
119
vii
Daftar Isi
Gambar 6.3
Gambar 6.4
Gambar 6.5
Gambar 6.6
Gambar 6.7
Gambar 6.8
Gambar 7.1
Gambar 7.2
Gambar 7.3
Gambar 7.4
Jumlah pekerja penerima tunjangan non-upah menurut keanggotaan serikat pekerja
Distribusi pekerja menurut ukuran perusahaan
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pekerja Melalui P4D/P4P
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial hasil Reformasi
Lamanya Waktu Proses Pengadilan di PHI Jakarta (n=100)
Hasil keputusan dalam kasus yang diajukan pemberi kerja dan karyawan
Investasi pendidikan di negara yang sekawasan
Tingkat partisipasi pendidikan tinggi di kawasan (persen)
Populasi pekerja menurut tingkat pendidikan
Premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) menurut
jenis kelamin
Gambar 7.5 Premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) menurut
lokasi di perkotaan atau pedesaan
Gambar 7.6 Jumlah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) menurut sektor
(dalam juta)
Gambar 7.7 Apakah persyaratan keahlian di perusahaan Anda telah meningkat dalam
2 tahun terakhir?
Gambar 7.8 Apakah persyaratan keahlian di perusahaan Anda masih akan meningkat
dalam sepuluh tahun ke depan?
Gambar 7.9 Premium upah menurut sektor
Gambar 7.10 Skor kinerja matematika dan ilmu pengetahuan (TIMSS) dari berbagai negara
Gambar 7.11a Persentase Ketidaksesuaian Pekerjaan Lulusan Universitas, Dibandingkan dengan
Keseluruhan Pekerja
Gambar 7.11b Persentase Ketidaksesuaian Pekerjaan di antara Lulusan Diploma 1997-2006
Gambar 8.1 Sekolah menengah atas menurut jenisnya
Gambar 8.2 Partisipasi ke sekolah menengah atas menurut jenisnya
Gambar 8.3 Partisipasi sekolah kejuruan, 1992-2007
Gambar 8.4 Efek pendidikan kejuruan negeri terhadap upah
Gambar 8.5 Pilihan jurusan kejuruan
Gambar 8.6 Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk pendidikan (Rp)
Gambar 8.7 Biaya yang dikeluarkan sendiri untuk pendidikan (Rp)
Gambar 9.1 Tingkat pendidikan tertinggi yang pernah diikuti, usia 16-18 menurut kuintil
penghasilan
Gambar 9.2 Profil peserta pelatihan menurut status pekerjaan
Gambar 10.1 Perubahan kuartalan dalam kondisi pasar tenaga kerja dan kesukaran rumah tangga,
menurut provinsi
Gambar 10.2 Perubahan jam kerja mingguan (kepala rumah tangga)
Gambar 10.3 Kesulitan memenuhi biaya konsumsi yang dilaporkan (persentase responden survei)
120
120
125
126
130
136
137
137
139
139
141
142
142
142
143
144
144
152
152
153
157
157
159
159
165
167
185
186
186
Tabel
Tabel 1.1
Tabel 1.2
Tabel 1.3
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 3.1
Tabel 3.2
viii
Indikator tren tenaga kerja, pertumbuhan menurut periode
Ringkasan Survei Sakernas
Ringkasan Survei IFLS
Kinerja dan pertumbuhan upah non-pertanian menurut negara (1999-2003)
Pemilahan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia, 1999-2003
Kinerja dan pertumbuhan upah non-pertanian menurut negara (2003-06)
Pemilahan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia, 2003-07
Definisi BPS untuk sektor formal dan informal
Definisi yang disederhanakan, sektor formal dan informal
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
37
38
39
53
56
59
60
70
70
Daftar Isi
Tabel 3.4
Tabel 3.5
Tabel 3.6
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 6.1
Tabel 6.2
Table 6.3
Tabel 7.1
Tabel 7.3
Tabel 8.1
Tabel 8.2
Jam kerja dan tingkat setengah pengangguran menurut gender dan sektor pekerjaan
76
Tingkat peralihan ke pekerjaan formal tahunan, 2000-2007
77
Mobilitas dari sektor informal ke formal
79
Peraturan kontrak dengan jangka waktu tertentu di negara Asia Timur
88
Opsi reformasi pembayaran pesangon
96
Upah minimum dan PDB per kapita dalam dolar Amerika yang telah disesuaikan dengan
paritas daya beli (2002/2004)
104
Perbandingan efek upah minimum terhadap lapangan kerja dengan perubahan saat krisis112
Jumlah Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama
121
Kasus sengketa pekerja dan pemutusan hubungan kerja, 2001 – 2006
122
Komposisi kasus yang ditangani oleh Pengadilan Hubungan Industrial di Jakarta
127
Tingkat partisipasi bersih sekolah (persen)
137
Status pekerjaan populasi orang dewasa menurut tingkat pendidikan
140
Peta langkah pengembangan pendidikan teknik kejuruan
153
RRasio aplikasi versus yang diterima
154
Boxes
Kotak 1:
Kotak 2:
Kotak 1.1
Kotak 1.2:
Kotak 1.3
Kotak 2.1
Box 2.2
Kotak 3.1
Kotak 3.2
Kotak 3.3
Kotak 3.4
Kotak 4.1
Kotak 5.1
Kotak 6.1
Kotak 6.2
Kotak 7.1
Kotak 7.1
Kotak 8.1
Kotak 8.1
Kotak 8.2
Kotak 9.1
Kotak 9.2
Kotak 9.3
Kotak 9.3
Kotak 9.4
Kotak 9.5
Kotak 10.1
Kotak 10.1
Kotak 10.2
Kotak 10.3
Kotak 10.4
Opsi Reformasi Pesangon
Program Jóvenes: Praktik terbaik dalam pelatihan keahlian
Apa indikator terbaik untuk kinerja pasar tenaga kerja?
Sumber data tenaga kerja di Indonesia
Para pekerja bertahan menghadapi krisis ekonomi
Apa yang dimaksud dengan ‘jobless growth’?
Mencari biang keladi jobless growth
Mendefinisikan sektor informal
Terjebak dalam Informalitas
Memilih Informalitas
Menapaki Jenjang Informal
Bantuan Pengangguran di Estonia
Perkembangan hukum utama mengenai kebijakan upah minimum
Pemogokan pekerja
Justica do Trabalho: Pengadilan Tenaga Kerja di Brasil
Inovasi Mengatasi Ketidaksesuaian
Lanjutan
Pengalaman Korea Selatan: perluasan pendidikan kejuruan mungkin bukan
jawaban yang tepat
Lanjutan
SMK yang Boleh Menjadi Contoh: Sekolah Kejuruan Analis Kimia di Bogor
Rencana Nasional untuk Pendidikan Profesi, PLANFOR (Brasil)
Menjalin Hubungan (Make a Connection - MAC) di 17 negara di seluruh dunia
Program Jóvenes (kawasan Amerika Latin)
Lanjutan
ALMP yang inovatif: Subsidi upah terarah bagi pekerja muda (Afrika Selatan)
Belajar dan Berlatih Seumur Hidup (Argentina)
Memperbaiki Sistem Pemantauan Guncangan: Indonesia dan Krisis Keuangan Global
Lanjutan
Pekerjaan Umum: Belajar dari Afrika Selatan
Belajar dari Pengalaman Indonesia dengan Pekerjaan Umum
Menargetkan Mereka yang Paling Membutuhkan melalui Pekerjaan Umum
18
23
33
38
41
51
56
70
75
77
78
98
107
122
130
145
146
154
155
161
169
171
172
173
174
177
185
186
188
189
191
ix
Singkatan dan Akronim
Singkatan dan Akronim
x
BAN-PNF
Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal
BAPPENAS
Badan Perencanaan Dan Pembangunan Nasional
BLK
Balai Latihan Kerja
BNSP
Badan Nasional Sertifikasi Profesi
BPPD
Balai Pengembangan Produktivitas Daerah
BPS
Badan Pusat Statistik
CDD
Community Driven Development (Pembangunan Berbasis Masyarakat)
CLA
Collective Labor Agreement (Kesepakatan Kerja Bersama)
CMRS
Crisis Monitoring and Response System (Sistem Pemantauan dan Respon terhadap
Krisis)
CPI
Consumer Price Index (Indeks Harga Konsumen)
CR
Company Regulations (Peraturan Perusahaan)
Depnaker
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Disnaker
Departemen Tenaga Kerja
DJSN
Dewan Jaminan Sosial Nasional
EPL
Employment Protection Legislation (Perundangan Perlindungan Pekerja)
FTC
Fixed-Term Contract (Kontrak dengan Jangka Waktu Tertentu)
GDP
Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto)
IFLS
Indonesia Family Life Survey (Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga)
ILO
International Labour Organization
IRC
Industrial Relations Courts (Pengadilan Hubungan Keindustrian)
Jamsostek
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
JPS
Jaring Pengaman Sosial
KFM
Kebutuhan Fisik Minimum
KHL
Kebutuhan Hidup Layak
KHM
Kebutuhan Hidup Minimum
LDS
Labour Dispute Settlement (Penyelesaian Sengketa Pekerja)
LSP
Lembaga Sertifikasi Profesi
MoMT
Ministry of Manpower & Transmigration (Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
MoNE
Ministry of National Education (Kementrian Pendidikan Nasional)
NGO
Non-Government Organization (Lembaga Swadaya Masyarakat)
NQF
National Qualification Frameworks (Kerangka Kualifikasi Nasional)
NSS
National Social Security (Sistem Jaminan Sosial Nasional)
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Singkatan dan Akronim
OECD
Organisation for Economic Co-operation and Development
P4D
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
P4P
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
PK
Padat Karya
PKH
Program Keluarga Harapan
PNPMMandiri
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Podes
Potensi Desa
PPK
Pusat Peluang Karya
PPP
Purchasing Power Parity (Tetap tidak diterjemah kan)
PT ASKES
Asuransi Kesehatan
Sakernas
Survei Angkatan Kerja Nasional
SD
Sekolah Dasar
SJSN
Sistem Jaminan Sosial Nasional
SKKNI
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
SMA
Sekolah Menengah Atas
SME
Small and Medium Enterprise
SMK
Sekolah Menengah Kejuruan
SMP
Sekolah Menengah Pertama
STM
Sekolah Teknik Menengah
Susenas
Survei Sosial Ekonomi Nasional
UI
Universitas Indonesia
VHS
Vocational High Schools (Sekolah Menengah Kejuruan)
xi
Ringkasan Eksekutif
Gambar 1:
Komposisi angkatan kerja Gambar 2:
aktif menurut sektor, 2007
Industri
Informal
7%
Jasa
Formal
23%
Sumber: Sakernas
1990 -1997
60
1997 -1999
2003 -2008
1999 -2003
55
Jasa
Informal
17%
Industri
Formal
12%
Pertanian
Informal
37%
Pangsa lapangan kerja di sektor formal
dan non-tani (persen)
50
45
Lap
an
k
gan
erja
n on
-tan
i
40
Pertanian
Formal
4%
35
Lapa
n
ke
gan
rja fo
rma
l (lam
a)
Lapangan kerja formal (baru)
30
1990
1992
1994
1997
1999
2001
2003
2005
2007
Sumber: Sakernas
Indonesia belum menciptakan pekerjaan yang baik dalam jumlah memadai agar para pekerja
dapat merasakan sepenuhnya manfaat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pekerjaan adalah
salah satu dari sedikit aset yang dimiliki kalangan miskin. Jika mereka memperoleh pekerjaan yang baik,
maka mereka akan berkesempatan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk keluar dari kemiskinan.
Sayangnya, Indonesia mengalami jobless growth yang signifikan dari tahun 1999 sampai 2003, hal lain
yang juga memberikan kontribusi terhadap keadaan saat ini, adalah dari 104,5 juta populasi Indonesia
yang bekerja, mayoritas masih bekerja di sektor informal dan pertanian (Gambar 1).1 Meskipun terjadi
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, penurunan kemiskinan berlangsung lebih lambat daripada yang
diharapkan, sebagian karena kurangnya peluang bagi pekerja miskin untuk pindah ke pekerjaan yang lebih
baik di sektor formal dan non-tani (Gambar 2). Guncangan ekonomi juga dapat mengurangi laju penciptaan
lapangan kerja dan, jika guncangan tersebut cukup serius, dapat menjadi ancaman yang mendorong
Indonesia kembali ke masa jobless growth.
Peraturan ketenagakerjaan yang kaku telah menghambat penciptaan lapangan kerja dan gagal
memberikan perlindungan bagi pekerja, terutama pekerja yang paling rentan. Peraturan perekrutan
dan pemberhentiandi Indonesia telah diperketat tahun 2003 dengan disahkannya Undang-Undang
Ketenagakerjaan (No. 13/2003) yang bertujuan meningkatkan perlindungan pekerja. Kebijakan ini tidak
memberikan manfaat baik bagi pemberi kerja maupun mayoritas pekerja sehingga keduanya terjebak
dalam keadaan “sama-sama rugi”. Peraturan yang ketat menghambat penciptaan lapangan kerja dengan
mengurangi minat investasi dan menghambat produktivitas, serta membatasi kemampuan pemberi kerja
untuk mengurangi karyawan demi bertahan selama kemerosotan ekonomi. Namun, berlawanan dengan
tujuannya, berbagai peraturan ini hanya memberikan sedikit perlindungan nyata bagi pekerja formal yang
dikontrak. Karyawan yang paling rentan – mereka yang berupah rendah dan pekerja perempuan – berpeluang
paling kecil untuk mendapat manfaat dari peraturan yang ada saat ini. Hal yang juga memprihatinkan adalah
bahwa kebijakan saat ini menyisihkan mayoritas pekerja “luar” yang terdiri atas karyawan yang bekerja tanpa
kontrak dan mereka yang bekerja di sektor informal. Mereka sama sekali tidak dilindungi oleh peraturan yang
ada saat ini dan sulit menemukan pekerjaan yang lebih baik. Pada saat yang bersamaan, hanya ada sedikit
program tenaga kerja aktif yang dirancang untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan memberi
kesempatan bagi pekerja informal dan pekerja yang menganggur.
Upaya reformasi ketenagakerjaan telah menemui kebuntuan dan menghambat kemampuan
Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan masa depan. Perdebatan
seputar reformasi undang-undang ketenagakerjaan sangat sengit dan terutama terfokus pada peraturan
1
14
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Februari 2009.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
perekrutan dan pemberhentianyang kontroversial. Demi meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja,
pemerintah telah berupaya mereformasi peraturan tersebut pada tahun 2006 dan 2007, namun keduanya
gagal. Akibatnya, peraturan ketenagakerjaan Indonesia masih merupakan salah satu yang paling kaku di
kawasannya. Kebuntuan ini menghambat kemampuan Indonesia untuk mempercepat laju penciptaan
pekerjaan yang ‘baik’ dan laju pengurangan kemiskinan.
Setelah memperoleh mandat politik yang baru, pemerintah saat ini berkesempatan untuk memecah
kebuntuan reformasi kebijakan ketenagakerjaan yang saat ini merugikan pekerja dan pemberi kerja.
Kebijakan dan program ketenagakerjaan Indonesia dapat dirancang dengan lebih baik untuk mendorong
pertumbuhan lapangan kerja, sekaligus melindungi pekerja yang rentan. Pemerintah baru berkesempatan
menggunakan waktu lima tahun ke depan untuk memperkenalkan kebijakan dan program baru yang
menguntungkan pekerja dan pemberi kerja, terfokus pada empat prioritas berikut ini.
Yang pertama, menegosiasikan kesepakatan besar mengenai reformasi peraturan. Kebuntuan
reformasi pesangon saat ini telah merusak daya saing pasar tenaga kerja Indonesia dan hanya menawarkan
sedikit perlindungan bagi sebagian besar pekerja. Perlu diupayakan pemecahan yang “sama-sama untung”
dengan menyederhanakan dan mengurangi tingkat pesangon yang terlalu tinggi, dan pada saat yang
bersamaan, memberikan tunjangan pengangguran untuk melindungi pekerja formal dengan lebih efektif.
Sistem tunjangan pengangguran adalah komponen inti dari sistem Jaminan Sosial Nasional di masa depan,
sebuah institusi kunci di banyak negara lain yang berpenghasilan menengah.
Yang kedua, mengembangkan strategi pelatihan keahlian menyeluruh untuk melengkapi pekerja
supaya dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Perlindungan pekerja tidak cukup hanya dengan
mengandalkan peraturan ketenagakerjaan. Sebagian besar peraturan tersebut tidak relevan bagi pekerja
informal yang merupakan angkatan kerja mayoritas. Pemerintah dapat membantu lebih banyak pekerja
dengan menerapkan sejumlah strategi, baik formal maupun informal, untuk pengembangan keahlian. Dalam
hal pendekatan formal, membatalkan moratorium pembangunan sekolah menengah atas umum akan
membantu memenuhi permintaan. Selanjutnya, perluasan sekolah menengah atas kejuruan seharusnya
adalah untuk menanggapi permintaan pasar tenaga kerja sesungguhnya, bukan sekadar memenuhi
kuota. Memperbaiki mutu pendidikan kejuruan untuk memenuhi permintaan yang besar akan pekerja
berpendidikan lebih tinggi. Pada saat bersamaan, memperkenalkan strategi pelatihan keahlian non-formal
sebagai pelengkap untuk menargetkan mayoritas pekerja di Indonesia yang tidak mampu mengakses
pendidikan formal.
Yang ketiga, meluncurkan program tenaga kerja aktif yang dirancang untuk melindungi mereka
yang paling rentan. Para pekerja sering menjadi korban dalam guncangan, seperti yang terjadi ketika
krisis keuangan 1997. Tanpa adanya jaring pengaman, para pekerja umumnya bertahan dengan mencari
kerja di sektor informal dan pertanian. Ancaman krisis keuangan global baru-baru ini telah menyoroti
betapa perlunya Indonesia mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk menghadapi guncangan di masa
depan. Indonesia dapat bersiap menghadapi guncangan lapangan kerja dan upah di masa depan dengan
memperkenalkan program jaring pengaman tenaga kerja demi melindungi pekerja yang paling rentan.
Persiapan dapat diawali dengan pekerjaan umum yang merupakan jaring pengaman penting yang dapat
dipakai secara efektif untuk menargetkan pekerja miskin dan berupah rendah.
Yang terakhir, berinvestasi dalam riset untuk mendukung pembuatan kebijakan berbasis bukti.
Banyak perdebatan mengenai kebijakan dan program pasar tenaga kerja yang tidak didasarkan pada bukti
empiris. Diperlukan peningkatan mutu dan pendalaman riset kebijakan ketenagakerjaan untuk membantu
pemerintah baru dalam menjalankan agenda reformasi yang didukung hasil analisis dan bukti kuat. Fasilitas
penelitian, think tank lokal, dan Biro Pusat Statistik, semuanya berperan penting menghasilkan data dan
melakukan riset tenaga kerja bermutu untuk memenuhi kebutuhan pembuat kebijakan.
15
I. Menegosiasikan Kesepakatan Besar
Meningkatkan tunjangan pengangguran dan menyetujui penurunan
tingkat pesangon
Undang-Undang Ketenagakerjaan telah menjadikan peraturan ketenagakerjaan Indonesia sangat
kaku. Undang-undang tersebut menaikkan nilai pesangon bagi pekerja dengan masa kerja tiga tahun
atau lebih dan menambah lagi pembayaran sebesar 15 persen sebagai uang pengganti hak (Gambar 3).
Dengan kenaikan ini, uang pesangon diperkirakan setara dengan “pajak perekrutan” (hiring tax) senilai kirakira sepertiga dari upah tahunan pekerja.2 Selain menyebabkan pemberi kerja lebih sulit memberhentikan
atau melakukan realokasi karyawan, undang-undang tersebut juga memperketat penggunaan karyawan
sementara oleh perusahaan. Penggunaan kontrak dengan jangka waktu tertentu (Fixed-Term Contracts
– FTC) dan layanan alih daya dibatasi hanya untuk posisi non-inti dan batas maksimum untuk kontrak
sementara dikurangi dari lima menjadi tiga tahun. Undang-undang tersebut juga membawa beberapa
perubahan baik. Proses penetapan upah minimum diperbaiki dengan mereformasi penggunaan survei
harga dan memperkuat peran dewan pengupahan lokal.
Peraturan perekrutan dan pemberhentiandi Indonesia saat ini adalah salah satu yang paling kaku
di Asia Timur dan di dunia. Dalam sebuah survei tahun 2009 yang membandingkan kekakuan peraturan
ketenagakerjaan di berbagai negara, Indonesia menempati urutan ke-157 dari 181 negara di dunia. Jika
dibandingkan dengan negara tetangga yang menjadi pesaing di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia
menempati urutan ke-23 dari 24 negara.3 Tidak ada negara sekawasan lain yang biaya memberhentikan
karyawannya setinggi biaya di Indonesia (Gambar 4). Meskipun kebanyakan ekonomi Asia membatasi
penggunaan FTChanya bagi kegiatan tertentu dan menentukan baik lamanya kontrak maupun persyaratan
untuk perpanjangan kontrak, Indonesia, bersama-sama dengan Kamboja, Filipina, dan Vietnam, termasuk
kelompok negara yang mengatur FTCdengan lebih ketat.4
Gambar 3:
Tingkat pesangon, 1996-2003
Nilai pesangon dalam bulan gaji
30
Biaya memberhentikan (dalam gaji
mingguan)
120
UU 1996
25
Gambar 4:
UU 2000
100
UU 2003
20
80
15
60
10
40
20
5
0
0
<1
3
5
10
20
Max
Cina
Filipina
Masa kerja (dalam tahun)
Sumber: UNPAD, 2004
2
3
4
16
Sumber: Doing Business, 2009
Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, nilai pesangon diperkirakan setara dengan “pajak perekrutan” sebesar 4,1 bulan
upah, meningkat dari rata-rata 2 bulan pada tahun 1996 dan 3,4 bulan pada 2000. (Laboratorium Penelitian, Pengabdian Pada
Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi (LP3E), Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran. “Indonesia’s Employment Protection
Legislation: Swimming Against the Tide?” 2004. Disusun untuk GIAT, proyek USAID/Pemerintah Indonesia).
Bank Dunia 2009a Doing Business .. Catatan: Laporan ini didasarkan pada temuan survei yang mengukur secara kuantitatif
berbagai peraturan mempekerjakan pekerja di 181 ekonomi. Untuk perincian, lihat www.doingbusiness.org.
Berdasarkan peraturan yang spesifik pada setiap ekonomi Asia, yang diperoleh dari ILO (pangkalan data on-line LABORSTA, 2008)
mengenai jangka waktu kontrak sementara dan dalam kondisi apa kontrak sementara diperbolehkan.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Negara berkembang dengan peraturan ketenagakerjaan yang kaku menghadapi kesulitan lebih
besar dalam menciptakan pekerjaan sehingga memperburuk kondisi ketenagakerjaan bagi pekerja.
Bukti empiris mengenai dampak semakin kakunya penciptaan lapangan kerja belum tersedia di Indonesia
karena data mengenai pembayaran pesangon dan status kontrak belum dikumpulkan secara konsisten.
Tetapi, penelitian internasional secara konsisten mendapati bahwa negara berkembang yang peraturan
ketenagakerjaan sangat memberatkan juga mengalami tingkat investasi, produktivitas, dan investasi dalam
manufaktur yang lebih rendah.5 Peraturan ketenagakerjaan yang kaku menghambat pertumbuhan lapangan
kerja dengan membatasi manfaat keterbukaan perdagangan dan mengurangi minat para pengusaha
wiraswasta untuk memulai bisnis baru. Hal ini berdampak langsung dan negatif terhadap pekerja. Negara
berkembang dengan peraturan ketenagakerjaan yang kaku berpeluang lebih besar mengalami keikutsertaan
(laki-laki) dalam angkatan kerja yang lebih rendah, tingkat lapangan kerja yang lebih rendah, dan tingkat
pengangguran yang tinggi – terutama di antara perempuan dan kaum muda.6 Sebuah studi terhadap 74
negara menyimpulkan bahwa jika Indonesia memaksimalkan fleksibilitas peraturan ketenagakerjaannya,
tingkat pengangguran akan menurun 2,1 persen, sedangkan tingkat pengangguran kaum muda akan
menurun 5,8 persen.7
Kebuntuan saat ini menjebak para pekerja dan pemberi kerja dalam keadaan “sama-sama rugi”
yang menghambat penciptaan lapangan kerja dan tidak memberi perlindungan yang cukup bagi
karyawan. Tingginya tingkat pesangon yang diwajibkan secara hukum di Indonesia telah menghalangi
investasi asing dan mengurangi minat para pengusaha wiraswasta untuk menciptakan usaha baru. Aturan
yang rumit mengenai perhitungan pesangon dan sistem “pasca bayar” saat ini menimbulkan masalah
tambahan karena menyulitkan perusahaan untuk memperkirakan biaya tenaga kerja. Tingkat pesangon
yang tinggi tidak hanya merugikan pemberi kerja, tetapi juga karyawan. Peraturan tersebut tidak efektif
melindungi karyawan yang diberhentikan dan menghadapi pengangguran. Dari antara semua karyawan
yang diberhentikan dalam dua tahun terakhir dan memenuhi syarat untuk menerima pesangon, hanya
34.4 persen yang menerima uang pesangon (Gambar 5). Dari antara karyawan yang menerima uang
pesangon, 78.4 persen menerima pesangon lebih kecil daripada nilai yang menjadi hak mereka secara
hukum. Ketidakpatuhan terhadap peraturan tersebut justru paling banyak dialami oleh pekerja yang paling
membutuhkan perlindungan penghasilan: perempuan, staf sementara, dan karyawan berupah rendah
(Gambar 6). Perusahaan kecil mempunyai kemungkinan lebih tinggi untuk tidak patuh karena berukuran
terlalu kecil untuk membentuk serikat pekerja dan berada di bawah ambang batas pengawasan inspektur
tenaga kerja.
Dengan menegosiasikan kesepakatan besar – menurunkan tingkat pesangon, dan sebagai gantinya,
memperkenalkan tunjangan pengangguran – pemerintah dapat meningkatkan fleksibilitas
pasar tenaga kerja sambil meningkatkan perlindungan bagi karyawan. Masih ada harapan untuk
menemukan jalan keluar “sama-sama untung” yang dapat diterima oleh pemberi kerja maupun karyawan.
Pertama-tama, penyederhanaan perhitungan pesangon dan penurunan nilainya akan menyetarakan
Indonesia dengan standar regional, meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja, dan daya saing global.
Pada saat yang bersamaan, memperkenalkan sistem tunjangan pengangguran untuk melengkapi tingkat
perlindungan bagi karyawan yang diberhentikan. Beralih menggunakan pendekatan “pendekatan
kontribusi bulanan” – yaitu kontribusi bulanan oleh perusahaan ke sebuah rekening yang dikelola secara
terpusat dengan pengawasan pemerintah – akan meningkatkan kemudahan untuk memperkirakan biaya
tenaga kerja tanpa mempengaruhi keputusan perekrutan dan pemberhentian perusahaan. Hal ini juga akan
meningkatkan kepatuhan pemberi kerja sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap Pengadilan
5
6
7
Djankov, Simeon, dan Rita Ramalho. 2008.
Ibid.
Feldmann, 2008.
17
Hubungan Industrial yang kini menghadapi kasus pemberhentian kerja yang kian menumpuk.8 Hal ini akan
membebaskan karyawan dan pemberi kerja dari proses penyelesaian perselisihan yang berbiaya tinggi dan
sangat menghabiskan waktu.
Terdapat serangkaian sistem tunjangan pengangguran yang dapat dipertimbangkan dan dikaji
untuk dimasukkan dalam sistem Jaminan Sosial Nasional di masa depan. Indonesia telah siap mengikuti
langkah negara berpenghasilan menengah lain untuk menerapkan sistem tunjangan pengangguran.
Terdapat serangkaian opsi reformasi yang dapat meningkatkan kemudahan untuk memperkirakan biaya
tenaga kerja dan memberikan kompensasi tingkat pesangon yang lebih rendah bagi pekerja. Opsi ini
termasuk dana bersama (pooled fund) yang dapat ditarik oleh karyawan yang diberhentikan, sistem pesangon
dengan rekening individual, atau program bantuan pengangguran berupa tunjangan tetap (Kotak 1). Setiap
opsi memiliki kelebihan dan kekurangan, serta memiliki tingkat kerumitan kelembagaan yang beragam
dalam mengelola program.
Gambar 5:
Penerimaan uang pesangon
sesuai laporan pekerja
Kepatuhan parsial:
Karyawan menerima
nilai lebih kecil dari
pada haknya
27%
Tidak patuh:
Karyawan sama
sekali tidak
menerima pesangon
7% Patuh:
Karyawan menerima
66%
nilai penuh sesuai haknya
atau lebih besar
Gambar 6:
Pekerja yang memenuhi syarat
namun melaporkan tidak menerima
pesangon (persen)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Laki-laki Perempuan <250
Jenis kelamin
Sumber: Sakernas 2008
Kotak 1:
250-500
500 1,000
1,000 15,000
>15,000
Upah Bulanan (dalam ribuan Rupiah)
Sumber: Sakernas 2008
Opsi Reformasi Pesangon
Opsi Satu: Dana Pesangon: Perusahaan menyetorkan pembayaran pesangon secara rutin ke dalam sebuah
dana bersama yang dikelola oleh lembaga pemerintahan pusat atau oleh perusahaan swasta. Karyawan yang
diberhentikan menerima pesangon sesuai lamanya masa kerja. Dapat dibuat satu dana bersama untuk satu
perusahaan, atau satu dana bersama yang dapat dipakai oleh semua perusahaan yang berkontribusi.
Opsi Kedua: Rekening individual: Pemberi kerja dan karyawan secara rutin menyetorkan kontribusi ke rekening
individual yang dikelola dan disalurkan oleh lembaga pusat. Kontributor yang menganggur dapat menarik dana
dari rekening mereka sendiri setelah status penganggurannya terkonfirmasi.
Opsi Ketiga: Bantuan pengangguran berupa tunjangan tetap: Menciptakan dana yang dapat ditarik oleh
pekerja yang memenuhi syarat, yang sedang menganggur. Dana tersebut dikelola dan disalurkan oleh lembaga
yang ditunjuk, bukan oleh pemberi kerja. Pekerja yang menganggur memperoleh tunjangan kecil untuk jangka
waktu tertentu yang diambil dari dana bersama. Pekerja memenuhi syarat atau tidak ditentukan berdasarkan
keaktifan mencari kerja dan ketersediaan pekerjaan yang cocok. Dimungkinkan untuk menguji terlebih dahulu
(means test) apakah penghasilan keluarga membutuhkan bantuan pengangguran.
Sumber: Revenga dan Rigolini, 2007, serta Vroman, 2007.
8
18
Nugroho, 2008.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Proses reformasi dapat dimulai dengan melakukan analisis yang diperlukan guna mengidentifikasi opsi apa
yang paling cocok bagi Indonesia. Studi simulasi diperlukan untuk mengkaji dampak yang diperkirakan
akan terjadi akibat sistem alternatif dan implikasi serta kebutuhan kelembagaan yang terkait dengan
masing-masing opsi reformasi. Berdasarkan model yang paling cocok, diperlukan peta langkah reformasi
sebagai dasar bagi sistem di masa depan yang selayaknya dikaitkan dengan masa depan sistem jaminan
sosial nasional yang diwajibkan oleh Undang-Undang No. 41/2004.
Kebuntuan saat ini paling merugikan pekerja informal dan pekerja tanpa kontrak. Reformasi
diperlukan untuk meningkatkan peluang mereka memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Reformasi
peraturan saja belum cukup untuk menjangkau mayoritas angkatan kerja Indonesia yang sangat informal.
Pasar tenaga kerja Indonesia sangat tersegmentasi berdasarkan sektor dan status kontrak. Peraturan
ketenagakerjaan saat ini paling menguntungkan karyawan yang memiliki kontrak permanen (di bawah 3
persen dari angkatan kerja) dan karyawan anggota serikat pekerja (11,2 persen dari karyawan penerima
upah). Sayangnya, peraturan tersebut tidak relevan bagi 92,1 persen dari keseluruhan pekerja, baik yang
dipekerjakan tanpa kontrak, maupun yang bekerja di sektor informal (Gambar 7).
Mengurangi kekakuan peraturan saat ini akan menguntungkan para pekerja “luar” melalui
penciptaan lebih banyak peluang kerja di sektor formal. Jika berhasil memperoleh pekerjaan yang lebih
baik di sektor formal, mereka akan berpenghasilan 20 persen lebih besar dan akan lebih berpeluang menerima
tunjangan non-upah seperti tunjangan kesehatan (Gambar 8). Namun demikian, tetap saja masih banyak
pekerja yang terjebak di sektor informal dan hanya mempunyai sedikit peluang untuk meningkatkan status
pekerjaan mereka dalam beberapa waktu ke depan. Karena alasan inilah, reformasi peraturan saja belumlah
cukup untuk memperbaiki prospek kebanyakan pekerja di Indonesia. Diperlukan strategi tambahan untuk
memberdayakan dan melindungi para pekerja Indonesia yang rentan dan tersisih.
Gambar 7:
Segmentasi – Distribusi angkatan Gambar 8:
kerja aktif menurut status
pekerjaan
Karyawan
kontrak
permanen
3%
Karyawan
kontrak
jangka
waktu tetap
3%
Pemberi kerja
2%
Pertanian
informal
27%
Non-tani
informal
27%
Sumber: Sakernas 2008
Karyawan
tanpa
kontrak
38%
Perbandingan upah bulanan
(rata-rata log) menurut status
pekerjaan
8,2
8
7,8
7,6
7,4
7,2
7
Karyawan permanen
& Pemberi kerja
Karyawan
kontrak jangka
waktu tetap
Karyawan
tanpa kontrak
Non-tani
informal
Pertanian
informal
Sumber: IFLS 2007
19
II. Mengembangkan Strategi Pelatihan Keahlian yang
Menyeluruh
Gambar 9:
Pendaftaran sekolah kejuruan,
1992-2007
1,700,000
Sumbu kiri
Jumlah siswa sekolah kejuruan
1,600,000
Sumbu kanan
Persentase siswa sekolah kejuruan
terhadap keseluruhan siswa
menengah atas
1,500,000
1,400,000
1,300,000
2006
2007
2004
2005
2002
2003
2001
1999
2000
1998
1996
1997
1995
1992
1,100,000
1993
1994
1,200,000
38
36
34
32
30
28
26
24
22
20
18
Gambar 10:
Pendaftaran ke sekolah
menengah atas menurut jenisnya
7,000,000
Siswa SMK
swasta
6,000,000
5,000,000
Siswa SMA
swasta
4,000,000
3,000,000
Siswa SMK
negeri
2,000,000
1,000,000
Siswa SMA
negeri
0
2002/2003 2003/2004 2004/2005 2005/2006 2006/2007
Sumber: Newhouse dan Suryadarma, 2009 (berdasarkan Susenas) Sumber: Sakernas dan perhitungan Bank Dunia
Melengkapi pekerja yang rentan dengan keahlian yang mereka
perlukan agar dapat berhasil di pasar tenaga kerja
Strategi utama pemerintah untuk meningkatkan keahlian angkatan kerja adalah melalui perluasan
sekolah menengah atas kejuruan, baik negeri maupun swasta. Pada tahun 2005, Kementerian
Pendidikan Nasional meluncurkan kebijakan “70:30” yang kontroversial dengan tujuan agar pada tahun
2015, 70 persen dari semua siswa sekolah menengah atas terdaftar di SMK negeri maupun swasta.9 Angka
tersebut jauh lebih tinggi daripada angka saat ini, yaitu 46 persen dari siswa sekolah menengah atas terdaftar
di sekolah kejuruan pada tahun ajaran 2008-09 (Gambar 9). Pemerintah menggunakan tiga strategi umum
guna meraih target rasio tersebut: membekukan pembangunan SMA baru, mempercepat pembangunan
SMK baru, dan mengubah sekolah umum yang telah ada menjadi sekolah kejuruan. Proses perubahan ini
telah dimulai. Dari 2006-07 sampai 2008-09, telah dibangun 1.211 sekolah kejuruan baru, sedangkan 375
sekolah umum telah ditutup.10 Perluasan tersebut telah membuat siswa yang belajar di SMK saat ini lebih
banyak hampir 1,2 juta orang daripada di tahun 2002-03 (Gambar 10). Kebijakan ini bertujuan menurunkan
angka pengangguran kaum muda dengan memberikan keahlian spesifik terkait pekerjaan bagi siswa
sekolah menengah atas.
Namun demikian, pendidikan di sekolah menengah kejuruan tidak memberi keunggulan yang jelas
bagi lulusannya saat memasuki angkatan kerja. Berlawanan dengan tujuan kebijakan “70:30”, pendidikan
kejuruan negeri ternyata tidak lebih baik daripada sekolah umum negeri dalam hal meningkatkan peluang
lulusannya untuk memperoleh pekerjaan. Pendidikan kejuruan telah meningkatkan prospek lulusan laki-laki
untuk memperoleh pekerjaan formal, namun keunggulan ini tak lagi terlihat pada kelompok lulusan barubaru ini. Meskipun lulusan perempuan SMK negeri menikmati upah premium, hal ini pun semakin berkurang
seiring waktu. Keadaan ini semakin parah bagi laki-laki yang baru saja lulus dari SMK negeri karena mereka
menghadapi penalti upah yang terus meningkat sampai 30 persen tahun 2000 dan 43 persen tahun 2007.11
9
10
11
20
Kementerian Pendidikan Nasional, 2006a. Catatan: sekolah kejuruan pada tingkat menengah atas disebut Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK). Sekolah menengah atas umum disebut SMA. Jenis sekolah ketiga pada tingkat menengah atas, sekolah Islam
Madrasah Aaliyah, tidak dimasukkan dalam analisis bab ini. Hal ini karena jumlah siswa menengah atas yang terdaftar pada
sekolah Islam sangat kecil jika dibandingkan dengan SMK atau SMA.
Kemendiknas, www.depdiknas.go.id.
Newhouse, David, dan Daniel Suryadarma, 2009.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Laki-laki yang berprestasi tinggi di sekolah akan menghadapi penalti upah besar jika tidak memiliki ijazah
SMA negeri. Merekalah yang paling dirugikan akibat kebijakan pemerintah untuk memperluas sekolah
kejuruan. Sekolah kejuruan, terutama sekolah kejuruan swasta, berperan penting dalam melayani siswa
berprestasi akademis rendah karena golongan siswa ini akan memperoleh tingkat upah yang sama saja
meski mereka lulus dari sekolah umum.
Tanpa adanya perbaikan kondisi ketenagakerjaan secara jelas, ekspansi sekolah kejuruan yang
dilakukan secara meluas saat ini tidak akan hemat biaya, baik bagi pemerintah maupun para orang
tua. Biaya pengoperasian dan juga biaya untuk belajar di sekolah kejuruan, lebih mahal daripada di sekolah
umum. Mengingat biaya tahunan per siswa untuk SMK negeri diperkirakan 37 persen lebih tinggi daripada
SMA negeri, kebijakan 70:30 akan membutuhkan tambahan anggaran kira-kira Rp 5 triliun per tahun pada
saat target telah tercapai (Gambar 11). Sekolah kejuruan juga mahal bagi orang tua. Biaya yang dikeluarkan
sendiri oleh orang tua lebih tinggi 36,9 persen untuk SMK negeri jika dibandingkan dengan SMA negeri.
Sementara itu, SMK swasta biayanya lebih tinggi 31,4 persen daripada biaya untuk SMA swasta (Gambar
12).
Gambar 11:
Biaya pendidikan kejuruan negeri Gambar 12:
(Rp)
Sumber: Ghozali dan World Bank
Biaya yang dikeluarkan sendiri
untuk pendidikan (Rp)
Sumber: Susenas, 2006
Pendidikan menengah atas semestinya diperluas untuk memenuhi permintaan yang besar akan
pekerja berpendidikan lebih tinggi, sambil mengamati sinyal dari pasar tenaga kerja untuk
menentukan komposisi jenis sekolah yang tepat. Permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih
tinggi masih tetap besar meskipun jumlah pekerja seperti itu di Indonesia sudah jauh lebih banyak. Akses
terhadap sekolah menengah atas perlu diperluas untuk memenuhi permintaan angkatan kerja dan
memungkinkan lebih banyak lulusan memperoleh manfaat dari besarnya premium upah bagi pekerja
yang berpendidikan lebih tinggi. Membatalkan pembekuan pendirian SMA negeri baru tidak hanya
merupakan cara yang hemat biaya untuk memperluas akses, tetapi juga dapat memastikan bahwa para
siswa berprestasi akademis akan berada di posisi terbaik untuk memperoleh pekerjaan berupah tinggi.
Meskipun pendidikan kejuruan berperan penting untuk memperluas jumlah pekerja yang berpendidikan
lebih tinggi, terutama bagi siswa yang lemah secara akademis, tidak semestinya ditetapkan kuota untuk
meningkatkan pendaftaran ke sekolah kejuruan. Sebaliknya, pasokan SMK seharusnya fleksibel agar dapat
menanggapi perubahan permintaan dari pemberi kerja dengan lebih baik. Saat ini sedang terjadi peralihan
menuju keahlian yang lebih berorientasi jasa daripada keahlian teknis dan industri. Hal ini menguntungkan
bagi lulusan perempuan yang cenderung memilih jurusan di sektor jasa yang sedang berkembang (Gambar
13 dan 14). Untuk mencari komposisi yang tepat di masa depan, perubahan jenis keahlian yang dibutuhkan
pemberi kerja perlu dipantau dan ditanggapi dengan kebijakan pendidikan yang sesuai.
21
Gambar 13:
Pilihan jurusan SMK menurut jenis Gambar 14:
kelamin
30
Perempuan 3,71
56,04
28,93
11,32
Pekerja yang lulus SMA atau lebih
tinggi, menurut sektor (juta)
Pertanian
Industri
Jasa
25
20
15
Laki-laki
63,84
15,56
16,68 3,92
10
0%
20%
Teknis dan industri
40%
60%
Manajemen bisnis
80%
Pariwisata
100%
Lain-lain
5
0
2003
Sumber: Susenas, 2006
2004
2005
2006
2007
Sumber: Susenas, 2006
Peningkatan mutu sekolah negeri umum maupun kejuruan dapat membantu untuk memenuhi
permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi. Keberhasilan dalam menambah jumlah
pekerja yang berpendidikan lebih tinggi belum diikuti dengan bertambahnya mutu pendidikan. Kinerja
pendidikan di Indonesia masih tetap tertinggal dari negara lain sekawasan. Keadaan ini kemungkinan
turut menyebabkan bertambahnya kesenjangan upah antara siswa yang berprestasi akademis dan siswa
yang lemah secara akademis. Saat ini, sebagian besar SMK berada di bawah standar nasional sehingga
untuk memperbaiki mutu pendidikan kejuruan, sebuah standar minimum bagi SMK perlu dibuat dan
ditegakkan. Hal penting lainnya yang juga perlu dilakukan untuk memperbaiki hasil pendidikan kejuruan
adalah membangun hubungan yang lebih kuat dengan pemberi kerja, memastikan tersedianya sumber
daya keuangan yang memadai, dan meningkatkan mutu pengajar.12 Meskipun semakin berkurang,
ketidaksesuaian masih menjadi masalah; hampir seperempat dari lulusan pendidikan tinggi bekerja pada
bidang di luar bidang keahlian mereka. Program pencocokan yang inovatif, seperti yang dipakai di sekolah
kejuruan dan universitas terkemuka, dapat membantu lulusannya melewati masa peralihan dari pendidikan
ke angkatan kerja.
Pelatihan keahlian sebagai pelengkap dibutuhkan untuk memberi kesempatan kedua bagi pekerja
yang tidak dapat mengakses pendidikan menengah atas. Mengingat baru seperempat dari angkatan
kerja yang telah lulus SMA – angka yang rendah, bahkan menurut standar kawasan – maka strategi
keahlian yang hanya berfokus pada pendidikan formal belum cukup. Strategi pelengkap dibutuhkan untuk
membangun keahlian para pekerja tak terdidik melalui pelatihan non-formal. Sayangnya, Balai Latihan Kerja
(BLK) tidak siap memenuhi permintaan ini.Hanya terdapat sekitar 162 BLK di seluruh Indonesia yang melatih
pekerja dalam jumlah kecil (42.500 orang pada tahun 2003-04).13 Meskipun sesungguhnya ditargetkan bagi
pencari kerja dan wiraswasta di bidang usaha kecil dan pertanian, sebagian besar BLK justru menawarkan
layanan pelatihan bagi pekerja yang telah dipekerjakan oleh perusahaan klien. Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi telah mengkaji kondisi BLK pada 2004 dan 2006, dan mendapati bahwa kira-kira 60 persen
dari BLK berada dalam kondisi yang buruk dari segi fasilitas, peralatan, dan sumber daya manusia.14
Perlu diperkenalkan program pelatihan keahlian nasional yang menyeluruh dan dirancang dengan
baik demi meningkatkan kondisi ketenagakerjaan pekerja yang rentan. Masih terdapat kekurangan
dalam upaya memberikan keahlian bagi para penganggur atau pekerja yang baru memasuki pasar tenaga
12
13
14
22
Wicaksono, 2008.
Alisjahbana et al., 2008.
Ibid.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
kerja. Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa intervensi melalui pelatihan, seperti program
Jóvenes di Amerika Latin (Kotak 2), telah berhasil meningkatkan kondisi ketenagakerjaan bagi peserta
pelatihan.15 Berbagai program tersebut tak sekadar memberikan pelajaran berbasis ruang kelas, tetapi juga
serangkaian layanan lebih luas yang mencakup: magang, bantuan pencarian kerja atau pelatihan sambil
bekerja, serta subsidi upah. Kurikulumnya tidak sekadar mencakup pelatihan keahlian teknis, tetapi juga
keterampilan sosial dan keterampilan hidup yang semakin diperlukan calon pemberi kerja di Indonesia.
Kotak 2:
Program Jóvenes: Praktik terbaik dalam pelatihan keahlian
Program Jóvenes memberikan pelatihan bagi kaum muda dan miskin dalam hal keahlian profesi dan keterampilan
hidup yang disusul dengan magang di tempat kerja. Didasarkan pada proyek percontohan di Cile pada awal 90-an,
pelatihan dengan pendekatan menyeluruh ini telah menyebar ke seluruh kawasan Amerika Latin dan masingmasing negara menyesuaikan program dengan kebutuhannya. Kaum muda yang mengalami ketertinggalan
diidentifikasi dengan cara-cara seperti statistik pengangguran, data sosioekonomi, dan pemetaan kemiskinan.
Perusahaan swasta, LSM, lembaga publik, dan lembaga pelatihan non-formal yang memenuhi persyaratan
berkompetisi untuk memberikan pelatihan. Penyedia pelatihan diharuskan untuk mengatur magang bagi peserta
pelatihan dan memastikan keahlian seperti apa yang dibutuhkan pemberi kerja lokal sebelum menerima dana untuk
mengadakan pelatihan. Dengan cara ini, kegiatan magang akan memberikan informasi mengenai keahlian yang
sedang dibutuhkan. Pelatihan keterampilan hidup secara intensif berfokus terutama pada keahlian memecahkan
masalah, perilaku tempat kerja yang benar, mengelola konflik, teknik pencarian kerja, dan membangun kepercayaan
diri.
Programa Jóvenes en Acción. Uji coba versi Kolombia dari program ini dimulai pada bulan Mei 2001 dengan
menawarkan kursus pelatihan pekerjaan bagi 100.000 laki-laki dan perempuan yang menganggur dan menempati
dua tingkat pendapatan terendah. Program dilaksanakan di tujuh kota dengan investasi keseluruhan senilai 17,6
juta dolar Amerika. Program pelatihan ini adalah bagian dari Jaringan Dukungan Sosial (Red de Apoyo Social) yang
juga mencakup pekerjaan umum secara darurat untuk menciptakan penghasilan dan pendidikan keluarga serta
tunjangan kesehatan untuk keluarga pedesaan miskin. Kaum muda berusia antara 18 dan 25 tahun menerima
tunjangan dan voucher pelatihan yang dapat mereka gunakan untuk mendaftar pada kursus pelatihan pilihan
mereka dari daftar penyedia pelatihan yang dipilih secara kompetitif. Pelatihan pekerjaan berlangsung sekitar
tiga bulan dan diikuti dengan magang tiga bulan di sebuah perusahaan atau organisasi. Penerima manfaat juga
menerima tunjangan makan dan transportasi. Program ini dikelola oleh kelompok yang terdiri atas lembaga
pemerintah, organisasi nirlaba, dan perusahaan swasta.
Evaluasi terhadap program Jovenes en Acción memperlihatkan hasil mengesankan berikut ini:
Tingkat lapangan kerja yang lebih tinggi: Bagi perempuan, pelatihan telah meningkatkan peluang mereka
untuk memperoleh pekerjaan, lamanya hari dan jam bekerja, serta peluang untuk memperoleh pekerjaan
dengan kontrak tertulis. Dampak yang serupa, namun lebih terbatas juga dirasakan laki-laki.
Kenaikan upah: Dampak yang paling signifikan dari program ini adalah peningkatan besar pada upah: upah
perempuan meningkat 35 persen, sementara upah laki-laki meningkat 18 persen.
Hemat biaya: Program ini menciptakan perolehan bersih yang besar, terutama bagi perempuan. Bahkan
dengan menggunakan perhitungan efektivitas biaya yang paling konservatif sekalipun, ada isyarat bahwa
manfaat bersih dari program ini lebih dari cukup untuk menjustifikasi pelaksanaannya dan kemungkinan
perluasannya. Tingkat pengembalian investasi (IRR) terendah adalah 13,5% untuk perempuan dan 4,5% untuk
laki-laki.
Sumber: Attanasio, Orazio, Adriana Kugler, dan Costas Meghir. 2007.
Indonesia memerlukan program pelatihan keahlian yang baru dan memiliki cakupan memadai
untuk menjangkau mereka yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan formal atau fasilitas
pelatihan publik. Program pelatihan menyeluruh yang baru ini dapat menjadi komponen kedua dalam
15
Puerto dan Fares, 2008.
23
strategi nasional untuk melengkapi pekerja dengan keahlian yang relevan bagi pekerjaannya. Berbeda
dengan BLK yang ada saat ini, program masa depan tersebut harus membantu para pekerja yang rentan
dan kurang beruntung, terutama para pekerja informal yang berusia muda dan miskin, yang akan
memperoleh manfaat paling besar dari kesempatan kedua. Penyedia layanan yang dikontrak (baik dari
sektor swasta maupun LSM) dapat dipakai untuk mengujicobakan program. Kementerian Tenaga Kerja
sebaiknya memimpin di depan dalam perencanaan strategis dan pemantauan kinerja lembaga pelaksana.
Dukungan bagi kemitraan swasta-publik akan membantu terbangunnya hubungan dengan calon pemberi
kerja dan memastikan bahwa penyedia pelatihan telah melakukan survei terhadap pemberi kerja lokal guna
memastikan kebutuhan pasar tenaga kerja lokal. Namun, pelatihan saja tidak dapat melindungi pekerja yang
rentan dari risiko yang mereka hadapi. Diperlukan upaya tambahan untuk melindungi mereka jika terjadi
guncangan lapangan kerja dan upah.
III. Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
Melindungi pekerja yang rentan terhadap guncangan lapangan kerja
dan upah
Tanpa adanya sistem perlindungan sosial bagi pekerja, pasar tenaga kerja informal dan pertanian
berfungsi sebagai jaring pengaman selama terjadinya guncangan lapangan kerja dan upah. Krisis
keuangan Asia Timur tahun 1997 berdampak sangat berat bagi pekerja Indonesia. Upah riil median anjlok
sampai 31 persen dalam satu tahun dan banyak pekerja sektor formal yang kehilangan pekerjaannya (Gambar
15). Tingkat lapangan kerja yang stabil menyembunyikan realokasi pekerja secara besar-besaran ke sektor
informal dan pertanian yang berfungsi sebagai jaring pengaman karena tidak adanya sistem perlindungan
dari pemerintah. Pembalikan transformasi struktural ini merupakan langkah mundur bagi banyak pekerja
dan juga bagi pembangunan Indonesia.
Gambar 15:
Upah riil median (Rp)
Gambar 16:
Jobless growth - pangsa
pekerjaan non-tani (persen)
Masa pemulihan
pascakrisis
(1999-2003)
90
5000
80
4500
70
4000
Indonesia
Malaysia
Thailand
Cina
Filipina
Vietnam
60
3500
50
3000
40
2500
1990 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2006 2007
30
20
1990
Sumber: Sakernas
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
Sumber: Sakernas
Tanggapan pemerintah berupa kebijakan untuk meningkatkan upah minimum besar-besaran,
gagal melindungi pekerja berupah rendah setelah krisis dan menyebabkan semakin tersisihnya
pekerja informal. Selepas krisis keuangan 1997 dan peralihan Indonesia menuju demokrasi, upah minimum
di Indonesia meningkat pesat untuk membantu karyawan pulih dari krisis upah. Upah minimum yang tinggi
digunakan sebagai mekanisme penentu upah bagi pekerja tanpa keahlian dan turut menimbulkan kenaikan
24
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
upah rata-rata.16 Kenaikan upah minimum menimbulkan akibat yang tidak diharapkan, yaitu berkurangnya
ketersediaan pekerjaan formal dan non-tani (Gambar 17). Keadaan ini terutama mempengaruhi sektor jasa
yang sedang berkembang sehingga sektor ini menjadi tak lagi sepadat karya dahulu akibat kenaikan upah
pesat selama periode pemulihan krisis tahun 1999-2003. Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasan
yang mengalami jobless growth selama periode tersebut dan gagal memperluas peluang kerja di sektor
formal dan non-tani (Gambar 16).
Gambar 17:
Upah minimum dan lapangan
kerja formal
Gambar 18:
60
4.000
50
3.000
40
2.000
30
1.000
20
0
Upah minimum dan
ketidakpatuhan
2007
2005
2006
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1997
1998
1996
1993
1994
1992
1991
1990
Pangsa lapangan kerja formal (%, sumbu kiri)
Rata-rata upah minimum per jam (Rp, sumbu kanan)
Sumber: Sakernas 2006 dan Bank Dunia
Persentase karyawan
penerima gaji
60
50
40
30
20
10
0
Terbawah
Kedua
Ketiga
Keempat
Teratas
Kuintil Perkiraan Konsumsi Per Kapita
Sumber: Sakernas 2006 dan Bank Dunia
Selain itu, kebijakan untuk meningkatkan upah minimum juga gagal memberikan jaring pengaman yang
efektif bagi pekerja berupah rendah. Karyawan miskin menarik manfaat paling kecil dari kenaikan upah
minimum karena mereka berpeluang lebih besar untuk bekerja pada pemberi kerja yang tidak patuh
terhadap aturan upah minimum, yang cenderung merupakan usaha kecil dan menengah yang berada di
bawah ambang batas pengawasan inspektur tenaga kerja (Gambar 18).
Selama terjadinya kemerosotan ekonomi, pekerja yang berisiko kehilangan pekerjaannya hanya
memiliki sedikit jaring pengaman yang dapat diandalkan. Meskipun Indonesia berhasil melewati
kemerosotan ekonomi global yang terjadi baru-baru ini, banyak yang mempertanyakan kesiapan
pemerintah untuk melindungi pekerja yang diberhentikan dan membutuhkan penghasilan stabil untuk
membiayai keluarganya. Uang pesangon dan dana pensiun tidak memberikan perlindungan yang efektif
bagi pekerja yang kehilangan pekerjaannya.17 Peningkatan upah minimum pekerja pun sama sekali tidak
akan membantu pekerja yang telah kehilangan pekerjaan. Bahkan sebaliknya, menaikkan biaya tenaga
kerja selama terjadinya krisis dapat membuat Indonesia jatuh kembali dalam jobless growth. Tanpa adanya
sistem perlindungan sosial bagi pekerja, mereka akan kembali ke pekerjaan di sektor informal dan pertanian
skala kecil sebagai jaring pengaman, meskipun pekerjaan tersebut hanya memberikan upah kecil dan tidak
memberikan jaminan penghasilan.
Meningkatkan frekuensi pengumpulan dan menambah kelengkapan data ketenagakerjaan dapat
membantu mendeteksi guncangan dengan cepat dan mengetahui dengan akurat pekerja yang
terpengaruh. Untuk melindungi pekerja dari guncangan, diperlukan pengumpulan informasi terkini
dan penentuan dengan tepat daerah dan rumah tangga yang paling terkena dampaknya. Saat ini, survei
tenaga kerja hanya dilakukan dua kali setahun dengan ukuran sampel yang besar. BPS dapat meningkatkan
keterkinian data dan sekaligus mengurangi biaya dengan menerapkan pendekatan survey kuartalan atau
16
17
Saget, 2006.
Vroman, 2007.
25
terus-menerus yang dapat menghasilkan data ketenagakerjaan per kuartal atau per bulan. Selain itu, ada
pula kebutuhan untuk memperluas pertanyaan survei untuk memantau dengan lebih baik kerentanan di
antara para pekerja. Fasilitas penelitian dan think tank lokal, yang didukung dengan bantuan teknis dan
pembangunan kapasitas, dapat menggunakan data ini untuk melacak perubahan di pasar tenaga kerja
dan mendiagnosis bagaimana guncangan dirasakan oleh pekerja sehingga mekanisme tanggapan dapat
dirancang dengan lebih baik. Keterlambatan penyaluran tanggapan program dapat berdampak sangat
mahal bagi para pekerja yang rentan dan keluarga mereka.
Data ini dapat dimasukkan ke dalam sistem pemantauan yang mampu mendeteksi guncangan di
masa depan, termasuk guncangan upah dan lapangan kerja. Jaring pengaman darurat tidak akan efektif
atau tepat waktu jika tidak disertai dengan sistem pemantauan dan tim siaga yang bertanggung jawab
memeriksa data yang tersedia (termasuk laporan dari lapangan) untuk mendeteksi krisis yang sudah di
depan mata. Sistem Pemantauan dan Respon terhadap Krisis (Crisis Monitoring and Response System - CMRS)
bertindak sebagai prototipe bagi sistem pemantauan dan tanggapan masa depan yang dapat dibuat
berkesinambungan sehingga guncangan di masa depan dapat dipantau dan diatasi begitu muncul.
Informasi yang diperoleh melalui pemantauan dapat menjadi masukan bagi rancangan sistem
tanggap darurat di masa depan, yang mengatur kapan dan bagaimana jaring pengaman bagi
pekerja akan disalurkan untuk mengantisipasi serangkaian kemungkinan guncangan. Sistem harus
mengidentifikasi pemicu yang dapat membenarkan penyaluran bantuan sementara melalui berbagai jalur
program. Untuk mengembangkan sistem ini, perlu disiapkan terlebih dahulu pedoman yang mengantisipasi
tanggapan terhadap skenario tertentu, termasuk rincian mengenai identifikasi penerima, besarnya dan
jenis paket bantuan (misalnya tunai atau berupa barang, pekerjaan umum), dan kapan bantuan diakhiri.
Rancangan sistem tanggapan juga harus menjelaskan bagaimana berbagai lembaga akan bekerja sama
untuk melakukan perancangan, aktivasi, pembiayaan, dan penyaluran demi tersedianya bantuan dengan
secepat dan seefisien mungkin.
Salah satu pilar sistem nasional untuk menanggapi guncangan semestinya berupa kerangka
kerja pekerjaan umum. Kerangka kerja ini mengatur kapan, di mana, dan bagaimana proyek penciptaan
lapangan kerja akan disalurkan untuk mengantisipasi serangkaian kemungkinan guncangan. Hal ini
termasuk mengidentifikasi pemicu yang akan meluncurkan proyek pekerjaan umum atau meningkatkan
alokasi bagi program padat karya yang sudah ada. Sebagai contoh, PNPM-Mandiri dapat menyalurkan
dana untuk mendukung proyek pembangunan padat karya yang telah diidentifikasi masyarakat setempat
di area pedesaan, sebuah langkah yang telah berhasil mengurangi angka pengangguran. Selain itu, perlu
diidentifikasi proyek atau jalur untuk memberikan bantuan sementara kepada pekerja di area perkotaan saat
dibutuhkan. Pada saat bersamaan, sistem tanggapan dapat diisi daftar siaga mengenai proyek infrastruktur
yang sedang direncanakan dan sudah berjalan, yang dapat dengan cepat menyerap pekerja selama
terjadinya guncangan baik di area pedesaan maupun perkotaan.
Belajar dari masa lalu dan berpegang pada “praktik terbaik” internasional akan memastikan
bahwa bantuan dapat menjangkau pekerja yang paling memerlukannya. Berbagai praktik terbaik
tersebut mencakup: menunjuk satu lembaga di tingkat pusat yang bertanggung jawab memimpin strategi
keseluruhan dan memantau pelaksanaan program; menggunakan penetapan target geografis secara
sistematis untuk menentukan lokasi program; menetapkan upah di bawah tingkat pasaran bagi pekerja
tanpa keahlian sehingga para pekerja tersebut akan terseleksi mandiri ke dalam program; mendorong
keikutsertaan perempuan dengan mengubah elemen rancangan program; dan memilih proyek padat karya
yang telah diidentifikasi oleh masyarakat atau mendukung proyek infrastruktur yang telah dimasukkan dalam
strategi pengembangan akan membantu memastikan bahwa proyek pekerjaan umum dapat berguna dan
produktif.
26
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
IV. Mendukung Pembuatan Kebijakan Berbasis Bukti
Mendorong kemajuan dengan mengisi kekurangan pengetahuan di
pasar tenaga kerja
Membangun basis empiris bagi perdebatan sengit di seputar kebijakan ketenagakerjaan. Meskipun
peningkatan frekuensi pengumpulan data dapat membantu pembuat kebijakan untuk memberi tanggapan
“tepat waktu”, perlu diperhatikan juga jenis data seperti apa yang dikumpulkan. Sakernas semestinya
dirancang untuk mengumpulkan data yang dapat menjawab pertanyaan paling mendesak dari para
pembuat kebijakan. Sebagai contoh, modul mengenai pesangon perlu dilanjutkan untuk mengetahui
dampak peraturan pesangon terhadap kondisi ketenagakerjaan para pekerja. Pengumpulan data mengenai
status kontrak sangatlah penting untuk melacak seberapa jauh telah terjadi segmentasi di pasar tenaga
kerja. Upaya ini akan menjadi masukan saat menentukan kebijakan dan program apa yang diperlukan
untuk menargetkan sub-kelompok pekerja tertentu. Dapat pula dipertimbangkan untuk melaksanakan
studi pelacakan kondisi ketenagakerjaan yang terkait dengan perbedaan pendidikan dan pengalaman
pelatihan.
Memantau dan mengevaluasi dengan ketat program dan lembaga yang sudah ada untuk
mempelajari mana yang memberikan hasil dan mana yang tidak berguna. Tidak banyak yang
diketahui mengenai kinerja berbagai lembaga ketenagakerjaan yang sudah ada karena berbagai lembaga
tersebut tidak dipantau atau dievaluasi dengan teliti. Kajian kualitatif dan kuantitatif dapat mengidentifikasi
jenis SMK negeri mana dan pusat pelatihan non-formal mana yang memberikan hasil lebih baik. Memantau
dan mengkaji kinerja proses penyelesaian perselisihan dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang baru
dibentuk untuk memperoleh data yang diperlukan guna memperbaiki tingkat keberhasilan mekanisme
penyelesaian pra-sidang dan mengurangi kemacetan di PHI sehingga meningkatkan kecepatan dan
menghemat biaya proses penyelesaian.
Membuat dasar bagi arah yang baru dengan melakukan uji coba terhadap pendekatan baru.Masih
banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk mengkaji sistem alternatif yang dapat memberikan tunjangan
pengangguran, seperti misalnya simulasi dan kajian kelembagaan. Berinvestasi dalam analisis menyeluruh
dan belajar dari pengalaman negara lain yang berpenghasilan menengah sebagai masukan bagi rancangan
mekanisme jaminan sosial masa depan agar terhindar dari kesalahan yang mahal. Demikian pula perlu
dilakukan pengujian terhadap program baru, seperti program pelatihan keahlian menyeluruh, dengan
melakukan uji coba pendekatan tersebut pada area tertentu sebelum diperluas ke skala nasional. Untuk
program yang berpotensi menjadi besar dan ambisius dari segi fiskal, perlu memasukkan pengacakan
(randomization) dalam rancangan proyek untuk mengukur dampak dan penghematan biaya secara lebih
akurat. Melakukan evaluasi dampak yang ketat terhadap program pelatihan dan pekerjaan umum di masa
depan untuk mengetahui apakah pendekatan yang diambil sudah hemat biaya dan dapat meningkatkan
kondisi ketenagakerjaan bagi pekerja.
Memperkuat jaringan fasilitas riset dan lembaga penelitian (think tank) di Indonesia. Pembuat
kebijakan dan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas program ketenagakerjaan sangat
bergantung pada analisis yang tepat untuk mengambil keputusan. Hal ini membutuhkan berfungsinya tiga
komponen yang saling berkaitan. Yang pertama, Kementerian Tenaga Kerja harus memastikan tersedianya
data tenaga kerja paling baru secara umum. Yang kedua, lembaga pemerintah perlu memahami cara
mengajukan pertanyaan yang tepat dan mengadakan proyek riset yang dapat memberikan jawabannya.
Yang terakhir, membangun kemampuan teknis peneliti di berbagai think tank dan fasilitas riset universitas
untuk melaksanakan riset kebijakan ketenagakerjaan yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknis.
27
Laporan Lapangan Kerja Indonesia: Matriks Ringkasan Rekomendasi
Kebijakan
Pelatihan Keahlian
Reformasi Peraturan
Bidang
Kebijakan
Persoalan & Hambatan
Utama
Langkah Spesifik
Jangka Waktu & Urutan
Pelaksanaan
Pembayaran pesangon dengan
nilai kecil menyebabkan
kebanyakan karyawan
tidak terlindungi dalam hal
pemberhentian kerja.
Memperkenalkan sistem
tunjangan pengangguran (dana
pesangon bersama, sistem
rekening pesangon individual,
atau bantuan pengangguran
berbentuk tunjangan tetap)
sebagai pelengkap sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Sistem “post-pay” menciptakan
ketidakpastian bagi pemberi
kerja dan mengurangi peluang
pekerja yang diberhentikan
untuk menerima pesangon.
Mengadopsi sistem pendekatan
kontribusi bulanan agar
perusahaan memberikan
kontribusi pesangon bulanan ke
sebuah rekening yang dikelola
oleh pihak ketiga.
Jangka pendek: Memulai
proses reformasi dengan
mengadakan studi simulasi
mengenai sistem alternatif
dan mengadakan kajian
untuk menentukan sistem
mana yang paling cocok
dalam konteks kelembagaan
Indonesia.
Aturan yang rumit dan
tingkat pesangon tinggi yang
diwajibkan secara hukum akan
mengurangi minat wiraswasta
untuk memulai bisnis baru dan
menghambat potensi investasi
asing.
Menyederhanakan aturan
penentuan uang pesangon dan
uang penghargaan masa kerja.
Menurunkan tingkat pesangon
agar sesuai dengan standar
kawasan.
Permintaan akan pekerja
berpendidikan lebih
tinggi masih besar, tetapi
pembangunan sekolah
menengah atas umum telah
dibekukan.
Menghapus kebijakan untuk
membekukan pembangunan
sekolah menengah atas umum.
Target saat ini untuk perluasan
SMK tidak memberikan
perbaikan yang jelas terhadap
kondisi ketenagakerjaan dan
tidak hemat biaya.
Mengganti kebijakan “70:30”
dengan pendekatan berbasis
pasar untuk menentukan
komposisi sekolah kejuruan
dan sekolah umum yang tepat.
Mengembangkan strategi untuk
memperbaiki mutu sekolah
kejuruan dan mendorong
hubungan yang lebih kuat
dengan calon pemberi kerja.
Pusat pelatihan publik tidak
cukup untuk memenuhi
permintaan dan umumnya
hanya memberi manfaat bagi
pekerja yang telah memiliki
pekerjaan.
28
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Memperkenalkan program
pelatihan keahlian nasional yang
menyeluruh untuk menargetkan
pekerja muda, miskin, dan
informal. Mengimplementasi
program melalui penyedia
layanan swasta dan NGO,
dengan pengawasan dari
pemerintah.
Jangka menengah:
Memfasilitasi negosiasi multi
pihak untuk mengurangi
tingkat pesangon
dan, sebagai gantinya,
menerapkan sistem
tunjangan pengangguran
terpilih. Mengembangkan
peta langkah reformasi yang
terkait dengan reformasi
sistem Jaminan Sosial
Nasional.
Jangka pendek: Melakukan
studi pelacakan kondisi
ketenagakerjaan siswa dari
berbagai jenis sekolah.
Meneliti berbagai opsi untuk
program pelatihan keahlian
non-formal. Melakukan
kunjungan pertukaran ke
berbagai program Jovenes
di negara Amerika Latin
tertentu.
Jangka menengah:
Mendukung sekolah
kejuruan untuk mengadakan
survei terhadap pemberi
kerja di daerah mereka untuk
mengidentifikasi keahlian
yang dibutuhkan. Melakukan
percontohan dan uji coba
sebuah program pelatihan
keahlian menyeluruh nonformal di area terpilih dengan
peserta acak.
Riset Kebijakan Ketenagakerjaan
Jaring Pengaman bagi Pekerja
Ringkasan Eksekutif
Tanpa adanya data terbaru,
sulit menentukan daerah
dan kelompok pekerja yang
mengalami dampak guncangan
lapangan kerja dan upah agar
dapat dibuatkan program
tanggapan.
Mengkonversi Survei Angkatan
Kerja Nasional (Sakernas)
menjadi pendekatan terusmenerus sehingga dapat
memberikan data tiap bulan
atau tiap triwulan sambil tetap
menghemat biaya.
Tidak ada jaring pengaman
yang dapat digunakan secara
efektif untuk melindungi
pekerja miskin dan berupah
rendah selama terjadinya
guncangan lapangan kerja dan
upah.
Mengembangkan program
pekerjaan umum nasional
untuk menargetkan kaum
miskin yang bersedia bekerja
dan membayarkan upah di
bawah harga pasar bagi pekerja
tanpa keahlian. Menggunakan
program seperti PNPM sebagai
mekanisme untuk pendaftaran
peserta dan menyalurkan dana
bagi proyek padat karya.
Data yang dikumpulkan dalam
Survei Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas) belum cukup
untuk menjawab pertanyaan
mendesak mengenai kebijakan.
Memperluas pengumpulan
data yang terkait dengan
pertanyaan kunci mengenai
kebijakan. Melanjutkan modul
pesangon dalam Sakernas dan
mengumpulkan data mengenai
status kontrak.
Belum ada cukup banyak riset
kebijakan ketenagakerjaan
bermutu tinggi, terutama studi
kuantitatif, sebagai masukan
bagi pengembangan kebijakan.
Memastikan bahwa Biro Pusat
Statistik dapat menyediakan
data pasar tenaga kerja kepada
masyarakat umum secara tepat
waktu.
Membangun kapasitas lembaga
pemerintah untuk merumuskan
pertanyaan riset dan memulai
proyek. Meningkatkan kapasitas
teknis berbagai lembaga
penelitian untuk mengadakan
riset kebijakan ketenagakerjaan
kuantitatif.
Jangka pendek: Menentukan
ukuran sampel yang optimal
untuk melakukan Sakernas
triwulan dan implikasi
anggarannya.
Jangka menengah:
Membentuk tim teknis untuk
mengembangkan rencana
strategis bagi terciptanya
program pekerjaan umum
permanen. Hal yang perlu
dimasukkan: tujuan, fitur
rancangan, mekanisme
penyaluran, pengaturan
kelembagaan, dan peta
langkah demi langkah.
Jangka pendek: Mengadakan
lokakarya bersama
Kementerian Tenaga
Kerja, BPS, dan Bappenas
untuk mengidentifikasi
data ketenagakerjaan
yang dibutuhkan dan
mengusulkan perubahan
terhadap Sakernas.
Mengembangkan perangkat
yang dapat digunakan
peneliti untuk melacak
dan menganalisis tren
ketenagakerjaan.
Jangka menengah:
Mengembangkan dan
mendukung program
pelatihan bagi peneliti
ketenagakerjaan.
Memberikan bantuan
keuangan bagi jaringan
peneliti kebijakan
ketenagakerjaan.
29
Bab 1
Tren Pasar Tenaga Kerja di
Indonesia
Dari 1990 sampai 2008
Bab 1 Ringkasan
Pengamatan terhadap evolusi pasar tenaga kerja Indonesia akan membantu kita untuk lebih memahami situasi
ketenagakerjaan saat ini. Selama dua puluh tahun terakhir, Indonesia telah merasakan guncangan dan penyesuaian
ekonomi besar, mengalami perubahan politik secara radikal, dan memperbarui kebijakan ketenagakerjaan
nasionalnya.
1990 – 1997: Pertumbuhan Pesat. Sebelum terjadinya krisis keuangan, kombinasi dari pertumbuhan ekonomi
yang kuat, meningkatnya lapangan kerja perkotaan, dan angkatan kerja yang berpendidikan lebih tinggi telah
memperkuat pasar tenaga kerja Indonesia. Semakin banyak pekerja yang memperoleh pekerjaan lebih baik
dengan upah lebih tinggi. Ketimpangan upah pun berkurang seiring banyaknya pekerja – terutama pekerja dari
pedesaan dan pekerja berpendidikan lebih rendah – yang meninggalkan pertanian dan memperoleh pekerjaan
di sektor industri dan jasa yang sedang tumbuh pesat. Pekerja miskin juga meninggalkan pekerjaan pertanian dan
masuk ke sektor formal, sehingga turut mengurangi kemiskinan dalam jumlah berarti.
1997 – 1999: Bertahan di Tengah Krisis. Meskipun Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product(GDP)
riil menurun tajam, jumlah pekerjaan secara mengejutkan tetap stabil selama krisis. Sektor pertanian dan informal
mampu menyerap pekerja yang diberhentikan dan kaum perempuan memasuki angkatan kerja dalam jumlah
besar. Namun demikian, para pekerja tetap merasakan pahitnya krisis akibat pemotongan upah yang menyebabkan
banyak pekerja hampir miskin (near-poor) jatuh kembali dalam kemiskinan. Meskipun semua pekerja merasakan
akibat krisis, penurunan upah di antara petani pedesaan yang memiliki lahan sendiri dapat diredam oleh kenaikan
harga beras yang tinggi.
1999 – 2003: Pertumbuhan tanpa penciptaan Pekerjaan. Bersamaan dengan peralihan menuju demokrasi,
terjadi pula pembaruan legislatif, termasuk pemberlakuan dua undang-undang penting: Undang-Undang Serikat
Pekerja (No. 21/2000) dan Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 21/2000). Pekerja yang menerima gaji – terutama
pekerja di perkotaan dan pekerja tidak miskin – diuntungkan karena kenaikan upah yang besar dan pesangon
yang diwajibkan undang-undang selama masa pemulihan ekonomi, demokratisasi, dan reformasi legislatif ini.
Ketersediaan pekerjaan formal menurun karena peningkatan upah dan pengurangan besar-besaran jumlah
Pegawai Negeri Sipil. Masih ada pekerja yang terpaksa kembali ke pertanian, namun hal ini terjadi pada laju yang
lebih rendah daripada periode krisis. Pekerja yang miskin, berada di pedesaan, dan berpendidikan lebih rendah
adalah yang paling rentan terdesak ke pekerjaan informal dan pertanian.
2003-2008: Pemulihan Lapangan Kerja. Secara riil, upah menurun drastis tahun 2005 dan stagnan sampai
sekarang, kecuali untuk pekerja dengan upah tinggi. Penurunan upah ini membuka jalan bagi penciptaan lapangan
kerja yang lebih banyak. Semakin banyak pekerja yang memperoleh pekerjaan formal dan semakin banyak pula
pekerja, terutama pekerja miskin, yang mendapatkan pekerjaan di luar pertanian. Data pasar tenaga kerja terbaru
memperlihatkan tanda-tanda positif bagi periode 2007-08. Lapangan kerja terus bertambah dan semakin banyak
perempuan mendapatkan pekerjaan. Semakin banyak pekerja yang meninggalkan sektor pertanian dan memasuki
pasar tenaga kerja formal, terutama di kalangan laki-laki dari pedesaan. Upah mulai naik kembali, namun hal ini
lebih dirasakan oleh pekerja berpenghasilan besar dan kaum perempuan, terutama mereka yang berpendidikan
lebih tinggi dan tinggal di wilayah perkotaan.
I.
Pendahuluan
Dengan melihat evolusi pasar tenaga kerja Indonesia, kita dapat lebih memahami situasi saat ini.
Selama dua puluh tahun terakhir, Indonesia telah merasakan guncangan dan penyesuaian ekonomi besar,
mengalami perubahan politik secara radikal, dan memperbarui kebijakan ketenagakerjaan nasionalnya.
Setiap fenomena ini mengubah jalannya pasar tenaga kerja menjadi lebih baik maupun lebih buruk.
Dengan mengkaji secara saksama sejarah pasar tenaga kerja selama dua puluh tahun terakhir, dapat
ditemukan sejumlah faktor yang telah memperkuat, maupun memperlemah, kemampuan Indonesia untuk
menghasilkan lapangan kerja lebih baik bagi angkatan kerja yang terus bertambah.
32
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1
Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
Bab 1 mengkaji tren pasar tenaga kerja di Indonesia sejak 1990. Untuk mengkaji tren dalam tiga
indikator inti pasar tenaga kerja – lapangan kerja, struktur tenaga kerja, dan upah (Kotak 1.1) – periode waktu
tersebut dapat dibagi menjadi empat era. Masing-masing era memiliki kombinasi unik antara pertumbuhan
ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan pengembangan kebijakan ketenagakerjaan sehingga ada yang
diuntungkan maupun dirugikan. Bab ini mengkaji masing-masing aspek tersebut dalam empat era:
Yang pertama mencakup periode 1990-97 pada masa-masa akhir Orde Baru sebelum terjadinya krisis
keuangan.
Yang kedua mengkaji pengaruh krisis keuangan di Asia terhadap pasar tenaga kerja Indonesia pada
1997-99.
Yang ketiga berfokus pada periode pascakrisis, 1999-2003, saat ekonomi mulai tumbuh lagi tetapi hanya
menciptakan sedikit lapangan kerja.
Yang keempat menelaah periode 2003-2007 ketika lapangan kerja formal mulai tumbuh lagi.
Bagian kelima dan terakhir memberikan informasi terkini mengenai pasar tenaga kerja dengan
menggunakan data terbaru dari 2007-08. Meskipun belum diketahui dengan jelas apakah hal ini
merupakan kelanjutan era sebelumnya atau merupakan awal yang baru, namun tampak tanda-tanda
masa depan yang lebih baik.
Kotak 1.1
Apa indikator terbaik untuk kinerja pasar tenaga kerja?
Meskipun tingkat pengangguran dan setengah pengangguran sering kali digunakan, keduanya dapat
menyesatkan jika dipakai sebagai indikator kesehatan pasar tenaga kerja. Media dan politisi biasanya
menggunakan tingkat pengangguran untuk menilai kinerja pasar tenaga kerja. Istilah ‘penganggur’ mencakup
dua kelompok orang: mereka yang tidak punya pekerjaan, tetapi masih aktif mencari kerja (80 persen dari jumlah
penganggur tahun 2007); dan pekerja patah semangat (discouraged worker) yang tidak lagi berharap untuk
mendapatkan pekerjaan. Pengangguran terbuka (under employment) juga merupakan indikator populer yang
mengukur proporsi populasi yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu dan bersedia menerima pekerjaan lain.
Namun, pengangguran dan pengangguran terbuka tak hanya ditentukan oleh ketersediaan pekerjaan. Kedua
indikator ini juga bergantung pada faktor sosioekonomi rumah tangga termasuk: tingkat penghasilan anggota
rumah tangga yang lain; bantuan non-pasar yang diterima oleh rumah tangga tersebut; status si pekerja dalam
rumah tangga tersebut (kepala rumah tangga akan merasakan tekanan lebih kuat untuk mengambil pekerjaan
informal); preferensi mengenai keikutsertaan perempuan dalam angkatan kerja; dan beda upah antara sektor
formal dan informal. Berbagai faktor sosioekonomi rumah tangga tersebut menyebabkan sulitnya menafsirkan
perubahan tingkat pengangguran dan pengangguran terbuka.
Tingkat pengangguran dan pengangguran terbuka telah terbukti kurang dapat diandalkan sebagai sinyal
kinerja pasar tenaga kerja di Indonesia. Pengkajian sejarah pasar tenaga kerja di Indonesia memperlihatkan
ketidakcocokan antara tingkat pengangguran dan kinerja pasar tenaga kerja. Sebagai contoh, naiknya
pengangguran pada 1990-97 bukan merupakan indikasi atas pasar yang memburuk. Kenaikan ini lebih disebabkan
karena bertambahnya jumlah pekerja berpendidikan (yang sedang mencari pekerjaan), sementara pertumbuhan
ekonomi yang kuat menyebabkan pengangguran tidak terlalu memberatkan. Demikian pula saat krisis keuangan
Asia, tingkat pengangguran secara mengejutkan tetap stabil. Banyak pekerja perkotaan yang memiliki keahlian
harus kehilangan pekerjaannya, namun hal ini tidak tercermin dalam tingkat pengangguran karena perempuan
miskin mulai memasuki angkatan kerja dalam jumlah besar.
33
Laporan Lapangan Kerja Indonesia bergantung pada tiga jenis indikator untuk menilai kinerja pasar
tenaga kerja.
a.
Lapangan kerja: Populasi orang dewasa usia kerja terbagi menjadi dua kategori: mereka yang berada di
dalam angkatan kerja dan mereka yang berada di luar angkatan kerja. Indikator primer lapangan kerja adalah
rasio lapangan kerja, yang didefinisikan sebagai perubahan persentase orang dewasa di dalam angkatan kerja
yang memiliki pekerjaan. Indikator sekunder mencatat bahwa mereka yang berada di dalam angkatan kerja,
namun tidak memiliki pekerjaan, termasuk pekerja yang menganggur dan pekerja patah semangat. Meskipun
tingkat pengangguran paling banyak mendapat perhatian, rasio lapangan kerja dapat dipandang sebagai
indikator yang lebih andal karena berbagai alasan yang telah dijelaskan sebelumnya.
b.
Struktur pasar tenaga kerja: Kinerja pasar tenaga kerja juga dapat diukur dengan menelaah jenis-jenis
pekerjaan yang dimiliki para pekerja. Dua indikator utama yang dipakai untuk melacak perubahan struktural
pasar tenaga kerja adalah:
Pangsa lapangan kerja non-pertanian: Pangsa lapangan kerja sektoral (pertanian, industri, atau jasa)
adalah indikator penting karena mudah diukur, dapat dibandingkan antar negara, dan memberikan
informasi mengenai produktivitas pekerja dan status pekerjaan. Secara umum, pekerjaan non-pertanian
relatif lebih disukai dibandingkan dengan pekerjaan pertanian karena sektor pertanian dinilai kurang
produktif, mempekerjakan lebih banyak pekerja tak dibayar atau pekerja lepas, dan memiliki persentase
terendah dalam mempekerjakan pekerja berpendidikan . Indikator ini diukur dalam perubahan persentase
pangsa pekerja yang bekerja di bidang non-pertanian (misalnya pekerjaan sektor industri dan jasa).
Pangsa lapangan kerja formal: Indikator yang lain adalah perubahan persentase dalam pangsa pekerja
yang memiliki pekerjaan formal. Pekerja di sektor formal menerima gaji berkala dan berhak memperoleh
tunjangan sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003. Secara umum, pekerjaan di
sektor formal relatif lebih disukai daripada pekerjaan di sektor informal.18
c.
Upah rata-ratadan kesetaraan upah: Dari sudut pandang pekerja, hal terpenting yang menentukan
kualitas pekerjaan yang mereka miliki mungkin adalah kompensasi total yang mereka peroleh untuk jerih
payah mereka, yaitu nilai upah ditambah tunjangan. Perubahan persentase upah dinyatakan secara riil dan
perubahan distribusi pekerja dikategorikan melalui kuintil upah. Sayangnya, sumber data tidak lengkap, serta
tidak ada data mengenai nilai tunjangan yang diterima oleh semua pekerja dan data mengenai laba yang
diperoleh sebagian besar pekerjan wiraswasta.
Perubahan ketiga jenis indikator ini memberikan gambaran jelas mengenai kekuatan dan kelemahan dalam pasar
tenaga kerja. Selama periode pertumbuhan pesat (1990-97) keempat indikator di atas meningkat sesuai dengan
harapan, sementara selama krisis ekonomi (1997-98) semuanya menurun. Karena alasan inilah beberapa indikator
tersebut lebih dapat diandalkan daripada hanya bergantung pada tingkat pengangguran dan pengangguran
terbuka.
II.
1990-1997: Bertumbuh Pesat 18
Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan
Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan yang besar dari tahun 1990
sampai 1997. PDB riil tumbuh pesat pada tingkat 7 persen per tahun. Pertumbuhan ini dengan cepat
18
34
Lihat Bab 3 untuk mendapat penjelasan mengapa pekerjaan sektor formal lebih disukai daripada pekerjaan sektor informal.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1
Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
menurunkan tingkat kemiskinan sebanyak 0,5 persen per tahun sehingga tinggal 11,3 persen tahun
199619. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi meningkatkan kondisi lapangan kerja bagi pekerja di
Indonesia.
Perubahan Politik dan Kebijakan
Kebijakan tenaga kerja selama periode ini dicirikan oleh upaya perbaikan penghasilan angkatan kerja secara
proaktif. Diciptakannya program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, atau Jamsostek, yaitu dana pensiun yang
wajib diikuti dan dikelola negara bagi pekerja di sektor formal, menandai perubahan ini. Ditetapkannya upah
minimum provinsi pada awal tahun 90-an bahkan dapat dikatakan sebagai perubahan yang lebih penting
lagi. Upah minimum naik drastis pada tahun 1993-95 sebagai tanggapan terhadap tiga perkembangan
utama.20 Yang pertama, lonjakan manufaktur non-migas yang dimulai pada pertengahan 80-an telah
mendorong permintaan akan angkatan kerja yang lebih besar dan berpendidikan lebih tinggi, yang
terkonsentrasi pada sektor industri di sekeliling Jakarta dan Bandung. Yang kedua, upah riil telah stagnan
sejak tahun 80-an sehingga memicu aksi protes buruh yang sering terjadi pada paruh pertama tahun 90an. Yang ketiga, deregulasi ekonomi juga disertai dengan keterbukaan politik sehingga media dan aktivis
buruh dapat menyoroti nasib para pekerja dalam industri manufaktur ‘baru’. Indonesia juga mendapat
tekanan internasional saat pemerintah Amerika Serikat mengumumkan bahwa hak GSP (General System of
Preferences) untuk Indonesia akan diperbarui dengan syarat terjadi kemajuan dalam penegakan hak buruh
di Indonesia.
Meskipun rezim Suharto mendorong dilakukannya perjanjian buruh kolektif, pelaksanaannya masih terbatas
dan hubungan buruh masih represif. Pekerja hanya dapat bergabung dengan satu organisasi serikat
pekerja yang dikendalikan dengan ketat oleh pemerintah. Sengketa perburuhan ditekan, biasanya dengan
keputusan yang menguntungkan perusahaan dan dilaksanakan dengan keras, dengan bantuan militer dan
polisi.
Lapangan kerja
Jika dilihat di permukaan saja, secara keseluruhan lapangan kerja tidak berubah banyak selama tahun-tahun
tersebut. Hanya ada kenaikan kecil dalam pengangguran yang bertambah sedikit demi sedikit sebesar 0,1
persen per tahun (Tabel 1.1).21 Hal ini menimbulkan penurunan rasio lapangan kerja — yang didefinisikan
sebagai persentase orang dewasa yang memiliki pekerjaan — sebesar 0,2 persen per tahun, dari angka
64,6 persen tahun 1990 yang turun menjadi 63,2 persen tahun 1997. Namun demikian, perubahan agregat
yang kecil ini menyamarkan perluasan lapangan kerja yang signifikan di area perkotaan, yang menyebabkan
rasio lapangan kerja naik sampai 0,5 persen per tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Kontras dengan
data tersebut, lapangan kerja bagi laki-laki di area pedesaan mengalami sedikit penurunan, sementara
perempuan di pedesaan beramai-ramai meninggalkan angkatan kerja.
19
20
21
Pada tahun 1996 Badan Pusat Statistik (BPS) merubah metodologi pengukuran tingkat kemiskinan. Laporan Lapangan
Pekerjaan Indonesia (Indonesia Jobs Report) menggunakan tingkat kemiskinan untuk periode tahun 1990-97 yang dihitung
dengan menggunakan metode pengukuran lama. Periode berikutnya menggunakan tingkat kemiskinan yang dihitung dengan
menggunakan
Manning, 1998.
Lihat Lampiran I.1 untuk rangkuman indikator tren menurut sub-kelompok. Catatan: laporan ini menggunakan definisi ‘lama’
mengenai pengangguran inti yang dipakai secara resmi sampai 2001. Definisi yang ‘baru’ dan lebih luas mengenai pengangguran,
yang dipakai secara resmi sejak 2001, mencakup pekerja patah semangat (bagian dari populasi yang tidak lagi bekerja dan tidak
lagi berharap memperoleh pekerjaan), sedangkan laporan ini membahasnya secara terpisah. Angka pengangguran tahun 1992
sampai 1997 diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) karena Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) sebelum
tahun 1994 menggunakan masa referensi pencarian kerja yang lebih pendek. Kecuali bila dinyatakan lain, data yang disampaikan
dalam Bab 1 didasarkan pada Sakernas.
35
Gambar 1.1
Indikator tren tenaga kerja, menurut periode
1990 -1997
1997 -1999
1999 -2003
2003 -2007
65
64
63
62
Tingkat Lapangan Kerja,
61
Persen
60
59
58
1990 1991 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
8
7
6
Pengangguran (data Susenas)
5
Tingkat Pengangguran,
4
Persen
Pengangguran inti
3
2
1
0
1990 1991 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
65
60
55
Pangsa Lapangan
Kerja Non-Tani, 50
Persen
45
40
1990 1991 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
50
45
Pangsa Lapangan
40
Kerja Sektor Formal,
Persen
35
30
1990 1991 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
4500
4000
Upah Karyawan
Median per Jam,
Persen
3500
3000
2500
2000
1990 1991 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Sumber: Sakernas; Susenas untuk tingkat pengangguran 1992-97.
36
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1
Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
Tabel 1.1
Indikator Inti
Lapangan
Kerja
Struktur
Tenaga Kerja
Upah
Indikator tren tenaga kerja, pertumbuhan menurut periode
Rasio pertumbuhan lapangan kerja
Pertumbuhan pengangguran
Pertumbuhan pangsa lapangan kerja nonpertanian
Pertumbuhan pangsa lapangan kerja formal
Pertumbuhan upah rata-rata
1990-97
-0,2
0,1
1997-99
-0,1
0,8
1999-2003
-0,4
-0,2
2003-07
-0,1
0,5
2,1
-1,3
-0,8
1,3
1,5
7,1
-0,9
-11,0
-0,3
8,9
1,2
-3,8
Sumber: Sakernas; Susenas untuk tingkat pengangguran 1992-97.
Struktur Tenaga Kerja
Urbanisasi angkatan kerja telah ikut membantu terjadinya peningkatan dramatis kualitas pekerjaan yang
tersedia. Perubahan struktural yang cepat telah menarik para pekerja dari pertanian untuk pindah ke
pekerjaan sektor formal yang lebih produktif. Pangsa lapangan kerja di bidang pertanian turun dari 55
menjadi 41 persen dalam jangka tujuh tahun. Semakin banyak pekerja pertanian tertarik pada sektor jasa
sehingga pangsa lapangan kerja di sektor tersebut bertambah 1,3 persen per tahun, dari 30,9 persen tahun
1990 menjadi 40,3 persen tahun 1997. Sektor industri juga tumbuh 0,8 persen per tahun dan mencapai
19,1 persen dari angkatan kerja tahun di 1997. Akibat perubahan struktural ini, lapangan kerja sektor formal
melonjak 1,5 persen per tahun selama periode ini (dari 34,7 persen tahun 1990 menjadi 44,9 persen tahun
1997).
Upah
Para pekerja tidak hanya berpindah ke pekerjaan yang lebih formal, tetapi gaji karyawan pun lebih tinggi.
Upah riil rata-rata karyawan, , tumbuh pesat sebesar 7,1 persen per tahun.22 Peningkatan upah tersebut juga
disertai dengan penurunan dramatis dalam ketimpangan upah. Rasio persentil ke-90 terhadap persentil
ke-10 dari upah— ukuran yang kerap dipakai untuk menghitung ketimpangan — turun dari 7,8 menjadi
6,5 karena upah buruh pada desil terbawah tumbuh 50 persen lebih cepat daripada karyawan pada desil
teratas.23
Banyak kemajuan dalam kondisi ketenagakerjaan yang terjadi karena perubahan komposisi angkatan
kerja. Pekerja yang memasuki pasar tenaga kerja semakin tinggi pendidikannya (pangsa pekerja yang telah
tamat Sekolah Menengah Atas meningkat dari 13 menjadi 20 persen) dan tinggal di perkotaan (pangsa
pekerja perkotaan meningkat dari 31 menjadi 39 persen). Empat puluh persen dari kenaikan upah rata-rata
ditimbulkan oleh perubahan karakteristik pekerja, sedangkan 60 persen sisanya disebabkan oleh perubahan
dalam kondisi pasar tenaga kerja yang mereka hadapi. Demikian pula, meningkatnya taraf pendidikan dan
urbanisasi angkatan kerja juga telah menyebabkan turunnya lapangan kerja bidang pertanian sampai 60
persen.24
Yang Diuntungkan dan Dirugikan
Pekerja pedesaan dan buruh kasar memperoleh manfaat terbesar dari perluasan sektor formal. Lapangan
kerja di sektor formal bagi buruh kasar meningkat 1,1 persen per tahun, sementara bagi pekerja yang
22
23
24
Catatan: Upah hanya dicatat untuk karyawan penerima gaji, yang jumlahnya kurang dari sepertiga angkatan kerja.
Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas dan Sakernas.
Perhitungan staf Bank Dunia.
37
memiliki keahlian, jumlah lapangan kerja formal masih tetap sama. Pekerja pedesaan juga menikmati
kenaikan pangsa lapangan kerja formal sebesar 1,2 persen per tahun, sementara pekerja perkotaan hanya
menikmati tingkat kenaikan 0,4 persen.
Pekerja miskin juga diuntungkan karena memperoleh pekerjaan yang lebih baik, seiring pergerakan
cepat mereka dari pekerjaan pertanian ke sektor formal. 25 Karena penghasilan rumah tangga meningkat,
anggota keluarga rumah tangga miskin yang terpaksa bekerja pun berkurang jumlahnya. Konsekuensinya,
perempuan miskin meninggalkan angkatan kerja dengan laju 2 persen per tahun dari 1994 sampai 1997.
Meskipun semakin banyak pekerja miskin dapat memperoleh pekerjaan formal, mereka yang sebelumnya
telah bekerja di sektor formal tidak mendapatkan banyak manfaat. Pekerja miskin di sektor formal tidak
menerima kenaikan upah yang signifikan, sementara upah pekerja tidak miskin tumbuh lebih dari 10 persen
per tahun.
Kotak 1.2:
Sumber data tenaga kerja di Indonesia
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) adalah survei pasar tenaga kerja dan penghasilan nasional yang
dilakukan oleh BPS. Sejak diadakan pertama kalinya tahun 1976, survei tersebut telah mengalami serangkaian
perubahan yang mempengaruhi cakupan, frekuensi pelaksanaan survei, jumlah rumah tangga yang dijadikan
sampel, dan jenis informasi yang dikumpulkan. Sakernas adalah sumber data lapangan kerja terbesar dan paling
mewakili di Indonesia.
Sebuah modul khusus ditambahkan pada tahun 2007 untuk mengajukan pertanyaan mengenai pencarian
kerja, pelatihan, keanggotaan serikat pekerja, pekerja kontrak, dan pembayaran pesangon, demi mendapatkan
pemahaman lebih jelas mengenai penghambat utama dalam penciptaan lapangan kerja.
Tabel 1.2
Periode
Ringkasan Survei Sakernas
Cakupan
Frekuensi
Ukuran survei
Rumah tangga
25
38
Individu
1976
Nasional
Tahunan
95.400
290.000
1977-78
Nasional
Tahunan
71.550
250.000
1986-93
Nasional
Tahunan
65.490
200.000
1994-97
Provinsi
Tahunan
70.000
250.000
1998-2001
Provinsi
Tahunan
40.000
150.000
2002-04
Provinsi
Tahunan
70.000
200.000
2005-06
Provinsi
Enam bulanan (Februari dan Agustus)
68.000
200.000
2007-08
Provinsi
Februari
68.000
220.000
Kabupaten
Agustus
286.000
900.000
Catatan: Data konsumsi rumah tangga tidak dikumpulkan dalam Sakernas. Untuk laporan ini, rumah tangga miskin dan hampir
miskin ditentukan berdasarkan perkiraan konsumsi per kapita. Rumah tangga pada kuintil terbawah perkiraan konsumsi per
kapita dianggap sebagai rumah tangga miskin; yang berada pada kuintil kedua perkiraan konsumsi per kapita dianggap hampir
miskin. Rumah tangga pada kuintil ketiga, keempat, dan kuintil terkaya diklasifikasikan sebagai tidak miskin. Konsumsi per
kapita diperkirakan dalam Susenas dengan menggunakan variabel demografi yang lazim dipakai dalam kedua survei tersebut:
besarnya rumah tangga; pendidikan kepala rumah tangga dan pasangannya; umur, jenis kelamin, dan status pernikahan kepala
rumah tangga, dan; peubah boneka (dummy variable) untuk wilayah pedesaan dan perkotaan di setiap kabupaten. Hasil regresi
kemudian digunakan untuk menyusun perkiraan konsumsi per kapita dalam Susenas. Setiap tahun, regresi yang dipakai sebagai
perkiraan dapat menjelaskan antara 55 dan 65 persen variasi dalam log konsumsi per kapita, sehingga memastikan bahwa
perkiraan konsumsi tersebut dapat menjadi indikator yang berarti mengenai status ekonomi sebuah rumah tangga.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1
Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga (Indonesia Family Life Survey - IFLS) adalah survei rumah tangga
longitudinal yang mengumpulkan informasi terperinci mengenai individu dan rumah tangga, termasuk mengenai
kondisi ketenagakerjaan dan migrasi. Survei telah dilakukan empat kali: 1993, 1997, 2000, dan 2008. Pada tahun
1998, dilakukan sub-survei terhadap seperempat dari rumah tangga yang pernah disurvei untuk mendapat
gambaran mengenai pengaruh krisis ekonomi Indonesia dengan mengumpulkan data mengenai siapa saja yang
terpengaruh krisis dan strategi yang diambil untuk mengurangi dampak krisis.
Survei gelombang pertama mewawancarai kira-kira 7.200 rumah tangga di 13 provinsi dari keseluruhan 27
provinsi, mewakili sekitar 83 persen dari populasi Indonesia. Pada gelombang keempat, jumlah rumah tangga
yang disurvei telah bertambah sampai kira-kira 13.000 seiring upaya survei untuk mewawancarai kembali peserta
survei sebelumnya yang telah membentuk atau bergabung dengan rumah tangga baru. Secara umum, 87,6
persen dari rumah tangga yang ikut serta dalam gelombang pertama dapat diwawancarai kembali dalam ketiga
gelombang survei berikutnya. Tingkat keberhasilan dihubungi kembali ini sama tinggi, atau lebih tinggi, daripada
studi longitudinal di Amerika Serikat atau Eropa, sehingga ikut mendukung kualitas data dengan mengurangi risiko
bias akibat perubahan populasi survei secara takacak (nonrandom attrition).
Laporan Lapangan Kerja Indonesia bergantung pada Sakernas untuk data tenaga kerja manakala mungkin. Namun
dalam beberapa kasus, sumber data yang lebih disukai adalah IFLS. Sebagai contoh, IFLS digunakan sebagai sumber
data utama pada Bab 3 karena, tidak seperti Sakernas yang hanya mengajukan pertanyaan mengenai penghasilan
di sektor formal yang berupa upah atau gaji, IFLS juga mengajukan pertanyaan mengenai penghasilan mereka
yang berwiraswasta. IFLS juga mengumpulkan informasi terperinci mengenai karakteristik responden dan rumah
tangga yang berguna untuk mengontrol karakteristik tersebut dalam analisis regresi.
Tabel 1.3
Gelombang
Ringkasan Survei IFLS
Periode
Ukuran Survei
Survei
Rumah
Tangga
Pelaksana
Tingkat Keberhasilan
Dihubungi/Dihubungi Kembali
Individu
1
Agustus
7.224
1993 – Juni
2004
+30.000
RAND, Lembaga
Demografi
(Universitas
Indonesia).
93% dari rumah tangga terpiliih
dapat dihubungi.
2
Juni –
November
1997
7.619
33.934
94% dari rumah tangga IFLS1
dapat dihubungi kembali.
2+
Akhir 1998
2.066
(25% subsampel di
7 provinsi)
RAND, UCLA,
Lembaga
Demografi
(Universitas
Indonesia).
3
Juni –
November
2000
10.435
43.649
RAND, Pusat
Penelitian
Kependudukan
(UGM).
95,3% dari rumah tangga IFLS1
dapat dihubungi kembali.
4
November
2007 –
April 2008
13.535
44.103
RAND, Pusat Studi
Kependudukan dan
Kebijakan (UGM),
Survei METRE.
93,6% dari rumah tangga IFLS1
dapat dihubungi kembali.
94% dari individu yang tidak ikut
IFLS2; 96% dari responden IFLS2.
Sumber: Rand Corporation, Family Life Surveys (www.rand.org/labor/FLS/IFLS)
39
III. 1997-1999: Jatuh dan Bertahan di Tengah Krisis
Pertumbuhan dan Pengurangan Kemiskinan
Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran luar biasa selama krisis keuangan Asia. Pada tahun 1998, nilai
tukar jatuh sampai empat kali lipat dan PDB riil terpangkas 13 persen. Meskipun PDB naik sedikit pada tahun
1999, kemiskinan bertambah rata-rata 2 persen per tahun antara 1996 sampai 1999, dan mencapai angka
tertingginya pada 23 persen dari populasi Indonesia.
Perubahan Politik dan Kebijakan
Pergerakan buruh sebagai kekuatan politik mulai bangkit kembali di tengah krisis ekonomi dan politik. Hal
ini mencapai puncaknya dengan ratifikasi empat konvensi ILO inti pada periode ini: Konvensi 87 mengenai
Kebebasan Berserikat (diratifikasi tahun 1998), Konvensi 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa (1999),
Konvensi 111 mengenai Diskriminasi (1999), dan Konvensi 138 mengenai Usia Minimum (1999).26 Berbagai
serikat pekerja pun bermunculan di tingkat nasional, regional, dan pabrik pada periode ini.
Lapangan kerja
Tingkat lapangan kerja secara mengejutkan tetap stabil selama krisis. Rasio lapangan kerja hanya turun
0,1 persen per tahun. Lapangan kerja untuk orang dewasa berusia 25 tahun ke atas naik sedikit karena
perempuan dari pedesaan — terutama yang miskin — memasuki kembali angkatan kerja dalam jumlah
besar (lihat Kotak 1.3). Ketersediaan pekerjaan di area pedesaan telah membantu mencegah memburuknya
pengangguran. Pengangguran meningkat 0,8 persen per tahun, dan setengah dari kenaikan ini diakibatkan
oleh melonjaknya pengangguran di kalangan muda, yang meningkat dari 15,5 persen tahun 1997 menjadi
19,8 persen tahun 1999.
Struktur Tenaga Kerja
Pergeseran struktural Indonesia menjauhi sektor pertanian menjadi berbalik karena krisis memaksa pekerja
formal untuk kembali ke sektor pertanian dan informal. Pada tahun 1998, pangsa pekerja di sektor formal
turun drastis, dengan penurunan sampai 3,2 persen per tahun, sebelum akhirnya membaik sedikit pada
tahun 1999 dengan pangsa 43,2 persen. Selama periode yang sama, lapangan kerja di sektor jasa turun
sampai 0,7 persen per tahun. Para pekerja di sektor industri kehilangan pekerjaan mereka pada tingkat yang
hampir sama. Yang berbeda hanya di sektor manufaktur: setelah turun tajam sebesar 1,5 persen pada tahun
1998, pangsa pekerja di sektor manufaktur pulih kembali ke tingkat pra-krisis pada tahun 1999.
Pekerja sektor formal yang kehilangan pekerjaannya terpaksa kembali ke pertanian sehingga pangsa
lapangan kerja pertanian naik 1,3 persen per tahun antara 1997 dan 1999. Pekerja tidak miskin, dan laki-laki
muda usia serta berpendidikan lebih rendah, adalah kelompok yang memiliki kemungkinan terbesar untuk
pindah ke pekerjaan pertanian.
26
40
Pada tahun 2000, konvensi inti terakhir ILO – No. 182 mengenai Bentuk Terburuk dari Buruh Anak – diratifikasi oleh Indonesia.
Dengan demikian, Indonesia menjadi negara pertama di Asia yang telah meratifikasi seluruh konvensi inti ILO yang jumlahnya
delapan. (ILO, 2004).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1
Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
Kotak 1.3
Para pekerja bertahan menghadapi krisis ekonomi
Sampai dengan April 1998, 2 juta pekerja telah kehilangan pekerjaan mereka karena krisis ekonomi. Saat itu
diperkirakan bahwa masih ada 4-6 juta pekerja lagi yang akan kehilangan pekerjaannya sebelum akhir tahun.29
Ternyata perkiraan ini terlalu pesimis karena rasio lapangan kerja masih relatif stabil. Turunnya penghasilan keluarga
pun tidak seekstrim yang diperkirakan. Meskipun upah sektor formal turun drastis sampai 60 persen di area
pedesaan dan 55 persen di area perkotaan, rata-rata penghasilan rumah tangga termasuk produksi sendiri (home
production) turun 21 persen dan 43 persen, masing-masing di area pedesaan dan perkotaan — penurunan yang
serius, namun tidak separah krisis upah.
Mengapa tingkat lapangan kerja tetap stabil selama krisis ekonomi dan hal apakah yang mencegah penghasilan
rumah tangga turun lebih dalam lagi?
Meskipun banyak pekerja kehilangan pekerjaannya selama krisis, banyak pula orang yang memasuki lapangan
kerja dalam bentuk baru. Lebih dari 3 pekerja di antara 10 pekerja laki-laki, dan hampir 4 pekerja di antara 10
pekerja perempuan, berganti sektor antara tahun 1997 dan 1998. Sebagian besar dari pekerja tersebut diserap
oleh pertanian. Para petani pemilik lahan tertolong oleh kenaikan relatif harga beras dan hasil panen untuk ekspor
lainnya sehingga penghasilan riil rata-rata mereka hanya turun sedikit.
Laki-laki mulai banyak yang berwiraswasta dan, dalam taraf yang lebih kecil, bekerja di lahan pertanian milik keluarga.
Namun, perubahan terbesar terjadi pada lapangan kerja perempuan. Baik di area perkotaan maupun pedesaan,
terjadi kenaikan besar dalam pangsa tenaga kerja perempuan yang memasuki angkatan kerja sebagai pekerja
tak dibayar dalam usaha dan pertanian milik keluarga (3,8 persen), atau sebagai wiraswasta (3,9 persen). Karena
perempuan yang berpendidikan lebih tinggi kebanyakan bekerja di sektor formal dan mengalami penurunan
lapangan kerja sebanyak 4,2 persen, naiknya lapangan kerja perempuan ini didorong oleh para perempuan yang
berpendidikan lebih rendah. Keikutsertaan perempuan miskin dalam angkatan kerja melonjak dari 52 menjadi 59
persen antara tahun 1997 dan 1999. Mereka memainkan peran kunci dalam menambah penghasilan keluarga
supaya tidak tergerus lebih jauh oleh penurunan gaji.
Yang terakhir, para anggota keluarga saling membantu untuk meringankan dampak krisis. Ukuran rumah tangga
rata-rata meningkat 5 persen, menandakan bahwa anggota keluarga memutuskan untuk tinggal bersama supaya
dapat memanfaatkan skala keekonomian dan meningkatkan penghasilan rumah tangga.
Sumber: Smith et al, 2000; Thomas et al, 2000.
27
Upah
Dampak krisis terbesar yang dirasakan para pekerja adalah anjloknya upah riil. Upah riil rata-rata terpangkas
sampai 31 persen antara tahun 1997 dan 1999. Namun demikian, penurunan upah di kalangan para pekerja
di pedesaan dan yang berusaha sendiri sedikit lebih baik. Kelompok ini lebih terlindung dari penurunan
upah karena devaluasi rupiah yang dramatis telah meningkatkan nilai ekspor pertanian dan kekeringan
yang terjadi saat itu telah menaikkan harga beras. Kondisi ini relatif menguntungkan para penghasil dan
eksportir beras, yang cenderung merupakan pekerja pedesaan hampir miskin dan petani pemilik lahan.
Yang Diuntungkan dan Dirugikan
Tidak ada yang diuntungkan selama krisis. Semua jenis pekerja merasakan akibat dari anjloknya upah,
berkurangnya kesempatan bekerja di sektor formal, dan turunnya lapangan kerja sektor industri dan jasa.
Pekerja perempuan miskin mengalami kenaikan lapangan kerja yang besar — mencapai 3,5 persen per
tahun — tetapi hal ini terjadi karena mereka terpaksa mencari tambahan demi menambal penghasilan
rumah tangga yang menurun. Pekerja miskin dan hampir miskin juga tak lepas dari pengaruh krisis. Meskipun
27
Bank Dunia, 1998.
41
demikian, upah riil mereka turun lebih sedikit daripada kelompok yang lain (masing-masing -10,8 dan -9,4
persen untuk kelompok miskin dan hampir miskin, dibandingkan -11,9 persen untuk kelompok tidak miskin)
karena kelompok miskin dan hampir miskin mencakup juga pekerja pedesaan yang memiliki lahan sendiri
sehingga penurunan upah dapat tertolong oleh kenaikan harga beras.
IV. 1999-2003: Pertumbuhan Ekonomi tanpa
Peningkatan Lapangan Kerja (Jobless Growth)
Pertumbuhan dan Pengurangan Kemiskinan
Setelah peralihan menuju demokrasi yang penuh gejolak, ekonomi Indonesia pulih dengan cukup baik.
Pertumbuhan PDB tahunan kembali terjadi tahun 2000 dengan rata-rata sebesar 4,7 persen antara 1999 dan
2003. Kemiskinan turun dengan cepat sebesar 1,5 persen per tahun seiring pulihnya rumah tangga dari
tekanan krisis.
Perubahan Politik dan Kebijakan
Bersamaan dengan peralihan menuju demokrasi, terjadi pula pembaruan legislatif, termasuk pemberlakuan
dua undang-undang penting: Undang-Undang Serikat Pekerja (No. 21/2000) dan Undang-Undang
Ketenagakerjaan (No. 13/2003). Undang-Undang Ketenagakerjaan merupakan perubahan besar dalam
kebijakan tenaga kerja karena menjabarkan perlindungan dan hak pekerja dengan lengkap, serta memberikan
pedoman mengenai perjanjian kerja bersama. Beberapa aspek dari Undang-Undang Ketenagakerjaan ini
menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha, terutama pasal-pasal mengenai pesangon, kontrak
jangka waktu tetap, dan pengalihdayaan (outsourcing). Bersamaan dengan kenaikan upah minimum yang
sangat cepat saat itu, berbagai aturan tersebut dipandang semakin meningkatkan biaya tenaga kerja,
terutama di sektor manufaktur yang sedang mengalami kesulitan.
Lapangan kerja
Pemulihan ekonomi tidak disertai dengan penciptaan lapangan kerja. Pangsa pekerja yang memiliki
pekerjaan turun sebesar 0,4 persen per tahun, dari 62,9 persen tahun 1999 menjadi 61,3 persen tahun 2003.
Turunnya lapangan kerja ini seluruhnya disebabkan oleh turunnya keikutsertaan dalam angkatan kerja; di
sisi lain, pengangguran turun sedikit, yaitu 0,2 persen. Turunnya keikutsertaan dalam angkatan kerja antara
tahun 2001 dan 2003 disebabkan oleh naiknya jumlah pekerja patah semangat.
Perempuan, terutama perempuan miskin, keluar dari angkatan kerja dalam jumlah besar seiring ekonomi yang
mulai membaik. Keikutsertaan dalam angkatan kerja turun 1 persen per tahun untuk perempuan, sementara
untuk laki-laki, secara umum masih konstan.28 Keluarnya perempuan dari angkatan kerja tampaknya terjadi
secara sukarela karena tren dalam indikator pengangguran inti dan pekerja patah semangat tampak serupa
bagi laki-laki maupun perempuan. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek pemulihan: perempuan yang
membantu menambah pemasukan saat krisis dapat keluar lagi dari angkatan kerja karena peningkatan
upah yang besar telah mengangkat taraf penghasilan rumah tangga.
28
42
Keikutsertaan dalam angkatan kerja didasarkan pada definisi pengangguran pra-2001 yang tidak memperhitungkan para
pekerja patah semangat dalam angkatan kerja.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1
Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
Gambar 1.2
Pangsa lapangan kerja non-pertanian vs. upah
karyawan rata-rata
Struktur Tenaga Kerja
Semakin banyak pekerja yang
terpaksa
memasuki
sektor
58
pertanian.
Lapangan
kerja
di
sektor
4.000
jasa — yang menjadi penggerak
56
ekspansi pra-krisis — mengalami
3.000
kontraksi 0,8 persen per tahun.
54
Lapangan kerja pertanian juga
Pangsa lapangan kerja non-tani
meningkat sebesar 0,8 persen,
2.000
52
laju yang lebih rendah daripada
Upah Karyawan Median
yang terjadi selama krisis. Sampai
50
1.000
dengan tahun 2003, 46,4 persen
1999
2000
2001
2002
2003
angkatan kerja bekerja di pertanian,
Sumber: Sakernas
angka yang setara dengan kondisi
tahun 1994. Tetapi, para pekerja
memasuki sektor pertanian bukan
karena gaji dan keuntungan yang lebih tinggi. Meskipun karyawan di sektor industri dan jasa menikmati
kenaikan upah yang besar, upah dan keuntungan bagi karyawan sektor pertanian tumbuh pada tingkat
yang konstan selama periode ini (Gambar 1.2). Kondisi ini mengisyaratkan bahwa para pekerja mengambil
pekerjaan pertanian bukan karena tertarik, tetapi karena terpaksa.
5.000
Persen
Rp/jam
60
Lapangan kerja formal sedikit menurun, rata-rata sebesar 0,3 persen per tahun, dari 43,2 persen tahun 1999
menjadi 42 persen tahun 2003.29 Penurunan ini akan lebih parah lagi jika saja tidak diimbangi dengan
masuknya pekerja perkotaan yang berpendidikan lebih tinggi ke dalam angkatan kerja. Jika karakteristik
pekerja tetap konstan, maka lapangan kerja formal akan turun sampai 0,7 persen per tahun. Penurunan
lapangan kerja formal ini kemungkinan besar disebabkan oleh pengurangan signifikan di sektor publik yang
terutama memangkas pekerjaan pegawai negeri sipil dengan keahlian rendah. Akibatnya, pangsa lapangan
kerja di sektor publik turun 0,5 persen per tahun, angka yang cukup besar untuk menjelaskan penurunan
lapangan kerja formal selama periode ini.
Upah
Upah riil untuk karyawan penerima gaji meningkat pesat. Karyawan merasakan kenaikan upah riil rata-rata
sebesar hampir 9 persen per tahun yang lebih besar daripada kenaikan 7 persen per tahun pada periode
pra-krisis. Kenaikan ini terjadi secara seragam di seluruh distribusi upah karena ketimpangan upah hanya
naik sedikit di antara pekerja penerima gaji.30 Perubahan karakteristik pekerja memainkan peran penting,
meskipun tidak dominan, dalam kenaikan upah; sekitar 25 persen dari kenaikan upah rata-rata dapat
dijelaskan melalui perubahan karakteristik pekerja menjadi lebih ahli dan tinggal di perkotaan.
Semua pekerja yang masih dipekerjakan sebagai karyawan penerima gaji mendapat manfaat dari besarnya
kenaikan upah, meskipun pekerja berupah tinggi memperoleh kenaikan yang sedikit lebih besar. Kenaikan
upah yang merata ini, dikombinasikan dengan transfer informal di antara keluarga dan masyarakat untuk
berbagi risiko, menjadi penjelasan sebagian mengapa kemiskinan terus menurun drastis.
29
30
Pada tahun 2001, Sakernas memperkenalkan dua kategori baru dalam status pekerjaan: pekerja lepas pertanian dan pekerja lepas
non-pertanian. Sebelum tahun 2001, pekerja lepas di bidang pertanian dan pekerja lepas di industri konstruksi diklasifikasikan
sebagai pekerja yang dipekerjakan dan menerima gaji sehingga termasuk dalam sektor formal. Supaya konsisten, kami
mempertahankan definisi lama ini saat membahas perubahan upah dan sektor formal antara 1999 dan 2003.
Lihat Bab 5 untuk diskusi mengenai mengapa kenaikan upah minimum tidak hanya berpengaruh bagi pekerja berupah rendah,
tetapi juga bagi seluruh distribusi upah.
43
Gambar 1.3
Tingkat pertumbuhan pangsa lapangan kerja nonpertanian (persen), 1993-2004
Yang Diuntungkan dan
Dirugikan
3
Semua pekerja penerima gaji
menerima manfaat dari besarnya
2
kenaikan
upah;
karyawan
1,54
perkotaan
dan
yang
lebih
1,12
berkecukupan
memperoleh
0,81
1
kenaikan terbesar. Kenaikan upah
0,30
0,24
mencapai rata-rata 9,3 persen per
tahun untuk karyawan tidak miskin
0
dan hanya 6 persen per tahun
untuk karyawan miskin dan hampir
miskin. Namun, pekerja semakin
sulit mendapatkan pekerjaan yang
layak. Berkurangnya pekerjaan
Lokasi
Kekayaan
Pendidikan
formal terjadi paling besar di
Sumber: Sakernas
kalangan pekerja pedesaan, tanpa
keahlian, dan miskin. Yang paling
mencolok adalah meningkatnya pekerjaan pertanian di kalangan para pekerja yang kurang beruntung
ini. Di antara para pekerja miskin, pangsa lapangan kerja di pertanian meningkat pesat, sementara pangsa
lapangan kerja di sektor industri anjlok. Hal serupa juga terjadi pada pekerja pedesaan dan tanpa keahlian
yang semakin terdesak keluar dari industri ke pertanian. Di sisi lain, kebanyakan pekerja tidak miskin aman
dari desakan kembali ke pertanian. Bagi kalangan ini, pekerjaan pertanian hanya meningkat sedikit,
sedangkan pekerjaan di sektor industri meningkat dua setengah kali.
Berpendidikan
lebih tinggi
Berpendidikan
lebih rendah
Tidak miskin
Miskin
Pedesaan
Perkotaan
2,21
V. 2003-2007: Pemulihan Lapangan Kerja
Pertumbuhan dan Pengurangan Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi terus melaju. Pertumbuhan PDB tahunan masih cukup kuat dengan rata-rata 6,3
persen antara 2003 dan 2007, meskipun masih di bawah tingkat pertumbuhan pra-krisis. Tingkat kemiskinan
naik dari 16 menjadi 17,8 persen pada tahun 2006, terutama akibat kenaikan harga beras, sebelum turun
kembali tahun 2007.
Perubahan Politik dan Kebijakan
Tiga undang-undang ketenagakerjaan yang penting disahkan selama periode ini, yaitu: Undang-Undang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 2/2004, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional
40/2004, dan Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri 39/2004.
Dua hukum yang pertama menambah kekhawatiran investor mengenai naiknya biaya mempekerjakan dan
memecat karyawan. Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memperkenalkan
pengadilan hubungan industrial di semua provinsi sebagai mekanisme baru untuk menyelesaikan
perselisihan tenaga kerja. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional 40/2004 memandatkan
disatukannya skema asuransi sosial yang ada saat itu di bawah lembaga jaminan sosial nasional yang
baru, yaitu Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Selain itu, undang-undang tersebut juga bertujuan
memperluas asuransi sosial yang bersifat wajib termasuk untuk pekerja sektor informal. Namun, undangundang tersebut tidak menjelaskan dengan spesifik mengenai aspek tata kelola dan pembiayaan sistem
44
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1
Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
baru sehingga menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan fiskal dan potensi biaya tambahan bagi
perusahaan untuk mempekerjakan karyawan.
Keprihatinan mengenai penciptaan lapangan kerja formal yang berjalan lambat, terutama di manufaktur –
yang disuarakan oleh sektor swasta dan terlihat dalam survei iklim investasi – mendorong pemerintah untuk
mengutamakan reformasi hukum ketenagakerjaan dalam agenda politiknya. Pada awal 2006, pemerintah
mengedarkan daftar proposal untuk merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan fokus pada masalah
pesangon, kontrak jangka waktu tetap, upah minimum, dan outsourcing. Tetapi berbagai serikat pekerja
menentang perubahan ini dan mengadakan demonstrasi skala besar selama bulan April-Mei 2006 sehingga
pemerintah terpaksa menghentikan upaya reformasi tersebut.
Lapangan kerja
Meskipun terdapat tanda-tanda positif, lapangan kerja secara keseluruhan stagnan selama periode ini.
Rasio lapangan kerja turun 0,1 persen per tahun. Tingkat pengangguran inti tidak berubah, sementara
semakin tersedianya pekerjaan formal menyebabkan turunnya jumlah pekerja patah semangat. Kontras
dengan periode sebelumnya, lapangan kerja berkurang untuk laki-laki dan bertambah untuk perempuan.
Berkurangnya lapangan kerja terjadi paling besar bagi laki-laki pedesaan dan bertambahnya lapangan kerja
terjadi paling besar bagi perempuan perkotaan. Hal ini mencerminkan fakta bahwa perempuan memasuki
kembali angkatan kerja sebagai tanggapan atas semakin banyaknya kesempatan kerja di luar pertanian dan
mungkin pula karena turunnya penghasilan rumah tangga akibat upah yang lebih rendah.
Pengangguran Terbuka (persentase pekerja yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu dan bersedia
menerima pekerjaan lain jika ada tawaran) yang angkanya relatif konstan pada periode sebelumnya,
meningkat dari 14,6 persen menjadi 17,4 persen. Angka ini meningkat bukan karena semakin banyak pekerja
yang bekerja kurang dari 35 jam, melainkan karena semakin banyak pekerja yang memang sudah tergolong
menganggur terbuka bersedia menambah lagi dengan pekerjaan lain. Hal ini mungkin dapat dijelaskan oleh
meningkatnya kesempatan kerja di sektor formal bersamaan dengan mandeknya pertumbuhan upah.
Struktur Tenaga Kerja
Meskipun lapangan kerja secara keseluruhan tidak meningkat, kualitas pekerjaan mengalami kemajuan dan
telah pulih ke tingkat pra-krisis. Lapangan kerja di sektor pertanian turun tajam. Para pekerja meninggalkan
pertanian rata-rata 1,3 persen per tahun selama periode ini dan lapangan kerja pertanian turun sampai 41,2
persen tahun 2007, tingkat terendah sejak 1997. Perbaikan lapangan kerja non-pertanian ini tidak banyak
berhubungan — kaitannya hanya kurang dari sepertiga — dengan terus meningkatnya taraf pendidikan
para pekerja.
Lapangan kerja formal dan non-pertanian bertambah dengan cepat selama periode ini. Lapangan kerja
formal tumbuh sebesar 1,2 persen per tahun — hanya sedikit lebih rendah daripada tingkat pertumbuhan
pra-krisis yang mencapai 1,5 persen per tahun. Dengan menggunakan definisi baru yang lebih akurat
pun lapangan kerja formal masih tumbuh cukup kuat sebesar 0,8 persen per tahun.31 Tetapi, peningkatan
lapangan kerja formal ini belum menyentuh pekerjaan yang kualitasnya paling rendah. Persentase pekerja
yang merupakan pekerja lepas harian justru meningkat, dari 8,5 persen tahun 2003 menjadi 10,4 persen
tahun 2007.
31
Hal ini merujuk pada tingkat pertumbuhan dengan menggunakan definisi resmi yang baru, yang mengklasifikasikan dengan
tepat pekerja lepas di pertanian dan konstruksi sebagai informal.
45
Upah
Untuk pertama kalinya sejak krisis, terjadi penurunan upah riil rata-rata. Upah karyawan selama periode ini
turun 14,2 persen — rata-rata sebesar 3,8 persen per tahun. Penurunan upah ini seluruhnya dapat dijelaskan
dengan anjloknya upah sejak Agustus 2004 sampai November 2005, ketika upah rata-rata turun sampai 14
persen.32 Semua jenis pekerja mengalami penurunan upah riil yang tajam pada tahun 2005, tetapi pekerja
berupah tinggi telah pulih sepenuhnya sejak 2007. Upah di persentil ke-90 tumbuh sedikit antara tahun 2003
dan 2007, sedangkan upah di persentil ke-10 dan ke-50 turun lebih dari 3,5 persen per tahun, kemungkinan
karena masuknya pekerja berpendidikan lebih rendah.
Yang Diuntungkan dan Dirugikan
Pekerja pedesaan dan berpendidikan lebih rendah memiliki kemungkinan tertinggi untuk meninggalkan
lapangan kerja pertanian dan mengambil pekerjaan di sektor formal. Lapangan kerja sektor formal meningkat
sampai 1,3 persen per tahun di area pedesaan dibandingkan dengan peningkatan di area perkotaan yang
hanya 0,2 persen.33 Pekerja yang berpendidikan lebih rendah juga mengalami kenaikan serupa. Mereka
menikmati kenaikan lapangan kerja formal hampir 1 persen per tahun, sementara lapangan kerja formal
bagi pekerja yang berpendidikan lebih tinggi malah turun sedikit.
Gambar 1.4
Tingkat pertumbuhan pangsa lapangan kerja
formal (persen), 2004-2007
Meskipun pekerja miskin juga
meninggalkan pertanian, mereka
2.49
kurang berhasil dalam memasuki
sektor formal. Lapangan kerja
2
pertanian di antara kalangan
1.11
miskin melaju turun dengan cepat
0.88
0.87
1
0.68
0.63
— hampir 4 persen per tahun —
dari angka 69 persen pada tahun
0
2003 menjadi 58 persen tahun
2006. Angka ini kontras dengan
lapangan kerja pertanian bagi
kalangan hampir miskin yang
hanya turun 1,3 persen per tahun
dan konstan bagi kalangan tidak
Sumber: Sakernas
miskin. Namun demikian, dari
antara kalangan miskin yang
meninggalkan pertanian, hanya
sebagian kecil yang memperoleh pekerjaan di sektor formal. Walaupun mereka berbondong-bondong
meninggalkan pertanian, lapangan kerja sektor formal bagi kalangan miskin hanya naik 0,8 persen dan
konstan bagi kalangan hampir miskin.34 Hal ini menandakan bahwa, tidak seperti pada masa pra-krisis,
pekerja miskin dan hampir miskin cenderung keluar dari pekerjaan pertanian untuk mengambil pekerjaan
informal.
32
33
34
46
Berpendidikan
lebih tinggi
Berpendidikan
lebih rendah
Tidak miskin
Miskin
Pedesaan
Perkotaan
3
Akibat kenaikan tajam harga bahan bakar tahun 2005, Sakernas ditunda sampai bulan November tahun itu. Karena itu, tidak
mungkin untuk membedakan dengan akurat antara pengaruh pengumpulan data pada bulan yang berbeda dan tren yang
memang terjadi saat membandingkan tahun 2005 dengan 2004 atau 2006.
Ini adalah definisi baru yang lebih benar karena tidak memperhitungkan pekerja lepas di pertanian dan konstruksi.
Berdasarkan definisi baru mengenai lapangan kerja sektor formal.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 1
Tren Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
VI. 2007-08: Tanda-tanda optimisme
Lapangan kerja
Antara bulan Februari 2007 dan Februari 2008, rasio lapangan kerja meningkat 1,7 persen untuk perempuan
dan hanya meningkat sedikit untuk laki-laki. Peningkatan lapangan kerja ini berasal dari penurunan tajam
persentase perempuan yang masuk kategori pekerja patah semangat, dan juga kenaikan jumlah perempuan
yang memasuki angkatan kerja.
Struktur Tenaga Kerja
Kualitas pekerjaan juga terus membaik. Tingkat lapangan kerja formal masih terus tumbuh dengan kuat
selepas periode 2003-07 dan mengalami kenaikan satu persen antara 2007 dan 2008. Laki-laki pedesaan
mendapatkan manfaat terbesar dari meningkatnya kualitas pekerjaan. Tingkat lapangan kerja formal
melonjak 1,6 persen untuk laki-laki, dibandingkan hanya 0,7 persen untuk perempuan. Hal ini dipicu oleh
kenaikan besar di area pedesaan. Keadaan ini terjadi bersamaan dengan semakin banyaknya pekerja yang
meninggalkan pertanian sehingga persentase lapangan kerja pertanian turun hampir 2 persen antara 2007
dan 2008.
Upah
Membaiknya lapangan kerja ini terjadi di tengah peningkatan kecil upah rata-rata. Peningkatan upah ini
terpusat pada bagian atas distribusi upah; upah meningkat 7 persen bagi mereka yang berpenghasilan
paling besar di persentil ke-90, sementara upah turun 5 persen bagi mereka yang berpenghasilan paling
kecil di persentil ke-10. Meskipun upah rata-rata bagi perempuan meningkat 5 persen, kenaikan upah ini
terjadi paling besar bagi perempuan berpendidikan lebih tinggi dan tinggal di perkotaan.
VII. Kesimpulan
Indonesia belum menciptakan sejumlah memadai pekerjaan yang layak agar para pekerja dapat
merasakan sepenuhnya manfaat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Tenaga adalah satu dari sedikit
sumber daya produktif yang dimiliki kalangan miskin. Jika mereka memperoleh pekerjaan yang baik, mereka
akan berkesempatan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk keluar dari kemiskinan. Sayangnya,
Indonesia mengalami pertumbuhan tanpa penciptaan pekerjaan yang signifikan dari tahun 1999 sampai
2003, hal yang turut berkontribusi terhadap keadaan saat ini, yaitu dari 104,5 juta populasi Indonesia yang
bekerja, mayoritas masih bekerja di sektor informal dan pertanian.1 Meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan, penurunan kemiskinan berlangsung lebih lambat daripada yang diharapkan, sebagian karena
kurangnya peluang bagi pekerja miskin untuk pindah ke pekerjaan formal dan non-pertanian yang “lebih
baik”.
Sepanjang sepuluh tahun terakhir, para pembuat kebijakan di Indonesia terpaksa harus mengambil
pilihan sulit antara meningkatkan upah dan memperbanyak pekerjaan yang baik. Sebelum terjadinya
krisis keuangan, pasar tenaga kerja Indonesia menyediakan lebih banyak pekerjaan dengan upah lebih
tinggi bagi pekerja. Kualitas pekerjaan meningkat seiring semakin banyaknya pekerja yang meninggalkan
pertanian untuk mengambil pekerjaan formal dan non-pertanian. Selepas krisis, tren pasar tenaga kerja
bergantian antara peningkatan upah dan pertambahan pekerjaan. Para pembuat kebijakan terpaksa
47
mengambil pilihan sulit. Selama periode 1999-2003, upah meningkat tetapi sektor formal mengalami
kontraksi sehingga memaksa semakin banyak pekerja untuk kembali ke pekerjaan pertanian. Kemudian,
selama 2003-07, lapangan kerja formal dan non-pertanian bertambah, namun upah tidak lagi meningkat.
Sejak terjadinya krisis, kualitas pekerjaan menjadi sangat sensitif terhadap perubahan upah, terutama bagi
pekerja miskin yang paling terkena dampak perubahan tersebut.
Mengapa pasar tenaga kerja Indonesia tidak mampu menciptakan lebih banyak pekerjaan berkualitas
dan meningkatkan upah secara bersamaan? Sejauh ini, kinerja Indonesia masih mengecewakan dalam
menciptakan pekerjaan berkualitas sesudah pulih dari krisis keuangan Asia 1997. Bab berikutnya akan
mengkaji perubahan hakikat pertumbuhan ekonomi Indonesia, bagaimana perubahan tersebut telah
mempengaruhi penciptaan lapangan kerja, dan apakah perubahan tersebut hanya terjadi di Indonesia atau
merupakan karakteristik tren di kawasan asia timur yang lebih luas.
48
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2
Pertumbuhan Ekonomi Tanpa
Peningkatan Lapangan Kerja
di Indonesia
Belajar dari Masa Lampau untuk
Mempromosikan Pertumbuhan melalui
Lapangan Kerja
49
Bab 2 Ringkasan
Sebelum krisis 1997, Indonesia mampu mengalihkan pekerjanya ke pekerjaan non-pertanian dengan laju lebih
cepat daripada negara tetangga. Tetapi, krisis keuangan 1997-1998 menghantam Indonesia lebih berat daripada
negara lain dan memaksa banyak pekerja untuk kembali ke sektor pertanian. Sementara negara lain telah pulih
selama 1999-2003, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi tanpa
peningkatan lapangan kerja atau dikenal juga dengan istilah jobless growth. Sejak 2003, pertumbuhan lapangan
kerja non-pertanian di Indonesia telah pulih, namun masih tertinggal jauh dari Cina dan Vietnam yang tumbuh
pesat.
Indonesia adalah satu-satunya negara di kawasannya yang mengalami jobless growth selama periode pemulihan
pasca krisis keuangan yang mendesak para pekerja terdesak kembali ke sektor pertanian. Dua per tiga dari penyebab
lambatnya penciptaan pekerjaan non-pertanian adalah sektor jasa yang gagal menciptakan pekerjaan antara
tahun 1999 sampai 2003, padahal pertumbuhan ekonomi cukup kuat. Indonesia menjadi satu-satunya negara
di kawasannya yang pertumbuhan sektor jasanya tidak lagi padat karya sehingga kurang berhasil menciptakan
pekerjaan. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh kenaikan upah yang sangat cepat sehingga mengurangi
elastisitas sektor jasa, mirip dengan apa yang terjadi di Cina, tetapi jauh lebih terasa di Indonesia.
Meskipun telah mengalami pemulihan yang mengagumkan, pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di
Indonesia masih belum kembali ke taraf seperti periode tahun 1990-97. Hal ini terutama disebabkan oleh sektor
jasa – terlebih di bidang jasa perdagangan – yang tidak lagi sepadat karya dahulu sehingga hanya mampu
menciptakan lebih sedikit pekerjaan. Keadaaan ini bukanlah sesuatu yang hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga
dialami negara tetangga lainnya.
I.
Pendahuluan
Mengapa Indonesia mengalami ‘jobless growth’ setelah krisis keuangan 1997 dan mengapa
pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian belum benar-benar pulih? Penciptaan pekerjaan
non-pertanian adalah salah satu indikator utama pasar tenaga kerja yang sehat.35 Tetapi, laju penciptaan
pekerjaan non-pertanian di Indonesia masih terus menurun selama periode pemulihan 1999-2003 meskipun
pertumbuhan ekonomi cukup baik, sehingga menciptakan keadaan ‘jobless growth’ (Kotak 2.1). Sejak 2003,
Indonesia telah pulih dari jobless growth, tetapi lapangan kerja non-pertanian belum sepenuhnya pulih
ke taraf tahun 90-an. Dengan memahami faktor penghambat yang menyebabkan jobless growth setelah
krisis 1997 dan menyulitkan penciptaan lapangan kerja non-pertanian sejak saat itu, maka kita akan dapat
mengidentifikasi kebijakan tenaga kerja mana saja yang akan menunjang penciptaan lebih banyak pekerjaan
berkualitas.
Bab 2 ditujukan untuk memahami berbagai faktor penyebab melambatnya pertumbuhan lapangan
kerja non-pertanian di Indonesia. Bab ini terdiri atas empat bagian:
Bagian pertama membandingkan kinerja pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di
Indonesia dengan lima negara tetangga di Asia Timur – Cina, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam –
untuk mengetahui apakah perlambatan pertumbuhan lapangan kerja adalah fenomena regional atau
hanya dialami oleh Indonesia.
Bagian kedua mengkaji berbagai kemungkinan yang menyebabkan lemahnya penciptaan lapangan
kerja non-pertanian di Indonesia sejak 1999 sampai 2003.
Bagian ketiga menyelidiki mengapa penciptaan lapangan kerja non-pertanian sejak tahun 2003 tidak
mampu pulih kembali ke taraf sebelum krisis keuangan.
Bagian keempat dan terakhir memaparkan kesimpulan bab ini.
35
50
Sektor non-tani merujuk pada sektor industri maupun jasa. Masing-masing sektor tersebut selanjutnya dibagi lagi menjadi
beberapa subsektor yang mencakup berbagai pekerjaan non-tani seperti:
Industri: pertambangan dan penggalian; industri (manufaktur); kelistrikan, gas dan air; konstruksi.
Jasa: perdagangan, rumah makan dan perhotelan; transportasi, pergudangan, dan komunikasi; lembaga keuangan, real estat,
usaha penyewaan dan jasa perusahaan; jasa masyarakat, sosial, dan individual.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2
Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia
Kotak 2.1
Apa yang dimaksud dengan ‘jobless growth’?
Jobless growth, sesuai definisi dalam Laporan ini, merujuk pada pertumbuhan ekonomi yang gagal
menciptakan lapangan kerja non-pertanian. Lapangan kerja non-pertanian biasanya meningkat seiring
pertumbuhan ekonomi. Tingkat lapangan kerja non-pertanian yang lebih tinggi berkaitan positif dengan
pertumbuhan PDB, baik di Indonesia (Gambar 2.1) maupun di tingkat kawasan (Gambar 2.2). Tetapi dalam
kasus tertentu, pertumbuhan bisa saja gagal menciptakan pekerjaan dengan upah lebih tinggi, yang umumnya
merupakan pekerjaan di sektor non-pertanian. Hal ini terlihat dari menurunnya elastisitas lapangan kerja nonpertanian (persentase perubahan lapangan kerja non-pertanian yang berkaitan dengan satu persen perubahan
pertumbuhan PDB) – sebuah ciri dari jobless growth.
Gambar 2.1
Pertumbuhan PDB dan Perubahan Gambar 2.2
Lapangan Kerja Non-Tani
Pertumbuhan PDB dan Perubahan
Lapangan Kerja Non-Tani
Negara: Indonesia
4
Perubahan Lapangan Kerja
(persentase)
Perubahan Lapangan Kerja
(persentase)
4
2
0
-2
2
0
-2
-4
-4
-2
0
2
4
6
8
Pertumbuhan PDB
10
12
-2
14
0
2
4
6
8
10
Pertumbuhan PDB
12
14
Mendefinisikan jobless growth berdasarkan lapangan kerja non-pertanian lebih disukai daripada definisi
berdasarkan lapangan kerja keseluruhan. Meskipun jobless growth adalah istilah yang sering dipakai, istilah ini
jarang didefinisikan dengan jelas. Biasanya istilah ini merujuk pada pertumbuhan ekonomi yang gagal menambah
jumlah pekerjaan secara keseluruhan atau persentase orang dewasa yang bekerja. Hal ini menimbulkan masalah
karena pertumbuhan ekonomi sering memungkinkan pekerja untuk meninggalkan pekerjaan berkualitas rendah
dan keluar dari angkatan kerja. Sebagai contoh, selama periode pertumbuhan pesat dari 1990 sampai 1997, rasio
lapangan kerja di Indonesia justru menurun 0,2 persen per tahun karena perempuan di pedesaan sudah cukup
mampu meninggalkan pekerjaan berkualitas rendah dan keluar dari angkatan kerja. Berfokus pada lapangan kerja
keseluruhan akan menghasilkan kesimpulan yang salah bahwa keadaan tersebut adalah jobless growth, padahal
banyak pekerjaan non-pertanian yang diciptakan pada periode tersebut.
Pertumbuhan sering kali gagal meningkatkan lapangan kerja keseluruhan. Hubungan antara pertumbuhan PDB dan
perubahan rasio lapangan kerja dari 1990 sampai 2006 (kecuali pada tahun utama krisis, 1998) terbilang lemah dan
tidak konsisten, baik di Indonesia (Gambar 2.3) maupun di negara sekawasan yang menjadi pembanding (Gambar
2.4). Pertumbuhan ekonomi yang pesat antara 8 sampai 10 persen justru sering terkait dengan pertumbuhan
lapangan kerja keseluruhan yang kecil atau malah stagnan. Karena alasan inilah, Laporan Lapangan Kerja Indonesia
berfokus pada ketidakmampuan menciptakan pekerjaan yang relatif lebih baik, yaitu di sektor non-pertanian.
Gambar 2.3
Pertumbuhan PDB dan
Perubahan Lapangan Kerja
Gambar 2.4
Negara: Indonesia
Pertumbuhan PDB dan Perubahan
Lapangan Kerja
4
Perubahan Lapangan Kerja
(Persentase)
Perubahan Lapangan Kerja
(Persentase)
4
2
0
-2
-4
2
0
-2
-4
-2
0
2
4
6
8
10
Pertumbuhan PDB
12
14
-2
0
2
4
6
8
10
Pertumbuhan PDB
12
14
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dari Neraca Nasional, Sakernas, CEIC
51
II. Pertumbuhan ekonomi dan penciptaan pekerjaan:
Membandingkan Indonesia dengan tetangganya
di Asia Timur
Gambar 2.5
Pangsa pekerjaan non-pertanian, menurut negara
(1990-2004))
90
Lapangan kerja di sektor industri dan jasa (persen)
80
Indonesia
Cina
Malaysia
Filipina
Thailand
Vietnam
70
Masa pemulihan
pascakrisis
(1999-2003)
60
50
40
30
20
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
Sumber: Sakernas, Indikator Pembangunan Duni (World Development Indicatorts - WDI),
CEIC
Sebelum krisis, pertumbuhan
ekonomi yang diikuti perluasan
lapangan kerja non-pertanian
terjadi di seluruh kawasan Asia
Timur. Dari
awal
sampai
pertengahan 90-an, kawasan ini
mengalami pertumbuhan pesat
dengan rata-rata 7,5 persen per
tahun untuk Indonesia dan lima
negara tetangga utamanya.36 Efek
pertumbuhan ini kurang terlihat
jika diamati melalui perubahan
lapangan kerja secara keseluruhan.
Lapangan kerja total, yang diukur
sebagai persentase dari orang
dewasa usia kerja, turun rata-rata
0,2 persen per tahun di keenam
negara tersebut. Pertumbuhan di
kawasan ini, terutama di Indonesia,
justru tercermin dari perluasan
lapangan kerja non-pertanian.
Meskipun tingkat pertumbuhan
Indonesia masih kalah pesat
dibandingkan dengan Cina,
Malaysia, dan Vietnam, lapangan
kerja non-pertanian di Indonesia
bertambah 2,1 persen per tahun
– lebih cepat dari kelima negara
tetangganya.
Indonesia dan Thailand merasakan akibat terparah dari krisis keuangan 1997, namun pengaruh
krisis terhadap pasar tenaga kerja kedua negara tersebut sangat berbeda. Selama krisis antara 1997
sampai 1999, hanya dua dari enam negara yang diperbandingkan yang mengalami perlambatan ekonomi.
PDB Indonesia mengalami kontraksi 6,4 persen per tahun, sedangkan Thailand mengerut 3,3 persen per
tahun. Meskipun tingkat lapangan kerja total di Thailand juga ikut mengalami kontraksi, tingkat lapangan
kerja di Indonesia tetap stabil karena sektor pertanian dan informal mampu menyerap lebih banyak pekerja.
Sesungguhnya, jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia adalah negara dengan persentase pekerja
terbesar yang terpaksa kembali ke pertanian akibat krisis. Di Thailand, lapangan kerja non-pertanian sempat
turun tipis pada 1998 sebelum pulih kembali tahun 1999 seiring membaiknya ekonomi. Malaysia juga
mengalami kenaikan lapangan kerja pertanian sebagai akibat dari krisis, namun besarnya tidak sebanding
dengan taraf pembalikan transformasi struktural yang terjadi di Indonesia.
36
52
Lampiran II.1.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2
Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia
Tabel 2.1
Kinerja dan pertumbuhan upah non-pertanian menurut negara (1999-2003)
Tingkat rata-rata
Indonesia
Cina
Malaysia
Filipina
Thailand
Vietnam
Pertumbuhan PDB
4,7
8,9
4,8
4,5
4,3
7,0
Pertumbuhan upah
11,2
13,6
N/A
-0,1
-5,7
4,6
Perubahan tahunan pada
lapangan kerja non-pertanian
total
-0,1
1,6
4,1
3,5
3,7
7,0
Sektor
industri
Pertumbuhan
lapangan kerja
-0,1
-0,4
0,1
-0,1
0,6
1,8
Pertumbuhan PDB
4,2
10,1
5,2
3,5
5,9
10,1
Elastisitas
0,3
-0,1
0,6
0,7
0,9
1,6
Pertumbuhan
lapangan kerja
-0,7
3,2
4,7
3,9
3,0
2,3
Pertumbuhan PDB
5,4
10,0
4,5
5,0
3,5
6,1
Elastisitas
-0,1
0,3
1,1
0,8
0,8
0,4
Sektor jasa
Sumber: Sakernas, CEIC, WDI.
Selama periode pemulihan 1999-2003, hanya Indonesia yang mengalami fenomena jobless growth.
Antara 1999 sampai 2003, pertumbuhan PDB Indonesia telah pulih dengan tingkat rata-rata 4,7 persen per
tahun. Tingkat pertumbuhan ini relatif lemah, sedikit di atas Thailand dan Filipina, tetapi masih kalah dari
Malaysia, Vietnam, dan Cina (Tabel 2.1). Selain itu, pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia
juga mengecewakan. Bahkan setelah pulih dari krisis pun, para pekerja di Indonesia masih terus kembali
ke pekerjaan pertanian sehingga lapangan kerja pertanian tumbuh 0,8 persen per tahun, hampir sama
dengan tingkat pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian pada periode krisis moneter. Keadaan ini
sangat bertolak belakang dengan negara lainnya yang telah kembali mengalami transformasi struktural dan
mengalami peningkatan pesat lapangan kerja non-pertanian.
Sejak 2003, penciptaan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia telah meningkat, namun masih
belum mencapai taraf periode sebelum krisis. Tingkat pertumbuhan PDB tahunan Indonesia sebesar 5,4
persen antara 2003 sampai 2006 sedikit lebih tinggi daripada Thailand, tetapi masih tertinggal dari Cina dan
Vietnam. Meskipun pertumbuhan ekonominya hanya sedang saja, tetapi catatan lapangan kerja Indonesia
lebih baik dari kebanyakan negara tetangganya. Lapangan kerja total sedikit menurun; hanya Cina dan
Malaysia yang mengalami penurunan lebih besar. Namun, yang mencolok adalah pertumbuhan lapangan
kerja non-pertanian di Indonesia. Jumlah pekerja yang memiliki pekerjaan non-pertanian melonjak sampai
3,5 persen per tahun. Walaupun pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian ini lebih baik dari beberapa
negara tetangganya, laju pertumbuhannya belumlah sebanding dengan tingkat pertumbuhan 6,3 persen
per tahun pada masa sebelum krisis.
Perbandingan riwayat lapangan kerja terkini Indonesia dengan negara tetangganya menimbulkan
dua pertanyaan. Yang pertama, mengapa Indonesia mengalami jobless growth yang jauh lebih parah
daripada negara tetangganya? Yang kedua, mengapa sejak 2003 transformasi struktural Indonesia
meninggalkan sektor pertanian masih tetap terjadi dalam taraf yang lebih rendah daripada sebelum krisis?
Bagian berikut ini akan meninjau beberapa kemungkinan penjelasan terhadap kedua pertanyaan tersebut
berdasarkan perbandingan antara Indonesia dan negara tetangga sekawasan.
53
III. Pertumbuhan jobless growth: Memahami
lemahnya penciptaan lapangan non-pertanian
selepas krisis keuangan 1997
Ada dua penjelasan umum mengenai jobless growth pada tahun 1999-2003. Yang pertama, rendahnya
pertumbuhan PDB telah membatasi penciptaan pekerjaan non-pertanian. Yang kedua, turunnya tingkat
pertumbuhan sektor industri, terutama manufaktur, telah memperlambat penciptaan lapangan kerja nonpertanian. Bagian ini akan mengkaji dan menilai kedua teori tersebut, kemudian mengusulkan penjelasan
alternatif.
Apakah melambatnya pertumbuhan PDB Indonesia menyebabkan
jobless growth?
Pertumbuhan ekonomi umumnya mendorong penciptaan lapangan kerja non-pertanian, tetapi
hubungan ini bergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor tersebut mencakup seberapa besar
pertumbuhan yang terjadi pada sektor padat karya, biaya mempekerjakan pekerja, lembaga dan peraturan
yang mengatur bagaimana mempekerjakan dan memberhentikan pekerja, serta preferensi dan karakteristik
pekerja yang masih menganggur. Berbagai faktor tersebut dapat sangat bervariasi dari negara ke negara, dan
bahkan pada periode yang berbeda di satu negara. Hal ini menyebabkan hubungan yang sangat bervariasi
antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan pekerjaan non-pertanian, baik di Indonesia maupun di
kawasan.37
Pertumbuhan yang melambat hanya menjelaskan sebagian kecil dari anjloknya pertumbuhan
lapangan kerja non-pertanian di Indonesia. Sejak 1999 sampai 2003, pertumbuhan PDB tahunan pulih
ke 4,7 persen, angka yang masih cukup jauh dari 7,4 persen yang dinikmati Indonesia dari 1990 sampai 1997.
Hubungan yang terbatas, namun teramati antara pertumbuhan PDB dan lapangan kerja non-pertanian seperti
terlihat dari (Gambar 2.1 dan 2.2) memberikan perkiraan kasar mengenai efek melambatnya pertumbuhan.
Data tersebut menyiratkan bahwa naiknya pertumbuhan PDB Indonesia dari tingkat 4,5 persen yang dicapai
tahun 1999-2003 menjadi 7,5 persen seperti pada masa sebelum krisis kemungkinan dapat meningkatkan
lapangan kerja non-pertanian antara 0,5 sampai 1 persen per tahun. Perkiraan ini memang hanya angka kasar
saja, apalagi jika mempertimbangkan beragamnya pengalaman masing-masing negara, namun angka ini
mungkin saja betul. Namun demikian, meskipun kenaikan lapangan kerja non-pertanian sebesar 0,5 sampai
1 persen merupakan kenaikan yang cukup besar, pangsa lapangan kerja non-pertanian tumbuh 2,1 persen
per tahun selama 1990-1997 dan turun 0,8 persen selama 1999-2003. Karenanya, pertumbuhan ekonomi
yang melambat tampaknya hanya menjelaskan sebagian kecil dari penurunan pertumbuhan lapangan kerja
non-pertanian di Indonesia yang secara keseluruhan mencapai tiga persen.
Selain itu, hanya berpegang pada pertumbuhan ekonomi yang melambat saja tidak dapat
menjelaskan mengapa pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia jauh lebih buruk
daripada di Malaysia dan Thailand. Seperti halnya Indonesia, pertumbuhan PDB Malaysia dan Thailand
antara 1999 dan 2003 turun drastis jika dibandingkan dengan sebelum krisis. Pertumbuhan PDB tahunan
Indonesia jatuh dari 7,4 persen per tahun selama 1990-1997 menjadi 4,7 persen per tahun selama 19992003. Sementara itu, pertumbuhan Thailand turun dari 7,3 menjadi 4,3 persen per tahun dan Malaysia
37
54
Lihat Gambar 2.1 dan 2.2. Bervariasinya hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan lapangan kerja non-tani
terlihat dari besarnya dispersi di sekitar kurva.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2
Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia
terpuruk dari 9,2 menjadi 4,8 persen. Meskipun demikian, anjloknya pertumbuhan lapangan kerja nonpertanian di Indonesia jauh lebih parah daripada kedua negara tetangganya. Pertumbuhan lapangan kerja
non-pertanian di Indonesia anjlok 3 persen per tahun, dari yang tadinya naik 2,1 persen per tahun menjadi
turun 0,8 persen per tahun. Thailand hanya mengalami penurunan pangsa lapangan kerja non-pertanian
sebesar 1 persen dan Malaysia bahkan mengalami peningkatan. Karena itu, tampaknya ada sesuatu yang
unik di Indonesia – bukannya penurunan pertumbuhan ekonomi – yang mendorong penurunan dramatis
lapangan kerja non-pertanian selama masa tersebut.
Peranan pertumbuhan ekonomi yang terbatas juga terlihat saat membandingkan Vietnam dengan
Malaysia dan Thailand. Antara 1999 sampai 2003, Vietnam mampu terus tumbuh 7 persen per tahun,
sementara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina hanya tumbuh kurang dari 5 persen per tahun.
Pertumbuhan ekonomi pesat Vietnam mempunyai efek yang kentara walau terbatas pada lapangan kerja
non-pertanian seiring naiknya pangsa lapangan kerja non-pertanian Vietnam hanya sebesar 1,3 persen per
tahun. Tetapi, angka ini hanya sedikit lebih besar daripada pertumbuhan serupa di Malaysia dan Thailand
yang masing-masing tumbuh 1,0 dan 0,8 persen per tahun.
Apakah melambatnya pertumbuhan industri menyebabkan jobless
growth?
Ada persepsi bahwa jobless growth setelah krisis terutama disebabkan oleh melambatnya
pertumbuhan di sektor industri. Dari tahun 1999 sampai 2003, sektor industri di Indonesia hanya tumbuh
5 persen per tahun setelah sebelumnya tumbuh 9,3 persen per tahun dari 1990 sampai 1997. Hal ini
terjadi persis pada saat yang sama ketika pangsa lapangan kerja pertanian melonjak seiring mandeknya
pertumbuhan lapangan kerja formal dan non-pertanian. Karena alasan inilah pertumbuhan industri yang
melambat sering dikutip sebagai penyebab terjadinya jobless growth di Indonesia.
Pertumbuhan industri yang melambat bukanlah faktor utama di balik jobless growth di Indonesia
pada masa tersebut. Agar jobless growth pada masa tersebut dapat lebih dipahami, maka perlambatan
hebat pada pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian, dari periode 1990-1997 sampai 1999-2003, dipilahpilah ke dalam dua sektor utama – industri dan jasa – untuk melihat sektor manakah yang bertanggung
jawab memperlambat pertumbuhan lapangan kerja (Kotak 2.2). Di dalam dua sektor tersebut, pertumbuhan
lapangan kerja yang lebih lambat dapat terjadi akibat pertumbuhan sektor yang menurun, atau karena
lapangan kerja di sektor tersebut tidak lagi begitu tanggap terhadap pertumbuhan. Hanya 28 persen dari
perubahan ini berkaitan dengan sektor industri (Table 2.2). Pertumbuhan industri yang melambat hanya
bertanggung jawab atas 12 persen dari penurunan pertumbuhan non-pertanian di Indonesia, sedangkan
16 persen sisanya dapat dijelaskan oleh menurunnya kemampuan sektor industri untuk mengubah
pertumbuhan menjadi penciptaan lapangan kerja.
Biang keladi utama di balik melambatnya penciptaan pekerjaan non-pertanian adalah sektor
jasa yang tidak lagi begitu padat karya. Sebagian besar penurunan pertumbuhan lapangan kerja nonpertanian – 72 persen – berasal dari melambatnya pertumbuhan lapangan kerja sektor jasa. Meskipun
sektor jasa tumbuh 5,4 persen per tahun selama 1999-2003, jumlah total pekerja sektor jasa justru turun
tipis, sedangkan pangsa lapangan kerja sektor jasa turun drastis. Hasilnya, elastisitas lapangan kerja sektor
jasa di Indonesia menjadi negatif pada masa ini. Di antara enam negara dan tiga periode non-krisis, inilah
satu-satunya kasus dimana elastisitas lapangan kerja sektor jasa menjadi negatif.
55
Box 2.2
Mencari biang keladi jobless growth
Untuk menganalisis pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian, bab ini memperkenalkan sebuah kerangka
kerja guna membantu memahami bagaimana pertumbuhan jobless growth dapat terjadi. Kerangka kerja ini
menganalisis perbedaan tingkat pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di antara dua periode. Pekerjaan nonpertanian menjadi fokus karena alasan yang telah dijelaskan pada Kotak 2.1. Kerangka kerja ini mengkaji peranan
dari perubahan pertumbuhan lapangan kerja, dibandingkan dengan perubahan dalam elastisitas lapangan kerja,
baik di sektor jasa maupun industri.
Langkah pertama yang dilakukan adalah memilah-milah pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian menurut
dua sektor non-pertanian utama: industri dan jasa. Dengan demikian, akan diketahui berapa persen dari perubahan
pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian berasal dari sektor industri dan berapa persen dari sektor jasa. Langkah
kedua adalah memilah-milah lagi pertumbuhan lapangan kerja pada masing-masing sektor menjadi bagian yang
diakibatkan perubahan tingkat pertumbuhan sektor tersebut dan bagian yang diakibatkan perubahan elastisitas
lapangan kerja sektor tersebut. Setelah melaksanakan kedua langkah di atas, kita dapat memilah-milah perubahan
dalam penciptaan lapangan kerja non-pertanian ke dalam bagian-bagian yang diakibatkan oleh perubahan empat
komponen: pertumbuhan sektor jasa, elastisitas lapangan kerja sektor jasa, pertumbuhan sektor industri, elastisitas
lapangan kerja sektor industri.
Membandingkan temuan tersebut (Tabel 2.2) untuk periode yang berbeda dan di antara negara tetangga regional
dapat menjelaskan mengapa penciptaan pekerjaan non-pertanian di Indonesia sulit dilakukan sejak krisis keuangan
1997 dan masih terus ketinggalan jika dibandingkan dengan sejumlah negara tetangganya yang tumbuh cepat.
Tabel 2.2
Pemilahan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia, 1999-2003
Indonesia
(1990-97)
Cina
Malaysia
Filipina
Thailand
Vietnam
A. Pertumbuhan tahunan lapangan kerja non-pertanian (persen)
Negara pembanding
6,3
1,6
4,1
3,5
3,7
7,0
Indonesia (1999-2003)
-0,1
-0,1
-0,1
-0,1
-0,1
-0,1
Selisih
6,4
1,7
4,2
3,6
3,8
7,1
B. Persentase selisih yang disebabkan oleh:
Pertumbuhan industri
12%
14%
4%
-2%
9%
28%
Elastisitas industri
16%
-49%
15%
9%
28%
47%
Pertumbuhan jasa
6%
15%
-6%
-3%
-11%
1%
Elastisitas jasa
66%
120%
87%
96%
73%
24%
Sumber: Perhitungan Bank Dunia
Di sisi lain, lapangan kerja non-pertanian di Malaysia, Thailand, dan Filipina tumbuh lebih cepat
karena sektor jasa di negara tersebut mampu menciptakan pekerjaan. Pertumbuhan PDB Indonesia
mirip dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina. Tetapi, ketiga negara itu memiliki pertumbuhan lapangan kerja
non-pertanian yang jauh lebih tinggi daripada Indonesia. Jumlah karyawan yang bekerja di luar pertanian
tumbuh hampir 4 persen di ketiga negara tersebut, sementara di Indonesia malah turun tipis. Sebagian
besar selisih pada pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian diakibatkan oleh elastisitas sektor jasa yang
bervariasi antara 0,8 sampai 1,1 di antara negara-negara tersebut, sementara di Indonesia nilainya hanya
56
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2
Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia
-0,1.38 Rendahnya elastisitas sektor jasa di Indonesia menjadi penyebab terbesar pertumbuhan lapangan
kerja non-pertanian yang mengecewakan jika dibandingkan dengan ketiga negara tersebut: 87 persen jika
dibandingkan dengan Malaysia, 73 persen jika dibandingkan dengan Thailand, 96 persen jika dibandingkan
dengan Filipina.
Demikian pula dengan lapangan kerja non-pertanian di Cina yang tumbuh karena sektor jasa
mampu menciptakan lebih banyak pekerjaan bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang
meningkat. Tingkat pertumbuhan Cina meningkat pesat pada periode ini dan mencapai 9 persen per tahun.
Meskipun tingkat pertumbuhan sektor industrinya sangat pesat, tidak ada pekerjaan baru yang diciptakan
oleh sektor industri Cina menurut indikator pembangunan dunia dari Bank Dunia. Elastisitas lapangan kerja
industrinya sangat rendah, hanya -0,05 saja pada periode ini. Bila elastisitas lapangan kerja sektor industri di
Cina dapat sampai setinggi 0,3 seperti di Indonesia, keunggulan Cina dalam penciptaan lapangan kerja nonpertanian dapat meningkat sampai 50 persen. Namun secara keseluruhan, Cina diuntungkan oleh sektor
jasa yang mampu menciptakan pekerjaan sehingga dapat menutupi ketidakmampuan sektor industri untuk
menciptakan pekerjaan. Elastisitas lapangan kerja sektor jasa di Cina yang besarnya 0,3 jauh lebih besar
daripada Indonesia yang hanya -0,1. Hal ini adalah faktor utama yang dapat menjelaskan lajunya tingkat
pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Cina.
Vietnam adalah satu-satunya negara yang diuntungkan oleh pertumbuhan sektor industri dan
meningkatnya pekerjaan padat karya di sektor ini. Selama periode tersebut, Vietnam menikmati
pertumbuhan PDB tahunan sebesar 7 persen dan mampu mengalihkan pekerja ke pekerjaan non-pertanian
sebesar 1,3 persen per tahun, angka yang bahkan lebih cepat daripada periode sebelum krisis. Sektor
industri Vietnam yang sedang tumbuh pesat menjadi faktor penting dengan pertumbuhan 10,1 persen
per tahun, lebih dari dua kali lipat pertumbuhan Indonesia yang hanya 4,2 persen. Perbedaan ini saja sudah
menyebabkan 31 persen dari perbedaan pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di antara kedua negara.
Namun, faktor yang lebih besar lagi adalah kemampuan Vietnam untuk mengubah pertumbuhan industri
menjadi pekerjaan. Pada periode tersebut, elastisitas lapangan kerja Indonesia di sektor industri hanya 0,3,
sedangkan Vietnam mencapai 1,6. Selisih elastisitas lapangan kerja yang begitu besar ini menyebabkan
Indonesia tertinggal 47 persen jika dibandingkan dengan Vietnam dalam hal pertumbuhan lapangan kerja
non-pertanian.
Mengapa sektor jasa tidak lagi sepadat karya dahulu?
Kenaikan upah di Indonesia dan Cina tampaknya telah menghambat kemampuan sektor jasa untuk
mengubah pertumbuhan menjadi pekerjaan. Dari 1999 sampai 2003, upah riil rata-rata meningkat
sampai 11 persen per tahun di Indonesia karena upah minimum riil naik 10 persen per tahun (Tabel 2.1).
Hanya Cina yang mengalami pertumbuhan upah lebih besar lagi sampai 15 persen per tahun. Keadaan ini
bertolak belakang dengan upah riil rata-rata di Thailand yang turun tipis pada periode tersebut, sementara
upah di Filipina tetap konstan. Sektor jasa di Indonesia tidak mampu menciptakan pekerjaan sehingga
lapangan kerja di sektor tersebut menurun, padahal pertumbuhannya cukup bagus. Sektor jasa juga sulit
menciptakan pekerjaan di Cina karena elastisitas lapangan kerjanya relatif rendah. Tetapi, sektor jasa di
Thailand dan Filipina yang tidak mengalami kenaikan upah lebih berhasil menciptakan pekerjaan.
38
Lampiran II.2.
57
Gambar 2.6
Elastisitas lapangan kerja sektor
jasa
Gambar 2.7
14
1.60
1.39
1.40
0.89
6
0.62
%
0.60
8
0.78 0.84
0.80
0.44
0.40
4.95 5.34
3.18
2
0.20
1990-1997
- 0.13
1999-2003
-2
- 0.40
1990-1997
1999-2003
-4
Indonesia
Sumber: Sakernas, WDI, CEIC
-2.05
-0.41
0
0.00
- 0.20
4.38
4
0.37
0.32
10.07
10.03
10
1.05
0.87
11.90 12.22
12
1.21
1.20
1.00
Rata-rata perubahan upah per
tahun
Cina
Malaysia
Filipina
Thailand
Vietnam
Sumber: Sakernas, WDI, CEIC
Perbandingan antara tren di Indonesia dan di Thailand juga mengisyaratkan bahwa pertumbuhan
upah di Indonesia telah mengurangi lapangan kerja sektor jasa. Membandingkan Indonesia dengan
Thailand memberikan pelajaran penting karena kedua negara mengalami tren pertumbuhan ekonomi yang
mirip, tetapi tren upah yang sangat berbeda. Di kedua negara, pertumbuhan PDB menurun dari sekitar 7
sebelum krisis menjadi sekitar 4,5 persen dari 1999 sampai 2003. Pertumbuhan upah tahunan rata-rata di
Indonesia melaju dari pertumbuhan sebesar 3 persen sebelum krisis menjadi 11 persen dari 1999 sampai
2003. Sementara itu, pertumbuhan upah di Thailand malah terbalik – setelah tumbuh 3,5 persen sebelum
krisis, upah malah turun 5,5 persen selama 1999-2003. Bertolak belakangnya pertumbuhan upah kedua
negara tercermin pada elastisitas sektor jasa. Di Indonesia, elastisitas sektor jasa turun tajam, sementara di
Thailand angkanya nyaris konstan.
IV. Pemulihan parsial: Mengapa transformasi
struktural kembali terjadi, namun dengan laju
yang lebih lambat selama 2003-2007?
Sama seperti negara lain di kawasannya, Indonesia belum mampu mencapai kembali tingkat
pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian seperti sebelum krisis keuangan 1997. Sejak 2003,
pangsa lapangan kerja non-pertanian di Indonesia telah tumbuh cepat sebesar 1,3 persen per tahun seiring
turunnya upah rata-rata sampai 3,8 persen per tahun (Tabel 2.3). Namun demikian, meski terjadi penurunan
upah dan semakin banyak pekerja keluar dari pertanian, pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian sejak
2003 masih saja jauh di bawah tingkat sebelum krisis 1997, ketika pertumbuhannya mencapai 2,1 persen
per tahun. Ketidakmampuan Indonesia untuk pulih kembali ke taraf pertumbuhan lapangan kerja nonpertanian sebelum krisis sebetulnya serupa dengan masalah yang dialami Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Pangsa lapangan kerja non-pertanian nyaris tidak berubah di Malaysia dan Filipina antara 2003 sampai 2007,
sedangkan di Thailand tumbuh 1,2 persen per tahun. Hanya Vietnam dan Cina, yang laju pertumbuhan
ekonominya tetap kencang, yang mampu menumbuhkan lapangan kerja non-pertanian di atas tingkat
pertumbuhan sebelum krisis.
58
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2
Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia
Gambar 2.8
Elastisitas lapangan kerja sektor
jasa di Indonesia
Gambar 2.9
Rata-rata perubahan upah per
tahun di Indonesia
15.00
1.00
11.90
0.87
10.00
0.80
5.00
4.38
0.60
-2.57
-15.17
0.51
0.00
1990-1997
0.40
1997-1999
1999-2003
2003-2006
-5.00
0.20
-10.00
0.00
- 0.01
- 0.13
1997-1998
1999-2003
-15.00
- 0.20
1990 -1997
2003-2006
-20.00
Sumber: Neraca Nasional, Sakernas
Tabel 2.3
Kinerja dan pertumbuhan upah non-pertanian menurut negara (2003-06)
Tingkat pertumbuhan rata-rata
Indonesia
Cina
Pertumbuhan PDB
5,4
10,3
6,1
Pertumbuhan upah
-2,0
11,7
N/A
Lapangan kerja non-pertanian
1,3
2,1
-0,1
0,1
1,2
1,6
Sektor industri
Pertumbuhan
lapangan kerja
0,4
1,2
N/A
-0,4
0,3
N/A
Pertumbuhan PDB
4,5
11,8
7,8
4,5
6,6
10,2
Sektor jasa
Malaysia
Filipina
Thailand
Vietnam
5,5
5,2
8,1
-1,8
-1,8
0,4
Elastisitas
0,6
0,5
-0,3
-0,1
0,5
0,9
Pertumbuhan
lapangan kerja
1,1
1,0
N/A
0,5
0,9
N/A
Pertumbuhan PDB
7,8
10,3
6,2
7,3
5,9
7,3
Elastisitas
0,5
0,4
0,2
0,4
0,8
0,9
Sumber: Sakernas
Pemulihan parsial diakibatkan oleh berlanjutnya ketidakmampuan sektor jasa untuk mengubah
pertumbuhan menjadi pekerjaan. Pemilahan yang dilakukan sebelumnya diterapkan pula pada periode
2003-07 untuk memeriksa dengan lebih saksama mengapa pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian
masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan transformasi struktural yang sangat pesat selama 199097 (Tabel 2.4). Pertumbuhan lapangan kerja yang lebih rendah di sektor industri dan jasa masing-masing
menyumbangkan sekitar setengah dari total ketertinggalan pertumbuhan lapangan kerja. Sektor jasa
tumbuh lebih cepat selama 2003-06 daripada selama periode 1990-97. Tetapi, elastisitas lapangan kerja
sektor jasa masih tetap berada di bawah tingkat sebelum 1997 meskipun telah lebih banyak dari periode
1999-2003. Karena sektor jasa mempekerjakan lebih dari dua kali lipat jumlah pekerja di sektor industri, maka
ketertinggalan yang moderat dalam elastisitas lapangan kerja ini pun tetap saja berpengaruh besar dan
menjadi penyebab 69 persen dari total ketertinggalan dalam lapangan kerja non-pertanian.
59
Tabel 2.4
Pemilahan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia, 2003-07
Indonesia (1990-97)
Malaysia
Filipina
Thailand
Vietnam
A. Pertumbuhan tahunan lapangan kerja non-pertanian (persen)
Negara
6,3
1,2
2,2
4,4
7,3
Indonesia (2003-2006)
3,5
3,5
3,5
3,5
3,5
Selisih
2,8
-2,3
-1,3
0,9
3,8
32%
-6%
0%
-34%
21%
B. Persentase selisih yang disebabkan oleh:
Pertumbuhan industri
Elastisitas industri
14%
72%
241%
4%
12%
Pertumbuhan jasa
-16%
8%
-12%
80%
-12%
Elastisitas jasa
69%
26%
-128%
50%
79%
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia
Penurunan elastisitas sektor jasa terutama diakibatkan oleh subsektor perdagangan, sebuah
fenomena yang terjadi di seluruh kawasan. Elastisitas perdagangan menurun dari 0,45 sebelum krisis
menjadi 0,3 pada periode 2003-07. Hal ini berarti kenaikan 10 persen pada pertumbuhan perdagangan
hanya akan meningkatkan lapangan kerja sebesar 3 persen, bukannya 4,5 persen. Penurunan elastisitas pada
sektor jasa publik dan swasta juga cukup berarti sampai sebesar 28 persen, tetapi sektor jasa transpor dan
keuangan mengalami penurunan elastisitas yang jauh lebih kecil. Situasi ini tak hanya terjadi di Indonesia.
Sektor jasa di seluruh kawasan tidak lagi sepadat karya sebelumnya sehingga hanya menciptakan lebih
sedikit pekerjaan. Selama periode 1999-2003, elastisitas sektor jasa yang negatif di Indonesia merupakan
yang terendah di antara negara tetangganya, namun elastisitas sektor jasa di Indonesia telah pulih sehingga
kini berada di posisi tengah. Ketidakmampuan elastisitas sektor jasa untuk mencapai kembali taraf 199097 terjadi di seluruh kawasan. Berbeda dengan periode sebelumnya, pertumbuhan upah tidak dapat
menjelaskan lambatnya pertumbuhan lapangan kerja sektor jasa. Selama 2003-07, pertumbuhan upah ratarata bahkan turun 2 persen di Indonesia dan 1,8 persen di Malaysia dan Filipina (Tabel 2.3). Sesungguhnya,
elastisitas lapangan kerja sektor jasa mengalami penurunan di seluruh kawasan. Sebuah kemungkinan
penjelasan untuk penurunan yang terjadi secara universal ini adalah bahwa perbaikan pada teknologi
informasi dan komunikasi telah membuat sektor jasa tidak lagi sepadat karya sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi sektor industri yang lebih lambat juga merupakan faktor penting yang
dapat menjelaskan melambatnya pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian, baik di Indonesia
maupun negara tetangganya. Sepertiga dari ketertinggalan ini, jika dibandingkan dengan era sebelum
krisis, dapat dijelaskan oleh pertumbuhan lapangan kerja industri yang lebih lambat, yang anjlok dari tingkat
pertumbuhan 9 persen per tahun sebelum krisis menjadi hanya 4,5 persen selama 2003-07. Kira-kira setengah
dari penurunan pertumbuhan industri diakibatkan oleh subsektor manufaktur yang pertumbuhannya
melambat dari tingkat 5,4 persen sebelum krisis menjadi 3,1 persen pascakrisis. Pertumbuhan konstruksi
dan pertambangan juga turun cukup besar dan menyumbangkan setengah lagi dari penurunan
pertumbuhan industri. Meskipun pertumbuhan sektor industri Indonesia mengalami penurunan paling
parah, dari 9 menjadi 4,5 persen per tahun, kebanyakan negara juga tidak mampu mencapai kembali tingkat
pertumbuhan industri sebelum krisis. Sebagai contoh, pertumbuhan industri di Malaysia melambat dari 11
menjadi 7,8 persen, sedangkan pertumbuhan industri di Vietnam turun dari 8,8 menjadi 6,6 persen. Cina
dan Vietnam yang sedang berkembang pesat pun mengalami penurunan pertumbuhan industri, meskipun
penurunannya terjadi dari posisi yang sebelumnya sangat tinggi.
Meskipun demikian, Indonesia berhasil menghindari anjloknya pertumbuhan lapangan kerja
industri yang menjadi masalah besar di Malaysia dan Filipina. Indonesia dan Filipina mempunyai
60
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 2
Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Peningkatan Lapangan Kerja di Indonesia
tingkat pertumbuhan industri yang paling rendah di kawasannya, yaitu sebesar 4,5 persen per tahun,
sedangkan tetangga yang lain mengalami tingkat pertumbuhan sektor industri yang bervariasi antara 6,5
sampai 11 persen. Meskipun demikian, elastisitas lapangan kerja sektor industri di Indonesia masih lebih
tinggi daripada negara tetangganya dan hanya kalah dari Vietnam. Hal ini mengisyaratkan bahwa sektor
industri di Indonesia mampu menciptakan pekerjaan dengan cukup cepat, terutama jika dibandingkan
dengan Malaysia dan Filipina yang elastisitas lapangan kerja sektor industrinya negatif.
V. Kesimpulan
Indonesia telah pulih dari jobless growth, tetapi kenaikan tinggi pada biaya tenaga kerja formal,
terutama selama 1999-2003, telah menghambat penciptaan pekerjaan non-pertanian. Masa
terburuk jobless growth terjadi pada periode 1999-2003. Keadaan ini didorong oleh penurunan drastis pada
elastisitas lapangan kerja sektor jasa, kondisi yang hanya terjadi di Indonesia. Pada saat bersamaan, upah di
Indonesia meningkat lebih cepat daripada negara tetangganya meski pertumbuhan ekonominya sedang
saja, sehingga menyebabkan terhambatnya penciptaan pekerjaan non-pertanian.
Pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian di Indonesia belum mampu mencapai tingkat sebelum
krisis karena perubahan teknologi di sektor jasa dan persaingan industri dari Cina dan Vietnam.
Pertumbuhan pekerjaan non-pertanian telah pulih sebagian pada periode 2003-07 seiring melambatnya
pertumbuhan upah, namun belum sampai ke taraf sebelum krisis. Dua per tiga dari ketinggalan ini disebabkan
oleh elastisitas sektor jasa yang lebih rendah, sebuah fenomena yang melanda kawasan dan kemungkinan
diakibatkan oleh perubahan teknologi. Faktor utama lain yang dapat menjelaskan ketertinggalan ini adalah
pertumbuhan industri yang lebih lambat karena produksi beralih ke Cina dan Vietnam yang sedang tumbuh
pesat. Keberhasilan mereka menghindari turunnya pertumbuhan industri telah memungkinkan mereka
untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian sama seperti sebelum krisis.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami penghambat penciptaan pekerjaan nonpertanian, terutama faktor yang menurunkan elastisitas lapangan kerja di sektor jasa yang sedang
tumbuh. Bab ini mengemukakan pemikiran bahwa kenaikan tinggi pada upah kemungkinan menjadi
faktor kunci yang mempengaruhi pemberi kerja di sektor jasa untuk mempekerjakan lebih sedikit pekerja
sehingga sektor ini hanya mampu menciptakan sedikit pekerjaan baru. Studi lebih lanjut dapat mengkaji
dampak perubahan pada peraturan tenaga kerja, upah, dan lembaga hukum dalam menarik investasi asing
ke sektor industri dan jasa demi menciptakan pekerjaan non-pertanian. Riset juga dapat memperdalam
pemahaman kita mengenai perubahan sektor jasa yang sedang terjadi di kawasan ini, yang menyebabkan
sektor jasa tidak lagi sepadat karya dahulu.
Bab selanjutnya akan mengkaji salah satu akibat dari lambatnya pertumbuhan pekerjaan nonpertanian: pasar tenaga kerja yang sangat tersegmentasi. Bab ini mengkaji pertumbuhan lapangan kerja
non-pertanian di seluruh kawasan, bukan tingkat formalitas, karena lapangan kerja pertanian didefinisikan
dengan konsisten dan datanya mudah diperoleh untuk berbagai negara di kawasan ini. Tren pada lapangan
kerja non-pertanian, seperti yang tampak pada Bab 1, umumnya sama dengan tren pada lapangan kerja
sektor formal. Karena itu, kebijakan yang mengurangi pertumbuhan lapangan kerja non-pertanian juga
akan mengurangi peluang bagi pekerja untuk bekerja di sektor formal. Bab 3 mengamati bagaimana
penjatahan pekerjaan di sektor formal dan non-pertanian semakin mengkotak-kotakkan angkatan kerja dan
menciptakan kelompok-kelompok ‘orang dalam’ dan ‘orang luar’ yang diuntungkan ataupun dirugikan oleh
kebijakan dan peraturan ketenagakerjaan saat ini.
61
Bab 3
Segmentasi Pasar Tenaga
Kerja
Di Sektor Formal dan Informal
Bab 3 Ringkasan & Rekomendasi
Meskipun akhir-akhir ini tren tenaga kerja telah membaik, sebagian besar penduduk Indonesia masih
banyak yang bekerja di sektor informal. Sejak tahun 2003, tren ketenagakerjaan di pasar tenaga kerja Indonesia
perlahan-lahan telah mengalami perkembangan positif. Namun demikian, angkatan kerjanya masih banyak di
sector informal. Hampir seperempat dari angkatan kerja aktif bekerja secara informal di sektor jasa dan industri,
sedangkan lebih dari sepertiganya bekerja secara informal di pertanian. Tingkat informalitas di Indonesia mencapai
63 persen, jauh melebihi negara lain yang sekawasan.
Meskipun sebagian orang lebih menyukai pekerjaan informal, namun penghasilan pekerja sektor informal
lebih kecil dan mereka tidak memperoleh tunjangan yang layak dikaitkan dengan pekerjaan di sektor
formal. Berwiraswasta di sektor informal memang memungkinkan sejumlah pekerja – terutama pekerja yang
berpendidikan lebih tinggi dan lebih berpengalaman –memperoleh penghasilan lebih besar daripada di sektor
formal. Hal lainnya, terutama perempuan, mungkin lebih menyukai pekerjaan informal karena lebih fleksibel. Tetapi
secara rata-rata, pekerja di sektor informal menerima penghasilan jauh lebih kecil daripada pemberi kerja atau
karyawan di sektor formal. Mereka pun tidak menerima tunjangan non-upah yang biasanya diterima pekerja formal,
seperti tunjangan kesehatan, transpor, atau akses terhadap kredit. Mengingat peralihan dari pekerjaan informal ke
pekerjaan formal bukanlah hal yang umum, informalitas tampaknya lebih merupakan perangkap daripada batu
loncatan menuju pekerjaan yang lebih baik.
Walaupun demikian, pekerjaan di sektor formal tidak selalu lebih baik daripada pekerjaan di sektor
informal. Terdapat tiga kategori karyawan di sektor formal: i) karyawan dengan kontrak permanen, ii) mereka yang
dipekerjakan untuk sementara dengan kontrak jangka waktu tetap, dan iii) mereka yang bekerja di sektor formal
tanpa kontrak. Karyawan permanen lebih terjamin penghasilannya daripada pekerja sementara. Namun, karyawan
tanpa kontrak (81 persen dari angkatan kerja formal), mengalami kondisi terburuk dan hanya memperoleh
penghasilan yang kurang lebih sama dengan pekerja pertanian atau non-tani di sektor informal. Mereka memiliki
peluang lebih kecil untuk menerima tunjangan non-upah yang lazim diperoleh pekerja sektor formal, termasuk
uang pesangon, pensiun, kredit, dan tunjangan transpor. Jika terjadi perselisihan dengan pemberi kerja, karyawan
tanpa kontrak juga berada dalam posisi yang dirugikan. Tanpa adanya dokumentasi kerja yang dapat digunakan
sebagai bukti pekerjaan, mereka akan kesulitan mengakses jalur penyelesaian perselisihan di pengadilan hubungan
industrial.
Rekomendasi
Dengan angkatan kerja yang tersegmentasi seperti di Indonesia, pembuat kebijakan harus berfokus untuk
mempercepat penciptaan pekerjaan yang ‘lebih baik’ sambil tetap melindungi pekerja yang rentan. Tanpa
adanya peningkatan kesempatan di sektor formal dan sector non-pertanian, mayoritas pekerja Indonesia akan
tetap menjadi pekerja informal. Karena pekerja informal cenderung lebih miskin, pertumbuhan lapangan kerja
formal yang stagnan juga akan memperlambat laju pengurangan kemiskinan di Indonesia. Sebab itu, tantangan
yang dihadapi pemerintah baru adalah mengidentifikasi dan mendukung kebijakan bagi kepentingan mayoritas
pekerja yang mencari pekerjaan lebih baik, sambil memastikan bahwa pekerja yang telah memiliki kontrak kerja
tetap terlindungi. Masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk mendalami pilihan kebijakan di area berikut:
Memahami bagaimana meningkatkan akses kredit bagi pengusaha mikro dan usaha kecil menengah (UKM),
serta mengurangi hambatan birokrasi bagi kelompok tersebut demi merangsang penciptaan lapangan kerja.
Membuka akses informasi sehingga pekerja informal dapat mencari pekerjaan yang lebih baik, dan mendalami
strategi untuk menghubungkan pekerja informal dan karyawan tanpa kontrak dengan calon pemberi kerja.
Mengidentifikasi layanan pelatihan, serta tunjangan seperti tunjangan kesehatan dan sistem pensiun, yang
dapat dirancang untuk mendukung dan melindungi pekerja informal.
64
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3
Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Pendahuluan
Distribusi pekerja menurut sektor Gambar 3.2
Asia Timur
Sumber: Sakernas, 2007
Mexico
Cile
Brazil
Pertanian
Informal;
37,2%
Argentina
Jasa Formal;
22,5%
Formal
38.7%
Usaha sendiri
Pekerja keluarga
Vietnam
Informal Industri Informal;
61.3%
6,6%
Industri
Formal;
12,2%
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Thailand
Jasa
Informal;
17,5%
Persentase pekerja yang memiliki
usaha sendiri dan pekerja
keluarga di berbagai Negara
Filipina
Pertanian
Formal; 4,1%
Malaysia
Gambar 3.1
Indonesia
I.
Amerika Latin
Sumber: ILO LABORSTA
Penciptaan lapangan kerja yang lambat semakin mengukuhkan angkatan kerja yang sebagian besar
diisi pekerja informal dan pertanian. Tren ketenagakerjaan di pasar tenaga kerja Indonesia perlahanlahan mengalami perkembangan positif sejak berakhirnya periode jobless growth pada tahun 2003. Meski
demikian, mayoritas angkatan kerja aktif di Indonesia – sekitar 100 juta pekerja – masih tetap bergantung
pada pekerjaan di sektor informal dan pertanian (Gambar 3.1). Tingkat informalitas Indonesia yang mencapai
63 persen dari angkatan kerja yang memiliki pekerjaan, jauh lebih tinggi daripada kebanyakan negara
tetangganya dan negara berkembang lain yang menjadi pembanding (Gambar 3.2).39
Akibatnya, angkatan kerja Indonesia sangat tersegmentasi dan kebanyakan pekerja tidak memiliki
jaminan penghasilan. Status kontrak adalah faktor kunci yang mempengaruhi jaminan penghasilan para
pekerja di sektor formal. Pemberi kerja dan karyawan yang memiliki kontrak permanen (baik di sektor swasta
maupun publik) memiliki penghasilan terbesar. Tetapi, persentase mereka kira-kira hanya 5 persen dari
angkatan kerja aktif (Gambar 3.3). Karyawan sementara dengan kontrak jangka waktu tetap memperoleh
penghasilan yang jauh lebih sedikit, namun jumlah mereka tetap saja hanya 3 persen dari angkatan kerja.
Mayoritas pekerja selain kedua kategori di atas menghadapi ketidakpastian penghasilan yang jauh lebih
besar. Kalangan ini termasuk karyawan sektor formal yang bekerja tanpa kontrak (38 persen dari angkatan
kerja), dan pekerja yang memiliki usaha sendiri serta pekerja keluarga yang tidak dibayar (54 persen) di
sektor pertanian dan non-tani yang informal. Para pekerja ini rata-rata berpenghasilan lebih rendah daripada
pekerja kontrak di sektor formal dan tidak mendapatkan tunjangan non-upah yang lazim diperoleh jika
memiliki kontrak (Gambar 3.4). Pada saat yang sama, undang-undang dan peraturan ketenagakerjaan
cenderung tidak melindungi para pekerja ini sehingga mereka terpaksa berjuang sendirian.
39
Karena definisi tingkat informalitas berlainan di berbagai negara, dua kategori pekerja, pekerja yang memiliki usaha sendiri (baik
dengan atau tanpa dibantu pekerja lain) dan pekerja keluarga, digunakan untuk mewakili tingkat informalitas. Perwakilan seperti
ini cukup akurat. Analisis data Sakernas (2008) mendapati bahwa dari antara keseluruhan pekerja informal, lebih dari setengahnya
merupakan pekerja yang memiliki usaha sendiri, dengan 32 persen di sektor pertanian dan 24 persen di sektor non-tani. Sekitar
seperempatnya bekerja sebagai pekerja yang tidak dibayar dalam bisnis keluarga dan sisanya merupakan pekerja lepas.
65
Distribusi pekerja
aktif menurut status
pekerjaan
Karyawan
kontrak
permanen
3%
Karyawan
kontrak
jangka
waktu tetap
3%
Pemberi kerja
2%
Pertanian
informal
27%
Karyawan
tanpa
kontrak
38%
Non-tani
informal
27%
Sumber: IFLS, 2007
Gambar 3.4
Rata-rata penghasilan bulanan pekerja
menurut status pekerjaan
400.000
350.000
300.000
Rupiah
Gambar 3.3
250.000
200.000
150.000
100.000
50.000
0
Karyawan permanen
& Pemberi kerja
Karyawan
kontrak jangka
waktu tetap
Karyawan
tanpa kontrak
Non-tani
informal
Pertanian
informal
Sumber: IFLS, 2007
Keberhasilan seseorang di pasar tenaga kerja tidak seluruhnya ditentukan oleh keikutsertaannya
di sektor formal atau status pekerjaannya. Kategori agregat menutupi beragamnya pengalaman pekerja
Indonesia. Tidak semua pekerjaan di sektor informal merupakan pekerjaan yang ‘jelek’. Bahkan sejumlah
pekerja lebih sejahtera di sektor informal daripada di sektor formal. Demikian pula tidak semua pekerjaan di
sektor formal dapat dianggap sebagai pekerjaan yang ‘bagus’.
Bab 3 mengkaji segmentasi di pasar tenaga kerja Indonesia dengan mengamati situasi pekerja di
sektor formal dan informal. Para pembuat kebijakan di sebuah negara dengan pasar tenaga kerja yang
sangat tersegmentasi menghadapi tantangan unik. Mereka tak hanya perlu memperkuat perlindungan
bagi pekerja yang memiliki kontrak kerja dan tercakup dalam peraturan ketenagakerjaan, tetapi juga perlu
mendorong penciptaan lapangan kerja agar semakin banyak pekerja informal dan tanpa kontrak dapat
memiliki jaminan penghasilan dan akses terhadap tunjangan non-upah. Karena itu, sangatlah penting bagi
para pembuat kebijakan untuk tak sekadar memahami segmentasi secara umum di pasar tenaga kerja,
tetapi sekaligus memahami segmentasi di berbagai sektor formal dan informal. Bab ini dibagi menjadi tiga
bagian:
Yang pertama mendalami mengenai segmentasi di sektor formal berdasarkan status kontrak
karyawan.
Yang kedua mengamati tingkat informalitas di Indonesia dan mengkaji empat kemungkinan yang
menjadi alasan mengapa orang bekerja di sektor informal: pilihan kerja, terjebak, batu loncatan, atau
jaring pengaman.
Bagian terakhir mengidentifikasi tantangan yang saat ini dihadapi pembuat kebijakan dalam upaya
mereka mempercepat laju penciptaan pekerjaan yang “lebih baik”.
II. Segmentasi di Sektor Formal
Kualitas pekerjaan di sektor formal sangat bergantung pada status kontrak. Terdapat tiga jenis
kesepakatan kerja di sektor formal. Kesepakatan tersebut adalah sebagai berikut:
Kontrak tanpa batas waktu yang mempekerjakan pekerja secara permanen.
Kontrak jangka waktu tertentu yang mempekerjakan pekerja untuk jangka waktu tertentu. Termasuk
66
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3
Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
dalam kategori ini adalah jasa yang dialihdayakan (outsourced), yaitu pekerja yang dipekerjakan oleh
agensi penempatan kerja untuk memberikan pelayanan bagi perusahaan klien.
Tidak ada kontrak resmi yang mendefinisikan hubungan ketenagakerjaan.40
Walaupun sekitar sepersepuluh karyawan di Indonesia melaporkan bahwa mereka bekerja dengan
kontrak jangka waktu tetap, mayoritas melaporkan bahwa mereka tidak memiliki kontrak kerja.
Hanya sekitar 20 persen dari pekerja di sektor formal yang mengatakan bahwa mereka mempunyai kontrak
kerja. Sekitar 8,7 persen dari karyawan penerima upah dan gaji di sektor formal dipekerjakan secara permanen
dan sekitar 10,2 persen memiliki kontrak jangka waktu tetap.41 Perbandingan regional tidak tersedia, namun
kejadian kontrak jangka waktu tetap di Indonesia berada dalam rentang negara OECD, yaitu antara 5 sampai
17,5 persen.42 Mayoritas karyawan sektor formal bekerja tanpa kontrak resmi. Terdapat indikasi bahwa
persentase karyawan dengan kontrak di Indonesia berada di bawah negara lain dengan tingkat penghasilan
serupa.43
Pekerja dengan kontrak jangka waktu tetap berusia lebih muda dan berpendidikan lebih tinggi;
mereka cenderung bekerja di perusahaan yang lebih besar, terutama di bidang manufaktur. Usia
rata-rata karyawan dengan kontrak jangka waktu tetap adalah 28,9 tahun, jauh lebih muda daripada
karyawan permanen (35,6 tahun) atau pekerja tanpa kontrak (34,2 tahun).44 Karyawan yang minimal telah
tamat SMA mencapai 80,7 persen dari karyawan permanen dan 81,0 persen dari karyawan dengan kontrak
jangka waktu tetap, jauh tinggi daripada karyawan tanpa kontrak resmi yang hanya 52,6 persen. Perusahaan
yang lebih besar di area yang lebih maju cenderung banyak menggunakan kontrak jangka waktu tetap,
kemungkinan sebagai proses penyaringan karyawan baru. Mereka sering kali bekerja di sektor manufaktur
dan jasa sosial, serta cenderung terkonsentrasi di kawasan industri: Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Gambar 3.5
Distribusi karyawan menurut Gambar 3.6
status kontrak
Tunjangan non-upah yang diterima
sesuai laporan karyawan, menurut
status kontrak
70%
9%
Kontrak permanen/Pemberi kerja
Kontrak jangka waktu tetap
Tanpa kontrak
60%
10%
Karyawan permanen
50%
Kontrak jangka waktu tetap
(karyawan langsung atau
alih daya)
40%
30%
Karyawan tanpa kontrak resmi 20%
10%
81%
0%
Pesangon Pensiun Kesehatan
Sumber: IFLS, 2007
40
41
42
43
44
Kredit
Transpor
Makan
Sumber: IFLS, 2007
Kategori karyawan yang demikian disebut sebagai karyawan tanpa kontrak dalam laporan ini.
IFLS, 2007. Kecuali jika dinyatakan lain, IFLS (2007) adalah sumber data semua statistik dan analisis deskriptif mengenai status
kontrak. Pertanyaan terkait yang diajukan kepada pekerja adalah “Apakah Anda mempunyai kontrak kerja?” Tiga kemungkinan
jawabannya adalah “Tidak”, “Ya, tanpa jangka waktu”, dan “Ya, dengan jangka waktu”
OECD, 2007b.
Berdasarkan perkiraan komparatif Bank Dunia menggunakan data dari Indikator Pembangunan Dunia (WDI) untuk populasi dan
PDB riil per kapita, serta data pangsa upah dan gaji pekerjaan dari Eurostat, ILO, dan OECD.
Lampiran III.1 memberikan profil lengkap karyawan, pekerjaan, dan karakteristik kualitas pekerjaan menurut status kontrak.
67
Pekerja dengan kontrak jangka waktu tetap menghadapi ketidakpastian penghasilan yang lebih
besar daripada pekerja permanen. Hal ini karena mereka yang dipekerjakan dengan kontrak sementara
untuk memperoleh upah lebih rendah daripada pekerja permanen (Gambar 3.4) dan jumlah minggu kerja
per tahunnya lebih sedikit.45 Mereka pun melaporkan bahwa mereka mendapatkan lebih sedikit tunjangan
daripada pekerja permanen, termasuk dalam hal tunjangan kesehatan, pensiun, dan uang pesangon. Selain
itu, pekerja dengan kontrak jangka waktu tetap memiliki kemungkinan lebih kecil untuk berserikat sehingga
lebih jarang menikmati manfaat yang diperoleh anggota serikat pekerja.46
Tetapi, karyawan yang bekerja tanpa kontrak-lah yang menghadapi ketidakpastian terbesar. Tidak
adanya kesepakatan dalam bentuk kontrak di sektor formal mungkin merupakan masalah yang lebih
serius daripada pemakaian kontrak jangka waktu tetap. Bekerja sebagai karyawan di sektor formal tanpa
adanya kontrak akan merugikan pekerja karena empat hal berikut. Yang pertama, karyawan tanpa kontrak
menghadapi ketidakpastian penghasilan yang lebih besar daripada karyawan permanen atau sementara.
Meskipun secara rata-rata jumlah minggu kerja per tahun mereka lebih tinggi daripada staf sementara,
mereka menerima upah yang paling rendah: 25 persen lebih rendah daripada karyawan dengan kontrak
permanen dan 11 persen lebih rendah daripada staf dengan kontrak jangka waktu tetap. Yang kedua,
meskipun karyawan tanpa kontrak menjalani pekerjaan yang paling menuntut kemampuan fisik dan rawan
cedera, mereka berpeluang paling kecil untuk mendapatkan tunjangan kesehatan dari pemberi kerja.
Yang ketiga, mereka pun berpeluang paling kecil untuk memperoleh pelatihan. Yang terakhir, karyawan
tanpa kontrak akan dirugikan saat mengakses lembaga pengadilan formal – seperti pengadilan hubungan
industrial – karena mereka tidak memiliki dokumentasi pekerjaan yang dapat dipakai sebagai bukti.
Kondisi ini banyak dirasakan karyawan yang lebih tua dan berpendidikan lebih rendah, yang bekerja
di perusahaan yang lebih kecil, karena merekalah yang mempunyai kemungkinan paling besar untuk
bekerja tanpa kontrak. Rata-rata karyawan tanpa kontrak berusia lebih tua daripada karyawan dengan
kontrak jangka waktu tetap, namun berusia sama dengan karyawan permanen.47 Karyawan tanpa kontrak
resmi juga menempuh masa pendidikan formal yang lebih singkat. Meskipun lebih dari setengahnya telah
lulus SMA, hanya 19,8 persen yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi, lebih rendah bila dibandingkan
dengan 38,4 persen untuk karyawan permanen dan 27,5 persen untuk karyawan dengan kontrak jangka
waktu tetap. Karyawan tanpa kontrak memiliki kemungkinan lebih besar untuk bekerja di perusahaan
dengan karyawan di bawah 20 orang jika dibandingkan dengan karyawan permanen maupun karyawan
kontrak jangka waktu tetap. Mereka terkonsentrasi di sektor jasa: sekitar sepertiganya bekerja di sektor jasa
sosial, seperempatnya bekerja di sektor manufaktur, dan seperlimanya di sektor perdagangan. Karyawan
tanpa kontrak paling banyak berada di kawasan Indonesia yang tingkat industrialisasinya masih rendah.
Keadaan pekerja tanpa kontrak layak mendapat perhatian lebih besar dalam implementasi
kebijakan. Meskipun karyawan tanpa kontrak mendominasi sektor formal, namun mereka tidak mampu
bersuara banyak untuk mempengaruhi kebijakan dan peraturan ketenagakerjaan. Pembuat kebijakan
di Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk mewakili perhatian dan minat para pekerja ini melalui
perbaikan prospek pekerjaan dan jaminan penghasilan mereka. Tetapi pada saat yang sama, para pembuat
kebijakan pun harus memperhatikan mayoritas angkatan kerja – bagi mereka yang terkonsentrasi di sektor
informal. Bagian berikutnya menjelaskan siapa saja yang termasuk pekerja informal dan mendalami alasan
mengapa mereka bekerja di sektor informal.
45
46
47
68
Lampiran III.2. Lampiran tersebut memperlihatkan perbandingan kondisi ketenagakerjaan (intensitas kerja, upah, dan tunjangan
non-upah) antara karyawan permanen dan karyawan kontrak jangka waktu tetap dengan karyawan yang bekerja tanpa kontrak.
Telah dilakukan kontrol terhadap serangkaian luas karakteristik, termasuk jenis kelamin, usia, tingkat pencapaian pendidikan,
ukuran perusahaan, sektor pekerjaan (dua digit) dan lokasi geografis menurut kawasan.
Lihat diskusi mengenai keuntungan menjadi anggota serikat pekerja pada Bab 6.
Lampiran III.1.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3
Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
III. Sektor Informal
Siapa saja yang termasuk pekerja informal?
Mayoritas pekerja informal tinggal di area pedesaan; mereka cenderung miskin dan umumnya
memiliki usaha sendiri. Dari antara semua pekerja informal, lebih dari 70 persen tinggal di area pedesaan.
Enam puluh tiga persen dari pekerja informal pedesaan ini tergolong miskin atau hampir miskin, dan 73
persen hanya memiliki pendidikan setingkat SD atau kurang.48 Kebanyakan pekerja informal memiliki usaha
sendiri. Sebagian besar pekerja informal di pedesaan merupakan pekerja yang memiliki usaha sendiri sebagai
petani, nelayan, dan peternak. Meskipun mayoritas tinggal di Jawa dan Sumatera, mereka terkonsentrasi di
area terpencil yang lebih sedikit menjadi tempat operasi perusahaan dan sumber penghidupan utamanya
adalah pertanian. Pekerja di Indonesia timur berpeluang 2,3 kali lebih besar untuk menjadi pekerja informal
daripada pekerja dengan karakteristik serupa di kawasan barat Indonesia.
Pekerja informal di area perkotaan cenderung berpendidikan lebih tinggi, tidak begitu miskin,
dan umumnya bekerja di bidang penjualan dan transpor. Pekerja informal perkotaan sangat berbeda
dengan pekerja informal di area pedesaan. Sebagian besar pekerja pedesaan bergantung pada pertanian,
sedangkan pekerja informal di area perkotaan yang bergantung pada sektor pertanian tidak sampai 25 persen
(Gambar 3.6). Mayoritas bekerja di bidang penjualan, transportasi, jasa domestik, dan buruh bangunan.
Pekerja informal perkotaan juga berpendidikan lebih tinggi: 25 persen berpendidikan SMA atau lebih tinggi;
bandingkan dengan di area pedesaan yang hanya 9 persen.49 Karena berbagai alasan tersebut, mereka pun
memiliki penghasilan lebih tinggi. Lebih dari 82 persen pekerja informal perkotaan dapat digolongkan tidak
miskin.
Gambar 3.7
Perbedaan perkotaan-pedesaan dalam distribusi pekerjaan informal
Pedesaan
Perkotaan
2%
0%
1%
9%
35%
13%
7%
34%
76%
23%
Profesional
Jasa
Buruh
Tenaga penjualan
Pekerja pertanian
Sumber: Sakernas, 2008.
48
49
Sakernas 2008
Sakernas 2008
69
Kotak 3.1
Mendefinisikan sektor informal
Tidak ada definisi standar baku untuk sektor informal. Definisi yang umum merujuk pada kegiatan ekonomi yang
berada di luar aturan dan lembaga legal sebuah negara. Di negara maju, hal ini sering kali merujuk pada bisnis
tak terdaftar yang tidak membayar pajak atau memberikan tunjangan bagi pekerjanya. Pendekatan tersebut
kemungkinan tidak cocok bagi negara berkembang yang masih lemah dalam hal pencatatan kegiatan bisnis dan
kepatuhan hukum. Sebuah definisi alternatif, yang juga dipakai di Indonesia, didasarkan pada status pekerjaan –
sebuah kondisi yang mewakili jaminan penghasilan dan definisi pertama.
Definisi resmi mengenai kegiatan sektor formal dan informal yang diterapkan oleh BPS pada 2001 menggunakan
kombinasi antara status pekerjaan dan jenis pekerjaan utama (Tabel 3.1). Semua karyawan dan pemberi kerja yang
mempekerjakan karyawan permanen didefinisikan sebagai formal. Demikian pula semua kalangan profesional
atau pekerja di posisi manajer dianggap sebagai pekerja formal, kecuali bagi mereka yang diklasifikasikan sebagai
pekerja keluarga, namun jumlah golongan terakhir ini sangat sedikit. Semua kombinasi yang lain dianggap informal,
kecuali mereka yang memiliki usaha sendiri dengan pekerja dari keluarga.
Definisi yang disederhanakan akan dipakai saat menangani data yang tidak mempunyai informasi mengenai
jenis pekerjaan utama, sebuah informasi yang dibutuhkan pada definisi resmi (Tabel 3.2). Dalam kondisi tersebut,
definisi alternatif menggunakan kombinasi status pekerjaan dan klasifikasi pertanian/non-tani. Menurut definisi
ini, semua pekerja keluarga dan pekerja yang memiliki usaha sendiri tanpa dibantu pekerja keluarga, merupakan
pekerja informal. Sementara itu, mereka yang memiliki usaha sendiri dengan dibantu pekerja keluarga dianggap
formal jika bekerja di bidang non-tani, tetapi dianggap informal jika bekerja di bidang pertanian. Semua pemberi
kerja dan karyawan dianggap formal. Versi yang disederhanakan ini sesuai dengan definisi resmi untuk lebih dari
99 persen pekerja.
Laporan Ketenagakerjaan Indonesia menggunakan kedua definisi ini tergantung pada data yang tersedia.
Laporan ini menggunakan definisi resmi BPS manakala memungkinkan. Definisi alternatif yang disederhanakan
hanya digunakan jika data mengenai kategori pekerjaan tidak tersedia atau bermasalah. Kondisi ini terjadi saat
menganalisis data Sakernas periode 1990-93 dan 2000, serta semua data IFLS. Karena kesesuaian antara kedua
definisi ini sangat baik, pemakaian keduanya tidak menimbulkan masalah serius dalam hal akurasi atau keandalan.
Tabel 3.1
Definisi BPS untuk sektor formal dan informal
Status
Memiliki usaha sendiri
Memiliki usaha sendiri dengan
pekerja keluarga
Pemberi kerja dengan pekerja
permanen
Karyawan
Karyawan lepas, pertanian
Karyawan lepas, non-tani
Pekerja keluarga
Tabel 3.2
Jenis pekerjaan
Pekerja
Produksi, Transpor,
Pertanian
Tak ahli
Profesional,
Direktur, Manajer
Penjual,
Buruh
Formal
Formal
Informal
Formal
Informal
Informal
Informal
Formal
Informal
Informal
Formal
Formal
Formal
Formal
Formal
Formal
Formal
Formal
Informal
Formal
Informal
Informal
Informal
Formal
Informal
Informal
Informal
Formal
Informal
Informal
Informal
Formal
Informal
Informal
Informal
Definisi yang disederhanakan, sektor formal dan informal
Status
Pekerja keluarga
Memiliki usaha sendiri
Memiliki usaha sendiri dengan pekerja sementara
Pemberi kerja atau karyawan
70
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Industri
Non-Tani
Informal
Informal
Formal
Formal
Pertanian
Informal
Informal
Informal
Formal
Lainnya
Bab 3
Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Gambar 3.8
Persentase populasi dalam jenis pekerjaan menurut usia
100
% populasi berusia 15 tahun ke atas
% populasi berusia 15 tahun ke atas
100
80
60
40
80
60
40
20
20
0
0
15-18
15-18
19-24
Informal
25-34
35-49
Formal
50-64
19-24
25-34
35-49
50-64
>=65
>=65
Tidak bekerja
Usaha sendiri, pertanian
Usaha sendiri, non-tani
Pekerja lepas
Pekerja tak dibayar
Sumber: Sakernas, 2008.
Pekerja informal berpendidikan lebih rendah; semakin lama orang bersekolah, semakin besar
peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan formal. Dari antara semua pekerja informal, 91 persennya
belum menyelesaikan SMA.50 Analisisa multivariat memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan berperan
penting dalam menentukan sektor mana yang akan dimasuki pekerja. Jika dua orang pekerja mempunyai
karakteristik serupa kecuali pada tingkat pendidikan mereka, pekerja yang lulus dari SMP berpeluang dua
kali lebih besar untuk memiliki pekerjaan formal daripada pekerja yang hanya lulus SD. Menamatkan SMA
akan meningkatkan lagi peluang ini sampai lebih dari dua kali lipat. Mereka yang memiliki gelar universitas
atau diploma kejuruan mempunyai kemungkinan paling kecil untuk bekerja di sektor informal51.
Mereka yang berusia muda menggunakan sektor informal sebagai titik awal, sementara pekerja
yang lebih tua mempunyai kemungkinan lebih besar memasuki sektor informal demi menjalankan
usahanya sendiri. Banyak pekerja beralih masuk dan keluar dari pasar tenaga kerja, serta masuk dan keluar
dari sektor informal. Kebanyakan pemuda tidak memiliki pengalaman atau pendidikan yang diperlukan
untuk memperoleh pekerjaan formal. Karena itu, mereka umumnya memasuki pasar tenaga kerja dengan
bekerja secara informal, baik dengan bekerja tanpa bayaran pada usaha keluarga atau bekerja sebagai pekerja
lepas (Gambar 3.7, Panel a). Setelah mengumpulkan pengalaman dan aset, para pekerja di usia produktifnya
memiliki peluang lebih besar untuk memasuki sektor formal atau menjadi wiraswasta. Pekerja yang berusia
di atas 50 tahun mempunyai peluang jauh lebih besar untuk memiliki usaha non-tani sendiri, sebuah
keadaan yang mengisyaratkan bahwa beberapa pekerja informal mampu meningkatkan kesejahteraannya
sambil tetap berada di sektor informal.
Perempuan berpeluang lebih besar untuk menjadi pekerja informal daripada laki-laki. Peluang
perempuan untuk bekerja di sector informal 24 persen lebih besar daripada laki-laki.52 baik perempuan
maupun laki-laki dengan pekerjaan informal terkonsentrasi pada pekerjaan pertanian. Di luar pertanian,
kebanyakan laki-laki yang bekerja informal mempunyai pekerjaan di bidang transportasi, sedangkan 60
persen dari perempuan yang bekerja informal mengambil bidang eceran rumah tangga dan pedagang
bahan pangan.
50
51
52
Sakernas 2008
Lampiran III.3.
Lampiran III.3.
71
Gambar 3.9
Tingkat penghasilan menurut
jenis pekerja (Rp/jam)
Gambar 3.10 Status kesejahteraan pekerja
informal menurut sektor
70%
5.000
60%
50%
4.000
40%
30%
3.000
20%
10%
2.000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
0%
Miskin
Formal
Non-tani informal
Hampir Miskin
Non-tani informal
Sumber: Sakernas, berbagai tahun
Tidak Miskin
Pertanian informal
Pertanian informal
Sumber: Sakernas, 2006
Terdapat kesenjangan penghasilan yang besar antara pekerja formal dan informal. Pada 2001, upah
median pekerja formal 14 persen lebih tinggi daripada penghasilan per jam rata-rata untuk pekerja informal.
Kesenjangan ini bertambah menjadi 33 persen pada 2003, namun mulai berkurang sedikit pada 2006
(Gambar 3.9). Kesenjangan ini semakin besar bagi pekerja informal di sektor pertanian dan tinggal di area
pedesaan. Mereka tak hanya memperoleh penghasilan lebih kecil daripada pekerja informal di sektor nontani, tetapi juga cenderung lebih miskin (Gambar 3.10). Bahkan kenyataannya, setengah dari pekerja informal
pedesaan berasal dari rumah tangga miskin atau hampir miskin, sementara pekerja informal perkotaan yang
berasal dari rumah tangga serupa hanya 18 persen.
Mengapa orang bekerja di sektor informal?
Terdapat empat kemungkinan yang menjadi alasan mengapa orang bekerja secara informal. Pekerja
informal cenderung miskin, tanpa keahlian, dan terkonsentrasi pada pekerjaan pertanian di pedesaan. Tetapi,
tidak begitu jelas apakah mereka memilih sendiri untuk bekerja informal ataukah mereka tersisih dari pasar
tenaga kerja formal. Bagian ini berusaha mengungkap alasan mengapa pekerja tetap bertahan di sektor
informal dan mengapa mereka berpindah dari dan ke pekerjaan formal dan informal. Meskipun motivasi
dan pilihan orang berbeda-beda dan mungkin pula tumpang tindih, pekerja informal terbagi dalam empat
kategori besar.
72
i)
Pekerja yang terjebak di sektor informal. Informalitas sering dipandang sebagai perangkap
bagi mereka yang tidak dapat memperoleh pekerjaan formal dan terpaksa bekerja secara informal
tanpa gaji teratur dan tunjangan. Pasar tenaga kerja tersegmentasi menjadi sektor informal yang
‘kurang menguntungkan’ dan sektor formal yang ‘lebih disukai’ karena pekerja memperoleh upah
lebih tinggi dan tunjangan yang lebih baik. Meskipun ingin beralih ke sektor formal, para pekerja
ini tidak sanggup keluar dari informalitas.
ii)
Pekerja yang lebih menyukai pekerjaan informal. Ketika dihadapkan pada sebuah kesempatan,
para pekerja akan berhitung untung rugi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk beralih
ke sektor formal. Keputusan akan diambil berdasarkan upah, tunjangan, jam kerja, lokasi, dan
lingkungan kerja. Setelah mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya, sebagian orang
lebih memilih pekerjaan sektor informal. Beberapa orang memperoleh penghasilan lebih besar di
sektor informal, sementara yang lain bersedia melepaskan penghasilan lebih besar demi jam kerja
lebih fleksibel yang dapat diperoleh melalui pekerjaan di sector informal.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3
Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
iii)
Pekerja yang menggunakan informalitas sebagai batu loncatan ke pekerjaan yang lebih
baik. Pekerjaan di sector informal kemungkinan menjadi titik awal bagi mereka yang ingin meraih
pekerjaan lebih baik. Kaum muda terutama memandang pekerjaan di sektor informal sebagai cara
memperoleh pengalaman dan membangun jaringan yang akhirnya mengarah ke pekerjaan sektor
formal. Pekerja yang memiliki pengalaman juga dapat menggunakan pekerjaan informal sebagai
cara mengumpulkan aset supaya kelak dapat memulai usahanya sendiri. Beberapa pekerja informal
yang lain terus bekerja demi memperoleh pekerjaan informal yang lebih baik.
iv)
Pekerja yang menghadapi guncangan dengan memanfaatkan sektor informal sebagai jaring
pengaman. Pekerjaan informal sering dipakai sebagai mekanisme untuk menghadapi guncangan,
seperti misalnya diberhentikan dari pekerjaan formal. Hal ini dapat terjadi dalam skala besar ketika
terjadi guncangan makroekonomi atau resesi yang mengakibatkan perusahaan gulung tikar atau
mengurangi jumlah karyawan demi mempertahankan kelangsungan usaha.
Apakah orang ingin bekerja di sektor informal?
Pekerja informal menghadapi penalti upah lebih dari 30 persen bila dibandingkan dengan pekerja
di sektor formal. Jika dua orang memiliki kualifikasi dan karakteristik serupa (tingkat pendidikan, usia, jenis
kelamin, dan lokasi yang sama), dan hanya berbeda pada sektor pekerjaan mereka, orang yang bekerja di
sektor formal akan memiliki penghasilan 31 persen lebih besar daripada orang yang bekerja informal.53 Upah
yang lebih besar, dan juga jaminan pekerjaan yang lebih baik serta tunjangan sektor formal menyebabkan
kebanyakan pekerja informal lebih menyukai pekerjaan sektor formal. Pekerja informal yang berhasil beralih
ke sektor formal antara 2000 sampai 2007 memperoleh penghasilan 23,4 persen lebih besar daripada mereka
yang tetap bekerja di sektor informal.54
Sektor informal lebih banyak menjadi perangkap bagi pekerja Indonesia. Pendekatan lain untuk
menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan membandingkan upah sesungguhnya pekerja informal
dengan upah yang dapat mereka peroleh pada pekerjaan formal berdasarkan kualifikasi dan karakteristik
mereka. Dengan asumsi bahwa preferensi pekerjaan didasarkan pada upah potensial, dapat diperkirakan
berapa banyak pekerja yang lebih suka tetap di sektor informal dan berapa banyak yang lebih menginginkan
pekerjaan formal. Pekerja dianggap terjebak dalam informalitas jika penghasilan aktual mereka lebih
kecil daripada upah yang diperkirakan dapat mereka peroleh di sektor formal berdasarkan kualifikasi dan
karakteristik mereka. Dengan definisi tersebut, saat ini 44,3 persen pekerja yang berada di sektor informal
antara 2000 sampai 2007 dapat dikategorikan terjebak dan akan memperoleh penghasilan lebih banyak
jika mereka mendapatkan pekerjaan formal (Table 3.3). Keadaan ini berbeda dengan pada 90-an ketika
informalitas tidak menjadi perangkap dan kebanyakan pekerja informal bertahan di sektor informal karena
mereka dapat memperoleh penghasilan lebih besar.
53
54
Lampiran III.4. Berdasarkan analisis regresi upah standar menggunakan data IFLS4 dan setelah dilakukan kontrol terhadap jenis
kelamin, lokasi, usia, pendidikan, dan wilayah. Penalti upah bahkan lebih besar lagi bagi pekerja informal yang berpendidikan
minimal sekolah menengah; mereka memperoleh penghasilan 62 persen lebih kecil daripada pekerja dengan karakteristik
identik di sektor formal.
Marcouiller, Ruiz de Castilla, dan Woodruff (1995), mendapati bahwa premium untuk sektor formal besarnya sekitar 30% di El
Salvador dan 20% di Peru. Perlu dicatat bahwa para penulis menggunakan metode yang sedikit berbeda, yaitu dekomposisi
Oaxaca (Oaxaca decomposition), dan definisi informalitas yang dipakai juga kemungkinan berbeda dengan di Indonesia.
Namun demikian, angka yang diperoleh dapat memberikan perbandingan kasar mengenai premium upah yang terkait dengan
sektor formal.
73
Tabel 3.3 Kategori pekerja formal dan informal55
1993-2000
2000-2007
Awalnya Informal
Tetap Informal
Beralih ke Formal
Terjebak
30,5%
44,3%
Hasil yang diharapkan
41,4%
30,1%
Batu loncatan
13,0%
15,8%
Tidak beruntung
15,2%
9,8%
100,0%
100,0%
Tidak optimal
28,2%
15,7%
Hasil yang diharapkan
44,6%
49,1%
Batu loncatan
14,1%
13,7%
Total
Awalnya Formal
Tetap Formal
Beralih ke Informal
Jaring pengaman
Total
13,1%
21,5%
100,0%
100,0%
Sumber: IFLS 1993, IFLS 2000, IFLS 2007.
Pekerja informal tidak hanya berupah lebih kecil, tetapi juga hanya sedikit mendapatkan asuransi,
uang pensiun, dan pelatihan. Sekitar seperlima dari pekerja formal mempunyai akses terhadap asuransi
kesehatan atau jiwa.56 Tetapi, hanya 2,3 persen dari pekerja informal yang mempunyai asuransi sendiri atau
memiliki akses terhadap asuransi kesehatan atau jiwa melalui anggota keluarganya. Begitu pula dalam hal
tunjangan pensiun karena 8 persen dari pekerja formal memiliki tunjangan semacam itu, namun hanya
2,5 persen dari pekerja informal yang memilikinya. Selain itu, kurang dari 3 persen pekerja informal pernah
menerima pelatihan formal, sedangkan angka ini mencapai 10 persen untuk pekerja formal. Kurangnya akses
terhadap pelatihan formal kemungkinan menjadi penghambat lain bagi pekerja informal untuk memasuki
pasar tenaga kerja formal. Pekerja informal di sektor pertanian cenderung mengalami kondisi yang paling
buruk (Gambar 3.11).
55
56
74
Kategori pekerja formal dan informal yang digunakan dalam ringkasan ini adalah: a) Pekerja yang terjebak adalah mereka
yang tetap menjalani pekerjaan informal, namun berdasarkan kualifikasi dan karakteristik mereka, penghasilan mereka akan
lebih besar jika bekerja di sektor formal; b) Hasil yang diharapkan merujuk pada pekerja di sektor formal atau informal yang
memperoleh penghasilan terbanyak sesuai harapan mereka; c) Pekerja yang menggunakan batu loncatan telah beralih dari
pekerjaan berupah rendah di satu sektor ke pekerjaan dengan upah lebih tinggi di sektor lain; d) Tidak beruntung adalah pekerja
sektor informal yang berhasil mendapatkan pekerjaan formal namun akan memperoleh penghasilan lebih besar kalau saja
mereka tetap berada di sektor informal; e) Terakhir, pekerja sektor formal yang beralih ke pekerjaan informal sebagai jaring
pengaman dan mengalami penurunan upah sebagai akibatnya. Angkanya berbeda dengan Tabel 4 karena sampel orangorang yang beralih di Tabel 6 dipilah-pilah menjadi mereka yang awalnya berada di sektor formal dan sektor informal.
Pegawai negeri tercakup dalam ASKES yang diberikan pemerintah, sedangkan sebagian karyawan swasta tercakup dalam
Jamsostek atau asuransi swasta lain yang diberikan oleh perusahaan, sebagian lagi mempunyai akses terhadap asuransi
kesehatan swasta karena inisiatif mereka sendiri atau anggota keluarganya.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3
Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Gambar 3.11 Akses terhadap asuransi dan pensiun
30%
20%
10%
0%
Punya asuransi
Forma
Non-tani informal
Punya pensiun
Pertanian informal
Sumber: Sakernas, 2008
Kotak 3.2
Pekerja informal mempunyai kemungkinan
lebih kecil untuk merasa puas dengan
pekerjaannya daripada pekerja formal.
Kemungkinan pekerja informal untuk merasa
tidak puas dengan pekerjaannya 3,3 persen
lebih besar daripada pekerja formal.57
Ketidakpuasan mereka tampaknya dipicu
oleh upah lebih rendah yang mereka peroleh;
begitu kami melakukan kontrol terhadap
upah, tidak tampak lagi adanya perbedaan
antara pekerja formal dan informal dalam
memandang
pekerjaannya.
Jika
dikombinasikan dengan perbandingan upah
yang telah dilakukan sebelumnya, keadaan ini
mengisyaratkan bahwa mayoritas pekerja
sektor informal lebih menyukai pekerjaan di
sektor formal.
Terjebak dalam Informalitas
Kebanyakan pekerja informal memperoleh penghasilan lebih kecil dan mendapatkan tunjangan lebih sedikit
daripada jika mereka bekerja di sektor formal. Sejumlah pekerja, seperti Dasuki, merasa terjebak dalam pekerjaan
informal. Mereka lebih menginginkan pekerjaan formal, tetapi kesulitan mendapatkannya di tengah kerasnya
persaingan pasar tenaga kerja dengan pekerja yang lebih ahli dan peluang yang semakin sedikit.
Dasuki awalnya datang ke Jakarta tahun 1992 dengan ijazah SMA dan diploma ilmu komputer. Ia memperoleh
pekerjaan pertamanya sebagai pengajar komputer di sebuah SMP dan kemudian bekerja sebagai operator mesin
di pabrik. “Dulu, cari kerja itu jauh lebih gampang. Cuma lulus SD saja bisa dapat kerja di pabrik.”
Dasuki kehilangan pekerjaannya. Kini ia dan istrinya, Della, berjualan gado-gado dan nasi uduk di warungnya di
Jakarta. Keuntungan bersih bulanan mereka sekitar Rp 800.000, hanya cukup untuk membayar kebutuhan dasar
mereka.
“Sekarang makin banyak orang berijazah SMA, padahal pekerjaan makin sedikit,” kata Dasuki. “Umur saya sudah
33 tahun, terlalu tua untuk kerja di pabrik. Nggak ada yang mau terima, kecuali kalau saya punya keahlian khusus.
Sekarang ini kalau sampai di-PHK, susah dapat pekerjaan baru.”
Sumber: Mercy Corps. 2008
Pekerja lepas mengalami ketidakpuasan terbesar dari antara semua pekerja informal. Meskipun
pekerja lepas memperoleh penghasilan 42 persen lebih tinggi daripada pekerja pertanian yang memiliki
usaha sendiri dan hampir sama besar dengan pekerja non-tani yang memiliki usaha sendiri, para pekerja
lepas ini tidak puas dengan keadaan mereka (Gambar 3.12). Hal ini kemungkinan karena buruh lepas
mempunyai ciri-ciri jaminan kerja yang rendah, hanya memperoleh sedikit atau malah tidak mendapat
tunjangan, serta status sosial yang rendah. Meski pekerja lepas memperoleh bayaran tinggi jika dihitung
per jam, penghasilan mereka dapat berfluktuasi sangat besar sepanjang tahun, kondisi yang menggerus
keuntungan upah tinggi tersebut. Jika punya kesempatan, kebanyakan pekerja lepas lebih suka beralih ke
posisi formal atau pekerjaan informal yang lebih baik.
57
Untuk menganalisis tingkat kepuasan kerja, kami menggunakan multinomial logit terhadap kepuasan individual dengan data
IFLS 2007 dan kontrol terhadap jenis kelamin, lokasi, usia, pendidikan, wilayah, dan beberapa informasi terkait dengan pekerjaan
sebelumnya.
75
Namun demikian, tidak semua pekerja
informal merasa terjebak; pekerja
pertanian yang memiliki usaha sendiri
35
mempunyai kepuasan kerja yang serupa
30
dengan pekerja formal. Jika dibandingkan
25
dengan pekerja formal, pekerja informal yang
20
memiliki usaha sendiri di luar pertanian dan
15
pekerja lepas menghadapi penalti upah
10
masing-masing sebesar 28 persen dan 25
5
persen. Penalti ini bahkan lebih tinggi lagi
0
untuk pekerja informal yang memiliki usaha
Tani
Non-tani
Tani
Non-tani
Pekerja
sendiri di bidang pertanian, yaitu 57 persen.
Semua
Semua keluarga
pekerja
pekerja
Usaha sendiri
Pekerja lepas
tak
Walaupun demikian, ketika ditanya, pekerja
formal
informal dibayar
pertanian yang memiliki usaha sendiri
mempunyai kepuasan kerja yang sama seperti
Sumber: IFLS2007
dengan pekerja formal.58 Semua pekerja
informal yang lain memiliki kepuasan kerja lebih rendah daripada pekerja formal, bahkan jika tingkat
penghasilan yang dilaporkan dipertahankan konstan.
Gambar 3.12 Tingkat ketidakpuasan yang dilaporkan
sendiri menurut jenis pekerja (persen)
Beberapa faktor dapat menjelaskan mengapa pekerja pertanian yang memiliki usaha sendiri puas
dengan pekerjaannya. Mengapa petani, tak seperti pekerja informal yang lain, merasa puas dengan
pekerjaan mereka meskipun penghasilannya lebih kecil daripada yang dapat mereka peroleh di pekerjaan
formal? Kebanyakan petani dilahirkan di tengah masyarakat pertanian dan tumbuh besar di lingkungan
pertanian, sebuah tren yang cenderung konstan dari generasi ke generasi. Mereka mewarisi keahlian bertani
yang lebih cocok untuk pekerjaan tani daripada pekerjaan di sektor lain. Mereka mungkin juga memperoleh
penghasilan lebih besar daripada yang mereka perkirakan atau laporkan, atau mereka sangat menghargai
manfaat non-upah seperti jam kerja yang fleksibel atau mempertahankan jaringan sosial dengan tinggal di
tengah masyarakat asal mereka. Terakhir, petani mungkin hanya memiliki informasi terbatas mengenai pasar
tenaga kerja di bidang lain dan merasa puas dengan satu-satunya penghidupan yang mereka pahami.
Beberapa kelompok pekerja berpeluang
lebih besar untuk memperoleh upah
lebih tinggi di sektor informal daripada
di sektor formal. Termasuk dalam
Laki-laki Perempuan
kelompok ini adalah pekerja berusia
Jam kerja median
48
45
separuh baya antara 35-64 tahun. Pekerja
Formal
yang
lebih
tua
mungkin
telah
Setengah pengangguran
0,82%
0,79%
mengumpulkan
modal
dan
jaringan
untuk
Jam kerja median
41
30
Informal
memulai usaha informal dan mereka
Setengah pengangguran
2,26%
0,76%
kemungkinan akan lebih sejahtera dengan
Sumber: Sakernas, 2007
memiliki usahanya sendiri. Kelompok lain
termasuk pekerja bergelar pendidikan
tinggi yang mampu memperoleh gaji lebih besar daripada mereka yang berpendidikan lebih rendah, yang
secara positif mengambil pilihan untuk bekerja di sektor informal. Selain itu, ada pula para pekerja sektor
konstruksi, perdagangan, dan transportasi, serta pekerja lepas non-tani.
Tabel 3.4
58
76
Jam kerja dan tingkat setengah
pengangguran menurut gender dan
sektor pekerjaan
Berdasarkan hasil multinomial logit terhadap kepuasan individual menggunakan data IFLS 2007 seperti di atas.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3
Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Kotak 3.3
Memilih Informalitas
Tidak semua pekerja berusaha mendapatkan pekerjaan sektor formal. Sebagian memilih pekerjaan informal yang
menawarkan gaji lebih baik daripada yang dapat mereka peroleh di sektor formal. Pekerja yang lain lagi, seperti
halnya Eni, tertarik karena manfaat non-upah seperti jam kerja yang lebih pendek atau lebih fleksibel.
Eni menjajakan jamu kepada para pekerja di sekitar galangan kapal dan dermaga di Sunda Kelapa, Jakarta Utara.
Jika sedang mujur, ia mampu menjual 50-100 bungkus jamu dan 20-30 butir telur dengan penghasilan Rp 200.000300.000 untuk pekerjaan selama empat jam. Dalam sebulan, ia mampu memperoleh penghasilan sampai Rp 2,2
juta. Sebelumnya, ia bekerja di pabrik pengolahan ikan sebagai operator mesin. “Penghasilannya lumayan juga,”
kata Eni. “Tak beda jauh dengan penghasilan dari berjualan jamu, tapi saya harus kerja dari pagi sampai malam.”
Eni memilih pekerjaan ini karena lebih fleksibel dan ia tidak sendiri. “Hampir semua penjual jamu sudah punya
anak,” kata Eni. “Nyaris semuanya ganti kerja berjualan jamu setelah menikah supaya punya lebih banyak waktu
untuk keluarga. Banyak juga yang tadinya punya pekerjaan bagus di kantor. Saya kenal beberapa penjual jamu
yang sudah sarjana dan pernah kerja di perusahaan besar di kota. Perempuan berjualan jamu supaya lebih fleksibel
mengurus suami dan anak, bukan karena tidak mampu melakukan yang lain.”
Sumber: Mercy Corps. 2008
Perempuan mungkin lebih menyukai pekerjaan informal karena menawarkan fleksibilitas. Lakilaki yang bekerja secara informal mempunyai kemungkinan 5 persen lebih besar untuk merasa tidak puas
dibandingkan dengan laki-laki yang menjadi pekerja formal. Hal ini berbeda dengan perempuan yang lebih
betah di sektor informal; tingkat ketidakpuasan mereka hanya 1 persen lebih tinggi daripada rekannya yang
bekerja di sektor formal. Hal ini mungkin karena perempuan lebih menyukai jam kerja fleksibel pekerjaan
informal yang memungkinkan mereka untuk bekerja sambil tetap merawat anak-anak dan orang tua yang
lanjut usia. Selain itu, perempuan mungkin memiliki harapan yang lebih rendah, baik pada pekerjaan
sektor formal maupun informal. Perempuan yang bekerja formal memiliki jam kerja per minggu yang sama
banyaknya dengan laki-laki, sedangkan perempuan yang bekerja di sektor informal memiliki jam kerja
20 persen lebih sedikit. Mereka pun lebih mungkin merasa puas bekerja dengan jam kerja lebih singkat.
Perempuan di sektor formal mempunyai kemungkinan tiga kali lebih kecil daripada laki-laki untuk mencari
pekerjaan baru atau bersedia menerima pekerjaan baru (Tabel 3.4).59
Tabel 3.5
Tingkat peralihan ke pekerjaan formal
tahunan, 2000-2007
Usaha sendiri
di pertanian
Usaha sendiri
non-tani
Pekerja
keluarga tak
dibayar
Total
1,4
3,8
1,9
Perkotaan
2,6
4,3
3,3
Pedesaan
1,3
3,2
1,4
Laki-laki
1,6
4,5
3,4
Perempuan
1,0
3,1
1,3
Muda
0,0
7,9
3,4
Dewasa
1,5
3,7
1,7
Sumber: IFLS 4 [2007]
59
Apakah
informalitas
merupakan batu loncatan
atau perangkap?
Beberapa pekerjaan di sektor
informal berfungsi sebagai batu
loncatan
menuju
pekerjaan
formal bagi mereka yang ingin
meningkatkan penghasilan. Petani
yang memiliki usaha sendiri dan
pekerja keluarga yang tidak dibayar
kemungkinan besar akan tetap bekerja
informal. Di sisi lain, pekerja yang
memiliki usaha sendiri di sektor nontani mempunyai kemungkinan dua kali
Setengah pengangguran didefinisikan sebagai mereka yang bekerja selama 35 jam atau kurang per minggu, dan sedang
mencari pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan baru.
77
lebih besar untuk beralih ke sektor formal (Tabel 3.5). Pekerja berusia muda memanfaatkan jalan ini untuk
meraih pekerjaan yang lebih baik: mereka mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar untuk pindah
dari usaha sendiri non-tani ke pekerjaan formal bila dibandingkan dengan pekerja dewasa yang lebih tua.
Mereka umumnya keluar dari informalitas demi memperoleh upah yang lebih besar. Saat ditanya mengapa
mereka beralih ke pekerjaan formal, banyak pekerja menjawab bahwa motivasi mereka adalah karena alasan
keluarga dan bisnis yang gagal. Namun, yang menjadi alasan utama tampaknya adalah urusan keuangan.
Jika dibandingkan dengan pekerja informal yang bertahan dalam informalitas, mereka yang beralih ke sektor
formal antara 2000 sampai 2007 menerima kenaikan upah cukup besar sampai sekitar 24 persen, tanpa
memandang alasan melakukan peralihan dan setelah dilakukan kontrol terhadap karakteristik pekerja.
Kotak 3.4
Menapaki Jenjang Informal
Pekerjaan informal terkadang memberi peluang bagi pekerja untuk memperbaiki kehidupan mereka. Mereka
menggunakan pekerjaan informal untuk memperoleh pengalaman dan mengumpulkan modal agar mereka
kelak dapat memperoleh pekerjaan yang lebih menghasilkan. Beberapa di antara mereka, seperti Heri Sianto,
menggunakan pekerjaannya sebagai batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan informal yang lebih baik. Jika
berhasil, ia mungkin dapat memasuki sektor formal di kemudian hari dengan berekspansi dan mempekerjakan
karyawan.
Heri Sianto dulunya berjualan tahu dan susu kedelai di pasar, kemudian bekerja di Bakmie Raos, perusahaan waralaba
yang menjual bakmi dengan gerobak dorong di seluruh Indonesia. “Kalau kita bekerja dengan sistem komisi, semua
kebutuhan kita disediakan perusahaan. Mereka memasang harga satu mangkuk mie Rp 6.000 dan komisi yang kita
dapat Rp 1.500 per mangkuk.” Ia mampu menjual sekitar 50 mangkuk mie dalam sehari dan mempunyai penghasilan
Rp 1,65 juta per bulan. “Saya salah satu penjual yang paling sukses,” kata Heri.
“Saya baru saja mengambil kemitraan (skema waralaba selain komisi). Kita harus membeli sendiri semuanya: bahan
mentah, BBM, gerobaknya, pokoknya semua. Kita bisa dapat lebih banyak uang dari kemitraan, tapi risikonya juga
lebih besar.” Heri kini mampu memperoleh penghasilan sampai Rp 2,75 juta per bulan.
“Sejak mulai menjual Bakmie Raos, saya pindah dari rumah orang tua supaya bisa lebih dekat tempat kerja. Sekarang
saya punya uang untuk mencari tempat tinggal yang lebih besar. Saya akan tetap berjualan Bakmie Raos sampai
menemukan peluang usaha yang lebih baik.”
Sumber: Mercy Corps. 2008
Meskipun ada iming-iming jaminan penghasilan, setiap tahunnya hanya ada kurang dari 3 persen
pekerja informal yang beralih ke sektor formal. Antara 1993 dan 2000, hanya ada 2,6 persen pekerja
informal yang beralih ke sektor formal setiap tahun. Angka tersebut menurun menjadi 2,2 persen per tahun
pada periode 2000-07 (Tabel 3.6). Pertumbuhan sektor formal yang lambat telah membatasi ketersediaan
pekerjaan. Pendatang baru di pasar tenaga kerja cenderung berpendidikan lebih tinggi dan lebih banyak
tinggal di perkotaan. Pekerja informal yang berusia muda, tinggal di perkotaan, dan berjenis kelamin laki-laki
adalah golongan yang paling berhasil dalam memasuki pasar tenaga kerja formal. Yang lebih umum terjadi
adalah pekerja formal yang beralih ke pekerjaan informal. Dari 2000 sampai 2007, rata-rata 4,4 persen pekerja
formal beralih ke pekerjaan informal setiap tahun, lebih tinggi daripada tingkat peralihan pada 1993-2000.
Pekerja formal di area pedesaan yang berpendidikan lebih rendah mempunyai kemungkinan lebih besar
untuk beralih ke sektor informal daripada mereka yang tinggal di perkotaan dan berpendidikan lebih tinggi.
Perempuan memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk bekerja di sektor informal, sedangkan laki-laki
memiliki peluang sedikit lebih besar untuk beralih dari pekerjaan formal ke informal.
Beralih ke pekerjaan formal tidak selalu merupakan pilihan yang tepat. Antara 2000 dan 2007,
hanya 15,8 persen dari pekerja informal yang berhasil memperoleh upah lebih tinggi dengan beralih ke
pekerjaan formal, sedikit lebih baik daripada periode sebelumnya (Tabel 3.3). Namun, 10 persen pekerja
informal lain yang beralih ke pekerjaan formal mendapati bahwa pekerjaan lama mereka ternyata lebih
baik (dikategorikan sebagai pekerja “tidak beruntung”). Peralihan yang paling umum terjadi adalah pekerja
formal yang memasuki sektor informal dan mengalami penurunan penghasilan, sebuah tren yang terus
berkembang dan kini mencakup lebih dari seperlima dari semua pekerja formal pada 2000-07.
78
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3
Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Tabel 3.6
Mobilitas dari sektor informal ke formal
1993-2000
2000-2007
>7 tahun
per tahun
>7 tahun
per tahun
Total
19,8
2,6
16,4
2,2
Perkotaan
29,3
3,7
26,3
3,4
Pedesaan
17,8
2,4
12,3
1,7
Laki-laki
20,0
2,6
19,0
2,5
Perempuan
13,8
1,9
13,5
1,8
Muda
23,3
3,0
24,8
3,2
Dewasa
16,7
2,2
16,1
2,2
Sumber: IFLS1, IFLS 3 & IFLS 4
Apakah informalitas merupakan jaring pengaman bagi pekerja
formal?
Sementara banyak orang kehilangan pekerjaannya selama krisis, banyak pekerja formal yang mampu
bertahan dari guncangan dengan beralih ke pekerjaan informal. Lebih dari 3 di antara 10 pekerja lakilaki berganti sektor antara tahun 1997 dan 1998, sedangkan hampir 4 di antara 10 pekerja perempuan juga
berganti sektor. Kebanyakan pekerja ini diserap oleh sektor pertanian. Bagi laki-laki, terjadi peningkatan
pekerjaan usaha sendiri dan, dalam jumlah yang lebih kecil, pekerjaan di pertanian milik keluarga. Baik
di area perkotaan maupun pedesaan, terjadi kenaikan besar dalam pangsa tenaga kerja perempuan yang
memasuki angkatan kerja sebagai pekerja tak dibayar dalam usaha dan pertanian milik keluarga (3,8 persen),
atau sebagai wiraswasta (3,9 persen). Keikutsertaan perempuan miskin dalam angkatan kerja melonjak dari
52 menjadi 59 persen antara tahun 1997 dan 1999. Para perempuan ini berperan penting dalam menambah
penghasilan keluarga supaya tidak tergerus lebih jauh oleh penurunan penghasilan rumah tangga.
Gambar 3.13 Status saat ini bagi pekerja formal yang
telah diberhentikan
Tidak bekerja
20.6%
Pertanian
informal
Formal
8.2%
Non-tani
informal
19.6%
51.5%
Kebanyakan karyawan yang beralih dari
sektor formal menggunakan informalitas
sebagai jaring pengaman setelah
kehilangan pekerjaannya. Antara 2000 dan
2007, pekerja beralih ke pekerjaan informal
karena berbagai alasan. Sebagian berdalih
karena alasan keluarga (14 persen), yang lain
karena mencari upah lebih tinggi (14 persen),
sedangkan sebagian lagi menginginkan
lingkungan kerja yang lebih baik (4 persen).
Tetapi, 43 persen dari antara karyawan yang
beralih dari pekerjaan formal ke informal
dalam periode tersebut kehilangan pekerjaan
sektor formalnya tidak secara sukarela.
Informalitas hanya menawarkan jaminan
parsial bagi pekerja yang meninggalkan
pekerjaan formal. Antara 2000 dan 2007, bila dibandingkan dengan pekerja formal yang masih tetap di
sektor formal, mereka yang beralih ke sektor informal menghadapi penurunan upah 32 persen, setelah
dilakukan kontrol terhadap karakteristik pekerja. Dua puluh delapan persen dari antara pekerja formal
yang diberhentikan memilih untuk mengambil pekerjaan informal (Gambar 3.12). Dengan mengambil
Sumber: IFLS 4
79
jalan ini, mereka menghadapi penurunan upah 20 persen. Namun demikian, sebagian besar pekerja sektor
formal yang diberhentikan cenderung mencari pekerjaan formal pula sebagai pengganti. Kenyataannya,
kebanyakan berhasil memperoleh pekerjaan dengan penghasilan lebih besar, rata-rata 11 persen lebih
besar daripada pekerjaan formal yang lama.
III. Kesimpulan
Dengan angkatan kerja yang tersegmentasi seperti di Indonesia, pembuat kebijakan harus berfokus
untuk mempercepat penciptaan pekerjaan yang ‘lebih baik’ sambil tetap melindungi pekerja yang
rentan. Tanpa adanya peningkatan kesempatan di sektor formal dan non-tani yang lebih disukai, mayoritas
pekerja Indonesia akan tetap menjadi pekerja informal. Karena pekerja informal cenderung lebih miskin,
pertumbuhan lapangan kerja formal yang stagnan juga akan memperlambat laju pengurangan kemiskinan
di Indonesia. Sebab itu, tantangan yang dihadapi pemerintah baru adalah untuk mengidentifikasi dan
mendukung kebijakan yang memperluas kesempatan kerja di sektor formal, sambil memperbaiki cakupan
kebijakan bagi pekerja informal dan karyawan tanpa kontrak.
Memperluas manfaat perlindungan sosial dapat mengurangi kerentanan yang dikaitkan dengan
informalitas. Karena tunjangan seperti perawatan kesehatan dan pensiun sering kali disediakan melalui
pemberi kerja, para pekerja informal dan karyawan tanpa kontrak umumnya tidak tercakup. Indonesia
telah mengambil langkah awal untuk memperluas cakupan medis dengan meluncurkan Askes (Asuransi
Kesehatan) yang nantinya akan diperluas lagi. Di sisi lain, skema pensiun, hanya mencakup karyawan sektor
formal dan pegawai negeri. Meskipun Undang-Undang No. 40/2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial
Nasional telah menjabarkan aspirasi nasional untuk memberikan cakupan jaminan sosial yang universal,
belum ada rencana yang jelas mengenai cara membangun sistem nasional yang selaras dan dapat
dijalankan. Banyak pekerjaan yang masih harus dilakukan untuk mengembangkan program asuransi sosial
generasi kedua yang dapat dipertanggungjawabkan secara fiskal. Pembuat kebijakan pertama-tama harus
mengkaji implikasi dari cakupan yang lebih luas dan menjelaskan reformasi kelembagaan yang diperlukan
demi memberikan program asuransi sosial. Reformasi tersebut harus dilakukan secara bertahap guna
memastikan bahwa sistem asuransi sosial yang diperluas merupakan sistem yang jelas, dapat dijalankan,
dan terjangkau.
Tantangan utama yang dihadapi pemerintah adalah mengidentifikasi dan mendukung kebijakan
yang akan memberikan kesempatan lebih banyak bagi pekerja untuk mendapatkan pekerjaan yang
“lebih baik”. Ekspansi sektor formal akan memberikan lebih banyak peluang bagi pekerja untuk beralih ke
pekerjaan yang menawarkan jaminan penghasilan lebih tinggi dan cakupan tunjangan yang lebih baik.
Namun, masih banyak upaya yang perlu dilakukan untuk mencari cara meningkatkan penciptaan lapangan
kerja dan menghubungkan pekerja dengan calon pemberi kerja yang menawarkan pekerjaan. Bidang yang
perlu menjadi fokus termasuk:
Memahami cara memperbaiki akses terhadap kredit bagi pengusaha mikro dan usaha kecil menengah
(UKM), serta mengurangi hambatan birokrasi bagi kelompok tersebut demi merangsang penciptaan
pekerjaan.
Memperbaiki aliran informasi sehingga pekerja informal dapat mencari pekerjaan yang lebih baik, dan
mendalami strategi untuk menghubungkan pekerja informal dan karyawan tanpa kontrak dengan
calon pemberi kerja.
Mengidentifikasi layanan pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian pekerja informal dan pekerja
tanpa kontrak supaya mereka dapat lebih memenuhi syarat untuk pekerjaan yang membutuhkan
keahlian khusus.
80
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 3
Segmentasi Pasar Tenaga Kerja
Pada saat yang sama, reformasi kebijakan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor
formal. Di tengah perdebatan saat ini mengenai reformasi ketenagakerjaan, berbagai serikat pekerja berfokus
pada perbaikan kesejahteraan pekerja melalui penegakan peraturan mempekerjakan dan memberhentikan
karyawan. Diperkuatnya penegakan aturan tersebut akan memberikan jaminan penghasilan yang lebih
baik bagi pekerja dengan kontrak permanen atau sementara, yang memang lebih berpeluang memperoleh
tunjangan seperti uang pesangon dan pensiun. Tetapi, pekerja informal dan karyawan tanpa kontrak akan
lebih memperoleh manfaat dari kebijakan yang mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor formal
dan non-tani. Sebagai contoh, pemberi kerja kemungkinan akan dapat mempekerjakan lebih banyak
pekerja kontrak permanen jika reformasi ketenagakerjaan memangkas biaya untuk mempekerjakan atau
memberhentikan karyawan. Pembuat kebijakan harus menyeimbangkan antara kepentingan kalangan
kecil dan kepentingan sebagian besar pekerja yang tidak mampu bersuara banyak untuk mempengaruhi
kebijakan dan peraturan ketenagakerjaan. Bab berikutnya akan memberikan rekomendasi lebih lanjut
mengenai bagaimana kebijakan, lembaga, dan program ketenagakerjaan dapat mendorong penciptaan
lapangan kerja dan dapat menyiapkan pekerja yang tertinggal dengan lebih baik agar berhasil di pasar
tenaga kerja.
81
Bab 4
Peraturan Perekrutan &
Pemberhentian
Menyeimbangkan Penciptaan Lapangan Kerja dan
Perlindungan Karyawan
Bab 4 Ringkasan & Rekomendasi
Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 13/2003) telah menjadikan peraturan ketenagakerjaan Indonesia
sangat kaku dan merupakan salah satu peraturan yang paling ketat di kawasan Asia Timur. Undang-undang
tersebut menaikkan nilai pesangon bagi pekerja dengan masa kerja tiga tahun atau lebih dan ditambah dengan
pembayaran sebesar 15 persen sebagai kompensasi. Dengan kenaikan ini, uang pesangon diperkirakan setara
dengan “pajak perekrutan” (hiring tax) senilai kira-kira sepertiga dari upah tahunan pekerja. Biaya pemberhentian
pekerja di Indonesia lebih tinggi dari semua Negara sekawasan. . Meskipun kebanyakan perekonomian di kawasan
Asia membatasi penggunaan kontrak dengan jangka waktu tertentu (Fixed-Term Contracts – FTC) hanya bagi
kegiatan tertentu dan menentukan baik lamanya kontrak maupun persyaratan untuk perpanjangan kontrak,
Indonesia termasuk kelompok negara yang mengatur kontrak jangka waktu tetap dengan lebih ketat.
Upaya untuk mereformasi peraturan perekrutan dan pemberhentian terus mengalami kebuntuan
sehingga menghambat kemampuan Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja di sektor formal.
Perdebatan seputar reformasi undang-undang ketenagakerjaan sangat sengit dan terfokus pada peraturan
perekrutan dan pemberhentian yang kontroversial. Demi meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja, pemerintah
telah berupaya mereformasi peraturan tersebut pada tahun 2006 dan 2007, namun keduanya gagal. Kebuntuan ini
menghambat kemampuan Indonesia untuk mempercepat laju penciptaan pekerjaan yang ‘baik’. Hal ini selanjutnya
menghambat pencapaian target nasional pengurangan kemiskinan karena terbatasnya peluang bagi kaum miskin
untuk memperoleh penghasilan yang dapat membantu mereka keluar dari kemiskinan.
Kebuntuan saat ini menjebak para pekerja dan pemberi kerja dalam keadaan “sama-sama rugi” yang
menghambat penciptaan lapangan kerja dan tidak memberi perlindungan yang cukup bagi karyawan.
Tingginya tingkat pesangon yang diwajibkan secara hukum di Indonesia telah menghalangi investasi asing dan
mengurangi minat para pengusaha untuk menciptakan usaha baru. Aturan yang rumit mengenai perhitungan
pesangon dan sistem “pasca-bayar” saat ini menimbulkan masalah tambahan karena menyulitkan perusahaan untuk
memperkirakan biaya tenaga kerja. Tingkat pesangon yang tinggi tidak hanya merugikan pemberi kerja, tetapi
juga karyawan. Peraturan tersebut tidak efektif dalam melindungi karyawan yang diberhentikan dan menghadapi
pengangguran. Diantara semua karyawan yang diberhentikan dalam dua tahun terakhir dan memenuhi syarat
untuk menerima pesangon, hanya 34 persen yang menerima uang pesangon. Diantara karyawan yang menerima
uang pesangon, 78,4 persen menerima pesangon lebih kecil daripada nilai yang menjadi hak mereka secara hukum.
Ketidakpatuhan terhadap peraturan tersebut justru paling banyak dialami oleh pekerja yang paling membutuhkan
perlindungan penghasilan: perempuan, staf sementara, dan karyawan berupah rendah.
Rekomendasi
Berupaya mencari pemecahan “sama-sama untung” dengan menegosiasikan kesepakatan besar –
menurunkan tingkat pesangon dan, sebagai gantinya, memperkenalkan tunjangan pengangguran.
Pertama-tama, penyederhanaan kerumitan hukum dalam peraturan pesangon saat ini dan penurunan nilai
pesangon akan menyetarakan Indonesia dengan standar kawasan. Hal ini akan meningkatkan fleksibilitas pasar
tenaga kerja dan daya saing global. Pada saat bersamaan, memperkenalkan sistem tunjangan pengangguran dapat
memberikan perlindungan yang lebih baik bagi karyawan yang diberhentikan. Dengan menggunakan pendekatan
kontribusi bulanan akan mempermudah perusahaan untuk memperkirakan biaya tenaga kerja dan memisahkan
pembayaran tunjangan dari keputusan pemberi kerja dalam menerima dan memberhentikan pekerja. Hal ini juga
akan meningkatkan kepatuhan pemberi kerja sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap Pengadilan
Hubungan Industrial yang menghadapi kasus pemberhentian kerja yang kian menumpuk.
Proses reformasi dapat dimulai dengan melakukan analisis yang diperlukan guna mengidentifikasi opsi
apa yang paling cocok bagi Indonesia. Studi simulasi diperlukan untuk mengkaji dampak yang diperkirakan
akan terjadi akibat sistem alternatif dan implikasi serta kebutuhan kelembagaan yang terkait dengan masingmasing opsi reformasi. Berdasarkan model yang paling cocok, diperlukan peta langkah reformasi sebagai dasar
bagi sistem di masa depan yang selayaknya dikaitkan dengan masa depan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang
diwajibkan oleh Undang-Undang No. 40/2004.
84
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4
Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
I.
Pendahuluan
Hukum
tentang
perekrutan
dan
pemberhentian pekerja di Indonesia telah
diperketat
tahun
2003
dengan
disahkannya
Undang-Undang
140
Ketenagakerjaan (No. 13/2003). Undangundang tersebut menjadi inti dari
Indeks Kesulitan Memberhentikan
120
Perundangan Perlindungan Pekerja (Employee
Indeks Kesulitan Mempekerjakan
Protection Legislation - EPL /) di Indonesia yang
100
mengatur
praktik
perekrutan
dan
80
pemberhentian karyawan, serta penetapan
upah minimum. Selain itu, undang-undang
60
tersebut juga mencakup serangkaian
persoalan ketenagakerjaan lainnya termasuk
40
peluang yang sama (equal opportunity),
pelatihan, perencanaan dan penempatan
20
tenaga kerja, pedoman dasar bagi perjanjian
0
kerja bersama, tenaga kerja anak, dan kondisi
Cina
Indonesia
Malaysia
Filipina
Thailand
Vietnam
kerja.60 Melalui undang-undang ini, para wakil
61
rakyat
bermaksud
meningkatkan
Sumber: World Bank. 2009a. Doing Business.
perlindungan karyawan dengan memperbesar
pesangon bagi karyawan yang diberhentikan dan memperketat penggunaan kontrak dengan jangka waktu
tertentu ( FTC) oleh pemberi kerja. 61
Gambar 4.1
Indeks kesulitan mempekerjakan
dan memberhentikan karyawan,
perbandingan berbagai negara
Peraturan perekrutan dan pemberhentian di Indonesia adalah salah satu yang paling kaku di antara
Asia Timur dan di dunia. Dalam sebuah survei yang membandingkan kekakuan peraturan ketenagakerjaan
di berbagai negara, Indonesia menempati urutan ke-157 dari 181 negara di dunia. Jika dibandingkan dengan
negara tetangga yang menjadi pesaing di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Indonesia menempati urutan ke23 dari 24 negara.62 Tidak ada negara sekawasan yang memiliki biaya pemberhentian karyawannya setinggi
Indonesia (Gambar 4.1). Nilai pesangon di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan (Gambar 4.2),
sedangkan peraturan penggunaan kontrak sementara juga merupakan salah satu yang paling ketat. Karena
berbagai alasan tersebut, survei iklim investasi mengidentifikasi kekakuan peraturan ketenagakerjaan
sebagai salah satu penghambat terbesar untuk meningkatkan investasi di Indonesia.63
Upaya mereformasi peraturan perekrutan dan pemberhentian terus mengalami kebuntuan
sehingga menghambat kemampuan Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja di sektor formal.
Perdebatan seputar reformasi undang-undang ketenagakerjaan sangat sengit dan terutama difokuskan
60
61
62
63
Undang-undang tersebut berisi 18 bab, 193 pasal, dan sekitar 500 ketentuan. Selain itu, berbagai petunjuk pelaksanaan (juklak)
telah diterbitkan sejak disahkannya undang-undang tersebut pada tahun 2003. Undang-undang ini, bersamaan dengan empat
undang-undang lainnya yang juga terkait dengan ketenagakerjaan, mengatur pasar tenaga kerja di Indonesia: Undang-Undang
Serikat Pekerja (No. 21/2000), Undang-Undang Mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (No. 2/2004), UndangUndang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (No. 39/2004), dan Undang-Undang Jaminan
Sosial (No. 40/2004).
Indeks kekakuan ketenagakerjaan adalah rata-rata dari 3 sub-indeks: indeks kesulitan mempekerjakan, indeks kekakuan jam
kerja, dan indeks kesulitan memberhentikan. Nilai semua sub-indeks berkisar dari 0 sampai 100, nilai yang semakin tinggi
menunjukkan peraturan yang semakin kaku. LIhat www.doingbusiness.org untuk perincian lebih lanjut.
Doing Business, 2009a. Laporan yang dikompilasi oleh Bank Dunia ini didasarkan pada temuan survei yang mengukur secara
kuantitatif berbagai peraturan mempekerjakan pekerja di 181 ekonomi.
Survei investasi termasuk “Investment Climate Survey” (Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia, 2005) dan berbagai survei yang
dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Survei oleh LPEM
terdiri atas tiga babak survei antara tahun 2005 sampai 2007 yang merupakan proyek pemantauan iklim investasi. Hasil survei
memperlihatkan bahwa persentase perusahaan yang melaporkan turunnya daya saing akibat peraturan ketenagakerjaan telah
meningkat selama periode tersebut dari 30 menjadi 35 persen. Hanya sepertiga dari perusahaan yang disurvei menganggap
peraturan ketenagakerjaan bukan hambatan serius.
85
pada peraturan perekrutan dan pemberhentianyang kontroversial. Demi meningkatkan fleksibilitas pasar
tenaga kerja, pemerintah telah berupaya mereformasi peraturan tersebut pada tahun 2006 dan 2007,
namun keduanya gagal. Akibatnya, peraturan ketenagakerjaan Indonesia masih merupakan salah satu yang
paling kaku di kawasannya. Kebuntuan ini menghambat kemampuan Indonesia untuk mempercepat laju
penciptaan pekerjaan yang ‘baik’. Hal ini selanjutnya menghambat pencapaian target nasional pengurangan
kemiskinan karena terbatasnya peluang bagi kaum miskin untuk memperoleh penghasilan yang dapat
membantu mereka keluar dari kemiskinan.
Bab 4 mengkaji sejauh mana peraturan perekrutan dan pemberhentian karyawan dapat memberi
perlindungan nyata bagi karyawan dan pengaruhnya terhadap penciptaan lapangan kerja.
Perdebatan seputar peraturan perekrutan dan pemberhentian karyawan belum didasarkan pada bukti
empiris mengenai seberapa baik peraturan tersebut melindungi pekerja dan berdampak terhadap penciptaan
lapangan kerja. Keadaan ini telah menghalangi terjadinya kemajuan nyata untuk memecah kebuntuan
dalam dialog kebijakan. Bab ini dimaksudkan untuk memberikan bukti empiris kepada pemerintah, serikat
pekerja, dan perusahaan guna memulai kembali dan mendasari negosiasi tripartit mengenai reformasi
hukum ketenagakerjaan. Bab ini terdiri atas empat bagian:
Yang pertama mengamati perubahan dalamperaturan perekrutan dan pemberhentian di Indonesia,
seperti yang tercantum dalam Hukum Ketenagakerjaan.
Yang kedua mengkaji pengaruh meningkatnya kekakuan terhadap penciptaan lapangan kerja di sektor
formal.
Yang ketiga mengamati seberapa baik peraturan perekrutan dan pemberhentian saat ini dalam
memberikan perlindungan nyata bagi karyawan.
Bagian terakhir memberikan rekomendasi bagi reformasi kebijakan untuk mencari pemecahan “samasama untung” yang dapat mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor formal, dan sekaligus
meningkatkan perlindungan bagi karyawan.
II. Kekakuan dalam Peraturan Perekrutan dan
Pemberhentian
Tingkat pesangon di Indonesia yang dulunya rendah, mulai meningkat sejak pertengahan 90-an.
Hampir sepanjang era Orde Baru, biaya mempekerjakan dan memberhentikan – termasuk uang pesangon
– relatif rendah jika dibandingkan dengan standar internasional. Biaya tersebut tetap terhitung rendah
meskipun terjadi kenaikan sampai lebih dari 50 persen pada tahun 1996. Kecilnya nilai pesangon dan
kepatuhan yang rendah menghasilkan pasar tenaga kerja yang sangat fleksibel. Tetapi, di bawah rezim
politik yang represif, fleksibilitas ini sering kali mengorbankan kondisi kerja dan hak para pekerja.64 Keadaan
berubah setelah 1998 ketika pemerintah yang pro-reformasi dan serikat pekerja yang semakin berani
bersuara, meningkatkan tekanan kepada perusahaan untuk patuh pada hukum ketenagakerjaan. Nilai
pesangon bagi pekerja dengan masa kerja 10 tahun atau lebih telah dinaikkan pada tahun 2000, bersamaan
dengan uang penghargaan masa kerja bagi semua pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela.
Tingkat pesangon Indonesia saat ini terhitung tinggi, baik menurut standar regional maupun
internasional. Undang-Undang Ketenagakerjaan semakin memperbesar nilai pesangon bagi pekerja
dengan masa kerja 3 tahun atau lebih dan menambahkan uang pengganti hak senilai 15 persen dari semua
pembayaran pesangon dan uang penghargaan masa kerja sebagai kompensasi atas hilangnya tunjangan
perumahan dan perawatan kesehatan.65 Akibat kenaikan tersebut, uang pesangon diperkirakan setara
64
65
86
Manning 1998, Suryahadi, Widyanti, dan Sumarto 2003.
Lampiran IV.1. Peraturan yang terkait dengan tingkat pesangon adalah: Peraturan Menteri No. 4/1986, Peraturan Menteri No.
3/1996, Keputusan Menteri No. 150/2000, dan Pasal 156 – 172 Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003 (LP3E FE UNPAD
dan GIAT, 2004).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4
Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
dengan “pajak perekrutan” senilai 4,1 bulan gaji per karyawan atau 34 persen dari upah tahunan pekerja. Nilai
“biaya mempekerjakan” ini meningkat dari rata-rata 2 bulan pada tahun 1996 dan 3,4 bulan pada 2000.66
Uang pesangon maksimum dalam hal PHK akibat alasan ekonomi kini mendekati 30 bulan gaji (Gambar
4.2).67 Setelah kenaikan tersebut, tingkat pesangon di Indonesia kini terhitung tinggi menurut standar
internasional dan menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Timur (Gambar 5.5).68
Kerumitan dalam penentuan pesangon dan uang penghargaan masa kerja menyebabkan biaya untuk
mempekerjakan pekerja di Indonesia tidak dapat diperkirakan. Undang-Undang Ketenagakerjaan
menggunakan serangkaian aturan yang rumit untuk menentukan apakah pekerja yang diberhentikan akan
menerima kompensasi dan berapa nilai yang berhak mereka peroleh, berdasarkan alasan pemberhentian
(Gambar 4.4). Banyaknya variasi paket total yang berhak diperoleh pekerja yang diberhentikan menyulitkan
pemberi kerja untuk mengantisipasi semua biaya staf. Sebagai contoh, pemberhentian kerja akibat masalah
ekonomi di luar kendali karyawan akan berakibat mahal bagi pemberi kerja: paket kompensasinya bernilai
dua kali biaya pesangon berdasarkan lamanya masa kerja, ditambah dengan uang penghargaan masa
kerja. Variasi ini dapat mempengaruhi keputusan bisnis pemberi kerja. Jika sebuah perusahaan terpaksa
mengurangi jumlah staf ketika terjadi kemerosotan ekonomi, perusahaan kemungkinan akan lebih
menghemat biaya dengan menyatakan diri bangkrut dan tutup, daripada mengurangi karyawan dan harus
membayar pesangon dua kali lipat bagi setiap pekerja yang diberhentikan. Pemberi kerja juga diwajibkan
memberikan pembayaran tambahan untuk tunjangan kesehatan, medis, dan perumahan, serta tunjangan
lain dengan merujuk pada kontrak karyawan.
Gambar 4.2
Tingkat pesangon, 1996-2003
Gambar 4.3
Pajak Perekrutan (dalam gaji
mingguan)
Nilai pesangon dalam bulan gaji
30
25
UU 1996
UU 2000
20
UU 2003
15
10
5
0
<1
3
5
10
20
Max
Cina
Filipina
Masa kerja (dalam tahun)
Sumber: LP3E, 2004
66
67
68
Sumber: Doing Business, 2009a
LP3E FE UNPAD dan GIAT, 2004. Pajak Perekrutan (hiring tax) mengukur diskonto perkiraan biaya, pada saat mulai mempekerjakan
seorang pekerja, yang akan dikeluarkan di masa depan untuk memberhentikan pekerja atau jika pekerja mengundurkan diri. Biaya
ini memperlihatkan nilai pesangon yang diperkirakan harus dibayar oleh pemberi kerja di masa depan jika ia mempekerjakan
seorang pekerja baru. Perhitungan ini didasarkan pada probabilitas pekerja baru untuk berhenti pada tahun tertentu dan
penyebab pemberhentian, karena penyebab pemberhentian yang berbeda mempunyai nilai pesangon yang berlainan
(mengundurkan diri, diberhentikan karena pelanggaran ringan, atau akibat masalah ekonomi). Lihat pula Alihsjahbana, 2007.
Tingkat pembayaran pesangon maksimum mengacu pada pesangon yang dibayarkan kepada pekerja dengan masa kerja lebih
dari 24 tahun. Rumus dasarnya adalah dua kali pesangon ditambah uang penghargaan masa kerja.
Doing Business, 2009a. Laporan yang dikompilasi oleh Bank Dunia ini menggunakan indikator biaya perampingan karyawan yang
mengukur biaya persyaratan pemberitahuan di muka, uang pesangon, dan penalti yang perlu dibayar ketika memberhentikan
pekerja yang terkena perampingan dan telah bekerja di perusahaan selama 20 tahun. OECD juga membuat peringkat kekakuan
hukum perlindungan tenaga kerja dengan skala angka yang berkisar dari nol (yang paling tidak kaku) sampai 6 (yang paling
kaku). Skala Perundangan Perlindungan Pekerja (Employment Protection Legislation – EPL) EPLuntuk uang pesangon didasarkan
pada terpenuhinya persyaratan untuk tiga tingkat masa kerja: sembilan bulan, empat tahun, dan 20 tahun. Indeks untuk uang
pesangon di Indonesia adalah 4,33, serupa dengan indeks untuk Bangladesh (4,67), Korea (4,00), Nepal (4,67), Filipina (4,67), dan
Republik Rakyat Cina (4,67).
87
Pada saat bersamaan, Undang-Undang Ketenagakerjaan juga memperketat penggunaan
kontrak sementara. Sebelumnya, kontrak sementara atau kontrak dengan jangka waktu sementara
(FTC) diperbolehkan untuk maksimum lima tahun. Hal ini berubah dengan disahkannya UndangUndang Ketenagakerjaan yang membatasi kesepakatan tenaga kerja dan menghambat keputusan untuk
mempekerjakan.69 Di bawah undang-undang tersebut, FTC hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang:
bersifat sementara, dengan waktu terbatas (misalnya pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam tiga tahun),
bersifat pekerjaan musiman atau eksperimental.70 Namun, masih tersisa kerancuan mengenai posisi apa saja
yang termasuk dalam kategori tersebut. Demikian pula pengalihdayaan (outsourcing) dibatasi hanya untuk
kegiatan non-inti di sebuah perusahaan.71 Dalam kedua kasus, kontrak sementara dibatasi maksimum tiga
tahun.
Peraturan untuk FTC di Indonesia lebih kaku jika dibandingkan dengan negara tetangganya.
Kebanyakan negara Asia membatasi penggunaan FTC hanya bagi kegiatan tertentu dan menentukan baik
lamanya kontrak maupun persyaratan untuk perpanjangan kontrak. Jepang, Korea, Malaysia, dan Thailand
mempunyai peraturan kontrak jangka waktu tetap yang paling fleksibel di kawasan. Indonesia termasuk
dalam kelompok negara yang mengatur FTC dengan lebih ketat, sama seperti Kamboja, Filipina, dan Vietnam
(Tabel 4.1).
Tabel 4.1
Paling
fleksibel
Sedang
Paling ketat
Peraturan kontrak dengan jangka waktu tertentu di negara Asia Timur
Negara
Peraturan
Jepang
Jangka waktu dibatasi (3 tahun; 5 tahun untuk karyawan dengan pekerjaan yang
sangat khusus); dapat diperpanjang beberapa kali; pengecualian diperbolehkan
untuk proyek tertentu.
Korea
Jangka waktu dibatasi (2 tahun); pengecualian diperbolehkan untuk proyek atau
tugas tertentu.
Malaysia
Jangka waktu tidak dibatasi; kontrak harus tertulis jika jangka waktunya lebih lama
daripada satu bulan.
Thailand
Tidak ada pembatasan; peraturan mencakup semua perusahaan yang
mempekerjakan setidaknya 20 orang karyawan.
Singapura
Pekerjaannya atau jangka waktunya harus tertentu.
Cina
Hampir semua hubungan kerja bersifat permanen; kontrak untuk tugas yang telah
ditentukan harus tertulis.
Kamboja
Jangka waktu dibatasi (2 tahun); tugas telah ditentukan; kontrak harus tertulis.
Indonesia
Jangka waktu dibatasi (3 tahun); tidak ada perpanjangan; hanya untuk pekerjaan
sementara.
Filipina
Hanya untuk proyek khusus; jangka waktu dibatasi tergantung pada kategori yang
telah ditetapkan; tidak ada perpanjangan.
Vietnam
Jangka waktu dibatasi (1-3 tahun); dapat diperpanjang 36 bulan; hanya untuk
pekerjaan tertentu atau musiman.
Sumber: Berdasarkan ILO, 200772
69
70
71
72
88
FTC diatur dalam pasal 59-60 Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003 dan Keputusan Menteri No. 100/2004. Peraturan
sebelumnya didasarkan pada Peraturan Menteri yang dikeluarkan tahun 1993.
Alisjahbana, 2007.
Pengalihdayaan atau subkontrak mengacu pada tiga jenis kegiatan. Yang pertama, sebuah perusahaan dapat mengalihdayakan
komponen produksi tertentu. Yang kedua, sebuah perusahaan dapat menyewa jasa khusus seperti jasa boga atau jasa kebersihan.
Yang ketiga, pengalihdayaan dapat mencakup pengalihdayaan tenaga kerja dan kegiatan agensi penempatan kerja (Manning
dan Roesad, 2007).
Tabel 4.1 meringkaskan peraturan yang spesifik pada setiap ekonomi Asia dengan informasi dari ILO (pangkalan data on-line
LABORSTA, 2008) mengenai jangka waktu kontrak sementara dan dalam kondisi apa kontrak sementara diperbolehkan.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lain-lain: Perlakuan buruk dari pemberi kerja,
tidak dibayar, kerja di luar kontrak, pekerjaan
berbahaya yang tidak diperkirakan sebelumnya
Pasal 169
Pensiun dan perusahaan
tidak berkontribusi bagi
dana pensiun
Pasal 167
Pensiun dan perusahaan
berkontribusi bagi dana
pensiun
Cacat permanen akibat
kecelakaan di tempat kerja
Pasal 172
Sakit berkepanjangan
Pasal 172
Alasan pengunduran
diri:
Tidak
Perusahaan mengalami
merger/akuisisi/perubahan pemilik?
Mengundurkan diri
Ya
Dipailitkan
Pasal 165
Rasionalisasi
perusahaan
Pasal 164 (3)
Force majeur
Pasal 164 (1)
Rugi 2 tahun berturut-turut
Pasal 164 (1)
Alasan penutupan:
Ya
Tidak
Alasan pemberhentian:
2 x Pesangon
1 x UPMK
1 x Pesangon
1 x UPMK
1 x Pesangon
1 x UPMK
1 x Pesangon
1 x UPMK
Perusahaan ditutup?
Dipecat/diberhentikan
STOP
Tidak
Pekerja melakukan pelanggaran
ringan/berkinerja buruk
Pasal 161 & 168 (3)
Pelanggaran kriminal yang
dilakukan di luar tempat kerja atau
dilaporkan oleh perusahaan
Pasal 160 (3 & 5)
Pekerja melakukan pelanggaran
berat di tempat kerja
Pasal 158
Pasal 164 (3)
Merger/akuisisi/perubahan pemilik
Pasal 163 (2)
Mengundurkan diri atau ganti kerja selama 2 tahun terakhir
Peraturan mengenai pesangon dan uang penghargaan masa kerja
0 x Pesangon
1 x UPMK
0 x Pesangon
1 x UPMK
0 x Pesangon
0 x UPMK
2 x Pesangon
1 x UPMK
2 x Pesangon
1 x UPMK
Sumber: Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 13/2003). Catatan: UPMK merujuk pada uang penghargaan masa kerja. Selain menerima pesangan dan/atau uang penghargaan masa kerja, pekerja juga
berhak menerima pembayaran untuk cuti tahunan yang belum diambil, biaya transportasi ke tempat perekrutan, kompensasi atas hilangnya tunjangan perumahan, tunjangan medis dan kesehatan, serta
kompensasi lain yang telah ditentukan dalam kontrak (Pasal 156).
2 x Pesangon
1 x UPMK
2 x Pesangon
1 x UPMK
0 x Pesangon
0 x UPMK
2 x Pesangon
2 x UPMK
2 x Pesangon
2 x UPMK
1 x Pesangon
1 x UPMK
Ya
Pasal 163 (1)
Gambar 4.4
Bab 4
Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
89
Tanpa memandang adanya perubahan kondisi apa pun, banyak perusahaan yang belum mengubah
persepsinya mengenai berusaha di Indonesia. Kenyataannya, indeks kekakuan Perundangan Perlindungan
Pekerja (Employment Protection Legislation – EPL) EPLyang dibuat OECD memperlihatkan bahwa peringkat
Indonesia tidak berubah, meskipun telah terjadi perubahan batas waktu maksimum FTC dari 72 menjadi 36
bulan.73
III. Kekakuan Peraturan dan Penciptaan Lapangan
Kerja
Tingkat pesangon yang tinggi dan peraturan yang kaku mengenai penggunaan kontrak sementara
telah memicu perdebatan mengenai perlindungan pekerja versus efisiensi ekonomi. EPL, termasuk
mengenai uang pesangon dan peraturan kontrak sementara, diperkenalkan demi melindungi karyawan
dengan meningkatkan jaminan pekerjaan dan mempertahankan kestabilan penghasilan bagi karyawan yang
telah diberhentikan dan keluarga mereka. Tetapi, EPL juga menimbulkan biaya ekonomi. Beban tambahan
dalam bentuk kenaikan biaya mempekerjakan dan memberhentikan dapat menyebabkan perusahaan
membatasi jumlah staf yang dipekerjakan, terutama dengan kontrak permanen. Perbedaan pandangan
mengenai efisiensi ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan perlindungan karyawan telah memicu
perdebatan panjang di seputar aturan perlindungan karyawan dalam hukum ketenagakerjaan. Bagian ini
mengkaji sejauh mana peraturan perekrutan dan pemberhentian telah memberikan perlindungan nyata
bagi pekerja atau menghambat penciptaan lapangan kerja.
Tingginya tingkat pesangon yang diwajibkan secara hukum di Indonesia telah menghalangi
investasi asing dan mengurangi minat para wiraswasta untuk menciptakan usaha baru. Pemberi
kerja mengkhawatirkan biaya tinggi untuk berbisnis di Indonesia dan kondisi ini mengurangi minat berbagai
perusahaan untuk mempekerjakan pekerja secara permanen.74 Masyarakat bisnis di Indonesia berpendapat
bahwa peraturan nilai pesangon yang terlalu besar telah membatasi penciptaan lapangan kerja karena
memperburuk iklim investasi dan mengurangi minat untuk menciptakan bisnis baru, terutama di sektor
yang padat karya. Tingkat pesangon yang tinggi juga mempengaruhi keputusan pemberhentian untuk
menanggapi kondisi perekonomian, terutama ketika terjadi kemerosotan. Demikian pula, aturan yang rumit
mengenai perhitungan pesangon dan sistem “pasca bayar” saat ini menimbulkan masalah tambahan karena
menyulitkan perusahaan untuk memperkirakan biaya tenaga kerja.
Tingkat pesangon yang tinggi mengurangi minat perusahaan untuk mempekerjakan karyawan baru
secara permanen. Untuk mencegah terjadinya biaya tinggi akibat pemberhentian karyawan permanen,
berbagai perusahaan semakin mengandalkan FTC, termasuk staf sementara dan karyawan alih daya yang
berpeluang kecil untuk memenuhi syarat memperoleh uang pesangon dan pensiun dari pemberi kerja.
Sebuah survei tahun 2004 terhadap 86 perusahaan di perkotaan besar melaporkan bahwa telah terjadi
kenaikan penggunaan kontrak jangka waktu tetap sebesar 8 persen sebagai bagian dari upaya restrukturisasi
perusahaan.75 Selain itu, juga ada persepsi kuat dalam masyarakat bahwa pekerjaan sementara merupakan
73
74
75
90
OECD memanfaatkan berbagai komponen EPL untuk membuat skala angka yang berkisar dari nol (yang paling tidak kaku)
sampai 6 (yang paling kaku). Dalam konteks ini, EPL merujuk pada segala jenis langkah perlindungan karyawan, baik yang
ditentukan melalui undang-undang, keputusan pengadilan, perjanjian kerja bersama hasil perundingan bersama, atau praktik
yang telah umum (OECD, 1999: 50).
LP3E FE UNPAD dan GIAT, 2004. “Di tengah kondisi bisnis yang penuh gejolak dan tidak menentu, banyak perusahaan merasa
bahwa peraturan pesangon yang berlebihan semakin menambah tekanan [bagi pemberi kerja]… untuk mengurangi jumlah
pekerja dan [telah] mengurangi minat perusahaan untuk memperkerjakan pekerja secara permanen," (hal. viii).
LP3E FE UNPAD dan GIAT, 2004. Lihat Gambar 5.5. Perlu diperhatikan bahwa mayoritas perusahaan yang ikut serta dalam studi
ini melakukan kegiatan manufaktur.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4
Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
hal yang umum di Indonesia dan semakin banyak terjadi. Kondisi ini merupakan bagian dari tren global
peningkatan pemakaian kontrak sementara, yang porsinya masih kecil dalam hubungan ketenagakerjaan di
seluruh dunia, namun semakin umum dilakukan. Penggunaan kontrak sementara perlahan-lahan semakin
meningkat pada dua per tiga negara anggota OECD; angka rata-ratanya meningkat tipis dari 13,9 persen
tahun 2000 menjadi 14,6 persen tahun 2007.76
Namun demikian, pembatasan penggunaan kontrak sementara berpeluang semakin membatasi
penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Meskipun biaya pemberhentian yang tinggi mengurangi
minat perusahaan untuk mempekerjakan staf permanen, peraturan FTC yang kaku juga turut mengurangi
minat perusahaan untuk mempekerjakan staf sementara. Para pelaku bisnis beralasan bahwa pembatasan
penggunaan kontrak jangka waktu tetap telah mengurangi fleksibilitas mereka dalam proses produksi
dan menghalangi mereka untuk menanggapi fluktuasi permintaan produk. Semakin kakunya peraturan
mempekerjakan karyawan mengurangi kemampuan perusahaan untuk menyediakan peluang kerja
formal bagi pekerja yang tadinya dipekerjakan tanpa kontrak atau berada di sektor informal. Perusahaan
berpendapat bahwa penggunaan FTC dapat mendorong kenaikan efisiensi dengan memungkinkan
kecocokan yang lebih baik antara pekerja dan perusahaan, serta dengan memberikan insentif yang lebih
besar bagi pekerja sementara untuk bekerja keras saat masih di bawah kontrak.77
Negara berkembang dengan peraturan ketenagakerjaan yang kaku menghadapi kesulitan lebih
besar dalam menciptakan pekerjaan sehingga memperburuk kondisi ketenagakerjaan bagi pekerja. Bukti empiris mengenai dampak meningkatnya kekakuan terhadap penciptaan lapangan kerja, belum
tersedia di Indonesia karena data mengenai pembayaran pesangon dan status kontrak belum dikumpulkan
secara konsisten. Tetapi, riset internasional secara konsisten mendapati bahwa negara berkembang yang
peraturan ketenagakerjaan sangat memberatkan juga mengalami tingkat investasi, produktivitas, dan investasi dalam manufaktur yang lebih rendah.78 Peraturan ketenagakerjaan yang kaku menghambat pertumbuhan lapangan kerja dengan membatasi manfaat keterbukaan perdagangan dan mengurangi minat para
wiraswasta untuk memulai bisnis baru. Hal ini berdampak langsung dan negatif terhadap pekerja. Negara
berkembang dengan peraturan ketenagakerjaan yang kaku berpeluang lebih besar mengalami keikutsertaan (laki-laki) dalam angkatan kerja yang lebih rendah, tingkat pengerjaan yang lebih rendah, dan tingkat
pengangguran yang tinggi – terutama di antara perempuan dan kaum muda.79 Sebuah studi terhadap 74
negara menyimpulkan bahwa jika Indonesia memaksimalkan fleksibilitas peraturan ketenagakerjaannya,
tingkat pengangguran akan menurun 2,1 persen, sedangkan tingkat pengangguran kaum muda akan
menurun 5,8 persen.80
76
77
78
79
80
OECD.Stat, 2008. Lihat http://stats.oecd.org/wbos/default.aspx. Hanya sedikit data yang tersedia mengenai status kontrak di
Indonesia atau di negara berkembang lain di Asia.
Meskipun teori ekonomi dasar berfokus pada peroleh efisiensi melalui penggunaan kontrak jangka waktu tetap, teori yang lebih
canggih mengenali potensi kehilangan efisiensi. Efisiensi ekonomi dapat terganggu apabila perusahaan kurang berinvestasi
dalam melatih pekerja kontrak, atau jika pekerja tidak dapat memperkirakan dengan akurat peluang mereka untuk dipekerjakan
kembali saat memutuskan untuk mengambil pekerjaan dengan kontrak jangka waktu tetap.
Djankov, Simeon, dan Rita Ramalho. 2008.
Ibid. Masih ada kontroversi mengenai persoalan ini. Ringkasan 24 studi empiris mengenai pengaruh EPL terhadap lapangan
kerja dan pengangguran mendapati hasil yang ambigu atau tidak pasti. Tetapi, studi tersebut hanya terbatas pada negara maju
yang menjadi anggota OECD serta negara Amerika Selatan yang lebih maju sehingga dan program pesangon pun sudah lebih
lazim (Addison and Teixeira, 2001). Dua studi yang lain mengkonfirmasikan bahwa kekakuan berpengaruh negatif terhadap
komposisi lapangan kerja. Studi tersebut mendapati bahwa peraturan jaminan pekerjaan mempunyai kaitan dengan lapangan
pekerjaan yang lebih rendah bagi pekerja kaum muda, perempuan, dan pekerja tanpa keahlian (Pagés dan Montenegro, 1999;
Montenegro dan Pagés, 2004).
Feldmann, 2008.
91
IV. Perlindungan Karyawan
Serikat pekerja berpendapat bahwa peraturan perlindungan ketenagakerjaan yang kuat perlu
ditegakkan demi melindungi karyawan dan memastikan perlakuan yang adil. Uang pesangon
melindungi karyawan terhadap pemberhentian sewenang-wenang dan memberikan jaminan penghasilan
kepada karyawan. Serikat pekerja juga berpendapat bahwa karena pekerjaan permanen adalah kesepakatan
standar di sektor formal, maka pemberi kerja tidak semestinya terus-menerus menggunakan kontrak
sementara sebagai celah untuk menghindari biaya yang terkait dengan karyawan permanen. Namun
demikian, salah satu kekhawatiran terbesar adalah tingginya tingkat ketidakpatuhan perusahaan yang
merusak tujuan awal Undang-Undang Ketenagakerjaan. Bagian ini mengkaji apakah peraturan yang ada
saat ini sudah efektif dalam melindungi karyawan dan memberikan jaminan penghasilan bagi mereka.
Dua per tiga dari semua karyawan yang diberhentikan dan memenuhi syarat untuk menerima
pesangon, melaporkan bahwa mereka tidak mendapatkannya. Kebanyakan perusahaan tidak
mematuhi peraturan pesangon. 14,6 persen dari antara karyawan yang diberhentikan dari pekerjaannya
memenuhi kriteria untuk menerima uang pesangon. Dari jumlah tersebut, 65,6 persen melaporkan bahwa
mereka sama sekali tidak menerima uang pesangon dari pihak pemberi kerja (Gambar 4.5).81 Karyawan yang
paling rentan mengalami dampak terburuk dari ketidakpatuhan tersebut. 69,97 persen dari perempuan yang
memenuhi syarat tidak memperoleh pesangon jika dibandingkan dengan 63,22 persen dari laki-laki yang
memenuhi syarat (Gambar 4.6). Para pekerja yang muda (di bawah usia 25 tahun), mempunyai masa kerja
pendek (kurang dari 4 tahun), dan karyawan berupah rendah (dengan nilai di bawah Rp 1 juta per bulan)
juga berpeluang lebih kecil untuk menerima pesangon. Ironisnya, nilai pesangon mereka sebetulnya lebih
kecil daripada rekan kerja yang sudah bekerja lebih lama dan berupah lebih tinggi, yang lebih berpeluang
menerima uang pesangon. Perusahaan menengah dan besar (yang mempekerjakan lebih dari 20 orang)
lebih berpeluang untuk mematuhi aturan daripada perusahaan kecil.
Gambar 4.5
Penerimaan uang pesangon,
sesuai laporan pekerja yang
diberhentikan
Tidak patuh:
27%
Karyawan sama
sekali tidak
menerima pesangon
Kepatuhan parsial:
Karyawan menerima
nilai lebih kecil daripada
haknya
Patuh:
7% Karyawan menerima
66%
nilai penuh sesuai haknya
atau lebih besar
Gambar 4.6
Pekerja yang memenuhi syarat
namun melaporkan tidak
menerima pesangon (persen)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Laki-laki
Perempuan <250
Jenis kelamin
Sumber: Sakernas, 2008
81
92
250-500
500 1,000
1,000 15,000
>15,000
Upah bulanan (dalam ribuan Rupiah)
Sumber: Sakernas, 2008
Lampiran IV.2. Catatan: semua analisis mengenai uang pesangon berdasarkan Sakernas (2008) dan IFLS (2007). Bab ini
menyampaikan temuan hanya dengan data Sakernas mengenai penerimaan uang pesangon, yang hanya didasarkan pada
pekerja penerima gaji yang mengalami pemberhentian kerja 2 tahun sebelum survei. Temuan dari IFLS secara umum konsisten
dengan Sakernas.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4
Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
Kebanyakan pekerja yang diberhentikan dan menerima pesangon melaporkan bahwa mereka
menerima nilai lebih kecil daripada hak mereka. 78,4 persen karyawan yang menerima pesangon
melaporkan bahwa mereka tidak memperoleh nilai penuh sesuai hak mereka secara hukum.82 Pemberi kerja
yang membayarkan pesangon rata-rata hanya membayarkan 69,6 persen dari nilai yang berhak diterima
karyawan.83 Dari antara pekerja yang menerima pesangon lebih kecil dari haknya, perempuan menerima
persentase nilai pembayaran yang lebih besar daripada laki-laki, meskipun perempuan juga berpeluang lebih
besar untuk tidak memperoleh pesangon sama sekali. Walaupun karyawan berupah rendah berpeluang lebih
besar untuk tidak memperoleh pesangon sama sekali, tetapi jika pemberi kerja membayarkan pesangon,
mereka berpeluang lebih besar untuk menerima pesangon secara penuh. Perusahaan menengah dan besar
dengan kepatuhan parsial rata-rata membayar masing-masing 61,7 dan 87,7 persen dari nilai yang menjadi
hak karyawan. Kepatuhan merupakan masalah yang jauh lebih besar di antara perusahaan kecil yang hanya
membayarkan 23,2 persen dari nilai yang menjadi hak karyawan, jika dibayarkan.
Banyaknya ketidakpatuhan kemungkinan dapat menjelaskan mengenai kenaikan uang pesangon
tidak menyebabkan kekakuan pekerjaan. Tren tingkat pengangguran dan pemberhentian kerja –
keduanya merupakan indikator kekakuan pekerjaan – tampaknya tidak terpengaruh oleh kenaikan besar
dalam nilai pesangon yang diperkenalkan tahun 2000 dan sekali lagi pada tahun 2003. Pengaruh perubahan
nilai pesangon kemungkinan tidak begitu besar karena hanya sedikit orang yang terpengaruh, atau karena
perubahan yang telah diundangkan tidak diterapkan di lapangan.
Peraturan pesangon saat ini tidak melindungi pekerja yang paling merasakan ketidakpastian
penghasilan. Kira-kira 8 persen dari angkatan kerja Indonesia melaporkan bahwa mereka pernah mengalami
pemberhentian dalam dua tahun terakhir.84 Dari antara pekerja tersebut, lebih dari seperempatnya (27,9
persen) mengalami pemberhentian bukan atas keinginan sendiri namun akibat pengurangan karyawan
dan kebangkrutan usaha. Para pekerja inilah yang paling membutuhkan perlindungan penghasilan tingkat
dasar sampai mereka mendapatkan pekerjaan baru. Namun demikian, dari antara mereka yang mengalami
pemberhentian kerja, hanya 47,1 persen yang merupakan pekerja penerima upah dan gaji (karyawan formal).
Mayoritas dari pekerja yang diberhentikan – 64,2 persen – bekerja tanpa kontrak resmi dan merupakan
pekerja yang paling rentan di sektor formal.85
Karyawan melaporkan bahwa sejumlah perusahaan tidak mematuhi pembatasan dalam
penggunaan FTC. Sebagai tanggapan terhadap tingginya biaya pemberhentian, para pemberi kerja beralih
mempekerjakan lebih banyak staf sementara (atau alih daya). Namun, sejumlah perusahaan kemungkinan
memanfaatkan penegakan aturan yang masih lemah dan mempekerjakan staf dengan FTC secara terusmenerus untuk menghindari membayar pekerja sesuai hak mereka. Kira-kira 15 persen dari karyawan
sementara telah berada di posisinya lebih lama daripada 3 tahun, batas maksimum yang diperbolehkan
oleh undang-undang bagi FTC (Gambar 4.7).86
82
83
84
85
86
Lampiran IV.2.
Lampiran IV.2.
Sakernas, 2008.
Lihat Bab 3.
Data mengenai status kontrak dikumpulkan dalam skala besar untuk pertama kali di Indonesia pada tahun 2007. IFLS mengajukan
pertanyaan kepada responsen mengenai status kontrak untuk pertama kali pada tahun 2007. Meskipun data ini belum cukup
untuk menganalisis tren status kontrak, temuan yang diperoleh dapat memberikan pemahaman mengenai penggunaan
kontrak – sementara maupun permanen – di Indonesia.
93
Gambar 4.7
Lamanya FTC, sesuai laporan
karyawan
Kerumitan dan ambiguitas dalam UndangUndang Ketenagakerjaan kemungkinan turut
menyebabkan
ketidakpatuhan
dan
menyulitkan karyawan yang ingin mengetahui
nilai yang menjadi hak mereka. Kerumitan
15%
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
dalam
menentukan
nilai
pesangon
dan
uang
5%
36%
penghargaan masa kerja menyulitkan karyawan
untuk memahami berapa sesungguhnya nilai
9%
yang menjadi hak mereka. Ketika diminta untuk
mengidentifikasi tunjangan yang diberikan oleh
pemberi kerjanya, hanya 14,8 persen dari antara
karyawan sektor publik dan swasta yang
menyatakan bahwa uang pesangon merupakan
35%
salah satu tunjangan yang ditawarkan oleh
pemberi kerja.87 Keadaan ini semakin diperparah
< 1 tahun
1 tahun
2 tahun
kenyataan bahwa banyak kontrak resmi tidak
menyatakan secara eksplisit persyaratan dan
> 3 tahun (tidak patuh)
3 tahun
ketentuan pekerjaan. Selain itu, terjadi pula
Sumber: IFLS, 2007
ambiguitas mengenai jenis pekerjaan apa yang
tidak termasuk pekerjaan inti dan dapat
dialihdayakan atau diisi oleh pekerja dengan kontrak sementara, serta pekerjaan apa yang dianggap inti dan
harus diisi oleh pekerja dengan kontrak permanen.
V. Rekomendasi
Kebuntuan reformasi peraturan pesangon saat ini mencerminkan keberatan baik dari pemberi kerja
maupun pekerja. Beberapa negosiasi mengenai uang pesangon belakangan ini telah gagal atau menemui
jalan buntu. Serikat pekerja dan karyawan tidak bersedia mendukung penurunan tingkat pesangon karena
mereka akan kehilangan satu-satunya sumber perlindungan penghasilan saat menganggur. Tetapi, tanpa
adanya fleksibilitas, perusahaan beralasan bahwa mereka kesulitan menanggapi fluktuasi pasar sehingga
akan kehilangan efisiensi. Akibatnya, perusahaan lebih memilih untuk mempekerjakan lebih sedikit karyawan
atau beralih dari kontrak permanen ke FTC. Dalam banyak kasus, perusahaan tidak membayarkan pesangon
kepada karyawan yang telah diberhentikan sesuai hak mereka, kondisi yang semakin mengurangi jaminan
penghasilan para pekerja.
Upaya reformasi perlu difokuskan pada jalan keluar “sama-sama untung” bagi perusahaan dan
serikat pekerja, sambil memastikan bahwa pekerja yang rentan terlindung dengan lebih baik.
Masih ada harapan untuk menemukan jalan keluar “sama-sama untung” yang dapat diterima pemberi
kerja maupun karyawan. Bagian ini menyampaikan opsi reformasi yang dapat dipertimbangkan dalam
upaya mencapai kesepakatan yang mendamaikan pemberi kerja dan karyawan. Berbagai opsi reformasi
ini disampaikan tak hanya dari kacamata kepentingan pemberi kerja dan serikat pekerja, tetapi juga suara
para pekerja yang rentan, yang tersisih dari perdebatan ini. Meskipun pekerja miskin dan berpenghasilan
rendah – terutama mereka yang bekerja di perusahaan kecil – merupakan yang paling rentan terhadap
guncangan akibat pengangguran, merekalah yang berpeluang paling kecil dilindungi oleh sistem saat ini.
Asosiasi pemberi kerja dan serikat pekerja mewakili para anggotanya di meja perundingan, namun kedua
87
94
Sakernas, 2008.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4
Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
organisasi itu belum mewakili para pekerja informal dan karyawan tanpa kontrak yang akan memperoleh
manfaat dari kebijakan yang memperluas penciptaan lapangan kerja di sektor formal.
Dengan menegosiasikan kesepakatan besar – menurunkan tingkat pesangon, dansebagai gantinya, memperkenalkan tunjangan pengangguran – pemerintah dapat meningkatkan fleksibilitas
pasar tenaga kerja sambil meningkatkan perlindungan bagi karyawan. Yang pertama, penyederhanaan kerumitan hukum dalam peraturan pesangon saat ini dan penurunan nilai pesangon akan menyetarakan Indonesia dengan standar regional. Hal ini tak hanya meningkatkan fleksibilitas pasar tenaga kerja, tetapi
juga akan memperbaiki iklim investasi di Indonesia dan daya saing global. Pada saat yang sama, perlu pula
upaya untuk menyederhanakan perhitungan pesangon demi mempermudah karyawan untuk memahami
nilai yang menjadi hak mereka dan mempermudah perusahaan untuk mengetahui nilai pembayaran yang
menjadi tanggung jawabnya. Tetapi, masih diperlukan program baru sebagai pelengkap untuk memberikan
perlindungan efektif sebagai kompensasi berkurangnya tingkat pesangon bagi pekerja sektor formal yang
menganggur.
Terdapat serangkaian sistem tunjangan pengangguran yang dapat dipertimbangkan dan dikaji
untuk dimasukkan dalam sistem Jaminan Sosial Nasional di masa depan. Indonesia telah siap mengikuti
langkah negara berpenghasilan menengah yang lain untuk menerapkan sistem tunjangan pengangguran.
Terdapat serangkaian opsi reformasi yang dapat meningkatkan kemudahan untuk memperkirakan biaya
tenaga kerja dan mengkompensasikan tingkat pesangon yang lebih rendah bagi pekerja. Opsi ini termasuk
dana bersama (pooled fund) yang dapat ditarik oleh karyawan yang diberhentikan, sistem pesangon dengan
rekening individual, atau program bantuan pengangguran berupa tunjangan tetap. Suatu hari nanti,
Indonesia akhirnya akan dapat beralih menuju program asuransi pengangguran secara penuh, seperti
yang ada di negara maju saat ini. Setiap opsi memiliki kelebihan dan kekurangan, serta bervariasi dalam
hal tingkat kerumitan kelembagaan dalam mengelola program (Tabel 4.2). Rancangan sistem tunjangan
pengangguran dapat mengacu pada daftar pertimbangan berikut ini.88
88
Rekomendasi diadaptasi dari Revenga dan Rigolini, 2007; serta Vroman, 2007.
95
Tabel 4.2
Opsi reformasi pembayaran pesangon89 90
Opsi Reformasi
Kekurangan
Mengurangi tingkat pesangon:
Mempertahankan sistem saat ini berupa
pembayaran pesangon oleh pemberi kerja,
tetapi mengurangi besarnya pesangon yang
terhitung tinggi di kawasan (tetapi tidak
tinggi jika dilihat dari standar internasional).
Investasi lebih besar:
Penurunan tingkat pesangon
dapat menarik lebih banyak
investor ke Indonesia.
Peningkatan produktivitas:
Karena penyesuaian
angkatan kerja dapat lebih
fleksibel, perusahaan dapat
meningkatkan produktivitas.
Kepatuhan yang lebih
baik: Perusahaan yang tidak
mengalami kendala likuiditas
memiliki kemungkinan lebih
besar untuk membayar jika
nilainya lebih rendah.
Penegakan yang lemah: Jika
pemerintah tidak memperbaiki
penegakan aturan, tidak ada insentif
bagi perusahaan untuk patuh,
sekalipun nilainya lebih rendah.
Risiko ketidakpatuhan: Pembayaran
bergantung pada kesediaan dan
kemampuan perusahaan untuk
membayar pesangon. Perusahaan yang
mengalami kendala likuiditas tetap
berpeluang kecil untuk membayar.
Memodifikasi
Jamsostek:
Memperingan
ketentuan bagi
penarikan dini dalam
kasus pengangguran
(saat ini terbatas bagi
pekerja yang sudah
memberikan kontribusi
selama lima tahun dan
telah menganggur lebih
dari enam bulan).
Kemudahan kelembagaan:
Tidak perlu menciptakan
lembaga baru karena
Jamsostek sudah ada.90 Hanya
diperlukan modifikasi.
Preseden regional: Dana
pensiun di Singapura, Sri
Lanka, dan Thailand memiliki
ketentuan untuk penarikan
dini yang dapat digunakan
saat menganggur.
Cakupan yang rendah: 60 persen
pekerja penerima upah dan gaji tidak
berkontribusi secara aktif ke Jamsostek.
Jaminan penghasilan yang lemah:
Tingkat kontribusi gabungan dari
pemberi kerja/karyawan hanya 5,7
persen selama 2000-04, jauh di bawah
negara lain yang sekawasan dengan
rentang dari 20,0 sampai 33,8 persen.
Bahaya moral/penipuan: Perlu
memverifikasi keadaan menganggur;
jika tidak, dapat timbul risiko
kontributor yang menarik dana untuk
alasan lain.
Menciptakan dana
pesangon: Perusahaan
menyetorkan
pembayaran pesangon
secara rutin ke dalam
sebuah dana bersama
yang dikelola oleh
lembaga pemerintahan
pusat atau oleh
perusahaan swasta.
Efisiensi yang lebih baik:
Keputusan perusahaan
untuk mengurangi karyawan
tidak lagi terkait dengan
pembayaran pesangon.
Kepatuhan yang lebih
baik: Mengurangi insentif
bagi perusahaan untuk
menghindari pembayaran
karena pembayaran
tidak dilakukan sekaligus
dan perusahaan tidak
bertanggung jawab
menyalurkan pesangon.
Tuntutan kelembagaan: Jika tidak
mengontrak perusahaan swasta
sebagai pengelola, maka perlu
dibentuk lembaga baru.
Risiko kepatuhan yang rendah:
Sistem ini masih bergantung pada
kepatuhan perusahaan untuk mengirim
pembayaran pesangon secara
rutin kepada lembaga/perusahaan
pengelola.
Kekurangan dana: Perusahaan
kemungkinan akan lebih sering
mengurangi pekerja yang dapat
menyebabkan kekurangan dana.
Mungkin membutuhkan bantuan
pembiayaan dari pemerintah.
Dana bersama:
Memodifikasi
dana
pensiun atau
menciptakan
dana
pesangon yang
mengumpulkan
pembayaran dari
perusahaan dan
memberikannya
kepada
pekerja yang
diberhentikan.
89
90
96
Kelebihan
Berdasarkan Revenga dan Rigolini, 2007, serta Vroman, 2007.
Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) adalah program perlindungan sosial bagi sektor swasta yang tujuan utamanya adalah memberikan
bantuan penghasilan bagi orang yang telah pensiun.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4
Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
Opsi Reformasi
Kelebihan
Kekurangan
Bantuan pengangguran: Menciptakan
dana yang dapat ditarik oleh pekerja
yang memenuhi syarat, yang sedang
menganggur. Dana tersebut dikelola dan
disalurkan oleh lembaga yang ditunjuk,
bukan oleh pemberi kerja. Pekerja yang
menganggur memperoleh tunjangan kecil
untuk jangka waktu tertentu yang diambil
dari dana bersama. Pekerja memenuhi
syarat atau tidak ditentukan berdasarkan
keaktifan mencari kerja dan ketersediaan
pekerjaan yang cocok. Dimungkinkan untuk
menguji terlebih dahulu (means test) apakah
penghasilan keluarga membutuhkan
bantuan pengangguran.
Penentuan target yang
pro-rakyat miskin: Kondisi
pemenuhan syarat dan
tunjangan bernilai kecil dapat
meningkatkan cakupan bagi
pekerja yang miskin dan
berupah rendah.
Perbaikan jaminan
penghasilan: Tidak
bergantung pada perusahaan
untuk membiayai pesangon
karena dana bantuan
pengangguran bertanggung
jawab menyalurkan
pembayaran pesangon.
Meningkatkan efisiensi
perusahaan: Karena
perusahaan telah membayar,
maka keputusan untuk
mengurangi karyawan tidak
lagi dibayang-bayangi urusan
pesangon.
Biaya administrasi tinggi: Akibat
tingginya tingkat pergantian dan
besarnya volume keputusan per kasus,
biaya per rupiah pembayaran manfaat
akan lebih tinggi daripada sistem
berbasis pensiun.
Tantangan keuangan: Membutuhkan
pembiayaan dari penghasilan pajak
secara umum, pajak upah secara
khusus, atau kombinasi keduanya.
Tuntutan kelembagaan: Memerlukan
kantor tenaga kerja yang berfungsi baik
untuk memantau kegiatan pencarian
kerja dan pembayaran tunjangan.
Rekening individual: Pemberi
kerja dan karyawan secara rutin
menyetorkan kontribusi ke rekening
individual yang dikelola dan disalurkan
oleh lembaga pusat. Kontributor yang
menganggur dapat menarik dana dari
rekening mereka sendiri.
Peningkatan jaminan
penghasilan: Tidak
bergantung pada
perusahaan untuk
membiayai pengurangan
karyawan; pihak dana
bertanggung jawab
menyalurkan pembayaran
pesangon.
Lebih transparan: Setiap
pekerja tahu pasti berapa
banyak yang telah ia
kontribusikan dan berapa
banyak yang dapat ia
terima.
Pembiayaan mandiri:
Didanai sepenuhnya
oleh kontribusi dari
pemberi kerja dan pekerja;
tidak rawan masalah
kekurangan dana karena
pembayaran dilakukan
sebelum pemberhentian.
Biaya administrasi tinggi: Lebih
tinggi daripada sistem pensiun
dengan rekening individual saat ini.
Kerumitan kelembagaan:
Lembaga pengelola harus memiliki
kemampuan untuk melacak
kontribusi, saldo rekening, dan
pembayaran tunjangan individual
pada tingkat mikro.
Cakupan yang rendah:
Berdasarkan pengalaman dengan
Jamsostek, tingkat kontribusi
kemungkinan akan rendah
sehingga banyak pekerja penerima
upah dan gaji yang tetap tidak
terlindungi.
Asuransi pengangguran: Memberikan
pembayaran sebagai bantuan bagi
orang yang ingin bekerja namun
tidak dapat memperoleh pekerjaan.
Pembayaran dikaitkan dengan tingkat
penghasilan orang yang bersangkutan
sebelum ia menganggur.
Jaminan penghasilan:
Karena pembayaran
dikaitkan dengan tingkat
penghasilan, maka peserta
akan memperoleh jaminan
penghasilan terbesar.
Kerumitan kelembagaan: Gaji
harus dilacak untuk dikaitkan
dengan pembayaran.
Pemakaian sumber daya yang
intensif: Skema berbiaya mahal
yang tidak cocok bagi tingkat
perkembangan ekonomi Indonesia.
97
“Tunjangan pemberhentian kerja” dapat memberikan perlindungan penghasilan yang lebih
besar daripada pembayaran pesangon yang dilakukan secara sekaligus oleh pemberi kerja.
Proposal untuk menurunkan tingkat pesangon akan dapat lebih diterima jika dibuat sebuah sistem baru
untuk memperbaiki jaminan penghasilan bagi karyawan. Mempertahankan tingkat pesangon yang
tinggi dalam sistem saat ini tidak diharapkan jika kepatuhan tetap rendah dan hanya sedikit karyawan
yang memperoleh jaminan penghasilan. Estonia memberikan contoh bagaimana program bantuan
pengangguran yang memberikan tunjangan tetap dapat memberikan jaminan penghasilan bagi lebih
banyak pekerja (Kotak 4.1).
Kotak 4.1
Bantuan Pengangguran di Estonia
Pengangguran merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi Estonia setelah memperoleh kemerdekaannya
dari Uni Soviet pada tahun 1991. Rata-rata tingkat pengangguran selama tahun 90-an adalah 10,6 persen; ratarata pengangguran yang tercatat berkisar antara 25 sampai 72 persen dari total pengangguran, seperti yang
diperkirakan oleh survei angkatan kerja.
Antara 1991 sampai 2002, Estonia menerapkan sistem kompensasi pengangguran yang memberikan tunjangan
tetap. Agar memenuhi syarat untuk memperoleh tunjangan, orang yang mengajukan klaim harus mendaftar ke
kantor tenaga kerja lokal dan harus pernah bekerja sekurangnya enam bulan dalam 12 bulan terakhir. Si pendaftar
juga harus memberikan bukti bahwa penyebab pemberhentiannya memenuhi persyaratan untuk menerima
bantuan (misalnya, ia bukan mengundurkan diri atau bukan dipecat karena pelanggaran).
Meskipun sistem tunjangan tetap ini hanya memberikan tunjangan bernilai kecil, sistem ini berhasil melayani cukup
banyak penganggur di Estonia. Sistem ini membayarkan tunjangan bernilai kecil kepada pekerja penganggur
yang memenuhi syarat sampai paling lama enam bulan. Secara rata-rata, antara 1994 sampai 2002, tunjangan ini
setara dengan 6-10 persen dari gaji bulanan pekerja dalam periode 4,2 dan 5 bulan. Kira-kira 29 persen dari semua
penganggur telah menerima tunjangan. Pembayaran tunjangan yang dibiayai melalui anggaran umum rata-rata
mencapai 0,25 persen dari pengeluaran negara untuk gaji.
Sistem tunjangan tetap dapat dimodifikasi untuk ditargetkan pada pekerja berupah rendah yang rentan. Persyaratan
untuk menerima tunjangan dapat dipatok pada penghasilan keluarga, namun memerlukan kemampuan penentuan
target yang akurat oleh kantor tenaga kerja. Sebagai alternatif, dengan mempertahankan nilai tunjangan yang
rendah, calon peserta dapat menentukan sendiri apakah mereka akan mendaftar untuk mendapatkan tunjangan
atau tidak.
Sumber: Vroman, 2007.
Beralih menggunakan pendekatan kontribusi bulanan yaitu kontribusi bulanan oleh perusahaan
ke sebuah rekening yang dikelola secara terpusat dengan pengawasan pemerintah. Pemindahan tanggung jawab pembayaran pesangon dari pemberi kerja ke lembaga pusat dapat meningkatkan peluang
pekerja untuk menerima hak mereka setelah diberhentikan. Pembayaran akan lebih berpeluang terjadi jika perusahaan bertanggung jawab memberikan kontribusi pesangon rutin, alih-alih pembayaran
penuh secara sekaligus. Jika perusahaan membayar secara rutin ke dalam dana (secara efektif merupakan penundaan keputusan), perusahaan nantinya tidak akan terbebani oleh pembayaran pesangon
pada saat betul-betul harus mengurangi karyawan sehingga dapat meningkatkan kemudahan untuk
memperkirakan biaya operasi perusahaan. Namun demikian, cara ini dapat mengakibatkan semakin
banyaknya pemberhentian, bahkan pemberhentian karyawan yang terlalu banyak (over-firing), dan
beban yang lebih tinggi. Kelemahan ini dapat diatasi dengan menerapkan tambahan “pajak pemberhentian” yang kecil atau meningkatkan jumlah yang harus dibayar perusahaan kepada dana pesangon.
Kepatuhan yang lebih baik oleh pemberi kerja juga dapat mengurangi ketergantungan terhadap Pen-
98
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 4
Peraturan Perekrutan & Pemberhentian
gadilan Hubungan Industrial yang kini menghadapi bertumpuknya kasus pemberhentian kerja.91 Hal ini
akan membebaskan karyawan dan pemberi kerja dari proses penyelesaian perselisihan yang berbiaya
tinggi dan sangat menghabiskan waktu.
Memastikan perlindungan lebih besar bagi pekerja yang rentan tanpa menyisihkan pekerja
bergaji tinggi. Pekerja yang rentan – perempuan, kaum muda, dan pekerja jangka pendek serta berupah
rendah – tersisih dari manfaat yang diberikan sistem saat ini dan paling terpengaruh oleh hilangnya
penghasilan akibat pemberhentian. Meningkatkan biaya pemberhentian dapat menyebabkan mereka
semakin tersisih. Demikian pula skema yang menyisihkan pekerja bergaji tinggi dapat mengakibatkan
efek negatif karena naiknya biaya pekerja bergaji rendah dan selanjutnya menyebabkan turunnya
lapangan kerja formal.
Menyiapkan strategi peralihan dengan teliti dan menerapkan reformasi secara bertahap. Akan
timbul kesenjangan antara sistem saat ini dan sistem masa depan yang telah direformasi, terutama
dalam hal tanggung jawab mengenai beban pesangon masa lalu dan meningkatnya pemberhentian
pekerja yang dapat mengakibatkan kekurangan dana pada skema jaminan penghasilan. Karena
Indonesia memiliki sektor formal yang kecil serta tingkat pengangguran dan pekerjaan informal yang
tinggi, sistem bantuan penghasilan apa pun berpeluang menimbulkan biaya tinggi sehingga perlu
diterapkan secara bertahap.
Program percobaan dapat diperkenalkan dan dievaluasi. Seperti rekomendasi sebelumnya,
program percobaan bantuan pengangguran harus dipantau dengan teliti, serta dievaluasi efisiensi
dan efektivitasnya. Selain itu, pembelajaran dari negara dengan lembaga dan tingkat pembangunan
yang serupa dapat membantu untuk merancang sistem yang paling cocok bagi konteks Indonesia.
Pengalaman negara lain, seperti Barbados, memberikan contoh bagaimana dana bersama
mengumpulkan pembayaran dari karyawan dan menyalurkan pembayaran pesangon kepada pekerja.
Proses reformasi dapat dimulai dengan melakukan analisis yang diperlukan guna mengidentifikasi opsi apa yang paling cocok bagi Indonesia. Studi simulasi diperlukan untuk mengkaji dampak yang
diperkirakan akan terjadi akibat sistem alternatif dan implikasi serta kebutuhan kelembagaan yang terkait
dengan masing-masing opsi reformasi. Berdasarkan model yang paling cocok, diperlukan peta langkah reformasi sebagai pondasi bagi sistem di masa depan yang selayaknya dikaitkan dengan masa depan sistem
Jaminan Sosial Nasional yang diwajibkan oleh Undang-Undang No. 40/2004.
Pada saat bersamaan, mendorong penggunaan kontrak resmi untuk memastikan bahwa karyawan
menyadari hak-haknya dan dapat menerima pesangon serta tunjangan pengangguran. Karyawan
tanpa kontrak adalah pekerja sektor formal yang paling rentan dan mereka kebanyakan bekerja di
perusahaan dengan jumlah karyawan kurang dari 20 orang. Memformalkan kesepakatan kerja mereka akan
menghasilkan perbaikan langsung jika disertai dengan peningkatan pengetahuan mengenai hak karyawan
di bawah Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) lokal dan pemangku kepentingan
yang relevan dapat bekerja sama untuk menyediakan sejumlah perangkat bagi UKM, seperti misalnya
contoh kontrak bagi staf, demi mendorong penggunaan kontrak. Pada saat bersamaan, Disnaker dan
pemangku kepentingan lainnya dapat mempertimbangkan untuk meluncurkan kampanye media bersama,
yang terutama ditargetkan bagi karyawan UKM, mengenai kontrak, manfaat kontrak, dan bagaimana cara
meminta bantuan untuk memformalkan kesepakatan kerja jika tidak ada serikat pekerja tingkat pabrik.
91
Nugroho, 2008.
99
Pengumpulan data dan riset lebih jauh diperlukan untuk mengkaji dampak pesangon, program
bantuan pengangguran di masa depan, dan penggunaan kontrak sementara. Data yang tersedia
mengenai pesangon dan penggunaan kontrak sementara di Indonesia, masih terbatas. IFLS mengumpulkan
data mengenai pesangon untuk pertama kali tahun 2007, sedangkan Survei Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas) mengumpulkan data pesangon untuk pertama kali tahun 2008. Karena data tidak dikumpulkan
secara sistematis setelah 2007, analisis terhadap tren atau dampak pesangon tidak mungkin dilakukan.
Demikian pula data survei mengenai status kontrak dikumpulkan untuk pertama kali di Indonesia melalui
IFLS. Meskipun pemberi kerja diwajibkan untuk melaporkan jumlah staf dan jenis kontrak ke Disnaker melalui
laporan perencanaan tenaga kerja rutin, pertanyaan mengenai status kontrak belum dimasukkan ke dalam
Sakernas. Pertanyaan mengenai pesangon dan status kontrak semestinya dimasukkan ke dalam survei
pasar tenaga kerja rutin supaya peneliti dapat memiliki data yang diperlukan untuk melakukan riset empiris
lebih jauh mengenai persoalan tersebut. Dengan analisis tersebut, pembuat kebijakan akan berada dalam
posisi yang lebih kuat untuk memahami untung-rugi dalam perdebatan reformasi ketenagakerjaan dan
mengidentifikasi kebijakan yang dapat memaksimalkan penciptaan lapangan kerja tanpa mengorbankan
perlindungan karyawan.
Mengurangi kekakuan peraturan saat ini dapat mendorong penciptaan lapangan kerja di sektor
formal, tetapi strategi pelengkap masih diperlukan. Bahkan jika dilakukan reformasi peraturan ketenagakerjaan besar-besaran, masih tetap banyak pekerja yang dipekerjakan tanpa kontrak resmi atau berada
di sektor informal untuk beberapa waktu ke depan. Karena alasan inilah, meski reformasi peraturan perlu
dilakukan, reformasi saja belumlah cukup untuk memperbaiki prospek kebanyakan pekerja di Indonesia.
Sebab itu, diperlukan strategi tambahan untuk memberdayakan dan melindungi para pekerja Indonesia
yang rentan dan tersisih. Tiga bab berikutnya mengkaji pasokan pekerja di Indonesia dan cara meningkatkan keahlian mereka agar mereka dapat mengakses pekerjaan yang lebih baik dan meningkatkan jaminan
penghasilan mereka.
100
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5
Upah Minimum
Laporan Ketenagakerjaan Indonesia
Bab 5 Ringkasan & Rekomendasi
Secara internasional, ada tiga pendekatan utama terhadap kebijakan upah minimum. Yang pertama adalah
memanfaatkan upah minimum sebagai jaring pengaman untuk melindungi pekerja yang rentan. Pendekatan
yang kedua adalah mengaitkan batas upah terendah dengan tunjangan perlindungan sosial lainnya. Pendekatan
yang ketiga adalah memanfaatkan upah minimum sebagai mekanisme penentu upah untuk meningkatkan
kesejahteraan semua pekerja yang hanya memiliki sedikit saluran untuk bernegosiasi. Upah minimum yang relatif
tinggi mengisyaratkan bahwa Indonesia cenderung mengikuti pendekatan ketiga.
Tren upah minimum terbagi dalam empat periode, masing-masing dipengaruhi oleh lembaga yang dominan dan
konteks politik pada periode tersebut. Upah minimum riil yang relatif rendah mulai meningkat selama Orde Baru
karena pertumbuhan ekonomi dan desakan politik, tetapi anjlok kembali ketika terjadi krisis keuangan. Demokratisasi
dan menjamurnya serikat pekerja membuat upah minimum tumbuh lagi dengan pesat dari tahun 1999 sampai
2003. Setelah reformasi ketenagakerjaan tahun 2003, pertumbuhan upah minimum riil mulai melambat dan kini
malah menurun.
Upah karyawan akan meningkat jika upah minimum dinaikkan, tetapi secara bersamaan, ketidakpatuhan terhadap
aturan upah minimum pun akan ikut naik sehingga mengurangi manfaat yang diharapkan. Meskipun kenaikan upah
minimum tampaknya tidak mempengaruhi tingkat lapangan kerja secara keseluruhan, namun kenaikan tersebut
mempengaruhi keputusan pemberi kerja sektor formal untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja. Kenaikan upah
minimum mengakibatkan realokasi pekerja, terutama pekerja perempuan, dari sektor industri ke pertanian yang
terjadi secara perlahan-lahan, namun dalam jumlah besar. Kenaikan upah minimum juga mengakibatkan semakin
banyak pekerja di semua tingkatan yang beralih menjadi pekerja sektor informal.
Kaum miskin cenderung menjadi pekerja informal atau bekerja pada pemberi kerja yang tidak mengikuti aturan
upah minimum sehingga mereka sering kali tidak merasakan manfaat kenaikan upah minimum. Kenaikan upah
minimum sering dikaitkan dengan kenaikan upah yang besar, baik bagi pekerja dengan upah rendah maupun
tinggi, sehingga terkesan bahwa di Indonesia, upah minimum digunakan sebagai mekanisme penentu upah,
bukan sebagai jaring pengaman sosial.
Upah minimum semestinya murni dijalankan sebagai jaring pengaman bagi mereka yang berupah rendah.
Perusahaan dan serikat pekerja lebih baik mengandalkan negosiasi di tingkat pabrik untuk menetapkan upah bagi
pekerja, daripada bergantung pada kenaikan upah minimum sebagai mekanisme penentu upah. Berbagai dewan
pengupahan sebaiknya tetap berhati-hati dalam menaikkan upah minimum untuk menghindari sejumlah masalah
yang terkait dengan kebijakan penetapan upah minimum yang tinggi. Penegakan aturan upah minimum yang
telah berlaku harus diperkuat lagi untuk meningkatkan jaminan penghasilan bagi mereka yang berupah rendah.
I.
Pendahuluan
Upah minimum adalah permasalahan yang pelik karena mengharuskan pembuat kebijakan untuk
mencari keseimbangan antara keadilan dan efisiensi. Perdebatan mengenai kebijakan upah minimum
tidak berbeda jauh dengan perdebatan mengenai peraturan perekrutan dan pemberhentian.92 Serikat
pekerja berpendapat bahwa pembuat kebijakan semestinya memanfaatkan upah minimum sebagai
sarana untuk meningkatkan upah dan memperbaiki kesejahteraan pekerja di sektor formal. Sementara itu,
prioritas utama perusahaan adalah menghasilkan laba yang kemungkinan akan turun jika biaya tenaga
kerja meningkat. Dalam hal ini, pembuat kebijakan perlu memperhatikan bagaimana upah minimum
mempengaruhi keadilan dan efisiensi bagi semua orang. Efisiensi akan menjadi permasalahan penting jika
kenaikan upah minimum mendorong upah pekerja jauh di atas harga pasar sehingga perusahaan bereaksi
92
102
Lihat Bab 4 untuk diskusi mengenai peraturan mempekerjakan dan memecat.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5
Upah Minimum
dengan mempekerjakan lebih sedikit pekerja. Hal ini tak hanya mengurangi keuntungan perusahaan, tetapi
juga merugikan pekerja tanpa keahlian dan pekerja informal karena menambah lagi hambatan bagi mereka
untuk memasuki sektor formal. Pemerintah menghadapi tantangan dalam mencapai keseimbangan antara
kepentingan pekerja sektor informal dan karyawan yang menerima gaji, dan sasaran untuk mempertahankan
pertumbuhan ekonomi.
Efek upah minimum yang lebih tinggi terhadap keadilan dan efisiensi di Indonesia belum sepenuhnya
dipahami. Pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana kenaikan upah minimum mempengaruhi
kondisi ketenagakerjaan dan jenis rumah tangga yang diuntungkan oleh kenaikan upah minimum, dapat
membantu pembuat keputusan dalam mencari keseimbangan antara keadilan dan efisiensi. Cukup banyak
penelitian telah dilakukan mengenai efek upah minimum di Indonesia. Tetapi, berbagai penelitian tersebut
menggunakan sumber daya dan pendekatan metodologi yang berbeda-beda. Akibatnya, penelitian yang
telah dilakukan tersebut tidak memberikan jawaban yang jelas untuk sejumlah pertanyaan mendasar seperti
efek kenaikan upah minimum terhadap lapangan kerja dan jenis lapangan kerja.
Bab 5 meninjau perubahan tingkat upah minimum dan mengkaji efek perubahan tersebut
terhadap kondisi ketenagakerjaan. Siapakah yang diuntungkan dan yang dirugikan karena kenaikan
upah minimum? Perdebatan yang mengikuti pertanyaan ini sering kali berfokus pada kepentingan pemberi
kerja maupun serikat pekerja. Bab ini memberikan perhatian khusus untuk kepentingan pekerja miskin
dan informal yang cenderung terlupakan dalam debat mengenai kebijakan upah minimum, namun tetap
merasakan pengaruh perubahan kebijakan. Bab ini dibagi dalam empat bagian.
Bagian pertama menyoroti dasar pemikiran kebijakan upah minimum dari sudut pandang teoritis
maupun internasional.
Yang kedua mengkaji tren upah minimum dalam konteks kebijakan Indonesia.
Yang ketiga menilai efek kebijakan upah minimum terhadap upah dan lapangan kerja.
Bagian keempat yang merupakan penutup memberikan rekomendasi mengenai kebijakan upah
minimum dan proses penetapan upah.
II. Pendekatan internasional terhadap upah
minimum
Sejumlah negara berkembang memanfaatkan kebijakan upah minimum untuk menetapkan batas
upah terendah demi melindungi pekerja yang rentan. Dengan pendekatan ini, upah minimum yang
sangat rendah berfungsi sebagai jaring pengaman sosial. Tujuannya adalah untuk melindungi kelompok
yang paling rentan, misalnya pekerja tanpa keahlian, pensiunan lanjut usia, atau difabel, dan menjamin
penghasilan mereka pada tingkat paling dasar.
Sebuah pendekatan alternatif yang mengaitkan batas upah terendah dengan tunjangan
perlindungan sosial dapat berpengaruh buruk terhadap kondisi fiskal. Sejumlah negara mengaitkan
upah minimum dengan berbagai tunjangan seperti tunjangan keluarga, tunjangan pengangguran,
tunjangan lanjut usia, dan tunjangan kesehatan, yang dibayarkan sebagai persentase dari upah minimum
rendah yang lazim.93 Banyak negara Amerika Latin yang menerapkan praktik ini pada tahun 80-an dan 90an. Berdasarkan model ini, sejumlah negara mengaitkan upah dan tunjangan sektor publik dengan upah
minimum sehingga menimbulkan tekanan fiskal terhadap anggaran negara ketika inflasi sedang tinggi.
Akibat keterbatasan fiskal, tingkat upah minimum terpaksa ditetapkan sangat rendah. Misalnya saja, upah
93
Saget, 2008.
103
minimum di Uruguay ditetapkan pada tingkat yang relatif rendah, yaitu 21 persen dari upah rata-rata tahun
2003. Berbagai reformasi telah dilakukan dengan fokus untuk memutus kaitan tersebut dan menetapkan
kembali upah minimum murni sebagai jaring pengaman untuk melindungi pekerja yang paling rentan.
Konsekuensinya, pendanaan bagi tunjangan perlindungan sosial lainnya dilakukan melalui sistem jaminan
sosial yang terpisah dengan perhitungan dasar yang berbeda.94
Pendekatan lain lagi adalah memanfaatkan upah minimum sebagai mekanisme utama dalam
penetapan upah antara serikat pekerja dan perusahaan. Di berbagai negara dengan sistem perundingan
bersama (collective bargaining) yang lemah, pembuat kebijakan dan serikat pekerja memandang kebijakan
upah minimum sebagai salah satu dari sedikit jalur yang tersedia untuk memperbaiki kesejahteraan semua
pekerja. Upah minimum yang relatif tinggi (jika dibandingkan dengan upah rata-rata) dinegosiasikan supaya
mencakup sebanyak mungkin pekerja sektor formal, bukan hanya mereka yang berupah rendah. Kenaikan
upah diterapkan merata bagi semua pekerja tanpa menghiraukan tingkat upah mereka. Sebagai contoh,
Filipina menetapkan upah minimum yang nilainya cukup dekat dengan upah rata-rata.95 Tetapi, upah
minimum yang tinggi berisiko meningkatkan ketidakpatuhan terhadap aturan tersebut karena pemberi
kerja semakin enggan membayar sesuai ketetapan upah minimum. Lagipula, kebijakan tersebut dapat
menimbulkan inefisiensi dengan menghambat pekerja informal yang ingin masuk ke sektor formal karena
perusahaan tidak mampu atau tidak bersedia membayar upah minimum lebih tinggi sesuai aturan, padahal
para pekerja tersebut bersedia menerima upah lebih rendah.
Tabel 5.1
Upah minimum dan PDB per kapita dalam dolar Amerika yang telah disesuaikan
dengan paritas daya beli (2002/2004)96
Negara
Indonesia
Upah minimum bulanan PDB per kapita per bulan
Rasio
184,42
280,37
0,66
103,40
808,00
0,13
Negara tetangga
Malaysia
Thailand
259,95
631,69
0,41
Cina
227,50
416,27
0,55
Vietnam
153,14
207,49
0,74
Filipina
322,45
360,09
0,90
55,07
221,52
0,25
Sri Lanka
89,84
314,71
0,29
Ekuador
173,36
306,96
0,56
Bolivia
136,43
212,21
0,64
Mesir
227,94
329,15
0,69
India
177,06
242,41
0,73
Maroko
392,82
334,32
1,17
Lesotho
386,88
220,45
1,75
Negara dengan tingkat PDB per kapita serupa
Honduras
Sumber:Saget, 2008.
94
95
96
104
Ibid.
Ibid.
Catatan:Upah minimum dalam dolar Amerika yang telah disesuaikan dengan PPP. PDB per kapita dalam dolar Amerika yang
telah disesuaikan dengan PPP, diambil dari Indikator Bank Dunia tahun 2003.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5
Upah Minimum
Upah minimum yang relatif tinggi mengisyaratkan bahwa upah minimum di Indonesia lebih
dimanfaatkan sebagai mekanisme penentu upah daripada untuk melindungi mereka yang paling
rentan. Salah satu cara membandingkan tingkat upah minimum dari berbagai negara adalah dengan
menghitung rasio upah minimum terhadap PDB per kapita. Dengan menggunakan metode ini untuk
membuat peringkat negara berupah minimum rendah dan tinggi, ditemukan bahwa Indonesia termasuk
negara dengan rasio upah minimum terhadap PDB per kapita yang relatif tinggi di Asia (Tabel 5.1), sebuah
isyarat bahwa upah minimum dimanfaatkan sebagai mekanisme penentu upah bagi semua karyawan.97
Namun demikian, rasio ini tidak sampai berlebihan jika dibandingkan dengan negara lain yang mempunyai
tingkat PDB per kapita serupa.
III. Tren upah minimum dan perubahan kebijakan
Meskipun para pembuat kebijakan pada periode sebelum krisis ekonomi 1997-1998 telah
memperlihatkan kehati-hatian dalam memanfaatkan upah minimum sebagai alat kebijakan
penting, upah minimum mengalami peningkatan seiring pertumbuhan ekonomi. Sebelum tahun
90-an, kebijakan upah minimum jarang dilaksanakan walaupun aturannya telah dibuat. Akibatnya, upah
sangatlah rendah dan berada di bawah titik keseimbangan pasar.98 Pemerintah tidak campur tangan dalam
kebijakan upah; tekanan oleh serikat pekerja pun tidak banyak karena hanya ada satu serikat pekerja yang
diizinkan untuk beroperasi secara legal. Pada awal 90-an, pemerintah mulai menanggapi desakan dari
dalam negeri dan internasional yang meminta diperbolehkannya partisipasi gerakan buruh yang lebih
besar dan kenaikan upah minimum demi meningkatkan standar hidup para pekerja. Dari tahun 1990-1996,
bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi, upah minimum riil meningkat rata-rata 20 persen per
tahun (Gambar 5.1). Upah rata-rata pun meningkat meskipun lajunya tidak secepat upah minimum.
Gambar 5.1
Rata-rata upah minimum bulanan dan rata-rata
upah penerima gaji (2007 Rp)
98
2006
2007
2004
2005
2003
2002
2000
2001
1998
1999
1997
1995
1996
1994
1991
97
1993
Rata-rata upah karyawan (2007 Rp)
Rata-rata upah minimum (2007 Rp)
Selama tahun-tahun krisis pada
1997-99, kejatuhan ekonomi
dan
lonjakan
inflasi
7,000
3,500
menyebabkan anjloknya upah
6,000
3,000
minimum. Krisis keuangan Asia
5,000
2,500
berdampak
besar
terhadap
4,000
2,000
Indonesia karena menimbulkan
kejatuhan ekonomi dan lonjakan
3,000
1,500
inflasi. Lonjakan ini didorong oleh
2,000
1000
ambruknya nilai Rupiah dan
1,000
5,00
suntikan
modal
demi
0
0
menyelamatkan sejumlah bank.
Lonjakan
inflasi
kemudian
menyebabkan anjloknya upah
Rata-rata upah
Rata-rata upah minimum
minimum riil dan upah riil;
keduanya turun sampai sekitar 30
Sumber:Perkiraan Bank Dunia berdasarkan Sakernas.
persen. Anjloknya upah riil
bersamaan dengan realokasi pekerja ke pertanian memungkinkan angka lapangan kerja total bertahan
relatif stabil.
PDB per kapita dibandingkan berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP. Analisis tersebut juga menggunakan PDB per pekerja
dan upah rata-rata untuk dibandingkan dengan upah minimum. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan ketiga indikator
tersebut, lihat Saget (2008): hal 28.
Rama, 1996.
105
Upah minimum kembali meningkat dan tumbuh dengan cepat selama tahun 1999-2003 bersamaan
dengan pulihnya demokrasi dan menjamurnya serikat pekerja. Dari tahun 1999 sampai 2003, upah
minimum riil tumbuh rata-rata 9,6 persen per tahun. Hal ini mencerminkan reformasi demokrasi dan diakuinya
hak kebebasan berserikat sehingga serikat buruh berkembang pesat, dan selanjutnya meningkatkan
tekanan politik untuk menaikkan tingkat upah minimum.99 Seiring naiknya daya tawar serikat pekerja, naik
pula upah minimum riil. Tuntutan upah juga mencerminkan upaya para pekerja untuk memperoleh kembali
tingkat upah mereka sebelum krisis, yang tercapai pada tahun 2002. Upah minimum masih terus meningkat
dengan laju yang sedikit lebih tinggi daripada upah rata-rata, sampai tahun 2005.
Kenaikan upah minimum mulai melambat setelah pengesahan Undang-Undang Ketenagakerjaan
(No. 13/2003) dan sejak tahun 2005, upah minimum tumbuh lebih lambat daripada upah ratarata. Pada tahun 2003, Pemerintah Indonesia mengubah proses penetapan upah minimum melalui
Undang-Undang Ketenagakerjaan (lihat Kotak 5.1). Menyusul langkah ini, pertumbuhan upah minimum
riil melambat sampai rata-rata 1,9 persen per tahun selama 2004-2007. Perlambatan ini kemungkinan tidak
sepenuhnya terkait dengan pengesahan undang-undang baru. Dewan pengupahan, yang telah dibentuk
sejak 2001, kemungkinan berperan lebih besar dalam membatasi pertumbuhan upah minimum riil dengan
menegosiasikan kenaikan upah minimum yang kecil berdasarkan survei harga, bukan perundingan. Selain
itu, pihak yang terlibat dalam diskusi tripartit tampaknya telah belajar dari pengalaman sehingga para pihak
dapat merundingkan upah minimum secara lebih konstruktif dengan mempertimbangkan kepentingan
ekonomi yang lebih luas.
Perdebatan saat ini berfokus pada aspek kelembagaan dan teknis kerangka kerja penetapan upah
minimum. Pada tingkat teknis, pengukuran standar hidup yang layak telah menjadi pusat perhatian dalam
diskusi antara serikat pekerja dan asosiasi bisnis. Serikat pekerja menginginkan supaya tingkat upah minimum
setidaknya dapat memenuhi kriteria Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan pertumbuhannya sebanding dengan
inflasi. Sementara itu, pemberi kerja berpendapat bahwa pembuat kebijakan menjalankan upah minimum
bukan sebagai batas upah terendah atau jaring pengaman sosial, tetapi lebih sebagai proses penetapan
upah yang menetapkan upah awal relatif tinggi pada perusahaan besar sehingga tidak mewakili biaya bagi
semua pekerja. Pemberi kerja beralasan bahwa pengukuran dan survei KHL yang mendasari negosiasi upah
sesungguhnya menghasilkan perkiraan harga makanan dan non-makanan yang terlalu tinggi.100
Intervensi lewat kebijakan yang dilakukan baru-baru ini bertujuan memberi kelonggaran bagi
pemerintah lokal untuk membatasi upah minimum demi menghadapi turunnya permintaan yang
diperkirakan akan terjadi akibat krisis ekonomi global. Pada bulan Oktober 2008, Kementerian Dalam
Negeri, Perdagangan, Perindustrian, dan Tenaga Kerja mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB)
yang mengimbau pemerintah lokal dan propinsi untuk membatasi kenaikan upah minimum agar tidak
memberatkan kemampuan keuangan perusahaan dan menjaga agar kenaikannya sebanding dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, SKB tersebut juga mengimbau forum tripartit dan
dewan pengupahan tingkat nasional dan daerah untuk menetapkan kenaikan upah minimum dengan
mempertimbangkan kondisi ekonomi keseluruhan yang sedang mengalami kesulitan. Terjadi sejumlah
demonstrasi pekerja yang memprotes SKB tersebut dan menuntut agar kenaikan upah minimum mengikuti
pedoman KHL dan setidaknya sebanding dengan tingkat inflasi.101
99
100
101
106
Lihat Bab 6 untuk diskusi lebih jauh mengenai pertambahan jumlah serikat pekerja selama proses demokratisasi di Indonesia.
Sebagai contoh, pada tahun 2005, Bappenas mengadakan survei terhadap perusahaan, asosiasi pemberi kerja, serikat pekerja,
dan pekerja di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Bappenas mendapati bahwa sekitar 70 persen perusahaan meyakini bahwa
upah minimum sebesar Rp 500.000 – 700.000 yang saat itu berlaku di ketiga propinsi tersebut sudah cukup. Tetapi, para pekerja
dalam jumlah persentase yang sama menjawab bahwa nilai upah tersebut tidak mencukupi. Demikian pula sejumlah besar
perusahaan berpandangan bahwa KHL bukanlah ukuran yang cocok untuk menetapkan upah minimum, sementara kebanyakan
serikat pekerja dan pekerja justru meyakini hal yang sebaliknya (Bappenas, 2006).
Lihat Keputusan Bersama Empat Menteri mengenai Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam
Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global yang dikeluarkan tanggal 27 Oktober 2008
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5
Upah Minimum
Kotak 5.1
Perkembangan hukum utama mengenai kebijakan upah minimum
Sebelum tahun 1998, dewan pengupahan propinsi memberi rekomendasi upah minimum kepada
gubernur. Gubernur kemudian memberi rekomendasi upah minimum propinsi kepada Menteri Tenaga Kerja yang
selanjutnya mengambil keputusan akhir mengenai penetapan upah minimum setiap propinsi. Sebelum tahun
1995, dasar untuk berbagai rekomendasi tersebut adalah Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), sebuah daftar barang
konsumsi, baik makanan maupun non-makanan, yang ditentukan oleh Kementerian Tenaga Kerja (Keputusan
Menaker No. 81/1995) dan dipandang penting bagi penghidupan seorang pekerja. Sebuah peraturan dari
Kementerian Tenaga Kerja (No. 1/1999) memperluas daftar ini dan mengganti namanya menjadi Kebutuhan Hidup
Minimum (KHM).
Pada tahun 2000, penetapan upah minimum didesentralisasikan ke tingkat propinsi. Menteri Tenaga Kerja
menerbitkan keputusan (No. 226/2000) yang memberi wewenang kepada gubernur, walikota, dan bupati untuk
menetapkan tingkat upah minimum. Penetapan tersebut akan didasarkan pada rekomendasi dari forum tripartit
lokal dan propinsi, serta dewan pengupahan.
Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 13/2003) adalah undang-undang pertama yang membentuk
kerangka kerja komprehensif bagi penetapan upah minimum. Undang-undang ini memasukkan sebagian
besar substansi dan arah kebijakan dari keputusan dan peraturan sebelumnya, sekaligus menambahkan prinsip
pemandu secara umum. Elemen utama proses penetapan upah minimum adalah:
Propinsi dan kabupaten menetapkan upah minimum secara tahunan. Gubernur menetapkan upah minimum
setelah mempertimbangkan rekomendasi dari dewan pengupahan propinsi dan kabupaten (Peraturan No.
107/2004), serta bupati dan walikota. Upah minimum juga dapat ditetapkan berdasarkan sektor.
Dewan pengupahan mendasarkan rekomendasi mereka mengenai tingkat upah minimum pada Kebutuhan
Hidup Layak (KHL). KHL, yang diwajibkan oleh keputusan menteri (No. 17/2005), biasanya ditentukan melalui
survei yang dilakukan di pasar tradisional oleh dewan pengupahan tripartit terhadap harga 49 barang dalam
daftar KHL. Dalam dewan pengupahan juga termasuk perwakilan dari kantor lokal Biro Pusat Statistik (BPS).
Upah minimum berfungsi sebagai batas upah terendah sehingga upah minimum kabupaten atau kota tidak
boleh lebih rendah dari tingkat yang telah ditentukan di propinsi. Tetapi berlawanan dengan prinsip tersebut,
keputusan menteri selanjutnya (No. 231/103 pasal 90) secara tersirat mengakui bahwa upah minimum
bukanlah batas upah terendah karena keputusan tersebut memungkinkan perusahaan yang tidak mampu
segera menerapkan upah minimum untuk menunda pembayaran penuh selama jangka waktu tertentu dan/
atau menyesuaikan upah dengan standar KHL dengan mengikuti prosedur tertentu.
Tetapi, perdebatan kebijakan ini tidak memberi kejelasan mengenai siapa saja yang diuntungkan
dan dirugikan oleh kebijakan upah minimum. Meskipun perdebatan yang terjadi belakangan ini berfokus
pada aspek teknis proses penetapan upah minimum, masih ada sejumlah perbedaan mendasar dalam
pendekatan terhadap upah minimum. Permasalahan utama berkisar pada siapa saja yang diuntungkan dan
dirugikan ketika upah minimum meningkat. Sementara serikat pekerja dan asosiasi bisnis dapat mewakili
kepentingan mereka sendiri, para pekerja miskin dan informal tak mampu bersuara banyak secara politis
dan tidak terwakili dalam perdebatan saat ini. Bagian selanjutnya memeriksa bukti empiris mengenai efek
upah minimum terhadap pekerja dengan penekanan khusus pada pekerja miskin dan informal.
IV. Efek upah minimum terhadap pasar tenaga kerja
Efek upah minimum terhadap upah
Upah karyawan akan meningkat jika upah minimum dinaikkan. Upah minimum memiliki hubungan
yang positif, namun terbatas, dengan upah karyawan. Analisis regresi berdasarkan variasi perubahan upah
minimum propinsi memperlihatkan bahwa kenaikan upah minimum sebesar 10 persen berkaitan dengan
107
kenaikan upah rata-rata sebesar 3 persen pada tahun yang sama.102 Efeknya masih tetap positif sampai
setidaknya dua tahun setelah kenaikan, namun arah hubungan sebab akibatnya tidak jelas. Upah karyawan
mungkin saja terdongkrak oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi dan keadaan ini kemudian memicu
kenaikan upah minimum.
Karyawan tidak memperoleh manfaat penuh dari kenaikan upah minimum akibat tren
ketidakpatuhan yang semakin meningkat. Ketidakpatuhan (didefinisikan sebagai persentase pekerja
yang melaporkan penghasilan lebih rendah daripada upah minimum yang berlaku) kini semakin meningkat
di Indonesia. Pada tahun 1991, tingkat ketidakpatuhan adalah 22 persen, tetapi pada tahun 2007, angkanya
mencapai 40 persen. Tampaknya tren ketidakpatuhan ini mengikuti pola upah minimum, tetapi ada sedikit
jeda (Gambar 5.2). Analisis regresi berdasarkan data yang mencakup periode dari tahun 1991 sampai 1997
memperlihatkan bahwa kenaikan 10 persen berkaitan dengan naiknya tingkat ketidakpatuhan sebesar 2,6
persen pada tahun berikutnya.
Gambar 5.2
Upah minimum dan ketidakpatuhan
4,000
50
40
Efek upah minimum
terhadap
lapangan
kerja
3,000
Penelitian
sebelumnya
mengenai efek upah minimum
20
terhadap lapangan kerja tidak
menghasilkan kesimpulan yang
1,000
10
pasti, tetapi mengisyaratkan
adanya efek negatif terhadap
0
0
lapangan kerja formal. Dua
penelitian mengkaji efek kenaikan
upah
minimum
terhadap
Rata-rata upah minimum per jam (Rp, sumbu kanan)
Tingkat ketidakpatuhan (%, sumbu kiri)
lapangan kerja di perusahaan
Sumber:Perhitungan Bank Dunia berdasarkan Sakernas
menengah dan besar pada
tahun 90-an.103 Masing-masing
menemukan bahwa kenaikan upah minimum sebesar 10 persen mengurangi lapangan kerja sampai
1,5 persen, meskipun perkiraannya tidak selalu benar. Studi berbasis perusahaan itu juga menemukan
bahwa efek tersebut lebih kuat pada perusahaan yang lebih kecil dan pekerja produksi tanpa keahlian.
Beberapa penelitian yang lain menggunakan data rumah tangga untuk mengkaji hubungan antara kondisi
ketenagakerjaan dan upah minimum di tingkat propinsi. Penelitian awal memperlihatkan adanya efek
negatif, meskipun kecil, terhadap lapangan kerja perkotaan dengan elastisitas antara 0 sampai -0,07.104 Studi
yang lain lagi menemukan efek yang lebih besar, terutama terhadap pekerja yang muda, tanpa keahlian, dan
perempuan, baik pada masa sebelum maupun sesudah krisis.105 Penelitian baru-baru ini mendapati bahwa
30
103
104
105
108
2007
2005
2006
2003
200 4
2001
200 2
2000
1998
1999
1996
199 7
1994
199 5
19 93
1990
102
1991
2,000
Lihat Lampiran V.1. Dalam regresi tersebut, dilakukan kontrol terhadap karakteristik kabupaten yang tertinggal dan karakteristik
pekerja yang telah ditentukan (predetermined worker characteristic) Karakteristik kabupaten tertinggal termasuk: Karakteristik
kapupaten tertinggal termasuk upah minimum propinsi, pangsa penduduk pada dua kuintil terbawah untuk perkiraan
konsumsi, dan rata-rata kabupaten untuk indikator pasar tenaga kerja berikut: Upah karyawan, persentase lapangan kerja di
bidang pertanian dan industri, persentase lapangan kerja menurut jenis pekerjaan, dan tingkat pekerjaan serta pengangguran.
Karakteristik pekerja pratertentu termasuk: Jenis kelamin; umur dan kuadratnya, tingkat pencapaian pendidikan, keikutsertaan
pada pendidikan kejuruan, lokasi (kota/desa), dan tahun.
Alatas dan Cameron, 2003, serta Harrison dan Scorse, 2004.
Rama, 1996
Suryahadi et al, 2003.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5
Upah Minimum
upah minimum mempunyai efek yang lebih kecil terhadap lapangan kerja.106 Cukup banyak dari antara
penelitian tersebut juga mempertimbangkan efek upah minimum terhadap lapangan kerja formal, dan
hasilnya lagi-lagi kurang pasti. Satu studi tidak berhasil menemukan dampak negatif yang berarti dari upah
minimum terhadap lapangan kerja formal.107 Tetapi, tiga studi lain yang dilakukan kemudian mendapati
bahwa kenaikan upah minimum berkaitan dengan naiknya tingkat informalitas.108 Lampiran V.4 meninjau
sumber data dan kesimpulan dari sebagian besar studi tersebut.
Laporan ini menyampaikan perkiraan baru mengenai efek upah minimum yang mungkin dapat
memperbaiki studi sebelumnya. Perkiraan apa pun mengenai efek upah minimum terhadap kondisi
ketenagakerjaan harus mengatasi dahulu sebuah masalah mendasar, yaitu bagaimana memisahkan antara
efek kenaikan upah minimum dan efek kondisi ekonomi lokal yang dapat menimbulkan kenaikan upah
minimum. Kerumitan ini terjadi karena sulitnya mengidentifikasi berbagai faktor yang digunakan dewan
pengupahan propinsi dan para pemimpin kabupaten ketika menegosiasikan upah minimum. Sebagai
contoh, propinsi akan lebih mungkin menaikkan upah minimum ketika terjadi pertumbuhan ekonomi.
Tetapi, pertumbuhan ekonomi yang pesat dapat menutupi efek negatif upah minimum terhadap lapangan
kerja. Karena permasalahan ini, dan juga karena kesimpulan yang tidak pasti dari studi sebelumnya, kami
menghitung kembali perkiraan efek kenaikan upah minimum terhadap pasar tenaga kerja. Meskipun
metodologi yang dipakai dalam Laporan Lapangan Kerja gagal memisahkan efek kenaikan upah
minimum dengan efek kondisi ekonomi lokal, metodologi ini menggunakan dua inovasi yang mungkin
dapat mengurangi masalah tersebut. Yang pertama, efek kenaikan upah minimum propinsi dikaji pada
tingkat individu, bukan tingkat propinsi, sambil melakukan kontrol terhadap karakteristik individu seperti
pendidikan dan usia. Yang kedua, perkiraan tersebut mengkaji efek kenaikan upah minimum terhadap
kondisi ketenagakerjaan pada tahun berikutnya. Hal ini akan merekam efek kenaikan upah minimum
dengan lebih baik jika perusahaan melakukan penyesuaian praktik mempekerjakan karyawan dalam jangka
waktu beberapa bulan.
Gambar 5.3
Upah minimum dan lapangan kerja
70
4,000
3,000
65
2,000
60
1,000
0
Tingkat lapangan kerja (%, sumbu kiri)
2006
2007
2005
2003
2004
2002
2001
1999
2000
1998
1997
1 996
1994
1993
1 991
1992
1 990
55
Rata-rata upah minimum per jam (Rp, sumbu kanan)
Sumber:Perhitungan Bank Dunia berdasarkan Sakernas
106
107
108
Kenaikan upah minimum tidak
menimbulkan efek yang nyata
terhadap tingkat pekerjaan dan
pengangguran
secara
keseluruhan. Perbandingan tren
upah minimum dengan tingkat
pekerjaan agregat sejak tahun
1999 mengisyaratkan bahwa
kenaikan
upah
minimum
kemungkinan dapat menurunkan
lapangan kerja (Gambar 5.3).
Tetapi, hal ini tidak didukung oleh
analisis regresi berdasarkan variasi
kenaikan upah minimum dari
berbagai propinsi. Kenaikan upah
minimum pada tahun tertentu
tidak menimbulkan efek yang
tampak jelas terhadap kondisi
lapangan kerja pada tahun
Pratomo, 2008
Islam dan Nazara, 2000.
Bird dan Manning, 2002, Comola dan de Mello, 2008, serta Pratomo, 2008
109
berikutnya. Meskipun demikian, perkiraan ini bukanlah hal yang pasti dan tidak menafikan kemungkinan
adanya efek yang substansial.109 Dalam beberapa kasus, upah minimum yang lebih tinggi berkaitan dengan
penurunan kecil dalam tingkat pengangguran satu atau dua tahun kemudian. Tetapi, efek ini tidak signifikan
secara statistik dan diperkirakan relatif kecil karena kenaikan upah minimum riil 10 persen hanya terkait
dengan turunnya pengangguran 0,2 persen dua tahun kemudian. Hal ini terjadi untuk semua pekerja, tanpa
memandang jenis kelamin, tingkat pendidikan, atau lokasi.110
Kenaikan upah minimum berkaitan dengan pergeseran substansial dari pekerjaan industri menjadi
pekerjaan pertanian. Bab 2 laporan ini mengidentifikasi kenaikan pesat tingkat upah sebagai faktor
penting yang berpeluang ikut menyebabkan pertumbuhan tanpa pekerjaan (pertumbuhan ekonomi
yang tidak disertai tumbuhnya lapangan kerja sektor formal atau non-pertanian) pada periode 1999-2003
di Indonesia. Perbandingan tren antara upah minimum dan struktur tenaga kerja tidak memperlihatkan
adanya hubungan yang jelas antara upah minimum dan lapangan kerja industri (Gambar 5.4). Namun,
hal yang berbeda ditemui melalui pengamatan terhadap efek kenaikan upah minimum yang bervariasi
menurut propinsi, dalam satu kesatuan model regresi. Perkiraan tersebut mengisyaratkan bahwa kenaikan
10 persen pada upah minimum tahun sebelumnya berkaitan dengan penurunan 1 persen pada lapangan
kerja industri dan kenaikan 0,6 persen pada pertanian.111 Berbagai efek tersebut tidak tampak jelas jika dilihat
pada tahun yang sama dengan tahun dinaikkannya upah minimum, tetapi akan menjadi jelas saat dilihat
pada tahun berikutnya.
Kenaikan
upah
minimum
tampaknya
memiliki
30
4,000
kemungkinan lebih besar untuk
mendesak
perempuan
ke
3,000
pekerjaan
pertanian
dan
20
pekerja yang memiliki keahlian
untuk keluar dari industri. Jika
2,000
dibandingkan dengan laki-laki,
10
upah minimum memiliki efek
1,000
yang lebih besar terhadap peluang
perempuan untuk bekerja di
0
0
sektor industri. Selain itu,
perempuan
juga
memiliki
kemungkinan lebih besar untuk
pindah ke pekerjaan pertanian
Rata-rata upah minimum per jam (Rp, sumbu kanan)
)
Pangsa pekerja sektor industri (%, sumbu kiri)
menyusul
kenaikan
upah
Sumber:Perhitungan Bank Dunia berdasarkan Sakernas 2006
minimum. Bagi perempuan,
kenaikan 10 persen pada upah
minimum tampaknya mengakibatkan penurunan lapangan kerja industri sebesar 1,2 persen pada tahun
berikutnya, dan kenaikan lapangan kerja pertanian 1 persen. Sebaliknya bagi laki-laki, kenaikan yang sama
mengakibatkan penurunan lapangan kerja industri sebesar 0,9 persen dan kenaikan lapangan kerja pertanian
0,5 persen. Sementara itu, kenaikan 10 persen pada upah minimum meningkatkan kemungkinan pekerja
yang memiliki keahlian untuk masuk ke sektor pertanian sampai 1 persen, sementara kemungkinan tersebut
hanya meningkat 0,5 persen untuk pekerja tanpa keahlian. Kenyataan bahwa upah minimum menyebabkan
109
110
111
110
2007
2005
2006
2004
2003
2001
2002
1999
2000
1998
1997
1994
1996
1993
1991
Upah minimum dan lapangan kerja industri
1992
1990
Gambar 5.4
Lihat Lampiran V.2.
Tidak adalah sub-kelompok pekerja – dikategorikan berdasarkan pendidikan, gender, atau desa/kota – yang mengalami
penurunan lapangan kerja atau kenaikan pengangguran setelah upah minimum meningkat. Variabel kontrol sama seperti yang
tertulis pada lampiran V.1 dan catatan kaki 9.
Lampiran V.2
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5
Upah Minimum
penurunan lapangan kerja industri yang lebih berat bagi pekerja yang memiliki keahlian daripada pekerja
tanpa keahlian, mencerminkan peran upah minimum sebagai mekanisme penentu upah di seluruh bagian
distribusi upah.
Perubahan dalam struktur
tenaga kerja akibat kenaikan
4,000
60
upah minimum menyebabkan
ekspansi sektor informal. Tren
3,000
50
yang terjadi mengisyaratkan
bahwa upah minimum dan tingkat
2,000
40
informalitas memiliki keterkaitan.
Seiring
meningkatnya
upah
minimum riil, terutama dari tahun
1,000
30
1999 sampai 2003, pangsa pekerja
yang dipekerjakan di sektor formal
0
20
mengalami kontraksi (Gambar
5.5).
Hasil
regresi
mengkonfirmasikan hal ini dan
Pangsa lapangan kerja formal (%, sumbu kiri)
Rata-rata upah minimum per jam (Rp, sumbu kanan)
memperlihatkan bahwa, secara
rata-rata, kenaikan 10 persen pada
Sumber:Perhitungan Bank Dunia berdasarkan Sakernas
upah minimum mengakibatkan
penurunan 1 persen, baik untuk pekerjaan formal maupun industri, pada tahun berikutnya. Efek ini memang
telah diduga akan terjadi karena pergeseran keluar dari sektor industri ke pertanian adalah pergeseran yang
tipikal dari pekerjaan formal ke informal. Sama seperti efek terhadap lapangan kerja pertanian dan industri,
efek tersebut hanya dirasakan pada tahun berikutnya menyusul kenaikan upah minimum.
2007
2006
2005
2003
2004
2002
2001
1999
2000
1998
1997
1994
1996
1993
Upah minimum dan lapangan kerja formal
1992
1990
1991
Gambar 5.5
Kenaikan upah minimum ternyata tidak memiliki efek yang jauh lebih berat terhadap pekerja yang
muda, berada di perkotaan, atau miskin. Meskipun para pekerja yang muda, berada di perkotaan, dan
miskin terkadang dipandang sebagai yang paling rentan terhadap kenaikan upah minimum, ternyata
kelompok ini tidak lebih terpengaruh daripada keseluruhan pekerja terhadap efek dari kenaikan upah
minimum pada kedua sektor pekerjaan dan kerja formal. Selain itu, kenaikan upah minimum mengurangi
peluang mendapat pekerjaan formal secara sama rata untuk semua jenis pekerja, termasuk perempuan dan
pekerja yang memiliki keahlian.
Efek kenaikan upah minimum terhadap jenis pekerjaan sangat kuat setelah satu tahun, tetapi jauh
lebih lemah setelah dua tahun. Kenaikan 10 persen pada upah minimum berkaitan dengan penurunan
1 persen pada lapangan kerja industri dan formal, serta kenaikan 0,6 persen pada pertanian setahun
kemudian. Tabel 5.2 membandingkan berbagai nilai tersebut dengan perubahan yang dialami Indonesia
pada masa terburuk krisis keuangan dari tahun 1997 sampai 1998. Efek dari kenaikan 10 persen pada upah
minimum terhadap struktur tenaga kerja sangatlah besar, dengan rentang antara 15 sampai 35 persen dari
perubahan yang dialami selama krisis. Tetapi, efek upah minimum ini jauh lebih lemah setelah dua tahun.
Efek upah minimum terhadap lapangan kerja sektoral hilang sepenuhnya setelah dua tahun, dan efeknya
terhadap kerja formal berkurang sampai setengah. Salah satu penjelasan yang mungkin untuk hal ini adalah
bahwa kenaikan upah minimum cenderung terjadi pada propinsi yang prospek pertumbuhan jangka
menengahnya kuat. Setelah dua tahun, pertumbuhan jangka menengah yang kuat dapat menghapus efek
negatif sementara dari kenaikan upah minimum.
111
Tabel 5.2
Perbandingan efek upah minimum terhadap lapangan kerja dengan perubahan saat
krisis
Perubahan pangsa lapangan kerja
(dalam persentase)
Tahun krisis
(1997-1998)
Kenaikan upah minimum 10 persen
Tahun berikutnya
Dua tahun kemudian
Formal
-3,3
-1,0
-0,5
Pertanian
4,2
0,6
0,0
Industri
-2,8
-1,0
-0,2
Sumber:Sakernas
Efek upah minimum terhadap distribusi
Rumah tangga yang lebih miskin hanya memperoleh manfaat yang relatif kecil dari kenaikan upah
minimum. Hal ini terjadi karena dua alasan:
Yang pertama, kebanyakan pekerja miskin tidak bekerja di bidang yang membayarkan gaji dan upah
sehingga mereka tidak memperoleh manfaat dari aturan upah minimum. Dari semua pekerja yang
menerima gaji, hanya 22 persen saja yang berada di dua kuintil pengeluaran konsumsi terendah,
sedangkan hampir 62 persen yang lain berada di kuintil atas.
Kedua, kalau pun pekerja miskin memiliki pekerjaan yang membayarkan gaji, mayoritas bekerja
dengan bayaran di bawah upah minimum. Hampir 55 persen dari pekerja penerima upah dan gaji
yang berada di kuintil termiskin perkiraan konsumsi per kapita, melaporkan bahwa penghasilan mereka
lebih kecil dari upah minimum (Gambar 5.6).112 Karena banyak pekerja miskin mempunyai pekerjaan
yang membayar di bawah upah minimum, maka penghasilan tersebut menjadi bagian besar dari
penghasilan rumah tangga. Dari keseluruhan penghasilan rumah tangga miskin yang berasal dari gaji,
lebih dari setengahnya berasal dari gaji pekerjaan di bawah upah minimum (Gambar 5.7). Hal ini kontras
dengan penghasilan dari pekerjaan di atas upah minimum (100-150 persen dari upah minimum) yang
hanya menyumbangkan 26 persen terhadap keseluruhan penghasilan rumah tangga miskin pada
tahun 2006.
Gambar 5.6
Ketidakpatuhan terhadap upah minimum
60
Persentase karyawan
penerima gaji
50
40
30
20
10
0
Bawah
Kedua
Ketiga
Keempat
Kuintil Perkiraan Konsumsi Per Kapita
Atas
Upah minimum di Indonesia
tampaknya
lebih
dipakai
sebagai mekanisme penentu
upah daripada jaring pengaman
sosial. Upah minimum bukanlah
jaring pengaman yang efektif bagi
pekerja miskin dan berupah
rendah karena mereka cenderung
tidak
merasakan
manfaat
perubahan kebijakan.
Tingkat
upah minimum cukup dekat
dengan upah rata-rata karyawan,
sebuah isyarat bahwa kebijakan
upah minimum dimanfaatkan
sebagai mekanisme penentu
Sumber:Sakernas tahun?
112
112
Penghasilan dari upah bisa jadi dilaporkan lebih rendah dalam survei rumah tangga sehingga mengakibatkan tingkat
ketidakpatuhan ditaksir terlalu tinggi. Meski demikian, ketidakpatuhan kemungkinan tetaplah besar.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 5
Upah Minimum
upah dengan memberikan sinyal tingkat upah yang diharapkan bagi semua pekerja sektor formal. Dugaan
ini diperkuat oleh masalah lain yang berkaitan dengan pemanfaatan upah minimum sebagai mekanisme
penentu upah: turunnya tingkat kepatuhan, pertambahan pekerjaan sektor formal yang lebih lambat, dan
manfaat upah yang hanya dirasakan secara terbatas oleh pekerja miskin. Kenaikan upah minimum
menimbulkan masalah terutama dalam konteks penetapan upah karena kenaikan ini tak hanya meningkatkan
upah bagi mereka yang bayarannya paling kecil, tetapi juga bagi semua pekerja dalam spektrum upah
sehingga mengakibatkan pemberi kerja untuk mempekerjakan lebih sedikit pekerja.
V. Rekomendasi
Memanfaatkan upah minimum murni sebagai jaring pengaman bagi mereka yang berupah rendah,
bukan sebagai mekanisme penentu upah. Perundingan bersama seharusnya tetap lebih fokus pada inflasi
(indeks harga konsumen, IHK) sebagai rujukan utama bagi negosiasi upah dan mengurangi penggunaan
aturan upah minimum sebagai rujukan utama bagi negosiasi gaji. Selain IHK, sistem perundingan bersama
yang lebih kuat juga dapat memanfaatkan informasi mengenai upah pekerja yang setara, dan informasi
terbuka mengenai keuntungan perusahaan. Hal ini akan memungkinkan kenaikan upah masing-masing
pekerja untuk mencerminkan perubahan pada nilai pekerjaan mereka, bukannya menggunakan hasil
perkiraan komite teknis untuk kenaikan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Negosiasi dua pihak di tingkat pabrik seharusnya menjadi mekanisme pilihan bagi penetapan
upah. Perbaikan koordinasi tawar-menawar antara pemberi kerja dan pekerja seharusnya difokuskan pada
mekanisme negosiasi dua pihak, bukannya pada tingkat daerah atau propinsi berdasarkan upah minimum.
Untuk dapat melakukan negosiasi upah dua pihak dengan baik, diperlukan hubungan yang kuat dengan
perusahaan. Pertemuan dua pihak yang saat ini dilakukan antara asosiasi pemberi kerja dan serikat pekerja
untuk menyelesaikan perselisihan dan persoalan tenaga kerja, dapat menjadi langkah pertama ke arah
tersebut.
Tetap bersikap hati-hati dalam menaikkan upah minimum untuk menghindari sejumlah masalah
yang terkait dengan kebijakan penetapan upah minimum yang tinggi. Beberapa masalah ini sudah
tampak di Indonesia: tingkat ketidakpatuhan yang tinggi, pertambahan pekerjaan formal yang lambat ketika
upah minimum naik, dan pekerja miskin yang tidak beranjak dari ekonomi informal. Sejak 2003, dewan
pengupahan propinsi telah memperlihatkan kehatian-hatian dengan menaikkan upah minimum pelanpelan. Kenaikan upah minimum yang melebihi tingkat inflasi IHK sebaiknya tetap dihindari karena berbagai
alasan berikut:
Pekerja informal memperoleh penghasilan tiga puluh persen lebih kecil daripada pekerja formal, tetapi
upah mereka akan naik senilai itu pula begitu mereka pindah ke pekerjaan formal.113 Penjelasan yang
paling mungkin atas hal ini adalah bahwa upah minimum telah ditentukan di atas tingkat upah pasaran
sehingga merugikan pekerja informal yang tersisih dari sektor formal.
Kebanyakan karyawan yang menerima upah sama dengan atau di atas upah minimum bukanlah
kaum miskin, baik karena karyawan yang menerima upah cenderung tidak miskin, dan juga karena
ketidakpatuhan terhadap aturan upah minimum masih tinggi.
Kenaikan upah minimum tampaknya terkait dengan realokasi dari industri ke pertanian yang cukup
besar, namun sementara saja, serta dampak yang bertahan lebih lama berupa penurunan tingkat
formalitas.
113
Lihat Bab 3.
113
Menanggapi kemerosotan ekonomi melalui penurunan upah seperti yang dilakukan Indonesia tahun
1998, alih-alih melalui pengurangan lapangan kerja, dapat membantu supaya dampaknya ditanggung
lebih banyak orang dan dapat mempertahankan efisiensi. Pemulihan Indonesia yang terjadi relatif
cepat, paling dari sisi indikator sosial, mengisyaratkan bahwa efek penurunan upah drastis pada tahun
1998 tidak menimbulkan akibat buruk dalam jangka panjang.
Pada akhirnya, jika kenaikan upah minimum dibatasi, pertumbuhan ekonomi dapat lebih tinggi
sehingga menyebabkan kenaikan upah rata-rata dan menjadikan upah minimum lebih sebagai
batas upah terendah. Hal ini tak hanya akan memperbaiki kepatuhan secara mekanisme, tetapi juga
mendorong timbulnya kepatuhan dari berbagai perusahaan yang kemungkinan tidak akan patuh pada
tingkat upah minimum lebih tinggi.
Memperkuat penegakan aturan upah minimum yang telah ada melalui perbaikan pemantauan oleh
kantor Dinas Tenaga Kerja lokal dan pemangku kepentingan yang relevan. Pekerja berpenghasilan
rendah akan lebih diuntungkan oleh penegakan aturan upah minimum yang telah ada dengan lebih tegas,
daripada menaikkan lagi upah minimum. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan sistem perundingan
bersama dan meningkatkan sumber daya Dinas Tenaga Kerja untuk memantau dan menegakkan
kepatuhan.
114
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6
Perundingan Bersama &
Penyelesaian Sengketa
Serikat Buruh dan Pengadilan Hubungan Industri
Bab 6 Ringkasan & Rekomendasi
Setelah Indonesia mengalami redemokratisasi dan kebebasan berserikat diakui, jumlah serikat pekerja di tingkat
pabrik dan nasional terus bertambah. Serikat Pekerja kini mewakili sepersepuluh dari semua pekerja, angka yang
cukup tinggi jika dibandingkan dengan standar regional. Anggota serikat pekerja cenderung bekerja di perusahaan
besar dan berasal dari rumah tangga yang mampu. Mereka menikmati upah yang nilainya 18 persen lebih tinggi
dan berpeluang lebih besar untuk memperoleh tunjangan non-upah daripada pekerja non-anggota.
Sebagian besar perusahaan di Indonesia tidak mendokumentasikan syarat dan ketentuan pekerjaan, baik melalui
peraturan perusahaan maupun perjanjian bersama, seperti yang diwajibkan oleh Undang-undang Ketenagakerjaan.
Sementara itu, perusahaan yang patuh cenderung mengandalkan peraturan perusahaan yang dibuat secara
sepihak daripada menegosiasikan perjanjian kerja bersama dengan serikat pekerja. Hal ini kemungkinan besar
karena keanggotaan serikat pekerja yang terbatas, lemahnya keahlian negosiasi serikat pekerja tingkat pabrik, dan
preferensi perusahaan.
Indonesia melakukan reformasi sistem penyelesaian sengketa industri pada tahun 2004. Negosiasi tiga pihak masih
diwajibkan jika negosiasi dua pihak gagal menghasilkan kesepakatan, namun negosiasi tiga pihak tetap saja tidak
efektif untuk menyelesaikan sengketa. Berbagai sengketa, yang umumnya berkaitan dengan pemutusan hubungan
kerja, sering kali dibawa ke pengadilan hubungan industrial (PHI) yang baru dibentuk.
Pengkajian awal atas sejumlah contoh kasus di PHI yang berpusat di Jakarta memperlihatkan bahwa keterlambatan
dan penumpukan kasus telah memperlambat proses penyelesaian sengketa dan menciptakan ketidakpastian bagi
pemberi kerja maupun karyawan. Masalah ini kemungkinan besar terjadi akibat terbatasnya kapasitas dan sumber
daya manusia pada sistem pengadilan. Meskipun tidak ada bukti bahwa pengadilan memiliki bias sistematis, para
pekerja mengalami kesulitan dalam membiayai proses litigasi dan memahami kerumitan sistem hukum.
Rekomendasi:
Memperkuat perundingan bersama dan penyelesaian sengketa dua pihak pada tingkat pabrik untuk
menghindari proses penyelesaian yang panjang dan mahal melalui PHI. Sebuah pedoman perilaku atau
perangkat perundingan bersama yang baku dapat menjadi titik awal.
Meningkatkan kesadaran hukum pekerja serta keahlian hukum dan negosiasi serikat pekerja.
Memantau kinerja dan efektivitas serikat pekerja dan PHI melalui pengumpulan dan analisis data
yang lebih baik. Menggunakan informasi ini untuk menunjang perbaikan berkelanjutan di pengadilan
hubungan industrial.
I.
Pendahuluan
Lembaga ketenagakerjaan memainkan peran kunci untuk memastikan bahwa kesepakatan kerja
antara pemberi kerja dan karyawan mengikuti standar aturan yang telah ditetapkan. Lembaga
semacam ini termasuk serikat pekerja yang memantau kepatuhan terhadap aturan tenaga kerja, seperti
aturan mempekerjakan dan memberhentikan, serta aturan upah minimum. Namun, serikat pekerja juga
berperan lebih luas dalam berhubungan dengan pemberi kerja atas nama anggotanya untuk menegosiasikan
upah dan tunjangan di atas batas minimum yang ditetapkan peraturan. Jika upah minimum dijadikan
jaring pengaman bagi mereka yang berupah paling rendah sesuai rekomendasi pada Bab 5, dan bukannya
dijadikan mekanisme penentu upah bagi semua karyawan, maka sangatlah penting untuk memperbaiki
efektivitas negosiasi dua pihak antara serikat pekerja tingkat pabrik dan perusahaan.
Lembaga penengah diperlukan ketika standar tenaga kerja minimum tidak diikuti dan negosiasi
dua pihak gagal menyelesaikan sengketa. Di Indonesia, lembaga utama yang bertanggung jawab
116
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6
Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
menyelesaikan sengketa tenaga kerja adalah Dinas Tenaga Kerja lokal dan Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI). Kedua lembaga ini telah mengalami perubahan besar dalam sepuluh tahun terakhir. Dinas tenaga
kerja telah didesentralisasikan dan kini tak lagi berada di bawah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
sedangkan pengadilan tenaga kerja yang baru didirikan tahun 2004 telah menggantikan proses penyelesaian
sengketa yang dulunya dikendalikan Departemen Tenaga Kerja.
Bab 6 mengkaji bagaimana hubungan pemberi kerja-karyawan dikelola melalui kedua lembaga
penengah tenaga kerja ini: serikat pekerja dan pengadilan tenaga kerja. Bab ini dibagi menjadi tiga
bagian.
Yang pertama mengamati cakupan keanggotaan serikat pekerja di Indonesia dan memberi gambaran
profil anggota serikat pekerja.
Yang kedua mendiskusikan perundingan bersama di Indonesia dan kelebihan yang dinikmati anggota
serikat pekerja jika dibandingkan dengan pekerja non-anggota serikat pekerja.
Yang ketiga menjelaskan mekanisme penyelesaian sengketa sebelumnya dan saat ini, serta
menyampaikan temuan dari kajian awal mengenai pengadilan tenaga kerja di Jakarta.
Bagian keempat dan terakhir memberikan rekomendasi untuk memperkuat hubungan pemberi kerjakaryawan melalui perbaikan perundingan bersama dan penyelesaian sengketa.
II. Serikat Pekerja
Para pekerja merasakan kebebasan yang lebih besar untuk berserikat sejak redemokratisasi
Indonesia. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 98 mengenai Hak Berserikat dan
Perundingan Bersama pada tahun 1956, kebebasan berserikat selama tahun 90-an hanya terjadi di atas
kertas. Selama masa Orde Baru, pemerintah mengendalikan satu-satunya serikat pekerja yang diizinkan
berdiri. Negara beserta aparat militernya mencampuri semua aspek hubungan industrial dan penyelesaian
sengketa, tanpa menyisakan ruang untuk perundingan bersama secara terbuka antara perusahaan dan
pekerja. Hal ini berubah seiring jatuhnya Orde Baru dan proses demokrasi yang membuka jalan bagi
reformasi hubungan industrial. Pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 mengenai Kebebasan Berserikat
dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, yang diikuti dengan pengesahan tiga undang-undang utama
yang mengatur hubungan industrial: Undang-Undang No. 21/2000 mengenai Serikat Pekerja, UndangUndang Ketenagakerjaan (No. 13/2003), dan Undang-Undang No. 2/2004 mengenai Penyelesaian Sengketa
Hubungan Industrial.
Undang-Undang Serikat Pekerja mendefinisikan peran serikat pekerja dan menetapkan aturan
pembentukannya. Menurut Undang-Undang No. 21/2000, serikat pekerja mewakili pekerja yang menjadi
anggotanya dalam tiga peran utama: menyuarakan kepentingan pekerja, menyusun perjanjian bersama,
dan menyelesaikan sengketa industrial, termasuk mengatur pemogokan kerja. Terdapat tiga tingkatan
serikat pekerja:
Serikat pekerja tingkat pabrik dapat dibentuk oleh paling sedikit sepuluh pekerja dalam sebuah
perusahaan. Perannya adalah menyampaikan hal yang menjadi sorotan anggotanya kepada pimpinan
perusahaan dan mewakili anggotanya dalam negosiasi dua pihak.114
Sebuah federasi serikat pekerja dapat dibentuk oleh paling sedikit lima serikat pekerja. Federasi biasanya
dibentuk berdasarkan sektor atau jenis pekerjaan (misalnya Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia
atau Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara), tetapi kadang-kadang dapat pula berdasarkan
114
Simanjuntak, 2004.
117
ideologi atau minat politik (misalnya Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia). Federasi tersebut dapat
memberikan bantuan hukum atau bantuan jenis lain kepada anggota serikat pekerja tingkat pabrik.
Sebuah konfederasi serikat pekerja dapat dibentuk oleh paling sedikit tiga federasi.115 Peran utama
konfederasi adalah mewakili anggotanya dalam forum dan negosiasi tiga pihak, di tingkat daerah
maupun nasional.
Gambar 6.1 Jumlah serikat pekerja di Indonesia (1996-2006)
a. Tingkat nasional
b. Tingkat pabrik
20,000
100
90
83
80
70
86
87
90
66
60
60
12,000
40
8,000
11,464
21
20
11
0
11,444
6,309
6,000
30
18.352
16,347
15,750
14,000
10,000
10
15,750
16,000
50
36
18,352
18,000
4,000
2,000
2,839
0
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Sumber : ILO, 2006
Jumlah serikat pekerja, baik di tingkat pabrik maupun nasional, tumbuh pesat sejak demokratisasi.
Sejak dilaksanakannya kebebasan berserikat pada tahun 1998, segera terbentuk sepuluh serikat pekerja
tingkat nasional yang baru, beriringan dengan satu serikat pekerja yang memang telah ada sejak Orde
Baru. Pertumbuhan serikat pekerja baru, baik di tingkat pabrik maupun nasional, mencapai puncaknya pada
tahun 2001, dan kemudian mulai melambat sampai tahun 2005 (Gambar 6.1). Terjadi penurunan drastis
jumlah serikat pekerja tingkat pabrik pada tahun 2006 yang kemungkinan terkait dengan naiknya kasus
pemberhentian karyawan selama 2005-2006.116 Fragmentasi serikat pekerja di tingkat pabrik jarang menjadi
masalah di Indonesia.117
Serikat pekerja mewakili kira-kira sepersepuluh dari semua karyawan di Indonesia, angka yang
cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara tetangga. Meskipun terjadi kenaikan jumlah serikat
pekerja dengan cepat, hanya 3,2 juta pekerja yang mengaku sebagai anggota serikat pekerja pada tahun
2007, sebuah angka yang mewakili 11,2 persen dari keseluruhan pekerja.118 Angka ini jauh lebih rendah
daripada klaim serikat pekerja dalam bentuk jumlah anggota yang tercatat, yaitu 8,2 juta pekerja pada tahun
2002 (30 persen dari keseluruhan karyawan), yang juga menjadi angka resmi yang dipublikasikan oleh
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Keanggotaan serikat pekerja di Indonesia sebenarnya sedang
saja jika dilihat dari standar internasional, tetapi angka ini cukup tinggi untuk ukuran kawasan. (Gambar 6.2).
Kurangnya data yang berasal dari survei menyebabkan tren keanggotaan serikat pekerja seiring waktu tidak
115
116
117
118
118
Saat ini ada tiga konfederasi yang mewakili pekerja di forum tiga pihak nasional: Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI),
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI).
Nugroho, 2008.
Fragmentasi serikat pekerja adalah keberadaan lebih dari satu serikat pekerja di satu perusahaan. Perwakilan APINDO menyatakan
bahwa serikat pekerja berganda hanya terjadi di sekitar 9.000 dari seluruhnya 110.000 perusahaan (berdasarkan wawancara
dengan Bank Dunia). Laporan penelitian yang lain menyatakan bahwa dari 47 perusahaan yang diteliti di wilayah Jabodetabek,
39 memiliki serikat pekerja dan hanya 3 yang melaporkan keberadaan lebih dari satu serikat pekerja (Rahayu dan Sumarto,
2003).
Sakernas, 2007. Karyawan didefinisikan sebagai pekerja penerima upah dan gaji yang dipekerjakan oleh perusahaan swasta atau
pemerintah. Angka ini sedikit lebih rendah daripada perkiraan IFLS tahun 2007 (16 persen dari semua karyawan) atau Laporan
Daya Saing Global tahun 2005 dari Forum Ekonomi Dunia (14 persen).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6
Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
dapat dipastikan. Namun, ada kekhawatiran bahwa tingkat keanggotaan serikat pekerja mungkin sedang
menurun akibat semakin tingginya ketergantungan pada pekerja kontrak jangka tetap dan pekerja alih daya
(outsourced worker).119
Serikat pekerja berhasil menegosiasikan upah yang lebih tinggi dan tunjangan lainnya bagi anggota
mereka. Karyawan anggota serikat pekerja memperoleh upah yang lebih tinggi daripada non-anggota.
Secara rata-rata, anggota serikat pekerja mendapat upah lebih tinggi 18 persen daripada non-anggota.120
Para anggota pun berpeluang lebih besar untuk menerima tunjangan non-upah seperti uang pesangon,
pelatihan, uang pensiun, tunjangan kesehatan, , jika dibandingkan dengan non-anggota (Gambar 6.3).
Serikat pekerja cenderung mewakili pekerja di perusahaan besar, sementara karyawan yang
bekerja di perusahaan kecil dan berasal dari rumah tangga miskin memiliki kemungkinan terbesar
untuk tidak menjadi anggota serikat pekerja.121 Keanggotaan serikat pekerja terkonsentrasi secara
tidak seimbang di perusahaan besar. Dari seluruh anggota serikat pekerja, 43 persen di antaranya bekerja
di perusahaan besar (perusahaan dengan jumlah karyawan di atas 100 orang), namun jumlah tersebut
hanya mencapai kurang dari 15 persen total karyawan non-pemerintah. Undang-Undang mengenai Serikat
Pekerja (No. 21/2000) yang mewajibkan paling sedikit 10 pekerja agar dapat membentuk serikat pekerja,
secara otomatis telah menutup peluang 26 persen dari total pekerja untuk berserikat karena mereka bekerja
di perusahaan kecil yang mempekerjakan terlalu sedikit staf untuk memenuhi syarat (Gambar 6.4). Karyawan
dari rumah tangga miskin juga berpeluang lebih kecil untuk bergabung dengan serikat pekerja. Meskipun
34 persen dari semua karyawan berasal dari rumah tangga pada dua kuintil terbawah, hanya 26 persen
anggota serikat pekerja yang berasal dari kategori ini.122 Hal ini kemungkinan besar karena pekerja yang
lebih miskin cenderung bekerja di perusahaan kecil.
Gambar 6.2
Keanggotaan serikat pekerja menurut negara
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Sumber: Forum Ekonomi Dunia, Indeks Daya Saing Global, 2008.
119
120
121
122
Survei bulan Agustus 2007 bertanya kepada responden yang mengaku sebagai pekerja penerima upah dan gaji tentang apakah
mereka menjadi anggota serikat pekerja. Ini adalah pertama kalinya survei mengajukan pertanyaan mengenai keanggotaan
serikat pekerja. Tetapi, karena survei Sakernas berikutnya tidak lagi mengajukan pertanyaan tersebut, maka tren keanggotaan
serikat pekerja tidak tersedia untuk Indonesia.
Berdasarkan regresi logistik upah per jam menggunakan data IFLS 2007 terhadap karakteristik individu, ukuran perusahaan,
sektor, upah sebelumnya, dan kegiatan pasar tenaga kerja sebelumnya. Lihat Lampiran VI.2. Sebagai perbandingan, koefisien
untuk upah yang lebih besar bagi anggota serikat pekerja di Brazil bervariasi dari 15 sampai 20 persen antara 1986 dan 1999
(Bank Dunia, 2002).
Berdasarkan data dari IFLS 2007
Lihat Lampiran VI.1 untuk regresi determinan keanggotaan serikat pekerja, dan Lampiran VI.2 untuk distribusi keanggotaan
serikat pekerja menurut karakteristik.
119
Gambar 6.3
Jumlah pekerja penerima tunjangan nonGambar 6.4
upah menurut keanggotaan serikat pekerja
Distribusi pekerja
menurut ukuran
perusahaan
100%
Uang pesangon
Pensiun
80%
Tunjangan transpor
60%
Makan di tempat kerja
40%
Tunjangan kesehahatan
20%
Pelatihan
0%
10%
20%
Anggota Serikat Pekerja
30%
Non-anggota
Sumber: IFLS, 2007.
40%
0%
Semua karyawan
< 20 pekerja
Anggota serikat pekerja
20 -100 pekerja
100+ pekerja
Sumber: IFLS, 2007.
III. Perundingan Bersama
Syarat dan ketentuan pekerjaan dijelaskan dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama (PKB). Sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, setiap perusahaan yang paling sedikit
memiliki sepuluh pekerja harus menetapkan syarat dan ketentuan pekerjaan, termasuk hak dan kewajiban
pemberi kerja dan pekerja, melalui peraturan perusahaan atau PKB. Kedua dokumen tersebut sama-sama
menjelaskan syarat dan ketentuan yang biasanya termasuk gaji, hari libur, ketentuan pensiun, jam kerja,
serta lembur pada akhir pekan dan hari kerja. Tetapi, kedua dokumen tersebut tercipta melalui proses yang
berbeda. Pemberi kerja biasanya membuat peraturan perusahaan secara sepihak, meskipun UndangUndang Ketenagakerjaan menyarankan untuk mempertimbangkan pula rekomendasi dari pekerja. Di sisi
lain, PKB adalah produk dari kesepakatan antara pemberi kerja dan serikat pekerja, dan terikat waktu selama
dua atau tiga tahun. Hanya diperbolehkan satu PKB untuk satu perusahaan dan PKB harus dinegosiasikan
oleh serikat pekerja yang mewakili mayoritas pekerja atau didukung oleh lebih dari 50 persen karyawan
anggota maupun non-anggota.
Banyak perusahaan cenderung mengandalkan peraturan perusahaan daripada menegosiasikan
perjanjian kerja bersama. Sebagian besar perusahaan tidak mematuhi Undang-Undang Ketenagakerjaan
dan sama sekali tidak mengeluarkan peraturan perusahaan atau menegosiasikan PKB.123 Hanya sejumlah
kecil perusahaan yang mengeluarkan peraturan perusahaan; kira-kira 36.000 peraturan semacam itu
didaftarkan setiap tahun, dari tahun 2001 sampai 2006 (Tabel 6.1). Jumlah perusahaan yang menegosiasikan
PKB dengan serikat pekerja bahkan lebih kecil lagi. Setiap tahun, hanya ada sekitar 9.000 perusahaan yang
menegosiasikan PKB dengan serikat pekerja. Meskipun jumlah PKB sejak 2001 meningkat setiap tahun
karena naiknya jumlah serikat pekerja, pemakaian peraturan perusahaan berkembang lebih cepat.124
123
124
120
Pada tahun 2006 hanya ada 45.878 peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama (PKB) yang didaftarkan dan dilaporkan
ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun pada tahun yang sama, Sensus Ekonomi 2006 mencatat keberadaan
166.000 perusahaan dengan karyawan di atas 20 orang. Setiap perusahaan ini memiliki kewajiban hukum untuk membuat
peraturan perusahaan atau PKB. Jumlah perusahaan yang tidak patuh sebenarnya lebih tinggi lagi karena aturan hukum tersebut
diwajibkan bagi perusahaan dengan karyawan di atas 10 orang.
Nugroho (2008)
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6
Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
Tabel 6.1
Jumlah Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama
Tahun
Peraturan Perusahaan
Perjanjian Kerja Bersama
2001
36.030
8.997
2002
36.152
9.081
2003
36.174
9.102
2004
36.339
9.131
2005
36.483
9.154
2006
36.710
9.168
Sumber: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2007, disalin dari Palmer, 2008.
Perundingan bersama di tingkat pabrik masih lemah karena terbatasnya cakupan serikat pekerja,
lemahnya keahlian negosiasi, dan preferensi perusahaan. Ada tiga alasan mengapa perusahaan yang
mematuhi peraturan lebih mungkin mengeluarkan peraturan perusahaan daripada menegosiasikan PKB
dengan serikat pekerja. Yang pertama, terbatasnya cakupan serikat pekerja menyebabkan jumlah serikat
pekerja tidak memadai untuk menegosiasikan PKB di semua perusahaan menengah dan besar. Sebagai
contoh pada tahun 2006, dari 166.000 perusahaan, hanya ada kurang dari 20.000 perusahaan yang memiliki
serikat pekerja.125 Kedua, daya tawar serikat pekerja tingkat pabrik mungkin terbatas karena lemahnya
keahlian negosiasi atau asimetri kekuatan. Studi sebelumnya memperlihatkan bahwa PKB sering kali hanya
menyebutkan kembali tunjangan yang telah ditetapkan dalam undang-undang ketenagakerjaan, sebuah
tanda lemahnya negosiasi dengan perusahaan.126 Ketiga, banyak pemberi kerja lebih suka mengeluarkan
peraturan perusahaan secara sepihak daripada bernegosiasi dengan serikat pekerja. Peraturan perusahaan
biasanya telah disiapkan terlebih dahulu dan cukup diserahkan kepada perwakilan pekerja untuk
ditandatangani. Sejumlah serikat pekerja telah mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai komitmen
dan itikad baik pihak perusahaan dalam menegosiasikan PKB.127
IV. Penyelesaian Sengketa dan Pengadilan Tenaga
Kerja
Sengketa terjadi saat proses dua pihak gagal menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima
perusahaan dan pekerja. Cakupan serikat pekerja yang rendah dan rendahnya keahlian negosiasi di
tingkat pabrik membatasi kemampuan menyelesaikan sengketa melalui proses perundingan bersama dan
negosiasi dua pihak. Hal ini terlihat dari laporan jumlah sengketa pekerja yang meningkat, terutama selama
2001-07 (Tabel 6.2), bersamaan dengan berkurangnya jumlah serikat pekerja tingkat pabrik. Kebanyakan
sengketa pekerja yang dilaporkan ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi terkait dengan kasus
pemutusan hubungan kerja. Jika mekanisme dua pihak gagal menyelesaikan konflik semacam ini, ada
risiko bahwa pekerja yang berserikat akan mogok kerja (lihat Kotak 6.1). Jika itu tidak terjadi, pemberi kerja
dan karyawan memiliki jalan keluar lain melalui lembaga penengah yang diciptakan untuk menyelesaikan
sengketa industrial.
125
126
127
Sensus Ekonomi, 2006; Sakernas, 2007. Total perusahaan mencakup perusahaan dengan karyawan di atas 20 orang.
Quinn, 2003. Penelitiannya menganalisis sampel berupa 109 PKB dari lima provinsi. Analisis ini membandingkan PKB dengan
standar hukum dasar mengenai enam hal: gaji, hari libur, Jamsostek, jam kerja, dan lembur pada akhir pekan dan hari kerja.
Pada setiap topik kecuali Jamsostek, lebih dari setengah PKB berisi ketentuan yang sama dengan standar hukum. Kira-kira 60
persen dari PKB berisi ketentuan mengenai uang transpor dan uang makan yang tidak ditentukan secara hukum, tetapi biasanya
tercakup dalam negosiasi.
Palmer, 2008.
121
Kasus sengketa pekerja dan pemutusan hubungan kerja, 2001 – 2006128
Tabel 6.2
Tahun
Kasus pemutusan hubungan kerja
Sengketa jenis lain
Jumlah kasus
Jumlah pekerja
2001
2.160
85.989
81
2002
2.445
114.933
101
2003
2.394
128.191
105
2004
2.386
123.929
63
2005*
1.784
66.604
92
2006
5.615
67.782
188
2007
3.252
28.317
190
Sumber: ILO dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Catatan: *Sampai dengan Oktober 2005
Kotak 6.1
Pemogokan pekerja129130
Mogok kerja masih menjadi salah satu cara
pekerja dalam upaya mereka mengubah syarat
dan ketentuan pekerjaan, atau tindakan tidak
adil dari pemberi kerja. Terjadi tren penurunan
perlahan-lahan dalam jumlah pemogokan di
Indonesia dari tahun 2000 sampai 2005. Tren
ini bisa jadi mengisyaratkan adanya perbaikan
karena
dilembagakannya
penyelesaian
sengketa melalui perundingan bersama
menyusul semakin berkembangnya serikat
pekerja.129 Tetapi, taktik pemogokan dapat
langsung dipakai kembali saat diperlukan.
Misalnya saja, terjadi lonjakan insiden
pemogokan pada tahun 2006 sampai ke tingkat
tertinggi dalam 10 tahun terakhir sebagai
tanggapan terhadap rencana pemerintah
merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan.130
Jumlah Peristiwa Mogok Kerja di Indonesia (1990-2006)
700
30 0
600
25 0
500
20 0
400
15 0
300
200
10 0
100
50
0
0
97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07
19 19 19 20 20 20 20 20 20 20 20
Workers involved (000 workers); left axis
No. of strikes, right axis
Sumber: ILO 1997-2007
Panitia Penyelesaian Sengketa Perburuhan dulunya merupakan lembaga utama yang bertanggung
jawab menyelesaikan sengketa pekerja. Panitia ini ada di tingkat kabupaten (P4D) dan nasional (P4P).
Tetapi sistem ini banyak dikritik karena dua alasan utama. Yang pertama, proses tersebut tidak efisien
dalam menyelesaikan sengketa dengan cepat. Kedua, proses tersebut dipandang tidak imparsial karena
128
129
130
122
Perlu dicatat bahwa klasifikasi data dibuat secara resmi oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengikuti klasifikasi
dalam Undang-Undang No. 2/2004. Undang-undang tersebut mengkategorikan pemutusan hubungan kerja sebagai sengketa
khusus yang berbeda dengan sengketa pekerja lainnya, termasuk sengketa mengenai hak, kepentingan, dan sengketa antar
serikat pekerja.
Bertambahnya pelaksanaan perundingan bersama juga berkaitan dengan bertambahnya serikat pekerja. Jumlah serikat pekerja
dan perjanjian kerja bersama, dua indikator penanda kemajuan dalam perundingan bersama, mengalami kenaikan tajam setelah
disahkannya kebebasan berserikat melalui Undang-Undang No. 21/2000.
Kenaikan drastis pemogokan kerja pada tahun 2006 terjadi sebagai reaksi atas meningkatnya pemutusan hubungan kerja,
pemakaian pekerja kontrak dan alih daya (outsource), serta tanggapan terhadap rencana revisi Undang-Undang No. 13/2003.
Pemogokan terbanyak terjadi pada bulan April dan Mei 2006. (Kompas, 6 April 2006; 27 April 2006; Kompas, 2 Mei 2006; 4 Mei
2006; Nugroho, 2007).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6
Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
berbagai panitia itu adalah bagian dari birokrasi pemerintah dan bertanggung jawab kepada dinas tenaga
kerja di daerah dan Kementerian Tenaga Kerja. Dengan demikian, pemerintah dapat campur tangan dan
menguntungkan salah satu pihak dalam proses penyelesaian sengketa.131
Dewan Perwakilan Rakyat memperkenalkan mekanisme baru pada tahun 2004 untuk menyelesaikan
sengketa industrial dengan menciptakan sistem pengadilan hubungan industrial (PHI). Undangundang mengenai penyelesaian sengketa hubungan industrial (No. 2/2004) dirancang untuk memperbaiki
lembaga dan mekanisme penyelesaian sengketa antara pemberi kerja dan karyawan. Hal terpenting dari
reformasi tersebut adalah diciptakannya pengadilan hubungan industrial yang independen dan berada
di bawah cabang yudikatif. Serikat pekerja mengkhawatirkan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa
berdasarkan pengadilan akan sulit diakses, mudah terimbas masalah korupsi dalam sistem pengadilan,
dan tidak memiliki kapasitas untuk menangani bertumpuknya kasus. Di sisi lain, asosiasi pemberi kerja
memandang sistem baru ini lebih dapat diandalkan dan memberikan kepastian dalam menyelesaikan
sengketa industrial antara pemberi kerja dan karyawan.
V. Sistem P4D/P4P
Pada sistem sebelumnya, Dinas Tenaga Kerja akan berusaha menyelesaikan konflik melalui arbitrasi
dan mediasi jika negosiasi dua pihak gagal. Dalam proses penyelesaian sengketa yang lama (Gambar
6.5), salah satu atau kedua pihak yang berselisih dapat mengajukan kasus tersebut kepada Disnaker jika
negosiasi dua pihak gagal.132 Hal ini akan memulai mekanisme tiga pihak; Dinas Tenaga Kerja pertamatama akan menawarkan opsi arbitrasi oleh arbiter pihak ketiga yang berlisensi, dengan keputusan yang
final dan mengikat secara hukum. Jika salah satu atau kedua pihak tidak setuju mengikuti arbitrasi, maka
prosesnya otomatis berubah menjadi mediasi.133 Mediator yang ditunjuk oleh pejabat Dinas Tenaga Kerja
akan membantu mencarikan solusi yang dapat diterima kedua belah pihak dan memberikan rekomendasi
yang tidak mengikat. Jika kedua pihak menerima keputusan mediator, maka rekomendasi tersebut akan
tercermin dalam kesepakatan bersama.
Jika mekanisme tiga pihak gagal, kasus tersebut akan diajukan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah (P4D). Jika kasus tidak dapat diselesaikan melalui mediasi atau salah satu pihak
mengajukan banding, maka kasus akan dikirim ke P4D yang berada di kantor Dinas Tenaga Kerja tingkat
kabupaten atau kota. Keputusan P4D mengikat secara hukum, tetapi salah satu pihak dapat mengajukan
banding kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) di Jakarta. Untuk kasus yang
melibatkan lebih dari sembilan orang atau perusahaan yang berlokasi di lebih dari satu daerah, maka kasus
tersebut dapat langsung dibawa ke P4P. Sistem ini tidak menentukan berapa lama (dalam hari) waktu
maksimum untuk penyelesaian kasus.
Sistem P4D/P sering dikritik karena tidak efisien. Diperlukan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahuntahun, untuk menyelesaikan sengketa melalui sistem P4D/P karena tidak ada ketentuan batas waktu untuk
setiap tahapan proses.134 Negosiasi biasanya memerlukan rapat mingguan minimal tiga kali. Tetapi, jika
pemberi kerja tidak kooperatif atau kantor Dinas Tenaga Kerja tidak mempunyai kinerja optimal, negosiasi
dapat berlangsung jauh lebih lama. Meskipun keputusan P4D/P mengikat secara hukum dan harus
dilaksanakan dalam 14 hari, prosesnya dapat berlangsung sangat panjang, terutama jika diajukan banding
131
132
133
134
Palmer, 2008.
Berdasarkan Undang-Undang No. 22/1957 dan No. 12/1964.
Simanjuntak, 2004.
Nugroho, 2008, berdasarkan wawancara dengan perwakilan pekerja dan pemberi kerja.
123
ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap keputusan P4D atau P4P. Sistem ini juga mengandung
ketidakpastian hukum karena Menteri dapat memveto keputusan panitia.135
VI. Sistem Penyelesaian Sengketa yang Telah
Direformasi
Proses penyelesaian sengketa yang telah direformasi masih dimulai dengan mekanisme tiga pihak.
Dalam sistem yang telah direformasi (Gambar 6.5), para pihak yang berselisih dirujuk ke salah satu dari dua
mekanisme awal tiga pihak: a) arbitrasi pihak ketiga yang menghasilkan keputusan yang mengikat secara
hukum, atau b) langkah ciptaan baru berupa konsiliasi pihak ketiga yang mengeluarkan rekomendasi tidak
mengikat. Pilihan mekanisme yang akan dipakai sebagian tergantung pada jenis sengketa pekerja yang
disampaikan. Jika salah satu atau kedua pihak menolak arbitrasi atau konsiliasi, maka secara otomatis mereka
memasuki proses mediasi. Si mediator, pejabat Dinas Tenaga Kerja dengan mandat khusus untuk melakukan
mediasi sengketa, dapat menangani jenis sengketa apa pun, tetapi sama seperti konsiliator, rekomendasinya
tidak mengikat.
Kasus yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme tiga pihak akan diteruskan ke pengadilan
hubungan industrial yang baru diciptakan. Pihak eksekutif tidak lagi memegang kendali penuh atas
proses penyelesaian sengketa. Setelah negosiasi tiga pihak, pihak yang berselisih tak lagi dibawa ke P4D atau
P4P (keduanya telah dibubarkan), tetapi diserahkan ke PHI. Lembaga bentukan baru ini berada di setiap ibu
kota provinsi dan berupa pengadilan khusus yang menggunakan prosedur sama seperti pengadilan perdata.
Pihak yang berselisih akan menyampaikan bukti sesuai prosedur administratif kepada majelis hakim yang
kemudian memberikan putusannya. Masing-masing pihak dibantu oleh penasihat hukum, bisa pengacara
atau perwakilan serikat buruh, yang bertanggung jawab membantu pendaftaran dan pembelaan klaim.136
Salah satu pihak kemudian dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.137 Berbeda dengan sistem
sebelumnya, hukum yang baru menetapkan batas waktu yang jelas pada setiap tahap proses penyelesaian
sengketa.
135
136
137
124
Peraturan ini memungkinkan Menteri Tenaga Kerja untuk menunda atau membatalkan sebuah keputusan karena “alasan yang
berkaitan dengan mempertahankan ketertiban umum atau melindungi kepentingan Negara” (Quinn, 2003:21).
Undang-Undang juga menyebutkan bahwa serikat pekerja dapat bertindak sebagai penasihat hukum.
Kasasi adalah pembatalan keputusan yang dibuat oleh pengadilan di tingkat lebih rendah.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6
Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
Gambar 6.5
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pekerja Melalui P4D/P4P
Berdasarkan Undang-Undang No. 22/1957 dan Undang-Undang No.12/1964
Sengketa Pekerja
Negosiasi Dua pihak
7 hari setelah terima
pemberitahuan
Negosiasi Tiga pihak :
Mediasi/Konsiliasi/Arbitrasi
Selisih
Selesai
Selisih
Selesai
14 hari setelah terima
keputusan di P4D
P4P
Kasus yang melibatkan lebih dari 9
orang dapat langsung diajukan ke P4P
3 bulan setelah terima
keputusan dari P4P
Veto oleh Menteri
Tenaga Kerja
P4D
Selisih
Selesai
Banding ke
PTUN
Kasasi ke
Mahkamah Agung
Selisih
Selesai
Selisih
Selesai
Selisih
Selesai
Sumber: Nugroho, 2008
125
Gambar 6.6
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial hasil Reformasi
Berdasarkan Undang-Undang No. 2/2004
Sengketa Hubungan Industrial
Selisih tentang Hak
Selisih tentang Kepentingan
Selisih tentang PHK
Selisih antar Serikat Pekerja
Jika gagal, kasus diajukan ke Dinas
Tenaga Kerja lokal (maks. 14 hari)
Tawaran pertama dari
mekanisme
penyelesaian (diberikan
oleh Disnaker lokal)
Tawaran kedua dari
mekanisme penyelesaian
jika tawaran pertama tidak
ditanggapi (dalam 7 hari)
Negosiasi
Berhasil
Negosiasi Dua pihak
(ma ks. 30 hari )
Kesepakatan Bersama
Arbitrasi
(maks. 30 hari kerja)
Selisih tentang Kepentingan
Selisih antar Serikat Pekerja
Konsiliasi
(maks. 30 hari kerja)
Selisih tentang Kepentingan
Selisih tentang PHK
Selisih antar Serikat Pekerja
Sengketa
Selesai
Mediasi
(maks. 30 hari kerja)
Selisih tentang Hak
Selisih tentang Kepentingan
Selisih tentang PHK
Selisih antar Serikat Pekerja
Pendaftaran
Kesepakatan Bersama
Pengadilan Hubungan Industrial (
Putusan
Putusan
maks. 30 hari
50 hari kerja )
Kasasi diajukan maks.
dalam 14 hari kerja
Kasasi ke Mahkamah Agung
Hanya untuk
Selisih tentang Hak
Selisih tentang PHK
Pendaftaran ke Pengadilan
Sumber: Nugroho, 2008
Kebanyakan kasus yang diajukan ke Pengadilan Hubungan Industri berkaitan dengan pemutusan
hubungan kerja. Dari sampel berbagai kasus di pengadilan tenaga kerja di Jakarta, 84 persen kasus
yang diajukan berhubungan dengan pemutusan hubungan kerja (Tabel 6.3). Pengadilan daerah juga
memperlihatkan kecenderungan yang sama. Pengadilan Hubungan Industrial Jawa Barat pada tahun 2007
126
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6
Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
menangani total 196 kasus, 88,8 persen di antaranya adalah kasus pemutusan hubungan kerja.138 Karena
PHK sering terjadi akibat sengketa yang sudah ada sebelumnya, kebanyakan kasus PHK mungkin diawali
oleh persoalan lain seperti masalah kebebasan berserikat atau pelanggaran hak.
Table 6.3
Komposisi kasus yang ditangani oleh Pengadilan Hubungan Industrial di Jakarta
Jenis Kasus
Sengketa hak: Sengketa akibat tidak dipenuhinya hak dasar sesuai ketentuan
hukum akibat perbedaan pelaksanaan atau penafsiran undang-undang, perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Jumlah
%
21
5,55
318
84,13
5
1,32
Sengketa mengenai kepentingan: Sengketa dalam hal hubungan pekerja akibat
ketidaksetujuan dalam pembuatan dan/atau pengubahan aturan kerja sesuai
ketentuan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
16
4,24
Jenis sengketa yang lain
18
4,76
378
100,0
Pemutusan Hubungan Kerja: Sengketa akibat ketidaksetujuan dari salah satu pihak
mengenai PHK.
Gabungan sengketa hak dan pemutusan hubungan kerja
Total
Sumber: Nugroho, 2008.
VII. Mengkaji Sistem Penyelesaian Sengketa yang
telah Direformasi
Mekanisme tiga pihak dari pihak ketiga yang berupa arbitrasi dan konsiliasi jarang dipakai. Ketika
sebuah kasus diajukan ke kantor Dinas Tenaga Kerja, para pihak yang berselisih ditawarkan opsi untuk
menyelesaikan sengketa melalui arbitrasi dan konsiliasi. Opsi ini jarang diambil. Sebagai contoh, di Jakarta
Pusat dan Serang (Jawa Barat), tidak ada satu pun kasus yang diajukan ke kantor Disnaker pada tahun 2007
dirujuk kepada arbiter atau konsiliator.139 Hal ini mungkin hanya mencerminkan tidak adanya kesepahaman
di antara kedua belah pihak, sehingga mediasi menjadi pilihan satu-satunya. Selain itu, para pihak yang
berselisih mungkin kekurangan informasi mengenai opsi alternatif selain mediasi atau tidak yakin bahwa
arbitrasi dan konsiliasi akan menghasilkan solusi yang dapat diterima para pihak.
Mekanisme mediasi tiga pihak pun tidak berhasil dalam menyelesaikan sengketa pada tahapan
sebelum masuk pengadilan. Sebagai contoh adalah kantor Disnaker Jakarta Pusat yang menangani 2030 kasus setiap bulan selama 2008. Berbagai kasus ini terdiri dari kasus baru dan juga kasus lama yang
dilanjutkan dari bulan sebelumnya. Mediator telah memberikan rekomendasi untuk sekitar setengah dari
kasus yang ada setiap bulan. Tetapi, rekomendasi tersebut hanya diterima dalam tidak lebih dari tiga kasus per
bulan; terkadang malah tidak ada rekomendasi yang diterima.140 Tingkat keberhasilan mediasi yang rendah
mungkin bukan akibat rendahnya kapasitas mediator, atau dalam kasus ini, kantor Disnaker. Wawancara
dengan perwakilan dari konfederasi serikat pekerja dan juga asosiasi pemberi kerja mengisyaratkan bahwa,
dalam kebanyakan kasus, para pihak yang berselisih memandang tahap tiga pihak sebagai formalitas belaka
yang harus dijalani supaya kasusnya dapat diajukan ke PHI.
138
139
140
Pengadilan Hubungan Industrial Jawa Barat, 2007, sesuai kutipan dalam Nugroho, 2008.
Berdasarkan wawancara Bank Dunia dengan Disnaker di Jakarta Pusat dan Serang.
Jika kedua belah pihak menerima rekomendasi tersebut, maka rekomendasinya dapat dijadikan Perjanjian Kerja Bersama, namun
hal ini tidak selalu dilakukan.
127
Gambar 6.7
Lamanya Waktu Proses Pengadilan di PHI Jakarta
(n=100)144
16%
38%
Tepat waktu (< 51 hari)
Lambat (51-90 hari)
Sangat lambat (> 90 hari)
46%
Sumber: PHI Jakarta (2007), dikutip dari Nugroho (2008).
PHI didirikan untuk memberikan
layanan hukum yang tepat
waktu, adil, sesuai, dan hemat
biaya. Keempat dimensi tersebut
menentukan mutu layanan hukum
yang ditawarkan pengadilan.
Namun, tanpa indikator yang jelas
atau pengumpulan data yang
sistematis, kinerja PHI tidak
mungkin
dinilai.
Penelitian
terhadap 100 sampel kasus dari
lima pengadilan tenaga kerja di
Jakarta memberikan tinjauan awal
terhadap kinerja pengadilan.
Temuan ini tidak mewakili kinerja
pengadilan di luar Jakarta.
PHI tidak berjalan tepat waktu dan memerlukan waktu rata-rata lebih dari dua bulan sebelum
menyampaikan putusan. Menurut undang-undang, putusan harus disampaikan dalam waktu kurang dari
lima puluh hari. Namun dalam praktiknya, putusan jarang disampaikan tepat waktu. Berdasarkan sampel di
Jakarta, pengadilan memerlukan waktu rata-rata 77 hari untuk menyelesaikan satu kasus (Gambar 6.7).141
Kasus yang dapat diselesaikan tepat waktu hanya 16 persen, sedangkan mayoritas kasus diselesaikan
antara 51 sampai 90 hari. Lebih dari sepertiga kasus memerlukan waktu di atas tiga bulan untuk mencapai
putusan. Sebagian besar keterlambatan ini diakibatkan oleh proses litigasi yang panjang, yang memerlukan
dokumentasi terperinci dan prosedur rumit yang terutama menyulitkan pekerja dan serikat pekerja karena
mereka cenderung kurang terbiasa dengan proses hukum jika dibandingkan dengan penasihat hukum
pemberi kerja.142 Sebagian juga mengeluhkan bahwa prosesnya semakin lambat akibat keterlambatan
administratif dalam menerbitkan surat keputusan.143 144
Tumpukan kasus kasasi di Mahkamah Agung menambah ketidakpastian dan biaya. Untuk kasus yang
berkaitan dengan sengketa mengenai hak dan pemutusan hubungan kerja, salah satu pihak yang berselisih
dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun hal ini tidak sering dilakukan. Pada sampel dari
Jakarta, sekitar 8 persen dari semua putusan PHI diajukan ke Mahkamah Agung pada tahun 2007.145 Proses
kasasi di Mahkamah Agung telah menuai keluhan mengenai proses yang panjang dan tanpa kepastian.146
Bagi pemberi kerja, hal ini menciptakan ketidakpastian dalam rencana produksi, terutama jika kasusnya
melibatkan pekerja dalam jumlah besar. Bagi pekerja, keterlambatan dapat menciptakan ketidakpastian
mengenai status pekerjaan, kestabilan penghasilan, dan biaya urusan hukum yang semakin besar.
141
142
143
144
145
146
128
Lamanya waktu proses pengadilan hanya merujuk pada periode antara penyerahan klaim dan putusan akhir. Masih ada langkah
lanjutan, yaitu penerbitan surat keputusan dan penyampaian surat keputusan kepada para pihak yang berselisih. Pedoman
untuk proses ini tidak dirinci dalam undang-undang. Serikat pekerja menyoroti bahwa penyampaian surat keputusan tersebut
kepada pihak yang berselisih dapat memakan waktu sampai berbulan-bulan, terutama jika perusahaan berada di daerah
terpencil.
Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta pada tahun 2007 menangani 271 kasus sengketa yang melibatkan 4.834 pekerja dan
84,13% di antaranya merupakan kasus pemutusan hubungan kerja (lihat Tabel 6.3 dan 6.4).
Namun, tidak ada data yang tersedia untuk mengkonfirmasi atau menyangkal berbagai keluhan tersebut.
Lamanya waktu merujuk pada masa sejak penyerahan klaim sampai tanggal keputusan akhir.
Nugroho, 2008.
Pangaribuan, 2008. Dan juga wawancara Bank Dunia dengan dua hakim ad hoc pada tanggal 13 Mei 2008 & 27 Mei 2008, serta
wawancara dengan pejabat OPSI dan SPKEP Bekasi pada tanggal 16 April 2008.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6
Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa melalui PHI ditengarai berbiaya tinggi, terutama bagi pekerja. Proses litigasi
lebih menekankan pada pemberian bukti hukum seperti kontrak atau daftar gaji karyawan. Semua bukti yang
diserahkan harus dilegalisir, sebuah proses yang membutuhkan biaya. Bagi pekerja yang tidak mempunyai
dukungan keuangan, seperti misalnya pekerja bergaji rendah atau mereka yang telah mengalami PHK,
biaya tersebut nilainya cukup berarti. Transportasi menambah lagi biaya yang ditanggung pekerja. Sistem
P4D/P berada di kantor kabupaten dan kota terdekat, sedangkan PHI berada di ibu kota provinsi yang
bisa jadi sangat jauh dari lokasi sengketa sehingga biaya transportasi dapat menjadi pengeluaran yang
cukup besar bagi pekerja yang datang dari tempat jauh. Keterlambatan dalam proses, akibat salah satu
pihak tidak siap atau tidak hadirnya perwakilan dari pemberi kerja atau hakim, akan semakin menambah
biaya transportasi.147 Proses ini juga berbiaya tinggi bagi pemberi kerja, meskipun hal ini terutama terkait
dengan biaya jasa pengacara yang akan meningkat tajam dalam kasus rumit atau yang berurusan dengan
pemutusan hubungan kerja besar-besaran.
Hasil keputusan tidak mengisyaratkan adanya bias sistematis terhadap salah satu pihak, tetapi
mungkin akan merugikan pekerja yang memiliki perwakilan hukum lemah. Dilihat dari komposisi kasus
menurut pihak yang mengajukan kasus dan putusannya, tidak ada pola sistematis yang mengisyaratkan bias
mendukung atau melawan pemberi kerja atau karyawan (Gambar 6.8).148 Sebagian besar petisi yang diajukan
pekerja di Jakarta menghasilkan keputusan yang memenangkan mereka. Namun, seperlima dari kasus yang
dilaporkan akhirnya dibatalkan karena berhasil dinegosiasikan atau buktinya tidak memadai. Hal ini bisa
jadi menandakan kesulitan yang dihadapi pekerja dalam PHI, yaitu bahwa sistem hukum kemungkinan
mempunyai bias melawan pihak yang tidak memiliki akses (atau tidak dapat membayar) penasihat hukum,
atau tidak memahami cara mengumpulkan bukti hukum dan menyampaikan kasus mereka dengan
meyakinkan di pengadilan. Jika serikat pekerja yang mewakili pekerja tidak memiliki anggota dengan latar
belakang dan/atau pengalaman hukum, maka pekerja akan lebih sulit menang saat menghadapi pengacara
profesional yang mewakili pemberi kerja.
Keterlambatan dan masalah lainnya kemungkinan diakibatkan oleh masalah kapasitas dan pasokan
sumber daya manusia bagi PHI. Ada tiga hakim yang bertugas di setiap pengadilan hubungan industrial;
satu orang hakim karir dan dua hakim ad hoc yang mewakili dan diusulkan oleh asosiasi pemberi kerja
dan serikat pekerja. Hakim karir memiliki pengalaman bertugas di pengadilan umum, tetapi mereka belum
tentu memahami kasus sengketa industrial. Pasokan hakim juga menjadi masalah. Sebagai contoh, hanya
ada empat hakim karir di PHI Jakarta yang bertanggung jawab menangani tumpukan kasus sengketa
industrial yang telah menggunung, tetapi mereka masih diwajibkan untuk menangani tugas lain di
pengadilan umum. Karena itu, hakim ad hoc-lah, bukan hakim karir, yang mengambil peran strategis dalam
proses dengan mempelajari substansi kasus. Selain itu, beberapa hakim mengklaim bahwa batas waktu
50 hari untuk memproses satu kasus menimbulkan kesulitan bagi hakim karena tidak memberikan waktu
yang cukup untuk mengumpulkan informasi valid dan objektif demi memberikan putusan yang adil dan
objektif.149 Dalam sistem P4D/P4P, panel mempunyai waktu lebih banyak untuk mengajukan pertanyaan,
serta mengumpulkan informasi dan bukti yang diperlukan untuk memberikan putusan.
147
148
149
Biaya penyelesaian sengketa di pengadilan tenaga kerja sesungguhnya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan sistem P4.
Namun akan menjadi lebih mahal apabila proses memakan waktu panjang atau klaim yang diajukan melibatkan banyak pekerja
(Nugroho, 2008, wawancara dengan hakim ad hoc pada tanggal 27 Mei 2008).
Kebanyakan kasus diajukan oleh karyawan, bukan pemberi kerja. Ada beberapa alasan mengapa demikian. Yang pertama,
jumlah pelanggaran hukum ketenagakerjaan oleh pemberi kerja masih tinggi seperti yang tampak pada bab sebelumnya terkait
tingkat kepatuhan yang rendah dalam pembayaran uang pesangon dan upah minimum. Kedua, pemberi kerja masih enggan
menggunakan pengadilan tenaga kerja untuk menyelesaikan sengketa karena biayanya dan rumitnya proses penyelesaian
sengketa, sehingga lebih menyukai negosiasi dua pihak (Nugroho, 2008, wawancara dengan hakim ad hoc yang diajukan oleh
asosiasi pemberi kerja pada tanggal 13 dan 27 Mei 2008).
Wawancara Bank Dunia dengan hakim ad hoc pada tanggal 27 Mei 2008.
129
Gambar 6.8
Hasil keputusan dalam kasus yang diajukan pemberi kerja dan karyawan
Diajukan pekerja (92 kasus)
Dimenangkan
pemberi
kerja 37%
Diajukan pemberi kerja (8 kasus)
Petisi
dibatalkan
21%
Dimenangkan
pemberi kerja
62%
Dimenangkan
pekerja 38%
Dimenangkan
pekerja 42%
Sumber: PHI Jakarta (2007), dikutip dari Nugroho (2008).
Kotak 6.2
Justica do Trabalho: Pengadilan Tenaga Kerja di Brasil
Justica do Trabalho adalah sistem pengadilan tenaga kerja di Brasil. Pengadilan di Brasil memberikan konsiliasi,
arbitrasi, dan keputusan hukum, berbeda dengan Indonesia yang membagi-bagi peran tersebut kepada kantor
Disnaker lokal dan PHI. Kebanyakan kasus berkaitan dengan sengketa mengenai hak, biasanya mengenai uang
lembur, gaji ke-13, dan uang pesangon setelah pemutusan hubungan kerja. Pekerja dapat mengajukan lebih dari
satu klaim, dan biasanya memang mengajukan lebih dari satu klaim, dan mereka dapat mengajukan kasus dalam
jangka waktu sampai lima tahun setelah PHK.
Karena pekerja hanya perlu mengeluarkan biaya yang relatif rendah untuk membawa sengketa ke pengadilan,
Justica do Trabalho menjadi salah satu pengadilan tenaga kerja yang paling sibuk di dunia. Setiap tahun, pekerja
dari seluruh Brasil mengajukan sekitar 2 juta tuntutan hukum terhadap pemberi kerjanya saat ini atau sebelumnya.
Sekitar 6 persen dari semua karyawan yang menerima gaji mengajukan kasus ke pengadilan setiap tahunnya.
Selama sepuluh tahun terakhir, tuntutan hukum yang terkait dengan masalah tenaga kerja telah meningkat 60
persen. Pekerja menerima rata-rata 40 persen dari nilai klaim mereka.
Seringnya tuntutan telah mendorong pekerja dan pemberi kerja untuk mengambil tindakan strategis. Karena
biayanya relatif kecil bagi pekerja, mereka mendapat insentif untuk melakukan tuntutan sesering mungkin dan
menggelembungkan klaim mereka karena menyadari bahwa mereka akan menerima sebagian dari jumlah yang
diklaim. Di sisi lain, pemberi kerja mendapat insentif untuk tidak membayarkan hak pekerja pada saat pemutusan
hubungan kerja dan menunggu sampai diperintah pengadilan untuk membayar.
Pada akhirnya pekerja dan pemberi kerja mencapai keseimbangan yang tidak optimal. Pemberi kerja berhati-hati
dalam mempekerjakan pekerja baru karena biaya yang tidak dapat dipastikan untuk membayar gaji, denda, dan
biaya hukum di masa depan. Pemberi kerja pun akan meningkatkan upaya penyaringan untuk menghindari
mempekerjakan pekerja yang lebih berpeluang menuntut mereka. Meskipun tidak ada bukti sistematis yang
tersedia, sejumlah pihak beranggapan bahwa kondisi ini menjadi penyebab meningkatnya pengangguran,
tingkat informalitas, dan kesepakatan kontrak tidak resmi.
Sumber: Bank Dunia (2002), “Brazil Jobs Report – Volume I and II” (Report No. 24408-BR), Washington, D.C.
130
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 6
Perundingan Bersama & Penyelesaian Sengketa
VIII. Rekomendasi
Mencari cara untuk memperkuat perundingan bersama dan penyelesaian sengketa dua pihak di
tingkat pabrik. Negosiasi yang lebih kuat antara pemberi kerja dan karyawan di masing-masing perusahaan
diperlukan untuk menghindari ketergantungan terhadap upah minimum yang dipakai sebagai penentu
upah (lihat Bab 5) dan menghindari penyelesaian sengketa yang panjang dan mahal melalui PHI.150 Berikut
adalah beberapa gagasan yang dapat ditindaklanjuti dalam diskusi antara pemerintah, perusahaan, dan
serikat pekerja:
Pedoman perilaku. Dasar bagi perundingan bersama adalah saling percaya. Sejumlah serikat pekerja
telah memperkenalkan gagasan pedoman perilaku sukarela untuk membantu membangun budaya
saling percaya antara pemberi kerja dan pekerja.
Perangkat perundingan bersama yang baku. Hal ini dapat membantu pekerja dan pemberi kerja
menghindari negosiasi berkepanjangan atas berbagai klausul dalam perjanjian kerja bersama (PKB).
Perangkat semacam ini pun dapat berguna terutama bagi serikat pekerja yang baru terbentuk atau
serikat pekerja yang belum pernah menegosiasikan PKB dengan pemberi kerja.
Bekerja sama untuk mendorong kesadaran hukum para pekerja dan kapasitas serikat pekerja
tingkat pabrik. Supaya mutu negosiasi dua pihak dapat ditingkatkan dan penyelesaian sengketa melalui
PHI dapat lebih adil, diperlukan informasi yang lebih baik dan keahlian yang lebih tinggi.
Para pekerja memerlukan lebih banyak informasi mengenai hak dan opsi penyelesaian sengketa.
Karena terbatasnya cakupan serikat pekerja, akses terhadap informasi bagi pekerja perlu ditingkatkan
lagi. Sebagian besar pekerja berada dalam posisi rentan dan tidak menguntungkan selama penyelesaian
sengketa karena mereka tidak memiliki kontrak dan tidak diwakili oleh serikat pekerja. Para pekerja ini
membutuhkan lebih banyak informasi mengenai hak mereka agar dapat memantau dan melaporkan
ketidakpatuhan. Mereka perlu memahami persyaratan yang diwajibkan PHI, serta cara mengakses dan
memelihara dokumen, demi memperkuat posisi mereka jika terjadi tuntutan hukum. LSM kemungkinan
ada di posisi terbaik untuk memberikan layanan informasi karena pekerja mungkin enggan berurusan
langsung dengan pemerintah dan donor. Kantor Disnaker dapat menawarkan pelatihan dan informasi
bagi LSM yang menangani para pekerja tak terwakili.
Membangun kapasitas serikat pekerja tingkat pabrik. Perbaikan kapasitas dapat membantu proses
negosiasi supaya lebih seimbang, tidak hanya pada saat tahap awal penyelesaian sengketa, tetapi
terutama di PHI. Bidang yang membutuhkan keahlian antara lain adalah teknik negosiasi, pemahaman
dasar mengenai bahasa hukum dan perusahaan, serta keahlian organisasi.
Mulai memantau dan mengkaji Pengadilan Hubungan Industrial untuk meningkatkan kinerjanya.
Kinerja PHI sulit dikaji karena lemahnya pengelolaan data. Selain itu, untuk saat ini masih terlalu awal untuk
mengkaji efektivitas PHI karena sistem dan pemangku kepentingannya masih dalam periode peralihan.
Saat ini, PHI harus menangani banyak kasus dengan sumber daya terbatas sehingga mengalami tumpukan
kasus dan membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikan kasus daripada ketentuan undangundang. Pemantauan kinerja pengadilan dapat mengidentifikasi tahap yang mengalami kemacetan dan
memperbaikinya sehingga pengadilan semakin cepat selesai dan semakin tanggap terhadap kebutuhan
pekerja dan pemberi kerja.
Memperbaiki pengumpulan data di bidang yang terkait dengan perundingan bersama dan
penyelesaian sengketa. Data yang tersedia mengenai kedua topik tersebut hanya sedikit sehingga
150
Untuk mempelajari Pengadilan Tenaga Kerja Brazil, lihat Bank Dunia (2002: vol. I:27-8, 37-8; vol. II:120-30).
131
membatasi dalamnya dan luasnya cakupan analisis. Tiga langkah yang perlu segera dilakukan untuk
memperbaiki masalah tersebut:
Di tingkat nasional, BPS harus terus mengumpulkan informasi mengenai keanggotaan serikat pekerja
dari responden survei Sakernas. Hal ini akan membantu meningkatkan pemahaman kita mengenai
tren keikutsertaan dalam serikat pekerja dan pengaruhnya. Data tambahan dapat juga diperoleh dari
laporan wajib seperti yang diminta oleh Compulsory Workforce Report Act (No. 7/1981) dan the Undang
Undang Ketenagakerjaan (No. 21/2000).
Di tingkat lokal, dibutuhkan data untuk melacak berapa banyak negosiasi dua pihak tingkat pabrik dan
bagaimana hasilnya. Hal ini memerlukan penelitian kuantitatif dan kualitatif untuk mengkaji model
negosiasi dua pihak yang efektif. Mewajibkan pemberi kerja untuk melaporkan hasil negosiasi dua
pihak kepada kantor Disnaker lokal dapat menjadi langkah pertama.
Pengadilan Hubungan Industrial memerlukan sistem terkomputerisasi untuk pengumpulan data.
Kajian yang benar mengenai efektivitas dan efisiensi PHI tak akan dapat dilakukan tanpa adanya data
mengenai jumlah kasus, jenis kasus, hasil keputusan, biaya, dan waktu proses. Pengumpulan data dan
sistem pengelolaan yang baik sangatlah penting jika kinerja PHI memang menjadi perhatian serius
Mahkamah Agung.
132
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7
Pasar Tenaga Kerja
Berkeahlian
Laporan Lapangan Kerja Indonesia
Bab 7 Ringkasan & Rekomendasi
Penduduk usia kerja di Indonesia akan bertambah sekitar 20 juta orang selama sepuluh tahun ke depan atau sekitar
2 juta orang per tahun. Untuk memanfaatkan semaksimal mungkin peluang demografi yang jangka waktunya
terbatas ini, Indonesia perlu memastikan bahwa para pekerjanya memiliki kemampuan agar dapat berhasil di
pasar tenaga kerja.
Peningkatan investasi publik selama tiga puluh tahun terakhir membuat Indonesia memiliki semakin banyak sekolah
dengan tingkat partisipasi yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan bertambahnya jumlah orang dewasa terdidik
dan mendorong terbentuknya angkatan kerja yang berpendidikan lebih tinggi. Peningkatan taraf pendidikan
pekerja yang paling besar terjadi di area pedesaan dan di antara perempuan. Meskipun jumlah pekerja Indonesia
yang lulus SMA dan lulus pendidikan tinggi terus bertambah, Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan
negara tetangga sekawasan. Masih banyak yang perlu dilakukan untuk melanjutkan perbaikan tingkat pendidikan
di seluruh angkatan kerja.
Pekerja yang berpendidikan lebih tinggi – mereka yang paling tidak lulus SMA – secara rata-rata memperoleh
penghasilan 66 persen lebih besar daripada pekerja yang berpendidikan lebih rendah. Premium penghasilan ini
semakin mencolok bagi pekerja yang lulus pendidikan tinggi, yaitu sampai 105 persen.
Meskipun pasokannya terus bertambah, pekerja yang berpendidikan lebih tinggi mengalami kenaikan premium
upah dari 2003 sampai 2007. Permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi terus bertambah, terutama
di sektor jasa yang sangat memerlukan pekerja dengan tingkat keahlian lebih tinggi, sampai-sampai mendorong
kenaikan premium upah. Namun demikian, pertambahan pasokan ini juga diimbangi dengan makin banyaknya
persentase pekerja yang berpendidikan lebih tinggi, terutama laki-laki, yang keluar dari angkatan kerja untuk
tinggal di rumah atau melanjutkan sekolah.
Meskipun jumlah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi terus meningkat di Indonesia, masih ada keprihatinan
mengenai mutu pendidikan mereka. Standar mutu pendidikan belum banyak meningkat dibandingkan dengan
negara lain dan kondisi ini mungkin merupakan penyebab semakin besarnya ketimpangan upah di antara para
pekerja yang berpendidikan lebih tinggi. Selain itu, permintaan akan pekerja yang tak hanya berpendidikan lebih
tinggi, namun juga terdidik dengan lebih baik, tampaknya semakin besar.
Masalah ketidaksesuaian, yaitu kesulitan mendapatkan pekerjaan yang cocok dengan latar belakang pendidikan,
masih terus menjadi persoalan bagi pekerja yang berpendidikan lebih tinggi sehingga menimbulkan inefisiensi di
pasar tenaga kerja berkeahlian. Bagaimanapun, masalah ketidaksesuaian ini semakin berkurang dan kini terdapat
banyak jalur bagi pemberi kerja untuk mencari pekerja dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang
tepat.
Rekomendasi:
Karena permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi masih tetap besar, maka peluang
masih terbuka untuk menambah pasokannya agar perusahaan dapat memperoleh keahlian yang mereka
perlukan dan semakin banyak pekerja dapat memetik manfaat dari premium upah yang tinggi. Hal ini
dapat dicapai dengan melanjutkan ekspansi pendidikan formal, terutama di tingkat SMA dan pendidikan
tinggi.
Melakukan riset untuk mengidentifikasi penyebab ketidaksesuaian dan mengidentifikasi cara agar pekerja
dapat dicocokkan dengan calon pemberi kerja secara lebih efisien. Mencari strategi untuk mendorong
mobilitas pencari kerja dan memberi mereka informasi mengenai pekerjaan yang tersedia sesuai keahlian
dan pengalaman mereka.
Memperkuat fokus terhadap mutu pendidikan demi meningkatkan daya saing Indonesia di kawasannya,
terutama di sektor jasa dan manufaktur.
134
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7
Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
I.
Pendahuluan
Pasar tenaga kerja di Indonesia bergantung pada pekerja dan keahlian yang mereka tawarkan bagi
pasaran. Beberapa bab terdahulu telah mengkaji kebijakan dan lembaga ketenagakerjaan Indonesia, serta
cara menyeimbangkan efisiensi ekonomi dengan perlindungan sosial bagi pekerja. Tiga bab berikutnya
akan berfokus pada pekerja – tulang punggung pasar tenaga kerja. Penduduk usia kerja di Indonesia akan
bertambah sekitar 20 juta orang selama sepuluh tahun ke depan atau sekitar 2 juta orang per tahun.151 Untuk
memanfaatkan semaksimal mungkin peluang demografi yang jangka waktunya terbatas ini, Indonesia perlu
memastikan bahwa para pekerjanya memiliki kemampuan untuk berhasil di pasar tenaga kerja. Tingkat
pendidikan dan keahlian para pekerja di Indonesia terus meningkat setelah investasi publik selama sepuluh
tahun. Pemahaman mengenai bagaimana perbaikan ini dapat mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan para
pekerja akan membantu mengarahkan kebijakan pendidikan formal dan non-formal di masa depan supaya
semakin banyak pekerja dapat mengakses pekerjaan yang lebih baik dan pemberi kerja dapat menemukan
keahlian yang mereka cari.
Bab ini memberikan garis besar mengenai pasar pekerja berkeahlian melalui kajian tren, baik dari
segi pasokan maupun permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi.
Bab ini dibagi menjadi empat bagian.
Yang pertama mengkaji bagaimana investasi pada sektor pendidikan telah memberikan sumbangsih
terhadap perbaikan tingkat pendidikan angkatan kerja Indonesia.
Yang kedua menyelidiki tren premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi jika dibandingkan
dengan rekan mereka yang pendidikannya lebih rendah.152
Yang ketiga mempelajari alasan di balik peningkatan premium upah pekerja yang berpendidikan lebih
tinggi, meskipun pasokannya terus bertambah selama 2003-2007.
Bagian keempat dan terakhir mengkaji bagaimana perubahan ekonomi telah menciptakan permintaan
yang lebih besar akan pendidikan bermutu tinggi.
II. Memperbesar Jumlah Pekerja yang Berpendidikan
lebih Tinggi
Investasi yang lebih tinggi di bidang pendidikan telah meningkatkan jumlah sekolah negeri,
terutama di area perkotaan. Fokus pada perbaikan tingkat pendidikan dimulai sejak akhir 70-an,
saat Pemerintah Indonesia meluncurkan program besar yang menghasilkan pembangunan lebih dari
60.000 sekolah dasar. Perluasan dan peningkatan pendidikan masih merupakan sasaran penting strategi
pembangunan pemerintah. Pada tahun 2003, DPR telah mengesahkan undang-undang pendidikan yang
mewajibkan belanja pendidikan untuk mencapai setidaknya 20 persen dari keseluruhan pengeluaran
pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.153 Langkah ini telah meningkatkan belanja nasional riil
151
152
153
Bank Dunia. 2009c. “Menembus Badai,” Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia. Juni 2009.
Dalam sistem pendidikan di Indonesia, tingkat Sekolah Dasar (SD) mencakup tahun pertama sampai keenam. Tingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP) mencakup tahun ketujuh sampai kesembilan, sedangkan Sekolah Menengah Atas (SMA) mencakup
tahun kesepuluh sampai kedua belas. Bab ini merujuk pada ketiga tingkat pendidikan tersebut masing-masing dengan akronim
SD, SMP, dan SMA. “Berpendidikan lebih tinggi” adalah istilah yang digunakan dalam laporan ini untuk merujuk pada orang
dewasa yang paling tidak telah lulus SMA. “Berpendidikan lebih rendah” merujuk pada orang dewasa yang tingkat pendidikannya
di bawah SMA.
Lihat Bank Dunia (2007) untuk diskusi mengenai aturan 20 persen tersebut.
135
di bidang pendidikan dari Rp 42 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp 78 triliun pada 2007. Meski demikian,
tingkat pengeluaran ini masih kalah jika dibandingkan dengan negara tetangga (Gambar 7.1).154
Walau bagaimanapun, kenaikan belanja pendidikan telah meningkatkan jumlah sekolah negeri. Dari tahun
2000 sampai 2005, jumlah SMP negeri bertambah 35,4 persen dan jumlah SMA negeri naik 66,6 persen.155
Pertambahan ini lebih terkonsentrasi di area perkotaan.
Perluasan jangkauan sekolah
telah memperbaiki tingkat
27
25
partisipasi, terutama bagi
25
perempuan dan kaum muda
20
yang tinggal di pedesaan.
16
14
Antara 1995 sampai 2005, tingkat
15
partisipasi bersih SMP melonjak
10
dari 51 menjadi 63 persen,
sedangkan tingkat partisipasi
5
bersih SMA meningkat lebih
0
pelan dari 33 menjadi 41 persen,
Malaysia
Thailand
Indonesia
Filipina
dan tingkat partisipasi pendidikan
Sumber: EdStats. Semua data untuk 2003, kecuali Thailand yang untuk 2005
tinggi naik tipis dari 6 menjadi 8
Meskipun
persen.156
pembangunan sekolah terpusat di area perkotaan, partisipasi sekolah melonjak jauh lebih tinggi di area
pedesaan. Partisipasi SMP di pedesaan naik lima kali lipat lebih cepat daripada di area perkotaan dan
partisipasi SMA di pedesaan naik tiga kali lebih cepat (Tabel 7.1). Tingkat partisipasi perempuan naik lebih
cepat daripada laki-laki. Pada tahun 1995, tingkat partisipasi bersih SMP, baik perempuan maupun laki-laki,
adalah sekitar 51 persen. Namun pada 2005, tingkat partisipasi bersih perempuan telah naik menjadi 64
persen, sedangkan laki-laki hanya pada 61 persen. Hal serupa juga terjadi pada tingkat partisipasi bersih
SMA. Tahun 1995, tingkat partisipasi bersih laki-laki adalah 34 persen, lebih tinggi daripada perempuan yang
32 persen. Tetapi tahun 2005, tingkat partisipasi bersih SMA sama-sama sebesar 41 persen.157
Persen dari Belanja Pemerintah
Gambar 7.1
Investasi pendidikan di negara yang sekawasan
30
Tabel 7.1
Tingkat partisipasi bersih sekolah (persen)
SMP
Perkotaan
Pedesaan
Perempuan
Laki-laki
Total
1995
66,5
42,7
51,2
50,7
51,0
SMA
2005
70,1
57,5
64,1
61,3
62,7
1995
50,0
20,8
31,7
33,5
32,6
2005
52,8
30,8
40,6
40,7
40,7
Pendidikan Tinggi
1995
2005
13,1
13,3
1,3
2,4
5,9
7,9
6,7
7,5
6,3
7,7
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas.
154
155
156
157
136
Tetapi di sisi global, kinerja Indonesia semakin meningkat. Dalam sebuah perbandingan lebih luas yang mencakup 23 negara
berkembang, peringkat Indonesia telah meningkat dari posisi ke-13 pada tahun 2003 menjadi posisi kelima pada 2008 seiring
naiknya porsi belanja pendidikan dalam pengeluaran total pemerintah dari 16 menjadi 20 persen. Perbaikan peringkat ini
mengasumsikan bahwa 22 negara berkembang yang lain masih mempertahankan persentase pengeluaran pendidikan
terhadap pengeluaran total pada tingkat tahun 2003. Lihat Bank Dunia, 2007 (hal. 11, Gambar 2.2) untuk mengetahui daftar
semua negara berkembang yang diperbandingkan.
Sumber: Data Podes dari berbagai tahun. Lihat Lampiran VII.1.
Sumber: Susenas.
Selain tingkat partisipasi yang semakin tinggi, tingkat transisi dari SMP ke SMA pun ikut naik. Sekitar 30 persen dari kohor (cohort)
yang masuk kelas 1 SD tahun 1986/1987, lulus SMP pada tahun ajaran 1994/1995 (MoNE, 2007). Tetapi, hanya sekitar 25 persen
dari kohor (cohort) tersebut yang mendaftar ke SMA, yang berarti sekitar 83 persen dari lulusan SMP melanjutkan ke SMA.
Menurut Susenas, dari antara mereka yang masuk kelas 1 SD tahun 1997/1998, tingkat kelanjutan dari SMP ke SMA mencapai 94
persen.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7
Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
Gambar 7.2
Tingkat partisipasi pendidikan tinggi di kawasan (persen)
50
46
40
28
30
21
17
20
10
0
Sumber: EdStats, 2006.
Tetapi secara keseluruhan, tingkat partisipasi bersih pendidikan menengah di Indonesia masih
tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain yang sekawasan. Secara keseluruhan, tingkat
partisipasi bersih pendidikan menengah di Indonesia adalah 59 persen pada 2006, dibandingkan dengan
60 persen di Filipina pada 2006, 61 persen di Vietnam pada 2000, 69 persen di Malaysia pada 2005, dan 71
persen di Thailand pada 2006. Tingkat partisipasi pendidikan tinggi pun masih rendah jika dibandingkan
secara kawasan dan jauh tertinggal di belakang Filipina dan Thailand (Gambar 7.2).
Tingkat partisipasi yang lebih tinggi telah menghasilkan kenaikan mengesankan dan konsisten
pada jumlah orang dewasa yang berpendidikan lebih tinggi. Meski demikian, masih banyak
perbaikan yang dapat dilakukan. Partisipasi sekolah yang semakin tinggi telah menambah jumlah pelajar
yang menyelesaikan pendidikan pada taraf yang lebih tinggi. Jumlah orang dewasa yang berpendidikan
lebih rendah meningkat secara stabil dan perlahan selama 17 tahun terakhir dengan kenaikan rata-rata 1
persen per tahun selama 2003-07 (Gambar 7.3). Sebaliknya, jumlah orang dewasa yang berpendidikan lebih
tinggi meningkat pesat, rata-rata 7 persen per tahun pada periode yang sama. Tetapi secara keseluruhan,
komposisi angkatan kerja masih didominasi oleh pekerja dengan tingkat pendidikan di bawah SMA. Masih
banyak yang perlu dilakukan untuk membalik rasio tersebut.
Gambar 7.3
Populasi pekerja menurut tingkat pendidikan
180
160
Orang dewasa berpendidikan SMA atau lebih tinggi
Orang dewasa berpendidikan di bawah SMA
140
Juta
120
100
80
60
40
20
0
1990
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
Sumber: Sakernas, 1990-2007
137
Tabel 7.2 Tingkat pendidikan tertinggi di antara pekerja (persen)
SMP
SMA
Pendidikan Tinggi
1990
2007
1990
2007
1990
2007
Perkotaan
15,79
21,23
27,44
33,53
5,99
11,27
Pedesaan
8,12
20,13
6,03
11,80
0,58
2,71
Perempuan
6,86
18,38
8,84
17,65
1,50
7,21
Laki-laki
12,13
21,86
13,19
22,55
2,26
5,67
Total
10,08
20,59
11,50
20,75
1,97
6,23
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas.
Pasokan yang semakin besar telah menghasilkan angkatan kerja yang berpendidikan lebih tinggi,
terutama bagi pekerja perempuan dan pekerja di pedesaan. Persentase pekerja yang lulus SMP, SMA,
dan perguruan tinggi telah meningkat pesat sejak 1990. Pekerja yang lulus SMA telah berlipat ganda dari
12,3 persen tahun 1990 menjadi 24,7 persen tahun 2007 (Tabel 7.2). Meskipun angka ini masih terhitung
rendah, persentase pekerja yang lulus pendidikan tinggi berlipat tiga dari 2,1 persen tahun 1990 menjadi
6,2 persen tahun 2007.158 Kenaikan jumlah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi terjadi secara dramatis
di area pedesaan dengan peningkatan persentase pekerja yang lulus SMP dan SMA hampir dua kali lipat
antara 1990 sampai 2007. Sementara itu, kenaikan jumlah pekerja yang berpendidikan tinggi bahkan
lebih hebat lagi – sampai lima kali lipat pada periode yang sama. Kenaikan ini terjadi lebih besar di antara
perempuan, terutama pada tingkat pendidikan tinggi. Persentase pekerja laki-laki yang lulus pendidikan
tinggi meningkat dari 2 menjadi 6 persen, sedangkan perempuan yang lulus pendidikan tinggi melonjak
lebih dari lima kali lipat dari 1,4 menjadi 7,2 persen.
III. Premium Upah Pekerja yang Berpendidikan lebih
Tinggi
Premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi nilainya cukup besar dan terus meningkat
sejak 2003.159 Tingkat pendidikan pekerja berdampak besar terhadap penghasilannya di masa depan.
Pekerja yang paling tidak telah lulus SMA secara konsisten mendapatkan upah lebih tinggi daripada mereka
yang pendidikannya lebih rendah. Pada 2007, sebagai contoh, pekerja lulusan SMA memiliki penghasilan
yang rata-rata lebih besar 67 persen daripada pekerja dengan berpendidikan lebih rendah.160 Premium
upah ini sedikit menurun pada periode tahun 1990-2003 seiring bertambahnya pasokan pekerja yang
berpendidikan lebih tinggi. Namun secara mengejutkan, premium upah ini meningkat 2 persen per tahun
selama 2003-07 meski pasokan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi masih terus bertambah.
Premium tersebut semakin besar bagi perempuan dan pekerja di perkotaan yang berpendidikan
lebih tinggi. Pekerja perempuan yang minimal telah lulus SMA menikmati premium upah tertinggi.
Selama 1990-2007, rata-rata penghasilan mereka mencapai dua kali lipat penghasilan perempuan yang
berpendidikan lebih rendah, padahal laki-laki yang berpendidikan lebih tinggi rata-rata hanya menikmati
premium 57 persen dibandingkan laki-laki yang berpendidikan lebih rendah. Namun demikian, premium
158
159
160
138
Sumber: Sakernas.
Premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi adalah ukuran seberapa besar penghasilan pekerja dengan tingkat
pendidikan minimal SMA relatif terhadap pekerja dengan tingkat pendidikan di bawah SMA, jika karakteristik yang lain
dipertahankan konstan.
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas, 2007. Lihat Lampiran VII.2.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7
Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
untuk laki-laki yang berpendidikan lebih tinggi tumbuh 1,9 persen per tahun selama 2003-07, lebih dari
empat kali lipat pertumbuhan premium perempuan yang hanya 0,4 persen per tahun (Gambar 7.4). Selama
1990-2007, pekerja yang berpendidikan lebih tinggi di perkotaan menikmati premium 75 persen, sementara
di pedesaan premiumnya hanya 67 persen, meskipun tingkat pertumbuhan premium di pedesaan lebih
cepat daripada di perkotaan (Gambar 7.5).
Kenaikan premium upah yang terjadi beberapa tahun belakangan sangat dirasakan oleh lulusan
pendidikan tinggi. Pada tahun 2003, pekerja lulusan SMA berpenghasilan 47 persen lebih besar daripada
pekerja yang berpendidikan lebih rendah. Sampai 2007, premium upah tersebut masih besar meskipun
tidak bertambah. Hal ini berbeda dengan premium upah pekerja lulusan pendidikan tinggi yang naik dari 97
persen menjadi 105 persen lebih besar jika dibandingkan dengan upah pekerja yang berpendidikan lebih
rendah.
Gambar 7.4
Premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) menurut jenis
kelamin
1,3
1,2
1,1
Persen
1,0
Semua
Laki-laki
Perempuan
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
1990
1993
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas.
Gambar 7.5
Premium upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) menurut
lokasi di perkotaan atau pedesaan
1,7
1,5
Persen
1,3
Pedesaan
1,1
Perkotaan
0,9
0,7
0,5
1990
1993
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas.
139
IV. Memahami Premium Upah yang Masih Tetap
Tinggi
Tabel 7.3
Status pekerjaan populasi orang dewasa menurut tingkat pendidikan
SMA ke atas
angkatan kerja
bukan angkatan
kerja
SMP ke bawah
2003
2007
2003
2007
61,9
58,5
61,1
61,7
Tidak kerja & sedang cari kerja
9,1
10,9
2,2
3,0
Pekerja patah semangat
1,8
0,6
2,3
0,8
Lain-lain
0,5
0,4
0,6
0,2
Sekolah
8,4
10,0
7,4
7,9
14,9
16,1
21,0
20,7
Bekerja
Pekerjaan rumah tangga
Lain-lain
Total
3,5
3,5
5,3
5,7
100,0
100,0
100,0
100,0
Meningkatnya premium pekerja berkeahlian antara tahun 2003 sampai 2007 merupakan hal yang
mengherankan. Secara umum, naik-turunnya upah dan peluang kerja bagi para pekerja yang berpendidikan
lebih tinggi semestinya mencerminkan interaksi antara pasokan dan permintaan akan pekerja berkeahlian.
Pasokan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi – persentase orang dewasa dengan tingkat pendidikan
minimal SMA – terus meningkat dengan pesat. Peningkatan ini semestinya menurunkan premium bagi
pekerja berkeahlian seiring naiknya jumlah pekerja berkeahlian yang memiliki pekerjaan, namun yang
terjadi malah sebaliknya. Premium bagi pekerja berkeahlian justru naik dari 60 persen pada 2003 menjadi 67
persen pada 2007. Bagian ini berupaya mengungkap berbagai faktor dari sisi pasokan dan permintaan yang
turut memberikan sumbangsih terhadap tren meningkatnya premium upah pekerja yang berpendidikan
lebih tinggi.
Pasokan Pekerja yang Berpendidikan lebih Tinggi
Meskipun pasokan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi terus meningkat, akibat dari kenaikan
pasokan ini teredam karena bertambahnya persentase pekerja dari kalangan ini yang tidak bekerja.
Antara 2003 sampai 2007, jumlah orang dewasa yang berpendidikan lebih tinggi meningkat dengan cepat.
Namun demikian, persentase orang dewasa dari kalangan ini yang kegiatan utamanya adalah bekerja, justru
menurun (Tabel 7.3). Penurunan ini diakibatkan oleh semakin banyaknya pekerja yang berpendidikan lebih
tinggi yang melakukan pekerjaan rumah tangga dan melanjutkan sekolah. Secara mengejutkan, penurunan
ini tampak paling jelas di kalangan laki-laki berkeahlian. Penurunan rasio lapangan kerja laki-laki berkeahlian
(dari 74 menjadi 40 persen) lebih cepat daripada laki-laki tanpa keahlian (dari 76,6 menjadi 74,9 persen) atau
perempuan berkeahlian (dari 38,8 menjadi 37,4 persen). Persentase laki-laki berpendidikan lebih tinggi yang
kegiatan utamanya adalah pekerjaan rumah tangga melonjak dari 1,5 menjadi 3,5 persen – tingkat tertinggi
selama periode 1990-2007.
Tampaknya laki-laki yang berpendidikan lebih tinggi bukan tersisih dari angkatan kerja, melainkan
menarik diri secara sukarela. Menurunnya rasio lapangan kerja bagi laki-laki yang lebih ahli menimbulkan
kekhawatiran bahwa mereka tersisih dari angkatan kerja karena berkurangnya ketersediaan pekerjaan
pada tingkat upah saat ini. Namun, penurunan jumlah pekerja patah semangat mengisyaratkan bahwa
140
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7
Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
mereka bukanlah tersisih.161 Antara 2003 sampai 2007, persentase pekerja yang patah semangat turun dari
2,2 persen menjadi 0,8 persen.162 Kelompok laki-laki berkeahlian juga mengalami penurunan persentase
pekerja patah semangat dari 1,7 menjadi 0,8 persen yang mengisyaratkan bahwa kelompok ini pun tertarik
memasuki kembali angkatan kerja karena ketersediaan pekerjaan yang meningkat. Bertolak belakang
dengan penurunan jumlah pekerja patah semangat, tingkat pengangguran inti mengalami peningkatan.163
Tetapi, seperti halnya tingkat pekerja patah semangat, kenaikan ini sama besarnya untuk laki-laki berkeahlian
dengan kelompok yang lain.
Permintaan akan Pekerja yang Berpendidikan lebih Tinggi
Permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi masih terus meningkat. Walaupun
peningkatan pasokan orang dewasa yang berpendidikan lebih tinggi dalam angkatan kerja agak terhambat,
hal ini tidak dapat menjelaskan mengapa premium upah masih tetap besar. Tampaknya, permintaan akan
pekerja dengan tingkat pendidikan dan keahlian yang lebih tinggi kini telah melebihi pasokan sehingga
premium upah yang dinikmati oleh pekerja yang berpendidikan lebih tinggi masih tetap besar.
Gambar 7.6
Jumlah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi (SMA ke atas) menurut sektor
(dalam juta)
Jasa
Industri
Pertanian
30
25
Juta
20
15
10
5
0
2003
2004
2005
2006
2007
Sumber: Sakernas, 2003-07.
Persyaratan keahlian pekerja terus meningkat, terutama di sektor jasa, dan tren ini diperkirakan
masih berlanjut. Pemberi kerja di sektor manufaktur, dan terutama di sektor jasa, kini mempekerjakan
semakin banyak pekerja dengan tingkat keahlian yang lebih tinggi daripada sebelumnya (Gambar 7.6), serta
melaporkan bahwa persyaratan keahlian yang mereka tentukan telah meningkat selama dua tahun terakhir
(Gambar 7.7).164 82 persen dari perusahaan yang disurvei baru-baru ini mengklaim bahwa persyaratan
161
162
163
164
Pekerja patah semangat (discouraged worker) adalah mereka yang tidak bekerja dan tidak lagi berharap untuk mendapatkan
pekerjaan.
Sumber: Sakernas.
Tingkat pengangguran inti didefinisikan sebagai persentase orang yang berada dalam angkatan kerja yang tidak bekerja dan
aktif mencari pekerjaan.
Bank Dunia, Employer Skill Survey, 2008. Survei ini dilaksanakan oleh Human Development unit dari Bank Dunia di 500 perusahaan
berukuran sedang dan besar, serta terhadap 200 orang karyawan di sektor manufaktur dan jasa di Indonesia, dengan tujuan
memastikan tren dalam hal permintaan keahlian pada tingkat pemberi kerja dan karyawan, serta faktor pendorongnya. Survei
ini difokuskan pada lima provinsi yang menjadi pusat pembangunan ekonomi, dan di dalam lima provinsi tersebut, pada sampel
yang mewakili perusahaan manufaktur dan jasa pada tingkat signifikansi 5%.
141
keahlian pekerja di perusahaan mereka terus naik karena standar mutu produk dan jasa juga semakin
tinggi. 76 persen mengatakan bahwa persyaratan keahlian terus meningkat karena lingkungan bisnis yang
semakin bersaing.165 Tren ini kemungkinan akan terus berlanjut. 80 persen dari perusahaan yang disurvei
memperkirakan bahwa tren naiknya persyaratan keahlian akan terus terjadi, baik di sektor manufaktur
maupun jasa (Gambar 7.8).
Apakah persyaratan keahlian
di perusahaan Anda telah
meningkat dalam 2 tahun
terakhir?
60
Manufakturing
50
Jasa
40
30
20
10
0
Ya
Tidak
Tidak tahu
Sumber: Indonesia Skills Survey (Akan datang)
Gambar 7.8
Persen dari perusahaan yang disurvei
Persen dari perusahaan yang disurvei
Gambar 7.7
Apakah persyaratan keahlian di
perusahaan Anda masih akan
meningkat dalam sepuluh tahun
ke depan?
90
80
Manufakturing
70
Jasa
60
50
40
30
20
10
0
Ya
Tidak
Tidak tahu
Sumber: Indonesia Skills Survey (Akan datang)
Meningkatnya
persyaratan
keahlian
telah
0,90
mempertahankan besarnya
0,80
premium upah yang diminta
oleh
pekerja
yang
0,70
berpendidikan
lebih
tinggi,
Pertanian
0,60
terutama di sektor jasa. Dari sisi
Industri
Jasa
premium upah, para pekerja
0,50
sektor jasa yang berpendidikan
0,40
lebih tinggi jauh mengalahkan
mereka yang bekerja di sektor
0,30
industri atau pertanian. Selama
0,20
2003-07, premium upah rata-rata
1990
1993
1996
1998
2000
2002
2004
2006
bagi pekerja sektor pertanian dan
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Sakernas.
industri yang berpendidikan
lebih tinggi berturut-turut adalah 32,4 persen dan 44,1 persen (Gambar 7.9). Bandingkan dengan premium
di sektor jasa yang mencapai 73,6 persen.
Premium upah menurut sektor
Persen
Gambar 7.9
V. Mutu Pendidikan & Persoalan Ketidaksesuaian
Keberhasilan menambah jumlah orang dewasa yang berpendidikan lebih tinggi belum disertai
dengan peningkatan mutu. Standar mutu pendidikan masih tertinggal dari negara tetangga. Dari 38 dan
45 negara yang ikut serta dalam penilaian untuk perbandingan internasional, berturut-turut pada tahun
165
142
Lampiran VII.3.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7
Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
1999 dan 2003, Indonesia berada di peringkat ke-34 pada kedua kesempatan tersebut.166 Meskipun penilaian
bidang matematika meningkat, kinerja Indonesia di bidang ilmu pengetahuan menurun dua tingkat antara
1999 dan 2003, dari posisi 32 menjadi 34.
Gambar 7.10 Skor kinerja matematika dan ilmu pengetahuan (TIMSS) dari berbagai negara
1999
2003
Rata-rata Internasional
Indonesia
600
500
400
300
200
100
TIMSS Matematika
Rata-rata Internasional
Thailand
Filipina
Malaysia
Thailand
Filipina
Malaysia
Indonesia
0
TIMSS Sains
Sumber: International Association for the Evaluation of Educational Assessment
Pentingnya mutu pendidikan dapat tercermin dari meningkatnya ketimpangan upah di antara
pekerja yang berpendidikan lebih tinggi. Sebuah pertanda semakin pentingnya mutu pendidikan
adalah meningkatnya ketimpangan penghasilan yang tampak paling jelas di antara pekerja berkeahlian.
Bagi pekerja yang berpendidikan lebih rendah, upah di bagian atas distribusi turun tipis 0,3 persen per
tahun, sementara mereka yang berada di bagian bawah distribusi turun 5,6 persen.167 Namun, perbedaan
lebih besar terjadi pada upah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi karena upah di bagian atas distribusi
naik tipis 1,6 persen, sedangkan upah di bagian bawah distribusi mengalami penurunan berarti sampai 6,1
persen per tahun.
Meningkatnya ketimpangan upah di antara pekerja yang berpendidikan lebih tinggi mungkin
disebabkan sebagian oleh variasi mutu pendidikan. Sejak 2003, lingkungan bisnis di Indonesia makin
bersaing; ekonomi semakin digerakkan oleh sektor jasa dan bergantung pada teknologi. Berbagai faktor
tersebut kemungkinan mendorong kenaikan pendapatan sehingga mereka yang berpenghasilan tinggi kini
pendapatannya semakin besar dibandingkan dahulu. Tetapi, ada pula kemungkinan bahwa meningkatnya
perbedaan pendapatan diakibatkan oleh variasi mutu pendidikan: sejumlah pekerja yang berpendidikan
lebih tinggi menerima gaji lebih besar karena mereka lulus dari sekolah yang lebih baik dan lebih unggul
daripada siswa yang lain. Namun demikian, upaya untuk memilah-milah perbedaan akibat kedua penjelasan
ini akan menemui hambatan karena sulitnya mengamati mutu pendidikan secara langsung.
166
167
Studi Tren Matematika dan Ilmu Pengetahuan Internasional (The Trends in International Mathematics and Science Study –
TIMSS) adalah penilaian internasional terhadap kinerja matematika dan ilmu pengetahuan siswa kelas 4 dan kelas 8 (kelas 2
SMP) dari seluruh dunia. TIMSS dikembangkan oleh Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Pencapaian Pendidikan (International
Association for the Evaluation of Educational Achievement – IEA).
Perhitungan staf Bank Dunia.
143
Gambar 7.11a Persentase Ketidaksesuaian
Pekerjaan Lulusan Universitas,
Dibandingkan dengan
Keseluruhan Pekerja
40
35
Gambar 7.11b Persentase Ketidaksesuaian
Pekerjaan di antara Lulusan
Diploma 1997-2006
40
32,7
31,6
33,5
32,5
35
28,3
30
28,1
25
29
30
26,3
23,1
25
34
31
32
33
33
31
27
25
20
20
15
15
10
10
5
5
0
31
0
1997
1998
1999
2001
2002
2003
2004
2005
2006
1997
1998
1999
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Sumber: Alisjahbana 2008, berdasarkan Sakernas.
Permintaan akan siswa bermutu tinggi dan berpendidikan lebih tinggi masih terus meningkat.
Semua siswa di Indonesia mengikuti ujian nasional setelah lulus SD dan setelah lulus SMP. Siswa
diklasifikasikan sebagai berkinerja tinggi jika nilai ujian SMP mereka berada di posisi sepertiga teratas tahun
tersebut, berkinerja rata-rata jika berada di posisi sepertiga kedua, dan berkinerja rendah jika berada di posisi
sepertiga terbawah. Sejak tahun 2000, premium upah yang diperoleh siswa berkinerja tinggi setelah mereka
mengikuti pendidikan yang lebih tinggi meningkat dari 53 menjadi 75 persen. Sementara itu, premium
upah yang diperoleh siswa berkinerja rata-rata turun dari 57 menjadi 42 persen dan premium upah yang
diperoleh siswa berkinerja rendah masih sama. Peningkatan premium pendidikan yang terjadi sejak tahun
2000 ini juga dirasakan lulusan SMA dan perguruan tinggi yang berkinerja tinggi.
Di samping mutu pendidikan, masih ada tantangan lain, yaitu menyesuaikan lulusan pendidikan
tinggi dengan pemberi kerja yang memerlukan keahlian mereka. Ketidaksesuaian pekerjaan
didefinisikan sebagai perbedaan antara latar belakang pendidikan pekerja dengan spesifikasi pekerjaan
mereka. Ketidaksesuaian mengisyaratkan bahwa perusahaan mengalami kesulitan mencari pekerja yang
memiliki keahlian yang dibutuhkan. Hal ini juga menjadi masalah bagi lulusan baru yang semestinya
memiliki keunggulan komparatif jika mereka dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidang
keahlian mereka. Riset baru-baru ini mengisyaratkan bahwa masalah ketidaksesuaian bagi pekerja yang
lulus pendidikan tinggi masih saja tinggi, terutama bagi laki-laki.168 Dampak masalah ini lebih dirasakan oleh
lulusan bergelar diploma kejuruan daripada lulusan universitas (Gambar 7.11a dan b).169
Masalah ketidaksesuaian semakin berkurang sehingga upah semakin membaik. Jumlah lulusan
pendidikan tinggi yang pekerjaannya tidak sesuai telah menurun dari 32,7 persen pada tahun 1997 menjadi
23,1 persen pada 2006.170 Hal ini mungkin karena bertambahnya peluang kerja atau karena inovasi yang
dilakukan lembaga pendidikan dan pemberi kerja untuk menyesuaikan lulusan dengan pekerjaan yang
tepat. Tren ini menguntungkan pemberi kerja yang membutuhkan keahlian tertentu. Hal tersebut juga
menguntungkan lulusan yang sedang mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi mereka. Dari
tahun 1999 sampai 2006, lulusan yang bekerja di bidang yang tidak sesuai memperoleh upah nominal sedikit
168
169
170
144
Berdasarkan “Education and Skills Mismatch,” sebuah laporan yang ditulis oleh Armida Alisjahbana (2008a). Riset ini membuat
indikator ketidaksesuaian dengan menggunakan matriks yang memperlihatkan sembilan kategori jurusan bagi pekerja bergelar
universitas dan diploma kejuruan, serta 63 kategori yang menghubungkan sektor bisnis dengan jenis pekerjaan. Ketidaksesuaian
teridentifikasi jika jenis pekerjaan maupun sektor bisnis tidak sesuai dengan jurusan yang dipelajari di universitas atau pendidikan
diploma kejuruan.
Alisjahbana, 2008a.
Ibid.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7
Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
lebih tinggi daripada lulusan yang bekerja di bidang yang sesuai. Namun saat ini, lulusan yang bekerja di
bidang yang sesuai memperoleh upah nominal lebih besar hampir di setiap sektor bisnis.171 172
Kotak 7.1
Inovasi Mengatasi Ketidaksesuaian
Perusahaan yang Melakukan Penjangkauan kepada Mahasiswa: PT Astra International
Didirikan pada tahun 1957, PT Astra International (Astra) memiliki catatan prestasi dalam memperkenalkan
berbagai praktik keorganisasian dan manajemen, baik gaya Jepang maupun Barat, serta dalam melatih kader
manajer profesional. Hasilnya, perusahaan ini sering disebut-sebut sebagai salah satu perusahaan Indonesia yang
pengelolaannya paling baik.172 Kebijakan inovatif ini telah memungkinkan Astra untuk berkembang dari perusahaan
dagang kecil menjadi kelompok usaha terdiversifikasi yang mempunyai enam bisnis inti: otomotif, jasa keuangan,
peralatan berat, agribisnis, teknologi informasi, dan infrastruktur. Kelompok usaha terdiversifikasi ini kini memiliki
lebih dari 130 anak perusahaan yang mempekerjakan sekitar 120.000 staf.
Kelompok usaha ini menyerap sekitar 1.000 orang lulusan baru setiap tahun melalui Recruitment and Career
Development yang mengelola perekrutan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia. Program ini disebut
Astra goes to Campus (AGTC) dan menggunakan serangkaian strategi perekrutan untuk membantu mengurangi
ketidaksesuaian.
Pameran/Bursa Kerja: Astra turut serta dalam bursa kerja yang diselenggarakan pihak universitas dan juga
mengadakan sendiri bursa kerja universitas yang disebut “Astra Days”. Astra Days memungkinkan perusahaan
untuk menjangkau pemirsa sasarannya, yaitu mahasiswa S1 dan S2 yang sedang mencari kerja. Kegiatan kampus
yang dilakukan Astra merupakan bagian terpenting dari strategi perekrutannya yang telah menghasilkan 39
persen dari keseluruhan karyawan baru pada 2008.
Astra Workshop Program (AWP): Program lokakarya ini dirancang untuk mengembangkan perangkat keahlian
para mahasiswa yang diseleksi dari universitas terpilih berdasarkan prestasi mereka. Lokakarya tiga hari ini berisi
pengembangan keterampilan sosial seperti kerja sama tim dan kepemimpinan, serta kegiatan pembimbingan
dan konseling. Peserta yang berhasil dapat mengikuti rekrutmen jalur cepat di Astra setelah mereka lulus
universitas.
Magang: Program ini terdiri atas tiga jenis magang yang memberi kesempatan bagi mahasiswa tingkat akhir
untuk memperoleh pengalaman kerja secara langsung. (i) Di tingkat korporat, mahasiswa universitas diberi
kesempatan magang untuk posisi tertentu. (ii) Mahasiswa universitas mendapat kesempatan magang secara
umum untuk mendapat pengalaman memanfaatkan pengetahuan mereka dalam lingkungan kerja sungguhan.
(iii) Kesempatan magang bagi pelajar sekolah kejuruan, biasanya oleh anak perusahaan yang bergerak di
bidang manufaktur seperti PT. Astra Honda Motor dan PT. Toyota Astra Motor. Magang kejuruan ini lebih sering
diselenggarakan dan melibatkan kelompok besar (antara 30-50 pelajar per kelompok).
Pada saat bersamaan, Astra memberikan masukan dan sinyal kepada lembaga penyedia pendidikan mengenai mutu
dan perangkat keahlian yang diperlukan para lulusan. Kegiatan ini termasuk:
Lokakarya bagi dosen: Lokakarya bagi dosen dimaksudkan untuk memperkaya materi kuliah yang diberikan
oleh dosen universitas. Para dosen dari sejumlah universitas terkemuka diundang untuk ikut serta dalam
lokakarya tersebut dan belajar mengenai aspek teknis atau manajemen produksi. Mereka juga akan mendapat
materi yang kelak dapat digunakan saat memberi kuliah.
Kuliah tamu: Kegiatan ini dimaksudkan sebagai program penjangkauan melalui kuliah tamu oleh staf Astra di
universitas mengenai berbagai topik, mulai dari praktik manajemen hingga proses perekrutan.
Kunjungan perusahaan: Kegiatan ini ditujukan supaya mahasiswa dapat memahami operasi Astra. Program ini
menyesuaikan jadwal kunjungan untuk berbagai jurusan. Tergantung pada fokusnya, mahasiswa mungkin akan
mengunjungi pabrik untuk mempelajari berbagai mesinnya atau berdiskusi dengan manajer senior mengenai
praktik terbaik manajemen.
171
172
Ibid. Penulis melaporkan adanya pengecualian di antara lulusan dari jurusan pendidikan, matematika, dan komputer karena
upah nominal bagi lulusan yang bidang kerja tidak sesuai justru tumbuh lebih cepat daripada lulusan yang bidang kerjanya
sesuai.
Sebagai contoh, The Wall Street Journal, 9-11 Mei 2008.
145
Kotak 7.1
Lanjutan
Layanan Karir dari Universitas: Menghubungkan Pencari Kerja dengan Pemberi Kerja
Universitas Indonesia (UI) adalah salah satu universitas paling bergengsi di Indonesia yang mempunyai 12 fakultas
dan setiap tahunnya mewisuda sampai 2.000 orang lulusan baru. UI mendirikan Career Development Center (CDC
UI) pada tahun 2005 sebagai perantara yang menghubungkan pemberi kerja dengan lulusan S1 dan S2 yang
sedang mencari kerja, sehingga membantu mahasiswa agar dapat berhasil di tengah persaingan pasar tenaga
kerja yang semakin berat.
Dulunya, sebuah lembaga informal, Pusat Peluang Karya (PPK), mengisi peran sebagai perantara sebelum kemudian
digabungkan dengan CDC UI. Selain CDC UI di tingkat pusat, beberapa fakultas juga memiliki CDC-nya sendiri.
Meskipun ada kerja sama antara CDC pusat dan fakultas, CDC fakultas difokuskan pada pasar tenaga kerja yang
khusus bagi lulusan fakultas tersebut. Saat ini CDC UI mempunyai sekitar 4.000 orang anggota, baik mahasiswa
S1 maupun S2, yang membayar iuran Rp 50,000 untuk bergabung dengan CDC UI selama satu semester dan
mengambil manfaat dari tiga layanan intinya, yaitu:
Penyelenggaraan UI Career Expo: CDC mengundang calon pemberi kerja untuk ikut serta dalam sebuah pameran
yang diadakan dua kali dalam setahun. Berbagai perusahaan menyewa tempat di lokasi pameran di kampus untuk
mencari lulusan baru guna mengisi lowongan yang tersedia. Acara tersebut kini semakin dikenal dan menarik
sehingga semakin banyak diikuti oleh pemberi kerja dan mahasiswa. Career Expo pertama yang diadakan tahun
2006 diikuti 10 perusahaan dan 500 mahasiswa pencari kerja, namun sampai Career Expo yang diadakan tahun
2008, keikutsertaan telah meningkat menjadi 58 perusahaan dan 6.500 pencari kerja. Menurut CDC, 20-30 persen
dari mahasiswa yang menghadiri acara tersebut berhasil memperoleh pekerjaan.
Number of companies participating ini UI Career Expo (2006-2008)
70
Number of participating ini UI Career Expo (2006-2008)
10.000
9.000
60
8.000
50
7.000
40
6.000
5.000
30
4.000
20
3.000
2.000
10
1.000
0
0
Career Expo I Career Expo II Career Expo III Career Expo IV Career Expo V
(2006)
(2006)
(2007)
(2007)
(2008)
Career Expo I Career Expo II Career Expo III Career Expo IV Career Expo V
(2006)
(2006)
(2007)
(2007)
(2008)
Mengadakan Proses Perekrutan: Proses perekrutan perusahaan dilakukan setidaknya satu kali sebulan,
tergantung pada permintaan dari perusahaan yang menjadi mitra. Selain itu, tergantung pada jenis kerja samanya,
CDC UI dapat melakukan penyaringan awal kandidat dan mengadakan wawancara jika dibutuhkan.
Menyelenggarakan Seminar/Pelatihan: Seminar dan pelatihan diadakan setidaknya dua kali dalam sebulan
dan ditujukan untuk membantu lulusan UI agar dapat bersaing dengan lebih efektif di pasar tenaga kerja. Setiap
seminar/pelatihan dihadiri oleh 50-100 orang peserta, sedangkan fokusnya tergantung pada keahlian yang
menjadi sorotan berbagai perusahaan karena dianggap kurang dimiliki pencari kerja. Yang sering ditekankan
dalam pelatihan adalah keterampilan sosial seperti kerja sama tim dan kepemimpinan. Dalam beberapa kasus,
perusahaan mengadakan pelatihan sebagai bagian dari proses perekrutan sehingga para peserta yang berhasil
lulus dan memenuhi syarat akan direkrut. Kebanyakan pelatihan diberikan cuma-cuma kepada anggota CDC UI,
tetapi non-anggota juga dapat mengikuti pelatihan dengan membayar.
146
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 7
Pasar Tenaga Kerja Berkeahlian
VI. Rekomendasi
Meneruskan alokasi sumber daya untuk memperbanyak SMA dan lembaga pendidikan tinggi. Karena
premium bagi pekerja yang lulus SMA masih tinggi, pasar masih mampu menyerap lebih banyak lagi pekerja
lulusan SMA dan pendidikan tinggi. Penambahan SMA diperlukan untuk memenuhi permintaan akan pekerja
yang berpendidikan lebih tinggi. Namun demikian, premium masih terus meningkat untuk pekerja lulusan
pendidikan tinggi. Investasi untuk menambah lembaga pendidikan tinggi dapat menghasilkan manfaat
yang lebih luas dan juga memenuhi permintaan yang terus meningkat akan pekerja berkeahlian tinggi.
Mengadakan riset untuk mengidentifikasi penyebab ketidaksesuaian dan bagaimana caranya
supaya pekerja dapat dicocokkan dengan calon pemberi kerja dengan lebih efisien. Upaya dari
pemberi kerja dan universitas untuk mencari kecocokan antara lulusan baru dan calon pemberi kerja
merupakan hal yang menggembirakan dan perlu dilanjutkan lebih jauh. Namun, masih terdapat banyak
penghambat yang menyulitkan pekerja untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian
mereka atau pekerja yang terkena PHK untuk mencari pemberi kerja lain yang sesuai. Perlu dikaji sejumlah
strategi untuk mendorong mobilitas pencari kerja dan memberi mereka informasi mengenai pekerjaan
yang tersedia, sesuai dengan keahlian dan kemampuan mereka.
Secara bersamaan, perlu pula dilakukan berbagai langkah untuk memperbaiki mutu pendidikan
pada setiap tingkatan. Pasar tenaga kerja menuntut tingkat keahlian yang semakin tinggi karena
lingkungan bisnis yang semakin bersaing. Perbaikan mutu pendidikan juga dapat disertai dengan sejumlah
langkah untuk meningkatkan keahlian pekerja melalui program pelatihan publik, topik yang akan dibahas
dalam Bab 9.
Rekomendasi ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana pemerintah semestinya memperluas
pasokan pekerja yang berkeahlian dan berpendidikan lebih tinggi untuk memenuhi permintaan
yang terus meningkat dari para pemberi kerja? Ada beberapa jenis SMA dan lembaga pendidikan tinggi
yang dapat ditingkatkan dalam reformasi untuk memperluas pendidikan. Bab berikutnya akan mengkaji
perdebatan kebijakan saat ini mengenai apakah SMA ataukah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang
dapat memastikan supaya angkatan kerja masa depan berada di posisi terbaik untuk mendapat manfaat
dari permintaan akan pekerja yang berpendidikan lebih tinggi.
147
Bab 8
Membangun Angkatan Kerja
yang Memiliki Keahlian
(Bagian I)
Melengkapi Pekerja Masa Depan Melalui
Pendidikan Formal
Bab 8 Ringkasan & Rekomendasi
Sistem pendidikan menengah atas di Indonesia terbagi menjadi empat jenis sekolah: umum negeri, kejuruan
negeri, umum swasta, dan kejuruan swasta. Tingkat partisipasi sekolah terus naik karena pertambahan jumlah
sekolah umum negeri. Keadaan ini mulai berubah setelah diluncurkannya kebijakan pertambahan sekolah kejuruan
oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan sasaran membalikkan rasio sekolah kejuruan terhadap sekolah
menengah atas umum menjadi 70:30 pada tahun 2015. Telah dilakukan moratorium pembangunan sekolah umum,
sementara sekolah kejuruan kini berkembang pesat dan menyerap lebih banyak siswa. Sampai dengan 2007, kirakira seperempat dari semua siswa terdaftar di sekolah kejuruan, angka yang masih jauh dari target kuota.
Dilihat dari kinerja beberapa generasi lulusannya, jalur pendidikan kejuruan dan umum menghasilkan kondisi
ketenagakerjaan yang sama, kecuali dalam hal tingkat formalitas laki-laki yang lebih tinggi. Keberhasilan lebih
bergantung pada apakah lulusan yang bersangkutan memiliki ijazah sekolah negeri daripada apakah lulusan
yang bersangkutan belajar di sekolah umum atau kejuruan. Namun demikian, kinerja lulusan laki-laki dari sekolah
kejuruan terus menurun seiring waktu dan kini mereka dihadapkan pada penalti upah yang ketat. Persoalan ini
mungkin disebabkan oleh kecenderungan laki-laki memilih jurusan teknik dan industri yang kini semakin tidak
relevan di pasar tenaga kerja karena pergeseran ke sektor jasa. Sementara itu, perempuan lebih memilih jurusan
yang berorientasi pelayanan dan kini menikmati kondisi yang lebih baik.
Siswa dengan kemampuan akademis lebih tinggi akan terkena dampak terbesar pelaksanaan kebijakan “70:30”.
Akses yang semakin kecil terhadap sekolah umum negeri akan memaksa lebih banyak siswa untuk belajar di sekolah
kejuruan. Siswa laki-laki yang berprestasi secara akademis akan menghadapi penalti upah besar jika mereka lulus
dari sekolah kejuruan daripada sekolah umum negeri. Meski demikian, sekolah kejuruan sebetulnya efektif untuk
membantu siswa laki-laki yang lebih lemah secara akademis dalam memasuki pasar tenaga kerja.
Tanpa adanya perbaikan kondisi ketenagakerjaan atau pengurangan tingkat pengangguran secara jelas, kebijakan
“70:30” tidak dapat menjustifikasi biaya pendidikan kejuruan yang lebih tinggi yang akan dibebankan kepada
negara dan juga orang tua melalui biaya sendiri yang lebih besar. Pembatalan moratorium sekolah umum negeri
dapat membantu memenuhi kebutuhan akan pekerja berpendidikan lebih tinggi yang efektif dari segi biaya.
Sekolah kejuruan masih berperan dalam mendidik pekerja masa depan, tetapi diperlukan perbaikan mutu dan
relevansi keahlian yang diajarkan. Hal ini dapat dilakukan dengan membina hubungan yang lebih kuat dengan
calon pemberi kerja, serta mengadopsi dan menerapkan standar layanan minimum. Perbandingan jenis sekolah
yang tepat dapat dicari dengan mengikuti permintaan akan keahlian di pasar tenaga kerja, bukannya dengan
memasang target tertentu.
I.
Pendahuluan
Pekerja dengan tingkat pendidikan dan keahlian kerja spesifik yang lebih tinggi sangat dibutuhkan
oleh pemberi kerja. Permintaan yang besar ini menyebabkan premium upah pekerja yang berpendidikan
lebih tinggi tetap mahal, meskipun jumlah pekerja dari golongan ini bertambah dengan cepat. Meskipun
tingkat partisipasi SD sudah hampir 100 persen di Indonesia, persentase angkatan kerja yang memiliki tingkat
pendidikan lebih tinggi masih sangat rendah. Pada 2007, sekitar seperlima dari pekerja adalah lulusan SMA,
dan hanya sekitar 6 persen yang lulus pendidikan tinggi.173 Karena itu, untuk memenuhi permintaan pasar
tenaga kerja, sangat dibutuhkan penambahan jumlah pekerja yang berpendidikan lebih tinggi. Pendidikan
para pekerja masa depan dimulai dengan perluasan akses terhadap pendidikan formal, terutama sekolah
menengah pertama dan sekolah menengah atas.
173
150
Sakernas. Lihat Bab 7, Tabel 7.2.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 8
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan saat ini adalah mengidentifikasi cara terbaik
untuk meningkatkan pasokan pekerja berkeahlian di masa depan. Perhatian para pembuat kebijakan
terfokus pada perluasan kesempatan belajar di sekolah menengah atas. Namun, perencanaan perluasan ini
menjadi rumit karena adanya berbagai jenis sekolah menengah di Indonesia: umum dan kejuruan, negeri
dan swasta, sekuler dan berbasis agama. Kementerian Pendidikan Nasional memilih untuk memprioritaskan
penambahan sekolah menengah kejuruan (SMK) supaya pekerja masa depan memiliki keahlian kerja spesifik.
Kebijakan ini telah menimbulkan perdebatan mengenai pendidikan menengah atas manakah yang paling
baik untuk menyiapkan siswa supaya berhasil di pasar tenaga kerja saat ini.
Bab 8 mengkaji jenis sekolah menengah atas manakah yang paling baik menyiapkan lulusannya
agar berhasil di pasar tenaga kerja. Sejauh ini, perdebatan mengenai kebijakan untuk memperluas
pendidikan menengah atas berlangsung tanpa disertai analisis menyeluruh. Riset baru-baru ini mengenai
efek jenis sekolah terhadap kondisi ketenagakerjaan yang disampaikan dalam bab ini, dapat mendukung
pembuatan kebijakan berbasis bukti dan mendorong kebijakan yang akan membantu lulusan di masa
depan supaya berhasil di pasar tenaga kerja. Bab ini terdiri atas empat bagian:
Yang pertama menjelaskan sistem pendidikan menengah atas di Indonesia.
Yang kedua menjelaskan kebijakan pemerintah baru-baru ini untuk mendorong pendidikan kejuruan di
tingkat menengah atas dan dampaknya terhadap pendaftaran siswa.
Yang ketiga mengkaji kondisi ketenagakerjaan lulusan menengah atas untuk menilai jenis sekolah
manakah yang memberi kesempatan terbaik bagi siswa agar berhasil mendapat pekerjaan.
Bagian yang keempat dan terakhir memberikan rekomendasi untuk memperluas pendidikan menengah
atas dan memperbaiki mutu pendidikan.
II. Pendidikan Menengah Atas di Indonesia
Sistem pendidikan menengah atas di Indonesia, baik di sekolah negeri maupun swasta, dibagi
menjadi jalur umum dan kejuruan. Sistem pendidikan menengah di Indonesia dibagi menjadi sekolah
menengah pertama dan sekolah menengah atas, masing-masing diikuti selama tiga tahun sebelum lulus.
Indonesia juga memiliki dua sistem sekolah yang berbeda, yaitu sekuler dan Islam, meskipun kurang dari
10 persen anak usia sekolah belajar di sekolah Islam.174 Dalam sistem sekolah sekuler, siswa yang lulus dari
sekolah menengah pertama memiliki pilihan untuk mendaftar ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau
Sekolah Menengah Atas (SMA).175 Berbagai sekolah tersebut dibagi lagi berdasarkan kepemilikan, yaitu
sekolah negeri atau sekolah swasta.
Hanya ada sedikit kesamaan di antara jalur pendidikan kejuruan dan jalur pendidikan umum.
Kurikulum kedua jenis sekolah menengah atas ini sangat berbeda dan mata pelajaran yang sama hanya
sedikit, seperti bahasa Inggris dan Indonesia. SMA umumnya tidak menawarkan subjek kejuruan seperti
pertukangan kayu atau permesinan, sedangkan sekolah kejuruan hampir hanya berfokus pada keahlian
pekerjaan dan dibagi menurut jenis jurusan yang mencakup: manajemen bisnis; keahlian teknis seperti
permesinan dan teknologi informasi; pertanian dan kehutanan; kesejahteraan masyarakat; pariwisata;
kesenian dan kerajinan; kesehatan, dan kelautan. Selain itu, terdapat pula SMK kejuruan yang sangat khusus
174
175
Newhouse dan Suryadarma, 2009. Pada tahun 2007, Susenas memperlihatkan bahwa hanya 8,4% anak usia sekolah terdaftar
pada sistem sekolah Islam. Karena alasan tersebut, diskusi dan analisis Bab 8 hanya mengkaji sistem sekolah sekuler.
Bab ini menggunakan istilah SMK dan SMA, berturut-turut untuk merujuk pada sekolah menengah atas kejuruan dan sekolah
menengah atas umum. Jenis sekolah ketiga pada tingkat menengah atas, sekolah Islam Madrasah Aaliyah, tidak dimasukkan
dalam analisis bab ini. Hal ini karena jumlah siswa menengah atas yang terdaftar pada sekolah Islam sangat kecil jika dibandingkan
dengan SMK atau SMA. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2007, hanya 8,4 persen anak usia sekolah yang
terdaftar pada sistem sekolah Islam.
151
yang berfokus pada penerbangan atau pembuatan kapal. Bidang yang paling diminati adalah manajemen
bisnis dan teknis/industri karena mencakup 88 persen dari semua SMK yang ada.176
Kenaikan tingkat partisipasi terutama didorong ekspansi sekolah umum negeri. Akses terhadap
sekolah menengah atas semakin baik sehingga tingkat partisipasipun meningkat. Tren ini terutama didorong
oleh pembangunan lebih banyak sekolah negeri sehingga kaum muda memiliki kesempatan lebih besar
untuk sekolah (Gambar 8.1 dan 8.2).177 Sebelumnya, jumlah siswa yang belajar di sekolah swasta lebih banyak
daripada di sekolah negeri, tetapi sejak tahun 2006-07, pembagiannya sudah berimbang antara sekolah
negeri dan swasta. Antara tahun 2002 sampai 2007, sekolah umum yang dibangun setiap tahunnya lebih
banyak daripada sekolah kejuruan sehingga mampu menyerap mayoritas siswa baru setiap tahun.
Gambar 8.1
Sekolah menengah atas menurut Gambar 8.2
jenisnya
20,000
8,000,000
15,000
6,000,000
10,000
4,000,000
5,000
2,000,000
Partisipasi ke sekolah menengah
atas menurut jenisnya
0
0
2002/2003 2003/2004 2004/2005 2005/2006 2006/2007
Public SMK Schools
2002/2003 2003/2004 2004/2005 2005/2006 2006/2007
Private SMA Schools
Private SMK Schools
Sumber: Kemendiknas, www.depdiknas.go.id
III. Kebijakan Ekspansi Pendidikan Kejuruan
Pemerintah meluncurkan rencana ekspansi sekolah kejuruan demi memotong tingkat pengangguran
kaum muda. Sesuai rencana strategis 2005-09, Kementerian Pendidikan Nasional berencana menempatkan
70 persen siswa menengah atas di sekolah kejuruan dan 30 persen sisanya di sekolah umum pada tahun
2015.178 Kebijakan “70:30” ini dimaksudkan untuk mengurangi pengangguran kaum muda dan menyiapkan
lulusan supaya dapat segera bekerja dengan dibekali keahlian siap pakai.179 Justifikasi untuk kebijakan ini
adalah keyakinan bahwa lulusan SMK lebih berpeluang diserap pasar tenaga kerja, sebab secara historis
tingkat pengangguran lulusan SMK kurang dari setengah tingkat pengangguran lulusan SMA.180
Untuk mencapai target ini, pihak kementerian membangun banyak sekolah kejuruan dan telah
menetapkan moratorium pembangunan sekolah umum baru. Target kebijakan Kementerian
176
177
178
179
180
152
Sekolah menengah atas kejuruan untuk bidang bisnis dan manajemen dikenal sebagai Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA),
sedangkan untuk bidang teknik dan industri dikenal sebagai Sekolah Teknik Menengah (STM). Pada 2005-06, dari keseluruhan
6.025 SMK, 39 persen di antaranya merupakan STM dan 49 persen yang lain adalah SMEA. (Alisjahbana, 2008c).
Lampiran VIII.1.
Alisjahbana, 2008c; Rencana Strategis Departemen Pendidikan National Tahun 2005-2009 (Kementerian Pendidikan Nasional,
2006a). Kebijakan “70:30” bertujuan meningkatkan jumlah SMK, baik negeri maupun swasta.
Alisjahbana, 2008c.
Kementerian Pendidikan Nasional, 2006b.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 8
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Pendidikan Nasional adalah mencapai rasio 50:50 dalam perbandingan sekolah kejuruan dengan sekolah
umum pada tahun 2010 (Tabel 8.1) dan mencapai rasio 70:30 pada tahun 2015. Kementerian menggunakan
tiga strategi umum guna mencapai rasio tersebut: membekukan pembangunan SMA baru, mempercepat
pembangunan SMK baru, dan mengubah sekolah umum yang telah ada menjadi sekolah kejuruan. Rencana
kementerian juga menguraikan tiga tujuan tambahan yang berkaitan dengan pendidikan kejuruan, yaitu
pendirian 441 SMK internasional sampai dengan tahun 2010; revitalisasi peralatan pendidikan di SMK, dan;
pengembangan program kewirausahaan bagi siswa kejuruan.181
Tabel 8.1
Peta langkah pengembangan pendidikan teknik kejuruan
Target
2005/06
2006/07
2007/08
2008/09
2009/10
Rasio siswa: SMK terhadap SMA
35:65
37:63
38:62
43:57
50:50
Jumlah SMK
6.000
6.150
6.300
6.500
6.600
2,1
2,4
2,9
3,5
4,3
94.000
110.000
138.000
174.000
216.000
Jumlah siswa SMK (juta)
Jumlah guru SMK
Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional182
Kebijakan ini sudah berjalan dan kini semakin banyak siswa mendaftar ke sekolah kejuruan. 1.211
sekolah kejuruan tambahan telah didirikan dari 2006-07 sampai 2008-09. Dalam periode yang sama, 375
sekolah umum ditutup.183 Keadaan ini membalikkan tren penurunan jangka panjang dalam pendaftaran
sekolah kejuruan (Gambar 8.3). Sampai dengan 2007, semakin banyak siswa telah mendaftar di sekolah
kejuruan. Sebagian besar dari peningkatan tersebut merupakan pendaftaran di sekolah kejuruan swasta
yang menyerap lebih banyak siswa laki-laki daripada perempuan.184 Meskipun terjadi pertambahan, kecil
kemungkinan bahwa Kementerian dapat mencapai target 50:50 pada 2010 atau target 70:30 lima tahun
kemudian. Pada tahun 2007 saja, siswa SMK baru mencapai 24 persen dari total siswa menengah atas, jauh
dari target yang ditetapkan dalam peta langkah.
Gambar 8.3
Partisipasi sekolah kejuruan, 1992-2007
Sumbu Kiri Jumlah siswa sekolah kejuruan
Sumbu Kanan Persentase siswa sekolah kejuruan terhadap keseluruhan
siswa menengah atas (%)
1,700,000
38
36
1,600,000
34
32
1,500,000
30
1,400,000
28
26
1,300,000
24
22
1,200,000
20
1,100,000
18
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Sumber: Newhouse dan Suryadarma, 2009 (berdasarkan Susenas)
181
182
183
184
Ibid.
Alisjahbana, 2008c.
Lampiran VIII.1.
Newhouse dan Suryadarma, 2009.
153
Tabel 8.2
RRasio aplikasi versus yang
diterima
Jenis sekolah
Rasio
Umum (SMA)
1,44
Negeri
1,57
Swasta
1,22
Kejuruan (SMK)
1,26
Negeri
1,53
Swasta
1,13
Namun demikian, pergeseran ini tidak sesuai dengan
keinginan orang tua. SMK merupakan pilihan kedua bagi
sebagian besar orang tua. Keinginan orang tua, yang
diukur melalui rasio aplikasi versus yang diterima, sedikit
lebih tinggi untuk SMA daripada SMK, tanpa memandang
apakah sekolah tersebut merupakan sekolah swasta atau
negeri (Tabel 8.2).185 Preferensi ini bahkan lebih kuat lagi
pada orang tua yang berpendidikan lebih tinggi; kecil
kemungkinan bahwa mereka bersedia mendaftarkan anak
mereka ke sekolah kejuruan, apalagi di SMK swasta.186
Kebijakan “70:30” dijalankan tanpa analisis empiris
menyeluruh. Bukti internasional tentang manfaat
pendidikan kejuruan masih belum pasti. Beberapa
studi mendapati bahwa lulusan kejuruan memperoleh upah lebih tinggi, tetapi studi yang lain tidak
menemukan perbedaan, baik dari sisi kondisi ketenagakerjaan maupun upah, jika dibandingkan dengan
lulusan umum.187 Korea Selatan pernah berusaha melaksanakan kebijakan ekspansi kejuruan pada tahun
90-an untuk meningkatkan ketersediaan pekerja berkeahlian. Namun, kebijakan tersebut gagal dan tingkat
partispasi sekolah menengah kejuruan justru menurun antara 1995 sampai 2005 (Lihat Kotak 8.1). Meski
demikian, kebijakan “70:30” ini tetap diluncurkan tanpa adanya bukti empiris kuat yang dapat menjustifikasi
kebijakan. Baru setelah kebijakan diluncurkan, dilakukan sejumlah studi untuk mengkaji hasil yang diperoleh
lulusan sekolah kejuruan di Indonesia.188 Bagian berikutnya mengisi kekurangan bukti tersebut dan mengkaji
seberapa baik kinerja berbagai jenis pendidikan menengah atas dalam menyiapkan lulusan agar berhasil di
pasar tenaga kerja.
Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional
Kotak 8.1
Pengalaman Korea Selatan: perluasan pendidikan kejuruan mungkin bukan
jawaban yang tepat
Mengingat pemerintah Indonesia berminat memperluas pendidikan kejuruan, pengamatan terhadap pengalaman
negara lain yang telah menjalankan kebijakan serupa di masa lalu akan sangat membantu. Salah satu contohnya
adalah Korea Selatan yang menerapkan kebijakan ekspansi kejuruan pada awal 90-an.
Penurunan pendidikan kejuruan. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Korea Selatan pada tahun 60-an dan
70-an telah mendorong permintaan terhadap pekerja dan teknisi berkeahlian. Rasio partisipasi ke sekolah kejuruan
terhadap sekolah umum meningkat dari 40 persen pada 1965, menjadi 45 persen pada 1980. Namun sejak tahun
80-an, persentase siswa kejuruan mulai menurun, dari tingkat tertinggi sebesar 45 persen pada 1980, menjadi hanya
35 persen pada 1990. Penurunan ini disebabkan oleh kenaikan pesat tingkat partisipasi ke pendidikan tinggi.
185
186
187
188
154
Luque, 2009.
Newhouse dan Suryadarma, 2009.
Ibid.
Bank Dunia baru-baru ini menghasilkan tiga laporan mengenai efek pendidikan kejuruan. Lihat Chen (2009) dan Luque (2009).
Bab 8 didasarkan pada temuan Newhouse dan Suryadharma (2009) yang memperkirakan efek keberagaman jenis sekolah
pada berbagai kelompok kemampuan skolastik, usia, dan latar belakang keluarga, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Mereka menggunakan panel rumah tangga yang mencakup jangka waktu 14 tahun sehingga memungkinkan mereka untuk
membedakan antara efek usia dan efek kohor, serta mengkaji perubahan pada hasil yang diperoleh dari pendidikan kejuruan
seiring berjalannya waktu. Kalaupun timbul bias akibat adanya karakteristik yang berpengaruh namun tidak teramati, asalkan
bias tersebut konstan sepanjang waktu, maka hal ini tetap akan memberikan perkiraan yang akurat mengenai perubahan pada
hasil yang diperoleh seiring berjalannya waktu.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 8
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Kotak 8.1
Lanjutan
Kebijakan “50:50” untuk perluasan kejuruan. Pemerintah Korea Selatan berpandangan bahwa pendidikan
kejuruan harus diperluas untuk mengatasi kekurangan pekerja berkeahlian dan mengurangi permintaan
berlebihan akan pendidikan tinggi. Karena itu, pada awal 90-an, pemerintah Korea Selatan mengadopsi “Kebijakan
50:50” untuk meningkatkan persentase siswa sekolah menengah kejuruan sampai 50 persen pada tahun 1998.
Pemerintah segera bertindak mengubah sekolah menengah atas umum menjadi sekolah menengah kejuruan dan
membangun sekolah kejuruan baru untuk mendorong kenaikan tingkat pendaftaran. Tetapi, kebijakan tersebut
gagal: meskipun pendaftaran sekolah kejuruan sempat meningkat sampai 42 persen pada tahun 1995, rasionya
kemudian terus menurun sampai akhinya tinggal 29 persen pada tahun 2005 – jauh di bawah target awal.
Mengapa kebijakan tersebut gagal. Terdapat dua alasan utama yang menyebabkan kegagalan itu. Yang
pertama, orang tua tidak percaya bahwa siswa lulusan sekolah menengah atas umum dan lulusan pendidikan
tinggi akan menghadapi peluang kerja yang lebih buruk, dan karenanya, menolak kebijakan tersebut. Yang kedua,
bertolak belakang dengan analisis pemerintah, kebutuhan akan pekerja berkeahlian tidak harus dipenuhi dengan
menambah siswa sekolah menengah kejuruan. Teknologi penghemat tenaga kerja (seperti mesin otomatis) telah
menggantikan banyak pekerjaan repetitif dan berulang yang tadinya dilakukan oleh lulusan sekolah kejuruan.
Penelitian juga mendukung pandangan orang tua bahwa pendidikan umum lebih baik. Penelitian barubaru ini sepertinya membenarkan pandangan orang tua bahwa hasil pendidikan di sekolah menengah atas
umum akan lebih baik daripada pendidikan di sekolah menengah atas kejuruan. Analisis data panel untuk 200106 mendapati bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara kondisi ketenagakerjaan lulusan sekolah menengah
umum dibandingkan dengan lulusan sekolah menengah kejuruan, sedangkan upah bulanan rata-rata lulusan
sekolah menengah umum sekitar 10 persen lebih tinggi daripada lulusan sekolah kejuruan. 189
Pelajaran yang dapat ditarik bagi pengembangan sekolah kejuruan di Indonesia. Pengalaman Korea Selatan
mengisyaratkan dua hal. Yang pertama, kebijakan ekspansi sekolah kejuruan akan gagal, kecuali jika kebijakan
tersebut mampu menjawab permintaan yang belum terpenuhi dan sesuai dengan perkembangan kondisi
pasar. Yang kedua, riset mendalam perlu dilakukan dahulu untuk menguji hipotesis yang mendasari ekspansi
sekolah. Kajian mengenai perubahan jangka panjang dalam hal kebutuhan akan keahlian dan perbedaan kondisi
ketenagakerjaan antara lulusan sekolah umum dan kejuruan, serta analisis lebih baik mengenai kebutuhan sosial
akan pendidikan umum dan pendidikan tinggi haruslah dilakukan dulu sebelum kebijakan ekspansi dapat diterima
dan dilaksanakan.
Sumber: “VET Provision and Expansion: Korean Experiences,” oleh Sung Joon Paik, Spesialis Senior Bank Dunia bidang Pendidikan,
yang dipresentasikan tanggal 16 Mei 2008 dalam lokakarya ESA di Bogor, Indonesia.
189
IV. Mengkaji Keberhasilan Lulusan di Pasar Tenaga
Kerja
Berdasarkan kinerja lulusan selama dua puluh tahun terakhir, jalur pendidikan kejuruan maupun
umum menghasilkan kondisi ketenagakerjaan yang hampir sama. Perempuan lulusan sekolah
189
Korea Research Institute for Vocational Education and Training (KRIVET), 2008. Data ini merupakan hasil perbandingan antara
lulusan pendidikan diploma yang sebelumnya lulus dari sekolah umum dan yang sebelumnya lulus dari sekolah kejuruan, dan
hasil tersebut tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan secara statistik. Tidak ada perbedaan upah antara lulusan umum
dan kejuruan yang segera memasuki pasar tenaga kerja setelah lulus sekolah menengah atas. Akhirnya perlu diingat bahwa hasil
studi ini mungkin mengalami bias seleksi dalam pemilihan jenis sekolah menengah atas.
155
kejuruan memiliki kondisi ketenagakerjaan yang sama dengan perempuan lulusan sekolah umum negeri.190
Penghasilan, tingkat pengangguran, dan tingkat lapangan kerja formal, tidak berbeda antara lulusan SMK
(negeri maupun swasta) dan lulusan SMA negeri. Demikian pula laki-laki yang lulus dari sekolah kejuruan
mempunyai peluang yang sama seperti lulusan sekolah umum untuk menjadi penganggur, dan jika bekerja,
tingkat penghasilan mereka pun akan serupa.191 Namun, ada keuntungan bagi laki-laki yang lulus dari SMK
negeri karena mereka lebih berpeluang untuk mendapat pekerjaan di sektor formal.
Keberhasilan lulusan lebih bergantung pada apakah mereka lulusan sekolah negeri daripada apakah
mereka belajar di sekolah umum atau kejuruan. Perbedaan kondisi ketenagakerjaan antara lulusan
sekolah negeri dan sekolah swasta tampak lebih jelas. Laki-laki yang lulus dari sekolah swasta mempunyai
penghasilan jauh di bawah lulusan sekolah negeri. Hal ini terjadi merata tanpa memandang apakah mereka
lulus dari sekolah umum negeri atau dari sekolah kejuruan negeri. Kondisi serupa juga dialami perempuan
yang lulus dari sekolah umum swasta karena keikutsertaan mereka dalam angkatan kerja lebih rendah dan
tingkat lapangan kerja formal mereka juga berada di bawah lulusan tiga jenis sekolah menengah atas yang
lain.
Siswa berlatar belakang kurang beruntung yang belajar di sekolah swasta memiliki peluang kerja
yang buruk. Tingkat pendidikan ayah dapat mewakili latar belakang keluarga; mereka yang ayahnya
berpendidikan paling tinggi sekolah menengah pertama dikategorikan ‘kurang beruntung’, sedangkan
mereka yang ayahnya berpendidikan minimal sekolah menengah atas dikategorikan ‘beruntung’. Di antara
para pekerja laki-laki yang kurang beruntung, mereka yang lulus dari sekolah swasta memiliki peluang kerja
paling buruk dan penalti upah yang relatif besar jika dibandingkan dengan lulusan sekolah negeri.192 Karena
itu, laki-laki dari latar belakang kurang beruntung akan memperoleh manfaat terbesar dari pendidikan
kejuruan di sekolah negeri dan menghadapi penalti upah terbesar jika belajar di sekolah swasta. Efek ini
pun terjadi pada perempuan. Di antara para pekerja perempuan yang kurang beruntung, lulusan sekolah
umum swasta mengalami dampak paling buruk karena merekalah yang keikutsertaannya paling kecil dalam
angkatan kerja dan mempunyai tingkat formalitas kerja terendah.
Tetapi baru-baru ini, kinerja lulusan laki-laki dari sekolah kejuruan negeri pun telah menurun dan
kini menjadi penalti. Laki-laki yang baru saja lulus dari SMK negeri kini tak lagi mempunyai peluang lebih
besar untuk dipekerjakan di sektor formal.193 Yang lebih memprihatinkan lagi, telah terjadi penurunan upah
secara dramatis di antara kaum muda laki-laki yang baru lulus dari SMK negeri. Dulunya, laki-laki berusia 25
tahun lulusan SMK negeri akan memperoleh upah yang besar, namun mereka kini menghadapi penurunan
upah yang besar dan bertambah terus seiring waktu (Gambar 8.4a). Perkiraan penurunan upah bagi
kelompok laki-laki termuda mencapai 30 persen pada tahun 2000 dan 43 persen pada 2007.
190
191
192
193
156
Lampiran VIII.3 dan Lampiran VIII.4. Lampiran VIII.3 memperlihatkan kondisi ketenagakerjaan pada berbagai subkelompok lulusan
sekolah menengah atas. Tetapi, seleksi non-acak dalam pekerjaan dapat menimbulkan bias pada perkiraan efek jenis sekolah
terhadap tingkat formalitas dan upah jika determinan tak teramati pada jenis sekolah berkaitan dengan peluang berbagai jenis
lulusan memperoleh pekerjaan yang dipilihnya. Karena itu, perlu dilakukan kontrol terhadap sebanyak mungkin karakteristik
pratertentu (predetermined) atau eksogen. Lampiran VIII.4 memperlihatkan kondisi ketenagakerjaan setelah dilakukan kontrol
terhadap sebanyak mungkin karakteristik teramati untuk mengisolasi efek dari berbagai jenis sekolah menengah atas. Berbagai
variabel tersebut termasuk: pendidikan orang tua, baik orang tua yang tinggal bersama maupun yang tidak tinggal bersama;
tinggi badan; luas tempat tinggal yang dilaporkan sendiri pada usia 12 tahun; pengulangan kelas saat SD atau SMP; tingkat
kehadiran saat SMP; bekerja saat bersekolah di SD atau SMP, dan tahun wawancara. Selain itu, efek tetap dari daerah kelulusan
SMP perlu memperhatikan keragaman pasokan pendidikan, karakteristik masyarakat, dan efek rekan sebaya di berbagai
daerah.
Upah individu yang menjadi wiraswastawan dihitung menggunakan keuntungan per jam rata-rata. Indeks harga perkotaan dari
Statistik Indonesia digunakan untuk mengurangi upah tahun 1993, sedangkan indeks harga IFLS digunakan untuk tahun-tahun
selanjutnya (Newhouse dan Suryadarma, 2009).
Lampiran VIII.5.
Lampiran VIII.7.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 8
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Gambar 8.4
a. Laki-laki
Efek pendidikan kejuruan negeri terhadap upah194
b. Perempuan
Kohor tua
Kohor tengah
Kohor muda
Kohor tua
Kohor tengah
Kohor muda
40
Usia rata-rata
50
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
-0.10
-0.20
-0.30
-0.40
-0.50
0.60
0.40
0.20
0.00
-0.20
-0.40
-0.60
20
30
40
Usia rata-rata
50
20
60
30
60
Sumber: Perhitungan Bank Dunia, berdasarkan IFLS 1993, 1997, 2000, 2007
Turunnya kinerja lulusan laki-laki dari sekolah kejuruan kemungkinan diakibatkan oleh perubahan
struktur ekonomi. Sejak krisis keuangan 1998, ekonomi semakin bergantung pada sektor jasa untuk
menghasilkan pertumbuhan.195 Pertumbuhan tahunan sektor industri menurun drastis, sementara
pertumbuhan tahunan sektor jasa masih tetap kuat. Dari 2003 sampai 2007, lapangan kerja sektor jasa
tumbuh lebih cepat daripada lapangan kerja sektor industri. Perubahan struktur ini kemungkinan berdampak
negatif terhadap lulusan laki-laki dari sekolah kejuruan karena mereka cenderung memilih jurusan teknik
dan industri daripada jurusan yang berorientasi jasa (Gambar 8.5).
Gambar 8.5
Pilihan jurusan kejuruan
Teknik dan industri
Manajemen bisnis
Pariwisata
Lain-lain
Perempuan
Laki-laki
0%
20%
40%
60%
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas, 2006
194
195
196
80%
100%
Di sisi lain, perempuan
cenderung
memilih
jurusan yang berorientasi
jasa di sekolah kejuruan
dan kini meraih hasil yang
lebih baik. Perempuan
cenderung memilih jurusan
yang sesuai dengan sektor
jasa sehingga diuntungkan
karena nilai upah yang lebih
tinggi.196
56
persen
perempuan
mengambil
jurusan manajemen bisnis
dan 28,9 persen mempelajari
pariwisata (Gambar 8.5).
Karena mereka mengambil
sektor jasa, perempuan dari
Newhouse dan Suryadarma, 2009. Untuk mengkaji efek usia, sampel dibagi menjadi tiga kohor: tua (mereka yang lahir antara
1940 sampai 1962), sedang (1963-1972), dan muda (1973-1980). Catatan: Setiap titik memperlihatkan efek yang diperkirakan dari
sekolah kejuruan relatif terhadap sekolah umum untuk kohor dan tahun tertentu. Sumbu horizontal menunjukkan usia rata-rata
kohor yang bersangkutan pada tahun tersebut.
Lihat Bab 2 untuk diskusi mengenai perubahan ekonomi dan efek yang ditimbulkan terhadap penciptaan lapangan kerja
sektoral.
Lihat Bab 7 untuk informasi lebih jauh mengenai hasil dari pendidikan jika dipilah menurut sektor lapangan kerja.
157
sekolah kejuruan kemungkinan akan memperoleh hasil yang lebih baik. Terdapat indikasi awal bahwa hal ini
telah terjadi. Kelompok termuda dari perempuan yang lulus dari SMK negeri kemungkinan akan mengalami
peningkatan upah, mulai pada usia 30 tahun (Gambar 8.4b).197
Pelaksanaan kebijakan “70:30” kemungkinan akan berdampak negatif bagi siswa dengan
kemampuan akademis lebih tinggi. Siswa yang unggul secara akademis, yang berada di sepertiga
peringkat teratas ujian terstandardisasi, memiliki kemungkinan jauh lebih besar untuk belajar di sekolah
umum.198 Kebijakan ekspansi kejuruan – dan penutupan sekolah umum untuk diubah menjadi sekolah
kejuruan – akan memaksa lebih banyak siswa berprestasi akademis untuk memasuki jalur kejuruan. Mereka
inilah yang paling terancam dirugikan akibat investasi dalam pendidikan kejuruan ketika kondisi ekonomi
justru semakin menghargai pekerja berpendidikan umum dan mempunyai keahlian kognitif. Mereka akan
menghadapi penurunan upah 41 persen dengan belajar di sekolah kejuruan negeri dan 49 persen jika belajar
di sekolah kejuruan swasta.199 Seperti halnya laki-laki, perempuan berprestasi akademis juga mengalami
penurunan besar jika bersekolah di SMK. Perempuan berprestasi akademis yang lulus dari sekolah kejuruan
negeri dan swasta, berturut-turut mengalami penurunan upah 16 dan 32 persen.
Namun demikian, sekolah kejuruan sama efektifnya dengan sekolah umum dalam menyiapkan
siswa laki-laki dengan kemampuan akademis lebih rendah untuk memasuki pasar tenaga kerja.
Siswa dengan orang tua yang berpendidikan lebih rendah dan siswa yang kemampuan akademisnya lebih
rendah mempunyai kemungkinan jauh lebih besar untuk mendaftar di SMK swasta.200 Meskipun belajar di
SMK swasta membawa penurunan upah besar bagi siswa berprestasi akademis, siswa yang kemampuan
akademisnya lebih rendah mengalami kondisi yang lebih baik. Laki-laki dan perempuan berkemampuan
akademis lebih rendah yang belajar di sekolah kejuruan swasta akan meraih pendapatan serupa dengan
yang belajar di sekolah umum atau sekolah kejuruan negeri.201 Tetapi, perempuan yang lulus dari SMK swasta
berpeluang lebih besar untuk menganggur dan berpeluang lebih kecil menjadi pekerja formal. Karena itu,
pendidikan kejuruan swasta hanya berguna bagi siswa laki-laki yang lemah secara akademis; peluang mereka
untuk dipekerjakan dan memiliki pekerjaan formal sama saja seperti jika mereka lulus dari jenis sekolah
yang lain. Laki-laki dengan kemampuan akademis rendah yang lulus dari sekolah kejuruan negeri tak hanya
memperoleh penghasilan sama besar dengan mereka yang lulus dari sekolah umum negeri, tetapi mereka
juga berpeluang lebih kecil untuk menjadi penganggur. Hal ini bertolak belakang dengan perempuan yang
kemampuan akademisnya lebih rendah karena peluang mereka untuk menjadi penganggur justru lebih
besar jika mereka lulus dari sekolah kejuruan negeri.
V. Rekomendasi
Kebijakan “70:30” yang dijalankan saat ini tidak akan mencapai sasarannya untuk mengurangi
tingkat pengangguran secara keseluruhan. Meskipun maksud kebijakan ini adalah mengurangi tingkat
pengangguran, kebanyakan lulusan sekolah kejuruan berpeluang sama besar dengan lulusan sekolah
umum untuk menjadi penganggur. Satu-satunya subkelompok yang berpeluang lebih kecil untuk menjadi
penganggur hanyalah laki-laki dengan kemampuan akademis lebih rendah yang lulus dari sekolah kejuruan
negeri. Lulusan dari kedua jenis sekolah juga berpeluang sama besar mendapatkan pekerjaan di sektor
formal. Keunggulan upah dan tunjangan pekerjaan formal yang dulunya dirasakan oleh lulusan laki-laki
197
198
199
200
201
158
Lampiran VIII.7. Catatan: peningkatan premium upah bagi kohor perempuan termuda nilainya cukup besar, tetap efeknya tidak
signifikan secara statistik.
Lampiran VIII.6.
Lampiran VIII.9.
Lampiran VIII.6.
Lampiran VIII.9.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 8
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
dari sekolah kejuruan telah berkurang dan belakangan ini malah menjadi penurunan upah. Siswa laki-laki
dengan kemampuan akademis lebih tinggi akan menjadi kelompok yang paling dirugikan jika kesempatan
untuk belajar di sekolah umum negeri semakin berkurang dan mereka terpaksa belajar di sekolah kejuruan.
Tanpa adanya perbaikan kondisi ketenagakerjaan secara jelas, ekspansi sekolah kejuruan yang
dilakukan secara meluas saat ini tidak akan efektif secara biaya. Sekolah kejuruan lebih mahal daripada
sekolah umum. Biaya tahunan per siswa untuk SMA negeri diperkirakan sebesar Rp 3,5 juta (Gambar 8.6).202
Sementara itu, biaya tahunan per siswa untuk SMK negeri diperkirakan lebih tinggi 37 persen, yaitu sebesar
Rp 4,8 juta. Kebijakan ekspansi kejuruan akan membutuhkan tambahan anggaran kira-kira Rp 5 triliun per
tahun begitu target 70:30 telah tercapai.203 Ini adalah peningkatan yang sangat besar, setara dengan 65
persen dari keseluruhan anggaran untuk sekolah menengah atas yang diperkirakan sebesar Rp 8,9 triliun
pada 2009.204 Biaya yang dikeluarkan sendiri oleh orang tua pun akan lebih tinggi 36,9 persen untuk SMK
negeri jika dibandingkan dengan SMA negeri (Gambar 8.7).205 Demikian pula dengan biaya untuk SMK
swasta akan lebih tinggi 31,4 persen daripada biaya untuk SMA swasta. Tetapi, konversi sekolah umum
menjadi sekolah kejuruan akan membatasi pilihan orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah
menengah atas. Keadaan ini terutama akan berdampak bagi keluarga miskin karena golongan inilah yang
paling banyak menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta dan terpaksa mengeluarkan biaya sendiri yang
lebih besar.
Gambar 8.6
Biaya yang dikeluarkan
pemerintah untuk pendidikan
(Rp)
Negeri
Sumber: Ghozali
Gambar 8.7
Biaya yang dikeluarkan sendiri
untuk pendidikan (Rp)
Swasta
Negeri
Swasta
Sumber: Susenas, 2006
Membatalkan moratorium sekolah menengah atas umum demi memenuhi kebutuhan akan pekerja
yang berpendidikan lebih tinggi yang efektif dari segi biaya. Meskipun persentase pekerja lulusan
sekolah menengah atas terus naik, masih ada banyak ruang untuk menambah jumlahnya supaya pekerja
yang masih muda memperoleh manfaat dari tingginya upah bagi tenaga kerja yang berpendidikan lebih
tinggi. Sekolah umum negeri adalah cara paling efektif dari segi biaya bagi pemerintah untuk menyiapkan
siswa agar dapat berhasil di tempat kerja. Orang tua juga lebih menyukai pendidikan di sekolah negeri,
terutama SMA, karena lebih murah daripada sekolah swasta dan memberi peluang terbaik agar anak mereka
202
203
204
205
Ghozali, 2006. Angka-angka tersebut mewakili biaya dalam nilai Rupiah tahun 2003, yang dibayarkan melalui belanja pemerintah,
tidak termasuk biaya rumah tangga yang dikeluarkan untuk pendidikan.
Perkiraan staf Bank Dunia. Angka dalam nilai Rupiah tahun 2003.
Bank Dunia, 2007.
Lampiran VIII.2 (Luque, 2009). Survei rumah tangga IFLS2000 memperoleh hasil berbeda dan dilaporkan bahwa sekolah umum
swasta adalah yang paling mahal, diikuti oleh sekolah kejuruan swasta dan kemudian sekolah kejuruan negeri. Yang biayanya
termurah adalah sekolah umum negeri (Newhouse dan Suryadarma, 2009).
159
berhasil di pasar tenaga kerja. Jika akses terhadap sekolah umum negeri tidak diperluas, ada risiko bahwa
siswa dengan kemampuan akademis lebih baik, terutama laki-laki, tidak akan memperoleh manfaat dari
premium upah yang sesungguhnya dapat diperoleh jika mereka lulus dari SMA negeri.
SMK masih berperan penting mendidik pekerja masa depan, namun diperlukan perbaikan mutu dan
relevansi keahlian. Meskipun ekspansi sistem pendidikan sebaiknya berfokus pada sekolah umum yang
lebih hemat biaya, sekolah kejuruan tetap berperan penting memperbaiki kondisi ketenagakerjaan pekerja
masa depan. Sekolah kejuruan sama baiknya dengan sekolah umum dalam melatih siswa laki-laki yang
lemah secara akademis; malah jika siswa-siswa tersebut belajar di sekolah kejuruan negeri, kemungkinan
mereka menjadi penganggur akan berkurang. Namun demikian, semakin turunnya hasil yang diperoleh
laki-laki dari pendidikan kejuruan mengisyaratkan bahwa mutu dan kesesuaian sekolah kejuruan perlu
diperbaiki. Kementerian Pendidikan Nasional pun menyetujui hal ini dan telah menyatakan bahwa sebagian
besar SMK di Indonesia saat ini berada di bawah standar nasional.206 Kajian kualitatif mengisyaratkan bahwa
sekitar setengah dari seluruh SMK kekurangan fasilitas teknik untuk mendukung cara belajar yang efektif dan
peralatan yang dipakai sering kali berbeda dengan praktik dalam industri.
Memperbaiki mutu pendidikan kejuruan dengan membina hubungan dengan perusahaan, sambil
mengadopsi dan melaksanakan standar layanan minimum. Riset baru-baru ini yang mengkaji model
sekolah kejuruan di Indonesia memperlihatkan bahwa membina hubungan yang lebih kuat dengan dunia
industri, memastikan adanya sumber daya keuangan yang memadai, dan memperbaiki mutu guru adalah
kunci mencapai keberhasilan (lihat Kotak 9.2).207 Melalui kerja sama dengan pemimpin industri, Kementerian
Pendidikan Nasional dapat memastikan bahwa kurikulum kejuruan relevan dengan kebutuhan angkatan
kerja saat ini dan memberikan kesempatan pelatihan di lokasi industri bagi siswa. Standar minimum juga
dapat membantu menyetarakan mutu pendidikan di berbagai sekolah yang berbeda dan memastikan
perbaikan pada sekolah swasta.
Daripada menetapkan target tertentu untuk pendaftaran sekolah kejuruan, lebih baik mencari
perbandingan jenis sekolah yang tepat dengan mengikuti permintaan keahlian di pasar tenaga
kerja. Penetapan kuota bukanlah pendekatan terbaik untuk memastikan tingkat pendaftaran sekolah.
Pasokan pendidikan semestinya fleksibel sehingga dapat menanggapi perubahan permintaan dengan lebih
baik dan mengikuti fluktuasi pasar tenaga kerja. Riset dapat dilakukan untuk mengetahui keahlian kejuruan
mana yang paling dicari pekerja. Pertama, lakukan studi pelacakan kondisi ketenagakerjaan siswa dari
berbagai jenis sekolah dan jurusan kejuruan yang berbeda untuk mengetahui bidang mana yang premium
upahnya tinggi. Kedua, mengadakan survei regional pemberi kerja untuk mengetahui keahlian mana yang
dicari oleh calon pemberi kerja. Hasil dari riset semacam itu dapat menjadi pedoman dalam pengambilan
keputusan yang berhubungan dengan kebijakan ekspansi sekolah.
Terakhir, mengembangkan strategi menyeluruh bagi pendidikan kejuruan yang mencakup
lembaga formal maupun non-formal. Sekolah menengah atas kejuruan bukanlah satu-satunya cara untuk
memberikan keahlian yang relevan dengan pekerjaan bagi angkatan kerja masa depan. Program pelatihan
keahlian mempunyai peran yang lebih penting lagi, terutama mengingat kebanyakan angkatan kerja
Indonesia belum lulus dari pendidikan menengah atas. Karena itu, bab berikutnya akan melihat bagaimana
program pelatihan keahlian dapat memberikan kesempatan kedua bagi pekerja yang belum mendapatkan
pendidikan menengah atas atau pendidikan tinggi.
206
207
160
Wawancara Bank Dunia dengan Kementerian Pendidikan Nasional, 2008. Saat ini terdapat lebih dari 7.000 SMK di Indonesia. Dari
jumlah tersebut, 290 di antaranya dikategorikan berkinerja tinggi, sementara sekitar 3.500 berada di bawah standar.
Wicaksono, 2008.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 8
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Kotak 8.2
SMK yang Boleh Menjadi Contoh: Sekolah Kejuruan Analis Kimia di Bogor 208
Sekolah Menengah Kejuruan Analis Kimia Bogor, atau lebih dikenal sebagai SMAK Bogor, adalah SMK di bawah
tanggung jawab Kementerian Perindustrian. Sekolah ini adalah salah satu dari hanya tiga sekolah kejuruan di
seluruh Indonesia yang mencetak analis laboratorium kimia, sebuah profesi yang semakin dibutuhkan.
SMAK Bogor diakui sebagai model bagi SMK di Indonesia dan hal ini telah dikonfirmasikan melalui keberhasilan
para lulusannya. Lulusan sekolah ini mampu bersaing dengan mahasiswa bergelar Sarjana atau Diploma. Sebagai
contoh, di PT Sucofindo – sebuah perusahaan pemeriksaan yang dimiliki negara – sekitar 80 persen posisi analis
kimia diisi oleh lulusan SMAK, sedangkan pemegang gelar Sarjana hanya 15 persen dan Diploma 5 persen saja.208
Menurut salah seorang pimpinan Sucofindo, perusahaan mencari lulusan SMAK karena mereka lebih cepat
beradaptasi dengan peralatan laboratorium canggih jika dibandingkan dengan lulusan dari pendidikan tinggi.
Catatan prestasi dan reputasi SMAK Bogor tidak terlepas dari tiga faktor keberhasilan berikut:
Hubungan dengan industri. SMAK Bogor memiliki kurikulum tersendiri yang inovatif sesuai dengan upayanya
memenuhi permintaan calon pemberi kerja dari industri. Alih-alih pendidikan standar tiga tahun, siswa SMAK
membutuhkan empat tahun untuk menyelesaikan program pendidikannya sehingga mereka punya lebih
banyak waktu untuk mata pelajaran yang bersifat praktik. Sekolah juga memanfaatkan jaringan yang telah
dibangun dengan perusahaan dan alumni untuk mencari tahu kebutuhan spesifik pasar tenaga kerja. Program
magang yang tak hanya diikuti oleh siswa, tetapi juga oleh guru, adalah bagian dari pelatihan.
Penggalangan dana secara kreatif. Dukungan keuangan yang diterima SMAK Bogor dari pemerintah untuk
membayar gaji guru dan fasilitas sekolah, tidak mencukupi bagi operasinya. Hal ini memaksa pihak sekolah
untuk mencari sumber dana tambahan secara kreatif. Sekolah mengumpulkan sumbangan dari sektor
swasta dan mendirikan cabang berorientasi laba yang menawarkan layanan komersial kepada masyarakat.
Dengan pemasukan tambahan ini, SMAK dapat berinvestasi lebih jauh dalam pelatihan guru dan peningkatan
keahlian.
Siswa dan guru yang memenuhi syarat. SMAK Bogor mampu mempertahankan standar pengajaran yang
tinggi karena sekolah ini diminati oleh siswa dan guru yang memenuhi syarat. Pendaftaran ke sekolah ini
sangat kompetitif dan pelajarannya cukup berat. Siswa tahun pertama yang gagal melanjutkan ke tahun kedua
harus keluar dari sekolah. Sementara itu, sekolah mempekerjakan guru berkualifikasi dari Balai Industri, sebuah
lembaga riset yang dioperasikan oleh Kementerian Perindustrian, dan dosen universitas. Sekolah juga mengajak
guru tamu dari perusahaan agar siswa dan guru dapat menarik manfaat dari profesional berpengalaman.
Sumber: Wicaksono, 2008; Chatab 2008.
208
Nevizond Chatab, “Kinerja Lulusan Pendidikan Menengah Kejuruan SMAK di SUCOFINDO”, makalah yang dipresentasikan pada
Seminar Terbatas Strategi Peningkatan Relevansi Pendidikan Menengah, Jakarta, 30 Juni 2008.
161
Bab 9
Membangun Angkatan
Kerja yang Memiliki
Keahlian(Bagian II)
Program Pelatihan Keahlian Pekerjaan NonFormal
Bab 9 Ringkasan & Rekomendasi
Meskipun pendidikan formal adalah salah satu cara terbaik untuk membantu kaum muda meraih keberhasilan di
pasar tenaga kerja, kaum muda yang lulus dari Sekolah Menengah Atas masih relatif sedikit. Karena itu, program
pelatihan keahlian pekerjaan dan sertifikasi keahlian berperan penting memberikan kesempatan kedua bagi
pekerja yang beresiko tertinggal.
Fasilitas pelatihan publik di Indonesia masih terbatas dan cenderung hanya membantu pekerja yang telah memiliki
pekerjaan, terutama di sektor formal. Fasilitas semacam itu kurang berhasil menjangkau orang-orang yang akan
memperoleh manfaat terbesar dengan mendapat kesempatan kedua: pengangguran, pekerja informal, dan
kaum miskin. Berbagai program tersebut kebanyakan berbasis ruang kelas. Namun, pengalaman internasional
memperlihatkan bahwa intervensi melalui pelatihan lebih berpeluang meningkatkan kondisi ketenagakerjaan
pesertanya apabila pelatihan tersebut memberikan rangkaian layanan lebih luas yang mencakup: magang, bantuan
pencarian kerja atau pelatihan sambil bekerja, keterampilan sosial dan hidup, serta subsidi upah. Kebijakan “3 in 1”
yang baru-baru ini dilakukan Indonesia adalah langkah ke arah yang tepat, tetapi masih dibutuhkan upaya lanjutan
untuk mewujudkan manfaat pendekatan yang menyeluruh terhadap pelatihan keahlian.
Lembaga sertifikasi profesi nasional juga memainkan peran penting untuk mengurangi hambatan dalam
pencarian kerja, terutama bagi kaum miskin yang peluangnya lebih kecil untuk mengecap pendidikan formal.
Meskipun Indonesia telah mendirikan lembaga semacam itu pada tahun 2004, kerangka kerja kualifikasi nasional
secara keluruhan masih belum terpadu karena berbagai kementerian pemerintah masih menetapkan standar
kompetensinya sendiri-sendiri.
Rekomendasi:
Memperkenalkan program baru untuk pelatihan keahlian secara menyeluruh guna mengisi kekurangan dalam
kesempatan pelatihan. Mengadopsi model yang mengikuti pengalaman Jóvenes, termasuk keterampilan
sosial yang semakin dibutuhkan perusahaan Indonesia dan rangkaian layanan pelengkap seperti magang,
bantuan pencarian kerja atau pelatihan sambil bekerja, dan subsidi upah.
Menargetkan pelatihan bagi pekerja yang paling membutuhkan kesempatan kedua: pekerja yang muda dan
miskin, serta yang masih dipekerjakan di sektor informal.
Mengontrakkan layanan pelatihan kepada penyedia layanan swasta dan LSM. Dinas Tenaga Kerja memainkan
peran kunci dalam memberikan pedoman strategis dan memantau kinerja penyedia layanan.
Menciptakan lingkungan kelembagaan yang menunjang berkembangnya program pelatihan, termasuk
peraturan yang menciptakan lebih banyak kesempatan kerja dan lembaga sertifikasi profesi yang terpadu dan
terpusat.
I. Pendahuluan
Meskipun pendidikan formal adalah salah satu cara terbaik untuk membantu kaum muda meraih
keberhasilan di pasar tenaga kerja, kaum muda yang lulus dari Sekolah Menengah Atas masih relatif
sedikit. Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan dalam hal akses terhadap pendidikan selama
tiga puluh tahun terakhir. Hampir semua anak-anak kini dapat mengecap Sekolah Dasar. Namun demikian,
akses yang terbatas terhadap pendidikan berkualitas pada tingkat Sekolah Menengah Atas dan pendidikan
tinggi masih terus menjadi hambatan bagi kaum muda. Masalah ini paling dirasakan oleh calon pekerja
masa depan yang berasal dari rumah tangga miskin, yang peluangnya lebih besar untuk putus sekolah
(Gambar 9.1).209 Hal ini merugikan mereka di pasar tenaga kerja karena mereka akan lebih sulit mendapatkan
pekerjaan yang lebih disukai di sektor formal dan non-pertanian.
209
164
Lihat pula Ridao-Cane dan Filmer, 2004.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Program
pelatihan
keahlian pekerjaan dan
sertifikasi
keahlian
100
m e m b e r i k a n
kuintil terkaya
90
kesempatan
kedua
bagi pekerja yang
80
beresiko
tertinggal.
70
Keikutsertaan
dalam
60
pendidikan
formal
50
m e m b e r i k a n
40
kesempatan
pertama
bagi pekerja untuk
30
kuintil termiskin
mengembangkan
20
keahlian yang relevan
10
dengan
pekerjaan.
0
Namun, bagi mereka
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
yang tidak memiliki akses
terhadap
pendidikan
Kelas
formal
atau
tidak
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas 2008.
mempunyai
keahlian
yang relevan dengan pekerjaan, program pelatihan dapat memberikan kesempatan alternatif untuk
mengembangkan keahlian yang dibutuhkan pemberi kerja. Berbagai program tersebut juga dapat diarahkan
kepada kelompok yang sangat rentan seperti kaum miskin yang sangat memerlukan integrasi ke dalam
pasar tenaga kerja demi meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu, kerangka kerja kualifikasi keahlian
juga memberikan kesempatan kedua dengan memungkinkan pekerja untuk dinilai berdasarkan keahlian
dan kompetensi mereka, tanpa memandang latar belakang pendidikan atau bagaimana mereka memperoleh
keahliannya tersebut.
Tingkat pendidikan tertinggi yang pernah diikuti, usia 1618 menurut kuintil penghasilan
Persen
Gambar 9.1
Bab 9 meninjau bagaimana intervensi melalui pelatihan keahlian dapat dirancang untuk mengatasi
hambatan pasar tenaga kerja di Indonesia, terutama bagi kaum miskin dan rentan. Program Aktif
Ketenagakerjaan (Active Labor Market Programs - ALMP) telah dilaksanakan di berbagai negara untuk
mengatasi kegagalan pasar tenaga kerja yang turut menyebabkan risiko pengangguran lebih tinggi, masa
pengangguran lebih lama, atau penghasilan lebih sedikit. Bab ini mengkaji pelatihan pekerjaan di Indonesia
dan kemudian memberikan rekomendasi dengan menarik pelajaran dari praktik-praktik intervensi terbaik
yang dilaksanakan di negara berekonomi menengah dan maju. Bab ini dibagi menjadi empat bagian:
Yang pertama memberikan garis besar mengenai berbagai layanan pelatihan yang ada di Indonesia
saat ini dan gambaran mengenai siapa saja yang cenderung memperoleh manfaat dari pelatihan di
sektor pendidikan non-formal.
Yang kedua meninjau program pelatihan keahlian teknis dan non-teknis dalam mengatasi hambatan
memperoleh pekerjaan melalui berbagai kategori berikut: a) pelatihan kejuruan di ruang kelas; b)
pelatihan keterampilan sosial dan keterampilan hidup, serta; c) program yang mengadopsi pendekatan
menyeluruh. Tinjauan ini menyoroti ciri utama setiap pendekatan dan juga kondisi awal, faktor
pendukung keberhasilan, serta relevansinya terhadap konteks di Indonesia.
Yang ketiga berfokus pada kerangka kerja kualifikasi nasional yang dapat mengatasi hambatan pencarian
kerja melalui sinyal yang lebih baik kepada calon pemberi kerja.
Yang keempat, dan merupakan bagian terakhir, memberikan rekomendasi bagi Indonesia dengan
penekanan khusus pada perbaikan kondisi ketenagakerjaan bagi kelompok miskin dan rentan.
165
II. Pelatihan di Indonesia
Fasilitas pelatihan keahlian publik masih terbatas. Balai Latihan Kerja (BLK), pusat pelatihan kejuruan
publik, adalah lembaga utama yang bertanggung jawab memberikan layanan pelatihan keahlian di
Indonesia. Pusat-pusat ini ditujukan untuk melayani pencari kerja dan wiraswasta di bidang usaha kecil dan
pertanian. Selama tahun 2003-04, kira-kira 42.500 orang telah memperoleh pelatihan di 162 BLK yang tersebar
di seluruh Indonesia.210 Selain BLK, terdapat pula 18 Balai Pengembangan Produktivitas Daerah (BPPD) yang
memberikan pelatihan keahlian publik. Beberapa kementerian terkait – seperti Kementerian Pertanian,
Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan – juga memberikan program pelatihan, namun
cakupannya cenderung lebih kecil.
Di sisi lain, layanan pelatihan swasta berkembang pesat. Mayoritas pusat pelatihan di Indonesia
dioperasikan oleh sektor swasta dan kelompok masyarakat lokal. Pusat pelatihan swasta tumbuh pesat
dalam sepuluh tahun terakhir dan jumlah pusat yang terdaftar mencapai 25.000 pada tahun 2005. Sebagai
bagian dari sistem pendidikan non-formal lokal, pusat-pusat tersebut patuh pada aturan pemerintah lokal
dan membutuhkan izin operasi dari dinas pendidikan kabupaten/kota. Namun, penyedia pelatihan swasta
pun harus memenuhi standar nasional. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN_PNF), yang
terdiri atas perwakilan dari Kementerian Pendidikan Nasional, asosiasi profesi, dan perusahaan sektor industri,
memberikan akreditasi bagi semua pusat pelatihan. 211
Layanan pelatihan cenderung membantu kalangan yang telah memiliki pekerjaan, bukannya
para pengangguran. Sebagian besar peserta pelatihan adalah orang-orang berusia antara 19 dan 34
tahun. Tetapi, banyak dari antara peserta pelatihan tersebut tidak berada dalam angkatan kerja sehingga
mengisyaratkan bahwa banyak orang mengikuti kursus pelatihan karena minat pribadi atau hanya sebagai
hobi.212 Pada tahun 2003, hanya 6 persen dari peserta kursus pelatihan yang saat itu sedang menganggur.213
Selain itu, para peserta cenderung telah bekerja di sektor formal. Hanya sedikit pekerja dari sektor informal
yang mengikuti pelatihan untuk meningkatkan keahlian mereka.
Meskipun BLK pada awalnya diarahkan kepada pencari kerja yang miskin, saat ini semakin banyak
BLK yang menyediakan layanan pelatihan komersil / dengan biaya kepada perusahaan untuk
memperoleh penghasilan. Pelatihan berdasarkan permintaan perusahaan meningkat dari 20 persen
portofolio BLK pada tahun 1999/94 menjadi 45 persen pada tahun 2003. Pergeseran ini kemungkinan
dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan tambahan demi menutupipembiayaan yang terbatas dari
pemerintah kepada BLK. Pemerintah pusat mengalokasikan dana rata-rata Rp 250-300 juta bagi setiap BLK
pada tahun 2006, di luar dana dekonsentrasi senilai Rp 45 miliar yang dialokasikan bagi berbagai BLK di 33
provinsi.214
210
211
212
213
214
166
Berdasarkan laporan berjudul “Public and Private Training Provision,” yang ditulis oleh Alisjahbana bulan Maret 2008b dan laporan
LP3ES bulan Desember 2006 berjudul “Mapping Exercise: Situational Analysis for Youth Employment and Enterprise Creation”.
Ibid.
Secara keseluruhan, 40 persen peserta kursus pada tahun 2003 tidak ikut serta dalam angkatan kerja, kecuali pada kursus
otomotif dan perdagangan yang hanya 20 persen dari pesertanya tidak ikut serta dalam angkatan kerja, namun kebanyakan
pesertanya adalah laki-laki. Alisjahbana, Maret 2008b.
Alisjahbana, Maret 2008b.
Ibid.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Gambar 9.2
Profil peserta pelatihan menurut status pekerjaan
450000
400000
350000
300000
250000
200000
150000
100000
50000
0
wiraswasta
wiraswasta dengan pekerja sementara
wiraswasta dengan pekerja permanen
karyawan
pekerja lepas
pekerja keluarga tidak dibayar
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas 2008.
Layanan pelatihan juga tidak berhasil menjangkau kaum miskin yang paling membutuhkan
kesempatan kedua. Secara teoritis, pelatihan non-formal memberikan kesempatan kedua bagi pekerja
miskin yang hanya memiliki sedikit peluang untuk meningkatkan keahlian dan kelayakannya untuk
dipekerjakan melalui sistem pendidikan formal. Pusat pelatihan lebih jarang ditemukan di kabupaten yang
lebih miskin.215 Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila individu yang mengikuti kursus pelatihan
cenderung berasal dari keluarga yang lebih mampu. Pada tahun 2000, rata-rata 50 persen peserta pelatihan
berasal dari rumah tangga pada kuintil terkaya dibandingkan dengan 5 persen yang berasal dari kuintil
termiskin.216 Masalah ini tidak sepenuhnya diakibatkan oleh biaya pelatihan yang memang dapat menjadi
hambatan bagi keluarga miskin. Bahkan kursus yang diberikan tanpa pungutan pun gagal menarik individu
miskin. Pada tahun 2000, hanya 11 persen peserta kursus gratis yang berasal dari kuintil termiskin dibandingkan
dengan 37 persen yang berasal dari kuintil terkaya.217 Hal ini mungkin diakibatkan oleh kurangnya informasi
di daerah miskin atau adanya biaya non-pendidikan (seperti transpor dan tempat tinggal) yang membuat
pelatihan gratis sekalipun masih terlalu mahal bagi individu miskin.
215
216
217
Ibid. Penulis mendapati bahwa keberadaan pusat pelatihan mempunyai hubungan positif dengan tingkat kesejahteraan yang
lebih tinggi berdasarkan indeks kesejahteraan desa yang disusun dengan menggunakan data PODES dari tahun 2000 dan
2003.
Ibid.
Ibid.
167
III. Program Pelatihan Keahlian
Program pelatihan keahlian adalah intervensi yang paling umum dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan pekerja, tetapi pelaksanaannya sangat bervariasi di setiap negara. Studi menyeluruh
mengenai program pasar tenaga kerja aktif menyoroti popularitas program pelatihan jika dibandingkan
dengan langkah-langkah pasar tenaga kerja aktif lainnya, termasuk layanan pekerjaan, subsidi upah/
pekerjaan, pekerjaan umum, dan skema kewiraswastaan. Beberapa program pelatihan keahlian tersebut
dan hasil studi mengenai dampaknya terangkum pada Lampiran IX.1. Penghitungan global yang dilakukan
baru-baru ini mengenai skema lapangan kerja bagi kaum muda mendapati bahwa program pelatihan
keahlian adalah jenis intervensi yang paling umum, mencapai hampir 38 persen dari semua program
yang terdokumentasi.218 Berbagai program pelatihan tersebut, meskipun bertujuan sama, mempunyai
metode yang berbeda-beda. Bagian ini mengkaji tiga kategori umum intervensi melalui pelatihan publik: i)
pelatihan kejuruan di ruang kelas; ii) pelatihan keterampilan sosial dan keterampilan hidup, dan; iii) pelatihan
dengan pendekatan menyeluruh. Ketiga pendekatan ini dapat saling melengkapi; pelatihan menyeluruh
memasukkan pula unsur-unsur dari pelatihan di ruang kelas dan pelatihan keterampilan sosial.
Pelatihan Kejuruan di Ruang Kelas
Pendekatan yang kerap dilakukan sejak dahulu adalah pelatihan di ruang kelas dengan penekanan
kejuruan. Pendekatan ini ditujukan supaya peserta pelatihan memperoleh keahlian dan pengalaman
yang akan meningkatkan peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan dan sekaligus
menanggapi kebutuhan pasar tenaga kerja. Program dalam kategori ini bisa saja mempunyai tujuan yang
lebih spesifik dan terarah. Sebagai contoh, tujuan utama PLANFOR, sebuah program pelatihan di Brasil, adalah
untuk perlahan-lahan membangun fasilitas pelatihan kejuruan permanen guna melatih atau memberikan
pelatihan ulang bagi minimal 20 persen dari populasi yang aktif secara ekonomi setiap tahun. Program
pelatihan kejuruan berbeda dalam hal jenis keahlian yang diberikan. Meskipun populasi yang menjadi
sasaran sangat beragam, program tersebut terutama melayani individu yang menganggur dan mengalami
ketertinggalan dari berbagai kelompok umur.
Meskipun keberhasilan program pelatihan kejuruan di ruang kelas tidak merata secara internasional,
ada metode-metode yang dapat dilakukan supaya program tersebut menjadi lebih efektif. Evaluasi
memperlihatkan bahwa program pelatihan terkadang tidak memberikan hasil yang diinginkan. Peluang
keberhasilan dapat ditingkatkan dengan mengadopsi sejumlah praktik terbaik berikut ini:
Pastikan kondisi awal yang tepat bagi program. Selain berbagai faktor karakteristik dan penyusunan
program yang inheren dalam program tersebut, tiga kondisi berikut ini sangat penting untuk memastikan
keberhasilan: 1) sumber daya pemerintah yang cukup untuk pelatihan; 2) penyedia pelatihan berkualitas
tinggi yang dipasok dalam jumlah memadai (penyedia pelatihan merujuk pada lembaga maupun
pengajar, baik publik atau pun swasta); dan 3) unit pengawasan dan pengelolaan teknis yang cakap
untuk memastikan transparansi dan kualitas dalam lingkungan yang ‘kompetitif’.
Merancang strategi yang sesuai untuk penentuan sasaran supaya dapat menghasilkan dampak
positif bagi populasi yang menjadi sasaran. Kebanyakan program Jóvenes di Amerika Latin mengadakan
kampanye besar-besaran untuk mengiklankan kursus di semua kota terpilih. Pemilihan calon peserta
pelatihan dimulai dengan akreditasi kaum muda yang berminat ikut serta. Pendaftar yang telah
diakreditasi kemudian diwajibkan datang ke kantor tenaga kerja lokal untuk mengisi kuesioner dan/atau
diwawancarai. Kuesioner tersebut dirancang untuk mengetahui status sosioekonomi calon peserta dan
218
168
Betcherman et al, 2007. Program pelatihan keahlian mencapai 111 dari 289 ALMP. Selain itu, 45 dari 87 studi evaluasi dampak
ALMP yang dianalisis pada tahun 2004 berkaitan dengan pelatihan (Betcherman et al, 2004).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
kelayakan mereka untuk mengikuti program. Wawancara dilakukan untuk memeriksa apakah pendaftar
memenuhi profil sasaran program.
Memperkenalkan proses penawaran kompetitif untuk layanan pelatihan. Brasil (PLANFOR),
Republik Dominika (Juventud y Empleo) dan Panama (Procajoven) adalah contoh program yang
mengadopsi mekanisme efektif untuk memastikan layanan pelatihan yang relevan dan berkualitas
tinggi dari lembaga yang kompeten dengan harga yang kompetitif.
Kotak 9.1
Rencana Nasional untuk Pendidikan Profesi, PLANFOR (Brasil)
PLANFOR adalah program pelatihan kejuruan yang diperkenalkan tahun 1996 di Brasil. Program tersebut diarahkan
bagi pekerja muda dan dewasa yang terpinggirkan, mereka yang menganggur, berisiko kehilangan pekerjaan
akibat restrukturisasi perusahaan dan/atau kebijakan makroekonomi, pengusaha kecil, atau pewiraswasta. Tujuan
utama PLANFOR adalah untuk perlahan-lahan mendirikan fasilitas pelatihan kejuruan permanen guna melatih atau
memberikan pelatihan ulang bagi 20 persen dari populasi yang aktif secara ekonomi setiap tahun. Antara tahun
1996 dan 1998, program ini telah melatih total 1,5 juta pekerja berusia 15-21 tahun. Tujuan sekunder program ini
adalah meningkatkan kelayakan populasi yang menjadi sasaran untuk dipekerjakan.
PLANFOR adalah program yang berdasarkan kebutuhan dan memberikan pelatihan keahlian dasar yang dibutuhkan
untuk bekerja, baik di sektor formal maupun informal. Rata-rata kursusnya berlangsung selama 103 jam bagi setiap
penerima manfaat dengan menggunakan kurikulum yang telah dikembangkan dengan baik. Komite tripartit
pemerintah dan perusahaan menjadi pengawas dana yang digunakan untuk membiayai program. Program juga
mengalihdayakan (outsource) kegiatan pelatihan melalui proses penawaran yang disponsori pemerintah.
Evaluasi dampak PLANFOR mendapati berbagai hasil berikut:
Pengaruh terhadap pekerjaan: Dengan tingkat pekerjaan kira-kira 48 persen, setengah dari peserta
pelatihan mendapatkan pekerjaan di sektor informal. Namun, di Pernambuco, kursus pelatihan tidak
meningkatkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan. Hasil evaluasi dampak di Rio de Janeiro dan Fortaleza
menunjukkan bahwa program pelatihan mempunyai dampak yang positif dan signifikan secara statistik
terhadap pengangguran: mereka yang dapat mengakses pelatihan berpeluang 3-4 persen lebih besar untuk
dipekerjakan enam sampai dua belas bulan kemudian.
Manfaat upah: Di Minas Gerais, kursus dengan lama pengajaran 50 jam menghasilkan kenaikan upah kira-kira
64 real Brasil. Tetapi, di Rio de Janeiro dan Fortaleza, tidak ada dampak terhadap upah bagi mereka yang telah
memperoleh pekerjaan.
Efektivitas biaya: Biaya program mencapai kira-kira 110 dolar Amerika per orang, dengan biaya rata-rata per
jam diperkirakan sebesar 2,13 dolar Amerika. Program tersebut efektif dari sisi biaya; analisis manfaat terhadap
biaya memperlihatkan bahwa peserta pelatihan perlu bertahan di pekerjaan barunya selama lebih dari 17
bulan supaya program tersebut menghasilkan manfaat positif bersih.
Sumber: Barros et al., n/d; Rios-Neto dan Oliveira, 1998.
Pelatihan kejuruan di ruang kelas adalah jenis pelatihan publik yang paling umum di Indonesia,
namun kualitas pelatihannya masih dipertanyakan. Belum ada evaluasi yang ketat terhadap kondisi
ketenagakerjaan dari lulusan BLK. Tetapi, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah melakukan
pengkajian kondisi BLK pada tahun 2004 dan 2006. Depnakertrans menemukan bahwa kira-kira 60 persen
dari BLK berada dalam kondisi yang buruk dari segi fasilitas, peralatan, dan sumber daya manusia.219 Sebagian
besar pengajarnya adalah lulusan Sekolah Menengah Atas, tetapi hanya sedikit yang telah mengecap
pendidikan tinggi. Pemerintah lokal mengendalikan 94 persen dari BLK. Pusat pelatihan yang terdesentralisasi
ini cenderung berada dalam kondisi yang lebih buruk, terutama di Indonesia bagian tengah dan timur.
219
Alisjahbana, Maret 2008b.
169
Pelatihan Keterampilan Sosial dan Keterampilan Hidup
Unsur pelatihan keahlian pekerjaan yang penting dan semakin diakui nilainya adalah pembekalan
keterampilan sosial dan keterampilan hidup.220 Intervensi melalui pelatihan dengan fokus pada
keterampilan sosial dan keterampilan hidup ditujukan untuk memberikan pelatihan dalam hal komunikasi,
kepemimpinan, kerja sama tim, motivasi, dan disiplin. Pelatihan semacam ini diarahkan terutama bagi
kelompok pengangguran dan kelompok tertinggal, seperti misalnya kaum muda dari lingkungan yang
tertinggal secara ekonomi dengan berbagai masalahnya: penyalahgunaan obat-obatan, kejahatan,
kehamilan remaja, dan rendahnya pengembangan keahlian pendidikan, sosial, dan kejuruan.221 Program
semacam itu dapat dibiayai dan dikelola oleh pemerintah (seperti program Youth Build di Amerika Serikat),
atau oleh sektor swasta dan nirlaba (atau melalui kemitraan antara keduanya, lihat Kotak 9.2). Keterampilan
hidup dapat dimasukkan dalam kurikulum formal berbasis ruang kelas atau diadopsi dalam program
eksperimental, seperti proyek pengembangan dan layanan masyarakat secara tim, serta upaya pelatihan
kepemimpinan.
Keberhasilan program keterampilan hidup bergantung pada kondisi awal dan faktor keberhasilan
kunci untuk memperoleh hasil positif. Meskipun belum tersedia evaluasi dampak mengenai intervensi
melalui pelatihan keterampilan sosial dan keterampilan hidup, saat ini sudah dilakukan beberapa kajian
terhadap program dan hasil evaluasi.222 Secara umum, pendekatan holistik – termasuk rangkaian luas strategi
dan layanan untuk menjawab kebutuhan peserta yang beragam – diperlukan untuk memastikan bahwa
semua aspek program telah ditargetkan secara efektif. Hasil temuan utama dirangkumkan sebagai berikut:
Pastikan bahwa kondisi awal telah dipersiapkan. Empat kondisi awal perlu dipersiapkan untuk
memastikan pelaksanaan yang efektif: i) dukungan keuangan, bimbingan, dan pengawasan, sering
kali dari organisasi internasional; ii) pengajar yang telah terlatih dengan sesuai dan memadai; iii)
pembangunan kapasitas dan standar kinerja yang memadai, dan; iv) dinas lokal, provinsi, dan nasional
yang efektif sebagai lembaga individual dan memiliki kapasitas untuk bekerja sama dengan efektif.
Pastikan bahwa faktor kualitas pelaksanaan diprioritaskan. Kinerja program dapat ditingkatkan
jika pelaksana program memperhatikan hal-hal berikut: memberikan waktu persiapan awal yang
memadai; mengkomunikasikan sasaran dengan jelas; memastikan sumber daya yang cukup, tepat
waktu, dan berkelanjutan; memberikan kepemimpinan yang kuat di tingkat nasional, provinsi, dan
lokal; mendukung pengembangan staf secara profesional, dan; menggunakan data dengan efektif.
Sediakan pelatih berkualitas. Orang dewasa yang penuh perhatian dan punya pengetahuan luas
seperti guru, penasihat, mentor, pekerja sosial, dan direktur program yang memahami kebutuhan
peserta sangatlah penting bagi keberhasilan program. Mereka harus punya pengetahuan luas dan
sangat terlatih serta berpengalaman, dan juga mampu memperlihatkan, melalui waktu dan perhatian
yang diberikan, bahwa mereka memiliki komitmen terhadap kesejahteraan dan masa depan peserta.
Fokus pada peserta maupun anggota masyarakat. Standar dan harapan yang tinggi terhadap
peserta akan memberikan sumbangsih bagi keberhasilan program. Keberhasilan program tak hanya
berguna bagi peserta semata. Keikutsertaan anggota masyarakat seperti orang tua dan pemberi kerja
dapat memberi dukungan tambahan bagi operasi program yang efektif.
220
221
222
170
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization - WHO) mendefinisikan keterampilan hidup sebagai: “kemampuan
untuk berperilaku positif dan melakukan penyesuaian yang memungkinkan individu untuk menangani tuntutan dan tantangan
hidup sehari-hari dengan efektif. Secara khusus, keterampilan hidup adalah kumpulan kompetensi psiko-sosial dan keahlian
antar-pribadi yang membantu orang untuk mengambil keputusan matang, memecahkan masalah, berpikir secara kritis dan
kreatif, berkomunikasi dengan efektif, membangun hubungan yang sehat, berempati dengan orang lain, dan menghadapi serta
mengelola hidup mereka dengan cara yang sehat dan produktif.”
Sesuai evaluasi oleh Forum Kebijakan Pemuda America (American Youth Policy Forum) (Batlle, 2006).
Hahn, Leavitt, dan Lanspery (2006) telah mengkaji beberapa program yang berfokus pada pelatihan keterampilan hidup dan
mencari tahu kondisi awal yang dibutuhkan sebelum melaksanakan program yang berhasil. Selain itu, Glenda L. Partee di
American Youth Policy Forum telah mengkaji evaluasi hasil dari kira-kira 100 program untuk memperoleh pembelajaran.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Kotak 9.2
Menjalin Hubungan (Make a Connection - MAC) di 17 negara di seluruh dunia223
Diperkenalkan pada tahun 2000, Menjalin Hubungan (Make a Connection - MAC) adalah program keterampilan
hidup yang didanai oleh Nokia dan dikelola oleh International Youth Foundation. Program ini bertujuan
meningkatkan peluang pendidikan dan keterampilan hidup kaum muda yang dibutuhkan agar dapat berhasil
dalam masyarakat. Program MAC beroperasi di 17 negara: Brasil, Kanada, Cina, Republik Ceko, Finlandia, Jerman,
Hongaria, Korea Selatan, Meksiko, Peru, Filipina, Polandia, Rusia, Afrika Selatan, Thailand, Turki, dan Inggris.
Program MAC ditargetkan pada 12 keterampilan hidup yang sangat penting: komunikasi, penyelesaian konflik,
memberikan sumbangsih, kerja sama, berpikir kreatif, berpikir kritis, pengambilan keputusan, empati, mengelola
emosi, penghormatan, tanggung jawab, dan kepercayaan diri. Pelatihan ke-12 keahlian ini dilakukan melalui
beragam metode, mulai dari upaya layanan masyarakat sampai proyek seni digital.
Pilot program ini menggunakan Sistem Pengukuran Hasil (Outcomes Measurement System - OMS) untuk
mengukur hasil program.223 Meskipun hasil yang diperoleh ini barulah hasil awal, namun dapat memperlihatkan
efektivitas program yang menekankan pada keterampilan hidup:
Keterampilan hidup: 95 persen peserta di 12 negara menyatakan bahwa keterampilan hidup mereka
meningkat setelah mengikuti program. Secara khusus, kerja sama, kepercayaan diri, dan berpikir kreatif
adalah tiga keterampilan hidup yang paling sering dinyatakan semakin meningkat oleh peserta. Program
MAC tampaknya telah memberikan sumbangsih dalam meningkatkan kepercayaan diri peserta mengenai
masa depan mereka; di 10 negara, rata-rata 74 persen dari peserta menyatakan bahwa proyek yang mereka
ikuti “hebat sekali” atau “sangat baik” dalam membantu mereka mempersiapkan diri untuk kehidupan yang
lebih baik, sedangkan 66 persen menyatakan bahwa proyek “hebat sekali” atau “sangat baik” dalam memberi
mereka kepercayaan diri untuk menangani situasi yang menantang. Setelah menyelesaikan pelatihannya,
72 persen peserta program yang menekankan pada sifat sukarelawan masih tetap ikut serta dalam berbagai
proyek yang membutuhkan sukarelawan.
Hasil bidang pendidikan: Di sembilan negara, rata-rata 43 persen dari murid sekolah melaporkan bahwa
nilai mereka meningkat. Di sepuluh negara, rata-rata 50 persen dari murid sekolah melaporkan bahwa
mereka semakin rajin belajar untuk sekolah. Di sebelas negara, rata-rata 66 persen dari peserta program
melaporkan bahwa mereka kini merasa mampu meraih tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Para peserta
mengatakan bahwa kemajuan semacam itu terjadi karena keikutsertaan mereka dalam program.
Sumber: Hahn, A., Lanspery, S., dan Tom Leavitt. 2006.
Meskipun pelatihan di Indonesia berfokus pada keahlian spesifik terkait pekerjaan, berbagai
perusahaan semakin menyadari pentingnya keterampilan sosial dan keterampilan hidup. 85
persen dari perusahaan yang mengikuti Survei Keahlian yang Diinginkan Pemberi Kerja (Employer Skills
Survey) melaporkan bahwa keahlian spesifik terkait pekerjaan adalah yang terpenting.224 Tetapi, 80 persen
dari perusahaan juga mengatakan bahwa keterampilan sosial inti semakin dibutuhkan dan secara khusus
merujuk pada keahlian perilaku, berpikir, kerja sama tim, dan negosiasi. Selain itu, berbagai perusahaan
tersebut juga mengidentifikasi keahlian perilaku – termasuk kemandirian, komunikasi, negosiasi, kerja
sama tim, dan pengelolaan waktu – sebagai kelemahan terbesar dari pekerja ahli (pekerja bidang produksi,
administrasi, dan penjualan) yang mereka pekerjakan selama dua tahun terakhir.
223
224
Sistem Pengukuran Hasil (Outcomes Measurement System - OMS) ini terdiri atas tiga komponen: 1) 11 program ikut ambil bagian
dalam studi prospektif dengan melakukan survei kepada peserta di tiga titik berbeda dalam program (pada saat program dimulai,
pada saat program selesai, dan beberapa bulan setelah program selesai atau setelah keikutsertaan lebih lanjut dalam program);
2) 7 program melakukan survei tunggal kepada peserta yang telah menyelesaikan program atau telah mengikuti program
dalam jangka waktu lama, dan; 3) 2 program mengikuti studi mendalam untuk mencari tahu informasi melalui kunjungan,
analisis konteks mendalam, dan upaya khusus seperti wawancara dengan manager mengenai pelaksanaan program.
Bank Dunia, Employer Skills Survey, 2008.
171
Pelatihan dengan Pendekatan Menyeluruh
Seiring perkembangannya, pendekatan yang paling banyak dipakai dalam pelatihan kejuruan di ruang kelas
telah diperluas dengan memasukkan layanan menyeluruh. Layanan tambahan ini mencakup pelatihan sambil
bekerja, magang, dan berbagai langkah pasar tenaga kerja aktif lainnya, seperti subsidi upah dan pekerjaan umum.
Selain itu, komponen pelatihan keterampilan hidup dan keterampilan sosial pun kerap diikutsertakan. Studi menyeluruh
yang dilakukan baru-baru ini mengenai intervensi melalui pelatihan di seluruh dunia mengungkapkan terjadinya transisi
pelatihan kejuruan di ruang kelas menjadi pelatihan kejuruan yang menyeluruh.225 Transisi ini tampak paling jelas di
Amerika Latin dan Karibia yang telah bergeser dari pelatihan yang diadakan oleh lembaga publik di ruang kelas dan
didasarkan padafaktor ketersediaan, menjadi pelatihan yang diadakan oleh berbagai penyedia layanan dan didasarkan
pada kebutuhan. Negara-negara Anglo-Saxon yang tergabung dalam OECD pun tampak semakin bergantung pada
pendekatan menyeluruh seiring berjalannya waktu. Di sisi lain, negara-negara Eropa Kontinental baru saja mulai
memasukkan layanan yang lebih luas, termasuk bantuan pencarian kerja dan langkah-langkah lain supaya pasar tenaga
kerja berjalan lebih baik.
Kotak 9.3
Program Jóvenes (kawasan Amerika Latin)
Program Jóvenes memberikan pelatihan bagi kaum muda dan miskin dalam hal keahlian profesi dan keterampilan
hidup yang disusul dengan magang di tempat kerja. Didasarkan pada proyek percontohan di Cile pada awal 90an, pelatihan dengan pendekatan menyeluruh ini telah menyebar ke seluruh kawasan Amerika Latin dan masingmasing negara menyesuaikan program dengan kebutuhannya. Kaum muda yang mengalami ketertinggalan
diidentifikasi dengan cara-cara seperti statistik pengangguran, data sosioekonomi, dan pemetaan kemiskinan.
Perusahaan swasta, LSM, lembaga publik, dan lembaga pelatihan non-formal yang memenuhi persyaratan
berkompetisi untuk memberikan pelatihan. Penyedia pelatihan diharuskan untuk mengatur magang bagi
peserta pelatihan dan memastikan keahlian seperti apa yang dibutuhkan pemberi kerja lokal sebelum menerima
dana untuk mengadakan pelatihan. Dengan cara ini, kegiatan magang akan memberikan informasi mengenai
keahlian yang sedang dibutuhkan. Pelatihan keterampilan hidup secara intensif berfokus terutama pada
keahlian memecahkan masalah, perilaku tempat kerja yang benar, mengelola konflik, teknik pencarian kerja, dan
membangun kepercayaan diri.
Programa Jóvenes en Acción, Colombia
Pelaksanaan program percontohan Jovenes en Acción di Kolombia dimulai pada bulan Mei 2001 dengan
menawarkan kursus pelatihan pekerjaan bagi 100.000 laki-laki dan perempuan yang menganggur dan menempati
dua tingkat pendapatan terendah. Program dilaksanakan di tujuh kota dengan investasi keseluruhan senilai 17,6
juta dolar Amerika.
Program pelatihan ini adalah bagian dari Jaringan Dukungan Sosial (Red de Apoyo Social) yang juga mencakup
pekerjaan umum secara darurat untuk menciptakan pekerjaan dan pendidikan keluarga serta tunjangan
kesehatan untuk keluarga pedesaan miskin. Kaum muda berusia antara 18 dan 25 tahun menerima tunjangan
dan voucher pelatihan yang dapat mereka gunakan untuk mendaftar pada kursus pelatihan pilihan mereka dari
daftar penyedia pelatihan yang dipilih secara kompetitif. Pelatihan pekerjaan berlangsung sekitar tiga bulan dan
diikuti dengan magang tiga bulan di sebuah perusahaan atau organisasi. Penerima manfaat juga menerima
tunjangan makan dan transportasi. Program ini dikelola oleh kelompok yang terdiri atas lembaga pemerintah,
organisasi nirlaba, dan perusahaan swasta.
225
172
Puerto dan Fares (2008) mempelajari 345 studi mengenai program pelatihan yang dilaksanakan di 90 negara di seluruh dunia
sejak akhir 50-an.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Kotak 9.3
Lanjutan
Evaluasi terhadap program Jovenes en Acción memperlihatkan hasil mengesankan berikut ini:
Pengaruh terhadap pekerjaan: Program berhasil meningkatkan lapangan kerja bagi laki-laki maupun
perempuan. Bagi perempuan, pelatihan telah meningkatkan peluang mereka untuk memperoleh pekerjaan,
lamanya hari dan jam bekerja, serta peluang untuk memperoleh pekerjaan dengan kontrak tertulis. Dampak
yang serupa, namun lebih terbatas juga dirasakan laki-laki.
Manfaat upah: Dampak yang paling signifikan dari program ini adalah peningkatan besar pada upah: upah
perempuan meningkat 35 persen, sementara upah laki-laki meningkat 18 persen.
Efektivitas biaya: Program ini menciptakan perolehan bersih yang besar, terutama bagi perempuan. Bahkan
dengan menggunakan perhitungan efektivitas biaya yang paling konservatif sekalipun, yang mengabaikan
manfaat dari peluang lebih tinggi untuk dipekerjakan di sektor formal dan memungkinkan manfaatnya
didepresiasikan seiring waktu, ada isyarat bahwa manfaat bersih dari program ini lebih dari cukup untuk
menjustifikasi pelaksanaannya dan kemungkinan perluasannya. Tingkat pengembalian investasi (IRR)
terendah adalah 13,5% untuk perempuan dan 4,5% untuk laki-laki.
Intervensi jangka pendek di negara berkembang dapat memberikan hasil yang lebih berarti daripada di negara
maju. Hal ini mungkin karena meningkatnya pelatihan keahlian dalam jumlah relatif besar di tengah konteks
tingkat pendidikan yang sangat rendah, sekaligus juga karena peran lembaga pelatihan sebagai perantara yang
memberikan informasi kepada kedua sisi pasar tenaga kerja. Meskipun hasilnya positif, ada pula perbedaan
dampak di antara berbagai negara, kemungkinan karena kondisi awal yang berbeda-beda (seperti misalnya
peraturan pasar tenaga kerja dan pertumbuhan makroekonomi), proses pelaksanaannya, atau perbedaan pada
jenis peserta pelatihan.
Sumber: Attanasio, Orazio, Adriana Kugler, dan Costas Meghir. 2007.
Intervensi melalui pelatihan yang telah mengadopsi pendekatan menyeluruh lebih berhasil
daripada program kejuruan tradisional yang berbasis ruang kelas. Diperkenalkannya layanan tambahan
seperti komponen pelatihan sambil bekerja dan magang telah meningkatkan kinerja program pelatihan
di ruang kelas.226 Berbagai komponen tersebut, selain pengajaran berbasis ruang kelas, memungkinkan
proses pelatihan yang lebih holistik dan pengembangan beragam keahlian dan kompetensi (termasuk
keterampilan hidup dan keterampilan sosial) dalam keadaan yang bervariasi. Evaluasi terhadap program
pelatihan di seluruh dunia menggarisbawahi sejumlah faktor penunjang keberhasilan berikut ini:
Memastikan bahwa isi pelatihan didasarkan pada kebutuhan. Peserta pelatihan akan berpeluang
lebih besar untuk mendapatkan hasil positif apabila mereka memperoleh keahlian dan kompetensi yang
sangat dibutuhkan atau sulit dicari di pasar tenaga kerja. Sebagai contoh, Programa Juventud y Empleo
di Republik Dominika ditujukan untuk melatih 37.500 orang pemuda yang mengalami ketertinggalan
dan memberi mereka keahlian di bidang yang relevan dengan sektor produktif supaya mereka lebih
berpeluang mendapatkan pekerjaan.227
Memberikan insentif keuangan bagi pemberi kerja dan karyawan. Penggantian upah bagi
pemberi kerja akan semakin menambah efektivitas dan meningkatkan keikutsertaan pemberi kerja
dalam pelatihan para peserta. Program yang telah menggunakan penggantian upah dengan efektif
termasuk Employability Improvement Program di Kanada dan New Deal for the Young Unemployed di
Inggris. Sebuah pendekatan baru yang menjanjikan juga sedang dikaji di Afrika Selatan.
226
227
Quintini dan Martin (2006) juga menekankan keunggulan intervensi menyeluruh dalam mengatasi hambatan kelayakan untuk
dipekerjakan di negara OECD. Kedua penulis mengisyaratkan bahwa perpaduan berbagai layanan menjadi paket gabungan
menyeluruh tampaknya akan lebih berhasil daripada jika diberikan terpisah.
Card et al., 2006.
173
Kotak 9.4
ALMP yang inovatif: Subsidi upah terarah bagi pekerja muda (Afrika Selatan)
Pengangguran di Afrika Selatan telah hampir berlipat ganda sejak berakhirnya apartheid dan dimulainya transisi
menuju demokrasi pada tahun 1994. Tingkat pengangguran (dengan menggunakan definisi standar ILO) pada
tahun 2005 mencapai kira-kira 27 persen, meningkat dari angka 16 persen pada tahun 1995. Pengangguran
terutama banyak terjadi di kalangan muda dan orang-orang yang hanya lulus pendidikan dasar atau lebih
rendah.228
Sebuah tim ahli ekonomi internasional yang menjadi penasihat pemerintah Afrika Selatan mengenai kebijakan
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi telah mengkaji data pengangguran Afrika Selatan dengan teliti.229
Para ahli tersebut mendapati bahwa diperolehnya pekerjaan pertama pada masa transisi dari sekolah ke bekerja
merupakan titik penting yang menjadi hambatan. Begitu seorang pelajar memperoleh pekerjaan di sektor formal,
ia cenderung akan tetap bekerja di sektor formal, meskipun tidak selalu dalam pekerjaan yang sama.230
Tim penasihat ini mengusulkan pelaksanaan suatu subsidi upah terarah untuk melancarkan transisi dari sekolah
ke bekerja yang merupakan masa sulit bagi para lulusan. Subsidi ini dipadukan dengan masa percobaan singkat
yang memperbolehkan perusahaan untuk memberhentikan pekerja yang disubsidi tanpa alasan tertentu. Setiap
orang warga negara Afrika Selatan yang mencapai usia 18 tahun akan menerima kartu magnetik dengan saldo
awal senilai 5.000 rand Afrika Selatan (kira-kira setara dengan setengah dari penghasilan tahunan karyawan baru
yang berpendidikan tingkat dasar). Saldo tersebut dapat digunakan untuk membayar sampai dengan setengah
dari upah si pemegang kartu di berbagai perusahaan yang terdaftar. Jika pada saat mencapai usia 18 tahun si
pemegang kartu masih ingin terus bersekolah, saldo pada kartu akan mendapatkan bunga sebagai insentif untuk
menambah tingkat pendidikan. Pemberi kerja memiliki hak memberhentikan si pekerja selama masa percobaan
10 minggu. Setelah itu, peraturan standar mengenai jaminan pekerjaan akan diberlakukan.231
Gagasan inovatif ini memperlihatkan bagaimana pemerintah dapat bereksperimen dengan program terarah
untuk membantu populasi berisiko tinggi atau rentan. Program ini cukup menjanjikan, namun beberapa
dampak buruk dapat terjadi dalam pelaksanaannya. Yang pertama, program ini berisiko menciptakan inefisiensi
atau tingginya biaya anggaran bagi pemerintah yang menjadi sponsor. Yang kedua, perusahaan dapat saja
mencurangi sistem dengan memberhentikan pekerja yang disubsidi sebelum berakhirnya masa percobaan 10
minggu, lalu menggantinya dengan pekerja lain yang juga disubsidi.232 Pengkajian mendalam mengenai program
percontohan subsidi upah akan membantu menentukan apakah model tersebut dapat digunakan bersamaan
dengan intervensi tradisional melalui pelatihan untuk memperbaiki kondisi ketenagakerjaan kaum muda.
228 229 230 231 232
Memberikan layanan bantuan keuangan bagi peserta. Bantuan keuangan – dalam bentuk
tunjangan, penggantian, atau voucher transpor – dapat membantu peserta selama jangka waktu
program. Pendekatan ini telah digunakan dalam berbagai program termasuk: Program Pekerjaan dan
Pelatihan untuk Anak Muda semasa Musim Panas (Summer Youth Employment and Training program
- SYETP) dan Kesatuan Pekerjaan (Job Corps) di Amerika Serikat; Program Perbaikan Layak Kerja
(Employability Improvement Program) di Kanada; Juventud y Empleo di Republik Dominika, dan; Proyecto
Joven di Argentina.
Bekerja sama dengan calon pemberi kerja. Hubungan tersebut dapat membantu untuk memastikan
bahwa isi pelatihan didasarkan pada kebutuhan, sekaligus meningkatkan kemungkinan untuk
dipekerjakan setelah menyelesaikan program. Program menyeluruh yang berhasil termasuk: Projoven di
228
229
230
231
232
174
Banerjee, Abhijit V., Galiani, Sebastian, Levinsohn, James A., McLaren, Zoe dan Woolard, Ingrid. 2007.
Rincian proyek dapat dilihat di http://www.cid.harvard.edu/southafrica/
Levinsohn, Mei 2008a.
Levinsohn, Mei 2008b.
Levinsohn dan Rodrik, 2008.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Peru yang pelatihannya sebagian besar diadakan oleh perusahaan yang setuju untuk mempekerjakan
80 persen dari peserta pelatihan yang telah menyelesaikan masa pelatihan sambil bekerja, dan; New
Deal for the Young Unemployed di Inggris yang pada tahun 2000 telah memperoleh persetujuan dari
60.000 pemberi kerja untuk memberi peluang pekerjaan bagi peserta program.
Berkoordinasi dengan lembaga publik. Koordinasi antara pemerintah, layanan tenaga kerja nasional,
dan semua pemain terkait, diperlukan bagi pelaksanaan program yang efektif dan efisien. Sebagai
contoh, Proyecto Joven di Argentina memiliki prosedur yang sebagian besarnya dipusatkan di Buenos
Aires sehingga kantor tenaga kerja lokal di seantero negeri tidak memiliki wewenang administratif
untuk mengambil keputusan penting, menyetujui, atau menolak proyek. Sentralisasi yang berlebihan
ini menghambat kecepatan proses penawaran untuk memilih penyedia pelayanan dan menyebabkan
penundaan pelaksanaan kursus dan magang.233
Indonesia pun telah mulai bergeser ke arah layanan pelatihan kejuruan menyeluruh dengan
diperkenalkannya kebijakan “3 in 1” baru-baru ini. Pada tahun 2007, Kementerian Tenaga Kerja &
Transmigrasi memperkenalkan kebijakan “3 in 1” untuk meningkatkan kualitas pelatihan dan penempatan
pekerja di posisi yang cocok dengan bidang kompetensi mereka. Kebijakan ini mengadopsi pendekatan
tiga arah yang memadukan pelatihan teknis, sertifikasi keahlian, dan layanan penempatan kerja. Pelaksanaan
kebijakan ini masih dalam tahap awal dan belum ada evaluasi formal yang dilakukan. Namun, terdapat
indikasi bahwa kebijakan tersebut belum dilaksanakan dengan cara yang dapat mencapai potensi terbaiknya.
Pengkajian awal program tersebut di Bandung mendapati bahwa program kurang mendapat pendanaan,
tidak memiliki staf yang memadai, dan lemah dalam koordinasi antar-lembaga.234
IV. Kerangka Kerja Kualifikasi Nasional
Sertifikasi keahlian semakin penting bagi pasar tenaga kerja sebagai mekanisme jaminan kualitas
untuk mengakui dan memastikan keahlian dan kompetensi seseorang. Faktor inheren bagi keberhasilan
sistem pelatihan bergantung pada kemampuan peserta pelatihan untuk memberi isyarat mengenai keahlian
yang telah mereka miliki kepada pemberi kerja. Sertifikasi keahlian, yang sering kali disebut sebagai sertifikasi
berbasis kompetensi, menjalankan peran ini dalam tiga cara. Yang pertama, sertifikasi memungkinkan
diakuinya keahlian dan kompetensi tanpa memandang bagaimana keahlian dan kompetensi tersebut
diperoleh. Yang kedua, sertifikasi memungkinkan keahlian individual untuk dibandingkan di pasar tenaga
kerja tanpa memandang latar belakang pendidikan. Yang terakhir, sertifikasi berperan menghubungkan
keahlian yang diperoleh melalui pelatihan atau cara lain, dengan keahlian yang dibutuhkan untuk suatu
pekerjaan.235
Sertifikasi keahlian memberi insentif bagi individu yang belum menyelesaikan sekolah umum dan/
atau belajar dengan cara non-formal. Pendidikan formal umumnya memberikan cara standar untuk
mengukur tingkat keahlian. Di sisi lain, sertifikasi keahlian memberikan cara yang lebih fleksibel dan beragam
agar keahlian seseorang diakui di pasar tenaga kerja meskipun orang yang bersangkutan tidak memiliki akses
terhadap pendidikan formal. Meskipun sertifikasi keahlian tidak ditujukan bagi populasi tertentu, sertifikasi
memberikan manfaat lebih banyak bagi pekerja yang belum mengecap pendidikan formal. Hal ini terutama
233
234
235
De Moura Castro, 1999.
Alisjahbana, Maret 2008b. Catatan: BLK bertanggung jawab atas pelatihan, Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) bertanggung jawab
atas sertifikasi, dan Dinas Tenaga Kerja lokal bertanggung jawab atas layanan penempatan kerja.
Bouder et al., belum diterbitkan. Selain itu, manfaat sertifikasi lainnya yang tidak begitu mendesak namun sama pentingnya
mencakup: meningkatkan kemudahan berpindah kerja, mendorong kemauan belajar seumur hidup, dan memungkinkan
analisis perbandingan secara internasional dan antar-generasi (Bouder et al. belum diterbitkan, Bank Dunia 2008, dan Armstrong
et al. belum diterbitkan).
175
sangat relevan bagi kaum miskin yang peluangnya lebih kecil untuk meraih tingkat pendidikan Sekolah
Menengah Atas atau pendidikan tinggi.
Kerangka Kualifikasi Nasional (National Qualification Framework - NQF) memastikan agar sertifikasi
keahlian dipakai dalam sistem yang terkoordinasi dan konsisten. Suatu NQF didefinisikan sebagai
sebuah instrumen tunggal, koheren, dan menyeluruh untuk menggolongkan kualifikasi menurut seperangkat
kriteria guna menentukan tingkat pembelajaran yang telah dicapai. NQF bertujuan memadukan dan
mengkoordinasikan subsistem kualifikasi nasional dan memperbaiki transparansi, akses, peningkatan, dan
mutu kualifikasi dalam hubungannya dengan pasar tenaga kerja dan masyarakat madani.236 Ciri-ciri utama
yang membedakan NQF dengan sistem lain menyiratkan bahwa kualifikasi:237
Dapat dicapai melalui akumulasi seiring berjalannya waktu (akumulasi dan transfer kredit).
Dapat ditransfer karena unsur dari sebuah kualifikasi dapat digunakan untuk kualifikasi yang lain.
Transparan karena pelajar tahu persis hasil pembelajaran seperti apa yang harus mereka perlihatkan
untuk meraih sebuah kualifikasi.
Bebas dari persyaratan harus mengikuti program belajar tertentu terlebih dahulu.
Karena sebagian besar kerangka kerja dan mekanisme sertifikasi keahlian yang telah mapan dilaksanakan di
negara OECD, maka pendanaannya terutama dilakukan oleh pemerintah negara masing-masing. Namun,
seiring semakin banyaknya negara berkembang yang bergeser ke arah pengembangan kerangka kerja
dan mekanisme sertifikasi, terjadi peningkatan jumlah pendanaan oleh donor dalam bidang reformasi
pendidikan ini.238
Memastikan adanya kondisi awal yang tepat akan membantu untuk meningkatkan peluang
keberhasilan pelaksanaan program. Pengalaman mengenai NQF menyoroti pentingnya kondisi berikut:
(i) kemauan politik pemerintah negara; (ii) dasar legislatif untuk kerangka kerja kualifikasi239; (iii) minat dan
kerja sama berbagai pemangku kepentingan, terutama komite perencanaan tripartit yang terdiri atas
pemberi kerja, penyedia pelatihan, dan pesertanya240; (iv) departemen pemerintah yang kompeten dan
saling membantu untuk berbagi tanggung jawab dalam pelaksanaan NQF, terutama lembaga yang terlibat
dalam pendidikan dan pelatihan, serta kebijakan pasar tenaga kerja241; (v) unit/lembaga pengelolaan teknis
dan penilaian yang cakap untuk memastikan kompetensi penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan;
(vi) kepercayaan antara penyedia layanan dan pengguna NQF yang dibangun seiring berjalannya waktu
dan memberi kredibilitas bagi kualifikasi242; dan (vii) komunikasi yang efektif kepada masyarakat umum demi
keberhasilan operasi dan pelaksanaannya.243
236
237
238
239
240
241
242
243
176
Coles, 2008.
Young, 2005.
Sebagai contoh, kerangka kerja kualifikasi nasional di Afrika Selatan sebagian besar didanai oleh Uni Eropa dengan dukungan
tambahan dari pemerintah Kanada (Allais 2007). Program Chile Califica didanai oleh pemerintah Cile sendiri (50%) dan Bank
Dunia 50%).
OECD, 2007a.
Grubb, 2007.
OECD, 2007a.
Young, 2005.
Berbagai kondisi awal tersebut harus dipertimbangkan dengan matang dalam konteks politik dan ekonomi di negara yang
bersangkutan. Perlu disadari bahwa kondisi awal yang baru disebutkan adalah kunci bagi keberhasilan NQF pada ekonomi
yang telah maju seperti di Skotlandia, Selandia Baru, dan Irlandia; negara-negara tersebut juga secara geografis dan demografis
tergolong kecil dan berbudaya homogen (Young 2005).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
Kotak 9.5
Belajar dan Berlatih Seumur Hidup (Argentina)
Proyek Belajar dan Berlatih Seumur Hidup di Argentina adalah proyek Bank Dunia dengan tujuan meningkatkan
kelayakan dipekerjakan dan peluang jenjang karir melalui perbaikan belajar seumur hidup dan sistem pelatihan
berbasis kompetensi bagi orang dewasa yang mengalami ketertinggalan. Meskipun belum dievaluasi, proyek
ini telah memperlihatkan dengan cukup jelas betapa rumitnya penciptaan standar dan kerangka kerja kualifikasi
berbasis kompetensi.
Proyek ini terdiri atas empat komponen utama:
1. Komponen utama proyek ini melibatkan perluasan dan penguatan sertifikasi dan pelatihan berbasis
kompetensi. Hal ini memerlukan diadakannya sertifikasi berbasis kompetensi pada 30 sektor utama dalam
lima tahun ke depan dengan mendaftarkan 300 standar berbasis kompetensi dalam kira-kira 120 jenis
pekerjaan.
2. Proyek ini juga mendorong “kegiatan normalisasi kompetensi” oleh organisasi sektoral yang ikut serta
dengan: a) memastikan dan memantau proses yang mengarah pada definisi, pengesahan, dan pendaftaran
standar berbasis kompetensi bagi jenis pekerjaan terpilih; b) melatih dan mensertifikasi para pengevaluasi,
dan; c) mendaftarkan Pusat Penilaian yang akan mengukur dan menilai pencapaian individu melalui standar
berbasis kompetensi.
3. Sub-komponen ketiga mendorong permintaan yang efektif dan pengembangan kapasitas bagi pelatihan,
penilaian, dan sertifikasi berbasis kompetensi.
4. Sub-komponen terakhir mencakup pendaftaran dan akreditasi terhadap Organisasi Sertifikasi yang akan
memberikan sertifikat yang diakui bagi individu, dan juga mengakreditasi Pusat Penilaian.
Selain menciptakan sertifikasi berbasis kompetensi, proyek ini juga berusaha menyelaraskan pelatihan dengan
pendekatan berbasis kompetensi dan memperkuat lembaga pelatihan profesi. Proyek Belajar dan Berlatih Seumur
Hidup juga bertujuan membantu pelatihan, penilaian, dan sertifikasi pekerja sesuai dengan standar berbasis
kompetensi.
Pengalaman internasional memberikan pembelajaran bagi keberhasilan pelaksanaan NQF. Berbagai
pembelajaran ini didasarkan baik pada praktik terbaik maupun kesulitan yang ditemui dalam pelaksanaan
kerangka kerja bersangkutan.244
Mengadopsi pendekatan setahap demi setahap. Kerangka kerja parsial dapat digunakan sebagai
blok pembangun untuk menciptakan kerangka kerja yang lebih luas dan menyeluruh di masa depan.
Perubahan radikal tidak memungkinkan praktisi dan pemain lain yang terlibat untuk membandingkan
dan menguji prinsip baru tersebut dengan pengalaman mereka. Sesungguhnya, pendekatan setahap
demi setahap akan sangat membantu mencegah timbulnya polarisasi.245
Membangun konsensus dan siap berkompromi. Kualifikasi hanya dapat dilaksanakan jika dilandasi
oleh kepercayaan. Karena itu, proses konsultasi seperti yang dilakukan pada NQF Irlandia dan
persetujuan kompromi seperti di Selandia Baru sangatlah penting. Jika proses yang demikian tidak
dilakukan, semua gagasan NQF bisa saja kehilangan kredibilitas publik dan profesi. Sebagai contoh,
kompromi yang dipaksakan mengenai kualifikasi kejuruan nasional di Inggris justru telah menghambat
kualifikasi tersebut menghasilkan kemajuan besar dalam pengembangan kerangka kerja nasional yang
lebih luas.
Mengembangkan pendekatan bersama melalui berbagi pengalaman dan pemakaian, bukan
melalui definisi yang ditentukan dengan ketat. Perbedaan cara menentukan standar, unit, dan
244
245
Diadaptasi dari Young, 2005.
Sebuah contoh pendekatan setahap demi setahap adalah Kerangka Kualifikasi Skotlandia (Scottish Qualification Framework)
yang dikembangkan melalui serangkaian reformasi yang saling terkait, tanpa adanya prosedur penentuan standar yang rumit
atau pengembangan kualifikasi baru.
177
tingkat yang dipakai untuk mendefinisikan kriteria dapat menyebabkan masalah teknis dan profesi jika
diterapkan untuk kualifikasi yang sangat berbeda. Kesulitan lebih lanjut akan timbul dari perbedaan
dalam menilai pembelajaran dan pengetahuan. Untuk meminimalkan masalah tersebut, perlu disadari
bahwa perbedaan dalam cara penentuan dan pendekatan penilaian tidak dapat dihindarkan dan perlu
diberikan jangka waktu yang memadai untuk mengembangkan pendekatan bersama.
Memperluas cakupan kebijakan. Berbagai kondisi seperti ketersediaan sistem penilaian, pelatihan
(atau pelatihan ulang) guru yang memadai, keberadaan organisasi sektoral yang mapan, dan kemitraan
baru, adalah hal-hal penting yang memberikan sumbangsih bagi pelaksaksanaan dan operasi sebuah
NQF.
Menyadari kesulitan politik dan administratif yang terkait dengan pelaksanaan NQF. Ketegangan
politik dapat terjadi karena tanggung jawab atas NQF tidak ditempatkan pada satu lembaga pemerintah
saja, namun terbagi-bagi antara sejumlah lembaga.246 Seiring cakupan kerangka kerja yang semakin
menyeluruh, kerangka kerja tersebut justru mulai mengancam berbagai lembaga yang menetapkannya.
Kesulitan administratif juga dapat diakibatkan oleh ketidakpastian yang dihadapi lembaga baru
berkaitan dengan tanggung jawab atas jaminan kualitas, penetapan standar, dan penilaian. Kesulitan
dalam merekrut personel dengan keahlian yang sesuai dapat memperlambatkan pendirian sebuah
NQF, dan berpotensi menurunkan kepercayaan terhadap kualifikasi baru.
Berhati-hati dalam pelaksanaan NQF untuk menjembatani kesenjangan antara praktik standar
dan praktik yang sesungguhnya. Kesulitan yang sering terjadi saat pelaksanaan NQF, seperti lazimnya
pada kerangka kerja berbasis hasil, adalah kesenjangan antara proses seperti penentuan standar
dan penilaian, dan para individu yang bertanggung jawab atas pengajaran, pelatihan, pemilihan,
dan penilaian. Hal ini terutama relevan bagi negara berkembang yang sistem pendidikannya masih
lemah. Dibutuhkan bentuk kemitraan baru antar lembaga untuk mengelola proses yang sulit dalam
hal menyelaraskan pengetahuan dan keahlian dengan indikator kinerja yang dapat diukur, tanpa
menimbulkan gangguan yang berarti terhadap program pelatihan yang sedang berlangsung.247
Indonesia menciptakan sebuah lembaga sertifikasi profesi nasional pada tahun 2004. Badan
Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), lembaga sertifikasi independen Indonesia, didirikan tahun 2004 dan mulai
beroperasi tahun 2005.248 Lembaga ini menerbitkan lisensi bagi institusi tersertifikasi pada setiap profesi
(Lembaga Sertifikasi Profesi, LSP). Institusi tersebut, yang biasanya merupakan BLK, bertanggung jawab
menguji dan mensertifikasi keahlian dan kompetensi teknis bagi pekerja seperti tukang las, operator mesin,
apoteker, atau pekerja laboratorium. Pengujian dan sertifikasi didasarkan pada Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia (SKKNI) yang ditentukan secara terpusat oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Di masa depan, setiap profesi akan diwakili oleh sebuah institusi tersertifikasi. Dalam beberapa kasus, BNSP
berkoordinasi dengan lembaga sertifikasi profesi terkait untuk menerbitkan sertifikat yang diakui secara
internasional, termasuk untuk Certified Public Accountant dan Certified Financial Analyst.
Pengembangan standar kompetensi membutuhkan koordinasi yang lebih kuat di antara
kementerian pemerintah. Sampai dengan tahun 2008, Kementerian Tenaga Kerja telah membuat sekitar
14 standar dalam kerja sama dengan wakil dari industri dan sektor swasta; sedangkan 80 standar yang lain
masih dalam proses pengembangan.249 Namun, sasaran untuk menciptakan sistem nasional yang terpadu
246
247
248
249
178
Perselisihan antar lembaga terjadi di Selandia Baru antara Otoritas Kualifikasi dan Kementerian Pendidikan mengenai siapa
yang berhak menentukan kurikulum sekolah. Hal menimbulkan kesadaran diperlukannya sejumlah pembedaan karena prinsip
kesamaan tidak dapat mencakup semua jenis pembelajaran.
Young, 2005.
BNSP didirikan tahun 2004 melalui PP No. 23/2004. (Alisjahbana, Maret 2008a).
Alisjahbana, Maret 2008a.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 9
Membangun Angkatan Kerja yang Memiliki Keahlian
masih mengalami kesulitan karena kurangnya koordinasi antara berbagai kementerian (Kementerian
Pendidikan Nasional, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi) yang
sampai sekarang masih menentukan standarnya sendiri-sendiri. Setiap kementerian mempertahankan
standar kompetensi dan birokrasinya masing-masing sehingga menyebabkan sistem yang terpecah-pecah,
tumpang tindih, dan masih menyisakan sejumlah kekurangan.
V. Rekomendasi
Lakukan percontohan dan uji coba sebuah program pelatihan keahlian menyeluruh yang bersifat
nasional dan dirancang dengan baik. Dalam bentuknya saat ini, jumlah BLK tidak memadai bagi pekerja
di Indonesia. BLK hanya mampu menjangkau sejumlah kecil pekerja, dan banyak dari antara pekerja
tersebut telah memiliki pekerjaan di perusahaan yang mengontrak BLK. Ada kekurangan dalam upaya
memberikan keahlian bagi para penganggur atau pekerja yang baru memasuki pasar tenaga kerja. Perlu
diperkenalkan pendekatan baru mengenai pelatihan keahlian untuk mengisi kekurangan tersebut. Program
Jóvenes, terutama dari Kolombia, memberikan model yang paling menjanjikan untuk ditiru. Pengalaman
internasional memperlihatkan bahwa pendekatan pelatihan semacam ini telah berhasil meningkatkan
kondisi ketenagakerjaan peserta pelatihan. Pendekatan ini mungkin dapat lebih berhasil mencapai sasaran
yang dijabarkan dalam kebijakan “3 in 1” pemerintah. Memasukkan keterampilan sosial dan keterampilan
hidup dalam kurikulum pelatihan di masa depan, terutama di bidang yang telah diidentifikasi dalam
Employer Skill Survey. Mengawali dengan program percontohan dan mengujinya dengan ketat sebelum
mempertimbangkan untuk memperluas skala program secara nasional. Mengikuti contoh program Jóvenes di
Kolombia, mempertimbangkan pelaksanaan program bersamaan dengan berbagai program pengurangan
kemiskinan seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang memberikan dana tunai secara bersyarat.
Mengarahkan program bagi pekerja yang rentan dan mengalami ketertinggalan, yang paling
membutuhkan kesempatan kedua. Pelatihan tidak dapat menjangkau semua pekerja yang rentan karena
besarnya angkatan kerja di Indonesia. Karenanya, terdapat kebutuhan untuk merancang program dan
kebijakan pelatihan keahlian yang dapat menjangkau pekerja yang paling rentan secara efektif. Dengan
demikian, program di masa depan seharusnya diarahkan bagi pekerja yang masih muda, miskin, dan saat
ini bekerja di sektor informal. Kelompok-kelompok ini, yang peluangnya paling kecil untuk menyelesaikan
pendidikan formal, akan mendapatkan manfaat terbesar jika memperoleh kesempatan kedua.
Mengontrakkan layanan pelatihan kepada penyedia layanan swasta dan LSM agar pemerintah dapat
memainkan peran yang lebih strategis. Kementerian Tenaga Kerja semestinya memimpin pembuatan
rencana strategis nasional untuk pengembangan keahlian. Namun, implementasi rencana tersebut
sebaiknya diserahkan kepada penyedia layanan yang dikontrak (baik penyedia layanan dari sektor swasta
maupun LSM). Pemilihan penyedia layanan melalui proses penawaran yang transparan dan kompetitif
dapat membantu untuk memastikan bahwa layanan pelatihan yang diberikan akan berkualitas tertinggi.
Tanggung jawab memantau kinerja lembaga pelaksana dipegang sepenuhnya oleh Dinas Tenaga Kerja
lokal. Baik Dinas Tenaga Kerja lokal maupun pusat dapat mempertimbangkan untuk memberikan insentif
bagi penyedia layanan yang mampu menjangkau dengan efektif para pekerja yang rentan dan mengalami
ketertinggalan.
Mendukung kemitraan swasta-publik untuk membangun hubungan dengan calon pemberi kerja.
Dinas Tenaga Kerja lokal harus bekerja sama erat dengan penyedia pelatihan untuk melakukan survei
terhadap pemberi kerja lokal guna memastikan kebutuhan pasar tenaga kerja lokal. Mendengarkan saran
perusahaan mengenai cara meningkatkan kualitas layanan pelatihan. Berbagai perusahaan mengisyaratkan
bahwa program pendidikan non-formal, termasuk pusat pelatihan kejuruan, dapat ditingkatkan dengan
memastikan kendali mutu, mendorong hubungan dengan industri, memberikan kurikulum yang lebih baik,
179
dan jam operasi yang lebih panjang.250 Sebagai contoh, Balai Besar Pengembangan dan Latihan Kerja Dalam
Negeri telah berhasil mengembangkan hubungan pendanaan dengan perusahaan swasta.
Yang terakhir, memelihara kondisi yang dapat membantu berkembangnya program pelatihan.
Selain berbagai faktor karakteristik dan penyusunan program yang sangat penting untuk memastikan
keberhasilan, perlu pula memperhatikan kondisi awal yang dibutuhkan bagi keberhasilan pelaksanaan
program. Kondisi awal tersebut termasuk: sumber daya pemerintah yang cukup untuk pelatihan; penyedia
pelatihan berkualitas tinggi yang dipasok dalam jumlah memadai (penyedia pelatihan merujuk pada
lembaga maupun pengajar, baik publik atau pun swasta); sebuah lembaga sertifikasi profesi yang terpadu dan
dikoordinasi secara terpusat, dan; unit pengawasan dan pengelolaan teknis yang cakap untuk memastikan
transparansi dan kualitas dalam lingkungan yang ‘kompetitif’. Selain itu, keberhasilan juga bergantung
pada seberapa fleksibelnya peraturan pasar tenaga kerja di negara bersangkutan. Bukti dari negara OECD
mengisyaratkan bahwa aturan jaminan kerja yang ketat akan menghambat masuknya kaum muda ke dalam
pasar tenaga kerja.251 Penghitungan skema lapangan kerja bagi kaum muda (Youth Employment Inventory)
juga mendukung temuan ini dengan memperlihatkan bahwa negara yang peraturan pasar tenaga kerjanya
lebih fleksibel cenderung memperoleh hasil lebih baik dari program pekerjaan untuk kaum muda.252
250
251
252
180
Bank Dunia, Employer Skills Survey, 2008.
OECD, 2004.
Sebuah meta-analisis mengenai program pekerjaan untuk kaum muda mengungkapkan koefisien yang negatif, meskipun sangat
kecil, antara indeks kekakuan aturan ketenagakerjaan (ukuran yang menggabungkan aturan mempekerjakan, mengontrak,
dan memberhentikan), dan peluang memperoleh dampak positif di pasar tenaga kerja dari ALMP bagi kaum muda. Semakin
tinggi indeks tersebut, semakin kaku aturan ketenagakerjaan dan semakin rendah peluang memperoleh dampak positif (Puerto,
2007b).
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10
Memperluas Jaring
Pengaman Tenaga Kerja
Melindungi Pekerja yang Rentan terhadap
Guncangan Lapangan Kerja dan Upah
Bab 10 Ringkasan
Indonesia menghadapi tantangan dalam upayanya mendeteksi guncangan yang dapat mengacaukan
pasar tenaga kerja dan mencari cara untuk memberikan tanggapan dengan cepat dan tepat. Meskipun
pasar tenaga kerja Indonesia tampaknya berhasil menghadapi krisis ekonomi global dan kemerosotan ekonomi,
masih ada kekhawatiran mengenai kesiapan Indonesia dalam melindungi pekerja dari pengaruh guncangan.
Data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dikumpulkan dua kali dalam setahun dan baru tersedia
bagi pembuat kebijakan berbulan-bulan setelah dikumpulkan. Hal ini menghambat kemampuan mereka untuk
mendeteksi guncangan upah dan lapangan kerja, menganalisis secara akurat bagaimana pekerja terpengaruh oleh
guncangan, dan menentukan mekanisme tanggapan yang paling tepat untuk menyalurkan bantuan bagi pemberi
kerja atau pekerja pada saat paling dibutuhkan.
Kemampuan untuk menanggapi guncangan upah dan lapangan kerja membutuhkan kebijakan dan
pendekatan baru yang dirancang untuk melindungi baik pemberi kerja maupun pekerja. Peraturan
ketenagakerjaan Indonesia yang kaku membatasi kelenturan pasar tenaga kerja dan gagal melindungi pekerja
yang rentan selama terjadinya guncangan. Tanpa adanya jaring pengaman, para pekerja umumnya bertahan
dengan mencari kerja di sektor informal dan pertanian. Karena itu, diperlukan kebijakan alternatif untuk lebih
melindungi baik pemberi kerja maupun pekerja. Terdapat tiga kategori intervensi yang dapat digunakan sebagai
tanggapan terhadap guncangan: 1) kebijakan dan program yang mendorong permintaan tenaga kerja; 2) program
yang mempertahankan penghasilan pekerja yang telah diberhentikan, dan; 3) kebijakan yang dirancang untuk
membantu penghasilan pekerja.
Program pekerjaan umum cukup efektif dalam menciptakan peluang kerja bagi pekerja yang berupah
rendah dan pekerja yang menganggur. Salah satu program yang membantu mendorong permintaan tenaga
kerja adalah pekerjaan umum. Indonesia menerapkan program pekerjaan umum jangka pendek, Padat Karya,
sebagai tanggapan terhadap krisis keuangan tahun 1997, namun program tersebut gagal melindungi para pekerja
yang paling rentan karena kelemahan mendasar dalam rancangan program. Upah yang dibayarkan program
melebihi upah di pasaran sehingga menarik pekerja yang sebetulnya sudah memiliki pekerjaan untuk bersaing
dengan pekerja pengangguran yang menjadi target program. Namun demikian, program pekerjaan umum yang
dirancang dan dilaksanakan dengan baik telah terbukti efektif. Evaluasi telah memperlihatkan bahwa program
pekerjaan umum yang berkinerja tinggi dapat menjangkau pekerja miskin dan mencegah kemiskinan jangka
pendek.
Rekomendasi
Bersiap menghadapi guncangan lapangan kerja dan upah di masa depan dengan memperkenalkan program
jaring pengaman tenaga kerja demi melindungi pekerja yang paling rentan.
Meningkatkan frekuensi data tenaga kerja untuk melacak perubahan dengan cepat dan mengembangkan
sistem pemantauan kerentanan dan guncangan yang siaga untuk menentukan dengan akurat daerah yang
terpengaruh dan memahami bagaimana dampaknya terhadap pemberi kerja dan pekerja.
Merancang sistem tanggap darurat yang siaga untuk segera dipakai memicu jaring pengaman demi melindungi
pekerja yang rentan. Pendekatan yang menyamaratakan semua keadaan tidak akan dapat menghadapi semua
guncangan. Pemanfaatan tanggapan program harus disesuaikan dengan jenis guncangan dan bagaimana
dampaknya dirasakan.
Sebagai salah satu tanggapan program, mengembangkan kerangka kerja nasional untuk pekerjaan umum
yang dapat dimanfaatkan pemerintah untuk memicu pelaksanaan program yang menciptakan peluang
kerja sementara bagi pekerja, baik di area pedesaan maupun perkotaan. Menargetkan pekerja yang paling
membutuhkan bantuan dengan menetapkan upah di bawah pasaran dan memastikan bahwa proyeknya
padat karya serta memberikan infrastruktur dan layanan yang berguna. Salah satu program yang sudah ada,
yang dapat menyalurkan dana pekerjaan umum adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
(PNPM-Mandiri), yang telah memperlihatkan keberhasilannya dalam mengurangi tingkat pengangguran di
area pedesaan.
182
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10
Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
I.
Pendahuluan
Pasar tenaga kerja Indonesia pernah menghadapi berbagai guncangan upah dan lapangan kerja
yang serius. Krisis keuangan Asia Timur tahun 1997 merupakan krisis upah yang sangat parah bagi pekerja.
Akibat krisis, nilai tukar mata uang Indonesia menukik tajam pada tahun 1998 dan PDB riil terpangkas sampai
13 persen hanya dalam satu tahun. Para pekerja merasakan dampaknya sebagai krisis upah: upah riil anjlok
sampai 31 persen dalam satu tahun. Angka kemiskinan meningkat karena pekerja miskin tak lagi memiliki
penghasilan untuk keluar dari kemiskinan. Pada saat yang sama, para pekerja juga mengalami krisis lapangan
kerja yang serius. Tingkat lapangan kerja yang stabil menyembunyikan realokasi pekerja secara besar-besaran
dari sektor formal dan non-pertanian. Transformasi struktural selama sepuluh tahun terakhir mulai berbalik
karena pekerja yang diberhentikan memilih untuk mencari kerja di sektor informal dan pertanian.
Meskipun guncangan semacam ini hanya terjadi sesaat, namun pemulihan pasar tenaga kerja
cenderung bertahap dan lambat. Walaupun ekonomi dapat pulih dengan cepat setelah terjadi
guncangan, diperlukan waktu jauh lebih lama bagi pasar tenaga kerja untuk pulih sehingga pekerja masih
terus mengalami efek negatif guncangan jauh setelah guncangan tersebut berakhir. Setelah krisis 1997,
pasar tenaga kerja masih terus mengalami masalah peningkatan pengangguran (jobless growth) meskipun
ekonomi sudah tumbuh kembali. Lapangan kerja di sektor formal dan non-pertanian baru mulai berkembang
kembali pada tahun 2003, meskipun lajunya masih lebih lambat daripada tahun 90-an. Peralihan pekerja dari
sektor formal ke sektor informal dan pertanian, merusak kemajuan pasar tenaga kerja dan berakibat buruk
bagi keluarga yang bergantung pada gaji dari pekerjaan.
Kemungkinan terjadinya guncangan lebih jauh telah menimbulkan kekhawatiran mengenai
kesiapan Indonesia dalam melindungi pekerja di masa depan. Krisis ekonomi global yang baru saja
terjadi telah menimbulkan kekhawatiran bahwa guncangan upah atau lapangan kerja yang lain dapat
menghantam pasar tenaga kerja Indonesia seperti yang dialami banyak negara lain di seluruh dunia.
Hilangnya pekerjaan sektor formal dicemaskan dapat menghambat kemajuan Indonesia dalam penciptaan
lapangan kerja dan memaksa pekerja untuk kembali ke sektor informal dan pertanian. Indonesia tampaknya
telah berhasil menghadapi krisis ekonomi global dan kemerosotan ekonomi karena pasar tenaga kerja tidak
mengalami guncangan seperti yang ditakutkan.253 Namun, ancaman krisis telah menimbulkan kekhawatiran
mengenai kesiapan Indonesia dalam melindungi pekerja dari pengaruh guncangan. Yang pertama, Indonesia
tidak memiliki sistem peringatan untuk mendeteksi guncangan, memahami pengaruhnya terhadap pasar
tenaga kerja, dan mengidentifikasi pekerja yang paling rentan. Hal ini mengurangi kemampuan pembuat
kebijakan untuk memberi tanggapan yang akurat dan sesuai. Yang kedua, tidak ada sistem cepat tanggap
yang disiagakan untuk segera menyalurkan bantuan yang sesuai bagi pekerja yang rentan.
Bab 10 mengkaji bagaimana pemerintah dapat melindungi pemberi kerja dan pekerja dari
guncangan dengan lebih baik. Pasar tenaga kerja Indonesia tentu akan menghadapi guncangan lagi di
masa depan. Karena itu, perlu dikaji bagaimana pemerintah dapat memanfaatkan kesempatan saat ini ketika
ekonomi maupun pasar tenaga kerja sedang kuat, untuk bersiap menghadapi guncangan di masa depan.
Bab ini, yang mendalami bagaimana Indonesia dapat lebih siap menghadapi guncangan pasar tenaga kerja,
dibagi menjadi tiga bagian:
Yang pertama mengkaji serangkaian kebijakan dan program yang dapat digunakan untuk mendeteksi
dan memahami guncangan yang mempengaruhi pasar tenaga kerja.
Yang kedua mempelajari kebijakan dan program yang dapat melindungi pemberi kerja dan pekerja
dengan: a) mendorong permintaan tenaga kerja; b) mempertahankan penghasilan pekerja yang
253
Bank Dunia. 2009d. “Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia: Kembali Melaju?” Desember 2009.
183
diberhentikan, dan; c) meningkatkan kelayakan pekerja untuk dipekerjakan dan penghasilannya.
Bagian kedua memberikan rekomendasi bagaimana pemerintah dapat lebih siap menghadapi
guncangan pasar tenaga kerja di masa depan.
II. Mendeteksi Guncangan dan Memahami
Bagaimana Guncangan Tersebut Mempengaruhi
Pekerja
Pembuat kebijakan membutuhkan data yang cepat dan andal untuk memantau pasar tenaga kerja
dan mendeteksi guncangan upah dan lapangan kerja. Sakernas merupakan sumber data yang sangat
lengkap dan dapat digunakan untuk menganalisis tren pasar tenaga kerja serta pengaruh kebijakan dan
program ketenagakerjaan. Namun, manfaat survei ini hanya terbatas ketika terjadi guncangan dan krisis
karena frekuensinya yang hanya dua kali dalam setahun dan baru tersedia bagi pembuat kebijakan berbulanbulan setelah dikumpulkan. Hal ini menghambat kemampuan mereka untuk mendeteksi guncangan upah
dan lapangan kerja, menganalisis secara akurat bagaimana pekerja terpengaruh oleh guncangan, dan
menentukan mekanisme tanggapan yang paling tepat untuk menyalurkan bantuan bagi pemberi kerja
atau pekerja pada saat paling dibutuhkan.
Perlindungan pekerja dimulai dengan pembuatan sistem pemantauan yang dapat mendeteksi
guncangan dengan segera (real-time). Krisis keuangan global yang terjadi dengan begitu cepat
menggarisbawahi betapa sulitnya mendeteksi guncangan yang mempengaruhi rumah tangga (Kotak 10.1).
Krisis juga telah menekankan perlunya dikembangkan sebuah sistem pemantauan dan tanggapan yang
siap dipakai pemerintah untuk membantu rumah tangga yang terpengaruh guncangan serius dengan
cepat dan tepat. Dibuatnya sistem semacam itu akan memungkinkan pemantauan indikator kerentanan
dan guncangan dengan cepat, sehingga pemerintah dapat memahami bagaimana sebuah krisis, baik
ekonomi maupun bencana alam, dirasakan rumah tangga, apa saja mekanisme yang mereka terapkan
untuk menghadapi krisis, dan dampak krisis terhadap indikatorsosial-ekonomi.
Pengalaman internasional menawarkan pelajaran yang jelas mengenai cara membangun dan
melembagakan sistem pemantauan negara yang berhasil. Indonesia dapat belajar dari negara lain
yang telah mendirikan sistem pemantauan. Meskipun tidak ada model tertentu yang harus diikuti dalam
membuat sistem pemantauan, sejumlah kisah keberhasilan mempunyai karakteristik yang serupa.254
Diperlukan sebuah lembaga pemerintah yang memimpin proses perancangan, pengembangan, dan pada
akhirnya, pengelolaan sistem. Pada saat bersamaan, pengalaman di berbagai negara menggarisbawahi
perlunya membangun mekanisme yang andal untuk mengumpulkan, mengelola, dan berbagi data
yang dibutuhkan oleh sistem pemantauan. Selain itu, sangat diperlukan sejumlah personel yang terlatih
dengan baik untuk mengelola dan mengawasi sistem pemantauan, sehingga dibutuhkan pelatihan untuk
membangun kapasitas personel yang bertanggung jawab atas fungsi-fungsi tersebut. Akhirnya, diperlukan
pula pengguna data untuk menganalisis data dan memberikan nasihat kepada pembuat kebijakan yang
bertanggung jawab menanggapi guncangan melalui program dan kebijakan, yang akan dibahas di bagian
berikutnya.
254
184
Mackay, 2007.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10
Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
Kotak 10.1
Memperbaiki Sistem Pemantauan Guncangan: Indonesia dan Krisis Keuangan
Global
Pengaruh krisis keuangan global terhadap ekonomi Indonesia mulai tampak pada akhir 2008 ketika nilai ekspor
kuartal keempat turun drastis. Akibatnya, pertumbuhan PDB pun melambat pada kuartal keempat 2008 dan
masih terus melambat pada kuartal pertama 2009. Seiring pulihnya ekspor selama 2009, ekonomi Indonesia
juga perlahan-lahan ikut pulih. Konsumsi dalam negeri yang kuat membantu makroekonomi Indonesia untuk
mengatasi badai masalah.
Tetapi, pengaruh krisis terhadap rumah tangga kemungkinan terjadi lebih lambat daripada pemulihan ekonomi
dan baru tampak jelas berbulan-bulan setelah penurunan output. Selain itu, berbagai kalangan dan daerah
mungkin mengalami guncangan yang berbeda dan pulih dengan kecepatan yang berbeda pula. Karena itu,
indikator kunci pada rumah tangga perlu dipantau agar dapat lebih memahami bagaimana keluarga terpengaruh
oleh guncangan seperti krisis ekonomi global dan apakah mereka sudah mengalami pemulihan.
Pemerintah Indonesia mendirikan Sistem Pemantauan dan Respon terhadap Krisi (Crisis Monitoring and Response
System - CMRS) untuk memahami bagaimana guncangan mempengaruhi rumah tangga, bagaimana rumah
tangga menanggapi guncangan tersebut, dan seperti apa kondisi sosial-ekonomi mereka. Inisiatif ini dilaksanakan
oleh Bappenas dan BPS dalam kemitraan dengan Bank Dunia, dan dengan dukungan keuangan dari Australian
Agency for International Development (AusAID).
CMRS melakukan survei baru terhadap rumah tangga (CMRSS) yang dilakukan bulan Agustus dan November
2009. Dua survei pertama tersebut memperlihatkan bahwa selama pertengahan 2009, sejumlah rumah tangga
mengalami penurunan jam kerja yang berdampak buruk terhadap penghasilan rumah tangga. Mereka berupaya
mengatasinya dengan mengkonsumsi makanan yang lebih murah atau bermutu lebih rendah. Pada akhir 2009,
jam kerja sudah pulih sebagian dan keluarga yang terpengaruh tidak lagi melaporkan kesulitan memenuhi biaya
konsumsi. Berbagai daerah merasakan guncangan yang berbeda (Gambar 10.1) dan mungkin pulih dengan
kecepatan yang berbeda. Perubahan dalam pola kerja dan pengeluaran rumah tangga kemungkinan adalah
konsekuensi krisis ekonomi global, namun dapat pula terjadi karena penyebab lain yang timbul bersamaan
(misalnya dampak musiman atau peristiwa seperti pemilu).
Gambar 10.1 Perubahan kuartalan dalam kondisi pasar tenaga kerja dan kesukaran rumah
tangga, menurut provinsi
Sumber: CMRSS dan analisis Bank Dunia
185
Kotak 10.1
Lanjutan
Hasil CMRS memperlihatkan bahwa angka pengangguran atau tingkat keikutsertaan kepala rumah tangga dalam
angkatan kerja nyaris tidak berubah. Upah formal dan informal pun masih sama bagi kebanyakan pekerja. Namun,
para pekerja mengalami pengurangan jam kerja. Jam kerja mingguan untuk kepala rumah tangga turun ratarata 1,3 jam antara Mei dan Agustus 2009, baik bagi rumah tangga miskin maupun tidak miskin. Area pedesaan
mengalami penurunan yang lebih besar jika dibandingkan dengan area perkotaan. Rata-rata jam kerja mingguan
secara nasional untuk kepala rumah tangga dalam CMRSS Agustus 2009 juga lebih rendah 0,8 jam jika dibandingkan
dengan rata-rata nasional dari survei Sakernas bulan Agustus 2008. Data Sakernas juga memperlihatkan bahwa jam
kerja bagi kepala rumah tangga tidak banyak berubah antara Februari dan Agustus 2009 (hanya berbeda 0,2 jam),
sedangkan antara Februari dan Agustus 2008 terjadi kenaikan 0,8 jam.
Penurunan jam kerja terkait dengan berkurangnya penghasilan pedesaan sampai hampir 5 persen, dengan asumsi
tingkat upah yang konstan. Akibatnya, sejumlah rumah tangga melaporkan bahwa mereka mengalami kesulitan
besar memenuhi biaya konsumsi. Persentase rumah tangga yang melaporkan kesulitan semacam itu meningkat 3
persen dari April sampai Juli 2009, sedangkan di kalangan miskin, persentase tersebut meningkat 6 persen.
Gambar 10.2
Perubahan jam kerja mingguan
(kepala rumah tangga)
Gambar 10.3
Triwulanan
Semesteran
0,70
MeiAgustusAgustus November
2009
2009
MeiNovember
2009
0,65
Kesulitan memenuhi biaya konsumsi
yang dilaporkan (persentase
responden survei)
0,60
0,55
Nasional
-1,3
0,6
-0,8
0,50
Pedesaan
-1,5
1,1
-0,5
0,45
Perkotaan
-1,1
0,0
-1,1
0,40
Tidak miskin
-1,3
0,3
-1,0
0,35
Miskin
-1,5
1,8
0,3
0,30
0,25
Kepala keluarga:
Laki-laki
-1,4
0,4
-1,0
Perempuan
-1,1
2,4
1,2
Sumber: CMRSS
0,20
Apr 09
Nasional
Jul 09
Pedesaan
Perkotaan
Okt 09
Tidak miskin
Miskin
Sumber: CMRSS
Hasil dari survei CMRS tahap kedua mengisyaratkan bahwa keadaan rumah tangga telah membaik. Jam kerja
meningkat 0,6 jam antara Agustus dan November 2009, sehingga mengkompensasi sebagian dari penurunan yang
terjadi sebelumnya. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan pulih lebih cepat. Kepala rumah
tangga perempuan memperoleh kembali lebih banyak jam kerja dibandingkan kepala rumah tangga laki-laki
selama periode ini; jam kerja mingguan mereka telah melebihi tingkat bulan April. Keadaan ini telah memperbaiki
tingkat penghasilan rumah tangga. Persepsi rumah tangga mengenai kesulitan dalam memenuhi biaya konsumsi
sudah kembali lagi ke tingkat kuartal bulan April, demikian pula dengan tren substitusi makanan.
Sumber: Bank Dunia.“Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia: Menjaga Momentum.”Maret 2010. Berdasarkan“Indonesia’s
Crisis Monitoring and Response System – First and Second Round Summary Report.” Bank Dunia Maret 2010 (Mimeo).
186
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10
Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
III. Kebijakan dan Program untuk Melindungi Pekerja
dari Guncangan
Dalam menanggapi guncangan, diperlukan paket kebijakan menyeluruh yang dirancang untuk
melindungi baik pemberi kerja maupun pekerja. Pasar tenaga kerja perlu dipantau dalam waktu nyata
atau “real time” untuk mendeteksi guncangan dan memahami bagaimana dampaknya dirasakan pekerja.
Yang kedua, sistem tanggapan terkait dapat memasukkan tiga kategori intervensi berikut: 1) kebijakan
dan program yang mendorong permintaan tenaga kerja; 2) program yang mempertahankan penghasilan
pekerja yang telah diberhentikan, dan; 3) kebijakan yang dirancang untuk meningkatkan kelayakan pekerja
untuk dipekerjakan dan penghasilannya.255 Mekanisme tanggapan tunggal kemungkinan tidak akan cukup
karena guncangan eksternal mempunyai dampak yang berbeda-beda terhadap berbagai golongan populasi
dan dirasakan dengan cara yang berbeda-beda pula. Karena itu, sistem tanggapan haruslah cukup fleksibel
dan mencakup serangkaian program yang dapat dijalankan dengan cepat untuk membantu pekerja
yang rentan dan komunitas mereka. Program tersebut dapat dijalankan bersama-sama dengan program
jaring pengaman sosial yang lebih luas cakupannya, seperti misalnya bantuan langsung tunai yang dapat
membantu mengurangi pengaruh krisis terhadap pekerja miskin.
A. Kebijakan dan Program yang Mendorong Permintaan Tenaga Kerja
Program pekerjaan umum cukup efektif dalam menciptakan peluang kerja bagi pekerja yang
berupah rendah dan pekerja yang menganggur. Program pekerjaan umum, yang juga disebut sebagai
workfare, merupakan program yang bertujuan memberikan pekerjaan sementara bagi pekerja sambil
memberikan kontribusi bagi pengembangan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat ini biasanya
adalah proyek infrastruktur, tetapi juga dapat mencakup layanan seperti pemeliharaan bangunan atau
infrastruktur. Program pekerjaan umum dijalankan di lebih dari 40 persen negara berpenghasilan rendah
dan sangat cocok dilaksanakan selama terjadinya guncangan ekonomi. Evaluasi telah memperlihatkan
bahwa program pekerjaan umum, jika dirancang dengan baik, akan efektif menjangkau pekerja miskin dan
mencegah kemiskinan jangka pendek.256
Indonesia melaksanakan program pekerjaan umum jangka pendek sebagai tanggapan terhadap
krisis keuangan 1997. Program Padat Karya terdiri atas lebih dari selusin program penciptaan lapangan
kerja yang dipandang sebagai bagian dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang lebih luas. Program
Padat Karya dapat dikategorikan ke dalam empat jenis proyek257: i) perancangan ulang program investasi
dan infrastruktur supaya lebih padat karya; ii) hibah langsung kepada masyarakat lokal dengan sejumlah
persyaratan pemanfaatan dana hibah, termasuk untuk pekerjaan umum; iii) proyek padat karya khusus
termasuk proyek perhutanan dan pelatihan ulang para pekerja yang diberhentikan, dan; iv) program
“makanan untuk kerja” atau “food for work”. Program ini ditujukan bagi para pekerja yang telah kehilangan
pekerjaan dan mereka yang tidak mempunyai penghasilan permanen. Tetapi, program ini gagal melindungi
para pekerja yang paling rentan karena kesalahan mendasar dalam perancangan program. (Kotak 10.2).
Program akhirnya dihentikan beberapa tahun setelah krisis.
255
256
257
Kategori dan penjelasan mengenai opsi tanggapan yang diringkaskan dalam bab ini merupakan adaptasi dari “How Should
Labor Market Policy Respond to the Financial Crisis.” April 2009. Bank Dunia 2009b.
Bank Dunia, 2008c. “Labor Market Programs that Make a Difference in Times of Crisis.”
Sumarto, Suryahadi, dan Pritchett. 2000. Bank Dunia.
187
Kotak 10.2
Pekerjaan Umum: Belajar dari Afrika Selatan258 259 260 261
Pemerintah Afrika Selatan melancarkan Perluasan Program Pekerjaan Umum (Expanded Public Works Program EPWP) pada Growth and Development Summit tahun 2003. Program tersebut menyediakan kesempatan kerja
dan pelatihan bagi lebih dari satu juta orang per tahun untuk memberikan peluang kerja sementara bagi para
penganggur.258 Program ini dikelola oleh Departemen Pekerjaan Umum, namun melibatkan semua kementerian
dan berbagai bagian pemerintahan.
EPWP membantu proyek infrastruktur dengan metode padat karya untuk memperbaiki jalan di desa dan kota,
perpipaan di kota, dan saluran pembuangan air hujan. Selain infrastruktur tradisional, program juga menghasilkan
pekerjaan melalui kegiatan sosial dan ekonomi. Kesempatan kerja diciptakan melalui proyek perbaikan lingkungan
untuk masyarakat (termasuk rehabilitasi lahan, pembersihan garis pantai, dan proyek daur ulang), proyek sosial
untuk masyarakat (seperti perawatan kesehatan di rumah dan pekerja yang membantu tumbuh kembang balita),
serta pengembangan usaha kecil dan koperasi. Rata-rata lamanya keikutsertaan berkisar antara empat bulan
hingga lebih dari satu tahun sehingga pesertanya dapat memperoleh penghasilan rutin.
Kebanyakan penganggur yang berminat mengikuti program adalah pekerja tanpa keahlian yang bersedia bekerja
dengan upah minimum. Program ini memperkenalkan komponen tambahan untuk meningkatkan kemampuan
para pekerja tanpa keahlian agar dapat memperoleh penghasilan sendiri begitu mereka selesai mengikuti
program.Pelatihan, pendidikan, atau pengembangan keahlian juga diberikan bersamaan dengan kesempatan
kerja untuk meningkatkan kelayakan mereka dipekerjakan di sektor yang sangat membutuhkan pekerja. Ratarata lamanya pelatihan bervariasi antara 10 hari di sektor lingkungan sampai 30 hari bagi mereka yang ikut serta
dalam kegiatan sosial.
Evaluasi terhadap EPWP mendapati bahwa partisipasi dalam program tersebut mempunyai efek yang positif dan
signifikan secara statistik dari segi persentase anggaran yang dihabiskan untuk tenaga kerja, jumlah hari kerja
yang diciptakan, dan jumlah pelatihan yang dilakukan.259 Secara umum, para peneliti mendapati bahwa EPWP
mengurangi biaya penciptaan lapangan kerja dan biaya untuk memberikan penghasilan bagi kaum miskin.
Program ini tampaknya berhasil meningkatkan persentase lapangan kerja bagi perempuan, meskipun program
juga menghadapi tantangan dalam mencapai target untuk perempuan dan daerah miskin. Pedoman proyek
mempunyai sasaran tingkat keikutsertaan perempuan sampai 40 persen, namun hanya 23 persen dari
lapangan kerja yang diciptakan yang diisi oleh perempuan.260 Sebagian distrik dengan tingkat kemiskinan dan
pengangguran yang tinggi sama sekali tidak mendapat proyek pekerjaan umum, sementara distrik lain yang
tingkat kemiskinannya rendah mendapatkan beberapa proyek. Hal ini kemungkinan terjadi karena area yang
miskin lebih sukar diakses dan lebih sulit dijadikan tempat kerja.261
Sumber: del Ninno, Subbarao, dan Milazzo, 2009.
258
259
260
261
188
Untuk perincian program EPWP, lihat situs web Pemerintah Afrika Selatan di: http://www.epwp.gov.za/.
Adato dan Haddad, 2001. Kajian dampak dapat menjelaskan endogenitas keikutsertaan. Variabel dependen termasuk persentase
anggaran proyek yang dihabiskan untuk tenaga kerja, log jumlah hari kerja yang diciptakan, dan log jumlah pelatihan yang
dilakukan. Dampak yang dihasilkan cukup besar dan tetap terlihat meski spesifikasi model divariasikan dan kovariat lain
dimasukkan.
Ibid
Ibid
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10
Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
Kotak 10.3
Belajar dari Pengalaman Indonesia dengan Pekerjaan Umum 262 263 264 265 266 267 268
Program Padat Karya berhasil menciptakan lapangan kerja di berbagai wilayah Indonesia. Selama fase
kedua, program ini menciptakan sekitar 225 juta hari kerja-orang dari April 1998 sampai Desember 1999. Selama
periode ini, program dilaksanakan bagi sekitar 40 persen dari seluruh masyarakat di Indonesia. 61,3 persen
masyarakat perkotaan melaporkan adanya program Padat Karya di wilayah mereka, dibandingkan dengan hanya
44,6 persen di area pedesaan.262
Sayangnya, program ini tidak efektif menarget kaum miskin. Sampai dengan Februari 1999, program PK
hanya menjangkau 8,3 persen dari rumah tangga miskin. 70 persen peserta program PK merupakan rumah
tangga tidak miskin.263 Rasio sasaran ini hampir sama dengan program anti-kemiskinan lainnya selama periode
tersebut, termasuk program subsidi beras (raskin), beasiswa pendidikan, dan kartu sehat.
Kegagalan program untuk memberikan jaring pengaman yang efektif bagi pekerja miskin diakibatkan oleh tiga
kesalahan rancangan yang mendasar:
a. Program Padat Karya merupakan program yang terpecah-pecah dan dilaksanakan secara terpisah
oleh berbagai kementerian. Skema pekerjaan umum memasukkan sampai 16 jenis program sebagai bagian
dari keseluruhan program saat pertama kali diluncurkan. Selain Departemen Pekerjaan Umum, berbagai
departemen yang lain, seperti Departemen Kehutanan dan Departemen Agama pun mulai melaksanakan
program pekerjaan umum meski tidak memiliki catatan rekam kerja dalam memberikan bantuan sosial.
Berbagai lembaga pelaksana ini mendapat kritikan dari media karena perencanaan yang buruk dan terburuburu, pemantauan dan pengawasan yang lemah, serta jarang berkonsultasi dengan publik. 264
b. Program ini menimbulkan perpindahan pekerja karena upah yang ditetapkan lebih tinggi dari
upah di pasaran. Nilai upah ditentukan oleh pusat untuk 4 kawasan besar. Namun, upah median program
ini ditetapkan relatif tinggi bagi pekerja tanpa keahlian – rata-rata pada persentil ke-40 upah di pasaran.265
Karena upahnya lebih tinggi dari upah di pasaran, permintaan untuk pekerjaan ini pun melebihi pasokan.
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) serta ketua RT dan RW berperan kunci dalam mengidentifikasi
penerima pekerjaan dengan dibantu kepala desa dan stafnya. Hal ini menimbulkan tuduhan bahwa para
pejabat tersebut melakukan nepotisme dan hanya memberikan pekerjaan bagi keluarga, teman, dan rekan
mereka. Selain itu, upah yang lebih tinggi juga memberikan insentif bagi para pekerja yang telah memiliki
pekerjaan untuk beralih pekerjaan dan bersaing dengan para penganggur yang semestinya menjadi sasaran
program. 266
c. Program Padat Karya ternyata tidak sepadat karya yang diharapkan. Alokasi upah untuk berbagai
proyek diharapkan mencapai 70 persen. Kenyataannya, hanya 50 persen dari anggaran proyek yang
dialokasikan untuk upah. 267 Menurunnya intensitas tenaga kerja mengakibatkan turunnya jumlah pekerjaan
yang tersedia dan membuat permintaan pekerjaan semakin tinggi karena upah yang relatif besar. Selain itu,
tingkat keikutsertaan perempuan juga rendah karena sifat pekerjaan yang berat dan menuntut kemampuan
fisik. Sebanyak 81 persen dari penerima manfaat program adalah laki-laki, jauh lebih banyak daripada
perempuan yang hanya 19 persen. 268
Kerangka kerja siaga untuk pekerjaan umum dapat membantu pemerintah untuk menciptakan
peluang kerja jangka pendek ketika dibutuhkan. Kerangka kerja semacam ini dapat menjalankan dua
fungsi utama: a) menentukan daerah mana saja yang membutuhkan penciptaan lapangan kerja, dan; b)
262
263
264
265
266
267
268
Strauss et al. 2001. Indonesian Living Standards. (Berdasarkan IFLS 2000).
Suharso, Sumarto, dan Suryahadi. 2005. SMERU. (Berdasarkan data dari Modul Khusus Susenas).
Perdana dan Maxwell, 2004.
Strauss et al. 2001. Indonesian Living Standards. (Berdasarkan IFLS3).
Grosh et al. 2008. For Protection and Promotion: The Design and Implementation of Effective Safety Nets. Denganmengutip
Sumarto, Suryahadi, dan Pritchett, 2000.
Strauss et al. 2001 (Berdasarkan data IFLS3 dari sisi masyarakat).
Perdana dan Maxwell, 2004.
189
memicu tanggapan program untuk menciptakan peluang kerja jangka pendek bagi pekerja, baik di area
pedesaan maupun perkotaan. Pengalaman internasional mengenai pekerjaan umum menjadi pelajaran
untuk membuat program pekerjaan umum yang efektif. Masalah yang timbul dalam program pekerjaan
umum sebelumnya dapat dihindari dengan berpegang pada prinsip praktik terbaik berikut269:
Menciptakan program yang terpadu dan dikelola secara terpusat. Koordinasi yang lemah
merupakan tantangan bagi program pekerjaan umum skala besar, terutama jika program dilaksanakan
pada berbagai tingkat pemerintahan. Untuk menghindari masalah tersebut, perlu ditunjuk satu
lembaga di tingkat pusat yang bertanggung jawab memimpin strategi keseluruhan dan memantau
pelaksanaan program.
Memilih proyek dengan intensitas tenaga kerja paling tinggi demi meningkatkan peluang kerja
yang dihasilkan program. Intensitas tenaga kerja dalam program pekerjaan umum merefleksikan
persentase biaya tenaga kerja terhadap biaya keseluruhan proyek tersebut. Hal ini bergantung pada
beberapa faktor, termasuk jenis aset yang diciptakan, tingkat upah, dan kemampuan lembaga pelaksana
untuk menganggarkan dengan tepat biaya non-upah.270 Meskipun proyek seharusnya diupayakan
mempunyai intensitas tenaga kerja yang tinggi (60 persen atau lebih), perlu dipastikan pula tersedianya
sumber daya yang cukup untuk material dan peralatan supaya proyek dapat diselesaikan sesuai rencana
dengan standar mutu yang diinginkan.
Mendorong keikutsertaan perempuan dengan mengubah elemen rancangan program.
Rancangan pekerjaan umum dapat disesuaikan untuk memungkinkan keikutsertaan perempuan.
Sejumlah proyek – termasuk di Malawi (MASAF), India (SGRY), Afrika Selatan (EPWP) dan Tanzania
(TASAF) – menetapkan target persentase minimum keikutsertaan perempuan dalam pedoman
proyek. Menambah keragaman jenis tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mendorong keikutsertaan
perempuan. Karena proyek yang membutuhkan kerja berat cenderung menyisihkan keikutsertaan
perempuan, dapat dipertimbangkan berbagai jenis pekerjaan ringan seperti perawatan bangunan dan
taman. Skema Jaminan Pekerjaan Maharashtra (Maharashtra Employment Guarantee Scheme - MEGS) di
India mendorong keikutsertaan perempuan dengan memberikan pekerjaan dalam jarak lima kilometer
dari rumah peserta, menyediakan fasilitas penitipan anak, dan menawarkan upah yang setara. Terakhir,
jenis pembayaran kemungkinan berdampak terhadap keikutsertaan perempuan; upah yang dibayarkan
dalam bentuk barang atau upah yang dibayarkan untuk kuantitas kerja kemungkinan dapat menarik
lebih banyak perempuan daripada laki-laki ke lokasi kerja.271
Menetapkan upah di bawah tingkat pasar bagi pekerja tanpa keahlian supaya terjadi seleksi
mandiri karena hanya pekerja yang paling miskinlah yang bersedia mengikuti program. Langkah ini
akan memastikan bahwa programnya pro rakyat miskin sehingga dapat menarik mereka yang tak punya
alternatif lain untuk mendapat penghasilan dan paling memerlukan penghasilan tambahan, sambil
menyisihkan mereka yang tidak miskin dan mereka yang telah memiliki pekerjaan. Pada saat yang sama,
upah rendah akan mendorong para peserta untuk melanjutkan mencari peluang kerja yang lebih baik.
Bukti yang ada mengisyaratkan bahwa jika upah untuk program pekerjaan umum ditetapkan sama
dengan upah minimum (di sejumlah negara, upah minimum lebih tinggi daripada upah di pasaran),
maka program tak hanya cenderung sulit ditargetkan dengan tepat, tetapi juga sangat mahal untuk
dibiayai pemerintah.272
Mengkonsentrasikan pekerjaan umum di area miskin dengan tingkat pengangguran yang
tinggi. Lembaga yang mengkoordinasi di tingkat pusat harus menentukan target geografis secara
269
270
271
272
190
Bank Dunia, 2008c.
del Ninno, Subbarao, dan Milazzo, 2009.
Ibid.
Ibid.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10
Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
sistematis untuk menentukan lokasi program (Kotak 10.3). Mengalokasikan anggaran sesuai porsi
tingkat kemiskinan di daerah akan membantu memastikan bahwa area yang paling membutuhkan
akan memperoleh manfaat paling besar dari intervensi.
Kotak 10.4
Menargetkan Mereka yang Paling Membutuhkan melalui Pekerjaan Umum 273
Terdapat bukti bahwa pemakaian beragam metode penentuan target akan membuat identifikasi mereka yang
paling membutuhkan semakin akurat dan menyeluruh, sehingga meningkatkan kinerja penentuan target
program pekerjaan umum.273 Sebagai contoh, menggunakan seleksi mandiri saja kemungkinan tidak cukup
untuk menjangkau kelompok yang rentan di area miskin atau ketika permintaan untuk ikut serta dalam program
sangat tinggi sehingga diperlukan penjatahan pekerjaan.
Secara umum, terdapat tiga pendekatan untuk penentuan target: (a) seleksi mandiri, (b) seleksi mandiri yang
dikombinasikan dengan metode lain, dan (c) metode lain, termasuk penentuan target geografis. Di seluruh dunia,
metode yang paling populer adalah kombinasi antara seleksi mandiri dan metode lain, seperti penentuan target
geografis atau masyarakat.
Pemetaan kemiskinan untuk penentuan target geografis dapat membantu supaya area dengan konsentrasi
kemiskinan tertinggi di negara yang bersangkutan dapat menjadi fokus. Hal ini telah dilakukan di Malawi yang
melakukan penentuan target untuk keikutsertaan dalam pekerjaan umum MASAF di dua tingkat. Proses diawali
dengan identifikasi area geografis berdasarkan data dari Sistem Pemetaan Kerentanan (Vulnerability Assessment
Mapping System - VAM) yang memperhitungkan berbagai faktor seperti ketersediaan makanan di tingkat rumah
tangga, ketersediaan mekanisme untuk menghadapi krisis, dan ketersediaan lahan. Kemudian, unit pengelola
MASAF bersama dengan Unit Pemantau Kemiskinan (Poverty Monitoring Unit - PMU) bertanggung jawab
mengembangkan indeks yang cocok dan kriteria seleksi untuk area yang memenuhi syarat. Dalam area yang
menjadi target, pada tingkat masyarakat, upah ditetapkan di bawah upah minimum untuk mendorong seleksi
mandiri.
Program Trabajar di Argentina juga menerapkan kombinasi antara penentuan target geografis dan seleksi
mandiri dengan menawarkan tingkat upah yang awalnya ditetapkan sama dengan upah minimum (di bawah
upah pasaran) dan kemudian diturunkan lagi sampai ke tingkat di bawah upah minimum tahun 2000.
Sumber: del Ninno, Carlo, Kalanidhi Subbarao, dan Annamaria Milazzo. “How to Make Public Works Work: A review of the Experiences.”
2009. Makalah Diskusi Perlindungan Sosial (SP) No. 0905. Bank Dunia.
Melibatkan masyarakat dalam program pekerjaan umum untuk memilih proyek penciptaan
lapangan kerja akan memberikan banyak keuntungan.274 Yang pertama, hal tersebut akan menghasilkan
infrastruktur/aset yang paling dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian, pekerjaan umum akan betul-betul
menjadi kegiatan yang didorong oleh permintaan. Yang kedua, hal tersebut menciptakan rasa memiliki
terhadap aset yang dibuat dan kemungkinan akan menyebabkan perawatan aset yang lebih baik (seperti
misalnya pada saluran air masyarakat). Yang ketiga, hal tersebut dapat mendorong pengawasan proyek oleh
masyarakat sehingga mutu aset yang dibangun kemungkinan akan lebih baik. Keterlibatan masyarakat
dapat dimasukkan ke dalam rancangan proyek.
Karena berbagai alasan tersebut, sebuah kerangka kerja pekerjaan umum harus menggunakan
program Pembangunan Berbasis Masyarakat (Community Driven Development - CDD) yang sudah
ada. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) merupakan gabungan dari
273
274
Coady, Grosh, dan Hoddinott, 2004.
del Ninno, Subbarao, dan Milazzo, 2009.
191
semua program pembangunan berbasis masyarakat Pemerintah Indonesia; program ini memberikan
hibah langsung ke berbagai kecamatan untuk mendukung proyek pembangunan yang telah diidentifikasi
masyarakat. Program ini ditingkatkan selama tahun 2007-09 dan kini telah menjangkau semua kecamatan
di seluruh Indonesia. Program ini telah terbukti berhasil menciptakan lapangan kerja jangka pendek di area
pedesaan dan telah terjadi penurunan tingkat pengangguran sebesar rata-rata 1,5 persen. Pemerintah juga
menyalurkan dana tambahan melalui program ini untuk membiayai proyek penciptaan lapangan kerja di
area yang paling terkena dampak krisis ekonomi global baru-baru ini.
Tetapi, perlu berhati-hati supaya tidak merusak modal sosial yang ingin dibangun melalui program
berbasis masyarakat. PNPM-Mandiri membangun modal sosial dengan memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk mengambil keputusan mengenai pembangunannya sendiri. Pemilihan proyek yang
didanai melalui hibah langsung dilakukan dalam rapat desa secara terbuka dan dapat dihadiri semua
anggota masyarakat. Jika dana tambahan disalurkan melalui PNPM selama terjadinya guncangan lapangan
kerja, proyek padat karya semestinya dipilih dari daftar yang telah diidentifikasi oleh masyarakat. Persyaratan
penggunaan dana tambahan tersebut kemungkinan tetap diperlukan untuk memastikan bahwa upah
program berada di bawah upah pasaran pekerja yang berkeahlian sehingga program dapat ditargetkan
bagi pekerja yang paling membutuhkannya. Namun, tidak semua program PNPM-Mandiri sesuai untuk
pekerjaan umum. Di area perkotaan, program ini bergantung pada sukarelawan untuk pelaksanaan proyek.
Karena alasan tersebut, diperlukan jalur yang lain untuk menjangkau area perkotaan dan menciptakan lebih
banyak pekerjaan sementara selama berlangsungnya guncangan lapangan kerja yang ekstrim.
Selain pekerjaan umum, ada pula langkah kebijakan lain yang dapat mendorong penciptaan
lapangan kerja. Berikut adalah dua contoh inisiatif yang dapat digunakan selama atau setelah terjadinya
guncangan lapangan kerja:
Subsidi upah sementara dapat membantu mengurangi laju hilangnya pekerjaan di sektor formal.
Subsidi upah dapat mencegah pemberhentian karyawan jangka pendek dengan menurunkan biaya
tenaga kerja bagi pemberi kerja tanpa mengurangi gaji pekerja. Perusahaan juga tidak akan kehilangan
pekerja berkeahlian dan dapat menghemat biaya selanjutnya untuk mempekerjakan kembali pekerja
setelah pulih dari guncangan. Subsidi upah dapat digunakan untuk melindungi pekerja dari kelompok
yang rentan, seperti pekerja berupah rendah atau mereka yang baru memasuki pasar tenaga kerja.
Tetapi, subsidi upah hanya dapat dipertahankan dari sisi fiskal jika dilaksanakan untuk jangka pendek
saja. Karena alasan tersebut, subsidi upah kemungkinan bukan instrumen yang cocok untuk mengatasi
pengaruh jangka panjang dari guncangan.
Meningkatkan akses terhadap kredit mikro bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) juga dapat
membantu mendorong permintaan tenaga kerja, baik di sektor formal maupun informal. Akses
terhadap kredit dapat membantu calon wiraswasta untuk mendirikan usaha kecil dan menciptakan
peluang kerja. Kredit juga dapat berperan penting dalam mencegah ditutupnya perusahaan yang
masih layak beroperasi, dan dengan demikian, mencegah hilangnya pekerjaan di sektor produktif.
Sesuai dengan tujuan tersebut, Brasil, Cina, dan India baru-baru ini telah membuat kebijakan mengenai
kredit dan memberikan subsidi kepada sektor yang sangat produktif dan kepada UKM.
B. Mempertahankan Penghasilan bagi Pekerja yang Diberhentikan
Peraturan ketenagakerjaan Indonesia yang kaku telah membatasi kelenturan pasar tenaga kerja
dengan mengekang upaya perusahaan untuk mengatasi guncangan. Peraturan pemberhentian saat
ini membatasi kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan permintaan dunia
dan melakukan realokasi pekerja ke sektor yang lebih produktif. Hal ini karena perusahaan yang mematuhi
aturan akan terkena kewajiban membayar pesangon dalam jumlah besar jika mereka mengurangi karyawan
akibat penurunan permintaan. Bahkan menurut undang-undang, pemberi kerja baru boleh mengurangi
192
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10
Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
nilai pesangon ketika mereka bangkrut, bukan ketika mengurangi jumlah karyawan. Aturan ini tak hanya
dapat memperparah hilangnya pekerjaan selama terjadinya guncangan ekonomi, tetapi juga berdampak
terhadap pekerja yang diberhentikan karena kecil kemungkinan mereka akan menerima pesangon dari
perusahaan yang bangkrut.
Peraturan saat ini tak hanya menyulitkan pemberi kerja, tetapi juga gagal memberi perlindungan
yang cukup bagi pekerja yang rentan terhadap kemerosotan kondisi pasar tenaga kerja. Berbagai
peraturan, seperti misalnya aturan tentang pesangon, dirancang untuk melindungi pekerjaan, tetapi tidak
banyak membantu dalam melindungi pekerja yang rentan kehilangan pekerjaannya selama krisis. Peraturan
tersebut hanya sedikit melindungi, atau malah sama sekali tidak melindungi, mayoritas angkatan kerja di
sektor informal. Peraturan tersebut pun tidak efektif melindungi karyawan di sektor formal karena sebagian
besarnya bekerja tanpa kontrak dan tingkat kepatuhan pemberi kerja terhitung rendah, terutama di
perusahaan kecil.
Sistem tunjangan pengangguran adalah instrumen utama yang digunakan oleh negara
berpenghasilan menengah untuk mempertahankan penghasilan bagi pekerja yang diberhentikan.
Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, terdapat serangkaian kebijakan yang dapat diterapkan sebuah
negara untuk memberikan tunjangan pengangguran bagi pekerja sektor formal. Berbagai program tersebut
dapat disesuaikan dengan beberapa cara berikut ini untuk memberikan perlindungan tambahan ketika
terjadi guncangan: memperpanjang jangka waktu tunjangan; memperluas cakupan kepada subkelompok
yang sebelumnya tidak tercakup; dan memberikan kompensasi parsial kepada pekerja yang mengalami
pengurangan jam kerja. Meskipun Indonesia tidak memiliki sistem tunjangan pengangguran, krisis saat ini
mungkin dapat memicu upaya baru untuk mendalami opsi reformasi dan menyiapkan dasar analisis bagi
sistem di masa depan.275
Dana pensiun dapat memberikan perlindungan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan selama
terjadinya guncangan. Beberapa negara memperbolehkan kontributor yang telah diberhentikan untuk
melakukan penarikan dini dari dana pensiun. Sayangnya, dana pensiun di Indonesia (Jamsostek) tidak
memberikan perlindungan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan selama terjadinya guncangan. Penarikan
dini hanya diperbolehkan bagi pekerja yang telah memberikan kontribusi selama 5 tahun dan telah
menganggur selama enam bulan atau lebih.276 Bahkan jika pembatasan ini dilonggarkan pun, Jamsostek
hanya memberikan sedikit perlindungan bagi pekerja yang rentan. Walaupun 4 persen dari semua pekerja
(dan kira-kira 27 persen dari karyawan penerima upah dan gaji) memberikan kontribusi Jamsostek, hanya 1
persen dari pekerja tersebut yang diidentifikasikan sebagai sangat rentan selama krisis saat ini. Pekerja yang
akhirnya menarik dini dana pensiunnya hanya memperoleh perlindungan penghasilan yang kecil; rata-rata
dana yang dapat ditarik hanya setara dengan 3,8 bulan gaji karena rendahnya nilai kontribusi.
C. Kebijakan untuk Meningkatkan
Dipekerjakan dan Penghasilannya
Kelayakan
Pekerja
untuk
Program pelatihan menyeluruh dapat membantu pekerja yang menganggur untuk meningkatkan
kelayakannya dipekerjakan dan penghasilannya. Layanan pelatihan menyeluruh tak hanya memberikan
kesempatan kedua bagi pekerja, tetapi juga dapat menyerap pekerja yang menganggur atau mereka yang
baru memasuki angkatan kerja, dua golongan yang prospeknya kurang baik selama krisis. Jika kondisi fiskal
memungkinkan dan tidak ada program tunjangan pengangguran, layanan pelatihan dapat dilengkapi
275
276
Lihat Bab 4 untuk diskusi mengenai berbagai opsi untuk reformasi tunjangan pengangguran.
Vroman, 2007.
193
dengan upah pelatihan untuk meningkatkan penghasilan para penganggur. Namun demikian, pusat
pelatihan keahlian di Indonesia terlalu sedikit dan tidak memadai untuk mengakomodasi kebutuhan
pekerja yang rentan selama terjadinya guncangan. Krisis saat ini dapat menggarisbawahi kebutuhan untuk
memperluas layanan pelatihan, bukan hanya untuk meningkatkan keahlian angkatan kerja, tetapi juga
sebagai bagian dari sistem tanggapan terhadap guncangan.
Sistem voucher dapat membantu menyediakan pelatihan bagi mereka yang baru kehilangan
pekerjaan atau baru memasuki angkatan kerja. Pekerja yang baru diberhentikan dapat diberi voucher
yang dapat ditebus untuk pelatihan keahlian di pusat pelatihan yang telah dikontrak Kementerian Tenaga
Kerja. Voucher juga dapat diberikan kepada mereka yang baru lulus SMA dan belum memasuki angkatan
kerja. Pemberian pelatihan tambahan tak hanya mencegah para pekerja ini menjadi pengangguran, tetapi
juga mengurangi kemungkinan bahwa mereka akan berusaha mengatasi guncangan lapangan kerja
dengan kembali ke pekerjaan pertanian. Pelatihan tambahan dapat menyiapkan mereka untuk memperoleh
pekerjaan yang lebih baik setelah pasar tenaga kerja pulih kembali.
Tidak semua kebijakan untuk membantu penghasilan pekerja dapat berfungsi efektif sebagai jaring pengaman selama terjadinya guncangan upah. Selepas krisis keuangan 1997 dan peralihan Indonesia menuju demokrasi, upah minimum di Indonesia meningkat pesat untuk membantu karyawan pulih dari
krisis upah. Namun, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan upah minimum setelah krisis gagal melindungi pekerja berupah rendah dan menyebabkan tersisihnya pekerja informal.277 Kenaikan upah minimum
menimbulkan akibat yang tidak diharapkan, yaitu berkurangnya ketersediaan pekerjaan formal dan nontani. Selain itu, kebijakan untuk meningkatkan upah minimum juga gagal memberikan jaring pengaman
yang efektif bagi pekerja berupah rendah karena mereka memiliki kemungkinan lebih besar untuk bekerja
bagi pemberi kerja yang tidak patuh terhadap aturan upah minimum (misalnya usaha kecil dan menengah
yang berada di bawah ambang batas pengawasan inspektur tenaga kerja).
IV. Rekomendasi
Indonesia tidak memiliki kesiapan untuk melindungi pemberi kerja maupun pekerja dari guncangan
upah atau lapangan kerja. Pemerintah hanya memiliki sedikit instrumen kebijakan tenaga kerja yang dapat
digunakan untuk menanggapi krisis keuangan saat ini. Karena alasan tersebut, diperlukan pengembangan
program dan kebijakan yang dapat memperbaiki kelenturan pasar tenaga kerja dan memberikan
perlindungan menyeluruh bagi pekerja yang paling rentan. Rekomendasi berikut memberikan dasar bagi
terciptanya sistem untuk memantau dan menanggapi guncangan, yang dapat dipakai untuk menanggapi
guncangan ketenagakerjaan di masa depan.
Meningkatkan frekuensi pengumpulan dan menambah kelengkapan data ketenagakerjaan dapat
membantu mendeteksi guncangan dengan cepat dan mengetahui dengan akurat pekerja yang
terpengaruh. Untuk melindungi pekerja dari guncangan, diperlukan pengumpulan informasi terkini dan
penentuan dengan tepat daerah dan rumah tangga yang paling terkena dampaknya. Saat ini, survei tenaga
kerja hanya dilakukan dua kali setahun dengan ukuran sampel yang besar. BPS dapat meningkatkan keterkinian data dan sekaligus mengurangi biaya dengan menerapkan pendekatan survey kuartalan atau terusmenerus yang dapat menghasilkan data ketenagakerjaan per kuartal atau per bulan. Selain itu, ada pula
kebutuhan untuk memperluas pertanyaan survei untuk memantau dengan lebih baik kerentanan di antara
para pekerja. Fasilitas penelitian dan think tank lokal, yang didukung dengan bantuan teknis dan pembangunan kapasitas, dapat menggunakan data ini untuk melacak perubahan di pasar tenaga kerja dan mendi-
277
194
Lihat Bab 5 untuk diskusi mengenai kebijakan upah minimum di Indonesia.
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Bab 10
Memperluas Jaring Pengaman Tenaga Kerja
agnosis bagaimana guncangan dirasakan oleh pekerja sehingga mekanisme tanggapan dapat dirancang
dengan lebih baik. Keterlambatan penyaluran tanggapan program dapat berdampak sangat mahal bagi
para pekerja yang rentan dan keluarga mereka.
Data ini dapat dimasukkan ke dalam sistem pemantauan yang mampu mendeteksi guncangan di
masa depan, termasuk guncangan upah dan lapangan kerja. Jaring pengaman darurat tidak akan efektif
atau tepat waktu jika tidak disertai dengan sistem pemantauan dan tim siaga yang bertanggung jawab
memeriksa data yang tersedia (termasuk laporan dari lapangan) untuk mendeteksi krisis yang sudah di
depan mata. Sistem Pemantauan dan Respon terhadap Krisis (Crisis Monitoring and Response System - CMRS)
bertindak sebagai prototipe bagi sistem pemantauan dan tanggapan masa depan yang dapat dibuat
berkesinambungan sehingga guncangan di masa depan dapat dipantau dan diatasi begitu muncul.
Informasi yang diperoleh melalui pemantauan dapat menjadi masukan bagi rancangan sistem
tanggap darurat di masa depan, yang mengatur kapan dan bagaimana jaring pengaman bagi
pekerja akan disalurkan untuk mengantisipasi serangkaian kemungkinan guncangan. Sistem harus
mengidentifikasi pemicu yang dapat membenarkan penyaluran bantuan sementara melalui berbagai jalur
program. Untuk mengembangkan sistem ini, perlu disiapkan terlebih dahulu pedoman yang mengantisipasi
tanggapan terhadap skenario tertentu, termasuk rincian mengenai identifikasi penerima, besarnya dan
jenis paket bantuan (misalnya tunai atau berupa barang, pekerjaan umum), dan kapan bantuan diakhiri.
Rancangan sistem tanggapan juga harus menjelaskan bagaimana berbagai lembaga akan bekerja sama
untuk melakukan perancangan, aktivasi, pembiayaan, dan penyaluran demi tersedianya bantuan dengan
secepat dan seefisien mungkin.
Salah satu pilar sistem nasional untuk menanggapi guncangan semestinya berupa kerangka
kerja pekerjaan umum. Kerangka kerja ini mengatur kapan, di mana, dan bagaimana proyek penciptaan
lapangan kerja akan disalurkan untuk mengantisipasi serangkaian kemungkinan guncangan. Hal ini
termasuk mengidentifikasi pemicu yang akan meluncurkan proyek pekerjaan umum atau meningkatkan
alokasi bagi program padat karya yang sudah ada. Sebagai contoh, PNPM-Mandiri dapat menyalurkan
dana untuk mendukung proyek pembangunan padat karya yang telah diidentifikasi masyarakat setempat
di area pedesaan, sebuah langkah yang telah berhasil mengurangi angka pengangguran. Selain itu, perlu
diidentifikasi proyek atau jalur untuk memberikan bantuan sementara kepada pekerja di area perkotaan saat
dibutuhkan. Pada saat bersamaan, sistem tanggapan dapat diisi daftar siaga mengenai proyek infrastruktur
yang sedang direncanakan dan sudah berjalan, yang dapat dengan cepat menyerap pekerja selama
terjadinya guncangan baik di area pedesaan maupun perkotaan.
Belajar dari masa lalu dan berpegang pada “praktik terbaik” internasional akan memastikan
bahwa bantuan dapat menjangkau pekerja yang paling memerlukannya. Berbagai praktik terbaik
tersebut mencakup: menunjuk satu lembaga di tingkat pusat yang bertanggung jawab memimpin strategi
keseluruhan dan memantau pelaksanaan program; menggunakan penetapan target geografis secara
sistematis untuk menentukan lokasi program; menetapkan upah di bawah tingkat pasaran bagi pekerja
tanpa keahlian sehingga para pekerja tersebut akan terseleksi mandiri ke dalam program; mendorong
keikutsertaan perempuan dengan mengubah elemen rancangan program; dan memilih proyek padat karya
yang telah diidentifikasi oleh masyarakat atau mendukung proyek infrastruktur yang telah dimasukkan dalam
strategi pengembangan akan membantu memastikan bahwa proyek pekerjaan umum dapat berguna dan
produktif.
195
Lampiran
Lampiran I.1 Tren pada indikator inti pasar tenaga kerja
menurut subkelompok (tingkat pertumbuhan tahunan ratarata)
Indikator
1990-97
1997-99
1999-2003
2003-07
-0,2
-0,1
-0,4
-0,1
Lapangan kerja
Pertumbuhan rasio lapangan kerja (persen)
Laki-laki/Perempuan
-0,1
-0,3
-0,7
0,3
0,1
-1
-0,5
0,3
Miskin/Tidak miskin
N/A
N/A
2
-0,7
-1,2
-0,1
-2,1
-0,1
Perkotaan/Pedesaan
0,5
-0,3
-0,1
0,1
0,0
-0,6
0,1
-0,3
Dewasa/Muda
-0,2
-0,6
0,0
-0,7
-0,5
-0,7
-0,2
0,2
Pendidikan lebih rendah/Pendidikan lebih tinggi
-0,3
0,3
0,2
-1,5
-0,5
-0,1
0,1
-0,8
Pertumbuhan pengangguran (persen)
0,1
Struktur Tenaga Kerja
0,5
N/A
N/A
1
0,6
-0,3
-0,1
0,4
0,6
Miskin/Tidak miskin
N/A
N/A
0
1,2
0,2
-0,4
0,8
0,3
Perkotaan/Pedesaan
N/A
N/A
1,2
0,5
-0,5
0,0
0,6
0,4
Dewasa/Muda
N/A
N/A
0,5
2,2
-0,1
-0,3
0,5
0,6
Pendidikan lebih rendah/Pendidikan lebih tinggi
N/A
N/A
0,6
1,4
-0,1
-0,7
0,3
0,7
2,1
-1,3
-0,8
1,3
Laki-laki/Perempuan
2
2
-1,7
0,7
-0,6
-1,1
1,1
1,5
Miskin/Tidak miskin
N/A
N/A
-3,4
-0,5
-2,2
-0,2
3,8
0,4
Perkotaan/Pedesaan
0,4
1,7
-1,5
-1,9
-0,8
-1,5
0,8
1,7
Dewasa/Muda
2,0
2,6
-1,0
-2,6
-0,9
-0,1
1,3
1,3
Pendidikan lebih rendah/Pendidikan lebih tinggi
1,8
0,5
-1,6
-1,3
-1,1
-0,3
1,4
0,1
Pertumbuhan pangsa lapangan kerja formal (persen)
1,5
-0,9
-0,3
1,2
Laki-laki/Perempuan
1,6
1,2
-1,4
0,1
-0,3
-0,6
1,3
1,2
Miskin/Tidak miskin
3,6
-0,1
-2,4
-0,6
-0,8
-0,2
2,1
0,7
Perkotaan/Pedesaan
0,4
1,2
-1,7
-0,9
-0,3
-0,8
0,1
1,9
Dewasa/Muda
1,4
1,9
-0,6
-1,8
-0,3
-0,2
1,2
1,3
Pendidikan lebih rendah/Pendidikan lebih tinggi
1,1
0,1
-0,8
-2,1
-0,6
0,0
1,4
-0,2
Pertumbuhan upah median (persen)
Upah
-0,2
Laki-laki/Perempuan
Pertumbuhan pangsa lapangan kerja non-tani (persen)
7,1
-11
8,9
-3,8
Laki-laki/Perempuan
6,4
10,3
-10,2 -10,4
7,9
9,7
-4,1
-3,2
Miskin/Tidak miskin
-0,2
11,1
-10,8 -11,9
6,1
9,3
-1,2
-2,3
Perkotaan/Pedesaan
5,9
7,4
-12,9
-9,5
9,6
5,6
-3,6
-2,2
Dewasa/Muda
6,5
8,8
-11,0 -12,7
7,6
10,6
-3,7
-3,7
Pendidikan lebih rendah/Pendidikan lebih tinggi
7,1
4,4
-10,9 -10,7
7,0
7,0
-3,1
-2,1
Sumber: Sakernas; Susenas untuk tingkat pengangguran 1992-97.
198
0,8
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lampiran
Catatan:
1.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) hanya mengumpulkan data mengenai laba dari pekerja lepas dan wiraswasta yang
bekerja sendirian; hampir separuh dari keseluruhan pengusaha wiraswasta tidak tercakup karena mereka tidak bekerja sendirian.
Selain itu, sebelum tahun 2001, survei tersebut juga tidak mengumpulkan data laba dari para wiraswasta karena laba dari usaha
sendiri sangat sulit untuk dihitung secara akurat, apalagi mereka yang menjalani usaha kecil dan informal sering kali tidak tahu
berapa nilai laba mereka, dan nilai labanya dapat sangat bervariasi dari bulan ke bulan.
2.
Lapangan kerja di sektor non-tani (misalnya industri dan jasa) dianggap lebih baik karena sektor pertanian adalah yang paling
tidak produktif, mempekerjakan proporsi tertinggi pekerja tak dibayar atau pekerja lepas, dan mempekerjakan proporsi terendah
pekerja berpendidikan. Lebih sedikit informasi upah yang dapat diperoleh pada sektor ini, tetapi upah di sektor pertanian jauh
lebih rendah baik bagi pekerja penerima upah maupun wiraswasta yang berusaha sendiri. Hal ini mungkin disebabkan oleh
keengganan para petani untuk meninggalkan pertanian, atau adanya hambatan dalam memasuki sektor industri dan jasa yang
lebih formal.
Atribut Sektor (2007)
Pertanian
Industri
Jasa
Total
Produktivitas Tahunan
Rata-rata US$ per pekerja
13
99
39
40
IDR per pekerja
1.334
9.888
3.932
3.981
Status pekerjaan
% pekerja lepas
14,4
16,9
3,2
10,4
% pekerja yang merupakan pekerja keluarga tak dibayar
30,7
6,8
8,3
17,3
% pekerja yang merupakan karyawan penerima gaji
5,8
52,9
39,4
28,1
Upah
Upah karyawan median
3098
3688
4683
4016
Upah wiraswasta (sendiri) median
2295
2869
3031
2754
% pekerja berpendidikan SMA atau lebih tinggi
7,4
27,3
41,5
24,8
Pendidikan
Pangsa angkatan kerja
Menurut sektor
41,3
18,8
39,9
100
Atribut Sektor (2007)
3. Sejak tahun 2001, Sakernas mengklasifikasikan semua pekerja dalam salah satu dari enam kategori status pekerjaan
berikut: Pekerja lepas, pekerja keluarga tak dibayar, wiraswasta yang berusaha sendirian, wiraswasta dengan pekerja
sementara atau pekerja keluarga, wiraswasta dengan pekerja permanen, dan karyawan penerima gaji. Walaupun
klasifikasi ini berisi informasi penting mengenai kualitas pekerjaan, kategorinya sangat beragam. Sebagai contoh,
karyawan penerima gaji mencakup baik pembantu rumah tangga maupun dosen universitas, sedangkan
wiraswasta yang berusaha sendiri mencakup baik penarik becak yang berupah rendah maupun penjual obat atau
agen real estat independen yang berpenghasilan tinggi.
199
Lampiran II.1 Tren pertumbuhan dan pasar tenaga kerja di
berbagai negara
Periode
Negara
Indonesia
Cina
Pra-krisis
1990-97
Pemulihan
1999-2003
Pengangguran
Struktur Tenaga
Kerja
Pertumbuhan PDB
riil per tahun (%)
Pertumbuhan
tahunan rata-rata
pada tingkat
orang dewasa
(usia 15+) yang
bekerja (persen)
Perubahan
tahunan rata-rata
pada tingkat
pengangguran
(inti) (persen)
Perubahan tahunan
rata-rata pada
pangsa pekerja
di sektor non-tani
(persen)
7,4
-0,2
0,1
2,1
11,5
-0,2
0,0
0,9
9,2
0,4
-0,3
1,2
Filipina
3,1
0,2
0,0
0,7
Thailand
6,8
-0,9
-0,2
2,0
Vietnam
8,4
-0,2
N/A
1,6
-6,4
-0,1
0,8
-1,3
Cina
7,7
-0,23
0,0
0,3
Malaysia
-0,8
-0,9
0,5
-0,6
Filipina
1,4
-1,8
0,8
1,3
Thailand
-3,3
-2,5
1,1
0,9
Vietnam
5,3
0,7
-0,3
0,2
Indonesia
4,5
-0,4
-0,2
-0,8
Cina
9,0
-0,4
0,1
0,9
Malaysia
4,7
0,2
0,0
1,0
Filipina
4,3
0,4
0,2
0,1
Thailand
4,8
0,3
-0,4
0,9
Vietnam
7,0
-0,2
0,0
1,3
Indonesia
5,4
-0,1
0,5
1,3
Cina
Ekspansi
2003-06
Lapangan Kerja
Malaysia
Indonesia
Krisis
Keuangan
1997-98
Pertumbuhan
10,3
-0,4
0,0
N/A
Malaysia
6,1
-0,6
0,4
N/A
Filipina
5,5
-0,5
-0,9
0,1
Thailand
5,3
0,2
-0,1
1,2
Vietnam
8,1
-0,1
-0,3
1,8
Sumber: CEIC, ILO, Sakernas, Susenas untuk tingkat pengangguran tahun 1992-97 di Indonesia, Indikator Pembangunan Dunia.
200
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
7,7
5,51
5,25
8,13
Filipina
Thailand
Vietnam
Sumber: CEIC, GSO Vietnam, Sakernas, dan WDI.
Ekspansi
2003-06
6,1
Malaysia
10,33
5,4
Cina
7,03
Indonesia
6,63
10,22
7,36
4,49
7,79
11,77
4,47
10,10
5,89
3,51
5,15
10,06
4,15
8,01
-2,35
-0,63
-1,42
8,50
-6,33
12,44
8,82
3,30
11,04
15,64
8,95
Pertumbuhan
rata-rata pada
pertambahan
nilai di sektor
industri
9,03
3,61
-0,56
-2,35
6,14
2,54
16,40
5,14
2,42
3,04
-0,53
1,14
-9,80
-5,25
-1,68
-1,50
-0,38
-1,76
3,36
5,71
4,67
6,66
2,76
6,88
Tingkat
pertumbuhan
rata-rata
pada jumlah
karyawan
industri
Pertumbuhan
lapangan
kerja
Sektor industri
Pertumbuhan
PDB
4,43
2,24
1,21
4,99
3,53
5,60
3,55
Vietnam
1,55
-0,11
3,50
8,95
Cina
4,83
4,46
Indonesia
0,10
1,31
4,26
5,27
Vietnam
Thailand
-3,32
Thailand
1,90
0,88
4,07
1,39
Filipina
0,92
-0,50
6,46
5,58
4,34
4,42
4,62
6,31
4,71
-0,84
Malaysia
-6,43
Indonesia
Cina
6,75
8,36
Vietnam
Filipina
Thailand
9,24
3,11
Malaysia
7,38
11,51
Pertumbuhan
rata-rata pada
jumlah orang
dewasa yang
bekerja di sektor
non-tani
Pertumbuhan
PDB riil per
tahun (%)
Cina
Pertumbuhan
lapangan kerja
non-tani
Pertumbuhan
Indonesia
Negara
Pemulihan Malaysia
1999-2003 Filipina
Krisis
Keuangan
1997-98
Pra-krisis
1990-97
Periode
0,88
0,54
-0,12
-0,30
0,52
0,57
1,62
0,87
0,69
0,59
-0,05
0,28
-1,22
2,23
2,66
1,06
-0,04
0,28
0,27
0,65
1,42
0,60
0,18
0,77
Elastisitas
lapangan
kerja di
sektor
industri
Elastisitas
lapangan
kerja
7,26
5,94
7,27
6,22
10,27
7,81
6,10
3,54
4,97
4,49
9,95
5,40
3,64
-4,97
3,75
-0,14
8,80
-9,07
8,45
6,36
3,51
9,98
10,59
6,95
Pertumbuhan
rata-rata pada
pertambahan
nilai di sektor
jasa
9,03
4,89
3,15
1,49
4,12
4,01
16,40
2,97
3,89
4,70
3,23
-0,71
7,20
3,22
3,26
2,48
2,07
0,09
3,36
5,67
4,23
4,39
6,55
6,04
Tingkat
pertumbuhan
rata-rata
pada jumlah
karyawan jasa
0,85
0,82
0,43
0,24
0,40
0,51
0,37
0,84
0,78
1,05
0,32
-0,13
1,98
-0,65
0,87
-17,48
0,24
-0,01
1,39
0,89
1,21
0,44
0,62
0,87
Elastisitas
lapangan
kerja di
sektor jasa
Pertumbuhan Pertumbuhan Elastisitas
PDB
lapangan kerja lapangan
kerja
Sektor jasa
-3,6
-1,8
-1,8
N/A
11,7
-2,0
4,6
-5,7
-0,1
N/A
13,6
11,2
N/A
-2,3
2,3
N/A
14,9
-11,1
N/A
3,5
1,5
N/A
5,8
3,3
Pertumbuhan
rata-rata pada
upah rata-rata
Pertumbuhan
upah riil
Lampiran II.2 Tren lapangan kerja sektor non-tani dan pertumbuhannya di berbagai negara
Lampiran
201
Lampiran III.1 Karakteristik karyawan dan pekerjaan menurut
status kontrak
Status kontrak (dalam persentase)
Tabel A: Karakteristik karyawan
Permanen
Kontrak dengan
jangka waktu
tertentu
Tanpa kontrak resmi
Usia
15–19 tahun
3,17
8,02
7,22
20–24 tahun
15,09
35,17
16,52
25–34 tahun
30,85
32,82
32,37
35–44 tahun
26,85
14,17
23,58
45–54 tahun
19,62
7,73
14,85
55 tahun ke atas
4,39
2,10
5,46
Usia rata-rata (tahun)
35,6
28,9
34,2
Tidak sekolah
0,28
0,37
2,03
SD
9,29
8,84
27,78
Tingkat pendidikan tertinggi
SMP
9,72
9,70
17,63
SMA
43,86
53,59
32,80
Pendidikan tinggi
36,87
27,45
19,76
Sumber: IFLS, 2007.
Catatan: Subtotal menurut masing-masing karakteristik karyawan adalah 100%
Status kontrak (dalam persentase)
Tabel B: Karakteristik pekerjaan
Permanen
Kontrak dengan
jangka waktu tertentu
Tanpa kontrak resmi
1–4 karyawan
9,21
5,51
26,52
5–19 karyawan
34,09
24,76
32,14
20–99 karyawan
28,78
30,05
23,99
100+ karyawan
27,96
39,74
17,36
Pertanian
1,70
1,34
7,35
Pertambangan dan penggalian
2,49
1,27
1,19
Manufaktur
23,23
39,27
26,86
Utilitas
1,21
1,54
0,56
Ukuran perusahaan
Sektor
202
Konstruksi
1,52
1,38
3,67
Perdagangan
8,88
16,39
19,24
Transportasi
3,94
3,52
4,17
Jasa keuangan
5,63
10,11
4,82
Jasa sosial
50,00
23,66
30,31
Lain-lain
1,36
1,54
1,84
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lampiran
Status kontrak (dalam persentase)
Tabel B: Karakteristik pekerjaan
Permanen
Kontrak dengan
jangka waktu tertentu
Tanpa kontrak resmi
Wilayah
Bali dan Nusa Tenggara
3,77
2,11
3,79
Kalimantan
7,23
1,73
2,57
Sulawesi
1,64
1,59
2,17
Sumatera
10,08
10,47
11,89
Jakarta
13,11
12,97
6,17
Jawa Barat
15,27
26,92
24,00
8,60
7,22
16,05
Jawa
Jawa Tengah
Yogyakarta
10,20
6,40
6,83
Jawa Timur
21,11
22,05
22,58
8,95
8,58
3,99
Banten
Sumber: IFLS, 2007.
Tabel C: Karakteristik kualitas
pekerjaan
Tingkat kesulitan pekerjaan
(Skala 1 sampai 4, pekerjaan yang lebih melelahkan secara fisik
diberi nilai lebih tinggi)
Permanen
Kontrak dengan
jangka waktu tertentu
Tanpa kontrak resmi
Usaha fisik
2,2536
2,4730
2,5415
Mengangkat beban berat
1,6209
1,7230
1,9934
Membungkuk, berlutut
2,0284
2,0196
2,3483
Penglihatan yang baik
3,0332
3,0515
2,8293
Konsentrasi intens
3,2607
3,1985
2,9751
Keahlian relasi personal
3,2156
3,2132
2,9772
Keahlian komputer
1,9100
1,7819
1,4280
Stres
1,6682
1,7475
1,5484
Sumber: IFLS, 2007.
Catatan: Survey IFLS 4 meminta individu untuk menanggapi pernyataan yang ditujukan guna mengetahui persepsi mereka mengenai
kualitas pekerjaan mereka. Persepsi ini digabungkan untuk menghasilkan skala ukuran bagi setiap pernyataan; nilainya diperlihatkan
pada tabel di atas. Dalam membuat skala tersebut, tanggapan diberi nilai 4 untuk jawaban Selalu/Hampir selalu; 3 untuk jawaban
Sering; 2 untuk jawaban Kadang-kadang; dan 1 untuk jawaban Tidak pernah/Hampir tidak pernah. Pekerjaan yang lebih melelahkan
secara fisik bernilai lebih tinggi.
203
204
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
0,1
0,09
6734
(24,35)**
(26,47)**
6736
32,869
(4,70)**
-0,69
44,426
-3,179
-1,27
0,496
0,704
-0,88
Minggu per
tahun
0,653
Jam per
minggu
0,42
6609
(195,54)**
12,586
(3,66)**
0,112
(8,14)**
0,253
Log upah
bulanan
Upah
0,06
6743
(10,60)**
0,41
-0,02
0
-1,06
-0,021
Makan
0,1
6743
(2,52)*
0,065
-0,35
0,006
-1,38
0,027
Transpor
0,27
6743
(10,51)**
0,372
(3,64)**
0,081
(7,01)**
0,156
Kesehatan
0,06
6743
(7,13)**
0,248
-1,86
-0,039
-0,23
-0,005
Kredit
Tunjangan non-upah
0,32
6743
(9,85)**
0,21
(4,17)**
-0,064
(7,39)**
0,144
Pensiun
Sumber: IFLS4 (2007)
Catatan:
1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen.
2. Koefisien adalah efek marginal rata-rata.
3. Robust standard error dalam kurung.
4. Variabel kontrol tambahan termasuk: jenis kelamin; usia; tingkat pendidikan tertinggi; ukuran perusahaan; sektor pekerjaan (dua digit); lokasi geografis menurut wilayah.
R-kuadrat
Pengamatan
Konstan
Jangka waktu tetap
Permanen
Variabel dependen:
Intensitas kerja
0,15
6743
(2,10)*
0,062
(2,61)**
-0,052
-1,49
0,032
Pesangon
Lampiran III.2 Perbedaan dalam intensitas kerja, upah, dan tunjangan berdasarkan
status kontrak (relatif terhadap pekerja tanpa kontrak)
Lampiran
Lampiran III.3 Determinan formalitas
Variabel dependen: Formal = 1 Informal = 0
Variabel dependen: Log upah per jam
Formal
0,311
[0,026]**
Laki-laki
0,066
Laki-laki
[0,002]**
Perkotaan
0,224
Perkotaan
[0,002]**
0,066
0,393
[0,022]**
0,105
[0,023]**
Jawa
-0,226
[0,022]**
Usia (kelompok yang tidak dimasukkan: 15-18)
Usia (kelompok yang tidak dimasukkan: 15-18)
19-24
19-24
0,063
0,106
[0,006]**
25-34
0,03
[0,061]
25-34
0,349
[0,005]**
35-49
0,03
[0,058]**
35-49
0,597
[0,005]**
50-64
-0,008
[0,058]**
50-64
0,603
[0,006]
65+
-0,088
[0,062]**
65+
0,425
[0,007]**
[0,078]**
Pendidikan (kelompok yang tidak dimasukkan: tidak lulus SD)
SD
0,09
Pendidikan (kelompok yang tidak dimasukkan: tidak lulus SD)
SD
0,192
[0,003]**
SMP
0,173
[0,048]**
SMP
0,396
[0,004]**
SMA
0,346
[0,055]**
SMA
0,7
[0,004]**
Pendidikan tinggi
0,609
[0,057]**
Pendidikan tinggi
[0,002]**
Kejuruan
0,051
1,44
[0,058]**
Kejuruan
[0,005]**
0,047
[0,037]
Industri (kelompok yang tidak dimasukkan: pertanian)
Industri
0,289
[0,035]**
Jasa
0,195
[0,033]**
Pengamatan
R-kuadrat
495.295
0,184
Sumber: Sakernas, 2007
Catatan:
1. Regresi probit
2. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen;
* signifikan pada 10 persen.
3. Koefisien adalah efek marginal yang dievaluasi pada nilai
rata-rata.
4. Robust standard error dalam kurung.
5. Kontrol lainnya adalah rekaan regional (regional
dummy)
Pengamatan
R-kuadrat
12.782
0,24
Sumber: IFLS4
Catatan:
1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; *
signifikan pada 10 persen.
2. Koefisien adalah efek marginal yang dievaluasi pada nilai ratarata.
3. Standar error kokoh (Robust standard error) dalam kurung.
205
Lampiran IV.1 Perhitungan uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan hak dasar menurut lamanya
masa kerja
Pesangon
Uang Penghargaan Masa Kerja
Masa kerja
(tahun)
Nilai (bulan
gaji)
Masa kerja
(tahun)
Nilai (bulan
gaji)
Pesangon + Uang Penghargaan
Masa Kerja
Masa kerja
(tahun)
Nilai (bulan
gaji)
<1
1
3 sampai < 6
2
<1
1
1 sampai < 2
2
6 sampai < 9
3
1 sampai < 2
2
2 sampai < 3
3
9 sampai < 12
4
2 sampai < 3
3
3 sampai < 4
4
12 sampai < 15
5
3 sampai < 4
6
4 sampai < 5
5
15 sampai < 18
6
4 sampai < 5
7
5 sampai < 6
6
18 sampai < 21
7
5 sampai < 6
8
6 sampai < 7
7
21 sampai < 24
8
6 sampai < 7
10
7 sampai < 8
8
> 24
10
>8
9
7 sampai < 8
11
8 sampai < 9
12
9 sampai < 12
13
12 sampai < 15
14
15 sampai < 18
15
18 sampai < 21
16
21 sampai < 24
17
> 24
19
Pembayaran untuk hak dasar tambahan (D) (Pasal 156-4)
1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum hangus.
2. Biaya transpor bagi pekerja dan keluarganya.
3. Kompensasi kesehatan, medis, dan perumahan: 15% dari nilai pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja
4. Butir lainnya yang tercantum dalam kontrak.
Sumber: Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 13/2003), Pasal 156
206
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lampiran
Lampiran IV.2 Indikator ketidakpatuhan, menurut
karakteristik karyawan dan pekerjaan
Tabel A: Ketidakpatuhan Menurut Karakteristik Karyawan
Sakernas
IFLS
Karakteristik
karyawan
Indikator 1:
Persentase
pekerja yang
memenuhi
syarat namun
tidak menerima
pesangon
Indikator 2:
Persentase
pekerja yang
memenuhi
syarat namun
menerima
pesangon lebih
kecil daripada
haknya*
Indikator 3:
Persentase
rata-rata
pesangon yang
diterima oleh
pekerja yang
memenuhi
syarat*
Semua karyawan
65,61
78,42
69,63
Indikator 1:
Persentase
pekerja yang
memenuhi
syarat
namun tidak
menerima
pesangon
Semua karyawan
Jender
64,54
Jender
Laki-laki
63,22
83,42
67,36
Perempuan
69,97
67,27
74,86
Usia (tahun)
Laki-laki
65,66
Perempuan
62,55
Usia (tahun)
15-19
85,27
100,00
28,74
15-18
92,56
20-24
84,61
84,36
39,03
19-24
88,43
25-34
59,80
82,59
68,10
25-34
63,94
35-44
37,56
71,09
87,51
35-49
54,15
45-54
55,89
67,44
73,09
50-64
50,73
>=55
100,00
>=65
79,44
-
-
Tingkat pendidikan tertinggi
Tingkat pendidikan tertinggi
Tidak sekolah
73,12
56,05
87,34
SD
65,53
75,87
61,42
SD
70,96
SMP
65,51
80,33
66,23
SMP
61,92
SMA
64,32
81,88
62,31
SMA
63,69
Pendidikan Tinggi
67,32
69,88
142,85
Lebih tinggi
57,93
Sumber: Sakernas, 2008
* Dari pekerja yang memenuhi syarat untuk menerima pesangon
Sumber: IFLS, 2007
207
Tabel B: Ketidakpatuhan Menurut Karakteristik Pekerjaan
Sakernas
IFLS
Indikator 1:
Indikator 2:
Persentase pekerja
Persentase
yang memenuhi
pekerja yang
syarat namun
memenuhi syarat
tidak menerima namun menerima
pesangon
pesangon lebih
kecil daripada
haknya*
Karakteristik
pekerjaan
Semua karyawan
65,61
Indikator 3:
Persentase
rata-rata
pesangon yang
diterima oleh
pekerja yang
memenuhi
syarat1
78,42
69,63
Semua karyawan
Ukuran perusahaan (jumlah karyawan)
64,54
Ukuran perusahaan (jumlah karyawan)
1-4
74,37
100,00
23,18
1-4
72,90
5 - 19
71,95
81,44
54,16
5-19
71,85
20 - 100
65,08
83,11
61,73
20-99
69,64
100+
61,20
70,30
87,71
>=100
52,84
0-3 tahun
82,12
81,59
68,45
< 1 tahun
88,67
4-9 tahun
43,60
85,00
62,03
1-5 tahun
74,37
10+ tahun
38,92
65,68
81,67
Masa kerja
Masa kerja
Upah (Rp)
5-10 tahun
59,99
>10 tahun
32,03
Upah (Rp)
250,000 ribu atau
kurang
86,94
0,00
145,80
250,000 ribu atau
kurang
250,001 – 500 ribu
76,24
83,85
51,26
250,001 – 500 ribu
80,58
500,001 – 1 juta
67,88
85,67
63,75
500,001 – 1 juta
56,27
1.000.001 – 1,5 juta
47,04
66,76
84,20
1.000.001 – 1,5 juta
49,22
>1,5 juta
43,89
86,44
63,72
>1,5 juta
44,69
Jenis kepemilikan perusahaan
78,94
Jenis kepemilikan perusahaan
Pemerintah
100,00
Pemerintah
74,50
BUMN2
68,48
55,33
193,36
BUMN
65,25
Swasta domestik
57,39
72,04
76,35
Swasta domestik
65,41
Asing/Multinasional
53,21
3
-
-
78,24
85,12
70,79
Pemilik individu
70,64
91,04
46,16
Lain-lain
73,40
100,00
27,59
Pertanian
86,14
100,00
36,36
Pertambangan
100,00
Manufaktur
66,61
Asing/Multinasional
Sektor
Sektor
Utilitas
71,07
-
Pertanian
-
82,63
-
-
Pertambangan
72,59
-
Manufaktur
63,30
Kelistrikan
52,85
Konstruksi
42,51
77,14
61,47
Konstruksi
73,65
Perdagangan
55,42
75,73
76,56
Perdagangan grosir
69,63
Transportasi
21,08
83,08
64,10
Transportasi
52,03
Jasa keuangan
83,42
100,00
57,21
Keuangan
66,11
Jasa sosial
70,29
79,64
65,84
Pegawai negeri
60,44
Lain-lain
39,07
Wilayah
Kalimantan
34,14
100,00
30,15
Sulawesi
100,00
Sumatera
55,55
85,22
44,62
Jawa/Bali
66,41
77,08
73,46
-
-
Sumber: Sakernas, 2008
1
Dari pekerja yang memenuhi syarat dan melaporkan menerima pesangon.
2
Badan Usaha Milik Negara
3
Perusahaan multinasional
208
Indikator 1:
Persentase pekerja
yang memenuhi
syarat namun
tidak menerima
pesangon
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Sumber: IFLS, 2007
Lampiran
Lampiran V.1 Dampak kenaikan upah minimum terhadap
upah dan ketidakpatuhan
Variabel dependen: Log upah
pekerja penerima gaji, dan indikator
bahwa upah lebih kecil daripada upah
minimum.
Log upah minimum
provinsi
Log upah minimum
provinsi
Log upah minimum
provinsi
(Tahun ini)
(Tahun sebelumnya)
(dua tahun yang lalu)
Log upah
0,30**
0,30**
0,24***
(0,12)
(0,12)
(0,08)
0,30***
0,24***
0,25***
(0,06)
(0,07)
(0,06)
Persentil ke-50
0,28***
0,29***
0,19***
(0,06)
(0,07)
(0,05)
Persentil ke-75
0,33***
0,21***
0,29***
(0,06)
(0,06)
(0,06)
Ketidakpatuhan
0,10***
0,10***
0,08**
(0,02)
(0,02)
(0,04)
Satu tahun yang lalu
Ya
Tidak
Tidak
Dua tahun yang lalu
Tidak
Ya
Tidak
Tiga tahun yang lalu
Tidak
Tidak
Ya
Kontrol pratertentu (predetermined
control)
Ya
Ya
Ya
Jumlah provinsi (2007)
33
33
33
Persentil ke-25
Karakteristik kabupaten beda kala (lagged):
Jumlah tahun
13
12
11
Pengamatan
33.901
29.695
29.691
Sumber: Sakernas 1993, 1994, 1996-2007 (Agustus)
Catatan:
1. Setiap sel mewakili regresi yang berbeda. Log regresi upah menggunakan Kuadrat Terkecil Biasa (OLS), regresi persentil diambil dari
regresi kuantil; Kepatuhan merupakan efek marginal rata-rata dari regresi probit
2. Kontrol kabupaten beda kala (lagged) termasuk upah minimum provinsi, pangsa penduduk pada dua kuintil terbawah untuk
perkiraan konsumsi, dan rata-rata kabupaten untuk indikator pasar tenaga kerja berikut: Upah karyawan, persentase lapangan kerja di
bidang pertanian dan industri, persentase lapangan kerja menurut jenis pekerjaan (wiraswasta sendirian, dengan pekerja sementara,
dengan pekerja permanen, dengan pekerja penerima gaji, dan pekerja keluarga), tingkat pekerjaan dan pengangguran.
3. Tambahan variabel kontrol pratertentu termasuk: Jenis kelamin; umur dan kuadratnya, tingkat pencapaian pendidikan, keikutsertaan
pada pendidikan kejuruan, lokasi (kota/desa), dan tahun.
4. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen.
5. Robust standard error dalam kurung dan terkelompokkan menurut provinsi.
209
Lampiran V.2 Dampak kenaikan upah minimum terhadap
lapangan kerja dan struktur ketenagakerjaan
Variabel dependen:
Status pekerjaan dan sektor
pekerjaan
Log upah
Log upah
minimum provinsi minimum provinsi
(tahun ini)
(tahun
sebelumnya)
Log upah
Rata-rata
minimum provinsi dari variabel
(dua tahun yang
dependen (2007)
lalu)
Pekerjaan
Bekerja
Menganggur
(lama, tergantung pada LFP)
Di luar angkatan kerja
0,04*
0,003
-0,01
(0,02)
(0,04)
(0,03)
-0,04***
-0,02
-0,02*
(0,01)
(0,02)
(0,01)
-0,02
0,02
0,03
(0,02)
(0,03)
(0,02)
-0,04*
-0,10***
-0,05*
(0,02)
(0,02)
(0,03)
0,62
0,07
0,34
Sektor pekerjaan
Formal
Pertanian
Industri
Jasa
-0,01
0,06*
-0,0002
(0,02)
(0,03)
(0,03)
0,01
-0,10***
-0,02
(0,02)
(0,02)
(0,02)
-0,00
0,04
0,02
(0,01)
(0,04)
(0,03)
Tidak
Tidak
Tidak
0,47
0,41
0,18
0,40
Karakteristik kabupaten beda kala (lagged):
Satu tahun yang lalu
Ya
Dua tahun yang lalu
Tidak
Ya
Tiga tahun yang lalu
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Karakteristik pekerja
Jumlah provinsi (2007)
33
33
33
Jumlah tahun
13
12
11
Pengamatan
175.214
152.343
150.818
Sumber: Sakernas, 1993-2007 (Agustus)
Catatan:
1. Koefisien dari model probabilitas linier.
2. Karakteristik kabupaten beda kala (lagged) termasuk upah minimum provinsi, dan rata-rata kabupaten untuk indikator pasar tenaga
kerja berikut: Upah karyawan, persentase lapangan kerja di bidang pertanian dan industri, persentase lapangan kerja menurut jenis
pekerjaan (wiraswasta sendirian, dengan pekerja sementara, dengan pekerja permanen, dengan pekerja penerima gaji, dan pekerja
keluarga), tingkat pekerjaan dan pengangguran, dan pangsa pekerja dalam 2 kuintil terendah perkiraan konsumsi.
3. Karakteristik pekerja termasuk: Jenis kelamin; umur dan kuadratnya, tingkat pencapaian pendidikan, keikutsertaan pada pendidikan
kejuruan, lokasi (kota/desa), dan tahun.
4. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen.
5. Robust standard error dalam kurung dan terkelompokkan menurut provinsi.
210
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lampiran
Lampiran V.3 Dampak kenaikan upah minimum beda
kala (lagged) terhadap lapangan kerja dan struktur
ketenagakerjaan, menurut jenis pekerja
Log upah minimum provinsi (tahun sebelumnya)
Variabel dependen:
Formalitas
Pertanian
Industri
-0,11***
0,05
-0,09***
0,04
(0,03)
(0,03)
(0,02)
(0,04)
-0,09***
0,10***
-0,12***
0,02
(0,03)
(0,03)
(0,02)
(0,04)
-0,10***
0,07*
-0,10***
0,03
(0,02)
(0,03)
(0,02)
(0,04)
Dewasa
-0,10***
0,06*
-0,10***
0,04
(0,02)
(0,03)
(0,02)
(0,04)
Berkeahlian
-0,08**
0,10*
-0,06**
-0,03
(0,04)
(0,05)
(0,02)
(0,05)
Tanpa keahlian
-0,11***
0,05
-0,11***
0,06
(0,02)
(0,04)
(0,02)
(0,04)
-0,10***
0,06
-0,10***
0,04
(0,03)
(0,04)
(0,02)
(0,04)
Pedesaan
-0,10***
0,07*
-0,10***
0,03
(0,03)
(0,04)
(0,02)
(0,04)
Miskin
-0,10***
0,06*
-0,10***
0,04
(0,02)
(0,04)
(0,02)
(0,04)
Tidak miskin
-0,10***
0,08*
-0,09***
0,01
(0,03)
(0,04)
(0,02)
(0,04)
Ya
Ya
Ya
Ya
Laki-laki
Perempuan
Muda
Perkotaan
Jasa
Karakteristik kabupaten beda kala (lagged)
Dua tahun yang lalu
Karakteristik pekerja
Ya
Ya
Ya
Ya
Jumlah provinsi (2007)
33
33
33
33
Jumlah tahun
12
12
12
12
Pengamatan
152.343
152.343
152.343
152.343
Sumber: Sakernas, 1993-2007 (Agustus)
Catatan:
1. Koefisien berasal dari interaksi karakteristik pekerja dan log upah minimum beda kala (lagged) pada provinsi yang bersangkutan,
berdasarkan model probabilitas linier.
2. Karakteristik kabupaten beda kala (lagged) termasuk upah minimum provinsi, dan rata-rata kabupaten untuk indikator pasar tenaga
kerja berikut: Upah karyawan, persentase lapangan kerja di bidang pertanian dan industri, persentase lapangan kerja menurut jenis
pekerjaan (wiraswasta sendirian, dengan pekerja sementara, dengan pekerja permanen, dengan pekerja penerima gaji, dan pekerja
keluarga), tingkat pekerjaan dan pengangguran, dan pangsa pekerja dalam 2 kuintil terendah perkiraan konsumsi.
3. Karakteristik pekerja termasuk: Jenis kelamin; umur dan kuadratnya, tingkat pencapaian pendidikan, keikutsertaan pada pendidikan
kejuruan, lokasi (kota/desa), dan tahun.
4. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen.
5. Robust standard error dalam kurung dan terkelompokkan menurut provinsi.
211
212
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Data
Tahun
Unit
analisis
Variabel dependen:
Survei
industri
Harrison dan
Scorse (2004)
19901996
19921996
Sakernas
Sakernas
Sakernas
Sakernas
Sakernas,
Rama (1996)
Suryahadi et al,
(2003)
Islam dan
Nazara (2000)
Pratomo (2007)
Laporan
Lapangan Kerja
(2010)
19962007
19901998
1990
-1998
1988
-1999
19881995
Makalah berdasarkan Sakernas
Survei
industri
(Jakarta
dan Jawa
Barat)
Alatas dan
Cameron (2007)
Dewasa
Provinsi
Provinsi
Provinsi
Provinsi
Perusahaan
Perusahaan
Probabilitas bekerja di
sektor pertanian, industri,
atau jasa. Probabilitas
bekerja secara formal.
Variabel kontrol lainnya
Upah
minimum riil
Upah
minimum riil
Rasio upah
minimum
terhadap
produktivitas
rata-rata
Perubahan
pada upah
minimum
Upah
minimum
riil beda kala
(lagged)
-0,05 (total)
sampai -0,12
(penerima
gaji di
perkotaan)
-0,1
(penurunan
peluang
bekerja
di sektor
industri dan
formal)
Jenis kelamin, usia, dan
pendidikan pekerja. Upah
minimum beda kala dua
kali (twice-lagged). Rata-rata
kabupaten beda kala dua
kali (twice-lagged): lapangan
kerja pertanian dan industri,
tingkat lapangan kerja, tingkat
pengangguran, dan tingkat
kemiskinan yang diperkirakan.
-0,05 sampai
-0,1
-0,11
0,01 sampai
-0,07
-0,14
-0,16
Elastisitas
Pengangguran beda kala
(lagged), karakteristik provinsi,
rekaan (dummy) provinsi dan
tahun
Rekaan krisis (crisis dummy)
dan kelompok terpulau (island
group)
Efek tetap provinsi dan tahun.
Populasi, kepatuhan, PDB
wilayah
Efek tetap hanya pada provinsi
dan tahun
Efek tetap pada provinsi
Persentase
Efek tetap pada provinsi dan
kenaikan pada tahun, serta nilai tambah per
provinsi
pekerja
Variabel
upah
minimum
Total lapangan kerja dan
lapangan kerja bagi pekerja
perkotaan penerima gaji
Lapangan kerja total
Lapangan kerja total
Persentase orang dewasa
di area perkotaan yang
bekerja
Lapangan kerja bagi
pekerja produksi di
perusahaan manufaktur
berukuran sedang dan
besar
Lapangan kerja bagi
pekerja produksi di
perusahaan manufaktur
berukuran sedang dan
besar di Jakarta dan Jawa
Barat
Makalah berdasarkan data dari manufaktur sedang dan besar
Studi
Tidak secara
keseluruhan, ya
bagi non-tani
dan formal
Tidak secara
keseluruhan,
ya bagi pekerja
perkotaan
penerima gaji
Ya, tetapi tidak
cukup kuat
Ya, tetapi tidak
cukup kuat
Sebagian besar
tidak
Ya
Tidak
Upah minimum tidak
berpengaruh terhadap
lapangan kerja secara
keseluruhan, tetapi
cenderung mengurangi
lapangan kerja di sektor
industri dan formal.
Upah minimum
mengurangi lapangan
kerja formal perkotaan
Upah minimum
mengurangi lapangan
kerja pada sejumlah model,
tetapi tidak cukup kuat.
Upah minimum
mengurangi lapangan
kerja
Kenaikan upah minimum
memiliki dampak negatif
kecil terhadap lapangan
kerja perkotaan bagi
pekerja penerima upah
Upah minimum yang
lebih tinggi mengurangi
lapangan kerja manufaktur
bagi pekerja tanpa
keahlian.
Tidak ada pengaruh
pada perusahaan besar,
pengaruh yang besar
pada perusahaan lebih
kecil dengan beberapa
spesifikasi.
Signifikan
Kesimpulan
secara Statistik
Lampiran V.4 Perbandingan Berbagai Studi Mengenai Upah Minimum di Indonesia
Lampiran
Lampiran VI.1. Determinan Keanggotaan Serikat Pekerja
Variabel dependen:
Sektor (Kontrol: pertanian)
anggota serikat pekerja = 1, non-anggota = 0
Pertambangan
Karakteristik pribadi
Laki-laki
-0,008
Manufaktur
(0,007)
Perkotaan
-0,015
0,001
0,001
(0,000)**
Jumlah pekerja pada perusahaan (Kontrol:
kurang dari 20)
20-100
0,041
Konstruksi
0,118
Perdagangan,
gudang, rumah
makan
250-500 ribu
Transportasi
500 ribu - 2 juta
2-5 juta
0,137
(0,027)**
>5 juta
0,026
(0,021)
Pelayanan
Masyarakat
0,028
(0,016)
Lain-lain
0,01
(0,025)
0,074
(0,015)**
0,034
(0,025)
Keuangan
0,029
(0,014)*
-0,003
(0,013)
(0,020)**
Upah bulanan dalam Rp (Kontrol: kurang
dari 250 ribu)
-0,036
(0,009)**
(0,010)**
>100
0,049
(0,065)
(0,007)
Usia dalam tahun
0,08
(0,019)**
Listrik
(0,008)*
Jawa
0,015
(0,032)
Pengamatan
5.801
Robust standard error dalam kurung
* signifikan pada 5%; ** signifikan pada 1%
Sumber: IFLS 2007
0,103
(0,072)
Pendidikan
SD
0,039
(0,030)
SMP
0,059
(0,042)
SMA
0,073
(0,041)
Pendidikan Tinggi
0,108
(0,061)
Kejuruan
0,01
(0,009)
213
Lampiran VI.2. Karakteristik Anggota Serikat Pekerja dalam
Perusahaan Non-Pemerintah
Semua karyawan
Anggota serikat pekerja
Semua
Total
100,00%
100,00%
laki-laki
61,30%
60,50%
perempuan
38,70%
39,50%
Perkotaan
67,30%
70,00%
Pedesaan
32,70%
30,00%
Jenis kelamin
Lokasi
Pendidikan
Tidak lulus SD
1,80%
1,30%
SD
25,60%
21,80%
SMP
16,10%
13,40%
SMA
34,90%
34,10%
Pendidikan Tinggi
21,50%
29,40%
< 20 pekerja
62,30%
30,50%
20-100 pekerja
22,80%
26,80%
100+ pekerja
14,90%
42,80%
Kuintil terbawah
16,80%
11,70%
Kuintil kedua
17,30%
14,60%
Kuintil ketiga
17,80%
20,90%
Kuintil keempat
20,30%
21,60%
Kuintil teratas
27,90%
31,20%
Ukuran perusahaan
Penghasilan RT
Upah bulanan
<= Rp 250 ribu
17,60%
4,00%
Rp 250-500 ribu
24,60%
11,90%
Rp 500 ribu - 2 juta
53,20%
76,60%
Rp 2-5 juta
3,80%
6,10%
Rp >5 juta
0,80%
1,50%
Sumber: IFLS 2007
214
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lampiran
Lampiran VII.1 Pertumbuhan jumlah sekolah menengah,
2000-2005
Perkotaan
Pedesaan
2000
2005
Kenaikan (%)
SMP Negeri
3.199
4.907
53,4
SMP Swasta
6.537
9.031
38,2
SMA Negeri
1.894
3.358
77,3
SMA Swasta
5.455
8.496
55,7
SMP Negeri
7.514
9.597
27,7
SMP Swasta
9.999
10.299
3
SMA Negeri
1.917
2.991
56
SMA Swasta
3.584
4.130
15,2
40.099
52.809
31,7
Total
Semua
Subtotal
Negeri
14.524
20.853
43,6
Swasta
25.575
31.956
25,0
SMA Negeri
3.811
6.349
66,6
SMP Negeri
10.713
14.504
35,4
Perkotaan
17.085
25.792
51,0
Pedesaan
23.014
27.017
17,4
Sumber: Podes, berbagai tahun.
Catatan: SMA mencakup sekolah menengah atas umum maupun kejuruan; reklasifikasi desa dari pedesaan menjadi perkotaan antara
tahun 2000 dan 2005 diabaikan.
215
Lampiran VII.2 Menurut pendapat Anda, alasan apa yang
akan meningkatkan persyaratan keahlian di perusahaan
Anda (pilih semua alasan yang sesuai dari tabel di bawah)
Ya (persen
perusahaan)
Tidak (persen
perusahaan)
Teknologi baru yang diimpor dari luar negeri
17
83
Teknologi baru yang dikembangkan sendiri (melalui R&D)
35
65
Perubahan dalam organisasi tempat kerja (misalnya, penekanan pada
keterampilan pribadi, dll)
28
72
Standar mutu yang lebih tinggi (untuk produk atau jasa dari perusahaan)
82
17
Lingkungan bisnis yang lebih bersaing
75
25
Orientasi ekspor yang lebih tinggi
15
85
Meningkatnya pasokan pekerja berkeahlian di pasar tenaga kerja
48
52
Teknologi baru yang diimpor dari luar negeri
20
80
Teknologi baru yang dikembangkan sendiri (melalui R&D)
36
64
Perubahan dalam organisasi tempat kerja (misalnya, penekanan pada
keterampilan pribadi, dll)
22
78
Keseluruhan
Manufaktur
Standar mutu yang lebih tinggi (untuk produk atau jasa dari perusahaan)
90
10
Lingkungan bisnis yang lebih bersaing
68
32
Orientasi ekspor yang lebih tinggi
26
74
Meningkatnya pasokan pekerja berkeahlian di pasar tenaga kerja
42
58
Teknologi baru yang diimpor dari luar negeri
14
85
Teknologi baru yang dikembangkan sendiri (melalui R&D)
34
66
Perubahan dalam organisasi tempat kerja (misalnya, penekanan pada
keterampilan pribadi, dll)
32
67
Standar mutu yang lebih tinggi (untuk produk atau jasa dari perusahaan)
78
22
Lingkungan bisnis yang lebih bersaing
78
22
Orientasi ekspor yang lebih tinggi
8
92
Meningkatnya pasokan pekerja berkeahlian di pasar tenaga kerja
52
48
Jasa
Sumber: Employer Skills Survey (2008)
216
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Lampiran
Lampiran VIII.1 Jumlah sekolah dan siswa menurut
jenis sekolah menengah atas
Tahun
SMA Negeri
SMK Negeri
SMA Swasta
SMK Swasta
Sekolah
Siswa
Sekolah
Siswa
Sekolah
Siswa
Sekolah
Siswa
2002/2003
3.120
1.827.046
838
598.876
4.916
1.316.684
4.105
1.500.877
2003/2004
3.203
1.886.701
899
608.411
5.035
1.371.272
4.216
1.533.133
2004/2005
3.634
2.000.241
1,159
636.064
5.265
1.402.374
4.506
1.528.004
2005/2006
3.940
2.069.243
1,298
682.796
5.377
1.428.177
4.727
1.549.131
2006/2007
4.231
2.191.985
1,483
778.076
5.661
1.382.161
4.939
1.623.656
2007/2008
-
-
-
-
-
-
-
-
2008/2009
-
-
-
-
-
-
-
-
Tahun
Total Negeri
Total Swasta
Total SMA
Total SMK
Sekolah
Siswa
Sekolah
Siswa
Sekolah
Siswa
Sekolah
Siswa
2002/2003
3.958
2.425.922
9.021
2.817.561
8.036
3.143.730
4.943
2.099.753
2003/2004
4.102
2.495.112
9.251
2.904.405
8.238
3.257.973
5.115
2.141.574
2004/2005
4.793
2.636.305
9.771
2.930.378
8.899
3.402.615
5.665
2.164.068
2005/2006
5.238
2.752.039
10.104
2.977.308
9.317
3.497.420
6.025
2.231.927
2006/2007
5.714
2.970.061
10.600
3.005.817
9.892
3.574.146
6.442
2.401.732
2007/2008
-
-
-
-
9.539
3.686.219
6.746
2.864.962
2008/2009
-
-
-
-
9.517
3.863.744
7.653
3.290.396
Sumber: Kemendiknas, www.depdiknas.go.id
217
218
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
94.887
1.674.608
415.000
Total
Sumber: Modul Pendidikan Susenas 2006
42.253
144.803
0
0
359.370
Lain-lain
Biaya transpor
182.447
135.881
43.728
15.411
16.242
22.492
104.719
267.017
245.358
Rata-rata
Biaya mata pelajaran
60.000
120.000
Biaya alat tulis
0
Biaya seragam
100.000
0
Materi pendukung pengajaran
lainnya
Biaya buku
0
0
Biaya ujian
0
Biaya praktik
Biaya organisasi siswa
0
120.000
Uang sekolah
Biaya organisasi orang tua
15.000
Median
SMA Negeri
Biaya pendaftaran
Berbagai Biaya Sekolah
676.000
0
0
100.000
70.000
116.000
0
0
0
0
0
0
350.000
40.000
Median
2.119.763
163.200
35.771
393.965
97.307
213.113
139.257
47.870
49.243
21.622
32.167
90.057
517.393
318.799
Rata-rata
SMK Negeri
658.000
0
0
208.000
60.000
100.000
0
0
0
0
0
0
240.000
50.000
Median
2.100.265
179.670
32.504
489.015
92.778
159.836
150.298
50.369
25.015
19.417
95.368
105.154
369.459
331.383
Rata-rata
SMA Swasta
985.000
0
0
240.000
70.000
120.000
0
0
0
0
0
0
480.000
75.000
2.217.855
175.102
28.380
478.619
96.957
174.255
126.680
54.823
61.844
17.723
93.606
91.720
520.823
297.323
Rata-rata
SMK Swasta
Median
Lampiran VIII.2 Biaya yang dikeluarkan sendiri untuk bersekolah (Rupiah)
Lampiran
Lampiran VIII.3 Kondisi ketenagakerjaan menurut jenis
sekolah
Pendidikan di SMA vs. SMK 278
Indikator kondisi
ketenagakerjaan
Tingkat
pengangguran
(%)
Jenis sekolah
SMA
SMK
Tingkat
pekerjaan (%)
SMA
SMK
Di luar
angkatan kerja
(%)
SMA
SMK
Upah median
(IDR)
SMA
SMK
Pekerjaan
lepas278 (%)
SMA
SMK
Rata-rata
4,6
3,7
72,3
76,8
24,4
20,7
6.896
5.520
6,6
7,9
Laki-laki
4,8
4,0
82,5
88,2
13,7
8,6
7.065
5.764
5,3
5,7
Perempuan
4,3
3,1
60,7
62,9
36,5
35,3
6.783
4.962
8,7
11,7
Muda
18,6
15,0
40,1
53,5
50,7
37,1
3.403
3.213
18,6
18,2
Tua
2,0
1,5
82,6
82,8
16,0
16,5
7.403
6.180
4,9
6,2
Beruntung
5,7
3,5
66,2
72,1
30,0
25,3
7.172
5.347
6,2
6,7
Kurang
beruntung
3,9
3,6
75,8
77,4
21,3
20,3
6.829
5.520
7,1
8,8
Sumber: IFLS, 2007
Pendidikan menengah atas: negeri vs. swasta
Indikator Ketenagakerjaan
Tingkat pengangguran (%)
SMA
SMK
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
4,6
4,6
3,7
6,8
Tingkat pekerjaan (%)
72,3
72,2
76,8
68,9
Di luar angkatan kerja (%)
24,4
24,6
20,7
26,3
Upah median (IDR)
6.896
4.857
5.520
4.067
Pekerjaan lepas (%)
6,6
9,2
7,9
11
Sumber: IFLS, 2007
278
Pekerjaan lepas tergantung pada memperoleh pekerjaan atau tidak.
219
220
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
6084
Pengamatan
5931
0,171
5642
0,559
0,575
(0,020)
0,019
(0,025)
-0,042*
(0,017)
0,036**
5065
0,230
(0,064)
-0,203***
(0,062)
-0,171***
(0,056)
0,009
Upah
OLS
5065
(0,057)
-0,188***
(0,045)
-0,278***
(0,044)
0,032
Upah
LAD
5330
0,175
0,693
(0,034)
-0,032
(0,032)
-0,076**
(0,029)
0,023
Partisipasi
angkatan kerja
LPM
3452
0,232
0,045
(0,013)
0,004
(0,010)
0,016
(0,012)
-0,017
Pengangguran
LPM
3288
0,584
0,566
(0,029)
0,007
(0,028)
-0,052*
(0,025)
0,032
Pekerjaan
formal
LPM
Perempuan
2681
0,314
(0,081)
-0,014
(0,076)
-0,047
(0,075)
0,087
Upah
OLS
2681
(0,058)
-0,048
(0,064)
-0,202***
(0,049)
0,133***
Upah
LAD
Sumber: IFLS1-4
Catatan:
1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen.
2. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan.
3. LPM adalah Model Probabilitas Linier, OLS adalah Kuadrat Terkecil Biasa, dan LAD adalah Deviasi Absolut Terkecil.
4. Dalam semua kasus, sampel disesuaikan dengan pembobotan kembali pengamatan menurut probabilitas inversi yang diperkirakan untuk mengikuti jenis sekolah mereka, selain nilai
bobot individual lintas-sektoral standar.
5. Semua perkiraan didasarkan pada persamaan (2) dalam teks. Perkiraan LAD upah memasukkan efek tetap provinsi alih-alih kabupaten. Standard error untuk perkiraan LAD diperoleh dari
prosedur pengulangan sampling tanpa penimbang.
6. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan
SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan
heterogenitas jender.
0,090
R2
0,051
(0,012)
(0,008)
0,971
0,010
(0,008)
(0,007)
0,005
-0,003
(0,011)
(0,007)
0,013*
-0,006
Pekerjaan
formal
LPM
Laki-laki
Pengangguran
LPM
0,013*
Probabilitas SMA Negeri
SMK Swasta
SMA Swasta
SMK Negeri
Partisipasi
angkatan kerja
LPM
Lampiran VIII.4 Pengaruh jenis sekolah terhadap kondisi ketenagakerjaan (gabungan
sampel keseluruhan)
(3,7)
(4,4)
0,099
18,4
(5,5)
-3,5
(5,7)
-4,7
(6,0)
2,0
(4,7)
39,0
(5,7)
-2,7
(7,8)
-8,7
(6,9)
1,5
(3,8)
-5,6
(3,1)
-1,3
(4,4)
-5,3
(4,5)
-18,9***
(4,8)
-12,2**
(4,5)
-9,8**
(4,2)
-7,0*
SMK Swasta
50,6
(6,1)
3,9
(10,1)
17,2*
(6,7)
10,0
(5,6)
13,2**
(4,5)
6,7
(5,4)
1,5
(9,0)
6,1
(7,8)
-1,5
(6,6)
-5,6
(6,2)
-6,5
SMA Negeri
19,8
(5,3)
-2,6
(10,1)
7,3
(5,9)
4,7
(3,4)
-2,0
(3,5)
6,6*
(4,6)
0,2
(5,9)
-11,3*
(5,5)
-8,5
(5,3)
-8,8*
(5,3)
-4,6
0,116
17,7
(6,0)
-5,1
(7,2)
-11,4
(6,6)
-2,2
(4,9)
1,9
(3,6)
-4,6
(4,2)
-8,9**
(7,4)
7,0
(7,6)
11,0
(6,9)
8,0
(6,2)
5,8
SMA Swasta
2.260
SMK Negeri
Perempuan
11,9
(7,4)
3,9
(6,7)
-13,1**
(5,4)
-12,5**
(3,4)
-13,1***
(3,2)
-8,7***
(5,3)
7,2
(7,0)
-1,8
(6,1)
-1,0
(7,1)
6,4
(6,5)
5,3
SMK Swasta
Sumber: IFLS1-4
Catatan:
1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen.
2. Perkiraan regresi menggunakan probit dengan koefisien berupa efek marginal dalam persentase.
3. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan.
4. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan
SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan
heterogenitas gender.
5. Tingkat pendidikan ayah digunakan untuk mewakili tingkat kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai
kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan
SMA atau lebih tinggi dianggap sebagai beruntung.
2.675
R-kuadrat
30,8
(7,9)
(6,5)
12,8
7,1
(10,6)
(11,3)
-0,9
-5,3
(5,0)
(6,9)
18,6*
-8,8*
5,2
7,1
(3,2)
5,8*
(4,2)
-5,2
(7,3)
12,4*
(6,1)
13,0**
(5,2)
7,4
(4,2)
4,1
SMA Swasta
Pengamatan
Probabilitas Kasus Dasar (Base Case
Probability)
Ibu berpendidikan sekolah kejuruan
Ibu lulus universitas
Ibu lulus SMA
-4,5
3,0
Ibu lulus SMP
(2,5)
(3,2)
A
-4,6*
0,1
7,0
(5,5)
3,5
(4,4)
(7,7)
(5,0)
-12,2***
18,7**
-6,8
(4,5)
6,0
(5,9)
-3,9
(4,1)
6,2
(5,4)
-1,3
(3,9)
4,2
(4,5)
SMK Negeri
Ibu lulus SD
Ayah berpendidikan sekolah kejuruan
Ayah lulus universitas
Ayah lulus SMA
Ayah lulus SMP
Ayah lulus SD
SMA Negeri
Laki-laki
Lampiran VIII.5 Pengaruh dari pendidikan orang tua terhadap pilihan sekolah (sampel
keseluruhan)
Lampiran
221
222
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Sepertiga teratas (tercile)
Sepertiga tengah (tercile)
13,7***
(4,8)
23,6***
(6,5)
28,4
8,3*
(4,2)
16,4***
(5,6)
0,3
745
0,199
-3,4
(4,6)
-17,4***
(3,9)
46,1
SMA Swasta
Laki-laki
SMK Negeri
-18,6***
(4,2)
-22,7***
(4,8)
25,3
SMK Swasta
4,7
(5,3)
19,6***
(5,9)
40,2
SMA Negeri
8,9**
(4,3)
12,9***
(4,9)
10,7
771
0,218
-2,5
(5,0)
-9,7**
(4,6)
30,3
SMA Swasta
Perempuan
SMK Negeri
-11,2***
(4,3)
-22,8***
(4,2)
18,8
SMK Swasta
Sumber: IFLS1-4
Catatan:
1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen.
2. Perkiraan regresi menggunakan probit dengan koefisien berupa efek marginal dalam persentase.
3. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan.
4. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan
SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan
heterogenitas gender.
5. Tingkat pendidikan ayah digunakan untuk mewakili tingkat kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai
kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan
SMA atau lebih tinggi dianggap sebagai beruntung.
Probabilitas Kasus Dasar (Base Case Probability)
Pengamatan
R-kuadrat
Nilai ujian SMP
SMA Negeri
Lampiran VIII.6 Pengaruh nilai ujian terhadap pilihan sekolah (sampel keseluruhan)
1,244
1,156
0,338
979
0,647
(0,051)
0,067
(0,047)
0,023
(0,040)
0,039
Pekerjaan formal
803
0,395
(0,106)
-0,134
(0,114)
-0,180
(0,101)
-0,328***
Upah
1,363
0,275
(0,057)
-0,052
(0,064)
-0,080
(0,057)
-0,027
Partisipasi
angkatan kerja
864
0,385
(0,039)
0,079**
(0,050)
0,072
(0,038)
-0,009
Pengangguran
752
0,678
(0,042)
-0,098**
(0,054)
-0,122**
(0,053)
-0,042
Pekerjaan formal
Perempuan, kohor muda
578
0,501
(0,164)
-0,222
(0,137)
-0,063
(0,142)
-0,175
Upah
Sumber: IFLS1-4
Catatan:
1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen.
2. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan.
3. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan
SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan
heterogenitas gender.
4. Tingkat pendidikan ayah digunakan untuk mewakili tingkat kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai
kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan
SMA atau lebih tinggi dianggap sebagai beruntung.
0,262
Pengamatan
0,013
(0,046)
-0,014
(0,027)
0,002
(0,045)
0,017
(0,050)
(0,030)
(0,026)
-0,055
Pengangguran
Laki-laki, kohor muda
0,011
R2
SMK Swasta
SMA Swasta
SMK Negeri
Partisipasi
angkatan kerja
Lampiran VIII.7 Pengaruh jenis sekolah terhadap kondisi ketenagakerjaan (kohor
muda)
Lampiran
223
224
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
4.285
4.389
Pengamatan
4.106
0,571
0,586
(0,024)
0,012
(0,027)
-0,047*
(0,021)
0,060***
LPM
Formal
3.698
0,252
(0,076)
-0,287***
(0,061)
-0,223***
(0,062)
-0,001
OLS
Upah
1,037
0,156
0,960
(0,027)
-0,009
(0,018)
0,043**
(0,013)
0,023*
LPM
LFP
999
0,323
0,068
(0,041)
0,058
(0,028)
0,003
(0,030)
0,023
LPM
Pengangguran
917
0,661
0,611
(0,064)
0,009
(0,054)
0,015
(0,047)
0,036
LPM
Formal
SMA atau lebih tinggi
799
0,434
(0,137)
-0,167
(0,164)
-0,129
(0,142)
-0,034
OLS
Upah
Sumber: IFLS1-4
Catatan:
1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen.
2. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan.
3. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan
SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan
heterogenitas gender.
4. Tingkat pendidikan ayah digunakan untuk mewakili tingkat kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai
kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan
SMA atau lebih tinggi dianggap sebagai beruntung.
0,163
0,008
0,004
0,089
(0,009)
(0,008)
R2
-0,011
0,008
Probabilitas SMA Negeri
(0,009)
(0,007)
0,045
-0,014
0,003
(0,015)
LPM
LPM
0,971
Pengangguran
(0,008)
SMK Swasta
SMA Swasta
SMK Negeri
Laki-laki
Partisipasi
Angkatan Kerja
SMP atau lebih rendah
Lampiran VIII.8 Perkiraan Pengaruh Jenis Sekolah Terhadap Lapangan Kerja dan
Kualitas Pekerjaan, menurut pendidikan ayah (laki-laki dan perempuan)
2.238
3.513
Pengamatan
LPM
2.142
0,550
0,532
(0,041)
-0,027
(0,037)
-0,089**
(0,034)
0,022
1,713
0,332
(0,099)
-0,019
(0,146)
-0,200
(0,102)
0,125
OLS
Upah
1,370
0,292
0,700
(0,084)
-0,069
(0,056)
-0,053
(0,061)
0,043
LPM
LFP
LPM
930
0,329
0,074
(0,033)
-0,008
(0,033)
-0,006
(0,027)
-0,032
875
0,710
0,654
(0,047)
-0,002
(0,045)
-0,037
(0,048)
0,005
LPM
Formal
SMA atau lebih tinggi
Pengangguran
739
0,432
(0,165)
0,170
(0,140)
0,174
(0,146)
-0,053
OLS
Upah
Sumber: IFLS1-4
Catatan:
1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen.
2. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan.
3. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan
SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan
heterogenitas gender.
4. Tingkat pendidikan ayah digunakan untuk mewakili tingkat kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai
kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan tertinggi SMP atau kurang dianggap sebagai kurang beruntung. Rumah tangga dengan ayah yang berpendidikan
SMA atau lebih tinggi dianggap sebagai beruntung.
0,260
0,176
R2
0,049
(0,017)
(0,040)
0,642
0,010
(0,014)
(0,038)
0,010
0,009
(0,013)
-0,065*
(0,033)
LPM
-0,014
LPM
0,064*
Formal
SMP atau lebih rendah
Pengangguran
LFP
Probabilitas SMA Negeri
SMK Swasta
SMA Swasta
SMK Negeri
Perempuan
Lampiran
225
226
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
717
Pengamatan
667
0,309
570
0,650
0,427
(0,097)
0,062
(0,082)
0,010
(0,098)
0,089
LPM
Formal
484
0,419
(0,150)
-0,127
(0,150)
-0,163
(0,191)
-0,235
OLS
Upah
705
0,282
0,944
(0,067)
0,002
(0,041)
0,014
(0,041)
0,023
LPM
LFP
Nilai tinggi
664
0,327
0,133
(0,076)
0,021
(0,050)
-0,066
(0,063)
-0,047
LPM
Pengangguran
581
0,653
0,539
(0,099)
0,067
(0,093)
-0,018
(0,066)
0,026
LPM
Formal
477
0,482
(0,187)
-0,492***
(0,153)
-0,330**
(0,157)
-0,409***
OLS
Upah
Sumber: IFLS1-4
Catatan:
1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen.
2. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan.
3. Nilai rendah berada di bawah median.
4. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan
SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan
heterogenitas gender.
0,282
R2
0,208
(0,082)
(0,048)
0,924
-0,037
0,030
-0,041
(0,080)
0,031
(0,048)
(0,092)
(0,049)
LPM
-0,176*
0,028
LPM
Nilai rendah
Pengangguran
LFP
Probabilitas
SMA Negeri
SMK Swasta
SMA Swasta
SMK Negeri
Laki-laki
Lampiran VIII.9 Perkiraan Pengaruh Jenis Sekolah Terhadap Lapangan Kerja dan
Kualitas Pekerjaan, menurut nilai ujian (laki-laki dan perempuan)
0,509
443
0,317
770
R2
Pengamatan
394
0,733
0,574
(0,079)
-0,193**
(0,069)
-0,132*
(0,104)
0,017
LPM
Formal
287
0,649
(0,160)
0,167
(0,259)
0,154
(0,321)
0,213
OLS
Upah
726
0,357
0,706
(0,072)
-0,040
(0,103)
-0,109
(0,064)
-0,025
LPM
LFP
Nilai tinggi
495
0,463
0,157
(0,066)
0,019
(0,066)
0,029
(0,047)
-0,026
LPM
Pengangguran
430
0,701
0,554
(0,074)
-0,023
(0,084)
-0,086
(0,086)
-0,040
LPM
Formal
350
0,522
(0,193)
-0,328*
(0,232)
0,093
(0,183)
-0,155
OLS
Upah
Sumber: IFLS1-4
Catatan:
1. *** signifikan pada 1 persen; ** signifikan pada 5 persen; * signifikan pada 10 persen.
2. Standard error dalam kurung; standard error tersebut cukup kuat terhadap heteroskedastisitas dan terkelompokkan pada tingkat kecamatan.
3. Nilai rendah berada di bawah median.
4. Variabel kontrol termasuk: tahun survei; pendidikan orang tua; tempat tinggal pada usia 12 tahun; tempat kelulusan SMP; umur dan kuadratnya; jumlah pengulangan kelas saat SD dan
SMP; bekerja atau tidak pada saat bersekolah di SD atau SMP; lulus dari SMP negeri atau bukan; variabel kontrol jenis kelamin dimasukkan dalam semua perkiraan kecuali dalam perkiraan
heterogenitas gender.
0,069
(0,070)
(0,073)
0,551
0,195***
0,075
0,118*
(0,069)
0,054
(0,072)
(0,076)
(0,092)
LPM
0,149**
0,075
LPM
Nilai rendah
Pengangguran
LFP
Probabilitas SMA
Negeri
SMK Swasta
SMA Swasta
SMK Negeri
Perempuan
Lampiran
227
228
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Polandia
Program
Pemerintah
untuk Pelatihan/
Pelatihan Ulang
Populasi sasaran: Penganggur yang terdaftar.
Periode: 1995-96
Tujuan: Pelatihan ulang keahlian kerja selama
maksimal 12 bulan dengan sasaran bidang yang
mengalami kekurangan pekerja berkeahlian. Peserta
yang mengundurkan diri sebelum menyelesaikan
pelatihan harus mengganti biaya pelatihan.
Populasi sasaran: Kaum muda yang menganggur.
Periode: 1984-1997
Tujuan: Memberi peserta pekerjaan paruh waktu
di perusahaan dan dilengkapi dengan pendidikan
paruh waktu di pusat pelatihan publik. Lama kontrak
umumnya dua tahun, tetapi dapat bervariasi antara
satu sampai tiga tahun. Sebagian pelatihan bersifat
umum, tetapi ada pula komponen spesifik untuk
pekerjaan tertentu.
Sistem Magang
Prancis
Uraian
Program
A. Program Pelatihan Pendidikan Kejuruan
Hemat Biaya
Dampak lebih besar dirasakan kelompok usia yang lebih
tua, tetapi mayoritas peserta pelatihan ulang merupakan
kelompok usia yang lebih muda, yang memperlihatkan
dampak relatif lebih kecil.
Pada saat survei, terjadi peningkatan peluang
dipekerjakan pada pekerja non-subsidi sebesar 8,0% dan
9,8% untuk semua jenis pekerjaan.
Meningkatkan penghasilan bulanan sebesar 5,7 zlot
(Catatan: Nilai dalam mata uang Polandia, Zlot, tahun
1996)
Dampak terhadap pekerjaan bertahan lama (peserta
masih tetap bekerja selama masa survei).
Manfaat: Peningkatan
penghasilan (671 zlot)
per peserta.
Biaya operasional
program per peserta
(907 zlot) & biaya
administrasi program per
peserta (90 zlot).
Penilaian keseluruhan: Perubahan positif pada kondisi ketenagakerjaan tetapi
tidak hemat biaya
Program pelatihan yang diarahkan bagi kaum muda
N/A
pengangguran tidak berpengaruh terhadap upah atau
peluang untuk bekerja selepas pelatihan, kecuali jika porsi
pelatihannya besar.
Program pelatihan sambil bekerja di sektor swasta
memberi hasil yang lebih baik daripada program di sektor
publik
Penilaian keseluruhan: Dampak negatif atau tidak ada dampak terhadap kondisi
ketenagakerjaan
Hasil Pasar Tenaga Kerja
Hasil Kajian Program
Lampiran IX.1 Ikhtisar hasil evaluasi berbagai program pelatihan keahlian pekerjaan
di sejumlah negara
Populasi sasaran: Sasarannya adalah individu yang
mengikuti pelatihan untuk meningkatkan prospek
mereka di pasar tenaga kerja (kelompok ini paling
banyak diisi oleh mereka yang berusia muda dan
menganggur), dan juga pekerja berpenghasilan
menengah yang mengikuti pelatihan untuk
meningkatkan keahlian mereka (kelompok ini
banyak diisi oleh pekerja yang lebih tua dari industri
manufaktur).
Periode: 1957 – sampai sekarang
Tujuan: Memberikan pelatihan kejuruan terpadu
yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan
ekonomi, sosial, dan teknik di Kolombia.
Servicio
Nacional de
Brasil
Tujuan: Perlahan-lahan mendirikan fasilitas pelatihan Penilaian keseluruhan: Perubahan positif pada kondisi ketenagakerjaan dan
kejuruan permanen guna melatih atau memberikan hemat biaya.
pelatihan ulang bagi setidaknya 20 persen dari
Biaya program sekitar 170
Dengan tingkat perolehan pekerjaan kira-kira 48
populasi yang aktif secara ekonomi setiap tahun.
real per orang. Biaya ratapersen, setengah dari peserta pelatihan mendapatkan
Dana diawasi oleh komite tripartit yang mencakup
rata per jam diperkirakan
pekerjaan di sektor informal.
pemerintah dan perusahaan, serta mengalihdayakan
sebesar 2,13 dolar
Namun, di Pernambuco, kursus pelatihan tidak
(outsource) kegiatan pelatihan melalui proses
meningkatkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan. Amerika.
penawaran yang disponsori pemerintah. Komponen
Evaluasi yang dilakukan di Rio de Janeiro dan Fortaleza
keahlian dasar yang kuat dan materi yang
Peserta pelatihan perlu
memperlihatkan bahwa program pelatihan telah:
dikembangkan dengan baik untuk kursus (lamanya
bertahan di pekerjaan
Memberikan dampak yang positif dan signifikan
pelatihan rata-rata mencapai 103 jam per penerima
barunya selama lebih dari
secara statistik terhadap pengangguran, tetapi tidak
manfaat).
17 bulan supaya program
berpengaruh pada penghasilan mereka yang telah
dipekerjakan: mereka yang dapat mengakses pelatihan tersebut menghasilkan
Periode: 1996 – 2004
manfaat positif bersih.
berpeluang 3-4 persen lebih besar untuk memiliki
pekerjaan enam sampai dua belas bulan kemudian.
Populasi sasaran: Pekerja muda dan dewasa yang:
Tidak ada dampak terhadap upah mereka yang telah
(i) menganggur (terutama penerima tunjangan
memiliki pekerjaan.
pengangguran dan mereka yang baru pertama kali
Di Minas Gerais, kursus dengan lama pengajaran 50 jam
mencari kerja); (ii) pekerja yang berisiko kehilangan
menghasilkan kenaikan upah kira-kira 64 real Brazil.
pekerjaan akibat restrukturisasi perusahaan dan/atau
kebijakan makroekonomi; (iii) pengusaha kecil, dan
(iv) wiraswasta.
Hemat Biaya
Rencana Nasional
untuk Pendidikan
Profesional
(PLANFOR)
Hasil Kajian Program
Dampak negatif terhadap penghasilan dan
pengaruhnya terhadap peluang memperoleh
pekerjaan sangat kecil.
Dampaknya terhadap penghasilan cukup besar: upah
rata-rata penerima manfaat lebih rendah 10% dari
kelompok kontrol.
Dampaknya terhadap peluang memperoleh pekerjaan
kira-kira hanya 0,2 persen. (Dampak diperkirakan
menggunakan data dari ENCV)
Biaya langsung per
semester untuk satu kursus
pelatihan melalui SENA
diperkirakan mencapai
hampir 890 dolar Amerika
untuk kursus pendek
dan hampir 944 dolar
Amerika untuk kursus yang
panjang.
Penilaian keseluruhan: Dampak negatif terhadap kondisi ketenagakerjaan.
Hasil Pasar Tenaga Kerja
Uraian
Program
Lampiran
229
230
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Populasi sasaran: Kaum muda berusia 14-21 yang
kurang beruntung.
Periode: 1981-98
Tujuan: Untuk memberikan pekerjaan musim
panas dan kesempatan pelatihan bagi kaum
muda yang kurang beruntung. Juga memberikan
bantuan keuangan jangka pendek. Program mulai
memberikan layanan pendidikan remedial sejak
tahun 1986.
Uraian
Populasi sasaran: Kaum muda berusia 16 – 29
tahun yang: lulus sekolah menengah atas, belum
menikah dan belum mempunyai tanggungan,
berasal dari rumah tangga dengan lima orang
atau lebih anggota keluarga, serta berpenghasilan
rendah. Program telah memberikan pelatihan bagi
19.332 pemuda, 55 persen di antaranya adalah
perempuan.
Periode: 2003 – sampai sekarang
Tujuan: Program dari International Youth
Foundation (IYF) untuk meningkatkan kelayakan
dipekerjakannya kaum muda dari Amerika Latin dan
Karibia. Peserta mengikuti program pelatihan enam
bulan (640 jam) yang difokuskan pada teknologi
informasi dan komunikasi. Dibiayai bersama oleh
Multilateral Investment Fund dari Inter-American
Development Bank. Lembaga yang menjadi
mitra termasuk Microsoft Corporation, Lucent
Technologies Foundation, Merrill Lynch, dan USAID.
Entra 21
Amerika Latin dan
kawasan Karibia
Uraian
Program
B. Program Pelatihan Menyeluruh
Amerika Serikat
Program
Pekerjaan Musim
Panas bagi Kaum
Muda (SYETP)
Program
Hasil Kajian Program
Hemat Biaya
Hemat Biaya
SYETP menghabiskan biaya
1.362 dolar Amerika per
pemuda per tahun.
Catatan: Evaluasi tidak mengandalkan perbandingan dengan
kelompok kontrol sehingga dampak program kemungkinan
diperkirakan lebih tinggi daripada semestinya.
Rata-rata 54 persen peserta pelatihan memperoleh
pekerjaan, 80 persen di antaranya dipekerjakan dengan
kontrak resmi.
Efek mendapat pekerjaan ini tampaknya terbagi rata
di antara para peserta, meskipun peserta laki-laki
mendapatkan hasil yang lebih baik dalam beberapa
konteks.
75 persen dari lulusan yang memperoleh pekerjaan juga
mendapatkan tunjangan. 80 persennya memperoleh
penghasilan yang minimal sama dengan upah minimum.
Secara keseluruhan, 28 persen dari lulusan memperoleh
penghasilan setidaknya 150 persen dari upah minimum.
Biaya unit per pemuda
bervariasi dari 1,10
sampai 1,55 dolar
Amerika. Rasio manfaat/
biaya memperlihatkan
bahwa untuk setiap
dolar Amerika yang
diinvestasikan,
diperoleh manfaat
senilai 1,67 sampai 2,82
dolar Amerika.
Penilaian keseluruhan: Perubahan positif pada kondisi ketenagakerjaan dan
hemat biaya.
Kondisi Ketenagakerjaan
Hasil Kajian Program
Program tampaknya berhasil menambah cukup
banyak lapangan kerja musim panas bagi kaum muda
yang kurang beruntung di tempat-tempat yang
memberikan pekerjaan.
Tidak ada bukti mengenai dampak jangka panjang
terhadap peluang dipekerjakan setelah peserta
menyelesaikan pekerjaan musim panas.
Penilaian keseluruhan: Perubahan positif pada kondisi ketenagakerjaan tetapi
tidak ada informasi apakah hemat biaya atau tidak.
Hasil Pasar Tenaga Kerja
Amerika Serikat
Populasi sasaran: Kaum muda berusia 16 sampai
24 tahun yang tidak bersekolah dan kurang
beruntung. Penerima manfaat haruslah warga
negara Amerika Serikat atau penduduk resmi,
memenuhi persyaratan penghasilan, dan harus siap,
bersedia, dan mampu ikut serta secara penuh dalam
lingkungan pendidikan.
Periode: 1964 – sampai sekarang
Program kemungkinan
hemat biaya bagi
pemuda yang berusia
20 sampai 24 tahun
ketika mendaftar karena
dampak program
terhadap penghasilan
mereka dapat bertahan
dalam periode pascasurvei (manfaat terhadap
masyarakat hanya 500
dolar Amerika lebih kecil
daripada biaya program).
Penilaian keseluruhan: Dampak positif terhadap kondisi ketenagakerjaan tetapi
tidak hemat biaya.
Tujuan: Program pendidikan dan pelatihan
kejuruan tanpa pungutan biaya yang dikelola oleh
Analisis awal terhadap
Tidak ada dampak positif yang signifikan secara statistik
Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat. Bertujuan
manfaat dan biaya
terhadap penghasilan subkelompok mana pun pada
untuk membantu kaum muda memperoleh
yang hanya didasarkan
periode pasca-survei.
pekerjaan yang lebih baik, mendapatkan
Kelompok berusia 20 sampai 24 tahun, yang merupakan pada data survei
penghasilan yang lebih tinggi, dan mengambil
mengisyaratkan bahwa
seperempat dari keseluruhan peserta Korps Kerja,
kendali atas hidup mereka sendiri. Para peserta
manfaatnya bernilai
memperoleh kenaikan penghasilan dua kali lipat lebih
mendaftar untuk mengikuti kursus selama 30
17.000 dolar Amerika
besar daripada perserta lainnya.
minggu (secara rata-rata) untuk mempelajari suatu
lebih besar daripada
Kenaikan penghasilan bagi mereka yang berusia 20
keahlian, memperoleh ijazah sekolah menengah atas
biaya per peserta
sampai 24 tahun dan mereka yang telah berijazah
atau ijazah persamaan, dan memperoleh bantuan
(diasumsikan bahwa
menengah atas pada saat mendaftar program, dapat
untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Mereka
dampak terhadap
bertahan cukup lama tanpa adanya penurunan berarti.
memperoleh tunjangan bulanan selama pelatihan,
penghasilan selama
Pada tahun 1998, tahun terakhir pengumpulan data
dan juga mendapatkan konseling karir serta bantuan
masa kerja rata-rata
survei, mereka yang dipilih secara acak dari program
masa transisi sampai dengan 12 bulan setelah lulus.
peserta program dalam
memperoleh penghasilan rata-rata 220 dolar Amerika
Siklus yang dijalani peserta adalah: Penjangkauan
periode pengamatan
lebih besar daripada kelompok kontrol menurut data
dan Pendaftaran (OA), Periode Persiapan Karir (CPP),
dapat bertahan tanpa
Social Security; 5.804 vs. 5.584 dolar Amerika.
Periode Pengembangan Karir (CDP), dan Periode
adanya penurunan).
Transisi Karir (CTP).
Hemat Biaya
Korps Kerja (Job
Corps)
Hasil Kajian Program
Kondisi Ketenagakerjaan
Uraian
Program
Lampiran
231
232
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Populasi sasaran: Diarahkan bagi kaum muda
perkotaan yang menganggur dan berusia 18 sampai
25 tahun.
Periode: 2001-05
Tujuan: Program pelatihan kaum muda melalui
kursus dan skema magang. Mereka menerima
tunjangan dan voucher pelatihan yang dapat
mereka gunakan untuk mendaftar pada kursus
pelatihan pilihan mereka dari daftar penyedia
pelatihan yang dipilih secara kompetitif. Pelatihan
pekerjaan berlangsung sekitar tiga bulan dan diikuti
dengan magang tiga bulan di sebuah perusahaan
atau organisasi. Penerima manfaat juga menerima
tunjangan makan dan transportasi. Program ini
dikelola oleh kelompok yang terdiri atas lembaga
pemerintah, organisasi nirlaba, dan perusahaan
swasta.
Jóvenes en
Acción
Kolombia
Uraian
Program
Hasil Kajian Program
Hemat Biaya
Program berhasil meningkatkan lapangan kerja bagi
laki-laki maupun perempuan. Bagi perempuan,
pelatihan telah menambah besar 5% peluang mereka
untuk memperoleh pekerjaan, memperpanjang hari
dan jam bekerja, serta meningkatkan peluang untuk
memperoleh pekerjaan dengan kontrak tertulis.
Dampak yang serupa, namun lebih terbatas juga
dirasakan laki-laki.
Dampak yang paling signifikan dari program ini adalah
peningkatan besar pada upah: upah perempuan
meningkat 35 persen, sementara upah laki-laki
meningkat 18 persen.
Tingkat pengembalian
investasi (IRR) terendah
adalah 13,5% untuk
perempuan dan 4,5%
untuk laki-laki.
Perolehan bersih yang
besar, terutama bagi
perempuan.
Penilaian keseluruhan: Perubahan positif pada kondisi ketenagakerjaan dan
hemat biaya.
Kondisi Ketenagakerjaan
Populasi sasaran: Kaum muda berusia 16 sampai
25 tahun yang tak lagi bersekolah, menganggur, dan
kurang beruntung. Tingkat pendidikan penerima
manfaat tidak boleh lebih tinggi daripada sekolah
menengah.
Periode: 1999 – sampai sekarang
Kementerian Tenaga Kerja mengalihdayakan layanan
pelatihan kepada lembaga swasta melalui proses
penawaran yang kompetitif. Instituto Nacional
de Formación Técnica Profesional (INFOTEP)
bertanggung jawab melakukan evaluasi teknis
terhadap proposal dari lembaga pelatihan dan
mengawasi kursus pelatihan.
Tujuan: Program yang menyiapkan pesertanya
memasuki pasar tenaga kerja, sesuai dengan
kebutuhan pasar tenaga kerja. (1) Kursus selama
3 bulan untuk mempelajari keahlian teknis dan
keterampilan hidup di lembaga pelatihan yang
memenuhi syarat. (2) Magang atau pelatihan sambil
bekerja selama 2 bulan di perusahaan swasta.
Penerima manfaat akan memperoleh tunjangan
untuk memenuhi kebutuhan dasar 50 peso
Dominika per hari; kira-kira 2 dolar Amerika).
Juventud y
Empleo
Republik Dominika
Uraian
Program
Hasil Kajian Program
Hemat Biaya
Tidak ada dampak terhadap tingkat pekerjaan atau
kelayakan dipekerjakan para peserta, bahkan setelah
memilah-milah hasilnya menurut usia, gender,
pendidikan, dan wilayah.279
Namun demikian, perkiraan poin memberikan hasil
positif dan signifikan secara ekonomi bagi kelompok
usia termuda (17-19 tahun) dan bagi mereka yang
tinggal di wilayah Timur dan Santo Domingo.
Penghasilan total bulanan yang diperoleh penerima
manfaat lebih tinggi 17 persen daripada kelompok
kontrol (perkiraan ini tidak sepenuhnya tepat dan
mencerminkan ukuran sampel yang kecil serta
beragamnya penghasilan).
Efek penghasilan ini lebih besar bagi kelompok usia
yang paling muda, penduduk Santo Domingo, dan
penerima manfaat yang pernah mengikuti sekolah
menengah atas. Dampak sebesar 21 persen bagi
mereka yang pernah mengikuti sekolah menengah
atas versus dampak bersih 9 persen bagi orang-orang
yang hanya berpendidikan sekolah dasar.
Dampak sebesar 10 persen yang tidak terlalu signifikan
pada upah per jam para peserta.
Dampak bersih rata-rata
terhadap penghasilan
bulanan peserta pelatihan
yang dipekerjakan kirakira sebesar 38 dolar
Amerika. Dengan efek
lapangan kerja nol,
tingkat pekerjaan sebesar
55 persen, dan tingkat
diskonto sama dengan
tingkat inflasi, investasi
ini akan terbayar dalam 2
tahun (NPV>0 jika manfaat
positif bertahan 2 tahun).
Biaya yang dikeluarkan
pemerintah untuk
program kira-kira
sebesar 330 dolar
Amerika per kursus per
penerima manfaat. Biaya
program akan terbayar
oleh manfaatnya jika
dampak program dapat
dipertahankan setidaknya
selama dua tahun.
Penilaian keseluruhan: Perubahan positif pada kondisi ketenagakerjaan dan
hemat biaya.
Kondisi Ketenagakerjaan
Lampiran
233
234
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Populasi sasaran: Inisiatif ini terbuka bagi kaum
muda, umumnya sampai batas usia 30 tahun, yang
tak lagi bersekolah dan sedang menganggur atau
mengalami setengah pengangguran, yang secara
hukum berhak untuk bekerja di Kanada.
Periode: 1998-2005
Tujuan: Tujuan program adalah: (i) memberikan
pengalaman kerja nyata; (ii) belajar dan
meningkatkan keahlian pekerjaan yang dapat
ditransfer; (iii) mengembangkan keahlian dan
kualifikasi pribadi seperti percaya diri, mencukupi
diri sendiri, kepemimpinan, komunikasi, dan kerja
sama tim; (iv) berkontribusi kepada masyarakat dan
negara; (v) mendorong pengetahuan dan kesadaran
mengenai persoalan masyarakat.
Uraian
279
279
Hasil Kajian Program
Hemat Biaya
Keikutsertaan tidak memberikan pengaruh yang
signifikan secara statistik terhadap penghasilan yang
disetahunkan, upah mingguan, jam kerja per minggu,
atau tunjangan bantuan sosial tahunan.
Dalam jangka pendek, waktu yang dihabiskan peserta
proyek YSC dalam angkatan kerja dan dalam pekerjaan
lebih singkat daripada jika mereka tidak mengikuti
YSC. Hal ini terjadi akibat peningkatan yang signifikan
secara statistik pada waktu yang mereka habiskan di
sekolah (untuk kebanyakan peserta muda usia) atau
dalam pelatihan setelah mereka selesai mengikuti YSC.
Tunjangan asuransi pekerjaan menurun 183 dolar
Kanada per tahun sebagai hasil keikutsertaan dalam
YSC.
Biaya program per peserta
adalah 8.277 dolar Kanada,
sedikit lebih tinggi
daripada program lain
yang serupa.
Penilaian keseluruhan: Dampak negatif terhadap kondisi ketenagakerjaan.
Kondisi Ketenagakerjaan
57 persen dari penerima manfaat versus 57 persen dari kelompok kontrol memiliki pekerjaan pada saat pelaksanaan survei lanjutan. Kelayakan dipekerjakan didefinisikan sebagai
peluang memperoleh pekerjaan jika sedang menganggur, atau peluang untuk tetap dipekerjakan begitu mendapatkan pekerjaan, diperkirakan melalui model logit berkoefisien acak
yang dinamis.
Sumber: Puerto, 2008; Ibarraran dan Rosas, 2008.
Kanada
Youth Service
Canada (YSC)
Program
Referensi
Adato, Michelle, and Lawrence Haddad. 2001. “How Efficiently Do Public Works Programs Transfer
Benefits to the Poor? Evidence from South Africa.” Discussion Paper 108. Washington, DC: I n t e r n a t i o n a l
Food Policy Research Institute.
Addison, J. T. and P. Teixeira. 2001. “The Economics of Employment Protection.” IZA Discussion paper No.
381. Bonn, Germany: Institute for the Study of Labour.
Alatas, Vivi and Lisa Cameron. 2003. “The Impact of Minimum Wages in a Low-income Country: an Evaluation
Using a Difference-in-difference Approach.” World Bank Policy Research Paper Series No. 2985.
Alisjahbana, Armida S. 2007. “Employment Protection Legislation and Labor Market Flexibility: International
Evidence and Lessons for Indonesia – With Special Emphasis on the Cases of Outsourcing and FixedTerm Contracts.” World Bank Office Jakarta. Mimeo.
Alisjahbana, Armida S., Pipit Pitriyan, Evi Aminah Ramdhani, Viktor Pirmana, and Wiartini Citrasari. 2008.
“Vocational and Technical Education.” World Bank Office Jakarta. Mimeo.
Alisjahbana, Armida. 2008a. “Education and Skills Mismatch.” World Bank Office Jakarta. Mimeo.
_____. 2008b. “Public and Private Training Provision.” World Bank Office Jakarta. Mimeo.
_____. 2008c. “Vocational and Technical Education.” World Bank Office Jakarta. Mimeo.
Armstrong, R., Beduwe, C., Germe, J., Leney, T., Planas, J., & M. Poumay. 2008. Forthcoming. “New and Emerging
Issues in Vocational Education and Training Research Beyond 2010” Modernising Vocational Education
and Training: Volume 2. Fourth Report on Vocational Training Research in Europe: Background Report.
Cedefop Reference series. Luxembourg: EUR-OP
Asia Development Bank (ABD) and World Bank. 2005 “Improving the Investment Climate in Indonesia.”
Attanasio, Orazio, Adriana Kugler and Costas Meghir. 2007. “Effects of Youth Training in Developing Countries:
Evidence from a Randomized Training Program in Colombia.” Mimeo.
Banerjee, Abhijit V., Sebastian Galiani, James A Levinsohn, Zoe McLaren, and Ingrid Woolard. 2007. “Why Has
Unemployment Risen in the New South Africa” (June 2007). NBER Working Paper No. W13167.
BAPPENAS. 2006. “Laporan Akhir – Kajian Kebijakan Pasar Kerja Yang Fleksibel Untuk Meperluas Kesempatan
Kerja (Survei).” Jakarta: PT. Surveyor Indonesia.
Barros, Alexandre R. et al. 1997 (n/d). “Acompanhamento de Egressos do Programa Estadual de Qualificação
Profissional do Estado de Pernambuco em 1997.” Recife: FADE-UFPE
Batlle, Susana G. 2006. “Analysis of How to Incorporate Life Skills Within Employability Training Modules.”
World Bank. Washington D.C.
235
Betcherman, Gordon, Karina Olivas and Amit Dar. 2004. “Impacts of Active Labor Market Programs: New
Evidence from Evaluations with Particular Attention to Developing and Transition Countries.” Social
Protection Discussion Paper 402. World Bank.
Betcherman, Gordon, Martin Godfrey, Olga Susana Puerto, Friederike Rother, and Antoneta Stavreska.
2007. “Global Inventory of Interventions to Support Young Workers: Synthesis Report.” World Bank.
Washington, D.C.
Bird, Kelly and Chris Manning. 2002. “The Impact of Minimum Wage Policy On Employment and Earnings
in the Informal Sector: The Case of Indonesia.” Paper presented at the 8th East Asian Economic
Association Conference, Kuala Lumpur.
Bouder, A., F. Dauty, J-L. Kirsch, & P. Lemistre. 2008. Forthcoming. “Readability of Qualifications: a Question as
Old as Europe” Modernising Vocational Education and Training: Volume 2. Fourth report on vocational
training research in Europe: background report. Cedefop Reference series. Luxembourg: EUR-OP
Card, David et al. 2006. “Labor Market Impacts of Youth Training in the Dominican Republic: Evidence from a
Randomized Program.” IADB.
Chen, Dandan. 2009. “Vocational Schooling, Labor Market Outcomes, and College Entry.” Policy Research
Working Paper 4814. World Bank.
Coles, Mike. Powerpoint presentation on “The Growing Interest in Qualifications Systems.” January 2008.
Comola, Margherita and Luiz de Mello. 2008. “How Does Decentralized Minimum Wage Setting Affect
Unemployment and Informality? A Quasi-Natural Experiment For Indonesia.” OECD Economics
Department Working Paper.
del Ninno, Carlo, Kalanidhi Subbarao and Annamaria Milazzo. 2009. “How to Make Public Works Work:
A Review of Experiences.” World Bank Social Protection Discussion Paper No. 0905.
Washington,
DC.
de Moura Castro, Claudio and Aimee Verdisco. 1999. “Training Unemployed Youth in Latin America: Same
Old Sad Story?” Inter-American Development Bank. Washington, DC.
Djankov, Simeon and Rita Ramalho. 2008. “Employment Laws in Developing Countries.” World Bank.
Feldmann, Horst. 2008. “Business Regulation and Labor Market Performance around the World.” Journal of
Regulatory Economics, 33 (2): 201–35.
Ghozali, Abbas. 2006. “Analisis Biaya Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.” Mimeo. Jakarta, Indonesia
Grosh, Margaret, Carlo del Ninno, Emil Tesliuc and Azedine Ouerghi. 2008. “For Protection & Promotion: The
Design and Implementation of Effective Safety Nets.” World Bank.
Grubb, Norton W. 2007. “Vocational Education and Training: Issues for a Thematic Review.” Issue paper
prepared for the OECD meeting of experts, 5 February, 2007. Paris.
Hahn, A., Leavitt, T., and Susan Lanspery. 2006. “The Importance of Polices in Support of Life Skills Training to
Assist Vulnerable Groups of Youth in the Latin America and Caribbean Region.” (Draft for review to
an October 206 World Bank Policy Toolkit meeting).
236
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Hahn, A., Lanspery, S., and Tom Leavitt. 2006. “Measuring Outcomes in Projects Designed to Help Young
People Acquire Life Skills: Lessons and Challenges.” Nokia-IYF Global Youth Development Initiative.
Harrison, Ann & Jason Scorse. 2004. “Moving Up or Moving Out? Anti-Sweatshop Activists and Labor Market
Outcomes,” NBER Working Papers 10492, National Bureau of Economic Research, Inc
International Labor Organization (ILO). 2000. Core convention – No.182 on the Worst Form of Child Labor.
______. 2004. “Working Out of Poverty: An ILO Submission to the Indonesian PRSP.” ILO Jakarta Office.
______.2008. LABORSTAT Internet. Table 2D: Total employment, by status in employment http://laborsta.
ilo.org/.
Islam, Iyanatul and Suahasil Nazara. 2000. “Estimating Employment Elasticity for the Indonesian Economy.”
Technical Note on the Indonesian Labor Market. ILO Jakarta Office.
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (Institute for Social and Economic
Rearch, Education & Information, LP3ES). 2006. “Mapping Exercise: Situational Analysis for Youth
Employment & Enterprise Creation.” World Bank commissioned report. Jakarta Indonesia.
LP3E FE UNPAD and GIAT. 2004. “Indonesia’s Employment Protection Legislation: Swimming against the
tide.” Faculty of Economics, University of Padjajaran Bandung and Growth through Investment,
Agriculture and Trade (GIAT) Project.
Levinsohn, James. May 2008a. “Two Policies to Alleviate Unemployment in South Africa.” CID Working Paper
No. 166. Center for International Development, Harvard University.
Levinsohn, James. May 2008b. “Policy Brief - Policy Responses to Unemployment in South Africa.” Center for
International Development, Harvard University.
Levinsohn, James and Dani Rodrik. “Greasing the path to a first job” (May 19, 2008). Mail & Guardian Online
(http://www.mg.co.za/article/2008-05-19-greasing-the-path-to-a-first-job).
Luque, Javier. 2009. “In the Search of the Right Mix of Secondary Education.” Mimeo. World Bank Office
Jakarta.
MacKay, Keith Robin. 2007. How to build M&E systems to support better government. World Bank. Independent
Evaluation Group.
Manning, Chris. 1998. “Indonesian Labour in Transition. An East Asian Success Story?” Cambridge University
Press.
Manning, Chris and Kurnya Roesad. 2007. “The Manpower Law of 2003 and Its Implementing Regulations:
Genesis, Key articles and Potential Impact.” Bulletin of Economic Studies, Vol 43, No.1, 2007: 59-86.
Marcouiller, Ruiz de Castilla and Woodruff.1995. “Declaring Work or Staying Underground: Informal
Employment in Seven OECD Countries”, 2008 edition of the OECD Employment Outlook.
Mercy Corps. 2008. Nineteen: The Lives of Jakarta’s Street Vendors. Jakarta Indonesia
237
Ministry of National Education (MoNE). 2006a. “Rencana Strategis Departemen Pendidikan National Tahun
2005-2009.” Jakarta: Ministry of National Education.
------. 2006b. “Teropong Wajah Sekolah Menengah Kejuruan di Indonesia” [Getting Acquainted with Technical
and Vocational Educational in Indonesia]. Jakarta: Ministry of National Education.
------. 2007. “Educational Indicators in Brief 2006/2007.” Jakarta: Ministry of National Education.
Montenegro, Claudio and Carmen and Pagés. 2004. “Who Benefits from Labor Regulation? Chile 19601998,” in James Heckman and Carmen Pagés, eds., Law and Employment: Lessons from Latin America
and the Caribbean. Chicago: The University of Chicago Press.
Newhouse, David Locke and Daniel Suryadarma. 2009. “The Value of Vocational Education: High School Type
and Labor Market Outcomes in Indonesia”. World Bank Policy Research Working Paper 5035. Available
at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1471133
Nevizond Chatab, 2008. ”Kinerja Lulusan Pendidikan Menengah Kejuruan SMAK di SUCOFINDO”, paper
presented at Seminar Terbatas Strategi Peningkatan Relevansi Pendidikan Menengah, Jakarta, 30
June 2008.
Nugroho, Hari (2007), “The Impact Assessment Study of The Program on the Promotion of the ILO Declaration
in Indonesia”. Unpublished report prepared for the International Labour Organization.
———— (2008). “Labor Dispute Settlement Through the Industrial Court System.” Mimeo. World Bank.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 1999. “Employment Protection and
Labour Market Performances.” OECD Employment Outlook, Chapter 2. Paris, France: OECD.
OECD. 2004. OECD Employment Outlook 2004. OECD
______. 2007. Education and Training Policy Qualifications Systems: Bridges to Lifelong Learning. OECD
Employment, Volume 2007, No. 4, April 2007.
______. 2008. OECD. Stat. http://stats.oecd.org/wbos/default.aspx
Pagés, Carmen and C. Montenegro. 1999. “Job Security and the Age-composition of Employment: Evidence
from Chile.” IADB Working Paper No. 398. Washington, D.C.: Inter-American Development Bank.
Paik, Sung Joon. 2008. “VET Provision and Expansion: Korean Experiences.” ESA workshop, Bogor, Indonesia,
16 May 2008. Based on KRIVET. 2008. “Pre-employment Vocational Education and Training in Korea.”
mimeo.
Palmer, Susannah. 2008. “Freedom of Association and Collective Bargaining: Indonesian Experience 20032008.” ILO Working Paper, 2008.
Pangaribuan, Juanda. 2008. ”Reformasi Pengadilan Hubungan Industrial”. A Working Paper for Labour Law
Practitioners Conference in Cipayung, March 2-5, 2008, Organised by TURC.
Partee, Glenda L. 2002. “Preparing Youth for Employment: Principles and Characteristics of five Leading
United States Youth Development Programs”. Presentation at the International Youth Employment
238
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Summit, American Youth Policy Forum.
http://www.aypf.org/publications/PreparingYouthforEmployment.pdf
Perdana, Ari and John Maxwell. 2004. “Poverty Targeting in Indonesia: Programs, Problems and Lessons
Learned.” March 2004. Center for Strategic and International Studies.
PNPM Support Facility. 2008.”Progress Report.” National Development Planning Agency, Indonesia.
Pratomo, 2008 “The Effects of Changes in Minimum Wage on Wages Employement, and Work Hour in
Indonesia”, doctoral dissertation, University of Lancaster, England.
Puerto, Olga S. 2007b. “Labor Market Impact on Youth: A Meta-Analysis of the Youth Employment Inventory.”
World Bank. From http://go.worldbank.org/H978C6DJP1
Puerto, Olga Susana and Jean Fares. 2008. Forthcoming. “Towards Comprehensive Training.” Washington, DC:
World Bank.
Quinn, Patrick. 2003. “Freedom of Association and Collective Bargaining: a Study of Indonesian Experience
1998-2003.” ILO Working Paper No. WP 15.
Quintini, Glenda & Martin, Sébastien. 2006. “Starting Well or Losing their Way? The Position of Youth in the
Labour Market in OECD Countries.” OECD Social Employment and Migration Working Papers 39.
OECD Directorate for Employment, Labour and Social Affairs.
Rahayu, Sri Kusumastuti, and Sudarno Sumarto. 2003. “The Practice of Industrial Relations in Indonesia.”
SMERU Working Paper.
Rama, Martin. 1996. “The Consequences of Doubling the Minimum Wage: The Case of Indonesia.” World Bank
Policy Paper No.1643.
RAND Corporation. Family Life Surveys. www.rand.org/labor/FLS/IFLS.
Revenga, Ana and Jamele Rogolini. 2007. “International Evidence on Severance Pay Reforms: Some Food for
Thought for Indonesia’s Current Reform Proposal.” World Bank.
Ridao-Cano, C. and D. Filmer. 2004. “Indonesia: Evaluating the Performance of SGP and SIGP: A Review of
the Existing Literature and Beyond.” Human Development Sector Unit, East Asia and Pacific Region
Working Paper No. 2004-3, World Bank, Washington, D.C.
Rios-Neto, Eduardo and C. Oliveira. 1998. “Uma Metodologia de Avaliacacão do Plano Estadual de Qualificacão
Profjssional (PEQ): O Caso de Minas Gerais” Belo Horizonte.
Saget, Catherine. 2008. “Fixing Minimum Wage levels in Developing Countries. Common Failures and
Remedies.” International Labour Review: Geneva.
Simanjuntak, Payaman. 2004. “Industrial Relations System in Indonesia.” Jakarta: Himpunan Pembina
Sumberdaya Manusia Indonesia, p.23-24.
Smith, James, Duncan Thomas, Elizabeth Frankenberg, and Kathleen Beegle. 2000. “Wages, Employment and
Economic Shocks: Evidence from Indonesia.” RAND Corporation.
239
Strauss, John et al. 2001. “Indonesian Living Standards: Before and After the Financial Crisis.” RAND Center for
the Study of the Family in Economic Development.
Sumarto, Sudarno, Asep Suryahadi and Wenefrida Widyanti. 2005. “Assessing the Impact of Indonesian
Social Safety Net Programmes on Household Welfare and Poverty Dynamics.” European Journal of
Development Research, 17(1). March 2005.
Sumarto, Sudarno, Asep Suryhadi and Lant Pritchett. 2000. “Safety Nets and Safety Ropes: Who Benefited
from Two Indonesian Crisis Programs – the Poor or the Shocked?” World Bank.
Suryahadi, Asep, Wenefrida Widyanti, Daniel Perwira, and Sudarno Sumarto. 2003. “Minimum Wage Policy
and its Impact on Employment in the Urban Formal Sector. Bulletin of Indonesian Economic Studies
Vol. 39, No.1 (April 2003), pp.29-50.
Thomas, Duncan, Kathleen Beegle and Elizabeth Frankenberg. 2000. “Labour Market Transitions of Men and
Women During an Economic Crisis: Evidence from Indonesia.” RAND Corporation.
UNESCO. 1995. “National Profiles in Technical and Vocational Education in Asia and the Pacific: Singapore.”
Vroman, Wayne. 2007. “Reforming Social Protection for Workers in Indonesia.” World Bank Office Jakarta.
Wicaksono, Padang. 2008. “Skill Development Strategy: The Indonesian Case Study on the Pre-Employment
VET.” Presented at the Education Sector Assessment Workshop, Yogyakarta.
World Bank. 1998. “The Impact of the Crisis: Anecdotal Country Facts.” Washington, D.C.
World Bank. 2002. “Brazil Jobs Report – Volume I and II” (Report No. 24408-BR), Washington, D.C.
World Bank. 2003. Lifelong Learning in the Global Knowledge Economy: Challenges for Developing Countries.
World Bank. Washington D.C.
World Bank. 2007. “Investing in Indonesia’s Education: Allocation, Equity and Efficiency of Public
Expenditures.” Jakarta: World Bank.
World Bank. 2008a Forthcoming. “Employer Skills Survey”. Human Development Unit.
World Bank. 2008b. “PSF Progress Report.” PREM, Poverty Team. World Bank Indonesia Office
World Bank. 2008c. “Labour Market Programs that Make a Difference in Times of Crisis.”
World Bank. 2009a. “Doing Business.” www.doingbusiness.org.
World Bank. 2009b. “How Should Labor Market Policy Respond to the Financial Crisis.”
World Bank. 2009c. “Weathering the Storm.” Indonesia Economic Quarterly. June 2009. Available at www.
worldbank.org/id.
World Bank. 2009d. “Back on Track?” Indonesia Economic Quarterly. December 2009. Available at www.
worldbank.org/id.
World Bank. 2010. “Building Momentum.” Indonesia Economic Quarterly. March 2010. Available at www.
worldbank.org/id.
World Economic Forum. 2005. “The Global Competitiveness Report 2004-2005.”
Young, Michael. 2005. “National Qualifications Frameworks: Their Feasibility for Effective Implementation in
Developing Countries.” Skills Working Paper No. 22. Geneva: ILO.
240
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
241
Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia
Menuju terciptanya pekerjaan yang lebih baik
dan jaminan perlindungan bagi para pekerja